Anda di halaman 1dari 169

LAPORAN AKHIR

ANALISIS DAN EVALUASI UNDANG-


UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG
PERINDUSTRIAN
(Dampak Berlakunya Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja)

PUSAT ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM NASIONAL


BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI
TAHUN 2021
KATA SAMBUTAN
KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas segala limpahan
rahmat, hidayah, karunia-Nya serta pengetahuan yang telah diberikan, sehingga Kelompok
Kerja (Pokja) Analisis dan Evaluasi Hukum dapat menyelesaikan tahapan kegiatan melalui
rapat-rapat Pokja, focus group discussion dan rapat dengan narasumber/pakar hingga
menghasilkan laporan analisis dan evaluasi hukum yang dapat diselesaikan oleh Tim
Kelompok Kerja (Pokja) di masa pandemi Covid-19 ini.
Berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 29 Tahun
2015 tentang Struktur Organisasi Tata Kerja Kementerian Hukum dan HAM, Pusat Analisis
dan Evaluasi Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum
dan HAM, melaksanakan salah satu tugas dan fungsi yaitu melakukan Analisis dan Evaluasi
Hukum Nasional. Analisis dan evaluasi hukum dilakukan tidak hanya terhadap materi
hukum yang ada (peraturan), tetapi juga terhadap aspek kelembagaan hukum, penegakan
hukum, dan pelayanan hukum serta kesadaran hukum masyarakat.
Dengan telah diundangkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, kegiatan analisis dan evaluasi hukum menjadi lebih kuat karena
kegiatan ini secara esensial sama dengan pemantauan dan peninjauan sebagaimana
dimaksud Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 di atas. Hal ini terlihat dari rumusan
Penjelasan Umum yang menyebutkan bahwa pemantauan dan peninjauan terhadap
peraturan perundang-undangan sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam proses
pembentukan peraturan perundang-undangan. Hasil analisis dan evaluasi yang dilakukan
terhadap peraturan perundang-undangan berupa rekomendasi apakah peraturan tersebut
diubah, dicabut atau tetap dipertahankan.
Evaluasi terhadap peraturan perundang-undangan dilakukan dengan menggunakan
Pedoman Evaluasi Peraturan Perundang-undangan (Pedoman 6 Dimensi) yang merupakan
instrumen standar baku berdasarkan metode dan kaidah-kaidah keilmuan khususnya ilmu
hukum agar rekomendasi evaluasi yang dihasilkan memiliki kualitas yang dapat
dipertanggungjawabkan. Pedoman 6 Dimensi tersebut dapat dijadikan sebagai alat bantu

i
ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya,
Analisis dan Evaluasi Hukum terkait Perindustrian tahun 2021 telah selesai dilaksanakan.
Pokja Analisis dan Evaluasi Hukum ini melakukan analisis dan evaluasi hukum terhadap 25
(dua puluh lima) peraturan perundang-undangan, yang terdiri dari: 1 (satu) Undang-
Undang, 8 (delapan) Peraturan Pemerintah, 1 (satu) Peraturan Presiden, dan 15 (lima belas)
Peraturan Menteri. Analisis dan evaluasi hukum ini difokuskan terhadap Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian yang telah diubah beberapa ketentuan
pasalnya dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan perindustrian.
Pokja melakukan kegiatan analisis dan evaluasi hukum berdasarkan Keputusan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor PHN-02.HN.01.01
TAHUN 2021 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Analisis dan Evaluasi Hukum terkait
Perindustrian, selama 6 (enam) bulan terhitung mulai bulan Januari 2021 sampai dengan
bulan Juni 2021, dengan susunan keanggotaan sebagai berikut :

Pengarah : Prof. Dr. H.R. Benny Riyanto, S.H., M.Hum., C.N.

Penanggung Jawab : Yunan Hilmy, S.H., M.H.

Ketua : Reza Fikri Febriansyah, S.H., M.H.

Anggota : 1. Danang Risdiarto, S.H.,M.Si


2. Oki Lestari, S.H., M.Si.
3. Dinar Panca, S.H.
4. Lewinda Oletta S.H.
5. Hesti Rusti Purba, S.H.
6. Ardyan Erfananta, S.H.

Dalam melaksanakan tugas, Pokja juga dibantu oleh narasumber/pakar yang


kompeten, baik dari kalangan akademisi dan praktisi untuk mempertajam analisis dan
evaluasi yang dilakukan. Seluruh bahan yang diperoleh dari hasil kerja mandiri, rapat
dengan narasumber/pakar, dan focus group discussion, tersebut lalu dianalisis dan

iii
iv
DAFTAR ISI

KATA SAMBUTAN................................................................................................................. I
KATA PENGANTAR ............................................................................................................. III
DAFTAR ISI ........................................................................................................................... V
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1
A. Latar Belakang......................................................................................................... 1
B. Permasalahan .......................................................................................................... 8
C. Ruang Lingkup Kegiatan .......................................................................................... 9
D. Metode Evaluasi .................................................................................................... 11
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................ 14
A. Kerangka Konsep Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang
Perindustrian ........................................................................................................ 14
B. Isu Krusial .............................................................................................................. 23
C. Analisis dan Evaluasi Peraturan Perundang-Undangan........................................ 26
1. Undang - Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian .................... 26
2. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1986 tentang Kewenangan
Pengaturan, Pembinaan dan Pengembangan Industri ................................... 28
3. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2018 tentang Pemberdayaan
Industri ............................................................................................................ 30
4. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara
Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman
Sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri ........................................ 32
5. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pembangunan
Sarana dan Prasarana Industri ........................................................................ 33
6. Peraturan Pemerintah Nomor 142 Tahun 2015 tentang Kawasan Industri
........................................................................................................................ 36
7. Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun 2015 tentang Izin Usaha
Industri ............................................................................................................ 39
8. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2015 tentang Pembangunan
Sumber Daya Industri ..................................................................................... 43

v
9. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2015 tentang Rencana Induk
Pembangunan Industri Nasional 2015-2035 .................................................. 45
10. Peraturan Presiden Nomor 118 Tahun 2020 tentang Pengadaan
Teknologi Industri Melalu Proyek Putar Kunci ............................................... 46
11. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 4 Tahun 2018 tentang Tata
Cara Pengawasan Pemberlakukan Standardisasi Industri Secara Wajib........ 47
12. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 38 Tahun 2018 tentang Akun
Sistem Informasi Industri Nasional ................................................................. 52
13. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 20 Tahun 2019 tentang Tata
Cara Penerbitan Rekomendasi Ekspor dan Rekomendasi Impor Bahan
Bakar Lain Sebagai Bahan Baku Dan Bahan Penolong Industri ...................... 54
14. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor: 02/M-IND/PER/1/2014
tentang Pedoman Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri
Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah................................................... 57
15. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 17 Tahun 2019 tentang
Pengendalian dan Pengawasan Industri Minuman Beralkohol...................... 61
16. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 17 Tahun 2018 tentang
Pedoman Nomenklatur Perangkat Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota
yang Melaksanakan Urusan Pemerintahan di Bidang Industri ...................... 63
17. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 41/M-IND/PER/12/2017
tentang Lembaga Sertifikasi Industri Hijau..................................................... 65
18. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 35 Tahun 2019 tentang
Penerbitan Pertimbangan Teknis untuk Pengecualian dari
Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia untuk Produk Besi/Baja dan
Kabel Secara Wajib ......................................................................................... 68
19. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 45 Tahun 2019 tentang Tata
Cara Pemberian Izin Usaha Kawasan Industri dan Izin Perluasan Kawasan
Industri Dalam Kerangka Pelayanan Perizinan Berusaha Berintegrasi
Secara Elektronik ............................................................................................ 69
20. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 15 Tahun 2019 tentang
Penerbitan Izin Usaha Industri dan Izin Perluasan Dalam Kerangka
Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik. ..................... 71

vi
21. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 37 Tahun 2006 tentang
Pengembangan Jasa Konsultasi Industri Kecil dan Menengah ....................... 74
22. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 64/M- IND/PER/7/2014
tentang Pengawasan dan Pengendalian Usaha Industri Rokok ..................... 75
23. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 86/M-IND/PER/9/2009
tentang Standar Nasional Indonesia Bidang Industri ..................................... 79
24. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 64/M-IND/PER/7/2016
tentang Besaran Jumlah Tenaga Kerja dan Nilai Investasi Untuk
Klasifikasi Usaha Industri ................................................................................ 81
25. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 30 Tahun 2019 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 15 Tahun 2019
tentang Penerbitan Izin Usaha Industri dan Izin Perluasan Dalam
Kerangka Pelayanan Berizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik ...... 83
D. Dampak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ................. 84
BAB III PENUTUP ............................................................................................................... 92
A. Kesimpulan............................................................................................................ 92
B. Rekomendasi......................................................................................................... 94
LAMPIRAN MATRIKS HASIL ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM ...................................... 97

vii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perindustrian merupakan salah satu sektor pembangunan yang senantiasa menjadi


andalan bagi setiap pemerintahan di suatu negara tidak terkecuali Indonesia dalam upaya
meningkatkan peradaban, taraf hidup, dan kesejahteraan rakyatnya. Kontribusi sektor
industri terhadap pembangunan acapkali menjadi salah satu indikator utama kemajuan
suatu negara. Oleh karena itu, Pemerintah menargetkan bahwa Indonesia harus menjadi
menjadi negara industri tangguh pada tahun 2035 dengan target kontribusi sektor industri
mencapai 29 % (dua puluh sembilan persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB) sehingga
struktur industri nasional di Indonesia pada tahun 2035 diharapkan semakin kuat, berdaya
saing tinggi di tingkat global, dan berbasis inovasi dan teknologi tinggi1. Salah satu upaya
dan instrumen yang diperlukan guna mendukung realisasi target Pemerintah untuk
mewujudukan Indonesia sebagai negara industri yang tangguh tahun tahun 2035 adalah
tersedianya peraturan perundang-undangan yang baik di bidang perindustrian sebagai
landasan hukum yang kokoh agar realisasi target tersebut dapat terwujud dengan tetap
berada pada koridor dan prinsip bahwa “Indonesia adalah negara hukum” sebagaimana
yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Oleh karena itu, setiap kebijakan pengaturan dalam
dan/atau yang terkait dengan sektor perindustrian harus memiliki landasan yuridis yang
kokoh dan mengutamakan semangat keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam konsiderans “menimbang” huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2014 tentang Perindustrian ditegaskan secara eksplisit bahwa pembangunan
industri yang maju sebagai motor penggerak ekonomi merupakan salah satu strategi dan
cita-cita dalam rangka menciptakan struktur ekonomi yang kukuh dan pembangunan
nasional yang berdasar atas demokrasi ekonomi guna mewujudkan masyarakat adil dan
makmur yang merdeka, bersatu, dan berdaulat berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun
1945. Pembentukan UU Perindustrian ini yang dalam tahap perencanaan dan

1
https://kemenperin.go.id/artikel/9440/Target-Industri-Tangguh-pada-2035.

1
penyusunannya merupakan Rancangan Undang-Undang (RUU) usul inisiatif Presiden2-
bertujuan untuk mengganti eksistensi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang
Perindustrian yang telah berlaku selama lebih dari 30 (tiga puluh) tahun. Ada beberapa
alasan spesifik yang menjadi latar belakang pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2014 tentang Perindustrian, antara lain dalam rangka: a). pelaksanaan pembangunan
nasional berdasar atas demokrasi ekonomi; b). menciptakan struktur ekonomi yang kukuh
melalui pembangunan industri yang maju sebagai motor penggerak ekonomi; c).
mewujudkan penguatan struktur industri yang mandiri, sehat, dan berdaya saing, dengan
mendayagunakan sumber daya secara optimal dan efisien; serta d). mendorong
perkembangan industri ke seluruh wilayah Indonesia dengan menjaga keseimbangan
kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional yang berlandaskan pada kerakyatan, keadilan,
dan nilai-nilai luhur budaya bangsa dengan mengutamakan kepentingan nasional.
Sebelum terbentuknya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian,
pengaturan mengenai perindustrian diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984
tentang Perindustrian serta berbagai peraturan pelaksanaannya. Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1984 tentang Perindustrian ini menggantikan eksistensi Bedrijfsreglementerings-
ordonnantie 1934 (Staatsblad 1938 Nomor 86) yang telah berlaku di bumi nusantara sejak
zaman pemerintahan kolonial Hindia-Belanda. Dalam perkembangannya kemudian
disadari sepenuhnya bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian
dianggap sudah tidak memadai dalam mengantisipasi dinamika perubahan lingkungan
strategis, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Setidaknya terdapat 2 (dua)
momentum strategis yang berpengaruh secara signifikan terhadap dinamika pengaturan
mengenai perindustrian di Indonesia, yakni: a). perubahan ke-4 UUD 1945 yang
menghasilkan perubahan pengaturan dalam Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 berupa
tambahan 2 (dua) ayat, serta b). dinamika keberlakuan peraturan perundang-undangan
pasca reformasi terkait penyelenggaraan otonomi daerah dalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia3 yang berkonsekuensi menyebabkan terjadinya pergeseran peran dan

2
Hal ini dapat dilihat dari dicantumkannya Pasal 5 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 sebagai salah satu dasar
hukum “mengingat” dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian.
3
yang dimulai dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, hingga Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah.

2
misi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan nasional di bidang
pembangunan Industri.
Keberlakuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian yang
dimulai pada tanggal diundangkannya undang-undang tersebut, yakni 15 Januari 2014,
diharapkan dapat menjadi titik tolak sekaligus suatu momentum strategis untuk
mewujudkan dan mengimplementasikan instrumen pengaturan yang efektif dalam rangka
pembangunan Industri dengan tetap menjamin aspek keamanan, keselamatan, dan
kesehatan manusia serta kelestarian fungsi lingkungan hidup. Adapun lingkup pengaturan
dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian meliputi: a).
penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang Perindustrian; b). Rencana Induk
Pembangunan Industri Nasional; c). Kebijakan Industri Nasional; d). perwilayahan Industri;
e). pembangunan sumber daya Industri; f). pembangunan sarana dan prasarana Industri;
g). pemberdayaan Industri; h). tindakan pengamanan dan penyelamatan Industri; i).
perizinan, penanaman modal bidang Industri, dan fasilitas; j). Komite Industri Nasional; k).
peran serta masyarakat; dan l). pengawasan dan pengendalian. Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2014 tentang Perindustrian juga memuat 35 (tiga puluh lima) pendelegasian yang
terdiri atas: a). 25 (dua puluh lima) Peraturan Pemerintah; b). 2 (dua) Peraturan Presiden;
dan c). 8 (delapan) Peraturan Menteri.
Dalam perkembangannya saat ini, untuk melakukan berbagai upaya pemenuhan hak
warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan melalui cipta
kerja serta menyerap tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya di tengah persaingan
yang semakin kompetitif dan tuntutan globalisasi ekonomi diperlukan penyesuaian
berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, perlindungan, dan
pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem
investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan perlindungan
dan kesejahteraan pekerja serta berbagai aspek pengaturan di sektor industri. Untuk
melakukan perubahan terhadap berbagai aspek pengaturan di sektor industri tersebut,
saat ini telah berlaku Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang
pembentukannya dilakukan dengan metode omnibus law. Presiden Joko Widodo
memaknai dan menjelaskan bahwa omnibus law merupakan “Satu Undang-Undang yang
sekaligus merevisi beberapa Undang-Undang, bahkan puluhan Undang-Undang”. Hal ini

3
disampaikan Presiden Joko Widodo sebagai salah satu dari 5 (lima) prioritas pembangunan
yang akan dilakukannya sebagai kepala pemerintahan, yakni penyederhaan regulasi4, tidak
terkecuali terhadap berbagai regulasi di sektor perindustrian. Metode omnibus law
merupakan suatu metode pembentukan peraturan perundang-undangan yang nampak
problematik tatkala dihadapkan dengan konteks kaidah pembentukan peraturan
perundang-undangan di Indonesia, sebab metode ini di satu sisi dianggap sebagai
progresivitas hukum dalam upaya untuk melakukan simplifikasi pembentukan peraturan
perundang-undangan dan upaya deregulasi terhadap berbagai norma hukum yang
dianggap menjadi hambatan investasi dan iklim usaha yang kondusif bagi perbaikan
ekonomi, namun pada sisi lain, metode ini secara yuridis belum dikenal secara formal
dalam konteks pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang
mensyaratkan adanya suatu metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua
lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan5.
Pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dengan
metode omnibus law ini juga terjadi dalam suatu momentum yang spesifik, yakni relatif
buruknya kondisi ekonomi, baik secara global maupun domestik. Setidaknya terdapat
beberapa indikator mengenai hal ini, antara lain: ketidakpastian dan perlambatan ekonomi
global dan dinamika geopolitik berbagai belahan dunia, perubahan teknologi, industri 4.0,
ekonomi digital, pertumbuhan ekonomi rata-rata di kisaran 5% dalam 5 tahun terakhir
dengan realisasi investasi lebih kurang sebesar Rp721,3 triliun pada Tahun 2018 dan Rp792
triliun pada Tahun 2019, tumpang tindih regulasi, rendahnya efektivitas investasi, tingkat
pengangguran, angkatan kerja baru dan jumlah pekerja informal, serta jumlah UMK-M
yang besar namun dengan produktivitas rendah6. Persoalan lainnya adalah terkait
kedudukan Indonesia sebagai negara pihak (state party) dalam berbagai organisasi, forum,
dan perjanjian ekonomi internasional, antara lain: anggota World Trade Organization
(WTO), negara pihak (state party) dalam berbagai Regional Trade Agreement (RTA),

4
pidato pertama Presiden Joko Widodo pasca pelantikannya pada periode yang kedua sebagai Presiden
Republik Indonesia dalam Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tanggal 20 Oktober 2019.
Dalam forum ini, Presiden Joko Widodo menyampaikan 5 (lima) prioritas pembangunan yang akan
dilakukan dalam periode pemerintahan 2019-2024, yakni: 1). pembangunan sumber daya manusia; 2).
pembangunan infrastruktur; 3). penyederhanaan regulasi; 4). penyederhanaan birokrasi; dan 5).
transformasi ekonomi.
5
Konsiderans “menimbang” huruf b Undang-Undang Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
6
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

4
misalnya: ASEAN Free Trade Area, ASEAN-Australia-New Zealand, ASEAN-China, ASEAN-
India, ASEAN-Japan, dan ASEAN-Korea, serta sebagai pihak (party) dalam beberapa
bilateral investment treaties (BIT). Hal ini tentunya berkonsekuensi pada kepatuhan
(compliance) Indonesia terhadap beberapa kewajiban dan persyaratan yang telah
disepakati dalam berbagai organisasi, forum, dan perjanjian ekonomi internasional
tersebut. Eksistensi Indonesia sebagai pihak (state party) dalam berbagai perjanjian
ekonomi internasional ini setidaknya juga menjadi salah satu latar belakang yang signifikan
bagi lahirnya berbagai perubahan dan penyesuaian ketentuan hukum domestik di sektor
industri, khususnya terkait standardisasi industri, fleksibilitas negara anggota (state party)
dalam melakukan berbagai pengaturan dalam regulasi domestik, khususnya mengenai
berbagai aspek yang cenderung dianggap sebagai hambatan (barriers) dalam konteks
perdagangan bebas (free trade), dan pengaturan berbagai norma dalam regulasi domenstik
guna menjaga keseimbangan antara kemajuan sektor industri dengan berbagai risiko
industri, khususnya terhadap kesehatan manusia, keamanan domestik, kelestarian
lingkungan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, salah satu sektor yang dipandang perlu
untuk disesuaikan dan memang terkena dampak langsung dari berlakunya Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja adalah sektor Perindustrian.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian merupakan salah satu
Undang-Undang yang diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja. Setidaknya terdapat beberapa karakteristik perubahan dalam Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian yang diubah oleh Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, antara lain meliputi:
1. penambahan ruang lingkup pengaturan mengenai pembangunan sumber daya
Industri sehingga meliputi pula penyediaan bahan baku dan/ atau bahan penolong
bagi industri;
2. penambahan substansi pengaturan berupa sisipan pasal (Pasal 48a) dalam Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian yang mengatur kewenangan
Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah dalam memberikan kemudahan untuk
mendapatkan bahan baku dan/atau bahan penolong sesuai rencana kebutuhan
industri;
3. perubahan konsep pengaturan mengenai Perusahaan Industri yang melakukan
perluasan dengan menggunakan sumber daya alam;

5
4. pencabutan Pasal 102 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian
yang mengatur klasifikasi industri besar, sedang dan kecil berdasarkan jumlah tenaga
kerja dan nilai investasi;
5. penambahan substansi pengaturan berupa sisipan pasal (Pasal 105a) dan perubahan
Pasal 106 dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian yang
mengatur Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Kawasan Industri yang berada di
kawasan ekonomi khusus dan perubahan konsep pengaturan dari yang sebelumnya
berupa “pemberian izin usaha industri” menjadi “perizinan berusaha”; serta
6. perubahan konsep pengaturan mengenai pelaksanaan pengawasan dan
pengendalian terhadap kegiatan usaha Industri dan kegiatan usaha Kawasan Industri,
dari yang awalnya “dilakukan oleh pejabat dari unit kerja di bawah Menteri dan/atau
lembaga terakreditasi yang ditunjuk oleh Menteri” (berdasarkan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian) menjadi “Pemerintah Pusat dapat
menunjuk lembaga terakreditasi untuk keperluan mengenai hal tersebut”
(berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja).
Adapun 2 (dua) karakteristik perubahan penting lainnya yang dilakukan melalui
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian adalah perubahan kata “Menteri (dalam
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian) menjadi “pemerintah Pusat”
(dalam Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja) dan perubahan konsep
pendelegasian pengaturan, dari yang sebelumnya “diatur dengan Peraturan
Menteri”(dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian) menjadi
“diatur dengan Peraturan Pemerintah” (dalam Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja). Kedua perubahan ini secara kasat mata nampak sekedar perubahan
redaksional belaka, meskipun jika ditelaah secara mendalam maka bukan tidak mungkin
akan memiliki pula konsekuensi substantif yang cukup serius.
Selain terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian,
keberlakuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja juga berpengaruh
siginifkan terhadap diperlukannya berbagai perubahan peraturan pelaksanaan dari
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, terlebih lagi pasca berlakunya
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang
Perindustrian yang merupakan pendelegasian dari Pasal 44 dan Pasal 185 huruf b Undang-

6
Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor
28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian inilah semakin terlihat
berbagai perubahan politik hukum dan konsep pengaturan bidang perindustrian di
Indonesia secara signifikan pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja. Pokok-pokok pengaturan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian meliputi kemudahan untuk
mendapatkan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong, pembinaan dan pengawasan
terhadap lembaga penilaian kesesuaian, Industri Strategis, peran serta masyarakat dalam
pembangunan Industri, serta tata cara pengawasan dan pengendalian usaha Industri dan
usaha Kawasan Industri7. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Bidang Perindustrian ini juga mengatur mengenai mekanisme evaluasi
yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Pusat atas pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini
serta dalam Ketentuan Penutupnya mengatur 2 (dua) hal penting, yakni: 1). status
keberlakuan dari peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan
dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian yang dinyatakan masih
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian 8; serta
2). mencabut dan menyatakan tidak berlakunya beberapa ketentuan yang terdapat dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pembangunan Sarana dan Prasarana
Industri serta Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2018 tentang Pemberdayaan
Industri9.
Dengan demikian, keberlakuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang
Perindustrian merupakan 2 (dua) perkembangan hukum yang sangat signifikan pada sektor
perindustrian. Hal ini tentunya memerlukan suatu kajian analisis dan evaluasi hukum
secara post factum mengingat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian
beserta berbagai peraturan pelaksanaannya juga masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang

7
Pasal 2 dan Paragraf terakhir Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Bidang Perindustrian.
8
Pasal 173 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian.
9
Pasal 174 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian.

7
Perindustrian. Kajian analisis dan evaluasi hukum secara post factum ini didasarkan pada
dan merupakan amanat dari Pasal 181 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja untuk nantinya dapat dijadikan sebagai titik tolak, tolak ukur, dan bahan dasar
guna melakukan proses harmonisasi dan sinkronisasi berbagai peraturan perundang-
undangan serta putusan pengadilan yang mengatur tentang dan/atau terkait dengan
sektor perindustrian. Selain kajian dampak berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Bidang Perindustrian terhadap berbagai peraturan perundang-undangan
di sektor perindustrian, kajian analisis dan evaluasi hukum secara post factum ini juga
menyoroti beberapa permasalahan yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-
undangan di sektor perindustrian, khususnya manakala dilakukan pengujian (testing)
melalui Pedoman 6 (enam) Dimensi yang selama ini dilakukan oleh Pusat Analisis dan
Evaluasi Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia berdasarkan Pedoman Evaluasi Peraturan
Perundang-Undangan Nomor PHN-HN.01.03-07 yang ditandatangani oleh Kepala Badan
Pembinaan Hukum Nasional pada tanggal 31 Desember 2019.

B. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang sebagaimana tersebut di atas, dipandang perlu
untuk dilakukan kegiatan analisis dan evaluasi hukum terhadap Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2014 tentang Perindustrian beserta berbagai peraturan pelaksanaannya pasca
berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja serta Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian. Pokok
permasalahan dalam dalam kegiatan analisis dan evaluasi hukum ini disusun dalam 3 (tiga)
kalimat tanya sebagai berikut:
1. bagaimana dampak perubahan konsep dan politik hukum pengaturan mengenai
Perindustrian dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian
dan peraturan pelaksanaannya pasca berlakunya Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Bidang Perindustrian?;
2. potensi persoalan apa saja yang dapat terjadi dalam rezim hukum perindustrian
pasca berlakunya Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan

8
Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang
Perindustrian?; dan
3. tawaran solusi apa yang dapat dihasilkan dari kegiatan analisis dan evaluasi ini
sebagai upaya mtigasi risiko terhadap prospek pengaturan konsep dan politik
hukum mengenai Perindustrian di masa yang akan datang?

C. Ruang Lingkup Kegiatan


Ruang lingkup Analisis dan Evaluasi Hukum ini adalah mencakup 25 peraturan
perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian
beserta peraturan perundang-undangan pelaksananya sebagai berikut:

No Jenis Peraturan

Undang-Undang

1. Undang – Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian

Peraturan Pemerintah

2. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1986 tentang Kewenangan Pengaturan,


Pembinaan, dan Pengembangan Industri

3. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan


Industri Nasional Tahun 2015-2035

4. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2015 tentang Pembangunan Sumber Daya


Industri

5. Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun 2015 tentang Izin Usaha Industri

6. Peraturan Pemerintah Nomor 142 Tahun 2015 tentang Kawasan Industri

7. Peraturan Pemerintah 2 Tahun 2017 tentang Pembangunan Sarana Dan Prasarana


Industri

8. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor
Komoditas Perikanan Dan Komoditas Pergaraman Sebagai Bahan Baku dan Bahan
Penolong Industri

9. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2018 tentang Pemberdayaan Industri

Peraturan Presiden

10. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 118 Tahun 2020 tentang Pengadaan
Teknologi Industri Melalui Proyek Putar Kunci

9
No Jenis Peraturan

Peraturan Menteri

11. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 37 Tahun 2006 tentang Pengembangan Jasa
Konsultasi Industri Kecil dan Menengah

12. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 86 tahun 2009 tentang Standar Nasional
Indonesia

13. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor: 02/M-IND/PER/2014 tentang Pedoman


Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri Dalam Pengadaan Barang / Jasa
Pemerintah

14. Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 64/M- IND/PER/7/2014


tentang Pengawasan dan Pengendalian Usaha Industri Rokok

15. Peraturan Menteri Perindustrian No 64/M-IND/PER/7/2016 tentang Besaran Jumlah


Tenaga Kerja Dan Nilai Investasi Untuk Klasifikasi Usaha Industri

16. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 41/M-IND/PER/12/2017 tentang Lembaga


Sertifikasi Hijau

17. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 4 Tahun 2018 tentang Tata Cara
Pengawasan Pemberlakuan Standardisasi Industri Secara Wajib

18. Peraturan Menteri Perindustrian No 17 Tahun 2018 tentang Pedoman Nomenklatur


Perangkat Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota yang Melaksanakan Urusan
Pemerintahan di Bidang Industri

19. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 38 Tahun 2018 tentang Akun Sistem
Informasi Industri Nasional

20. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 15 Tahun 2019 tentang Penerbitan Izin
Usaha Industri dan Izin Perluasan dalam Kerangka Pelayanan Perizinan Berusaha
Terintegrasi Secara Elektronik

21. Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2019 tentang
Pengawasan dan Pengendalian Industri Minuman Beralkohol

22. Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2019 tentang
Tata Cara Penerbitan Rekomendasi Ekspor Dan Rekomendasi Impor Bahan Bakar
Lain Sebagai Bahan Baku Dan Bahan Penolong Industri

23. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 30 Tahun 2019 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 15 Tahun 2019 tentang Penerbitan Izin
Usaha Industri dan Izin Perluasan dalam Kerangka Pelayanan Perizinan Berusaha
Terintegrasi Secara Elektronik

10
No Jenis Peraturan

24. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 35 Tahun 2019 tentang Penerbitan


Pertimbangan Teknis untuk Pengecualian dari Pemberlakuan Standar Nasional
Indonesia untuk Produk Besi/Baja dan Kabel Secara Wajib

25. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 45 Tahun 2019 tentang Tata Cara
Pemberian Izin Usaha Kawasan Industri dan Izin Perluasan Kawasan Industri dalam
Kerangka Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik

D. Metode Evaluasi
Metode yang digunakan oleh Tim Pokja dalam melakukan analisis dan evaluasi
hukum terhadap berbagai peraturan perundang-undangan di bidang perindustrian ini
didasarkan pada ketentuan yang diatur dalam Pedoman Evaluasi Peraturan Perundang-
Undangan Nomor PHN-HN.01.03-07 yang ditandatangani oleh Kepala Badan Pembinaan
Hukum Nasional pada tanggal 31 Desember 2019. Pedoman 6 Dimensi merupakan metode
yang berstandar ilmiah dan berdasarkan kaidah keilmuan, agar evaluasi peraturan
perundang-undangan yang dilakukan menghasilkan rekomendasi yang berkualitas dan
dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam Pedoman Evaluasi Peraturan Perundang-Undangan Nomor PHN-HN.01.03-
07 tersebut terdapat 6 (enam) dimensi penilaian untuk melakukan suatu analisis dan
evaluasi terhadap, yaitu: 1). Dimensi Pancasila; 2). Dimensi Ketepatan Jenis Peraturan
Perundang-Undangan; 3). Dimensi Disharmoni Pengaturan; 4). Dimensi Kejelasan
Rumusan; 5). Dimensi Kesesuaian Asas Bidang Hukum Peraturan Perundang-undangan
yang Bersangkutan; dan 6). Dimensi Efektivitas Pelaksanaan Peraturan Perundang-
undangan
1. Dimensi Pancasila
Evaluasi pada Dimensi Pancasila merupakan analisis yang bertujuan melakukan
penilaian sejauh mana suatu peraturan perundang-undangan mengakomodasi nilai
yang terkandung dalam sila-sila Pancasila. Pengakomodasian nilai Pancasila yang
terkandung dalam peraturan perundang-undangan adalah landasan bagi
pelaksanaan evaluasi peraturan perundang-undangan. Nilai-nilai Pancasila itu
digunakan sebagai variabel dan indikator.

11
2. Dimensi Ketepatan Jenis Peraturan Perundang-Undangan
Penilaian terhadap dimensi ini dilakukan untuk memastikan bahwa peraturan
perundang-undangan dimaksud sudah sesuai dengan jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan, sebab setiap jenis peraturan perundang-undangan memiliki
batasan untuk mengatur materi muatannya. Oleh karena itu, setiap Peraturan
perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang
tepat sesuai dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan tersebut.
3. Dimensi Disharmoni Pengaturan
Penilaian Dimensi ini dilakukan dengan pendekatan normatif, yaitu untuk
mengetahui disharmoni pengaturan mengenai: 1) kewenangan, 2) hak, 3)
kewajiban, 4) perlindungan, 5) penegakan hukum, dan 6) definisi dan/atau konsep.
4. Dimensi Kejelasan Rumusan
Penyusunan peraturan perundang-undangan dilakukan sesuai dengan teknik
penyusunan peraturan perundang- undangan sebagaimana diatur dalam Lampiran
II UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Analisis terhadap kejelasan
rumusan ini diperlukan untuk mereduksi pengaturan yang menimbulkan berbagai
macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
5. Dimensi Kesesuaian Asas Bidang Hukum Peraturan Perundang-undangan yang
Bersangkutan
Peraturan perundang-undangan harus memenuhi asas-asas lain sesuai dengan
bidang hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Oleh karena itu,
analisis pada Dimensi ini dilakukan untuk menilai apakah ketentuan-ketentuan
dalam peraturan perundang-undangan tersebut telah mencerminkan makna yang
terkandung dari asas lain sesuai dengan bidang hukum peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan, misalnya Asas Tanggung Jawab Negara, Asas
Kelestarian dan Keberlanjutan, Asas Ekoregion untuk peraturan perundang-
undangan yang termasuk dalam ranah bidang Hukum Lingkungan.
6. Dimensi Efektivitas Pelaksanaan Peraturan Perundang-Undangan
Setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai kejelasan
tujuan yang hendak dicapai serta berdayaguna dan berhasil guna. Hal ini sesuai
dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur
dalam Pasal 5 (huruf a dan huruf e) Undang-Undang Pembentukan Peraturan

12
Perundang-undangan. Penilaian ini perlu dilakukan untuk melihat sejauh mana
manfaat dari pembentukan suatu peraturan perundang-undangan sesuai dengan
yang diharapkan. Penilaian ini perlu didukung dengan data empiris yang terkait
dengan implementasi peraturan perundang-undangan. Penilaian pada dimensi
efektivitas, dapat dilakukan dengan menggunakan metode analisis terhadap beban
dan manfaat dari pelaksanaan suatu peraturan perundang-undangan.

13
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kerangka Konsep Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian

Berdasarkan filosofi, politik hukum, dan substansi pengaturan dalam Undang-Undang


Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, penyelenggaraan perindustrian di Indonesia
dilaksanakan dengan prinsip pengutamaan kepentingan nasional dalam rangka
mewujudkan Industri nasional sebagai pilar dan penggerak perekonomian nasional. Hal ini
setidaknya dapat terlihat dari ditempatkannya “kepentingan nasional” sebagai asas
pertama dan paling utama dalam penyelenggaraan Perindustrian di Indonesia
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 huruf a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014
tentang Perindustrian. Secara umum, penyelenggaraan Perindustrian di Indonesia
bertujuan untuk mewujudkan Industri nasional sebagai pilar dan penggerak perekonomian
nasional, kedalaman dan kekuatan struktur Industri, Industri yang mandiri, berdaya saing,
dan maju, serta Industri Hijau (green industry), ikilim ekonomi yang kondusif bagi dunia
usaha, investasi, dan kesempatan kerja, mitigasi risiko terhadap potensi praktik monopoli
di sektor Perindustrian, serta peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat
secara berkeadilan. Penempatan asas kepentingan nasional sebagai sebagai asas pertama
dan paling utama dalam penyelenggaraan Perindustrian di Indonesia dalam Pasal 2 huruf a
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian merupakan refleksi dari
pengamalan sila ke-5 Pancasila (Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia) serta
elaborasi semangat dan prinsip penyelenggaraan perekonomian sebagaimana yang
terkandung dalam Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945.
Konsep dan politik hukum pengaturan dari suatu peraturan perundang-undangan
pada umumnya dapat terlihat dari landasan, asas, dan tujuan pengaturannya. Hal ini dapat
terlihat dari konsiderans menimbang, penjelasan umum, serta Bab I dari peraturan
perundang-undangan tersebut yang pada umumnya memuat pengaturan mengenai
Ketentuan Umum yang berisi batasan pengertian atau definisi, singkatan atau akronim
yang dituangkan dalam batasan pengertian atau definisi, dan/atau hal-hal lain yang bersifat
umum yang berlaku bagi pasal atau beberapa pasal berikutnya, antara lain asas, maksud,

14
dan tujuan10. Jika dilakukan komparasi antara Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984
tentang Perindustrian dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian
maka terdapat suatu dinamika yang cukup signifikan mengenai landasan, asas, dan tujuan
pengaturan dari suatu pembentukan peraturan perundang-undangan bidang perindustrian
di Indonesia. Dinamika mengenai landasan, asas, dan tujuan pengaturan Undang-Undang
yang mengatur mengenai Perindustrian serta berbagai peraturan pelaksanaannya
berdasarkan komparasi antara Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang
Perindustrian dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian dapat
dilihat dalam tabel berikut:
No. Dinamika UU No. 5/1984 UU No. 3/2014
Perubahan

1. Landasan/Asas demokrasi ekonomi, kepercayaan kepentingan nasional,


pada kemampuan dan kekuatan demokrasi ekonomi,
diri sendiri, manfaat, dan kepastian berusaha,
kelestarian lingkungan hidup pemerataan, persebaran,
persaingan usaha yang
sehat, dan keterkaitan
Industri

2. Tujuan meningkatkan kemakmuran dan mewujudkan Industri


kesejahteraan rakyat secara adil nasional sebagai pilar dan
dan merata dengan penggerak perekonomian
memanfaatkan dana, sumber nasional
daya alam, dan/atau hasil
budidaya serta dengan
memperhatikan keseimbangan
dan kelestarian lingkungan hidup;

meningkatkan pertumbuhan mewujudkan kedalaman


ekonomi secara bertahap, dan kekuatan struktur
mengubah struktur Industri
perekonomian ke arah yang lebih
baik, maju, sehat, dan lebih
seimbang sebagai upaya untuk
mewujudkan dasar yang lebih
kuat dan lebih luas bagi
pertumbuhan ekonomi pada
umumnya, serta memberikan

10
Lampiran II angka UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

15
nilai tambah bagi pertumbuhan
industri pada khususnya;

meningkatkan kemampuan dan membuka kesempatan


penguasaan serta mendorong berusaha dan perluasan
terciptanya teknologi yang tepat kesempatan kerja
guna dan menumbuhkan
kepercayaan terhadap
kemampuan dunia usaha
nasional

meningkatkan keikutsertaan mewujudkan kepastian


masyarakat dan kemampuan berusaha, persaingan yang
golongan ekonomi lemah, sehat, serta mencegah
termasuk pengrajin agar pemusatan atau
berperan secara aktif dalam penguasaan Industri oleh
pembangunan industri satu kelompok atau
perseorangan yang
merugikan masyarakat

meningkatkan keikutsertaan mewujudkan pemerataan


masyarakat dan kemampuan pembangunan Industri ke
golongan ekonomi lemah, seluruh wilayah Indonesia
termasuk pengrajin agar guna memperkuat dan
berperan secara aktif dalam memperkukuh ketahanan
pembangunan industri; nasional

meningkatkan penerimaan devisa meningkatkan kemakmuran


melalui peningkatan ekspor hasil dan kesejahteraan
produksi nasional yang bermutu, masyarakat secara
disamping penghematan devisa berkeadilan
melalui pengutamaan pemakaian
hasil produksi dalam negeri, guna
mengurangi ketergantungan
kepada luar negeri

industri yang menunjang


pembangunan daerah dalam
rangka pewujudan Wawasan
Nusantara

mengembangkan pusat-pusat
pertumbuhan industri yang
menunjang pembangunan daerah
dalam rangka pewujudan
Wawasan Nusantara

16
menunjang dan memperkuat
stabilitas nasional yang dinamis
dalam rangka memperkokoh
ketahanan nasional

Komparasi antara Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian dan


Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, khususnya mengenai
landasan, asas dan tujuan pengaturan, sebagaimana terdapat dalam tabel di atas
menunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian
cenderung mengarah pada orientasi kepastian berusaha dan perluasan kesempatan kerja
serta pemerataan pembangunan Industri ke seluruh wilayah Indonesia guna meningkatkan
kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan. Namun, beberapa hal
penting yang nampaknya hilang dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang
Perindustrian dan tidak termuat dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang
Perindustrian adalah mengenai kepercayaan pada kemampuan dan kekuatan diri sendiri
(dunia usaha nasional), semangat untuk mengurangi ketergantungan kepada luar negeri,
serta keberpihakan terhadap keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup.
Penyelenggaraan perindustrian di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2014 tentang Perindustrian disesuaikan dengan konsep penyelenggaraan otonomi
daerah yang saat itu masih mengacu pada konsep pengaturan dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, meskipun tidak lama kemudian
berlaku Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang
mencabut dan menyatakan tidak berlaku Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Oleh karena itu, dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014
tentang Perindustrian diatur bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang
Perindustrian merupakan kewenangan Presiden yang dilaksanakan oleh Menteri
Perindustrian. Dalam rangka pelaksanaan kewenangan tersebut, Menteri Perindustrian
melakukan pengaturan, pembinaan, dan pengembangan Perindustrian. Kewenangan
pengaturan yang bersifat teknis untuk bidang industri dilaksanakan oleh menteri-menteri
terkait yang berkoordinasi dengan Menteri Perindustrian. Ketentuan lebih lanjut mengenai
hal ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.Adapun terkait dengan peran dari pemerintah
provinsi, kabupaten, dan kota untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang

17
Perindustrian dilakukan secara bersama-sama atau sesuai dengan kewenangan masing-
masing yang nantinya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian diatur pula
mengenai Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) Untuk mewujudkan
tujuan penyelenggaraan Perindustrian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. RIPIN ini merupakan pedoman bagi
Pemerintah dan pelaku Industri dalam perencanaan dan pembangunan Industri yang
sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang disusun
untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun

Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) 20 tahun

Kebjiakan Industri Kebjiakan Kebjiakan Kebjiakan


Nasional (5 tahun)
Industri Nasional Industri Nasional Industri Nasional
(5 tahun) (5 tahun) (5 tahun)

Renja Renja Pembangunan Renja Renja


Pembangunan Industri (per tahun) Pembangunan Pembangunan
Industri (per tahun) Industri (per tahun) Industri (per tahun)

RPI
RIPIN RPI Provinsi
Kab./Kota

Tentunya segala kebijakan yang diatur dalam RIPIN yang memiliki rentang jangka
waktu 20 tahun tersebut berupaya untuk memajukan dan mendukung perkembangan
sektor industri yang ada di indonesia agar dapat bersaing di dalam era globalisasi dan
revolusi industri 4.0.
Kemajuan sektor industri sebuah negara pasti diikuti dengan kebijakan industri dari
Pemerintah negara tersebut yang mendukung perkembangan sektor industri (Rodrik,
2004). Contoh negara yang sukses mengembangkan sektor industri mereka melalui
kebijakan industri yang jelas adalah Korea Selatan dan Taiwan. Sejak tahun 1960
Pemerintah kedua negara tersebut fokus untuk mengembangkan sektor industri mereka

18
melalui kebijakan industri yang mampu memfasilitasi perusahaan di sektor manufaktur
berkembang dan menggerakkan perekonomian secara keseluruhan.11
Jika dilihat dalam sejarah pengaturan mengenai perindustrian di Indonesia,
pengaturan perindustrian dimulai pada saat adanya inisiatif membentuk RUU tentang
Perindustrian yang di lakukan oleh A.R. Soehoed pada tahun 1979 yang akan menjadi dasar
hukum bagi segala macam kegiatan industri di Indonesia. Momentum itu ia ambil
bertepatan dengan masih tingginya pendapatan negara dari sektor migas dengan tujuan
RUU tersebut akan mampu membiayai pembangunan industri nasional yang disalurkan dari
pendapatan negara dari sektor migas. Para teknokrat nasionalis telah melihat kesalahan
Pemerintah yang selama beberapa dekade terakhir hanya berfokus pada industri-industri
berteknologi rendah pada sektor pertanian dan sektor pertambangan migas. Kurangnya
perhatian terhadap sektor diluar keduanya menurut para teknokrat nasionalis berhasil
melemahkan kemampuan industri-industri tadi dalam mencetak keuntungan. Tidak adanya
satu instrumen hukum oleh Pemerintah untuk mengintegrasikan semua industri-industri
tersebut yang menyebabkan persaingan antar industri. Maka dengan sendirinya bagi
kalangan teknokrat naisonalis, Pemerintah justru membiarkan free fight liberalism
terjadi.12
Pada bulan Juni 1984, RUU Perindustrian disahkan. Sebagai produk turunan Pasal
33 UUD 1945, Undang-Undang Perindustrian adalah upaya sungguh-sungguh menafsirkan
subtansi konstitusi ekonomi sesuai dengan kebutuhan zaman. Dengan meletakkan
Undang-Undang Perindustrian dalam prospek pembangunan jangka panjang, keberadaan
Undang-Undang Perindustrian sangat penting untuk melakukan perubahan fundamental
atas struktur industri nasional.13 UU Perindustrian ini yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1984 tentang Perindustrian yang menekankan bahwa pembangunan industri berlandaskan
demokrasi ekonomi, kepercayaan pada kemampuan dan kekuatan diri sendiri, manfaat,
dan kelestarian lingkungan hidup. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang
Perindustrian pembangunan industri yang ingin dicapai bertujuan untuk:

11
Ade Faisal, “Analisis Kebijakan Pembangunan Industri Berbasis Aglomerasi (Kawasan) Industri”. Bappenas
Working Papers. Vol II No. 2, 2019. Hlm. 249.
12
Syahriza Alkohir Anggoro dan iqbal Fajar Dwiranda, “Politik Hukum Industrialisasi di Indonesia Dalam
Tinjauan Historis”. Jurnal Jurisprudence. Vol. 9 No. 2, 2019. Hlm. 176
13
Ibid. hlm. 178

19
1. meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara adil dan merata
dengan memanfaatkan dana, sumber daya alam, dan/atau hasil budidaya serta
dengan memperhatikan keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup;
2. meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara bertahap, mengubah struktur
perekonomian ke arah yang lebih baik, maju, sehat, dan lebih seimbang sebagai
upaya untuk mewujudkan dasar yang lebih kuat dan lebih luas bagi pertumbuhan
ekonomi pada umumnya, serta memberikan nilai tambah bagi pertumbuhan
industri pada khususnya;
3. meningkatkan kemampuan dan penguasaan serta mendorong terciptanya
teknologi yang tepat guna dan menumbuhkan kepercayaan terhadap kemampuan
dunia usaha nasional;
4. meningkatkan keikutsertaan masyarakat dan kemampuan golongan ekonomi
lemah, termasuk pengrajin agar berperan secara aktif dalam pembangunan
industri;
5. memperluas dan memeratakan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha,
serta meningkatkan peranan koperasi industri;
6. meningkatkan penerimaan devisa melalui peningkatan ekspor hasil produksi
nasional yang bermutu, disamping penghematan devisa melalui pengutamaan
pemakaian hasil produksi dalam negeri, guna mengurangi ketergantungan kepada
luar negeri;
7. mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan industri yang menunjang
pembangunan daerah dalam rangka pewujudan Wawasan Nusantara;
8. menunjang dan memperkuat stabilitas nasional yang dinamis dalam rangka
memperkokoh ketahanan nasional
Dalam rangka mencapai tujuan pembangunan industri tersebut pengaturan perindustian
di Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 meliputi a. pembangunan industi b. pengaturan,
pembinaan dan pengembangan industri c. izin usaha industri d. wilayah industri e. industri
dalam hubungannya dengan sumber daya alam dan lingkungan hidup f. penyerahan
kewenangan dan urusan tentang industri.
Seiring berjalannya waktu dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, peran Pemerintah Pusat menjadi terbatas.
Sebaliknya peran dan misi Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota

20
mendapatkan keleluasaan dan otonomi. Hal ini juga berlaku dalam pelaksanaan kebijakan
nasional di bidang pembangunan industri, sehingga perlu dirumuskan lebih lanjut secara
jelas. Perkembangan ini belum cukup diatur pada perturan perundangan tentang
perindustrian yang ada. Di samping undang-undang tentang pemerintah daerah, peraturan
perundangan-undangan pada berbagai sektor yang terkait dengan sektor industri juga
telah banyak berubah seperti pada aspek pelestarian lingkungan hidup, penanaman modal,
pajak dan kepabeanan, minerba, energi, migas, UKM, HKI, ketenagakerjaan, ristek, atau
informasi dan komunikasi.14
Oleh karena itu penyempurnaan peraturan perundang-undangan di bidang
perindustrian dengan cara mengganti Undang-Undang Nomor 5 tahun 1984 tentang
Perindustrian perlu dilakukan. Penyempurnaan ini merupakan usaha untuk penyelarasan
dan antisipasi terhadap perubahan-perubahan lingkungan strategis sektor industri (politik,
ekonomi, sosial, hukum, dan teknologi) yang terkait dengan tantangan perindustrian
nasional saat ini dan di masa mendatang15.
Pada bulan Januari 2014, Undang-Undang No 3 Tahun 2014 disahkan. Undang-
Undang tentang Perindustrian yang baru diharapkan dapat menjadi instrumen pengaturan
yang efektif dalam pembangunan Industri dengan tetap menjamin aspek keamanan,
keselamatan, dan kesehatan manusia serta kelestarian fungsi lingkungan hidup. Pokok-
pokok pengaturan dalam undang-undang yang baru meliputi penyelenggaraan urusan
pemerintahan di bidang Perindustrian, Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional,
kebijakan industri nasional, perwilayahan Industri, pembangunan sumber daya Industri,
pembangunan sarana dan prasarana Industri, pemberdayaan Industri, tindakan
pengamanan dan penyelamatan Industri, perizinan, penanaman modal bidang Industri dan
fasilitas, Komite Industri Nasional, peran serta masyarakat, serta pengawasan dan
pengendalian.16

14
Naskah akademik RUU Perindustiran. hlm. 4
15
ibid
16
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian

21
Landasan Filosofis, Sosiologis dan Yuridis Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang
Perindustrian

Landasan filosofis Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian


merupakan pengejawantahan dari pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan bahwa tujuan
berbangsa dan bernegara adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Untuk mencapai tujuan tersebut,
maka sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945:
a. perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan;
b. cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara;
c. begitu pula bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; dan
d. perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan
ekonomi nasional.17
Landasan sosiologis mengenai pengaturan perindustrian mempertimbangkan
bahwa Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat luas yang terbentang dari Sabang
sampai Merauke. Kepulauan ini terbentang sepanjang 5.120 kilometer dari timur ke barat
dan dari utara ke selatan sepanjang 1.760 kilometer. Indonesia memiliki pulau besar dan
kecil dengan jumlah sekitar 17.000 pulau dimana hanya sekitar 6.000 pulau yang
berpenghuni. Potensi kekayaan sumber daya alam di pulau-pulau tersebut melimpah,
antara lain berupa minyak dan gas bumi, mineral, batu bara, hasil hutan, hasil perkebunan,
hasil pertanian, dan energi baru terbarukan. Sebagai negara kepulauan dengan luas laut
5,8 juta km2, kekayaan alam laut Indonesia berupa hasil laut dan pantai serta potensi
energi. Bangsa Indonesia memiliki budaya yang beragam dan sesungguhnya dapat menjadi
dasar bagi perilaku perorangan atau komunitas yang sesuai dengan praktik baik di industri.
Kebiasaan guyub adalah budaya yang sudah lama mengakar dalam kehidupan sehari-hari
sejalan dengan kebutuhan teamwork yang diperlukan dalam penyelesaian permasalahan

17
Naskah Akademik RUU Perindustrian, Op.cit, hlm. 153

22
industri saat ini yang semakin kompleks. Dalam pengembangan sistem rantai nilai dan
klaster industri, paling tidak ada dua budaya unggul bangsa Indonesia yang menjadi modal
dasarnya, yaitu (i) gotong royong sebagai dasar dalam membangun kolaborasi, dan (ii)
budaya pergaulan yang mengedepankan nilai-nilai berprasangka baik dan terbuka sebagai
dasar pembentukan kepercayaan (internal and external trust).18
Terdapat perkembangan dalam kehidupan bernegara sejak lahirnya UU Nomor 5
Tahun 1984, terutama setelah reformasi 1998, yang melahirkan praktik penyelenggaraan
kehidupan bernegara menuju arah yang lebih baik yang diatur di dalam peraturan
perundang-undangan. Beberapa peraturan perundang-undangan itu saat ini menjadi
pengaturan pokok (mainstream) dalam penyelenggaraan pemerintahan, yaitu:19
1. UU Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement of The Establishment of
World Trade Organization;
2. UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan sebagaimana diganti dengan UU
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
3. UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional;
4. UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; dan
5. UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang.
Meskipun memiliki kedudukan yang sejenis pengaturan-pengaturan dalam beberapa
peraturan tersebut menjadi landasan yuridis pembentukan Undang-Undang Perindustrian
guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.

B. Isu Krusial

Definisi “Industri” dari UU Perindustrian, lebih menekankan industri seolah-olah


layaknya pabrik saja padahal berbicara industri bukan hanya terkait dengan pabrik saja
melainkan memiliki cakupan yang luas. Definisi industri seharusnya terdefinisakan untuk
mewujudkan industrialisasi yakni memaksimalkan potensi sumber daya alam dan manusia
yang ada melalui penciptaan nilai tambah atau manfaat secara ekonomi. ambil contoh
industri kopi yang ternyata memiliki banyak aspek, seperti penjualannya, pembuatannya,
distribusinya. Terdapat juga industri kreatif, industri maritim, industri olahraga, industri

18
Naskah Akademik RUU Perindustrian, Loc.cit
19
Naskah Akademik RUU Perindustrian, Op.cit hlm.154

23
penyiaran bahkan industri teknologi seperti gojek yang juga bisa disebut industri karena
terdapat proses perpindahan orang dan juga menghubungkan permintaan dengan
penawaran. Pembangunan industri/industrialisasi-lah yang hendak diwujudkan oleh UU
Cipta Kerja jo. UU Perindustrian yakni pembukaan akses dan pasar dan pelaksanaan
produksi di Indonesia untuk kemajuan ekonomi nasional yang mewujudkan kesejahteraan
umum.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang kemudian
diikuti dengan terbitnya peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 5
Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko memberikan
perubahan mendasar pada perizinan berusaha yaitu sebelumnya kegiatan berusaha baik
usaha mikro, kecil, menengah, dan besar seluruhnya dipersyaratkan perizinan berusaha
berbasis izin sekarang berubah menjadi berbasis risiko. Resiko itu sendiri dalam kerangka
perizinan berusaha di bagi menjadi tiga kategori yaitu:
1. Kegiatan usaha dengan tingkat resiko rendah
2. Kegiatan usaha dengan tingkat resiko menengah
3. Kegiatan usaha dengan tingkat resiko tinggi
Dengan pola izin usaha yang mengalami perubahan menjadi perizinan usaha yang berbasis
resiko tentunya mempengaruhi peraturan menteri yang mengatur mengenai perizinan di
bidang perindustrian seperti Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 45 Tahun 2019
tentang Tata Cara Pemberian Izin Usaha Kawasan Industri dan Izin Perluasan Kawasan
Industri Dalam Kerangka Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik dan
Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 15 Tahun 2019 tentang Penerbitan Izin Usaha
Industri dan Izin Perluasan Dalam Kerangka Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi
Secara Elektronik. Mengingat dasar hukum yang menjadi rujukan dalam peraturan Menteri
tersebut ialah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan
Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh
pasal 565 Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan
Berusaha Berbasis Risiko maka secara implementatif dan hierarki peraturan perundang-
undangan, maka Permenperin ini dinyatakan tidak lagi berlaku.
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1986 tentang Kewenangan Pengaturan,
Pembinaan dan Pengembangan Industri salah satu materi muatannya mengatur mengenai
pembagian kewenangan industri yang diatur didalam Pasal 2 yang berbunyi:

24
1) Dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 1, pelaksanaan kewenangan
pembinaan dan pengembangan industri tertentu diserahkan kepada Menteri lainnya,
sebagai berikut:
a) Industri-industri :
1) penyulingan minyak bumi, 2) pencairan gas alam, 3) pengolahan bahan galian
bukan logamtertentu, 4) pengolahan bijih timah menjadi ingot timah, 5)
pengolahan bauksit meniadi alumina, 6) pengolahan bijih logam mulia menjadi
logam mulia. 7) pengolahan bijih tembaga menjadi ingot tembaga, 8) pengolahan
bahan galian logam mulia lainnya menjadi ingot logam, 9) pengolahan bijih nekel
menjadi ingot nekel, diserahkan kepada Menteri Pertambangan dan Energi;
b. Industri-industri :
1) gula pasir dari tebu, 2) ekstraksi kelapa sawit, 3) penggilingan padi dan
penyosohan beras, 4) pengolahan ikan di laut, 5) teh hitam dan teh hijau, 6) vaksin,
sera, dan bahan-bahan diagnostika biologis untuk hewan, diserahkan kepada
Menteri Pertanian;
c. Industri bahan obat dan obat jadi termasuk obat asli Indonesia, diserahkan kepada
Menteri Kesehatan.
2) Penyerahan kewenangan pembinaan dan pengembangan di bidang-bidang industri
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), disertai pula dengan kewenangan
pengaturan yang meliputi perumusan dan penetapan kebijaksanaan yang bersifat
teknis di bidang-bidang yang bersangkutan.

Pembagian kewenangan di Peraturan Pemerintah ini disertai dengan kewenangan


pengaturan yang meliputi perumusan dan penetapan kebijaksanaan. Terdapat 3 Menteri
yang mendapat pembagian kewenangan di dalam PP ini:
1. Menteri Pertambangan dan Energi
2. Menteri Pertanian
3. Menteri Kesehatan
Di PP ini kewenangan mengenai industri pengolahan ikan di laut di berikan kepada
kementerian pertanian sedangkan saat ini kebijakan mengenai kelautan dan perikanan
terdapat di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Mengingat PP ini dibentuk pada tahun
1986, sepanjang tahun 1986 hingga saat ini banyak terjadi perubahan terhadap

25
kementerian untuk menghadapi tantangan zaman. Ada Kementerian yang berganti
nomeklatur, penghapusan Kementerian ataupun munculnya Kementerian baru.

C. Analisis dan Evaluasi Peraturan Perundang-Undangan

1. Undang - Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian

UU Perindustrian memiliki 3 (tiga) substansi pokok yaitu kedalaman struktur


industri dan keterkaitan hulu dan hilir serta struktur kewilayahan. Penguasaan mulai dari
hulu sampai hilir merupakan hal yang penting, terutama yang punya daya saing tinggi
seperti industri berbasis bahan baku dalam negeri, berbasis tenaga kerja, berbasis energi
dan punya pasar yang besar. Jika dua saja dari 4 komponen ini dimiliki indonesia, maka
akan dapat dibangun industri yang visible di indonesia. UU Perindustrian ini menyebutkan
kunci keberhasilan industri adalah bahan bakunya berupa industri primer. Pertama, Energi
primer, baik gas, listrik, atau BBM menjadi prasyarat untuk daya saing suatu industri.
Kedua, keterkaitan hulu dan hilir menjadi penting. Kemudian ketiga, struktur kewilayahan.
Jadi sentra industri itu penting. Industri harus berdiri pada wilayah tertentu. Kemudian
untuk mewujudkan itu semua, maka dibentuklah rencana induk pembangunan industri
nasional yang diharapkan menjadi blueprint dari pengembangan industri.
Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian terdapat 7
(tujuh) tujuan yang hendak dicapai dalam penyelenggaran perindustrian:
a. mewujudkan Industri nasional sebagai pilar dan penggerak perekonomian
nasional;
b. mewujudkan kedalaman dan kekuatan struktur Industri;
c. mewujudkan Industri yang mandiri, berdaya saing, dan maju, serta Industri
Hijau;
d. mewujudkan kepastian berusaha, persaingan yang sehat, serta mencegah
pemusatan atau penguasaan Industri oleh satu kelompok atau perseorangan
yang merugikan masyarakat;
e. membuka kesempatan berusaha dan perluasan kesempatan kerja;
f. mewujudkan pemerataan pembangunan Industri ke seluruh wilayah Indonesia
guna memperkuat dan memperkukuh ketahanan nasional; dan

26
g. meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan.

Hasil Analisis dan Evaluasi Hukum Undang – Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang
Perindustrian

Definisi “Industri” dari UU Perindustrian, lebih menekankan industri seolah-olah


layaknya pabrik saja padahal berbicara industri bukan hanya terkait dengan pabrik saja
melainkan memiliki cakupan yang luas. Definisi industri seharusnya terdefinisakan untuk
mewujudkan industrialisasi yakni memaksimalkan potensi sumber daya alam dan manusia
yang ada melalui penciptaan nilai tambah atau manfaat secara ekonomi. Contoh industri
kopi yang ternyata memiliki banyak aspek, seperti penjualannya, pembuatannya,
distribusinya. Terdapat juga industri kreatif, industri maritim, industri olahraga, industri
penyiaran bahkan industri teknologi seperti gojek yang juga bisa disebut industri karena
terdapat proses perpindahan orang dan juga menghubungkan permintaan dengan
penawaran. Pembangunan industri/industrialisasi-lah yang hendak diwujudkan oleh UU
Cipta Kerja jo. UU Perindustrian yakni pembukaan akses dan pasar dan pelaksanaan
produksi di Indonesia untuk kemajuan ekonomi nasional yang mewujudkan kesejahteraan
umum.
Pasal 44 mengatur mengenai fasilitasi ketersediaan pembiayaan yang kompetitif
untuk pembangunan industri. Selanjutnya di pasal ini mengatur bahwa pembiayaan salah
satunya dapat berasal dari pemerintah/pemerintah daerah. Namun yang perlu dicermati
ialah bahwa pembiayaan yang berasal dari pemerintah dan/atau pemerintah daerah hanya
dapat diberikan kepada perusahaan industri yang berbentuk badan usaha milik negara dan
badan usaha milik daerah. Ketentuan ini tentunya tidak mencerminkan nilai keadilan dan
memberikan limitasi bahwasanya pembiayaan dari pemerintah dan atau pemerintah
daerah hanya dapat diberikan kepada Perusahaan Industri yang berbentuk badan usaha
milik negara dan badan usaha milik daerah. Di Indonesia sendiri banyak terdapat Industri
kecil dan menengah yang memberikan dampak tidak kecil bagi perekonomian dan dalam
menjalankan kegiatannya tentunya untuk keberlangsungan dan keberlanjutan usahanya
membutuhkan pembiayaan yang kompetitif demi kelangsungan proses produksi
barang/jasa nya.

27
Pasal 118 mengatur tentang pemberian sanksi berupa tindak pidana terhadap
penyalahgunaan aturan SNI wajib. Kebijakan dalam Undang-Undang Perindustrian yang
dikenakan pidana hanya tentang SNI wajib ini. Sanksi pidana untuk kejahatan atau
pelanggaran lainnya tidak diatur dalam Undang-Undang ini. Meskipun pengaturan
terhadap tindak pidana lainnya sudah diatur dalam UU sektoral lainnya, misalnya tentang
pembuangan B3 yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan meskipun sanksi paling menakutkan
bagi pengusaha adalah pencabutan izin usaha, sebaiknya juga diatur dalam UU
Perindustrian ini namun dengan uraian unsur pidana dan sanksi yang sama sehingga tidak
terjadi tumpang tindih pengaturan.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1986 tentang Kewenangan Pengaturan,


Pembinaan dan Pengembangan Industri

Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1986 tentang Kewenangan Pengaturan,


Pembinaan dan Pengembangan Industri sejak di undangkan hingga saat ini sudah
memasuki usia yang cukup panjang yaitu 35 tahun. Dalam jangka waktu yang panjang
tersebut tentunya banyak bentuk kebijakan telah mengalami perubahan yang signifikan
untuk mengikuti perkembangan zaman. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1986
tentang Kewenangan Pengaturan, Pembinaan dan Pengembangan Industri merupakan
delegasi tindak langsung dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian
yang diatur di dalam Bab IV Pengaturan, Pembinaan dan Pengembangan Industri.
Masa Orde Baru Garis-garis Besar Haluan Negara menegaskan bahwa sasaran
utama pembangunan jangka panjang adalah terciptanya landasan yang kuat bagi bangsa
Indonesia untuk tumbuh dan berkembang atas kekuatannya sendiri menuju masyarakat
yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Di bidang ekonomi, sasaran pokok yang
hendak dicapai dalam pembangunan jangka panjang adalah terciptanya keseimbangan
antara pertanian dan industri serta perubahan-perubahan fundamental dalam struktur
ekonomi Indonesia sehingga produk nasional yang berasal dari luar sektor pertanian akan
merupakan bagian yang semakin besar dan sektor industri akan benar-benar mampu
menjadi tulang punggung ekonomi. Dengan memperhatikan sasaran pembangunan jangka
panjang di bidang ekonomi tersebut, maka pembangunan industri memiliki peranan yang

28
sangat penting, karena dengan arah dan sasaran tersebut pembangunan industri harus
semakin ditingkatkan dan pertumbuhannya dipercepat sehingga mampu mempercepat
terciptanya struktur ekonomi yang lebih seimbang. Ini juga berarti bahwa adalah sangat
penting adanya upaya untuk menegaskan kewenangan pengaturan, pembinaan, dan
pengembangan industri tersebut.20
Ruang lingkup dari Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1986 tentang
Kewenangan Pengaturan, Pembinaan dan Pengembangan Industri ialah:
a. Kewenangan pengaturan, pembinaan, dan pengembangan industri
b. Pelaksanaan kewenangan pembinaan dan pengembangan industri tertentu
c. Kewenangan pengaturan, pembinaan, dan pengembangan industri tertentu yang
bersifat strategis dan yang penting bagi pertahanan keamanan negara.
d. Penetepan oleh Presiden mengenai Penambahan, pengurangan, dan pencabutan
mengenai penyerahan kewenangan
e. Pengaturan, pembinaan, dan pengembangan di bidang-bidang industri
f. Pemberian Izin Usaha Industri di bidang-bidang industri

Hasil Analisis dan Evaluasi Hukum Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1986 tentang
Kewenangan Pengaturan, Pembinaan dan Pengembangan Industri

Hasil analisis dan evaluasi dengan menggunakan metode 6 dimensi menunjukkan


bahwa peraturan ini memiliki persoalan dimensi efektivitas pelaksanaan peraturan
perundang-undangan.
Permasalahan dari dimensi efektivitas pelakasanaan peraturan perundang-undangan
dapat terlihat dari pembagian kewenangan di Peraturan Pemerintah ini yang disertai
dengan kewenangan pengaturan yang meliputi perumusan dan penetapan kebijaksanaan.
Terdapat 3 Menteri yang mendapat pembagian kewenangan di dalam PP ini:
1. Menteri Pertambangan dan Energi
2. Menteri Pertanian
3. Menteri Kesehatan

20
Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1986 tentang Kewenangan Pengaturan, Pembinaan dan
Pengembangan Industri

29
Di PP ini kewenangan mengenai industri pengolahan ikan di laut di berikan kepada
kementerian pertanian sedangkan saat ini kebijakan mengenai kelautan dan perikanan
terdapat di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Mengingat PP ini dibentuk pada tahun
1986, sepanjang tahun 1986 hingga saat ini banyak terjadi perubahan terhadap
kementerian untuk menghadapi tantangan zaman. Ada Kementerian yang berganti
nomeklatur, penghapusan Kementerian ataupun munculnya Kementerian baru.
Permasalahan dimensi efektivitas juga ditemui di PP ini mengenai kewenangan
pengaturan, pembinaan, dan pengembangan industri tertentu yang bersifat strategis dan
yang penting bagi pertahanan keamanan negara yang di dalam PP ini mendelegasikan
untuk di atur sendiri dengan Keputusan Presiden, sedangkan saat ini dengan lahirnya
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang
Perindustrian ketentuan mengenai Industri strategis saat ini telah diatur di dalam BAB VI
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang
Perindustrian

3. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2018 tentang Pemberdayaan Industri

Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2018 Tentang Pemberdayaan Industri ini


merupakan perlaksanaan ketentuan Pasal 76, Pasal 83, pasal 84, pasal 90 dan pasal 95
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian yang mengatur mengenai
pemberdayaan industri. PP ini terdiri dari 113 pasal dimana Pasal 44, Pasal 45, Pasal 49,
Pasal 51, Pasal 52 dan Pasal 53 telah dicabut oleh Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun
2021 tentang Penyelenggaraan Bidang perindustrian. Ruang lingkup yang diatur dari
peraturan pemerintah ini ialah:
a. Penguatan kapasitas kelembagaan dan pemberian fasilitas kepada IKM;
b. Industri Hijau;
c. Industri Strategis;
d. Peningkatan penggunaan Produk Dalam Negeri; dan
e. Kerja Sama Internasional di Bidang Industri.

30
Hasil Analisis dan Evaluasi Hukum terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun
2018 tentang Pemberdayaan Industri

Hasil analisis dan evaluasi dengan menggunakan metode 6 dimensi menunjukkan


bahwa peraturan ini memiliki persoalan dimensi kejelasan rumusan dan disharmoni
pengaturan.
Permasalahan di dalam dimensi kejelasan rumusan dapat terlihat dari ketentuan
umum Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2018 tentang Pemberdayaan Industri yang
belum memasukkan mengenai definisi bahan penolong dan bahan baku padahal frasa
bahan penolong dan bahan baku digunakan berulang-ulang di dalam PP ini. Teknik
pembentukan ketentuan umum telah di jelaskan di dalam Lampiran II UU 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan PUU No. 102 disebutkan bahwa kata atau istilah yang dimuat dalam
ketentuan umum hanyalah kata atau istilah yang digunakan berulang-ulang di dalam pasal
atau beberapa pasal selanjutnya.
Permasalahan di dalam dimensi disharmoni pengaturan dapat dilihat dari
ketentuan pasal 98 dimana Menteri, gubernur atau bupati/walikota dapat menjatuhkan
sanksi administratif. Didalam ketentuan pasal ini gubernur, bupati/walikota dapat
memberikan sanksi administratif setelah mendapatkan rekomendasi dari menteri. Sanksi
administratif yang diatur di dalam pasal ini yaitu:
a. peringatan tertulis;
b. denda .
b. denda administratif;
c. penutupan sementara;
d. pembekuan izin usaha industri; dan/atau
e. pencabutan izin usaha industri.
Jika dilihat dari jenis sanksi administratif yang dapat diberikan oleh pemerintah daerah
merujuk pada pasal ini pemerintah daerah dapat melakukan pembekuan izin usaha industri
dan pencabutan izin usaha industri. Saat ini kewenangan pemberian izin usaha industri
berada di pemerintah pusat sebagaimana diatur di dalam pasal 101 Undang-undang Cipta
Kerja sedangkan ketentuan pasal 101 UU Perindustrian mengenai kewenangan izin
pemerintah daerah telah di cabut oleh UU Cipta Kerja. Ketentuan ini perlu dirubah karena
hanya yang memberikan izin yang dapat membekukan atau mencabut izin itu sendiri.

31
4. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor
Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman Sebagai Bahan Baku dan Bahan
Penolong Industri

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor
Komoditas Perikanan Dan Komoditas Pergaraman Sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong
Industri merupakan pelaksanaan ketentuan Pasal 5, Pasal 33, dan Pasal 97 Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian dan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan
Petambak Garam. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara
Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman Sebagai Bahan Baku
dan Bahan Penolong Industri terdiri dari 9 (sembilan) pasal yang terbagi dalam IV bab yaitu:
a. Bab I Ketentuan Umum
b. Bab II Mekanisme Pengendalian
c. Bab III Ketentuan Peralihan
d. Bab Iv Ketentuan Penutup

Hasil Analisis dan Evaluasi Hukum terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2018
tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman
Sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri

Hasil analisis dan evaluasi dengan menggunakan metode 6 dimensi menunjukkan


bahwa peraturan ini memiliki persoalan dimensi kejelasan rumusan yaitu sbb:
Pasal 2 Peraturan Pemerintah ini berbunyi:
1. Pemerintah Pusat mengendalikan Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas
Pergaraman.
2. Pengendalian Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam
rangka menjamin perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudidaya
Ikan, dan petambak Garam, sekaligus menjamin ketersediaan dan penyaluran
sumber daya alam untuk Industri dalam negeri.
3. Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penetapan tempat

32
pemasukan, jenis dan volume, waktu pemasukan, serta pemenuhan
persyaratan administratif dan standar mutu.
Saat ini dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaran Bidang Perindustrian pemerintah menekankan pada kemudahan impor
terhadap bahan baku atau bahan penolong industri. Sehingga pemaknaan pengendalian
impor dirasa kurang tepat saat ini terhadap bahan baku atau bahan penolong industri
khususnya komoditas pergaraman. Karena seperti yang sudah dijelaskan diatas saat ini
pemerintah memberikan kemudahan impor terhadap bahan baku dan penolong. Akan
tetapi kemudahan impor ini harus tetap menjamin perlindungan dan pemberdayaan
nelayan, pembudidaya Ikan, dan petambak Garam, sekaligus menjamin ketersediaan dan
penyaluran sumber daya alam untuk Industri dalam negeri.

5. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pembangunan Sarana dan Prasarana
Industri

Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pembangunan Sarana dan


Prasarana Industri merupakan pelaksanaan ketentuan dari pasal Pasal 61, Pasal 71, dan
Pasal 111 ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. PP ini
terdiri dari 86 pasal dan diantaranya pasal 5, pasal 11, pasal 13, pasal 14, pasal 15, pasal
19, pasal 20, dan pasal 25 telah dicabut oleh Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021
tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian.
Dalam konteks persaingan global dimana pembangunan Industri dalam negeri
harus dipercepat, peran pengembangan sarana dan prasarana industri menjadi semakin
krusial. Untuk mendukung peran pengembangan Sarana dan Prasarana Industri tersebut,
dibutuhkan campur tangan Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah yang salah satu
bentuknya adalah pemberian kemudahan-kemudahan usaha Industri. Dalam praktiknya,
kemudahan-kemudahan tersebut seringkali teridentifikasi sebagai Fasilitas Nonfiskal.
Efektivitas pemberian Fasilitas Nonfiskal dalam mempercepat pembangunan Industri dapat
terjaga melalui suatu konsep pemberian Fasilitas Nonfiskal yang terbatas dan bersyarat.
Pemberian fasilitas secara terbatas diartikan bahwa fasilitas hanya diberikan Pemerintah
Pusat dan/atau Pemerintah Daerah kepada Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan
Industri yang telah memenuhi kriteria-kriteria tertentu dalam rangka percepatan

33
pembangunan Industri. Sedangkan pemberian fasilitas secara bersyarat diartikan bahwa
fasilitas hanya dapat diterima Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri
setelah mengajukan permohonan kepada Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah
dan telah memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh suatu bentuk fasilitas.21
Ruang lingkup pengaturan dalam Peraturan Pemerintah ini meliputi:
a. Standardisasi lndustri;
b. Sistem Informasi Industri Nasional;
c. Fasilitas Industri; dan
d. Sanksi administratif.

Hasil Analisis dan Evaluasi Hukum terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2017
tentang Pembangunan Sarana dan Prasarana Industri

Hasil analisis dan evaluasi dengan menggunakan metode 6 dimensi menunjukkan


bahwa peraturan ini memiliki persoalan dimensi kejelasan rumusan. Permasalahan di
dalam dimensi kejelasan rumusan dapat terlihat dari:
1. Adanya perbedaan definisi Standar Nasional Indonesia antara Peraturan Pemerintah
Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pembangunan Sarana dan Prasarana Industri dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian dan Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pembangunan Sarana dan
Prasarana Industri memberikan definisi Standar Nasional Indonesia di Pasal 1 angka 4
ialah Standar Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat SNI adalah standar yang
ditetapkan oleh lembaga pemerintah nonkementerian yang bertugas dan bertanggung
jawab di bidang standardisasi dan berlaku di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia sedangkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian
memberikan definisi Standar Nasional Indonesia di Pasal 1 angka 17 ialah standar yang
ditetapkan oleh lembaga yang menyelenggarakan pengembangan dan pembinaan di
bidang standardisasi. Begitupun dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021
tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian Pasal 1 Angka 9 memberikan definisi

21
Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pembangunan Sarana dan
Prasarana Industri

34
Standar Nasional Indonesia yaitu standar yang ditetapkan oleh lembaga yang
menyelenggarakan pengembangan dan pembinaan di bidang standardisasi.
2. Adanya perbedaan definisi pelaku usaha antara Peraturan Pemerintah Nomor 2
Tahun 2017 tentang Pembangunan Sarana dan Prasarana Industri dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian
Pasal 1 angka 8 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pembangunan
Sarana dan Prasarana Industri memberikan definisi pelaku usaha yaitu “Setiap Orang
perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan
badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam
wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui
perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.
Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Bidang Perindustrian yang diatur dalam Pasal 1 angka 12
memberikan definisi pelaku usaha yaitu “Pelaku Usaha adalah orang perseorangan
atau badan usaha yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu”.
3. Pengertian Budaya Standar
Pasal 12 PP ini memberikan kewenangan menteri perindustrian untuk melakukan
pembinaan terhadap Perusahaan Industri dan masyarakat dalam penerapan SNI
secara sukarela atau pemberlakuan SNI, Spesifikasi Teknis, dan/atau Pedoman Tata
Cara secara wajib. Kemudian selanjutnya di Pasal 12 ayat (2) diatur pembinaan
terhadap Perusahaan Industri dan masyarakat dalam penerapan SNI secara sukarela
atau pemberlakuan SNI, Spesifikasi Teknis, dan/atau Pedoman Tata Cara secara wajib
dapat berupa bantuan teknis, konsultasi, pendidikan dan pelatihan, promosi dan
pemasyarakatan Standardisasi Industri serta menumbuh kembangkan budaya standar.
Apakah yang dimaksud dengan budaya standar dalam pasal ini dan apabila kita
mencari di dalam penjelasan PP ini tidak dijelaskan mengenai apa itu budaya standar
bentuknya seperti apa serta ruang lingkupnya bagaimana.
4. Ketentuan Hari
Pasal 22 mengatur dalam hal hasil pengawasan yang diberitahukan oleh Menteri
kepada Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (5) huruf a
menyatakan barang dan/atau jasa Industri di pabrik tidak memenuhi SNI, Spesifikasi
Teknis, dan/atau Pedoman Tata Cara yang diberlakukan secara wajib maka pelaku

35
Usaha wajib menghentikan kegiatan produksi barang dan/atau jasa Industri tersebut
paling lama 3 (tiga) hari sejak pemberitahuan diterima. Kemudian pelaku usaha
melakukan perbaikan atas barang dan/atau jasa Industri yang tidak memenuhi SNI,
Spesifikasi Teknis, dan/atau Pedoman Tata Cara dan dalam hal telah dilakukan, Pelaku
Usaha meminta kepada lembaga penilaian kesesuaian untuk melakukan surveilan. Jika
kita lihat ketentuan pasal diatas jangka waktu pemberitahuan 3 (tiga) hari juga akan
menimbulkan ambiguitas karena tidak dijelaskan yang dimaksud hari itu apakah hari
kalender atau hari kerja karena terdapat perbedaan yang signifikan antara hari
kalender dengan hari kerja karena pada hari kerja hari libur tidak dihitung sedangkan
hari kalender hari libur di hitung. Kejelasan mengenai “hari” menjadi sangat relevavn
dengan adanya kebijakan cuti bersama, yang belakangan ini juga sering diubah sebagai
usaha untuk menanggulangi pandemi COVID-19 atau menggerakkan roda
perekonomian.

6. Peraturan Pemerintah Nomor 142 Tahun 2015 tentang Kawasan Industri

Peraturan Pemerintah Nomor 142 Tahun 2015 tentang Kawasan Industri merupakan
pelaksanaan Pasal 63 ayat (5) dan Pasal 108 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014.
Peraturan Pemerintah ini terdiri dari 74 pasal yang memiliki ruang lingkup yaitu:
a. Kewenangan Pemerintah Dalam Pembangunan Kawasan Industri
b. Pembangunan Kawasan Industri
c. Izin Usaha Kawasan Industri (IUKI)
d. Hak Penggunaan Atas Tanah Kawasan Industri
e. Pengelolaan Kawasan Industri
f. Kewajiban Perusahaan Kawasan Industri Dan Perusahaan Industri
g. Fasilitasi Kawasan Industri
h. Standar Kawasan Industri
i. Prakarsa Pemerintah Dalam Pembangunan Kawasan Industri
j. Komite Kawasan industri
Peraturan pemerintah ini bertujuan untuk:
a. mempercepat penyebaran dan pemerataan pembangunan Industri;
b. meningkatkan upaya pembangunan Industri yang berwawasan lingkungan;

36
c. meningkatkan daya saing investasi dan daya saing Industri;dan
d. memberikan kepastian lokasi sesuai tata ruang.

Hasil Analisis dan Evaluasi Hukum terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 142 Tahun
2015 tentang Kawasan Industri

Hasil analisis dan evaluasi dengan menggunakan metode 6 dimensi menunjukkan


bahwa peraturan ini memiliki persoalan dimensi disharmoni pengaturan, dimensi kejelasan
rumusan dan efektivitas pelaksanaan peraturan perundang-undangan.
Permasalahan terkait dimensi disharmoni pengaturan dapat terlihat dari bunyi
Pasal 38 khususnya Pasal 38 ayat (4) yang berbunyi: “Perusahaan Industri di dalam
Kawasan Industri dikecualikan dari perizinan yang menyangkut gangguan, lingkungan,
lokasi, tempat usaha, peruntukan penggunaan tanah, pengesahan rencana tapak tanah,
dan Analisis Dampak Lalu Lintas (Andadalin)”. Pasal 38 ayat (4) tersebut memberikan
pengecualian kepada perusahan industri yang berada di Kawasan industri untuk tidak perlu
memiliki perizinan salah satunya menyangkut lingkungan. Saat ini setiap pelaku usaha
diwajibkan memiliki persetujuan lingkungan bagi usaha atau kegiatan yang memiliki
dampak penting atau tidak penting terhadap lingkungan sebagaimana diatur di dalam pasal
3 Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup khususnya Pasal 3 ayat (1) yang berbunyi: “Persetujuan
Lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a wajib dimiliki oleh setiap Usaha
dan/atau kegiatan yang memiliki Dampak Penting atau tidak penting terhadap
lingkungan”. Persetujuan lingkungan ini menjadi prasyarat penerbitan izin berusaha atau
persetujuan pemerintah. Sebagaimana di atur di dalam Pasal 3 ayat (3) Peraturan
Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Permasalahan di dalam dimensi kejelasan rumusan dapat terlihat dari:
Pasal 43 ini berbunyi: “(1) Perusahaan Kawasan Industri dan Perusahaan Industri di dalam
Kawasan Industri dapat diberikan insentif daerah. (2) Ketentuan mengenai pengaturan
insentif daerah sebagaimana ayat (1) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan”. Tidak ada kejelasan bagaimana proses pemberian insentif yang
diberikan oleh daerah dan bagaimana pengaturannya mengenai insentif itu diatur sehingga

37
Pasal ini direkomendasikan untuk dijelaskan lebih rinci mengenai pemberian insentif
tersebut.
Permasalahan di dalam dimensi efektifitas pelaksanaan peraturan perundang-
undangan dapat terlihat dari:
1. Pasal 44 berbunyi: “(1) Perusahaan Kawasan Industri wajib memenuhi standar
Kawasan Industri. (2) Standar Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit meliputi aspek: a. infrastruktur Kawasan Industri; b. pengelolaan
lingkungan; dan c. manajemen dan layanan. (3) Perusahaan Kawasan Industri yang
memenuhi standar Kawasan Industri diberikan akreditasi. (4) Akreditasi Kawasan
Industri sebagaimana pada ayat (3) dilakukan oleh Komite Akreditasi Kawasan Industri
yang ditetapkan oleh Menteri. (5) Dalam hal belum terdapat Komite Akreditasi
Kawasan Industri, Menteri dapat menugaskan Komite Kawasan Industri. (6) Ketentuan
mengenai Standar Kawasan Industri dan Akreditasi Kawasan Industri sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri”.
Dalam pasal ini khususnya ayat (4) mengamanatkan pembentukan Komite Akreditasi
Kawasan Industri yang melakukan tugas akreditasi kawasan industri, di dalam PP ini
juga telah terdapat Komite Kawasan Industri, agar lebih efektif dan efisien pokja
merekomendasikan agar Komite Akreditasi Kawasan industri digabungkan dengan
Komite Kawasan Industri.
2. Pasal 51 berbunyi:“(1) Dalam rangka mendukung pencapaian pembangunan Kawasan
Industri, dibentuk Komite Kawasan Industri. (2) Keanggotaan Komite Kawasan Industri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari unsur Pemerintah, Pemerintah
Daerah dan Himpunan Kawasan Industri Indonesia, kamar dagang dan industri yang
membidangi Kawasan Industri yang diangkat dan ditetapkan oleh Menteri”.
Dalam pasal ini mengamanatkan untuk membentuk Komite Kawasan industri. Sejak
Peraturan Pemerintah ini terbit di tahun 2015 hingga saat ini Komite Kawasan Industri
yang dimaksud belum juga terbentuk. Pembentukan Komite Kawasan Industri harus
segera dilakukan mengingat terdapat tugas Komite Industri yang telah diatur di dalam
Peraturan Pemerintah ini untuk dapat dilaksanakan.

38
7. Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun 2015 tentang Izin Usaha Industri

Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun 2015 tentang Izin Usaha Industri
merupakan pelaksanaan dari pasal 108 Undang-Undang 3 Tahun 2014 tentang
Perindustrian. Pencapaian pertumbuhan Industri membutuhkan kepastian berusaha
melalui pengaturan perizinan usaha Industri. Menyadari peran tersebut, perizinan harus
mampu memberikan motivasi yang dapat mendorong dan menarik minat para investor
untuk menanamkan modalnya di sektor Industri. Perizinan merupakan salah satu kebijakan
Pemerintah yang dapat menjadi alat untuk menggerakkan perkembangan dunia usaha ke
bidang yang mendukung pembangunan Industri. Oleh karena itu, sistem perizinan dapat
dimanfaatkan antara lain untuk pemerataan persebaran Industri, pendayagunaan potensi
sumber daya Industri secara efisien dan optimal, dan pendataan Industri22.
Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun 2015 tentang Izin Usaha Industri terdiri
dari 42 pasal yang terbagi dalam 8 (Delapan) Bab yaitu:
a. Bab I Ketentuan Umum
b. Bab II Klasifikasi Izin Usaha Industri
c. Bab III Kewenangan Pemberian IUI
d. Bab IV Tata Cara Pemberian IUI
e. Bab V Izin Perluasan
f. Bab VI Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif
g. Bab VII Ketentuan Peralihan
h. Bab VIII Ketentuan Penutup

Hasil Analisis dan Evaluasi Hukum terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun
2015 tentang Izin Usaha Industri

Hasil analisis dan evaluasi dengan menggunakan metode 6 dimensi menunjukkan


bahwa peraturan ini memiliki persoalan di dalam dimensi kejelasan rumusan yaitu sbb:
1. Pasal 1: “Izin usaha Industri yang selanjutnya disingkat IUI adalah izin yang
diberikan kepada setiap orang untuk melakukan kegiatan usaha industri”. Undang

22
Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun 2015 tentang Izin Usaha Industri

39
-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja memakai istilah “Perizinan
Berusaha” untuk menyebut Izin Usaha Industri serta semua nama-nama perizinan
berusaha di bidang industri. Demikian pula yang diatur oleh PUU turunan UU Cipta
Kerja yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan
Bidang Perindustrian dan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Perizinan Usaha Berbasis Resiko menggunakan istilah Perizinan
Berusaha.
2. Pasal 3 ayat (3): “IUI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya”. Didalam pasal ini
izin usaha industri dapat diberikan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya. Pasal 143 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian mengatur bahwa
perizinan berusaha untuk kegiatan usaha industri diberikan oleh Menteri yang
menyelenggarakan urusan Pemerintahan di bidang perindustrian. Pemberian
izinnya sendiri dilakukan melalui Sistem OSS dan Sistem Informasi Industri Nasional
(SIINas) secara terintegrasi sebagaimana di atur dalam pasal 63 Peraturan
Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Usaha
Berbasis Resiko.
3. Pasal 4 ayat (3) berbunyi: “IUI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan
kepada perusahaan yang akan menjalankan kegiatan usaha Industri dan berlokasi
di luar Kawasan Industri, dengan ketentuan:
a. berlokasi di daerah Kabupaten/Kota yang:
1. belum memiliki Kawasan Industri; atau
2. telah memiliki Kawasan Industri tetapi seluruh kaveling Industri dalam
Kawasan Industrinya telah habis;
b. termasuk klasifikasi Industri kecil dan Industri menengah yang tidak berpotensi
menimbulkan pencemaran lingkungan hidup yang berdampak luas; atau
c. Industri yang menggunakan Bahan Baku khusus dan/atau proses produksinya
memerlukan lokasi khusus”.
Pasal 65 Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan
Perizinan Usaha Berbasis Resiko mengatur pemberian Perizinan Berusaha bagi
kegiatan usaha industri yang berlokasi diluar kawasan industri dengan 4 syarat:

40
a. berlokasi di daerah kabupaten/kota yang belum memiliki kawasan industri
atau telah memiliki kawasan industri tetapi seluruh kaveling industri dalam
kawasan industrinya telah habis;
b. berlokasi di zona industri dalam KEK;
c. termasuk klasifikasi industri kecil dan industri menengah yang tidak
berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan hidup yang berdampak
luas; atau
d. industri yang menggunakan bahan baku khusus dan/atau proses
produksinya memerlukan lokasi khusus.
Satu syarat baru yang belum diatur di Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun
2015 tentang Izin Usaha Industri yaitu berlokasi di zona Industri dalam Kawasan
Ekonomi Khusus (KEK).
4. Pasal 9 berbunyi: “IUI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berlaku juga
sebagai izin tempat penyimpanan mesin/peralatan, Bahan Baku, dan/atau hasil
produksi dengan ketentuan:……”. Saat ini pembangunan sumber daya industri
meliputi penyediaan bahan baku dan/atau bahan penolong. Di dalam PP ini belum
dicantumkan frasa bahan penolong. Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5
Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Usaha Berbasis Resiko menambah
pengaturan perizinan berusaha untuk tempat penyimpanan bahan penolong
disamping tempat penyimpanan bahan baku sebagaimana di atur di dalam pasal 64
yaitu: “Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha industri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 60 ayat (1) huruf a berlaku juga sebagai Perizinan Berusaha untuk
tempat penyimpanan mesin/peralatan, bahan baku, bahan penolong, dan/ atau
hasil produksi dengan ketentuan:…….”.
5. Perbandingan antara Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun 2015
tentang Izin Usaha Industri dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021
tentang Penyelenggaraan Perizinan Usaha Berbasis Resiko
Peraturan Pemerintah Nomor 107 Peraturan Pemerintah Nomor 5
Tahun 2015 tentang Izin Usaha Tahun 2021 tentang
Industri Penyelenggaraan Perizinan Usaha
Berbasis Resiko

41
Pasal 32 Pasal 407
1) Perusahaan Industri yang telah 1) Pelaku Usaha di sektor
dikenakan sanksi administratif perindustrian yang telah dikenakan
berupa peringatan tertulis dan sanksi administratif berupa
tidak melakukan perbaikan dalam peringatan tertulis dan tidak
jangka waktu sebagaimana melakukan perbaikan dalam jangka
dimaksud dalam Pasal 31 dikenai waktu sebagaimana dimaksud
sanksi administratif berupa denda dalam Pasal 406 dikenai sanksi
administratif. administratif berupa denda
2) Denda administratif sebagaimana administratif.
dimaksud pada ayat (1) diberikan 2) Denda administratif sebagaimana
paling banyak 1% (satu persen) dari dimaksud pada ayat (1) diberikan
nilai investasi. paling banyak 1 % (satu persen)
3) Pembayaran denda administratif dari nilai investasi.
sebagaimana dimaksud pada ayat 3) Nilai investasi sebagaimana
(1) dilakukan paling lama 30 (tiga dimaksud pada ayat (2) untuk
puluh) hari sejak surat pengenaan kawasan industri berdasarkan
denda administratif diterima. hasil audit lembaga independen.
4) Pembayaran denda administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan paling lama 30 (tiga
puluh) Hari sejak surat pengenaan
denda administratif diterima.

Jika dilihat dari tabel diatas Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Perizinan Usaha Berbasis Resiko mempertegas hal terkait sanksi
administrasi dengan menambahkan satu ketentuan yang diatur dalam pasal 407
ayat (3) yaitu bahwa denda administratif sebesar maksimal 1% (satu persen) dari
nilai investasi yang didasarkan pada hasil audit dari lembaga independen.

42
8. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2015 tentang Pembangunan Sumber Daya
Industri

Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2015 Tentang Pembangunan Sumber Daya


Industri merupakan pelaksanaan Pasal 25 ayat (8), Pasal 27 ayat (4), Pasal 28 ayat (3), Pasal
30 ayat (6), Pasal 32 ayat (2), Pasal 33 ayat (3), Pasal 39 ayat (5), dan Pasal 40 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian.
Peraturan Pemerintah ini terdiri dari 55 pasal yang terdiri dari 5 Bab: Bab I
Ketentuan Umum, Bab II Pembangunan Tenaga Kerja Industri dan Penggunaan Konsultan
Industri, Bab III Pemanfaatan, Jaminan Ketersediaan dan Penyaluran, Serta Pelarangan Dan
Pembatasan Ekspor Sumber Daya Alam, Bab IV Pengadaan dan Pemanfaatan Teknologi
Industri, Bab V Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif, dan Bab VI Ketentuan Penutup.
Ruang lingkup pengaturan di peraturan pemerintah ini ialah:
a. pembangunan Tenaga Kerja Industri dan penggunaan konsultan Industri;
b. pemanfaatan, jaminan ketersediaan dan penyaluran, serta pelarangan dan
pembatasan ekspor Sumber Daya Alam; dan
c. pengadaan dan pemanfaatan Teknologi Industri.

Hasil Analisis dan Evaluasi Hukum terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2015
tentang Pembangunan Sumber Daya Industri

Hasil analisis dan evaluasi dengan menggunakan metode 6 dimensi menunjukkan


bahwa peraturan ini memiliki persoalan di dalam dimensi disharmoni pengaturan, dimensi
kejelasan rumusan dan dimensi efektivitas pelaksanaan PUU.
Permasalahan di dalam dimensi disharmoni pengaturan dapat terlihat dari pasal 2
yang mengatur mengenai ruang lingkup dari Peraturan Pemerintah ini. Pasal 2 berbunyi:
“Ruang lingkup pengaturan dalam Peraturan Pemerintah ini meliputi:
a. pembangunan Tenaga Kerja Industri dan penggunaan konsultan Industri;
b. pemanfaatan, jaminan ketersediaan dan penyaluran, serta pelarangan dan
pembatasan ekspor Sumber Daya Alam; dan
c. pengadaan dan pemanfaatan Teknologi Industri”.

43
Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja
terdapat ruang lingkup baru mengenai pembangunan sumber daya industri, tepatnya pada
Paragraf 7 (Perindustrian). Dalam UU Cipta Kerja tersebut mengatur bahwa pembangunan
sumber daya Industri meliputi:
a. Pembangunan sumber daya manusia;
b. Pemanfaatan sumber daya alam;
c. Pengembangan dan pemanfaatan Teknologi Industri;
d. Pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan inovasi;
e. Penyediaan sumber pembiayaan; dan
f. Penyediaan bahan baku dan/atau bahan penolong bagi industri
Dengan keluarnya UU Cipta Kerja, maka peraturan lain harus menyesuaikan dengan UU
Cipta kerja ini. Di Peraturan Pemerintah Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2015
Tentang Pembangunan Sumber Daya Industri ini yang sebelumnya ruang lingkup
pembangunan sumber daya industri diatur dalam 3 poin, setelah ada Undang - Undang
Cipta Kerja maka bertambah menjadi 6 poin.
Permasalahan di dalam dimensi kejelasan rumusan dapat terlihat dari bagian
penjelasan Peraturan Pemerintah ini, tepatnya pada nomor I. UMUM pada paragraph 1
berbunyi “Pembangunan Industri sesuai dengan ketentuan Undang–Undang Nomor 3
Tahun 2013 tentang Perindustrian memerlukan berbagai dukungan dalam bentuk
perangkat kebijakan yang tepat, perencanaan yang terpadu, dan pengelolaan yang efisien
dengan memperhatikan prinsip-prinsip tata kelola yang baik”. Dari bagian penjelasan
tersebut menyebutkan bahwa Undang-Undang Perindustrian yaitu Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2013, padahal Undang-Undang Perindustrian diatur dalam Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2014. Disini terlihat ada salah pengetikan (typo) terhadap nomor tahun
perundang-undangan. Tentunya hal ini bisa menimbulkan kebingunan karena kalau di lihat
kembali Undang-Undang Nomor 3 tahun 2013 itu mengatur tentang Pembentukan
Kabupaten Malaka di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Permasalahan di dalam dimensi efektifitas pengaturan dapat terlihat dari BAB I
Ketentuan Umum Dalam ketentuan umum masih belum ada pengertian atau definisi dari
Pembangunan Sumber Daya Industri itu sendiri dan jika dilihat dibagian penjelasan pun
tidak terdapat pengertian mengenai pembangunan sumber daya industri tersebut.

44
9. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan
Industri Nasional 2015-2035

Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2015 Tentang Rencana Induk


Pembangunan Industri Nasional 2015-2035 merupakan pelaksanaan ketentuan dari pasal
9 ayat (5) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. Peraturan
Pemerintah Nomor 14 Tahun 2015 Tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional
2015-2035 terdiri dari 9 (sembilan) pasal. Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional
Tahun 2015-2035 memuat:
a. visi, misi, dan strategi pembangunan industri;
b. sasaran dan tahapan capaian pembangunan industri;
c. bangun industri nasional;
d. pembangunan sumber daya industri;
e. pembangunan sarana dan prasarana industri;
f. pemberdayaan industri;
g. perwilayahan industri; dan
h. kebijakan afirmatif industri kecil dan industri menengah.

Hasil Analisis dan Evaluasi Hukum terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2015
tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional 2015-2035

Dalam perkembangannya setelah PP ini dibentuk, Pada tahun 2020 Undang-Undang


nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta kerja diundangkan, Undang-Undang Cipta Kerja hadir
dalam rangka menciptakan lapangan pekerjaan yang salah satunya dilakukan melalui
peningkatan investasi. Dalam UU Cipta Kerja pasal 15 paragraf 7, mengatur terkait ruang
lingkup Pembangunan sumber daya Industri. Pasal 15 tersebut berbunyi:
“Pembangunan sumber daya industri meliputi:
a. Pembangunan sumber daya manusia;
b. Pemanfaatan sumber daya alam;
c. Pengembangan dan pemanfaatan Teknologi Industri;
d. Pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan inovasi;
e. Penyediaan sumber pembiayaan; dan

45
f. Penyediaan bahan baku dan/atau bahan penolong bagi industri”
Pasal tersebut merubah pasal 15 Undang-Undang Perindustrian yang mengatur ruang
lingkup Pembangunan sumber daya industri, yang semula ruang lingkupnya hanya 5 poin
menjadi 6 poin. Poin f (penyediaan bahan baku dan/atau bahan penolong bagi industri)
yang menjadi tambahan yang diatur dalam Undang-Undang Cipta kerja oleh karena
Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2015 Tentang Rencana Induk Pembangunan
Industri Nasional 2015-2035 ini merujuk kepada Undang-Undang Perindustrian tentunya
ruang lingkup pembangunan sumber daya industri yang dijabarkan dalam lampiran
Peraturan Pemerintah ini masih memuat 5 ruang lingkup saja dan perlu disesuaikan dengan
ruang lingkup di Undang-Undang Cipta Kerja. Dengan adanya penambahan tersebut tentu
harus menjadi perhatian oleh para stakeholder terkait yang menggunakan Peraturan
Pemerintah ini sebagai acuan dalam Pembangunan Industri Nasional.

10. Peraturan Presiden Nomor 118 Tahun 2020 tentang Pengadaan Teknologi Industri Melalu
Proyek Putar Kunci

Peraturan Presiden Nomor 118 Tahun 2020 tentang Pengadaan Teknologi Industri
Melalu Proyek Putar Kunci merupakan pelaksanaan ketentuan Pasal 39 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2Ol4 tentang Perindustrian. Peraturan Presiden Nomor 118 Tahun
2020 tentang Pengadaan Teknologi Industri Melalu Proyek Putar Kunci terdiri dari 35 (tiga
puluh lima) pasal yang terdiri dari 6 (enam bab) yaitu:
a. Bab I Ketentuan Umum
b. Bab II Perencanaan Dan Penetapan Pengadaan Teknologi Industri Melalui Proyek
Putar Kunci
c. Bab III Pelaksanaan Pengadaan Teknologi Industri Melalui Proyek Putar Kunci
d. Bab IV Alih Teknologi
e. Bab V Tim Verifikasi
f. Bab VI Ketentuan Penutup
Hasil Analisis dan Evaluasi Hukum terhadap Peraturan Presiden Nomor 118 Tahun 2020
tentang Pengadaan Teknologi Industri Melalu Proyek Putar Kunci.
Pengadaan Teknologi Industri melalui Proyek Putar Kunci adalah pengadaan
teknologi dengan membeli suatu proyek teknologi secara lengkap mulai dari pengkajian

46
(assessment), rancang bangun dan perekayasaan, implementasi (pengoperasian), dan
penyerahan dalam kondisi siap digunakan. Skema proyek ini bekerja dengan sistem, di
mana si pemilih proyek 'terima jadi' dari kontraktor. Seluruh pembayaran dilakukan setelah
proyek selesai sepenuhnya atau saat diserahterimakan. Semua tahapan proyek dari desain
sampai pengoperasian teknologi dikelola sendiri oleh kontraktor, sehingga pemilik proyek
tidak ikut campur. Dalam keadaan tertentu, Pemerintah dapat melakukan Pengadaan
Teknologi Industri melalui Proyek Putar Kunci. Keadaan tertentu tersebut meliputi kondisi
di mana kebutuhan pembangunan industri sangat mendesak sementara teknologi belum
dikuasai di dalam negeri. Kebutuhan pembangunan Industri yang sangat mendesak
sebagaimana dimaksud meliputi kondisi:
1. Teknologi industri yang dibutuhkan tidak dapat segera diadakan di dalam negeri
melalui penelitian dan pengembangan, kontrak penelitian dan pengembangan,
usaha bersama, pengalihan hak melalui lisensi, dan/atau akuisisi teknologi.
2. Terdapat ancaman terhadap keberlangsungan industri dalam negeri dan/atau
perekonomian nasional.
3. Terdapat potensi kehilangan kesempatan memperoleh manfaat teknologi industri
secara signifikan.
Terkait hal ini, Presiden Jokowi menegaskan, Indonesia harus memiliki kemampuan dan
memproduksi teknologi sendiri. Caranya dengan menjalin kerja sama produksi teknologi di
dalam negeri yang melibatkan para pakar dan pekerja Indonesia, dapat menerapkan
transfer teknologi dan transfer ilmu sehingga Indonesia bisa ikut mengejar ketertinggalan.
Pengadopsian teknologi dari luar negeri untuk industri di dalam negeri boleh saja
dilakukan, selama kerja sama yang disepakati memasukkan poin transfer teknologi dan
penggunaan SDM dalam negeri sehingga ada jaminan akuisisi teknologi dalam setiap kerja
sama yang dijalin.

11. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 4 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengawasan
Pemberlakukan Standardisasi Industri Secara Wajib

Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 4 Tahun 2018 Tentang Tata Cara Pengawasan
Pemberlakukan Standardisasi Industri Secara Wajib merupak pelaksanaan ketentuan pasal

47
21 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pembangunan Sarana dan
Prasarana Industri. Peraturan Menteri ini terdiri dari 33 pasal yang terdiri dari 7 Bab:
a. Bab I Ketentuan Umum
b. Bab II Tata Cara Pengawasan
c. Bab III Laporan Hasil Pengawasan
d. Bab IV Sanksi
e. Bab V Ketentuan Lain-lain
f. Bab VI Ketentuan Peralihan
g. Bab VII Ketentuan Penutup
Peraturan Menteri ini diciptakan dalam rangka pengawasan pemberlakuan Standardisasi
Industri secara wajib agar dapat meningkatkan kepatuhan terhadap pemenuhan ketentuan
Standar Nasional Indonesia, Spesifikasi Teknis, dan/ atau Pedoman Tata Cara yang
diberlakukan secara wajib.

Hasil Analisis dan Evaluasi Hukum terhadap Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 4
Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengawasan Pemberlakukan Standardisasi Industri Secara
Wajib
Hasil analisis dan evaluasi dengan menggunakan metode 6 dimensi menunjukkan
bahwa peraturan ini memiliki persoalan dimensi disharmoni pengaturan, dimensi kejelasan
rumusan dan dimensi efektivitas pelaksanaan PUU.
Permasalahan di dalam dimensi disharmoni pengaturan dapat terlihat dari
ketentuan pasal 2 permenperin ini dengan pasal 43 Peraturan Pemerintah Nomot 28 Tahun
2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian .

Peraturan Menteri Perindustrian Nomor Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun


4 Tahun 2018 Tentang Tata Cara 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang
Pengawasan Pemberlakukan Perindustrian
Standardisasi Industri Secara Wajib
Pasal 2 Pasal 43
(1) Menteri melakukan Pengawasan (1) Menteri mengawasi pelaksanaan seluruh
terhadap: rangkaian:

48
a. seluruh rangkaian kegiatan a. penerapan SNI secara sukarela
pemberlakuan SNI, Spesifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
Teknis, dan/ atau Pedoman Tata Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun
Cara secara wajib; dan/ a tau 2017 tentang Pembangunan Sarana dan
b. pertimbangan teknis atau surat Prasarana Industri; dan
keterangan terhadap b. pemberlakuan SNI, Spesifikasi Teknis,
pengecualian ketentuan dan/atau Pedoman Tata Cara secara
pemberlakuan SNI, Spesifikasi wajib sebagaimana dimaksud dalam
Teknis, dan/atau Pedoman Tata Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor
Cara secara wajib. 2 Tahun 2017 tentang Pembangunan
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud Sarana dan Prasarana Industri.
pada ayat (1) meliputi: (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud
a. Pengawasan di pabrik; dan pada ayat (1) meliputi:
b. koordinasi Pengawasan di pasar a. pengawasan di pabrik; dan
dengan kementerian dan lembaga b. koordinasi pengawasan di pasar dengan
pemerintah nonkementerian kementerian dan/atau lembaga
terkait. pemerintah nonkementerian terkait.
(3) Menteri dapat mendelegasikan (3) Koordinasi pengawasan di pasar
kewenangan Pengawasan sebagaimana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
dimaksud pada ayat (1) kepada Direktur b dilaksanakan secara bersama-sama
Jenderal Pembina Industri. dengan menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang
perdagangan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Ketentuan pasal 2 Permenperin ini masuk kedalam substansi pasal 43 ayat (3) Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang perindustrian. Di
dalam PP No 28 Tahun 2021 diatur ketentuan baru didalam pasal 43 ayat (3) yaitu
koordinasi pengawasan di pasar dilakukan secara bersama-sama dengan dengan menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan dimana koordinasi
dengan kementerian perdagangan tersebut belum diatur dengan jelas di dalam
Permenperin No 4 Tahun 2018 karena di Permenperin ini hanya menyebutkan koordinasi

49
dilakukan dengan kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian terkait berbeda
dengan di PP No 28 Tahun 2021 yang secara jelas menerangkan koordinasi di pasar dengan
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan.
Permasalahan di dalam dimensi kejelasan rumusan dapat terlihat dari ketentuan
umum permenperin ini yang mengatur mengenai definisi Standar Nasional Indonesia (SNI)
yang memiliki perbedaan dengan definisi SNI di Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014
tentang Perindustrian dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Bidang Perindustrian:
Peraturan Menteri Undang-Undang Nomor 3 Peraturan Pemerintah
Perindustrian Nomor 4 Tahun 2014 tentang Nomor 28 Tahun 2021
Tahun 2018 Tentang Tata Perindustrian tentang Penyelenggaraan
Cara Pengawasan Bidang Perindustrian
Pemberlakukan
Standardisasi Industri
Secara Wajib

Standar Nasional Indonesia Standar Nasional Indonesia Standar Nasional Indonesia


yang selanjutnya disingkat yang selanjutnya disingkat yang selanjutnya disingkat
SNI adalah standar yang SNI adalah standar yang SNI adalah standar yang
ditetapkan oleh Lembaga ditetapkan oleh lembaga ditetapkan oleh lembaga
pemerintah non yang menyelenggarakan yang menyelenggarakan
kementerian yang bertugas pengembangan dan pengembangan dan
dan bertanggung jawab di pembinaan di bidang pembinaan di bidang
bidang standardisasi dan standardisasi. standardisasi.
berlaku di wilayah Negara
Kesatuan Republik
Indonesia.

Jika dilihat dari tabel diatas definisi SNI permenperin berbeda dengan definisi SNI Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian dan Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian. Perbedaan mendasar SNI yaitu
di permenperin ini di tetapkan oleh Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK)

50
sedangkan Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian dan Peraturan Pemerintah
Nomor 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian SNI di tetapkan oleh
lembaga yang menyelenggarakan pengembangan dan pembinaan di bidang standardisasi.
Permasalahan di dalam dimensi efektifitas pelaksanaan peraturan perundang-
undangan dapat terlihat dari ketentuan:
1. Pasal 14 permenperin ini yang berbunyi: “(1) Laporan dari pelaku usaha atau
masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a disampaikan secara
elektronik (online) melalui laman (website) Kementerian Perindustrian (www.
kemenperin.go.id/ laporan_sni)”. Dalam permenperin ini laporan dari pelaku usaha
di sampaikan melalui (www. kemenperin.go.id/ laporan_sni) sedangkan dengan
diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Bidang Perindustrian segala bentuk peran serta masyarakat
dalam pembangunan industri yang didalamnya terdapat pengawasan
pembangunan industri dapat disampaikan melalui Siinas sebagaimana di atur di
dalam pasal 69 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Bidang Perindustrian: “(1) Peran serta masyarakat dalam
pembangunan Industri diwujudkan dalam bentuk: a. pemberian saran, pendapat,
dan usul; dan/atau b. penyampaian informasi dan/atau laporan. (2) Pemberian
saran, pendapat, usul, dan/atau penyampaian informasi dan latau laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan kepada Pemerintah Pusat
dan/atau Pemerintah Daerah melalui SIINas”.
2. Pasal 23 Permenperin ini berbunyi: “Dalam hal laporan hasil Pengawasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) ditemukan dugaan tindak pidana,
Direktur Jenderal Pembina Industri memberikan rekomendasi kepada Kepala BPPI
untuk menugaskan Penyidik Pegawai Negeri Sipil bidang perindustrian melakukan
pengawasan, pengamatan, penelitian a tau pemeriksaan, dan/ atau penyidikan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Ketentuan pasal ini
perlu di lengkapai sesuai dengan pasal 46 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian yang menyebutkan
penyidik perindustrian harus berkoordinasi juga dengan penyidik polri. Pasal 46
ayat (3): “Dalam melakukan penyidikan, penyidik pegawai negeri sipil bidang
perindustrian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berkoordinasi

51
dengan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai hukum acara pidana dan ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai perindustrian”.

12. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 38 Tahun 2018 tentang Akun Sistem Informasi
Industri Nasional

Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 38 Tahun 2018 tentang Akun Sistem


Informasi Industri Nasional merupakan Peraturan Menteri yang mencabut Peraturan
Menteri sebelumnya yang mengatur mengenai Siinas yaitu Peraturan Menteri
Perindustrian Nomor 42/M-IND/PER/6/2016 tentang Akun Sistem Informasi Industri
Nasional yang bertujuan untuk melakukan penyesuaian kembali ketentuan mengenai
penerbitan dan penggunaan Akun Sistem Informasi Industri Nasional setelah berlakunya
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha
Terintegrasi Secara Elektronik.
Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 38 Tahun 2018 tentang Akun Sistem
Informasi Industri Nasional terdiri dari 17 pasal yang terdiri dari 6 (enam) bab:
a. Bab I Ketentuan Umum
b. Bab II Pembuatan AKun Sistem Informasi Industri Nasional
c. Bab III Pengelolaan Sistem Informasi Industri Nasional
d. Bab V Ketentuan Peralihan
e. Bab VI Ketentuan Penutup

Hasil Analisis dan Evaluasi Hukum terhadap Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 38
Tahun 2018 tentang Akun Sistem Informasi Industri Nasional

Hasil analisis dan evaluasi dengan menggunakan metode 6 dimensi menunjukkan


bahwa peraturan ini memiliki persoalan dimensi kejelasan rumusan dan dimensi efektivitas
pelaksanaan PUU.
Permasalahan di dalam dimensi kejelasan rumusan dapat terlihat dari hilangnya
salah satu bab di dalam peraturan Menteri ini. Dalam Peraturan Menteri ini terdiri dari 6
(enam) bab:

52
a. Bab I Ketentuan Umum
b. Bab II Pembuatan AKun Sistem Informasi Industri Nasional
c. Bab III Pengelolaan Sistem Informasi Industri Nasional
d. Bab V Ketentuan Peralihan
e. Bab VI Ketentuan Penutup
Jika dilihat di dalam Peraturan Menteri ini yang sumber peraturan Menteri ini diakses
melalui JDIH Kementerian Perindustrian terdapat bab yang hilang di dalam batang tubuh
yaitu bab IV.
Permasalahan di dalam dimensi efektifitas pelaksanaan PUU dapat terlihat dari
pasal 4 yang mengatur mengenai kepemilikan akun siinas. Pasal 4 berbunyi:
1. Akun SIINas dikelompokkan atas 4 (empat) kategori meliputi:
1. Akun SIINas tipe A;
2. Akun SIINas tipe B;
3. Akun SIINas tipe C; dan
4. Akun SIINas tipe D.
2. Akun SIINas tipe A sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperuntukkan bagi
setiap orang atau kelompok yang melakukan kegiatan usaha industri.
3. Akun SIINas tipe B sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diperuntukkan bagi
setiap orang atau kelompok yang melakukan kegiatan usaha kawasan industri.
4. Akun SIINas tipe C sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diperuntukkan bagi:
1. orang perseorangan atau kelompok yang melakukan kegiatan usaha selain
kegiatan usaha industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan kegiatan usaha
kawasan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (3); dan
2. kelompok bukan merupakan pelaku usaha selain kementerian, lembaga,
perwakilan Republik Indonesia di luar negeri, pemerintah provinsi, dan
pemerintah kabupaten/kota.
5. Akun SIINas tipe D sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diperuntukkan bagi
kementerian, lembaga, perwakilan Republik Indonesia di luar negeri, pemerintah
provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.
Akun Siinas berdasarkan peraturan Menteri ini di bagi menjadi 4 tipe yaitu Tipe A.B.C.D.
dimana ditiap tipe ini diatur peruntukannya. Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian memunculkan norma baru

53
yaitu peran serta masyarakat dalam pembangunan industri yang diatur di dalam bab V.
Pada bab V pasal 69 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Bidang Perindustrian mengatur bentuk peran serta masyarakat dalam
pembangunan industri yaitu:
a. pemberian saran, pendapat dan usul, dan/atau
b. penyampaian informasi dan/atau laporan.
Dalam Pasal 69 ayat 2 pula diatur pemberian saran, pendapat, usul, dan/atau penyampaian
informasi dan latau laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan
kepada Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah melalui SIINas. Didalam
Permenperin No 38 Tahun 2018 memang telah diatur siinas tipe C yaitu kelompok bukan
merupakan pelaku usaha selain kementerian, lembaga, perwakilan Republik Indonesia di
luar negeri, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota, akan tetapi di dalam
permenperin ini belum dijelaskan siapa saja yang dimaksud kelompok bukan pelaku usaha
apakah itu masyarakat atau bukan. Dan jika dibuka situs siinas masih belum ada fitur untuk
masyarakat mendaftar karena setiap akan mendaftar harus melampirkan NIB, Nama
Perusahaan, No IUI/IUKI dll sedangkan masyarakat yang ingin memberi saran, pendapat
dan usul, dan/atau penyampaian informasi dan/atau laporan seharusnya tidak perlu
melampirkan NIB, Nama Perusahaan dll.

13. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 20 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penerbitan
Rekomendasi Ekspor dan Rekomendasi Impor Bahan Bakar Lain Sebagai Bahan Baku dan
Bahan Penolong Industri

Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 20 Tahun 2019 Tentang Tata Cara


Penerbitan Rekomendasi Ekspor dan Rekomendasi Impor Bahan Bakar Lain Sebagai Bahan
Baku dan Bahan Penolong Industri merupakan tindak lanjut pengaturan dari Peraturan
Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2019 Tentang Ketentuan Ekspor
Dan Impor Minyak Bumi, Gas Bumi, Dan Bahan Bakar Lain yang memberikan kewenangan
kepada Kementerian Perindustrian untuk memberikan rekomendasi ekspor dan impor
bahan bakar lain sebagai bahan baku dan bahan penolong industri.

54
Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 20 Tahun 2019 Tentang Tata Cara
Penerbitan Rekomendasi Ekspor Dan Rekomendasi Impor Bahan Bakar Lain Sebagai Bahan
Baku Dan Bahan Penolong Industri terdiri dari 32 pasal yang diatur dalam 5 bab yaitu:
a. Bab I Ketentuan Umum
b. Bab II Rekomendasi
c. Bab IV Pengawasan
d. Bab V Ketentuan Penutup

Hasil Analisis dan Evaluasi Hukum terhadap Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 20
Tahun 2019 tentang Tata Cara Penerbitan Rekomendasi Ekspor dan Rekomendasi Impor
Bahan Bakar Lain Sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri

Hasil analisis dan evaluasi dengan menggunakan metode 6 dimensi menunjukkan


bahwa peraturan ini memiliki persoalan dimensi disharmoni pengaturan dan dimensi
kejelasan rumusan.
Permasalahan di dalam dimensi disharmoni pengaturan terjadi antara Peraturan
Menteri ini dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan
Bidang Perindustrian. Pasal 10 Peraturan Menteri ini berbunyi: “Impor Bahan Bakar Lain
dilakukan oleh: a. Importir Produsen; atau b. Importir Umum”. Di ketentuan pasal 10
permenperin ini impor bahan bakar lain dapat dilakukan oleh Importir Produsen dan
Importir Umum. Saat ini untuk ketentuan impor bahan baku/bahan penolong industri telah
diatur di dalam Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang
Perindustrian khususnya di pasal 19 bahwa Impor Bahan Baku dan atau Bahan Penolong
hanya dilakukan oleh Perusahaan Industri yang memiliki nomor induk berusaha yang
berlaku sebagai Angka Pengenal Importir Produsen (API-P). Dan dalam hal impor Bahan
Baku dan/atau Bahan Penolong diperuntukan bagi Industri kecil dan Industri menengah
yang tidak dapat melaksanakan importasi sendiri dapat dilakukan oleh pusat penyedia
Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong yang memiliki nomor induk berusaha yang berlaku
sebagai Angka Pengenal Importir Umum (API-U).
Permasalahan di dalam dimensi kejelasan rumusan dapat terlihat di dalam
Peraturan Menteri ini yaitu:

55
1. Dalam Peraturan Menteri ini terdiri dari 5 (lima) bab: BAB I Ketentuan Umum, BAB II
Rekomendasi, BAB IV Pengawasan, BAB V Ketentuan Penutup. Jika dilihat seksama di
dalam batang tubuh Peraturan Menteri ini yang sumber filenya diakses melalui JDIH
Kemenperin terdapat bab yang hilang di dalam batang tubuh yaitu bab III.
2. Pasal 6 Permenperin ini mengatur rekomendasi impor dapat di berikan berdasarkan:
a. kebutuhan dalam negeri; dan b. kemampuan produksi dalam negeri. Ketentuan
ekspor bahan baku/penolong telah di atur lebih lanjut di dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan di bidang perindustiran
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan di bidang
perindustrian didalam pasal 9 telah memberikan pengaturan mengenai larangan dan
pembatasan ekspor bahan baku/penolong:
Larangan dengan pertimbangan sbb:
a. merupakan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong yang strategis dan
terbatas;
b. Sebagai cadangan penyangga ketersediaan Bahan Baku dan/atau Bahan
Penolong untuk Industri; dan/atau
c. kepentingan nasional lainnya.
Pembatasan dengan pertimbangan sbb:
a. Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong sudah dapat diolah di dalam negeri,
namun pasokannya belum mencukupi kebutuhan Industri;
b. Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong yang diolah akan mempunyai nilai
tambah yang tinggi;
c. menjaga kestabilan harga Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong; dan/atau
d. kepentingan nasional lainnya.
Oleh karena itu pemberian rekomendasi ekspor bahan baku harus memperhatikan
ketentuan PP No 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian
khususnya mengenai pembatasan dan pelarangan ekspor bahan baku/bahan penolong
3. Pasal 11 permenperin mengatur mengenai pemberian rekomendasi impor yang
berdasarkan pada:
a. kebutuhan dalam negeri;
b. kemampuan produksi dalam negeri; dan
c. kinerja masa lalu.

56
Salah satu dasar pemeberian rekomendasi impor didalam pasal 11 huruf c yaitu kinerja
masa lalu. Penjelasan mengenai kinerja masa lalu tidak terdapat penjelasannya di
permenperin ini. Apakah yang menjadi indikator dari kinerja masa lalu, Apa realisasi
impor 1 tahun sebelumnya 2 tahun sebelumnya atau 5 tahun terakhir yang menjadi
indikator kinerja masa lalu. Ketentuan kinerja masa lalu tersebut dapat minimbulkan
multitafsir jika tidak dijelaskan secara terperinci. Sehingga perlu dijelaskan secara
mendatail apakah yang dimaksud dengan kinerja masa lalu pada permenperin ini.

14. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor: 02/M-IND/PER/1/2014 tentang Pedoman


Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri Dalam Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah

Peraturan Menteri Perindustrian Nomor: 02/M-IND/PER/1/2014 Tentang Pedoman


Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
merupakan pelaksanaan ketentuan diktum kedua Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2009
tentang Penggunaan Produk Dalam Negeri Dalam Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah.
Peraturan Menteri ini terdiri dari 52 pasal yang diatur di dalam 11 bab:
a. Bab I Ketentuan Umum
b. Bab II Produk Dalam Negeri
c. Bab III Pemanfaatan Perusahaan Jasa Dalam Negeri
d. Bab IV Tingkat Komponen Dalam Negeri dan Bobot Manfaat Perusahaan
e. Bab V Daftar Inventarisasi Barang/Jasa Produksi Dalam Negeri
f. Bab VI Verifikasi TKDN
g. Bab VII Tim Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri
h. Bab VIII Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan
i. Bab IX Penghargaan Atas Penggunaan Produk Dalam Negeri
j. Bab X Sanksi
k. Bab XI Ketentual Lain-Lain
l. Bab XII Ketentuan Penutup

57
Hasil Analisis dan Evaluasi Hukum terhadap Peraturan Menteri Perindustrian Nomor:
02/M-IND/PER/1/2014 tentang Pedoman Peningkatan Penggunaan Produk Dalam
Negeri Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Hasil analisis dan evaluasi dengan menggunakan metode 6 dimensi menunjukkan


bahwa peraturan ini memiliki persoalan dimensi kejelasan rumusan dan dimensi efektivitas
pelaksanaan PUU.
Permasalah dalam dimensi kejelasan rumusan di dalam peraturan Menteri ini dapat
terlihat dari beberapa temuan pokja yaitu:
1. Dasar hukum mengingat yang dicantumkan dalam peraturan Menteri ini sudah
banyak yang berubah seperti di jelasakan didalam tabel berikut:
DASAR HUKUM MENGINGAT
SEBELUM SESUDAH
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014
tentang Perindustrian tentang Perindustrian
Undang-Undang Nornor 18 Tahun 1999 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017
tentang Jasa Konstruksi tentang Jasa Konstruksi
Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun Perpres 32 Tahun 2021 tentang
2009 tentang Pembentukan dan Perubahan Atas Perpres 68 Tahun 2019
Organisasi Kementerian Negara tentang Organisasi Kementerian
sebagaimana telah beberapa kali Negara
diubah terakhir dengan Peraturan
Presiden Nomor 91 Tahun 2011
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun Peraturan Presiden Republik Indonesia
2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Nomor 16 Tahun 2018 tentang
Pemerintah sebagaimana telah Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun
2012

58
Peraturan Menteri Perindustrian Peraturan Menteri Perindustrian No 7
Nomor 105/MIND/ PER/ 10/2010 Tahun 2021 tentang Organisasi dan
tentang Organisasi dan Tata Kerja Tata Kerja Kementerian Perindustrian
Kementerian Perindustrian;

2. Pasal 12 Permenperin ini berbunyi: “(1) Perusahaan Jasa Dalam Negeri harus
menjadi pimpinan konsorsium (lead firm) dalam konsorsium/kerja sama operasi
untuk jasa konstruksi on-shore. (3) Dalam pekerjaan jasa konstruksi off-shore,
Perusahaan Jasa Dalam Negeri wajib melakukan pekerjaan paling sedikit 30% (tiga
puluh perseratus) dari batas minimal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai
dengan ukuran nilai kontrak.” Didalam pasal 12 ini di ayat (1) dan (2) terdapat kata
berbahasa asing yaitu off-shore dan on-shore, Sebaiknya dicari padanan kata dalam
Bahasa Indonesia untuk kata on-shore dan off-shore. Menurut Kamus Bahasa Inggris
Terjemahan Indonesia, arti kata “offshore” adalah jauh dari pantai atau di lepas
pantai, sedangkan arti kata “on shore" adalah “ di pantai”. Mengingat di dalam
Lampiran II No. 254 Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan bahwa: “Penggunaan kata, frasa, atau istilah
bahasa asing hanya digunakan di dalam penjelasan Peraturan Perundang–
undangan. Kata, frasa, atau istilah bahasa asing itu didahului oleh padanannya
dalam Bahasa Indonesia, ditulis miring, dan diletakkan diantara tanda baca kurung
( )”.
3. Pasal 22 ayat 2 Permenperin ini berbunyi: “(2) Capaian TKDN barang dan capaian
BMP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan capaian yang telah
diverifikasi oleh lembaga surveyor independen dan telah mendapatkan tanda sah”.
Dalam pasal 2 tesebut terdapat frasa lembaga surveyor independen, sebaiknya
lebih tepat digunakann kata survei daripada surveyor. Pengertian kata survei dalam
KBBI adalah: teknik riset dengan memberi batas yang jelas atas data; penyelidikan;
peninjauan, pengukuran (tanah) sedangkan surveyor adalah seseorang yang
melakukan pemeriksaan atau mengawasi dan mengamati suatu pekerjaan lainnya.
Dalam dunia kerja istilah Surveyor kebanyakan menjurus pada dunia lapangan yang
nanti nya menjadi objek utama dalam hal menjalankan tugas nya.

59
4. Pasal 23 ayat (1) dan (4) Permenperin ini berbunyi: “(1) Daftar lnventarisasi
Barang/Jasa Produksi Dalam Negeri sebagaimana dirnaksud dalam Pasal 22 ayat
(1) dipublikasikan secara on-line pada situs web Kementerian Perindustrian dan
diperbaharui setiap saat apabila ada perubahan dan penambahan data. (4) Dalam
hal terdapat perbedaan capaian TKDN atau capaian BMP dalam Daftar
lnventarisasi Barang/Jasa Produksi Dalam Negeri yang dipublikasikan secara on-
line sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan Daftar Inventarisasi Barang/ Jasa
Produksi Dalam Negeri yang diterbitkan dalam bentuk buku atau CD-ROM
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berlaku capaian TKDN atau capaian BMP
pada Daftar Inventarisasi Barang/Jasa Produksi Dalam Negeri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)”. Di dalam Permenperin ini terdapat kata berbahasa asing
yaitu “on-line”. Sebaiknya dicari padanan kata dalam Bahasa Indonesia untuk kata
on-line. Dalam bahasa Indonesia istilah on-line dipadankan menjadi dalam jaringan
(daring), yaitu perangkat elektronik yang terhubung ke jaringan internet.
Sedangkan istilah offline dipadankan menjadi luar jaringan (luring) yaitu tidak
terhubungnya perangkat elektronik ke jaringan internet. (Sumber: Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud). Mengingat di dalam
Lampiran II Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan No. 254 berbunyi: “Penggunaan kata, frasa, atau istilah
bahasa asing hanya digunakandi dalam penjelasan Peraturan Perundang–
undangan. Kata, frasa, atau istilah bahasa asing itu didahului oleh padanannya
dalam Bahasa Indonesia, ditulis miring, dan diletakkan diantara tanda baca kurung
()”.
Permasalah dalam dimensi efektivitas pelaksanaan peraturan perundang-undangan
di dalam peraturan Menteri ini dapat terlihat dari beberapa temuan pokja yaitu:
1. Pasal 43 Peraturan Menteri ini mengatur mengenai pelaporan penggunaan
produksi dalam negeri dalam pengadaan barang/ jasa dilaporkan oleh Pimpinan
K/L/D /I, Bank Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan, Otoritas Jasa Keuangan,
Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum, dan BUMN/BUMD kepada Menteri selaku
Ketua Timnas P3DN setiap tahun paling lambat pada minggu kedua bulan Januari
pada tahun berikutnya. Di dalam Peraturan Menteri ini belum di atur mengenai
sanksi/teguran/peringatan jika Pimpinan K/L/D /I, Bank Indonesia, Lembaga

60
Penjamin Simpanan, Otoritas Jasa Keuangan, Perguruan Tinggi Negeri Badan
Hukum, dan BUMN/BUMD terlambat atau tidak melaporkan hasil kerjanya kepada
Menteri selaku Ketua Timnas P3DN.
2. Pasal 45 Peraturan Menteri ini mengatur mengenai penghargaan yang di berikan
oleh presiden atas penggunaan produk dalam negeri setiap tahun kepada Pimpinan
K/L/D/I, Bank Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan, Otoritas Jasa Keuangan,
Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum, dan BUMN/BUMD berupa Anugrah Cinta
Karya Anak Bangsa. Dari data yang ada Anugrah Cinta Karya Bangsa terakhir
diberikan pada tahun 2016. Perlu dilakukan evaluasi apakah penghargaan seperti
ini perlu atau tidak untuk dilanjutkan.

15. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 17 Tahun 2019 tentang Pengendalian dan
Pengawasan Industri Minuman Beralkohol

Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 17 Tahun 2019 Tentang Pengendalian dan


Pengawasan Industri Minuman Beralkohol merupakan pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat
(1), Pasal 5 ayat (2), dan Pasal 9 Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013 tentang
Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol terkait dengan pemberian izin usaha
industri dan penetapan standar mutu produksi minuman beralkohol yang mempunyai
tujuan untuk mengatur ketentuan pengendalian dan pengawasan industri minuman
beralkohol.
Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 17 Tahun 2019 Tentang Pengendalian dan
Pengawasan Industri Minuman Beralkohol ini sekaligus mencabut Peraturan Menteri
Perindustrian Nomor 63/M-IND/PER/7/2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan
Industri dan Mutu Minuman Beralkohol (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 62/M-
IND/PER/8/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 63 /
MIND/ PER/7/2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan Industri dan Mutu Minuman
Beralkohol.
Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 17 Tahun 2019 Tentang Pengendalian dan
Pengawasan Industri Minuman Beralkohol terdiri dari 47 (empat puluh tujuh) pasal yang
diatur di dalam 8 (delapan) bab yaitu:

61
a. Bab I Ketentuan Umum
b. Bab II Izin Usaha Industri Untuk Industri Minuman Beralkohol
c. Bab III Produksi dan Mutu
d. Bab IV Pelaporan
e. Bab V Pembinaan dan Pengawasan
f. Bab VI Sanksi
g. Bab VII Ketentuan Peralihan
h. Bab VIII Ketentuan Penutup

Hasil Analisis dan Evaluasi Hukum terhadap Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 17
Tahun 2019 tentang Pengendalian dan Pengawasan Industri Minuman Beralkohol

Hasil analisis dan evaluasi dengan menggunakan metode 6 dimensi menunjukkan


bahwa peraturan ini memiliki persoalan dimensi kejelasan rumusan dan dimensi efektivitas
pelaksanaan PUU.
Permasalah dalam dimensi kejelasan rumusan di dalam peraturan Menteri ini dapat
terlihat dari beberapa temuan pokja yaitu:
1. Pasal 13 ayat 2 berbunyi: “(2) Dinas Kabupaten/Kota harus melaksanakan
pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 10
(sepuluh) hari setelah diterimanya permohonan pemeriksaan lapangan”. Dalam
pasal ini mengatur pemeriksaan lapangan harus dilakukan paling lambat 10
(sepuluh) hari setelah diterimanya permohonan pemeriksaan lapangan oleh Dinas
Kabupaten/Kota. Bagaimanakah jika dalam waktu 10 (sepuluh) hari setelah
diterimanya permohonan tidak dilakukan pemeriksaan lapangan oleh Dinas
Kabupaten/Kota, Apakah rencana perubahan lUI yang diajukan oleh Perusahaan
Industri Minuman Beralkohol akan otomatis disetujui atau ditolak. Hal ini belum
jelas tercantum dalam peraturan ini.
2. Pasal 26 Peraturan Menteri ini berbunyi: “Perusahaan Industri Minuman Beralkohol
yang lUlnya dicabut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dilarang melaksanakan
kegiatan industri Minuman Beralkohol”. Pasal ini mengatur pelarangan
melaksanakan kegiatan usaha industri minuman beralkohol bagi perusahan industri
minuman beralkohol yang izin usaha industrinya dicabut. Tidak jelas tercantum

62
dalam Pasal ini pelarangan melaksanakan kegiatan industri beralkohol yang IUI nya
dicabut selama berapa lama waktunya, apakah pencabutan ini bersifat seterusnya
atau sementara waktu.
3. Pasal 43 ayat 2 berbunyi: “Direktur Jenderal menyampaikan rekomendasi
pengenaan sanksi berupa penurunan kapasitas produksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) kepada Lembaga OSS”. Dalam pasal ini mengatur mengenai
penyampaian rekomendasi pengenaan sanksi kepada Lembaga OSS. Penyebutan
secara tertulis nama Lembaga/Instansi dalam suatu peraturan perundang-
undangan sebaiknya dihindari karena nantinya akan menimbulkan masalah jika
Lembaga/Instansi tersebut berubah nama atau nomenklatur. Sebaiknya
penyebutan “kepada Lembaga OSS” dalam Pasal ini digantikan dengan frasa “ …
melalui pelayanan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik”

Permasalah dalam dimensi efektifitas pelaksanaan peraturan perundang-undangan


di dalam peraturan Menteri ini dapat terlihat dari Pasal 12 ayat (5) yang berbunyi: “Biaya
pelaksanaan Audit Kemampuan Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibebankan kepada Perusahaan Industri Minuman Beralkohol yang akan mengajukan
perubahan lUl untuk penambahan kapasitas produksi”. Dalam pasal ini diatur bahwasanya
biaya pelaksanaan audit kemampuan produksi ditanggung oleh perusahaan industri yang
akan mengajukan perubahan lUl untuk penambahan kapasitas produksi. Pembebanan
biaya pelaksanaan Audit Kemampuan Produksi kepada Perusahaan Industri Minuman
Beralkohol yang akan mengajukan perubahan lUl, dapat menimbulkan
ketidaknetralan/kurangnya independensi dalam proses pelaksanaan audit. Perlu
dipertimbangkan alternatif lain terkait pembiayaan pelaksanaan Audit kemampuan
produksi ini.

16. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 17 Tahun 2018 tentang Pedoman Nomenklatur
Perangkat Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota yang Melaksanakan Urusan
Pemerintahan di Bidang Industri

Peraturan Menteri Perindustrian No 17 Tahun 2018 tentang Pedoman Nomenklatur


Perangkat Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota yang Melaksanakan Urusan Pemerintahan

63
di Bidang Industri merupakan pelaksanaan ketentuan Pasal 109 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah terdiri dari 21 (dua puluh
satu) pasal yang diatur dalam 5 (lima) bab yaitu:
a. Bab I Ketentuan Umum
b. Bab II Bentuk, Tipe, Penggabungan Urusan, Dan Nomenklatur Perangkat Daerah
Yang Menangani Urusan Pemerintahan Bidang Perindustrian
c. Bab III Susunan Organisasi, Tugas, Dan Fungsi Perangkat Daerah Yang Menangani
Urusan Pemerintahan Bidang Perindustrian
d. Bab IV Penetapan Organisasi Dan Tata Kerja Dinas Perindustrian Provins! Dan Dinas
Perindustrian Kabupaten/Kota
e. Bab V Ketentuan Penutup

Hasil Analisis dan Evaluasi Hukum terhadap Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 17
Tahun 2018 tentang Pedoman Nomenklatur Perangkat Daerah Provinsi dan
Kabupaten/Kota yang Melaksanakan Urusan Pemerintahan di Bidang Industri

Hasil analisis dan evaluasi dengan menggunakan metode 6 dimensi menunjukkan


bahwa peraturan ini memiliki persoalan dimensi kejelasan rumusan.
Permasalah dalam dimensi kejelasan rumusan dapat di temukan dalam dasar
mengingat permenperin ini yaitu sbb:
a. PP Nomor 28 Tahun 2016 tentang perangkat daerah yang menjadi rujukan
Permenperin 17 Tahun 2018 tentang Pedoman Nomenklatur Perangkat Daerah
Provinsi dan Kabupaten/Kota yang Melaksanakan Urusan Pemerintahan di Bidang
Industri telah diubah terakhir melalui PP Nomor 72 Tahun 2019 tentang Perubahan
Atas PP Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah.
b. Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2015 tentang Kementerian Perindustrian telah
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun
2020 tentang Kementerian Perindustrian.
c. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 107/M-IND/PER/11/2015 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku
oleh Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 7 Tahun 2021 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kementerian Perindustrian.

64
Dalam Lampiran III Permenperin ini Dinas Perindustrian Tingkat Provinsi serta
Kabupaten/kota mempunyai tusi perumusan, pelaksanaan regulasi daerah. Indonesia
mempunyai banyak regulasi/perjanjian internasional baik secara bilateral maupun
multilateral. Indonesia juga bagian dari WTO dimana tindakan Pemerintah daerah dapat
menjadi dasar untuk pengajuan sengketa. Maka dari itu koordinasi khususnya dalam
pembuatan regulasi dari seluruh K/L/Badan termasuk Pemerintah Daerah perlu senantiasa
ditingkatkan. Melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta kerja
memberikan banyak kewenangan kepada Pemerintah Pusat untuk mendukung kondisi
yang usaha yang semakin kondusif dan memberi kepastian hukum.

17. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 41/M-IND/PER/12/2017 tentang Lembaga


Sertifikasi Industri Hijau

Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 41/M-IND/PER/12/2017 tentang Lembaga


Sertifikasi Industri Hijau merupakan pelaksanaan ketentuan pasal 81 ayat (3) dan ayat (4)
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. Peraturan Menteri
Perindustrian Nomor 41/M-IND/PER/12/2017 tentang Lembaga Sertifikasi Industri Hijau
terdiri dari 8 (delapan) pasal

Hasil Analisis dan Evaluasi Hukum terhadap Peraturan Menteri Perindustrian Nomor
41/M-IND/PER/12/2017 tentang Lembaga Sertifikasi Industri Hijau

Hasil analisis dan evaluasi dengan menggunakan metode 6 dimensi menunjukkan


bahwa peraturan ini memiliki persoalan dimensi disharmoni pengaturan dan dimensi
kejelasan rumusan.
Permasalah dalam dimensi disharmoni pengaturan di temukan antara Peraturan
Menteri Perindustrian Nomor 41/M-IND/PER/12/2017 tentang Lembaga Sertifikasi Industri
Hijau dengan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 39 Tahun 2018 tentang Tata Cara
Sertifikasi Industri Hijau. Lembaga Sertifikasi Industri Hijau (LSIH) dalam melakukan
sertifikasi wajib mengacu pada tata cara sertifikasi industri hijau sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 39 Tahun 2018 tentang Tata Cara Sertifikasi
Industri Hijau.

65
Peraturan Menteri Perindustrian Nomor Peraturan Menteri Perindustrian Nomor
41/M-IND/PER/12/2017 tentang 39 Tahun 2018 tentang Tata Cara
Lembaga Sertifikasi Industri Hijau Sertifikasi Industri Hijau
Ketentuan Umum Angka 5 Pasal 16
Lembaga sertifikasi yang telah memenuhi Lembaga atau badan usaha berbadan
persyaratan SNI ISO 17065 tentang hukum yang sudah terakreditasi Komite
penilaian kesesuaian persyaratan lembaga Akreditasi Nasional untuk SNI ISO /IEC
sertifikasi produk, proses dan jasa, serta 17065 dapat ditetapkan sebagai LSIH
memenuhi persyaratan LSIH, dapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
melaksanakan Sertifikasi lndustri Hijau (2).
sesuai dengan ruang lingkup
penunjukannya.
Pasal 4 ayat (2) Pasal 23 ayat (2)
Laporan hasil kinerja Sertifikasi Industri Laporan hasil kinerja Sertifikasi Industri
Hijau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Hijau sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas: a. penerbitan, pengawasan, meliputi: a. penerbitan, pengawasan,
dan pencabutan Sertifikat Industri Hijau; pembekuan, dan pencabutan Sertifikat
lndustri Hijau;
Pasal 4 ayat (1) Pasal 23 ayat (1)
LSIH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 LSIH wajib melaporkan hasil kinerja
wajib melaporkan hasil kinerja Sertifikasi Sertifikasi lndustri Hijau kepada Menteri
Industri Hijau kepada Kepala BPPI secara melalui Kepala BPPI secara berkala setiap
berkala setiap tahun. tahun.

Dalam tabel diatas dapat dilihat disharmoni pengaturan yang terjadi antara Peraturan
Menteri Perindustrian Nomor 41/M-IND/PER/12/2017 tentang Lembaga Sertifikasi Industri
Hijau dengan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 39 tahun 2018 tentang Tata Cara
Sertifikasi Industri Hijau yaitu sbb:
1. Lembaga sertifikasi dalam Permenperin No 39 Tahun 2018 diperluas menjadi
lembaga atau badan usaha berbadan hukum (Pasal 16). Sedangkan dalam
Permenperin No 41 Tahun 2017 hanya lembaga sertifikasi saja (Ketentuan Umum
angka 5).

66
2. Kewajiban melaporkan hasil kinerja Sertifikasi Industri Hijau oleh LSIH dalam pasal
4 ayat (2) Permenperin No 41 Tahun 2017 pembekuan Sertifikat Industri Hijau
bukan merupakan materi yang wajib dilaporkan. Sementara Pasal 23 Permenperin
No 39 Tahun 2018 pembekuan Sertifikat wajib dilaporkan.
3. Laporan hasil kinerja sertifikasi industri hijau pada pasal 4 ayat (1) Permenperin No
41 Tahun 2017 ditujukan kepada Kepala BPPI sedangkan pasal 23 ayat (1)
Permenperin No 39 Tahun 2018 ditujukan kepada Menteri melalui kepada BPPI.
Permasalah dalam dimensi kejelasan rumusan di dalam peraturan Menteri ini dapat
terlihat dari beberapa temuan pokja yaitu:
1. Dalam ketentuan mengingat Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 41/M-
IND/PER/12/2017 tentang Lembaga Sertifikasi Industri Hijau terdapat Peraturan
Menteri Perindustrian No. 107/M-IND/PER/11/2015 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kementerian Perindustrian. Peraturan Menteri Perindustrian No. 107/M-
IND/PER/11/201 ini merujuk kepada Peraturan Presiden No. 29 Tahun 2015 tentang
Kementerian Perindustrian. Peraturan Presiden No. 29 Tahun 2015 tentang
Kementerian Perindustrian sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden
No. 69 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No. 29 Tahun 2015
tentang Kementerian Perindustrian saat ini telah dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku oleh Peraturan Presiden No. 107 tahun 2020 tentang Kementerian
Perindustrian.
2. Di dalam dasar hukum mengingat Peraturan Menteri ini terdapat 4 peraturan
perundang-undangan:
1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 4, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5492);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2015 tentang Rencana Induk
Pengembangan Industri Nasional Tahun 2015-2035 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 46. Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5671);
3. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 51/M-IND/ PER/6/2015 tentang
Pedoman Penyusunan Standar Industri Hijau (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 854);

67
4. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 107 /M-IND/PER/ 11/2015 tentang
Organisasi Kementerian Perindustrian (Berita Indonesia Tahun 2015 Nomor
1806);
Jika kita melihat di dalam sumber file dari permenperin ini yang diunduh melalui
jdihn kemenperin dan dilakukan pengecekan ulang di peraturan.go.id terdapat
salah penomoran dasar mengingat (typo). Penomoran dasar hukum mengingat di
dalam permerin ini setelah nomor 2 (dua) langsung melompat menuju nomor 4
(empat) seharusnya setelah angka 2 (dua) ialah angka 3 (tiga).
3. Di dalam pasal 4 ayat (1) berbunyi: “Lembaga Sertifikasi Industri Hijau (LSIH)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib melaporkan hasil kinerja Sertifikasi
Industri Hijau kepada Kepala BPPI secara berkala setiap tahun”. Substansi
Peraturan Presiden No. 107 Tahun 2020 tentang Kementerian Perindustrian
menyesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Salah satunya didalam struktur organisasi menghapus Badan Penelitian dan
Pengembangan Industri (BPPI) dan Staf Ahli Bidang Komunikasi serta menambah 3
unit kerja baru antara lain: Staf ahli bidang percepatan transformasi industri, Badan
standarisasi dan kebijakan jasa industri, Staf ahli bidang penguatan kemampuan
industri dalam negeri. Dengan dihapusnya BPPI perlu dilakukan penyesuaian
terhadap Permenperin ini.

18. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 35 Tahun 2019 tentang Penerbitan


Pertimbangan Teknis untuk Pengecualian dari Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia
untuk Produk Besi/Baja dan Kabel Secara Wajib

Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 35 Tahun 2019 Penerbitan Pertimbangan


Teknis untuk Pengecualian dari Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia untuk Produk
Besi/Baja dan Kabel Secara Wajib dibentuk dalam rangka untuk mempermudah
pelaksanaan pengecualian terhadap pemberlakuan Standar Nasional Indonesia untuk
produk besi/baja dan kabel secara wajib, perlu menghapus ketentuan mengenai
Pertimbangan Teknis bagi pelaku usaha yang merupakan pemilik Angka Pengenal Importir
Produsen.

68
Hasil Analisis dan Evaluasi Hukum terhadap Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 35
Tahun 2019 tentang Penerbitan Pertimbangan Teknis untuk Pengecualian dari
Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia untuk Produk Besi/Baja dan Kabel Secara
Wajib
Hasil analisis dan evaluasi dengan menggunakan metode 6 dimensi menunjukkan
bahwa peraturan ini memiliki persoalan dimensi kejelasan rumusan yang dapat terlihat dari
ketentuan mengingat permen ini yaitu Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2015 tentang
Kementerian Perindustrian sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor
69 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2015 tentang
Kementerian Perindustrian. Peraturan Presiden No. 29 Tahun 2015 tentang Kementerian
Perindustrian sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden No. 69 Tahun 2018
tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No. 29 Tahun 2015 tentang Kementerian
Perindustrian saat ini telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh Peraturan Presiden
No. 107 tahun 2020 tentang Kementerian Perindustrian.

19. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 45 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pemberian Izin
Usaha Kawasan Industri dan Izin Perluasan Kawasan Industri Dalam Kerangka Pelayanan
Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik

Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 45 Tahun 2019 tentang Tata Cara


Pemberian Izin Usaha Kawasan Industri dan Izin Perluasan Kawasan Industri Dalam
Kerangka Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik merupakan
pelaksanaan ketentuan Pasal 25 dan Pasal 30 Peraturan Pemerintah Nomor 142 Tahun
2015 tentang Kawasan Industri, serta ketentuan Pasal 88 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara
Elektronik.
Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 45 Tahun 2019 tentang Tata Cara
Pemberian Izin Usaha Kawasan Industri dan Izin Perluasan Kawasan Industri Dalam
Kerangka Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik terdiri dari 52 (lima
puluh dua) pasal yang terbagi dalam 11 (sebelas) bab yaitu:
a. Bab I Ketentuan Umum
b. Bab II Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik

69
c. Bab III Tata Cara Penerbitan lUKl dan IPKl
d. Bab IV Pengelolaan Kawasan Industri
e. Bab V Kewenangan Pemeriksaan Lapangan
f. Bab VI Kewajiban Perusahaan Kawasan Industri
g. Bab VII Pembinaan
h. Bab VIII Pengawasan
i. Bab IX Sanksi
j. Bab X Ketentuan Peralihan
k. Bab XI Ketentuan Penutup

Hasil Analisis dan Evaluasi Hukum terhadap Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 45
Tahun 2019 tentang Tata Cara Pemberian Izin Usaha Kawasan Industri dan Izin Perluasan
Kawasan Industri Dalam Kerangka Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara
Elektronik

Hasil analisis dan evaluasi dengan menggunakan metode 6 dimensi menunjukkan


bahwa peraturan ini memiliki persoalan terkait dimensi disharmoni pengaturan, kejelasan
rumusan dan efektifitas pelaksanaan peraturan perundang-undangan.
Permasalahan dalam dimensi disharmoni pengaturan di dalam Peraturan Menteri
ini terlihat dari Pasal 2 ayat (1) ini yang berbunyi: “Pasal 2 ayat (1) Pelayanan Perizinan
Berusaha dilakukan melalui sistem OSS berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang pelayanan OSS”. Di dalam Pasal 2 Permenperin ini mengatur bahwa
Pelayanan Perizinan Berusaha dilakukan melalui sistem OSS berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang pelayanan OSS. Peraturan perundang-undangan
di bidang pelayanan OSS yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang
Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik telah dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku oleh Pasal 565 Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Resiko.
Permasalahan dalam dimensi kejelasan rumusan dalam Permenperin ini dapat
terlihat dari adanya kesalahan tulisan (typo) mengenai bab. Dalam Peraturan Menteri ini
terdiri dari 11 (sebelas) bab, yakni BAB I Ketentuan Umum, BAB II Pelayanan Perizinan
Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik, BAB III Tata Cara Penerbitan lUKl dan IPKl, BAB IV

70
Pengelolaan Kawasan Industri, BAB V Kewenangan Pemeriksaan Lapangan, BAB VI
Kewajiban Perusahaan Kawasan Industri, BAB VII Pembinaan, BAB VIII Pengawasan, BAB IX
Sanksi, BAB X Ketentuan Peralihan, BAB XI Ketentuan Penutup. Jika dilihat seksama di
dalam batang tubuh Peraturan Menteri ini yang sumber filenya diakses melalui JDIH
Kemenperin terdapat bab yang penomorannya sama yaitu Bab X Sanksi dan BAB X
Ketentuan Peralihan.
Permasalahan dalam dimensi efektifitas pelaksanaan PUU terlihat dalam Bab II
Permenperin ini. Bab II berisikan tentang pengaturan pelayanan perizinan berusaha
terintegrasi secara elektronik sebagaimana diatur pada Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau
Online Single Submission (OSS) khusus sektor perindustrian. Dengan terbitnya peraturan
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yaitu Peraturan
Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis
Risiko, perubahan mendasar pada perizinan berusaha yaitu sebelumnya kegiatan berusaha
baik yang usaha mikro, kecil, menengah, dan besar seluruhnya dipersyaratkan perizinan
berusaha berbasis izin sekarang berubah menjadi berbasis risiko. Maka secara
implementatif dan hierarki peraturan perundang-undangan, maka Permenperin ini
dinyatakan tidak lagi berlaku karena pengaturan terkait sistem Perizinan Berusaha
terintegrasi secara elektronik telah diatur Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021
tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.

20. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 15 Tahun 2019 tentang Penerbitan Izin Usaha
Industri dan Izin Perluasan Dalam Kerangka Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi
Secara Elektronik.

Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 15 Tahun 2019 tentang Penerbitan Izin


Usaha Industri dan Izin Perluasan Dalam Kerangka Pelayanan Perizinan Berusaha
Berintegrasi Secara Elektronik merupakan pelaksanaan ketentuan dari Pasal 22 dan Pasal
29 Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun 2015 tentang Izin Usaha Industri serta Pasal
88 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan
Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik.

71
Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 15 Tahun 2019 tentang Penerbitan Izin
Usaha Industri dan Izin Perluasan Dalam Kerangka Pelayanan Perizinan Berusaha
Berintegrasi Secara Elektronik terdiri dari 40 (empat puluh) pasal yang terbagi di dalam 7
(tujuh) bab yaitu:
a. Bab I Ketentuan Umum
b. Bab II Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik
c. Bab III Penerbitan Izin Usaha Industri
d. Bab IV Penerbitan Izin Perluasan
e. Bab V Pengawasan
f. Bab VI Ketentuan Peralihan
g. Bab VII Ketentuan Penutup

Hasil Analisis dan Evaluasi Hukum terhadap Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 15
Tahun 2019 tentang Penerbitan Izin Usaha Industri dan Izin Perluasan Dalam Kerangka
Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik.

Hasil analisis dan evaluasi dengan menggunakan metode 6 dimensi menunjukkan


bahwa peraturan ini memiliki permasalahan di dalam dimensi disharmoni pengaturan dan
efektivitas pelaksanaan peraturan perundang-undangan.
Permasalahan terkait dimensi disharmoni pengaturan di dalam Peraturan Menteri
ini terlihat dari:
1. Pasal 2 ayat (1) Permenperin ini yang berbunyi: “Pelayanan penerbitan Perizinan
Berusaha dilakukan melalui laman OSS berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang pelayanan perizinan berusaha terintegrasi secara
elektronik”. Di dalam Pasal 2 ayat (1) Permenperin ini mengatur bahwa pelayanan
penerbitan Perizinan Berusaha dilakukan melalui sistem OSS berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pelayanan perizinan berusaha
terintegrasi secara elektronik. Peraturan perundang-undangan di bidang pelayanan
perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik yaitu Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara
Elektronik telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh Pasal 565 Peraturan

72
Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha
Berbasis Risiko.
2. Pasal 8 ayat (2) huruf a berbunyi:“(2) Perusahaan Industri sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dikecualikan dari kewajiban berlokasi di Kawasan Industri,
dengan ketentuan:
a. berlokasi di daerah Kabupaten/Kota yang:
1. belum memiliki Kawasan Industri; atau
2. telah memiliki Kawasan Industri tetapi seluruh kaveling Industri dalam
Kawasan Industrinya telah habis;”
Dengan lahirnya UU Cipta Kerja, terdapat penambahan ketentuan yang diatur, yakni
terkait Kawasan Ekonomi Khusus. Penambahan ketentuan tersebut diatur dalam
Pasal 44 angka 13 UU Cipta Kerja yaitu perubahan Pasal 106, yang pada ayat (2)
berbunyi:
“(2) Kewajiban berlokasi di Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikecualikan bagi Perusahaan Industri yang akan menjalankan Industri dan
berlokasi di daerah kabupaten/kota yang:
a. belum memiliki Kawasan Industri;
b. telah memiliki Kawasan Industri tetapi seluruh kaveling Industri dalam
Kawasan Industrinya telah habis; atau
c. terdapat Kawasan Ekonomi Khusus yang memiliki zona industri”.
Dengan penambahan ketentuan dari UU Cipta Kerja tersebut maka Pasal 8
Peraturan Menteri ini harus disesuaikan dengan yang ada di UU Cipta Kerja
tersebut.
Permasalahan dalam dimensi efektifitas pelaksanaan peraturan perundang-
undangan dalam Permenperin ini yaitu:
1. Bab II permenperin ini berisikan tentang pengaturan pelayanan perizinan berusaha
terintegrasi secara elektronik sebagaimana diatur pada Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara
Elektronik atau Online Single Submission (OSS) khusus sektor perindustrian. Dengan
terbitnya peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, perubahan mendasar pada

73
perizinan berusaha yaitu sebelumnya kegiatan berusaha baik yang usaha mikro,
kecil, menengah, dan besar seluruhnya dipersyaratkan perizinan berusaha berbasis
izin sekarang berubah menjadi berbasis risiko. Maka secara implementatif dan
hierarki peraturan perundang-undangan, maka Permen ini dinyatakan tidak lagi
berlaku karena pengaturan terkait sistem Perizinan Berusaha terintegrasi secara
elektronik telah diatur Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
2. Mekanisme pengawasan yang diatur dalam Permen ini sudah cukup detail
sebagaimana terdapat pada Pasal 32. Pengawasan dilakukan satu kali setiap
tahunnya dan jika ditemukan pelanggaran akan dilaporkan pada sistem OSS oleh
Direktur Jendral, Dinas Provinsi, maupun Dinas Kabupaten/Kota sesuai
kewenangannya. Akan tetapi tidak diatur ketentuan mengenai mekanisme
koordinasi untuk pengawasan perizinan. Ketentuan lain yang tidak diatur dalam
Permenperin ini adalah mekanisme fasilitasi perizinan seperti pelayanan informasi
dan tata cara memperoleh insentif.

21. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 37 Tahun 2006 tentang Pengembangan Jasa
Konsultasi Industri Kecil dan Menengah

Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 37 Tahun 2006 tentang Pengembangan


Jasa Konsultasi Industri Kecil dan Menengah terdiri dari 11 (sebelas) pasal. Di dalam
Peraturan Menteri yang mengatur mengenai jasa konsultasi industri kecil dan kecil dan
menengah ini membagi 2 (dua) jasa konsultasi bagi industri kecil menengah yaitu jasa
konsultasi diagnosis Industri Kecil dan Menengah (IKM) dan jasa konsultasi spesialis IKM.
Jasa konsultasi diagnosis IKM melakukan kegiatan analisis dan diagnosis menyeluruh pada
perusahaan IKM guna menemukan permasalahan yang dihadapi, sedangkan jasa konsultasi
spesialis IKM melakukan kegiatan analisis yang lebih mendalam terhadap aspek tertentu
guna melakukan perbaikan pada perusahaan IKM.

Hasil Analisis dan Evaluasi Hukum terhadap Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 37
Tahun 2006 tentang Pengembangan Jasa Konsultasi Industri Kecil dan Menengah

74
Peraturan Menteri termasuk salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang
diatur dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan. Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak hanya mengatur keberadaan
peraturan perundang-undangan atas dasar delegasi (peraturan yang diperintahkan oleh
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi), tetapi juga menegaskan adanya
peraturan perundang-undangan “yang dibentuk atas dasar kewenangan”. Istilah
“kewenangan” dalam ketentuan tersebut, tentu saja bukan kewenangan membentuk
peraturan melainkan kewenangan pada ranah lain. Misalnya, Menteri melaksanakan
kewenangan atas urusan pemerintahan tertentu yang merupakan kekuasaan Presiden.
Artinya, apabila Menteri membentuk Peraturan Menteri tanpa adanya “perintah dari
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”, Peraturan Menteri tersebut tetap
dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan. Padahal dalam doktrin tidak
dikenal jenis peraturan perundang-undangan demikian. Oleh karena itu Peraturan Menteri
Perindustrian Nomor 37 Tahun 2006 tentang Pengembangan Jasa Konsultasi Industri Kecil
dan Menengah ini sudah tepat dibentuk dalam jenis Peraturan Menteri yang dibentuk
berdasarkan kewenangan.

22. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 64/M- IND/PER/7 /2014 tentang Pengawasan
dan Pengendalian Usaha Industri Rokok
Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 64/M- IND/PER/7 /2014 Tentang Pengawasan dan
Pengendalian Usaha Industri Rokok terdiri dari 15 pasal yang terbagi didalam 6 (enam) bab
yaitu:
a. Bab I Ketentuan Umum
b. Bab II Klasifikasi Industri Rokok
c. Bab III Perizinan Industri
d. Bab IV Pembinaan dan Pengawasan
e. Bab V Pembiayaan
f. Bab VI Penutup

Hasil Analisis dan Evaluasi Hukum terhadap Peraturan Menteri Perindustrian Nomor
64/M- IND/PER/7 /2014 tentang Pengawasan dan Pengendalian Usaha Industri Rokok

75
Hasil analisis dan evaluasi dengan menggunakan metode 6 dimensi menunjukkan
bahwa peraturan ini memiliki permasalahan di dalam dimensi disharmoni pengaturan dan
kejelasan rumusan.
Permasalahan dalam dimensi disharmoni pengaturan dalam permenperin ini antara
lain sbb:
1. Dalam pasal 3 permenperin ini mengatur bahwa setiap perusahaan rokok yaitu
industri rokok kretek (KBLI 12011), industri rokok putih (KBLI 12012) dan industri
rokok lainnya (KBLI 12019) wajib memiliki izin usaha industri. Saat ini Didalam
paragraph 7 Undang-Undang Cipta kerja yang mengatur mengenai perindustrian
yaitu pasal 44, izin usaha industri telah dirubah nomenklaturnya menjadi perizinan
berusaha.
Undang-Undang 3 Tahun 2014 Undang-Undang Nomor 11 Tahun
tentang Perindustrian 2020 tentang Cipta Kerja
Pasal 101 Pasal 101
(1) Setiap kegiatan usaha Industri (1) Setiap kegiatan usaha Industri
wajib memiliki izin usaha Industri. wajib memenuhi Perizinan Berusaha
dari Pemerintah Pusat.

Saat ini dengan diundangnkannya Undang-Undang Cipta kerja nomenklatur izin


usaha industri telah dirubah menjadi perizinan berusaha.
2. Pasal 6 permenperin ini mengatur mengenai pemberian Izin Usaha Industri kecil dan
Izin Usaha Industri menengah sebagaimana dimaksud di dalam pasal 3, pasal 4 dan
pasal 5 permenperin ini. Ketentuan mengenai Izin usaha kecil, menengah dan besar
merupakan pengaturan di dalam pasal 101 ayat (5) Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2014 tentang Perindustrian yang saat ini Ketentuan tersebut telah di hapus di dalam
UU Cipta Kerja.

Undang-Undang 3 Tahun 2014 Undang-Undang Nomor 11 Tahun


tentang Perindustrian 2020 tentang Cipta Kerja
Pasal 101 Pasal 101 (Paragraf 7 Perindustrian)

76
1) Setiap kegiatan usaha Industri 1) Setiap kegiatan usaha Industri
wajib memiliki izin usaha Industri. wajib memenuhi Perizinan Berusaha
2) Kegiatan usaha Industri dari Pemerintah Pusat.
sebagaimana dimaksud pada ayat 2) Kegiatan usaha Industri
(1) meliputi: sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
a. Industri kecil; meliputi:
b. Industri menengah; dan a. Industri kecil;
c. Industri besar. b. Industri menengah; dan
3) Izin usaha Industri sebagaimana c. Industri besar.
dimaksud pada ayat (1) diberikan 3) Perusahaan Industri yang telah
oleh Menteri. memperoleh Perizinan Berusaha
4) Menteri dapat melimpahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Sebagian kewenangan pemberian wajib:
izin usaha Industri kepada a. melaksanakan kegiatan usaha
gubernur dan bupati/walikota. Industri sesuai dengan Perizinan
5) Izin usaha Industri sebagaimana Berusaha yang dimiliki; dan
dimaksud pada ayat (1) meliputi: b. menjamin keamanan dan
a. Izin Usaha Industri Kecil; keselamatan proses, hasil
b. Izin Usaha Industri Menengah; produksi, penyimpanan,
dan pengangkutan.
c. Izin Usaha Industri Besar.
6) Perusahaan Industri yang telah
memperoleh izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) wajib:
a. melaksanakan kegiatan usaha
Industri sesuai dengan izin
yang dimiliki; dan
b. menjamin keamanan dan
keselamatan alat, proses, hasil
produksi, penyimpanan, serta
pengangkutan.

77
Jika dilihat tabel diatas didalam pasal 101 ayat 5 Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2014 tentang Perindustrian terdapat izin usaha industri yang terbagi menjadi izin
usaha industri kecil, izin usaha industri menengah dan izin usaha industri besar. Saat
ini Pasal 101 ayat (5) ini telah di ubah dengan Undang-Undang Cipta Kerja dimana
setiap kegiatan usaha industri wajib memenuhi perizinan berusaha dari pemerintah
pusat dan tidak ada klasifikasi izin usaha industri kecil, izin usaha industri menengah
dan izin usaha industri besar di Undang-Undang Cipta Kerja.
Permasalahan dalam dimensi kejelasan rumusan dalam permenperin ini antara lain
sbb:
1. Didalam pasal 1 angka 8 : “Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan
oleh satu Pperusahaan Industri Rokok atau lebih untuk menggabungkan diri dengan
perusahaan industri rokok lain yang telah ada dan selanjutnya perusahaan industri
rokok yang menggabungkan diri menjadi berakhir”. Jika dicermati di dalam pasal 1
angka 8 permenperin ini terdapat salah penulisan (typo) terhadap kata
Pperusahaan yang seharusnya Perusahaan. Peraturan Menteri ini di peroleh dari
JDIH Kemenperin dan jika di lihat di web pengundangan Direktorat Jenderal
Peraturan Perundang-Undangan terhadap permenperin ini hasilnya pun sama
mengalami typo
2. Dalam pasal 2 berbunyi: Industri Rokok diklasifikasikan dalam:
a. Industri Rokok Kretek (KBLI 12011) atau perubahannya;
b. Industri Rokok Putih (KBLI 12012) atau perubahannya; dan
c. Industri Rokok lainnya (KBLI 12019) atau perubahannya.
Saat ini Badan Pusat Statistik telah menerbitkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha
2020. Saat ini telah terdapat 4 KBLI terhadap industri rokok yaitu:
a. Industri Sigaret Kretek Tangan (KBLI 12011)
b. Industri Rokok Putih (KBLI 12012)
c. Industri Sigaret Kretek Mesin (KBLI 12013)
d. Industri Rokok Lainnya (KBLI 12019)
Jika dilihat dari KBLI diatas dalam kaitannya dengan permenperin ini, KBLI 12011 di
KBLI 2020 telah berubah menjadi industri sigaret kretek tangan dimana dalam
permenperin ini KBLI 12011 ialah industri rokok kretek. Saat ini di KBLI 2020
terdapat pula KBLI 12013 yaitu industri sigaret kretek mesin yang perlu di

78
cantumkan juga dalam permenperin ini.

23. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 86/M-IND/PER/9/2009 tentang Standar


Nasional Indonesia Bidang Industri

Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 86/M-IND/PER/9/2009 tentang Standar


Nasional Indonesia Bidang Industri dibentuk dalam rangka mewujudkan persaingan usaha
yang sehat, perlindungan konsumen dan meningkatkan mutu dan daya saing industri dalam
negeri. Peraturan Menteri ini mengatur mengenai perumusan SNI, penerapan SNI,
pemberlakuan SNI secara wajib, penunjukan Lembaga Penilaian Kesesuaian, pembinaan
SNI dan pengawasan SNI bagi barang dan atau jasa di bidang industri dan mencabut
Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 19/M-IND/PER/5/2006 tentang Standardisasi,
Pembinaan dan Pengawasan Standar Nasional Indonesia Bidang lndustri.
Peraturan Menteri ini terdiri dari 38 pasal yang terbagi dalam 9 (Sembilan) bab yaitu
sbb:
a. Bab I Ketentuan Umum
b. Bab II Perumusan dan Penerapan SNI
c. Bab III Pemberlakuan SNI/Spesifikasi Teknis Secara Wajib
d. Bab IV Penunjukan Lembaga Kesesuaian (LPK)
e. Bab V Pembinaan SNI/Spesifikasi Teknis
f. Bab VI Pengawasan SNI/Spesifikasi Teknis
g. Bab VII Sanksi
h. Bab VIII Ketentuan Peralihan
i. Bab IX Ketentuan Penutup

Hasil Analisis dan Evaluasi Hukum terhadap Peraturan Menteri Perindustrian Nomor
86/M-IND/PER/9/2009 tentang Standar Nasional Indonesia Bidang Industri

Hasil analisis dan evaluasi dengan menggunakan metode 6 dimensi menunjukkan


bahwa peraturan ini memiliki permasalahan di dalam dimensi disharmoni pengaturan,
kejelasan rumusan dan efektifitas pelaksanaan PUU.
Permasalahan dalam dimensi disharmoni pengaturan di dalam permenperin ini
terlihat dari Pasal 1 angka 14: “Badan Standardisasi Nasional, yang selanjutnya disingkat

79
BSN adalah Badan yang membantu Presiden dalam menyelenggarakan pengembangan
dan pembinaan di bidang standardisasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Dalam pasal 1 angka 14 yang berbunyi "Badan Standardisasi Nasional, yang selanjutnya
disingkat BSN adalah Badan yang membantu Presiden dalam menyelenggarakan
pengembangan dan pembinaan di bidang strandardisasi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dan ketika dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian, maka terdapat perbedaan terkait
definisi BSN. BSN menurut UU Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian adalah lembaga
pemerintah nonkementerian yang bertugas dan bertanggungjawab di bidang Standardisasi
dan Penilaian Kesesuaian. Dari definisi tersebut, maka dapat dipahami adalah BSN tidak
hanya mengurus atau bertanggung jawab terkait Standardisasi, melainkan juga di bidang
Penilaian Kesesuaian. Mengingat peraturan Menteri ini memang lebih terbit lebih dahulu
pada tahun 2009 dibandingkan dengan Undang-Undang Standardisasi dan Penilaian
Kesesuaian yang terbit pada tahun 2014.
Permasalahan di dalam dimensi kejelasan rumusan di dalam permenperin ini
terlihat dari belum adanya definisi SNI secara sukarela. Di dalam pasal 1 angka 4 berbunyi
“Penerapan SNI adalah kegiatan Produsen atau Importir dalam menggunakan SNI secara
sukarela atau wajib”. Kemudian di Pasal 1 angka 6 mengatur terkait definisi Pemberlakuan
SNI secara wajib. Namun dalam pasal 1 tersebut tidak menyebutkan definisi terkait
Pemberlakuan SNI secara sukarela. Hal tersebut menjadi tidak runut ketika membaca BAB
ketentuan umum, karena SNI secara sukarela juga disinggung dalam pasal 3 dan pasal 26.
Permasalahan di dalam dimensi efektifitas pelaksanaan PUU dapat terlihat dari
Pasal 2 Permenperin ini:
1) Perumusan SNI, kaji ulang SNI dan revisi SNI di bidang industri dilakukan oleh Panitia
Teknis/Sub Panitia Teknis yang dikoordinasikan oleh BPPI.
2) Keanggotaan Panitia Teknis/Sub Panitia Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diusulkan oleh Kepala BPPI kepada Kepala BSN dengan mempertimbangkan
masukan Direktorat Jenderal Pembina lndustri.
3) Pelaksanaan kegiatan perumusan SNI, kaji ulang SNI dan revisi SNI sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), mengacu pada SSN, pedoman yang ditetapkan oleh BSN
dan perjanjian internasional bidang standardisasi yang telah diratifikasi
Pemerintah.

80
4) Kepala BPPI menyampaikan RSNI hasil perumusan SNI sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) untuk ditetapkan menjadi SNI kepada BSN.
Dalam pasal 2 yang mengatur terkait perumusan SNI ini melibatkan 3 unit, yaitu BPPI
(Badan Penelitian dan Pengembangan Industri) selaku koordinator standardisasi bidang
industri, Direktorat Jenderal Pembina Industri selaku pembina jenis-jenis industri dan BSN
(Badan Standardisasi Nasional) selaku lembaga yang bertugas dan bertanggung jawab di
bidang standardisasi dan penilaian kesesuaian. Namun ketika melihat Peraturan Presiden
Nomor 107 Tahun 2020 tentang Kementerian Perindustrian, pada bagian susunan
organisasi tidak terdapat BPPI dan Ditjen Pembina Industri. Dengan dihapusnya atau
berubah nomenklatur terkait BPPI dan Ditjen Pembina Industri di lingkungan Kementerian
Perindustrian, maka Kementerian Perindustrian harus segera melakukan perubahan terkait
peraturan menteri ini. Karena materi muatan yang terdapat dalam BAB II sampai BAB VIII
dalam peraturan menteri ini adalah mengatur hal teknis yang berkaitan dengan BPPI, Ditjen
Pembina Industri dan BSN.

24. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 64/M-IND/PER/7/2016 tentang Besaran Jumlah


Tenaga Kerja dan Nilai Investasi Untuk Klasifikasi Usaha Industri

Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 64/M-IND/PER/7/2016 Tentang Besaran


Jumlah Tenaga Kerja dan Nilai Investasi Untuk Klasifikasi Usaha Industri merupakan
pelaksanaan ketentuan dari pasal 102 ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014
tentang Perindustrian yang mengamanatkan Besaran jumlah tenaga kerja dan nilai
investasi untuk Industri kecil, Industri menengah, dan Industri besar ditetapkan oleh
Menteri. Peraturan Meneteri ini terdiri dari 7 (tujuh) pasal.

Hasil Analisis dan Evaluasi Hukum terhadap Peraturan Menteri Perindustrian Nomor
64/M-IND/PER/7/2016 tentang Besaran Jumlah Tenaga Kerja dan Nilai Investasi Untuk
Klasifikasi Usaha Industri

Hasil analisis dan evaluasi dengan menggunakan metode 6 dimensi menunjukkan


bahwa peraturan ini memiliki permasalahan di dalam dimensi disharmoni pengaturan dan
efektifitas pelaksanaan PUU.

81
Permasalahan di dalam dimensi disharmoni pengaturan di dalam permenperin ini
terlihat dari pasal 6: “Izin Usaha Industri bagi Industri Kecil, Industri Menengah, dan Industri
Besar diberikan oleh Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan
kewenangannya masing-masing”. Dalam pasal 6 Peraturan Menteri ini diatur bahwa Izin
Usaha Industri bagi Industri Kecil, Industri, Menengah, dan Industri Besar diberikan oleh
Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
Dengan munculnya UU Cipta Kerja, ternyata mengatur hal yang berbeda. Disebutkan dalam
pasal 101 ayat 1 paragraf 7 terkait Perindustrian bahwa “Setiap kegiatan usaha Industri
wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat”. Dan pasal di UU Cipta Kerja
tersebut diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Bidang Perindustrian, yang dalam hal ini selaku peraturan turunan dari
UU Cipta Kerja dibidang Perindustrian Pasal 143 ayat (1) dan (2) berbunyi:
1) Setiap kegiatan usaha Industri dan kegiatan usaha Kawasan Industri wajib
memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
2) Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Industri dan Perizinan Berusaha untuk
kegiatan usaha Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
oleh Menteri.
Dengan adanya aturan tersebut maka izin usaha yang diatur dalam Pasal 6 Permenperin ini
hanya diberikan oleh Menteri saja, tidak untuk Gubernur dan Walikota. Dengan kata lain
kewenangan Gubernur dan Walikota ini dihapus dalam memberikan perizinan berusaha
untuk kegiatan usaha industri dan kegiatan usaha kawasan industri.
Permasalahan di dalam dimensi efektifitas pelaksanaan PUU di dalam permenperin
ini terlihat dari Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5. Ketentuan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 dan
Pasal 5 didalam permenperin ini mengatur mengenai kriteria industri kecil, menengah dan
besar yang ditetapkan berdasarkan jumlah tenaga kerja dan/atau nilai investasi.
Permenperin ini merupakan pelaksanaan dari ketentuan pasal 102 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. Ketentuan 102 UU Perindustrian mengenai
kriteria industri kecil, menengah dan besar yang ditetapkan berdasarkan jumlah tenaga
kerja dan/atau nilai investasi saat ini telah dihapus di dalam Undang-Undang Cipta Kerja.

82
25. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 30 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 15 Tahun 2019 tentang Penerbitan Izin Usaha
Industri dan Izin Perluasan Dalam Kerangka Pelayanan Berizinan Berusaha Terintegrasi
Secara Elektronik

Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 30 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas


Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Penerbitan Izin Usaha
Industri dan Izin Perluasan Dalam Kerangka Pelayanan Berizinan Berusaha Terintegrasi
Secara Elektronik dibentuk dalam rangka memberikan kelancaran kemudahan perizinan
berusaha dalam penerbitan izin usaha industri dengan cara melakukan penyederhanaan
prosedur penerbitan perizinan berusaha.

Hasil Analisis dan Evaluasi Hukum terhadap Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 30
Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 15 Tahun
2019 tentang Penerbitan Izin Usaha Industri dan Izin Perluasan Dalam Kerangka
Pelayanan Berizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik.

Hasil analisis dan evaluasi dengan menggunakan metode 6 dimensi menunjukkan


bahwa peraturan ini memiliki permasalahan di dalam kejelasan rumusan yaitu sbb:
• Didalam pasal 13, pasal 23, pasal 25 dan pasal 36 permenperin ini terdapat frasa
Izin Usaha Industri (IUI). Saat ini istilah Izin Usaha Industri setelah berlakunya
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 memakai istilah “Perizinan Berusaha” untuk
menyebut Izin Usaha Industri serta semua nama-nama perizinan berusaha di bidang
industri. Demikian pula yang diatur oleh PUU turunan UU Cipta Kerja yaitu
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang
Perindustrian dan Peraturan Pemerintah 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaran
Perizinan Usaha Berbasis Resiko menggunakan istilah Perizinan Berusaha.
• Pasal 20 angka 1 huruf c berbunyi: “Perusahaan Industri yang bersangkutan telah
memiliki Izin Lokasi dan Izin Lingkungan yang berlaku efektif sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan”. Saat ini istilah Izin lingkungan setelah berlakunya
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 telah dirubah menggunakan istilah

83
“persetujuan lingkungan”. Demikian pula yang diatur oleh PUU turunan UU Cipta
Kerja yaitu Peraturan Pemerintah 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaran Perizinan
Usaha Berbasis Resiko dan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

D. Dampak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) disahkan
pada tanggal 5 Oktober 2020. Secara umum, Undang-Undang ini bertujuan untuk
menciptakan dan meningkatkan lapangan kerja dengan memberikan kemudahan,
perlindungan, dan pemberdayaan terhadap koperasi, UMK-M, dan industri dan
perdagangan nasional; meningkatkan ekosistem investasi, kemudahan dan percepatan
proyek strategis nasional; serta melakukan penyesuaian pengaturan yang diperlukan untuk
mendukung tujuan-tujuan tersebut. UU ini melakukan perubahan terhadap 79 Undang-
Undang, termasuk Undang-Undang Perindustrian.

Tabel 1 Pemetaan Perubahan UU Perindustrian

UU Perindustrian
Ketentuan yang mengubah Pasal 44 UU Cipta Kerja
Pasal-pasal yang diubah Pasal 15, Pasal 50, Pasal 53, Pasal 57, Pasal 59,
Pasal 84, Pasal 101, Pasal 104, Pasal 105,
Pasal 106, Pasal 108, Pasal 115, Pasal 117
Jumlah pasal diubah 13
Jumlah pasal ditambahkan 2 (Pasal 48A dan Pasal 105A)
Jumlah pasal dicabut 1 (Pasal 102)

Tabel 2 Perbandingan Bunyi Pasal yang Diubah Pada UU Perindustrian dan UU Cipta Kerja

Undang – Undang Nomor 3 Tahun 2014 Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Perindustrian tentang Cipta Kerja

Pasal 15 Pasal 15

Pembangunan sumber daya Industri meliputi: Pembangunan sumber daya Industri meliputi:
a. pembangunan sumber daya manusia; a. pembangunan sumber daya manusia;
b. pemanfaatan sumber daya alam; b. pemanfaatan sumber daya alam;

84
Undang – Undang Nomor 3 Tahun 2014 Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Perindustrian tentang Cipta Kerja

c. pengembangan dan pemanfaatan Teknologi c. pengembangan dan pemanfaatan


Industri; Teknologi Industri;
d. pengembangan dan pemanfaatan kreativitas d. pengembangan dan pemanfaatan
dan inovasi; dan kreativitas dan inovasi
e. penyediaan sumber pembiayaan. e. penyediaan sumber pembiayaan; dan
f. penyediaan bahan baku dan/ atau bahan
penolong bagi industri.
Diantara 48-49 disisipkan Pasal 48 a
(1) Untuk menjaga kelangsungan proses
produksi dan/atau pengembangan
industri, Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya memberikan kemudahan
untuk mendapatkan bahan baku dan/
atau bahan penolong sesuai dengan
rencana kebutuhan industri.
(2) Kemudahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) termasuk kemudahan dalam
mengimpor bahan baku dan/ atau bahan
penolong untuk industri sesuai dengan
rencana kebutuhan industri.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
kemudahan untuk mendapatkan bahan
baku dan/ atau bahan penolong diatur
dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 50 Pasal 50
(1) Menteri melakukan perencanaan, (1) Pemerintah Pusat melakukan
pembinaan, pengembangan, dan perencanaan, pembinaan,
pengawasan Standardisasi Industri. pengembangan, dan pengawasan
Standardisasi Industri.
Pasal 53 Pasal 53
(2) Menteri dapat menetapkan pengecualian (2) Pemerintah Pusat dapat menetapkan
atas SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pengecualian atas SNI, spesifikasi teknis,
pedoman tata cara yang diberlakukan dan/atau pedoman tata cara yang
secara wajib sebagaimana dimaksud pada diberlakukan secara wajib sebagaimana
ayat (1) huruf b untuk impor barang dimaksud pada ayat (1) huruf b untuk
tertentu. impor barang tertentu.

Pasal 57 Pasal 57
(3) Penilaian kesesuaian SNI, spesifikasi teknis, (3) Penilaian kesesuaian SNI, spesifikasi teknis,
dan/atau pedoman tata cara yang dan/atau pedoman tata cara yang
diberlakukan secara wajib sebagaimana diberlakukan secara wajib sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
lembaga penilaian kesesuaian yang telah lembaga penilaian kesesuaian yang telah
terakreditasi dan ditunjuk oleh Menteri. terakreditasi dan ditunjuk oleh
(4) Pembinaan dan pengawasan terhadap Pemerintah Pusat.
lembaga penilaian kesesuaian sebagaimana

85
Undang – Undang Nomor 3 Tahun 2014 Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Perindustrian tentang Cipta Kerja

dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai
Menteri. pembinaan dan pengawasan terhadap
lembaga penilaian kesesuaian diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

Pasal 59 Pasal 59
Menteri mengawasi pelaksanaan seluruh (1) Pemerintah Pusat mengawasi
rangkaian penerapan SNI sebagaimana pelaksanaan seluruh rangkaian penerapan
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) dan ayat (3) SNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal
dan pemberlakuan SNI, spesifikasi teknis, 51 ayat (2) dan ayat (3) dan pemberlakuan
dan/atau pedoman tata cara secara wajib SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52. tata cara secara wajib sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52.
(2) Dalam melaksanakan kewenangan
pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Pemerintah Pusat dapat
menunjuk lembaga terakreditasi.

Pasal 84 Pasal 84
(3) Penguasaan Industri Strategis oleh negara (3) Penguasaan Industri Strategis oleh negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui: dilakukan melalui:
a. pengaturan kepemilikan; a. pengaturan kepemilikan;
b. penetapan kebijakan; b. penetapan kebijakan;
c. pengaturan perizinan; c. pengaturan Perizinan Berusaha;
d. pengaturan produksi, distribusi, dan d. pengaturan produksi, distribusi, dan
harga; dan harga; dan
e. pengawasan. e. pengawasan.

(4) Pengaturan kepemilikan Industri Strategis (4) Pengaturan kepemilikan Industri Strategis
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
a dilakukan melalui: huruf a dilakukan melalui:
a. penyertaan modal seluruhnya oleh a. penyertaan modal seluruhnya oleh
Pemerintah; Pemerintah Pusat;
b. pembentukan usaha patungan antara b. pembentukan usaha patungan
Pemerintah dan swasta; atau antara Pemerintah Pusat dan
c. pembatasan kepemilikan oleh penanam swasta; atau
modal asing. c. pembatasan kepemilikan oleh
penanam modal asing sesuai
dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 101 Pasal 101


(1) Setiap kegiatan usaha Industri wajib (1) Setiap kegiatan usaha
memiliki izin usaha Industri. Industri wajib memenuhi Perizinan
(2) Kegiatan usaha Industri sebagaimana Berusaha dari Pemerintah Pusat.
dimaksud pada ayat (1) meliputi: (2) Kegiatan usaha Industri sebagaimana
a. Industri kecil; dimaksud pada ayat (1) meliputi:

86
Undang – Undang Nomor 3 Tahun 2014 Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Perindustrian tentang Cipta Kerja

b. Industri menengah; dan a. Industri kecil;


c. Industri besar. b. Industri menengah; dan
(3) Izin usaha Industri sebagaimana dimaksud c. Industri besar.
pada ayat (1) diberikan oleh Menteri. (3) Perusahaan Industri yang telah
(4) Menteri dapat melimpahkan Sebagian memperoleh Perizinan Berusaha
kewenangan pemberian izin usaha Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kepada gubernur dan bupati/walikota. wajib:
(5) Izin usaha Industri sebagaimana dimaksud a. melaksanakan kegiatan usaha
pada ayat (1) meliputi: Industri sesuai dengan Perizinan
a. Izin Usaha Industri Kecil; Berusaha yang dimiliki; dan
b. Izin Usaha Industri Menengah; dan b. menjamin keamanan dan
c. Izin Usaha Industri Besar. keselamatan alat, proses, hasil
(6) Perusahaan Industri yang telah memperoleh produksi, penyimpanan serta
izin sebagaimana dimaksud pada ayat (5) pengangkutan.
wajib:
a. melaksanakan kegiatan usaha Industri
sesuai dengan izin yang dimiliki; dan
b. menjamin keamanan dan keselamatan
alat, proses, hasil produksi,
penyimpanan, serta pengangkutan.

Pasal 102 Dihapus


(1) Industri kecil sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 101 ayat (2) huruf a ditetapkan
berdasarkan jumlah tenaga kerja dan nilai
investasi tidak termasuk tanah dan
bangunan tempat usaha.
(2) Industri menengah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 101 ayat (2) huruf b ditetapkan
berdasarkan jumlah tenaga kerja dan/atau
nilai investasi.
(3) Industri besar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 101 ayat (2) huruf c ditetapkan
berdasarkan jumlah tenaga kerja dan/atau
nilai investasi.
(4) Besaran jumlah tenaga kerja dan nilai
investasi untuk Industri kecil, Industri
menengah, dan Industri besar ditetapkan
oleh Menteri.

Pasal 104 Pasal 104


(1) Setiap Perusahaan Industri yang memiliki Setiap Perusahaan Industri yang memenuhi
izin usaha Industri sebagaimana dimaksud Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 101 ayat (6) dapat melakukan dalam Pasal 101 ayat (3) dapat melakukan
perluasan. perluasan sesuai dengan ketentuan peraturan
(2) Perusahaan Industri yang melakukan perundang-undangan.
perluasan dengan menggunakan sumber
daya alam yang diwajibkan memiliki

87
Undang – Undang Nomor 3 Tahun 2014 Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Perindustrian tentang Cipta Kerja

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan


wajib memiliki izin perluasan.

Pasal 105 Pasal 105


(1) Setiap kegiatan usaha Kawasan Industri (1) Setiap kegiatan usaha Kawasan lndustri
wajib memiliki izin usaha Kawasan Industri. wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari
(2) Izin usaha Kawasan Industri sebagaimana Pemerintah Pusat.
dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh (2) Perusahaan Kawasan lndustri wajib
Menteri. memenuhi standar Kawasan Industri
(3) Menteri dapat melimpahkan Sebagian yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
kewenangan pemberian izin usaha (3) Setiap Perusahaan Kawasan Industri yang
Kawasan Industri kepada gubernur dan melakukan perluasan wajib memiliki
bupati/walikota. Perizinan Berusaha dari Pemerintah
(4) Perusahaan Kawasan Industri wajib Pusat.
memenuhi standar Kawasan Industri yang
ditetapkan oleh Menteri.
(5) Setiap Perusahaan Kawasan Industri yang
melakukan perluasan wajib memiliki izin
perluasan Kawasan Industri.

Disisipkan Pasal 105 a


Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha
Kawasan Industri yang berada di kawasan
ekonomi khusus dilakukan sesuai dengan
norma, standar, prosedur, dan kriteria di
bidang kawasan ekonomi khusus yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

Pasal 106 Pasal 106


(2) Kewajiban berlokasi di Kawasan Industri (2) Kewajiban berlokasi di Kawasan lndustri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikecualikan bagi Perusahaan Industri yang dikecualikan bagi Perusahaan Industri yang
akan menjalankan Industri dan berlokasi di akan menjalankan Industri dan berlokasi di
daerah kabupaten/kota yang: daerah kabupaten/kota yang:
a. belum memiliki Kawasan Industri; a. belum memiliki Kawasan Industri;
b. telah memiliki Kawasan Industri tetapi b. telah memiliki Kawasan Industri tetapi
seluruh kaveling Industri dalam Kawasan seluruh kaveling Industri dalam
Industrinya telah habis; Kawasan Industrinya telah habis; atau
(5) Industri sebagaimana dimaksud pada ayat c. terdapat Kawasan Ekonomi Khusus
(3) ditetapkan oleh Menteri. yang memiliki zona industri.
(5) Industri sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

Pasal 108 Pasal 108


Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan
izin usaha Industri sebagaimana dimaksud Berusaha sebagaimana dimaksud dalam
dalam Pasal 101, izin perluasan sebagaimana Pasal 101, Pasal 104, Pasal 105 dan
dimaksud dalam Pasal 104, izin usaha Kawasan kewajiban berlokasi di Kawasan Industri
Industri sebagaimana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 serta

88
Undang – Undang Nomor 3 Tahun 2014 Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Perindustrian tentang Cipta Kerja

dimaksud dalam Pasal 105 dan kewajiban tata cara pengenaan sanksi administratif dan
berlokasi di Kawasan Industri sebagaimana besaran denda administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 106 serta tata cara dimaksud dalam Pasal 107 diatur dalam
pengenaan sanksi administratif dan besaran Peraturan Pemerintah.
denda administratif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 107 diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

Pasal 115 Pasal 115


(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai peran (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai peran
serta masyarakat dalam pembangunan serta masyarakat dalam pembangunan
Industri sebagaimana dimaksud pada ayat Industri sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Menteri. (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 117 Pasal 117


(1) Menteri melaksanakan pengawasan dan (1) Pemerintah Pusat melaksanakan
pengendalian terhadap kegiatan usaha pengawasan dan pengendalian terhadap
Industri dan kegiatan usaha Kawasan kegiatan usaha Industri dan kegiatan usaha
Industri. Kawasan Industri.
(3) Pemenuhan dan kepatuhan terhadap (3) Pemenuhan dan kepatuhan terhadap
peraturan di bidang Perindustrian yang peraturan di bidang Perindustrian yang
dilaksanakan oleh Perusahaan Industri dan dilaksanakan oleh Perusahaan Industri dan
Perusahaan Kawasan Industri sebagaimana Perusahaan Kawasan Industri
dimaksud pada ayat (2) paling sedikit sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
meliputi: paling sedikit meliputi:
a. sumber daya manusia Industri; a. sumber daya manusia lndustri;
b. pemanfaatan sumber daya alam; b. pemanfaatan sumber daya alam;
c. manajemen energi; c. manajemen energi;
d. manajemen air; d. manajemen air;
e. SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman e. SNI, spesifikasi teknis, dan/ atau
tata cara; pedoman tata cara;
f. Data Industri dan Data Kawasan Industri; f. Data Industri dan Data Kawasan
g. standar Industri Hijau; Industri;
h. standar Kawasan Industri; g. standar Industri Hijau;
i. perizinan Industri dan perizinan Kawasan h. standar Kawasan Industri;
Industri; dan i. Perizinan Berusaha untuk kegiatan
j. keamanan dan keselamatan alat, proses, usaha Industri dan Perizinan Berusaha
hasil produksi, penyimpanan, dan untuk kegiatan usaha Kawasan
pengangkutan. Industri; dan
(4) Pelaksanaan pengawasan dan j. keamanan dan keselamatan alat, proses,
pengendalian sebagaimana dimaksud pada hasil produksi, penyimpanan, dan
ayat (1) dilakukan oleh pejabat dari unit pengangkutan.
kerja di bawah Menteri dan/atau lembaga (4) Dalam pelaksanaan pengawasan dan
terakreditasi yang ditunjuk oleh Menteri. pengendalian sebagaimana dimaksud
(5) Pemerintah, Pemerintah Daerah provinsi, pada ayat (1), Pemerintah Pusat dapat
dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota menunjuk lembaga terakreditasi.
secara bersama-sama atau sesuai dengan (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
kewenangan masing-masing melaksanakan pengawasan dan pengendalian usaha

89
Undang – Undang Nomor 3 Tahun 2014 Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Perindustrian tentang Cipta Kerja

pengawasan dan pengendalian sesuai Industri dan usaha Kawasan Industri diatur
dengan ketentuan peraturan dalam Peraturan Pemerintah.
perundangundangan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengawasan dan pengendalian usaha
Industri dan usaha Kawasan Industri diatur
dengan Peraturan Menteri.

Tabel 3 Peraturan Pelaksana UU Perindustrian yang Terdampak UU Cipta Kerja

No Pasal yang diubah Isu Peraturan Pelaksana Terdampak


1 15 Pembangunan Sumber 1. Peraturan Pemerintah Nomor 14
Daya Industri Tahun 2015 Tentang Rencana Induk
Pembangunan Industri Nasional
2015-2035
2. Peraturan Pemerintah Nomor 41
Tahun 2015 Tentang Pembangunan
Sumber Daya Industri

2 48a Bahan Baku dan Bahan 1. Peraturan Menteri Perindustrian


Penolong Nomor 20 Tahun 2019 Tentang Tata
Cara Penerbitan Rekomendasi
Ekspor Dan Rekomendasi Impor
Bahan Bakar Lain Sebagai Bahan
Baku Dan Bahan Penolong Industri

3 84 Industri Strategis 1. Peraturan Pemerintah Nomor 17


Tahun 1986 tentang Kewenangan
Pengaturan, Pembinaan dan
Pengembangan Industri

4 101 Perizinan 1. Peraturan Pemerintah Nomor 107


Tahun 2015 tentang Izin Usaha
Industri
2. Peraturan Menteri Perindustrian
Nomor 15 Tahun 2019 tentang
Penerbitan Izin Usaha Industri dan
Izin Perluasan Dalam Kerangka
Pelayanan Perizinan Berusaha
Berintegrasi Secara Elektronik.
3. Peraturan Menteri Perindustrian
Nomor 45 Tahun 2019 tentang Tata
Cara Pemberian Izin Usaha Kawasan
Industri dan Izin Perluasan Kawasan
Industri Dalam Kerangka Pelayanan

90
No Pasal yang diubah Isu Peraturan Pelaksana Terdampak
Perizinan Berusaha Berintegrasi
Secara Elektronik
4. Peraturan Menteri Perindustrian
Nomor 30 Tahun 2019 tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri
Perindustrian Nomor 15 Tahun 2019
tentang Penerbitan Izin Usaha
Industri dan Izin Perluasan Dalam
Kerangka Pelayanan Berizinan
Berusaha Terintegrasi Secara
Elektronik
5. Peraturan Menteri Perindustrian
Nomor 64/M- IND/PER/7 /2014
Tentang Pengawasan Dan
Pengendalian Usaha Industri Rokok

5 102 Klasifikasi Industri 1. Peraturan Menteri Perindustrian


Kecil, Menengah dan Nomor 64/M-IND/PER/7/2016
Besar Tentang Besaran Jumlah Tenaga
Kerja dan Nilai Investasi Untuk
Klasifikasi Usaha Industri

6 115 Peran Serta 1. Peraturan Menteri Perindustrian


Masyarakat Nomor 4 Tahun 2018 Tentang Tata
Cara Pengawasan Pemberlakukan
Standardisasi Industri Secara Wajib
2. Peraturan Menteri Perindustrian
Nomor 38 Tahun 2018 tentang Akun
Sistem Informasi Industri Nasional

91
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan evaluasi yang dilakukan, maka disimpulkan sebagai berikut:

1. Berdasarkan hasil analisis dan evaluasi hukum yang dilakukan terhadap 25 (dua puluh
lima) peraturan perundang-undangan terkait perindustrianyang telah dipilih, maka
maka disimpulkan adanya 71 permasalahan peraturan perundang-undangan, yakni
dimensi Pancasila (1 temuan), dimensi ketepatan jenis puu (1 temuan), dimensi
disharmoni pengaturan (13 temuan), dimensi kejelasan rumusan (36 temuan), serta
permasalahan efektivitas pelaksanaan peraturan perundang-undangan (20 temuan).
2. Beberapa ketentuan di dalam Peraturan Perundang-Undangan yang menjadi objek
analisis dan evaluasi hukum ditemukan bertentangan pengaturannya dengan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan/atau Peraturan Pemerintah
Nomor 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaran Bidang Perindustrian yaitu sebagai
berikut:
a. Industri Strategis di Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1986 tentang
Kewenangan Pengaturan, Pembinaan dan Pengembangan Industri
b. Koordinasi Pengawasan dipasar Permenperin No 4 Tahun 2018 Tentang Tata
Cara Pengawasan Pemberlakukan Standardisasi Industri Secara Wajib
c. Pelaporan dari masyarakat dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 4
Tahun 2018 Tentang Tata Cara Pengawasan Pemberlakukan Standardisasi
Industri Secara Wajib
d. Koordinasi Penyidikan dengan Polri dalam Peraturan Menteri Perindustrian
Nomor 4 Tahun 2018 Tentang Tata Cara Pengawasan Pemberlakukan
Standardisasi Industri Secara Wajib
e. Importir bahan bakar lain di Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 20 Tahun
2019 Tentang Tata Cara Penerbitan Rekomendasi Ekspor Dan Rekomendasi
Impor Bahan Bakar Lain Sebagai Bahan Baku Dan Bahan Penolong Industri
f. Izin Usaha Kawasan Industri di Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 45
Tahun 2019 tentang Tata Cara Pemberian Izin Usaha Kawasan Industri dan Izin

92
Perluasan Kawasan Industri Dalam Kerangka Pelayanan Perizinan Berusaha
Berintegrasi Secara Elektronik
g. Izin Usaha Industri dan Izin Perluasan di Peraturan Menteri Perindustrian
Nomor 15 Tahun 2019 tentang Penerbitan Izin Usaha Industri dan Izin
Perluasan Dalam Kerangka Pelayanan Perizinan Berusaha Berintegrasi Secara
Elektronik.
h. Ruang Lingkup Pembangunan Sumber Daya Industri dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 41 Tahun 2015 Tentang Pembangunan Sumber Daya
Industri
i. Ruang Lingkup Pembangunan Sumber Daya Industri dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 14 Tahun 2015 Tentang Rencana Induk Pembangunan
Industri Nasional 2015-2035
j. Pemberian izin usaha kecil, menengah di dalam Peraturan Menteri
Perindustrian Nomor 64/M- IND/PER/7 /2014 Tentang Pengawasan Dan
Pengendalian Usaha Industri Rokok
3. Terdapat beberapa Perbedaan definisi antar peraturan perundang-undangan
a. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2018 Tentang Pemberdayaan
Industri dan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 4 Tahun 2018 Tentang
Tata Cara Pengawasan Pemberlakukan Standardisasi Industri Secara Wajib
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian dan
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan
Bidang Perindustrian mengenai definisi SNI
b. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2018 Tentang Pemberdayaan
Industri dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Bidang Perindustrian mengenai definisi Pelaku Usaha
4. Masih terdapat banyaknya salah penulisan (typo) di dalam peraturan perundang-
undangan terkait perindustrian:
a. Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2015 Tentang
Pembangunan Sumber Daya Industri
b. Dilompatinya penulisan Bab IV dalam Peraturan Menteri Perindustrian
Nomor 38 Tahun 2018 tentang Akun Sistem Informasi Industri Nasional

93
c. Dilompatinya penulisan Bab III dalam Peraturan Menteri Perindustrian
Nomor 20 Tahun 2019 Tentang Tata Cara Penerbitan Rekomendasi Ekspor
Dan Rekomendasi Impor Bahan Bakar Lain Sebagai Bahan Baku Dan Bahan
Penolong Industri
d. Typo Penulisan angka dasar mengingat dari angka 2 langsung menuju angka
4 melewati angka 3 di Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 41/M-
IND/PER/12/2017 tentang Lembaga Sertifikasi Industri Hijau
e. Typo bab yang sama yaitu Bab X Sanksi dan BAB X Ketentuan Peralihan di
Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 45 Tahun 2019 tentang Tata Cara
Pemberian Izin Usaha Kawasan Industri dan Izin Perluasan Kawasan Industri
Dalam Kerangka Pelayanan Perizinan Berusaha Berintegrasi Secara
Elektronik
f. Typo terhadap kata Pperusahaan yang seharusnya Perusahaan di dalam
pasal 1 angka 8 Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 64/M- IND/PER/7
/2014 Tentang Pengawasan Dan Pengendalian Usaha Industri Rokok

B. Rekomendasi

Berdasarkan hasil analisis dan evaluasi hukum yang dilakukan, rekomendasi yang
dihasilkan adalah:
1. Undang – Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian di rekomendasikan
untuk diubah terutama terkait definisi industri
2. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1986 tentang Kewenangan Pengaturan,
Pembinaan dan Pengembangan Industri beberapa pasal di rekomendasikan untuk
diubah
3. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2018 Tentang Pemberdayaan Industri
beberapa pasal di rekomendasikan untuk diubah
4. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor
Komoditas Perikanan Dan Komoditas Pergaraman Sebagai Bahan Baku dan Bahan
Penolong beberapa pasal di rekomendasikan untuk diubah
5. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pembangunan Sarana dan
Prasarana Industri beberapa pasal di rekomendasikan untuk diubah

94
6. Peraturan Pemerintah Nomor 142 Tahun 2015 tentang Kawasan Industri beberapa
pasal di rekomendasikan untuk diubah
7. Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun 2015 tentang Izin Usaha Industri beberapa
pasal di rekomendasikan untuk diubah
8. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2015 Tentang Pembangunan Sumber Daya
Industri beberapa pasal di rekomendasikan untuk diubah
9. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2015 Tentang Rencana Induk
Pembangunan Industri Nasional 2015-2035 beberapa ketentuan di rekomendasikan
untuk diubah khususnya lampiran III
10. Peraturan Presiden Nomor 118 Tahun 2020 tentang Pengadaan Teknologi Industri
Melalu Proyek Putar Kunci di rekomendasikan tetap
11. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 4 Tahun 2018 Tentang Tata Cara
Pengawasan Pemberlakukan Standardisasi Industri Secara Wajib beberapa pasal di
rekomendasikan untuk diubah
12. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 38 Tahun 2018 tentang Akun Sistem
Informasi Industri Nasional beberapa pasal di rekomendasikan untuk diubah
13. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 20 Tahun 2019 Tentang Tata Cara
Penerbitan Rekomendasi Ekspor Dan Rekomendasi Impor Bahan Bakar Lain Sebagai
Bahan Baku Dan Bahan Penolong Industri beberapa pasal di rekomendasikan untuk
diubah
14. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor: 02/M-IND/PER/1/2014 Tentang Pedoman
Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri Dalam Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah beberapa pasal di rekomendasikan untuk diubah
15. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 17 Tahun 2019 Tentang Pengendalian Dan
Pengawasan Industri Minuman Beralkohol beberapa pasal di rekomendasikan
untuk diubah
16. Peraturan Menteri Perindustrian No 17 Tahun 2018 tentang Pedoman Nomenklatur
Perangkat Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota yang Melaksanakan Urusan
Pemerintahan di Bidang Industri di rekomendasikan tetap
17. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 41/M-IND/PER/12/2017 tentang Lembaga
Sertifikasi Industri Hijau beberapa pasal di rekomendasikan untuk diubah

95
18. Peraturan Menteri Perindustrian No 35 Tahun 2019 Penerbitan Pertimbangan
Teknis untuk Pengecualian dari Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia untuk
Produk Besi/Baja dan Kabel Secara Wajib di rekomendasikan tetap
19. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 45 Tahun 2019 tentang Tata Cara
Pemberian Izin Usaha Kawasan Industri dan Izin Perluasan Kawasan Industri Dalam
Kerangka Pelayanan Perizinan Berusaha Berintegrasi Secara Elektronik di
rekomendasikan untuk di cabut
20. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 15 Tahun 2019 tentang Penerbitan Izin
Usaha Industri dan Izin Perluasan Dalam Kerangka Pelayanan Perizinan Berusaha
Berintegrasi Secara Elektronik rekomendasikan untuk di cabut
21. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 37 Tahun 2006 tentang Pengembangan
Jasa Konsultasi Industri Kecil dan Menengah di rekomendasikan tetap
22. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 64/M- IND/PER/7 /2014 Tentang
Pengawasan Dan Pengendalian Usaha Industri Rokok beberapa pasal di
rekomendasikan untuk diubah
23. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 86/M-IND/PER/9/2009 tentang Standar
Nasional Indonesia Bidang Industri beberapa pasal di rekomendasikan untuk diubah
24. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 64/M-IND/PER/7/2016 Tentang Besaran
Jumlah Tenaga Kerja dan Nilai Investasi Untuk Klasifikasi Usaha Industri beberapa
pasal di rekomendasikan untuk diubah
25. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 30 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Penerbitan Izin
Usaha Industri dan Izin Perluasan Dalam Kerangka Pelayanan Berizinan Berusaha
Terintegrasi Secara Elektronik beberapa pasal di rekomendasikan untuk diubah

96
Lampiran
Matriks Hasil Analisis dan Evaluasi Hukum

1. Undang – Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian


No. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7

1. Pasal 1 angka 2 Kejelasan Penggunaan Ketepatan Definisi “Industri” dari UU Perindustrian,


Rumusan Bahasa, istilah, lebih menekankan industri seolah-olah
kata layaknya pabrik saja padahal berbicara
industri bukan hanya pabrik melainkan
memiliki cakupan yang luas ambil contoh
industri kopi yang ternyata memiliki
banyak aspek seperti penjualannya,
pembuatannya, distribusinya. Terdapat
juga industri kreatif, industri maritim,
industri olahraga, industri penyiaran
bahkan industri teknologi seperti Gojek
yang juga bisa disebut industri karena
proses terdapat proses perpindahan
orang dan juga menghubungkan
permintaan dengan penawaran.
Pembangunan industri/industrialisasi-lah
yang hendak diwujudkan oleh UU Cipta
Kerja jo. UU Perindustrian: pembukaan
akses dan pasar dan pelaksanaan produksi
di Indonesia untuk kemajuan ekonomi
nasional yang mewujudkan kesejahteraan
umum.

97
No. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7

2. Pasal 44 Pancasila Keadilan Adanya ketentuan Pada pasal 44 ini mengatur mengenai ubah
yang mencerminka fasilitasi ketersediaan pembiayaan yang
(1) Pemerintah memfasilitasi kompetitif untuk pembangunan industri.
keadilan secara
ketersediaan pembiayaan yang
proporsional bagi
kompetitif untuk pembangunan Selanjutnya di pasal ini mengatur bahwa
setiap warga pembiayaan salah satunya dapat berasal
Industri.
negara atau tidak dari pemerintah/pemerintah daerah.
(2) Pembiayaan sebagaimana ada ketentuan Namun yang perlu dicermati ialah bahwa
dimaksud pada ayat (1) dapat yang menegaskan pembiayaan yang berasal dari pemerintah
berasal dari Pemerintah, nilai keadilan yang dan/atau pemerintah daerah hanya dapat
Pemerintah Daerah, badan usaha, proporsional diberikan kepada perusahaan industri
dan/atau orang perseorangan. yang berbentuk badan usaha milik negara
dan badan usaha milik daerah.
(3) Pembiayaan yang berasal dari
Pemerintah dan/atau Pemerintah Ketentuan ini tentunya tidak
mencerminkan nilai keadilan dan
Daerah sebagaimana dimaksud
memberikan limitasi bahwasanya
pada ayat (2) hanya dapat diberikan
pembiayaan dari pemerintah dan atau
kepada Perusahaan Industri yang
pemerintah daerah hanya dapat diberikan
berbentuk badan usaha milik
kepada Perusahaan Industri yang
negara dan badan usaha milik berbentuk badan usaha milik negara dan
daerah. badan usaha milik daerah. Di Indonesia
sendiri banyak terdapat Industri kecil dan
(4) Pembiayaan sebagaimana
menengah yang memberikan dampak
dimaksud pada ayat (3) diberikan
tidak kecil bagi perekonomian dan dalam
dalam bentuk:
menjalankan kegiatannya tentunya untuk
a. pemberian pinjaman; keberlangsungan dan keberlanjutan
usahanya membutuhkan pembiayaan
b. hibah; dan/atau yang kompetitif demi kelangsungan
proses produksi barang/jasa nya.

98
No. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7

c. penyertaan modal.

3. Pasal 118 Kejelasan Kesesuaian Mencantumkan Pasal ini mengatur tentang pemberian Ubah
Rumusan dengan unsur-unsur sanksi berupa tindak pidana terhadap
Dalam hal pelaksanaan pengawasan sistematika pidana secara jelas penyalahgunaan aturan SNI wajib.
dan pengendalian sebagaimana dan teknik
dimaksud dalam Pasal 59 dan Pasal penyusunan Kebijakan dalam UU Perindustrian yang
117 ayat (3) huruf e ditemukan peraturan dikenakan pidana hanya tentang SNI wajib
dugaan telah terjadi tindak pidana, perundang- ini. Sanksi pidana untuk kejahatan atau
undangan pelanggaran lainnya tidak diatur dalam
pejabat atau lembaga sebagaimana
UU ini.
dimaksud dalam Pasal 117 ayat (4)
dan ayat (5) melapor kepada Meskipun pengaturan terhadap tindak
Penyidik Pegawai Negeri Sipil pidana lainnya sudah diatur dalam UU
bidang Perindustrian. sektoral lainnya, misalnya tentang
pembuangan B3 yang telah diatur dalam
UU 32/2009 tentang PPLH, dan meskipun
sanksi paling menakutkan bagi pengusaha
adalah pencabutan izin usaha, sebaiknya
juga diatur dalam UU Perindustrian ini
namun dengan uraian unsur pidana dan
sanksi yang sama sehingga tidak terjadi
tumpang tindih pengaturan.

99
2. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1986 tentang Kewenangan Pengaturan, Pembinaan dan Pengembangan Industri
NO PASAL DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7

1. Dasar Hukum Mengingat: Ketepatan Jenis Melaksanakan Diperintahkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun Ubah
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Peraturan Ketentuan secara tegas 1986 tentang Kewenangan Pengaturan,
Dasar 1945; Perundang- Undang-Undang Pembinaan dan Pengembangan Industri
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun merupakan peraturan untuk menjalankan
Undangan
1984 tentang Perindustrian ketentuan di dalam Undang-Undang
(Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor Undang-Undang No 5 Tahun 1984 tentang
22, Tambahan Lembaran Negara
Perindustrian.
Nomor 3274);
Didalam ketentuan mengingat, pp ini
menggunakan Undang-Undang No 5
Tahun 1984 tentang Perindustrian yang
sudah dicabut oleh Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 tentang
perindustrian.

Ketentuan mengingat merupakan suatu


dasar hukum pembentukan dari suatu
peraturan perundang-undangan.

2. Pasal 2 Efektivitas Aspek koordinasi Pembagian Ketentuan pasal 2 ini mengatur Koordinasi dan
kelembagaan/tat Kewenangan dan pembagian kewenangan terhadap Harmonisasi
(1) Dengan tetap memperhatikan a organisasi Tugasnya Jelas pembinaan dan pengembangan industri
ketentuan Pasal 1, pelaksanaan tertentu. Pembagian kewenangan ini pula
kewenangan pembinaan dan disertai dengan kewenangan pengaturan
pengembangan industri tertentu yang meliputi perumusan dan penetapan
diserahkan kepada Menteri
kebijaksanaan yang bersifat teknis di
lainnya, sebagai berikut:
bidang-bidang yang bersangkutan.
a) Industri-industri :
1) penyulingan minyak bumi,

100
NO PASAL DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7

2) pencairan gas alam, Terdapat 3 Menteri yang mendapat


3) pengolahan bahan galian bukan pembagian kewenangan di dalam PP ini:
logamtertentu,
4) pengolahan bijih timah menjadi 1. Menteri Pertambangan dan
ingot timah, Energi
5) pengolahan bauksit meniadi 2. Menteri Pertanian
alumina, 3. Menteri Kesehatan
6) pengolahan bijih logam mulia
PP ini dibentuk pada tahun 1986,
menjadi logam muha.
sepanjang tahun 1986 hingga saat ini
7) pengolahan bijih tembaga
banyak terjadi perubahan terhadap
menjadi ingot tembaga,
8) pengolahan bahan galian logam kementerian untuk menghadapi
mulia lainnya menjadi ingot tantangan zaman. Ada Kementerian yang
logam, berganti nomeklatur, penghapusan
9) pengolahan bijih nekel menjadi Kementerian ataupun munculnya
ingot nekel, diserahkan kepada Kementerian baru.
Menteri Pertambangan dan
Energi; Pengaturan PP ini setidaknya dapat
b. Industri-industri : memunculkan sengketa kewenangan
1) gula pasir dari tebu, antar kementerian. Ambil contoh industri
2) ekstraksi kelapa sawit, pengolahan ikan di laut yang diserahkan
3) penggilingan padi dan kepada Menteri pertanian, sedangkan
penyosohan beras, saat ini kebijakan kelautan dan perikanan
4) pengolahan ikan di laut, terdapat di Kementerian Kelautan
5) teh hitam dan teh hijau, Perikanan.
6) vaksin, sera, dan bahan-bahan
diagnostika biologis untuk Pengaturan PP ini harus di koordinasikan
hewan, diserahkan kepada dan di atur lebih lanjut agar tidak terjadi
Menteri Pertanian; sengketa kewenangan yang ujungnya akan
c. Industri bahan obat dan obat membingungkan masyarakat.
jadi termasuk obat asli

101
NO PASAL DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7

Indonesia, diserahkan kepada


Menteri Kesehatan.
(2) Penyerahan kewenangan
pembinaan dan pengembangan di
bidang-bidang industri
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), disertai pula dengan
kewenangan pengaturan yang
meliputi perumusan dan
penetapan kebijaksanaan yang
bersifat teknis di bidang-bidang
yang bersangkutan.
3. Pasal 4 Efektivitas Aspek Dari segi Ketentuan Industri strategis saat ini telah
Sesuaikan dengan
Kewenangan pengaturan, pembinaan, Peraturan Operasional atau peraturan diatur di dalam BAB VI Peraturan Peraturan Peme-
dan pengembangan industri tertentu Perundang- tidaknya pelaksananya Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021 rintah Nomor 28
yang tentang Penyelenggaraan BidangTahun 2021 ten-
Undangan peraturan
bersifat strategis dan yang penting bagi Perindustrian. tang Penyelengga-
pertahanan keamanan negara, diatur raan Bidang Perin-
tersendiri dengan Keputusan Presiden. Oleh karena itu bunyi pasal 4 ini terkait dustrian
industri yang bersifat strategis untuk
diatur dengan keputusan presiden sudah
tidak relevan

102
3. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2018 Tentang Pemberdayaan Industri

NO. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7
1. Bab I Kejelasan Penggunaan Konsisten Antar Didalam ketentuan umum Peraturan Ubah
Ketentuan Umum Rumusan bahasa, istilah, Ketentuan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2018
kata tentang Pemberdayaan Industri belum
dimasukkan mengenai definisi bahan
penolong dan bahan baku padahal kata
bahan penolong dan bahan baku banyak
terdapat di dalam PP ini.

Didalam Lampiran II UU 12 Tahun 2011


tentang Pembentukan PUU No. 102
disebutkan bahwa Kata atau istilah yang
dimuat dalam ketentuan umum
hanyalah kata atau istilah yang
digunakan berulang-ulang di dalam pasal
atau beberapa pasal selanjutnya.

2. Pasal 44, Pasal 45, Pasal 49, Pasal 51, Status Pasal Dicabut - Ketentuan Pasal Pasal 44, Pasal 45, Pasal -
Pasal 52 dan Pasal 53 berdasarkan 49, Pasal 51, Pasal 52 dan Pasal 53
Peraturan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun
Perundang- 2018 Tentang Pemberdayaan Industri
undangan telah dicabut oleh pasal 174 Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021
tentang Penyelenggaraan Bidang
Perindustrian

3. Pasal 98 Disharmoni Kewenangan Pengaturan Didalam ketentuan ini gubernur, Ubah


(1) Menteri, gubernur, atau Pengaturan mengenai hal bupati/walikota dapat memberikan
bupati/wali kota sesuai yang sama pada 2

103
NO. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7
kewenangannya memberikan sanksi (dua) atau lebih sanksi administratif berupa :d.
administratif kepada Industri yang peraturan pembekuan izin usaha industri dan/atau
melanggar Standar Industri Hijau setingkat, tetapi e. pencabutan izin usaha industri. saat
yang diberlakukan secara wajib memberikan ini kewenangan pemberian izin usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal kewenangan yang industri berada di pemerintah pusat
36. berbeda sebagaimana diatur di dalam pasal 101
(21 Sanksi administratif sebagaimana
Undang-undang Cipta Kerja sedangkan
dimaksud pada ayat (1) berupa:
ketentuan pasal 101 UU Perindustrian
a. peringatan tertulis;
b. denda . mengenai kewenangan izin pemerintah
b. denda administratif; daerah telah di ubah oleh UU Cipta
c. penutupan sementara; Kerja.
d. pembekuan izin usaha industri;
Ketentuan ini perlu dirubah karena
dan/atau
e. pencabutanizin usaha industri. hanya yang memberikan izin yang dapat
(3) Gubernur atau bupati/wali kota membekukan atau mencabut izin itu
sebagaimana dimaksud sendiri
pada ayat (1) memberikan sanksi
administratif setelah mendapat
rekomendasi dari Menteri.

104
4. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan Dan Komoditas Pergaraman
Sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri

NO PASAL DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7

1. Pasal 2 Kejelasan Penggunaan Konsistensi antar Saat ini dengan berlakunya Peraturan Ubah
Rumusan Bahasa, istilah, ketentuan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021
1) Pemerintah Pusat mengendalikan kata tentang Penyelenggaran Bidang
Impor Komoditas Perikanan dan
Perindustrian pemerintah menekankan
Komoditas Pergaraman.
2) Pengendalian Impor sebagaimana pada kemudahan impor terhadap bahan
dimaksud pada ayat (1) dilakukan baku atau bahan penolong industri.
dalam rangka menjamin Sehingga pemaknaan pengendalian impor
perlindungan dan pemberdayaan dirasa kurang tepat saat ini terhadap
nelayan, pembudidaya Ikan, dan bahan baku atau bahan penolong industri
petambak Garam, sekaligus khususnya komoditas pergaraman. Karena
menjamin ketersediaan dan
seperti yang sudah dijelaskan diatas saat
penyaluran sumber daya alam
untuk Industri dalam negeri. ini pemerintah memberikan kemudahan
3) Pengendalian Impor Komoditas impor terhadap bahan baku dan penolong.
Perikanan dan Komoditas Akan tetapi kemudahan impor ini harus
Pergaraman sebagaimana tetap menjamin perlindungan dan
dimaksud pada ayat (1) dilakukan pemberdayaan nelayan, pembudidaya
melalui penetapan tempat Ikan, dan petambak Garam, sekaligus
pemasukan, jenis dan volume,
menjamin ketersediaan dan penyaluran
waktu pemasukan, serta
pemenuhan persyaratan sumber daya alam untuk Industri dalam
administratif dan standar mutu. negeri.

105
5. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pembangunan Sarana dan Prasarana Industri

No. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7

1. Pasal 1 Angka 4 Kejelasan Kesesuaian Batasan Undang-Undang No 3 Tahun 2014 Diubah sesuai
Rumusan dengan pengertian atau tentang Perindustrian memberikan dengan Undang-
Standar Nasional Indonesia yang definisi Standar Nasional Indonesia di undang Nomor 2
sistematika dan definisi
selanjutnya disingkat SNI adalah Pasal 1 angka 17 ialah standar yang Tahun 2014 tentang
teknik
standar yang ditetapkan oleh ditetapkan oleh lembaga yang Perindustiran dan
penyusunan
Lembaga Pemerintah nonkemen- menyelenggarakan pengembangan dan Peraturan Pemerin-
terian yang bertugas dan PUU
pembinaan di bidang standardisasi. tah Nomor 28 Tahun
bertanggung jawab di bidang 2021 tentang Penye-
standardisasi dan berlaku di wilayah Begitupun dengan Peraturan
lenggaraan Bidang
Negara Kesatuan Republik Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021
Perindustrian
Indonesia. tentang Penyelenggaraan Bidang
Perindustrian Pasal 1 Angka 9
memberikan definisi Standar Nasional
Indonesia yang selanjutnya disingkat
SNI yaitu standar yang ditetapkan oleh
lembaga yang menyelenggarakan
pengembangan dan pembinaan di
bidang standardisasi.

2. Pasal 1 Angka 8 Kejelasan Kesesuaian Batasan Pasal 1 Angka 12 Diubah sesuai


Rumusan dengan pengertian atau dengan Peraturan
Pelaku Usaha adalah Setiap Orang Pelaku Usaha adalah orang perse-
sistematika dan definisi Pemerintah Nomor
perseorangan atau badan usaha, orangan atau badan usaha yang
teknik 28 Tahun 2021
baik yang berbentuk badan hukum melakukan usaha dan/atau kegiatan
penyusunan tentang
maupun bukan badan hukum yang pada bidang tertentu
didirikan dan PUU

106
No. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7

berkedudukan atau melakukan Penyelenggaraan


kegiatan dalam wilayah hukum Bidang Perindustrian
negara Republik Indonesia, baik
sendiri maupun bersama-sama
melalui perjanjian menyelengga-
rakan kegiatan usaha dalam
berbagai bidang ekonomi

3. Pasal 12 Kejelasan Kesesuaian Tidak Apakah yang dimaksud dengan budaya Ubah
Rumusan dengan menimbulkan standar dalam Pasal ini?
(2) Pembinaan sebagaimana
sistematika dan ambiguitas/multit Perlu keterangan yang lebih rinci
dimaksud pada ayat (1) dapat
teknik afsir terkait frasa “budaya standar” ini di
berupa bantuan teknis, konsultasi,
pendidikan dan pelatihan, promosi penyusunan dalam Penjelasan.
dan pemasyarakatan Standardisasi PUU
Industri serta menumbuh
kembangkan budaya standar.

4. Pasal 22 Kejelasan Kesesuaian Tidak Yang dimaksud dalam Pasal ini apakah Ubah
Rumusan dengan menimbulkan hari kerja atau hari kalender? Perlu
(1) Dalam hal hasil pengawasan yang
sistematika dan ambiguitas/multit penegasan agar tidak terjadi multitafsir
diberitahukan oleh Menteri kepada
teknik afsir dalam praktik di lapangan.
Pelaku Usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (5) penyusunan
huruf a menyatakan barang dan/ PUU Tindak lanjut apakah yang akan
atau jasa Industri di pabrik tidak dikenakan kepada Pelaku Usaha jika
memenuhi SNI, Spesifikasi Teknis, tidak menghentikan kegiatan produksi
dan/atau Pedoman Tata Cara yang barang dan/atau jasa 3 (tiga) hari sejak
diberlakukan secara wajib, Pelaku pemberitahuan diterima? Tidak
Usaha wajib menghentikan kegiatan dijelaskan dalam Pasal ini

107
No. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7

produksi barang dan/atau jasa


Industri tersebut paling lama 3 (tiga)
hari sejak pemberitahuan diterima.

5. Peraturan Pemerintah Nomor 142 Tahun 2015 tentang Kawasan Industri

No. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7

1. Pasal 38 Disharmoni Kewajiban Adanya Disebutkan bahwa perusahaan Ubah


Pengaturan pengaturan perindustrian dikecualikan dari
(1) Perusahaan Industri di dalam mengenai Harmonisasi dengan
perizinan yang menyangkut gangguan,
Kawasan Industri wajib memiliki: kewajiban yang Peraturan
lingkungan, lokasi, tempat usaha,
sama pada 2 (dua) Pemerintah Nomor
a. Upaya Pengelolaan peruntukan penggunaan tanah,
atau lebih 22 Tahun 2021
Lingkungan; dan pengesahan rencana tanah dan
peraturan yang tentang
b. Upaya Pemantauan 108erogat dampak lalu lintas.
berbeda hierarki, penyelenggaraan
Lingkungan. Saat ini setiap pelaku usaha diwajibkan
tetapi Perlindungan dan
memiliki persetujuan lingkungan bagi
(2) Perusahaan Industri di dalam memberikan Pengelolaan
usaha atau kegiatan yang memiliki
Kawasan Industri yang kegiatan kewajiban yang Lingkungan Hidup.
berbeda. dampak penting atau tidak penting
usahanya mengolah atau terhadap lingkungan. Sebagaimana di
memanfaatkan limbah bahan atur di dalam pasal 3 ayat (1) Peraturan
berbahaya dan beracun, wajib Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021
menyusun Analisis Mengenai tentang penyelenggaraan Perlindungan
Dampak Lingkungan dan mendapat dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

108
No. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7

pengesahan oleh instansi yang Persetujuan lingkungan ini menjadi


berwenang. prasyarat penerbitan izin berusaha
atau persetujuan pemerintah.
(3) Kewajiban penyusunan AMDAL
Sebagaimana di atur didalam pasal 3
sebagaimana dimaksud pada ayat
ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor
(2) dikecualikan apabila AMDAL
22 Tahun 2021 tentang
Kawasan Industri telah
penyelenggaraan Perlindungan dan
mencakup/memenuhi kebutuhan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
terhadap kegiatan mengolah atau
Ketika suatu peraturan mengatur 2 hal
memanfaatkan limbah bahan
yang berbeda maka berlakulah asas
berbahaya dan beracun.
lex spesialis 109erogate legi generalis
(4) Perusahaan Industri di dalam (Peraturan yang khusus
Kawasan Industri dikecualikan dari mengesampingkan peraturan yang
perizinan yang menyangkut umum). Peraturan Pemerintah Nomor
gangguan, lingkungan, lokasi, 22 Tahun 2021 tentang
tempat usaha, peruntukan penyelenggaraan Perlindungan dan
penggunaan tanah, pengesahan Pengelolaan Lingkungan Hidup
rencana tapak tanah, dan Analisis merupakan suatu peraturan khusus
Dampak Lalu Lintas (ANDALALIN). yang mengatur mengenai lingkungan
hidup maka seharusnya Peraturan
(5) Pengecualian perizinan yang Pemerintah Nomor 142 Tahun 2015
menyangkut lingkungan tentang Kawasan Industri harus sesuai
sebagaimana dimaksud pada ayat dengan peraturan khususnya. Ketika
(4) tidak menghapus kewajiban dan suatu peraturan mengatur 2 hal yang
tanggung jawab Perusahaan berbeda maka berlakulah lex posterior
Industri di dalam Kawasan Industri 109erogate legi priori (Asas penafsiran
hukum yang menyatakan bahwa
hukum yang terbaru

109
No. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7

untuk melakukan pengelolaan mengesampingkan hukum yang lama).


lingkungan. Peraturan Pemerintah Nomor 22
Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan
Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup merupakan suatu
peraturan terbaru yang mengatur
mengenai lingkungan hidup maka
seharusnya Peraturan Pemerintah
Nomor 142 Tahun 2015 tentang
Kawasan Industri harus mengikuti
dengan peraturan terbaru tersebut.
2. Pasal 43 Kejelasan Penggunaan Kejelasan Tidak ada kejelasan bagaimana proses Ubah.
Rumusan Bahasa, istilah, pemberian insentif yang diberikan
(1) Perusahaan Kawasan Industri
kata oleh daerah dan bagaimana
dan Perusahaan Industri di dalam
pengaturannya mengenai insentif itu
Kawasan Industri dapat diberikan
diatur sehingga Pasal ini
insentif daerah.
direkomendasikan untuk menjelaskan
(2) Ketentuan mengenai dengan lebih rinci mengenai
pengaturan insentif daerah pemberian insentif tersebut.
sebagaimana ayat (1) ditetapkan
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

3. Bab IX : Standar Kawasan Industri Efektiftas Aspek Efektifitas Pasal ini mengamanatkan Ubah
Pelaksanaan koordinasi koordinasi antar pembentukan Komite Akreditasi
Pasal 44 instansi terkait.
Peraturan kelembagaan/ta Kawasan Industri, mengapa tidak
Perundang- ta organisasi disatukan saja dengan Komite Kawasan
undangan Industri agak lebih efisien.

110
No. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7

Bab XI : Komite Kawasan Industri Efektifitas Aspek Belum ada Saat ini Komite Kawasan Industri belum Ubah
Pelaksanaan kekosongan pengaturan dibentuk, sebaiknya harus segera
Pasal 51 s.d Pasal 52
Peraturan pengaturan dibentuk mengingat Peraturan
Perundang- Pemerintah ini sudah diterbitkan sejak
undangan tahun 2015.

7. Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun 2015 tentang Izin Usaha Industri

No. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7

1. Pasal 1 Dimensi Penggunaan Konsisten antar UU No. 11 Tahun 2020 memakai istilah Tetap
kejelasan bahasa, istilah, ketentuan “Perizinan Berusaha” untuk menyebut
Izin usaha Industri yang selanjutnya
rumusan kata Izin Usaha Industri serta semua nama-
disingkat IUI adalah izin yang
nama perizinan berusaha di bidang
diberikan kepada setiap orang
industri. Demikian pula yang diatur
untuk melakukan kegiatan usaha
oleh PUU turunan UU Cipta Kerja yaitu
industri
PP 28 Tahun 2021 dan PP 5 Tahun 2021
menggunakan istilah Perizinan
Berusaha.
2. Pasal 3 ayat 3 Dimensi Penggunaan Konsisten antar Pasal 143 ayat 2 PP 28 Tahun 2021 Ubah
Dimensi bahasa, istilah, ketentuan mengatur bahwa perizinan berusaha
IUI sebagaimana dimaksud pada
kejelasan kata untuk kegiatan usaha industri diberikan
ayat (1) diberikan oleh Menteri,
rumusan oleh Menteri yang menyelenggarakan
urusan Pemerintahan di bidang
perindustrian. Pemberian izinnya

111
No. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7

gubernur, atau bupati/walikota sendiri dilakukan melalui Sistem OSS


sesuai dengan kewenangannya dan Sistem Informasi Industri Nasional
(SIINas) secara terintegrasi (Pasal 63 PP
5 Tahun 2021).
3. Pasal 4 ayat 3 Dimensi Penggunaan Konsisten antar Pasal 65 PP 5 Tahun 2021 mengatur Ubah
Dimensi bahasa, istilah, ketentuan pemberian Perizinan Berusaha bagi
(3) IUI sebagaimana dimaksud pada
kejelasan kata kegiatan usaha industri yang berlokasi
ayat (1) dapat diberikan kepada
rumusan diluar kawasan industri dengan 4
perusahaan yang akan menjalankan
syarat. Satu syarat baru yang belum
kegiatan usaha Industri dan
diatur di PP 107/2015 yaitu berlokasi di
berlokasi di luar Kawasan Industri,
zona Industri dalam Kawasan Ekonomi
dengan ketentuan:
Khusus (KEK).
a. berlokasi di daerah
Kabupaten/Kota yang:
1. belum memiliki Kawasan
Industri; atau
2. telah memiliki Kawasan
Industri tetapi seluruh
kaveling Industri dalam
Kawasan Industrinya telah
habis;
b. termasuk klasifikasi Industri
kecil dan Industri menengah
yang tidak berpotensi
menimbulkan pencemaran
lingkungan hidup yang
berdampak luas; atau
c. Industri yang menggunakan
Bahan Baku khusus dan/atau

112
No. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7

4. Pasal 9 Dimensi Penggunaan Konsisten antar Pembangunan sumber daya industri Ubah
Kejelasan bahasa, istilah, ketentuan meliputi penyediaan bahan baku
IUI sebagaimana dimaksud dalam
Rumusan kata dan/atau bahan penolong . PP 5 Tahun
Pasal 2 ayat (1) berlaku juga sebagai
2021 menambah pengaturan
izin tempat penyimpanan
perizinan berusaha untuk tempat
mesin/peralatan, Bahan Baku,
penyimpanan bahan penolong
dan/atau hasil produksi dengan
disamping tempat penyimpanan bahan
ketentuan:
baku yang telah ditetapkan
sebelumnya (Pasal 64).

5. Pasal 32 Dimensi Penggunaan Konsisten antar PP 5 Tahun 2021 mempertegas hal Ubah
Kejelasan bahasa, istilah, ketentuan terkait sanksi administrasi dengan
1) Perusahaan Industri yang telah
Rumusan kata menambahkan satu ayat pada pasal
dikenakan sanksi administratif
407 PP 5 Tahun 2021. Pasal 407
berupa peringatan tertulis dan tidak
mengatur bahwa denda administratif
melakukan perbaikan dalam jangka
sebesar maksimal 1% (satu persen) dari
waktu sebagaimana dimaksud
nilai investasi. Dan nilai investasi
dalam Pasal 31 dikenai sanksi
tersebut didasarkan pada hasil audit
administratif berupa denda
dari lembaga independen.
administratif.

(2) Denda administratif


sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diberikan paling banyak 1% (satu
persen) dari nilai investasi.

113
8. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2015 Tentang Pembangunan Sumber Daya Industri

NO. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7
1. Bab I Ketentuan Umum Efektivitas Aspek Belum ada Dalam ketentuan umum masih belum Ubah
Pasal 1 Pelaksanaan Kekosongan pengaturan ada pengertian terkait Pembangunan
Peraturan Pengaturan Sumber Daya Industri itu sendiri. Dan
Perundang- dibagian penjelasan juga tidak terdapat
Undangan pengertian tersebut.
Kedepannya jika ada perubahan terkait
peraturan pemerintah ini bisa
ditambahkan ke dalam pasal 1 terkait
pengertian atau definisi pembangunan
sumber daya industri

2. Bab I Ketentuan Umum Potensi Kewenangan Adanya Dalam peraturan pemerintah ini, pasal Disesuaikan dengan
Disharmoni pengaturan 2 mengatur terkait ruang lingkup Undang-Undang
Pasal 2 Pengaturan mengenai hal pembangunan sumber daya industri, Nomor 11 Tahun
yang sama pada 2 yang meliputi: 2020 tentang Cipta
Ruang lingkup pengaturan dalam (dua) atau lebih a. pembangunan Tenaga Kerja Kerja
Peraturan Pemerintah ini meliputi: peraturan yang Industri dan penggunaan
a. pembangunan Tenaga Kerja berbeda hierarki, konsultan Industri;
Industri dan penggunaan tetapi b. pemanfaatan, jaminan
konsultan Industri; memberikan ketersediaan dan penyaluran,
b. pemanfaatan, jaminan kewenangan serta pelarangan dan
ketersediaan dan penyaluran, berbeda pembatasan ekspor Sumber Daya
serta pelarangan dan Alam; dan
pembatasan ekspor Sumber c. pengadaan dan pemanfaatan
Daya Alam; dan Teknologi Industri
c. pengadaan dan pemanfaatan
Teknologi Industri. Dengan keluarnya Undang-Undang
Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta

114
NO. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7
Kerja, ternyata ada hal baru yang diatur
mengenai pembangunan sumber daya
industri, tepatnya pada Paragraf 7
(Perindustrian).
Dalam UU Cipta Kerja tersebut
mengatur bahwa pembangunan
sumber daya Industri meliputi:
a. Pembangunan sumber daya
manusia;
b. Pemanfaatan sumber daya alam;
c. Pengembangan dan pemanfaatan
Teknologi Industri;
d. Pengembangan dan pemanfaatan
kreativitas dan inovasi;
e. Penyediaan sumber pembiayaan;
dan
f. Penyediaan bahan baku dan/atau
bahan penolong bagi industry

Dengan keluarnya UU Cipta Kerja, maka


peraturan lain harus menyesuaikan
dengan UU Cipta kerja ini. Di PP ini yang
sebelumnya ruang lingkup
pembangunan sumber daya industry
diatur dalam 3 poin, setelah ada UU
Cipta Kerja maka berubah menjadi 6
poin.
3. Bagian Penjelasan Kejelasan Penggunaan Tidak Pada bagian penjelasan, tepatnya pada UBAH
Rumusan bahasa, istilah, menimbulkan nomor I. UMUM pada paragraph 1
kata ambiguitas/multit berbunyi “Pembangunan Industri
afsir sesuai dengan ketentuan Undang–
Undang

115
NO. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7
Nomor 3 Tahun 2013 tentang
Perindustrian memerlukan berbagai
dukungan dalam bentuk perangkat
kebijakan yang tepat, perencanaan
yang terpadu, dan pengelolaan yang
efisien dengan memperhatikan prinsip-
prinsip tata kelola yang baik.”

Dari bagian penjelasan tersebut


menyebutkan bahwa Undang-Undang
Perindustrian yaitu Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2013, padahal UU
Perindustrian diatur dalam Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2014. Disini
terlihat ada salah pengetikan (typo)
terhadap nomor tahun perundang-
undangan. Tentunya hal ini bisa
menimbulkan kebingunan karena kalau
di cek UU nomor 3 tahun 2013 itu
mengatur tentang Pembentukan
Kabupaten Malaka di Provinsi Nusa
Tenggara Timur.

116
9. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2015 Tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional 2015-2035

NO. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7
1. Lampiran Potensi Kewenangan Adanya Dalam perkembangannya setelah PP ini Disesuaikan dengan
Disharmoni pengaturan dibuat, muncul UU nomor 11 Tahun UU Cipta Kerja
Pengaturan mengenai hal 2020 Tentang Cipta kerja. UU Cipta
yang sama pada 2 Kerja hadir dalam rangka menciptakan
(dua) atau lebih lapangan pekerjaan yang salah satunya
peraturan yang dilakukan melalui peningkatan
berbeda hierarki, investasi.
tetapi Dalam UU Cipta Kerja pasal 15 paragraf
memberikan 7, mengatur terkait ruang lingkup
kewenangan yang Pembangunan sumber daya Industri.
berbeda Pasal 15 tersebut berbunyi
“Pembangunan sumber daya industri
meliputi:
a. Pembangunan sumber daya
manusia;
b. Pemanfaatan sumber daya
alam;
c. Pengembangan dan
pemanfaatan Teknologi
Industri;
d. Pengembangan dan
pemanfaatan kreativitas dan
inovasi;
e. Penyediaan sumber
pembiayaan; dan
f. Penyediaan bahan baku
dan/atau bahan penolong bagi
industri

117
NO. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7

Pasal tersebut merubah pasal 15 UU


Perindustrian yang mengatur ruang
lingkup Pembangunan sumber daya
industri, yang semula ruang lingkupnya
hanya 5 poin menjadi 6 poin.
Poin f (penyediaan bahan baku
dan/atau bahan penolong bagi industri)
yang menjadi tambahan yang diatur
dalam UU Cipta kerja

Oleh karena PP 14 Tahun 2015 ini


merujuk UU Perindustrian tentunya
ruang lingkup pembangunan sumber
daya industri yang dijabarkan dalam
lampiran PP ini (hal 63) masih memuat
5 ruang lingkup saja.
Dengan adanya penambahan tersebut
tentu harus menjadi perhatian oleh
para Stakeholder terkait yang
menggunakan PP ini sebagai acuan
dalam Pembangunan Industri Nasional.

118
10. Peraturan Presiden Nomor 118 Tahun 2020 tentang Pengadaan Teknologi Industri Melalu Proyek Putar Kunci
NO PASAL DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7

1. Keseluruhan Pasal Efektivitas Pengadaan Teknologi Industri melalui Tetap


Pelaksanaan PUU Proyek Putar Kunci adalah pengadaan
teknologi dengan membeli suatu proyek
teknologi secara lengkap mulai dari
pengkajian (assessment), rancang bangun
dan perekayasaan, implementasi
(pengoperasian), dan penyerahan dalam
kondisi siap digunakan. Skema proyek ini
bekerja dengan sistem, di mana si pemilih
proyek 'terima jadi' dari kontraktor. Seluruh
pembayaran dilakukan setelah proyek
selesai sepenuhnya atau saat
diserahterimakan. Semua tahapan proyek
dari desain sampai pengoperasian teknologi
dikelola sendiri oleh kontraktor, sehingga
pemilik proyek tidak ikut campur. Dalam
keadaan tertentu, Pemerintah dapat
melakukan Pengadaan Teknologi Industri
melalui Proyek Putar Kunci. Keadaan
tertentu tersebut meliputi kondisi di mana
kebutuhan pembangunan industri sangat
mendesak sementara teknologi belum
dikuasai di dalam negeri. Kebutuhan
pembangunan Industri yang sangat

119
NO PASAL DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7

mendesak sebagaimana dimaksud meliputi


kondisi:

1. Teknologi industri yang dibutuhkan


tidak dapat segera diadakan di dalam
negeri melalui penelitian dan
pengembangan, kontrak penelitian
dan pengembangan, usaha bersama,
pengalihan hak melalui lisensi,
dan/atau akuisisi teknologi.
2. Terdapat ancaman terhadap
keberlangsungan industri dalam
negeri dan/atau perekonomian
nasional.
3. Terdapat potensi kehilangan
kesempatan memperoleh manfaat
teknologi industri secara signifikan.

Terkait hal ini, Presiden Jokowi menegaskan,


Indonesia harus memiliki kemampuan dan
memproduksi teknologi sendiri. Caranya
dengan menjalin kerja sama produksi
teknologi di dalam negeri yang melibatkan
para pakar dan pekerja Indonesia, dapat
menerapkan transfer teknologi dan transfer
ilmu sehingga Indonesia bisa ikut mengejar
ketertinggalan.

120
NO PASAL DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7

Pengadopsian teknologi dari luar negeri


untuk industri di dalam negeri boleh saja
dilakukan, selama kerja sama yang
disepakati memasukkan poin transfer
teknologi dan penggunaan SDM dalam
negeri sehingga ada jaminan akuisisi
teknologi dalam setiap kerja sama yang
dijalin.

11. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 4 Tahun 2018 Tentang Tata Cara Pengawasan Pemberlakukan Standardisasi Industri Secara Wajib

NO. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7
1. Bab I Kejelasan Penggunaan Konsisten Antar • Terdapat perbedaan definisi Standar Disesuaikan
Ketentuan Umum Rumusan bahasa, istilah, Ketentuan Nasional Indonesia (SNI) antara dengan Peraturan
(Pasal 1) kata Peraturan Menteri Perindustrian Pemerintah
Nomor 4 Tahun 2018 tentang Tata Nomor 28 Tahun
Cara Pengawasan Pemberlakukan 2021 tentang
Penyelenggaraan
Standardisasi Industri Secara Wajib
Bidang
dengan Peraturan Pemerintah Nomor
Perindustrian
28 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Bidang
Perindustrian dimana di dalam
Permenperin no 4 tahun 2018
berbunyi SNI ialah “Standar yang di

121
NO. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7
dtetapkan oleh Lembaga pemerintah
non kementerian yang bertugas dan
bertanggungjawab di bidang
standarisasi dan berlaku di wilayah
negara kesatuan Republik Indonesia
sedangkan di PP No 28 Tahun 2021
berbunyi “standar yang ditetapkan
oleh Lembaga yang
menyelenggarakan pengembangan
dan pembinaan di bidang
standarisasi”.
• Definsi SNI PP 28 Tahun 2021 sama
dengan definisi SNI di UU No 3 Tahun
2014 tentang Perindustrian.

2. Bab I Potensi Kewenangan Adanya Ketentuan pasal 2 Permenperin ini masuk Disesuaikan
Ketentuan Umum Disharmoni pengaturan kedalam substansi pasal 43 ayat 3 PP No dengan Peraturan
(pasal 2) Pengaturan mengenai hal 28 Tahun 2021 yang berbunyi Koordinasi Pemerintah
yang sama pada 2 pengawasan di pasar sebagaimana Nomor 28 Tahun
(dua) atau lebih dimaksud pada ayat 21 huruf b 2021 tentang
peraturan yang dilaksanakan secara bersama-sama Penyelenggaraan
berbeda hierarki, Bidang
dengan menteri yang menyelenggarakan
tetapi Perindustrian
urusan pemerintahan di bidang
memberikan
kewenangan perdagangan sesuai dengan ketentuan
berbeda peraturan perundang-undangan.
3. Bab II Tata Cara Pengawasan Efektivitas Aspek Dari segi Didalam Pasal 14 Permenperin ini laporan Disesuaikan
Pasal 14 Pelaksanaan Partisipasi kemudahan dari pelaku usaha atau masyarakat dengan Peraturan
Peraturan Masyarakat prosedur akses terhadap produk yang di berlakukan Pemerintah
Perundang- partisipasi SNI/Spesifikasi Teknis dan/atau Pedoman Nomor 28 Tahun
Undangan masyarakat Tata cara secara wajib dapat disampaikan 2021 tentang

122
NO. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7
kepada masyarakat melalui Penyelenggaraan
www.kemenperin.go.id./laporan_sni, Bidang
sedangkan di dalam PP No 28 Tahun 2021 Perindustrian
segala bentuk peran serta masyarakat
dalam pembangunan industri yang
didalamnya terdapat pengawasan
pembangunan industri dapat
disampaikan melalui Siinas

4. Bab III Laporan Hasil Pengawasan Efektivitas Aspek Efektivitas Pasal 23 dalam hal laporan hasil Disesuaikan
Pasal 23 Pelaksanaan Koordinasi koordinasi antar pengawasan ditemukan tindak pidana dengan Peraturan
Peraturan Kelembagaan/ta instansi terkait Direktur Jenderal Pembina Industri Pemerintah
Perundang- ta organisasi memberikan rekomendasi kepada Kepala Nomor 28 Tahun
Undangan BPPI untuk menugaskan Penyidik Pegawai 2021 tentang
Negeri Sipil bidang perindustrian Penyelenggaraan
Bidang
melakukan pengawasan, pengamatan,
Perindustrian
penelitian a tau pemeriksaan, dan/ atau
penyidikan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Ketentuan pasal ini perlu di lengkapai
sesuai dengan pasal 46 PP No 28 Tahun
2021 yang menyebutkan penyidik
perindustrian harus berkoordinasi juga
dengan penyidik polri.

123
12. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 38 Tahun 2018 tentang Akun Sistem Informasi Industri Nasional

NO. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7
1. Keseluruh Peraturan Kejelasan Penggunaan Konsistensi antar Dalam Peraturan Menteri ini terdiri dari 6 Ubah
Rumusan bahasa, istilah, ketentuan (enam) bab:
kata
Bab I Ketentuan Umum
Bab II Pembuatan AKun Sistem Informasi
Industri Nasional
Bab III Pengelolaan Sistem Informasi
Industri Nasional
Bab V Ketentuan Peralihan
Bab VI Ketentuan Penutup

Jika dilihat di dalam Peraturan Menteri ini


yang diakses melalui JDIH Kemenperin
terdapat bab yang hilang di dalam batang
tubuh yaitu bab IV.

2. Pasal 4 Efektivitas Aspek Belum ada Akun Siinas berdasarkan peraturan Ubah
(1) Akun SIINas dikelompokkan atas 4 Pelaksanaan Kekosongan pengaturan Menteri ini di bagi menjadi 4 tipe yaitu
(empat) kategori PUU Pengaturan Tipe A.B.C.D. dimana ditiap tipe ini diatur
meliputi: peruntukannya.
a. Akun SIINas tipe A;
b. Akun SIINas tipe B; Terbitnya PP No 28 Tahun 2021 tentang
c. Akun SIINas tipe C; dan Penyelenggaraan Bidang Perindustrian
d. Akun SIINas tipe D. memunculkan norma baru yaitu peran
(2) Akun SIINas tipe A sebagaimana serta masyarakat dalam pembangunan
dimaksud pada ayat (1) industri yang diatur di dalam bab V.
huruf a diperuntukkan bagi setiap
orang atau kelompok yang
melakukan kegiatan usaha industri.

124
NO. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7
(3) Akun SIINas tipe B sebagaimana Pada bab V bagian kedua bentuk peran
dimaksud pada ayat (1) huruf b serta masyarakat yang diatur di dalam
diperuntukkan bagi setiap orang atau pasal 69 mengatur bentuk peran serta
kelompok yang melakukan kegiatan masyarakat dalam pembangunan industri
usaha kawasan industri. yaitu:
(4) Akun SIINas tipe C sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c a. Pemberian saran, pendapat dan
diperuntukkan bagi: usul, dan/atau
a. orang perseorangan atau b. penyampaian informasi dan/atau
kelompok yang melakukan kegiatan
laporan.
usaha selain kegiatan usaha industri
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Dalam Pasal 69 ayat 2 pula diatur
dan kegiatan usaha kawasan industri Pemberian saran, pendapat, usul,
sebagaimana dimaksud pada ayat dan/atau penyampaian informasi dan
(3); dan latau laporan sebagaimana dimaksud
b. kelompok bukan merupakan pada ayat (1) dapat disampaikan kepada
pelaku usaha selain kementerian, Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah
lembaga, perwakilan Republik Daerah melalui SIINas.
Indonesia di luar negeri, pemerintah
provinsi, dan pemerintah Didalam Permenperin No 38 Tahun 2018
kabupaten/kota. diatur siinas tipe C yaitu kelompok bukan
(5) Akun SIINas tipe D sebagaimana merupakan pelaku usaha selain
dimaksud pada ayat (1) huruf d kementerian, lembaga, perwakilan
diperuntukkan bagi kementerian, Republik Indonesia di luar negeri,
lembaga, perwakilan Republik pemerintah provinsi, dan pemerintah
Indonesia di luar negeri, pemerintah kabupaten/kota.. Akan tetapi di dalam
provinsi, dan pemerintah
permenperin ini belum dijelaskan siapa
kabupaten/kota.
saja yang dimaksud kelompok bukan
pelaku usaha. Dan jika dibuka situs siinas
masih belum ada fitur untuk masyarakat
mendaftar karena setiap akan mendaftar

125
NO. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7
harus melampirkan NIB, Nama Perusahan,
No IUI/IUKI dll.

13. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 20 Tahun 2019 Tentang Tata Cara Penerbitan Rekomendasi Ekspor Dan Rekomendasi Impor Bahan
Bakar Lain Sebagai Bahan Baku Dan Bahan Penolong Industri

NO. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7
1. Keseluruh Peraturan Kejelasan Penggunaan Konsistensi antar Dalam Peraturan Menteri ini terdiri dari 5 Ubah
Rumusan bahasa, istilah, ketentuan (lima) bab:
kata
• BAB I Ketentuan Umum

• BAB II Rekomendasi

• BAB IV Pengawasan

• BAB V Ketentuan Penutup

Jika dilihat di dalam Peraturan Menteri ini


yang diakses melalui JDIH Kemenperin
terdapat bab yang hilang di dalam batang
tubuh yaitu bab III.

126
NO. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7
2. Pasal 6 Kejelasan Penggunaan Ketepatan Ketentuan ekspor bahan baku/penolong Harmonisasi
Rumusan bahasa, istilah, telah di atur lebih lanjut di dalam dengan PP No
Rekomendasi Ekspor diberikan kata Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun
berdasarkan:
28 Tahun 2021
2021 tentang penyelenggaraan di bidang
a. kebutuhan dalam negeri; dan perindustiran
b. kemampuan produksi dalam
negeri PP No 28 Tahun 2021 khususnya pasal 9
telah memberikan pengaturan mengenai
larangan dan pembatasan ekspor bahan
baku/penolong:

Larangan dengan pertimbangan sbb:

a. merupakan Bahan Baku dan/atau


Bahan Penolong yang strategis dan
terbatas;
b. Sebagai cadangan penyangga
ketersediaan Bahan Baku dan/atau
Bahan Penolong untuk Industri;
dan/atau
c. kepentingan nasional lainnya.

Pembatasan dengan pertimbangan sbb:

a. Bahan Baku dan/atau Bahan


Penolong sudah dapat diolah di
dalam negeri, namun pasokannya
belum mencukupi kebutuhan
Industri;
b. Bahan Baku dan/atau Bahan
Penolong yang diolah akan

127
NO. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7
mempunyai nilai tambah yang
tinggi;
c. menjaga kestabilan harga Bahan
Baku dan/atau Bahan Penolong;
dan/atau
d. kepentingan nasional lainnya.

Oleh karena itu pemberian rekomendasi


ekspor bahan baku harus memperhatikan
ketentuan PP No 28 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Bidang Perindustrian
khususnya mengenai pembatasan dan
pelarangan ekspor bahan baku/bahan
penolong

3. Pasal 11 Kejelasan Penggunaan Kejelasan Didalam Pasal 11 peremnperin ini Ubah


Rumusan bahasa, istilah, mengatur mengenai pemberian
Rekomendasi Impor diberikan kata rekomendasi impor.
berdasarkan:
a. kebutuhan dalam negeri; Salah satu dasar pemeberian rekomendasi
b. kemampuan produksi dalam impor didalam pasal 11 huruf c yaitu
negeri; dan kinerja masa lalu.
c. kinerja masa lalu.
Penjelasan mengenai kinerja masa lalu
tidak terdapat penjelasannya di
permenperin ini. Apa yang menjadi
indikator dari kinerja masa lalu? Apa
realisasi impor 1 tahun sebelumnya? 2
tahun sebelumnya? Apa 5 tahun terakhir?

128
NO. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7
Ketentuan kinerja masa lalu tersebut
dapat minimbulkan multi tafsir jika tidak
dijelaskan secara terperinci.

Sehingga perlu dijelaskan secara


mendatail apakah yang dimaksud dengan
kinerja masa lalu pada permenperin ini

4. Pasal 10 Disharmoni Kewenangan Pengatruran Bahan Bakar lain merupakan bahan Ubah
Impor Bahan Bakar Lain dilakukan Pengaturan mengenai hal baku/bahan penolong dalam permenperin
oleh: yang sama pada 2 ini. Di ketentuan pasal 10 permenperin ini
a. Importir Produsen; atau (dua) atau lebih impor dapat dilakukan oleh Importir
b. Importir Umum. peraturan yang Produsen dan Importir Umum.
berbeda hierarki,
tetapi Untuk ketentuan impor bahan
memberikan baku/bahan penolong industri telah diatur
kewenangan yang di dalam Peraturan Pemerintah No. 28
berbeda Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan
Bidang Perindustrian khususnya di pasal
19 bahwa Impor Bahan Baku dan atau
Bahan Penolong hanya dilakukan oleh
Perusahaan Industri yang memiliki nomor
induk berusaha yang berlaku sebagai
Angka Pengenal Importir Produsen (API-
P). Dan dalam hal impor Bahan Baku
dan/atau Bahan Penolong diperuntukan
bagi Industri kecil dan Industri menengah
yang tidak dapat melaksanakan importasi
sendiri, dapat dilakukan oleh pusat
penyedia Bahan Baku dan/atau Bahan
Penolong yang memiliki nomor induk

129
NO. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7
berusaha yang berlaku sebagai Angka
Pengenal Importir Umum (API-U).

Jadi ketentuan pasal 10 permenperin ini


bertentangan dengan ketentuan pasal 19
PP No 28 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaran Perindustrian.

14. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor : 02/M-Ind/Per/1/2014 Tentang Pedoman Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri Dalam
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

No. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7

1. Dasar hukum mengingat: Penilaian Kesesuaian Dasar hukum Dasar hukum peraturan ini sudah Ubah
Kejelasan dengan mengingat sudah berubah:
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun
Rumusan tidak berlaku lagi
1984 tentang Perindustrian sistematika dan
1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun
teknik
2. Undang-Undang Nornor 18 Tahun 2014 tentang Perindustrian
1999 tentang Jasa Konstruksi penyusunan 2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun
peraturan 2017 tentang Jasa Konstruksi
3. Peraturan Presiden Nomor 47
Tahun 2009 tentang Pembentukan perundang- 3. Perpres 32 Tahun 2021 tentang
dan Organisasi Kementerian Negara undangan Perubahan Atas Perpres 68 Tahun
sebagaimana telah beberapa kali

130
No. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7

diubah terakhir dengan Peraturan 2019 tentang Organisasi


Presiden Nomor 91 Tahun 2011 Kementerian Negara
4. Peraturan Presiden Republik
4. Peraturan Presiden Nomor 24
Indonesia Nomor 16 Tahun 2018
Tahun 2010 tentang Kedudukan,
Tugas dan Fungsi Kementerian tentang Pengadaan Barang/Jasa
Negara serta Susunan Organisasi, Pemerintah
Tugas dan Fungsi Eselon I 5. Peraturan Menteri Perindustrian
Kementerian Negara sebagaimana No 7 Tahun 2021 tentang
telah beberapa kali diubah terakhir Organisasi dan Tata Kerja
dengan Peraturan Presiden Nomor Kementerian Perindustrian
92 Tahun 2011

5. Peraturan Presiden Nomor 54


Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah
sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Peraturan
Presiden Nomor 79 Tahun 2012

6. Keputusan Presiden Nomor 84/P


Tahun 2009 tentang Pembentukan
Kabinet Indonesia Bersatu II Periode
Tahun 2009 - 2014 sebagaimana
telah diubah dengan Keputusan
Presiden Nomor 59/PTahun 2011

7. Peraturan Menteri Perindustrian


Nomor 105/MIND/PER/ 10/2010

131
No. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7

tentang Organisasi dan Tata Kerja


Kementerian Perindustrian;

2. Pasal 12 Penilaian Penggunaan Mudah dipahami Sebaiknya dicari padanan kata dalam ubah
Kejelasan bahasa, istilah, Bahasa Indonesia untuk kata on-shore
(1) Perusahaan Jasa Dalam Negeri
Rumusan kata dan off-shore
harus menjadi pimpinan konsorsium
(lead firm) dalam konsorsium/kerja
sama operasi untuk jasa konstruksi Menurut Kamus Bahasa Inggris
on-shore. Terjemahan Indonesia, arti
kata “offshore” adalah jauh dari pantai
(3) Dalam pekerjaan jasa konstruksi atau di lepas pantai, sedangkan arti kata
off-shore, Perusahaan Jasa Dalam “on shore" adalah “ di pantai”
Negeri wajib melakukan pekerjaan
paling sedikit 30% (tiga puluh
perseratus) dari batas minimal
sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) sesuai dengan ukuran nilai
kontrak.

3. Pasal 22 Penilaian Penggunaan Tepat Lebih tepat menggunakan kata survei ubah
Kejelasan bahasa, istilah, daripada surveyor.
(2) Capaian TKDN barang dan
Rumusan kata
capaian BMP sebagaimana
Pengertian kata survei dalam
dimaksud pada ayat ( 1) merupakan
capaian yang telah diverifikasi oleh KBBI adalah:
lembaga surveyor independen dan 1. teknik riset dengan memberi batas
telah mendapatkan tanda sah. yang jelas atas data; penyelidikan;
peninjauan.

132
No. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7

2. pengukuran (tanah)

Surveyor adalah seseorang yang


melakukan pemeriksaan atau
mengawasi dan mengamati suatu
pekerjaan lainnya.

Dalam dunia kerja istilah Surveyor


kebanyakan menjurus pada dunia
lapangan yang nanti nya menjadi objek
utama dalam hal menjalankan tugas nya.

4. Pasal 23 Penilaian Penggunaan Mudah dipahami Sebaiknya dicari padanan kata dalam Ubah
Kejelasan bahasa, istilah, Bahasa Indonesia untuk kata online.
(1) Daftar lnventarisasi Barang/Jasa
Rumusan kata
Produksi Dalam Negeri sebagaimana
Dalam bahasa Indonesia istilah online
dirnaksud dalam Pasal 22 ayat (1)
dipublikasikan secara on-line pada dipadankan menjadi dalam jaringan
situs web Kementerian (daring), yaitu perangkat elektronik yang
Perindustrian dan diperbaharui terhubung ke jaringan internet.
setiap saat apabila ada perubahan Sedangkan istilah offline dipadankan
dan penambahan data. menjadi luar jaringan (luring) yaitu tidak
terhubungnya perangkat elektronik ke
(4) Dalam hal terdapat perbedaan
jaringan internet.
capaian TKDN atau capaian BMP
Sumber:
dalam Daftar lnventarisasi
Badan Pengembangan dan Pembinaan
Barang/Jasa Produksi Dalam Negeri
yang dipublikasikan secara online Bahasa Kemendikbud

133
No. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7

sebagaimana dimaksud pada ayat (


1) dengan Daftar

Inventarisasi Barang/ Jasa Produksi


Dalam Negeri yang diterbitkan
dalam bentuk buku atau CD-ROM
sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), berlaku capaian TKDN atau
capaian BMP pada Daftar
Inventarisasi Barang/Jasa Produksi
Dalam Negeri sebagaimana

dimaksud pada ayat (1).

5. Pasal 43 Efektivitas Aspek Efektivitas Apakah ada sanksi/teguran /peringatan Ubah


Pelaksanaan Koordinasi Koordinasi antar jika Pimpinan K/L/D /I, Bank Indonesia,
(1) Penggunaan produksi dalam
Peraturan instansi terkait Lembaga Penjamin Simpanan, Otoritas
negeri dalam pengadaan barang/ kelembagaan/ta
Perundang- Jasa Keuangan, Perguruan Tinggi Negeri
jasa pemerintah sebagaimana ta organisasi
Undangan Badan Hukum, dan BUMN/BUMD
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
terlambat atau tidak melaporkan hasil
dilaporkan oleh Pimpinan K/L/D /I,
kerjanya kepada Menteri selaku Ketua
Bank Indonesia, Lembaga Penjamin
Timnas P3DN.
Simpanan, Otoritas Jasa Keuangan,
Perguruan Tinggi Negeri Badan Hal ini belum tercantum dalam
Hukum, dan BUMN/BUMD kepada peraturan ini.
Menteri selaku Ketua Timnas P3DN
setiap tahun paling lambat pada
minggu kedua bulan Januari pada
tahun berikutnya.

134
No. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7

(2) Menteri selaku Ketua Timnas


P3DN melaporkan hasil penggunaan
produksi dalam negeri dalam
pengadaan barang/ jasa pemerintah
kepada Presiden setiap tahun paling
lambat pada minggu kedua bulan
Februari pada tahun berikutnya.

6. Pasal 45 Efektivitas Aspek Relevansi Pengaturan dalam Dari data yang ada Anugrah Cinta Karya Sesuaikan
Pelaksanaan dengan peraturan masih Bangsa terakhir diberikan pada tahun
(1) Presiden memberikan
Peraturan relevan untuk 2016. Perlu dilakukan evaluasi apakah
penghargaan atas penggunaan situasi saat ini
Perundang- penghargaan seperti ini perlu atau tidak
produk dalam negeri setiap tahun diberlakukan
kepada Pimpinan K/L/D/I, Bank Undangan untuk dilanjutkan.
secara efisien
Indonesia, Lembaga Penjamin
Simpanan, Otoritas Jasa Keuangan,
Perguruan Tinggi Negeri Badan
Hukum, dan BUMN/BUMD.

(2) Penghargaan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) berupa
Anugrah Cinta Karya Bangsa

135
15. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 17 Tahun 2019 Tentang Pengendalian Dan Pengawasan Industri Minuman Beralkohol

No. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7
1. Pasal 12 Efektivitas Aspek Pengaturan dalam Pembebanan biaya pelaksanaan Audit Ubah
Pelaksanaan operasional peraturan tidak Kemampuan Produksi kepada
(5) Biaya pelaksanaan Audit Perusahaan Industri Minuman
Peraturan atau tidaknya dapat
Kemampuan Produksi Beralkohol yang akan
Perundang- Peraturan dilaksanakan
sebagaimana dimaksud pada
Undangan secara efektif mengajukan perubahan lUl, dapat
ayat (1) dibebankan kepada
Perusahaan Industri Minuman menimbulkan ketidaknetralan dalam
Beralkohol yang akan proses pelaksanaan audit.
mengajukan perubahan lUl Perlu dipertimbangkan alternatif lain
untuk penambahan kapasitas terkait pembiayaan pelaksanaan Audit
produksi. Kemampuan Produksi ini.

2. Pasal 13 Kejelasan Penggunaan Tegas Bagaimanakah jika dalam waktu 10 Ubah


Rumusan bahasa, istilah, (sepuluh) hari setelah diterimanya
(2) Dinas Kabupaten/Kota harus
kata permohonan tidak dilakukan
melaksanakan pemeriksaan
pemeriksaan lapangan oleh Dinas
lapangan sebagaimana
Kabupaten/Kota?
dimaksud pada ayat (1) paling
lambat 10 (sepuluh) hari setelah Apakah rencana perubahan lUI yang
diterimanya permohonan diajukan oleh Perusahaan Industri
pemeriksaan lapangan. Minuman Beralkohol akan otomatis
disetujui atau ditolak.

Hal ini belum jelas tercantum dalam


peraturan ini.

136
No. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7
3. Pasal 26 Kejelasan Penggunaan Tidak Tidak jelas tercantum dalam Pasal ini Ubah
Rumusan bahasa, istilah, menimbulkan pelarangan melaksanakan kegiatan
Perusahaan Industri Minuman
kata ambiguitas/multit industri beralkohol yang IUI nya dicabut
Beralkohol yang lUlnya dicabut
afsir selama berapa lama waktunya.
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
25 dilarang melaksanakan kegiatan Apakah pelarangan ini bersifat
industri Minuman Beralkohol. seterusnya atau ada jangka waktu
tertentu.

4. Pasal 30 Kejelasan Penggunaan Mudah dipahami Frasa “… jenis produk Minuman Diperjelas
rumusan bahasa, istilah, Beralkohol yang telah diberlakukan
c. wajib menerapkan Standar
kata secara wajib” tidak jelas maksudnya.
Nasional Indonesia (SNl)
Minuman Beralkohol untuk
jenis produk Minuman Yang dimaksud “diberlakukan secara
Beralkohol yang telah wajib” disini apakah ditujukan kepada
diberlakukan secara wajib. SNI Minuman Beralkohol atau ke jenis
produk Minuman Beralkohol

5. Pasal 43 Kejelasan Kesesuaian Penyebutan secara tertulis nama Ubah


Rumusan dengan Lembaga/Instansi dalam suatu peraturan
(2) Direktur Jenderal
sistematika dan perundang-undangan sebaiknya
menyampaikan rekomendasi
teknik dihindari karena nantinya akan
pengenaan sanksi berupa
penyusunan menimbulkan masalah jika
penurunan kapasitas produksi
sebagaimana dimaksud pada peraturan Lembaga/Instansi tersebut berubah
ayat (1) kepada Lembaga OSS. perundang- nama atau nomenklatur.
undangan

137
No. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7
Sebaiknya penyebutan “kepada Lembaga
OSS” dalam Pasal ini digantikan dengan
frasa “ … melalui pelayanan perizinan

berusaha terintegrasi secara elektronik”

16. Peraturan Menteri Perindustrian No 17 Tahun 2018 tentang Pedoman Nomenklatur Perangkat Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota yang
Melaksanakan Urusan Pemerintahan di Bidang Industri

No. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7

1. Menimbang Dimensi Penggunaan Konsisten antar 1. PP 28 Tahun 2016 tentang perangkat Ubah
kejelasan bahasa, istilah, ketentuan daerah yang menjadi rujukan
1. Peraturan Pemerintah No. 18
rumusan kata Permenperin 17 Tahun 2018 tentang
Tahun 2016 tentang
Pedoman Nomenklatur Perangkat
Perangkat Daerah
Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota
2. Peraturan Presiden No. 29
yang Melaksanakan Urusan
Tahun 2015 tentang
Pemerintahan di Bidang Industri
Kementerian Perindustrian
telah diubah terakhir melalui PP 72
3. Peraturan Menteri
Tahun 2019 tentang Perubahan Atas
Perindustrian No. 107/M-
PP 18 Tahun 2016 tentang
IND/PER/11/2015 tentang
Perangkat Daerah.
Organisasi dan Tata Kerja
2. Peraturan Presiden No. 29 Tahun
Kementerian
2015 tentang Kementerian

138
No. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7

Perindustrian telah dicabut dan


dinyatakan tidak berlaku oleh
Peraturan Presiden No. 107 Tahun
2020 tentang Kementerian
Perindustrian.
3. Peraturan Menteri Perindustrian No.
107/M-IND/PER/11/2015 tentang
Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian telah dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku oleh
Peraturan Menteri Perindustrian No.
7 Tahun 2021 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kementerian
Perindustrian.
2. Lampiran III Dimensi Aspek Efentivitas Dalam Lampiran III Dinas perindustrian Ubah
Efektivitas Koordinasi Koordinasi antar tingkat Provinsi serta kabupaten/kota
Pedoman Nomenklatur Perangkat
Pelaksanaan kelembagaan/ta instansi terkait mempunyai tusi perumusan,
Daerah Provinsi dan
Perundang- ta organisasi pelaksanaan regulasi daerah.
Kabupaten/Kota yang
undangan Indonesia mempunyai banyak
Melaksanakan Urusan
regulasi/perjanjian internasional dan
Pemerintahan Bidang Perindustrian
walaupun perjanjian tersebut belum
ditandatangani sifatnya sudah mengikat.
Indonesia juga bagian dari WTO dimana
tindakan Pemda dapat menjadi dasar
untuk pengajuan sengketa. Maka dari itu
koordinasi khususnya dalam pembuatan
regulasi dari seluruh K/L/Badan
termasuk Pemda perlu senantiasa
ditingkatkan. Dan melalui UU No. 11

139
No. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7

Tahun 2020 tentang Cipta kerja


memberikan banyak kewenangan
kepada Pemerintah Pusat untuk
mendukung kondisi yang usaha yang
semakin kondusif dan memberi
kepastian hukum.

17. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 41/M-IND/PER/12/2017 tentang Lembaga Sertifikasi Industri Hijau

No. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7

1. Mengingat PeraturanMenteri Kejelasan Penggunaan Konsisten antar Peraturan Menteri Perindustrian No. Agar disusun
Perindustrian No. 107/M- Rumusan bahasa, istilah, ketentuan 107/M-IND/PER/11/2015 tentang Peraturan Menteri
IND/PER/11/2015 tentang kata Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Perindustrian
Organisasi dan Tata Kerja Perindustrian masih merujuk kepada tentang Ortaker
Kementerian Perindustrian Peraturan Presiden No. 29 Tahun 2015 terbaru yang
tentang Kementerian Perindustrian. disesuaikan
Peraturan Presiden No. 29 Tahun 2015
dengan Perpres
tentang Kementerian Perindustrian
No. 107 tahun
sebagaimana telah diubah dengan
2020 tentang
Peraturan Presiden No. 69 Tahun 2018
Kementerian
tentang Perubahan atas Peraturan
Presiden No. 29 Tahun 2015 tentang Perindustrian
Kementerian Perindustrian saat ini telah
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku
oleh Peraturan Presiden No. 107 tahun

140
No. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7

2020 tentang Kementerian


Perindustrian.

Peraturan Menteri No. 107/2015 terkait


organisasi dan tata kerja di Kementerian
Perindustrian perlu diperbaiki dan
disesuaikan dengan Pepres 107 Tahun
2020.

2. Pasal 4 ayat 1 Kejelasan Penggunaan Konsisten antar Substansi Peraturan Presiden No. 107 Rumusan
Rumusan bahasa, istilah, ketentuan Tahun 2020 tentang Kementerian Peraturan Menteri
Lembaga Sertifikasi Industri Hijau
kata Perindustrian menyesuaikan dengan UU Perindustrian
(LSIH) sebagaimana dimaksud dalam
No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. 41/2017 perlu
Pasal 2 wajib melaporkan hasil
Salah satunya struktur organisasi dengan diperbaiki dengan
kinerja Sertifikasi Industri Hijau
menghapus Badan Penelitian dan terlebih dahulu
kepada Kepala BPPI secara berkala
Pengembangan Industri (BPPI) dan Staf menerbitkan
setiap tahun
Ahli Bidang Komunikasi. Serta Ortaker terbaru
menambah 3 unit kerja baru antara lain: sesuai Perpres No.
Staf ahli bidang percepatan transformasi 107 tahun 2020
industri, Badan standarisasi dan tentang
kebijakan jasa industri, Staf ahli bidang Kementerian
penguatan kemampuan industri dalam Perindustrian
negeri.

Dengan dihapusnya BPPI perlu dilakukan


penyesuaian terhadap Permenperin
41/2017 dengan terlebih dahulu
menerbitkan peraturan teknis terbaru
mengenai organisasi dan tata kerja di
Kementerian Perindustrian pasca

141
No. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7

berlakunya UU No. 11 Tahun 2020


tentang Cipta Kerja

3. Pasal 2, Pasal 4 dan Pasal 6 Dimensi Kewajiban Adanya Lembaga Sertifikasi Industri Hijau (LSIH) Ubah
Disharmoni pengaturan dalam melakukan sertifikasi wajib
Pengaturan mengenai mengacu pada tata cara sertifikasi
kewajiban yang industri hijau sebagaimana diatur dalam
sama pada 2 (dua) Peraturan Menteri Perindustrian No. 39
atau lebih tahun 2018 tentang Tata Cara Sertifikasi
peraturan yang Industri Hijau. Pada Bab IV tentang
setingkat, tetapi Lembaga Sertifikasi Industri Hijau di
memberikan Permenperin 39/2018 terdapat
kewajiban yang inkonsistensi pengaturan sbb:
berbeda
1. Lembaga sertifikasi. Dalam
Permenperin 39/2018 diperluas menjadi
lembaga atau badan usaha berbadan
hukum (Psl 16). Sedangkan dalam
Permenperin 41/2017 hanya lembaga
sertifikasi saja (Psl 2).

2. Kewajiban melaporkan hasil


kinerja Sertifikasi Industri Hijau oleh LSIH.
Dalam Psl 4 Permenperin 41/2017,
pembekuan Sertifikat Industri Hijau
bukan merupakan materi yang wajib
dilaporkan. Sementara Pasal 23
Permenperin 39/2018 pembekuan
Sertifikat wajib dilaporkan.

142
No. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7

Laporan hasil kinerja sertifikasi industri


hijau pada pasal 4 ayat (1) Permenperin
41/2017 ditujukan kepada Kepala BPPI
sedangkan pasal 23 ayat (1) Permenperin
39/2018 ditujukan kepada Menteri
melalui kepada BPPI.

4. Pasal 5 Efektifitas Aspek Adanya instrumen Evaluasi terhadap penetapan LSIH Diubah
Pelaksanaan Pengawasan Monitoring dan sebaiknya dikaji kembali mengingat
Penetapan LSIH sebagaimana Sertifikasi industri
Peraturan Evaluasi rumusan pasal tersebut kurang memberi
dimaksud pada ayat (1) dapat hijau dalam rangka
Perundang- kepastian hukum dalam pelaksanaannya
dievaluasi setiap tahun atau apabila memenuhi
undangan . Jika dikaitkan dengan pasal 74 dan 75
diperlukan peraturan di
UU Ciker, pemerintah melakukan
bidang
pengawasan atas pemenuhan dan
perindustrian
kepatuhan standar industri hijau secara
didukung oleh
berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam
kinerja LSIH maka
1 (satu) tahun. Maka dari itu perlu
diperlukan
dipertegas kembali evaluasi penetapan
rumusan pasal
LSIH yang tertuang dalam rumusan pasal
yang lebih tegas
5 ini.
dalam
mengevaluasi
penetapan LSIH

143
18. Peraturan Menteri Perindustrian No 35 Tahun 2019 Penerbitan Pertimbangan Teknis untuk Pengecualian dari Pemberlakuan Standar
Nasional Indonesia untuk Produk Besi/Baja dan Kabel Secara Wajib

No. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7

1. Mengingat Dimensi Penggunaan Konsisten antar Peraturan Presiden No. 29 Tahun 2015 Diubah disesuaikan
kejelasan bahasa, istilah, ketentuan tentang Kementerian Perindustrian dengan Peraturan
Peraturan Presiden Nomor 29
rumusan kata sebagaimana telah diubah dengan Presiden No. 107
Tahun 2015 tentang Kementerian
Peraturan Presiden No. 69 Tahun 2018 tahun 2020
Perindustrian sebagaimana
tentang Perubahan atas Peraturan tentang
telahdiubah dengan Peraturan
Presiden No. 29 Tahun 2015 tentang Kementerian
Presiden Nomor 69 Tahun 2018
Kementerian Perindustrian saat ini telah Perindustrian.
tentang Perubahan atas Peraturan
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku
Presiden Nomor 29 Tahun 2015
oleh Peraturan Presiden No. 107 tahun
tentang Kementerian Perindustrian
2020 tentang Kementerian
Perindustrian. Peraturan Menteri No.
107/2015 terkait organisasi dan tata
kerja di Kementerian Perindustrian perlu
diperbaiki dan disesuaikan dengan
Pepres 107 Tahun 2020.

2. Pasal 1 Ayat (1), (2) dan (3) Dimensi Penggunaan Konsisten antar Pasal 53 ayat 2 Undang-undang No. 3 Diubah,
Dimensi bahasa, istilah, ketentuan Tahun 2014 tentang Perindustrian disesuaikan
kejelasan kata menetapkan pengecualian dengan UU 11
rumusan pemberlakuan SNI secara wajib bagi Tahun 2021 tentag
pelaku usaha pemilik API-Produsen dan Cipta Kerja dan PP
API-Umum dilakukan oleh Menteri yang No. 28 Tahun 2021
menyelenggarakan urusan Pemerintah- tentang
an di bidang Perindustrian. Melalui Penyelenggaraan

144
No. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7

Undang-undang No. 11 Tahun 2020 Bidang


tentang Cipta Kerja, kewenangan Perindustrian.
Menteri pada pasal 53 tersebut menjadi
kewenangan Pemerintah Pusat yang
penetapannya diatur melalui Peraturan
Menteri (Pasal 36 PP No. 28 Tahun 2021
tentang Penyelenggaraan bidang
Perindustrian).
Lebih lanjut dalam PP 28/2021, Permen
tersebut yakni yang mengatur tentang
Pemberlakuan SNI, Spesifikasi Teknis
dan/atau Pedoman Tata Cara secara
wajib dari masing-masing barang
industri.

19. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 45 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pemberian Izin Usaha Kawasan Industri dan Izin Perluasan
Kawasan Industri Dalam Kerangka Pelayanan Perizinan Berusaha Berintegrasi Secara Elektronik

No. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7

1. Keseluruhan Pasal Kejelasan Kesesuaian Mencerminkan isi Dalam Peraturan Menteri ini terdiri dari
Rumusan dengan peraturan 10 (sepuluh) bab: BAB I Ketentuan
sistematika dan Umum, BAB II Pelayanan Perizinan
teknik Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik,

145
No. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7
penyusunan BAB III Tata Cara Penerbitan lUKl dan
peraturan IPKl, BAB IV Pengelolaan Kawasan
perundang- Industri, BAB V Kewenangan
undangan Pemeriksaan Lapangan, BAB VI
Kewajiban Perusahaan Kawasan
Industri, BAB VII Pembinaa, BAB VIII
Pengawasan, BAB IX Sanksi, BAB X
Ketentuan Peralihan, BAB XI Ketentuan
Penutup. Jika dilihat seksama di dalam
batang tubuh Peraturan Menteri ini
yang sumber filenya diakses melalui
JDIH Kemenperin terdapat bab yang
penomorannya sama yaitu Bab X Sanksi
dan BAB X Ketentuan Peralihan

2. Bab II Pelayanan Perizinan Efektifitas Aspek SOP Ketersediaan SOP Bab ini berisikan tentang pengaturan Ubah
Berusaha Terintegrasi Secara Pelaksanaan yang jelas, pelayanan perizinan berusaha
Elektronik PUU lengkap, dan terintegrasi secara elektronik
benar-benar sebagaimana diatur pada PP 24/2018
Pasal 2 s.d Pasal 8
diterapkan. tentang Pelayanan Perizinan Berusaha
Terintegrasi Secara Elektronik atau
Online Single Submission (OSS) khusus
sektor perindustrian.

Dengan terbitnya peraturan


pelaksanaan UU 11/2020 tentang Cipta
Kerja yaitu PP Nomor 5 Tahun 2021
tentang Penyelenggaraan Perizinan

146
No. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7
Berusaha Berbasis Risiko, perubahan
mendasar pada perizinan berusaha yaitu
sebelumnya kegiatan berusaha baik
yang usaha mikro, kecil, menengah, dan
besar seluruhnya dipersyaratkan
perizinan berusaha berbasis izin
sekarang berubah menjadi berbasis
risiko. Maka secara implementatif dan
hierarki peraturan perundang-
undangan, maka Permen ini dinyatakan
tidak lagi berlaku karena pengaturan
terkait sistem Perizinan Berusaha
terintegrasi secara elektronik telah
diatur PP 5/2021 tentang
Penyelenggaraan Perizinan Berusaha
Berbasis Risiko.

3. Pasal 2 Disharmoni Di dalam Pasal 2 ayat (1) Permenperin ini Disesuaikan


Pengaturan mengatur bahwa Pelayanan Perizinan dengan Peraturan
(1) Pelayanan Perizinan Berusaha
Berusaha dilakukan melalui sistem OSS Pemerintah Nomor
dilakukan melalui sistem OSS
berdasarkan ketentuan peraturan 5 Tahun 2021
berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang tentang
perundan – undangan di bidang
pelayanan OSS. Peraturan perundang- Penyelenggaraan
pelayanan OSS.
undangan di bidang pelayanan OSS yaitu Perizinan Berusaha
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun Berbasis Resiko
2018 tentang Pelayanan Perizinan
Berusaha Terintegrasi secara Elektronik
telah dicabut dan dinyatakan tidak

147
No. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7
berlaku oleh Pasal 565 Peraturan
Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021
tentang Penyelenggaraan Perizinan
Berusaha Berbasis Risiko.

20. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 15 Tahun 2019 tentang Penerbitan Izin Usaha Industri dan Izin Perluasan Dalam Kerangka
Pelayanan Perizinan Berusaha Berintegrasi Secara Elektronik

No. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7

1. Bab II : Pelayanan Perizinan Efektifitas Aspek SOP Ketersediaan SOP Dengan terbitnya peraturan pelaksanaan Ubah
Berusaha Terintegrasi Secara Pelaksanaan yang jelas, UU 11/2020 tentang Cipta Kerja yaitu PP
Elektronik PUU lengkap, dan Nomor 5 Tahun 2021 tentang
benar-benar Penyelenggaraan Perizinan Berusaha
Pasal 2 s.d Pasal 4 Berbasis Risiko, perubahan mendasar
diterapkan.
pada perizinan berusaha yaitu
sebelumnya kegiatan berusaha baik yang
usaha mikro, kecil, menengah, dan besar
seluruhnya dipersyaratkan perizinan
berusaha berbasis izin sekarang berubah
menjadi berbasis risiko. Maka secara
implementatif dan hierarki peraturan
perundang-undangan, maka Permen ini
dinyatakan tidak lagi berlaku karena
pengaturan terkait sistem Perizinan

148
No. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7

Berusaha terintegrasi secara elektronik


telah diatur PP 5/2021 tentang
Penyelenggaraan Perizinan Berusaha
Berbasis Risiko.

2. Pasal 2 Disharmoni Kewenangan Adanya Di dalam Pasal 2 ayat (1) Permenperin ini cabut
Pengaturan pengaturan mengatur bahwa pelayanan penerbitan
(1) Pelayanan penerbitan mengenai hal perizinan berusaha dilakukan melalui
Perizinan Berusaha dilakukan yang sama pada 2
sistem OSS berdasarkan ketentuan
melalui laman OSS (dua) atau lebih
peraturan yang peraturan perundang-undangan di
berdasarkan ketentuan
berbeda hierarki, bidang pelayanan perizinan berusaha
peraturan perundang-
tetapi terintegrasi secara elektronik. peraturan
undangan di bidang
memberikan perundang-undangan di bidang
pelayanan perizinan berusaha kewenangan yang pelayanan perizinan berusaha
terintegrasi secara elektronik. berbeda. terintegrasi secara elektronik yaitu
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
2018 tentang Pelayanan Perizinan
Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik
telah dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku oleh Pasal 565 Peraturan
Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021
tentang Penyelenggaraan Perizinan
Berusaha Berbasis Risiko.

3. Pasal 8 ayat (2) huruf a Disharmoni Kewajiban Adanya Pasal 8 ayat (2) huruf a berbunyi: ubah
Pengaturan pengaturan
Perusahaan Industri sebagaimana “(2) Perusahaan Industri sebagaimana
mengenai
dimaksud pada ayat (1) dapat dimaksud pada ayat (1) dapat
kewajiban yang
dikecualikan dari kewajiban
sama pada 2 (dua)

149
No. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7

berlokasi di Kawasan Industri, atau lebih dikecualikan dari kewajiban berlokasi di


dengan ketentuan: peraturan yang Kawasan Industri, dengan ketentuan:
berbeda hierarki,
a. berlokasi di daerah a. berlokasi di daerah Kabupaten/Kota
tetapi
Kabupaten/Kota yang: yang:
memberikan
1. belum memiliki Kawasan 1. belum memiliki Kawasan
kewajiban yang
Industri; atau Industri; atau
berbeda.
2. telah memiliki Kawasan 2. telah memiliki Kawasan
Industri tetapi seluruh Industri tetapi seluruh kaveling
kaveling Industri dalam Industri dalam Kawasan
Kawasan Industrinya telah Industrinya telah habis;
habis;
Dengan munculnya UU Cipta Kerja,
ternyata ada penambahan ketentuan
yang diatur, yakni terkait Kawasan
Ekonomi Khusus. Penambahan
ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 44
angka 13 UU 11/2020 tentang Cipta Kerja
yaitu perubahan Pasal 106, yang pada
ayat (2) berbunyi:

(2) Kewajiban berlokasi di Kawasan


Industri sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikecualikan bagi Perusahaan
Industri yang akan menjalankan Industri
dan berlokasi di daerah kabupaten/kota
yang:

a. belum memiliki Kawasan Industri;

150
No. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7

b. telah memiliki Kawasan Industri


tetapi seluruh kaveling Industri
dalam Kawasan Industrinya telah
habis; atau
c. terdapat Kawasan Ekonomi Khusus
yang memiliki zona industri.

Dengan penambahan ketentuan dari UU


Cipta Kerja tersebut maka Pasal 8
Permenperin ini harus disesuaikan
dengan ketentuan yang telah diatur di
UU Cipta Kerja.

4. Bab V : Pengawasan Efektifitas Aspek - Mekanisme pengawasan yang diatur Ubah


Pelaksanaan Pengawasan dalam Permen ini sudah cukup detil
Pasal 32 s.d Pasal 33
PUU sebagaimana terdapat pada Pasal 32.
Pengawasan dilakukan satu kali setiap
tahunnya dan jika ditemukan
pelanggaran akan dilaporkan pada sistem
OSS oleh Dirjen, Dinas Provinsi, maupun
Dinas Kab./Kota sesuai kewenangannya.
Akan tetapi tidak diatur ketentuan
mengenai mekanisme koordinasi untuk
pengawasan perizinan. Ketentuan lain
yang tidak diatur dalam Permenperin ini
adalah mekanisme fasilitasi perizinan
seperti pelayanan informasi dan tata cara
memperoleh insentif.

151
21. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 37 Tahun 2006 tentang Pengembangan Jasa Konsultasi Industri Kecil dan Menengah

No. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7

1. Menimbang Ketepatan Jenis (berdasarkan Peraturan Menteri termasuk salah satu Tetap
Peraturan kewenangan) jenis peraturan perundang-undangan
Perundang- yang diatur dalam Pasal 8 ayat (1) UU No.
undangan 12/2011. Pasal 8 ayat (2) UU No. 12/2011
tidak hanya mengatur keberadaan
peraturan perundang-undangan atas
dasar delegasi (peraturan yang
diperintahkan oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi).
Pasal 8 ayat (2) UU No. 12/2011 juga
menegaskan adanya peraturan
perundang-undangan “yang dibentuk
atas dasar kewenangan”.

Istilah “kewenangan” dalam ketentuan


tersebut, tentu saja bukan kewenangan
membentuk peraturan melainkan
kewenangan pada ranah lain. Misalnya,
Menteri melaksanakan kewenangan atas
urusan pemerintahan tertentu yang
merupakan kekuasaan Presiden. Artinya,
apabila Menteri membentuk Peraturan
Menteri tanpa adanya “perintah dari
peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi”, Peraturan Menteri tersebut

152
No. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7

tetap dikategorikan sebagai peraturan


perundang-undangan. Padahal dalam
doktrin tidak dikenal jenis peraturan
perundang-undangan demikian.

Oleh karena itu peraturan ini sudah tepat


dibentuk dalam jenis Peraturan Menteri
yang dibentuk berdasarkan kewenangan.

22. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 64/M- IND/PER/7 /2014 Tentang Pengawasan Dan Pengendalian Usaha Industri Rokok

NO. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7
1. Pasal 1 angka 8 Kejelasan Penggunaan Kejelasan Jika dilihat di dalam pasal 1 angka 8 Ubah
Rumusan bahasa, istilah, permenperin ini terdapat salah penulisan
Penggabungan adalah perbuatan kata (typo) terhadap kata Pperusahaan yang
hukum yang dilakukan oleh satu seharusnya Perusahaan. Peraturan Menteri
Pperusahaan Industri Rokok atau ini di peroleh dari JDIH Kemenperin dan jika
lebih untuk menggabungkan diri di lihat di web pengundangan Direktorat
dengan perusahaan industri rokok
Jenderal Peraturan Perundang-Undangan
lain yang telah ada dan selanjutnya
terhadap permenperin ini hasilnya pun
perusahaan industri rokok yang
menggabungkan diri menjadi sama mengelami typo
berakhir.

153
NO. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7
2. Pasal 2 Kejelasan Penggunaan Ketepatan Saat ini Badan Pusat Statistik telah Ubah
Rumusan bahasa, istilah, menerbitkan Klasifikasi Baku Lapangan
Industri Rokok diklasifikasikan dalam: kata Usaha 2020. Saat ini telah terdapat 4 KBLI
a. Industri Rokok Kretek (KBLI terhadap industri rokok yaitu:
12011) atau perubahannya;
b. Industri Rokok Putih (KBLI a. Industri Sigaret Kretek Tangan (KBLI
12012) atau perubahannya; 12011)
dan b. Industri Rokok Putih (KBLI 12012)
c. Industri Rokok lainnya (KBLI
c. Industri Sigaret Kretek Mesin (KBLI
12019) atau perubahannya.
12013)
d. Industri Rokok Lainnya (KBLI 12019)
Jika dilihat dari KBLI diatas dalam kaitannya
dengan permenperin ini KBLI 12011 di KBLI
2020 telah berubah menjadi industri
sigaret kretek tangan dimana dalam
permenperin ini KBLI 12011 ialah industri
rokok kretek.

Saat ini di KBLI 2020 terdapat pula KBLI


12013 yaitu industri sigaret kretek mesin
yang perlu di cantumkan juga dalam
permenperin ini.

3. Pasal 3 Disharmoni Kewenangan Pengatruran Didalam paragraph 7 Undang-Undang Cipta Ubah


Pengaturan mengenai hal kerja yang mengatur mengenai
1) Perusahaan Industri Rokok yang sama perindustrian yaitu pasal 44, izin usaha
sebagaimana dimaksud dalam pada 2 (dua) industri telah dirubah nomenklaturnya
Pasal 2 wajib memiliki Izin Usaha atau lebih menjadi perizinan berusaha.
Industri (IUI). peraturan
2) IUI sebagaimana dimaksud pada yang berbeda Pasal 101 UU 3 Tahun 2014
ayat ( 1) diterbitkan berdasarkan hierarki, tetapi

154
NO. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7
Daftar Bidang Usaha Yang memberikan (1) Setiap kegiatan usaha Industri wajib
Tertutup dan Bidang Usaha Yang kewenangan memiliki izin usaha Industri.
Terbuka Dengan Persyaratan di yang berbeda
Bidang Penanaman Modal. Pasal 101 Perubahan UU Cipta Kerja
3) IUI sebagaimana dimaksud pada
(1) Setiap kegiatan usaha Industri
ayat (1) untuk:
a. Penanaman Modal Asing wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari
diterbitkan oleh PTSP Pusat; Pemerintah Pusat.
dan
Sehingga pasal 3 ayat (1) permenperin ini
b. Penanaman Modal Dalam
harus disesuaikan dengan UU Cipta Kerja
Negeri diterbitkan oleh PTSP
Daerah.
4. Pasal 6 Disharmoni Kewenangan Pengatruran Pasal 6 permenperin ini mengetur Ubah
Pengaturan mengenai hal mengenai pemberian IUI kecil dan IUI
1) Perusahaan Industri Rokok yang yang sama menengah sebagaimana dimaksud di
telah memenuhi ketentuan pada 2 (dua) dalam pasal 3, pasal 4 dan pasal 5
sebagaimana dimaksud dalam atau lebih permenperin ini.
Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 dapat peraturan
diberikan IUI Kecil atau IUI yang berbeda Ketentuan mengenai Izin usaha kecil,
Menengah. hierarki, tetapi menengah dan besar merupakan
2) Pemberian IUI Rokok memberikan pengaturan di dalam pasal 101 ayat (5)
sebagaimana dimaksud pada kewenangan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014
ayat (1) dilakukan sesuai dengan yang berbeda tentang Perindustrian yang saat ini
keten tuan peraturan perundang-
Ketentuan tersebut telah di hapus di dalam
undangan tentang Ketentuan
UU Cipta Kerja yang dimana setiap kegiatan
dan Tata Cara Pemberian IUI, Izin
Perluasan dan Tanda Daftar usaha industri wajib memenuhi perizinan
Industri atau perubahannya. berusaha dari pemerintah pusat

155
23. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 86/M-IND/PER/9/2009 tentang Standar Nasional Indonesia Bidang Industri

NO PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7
1. Bab I Kejelasan Penggunaan Kejelasan Di dalam pasal 1 angka 4 berbunyi Ubah
Ketentuan Umum Rumusan Bahasa, istilah, “Penerapan SNI adalah kegiatan Produsen
(Pasal 1) kata atau Importir dalam menggunakan SNI
secara sukarela atau wajib”.
Kemudian di Pasal 1 angka 6 mengatur
terkait definisi Pemberlakuan SNI secara
wajib.
Namun dalam pasal 1 tersebut tidak
menyebutkan definisi terkait
Pemberlakuan SNI secara sukarela.
Hal tersebut menjadi tidak runut ketika
membaca BAB ketentuan umum, karena
SNI secara sukarela juga disinggung dalam
pasal 3 dan pasal 26.
Dalam perubahan kedepan terkait
Peraturan Menteri ini dapat dimasukkan
dalam ketentuan umum terkait SNI secara
sukarela / pemberlakuan SNI secara
sukarela.

2. Bab I Disharmoni Kewenangan Adanya Dalam pasal 1 angka 14 yang berbunyi Disesuaikan
Ketentuan Umum Pengaturan pengaturan "Badan Standardisasi Nasional, yang dengan UU
(Pasal 1 angka 14) mengenai hal selanjutnya disingkat BSN adalah Badan Standardisasi dan
yang sama yang membantu Presiden dalam Penilaian
pada 2 (dua) menyelenggarakan pengembangan dan Kesesuaian
atau lebih pembinaan di bidang strandardisasi sesuai
peraturan dengan peraturan perundang-undangan”
yang berbeda

156
NO PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7
hierarki, tetapi Ketika dibandingkan dengan Undang-
memberikan Undang Nomor 20 Tahun 2014 tentang
kewenangan Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian,
yang berbeda maka terdapat perbedaan terkait definisi
BSN.
BSN menurut UU Standardisasi dan
Penilaian Kesesuaian adalah lembaga
pemerintah nonkementerian yang
bertugas dan bertanggungjawab di bidang
Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian.
Dari definisi tersebut, maka dapat
dipahami adalah BSN tidak hanya
mengurus atau bertanggung jawab terkait
Standardisasi, melainkan juga di bidang
Penilaian Kesesuaian.

3. Bab II Efektivitas Aspek Relevansi Pengaturan Dalam pasal 2 yang mengatur terkait Disesuaikan
Perumusan dan Penerapan SNI Pelaksanaan dengan situasi dalam perumusan SNI ini melibatkan 3 unit, yaitu dengan Perpres
(Pasal 2) Peraturan saat ini peraturan BPPI (Badan Penelitian dan Pengembangan Nomor 107 Tahun
Perundang- masih relevan Industri) selaku koordinator standardisasi 2020 tentang
Undangan untuk bidang industri, Direktorat Jenderal Kementerian
diberlakukan Pembina Industri selaku pembina jenis- Perindustrian
secara efisien jenis industri dan BSN (Badan Standardisasi
Nasional) selaku lembaga yang bertugas
dan bertanggung jawab di bidang
standardisasi dan penilaian kesesuaian.
Namun ketika melihat Peraturan Presiden
Nomor 107 Tahun 2020 tentang
Kementerian Perindustrian, pada bagian
susunan organisasi tidak terdapat BPPI dan
Ditjen Pembina Industri.

157
NO PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7
Dengan dihapusnya atau berubah
nomenklatur terkait BPPI dan Ditjen
Pembina Industri di lingkungan
Kementerian Perindustrian, maka
Kementerian Perindustrian harus segera
melakukan perubahan terkait peraturan
menteri ini. Karena materi muatan yang
terdapat dalam BAB II sampai BAB VIII
dalam peraturan menteri ini adalah
mengatur hal teknis yang berkaitan dengan
BPPI, Ditjen Pembina Industri dan BSN.

24. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 64/M-IND/PER/7/2016 Tentang Besaran Jumlah Tenaga Kerja dan Nilai Investasi Untuk Klasifikasi
Usaha Industri

NO. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7
1. Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 Dimensi 6: Aspek Ketentuan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 dan Cabut
Efektivitas operasional Pasal 5 didalam permenperin ini mengatur
Pelaksanaan atau tidaknya mengenai kriteria industri kecil, menengah
PUU Peraturan dan besar yang ditetapkan berdasarkan
jumlah tenaga kerja dan/atau nilai
investasi.

Permenperin ini merupakan pelaksanaan


dari ketentuan pasal 102 Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2014 tentang
Perindustrian. Ketentuan 102 UU
Perindustrian mengenai kriteria industri

158
NO. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7
kecil, menengah dan besar yang
ditetapkan berdasarkan jumlah tenaga
kerja dan/atau nilai investasi. Saat ini
ketentuan pasal 102 UU Perindustrian
telah dihapus di dalam Undang-Undang
Cipta Kerja.

2. Pasal 6 Potensi Kewenangan Adanya Dalam pasal 6 Peraturan Menteri ini diatur Ubah
Disharmoni pengaturan bahwa Izin Usaha Industri bagi Industri Menyesuaikan
Izin Usaha Industri bagi Industri Kecil, Pengaturan mengenai hal Kecil, Industri, Menengah, dan Industri dengan UU Cipta
Industri Menengah, dan Industri yang sama Besar diberikan oleh Menteri, Gubernur, Kerja dan PP 28
Besar diberikan oleh Menteri, pada 2 (dua) dan Bupati/Walikota sesuai dengan Tahun 2021
Gubernur, dan Bupati/Walikota atau lebih kewenangannya masing-masing. tentang
sesuai dengan kewenangannya peraturan Dengan munculnya UU Cipta Kerja, Penyelenggaraan
masing-masing. yang berbeda ternyata mengatur hal yang berbeda. Bidang Industri
hierarki, tetapi Disebutkan dalam pasal 101 ayat 1
memberikan paragraf 7 terkait Perindustrian bahwa
kewenangan “Setiap kegiatan usaha Industri wajib
yang berbeda memenuhi Perizinan Berusaha dari
Pemerintah Pusat”.
Dan pasal di UU Cipta Kerja tersebut
diperkuat dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 28 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Bidang Perindustrian,
yang dalam hal ini selaku peraturan
turunan dari UU Cipta Kerja dibidang
Perindustrian.
Pasal 143 ayat (1) dan (2) berbunyi:
“(1) Setiap kegiatan usaha Industri dan
kegiatan usaha Kawasan Industri wajib
memenuhi Perizinan Berusaha dari
Pemerintah Pusat.

159
NO. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7
(2) Perizinan Berusaha untuk kegiatan
usaha Industri dan Perizinan Berusaha
untuk kegiatan usaha Kawasan Industri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan oleh Menteri.”
Dengan adanya aturan tersebut maka izin
usaha yang diatur dalam Pasal 6
Permenperin ini hanya diberikan oleh
Menteri saja, tidak untuk Gubernur dan
Walikota. Dengan kata lain kewenangan
Gubernur dan Walikota ini dihapus dalam
memberikan perizinan berusaha untuk
kegiatan usaha industri dan kegiatan
usaha kawasan industri.

160
25. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 30 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 15 Tahun 2019
Tentang Penerbitan Izin Usaha Industri dan Izin Perluasan Dalam Kerangka Pelayanan Berizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik

NO. PENGATURAN DIMENSI VARIABEL INDIKATOR ANALISIS REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7
1. Pasal 13, Pasal 23, Pasal Kejelasan Penggunaan Konsisten antar Saat ini istilah Izin Usaha Industri setelah Disesuaikan dengan
25, dan Pasal 36 Rumusan bahasa, istilah, ketentuan berlakunya Undang-Undang Nomor 11 UU Cipta Kerja
kata Tahun 2020 memakai istilah “Perizinan
Berusaha” untuk menyebut Izin Usaha
Industri serta semua nama-nama perizinan
berusaha di bidang industri. Demikian pula
yang diatur oleh PUU turunan UU Cipta Kerja
yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun
2021 tentang Penyelenggaraan Bidang
Perindustrian dan Peraturan Pemerintah 5
Tahun 2021 tentang Penyelenggaran
Perizinan Usaha Berbasis Resiko
menggunakan istilah Perizinan Berusaha.

2. Pasal 20 angka 1 huruf c Kejelasan Penggunaan Konsisten antar Saat ini istilah Izin lingkungan setelah Disesuaikan dengan
Rumusan bahasa, istilah, ketentuan berlakunya Undang-Undang Nomor 11 UU Cipta Kerja
Perusahaan Industri yang kata Tahun 2020 telah dirubah menggunakan
bersangkutan telah istilah “persetujuan lingkungan”. Demikian
memiliki Izin Lokasi dan pula yang diatur oleh PUU turunan UU Cipta
Izin Lingkungan yang Kerja yaitu Peraturan Pemerintah 5 Tahun
berlaku efektif sesuai 2021 tentang Penyelenggaran Perizinan
ketentuan peraturan Usaha Berbasis Resiko dan Peraturan
perundang-undangan. Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.

161

Anda mungkin juga menyukai