Anda di halaman 1dari 110

NASKAH AKADEMIK

TENTANG
PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN SITUBONDO


PROVINSI JAWA TIMUR
TAHUN 2017
LAMPIRAN

DRAFT

RANCANGAN
PERATURAN DAERAH KABUPATEN SITUBONDO
TENTANG
PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN SITUBONDO


PROVINSI JAWA TIMUR
TAHUN 2017
KATA PENGANTAR

Rasa syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang

Maha Kuasa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah serta

karunia-Nya, sehingga penyusunan Naskah Akademik untuk

menyusun Peraturan Daerah Kabupaten Situbondo Tentang

Pembentukan Produk Hukum Daerah dapat terselesaikan.

Penyusunan Naskah Akademik ini berpedoman pada

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan, sedangkan substansi dari

Naskah Akademik ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah

diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9

Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan

Presiden Nonomor 87 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan, dan Peraturan Menteri Dalam

Negeri Nomor 80 Tahun 2015 Tentang Pembentukan Produk

Hukum Daerah.

Naskah Akademik ini merupakan hasil penelitian atau

pengkajian terhadap dasar Pembentukan Produk Hukum Daerah

yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Mengingat

terbatasnya kemampuan yang dimiliki, kami menyadari bahwa

ii
Naskah Akademik ini masih jauh dari kesempurnaan dan terdapat

banyak kekurangan, oleh karena itu kami sangat mengharap

koreksi, saran, dan masukan guna untuk kesempurnaannya.

Demikian Naskah Akademik ini disusun mudah-mudahan

dapat bermanfaat dalam rangka Pembentukan Produk Hukum

Daerah di Kabupaten Situbondo.

Situbondo, 2017
Sekretaris Daerah,

ttd

Nama
Pangkat Golongan
NIP ......................

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................... i


KATA PENGANTAR ........................................................................ ii

DAFTAR ISI ................................................................................... iv

BAB I : Pendahuluan

1.1. Latar Belakang Masalah ............................................... 1


1.2. Identifikasi Masalah ..................................................... 6
1.3. Tujuan dan Keguanaan ................................................ 7
1.4. Metode Penelitian ......................................................... 9

BAB II : Kajian Teoretis Dan Praktik Empiris

2.1. Teori Negara Hukum .................................................... 10


2.2. Teori Perundang-Undangan ........................................... 11
2.3. Asas Penyusunan Peraturan Daerah .............................. 13
2.4. Asas- Asas Umum Pemerintahan Yang Baik ................... 19
2.5. Idealisme Pembentukan Hukum ..................................... 21
2.6. Urgensi Peraturan Daerah Di Era Otonomi Daerah ......... 28
2.7. Gambaran Umum Kabupaten Situbondo ........................ 51
2.8. Keuangan Daerah ......................................................... 60
2.9. Praktik Empirik Pembentukan Peraturan Hukum Daerah. 62

BAB III : Evaluasi Dan Analisis Terhadap Peraturan Perundang-


undangan terkait ........................................................ 65

BAB IV : Landasan Filosofis, Sosiologis, Dan Yuridis

4.1. Landasan Filosofis ........................................................ 77


4.2. Landasan Sosiologis ...................................................... 83
4.3. Landasan Yuridis .......................................................... 87

BAB V : Jangkauan, Arah Pengaturan, dan Ruang Lingkup Materi


Muatan Peraturan Daerah Kabupaten Situbondo

5.1. Sasaran Yang Akan Diwujudkan, Arah dan Jangkauan ... 94

iv
5.2. Materi Yang Akan Diatur ............................................... 94

BAB VI : Penutup

6.1. Kesimpulan ..................................................................... 98


6.2. Saran .............................................................................. 98

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN : DRAFT RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN


SITUBONDO TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM
DAERAH.

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sistem penyelenggaraan pemerintahan dalam

hubungannya antar pemerintahan di daerah dilaksanakan

berdasarkan asas desentralisasi, desentralisasi secara etimologis

istilah desentralisasi berasal dari bahasa latin yaitu ”de= lepas dan

”centrum” = pusat. Jadi, berdasarkan peristilahannya

desenteralisasi adalah melepaskan dari pusat. Berkaitan dengan

itu pula dikenal istilah otonomi yang berasal dari istilah

”outonomie” berasal dari bahasa yunani (autos = sendiri; nomos =

undang undang) yang berarti perundang undangan sendiri

(zelfwetgeving).1 Penerapan kebijakan desentralisasi merupakan

landasan normatif bagi pemerintah Kabupaten dalam membuat

kebijakan yang dituangkan di dalam sebuah aturan dengan

memperhatikan Penyelenggaraan pemerintahan daerah yang

demokratis yang dilaksanakan mengutamakan keseimbangan

antara tugas, wewenang, tanggung jawab, dan kewajiban, dalam

mengurus dan menjalankan pemerintahan. Secara teoritis sistem

pemerintahan ini dikenal dengan sistem desentralisasi, yang

mengandung dua unsur pokok yaitu terbentuknya daerah otonom

dan otonomi daerah. Pemerintah daerah dalam pembentukan

Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah, Pasang Surut Hubungan


1

Kewenangan Antara DPRD Dan Kepala Daerah PT Alumni Bandung 2008. hal.
21.
peraturan daerah yang disusun dalam program pembentukan

praturan daerah memerlukan tata cara penyusunan yang

disepakati anatara Pemerintah Kabupaten dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Kabupaten Situbondo yang selanjutnya disebut

DPRD Kab. Situbondo yang perlu disusun terlebih dahulu

dilakukan penelitian secara empiris terkait maksud dan tujuan

serta manfaat perlunya hal tersebut diatur melalui Naskah

Akademik.

Norma hukum dibutuhkan untuk mengatur hubungan

kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dalam hubungan yang

dibangun oleh setiap orang atau pihak, ditentukan oleh norma

yang mengaturnya. Norma yang mengatur ini menjadi pijakan

kepastian bersikap dan berperilakunya. Negara Indonesia sebagai

negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin kepastian,

ketertiban, dan perlindungan hukum bagi setiap warga negara.

Untuk menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum

dibutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat autentik mengenai

perbuatan, perjanjian, penetapan, dan peristiwa hukum.

Berdasarkan Lampiran I UU No. 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Naskah Akademik

adalah “naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil

penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan

1
masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang,

Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, Rancangan Peraturan

Daerah Kabupaten/Kota, sebagai solusi terhadap permasalahan

dan kebutuhan hukum masyarakat.”

Perlunya suatu Naskah Akademik sebagai acuan

pembentukan suatu Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana

dimaksud oleh pembentuk UU No. 12 Tahun 2011 ini, dapat

dilihat dari sudut suatu publikasi oleh Departemen Kehakiman

Hong Kong yang mengemukakan:

Legislative drafting is the art of converting legislative


proposals into the form of a legally sound and effective law.
Although it is important that legislation be drafted in a clear
and unambiguous manner, legislative drafting is not just a
literary exercise. Legislation is the framework within which
any society functions. Accordingly when a new or amending
law is proposed, the proposals must first be examined and
analysed against that existing framework to see how they
can be implemented. It is the task of the legislative drafter to
carry out that examination and analysis and come up with
the appropriate legislative concepts to give effect to the
proposals. Only after this has been done can the drafter
consider how best to express those concepts.2

Terjemahannya adalah Perancangan legislatif adalah seni

mengubah usulan-usulan legislatif (legislative proposals) ke dalam

bentuk suatu hukum yang dirumuskan secara legal dan efektif.

Meskipun penting bahwa peraturan perundang-undangan disusun

secara jelas dan tidak bertafsir jamak, tetapi perancangan legislatif

2Hong Kong Departmen of Justice, 2001. Legisltive Drafting In Hong


Kong. Crystallization in Definitive Form. Second edition. Law Drafting Division
Departmen of Justice, Hong Kong, China, hal. 3.

2
bukanlah hanya persoalan tata bahasa saja. Peraturan

perundang-undangan adalah kerangka di mana masyarakat

berfungsi (framework within which any society functions), oleh

karenanya, ketika hukum baru atau perubahannya diusulkan,

usulan tersebut harus dikaji dan dianalisis terhadap kerangka

(framework) tersebut untuk melihat bagaimana hukum itu dapat

diimplementasikan. Thomas Hobbes dalam “Leviathan” menyebut

hukum adalah perintah-perintah dari orang yang memiliki

kekuasaan untuk memerintah dan memaksakan perintahnya

kepada orang lain, Rudolf von Jhering dalam “Der Zweck Im

Recht” 1877-1882 menyebut hukum adalah keseluruhan

peraturan yang memaksa yang berlaku dalam suatu negara. Plato

berpendapat hukum merupakan peraturan-peraturan yang teratur

dan tersusun baik yang mengikat masyarakat. Aristoteles

berpendapat, bahwa hukum hanya sebagai kumpulan peraturan

yang tidak hanya mengikat masyarakat tetapi juga hakim.

Abdulkadir Muhammad menyatakan hukum adalah segala

peraturan tertulis dan tidak tertulis yang mempunyai sanksi yang

tegas terhadap pelanggarnya.

Sedangkan Mochtar Kusumaatmadja dalam “Hukum,

Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional (1976:15): bahwa

pemahaman hukum yang memadai harus tidak hanya

memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-

asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tapi

3
harus pula mencakup lembaga (institusi) dan proses yang

diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan.3

Dalam sebuah teori sistem dikatakan bahwa

regulasi/norma/hukum adalah faktor utama yang menentukan

baik dan tidaknya manusia. Manusia yang tidak baik jika

dimasukkan dalam sebuah sistem yang baik maka hampir dapat

dipastikan ia akan menjadi baik. Sebaliknya, sekalipun manusia

tersebut baik secara personal, saleh secara individual, tetapi

ketika ia ditempatkan dalam sebuah sistem atau lingkungan yang

tidak baik, maka ia pun akan menjadi tidak baik. Konsep

demikian inilah yang kemudian seperti mendapatkan legitimasinya

sebagaimana yang dikemukakan oleh Bordiew sebagai “habitus”. 4

Negara membuat norma yuridis untuk kepentingan

pergaulan manusia dalam hubungannya dengan manusia lain.

Meski demikian, ada beberapa pendapat mengenai hukum yang

antara sarjana satu dengan lainnya tidak sama

Tiap manusia mempunyai sifat, watak, dan kehendak

sendiri-sendiri. Namun di dalam masyarakat manusia

mengadakan hubungan antara yang satu dengan lainnya,

mengadakan kerjasama, tolong menolong, Bantu membantu, dan

3Penelitian“Konstruksi Perwakilan Daerah Dalam Sistem


Ketatanegaraan Indonesia”, Kerjasama DPD RI dan Universitas Brawijaya, Pusat
Pengkajian Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2009,
hlm. 15.
4Ahmad Zainuri, Gorontalo Butuh Regulasi Kos-kosan,
http://www.kompasiana.com/ahmad_zaenuri/gorontalo-butuh-regulasi-kos-
kosan_54f34caa7455139f2b6c6f95

4
lainnya untuk memperoleh keperluan hidupnya. Keperluan atau

kepentingan manusia kadang-kadang baru bisa dipenuhi oleh

manusia lainnya Peran manusia lain akan menjadikan terjadinya

hubungan sosial yang lebih baik dan saling menguntungkan.5

Di dalam teori terdapat cara atau metode untuk membuat

produk hukum yang baik menurut Leopold Pospisil produk hukum

yang baik adalah produk hukum yang materinya sebanyak

mungkin diambil dari common law (masyarakat) tetapi

wadahnya di beri bentukauthoritarian law. Kemudian

menurut Formelle theorie oleh Rick Dikersoern dan terakhir

ialah Filosofische thoerie oleh Jeremy Bentham yang berpendapat

bahwa suatu hukum dapat berlaku lama dan dipatuhi oleh

masyarakat jika memiliki sifat filosofis, sosiologis dan yuridis.6

Suatu produk yuridis memang harus mempertimbangkan banyak

aspek dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara ini, karena

daya berlakunya akan melibatkan banyak pihak dan berelasi

dengan beragam kepentingan. Meskipun barangkali yang dijadikan

target adalah satu atau beberapa obyek, namun seringkali

konsekuensinya dan dampaknya bersifat meluas. 7 Jika suatu

produk hukum ada yang tidak memiliki salah satu dari sifat

5 CST. Kansil, Pengantar Hukum dan Tata Hukum Indonesia,


Djambatan, Jakarta, 2000, hal. 33.
6Helmy Boemiya, Tinjauan Yuridis serta Konsekuensi Berlakunya
Suatu Produk Hukum Yang Tidak Memiliki Sifat Sosiologis,
https://boeyberusahasabar.wordpress.com/2012/11/27/tinjauan-yuridis-
serta-konsekuensi-berlakunya-suatu-produk-hukum-yang-tidak-memiliki-sifat-
sosiologis/.
7Ali Subhan, Pembetukan Hukum yang Progresif, Makalah, Malah,
205, hal. 1.

5
berlakunya produk hokum, maka dapat dikatakan produk hukum

itu produk hukum yang kurang baik. Karena jika tidak

mengandung sifat sosiologis produk hukum itu dibuat tanpa

melihat keadaan yang ada di masyarakat sehingga dalam

pembuatannya hanya asal-asalan, abal-abal dan rekayasa.

Akibtanya suatu produk hukum tersebut tidak efektif berlakunya

di masyarakat serta daya ikat masyarakat sangatlah rendah. 8

Efektivikasi hukum merupakan proses yang bertujuan agar

supaya hukum berlaku efektif. Keadaan tersebut dapat ditinjau

atas dasar beberapa tolok ukur efektivitas. Menurut Soerjono

Soekanto bahwa faktor tersebut ada lima, yaitu: 1) Hukumnya

sendiri, 2) penegak hukum, 3) Sarana dan fasilitas, 4)

Masyarakat, dan 5) Kebudayaan. 9

1.2. Identifikasi Masalah

1. Apakah yang menjadi landasan hukum dan kerangka

pemikiran bagi Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten

Situbondo tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah?

2. Apa yang menjadi dasar pertimbangan pembentukan

Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Situbondo tentang

Pembentukan Produk Hukum Daerah?

8Helmy Boemiya, Loc. Cit.


9Helmy Boemiya, Loc. Cit.

6
3. Bagaimanakah keterkaitan antara Rancangan Peraturan

Daerah Kabupaten Situbondo tentang Pembentukan Produk

Hukum Daerah dengan Peraturan Perundang-undangan

lainnya?

4. Apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup

pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dari

Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Situbondo tentang

Pembentukan Produk Hukum Daerah

1.3. Tujuan dan Kegunaan

Tujuan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik sesuai

dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan di

atas, tujuan penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan

Daerah Kabupaten Situbondo Tentang Pembentukan Produk

Hukum Daerah dirumuskan sebagai berikut:

1. Untuk mendeskripsikan dan merumuskan landasan hukum

dan kerangka pemikiran bagi Rancangan Peraturan Daerah

Kabupaten Situbondo Tentang Pembentukan Produk Hukum

Daerah.

2. Untuk menjadi pedoman dalam melakukan penyusunan

Produk Hukum Daerah.

Kegunaan Naskah Akademik tentang Rancangan Peraturan

Daerah Kabupaten Situbondo Tentang Pembentukan Produk

7
Hukum Daerah dapat diperoleh dari dua macam kegunaan, yakni

secara teoritis dan praktis.

1. Kegunaan Teoritis:

a. Memberikan gambaran yang tertulis sehingga dapat menjadi

panduan bagi pihak-pihak terkait, khususnya Bupati dalam

hal ini melalui bagian hukum untuk melakukan kajian lebih

lanjut terhadap perlunya produk legislasi.

b. Diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmu pengetahuan

terhadap Perangkat Daerah Kabupaten Situbondo mengenai

urgensinya Peraturan Daerah Kabupaten Situbondo Tentang

Pembentukan Produk Hukum Daerah.

c. Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam

mewujudkan tertib hukum terutama mengenai kedudukan

hukum terhadap Pembentukan Produk Hukum Daerah di

Kabupaten Situbondo.

2. Kegunaan Praktis:

a. Diharapkan dengan adanya penulisan naskah ini dapat

berguna dan menjadi bahan masukan bagi pihak-pihak

terkait dalam penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten

Situbondo tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah.

b. Diharapkan dapat memberikan paradigma baru tentang

substansi Peraturan Daerah Kabupaten Situbondo tentang

Pembentukan Produk Hukum Daerah.

8
1.4. Metode Penelitian

Kegiatan ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

“tailor made”, yakni berupaya menyusun mekanisme

Pembentukan Produk Hukum Daerah dengan melakukan analisis

terhadap kondisi eksisting yang ada sekarang serta kebutuhan di

masa yang akan datang, pengumpulan data yang digunakan

dengan cara studi literatur dan dokumentasi untuk

mengumpulkan data dan bahan berupa peraturan perundang-

undangan yang terkait dengan pengaturan kelembagaan

perangkat daerah. Selain itu, juga dilakukan pengumpulan data

dan bahan berupa hasil kajian yang sudah dilakukan sebelumnya

sebagai bahan perbandingan dan pengayaan analisis. Keseluruhan

hasil analisis digunakan untuk membangun argumentasi sebagai

dasar dalam melakukan Pembentukan Produk Hukum Daerah di

lingkungan pemerintah kabupaten Situbondo. Penyusunan

Naskah Akademik ini menggunakan metode yuridis normatif yang

dilakukan melalui studi pustaka yang menelaah data sekunder

yang berupa Peraturan Perundang-undangan, dokumen hukum

lainnya, serta hasil penelitian, hasil pengkajian, dan referensi

lainnya. Metode ini dilengkapi dengan diskusi (focus group

discussion) antara Tim Legal Drafter Kantor Wilayah Kementerian

Hukum dan HAM Jawa Timur bersama Bagian Hukum Pemerintah

Kabupaten Situbondo.

9
BAB II
KAJIAN TEORITIK DAN PRAKTIK EMPIRIK

2.1. Teori Negara Hukum

Indonesia merupakan negara hukum, sebagaimana diatur

dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar NRI 1945,

mengedepankan hak asasi manusia sebagai salah satu elemen

penting, selain eksistensi peraturan perundang-undangan. Dalam

sistem hukum Eropa Kontinental (Civil Law) dan Anglo Saxon

(Common Law), memiliki unsur yang sama, yakni perlindungan

hak asasi manusia (HAM). Oleh sebab itu, pengakuan akan

“negara hukum” dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 perlu

dikaitkan dengan Pasal 28 I ayat (5) Undang-Undang Dasar NRI

1945, yang menentukan : Untuk menegakan dan melindungi hak

assi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang

demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur,

dan dituangkan dalam peraturan perundangan-undangan.

Secara teori, pemikiran “negara hukum” Eropa Kontinental

dimulai oleh pemikiran Imanuel Kant, kemudian dikembangkan

oleh J.F Stahl. Pemikiran negara hukum tersebut, dipengaruhi

oleh pemikiran Ekonom Adam Smith saat itu. Julius Friedrich

Stahl, mengemukakan 4 unsur sebagai ciri negara hukum, yakni :

1.Tindakan pemerintah berdasarkan Undang-undang

(Legalitas)
2.Perlindungan HAM,

3.Pemisahan Kekuasaan,

4.Adanya peradilan administrasi.1

Ciri-ciri negara hukum yang dikemukakan oleh Friedrich

Julius Stahl dalam menguraikan “Konsep Negara Hukum”

(Rechtstaat), yang berbeda dengan konsep negara hukum Anglo

Saxon yakni The Rule of Law. Secara Konseptual “the rule of law”

Dalam Dictionary of Law, diartikan principle of government that all

persons and bodies and the government itself are equal before and

answerable to the law and that no person shall be punished without

trial.2 Kemudian oleh A.V Dicey yang mengemukakan mengenai

unsur-unsur konsep The Rule of law, yakni;

1.supremacy of law,

2.equality before the law,

3.the constitution based on individual rights.3

2.2. Teori Perundang-undangan

A. Hamid S. Attamimi4 mengatakan teori perundang-

undangan berorientasi pada menjelaskan dan menjernihkan

1
Moh. Mahfud MD, 1993, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Liberty, Jogjakarta,
h.28
2
PH. Collin, 2004, Dictionary of Law, Fourth Edition, Bloomsbury Publishing Plc,
London. P.266
3
9 A.V Dicey, 1987, Introduction To The Study Of The Law Of The Constitution,
Fifth edition, London, Macmillan And Co., Limited New York: The Macmillan Company, p. 179-
187.

11
pemahaman dan bersifat kognitif. Pemikiran ini menekankan pada

memahami hal-hal yang mendasar. Oleh sebab itu dalam

membuat peraturan daerah, harus dipahami dahulu kharakter

norma dan fungsi peraturan daerah tersebut. Peraturan daerah

merupakan peraturan perundang-undangan. Pasal 1 angka 2

Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan menentukan bahwa Peraturan

Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat

norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau

ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang

melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-

undangan. Eksistensi peraturan daerah implementasi Pasal 18

ayat (1) Undang-Undang Dasar NRI 1945, yang menggunakan

frasa “dibagi atas”, lebih lanjut diatur sebagai berikut : Negara

Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi

dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-

tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan

daerah, yang diatur dengan undang-undang. Frasa dibagi atas ini

menunjukkan bahwa kekuasaan negara terdistribusi ke daerah-

daerah, sehingga memberikan kekuasaan kepada daerah untuk

mengatur rumah tangganya. Karenanya hal ini menunjukkan

pemerintah daerah memiliki fungsi regeling (mengatur). Dengan

fungsi tersebut, dilihat dari sudut pandang “asas legalitas” (tindak


4
A. Hamid S. Attamimi dalam H. Rosjidi Ranggawidjaja, 1998, Pengantar Ilmu
Perundang-Undangan Indonesia, Penerbit CV Mandar Maju, Bandung, h. 14-15.

12
tanduk pemerintah berdasarkan hukum) memperlihatkan

adanya kewenangan pemerintah daerah untuk membentuk

peraturan daerah. Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 12 Tahun

2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,

mengartikan Peraturan Daerah Kabupaten adalah Peraturan

Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Kabupaten dengan persetujuan bersama Bupati.

Jimly Asshidiqqie mengatakan peraturan tertulis dalam

bentuk ”statutory laws” atau ”statutory legislations” dapat

dibedakan antara yang utama (primary legislations) dan yang

sekunder (secondary legislations). Menurutnya primary legislations

juga disebut sebagai legislative acts, sedangkan secondary dikenal

dengan istilah ”executive acts”, delegated legislations atau

subordinate legislations.5 Peraturan daerah merupakan karakter

dari legislative acts, samahalnya dengan undang-undang. Oleh

sebab itu hanya peraturan daerah dan undang-undang saja yang

dapat memuat sanksi.

2.3. Asas Penyusunan Peraturan Daerah

Menurut Hamid S. Attamimi, menyampaikan dalam

pembentukan peraturan perundang-undangan, setidaknya ada

beberapa pegangan yang harus dikembangkan guna memahami

asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang


5
Jimly Asshidiqqie, 2011, Perihal Undang-Undang, Cetakan Ke II, RajaGrafindo
Persada, Jakarta, h. 10

13
baik (algemene beginselen van behorlijke regelgeving) secara benar,

meliputi :

Pertama, asas yang terkandung dalam Pancasila selaku

asas-asashukum umum bagi peraturan perundang-undangan;

Kedua, asas-asasnegara berdasar atas hukum selaku asas-

asashukum umum bagi perundang-undangan; Ketiga, asas-asas

pemerintahan berdasar sistem konstitusi selaku asas-asasumum

bagi perundang-undangan, dan Keempat, asas-asas bagi

perundang-undangan yang dikembangkan oleh ahli.6

Berkenaan dengan hal tersebut pembentukan peraturan

daerah yang baik selain berpedoman pada asas-asas pembentukan

peraturan perundang-undangan yang baik (beginselen van

behoorlijke wetgeving), juga perlu dilandasi oleh asas-asashukum

umum (algemene rechtsbeginselen), yang didalamnya terdiri dari

asasnegara berdasarkan atas hukum (rechtstaat), pemerintahan

berdasarkan sistem konstitusi, dan negara berdasarkan

kedaulatan rakyat.

Sedangkan menurut Undang-undang No. 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dalam

membentuk Peraturan Daerah, harus berdasarkan pada asas-asas

pembentukan yang baik yang sejalan dengan pendapat Purnadi

Purbacaraka dan Soerjono Soekanto meliputi:

6 Yuliandri, Asas-asasPembentukan Peraturan Perundang-Undangan

yang Baik; Gagasan Pembentukan Undang-undang Berkelanjutan, RajaGrafindo


Persada, Jakarta, 2009, hal. 115.

14
a. Asas Kejelasan Tujuan adalah bahwa setiap pembentukan

Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan

yang jelas yang hendak dicapai;

b. Asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat adalah

bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangan harus

dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan

perundang-undangan yang berwenang. Peraturan perundang-

undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum,

apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang;

c. Asas Kesesuaian antara jenis dan materi muatan adalah

bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan

harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat

dengan jenis Peraturan Perundang-undangannya;

d. Asas dapat dilaksanakan adalah bahwa setiap pembentukan

peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan

efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut, baik

secara filosofii, sosiologis maupun yuridis.

1) Aspek Filosofis adalah terkait dengan nilai-nilai etika dan

moral yang berlaku di masyarakat. Peraturan Daerah

yang mempunyai tingkat kepekaan yang tinggi dibentuk

berdasarkan semua nilai-nilai yang baik yang ada dalam

masyarakat;

2) Aspek Sosiologis adalah terkait dengan bagaimana

Peraturan Daerah yang disusun tersebut dapat dipahami

15
oleh masyarakat, sesuai dengan kenyataan hidup

masyarakat yang bersangkutan.

3) Aspek Yuridis adalah terkait landasan hukum yang

menjadi dasar kewenangan pembuatan Peraturan Daerah.

e. Asas hasil guna dan daya guna adalah bahwa setiap

peraturan perundang-undangan dibuat karena memang

benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;

f. Asas kejelasan rumusan adalah bahwa setiap peraturan

perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis

penyusunan peraturan perundang-undangan. Sistematika

dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya

jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan

berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaanya.

g. Asas keterbukaan adalah bahwa dalam proses pembentukan

peraturan perundang-undangan mulai perencanaan,

persiapan, penyusunan dan pembahasan bersifat transparan.

Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai

kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan

masukan dalam proses pembuatan peraturan perundang-

undangan;

h. Asas materi muatan adalah materi muatan peraturan

perundang-undangan menurut Undang-Undang No. 12

16
Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan harus mengandung asas-asas sebagai berikut :

1) Asas kekeluargaan adalah mencerminkan musyawarah

untuk mufakat dalam setiap pengambilan keputusan;

2) Asas Kenusantaraan adalah bahwa setiap materi muatan

Peraturan Daerah senantiasa memperhatikan

kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi

muatan peraturan perundang-undangan yang dibuat di

daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional

yang berdasarkan Pancasila;

3) Asas Bhinneka Tunggal Ika adalah bahwa materi muatan

Peraturan Daerah harus memperhatikan keragaman

penduduk, agama, suku, dan golongan, kondisi khusus

daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut

masalah-masalah sensitif dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;

4) Asas Keadilan adalah mencerminkan keadilan secara

proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali;

5) Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan

pemerintahan adalah bahwa setiap materi muatan

peraturan daerah tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat

membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain,

agama, suku, ras, golongan, gender atau status sosial;

17
6) Asas ketertiban dan kepastian hukum adalah bahwa

setiap materi muatan peraturan daerah harus dapat

menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui

jaminan adanya kepastian hukum;

7) Asaskeseimbangan, keserasian, dan keselarasan adalah

bahwa setiap materi muatan peraturan daerah harus

mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan

keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat

dengan kepentingan bangsa dan Negara;

8) Asas pengayoman adalah memberikan perlindungan

dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat;

9) Asas Kemanusiaan adalah mencerminkan perlindungan

dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta hakekat

dan martabat setiap warga negara secara proporsional;

10) Asas kemanusiaan adalah mencerminkan perlindungan

dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat

dan martabat setiap warga negara secara proporsional;

11) Asas Kebangsaan adalah mencerminkan sifat dan watak

Bangsa Indonesia yang pluralistik dengan tetap menjaga

prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.7

Sudikno Mertokusumo, asas-asashukum peraturan

perundang-undangan tersebut sesuai Undang-undang No. 12

Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-


7 Urnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Ikhtiar Antinomi Aliran

Filsafat Sebagai Landasan Filsafat Hukum, Rajawali, Jakarta, 1985, hal. 47.

18
undangan, dapat dikelompokan menjadi 2 (dua) yakni Pertama,

asas yang berkaitan dengan pembentukan atau proses Peraturan

Perundang-undangan dan; Kedua, asasyang berkaitan dengan

materi muatan atau substansi Peraturan Perundang-undangan.8

2.4. Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik

Pemerintah di dalam melaksanakan Pemerintahannya

harus sesuai dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang baik,

sebagai berikut :

1. Asas kepastian Hukum

Asas ini menghendaki di hormatinya hak yang telah

diperoleh seseorang berdasarkan suatu keputusan badan

atau pejabat administrasi negara.

2. Asas keseimbangan

Asaskeseimbangan ini menghendaki proporsi yang wajar

dalam penjatuhan hukum terhadap pegawai yang

melakukan kesalahan.

3. Asas Kesamaan dalam Mengambil keputusan Pangreh

Asas ini menghendaki agar dalam menghadapi kasus atau

fakta yang sama alat administrasi negara dapat mengambil

tindakan yang sama.

8 Sudikno Mertokusumo dalam Y. Sari Murti Widiyastuti, Ringkasan

Disertasi untuk Ujian Promosi Doktor Dari Dewan Penguji Sekolah Pascasarjana
UGM, 12 Desember 2007, hal. 17.

19
4. Asas bertindak cermat

Asas ini menghendaki agar administrasi negara senantiasa

bertindak secara hati-hati agar tidak menimbulkan kerugian

bagi warga masyarakat.

5. Asas motivasi untuk setiap keputusan

Asas ini menghendaki agar dalam mengambil keputusan

pejabat pemerintah itu dapat bersandar pada alasan atau

motivasi yang cukup yng sifatnya benar,adil dan jelas.

6. Asas jangan mencampur-adukan kewenangan

Asas ini menghendaki agar dalam mengambil keputusan

pejabat administrasi negara tidak menggunakan

kewenangan atas kekuasaan diluar maksud pemberian

kewenangan atau kekuasaan itu.

7. Asas permintaan yang layak

Asas ini menghendaki agar pejabat pemerintah dapat

memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada warga

masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar dan

adil. Sehingga dapat pula memberi kesempatan yang luas

untuk menuntut keadilan dan kebenaran.

8. Asas keadilan atau kewajaran

Asas ini meghendaki agar dalam melakukan tindakan

pemerintah tidak berlaku sewenang-wenang atau berlaku

tidak layak.Jika pemerintah melakukan tindakan sewenang-

20
wenang dan tidak layak maka keputusan yang berkaitan

dengan tindakannya dapat dibatalkan.

9. Asas menanggapi pengharapan yang wajar

Asas ini menghendaki agar tindakan pemerintah dapat

menimbulkan harapan-harapan yang wajar bagi yang

berkepentingan.

10. Asas Meniadakan akibat suatu keputusan yang batal

Asas ini menghendaki agar jika terjadi pembatalan atas satu

keputusan maka akibat dari keputusan yang dibatalkan itu

harus dihilangkan sehingga yang bersangkutan harus

diberikan ganti rugi atau rehabilitasi.

11. Asas perlindungan atas pandangan (cara) hidup.

Asas ini mneghendaki agar setiap pegawai negeri diberi

kebebasan atau hak untuk mnegatur kehidupan pribdinya

sesuai dengan pandangan (cara) hidup yang dianutnya.

12. Asas kebijaksanaan

Asas ini menghendaki agar dalam melksanakan tugasnya

pemerintah diberi kebebasan daalam kebijaksanaannya

tanpa harus selalu menunggu intruksi.

2.5. Idealisme Pembentukan Hukum

Pelaku utama dalam kehidupan bermasyarakat dan

bernegara adalah subyek hukum yang bernama manusia. Manusia

ini di satu sisi bisa membuat atau membentuk hokum, namun di

21
sisi lain juga terkena aturan norma hukum yang dibuatnya

sendiri.9

Manusia merupakan mahluk sosial sehingga dalam

kesehariannya selalu berhubungan dengan manusia-manusia

yang lain. Karena seringnya terjadi interaksi anatar manusia

tersebut, maka dibutuhkan sesuatu yang bersifat mengatur dan

mengikat manusia-manusia tersebut untuk selalu mematuhi

aturan yang telah ditetapkan. Peraturan dibuat untuk mengatur

manusia-manusia yang terdapat dalam satu kelompok untuk

menghindari sikap brutal, mau menang sendiri, dan lainnya.

Kalau dikaitkan dengan masyarakat, maka peraturan

merupakan kebutuhan penting masyarakat. Di mana ada

masyarakat di sana ada hukum (ubi societas ibi ius). Hukum ada

pada setiap masyarakat, kapan pun, di manapun, dan

bagaimanapun keadaan masyarakat tersebut. Artinya eksistensi

hukum bersifat sangat universal, terlepas dari keadaan hukum itu

sendiri sangat dipengaruhi oleh corak dan warna masyarakatnya

(hukum juga memiliki sifat khas, tergantung dengan

perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam sebuah

komunitas).

Dalam sejarah pemikiran ilmu hukum, terdapat dua paham

mengenai fungsi dan peran hukum dalam masyarakat: Pertama,

mengatakan bahwa fungsi hukum adalah mengikuti dan

9 Ali Subhan, Op.Cit, hal. 2.

22
mengabsahkan (justifikasi) perubahan-perubahan yang terjadi

dalam masyarakat, artinya hukum sebagai sarana pengendali

sosial. Maka yang tampak, hukum bertugas mempertahankan

ketertiban atau pola kehidupan yang ada. Paham ini dipelopori

ahli hukum mazhab sejarah dan kebudayaan dari Jerman yang

diintrodusir oleh Friedrich Carl von Savigny (1799-1861). Kedua,

menyatakan hukum berfungsi sebagai sarana untuk melakukan

perubahan-perubahan dalam masyarakat. Paham ini dipelopori

oleh ahli hukum dari Inggris, Jeremy Bentham (1748-1852), untuk

kemudian dipopulerkan oleh Juris Amerika dengan konsepsi

“hukum (harus juga) berfungsi sebagai sarana untuk mengadakan

perubahan masyarakat” (law as a tool of social engineering).10

Hukum diciptakan adalah sebagai suatu sarana atau

instrumen untuk mengatur hak-hak dan kewajiban subjek hukum

(pendukung hak dan kewajiban) agar masing-masing subjek

hukum tersebut dapat menjalankan kewajibannya dengan baik

dan mendapatkan haknya secara wajar. Dengan demikian tujuan

hukum adalah untuk mengatur masyarakat secara damai dengan

cara melindungi kepentingan-kepentingan manusia seperti

kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda dan sebagainya

terhadap yang merugikannya.11

Dalam pandangan Tirtaamijaya, hukum ialah semua

aturan (norma) yang harus diturut dalam tingkah laku tindakan-


10http://www.pustakasekolah.com/fungsi-dan-tujuan-hukum.html,
11http://www.unp.ac.id/downloads/pkmb08/bab-7.pdf,.

23
tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti

mengganti kerugian, jika melanggar aturan-aturan itu akan

membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan

kehilangan kemerdekaannya, didenda dan sebagainya.12 Adapun

hukum positip adalah hukum yang sedang berlaku dalam suatu

negara.

Menurut Utrecht, hukum itu adalah himpunan peraturan-

peraturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang

mengurus tata tertib sutu masyarakat dan karena itu harus

ditaati oleh masyarakat itu.. Sedangkan menurut JCT Simorangkir

dan Woerjono Sastro Pranoto, hukum itu ialah peraturan-

peraturan yang bersifat memaksa, yang menentuka tingkah laku

manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-

badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap

peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan yaitu

dengan hukuman tertentu. Dalam pendapat SM. Amin hukum

dirumuskan sebagai berikut “Kumpulan peraturan-peraturan yang

terdiri dari norma dan sanksi-sanksi itu disebut hukum dan

tujuan hukum itu adalah mengadakan ketatatertiban dalam

pergaulan manusia, sehingga kemanan dan ketertiban

terpelihara”13

Demikian pula selanjutnya Soerjono Soekanto memberikan

pengertian hukum sebagai berikut, bahwa :1) Hukum sebagai ilmu


12CST. Kansil, Op.Cit, hal. 11-12.
13Ibid.

24
pengetahuan, yakni pengetahuan yang tersusun secara sistematis

atas dasar kekuatan pemikiran. 2) hukum sebagai disiplin, yakni

suatu sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala yang

dihadapi. 3) hukum sebagai kaedah, yakni pedoman atau patokan

sikap tindak atau perikelakuan yang pantas atau diharapkan. 4)

hukum sebagai lembaga sosial (social institution) yang merupakan

himpunan dari kaedah-kaedah dari segala tingkatan yang berkisar

pada kebutuhan pokok didalam kehidupan masyarakat. 5) hukum

sebagai tata hukum, yakni struktur dan proses perangkat kaedah-

kaedah hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat

tertentu, serta berbentuk tertulis. 6) hukum sebagai petugas,

yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang

berhubungan erat dengan penegak hukum.

7) hukum sebagai keputusan penguasa, yakni hasil proses

diskresi yang menyangkut pengambilan keputusan yang

didasarkan pada hukum, akan tetapi yang didasarkan juga atas

penilaian pribadi. 8) hukum sebagai proses pemerintahan, yaitu

proses hubungan timbal balik antara unsur-unsur pokok dari

sistem kenegaraan. 9) hukum sebagai sarana sistem pengendalian

sosial yang mencakup segala proses baik direncanakan maupun

tidak, yang bertujuan untuk mendidik, mengajak atau bahkan

memaksa warga masyarakat (dari segala lapisan) agar mematuhi

kaedah-kaedah dan nilai-nilai. 10) hukum sebagai sikap tindak

atau perikelakuan yang runtut, yaitu perikelakuan yang diulang-

25
ulang dengan cara yang sama, yang bertujuan untuk mencari

kedamaian. 11) hukum sebagai jalinan nilai-nilai baru, yaitu dari

konsepsi-konsepsi abstrak dalam diri manusia tentang apa yang

dianggap baik (sehingga harus dianuti atau ditaati) dan apa yang

dianggap buruk (sehingga harus dihindari), dan 12) hukum

sebagai seni.14

Berbagai pendapat pakar hukum secara umum

menunjukkan bahwa kedudukan hukum itu strategis dalam

mengatur kehidupan negara. Penguasa menjadi sah dalam

menjalankan aktifitasnya adalah berpijak pada hukum yang

berlaku. Tindakan dan diskresi yang diambil oleh penguasa,

rujukannya adalah hukum. Sandaran kepada hukum ini bukan

dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan penguasa dalam

berperilaku, tetapi menyangkut kepentingan secara luas

kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Norma yuridis menjadi

patokan utama yang membuat seseorang atau warga masyarakat

tidak salah dalam berperilaku dan bergaul.

Menurut Mochtar Kusumaatmadja, bahwa hukum yang

memadai harus tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu

perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan

manusia dalam masyarakat, tapi harus pula mencakup lembaga

14Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan

Hukum, Rajawali, Jakarta, 1979, hal. 15-16.

26
(institusi) dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan hukum

itu dalam kenyataan.15

Keberadaan hukum dalam masyarakat merupakan suatu

sarana untuk menciptakan ketentraman dan ketertiban

masyarakat, sehingga dalam hubungan antar anggota masyarakat

yang satu dengan yang lainnya dapat dijaga kepentingannya.

Hukum tidak lain adalah perlindungan kepentingan manusia yang

berbentuk norma atau kaedah. Hukum sebagai kumpulan

peraturan atau kaedah mengandung isi yang bersifat umum dan

normatif, umum karena berlaku bagi setiap orang, dan normatif

karena menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan,

serta menentukan bagaimana cara melaksanakan kepatuhan pada

kaedah.16

Wujud dari peran hukum dalam masyarakat adalah

memberikan perlindungan hukum kepada anggota masyarakat

yang kepentingannya terganggu. Persengketaan yang terjadi dalam

masyarakat harus diselesaikan menurut hukum yang berlaku,

sehingga dapat mencegah perilaku main hakim sendiri. Tujuan

pokok hukum sebagai perlindungan kepentingan manusia adalah

menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, sehingga terwujud

kehidupan yang seimbang.

15Ibid.
16Sudikno Mertokusumo. Mengenal Hukum Suatu Pengantar.
Yogyakarta: Liberty, 2003, hal.39.

27
Menurut Sudikno Mertokusumo, bahwa hukum itu

bertujuan agar tercapainya ketertiban dalam masyarakat sehingga

diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi untuk

mencapai tujuannya dan bertugas membagi hak dan kewajiban

antar perorangan dalam masyarakat, membagi wewenang dan

mengutamakan pemecahan masalah hukum serta memelihara

kepastian hukum. Menurut Subekti dalam buku Sudikno

Mertokusumo berpendapat, bahwa tujuan hukum itu mengabdi

kepada tujuan Negara, yaitu mendatangkan kemakmuran dan

kebahagiaan bagi rakyatnya.17

Pada hakikatnya terdapat hubungan antara subjek hukum

dengan objek hukum yang dilindungi oleh hukum dan

menimbulkan kewajiban. Hak dan kewajiban yang timbul dari

hubungan hukum tersebut harus dilindungi oleh hukum,

sehingga anggota masyarakat merasa aman dalam melaksanakan

kepentingannya.

2.6. Urgensi Peraturan Daerah di Era Otonomi Daerah

Indonesia merupakan salah satu negera dari berbagai

negara di dunia yang menganut sistem otonomi daerah dalam

pelaksanaan pemerintahannya. Pelaksanaan otonomi daerah

sudah mulai diberlakukan pada tahun 1999 yang diharapkan

dapat membantu serta mempermudah dalam berbagai urusan

17Ibid, 57-61.

28
penyelenggaraan negara. Dengan adanya otonomi daerah, daerah

memiliki hak guna untuk mengatur daerahnya sendiri namun

masih tetap dikontrol oleh pemerintah pusat serta undang-

undang. Otonomi daerah adalah bagian dari desentralisasi.

Berikut pengertian otonomi daerah.

Otonomi daerah seharusnya tidak diartikulasi sebagai a

final destination (tujuan akhir), tetapi lebih sebagai mechanism

(mekanisme) dalam menciptakan demokratisasi penyelenggaraan

pemerintahan. Mawhood, 1987, misalnya secara tegas

mendefinisikan desentralisasi sebagai devolusi kekuasaan dari

pemerintah pusat ke pemerintah daerah, the devolution of power

from central to local government. Oleh karenanya dapat dimengerti,

bila Mawhood kemudian merumuskan tujuan utama dari

kebijaksanaan desentralisasi sebagai upaya untuk mewujudkan

political equality, local accountability, dan local responsiveness. Di

antara prasyarat yang harus dipenuhi untuk mencapai tujuan

tersebut adalah pemerintahan daerah harus memiliki teritorial

kekuasaan yang jelas (legal territorial of power); memiliki

pendapatan daerah sendiri (local own income); memiliki badan

perwakilan (local representative body) yang mampu mengontrol

eksekutif.18

Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, serta

kewajiban daerah otonom guna untuk mengatur serta mengurus


18Yendra Tamim, http://bunghatta.ac.id/artikel-161-urgensi-
peraturan-daerah-dalam-konteks-otonomi-daerah-sebuah-pengantar-.html

29
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat daerah

tersebut yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Secara harfiah, kata otonomi daerah berasal dari otonomi dan

daerah. Dalam bahasa Yunani, kata otonomi berasal dari autos

dan namos. Autos yang memiliki arti "sendiri" serta namos yang

berarti "aturan" atau "undang-undang". Sehingga otonomi daerah

dapat diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur sendiri atau

kewenangan guna untuk membuat aturan untuk mengurus

daerahnya sendiri. Sedangkan daerah merupakan kesatuan

masyarakat hukum dan mempunyai batas-batas wilayah.

Pelaksanaan otonomi daerah selain memiliki landasan pada

acuan hukum, juga sebagai suatu implementasi tuntutan

globalisasi yang diberdayakan dengan cara memberikan daerah

tersebut kewenangan yang luas, nyata dan memiliki tanggung

jawab, terutam dalam hal mengatur, memanfaatkan, serta

menggali berbagai sumber-sumber potensi yang terdapat di

daerahnya masing-masing.

Ada sejumlah ahli menyebut otonomi daerah sebagaimana

betikut:

1. Sugeng Istianto: Otonomi daerah merupakan sebuah hhk

dan wewenang guna untuk mengatur serta mengurus

rumah tangga daerah.

2. Ateng Syarifuddin: Otonomi memiliki makna kebebasan atau

kemandirian namun bukan kemerdekaan melainkan hanya

30
sebuah kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu

terwujud sebagai suatu pemberian kesempatan yang harus

mampu dipertanggungjawabkan.

3. Syarif Saleh: Otonomi daerah merupakan hak mengatur

serta memerintah daerah sendiri dimana hak tersebut

adalah hak yang diperoleh dari pemerintah pusat.

4. Kansil: Otonomi daerah adalah hak, wewenang, serta

kewajiban daerah guna untuk mengatur serta mengurus

rumah tangganya atau daerahnya sendiri sesuai perundang-

undangan yang masih berlaku.

5. Widjaja: Otonomi daerah merupakan salah satu bentuk dari

desentralisasi pemerintahan yang dasarnya ditujukan guna

untuk memenuhi kepentingan bangsa secara menyeluruh,

merupakan suatu upaya yang lebih mendekatkan berbagai

tujuan penyelenggaraan pemerintahan sehingga dapat

mewujudkan cita-cita masyarakat yang adil dan makmur.

6. Mahwood: Otonomi daerah adalah hak dari masyarakat sipil

guna untuk mendapatkan kesempatan serta perlakuan yang

sama, baik dalam hal mengekspresikan serta

memperjuangkan kepentingan mereka masing-masing, dan

ikut mengontrol penyelenggaraan kinerja pemerintahan

daerah.

31
7. Benyamin Hoesein: otonomi daerah adalah pemerintahan

oleh serta untuk rakyat di bagian wilayah nasional Negara

secara informal berada diluar pemerintah pusat.

8. Mariun: Otonomi daerah adalah suatu kebebasan atau

kewenangan yang dimiliki pemerintah daerah sehingga

memungkinkan mereka dalam membuat inisiatif sendiri

untuk mengelola serta mengoptimalkan sumber daya yang

dimiliki daerahnya. Otonomi daerah adalah kebebasan atau

kewenangan untuk dapat bertindak sesuai dengan

kebutuhan masyarakat pada daerah setempat.

9. Vincent Lemius: Otonomi daerah merupakan kebebasan

atau kewenangan dalam membuat keputusan politik

maupun administasi yang sesuai dengan peraturan

perundang-undangan. Di dalam otonomi daerah terdapat

kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah dalam

menentukan apa yang menjadi kebutuhan daerahnya

namun kebutuhan daerah setempat masih senantiasa harus

disesuaikan dengan kepentingan nasional sebagaimana

diatur peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Otonomi daerah tersebut menggunakan sejumlah dasar

hukum, beberapa diantaranya sebagai berikut:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945.

32
2) Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 mengenai

Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, pembagian,

serta Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yangg

Berkeadilan, dan perimbangan keuangan Pusat dan Daerah

dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

3) Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 mengenai

Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi

Daerah.

4) UU No. 31 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah

(yang sudah diamandemen berkali-kali.

5) UU No. 33 Tahun 2004 mengenai Perimbangan Keuangan

Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Pelaksanaan otonomi daerah adalah titik fokus penting

guna memperbaiki kesejahteraan rakyat. Pengembangan suatu

daerah disesuaikan oleh pemerintah daerah itu sendiri dengan

potensi yang ada serta ciri khas dari daerahnya masing-masing.

Otonomi daerah sudah diberlakukan di Indonesia dengan

melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 mengenai

Pemerintahan Daerah. Pada tahun 2004, Undang-Undang Nomor

22 Tahun 1999 mengenai Pemerintahan Daerah sudah dianggap

tidak sesuai dengan adanya perkembangan keadaan dan tuntutan

penyelenggaraan otonomi daerah, sehingga sudah digantikan oleh

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan

Daerah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

33
Pemerintah Daerah sampai saat ini sudah banyak mengalami

perubahan, yang diantaranya diubah dengan Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2008 mengenai Perubahan Kedua atas Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 mengenai

Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah juga diubah dengan Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang

juga telah beberapa kali diubah, yakni terakhir dengan Undang-

Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan kedua Atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah.

Hal itu dapat dijadikan kesempatan yang baik bagi

pemerintah daerah guna membuktikan kemampuannya untuk

melaksanakan kewenangan yang menjadi hak daerah masing-

masing. Maju dan tidaknya suatu daerah ditentukan oleh

kemampuan serta kemauan dalam melaksanakannya. Pemerintah

daerah dapat bebas berkreasi dalam rangka membangun

daerahnya masing-masing, tentu saja masih tidak melanggar

dengan perundang-undangan yang berlaku.

Adapun tujuan otonomi daerah adalah berikut:

1) Peningkatan terhadap pelayanan masyarakat yang semakin

lebih baik.

2) Pengembangan kehidupan yang lebih demokrasi.

34
3) Keadilan nasional.

4) Pemerataan wilayah daerah.

5) Pemeliharaan hubungan antara pusat dengan daerah serta

antar daerah dalam rangka keutuhan Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

6) Mendorong pemberdayaaan masyarakat.

7) Menumbuhkan prakarsa serta kreativitas, meningkatkan

peran serta keterlibatan masyarakat, mengembangkan

peran serta fungsi dari DPRD.

Secara konseptual, negara Indonesia dilandasi oleh 3

tujuan utama antara lain : tujuan politik, tujuan administratif,

serta tujuan ekonomi. Hal yang ingin dicapai melalui tujuan politik

adalah upaya dalam mewujudkan demokratisasi politik dengan

cara melalui partai politik dan DPRD. Hal yang ingin dicapai

melalui tujuan administratif adalah adanya pembagian antara

urusan pemerintahan pusat dengan pemerintah daerah, termasuk

sumber keuangan, pembaharuan manajemen birokrasi

pemerintahan daerah. Sedangkan tujuan ekonomi adalah

terwujudnya peningkatan indeks pembangunan manusia yang

digunakan sebagai indikator peningkatan kesejahteraan

masyarakat.

Prinsip otonomi daerah yaitu menggunakan prinsip

otonomi yang nyata, prinsip otonomi yang seluas-luasnya, serta

berprinsip otonomi yang dapat bertanggung jawab. Kebebasan

35
otonomi yang diberikan terhadap pemerintah daerah merupakan

kewenangan otonomi yang luas, nyata, dan dapat bertanggung

jawab. Berikut prinsip otonomi daerah :

Pertama, prinsip otonomi seluas-luasnya Daerah diberikan

kebebasan dalam mengurus serta mengatur berbagai urusan

pemerintahan yang mencakup kewenangan pada semua bidang

pemerintahan, kecuali kebebasan terhadap bidang politik luar

negeri, agama, keamanan, moneter, peradilan, keamanan, serta

fiskal nasional.

Kedua, Prinsip otonomi nyata Daerah diberikan kebebasan

dalam menangani berbagai urusan pemerintahan dengan

berdasarkan tugas, wewenang, serta kewajiban yang senyatanya

telah ada dan berpotensi dapat tumbuh, hidup, berkembang dan

sesuai dengan potensi yang ada dan ciri khas daerah.

Ketiga, prinsip otonomi yang bertanggung jawab. Prinsip

otonomi yang dalam sistem penyelenggaraannya harus sejalan

dengan tujuan yang ada dan maksud dari pemberian otonomi,

yang pada dasarnya guna untuk memberdayakan daerahnya

masing-masing termasuk dalam meningkatkan kesejahteraan

rakyat.

Penyelenggaraan pemerintahan berpedoman pada asas

umum dalam penyelenggaraan negara yang terdiri sebagai berikut:

36
1) Asas kepastian hokum. Asas yang lebih mengutamakan

landasan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam

kebijakan penyelenggara negara.

2) Asas tertib penyelenggara. Asas yang menjadi landasan

keteraturan, keseimbangan, serta keserasian dalam

pengendalian penyelenggara negara.

3) Asas kepentingan umum. Asas yang lebih mengutamakan

kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif,

serta selektif.

4) Asas keterbukaan. Asas yang membuka diri terhadap hak-hak

masyarakat guna memperoleh berbagai informasi yang benar,

nyata, jujur, serta tidak diskriminatif mengenai penyelenggara

negara dan masih tetap memperhatikan perlindungan hak

asasi pribadi, golongan, serta rahasia negara.

5) Asas proporsinalitas. Asas yang lebih mementingkan

keseimbangan hak dan kewajiban

6) Asas profesionalitas. Asas yang lebih mengutamakan keadilan

berlandaskan kode etik serta berbagai ketentuan peraturan

perundang-undangan yang masih berlaku.

7) Asas akuntabilitas. Asas yang menentukan setiap kegiatan serta

hasil akhir dari suatu kegiatan penyelenggara negara harus

dapat untuk dipertanggungjawabkan kepada rakyat sebagai

pemegang kedaulatan yang tertinggi negara sesuai ketentuan

peraturan perundang-undangan.

37
8) Asas efisiensi dan efektifitas. Asas yang dapat menjamin

terselenggaranya kepada masyarakat menggunakan sumber

daya yang tersedia secara optimal serta bertanggung jawab.

Selain itu, penyelenggaraan otonomi daerah menggunakan

3 asas sebagai berikut :

1) Asas desentralisasi. Penyerahan wewenang pemerintahan oleh

pemerintah dan kepada daerah otonom dalam kerangka Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

2) Asas dekosentrasi. Pelimpahan wewenang dari pemerintah

kepada gubernur yang dijadikan sebagai wakil pemerintah atau

perangkat pusat daerah.

3) Asas tugas pembantuan. Penugasan dari pemerintah kepada

daerah serta desa dan dari daerah ke desa guna melaksanakan

berbagai tugas tertentu yang disertai dengan pembiayaan,

sarana, serta prasarana dan sumber daya manusia dengan

kewajiban dalam melaporkan pelaksanaannya dan dapat

mempertanggungjawabkannya kepada yang menugaskan tugas

tersebut.

Hukum disebut sebagai aturan yang dibuat oleh negara.

Pemahaman demikian memang belum menjadi kesepakatan,

karena banyak ahli yang berpendapat berbeda. Menurut E.Utrecht

hukum itu adalah himpunan peraturan-peraturan (perintah -

perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata tertib suatu

38
masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu.19

Dalam pendapat SM. Amin hukum dirumuskan sebagai berikut

“Kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri dari norma dan

sanksi-sanksi itu disebut hukum dan tujuan hukum itu adalah

mengadakan ketatatertiban dalam pergaulan manusia, sehingga

kemanan dan ketertiban terpelihara” Sedangkan menurut JCT

Simorangkir dan Woerjono Sastro Pranoto Hukum itu ialah

peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentuka

tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat

oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana

terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan

yaitu dengan hukuman tertentu.20

Menurut MH.Tirtaamijaya, bahwa hukum ialah semua

aturan (norma) yang harus diturut dalam tingkah laku tindakan-

tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti

mengganti kerugian -jika melanggar aturan-aturan itu akan

membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan

kehilangan kemerdekaannya, didenda dan sebagainya.21

Demikian pula selanjutnya Soerjono Soekanto22

memberikan pengertian hukum sebagai berikut, bahwa :1) Hukum

sebagai ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang tersusun

19CST. Kansil, Op.Cit, hal. 9


20Ibid. hal. 11-12.
21Ibid.
22Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan

Hukum di Indonesia, Rajawali Pres, 1998, hal. 15-16.

39
secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran. 2) hukum

sebagai disiplin, yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan

atau gejala-gejala yang dihadapi. 3) hukum sebagai kaedah, yakni

pedoman atau patokan sikap tindak atau perikelakuan yang

pantas atau diharapkan. 4) hukum sebagai lembaga sosial (social

institution) yang merupakan himpunan dari kaedah-kaedah dari

segala tingkatan yang berkisar pada kebutuhan pokok didalam

kehidupan masyarakat. 5) hukum sebagai tata hukum, yakni

struktur dan proses perangkat kaedah-kaedah hukum yang

berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu, serta berbentuk

tertulis. 6) hukum sebagai petugas, yakni pribadi-pribadi yang

merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan penegak

hukum. 7) hukum sebagai keputusan penguasa, yakni hasil

proses diskresi yang menyangkut pengambilan keputusan yang

didasarkan pada hukum, akan tetapi yang didasarkan juga atas

penilaian pribadi. 8) hukum sebagai proses pemerintahan, yaitu

proses hubungan timbal balik antara unsur-unsur pokok dari

sistem kenegaraan. 9) hukum sebagai sarana sistem pengendalian

sosial yang mencakup segala proses baik direncanakan maupun

tidak, yang bertujuan untuk mendidik, mengajak atau bahkan

memaksa warga masyarakat (dari segala lapisan) agar mematuhi

kaedah-kaedah dan nilai-nilai. 10) hukum sebagai sikap tindak

atau perikelakuan yang runtut, yaitu perikelakuan yang diulang-

ulang dengan cara yang sama, yang bertujuan untuk mencari

40
kedamaian. 11) hukum sebagai jalinan nilai-nilai baru, yaitu dari

konsepsi-konsepsi abstrak dalam diri manusia tentang apa yang

dianggap baik (sehingga harus dianuti atau ditaati) dan apa yang

dianggap buruk (sehingga harus dihindari), dan 12) hukum

sebagai seni.

Joeniarto menyatakan bahwa negara hukum dengan asas

the rule of law berarti bahwa dalam penyelenggaraan negara

segala tindakan penguasa dan masyarakat negara harus

berdasarkan atas hukum dan bukan berdasarkan atas kekuasaan

belaka dengan maksud untuk membatasi kekuasaan penguasa

dan melindungi kepentingan masyarakat yakni perlindungan

terhadap hak asasi manusia dari tindakan yang sewenang-

wenang. Pendapat ini menunjukkan bahwa kedudukan hukum itu

strategis dalam mengatur kehidupan negara.

Penguasa menjadi sah dalam menjalankan aktifitasnya

adalah berpijak pada hukum yang berlaku. Tindakan dan diskresi

yang diambil oleh penguasa, rujukannya adalah hukum. Sandaran

kepada hukum ini bukan dimaksudkan untuk memenuhi

kebutuhan penguasa dalam berperilaku, tetapi menyangkut

kepentingan makro kehidupan bangsa. Aspirasi rakyat yang

dipercayakan kepada para penyelenggara kekuasaan sebenarnya

merupakan bukti eksistensi berfungsinya hukum. Hukum berisi

norma perlindungan kepentingan rakyat seperti keadilan,

kebebasan menentukan pilihan, perlakuan yang adil, perlakuan

41
yang manusiawi, hak memperoleh kesejahteraan dan pekerjaan

yang layak. Jika penyelenggara kekuasaan mengimplementasikan

tugas yang digariskan oleh hukum ini, maka hal ini berarti

menyelenggarakan tujuan ideal yang sudah melekat dalam diri

negara hukum.

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya

untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara

nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalulintas atau hubungan

hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau

darui sudut subyeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan

oleh subyek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya

penegakan hukum itu melibatkan semua subyek hukum dalam

setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan

normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu

dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang

berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan

hukum. Dalam arti sempit, dari segi subyeknya itu, penegakan

hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan

hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan tegaknya

hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu

diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.23

Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari

sudut obyeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini,


23http://ayub.staff.hukum.uns.ac.id/artikel-artikel/hukuman-mati-

menurut-perspektif-ham-internasional/

42
pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit.

Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pada nilai-nilai

keadilan yang terkandung didalamnya bunyi aturan formal

maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tatapi

dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut

penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu,

penerjemahan perkataan Law enforcement ke dalam bahasa

indonesia dalam menggunakan perkataan Penegakan Hukum

dalam arti luas dapat pula digunakan istilah Penegakan Peraturan

dalam arti sempit. Pembedaan antara formalita aturan hukum

yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya

ini bahkan juga timbul dalam bahasa Inggris sendiri dengan

dikembangkannya istilah the rule of law atau dalam istilah the rule

of law and not of a man versus istilah the rule by law yang berarti

the rule of man by law. 24

Dalam istilah the rule of law terkandung makna

pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang

formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang

terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah the rule of

just law. Dalam istilah the rule of law and not of man,

dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya

pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh

hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah the rule by

24Ibid.

43
law yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang

menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka.

Peranan Perda sebagai dasar penyelenggaraan pemeritahan

lokal sangat penting untuk menentukan aturan main bagi setiap

subyek atau penyelenggara pemerintahan, termasuk untuk

pemerintahan Kabupaten Situbondo. Terhadap eksistensi produk

hukum yang dihasilkan oleh Pemerintah lokal, maka ketentuan

Pasal 8 UU Nomor 12 Tahun 2011 dapat menjadi dasar hukum

kekuatan produk hukum tersebut. Pasal 8 UU Nomor 12 Tahun

2011 menyatakan bahwa:

(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang

ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah

Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan,

Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga,

atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-

Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang,

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota,

Kepala Desa atau yang setingkat.

(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan

hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan

44
Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk

berdasarkan kewenangan.

Pengaturan di atas bermakna bahwa keberadaan jenis

peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal

8 ayat (1) diakui keberadaannya apabila diperintahkan

pembentukkannya oleh peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi. Pemerintah Daerah (selanjutnya Pemda) dalam

membentuk Perda tentang penyelenggaraan pemerintahan Negeri,

harus dapat mengakomodasi kepentingan masyarakat Negeri.

Pemda menyediakan bagi rakyat daerahnya sesuai dengan

kebutuhan dan kondisi khusus di daerah, sepanjang masih dapat

dipertanggungjawabkan oleh Pemda. Hal ini sesuai dengan

pendapat Andrew Arden bahwa:

“Local government does not exist in a vacuum. Its purpose is


to provide for the peoples of their areas that which is or may
not be provided by others, whether the private sector or
indeed other organs of government (central and appointed
bodies with central or local governmental functions).
Accordingly, local government is an essential part of the
organisation of the state as a whole and, as such, is both
regulated by, and accountable to, central government, with
which and with other bodies its functions co-exist”25.

Siti Masitah juga menyebut, bahwa pembentukan

peraturan daerah (perda) merupakan wujud kewenangan yang

diberikan kepada pemerintahan daerah dalam rangka

penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta

menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih


25Andrew Arden. Local Government Constitutional Law and
Administrative Law, Thompson Sweet&Maxwell, London, 2008. p. 84

45
lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Peraturan Daerah menjadi salah satu alat dalam melakukan

transformasi sosial dan demokrasi sebagai perwujudan

masyarakat daerah yang mampu menjawab perubahan yang cepat

dan tantangan pada era otonomi dan globalisasi saat ini serta

terciptanya good local governance sebagai bagian dari

pembangunan yang berkesinambungan di daerah.

Perjalanan reformasi yang bergulir sejak tahun 1998 juga

menandai adanya perubahan hubungan antara pemerintah daerah

dengan pemerintah pusat. Pada masa itu, banyak tuntutan untuk

mengubah pola hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah

daerah yang bersifat sentralistis menjadi desentralisasi.

Kemandirian daerah dalam melaksanakan pembangunan menjadi

dasar bagi perubahan karakter hubungan pemerintahan. Sejalan

dengan perubahan tersebut, salah satu unsur penting yang selalu

mengiringi implementasi desentralisasi adalah pembentukan

peraturan daerah. Kewenangan pembentukan peraturan daerah

merupakan salah satu wujud adanya kemandirian daerah dalam

mengatur urusan pemerintahan daerah. Perda merupakan

instrumen yang strategis dalam mencapai tujuan desentralisasi.

Dalam konteks otonomi daerah, keberadaan perda pada

prinsipnya berperan mendorong desentralisasi secara maksimal.26.

26Reny Rawasita, et.al. “Menilai Tanggung Jawab Sosial Peraturan

Daerah”. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), 2009.
hal. 60.

46
Dari sudut pandang pemberdayaan politik, tujuan

desentralisasi dapat dilihat dari dua sisi yaitu pemerintah daerah

dan pemerintah pusat. Tujuan desentralisasi dari sisi pemerintah

daerah adalah untuk mewujudkanpolitical equality, local

accountability dan local responsiveness. Sementara itu, tujuan

desentralisasi dari sisi pemerintah pusat adalah

mewujudkan political education, provide training in political

leadership dan create political stability 27 Desentralisasi juga

bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pemerintah daerah

dalam menyediakan public goods and services dan untuk

meningkatkan efisiensi dan efektifitas pembangunan ekonomi di

daerah.

Sementara itu, peranan perda dalam otonomi daerah

meliputi:28 Pertama, perda sebagai instrumen kebijakan dalam

melaksanakan otonomi daerah yang luas dan bertanggungjawab.

Pada fungsi ini perda sebagai sarana hukum merupakan alat

kebijakan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas

pembantuan. Sebagai alat kebijakan daerah tujuan utamanya

adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah melalui

pembangunan daerah yang berkesinambungan. Kedua, perda

merupakan pelaksana peraturan perundang-undangan yang lebih

27Syarif Hidayat, “Desentralisasi untuk Pembangunan Daerah”, Jentera:

Peraturan Daerah edisi 14 Tahun IV, Oktober-Desember 2006.


28Panduan Memahami Perancangan Peraturan Daerah, CAPPLER-

Depkumham, Jakarta: 2008.

47
tinggi. Sehingga harus tunduk pada asas tata urutan peraturan

perundang-undangan. Ketiga, penangkap dan penyalur aspirasi

masyarakat daerah. Perda merupakan sarana penyaluran kondisi

khusus daerah dalam konteks dimensi ekonomi, social, politik dan

budaya. Keempat, sebagai alat transformasi perubahan daerah.

Dalam fungsi ini, perda turut menentukan keberhasilan

pemerintahan dan pembangunan daerah. Kelima, harmonisator

berbagai kepentingan. Perda merupakan produk perundang-

undangan yang mempertemukan berbagai kepentingan.

Kita memahami bahwa instrument hukum dalam negara

demokrasi merupakan alat yang strategis untuk mengatur

masyarakat. Begitu juga perda yang menjadi instrumen strategis

dalam melaksanakan pembangunan di daerah. Akan tetapi, Perda

juga bisa menjadi instrumen yang justru menghambat

pelaksanaan pembangunan. Kedudukannya seperti dengan

instrumen hukum lainnya yang bisa memberi manfaat atau

sebaliknya dapat menjadi penghambat pembangunan. Sebagai

suatu bentuk peraturan perundang-undangan, perda dapat

membentuk atau mengubah sistem melalui pembentukan perilaku

baru di masyarakat.

Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam pembentukan

peraturan daerah terkait dengan materi muatan yang dapat

diatur.[5] Pertama, perda tidak boleh bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Salah satu

48
materi muatan perda adalah menjabarkan lebih lanjut peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi. Kedua, perda dapat

mengatur materi muatan yang bertujuan menampung kondisi

khusus daerah.

Peraturan perundang-undangan tidak menjelaskan lebih

lanjut apa yang dimaksud dengan materi muatan untuk

menampung kondisi khusus daerah. Sehingga ketentuan dapat

berpotensi menimbulkan masalah dalam implementasinya.

Ketentuan tersebut seolah daerah dapat mengatur sesuai dengan

batasan kewenangannya yang berkaitan dengan kondisi khusus

daerah. Akan tetapi perda dibatasi atau tidak boleh bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Oleh

karena itu pengaturan yang bertujuan menampung kondisi

khusus daerah harus sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi. Penyimpangan terhadap

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat

mengakibatkan pembatalan perda baik melalui mekanisme judicial

review maupun executive review.

Penyusunan perda juga perlu memperhatikan kesesuaian

dengan perencanaan pembangunan daerah. Penyesuaian ini perlu

dilakukan untuk memastikan bahwa perda yang disusun mampu

mendukung pembangunan daerah dan tidak sebaliknya

menghambat pembangunan. Misalnya, ketentuan perda yang

memberi beban bagi keuangan daerah atau masyarakat dalam

49
skala yang besar dan tidak sesuai dengan perencanaan

pembangunan dapat menjadi kendala yang menghambat

pembangunan.

Pemerintahan daerah harus mengupayakan agar setiap

perda yang dibentuk memberikan insentif bagi masyarakat di

daerah agar lebih maju baik dari sisi perekonomian, pendidikan,

kesehatan, pelayanan publik dan sebagainya. Namun,

pembentukan perda hingga kini masih menemui beberapa kendala

sehingga mudah ditemukan perda maupun ranperda yang

bermasalah. Wahiduddin Adams, menjelaskan bahwa munculnya

perda dan ranperda bermasalah antara lain disebabkan oleh (i)

lemahnya sumber daya manusia (sistem pendukung legislasi) di

daerah, (ii) lemahnya pembinaan dan sosialisasi dari pusat ke

daerah, (iii) lemahnya pengawasan masyarakat (partisipasi)

terhadap kinerja pemerintahan daerah, dan (iv) penyusunan perda

masih dipengaruhi kepentingan jangka pendek serta

mendahulukan kepentingan elit lokal.29[6]

Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan kualitas perda

harus dilakukan dengan menghilangkan faktor penyebab tersebut.

Upaya ini perlu dilakukan oleh pemerintah daerah maupun

pemerintah pusat melalui kementerian/lembaga yang mempunyai

tugas dan fungsi berkaitan dengan penyusunan perda.

29Wahiduddin Adams, “Peta Permasalahan dalam Pembentukan Peraturan


Daerah dan Upaya Fasilitasi Perancangan Peraturan Daerah” djpp.go.id.

50
2.7. Gambaran Umum Kabupaten Situbondo

2.7.1. Geografi dan Iklim

Kabupaten Situbondo merupakan salah satu Kabupaten di

Jawa timur yang letaknya berada di ujung Timur pulau Jawa

bagian Utara dengan posisi di antara 7o35 – 7o 44’ Lintang Selatan

dan 113o–30’ 114o 42’ Bujur Timur. Batas Kabupaten

Situbondodisebelah utara berbatasan denganSelat Madura,

sebelah timur berbatasan dengan Selat Balisebelah selatan

berbatasan denganKabupaten Bondowoso danBanyuwangi, serta

sebelah barat berbatasan dengan KabupatenProbolinggo.

Kabupaten Situbondo terdiri dari 17 Kecamatan, yaitu:

Sumbermalang, Jatibanteng, Banyuglugur, Besuki, Suboh,

Mlandingan, Bungatan, Kendit, Panarukan, Situbondo, Mangaran,

Panji, Kapongan, Arjasa, Jangkar, Asembagus, dan Banyuputih.

Desa/Kelurahan Tepi Laut adalah desa/kelurahan yang sebagian

atau seluruh wilayahnya bersinggungan langsung dengan laut,

baik berupa pantai maupun tebing karang. Desa/Kelurahan

bukan tepi laut adalah desa/kelurahan yang wilayahnya tidak

bersinggungan langsung dengan laut.

Luas wilayah Menurut Kecamatan

Kecamatan Luas (km2) Persentase


No. Subdistrict Total Area Percentage
(1)
(square.km)
(2) (3)
1 Sumbermalang 129.47 7.90

51
2 Jatibanteng 66.08 4.03
3 Banyuglugur 72.66 4.43
4 Besuki 26.41 1.61
5 Suboh 30.84 1.88
6 Mlandingan 39.61 2.42
7 Bungatan 66.07 4.03
8 Kendit 114.14 6.97
9 Panarukan 54.38 3.32
10 Situbondo 27.81 1.70
11 Mangaran 46.99 2.87
12 Panji 35.7 2.18
13 Kapongan 44.55 2.72
14 Arjasa 216.38 13.21
15 Jangkar 67 4.09
16 Asembagus 118.74 7.25
17 Banyuputih 481.67 29.40
Situbondo 1 638.50 100.00
Sumber/Source: BPN Kabupaten Situbondo / Land Affair Office, Situbondo Regency

Luas Kabupaten Situbondo adalah 1.638,50 km2 atau

163.850 Ha, bentuknya memanjang dari Barat ke Timur lebih

kurang 150 km. Pantai Utara umumnya berdataran rendah dan

disebelah Selatan berdataran tinggi dengan rata-rata lebar wilayah

lebih kurang 11 km. Luas wilayah menurut Kecamatan, terluas

adalah Kecamatan Banyuputih 481,67 km2 disebabkan oleh

luasnya hutan jati di perbatasan antara Kecamatan Banyuputih

dan wilayah Banyuwangi Utara. Sedangkan luas wilayah yang

terkecil adalah Kecamatan Besuki yaitu 26,41 km2. Letak

Kabupaten Situbondo, disebelah utara berbatasan dengan Selat

52
Madura, sebelah Timur berbatasan dengan Selat Bali, sebelah

selatan berbatasan dengan Kabupaten Bondowoso dan

Banyuwangi, serta sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten

Probolinggo.

Tinggi Wilayah di Atas Permukaan Air Laut (DPL) Menurut


Kecamatan Di Kabupaten Situbondo, 2015
Kecamatan Ibu Kota Kecamatan Tinggi
Sumbermalang Tlogosari 100 - 1 223
Jatibanteng Jatibanteng 100 - 1 000
Banyuglugur Banyuglugur 0 - 500
Besuki Besuki 0 - 500
Suboh Buduan 0 - 500
Mlandingan Mlandingan Kulon 0 - 1000
Bungatan Bungatan 0 - 1250
Kendit Kendit 0 - 1000
Panarukan Wringinanom 0 - 500
Situbondo Patokan 0 - 500
Mangaran Mangaran 0 - 50
Panji Mimbaan 0 - 500
Kapongan Kesambirampak 0 - 100
Arjasa Arjasa 0 - 1000
Jangkar Jangkar 0 - 500
Asembagus Asembagus 0 - 1000
Banyuputih Sumberanyar 0 - 1227
Sumber/Source: BPN Kabupaten Situbondo / Land Affair Office, Situbondo Regency

Kabupaten Situbondo berada pada ketinggian 0 – 1.250 m

di atas permukaan air laut. Dari 17 kecamatan yang ada,

diantaranya terdiri dari 13 kecamatan memiliki pantai dan 4

53
Kecamatan tidak memiliki pantai, yaitu Kecamatan

Sumbermalang, Kecamatan Jatibanteng, Kecamatan Situbondo

dan Kecamatan Panji. Kondisi iklim di Kabupaten Situbondo

selama tahun 2015, yaitu:

 Suhu Udara antara 18.08 - 28.75 C

 Kelembaban Udara antara 41.5- 94 %.

 Curah Hujan antara 6 – 137 mm

2.7.2. Pemerintahan

Jumlah Desa/Kecamatan Menurut Kecamatan Di


Kabupaten Situbondo, 2015
No. Kecamatan Desa Kelurahan
1 Sumbermalang 9 -
2 Jatibanteng 8 -
3 Banyuglugur 7 -
4 Besuki 10 -
5 Suboh 8 -
6 Mlandingan 7 -
7 Bungatan 7 -
8 Kendit 7 -
9 Panarukan 8 -
10 Situbondo 4 2
11 Mangaran 6 -
12 Panji 10 2
13 Kapongan 10 -
14 Arjasa 8 -
15 Jangkar 8 -
16 Asembagus 10 -
17 Banyuputih 5 -
Situbondo 132 4
Sumber/Source: Bagian Pemerintahan Sekretariat Daerah/ Devision of Government of Area Secretariat

54
Kabupaten Situbondo terdiri dari 17 (tujuh belas) Wilayah

Kecamatan, 4 ( e m p a t ) Kelurahan, dan 132 (seratus tiga puluh

dua) Desa. Kecamatan dengan jumlah desa terbanyak berada di

Kecamatan Panji yaitu 12 (dua belas) desa dan kecamatan dengan

jumlah desa paling sedikit berada di Kecamatan Banyuputih

yaitu hanya 5 (lima) desa. Jumlah Kelurahan di Kabupaten

Situbondo ada 4 (empat), 2 (dua) Kelurahan berada di Kecamatan

Situbondo yaitu Kelurahan Patokan dan Kelurahan Dawuhan dan

2 (dua) Kelurahan di Kecamatan Panji, yaitu Kelurahan Mimbaan

dan Kelurahan Ardirejo.

Jumlah Anggota DPRD Menurut Partai Politk dan Jenis Kelamin Di


Kabupaten Situbondo, 2015
Partai Politik Jenis Kelamin/Sex
No. Laki Perempuan Jumlah
Political Parties Mal Female Total
(1) e
(2) ( (4)
1. Partai Kebangkitan 9 32 11
)
2. Bangsa
Partai Persatuan 6 3 9
Pembangunan
Partai Golongan Karya 5 1 6
3.
4. PDIP 5 1 6
5. Partai emokrat 4 1 5
6. Partai Hati Nurani 2 0 2
7. Rakyat
Partai Keadilan 0 1 1
8. Sejahtera
Partai Nasional 2 0 2
Demokrat
Partai Gerakan 2 1 3
9
Indonesia Raya
Situbondo 3 1 45
Sumber/Source: DPRD Kabupaten Situbondo / 5 0 at Regency Situbondo
Legislative Assembly

Jumlah wakil rakyat yang duduk pada lembaga

55
legislatif, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebanyak

45 (empat puluh lima) orang, terdiri dari 35 (tiga puluh lima) orang

laki-laki dan 10 (sepuluh) orang perempuan. Sebagian besar wakil

rakyat pada lembaga ini memiliki pendidikan tertinggi D IV /

S1/S2. Pada tahun 2015, jumlah PNS di lingkungan Pemerintah

Kabupaten Situbondo sebanyak 8.198 orang, terdiri dari 4.858

laki-laki dan 3.340 perempuan. Dilihat dari tingkat pendidikan

sebanyak 3.820 PNS berpendidikan setara D4/S1/S2/S3, 481

PNS berpendidikan setara Diploma III/Sarjana Muda, 1.018 PNS

berpendidikan setara Diploma I,II , 2.560 PNS berpendidikan setara

SMA/Sederajat, 218 PNS berpendidikan setara SLTP/Sederajat, dan sisanya

sebanyak 101 PNS berpendidikan setara SD.

2.7.3. Kependudukan dan Ketenagakerjaan

Jumlah Penduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk Menurut


Kecamatan Di Kabupaten Situbondo, 2010, 2014, dan 2015.
Jumlah Penduduk Laju Pertumbuhan
NO. Kecamatan Penduduk
2010 2014 2015 2010-2015 2014-2015
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1 Sumbermalang 26.366 26.430 26.422 0,21 - 0,03
2 Jatibanteng 21.891 22.130 22.171 1,28 0,19
3 Banyuglugur 22.498 23.278 23.456 4,26 0,76
4 Besuki 61.364 63.627 64.147 4,54 0,82
5 Suboh 26.245 26.878 27.014 2,93 0,51
6 Mlandingan 22.411 22.451 22.441 0,13 - 0,04
7 Bungatan 24.471 25.037 25.157 2,80 0,48
8 Kendit 28.226 28.491 28.531 1,08 0,14

56
9 Panarukan 53.169 55.328 55.829 5,00 0,91
10 Situbondo 46.952 47.764 47.924 2,07 0,33
11 Mangaran 32.009 32.762 32.922 2,85 0,49
12 Panji 68.461 71.233 71.874 4,99 0,90
13 Kapongan 37.075 38.018 38.222 3,09 0,54
14 Arjasa 39.791 40.440 40.567 1,95 0,31
15 Jangkar 36.395 36.930 37.030 1,74 0,27
16 Asembagus 47.348 47.850 47.933 1,24 0,17
17 Banyuputih 54.420 57.366 58.073 6,71 1,23

Hasil Proyeksi Penduduk 2015, penduduk Kabupaten

Situbondo berjumlah 669.713 jiwa terdiri dari 326.500 jiwa

laki-laki dan 343.213 jiwa perempuan. Sehingga memiliki angka

rasio sex sebesar 0.95 yang berarti bahwa dari 100 penduduk

perempuan terdapat 95 penduduk laki-laki. Penduduk tahun

2014 berjumlah 666.013 jiwa, hal ini berarti bertambah 317 jiwa

di tahun 2015.

Kepadatan penduduk di Kabupaten Situbondo tahun 2015

mencapai 408.74 jiwa/km2. Kepadatan Penduduk di 17

kecamatan cukup beragam dengan kepadatan penduduk tertinggi

terletak di kecamatan Besuki dengan kepadatan sebesar 2.428,89

jiwa/km2 dan terendah di Kecamatan Banyuputih sebesar 120,57

jiwa/Km2.

Jumlah penduduk berumur 15 tahun keatas di Kabupaten

Situbondo yang termasuk Angkatan Kerja sejumlah 364.834 jiwa,

terdiri dari penduduk yang bekerja sejumlah 351.821 jwa dan

57
Pengangguran Terbuka sejumlah 13.013 jiwa, sedangkan

penduduk berumur 15 tahun keatas yang Bukan Angkatan Kerja

sejumlah 164.656 jiwa, terdiri dari penduduk yang Sekolah

sejumlah 36.573 jiwa, Mengurus Rumah Tangga sejumlah 115.783

jiwa, dan Lainnya sejumlah 12.300 jiwa.

2.7.4. Sosial

2.7.4.1. Pendidikan

Jumlah lembaga pendidikan menurut tingkatnya di

Kabupaten Situbondo tahun 2015 sebagai berikut: Pendidikan

Pra Sekolah atau TK dan Raudhatul Athfal sejumlah 401 unit,

Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah sejumlah 534 unit,

Tingkat SLTP dan Madrasah Tsanawiyah sejumlah 174 unit,

SMA dan Madrasah Aliyah sejumlah 75 unit, dan SMK

sejumlah 37 unit.

Perkembangan pendidikan di tingkat Perguruan Tinggi

terdapat 6 (enam) Perguruan Tinggi Swasta, yaitu Institut Agama

Islam Ibrahimy, Akademi Manajemen Informatika Ibrahimy,

Akademi Perikanan Ibrahimy dan Akademi Kebidanan Ibrahimy,

ke empat Perguruan Tinggi tersebut terdapat di Pondok Pesantren

Sukorejo Banyuputih, Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu

Pendidikan (STKIP) dan Universitas Abdurachman Saleh

(UNARS) yang keduanya berada di pusat kota.

58
2.7.4.2. Kesehatan

Sarana pelayanan kesehatan atau fasilitas kesehatan baik

pemerintah maupun swasta yang ada di Kabupaten Situbondo

tahun 2015 meliputi 5 rumah sakit umum, 17 puskesmas, 569

posyandu, dan 925 polindes. Jumlah tenaga kesehatan di seluruh

puskesmas kabupaten Situbondo tahun 2015 terdiri dari

tenaga medis sejumlah 44 orang, tenaga keperawatan sejumlah

385 orang, tenaga kebidanan sejumlah 493 orang, tenaga

kefarmasian sejumlah 17 orang, tenaga kesehatan lainnya 26

orang, dokter umum 25 orang, dan dokter gigi sejumlah 19 orang,

sedangkan dokter spesialis tidak ada.

Jumlah tenaga kesehatan di seluruh rumah sakit

kabupaten Situbondo tahun 2015 terdiri dari tenaga medis

sejumlah 102 orang, tenaga keperawatan sejumlah 400 orang,

tenaga kebidanan sejumlah 188 orang, tenaga kefarmasian

sejumlah 46 orang, tenaga kesehatan lainnya 12 orang, dokter

umum 28 orang, dokter gigi sejumlah 12 orang, dan dokter

spesialis sejumlah 62 orang.

2.7.4.3. Agama

Komposisi penduduk kabupaten Situbondo berdasarkan

agama yang dianut, agama Islam sebanyak 98,67 %, Kristen

Protestan sebanyak 0,86 %, Katolik sebanyak 0,37 %, Hindu

sebanyak 0,03 %, Budha sebanyak 0,06%, dan Lainnya sebanyak

59
0,01 %.

2.7.4.4. Kriminalitas

Kabupaten Situbondo dalam kurun waktu tiga tahun

terakhir relative lebih aman. Hal ini tercermin dengan menurunnya

jumlah tindak pidana dalam tiga tahun terakhir yang sangat

drastis. Jumlah tindak pidana selama tahun 2013 sebanyak 832

kasus, tahun 2014 sebanyak 760 kasus , dan tahun 2015

sebanyak 682 kasus . Penurunan tindak pidana selama tahun

2013 – 2014 sebanyak 72 (8,6 % ), penurunan tindak pidana

selama tahun 2014 – 2015 sebanyak 78 (10,3 %).

2.7.4.5. Sosial Lainnya

Banyaknya pernikahan yang tercatat di Kantor Urusan

Agama Kabupaten Situbondo tahun 2015 sebanyak 5.367

pernikahan. Pernikahan terbanyak berada di kecamatan Besuki

sejumlah 559 pernikahan, berikutnya kecamatan Panji 533

pernikahan, dan kecamatan Panarukan sejumlah 454 pernikahan.

Sedangkan jumlah talak, cerai, dan rujuk masing-masing 2, 3, dan

1.

2.8. Keuangan Daerah

Pendapatan Asli Daerah (PAD) kabupaten Situbondo tahun

2014 mencapai 129.640.577,93 ribu rupiah, sedangkan tahun

60
2015 naik menjadi 148 507 958,98 Ribu Rupiah atau naik

14,55 %. Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) diantaranya

disumbang oleh retribusi daerah, pajak daerah, hasil badan usaha

milik daerah (BUMD) dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang

dipisahkan dan lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah.

Besarnya Dana Perimbangan dari pusat berupa Dana Alokasi

Umum (DAU) untuk tahun 2014 sebesar 766.542.999,00

ribu rupiah dan tahun 2015 naik menjadi 787 728 919,00 ribu

rupiah atau naik 2,76 %.

Posisi simpanan masyarakat Rupiah dan Valuta Asing pada

Bank Umum dan BPR di kabupaten Situbondo tahun 2015

mengalami kenaikan disemua jenis simpanan. Jenis simpanan

giro tahun 2014 sebesar 113.954 juta rupiah naik menjadi

143.223 juta rupiah di tahun 2015 atau naik 25,68 %.

Simpanan berjangka tahun 2014 sebesar 539.728 juta rupiah naik

menjadi 599.006 juta rupiah di tahun 2015 atau naik 10,98 %,

dan jenis tabungan tahun 2014 sebesar 1.109.036 juta rupiah

naik menjadi 1.209.142 juta rupiah di tahun 2015 atau naik

9,03 %.

Pengeluaran Rata-rata Perkapita Sebulan Menurut

Golongan Pengeluaran dan Kelompok Barang di Kabupaten

Situbondo Tahun 2015 sebesar Rp 317.917. Sedangkan

Pengeluaran Rata-rata Perkapita Sebulan Menurut Kelompok

Bukan Makanan di Kabupaten Situbondo sebesar Rp 274.567.

61
Kelompok padi-padian merupakan kelompok makanan yang

paling besar nilai pengeluarannya yaitu sebesar Rp 70.492,

diikuti kelompok makanan/minuman jadi sebesar Rp 70.156,

serta kelompok Tembakau dan sirih sebesar Rp 44.145.

Sedangkan untuk kelompok pengeluaran bukan makanan yang

paling besar adalah kelompok Perumahan, bahan bakar,

penerangan, air yaitu Rp 132.689, selanjutnya kelompok Aneka

barang dan jasa sebesar Rp 65.387, dan kelompok Barang yang

tahan lama sebesar Rp 32.106.

2.9. Praktik Empirik Pembentukan Produk Hukum Daerah

Produk hukum haruslah mencerminkan sebagai produk

yang terserap secara empirik atau berbasis riil dari realitas

kehidupan kemasyarakatan. Norma yuridis merupakan norma

yang secara das sollen sebagai produk lembaga yang berwenang

(legislatif), namun akan dinilai kualitasnya ketika sudah masuk

dalam ranah das sein (kenyataan atau praktik).30 Setiap norma

yuridis ini terlahir atau terbentuk adalah berkat latar sosial

sebagai realitas empiriknya.

Produk legislatif baik oleh pusat maupun daerah

merupakan wujud pengakomodasian berbagai bentuk kepentingan

riil di masyarakat. Kepentingan masyarakat merupakan

30Herlambang, Hukum Untuk Rakyat Indonesia, Pustaka Insani,


Jakarta, 2012, hal. 11.

62
kepentingan yang idealitasnya harus menjadi ruh dalam

bangunan produk peraturan perundang-undangan.

Manusia atau masyarakat tidak bisa melepaskan diri

secara mutlak dari pengaruh lingkungan dimana dirinya

menjalankan aktifitas, karena lingkungan itu senantiasa tersedia

di sekitarnya untuk menjadi tempat mengadaptasikan diri.31

Hukum pun demikian, ia disediakan atau dibentuk karena

kebutuhan rakyat atau pembangunan yang diselenggarakan oleh

negara. Hukum tidak begitu saja hadir tanpa alasan kepentingan

atau kebutuhan.32 Hukum yang diproduk merupakan suatu

proses yang terbentuk melalui penjaringan, riset, atau

pengakomodasian kepentingan riil masyarakat.

Hal itu menunjukkan, bahwa hukum yang ideal berlaku

adalah yang responsif atau sesuai dengan nilai-nilai hukum dan

rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Jika nilai-nilai

hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat ini

menjadi pertimbangan utama atau ditempatkan sebagai ruh dalam

sistem hukum nasional, maka sistem hukum nasional akan

terbentuk menjadi bangunan sistem hukum yang berpihak pada

kepentingan bangsa Indonesia, dan tidak lagi mengandung ruh

kolonialisme. Perda merupakan bagian dari sistem hukum

31http://nhinurusaadah.blogspot.co.id/2013/12/makalah-pengaruh-

hunian-mahasiswa.html
32 Herlambang, Op.Cit, hal. 3.

63
nasional, yang sejatinya benar-benar berangkat dari realitas atau

kenyataan obyektif yang terjadi tengah masyarakat.

Di satu sisi, memang perkembangan masyarakat yang

semakin pesat yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan

dan teknologi atau beragamnya produk Iptek telah menimbulkan

pergeseran nilai-nilai hukum dalam masyarakat yang berpengaruh

pada kehidupan hukum di Indonesia, akan tetapi di sisi lain,

dalam masyarakat tertentu, masih ada nilai-nilai hukum yang

tetap hidup lestari dalam masyarakat itu. Pengakuan dan

penghormatan terhadap keberadaan nilai-nilai hukum dan rasa

keadilan yang hidup tersebut diakui secara konstitusional oleh

kebijakan pemerintah daerah. Kebijakan tersebut menjadi sebuah

program pembentukan peraturan daerah yang nantinya akan

diatur di dalam sebuah Peraturan Daerah dalm menyusun

sebauah perencanaan dalam pembentukan peraturan perundang-

undangan

64
BAB III
EVALUASI DAN ANALISA PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN

3.1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945

Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-

daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan

kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai

pemerintahan daerah sebagaimana diatur di dalam Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

sebagaimana telah diubah beberapakali terakhir dengan Undang-

Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan

Daerah. Pemerintah Daerah Kabupaten Situbondo mengatur dan

mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi

daerah dan tugas pembantuan.

Pemerintah Daerah berdasarkan Pasal 18 ayat (6) berhak

menetepkan peraturan daerah dan peraturan peraturan lain

untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

Berdasarkan Pasal 22A UUD NRI Tahun 1945 berbunyi bahwa

ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-

undang diatur dengan undang-undang.


3.2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan lahir atas perintah

dari Pasal 22A UUD NRI Tahun 1945. Berdasarkan Pasal 5 UU

Nomor 12 Tahun 2011 bahwa dalam membentuk Peraturan

Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang

meliputi:

a. Kejelasan tujuan.

Yang dimaksud dengan “asas kejelasan tujuan” adalah

bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.

b. Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat.

Yang dimaksud dengan “asas kelembagaan atau pejabat

pembentuk yang tepat” adalah bahwa setiap jenis Peraturan

Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara

atau pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan

yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut

dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh

lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang.

c. Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan.

Yang dimaksud dengan “asas kesesuaian antara jenis,

hierarki, dan materi muatan” adalah bahwa dalam

66
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus

benarbenar memperhatikan materi muatan yang tepat

sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-

undangan.

d. Dapat dilaksanakan.

Yang dimaksud dengan “asas dapat dilaksanakan” adalah

bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

harus memperhitungkan efektivitas Peraturan

Perundangundangan tersebut di dalam masyarakat, baik

secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.

e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan.

Yang dimaksud dengan “asas kedayagunaan dan

kehasilgunaan” adalah bahwa setiap Peraturan

Perundangundangan dibuat karena memang benar-benar

dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

f. Kejelasan rumusan.

Yang dimaksud dengan “asas kejelasan rumusan” adalah

bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus

memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan

Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau

istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah

dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam

interpretasi dalam pelaksanaannya.

67
g. Keterbukaan.

Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah bahwa

dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai

dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan

atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan

dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan

masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya

untuk memberikan masukan dalam Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan.

Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus

mencerminkan asas:

a. Pengayoman.

Yang dimaksud dengan “asas pengayoman” adalah bahwa

setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus

berfungsi memberikan pelindungan untuk menciptakan

ketentraman masyarakat.

b. Kemanusiaan.

Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” adalah bahwa

setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus

mencerminkan pelindungan dan penghormatan hak asasi

manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan

penduduk Indonesia secara proporsional.

68
c. Kebangsaan.

Yang dimaksud dengan “asas kebangsaan” adalah bahwa

setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus

mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang

majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

d. Kekeluargaan.

Yang dimaksud dengan “asas kekeluargaan” adalah bahwa

setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus

mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat

dalam setiap pengambilan keputusan.

e. Kenusantaraan.

Yang dimaksud dengan “asas kenusantaraan” adalah

bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan

senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah

Indonesia dan Materi Muatan Peraturan Perundang-

undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari

sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945.

f. Bhinneka tunggal ika.

Yang dimaksud dengan “asas bhinneka tunggal ika” adalah

bahwa Materi Muatan Peraturan Perundangundangan

harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku

69
dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

g. Keadilan.

Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa Setiap

Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus

mencerminkan keadilan secara proporsional bagi

setiap warga negara.

h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan.

Yang dimaksud dengan “asas kesamaan kedudukandalam

hukum dan pemerintahan” adalah bahwa setiapMateri

Muatan Peraturan Perundang-undangan tidakboleh memuat

hal yang bersifat membedakanberdasarkan latar belakang,

antara lain, agama, suku,ras, golongan, gender, atau status

sosial.

i. Ketertiban dan kepastian hukum.

Yang dimaksud dengan “asas ketertiban dan kepastian

hukum” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan

Perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban

dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.

j. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Yang dimaksud dengan “asas keseimbangan, keserasian,

dan keselarasan” adalah bahwa setiap Materi Muatan

Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan

keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara

70
kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa

dan negara.

Pasal 39 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang

mengatur bahwa Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota dilakukan dalam Prolegda Kabupaten/Kota.

Tahap perencanaan merupakan langkah pertama yang dilakukan

untuk mencapai tujuan pembentukan Peraturan Perundang-

undangan yang baik. Salah satu kegiatan perencanaan

pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah

penyusunan Naskah Akademik. Melalui kajian dan penyusunan

Naskah Akademik, diharapkan Peraturan Perundang-undangan

yang dibentuk dapat memenuhi pencapaian tujuan pembentukan,

dapat dilaksanakan dan ditegakkan. Naskah akademik merupakan

penjelasan atau keterangan mengapa Perda tersebut dibuat.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengharuskan

mengenai adanya naskah akademik dalam proses pembentukan

Peraturan Perundang-undangan.

Dasar hukum pembentukan Naskah Akademik yaitu Pasal

57 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 ditentukan bahwa:

(1) Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan

Daerah Provinsi dilakukan sesuai dengan teknik

penyusunan Naskah Akademik.

71
(2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Naskah

Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian

tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.

Sebagaimana berdasarkan Pasal 63 Undang-Undang Nomor

12 Tahun 2011 memberlakukan juga di Kabupaten/Kota yang

berbunyi “Ketentuan mengenai penyusunan Peraturan Daerah

Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 sampai dengan

Pasal 62 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penyusunan

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota”.

Sebagai perbandingan, jika dipelajari dalam UU No

10/2004, maka dalam UU No 10/2004 tidak mengharuskan

Naskah Akademik sebagai bagian proses penyusunan peraturan

perundang-undangan. Dengan demikian, dikaitkan dengan

urgensi Naskah Akademik dalam penyusunan peraturan

perundang-undangan, terjadi kemunduran dalam signifikan dalam

menempatkan Naskah Akademik. Sebelumnya, dalam Keputusan

Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Nomor: G-159.Pr.09.10

Tahun 1994 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Naskah

Akademik Peraturan Perundang-Undangan ditegaskan bahwa

Naskah Akademik merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan

dari penyusunan sebuah rancangan peraturan perundang-

undangan karena dimuat gagasan-gagasan pengaturan serta

materi muatan peraturan perundang-undangan bidang tertentu

72
yang telah ditinjau secara sistemik holistik dan futuristik dari

berbagai aspek ilmu. Dengan penegasan Naskah Akademik sebagai

bagian yang tidak terpisahkan dari penyusunan rancangan

peraturan perundang-undangan.

3.3. Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang

Pemerinrahan Daerah

Diantara morma yuridis lainnya yang bisa digunakan

sebagai payung penyusunan Perda Penyelenggaraan usaha

Pemondokan adalah 23 tahun 2014 tentang Pemerinrahan

Daerah. Sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah yang

berbunyi sebagai berikut:

(1) Daerah berhak menetapkan kebijakan Daerah untuk

menyelenggarakan Urusan Pemerintahan yang menjadi

kewenangan Daerah.

(2) Daerah dalam menetapkan kebijakan Daerah

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib berpedoman

pada norma, standar, prosedur, dan kriteria yang telah

ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

(3) Dalam hal kebijakan Daerah yang dibuat dalam rangka

penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi

kewenangan Daerah tidak mempedomani norma,

standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud

73
pada ayat (2), Pemerintah Pusat membatalkan kebijakan

Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Kebijakan tersebut di dalam pelaksanaanannya dituangkan

atau diatur dalam bentuk Produk Hukum Daerah. Berdasarkan

Pasal 236 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang

Pemerintahan Daerah berbunyi bahwa:

(1) Untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas

Pembantuan, Daerah membentuk Perda.

(2) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh

DPRD dengan persetujuan bersama kepala Daerah.

(3) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat materi

muatan:

a. penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas

Pembantuan; dan

b. penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang

undangan yang lebih tinggi.

(4) Selain materi muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

Perda dapat memuat materi muatan lokal sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan Pasal 237 Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2014 Tentang Pemerintahan Daerah, berbunyi bahwa:

(1) Asas pembentukan dan materi muatan Perda berpedoman

pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan asas

hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat

74
sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

(2) Pembentukan Perda mencakup tahapan perencanaan,

penyusunan, pembahasan, penetapan, dan pengundangan

yang berpedoman pada ketentuan peraturan

perundangundangan.

(3) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan

dan/atau tertulis dalam pembentukan Perda.

(4) Pembentukan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

dilakukan secara efektif dan efisien.

3.4. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia

Nomor 80 Tahun 2015 Tentang Pembentukan Produk

Hukum Daerah.

Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia

Nomor 80 Tahun 2015 Tentang Pembentukan Produk Hukum

Daerah diatur mengenai rambu-tambu penyusunan atau

pembentukan produk hukum di daerah, baik Provinsi maupun

Kabupaten/Kota.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor

80 Tahun 2015 ini diterbitkan karena aturan sebelumnya

dinyatakan sudah tidak relevan, yang konsekuensinya harus

dilakukan pembaruan disana-sini.

75
Hal itu sesuai dengan pertimbangan dalam Peraturan

Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2015,

bahwa untuk menjamin kepastian hukum atas pembentukan

produk hukum daerah diperlukan pedoman berdasarkan cara dan

metode yang pasti, baku dan standar sehingga tidak bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,

kepentingan umum dan/atau kesusilaan. Selain itu, bahwa untuk

melaksanakan ketentuan Pasal 243 ayat (3) Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang

mengatur mengenai tata cara pemberian nomor register peraturan

daerah yang merupakan bagian dari pembentukan produk hukum

daerah dan dinamika perkembangan peraturan perundang-

undangan mengenai produk hukum daerah, sehingga Peraturan

Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan

Produk Hukum Daerah perlu diganti.

Sebagaimana diatur di dalam Pasal 16 ayat (3) Jo. Pasal 17

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 Tentang

Pembentukan Produk Hukum Daerah menjelaskan bahwa tata

cara penyusunan propemperda kabupaten/kota di datur dengan

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, untuk itu Peraturan Daerah

Tentang Tata Cara Penyusunan Propemperda perlu diatur.

76
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, YURIDIS, DAN SOSIOLOGIS

4.1. Landasan Filosofis

Norma menjadi patokan yang member orientasi bagi subyek

untuk bertindak. Adanya norma memungkinkan manusia

mempunyai pedoman untuk mengatur dan mengelola prilakunya

sesuai dengan ideal tertentu. Karena itu, norma pada dasarnya

menunjuk pada apa yang seharusnya ada (das sollen) dan bukan

yang de facto ada (das sein). Hukum sebagai norma juga memiliki

watak das sollen.1

Dengan mendorong, menghindari atau melakukan

perbuatan tertentu, hukum menetapkan apa yang seharusnya

menjadi kewajiban dan tanggung jawab dalam kerangka hidup

bersama dengan orang lain. Adanya hukum yang berfungsi

sebagai norma untuk mengatur relasi antar anggota masyarakat

membuat manusia terikat dengan kewajiban dan tanggng jawab

hukum (legal responsibility). Keterikatan ini juga disebut

kewajiban yuridis.2

Keterikatan ini menjadi urgen karena fakta bahwa manusia

selalu hidup bersama dengan orang lain. Hidup bersama dengan

orang lain dengan hak, kepentingan dan tuntutan yang berbeda-

1Wayan Resmini, Peranan Filsafat Hukum Dalam Pembentukan Hukum

Di Indonesia, http://unmasmataram.ac.id/wp/wp-content/uploads/10.-Wayan-
Resmini.pdf,.
2Theo Huijbers,. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Kanisius
Yogyakarta, 1982. hal. 45-47.
beda adalah kenyataan yang eksistensial. Keberagaman hak dan

kepentingan serta ideal hidup berpotensi melahirkan konflik. Oleh

karena itu setiap individu harus keluar dari budaya privatnya

yang ditentukan oleh norma moral atau kebiasaan individu atau

komunal selanjutnya masuk ke budaya publik. Norma moral

meskipun bersifat mewajibkan, kewajiban moral tidak dengan

sendirinya memiliki kekuatan mengikat. Meskipun subyek

menyadari tindakan tertentu bertentangan dengan norma moral,

ia selalu dapt memilih mentaati atau tidak. Subyek dengan

pertimbangannya sendiri selalu dapat memilih untuk

mengabaikan norma moral tertentu meskipun oleh masyarakat

umum norma tersebut dipandang penting atau bernilai.3

Kepatuhan terhadap norma-moral muncul terutama karena

dorongan kesadaran dari dalam diri subyek yang bersangkutan.

Watak dasar norma moral berbeda dengan norma hukum, dari

sudut norma hukum setiap orang apabila terbukti melanggar

hukum akan dikenai sanksi berupa hukuman penjara atau bentuk

hukuman lain yang dipandang setara dengan beratnya

pelanggaran. Disini tertuduh tidak dapat memilih apakah boleh

atau tidak untuk dihukum. Tertuduh mungkin tidak setuju

dihukum, dan karenanya ia berusaha untuk membela diri agar

dapat lepas dari tuntutan hukum. Akan tetapi, ketika terbukti

bersalah ia tidak punya pilihan lain kecuali menerima hukuman.

3 Wayan Resmini, Loc. Cit.

78
Bahkan, sang pencuripun tidak harus mengerti bahwa tindakan

mencuri dilarang oleh hukum yang pelanggarannya dituntut

secara hukum. Pengetahuan tentang hukum itu dibuat bukan

syarat untuk dikenai tuntutan hukum. Hukum tetap saja harus

dibuat atau dibentuk. Adapun yang penting adalah tertuduh

mengerti dan sadar apa yang dilakukannya (mens rea) dan

memang terbukti melakukannya (actus reus). Hal ini merupakan

alasan yang mencukupi bagi hakim untuk menghukumnya

dengan hukuman yang setimpal.4 Hal inilah yang membuat norma

yuridis mempunyai eksistensi, khususnya pada ranah memaksa

dan mengikatnya. Begitu norma yuridis dibuat, disahkan, dan

diundangkan, maka setiap subyek hukum, terikat dan dipaksa

untuk mengimplementasikannya.

Baik norma hukum maupun norma moral sama-sama

bersifat mewajibkan, namun dengan kekuatan mengikat yang

berbeda. Kedua jenis norma ini memberi batasan kewajiban

mengenai apa yang seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan

oleh subyek. Akan tetapi kekuatan mengikat keduanya tidak

sama. Kekuatan mengikat norma moral sangat tergantung pada

kesadaran dan pertimbangan rasional independen subyek. Dengan

demikian, kekuatan mengikat norma moral lebih berasal dari

dalam diri subyek sendiri, tidak dapat dipaksakan begitu saja dari

luar. Karena itu, tanggung jawab moral selalu bersifat personal,


4Thomas Morawetz. The Philosophy of Law, An Introduction, Macmillan

Publishing Co. Inc New York, 1980, hal. 202.

79
tidak dapat dialihkan kepada pihak lain. Sedangkan kekuatan

mengikat norma hukum ditentukan oleh negara. Paksaan hukum

bersifat eksternal. Sanksi atas pelanggaran hukum secara tegas

dapat dipaksakan dari luar melalui otoritas negara. Bahkan dalam

kasus hukum kriminal misalnya, negara wajib begitu saja

mengambil tindakan hukum ketika terjadi pelanggaran, juga

apabila pihak korban tidak mengajukan gugatan terhadap

tersangka. Dengan demikian, norma hukum bersifat pasti, dalam

arti akan diambil tindakan tegas apabila terjadi pelanggaran. Ini

yang disebut faktisifitas hukum. Pelanggaran hukum akan

ditindak tegas, dan bukan sekedar diharapkan ditindak, oleh

Negara.5

Aspek filosofis suatu norma yuridis itu dibuat tentulah

bertujuan fundamental seperti mengapa Perda pemondokan atau

kos-kosan itu dibuat? Demikian pentingkah Perda pemondokan

atau kos-kosan itu dibuat? Apa memang Perda pemondokan atau

kos-kosan itu sangat dibutuhkan oleh masyarakat atau

pemerintah daerah, sehingga harus dibuat.

Pada hakikatnya, dalam ide kedaulatan rakyat harus

dijamin (dipahami) bahwa rakyatlah yang sesungguhnya pemilik

negara dan segala kewenangannya untuk menjalankan semua

fungsi kekuasaan negara baik dibidang legislatif, eksekutif,

maupun yudikatif. Rakyatlah yang berwenang merencanakan,


5Fransz Magnis-Suseno, Kuasa dan Moral, PT Gramedia Pustaka
Utama Jakarta, 2001, hal. 67-84.

80
mengatur, melaksanakan dan melakukan pengawasan serta

penilaian terhadap pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan itu.

Bahkan lebih jauh lagi, untuk kemanfaatan bagi rakyatlah

sesungguhnya segala kegiatan ditujukan dan diperuntukannya

segala manfaat yang didapat dari adanya dan berfungsinya

kegiatan bernegara itu. Inilah gagasan kedaulatan rakyat yang

dilaksanakan melalui sistem demokrasi.6 Kewenangan rakyat ini

diantaranya diwadahi oleh lembaga-lembaga strategis seperti

eksekutif dan legislatif.

Lembaga legisltif di tingkat daerah misalnya, adalah lembaga

yang secara konstitusional berfungsi memproduksi atau

membentuk norma-norma yuridis. Lembaga ini diberi kepercayaan

secara yuridis atau diatur oleh norma hukum untuk melahirkan

hukum. Norma yuridis yang dilahirkan oleh badan legislatif ini

ditujukan untuk mengikat atau “memaksa” manusia guna

menjalankan kewajikan dan memperoleh hak-haknya.

Thomas Hobbes dalam “Leviathan” menyebut hukum

adalah perintah-perintah dari orang yang memiliki kekuasaan

untuk memerintah dan memaksakan perintahnya kepada orang

lain.. Rudolf von Jhering dalam “Der Zweck Im Recht” 1877-1882

menyebut hukum adalah keseluruhan peraturan yang memaksa

yang berlaku dalam suatu negara. Plato berpendapat hukum

6Penelitian“Konstruksi Perwakilan Daerah Dalam Sistem


Ketatanegaraan Indonesia”, Kerjasama DPD RI dan Universitas Brawijaya, Pusat
Pengkajian Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2009,
hal; 15.

81
merupakan peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik

yang mengikat masyarakat.

Aristoteles berpendapat, bahwa hukum hanya sebagai

kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat masyarakat

tetapi juga hakim. Abdulkadir Muhammad menyatakan hukum

adalah segala peraturan tertulis dan tidak tertulis yang

mempunyai sanksi yang tegas terhadap pelanggarnya. Sedangkan

Mochtar Kusumaatmadja dalam “Hukum, Masyarakat dan

Pembinaan Hukum Nasional (1976:15): Pemahaman hukum yang

memadai harus tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu

perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan

manusia dalam masyarakat, tapi harus pula mencakup lembaga

(institusi) dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan hukum

itu dalam kenyataan.7

Dalam sebuah teori sistem dikatakan bahwa

regulasi/norma/hukum adalah faktor utama yang menentukan

baik dan tidaknya manusia. Manusia yang tidak baik jika

dimasukkan dalam sebuah sistem yang baik maka hampir dapat

dipastikan ia akan menjadi baik. Sebaliknya, sekalipun manusia

tersebut baik secara personal, saleh secara individual, tetapi

ketika ia ditempatkan dalam sebuah sistem atau lingkungan yang

tidak baik, maka ia pun akan menjadi tidak baik. Konsep

7Ibid.

82
demikian inilah yang kemudian seperti mendapatkan legitimasinya

sebagaimana yang dikemukakan oleh Bordiew sebagai “habitus”. 8

Menurut Bordiew, kondisi sosial yang sering dilakukan,

lama kelamaan akan membentuk identitas sosial individu yang

ada di dalamnya.9 Identitas ini tentunya tidak hanya pelekatan

secara social, tetapi juga harus menjadi stigmatisasi yang

diberikan oleh norma yuridis, dalm hal ini diantaranya melalui

Perda.

Dalam pembentukan produk hukum daerah pun demikian,

kualitas tidaknya produk norma-norma yuridis yang menjadi

landasan yuridi bagi pembentukan produk hukum di daerah

seperti Kabupaten Situbondo ini mempunyai tujuan mulia, karena

kalau setiap subyek membuat atau memebentuk hukum tanpa

pedoman yuridis yang benar, maka diniscayakan akan mengalami

kekeliruan. Norma-norma ini mengikat, sehingga menuntut

kepatuhan semua pihak.

4.2. Landasan Sosiologis

Dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara dan

masyarakat, hukum merupakan dua hal yang tidak dapat

dipisahkan sebagaimana pendapat Filosof Cicero yang menyebut

“ubi societas, Ibi ius”, dimana ada masyarakat dan di situ ada

8Ahmad Zainuri, Gorontalo Butuh Regulasi Kos-kosan,


http://www.kompasiana.com/ahmad_zaenuri/gorontalo-butuh-regulasi-kos-
kosan_54f34caa7455139f2b6c6f95
9Ibid.

83
hukum. Masyarakat memerlukan aturan hukum, agar

kehidupannya tertib dan tidak ada seorang pun yang diperlakukan

tidak adil.10 Adapun yang bersalah atau melakukan pelanggaran

hukum harus dihukum sesuai dengan tingkat kesalahannya.

Demikian jika memang ada noma yang mengaturnya.

Pendapat tersebut menunjukkan, bahwa untuk mengatur

kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dibutuhkan suatu

aturan. Begitu pun, jika belum ada norma yuridis, sementara

masyarakat membutuhkan pengaturan untuk menjembatani atau

melindunginya, maka norma yuridis harus dikonstruksinya.

Norma yuridis yang sudah tidak sesuai dengan

kepentingan sosiologis pun harus direkonstruksi. Apa gunanya

mempunyai produk yuridis jika berlawanan dengan kepentingan

masyarakat. Apa gunanya ada aturan, tetapi justru menjadi

penghambat pembangunan. Sebagai wujud dari keterbukaan

informasi publik, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) secara

resmi sejak Senin (20/6) telah mengunggah 3.143 peraturan

daerah (Perda) yang dibatalkan Pemerintah Pusat, termasuk di

dalamnya peraturan menteri dalam negeri (Permendagri) Tujuan

dari pembatalan perda ini adalah memperkuat daya saing bangsa

di era kompetisi. Perda itu merupakan aturan yang dinilai

menghambat pertumbuhan ekonomi daerah dan memperpanjang

jalur birokrasi, hambat investasi, dan kemudahan berusaha.


10Chaidir, http:// drh.chaidir.net/kolom/167-Ubi-Societas- Ibi-Ius---

Dimana-ada-masyarakat,-di-situ-ada-hukum.html, akses 15 September 2013.

84
Setelah membatalkan 3.143 Perda yang terkait dengan investasi.

Kemendagri saat ini sedang mengevaluasi perda yang

bertentangan dengan konstitusi, serta peraturan undang-undang

(UU) yang lebih tinggi. Kemendagri akan melihat dulu sejauhmana

regulasi ini, apakah sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan UU

sebagai pilar kebangsaan. Selain itu, pemerintah juga tengah

mengevaluasi perda maupun peraturan kepala daerah yang tidak

sesuai dengan semangat menjaga kebhinekaan dan persatuan

Indonesia. Untuk itu, Mendagri berharap dukungan dan

partisipasi berbagai pihak untuk memperkuat semangat otonomi

daerah, membangun tata kelola pemerintahan yang efektif, efisien,

bersih, dan taat kepada hukum dalam rangka NKRI sehingga

membawa kesejahteraan masyarakat.11

Soerjono Soekanto juga menyatakan: hukum yang hidup,

yang diterapkan dalam pergaulan sehari-hari sebagai jalinan nilai-

nilai dari konsep abstrak dalam diri manusia tentang apa yang

dianggap baik sehingga dianut atau ditaati, dan apa yang dianggap

buruk sehingga dihindari.12

Hukum yang hidup merupakan pencerminan norma yang

bisa dilaksanakan di tengah masyarakat, yang diserap dari realitas

sosiologis. Mustahil bisa menerapkan norma yuridis yang dibentuk

11http://setkab.go.id/kemendagri-resmi-umumkan-3-143-perda-yang-

dibatalkan/
12Soerjono Soekanto, Mengenai Sosiologi Hukum, Alumni, Bandung,
1981, hal. 29.

85
tidak berlatar kepentingan atau keinginan-keinginan riil

masyarakat (sosiologis).

Perlunya memperhatikan aspek nilai dan aspirasi hukum

masyarakat itu juga ditegaskan oleh Barda Nawawi Arief, bahwa

sistem hukum nasional di samping hendaknya dapat menunjang

pembangunan nasional dan kebutuhan pergaulan internasional,

juga harus bersumber dan tidak mengabaikan nilai-nilai dan

aspirasi hukum yang hidup dan berkembang di dalam

masyarakat. Nilai-nilai hukum yang hidup atau berkembang di

dalam masyarakat itu dapat bersumber atau digali dari nilai-nilai

hukum adat, moral, dan nilai-nilai hukum agama.13 Nilai-nilai ini

kemudian ditelaah, didiskursuskan,dan dikembangkan menjadi

suatu rumusan yang sistematis menjadi produk yuridis, sehingga

norma yuridis yang dibentuknya benar-benar merupakan

pencerminan aspirasi masyarakat. Sudah demikian banyak kita

temukan produk norma yuridis yang dibentuk yang ternyata tidak

berbasis kepentingan riil masyarakat. Hal ini menjadi tuntutan

bagi setiap pembaharu atau pembentuk hukum sekarang dan

masa mendatang untuk melakukan evaluasi dan

merekonstruksinya sehingga menjadi produk yuridis yang berpijak

pada dimensi sosiologis.

13Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum

Pidana (Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia), Pidato


Pengukuhan Jabatan Guru Besar Universitas Diponegoro, Semarang, 1994, hal.
13.

86
Norma yuridis yang dibentuk hanya akan menjadi produk

yuridis yang sia-sia atau tidak berguna di masyarakat, bilamana

hanya sekedar dibentuk tanpa berpijak pada kepentingan

masyarakat. Fenomena pembaruan atau pembentukan norma-

norma yuridis terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Banyak

peraturan atau norma yuridis dibuat, termasuk di Kabupaten

Situbondo, baik yang bersumber dari insiasi DPRD maupun

Bupati. Hal ini menandakan, bahwa dalam ranah sosiologis,

masyarakat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari politik

pembaruan atau pembentukan produk hukum daerah.

4.3. Landasan Yuridis

Menurut Van Der Tak dalam Aziz Syamsudin, peraturan

perundang-undangan tidak terkecuali Perda merupakan hukum

tertulis yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, berisi aturan-

aturan tingkah laku yang bersifat abstrak dan mengikat umum.14

Selian itu, menurut Tullius Cicerco (Romawi) dalam “De

Legibus”: Hukum adalah akal tertinggi yang ditanamkan oleh alam

dalam diri manusia untuk menetapkan apa yang boleh dan apa

yang tidak boleh dilakukan. Hugo Grotius (Hugo de Grot) dalam

“De Jure Belli Pacis” (Hukum Perang dan Damai), bahwa hukum

adalah aturan tentang tindakan moral yang mewajibkan apa yang

benar. J.C.T. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto


14Van Der Tak dalam Aziz Syamsudin, Proses dan Teknik Perundang-

Undangan, Sinar Garfika, Jakarta, 2011, hal 13.

87
mengatakan bahwa: Hukum adalah peraturan-peraturan yang

bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam

lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang

berwajib.15

Kewenangan pemerintah pusat yang hampir keseluruhan

diserahkan pada daerah, kecuali bidang; politik luar negeri,

pertahanan keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan

agama, merupakan “penyerahan” yang diatur menurut norma

yuridis. Disamping kelima hal tersebut terdapat kewenangan lain

yang masih dipegang pemerintah pusat, yakni; (1) kebijakan

tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan

nasional secara makro, (2) dana perimbangan keuangan, (3) sistem

administrasi negara, (4) lembaga perekonomian negara, (5)

pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, (6)

pendayagunaan sumberdaya alam, (7) teknologi tinggi yang

strategis, (8) konservasi dan (9) standarisasi nasional.

Secara yuridis disebut, bahwa pemerintahan daerah dalam

menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan

dengan pemerintah pusat dan daerah lainnya. Diantaranya

meliputi hubungan kewenangan, keuangan, pelayanan umum,

pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya.

Kemudian dalam bidang lainnya juga disebutkan bahwa

hubungan dalam bidang pelayanan umum antar Pemerintahan


15Susanto Nugroho, Belajar Hukum, Memulai Penegakan Hukum, Lintas

Keadilan, Jakarta, 2010, hal 2-3.

88
Daerah meliputi: 1. Pelaksanaan bidang pelayanan umum yang

menjadi kewenangan daerah. 2. Kerjasama antar Pemerintahan

Daerah dalam penyelenggaraan pelayanan umum. 3. Pengelolaan

perizinan bersama bidang pelayanan umum

Membaca pengaturan tersebut menunjukkan, bahwa

pemerintah daerah memiliki urusan pemerintahan dalam bidang

pelayanan umum yang dalam pelaksanaannya memiliki hubungan

dengan pemerintahan pusat dan pemerintah daerah. Perizinan

misalnya yang dilakukan harus melalui pendaftaran, rekomendasi,

penentuan kuota dan izin untuk melakukan suatu usaha yang

biasanya harus dimiliki atau diperoleh suatu perusahaan atau

seseorang sebelum yang bersangkutan dalam melakukan suatu

kegiatan atau tindakan.16

Berdasarkan alasan tersebut diatas, bagi Pemerintahan

baik itu Pemerintahan Provinsi, Pemerintahan Kota maupun

Pemerintahan Kabupaten termotivasi untuk meningkatkan

berbagai kegiatan yang bermanfaat bagi penguatan dan

pengembangan daerah, dalam hal ini Kabupaten Situbondo guna

memediasi berbagai program pembangunan yang dibuatnya baik

yang berelasi dengan pusat maupun internal dan antar pemerinah

daerah.

16Rieza Eka. Implementasi Peraturan Daerah tentang Perizinan


Pengelolaan Dan Pengusahaan Sarang Burung Walet Di Dinas Tata Ruang Kota
Bontang. Universitas Mulawarman: Jurnal Administrasi Negara. 1 (1), Maret pp.
2013, hal. 255-267.

89
Misalnya dalam pengadaan pajak dan retribusi daerah yang

baru, perlu dipertimbangkan regulasi yang tepat dan benar agar

tidak menimbulkan gejolak dalam masyarakat. Penciptaan suatu

jenis pajak dan retribusi selain harus mempertimbangkan kriteria-

kriteria perpajakan dan retribusi yang berlaku yang harus

memperhatikan ketepatan suatu jenis pajak dan retribusi sebagai

pajak dan retribusi daerah, sebab pajak dan retribusi daerah yang

baik akan meningkatkan pelayanan kepada publik yang juga akan

meningkatkan perekonomian suatu daerah17 Kepentingan

demikian jelas memerlukan suatu regulasi atau norma yuridis

sebagai wujud kepastian hukum bagi subyek structural atau

pihak lain dalam melaksanakan aktifitasnya.

Implementasi kebijakan atau regulasi tidak selalu berjalan

mulus, banyak faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan

suatu implementasi kebijakan atau regulasi. Hal ini disebabkan

karena pada dasarnya implementasi kebijakan tidak selalu berada

pada tempat yang vakum, sehingga terdapat berbagai macam

faktor disekelilingnya yang mempengaruhi implementasi

kebijakan.18 Mengenai kegagalan implementasi kebijakan,

17Hamdani, Wendra. Implementasi Perda Kabupaten Banyuwangi Nomor

44 Tahun 2002 Tentang Retribusi Parkir Berlangganan Dalam Upaya Untuk


Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten BanyuwangiFakultas Hukum,
Universitas Brawijaya. 2004, hal 14.
18Retno Suryawati,. Implementasi Peraturan Daerah Kota Surakarta

Nomor 8 Tahun 2003 (Studi Kasus Pelaksanaan Pemberian Akta Kelahiran Gratis
di Kota Surakarta). Jurnal Spirit Publik. 2 (2), Oktober pp. 121-130.

90
menurut Wahab,19 suatu implementasi kebijakan yang ditolak

kelompok sasaran tidak menerima kebijakan tersebut, dapat

disebabkan oleh berbagai macam hal, yaitu: 1) Kelompok sasaran

tidak membutuhkan atau tidak memperoleh manfaat dari

kebijakan tersebut, ini dimungkinkan isi kebijakan tidak

menyentuh kepentingan mereka. 2) Kelompok sasaran tidak

menyadari manfaat dari kebijakan tersebut dan oleh karenanya

mereka tidak merasa membutuhkannya. 3) Kelompok sasaran

tidak menyukai birokrat pelaksanaannya Menurut O’Toole dalam

Raj Paudel20 menyebut implementasi kebijakan publik ialah as

what develops between the establishment of an apparent intention

on the part of government to do something or stop doing something

and the ultimate impact of world of actions. More concisely, he

remarks that policy implementation refers to the connection between

the expression of governmental intention and actual result. Artinya

seperti apa yang berkembang antara pembentukan tujuan yang

jelas pada bagian dari pemerintah untuk melakukan sesuatu atau

berhenti melakukan sesuatu dan dampak akhir dari tindakan

dunia. Lebih singkat, ia menyatakan bahwa implementasi

kebijakan mengacu pada hubungan antara pernyataan tujuan

pemerintah dan hasil aktual.

19Abdul Wahab Solichin,. Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke


Implementasi Kebijakan Negara. Jakarta, Bumi Aksara, 2006, hal. 62.
20Raj Paudel, Narendra. A Critical Account of Policy Implementation

Theories: Status and Reconsideration.Nepalese Journal of Public Policy and


Governance. xxv (2) Desember, 2009, pp. 36-54

91
Keberhasilan pelaksanaan, menurut Hill dan Hupe dalam

Raj Paudel (2009, h.37) mengharuskan kepatuhan dengan arahan

dan tujuan peraturan perundang-undangan; pencapaian indikator

keberhasilan tertentu; dan membaiknya iklim politik di seluruh

program.21 Kabupaten Situbondo yang dikenal dengan sebutan

wilayah pertanian dan tumbuhnya periwisata adalah ditandai

banyak dan luasanya area pertanian dan tumbuh berkembangnya

pariwisata, jelas memerlukan payung, supaya ketika

pemerintahan Kabupaten Situbondo melakukan langkah-langkah

strategis dan fundamental, tetap berada dalam koridor yang benar.

Sangat logis jika Pemerintah daerah Kabupaten Situbondo

berusaha membuat regulasinya, yang selain untuk kepentingan

meningkatkan pembangunan di kedua sector utama strategis

tersebut, juga untuk memberikan rambu-rambu yang jelas dan

tegas bagi setiap regulasi yang dibuat.

Rambu-rambu yuridis merupakan kebutuhan fundamental

masyarakat Kabupaten Situbondo guna memberikan jaminan

kepastian hukum terhadap aktifitas yang dilakukannya. Norma

yuridis ini bermanfaat untuk menjaga hak-hak masyarakat atau

berbagai kepentingan asasinya. Untuk menjaga keepntingan asasi

ini, harus ada payung utamanya guna melancarkan jalan atau

memastikan setiap gerak elemen pemerintahan ketika mengajukan

atau membentuk regulasi di tingkat daerah. Atas pertimbangan

21Mulawarman, Op.Cit, hal. 2.

92
tersebut maka untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (3)

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 Tentang

Pembentukan Produk Hukum Daerah perlu menetapkan

Peraturan Daerah Tentang Tata Cara Penyusunan Program

Pembentukan Peraturan Daerah.

93
BAB V

JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP


MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH

5.1. Sasaran Yang Akan Diwujudkan, Arah dan Jangkauan

Peraturan daerah ini nanti diharapkan dapat menjadi dasar

hukum dalam penyusunan Pembentkan Produk Hukum Daerah

yang memberikan kepastian hukum (legal certainty) sesuai dengan

kewenangan, kebutuhan, kemampuan dan potensi daerah, guna

mewujudkan strategi pembangunan di Kabupaten Situbondo.

Penyusunan Pembentukan Produk Hukum Daerah Kabupaten

Situbondo akan menjadi landasan atau panduan secara teknis

bagi pihak-pihak yang berkeinginan membentuk peraturan atau

norma yuridis yang berkaitan dengan kepentingan sektoral, unit,

kerjasama, atau bidang apa saja yang selaras dengan program-

program pembangunan di Kabupaten Situbondo.

5.2. Materi Yang Akan Diatur

Oleh Karena itu, jangkauan, arah, dan ruang lingkup

rancangan Peraturan Daerah mengenai Pembentukan Produk

Hukum Daerah di Kabupaten Situbondo adalah sebagai berikut:


1. BAB I: KETENTUAN UMUM

Pada pasal ini memuat pengertian istilah yang

dipergunakan dalam Peraturan Daerah ini. Dengan adanya

pengertian tentang istilah tersebut dimaksudkan untuk

mencegah timbulnya salah tafsir dan salah pengertian

dalam memahami dan melaksanakan pasal-pasal yang

bersangkutan sehingga para pihak yang berkaitan dengan

pembentukan produk hukum daerah Kabupaten Situbondo

yang diatur dalam Peraturan Daerah ini. Rumusan

mengenai pengertian atau batasan ini diperlukan karena

istilah-istilah tersebut mengandung pengertian yang baku

dan teknis dalam bidang pembentukan produk hukum

daerah Kabupaten Situbondo.

2. BAB II ASAS PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

Asas ini menjadi landasan dalam penyusunan Perda

pembentukan produk hukum daerah Kabupaten Situbondo

agar dalam pembentukannya benar, tepat, selaras, dan

tidak berlawanan dengan peraturan perundang-undangan

lainnya.

3. BAB III MAKSUD, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP

maksud, tujuan, dan ruang lingkup pembentukan produk

hukum daerah Kabupaten Situbondo. Maksud

pembentukannya adalah mewujudkan Produk Hukum

Daerah yang baik dan dapat digunakan dalam

95
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Adapun tujuannya

adalah memberikan pedoman bagi pembentukan Produk

Hukum yang terencana, terpadu dan sistematis. Ruang

Lingkupnya meliputi tahapan perencanaan, penyusunan,

pembahasan, pengesahan atau penetapan, pengundangan,

pendokumentasian dan penyebarluasan, pembinaan dan

pengawasan.

4. BAB IV JENIS PRODUK HUKUM DAERAH

membahas macam-macam produk hukum daerah dan

siapa saja yang berhak mmbentuk produk hukum daerah

Kabupaten Situbondo

5. BAB V PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH

membahas mengenai penyusunan Peraturan Daerah

Kabupaten Situbondo. Mulai dari soal materi yang bisa

dimasukkan dalam Peraturan Daerah, perencanaannya,

dan penyusunanya, persetujuan atas rancangan, baik yang

diusulkan oleh DPRD maupun Bupati Kabupaten

Situbondo. Selain pembahasan ini, juga dibahas mengenai

tahapan penetapan dan pengundangan Perda.

6. BAB VI PERATURAN BUPATI

dalam bab ini dibahas peraturan bupati. Artinya peraturan

atau norma yuridis yang dibentuk atau disusun oleh

Bupati. Pembahasannya fokus pada Peraturan yang

dkeluarkan oleh Bupati.

96
7. BAB VII MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN

BERSAMA KEPALA DAERAH.

Dalam bab ini dibahas adalah mengenai mekanisme

penyusunan peraturan bersama Kepala Daerah dan

substansi yang bisa dimasukkan dalam peraturan bersama

Kepala Daerah.

8. BAB VIII PERATURAN DPRD

setelah membahas mengenai Bupati yang bisa

mengusulkan atau membentuk Peraturan Daerah atau

Peraturan Bupati, maka dalam bab ini, ditentukan

mengenai penyusunan Peraturan yang dibuat oleh DPRD.

97
BAB VI

PENUTUP

6.1. Kesimpulan

Peraturan Daerah ini menjadi dasar hukum atau payung

hukum sebagai pedoman Pembentukan Produk Hukum Daerah

untuk menjamin kepastian hukum sebagaimana Negara Indonesia

adalah Negara Hukum yang mencerminkan segala kebijakan dan

perbuatan administrasi pemerintahan harus berlandaskan hukum

untuk memenuhi asas legalitas sesuai dengan Undang-Undang

Nomro 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan, Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014

Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 Tentang

Pembentukan Produk Hukum Daerah.

6.2. Saran

Saran dalam penyusunan regulasi sebagai dasar

Pelaksanaan Peraturan Daerah ini adalah sebagai berikut :

1. Perlunya sosialisasi dan proses konsultasi publik, agar

masyarakat mengetahui dan dapat memberikan masukan,

saran, dan pendapat yang konstruktif sebagai salah satu

sumber masukan penyusunan Peraturan Daerah ini.


2. Untuk penyusunan materi substansi Peraturan Daerah

tersebut sebaiknya perlu dikoordinasikan dan bersinergi

antara Pemerintah Daerah Kabupaten Situbondo dengan

Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Situbondo sebagai

penyelenggara Pemerintahan Daerah.

99
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab Solichin,. Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke


Implementasi Kebijakan Negara. Jakarta, Bumi Aksara,
2006.

Al-Hilal Hamdi, Menjelajah Dunia Hukum, LPP-Mpres, Jakarta,


2007.

Andrew Arden. Local Government Constitutional Law and


Administrative Law, Thompson Sweet&Maxwell, London,
2008.

Bagir Manan dalam W. Riawan Tjandra dan Kresno Budi Harsono,


2009, Legislatif Drafting Teori dan Teknik Pembuatan
Peraturan Daerah, Yogyakarta: Universitas Atmajaya.

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum


Pidana (Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana
Indonesia), Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
Universitas Diponegoro, Semarang, 1994

Budiman NPD, ,Ilmu Pengantar Perundang-Undnagan UII press


Yogyakarta, 2005

CST. Kansil, Pengantar Hukum dan Tata Hukum Indonesia,


Djambatan, Jakarta, 2000.

Fransz Magnis-Suseno, Kuasa dan Moral, PT Gramedia Pustaka


Utama Jakarta, 2001

Hamdani, Wendra. Implementasi Perda Kabupaten Banyuwangi


Nomor 44 Tahun 2002 Tentang Retribusi Parkir
Berlangganan Dalam Upaya Untuk Meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah Kabupaten BanyuwangiFakultas
Hukum, Universitas Brawijaya. 2004

Herlambang, Hukum Untuk Rakyat Indonesia, Pustaka Insani,


Jakarta, 2012

Jazim Hamidi, dkk. Panduan Praktis Pembentukan Peraturan


Daerah Partisipatif. Jakarta: Prestasi Pustaka, Publisher

Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang di Indonesia, Sekretariat


Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta,
2006
L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Djambatan, Jakarta,
1986.

Panduan Memahami Perancangan Peraturan Daerah, CAPPLER-


Depkumham, Jakarta: 2008.

Rachmad Syafa’at, dkk. Dalam Jazim Hamidi. Optik Hukum


Peraturan Daerah Bermasalah, Menggagas Peraturan
Daerah yang Responsif dan Berkesinambungan. Cetakan
Pertama. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. 2011.

Reny Rawasita, et.al. “Menilai Tanggung Jawab Sosial Peraturan


Daerah”. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan
Indonesia (PSHK), 2009.

Rosyidi Ranggawidjaja dikutip oleh Soimin, Pembentkan Peraturan


Negara Di Indonesia, 2010,

Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan


Hukum, Rajawali, Jakarta, 1979.

Soerjono Soekanto, Mengenai Sosiologi Hukum, Alumni, Bandung,


1981

Sudikno Mertokusumo. Mengenal Hukum Suatu Pengantar.


Yogyakarta: Liberty, 2003.

Susanto Nugroho, Belajar Hukum, Memulai Penegakan Hukum,


Lintas Keadilan, Jakarta, 2010.

Theo Huijbers,. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Kanisius


Yogyakarta, 1982

Thomas Morawetz. The Philosophy of Law, An Introduction,


Macmillan Publishing Co. Inc New York, 1980

Widodo Ekatjahjana. Pembentukan Peraturan Perundang-


Undangan. Bandung : Citra Aditia, 2008

Van Der Tak dalam Aziz Syamsudin, Proses dan Teknik Perundang-
Undangan, Sinar Garfika, Jakarta, 2011

Yuliandri, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan


yang Baik; Gagasan Pembentukan Undang-undang
Berkelanjutan, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2009
Jurnal/majalah/Hasil Riset

Ali Subhan, Pembetukan Hukum yang Progresif, Makalah, Malah,


2015

Penelitian“Konstruksi Perwakilan Daerah Dalam Sistem


Ketatanegaraan Indonesia”, Kerjasama DPD RI dan
Universitas Brawijaya, Pusat Pengkajian Konstitusi
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2009.

Rieza Eka. Implementasi Peraturan Daerah tentang Perizinan


Pengelolaan Dan Pengusahaan Sarang Burung Walet Di
Dinas Tata Ruang Kota Bontang. Universitas Mulawarman:
Jurnal Administrasi Negara. 1 (1), Maret pp. 2013,

Retno Suryawati,. Implementasi Peraturan Daerah Kota Surakarta


Nomor 8 Tahun 2003 (Studi Kasus Pelaksanaan Pemberian
Akta Kelahiran Gratis di Kota Surakarta). Jurnal Spirit
Publik. 2 (2), Oktober pp. 121-130.

Syarif Hidayat, “Desentralisasi untuk Pembangunan Daerah”,


Jentera: Peraturan Daerah edisi 14 Tahun IV, Oktober-
Desember 2006.

Internet/Koran

Ade Suraeni, Proses Penyusunan Program Legislasi Daerah


(makalah), disampaikan pada diklat legal drafting badan
pendidikan dan pelatihan provinsi Sualwesi Tenggara pada
tanggal 09 Juni 2010

Ahmad Zainuri, Gorontalo Butuh Regulasi Kos-kosan,


http://www.kompasiana.com/ahmad_zaenuri/gorontalo-
butuh-regulasi-kos-kosan_54f34caa7455139f2b6c6f95,
diakes tanggal 15 Agustus 2016.

Boelmy Boemiya, Tinjauan Yuridis serta Konsekuensi Berlakunya


Suatu Produk Hukum Yang Tidak Memiliki Sifat Sosiologis,
https://boeyberusahasabar.wordpress.com/2012/11/27/ti
njauan-yuridis-serta-konsekuensi-berlakunya-suatu-
produk-hukum-yang-tidak-memiliki-sifat-sosiologis/. 15
Agustus 2016.

Chaidir, http:// drh.chaidir.net/kolom/167-Ubi-Societas- Ibi-Ius--


-Dimana-ada-masyarakat,-di-situ-ada-hukum.html, akses
15 Agustus 2016.
http://www.pustakasekolah.com/fungsi-dan-tujuan-hukum.html,
akses 15 Mei 2016.

http://nhinurusaadah.blogspot.co.id/2013/12/makalah-
pengaruh-hunian-mahasiswa.html, akses 15 Mei 2016

http://setkab.go.id/kemendagri-resmi-umumkan-3-143-perda-
yang-dibatalkan/, akses 15 Mei 2016

http://www.unp.ac.id/downloads/pkmb08/bab-7.pdf, diakes
tanggal 15 Mei 2016.

http://ayub.staff.hukum.uns.ac.id/artikel-artikel/hukuman-mati-
menurut-perspektif-ham-internasional/, diakes tanggal 15
Mei 2016.

Raj Paudel, Narendra. A Critical Account of Policy Implementation


Theories: Status and Reconsideration.Nepalese Journal of
Public Policy and Governance. xxv (2) Desember, 2009, pp.
36-54, 15 Agustus 2016.

Wahiduddin Adams, “Peta Permasalahan dalam Pembentukan


Peraturan Daerah dan Upaya Fasilitasi Perancangan
Peraturan Daerah” djpp.go.id. 15 Agustus 2016.

Wayan Resmini, Peranan Filsafat Hukum Dalam Pembentukan


Hukum Di Indonesia, http://unmasmataram.ac.id/wp/wp-
content/uploads/10.-Wayan-Resmini.pdf,akses 5 Agustus
2016.

www.hukumonline.com, diakses pada tanggal 14 Agustus 2016.

Yendra Tamim, http://bunghatta.ac.id/artikel-161-urgensi-


peraturan-daerah-dalam-konteks-otonomi-daerah-sebuah-
pengantar-.html

Anda mungkin juga menyukai