Anda di halaman 1dari 37

MAKALAH

“INDIKATOR PERATURAN DAERAH YANG BAIK”


Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Perundang-Undangan
Kelas J
Dosen Pengampu: Dr. Tunggul Anshari SN., S.H., M.H.

Disusun Oleh: KELOMPOK 1

FADHLI WIDYA RAMADHAN 205010100111166


RIEZKA GRATIA YOLANDA HUTAPEA 205010100111187
MUHAMMAD AUDHAFFA HERDIYANSYAH 205010101111040
NI WAYAN LUCY VANIA ARDIYANTI 205010101111073
MEY BELL FANIA PUTRI WULANDARI 205010101111087
NAJWA PUTRI ISLAMAY 205010101111094
ANANDA ALIYA REGIENA 205010101111096
FAISAL AULIA RAHMAN 205010101111102

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
MALANG
2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.................................................................................................................. i
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1
1.1 Latar Belakang................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................... 2
1.3 Tujuan............................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................................. 3
2.1 Indikator Pembentukan Peraturan Daerah yang Baik............................... 3
2.1.1 Sistem.................................................................................................... 3
2.1.2 Asas Pembentukan Peraturan Daerah yang Baik............................4
2.1.3 Tata Cara Penyiapan dan Pembahasan............................................ 8
2.1.4 Teknik Penyusunan........................................................................... 12
2.1.5 Pemahaman Materi Muatan............................................................. 16
2.1.6 Peran Serta Masyarakat.................................................................... 19
2.1.7 Ragam Bahasa................................................................................... 22
2.2 Proses Pembentukan Peraturan Daerah yang Baik................................. 25
2.2.1 Perencanaan dan Penyusunan........................................................ 25
2.2.2 Pembahasan....................................................................................... 26
2.2.3 Pengesahan dan Pengundangan..................................................... 28
2.2.4 Penyebarluasan dan Pembatalan.................................................... 30
BAB III PENUTUP.................................................................................................. 33
3.1 Kesimpulan..................................................................................................... 33
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................. 34

i
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pemerintahan daerah menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah, adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan
oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi
seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Pemerintahan daerah dilaksanakan oleh kepala daerah
bersama DPRD. Kedudukan kepala daerah dan DPRD merupakan mitra sejajar
yang memiliki fungsi yang berbeda.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah oleh pemerintah
daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) berdasarkan prinsip
otonomi seluas-luasnya dengan memperhatikan prinsip negara kesatuan dalam
melaksanakannya. Kecuali urusan pemerintah yang oleh Undang-Undang
ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Sehingga seluas apapun otonomi
yang diberikan kepada daerah, tanggung jawab akhir ada pada pemerintah
pusat. Dengan begitu, pemerintah daerah dan DPRD diberikan hak oleh
pemerintah pusat untuk membentuk peraturan daerah (Perda) dan peraturan-
peraturan lain untuk melaksanakan otonomi seluas-luasnya di daerah dan
tugas pembantuan. Hak tersebut merupakan hak konstitusional yang secara
eksplisit dinyatakan dalam Pasal 18 Ayat (8) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indoensia Tahun 1945.
Peraturan Daerah menjadi salah satu alat dalam melakukan
transformasi sosial dan demokrasi sebagai perwujudan masyarakat daerah
yang mampu menjawab perubahan yang cepat dan tantangan pada era
otonomi dan globalisasi saat ini serta terciptanya good local governance
sebagai bagian dari pembangunan yang berkesinambungan di daerah.1
Peraturan daerah merupakan salah satu instrumen bagi pemerintah daerah
dalam melaksanakan rumah tangganya sendiri, sehingga otonominya benar-

1
Sihombing, Eka N.A.M. Penyusunan Program Pembentukan Peraturan Daerah (Urgensi dan
Problematikanya). https://sumut.kemenkumham.go.id/berita-kanwil/berita-utama/penyusunan-
program-pembentukan-peraturan-daerah-urgensi-dan-problematikanya. Diakses pada tanggal 07 Maret
2022, pukul 15.36.

1
2

benar nyata dan bertanggung jawab. Sebagaimana pengaturan hukum


pada umumnya, maka peraturan daerah (Perda) juga merupakan bagian dari
norma hukum yang berlaku di masyarakat.2 Dalam pembentukan peraturan
daerah berlaku ketentuan dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (beserta perubahannya),
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan Daerah (beserta
perubahannya) dan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Dengan begitu, pembentukan peraturan
daerah harus dilakukan secara taat asas. Diketahui pula landasan keberlakuan
suatu Perda
Peraturan daerah tidak hanya ditentukan oleh materi muatan Perda
yang telah bersesuaian dengan aturan yang lebih tinggi akan tetapi juga tidak
bertentangan dengan kepentingan umum. Selain itu, Perda sangat ditentukan
oleh prosedur pembentukannya, termasuk tahapan-tahapan yang harus dilalui
serta persyaratan-persyaratan lainnya yang ditentukan dalam peraturan-
perundang-undangan. Perda merupakan kerangka acuan hukum dalam
penyelenggaraan otonomi daerah, tidak menutup kemungkinan perda juga
memiliki kekurangan. Oleh sebab itu, diperlukan indikator peraturan daerah
yang baik agar terarah dan terkoordinasi. Adanya indikator peraturan daerah
yang baik dapat mewujudkan pembentukan Peraturan Daerah (Perda) yang
efektif dan efisien.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa saja indikator pembentukan peraturan daerah yang baik?
2. Bagaimana proses pembentukan peraturan daerah yang baik?

1.3 Tujuan Penulisan Makalah


Dengan disusunnya makalah ini, penulis berharap pembaca dapat
mengetahui indikator pembentukan peraturan daerah yang baik dan proses
pembentukan peraturan daerah yang baik. Serta tersusunnya makalah ini
bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Perundang-Undangan
Universitas Brawijaya.

2
Rudy. 2012. Hukum Pemerintahan Daerah Perspektif Konstitusionalosme Indonesi. Bandar Lampung:
Indepth Publishing. Hlm 78-79.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Indikator pembentukan peraturan daerah yang baik


2.1.1 Sistem
Kedudukan Perda Dalam Sistem Hukum Di Negara Republik
Indonesia
Keberadaan Peraturan Daerah dalam sistem peraturan perundang-
undangan di sistem hukum RI dapat ditemukan dalam UU Nomor 12 Pasal
7 ayat (1) tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Peraturan
Perundang-undangan, dimana dalam pasal tersebut Perda merupakan
peraturan perundang-undangan terendah dalam sistem peraturan
perundang-undangan. Pada Pasal 7 dinyatakan bahwa peraturan daerah
meliputi peraturan daerah provinsi, peraturan daerah kabupaten/kota, dan
peraturan desa/peraturan setingkat. Dalam UU No. 10 tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UUP3) ditegaskan juga
Perda sebagai bagian dari sistem hukum nasional. Walaupun kedudukan
Peraturan daerah tidak dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar 1945
(sebelum Perubahan) dan dalam Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966
tentang Memorandum DPRGR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik
Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perudangan Republik Indonesia,
namun keberadaan Peraturan Daerah dalam Sistem Hukum di Negara
Republik Indonesia jelas diakui keberadaan dan kedudukannya setelah
dirumuskannya Pasal 18 UUD 1945 (sesudah Perubahan) beserta
berlakunya ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum
dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan yang kemudian
digantikan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Hal penting dari perumusan tata urutan peraturan perundang-
undangan tersebut adalah bahwa peraturan perundang-undangan
Republik Indonesia merupakan suatu sistem yang tunduk pada
mekanismenya sendiri. Teori hirarki peraturan perundang-undangan
mengajarkan bahwa norma yang di bawah bersumber kepada norma yang
di atas, atau sebaliknya, norma yang di atas menjadi sumber norma yang
di bawahnya. Implikasi dari prinsip ini adalah, peraturan perundang-

3
4

undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan


peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Hal ini sejalan dengan
isi dari UU No. 12 Pasal 7 ayat (4) tahun 2011 yang menyatakan bahwa
jenis peraturan perundang- undangan selain sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi sesuai dengan hirarki peraturan perundang-undangan.
Dapat disimpulkan bahwa, dalam hirarkhi hukum positif Indonesia,
bentuk peraturan perundang-undangan yang paling rendah tingkatannya
adalah Perda yang merupakan produk hukum badan legislatif daerah
bersama Pemda dan merupakan implementasi politik legislasi dan asas
legalitas dalam negara hukum sesuai dengan konsep sistem hukum Eropa
kontinental dan Anglo saxon- the rule of law.

2.1.2 Asas Pembentukan Peraturan Daerah


Dalam pembentukan undang-undang, paling tidak ada tiga
komponen utama yang saling terkait dan tidak dapat dipisah-pisahkan
yang harus dipenuhi. Pertama, adalah lembaga pembentuk undang-
undang. Kedua, prosedur atau tata cara pembentukannya. Ketiga adalah
substansi yang akan diatur dalam undang-undang. Komponen pertama
adalah lembaga/pejabat negara yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan
Dewan Perwakilan daerah (DPD) serta Presiden. Sebagai pelaksana
penyusunan rancangan undang-undang (RUU) di lingkungan pemerintah
(eksekutif) pusat yang membantu Presiden membentuk/membahas RUU
adalah para menteri/kepala LPND dan pejabat struktural dibantu oleh para
pejabat fungsional. Di lingkungan pemerintah daerah adalah kepala
daerah (gubernur/bupati/walikota) dan pejabat struktural dibantu para
pejabat fungsional peneliti dan perancang peraturan perundang-undangan
daerah.
Apabila salah satu komponen utama pembentukan undang-undang
tersebut tidak berjalan dengan baik maka hasilnya adalah suatu produk
hukum yang cacat yang dapat dibatalkan melalui hak uji yang
dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi.3 Dalam komponen kedua,

3
Mahkamah Konstitusi ini telah ditetapkan dalam Perubahan Ketiga UUD 1945. Dalam Pasal 24C
dikatakan bahwa (1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhiryang
5

termasuk pula pelaksanaan asas-asas pembentukan peraturan


perundangundangan
yang baik.
Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik
menurut I.C. Van Der Vlies dalam bukunya yang berjudul Handboek
Wetgeving dibagi dalam dua kelompok yaitu:4
 Asas Formil
1) Asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling), yakni
setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus
mempunyai tujuan dan manfaat yang jelas untuk apa dibuat;
2) Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste orgaan),
yakni setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat
oleh Lembaga atau organ pembentuk peraturan perundang-
undangan yang berwenang; peraturan perundang-undangan
tersebut dapat dibatalkan (vernietegbaar) atau batal demi hukum
(van rechtswege nieteg), bila dibuat oleh Lembaga atau organ
yang tidak berwenang;
3) Asas kedesakan pembuatan pengaturan (het
noodzakelijkheidsbeginsel);
4) Asas kedapatlaksanaan (dapat dilaksanakan) (het beginsel van
uitvoerbaarheid), yakni setiap pembentukan peraturan perundang-
undangan harus didasarkan pada perhitungan bahwa peraturan
perundang-undangan yang dibentuk nantinya dapat berlaku
secara efektif di masyarakat karena telah mendapat dukungan
baik secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis sejak tahap
penyusunannya;
5) Asas konsensus (het beginsel van de consensus).

putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar,
memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. RUU
Mahkamah Konstitusi yang dipersiapkan oleh DPR kemudian dibahas bersama dengan Pemerintah dan
pada tanggal 13 Agustus 2003 disahkan oleh Presiden 4 hari sebelum batas waktu yang ditentukan
dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD Negara RI Tahun 1945 yang berbunyi: Mahkamah Konstitusi
dibentuk selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya
dilakukan oleh Mahkamah Agung.
4
A. Hamid, SA, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
Negara, disertasi, Jakarta, 1990, hal. 321 s/d 331. Sedangkan bukunya I.C. van der Vlies yang berjudul
Handboek Wetgeving sudah diterjemahkan (tidak dipublikasikan) ke dalam bahasa Indonesia.
6

 Asas Materiil
1) Asas terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van
duidelijke terminologie en duidelijke systematiek);
2) Asas dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid);
3) Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het
rechtsgelijkheidsbeginsel);
4) Asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel);
5) Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual (het
beginsel van de individuele rechtsbedeling).

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan


Peraturan Perundang-undangan (UU P3) telah mengingatkan kepada
pembentuk undang-undang agar selalu memperhatikan asas pembentukan
peraturan perundang-undangan dan asas materi muatan. Pasal 5 UU P3
menentukan bahwa “dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan
harus berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan yang baik yang meliputi:
a) Kejelasan tujuan (setiap pembentukan peraturan perundang-
undangan harusmempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai);
b) Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat (setiap jenis
peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat
pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang.
Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal
demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak
berwenang);
c) Kesesuaian antara jenis dan materi muatan (dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan
materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-
undangannya);
d) Dapat dilaksanakan (setiap pembentukan peraturan perundang-
undangan harus memperhitungkan efektifitas Peraturan Perundang-
undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis,
maupun sosiologis);
e) Kedayagunaan dan kehasilgunaan (setiap peraturan perundang-
undangan dibuat karena
7

f) memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur


kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara);
g) Kejelasan rumusan (setiap peraturan perundang-undangan harus
memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-
undangan, sistematika, dan pilihan kata atau terminologi, serta
bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak
menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya);
dan
h) Keterbukaan (dalam proses pembentukan peraturan perundang-
undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan
pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian
seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-
luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan
peraturan perundang-undangan).

Pada setiap pasal atau norma yang ditentukan dalam materi yang
diatur, pembentuk peraturan perundang-undangan harus mengolah dalam
pikirannya apakah seluruh substansi tersebut telah mengandung asas
materi muatan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 UU P3 yakni asas:
a) Pengayoman (materi muatan peraturan perundang-undangan harus
berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan
ketentraman masyarakat);
b) Kemanusiaan (materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi
manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan
penduduk Indonesia secara proporsional);
c) Kebangsaan (materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik
(kebhinnekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan
Republik Indonesia);
d) Kekeluargaan (materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap
pengambilan keputusan;
e) Kenusantaraan (materi muatan peraturan perundang-undangan
senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia
8

dan materi muatan peraturan perundang-undangan yang dibuat di


daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang
berdasarkan Pancasila);
f) Bhinneka tunggal ika (materi muatan peraturan perundang-undangan
harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan
golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang
menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara);
g) Keadilan (materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara
tanpa kecuali);
h) Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan (materi
muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal
yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain,
agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial);
i) Ketertiban dan kepastian hukum (materi muatan peraturan
perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam
masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum); dan/atau
j) Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan (materi muatan peraturan
perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian,
dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan
kepentingan bangsa dan negara).

2.1.3 Tata Cara Penyiapan dan Pembahasan


Tahap Persiapan
Tahap persiapan ini berisikan pemberitahuan tentang penyusunan
pola Rancangan Peraturan Daerah yang disampaikan oleh instansi yang
mengusulkan baik dilingkungan dan Sekretariat Daerah, beserta bawahan-
bawahan untuk penyusunan Rancangan Peraturan Daerah, yang diketahui
dengan alasan atau pertimbangan-pertimbangan dari segi teknis yuridis
maupun dari segi ekonomi tentang maksud penyusunan Rancangan
Peraturan Daerah. Atas dasar surat pemberitahuan tersebut, bagian
hukum Sekretariat Daerah mengadakan pengkajian dan memberikan
petunjuk seperlunya untuk menindak lanjuti atas penyusunan Rancangan
Peraturan Daerah tersebut. Selanjutnya di dalam penyusunan pra
9

Rancangan Peraturan Daerah itu sebelumnya telah mendapat koreksi atau


petunjuk penelitian awal oleh bagian hukum Sekretariat Daerah dengan
instansi terkait agar nantinya Rancangan Peraturan Daerah sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang berlaku baik mengenai rumusan materi maupun
teknis penyusunan.5
Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah memuat program
pembentukan Peraturan Daerah tertentu dengan judul Rancangan
Peraturan Daerah, materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan
Peraturan Perundang undangan lainnya. Materi yang diatur serta
keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya merupakan
keterangan mengenai konsepsi Rancangan Peraturan Daerah yang
meliputi:
a. Latar belakang dan tujuan penyusunan.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan.
c. Pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur.
d. Jangkauan dan arah pengaturan.
Materi yang diatur yang telah melalui pengkajian dan penyelarasan
dituangkan dalam Naskah Akademik. Pengkajian dan penyelarasan adalah
proses untuk mengetahui keterkaitan materi yang akan diatur dengan
Peraturan Perundang-undangan lainnya yang vertikal atau horizontal
sehingga dapat mencegah tumpang tindih pengaturan atau kewenangan.
Dalam penyusunan daftar rancangan peraturan daerah provinsi didasarkan
atas:
a. Perintah Peraturan Perundang-undangan lebih tinggi.
b. Rencana pembangunan daerah.
c. Penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan.
d. Aspirasi masyarakat daerah.
Penyusunan antara DPRD dan Pemerintah Daerah di koordinasikan
DPRD melalui alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang
legislasi. Penyusunan di lingkungan Pemerintah Daerah dikoordinasikan
biro hukum dan dapat mengikutsertakan instansi vertikal terkait, yakni
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum.

5
Soenobo Wirjosoegito, Proses dan Perencanaan Peraturan Perundang-Undangan, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 2004.
10

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegda di


lingkungan DPRD diatur dengan Peraturan DPRD, Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara penyusunan Prolegda di lingkungan Pemerintah
Daerah diatur dengan Peraturan Kepala Daerah. Hasil penyusunan
Prolegda antara DPRD dan Pemerintah Daerah disepakati menjadi
Prolegda dan ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPRD. Prolegda
ditetapkan dengan Keputusan DPRD. Dalam keadaan tertentu, DPRD atau
Kepala Daerah dapat mengajukan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi
luar Prolegda Provinsi:
a. Untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana
alam.
b. Akibat kerja sama dengan pihak lain.
c. Keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi atas suatu
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang dapat disetujui bersama
oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang
legislasi dan biro hukum.6
Proses penyiapan rancangan Perda yang merupakan proses
penyusunan dan perancangan di lingkungan DPRD atau di lingkungan
Pemda, terdiri penyusunan naskah akademik dan naskah rancangan
Perda. Maka dapat disimpulkan alurnya sebagai berikut:
a) Perda Inisiatif Eksekutif:
 Usulan dari SKPD yang bersangkutan
 Rapat persiapan;
 Inventarisasi peraturan perundang-undangan yang dibutuhkan;
 Penyusunan draft Rancangan Peraturan Daerah;
 Pembahasan draft Rancangan Peraturan Daerah oleh Tim Penyusun
Produk Hukum Daerah, dengan mengikutsertakan SKPD terkait dan
tenaga ahli yang dibutuhkan;
 Melakukan sosialisasi dalam rangka uji publik terhadap draft
Raperda yang telah disusun, untuk memperoleh masukan dari
masyarakat dalam rangka penyempurnaan substansi materi;
 Melakukan harmonisasi dan sinkronisasi substansi materi Raperda;
dan

6
Badriyah Khaleed, Legislative Drafting: Teori dan Praktik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan.
Jakarta, Medpress Digital,2014, Hlm. 15.
11

 Membuat surat usulan Bupati dengan dilampiri draft Raperda untuk


selanjutnya disampaikan kepada DPRD.
b) Perda Inisiatif DPRD, Perda yang telah diusulkan DPRD akan di bahas
oleh Tim Penyusun Produk Hukum Daerah yang dikoordinasikan oleh
Sekretaris Daerah Setelah selesai akan disampaikan kembali kepada
DPRD untuk dibahas bersama-sama.

Pembahasan
Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah dilakukan oleh DPRD
bersama Kepala Daerah. Pembahasan bersama dilakukan melalui tingkat-
tingkat pembicaraan. Tingkat-tingkat pembicaraan dilakukan dalam rapat
komisi/panitia/badan/alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani
bidang legislasi dan rapat paripurna, Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara pembahasan Rancangan Peraturan Daerah diatur dengan Peraturan
DPRD. Rancangan Peraturan Daerah dapat ditarik kembali sebelum
dibahas bersama oleh DPRD dan Kepala Daerah. Rancangan Peraturan
Daerah yang sedang di bahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan
persetujuan bersama DPRD dan Kepala Daerah. Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara penarikan kembali Rancangan Peraturan Daerah diatur
dengan Peraturan DPRD.
Pembahasan rancangan perda yang berasal dari Kepala Daerah
disampaikan dengan surat pengantar Kepala Daerah kepada pimpinan
DPRD begitu juga sebaliknya. Surat pengantar Kepala Daerah
sebagaimana dimaksud, paling sedikit memuat latar belakang dan tujuan
penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan, dan materi pokok yang
diatur. Dalam hal rancangan perda yang berasal dari Kepala Daerah
disusun berdasarkan naskah akademik, naskah akademik disertakan dalam
penyampaian rancangan perda. Dalam rangka pembahasan rancangan
perda di DPRD, perangkat daerah pemrakarsa memperbanyak rancangan
perda provinsi sesuai jumlah yang diperlukan. Kepala Daerah membentuk
tim dalam pembahasan rancangan perda di DPRD yang diketuai oleh
sekretaris daerah atau pejabat yang ditunjuk oleh Kepala Daerah. Ketua
tim kemudian melaporkan perkembangan dan/atau permasalahan dalam
12

pembahasan rancangan perda di DPRD kepada Kepala Daerah untuk


mendapatkan arahan dan keputusan.7
Kemudian Rancangan Peraturan Daerah yang telah mendapat
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ditandatangani oleh Kepala
Daerah dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk ditetapkan
menjadi Peraturan Daerah. Peraturan Daerah yang telah ditandatangani
tersebut kemudian diberi Nomor, Tahun serta Tanggal penetapan oleh
bagian hukum Sekretariat Daerah. Tanggal Penetapan Peraturan Daerah
adalah pada saat peraturan itu ditandatangani oleh Kepala Daerah dan
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Peraturan Daerah yang telah
ditandatangani oleh Kepala Daerah dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah harus diundangkan dalam Lembaran Daerah agar mempunyai
hukum dan mengikat kepada semua pihak. Pengundangan didalam
Lembaran Daerah sangat penting untuk memenuhi formalitas Hukum agar
memiliki aspek Publikasi serta keperluan Dokumentasi dan mempermudah
mencari peraturan perundang-undangan yang dibutuhkan. Pengundangan
tersebut dilakukan oleh Sekretariat Daerah.8

2.1.4 Teknik penyusunan


Untuk membuat Peraturan Daerah yang baik, dikehendaki yang
membuat mencari dan menemukan intisarinya dari beberapa kumpulan
fakta-fakta yang sudah tumbuh sejak lama menuangkannya didalam
bentuk Peraturan yang singkat tetapi jelas. Isi Peraturan Daerah
dituangkan dalam suatu bentuk dan dengan bahasa yang jelas, singkat
dan mudah dipahami oleh semua orang, disusun secara sistematis, serta
menghindari pengulangan rumusan pada pasal atau ayat lain dengan
menggunakan teknik acuan.
Beberapa hal pokok yang perlu diperhatikan dalam rangka
penyusunan suatu Peraturan Daerah adalah sebagai berikut:
1. Kewenangan menetapkan Peraturan Daerah ada pada Kepala Daerah
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

7
Ibid., Hlm. 28.
8
Soenobo Wirjosoegito, Proses dan Perencanaan Peraturan Perundang-Undangan, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 2004.
13

2. Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan


umum dan Peraturan perundang-undangan atau Peraturan Daerah
yang lebih tingkatnya.
3. Peraturan Daerah tidak boleh mengatur suatu hal yang telah diatur
oleh Peraturan perundang-undangan atau Peraturan Daerah yang lebih
tinggi tingkatannya.
4. Peraturan Daerah juga boleh mengatur suatu hal yang termasuk
urusan Rumah Tangga Daerah tingkat atas atau bawahannya.
5. Peraturan Daerah diundangkan dengan menetapkan dalam Lembaran
Daerah.
6. Peraturan Daerah mempunyai kekuatan hukum yang mengikat setelah
diundangkan dalam Lembaran Daerah.
7. Pengaturan Daerah yang tidak memerlukan pengesahan mulai berlaku
pada tanggal yang telah ditentukan dalam Peraturan Daerah.
8. Peraturan Daerah yang memerlukan pengesahan mulai berlaku pada
tanggal pengundangan atau pada pada tanggal yang ditentukan pada
Peraturan Daerah.
9. Dengan Peraturan Daerah dapat menunjukan pegawai-pegawai daerah
yang diberti tugas untuk melakukan penyelidikan terhadap
pelanggaran atas ketentuan-ketentuan Peraturan Daerah.9
Kerangka dalam penyusunan Peraturan Daerah terdiri atas:
1. Judul;
 Setiap Peraturan Daerah diberi judul. J udul Peraturan Daerah
memuat keterangan mengenai Jenis, Nomor, Tahun Pengundangan
atau penetapan dan nama Peraturan Daerah, nama Peraturan
Daerah dibuat secara singkat dan mencerminkan isi Peraturan
Daerah, dan judul ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang di
letakkan di tengah marjin tanpa diakhiri tanda baca.
2. Pembukaan;
 Pembukaan peraturan daerah terdiri dari frase Dengan Mengharap
Berkat dan Rahmat Allah Subhanahu Wata’ala, jabatan pembentuk
Peraturan Daerah, konsiderans, dasae hukum, serta dictum.

9
Dspace.uii. (n.d). Pembentukan dan Pengaturan Peraturan Daerah. URL:
https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/9848/05.3%20bab%203.pdf?sequence=7&isAllow
ed=y.
14

3. Batang tubuh;
 Batang tubuh Peraturan Daerah memuat semua substansi
Peraturan Daerah yang dirumuskan dalam pasal-pasal. Pada
umumnya substansi dalam batang tubuh dikelompokkan ke dalam
ketentuan umum, materi pokok yang diatur, ketentuan pidana (jika
diperlukan), ketentuan peralihan (jika diperlukan), dan ketentuan
penutup.
4. Penutup;
 Penutup merupakan bagian akhir Peraturan Daerah dan memuat
rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan
Daerah dalam Lembaran Daerah, penandatanganan pengesahan
atau penetapan Peraturan Daerah, pengundangan Peraturan
Daerah, dan akhir bagian penutup.
5. Penjelasan (bila diperlukan);
 Penjelasan berfungsi tafsiran resmi pembentukan Peraturan Daerah
atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu,
penjelasan hanya memuat uraian atau jabaran lebih lanjut dari
norma yang diatur dalam batang tubuh. Dengan demikian,
penjelasan hanya memuat uraian atau jabaran lebih lanjut dari
norma yang diatur dalam batang tubuh. Dengan demikian,
penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang
tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari
norma yang dijelaskan.
6. Lampiran (bila diperlukan).
 Dalam hal Peraturan Daerah memerlukan lampiran, hal tersebut
harus dinyatakan dalam batang tubuh dan pernyataan bahwa
lampiran tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Daerah yang bersangkutan. Pada akhir lampiran harus
dicantumkan nama dan tanda tangan pejabat yang menetapkan
Peraturan Daerah yang bersangkutan.10

Proses pembuatan Peraturan Daerah terdiri dari 3 tahap, yaitu:


1. Proses penyiapan rancangan Perda yang merupakan proses
penyusunan dan perancangan di lingkungan DPRD atau di lingkungan

10
JDIH.Magetan. (2011). Tata Cara Penyusunan Perda. https://jdih.magetan.go.id/?p=865.
15

Pemda, terdiri penyusunan naskah akademik dan naskah rancangan


Perda.
 a) Perda Inisiatif Eksekutif, dilakukan tahapan kegiatan sebagai
berikut:
 Usulan dari SKPD yang bersangkutan
 Rapat persiapan;
 Inventarisasi peraturan perundang-undangan yang
dibutuhkan;
 Penyusunan draft Rancangan Peraturan Daerah;
 Pembahasan draft Rancangan Peraturan Daerah oleh Tim
Penyusun Produk Hukum Daerah, dengan
mengikutsertakan SKPD terkait dan tenaga ahli yang
dibutuhkan;
 Melakukan sosialisasi dalam rangka uji publik terhadap
draft Raperda yang telah disusun, untuk memperoleh
masukan dari masyarakat dalam rangka penyempurnaan
substansi materi;
 Melakukan harmonisasi dan sinkronisasi substansi materi
Raperda; dan
 Membuat surat usulan Bupati dengan dilampiri draft
Raperda untuk selanjutnya disampaikan kepada DPRD.
b) Perda Inisiatif DPRD Perda yang telah diusulkan DPRD akan di
bahas oleh Tim Penyusun Produk Hukum Daerah yang
dikoordinasikan oleh Sekretaris Daerah Setelah selesai akan
disampaikan kembali kepada DPRD untuk dibahas bersama-
sama.
2. Proses mendapatkan persetujuan, yang merupakan pembahasan di
DPRD.
 Guna mendapatkan persetujuan DPRD dilakukan kegiatan
pembahasan bersama-sama pihak Eksekutif terhadap draft
Raperda yang telah diusulkan oleh Eksekutif, dengan mengacu
pada Tata Tertib DPRD, yang mana pembahasan dilakukan
oleh omega Badan Legislasi Daerah (Balegda) atau Pansus DPRD
bersama-sama dengan Tim Penyusun Produk Hukum Daerah.
16

Setelah tercapai kesepakatan bersama maka akan diusulkan dalam


rapat paripurna DPRD guna mendapatkan persetujuan dari DPRD.
3. Proses pengesahan oleh Bupati dan pengundangan oleh Sekretaris
Daerah.
 Apabila pembicaraan suatu Raperda dalam rapat akhir di DPRD
telah selesai dan disetujui oleh DPRD, Raperda akan dikirim oleh
Pimpinan DPRD kepada Bupati melalui Sekretariat Daerah dalam
hal ini Bagian Hukum untuk mendapatkan pengesahan.
Selanjutnya Bupati mengesahkan dengan menandatangani Perda
tersebut dan untuk pengundangan dilakukan oleh Sekretaris
Daerah. Sedangkan Bagian Hukum bertanggung jawab dalam
penomoran Perda, penggandaan, distribusi dan dokumentasi
Perda tersebut. Khusus untuk Raperda yang terkait dengan APBD,
pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang sebelum ditetapkan
oleh Bupati, terlebih dahulu dikirimkan kepada Gubernur untuk
dilakukan evaluasi, dan apabila sudah disetujui baru ditetapkan
oleh Bupati dan dikirimkan kembali ke Provinsi.11

2.1.5 Pemahaman Materi Muatan


Peraturan Daerah tidak dapat dibuat sendiri atau dapat dikatakan
sebagai multidisiplin terkait dengan dinas ataupun lembaga terkait yang
menguasai terhadap pemahaman materi muatan tersebut. Dalam Pasal 14
UU No.12 Tahun 2011 disebutkan bahwa Materi muatan Peraturan
Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi
muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas
pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau
penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Sedangkan dalam Pasal 236 ayat (1) UU No.23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa: Untuk menyelenggarakan
Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan, Daerah membentuk Perda.
Selanjutnya dalam Pasal 236 ayat (3) ditentukan bahwa: Perda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat materi muatan:
a. Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan; dan

11
JDIH.Magetan. (2011). Tata Cara Penyusunan Perda. https://jdih.magetan.go.id/?p=865.
17

b. Penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan


yang lebih tinggi.
Dalam ayat (4) : Selain materi muatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) Perda dapat memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Namun khusus untuk materi yang terkait dengan ketentuan pidana, Pasal
15 UU No.12 Tahun 2011 menentukan:
(1) Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat
dalam:
a. Undang-Undang;
b. Peraturan Daerah Provinsi; atau
c. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan
huruf c berupa ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam)
bulan atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah).
(3) Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
dapat memuat ancaman pidana kurungan atau pidana denda selain
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan yang diatur
dalam Peraturan Perundang-undangan lainnya.
Selain rumusan dalam UU No.12 Tahun 2011 penjabaran lebih
lanjut tentang materi muatan Perda Propinsi dan Perda Kabupaten diatur
lebih lanjut dalam Permendagri No.80 Tahun 2015. Dalam Pasal 4 ayat (2)
Permendagri No.80 Tahun 2015 menentukan bahwa materi muatan Perda
adalah:
a. Penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan
b. Penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi.

Dalam Pasal 4 ayat (3) ditentukan bahwa selain materi muatan


sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Perda dapat memuat materi
muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya dalam Pasal 5 ditentukan bahwa Perda provinsi memuat
materi muatan untuk mengatur:
a) Kewenangan provinsi;
18

b)Kewenangan yang lokasinya lintas daerah kabupaten/kota dalam satu


provinsi;
c) Kewenangan yang penggunanya lintas daerah kabupaten/kota dalam
satu provinsi;
d)Kewenangan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas daerah
kabupaten/kota dalam satu provinsi; dan/atau
e) Kewenangan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila
dilakukan oleh daerah provinsi.
Perda kabupaten/kota memuat materi muatan untuk mengatur:
a. Kewenangan kabupaten/kota;
b. Kewenangan yang lokasinya dalam daerah kabupaten/kota;
c. Kewenangan yang penggunanya dalam daerah kabupaten/kota;
d. Kewenangan yang manfaat atau dampak negatifnya hanya dalam
daerah kabupaten/kota; dan/atau
e. Kewenangan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila
dilakukan oleh daerah kabupaten/kota.
Selain materi tersebut, dalam Pasal 5 Permendagri No.80 Tahun
2015 disebutkan bahwa ada materi lain yang dapat dimuat dalam Perda
yaitu:
(1) Perda dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan
penegakan/pelaksanaan Perda seluruhnya atau sebagian kepada
pelanggar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam)
bulan atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah).
(3) Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan atau pidana denda
selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan.
(4) Perda dapat memuat ancaman sanksi yang bersifat mengembalikan
pada keadaan semula dan sanksi administratif.
(5) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa:
a. Teguran lisan;
b. Teguran tertulis;
c. Penghentian sementara kegiatan;
d. Penghentian tetap kegiatan;
19

e. Pencabutan sementara izin;


f. Pencabutan tetap izin;
g. Denda administratif; dan/atau
h. Sanksi adminisadministratif lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan.
Dalam Pasal 236 ayat (3) UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemda
menentukan: Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat materi
muatan: a. penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan;
dan b. penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi. (4) Selain materi muatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) Perda dapat memuat materi muatan lokal sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan.12

2.1.6 Peran Serta Masyarakat


Tujuan dasar dari peran serta masyarakat dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan adalah untuk menghasilkan masukan dan
persepsi yang berguna dari warga negara dan masyarakat yang
berkepentingan (publik inters) dalam rangka meningkatkan kualitas
pengambilan keputusan, karena dengan melibatkan masyarakat yang
terkena dampak akibat kebijakan dan kelompok kepentingan (interest
grups), para pengambil keputusan dapat menangkap pandangan,
kebutuhan dan penghargaan dari masyarakat dan kelompok tersebut,
untuk kemudian menuangkannya ke dalam satu konsep.
Partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan diatur dalam Pasal 10 UU No. 10 Tahun 2004 yang
menyebutkan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara
lisan atau tertulis dalam rangka penetapan maupun pembahasan
rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah. Adapun
dalam Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang 32 Tahun2004 menyatakan
bahwa hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam memberikan masukan
secara lisan atau tertulis dalam rangka pemyiapan atau pembahasan
rancangan peraturan daerah.

12
Pantja Astawa, dan Suprin Na’a,Dinamika Hukum dan Ilmu Perundangundangan di Indonesia, 2008,
Alumni,Bandung
20

Partisipasi dimaksudkan sebagai keikutsertaan pihak-pihak luar


DPRD dan pemerintah daerah dalam menyusun dan membentuk
rancangan peraturan daerah atau Perda. Ada dua sumber partisipasi;
pertama dari unsur pemerintahan diluar DPRD dan pemerintah daeraah,
seperti polisi, kejaksaan, pengadilan, perguruan tinggi dan lain-lain. Kedua
dari masyarakat, baik individual seperti ahli-ahli atau yang memiliki
pengalaman atau dari kelompok seperti LSM. Mengikutsertakan pihak-
pihak luar DPRD dan pemerintah daerah sangat penting untuk:
1. Menjarinh pengetahuan, keahlian atau pengalaman masyarakat
sehingga Perda benar-benar memenuhi syarat peraturan perundang-
undangan yang baik;
2. Menjamin perda sesuai dengan kenyataan yang hidup dalam
masyarakat;
3. Menumbuhkan rasa memiliki (sense of belonging), rasa bertanggung
jawab atas Perda tersebut.
Menurut Bagir Manan, partisipasi masyarakat dapat dilakukan dengan cara:
1. Mengikutsertakan dalam tim atau kelompok kerja penyusunan Perda.
2. Melakukan publik hearing atau mengundang dalam rapat-rapat
penyusunan Perda.
3. Melakukan uji sahih kepada pihak-pihak tertentu untuk mendapat
tanggapan.
4. Melakukan loka karya (workshop) atas Raperda sebelum secara resmi
dibahas oleh DPRD.
5. Mempublikasikan Raperda agar mendapat tanggapan publik.
Dari berbagai uraian di atas untuk membentuk peraturan daerah
yang dapat memenuhi aspirasi yang diinginkan masyarakat tentunya harus
diimbangi dengan keterlibatan masyarakat, meliputi:
1. Keterlibatan dalam penyusunan rancangan peraturan daerah. Pada
tahap ini masyarakat dapat terlibat dalam proses penyusunan dalam
tim/kelompok kerja, terlibat dalam penyiapan naskah akademik,
maupun penyampaian masukan yang disampaikan secara lisan, tulisan,
ataupun melalui media massa ditujukan kepada penggagas peraturan
daerah/tim. Adapun yang menjadi kendala adalah sejauhmana
transparansi serta komitmen stakeholder terkait, sehingga masyarakat
21

mengetahui dan dapat memberi masukan tentang agenda yang


sedang dan akan dibahas.
2. Keterlibatan dalam proses pembahasan peraturan daerah. Proses ini
sebagian besar berada pada posisi pembahasan antara DPRD dan
Pemerintah Daerah. Dalam tahap ini seharusnya sebelum dibahas
terlebih dahulu diumumkan di media massa untuk memberi
kesempatan kepada masyarakat menyampaikan aspirasinya.
Selanjutnya dalam proses pembahasan masyarakat bisa memberikan
masukan secara lisan, tertulis ataupun pada saat rapat-rapat
pembahasan perda. Terhadap kehadiran dalam rapat memang
menjadi dilema, karena hal tersebut tergantung keinginan DPRD
maupun pemerintah daerah apakah akan mengundang masyarakat
atau membiarkan proses pembahasan berjalan tanpa keterlibatan
masyarakat.
3. Keterlibatan pada pelaksanaan peraturan daerah. Keterlibatan
masyarakat pada tahap ini bisa terlihat bagaimana masyarakat patuh
terhadap materi peraturan daerah karena merasa sudah sesuai
aspirasi, atau justru kebalikannya masyarakat merasa dirugikan atau
tidak merasa tersalurkan aspirasi. Apabila masyarakat merasa
dirugikan dapat menempuh jalur memberikan masukan kepada
lembaga pembentuk peraturan perundang-undangan, dan bisa
dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan perubahan
ataupun mencabut peraturan tersebut. Selanjutnya juga bisa diambil
langkah melalui judicial review. Menurut Ni’matul Huda,18 pengaturan
judicial review oleh Mahkamah Agung, diatur dalam UU No. 4 Tahun
2004 Pasal 11 ayat (2) huruf b dan ayat (3) yang menegaskan,
Mahkamah Agung mempunyai kewenangan menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-
undang. Pernyataan tidak berlaku peraturan perundang- undangan
sebagai hasil pengujian, dapat diambil baik dalam pemeriksaan tingkat
kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung kepada MA.
Termasuk salah satu kendala dalam mewujudkan peraturan daerah
yang partisipatif adalah dari sisi peraturan perundang-undangan memang
tidak diatur secara tegas bahwa proses pembentukan peraturan
perundang-undangan (peraturan daerah) harus ada partisipasi masyarakat.
22

Dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 bahwa masyarakat


berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka
penetapan maupun pembahasan rancangan undang-undang dan
rancangan peraturan daerah. Selanjutnya dalam Undang Undang Nomor
32 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah beberapa kali dan perubahan
terakhir dengan Undang Undang Nomor 12 Tahun 2008, Pasal 139
disebutkan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan
atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan perda.
Pasal tersebut telah secara jelas menyebutkan bahwa bentuk partisipasi
yang dapat dilakukan masyarakat dalam proses pembentukan peraturan
perundang-undangan adalah secara lisan dan/atau tertulis tetapi tidak ada
penjelasan yang lebih jauh tentang lisan dan/atau tertulis. Tetapi dalam
prakteknya secara lisan dapat dilakukan dengan ikut menghadiri rapat
paripurna dan rapat-rapat lainnya yang dinyatakan terbuka yang diadakan
oleh pemerintah daerah bersama DPRD dalam proses pembahasan
rancangan suatu peraturan daerah.

2.1.7 Ragam Bahasa


A. Bahasa Peraturan Daerah
1. Bahasa Peraturan Daerah pada dasarnya tunduk pada kaidah tata
bahasa Indonesia, baik yang menyangkut pembentukan kata,
penyusunan kalimat, teknik penulisan, maupun pengerjaannya,
namun demikian bahasa Peraturan Daerah mempunyai corak
tersendiri yang bercirikan kejernihan atau kejelasan pengertian,
kelugasan, kebakuan, keserasian dan ketaatan azas sesuai dengan
kebutuhan hukum.
2. Dalam merumuskan ketentuan Peraturan Daerah digunakan
kalimat yang tegas, jelas, singkat, dan mudah dimengerti.
3. Hindarkan penggunaan kata atau frase yang artinya kurang
menentu atau konteksnya dalam kalimat kurang jelas.
4. Dalam merumuskan ketentuan Peraturan Daerah digunakan tata
bahasa Indonesia yang baku.
5. Untuk memberikan perluasan pengertian kata atau istilah yang
sudah diketahui umum tanpa membuat definisi baru, gunakan kata
tidak meliputi.
23

6. Hindari pemberian arti kepada kata atau frase yang maknanya


terlalu menyimpang dari makna yang biasa digunakan dalam
penggunaan bahasa sehari-hari.
7. Di dalam Peraturan Daerah dihindari penggunaan beberapa istilah
yang berbeda untuk menyatakan satu dan satu istilah untuk
beberapa pengertian yang berbeda.
8. Jika membuat pengacuan ke pasal atau ayat lain, sedapat mungkin
dihindari penggunaan frase tanpa mengurangi, dengan tidak
mengurangi, atau tanpa menyimpang dari.
9. Jika kata atau frase tertentu digunakan berulang-ulang maka
untuk menyederhanakan rumusan dalam Peraturan Daerah, kata
atau frase sebaiknya didefinisikan dalam pasal yang memuat arti
kata istilah, pengertian, atau digunakan singkatan atau akronim.
10. Jika dalam peraturan pelaksanaannya dipandang perlu
mencatumkan kembali definisi atau batasan pengertian yang
terdapat dalam Peraturan Daerah yang dilaksanakan, rumusan
definisi atau batasan pengertian tersebut hendaknya tidak berbeda
dengan rumusan definisi atau batasan pengertian yang terdapat
dalam Peraturan Daerah yang lebih tinggi tersebut.
11. Penyerapan kata atau frase bahasa asing yang banyak dipakai dan
telah disesuaikan ejaan dengan kaidah Bahasa Indonesia dapat
digunakan, jika kata atau frase tersebut:
a. mempunyai konotasi yang cocok;
b. lebih singkat bila dibandingkan dengan padanannya dalam
Bahsa Indonesia;
c. mempunyai corak internasional;
d. lebih mempermudah tercapainya kesepakatan;atau
e. lebih mudah dipahami daripada terjemahannya dalam Bahasa
Indonesia.
12. Penggunaan kata atau frase bahasa asing hendaknya hanya
digunakan di dalam penjelasan Peraturan Daerah. Kata atau frase
bahasa asing itu didahului oleh padanannya dalam Bahasa
Indonesia, ditulis dan diletakan diantara tanda baca kurung.
B. Pilihan Kata atau Istilah
24

1. Untuk menyatakan pengertian maksimum dan minimum dalam


menentukan ancaman pidana atau batasan waktu digunakan kata
paling.
2. Untuk menyatakan maksimum dan minimum bagi satuan :
a. waktu, gunakan frase paling singkat atau paling lama;
b. jumlah uang, gunakan frase paling sedikit atau paling banyak;
c. jumlah non uang, gunakan frase paling rendah dan paling
tinggi.
3. Untuk menyatakan makna tidak termasuk, gunakan kata kecuali
ditempat diawal kalimat, jika yang dikecualikan adalah seluruh
kalimat.
4. Kata kecuali ditempatkan langsung dibelakang suatu kata, jika
yang akan dibatasi hanya kata yang bersangkutan.
5. Untuk menyatakan makna termasuk, gunakan kata selain.
6. Untuk menyatakan makna pengandaian atau kemungkinan,
digunakan kata jika, apabila atau frase dalam hal :
a. Kata jika digunakan untuk menyatakan suatu hubungan
klausal (pola karena-maka)
b. Kata apabila digunakan untuk menyatakan hubungan kausal
yang mengandung waktu
c. Frase dalam hal digunakan untuk menyatakan suatu
kemungkinan, keadaan atau kondisi yang mungkin terjadi atau
mungkin tidak terjadi (pola kemungkinan-maka)
7. Frase pada saat digunakan untuk menyatakan suatu keadaan yang
pasti akan terjadi di masa depan.
8. Untuk menyatakan sifat kumulatif, digunakan kata dan
9. Untuk menyatakan sifat alternatif, digunakan kata atau
10. Untuk menyatakan sifat kumulatif sekaligus alternatif, digunakan
frase dan/atau
11. Untuk menyatakan adanya suatu hak, gunakan kata
12. Untuk menyatakan pemberian kewenangan kepada seseorang atau
lembaga gunakan kata berwenang.
13. Untuk menyatakan sifat diskresioner dari suatu kewenangan yang
diberikan kepada seseorang atau lembaga, gunakan kata dapat.
25

14. Untuk menyatakan adanya suatu kewajiban yang telah ditetapkan


digunakan kata wajib. Jika kewajiban tidak dipenuhi, yang
bersangkutan akan dijatuhi sanksi hukum menurut hukum yang
berlaku.
15. Untuk menyatakan pemenuhan suatu kondisi atau persyaratan
tertentu, gunakan kata harus. Jika keharusan tersebut tidak
dipenuhi, yang bersangkutan tidak memperoleh sesuatu yang
seharusnya akan didapat seandainya ia memenuhi kondisi atau
persyaratan tersebut.
16. Untuk menyatakan adanya larangan, gunakan kata dilarang.

2.2 Proses pembentukan peraturan daerah yang baik


2.2.1 Perencanaan dan Penyusunan
Mengacu pada pasal 237 ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 2014
Tentang Pemerintah Daerah menegaskan bahwa dalam penyusunan
peraturan daerah (Perda) harus melalui 5 (lima) tahapan yakni13 :
 Perencanaan
 Penyusunan
 Pembahasan
 Penetapan
 Pengundangan
Tahapan pertama dalam proses pembentukan peraturan daerah
yakni perencanaan yang kemudian akan dilanjutkan kedalam proses
lanjutan lainnya. Perencanaan penyusunan peraturan daerah ini sendiri
dilakukan dalam program legislasi daerah (Prolegda). Dalam pasal 35 ayat
(4) UU No.12 tahun 2011 sebagaimana diubah kedalam UU No.15 Tahun
2019 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dijelaskan
bahwa pembentukan prolegda harus berdasarkan pada aspirasi
masyarakat daerah tersebut.14 Program Legislasi Daerah yang selanjutnya
disebut Prolegda ini adalah instrumen perencanaan program
pembentukan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah

13
Asri Lasatu. ”Urgensi Peraturan Daerah Tentang Program Pembentukan Peraturan Daerah Terhadap
Kinerja DPRD (The Urgensi of Local Regulation Concerning the Formation of Local Regulation Program
on Regional House of Representatives Performance”, Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, Vol. 14 No. 2
(2020), 204.
14
Yusdiyanto, “Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Program Legislasi Daerah”, Jurnal Ilmu
Hukum, Vol.5 No. 2 (2012), 1.
26

Kabupaten/Kota yang disusun secara terencana, terpadu dan sistematis.


Perencanaan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan dalam Prolegda Provinsi.
Penyusunan Prolegda Provinsi dilaksanakan oleh DPRD Provinsi dan
Pemerintah Daerah Provinsi. Prolegda Provinsi ditetapkan untuk jangka
waktu 1 (satu) tahun berdasarkan skala prioritas pembentukan
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi. Penyusunan dan penetapan
Prolegda Provinsi dilakukan setiap tahun sebelum penetapan Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi tentang APBD Provinsi.
Tahapan penyusunan Rancangan Perda dilakukan dengan teknik
penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sebagaimana sesuai dengan
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011.
Menurut Bagir Manan peraturan perundang-undangan yang baik
dapat terwujud apabila memenuhi unsur-unsur antara lain:15
1. Perumusannya tersusun secara sistematis, bahasa sederhana dan baku;
2. Sebagai kaidah, mampu mencapai daya guna dan hasil guna baik
dalam wujud ketertiban maupun keadilan;
3. Sebagai gejala sosial, merupakan perwujudan pandangan hidup,
kesadaran hukum dan rasa keadilan masyarakat, termasuk
kemampuannya sebagai faktor pendorong kemajuan dan perubahan
masyarakat; dan
4. Sebagai sub-sistem hukum, harus mencerminkan satu rangkaian
sistem yang teraturdari keseluruhan sistem hukum yang ada.
2.2.2 Pembahasan
Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah dilakukan oleh DPRD
bersama Kepala Daerah. Pembahasan bersama dilakukan melalui tingkat-
tingkat pembicaraan. Tingkat-tingkat pembicaraan dilakukan dalam rapat
komisi/panitia/badan/alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani
bidang legislasi dan rapat paripurna, Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara pembahasan Rancangan Peraturan Daerah diatur dengan Peraturan
DPRD. Rancangan Peraturan Daerah dapat ditarik kembali sebelum
dibahas bersama oleh DPRD dan Kepala Daerah. Rancangan Peraturan
Daerah yang sedang di bahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan
persetujuan bersama DPRD dan Kepala Daerah. Ketentuan lebih lanjut

15
Ahmad Redi, Hukum Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Jakarta : Sinar Grafika, 2018),
hlm. 27
27

mengenai tata cara penarikan kembali Rancangan Peraturan Daerah diatur


dengan Peraturan DPRD.
Pembahasan rancangan perda yang berasal dari Kepala Daerah
disampaikan dengan surat pengantar Kepala Daerah kepada pimpinan
DPRD begitu juga sebaliknya. Surat pengantar Kepala Daerah
sebagaimana dimaksud, paling sedikit memuat latar belakang dan tujuan
penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan, dan materi pokok yang
diatur. Dalam hal rancangan perda yang berasal dari Kepala Daerah
disusun berdasarkan naskah akademik, naskah akademik disertakan dalam
penyampaian rancangan perda. Dalam rangka pembahasan rancangan
perda di DPRD, perangkat daerah pemrakarsa memperbanyak rancangan
perda provinsi sesuai jumlah yang diperlukan. Kepala Daerah membentuk
tim dalam pembahasan rancangan perda di DPRD yang diketuai oleh
sekretaris daerah atau pejabat yang ditunjuk oleh Kepala Daerah. Ketua
tim kemudian melaporkan perkembangan dan/atau permasalahan dalam
pembahasan rancangan perda di DPRD kepada Kepala Daerah untuk
mendapatkan arahan dan keputusan.16
Kemudian Rancangan Peraturan Daerah yang telah mendapat
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ditandatangani oleh Kepala
Daerah dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk ditetapkan
menjadi Peraturan Daerah. Peraturan Daerah yang telah ditandatangani
tersebut kemudian diberi Nomor, Tahun serta Tanggal penetapan oleh
bagian hukum Sekretariat Daerah. Tanggal Penetapan Peraturan Daerah
adalah pada saat peraturan itu ditandatangani oleh Kepala Daerah dan
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Peraturan Daerah yang telah
ditandatangani oleh Kepala Daerah dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah harus diundangkan dalam Lembaran Daerah agar mempunyai
hukum dan mengikat kepada semua pihak. Pengundangan didalam
Lembaran Daerah sangat penting untuk memenuhi formalitas Hukum agar
memiliki aspek Publikasi serta keperluan Dokumentasi dan mempermudah
mencari peraturan perundang-undangan yang dibutuhkan. Pengundangan
tersebut dilakukan oleh Sekretariat Daerah.17

16
Ibid., Hlm. 28.
17
Soenobo Wirjosoegito, Proses dan Perencanaan Peraturan Perundang-Undangan, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 2004.
28

2.2.3 Pengesahan dan Pengundangan


Pengesahan
Penetapan Rancangan Peraturan Daerah18 :
1) Rancangan Peraturan Daerah yang telah disetujui bersama oleh DPRD
dan kepala daerah disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada kepala
daerah untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah.
2) Penyampaian Rancangan Peraturan Daerah yang telah disetujui
bersama oleh DPRD dan kepala daerah dilakukan dalam jangka waktu
paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan
bersama.
3) Rancangan Peraturan Daerah yang akan ditetapkan oleh kepala
daerah dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak Rancangan Peraturan Daerah
tersebut disetujui bersama oleh DPRD dan kepala daerah.
4) Dalam hal Rancangan Peraturan Daerah tidak ditandatangani oleh
kepala daerah dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
Rancangan Peraturan Daerah tersebut disetujui bersama, Rancangan
Peraturan Daerah tersebut sah menjadi Peraturan Daerah dan wajib
diundangkan.
5) Dalam hal sahnya Rancangan Peraturan Daerah tidak ditandatangani
oleh kepala daerah dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
Rancangan Peraturan Daerah tersebut disetujui bersama, kalimat
pengesahannya berbunyi: Peraturan Daerah ini dinyatakan sah.
6) Kalimat pengesahan yang berbunyi harus dibubuhkan pada halaman
terakhir Peraturan Daerah sebelum pengundangan naskah Peraturan
Daerah dalam Lembaran Daerah.

Pengundangan
a. Agar setiap orang mengetahuinya, peraturan perundang-undangan
harus diundangkan dengan menempatkannya dalam19 :
1) Lembaran Negara Republik Indonesia;
2) Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia;
3) Berita Negara Republik Indonesia;

18
Ibid.
19
Ahmad Redi, Hukum Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Jakarta : Sinar Grafika, 2018),
hlm. 33
29

4) Tambahan Berita Negara Republik Indonesia;


5) Lembaran Daerah;
6) Tambahan Lembaran Daerah; atau
7) Berita Daerah.
b. Peraturan perundang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia, meliputi:
1) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang;
2) Peraturan Pemerintah;
3) Peraturan Presiden; dan
4) Peraturan Perundang-undangan lain yang menurut Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku harus diundangkan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
c. Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan dalam Berita
Negara Republik Indonesia meliputi Peraturan Perundang-undangan
yang menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku harus
diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.
d. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia memuat penjelasan
Peraturan Perundang-undangan yang dimuat dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
e. Tambahan Berita Negara Republik Indonesia memuat penjelasan
Peraturan Perundang-undangan yang dimuat dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
f. Pengundangan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia atau Berita Negara Republik Indonesia
dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum.
g. Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran
Daerah adalah Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
h. Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota diundangkan
dalam Berita Daerah.
i. Pengundangan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran
Daerah dan Berita Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah.
30

j. Peraturan Perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai


kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain
di dalam Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.

2.2.4 Penyebarluasan dan Pembatalan


Proses Penyebarluasan Peraturan Daerah
Tahap penyebarluasan peraturan daerah merupakan suatu proses
penting yang harus dilakukan setelah adanya suatu proses legislasi yaitu
pembentukan peraturan daerah. Menurut Pasal 161 ayat (1) Permendagri
No. 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah,
Penyebarluasan perda dilakukan oleh pemerintah daerah dan DPRD sejak
penyusunan Propemperda, penyusunan rancangan perda disertai dengan
penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik dan pembahasan
rancangan perda. Dengan demikian, kepala daerah dan DPRD memiliki
kewajiban untuk melakukan penyebarluasan perda sejak proses
penyusunan program pembentukan Perda, penyusunan rancangan Perda,
dan pembahasan rancangan Perda. Tahap penyebarluasan ini memiliki
tujuan yaitu memberikan informasi dan/atau memperoleh masukan
masyarakat dan para pemangku kepentingan terhadap suatu peraturan
daerah yang telah dibuat.20 Selanjutnya, kepala daerah juga wajib
menyebarluaskan perda yang telah diundangkan dalam lembaran daerah
dan perkada yang telah diundangkan dalam berita daerah. Apabila hal ini
tidak dipatuhi, maka kepala daerah tersebut dapat dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis oleh Menteri Dalam Negeri untuk
gubernur dan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk
bupati/walikota sesuai dengan Pasal 165 Permendagri No. 80 Tahun 2015
tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah.
Menurut Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham
(2011), ada beberapa ketentuan mengenai penyebarluasan peraturan
daerah yang mengacu pada UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, yaitu:
a) Penyebarluasan Prolegda dilakukan bersama oleh DPRD dan
Pemerintah Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota yang

20
Menurut Pasal 161 ayat (2) Permendagri No. 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum
Daerah
31

dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani


bidang legislasi.
b) Penyebarluasan Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari DPRD
dilaksanakan oleh alat kelengkapan DPRD.
c) Penyebarluasan Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari
Gubernur atau Bupati/Walikota dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah.
d) Penyebarluasan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah
dilakukan bersama oleh DPRD dan Pemerintah Daerah Provinsi atau
Kabupaten/Kota.

Tahap Pembatalan Peraturan Daerah


Tahap pembatalan peraturan daerah sendiri merupakan suatu
tahapan untuk melakukan pembatalan bagi peraturan daerah yang
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau bertentangan dengan
kesusilaan. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang ada pada Pasal 251 UU
No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan
bahwa: (a) Perda Provinsi atau Peraturan Gubernur yang bertentangan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh Menteri, (b)
Perda Kabupaten/Kota dan Peraturan Bupati/Wali Kota yang bertentangan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh Gubernur sebagai
wakil Pemerintah Pusat.21
Namun, proses pembatalan perda ini mengalami beberapa
perubahan dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (Putusan MK) No.
137/PUU-XIII/2015 yang menyebutkan bahwa ketentuan yang ada Pasal
251 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (8) UU No. 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah. Pasal tersebut mengatur tentang
mekanisme pembatalan Perda Kabupaten/Kota oleh Gubernur dan Perda
Provinsi oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) yang kemudian dinyatakan
inkonstitusional/bertentangan dengan UUD 1945 (Hukumonline, 2020).
Ada beberapa hal yang mendasari Putusan MK tersebut yaitu:

21
Berdasarkan Pasal 251 ayat (1) dan (2) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
32

a) Mahkamah menganggap bahwa telah terjadi adanya kekeliruan terkait


pembatalan Perda yaitu ketika Perda Kabupaten/Kota sebagai produk
hukum berbentuk peraturan (regeling) dapat dibatalkan dengan
keputusan gubernur sebagai produk hukum berbentuk keputusan
(beschikking). Hal ini bertentangan dengan teori perundang-undangan
dimana suatu produk hukum yang berbentuk peraturan (regeling)
tidak dapat dibatalkan dengan mengeluarkan suatu keputusan yang
merupakan bentuk (beschikking) mengingat keduanya memiliki
karakter yang berbeda satu sama lain (Sedubun dkk, 2019).
Mahkamah berpendapat bahwa potensi dualisme putusan
pengadilan antara putusan PTUN dan putusan pengujian Perda oleh MA
terhadap substansi perkara yang sama. Hal ini dapat terjadi ketika ada
Perda Kabupaten/Kota yang dibatalkan oleh Gubernur yang kemudian
digugat melalui PTUN yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.
Dengan demikian, Putusan MK tersebut menyatakan bahwa kewenangan
pembatalan Perda menjadi ranah kewenangan MA, yaitu menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang sesuai dengan
amanat Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Indikator pembentukan peraturan daerah yang baik memuat tentang
kedudukaan peraturan daerah dalam sistem hukum di negara Republik Indonesia,
asas pembentukan Perda, tata cara penyiapan dan pembahasan, dan teknik
penyusunan. Selain itu, harus dilakukan sesuai dengan mekanisme atau proses
yang telah ditentukan di dalam Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dan juga harus mendasarkan
pada asas-asas pembentukan peraturan daerah yang berlaku mengingat asas
merupakan roh atau nyawa dari sebuah peroduk perundang-undangan. Jika
memenuhi hal-hal tersebut maka Perda dapat dikatakan memenuhi indikator
Perda yang baik.
Dalam proses pembentukan Perda yang baik harus melalui beberapa
proses, yaitu perencanaan dan penyusunan, pengesahan dan pengundangan,
serta penyebarluasan dan pembatalan peraturan daerah. Beberapa proses
tersebut harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan. Selain diatur
dalam Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan diatur juga dalam Permendagri No. 80 Tahun 2015
tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah. Beberapa proses tersebut harus
dilaksanakan secara runtut.

33
DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Astawa, Pantja dan Suprin Na’a. 2008. Dinamika Hukum dan Ilmu
Perundangundangan di Indonesia. Bandung: Alumni.
Khaleed, B. 2014. Legislative Drafting: Teori dan Praktik Penyusunan Peraturan
Perundang-Undangan. Jakarta: Medpress Digita.
Perundang-undangan., D.P. 2011. Panduan Praktis Memahami Perancangan
Peraturan Daerah. Jakarta: Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-
Undangan Kementerian Hukum Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
Redi, A. 2018. Hukum Pembentukan Perundang-Undangan. Jakarta: Sinar Grafika.
Wirjosoegito, S. 2004. Proses dan Perencanan Peraturan Perundang-Undangan.
Jakarta: Ghalia Indonesia

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia. (2011). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Lembar Negara RI.
Indonesia. (2014). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014
Tentang Pemerintahan Daerah. Lembar Negara RI.
Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945
RI, M. (2015). Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 80 Tahun 2015 tentang
Pembentukan Produk Hukum Daerah.

JURNAL
Dspace.uii. (n.d). Pembentukan dan Pengaturan Peraturan Daerah. URL:
https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/9848/05.3%20bab%203.
pdf?sequence=7&isAllowed=y. Diakses pada tanggal 6 April 2022.
Lasatu, Asri. 2020. ”Urgensi Peraturan Daerah Tentang Program Pembentukan
Peraturan Daerah Terhadap Kinerja DPRD (The Urgensi of Local
Regulation Concerning the Formation of Local Regulation Program on
Regional House of Representatives Performance” dalam Jurnal Ilmiah
Kebijakan Hukum, Vol. 14 No. 2.
Sedubun, V.J., Saptenno, M.J., Pietersz, J.J., & Sisinaru, S.Y. (2019). Pembatalan
Peraturan Daerah dan Akibat Hukumnya Menurut Undang-Undang Nomor 23

34
35

Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. SASI, 25(2), 107-120. DOI:


https://doi.org/10.47268/sasi.v25i2.216.
Yusdiyanto. 2012. “Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Program Legislasi
Daerah”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol.5 No. 2.

DISERTASI
SA, A. Hamid. 1990. Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, disertasi, Jakarta.

WEBSITE:
BPHN.GO.ID. (n.d). Teknik Penyusunan Perda. URL:
http://bphn.go.id/data/documents/Teknik_PERDA.pdf. Diakses pada tanggal
6 April 2022.
Hukumonline. (2020). Pencabutan Perda Lewat Perpres, Simak Putusan MK Ini!.
Diakses dari https://www.hukumonline.com/berita/a/pencabutan-perda-
lewat-perpres--simak-putusan-mk-ini-lt5e4d0c4322afe pada 9 April 2022
JDIH.Magetan. (2011). Tata Cara Penyusunan Perda.
https://jdih.magetan.go.id/?p=865. Diakses pada tanggal 6 April 2022.
Maria, Farida dkk. 2008. Laporan Kompendium Bidang Hukum Perundang-undangan.
https://www.bphn.go.id/data/documents/kompendium_perundang2an.pdf,
diakses pada tanggal 8 April 2022.

Anda mungkin juga menyukai