Anda di halaman 1dari 19

PERATURAN DAERAH (PERDA) TENTANG MIRAS DAN PROSTITUSI

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Qanun Jinayah

Dosen Pengampu : Dr. H. Syahrul Anwar, M.Ag

Deden Najmudin, M.Sy

Disusun Oleh Kelompok 12 :

Muhammad Hanif Qori (1183060051)

Ramdan Herdiana (1183060062)

Reka Nisa Nusantara (1183060065)

Widia Maesaroh (1183060084)

KELAS : VII/Hukum Pidana Islam /B

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2021
KATA PENGANTAR

Assalammualaikum Wr.Wb.

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt., berkat rahmat dan karunia-
Nya kami dapat menyelesaikan sebuah makalah yang berjudul “Peraturan Daerah
(PERDA) Tentang Miras dan Prostitusi”.

Kami juga tidak lupa mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Dr. H.
Syahrul Anwar, M.Ag dan Bapak Deden Najmudin, M.Sy selaku dosen mata kuliah
Qanun Jinayah yang telah memberikan tugas ini kepada kami. Dan tidak lupa kami juga
mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan
makalah ini dan bekerja sama menyelesaikan makalah ini.

Semoga makalah ini bermanfaat dan bisa menjadi bahan evaluasi dan tolak ukur
dalam makalah-makalah lainnya khususnya bagi mata kuliah Qanun Jinayah di masa
yang akan datang. Mohon kritik dan sarannya. Terima kasih.

Wassalammualaikum Wr.Wb.

Bandung, Desember 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................................2

DAFTAR ISI..................................................................................................................................3

BAB I...............................................................................................................................................4

PENDAHULUAN..........................................................................................................................4

A. Latar Belakang Masalah.......................................................................................................4

B. Rumusan Masalah.................................................................................................................4

C. Tujuan Makalah....................................................................................................................5

BAB II.............................................................................................................................................6

PEMBAHASAN.............................................................................................................................6

A. Peraturan Daerah..................................................................................................................6

B. Pengertian Miras dan Prostitusi............................................................................................7

C. PERDA Tentang Miras dan Prostitusi................................................................................10

D. Penerapan PERDA Tentang Miras dan Prostitusi di Indonesia..........................................13

BAB III.........................................................................................................................................15

PENUTUP....................................................................................................................................15

A. Simpulan.........................................................................................................................15

B. Saran................................................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................16

HASIL DISKUSI.........................................................................................................................17

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Lahirnya peraturan-peraturan daerah yang bernuansakan syari’ah tidak dapat
dipisahkan dengan adanya konsep desentralisasi yang merupakan bagian dari
konsekuensi demokratisasi. Menurut Imawan demokratisasi itu sendiri merupakan fase
perubahan tatanan dan struktur pemerintahan dari otoriter menjadi tatanan dan struktur
pemerintahan yang demokratis. Dimana dengan cara demokratisasi inilah hak-hak warga
negara untuk berpendapat maupun bersuara lebih diperluas sehingga tidak adanya
kesenjangan hak-hak politik bagi warga negara. Konsep desentralisasi itu sendiri sangat
erat hubungannya dengan otonomi daerah. Hal ini dikarenakan konsep otonomi daerah
merupakan pengaktualisasian dari adanya kebijakan desentralisasi. Sehingga
desentralisasi di negara ini hanya dapat dilaksanakan melalui penyelenggaraan otonomi
daerah.
Bergulirnya otonomi daerah pada tahun 1999 ditandai denga lahirnya UU Nomor
22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian digantikan dengan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Kebijakan otonomi daerah
melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut telah memberikan otonomi
seluas-luasnya pada daerah terutama di kabupaten/kota. Sehingga daerah dapat
mengembalikan harkat dan martabat masyarakat di daerah, peluang politik guna untuk
meningkatkan kualitas demokrasi di daerah dan juga percepatan pembangunan di daerah.
Otonomi daerah ialah hak, wewenang, kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan daerahnya sesuai dengan
perturan perundang-undangan. Seiring dengan dilahirkannya Undang-Undang Nomor 32
tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sebagai bentuk kebijakan otonomi daerah inilah
maka daerahpun berlomba-lomba untuk mengatur dan mengurus semua urusan yang
berkaitan dengan daerahnya masing-masing dalam bentuk peraturan daerah. Termasuk
keinginan sebagian dari masyarakat untuk melahirkan perdaperda yang bernuansakan
syariah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud Peraturan Daerah ?
2. Apa yang dimaksud Miras dan Prostitusi ?
3. Bagaimana Pengaturan PERDA Tentang Miras dan Prostiusi ?
4. Bagaimana Penerapan PERDA Tentang Miras dan Prostiusi di Indonesia ?

4
C. Tujuan Makalah
1. Mengetahui Pengertian dan Pengaturan Peraturan Daerah.
2. Mengetahui apa itu Miras dan Prostitusi.
3. Mengetahui bagaimana Pengaturan PERDA Tentang Miras dan Prostiusi.
4. Mengetahui bagaimana Penerapan PERDA Tentang Miras dan Prostiusi di
Indonesia.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Peraturan Daerah
Peraturan Daerah (Perda) adalah peraturan yang dibuat oleh kepala daerah
provinsi maupun Kabupaten/Kota bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) Provinsi maupun Kabupaten/Kota, dalam ranah pelaksanaan
penyelenggaraan otonomi daerah yang menjadi legalitas perjalanan eksekusi pemerintah
daerah.1 Peraturan daerah merupakan wujud nyata dari pelaksanaan otonomi daerah yang
dimiliki oleh pemerintah daerah dan pada dasarnya peraturan daerah merupakan
penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dengan
melihat ciri khas dari masing-masing daerah.

Kemandirian dalam berotonomi tidak berarti daerah dapat membuat peraturan


perundang-undangan atau keputusan yang terlepas dari sistem perundang-undangan
secara nasional. Peraturan perundang-undangan tingkat daerah merupakan bagian tak
terpisahkan dari kesatuan sistem perundang-undangan secara nasional. Karena itu tidak
boleh ada peraturan perundang-undangan tingkat daerah yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatnya atau kepentingan umum.2

Tujuan utama dari peraturan daerah adalah memberdayakan masyarakat dan


mewujudkan kemandirian daerah, dan pembentukan peraturan daerah harus didasari oleh
asas pembentukan perundang-undangan pada umumnya antara lain; Memihak kepada
kepentingan rakyat, menunjung tinggi hak asasi manusia, berwawasan lingkungan dan
budaya.3 Kemudian menurut UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, Peraturan Daerah adalah peraturan perundang-undangan yang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan Kepala Daerah. 4
Jadi peraturan daerah merupakan suatu pemberian kewenangan (atribusian) untuk
mengatur daerahnya dan peraturan daerah juga dapat dibentuk melalui pelimpahan
wewenang (delegasi) dari peraturan.

1
Maria Farida Indrati S 2007. Ilmu Perundang-undangan Cet. Ke-7. Yokyakarta: Kanisius. hlm. 202
2
Bagir Manan. 1995. Sistem dan Teknik Pembuatan Peraturan Perundang-undangan Tingkat Daerah. Bandung:
LPPM Universitas Bandung. hlm. 8
3
Prof. H. Rozali Abdullah, S. H. 2005. Pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara
Langsung Cet. Ke-1. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. hlm 131
4
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal I ayat (7).

6
B. Pengertian Miras dan Prostitusi

a) Miras atau Khamr

Miras atau Khamar sudah lazim dikenal dengan minuman keras, minuman
beralkohol, atau minuman yang memabukkan. Minuman ini sudah dikenal dan
dikonsumsi sejak sebelum Alquran diturunkan. Meskipun begitu, tidak ada satu
agamapun yang memberikan penjelasan kedudukan yang jelas tentang khamar pada saat
itu. hingga ada yang menggunakannya sebagai obat, sebagai sebuah minuman
adat/kebiasaan, sebagai minuman dalam sebuah pesta, juga dalam ritual penyembahan.

Secara istilah syariat Miras atau Khamar diartikan langsung oleh Rasulullah saw
dan juga sahabat seperti Umar bin Khattab, sebagai segala sesuatu yang menghalangi
atau menutupi akal atau istilah yang biasa dipakai dan dipahami adalah yang
memabukkan. Dalam riwayat Muslim, dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah saw
bersabda, “setiap yang memabukkan itu khamar, dan setiap khamar itu haram, barang
siapa yang meminumnya di dunia dan dia belum bertaubat hingga mati dalam kebiasaan
meminum khamar, maka ia tidak akan meminumnya di akhirat”. Umar bin Khattab
pernah menyampaikan dalam sebuah khutbah, bahwa, “khamar adalah semua yang
menutupi akal dan pikiran. Kemudian dikarenakan setiap buah atau biji-bijian yang
diolah untuk menjadi khamar pasti menghasilkan alkohol, maka khamar juga dikenal
sebagai minuman beralkohol.

Islam sendiri tidak begitu tegas melarang minuman olahan yang difermentasi ini.
jika ditelusuri pun tidak ada ayat Alquran yang dengan jelas menerangkan sanksi bagi
peminum khamar, meskipun kedudukannya sudah sangat jelas diantara kalangan ulama,
yaitu haram.5 Aturan larangan (pengharaman) minuman keras (khamar) berlaku untuk
seluruh umat Islam serta tidak ada perkecualian untuk individu tertentu. Yang dilarang
dalam Islam adalah tindakan meminum khamar itu sendiri, terlepas apakah si peminum
tersebut mabuk atau tidak. Allah berfirman dalam QS almaidah ayat 90 :

ْ َ‫ش ْي ٰط ِن ف‬
ُ‫اجتَنِبُ ْوه‬ ٌ ‫اب َوااْل َ ْزاَل ُم ِر ْج‬
َّ ‫س ِّمنْ َع َم ِل ال‬ ُ ‫ص‬ ِ ‫ٰيٓاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْٓوا اِنَّ َما ا ْل َخ ْم ُر َوا ْل َم ْي‬
َ ‫س ُر َوااْل َ ْن‬
َ‫لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِ ُح ْون‬

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban


untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka
jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S. Al-
Maidah : 90)
5
Abdur Rahman Al-Juzairi, Al-Fiqhu ‘ala> Maza>hib Al-Arba’ah, dita’liq dan ditakhrij oleh Mahmud bin Jamil
(Kairo; Maktab Ash-Shafa 2003m/1424h) cetakan pertama, jilid2, h. 9-11

7
b) Prostitusi

Prostitusi atau bisa disebut juga Pelacuran berasal dari bahasn latin pro- situare
yang artinya membiarkan diri berbuat zina, pencabulan, melakukan perbuatan
pesundulan, pergendakan. Sedangkan dalam Kamuas Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
berasal dari kata Lacur yang berarti malang, celaka, sial gaga dan buruk laku.

Pelacur yaitu perempuan yang melacur, wanita tuna susila. Sedangkan Pelacuran
merupakan kegiatan penjualan diri.6 Menurut William Benton dalam Encyclopedia
Britanica, pelacuran itu dijelaskan sebagai praktek hubungan seksual yang dilakukan
sesaat, dilakukan dengan siapa saja dan mendapat imbalan berupa uang. Jadi, pelacuran
bisa juga disebut dengan penjualan kehormatan dan orang yang melacur bisa disebut
dengan penjual kehormatan. Dari segi hukum sudah jelas bahwa prostitusi atau
pelacuran menurut ajaran Islam hukumnya haram. Haram artinya tidak boleh dilakukan.
Dan sekiranya tetap dilakukan, maka ia akan mendapatkan sanksi hukum, baik di dunia
maupun di akhirat.7

Secara terminoogi pelacuran atau Prostitusi yaitu penyediaan layanan jasa


seksual oleh laki-laki atau perempuan untuk mendapatkan sebuah imbalan berupa uang
atau kepuasan bagi laki-laki atau perempuan tersebut. Dalam prostitusi terdapat 3 (tiga)
unsur utama, yaitu pembayaran, promiskuitas dan ketidak acuhan emosional.

Menurut W.A Bonger, prostitusi merupakan gejala kemasyaakatan dimana


perempuan menjual diri melakkan perbuatan seksual sebagai mata pencaharian. 8
Menurut Kartini Kartono, prostitusi merupakan bentuk penyimpangan seksual, dengn
pola-pola organisasi implus, atau dorongan seks yang tidak terintegrasi atau tidak wajar,
dalam bentuk pelampiasan nafsu seks yang tanpa kendali dengan banyak orang
(promiskuitas), disertai dengan ekspoitasi dan komersialisasi seks, yang impersional
tanpa afeksi sifatnya.

Prostitusi adalah bentuk penghinaan terhadap derajat manusia, khususnya wanita.


Oleh karena itu, Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad saw yang merupakan sumber
hukum Islam yang paling utama, keduanya telah mengharamkan perbuatan zina atau
prostitusi. Prostitusi adalah mempergunakan badan sendiri sebagai alat pemuas seksual

6
W.J.S Poerdamita: (Dioleah kembali oleh pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan), Kamus Umum Bahasa Indonesi, (Jakarta : PN Balai Pustaka, 1984) hal 548
7
Dian Andriasari, Studi Komparatif Tentang Zina Dalam Hukum Indonesia Dan Hukum Turki, Jurnal Syiar
Hukum FH.Unisba. Vol.XIII. No. 3 November 2011, hlm.12.
8
Kartini Karto, Patalog Sosial (Jilid I),(Jakarta : Rajawali Pers, 2011) ,hlm. 128

8
untuk orang lain dengan mencapai keuntungan. Berbeda dengan perzinahan yang artinya
yaitu berhubungan seksual yang dilakukan atas dasar suka sama suka.9

Di dalam hukum Islam tidak ditemukan nomenklatur yang secara implisit


menyebut prostitusi. Prostitusi adalah penyediaan layanan seksual yang dilakukan oleh
laki-laki atau perempuan untuk mendapatkan uang atau kepuasan. Apakah Unsur
“layanan seksual” dalam definisi prostitusi mengandung arti hubungan badan antara
lakilaki dan perempuan yang tidak terikat dengan hubungan pernikahan dapat
dipersamakan dengan unsur zina dalam hukum Islam. Inilah yang menjadi permasahan
yang perlu diperjelas status hukumnya, mengingat dalam hukum pidana nasional, istilah
zina dengan prostitusi dibedakan deliknya. Hukuman pelaku zina terbagi dua, yaitu
muhsan (sudah menikah) dihukum dengan cara dirajam dan ghair muhsan (belum
menikah) dengan cara dijilid.10

Menurut hukum Islam prostitusi merupakan perzinaan yang dilakukan terus


menerus. Apabila dilihat dari faktor ekonomi, perbuatan zina menghasilkan uang bagi
para pelakunya terutama bagi pelaku wanita. Untuk memenuhi gaya hidup yang semakin
tinggi, maka banyak kalangan kelas bawah yang menjual dirinya kepada laki- laki
hidung belang. Para pelaku pria biasanya memberikan uang setelah melakukan
hubungan seks kepada para wanita ekonomi lemah dan berpendidikan rendah seperti
dilokalisasi WTS (wanita tuna susila) atau di hotel- hotel. Tetapi tidak menutup
kemungkinan juga, wanitawanita kaya yang membayar laki- laki hanya sekedar untuk
memuaskan nafsu seksnya saja dan bahkan parahnya, wanita- wanita kaya itu melakukan
perzinaan dan membayar pelacur laki- laki untuk menunjukan harga dirinya didepan
teman- temannya.11

Motivasi mereka melakukan perbuatan pelacuran adalah mencari uang (pada


umumnya), kecewa ditinggal suaminya begitu saja. Dalam segi pandangan tindakan
ekonomi, prostitusi mungkin salah satu alternatif lahan dimana seseorang baik pria
maupun wanita dapat memperoleh tambahan inkam. Tetapi dalam Islam yang
mewajibkan ummatnya untuk menempuh profesi yang halal, prostitusi merupakan hal
yang dilarang (haram) karena tergolong dalam zina yang merupakan dosa yang teramat
besar.

9
Marzuki Wahid, Fiqh Indonesia: Kompilasi Hukum Islam dan Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam
dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia, (Bandung: Marja, 2014), hlm. 38.
10
Munajat Makhrus, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004), hlm.93.
11
Masland, Robert P., Jr. David Estridge, Apa yang Ingin Diketahui Remaja Tentang Seks, (Jakarta : Bumi Aksara,
1987), hlm. 27.

9
C. PERDA Tentang Miras dan Prostitusi

Permasalahan tentang Miras dan Prostiusi di Indonesia semakin marak dan


memprihatinkan, hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya korban yang meninggal dunia
akibat minuman keras baik yang karena dosis tinggi maupun karena minuman keras
campuran atau yang lebih sering disebut oplosan. Penjual minuman keras yang
mengedarkan minuman keras banyak yang tidak memiliki izin usaha untuk menjual
minuman keras. Izin tidak dimiliki oleh penjual dikarenakan berbagai hal seperti
prosedur yang rumit dan biaya yang tidak murah menjadi alasan para penjual minuman
keras tidak memiliki izin.Penjual minuman keras untuk bertahan hidup harus
mengandalkan usahanya dari jualan minuman keras. Mereka dengan atau tanpa rasa
bersalah dan takut nekat menjual minuman keras tanpa izin yang dampak buruknya
membahayakan konsumen.

a) Beberapa PERDA Tentang Miras


1. PERDA Kabupaten Bandung Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Pelanggaran dan
Penggunaan Minuman Beralkohol :
BAB II
PELARANGAN, PENINDAKAN DAN PEMUSNAHAN SERTA
PENGENDALIAN
Bagian Pertama
Pelarangan
Pasal 2
(1) Setiap orang atau Badan Hukum dilarang menggunakan, mengedarkan dan
atau memperdagangkan minuman beralkohol di wilayah Kabupaten Bandung.
(2) Setiap orang atau Badan Hukum dilarang untuk memproduksi dan
menyimpan/menggudangkan minuman beralkohol di wilayah Kabupaten
Bandung.
(3) Terhadap larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikecualikan bagi
Hotel, restoran dan tempat-tempat tertentu lainnya yang telah mendapat ijin
Bupati.
(4) Tempat-tempat tertentu lainnya sebagaimana dimaksud ayat (3), dilarang
berdekatan dengan tempat Peribadatan, Sekolah, Rumah sakit atau lokasi lain
yang ditentukan kemudian dengan Keputusan Bupati.

10
2. PERDA Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 187 Tahun 2014 Tentang
Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol :
BAB III
PENJUALAN
Bagian Kedua
Larangan
Pasal 6
Pengecer atau penjual langsung dilarang menjual minuman beralkohol keeuali
kepada Warga Negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun
yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk dan Warga Negara Asing yang
telah dewasa.
Pasal 7
Pengecer atau penjual langsung dilarang menjual minuman beralkohol di lokasi
sebagai berikut : a. lokasi binaan/atau lokasi sementara pedagang kaki lima; . b.
terminal dan/atau stasiun kereta api; e. gelanggang remaja, penginapan remaja dan
bumi perkemahan; d. tempat ibadah, sekolah, rumah sakit; e. kios keell; dan/atau
f. permukiman kumuh.
3. PERDA Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 12 Tahun 2015 Tentang
Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol Serta Pelarangan Minuman
Oplosan :

BAB V
MINUMAN OPLOSAN
Pasal 44
Setiap orang dilarang memproduksi, mengedarkan, menyimpan, menjual dan
mengkonsumsi Minuman Oplosan

b) Beberapa PERDA Tentang Prostitusi


1. PERDA Kabupaten Bandung Nomor 6 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Pelacuran :
BAB II
LARANGAN
Pasal 2
Setiap orang dilarang melakukan Perbuatan Tuna Susila dan atau Pelacuran dalam
Daerah Kabupaten Badung.

11
Pasal 3
(1) Setiap orang atau Badan Hukum dilarang : a. menyediakan tempat Kegiatan
Perbuatan Tuna Susila dan atau Pelacuran; b. menjadi Tuna Susila dan atau
Pelacur dalam Daerah; c. mendatangkan Tuna Susila dan atau Pelacur dari luar
Daerah; d. melindungi atau menjadi pelindung Perbuatan Tuna Susila dan atau
Pelacuran di Daerah.
2. PERDA Barito Utara Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Penanggulangan Prostitusi :
BAB VII
LARANGAN
Pasal 10
Setiap orang dilarang dengan sengaja: a. menawarkan diri, mengajak orang lain
baik secara langsung dan/atau tidak langsung untuk melakukan prostitusi dan
perbuatan asusila; b. berkeliaran di jalan, tempat usaha dan fasilitas umum serta
tempat-tempat lainnya dengan tujuan melakukan prostitusi dan perbuatan asuaila;
c. memanggil atau memesan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan
menggunakan media informasi dengan maksud untuk melakukan prostitusi dan
perbuatan asusila; d. memberi kesempatan, bantuan, sarana dan prasarana serta
memfasilitasi untuk terjadinya/melakukan prostitusi dan perbuatan asusila; e.
memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau
martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi
kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja membujuk orang lain supaya
melakukan prostitusi; f. melakukan kegiatan prostitusi dan perbuatan asusila; g.
menggunakan tempat tinggal, tempat usaha dan fasilitas umum serta
tempattempat lainnya untuk kegiatan prostitusi dan perbuatan asusila; dan/atau h.
mendirikan usaha dan/atau mengusahakan atau menyediakan lempat untuk
melakukan prostitusi.
3. PERDA Kota Pangkal Pinang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Prostitusi dan Perbuatan Asusila :
BAB III
LARANGAN
Pasal 4
Setiap orang dilarang menjadi Tuna Susila atau Pelacur.
Pasal 5
Setiap orang dilarang melakukan hubungan seksual dengan Tuna Susila atau
Pelacur dan/atau menjadi Pengguna jasa Pelacur.

12
Pasal 6
Setiap orang dilarang menjadi Muncikari atau Germo.
Pasal 7
Setiap orang di tempat umum dilarang melakukan perbuatan asusila dengan
orang lain yang mengarah kepada hubungan seksual.
Pasal 8

Setiap orang yang tidak dalam ikatan pernikahan yang sah dilarang melakukan
hubungan seksual atau perbuatan asusila. (2) Setiap orang yang tidak dalam ikatan
pernikahan yang sah dilarang tinggal atau hidup bersama sebagaimana layaknya
suami istri.

Pasal 9

Setiap orang dilarang mendanai, memfasilitasi, menyelenggarakan hiburan di


tempat umum yang mengandung muatan pornografi. (2) Setiap orang dilarang
memasang tulisan, gambar, narasi atau dalam bentuk lainnya di tempat umum
yang mengandung muatan pornografi.

Pasal 10

(1) Setiap orang dilarang memanfaatkan rumah atau bangunan pribadi, rumah
kontrak, rumah sewa dan atau rumah kos untuk melakukan pelacuran atau
perbuatan asusila. (2) Setiap orang dilarang memanfaatkan tempat penginapan,
tempat hiburan dan tempat usaha untuk melakukan pelacuran atau perbuatan
asusila.

D. Penerapan PERDA Tentang Miras dan Prostitusi di Indonesia

Kebijakan publik pada dasarnya merupakan pola keputusan dan tindakan yang
dibuat oleh pemerintah dengan tujuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi oleh
masyarakat. Lasswell dan Kaplan merumuskan kebijakan sebagai suatu program
pencapaian tujuan, nilainilai, dan praktek yang terarah. Sedang menurut Anderson
kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang
diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan
masalah tertentu. Penekanan kedua pendapat tersebut bahwa kebijakan (policy) adalah
rangkaian tindakan dengan tujuan untuk memecahkan masalah, yang dilakukan setelah
adanya keputusan atas berbagai alternative.

Ada banyak alasan yang memicu semangat pemerintah daerah untuk


memproduksi peraturan daerah atau perda tentang Miras dan Prostitusi. Alasan yang

13
umum dikemukakan adalah pertimbangan moral. Direktur Eksekutif the WAHID
Institute Ahmad Suaedy menegaskan bahwa pembuatan Perda-perda anti maksiat di
berbagai daerah di Indonesia, sama sekali tidak dilatari oleh motivasi atau pergulatan
intelektual mendalam guna memecahkan persoalan sosial yang terjadi di masyarakat.
Hampir tidak ada perdebatan berarti soal materi perda itu. Di satu pihak, mereka
dimotivasi oleh agama, tapi di lain pihak tidak ada keinginan untuk memecahkan
persoalan masyarakat.

Sebagian besar perdaperda yang mengatur tentang miras dan prostitusi dibuat
berlatarbelakang pertimbangan isu-isu moral atau kesusilaan yang berlandaskan pada
nilai-nilai agama dan sosial budaya. Padahal ditetapkannya suatu aturan atau kebijakan
publik haruslah berlandaskan pada kepentingan dan kebaikan bersama atau general
good. Kebijakan publik yang mencoba mengontrol persoalan moralitas semacam
kesusilaan akan membuka jalan bagi lahirnya ‘polisi moral’. Persoalan moralitas tidak
bisa dilimpahkan kepada lembaga negara sebagai hakimnya. Moralitas suatu perilaku
bagian dari norma agama yang menjadi wilayah otoritas lembaga agama.

Perda-perda Miras dan Prostitusi disemangati oleh faktor nilai agama, tapi tetap
saja tidak ada pretensi apapun untuk turut menyelesaikan persoalan sosial. Misalnya
Perda Pelacuran di Kota Tangerang. Itu sama sekali tidak ada pertimbangan untuk
menyelesaikan masalah sosial yang sedang terjadi di masyarakat. Yang ada bahwa
pelacuran itu penyakit sosial yang harus dilarang. Problem prostitusi jika hendak
dipecahkan melalui kebijakan publik semestinya harus didekati dari sisi persoalan
ekonomi atau perlindungan pada pelaku sebagai korban, bukan semata penyimpangan
sosial atau moral terlebih untuk kepentingan politis jangka pendek. Keputusan
pemerintah memberlakukan peraturan daerah tentang larangan pelacuran tidak akan
efektif jika akar masalah terjadinya prostitusi, yaitu kemiskinan dan pendidikan, tidak
ditangani lebih dulu. Bahkan, jika perda tersebut diberlakukan akan menambah beban
masyarakat.

14
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan
Peraturan daerah yang mengatur tentang pelacuran atau prostitusi merebak di
banyak daerah di Indonesia seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah. Dari tahun
1999 sampai tahun 2009 telah berkembang perda pengatur prostitusi sekitar 60 perda.
Ada banyak alasan yang mendorong penetapan perda-perda tentang prostitusi. Faktor
pendorong utama adalah alasan yang didorong oleh penegakan norma moral dan
kepentingan politik. Dalam rumusan tertulis di perda sebagian besar menyatakan
pertimbangan dikeluarkannya perda pengatur prostitusi adalah untuk tujuan ketertiban
sosial yakni mengatasi perbuatan cabul atau maksiat yang melanggar norma kesusilaan
dan norma agama . Namun, selain itu ada tujuan lain yang lebih kuat yakni kepentingan
politik dari para pemegang kekhuasaan daerah baik eksekutif maupun legislatif. Sistem
pilkada langsung membuat suara rakyat menjadi sangat berharga. Cara paling efektif
untuk meraih simpati pemilih atau konstituen adalah dengan mengakomodir norma dan
praktekpraktek religi ke dalam manajemen dan kebijakan publik. Perda-perda bernuansa
moral dan agama menjadi alat yang ampuh untuk meraih dukungan konstituen dalam
upaya meraih kekuasaan maupun mempertahankan kekuasaan.

B. Saran
Demikianlah makalah Qanun Jinayah yang membahas tentang “Peraturan Daerah
(PERDA) Tentang Miras dan Prostitusi” ini, semoga dapat jadikan informasi untuk kita
semua. Pemakalah menyadari masih banyak kekurangan dalm makalah ini baik dari segi
penulisan maupun isinya, oleh karena itu kami harapkan saran dan kritikan dari teman-
teman maupun dosen pengampu yang bersifat membangun untuk lebik baik dimasa yang
akan datang.

15
DAFTAR PUSTAKA

Abdur Rahman Al-Juzairi, Al-Fiqhu ‘ala> Maza>hib Al-Arba’ah, dita’liq dan ditakhrij oleh
Mahmud bin Jamil (Kairo; Maktab Ash-Shafa 2003m/1424h) cetakan pertama, jilid2, h.
9-11

Bagir Manan. 1995. Sistem dan Teknik Pembuatan Peraturan Perundang-undangan Tingkat
Daerah. Bandung: LPPM Universitas Bandung. hlm. 8

Dian Andriasari, Studi Komparatif Tentang Zina Dalam Hukum Indonesia Dan Hukum Turki,
Jurnal Syiar Hukum FH.Unisba. Vol.XIII. No. 3 November 2011, hlm.12.
Daerah Secara Langsung Cet. Ke-1. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. hlm 131 Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal I ayat
(7).
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan), Kamus Umum Bahasa Indonesi, (Jakarta : PN Balai
Pustaka, 1984) hal 548Maria Farida Indrati S 2007. Ilmu Perundang-undangan Cet. Ke-7.
Yokyakarta: Kanisius. hlm. 202
Kartini Karto, Patalog Sosial (Jilid I),(Jakarta : Rajawali Pers, 2011) ,hlm. 128

Marzuki Wahid, Fiqh Indonesia: Kompilasi Hukum Islam dan Counter Legal Draft Kompilasi
Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia, (Bandung: Marja, 2014), hlm. 38.
Masland, Robert P., Jr. David Estridge, Apa yang Ingin Diketahui Remaja Tentang Seks,
(Jakarta : Bumi Aksara, 1987), hlm. 27.
Munajat Makhrus, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004),
hlm.93.
Prof. H. Rozali Abdullah, S. H. 2005. Pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala
W.J.S Poerdamita: (Dioleah kembali oleh pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa

16
HASIL DISKUSI

NO PERTANYAAN PENJAWAB
1 Salma Kamelia 1193060078 Ramdan Herdiana 1183060062
Pertanyaan : Mengapa prostitusi jadi Penjawab : Ada banyak alasan yang memicu
sorotan dan dijadikan perda oleh semangat pemerintah daerah untuk
pemerintah alasan kuat dan jelas selain memproduksi peraturan daerah atau perda
pertimbangan moral atau hukum adat tentang Miras dan Prostitusi. Alasan yang umum
yg ada apa yang menjadikan dikemukakan adalah pertimbangan moral.
pemerintah melihat prostitusi adalah Direktur Eksekutif the WAHID Institute Ahmad
kegiatan yang menganggu masyarakat Suaedy menegaskan bahwa pembuatan Perda-
bahkan td di lihat ada poin diambil perda anti maksiat di berbagai daerah di
kebaikan bersama sedangkan kita Indonesia, sama sekali tidak dilatari oleh
ketahui prostitusi dilakukan secara motivasi atau pergulatan intelektual mendalam
terorganisir dan berlakunya jual beli guna memecahkan persoalan sosial yang terjadi
sendiri, tanpa merugikan daerah itu di masyarakat. Hampir tidak ada perdebatan
tersendiri. berarti soal materi perda itu. Di satu pihak,
Dan kita ketahui juga sedangkan mereka dimotivasi oleh agama, tapi di lain pihak
adanya peraturan larangan miras jelas tidak ada keinginan untuk memecahkan
karena akan adanya dampak dr mabuk persoalan masyarakat.
tsb exp mengganggu ketertiban Sebagian besar perdaperda yang mengatur
masyarakat dgn terjadinya perlakuan tentang miras dan prostitusi dibuat
yang diluar kendali yang dilakukan berlatarbelakang pertimbangan isu-isu moral
oleh pelaku tsb. atau kesusilaan yang berlandaskan pada nilai-
nilai agama dan sosial budaya. Padahal
ditetapkannya suatu aturan atau kebijakan publik
haruslah berlandaskan pada kepentingan dan
kebaikan bersama atau general good. Kebijakan
publik yang mencoba mengontrol persoalan
moralitas semacam kesusilaan akan membuka
jalan bagi lahirnya ‘polisi moral’. Persoalan
moralitas tidak bisa dilimpahkan kepada
lembaga negara sebagai hakimnya. Moralitas
suatu perilaku bagian dari norma agama yang
menjadi wilayah otoritas lembaga agama.

2 Fazrin Khoerunnisa 1193060033 Reka Nisa Nusantara 1183060065

17
Pertanyaan : Bagaimana legalitas Penjawab : Sejauh ini kami tidak menemukan
lokalisasi tempat pelacuran yang adanya legalitas mengenai tempat
bahkan dilakukan dan/atau diketahui pelacuran/prostitusi. Terkait dengan tempat
pemerintah? Bukankah rumah prostitusi yang Anda maksud, maka dalam hal
pelacuran melanggar KUHPidana? ini kami menganggap bahwa pemerintah itu
sendiri telah melanggar kebijakan yang telah
dibentuknya. Pemerintah hendaknya bersikap
tegas terhadap keberadaan tempat prostitusi.
Perlu Anda ketahui, beberapa daerah di
Indonesia telah menuangkan peraturan daerah
terkait upaya pemberantasan prostitusi. Sebagai
contoh, Pemerintah Daerah Provinsi Daerah
Khusus Ibukota (DKI) Jakarta telah mengatur
mengenai larangan prostitusi dalam Peraturan
Daerah DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007
tentang Ketertiban Umum (“Perda DKI
8/2007”).
KUHP sendiri memiliki kelemahan yakni hanya
menjatuhkan hukuman kepada muncikari atau
germo yang menjual seseorang yang ada di
dalam kegiatan prostitusi.
Jadi ketentuan KUHP masih ada kekosongan
hukum bagi pengguna atau pemakai dari jasa
PSK baik pidana penjara maupun denda,
sehingga untuk pelakunya dijatuhi hukuman
berdasarkan peraturan daerah masing-masing.

3 Aliea Aqshalina Apriliani Widia Maesaroh 1183060084


1193060008 Penjawab : Untuk Lembaga Pengadilan harus
Pertanyaan : Izin bertanya, Sudah lebih giat untuk memberantas aksi prostitusi
sejauh mana dan seefektif mana tersebut. Karena pekerjaan tersebut dapat
peraturan miras dan pelacuran ini di merusak moral dan merusak citra bangsa kita.
terapkan? Sehubungan dengan Keberadaan prostitusi terselubung tersebut
semakin maraknya miras dan seharusnya menjadi bagian PR Lembaga Hukum
prostitusi saat ini. yang terdapat di Kota. Karena ke eksisannya
tidak begitu dipermasalahkan, padahal pekerjaan
tersebut jelas merusak moral manusia

18
19

Anda mungkin juga menyukai