Anda di halaman 1dari 18

KELOMPOK 9 (IX)

HUKUM PEMERINTAHAN DAERAH


Produk Hukum Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan
Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Pemerintahan Daerah
Dosen Pengampu:
Nur Habibi M.H

Disusun oleh:

Andi Erni Suciawan (11200453000020)


Muhammad Rosid (11200453000029)
M. Ilham Farhansyah (11200453000044)
Rahmat Hidayat (11200453000046)
Ahmad Syafiq Maulana (11200480000022)

JURUSAN HUKUM TATA NEGARA DAN ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2023 M / 1445 H

1
KATA PENGANTAR

Assalammu’alaikum Wr.Wb

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat,
hidayah, dan karunia-Nya, dan tak lupa junjungan Nabi besar kita Nabi Muhammad SAW yang
telah membimbing umatnya dari kegelapan menuju jalan yang terang-benderang, sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Kami juga mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan dan bantuan selama proses penulisan
makalah ini yang berjudul “Produk Hukum Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas
Pembantuan.”
Makalah ini kami susun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum
Pemerintahan Daerah. Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Nur Habibi M.H selaku
dosen pengampu mata kuliah Hukum Pemerintahan Daerah yang telah mengajari dan
membimbing kami sehingga dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Kami sadar bahwa makalah ini tidak luput dari kekurangan dan keterbatasan. Oleh
karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna perbaikan di
masa mendatang.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberikan kontribusi yang bermanfaat dalam
pemahaman lebih lanjut tentang topik yang dibahas. Terima kasih atas perhatian dan waktu
yang telah diberikan untuk membaca makalah ini.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Ciputat, 21 September 2023

Kelompok 9

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... 2

DAFTAR ISI .................................................................................................................... 3

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ...................................................................................................... 4


B. Rumusan Masalah ................................................................................................. 5
C. Tujuan Penulisan ....................................................................................................5

BAB II

PEMBAHASAN

A. Beberapa Produk Hukum Daerah Otonom ............................................................ 6


B. Wewenang dan Prakarsa Pembentukan Peraturan Daerah ................................... 10
C. Mekanisme Pembentukan Produk Hukum Daerah (Perda) .................................. 11

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................17

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sistem penyelenggaraan pemerintahan di tingkat daerah dilakukan dengan mengikuti prinsip


desentralisasi, yang berasal dari kata Latin 'de', yang artinya 'lepas', dan 'centrum', yang artinya 'pusat'.
Jadi, desentralisasi secara harfiah berarti pemisahan dari pusat. Terkait dengan konsep ini, terdapat juga
istilah otonomi, yang berasal dari kata Yunani 'autos' yang berarti 'sendiri' dan 'nomos' yang berarti
'undang-undang', yang mengacu pada kemampuan untuk membuat undang-undang sendiri.1 Pengertian
otonomi daerah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti bahwa hak, wewenang, dan
kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan
perundangundangan yang berlaku2. Konsep ideal yang tercantum dalam masing-masing undang-
undang, terutama UU No. 5 Tahun 1974 yang menjadi patokan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi
daerah di Indonesia pada masa Orde Baru, belum dapat dilaksanakan sesuai dengan yang diharapkan.
Hal ini karena meskipun Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 telah memberikan penekanan pada daerah
tingkat II sebagai basis pelaksanaan otonomi daerah, tetapi pada kenyataannya pemerintah pusat dan
pemerintah daerah tingkat I masih memegang kendali kekuasaan secara signifikan3.

kehadiran Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tenang pemerintahan daerah diyakini akan mampu
menciptakan stabilitas daerah. Dengan demikian Eksekutif diberi kewenangan yang sangat besar
sebagai penguasa tunggal di daerah4. Kewenangan yang ada pada daerah adalah merupakan pelimpahan
kewenangan dari Pemerintah Pusat yang berasas kesamaan. Artinya kewenangan yang dilimpahkan
kepada daerah sebagai konsekuensi Otonomi Daerah harus mempunyai nilai yang sama. Dalam artian
tidak ada perbedaan antara satu daerah dengan daerah yang lain yang menjadi kewenangan pusat.
Demikian pula kesamaan itu diartikan dalam pelaksanaan yang harus sesuai dengan batas-batas yang
telah ditentukan oleh Pemerintah Pusat. Daerah sebagai kawasan yang memperoleh pelimpahan

1
Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah, Pasang Surut Hubungan Kewenangan Antara DPRD Dan Kepala
Daerah PT Alumni Bandung 2008. hal. 21.
2
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2001.
Hal 805
3
Budi Winamo, Jurnal Implementasi Konsep Reiventing Government dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah hal.
176
4
Andi Sagala, Jurnal Model Otonomi Daerah pada Masa Orde Lama Orde Baru dan Reformasi di Negara
Kesatuan Republik Indonesia, h. 3)

4
kewenangan harus melaksanakannya dengan tidak mengurangi makna kekuasaan pusat yang
memegang otoritas kedaulatan sebagai cermin dari kekuasaan di dalam Negara Kesatuan5.

Dalam teori, ada metode untuk menciptakan hukum yang berkualitas menurut Leopold
Pospisil. Menurutnya, hukum yang baik adalah hukum yang sebagian besar berasal dari
common law (hukum masyarakat), tetapi disusun dalam bentuk authoritarian law (hukum
otoritarian). Pendekatan lain yang dijelaskan adalah Formelle theorie oleh Rick Dikersoern.
Akhirnya, ada pandangan Filosofische thoerie oleh Jeremy Bentham yang menyatakan bahwa
hukum dapat berlaku lama dan dihormati oleh masyarakat jika memiliki dimensi filosofis,
sosiologis, dan yuridis. Jika suatu produk hukum ada yang tidak memiliki salah satu dari sifat
yang berlaku tanpa mempertimbangkan faktor-faktor sosial, maka dapat disimpulkan bahwa
produk hukum tersebut memiliki kualitas yang rendah.

B. Rumusan Masalah

1. Apa saja contoh dari Produk Hukum Daerah Otonom ?

2. Apa yang dimaksud Wewenang dan Prakarsa didalam Pembentukan Peraturan Daerah?

3. Bagaimana Mekanisme dari Pembentukan Produk Hukum Daerah (Perda) ?

C. Tujuan Penulisan

1. Dalam rangka menjelaskan dan merumuskan dasar hukum serta mekanisme Pembentukan
Produk Hukum Daerah.

2. Sebagai dasar dan panduan dalam proses penyusunan Produk Hukum Daerah.

5
Dr. Suriansyah Murhani, S.H., M.H. Aspek Hukum Pengawasan Pemerintahan Daerah. Palangkaraya;
Laksbang Mediatama. 2008. Hlm.8.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Beberapa Produk Hukum Daerah Otonom


1. Jilbab Dalam Pasal 13 Ayat 1 Qanun Aceh No.11 Tahun 2002
Indonesia sebagai Negara hukum dalam sejarah penerapan hukumnya mengenal
3 (tiga) sumber hukum yaitu sumber hukum yang berasal dari barat, hukum Islam
dan Hukum adat. Hukum Islam yang berlaku di Indonesia ternyata tidak saja yang
berlaku secara yuridis formal, yakni menjadi hukum positif berdasarkan atau
karena ditunjuk oleh peraturan perundang-undangannamun juga yang berlaku
secara normatif seperti hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan
Kedua norma tersebut telah menjadi hukum yang hidup (living law) di dalam
masyarakat hal ini mengingat bukan saja karena hukum Islam merupakan entitas
agama yang dianut oleh mayoritas penduduk hingga saat ini, akan tetapi dalam
dimensi amaliahnya di beberapa daerah telah menjadi bagian tradisi (adat)
masyarakat yang terkadang dianggap sakral seperti di Sumatera Barat dikenal
adanya istilah "adat bersendi syara, Syara bersendi kitabullah". Hukum Islam
sebagai salah satu sumber hukum serta tetap hidup di masyarakat Indonesia, telah
mengalami pasang surut sesuai dengan kondisi politik yang adaSyariat Islam telah
menjadi sejarah yang Panjang.6
Semenjak zaman kerajaan-kerajaan bahkan sampai pada masa kemerdekaan
penegakan Syariat Islam terus di perjuangkan khususnya di AcehKekuasaan tidak
terbatas yang dimiliki Sultan dalam m elaksanakan hukum Islam menyebabkan
hukum Islam yang ada di Aceh berubah menjadi adat. Sebagai adat ia terkadang
melangkah jauh melebihi hukum Islam itu sendiri bahkan cenderung menjadi
"hukum Sultan". Dalam konteks ini maka Sultan seolah memiliki hak yang tidak
terbatas dalam melaksanakan hukum kepada orang yang bersalah, terutama orang
yang tidak taat kepada sultan. Dalam Bustan al-Salatin. Nuruddin ar-Raniry
mengatakan: segala yang berbuat khianat akan segala raja-raja tak dapat tiada
datang jua ke atas mereka itu murka Allah Ta'ala fadhihat, hubaya-hubaya hal

6
Kamarusdiana, Qanun Jinayat Aceh Dalam Perspektif Negara Hukum Indonesia, Vol. XVI, No.2, h. 151

6
segala hamba Allah, jangan kamu berbuat khianat akan segala raja-raja, tak dapat
tiada pekerjaan yang demikian itu dinyatakanAllah Ta'ala juga kepadanya
Pada tanggal 9 Agustus 2001, Presiden Megawati Soekamo Putri
menandatangani UU Nomor 18 Tahun 2001, yang lebih dikenal dengan UU
Otonomi Khusus Nanggroe Aceh DarussalamTerlepas dari plus minusnya UU
tersebut, yang terpenting mengenai penerapan syariat Islam adalah membenarkan
pembentukan Mahkamah Syar'iyah baik pada tingkat rendah (Sagoe) atau pun
tingkat tinggi (Nanggroe) yang wewenangnya dapat meliputi seluruh bidang
syariat yang berkaitan dengan peradilan. Untuk penerpan UU tersebut, sudah
ditetapkan Qanun Nomor 43 Tahun 2001 Tentang Perubahan Pertama atas Qanun
Nomor 3 Tahun 2000 Tentang Pembentukan Oraganisasi dan Tatakerja MPU,
Qanun Nomor 33 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Susunan dan Tatakerja Dinas
Syariat Islam Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Qanun Nomor 10 Tahun 2002
Tentang Peradilan Syariat Islam. Qanun Nomor 11 Tahun 2002 Tentang
Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam, dan Qanun
Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan7
Dasar hukum dan pengakuan Pemerintah untuk pelaksanaan Syari'at Islam di
Aceh, didasarkan atas UU No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU No18 tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe
Aceh DarussalamPelaksanaan Syari'at Islam di Aceh telah diatur dalam Undang-
undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah
Istimewa Aceh sebagai Nanggroe Aceh Darussalam, pasal 31 disebutkan:8
a) Ketentuan pelaksanaan undang-undang ini yang menyangkut
kewenangan Pemerintah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
b) Ketentuan Pelaksanaan undang-unang ini yang menyangkut
kewenangan Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
ditetapkan dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Peraturan pelaksanaan untuk penyelenggaraan otonomi khusus yang berkaitan


dengan kewenangan pemerintah pusat akan diatur dengan Peraturan

7
Amran Suadi, dan Mardi Candra, Politik Hukum Perspektif Hukum Perdata dan Pidana Islam Serta Ekonomi
Syariah, (Jakarta: Kencana, 2016), h.418
8
Marzuki Abubakar, “Syariat Islam Di Aceh Sebuah Model Kerukunan dan Kebebasan Beragama”, Vol. XIII,
No. 1, h.102

7
PemerintahKemudian Undang-undang menetapkan Qanun Provinsi sebagai
peraturan pelaksanaan untuk penyelenggaraan otonomi khusus yang menjadi
wewenang Pemerintah provinsiUntuk membuat Qanun, Pemerintah Provinsi tidak
perlu menunggu peraturan pemerintah atau peraturan lainnya dari Pemerintah
PusatQanun adalah peraturan daerah untuk melaksanakan otonomi khusus yang
dapat mengeyampingkan peraturan perundang-undangan yang lain berdasarkan
asas "peraturan khusus dapat mengenyampingkan peraturan umum". Dengan kata
lain, Qanun adalah peraturan daerah yang setingkat dengan peraturan pemerintah
untuk melaksanakan otonomi khusus di Aceh. Sehingga produk hukum daerah itu
bisa saja dalam bentuk penetapan adalah Keputusan Kepala Daerah, Keputusan
DPRD Keputusan Pimpinan DPRD, dan Keputusan Badan Kehormatan Badan
DPRD9.

Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002 yang berisi
tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syi'ar Islam
merupakan sumber yang digunakan untuk peraturan tentang JilbabJilbab dalam
Islam termasuk syi'ar Islam. Sebagaimana yang dikemukan dalam Qanun Nomor
11 Tahun 2002 Bab I Tentang Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat 5 dan Bab V
Penyelenggaraan Syi'ar Islam pasal 13 ayat 1 dan 2.10

2. Perda Kota Tangerang Tentang Pelarangan Pelacuran Nomor 8 Tahun 2005


Menurut Ramdan Lubis (Bagian Hukum dan Perundang-Undangan), Peraturan
Daerah Kota Tangerang ini lahir karena Tangerang merupakan wilayah penyangga
Ibu Kota dan berbatasan langsung dengan Ibu Kota Jakarta, tidak manutup
kemungkinan Budaya-budaya di Ibu kota masuk ke Tangerang termasuk Prostitusi,
timbullah usulan masyarakat tangerang termasuk atas usulan Walikota untuk
mengatur masalah pelacuran, karena dalam Hukum Pidana hanya mengatur dan
memeberikan sanksi pidana terhadap germo dan mucikariUntuk mengatur
Pelacuran yang ada di Kota Tangerang dengan membuat perda Kota Tangerang No
8 Tahun 2005 tentang pelarangan pelacuran yang bertujuan untuk mencegah
prostitusi masuk ke Tangerang dan mengatur prostitusi yang sudah ada meliputi;
pelaku pelacuran, germo dan tempat yang terjadi adanya prostitusiDengan misi
Kota Tangerang masyarakat yang berakhlakul karimah.

9
Anggraeni, Recca, Produk Hukum Daerah: pada dan bagaimana seharusnya.
10
http://www.jdih.setjen.kemendagri.go.id/files/P_ACEH_11_2002.pdf

8
Sebagai landasan hukum dalam penetapan Perda Kota Tangerang No. 81 Tahun
2005 tentang Pelarangan Pelacuran adalah sebagai berikut:
a) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan Ketentuan
Pokok Kesejahteraan Sosial (LNRI Tahun 1974 Nomor 53 Tambahan
LNRI Nomor 3039)
b) UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP (LNRI Tahun 1981 Nomor 76
Tambahan LNRI Nomor 3209)
c) UU No 2 Tahun 1993 tentang pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat
II Tangerang (LNRI Tahun 1993 Nomor 18, Tambahan LNRI nomor
3518)
d) UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan (LNRI Tahun 2004 No 53 Tambahan LNRI 4389
e) UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (LNRI Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan LNRI Nomor 4437
f) PP No 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP (LNRI Tahun 1983
No 36)
g) PP No 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (LNRI Tahun 2000 No
54Tambahan LNRI Nomor 3952)
h) PP No 18 Tahun 2000 tentang Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan
(Lembaran Daerah Kota Tangerang Tahun 2000 Nomor 4 seri C

Hukum pidana hanya melarang mereka yang membantu dan menyediakan


pelayanan seks secara illegal seperti tertera pada KUHP pasal 296,297 dan 506
KUHP juga melarang perdagangan wanita dan anak-anak di bawah umur Demikian
pula dalam Rancangan KUHP hanya melarang mereka yang membantu dan
menyediakan pelayanan seks secara ilegal, artinya larangan hanya diberikan untuk
mucikari atau germo.

Meskipun demikian hukum pidana tetap merupakan dasar dari peraturan-


peraturan dalam industri seks di Indonesia. Karena larangan memberikan
pelayanan seksual khususnya terhadap praktek-praktek pelacuran tidak ada dalam
hukum Negaramaka peraturan dalam Industri seks ini cenderung didasarkan pada
peraturan- peraturan yang dikeluarkan pemerintah daerah, baik pada tingkat
Propinsi, Kabupatendan Kecamatan, dengan mempertimbangkan reaksi, aksi dan

9
tekanan berbagai organisasi masyarakat yang bersifat mendukung dan menentang
pelacuran tersebut.

Penanggulangan pelacuran di Kota Tangerang merupakan masalah yang


kompleks dan rumit, karena masalah pelacuran menyangkut kehidupan manusia
yang disebabkan oleh berbagai aspek seperti sosial, budayaekonomi, ketertiban dan
keamanan lingkunganPenanggulanagan pelacuran dikatakan rumit. karena
menyangkut sikap mental sehingga penanggulangannya harus secara professional
dengan rencana yang matang serta pelaksanaan kegiatan yang terarah, terpadu dan
berkesinambungan.11

B. Wewenang dan Prakarsa Pembentukan Peraturan Daerah

Wewenang dan prakarsa pembentukan peraturan daerah (perda) adalah bagian penting
dari proses legislasi di tingkat daerah. Berikut penjelasan singkatnya:

1. Wewenang Pembentukan Perda:

- Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD): DPRD memiliki wewenang utama untuk
mengusulkan, membahas, dan mengesahkan peraturan daerah. Ini adalah badan legislatif di
tingkat daerah yang mewakili kepentingan rakyat setempat.12

- Kepala Daerah: Kepala daerah, seperti gubernur atau bupati, juga dapat mengusulkan
rancangan perda kepada DPRD atau memberikan masukan dalam proses pembentukan perda.

2. Prakarsa Pembentukan Perda:

- DPRD: DPRD dapat menginisiasi pembentukan perda melalui anggota-anggotanya.


Biasanya, ini terjadi sebagai respons terhadap masalah atau kebutuhan tertentu yang relevan
dengan wilayah setempat.

Kepala Daerah:

Kepala daerah dapat menginisiasi pembentukan perda jika mereka menganggap ada kebutuhan
untuk mengatur sesuatu dalam yurisdiksi mereka.

11
Ety Lusiana “Respon Masyarakat Kota Tangerang Terhadap Peraturan Daerah Kota Tangerang No. 8 Tahun
2005 Tentang Pelarangan Pelacuran” Skripsi Mahasiswa S-1 Fakultas Syariah & Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, h. 54-58
12
Freddy Poernomo, Hukum Pemerintahan Daerah. (Surabaya: Airlangga University Press, 2020)

10
- Masyarakat dan Pihak Terkait: Kadang-kadang, masyarakat atau kelompok-kelompok
tertentu juga dapat mengusulkan pembentukan perda melalui inisiatif rakyat atau keterlibatan
dalam konsultasi publik. Atribusi tersebut bersifat terus-menerus dan dapat dilaksanakan kapan
saja atas prakarsa sendiri saat diperlukan. Atribusi kewenangan pembentukan perda dapat
dilihat dari rumusan Pasal 236 UU 23/2014 sebagai berikut:

1. Untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan, Daerah


membentuk Perda.

2. Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh DPRD dengan
persetujuan bersama kepala Daerah.

3. Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat materi muatan:

a. penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan; dan

b. penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan


yang lebih tinggi.

4. Selain materi muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Perda dapat
memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.13

Proses pembentukan perda melibatkan tahap-tahap seperti penyusunan rancangan


perda, pembahasan di DPRD, konsultasi publik, dan pengesahan. Sumber daya hukum yang
digunakan untuk informasi lebih lanjut tentang wewenang dan prakarsa pembentukan perda
termasuk undang-undang atau peraturan daerah setempat yang mengatur proses ini.

C. Mekanisme Pembentukan Produk Hukum Daerah (Perda)

Dalam pembentukan Produk Hukum pastilah ada dasar hukum yang mengatur bagaimana
mekanisme atau cara membentuk produk hukum yang baik dan benar. Proses atau mekanisme
pembentukan perundang-undangan itu diatur dalam beberapa Undang-Undang, seperti:
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peratutan Perundang-Undangan,
kemudian Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah, dan Peraturan
Presiden No. 87 Tahun 2014 Tentang Pembentukan Peraturan perundang- Undangan14. Jadi

13
UU NO. 23 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU Tahun 2004 Pemerintahan Daerah
14
Dalimunthe, Dermina. "Proses Pembentukan Undang-Undang Menurut UU No. 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan." Jurnal AL-MAQASID: Jurnal Ilmu Kesyariahan dan
Keperdataan 4.2 (2018): Hal 59-75.

11
dengan adanya dasar hukum ini menjadikan adanya legitimasi untuk pejabat daerah untuk
melakukan pembentukan Peraturan-peraturan yang berskala regional daerah, tapi tetap
meskipun bersifat regional tidak keluar dari apa yang sudah menjadi ketetapan umum
sebagaimana yang termaktub dalam Undang-Undang sebagai dasar hukum. Tapi dengan
adanya keleluasaan ini tak menghilangkan tujuan hukum yang harus bersifat bermanfaat degan
tujuan agar pembentukan Undang-Undang dapat menghasilkan suatu Undang-Undang yang
berkualitas yang berlandaskan landasan Yuridis, sosiologis, dan filosofis15.

Peraturan daerah juga merupakan salah satu instrument bagi pemerintah daerah dalam
melaksanakan rumah tangganya sendiri di lingkup yang lebih kecil yang mana tetap saja system
otonominya bersifat benar-benar nyata dan bertanggung jawab dan juga bahwa ruang lingkup
kewenangan Pemerintah Daerah dalam membuat Peraturan Daerah telah diberika Batasan
berdasarkan Undang-Undang sehingga jika peraturan daerah yang dikeluarkan tidak sesuai
dengan Batasan yang telah diberikan oleh Undang-Undang maka bisa dipastikan cacat
hukum.16 Sehingga dalam hal ini setiap daerah di Indonesia memiliki peraturan daerah yang
hanya berlaku di daerah tersebut, tidak bisa suatu peraturan dalam daerah itu juga diberlakukan
secara rata untuk daerah-daerah yang lain di Indonesia. Dalam hal ini juga bahwa Peraturan
Daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, Peraturan Daerah lain dan
Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi dan ini sudah jelas juga diatur dalam
Undang-Undang, dan untuk lebih jelasnya bisa membaca Undang-Undang yang telah
disebutkan17.

Mekanisme penyusunan Peraturan Daerah terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu:18

1. Perencanaan

2. Penyusunan

3. Pembahasan

4. Pengesahan

5. Penetapan

15
Bagir Manan , “Dasar-dasar Konstitusional Peraturan Perundang-undangan Nasional”, Padang: Fakultas
Hukum Universitas Andalas, 1994, Hal. 13-21.
16
Rudy, “Hukum Pemerintahan Daerah Perspektif Konstitusionalisme Indonesia”, Bandar Lampung: Indepth
Publishing 2012, Hal 79
17
Supriady dan Dadang Sholihi, “Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah”Jakarta, 2001, Hal 23
18
Huda, Ni’matul, “Hukum Pemerintah Daerah”, Cet II, Bandung: Nusa Media, 2010

12
6. Pengundangan

1. Tahap perencanaan

a. Perencanaan Penyusunan Prolegda

Untuk tahapan perencanaan dalam hal ini disusun oleh Prolegda atau yang biasa kita kenal
dengan Program Legislatif Daerah. Baik Peraturan Daerah yang ber-skala Provinsi maupun
Kabupaten/Kota yang memuat program pembentukan Peraturan Daerah Provinsi dengan judul
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan
peraturan perundang-undangan lainnya. Khusus materi yang diatur, merupakan keterangan
mengenai konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang meliputi:

a. Latar belakang dan tujuan penyusunan;

b. Sasaran yang ingin diwujudkan;

c. Pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur;

d. Jangkauan dan arah pengaturan

Dalam hal ini materi yang telah melalui pengkajian dan penyelarasan dituangkan dalam
Nakah Akademik. Dari Naskah Akademik ini berisi hasil penelitian atau pengkajian yang mana
bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah suatu permasalahn yang ada di Daerah atau Kota
dan dari Naskah Akademik ini kemudian dituangkan dalam Rancangan Perundang-Undangan
tingkat Provinsi yang menjadi solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum msyarakat.
Dalam hal ini Prolegnas di susun bersama- sama antara kepala daerah masing-masing daerah
dan DPRD.

b. Perencanaan Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Kumulatif terbuka

a. Akibat Putusan Mahkamah Agung dan

b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi atau Kotamadya

c. Perencanaan Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah di luar Prolegda

Dalam keadaan tertentu, DPRD Provinsi atau Gubernur dapat mengajukan Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi di luar Prolegda Provinsi seperti:

a. Untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam;

13
b. Akibat kerja sama dengan pihak lain, dan

c. Keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi atas suatu Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi yang daapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan
DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi dan biro hukum.

2. Tahap Penyusunan PERDA

Dimulai dengan penyusunan rancangan PERDA itu sendiri. Rancangan bisa diajukan oleh
kepala daerah missal di tingkat I oleh Gubernur, sedangkan tingkat II oleh Bupati atau
Walikota, selain itu bisa diajukan ole DPRD baik ditingkat I maupun II. Rancangan Peraturan
Daerah sebagaimana diaksud disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/Naskah
Akademik mengenai:

a. Anggaran Pendapatan dan belanja daerah

b. Pencabutan Peraturan Daerah

c. Perubahan Peraturan Daerah yang hanya terbatas mengubah beberapa materi

3. Tahap Pembahasan Peraturan Daerah

Setelah tahapan perencanaan dan penyusunan, selanjutnya masuk dalam pembahasan yang
isinya adalah :

a. Pembahasan Rancangan PERDA Provinsi dilakukan oleh DPRD Provinsi bersama


Gubernur.

b. Pembahasan bersama tidak dilakukan melalui tingkat-tingkat pembicaraan.

c. Tingkat-tingkat pembicaraan dilakukan dalam rapat Komisi/panitia/badan/alat


kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat
paripurna.

d. Rancangan PERDA Provinsi dapat ditarik Kembali sebelum dibahas bersama oleh
DPRD Provinsi dan Gubernur.

e. Rancangan PERDA Provinsi yang sedang dibahas hanya dapat ditarik Kembali
berdasarkan persetujuan bersama DPRD Provinsi dan Gubernur.

14
4. Penetapan dan Pengundangan PERDA

Tata cara penetapan dan pengundangan PERDA sebagai berikut:

a. Rancangan PERDA Provinsi yang telah disetujui bersama oleh DPRD Provinsi dan
Gubernur disampaikan oleh pimpinan DPRD Provinsi kepada Gubernur untuk
ditetapkan menjadi PERDA Provinsi.

b. Penyampaian Rancangan PERDA Provinsi dilakukan dalam jangka waktu paling


lama tujuh hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.

c. Rancangan PERDA Provinsi ditetapkan oleh Gubernur dengan membubuhkan tanda


tangan dalam jangka waktu paling lama tiga puluh hari sejak Rancangan PERDA
Provinsi tersebut disetujui bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur.

d. Dalam hal Rancangan PERDA Provinsi sebagaimana tidak ditandatangani oleh


Gubernur dalam waktu tiga puluh hari sejak Rancangan PERDA Provinsi tersebut
disetujui bersama, maka Rancangan PERDA Provinsi tersebut sah menjadi PERDA
dan wajib diundangkan.

e. Dalam hal sahnya Rancangan PERDA Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
kalimat pengesahannya berbunyi: peraturan Daerah ini diyantakan sah.

f. Kalimat pengesahan harus dibubuhkan pada halama terakhir PERDA Provinsi


sebelum pengudangan Naskah PERDA Provinsi dalam Lembaran Daerah.

g. Untuk PERDA Kotamadya ataupun Kabupaten juga sama prosesnya. Sedang untuk
pengundangan, PERDA diundangkan dalam bentuk Lembaran Daerah, dan itu
dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah.

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Beberapa Produk Hukum Daerah Otonom contohnya ialah perda Jilbab Dalam Pasal 13
Ayat 1 Qanun Aceh No.11 Tahun 2002, Perda Kota Tangerang Tentang Pelarangan Pelacuran
Nomor 8 Tahun 2005, dll. Wewenang dan prakarsa pembentukan peraturan daerah (perda)
adalah bagian penting dari proses legislasi di tingkat daerah. Di dalam DPRD wewenang yang
dimaksud ialah wewenang utama untuk mengusulkan, membahas, dan mengesahkan peraturan
daerah. Ini adalah badan legislatif di tingkat daerah yang mewakili kepentingan rakyat
setempat, sedangkan prakarsa didalam pembentukan DPRD yang dimaksud ialah DPRD dapat
menginisiasi pembentukan perda melalui anggota-anggotanya. Biasanya, ini terjadi sebagai
respons terhadap masalah atau kebutuhan tertentu yang relevan dengan wilayah setempat,
merujuk ke kepala daerah dan masyarakat yang memiliki keterkaitan. Mekanisme
Pembentukan Produk Hukum Daerah (Perda) ada beberapa tahapan, diantaranya yaitu: Tahap
perencanaan, Tahap Penyusunan PERDA, Tahap Pembahasan Peraturan Daerah, Tahap
Pengesahan, Tahap Penetapan dan Tahap Pengundangan PERDA.

16
DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Jurnal:

Abubakar, Marzuki. "Syariat Islam Di Aceh Sebuah Model Kerukunan dan Kebebasan
Beragama." Vol. XIII, No. 1,

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, 2001.

Budi Winamo, Jurnal Implementasi Konsep Reiventing Government dalam Pelaksanaan


Otonomi Daerah

Andi Sagala, Jurnal Model Otonomi Daerah pada Masa Orde Lama Orde Baru dan Reformasi
di Negara Kesatuan Republik Indonesia

Dalimunthe, Dermina. "Proses Pembentukan Undang-Undang Menurut UU No. 12


Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan." Jurnal AL-MAQASID:
Jurnal Ilmu Kesyariahan dan Keperdataan 4.2 (2018):

Huda, Ni'matul. "Hukum Pemerintah Daerah." Cet. II, Bandung: Nusa Media: 2010.

Juanda. (2008). Hukum Pemerintahan Daerah: Pasang Surut Hubungan Kewenangan


Antara DPRD Dan Kepala Daerah. PT Alumni: Bandung.

Kamarusdiana. "Qanun Jinayat Aceh Dalam Perspektif Negara Hukum Indonesia." Vol.
XVI, No. 2

Manan, Bagir. "Dasar-dasar Konstitusional Peraturan Perundang-undangan Nasional."


Padang: Fakultas Hukum Universitas Andalas, 1994,.

Poernomo, Freddy. "Hukum Pemerintahan Daerah." Surabaya: Airlangga University


Press, 2020.

Rudy. "Hukum Pemerintahan Daerah Perspektif Konstitusionalisme Indonesia."


Bandar Lampung: Indepth Publishing, 2012,

Suadi, Amran, dan Mardi Candra. "Politik Hukum Perspektif Hukum Perdata dan
Pidana Islam Serta Ekonomi Syariah." Jakarta: Kencana, 2016

Supriady dan Dadang Sholihi. "Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah."


Jakarta, 2001

17
Dr. Suriansyah Murhani, S.H., M.H. Aspek Hukum Pengawasan Pemerintahan Daerah.
Palangkaraya; Laksbang Mediatama. 2008

Anggraeni, Recca. 2015. Produk Hukum Daerah; pada dan bagaimana seharusnya

MPR RI. Hubungan Pusat dan Daerah. 2022. Jakarta : Badan Pengkajian MPR RI

Muhtadi, Dani 2016 Produk Hukum Daerah (online) (diupdate 20 september 2022)

Skripsi:

Ety Lusiana “Respon Masyarakat Kota Tangerang Terhadap Peraturan Daerah Kota
Tangerang No. 8 Tahun 2005 Tentang Pelarangan Pelacuran” Skripsi Mahasiswa S-1 Fakultas
Syariah & Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

Undang-Undang:

Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU Tahun 2004


Pemerintahan Daerah
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peratutan Perundang-
Undangan
Peraturan Presiden No. 87 Tahun 2014 Tentang Pembentukan Peraturan perundang-
Undangan
Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 ayat (6)

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk
Hukum Daerah

Website:

http://www.jdih.setjen.kemendagri.go.id/files/P_ACEH_11_2002.pdf

18

Anda mungkin juga menyukai