Disusun oleh:
1
KATA PENGANTAR
Assalammu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat,
hidayah, dan karunia-Nya, dan tak lupa junjungan Nabi besar kita Nabi Muhammad SAW yang
telah membimbing umatnya dari kegelapan menuju jalan yang terang-benderang, sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Kami juga mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan dan bantuan selama proses penulisan
makalah ini yang berjudul “Produk Hukum Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas
Pembantuan.”
Makalah ini kami susun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum
Pemerintahan Daerah. Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Nur Habibi M.H selaku
dosen pengampu mata kuliah Hukum Pemerintahan Daerah yang telah mengajari dan
membimbing kami sehingga dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Kami sadar bahwa makalah ini tidak luput dari kekurangan dan keterbatasan. Oleh
karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna perbaikan di
masa mendatang.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberikan kontribusi yang bermanfaat dalam
pemahaman lebih lanjut tentang topik yang dibahas. Terima kasih atas perhatian dan waktu
yang telah diberikan untuk membaca makalah ini.
Kelompok 9
2
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................17
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
kehadiran Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tenang pemerintahan daerah diyakini akan mampu
menciptakan stabilitas daerah. Dengan demikian Eksekutif diberi kewenangan yang sangat besar
sebagai penguasa tunggal di daerah4. Kewenangan yang ada pada daerah adalah merupakan pelimpahan
kewenangan dari Pemerintah Pusat yang berasas kesamaan. Artinya kewenangan yang dilimpahkan
kepada daerah sebagai konsekuensi Otonomi Daerah harus mempunyai nilai yang sama. Dalam artian
tidak ada perbedaan antara satu daerah dengan daerah yang lain yang menjadi kewenangan pusat.
Demikian pula kesamaan itu diartikan dalam pelaksanaan yang harus sesuai dengan batas-batas yang
telah ditentukan oleh Pemerintah Pusat. Daerah sebagai kawasan yang memperoleh pelimpahan
1
Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah, Pasang Surut Hubungan Kewenangan Antara DPRD Dan Kepala
Daerah PT Alumni Bandung 2008. hal. 21.
2
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2001.
Hal 805
3
Budi Winamo, Jurnal Implementasi Konsep Reiventing Government dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah hal.
176
4
Andi Sagala, Jurnal Model Otonomi Daerah pada Masa Orde Lama Orde Baru dan Reformasi di Negara
Kesatuan Republik Indonesia, h. 3)
4
kewenangan harus melaksanakannya dengan tidak mengurangi makna kekuasaan pusat yang
memegang otoritas kedaulatan sebagai cermin dari kekuasaan di dalam Negara Kesatuan5.
Dalam teori, ada metode untuk menciptakan hukum yang berkualitas menurut Leopold
Pospisil. Menurutnya, hukum yang baik adalah hukum yang sebagian besar berasal dari
common law (hukum masyarakat), tetapi disusun dalam bentuk authoritarian law (hukum
otoritarian). Pendekatan lain yang dijelaskan adalah Formelle theorie oleh Rick Dikersoern.
Akhirnya, ada pandangan Filosofische thoerie oleh Jeremy Bentham yang menyatakan bahwa
hukum dapat berlaku lama dan dihormati oleh masyarakat jika memiliki dimensi filosofis,
sosiologis, dan yuridis. Jika suatu produk hukum ada yang tidak memiliki salah satu dari sifat
yang berlaku tanpa mempertimbangkan faktor-faktor sosial, maka dapat disimpulkan bahwa
produk hukum tersebut memiliki kualitas yang rendah.
B. Rumusan Masalah
2. Apa yang dimaksud Wewenang dan Prakarsa didalam Pembentukan Peraturan Daerah?
C. Tujuan Penulisan
1. Dalam rangka menjelaskan dan merumuskan dasar hukum serta mekanisme Pembentukan
Produk Hukum Daerah.
2. Sebagai dasar dan panduan dalam proses penyusunan Produk Hukum Daerah.
5
Dr. Suriansyah Murhani, S.H., M.H. Aspek Hukum Pengawasan Pemerintahan Daerah. Palangkaraya;
Laksbang Mediatama. 2008. Hlm.8.
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
Kamarusdiana, Qanun Jinayat Aceh Dalam Perspektif Negara Hukum Indonesia, Vol. XVI, No.2, h. 151
6
segala hamba Allah, jangan kamu berbuat khianat akan segala raja-raja, tak dapat
tiada pekerjaan yang demikian itu dinyatakanAllah Ta'ala juga kepadanya
Pada tanggal 9 Agustus 2001, Presiden Megawati Soekamo Putri
menandatangani UU Nomor 18 Tahun 2001, yang lebih dikenal dengan UU
Otonomi Khusus Nanggroe Aceh DarussalamTerlepas dari plus minusnya UU
tersebut, yang terpenting mengenai penerapan syariat Islam adalah membenarkan
pembentukan Mahkamah Syar'iyah baik pada tingkat rendah (Sagoe) atau pun
tingkat tinggi (Nanggroe) yang wewenangnya dapat meliputi seluruh bidang
syariat yang berkaitan dengan peradilan. Untuk penerpan UU tersebut, sudah
ditetapkan Qanun Nomor 43 Tahun 2001 Tentang Perubahan Pertama atas Qanun
Nomor 3 Tahun 2000 Tentang Pembentukan Oraganisasi dan Tatakerja MPU,
Qanun Nomor 33 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Susunan dan Tatakerja Dinas
Syariat Islam Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Qanun Nomor 10 Tahun 2002
Tentang Peradilan Syariat Islam. Qanun Nomor 11 Tahun 2002 Tentang
Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam, dan Qanun
Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan7
Dasar hukum dan pengakuan Pemerintah untuk pelaksanaan Syari'at Islam di
Aceh, didasarkan atas UU No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU No18 tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe
Aceh DarussalamPelaksanaan Syari'at Islam di Aceh telah diatur dalam Undang-
undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah
Istimewa Aceh sebagai Nanggroe Aceh Darussalam, pasal 31 disebutkan:8
a) Ketentuan pelaksanaan undang-undang ini yang menyangkut
kewenangan Pemerintah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
b) Ketentuan Pelaksanaan undang-unang ini yang menyangkut
kewenangan Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
ditetapkan dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
7
Amran Suadi, dan Mardi Candra, Politik Hukum Perspektif Hukum Perdata dan Pidana Islam Serta Ekonomi
Syariah, (Jakarta: Kencana, 2016), h.418
8
Marzuki Abubakar, “Syariat Islam Di Aceh Sebuah Model Kerukunan dan Kebebasan Beragama”, Vol. XIII,
No. 1, h.102
7
PemerintahKemudian Undang-undang menetapkan Qanun Provinsi sebagai
peraturan pelaksanaan untuk penyelenggaraan otonomi khusus yang menjadi
wewenang Pemerintah provinsiUntuk membuat Qanun, Pemerintah Provinsi tidak
perlu menunggu peraturan pemerintah atau peraturan lainnya dari Pemerintah
PusatQanun adalah peraturan daerah untuk melaksanakan otonomi khusus yang
dapat mengeyampingkan peraturan perundang-undangan yang lain berdasarkan
asas "peraturan khusus dapat mengenyampingkan peraturan umum". Dengan kata
lain, Qanun adalah peraturan daerah yang setingkat dengan peraturan pemerintah
untuk melaksanakan otonomi khusus di Aceh. Sehingga produk hukum daerah itu
bisa saja dalam bentuk penetapan adalah Keputusan Kepala Daerah, Keputusan
DPRD Keputusan Pimpinan DPRD, dan Keputusan Badan Kehormatan Badan
DPRD9.
Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002 yang berisi
tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syi'ar Islam
merupakan sumber yang digunakan untuk peraturan tentang JilbabJilbab dalam
Islam termasuk syi'ar Islam. Sebagaimana yang dikemukan dalam Qanun Nomor
11 Tahun 2002 Bab I Tentang Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat 5 dan Bab V
Penyelenggaraan Syi'ar Islam pasal 13 ayat 1 dan 2.10
9
Anggraeni, Recca, Produk Hukum Daerah: pada dan bagaimana seharusnya.
10
http://www.jdih.setjen.kemendagri.go.id/files/P_ACEH_11_2002.pdf
8
Sebagai landasan hukum dalam penetapan Perda Kota Tangerang No. 81 Tahun
2005 tentang Pelarangan Pelacuran adalah sebagai berikut:
a) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan Ketentuan
Pokok Kesejahteraan Sosial (LNRI Tahun 1974 Nomor 53 Tambahan
LNRI Nomor 3039)
b) UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP (LNRI Tahun 1981 Nomor 76
Tambahan LNRI Nomor 3209)
c) UU No 2 Tahun 1993 tentang pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat
II Tangerang (LNRI Tahun 1993 Nomor 18, Tambahan LNRI nomor
3518)
d) UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan (LNRI Tahun 2004 No 53 Tambahan LNRI 4389
e) UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (LNRI Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan LNRI Nomor 4437
f) PP No 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP (LNRI Tahun 1983
No 36)
g) PP No 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (LNRI Tahun 2000 No
54Tambahan LNRI Nomor 3952)
h) PP No 18 Tahun 2000 tentang Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan
(Lembaran Daerah Kota Tangerang Tahun 2000 Nomor 4 seri C
9
tekanan berbagai organisasi masyarakat yang bersifat mendukung dan menentang
pelacuran tersebut.
Wewenang dan prakarsa pembentukan peraturan daerah (perda) adalah bagian penting
dari proses legislasi di tingkat daerah. Berikut penjelasan singkatnya:
- Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD): DPRD memiliki wewenang utama untuk
mengusulkan, membahas, dan mengesahkan peraturan daerah. Ini adalah badan legislatif di
tingkat daerah yang mewakili kepentingan rakyat setempat.12
- Kepala Daerah: Kepala daerah, seperti gubernur atau bupati, juga dapat mengusulkan
rancangan perda kepada DPRD atau memberikan masukan dalam proses pembentukan perda.
Kepala Daerah:
Kepala daerah dapat menginisiasi pembentukan perda jika mereka menganggap ada kebutuhan
untuk mengatur sesuatu dalam yurisdiksi mereka.
11
Ety Lusiana “Respon Masyarakat Kota Tangerang Terhadap Peraturan Daerah Kota Tangerang No. 8 Tahun
2005 Tentang Pelarangan Pelacuran” Skripsi Mahasiswa S-1 Fakultas Syariah & Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, h. 54-58
12
Freddy Poernomo, Hukum Pemerintahan Daerah. (Surabaya: Airlangga University Press, 2020)
10
- Masyarakat dan Pihak Terkait: Kadang-kadang, masyarakat atau kelompok-kelompok
tertentu juga dapat mengusulkan pembentukan perda melalui inisiatif rakyat atau keterlibatan
dalam konsultasi publik. Atribusi tersebut bersifat terus-menerus dan dapat dilaksanakan kapan
saja atas prakarsa sendiri saat diperlukan. Atribusi kewenangan pembentukan perda dapat
dilihat dari rumusan Pasal 236 UU 23/2014 sebagai berikut:
2. Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh DPRD dengan
persetujuan bersama kepala Daerah.
4. Selain materi muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Perda dapat
memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.13
Dalam pembentukan Produk Hukum pastilah ada dasar hukum yang mengatur bagaimana
mekanisme atau cara membentuk produk hukum yang baik dan benar. Proses atau mekanisme
pembentukan perundang-undangan itu diatur dalam beberapa Undang-Undang, seperti:
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peratutan Perundang-Undangan,
kemudian Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah, dan Peraturan
Presiden No. 87 Tahun 2014 Tentang Pembentukan Peraturan perundang- Undangan14. Jadi
13
UU NO. 23 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU Tahun 2004 Pemerintahan Daerah
14
Dalimunthe, Dermina. "Proses Pembentukan Undang-Undang Menurut UU No. 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan." Jurnal AL-MAQASID: Jurnal Ilmu Kesyariahan dan
Keperdataan 4.2 (2018): Hal 59-75.
11
dengan adanya dasar hukum ini menjadikan adanya legitimasi untuk pejabat daerah untuk
melakukan pembentukan Peraturan-peraturan yang berskala regional daerah, tapi tetap
meskipun bersifat regional tidak keluar dari apa yang sudah menjadi ketetapan umum
sebagaimana yang termaktub dalam Undang-Undang sebagai dasar hukum. Tapi dengan
adanya keleluasaan ini tak menghilangkan tujuan hukum yang harus bersifat bermanfaat degan
tujuan agar pembentukan Undang-Undang dapat menghasilkan suatu Undang-Undang yang
berkualitas yang berlandaskan landasan Yuridis, sosiologis, dan filosofis15.
Peraturan daerah juga merupakan salah satu instrument bagi pemerintah daerah dalam
melaksanakan rumah tangganya sendiri di lingkup yang lebih kecil yang mana tetap saja system
otonominya bersifat benar-benar nyata dan bertanggung jawab dan juga bahwa ruang lingkup
kewenangan Pemerintah Daerah dalam membuat Peraturan Daerah telah diberika Batasan
berdasarkan Undang-Undang sehingga jika peraturan daerah yang dikeluarkan tidak sesuai
dengan Batasan yang telah diberikan oleh Undang-Undang maka bisa dipastikan cacat
hukum.16 Sehingga dalam hal ini setiap daerah di Indonesia memiliki peraturan daerah yang
hanya berlaku di daerah tersebut, tidak bisa suatu peraturan dalam daerah itu juga diberlakukan
secara rata untuk daerah-daerah yang lain di Indonesia. Dalam hal ini juga bahwa Peraturan
Daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, Peraturan Daerah lain dan
Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi dan ini sudah jelas juga diatur dalam
Undang-Undang, dan untuk lebih jelasnya bisa membaca Undang-Undang yang telah
disebutkan17.
1. Perencanaan
2. Penyusunan
3. Pembahasan
4. Pengesahan
5. Penetapan
15
Bagir Manan , “Dasar-dasar Konstitusional Peraturan Perundang-undangan Nasional”, Padang: Fakultas
Hukum Universitas Andalas, 1994, Hal. 13-21.
16
Rudy, “Hukum Pemerintahan Daerah Perspektif Konstitusionalisme Indonesia”, Bandar Lampung: Indepth
Publishing 2012, Hal 79
17
Supriady dan Dadang Sholihi, “Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah”Jakarta, 2001, Hal 23
18
Huda, Ni’matul, “Hukum Pemerintah Daerah”, Cet II, Bandung: Nusa Media, 2010
12
6. Pengundangan
1. Tahap perencanaan
Untuk tahapan perencanaan dalam hal ini disusun oleh Prolegda atau yang biasa kita kenal
dengan Program Legislatif Daerah. Baik Peraturan Daerah yang ber-skala Provinsi maupun
Kabupaten/Kota yang memuat program pembentukan Peraturan Daerah Provinsi dengan judul
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan
peraturan perundang-undangan lainnya. Khusus materi yang diatur, merupakan keterangan
mengenai konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang meliputi:
Dalam hal ini materi yang telah melalui pengkajian dan penyelarasan dituangkan dalam
Nakah Akademik. Dari Naskah Akademik ini berisi hasil penelitian atau pengkajian yang mana
bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah suatu permasalahn yang ada di Daerah atau Kota
dan dari Naskah Akademik ini kemudian dituangkan dalam Rancangan Perundang-Undangan
tingkat Provinsi yang menjadi solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum msyarakat.
Dalam hal ini Prolegnas di susun bersama- sama antara kepala daerah masing-masing daerah
dan DPRD.
Dalam keadaan tertentu, DPRD Provinsi atau Gubernur dapat mengajukan Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi di luar Prolegda Provinsi seperti:
a. Untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam;
13
b. Akibat kerja sama dengan pihak lain, dan
c. Keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi atas suatu Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi yang daapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan
DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi dan biro hukum.
Dimulai dengan penyusunan rancangan PERDA itu sendiri. Rancangan bisa diajukan oleh
kepala daerah missal di tingkat I oleh Gubernur, sedangkan tingkat II oleh Bupati atau
Walikota, selain itu bisa diajukan ole DPRD baik ditingkat I maupun II. Rancangan Peraturan
Daerah sebagaimana diaksud disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/Naskah
Akademik mengenai:
Setelah tahapan perencanaan dan penyusunan, selanjutnya masuk dalam pembahasan yang
isinya adalah :
d. Rancangan PERDA Provinsi dapat ditarik Kembali sebelum dibahas bersama oleh
DPRD Provinsi dan Gubernur.
e. Rancangan PERDA Provinsi yang sedang dibahas hanya dapat ditarik Kembali
berdasarkan persetujuan bersama DPRD Provinsi dan Gubernur.
14
4. Penetapan dan Pengundangan PERDA
a. Rancangan PERDA Provinsi yang telah disetujui bersama oleh DPRD Provinsi dan
Gubernur disampaikan oleh pimpinan DPRD Provinsi kepada Gubernur untuk
ditetapkan menjadi PERDA Provinsi.
e. Dalam hal sahnya Rancangan PERDA Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
kalimat pengesahannya berbunyi: peraturan Daerah ini diyantakan sah.
g. Untuk PERDA Kotamadya ataupun Kabupaten juga sama prosesnya. Sedang untuk
pengundangan, PERDA diundangkan dalam bentuk Lembaran Daerah, dan itu
dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah.
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Beberapa Produk Hukum Daerah Otonom contohnya ialah perda Jilbab Dalam Pasal 13
Ayat 1 Qanun Aceh No.11 Tahun 2002, Perda Kota Tangerang Tentang Pelarangan Pelacuran
Nomor 8 Tahun 2005, dll. Wewenang dan prakarsa pembentukan peraturan daerah (perda)
adalah bagian penting dari proses legislasi di tingkat daerah. Di dalam DPRD wewenang yang
dimaksud ialah wewenang utama untuk mengusulkan, membahas, dan mengesahkan peraturan
daerah. Ini adalah badan legislatif di tingkat daerah yang mewakili kepentingan rakyat
setempat, sedangkan prakarsa didalam pembentukan DPRD yang dimaksud ialah DPRD dapat
menginisiasi pembentukan perda melalui anggota-anggotanya. Biasanya, ini terjadi sebagai
respons terhadap masalah atau kebutuhan tertentu yang relevan dengan wilayah setempat,
merujuk ke kepala daerah dan masyarakat yang memiliki keterkaitan. Mekanisme
Pembentukan Produk Hukum Daerah (Perda) ada beberapa tahapan, diantaranya yaitu: Tahap
perencanaan, Tahap Penyusunan PERDA, Tahap Pembahasan Peraturan Daerah, Tahap
Pengesahan, Tahap Penetapan dan Tahap Pengundangan PERDA.
16
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar, Marzuki. "Syariat Islam Di Aceh Sebuah Model Kerukunan dan Kebebasan
Beragama." Vol. XIII, No. 1,
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, 2001.
Andi Sagala, Jurnal Model Otonomi Daerah pada Masa Orde Lama Orde Baru dan Reformasi
di Negara Kesatuan Republik Indonesia
Huda, Ni'matul. "Hukum Pemerintah Daerah." Cet. II, Bandung: Nusa Media: 2010.
Kamarusdiana. "Qanun Jinayat Aceh Dalam Perspektif Negara Hukum Indonesia." Vol.
XVI, No. 2
Suadi, Amran, dan Mardi Candra. "Politik Hukum Perspektif Hukum Perdata dan
Pidana Islam Serta Ekonomi Syariah." Jakarta: Kencana, 2016
17
Dr. Suriansyah Murhani, S.H., M.H. Aspek Hukum Pengawasan Pemerintahan Daerah.
Palangkaraya; Laksbang Mediatama. 2008
Anggraeni, Recca. 2015. Produk Hukum Daerah; pada dan bagaimana seharusnya
MPR RI. Hubungan Pusat dan Daerah. 2022. Jakarta : Badan Pengkajian MPR RI
Muhtadi, Dani 2016 Produk Hukum Daerah (online) (diupdate 20 september 2022)
Skripsi:
Ety Lusiana “Respon Masyarakat Kota Tangerang Terhadap Peraturan Daerah Kota
Tangerang No. 8 Tahun 2005 Tentang Pelarangan Pelacuran” Skripsi Mahasiswa S-1 Fakultas
Syariah & Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Undang-Undang:
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk
Hukum Daerah
Website:
http://www.jdih.setjen.kemendagri.go.id/files/P_ACEH_11_2002.pdf
18