Anda di halaman 1dari 28

ILMU BUDAYA DAN SOSIOLOGI

SUPREMASI HUKUM DAN PENEGAKKAN HUKUM DI INDONESIA

DALAM KAITANNYA DENGAN KASUS MUNIR

DISUSUN OLEH :

SEPTIA JATI ISWARA NIM 16.02.51.0003

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS STIKUBANK (UNISBANK) SEMARANG

2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya.
Adapun makalah ini diselesaikan dengan tujuan penyelesaian salah satu
tugas dari mata kuliah Ilmu Budaya dan Sosiologi, Program Studi Ilmu Hukum,
Fakultas Hukum, Universitas Stikubank (Unisbank) Semarang.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada
Bapak Suharto selaku dosen pengajar mata kuliah Ilmu Budaya dan Sosiologi
yang telah memotivasi kami sehingga dapat menyelesaikan makalah ini. Penulis
juga mengucapkan terimakasih kepada rekan-rekan yang telah berpartisipasi
dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk
itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang
telah membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan.

Semarang, Desember 2016

Penulis

II
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................ II

Daftar Isi .......................................................................................................... III

BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................... 1

BAB 2 RUMUSAN MASALAH .................................................................... 3

BAB 3 PEMBAHASAN ................................................................................. 4

3.1 Deskripsi Supremasi Hukum .................................................................... 4


3.2 Deskripsi Penegakkan Hukum ................................................................. 6
3.3 Supremasi Hukum dan Penegakkan Hukum dalam Masyarakat ............. 8
3.4 Analisis Kasus Penegakkan Hukum dalam Masyarakat ........................... 13

BAB 4 KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 21

4.1 KESIMPULAN ........................................................................................ 21


4.2 SARAN .................................................................................................... 22

BAB 5 PENUTUP .......................................................................................... 24

REFERENSI .................................................................................................. 25

III
BAB 1

PENDAHULUAN

Negara dapat dikatakan sebagai Negara Hukum (rule of law) bilamana

superioritas hukum telah dijadikan sebagai aturan main (fair play) dalam

penyelenggaraan pemerintahan Negara, terutama dalam memelihara ketertiban

dan perlindungan terhadap hak-hak warganya. Jhon Locke dalam karyanya

“Second Tratise of Government”, telah mengisyaratkan tiga unsur minimal bagi

suatu Negara hukum, sebagai berikut :

1. Adanya hukum yang mengatur bagaimana anggota masyarakat dapat

menikmati hak asasinya dengan damai.

2. Adanya suatu badan yang dapat menyelesaikan sengketa yang timbul di

bidang pemerintahan.

3. Adanya badan yang tersedia diadakan untuk penyelesaian sengketa yang

timbul di antara sesama anggota masyarakat.

Dalam Negara hukum menurut Jhon Lockce, warga masyarakat/rakyat

tidak lagi diperintah oleh seorang raja atau apapun namanya, akan tetapi

diperintah berdasarkan hukum.Ide ini merupakan suatu isyarat bahwa bagi Negara

hukum mutlak adanya penghormatan terhadap supremasi hukum. Bagaimana

dengan negeri ini? Indonesia diidealkan dan dicita-citakan oleh the founding

fathers sebagai suatu Negara hukum Pancasila (rechsstaat/rule of law). Hal ini

dengan tegas dirumuskan pada Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, bahwa : Negara Indonesia adalah Negara hukum.

Namun bagaimana cetak biru dan desain makro penjabaran ide Negara hukum itu,

1
selama ini belum pernah dirumuskan secara komprehensif. Yang ada hanya

pembangunan bidang hukum yang bersifat sektoral (Jimly Asshiddiqie, 2009:3).

Penghormatan terhadap supremasi hukum tidak hanya dimaksudkan

dengan galaknya pembangunan dan pembentukan hukum dalam arti peraturan

perundang-undangan, akan tetapi bagaimana hukum yang dibentuk itu benar-

benar dapat diberlakukan dan dilaksanakan, sehingga hukum berfungsi sebagai

sarana (tool) penggerak aktifitas kehidupan bernegara, pemerintahan dan

kemasyarakatan. Untuk dapatnya hukum berfungsi sebagai sarana penggerak,

maka hukum harus dapat ditegakkan dan untuk itu hukum harus diterima sebagai

salah satu bagian dari system nilai kemasyarakatan yang bermanfaat bagi warga

masyarakat, sehingga keberlakuan hukum benar-benar nyata pada ranah empiris

tanpa paksaan.

Supremasi hukum hanya akan berarti bila ada penegakan hukum,dan

penegakan hukum hanya akan mempunyai nilai evaluatif jika disertai dengan

pemberlakuan hukum yang responsif. Artinya superioritas hukum akan terjelma

dengan suatu penegakan hukum yang bersendikan dengan prinsip persamaan di

hadapan hukum (equality before the law) dengan dilandasi nilai dan rasa keadilan.

Untuk itu dalam makalah ini akan dibahas deskripsi supremasi hukum,

deskripsi penegakkan hukum, supremasi hukum dan penegakkan hukum dalam

masyarakat, serta analisis kasus penegakkan hukum dalam masyarakat.

2
BAB 2

RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan pembahasan pada bab pendahuluan, maka rumusan

masalah yang timbul adalah sebagai berikut :

a) Apa yang dimaksud dengan Supremasi Hukum?

b) Apa yang dimaksud dengan Penegakkan Hukum?

c) Bagaimana penegakan hukum dalam masyarakat Indonesia?

d) Bagaimana analisis kasus penegakkan hukum dalam masyarakat Indonesia?

3
BAB 3

PEMBAHASAN

3.1 DESKRIPSI SUPREMASI HUKUM

Istilah supremasi hukum, adalah merupakan rangkaian dari kata

supremasi dan kata hukum, yang bersumber dari terjemahan bahasa Inggris

yakni kata supremacy dan kata law, menjadi “supremacy of law” atau biasa

juga disebut “law’s supremacy”. Hornby.A.S (1974:869), mengemukakan

bahwa secara etimologis,kata “supremasi” yang berasal dari kata supremacy

yang diambil dari akar kata sifat supreme, yang berarti “Higest in degree or

higest rank” artinya berada pada tingkatan tertinggi atau peringkat tertinggi.

Sedangkan supremacy berarti “Higest of authority” artinya kekuasaan

tertinggi.

Kata hukum diterjemahkan dari bahasa Inggris dari kata “law”, dari

bahasa Belanda “recht” bahasa Perancis “droit” yang diartikan sebagai

aturan, peraturan perundang-undangan, dan norma-norma yang wajib ditaati.

Soetandyo Wignjosoebroto (2002:457), menyatakan bahwa secara

terminology supremasi hukum, merupakan upaya untuk menegakkan dan

menempatkan hukum pada posisi tertinggi yang dapat melindungi seluruh

lapisan masyarakat tanpa adanya intervensi oleh dan dari pihak manapun

termasuk oleh penyelenggara Negara.

Menegakkan dan menempatkan hukum pada posisi tertinggi tanpa

adanya intervensi dari pihak eksternal dalam rangka melindungi seluruh

lapisan masyarakat, oleh Charles Hermawan disebutnya sebagai kiat untuk

memposisikan hukum agar berfungsi sebagai komando atau panglima

4
(2003:1). Abdul Manan (2009:188), menyatakan bahwa berdasarkan

pengertian secara terminologis supremasi hukum tersebut, maka dapat

disimpulkan bahwa supremasi hukum adalah upaya atau kiat untuk

menegakkan dan memosisikan hukum pada tempat yang tertinggi dari segala-

galanya, menjadikan hukum sebagai komandan atau panglima untuk

melindungi dan menjaga stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara.

Rumusan sederhana dapat diberikan bahwa supremasi hukum

adalah pengakuan dan penghormatan tentang superioritas hukum sebagai

aturan main (rule of the game)dalam seluruh aktifitas kehidupan berbangsa,

bernegara, berpemerintahan dan bermasyarakat yang dilakukan dengan jujur

(fair play). Pengertian sederhana tersebut, telah terhubungkan dengan idée

tentang teori kedaulatan hukum (rechtssovereiniteit). Hukum adalah

kedaulatan tertinggi dalam suatu Negara, karenanya yang memerintah

sesungguhnya adalah hukum, penyelenggara pemerintahan Negara hanya

melaksanakan kehendak hukum, sehingga dalam konteks demikian hukum

sebagai komando dan panglima.

Adapun beberapa tujuan supremasi hukum adalah sebagai berikut:

1. Menjadikan tanggung jawab ahli hukum untuk dilaksanakan dan yang

harus dikerjakan tidak hanya untuk melindungi dan mengembangkan

hak-hak perdata dan politik perorangan dalam masyarakat bebas, tetapi

juga untuk menyelenggarakan dan membina kondisi sosial, ekonomi,

pendidikan dan kultural yang dapat mewujudkan aspirasi rakyat serta

meningkatkan integritas Sumber Daya Manusianya.

5
2. Menempatkan kebebasan individu sebagai prinsip dasar dari organisasi

sosial, untuk menjamin kemerdekaan individu.

3. Memberi keadilan sosial dan perlindungan terhadap harkat martabat

manusia, ketertiban, ketentraman dan kepastian hukum yang pada

hakikatnya merupakan jaminan secara formal terhadap “rasa keadilan”

bagi rakyat Indonesia.

4. Menjamin terjaga dan terpeliharanya nilai-nilai moral bangsa Indonesia.

5. Melindungi kepentingan warga.

6. Menciptakan masyarakat yang demokratis

7. Memberikan jaminan terlindunginya hak-hak individu dalam bernegara

dan bermasyarakat.

3.2 DESKRIPSI PENEGAKKAN HUKUM

Apa yang diartikan orang selama ini sebagai penegakan hukum

(law enforcement) sepertinya hanya tertuju pada adanya tindakan represif dari

aparat penegak hukum dalam melakukan reaksi tegas terhadap penindakan

pelaku criminal. Pemaknaan penegakan hukum secara demikian itu sangatlah

sempit, oleh karena kewenangan penegakan hukum hanya seakan menjadi

tanggungjawab aparat hukum semata, padahal tidak demikian halnya, oleh

karena penegakan hukum konteksnya luas, termasuk tanggungjawab setiap

orang dewasa yang cakap sebagai pribadi hukum (perzoonlijk) melekat

kewajiban untuk menegakkan hukum.

Memang bagi orang awam, penegakan hukum semata dilihatnya

sebagai tindakan represif dari aparat hukum, tindakan di luar dari aparat

6
hukum hanya dipandangnya sebagai partisan hukum, misalnya tindakan

informative terhadap aparat hukum adanya peristiwa hukum atau gejala akan

terjadinya peristiwa hukum. Sebenarnya penegakan hukum dalam konteks

yang luas berada pada ranah tindakan, perbuatan atau perilaku nyata atau

faktual yang bersesuaian dengan kaidah atau norma yang mengikat. Namun

demikian, dalam upaya menjaga dan memulihkan ketertiban dalam kehidupan

sosial maka pemerintalah actor security.

Pada perspektif akademik, Purnadi Purbacaraka, menyatakan

bahwa penegakan hukum diartikan sebagai kegiatan menyerasikan nilai-nilai

yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah/pandangan-pandangan menilai yang

mantap dari sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir,

untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan

hidup (1977). Soerjono Soekanto, dalam kaitan tersebut, menyatakan bahwa

sistem penegakan hukum yang baik adalah menyangkut penyerasian antara

nilai dengan kaidah serta dengan prilaku nyata manusia (1983:13).

Liliana Tedjosaputro, menyatakan bahwa penegakan hukum tidak

hanya mencakup law enforcement tetapi juga peace maintenance, oleh karena

penegakan hukum merupakan proses penyerasian antara nilai-nilai, kaidah-

kaidah, dan pola perilaku nyata, yang bertujuanuntuk mencapai kedamaian

dan keadilan (2003:66). Tugas utama penegakan hukum, adalah untuk

mewujudkan keadilan, karenanya dengan penegakan hukum itulah hukum

menjadi kenyataan (Liliana, 2003 : 66). Tanpa penegakan hukum, maka

hukum tak ubahnya hanya merupakan rumusan tekstual yang tidak bernyali,

yang oleh Achmad Ali biasa disebut dengan hukum yang mati.

7
Untuk membuat hukum menjadi hidup harus ada keterlibatan nyata

oleh manusia untuk merefleksikan hukum itu dalam sikap dan prilaku nyata

yang konkrit. Tanpa cara demikian maka hukum tertidur pulas dengan

nyenyak yang kemungkinannya hanya menghasilkan mimpi-mimpi. Karena

itu tidak ada cara lain agar hukum dapat ditegakkan maka perlu pencerahan

pemahaman hukum bahwa sesungguhnya hukum itu tidak lain adalah sebuah

pilihan keputusan, sehingga takkala salah memilih keputusan dalam sikap dan

prilaku konkrit, maka berpengaruh buruk terhadap penampakan hukum di

ranah empiris.

3.3 SUPREMASI HUKUM DAN PENEGAKKAN HUKUM DALAM

MASYARAKAT

Supremasi hukum dan penegakan hukum sudah menjadi masalah

sentral dalam kehidupan berbangsa, bernegara, berpemerintahan dan

bermasyarakat. Masalah itu muncul oleh karena adanya kesenjangan antara

das sollen dengan das sen, dimana Negara mengklaim sebagai Negara hukum

demokrasi (rechtsstaat democratie), sementara hukumnya compang camping

dan penegakannya serampangan. Artinya supremasi hukum tidak dihormati

dan penegakan hukum berjalan setengah hati dengan ibarat berada di

persimpangan jalan panjang.

Banyak contoh kasus di negeri ini yang menarik dijadikan sampel

berkenaan dengan supremasi hukum dan penegakan hukum, antara lain

bagaimana ketiadaan penghormatan supremasi hukum terhadap skandal

Century. Bagaimana skandal mafia pajak yang salah satu aktornya “Gayus”

8
dengan menampilkan pentas sandiwara hukum, yang oleh publik ditontonnya

sebagai proses penegakan hukum yang setengah hati. Belum lagi

menguaknya kasus Antasari Azhar (mantan Ketua KPK) yang diduga keras

penuh rekayasa.

Supremasi hukum dan penegakan hukum dua hal yang tidak

terpisahkan, keduanya harus bersinergi untuk mewujudkan cita hukum, fungsi

hukum dan tujuan hukum, yang sebesar-besarnya buat kemanfaatan,

kebahagiaan dan kesejahtraan umat manusia yang bersendikan nilai-nilai

kebenaran dan keadilan. Abdul Manan (2009:189), menyatakan bahwa

supremasi hukum merupakan doktrin sentral yang menjadi reason of

existence hukum Eropa Barat. Secara embrio doktrin supremasi hukum sudah

mulai berkembang sejak abad VII Masehi.

Lebih lanjut dikatakan bahwa term dan doktrin supremasi hukum

telah dikenal sejak abad XI Masehi, bahkan jauh sebelum itu pada abad VI

Masehi, Islam telah membawa misi reformasi besar untuk menegakkan

supremasi hukum yang mengacu kepada upaya penciptaan kedamaian dan

kesejahtraan yang mengantarkan manusia secara individu dan masyarakat

sukses dan bahagia menjalani kehidupan dan selamat bahagia hidup di akhirat

kelak (Abdul Manan,2009:190). Penegakan supremasi hukum dalam suatu

Negara dapat berjalan dengan beberapa prinsip antara lain :

a) Prinsip Negara Hukum

Prinsip Negara hukum mengajarkan bahwa komunikasi dan

interaksi sosial yang terdiri dari berbagai elemen komunitas berinteraksi dan

bertransaksi untuk mencapai tujuan dan cita-cita bersama. Bahwa tatanan

9
kehidupan dan komunikasi antar individu dalam suatu komunitas mengacu

kepada aturan main yang disepakati dan dipakai sebagai acuan dan referensi

para pihak dalam melakukan hubungan dan perbuatan hukum. Tidak pihak

yang merasa dizalimi atau menzalimi (Soetandyo,2002:448).

Atas dasar konsep tersebut, tidak ada kesemena-menaan yang

dilakukan baik oleh penegak hukum maupun oleh pencari keadilan, sehingga

melahirkan masyarakat sipil (civil society) di mana antar individu sebagai

rakyat atau warga Negara mempunyai kedudukan yang sama dan sederajat di

depan hukum (equality before the law).

b) Prinsip Konstitusi

Prinsip konstitusi dalam suatu Negara hukum mengajarkan bahwa

landasan dan referensi yang dijadikan pedoman dalam bermasyarakat dan

berbangsa dan bernegara adalah konstitusi,sehingga hak-hak warga negara

dan hak asasi manusia masing-masing warga Negara dijamin, terayomi dan

terlindungi oleh konstitusi. Prinsip tersebut di atas untuk perwujudannya

diperlukan penegakan hukum, sehingga mutlak dilakukan langkah-langkah

nyata enforscement, agar supremasi hukum bukan hanya simbol semata.

Penegakan hukum dalam arti luas mencakup kegiatan untuk

melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan-tindakan

hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang

dilakukan oleh subyek hukum, baik melalui prosedur peradilan ataupun

melalui prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian sengketa lainnya

(alternative desputes or conflicts resolution) (Jimly asshiddiqie, 2009:22).

10
Bahkan penegakan hukum dalam arti yang lebih luas lagi, termasuk

kegiatan penegakan hukum yang mencakup segala aktivitas yang bermaksud

agar hukum sebagai perangkat kaidah normatif yang mengatur dan mengikat

para subyek hukum dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat dan

bernegara benar-benar ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana

mestinya (Jimly,2008:22). Dalam arti sempit, penegakan hukum menyangkut

kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan

terhadap peraturan perundang-undangan, khususnya yang lebih sempit lagi,

melalui proses peradilan pidana yang melibatkan peran aparat

kepolisian, kejaksaan, advokat dan badan-badan peradilan.

Sudikno Mertokusumo (2005:160), menyatakan bahwa untuk

memfungsikan hukum secara nyata, maka harus dilakukan penegakan hukum,

oleh karena dengan jalan itulah maka hukum menjadi kenyataan dan dalam

kenyataan hukum harus mencerminkan kepastian hukum (rechtssicherheit),

kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit). Demi supremasi

hukum, maka penegakan hukum tidak boleh ditawar-tawar. Namun dalam

implementasinya tetap harus dengan cara-cara yang mencerminkan nilai-nilai

kemanusian, oleh karena hukum itu sendiri harus difungsikan sebagai sarana

memanusiakan manusia. Bukan justru dengan cara yang bertentangan dengan

nilai-nilai kemanusiaan yang bahkan perampasan hak asasi manusia.

Wahyuddin Husein Hufron (2008:211), menyatakan bahwa sistem

penegakan hukum yang mempunyai nilai-nilai yang baik adalah yang dapat

menjamin kehidupan sosial masyarakat yang lebih berkesejahteraan,

11
berkepastian dan berkeadilan. Dari segi pendekatan akademik, dapat

dikemukakan tiga konsep penegakan hukum sebagai berikut :

1. Total enforcement concept;

2. Full enforcement concept;

3. Actual enforcement concept.

Konsep penegakan hukum yang bersifat total, menuntut agar semua

nilai yang ada dibalik norma hukum turut ditegakkan tanpa kecuali. Konsep

yang bersifat full yang menghendaki perlunya pembatasan dari konsep total

dengan suatu hukum formil dalam rangka perlindungan kepentingan

individual. Konsep penegakan hukum actual muncul setelah diyakini adanya

diskresi dalam penegakan hukum karena keterbatasan-keterbatasan yang ada

dan kurangnya peran serta masyarakat (Wahyuddin H Hufron, 2008:212).

Bagaimana citra penegakan hukum di negeri ini? Pertanyaan

tersebut dijawab bahwa semua mahfum dan bukan rahasia umum lagi

penegakan hukum di negeri ini adalah merupakan barang langka dan mahal

harganya. Hal ini terindikasi berada pada titik nadir (Wahyuddin H Hufron,

2008:212). Harkristuti. H (Wahyuddin,2008:212), menyatakan bahwa kondisi

penegakan hukum di Indonesia saat ini ditengarai mendekati titik nadir, telah

menjadi sorotan yang luar biasa dari komunitas dalam negeri maupun

internasional. Proses penegakan hukum, pada khususnya, acap dipandang

bersifat diskriminatif, inkonsisten, dan mengedepankan kepentingan

kelompok tertentu.

Hikmahanto J (Dies Natalis ke 56 UI, 2006), mengemukakan

terdapat sekurang-kurangnya ada lima alasan mengapa hukum di Indonesia

12
sulit ditegakkan atau dengan kata lain penegakan hukum di Indonesia sukar

dilaksanakan, yaitu sebagai berikut :

1. Aparat penegak hukum terkena sangkaan dan dakwaan korupsi atau

suap;

2. Mafia peradilan marak dituduhkan;

3. Hukum seolah dapat dimainkan, dipelintirkan, bahkan hanya berpihak

kepada mereka yang memiliki status sosial yang tinggi;

4. Penegakan hukum lemah dan telah kehilangan kepercayaan masyarakat;

5. Masyarakat apatis, mencemooh, dan melakukan proses peradilan

jalanan.

Supremasi hukum dan penegakan hukum di negeri ini harus

berjalan terus menerus sepanjang jalan Negara hukum Indonesia yang telah

digariskan dalam UUD Negara RI 1945. Fiat justitia et pereat mundus,

meskipun dunia ini runtuh hukum tetap harus ditegakkan.

3.4 ANALISIS KASUS PENEGAKKAN HUKUM DALAM MASYARAKAT

Siapa di Indonesia yang tidak kenal dengan Munir Said Thalib?

Seorang sosok aktivis HAM yang namanya tiba-tiba membanjiri banyak

media masa pada akhir tahun 2004 karena kematiannya yang begitu misterius.

Hasil otopsi jenazah Munir yang yang menyatakan jika Munir telah

meninggal karena terdapat kandungan arsenik yang melampaui batas di dalam

tubuh Munir. Benarkah Munir dibunuh? Atau justru Munir yang terbunuh?

Kasus Munir yang hingga saat ini belum ada kepastian hukumnya. Berikut

penulis sampaikan kronologi kasus Munir.

13
6 September 2004 Pukul 21.55 WIB, di lobi Bandara Soekarno

Hatta, Munir Said Thalib akan berpisah dengan istrinya, Suciwati, selama

satu tahun. Munir akan melanjutkan studi S2 hukum di Universitas Utrecht,

Belanda. Pada saat ingin memasuki pintu pesawat kelas bisnis, Munir

bertemu Pollycarpus (anggota pilot senior Garuda Indonesia yang saat itu

sedang tidak bertugas). Munir bertanya kepada Polly, “Tempat duduk ini di

mana?” Polly menjawab, “Wah, Bapak ini di ekonomi, cuma tempat

duduknya di mana saya tidak hafal.”

Ketika melangkah di dalam pesawat, Polly berkata kepada Munir,

“Saya duduk di bisnis, kalau Bapak mau di sini, ya Bapak tanya dulu sama

pimpinan kabin (purser), kalau diizinkan ya silakan, bila tidak, ya mohon

maaf.” Munir dan Polly pun bertukar tempat duduk. Munir duduk di kursi 3

K kelas bisnis, sedangkan Polly duduk di kursi 40 G kelas ekonomi.

Di depan toilet kelas bisnis, Polly bertemu purser Brahmanie

Hastawaty. Polly bertanya kepada Brahmanie, “Mbak, nomor 40 G di mana?

Saya bertukar tempat dengan teman saya.” Brahmanie kemudian

menganjurkan Polly untuk duduk di kursi 11 B kelas premium karena banyak

kursi yang kosong di sana. Brahmanie penasaran untuk mengetahui teman

Polly bertukar tempat duduk; dia pun memeriksanya dan mendapati Munir;

keduanya kemudian saling bersalaman.

Sebelum pesawat terbang, Yetti Susmiarti dibantu Oedi Irianto

(pramugari dan pramugara senior), membagikan welcome drink kepada

penumpang. Munir memilih jus jeruk. Pukul 22.02 WIB, pesawat lepas

landas. 15 menit setelah lepas landas, pramugari membagikan makanan dan

14
minuman kepada penumpang. Munir memilih mie goreng dan kembali jus

jeruk sebagai minumannya. Setelah terbang selama 1 jam 38 menit, pesawat

transit di bandara Changi, Singapura. Penumpang diberikan kesempatan

berjalan-jalan di bandara Changi selama 45 menit. Munir singgah ke Coffee

Bean. Polly bersama seluruh kru pesawat menuju ke hotel dengan

menggunakan bus.

Setelah selesai, Munir kembali ke pesawat. Di pintu masuk

pesawat, Munir bertemu dr. Tarmizi. Keduanya pun saling bercerita; Tarmizi

memberikan kartu nama kepada Munir. Keduanya pun berpisah, Tarmizi

duduk di kelas bisnis, sedangkan Munir kembali ke tempat duduknya di kursi

40 G kelas ekonomi. Polly tidak lagi melanjutkan perjalanan karena memang

memiliki tugas di Singapura.

Pesawat lepas landas pukul 01.53 waktu Singapura. Kali ini awak

pesawat semuanya berbeda dari sebelumnya. Pramugari Tia Dwi Ambara

menawarkan makanan kepada Munir, tapi Munir menolaknya dan hanya

meminta segelas teh hangat. Tia pun menyajikan teh panas untuk Munir yang

dituangkan dari teko ke gelas di atas troli dilengkapi dengan gula satu sachet.

Tiga jam pesawat terbang, Munir mulai sering bolak-balik ke toilet.

Ketika dia berpapasan dengan pramugara Bondan, dia mengeluh sakit perut

dan muntaber. Dia pun menyuruh Bondan memanggil Tarmizi yang duduk di

kelas bisnis sambil memberikannya kartu nama Tarmizi. Tarmizi pun

terbangun dan bertemu dengan Munir. Munir menjelaskan kondisi tubuhnya

yang tampak sangat lemah dengan berkata, “Saya sudah muntah dan buang

air besar enam kali sejak terbang dari Singapura.” Tarmizi menanyakan

15
kepada Munir tentang makanan yang dimakannya tiga hari terakhir. Munir

menjawab, “Biasa saja.” Purser Madjib kemudian berkata, “Pak Munir tadi

sempat minum air jeruk, padahal Pak Munir tidak kuat minum jeruk karena

sakit maag.” Tarmizi menyanggah, “Kalau sakit maag tidak begini.”

Tarmizi melakukan pemeriksaan umum dengan membuka baju

Munir. Dia lalu mendapati bahwa nadi di pergelangan tangan Munir sangat

lemah. Tarmizi berpendapat Munir mengalami kekurangan cairan akibat

muntaber. Munir kembali lagi ke toilet untuk muntah dan buang air besar

dibantu pramugari dan pramugara. Setelah selesai, Munir ke luar sambil

batuk-batuk berat.

Tarmizi menyuruh pramugari untuk mengambilkan kotak obat

yang dimiliki pesawat. Kotak pun diterima Tarmizi dalam keadaan tersegel.

Setelah dibuka, Tarmizi berpendapat bahwa obat di kotak itu sangat minim,

terutama untuk kebutuhan Munir: infus, obat sakit perut mulas dan obat

muntaber, semuanya tidak ada. Tarmizi pun mengambil obat di tasnya. Dia

memberi Munir dua tablet obat diare New Diatabs; satu tablet obat mual dan

perih kembung, Zantacts dan satu tablet Promag.

Tarmizi menyuruh pramugari membuat teh manis dengan

tambahan sedikit garam. Namun, setelah lima menit meminum teh tersebut,

Munir kembali ke toilet. Tarmizi menyuntikkan obat anti mual dan

muntah, Primperam, kepada Munir sebanyak 5 ml. Hal ini berhasil karena

Munir kemudian tertidur selama tiga jam. Setelah terbangun, Munir kembali

ke toilet. Kali ini dia agak lama, sekitar 10 menit. Madjib memberanikan diri

16
mengintipnya, ternyata Munir telah terjatuh lemas di toilet. Madjib kemudian

mengangkatnya kembali ke kursi.

Tarmizi kembali memeriksa Munir dengan memukul-mukul perut

Munir. “Aduh sakit!”, teriak Munir. Tarmizi kemudian menyuruh Munir

beristighfar. Pramugari Titik Murwati menggosok perut Munir dengan

balsem. Munir berkata ingin beristirahat karena capek. Tarmizi menyuntikkan

Munir Diazepam sebanyak 5 mg. Setelah disuntik, Munir kembali merasa

mulas di perut dan kemudian masuk ke toilet lagi. Ke luar dari toilet, Munir

berkata ingin tidur terlentang. Pramugari dan pramugara pun menyiapkannya

selimut sebagai alas dan penghangat. Munir tertidur pulas dengan di jaga

Madjib, sementara Tarmizi kembali ke kursinya untuk tidur.

Dua jam sebelum pesawat mendarat, Madjib mendatangi Munir.

Dia kaget melihat keadaan Munir: mulutnya mengeluarkan air yang tidak

berbusa dan kedua telapak tangannya membiru. Madjib pun bergegas

membangunkan Tarmizi. Tarmizi memegang pergelangan tangan Munir

sambil menepuk-nepuk pundaknya dan berkata, “Pak Munir… Pak Munir!”

Akhirnya, dengan memandangi Madjib, Tarmizi mengatakan, “Purser, Pak

Munir meninggal… Kok secepat ini, ya… Kalau cuma muntaber, manusia

bisa tahan tiga hari.” Awak pesawat mengangkat tubuh Munir, memejamkan

matanya dan menutupi tubuh Munir dengan selimut. Ya, Munir meninggal

dunia di pesawat, di atas langit Negara Rumania.

Pada tanggal 11 September 2004, jenazah Munir tiba Pangkalan

Udara (Lanud) Abdulrachman Saleh pada Sabtu (11/9) tepat pukul 21.10.

Jenazah almarhum dan rombongan pengantar diangkut dengan Boeing 737

17
Merpati MZ-3300. Pada tanggal 12 September 2004, Jenazah Munir,

dimakamkan di Taman Pemakaman Umum, Kota Batu, Minggu (12/9). Isak

tangis, sedih dan haru ribuan pelayat mewarnai prosesi pemakaman mulai

dari rumah duka di Jalan Diponegoro hingga ke pemakaman yang berjarak

sekitar 2 km. Suciwati, istri Munir meminta hasil otopsi terhadap jenazah

almarhum. Dia datang bersama Smita Nososusanto, Emmy Hafizd, Usman

Hamid dan Bini Buchori. Pihak kepolisian menyatakan dalam tubuh Munir

terkandung zat arsenik yang melampui batas normal. Pada tanggal 17

November 2004, Suciwati dan tim kepolisian berangkat ke Belanda meminta

akta otentik otopsi terhadap jenazah Munir.

Melihat kronologis di atas, memang akan membuat kematian

Munir terlihat begitu ganjil dan otomatis menimbulkan indikasi pembunuhan

berencana terhadap Munir. Setidaknya, inilah kronologis kematian Munir

versi resmi yang beredar di masyarakat.

Analisis Kasus Munir Menurut Lawrence Friedman

1. Struktur Hukum, dalam pengertian bahwa struktur hukum merupakan

pranata hukum yang menopang sistem hukum itu sendiri, yang terdiri

atas bentuk hukum, lembaga-lembaga hukum, perangkat hukum, dan

proses serta kinerja mereka.

2. Substansi Hukum, dimana merupakan isi dari hukum itu sendiri, artinya

isi hukum tersebut harus merupakan sesuatu yang bertujuan untuk

menciptakan keadilan dan dapat diterapkan dalam masyarakat.

18
3. Budaya Hukum, hal ini terkait dengan profesionalisme para penegak

hukum dalam menjalankan tugasnya, dan tentunya kesadaran masyarakat

dalam menaati hukum itu sendiri.

Dari contoh Kasus Munir, struktur-struktur hukum ada dalam

kasus-kasus tersebut. Terlihat dari bentuk kasus tersebut adalah kasus hukum

pidana, dengan memiliki lembaga hukum yaitu pengadilan tinggi negeri.

Adapula substansi hukum, hukum yang diberikan merupakan tujuan hukum

yang ada yaitu penegakan keadilan. Siapapun yang tidak melanggar hukum

atau tidak menaati hukum, pastilah akan diberikan hukuman. Tak

memandang siapapun itu. Disini budaya hukum itupun ada. Hal ini terdapat

pada tingkat profesionalisme para penegak hukum. Para penegak hukum

menjalankan tugas tanpa memandang bulu. Jadi, semua tugas yang telah

diberikan, sesuai dengan apa yang terjadi secara fakta, dan hukum itu berlaku

sesuai kejadian yang ada

Faktor-faktor Penegakan Hukum di Indonesia

Pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor

yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti

yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-

faktor tersebut.

Faktor-faktor tersebut adalah, sebagai berikut:

1. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undang-undang

saja.

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun

menerapkan hukum.

19
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku

atau diterapkan.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang

didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

20
BAB 4

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 KESIMPULAN

Masalah penegakan hukum di Indonesia merupakan masalah yang

sangat serius dan akan terus berkembang jika unsur di dalam sistem itu

sendiri tidak ada perubahan, tidak ada reformasi di bidang itu sendiri.

Karakter bangsa Indonesia yang kurang baik merupakan aktor utama dari

segala ketidaksesuaian pelaksanaan hukum di negari ini. Perlu ditekankan

sekali lagi, walaupun tidak semua penegakan hukum di Indonesia tidak

semuanya buruk, Namun keburukan penegakan ini seakan menutupi segala

keselaran hukum yang berjalan di mata masyarakat. Begitu banyak kasus-

kasus hukum yang silih berganti dalam kurun waktu relatif singkat, bahkan

bersamaan kejadiaannya. Perlu ada reformasi yang sebenarnya, karena

permasalahan hukum ini merupakan permasalahan dasar suatu negara,

bagaimana masyarakat bisa terjamin keamanannya atau bagaimana

masyarakat bisa merasakan keadilan yang sebenarnya, hukumlah yang

mengatur semua itu, dan perlu digaris-bawahi bahwa hukum sebanarnya telah

sesuai dengan kehidupan masyarakat, tetapi pihak-pihak yang ingin

mengambil keuntungan baik pribadi maupun kelompok merupakan

penggagas segala kebobrokan hukum di negeri ini.

Perlu banyak evaluasi-evaluasi yang harus dilakukan, harus ada

penindaklanjutan yang jelas mengenai penyelewengan hukum yang kian hari

kian menjadi. Perlu ada ketegasan tersendiri dan kesadaran yang hierarki dari

individu atau kelompok yang terlibat di dalamnya. Perlu ditanamkan mental

21
yang kuat, sikap malu dan pendirian iman dan takwa yang sejak kecil harus

diberikan kepada kader-kader pemimpin dan pelaksana aparatur negara atau

pihak-pihak berkepentingan lainnya. Karena baik untuk hukum Indonesia,

baik pula untuk bangsanya dan buruk untuk hukum di negeri ini, buruk pula

konsekuensi yang akan diterima oleh masayarakat dan Negara.

Jadi, penerapan dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 perubahan ketiga

yang berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara hukum”, harus

dilaksanakan, karena sudah demikian ketetapan itu berlaku. Merupakan

karekteristik yang harus tertanam dalam diri pribadi ataupun kelompok

kepentingan. Kita harus malu dengan Undang-Undang tersebut, harus malu

dengan pendiri bangsa yang rela menumpahkan darah demi memperjuangkan

kemerdekaan Indonesia, kita harus menghargai semua perjuangan itu dengan

hal yang tidak dapat membuat negeri ini malu di mata masyarakat ini sendiri

bahkan dunia luar. Bangsa yang besar tidak hanya berdasarkan luasan

wilayahnya ataupun betapa banyaknya jumlah penduduk, tetapi dengan

menghargai perjuangan para pahlawan terdahulu dengan menjalankan

ketentuan hukum yang berlaku demi terciptanya keamanan, ketentraman dan

kesejahteraan masyarakat

4.2 SARAN

Menukik ke pembicaraan yang lebih konkrit, ada beberapa hal yang

perlu dilakukan oleh pemerintah dalam penegakan hukum. Di tingkat

substansi hukum - peraturan perundang-undangan- pemerintah perlu

mendorong pembentukan perangkat peraturan yang terkait dengan

22
penegakan hukum dengan visi di atas. Misalnya saja, pembentukan peraturan

yang mewajibkan prosedur teknis dalam melaksanakan prinsip transparansi

dan akuntabilitas. Juga, pemerintah, sebagai salah satu aparat pembentuk

undang-undang, perlu berinisiatf membentuk undang-undang yang berkaitan

dengan perbaikan institusi penegakan hukum: Pengadilan, Kejaksaan, dan

Kepolisian. Di tingkat aparat, perlu ada kebijakan yang berkaitan dengan

disiplin yang tinggi.

Bukan hanya aparat penegak hukum yang langsung berkaitan

dengan pengadilan tetapi seluruh aparat birokrasi pemerintah. Sebab

penegakan hukum bukanlah hanya dilakukan di pengadilan tapi juga soal

bagaimana menjalankan peraturan perundang-undangan secara konsisten,

tanpa kolusi, korupsi, dan nepotisme. Dalam konteks “kultur” hukum,

pemerintah perlu menjalankan kebijakan ke dua arah, yaitu kepada dirinya

sendiri, dalam hal ini aparat birokrasi, dan kepada rakyat pengguna jasa

penegakan hukum. Kultur ini bisa saja menjadi keluaran dari proses disiplin

yang kuat yang menumbuhkan budaya penghormatan yang tinggi kepada

hukum. Namun di samping itu, perlu juga dilakukan rangkaian kegiatan

yang sistematis untuk mensosialisasikan hak dan kewajiban warga negara,

agar muncul kesadaran politik dan hukum.

23
BAB 5

PENUTUP

Supremasi hukum dan penegakan hukum bagi suatu Negara yang

memilih sebagai Negara hukum rechtsstaat/rule of law atau apapun istilahnya,

merupakan harga mati yang tidak boleh ditawar-tawar. Demikian pulalah halnya

Indonesia. Sejak semula bangsa ini mendirikan Negara the founding fathers telah

memilih menjadi suatu Negara hukum, maka konsekuensi dari pada itu hukum

harus menjadi fondasi dalam tatanan kehidupan kenegaraan, pemerintahan dan

kemasyarakatan.

Namun tidak berhenti sampai disitu saja, akan tetapi berkelanjutan

dengan pembangunan elemen-elemen hukum dan peraturan perundang-undangan

sebagai bangunan hukum yang dapat menaungi kepentingan segenap elemen

bangsa dan dilakukan penegakan untuk menciptakan suasana yang kondusif dan

memulihkan gangguan-gangguan yang timbul. Untuk itu semua, maka komitmen

dari segenap elemen bangsa mutlak diperlukan untuk mendukung supremasi

hukum dan penegakan hukum di negeri ini, agar kita tidak menjadi bangsa yang

mengingkari dan bahkan menghianati pilihannya sendiri untuk bernegara dalam

sebuah Negara hukum.

24
REFERENSI

http://tesishukum.com/pengertian-supremasi-hukum-menurut-para-ahli/

http://hukum-on.blogspot.co.id/2012/06/pengertian-supremasi-hukum-dan.html

http://desbayy.blogspot.co.id/2015/10/makalah-problematika-penegakan-hukum-

di.html

http://rodlial.blogspot.co.id/2014/02/makalah-penegakan-hukum-di-

indonesia.html

http://lingkarannews.com/mengingat-tentang-kronologis-kematian-munir/

https://baracellona.wordpress.com/2012/03/27/penegakan-hukum-di-indonesia/

http://jelekoke.blogspot.co.id/2013/04/contoh-kasus-hukum-di-indonesia-

beserta.html

25

Anda mungkin juga menyukai