Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

ILMU NEGARA
AKIBAT DAN TUJUAN NEGARA
Dosen : Muh Fadli Fauzi Sahlan S.Pd.,M.Kom

Disusun Oleh:
Try Aditya Sangkung
4523060173

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


UNIVERSITAS BOSOWA
2023

1
Kata Pengantar

Puji syukur ke hadirat Allah Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan nikmat
kesehatan dan kesempatan sehingga penulis dapat menulis buku Pengantar Ilmu Hukum, untuk
mahasiswa terutama fakultas hukum. Meskipun masih banyak kekurangan di dalam makalah ini,
tetapi penulis berharap dapat bermanfaat, baik teman-teman maupun masyarakat pembaca
sehingga dapat menambahkan wawasan pembaca. Karena dalam dekade terakhir ini,
perkembangan di dalam masyarakat semakin maju dan kompleks, semakin besar juga pengaruh
hukum dalam mengikuti perkembangan masyarakat tersebut. Hukum yang baik ialah hukum
yang tidak boleh tertinggal dari perkembangan masyarakat. Sehingga dengan hadirnya buku
Pengantar Ilmu Hukum ini dapat menjadi sumbangsih untuk memperbaiki hukum di Indonesia,
Oleh karena itu, penulis berharap masukan atau keritikan berupa saran yang bersifat membangun
untuk menyempurnakan buku ini.
Makalah ini penulis persembahkan dosen (Bapak Muhammad Halwan Yamin, S.H. M.H.)
yang telah memberikan tugas dan kesempatan terhadap penulis sehingga dapat menyelesaikan
Makalah Pengantar Ilmu Hukum yang ada di tangan pembaca sekarang

Minggu,19 November 2023

Try Aditya Sangkung

2
DAFTAR ISI

KATA
PENGANTAR………………………………………………………………………………..2
DAFTAR ISI…..
………………………………………………………………………………………….3

BAB I
PENDAHULUAN…………………………………………………………………………..4
A. Latar belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN…………………………………………………………………………….5
A. Pengertian Pengantar Ilmu Hukum
B. Pengertian Ilmu Hukum
C. Hakikat Hukum
D. Tujuan Hukum

BAB III
PENUTUP…………………………………………………………………………………..9
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA………………….
……………………………………………………………….10

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN PENGANTAR ILMU HUKUM


Sebelum membahas mengenai perkembangan ilmu hukum, Omaka penulis terlebih
dahulu menjelaskan pengertian Pengantar Ilmu Hukum (PIH) dengan tujuan supaya mahasiswa
dapat memahami apa itu Pengantar Ilmu Hukum karena di setiap fakultas hukum di Indonesia
ada yang mempelajari Ilmu Hukum, Pengantar Ilmu Hukum, dan Pengantar Hukum Indonesia.
Tetapi di dalam buku ini penulis hanya menjelaskan Pengantar Ilmu Hukum, Pengantar Ilmu
Hukum menurut Marwan Mas adalah:
"Pengantar Ilmu Hukum (PIH) merupakan mata kuliah dasar bagi mahasiswa (setiap
orang) yang akan mempelajari atau bahkan memperdalam ilmu hukum, sesungguhnya
berisi pengetahuan dasar hukum, tetapi membutuhkan kesiapan bagi yang ingin
mendalaminya karena lingkup bahasannya sangat luas.”
Ishaq dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum (PIH) menjelaskan pengertian pengantar ilmu
hukum sebagai berikut:
"Pengantar Ilmu Hukum adalah mata kuliah yang merupakan dasar bagi setiap
mahasiswa atau orang yang akan mempelajari ilmu hukum dan memberikan pengertian-
pengertian dasar berbagai istilah dalam ilmu hukum yang bersifat umum, yakni tidak
terbatas pada ilmu hukum yang berfokus pada negara tertentu dan masa tertentu²".
Adapun Muhamad Erwin dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum (PIH) menjelaskan pengertian
Pengantar Ilmu Hukum (PIH) sebagai berikut:
"Pengantar Ilmu Hukum (PIH) adalah ilmu yang membahas seluk+beluk mengenai
hukum dengan tujuan dapat menjelaskan tentang pokok-pokok atau bagian-bagian hukum
yang mendasar serta keterkaitannya dengan hukum sebagai ilmu, serta dapat
memperkenalkan hukum secara keseluruhan dalam garis besarnya."³
Kemudian penulis memberikan definisi Pengantar Ilmu Hukum (PIH) adalah mata kuliah
dasar bagi mahasiswa hukum dalam mempelajari hukum yang berguna untuk mempelajari
hukum-hukum pada umumnya sesuai dengan bidang-bidang atau jurusan masing-masing, karena
hukum itu bermacam-macam di antaranya hukum perdata, pidana, hukum tata negara, dan lain
sebagainya. Dengan demikian, mahasiswa dapat mempelajari atau memahami hukum-hukum
pada umumnya (hukum perdata, pidana, hukum tata negara) karena sudah mempelajari dasar-
dasar atau fondasi dari hukum itu sendiri, sehingga tidak salah dalam mempelajari hukum pada
umumnya.
Oleh karena itu, objek Pengantar Ilmu Hukum (PIH) adalah hukum pada umumnya dan
tidak terbatas pada hukum positif negara tertentu. Fungsinya adalah mendasari dan
menumbuhkan motivasi bagi setiap mahasiswa atau orang yang akan mempelajari hukum.

4
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dijelaskan bahwa mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum
(PIH) keberadaannya sebagai pengantar dalam mengarungi lautan ilmu hukum, sesungguhnya
memberikan pemahaman tentang bagaimana dasar-dasar teoretis, asas-asas, dan filosofis yang
terkandung dalam lautan hukum itu.
Jadi Pengantar Ilmu Hukum (PIH) mengantarkan kepada materi lapangan-lapangan
hukum yang cukup luas, seperti hukum perdata, hukum pidana, hukum tata negara, dan lain
sebagainya. Sebagai pengantar, maka Pengantar Ilmu Hukum (PIH) yang objeknya hukum
mengkaji dan menganalisis hukum sebagai suatu fenomena (gejala) hukum yang berhubungan
dengan kehidupan manusia secara universal
B. PENGERTIAN ILMU HUKUM
Suatu kenyataan hidup bahwa manusia itu tidak sendiri. Manusia hidup berdampingan,
bahkan berkelompok-kelompok dan sering mengadakan hubungan antarsesamanya. Hubungan
itu terjadi berkenaan dengan kebutuhan hidupnya yang tidak mungkin selalu dapat dipenuhi
sendiri. Kebutuhan hidup manusia bermacam-macam. Pemenuhan kebutuhan hidup tergantung
dari hasil yang diperoleh melalui daya upaya yang dilakukan. Setiap waktu manusia ingin
memenuhi kebutuhannya dengan baik. Kalau dalam saat yang bersamaan dua manusia ingin
memenu hi kebutuhan yang sama dengan hanya satu objek kebutuhan, sedangkan keduanya
tidak mau mengalah, bentrokan dapat terjadi. Suatu bentrokan akan terjadi juga kalau dalam
suatu hubungan, antarmanusia satu dan manusia lain yang tidak memenuhi kewajiban.5
Lain halnya dengan ketentuan hukum. Setiap ketentuan hukum berfungsi mencapai tata
tertib antar hubungan manusia dalam kehidupan sosial. Hukum menjaga kebutuhan hidup agar
terwujud suatu keseimbangan psikis dan fisik dalam kehidupan, terutama kehidupan kelompok
sosial yang merasakan tekanan atau ketidaktepatan ikatan sosial. Berarti hukum juga menjaga
supaya selalu terwujud keadilan dalam kehidupan sosial (masyarakat). Jadi, norma hukum
merupakan sesuatu yang berkenaan dengan kehidupan manusia dalam kelompok sosial tertentu,
baik dalam situasi kebersamaan maupun situasi sosial. Hal itu untuk mencapai tata tertib demi
keadilan. Hukum sebagai norma memiliki ciri kekhususan, yaitu hendak melindungi, mengatur,
dan memberikan keseimbangan dalam menjaga kepentingan umum. Pelanggaran ketentuan
hukum dalam arti merugikan, melalaikan atau mengganggu keseimbangan kepentingan umum
dapat menimbulkan reaksi dari masyarakat. Reaksi yang diberikan berupa pengembalian
ketidakseimbangan yang dilakukan dengan mengambil tindakan terhadap pelanggarannya.
Pengembalian ketidakseimbangan bagi suatu kelompok sosial yang teratur dilakukan oleh
petugas yang berwenang dengan memberikan hukuman
Sesuai dengan tujuannya untuk mencapai tata tertib demi keadilan, aturan-aturan hukum
akan berkembang sejalan dengan perkembangan pergaulan hidup manusia. Perkembangan
aturan-aturan hukum itu dalam pelaksanaannya menunjukkan adanya penggantian aturan-aturan
hukum yang sedang berlaku (hukum positif). Hal itu karena sudah tidak sesuai lagi dengan
kebutuhan masyarakat sehingga diperlukan aturan-aturan hukum baru yang sejenis. Aturan-
aturan hukum yang akan menggantikan itu selama belum menjadi hukum positif, karena masih
direncanakan berlakunya, dinamakan hukum yang direncanaconstituendum). Aturan hukum baru

5
sebagai hukum positif dan aturan hukum lama yang sudah tidak berlaku lagi, kedua-keduanya
dalam ilmu pengetahuan hukum dinamakan tata hukum. Tata hukum ini sepanjang zaman akan
selalu ada serta bertambah selama ada kehidupan dan perkembangan hidup manusia. Peraturan
hukum yang berlaku di dalam suatu kelompok sosial, ketentuannya tidak terpisah-pisah dan tidak
tersebar bebas, melainkan ada dalam satu kesatuan/keseluruhan yang masing-masing berlaku
sendiri-sendiri. Setiap satu kesatuan yang merupakan keseluruhan aturan, terdiri dari bagian-
bagian. Satu sama lain yang berkaitan dan tidak dapat dilepas-lepas, disusun secara teratur
dengan tatanan tertentu merupakan satu sistem yang dinamakan sistem hukum. Hukum sebagai
suatu sistem hukum mempunyai bentuk-bentuk sistematikanya sendiri. Sistematika didasarkan
hasil pemikiran dalam pembentukan sistem.
C. HAKIKAT HUKUM
Mengenai pengertian hakikat hukum sebagaimana diungkapkan oleh Lorens Bagus dan
Anton Baker memandang bahwa hakikat hukum adalah esensi dari segala sesuatu (yang ada dan
mungkin ada) masih merupakan persoalan yang terus dipikirkan dan dibahas dalam filsafat.
Secara sederhana dapat dikemukakan bahwa hakikat adalah sebab terdalam dari segala sesuatu,
yaitu adanya sesuatu itu.
Adapun Jan Gijssels dan Mark van Hoecke menyatakan bahwa hakikat hukum itu merupakan
suatu keseluruhan rangkaian persoalan-persoalan fundamental yang ditampilkan sebagai
hubungan-hubungan antara manusia sendiri dalam aspek hukumnya.
Hukum yang mempunyai hakikat hukum harus dapat memberikan rasa keamanan,
ketertiban, dan keadilan di dalam masyarakat sosial. Karena kalau kita lihat sekarang ini hukum
(perundang-undangan) yang dihasilkan oleh lembaga legislatif belum menunjukkan hakikat yang
jelas dari hukum (perundang-undangan) itu sendiri, sehingga masyarakat banyak tidak percaya
terhadap hukum yang dihasilkan tersebut. Ini menunjukkan bahwa hakikat hukum atau substansi
hukum masih sarat dengan kepentingan-kepentingan baik kepentingan partai, kelompok/
golongan maupun kepentingan pribadinya sehingga apa yang menjadi hakikat dari hukum itu
sendiri tidak dapat berfungsi di dalam masyarakat sosial.
Hakikat dari hukum yaitu menempatkan kebenaran dan keadilan sebagai kompas baik
hukum itu sendiri maupun penegak hukum. Dalam hal ini ada empat penegak hukum di
Indonesia sebagaimana yang dikenal dengan istilah catur wangsa (polisi, jaksa, hakim, dan
pengacara). Kalau kebenaran dan keadilan dijadikan kompas bagi penegak hukum, maka proses
hukum berjalan objektif³² dan rasional artinya terdapat tolok ukur yang jelas, logis, dan diterima
akal sehat masyarakat sosial.
Karena hukum di Indonesia adalah sebuah entitas yang sangat kompleks, meliputi kenyataan
kemasyarakatan yang majemuk, mempunyai banyak aspek, dimensi, dan fase. Bila diibaratkan
benda ia bagaikan permata, yang setiap irisan dan sudutnya akan memberikan kesan yang
berbeda bagi setiap orang yang melihat atau memandangnya.33
Oleh karena itu, hukum dalam masyarakat laksana udara bagi manusia, hewan, dan
tumbuh-tumbuhan. Selagi adan udara itu secara alami maka manusia seakan-akan tidak

6
menyadari akan mutlaknya udara itu buat hidup manusia. Akan tetapi manakalah udara itu
pengap, tertutup dan tercemar, barulah kita merasakan kebutuhan terhadap udara yang bersih dan
nyaman. Begitu pula halnya dengan hukum. Bila hukum berjalan dengan baik, manusia sebagai
anggota masyarakat seolah-olah lupa bahwa yang menyebabkan baik dan nyamannya masyarakat
itu adalah pelaksanaan hukum yang baik.
D. Tujuan Hukum
Hukum bertujuan mengatur pergaulan hidup secara damai. Hukum menghendaki
perdamaian. Tertib hukum itu sinonim dengan damai (vrede). Kejahatan berarti pelanggaran
perdamaian (vredebreuk), penjahat dinyatakan tidak damai (vredeloos), yaitu dikeluarkan dari
perlindungan hukum. Perdamaian di antara manusia dipertahankan oleh hukum dengan
melindungi kepentingan-kepentingan manusia yang tertentu, kehormatan, kemerdekaan, jiwa,
harta-benda, dan sebagainya terhadap yang merugikannya. Kepentingan perseorangan dan
kepentingan golongan-golongan manusia selalu bertentangan satu sama lain. Pertentangan
kepentingan itu selalu akan menyebabkan pertikaian, bahkan peperangan antara semua orang
melawan semua orang. Jika hukum tidak bertindak sebagai perantara untuk mempertahankan
perdamaian.
Hukum mempertahankan perdamaian dengan menimbang kepentingan yang bertentangan
secara teliti dan mengadakan keseimbangan di antaranya Karena hukum hanya dapat mencapai
tujuan (mengatur pergaulan hidup secara damai) jika tujuan hukum adalah peraturan yang adil.
Artinya, peraturan yang menjadi tempat terjadinya keseimbangan antara kepentingan-
kepentingan yang dilindungi. Dengan peraturan demikian itu setiap orang memperoleh sebanyak
mungkin yang menjadi bagiannya. Hal itu sejalan dengan pemikiran Aristoteles, yaitu ius suum
cuique tribuere. Keadilan tidak boleh dipandang sama arti dengan persamarataan. Keadilan
bukan berarti bahwa tiap-tiap orang memperoleh bagian yang sama.
Seperti apa yang dikemukakan Aristoteles, bahwa terdapat dua macam keadilan. Pertama, yaitu
keadilan distributief dan kedua, yaitu keadilan commutatief. Keadilan distributief ialah keadilan
yang memberikan kepada tiap-tiap orang jatah menurut jasanya. Ia tidak menuntut supaya tiap-
tiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya, bukan persamaan, melainkan kesebandingan.
Bila dirumuskan dalam Pasal 27 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, bahwa:
"tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan...", maka itu belum berarti bahwa semua warga
negara Indonesia mempunyai hak yang sama untuk bekerja di suatu instansi tertentu, melainkan
berarti bahwa pekerjaan baru diberikan kepada mereka yang berdasarkan keterampilan dan
pengalaman kerja dan sebagainya, patut bekerja.
Keadilan commutatieƒ ialah keadilan yang memberikan pada setiap orang sama
banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa perseorangan. Keadilan jenis itu memegang
peranan dalam tukar-menukar, pada pertukaran barangbarang dan jasa-jasa, yang di dalamnya
sebanyak mungkin harus terdapat persamaan antara apa yang dipertukarkan. Keadilan
commutatief lebih menguasai hubungan antara perseorangan khusus. Keadilan distributief
terutama menguasai hubungan antara masyarakat khususnya negara dengan perseorangan

7
khusus. Asas kesebandingan atau proporsionalitas memegang peranan yang penting dalam
hukum perdata.
Ada teori yang mengajarkan bahwa hukum semata-mata menghendaki keadilan. Teori-
teori yang mengajarkan hal tersebut, disebut teori-teori yang etis karena menurut teori-teori itu,
isi hukum semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran etis kita mengenai apa yang adil dan apa
yang tidak adil. Teori-teori tersebut berat sebelah. Ia melebih-lebihkan kadar keadilan hukum,
karena keadilan seperti itu tidak cukup memerhatikan keadaan sebenarnya. Hukum menetapkan
peraturan-peraturan umum yang menjadi petunjuk untuk orang-orang dalam pergaulan hidup.
Jika hukum semata-mata menghendaki keadilan, jadi selama mempunyai tujuan memberi tiap-
tiap orang apa yang patut diterimanya, maka ia tak dapat membentuk peraturan-peraturan umum.
Dan yang terakhir inilah yang harus dilakukan.
Adalah syarat baginya untuk dapat berfungsi. Tidak mungkin ada suatu tertib hukum
yang tidak mempunyai peraturan umum, baik tertulis atau tidak tertulis. Tak adanya peraturan
umum maka timbul ketidakpastian mengenai apa yang disebut adil atau tidak adil.
Ketidakpastian itu selalu akan menyebabkan perselisihan antara orang-orang, sehingga dengan
demikian terjadilah keadaan yang tidak teratur padahal yang dikehendaki dalam hukum adalah
adanya keteraturan.
Hukum harus menentukan peraturan umum, harus menyamaratakan. Suatu bentuk dari
keadilan, yaitu menyamaratakan. Selain jenis keadilan yang menuntut supaya tiap-tiap perkara
harus ditimbang tersendiri: suum cuique tribuere. Untuk mencapai tuntutan keadilan yang
menyamaratakan, maka pembentuk undang-undang sebanyak mungkin memenuhi tuntutan
tersebut dengan merumuskan peraturan-peraturannya sedemikian rupa, sehingga hakim diberi
kelonggaran yang besar dalan melakukan peraturanperaturan tersebut untuk diterapkan kepada
hal-hal yang khusus.
Untuk mencapai hal itu maka dalam kelonggaran demikian itu pembentuk
undang-undang memperingatkan agar hakim dalam keputusannya harus memerhatikan
keadilan. Dimaksudkan dengan keadilan di sini, berfungsi sebagai alat untuk
menghindarkan agar pemakaian peraturan perundang-undangan yang umum untuk
diterapkan kepada hal-hal yang khusus jangan sampai menyebabkan ketidakadilan.
Dalam hal ini Hoge Raad telah menyamakan antara keadilan dengan kepantasan
(redelijkheid) atau iktikad baik.
Apabila penggunaan peraturan perundangan yang bersifat umum itu berorientasi keadilan,
sekalipun pengadilan memperluas asas iktikad baik, dengan sendirinya kepastian hukum akan
terpenuhi. Tidak perlu ada bentrokan atau antinomie antara tuntutan-tuntutan keadilan dan
tuntutantuntutan kepastian hukum. Tidak perlu dikhawatirkan apa yang disebut dengan summum
ius, summa iniuria atau keadilan yang tertinggi adalah ketidakadilan yang tertinggi.
Namun demikian, Hugo De Groot merasa perlu mengemukakan kekhawatirannya
terhadap sejumlah undang-undang yang dibuat secara umum, yang mengatur beranekawarnanya
urusan-urusan manusia dan tidak merumuskan urusan-urusan itu secara tertentu. Menurut De
Groot undang-undang harus menetapkan sesuatu yang tentu. Rumusan peraturan yang bersifat

8
umum dapat diatasi dalam praktik karena hakim dimungkinkan untuk menerapkan hukum ke
dalam peristiwa yang nyata dengan menafsirkan peraturan-peraturan mempergunakan tafsiran
bebas untuk menghilangkan atau mengurangkan ketidakadilan.
Hanya saja, ada kekhawatiran bahwa wewenang diskresi yang dimiliki hakim tersebut
mengurangi kepastian hukum dan diskresi tidak selamanya dapat dipergunakan. Hal yang
terakhir itu misalnya apabila tidak ada perkara yang dibawa ke muka pengadilan, dalam hal
seperti di waktu yang lampau kaum wanita sama sekali tidak diperbolehkan memangku
jabatanjabatan tertentu. Demikian pula dengan adanya peraturan yang mengatur mengenai usia
dewasa yang harus berlaku bagi setiap orang. Padahal tidak semua orang dapat mencapai
kedewasaan yang secara umum berlaku.
Sehubungan dengan asas lex dure, sed tamen scipta atau undang-undang adalah keras,
akan tetapi memang demikian bunyinya, dapat menimbulkan ketidakadilan. Misalnya ditetapkan
bahwa tiap-tiap persetujuan yang dibuat secara sah, mengikat mereka yang membuatnya dengan
kekuatan seakanakan undang-undang. Peraturan tersebut juga berlaku (kecuali dalam beberapa
hal, misalnya dapat dituntutnya pembatalan pemisahan harta benda (boedel scheiding) dalam hal
yang merugikan, yang jumlahnya lebih dari seperempat jika dalam hal tersebut salah satu pihak
sangat dirugikan karena ia berdasarkan undang-undang, dalam hal ini misalnya kalau tidak ada
penipuan, harus melakukan prestasi yang nilainya jauh melebihi nilai prestasi pihak yang lain.
Dalam hal sebagaimana dikemukakan di atas, maka perjanjian itu bertentangan dengan keadilan
commutatief. Karena itu maka berdasarkan apa yang disebut laesio enormis, hukum
memungkinkan kepada penjual yang telah menjual barangnya dengan harga yang kurang dari
setengah, maupun si pembeli, yang membayar dengan harga yang melebihi dua kali lipat harga
yang harus dibayarkan, dengan catatan tidak ada penipuan, untuk memilih menuntut pembatalan
jual-beli, atau tuntutan membayar ganti rugi.
Dalam hal itu maka hukum terlihat seolah-olah mengorbankan keadilan sekadarnya guna
kepentingan daya guna atau kemanfaatan, atau apa yang disebut dengan sifat kompromi dari
hukum. Dalam hal ini ada yang berpendapat bahwa bahkan ada terdapat sejumlah besar
peraturan-peraturan hukum yang sama sekali tidak mewujudkan keadilan, melainkan semata-
mata didasarkan pada kepentingan daya guna. Dicontohkan peraturan mengenai bukti dan
daluwarsa, begitu pula peraturan-peraturan yang melindungi bezitter hingga batas tertentu dari
kepentingan pihak eigenaar untuk kepentingan perdamaian dalam masyarakat.
Hal itu kemudian secara rhretoris disesalkan Apeldoorn dalam kesimpulannya bahwa hal
seperti itu patut disesalkan akan tetapi orang tidak dapat lagi mengubahnya, dengan alasan
hukum adalah buatan manusia dan sebagai demikian tidak sempurna.20 Sumber hukum Fries
dari Abad Menengah memberikan jawaban atas pertanyaan: apakah hukum? yakni
memerintahkan apa yang patut, menyuruh apa yang baik, melarang apa yang tidak adil,
membolehkan apa yang adil dan kadang-kadang juga apa yang tidak adil, karena takut akan hal-
hal yang lebih buruk.21
Geny mengemukakan bahwa tujuan hukum ialah semama-mata keadilan, akan tetapi merasa
terpaksa juga memasukkan pengertian kepentingan daya guna dan kemanfaatan sebagai suatu

9
unsur dari pengertian keadilan. Terhadap pandangan Geny itu, Apeldoorn sama sekali menolak.
Menurut Apeldoorn, jika jawaban atas pertanyaan apa yang dikatakan adil, bergantung atau ikut
bergantung kepada pertanyaan apa yang dikatakan berfaedah, maka itu sama saja dengan orang
meniadakan keadilan.
Teori yang menerangkan bahwa hukum tidak mempunyai tujuan lain daripada
mewujudkan keadilan adalah berat sebelah. Begitu pula dengan teori yang menekankan kepada
tujuan hukum semata-mata kemanfaatan (utilitis) 22 hukum ingin menjamin kebahagiaan yang
terbesar untuk jumlah manusia yang terbesar juga berat sebelah. Oleh sebab itu, tujuan hukum
adalah keadilan, yang di dalamnya sudah terkandung kemanfaatan dan kepastian hukum.

10
DAFTAR PUSTAKA
Apeldoorn, L. J. van. Pengantar Ilmu Hukum. Cetakan Ketujuhbelas. Jakarta: Pradnya Paramita,
1981.
Austin, John. Lectures on Jurisprudence. Cetakan Keempat. London: tanpa penerbit, 1873.
Berchling, Conrad. Poesi und Humor in Friesischen Recht. Tanpa keterangan cetakan. Aurich:
tanpa penerbit, 1908.
Bryce, James. The American Commonwealth I. Cetakan Baru New York: tanpa penerbit, 1922.
Dardji Darmodihardjo. Pokok-pokok Filsafat Hukum. Jakarta: Gramedia, 1995. Frank, Jerome.
Law and the Modern Mind. tanpa cetakan. London: tanpa penerbit, 1949.
Gray, John Chipman. The Nature and Sources of Law. Cetakan Kedua. New York: tanpa
penerbit, 1931.
Gutteridge, H. Comparative Law. Cambridge: tanpa penerbit, 1946. Hilman Hadikusuma.
Antropologi Hukum Indonesia. Bandung: Alumni, 1986. Holdsworth, W. S. Sources and
Literature of English Law. London: Oxford, 1925.
Iver, R. M. Mac. The Web of Government. New York: tanpa penerbit, 1947. Jones, J. Walter.
Historical Introduction to the Theory of Law. tanpa cetakan. London: tanpa penerbit, 1940.
Kelsen, Hans. General Theory of Norms. terjemahan oleh M. Hartney, Unived States, Clarendon
Press, 1991.
Introduction to the Problems of Legal Theory, terjemahan oleh Bonnie Litschewski Paulson and
S. L. Paulson. United States: Clarendon Press, 1992.
Pure Theory of Law, terjemahan oleh Max Knight. United States of America: University of
California Press, 1967.
General Theory of Law and State, terjemahan oleh Anders Wedberg. United States of America:
Harvard University Press, 1949. Kusumadi Pudjosewojo. Pedoman Pelajaran Tara Hukum
Indonesia. Cetakan
Ketiga. Jakarta: Aksara Baru, 1976.
Lauterpacht, H. International Law and Human Rights. London: Butterworth, 1950.
Olivecrona, Karl. Law as Fact. tanpa edisi. Copenhagen-London: tanpa penerbit, 1939.
Ornstein, Hans. Macht, Moral und Recht. Bern: tanpa penerbit, 1946. Otto, Yudianto. Kebijakan
Formulatif terhadap Pidana Penjara Seumur Hidu.

11
dalam Rangka Pembaruan Hukum Pidana Indonesia. Cetakan Pertama. Surabaya: Menuju Insan
Cemerlang, 2015.
Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto. Perihal Kaidah Hukum. Cetakan Pertama. Bandung:
Alumni, 1978.
Salmond, Salmon. Jurisprudence. Cetakan Ketujuh. London: tanpa penerbit, 1924.
Satjipto Rahardjo dan Fauzi. Pengantar Ilmu Hukum, Buku Materi Pokok 5, Pengantar Tata
Hukum Indonesia. Jakarta: Karunika, 1985.
Ilmu Hukum. Cetakan Kedua. Bandung: Alumni, 1986.
Sayre, Francis Bowes. The Present Signification of Mens Rea in the Criminal Law, dalam
Harvard Legal Essays 399, 402 (1934).
Schultz, Fritz. History of Roman Legal Science, First Edition. Oxford: United Kingdom, 1946.
Prinzipen des Rümischen Rechts. München: tanpa keterangan cetakan dan penerbit, 1934.
Sinha, Surya Prakash. Jurisprudence, Legal Philosophy, In A Nut Shell. tanpa cetakan, St. Paul.
Minnesota: West Publishing Company, 1993.
Soerjono Soekanto. Beberapa Catatan tentang Psikologi Hukum. Bandung: Alumni, 1979.
Mengenal Antropologi Hukum. Cetakan Kesatu. Bandung: Alumni, 1979.
Mengenal Sosiologi Hukum. Cetakan Kesatu. Bandung: Alumni, 1979.
Perbandingan Hukum. Bandung: Alumni, 1979.
Sudikno Mertokusumo. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Edisi Keempat, Cetakan Pertama.
Yogyakarta: Liberty, 1996.
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah. Filsafat, teori, dan Ilmu Hukum: Pemikiran
Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat. Cetakan Kesatu. Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2012.
Teguh Prasetyo. Hukum dan Sistem Hukum Berdasarkan Pancasila. Cetakan
Pertama.Yogyakarta: Media Perkawa, 2013.
Hukum Pidana. Edisi Revisi. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012. Keadilan Bermartabat:
Perspektif Teori Hukum. Cetakan Pertama. Bandung: Nusa Media, 2015.
Kriminalisasi dalam Hukum Pidana. Cetakan Ketiga. Bandung: Nusamedia, 2013.
"Pancasila the Ultimate of All the Sources of Laws (A Dignified Justice Perspective)." Journal of
Law, Policy and Globalization, International Institute for Science, Technology and Education
(IISTE), Vol. 54, October 2016.
Pembaruan Hukum: Perspektif Teori Keadilan Bermartabat.Cetakan Pertama. Malang: Setara
Institut, 2017.

12
Sistem Hukum Pancasila (Sistem, Sistem Hukum, dan Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan). Perspektif Teori Keadilan Bermartabat. Cetakan Pertama. Bandung: Nusamedia,
2016.
Timasheff, N. S. An Introduction to the Sociology of Law, First Edition. Cambridge: tanpa
penerbit, 1939.
Vergouwen, J. C. Het Rechtsleven der Toba-Bataks. tanpa cetakan. tanpa penerbit, 1933.
Wacks, Raymond. Philosophy of Law: A Very Short Introduction. Oxford: Oxford University
Press, 2006.
Walker, David M. A History of the School of Law the University of Glasgow, First Published,
University of Glasgow Printing Department, 1990.
Wehmeier, Sally. Oxford Advanced Learner's Dictionary. New Edition. London: Oxford, 2014.

13

Anda mungkin juga menyukai