DISUSUN OLEH :
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak
akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita
nanti-nantikan syafa‟atnya di akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu
berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehinggan penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Hukum Tata Negara dengan judul
“Hukum Positif Bidang Keagamaan Dengan Hukum Islam”
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik
serta saran dari dosen pengajar untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada
makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................................... 1
DAFTAR ISI.................................................................................................................. 2
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 3
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 3
1.3 Kerangka Teori ............................................................................................... 4
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hukum didefinisikan sikap yang mengakar kuat dan terkondisikan secara historis
terhadap hakikat hukum dan aturan hukum dalam masyarakat dan ideologi politik,
organisasi serta penyelenggaraan sistem hukum.2 Hukum di Indonesia saling memiliki
keterikatan sehingga hubungan antar hukum yang satu dengan hukum lainnya mesti
dipahami dengan baik sebagai alternatif yang paling kuat terhadap kekuatan persatuan
bangsa.
Menjalankan roda sistem hukum yang baik, musyawarah dapat melibatkan tenaga
kesejahteraan sosial, dan masyarakat.3 Hukum positif maupun hukum Islam menganjurkan
pelaksanaan musyawarah dalam pengambilan keputusan. Hukum diposisikan sebagai
penengah yang kemudian disebut sebagai demokrasi yang sangat di agungkan dalam
sejarah pemikiran manusia tentang tatanan sosio- politik yang ideal. Bahkan demokrasi
dinyatakan sebagai nama yang paling baik dan wajar untuk semua sistem organisasi politik
dan sosial yang diperjuangkan oleh pendukung-pendukung yang berpengaruh.4
Pembahasan yang diangkat tentu tidak terlepas dari tujuan hukum itu sendiri disamping
memperhatikan latar belakang dan kebutuhan masyarakat.
B. Rumusan Masalah
1
Trubus Rahardiansah P, Pengantar Ilmu Politik: Paradigma, Konsep Dasar dan Relevansinyauntuk Ilmu
Hukum, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2006), 211.
2
Inu Kencana Syafie, Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia (SANRI), (Jakarta: BumiAksara,
2003), 2
3
M. Nasir Jamil, “Anak Bukan Untuk Dihukum”, Cet. 2, (Sinar Grafika Offset, Jakarta: SinarGrafika,
2013), 140.
4
Hendra Nurtjahjo,S.H.,M.Hum, Filsafat Demokrasi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), 1
iv
C. Kerangka Teori
v
BAB II
PENGERTIAN JUDUL
Secara etimologis istilah hukum di adopsi oleh bahasa Indonesia yang berasal
dari bahasa arab hukm. Sementara itu, dalam bahasa inggris adalah law yang berasal
dari bahasa inggris kuno lagu yang kemudian menjadi lag yang memiliki arti sebagai
sesuatu yang tetap. Sedangkan istilah legal yang merupakan kata sifatnya di adopsi
dari kata legalis (latin) yang berasal dari lex yang juga berarti hukum.5
Hukum positif disebut juga ius constitutum yang berarti kumpulan asas
dan kaidah hukum tertulis yang pada saat ini sedang berlaku dan mengikat secara
umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan
dalam negara Indonesia.6 Setiap masyarakat di dunia ini masing-masing mempunyai
bahasa dan hukumnya sendiri. Setiap bahasa memiliki tata bahasanya sendiri,
begitupun hukumnya yang memiliki tata hukum sendiri. Tata hukum yang berlaku
pada waktu tertentu dalam suatu wilayah negara tertentu itulah yang disebut
hukum positif. Lebih rinci lagi hukum positif adalah hukum yang berlaku sekarang
bagi suatu masyarakat tertentu dalam suatu daerah tertentu.7
Dewasa ini, belum ditemukan sebuah definisi hukum yang dapat dijadikan
sebuah rujukan, baik para filsuf maupun para sarjana hukum, sehingga siapapun
5
L.B. Curzon, Juresprudence, (London: MacDonald and Evans, 1979), 23
6
I. Gede Pantja Astawa, Dinamika Hukum dan ilmu Perundang-Undangan di Indonesia,(Bandung:
PT. Alumni, 2008), 56
7
Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum: Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan
Berkeadilan, (Yogyakarta: UII Press, 2006), 23
8
Pranoto Iskandar, Yudi Junadi, Memahami Hukum di Indonesia, Sebuah Korelasi antara Politik,
Filsafat dan Globalisasi, (Cianjur: IMR Press, 2011), 8-9
9
Syofyan Hadi, Hukum Positif dan The Living Law: Eksistensi dan Keberlakuannya Dalam
Masyarakat, (Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, DiH Jurnal Ilmu Hukum Volume 13 Nomor 26,
2017), 259
vi
berhak atas pendapatnya terhadap hukum. Peneliti sendiri berpendapat tentang
hukum yaitu sebuah sistem aturan yang perlu mendapat perawatan agar dapat
dirasakan kehadirannya dengan baik oleh tiap kalangan karena merupakan
sekumpulan nilai dan norma yang berkembang di masyarakat.
Syariat Islam menurut bahasa berarti jalan yang dilalui umat manusia untuk
menuju kepada Allah Swt.11 Menurut fuqaha‟ (para ahli hukum Islam), syariah atau
syariat berarti hukum yang ditetapkan oleh Allah Swt melalui Rasulnya untuk
hambanya, agar mereka menaati hukum itu atas dasar iman, baik yang berkaitan
dengan aqidah, amaliyah (ibadah dan muamalah), dan yang berkaitan dengan akhlak.
Kata syariat dengan pengertian diatas, diambil kata tasyri‟ yang berarti
membuat peraturan perundang-undangan, baik yang bersumber dari wahyu agama,
yang dinamakan tasyri samawi, maupun yang bersumber dari pemikiran manusia,
atau disebut tasyri’ wadh’i.12 Syariat Islam adalah syariat yang paling lengkap, yang
mengatur kehidupan keagamaan kemasyarakatan melalui ajaran Islam tentang
aqidah, ibadah, muamalah dan akhlak.13
Hukum Islam bukan hanya sebuah teori saja, tetapi merupakan sebuah aturan-
aturan untuk diterapkan didalam sendi kehidupan manusia. Umumnya banyak
ditemui permasalahan dibidang agama yang sering kali membuat pemikiran umat
10
Suharso dan Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Lux, (Semarang : WidyaKarya,
2009), 437
11
Eva Iryani, Hukum Islam, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, (Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari
Jambi Vol. 17 No. 2 tahun 2017), 24
12
Muhammad Sallam Madkur, Al-Madkhal lil Fiqih Al-Islamy, (Cairo: Dar An-Nahdhah Al-
Arabiyah, 1960), 9
13
Muhammad Sallam Madkur, Al-Madkhal lil Fiqih Al-Islamy, (Cairo: Dar An-Nahdhah Al-
Arabiyah, 1960), 10
vii
muslim cenderung kepada perbedaan. Untuk itulah diperlukan sumber hukum Islam
sebagai solusinya, yaitu sebagai berikut:14
a. al-Qur‟an
Terjemahnya :
Al-Qur‟an merupakan kitab dan pedoman hidup bagi orang muslim, sehingga
al-Qur‟an dijadikan sebagai salah satu sumber dalam penetapan hukum.
b. Hadits
c. Ijma
d. Qiyas
Eksistensi hukum Islam di Indonesia sudah ada sejak agama Islam masuk di
Indonesia.
pembinaan hukum nasional sampai sekarang ini untuk mengisi kekosongan hukum
dalam hukum positif dan hukum Islam berperan sebagai sumber nilai yang
memberikan kontribusi terhadap aturan hukum yang dibuat dengan sifatnya yang
umum, tidak memandang perbedaan agama, maka nilai-nilai hukum Islam dapat
14
Eva Iryani, Hukum Islam, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, (Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari
Jambi Vol.17 No.2 Tahun 2017), 24-25
15
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), 3
16
Q.S al-Isra ayat 88
viii
berlaku pula bagi seluruh warga negara Indonesia.17
Ada tiga katagori hukum yang berlaku dalam pergaulan masyarakt Islam:
1. Syariat
2. Fiqh
3. Siyasah syariah
Hukum Islam di tengah-tengah hukum nasional, pusat perhatian akan ditujukan pada
kedudukan hukum Islam terhadap perkembangan sejarahnya bersifat majemuk.18
Untuk lebih mengetahui eksistensi hukum Islam di Indonesia dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan, menggunakan teori eksistensi yang dikemukakan
oleh Ichtijanto.
17
Saidah, Aktualisasi Hukum Islam di Indonesia, (STAIN Pare-Pare, Jurnal Hukum Diktum,Volume 11,
Nomor 2, Juli 2013), 147
18
Mardani, Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, (No.2 ApriI-Juni 2008), 175
ix
BAB III
METODE PENULISAN
Metode penulisan adalah cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dapat
dideskripsikan, dibuktikan, dikembangkan dan ditemukan pengetahuan, teori, tindakan dan
produk tertentu sehingga dapat digunakan untuk memahami, memecahkan dan
mengantisipasi masalah dalam kehidupan manusia.19 Oleh karena itu diperlukan untuk
memperoleh data atau informasi dalam penulisan ini diperlukan adanya metode
sebagaimana tercantum di bawah ini:
19
Sugiyono, “Cara Mudah Menyusun Skripsi, Tesis dan Disertasi”, (Bandung: Alfabeta, 2015), 22.
x
BAB IV
A. ANALISA
B. PEMBAHASAN
1. Hukum Positif
Positif sebagai sistem filsafat muncul pada kisaran abad ke-19. Sistem ini didasarkan
pada beberapa prinsip bahwa sesuatu dipandang benar apabila ia tampil dalam bentuk
pengalaman, atau apabila ia sungguh-sungguh dapat dipastikan sebagai kenyataan, atau
apabila ia ditentukan melalui ilmu-ilmu pengetahuan apakah sesuatu yang dialami merupakan
sungguh-sungguh suatu kenyataan.
Hukum positif melihat bahwa yang terutama dalam melihat hukum adalah fakta
bahwa hukum diciptakan dan diberlakukan oleh orang-orang tertentu di dalam masyarakat
yang mempunyai kewenangan untuk membuat hukum. Sumber dan validitas norma hukum
bersumber pada kewenangan tersebut.
Dalam kaitannya dengan positivisme hukum (aliran hukum positif), dipandang perlu
memisahkan secara tegas antara hukum dan moral (antara hukum yang berlaku dan
hukum, yang seterusnya, antara das sein dan das sollen). Dalam kacamata positivis, tiada
hukum lain kecuali perintah penguasa (law is a command of the lewgivers). Bahkan, bagian
aliran hukum positif yang dikenal dengan nama Legisme, berpendapat lebih tegas, bahwa
hukum itu identik dengan undang-undang.
Hukum positif dapat dibedakan dalam dua corak: 1) Aliran Hukum Positif Analitis
(Analitical Jurisprudence) atau biasa juga disebut positivisme sosiologis yang
dikembangkan oleh Jhon Austin, dan 2) Aliran Hukum Murni (Reine Rechtslehre) atau
dikenal juga positivisme yuridis yang dikembangkan oleh Hans Kelsen.20
20
Sukarno Aburaera dkk, Filsafat Hukum Teori dan Praktik (Cet. III; Jakarta: Kencana, 2015), h. 107.
xi
1. Aliran Positif Sosiologis: Jhon Austin (1790-1859)
Hukum menurut Austin adalah perintah dari penguasa negara. Hakikat hukum itu
sendiri, menurut Austin terletak pada unsur “perintah” itu. Hukum dipandang sebagai suatu
sistem yang tetap, logis, dan tertutup. Dalam bukunya The province of Jurisprudence
Determinal, Austin menyatakan “A law is command which obliges a persons… Laws and
other commands are said to proceed from superiors, and to bind oroblige inferiors.”21
Lebih jauh Austin menjelaskan, pihak superior itulah yang menentukan apa yang
diperbolehkan. Kekuasaan dari superior itu memaksa orang lain untuk taat. Memberlakukan
hukum dengan cara menakut-nakuti, dan mengarahkan tingkah laku orang lain ke arah yang
diinginkannya. Hukum adalah perintah yang memaksa, yang dapat saja bijaksana dan adil
atau sebaliknya.
Unsur pokok dalam hukum menurut Austin adalah Command dan Sanction.
Command diterjemahkan sebagai perintah. Command dipahami oleh Austin tercermin dalam
kalimat di bawah ini:
“Kalau anda mengekspresikan atau mengisyaratkan suatu hal yang harus saya
lakukan agar sebuah tindakan yang saya lakukan, dan anda menghampiri saya dengan
kemarahan jika saya tidak melakukan apa yang anda harapkan dari ekspresi atau isyarat
anda tersebut, maka ekspresi atau isyarat anda tersebut, merupakan command ”.22
Sanksi atau kepatuhan yang dipaksakan adalah “the evil” (tercermin dalam sikap
dan tindakan) yang muncul apabila sebuah perintah tidak dipatuhi. Sanksi itu dapat
berbentuk bahasa verbal (ungkapan) dan bahasa nonverbal (gerak tubuh, bahasa tubuh yang
bersifat psikologis).23
Austin pertama-tama membedakan hukum dalam dua jenis: 1) hukum dari Tuhan
untuk manusia (The divine laws), dan 2) hukum yang dibuat oleh manusia. Hukum yang
dibuat oleh manusia dapat dibedakan lagi dalam dua hal: 1) hukum yang sebenarnya, dan 2)
hukum yang tidak sebenarnya. Hukum dalam arti yang sebenarnya ini (disebut juga hukum
positif) meliputi hukum yang dibuat oleh penguasa dan hukum yang disusun oleh manusia
secara individu untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya. Hukum yang tidak
sebenarnya adalah hukum yang tidak dibuat oleh penguasa, sehingga tidak memenuhi
persyaratan sebagai hukum, seperti ketentuan dari suatu organisasi olahraga. Hukum yang
sebenarnya memiliki empat unsur yaitu perintah (command), sanksi (sanction), kewajiban
(duty), dan kedaulatan (sovereignty).
21
Sukarno Aburaera dkk, Filsafat Hukum, h. 108.
22
Antonius Cahyadi, E. Fernando M. Manulang, Pengantar, h. 66.
23
Antonius Cahyadi, E. Fernando M. Manulang, Pengantar..., h. 66.
xii
1. Aliran Positif Yuridis: Hans Kelsen (1881-1973)
Menurut Kelsen, hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir yang non-yuridis, seperti
unsur sosiologis, politis, historis, bahkan etis. Pemikiran inilah yang kemudian dikenal
dengan Teori Hukum Murni (Reine Rechtlehre) dari Kelsen. Jadi hukum adalah suatu sollens
katagorie (kategori keharusan/ideal), bukan seins katagorie (kategori factual).
Baginya, hukum adalah suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai
makhluk rasional. Dalam hal ini yang dipersoalkan oleh hukum bukanlah “bagaimana hukum
itu seharusnya” (what the law ought to be). Tetapi “apa hukumnya itu Sollen Katagorie, yang
dipakai adalah hukum positif (ius consitusium), bukan yang dicita-citakan (ius
constituendum).
Pada dasarnya, pemikiran Kelsen sangat dekat dengan pemikiran Austin, walaupun
Kelsen mengatakan bahwa waktu ia mulai menegmbangkan teori-teorinya, ia sama sekali
tidak mengetahui karya Austin. Walaupun demikian, asal usul filosofis antara pemikiran
Kelsen dan Austin berbeda. Kelsen mendasarkan pemikirannya pada Neokantianisme,
sedangkan Austin pada utilitarianisme.
Di sisi lain, Kalsen pun mengakui bahwa hukum positif itu pada kenyataannya dapat
saja menjadi tidak efektif lagi. Ini biasanya terjadi karena kepentingan masyarakat yang diatur
sudah ada, dan biasanya dalam keadaan demikian, penguasa pun tidak akan memaksakan
penerapannya. Dalam hukum pidana, misalnya, keadaan yang dilukiskan Kelsen seperti itu
dikenal dengan istilah dekriminalisasi dan depenalisasi, hingga suatu ketentuan dalam hukum
positif menjadi tidak mempunyai daya berlaku lagi, terutama secara sosiologis.24
24
Sukarno Aburaera dkk, Filsafat Hukum: Teori dan Praktik (III, Jakarta: Prenadamedia Group,2013), h. 106-
110.
xiii
hubungan hukum dengan pemisahan ketat antara kenyataan (das sein) dengan hal yang
diharapkan (das sollen). Karenanya ia dipisahkan dari keadilan dan etika. Namun demikian,
hukum alam hadir sebagai hukum yang ideal dan lebih tinggi untuk digunakan sebagai
standar keadilan. Akan tetapi karena didasarkan pada akal yang selalu berubah, ia tidak
bisa bertopang pada dirinya sendiri dan akhirnya hancur.
Positif pragmatis memandang fakta sosial sebagai unsur yang menentukan konsep
hukum, karena ia mementingkan hukum “yang seharusnya”. Ia menganggap bahwa hukum
tunduk kepada masyarakat, yang karenanya konsep hukum terus mengalami perubahan sesuai
dengan perubahan dalam masyarakat yang berubah lebih cepat dibandingkan hukum.
Positif merupakan korban ketegangan dan konflik. Positif analitik dan pragmatik
merupakan kubu-kubu yang terpisah dalam konsep-konsep hukum mereka. Perbedaan ini
disamping yang lainnya, membuat positivisme menjadi sebuah teori yang kontradiksi di
dalam dirinya sendiri.25
Hukum positif atau juga sering disebut sebagai ius constitutum, memiliki arti sebagai
hukum yang sudah ditetapkan dan berlaku sekarang di suatu tempat atau Negara
(Mertokusumo, 2007: 127-128). Indonesia dengan sistem civil law-nya menggunakan
perundang-undangan, kebiasaan dan yurisprudensi sebagai sumber hukum (Marzuki, 2014:
258). Oleh karena itu bisa dikatakan agama, adat dan norma kesusilaan juga menjadi bagian
dari hukum di Indonesia. Meskipun begitu, jika melihat di negara Indonesia, sumber hukum
yang berlaku berdasarkan TAP MPR No. III/ MPR/2000 adalah Pancasila, sedangkan urut-
urutan peraturan perundang- undangannya adalah (Marzuki, 2014: 85-86):
b. Ketetapan MPR
e. Keputusan Presiden
f. Peraturan Daerah
Membangun sebuah bangsa dapat dicapai melalui proses yang diawali dengan
kesadaran rakyatnya, baik secara individu maupun kelompok masyarakat yang berjalan
25
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, h. 62-63.
xiv
dengan landasan dan tujuan yang sama.26 Dalam studi sejarah hukum ditekankan mengenai
hukum suatu bangsa merupakan suatu ekspresi jiwa yang bersangkutan, dan oleh karenanya
senantiasa yang satu berbeda dengan yang lain. Perbedaan ini terletak pada karakteristik
pertumbuhan yang dialami oleh masing-masing sistem hukum.27
Peraturan yang ada dilahirkan atas kesepakatan bersama. Kesepakatan yang ada
timbul akibat kesadaran hukum, bahwa ketetapan hukum adalah bersumber atas
kebutuhan, situasi dan kondisi masyarakat agar eksistensinyadapat dirasakan.
Kemudian, agar hukum dapat dikenal dengan baik, haruslah diketahui ciri- ciri
hukum.
Secara praktisi, hukum terdapat dua bagian yaitu aktif dan pasif. Peranan kedua
bagian ini akan beroperasi sesuai bentuk laporan dan kejadian yang ada. Sifat hukum
adalah mengatur dan memaksa. Hukum positif merupakan peraturan-peraturan hidup
kemasyarakatan yang dapat memaksa orang agar mentaati tata-tertib dalam masyarakat
serta memberikan sanksi yang tegas berupa hukuman terhadap siapa saja yang tidak
mematuhinya. Sanksi harus diadakan berupa hukuman agar kaedah-kaedah hukum dapat
ditaati, karena tidak setiap orang hendak mentaati kaedah-kaedah hukum tersebut.29
26
Tirta Nugraha Mursitama Ph.D, Laporan Pengkajian Hukum Tentang Peran dan Tanggung Jawab Organisasi
Kemasyarakatan Dalam Pemberdayaan Masyarakat, (Pusat Penelitian danPengembangan Sistem Hukum
Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kemenkumham RI, 2011), 2
27
Dr.Yoyon M Darusman S.H.,M.M, Dr. Bambang Wiyono S.H.,M.H, Teori dan Sejarah Perkembangan
Hukum, (UMPAM Press: Universitas Pamulang Tangerang Selatan Banten, 2011),4
28
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka,1989), 39
29
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka,1989), 40
xv
B. Fungsi dan Tujuan Hukum
Fungsi hukum adalah sebagai media pengatur interaksi sosial. Dalam pengaturan
tersebut terdapat petunjuk mengenai apa yang harus dilakukan dengan harapan segala
sesuatunya berjalan tertib dan teratur.30 Dalam posisi masyarakat yang teratur, hukum
dijadikan sarana untuk mewujudkan keadilan sosial, serta diharapkan dapat bermanfaat
bagi kehidupan masyarakat.
Hukum selalu melekat pada manusia secara bermasyarakat. Sama halnya dengan
tujuan hukum, mengenai fungsi hukum juga beraneka ragam. Pada umumnya yang
dimaksud dengan fungsi adalah adalah tugas. Hukum berperan sedemikian rupa sehingga
segala sesuatunya berjalan dengan tertib dan teratur, sebab hukum menentukan dengan
tegas hak dan kewajiban mereka masing- masing.31
30
Didiek R. Mawardi, Fungsi Hukum Dalam Kehidupan Masyarakat, (STIH MuhammadiyahKotabumi
Lampung, Maslahah Hukum, Jilid 44 No.3 Juli 2015), 275
31
Rahman Syamsuddin S.H.,M.H, Ismail Aris, S.H, Merajut Hukum di Indonesia, (Jakarta: MitraWacana
Media, 2014), 26
32
. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 53
xvi
hukum.33
Adapun tujuan hukum terdapat tiga bagian yaitu keadilan, kemanfaatan, dan
kepastian hukum. Hukum tersebut dapat tercapai secara proporsional, dengan menemukan
titik antara penalaran hukum dengan tujuan hukum.34 Secara sederhana, aturan bermula
atas kesepakatan bersama sehingga pemberlakuannya tidak dapat di gugat bilamana
masyarakat dikenakan sanksi bagi yang melakukan pelanggaran terhadap aturan itu.
Setiap manusia baik warga negara maupun orang asing dengan tidak memandang
agama atau kebudayaannya adalah subjek hukum. Manusia sebagai pembawa hak (subjek),
mempunyai hak dan kewajiban untuk melakukan tindakan hukum, seperti melakukan
perjanjian, menikah, membuat wasiat, dan lain-lain. Oleh karena itu, manusia oleh hukum
diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban sebagai subjek hukum.35
Tuhan adalah Maha Sempurna, dengan demikian, hukum Islam sebagai Islam yang
ditentukannya tentu juga sempurna. Jika terjadi sebaliknya, maka akan ada anggapan bahwa
asal usul ketidaksempurnaan itu adalah Allah, dan ini justru tidak mungkin terjadi. Ia Maha
Kuasa, Maha Mengetahui dan maha ada, sehingga hukumnya maha meliputi. Iaadalah Yang
Pertama dan Yang Akhir, Yang Zahir dan Yang Batin. Ia mengetahui segala sesuatu. Jadi
Hukum-Nya adalah universal dan untuk sepanjang zaman, terutama sekali karena
jangkauanya bukan hanya dunia ini tetapi juga akhirat.
Al-Qur‟an dan Sunnah merupakan sumber primer atau orisinal, diwahyukan oleh
Tuhan, sebagai satu-satunya yang mengetahui apa yang mutlak baik untuk manusia. Hukum
itu harus diteliti dengan cermat dan ditafsirkan dalam isi dan spirit.
33
H. Sarwohadi, S.H.,M.H, Rekonstruksi Pemikiran Hukum di Era Demokrasi, (Hakim Tinggi Pengadilan
Tinggi Agama Bengkulu), 1
34
Agus Setiawan, Penalaran Hukum yang Mampu Mewujudkan Tujuan Hukum Secara Proporsional, (Jurnal
Hukum Mimbar Justitia, Fakultas Hukum Universitas Suryakancana Vol.3 No.2 desember 2017), 204
35
Dr.H.Ishaq, S.H.,M.Hum, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2018), 57
36
.Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1993), 228
xvii
keadilan. Sebagai perintah Tuhan, penguasa tetinggi berubah, syariat adalah hukum positif,
dan karena keadilan menjadi tujuan puncaknya, syariat ideal. Tetaplah penyataan bahwa
hukum Islam itu adalah “Hukum positif dalam bentuk ideal”.
Positivisme dan idealisme dalam hukum Islam benar-benar harmonis antara satu sama
lain. Pernyataan ini sesuai dengan firman Allah dalam surah al-Syams ayat 7-10
Hukum Islam merupakan hukum yang bersumberkan dari wahyu Tuhan, sekaligus
melibatkan penalaran dan analisis manusia yang memahami wahyu itu. Ijtihad yang
dilakukan oleh jurist muslim merupakan bukti kongkrit keterlibatan manusia dalam
menggali hukum yang hidup dalam masyarakat.38
a. Hukum positif hanya bertujuan untuk kepentingan duniawi saja, yang berkenaan dengan
lahiriah bagi kepentingan kebendaan dengan segala macam seluk beluknya. Sedangkan
hukum agama, sebagai ketetapan Allah untuk mewujudkan kemaslahatan dan kepentingan
manusia lahir dan bathin, dunia dan akhirat.
c. Hukuk positif bersifat kontemporer, dibuat oleh sekelompok orang yang dipandang ahli,
berdasarkan pengalaman dan penghayatan yang berlaku pada suatu masyarakat untuk
dilakukan bagi masyarakat atau bangsa yang bersangkutan itu saja, yang perlu diubah
apabila tidak dikehendaki oleh masyarakat itu lagi.
Adapun syari‟at Islam bukan untuk batas waktu tertentu, bukan untuk bangsa dan
tempat tertentu tetapi bersifat universal, untuk seluruh alam.Karena itu kaidah- kaidah
hukumnya disebut bersifat umum, prinsip-prinsip dan pokok-pokoknya saja yang
disebutkan dan diberi kesempatan kepada ilmuwan dalam bidang hukum dan social di
tempat masing-masing untuk menguraikannya lebih lanjut dalam mengatasi berbagai masalah
yang timbul di kawasannya masing-masing. Prinsip-prinsip syari‟at yang sudah ditentukan di
dalam al-Qur‟an dan hadis tidak boleh dihilangkan atau diubah sama sekali.
37
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Edisi Baru (Jakarta: Mekar Surabaya,2005), h. 896.
38
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam..., h. 63-65.
xviii
Syari‟at Islam membentuk manusia yang sesuai dengan ketetapannya, yaitu ketetapan
Allah dan RasulNya yang menjamin dapat mengantarkan umat manusia ke taman bahagia.
Hukum positif dibentuk menurut kemauan manusia setempat yang tidak harus berlaku untuk
tempat lain.
Dengan jiwa yang bersemikan iman kepada Allah SWT, mendorong orang-orang
makin mentaati syari‟at Islam baik dikala berada bersama orang banyak maupun dikala
sendirian di tempat yang sepi. Karena pancaran iman itu harus terlihat pada tiga aspek
kehidupan kita, yaitu:
a. Mengikrarkan dengan lisan, dalam bentuk ucapan “Tidak ada Tuhan yang patut disembah
melainkan Allah, dan Nabi Muhammad utusan Allah” atau membaca al-Qur‟an, membaca
salawat kepada Rasulullah, berzikir, berdo‟a, berdakwah, mengajar, tidak berbohong, dan
lain sebagainya.
b. Melaksanakan dengan sekalian anggota badan seperti mengerjakan ibadah, berbuat baik
kepada ibu dan ayah, menjaga kebersihan diri dan lingkungan, amar ma‟ruf nahi mungkar,
jihad fi sabilillah, mencari nafkah keluarga, membangun untuk kemakmiran, mendidik anak,
menjaga hubungan baik dengan tetangga,danlain sebagainya.
c. Yang menyangkut dengan hati, yaitu memiliki akidah yang besar, niat yang ikhlas, akhlak
yang terpuji, cinta kepada Allah dan RasulNya, bersyukur dan bertawakkal kepadaNya.
Menjauhkan dari sifat riya‟, nifaq, hasad, dengki, ujub, takabur, dan lain-lain.
Kepatuhan anggota badan untuk berbuat sangat tergantung pada hati, karena
kejujuran, kepatuhan terhadap hukum merupakan dorongan hati, terletak di dalam hati,
sangat erat kaitannya antara perbuatn lahiriah dengan gerak hati pada pribadi seorang
mu‟min, sebagaimana waktu syari‟at Islam itu tidak dapat dibagi-bagikan, tidak dapat
dikudung-kudung antara yang bersangkutan dengan hukum duniawi dengan ukhrawi.15
Contoh perbedaan hukum agama dan hukum positif:
Jika dilihat dengan teori hubungan agama dan negara, Indonesia merupakan negara
yang menganut faham paradigma simbolistik. Mau tidak mau Indonesia harus
mengakomodir perkembangan pemikiran yang mencoba untuk memasukan nilai-nilai hukum
Islam kedalam hukum positifnya. Indonesia tidak boleh menolak mentah-mentah ketika
xix
dalam perkembanganya terdapat tuntutan mensyariahkan hukum positif. Meskipun begitu,
pemasukan nilai syariah ke dalam hukum positif juga harus dilakukan dengan cara yang
diamini oleh bangsa ini, yaitu sesuai dengan keilmuan dalam disiplin ilmu hukum dan sesuai
dengan proses demokrasi, bukan indoktrinasi.39
Hukum Islam yang berlaku di Indonesia, pada dasarnya ada dua, yaitu hukum Islam
yang berlaku secara normatif dan yang berlaku secara yuridis. Hukum Islam yang
menyangkut hubungan antara manusia dengan tuhan pada dasarnya adalah normatif yang
sanksinya adalah sanksi kemasyarakatan. Sedangkan yang bersifat yuridis adalah yang
mengatur hubungan manusia dengan manusia dan benda di dalam masyarakat, yang mana
Indonesia sudah mengakomodir hal ini dalam beberapa Undang-Undangnya. Hukum Islam
sebelum dipositifkan, pada dasarnya termasuk dalam kategori living law (labendes
recht/hukum yang hidup), yaitu
hukum yang secara umum digunakan untuk mencegah munculnya perkara dan
apabila muncul perkara, hukum tersebut digunakan untuk menyelesaikan perkara tersebut
tanpa bantuan saran institusi hukum negara.40 Jadi tanpa dipositifkan sekalipun, sebenarnya
hukum Islam sudah diterima oleh masyarakat Indonesia secara luas tanpa paksaan dari pihak
berkuasa. Sehingga langkah pemerintah mengakomodir hukum ini sebagai hukum positif
agar dapat sah secara administrasi negara tentu juga merupakan hal yang tepat dan dapat
diterima oleh umum.
Sebagai contoh bahwa Indonesia telah mengakomodir hukum Islam adalah beberapa
peraturan berikut41
• Sila pertama Pancasila: Ketuhanan yang Maha Esa. Sila ini merupakan landasan
bagi sila-sila yang lain dan juga seluruh aturan undang-undang yang berlaku di
Indonesia. Sehingga seluruh aturan yang ada tidak boleh melenceng dari norma
agama.
• UU No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1989 tentang PA.
39
Mu‟allim, Amir (2013). Dinamika Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: KaukabaDipantara.
40
Cotterral, Roger (2012). Pengantar Sosiologi Hukum, Terjemah: Narulita Yusron,Bandung: Nusa Media. 28
41
Mu‟allim, Amir (2013). Dinamika Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: KaukabaDipantara. 3
xx
• UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
1. Hukum yang berkaitan dengan persoalan ibadah, seperti iman, sholat, zakat, puasa
dan haji.
Jika kita bandingkan hukum Islam bidang muamalah ini dengan hukum barat,
yang membedakan antara hukum privat (hukum perdata) dengan hukum publik, maka sama
halnya dengan hukum adat di tanah air kita, hukum Islam tidak membedakan (dengan
tajam) antara hukum perdata dengan hukum publik. Ini disebabkan karena menurut
sistem hukum Islam pada hukum perdata terdapat segi-segi publik dan pada hukum
publik ada segi-segi perdatanya.43
42
Zainuddin Ali, Hukum Islam:Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika), 6
43
Prof.H.Mohammad Daud All, S.H, Hukum Islam,Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia,
(PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006), 55
xxi
C. Karakteristik Hukum Islam
b. Wasyathiyat (harmonis), yakni hukum Islam menempuh jalan tengah, jalan yang
seimbang dan tidak berat sebelah, tidak berat kekanan dengan mementingkan kejiwaan
dan tidak berat kekiri dengan mementingkan perbedaan. Hukum Islam selalu
menyelaraskan di antara kenyataan dan fakta dengan ideal dari cita-cita.
c.
Harakah (dinamis), yakni hukum Islam mempunyai kemampuan bergerak dan
berkembang, mempunyai daya hidup dan dapat membentuk diri sesuai dengan
perkembangan dan kemajuan zaman. Hukum Islam terpencar dari sumber yang luas dan
dalam, yang memberikan kepada manusia sejumlah hukum yang positif dan dapat
dipergunakan pada setiap tempat dan waktu.47
Pancasila dan UUD 1945 memberikan kedudukan penting bagi agama dalam
mewarnai sistem hukum nasional, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 29 ayat 2 serta
pengarahan GBHN tentang perlunya pengembangan kesadaran hukum masyarakat
Indonesia yang mayoritas beragama Islam adalah bukti adanya perananan hukum Islam
di Indonesia. Karena itu, upaya legislasi hukum Islam ke dalam hukum nasional adalah
bukti bahwa negara menghendaki aspirasi hukum yang timbul dan direduksi dari ajaran-
ajaran agama Islam.48
4444
Sya‟ban Mauluddin, Karakteristik Hukum Islam (konsep dan Implementasinya), Unduh Pdfpada
Tanggal 30 Mei 2021, Pukul 13.38
45
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,2006),94
46
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,2006),94
47
Hasbi Ash-Shiddiqy, Filsafat Hukum Islam, (Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 2001), 105-108
48
Saidah, Aktualisasi Hukum Islam di Indonesia, (STAIN Pare-Pare, Jurnal Hukum Diktum,Volume 11,
Nomor 2, Juli 2013), 149
xxii
Aktualisasi hukum Islam tidak terlepas dari sumber hukumnya. Menurut Kamus
Umum Bahasa Indonesia sumber adalah asal sesuatu. Pada hakekatnya yang dimaksud
dengan sumber hukum adalah tempat kita dapat menemukan atau menggali hukumnya.
Sumber hukum Islam adalah asal (tempat pengambilan) hukum Islam. Sumber
hukum Islam disebut juga dengan istilah dalil hukum Islam atau pokok hukum Islam
atau dasar hukum Islam.49
3.
Keistimewaan Hukum Islam terhadap Hukum Positif
Dalam pandangan penegak Islam syariat, hukum Islam adalah hukum yang wajib
ditegakan jika ingin tercapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat baik di Indonesia maupun
dunia. Hal ini dikarenakan hukum Islam mempunyai banyak keistimewaan dibandinkann
dengan hukum positif yang diterapkan oleh manusia. Keistimewaan ini dapat dirinci sebagai
berikut („Audah, 2016: 11-20):
• Hukum positif tidak memiliki keadilan hakiki karena dibuat oleh manusia dengan
hawa nafsu dan kepentingan, sedangkan hukum Allah memiliki keadilan hakiki
karena berasal dari yang Maha Adil
• Hukum manusia memiliki prinsip yang terbatas yang teorinya baru muncul
sekitar abad 19. Berbeda dengan hukum Islam yang sudah ada sejak zaman
rasul yang sudah sempuna dan masalahah disegala ruang dan waktu.
• Hukum positif memiliki kaedah yang bersifat temporal, dan hukum Islam
bersifat tidak temporal. Hal ini dikarenakan kaedah dalam hukum Islam
49
Siska Lis Sulistiani, Perbandingan Hukum Islam, (Prodi Hukum keluarga Islam Fakultas Syariah Universitas
Islam Bandung), Tahkim, Jurnal Peradaban dan Hukum Islam Vol.1 No.1 maret 2018, 104
xxiii
bersifat elastis dan umum dan juga berasal dari nash Islam yangbersifat
tinggi dan mulia.
4. Perbedaan antara Hukum Islam dengan Hukum Positif
a. Hukum positif hanya bertujuan untuk kepentingan duniawi saja, yang berkenaan
dengan lahiriah bagi kepentingan kebendaan dengan segala macam seluk
beluknya. Sedangkan hukum agama, sebagai ketetapan Allah untuk mewujudkan
kemaslahatan dan kepentingan manusia lahir dan bathin, dunia dan akhirat.
b. Hukum syari‟at berdasarkan wahyu Allah, ciptaanNya yang menggambarkan
kehendakNya dan kebesaranNya. Hukum positif buatan manusia yang
menggambar buah pikiran manusia, bersifat serba terbatas dan berubah-ubah,
selalu menghendaki penyempurnaan dari berbagai kekurangan.
c. Hukuk positif bersifat kontemporer, dibuat oleh sekelompok orang yang
dipandang ahli, berdasarkan pengalaman dan penghayatan yang berlaku pada
suatu masyarakatuntuk dilakukan bagi masyarakat atau bangsa yang bersangkutan
itu saja, yang perlu diubah apabila tidak dikehendaki oleh masyarakat itu lagi.
Adapun syari‟at Islam bukan untuk batas waktu tertentu, bukan untuk bangsa dan
tempat tertentu tetapi bersifat universal, untuk seluruh alam.Karena itu kaidah- kaidah
hukumnya disebut bersifat umum, prinsip-prinsip dan pokok-pokoknya saja yang
disebutkan dan diberi kesempatan kepada ilmuwan dalam bidang hukum dansocial di
tempat masing-masing untuk menguraikannya lebih lanjut dalam mengatasi berbagai
masalah yang timbul di kawasannya masing-masing. Prinsip-prinsip syari‟at yang sudah
ditentukan di dalam al-Qur‟an dan hadis tidak boleh dihilangkan atau diubah sama sekali.
Syari‟at Islam membentuk manusia yang sesuai dengan ketetapannya, yaitu ketetapan
Allah dan RasulNya yang menjamin dapat mengantarkan umat manusia ke taman bahagia.
Hukum positif dibentuk menurut kemauan manusia setempat yang tidak harus berlaku
untuk tempat lain.
Dengan jiwa yang bersemikan iman kepada Allah SWT, mendorong orang-orang
makin mentaati syari‟at Islam baik dikala berada bersama orang banyak maupun dikala
sendirian di tempat yang sepi. Karena pancaran iman itu harus terlihat pada tiga aspek
kehidupan kita, yaitu:
a. Mengikrarkan dengan lisan, dalam bentuk ucapan “Tidak ada Tuhan yang patut
disembah melainkan Allah, dan Nabi Muhammad utusan Allah” atau membaca al-
Qur‟an, membaca salawat kepada Rasulullah, berzikir, berdo‟a, berdakwah,
mengajar, tidak berbohong, dan lain sebagainya.
b. Melaksanakan dengan sekalian anggota badan seperti mengerjakan ibadah, berbuat
baik kepada ibu dan ayah, menjaga kebersihan diri dan lingkungan, amar ma‟ruf nahi
mungkar, jihad fi sabilillah, mencari nafkah keluarga, membangun untuk
kemakmiran, mendidik anak, menjaga hubungan baik dengan tetangga,dan lain
sebagainya.
c. Yang menyangkut dengan hati, yaitu memiliki akidah yang besar, niat yang ikhlas,
akhlak yang terpuji, cinta kepada Allah dan RasulNya, bersyukur dan bertawakkal
kepadaNya. Menjauhkan dari sifat riya‟, nifaq, hasad, dengki, ujub, takabur, dan lain-
lain.
xxiv
Ketiga aspek tersebut sebenarnya merupakaan penjabaraan dari sabda
Rasulullah SAW, yang artinya: “Iman bercabang lebih dari enam puluh. Sifat malu
adalah salah satu cabang iman”. (HR Bukhori dan Muslim)
Kepatuhan anggota badan untuk berbuat sangat tergantung pada hati, karena
kejujuran, kepatuhan terhadap hukum merupakan dorongan hati, terletak di dalam hati,
sangat erat kaitannya antara perbuatn lahiriah dengan gerak hati pada pribadi seorang
mu‟min, sebagaimana waktu syari‟at Islam itu tidak dapat dibagi-bagikan, tidak dapat
dikudung-kudung antara yang bersangkutan dengan hukum duniawi dengan ukhrawi.50
50
Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam (II, Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 133-137.
xxv
BAB V
KESIMPUAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Ada beberapa hukum di Indonesia, namun dalam penelitian ini membahas soal
hukum Islam dan hukum positif, karena kedua hukum ini saling berhubungan dan saling
mengisi satu sama lain. Meskipun saat ini ada sekelompok manusia yang menganggap
hukum Islam dan hukum positif bertentangan. Atas dasar itulah ia ingin mengubah ideologi
negara menjadi ideologi Islam. Tentu ini akan berpengaruh terhadap masyarakat luas,
sehingga upaya yang dapat dilakukan adalah memperbanyak penyebaran dan sosialisasi
pendidikan hukum.
B. SARAN
Zaman makin berkembang dengan pesat dalam tiap-tiap perubahan di berbagai lini
sektor. Ini akan mempengaruhi perkembangan hidup manusia, termasuk perubahan cara
pandang terhadap agama, serta pemberlakuan hukum di Indonesia. Agama dan hukum
merupakan representatif dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh
karena itu, agama dan hukum harus mampu merespon tiap perubahan zaman, sehingga atas
dasar perubahan itu akan mengeluarkan kebijakan yang baru agar kehidupan manusia dapat
terkontrol dengan baik.
xxvi
DAFTAR PUSTAKA
- M. Nasir Jamil, “Anak Bukan Untuk Dihukum”, Cet. 2, (Sinar Grafika Offset,
Jakarta: Sinar Grafika, 2013), 140.
- Syofyan Hadi, Hukum Positif dan The Living Law: Eksistensi dan Keberlakuannya
Dalam Masyarakat, (Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, DiH Jurnal Ilmu Hukum
Volume 13 Nomor 26, 2017), 259
- Suharso dan Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Lux, (Semarang
: Widya Karya, 2009), 437
- Eva Iryani, Hukum Islam, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, (Jurnal Ilmiah
Universitas Batanghari Jambi Vol. 17 No. 2 tahun 2017), 24
- Muhammad Sallam Madkur, Al-Madkhal lil Fiqih Al-Islamy, (Cairo: Dar An-
Nahdhah Al- Arabiyah, 1960), 9
- Muhammad Sallam Madkur, Al-Madkhal lil Fiqih Al-Islamy, (Cairo: Dar An-
Nahdhah Al- Arabiyah, 1960), 10
- Eva Iryani, Hukum Islam, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, (Jurnal Ilmiah
Universitas Batanghari Jambi Vol.17 No.2 Tahun 2017), 24-25
xxvii
- Mardani, Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, (No.2 ApriI-Juni 2008), 175
- Sukarno Aburaera dkk, Filsafat Hukum Teori dan Praktik (Cet. III; Jakarta: Kencana,
2015), h. 107.
- Sukarno Aburaera dkk, Filsafat Hukum: Teori dan Praktik (III, Jakarta:
Prenadamedia Group, 2013), h. 106-110.
- Tirta Nugraha Mursitama Ph.D, Laporan Pengkajian Hukum Tentang Peran dan
Tanggung Jawab Organisasi Kemasyarakatan Dalam Pemberdayaan Masyarakat,
(Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan
Hukum Nasional Kemenkumham RI, 2011), 2
- Agus Setiawan, Penalaran Hukum yang Mampu Mewujudkan Tujuan Hukum Secara
Proporsional, (Jurnal Hukum Mimbar Justitia, Fakultas Hukum Universitas
Suryakancana Vol.3 No.2 desember 2017), 204
- Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Edisi Baru (Jakarta: Mekar
Surabaya, 2005), h. 896.
xxviii
- Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam..., h. 63-65.
- Prof.H.Mohammad Daud All, S.H, Hukum Islam,Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia, (PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006), 55
- Siska Lis Sulistiani, Perbandingan Hukum Islam, (Prodi Hukum keluarga Islam
Fakultas Syariah Universitas Islam Bandung), Tahkim, Jurnal Peradaban dan Hukum
Islam Vol.1 No.1 maret 2018, 104
- Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam (II, Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h.
133-137.
xxix