Anda di halaman 1dari 19

SISTEM PERADILAN PIDANA PROGRESIF DI INDONESIA DALAM KAJIAN

PERBANDINGAN HUKUM

Disusun guna memenuhi tugas

Mata kuliah : Perbandingan Hukum Pidana

Dosen pengampu : Zidney Ilma Fazaada Emha, SH.MH

Disusun oleh:
Sherly Aprilia Diana P (2002026116)
Vadhea Cahyanda Sukma (2002026120)
Wafiq Azizah (2002026121)
M.Rofiq Habiburrohman (2002026127)

HUKUM PIDANA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN HYKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2022/2023
KATA PENGANTAR
(M. Rofiq Habiburrohman)
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah,
serta karunia-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Perbandingan
hukum pidana Islam yang berjudul “SISTEM PERADILAN PIDANA PROGRESIF DI
INDONESIA DALAM KAJIAN PERBANDINGAN HUKUM” tepat pada waktunya.

Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh anggota kelompok
yang telah turut memberikan kontribusi dalam penyusunan makalah ini. Tentunya makalah
ini tidak akan bisa maksimal jika tidak mendapat dukungan dari anggota kelompok yang
solid ini.

Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan baik dari
penyusunan hingga tata bahasa penyampaian dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami
dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ini.

Kami berharap semoga makalah yang kami susun ini memberikan manfaat dan juga
inspirasi untuk pembaca.

Semarang, 07 Septemnber 2022

Penyusun

2
DAFTAR ISI
(Sherly Aprilia Diana)
KATA PENGANTAR .............................................................................................................. 2

DAFTAR ISI ............................................................................................................................. 3

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 4

1.1 Latar Belakang ........................................................................................................ 4


1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................... 4
1.3 Tujuan Pembahasan................................................................................................. 5

BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................................... 6

2.1 Pengertian Hukum Progresif ................................................................................... 6


2.2 Sistem Peradilan Pidana Progresif........................................................................... 8
2.3 Perbandingan Penerapan Sistem Hukum Progresif (Plea Bargain VS Restorative
Justice) ................................................................................................................. 13

BAB III PENUTUP ............................................................................................................... 18

3.1 Kesimpulan .......................................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 19

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang (M. Rofiq Habiburrohman)


Penegakan hukum melalui sistem peradilan pidana saat ini masih didominasi oleh
cara berpikir legisme, cara penegakan hukum (pidana) yang hanya bersandarkan kepada
peraturan perundang-undangan semata. Cara seperti ini lebih melihat persoalan hukum
sebagai persoalan hitam putih, padahal hukum itu bukanlah semata-mata ruang hampa
yang steril dari konsep-konsep non hukum. Hukum harus pula dilihat dari perspektif
sosial, perilaku yang senyatanya yang dapat diterima oleh dan bagi semua insan yang ada
di dalamnya. Cara pandang legisme inilah yang menjadi salah satu penyebab krisis
penegakan hukum di Indonesia. Oleh karena itu, perlu alternatif lain di dalam menegakkan
hukum sehingga ia sesuai dengan konteks sosialnya.Akan ada beberapa implikasi jika ide
hukum progresif diterapkan pada sistem peradilan pidana untuk menegakkan hukum.
Implikasinya adalah pertama, polisi tidak akan menggunakan hukum tertulis sebagai
instrumen utama dalam memerangi kejahatan, tetapi mereka akan mengedepankan hati
nurani, kedua, membongkar karakteristik koheren di Kejaksaan, yaitu birokrasi
sentralistik, dan memberlakukan komando. sistem yang menganut hierarki tanggung
jawab, dan ketiga, pengadilan (hakim) tidak boleh hanya menangani kasus berdasarkan
hukum tertulis tetapi juga mengedepankan hati nurani, karena hukum diciptakan untuk
warga negara dan tidak terbalik.Tugas hakim tidak hanya sebagai pelaku teknis tetapi juga
sebagai makhluk sosial. Makalah ini akan mengkaji lebih jauh gagasan hukum
progresif,serta menganalisis penerapan gagasan tersebut dalam konteks sistem peradilan
pidana.

B. Rumusan Masalah (Vadhea Cahyanda Sukma)


1. Apakah pengertian dari Hukum Progresif?
2. Bagaimana sistem peradilan pidana progresif di Indonesia?
3. Bagaimana penerapan perbandingan sistem hukum progresif (Plea Bargain VS
Restorative Justice)

4
C. Tujuan Pembahasan (Vadhea Cahyanda Sukma)
1. Untuk mengetahui pengertian hukum progresif
2. Untuk mengetahui sistem peradilan pidana progresif di Indonesia
3. Untuk mengetahui Bagaimana penerapan perbandingan sistem hukum progresif (Plea
Bargain VS Restorative Justice)

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Progresif (Wafiq Azizah)


Progresif adalah kata yang berasal dari bahasa asing (Inggris) yang asal katanya
adalah progress yang artinya maju. Hukum Progresif berarti hukum yang bersifat maju.
Progresif adalah kata yang berasal dari bahasa asing (Inggris) yang asal katanya
adalah progress yang artinya maju. Hukum Progresif berarti hukum yang bersifat maju.
Istilah hukum progresif, diperkenalkan oleh Satjipto Rahardjo, yang dilandasi asumsi
dasar bahwa hukum adalah untuk manusia. Satjipto Rahardjo merasa prihatin dengan
rendahnya kontribusi ilmu hukum dalam mencerahkan bangsa Indonesia, dalam mengatasi
krisis, termasuk krisis dalam bidang hukum itu sendiri. Adapun pengertian hukum
progresif, adalah mengubah secara cepat, melakukan pembalikan yang mendasar dalam
teori dan praksis hukum, serta melakukan berbagai terobosan. Pembebasan tersebut di
dasarkan pada prinsip bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya dan
hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas yaitu
untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia.
Pengertian sebagaimana dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo tersebut berarti hukum
progresif adalah serangkaian tindakan yang radikal, dengan mengubah sistem hukum
(termasuk merubah peraturan-peraturan hukum bila perlu) agar hukum lebih berguna,
terutama dalam mengangkat harga diri serta menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan
manusia.
Secara lebih sederhana hukum progresif adalah hukum yang melakukan pembebasan,
baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan
hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan
kemanusiaan. Jadi tidak ada rekayasan atau keberpihakan dalam menegakkan hukum.
Sebab menurutnya, hukum bertujuan untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi
semua rakyat.
Satjipto Rahardjo mencoba menyoroti kondisi di atas ke dalam situasi ilmu-ilmu
sosial, termasuk ilmu hukum, meski tidak sedramatis dalam ilmu fisika, tetapi pada
dasarnya tejadi perubahan yang fenomenal mengenai hukum yang di rumuskannya dengan
kalimat dari yang sederhana menjadi rumit dan dari yang terkotak-kotak menjadi satu
kesatuan. Inilah yang disebutnya sebagai pandangan holistik dalam ilmu (hukum).

6
Pandangan holistik tersebut memberikan kesadaran visioner bahwa sesuatu dalam
tatanan tertentu memiliki bagian yang saling berkaitan baik dengan bagian lainnya atau
dengan keseluruhannya. Hukum progresif bermakna hukum yang peduli terhadap
kemanusiaan sehingga bukan sebatas dogmatis belaka.
Secara spesifik hukum progresif antara lain bisa disebut sebagai hukum yang pro
rakyat dan hukum yang berkeadilan. Konsep hukum progresif adalah hukum tidak ada
untuk kepentingannya sendiri, melainkan untuk suatu tujuan yang berada di luar dirinya.
Oleh karena itu, hukum progresif meninggalkan tradisi analytical
jurisprudence atau rechtsdogmatiek. Aliran-aliran tersebut hanya melihat ke dalam hukum
dan membicarakan serta melakukan analisis ke dalam, khususnya hukum sebagai suatu
bangunan peraturan yang dinilai sebagai sistematis dan logis.
Hukum progresif bersifat responsif yang mana dalam responsif ini hukum akan selalu
dikaitkan pada tujuan-tujuan di luar narasi tekstual hukum itu sendiri . Kehadiran hukum
dikaitkan pada tujuan sosialnya, maka hukum progresif juga dekat dengan sociological
jurisprudence dari Roscoe Pound. Hukum progresif juga mengundang kritik terhadap
sistem hukum yang liberal, karena hukum Indonesia pun turut mewarisi sistem tersebut.
Satu moment perubahan yang monumental terjadi pada saat hukum pra modern
menjadi modern. Disebut demikian karena hukum modern bergeser dari tempatnya
sebagai institusi pencari keadilan menjadi institusi publik yang birokratis. Hukum yang
mengikuti kehadiran hukum modern harus menjalani suatu perombakan total untuk
disusun kembali menjadi institusi yang rasional dan birokratis. Akibatnya hanya peraturan
yang dibuat oleh legislatiflah yang sah yang disebut sebagai hukum.
Progresifisme hukum mengajarkan bahwa hukum bukan raja, tetapi alat untuk
menjabarkan dasar kemanusiaan yang berfungsi memberikan rahmat kepada dunia dan
manusia. Asumsi yang mendasari progresifisme hukum adalah pertama hukum ada untuk
manusia dan tidak untuk dirinya sendiri, kedua hukum selalu berada pada status law in the
making dan tidak bersifat final, ketiga hukum adalah institusi yang bermoral kemanusiaan.
Berdasar asumsi-asumsi di atas maka kriteria hukum progresif adalah:
1. Mempunyai tujuan besar berupa kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Memuat
kandungan moral kemanusiaan yang sangat kuat.
2. Hukum progresif adalah hukum yang membebaskan meliputi dimensi yang amat luas
yang tidak hanya bergerak pada ranah praktik melainkan juga teori.
3. Bersifat kritis dan fungsional.

7
B. Sistem Peradilan Pidana Progresif ( Sherly Aprilia Diana Putri dan M. Rofiq )
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sistem peradilan pidana merupakan suatu
sarana penanggulangan kejahatan yang di sub-sub sistem yang saling berkaitan. Dengan
perkataan lain, sistem peradilan pidana dapat digambarkan secara singkat sebagai suatu
sistem yang bertujuan untuk “menanggulangi kejahatan”, salah satu usaha masyarakat
untuk mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi yang
dapat diterimanya.1
Pengertian di atas mencerminkan bahwa dalam sistem peradilan pidana itu terdapat
kumpulan-kumpulan lembaga yang saling berkaitan satu dengan yang lain, yang meliputi
kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakat.
Pengertian sistem peradilan pidana (criminal justice system) disebut juga dengan
istilah law enforcement system, 2 karena di dalamnya mengandung suatu pemahaman,
bahwa pada dasarnya apa yang dilakukan oleh lembaga-lembaga itu merupakan usaha
konkrit untuk menegakkan aturan-aturan hukum abstrak. Dengan demikian, dapat
disimpulkan, bahwa sistem peradilan pidana merupakan suatu komponen (sub sistem)
peradilan pidana yang saling terkait/tergantung satu sama lain dan bekerja untuk mencapai
tujuan, yaitu untuk menanggulangi kejahatan sampai batas yang dapat ditoleransi oleh
masyarakat. Secara eksplisit, pengertian sistem peradilan pidana itu menggambarkan
adanya keterpaduan antara sub-sub sistem yang ada dalam peradilan, sehingga dikenal
dengan sebutan sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system)3
Sebagai suatu sistem, sistem peradilan pidana memiliki ciri tertentu yang
membedakan dengan sistem yang lain. Ciri-ciri tersebut adalah; bersifat terbuka (open
system),4 memiliki tujuan,18 transformasi nilai,19 dan adanya mekanisme kontrol.20 Di
samping itu, dalam sistem peradilan pidana yang jamak dikenal selalu melibatkan dan

1
Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Cetk. Pertama,Buku Kedua, Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1994, hlm. 140
2
Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Edisi Delapan, West Publishing CO,Amerika Serikat, 2004, hlm.
901
3
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Cetk.Pertama, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang , 1995, hlm 1
4
Sidik Sunaryo, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Cetk. Kedua, UMM Press, Malang, 2004, hlm 255

8
mencakup sub-sub sistem dengan ruang lingkup masing-masing proses peradilan pidana
antara lain kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan, dan advokat.5
Memahami sistem peradilan pidana melalui pendekatan hukum progresif memang
bukan pekerjaan yang mudah. Tantangan dan penolakan akan hal ini pasti akan dijumpai.
Karena begitu kuat dan mencengkramnya aliran legisme dalam penegakan hukum pidana
di Indonesia, sehingga ketika muncul gagasan baru yang mencoba“membongkar”
pemahaman yang lama, hal itu dianggap sebagai barang haram dan merupakan suatu
pembangkangan.
Dilihat dari sudut hukum, pekerjaan kepolisian tidak lain berupa penerapan atau
penegakan hukum, dengan demikian, polisi menjadi penjaga status quo dari hukum. Hal
itu mempunyai konsekuensi, bahwa apa yang dilakukan oleh polisi tidak akan
menyimpang dari seperangkat kelengkapan bagi penegakan hukum itu, seperti perundang-
undangannya sendiri, doktrin-doktrinnya, serta asas-asasnya yang lazim diterima dalam
dunia hukum pidana. Tak heran kalau kemudian muncul sebutan, bahwa polisi itu adalah
“hamba hukum”, “aparat penegak hukum”, dan sebagainya.
Pemahaman di atas membawa implikasi bahwa tidak ada legitimasi lain untuk polisi,
kecuali sebagai aparat penegak hukum, sehingga pertanggungjawaban yang harus
diberikannya juga semata-mata terhadap hukum yang menjadi “majikannya”. Dalam
konteks pemahaman seperti itu, polisi tidak mempunyai panggilan lain kecuali
menerapkan atau menegakkan hukum. Apabila ia telah membuktikan bahwa sekalian
perintah hukum telah dijalankan, maka selesai dan sempurnalah tugasnya.Gaya pemolisian
seperti itu, dikenal dengan sebutan “polisi antagonis”, yaitu polisi yang memposisikan
dirinya berhadap-hadapan dengan rakyat.6
Jika dilihat dari kaca mata hukum progresif, paradigma kepolisian di atas harus
dibongkar dan tidak mendapat tempat sama sekali, karena hanya akan menjadi hamba
status quo. Oleh karena itu, polisi tidak menjadikan hukum sebagai pusatnya, tapi
rakyatlah (manusia) yang menjadi perhatian utama. Sehingga pertanyaan yang muncul,
apakah polisi sudah menjadi pengayom dan pelindung rakyat yang sesungguhnya, atau ia
sekedar alat pemerintah untuk menegakkan hukum?

5
Tim Universitas Indonesia Fakultas Hukum, Sinkronisasi Ketentuan Perundang-undangan Mengenai Sistem
Peradilan Pidana Terpadu Melalui Penerapan Asas-asas Umum, dalam Sidik Sunaryo, Kapita….op.cit., hlm.
220
6
Satjipto Rahardjo, Membangun Polisi Sipil Perspektif Hukum, Sosial dan Kemasyarakatan, Penerbit Kompas,
Jakarta, 2007, hlm. 30-31

9
Ketika polisi memang menjadi pengayom dan pelindung rakyat, maka bukan hukum
yang menjadi patokan utama, tapi hati nurani. Artinya, ketika ada suatu kasus, yang
pertama kali dilihat bukan aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan kasus itu, tapi hal-
hal lain di luar hukum. Ia tidak lagi terkungkung dengan rumusan formal perundang-
undangan yang mengancam hukuman penjara bagi seorang pencuri, tapi melihat kasus itu
sesuai dengan hati dan pikirannya. Polisi yang demikian ini disebut dengan “polisi
protagonis”, yaitu polisi yang mengayomi dan melindungi rakyat kecil. Ia memiliki
kesabaran, keberanian untuk keluar dari aturan hukum tertulis yang selama ini menjadi
majikannya, dedikasi, dan pro rakyat kecil.7
Pemahaman ini dapat diartikan bahwa sudah saatnya polisi menjadi bagian dari
masyarakat. Ia harus peka terhadap kepentingan masyarakat. Di sini yang ditekankan
bukan pada pada pertanggungjawaban secara hirarkhis dan berdasarkan peraturan-
peraturan, melainkan lebih secara sosiologis mendekatkan kepada masyarakat dan
warganya. Di sini polisi lebih memberikan pertanggung jawaban terhadap tuntutan dan
kebutuhan warga masyarakat secara substansial. Konsep inilah yang kemudian dikenal
dengan community policing. 8 Memang berat konsep ini diterapkan mengingat begitu
kuatnya paham formalisme yang diterapkan oleh polisi di dalam menanggulangi
kejahatan. Kalau konsep ini diterapkan, akan ada perubahan pola pikir, cara pandang dan
paradigma polisi di dalam memperlakukan penjahat yang notabene adalah manusia itu
sendiri. Kriteria untuk terciptanya community policing ini paling tidak antara lain;
mendekatkan kepada rakyat, dalam arti rakyat tidak dijadikan lawan; menjadikan
akuntabel terhadap masyarakat; menggantikan pada “penghancuran” dengan melayani dan
menolong; peka dan melibatkan kepada urusan sipil dari warga Negara (masyarakat)
seperti membantu orang lemah, tidak tahu dan kebingungan, frustasi, pengangguran,
sakit, lapar, kesepakatan, dan putus asa.9
Samping itu, penerapan gagasan hukum progresif sesungguhnya juga ditemukan
dalam sistem yang digunakan dalam kepolisian, yaitu yang dikenal dengan diskresi. Jika
hukum progresif, sebagaimana uraian di atas, lebih mengutamakan tujuan dan konteks
ketimbang teks-teks aturan semata. Ini menyebabkan soal diskresi yang dikenal dalam

7
Ibid., hlm. 32
8
Ibid., 33-35. Lihat juga Pudi Rahardi, Hukum Kepolisian (Profesionalisma dan Reformasi Polri), Laksbang
Mediatama Surabaya, 2007, hlm 176-180. baca juga Faal, Penyaringan Perkara Pidana oleh Polisi (Diskresi
Polisi), Cetk. Pertama, Pradnya Paramita, Jakarta, 1991
9
Ibid., hlm. 246

10
tugas polisi sangat dianjurkan dalam penyelenggaraan hukum. Artinya, polisi dituntut
untuk memilih dengan kebijakan bagaimana ia harus bertindak. Otoritas yang ada padanya
berdasarkan aturan-aturan resmi, dipakai sebagai dasar pembenaran untuk menempuh cara
yang bijaksana dalam menghampiri kenyataan tugasnya berdasarkan pendekatan moral,
kemanusiaan dan hati nurani dari pada ketentuan-ketentuan formal. Adanya rasionalisasi
strukturisasi, formulasi serta birokratisasi. Fokus perhatian juga bergeser dari manusia dan
kemanusiaan, kea rah penegakan pada peraturan, struktur dan prosedur.10
Dengan pemahaman seperti ini, aktor jaksa menjadi titik sentral. Ketika ia
menghadapi penjahat, yang ada dalam pikirannya bukan pada bagaimana menerapkan
aturan yang terdapat dalam rumusan pasal, tapi mementingkan aspek manusia, empati, hati
nurani, dan keberanian, karena hukum progresif melibatkan unsur manusia atau perbuatan
manusia dalam berhukum. Ini menyangkut budaya aparat penegak hukum (jaksa) di dalam
mengkonstruksi pandangan mereka ketika menegakkan hukum, yang tidak menyerahkan
bulat-bulat kepada aturan, tetapi kepada unsur lain di luar hukum. Keberanian dibutuhkan
di sini, karena hukum progresif membutuhkan keberanian di dalamnya. Penegakan hukum
ada kaitannya dengan keberanian. Lebih-lebih menghadapi suatu keadaan luar biasa
dewasa ini, yang dibutuhkan sungguh adalah penegakan yang progresif. Penegakan hukum
progresif oleh Jaksa tidak bisa diserahkan kepada cara-cara konvensional sistem pencet
tombol, melainkan membutuhkan suatu tipe penegakan yang penuh greget (compassion,
empathy, commitment, dan dare atau courage). Oleh karena itu, faktor keberanian pun
menjadi penting dan mendapat tempat.11
Keberanian ini meliputi keberanian untuk menghukum seseorang yang telah nyata
melakukan perbuatan yang merugikan dan bertentangan dengan perasaan keadilan dan hati
nurani masyarakat, dan keberanian untuk tidak meneruskan perkara ke pengadilan. Hal
yang terakhir ini lazim disebut dengan diskresi. Diskresi merupakan salah satu bagian dari
gagasan hukum progresif, karena terkait dengan masalah hati nurani, empati dan
kemanusiaan. Hukum progresif menolak anggapan bahwa manusia untuk hukum, tapi
hukum untuk manusia. Ketika jaksa berpandangan bahwa membawa suatu perkara ke
pengadilan hanya akan membuat seseorang (penjahat) semakin sengsara, maka dengan
keberanian, empati, kejujuran yang dimiliki, ia bisa saja tidak melakukan itu. Ia

10
Satjipto Rahardjo, “Pendidikan Hukum Sebagai Pendidikan Manusia”, artikel pada Jurnal Pembaharuan
Hukum, Vol. 1 No. 1 tahun 2005, hlm. 1

11
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Kompas, Jakarta, 2007, hlm. 63

11
memberontak dari kungkungan aturan-aturan formal yang serba formal, prosedural dan
sentralistik.
Begitu juga dengan institusi pengadilan. Ia dapat mengimplementasikan gagasan
hukum progresif ini ditengah sorotan tajam berbagai kalangan atas kinerjanya yang yang
masih tanda tanya. Selama ini, pengadilan masih dianggap sebagai bagian dari sistem
hukum formal yang terlepas dengan masyarakat, sehingga tidak heran kalau dikatakan,
pengadilan terisolasi dari dinamika masyarakat di mana pengadilan itu berada.
Isolasi tersebut juga mengundang asosiasi ke kediktatoran pengadian (judicial
dictatorship), oleh karena ia memutus semata-mata dengan mengingat apa yang menurut
tafsirannya dikehendaki oleh hukum tanpa harus melibatkan ke dalam atau mendengarkan
dinamika masyarakat tersebut. Itulah sebabnya secara sosiologis pengdilan menjadi
terisolasi dari keseluruhan dinamika masyarakatnya dan menjadi benda asing dari tubuh
itu. 12 Tidak sedikit dari putusan-putusan pengadilan yang malah jauh dari dinamika
masyarakat. Ia hanya mengacu kepada aturan-aturan formal belaka. Pengadilan yang
seharusnya menjadi tempat untuk menemukan keadilan “berubah” menjadi medan perang
untuk mencari menang (to win the case). Praktik yang berlandaskan filsafat liberal ini
makin meluas dilakukan dunia sehingga sedikit banyak menjadi standar. Bangsa yang
mencoba mengotak-atik kemapanan dari sistem liberal itu akan dicap sebagai tidak
beradab, melanggar prinsip universal, hak asasi dan sebagainya.
Dalam kaitan dengan ini, pengadilan progresif menolak pemahaman atas, dengan
suatu maksim “hukum adalah untuk rakyat bukan sebaliknya”. Bila rakyat untuk hukum,
apa pun yang dipikirkan dan dirasakan rakyat akan ditepis karena yang dibaca adalah kata-
kata undang-undang. Dalam hubungan ini, pekerjaan hakim bukan hanya teknisi undang-
undang, tetapi juga makhluk sosial. Karena itu, pekerjaan hakim sesunggunya mulia
karena bukan hanya memeras otak, tetapi juga nuraninya,13sehingga tidak salah ungkapan
yang mengatakan, bahwa penjatuhan pidana adalah suatu pergulatan kemanusiaan.
Ungkapan di atas menggambarkan betapa berat dan terkurasnya hakim saat
menjalankan tugasnya karena harus menjalani suatu pergulatan batin. Suasana ini terjadi
karena ia harus membuat pilihanpilihan yang sering tidak mudah. Hakim harus menyadari
benar bahwa dalam dirinya terjadi pergulatan kemanusiaan dihadapkan aturan hukum,
fakta-fakta, argumen jaksa, argumen terdakwa atau advokat, dan lebih dari itu masih harus

12
Ibid., hlm. 38
13
Ibid., hlm. 56

12
meletakkan telinganya di jantung masyarakat. Ada suatu ungkapan indah yang
mengatakan bahwa hakim juga harus mewakili suaru rakyat yang diam, yang tidak
terwakili, dan yang tidak terdengar (unrepresented dan under-represented). Alangkah
mulia sebenarnya tugas hakim. Mendengarkan, melihat, membaca, kemudian menjatuhkan
pilihan yang adil adalah pekerjaan yang amat berat dan karena itu menguras tenaga dan
pikiran. Dalam keadaan sekarang, masih ditambah dengan keteguhan untuk melawan
godaan dan tarikan ke arah dunia materiil.14
Hukum progresif juga memberikan kesempatan kepada rakyat untuk menemukan
sendiri bagaimana keadilan itu ditegakkan. Artinya, tidak hanya pengadilan saja yang
berwenang mengadili dan memutus suatu perkara, tetapi rakyat pun dapat juga melakukan
hal itu. Semua uraian di atas adalah berkait dengan bagaimana gagasan hukum progresif
menjadi ruh dalam penegakan hukum melalui sistem peradilan pidana, khususnya
kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.

C. Penerapan Perbandingan Sistem Hukum Progresif (Plea Bargain VS Restorative


Justice) (Vadhea Cahyanda Sukma)
1. Plea Bargain
Plea Bargain system merupakan suatu negosiasi antara penuntut umum dengan
tertuduh atau pembelanya. Tujuan utama dari system ini adalah untuk mempercepat
proses penyelesaian perkara pidana sehingga dalam proses tersebut berjalan dengan
efisien dan efektif. Negosiasi ini harus dilandasi dengan kesukarelaan tertuduh dan
mengakui perbuatannya dan kesediaan dari penuntut umum untuk memberikan
ancaman hukuman yang lebih ringan. Lalu, bersedia menerima ancaman hukuman yang
lebih ringan meski demikian, terdakwa akan kehilangan hak-hak konstitusionalnya,
seperti hak untuk dikonfrontasi dengan saksi-saksi.15
Plea Bargain system pada awalnya dikenal di negara-negara common law seperti
Amerika Serikat (US), United Kingdom (UK), dan negara-negara lainnya. Sistem Plea
Bargining mulai muncul pada pertengahan abad ke-19. Praktinya, jaksa dan terdakwa
melakukan negosiasi atau tawar-menawar setidaknya dalam tiga bentuk, diantaranya:

14
Satjipto Rahardjo, “Perang di Balik Toga Hakim”, artikel pada Harian Kompas,9 Juli 2003.
15
Tentriawaru, Perbandingan penerapan Sistem Hukum Progresif (Plea Bargain VS Restorative Justice),
(Indramayu: CV Adanu Abimata, 2022), hlm. 10

13
a. Charge bargaining (negosiasi pasal yang didakwakan), yaitu Jaksa menawarkan
untuk menurunkan jenis tindak pidana yang didakwakan
b. Fact bargaining (negosiasi fakta umum), yaitu jaksa hanya akan menyampaikan
fakta-fakta yang meringankan terdakwa
c. Sentencing bargaining (negosiasi hukuman), yaitu negosiasi anatara jaksa dengan
terdakwa mengenai hukuman yang akan diterima terdakwa, hukuman tersebut
umumnya lebih ringan.
Alasan pokok bagi jaksa penuntut umum untuk melakukan Plea Bargain
disebabkan oleh dua hal; pertama, karena beban perkara yang sangat besar, sehingga
menyulitkan kedudukan jaksa penuntut umum untuk bekerja secara efektif mengingat
faktor waktu. Kedua, karena jaksa penuntut umum berpendapat bahwa kemungkinan
akan berhasilnya penuntutan sangat kecil karena kurangnya bahan pembuktian atau si
terdakwa merupakan orang yang dianggap “respectable” dikalangan juri.
Menurut Robert Strang, pengaturan Plea Bargain ditambahkan dalam proses
penyempurnaan RKUHAP setelah tim perumus melakukan studi banding ke US. Tim
perumus melakukan tujuh sesi perumusan di Indonesia dan satu studi banding ke US.
Namun, pengaturan Plea Bargain di US berbeda dengan “pengakuan bersalah melalui
“jalur khusus’” dalam RKUHAP.
Perumusan akan lembaga Plea Bargain atau di Indonesia di dalam RKUHAP,
dengan tidak secara explisit verbis dikenal dengan “pengakuan bersalah melalui “jalur
khusus’” sebagaimana yang diatur dalam Pasal 198 ayat (5) dan Pasal 199.16 Pasal 199
RKUHAP berbunyi:
1. Pada saat penuntut umum membacakan surat dakwaan, terdakwa mengakui semua
perbuatan yang didakwakan mengaku bersalah melakukan tindakan pidana yang
ancaman pidana yang didakwakan tidak lebih dari 7 (tujuh) tahun, penuntut umum
dapat melimpahkan perkara ke sidang acara pemeriksaan singkat.
2. Pengakuan terdakwa ditungkan dalam berita acara yang ditandatangani oleh
terdakwa dan penuntut umum
3. Hakim wajib:
a. Memberitahukan kepada terdakwa mengenai hak-hak yang dilepaskannya dengan
memberikan pengakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2);

16
Lukman Hakim, Penerapan Dan Implementasi “Tujuan Pemidanaan” Dalam Rancangan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (RKUHP) Dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP),
(Yogyakarta: CV Budi Utama, 2020), hlm. 35

14
b. Memberikan kepada terdakwa mengenai lamanya pidana yang kemungkinan
dikenakan;
c. Menanyakan apakah pengakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan
secara sukarela.
4. Hakim dapat menolak pengakuan sebagaimana ayat (2) jika hakim ragu terhadap
kebenaran pengakuan terdakwa.
5. Dikecualikan dari Pasal 198 ayat (5), penjatuhan pidana terdakwa sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh melebihi 2/3 dari maksimum pidana tindak
pidana yang didakwakan.
Pasal 198 ayat (5) RKUHAP berbunyi: “Pidana penjara yang dapat dijatuhkan
terhadap terdakwa paling lama 3 (tiga) tahun”.
Pengadopsian Plea Bargain system yang coba dirumuskan RKUHAP di atas
menjadi konsep “pengakuan bersalah melalui “jalur khusus’”, secara praktis memiliki
tujuan yang hampir sama, yakni untuk menyelesaikan perkara di pengadilan dengan
efisien, yang secara substansial memberikan kesempatan bagi terdakwa untuk
mendapatkan proses peradilan lebih cepat, dan biaya ringan, serta diberi kemungkinan
adanya keringanan pidana ketika yang bersangkutan mau melakukan “pengakuan
bersalah” di muka hakim. 17
Acara pemeriksaan singkat dalam konsep “pengakuan bersalah melalui “jalur
khusus’” di RKUHAP dilakukan pada perkara yang pembuktian dan penerapan
hukumnya mudah serta sifatnya sederhana, oleh karenanya dimasukkan di dalam
kualifikasi pemeriksaan singkat. Dalam pemeriksaan singkat, perkara tersebut tidak
menggunakan surat dakwaan, jaksa penuntut umum hanya perlu untu mencantumkan
pasal-pasal yang telah dilanggar. Sidang hanya dilakukan oleh hakim tinggal. Selain itu
hakim juga wajib untuk menegaskan kembali pengakuan terdakwa, apabilaa hakim ragu
maka hakim dapat menolak pengakuan terdakwa dan perkara dikembalikan ke acara
persidangan biasa.
Pengaturan konsep “pengakuan bersalah melalui “jalur khusus’” ini masih belum
dapat dikatakan sempurna karena masih terdapat beberapa ketentuan yang harus
diperbaiki. Salah satu penyebabnya ialah tim perumus RKUHAP tidak membuat
prosedur atau acara pemeriksaan tersendiri bagi terdakwa yang mengakui kesalahannya
dan hanya melimpahkan perkara pada acara pemeriksaan singkat. Dalam penerapan

17
Ibid 15

15
konsep “pengakuan bersalah melalui “jalur khusus’” harus juga diperhatikan mengenai
pemberian hukuman didasari kepada kuatnya bukti terhadap pelaku dan kebutuhan
masyarakat untuk dilindungi dari pelaku di masa depan. Dengan demikian, dalam
menentukan sebuah hukuman yang didasari oleh konsep ini harus ada kemampuan dari
aparat untuk dapat memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat. Jaksa penuntut umum
harus dapat mengajukan tuntutan yang adil sesuai dengan perbuatan yang dilakukan,
serta hakim juga berperan penting dalam menjatuhkan putusan guna menjamin
ditegakkannya keadilan.
2. Restorative Justice
Restorative justice (Keadilan Restoratif) atau dikenal dengan istilah “reparative
justice” adalah suatu pendekatan keadilan yang memfokuskan kepada kebutuhan dari
para korban, pelaku kejahatan, dan juga melibatkan peran serta masyarakat, dan tidak
semata-mata memenuhi ketentuan hukum atau semata-mata penjatuhan pidana. Dalam
hal ini korban juga dilibatkan di dalam proses, sementara pelaku kejahatan juga
didorong untuk mempertanggungjawabkan atas tindakannya, yaitu dengan
memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah mereka perbuat dengan meminta maaf,
mengembalikan uang yang telah dicuri, atau dengan melakukan pelayanan
masyarakat.18
Restorative justice bertujuan untuk memperdayakan para korban, pelaku,
keluarga, dan masyarakat untuk memperbaiki suatu perbuatan melawan hukum dengan
memperbaiki suatu perbuatan melawan hukum dengan menggunakan kesadaran dan
keinsyafan sebagai landasan untuk memperbaiki kehidupan bermasyarakat menjelaskan
bahwa konsep restorative justice pada dasarnya sederhana. restorative justice
merupakan teori keadilan yang menekankan pada pemulihan kerugian yang disebabkan
oleh perbuatan pidana. Pendekatan restorative justice memfokuskan kepada kebutuhan
baik korban maupun pelaku kejahatan. Disamping itu, pendekatan restorative justice
(Keadilan Restoratif) membantu para pelaku kejahatan untuk menghindari kejahatan
lainnya pada masa yang akan datang.
Pada dasarnya restorative justicemengembalikan konflik kepada pihak-pihak
yang paling terkenal untuk mempengaruhi korban, pelaku, dan kepentingan komunitas
mereka dan memberikan keutamaan pada kepentingan-kepentingan mereka. restorative
justice juga menekan pada hak asasi manusia dan kebutuhan untuk mengembalikan

18
Tentriawaru, Perbandingan penerapan Sistem Hukum Progresif (Plea Bargain VS Restorative Justice),
(Indramayu: CV Adanu Abimata, 2022), hlm. 55-56

16
dampak dari ketidakadilan sosial dalam dalam cara-cara yang sederhana memberikan
pelaku keadilan daripada keadilan formal (hukum) korban tidak mendapatkan keadilan
apapun. Kemudian restorative justice juga mengupayakan untuk me- restor keamanan
korban, penghormatan pribadi, martabat dan yang lebih penting adalah sense of control.
19
Keberhasilan penyelesaian restorative justice tidak diukur dengan dijatuhkannya
sanksi pidana terhadap pelaku, tapi seberapa jauh kerusakan atau penderitaan akibat
tindak pidana dapat dipulihkan dan diakhiri.

19
Lukman Hakim, Penerapan Dan Implementasi “Tujuan Pemidanaan” Dalam Rancangan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (RKUHP) Dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP),
(Yogyakarta: CV Budi Utama, 2020), hlm. 29-30

17
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan (Vadhea Cahyanda Sukma)


Hukum progresif adalah hukum yang melakukan pembebasan, baik dalam cara
berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu memberikan hukum itu,
mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan.
Hukum progresif juga memberikan kesempatan kepada rakyat untuk menemukan
sendiri bagaimana keadilan itu ditegakkan. Artinya, tidak hanya pengadilan saja yang
berwenang mengadili dan memutus suatu perkara, tetapi rakyat pun dapat juga
melakukan itu dan hal ini akan mempermudah lembaga pengadilan di dalam memberikan
keadilan.
Di Indonesia dalam menegakkan hukum progresif ada dua sistem, yaitu Plea
Bargining dan Restorative Justice. Plea Bargining adalah sistem negosiasi antara
penuntut umum dengan tertuduh atau pembelanya. Negosiasi ini dilandasi dengan
kesukarelaan tertuduh untuk mengakui perbuatannya dan kesediaan penuntut umum
untuk memberikan ancaman hukuman yang lebih ringan.
Sedangkan Restorative Justice adalah negosiasi antara korban dengan pelaku
kejahatan, pelaku kejahatan didorong untuk mempertanggungjawabkan atas tindakannya
dengan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat dengan meminta maaf,
mengembalikan uang yang telah dicuri, atau dengan melalukan pelayanan masyarakat
sesuai dengan seberapa jauh kerugian atau penderitaan korban.

18
DAFTAR PUSTAKA
(Vadhea Cahyanda Sukma)

Gamer, B. A. (2004). Black's Law Dictionary. Amerika Serikat: West Publishing CO.
Masyitoh, N. D. (2009). Mengkritisi Analytical Jurisprudence Versus Sosiological
Jurisprudence Dalam Perkembangan Hukum Indonesia. Al-Ahkam.
Muladi. (1995). Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.
Partanto, P. A. (2001). Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola.
Rahardjo, S. (2003). Perang di Balik Toga Hakim. Jakarta: Kompas.
Rahardjo, S. (2004). Ilmu Hukum, Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan. Surakarta:
UMM Press.
Rahardjo, S. (2005). Pendidikan Hukum Sebagai Pendidikan Manusia. Pembaharuan Hukum
, 1.
Rahardjo, S. (2007). Biarkan Hukum Mengalir. Jakarta: Kompas.
Rahardjo, S. (2007). Membangun Polisi Sipil Perspektif Hukum, Sosial dan Kemasyarakatan.
Jakarta: Kompas.
Rahardjo, S. (2007). Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Kompas.
Rahardjo, S. (2007). Membedah Hukum Progresif . Jakarta: Kompas.
Reksodiputro, M. (1994). Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana . Jakarta: Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian hukum Universitas Indonesia.
Roestandi, A. (1992). Responsi Filsafat Hukum. Bandung: Armico.
Sunaryo, S. (2004). Kapita Selekta Sistem peradilan Pidana. Malang: UMM Press.
Tentriawanru. (2022). Perbandingan Penerapan Sistem Hukum Progresif (Plea Bargain VS
Restorative Justice). Indramayu: CV Adanu Abimata.
Wignjosoebroix, S. (2002). Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya. Jakarta:
Elsam dan Huma.

19

Anda mungkin juga menyukai