Oleh:
MUHAMMAD
B012222
Tiada kata yang paling indah selain mengucap syukur kepada Allah
SWT karena atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya jualah sehingga kami
dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat waktu. Terselesainya
makalah ini tentu saja tidak terlepas dari bantuan dari berbagai pihak
maka dari itu kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Orang tua
yang senantiasa memberi dukungan baik moral maupun materil.
Bapak/Ibu Dosen yang senantiasa mendidik dan membimbing kami
khususnya dosen mata kuliah “TEORI DAN FILSAFAT HUKUM”.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari
kesempurnaan, maka dari itu semua kritik dan saran dari manapun
datangnya penyusun sangat harapkan.Karena seperti kata pepatah “Tiada
gading yang tak retak” maka tiada manusia yang diciptakan sempurna,
sehingga lebih dan kurangnya penyusun mohon maaf yang sebesar-
besarnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
PENULIS
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................1
BAB 2 PEMBAHASAN........................................................................................4
BAB 3 PENUTUP...............................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................12
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
Eddy O.S Hiariej & Zainal Arifin Mochtar, 2022, Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Hlm. 1
1
dapat mencakup perubahan dalam proses peradilan, pembentukan
lembaga hukum baru, dan penyempurnaan regulasi hukum yang ada. 2
Menurut Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja: Reformasi hukum adalah
transformasi dan restrukturisasi sistem hukum yang bertujuan untuk
mengatasi kelemahan dan kekurangan dalam sistem hukum yang ada.
Reformasi hukum melibatkan perubahan dalam peraturan hukum,
prosedur peradilan, dan kelembagaan hukum untuk mencapai keadilan
yang lebih baik dan meningkatkan kualitas hukum sebagai instrumen
pembangunan negara.3
Menurut Prof. Dr. Satjipto Rahardjo: Reformasi hukum adalah upaya
untuk mengubah atau memperbaiki sistem hukum yang ada agar lebih
responsif terhadap tuntutan masyarakat dan perubahan sosial. Reformasi
hukum mencakup restrukturisasi lembaga hukum, penyederhanaan
regulasi, peningkatan akses terhadap keadilan, dan peningkatan
akuntabilitas serta transparansi dalam penegakan hukum. 4
Menurut Prof. Dr. Hikmahanto Juwana: Reformasi hukum adalah
proses perubahan yang dilakukan untuk memperbaiki sistem hukum yang
sudah tidak efektif dan efisien dalam mencapai tujuan keadilan. Reformasi
hukum meliputi perubahan dalam regulasi hukum, sistem peradilan, dan
lembaga hukum dengan tujuan untuk memastikan perlindungan hak asasi
manusia, meningkatkan kepastian hukum, dan memperbaiki tata kelola
hukum secara menyeluruh.5
Menurut Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra: Reformasi hukum adalah
proses restrukturisasi sistem hukum yang dilakukan untuk mencapai
tujuan pembaharuan dan perbaikan dalam penyusunan dan penegakan
hukum. Reformasi hukum melibatkan peninjauan dan perubahan terhadap
2
Asshiddiqie J, 2005, Membangun Hukum Indonesia yang Modern, Bermartabat dan
Berkeadilan, Kompas.
3
Kusumaatmadja M, 2010, Hukum Adat dalam Hukum Nasional dan Kebijakan Negara,
Penerbit Buku Kompas, hlm. 36
4
Rahardjo S. 2012, Mengenal Hukum, Genta Publishing, hlm. 78
5
Juwana H. 2008, Hukum Internasional: Suatu Pengantar, Sinar Grafika, hlm. 45
2
peraturan hukum yang ada, serta peningkatan kualitas lembaga hukum
dan penegakan hukum untuk mencapai keadilan yang lebih baik. 6
Dari pengertian secara etiomologi dan pendapat para ahli terhadap
reformasi hukum, penulis menarik benang merah bahwa yang dimaksud
dengan reformasi hukum adalah perubahan secara mendasar terhadap
sistem hukum dalam hal ini hukum positif di Indonesia. Tujuan dari
reformasi hukum ini lah yang dinginkan untuk memenuhi cita hukum yang
secara umum oleh Gustav Radbruch menghimpun tujuan hukum dari tiga
mazhab besar yakni naturalis, positivis dan utilitarian, yakni keadilan,
kepastian, dan kemanfaatan. Bagaimanakah reformasi dan pengaruh
mazhab besar ini dalam reformasi hukum di Indonesia?
6
Mahendra, Y. I. 2015, Hukum dan Keadilan, Kencana Prenada Media Group, hlm. 67
3
BAB 2
PEMBAHASAN
7
Irwansyah, 2020, Kajian Ilmu Hukum, Mirra Buana, Yogyakarta, hlm. 11.
4
diteruskan kepada generasi sarjana hukum Indonesia berikutnya,
termasuk pengaruh positivisme hukumnya.
Hukum merupakan perangkat kaidah yang menentukan perilaku
yang seharusnya dilakukan dalam situasi konkret. Kaidah hukum dibentuk
berdasarkan tuntutan keadilan dan untuk menciptakan ketertiban dalam
masyarakat. Kaidah hukum adalah penilaian terhadap perilaku manusia,
terutama perilaku yang dilakukan dalam konteks hubungan sosial dalam
masyarakat. Penilaian tersebut dilakukan oleh manusia, dan isi kaidah
hukum akan dipengaruhi oleh pandangan hidup yang dianut oleh individu
yang membuatnya. Pandangan hidup mencakup keyakinan tentang
eksistensi manusia, hubungan antar-manusia, hubungan manusia dengan
alam semesta, dan hubungan manusia dengan tuhan.
Tatanan hukum yang terbentuk dalam suatu masyarakat secara
alami atau melalui proses pembentukan yang melibatkan elemen internal
masyarakat akan mencerminkan pandangan hidup dan keyakinan
keagamaan yang ada dalam masyarakat tersebut. Hukum yang terbentuk
dengan cara ini akan dianggap adil oleh masyarakat karena sesuai
dengan kesadaran hukum mereka. Contohnya adalah Hukum Adat yang
mencerminkan pandangan hidup bangsa Indonesia, dan hukum Inggris
yang mencerminkan pandangan hidup bangsa Inggris.
Para sarjana hukum Indonesia, termasuk praktisi hukum,
memperoleh pendidikan hukum dari dunia Barat, terutama dari orang
Belanda. Melalui pendidikan formal, pikiran dan cara berpikir orang
Indonesia, termasuk sarjana hukum, dipengaruhi oleh cara berpikir Barat.
Pada saat mereka belajar hukum, aliran yang dominan di Barat adalah
positivisme hukum, sehingga cara pemahaman positivistik tentang hukum
mempengaruhi cara berpikir dan praktik hukum para sarjana dan praktisi
hukum Indonesia. Dengan demikian, pandangan hidup dan pengaruh
positivisme hukum dari Barat telah memengaruhi pemahaman hukum dan
praktik hukum di Indonesia. Pengaruh ini yang memberikan warna
5
terhadap penerapan paradigma hukum bagi hakim dalam memutus
perkara.8
Positivisme adalah salah satu puncak dalam perkembangan
pemikiran manusia, terutama di Barat. Pemikiran yang didominasi oleh
pemikiran Barat dimulai pada zaman Renaissance, yang menandai
munculnya pandangan hidup individualisme. Pandangan ini muncul di
Eropa untuk menggantikan pandangan hidup yang dominan selama
zaman feodal. Menurut Jacob Burckhardt dalam bukunya "Civilization of
the Renaissance in Italy", pada akhir Abad Pertengahan, manusia hanya
menyadari dirinya sebagai anggota dari suatu ras, bangsa, partai,
keluarga, atau korporasi - hanya melalui kategori-kategori khusus
tersebut. Sebagai individu, manusia tidak memiliki makna yang sama
sekali di luar keanggotaannya dalam suatu kelompok.
Namun, di bawah pengaruh para seniman di Italia, manusia mulai
menyadari bahwa keberadaan individu manusia memiliki makna yang
penuh terlepas dari keanggotaannya dalam suatu kelompok. Manusia
mulai menyadari dirinya sebagai individu yang memiliki makna spiritual.
Pandangan ini kemudian diperoleh rumusan kefilsafatan dalam karya
René Descartes dengan ungkapan "Cogito ergo sum" (Aku berpikir, maka
aku ada). Pandangan hidup individualisme ini mendapatkan
pengembangan lebih lanjut dalam karya-karya para filsuf teori kontrak
sosial seperti Thomas Hobbes dan John Locke.
Zaman yang melahirkan pandangan hidup individualisme ini
disebut Renaissance, yang mengakhiri zaman feodal. Renaissance
menjadi titik balik dalam pemikiran dan peradaban Barat, di mana individu
manusia dianggap bebas dan setara dalam hak-haknya. Pandangan hidup
individualisme ini membawa pengaruh yang signifikan dalam berbagai
bidang, termasuk pemikiran hukum dan pemahaman tentang hukum.
8
Mustafa Bolla, Romi Librayanto, dan Muhammad Ilham Arisaputra, 2015, Korelasi
Putusan Hakim Tingkat Pertama, Tingkat Banding, dan Tingkat Kasasi (Suatu Studi
Tentang Aliran Pemikiran Hukum), Hasanuddin Law Review, Vol. 1(1), hlm. 27
6
Perkembangan pemikiran ini juga mempengaruhi pemikiran hukum
di Indonesia melalui pendidikan hukum yang diadopsi dari Barat. Dalam
konteks hukum Indonesia, pemahaman positivistik tentang hukum sebagai
aturan yang ditetapkan oleh otoritas negara juga menjadi dominan.
Namun, perlu diingat bahwa pandangan hidup dan pemikiran hukum di
Indonesia juga dipengaruhi oleh faktor-faktor budaya, agama, dan nilai-
nilai lokal yang memberikan nuansa unik pada perkembangan hukum di
negara ini.9
Pada saat generasi pertama orang Indonesia mempelajari hukum
secara ilmiah dari orang-orang Barat (Belanda), pemikiran dan praktik
hukum di Barat sedang dipengaruhi oleh Positivisme Hukum. Oleh karena
itu, positivisme hukum mempengaruhi pemahaman orang-orang Indonesia
tentang ilmu hukum, hukum, dan cara implementasi hukum dalam praktik.
Pemahaman ini kemudian diteruskan kepada generasi-generasi
berikutnya.
Pemikiran yang berkembang di Barat sejak Renaissance hanyalah
merupakan pengolahan dan pengembangan lebih lanjut dari pandangan
hidup individualisme dalam berbagai bidang kehidupan, sebagai respons
terhadap masalah-masalah yang muncul dalam perkembangan sejarah
Barat. Berbagai aliran filsafat yang muncul dalam sejarah Barat, kadang-
kadang saling bertentangan dan kadang-kadang saling melengkapi,
mengikuti evolusi masyarakat Barat seiring dengan perkembangan
teknologi dan ekonomi yang semakin cepat.
Dari pandangan hidup individualisme, muncul dua aliran yang
tampak berlawanan. Dari pemikiran John Locke, muncul paham-paham
seperti liberalisme, humanisme, demokrasi liberal, kapitalisme,
sekularisme, dan nasionalisme. Namun, dalam praktiknya, pemikiran
Locke juga menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Sebagai respons
terhadap ekses yang timbul akibat praktik individualisme versi Locke,
9
Hamdan Zoelva, 2015, Prospek Negara Hukum Indonesia: Gagasan dan Realita,
Hasanuddin Law Review, Vol.1(2), hlm. 181
7
muncul pemikiran Karl Marx yang tetap bertolak dari individualisme dalam
bentuk "man are created free and equal", namun menghasilkan gagasan-
gagasan kolektivisme, sosialisme, diktator proletariat, ateisme,
internasionalisme, atau kosmopolitisme.
Positivisme hukum muncul sebagai reaksi terhadap kekacauan
hukum dan kehidupan ekonomi yang disebabkan oleh ketidakpastian
hukum dan kekuasaan otoriter yang sewenang-wenang, yang
mengidentikkan hukum dengan kekuasaan sebagai pernyataan kehendak
penguasa. Dalam pandangan positivisme hukum, kesatuan dan kepastian
hukum hanya dapat dijamin jika hukum ditulis secara terinci sehingga
dapat diketahui dengan mudah oleh semua orang, terutama terkait
dengan hak dan kewajiban masing-masing individu. Positivisme hukum
berpendapat bahwa hukum adalah apa yang tercantum dalam aturan
hukum tertulis yang disebut undang-undang, yang ditetapkan oleh pihak
yang memiliki kewenangan untuk membentuk aturan hukum melalui
prosedur yang berlaku dan dirumuskan dalam bentuk yang ditentukan
dalam aturan prosedur tersebut. Pihak yang memiliki kewenangan
tersebut memperoleh kewenangannya berdasarkan aturan yang lebih
tinggi yang memberikan otoritas tersebut.
Pemikiran positivisme hukum dan pandangan hidup individualisme
ini telah memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan hukum di
Barat dan juga di Indonesia. Namun, perlu diingat bahwa perkembangan
hukum juga dipengaruhi oleh faktor-faktor budaya, agama, dan nilai-nilai
lokal yang memberikan ciri khas pada perkembangan hukum dalam
masyarakat tertentu.10
Penerimaan dan implementasi positivisme hukum pada awalnya
memberikan hasil yang gemilang. Ketertiban yang tercipta melalui
kepastian hukum dan keadilan telah mendorong perkembangan ekonomi
dan teknologi yang cepat, sehingga masyarakat menjadi sejahtera.
10
Romi Librayanto, Dkk. 2019, Penataan Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam
Memperkuat Independensi Kekuasaan Kehakiman, Amannagappa, Vol.27(1), hlm. 44
8
Namun, dengan semakin cepatnya perkembangan ekonomi dan teknologi,
tatanan sosial juga berubah dengan cepat, yang pada gilirannya
menimbulkan kebutuhan akan hukum yang baru. Dalam praktiknya, para
pembentuk undang-undang sering kali tidak mampu mengimbangi
kecepatan perubahan kebutuhan hukum. 11 Akibatnya, hukum (atau
undang-undang) selalu tertinggal di belakang perkembangan kebutuhan
hukum masyarakat. Hal ini telah mendorong munculnya gagasan-gagasan
untuk menggeser positivisme hukum, seperti gerakan dekonstruksi
terhadap positivisme hukum.
Gerakan tersebut termasuk Critical Legal Studies, Feminist
Jurisprudence, Critical Theory dari Habermas, dan di Indonesia,
munculnya gerakan Hukum Progresif yang dikembangkan oleh tokoh
seperti Satjipto Rahardjo dan murid-muridnya seperti Bernard Tanya dan
Anthon Freddy Susanto.
Perkembangan dan penerapan positivisme hukum serta koreksi-
koreksi terhadapnya di Barat berlangsung secara evolusioner. Namun,
situasinya berbeda di Indonesia. Setelah Indonesia meraih kemerdekaan
politiknya melalui revolusi, implementasi positivisme hukum oleh
masyarakat Indonesia terjadi dengan cepat setelah tiga abad berada di
bawah kekuasaan Belanda yang terisolasi dari perkembangan dunia.
Perubahan yang sangat cepat dalam semua aspek kehidupan di
Indonesia, ketika harus menghadapi berbagai masalah yang kompleks,
mengakibatkan bangsa Indonesia terjebak dalam krisis moral yang
hebat.12
Penerapan positivisme hukum yang telah kehilangan daya vitalnya
dalam masyarakat Indonesia yang sedang dilanda krisis moral tersebut
menyebabkan penurunan kualitas penyelenggaraan hukum di Indonesia.
11
Ibid,
12
Agus Nuruddin, 2020, Foundation Rules: Establishing Ideas Concepts in Foundation
Laws, Amanna Gappa, Vol.28(1), hlm. 45
9
Selain itu, semua produk hukum dibaca dan dipahami melalui sudut
pandang Barat, dan diterapkan sesuai dengan pemahaman itu. 13
Dalam konteks ini, munculnya gerakan-gerakan seperti Hukum
Progresif merupakan upaya untuk mengkaji dan mengembangkan
paradigma hukum yang lebih sesuai dengan konteks sosial, budaya, dan
nilai-nilai lokal di Indonesia. Munculnya gerakan dekonstruksi terhadap
positivisme hukum dan positivisme pada umumnya menunjukkan bahwa
pernyataan oleh para pemikir Barat pada awal abad ke-20, yang
menyatakan bahwa budaya Barat telah mencapai titik jenuh dan
kehilangan elan vitalnya, perlu dipertimbangkan dengan serius. Buku-buku
seperti "Der Untergang des abendlandes" karya Oswald Spengler pada
tahun 1918, "The Crisis of Our Age" karya Pitirim Sorokin pada tahun
1941, "In de schaduwen van morgen" karya Johan Huizinga pada tahun
1935, "Geschonden Wereld" karya Johan Huizinga pada tahun 1943, "La
Rebelión de las Masas" karya Ortega y Gasset pada tahun 1926, dan
sebagainya, juga memberikan kontribusi dalam konteks ini.
Ortega y Gasset, misalnya, menyatakan bahwa manusia modern
hasil dari budaya Barat terdiri dari orang-orang yang "tidak berbudaya"
yang disebutnya sebagai "orang barbar baru". Ia mengatakan, "Orang
barbar baru ini terutama adalah orang profesional, lebih berpengetahuan
daripada sebelumnya, tetapi pada saat yang sama lebih tidak berbudaya -
insinyur, dokter, pengacara, ilmuwan." P.l. Bouman dalam bukunya "Van
Renaissance tot Wereldoorlog" menyatakan bahwa Renaissance pada
abad ke-15/16 di Eropa, yang melahirkan filsafat individualisme dan
berhasil mendominasi dunia, pada akhirnya ditakdirkan untuk hancur
karena unsur-unsur yang ada, yaitu cara berpikir atau filsafat
individualisme, yang pada awalnya membuat Eropa sangat berpengaruh
dalam sejarah.
13
H.M. Laica Marzuki, 2017,Menyoal Diskresi yang Terpasung (Mengkritisi
UndangUndang Administrasi Pemerintahan)
10
BAB 3
PENUTUP
14
Harifin A. Tumpa, 2015, Penerapan Konsep Rechtsvinding dan Rechsschepping oleh
hakim dalam memutus Perkara, Hasanuddin Law Review, Vol.1(2).
15
Loc Cit, Hamdan Zoelva
16
Ibid
11
DAFTAR PUSTAKA
12