Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH TEORI DAN FILSAFAT HUKUM

Reformasi Hukum di Indonesia: Ketegangan Pertarungan Mazhab


dengan Visi Pembaharuan Hukum

Oleh:
MUHAMMAD
B012222

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2023
KATA PENGANTAR

Tiada kata yang paling indah selain mengucap syukur kepada Allah
SWT karena atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya jualah sehingga kami
dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat waktu. Terselesainya
makalah ini tentu saja tidak terlepas dari bantuan dari berbagai pihak
maka dari itu kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Orang tua
yang senantiasa memberi dukungan baik moral maupun materil.
Bapak/Ibu Dosen yang senantiasa mendidik dan membimbing kami
khususnya dosen mata kuliah “TEORI DAN FILSAFAT HUKUM”.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari
kesempurnaan, maka dari itu semua kritik dan saran dari manapun
datangnya penyusun sangat harapkan.Karena seperti kata pepatah “Tiada
gading yang tak retak” maka tiada manusia yang diciptakan sempurna,
sehingga lebih dan kurangnya penyusun mohon maaf yang sebesar-
besarnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

Sabtu,16 Juni 2023

PENULIS

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................1
BAB 2 PEMBAHASAN........................................................................................4
BAB 3 PENUTUP...............................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................12

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

Sebelum beranjak terhadap perjalan panjang tulisan ini berkaitan


dengan reformasi hukum, nampaknya terlebih dahulu penting untuk
memberikan batasan pemaknaan kita terhadap reformasi hukum sehingga
pembahasan menjadi mengerucut dan tidak melebar. Secara etimologi,
kata "reformasi" berasal dari bahasa Latin “reformation”, yang terdiri dari
dua elemen, yaitu “re-” yang berarti "kembali" atau "mengubah kembali",
dan "formatio" yang berarti "pembentukan" atau "struktur". Dengan
demikian, secara etimologi, reformasi merujuk pada proses perubahan
atau perbaikan yang bertujuan untuk mengembalikan atau mengubah
kembali struktur atau bentuk sesuatu.
Kemudian kata “hukum”, mengutip argument Immanuel Kant, bahwa
sebuah kemustahilan mendefinisikan hukum hanya dengan satu kalimat
karena amat luas dan abstraknya cakupan hukum. 1 Namun setidaknya
penulis menarik hukum yang berangkat dari dua bahas latin yakni “ius”
dan “lex”. Kata ius yang merepresentasikan hukum sebagai wujud
keadilan dan lex yang merepresentasikan hukum sebagai pengaturan
untuk ketertiban. Hal ini dapat dilihat terhadap asas yang berbica
berkaitan dengan pengaturan atau instrumen hukum seperti undang-
undang pasti menggunakan kata lex, seperti Lex Specialis, Lex Scripta,
Lex Superior. Kemudian ius terhadap hal yang diharapkan keadilan
seperti ius custituendum.
Merujuk beberapa pandangan yuris hukum terhadap defenisi reformasi
hukum diantaranya, Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie: Reformasi
hukum adalah serangkaian langkah yang diambil untuk memperbaiki
sistem hukum yang ada dengan tujuan meningkatkan keadilan, kepastian
hukum, dan perlindungan hak asasi manusia. Reformasi hukum juga

1
Eddy O.S Hiariej & Zainal Arifin Mochtar, 2022, Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Hlm. 1

1
dapat mencakup perubahan dalam proses peradilan, pembentukan
lembaga hukum baru, dan penyempurnaan regulasi hukum yang ada. 2
Menurut Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja: Reformasi hukum adalah
transformasi dan restrukturisasi sistem hukum yang bertujuan untuk
mengatasi kelemahan dan kekurangan dalam sistem hukum yang ada.
Reformasi hukum melibatkan perubahan dalam peraturan hukum,
prosedur peradilan, dan kelembagaan hukum untuk mencapai keadilan
yang lebih baik dan meningkatkan kualitas hukum sebagai instrumen
pembangunan negara.3
Menurut Prof. Dr. Satjipto Rahardjo: Reformasi hukum adalah upaya
untuk mengubah atau memperbaiki sistem hukum yang ada agar lebih
responsif terhadap tuntutan masyarakat dan perubahan sosial. Reformasi
hukum mencakup restrukturisasi lembaga hukum, penyederhanaan
regulasi, peningkatan akses terhadap keadilan, dan peningkatan
akuntabilitas serta transparansi dalam penegakan hukum. 4
Menurut Prof. Dr. Hikmahanto Juwana: Reformasi hukum adalah
proses perubahan yang dilakukan untuk memperbaiki sistem hukum yang
sudah tidak efektif dan efisien dalam mencapai tujuan keadilan. Reformasi
hukum meliputi perubahan dalam regulasi hukum, sistem peradilan, dan
lembaga hukum dengan tujuan untuk memastikan perlindungan hak asasi
manusia, meningkatkan kepastian hukum, dan memperbaiki tata kelola
hukum secara menyeluruh.5
Menurut Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra: Reformasi hukum adalah
proses restrukturisasi sistem hukum yang dilakukan untuk mencapai
tujuan pembaharuan dan perbaikan dalam penyusunan dan penegakan
hukum. Reformasi hukum melibatkan peninjauan dan perubahan terhadap

2
Asshiddiqie J, 2005, Membangun Hukum Indonesia yang Modern, Bermartabat dan
Berkeadilan, Kompas.
3
Kusumaatmadja M, 2010, Hukum Adat dalam Hukum Nasional dan Kebijakan Negara,
Penerbit Buku Kompas, hlm. 36
4
Rahardjo S. 2012, Mengenal Hukum, Genta Publishing, hlm. 78
5
Juwana H. 2008, Hukum Internasional: Suatu Pengantar, Sinar Grafika, hlm. 45

2
peraturan hukum yang ada, serta peningkatan kualitas lembaga hukum
dan penegakan hukum untuk mencapai keadilan yang lebih baik. 6
Dari pengertian secara etiomologi dan pendapat para ahli terhadap
reformasi hukum, penulis menarik benang merah bahwa yang dimaksud
dengan reformasi hukum adalah perubahan secara mendasar terhadap
sistem hukum dalam hal ini hukum positif di Indonesia. Tujuan dari
reformasi hukum ini lah yang dinginkan untuk memenuhi cita hukum yang
secara umum oleh Gustav Radbruch menghimpun tujuan hukum dari tiga
mazhab besar yakni naturalis, positivis dan utilitarian, yakni keadilan,
kepastian, dan kemanfaatan. Bagaimanakah reformasi dan pengaruh
mazhab besar ini dalam reformasi hukum di Indonesia?

6
Mahendra, Y. I. 2015, Hukum dan Keadilan, Kencana Prenada Media Group, hlm. 67

3
BAB 2

PEMBAHASAN

Melihat fakta saat ini, penyelenggaraan hukum dan kehidupan


sehari-hari, serta dalam kegiatan mempelajari hukum secara ilmiah di
Indonesia, amat terpengaruh oleh pandangan hukum yang dikembangkan
oleh mazhab yang berkembang kuat pada abad 19 dan 20. Mazhab yang
penulis maksud adalah aliran Positivisme Hukum dengan pendekatan
normatifnya dengan pelbagai modelnya.
Generasi pertama orang Indonesia yang memperoleh pelajaran
tentang hukum secara ilmiah terorganisasi dimulai pada awal abad ke-20.
Pada tahun 1909, Rechtsschool (Sekolah Hukum) dibuka di Jakarta
sebagai sekolah menengah.7 Sebagian lulusan Rechtsschool melanjutkan
studi di Fakultas Hukum Universitas Leiden, bahkan beberapa di
antaranya meraih gelar doktor ilmu hukum. Pendidikan tinggi hukum di
Indonesia dimulai pada tahun 1924 dengan dibukanya Sekolah Tinggi
Hukum (Rechtshogeschool), juga di Jakarta. Pengajar di Rechtsschool
dan Rechtshogeschool adalah orang-orang Belanda, dan ilmu hukum
yang diajarkan adalah Ilmu Hukum Belanda, serta pengetahuan ilmiah
tentang hukum Belanda, Ditambah dengan Hukum Adat dan Hukum
Islam.
Para pengajar hukum generasi pertama orang Indonesia juga
merupakan orang-orang yang menguasai Ilmu Hukum Belanda dan
pengetahuan ilmiah tentang hukum Belanda. Baru pada tahun 1970-an,
pengaruh ilmu hukum dari lingkungan Common Law mulai terasa setelah
kembalinya orang-orang yang belajar hukum di Amerika Serikat, Inggris,
dan Australia. Kepustakaan tentang hukum yang dipelajari oleh sarjana
hukum Indonesia sebagian besar ditulis oleh orang-orang Barat.
Pemahaman tentang ilmu-ilmu hukum, berbagai konsep hukum, dan cara
penggunaannya yang diperoleh dari orang-orang Barat ini kemudian

7
Irwansyah, 2020, Kajian Ilmu Hukum, Mirra Buana, Yogyakarta, hlm. 11.

4
diteruskan kepada generasi sarjana hukum Indonesia berikutnya,
termasuk pengaruh positivisme hukumnya.
Hukum merupakan perangkat kaidah yang menentukan perilaku
yang seharusnya dilakukan dalam situasi konkret. Kaidah hukum dibentuk
berdasarkan tuntutan keadilan dan untuk menciptakan ketertiban dalam
masyarakat. Kaidah hukum adalah penilaian terhadap perilaku manusia,
terutama perilaku yang dilakukan dalam konteks hubungan sosial dalam
masyarakat. Penilaian tersebut dilakukan oleh manusia, dan isi kaidah
hukum akan dipengaruhi oleh pandangan hidup yang dianut oleh individu
yang membuatnya. Pandangan hidup mencakup keyakinan tentang
eksistensi manusia, hubungan antar-manusia, hubungan manusia dengan
alam semesta, dan hubungan manusia dengan tuhan.
Tatanan hukum yang terbentuk dalam suatu masyarakat secara
alami atau melalui proses pembentukan yang melibatkan elemen internal
masyarakat akan mencerminkan pandangan hidup dan keyakinan
keagamaan yang ada dalam masyarakat tersebut. Hukum yang terbentuk
dengan cara ini akan dianggap adil oleh masyarakat karena sesuai
dengan kesadaran hukum mereka. Contohnya adalah Hukum Adat yang
mencerminkan pandangan hidup bangsa Indonesia, dan hukum Inggris
yang mencerminkan pandangan hidup bangsa Inggris.
Para sarjana hukum Indonesia, termasuk praktisi hukum,
memperoleh pendidikan hukum dari dunia Barat, terutama dari orang
Belanda. Melalui pendidikan formal, pikiran dan cara berpikir orang
Indonesia, termasuk sarjana hukum, dipengaruhi oleh cara berpikir Barat.
Pada saat mereka belajar hukum, aliran yang dominan di Barat adalah
positivisme hukum, sehingga cara pemahaman positivistik tentang hukum
mempengaruhi cara berpikir dan praktik hukum para sarjana dan praktisi
hukum Indonesia. Dengan demikian, pandangan hidup dan pengaruh
positivisme hukum dari Barat telah memengaruhi pemahaman hukum dan
praktik hukum di Indonesia. Pengaruh ini yang memberikan warna

5
terhadap penerapan paradigma hukum bagi hakim dalam memutus
perkara.8
Positivisme adalah salah satu puncak dalam perkembangan
pemikiran manusia, terutama di Barat. Pemikiran yang didominasi oleh
pemikiran Barat dimulai pada zaman Renaissance, yang menandai
munculnya pandangan hidup individualisme. Pandangan ini muncul di
Eropa untuk menggantikan pandangan hidup yang dominan selama
zaman feodal. Menurut Jacob Burckhardt dalam bukunya "Civilization of
the Renaissance in Italy", pada akhir Abad Pertengahan, manusia hanya
menyadari dirinya sebagai anggota dari suatu ras, bangsa, partai,
keluarga, atau korporasi - hanya melalui kategori-kategori khusus
tersebut. Sebagai individu, manusia tidak memiliki makna yang sama
sekali di luar keanggotaannya dalam suatu kelompok.
Namun, di bawah pengaruh para seniman di Italia, manusia mulai
menyadari bahwa keberadaan individu manusia memiliki makna yang
penuh terlepas dari keanggotaannya dalam suatu kelompok. Manusia
mulai menyadari dirinya sebagai individu yang memiliki makna spiritual.
Pandangan ini kemudian diperoleh rumusan kefilsafatan dalam karya
René Descartes dengan ungkapan "Cogito ergo sum" (Aku berpikir, maka
aku ada). Pandangan hidup individualisme ini mendapatkan
pengembangan lebih lanjut dalam karya-karya para filsuf teori kontrak
sosial seperti Thomas Hobbes dan John Locke.
Zaman yang melahirkan pandangan hidup individualisme ini
disebut Renaissance, yang mengakhiri zaman feodal. Renaissance
menjadi titik balik dalam pemikiran dan peradaban Barat, di mana individu
manusia dianggap bebas dan setara dalam hak-haknya. Pandangan hidup
individualisme ini membawa pengaruh yang signifikan dalam berbagai
bidang, termasuk pemikiran hukum dan pemahaman tentang hukum.

8
Mustafa Bolla, Romi Librayanto, dan Muhammad Ilham Arisaputra, 2015, Korelasi
Putusan Hakim Tingkat Pertama, Tingkat Banding, dan Tingkat Kasasi (Suatu Studi
Tentang Aliran Pemikiran Hukum), Hasanuddin Law Review, Vol. 1(1), hlm. 27

6
Perkembangan pemikiran ini juga mempengaruhi pemikiran hukum
di Indonesia melalui pendidikan hukum yang diadopsi dari Barat. Dalam
konteks hukum Indonesia, pemahaman positivistik tentang hukum sebagai
aturan yang ditetapkan oleh otoritas negara juga menjadi dominan.
Namun, perlu diingat bahwa pandangan hidup dan pemikiran hukum di
Indonesia juga dipengaruhi oleh faktor-faktor budaya, agama, dan nilai-
nilai lokal yang memberikan nuansa unik pada perkembangan hukum di
negara ini.9
Pada saat generasi pertama orang Indonesia mempelajari hukum
secara ilmiah dari orang-orang Barat (Belanda), pemikiran dan praktik
hukum di Barat sedang dipengaruhi oleh Positivisme Hukum. Oleh karena
itu, positivisme hukum mempengaruhi pemahaman orang-orang Indonesia
tentang ilmu hukum, hukum, dan cara implementasi hukum dalam praktik.
Pemahaman ini kemudian diteruskan kepada generasi-generasi
berikutnya.
Pemikiran yang berkembang di Barat sejak Renaissance hanyalah
merupakan pengolahan dan pengembangan lebih lanjut dari pandangan
hidup individualisme dalam berbagai bidang kehidupan, sebagai respons
terhadap masalah-masalah yang muncul dalam perkembangan sejarah
Barat. Berbagai aliran filsafat yang muncul dalam sejarah Barat, kadang-
kadang saling bertentangan dan kadang-kadang saling melengkapi,
mengikuti evolusi masyarakat Barat seiring dengan perkembangan
teknologi dan ekonomi yang semakin cepat.
Dari pandangan hidup individualisme, muncul dua aliran yang
tampak berlawanan. Dari pemikiran John Locke, muncul paham-paham
seperti liberalisme, humanisme, demokrasi liberal, kapitalisme,
sekularisme, dan nasionalisme. Namun, dalam praktiknya, pemikiran
Locke juga menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Sebagai respons
terhadap ekses yang timbul akibat praktik individualisme versi Locke,

9
Hamdan Zoelva, 2015, Prospek Negara Hukum Indonesia: Gagasan dan Realita,
Hasanuddin Law Review, Vol.1(2), hlm. 181

7
muncul pemikiran Karl Marx yang tetap bertolak dari individualisme dalam
bentuk "man are created free and equal", namun menghasilkan gagasan-
gagasan kolektivisme, sosialisme, diktator proletariat, ateisme,
internasionalisme, atau kosmopolitisme.
Positivisme hukum muncul sebagai reaksi terhadap kekacauan
hukum dan kehidupan ekonomi yang disebabkan oleh ketidakpastian
hukum dan kekuasaan otoriter yang sewenang-wenang, yang
mengidentikkan hukum dengan kekuasaan sebagai pernyataan kehendak
penguasa. Dalam pandangan positivisme hukum, kesatuan dan kepastian
hukum hanya dapat dijamin jika hukum ditulis secara terinci sehingga
dapat diketahui dengan mudah oleh semua orang, terutama terkait
dengan hak dan kewajiban masing-masing individu. Positivisme hukum
berpendapat bahwa hukum adalah apa yang tercantum dalam aturan
hukum tertulis yang disebut undang-undang, yang ditetapkan oleh pihak
yang memiliki kewenangan untuk membentuk aturan hukum melalui
prosedur yang berlaku dan dirumuskan dalam bentuk yang ditentukan
dalam aturan prosedur tersebut. Pihak yang memiliki kewenangan
tersebut memperoleh kewenangannya berdasarkan aturan yang lebih
tinggi yang memberikan otoritas tersebut.
Pemikiran positivisme hukum dan pandangan hidup individualisme
ini telah memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan hukum di
Barat dan juga di Indonesia. Namun, perlu diingat bahwa perkembangan
hukum juga dipengaruhi oleh faktor-faktor budaya, agama, dan nilai-nilai
lokal yang memberikan ciri khas pada perkembangan hukum dalam
masyarakat tertentu.10
Penerimaan dan implementasi positivisme hukum pada awalnya
memberikan hasil yang gemilang. Ketertiban yang tercipta melalui
kepastian hukum dan keadilan telah mendorong perkembangan ekonomi
dan teknologi yang cepat, sehingga masyarakat menjadi sejahtera.

10
Romi Librayanto, Dkk. 2019, Penataan Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam
Memperkuat Independensi Kekuasaan Kehakiman, Amannagappa, Vol.27(1), hlm. 44

8
Namun, dengan semakin cepatnya perkembangan ekonomi dan teknologi,
tatanan sosial juga berubah dengan cepat, yang pada gilirannya
menimbulkan kebutuhan akan hukum yang baru. Dalam praktiknya, para
pembentuk undang-undang sering kali tidak mampu mengimbangi
kecepatan perubahan kebutuhan hukum. 11 Akibatnya, hukum (atau
undang-undang) selalu tertinggal di belakang perkembangan kebutuhan
hukum masyarakat. Hal ini telah mendorong munculnya gagasan-gagasan
untuk menggeser positivisme hukum, seperti gerakan dekonstruksi
terhadap positivisme hukum.
Gerakan tersebut termasuk Critical Legal Studies, Feminist
Jurisprudence, Critical Theory dari Habermas, dan di Indonesia,
munculnya gerakan Hukum Progresif yang dikembangkan oleh tokoh
seperti Satjipto Rahardjo dan murid-muridnya seperti Bernard Tanya dan
Anthon Freddy Susanto.
Perkembangan dan penerapan positivisme hukum serta koreksi-
koreksi terhadapnya di Barat berlangsung secara evolusioner. Namun,
situasinya berbeda di Indonesia. Setelah Indonesia meraih kemerdekaan
politiknya melalui revolusi, implementasi positivisme hukum oleh
masyarakat Indonesia terjadi dengan cepat setelah tiga abad berada di
bawah kekuasaan Belanda yang terisolasi dari perkembangan dunia.
Perubahan yang sangat cepat dalam semua aspek kehidupan di
Indonesia, ketika harus menghadapi berbagai masalah yang kompleks,
mengakibatkan bangsa Indonesia terjebak dalam krisis moral yang
hebat.12
Penerapan positivisme hukum yang telah kehilangan daya vitalnya
dalam masyarakat Indonesia yang sedang dilanda krisis moral tersebut
menyebabkan penurunan kualitas penyelenggaraan hukum di Indonesia.

11
Ibid,
12
Agus Nuruddin, 2020, Foundation Rules: Establishing Ideas Concepts in Foundation
Laws, Amanna Gappa, Vol.28(1), hlm. 45

9
Selain itu, semua produk hukum dibaca dan dipahami melalui sudut
pandang Barat, dan diterapkan sesuai dengan pemahaman itu. 13
Dalam konteks ini, munculnya gerakan-gerakan seperti Hukum
Progresif merupakan upaya untuk mengkaji dan mengembangkan
paradigma hukum yang lebih sesuai dengan konteks sosial, budaya, dan
nilai-nilai lokal di Indonesia. Munculnya gerakan dekonstruksi terhadap
positivisme hukum dan positivisme pada umumnya menunjukkan bahwa
pernyataan oleh para pemikir Barat pada awal abad ke-20, yang
menyatakan bahwa budaya Barat telah mencapai titik jenuh dan
kehilangan elan vitalnya, perlu dipertimbangkan dengan serius. Buku-buku
seperti "Der Untergang des abendlandes" karya Oswald Spengler pada
tahun 1918, "The Crisis of Our Age" karya Pitirim Sorokin pada tahun
1941, "In de schaduwen van morgen" karya Johan Huizinga pada tahun
1935, "Geschonden Wereld" karya Johan Huizinga pada tahun 1943, "La
Rebelión de las Masas" karya Ortega y Gasset pada tahun 1926, dan
sebagainya, juga memberikan kontribusi dalam konteks ini.
Ortega y Gasset, misalnya, menyatakan bahwa manusia modern
hasil dari budaya Barat terdiri dari orang-orang yang "tidak berbudaya"
yang disebutnya sebagai "orang barbar baru". Ia mengatakan, "Orang
barbar baru ini terutama adalah orang profesional, lebih berpengetahuan
daripada sebelumnya, tetapi pada saat yang sama lebih tidak berbudaya -
insinyur, dokter, pengacara, ilmuwan." P.l. Bouman dalam bukunya "Van
Renaissance tot Wereldoorlog" menyatakan bahwa Renaissance pada
abad ke-15/16 di Eropa, yang melahirkan filsafat individualisme dan
berhasil mendominasi dunia, pada akhirnya ditakdirkan untuk hancur
karena unsur-unsur yang ada, yaitu cara berpikir atau filsafat
individualisme, yang pada awalnya membuat Eropa sangat berpengaruh
dalam sejarah.

13
H.M. Laica Marzuki, 2017,Menyoal Diskresi yang Terpasung (Mengkritisi
UndangUndang Administrasi Pemerintahan)

10
BAB 3

PENUTUP

Pengamatan ini memunculkan pertanyaan apakah kita harus


melanjutkan cara berpikir atau filsafat Barat, yaitu filsafat individualisme.
Apakah saat ini sudah saatnya untuk mencari jalan lain? Pertanyaan ini
mengajak kita untuk merenungkan kembali arah dan paradigma pemikiran
yang relevan dengan kondisi dan kebutuhan zaman yang sekarang.
Pada tahun 1945, ketika Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya, para pendiri negara menyusun sebuah Undang-Undang
Dasar yang dikenal sebagai Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945).
Proses pembentukan UUD 1945 tersebut menunjukkan bahwa undang-
undang dasar tersebut tidak didasarkan pada filsafat Barat yang berpusat
pada filsafat individualisme, melainkan pada filsafat Pancasila yang
berakar dari keyakinan bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan dalam
kebersamaan dengan sesamanya.14 Filsafat Pancasila juga dikenal
sebagai Filsafat Kekeluargaan yang mendasarkan pada asas atau
semangat Bhinneka Tunggal Ika, yaitu "Kesatuan dalam Perbedaan dan
Perbedaan dalam Kesatuan" (Soediman Kartohadiprodjo). 15
Namun, dalam praktik tatanegara, UUD 1945 masih tetap dibaca
dan dipahami dalam kerangka cara berpikir Barat, serta diterapkan
berdasarkan pemahaman tersebut. Bahkan sejak zaman Soekarno hingga
sekarang, pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia
sering kali menyimpang dari prinsip-prinsip Pancasila dan UUD 1945. Hal
ini terjadi pada saat kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia sedang
menghadapi krisis moral yang serius.16

14
Harifin A. Tumpa, 2015, Penerapan Konsep Rechtsvinding dan Rechsschepping oleh
hakim dalam memutus Perkara, Hasanuddin Law Review, Vol.1(2).
15
Loc Cit, Hamdan Zoelva
16
Ibid

11
DAFTAR PUSTAKA

Agus Nuruddin, 2020, Foundation Rules: Establishing Ideas Concepts in


Foundation Laws, Amanna Gappa, Vol.28(1). 45
Asshiddiqie, J. 2005. Membangun Hukum Indonesia yang Modern,
Bermartabat, dan Berkeadilan. Kompas.
Eddy O.S Hiariej & Zainal Arifin Mochtar, 2022, Dasar-Dasar Ilmu Hukum.
H.M. Laica Marzuki, 2017,Menyoal Diskresi yang Terpasung (Mengkritisi
UndangUndang Administrasi Pemerintahan). Amanna Gappa,
Vol.25(1).
Hamdan Zoelva, 2015, Prospek Negara Hukum Indonesia: Gagasan dan
Realita, Hasanuddin Law Review, Vol.1(2). 181
Harifin A. Tumpa, 2015, Penerapan Konsep Rechtsvinding dan
Rechsschepping oleh hakim dalam memutus Perkara, Hasanuddin
Law Review, Vol.1(2).
Irwansyah, 2020, Kajian Ilmu Hukum, Mirra Buana, Yogyakarta, 11.
Juwana, H. 2008. Hukum Internasional: Suatu Pengantar. Sinar
Grafika.45
Kusumaatmadja, M. 2010. Hukum Adat dalam Hukum Nasional dan
Kebijakan Negara. Penerbit Buku Kompas. 36
Mahendra, Y. I. 2015. Hukum dan Keadilan. Kencana Prenada Media
Group.67
Mustafa Bolla, Romi Librayanto, Muhammad Ilham Arisaputra, 2015,
Korelasi Putusan Hakim Tingkat Pertama, Tingkat Banding, dan
Tingkat Kasasi (Suatu Studi Tentang Aliran Pemikiran Hukum),
Hasanuddin Law Review, Vol. 1(1). 27
Rahardjo, S. 2012. Mengenal Hukum. Genta Publishing.78
Romi Librayanto, Dkk. 2019. Penataan Kewenangan Mahkamah
Konstitusi dalam Memperkuat Independensi Kekuasaan
Kehakiman, Amannagappa, Vol.27(1). 44

12

Anda mungkin juga menyukai