Disusun Oleh
Kelompok 3 :
KELAS:
HKI-4B
i
KATA PENGANTAR
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Indonesia, sebagai negara demokratis yang menganut sistem hukum
positif, menempatkan profesi hukum dalam posisi yang sangat penting dalam
menjaga keadilan, kedaulatan hukum, dan perlindungan hak asasi manusia.
Profesi hukum di Indonesia, yang meliputi advokat, hakim, jaksa, dan notaris,
memiliki peran sentral dalam mengatur tata kelola hukum dan memastikan
kepatuhan terhadap aturan hukum yang berlaku.
Namun, dalam perkembangannya, praktek-praktek dalam profesi hukum
di Indonesia seringkali dihadapkan pada tantangan etis yang kompleks. Dalam
beberapa kasus, terjadi pelanggaran etika yang merusak kepercayaan
masyarakat terhadap sistem peradilan dan menimbulkan ketidakadilan. Sebagai
contoh, ada laporan tentang penyalahgunaan wewenang, praktik korupsi,
penyalahgunaan proses hukum, serta ketidaknetralan dalam memberikan
layanan hukum.
Tantangan etis ini muncul dari berbagai faktor, termasuk tekanan politik,
kurangnya pengawasan yang efektif, kebutuhan akan reformasi struktural, serta
kurangnya kesadaran akan pentingnya etika dalam praktik hukum. Dalam
konteks ini, pemahaman yang kuat tentang etika profesi hukum menjadi sangat
penting untuk menjaga integritas, keadilan, dan kepercayaan masyarakat
terhadap sistem peradilan di Indonesia.
Oleh karena itu, penelitian tentang etika profesi hukum di Indonesia
menjadi sangat relevan dan penting. Dengan memahami akar permasalahan,
tantangan, dan peluang yang ada, langkah-langkah konkrit dapat diambil untuk
memperbaiki praktik-praktik yang merugikan dalam profesi hukum,
meningkatkan kepatuhan terhadap standar etis, serta memperkuat integritas
sistem peradilan secara keseluruhan. Melalui makalah ini, akan dikaji secara
mendalam tentang tantangan etis dalam praktik hukum di Indonesia, serta
solusi-solusi yang dapat diusulkan untuk mengatasi masalah tersebut.
1
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu Profesi Hukum?
2. Bagaimana Masalah-masalah yang dihadapi oleh Profesi Hukum?
C. TUJUAN
1. Mengetahui Profesi Hukum
2. Mengetahui Masalah-masalah yang dihadapi oleh Profesi Hukum
BAB II
PEMBAHASAN
A. PROFESI HUKUM
1. Pengertian profesi Hukum
Profesi hukum adalah profesi yang melekat pada dan dilaksanakan oleh
aparatur hukum dalam suatu pemerintahan suatu negara (C.S.T. Kansil,
2003 : 8). profesi hukum dari aparatur hukum negara Republik Indonesia
dewasa ini diatur dalam ketetapan MPR II/MPR/1993 tentang Garis-Garis
besar haluan Negara. Pengemban profesi hukum harus bekerja secara
profesional dan fungsional, memiliki tingkat ketelitian, kehati-hatian,
ketekunan. kritis, dan pengabdian yang tinggin karena mereka bertanggung
jawab kepada diri sendiri dan sesama anggota masyarakat, bahkan kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Pengemban profesi hukum bekerja sesuai dengan
kode etik profesinya, apabila terjadi penyimpangan atau pelanggaran kode
etik, mereka harus rela mempertanggungjawabkan akibatnya sesuai dengan
tuntutan kode etik. Biasanya dalam organisasi profesi, ada dewan
kehormatan yang akan mengoreksi pelanggaran kode etik.
2
sebagai pelaksana hukum dari hukum yang berlaku dalam suatu negara.
sesuai dengan keperluan hukum bagi masyarakat Indonesi dewasa ini
dikenal beberapa subyek hukum berpredikat profesi hukum yaitu : Polisi,
Jaksa, Penasihat hukum (advokad, pengacara), Notaris, Jaksa, Polisi.
Seluruh sektor kehidupan, aktivitas, pola hidup, berpolitik baik dalam
lingkup mikro maupun makro harus selalu berlandaskan nilai-nilai etika.
Urgensi etika adalah, pertama, dengan dipakainya etika dalam seluruh
sektor kehidupan manusia baik mikro maupun makro diharapakan dapat
terwujud pengendalian, pengawasan dan penyesuaian sesuai dengan
panduan etika yang wajib dipijaki, kedua, terjadinya tertib kehidupan
bermasyarakat, ketiga, dapat ditegakan nilai-nilai dan advokasi
kemanusiaan, kejujuran, keterbukaan dan keadilan, keempat, dapat
ditegakkannya (keinginan) hidup manusia, kelima, dapat dihindarkan
terjadinya free fight competition dan abus competition dan terakhir yang
dapat ditambahkan adalah penjagaan agar tetap berpegang teguh pada
norma-norma moral yang berlaku dalam masyarakat sehingga tatanan
kehidupan dapat berlangsung dengan baik. Urgensi atau pentingnya
ber'etika sejak jaman Aristoteles menjadi pembahasan utama dengan
tulisannya yang berjudul " Ethika Nicomachela". Aristoteles berpendapat
bahwa tata pegaulan dan penghargaan seorang manusia, yang tidak
didasarkan oleh egoisme atau kepentingan individu, akan tetapi didasarkan
pada hal-hal yang altruistik, yaitu memperhatikan orang lain. Pandangan
aristoles ini jelas, bahwa urgensi etika berkaitan dengan kepedulian dan
tuntutan memperhatikan orang lain. Dengan berpegang pada etika,
kehidupan manusia manjadi jauh lebih bermakna, jauh dari keinginan untuk
melakukan pengrusakan dan kekacauan-kekacauan. Berlandaskan pada
pengertian dan urgensi etika, maka dapat diperoleh suatu deskripsi umum,
bahwa ada titik temu antara etika dan dengan hukum. Keduanya memiliki
kesamaan substansial dan orientasi terhadap kepentingan dan tata
kehidupan manusia. Dalam hal ini etika menekankan pembicaraannya pada
konstitusi soal baik buruknya perilaku manusia. Perbuatan manusia dapat
3
disebut baik, arif dan bijak bilamana ada ketentuan secara normatif yang
merumuskan bahwa hal itu bertentangan dengan pesan-pesan etika.
Begitupun seorang dapat disebut melanggar etika bilamana sebelumnya
dalam kaidah-kaidah etika memeng menyebutkan demikian. Sementara
keterkaitannya dengan hukum, Paul Scholten menyebutkan, baik hukum
maupun etika kedua-duanya mengatur perbuatan-perbuatan manusia
sebagai manusia sebagai manusia, yaitu ada aturan yang mengharuskan
untuk diikuti, sedangkan di sisi lain ada aturan yang melarang seseorang
menjalankan sesuatu kegiatan, misalnya yang merugikan dan melanggar
hak-hak orang lain. Pendapat Scholten menunjukan bahwa titik temu antara
etika dengan hukum terletak pada muatan substansinya yang mengatur
tentang perilaku-perilaku manusia. apa yang dilakukan oleh manusia selalu
mendapatkan koreksi dari ketentuan-ketentuan hukum dan etika yang
menentukannya. ada keharusan, perintah dan larangan, serta sanksi-sanksi.
4
sanksinya, diharapakan perilaku individu dapat dihindarkan dari sengketa,
atau bagi anggota masyarakat yang terlibat dalam sengketa, konflik atau
pertikaian, lantas dicarikan landasan pemecahannya dengan mengandalakan
kekuatan hukum yang berlaku.
5
penyimapangan moral tidaklah main main. pelanggaran moral telah
terbukti mengakibatkan problem serius di hampir seluruh aspek kehidupan
masyarakat khususnya di Indonesia. Kondisi masyarakat tampak demikian
tidak berdaya, menjauh dari hak kesejahteraan, hak keadilan, hak
pendidikan yang berkualitas, hak jaminan kesehatan dan keselamatan,
adalah akibat pelanggaran moral yang sangat kuat.
6
mudah digunakan sebagai pembenaran terhadap aktifitas tertentu yang
dilakukan seseorang atau sekumpulan orang.
7
informasi dan "buku pedoman" mengenai kewajiban yang harus
dilaksanakan, sementara klien, lembaga dan masyarakat pun secara terbuka
mengetahui hak-haknya.
2. Membantu tenaga ahli dalam menentukan apa yang harus mereka perbuat
jika menghadapi problem dalam pekerjaannya. Problem yang dihadapi
seperti munculnya kasus-kasus hukum baru yang penanganannya
membutuhkan kehadiran ahli atau diluar kemampuan spesifikasi adalah
membutuhkan pedoman yang jelas untuk menghindari terjadinya kesalahan
dan kekeliruan, sehingga kalau sampai terjadi seorang ahli itu misalnya
tidak mampu menyelesaikan problem yang dihadapinya tidaklah lantas
dipersalahkan begitu saja.
3. Diorientasikan untuk mendukung profesi secara bermoral dan melawan
perilaku melanggar hukum dan indispliner dari anggota-anggota tertentu.
Pengemban profesi (hukum) mendapatkan pijakan yang dapat dijadikan
acuan untuk mengamati perilaku sesama pengemban profesi yang dinilai
melanggar hukum. Dengan keberadaan kode etik, akan lebih muda
ditentukan bentuk, arah dan kemanfaatan penyelenggaraan profesi hukum.
4. Sebagai rujukan untuk menjaga prestasi dan reputasi, baik secara individu
maupun kelembagaan.
Ada beberapa fungsi kode etik :
1. Kode etik sebagai sarana kontrol sosial. Kode etik memberikan semacam
kriteria bagi para calon anggota kelompok profesi dan membantu
mempertahankan pandangan para anggota lama terhadap prinsip profesional
yang telah digariskan.
2. Kode-kode etik profesi mencegah pengawasan atau campur tangan yang
dilakukan oleh pemerintah atau oleh masyarakat melalui agen atau
pelaksanannya.
3. kode etik adalah untuk pengembangan patokan kehendak yang lebih
tinggi. Kode etik ini dasarnya adalah suatu perilaku yang sudah dianggap
benar serta berdasarkan metode prosedur yang benar pula.
8
Kode etik profesi dapat dijadikan pedoman untuk memberdayakan,
kemahiran, spesifikasi atau keahlian yang sudah dikuasai oleh pengemban
profesi. Dengan kode etik, pengemban profesi dituntut meningkatkan karier
atau prestasi-prestasinya. Kalau itu merupakan kode etik profesi hukum,
maka pengemban profesi hukum dituntut menyelaraskan tugas-tugasnya
secara benar dan bermoral. Kode etik menjadi terasa lebih penting lagi
kehadirannya ketika tantangan yang menghadang profesi hukum makin
berat dan kompleks, khususnya ketika berhadapan dengan tantangan yang
bersumber dari komunitas elit kekuasaan. sikap elit kekuasaan terkadang
bukan hanya tidak menghiraukan norma moral dan yuridis, tetapi juga
mempermainkannya.
9
Kedua, terjadi penyalahgunaan profesi. Dalam kenyataannya, di
tengah-tengah masyarakat seringkali terjadi penyalahgunaan profesi
hukum oleh anggotanya sendiri. Terjadinya penyalahgunaan profesi
tersebut disebabkan adanya factor kepentingan. Persaingan individu
profesional hukum serta tidak adanya disiplin diri menjadi pemicu
terjadinya penyalahgunaan ini. Dalam dunia profesi hukum dapat dilihat
dua hal yang sering kontradiksi satu sama lain yaitu pada satu sisi, cita-
cita etika yang terlalu tinggi, sementara pada sisi lainnya praktik
penggembalaan hukum yang berada jauh di bawah cita-cita tersebut.
Selain itu, penyalahgunaan profesi hukum juga terjadi karena desakan
pihak klien yang menginginkan perkaranya cepat selesai dan tentunya
memperoleh kemenangan. Klien kadangkala tidak segan-segan
menawarkan bayaran yang menggiurkan kepada pihak tertentu untuk
memperoleh kemenangan.
Ketiga, kecenderungan profesi hukum menjadi kegiatan bisnis.
Suatu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa sebenarnya kehadiran
profesi hukum bertujuan untuk memberikan pelayanan atau memberikan
bantuan hukum kepada masyarakat. Dalam artian bahwa yang terpenting
adalah pelayanan dan pengabdian. Namun dalam kenyataannya di
Indonesia, profesi hukum dapat dibedakan antara profesi hukum yang
bergerak dalam bidang pelayanan bisnis dan profesi hukum di bidang
pelayanan umum. Profesi hukum yang bergerak dalam bidang pelayanan
bisnis menjalankan pekerjaan berdasarkan hubungan bisnis (komersial),
imbalan yang diterima sudah ditentukan menurut standar bisnis.
Contohnya, para konsultan yang menangani masalah kontrak-kontrak
dagang, paten, dan merek. Untuk profesi hukum yang bergerak di bidang
pelayanan umum menjalankan pekerjaan berdasarkan kepentingan
umum, baik dengan pembayaran maupun tanpa pembayaran. Contoh
profesi hukum pelayanan umum adalah pengadilan, notaris, LBH, jika ada
pembayaran, sifatnya biaya pekerjaan atau biaya administrasi.
10
Keempat, penurunan kesadaran dan kepedulian sosial. Kesadaran
dan kepedulian sosial merupakan kriteria pelayanan umum profesional
hukum. Wujudnya adalah kepentingan masyarakat lebih diutamakan atau
didahulukan daripada kepentingan pribadi, pelayanan lebih diutamakan
daripada pembayaran, nilai moral ditonjolkan daripada nilai ekonomi.
Namun demikian, gejala yang dapat diamati sekarang sepertinya lain dari
yang seharusnya diemban oleh profesional hukum. Gejala tersebut
menunjukkan mulai pudarnya keyakinan terhadap wibawa hukum.
Kelima, kontinuitas sistem yang sudah usang. Profesional hukum
adalah bagian dari sistem peradilan yang berperan membantu
menyebarluaskan sistem yang sudah dianggap ketinggalan zaman karena
di dalamnya terdapat banyak ketentuan penegakan hukum yang tidak lagi
sesuai. Padahal profesional hukum melayani kepentingan masyarakat
yang hidup dalam zaman modern. Kemajuan teknologi sekarang kurang
diimbangi oleh percepatan kemajuan hukum yang dapat menangkal
kemajuan teknologi tersebut sehingga timbul hukum selalu
ketinggalan zaman.
Dari berbagai permasalahan kronis yang dihadapi oleh para
profesional hukum sebagaimana telah dikemukakan di atas, rumusan kode
etik para kelompok profesional hukum diharapkan mampu menjadi solusi
bagi permasalahan tersebut. Namun demikian, hal yang terpenting adalah
bahwa setiap anggota profesi hukum selayaknya memiliki akhlak yang
mulia sebagai bekal utama dalam menjalankan amanah yang
dipercayakan kepadanya.
Lubis (1994:6) mengemukakan bahwa hubungan etika dengan
profesi hukum adalah bahwa etika profesi adalah sebagai sikap hidup, hal
mana bisa berarti kesediaan untuk memberikan pelayanan professional di
bidang hukum terhadap masyarakat dengan keterlibatan penuh dan
keahlian sebagai pelayanan dalam melaksanakan tugas yang berupa
kewajiban terhadap masyarakat yang membutuhkan pelayanan hukum
disertai refleksi yang seksama, dan oleh karena itu di dalam melaksanakan
11
profesi terdapat kaidah-kaidah pokok berupa etika profesi sebagai
dikemukakan oleh Kieser dalam Lubis (1994:7), yaitu: Pertama, profesi
harus dipandang dan dihayati sebagai suatu pelayanan, karena itu maka
sifat tanpa pamrih menjadi ciri khas dalam mengembangkan profesi.
Yang dimaksud dengan tanpa pamrih di sini adalah bahwa pertimbangan
yang menentukan dalam pengambilan keputusan adalah kepentingan
pasien atau klien dan kepentingan umum, dan bukan kepentingan pribadi.
Jika sifat tanpa pamrih ini diabaikan, maka pengembangan profesi akan
mengarah pada pemanfaatan (yang menjurus kepada penyalahgunaan)
kewenangan terhadap sesama manusia yang sedang mengalami kesulitan.
Kedua, pelayanan profesional dalam mendahulukan kepentingan pasien
atau klien mengacu kepada kepentingan atau nilai-nilai luhur sebagai
norma kritik yang memotivasi sikap dan tindakan. Ketiga, pengembangan
profesi harus selalu berorientasi pada masyarakat sebagai keseluruhan.
Keempat, agar persaingan dalam pelayanan berlangsung secara sehat
sehingga dapat menjamin mutu dan peningkatan mutu pengemban
profesi, maka pengembangan profesi harus bersemangat solidaritas antar
sesame rekan seprofesi.
12
BAB III
(PENUTUP)
A. KESIMPULAN
• Profesi hukum adalah bagian yang tak terpisahkan dari sistem peradilan
suatu negara, dimana para praktisi hukum bertanggung jawab untuk
menjalankan tugas mereka dengan profesionalisme, kehati-hatian, dan
pengabdian yang tinggi.
• Etika profesi hukum mengacu pada prinsip-prinsip moral dan kesusilaan
yang harus dipatuhi oleh para praktisi hukum dalam menjalankan tugas
mereka. Etika ini meliputi aspek-aspek seperti kejujuran, keadilan,
keterbukaan, dan penghargaan terhadap hak asasi manusia.
• Profesi hukum di Indonesia menghadapi berbagai permasalahan yang
kompleks, termasuk kualitas pengetahuan yang belum optimal,
penyalahgunaan profesi, kecenderungan bisnis dalam praktik hukum,
penurunan kesadaran sosial, dan ketidaksesuaian sistem hukum dengan
perkembangan zaman.
• Kode etik profesi hukum merupakan upaya untuk mengatasi permasalahan
tersebut dengan memberikan pedoman dan standar perilaku yang harus
dipatuhi oleh para praktisi hukum. Namun demikian, keberhasilan
implementasi kode etik ini bergantung pada kesadaran dan komitmen
individu dalam menjalankan nilai-nilai etika dalam praktik sehari-hari.
• Pendidikan etika profesi hukum menjadi hal yang penting dalam
membentuk karakter dan moralitas calon-calon profesional hukum di
perguruan tinggi. Hal ini diharapkan dapat melahirkan generasi praktisi
hukum yang memiliki integritas, tanggung jawab, dan kesadaran akan
pentingnya pelayanan masyarakat.
13
DAFTAR PUSTAKA
14