Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

KODE ETIK HUKUM

Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Etika Profesi Hukum

Dosen Pengampu :

Ahmad Fadholi Rohman, S.H.,M.H.

Oleh :
Ananda Umzilatur.R (211102030049)
Putri Dwi Sitah (214102020015)
Bahjatul Imaniah (214102030037)
Alfan Nur Mashuri (214102030024)
M Fadhli Romadhoni (214102030032)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KIAI HAJI ACHMAD SIDDIQ JEMBER


FAKULTAS SYARIAH
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA
SEPTEMBER 2023
KATA PENGANTAR

Segenap puji syukur penulis sampaikan kepada Allah atas rahmat dan karunia-Nya,
perencanaan, pelaksanaan, dan sehingga kami dapat menyusun makalah dan menyelesaikan
tugas yang diberikan oleh dosen pembimbing di matakuliah ’’Etika Profesi Hukum’’ dengan
judul makalah “Kode Etik Hukum”.

Kesuksesan ini dapat penulis peroleh karena dukungan banyak pihak. Oleh karena itu,
penulis menyadari dan menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Bapak Prof Dr. H. Babun Suharto, SE., MM. selaku Rektor Universitas Islam
Negeri Kiai Haji Ahmad Siddiq Jember.
2. Bapak Prof Dr. M. Noor Harisuddin, M.FiI.I selaku Dekan Fakultas syariah.
3. Bapak Sholikul Hadi, S.H, M.H selaku Koordinator Program Studi Hukum Tata
Negara
4. Bapak Ahmad Fadholi Rohman, S.H.,M.H. selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah
Etika Profesi Hukum.

Akhir kata, semoga segala amal baik yang telah Bapak/Ibu berikan kepada penulis
mendapat balasan yang baik dari Allah SWT.

Jember, 30 September 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR ................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
A. Latar Belakang .................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................... 1
C. Tujuan Masalah ................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................... 2
A. Penegakan Kode Etik Hukum .............................................................................. 2
B. Penyebab ,Tujuan,dan Sanksi Pelanggaran Etika ................................................ 5
C. Pelembagaan Lembaga Etika .............................................................................. 8
BAB III PENUTUP ....................................................................................................... 9
A. Kesimpulan ........................................................................................................ 10
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kode etik profesi hukum merupakan sejumlah norma yang melekat pada tiap-tiap
profesi. Dalam penerapannya, kode etik profesi hukum kerap menemukan kendala. Kode
etik profesi hukum diklasifikasikan berdasarkan jenis-jenis profesinya. Misalnya, kode
etik hakim, kode etik jaksa, kode etik profesi polri, kode etik notaris, dan kode etik
advokat.1
Etika profesi hukum khusus ditujukan kepada profesi yang bergelut di bidang
hukum, utamanya Polisi, Jaksa, Hakim, Advokat dan Notaris untuk menjaga dan
mencegah terjadinya perbuatan menyimpang yang merugikan citra dan kehormatan
profesi serta para pengguna profesi hukum tersebut. Etika profesi hukum adalah akhlak
yang mengatur kewajiban para anggota profesi hukum (hakim, Jaksa, advokat dan
notaris, dll) untuk berperilaku yang dapat disetujui oleh orang-orang yang adil (that
merit the approval of just men). Profesi hukum yang bekerja berdasar hukum sebagai
legalisasi kekuasaannya, memiliki kekuasaan dan kewenangan yang dibenarkan untuk
bersikap dan berperilaku tertentu menurut hukum. 2 Memiliki kewenangan sebagai
penghubung antara dua pihak yang bertikai, menjadi jembatan antara pihakpihak tersebut
dengan masyarakat, menimbang beragam kepentingan, norma, dan nilai yang ada di
dalam masyarakat.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penegakan kode etik hukum ?
2. Apa saja penyebab ,tujuan,dan sanksi pelanggaran etika ?
3. Bagaimana pelembagaan lembaga etika?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui penegakan kode etik hukum.
2. Untuk mengetahui penyebab ,tujuan,dan sanksi pelanggaran etika.
3. Untuk mengetahui pelembagaan lembaga etika

1
“Tim Hukumonline”. Oktober 1 2023. “https://www.hukumonline.com/berita/a/kode-etik-profesi-hukum-
lt62786fe247452/ - / ”
2
Suparman Marzuki. ’’Etika dan Kode Etik Profesi Hukum”, 86.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Penegakan Kode Etik Hukum

Penegakan kode etik merupakan suatu hal penting dalam suatu profesi hukum. Akan
tetapi seperti hal lainnya ada suatu tantangan atau masalah yang bisa menghambat
terlaksananya hal tersebut. Sebagaimana yang dikemukaan oleh Supriadi 3, ada lima hal
masalah yang dianggap sebagai tantangan yang cukup serius bagi suatu profesi hukum
diantaranya:

1. Kualitas pengetahuan profesional hukum. Seorang profesional hukum harus


memiliki pengetahuan bidang hukum yang andal, sebagai penentu bobot kualitas
pelayanan hukum secara profesional kepada masyarakat.
2. Terjadi penyalahgunaan profesi. Terjadinya penyalahgunaan profesi tersebut
disebabkan adanya faktor kepentingan. Persaingan individu professional hukum
serta tidak adanya disiplin diri menjadi pemicu terjadinya penyalahgunaan ini.
Dalam dunia profesi hukum dapat dilihat dua hal yang sering kontradiksi satu
sama lain yaitu pada satu sisi, cita-cita etika yang terlalu tinggi, sementara pada
sisi lainnya praktik penggembalaan hukum yang berada jauh di bawah cita-cita
tersebut. Selain itu, penyalahgunaan profesi hukum juga terjadi karena desakan
pihak klien yang menginginkan perkaranya cepat selesai dan tentunya
memperoleh kemenangan. Klien kadangkala tidak segan-segan menawarkan
bayaran yang menggiurkan kepada pihak tertentu untuk memperoleh
kemenangan.
3. Kecenderungan profesi hukum menjadi kegiatan bisnis. Suatu fakta yang tidak
dapat dipungkiri bahwa sebenarnya kehadiran profesi hukum bertujuan untuk
memberikan pelayanan atau memberikan bantuan hukum kepada masyarakat.
Dalam artian bahwa yang terpenting adalah pelayanan dan pengabdian. Namun

3
Supriadi (2006), 21-22

2
demikian, dalam kenyataannya di Indonesia, profesi hukum dapat dibedakan
antara profesi hukum yang bergerak dalam bidang pelayanan bisnis dan profesi
hukum di bidang pelayanan umum. Profesi hukum yang bergerak dalam bidang
pelayanan bisnis menjalankan pekerjaan berdasarkan hubungan bisnis
(komersial), imbalan yang diterima sudah ditentukan menurut standar bisnis.
Misalnya saja, para konsultan yang menangani masalah kontrak-kontrak dagang,
paten, dan merek. Untuk profesi hukum yang bergerak di bidang pelayanan umum
menjalankan pekerjaan berdasarkan kepentingan umum, baik dengan pembayaran
maupun tanpa pembayaran. Contoh profesi hukum pelayanan umum adalah
pengadilan, notaris, organisasi bantuan hukum, jika ada pembayaran, sifatnya
biaya pekerjaan atau biaya administrasi.
4. Penurunan kesadaran dan kepedulian sosial. Kesadaran dan kepedulian sosial
merupakan kriteria pelayanan umum profesional hukum. Wujudnya adalah
kepentingan masyarakat lebih diutamakan atau didahulukan daripada kepentingan
pribadi, pelayanan lebih diutamakan daripada pembayaran, nilai moral
ditonjolkan daripada nilai ekonomi.
5. Kontinuitas sistem yang sudah usang. Profesional hukum adalah bagian dari
sistem peradilan yang berperan membantu menyebarluaskan system yang sudah
dianggap ketinggalan zaman karena di dalamnya terdapat banyak ketentuan
penegakan hukum yang tidak lagi sesuai. Padahal profesional hukum melayani
kepentingan masyarakat yang hidup dalam zaman modern atau milenial.
Kemajuan teknologi sekarang kurang diimbangi oleh percepatan kemajuan hukum
yang dapat menangkal kemajuan teknologi tersebut sehingga timbul hukum selalu
ketinggalan zaman.

Dari permasalahan di atas, penyelesaian yang bisa diberikan adalah penegakan etika
bagi setiap profesi agar timbul suatu sikap profesionalitas. Apalagi sejatinya, etika
menjangkau sesuatu yang lebih luas dari aturan hukum, ia membatasi keinginan jahat
(bad will) atau perbuatan yang tidak sesuai dengan hati nurani. Suatu perbuatan dapat
saja sah menurut aturan hukum tetapi belum tentu dibenarkan oleh hati nurani. Sebagai
contoh berkaitan dengan kode etik advokat, dalam norma perundang-undangan

3
disebutkan seorang advokat memiliki kewajiban menangani setiap perkara yang masuk
kepadanya. Namun demikian, ketentuan di dalam Kode Etik Profesi Advokat (KEAI)
advokat dibolehkan atau bahkan diwajibkan “dalam kondisi-kondisi tertentu” untuk
menolak perkara atau memberikan bantuan hukum kepada calon klien, atau
mengundurkan diri dari pengurusan perkara kliennya.

Kompleksitas kehidupan manusia di zaman post-modern-milenial terbukti sangat


rumit dan tidak dapat diselesaikan secara sendiri-sendiri hanya oleh sistem norma hukum,
sistem etika dan atau bahkan (atau dalam arti sempit) hanya sistem norma agama saja.
Secara faktual ketiga sistem norma itu sama-sama berurusan dengan kualitas perilaku
manusia yang dianggap ideal, sehingg karena pemisahan formalistik dan positivistik yang
terjadi selama ini, ketiganya sering saling berbenturan atau bahkan secara sengaja
dibentur-benturkan satu sama lain untuk maksud yang bersifat tidak seimbang dalam
memberikan perlakuan kepada ketiganya dengan lebih mengutamakan sistem norma
hukum daripada yang lainnya. Jimly Asshiddiqie melanjutkan bahwa dalam
perkembangan dewasa ini, harus dicatat bahwa pembedaan antara daya paksa dari dalam
versus dari luar itu juga berkembang dari waktu ke waktu. Sistem pelaksanaan etik yang
ada dewasa ini memperlihatkan kenyataan bahwa pengertian norma etika semata-mata
hanya bersifat imposed from within sudah tidak memadai lagi.

Dalam upaya penegakan hukum suatu negara, beberapa aktor utama yang peranannya
sangat penting, antara lain hakim, jaksa, advokat dan polisi. Atau lebih dikenal dengan
catur-wangsa (empat serangkai) penegak hukum pemerintah. Advokat adalah lembaga
penegak hukum yang mewakili kepentingan masyarakat atau publik. Pada posisi seperti
ini, peran advokat menjadi penting karena dapat menjaga keseimbangan antara
kepentingan negara dan pemerintah. Melalui jasa hukum atau bantuan hukum yang
diberikannya, advokat menjalankan tugas profesi demi tegaknya hukum dan keadilan
untuk masyarakat pencari keadilan.

Sistem sanksi etika dalam kehidupan bersama masyarakat dipandang lebih konkrit
jika dibandingkan dengan sistem sanksi agama. Norma agama memberi sanksi yang

4
cenderung longgar di dunia. Hal ini karena otoritas tertinggi pemberi sanksi berada di
tangan Tuhan Yang Maha Esa. Biasanya orang-orang suci memiliki otoritas sebagai
pengingat atau penyampai kebenaran saja, bukan sebagai penghukum. Jadi, peringatan
dari pemimpin agama menjadi sanksi yang sering diberikan. Meskipun sanksinya
longgar, pelanggar norma ini akan tetap kena sanksi sosial, terutama dalam masyarakat
yang religius. Orang-orang cenderung akan mempersepsikan bahwa pelanggar norma ini
imannya lemah atau pengetahuan tentang ilmu keagamaannya masih kurang. Perlu
dipahami dalam pandangan Islam terdapat 3 (tiga) macam uqubah (sanksi hukum atau
hukuman) dalam aspek kepercayaannya yang didasari keimanan, yakni:
1. Hukuman yang bersifat konvensional (peringatan dan pelajaran);
2. Hukuman yang memiliki hubungan faktual dan alamiah dengan dosa
(konsekuensi perbuatan di dunia);
3. Hukuman sebagai pengejewantahan (tajassum) dosa yang tidak terpisahkan
darinya (balasan di akhirat).4

Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa tujuan dari adanya kode etik
beserta sanksinya agar seorang yang memiliki suatu profesi memiliki jiwa professional
atas Amanah yang ada pada dirinya. Sehingga dalam proses penegakan kode etik profesi
lebih ditekankan padapengembangan profesionalitas dan pemahaman kode etik profesi
sebagaimana semua hal itu Kembali kepada diri individu dan pemerintah beserta
masyarakat dalam memberikan suatu sanksi yang harus diberikan saat terjadi suatu
pelanggaran kode etik profesi.

B. Penyebab, Tujuan dan Sanksi Pelanggaran Etika

a) Penyebab Pelanggaran dalam Pelaksanaan Kode Etik Profesi Hukum

Kode etik profesi hukum diklasifikasikan berdasarkan jenis-jenis profesinya,


seperti kode etik hakim, kode etik jaksa, kode etik Polri, kode etik notaris, dan kode
etik advokat. Sehingga dalam penerapan pelaksanaannya, masing-masing kode etik

4
Ahmad Wardi Muslich, (2005), 1.

5
profesi hukum ini kerap mengalami hambatan atau kendala yang disebabkan oleh
sejumlah faktor.

Pendapat pertama yaitu menurut Abdulkadir Muhammad 5 bahwa faktor-faktor


yang menyebabkan adanya hambatan dalam pelaksanaan kode etik profesi hukum di
Indonesia sebagai berikut :
1. Pengaruh sifat kekeluargaan
Karena salah satu ciri kekeluargaan yaitu memberi perlakuan dan
penghargaan yang sama terhadap anggota keluarga dan ini dipandang adil.
Sementara perlakuan terhadap orang yang bukan keluarga lain lagi, hal ini
berpengaruh terhadap perilaku profesional hukum yang terikat pada kode
etik profesi, yang seharusnya memberi perlakuan sama terhadap klien.
2. Pengaruh jabatan
Salah satu ciri jabatan adalah bawahan menghormati dan taat pada atasan
yang sesuai ketentuan undang-undang kepegawaian. Dimana dalam hal
ini, pejabat selaku atasan dapat dipihak yang lebih diuntungkan ketika
bawahannya menangani perkara atas dirinya.
3. Pengaruh konsumerisme
Kebutuhan akan gaya hidup yang semakin tinggi dapat menyebabkan
pengaruh kepada profesionalitas suatu profesi untuk memenuhi kebutuhan
yang sebenernya tidak terlalu di perlukan sehingga kemungkinan besar
akan melalui jalan pintas dengan melanggar kode etik profesi yang
dijalankannya.
4. Pengaruh lemah iman
Karena salah satu syarat profesional adalah taqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Ketaqwaan ini adalah dasar modal manusia memiliki benteng
moral yang kuat sehingga tidak mudah tergoda dengan berbagai bentuk
materi di sekitarnya.

5
Abdulkadir Muhammad (Sinafa, 2020), 31.

6
Sementara pendapat kedua dikemukakan oleh Sumaryono 6 mengenai hambatan
dalam penegakan kode etik profesi hukum, sebagai berikut :
1. Kualitas pengetahuan profesional hukum
2. Penyalahgunaan profesi hukum
3. Kecenderungan profesi hukum menjadi kegiatan bisnis
4. Penurunan kesadaran dan kepedulian social
5. Sistem yang sudah using.

b) Tujuan Etika Profesi Hukum

1. Menjunjung tinggi martabat profesi. Ini dimaksudkan bahwa pengemban


profesi itulah pihak yang pertama dan utama bertanggungjawab menjaga dan
menegakkan martabat profesi yang bersangkutan bukan pihak lain.
2. Meningkatkan pengabdian para anggota profesi. Para pengemban profesi
harus mentaati etik profesinya sendiri sebagai upaya meninggikan pengabdian
terhadap profesinya. Semakin tinggi ketaatan terhadap etika, maka berarti
semakin tinggi pula pengabdian terhadap profesi yang bersangkutan.
3. Meningkatkan mutu profesi. Mutu atau kualitas profesi tidak semata-mata
tergantung pada kualitas hasil kerja pengemban profesi, tetapi juga pada tinggi
rendahnya ketaatan terhadap etika profesi itu sendiri. Pengemban profesi yang
rendah ketaatannya pada etika, maka dapat berarti merendahkan mutu profesi
itu sendiri, begitu pula sebaliknya.
4. Meningkatkan mutu organisasi profesi. Apabila anggota profesi itu taat etika,
maka otomatis organisasi profesinya bermutu baik atau memiliki citra yang
baik. Sebaliknya apabila anggota profesi itu tidak taat etika atau sering
mangabaikan etika, maka secara otomatis akan berimbas kepada organisasi
profesi tersebut.
5. Meningkatkan layanan di atas keuntungan pribadi. Layanan yang
mengedepankan kepentingan pengguna profesi atau kepentingan rakyat, hanya
akan datang dari pengemban profesi yang taat etika, karena prinsip etika

6
Sumaryono (Sinafa, 2020), 31.

7
adalah mengedepankan kepentingan rakyat atau kepentingan klien daripada
kepentingan pribadi.
6. Membangun dan meningkatkan kepercayaan masyarakat atau klien terhadap
personil, anggota dan profesi itu sendiri. Semakin tinggi ketaatan terhadap
etika profesi, akan semakin membuat masyarakat atau klien mempercayai
profesi, anggota profesi dan organisasi profesi tersebut.

c) Sanksi Pelanggaran Etika

Dalam situasi di mana seorang kurator melakukan tindakan yang melanggar


hukum dan menyebabkan kerugian, diperlukan hubungan kausal antara tindakan
tersebut dan kerugian yang terjadi. Ini berlaku dalam konteks hukum kepailitan, di
mana Pasal 72 Undang-Undang Kepailitan dan Penyelesaian Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang (PKPU) memerlukan adanya hubungan
sebab-akibat antara tindakan atau kelalaian kurator dengan kerugian yang dialami
oleh harta pailit. Namun, ketentuan Pasal 72 tersebut tidak memberikan informasi
tentang sanksi yang harus dikenakan terhadap kurator yang melakukan tindakan
merugikan terhadap harta pailit. Oleh karena itu, Pasal 1365 KUH Perdata bisa
digunakan sebagai dasar hukum untuk menentukan sanksi atas kesalahan atau
kelalaian yang dilakukan oleh kurator dalam menjalankan tugas pengurusan dan
pemberesan harta pailit. Dalam hal ini, kurator dapat diminta untuk mengganti
kerugian yang disebabkan oleh tindakannya.

Selain itu, kurator juga dapat menghadapi pertanggungjawaban pidana jika


tindakannya masuk dalam lingkup hukum pidana. Ini termasuk dalam unsur
kesalahan atau kelalaian, yang bisa berupa kesengajaan (dolus) atau kelalaian (culpa).
Dalam hukum pidana, seseorang hanya dapat dihukum jika pengadilan meyakini
bahwa individu tersebut bersalah atas tindakan yang dapat didakwakan atas dirinya,
sesuai dengan prinsip "tiada pidana tanpa kesalahan." Selain sanksi pidana dan
perdata, kurator juga dapat menghadapi sanksi administrasi terkait dengan profesinya
sebagai kurator. Ada kode etik profesi yang mengatur perilaku kurator, seperti Kode

8
Etik Profesi Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI). Kurator diharapkan
untuk mematuhi aturan ini dalam menjalankan tugas mereka, dan pelanggaran
terhadap etika profesi dapat mengakibatkan sanksi administrasi.

Jika pihak-pihak yang terkait merasa dirugikan oleh tindakan kurator, mereka
dapat mengajukan pengaduan ke Dewan Kehormatan Profesi. Ini berlaku terutama
untuk debitor dan kreditor yang mengalami kerugian akibat kesalahan atau kelalaian
kurator dalam mengelola harta pailit. 7 Dewan Kehormatan Profesi dapat memberikan
sanksi administrasi seperti teguran tertulis, peringatan keras dengan surat,
pemberhentian sementara dari keanggotaan asosiasi, atau bahkan pemecatan sebagai
anggota asosiasi. Dalam situasi tertentu, kurator juga dapat bertanggung jawab secara
pribadi jika mereka melakukan tindakan yang melanggar Undang-Undang Kepailitan
dan PKPU dan menyebabkan kerugian pada harta pailit. Namun, jika kurator
menjalankan tugas sesuai dengan ketentuan hukum kepailitan dan PKPU, maka
kerugian yang timbul biasanya akan dibebankan pada harta pailit, dan kurator tidak
harus bertanggung jawab secara pribadi. Selain pertanggungjawaban perdata, kurator
juga dapat menghadapi pertanggungjawaban pidana jika tindakannya melanggar
hukum.

Singkatnya sanksi pelanggaran kode etik sebagai berikut :


1) Sanksi Administrasi
2) Peringatan lisan (tercatat);
3) Surat peringatan pertama; dengan jangka waktu berlaku 6 bulan.
4) Surat peringatan kedua; dengan jangka waktu berlaku 6 bulan.
5) Surat peringakatan ketiga; dengan jangka waktu berlaku 6 bulan.
6) Sanksi demosi, yaitu penurunan jabatan.
7) Sanksi ganti rugi, yaitu apabila pelanggaran mengakibatkan kerugian.
8) Sanksi pengakhiran hubungan kerja/ dikeluarkan dari pendidikan

C. Pelembagaan Lembaga Etika

7
Aprita Serlika, “Etika Profesi Hukum”, (2019)

9
Kode etik profesi adalah norma yang ditetapkan dan diterima oleh sekelompok
profesi yang mengarahkan atau memberi petunjuk kepada anggotanya. Fokus perhatian
ditujukan pada kode etik penyandang profesi hukum, seperti kode etik hakim, advokat,
notaris, jaksa, dan polisi. Kode etik profesi merupakan bagian dari hukum positif, tetapi
tidak memiliki upaya pemaksa yang keras seperti pada hukum positif yang bertaraf
undang-undang.

Menurut Muladi dalam Kristiyadi mengingat keberadaan kode etik yang tidak
memiliki sanksi dan memaksa, kemudian pelaksanaannya hanya mendasarkan kesadaran
moral belaka perlu upaya penanggulangan kejahatan di lingkungan professional. Caranya
adalah melalui pendekatan secara non-penal dan secara Penal. Upaya non-penal dapat
Juga diartikan sebagai upaya yang bersifat preventif, misalnya memperbaiki Kondisi-
kondisi tertentu dalam masyarakat atau melakukan pengawasan Tertantu sebgai upaya
prevensi terhadap kejahatan.

1. Pendekatan Sarana Non-Penal.


Suatu kebijakan yang artinya bentuk penanggulangan kejahatan yang lebih
menekankan tindakan preventif sebelum terjadinya suatu tindak pidana. Sehingga
sangat diharapkan untuk dalam menangkal kejahatan-kejahatan di lingkungan
profesional merujuk kepada Professional Disciplinary Law dengan peradilan
disiplinnya, contoh Sidang Komisi Kode Etik Polri (Sidang KKEP). Namun
demikian masih ada kendala dalam penerapannya seperti:
a) Terjadinya class justice yang kadang-kadang tidak dapat membedakan
apakah suatu perkara di bawah yurisdiksi Peradilan Disiplin ataukah
peradilan umum misalnya peradilan Kriminal.
b) Adanya kesan bahwa Peradilan Disiplin Profesional cenderung untuk
memanipulasi fakta dan berusaha untuk membela anggota-anggotanya.
c) Komposisi Peradilan Disiplin biasanya terdiri dari kolega-kolega
Profesional itu sendiri. Hal ini tidak mencerminkan sifat seorang
Profesional yang seharusnya melindungi kepentingan umum

10
d) Sidang Peradilan Displin selalu tertutup, sehingga menimbulkan
kecurigaan ada sesuatu yang tidak benar telah terjadi di dalamnya.
e) Jangka waktu persidangan biasanya terlalu lama.

2. Pendekatan Sarana Penal


Upaya non-penal juga diartikan sebagai bentuk penanggulangan kejahatan yang
menitikberatkan pada tindakan represif setelah terjadinya suatu tindak pidana.
Tahapan dalam proses pendekatan sarana penal yaitu :
a) Putusan peradilan disiplin profesi hendaknya didayagunakan.
b) Untuk menilai adanya duty (kewajiban), breach of duty (pelanggaran
kewajiban), cousation (sebab-akibat) dan damage (kerusakan) hendaknya
memanfaatkan sanksi ahli (expert testimony).
c) Unsur profesional sebagai alasan pemberatan pidana (lihat Konsep
Rancangan KUHP).
d) Access to justice (hak untuk memperoleh keadilan) dari korban kejahatan
yang semestinya mendapat perhatian sebaik-baiknya.

Mengingat definisi kerugian kejahatan profesi itu sangat luas, maka perlu
diatur (criminalization) agar mereka yang menghalangi proses peradilan terhadap
kejahatan profesi dapat dipidana. Penegakan hukum yang tuntas terhadap kasus
malpraktek Profesional perlu diefektifkan mengingat dimensi kepentingan yang
sangat luas. Janedjri M Gaffar, menyatakan dibutuhkan peningkatan pelembagaan
penegakan etika untuk mendukung penegakan hukum. Dengan kata lain, perlu
menerapkan Functional ethics, yaitu sistem etika yang dipositivisasikan atau
dikodifikasikan karena norma etika berfungsi juga dalam rangka menegakkan
nilai-nilai keadilan. Itulah sebabnya hukum dan etika harus sama-sama ditumbuh-
kembangkan secara komplementer dan terpadu, serta dilengkapi dengan sistem
infrastuktur kelembagaan penegakannya.

Sistem ketatanegaraan Indonesia pasca amandemen sudah cukup banyak


berdiri lembaga-lembaga penegak kode etik dalam jabatan-jabatan publik. Oleh

11
karena dengan menjamurnya lembaga-lembaga penegak kode etik di setiap
cabang kekuasaan, maka seharusnya pelembagaan peradilan etik dapat dibentuk
dan dilembagakan untuk mendapat kepastian hukum. Kemudian muncul gagasan
yang diprakarsai Jimly Asshiddiqie yaitu gagasan pembentukan pengadilan etik
penyelenggara negara yang seiring dengan terbentuknya berbagai lembaga negara
baik yang dibentuk UUD 1945 hasil amandemen maupun organ negara yang
terlebih dahulu ada sebelum perubahan UUD.

Pada saat ini, dalam sistem ketatanegaraan Indonesia telah ada beberapa
lembaga penegak etika yang memaksa penyelenggara untuk mematuhi etika yaitu
seperti Komisi Kejaksaan, KOMPOLNAS, Badan Kehormatan Perwakilan
Rakyat (kekuasaann legislstif), Komisi Yudisial (kekuasaan kehakiman), Majelis
Kehormatan Advokat, dan sebagainya. Namun demikian, semua lembaga penegak
kode etika tersebut sebagian besar masih bersifat proforma (factor sementara).
Salah satu sebabnya ialah bahwa lembaga-lembaga penegak kode etik tersebut
tidak memiliki kedudukan yang independen, sehingga kinerjanya tidak efektif.
Karena itu, sebagai solusinya ialah bahwa lembaga-lembaga penegak kode etik
tersebut harus direkonstruksikan sebagai lembaga peradilan etik yang diharuskan
menerapkan prinsip-prinsip peradilan yang lazim di dunia modern, termasuk
mengenai independensi (tidak dapat diintervensi) dan imparsialitasnya (tidak
memihak).

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Penegakan kode etik merupakan suatu hal penting dalam suatu profesi hukum.
Akan tetapi seperti hal lainnya ada suatu tantangan atau masalah yang bisa menghambat
terlaksananya hal tersebut. Tujuan dari adanya kode etik beserta sanksinya agar seorang
yang memiliki suatu profesi memiliki jiwa professional atas amanah yang ada pada
dirinya. Kode etik ini dibuat untuk mempertegas pada suatu profesi tentang apa yang
pantas dilakukan dan tidak pantas dilakukan. Kode etik profesi hukum diklasifikasikan
berdasarkan jenis-jenis profesinya, seperti kode etik hakim, kode etik jaksa, kode etik
Polri, kode etik notaris, dan kode etik advokat.
Jika pihak-pihak yang terkait merasa dirugikan oleh tindakan kurator, mereka
dapat mengajukan pengaduan ke Dewan Kehormatan Profesi. Ini berlaku terutama untuk
debitor dan kreditor yang mengalami kerugian akibat kesalahan atau kelalaian kurator
dalam mengelola harta pailit. Dewan Kehormatan Profesi dapat memberikan sanksi
administrasi seperti teguran tertulis, peringatan keras dengan surat, pemberhentian
sementara dari keanggotaan asosiasi, atau bahkan pemecatan sebagai anggota asosiasi.
Sistem ketatanegaraan Indonesia pasca amandemen sudah cukup banyak berdiri lembaga-
lembaga penegak kode etik dalam jabatan-jabatan publik. Oleh karena dengan
menjamurnya lembaga-lembaga penegak kode etik di setiap cabang kekuasaan, maka
seharusnya pelembagaan peradilan etik dapat dibentuk dan dilembagakan untuk
mendapat kepastian hukum.

13
DAFTAR PUSTAKA

Marzuki, Suparman. ’’Etika dan Kode Etik Profesi Hukum”. FH UII PRESS. 2017.
Serlika, Aprita. “Etika Profesi Hukum”. Palembang: PT. Refika Aditama. 2019.
Supriadi. “Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia”. Jakarta: Sinar
Grafika, 2010.
Dr. Farid Wajdi. “Etika Profesi Hukum”. Jakarta: Sinar Grafika, 2019 (106)
Ahmad Wardi Muslich. “Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam”. Jakarta:Sinar
Grafika, 2005 (102)
Putusan Mahkamah Konstitusi. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. KUHPerdata (Pasal 1365) tentang Perbuatan
Melawan Hukum.
“Tim Hukumonline”. Oktober 1 2023. “https://www.hukumonline.com/berita/a/kode-
etik-profesi-hukum-lt62786fe247452/ - / ”

14

Anda mungkin juga menyukai