FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2022
I. LATAR BELAKANG
Pada era sekarang ini, kebutuhan masyarakat, bangsa dan negara akan pelayanan
(service) jasa yang bermutu dan berspesialisasi semakin pesat. Oleh karena itu pertumbuhan
dan perkembangan profesi pun juga akan mengiringi kebutuhan masyarakat tersebut.
Keterbutuhan akan profesi juga mencakup berbagai bidang baik yang berbasis pada ilmu
pengetahuan sosial maupun yang berbasis pada ilmu-ilmu eksakta.
Bidang ilmu hukum sebagai salah satu cabang ilmu sosial yang mewujudkan salah satu
peran praktisnya dalam realitas, yaitu penegakan hukum telah lama mengenal profesi Polisi,
Jaksa, Hakim, Advokat dan Notaris. Kelima profesi tersebut memiliki wewenang, tugas dan
tanggungjawab mewujudkan nilai-nilai, asas-asas dan norma-norma abstrak yang terumus
dalam peraturan perundang-undangan menjadi kenyataan terhadap peristiwa kongkrit yang
dikonsepsikan sebagai penegakan hukum1.
Menurut Van Apeldorn, hukum tidak cukup diartikan sebagai aturan yang mengikat
warganya saja, melainkan harus memiliki aspek keadilan dan asas lain yang berguna
melindungi warganya dengan adil dan menjamin kepastian hukum bagisetiap warga negara,
tanpa kecuali2. Salah satu cara untuk mewujudkan keadilan ditengah masyarakat adalah
dengan menanamkan nilai etika dan moral kepada aparat penegak hukum seperti sebuah
pepatah Romawi yang mengatakan “Quid leges sine moribus” yang berarti hukum tidak
berarti banyak,kalau tidak dijiwai oleh moralitas.
Dengan kewenangan dan tugas penegak hukum yang demikian itu, Polisi, Jaksa, Hakim,
Advokat dan Notaris diatur juga oleh peraturan perundang-undangan dan Kode Etik masing-
masing agar di dalam menjalankan kewenangan dan tugas tersebut dilakukan dengan baik dan
benar. Apabila terdapat penyalahgunaan wewenang, tugas dan tanggungjawab akan dikenakan
sanksi sesuai peraturan perundang-undangan dan Kode Etik yang berlaku bagi masing-masing
profesi.
Pelaksanaan wewenang dan tugas profesi Polisi, Jaksa, Hakim, Advokat dan Notaris
memang penuh tantangan dan rintangan. Realita sosial menampakkan kondisi yang sangat
paradoks antara das seins dengan das sollin, dimana kita tidak bisa lagi menutup mata untuk
menyembunyikan fakta banyaknya kejadian oknum penegak hukum yang melakukan
1
Marzuki. Suparman. Etika Dan Kode Etik Profesi Hukum. FH UII Press : Yogyakarta. 1992. halaman v
2
Juanda. E. Hukum Dan Kekuasaan. Jurnal Ilmiah Galuh Justisi. 5(2). 2017. halaman 177–191.
pelanggaran hukum secara terang-terangan dengan dalih penegakan hukum yang bahkan
kadangkala pelanggarannya lebih besar daripada kesalahan yang tuduhkan.
Beberapa tantangan dan rintangan yang sering kali akan dihadapi oleh aparat penegak
hukum dalam melaksanakan tugasnya sebagai penegak keadilan adalah sebagai berikut3:
a. Kualitas personal. Sumber daya manusia pengemban profesi sangat menentukan
kualitas personal (integritas dan kompetensi) pengemban profesi. Tidak sedikit
masalahmasalah yang terkait dengan profesi hukum, terutama pelanggaran etika
profesi hukum disebabkan oleh rendahnya integritas dan kompetensi pengemban
profesi hukum itu sendiri.
b. Pendidikan hukum. Pendidikan tinggi hukum di Indonesia sangat menekankan aspek
kognisi (intelektual) dan psikomotorik (kemampuan praktis hukum), dan mengabaikan
aspek afeksi (pendidikan hati/qolbu) sehingga lulusan pendidikan tinggi hukum yang
kemudian mengemban profesi hukum miskin kepekaan hati. Akibatnya sangat longgar
atau bahkan permisif dengan penyimpanganpenyimpangan profesi
c. Rekrutmen profesi. Sedah jamak diketahui bahwa rekrutmen profesi hukum tertentu
diwarnai oleh Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang membuat pengemban
profesi hukum pada umumnya tidak diisi oleh manusia-manusia professional bermutu
tinggi. Yang ada justru pengemban profesi dengan kemampuan ilmu pengetahuan dan
keterampilan hukum terbatas, namun memiliki kecakapan tinggi dalam melakukan
penyimpangan profesi.
d. Pendidikan profesi. Pendidikan profesi hukum yang semakin pesat lebih bersifat
formal pendidikan sekadar syarat mendapatkan ijin atau lisensi. Aspek-aspek kualitatif
dari pendidikan tehnis cenderung diabaikan. Begitu pula proses evaluasi (ujian)
sebagai syarat kelulusan dan menentukan kualifikasi calon kurang diperhatikan
e. Sanksi. Sanksi dari oragnisasi atau dari atasan pengemban profesi terhadap pelaku
pelanggaran profesi seringkali tidak tegas, bahkan dalam banyak kasus tebang pilih.
Hal ini membuat tata aturan profesi dan oragnisasi profesi kurang berwibawa.
Kesimpulannya, wewenang, tugas dan tanggung jawab suatu profesi, khususnya profesi
hukum, dalam penegakan hukum tidaklah mudah. Karena itulah profesi hukum ini dijaga
3
Marzuki. Suparman. op.cit. halaman 26
ketat oleh berbagai peraturan perundang-undangan dan kode etik agar dapat menjalankannya
dengan baik dan benar. Setiap profesi ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan internal
profesi yang bersangkutan; dilindungi oleh peraturan perundang-undangan tentang
wewenang, tugas dan tanggung jawab; juga diatur oleh hukum acara agar proses penegakan
hukum materiil tidak menyimpang; disertai agar perilaku dan tindakan individu dalam
pelayanan dilakukan dengan benar dan tepat.
Pesatnya perkembangan profesi hukum telah menimbulkan tuntutan yang lebih tinggi
terhadap profesionalisme penyelenggara dan organisasi profesi hukum. Pengguna profesional
di bidang advokat atau notaris atau penasehat hukum lainnya tentunya mengharapkan
pelayanan yang dilandasi dengan integritas dan kompetensi yang tinggi. Begitu pula dengan
profesi yang diberdayakan untuk penegakan hukum semakin membutuhkan kerja profesional
yang dilandasi integritas dan kompetensi agar aparat penegak hukum memiliki akses terhadap
proses hukum yang adil, transparan dan akuntabel. Sehingga berdasarkan hal tersebut maka
ingin diketahui lebih banyak mengenai etika dan moral aparat penegak hukum sehingga
dituangkan dalam melalui kegiatan Webinar Hukum Acara dengan tema “Etika dan Moral
Aparat Penegak Hukum Di Era Digital, Masihkah Relevan?” yang diselenggarakan oleh
Program Studi Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang.
8
Marzuki. Suparman. op.cit. halaman 21
Ketiga, bertanggung jawab. Dalam melaksanakan tugas profesinya dapat
membantu segala persoalan yang berkaitan dengan profesinya, menjalankan tugas sesuai
dengan peraturan perundangan dan kode etik. Menuntaskan segala tanggung jawab
profesi yang diembannya;
Keempat, kemandirian moral. Mengandung pengertian melaksanakan etika yang
telah disepakati bersama oleh organisasi profesi yang dituangkan dalam kode etik. Tidak
terpengaruh oleh pendapat pihak lain, sehingga berpegang teguh pada moral profesinya
dengan analisa yuridis yang mandiri;
Kelima, Keberanian. Merupakan keberanian untuk bersikap dalam melaksanakan
tugasnya dengan segala resiko yang dihadapi sesuai asas dan ketentuan hukum. Berani
menolak segala bentuk korupsi, kolusi, nepotisme;
Keenam, Kesetiaan. Setia terhadap hukum dan penegakan hukum serta kode etik.
Setia tehadap profesi mulia yang diembannya, setia terhadap moralitas yang tinggi. Setia
terhadap bangsa dan negara.
Profesi hukum pada dasarnya adalah profesi mulia yang mencakup 5 (lima)
bidang profesi, yaitu Polisi, Jaksa, Hakim, Advokat dan Notaris. Masing-masing bidang
profesi tersebut bekerja berdasarkan bidang tugasnya masing-masing yang berbeda tetapi
terkait satu sama lain.
Untuk menilai profesional tidaknya pengemban profesi hukum ditentukan juga
oleh sikap, cara berpikir, dan bertindak yang dilandasi kemampuan keilmuan, kecakapan
(skill) dan pengalaman. Semakin tinggi ilmu, kecakapan dan pengalaman kerja profesi
akan semakin besar pula respek masyarakat. Untuk mengemban profesi hukum yang baik
dibutuhkan pendidikan yang baik, yang memungkinkan pengemban profesi hukum
memiliki kemampuan ilmu pengetahuan yang cukup dan mudah untuk dikembangkan
keahliannya.
12
Marzuki. Suparman. op.cit. halaman 92
organisasi profesinya bermutu baik atau memiliki citra yang baik. Sebaliknya apabila
anggota profesi itu tidak taat etika atau sering mangabaikan etika, maka secara otomatis
akan berimbas kepada organisasi profesi tersebut.
Kelima, meningkatkan layanan di atas keuntungan pribadi. Layanan yang
mengedepankan kepentingan pengguna profesi atau kepentingan rakyat, hanya akan
datang dari pengemban profesi yang taat etika, karena prinsip etika adalah
mengedepankan kepentingan rakyat atau kepentingan klien daripada kepentingan pribadi.
Keenam, untuk memperkuat organisasi profesi. Kuat lemahnya organisasi profesi
sudah pasti ditentukan juga oleh apakah anggota dari organisasi profesi itu taat etika atau
tidak. Semakin kuat ketaatan pada etika, akan semakin memperkuat moralitas dan
kepercayaan masyarakat terhadap profesi bersangkutan.
Ketujuh, untuk membangun dan meningkatkan kepercayaan masyarakat atau klien
terhadap personil, anggota dan profesi itu sendiri. Semakin tinggi ketaatan terhadap etika
profesi, akan semakin membuat masyarakat atau klien mempercayai profesi, anggota
profesi dan organisasi profesi tersebut.
Etika profesi merupakan salah satu faktor penting dalam penegakan hokum.
Penegakan hukum menuntut sikap integritas moral, sikap ini menjadi modal bagi
penyelenggara profesi hukum dalam menjalankan tugas profesinya. Tolok ukur utama
menjadi penyelenggara profesi hukum dalam menegakkan hukum terletak pada indepensi
penyelenggara profesi dan kuatnya integritas moral ketika menghadapi beragam
permasalahan yang menjadi tanggung jawabnya. Untuk menjadi penyelenggaraa profesi
hukum yang baik dalam menjalankan tugas profesinya dalam menegakkan hukum
dibutuhkan praktisi yang memiliki kualifikasi sikap, sikap kemanusiaan, sikap keadilan,
mampu melihat dan menempatkan nilai-nilai obyektif dalam suatu perkara yang
ditangani, sikap jujur, serta kecakapan teknis dan kematangan etis.
13
Bernard Arief Sidharta. Etika Dan Kode Etik Profesi Hukum. Jurnal Unpar. 1995. halaman. 236
peradilan tersebut. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Hakim adalah Hakim Agung
dan Hakim di semua lingkungan Badan Peradilan yang berada di bawah Mahkamah
Agung termasuk Hakim Ad Hoc.
Selanjutnya Mahkamah Agung menerbitkan pedoman perilaku Hakim melalui
Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor : 047/KMA/SKB/IV/2009 bersama
ketua Komisi Yudisial RI Nomor : 02/SKB/P.KY/IV/2009 tanggal 8 April 2009, tentang
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang merupakan pegangan bagi para
Hakim seluruh Indonesia serta Pedoman bagi Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial
RI dalam melaksanakan fungsi Pengawasan internal maupun eksternal.
Hakim memiliki 10 (sepuluh) pengaturan prinsip Pedoman Perilaku Hakim di
dalam Kode Etik kehakiman yakni meliputi:
1. Berperilaku Adil
2. Berperilaku Jujur
3. Berperilaku Arif dan Bijaksana
4. Bersikap Mandiri
5. Berintegritas Tinggi
6. Bertanggungjawab
7. Menjunjung Tinggi Harga Diri
8. Berdisiplin Tinggi
9. Berperilaku Rendah Hati
10. Bersikap Profesional
1. Berperilaku Adil
Adil bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan yang
menjadi haknya, yang didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama
kedudukannya di depan hukum. Dengan demikian, tuntutan yang paling mendasar dari
keadilan adalah memberikan perlakuan dan memberi kesempatan yang sama (equality
and fairness) terhadap setiap orang. Oleh karenanya, seseorang yang melaksanakan tugas
atau profesi di bidang peradilan yang memikul tanggung jawab menegakkan hukum yang
adil dan benar harus selalu berlaku adil dengan tidak membeda-bedakan orang. Hakim
harus mendengar Kedua Belah Pihak yang berperkara memberikan kesempatan yang
sama kepada setiap orang khususnya pencari keadilan.14
2. Berperilaku Jujur
Kejujuran bermakna dapat dan berani menyatakan bahwa yang benar adalah benar
dan yang salah adalah salah. Kejujuran mendorong terbentuknya pribadi yang kuat dan
membangkitkan kesadaran akan hakekat yang hak dan yang batil. Dengan demikian,
akan terwujud sikap pribadi yang tidak berpihak terhadap setiap orang baik dalam
persidangan maupun diluar persidangan.
a. Hakim tidak boleh meminta/menerima dan harus mencegah Pemberian Hadiah
dan Sejenisnya (tidak boleh menerima suap).
b. Terima Imbalan dan Pengeluaran/Ganti Rugi
Hakim dapat menerima imbalan dan atau kompensasi biaya untuk kegiatan
ekstra yudisial dari pihak yang tidak mempunyai konflik kepentingan, sepanjang
imbalan dan atau kompensasi tersebut tidak mempengaruhi pelaksanaan tugas-
tugas yudisial dari hakim yang bersangkutan.
c. Pencatatan dan Pelaporan Hadiah dan Kekayaan
Hakim wajib menyerahkan laporan kekayaan dan melaporkan secara tertulis
gratifikasi yang diterima kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
14
Marzuki. Suparman. op.cit. halaman 140.
Hakim dilarang mengeluarkan pernyataan kepada masyarakat yang dapat
mempengaruhi, menghambat atau mengganggu berlangsungnya proses peradilan
yang adil, independen, dan tidak memihak.
b. Kegiatan Keilmuan, Sosial Kemasyarakatan, dan Kepartaian
Hakim dapat menulis, memberi kuliah, mengajar dan berpartisipasi dalam
kegiatan keilmuan atau suatu upaya pencerahan mengenai hukum, sistem hukum,
administrasi peradilan dan non-hukum, selama kegiatankegiatan tersebut tidak
dimaksudkan untuk memanfaatkan posisi Hakim dalam membahas suatu perkara.
4. Bersikap Mandiri
Mandiri bermakna mampu bertindak sendiri tanpa bantuan pihak lain, bebas dari
campur tangan siapapun dan bebas dari pengaruh apapun. Sikap mandiri mendorong
terbentuknya perilaku Hakim yang tangguh, berpegang teguh pada prinsip dan keyakinan
atas kebenaran sesuai tuntutan moral dan ketentuan hukum yang berlaku.
5. Berintegritas Tinggi
Integritas tinggi bermakna mempuyai sikap dan kepribadian yang utuh,
berwibawa, jujur, dan tidak tergoyahkan, yang terwujud pada sikap setia dan tangguh
berpegang pada nilai- nilai atau norma-norma yang berlaku dalam melaksanakan tugas.
Integritas tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang berani menolak godaan dan
segala bentuk intervensi, dengan mengendapkan tuntutan hati nurani untuk menegakkan
kebenaran dan keadilan, dan selalu berusaha melakukan tugas dengan cara-cara terbaik
untuk mencapai tujuan terbaik.
a. Konflik Kepentingan
Hubungan Pribadi dan Kekeluargaan: Hakim dilarang mengadili suatu
perkara apabila memiliki hubungan keluarga, Ketua Majelis, Hakim anggota
lainnya, Penuntut, Advokat, dan Panitera yang menangani perkara tersebut.
Hubungan Pekerjaan: Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila pernah
mengadili atau menjadi Penuntut, Advokat atau Panitera dalam perkara tersebut
pada persidangan di Pengadilan tingkat yang lebih rendah.
6. Bertanggungjawab
Bertanggung jawab bermakna kesediaan dan keberanian untuk melaksanakan
semua tugas dan wewenang sebaik mungkin serta bersedia menangung segala akibat atas
pelaksanaan tugas dan wewenang tersebut. Rasa tanggung jawab akan mendorong
terbentuknya pribadi yang mampu menegakkan kebenaran dan keadilan, penuh
pengabdian, serta tidak menyalahgunakan profesi yang diamanahkan
a. Penggunaan Informasi Peradilan
Hakim dilarang mengungkapkan atau menggunakan informasi yang bersifat
rahasia, yang didapat dalam kedudukan sebagai Hakim, untuk tujuan yang tidak
ada hubungan dengan tugas-tugas peradilan.
8. Berdisiplin Tinggi
Disiplin bermakna ketaatan pada norma-norma atau kaidah-kaidah yang diyakini
sebagai panggilan luhur untuk mengemban amanah serta kepercayaan masyarakat
pencari keadilan. Disiplin tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang tertib di
dalam melaksanakan tugas, ikhlas dalam pengabdian, dan berusaha untuk menjadi
teladan dalam lingkungannya, serta tidak menyalahgunakan amanah yang dipercayakan
kepadanya.
Sanksi ringan terdiri dari teguran lisan, teguran tertulis, atau pernyataan tidak puas
secara tertulis. Sementara sanksi sedang terdiri dari penundaan kenaikan gaji berkala
paling lama satu tahun, penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji berkala paling lama
satu tahun, penundaan kenaikan pangkat paling lama satu tahun, hakim nonpalu paling
lama enam bulan, mutasi ke pengadilan lain dengan kelas yang lebih rendah, atau
pembatalan atau penangguhan promosi.
Salah satu contoh pelanggaran kode etik hakim di Indonesia berdasarkan Komisi
Yudisial adalah:
3. Konsumsi Narkoba
4. Pemalsuan Dokumen
5. Sikap Indisipliner, berupa absennya kehadiran hakim tanpa alasan masuk akal, atau
baru diketahui belakangan sedang melakukan perjalanan luar negeri di saat banyak
tanggung jawab yang harus diselesaikan.
Untuk mewujudkan suatu pengadilan yang adil maka perlu terus diupayakan secara
maksimal tugas pengawasan secara internal dan eksternal, oleh Mahkamah Agung RI dan
Komisi Yudisial RI. Wewenang dan tugas pengawasan tersebut diorientasikan untuk
memastikan bahwa semua hakim sebagai pelaksana utama dari fungsi pengadilan itu
berintegritas tinggi, jujur, dan profesional, sehingga memperoleh kepercayaan dari
masyarakat dan pencari keadilan. Salah satu hal penting yang disorot masyarakat untuk
mempercayai hakim, adalah perilaku dari hakim yang bersangkutan, baik dalam
menjalankan tugas yudisialnya maupun dalam kesehariannya.
Dalam ketentuan Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman ditegaskan bahwa pengawasan tertinggi terhadap
penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah
Agung dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah
Agung.
A. Pengawasan internal
Tugas, fungsi dan kewenangan Bawas adalah melaksanakan tugas Mahkamah Agung
dalam melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan atau tingkah laku
hakim berdasarkan undang-undang dalam menjalankan tugas peradilan; menjamin
terselenggaranya pelayanan publik yang prima dan transparan serta akuntabel;
meminimalisir terjadinya kesalahan dan kesenjangan antara standart kerja dengan
pelaksanaan tugas pada badan peradilan; mengukur tingkat kepatuhan dan ketaatan aparat
badan Peradilan dalam melaksanakan perencanaan dengan anggaran yang tersedia guna
menilai pencapaian kinerja guna memudahkan bagi pimpinan untuk mengambil tindakan
perbaikan maupun penyusunan perencanaan berikutnya. 15
Visi Bawas adalah terwujudnya pengawasan yang mampu mendorong aparat peradilan
yang bersih dan berwibawa. Sebagai penjabaran visi tersebut diatas, Bawas menetapkan
misinya yaitu: meningkatkan akuntabilitas kinerja aparatur Mahkamah Agung dan badan
peradilan dibawahnya; mendorong terciptanya lingkungan peradilan yang bersih dan
bebas KKN.
B. Pengawasan Eksternal
15
Marzuki. Suparman. op.cit. halaman 221.
lembaga penghubung antara kekuasaan kehakiman dan kekuasaan pemerintah, dengan
tujuan menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman dari pengaruh kekuasaan apa pun,
khususnya kekuasaan pemerintah. 16
Pengawasan atau kontrol bertujuan agar kekuasaan hukum tidak menyimpang atau
disalahgunakan baik secara sengaja, tidak sengaja atau karena kelalaian sehingga oleh
kerena itu disediakanlah norma dan institusi pengujian, kontrol, atau verifikasi.
Wewenang Komisi Yudisial diatur tegas dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, yaitu
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Dalam
UU No. 22 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 18 Tahun 2011.
Dalam Pasal 13 disebutkan bahwa, Komisi Yudisial mempunyai wewenang:
C. Peran Profesi Advokat dalam Berperkara Ditinjau dari Kode Etik Profesi di Era
Disrupsi
16
Marzuki. Suparman. op.cit. halaman 247.
Profesi berasal dari bahasa Inggris yakni ‘profession’ yang memiliki arti
pekerjaan. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, profesi diartikan sebagai pekerjaan
yang dilandasi oleh keahlian (keterampilan, kejuruan, dan seterusnya) tertentu. Definisi
profesi menurut Roscoe Pound, yang merupakan salah satu pemikir hukum dalam
bukunya yang berjudul The Lawyer from Antiquity to Modern Times bahwa17:
Dalam lingkup hukum terdapat beberapa jenis profesi, salah satunya adalah
profesi advokat. Advokat menurut Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2003 tantang Advokat mengatur bahwa “Advokat adalah orang yang memberi jasa
hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan
berdasarkan undang-undang yang berlaku”. Jasa hukum yang dimaksud ialah berupa
pemberian konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili,
mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan klien,
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU Advokat. Profesi advokat sebagai bagian dari
penegak hukum memiliki kedudukan sejajar dengan instansi penegak hukum lainnya,
oleh karena itu satu sama lainnya harus saling menghargai antara teman sejawat dan juga
antara para penegak hukum lainnya.
Seseorang dikatakan sebagai advokat apabila telah memenuhi syarat salah satunya
adalah dengan pengambilan sumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-
sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya sebagaimana
dikatakan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 200318. Oleh karena itu untuk
menjaga martabat dan kehormatan profesi advokat dalam menjalankan pekerjaannya,
advokat dibekali dengan suatu batasan yang disebut kode etik. Kode etik profesi
merupakan instrumen penting yang menunjang keberhasilan dan kewibawaan seorang
17
Soemarno P. Wirjanto. “Ilmu Hukum Profesi”. Pro Justitia No. Ke-11. Bandung. 1980. halaman 849.
18
Khaidir Nasution. Berita Acara Sumpah Advokat Tidak Sempurna. Varia Advokat - Volume 10. Jakarta. 2009.
halaman 33
pengemban profesi agar dapat menjalankan pelayanan secara profesional serta dijiwai
sikap etis. Salah satu bentuk perwujudan etika profesi adalah pada advokat.
Kode etik profesi yang dimiliki oleh advokat memberikan arti penting bahwa
sebagai penegak hukum maka harus menjaga citra dan martabat kehormatan profesi, serta
setia dan menjunjung tinggi kode etik dan sumpah profesi dimana pelaksanaannya
diawasi oleh Dewan Kehormatan sebagai suatu lembaga yang eksistensinya telah dan
harus diakui setiap Advokat tanpa melihat asal organisasi profesi yang didasari pada saat
mengucapkan sumpah profesi dimana disitulah tersirat pengakuan dan kepatuhannya
terhadap Kode Etik Advokat yang berlaku19.
Para Advokat setiap saat harus mempertahankan kehormatan dan martabat profesi
mereka sebagai bagian yang amat penting dari pelaksanaan keadilan. Para advokat
memiliki kewajiban terhadap kliennya untuk:
19
Marzuki Suparman. “Etika dan Kode Etik Profesi Hukum”. Yogyakarta: FH UII Press. 2017. halaman 181.
20
Ibid. halaman 59.
21
Ibid. halaman 58.
1. Memberi nasehat kepada para klien mengenai hak dan kewajiban hukum mereka dan
mengenai fungsi dari sistem hukum sejauh bahwa hal itu relevan dengan
berfungsinya sistem hukum dan sejauh bahwa hal itu berkaitan dengan hak dan
kewajiban hukum para klien;
2. Membantu para klien dengan setiap cara yang tepat, dan mengambil tindakan hukum
untuk melindungi kepentingannya;
3. Membantu para klien di depan pengadilan, majelis atau pejabat pemerintahan, di
mana sesuai.
22
Ibid. halaman 57.
efisien dibandingkan profesi hukum manusia dalam mengidentifikasi dan menganalisis
masalah hukum. Sumber tersebut sebatas memberikan kepastian hukum, sementara dalam
kasus hukum tertentu diperlukan kepekaan pada nilai-nilai kemanusiaan, dan perspektif
kritis akan realitas. Oleh karena itu, peran advokat sebagai pemberi bantuan hukum masih
sangat diperlukan kehadirannya. Dengan demikian dalam menghadapi era disrupsi
teknologi ini, advokat harus lebih adaptif dalam merespon perubahan tersebut.
IV. PENUTUP
Dari apa yang telah dikemukakan, dapat dikatakan bahwa profesi hukum adalah
sebutan untuk jabatan pekerjaan, di mana orang yang menyandangnya mempunyai
keahlian khusus yang diperoleh melalui training dan pengalaman kerja. Sebuah profesi
termasuk profesi hokum memiliki sejumlah kode etik yang dijunjung oleh pengemban
profesi. Etika profesi merupakan salah satu faktor penting dalam penegakan hokum.
Penegakan hukum menuntut sikap integritas moral, sikap ini menjadi modal bagi
penyelenggara profesi hukum dalam menjalankan tugas profesinya. Tolok ukur utama
menjadi penyelenggara profesi hukum dalam menegakkan hukum terletak pada indepensi
penyelenggara profesi dan kuatnya integritas moral ketika menghadapi beragam
permasalahan yang menjadi tanggung jawabnya. Untuk menjadi penyelenggaraa profesi
hukum yang baik dalam menjalankan tugas profesinya dalam menegakkan hukum
dibutuhkan praktisi yang memiliki kualifikasi sikap, sikap kemanusiaan, sikap keadilan,
mampu melihat dan menempatkan nilai-nilai obyektif dalam suatu perkara yang
ditangani, sikap jujur, serta kecakapan teknis dan kematangan etis.
Panduan materi diatas diharapkan dapat membantu para narasumber untuk
memberikan batasan atas pokok pembahasan yang akan disampaikan pada Webinar Hukum
Acara FH UNDIP.
Tujuan dari dilaksanakannya kegiatan Webinar Hukum Acara FH UNDIP “Etika dan
Moral Aparat Penegak Hukum Di Era Digital, Masihkah Relevan?” adalah untuk mengetahui
peran etika profesi hukum dalam proses penegakan hukum yang responsive, mengetahui
tantangan dalam pengawasan kode etik profesi hakim, dan mengetahui peran profesi advokat
dalam berperkara ditinjau dari kode etik profesi di era distrupsi.
Berkaitan dengan hal tersebut, kami meminta dukungan dari semua pihak untuk
kesuksesan kegiatan tersebut. Tanpa dukungan dari semua pihak, maka mustahil kegiatan
Webinar Hukum Acara FH UNDIP dapat sukses dan berjalan dengan baik.
Daftar Pustaka
Asmaran. 1992. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta : Lembaga Studi Islam dan
Kemasyarakatan.
E. Soemaryono. 1995. Etika Profesi Hukum. Norma-norma bagi Penegak Hukum.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Juanda. E. 2017. Hukum Dan Kekuasaan. Jurnal Ilmiah Galuh Justisi. 5(2).
Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia. 2003 . “Laporan Akhir Standar Disiplin
Profesi”. Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia. Jakarta.
Khaidir Nasution. 2009. Berita Acara Sumpah Advokat Tidak Sempurna. Jakarta : Varia
Advokat - Volume 10.
Marzuki, Suparman. 1992. Etika Dan Kode Etik Profesi Hukum. Yogyakarta : FH UII
Press.
Sidharta, Bernard Arief. 1995. Etika Dan Kode Etik Profesi Hukum. Jurnal Unpar.
Soemarno P. Wirjanto. 1980. “Ilmu Hukum Profesi”. Bandung : Pro Justitia No. Ke-11.
Tafsir, Ahmad. 1992. Ilmu Pendidikan dalam Prespektif Islam. Bandung : Remaja
Rosdakarya.
Tedjosaputro, Liliana. 1995. Etika Profesi Notaris Dalam Penegakan Hukum Pidana.
Yogyakarta : Bayu Grafika.
Wignyosoebroto, Seotandyo. 2003. Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika
Masalahnya. Jakarta : Elsam dan HUMA.