Anda di halaman 1dari 9

BENTUK PROFESIONALISME PROFESI PENEGAK HUKUM

(Ditulis untuk memenuhi nilai Tugas Tertruktur I mata kuliah Etika Profesi Hukum
kelas B)

Diampu oleh:
Dr. Nurini Aprilianda, SH., M.Hum.

Ditulis oleh:
Zakiyyatul Fakhiroh (165010101111002)/ 17

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
2019
Penegak hukum dalam pengertian luas merupakan institusi penegak hukum,
sedangkan dalam arti sempit, aparat penegak hukum adalah polisi, jaksa, dan hakim.
Selain ketiga profesi tersebut, peran advokat dan notaris juga ikut andil dalam
menegakkan hukum. Dalam penyelenggaraan sistem peradilan pidana, diperlukan -
jajaran aparatur penegak hukum yang profesional, cakap, jujur, dan bijaksana. Para
penegak hukum memiliki tanggung jawab menegakkan wibawa hukum dan
menegakkan keadilan. Tidak hanya pada ranah pidana saja, melainkan dalam ranah
privat, perdata, para penegak hukum diwajibkan menjunjung tinggi etika-etika profesi
atau kode etik masing-masing profesi. Profesionalisme penegak hukum dapat dilihat
dari tingkat penguasan ilmu hukum, keterampilan dan kepribadian para penegak
hukum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dalam bekerja.
Penegak hukum disebut profesional karena kemampuan berpikir dan bertindak
melampaui hukum tertulis tanpa menciderai nilai keadilan. Dalam menegakkan
keadilan, pertama, penegak hukum dituntut untuk mengkritisi hukum dan praktik
hukum demi menemukan apa yang seharusnya dilakukan sebagai seorang profesional.
Kedua, pelanggaran profesi tidak pernah hilang; tetapi perkembangannya bisa dicegah.
Perlu dicatat, kualitas komitmen tergantung kemampuan membangun self-image
positif dan menjadi refleksi pentingnya self-esteem sebagai nilai. Kesadaran akan
pentingnya self-image positif dan self-esteem sebagai nilai akan membantu seorang
profesional hukum tidak mudah memperdagangkan profesinya. Artinya, keahlian saja
tidak cukup. Diperlukan keutamaan bersikap professional, berani menegakkan
keadilan. Konsistensi bertindak adil menciptakan kebiasaan bersikap adil.1
Ketiga, keutamaan bersikap adil menjadi nyata tidak saja melalui perlakuan fair
terhadap kepentingan masyarakat, tetapi juga lewat keberanian menjadi whistleblower
saat terjadi salah praktik profesi. Seorang profesional seharusnya tidak mendiamkan
tindakan tidak etis rekan seprofesi. Ini bagian dari pelaksanaan tugas yang tidak mudah,
namun harus dilakukan karena kemampuan bersikap adil menuntut keberanian
mempraktikkan, bukan sekadar mengetahui keadilan.2

PROFESIONALISME HAKIM
Hakim adalah pejabat negara dengan tugas penting menegakkan hukum dan
keadilan. Tugas tersebut dimiliki secara eksklusif, yang berarti tidak dapat dilakukan
oleh orang lain yang tidak memiliki kapasitas dan legalitas. Oleh karena itu jabatan
hukum juga merupakan profesi karena untuk menduduki jabatan tersebut diperlukan
pengetahuan, keterampilan, dan integritas, yang tidak saja diperoleh melalui jenjang

1
Frans Hendra Winarta, Membangun Profesionalisme Aparat Penegak Hukum, 2015.
2
"Quo Vadis" Profesionalisme Hukum? Artikel Kompas, 12 Agustus 2005, oleh Andre Ata Ujan,
Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya Jakarta.
pendidikan formal, tetapi juga harus dibuktikan melalui serangkaian ujian dan seleksi
yang ketat. Pada titik ini memang sudah seharusnya hakim selalu bertindak profesional
yang sangat menentukan penilaian atas kehormatan, martabat, dan perilaku.
Profesionalisme bukan merupakan sesuatu yang sekali jadi dan bersifat tetap.
Profesionalisme berkembang dan dipengaruhi berbagai aspek, mulai dari motivasi
internal untuk mengembangkan diri hingga “godaan” dari luar yang menciderai
integritas.3
Profesi hakim memiliki sistem etika yang mampu menciptakan disiplin tata
kerja dan menyediakan garis batas tata nilai yang dapat dijadikan pedoman bagi hakim
untuk menyelesaikan tugasnya dalam menjalankan fungsi dan mengemban profesinya.
Kode etik profesi hakim merupakan panduan keutamaan moral bagi hakim, baik dalam
menjalankan tugas profesinya maupun dalam hubungan kemasyarakatan di luar
kedinasan. Hakim sebagai insan yang memiliki kewajiban moral untuk berinteraksi
dengan komunitas sosialnya, juga terikat dengan norma – norma etika dan adaptasi
kebiasaan yang berlaku dalam tata pergaulan masyarakat. Berdasarkan wewenang dan
tugasnya sebagai pelaku utama fungsi pengadilan, maka sikap hakim yang
dilambangkan dalam kartika , cakra , candra , sari , dan tirta itu merupakan cerminan
perilaku hakim yang harus senantiasa diimplementasikan dan direalisasikan oleh
semua hakim dalam sikap dan perilaku hakim yang berlandaskan pada prinsip
Ketuhanan Yang Maha Esa, adil, bijaksana dan berwibawa, berbudi luhur, dan jujur.4
Kewajiban hakim untuk memelihara kehormatan dan keluhuran martabat, serta
perilaku hakim sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan harus
diimplementasikan secara konkrit dan konsisten baik dalam menjalankan tugas
yudisialnya maupun di luar tugas yudisialnya, sebab hal itu berkaitan erat dengan upaya
penegakan hukum dan keadilan. Kehormatan adalah kemuliaan atau nama baik yang
senantiasa harus dijaga dan dipertahankan dengan sebaik-baiknya oleh para hakim
dalam menjalankan fungsi pengadilan. Kehormatan hakim itu terutama terlihat pada
putusan yang dibuatnya, dan pertimbangan yang melandasi, atau keseluruhan proses
pengambilan keputusan yang bukan saja berlandaskan peraturan perundang-undangan,
tetapi juga rasa keadilan dan kearifan dalam masyarakat. Sebagaimana halnya
kehormatan, k elu h u r a n m a r t a b a t merupakan tingkat harkat kemanusiaan atau
harga diri yang mulia yang sepatutnya tidak hanya dimiliki, tetapi harus dijaga dan
dipertahankan oleh hakim melalui sikap tindak atau perilaku yang berbudi pekerti luhur.
Hanya dengan sikap tindak atau perilaku yang berbudi pekerti luhur itulah kehormatan
dan keluhuran martabat hakim dapat dijaga dan ditegakkan.5

3
Muchamad Ali Safa’at, Hilangnya Pengawasan Profesionalisme Hakim.
4
Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI Dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor
047/KMA/SKB/IV/2009 Tentang Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim, 2009.
5
Ibid,.
PROFESIONALISME JAKSA
Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang
untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-
undang. Hal ini merupakan pengertian jaksa menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Seorang Jaksa dalam menjalankan tugasnya
harus tunduk dan patuh pada tugas, fungsi, dan wewenang yang telah ditentukan dalam
UU Kejaksaan. Tugas adalah amanat pokok yang wajib dilakukan dalam suatu
tindakan jabatan. Sedangkan wewenang adalah pelaksanaan tugas yang berkaitan
dengan kompetensi yurisdiksi baik kompetensi relatif maupun kompetensi mutlak.
Dengan tugas dan wewenang, suatu badan dapat berfungsi sesuai dengan maksud dan
tujuan badan tersebut.
Sehubungan dengan itu, maka antara fungsi, tugas dan wewenang merupakan
tiga kata yang selalu berkaitan satu sama lain. Mengenai dua kata yang selalu berkaitan
antara tugas dan wewenang dapat dibuktikan secara tertulis dalam beberapa undang-
undang, dalam hal ini diambil contohnya dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaaan Republik Indonesia, yaitu:
(1) Dalam bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
a. Melakukan penuntutan
b. Melaksanakan penetapan hakum dan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap;
c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan
pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat,
d. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-
undang;
e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan
tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya
dikoordinasikan dengan penyidik.
(2) Dalam bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat
bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau
pemerintah.
(3) Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut meyelenggarakan
kegiatan:
a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum;
c. Pengawasan peredaran barang cetakan;
d. Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;
e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statik kriminal.

PROFESIONALISME POLISI
Paradigma kepolisian sebagai "alat negara", dan bukan alat penguasa atau
golongan, saat ini mendapat tantangan nyata. Tantangan ini hanya bisa dijawab dengan
perubahan kultur dan mentalitas aparat Polri sendiri dengan tetap menjaga jarak dari
kegiatan politik praktis. Menurut pandangan Satjipto Rahardjo, bahwa sukses awal
dalam rangka pemolisian profesional adalah dengan melepaskannya dari pengaruh
politik dan partisan politik. Artinya pemolisian tidak lagi dikaitkan kepada satu atau
lain golongan dalam masyarakat, melainkan menjadi pelayan publik yang mampu
mengatasi semua golongan. Dengan demikian polisi dapat diharapkan menjalankan
pekerjaannya menurut tuntutan standar profesional, yang intinya adalah penggunaan
ilmu dan teknologi. Terlebih dengan arus globalisasi yang cenderung liberalisasi di
dalamnya telah memunculkan berbagai bentuk ancaman berupa kejahatan
konvensional dan transnasional yang semakin beragam dan menyebar. Sehingga rasa
aman dan nyaman menjadi barang mahal bagi masyarakat. Kondisi demikian
disebabkan semakin beratnya tantangan yang dihadapi polisi seperti yang dikatakan
Rido Ibnu Syahrie bahwa tugas dan peran yang diemban Polri tersebut tidaklah ringan
di tengah tantangan dan perkembangan saat ini. Sekilas, polisi identik dengan
penanganan berbagai tindak kejahatan mulai dari kejahatan yang konvensional hingga
modern dengan lingkup luas.
Oleh karena itu, kultur kepolisian yang selama ini cenderung menjalankan
hukum secara primitif, dalam arti banyak dalam proses hukum hanya berpegang pada
undang-undang dalam arti konseptual, membaca undang-undang yang dibaca adalah
pasal-pasal dan tidak didasarkan kepada makna yang hakiki yang menjadi roh dari
undangundang itu sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Satjipto Rahardjo, bahwa
membaca undang-undang pertama-tama yang dibaca peraturan, pasalpasal. Berhenti
pada pembacaan undang-undang sebagai peraturan bisa menimbulkan kesalahan besar
karena kaidah yang mendasari peraturan itu menjadi terluputkan. Sebab kaidah adalah
makna spiritual, roh. Sedangan peraturan adalah penerjemahannya ke dalam kata-kata
dan kalimat. Maka senantiasa ingat akan kaidah sebagai basis spiritual dari peraturan,
mengisyaratkan agar orang berhati-hati dan selalu berpikir dua, tiga, empat kali dalam
membaca hukum. Kaidah sebagai basis spiritual harus dimaknai secara cerdas, karena
memang kaidah itu sendiri mempunyai makna dan berbasis spiritual, oleh karenanya
kecerdasan spiritual merupakan syarat yang harus dimiliki untuk membangun
profesionalisme polisi sebagai pelaksana sekaligus aparat penegak hukum. Kerena
kecerdasan spiritual menurut Satjipto Rahardjo amat menarik untuk dikaitkan dengan
cara-cara berpikir dalam hukum, yang pada gilirannya mempengaruhi tindakan kita
dalam menjalankan hukum. Karena menurut Satjipto Rahardjo bahwa kecerdasan
spiritual tidak ingin dibatasi patoka (rule bound), juga tidak hanya bersifat kontektual,
tetapi ingin keluar dari situasi yang ada dalam usaha untuk mencari kebenaran, makna
atau nilai yang lebih dalam. Dengan demikian, berpikir menjadi suatu infinite game. Ia
tidak ingin diikat dan dibatasi dengan patokan yang ada, tetapi ingin melampaui dan
menembus situasi yang ada (transenden).
Profesionalisme polisi, yaitu logika sosial. Logika sosial merupakan salah satu
kendali diri polisi dalam menjalankan tugas kesehariannya dalam proses penegakan
hukum yaitu dikenal dengan nilai kepatutan di dalam masyarakat dengan mencoba
bertanya kepada diri sendiri “apakah yang saya lakukan ini sudah sesuai dengan nilai
kepatutan di dalam masyarakat?” Di dalam ilmu sosial ada semacam konsep stigmatis
yang mangatakan, bahwa lembaga-lembaga dalam suatu masyarakat akan membawa
ciri masyarakat yang bersangkutan. Konsep tersebut lalu dituangkan ke dalam rumus
“bagaimana masyarakatnya, begitu pula lembaga”. Dengan demikian bisa dikatakan
juga, bahwa masyarakat akan mempunyai lembaga-lembaganya yang berkualitas sama
dengan kualitas masyarakat itu sendiri.

PROFESIONALISME ADVOKAT
Pengacara (advokat) adalah orang yang dalam proses peradilan bertugas untuk
menampilkan fakta-fakta dari kejadian yang menimbulkan sengketa terkait selengkap
mungkin, dan tentu saja yang mendukung kepentingan kliennya, termasuk aturan-
aturan hukum yang dipandang relevan dan interpretasinya. Kesemuanya itu dikemas
dalam suatu argumentasi rasional yang dibangun untuk mencapai suatu putusan hukum
yang adil-manusiawi dari sudut pihak kliennya. Karena kedua belah pihak memperoleh
(dan harus diberikan) kesempatan yang sama untuk mengemukakan fakta-fakta dan
aspek hukumnya dari pihak kliennya masing-masing yang dikemas dalam suatu
argumentasi hukum, maka dapat diharapkan bahwa hakim akan memperoleh fakta-
fakta yang lengkap dan utuh.
Dari sini tampak jelas bahwa tugas utama yang sesungguhnya dari para advokat
dalam suatu proses peradilan adalah untuk membantu hakim atau pengadilan dalam
upaya mencapai suatu putusan hukum sebagai penyelesaian definitif terhadap sengketa
yang dihadapkan ke pengadilan secara adil-manusiawi dalam kerangka sistem hukum
positif yang berlaku dalam negara yang bersangkutan. Jadi, tugas advokat itu bukan
hanya semata-mata untuk memenangkan kliennya saja, melainkan sebagai penegak
hukum bertugas juga untuk mewujudkan keadilan sejati di dalam masyarakat. Pada
dasarnya tugas pokok advokat adalah memberikan nasihat hukum untuk menjauhkan
klien dari konflik, dan mengajukan atau membela kepentingan klien di pengadilan
(menyelesaikan konflik secara formal). Dalam berperkara di pengadilan, peran utama
seorang advokat adalah mengajukan berbagai fakta dan pertimbangan yang relevan
dari sudut pihak kliennya untuk memungkinkan hakim menetapkan keputusan yang
seadilnya.
Advoakat dalam menjalankan profesinya menggunakan nalar. Kemampuan
menalar ini menyebabkan advokat mampu memecahkan permasalahan-peramsalahan
klien yang menj adi tanggung jawabnya. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang
mengembangkan pengetahuan secara bersungguh-sungguh, binatang juga mempunyai
namun terbatas hanya untuk kelangsungan hidupnya (survival). Manusia
mengembangkan pengetahuannya mengatasi kebufuhankebutuhan hidup. Dia
memikirkan hal-halbaru, menjelajahi ufuk bar, karena dia hidup bukan sekedar untuk
kelangsungan hidupnya namun lebih dari itu, yaitu untuk mengembangkan
pengetahuannya.
Perkara-perkara yang dihadapi oleh advokat tentu beragam dan berbeda pula
penanganan perkaranya. Penyelesaian sengketa perdata, perkara pidana dan perkara
administrasi tentu mempunyai argumentasi hukum yang berbeda antara satu dengan
yang lainnya. Namun dapat dipastikan bahwa semua perkara yang dihadapi oleh
seorang advokat adalah permasalahan hukum. Teknik penyelesaian perkara yang
dilakukan oleh seorang advokat tentu saja dengan menggunakan penalaran logis dan
pendekatan hukum. Prinsip-prinsip dasar kerja advokat adalah bagaimana membuat
resume persidangan, mencari landasan yuridis diperpustakaan, menemui saksi hingga
membuat catatan- catatan lain yang diperlukan dalam persidangan, dan yang paling
utama adalah menumbuhkan serta menjaga kepercayaan klien. Orang yang
menjalankan pekerjaan advokat profesional dapat diibaratkan sebagai pohon. Sebagai
akar, pilihan menjadi advokat harus diyakini bahwa pilihan itu bukan harrya benar
tetapi juga tepat. Sebagai batang, seorang advokat tidak boleh berhenti hanyapada
keyakinan, namun keyakinan itu harus terus menerus dikembangkan menjadi suatu
kebanggaan. Dengan demikian kebanggaan menjadi kekuatan didalam diri, sekaligus
filter. Jika diibaratkan sebagai daun, seorang advokat akan terus tumbuh bersama
keyakinan dan kebanggaan itu. Daun adalah institusi tempat bernaung, yaitu kantor
pengacara atau lawfirm, baik dalam posisi sebagai pendiri maupun sebagai advokat
yang bergabung kekantor lain. Dalam konteks inilah perlunya manajemen pribadi dan
manajemen kelembagaan agar tugas-tugas advokat dij alankan secara profesional.

PROFESIONALISME NOTARIS
Notaris merupakan profesi hukum sehingga profesi notaris merupakan suatu
profesi mulia (nobile officium). Notaris disebut sebagai pejabat mulia karena profesi
notaris sangat erat hubungannya dengan kemanusiaan. Akta yang dibuat oleh notaris
dapat menjadi alas hukum atas status harta benda, hak dan kewajiban seseorang.
Kekeliruan atas akta yang dibuat notaris dapat menyebabkan tercabutnya hak
seseorang atau terbebaninya seseorang atas suatu kewajiban, oleh karena itu notaris
dalam menjalankan tugas jabatannya harus mematuhi berbagai ketentuan yang tersebut
dalam Undang-Undang Jabatan Notaris (Anshori, 2009). Profesi notaris sebagai suatu
keahlian tentu baru bisa dilaksanakan kalau yang bersangkutan melalui pendidikan
kekhususan, bahkan pelaksanaan tugas notaris merupakan pelaksanaan tugas jabatan
yang esoteric, yaitu suatu profesi yang memerlukan pendidikan khusus dan
kemampuan yang memadai untuk menjalankannya.
Kode Etik Notaris pada dasarnya berisikan pengaturan tentang hal-hal sebagai
berikut: 1). Etika notaris dalam menjalankan tugasnya; 2). kewajiban-kewajiban
profesional notaris; 3). etika tentang hubungan notaris dengan kliennya; 4). etika
tentang hubungan dengan sesama rekan notaris; 5) .larangan-larangan bagi notaris.
Pada kenyataannya dalam praktik ada notaris yang melakukan semacam “promosi”
dalam menjalankan profesinya. Promosi adalah setiap upaya pemasaran yang
fungsinya adalah untuk memberikan informasi atau meyakinkan para konsumen secara
aktual atau potensial mengenai kegunaan (merits) suatu produk atau jasa (tertentu)
dengan tujuan untuk mendorong konsumen baik melanjutkan atau memulai pembelian
produk atau jasa perusahaan pada harga (tertentu)
Notaris adalah pejabat umum yang berfungsi menjamin otentisitas pada
tulisantulisannya (akta). Notaris diangkat oleh penguasa negara dan kepadanya
diberikan kepercayaan dan pengakuan dalam memberikan jasa bagi kepentingan
masyarakat. Hanya orang-orang yang sudah dikenal kejujurannya serta mempunyai
pengetahuan dan kemampuan dibidang hukum sajalah yang diizinkan untuk
memangku jabatan notaris. Oleh karena itulah pemegang jabatan notaris harus menjaga
keluhuran martabat jabatannya dengan menghindari pelanggaran aturan dan tidak
melakukan kesalahan profesi yang dapat menimbulkan kerugian kepada orang lain.
Profesi notaris di Indonesia sangat dipengaruhi oleh tradisi sistem civil law. Dalam
tradisi tersebut, profesi notaris termasuk pejabat umum yang diberikan delegasi
kewenangan untuk membuat akta-akta yang isinya mempunyai kekuatan bukti formal
dan berdaya eksekusi. Jenis notariat demikian disebut notaris fungsional (notariat
functionnel). Notaris profesional (notariat professionnel) dalam tradisi sistem common
law, akta-aktanya tidak mempunyai kekuatan seperti disebutkan kendati organisasi
profesi ini diatur oleh pemerintah.
Urgensi penerapan sanksi perdata, sanksi administrasi dan sanksi etika terhadap
notaris yang melakukan pelanggaran Kode Etik Notaris sangat penting sebagai upaya
untuk terwujudnya profesionalisme notaris, karena hanya dengan penerapan sanksi
yang tegas akan memberikan efek secara langsung kepada notaris sehingga tidak lagi
melakukan pelanggaran terhadap kode etik. Selain itu pengurus dari Dewan
Kehormatan juga harus melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sesuai garis
organisasi sehingga terwujudnya profesionalisme notaris bukan hanya dari notaris tapi
juga dari pengurus Dewan Kehormatan. Dewan Kehormatan perlu mengadakan
penindakan yang tegas untuk memberikan efek jera kepada notaris yang melakukan
pelanggaran Kode Etik Notaris yang terdiri dari publikasi/promosi diri, pemasangan
papan nama, kantor Perwakilan dan penetapan Honorarium karena dengan penindakan
akan menegakkan nilai-nilai kehormatan terhadap jabatan dan organisasi notaris.
Dewan Kehormatan yang berwenang untuk menegakkan Kode Etik Notaris hendaknya
terdiri dari 5 (lima) orang, dengan komposisi 2 (dua) orang dari unsur notaris, 1 (satu)
orang dari unsur akademisi, 1 (satu orang) dari unsur lembaga pemerintah terkait dan
1 (satu) orang dari unsur pemerhati hukum supaya Dewan Kehormatan dapat bekerja
secara optimal, akan tetapi jika Dewan Kehormatan tidak dapat bekerja secara optimal
maka sebaiknya pelanggaran atas Kode Etik Notaris dilakukan oleh Majelis Pengawas
Notaris.

Anda mungkin juga menyukai