Anda di halaman 1dari 32

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN ATAS PELAYANAN DAN JASA

PRAKTEK PADA KLINIK KECANTIKAN (STUDI PADA DURA SKIN CLINIC


CENTER JAKARTA)

JURNAL

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir Memenuhi Syarat-syarat Untuk


Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

Johanna Tania Napitupulu


NIM :160200302

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN


PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN ATAS PELAYANAN DAN JASA
PRAKTEK PADA KLINIK KECANTIKAN (STUDI PADA DURA SKIN CLINIC
CENTER JAKARTA)

JURNAL

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir Memenuhi Syarat-syarat Untuk


Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

Johanna Tania Napitupulu


NIM :160200302

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN


PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

Disetujui Oleh
Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Prof. Rosnidar Sembiring,SH.M.Hum


NIP.196602021991032002

Pembimbing I Pembimbing II

Syamsul Rizal,SH.M.Hum Puspa Melati Hasibuan,SH.M.Hum


NIP : 196402161989111001 NIP : 196801281994032001

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Kesehatan merupakan keadaan sehat, baik secara fisik, mental spiritual

maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara

sosial maupun ekonomis.Hal ini termuat dalam Undang – Undang Nomor 36

Tahun 2009 Tentang Kesehatan.Kita tahu bahwa kesehatan sungguh penting bagi

diri kita sehingga Negara menjamin kesehatan warga negaranya. Upaya

peningkatan kualitas hidup manusia di bidang kesehatan, merupakan suatu usaha

yang sangat luas dan menyeluruh, usaha tersebut meliputi peningkatan kesehatan

masyarakat baik fisik maupun non-fisik. Di dalam sistem Kesehatan Nasional

disebutkan, bahwa kesehatan menyangkut semua segi kehidupan yang ruang

lingkup dan jangkauannya sangat luas dan kompleks.

Dalam menjalankan praktik kesehatan tidak lepas dari tenaga medis dan

tenaga kesehatan.Dokter merupakan tenaga medis.Sedangkan bidan dan perawat

merupakan tenaga kesehatan.Dokter sebagai tenaga medis harus memiliki

pendidikan dibidang kesehatan serta pengalaman hingga dianggap banyak orang

dapat menyembuhkan pesiennya.Seiring perkembangan zaman, saat ini dokter

yang dianggap banyak orang ahli dalam hal kesehatan, kini stigma tersebut

mulailuntur.

Hal ini dikarena kasus-kasus mengenai kerugian yang dialami oleh pasien

akibat dari tindakan dokter.Pasien dan dokter memiliki hubungan hukum sehingga

membentuk hak dan kewajiban bagi keduabelah pihak. Adami Chazawi dalam
bukunya Malpraktik Kedokteran menyatakan bahwa hubungan hukum antara

pasien dan dokter terdapat dalam apa yang disebut kontrak terapeutik. Suatu

kontrak terapi dimana pasien harus tunduk dalam hukum perdata tentang

perikatan hukum.Kontrak terapeutik merupakan salah satu bentuk perikatan

hukum timbal balik.

Dokter yang telah memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin

Praktik (SIP) serta telah membuka praktik, pada dasarnya telah melakukan

penawaran umum (openbare aanbod).Aanbod adalah syarat pertama lahirnya

kesepakatan sebagai penyebab timbulnya suatu perikatan hukum. Untuk

terjadinya perikatan hukum dokter dan pasien, penawaran itu harus diikuti

penjelasan secara lengkap mengenai berbagai hal seperti diagnosis dan terapi oleh

dokter.Apabila kemudian pasien memberikan persetujuan untuk pengobatan atau

perawatan, maka terjadilah perikatan hukum yang dikenal dengan kontrak

terapeutik atau transaksi terapeutik. Persetujuan yang diberikan oleh pasien itu

kemudian disebut informed consent.

Namun pada kenyataanya, dibalik tumbuh pesatnya klinik

kecantikanterdapat beberapa sisi negatif, diantaranya banyak konsumen yang

ternyata tidak cocok dengan jasa dan produk kecantikan yang ditawarkan oleh

klinik kecantikan. Hal ini tentunya menjadi suatu kerugian bagi konsumen

pengguna klinik kecantikan.Kerugian yang dialami konsumen biasanya timbul

karena kurangnya informasi yang diberikan terkait keadaannya serta efek samping

dari tindakan yang dilakukan.Banyak kasus merugikan yang dialami oleh

konsumen klinik kecantikan, seperti timbulnya iritasi pada wajah setelah


menggunakan produk dari klinik kecantikan, iritasi dapat berupa timbulnya rasa

perih dan memerah pada wajah konsumen.Tidak hanya itu, beberapa konsumen

klinik kecantikanpun pernah merasa keberatan manakala saat dilakukan pelayanan

perawatan terdapat tindakan dokter atau beautician yang kurang memuaskan,

seperti beautician terlalu keras menekan wajah konsumen saat melakukan facial

wajah, sehingga menimbulkan rasa sakit dan ketidakpuasaan terhadap

konsumen.Hal seperti ini dapat terjadi manakala terdapat kondisi dan/atau

sesitivitas pasien yang berbeda-beda maupun karena kelalaian dari pihak klinik

kecantikan. Tidak heran jika banyak konsumen yang justru mengeluhkan produk

dan/atau jasa yang diberikan oleh sebuah klinik kecantikan.

Salah satu bentuk aplikasinya adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen, bahwasanya setiap golongan konsumen

yang melakukan perawatan di klinik kecantikan memiliki hak untuk mendapat

perlindungan hukum apabila terdapat akibat-akibat dari proses perawatan yang

merugikan dirinya. Perlindungan hukum tersebut lahir dari suatu hubungan

hukum yang mengikat antara klinik kecantikan dengan konsumen, dimana

hubungan hukum terjadi sejak konsumen datang ke klinik kecantikan dan

mendapat penjelasan dari dokter terkait keadaannya serta bagaimana penanganan

dan efek-efek selanjutnya.Selain dilindungi oleh Undang-Undang Perlindungan

Konsumen, konsumen klinik kecantikan juga dilindungi oleh Undang-Undang

Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Undang-Undang Nomor 36

Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor 9 tahun 2014 tentang Klinik.


Dimana lahirnya undang-undang tersebut bertujuan untuk mengatur hak-

hak dan kewajiban antara konsumen denganpelaku usaha, agar menjunjung tinggi

rasa aman terhadap konsumen klinik kecantikan, serta menjunjung tinggi rasa

tanggung jawab pelaku usaha terhadap produk dan jasa yang ditawarkannya.

Klinik kecantikan selaku pelaku usaha menyadari bahwa mereka harus dapat

menjamin hak-hak konsumennya terpenuhi dalam berbagai bidang.

Namun dibalik itikad baik yang dilakukan, tidak menutup

kemungkinanterjadinya kerugian-kerugian yang diderita konsumen terkait

penggunaan produk dan/atau jasa dari sebuah klinik kecantikan.Ketika mengalami

kerugian, konsumen dapat melakukan upaya hukum agar tercapai keadilan

bagidirinya dan klinik kecantikan selaku pelaku usaha wajib untuk

bertanggungjawab atas kerugian yang terjadi.Penulis sebagai salah satu konsumen

yang terbilang sering melakukan perawatan wajah di Klinik Kecantikan memiliki

ketertarikan terhadap perlindungan konsumen terhadap pelayanan jasa yang

terdapat dalam Klinik Kecantikan tersebut.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji

danmembahas mengenai perlindungan hukum bagi konsumen apabila terdapat

kerugian-kerugian akibat menggunakan produk dan/atau jasa Klinik Kecantikan

Beauty Skin Care Center Jakarta hingga upaya hukum yang dapat dilakukan

konsumen, serta mengangkat permasalahan ini kedalam tulisannya yang berjudul

“Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Atas Pelayanan Dan Jasa

Praktek Pada Klinik Kecantikan (Studi Pada Dura Skin Clinic Centre

Jakarta).
1.2 METODE PENELITIAN

Metode penelitian dapat diartikan sebagai langkah yang dimiliki dan

dilakukan oleh peneliti dalam rangka untuk mengumpulkan informasi atau data

serta melakukan investigasi pada data yang telah didapatkan tersebut. Metode

penelitian memberikan gambaran rancangan penelitian yang meliputi antara lain:

prosedur dan langkah-langkah yang harus ditempuh, waktu penelitian, sumber

data, dan dengan langkah apa data-data tersebut diperoleh dan selanjutnya diolah

dan dianalisis.

Dalam pembahasan skripsi ini, metodologi penelitian hukum yang

digunakan penulis adalah Metode Penelitian yang dipakai dalam skripsi ini adalah

metode penelitian hukum normative-empiris, dimana dalam penelitian empiris

dimaksudkan untuk memperoleh data primer, yaitu melakukan wawancara dengan

narasumber yang terkait, sementara hukum normative yaitu melakukan suatu

kajian terhadap peraturan perundang-undangan serta bahan-bahan hukum yang

berkaitan dengan skripsi ini sebagai berikut :

1.3 Spesifikasi Penelitian

Penulis menggunakan metode penelitian hukum normative. Dalam hal

penelitian hukum normative, penulis melakukan penelitian terhadap peraturan

perundang-undangan dan bahan hukum yang berhubungan dengan judul penulis

ini yaitu “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Atas Pelayanan Dan Jasa

Praktek Pada Klinik Kecantikan “Studi Pada Dura Skin Clinic Centre Jakarta”.
1.4. Metode Pendekatan

Dalam menyelesaikan penelitian skripsi ini, penulis menggunakan metode

pendekatan yuridis mengingat permasalahan-permasalahan yang diteliti adalah

bagaimana dokter sebagai yang melakukan pelayanan jasa kecantikan

berlandaskan kepercayaan dalam transaksi terapeutik.

1.5. Lokasi Penelitian

Dalam penelitian untuk penelitian skripsi ini, penulis mengambil lokasi di

Dura Skin Clinic Centre Jakarta yang terletak di Jalan Kaji No. 36, Petojo Utara,

Kecamatan Gambir , Kota Jakarta Pusat.

1.6 Alat Pengumpulan Data

Pengumpulan data-data yang diperlukan penulis yang berkaitan dengan

penyelesaian skripsi ini ditempuh melalui cara penelitian kepustakaan (Library

Research). Dalam hal ini, penulis melakukan penelitian terhadap literature-

literatur untuk memperoleh bahan teoritis ilmiah yang dapat digunakan sebagai

dasar terhadap substansi pembahasan dalam penulisan skripsi ini. Tujuan

penelitian kepustakaan ini adalah untuk memperoleh data-data sekunder yang

meliputi peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, surat kabar, situs

internet, maupun bahan bacaan lainnya yang berhubungan dengan penulisan

skripsi ini.

1.7. Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan akan dianalisis secara

deskriptif dengan menggunakan metode induktif dan deduktif yang berpedoman


kepada bagaimana implementasi perlindungan hukum terhadap konsumen atas

pelayanan jasa klinik kecantikan. Analisis deskriptif artinya penulis berusaha

semaksimal mungkin untuk memaparkan data-data yang sebenarnya.

Metode deduktif artinya cara analisis dari kesimpulan umum atau

generalis yang diuraikan menjadi contoh-contoh konkrit atau fakta-fakta untuk

menjelaskan kesimpulan atau generalis tersebut. Metode deduktif digunakan

dalam sebuah penelitian disaat penelitian berangkat dari sebuah teori yang

kemudian dibuktikan dengan pencarian fakta.

Metode induktif artinya contoh konkrit dan fakta diuraikan terlebih

dahulu, lalu kemudian dirumuskan menjadi suatu kesimpulan atau generalisasi.

Pada metode induktif data dikaji melalui proses yang berlangsung dari fakta.
BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERAN KONSUMEN DAN PARA PIHAK YANG

TERKAIT PADA KLINIK KECANTIKAN

Kata konsumen berasal dari kata dalam bahasa Inggris, yakni consumer,

atau dalam bahasa Belanda “consument”, “konsument”, konsumen secara harfiah

adalah orang yang memerlukan membelanjakan atau menggunakan; pemakai atau

pembutuh. Pengertian tentang konsumen secara yuridis telah diletakan dalam

pelbagai peraturan perundang-undangan, seperti UU No 8 Tahun 1999 Tentang

UUPK pasal 1 merumuskan sebagai berikut: “Konsumen adalah setiap orang

pemakai barang dan / atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi

kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan

tidak untuk diperdagangkan.” 1Dalam pengertian sehari-hari sering kali dianggap

bahwa yang disebut konsumen adalah pembeli (Inggris; buyer, Belanda; koper).

Pengertian konsumen secara hukum tidak hanya terbatas kepada pembeli, bahkan

kalau disimak secara cermat pengertian konsumen sebagaimana terdapat di dalam

Pasal 1 butir 2 UUPK, di situ tidak ada disebut kata pembeli, pengertian pemakai

dalam definisi tersebut di atas menunjukan bahwa barang atau jasa dalam

rumusan pengertian konsumen tidak harus sebagai hasil dan transaksi jual beli.

Dengan demikian, hubungan konsumen dengan pelaku usaha tidak terbatas hanya

Karena berdasarkan hubungan transaksi atau perjanjian jual beli saja, melainkan

lebih dan pada hal tersebut seseorang dapat disebut sebagai konsumen.2

1
Miru Ahmadi dan Yodo Sutarman, 2008.Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta, Raja Gratindo Persada, hlm 1
Siahaan N.H.T, 2005. Hukum Konsumen Perlindungan Konsumen Dan Tanggung Jawab Produk, Jakarta, Pantai
2

Rei, 2005 hlm 22-24


Banyak negara secara tegas menetapkan siapa yang disebut sebagai

konsumen dalam perundang-undangannya, konsumen dibatasi sebagai "setiap

orang yang membeli barang yang disepakati, baik menyangkut harga dan cara-

cara pembayarannya, tetapi tidak termasuk mereka yang mendapatkan barang

untuk dijual kembali atau lain-lain keperluan komersial.3

Pengertian konsumen secara otentik telah dirumuskan di dalam Undang-

undang Perlindungan Konsumen Pasal 1 angka 2 undang-undang No. 8 Tahun

1999.Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan perlindungan konsumen

adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan

perlindungan kepada konsumen, jelaslah bahwa adanya undang-undang ini untuk

melindungi kita sebagai konsumen karena selama ini konsumen amat lemah

posisinya.

Istilah konsumen berasal dan alih bahasa dari kata consumer (Inggris-Amerika),

atau consument/itu tergantung dalam posisi dimana ia berada. Konsumen dapat

berupa:

1. Pemakai barang hasil produksi;

2. Penerima pesan iklan;

3. Pemakai jasa (pelanggan).

Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) bahwa perlindungan konsumen

adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi

3
UU Perlindungan Konsumen 8 Tahun 1999 Pasal 7 huruf C.
perlindungan kepada konsumen. Cakupan perlindungan konsumen itu dapat

dibedakan dalam dua aspek, yaitu:

1. Perlindungan terhadap kemungkinan barang yang diserahkan kepada konsumen

tidak sesuai dengan apa yang telah disepekati;

2. Perlindungan terhadap diberlakukannya syarat-syarat yang tidak adil kepada

konsumen. Keinginan yang hendak dicapai dalam perlindungan konsumen adalah

menciptakan rasa aman bagi konsumen dalam memenuhi kebutuhan hidup.

Perlindungan konsumen harus mendapatkan perhatian yang lebih, terutama

konsumen muslim, dimana sebagian besar penduduk Indonesia beragama Islam.

Perlindungan konsumen merupakan hal yang sangat penting dalam Islam. Karena

dalam Islam, bahwa perlindungan konumen bukan sebagai hubungan keperdataan

saja, melainkan menyangkut kepentingan publik secara luas, bahkan menyangkut

hubungan antara manusia dan Allah Swt. Maka perlindungan konsumen Muslim

merupakan kewajiban negara. Dalam Islam, hukum perlindungan konsumen

mengacu kepada konsep halal dan haram, serta keadilan ekonomi berdasarkan

nilai-nilai atau prinsip-prinsip ekonomi Islam.

Aktivitas ekonomi Islam dalam perlindungan konsumen meliputi

perlindungan terhadap zat, distribusi, tujuan produksi, hingga pada akibat

mengonsumsi barang dan/jasa tersebut. Maka dalam Islam, barang dan/atau jasa

yang halal dari segi zatnya dapat menjadi haram, ketika cara memproduksi dan

tujuan mengonsumsinya melanggar ketentuan-ketentuan syara’. Karena itu pula,

tujuan konsumen muslim berbeda dengan tujuan konsumen non-muslim.


Konsumen muslim dalam mengkonsumsi makanan atau minuman bertujuan untuk

mengabdi dan merealisasikan tujuan yang dikehendaki Allah Swt.

BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG HUBUNGAN KONSUMEN TERHADAP PERJANJIAN

YANG TERJADI DALAM KLINIK KECANTIKAN

Pada dasarnya hubungan dokter dan pasien timbul dari hubungan

keperdataan yang bersifat sebagai suatu “transaksi terapeutik” dan merupakan

“hulpverleningsconract”, kontrak untuk memberikan bantuan pertolongan.

Dasar hukum bagi tanggung jawab perdata ini diatur dalam BW, yaitu

sebagai berikut:

(1) Pasal 1234 BW :

“Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak terpenuhinya suatu

perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berhutang, setelah dinyatakan

lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus

diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang

waktu yang telah dilampaukannya.”

Ketentuan pasal 1234 BW ini memberikan dasar hukum bagi permintaan

ganti rugi yang diakibatkan karena “wanprestatie”, tidak dipenuhinya prestasi

dalam suatu perikatan.

(2) Pasal 1365 BW :

“Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada

seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,

mengganti kerugian tersebut.”


Berbeda dengan ketentuan pasal 1243 BW yang memberikan dasar hukum

bagi penggantian kerugian karena “wanprestatie”, maka ketentuan pasal 1365 BW

ini memberikan dasar hukum bagi penggantian kerugian karena perbuatan yang

melanggar hukum (onrechtmatige daad).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,

Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 Tentang Pengamanan Sediaan

Farmasi dan Alat Kesehatan, dan dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.9 Tahun

2014 Tentang Klinik. Menurut Pasal 25 ayat (1) Permenkes Tentang Klinik, untuk

mendirikan sebuah klinik, pelaku usaha harus memiliki izin mendirikan dan izin

operasional.

Tanggung jawab pembayaran ganti kerugian yang dialami oleh konsumen

sebagai akibat penggunaan produk didasarkan pada beberapa ketentuan yaitu

berdasarkan wanprestasi dan perbuatan melawan hukum.

Ganti kerugian yang diperoleh karena adanya wanprestasi merupakan

akibat tidak dipenuhinya kewajiban utama atau kewajiban tambahan yang berupa

kewajiban atas prestasi utama atau kewajiban jaminan/garansi dalam perjanjian

sedangkan tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada perbuatan melawan

hukum tidak perlu didahului dengan perjanjian sehingga tuntutan ganti kerugian

dapat dilakukan oleh setiap pihak yang dirugikan, walaupun tidak pernah terdapat

hubungan perjanjian antara pelaku usaha dengan konsumen. Untuk dapat

menuntut ganti kerugian, maka kerugian tersebut harus merupakan akibat dari

perbuatan melanggar hukum sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 1365
KUHPerdata yang menyebutkan bahwa :“Setiap perbuatan yang melawan hukum

yang membawa kerugian kepada seorang lain mewajibkan orang karena

salahnya menerbitkan kerugian ini mengganti kerugian tersebut”.

Sehubungan dengan kerugian yang dialami oleh seorang konsumen jasa

pelayanan kesehatan, Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Kesehatan telah mengatur

bahwa :“Tenaga kesehatan,dan/atau penyelenggara kesehatan wajib

bertanggung jawab apabila ada pasien atau konsumen yang menderita kerugian

akibat kesalahan dan kelalaiannya”. Selain itu, Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang

Perlindungan Konsumen juga telah mengatur bahwa :“Pelaku usaha wajib

bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan

atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang

dihasilkan atau diperdagangkan”.

Selanjutnya ketentuan pasal 1367 BW mengatur tentang siapa saja yang

dapat digolongkan ke dalam mereka yang tidak mampu bertanggung jawab

sehingga dengan demikian tidak dapat dimintai penggantian kerugian, dan siapa

pula yang bertanggung jawab atas mereka ini. Khususnya ketentuan pasal 1367

BW akan relevan artinya bagi mereka yang melakukan perbuatan melanggar

hukum yang belum dewasa atau yang cacat mental, sehingga dengan demikian

orang tua atau walinya yang bertanggung jawab.

Selanjutnya apabila karena kurang hati-hatinya atau dengan sengaja itu

mengakibatkan orang lain cacat badannya kita jumpai pengaturannya dalam

ketentuan pasal 1371 BW.


Terdapat dua bentuk pertanggungjawaban hukum secara perdata yaitu

pertanggungjawaban atas kerugian yang disebabkan karena wanprestasi dan

pertanggungjawaban atas kerugian yang disebabkan karena perbuatan melawan

hukum.

a. Pertanggungjawaban Atas Kerugian yang Disebabkan Oleh

Wanprestasi.

Hubungan hukum akan terjadi apabila konsumen datang ke klinik

kecantikan untuk melakukan perawatan atau untuk berobat. Hubungan hukum

antara dokter, konsumen dan klinik kecantikan berbentuk perikatan untuk berbuat

sesuatu, yang dikenal sebagai jasa pelayanan kesehatan.Pasien dan/atau konsumen

adalah pihak yang menerima jasa pelayanan kesehatan sedangkan dokter serta

klinik kecantikan adalah pihak-pihak pemberi jasa pelayanan kesehatan.Perikatan

antara pasien dan/ atau konsumen dengan pelaku usaha dapat lahir dari suatu

perjanjian, oleh karena itu jika pelaku usaha tidak memenuhi perjanjian tersebut

maka pelaku usaha dianggap telah melakukan wanprestasi.Perikatan terjadi antara

konsumen dengan dokter sebagai pelaku usaha. Perjanjian antara dokter dengan

pasien dikenal dengan nama perjanjian terapeutik. Perjanjian terapeutik adalah

perjanjian antara dokter dengan pasien yang memberikan kewenangan kepada

dokter untuk melakukan kegiatan pelayanan kesehatan kepada pasien berdasarkan

keahlian dan keterampilan yang dimiliki oleh dokter tersebut.Keadaan

wanprestasi dalam hubungan hukum antara dokter dan pasien membentuk

pertanggungjawaban hukum bagi dokter terhadap kerugian yang


timbul.Wanprestasi dokter dapat berupa pelaksanaan tindakan medis yang tidak

seharusnya, yakni tindakan medis yang bertentangan dengan standar profesi

medis atau standar pelayanan medis.Bentuk kerugian yang dapat dituntut akibat

wanprestasi adalah berupa kerugian materiil yaitu kerugian yang dapat diukur

dengan nilai uang terutama biaya perawatan, biaya perjalanan, dan biaya obat-

obatan.Adanya kerugian ini harus dibuktikan bahwa kerugian tersebut merupakan

akibat langsung dari pelayanan medis dokter yang menyimpang.Jika ternyata

akibat wanprestasi ini tidak hanya menimbulkan kerugian materiil tetapi juga

menimbulkan kerugian immateriil maka konsumen dapat menuntut kerugian

immateriil itu berdasarkan perbuatan melawan hukum. Apabila praktik pelayanan

kesehatan kulit yang dilakukan oleh dokter di klinik kecantikan ilegal terbukti

melakukan pelanggaran standar pelayanan berupa standar mutu, keamanan dan

kemanfaatan dari kosmetika dan Laser yang digunakan dan/atau diedarkan

sehingga mengakibatkan kerugian materiil dan immateriil, maka konsumen dapat

menuntut dokter selaku pelaku usaha klinik kecantikan illegal berdasarkan

wanprestasi dan perbuatan melawan hukum.

b. Pertanggungjawaban Atas Kerugian yang Disebabkan Oleh

Perbuatan Melawan Hukum

Pasal 58 Undang-Undang Kesehatan menyebutkan bahwa setiap orang

berhak mendapatkan ganti rugi karena kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan

yang berakibat kematian atau cacat permanen. Jaminan yang diberikan Pasal 58

UndangUndang Kesehatan hanya akan jadi sekadar huruf mati apabila tidak

diikuti doktrin perbuatan melawan hukum yang diatur dalam Pasal 1365
KUHPerdata. Apabila konsumen pengguna jasa klinik kecantikan ingin

menggugat klinik kecantikan dan/ atau dokter berdasarkan perbuatan melawan

hukum, maka konsumen tersebut harus dapat membuktikan bahwa pelayanan

kesehatan kulit yang dilakukan oleh pelaku usaha atau dokter di klinik kecantikan

tersebut memenuhi unsur-unsur perbuatan melawan hukum.

Pada kasus pertama di Klinik Kecantikan Dura Skin, Pasien wanita,

berumur 31 tahun. Datang dengan keluhan wajah kusam dan banyak bekas

jerawat yang berwarna hitam. Pasien disarankan oleh dokter untuk melakukan

chemicalpeeling yang bertujuan untuk mencerahkan dan mengurangi bekas hitam

akibat jerawat dengan efek sementara muka akan merah, kering dan terkelupas.

Chemicalpeeling dilakukan dengan cara mengoleskan cairan asam dengan dosis

tertentu yang dilakukan oleh dokter. Pasien tidak menginginkan muka merah

walaupun telah di beritahu oleh dokter efek sementara chemichalpeeling namun

masih tetap ingin mencoba treatment yang ditawarkan oleh dokter dan di

tawarkan treatment yang lain . Setelah treatment selesai, muka pasien merah

akibat dari chemichalpeeling dan pasien merasa kurang nyaman dan

mengkomplain ke dokter, sehingga dokter memberikan kompensasi kepada pasien

adalah penambahan treatment lain yang diberikan secara gratis, untuk meredakan

merah setelah chemichalpeeling. Hasil dari kompensasi dan penjelasan tambahan

dari dokter, pasien merasa cukup puas dan menerima.

Kemudian pada kasus kedua, pasien wanita berumur 15 tahun. Datang

dengan keluhan banyak rambut/bulu di ketiak dan warna ketiak yang gelap.

Pasien ingin menghilangkan bulu dan mencerahkan kulit ketiaknya. Dokter


menyarankan laser yang dilakukan secara rutin hingga bulu ketiak tidak tumbuh

lagi dan melakukan scrub di rumah untuk alternatif mencerahkan warna kulit di

ketiak. Pasien setuju melakukan treatment yang disarankan dokter. keesokan hari

setelah treatment laser pasien mengeluh kulit ketiaknya panas dan terbentuk luka

kecil pada ketiak sebelah kiri dengan ukuran kurang lebih diameter 1cm. Dokter

menyarankan pasien untuk datang kontrol dan melihat keadaan pasien secara

langsung. Setelah melihat luka yang terbentuk dokter memberikan edukasi

tentang penyembuhan luka, memberikan treatment oxygen untuk mempercepat

peroses penyembuhan dan menyuruh pasien untuk kontrol kembali. Setelah 1

minggu, luka sudah mengering dan proses penyembuhan luka hampir sempurna

dan pasien merasakan puas dengan hasil penyembuhan luka dan ingin melakukan

laser kembali jika luka sudah sembuh sempurna.

Pada kasus ketiga, pasein wanita berumur 35 tahun. Datang dengan

keluhan scar pada muka akibat jerawat. Dokter menyarankan untuk melakukan

treatment dermaroller. Dermaroller adalah tindakan yang dilakukan oleh dokter

dengan cara melukai seluruh permukaan wajah menggunakan jarum mikro yang

steril dengan tujuan untuk merangsang pertumbuhan jaringan baru sehingga scar

yang terbentuk akan mengecil dan naik. Pasien menerima segala efek sementara

dari tindakan dermaroller. Setelah menyelesaikan treatment, pasien merasakan

kurang puas karena dermaroller yang dilakukan tidak mengenai satu bagian scar

atau bekas luka dan mengeluh ke dokter, sehingga dokter melakukan kompesasi

dengan memberikan treatement dermaroller gratis 1 kali pada kedatangan pasien

selanjutnya. Pasien merasakan puas dengan kompensasi yang diterimanya.


Berdasarkan wawancara yang peneliti lakukan pada klinik kecantikan

DuraSkin, setiap keluhan diselesaikan dengan tindakan-tindakan medis.Tindakan

tersebut seperti, penambahan dosis pada produk yang digunakan konsumen,

perawatan kembali sampai keadaan pasien normal kembali, intensitas perawatan

yang dilakukan secara bertahap dan/atau terus-menerus.

Jadi Adapun tindakan medis Menurut Peraturan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia No. 290 tahun 2008 Pasal 1 no. 3 adalah tindakan preventif,

diagnostik, terapeutik atau rehabilitatif yang dilakukan oleh dokter.Tindakan yang

diberikan oleh dokter dalam mengatasi keluhan tersebut termasuk dalam tindakan

terapeutik, karena merupakan tanggung jawab dari klinik untuk mengganti

kerugian konsumen.

Berdasarkan penuturan dr. Yosephina Napitupulu, tindakan tersebut

diberikan dengan melihat bagaimana keluhan itu dapat terjadi, apakah

dikarenakan perawatan atau berdasarkan produk-produk yang diberikan oleh

dokter dari pihak klinik tidak sesuai atau disebabkan karena kesalahan konsumen

itu sendiri. Jika keluhan tersebut memang disebabkan oleh kesalahan tindakan

atau berdasarkan produk-produk yang tidak sesuai dengan kesepakatan yang

diberikan oleh dokter terhadap pasien (wanprestasi), maka dokter akan melakukan

pemulihan kembali terhadap kondisi yang dikeluhkan oleh pasien. Pasien akan

diberikan perawatan secara gratis atau dengan potongan harga tertentu dengan

disesuaikan pada kondisi pasien tersebut. Tindakan medis tersebut merupakan

salah satu bentuk tanggung jawab dari pihak klinik kecantikan.


Sebelum memberikan ganti rugi terhadap keluhan yang diadukan

oleh pasien, harus diketahui terlebih dahulu apakah keluhan tersebut karena

kesalahan yang dilakukan oleh pasien atau dari pihak klinik (dokter). Pihak klinik

akan ganti rugi apabila kesalahan tersebut ada pada dokter atau pada pihak klinik

itu sendiri. Tanggung jawab tersebut dilihat bagaimana kedudukan dokter itu pada

klinik tersebut, berdasarkan Pasal 1367 KUH Perdata, apakah dokter tersebut

sebagai pekerja di klinik kecantikan itu atau pemilik (owner) di klinik kecantikan

itu sendiri. Bentuk penggantian kerugian sebagai sebab perbuatan melawan

hukum sebagaimana diatur dalam kedua Pasal di atas (Pasal 1365 dan Pasal 1366

KUH Perdata) dapat dalam bentuk materil dan immateril, tetapi yang selalu

terjadi sebagaimana pengakuan narasumber, bentuk ganti rugi yang diberikan oleh

pihak klinik di atas yaitu dalam bentuk immaterial, di mana dengan memberikan

perawatan-perawatan lebih lanjutsesuai dengan tingkatan-tingkatan yang telah

dianalisis oleh dokter atau berdasarkan keluhan dari pasien.


BAB IV

TANGGUNG JAWABKLINIK KECANTIKAN TERHADAP KERUGIAN

KONSUMEN (STUDI KASUS KLINIK KECANTIKAN DURA SKIN)

Sebuah konflik berubah atau berkembang menjadi sebuah sengketa

bilamana pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas, baik

secara langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau

kepada pihak lain. Ketidaktaatan pada isi transaksi konsumen, kewajiban, serta

larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen dapat melahirkan sengketa antara pelaku usaha

dan pelanggan.

Ada tiga jenis pelanggaran yang potensial dilakukan oleh pelaku usaha,

yaitu:

a. Perbuatan atau tindakan pelaku usaha melanggar kepentingan dan hak-

hak konsumen;

b. Produk yang dipasarkan oleh pelaku saha melanggar ketentuan larangan

dalam UU;

c. Tanggung jawab yang harus dipikul oleh pelaku usaha.

Menurut UUPK, penyelesaian sengketa konsumen memiliki kekhasan.

Sehingga para pihak yang bersengketa, dalam hal ini pihak konsumen, dapat

menyelesaikan sengketa itu mengikuti beberapa lingkungan peradilan ataupun

memilih jalan penyelesaian di luar pengadilan, yaitu penyelesaiaan sengketa

melalui peran ombudsman.


Adapun sengketa yang terjadi antara pihak klinik (dokter) dengan pasien

disebut sengketa medik.Sengketa medik adalah sengketa yang tejadi antara pasien

atau keluarga pasien dengan tenaga kesehatan atau klinik.Sengketa medik antara

pasien dengan pihak klinik atau dokter terjadi karena adanya ketidakpuasan dari

pasien, ketidakpuasan itu berasal dari hasil tindakan yang tidak sesuai harapan

atau adanya dampak negatif dari hasil pengobatan, munculnya penyakit

tambahan, serta kerugian yang dialami pasien.

Negosiasi atau perundingan merupakan suatu proses untuk mencapai

kesepakatan dengan pihak lain. Negosiasi merupakan bentuk penyelesaian

sengketa oleh para pihak sendiri tanpa bantuan dari pihak lain, dengan cara

bermusyawarah atau berunding untuk mencari pemecahan yang dianggap adil

oleh para pihak. Hasil dari negosiasi merupakan penyelesaian kompromi yang

tidak mengikat secara hukum.Negosiasi dapat digunakan untuk menyelesaikan

setiap bentuk sengketa, apakah itu sengketa ekonomi, politik, hukum, wilayah,

keluarga, suku, dan lain-lain.

Segi positif dari negosiasi ini adalah sebagai berikut;

a). para pihaklah yang memegang palu hakimnya sendiri;

b). Sifatnya rahasia;

c).Hukum acara atau formalitas persidangan tidak ada.

Segi negatif dari forum negosiasi ini yaitu, manakala kedudukan para

pihak tidak seimbang, dimana salah satu pihak kuat sedangkan pihak yang lain

lemah.Dalam keadaan ini, pihak yang kuat berada dalam posisi untuk menekan

pihak lainnya. Satu pihak yang terlalu keras dengan pendiriannya dapat
mengakibatkan proses negosiasi ini menjadi tidak produktif. Hal tersebut sering

terjadi manakala dua pihak bernegosiasi untuk menyelesaikan sengketa.

Dengan tidak adanya pihak ketiga dalam proses penyelesaian sengketa ini

menjadikan negosiasi sebagai tahap pertama dalam penyelesaian sengketa. Dalam

proses negosiasi ini menghasilkan suatu keputusan maka hasil kesepakatan

tersebut dituliskan dalam dokumen perjanjian, seperti yang tertulis dalam Pasal 6

ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa,

menyebutkan bahwa; penyelesaian sengkata atau beda pendapat melalui alternatif

penyelesaian sengketa diselesaikan dalam pertemuan langsung (negosiasi) oleh

para pihak dalam waktu paling lama 14 hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu

kesepakatan tertulis.

Adapun macam-macam upaya hukum yang dapat ditempuh oleh

konsumen jasa kecantikan untuk menuntut ganti rugi akibat kerugian yang terjadi

dalam transaksi pada klinik kecantikan dapat dilakukan melalui beberapa cara:

1. Litigasi (penyelesaian sengketa di peradilan umum)

Dasar hukum untuk mengajukan gugatan di pengadilan terdapat dalam

Pasal 45 ayat (1) UUPK, yang menyetakan, “setiap konsumen yana dirugikan bisa

menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa

antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di

lingkungan peradilan umum berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang

bersengketa”.

Dalam kasus perdata di pengadilan negeri, pihak konsumen yang diberi

hak mengajukan gugatan menurut Pasal 46 UUPK adalah:


a). Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;

b). Kelompok konsumen yang mempunyai kepeningan yang sama;

c). Perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat,

yaiu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya

menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah

untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan

sesuai dengan anggaran dasarnya;

d).Pemerintah dan/atau instansi terkait apaila barang dan/atau jasa yng

dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar

dan/atau korban yang tidak sedikit.

2. Non Litigasi

Penyelesaian sengketa konsumen malalui jalur non litigasi (di luar

pengadilan) digunakan untuk mengatasi keberlakuan proses pengadilan, dalam

Pasal 45 ayat (4) UUPK disebutkan bahwa, “jika telah dipilih upaya penyelesaian

sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat

ditempuh jika upaya itu dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh

pihak yang bersengketa”.

Penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi dapat ditempuh melalui

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Direktorat Perlindungan

Konsumen Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag), dan Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagai mediatornya. Dan melalui cara

negosiasi kepada pelaku usaha. Jika penyelesaian sengketa melalui BPSK, maka

salah satu pihak tidak dapat menghentikan perkaranya di tengah jalan, sebelum
BPSK menjatuhkan putusan. Artinya, bahwa mereka terikat utuk menempuh

proses pemeriksaan sampai saat penjatuhan putusan. Dari hasil wawancara

beberapa konsumen Klinik Kecantikan yang tidak cocok menggunakan produk

dari klinik kecantikan, upaya hukum yang dilakukan adalah dengan cara non

litigasi atau dengan musyawarah yaitu datang langsung kepada pihak klinik

kecantikan yang bersangkutan untuk dimintai pertanggungjawabannya atau ganti

rugi.
BAB V

PENUTUP

I. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian, baik melalui penelitian kepustakaan maupun

penelitian lapangan, serta analisis yang telah penulis lakukan, berikut disajikan

kesimpulan yang merupakan jawaban dari permasalahan di dalam penelitian ini,

yaitu:

1) Peran konsumen di dalam klinik kecantikan merupakan sebagai

pemakai atau pengguna dari jasa dermatologi yang disediakan oleh pihak klinik

kecantikan DuraSkin Clinic Centre. Para pihak yang merupakan tenaga medis,

bagian farmasi klinik dan segala pihak yang terkait dalam perusahaandibawah

naungan PT. Multi Sejahtera Bersama merupakan pihak sebagai penyedia jasa

dermalotogi yang disediakan untuk memuaskan konsumen.

2) Hubungan konsumen terhadap perjanjian yang terjadi merupakan

suatu transaksi terapeutik di klinik kecantikan disebabkan karena adanya

kesepakatan antara dokter dan juga pasien dimana pasien dan dokter memiliki

kecakapan dalam melakukan kesepakatan terhadap tindakan apa yang akan

dilakukan kepada pasien dan tindakan tersebut diperboleh untuk dilakukan sesuai

dengan aturan yang ada. Kesepatan terjadi saat pasien menyetujui tindakan yang

akan dilakukan oleh dokter serta krim yang akan digunakan oleh pasien.

Terjadinya transaksi terapeutik di klinik kecantikan ini dikarenakan pasien ingin

memperoleh kesembuhan sakit kronis kulit sebagaimana yang dimaksud yaitu


masalah jerawat diwajah dan/ataupun masalah kulit lainnya seperti kulit yang

tidak cerah.

3) Tanggungjawab yang diterapkan oleh Klinik Kecantikan DuraSkin

Clinic Centre Jakarta ada 2 (dua) macam, yakni tanggung jawab apabila terdapat

kerugian yang diakibatkan oleh produk dan/atau obat-obatan yang dijual, dan

tanggung jawab kerugian atas jasa pelayanan yang dilakukan oleh tenaga medis

(dokter) atau tenaga pelaksana (beautician), baik berupa wanprestasi maupun

perbuatan melawan hukum. Dalam praktiknya selama ini tanggung jawab yang

diberikan oleh Klinik Kecantikan DuraSkin Clinic CentreJakarta berkaitan

dengan keluhan konsumen yang termaksud dalam wanprestasi dan belum terdapat

keluhan yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum. Pada pelaksanaannya

Klinik Kecantikan DuraSkin Clinic Centremengedepankan pertanggungjawaban

berbentuk pelayanan perawatan kesehatan kecantikan sesuai dengan jenis

keluhan yang disampaikan oleh pasien selaku konsumen sampai wajah konsumen

membaik kembali.

Berdasarkan hasil penelitian pada Klinik Kecantikan DuraSkin Clinic

Center Jakarta, pada praktiknya selama ini pasien selaku konsumen dan Klinik

Kecantikan DuraSkin Clinic Center Jakarta selaku pelaku usaha selalu

mengedepankan penyelesaian sengketa melalui jalur nonlitigasi, berupa upaya

damai yang menciptakan suatu keadaan musyawarah mufakat. Hal ini terbukti

dari tidak pernah adanya sengketa antara kedua belah pihak yang masuk ke jalur

litigasi.
2. SARAN

1) Konsumen Klinik Kecantikan DuraSkin Clinic CentreJakarta sebaiknya lebih

teliti dalam menggunakan jasa dan produk yang ditawarkan oleh klinik

kecantikan. Konsumen diharapkan lebih mendengar terlebih dahulu saran dan

efek samping dari treatment yang akan dilakukan atau diberikan oleh pihak klinik

kecantikan.

2) Pihak Klinik Kecantikan DuraSkin Clinic Center Jakarta diharapkan lebih

memberikan informasi yang jelas kepada konsumen mengenai kegunaan dan efek

samping pada penggunaan obat-obatan dan/atau produk secara benar untuk

mengurangi keluhan konsumen. Sebaiknya lebih diatur secara jelas dalam

Perjanjian Kerja mengenai status dan masa kerja, serta tanggungjawab atau

sanksi-sanksi yang dapat dijatuhkan kepada beautician selaku tenaga pelaksana

apabila menyebabkan kerugian.

3) Pihak klinik kecantikan diharapkan lebih memberikan pelatihan atau edukasi

terhadap beautician atau tenaga-tenaga kerja medis yang bekerja di klinik

kecantikan DuraSkin agar terhindar dari segala jenis kerugian yang dapat dialami

konsumen di klinik kecantikan. Apabila konsumen sudah mengalami kerugian

maka pihak klinik kecantikan diharapkan lebih mengetahui treatment yang mana

lebih cocok untuk wajah atau kulit konsumen agar wajah atau kulit konsumen

membaik kembali.
3. DAFTAR PUSTAKA

A.Z Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta : Diadit Media

2002

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta :

Sinar Grafika 2008

Abdul Halim Barkatulah, Hukum Perlindungan Konsumen, Banjarmasin :

Nusa Media 2008

Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum dan Masalah Medik, Airlangga

University Press 1984

, Simposium Hukum Kedokteran (Medical Law),

Jakarta 1993, Badan Pembina Hukum Nasional

J.Guwandi, Dokter, Pasien dan Hukum, Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia 1996

Indra Bastian Suryono, Penyelesaian Sengketa Kesehatan, Jakarta :

Salemba Medika 2011

Agus Budianto dan Gwendolyn Ingrid Utama, 2010, Aspek Jasa

Pelayanan Kesehatan Dalam Perspektif Perlindungan Pasien, Bandung,

KaryaPutra Darwati

Amiruddin Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum,

Jakarta, Raja

Grasindo Persada.

Anny Isfandyarie, 2006, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter

Buku I,
Jakarta, Prestasi Pustaka.

Astrid Susanto, 2006, Pengantar Sosiologi Dan Perubahan Sosial,

Bandung, BinaCipta.

Bahar Azwar, 2002, Sang Dokter, Jakarta, Kesaint Blank.

Bahder Johan Nasution, 2013, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban

Dokter,Jakarta, Rieneka Cipta.

Celine Tri Siwi, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung, Sinar

Grafika.

Elly M. Setiadi dan Usman Kholip, 2011, Pengantar Sosiologi

Pemahaman Faktadan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan

Pemecahannya,

Jakarta, Kencana Prenada Media Group.

Husni Syawali, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung, Mandar

Maju.

Irving M. Zeitlin, 1998, Memahami Kembali Sosiologi, Yogyakarta, Gajah

Mada University Press.

Anda mungkin juga menyukai