Anda di halaman 1dari 149

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN ATAS

PELAYANAN DAN JASA PRAKTEK PADA KLINIK KECANTIKAN


(STUDI PADA DURA SKIN CLINIC CENTER JAKARTA)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir Memenuhi Syarat-syarat


Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

Johanna Tania Napitupulu


NIM :160200302

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN


PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN ATAS
PELAYANAN DAN JASA PRAKTEK PADA KLINIK
KECANTIKAN (STUDI PADA DURA SKIN CLINIC CENTRE
JAKARTA)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada


Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh:

JOHANNA TANIA NAPITUPULU

NIM : 160200302

Departemen Hukum Keperdataan


PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

Disetujui Oleh:
Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr.Rosnidar Sembiring, SH, M.Hum


NIP.196602021991032002

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Syamsul Rizal, SH.Hum Puspa Melati Hasibuan, SH.M.Hum


196402161989111001 196801281994032001
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020

i
ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur yang sedalam-dalamnya penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus karena

dengan berkat dan kasih-Nya penulis masih diberi kesempatan, kesehatan, dan kemudahan dalam

mengerjakan skripsi ini, atas doa yang selalu dipanjatkan yang tiada henti-hentinya oleh kedua

orang tua penulis.

Penulisan skripsi ini diajukan untuk melengkapi syarat guna memperoleh gelar sarjana

hukum di Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari bahwa

hasil yang diperoleh masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati

penulis akan menerima kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini.

Namun, terlepas dari segala kekurangan yang ada pada penulisan skripsi ini, penulis tidak

terlepas dari bantuan dan pengarahan dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima

kasih yang tulus kepada :

1. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara;

2. Prof. Dr. Saidin, SH, M.Hum, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara;

3. Puspa Melati Hasibuan, SH, M.Hum, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara dan selaku dosen pembimbing II yang telah yang memberikan bantuan

dan bimbingan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini;

4. Dr. Jelly Leviza, SH, M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara;

5. Dr. Rosnidar Sembiring , SH.,M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Perdata selama

penulis menjalani studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

ii
iii

6. Syamsul Rizal, SH., M,Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Perdata Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara dan selaku Dosen Pembimbing I yang telah

memberikan bantuan dan bimbingan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini;

7. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen yang telah banyak memberikan dedikasi yang sangat besar

kepada penulis serta para pegawai di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara;

8. Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih yang sangat besar kepada orang tua

penulis yaitu papa saya Waler Napitupulu dan mama saya Duma Reta yang telah

mencurahkan segenap kasih sayang, pengorbanan, serta terkhusus doa-doanya sehingga

penulis bisa menyelesaikan skripsi ini;

9. Terima kasih kepada Yosephina Napitupulu selaku kakak saya dan sekaligus sebagai

dokter di klinik Kecantikan DuraSkin yang sangat membantu saya dalam skripsi ini, dan

juga abang saya Yohanes Napitupulu atas semua saran dan nasehatnya selama ini dan

juga adik saya Claudia Napitupulu atas semua supportnya selama ini.

10. Terima kasih kepada EMBTY sahabat saya sedari saya kecil hingga sekarang yaitu Flora

Elfrida Nainggolan, Gabriella Pratiwi Harefa dan Esra Svalbard Napitupulu.

11. Terima kasih kepada teman saya grup Eommaya yaitu Chairunnisa, Elis, Indah dan Dea

terkhusus Chelvano serta semua anak Eiso lainnya.

12. Terima kasih kepada teman-teman grup Dunia Gemerlap Kota Medan yaitu kak Yola,

bang Tibol, bang Ade, bang Jogal, bang Agung, Bang Dicky, Bang Ibnu, teman

seperjuanganku Fernando Simbolon, Karin, adikku Ezra Grece, Brian dan Rico Surbakti.

13. Terima kasih kepada teman-teman “Hanya Wacana” yaitu Abeb, Kina, Bibi, Melani,

Harry, dan Arie.

iii
iv

14. Terima kasih juga untuk teman-teman Seperjuangan dalam penulisan skripsi Ody

Fahmuda, Dimas, dan Adit.

15. Terima Kasih juga penulis ucapkan kepada mahasiswa dan mahasiswa Grup C Fakultas

Hukum USU angkatan 2016 yang sampai sekarang masih bersama-sama dengan penulis

semoga kita semua sukses di masa depan.

16. Dan semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi

ini, yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu.

Akhir kata penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak

membantu dan kiranya skripsi ini dapat bermanfaat dan menjadi salah satu karya ilmiah

yang dapat digunakan bagi perkembangan ilmu pengetahuan yang akan datang.

Medan, Februari 2020

Johanna Tania Napitupulu

160200302

iv
v

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................ii
ABSTRAK ........................................................................................................vii
DAFTAR ISI......................................................................................................v

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................1
B. Perumusan Masalah................................................................7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...............................................7
D. Metode Penelitian...................................................................9
E. Tinjauan Pustaka.....................................................................12
F. Keaslian Penulisan..................................................................27
G. Sistematika Penulisan.............................................................28
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERAN KONSUMEN DAN PARA PIHAK
YANG TERKAIT PADA KLINIK KECANTIKAN
A. Tinjauan Umum tentang Konsumen…………………………………………30
B. Tinjauan Umum tentang Pelaku Usaha………………………………………61
C. Tinjauan Umum tentang Klinik………………………………………………74
D. Ruang Lingkup Dokter……………………………………………………….84
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HUBUNGAN KONSUMEN TERHADAP
PERJANJIAN YANG TERJADI DALAM KLINIK KECANTIKAN
A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian…………………………………………....89
B. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Terapeutik………………………………102
C. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Melakukan Jasa…………………………109
D. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Hukum………………………………111
BAB IV TANGGUNG JAWAB KLINIK KECANTIKAN TERHADAP KERUGIAN
KONSUMEN (STUDI KASUS KLINIK KECANTIKAN DURA SKIN)

A. Sejarah singkat Klinik Kecantikan Dura Skin Clinic Center


Jakarta………………………………………………………………………...114
B. Tanggung Jawab Klinik Kecantikan terhadap konsumen apabila mengalami
kerugian yang disebabkan oleh pelayanan jasa perawatan dan produk
Klinik…………………………………………………………………………116
C. Upaya Hukum yang dapat ditempuh konsumen dalam hal kerugian yang
dialaminya……………………………………………………………………130

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan…………………………………………………………………...1
B. Saran………………………………………………………………………….12

v
vi

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

NAMA : JOHANNA TANIA NAPITUPULU

NIM : 160200302

DEPARTEMEN : HUKUM KEPERDATAAN

JUDUL SKRIPSI : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN ATAS


PELAYANAN DAN JASA PRAKTEK PADA KLINIK
KECANTIKAN (STUDI PADA DURA SKIN CLINIC CENTRE
JAKARTA)

Melalui ini saya menyatakan :

1. Bahwa isi skripsi yang saya tulis tersebut diatas adalah benar tidak merupakan ciplakan
dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.

2. Apabila terbukti dikemudian hari skripsi tersebut adalah ciplakan, maka segala akibat
hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada paksaan atau tekanan dari pihak
manapun.

Medan, Februari 2020

Johanna Tania Napitupulu

NIM. 160200302

vi
vii

ABSTRAK

Johanna Tania Napitupulu1


Syamsul Rizal**
Puspa Melati***

Perkembangan zaman yang semakin pesat tidak hanya menimbulkan suatu kebutuhan
terkait sandang, pangan, dan papan, namun juga melahirkan kebutuhan lain berupa kebutuhan
kecantikan. Hal ini menjadi alasan banyaknya pelaku usaha yang mulai beralih menawarkan jasa
dibidang kecantikan. Namun, dibalik berkembang pesatnya usaha klinik kecantikan, masih
banyak terdapat kekecewaan dan rasa tidak puas konsumen atas pelayanan yang diberikan oleh
pelaku usaha yang dinilai merugikan konsumen. Berdasarkan latar belakang penelitian tersebut
akan dianalisa mengenai peran konsumen dan para pihak yang terkait dalam pelayanan jasa
dalam klinik kecantikan, hubungan konsumen terhadap perjanjian yang terjadi dalam klinik
kecantikan, dan bentuk tanggung jawab klinik kecantikan apabila terjadi kerugian yang dialami
oleh konsumen.
Penelitian ini bersifat yuridis empiris, yaitu kombinasi antara penelitian lapangan dengan
kepustakaan, data yang digunakan adalah data primer yaitu berdasarkan hasil pengamatan dan
wawancara, serta data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, kemudian analisis data dilakukan secara kualitatif.
Menurut hasil penelitian, hubungan hukum antara pelaku usaha dan konsumen pada
klinik kecantikan lahir dari adanya undang-undang, perjanjian terapeutik, dan perjanjian
melakukan jasa. Dari hubungan hukum yang tercipta tersebut, kemudian melahirkan 2 (dua)
macam jenis pertanggungjawaban pelaku usaha, yakni pertanggungajawaban yang diakibatkan
oleh kerugian dalam mengonsumsi produk dan/atau obat-obatan yang dijual, dan
pertanggungjawaban yang disebabkan oleh kerugian atas jasa pelayanan yang dilakukan oleh
tenaga medis (dokter) atau tenaga pelaksana (beautician), baik berupa wanprestasi maupun
perbuatan melawan hukum. Konsumen yang mengalami kerugian dapat menuntut ganti rugi baik
melalui jalur nonlitigasi atau jalur litigasi sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 8
Tahun 1999 pada kenyataannya selama ini belum pernah ada upaya hukum yang dilakukan
konsumen Klinik Kecantikan DuraSkin Clinic Centre Jakarta sampai pada jalur litigasi, sebab
Klinik Kecantikan DuraSkin Clinic Centre Jakarta mengedepankan pertanggungjawaban
berbentuk pelayanan perawatan kesehatan kecantikan sesuai dengan jenis keluhan yang
disampaikan oleh pasien selaku konsumen.

Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Konsumen, Pelayanan Jasa.


1
Mahasiswa Fakultas Hukum USU
**
Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
***
Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

vii
ABSTRACT

Johanna Tania Napitupulu2


Syamsul Rizal**
Puspa Melati***

The development of increasingly rapid times not only raises a need related to clothing,
food, and shelter, but also gives birth to other needs in the form of beauty needs. This is the
reason for the large number of business actors who began to switch to offering services in the
field of beauty. However, behind the rapid development of the beauty clinic business, there are
still many disappointments and dissatisfied consumers over the services provided by business
actors that are considered detrimental to consumers. Based on the background of the research
will be analyzed on the role of consumers and parties involved in services in beauty clinics,
consumer relations to agreements that occur in beauty clinics, and the form of responsibilities of
beauty clinics in the event of loss experienced by consumers.

This research is juridical empirical, which is a combination of field research with


literature, the data used are primary data that is based on observations and interviews, as well
as secondary data consisting of primary and secondary legal materials, then the data analysis is
done qualitatively.

According to the results of the study, the legal relationship between businesses and
consumers in beauty clinics was born from the existence of laws, therapeutic agreements, and
agreements to perform services. From the created legal relationship, then gives birth to 2 (two)
types of business actor liability, namely liability caused by losses in consuming products and / or
medicines sold, and liability caused by losses on services performed by personnel medical
(doctor) or executive (beautician), both in the form of defaults and acts against the law.
Consumers who suffer losses can sue for compensation either through non-litigation or litigation
as stipulated in Law No. 8 of 1999, in fact so far there has never been a legal remedy done by
consumers of the DuraSkin Clinic Center Jakarta Beauty Clinic to the litigation route, because
the Clinic Beauty DuraSkin Clinic Center Jakarta puts forward the accountability in the form of
beauty health care services according to the type of complaints submitted by patients as
consumers.

2
USU Faculty of Law students
** First Advisor of the Faculty of Law, University of North Sumatra.
*** Supervisor II of the Faculty of Law, University of North Sumatra

1
2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan merupakan keadaan sehat, baik secara fisik, mental spiritual maupun sosial

yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial maupun ekonomis.Hal ini

termuat dalam Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.Kita tahu bahwa

kesehatan sungguh penting bagi diri kita sehingga Negara menjamin kesehatan warga negaranya.

Upaya peningkatan kualitas hidup manusia di bidang kesehatan, merupakan suatu usaha yang

sangat luas dan menyeluruh, usaha tersebut meliputi peningkatan kesehatan masyarakat baik

fisik maupun non-fisik.Di dalam sistem Kesehatan Nasional disebutkan, bahwa kesehatan

menyangkut semua segi kehidupan yang ruang lingkup dan jangkauannya sangat luas dan

kompleks.3

Dalam menjalankan praktik kesehatan tidak lepas dari tenaga medis dan tenaga

kesehatan.Dokter merupakan tenaga medis.Sedangkan bidan dan perawat merupakan tenaga

kesehatan.Dokter sebagai tenaga medis harus memiliki pendidikan dibidang kesehatan serta

pengalaman hingga dianggap banyak orang dapat menyembuhkan pesiennya.Seiring

perkembangan zaman, saat ini dokter yang dianggap banyak orang ahli dalam hal kesehatan, kini

stigma tersebut mulailuntur.

Hal ini dikarena kasus-kasus mengenai kerugian yang dialami oleh pasien akibat dari

tindakan dokter.Pasien dan dokter memiliki hubungan hukum sehingga membentuk hak dan

kewajiban bagi keduabelah pihak. Adami Chazawi dalam bukunya Malpraktik Kedokteran

menyatakan bahwa hubungan hukum antara pasien dan dokter terdapat dalam apa yang disebut
3
Dr. Bahder Johan Nasution, dalam buku Hukum Kesehatan Pertanggung jawaban Dokter

2
3

kontrak terapeutik. Suatu kontrak terapi dimana pasien harus tunduk dalam hukum perdata

tentang perikatan hukum.Kontrak terapeutik merupakan salah satu bentuk perikatan hukum

timbal balik.4

Dokter yang telah memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP)

serta telah membuka praktik, pada dasarnya telah melakukan penawaran umum (openbare

aanbod).Aanbod adalah syarat pertama lahirnya kesepakatan sebagai penyebab timbulnya suatu

perikatan hukum. Untuk terjadinya perikatan hukum dokter dan pasien, penawaran itu harus

diikuti penjelasan secara lengkap mengenai berbagai hal seperti diagnosis dan terapi oleh

dokter.Apabila kemudian pasien memberikan persetujuan untuk pengobatan atau perawatan,

maka terjadilah perikatan hukum yang dikenal dengan kontrak terapeutik atau transaksi

terapeutik. Persetujuan yang diberikan oleh pasien itu kemudian disebut informed consent.5

Hubungan antara dokter dan pasien dapat dijelaskan bahwa dokter dan pasien memiliki

hubungan yang unik.Dokter dalam hukum konsumen berperan sebagai pemberi jasa pelayanan

kesehatan dan pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan.Dokter yang merupakan pakar

dalam hal kesehatan sedangkan pasien sebagai orang awam.Dokter sebagai orang yang sehat dan

pasien sebagai orang yang sakit.

Dengan adanya perikatan didalamnya, hubungan timbal balik yang terjadi seharusnya

saling menguntungkan.Dokter memiliki pasien dan pasien memperoleh kesembuhan.Namun

yang terjadi tidak demikian.Saat ini kita sering mendengar atau bahkan mengalami keluhan yang

dirasakan oleh pasien akibat dari tindakan yang dilakukan oleh dokter ataupun pemberian obat

yang salah oleh dokter hingga pasien mengalami kerugian.Karena maraknya kasus-kasus

menganai kesalahan yang dilakukan oleh dokter maka perlu adanya perlindungan hukum bagi

4
Ditinjau dari scholar.google.co.id dalam buku Adami, 2007 hal 16
5
Ditinjau dari scholar.google.co.id dalam buku Veronika, 2002 hal 110

3
4

pasien. Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, persoalan

paling krusial untuk dikaji terkait hukum adalah sejauhmana tindakan seorang dokter memiliki

implikasi hukum terhadap kelalaian atau kesalahan profesi kesehatan dan unsur-unsur apa yang

digunakan sebagai indikator atau alat ukur serta unsur yang dapat membuktikan ada tidaknya

kesalahan atau kelalaian dokter dalam melakukan diagnosa dan terapi.

Perkembangan zaman dan teknologi yang semakin pesat tidak hanya menimbulkan suatu

kebutuhan terkait sandang, pangan, dan papan, namun juga melahirkan kebutuhan lain berupa

kebutuhan penampilan. Tanpa disadari, kebutuhan untuk tampil menarik dan cantik sudah

menjalar menjadi suatu kebutuhan yang penting bagi masyarakat, khususnya bagi

wanita.Banyaknya publikasi melalui media cetak dan media eletronik yang menggunakan dan

menampilkan sosok wanita cantik yang berkulit putih, berbadan langsing, berwajah tirus, halus,

dan mulus menjadi suatu sugesti tersendiri bagi mayoritas wanita untuk memiliki wajah dan

penampilan seperti itu.banyak wanita kemudian berlomba-lomba melakukan berbagai cara baik

secara alami maupun modern agar menjadi sosok yang cantik dan menarik. Kebutuhan wanita

untuk menjadi pribadi yang sehat dan cantik semakin meningkat, mereka menyadari bahwa

dibutuhkan suatu proses dan perawatan untuk menjadi lebih cantik dan menarik. Dahulu wanita

melakukan perawatan diri dengan cara-cara yang lebih alami dan tradisional seperti membuat

masker wajah dari bahan-bahan alami, sampai meminum jamu untuk awet muda atau

melangsingkan diri.

Namun hal tradisional tersebut cenderung menghabiskan banyak waktu dan bersifat tidak

instant.Adanya keinginan wanita menjadi cantik sekaligus menarik dengan cepat dan instant

menimbulkan perkembangan tersendiri bagi industri kecantikan. Berbagai macam jasa dibidang

4
5

kesehatan kecantikanpun menjadi merambah, setelah salonkecantikan, saat ini perkembangan

klinik kecantikan berkembang semakin

pesat. Banyak berkembangnya sarana-sarana yang menamakan dirinya sebagai Skin Care, Skin

Center, Skin Clinic, Skin Care Center, Body Care Center,Beauty Clinic, Esthetic Clinic,

Slimming Center, Beauty Center atau BeautySalon dan lain-lain tergantung jenis pelayanan yang

tersedia dan keinginan pemilik/pengelolanya.

Sebagai ibukota Indonesia, Jakarta merupakan kota yang paling banyakmenerima

pengaruh-pengaruh globalisasi dunia barat, tidak terkecuali dibidang kecantikan dan fashion

lifestyle. Beragam macam masyarakat dari golongan rendah, menengah, hingga tinggi seperti

pengusaha dan artis yang berdiam di Jakarta menjadi senjata tersendiri bagi industri kecantikan

di Jakarta untuk berkembang.Keadaan tersebut ditandai dengan banyak bermunculannya

berbagai klinik kecantikan untuk memenuhi kebutuhan kecantikan berbagai golongan

masyarakat di Jakarta, seperti klinik kecantikan Natasha Skin Care,Dura Skin Clinic Centre, dan

masih banyak lagi.

Di kota Medan sendiri pun, banyak bermunculan klinik-klinik skin care yang siap

memberikan jasa dan pelayanan bagi konsumen untuk mempercantik diri dan memanjakan

konsumen dengan menawarkan treatment yang berkualitas dan bermanfaat bagi kulit konsumen.

Namun pada kenyataanya, dibalik tumbuh pesatnya klinik kecantikanterdapat beberapa

sisi negatif, diantaranya banyak konsumen yang ternyata tidak cocok dengan jasa dan produk

kecantikan yang ditawarkan oleh klinik kecantikan.Hal ini tentunya menjadi suatu kerugian bagi

konsumen pengguna klinik kecantikan.Kerugian yang dialami konsumen biasanya timbul karena

kurangnya informasi yang diberikan terkait keadaannya serta efek samping dari tindakan yang

dilakukan.Banyak kasus merugikan yang dialami oleh konsumen klinik kecantikan, seperti

5
6

timbulnya iritasi pada wajah setelah menggunakan produk dari klinik kecantikan, iritasi dapat

berupa timbulnya rasa perih dan memerah pada wajah konsumen.Tidak hanya itu, beberapa

konsumen klinik kecantikanpun pernah merasa keberatan manakala saat dilakukan pelayanan

perawatan terdapat tindakan dokter atau beautician yang kurang memuaskan, seperti beautician

terlalu keras menekan wajah konsumen saat melakukan facial wajah, sehingga menimbulkan

rasa sakit dan ketidakpuasaan terhadap konsumen.Hal seperti ini dapat terjadi manakala terdapat

kondisi dan/atau sesitivitas pasien yang berbeda-beda maupun karena kelalaian dari pihak klinik

kecantikan. Tidak heran jika banyak konsumen yang

justru mengeluhkan produk dan/atau jasa yang diberikan oleh sebuah klinik kecantikan.

Terdapat 2 (dua) macam perlindungan hukum di Indonesia, yaituperlindungan hukum

preventif dan represif.Perlindungan hukum preventif adalah perlindungan hukum yang biasanya

tertuang dalam peraturan perundang-undangan untuk mencegah terjadinya pelanggaran, seperti

adanya aturan yang mengatur mengenai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh konsumen

dan pelaku usaha.Perlindungan hukum represif adalah perlindungan hukum akhir berupa sanksi

akibat terjadinya pelanggaran atau sengketa, seperti kewajiban untuk melaksanakan ganti rugi

bagi pihak yang merugikan.6

Salah satu bentuk aplikasinya adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen, bahwasanya setiap golongan konsumen yang melakukan perawatan di

klinik kecantikan memiliki hak untuk mendapat perlindungan hukum apabila terdapat akibat-

akibat dari proses perawatan yang merugikan dirinya. Perlindungan hukum tersebut lahir dari

suatu hubungan hukum yang mengikat antara klinik kecantikan dengan konsumen, dimana

hubungan hukum terjadi sejak konsumen datang ke klinik kecantikan dan mendapat penjelasan

6
Ditinjau dari.academia.edu tentang Perlindungan hukum konsumen diakses pada tanggal 8 Februari 2020
Pukul 18.00

6
7

dari dokter terkait keadaannya serta bagaimana penanganan dan efek-efek selanjutnya.Selain

dilindungi oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen, konsumen klinik kecantikan juga

dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Undang-

Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor 9 tahun 2014 tentang Klinik.

Dimana lahirnya undang-undang tersebut bertujuan untuk mengatur hak-hak dan

kewajiban antara konsumen denganpelaku usaha, agar menjunjung tinggi rasa aman terhadap

konsumen klinikkecantikan, serta menjunjung tinggi rasa tanggung jawab pelaku usaha terhadap

produk dan jasa yang ditawarkannya. Klinik kecantikan selaku pelaku usaha menyadari bahwa

mereka harus dapat menjamin hak-hak konsumennya terpenuhi dalam berbagai bidang.7

Namun dibalik itikad baik yang dilakukan, tidak menutup kemungkinanterjadinya

kerugian-kerugian yang diderita konsumen terkait penggunaan produk dan/atau jasa dari sebuah

klinik kecantikan.Ketika mengalami kerugian, konsumen dapat melakukan upaya hukum agar

tercapai keadilan bagidirinya dan klinik kecantikan selaku pelaku usaha wajib untuk

bertanggungjawab atas kerugian yang terjadi.Penulis sebagai salah satu konsumen yang terbilang

sering melakukan perawatan wajah di Klinik Kecantikan memiliki ketertarikan terhadap

perlindungan konsumen terhadap pelayanan jasa yang terdapat dalam Klinik Kecantikan

tersebut.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji danmembahas

mengenai perlindungan hukum bagi konsumen apabila terdapat kerugian-kerugian akibat

menggunakan produk dan/atau jasa Klinik Kecantikan Beauty Skin Care Center Jakarta hingga

upaya hukum yang dapat dilakukan konsumen, serta mengangkat permasalahan ini kedalam

7
Ditinjau dari etd.repository.ugm.ac.id diakses pada tanggal 4 Februari 2020 Pukul 17.00

7
8

tulisannya yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Atas Pelayanan Dan

Jasa Praktek Pada Klinik Kecantikan (Studi Pada Dura Skin Clinic Centre Jakarta).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, berbagai persoalan yang timbul atau yang

muncul, dalam skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana peran konsumen dan para pihak yang terkait dalam pelayananan jasa

di klinik kecantikan?

2. Bagaimana hubungan konsumen terhadap perjanjian yang terjadi dalam klinik

kecantikan?

3. Bagaimana bentuk tanggung jawab Klinik Kecantikan apabila terjadi kerugian

yang dialami oleh konsumen?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan Objektif :

1) Untuk mengetahui sejauh mana peran konsumen dan para pihak yang terkait dalam

pelayanan jasa dermatologi di klinik kecantikan

2) Untuk mengetahui dan menganalisis bentuk hubungan konsumen terhadap perjanjian

yang terjadi di dalam klinik kecantikan.

3) Mengetahui dan menganalisis bentuk tanggung jawab yang diberikan oleh Klinik

Kecantikan Dura Skin Clinic Centre Jakarta terhadap konsumen apabila terjadi kerugian

yang disebabkan oleh pelayanan jasa perawatan dan/atau produk Klinik Kecantikan Dura

Skin Clinic CentreJakarta.

8
9

Tujuan Subyektif :

Untuk memperoleh data serta informasi yang berhubungan dengan objek yang akan diteliti

dalam rangka penyusunan Penulisan Hukum sebagai syarat untuk dapat memperoleh gelar

kesarjanaan dalam bidang Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

D. Manfaat Penulisan

Penelitian ini mempunyai manfaat, baik secara akademis maupun secara praktis.Adapun

manfaatnya adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Akademis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan hukum di

dalam bidang Hukum Perdata, khususnya bagi mahasiswa agar kritis terhadap masalah

hukum sekaligus dapat menemukan solusi hukum terkait dengan perlindungan konsumen

yang berbasis teknologi pada sektor pelayanan kesehatan dan perawatan kecantikan.

b. Memberikan sumbangan pemikiran bagi ilmu hukum khususnya hukum kedokteran, yang

permasalahannya selalu berkembang seiring dengan perkembangan ilmu Kedokteran itu

sendiri dan diharapkan dapat menjembatani antara kepentingan hukum dan kepentingan

pelayanan medis untuk mencapai asas keseimbangan kepentingan dokter dam

kepentingan pasien yang sama-sama menjadi prioritas untuk membangun kesadaran

kesehatan yang ada di masyarakat. Karena dengan adanya hubungan baik antara dokter

dan pasien maka timbul rasa saling percaya dan saling menaati hak dan kewajiban sendiri

khususnya antara dokter dan pasien. Dengan skripsi ini masyarakat tau akan haknya jika

berhubungan dengan dokter dan pelayanan kesehatan lainnya jadi masyarakat dapat

9
10

memilih cara pengobatan apa dan metode pelayanan jasa apa yang ia percayai untuk

mempercantik wajahnya.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut:

a. Menjadi masukan dan/atau panduan bagi profesi yang bergerak di sector kesehatan

kecantikan, baik dokter, maupun beautician dalam pelayanan kesehatan dan perawatan

kecantikan, sehingga pelayanan dan perawatan yang diberikan sesuai dengan ketentuan

peraturan yang berlaku dan tidak merugikan pasien atau pengguna produk dan jasaselaku

konsumen kesehatan kecantikan.

b. Menjadi sumber acuan untuk penelitian-penelitan selanjutnya baiksecara teori maupun

praktik, yang berguna untuk mahasiswa fakultashukum pada khususnya dan masyarakat

berbagai kalangan padaumumnya.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian dapat diartikan sebagai langkah yang dimiliki dan dilakukan oleh

peneliti dalam rangka untuk mengumpulkan informasi atau data serta melakukan investigasi

pada data yang telah didapatkan tersebut. Metode penelitian memberikan gambaran rancangan

penelitian yang meliputi antara lain: prosedur dan langkah-langkah yang harus ditempuh, waktu

penelitian, sumber data, dan dengan langkah apa data-data tersebut diperoleh dan selanjutnya

diolah dan dianalisis.

Dalam pembahasan skripsi ini, metodologi penelitian hukum yang digunakan penulis

adalah Metode Penelitian yang dipakai dalam skripsi ini adalah metode penelitian hukum

normative-empiris, dimana dalam penelitian empiris dimaksudkan untuk memperoleh data

10
11

primer, yaitu melakukan wawancara dengan narasumber yang terkait, sementara hukum

normative yaitu melakukan suatu kajian terhadap peraturan perundang-undangan serta bahan-

bahan hukum yang berkaitan dengan skripsi ini sebagai berikut :

1. Spesifikasi Penelitian

Penulis menggunakan metode penelitian hukum normative. Dalam hal penelitian hukum

normative, penulis melakukan penelitian terhadap peraturan perundang-undangan dan bahan

hukum yang berhubungan dengan judul penulis ini yaitu “Perlindungan Hukum Terhadap

Konsumen Atas Pelayanan Dan Jasa Praktek Pada Klinik Kecantikan “Studi Pada Dura Skin

Clinic Centre Jakarta”.

2. Metode Pendekatan

Dalam menyelesaikan penelitian skripsi ini, penulis menggunakan metode pendekatan

yuridis mengingat permasalahan-permasalahan yang diteliti adalah bagaimana dokter sebagai

yang melakukan pelayanan jasa kecantikan berlandaskan kepercayaan dalam transaksi

terapeutik.

3. Lokasi Penelitian

Dalam penelitian untuk penelitian skripsi ini, penulis mengambil lokasi di Dura Skin

Clinic Centre Jakarta yang terletak di Jalan Kaji No. 36, Petojo Utara, Kecamatan Gambir , Kota

Jakarta Pusat.

4. Alat Pengumpulan Data

Pengumpulan data-data yang diperlukan penulis yang berkaitan dengan penyelesaian

skripsi ini ditempuh melalui cara penelitian kepustakaan (Library Research). Dalam hal ini,

penulis melakukan penelitian terhadap literature-literatur untuk memperoleh bahan teoritis

ilmiah yang dapat digunakan sebagai dasar terhadap substansi pembahasan dalam penulisan

11
12

skripsi ini. Tujuan penelitian kepustakaan ini adalah untuk memperoleh data-data sekunder yang

meliputi peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, surat kabar, situs internet, maupun

bahan bacaan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

5. Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan akan dianalisis secara deskriptif dengan

menggunakan metode induktif dan deduktif yang berpedoman kepada bagaimana implementasi

perlindungan hukum terhadap konsumen atas pelayanan jasa klinik kecantikan. Analisis

deskriptif artinya penulis berusaha semaksimal mungkin untuk memaparkan data-data yang

sebenarnya.

Metode deduktif artinya cara analisis dari kesimpulan umum atau generalis yang

diuraikan menjadi contoh-contoh konkrit atau fakta-fakta untuk menjelaskan kesimpulan atau

generalis tersebut. Metode deduktif digunakan dalam sebuah penelitian disaat penelitian

berangkat dari sebuah teori yang kemudian dibuktikan dengan pencarian fakta.

Metode induktif artinya contoh konkrit dan fakta diuraikan terlebih dahulu, lalu

kemudian dirumuskan menjadi suatu kesimpulan atau generalisasi. Pada metode induktif data

dikaji melalui proses yang berlangsung dari fakta. 8

F. Tinjauan Pustaka

i. Pengertian Konsumen

Konsumen berasal dari istilah asing, Inggris costumer dan Belanda consument secara

harafiah diartikan sebagai “orang atau perusahaan yang membeli barang tertentu atau
8
Ditinjau dari www.awangramadhani/metode-penelitian.com diakses pada tanggal 8 januari 2020 pukul 08.00

12
13

menggunakan jasa tertentu” atau ‘sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan

atau sejumlah barang”.9

Undang-undang perlindungan konsumen mendefinisikan Konsumen adalah setiap orang

pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri

sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Definisi ini sesuai dengan pengertian bahwa konsumen adalah end user / pengguna terakhir,

tanpa si konsumen merupakan pembeli dari barang dan/atau jasa tersebut.10

Guidelines for Customer Protection of 1985, yang dikeluarkan oleh Persatuan Bangsa-

Bangsa (PBB) menyatakan “Konsumen dimanapun mereka berada, dari segala bangsa,

mempunyai hak-hak dasar sosialnya.” Yang dimaksud hak-hak dasar tersebut adalah hak untuk

mendapatkan informasi yang jelas, benar dan jujur. Hak untuk mendapatkan ganti rugi, hak

untuk mendapatkan kebutuhan dasar manusia (cukup pangan dan papan), Hak untuk

mendapatkan lingkungan yang baik dan bersih serta kewajiban untuk menjaga lingkungan, dan

hak untuk mendapatkan pendidikan dasar. PBB menghimbau seluruh anggotanya untuk

memberlakukan hak-hak konsumen tersebut di negaranya masing-masing.11

Pengaturan perlindungan konsumen dilakukan dengan:12

 Menciptakan system perlindungan konsumen yang mengandung akses dan informasi,


serta menjamin kepastian hokum.
 Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan seluruh pelaku
usaha pada umumnya.
 Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa

9
Arrianto Mukti Wibowo,et.al., Kerangka Hukum Digital Signature Dalam Electronic Commerce,Grup Riset
Digital Security
10
Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
11
Tini Hadad, Dalam AZ.Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, Cet. II, hlm vii
12
Husni Syawali, Ed, op.cit., hlm 7

13
14

 Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktik usaha yang menipu dan
menyesatkan.
 Memadukan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan konsumen
dengan bidang-bidang perlindungan pada bidang-bidang lainnya.

ii. Tanggung Jawab Produk

Secara umum, Tanggung Jawab Produk adalah suatu konsepsi hukum yang intinya

dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.

Apakah yang dimaksud dengan cacat produk? Di Indonesia, cacat produk atau produk yang cacat

didefinisikan sebagai berikut: “Setiap produk yang tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya

baik karena kesengajaan atau kealpaan dalam proses maupun disebabkan hal-hal lain yang terjadi

dalam peredarannya, atau tidak menyediakan syarat-syarat keamanan bagi manusia atau harta

benda mereka dalam penggunaannya, sebagaimana diharapkan orang.”

Cacat produk atau manufaktur adalah keadaan produk yang umumnya berada dibawah

tingkat harapan konsumen. Atau dapat pula cacat itu demikian rupa sehingga dapat

membahayakan harta benda, kesehatan tubuh dan jiwa konsumen.

Cacat peringatan atau instruksi adalah cacat produk karena tidak dilengkapi dengan

peringatan-peringatan tertentu atau instruksi penggunaan tertentu.

iii. Pengertian Pelaku Usaha

Pasal 1 ayat (3) UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen memberikan

pengertian Pelaku Usaha, sebagai berikut :

“Pelaku Usaha adalah setiap perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan

hukum mapun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan

14
15

kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun

bersama-sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai

bidang ekonomi.”

Penjelasan “Pelaku Usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan,

korporasi, BUMN, koperasi, importer, pedagang, distribusi, dan lain-lain."

Pengertian pelaku usaha dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen

cukup luas karena meliputi grosir, leveransir, pengecer dan sebagainya. Cakupan luasnya

pengertian pelaku usaha dalam UUPK tersebut memiliki persamaan dengan pengertian pelaku

usaha dalam Masyarakat Eropa terutama Negara Belanda, bahwa yang dapat dikualifikasi

sebagai produsen adalah: pembuat produk jadi (finished product), penghasilan bahan baku,

pembuat suku cadang, setiap orang yang menampakkan dirinya sebagai produsen, dengan jalan

mencantumkan namnya, tanda pengenal tertentu, atau tanda lain yang membedakan dengan

produk asli, pada produk tertentu, importer suatu produk dengan maksud untuk dijualbelikan,

disewakan, disewagunakan (leasing) atau bentuk distribusi lain dalam transaksi perdagangan,

pemasok (supplier), dalam hal identitas dari produsen atau importer tidak dapat ditentukan.13

Pengertian pelaku usaha yang bermakna luas tersebut , akan memudahkan konsumen

menuntut ganti kerugian Konsumen yang dirugikan akibat penggunaan produk tidak begitu

kesulitan dalam menemukan kepada siapa tuntutan diajukan, karena banyak pihak yang dapat

digugat, namun akan lebih baik lagi seandainya UUPK tersebut memberikan rincian

sebagaimana dalam Directive (pedoman bagi Negara Masyarakat Uni Eropa), sehingga

konsumen dapat lebih mudah lagi untuk menentukan kepada siapa ia akan mengajukan tuntutan

jika ia dirugikan akibat penggunaan produk Dalam Pasal 3 Directive ditentukan bahwa :14

13
Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, dalam buku Hukum Perlindungan Konsumen hlm.9
14
Ahmad Miru, “Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia”, hlm 31

15
16

a. Produsen berarti pembuat produk akhir, produsen dari setiap bahan mentah, atau pembuat

dari suatu suku cadang dan setiap orang yang memasang nama, mereknya atau suatu

tanda pembedaan yang lain pada produk, menjadikan dirinya sebagai produsen.

b. Tanpa mengurangi tanggung gugat produsen, maka setiap orang yang mengimpor suatu

produk untuk dijual, dipersewakan, atau untung leasing, atau setiap bentuk pengedaran

dalam usaha perdagangannya dalam Masyarakat Eropa, akan dipandang sebagai produsen

dalam arti Directive ini, dan akan bertanggung gugat sebagai produsen.

c. Dalam hal produsen atau suatu produk tidak dikenal identitasnya, maka setiap

leveransir/supplier akan bertanggung gugat sebagai produsen, kecuali ia memberitahukan

orang yang menderita kerugian dalam waktu yang tidak begitu lama mengenai identitas

produsen atau orang yang menyerahkan produk itu kepadanya. Hal yang sama akan

berlaku dalam kasus barang/ produk yang diimpor, jika produk yang bersangkutan tidak

menunjukkan identitas importir sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), sekalipun nama

produsen dicantumkan.

iv. Peraturan Perundang-Undangan Hukum Konsumen/Hukum Perlindungan

Konsumen

Kini Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang sudah lama ditunggu-tunggu

konsumen telah terbit yaitu Undang-Undang No. 8 Tahun 1999. Sekalipun demikian Undang-

Undang No 8 Tahun 1999 ini memiliki ketentuan yang menyatakan bahwa “kesemua undang-

undang yang ada dan berkaitan dengan perlindungan konsumen tetap berlaku, sepanjang tidak

bertentangan atau telah diatur khusus oleh undang-undang.” Karena itu, tak dapat lain haruslah

dipelajari juga peraturan perundang-undangan tentang konsumen dan/atau perlindungan

konsumen ini di dalam kaidah-kaidah hukum peraturan perundang-undangan umum yang

16
17

mungkin atau dapat mengatur dan/atau melindungi hubungan dan/atau masalah konsumen

dengan penyedia barang atau jasa. Sebagai akibat dari penggunaan peraturan perundang-

undangan umum ini, dengan sendirinya berlaku pulalah asas-asas hukum yang terkandung di

dalamnya pada berbagai pengaturan dan/atau perlindungan konsumen tersebut. Padahal, nanti

akan ternyata, beberapa di antara asas hukum tersebut tidak cocok untuk memenuhi fungsi

pengaturan dan/atau perlindungan pada konsumen, tanpa setidak-tidaknya diadakan pembatasan

berlakunya asas-asas hukum tertentu itu. Pembatasan dimaksudkan dengan tujuan

“menyeimbangkan kedudukan” di antara para pihak pelaku usaha dan/atau konsumen

bersangkutan.

Sumber-sumber Hukum Konsumen :

a) Undang-Undang Dasar dan Ketetapan MPR

Hukum Konsumen, terutama Hukum Perlindungan Konsumen mendapatkan landasan

hukumnya pada Undang-Undang Dasar 1945, Pembukaan, Alinea ke-4 berbunyi:

“...Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang

melindungi segenap bangsa Indonesia...”

Umumnya, sampai saat ini, orang bertumpu pada kata “segenap bangsa” sehingga ia

diambil sebagai asas tentang persatuan seluruh bangsa Indonesia (asas pesatuan bangsa). Tetapi

di samping itu, dari kata “melindungi”, didalamnya terkandung pula asas perlindungan (hukum)

pada segenap bangsa tersebut. Perlindungan hukum pada segenap bangsa itu, tentulah bagi

segenap bangsa, tanpa terkecuali, baik ia laki-laki atau perempuan, orang kaya atau orang

miskin, orang kota atau orang desa, orang asli atau keturunan, dan pengusaha/pelaku usaha atau

konsumen.

17
18

Landasan hukum lainnya terdapat pada ketentuan termuat dalam Pasal 27 ayat (2)

Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) Ketentuan tersebut berbunyi :

“Tiap warga negara berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”

Sesungguhnya apabila kehidupan seseorang terganggu atau diganggu oleh pihak/pihak-

pihak lain, maka alat-alat negara akan turun tangan, baik diminta atau tidak, untuk melindungi

dan atau mencegah terjadinya gangguan tersebut. Penghidupan yang layak, apalagi penghidupan

yang layak bagi kemanusiaan, merupakan hak dari warga negara dan hak semua orang. Itu

merupakan hak dasar bagi rakyat secara menyeluruh.

“Telah jelas, Pasal-pasal ini mengenai hak-hak warga negara”

Selanjutnya, untuk melaksanakan perintah UUD-1945 melindungi segenap bangsa, dalam

hal ini khususnya melindungi konsumen, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah

menetapkan berbagai Ketetapan MPR, khusunya sejauh tahun 1978. Dengan ketetapan terakhir

Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 1993 (TAP-MPR) makin jelas kehendak rakyat atas

adanya perlindungan konsumen, sekalipun dengan kualifikasi yang berbeda-beda, pada masing-

masing ketetapan.

Kalau pada TAP-MPR 1978 digunakan istilah “menguntungkan” konsumen, TAP-MPR

1988 “menjamin” kepentingan konsumen, maka pada tahun 1993 digunakan isitlah “melindungi”

kepentingan konsumen. Namun, dalam masing-masing TAP-MPR tersebut tidak terdapat

penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan menguntungkan, menjamin, atau melindungi

kepentingan konsumen tersebut.15

Salah satu yang menarik dari TAP-MPR 1993 ini adalah disusunnya dalam satu napas,

dalam satu baris kalimat, tentang kaitan produsen dan konsumen. Susunan kalimat itu berbunyi:

“...meningkatkan pendapatan produsen dan melindungi kepentingan konsumen”.


15
TAP-MPR RI No. IV/MPR/1978, Bab IV

18
19

Dengan susunan kalimat demikian, terlihat lebih jelas arahan Majelis Permusyawaratam

Rakyat tentang kekhususan kepentingan produsen (dan semua pihak yang dipersamakan

dengannya) dan kepentingan konsumen.

Sifat kepentingan khas produsen (lebih tepat pelaku usaha atau pengusaha) telah

ditunjukkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Di muka telah diterangkan bahwa pengusaha

dalam menjalankan kegiatan memproduksi atau berdagang, menggunakan barang atau jasa

sebagai bahan baku,bahan tambahan, bahan penolong, atau bahan pelengkap. Kepentingan

mereka dalam menggunakan barang atau jasa adalah untuk kegiatan usaha memproduksi dan

atau berdagang itu, adalah untuk meningkatkan pendapatan atau penghasilan mereka (tujuan

komersial).

Kepentingan konsumen dalam kaitan dengan penggunaan barang dan/atau jasa, adalah

agar barang/jasa konsumen yang mereka peroleh, bermanfaat bagi kesehatan/keselamatan tubuh,

keamanan jiwa dan harta benda, diri, keluarga dan/atau rumah tangganya (tidak membahayakan

atau merugikan mereka). Jadi yang menonjol dalam perlindungan kepentingan konsumen ini

adalah perlindungan pada jiwa, kesehatan, harta dan atau kepentingan kekeluargaan konsumen.

Meskipun diakui bahwa persaingan merupakan suatu yang biasa dalam dunia usaha,

tetapi persaingan antar-kalangan usaha itu haruslah sehat dan terkendali.

b) Hukum Konsumen dalam Hukum Perdata

Dengan hukum perdata dimaksud adalah hukum perdata dalam arti luas, termasuk hukum

perdata, hukum dagang serta kaidah-kaidah keperdataan yang termuat dalam berbagai peraturan

perundang-undangan lainnya. Kesemuanya itu baik hukum perdata tertulis maupun hukum

perdata tidak tertulis (hukum adat).

19
20

Kaidah-kaidah hukum perdata umumnya termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata (KUHPer).16 Disamping itu, tentu saja juga kaidah-kaidah hukum perdata adat, yang

tidak tertulis tetapi ditunjuk oleh pengadilan-pengadilan dalam perkara-perkara tertentu. Patut

kiranya diperhatikan kenyataan yang ada dalam pemberlakuan berbagai kaidah hukum perdata

tersebut.

Pada tahun 1963 Mahkamah Agung “menganggap Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata (BW) tidak sebagai undang-undang tetapi sebagai suatu dokumen yang hanya

menggambarkan suatu kelompok hukum tak tertulis”.17 Dan selanjutnya menganggap tidak

berlaku beberapa pasal dari KUHPer. Tetapi untuk selebihnya, dalam pengalaman di pengadilan

sepanjang kemerdekaan sampai waktu ini, KUHPer tampak seperti lebih dominan berlakunya

dibandingkan dengan kaidah-kaidah hukum adat atau kaidah-kaidah hukum tidak tertulis, dan

putusan-putusan pengadilan negeri maupun pengadilan-pengadilan luar negeri yang berkaitan.

KUHPer memuat berbagai kaidah hukum berkaitan dengan hubungan-hubungan hukum dan

masalah-masalah antara pelaku usaha penyedia barang dan/atau jasa dan konsumen pengguna

barang-barang atau jasa tersebut. Terutama buku kedua, buku ketiga, dan buku keempat memuat

berbagai kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan konsumen dan penyedia barang atau

jasa konsumen tersebut. Begitu pula dalam KUHD, baik buku pertama, maupun buku kedua,

mengatur tentang hak-hak dan kewajiban yang terbit dari, khususnya (jasa) dan pelayanan.

Hubungan hukum perdata dan masalahnya dalam lingkungan berlaku Hukum Adat,

sekalipun sudah sangat berkurang, masih tampak hidup dan terlihat dalam berbagai putusan

pengadilan. Beberapa putusan pengadilan tentang masalah keperdataan berkaitan dengan

perlindungan konsumen masih terlihat. Sedangkan hubungan-hubungan hukum atau masalah


16
Undang-Undang RI, Burgerlijk Wetboek voor Indonesia, S. No. 23 Tahun 1847 dengan berbagai pembatasan
ketentuan berlakunya
17
Surat Edaran Mahkamah Agung RI tanggal 5 September 1963 tentang Gagasan menganggap Burgerlijk
Wetboek tidak sebagai Undang-Undang

20
21

antara penyedia barang atau jasa dan konsumen dari berbagai negara yang berbeda, atau tidak

bersamaan hukum yang berlaku bagi mereka, dapat diperlakukan Hukum Internasional dan asas-

asas Hukum internasional, khususnya Hukum Perdata Internasional, memuat pula berbagai

ketentuan hukum perdata bagi konsumen.

Dalam berbagai peraturan perundang-undangan lain, tampaknya termuat pula kaidah-

kaidah hukum yang mempengaruhi dan/atau termasuk dalam bidang hukum perdata. Antara lain

tentang siapa yang dimaksudkan sebagai subjek hukum dalam suatu hubungan hukum

konsumen, hak-hak dan kewajiban masing-masing, serta tata cara penyelesaian masalah yang

terjadi dalam sengketa antara konsumen dan penyedia barang dan/atau penyelenggara jasa yang

diatur dalam peraturan perundang-undangan bersangkutan.

c) Hukum Konsumen dalam Hukum Publik

Dengan hukum publik dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur hubungan antara

negara dan alat-alat perlengkapannya atau hubungan antara negara dengan perorangan. 18

Termasuk hukum publik dan terutama dalam kerangka hukum konsumen dan atau hukum hukum

perlindungan konsumen, adalah hukum administrasi negara, hukum pidana, hukum acara

perdata, dan atau hukum acara pidana dan hukum internasional khususnya hukum perdata

internasional.

Segala kaidah hukum maupun asas-asas hukum ke semua cabang-cabang hukum publik

itu sepanjang berkaitan dengan hubungan hukum konsumen dan/atau masalahnya dengan

hubungan hukum konsumen dan/atau masalahnya dengan penyedia barang atau penyelenggara

jasa, dapat pula diberlakukan. Dalam kaitan ini antara lain ketentuan perizinan usaha, ketentuan-

18
Drs. C.S.T. Kansil, S.H., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, P.N. Balai Pustaka,
Jakarta,1979, Halaman 10

21
22

ketentu pidana tertentu, ketentuan-ketentuan hukum acara dan berbagai konvensi dan atau

ketentuan hukum perdata internasional.

Diantara kesemua hukum publik tersebut, tampaknya hukum administrasi negara,

selanjutnya disebut hukum administrasi, hukum pidana, hukum internasional khususnya hukum

perdata internasional, dan hukum acara perdata serta hukum acara pidana paling banyak

pengaruhnya dalam pembentukan hukum konsumen.

Sekalipun berbagai instrument hukum umum (peraturan perundang-undangan yang

berlaku umum), baik hukum perdata maupun hukum public, dapat digunakan untuk

menyelesaikan hubungan dan atau masalah konsumen dengan penyedia barang atau

penyelenggara jasa, tetapi hukum umum ini ternyata mengandung berbagai kelemahan tertentu,

dan menjadi kendala bagi konsumen atau perlindungan konsumen. Tetapi hukum umum ini

ternyata mengandung berbagai kelemahan tertentu dan menjadi kendala bagi konsumen atau

perlindungan konsumen yaitu :19

1) KUH Perdata dan KUHD tidak Mengenal Istilah Konsumen

Hal ini mudah dipahami karena pada saat undang-undang itu diterbitkan dan diberlakukan di

Indonesia, tidak dikenal istilah consumen atau consument (istilah Inggris dan Belanda). Di

Negeri Belanda istilah koper atau huuder (istilah Belanda yang berarti pembeli atau penyewa)

digunakan dalam perundang-undangannya. Oleh karena itu, dalam KUH Perdata kita

menemukan istilah-istilah pembeli (koper, Pasal 1457 dan seterusnya KUH Perdata), penyewa

(hurder, Pasal 1548 dan seterusnya), penitip barang (bewaargever, Pasal 1694 dan seterusnya),

peminjam (verbruiklener, Pasal 1754 dan seterusnya), dan sebagainya. Adapun Kitab Undang-

Undang Hukum Dagang ditemukan istilah tertanggung (verzekerde, Pasal 246 dan seterusnya

Buku Kesatu) dan penumpang (opvarende, Pasal 341 dan seterusnya Buku Kedua).
19
Celina Tri Siwi Kristiyanti, S.H.,M.Hum. dalam buku “Hukum Perlindungan Konsumen”

22
23

2) Semua Subjek Hukum tersebut adalah Konsumen, Pengguna Barang dan/atau Jasa

Konsumen itu sendiri terdiri dari dua jenis yang berbeda kepentingan dan tujuan dalam

penggunaan barang atau jasanya. Para pengusaha yang disebut juga sebagai konsumen antara

mempunyai tujuan dan kepentingan tersendiri. Demikian pula dengan konsumen akhir.

Subjek hukum pembeli, penyewa, tertanggung atau penumpang terdapat dalam KUH

Perdata dan KUHD, tidak membedakan apakah mereka itu sebagai konsumen akhir atau

konsumen antara. Keadaan mempersamakan saja kedudukan hukum dari mereka yang berbeda

kepentingan dan tujuannya secara formal memang memikat, tetapi secara materiil akan terlihat,

tanpa pemberdayaan (empowering) pihak yang historis lemah, ia menimbulkan kepincangan

tertentu dalam hubungan hukum atau masalah mereka satu sama lain.

3) Hukum Perjanjian (Buku ke-3 KUH Perdata) Menganut Asas Hukum Kebebasan

Berkontrak, Sistemnya Terbuka dan Merupakan Hukum Pelengkap

Asas kebebasan berkontrak memberikan pada setiap orang hak untuk dapat mengadakan

berbagai kesepakatan sesuai kehendak dan persyaratan yang disepakati kedua pihak, dengan

syarat-syarat subjektif dan objektif tentang sahnya suatu persetujuan tetap dipenuhi (Pasal 1320).

Dengan sistem terbuka, setiap orang dapat mengadakan sembarang perjanjian, bahkan dengan

bentuk-bentuk perjanjian lain dari apa yang termuat dalam KUH Perdata (berbeda dengan sistem

tertutup yang dianut Buku Ke-2 KUH Perdata). Keadaan ini kemudian diimbuhi pula dengan

catatan bahwa hukum perjanjian itu merupakan hukum pelengkap, jadi setiap orang dapat saja

mengadakan persetujuan dalam bentuk lain dari yang disediakan oleh KUH Perdata.

Dengan asas kebebasan berkontrak, sistem terbuka dan bahwa hukum perjanjian itu

merupakan hukum pelengkap saja, lengkaplah sudah kebebasan setiap orang untuk mengadakan

perjanjian, termasuk perjanjian yang dipaksakan kepadanya. Kalau yang mengadakan perjanjian

23
24

adalah mereka yang seimbang kedudukan ekonomi, tingkat pendidikan dan/atau kemampuan

daya saingnya, mungkin masalahnya menjadi lain. Dalam keadaan sebaliknya, yaitu para pihak

tidak seimbang, pihak yang lebih kuat akan dapat memaksakan kehendaknya atas pihak yang

lebih lemah.

Pengalaman nyata memang menunjuk pada keadaan itu. Berbagai penelitian termasuk

penelitian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak tahun 1973-1985, yang kemudian dijadikan

dasar dari keputusan Sidang Umum PBB pada tahun 1985 tentang Perlindungan Konsumen,

ternyata pihak konsumenlah, terutama konsumen dari negara-negara berkembang yang

merupakan pihak yang lemah tersebut. Dilengkapi dengan penelitian yang dilakukan oleh

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia dan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, khususnya

kelemahan konsumen Indonesia akan sangat terlihat.

4) Perkembangan Pesat Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek)

Perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi sangat mempengaruhi kegiatan bisnis

dimana pun di dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Berbagai produk konsumen, bentuk usaha

dan praktik bisnis yang pada masa diterbitkannya KUH Perdata dan KUHD belum dikenal, kini

sudah menjadi pengalaman kita. Beberapa hal pokok tentang subjek hukum dari suatu perikatan,

bentuk perjanjian baku, perikatan beli sewa, kedudukan hukum berbagai praktik niaga lainnya

yang tumbuh karena kebutuhan atau kegiatan ekonomi, tidak terakomodasi secara sangat rumit

dalam perundang-undangan itu.

Begitu pula bentuk-bentuk perikatan yang tampaknya berasal dari negara-negara yang

menggunakan sistem hukum berbeda (Anglo Saxon), karena kebutuhan telah pula dipraktikkan

dan kadang-kadang tanpa persyaratan dan pembatasan yang menurut hukum berlaku bagi

24
25

perikatan di negeri asalnya. Pencampuradukan sistem hukum yang melanda masyarakat karena

kebutuhannya itu, menyebabkan KUH Perdata dan KUHD tertinggal di belakang.

5) Hukum Acara

Hukum acara yang dipergunakan dalam proses perkara perdata pun tidak membantu konsumen

dalam mencari keadilan. Pasal 1865 KUH Perdata menentukan pembuktian hak seseorang atau

kesalahan orang lain dibebankan pada pihak yang mengajukan gugatan tersebut. Beban ini lebih

banyak tidak dapat dipenuhi dalam hubungan antara konsumen dan penyedia barang atau

penyelenggara jasa pada masa kini. Hal ini terutama karena tidak pahamnya konsumen atas

pembuatan produk, sistem pemasaran yang digunakan, maupun jaminan purna jual yang

digunakan oleh pelaku usaha. Proses produksi dan pemasaran produk yang makin canggih,

kerahasiaan perusahaan dan tanggung jawab perusahaan yang hanya pada pemegang sahamnya

saja, memperbesar jarak antara konsumen dengan produk konsumen yang ia gunakan di samping

hal-hal yang dikemukakan di atas.

Tingkat-tingkat peradilan (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung dan

kemungkinan Peninjauan kembali di Mahkamah Agung), lamanya masa proses sampai

didapatkan putusan yang efektif, ditambah dengan beban pembuktian merupakan kendala bagi

konsumen dan perlindungannya.

6) Dasar Pemikiran Filsafat

Dianut dari KUH Perdata/KUHD dan falsafah hukum yang sekarang harus dijadikan pangkal

tolak pemikiran hukum kita yang sama sekali sudah tidak sejalan lagi. Doktrin yang dianut KUH

Perdata/KUHD adalah liberalism. Adapun doktrin, falsafah Indonesia adalah Pancasila yang

25
26

pemikiran politik ekonominya adalah kesejahteraan rakyat dengan perikehidupan yang

seimbang, serasi, dan selaras.

7) Hukum Publik

Sesuai fungsinya menurut hukum, mempunyai peran yang sangat membantu upaya perlindungan

konsumen, seperti juga bagi pengusaha yang jujur dan beritikad baik. Tindakan administrasi

yang dijalankan oleh instansi berwenang terhadap mereka yang melanggar ketentuan dari

peraturan perundang-undangan (administrative), melindungi konsumen dan pengusaha yang

jujur dan beritikad baik dari perilaku pelaku usaha yang menyimpang atau melanggar hukum dan

dapat menimbulkan kerugian pada mereka.

Pengertian Klinik

Bagian rumah sakit atau lembaga kesehatan tempat orang berobat dan memperoleh advis

medis serta tempat mahasiswa kedokteran melakukan pengamatan terhadap kasus penyakit yg

diderita para pasien dan sebagai balai pengobatan khusus dan merupakan organisasi kesehatan yg

bergerak dalam penyediaan pelayanan kesehatan kuratif (diagnosis dan pengobatan), biasanya

terhadap satu macam gangguan kesehatan20

Definisi Klinik Kecantikan

Klinik kecantikan merupakan sebuah klinik yang menawarkan jasa pelayanan

dermatologi. Dermatologi (dari bahasa Yunani: derma yang berarti kulit) adalah cabang

kedokteran yang mempelajari kulit dan bagian-bagian yang berhubungan dengan kulit seperti

rambut, kuku, kelenjar keringat, dan lain sebagainya.

Jadi, dapat disimpulkan, klinik kecantikan merupakan sebuah klinik yang menawarkan

pelayanan jasa di bidang perawatan kesehatan dan kecantikan kulit, rambut, kuku, dan lainnya.
20
Dendy Sugono. Kamus Bahasa Indonesia, Hal 733. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.

26
27

Beberapa klinik kecantikan yang sekarang banyak dijumpai di wilayah ibukota adalah klinik

kecantikan yang mengkombinasikan pelayanan kecantikan wajah maupun tubuh, dan konsultasi

kesehatan kulit, serta pelayanan tambahan seperti spa.

Produk perawatan dari klinik kecantikan yang dikenal umum adalah facial. Perawatan

facial adalah sebuah prosedur yang melibatkan berbagai perawatan kulit, termasuk: penguapan,

pengelupasan, ekstraksi, krim, lotion, pengunaan masker, dan pemijatan.21 Biasanya dilakukan di

salon kecantikan tetapi juga dapat ditemukan di berbagai perawatan spa.

Karakteristik Jasa

1.      Tidak berwujud (intangibility)

            Artinya jasa tidak dapat dilihat, dirasa, diraba, didengar atau dicium sebelum dibeli.

Orang yang mengalami perawatan kulit tidak dapat melihat hasil yang sesungguhnya sebelum ia

membeli jasa tersebut. Untuk mengurangi ketidakpastian, konsumen akan mencari bukti akan

mutu jasa tersebut. Mereka akan menarik kesimpulan mengenai mutu dari tempat, orang-orang,

peralatan, bahan komunikasi, symbol dan harga yang mereka lihat.

            Karena itu, penyedia jasa bertugas mengelola bukti tersebut untuk mewujudkan

sesuatuyang tidak berwujud. Perusahaan jasa dapat berupaya menunjukkan mutu layanan melalui

bukti fisik dan presentasi. Dura Skin Clinic Centre untuk mempromosikan diri dengan slogan

citranya “make people beautiful and happy”. Dengan layanan yang prima, pelanggan akan “feel

great” dan setelah melewati masa perawatan mereka akan “look great”.

            Cara yang ditempuh yaitu dengan mendesain pesan yang in line dengan daya saing

sekaligus diferensiasi Dura Skin Clinic Centre, yaitu strerilitas dan higienitas. Karena selama ini

tidak banyak yang tau  bahwa fasial menjadi awal penularan virus HIV dan hepatitis karena ada

21
Ditinjau darin http://wikipedia.com; internet; accesed 10 januari 2020

27
28

tahapan-tahapan yang memberikan peluang bagi terkontaminasinya darah. Hal itu menjadi

perhatian utama Dura Skin Clinic Centre.

2.      Tidak terpisahkan (inseparability).

               Biasanya jasa dihasilkan dan dikonsumsi secara bersamaan. Karena klien tersebut juga

hadir pada saat jasa perawatan kulit dilakukan, interaksi penyedia  jasa merupakan ciri khusus

penawaran jasa. Dengan menyadari hal ini maka Dura Skin Clinic Centre akan fokus pada

produk dan layanan yang bagus. Apabila produk dan layanan yang bagus, maka akan timbul

kepercayaan pada pelanggan dan kemudian mereka akan merekomendasikan kepada orang lain.

3.      Bervariasi (Variablity)/ Heterogeinity.

                        Karena bergantung pada siapa yang memberikannya serta kapan dan dimana diberikan,

jasa sangat bervariasi. Contoh : beberapa dokter memiliki keramahan yang sangat baik dengan

pasien, sedangkan yang lain kurang sabar dengan pasien-pasiennya.

4.      Tidak tahan lama (Perishability).

Jasa klinik kecantikan Dura Skin Clinic Centre tidak dapat disimpan. Pasien yang telah

melakukan konsultasi atau pemeriksaan di Dura Skin Clinic Centre tidak bisa menyimpan jasa

yang mereka terima dari perusahaan jasa tersebut.

G. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini diajukan sebagai syarat meraih gelar sarjana hukum. Sebelum

mengajukan judul ini, penulis terlebih dahulu membaca beberapa buku dan sumber informasi

lainnya untuk menemukan masalah hukum yang akan dibahas. Sesuai prosedur yang ditentukan

oleh Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Departemen Perdata, penulis terlebih dahulu

mengajukan judul ini kepada Ketua Departemen Hukum Perdata untuk mendapat persetujuan

28
29

dan kemudian melakukan pengecekan judul ke perpustakaan fakultas hukum untuk menghindari

pembahasan masalah yang berulang. Dari hasil pengecekan di perpustakaan fakultas maka

dinyatakan tidak ada judul yang sama persis sebelumnya. Dengan demikian, maka penulisan ini

adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan.

Apabila diluar pengetahuan penulis ternyata telah ada penulisan yang serupa, maka

diharapkan penulisan ini dapat saling melengkapi serta menambah literature ilmu hukum

khususnya dibidang hukum perdata.

H. Sistematika Penulisan

Seluruh uraian yang ada dalam penyusunan skripsi ini, dikemukakan secara sistematis

yang terdiri atas beberapa bab dan masing-masing terdiri dari beberapa sub dengan tujuan untuk

memudahkan pembaca memahami isi skripsi ini.

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini diuraikan tentang, latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan,

manfaat penulisan, metode penulisan, tinjauan pustaka, keaslian penulisan dan sistematika

penulisan.

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PERAN KONSUMEN DAN PARA

PIHAK YANG TERKAIT PADA KLINIK KECANTIKAN

Dalam bab ini berisikan empat sub bab yaitu pengertian konsumen, sub bab kedua

yaitu tentang pelaku usaha, kemudian pada bab ketiga yaitu tentang pengertian klinik dan klinik

kecantikan dan pada bab keempat yaitu tentang ruang lingkup dokter dalam klinik kecantikan.

29
30

BAB III : TINJAUAN UMUM TENTANG HUBUNGAN KONSUMEN TERHADAP

PERJANJIAN YANG TERJADI DALAM KLINIK KECANTIKAN

Dalam bab ini berisikan mengenai tinjauan umum mengenai perjanjian yang terjadi

antara konsumen dan klinik kecantikan, pada bab ini terdiri dari empat sub bab yang terdiri atas

sub bab pertama yaitu pengertian perjanjian, sub bab kedua yaitu pengertian perjanjian

terapeutik, sub bab ketiga yaitu tentang pengertian perjanjian melakukan jasa dan sub bab

keempat tentang pengertian perlindungan hukum pada klinik kecantikan.

BAB IV : TANGGUNG JAWAB KLINIK KECANTIKAN TERHADAP KERUGIAN

KONSUMEN (STUDI KASUS KLINIK KECANTIKAN DURA SKIN)

Pada bab ini berisikan mengenai sejarah berdirinya Dura Skin Clinic Centre,

tanggung jawab Dura Skin Clinic Centre terhadap konsumen yang mengalami kerugian dan

tentang upaya hukum yang dapat ditempuh konsumen jika mengalami kerugian akibat pelayanan

jasa dermatologi yang dilakukan di Dura Skin Clinic Centre.

BAB V : PENUTUP

Sebagai bab penutup yang merupakan rangkaian inti dari seluruh isi bab-bab yang

ada ditambah dengan beberapa kesimpulan dan saran dari penulis.

30
BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERAN KONSUMEN DAN PARA PIHAK YANG

TERKAIT PADA KLINIK KECANTIKAN

A. Tinjauan Umum tentang Konsumen

1. Pengertian Konsumen

Kata konsumen berasal dari bahasa Inggris yaitu consumer. Dalam bahasa Belanda,

istilah konsumen disebut dengan consument. Konsumen secara harfiah adalah “orang yang

memerlukan, membelanjakan atau menggunakan; pemakai atau pembutuh.”18 Istilah lain yang

dekat dengan konsumen adalah “pembeli” (Inggris: buyer, Belanda: koper). Istilah koper ini

dapat dijumpai dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pengertian konsumen secara

hukum tidak hanya terbatas kepada pembeli. Bahkan,jika disimak secara cermat pengertian

konsumen sebagaimana di dalam Pasal 1 angka 2 UUPK, di dalamnya tidak ada disebut kata

pembeli.22 Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan konsumen di

Indonesia, menjelaskan istilah “konsumen” sebagai definisi yuridis formal ditemukan pada pasal

1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya

disebut dengan UUPK). UUPK menyatakan “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang

dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,

orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”23 Kamus Umum

Bahasa Indonesia mendefinisikan konsumen sebagai lawan produsen, yakni pemakai barang-

barang hasil industri, bahan makanan dan sebagainya. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (diberlakukan 5 Maret
22
N.H.T. Siahaan, Hukum Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, Cet. ke-1, (Bogor: Grafika
Mardi Yuana, 2005), hal. 23.
23
Zulham, S.Hi, M.Hum,Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2013), hal.
15.
32

2000). Undang-undang ini memuat suatu definisi tentang konsumen yaitu “Setiap pemakai dan

atau pengguna barang dan atau jasa, baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk

kepentingan orang lain.”24Pengertian konsumen jelas lebih luas daripada pembeli. Luasnya

pengertian konsumen dilukiskan secara sederhana oleh Mantan Presiden Amerika Serikat, John

F. Kennedy yang mengatakan bahwa, “Consumers by definition include us all.”25 Pakar masalah

konsumen di Belanda, Hondius, menyimpulkan para ahli hukum pada umumnya sepakat

mengartikan konsumen sebagai pemakai produksi terakhir dari benda dan jasa (uitendelijke

gebruiker van goederen en diensten).Dengan rumusan itu Hondius ingin membedakan antara

konsumen bukan pemakai terakhir (konsumen antara) dengan konsumen pemakai terakhir.

Konsumen dalam arti luas mencakup pada kriteria itu, sedangkan konsumen dalam arti sempit

hanya mengacu pada konsumen pemakai terakhir. Di Perancis, berdasarkan doktrin dengan

yurisprudensi yang berkembang, konsumen diartikan sebagai, “The person who obtains good or

services for personal or family purposes.” Sedangkan di Spanyol pengertian konsumen

didefinisikan secara lebih luas, yaitu “Any individual or company who is the ultimate buyer or

user of personal or real property, products, services, or activities, regardless oh whether the

seller, supplier, or producer is a public or private entity, acting alone or collectively.”Pengertian

konsumen dapat dibagi sebanyak 3 (tiga) macam yakni :

1. Konsumen secara umum adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa

digunakan untuk tujuan tertentu;

24
Lihat lebih lanjut pada Pasal 1 huruf o Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
25
Mariam Darus Badruldzaman, Perlindungan terhadap Konsumen Dilihat dari Sudut Pandang Perjanjian Baku
(Standar), dalam BPHN. Simposium Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung: Binacipta, 1986),
hal. 57

32
33

2. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/jasa untuk

digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa lain atau untuk diperdagangkan (tujuan

komersial);

3. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapat dan menggunakan

barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan atau

rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (non komersial).26

Terhadap barang dan/atau jasa yang digunakan, tergantung pada konsumen mana

yang dimaksudkan. Bagi konsumen antara barang dan jasa itu adalah barang atau jasa kapital,

berupa bahan baku, bahan penolong atau komponen dari produk lain yang akan diproduksinya

(produsen). Jika dia distributor atau pedagang, berupa barang setengah jadi atau barang jadi yang

menjadi dagangan utamanya. Konsumen antara ini mendapatkan barang atau jasa itu di pasar

industri atau pasar produsen. Sedangkan bagi konsumen akhir, barang dan/atau jasa itu adalah

barang atau jasa konsumen yaitu barang atau jasa yang biasanya digunakan untuk memenuhi

kebutuhan pribadi, keluarga atau rumah tangganya (produk konsumen).

Barang atau jasa ini pada umumnya diperoleh di pasar-pasar, dan terdiri dari barang

atau jasa yang umumnya digunakan di dalam rumah tangga masyarakat.27 Unsur tersebut untuk

membuat barang atau jasa lain dan atau diperdagangkan kembali merupakan pembeda antara lain

konsumen antara (produk kapital) dan konsumen akhir (produk konsumen), yang penggunaannya

bagi konsumen akhir adalah untuk diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya, unsur inilah yang

pada dasarnya merupakan pembeda dari kepentingan masing-masing konsumen yaitu,

penggunaan sesuatu produk untuk keperluan atau tujuan tertentu yang menjadi tolok ukur dalam

menentukan perlindungan yang diperlukan.

26
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Daya Widya, 1999), hal. 13.
27
Ibid.

33
34

Konsumen diartikan tidak hanya pada individu (orang), tetapi juga suatu perusahaan

yang menjadi pembeli atau pemakai terakhir. Adapun yang menarik disini, konsumen tidak harus

terikat dalam hubungan jual-beli sehingga dengan sendirinya konsumen tidak identik dengan

pembeli. Rumusan-rumusan berbagai ketentuan itu menunjukkan sangat beragamnya pengertian

konsumen, masing-masing ketentuan memiliki kelebihan dan kekurangan. Tampaknya perlakuan

hukum yang lebih bersifar mengatur dengan diimbuhi perlindungan tersebut, merupakan

pertimbangan tentang perlunya pembedaan dari konsumen itu. Pada umumnya, diperoleh di

pasar-pasar konsumen, dan terdiri dari barang atau jasa yang umumnya digunakan di dalam

rumah tangga masyarakat.26Untuk itu dengan mempelajari perbandingan dari rumusan

konsumen, kita perlu kembali melihat pengertian konsumen dalam pasal 1 angka 2 UUPK.

Konsumen adalah :

1. Setiap orang

Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai

pemakai barang dan/atau jasa. Istilah “orang” sebetulnya menimbulkan keraguan, apakah hanya,

orang individual yang lazim disebut natuurlijke person atau termasuk juga badan hukum

(rechtspersoon). Hal ini berbeda dengan pengertian yang diberikan untuk “pelaku usaha” dalam

pasal 1 angka 3 UUPK yang secara eksplisit membedakan kedua pengertian persoon diatas,

dengan menyebutkan kata-kata : “orang perseorangan atau badan usaha.” Tentu yang paling

tepat tidak membatasi pengertian konsumen itu sebatas pada orang perseorangan. Namun,

konsumen harus mencakup juga badan usaha, dengan makna lebih luas daripada badan hukum.

UUPK tampaknya berusaha menghindari penggunaan kata “produsen” sebagai lawan dari kata

“konsumen.” untuk itu, digunakan kata “pelaku usaha” yang bermakna lebih luas. Istilah terakhir

ini dipilih untuk memberi arti sekaligus bagi kreditur (penyedia dana), produsen, penyalur,

34
35

penjual dan terminologi lain yang lazim diberikan. Bahkan, untuk kasus-kasus spesifik seperti

dalam kasus periklanan, pelaku usaha ini juga mencakup perusahaan media, tempat iklan itu

ditayangkan.

2. Pemakai

Sesuai dengan bunyi penjelasan pasal 1 angka 2UUPK “pemakai” menekankan,

konsumen adalah konsumen akhir (ultimate consumer).Istilah pemakai dalam hal ini tepat

digunakan dalam rumusan ketentuan tersebut, sekaligus menunjukkan, barang dan/atau jasa yang

dipakai tidak serta merta hasil dari transaksi jual beli. Artinya, yang diartikan sebagai konsumen

tidak selalu harus memberikan prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh

barang dan/atau jasa itu. Dengan kata lain, dasar hubungan hukum antara konsumen dan pelaku

usaha tidak perlu harus kontraktual (the privity of contract). Dapat dilihat bahwa konsumen tidak

hanya sekedar sebagai pembeli saja tetapi semua orang (perseorangan atau badan usaha) yang

mengkonsumsi jasa dan/atau barang. Keterkaitan disini adalah dimana pelaku usaha dan

konsumen tidak hanya sebatas pada transaksi jual beli saja melainkan di saat konsumen tersebut

ikut dalam menikmati manfaatdari barang atau jasa yang diberikan oleh si pelaku usaha,

sehingga pada saat suatu nanti apabila dia merasa dirugikan maka dapat mengajukan klaim atas

ketidaknyamanan terhadap barang atau jasa yang didapatnya dari pelaku usaha tersebut. Dapat

disimpulkan bahwa konsumen berdasarkan directive adalah pribadi yang menderita kerugian

(jiwa, kesehatan maupun benda) akibat pemakaian produk yang cacat untuk keperluan

pribadinya. Jadi, konsumen yang dapat memperoleh kompensasi atas kerugian yang dideritanya

adalah “pemakai produk cacat untuk keperluan pribadi.”

35
36

3. Barang dan/atau Jasa

Berkaitan dengan istilah barang dan/atau jasa, sebagai pengganti terminologi tersebut

digunakan kata produk. Saat ini “produk” sudah berkonotasi barang atau jasa, semula kata

produk hanya mengacu pada pengertian barang. Dalam dunia perbankan, misalnya istilah produk

dipakai juga untuk menamakan jenis-jenis layanan perbankan. UUPK mengartikan barang

sebagai setiap benda, baik berwujud ataupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak

bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk

diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. Undang-Undang

Perlindungan Konsumen tidak menjelaskan perbedaan istilah-istilah “dipakai, dipergunakan, atau

dimanfaatkan.” Sementara itu, jasa diartikan sebagai setiap layanan yang berbentuk pekerjaan

atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. pengertian

“disediakan bagi masyarakat” menunjukkan jasa itu harus ditawarkan kepada masyarakat.

Artinya, harus lebih dari satu orang. Jika demikian halnya, layanan yang bersifat khusus

(tertutup) dari individual, tidak tercakup dalam pengertian tersebut. Kata-kata “ditawarkan

kepada masyarakat” itu harus ditafsirkan sebagai bagian dari suatu transaksi konsumen. Artinya,

seseorang yang karena kebutuhan mendadak lalu menjual rumahnya kepada orang lain, tidak

dapat dikatakan perbuatannya itu sebagai transaksi konsumen, si pembeli tidak dapat

dikategorikan sebagai “konsumen” menurut UUPK.

4. Yang tersedia dalam masyarakat

Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di pasaran

(lihat juga bunyi pasal 9 ayat (1) huruf e UUPK). Dalam perdagangan yang makin kompleks

dewasa ini, syarat itu tidak mutlak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen. Misalnya,

perusahaan pengembangan (developer) perusahaan sudah biasa mengadakan transaksi terlebih

36
37

dahulu sebelum bangunannya jadi. Bahkan, untuk jenis-jenis transaksi konsumen tertentu, seperti

futures trading,keberadaan barang yang diperjualbelikan bukan sesuatu yang diutamakan.

5. Bagi Kepentingan Diri Sendiri, Keluarga, Orang Lain, Makhluk Hidup Lain

Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain dan

makhluk hidup lain. Unsur yang diletakkan dalam definisi itu mencoba untuk memperluas

pengertian kepentingan. Kepentingan ini tidak sekedar ditujukan untuk diri sendiri dan keluarga,

tetapi juga barang dan/atau jasa itu untuk diperuntukkan bagi orang lain (diluar diri sendiri dan

keluarganya), bahkan untuk makhluk hidup lain, seperti hewan dan tumbuhan. Dari sisi teori

kepentingan, setiap tindakan manusia adalah bagian dari kepentingannya. Oleh sebab itu,

penguraian unsur itu tidak menambah makna apa-apa karena pada dasarnya tindakan memakai

suatu barang dan/atau jasa (terlepas ditujukan untuk siapa dan makhluk hidup lain), juga tidak

terlepas dari kepentingan pribadi. Seseorang yang membeli makanan untuk kucing

peliharaannya, misalnya berkaitan dengan kepentingan pribadi orang itu untuk memiliki kucing

yang sehat.

6. Barang dan/atau Jasa itu tidak untuk Diperdagangkan

Pengertian konsumen dalam UUPK ini dipertegas yakni hanya konsumen akhir. Batasan

itu sudah biasa dipakai dalam peraturan perlindungan konsumen berbagai negara. Secara teoritis

hal demikian terasa cukup baik untuk mempersempit ruang lingkup pengertian konsumen

walaupun dalam kenyataannya, sulit menetapkan batas-batas seperti itu.

Berkaitan dengan itu maka konsumen dalam mendapatkan barang atau jasa yang

diinginkannya tersebut berasal dari pelaku usaha, istilah pelaku usaha umumnya lebih dikenal

dengan sebutan pengusaha. Pengusaha adalah “setiap orang atau badan usaha yang menjalankan

37
38

usaha memproduksi, menawarkan, menyampaikan, atau mendistribusikan suatu produk kepada

masyarakat luas selaku konsumen”, pengusaha memilki arti luas, tidak semata-mata

membicarakan pelaku usaha, tetapi juga pedagang perantara atau pengusaha.28

2. Hak dan Kewajiban Konsumen

Sebagai pemakai barang dan/atau jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban.

Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar masyarakat bisa bertindak sebagai

konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya apabila terjadi suatu tindakan yang tidak adil

terhadapnya, maka secara spontan ia akan dapat menyadari hal tersebut lalu segera mengambil

tindakan untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya akan berdiam diri

ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha. Instrumen peraturan

nasional yang mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen ialah UUPK. Adapun hak-hak

konsumen diatur UUPK pasal 4, sebagai berikut:

a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barangdan/atau jasa;

b. hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan

kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau

jasa;

d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa

perlindungan konsumen secara patut;

f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

28
Shidarta, dalam buku Op.Cit.,hal. 16-27.

38
39

g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

h. hak untuk mendapatkan kompensai, ganti rugi, dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau

jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Hak-hak konsumen sebagaimana disebutkan dalam pasal 4 UUPK lebih luas daripada hak

dasar konsumen sebagaimana pertama kali dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat John F.

Kennedy di depan kongres pada tanggal 15 Maret 196229, yaitu terdiri atas :

a. hak memperoleh keamanan;

b. hak memilih;

c. hak mendapat informasi;

d. hak untuk didengar;

Selain hak-hak yang disebutkan itu,ada juga hak untuk di lindungi dan akibat negatif

persaingan curang.30 Akhirnya, jika semua hak-hak yang disebutkan itu disusun kembali secara

sistematis akan diperoleh urutan sebagai berikut:

a. Hak konsumen mendapatkan keamanan.

Konsumen berhak mendapatkan keamanan dan barang dan/atau jasa yang ditawarkan

kepadanya. Produk barang dan jasa itu tidak boleh membahayakan jika dikonsumsi sehingga

konsumen tidak dirugikan baik secara jasmani dan rohani.31

b. Hak untuk mendapatkan informasi yang benar

29
Mariam Darus Badrulzaman, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya, (Bandung: Alumni, 1981),
hal. 47.
30
Pencantuman hak ini pertama kali diperkenalkan Shidarta dalam : “Pengetahuan tentang Aspek Hukum
Perlindungan Konsumen dan Status Media Cetak serta Pelanggaran Hak-Hak Konsumen dalam Iklan” (Tesis,
Program Studi Ilmu Hukum, Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, 1994).
31
Shidarta, dalam buku Op.Cit., hal. 22.

39
40

Setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai informasi yang benar.

Hak atas informasi yang jelas dan benar dimaksudkan agar konsumen dapat memperoleh

gambaran yang benar tentang produk barang dan jasa, informasi ini dapat disampaikan dengan

berbagai cara, seperti secara lisan kepada konsumen melalui iklan di berbagai media atau

mencantumkan dalam kemasan produk (barang).32

c. Hak untuk memilih

Hak untuk memilih dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada konsumen untuk

memilih produk tertentu sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya. Ia tidak boleh mendapatkan

tekanan dari pihak luar sehingga ia tidak lagi bebas untuk membeli atau tidak membeli. Hak

memilih yang dimiliki oleh konsumen ini hanya ada jika ada alternatif pilihan dari produk jenis

tertentu, karena jika suatu produk dikuasai secara monopoli oleh suatu produsen atau dengan

kata lain tidak ada pilihan lain (baik barang dan jasa), maka dengan sendirinya hak untuk

memilih ini tidak akan berfungsi.33

d. Hak untuk didengar

Hak untuk di dengar ini merupakan hak dari konsumen agar tidak dirugikan lebih lanjut, atau

hak untuk menghindarkan diri dari kerugian. Ini disebabkan karena informasi yang didapat oleh

konsumen dinilai kurang cukup memuaskan. Untuk itu, konsumen berhak mengajukan

permintaan informasi lebih lanjut.

e. Hak untuk memperoleh ganti rugi

Hak ini merupakan hak yang dimana apabila konsumen merasa dirugikan akibat kuantitas

dan kualitas barang dan/atau jasa yang dikonsumsinya tidak sesuai dengan nilai tukar yang

diberikannya, ia berhak mendapatkan ganti kerugian yang pantas. Jenis dan jumlah ganti
32
Ibid.,
33
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Cet. ke-2, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004), hal. 42-43.

40
41

kerugian itu tentu saja harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau atas kesepakatan

masing-masing pihak.

f. Hak untuk memperoleh pendidikan

Masalah perlindungan konsumen di Indonesia termasuk masalah yang baru. Oleh karena itu,

wajar bila masih banyak konsumen yang belum menyadari haknya. Hak untuk memperoleh

pendidikan konsumen ini dimaksudkan agar konsumen memperoleh pengetahuan maupun

keterampilan yang diperlukan agar terhindar dari kerugian akibat penggunaan produk, karena

dengan pendidikan konsumen tersebut, konsumen akan dapat menjadi lebih kritis dan teliti

dalam memilih suatu produk yang dibutuhkan.

g. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat

Mengenai konsumen atas lingkungan yang baik dan sehat merupakan hak yang diterima

sebagai salah satu hak dasar konsumen oleh berbagai organisasi konsumen di dunia. Lingkungan

hidup yang baik dan sehat berarti sangat luas, dan setiap makhluk hidup adalah konsumen atas

lingkungan hidupnya. Lingkungan hidup meliputi lingkungan hidup dalam arti fisik dan

lingkungan nonfisik. Diatur dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang

Lingkungan Hidup.

h. Hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya

Hak ini dimaksudkan untuk melindungi konsumen dari kerugian akibat permainan harga

secara tidak wajar. Karena dalam keadaan tertentu konsumen dapat saja membayar harga suatu

barang yang jauh lebih tinggi daripada kegunaan atau kualitas dan kuantitas barang dan/atau jasa

yang diperolehnya. Penegakan hak konsumen ini didukung pula oleh ketentuan dalam pasal 5

41
42

ayat (1) dan pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli

dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

i. Hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya

Hak untuk mendapatkan ganti kerugian harus ditempatkan lebih tinggi daripada hak pelaku

usaha untuk membuat klausula ekonerasi secara sepihak. Jika permintaan konsumen dirasakan

tidak mendapat tanggapan yang layak dari pihak terkait dalam hubungan hukum dengannya,

maka konsumen berhak mendapatkan penyelesaian hukum, termasuk advokasi. Dengan kata lain

konsumen berhak menuntut pertanggungjawaban hukum dari pihak yang dipandang merugikan

karena mengkonsumsi produk itu.

j. Hak untuk mendapatkan penyelesaian hukum

Hak untuk mendapatkan ganti kerugian harus ditempatkan lebih tinggi daripada hak pelaku

usaha untuk membuat klausula ekonerasi secara sepihak. Jika permintaan konsumen dirasakan

tidak mendapat tanggapan yang layak dari pihak terkait dalam hubungan hukum dengannya,

maka konsumen berhak mendapatkan penyelesaian hukum, termasuk advokasi. Dengan kata lain

konsumen berhak menuntut pertanggungjawaban hukum dari pihak yang dipandang merugikan

karena mengkonsumsi produk itu.34

Bagaimanapun ragamnya rumusan hak-hak konsumen yang telah dikemukakan, namun

secara garis besar dapat dibagi dalam tiga hak yang menjadi prinsip dasar, yaitu :

a. Hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik kerugian

personal, maupun kerugian harta kekayaan;

b. Hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga yang wajar dan;

34
Shidarta, Op.Cit., hal. 29.

42
43

c. Hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan yang

dihadapi35

Oleh karena ketiga hak atau prinsip dasar tersebut merupakan himpunan beberapa hak konsumen

sebagaimana diatur dalam UUPK. Apabila konsumen benar-benar akan dilindungi, maka hak-

hak konsumen yang disebutkan di atas harus dipenuhi baik oleh pemerintah maupun oleh

produsen, karena pemenuhan hak-hak konsumen tersebut akan melindungi kerugian konsumen

dari berbagai aspek.36 Adapun mengenai kewajiban konsumen dijelaskan dalam pasal 5 UUPK,

yakni:

a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan

barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

3. Pengertian Perlindungan Konsumen

Kata konsumen berasal dari kata dalam bahasa Inggris, yakni consumer, atau dalam

bahasa Belanda “consument”, “konsument”, konsumen secara harfiah adalah orang yang

memerlukan membelanjakan atau menggunakan; pemakai atau pembutuh. Pengertian tentang

konsumen secara yuridis telah diletakan dalam pelbagai peraturan perundang-undangan, seperti

UU No 8 Tahun 1999 Tentang UUPK pasal 1 merumuskan sebagai berikut: “Konsumen adalah

setiap orang pemakai barang dan / atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
35
Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, Disertasi, (Surabaya:
Program Pascasarjana Universitas Airlangga, 2000), hal. 140
36
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo,Op.Cit., hal. 47.

43
44

kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
37
diperdagangkan.” Dalam pengertian sehari-hari sering kali dianggap bahwa yang disebut

konsumen adalah pembeli (Inggris; buyer, Belanda; koper). Pengertian konsumen secara hukum

tidak hanya terbatas kepada pembeli, bahkan kalau disimak secara cermat pengertian konsumen

sebagaimana terdapat di dalam Pasal 1 butir 2 UUPK, di situ tidak ada disebut kata pembeli,

pengertian pemakai dalam definisi tersebut di atas menunjukan bahwa barang atau jasa dalam

rumusan pengertian konsumen tidak harus sebagai hasil dan transaksi jual beli. Dengan

demikian, hubungan konsumen dengan pelaku usaha tidak terbatas hanya Karena berdasarkan

hubungan transaksi atau perjanjian jual beli saja, melainkan lebih dan pada hal tersebut

seseorang dapat disebut sebagai konsumen.38

Banyak negara secara tegas menetapkan siapa yang disebut sebagai konsumen dalam

perundang-undangannya, konsumen dibatasi sebagai "setiap orang yang membeli barang yang

disepakati, baik menyangkut harga dan cara-cara pembayarannya, tetapi tidak termasuk mereka

yang mendapatkan barang untuk dijual kembali atau lain-lain keperluan komersial.39

Pengertian konsumen secara otentik telah dirumuskan di dalam Undang-undang

Perlindungan Konsumen Pasal 1 angka 2 undang-undang No. 8 Tahun 1999. Dalam undang-

undang ini yang dimaksud dengan perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin

adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen, jelaslah bahwa

adanya undang-undang ini untuk melindungi kita sebagai konsumen karena selama ini konsumen

amat lemah posisinya.

37
Miru Ahmadi dan Yodo Sutarman, 2008. Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta, Raja Gratindo Persada, hlm 1
38
Siahaan N.H.T, 2005. Hukum Konsumen Perlindungan Konsumen Dan Tanggung Jawab Produk, Jakarta,
Pantai Rei, 2005 hlm 22-24
39
UU Perlindungan Konsumen 8 Tahun 1999 Pasal 7 huruf C.

44
45

Istilah konsumen berasal dan alih bahasa dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau

consument/itu tergantung dalam posisi dimana ia berada. Konsumen dapat berupa:

1. Pemakai barang hasil produksi;

2. Penerima pesan iklan;

3. Pemakai jasa (pelanggan).

Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang

disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang

menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Cakupan

perlindungan konsumen itu dapat dibedakan dalam dua aspek, yaitu:

1. Perlindungan terhadap kemungkinan barang yang diserahkan kepada konsumen tidak

sesuai dengan apa yang telah disepekati;

2. Perlindungan terhadap diberlakukannya syarat-syarat yang tidak adil kepada konsumen.

Keinginan yang hendak dicapai dalam perlindungan konsumen adalah menciptakan rasa

aman bagi konsumen dalam memenuhi kebutuhan hidup. Perlindungan konsumen harus

mendapatkan perhatian yang lebih, terutama konsumen muslim, dimana sebagian besar

penduduk Indonesia beragama Islam. Perlindungan konsumen merupakan hal yang

sangat penting dalam Islam. Karena dalam Islam, bahwa perlindungan konumen bukan

sebagai hubungan keperdataan saja, melainkan menyangkut kepentingan publik secara

luas, bahkan menyangkut hubungan antara manusia dan Allah Swt. Maka perlindungan

konsumen Muslim merupakan kewajiban negara. Dalam Islam, hukum perlindungan

konsumen mengacu kepada konsep halal dan haram, serta keadilan ekonomi berdasarkan

nilai-nilai atau prinsip-prinsip ekonomi Islam.

45
46

Aktivitas ekonomi Islam dalam perlindungan konsumen meliputi perlindungan terhadap

zat, distribusi, tujuan produksi, hingga pada akibat mengonsumsi barang dan/jasa tersebut.

Maka dalam Islam, barang dan/atau jasa yang halal dari segi zatnya dapat menjadi haram,

ketika cara memproduksi dan tujuan mengonsumsinya melanggar ketentuan-ketentuan

syara’. Karena itu pula, tujuan konsumen muslim berbeda dengan tujuan konsumen non-

muslim. Konsumen muslim dalam mengkonsumsi makanan atau minuman bertujuan untuk

mengabdi dan merealisasikan tujuan yang dikehendaki Allah Swt.

4.Asas-asas Perlindungan Konsumen

Karena konsumen masih banyak yang berada dalam posisi yang lemah. Dalam hal ini,

yang dimaksud dengan asas-asas perlindungan konsumen adalah:

1. Asas Manfaat

Hal ini dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan

perlindungan ini harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan

konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan;

2. Asas Keadilan:

Hal ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal

dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh

haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil;

3. Asas Keseimbangan:

memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah

dalam arti materiil ataupun spiritual;

4. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen:

46
47

untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam

penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau

digunakan;

5. Asas Kepastian Hukum:

dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan

memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara

menjamin kepastian hukum.

5. Tujuan Perlindungan Konsumen :

Asas-asas perlindungan. tersebut di atas, dipadankan dengan tujuan perlindungan

konsumen Pasal 3 UUPK menetapkan 6 tujuan perlindungan konsumen, yakni;

1) Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri

Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses

negative pemakaian barang dan/atau jasa

2) Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-

haknya sebagai konsumen.

3) Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum

dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.

4) Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen

sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha

5) Meningkatkan kualitas barang/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi

barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

47
48

Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini, merupakan isi pembangunan nasional

sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 sebelumnya, karena tujuan perlindungan konsumen yang

ada itu merupakan sasaran akhir yang dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di bidang hukum

perlindungan konsumen. Menurut Achmad Ali,40 mengatakan masing-masing undang-undang

memiliki tujuan khusus, hal itu juga tampak dan pengaturan pasal 3 Undang-Undang Konsumen,

sekaligus membedakan dengan tujuan umum sebagaimana dikemukakan berkenaan dengan

ketentuan pasal 2 di atas.

Undang-Undang no 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang satu pasalnya

mengatur tentang kewajiban bagi pelaku usaha Pasal 7 untuk memberikan informasi yang benar,

jelas, jujur mengenai kondisi produk tersebut, maka kita sebagai konsumen harus teliti sebelum

membeli. Kebenaran atas informasi produk makanan disarankan sangatlah penting bagi

konsumen khususnya konsumen muslim tentang halal atau tidak suatu produk makanan itu, label

halal pada suatu produk makanan merupakan sebuah infomasi yang berguna bagi konsumen

muslim, serta adanya ketentuan pada Pasal 8 yang menerangkan tentang perbuatan yang dilarang

bagi pelaku usaha yaitu tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana

pernyataan “halal” yang di cantumkan dalam label. Selama ini penelitian terhadap halal atau

haramnya suatu produk baru sebatas melayani permintaan saja, belum adanya kewajiban untuk

mencantumkan label halal atau pun jika produk tersebut tidak halal maka dapat ditulis dengan

jelas menggunakan bahasa yang dapat dimengerti oleh konsumen dari berbagai kalangan sebagai

bahan informasi bagi masyarakat khususnya konsumen muslim.

6. Pihak-Pihak yang Terkait dalam Perlindungan Konsumen

40
Achmad ali dalam Mini Ahmadi dan Yodo Sutarman, 2008. Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta, Raja Grafindo
Persada, hlm 34

48
49

1. Konsumen

Konsumen secara umum adalah pihak yang mengkonsumsi suatu produk. Istilah

konsumen berasal dari bahasa asing, consumer (Inggris); dan consumenten (Belanda).

Menurut kamus hukum Dictionary of Law Complete Edition konsumen merupakan pihak

yang memakai atau menggunakan barang dan jasa, baik untuk kepentingan diri sendiri

maupun untuk kepentingan orang lain. 41

Az. Nasution mengartikan konsumen adalah setiap pengguna barang atau jasa untuk

kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangga, dan tidak untuk memproduksi barang

atau jasa lain atau memperdagangkannya kembali.42

Arti konsumen di Indonesia sesuai dengan Pasal 1 angka (2) UUPK adalah: “Konsumen

adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi

kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk

diperdagangkan”.43Unsur-unsur konsumen dalam rumusan tersebut, ialah:

1) Setiap orang; Setiap orang adalah perseorangan dan tidak termasuk badan hukum

maupun pribadi hukum.

2) Pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat; Barang dan/atau jasa

yang dimaksud dapat diperoleh di tempat umum, misalnya pasar, supermarket dan toko.

3) Untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, atau mahluk hidup lain; Barang

dan/atau jasa digunakan, dipakai, dimanfaatkan tidak untuk keperluan konsumen, keluarga

konsumen atau orang lain.

4) Tidak untuk diperdagangkan. Barang dan/atau jasa digunakan, dipakai, dimanfaatkan

tidak untuk keperluaan komersil. Ada unsur yang sangat penting dari pengertian konsumen,
41
M. Marwan dan Jimmy. P, Kamus Hukum (Surabaya: Reality Publisher, 2009), hlm. 378.
42
Wahyu Sasongko, Op.Cit., hlm. 54.
43
Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, UU Nomor 8 Tahun 1999, TLN Nomor 3821,
Pasal 1 angka (2).

49
50

yaitu tentang maksud atau tujuan dilakukan pembelian tidak untuk dijual kembali, tetapi

untuk kepentingan pribadi. Mengenai bentuk dan cara dilakukannya perbuatan hukum atau

transaksi konsumen tidak diharuskan dalam bentuk tertentu, yang pokok adalah tujuan

dilakukannya transaksi bukan untuk bisnis, melainkan untuk kepentingan pribadi atau

personal. Perolehan suatu produk dapat dilakukan dalam berbagai cara dan bentuk perbuatan.

Seperti transaksi pembelian, sewa-menyewa yang dapat dilakukan dengan cara dan bentuk

yang berbeda-beda, namun tidak untuk tujuan bisnis. Unsur tidak untuk dijual kembali, sudah

seharusnya tidak masuk dalam pengertian konsumen, karena kegiatan pembelian untuk dijual

kembali adalah kegiatan dagang atau perbuatan perniagaan.

Dalam penjelasan Pasal 1 angka (2) UUPK juga dikatakan, di dalam kepustakaan

ekonomi dikenal dengan istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir

adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah

konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses suatu produk lainnya.

Pengertian konsumen dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir.44

Jadi jelas bahwa yang dimaksudkan dengan konsumen itu hanyalah orang pemakai akhir

dari suatu produk barang dan jasa. Dalam pengertian bahwa produk yang dibelinya tersebut

adalah untuk dikonsumsinya sendiri dan tidak untuk diperjualbelikan lagi. 45

Di Amerika Serikat, pengertian konsumen meliputi “korban produk cacat” yang bukan

hanya meliputi pembeli, tetapi juga korban yang bukan pembeli tetapi pemakai, bahkan

korban yang bukan pemakai memperoleh perlindungan yang sama dengan pemakai.

Sedangkan di Eropa, pengertian konsumen bersumber dari Product Liabillity Directive

44
M. Sadar, Moh. Taufik Makarao, Habloel Mawadi, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia (Jakarta:
Akademia, 2012), hlm.7.
45
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Liku-Liku Perjalanan UUPK (Jakarta: YLKI dan USAID), hlm. 4.

50
51

sebagai pedoman bagi negara MEE dalam menyusun ketentuan Hukum Perlindungan

Konsumen.46

2. Pelaku Usaha

Pelaku usaha sering diartikan sebagai pengusaha yang menghasilkan barang dan jasa.

Dalam pengertian ini termasuk didalamnya pembuat, grosir, leveransir dan pengecer

professional, yaitu setiap orang/badan yang ikut serta dalam penyediaan barang dan jasa

hingga sampai ke tangan konsumen. Sifat profesional merupakan syarat mutlak dalam hal

menuntut pertanggung jawaban dari produsen.47

Pasal 1 ayat (3) UUPK, memberikan pengertian pelaku usaha sebagai berikut:

“Pelaku Usaha adalah setiap perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan

hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan

kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-

sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”. 48

Pelaku usaha yang dimaksud dalam UUPK sama dengan cakupan produsen yang dikenal

di Belanda, karena produsen dapat berupa perorangan atau badan hukum. Dalam pengertian

pelaku usaha tersebut, tidaklah mencakup eksportir atau pelaku usaha di luar negeri, karena

UUPK membatasi orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum

maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan

dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia.49

Pengertian pelaku usaha yang bermakna luas tersebut, akan memudahkan konsumen

menuntut ganti kerugian. Konsumen yang dirugikan akibat penggunaan produk tidak begitu

46
Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo, Op.Cit., hlm. 7.
47
Janus Sidabalok, Op.Cit., hlm. 16.
48
Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen. UU Nomor 8 Tahun 1999 TLN Nomor 3821,
Pasal 1 ayat (3).
49
Abdul Halim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen (Bandung: Nusa Media, 2010), hlm. 38.

51
52

kesulitan dalam menemukan kepada siapa tuntutan diajukan, karena banyak pihak yang dapat

digugat, namun akan lebih baik lagi seandainya UUPK tersebut memberikan rincian

sebagaimana dalam Directive (pedoman bagi negara masyarakat Uni Eropa), sehingga

konsumen dapat lebih mudah lagi untuk menentukan kepada siapa ia akan mengajukan

tuntutan jika ia dirugikan akibat penggunaan produk.50

Sebagai penyelenggara kegiatan usaha, pelaku usaha adalah pihak yang harus

bertanggung jawab atas akibat-akibat negatif berupa kerugian yang ditimbulkan oleh

usahanya terhadap pihak ketiga, yaitu konsumen, sama seperti seorang produsen.51

Hubungan antara Konsumen dan Pelaku Usaha

Konsumen dan pelaku usaha merupakan subyek hukum dalam UUPK. Transaksi antara

kedua subyek hukum itu akan menentukan adanya hubungan hukum dan menjadi syarat

pokok untuk menentukan apakah suatu tuntutan atau gugatan dapat diajukan berdasarkan

UUPK atau tidak, sehingga dapat dikualifikasi sebagai tuntutan konsumen. Sehubungan

dengan hal itu, perlu dipelajari unsur-unsur dan karakter kedua subyek hukum tersebut.52

Hubungan antara konsumen dan pelaku usaha relevan dan memiliki arti penting dalam

penyusunan gugatan konsumen. Gugatan konsumen hanya dapat ditujukan kepada pihak-

pihak yang memiliki hubungan hukum. Karena dengan adanya hubungan hukum

menunjukkan adanya kepentingan hukum antar pihak yang berhubungan. Oleh karena itu,

gugatan konsumen yang terjadi karena hubungan hukum yang bersifat tak langsung akan

memperbanyak pihak-pihak yang akan digugat. Mulai dari pengecer sampai dengan

produser, atau cukup hingga ke agen saja.

50
Ibid.
51
Janus Sidabalok, dalam buku Perlindungan Konsumen hlm. 17.
52
Wahyu Sasongko, Op.Cit. hlm 53.

52
53

Dalam transaksi konsumen yang bersifat tak langsung dengan pelaku usaha akan

melibatkan pihak-pihak yang banyak terlihat. Dalam mata rantai bisnis, suatu produk yang

dihasilkan oleh pabrik akan menempuh proses dari pihak-pihak tertentu hingga sampai di

pasar dan akhirnya jatuh ke tangan konsumen. Dalam praktiknya ada beragam jenis dan

nama dalam mata rantai bisnis, yang secara yuridis sulit membedakannya dan mencari

padanan istilah yang tepat ke dalam bahasa Indonesia. Pelaku usaha akan banyak terdiri dari

banyak pihak, antara lain:

1) Produser (Produce );

2) Importer;

3) Agen (Agent );

4) Kantor Cabang (Branch Office);

5) Kantor Perwakilan (Representatives Office);

6) Perantara (Broker);

7) Pedagang (Trader);

8) Dealer;

9) Penyalur (Distributor);

10) Grosir (Wholeseller);

11) Pengecer (Reatiler).

Hubungan tak langsung antara konsumen dan pelaku usaha akan menyulitkan konsumen

dalam melakukan penuntutan. Untuk itu, perlu cara khusus dalam pengajuan gugatan atau

tuntutan konsumen. Transaksi konsumen yang bersifat langsung akan lebih memudahkan

konsumen dalam melakukan penuntutan atau meminta tanggung jawab pelaku usaha atas

produk atau prestasi yang diberikan. Hubungan langsung antara konsumen dan pelaku usaha,

53
54

misal dalam transaksi konsumen sebagai pelanggan jasa reparasi kendaraan motor dan montir

atau konsumen pengguna jasa catering (jasa boga) akan memudahkan dalam menggugat

karena pihaknya hanya penyedia jasa itu sebagai tergugatnya.

Hubungan hukum bersifat langsung antara konsumen dan penyedia jasa pelayanan.

Hubungan antara konsumen dan pelaku usaha merupakan hubungan hukum yang umumnya

didasari pada transaksi berupa kontrak atau kesepakatan (agreement) dari kedua belah pihak.

Hubungan hukum adalah hubungan antar subyek hukum yang dilakukan menurut hukum

yang dapat berupa ikatan hak dan kewajiban.

3. Pemerintah

Peranan pemerintah sebagai pemegang regulasi dan kebijakan sangat penting. Tanggung

jawab pemerintah dalam melakukan pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen

dimaksudkan untuk memberdayakan konsumen agar mendapat hak-haknya, sementara itu

tanggung jawab pemerintah dalam melakukan pengawasan penyelenggaraan perlindungan

konsumen juga menjadi bagian yang penting dalam upaya membangun kegiatan usaha yang

positif dan dinamis, sehingga hak-hak konsumen tetap bisa diperhatikan oleh para pelaku

usaha.

Upaya pemerintah untuk melindungi konsumen dari produk yang merugikan dapat

dilaksanakan dengan cara mengatur, mengawasi, serta mengendalikan produksi, distribusi

dan peredaran produk sehingga konsumen tidak dirugikan, baik kesehatannya maupun

keuangannya.

Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dan kebijaksanaan yang akan dilaksanakan, maka

langkah-langkah yang dapat ditempuh pemerintah adalah:

1) Registrasi dan penilaian;

54
55

2) Pengawasan produksi;

3) Pengawasan distribusi;

4) Pembinaan dan pengembangan usaha;

5) Peningkatan dan pengembangan prasarana dan tenaga.

Peranan pemerintah sebagaimana disebutkan diatas dapat dikategorikan sebagai peranan

yang berdampak jangka panjang sehingga perlu dilakukan secara terus menerus memberikan

penerangan, penyuluhan dan pendidikan bagi semua pihak. Dengan demikian, tercipta

lingkungan berusaha yang sehat dan berkembangnya pengusaha yang bertanggung jawab.

Termasuk disini menciptakan pasar yang kompetitif dengan berangsur-angsur

menghilangkan monopoli dan proteksi. Dalam jangka pendek, pemerintah dapat

menyelesaikan secara langsung dan cepat masalahmasalah yang timbul.

7. Perkembangan Hukum Perlindungan Konsumen

Ahmadi Miru dalam bukunya yang berjudul Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi

Konsumen di Indonesia, menyebutkan bahwa:

Lambannya perkembangan perlindungan konsumen di negara berkembang yang

perkembangan industrinya baru pada tahap permulaan karena sikap pemerintah pada umumnya

masih melindungi kepentingan industri yang merupakan faktor yang esensial dalam

pembangunan suatu negara. Akibat dari perlindungan kepentingan industri pada negara

berkembang termasuk Indonesia tersebut, maka ketentuan-ketentuan hukum yang bermaksud

untuk memberikan perlindungan kepada konsumen atau anggota masyarakat kurang berfungsi

karena tidak diterapkan secara ketat. Walaupun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa usaha

pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada konsumen telah dilakukan sejak lama,

hanya saja kadang tidak disadari bahwa pada dasarnya tindakan tertentu yang dilakukan oleh

55
56

pemerintah merupakan usaha untuk melindungi kepentingan konsumen. Hal ini dapat dibuktikan

dengan dikeluarkannya berbagai ketentuan perundang-undangan yang apabila dikaji, maka

peraturan perundang-undangan tersebut sebenarnya memuat ketentuan yang memberikan

perlindungan kepada konsumen, walaupun dalam konsiderans peraturan perundang-undangan

tersebut tidak disebutkan untuk tujuan perlindungan konsumen.53

Selanjutnya, untuk menjamin dan melindungi kepentingan konsumen atas produk barang

yang dibeli, sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

lahir, maka peraturan perundang-undangan yang mengaturnya adalah sebagai berikut:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), Kitab Undang-Undang Hukum

Dagang (KUHD) yang merupakan produk peninggalan penjajahan bangsa Belanda, tetapi telah

menjadi pedoman dalam menyelesaikan kasus-kasus untuk melindungi konsumen yang

mengalami kerugian atas cacatnya barang yang dibelinya.meskipun KUH Per dan KUHD itu

tidak mengenal istilah konsumen, tetapi di dalamnya dijumpai istilah “pembeli”, “penyewa”,

“tertanggung”, atau “penumpang”, yang tidak membedakan apakah mereka sebagai konsumen

akhir atau konsumen antara;

2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Barang. Penerbitan undang-undang ini

dimaksudkan untuk menguasai dan mengatur barang-barang apapun yang diperdagangkan di

Indonesia;

3. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1964 tentang Standar Industri. Peraturan

pemerintah ini merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961. Salah satu

tujuan dari standar industry itu adalah meningkatkan mutu dan hasil industry;

53
Ahmadi Miru, 2011, Op. Cit. hal. 67.

56
57

4. Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 81/M/K/SK/2/1974 tentang Pengesahan

Standar Cara-cara Analisis dan Syarat-syarat Mutu Bahan Baku dan Hasil Industri.54

Selanjutnya, dalam perkembangannya pada tanggal 20 April 1999 Pemerintah Republik

Indonesia telah mengeluarkan suatu kebijakan baru mengenai perlindungan konsumen dengan

diberlakukannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang

dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42 dan Tambahan

Lembaran Negara Indonesia Nomor 3821. Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini berlaku

efektif pada tanggal 20 April 2000, yang merupakan awal pengakuan perlindungan konsumen

dan secara legitimasi formal menjadi sarana kekuatan hukum bagi konsumen dan tanggung

jawab pelaku usaha sebagai penyedia/pembuat produk bermutu.

Pengertian perlindungan konsumen termaktub dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menegaskan bahwa:

Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum

untuk memberi perlindungan kepada konsumen.

Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal 1 angka (1)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut

Undang-Undang Perlindungan Konsumen/UUPK), Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo

menyebutkan bahwa:

Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”,

diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan

pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen. Meskipun undang-undang

ini disebut sebagai Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) namun bukan berarti

54
Adrian Sutedi, 2008, Tanggung Jawab Produk Dalam Huku Perlindungan Konsumen, Bogor: Ghalia
Indonesia, Hal. 4.

57
58

kepentingan pelaku usaha tidak ikut menjadi perhatian, teristimewa karena keberadaan

perekonomian nasional banyak ditentukan oleh para pelaku usaha.55

8. Penyelesaian Sengketa Konsumen

1. Pengertian Sengketa Konsumen

Sengketa konsumen merupakan sengketa berkenaan dengan pelanggaran hak-hak konsumen.

Adapun ruang lingkup sengketa tersebut mencakup semua segi hukum, baik keperdataan, pidana

maupun tata Negara. Oleh karena itu, tidak digunakan istilah “ sengketa transaksi konsumen “

karena yang terakhir ini berkesan lebih sempit, yang hanya mencakup aspek hokum keperdataan.

Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) tidak memberikan batasan apakah yang

dimaksud dengan sengketa konsumen. Kata-kata sengketa konsumen dijumpai pada beberapa

bagian Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu:56

a. Penyebutan sengketa konsumen sebagai bagian dari sebutan institusi administrasi negara yang

menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen, dalam hal ini Badan Penyelesaian

Sengketa Konsumen (BPSK) (Pasal 1 butir 11 Undang-Undang Perlindungan Konsumen

(UUPK) jo. Bab XI UUPK.

b. Penyebutan sengketa konsumen menyangkut tata cara atau prosedur penyelesaian sengketa

terdapat pada Bab X Penyelesaian Sengketa. Pada Bab ini digunakan penyebutan sengketa

konsumen secara konsisten, yaitu: Pasal 45 ayat (2) dan Pasal 48 UUPK.

Ada beberapa kata kunci untuk memahami pengertian sengketa konsumen dalam kerangka

UndangUndang Perlindungan Konsumen (UUPK) dengan menggunakan metode penafsiran,

yaitu:

55
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2011, Op. Cit., Hal. 1.
56
Yusuf Shofie, 2003, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen
(UUPK) Teori dan Praktek Penegakan Hukumnya, Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti, hal. 12.

58
59

Pertama, batasan konsumen dan pelaku usaha sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 Angka 2

dan Pasal 1 Angka 3, sebagai mana berikut:

“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia

dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, arang lain,

maupun mahkluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan” (Pasal 1 angka 2

UUPK).

“Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang

berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan

berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara

Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian

menyelenggarakankegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi” (Pasal 1

angka 3 UUPK).

Kedua, batasan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) pada Pasal 1 angka 11 UUPK

menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan “sengketa konsumen”, yaitu sengketa antara pelaku

usaha dan konsumen. Pelaku usaha disitu, yaitu:

1. Setiap orang atau individu.

2. Badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum.

Selengkapnya pasal tersebut berbunyi: “Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah

badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan

konsumen”.

Menurut Pasal 45 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,

menyebutkan:

59
60

1. Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang

bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang

berada di lingkungan peradilan umum;

2. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan diluar pengadilan

berdasarkan pilihan yang berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa;

3. Penyelesaian sengketa diluar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak

menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang;

4. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan gugatan

melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh

salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa;

Menurut Pasal 46 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, bahwa:

1. Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:

a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;

b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;

c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu

berbentuk badan hukum atau yayasan, dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas

bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen

dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.

2. Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau

dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.

60
61

3. Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen

swadaya masyarakat, atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, atau

huruf d dengan Peraturan Pemerintah.

Berdasarkan penjelasan Pasal 46 Ayat (1) huruf b dan huruf d Undang-Undang No.8 Tahun 1999

Tentang Perlindungan Konsumen:

Undang-Undang ini mengakui gugatan kelompok atau class action. Gugatan kelompok atau

class action harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan

secara hukum, salah satu diantaranya adalah bukti transaksi. Tolak ukur kerugian materi yang

besar dan/atau korban yang tidak sedikit yang dipakai adalah besar dampaknya terhadap korban.

Namun dalam hal ini urutan-urutan yang seharusnya di gugat oleh konsumen manakala di

rugikan oleh para pelaku usah adalah:

1. Pertama di gugat adalah pelaku usaha yang membuat produk tersebut jika berdomisili di

dalam Negeri dan domisilinya di ketahui oleh konsumen yang di rugikan;

2. Apabila produk yang di rugikan konsumen tersebut di produksi di luar negeri, maka yang di

gugat adalah importirnya, karena UUPK tidak mencangkup pelaku usah di luar Negeri. Jika yang

digugat adalah pelaku usaha di luar negeri maka konsumen dapat mendesak lembaga pemerintah

untuk mengajukan Nota Protes terhadap negara yang bersangkutan.

3. Apabila produsen mapun importir dari suatu produk tidak di ketahui, maka yang di gugat

adalah penjual dari siapa konsumen membeli barang tersebut.

Urutan-urutan di atatas tentu saja hanya di berlakukan jika suatu produk mengalami cacat pada

saat di produksi, karena barang-barang mengalami kecacatan pada saat sudah di dalam luar

kontrol atau di luar kesalahan pelaku usaha yang memproduksi produk tersebut.

61
62

B. Tinjauan Umum Pelaku Usaha

1. Pengertian Pelaku Usaha

Berdasarkan Product Liability Directive (selanjutnya disebut Directive) sebagai pedoman

bagi negara MEE (Masyarakat Ekonomi Eropa) dalam menyusun ketentuan mengenai Hukum

Perlindungan Konsumen (dalam Ahmadi Miru, 2011: 22) menjelaskan pengertian pelaku

usaha /produsen adalah pembuat produk akhir, produsen dari setiap bahan mentah, atau pembuat

dari satu suku cadang dan setiap orang yang memasang nama, mereknya atau satu tanda

pembedaan yang lain pada produk, menjadikan dirinya sebagai produsen;

Sedangkan dalam Pasal 1 angka 3 UUPK dijelaskan pengertian pelaku usaha yang

berbunyi :

“Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan

hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan

dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersamasama melalui

perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.

Dapat disimpulkan bahwa pengertian pelaku usaha/produsen adalah seseorang,

kelompok, atau badan usaha baik yang berbadan hukum ataupun yang tidak berbadan hukum,

yang membuat, mengedarkan, atau memasarkan barang/jasa untuk kepentingan komersial.

2. Hak Pelaku Usaha

Untuk menciptakan kenyamanan berusaha bagi para pelaku usaha dan sebagai

keseimbangan atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen, maka pelaku usaha juga memiliki

hak-haknya sendiri. Menurut Celina Tri Siwi Kristiyanti (2009: 25) hak-hak pelaku usaha dapat

ditemukan antara lain pada faktor-faktor yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab

62
63

atas kerugian yang diderita oleh konsumen, meskipun kerusakan timbul akibat cacat produk,

yaitu apabila :

a. Produk tersebut sebenarnya tidak diedarkan;

b. Cacat timbul di kemudian hari;

c. Cacat timbul setelah produk berada di luar kontrol produsen;

d. Barang yang diproduksi secara individual tidak untuk keperluan produksi;

e. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan yang ditetapkan oleh penguasa

Selanjutnya diuraikan lebih jelas lagi mengenai hak-hak pelaku usaha dalam Pasal 6

UUPK, yaitu:

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai

tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa

konsumen;

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen

tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

e. Hakhak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.

Pada umumnya untuk hak pelaku usaha dalam Pasal 6 UUPK di atas jarang dilanggar oleh

konsumen, namun menjadi fatal jika terjadi pada poin keempat, dimana jika nama baik pelaku

usaha sudah tercoreng, maka sulit untuk memperbaiki/merehabilitasi nama baik tersebut, oleh

karena itu pelaku usaha juga harus bertindak jujur dan hati-hati terhadap konsumen.

63
64

Kewajiban Pelaku Usaha

Sebagai konsekuensi dari hak konsumen yang telah disebutkan, maka kepada pelaku usaha

dibebankan pula kewajiban-kewajiban yang diatur dalam Pasal 7 UUPK, dimana diuraikan

kewajiban pelaku usaha yaitu :

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya. Beritikad baik maksudnya adalah

pelaku usaha tidak ada niat atau rencana untuk mengelabui konsumen guna memperoleh

keuntungan dengan tidak menghiraukan hak-hak konsumen.

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang

dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. Informasi

menjadi poin penting karena menjadi dasar pertimbangan konsumen dalam memilih suatu

produk barang atau jasa, sehingga pelaku usaha memiliki kewajiban untuk memberikan

informasi yang benar, jujur dan apa adanya mengenai kondisi dan spesifikasi barang atau jasa

yang diperjual belikan.

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

Pelaku usaha harus memperlakukan konsumen secara setara dan tidak membeda-bedakan satu

dengan yang lainnya. Konsumen harus diperlakukan sama apapun latar belakangnya.

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan

berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku. Hal ini sangat penting,

karena jika tidak ada jaminan kelayakan barang atau jasa, otomatis barang atau jasa yang

diperjual belikan tidak sesuai dengan standar mutu yang berlaku, dan akibatnya konsumen

sendiri yang akan dirugikan.

64
65

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang

dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau

yang diperdagangkan. Konsumen berhak untuk menguji kelayakan barang yang akan di beli atau

dipakainya, kemudian ada jaminan yang harus diberikan dengan tujuan melindungi hak-hak

konsumen.

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,

pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Jika ada kerusakan

barang atau ketidaklayakan yang bukan disebabkan oleh konsumen, maka pelaku usaha wajib

memberikan ganti rugi atau penggantian kepada konsumen sesuai dengan jaminan/garansi yang

berlaku.

g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang

diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Kompensasi dan penggantian juga

wajib diberikan kepada konsumen jika barang yang disepakati tidak sesuai dengan kriteria yang

disebutkan karena hal tersebut sama saja dengan membohongi/mengelabui konsumen.

3. Perbuatan yang dilarang bagi Pelaku Usaha

Dalam kewajiban itu juga terdapat larangan, dimana larangan adalah cakupan dari

kewajiban. Meskipun secara prinsip kegiatan pelaku usaha pabrikan dengan pelaku usaha

distributor berbeda, namun undang-undang tidak membedakan kewajiban yang harus dipenuhi

oleh kedua pelaku tersebut, demikian juga berbagai larangan yang dikenakan untuk keduanya.

Larangan-larangan bagi pelaku usaha diatur dalam Pasal 8 sampai dengan 17 UUPK. Pelaku

usaha dilarang memproduksi, memperdagangkan barang maupun jasa yang (Pasal 8 ayat (1)

UUPK):

65
66

a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan

peraturan perundang-undangan;

b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan

sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;

c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut

ukuran yang sebenarnya;

d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana

dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau

penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa

tersebut;

f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau

promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;

g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan

yang paling baik atas barang tertentu;

h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang

dicantumkan dalam label;

i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang,

ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat

sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut

ketentuan harus di pasang/dibuat;

j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa

Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang- undangan yang berlaku.

66
67

Selanjutnya, pelaku usaha juga tidak diperbolehkan untuk memperdagangkan barang atau

jasa yang tidak layak. Menurut Gunawan Widjaja & Ahmad Yani ketidaklayakan di sini adalah

mengenai hal yang berhubungan dengan karakteristik maupun sifat dari barang atau jasa yang

diperdagangkan.

Kelayakan produk merupakan standar minimum yang harus dipenuhi atau dimiliki oleh satu

barang dan/atau jasa tertentu sebelum barang atau jasa tersebut diperdagangkan untuk

dikonsumsi oleh masyarakat luas. Mengenai larangan kelayakan satu barang dapat dilihat dalam

Pasal 8 ayat (2) UUPK dimana pelaku usaha dilarang untuk “memperdagangkan barang yang

rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas

barang dimaksud”.

Informasi memang merupakan hal penting bagi konsumen, karena melalui informasi

konsumen dapat menentukan pilihan akan barang atau jasa yang akan digunakan. Atas dasar

itulah pelaku usaha harus memberikan informasi secara benar mengenai keadaan barang atau

jasa yang ditawarkan. Pelaku usaha seharusnya tidak hanya memberikan informasi mengenai

kelebihan dari barang atau jasa yang ditawarkan, tetapi juga memberikan informasi mengenai

kekurangan yang ada pada barang atau jasa yang ditawarkan. Dalam Pasal 8 ayat (3) UUPK

dijelaskan bahwa pelaku usaha dilarang “memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang

rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap

dan benar”.

Ketentuan tentang pemberian informasi dalam hal periklanan juga tidak kalah penting,

dimana pelaku usaha harus memperhatikan standar-standar aturan yang berlaku dalam

mempromosikan suatu barang atau jasa yang ditawarkan. Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani

67
68

menjelaskan bahwa dalam tata krama dan tata cara periklanan Indonesia dikatakan jika

periklanan merupakan salah satu sarana pemasaran dan sarana penerangan yang memegang

peranan penting dalam pembangunan bangsa Indonesia.57 Sehubungan dengan itu :

1. Iklan harus jujur, bertanggung jawab, dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku;

2. Iklan tidak boleh menyinggung perasaan dan/atau merendahkan martabat, agama, tata

susila, adat, budaya, suku, dan golongan;

3. Iklan harus dijiwai oleh persaingan yang sehat.

Dalam Pasal 9 ayat (1) UUPK juga diuraikan hal-hal yang dilarang bagi pelaku usaha

mengenai penyalahgunaan informasi produk atau jasa dalam bidang periklanan, dimana

pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang atau

jasa secara tidak benar atau seolah-olah:

a. Barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar

mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;

b. Barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;

c. Barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan,

perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu;

d. Barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor,

persetujuan atau afiliasi;

e. Barang dan/atau jasa tersebut tersedia;

f. Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;

g. Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;

h. Barang tersebut berasal dari daerah tertentu;

i. Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;
57
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani (Jakarta, PT Media Utama 2003 hlm 42)

68
69

j. Menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak

mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap;

k. Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.

Sebagai tambahan mengenai larangan dalam tawaran, promosi, dan iklan suatu barang atau

jasa yang tidak dibenarkan disinggung juga dalam Pasal 10 UUPK yang berbunyi “Pelaku usaha

dalam menawarkan barang dan/atau jasa (untuk dijual) dilarang menawarkan, mempromosikan,

mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai harganya,

kegunaannya, kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;

tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan; serta tentang bahaya penggunaan

barang dan/atau jasa”.

Secara lebih umum mengenai larangan Pelaku usaha dalam memproduksi iklan dijelaskan

dalam Pasal 17 UUPK yaitu “Pelaku Usaha dalam hal periklanan dilarang memproduksi iklan

yang mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang

dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa; mengelabui

jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa; memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak

tepat mengenai barang dan/atau jasa; tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang

dan/atau jasa; mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau

persetujuan yang bersangkutan; melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-

undangan mengenai periklanan.

Tidak hanya mengatur tentang periklanan dan promosi saja, UUPK juga mengatur ketentuan

pelaku usaha tentang obral dan lelang, hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya pelanggaran

hak-hak konsumen dimana kita tahu bahwa konsumen di Indonesia selalu mudah tergiur jika ada

barang yang diobral atau dilelang. Dalam Pasal 11 UUPK diuraikan tentang cara obral dan

69
70

lelang yang tidak boleh dilakukan oleh pelaku usaha, dimana pelaku usaha dilarang

mengelabui/menyesatkan konsumen dengan:

i. Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar

mutu tertentu;

ii. Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat

tersembunyi;

iii. Tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud

untuk menjual barang lain;

iv. Tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup

dengan maksud menjual barang yang lain;

v. Tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup

dengan maksud menjual jasa yang lain;

vi. Menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral.

Perbuatan lain yang tidak boleh dilakukan terkait promosi barang adalah jika Pelaku

usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa

dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak

bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan,

dipromosikan, atau diiklankan (Pasal 12 UUPK).

Sering kali kita melihat iklan atau penawaran barang secara berlebihan dengan

menjanjikan hadiah atau bonus yang tidak sesuai dengan kenyataan yang dijanjikan. Seperti yang

diatur dalam Pasal 13 ayat (1) UUPK, yang berbunyi “Pelaku usaha dilarang menawarkan,

mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian

hadiah berupa barang atau jasa lain secara cuma- cuma dengan maksud tidak memberikannya

70
71

atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya (merencanakan kebohongan)”. Pelaku

usaha juga dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat tradisional,

suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan

pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain (Pasal 13 ayat (2) UUPK).

Masih terkait dengan undian berhadiah, Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa

yang ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang

untuk: tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan; mengumumkan

hasilnya tidak melalui media masa; memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;

mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan (Pasal 14 UUPK)

Hal lain yang dilarang bagi konsumen adalah melakukan pemaksaan terhadap konsumen

dalam menawarkan barang dan jasa. Hal tersebut dilarang karena jelas-jelas melanggar hak

konsumen dalam menentukan pilihan sesuai apa yang diharapkan tanpa ada keterpaksaan.

Dijelaskan dalam Pasal 15 UUPK bahwa “Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa

dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan

baik fisik maupun psikis terhadap konsumen”.

Pelayanan adalah hal penting dalam memberikan kepuasan terhadap konsumen. Salah

satu pelayanan terhadap konsumen adalah pelayanan dalam bentuk pesanan, dimana pelaku

usaha dituntut agar dapat menepati pesanan sesuai kesepakatan dengan konsumen. Dalam Pasal

16 UUPK dijelaskan bahwa “Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui

pesanan dilarang untuk: tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai

dengan yang dijanjikan; dan tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi”.

Secara umum, penjelasan tentang larangan bagi pelaku usaha dalam Undang-Undang

Perlindungan Konsumen lebih menekankan pada pencegahan perbuatan pelaku usaha yang

71
72

berusaha untuk mengelabuhi konsumen dalam memperoleh keuntungan tanpa memperdulikan

hak-hak konsumen.

4.Tanggung Jawab Pelaku Usaha

UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN BAB VI tentang TANGGUNG

JAWAB PELAKU USAHA

 Pasal 19

(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran,

dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau

diperdagangkan

(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau

penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan

dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

(3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah

tanggal transaksi.

(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak

menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut

mengenai adanya unsur kesalahan.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila

pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen

Pasal 20

72
73

Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat

yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.

Pasal 21

(1) Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila

importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri

(2) Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila penyediaan jasa

asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing

Pasal 22

Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab

pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian

Pasal 23

Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi

ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat

(3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan

ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.

Pasal 24

(1) Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain

bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila

73
74

a. pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun atas

barang dan/atau jasa tersebut.

b.pelaku usaha lain, didalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan

barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu,

dan komposisi

(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab

atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli

barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas

barang dan/atau jasa tersebut

Pasal 25

(1) Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam

batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang dan/atau

fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan

(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas tuntutan

ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut

a. tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan

b. tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.

Pasal 26

Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi

yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.

Pasal 27

Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dan tanggung jawab atas kerugian

yang diderita konsumen, apabila :

74
75

a. barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan

b. cacat barang timbul pada kemudian hari

c. cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;

d. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen

e. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka

waktu yang diperjanjikan.

Pasal 28

Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung

jawab pelaku usaha.

C. Tinjauan Umum tentang Klinik

1. Pengertian Klinik

Merupakan organisasi kesehatan yang bergerak dalam penyediaan pelayanan kesehatan

kuratif (diagnosis dan pengobatan), biasanya terhadap satu macam gangguan kesehatan.58

Pengertian Kecantikan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, cantik kecantikan

adalah keelokan, kemolekan. Kecantikan terdiri dari dua macam yaitu, kecantikan dalam (inner

beauty) dan kecantikan luar (outer beauty).Outer beauty atau kecantikan luar memang dapat

direfleksikan dengan bentuk wajah yang ayu, cantik, dan enak dilihat.Sedangkan inner beauty

adalah personality (kepribadian) seorang perempuan, bagaimana sikapnya terhadap siapa saja,

bagaimana keanggunan atau juga sisi feminine yang diimpresikan oleh perempuan.
58
Kamus Bahasa Indonesia edisi empat, Hal 708. Jakarta: PT. Gramedia; diakses Maret 2015

75
76

Pengertian Klinik Kecantikan

Klinik kecantikan merupakan sebuah klinik yang menawarkan jasa pelayanan perawatan

baik pada kulit, rambut, kuku.Menawarkan pelayanan jasa di bidang perawatan kesehatan dan

kecantikan kulit, rambut, kuku, dan lainnya.Beberapa klinik kecantikan yang sekarang banyak

dijumpai di wilayah ibukota adalah klinik kecantikan 10 yang mengkombinasikan pelayanan

kecantikan wajah maupun tubuh, dan konsultasi kesehatan kulit, serta pelayanan tambahan

seperti spa, massage, dan manicure pedicure.

Fungsi Klinik Kecantikan

Fungsi klinik kecantikan merupakan suatu tempat untuk melakukan konsultasi dan

perawatan terhadap tubuh, wajah, kulit, rambut dan kuku dengan dilakukan oleh ahli kecantikan

dan dokter spesialis.Mengembalikan kebugaran tubuh.Serta mempercantik penampilan dari

setiap pengunjung yang menggunakan fasilitas dari klinik kecantikan.

Tujuan Klinik Kecantikan

Tujuan utama pembuatan klinik kecantikan pada umumnya ingin menjadikan para

pengunjungnya terbebas dari berbagai masalah kesehatan tubuh, memberikan keindahan wajah,

tubuh, kuku dan rambut.sehingga tampak cantik, bersih, sehat, dan natural dari rambut hingga

ujung kaki. Serta merelaksasikan kembali kondisi tubuh yang merasakan ketegangan.

Trend Klinik Kecantikan Tradisonal Saat ini wanita sudah menganggap kecantikan

bukan hanya sekedar kebutuhan sekunder melainkan kebutuhan primer.Adanya keinginan untuk

menjadi lebih cantik juga didasari berbagai faktor yang mendukung seperti, pengaruh lingkungan

yang tidak sehat, terutama di ibukota.Sejak jaman dulu wanita Indonesia memanfaatkan

kekayaan alam untuk merawat kecantikan diri.Trend ini kembali popular belakangan ini dengan

76
77

meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan dan lingkungan. Filosofi kecantikan

tradisional Indonesia percaya bahwa kecantikan fisik seorang perempuan akan muncul dari

dalam diri, terkait dengan ketenangan jiwa. Apa yang ada dalam hati akan muncul keluar

menciptakan keseimbangan alami antara kecantikan dan kesegaran fisik.

Fakta telah membuktikan bahan dasar perawatan kecantikan akan terserap melalui kulit

masuk, ke aliran darah dalam tubuh. Sementara perawatan kecantikan berbahan dasar kimia,

tidak semuanya aman bagi kesehatan.Fakta inilah yang memicu tumbuhnya tren perawatan

kecantikan tradisional saat ini.Konsep spa sekarang ini telah berkembang dengan cepat dalam

beberapa dekade terakhir. Ide dari spa tradisional adalah tempat relaksasi, di mana orang dapat

memasukkan zona yang damai dan mewah dalam perawatan diri, seperti facial,totok auradan

manicure pedicure.

Pembagian Perawatan di Klinik Kecantikan Berdasarkan Area Klinik kecantikan dibagi

atas dua area perawatan, yaitu area ruang khusus tindakan perawatan kesehatan kulit, terutama

kulit wajah, kulit tubuh yang melalui proses treatment perawatan seperti facial, totok aura, dan

perawatan tubuh seperti mengembalikan vitalitas dan kebugaran serta kecerahan kulit badan

penangan dan aktifitas yang dilakukan hanya dapat dilakukan dalam sebuah ruang khusus.

Sedangkan diluar perawatan kulit seperti Perawatan Rambut, Make-Up, dan Manicure Pedicure

dalam dilakukan dalam satu area yang multifungsi dapat disebut dengan area salon.

Area Tindakan Perawatan yang dilakukan adalah:

a. Facial

Merupakan salah satu perawatan wajah yang dilakukan semua wajah senantiasa terjaga

kebersihanny, kesehatannya, serta kecantikannya.Ada juga yang mengartikan facial adalah

77
78

prosedur cosmetic nonivasif untuk peremajaan kulit yang dapat memperbaiki penampilan.

Dilakukan agar wajah lebih segar, sehat, kencang, dan terlihat lebih muda.

b. Totok Aura Wajah

Adalah teknik penekanan jari sambil menyalurkan tenaga dalam atau prana atau

bioenergi kedalam tubuh.Teknik tekannya disebut akupresur.Cara kerja akupresur sama dengan

akupuntur, yakni merangsang titik-titik yang ada di tubuh, menekannya hingga masuk ke sistern

saraf. Bila penerapan akupuntur memakai jarum, akupresur hanya memakai gerakan dan tekanan

jari, yaitu jenis tekan putar, tekan titik, dan tekan lurus.

c. Totok Aura Tubuh

Totok aura tubuh bermanfaat melancarkan peredaran darah, sistem metabolisme,

memberikan efek rileksasi pada otot tubuh akibat ketegangan, stres, kelelahan, 12 mengurangi

rematik, sakit pinggang, pegal linu, meluruhkan lemak tubuh, meringankan penyakit susah tidur,

dan membuat tidur lebih nyenyak. Proses yang dilakukan tidak jauh berbeda dengan totok aura

wajah.

2. Tenaga Kerja dalam Klinik Kecantikan

Dalam klinik Kecantikan Dura Skin terdapat :

Pimpinan Dura Skin Clinic

Bertugas untuk perencanaan, mengkoordinasi, mengarahkan dan mengatur semua

kegiatan pelayanan Beauty Aesthatic Clinic. Melakukan pengawasan dan evaluasi

terhadap seluruh kegiatan prima dalam klinik kecantikan. Serta menjalin hubungan baik

dengan mitra kerja, perusahaan produk kecantikan serta dengan masyarakat sekitar.

a. Dokter Kulit DuraSkin Clinic

78
79

Memberikan solusi dan pemeriksaan yang benar terhadap konsumen, memberikan

pembinaan dan pengarahan kepada Beautician (pelayan treatment) demi kelancaran

pelayanan yang diberikan oleh DuraSkin Clinic. Serta bertanggung jawab terhadap

ketentuan dan keputusan pelayanan yang akan diberikan kepada konsumen/pasien.

b. Beautician

Melaksanakan pelayanan untuk pasien sesuai dengan arahan yang telah diberikan oleh

dokter kulit. Melakukan kegiatan pelayanan sesuai dengan standart operasional

procedure. Mempersiapkan dan menyampaikan jenit treatment yang akan diberikan serta

memberikan laporan kepada dokter kulit mengenai perkembangan pasien selama

pelayanan.

c. Bagian administrasi

Menyiapkan dan melayani kebutuhan perlengkapan, sarana, dan prasarana klinik.

Mengelola berkas-berkas keperluan stok produk, rekapan pelayanan yang dilakukan

pasien, rekapan pembelian produk oleh pasien dan menerima tugas yang relevan dengan

bidangnya dari pimpinan. Serta bertanggung jawab kepada pimpinan dan pelaksanaan

berbagai pelayanan di klinik.

d. Bendahara

Menerima dan mengelola pembayaran dari pasien yang berhubungan dengan pelayanan

yang diberikan oleh DuraSkin Clinic, membuat laporan pembukuan atau laporan

keuangan, melayani dan mengelola pembayaran honorarium para pegawai DuraSkin

Clinic dan melakukan tugas yang relevan dengan bidangnya yang diberikan oleh

pimpinan. Serta bertanggung jawab kepada pimpinan atas keuangan DuraSkin Clinic

Centre.

79
80

3. Pencatatan dalam Klinik Kecantikan

Gambaran proses pencatatan dalam klinik, pertama melakukan registrasi untuk

mendapatkan kartu anggota/kartu pasien DuraSkin Clinic Centre. Setelah melakukan

registrasi dan mendapatkan kartu anggota, pasien meletakkan kartu anggota di tempat

antrian resepsionis hingga giliran pasien dipanggil oleh resepsionis dan melakukan

konsultasi dengan dokter kulit DuraSkin Clinic Centre terkait keluhan pasien.

Kemudian dokter memberitahukan treatmen dan produk apa yang akan dipakai pasien

untuk keluhannya tersebut. Pasien selanjutnya keruangan obat atau bagian berbagai

macam produk yang disediakan oleh DuraSkin untuk mendapatkan produk yang

sesuai dengan keluhan pasien kemudian melakukan pembayaran untuk treatment dan

produk yang digunakan.

Dalam pencatatan di DuraSkin Clinic Centre sudah memakai teknologi computer

yang canggih terkait keluhan-keluhan pasien dan dicatat secara manual disatu buku

untuk setiap pasien yang berbeda yang isinya treatment apa saja yang akan diberikan

ke pasien serta produk apa yang akan digunakannya, biasanya sebelum melakukan

treatment wajah pasien atau kulit yang bermasalah difoto terlebih dahulu untuk

membandingkan wajahnya dengan treatment yang akan dilakukan oleh pasien.

Sehingga ada perbandingan yang jelas terhadap wajah sebelum dan sesudah

melakukan treatment di DuraSkin Clinic Centre.

4. Treatment yang ada di klinik Kecantikan Dura Skin :

Acne Treatments

80
81

1) Dura E-Flash for Acne

Perawatan menggunakan teknologi phototherapy untuk masalah jerawat yang

membandal. Sinar E-flash membantu mengeringkan jerawat dan menghambat pertumbuhan

bakteri Propionibacterium acnes, yang merupakan penyebab jerawat, sehingga kulit menjadi

bersih dan jerawat.

2) Dura Light Acne

Perawatan dengan teknologi photodynamic, therapy sinar biru untuk menghambat

pertumbuhan bakteri penyebab jerawat, sekaligus memperbaiki area kulit bekas jerawat.

3) Dura Light Peeling

Perawatan dengan menggunakan asam buah-buahan yang dapat membantu

mengeringkan jerawat, membuang lapisan kulit mati sekaligus menstimulasi regenerasi kulit.

Dilengkapi dengan pemberian nutrisi yang disesuaikan dengan kebutuhan kulit.

4) Dura Fruity Peels for Teens

Perawatan khusus masalah jerawat yang disesuaikan dengan kulit remaja usia 10

hingga 18 tahun. Menggunakan asam buah-buahan yang dapat membantu mengeringkan jerawat

dan mengangkat komedo.

Anti-Aging Treatments

1) Dura Luminous Therapy

Perawatan dengan teknologi photodynamic therapy sinar merah untuk

merangsang pertumbuhan kolagen dan elastin. Hasil yang maksimal bisa didapatkan dengan

menggunakan perawatan secara rutin.

2) Dura T-Flash

81
82

Fitur perawatan khusus yang ditujukan untuk mengurangi kerutan halus dan

mengencangkan kulit. Menggunakan teknologi LHE yang sudah disempurnakan perawatan T-

Flash berfungsi untuk merangsang pertumbuhan kolagen dan elastin.

3) Dura P-Flash

Kombinasi fitur skin tightening dan rejuvenation, memberikan perawatan lengkap

untuk kulit dengan tanda-tanda penuaan dini. Dilengkapi dengan perawatan elektroporasi untuk

memberikan nutrisi yang dibutuhkan.

4) Dura Roller

Alternatif perawatan mesotherapy yang lebih efektif dana man. Menstimulasi

produksi kolagen pada jaringan kulit dan membuka jalur agar nutrisi lebih mudah diserap kulit.

Specialized Treatments

1) Dura E-Flash for Hair Removal

Dengan teknologi LHE untuk menghilangkan bulu/rambut yang tidak diinginkan

secara permanen. Dapat diaplikasikan untuk seluruh bagian tubuh.

2) Dura 3 Magic Steps

Kombinasi fitur diamond microdermabrasion untuk pengangkatan sel-sel kulit

mati dan phototherapy untuk menstimulasi pertumbuhan sel-sel kulit mati yang baru dan kolagen

dengan maksimal.

3) Dura Oxy Therapy

Menggunakan oksigen murni untuk meningkatkan kadar oksigen dalam kulit dan

menstimulasi pembentukan sel kulit baru, menyegarkan tubuh sekaligus menenangkan pikiran.

Dilengkapi dengan pilihan kombinasi perawatan diamond microdermabrasion dan phototherapy.

4) Dura ActivCell

82
83

Dengan teknologi radiofrequency untuk mengaktifkan kembali kinerja sel-sel

kulit yang menurun, memperbaiki elastisitas dan kelembaban kulit dan meningkatkan

metabolisme sel. Tersedia dengan pilihan: Perfect Skin, Neck and Chin, For Eyes Only, Bust

Therapy dan For Stretch Marks.

5) Dura For Men

Perawatan khusus untuk menjaga kesehatan dan kesegaran kulit pria modern.

Dengan 2 pilihan perawatan yang dapat disesuaikan dengan masalah kulit pria.

Pigmentation Treatments

1) Dura Micro Peel

Dengan teknologi diamond microdermabrasion untuk mengangkat sel kulit mati,

menstimulasi regenerasi sel-sel kulit dan mengurangi pigmentasi yang berada di permukaan kulit.

2) Dura Aqua Peel

Dengan teknologi diamond microdermabrasion yang menggunakan air, sehingga

lebih nyaman di kulit untuk mengurangi iritasi serta membantu mengurangi warna kulit yang

tidak merata dan menjaga kelembaban kulit.

3) Dura R-Flash

Menggunakan teknologi phototherapy untuk membantu, menstimulasi

pertumbuhan sel-sel kulit baru dari dalam dermis sehingga kulit kusam, tekstur dan warna kulit

tidak merata serta tanda-tanda penuaan akibat paparan sinar matahari dapat teratasi.

4) Dura Revitalizing Cell Treatment

Perawatan dengan menggunakan micro-needle khusus berbahan organic yang

aman, tanpa bahan pengawet, tanpa pewarna dan tanpa alkhol.

83
84

5. Farmasi Dalam Klinik Kecantikan

Farmasi dapat didefinisikan sebagai profesi yang menyangkut seni dan ilmu penyediaan

bahan obat, dari sumber alam atau sintetik yang sesuai untuk disalurkan dan digunakan pada

pengobatan dan pencegahan penyakit. Farmasi mencakup pengetahuan mengenai identifikasi,

pemilahan (selection), aksi farmakologis, pengawetan, penggabungan, analisis, dan pembakuan

bahan obat (drugs) dan sediaan obat (medicine). Pengetahuan kefarmasian mencakup pula

penyaluran dan penggunaan obat yang sesuai dan aman, baik melalui resep (prescription) dokter

berizin, dokter gigi, dan dokter hewan, maupun melalui cara lain yang sah.

Ahli farmasi mengembangkan obat untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat, yang

bertujuan untuk memberikan efek terapi obat, dosis yang sesuai untuk di konsumsi oleh

masyarakat. Selain itu, sediaan semisolid digunakan untuk pemakaian luar seperti krim, salep,

gel, pasta dan suppositoria yang digunakan melalui rektum. Kelebihan dari sediaan semisolid ini

yaitu praktis, mudah dibawa, mudah dipakai, mudah pada pengabsorbsiannya. Juga untuk

memberikan perlindungan pengobatan terhadap kulit. Berbagai macam bentuk sediaan semisolid

memiliki kekurangan, salah satu diantaranya yaitu mudah di tumbuhi mikroba. Untuk

meminimalisir kekurangan tersebut, para ahli farmasi harus bisa memformulasikan dan

memproduksi sediaan secara tepat. Dengan demikian, farmasis harus mengetahui langkah-

langkah yang tepat untuk meminimalisir kejadian yang tidak diinginkan.

Dengan cara melakukan, menentukan formulasi dengan benar dan memperhatikan

konsentrasi serta karakteristik bahan yang digunakan dan dikombinasikan dengan baik dan

benar.

Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan jika pembuatan krim di klinik

kecantikan merupakan tugas dari farmasi karena peracikan obat serta dosis yang diperbolehkan

84
85

ataupun melalui anjuran dokter merupakan bagian dari tugas farmasi untuk membuatkannya.

Krim yang dibuat berdasarkan anjuran dokter dan dosis dari obat-obat kimia yang digunakan

diatur oleh bagian farmasi.

D. Ruang Lingkup Dokter

1. Pengertian Dokter dan Dokter Kecantikan

Dokter dalam Pasal (1) angka (2) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 menyebutkan bahwa:

“Dokter dan dokter gigi adalah, dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis

lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang

diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

Dokter adalah pihak yang mempunyai keahlian di bidang kedokteran. Pada kedudukan ini dokter

adalah orang yang dianggap pakar dalam bidang kedokteran. Dokter adalah orang yang memiliki

kewenangan dan izin sebagaimana mestinya untuk melakukan pelayanan kesehatan, khususnya

memerikasa dan mengobati penyakit dan dilakukan menurut hukum dalam pelayanan kesehatan.

Dokter pada klinik kecantikan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Dokter Kulit

Seseorang yang menempuh pendidikan berkenaan dengan berbagai penyakit kulit,

termasuk penyebabnya, gejalanya, struktur kulit, fungsi lapisan kulit dan cara penanganannya.

Pendidikan yang ditempuh memakan waktu sekitar 4 tahun, masih ditambah lagi tiga tahun dan

lima bulan untuk bidang spesialis. Selama itu pula seseorang dibekali ilmu untuk mendiagnosa

berbagai penyakit kulit, serta mempunyai wewenang untuk melakukan tindakan operasi pada

kulit.

2. Dokter kecantikan

85
86

Dokter kecantikan pada umumnya memerlukan waktu yang tidak terlalu lama untuk

memperoleh pendidikan di bidang kesehatan dan kecantikan kulit. Selama pendidikan pun

seseorang tidak hanya dibekali dengan teori, namun juga keterampilan dan praktik. Pada

umumnya seorang dokter kecantikan akan diberikan pelatihan untuk melakukan facial,

perawatan kulit tubuh, perawatan rambut, kuku, dan sebagainya.59

Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa dokter klinik kecantikan merupakan

dokter yang berbuhungan dengan kulit dan juga kecantikan, dikarenakan dokter yang ada di

klinik kecantikan memberikan konsultasi terhadap pasien yang memiliki masalah pada kulit dan

juga masalah pada penampilan dalam hal ini mengenai kecantikan.

2. Wewenang Dokter

Wewenang Dokter Kecantikan, dokter dalam menangani pasien memiliki wewenang, yaitu:

1. Mewawancarai pasien;
2. Memeriksa fisik dan mental pasien;
3. Menentukan pemeriksaan penunjang;
4. Menegakkan diagnosis;
5. Menentukan penatalaksaan dan pengobatan pasien;
6. Melakukan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi;
7. Menulis resep obat dan alat kesehatan;
8. Menerbitkan surat keterangan dokter atau dokter gigi;
9. Menyimpan obat dalam jumlah dan jenis yang diizinkan;
10. Meracik dan menyerahkan obat kepada pasien, bagi yang berpraktik di daerah terpencil yang
tidak ada apotek. 60
Berdasarkan wewenang dokter tersebut, maka dokter kecantikan memiliki wewenang untuk:

a. mewawancari pasien yaitu dalam hal konsultasi;

59
Ditinjau dari www.journal.sociolla.com diakses pada tanggal 3 januari 2020 pukul 14.00
60
Ditinjau dari www.gresnews.com diakses pada tanggal 4 januari 2020 pukul 11.00

86
87

b. menentukan penatalaksaan dan pengobatan pasien, yaitu dengan memberikan anjuran terhadap

tindakan yang dapat dilakukan dokter terhadap pasien serta anjuran obat yang dapat digunakan

pasien seperti kapsul dan/atau krim yang dapat digunakan;

c. melakukan tindakan kedokteran yaitu perawatan medis kepada pasien.

3. Hak dan Kewajiban Dokter

1. Hak Dokter

Pasal 50 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran menyebutkan

hak dokter dalam menjalankan tugas profesinya. Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan

praktik kedokteran mempunyai hak:

a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar

profesi dan standar prosedur operasional;

b. Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional;

c. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya; dan

d. Menerima imbalan jasa.

2.Kewajiban Dokter

Pasal 51 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran

menyebutkan kewajiban dokter dalam menjalankan tugas profesinya. Dokter atau dokter gigi

dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban:

a. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional

serta kebutuhan medis pasien;

b. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan

lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;

87
88

c. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu

meninggal dunia;

d. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang

lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan;

e. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran

gigi.

3. Tanggung Jawab Dokter

Tanggung jawab adalah keadaan di mana seorang wajib menanggung segala perbuatannya bila

terjadi hal yang tidak diinginkan boleh dituntut, dipersalahkan atau diperkarakan. Dokter

dan/atau dokter gigi merupakan salah satu tenaga kesehatan yang ada di Rumah Sakit. Pasal 1

Angka 6 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

menyatakan bahwa: “Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang

kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang

kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya

kesehatan”.

Dalam proses perdata, dasar pertanggung jawaban medis adalah wanprestasi dan perbuatan

melanggar hukum.

Kode Etik Dokter

Profesi berasal dari kata profesio (Latin), yang berarti pengakuan. Selanjutnya, profesi

adalah suatu tugas atau kegiatan fungsional dari suatu kelompok tertentu yang diakui dalam

melayani masyarakat. Etika profesi kesehatan adalah norma-norma atau perilaku bertindak bagi

petugas atau perofesi kesehatan dalam melayani kesehatan masyarakat. Etika kesehatan terkait

88
89

dengan perilaku petugas kesehatan dalam menjalankan tugasnya. Untuk mengatur perilaku

masing-masing profesi atau petugas kesehatan ini, maka masing-masing profesi ini membuat

panduan sendiri-sendiri yang disebut kode etik. Kode etik adalah suatu aturan tertulis tentang

kewajiban yang harus dilakukan oleh semua anggota profesi dalam menjalankan pelayanannya

terhadap client atau masyarakat. Kode etik profesi dokter diatur dalam Surat Keputusan

Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Nomor 221/PB/A.4/04/2002 Tentang Penerapan Kode

Etik Kedokteran Indonesia. Kode Etik Dokter Indonesia (KODEKI) merupakan pedoman bagi

dokter Indonesia anggota IDI dalam melaksanakan praktik kedokteran. Isi kode etik profesi

dokter mencakup:

a. Kewajiban umum (Pasal 1 sampai dengan Pasal 9);

b. Kewajiban terhadap pasien (Pasal 10 sampai dengan Pasal 13)

c. Kewajiban terhadap teman sejawatnya (Pasal 14 sampai dengan Pasal 15);

d. Kewajiban terhadap diri sendiri (Pasal 16 sampai dengan Pasal 17).

89
BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG HUBUNGAN KONSUMEN TERHADAP PERJANJIAN

YANG TERJADI DALAM KLINIK KECANTIKAN

A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

1. Pengertian dan Tempat Pengaturan Perjanjian

Istilah perjanjian berasal dari bahasa Belanda overeenkomst dan verbintenis.

Perjanjian merupakan terjemahan dari Toestemming yang ditafsirkan sebagai

wilsovereenstemming (persesuaian kehendak/kata sepakat). Pengertian perjanjian ini

mengandung unsur perbuatan, satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau

lebih dan mengikatkan dirinya.61

Suatu perjanjian adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua

pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.

Selain itu merupakan suatu peristiwa hukum di mana seorang berjanji kepada seorang

lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.62

Perjanjian ini merupakan kepentingan yang pokok dalam dunia usaha, dan

menjadi dasar dari kebanyakan transaksi dagang, seperti jual beli barang, tanah,

pemberian kredit, asuransi, pengangkutan barang, pembentukan organisasi usaha dan

sebegitu jauh menyangkut juga tenaga kerja.63

Dalam berbagai hukum perjanjian, apabila suatu perjanjian telah memenuhi

semua syarat-syaratnya dan menurut hukum perjanjian telah memenuhi rukun dan

syarat-syaratnya perjanjian tersebut mengikat dan wajib dipenuhi serta berlaku

61
Ditinjau dari www.repository.usu.ac.id diakses pada tanggal 5 januari 2020 pukul 12.00
62
Subekti, Hukum Perjanjian, PT Inermasa, Jakarta, 1987, hlm 29
63
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Jakarta,1986, hlm 93
91

sebagai hukum, dengan kata lain, perjanjian itu menimbulkan akibat hukum yang

wajib dipenuhi oleh pihak-pihak terkait, sebagaimana tertuang dalam Pasal 1338 Ayat

(1) KUH Perdata yang berbunyi “ Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya ”.

Pada asasnya perjanjian hanya mengikat pihak-pihak yang membuatnya, seperti

tampak dalam bunyi pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata,64 hal ini juga ditegaskan

dalam Pasal 1315 KUH Perdata.4 Perjanjian itu merupakan sumber perikatan yang

terpenting, karena perikatan adalah suatu pengertian abstrak sedangkan perjanjian

adalah suatu hal yang konkrit atau suatu peristiwa yang nyata mengikat para pihak

yang membuat suatu perjanjian.

2. Asas-Asas Hukum Perjanjian

a) ASAS KONSENSUALISME (PERSESUAIAN KEHENDAK)65

Asas Konsensualisme merupakan asensial dari Hukum Perjanjian. Sepakat mereka

yang mengikatkan diri telah dapat melahirkan Perjanjian.Asas Konsensualisme

menentukan bahwa suatu perjanjian yang dibuatdua orang atau lebih telah mengikat

sehingga telah melahirkan kewajiban bagi salah satu atau lebih pihak dalam

perjanjian tersebut, segera setelah orang-orang tersebut mencapai kesepakatan,atau

konsensus meskipun kesepakatan tersebut telah dicapai secara lisan semata-

mata.Asas konsensualisme mempunyai arti yang terpenting,bahwa untuk melahirkan

perjanjian cukup dengan sepakat saja dan bahwa perjanjian itu (dan perikatan yang

ditimbukanl karenanya) sudah dilahirkan pada saat atau detik tercapainya konsensus.

64
Chairun Pasribu, Suharawardi Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, Jakarta, 2011, hlm 263
65
Ditinjau dari www.ilmuef.blogspot.com/asas-asas-dalam-hukum-perjanjian.html diakses pada tanggal 6 januari 2020
pukul 13.00

91
92

Pada detik tersebut perjanjian tersebut sudah sah mengikat,buakn pada detik-dtik lain

yang terkemudian atau yang sebelumnya.Asas ini ditemukan dalam pasal 1320 KUH

Perdata dan dalam pasal 3120 KUH Perdata ditemukan istilah "semua" menunjukkan

bahwa setiap orang diberikan kesempatan untuk menyatakan keinginannya (Will)

yang rasanya baik untuk meneiptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya

dengan A Kebebasan Mengadakan Perjanjian.66

b) ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK(FREEDOM OF CONTRACT)

Asas Kebebasan Berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan pasal 1338 ayat(1) KUH

Perdata yang berbunyi "semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya". Berdasarkan Asas Kebebasan

Berkontrak,maka orang pada asasnya dapat membuat perjanjian dengan isi yang

bagaimanapun juga, asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan

ketertiban umum. yang dimaksud undang-undang disini adalah undang-undang yang

bersifat memaksa. Dalam sistem terbuka hukum perjanjian atau asas kebebasan

berkontrak yang penting adalah "semua perjanjian"(perjanjian dari macam apa saja),

akan tetapi yang lebih penting lagi adalah bagian "mengikatnya" perjanjian sebagai

Undangundang.Kebebasan Berkontrak merupakan asas yang sangat penting dalam

hukum pe:ganjian.Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas,pancaran

dari Hak Arasi Manusia.67

c) ASAS KEKUATAN MENGIKAT PERJANJIAN

66
Gunawan Wijaya Seri Hukum Bisnis Memahami Prinsip Keterbukaan (Aan vulend Recht) dalam Hukum
Perdata, Raja Grafindo Persada,Jakarta,2007,ha1.250).
67
J.Savio 1999, OP,Cit.,ha1.37.R.Subekti,OP,Cit.hal4-5

92
93

Asas ini juga disebut sebagai asas pengikatnya suatu perjanjian,yang berarti para

pihak yang mambuat perjanjian itu terikat pada kesepakatan perjanjian yang telah

mereka perbuat.Dengan kata lain perjanjian yang diperbuat secara sah berlaku seperti

berlakunya undang-undang bagi para pihak yang membutnya.Asas Pacta Sun

Servanda ini terdapat dalam ketentuan pasal 1338 ayat(1) dan ayat (2) KUH Perdata

yang menyatakan"semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-

undang bagi mereka yang mambuatnya.Perjanjian tersebut tidak dapat ditarik kembali

kecuali dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan yang oleh undang-

undang sudah dinyatakan cukup untuk itu.

Dari perkataan "berlaku sebagai undang-undang dan tidak dapat ditarik

kembali"berarti bahwa perjanjian mengikat para pihak yang membuatnya,bahkan

perjanjian tersebut tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan pihak

lawannya.berarti para pihak harus mentaati apa yang mereka sepakati

bersama.Pelanggaran terhadap isi perjanjian oleh salah satu pihak menyebabkan

pihak lain dapat melakukan tuntutan atas dasar wanprestasi dari pihak lawan. Asas ini

berarti siapa yang berjanji harus menepatinya atau siapa berhutang harus

membayarnya.

d) ASAS ITIKAD BAIK (GOOD FAITH)

Asas itikad baik dalam bahasa hukumnya disebut de goedetrow.Asas ini berkaitan

dengan pelaksanaan suatu perjanjian. Mengenai asa itikad baik ini terdapat dalam

pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang menentukan"persetujuan-persetujuan harus

dilaksanakan dengan itikad baik". Itikad baik dapat dibedakan dalam pengertian

93
94

subjektif dan objektif.Itikad baik dari segi subjektif berarti kejujuran.Hal ini

berhubungan erat dengan sikap batin seseorang pada saat membuat perjanjian. Itikad

baik dalam segi objektif berarti kepatutan yang berhubungan dengan pelaksanaan

perjanjian atau pemenuhan prestasi dan cara melaksanakan hakdan kewajiban

haruslah mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.

e) ASAS KEPERCAYAAN(VETROUWENSBEGINSEL)

Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain,menumbuhkan

kepercayaan diantara kedua belah pihak itu bahwa satu sama lain akan memegang

janjinya dengan kata lain akan memenuhi prestasinya dibelakang hari. Tanpa adanya

kepercayaan itu maka perjanjian itu tidak mungkin akan diadakan kedua belah pihak,

dengan kepercayaan ini kedua pihak mengikatkan dirinya untuk keduanya prrjanjian

itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.

f) ASAS PERSONALIA

Asas ini merupakan asas pertama dalam hukum perjanjian yang pengaturannya dapat

ditemukan dalam ketentuan pasal 1315 KUH Perdatya yang bunyinya" pada

umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta

ditetapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri". Dari rumusan tersebut

diketahui bahwa pada dasarnya suatu perjanjian dibuat oleh seseorang dalam

kapasitasnya sebagai iadividu atau pribadi hanya dapat mengikat dan berlaku untuk

dirinya sendiri.

94
95

g) ASAS PERSAMAAN HUKUM

Asas ini menempatkan para pihak didalam persamaan derajat dan tidak dibeda-

bedakan baik dari warna kulitnya,bangsa.kekayaan,jabatan dan lain-lain. Masing-

masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak

untuk saling menghormati satu sama lain sebagai makhluk ciptaan Tuhan.

h) ASAS KESEIMBANGAN

Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Asas

keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Kreditur mempunyai

kekuatan untuk menuntut prestasi jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi

melalui kekayaan debitur,namun kreditur memikul beban untuk melaksanakan

perjanjian itu dengan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.

i) ASAS KEPASTIAN HUKUM

Perjanjian sebagai suatu figur hukum harus mengandung kepastian hukum.Kepastian

ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai undang-undang bagi

para pihak.

j) ASAS MORAL

Asas ini terlihat dalam perikatan wajar,dimana suatu perbuatan sukarela seseorang

ddak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontraprestasi dari pihak

debitur.juga hal ini dapat terlihat dalam Zaakwarneming, dimana seseorang yang

melakukan perbuatan sulcxela(moral) yhang bersangkutan mempunyai kewajiban

95
96

(hukum) untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya juga asas ini terdapat

dalam pasal 1339 KUH Perdata. Faktor-faktor yang memberi motivasi pada yang

bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu berdasarkan kesusilaan(moral), sebagai

panggilan hati nuraninya.

k) ASAS KEPATUTAN

Asas ini dituangkan dalam pasal 1339 KUH Perdata.Asas kepatutan disini barkaitan

dengan ketentuan mengenai isi perjanjian.Asas ini merupakan ukuran tentang

hubungan yang ditentukan juga oleh rasa keadilan masyarakat.

l) ASAS KEBIASAAN

Asas ini diatur dalam pasal 1339 jo. Pasal 1347 KUH Perdata,yang dipandang sebagai

bagian dari perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa saja yang secara tegas diatur,

akan tetapi juga hal-hal yang dalam kebiasaan dan lazim diikuti.

m) ASAS PERLINDUNGAN

Asas perlindungan mengandung arti bahwa antara kreditur dan debitur harus

dilindungi oleh hukum.Namun yang perlu mendapat perlindungan adalah pihak

debitur karena piuhak ini berada pada posisi yang lemah.

Asas-asas inilah yang menjadi dasar pijakan daripada pihak dalam menentukan dan

membuat suatu perjanjian dalam kegiatan hukum sehari-hari.Dengan demikian dapat

dipahami bahwa dari keseluruhan asas tersebut diatas merupakan hal yang penting

dan mutlak harus diperhatikan bagi para pembuat perjanjian sehingga tujuan akhir

96
97

dari suatu kesepakatan dapat tercapai dan terlaksana sebagaimana diinginkan oleh

para pihak.

3. Syarat Sah Perjanjian

Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, suatu perjanjian adalah sah apabila

memenuhi persyaratan sebagai berikut:

n) Kesepakatan

Kesepakatan ialah sepakatnya para pihak yang mengikatkan diri, artinya kedua

belah pihak dalam suatu perjanjian harus mempunyai kemauan yang bebas untuk

mengikatkan diri, dan kemauan itu harus dinyatakan dengan tegas atau secara

diam. Dengan demikian, suatu perjanjian itu tidak sah apabila dibuat atau

didasarkan kepada paksaan, penipuan atau kekhilafan.

o) Kecakapan Kecakapan adalah adanya kecakapan untuk membuat suatu

perjanjian. Menurut hukum, kecakapan termasuk kewenangan untuk melakukan

tindakan hukum pada umumnya, dan menurut hukum setiap orang adalah cakap

untuk membuat perjanjian kecuali orang-orang yang menurut undang-undang

dinyatakan tidak cakap. Adapun orang-orang yang tidak cakap membuat

perjanjian adalah orangorang yang belum dewasa, orang yang dibawah

pengampuan dan perempuan yang telah kawin.68

68
R. Soeroso, Perjanjian di Bawah Tangan “Pedoman Pembuatan dan Aplikasi Hukum”, ( Alumni Bandung,
Bandung, 1999, hlm 12)

97
98

Ketentuan KUH Perdata mengenai tidak cakapnya perempuan yang telah kawin

melakukan suatu perjanjian kini telah dihapuskan, karena menyalahi hak asasi

manusia.

p) Suatu Hal Tertentu

Menurut KUH Perdata hal tertentu adalah :

1. Suatu hal tertentu yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian adalah

harus suatu hal atau barang yang cukup jelas atau tertentu yakni paling

sedikit ditentukan jenisnya (Pasal 1333 KUH Perdata);

2. Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat

menjadi pokok suatu perjanjian (Pasal 1332 KUH Perdata);

Contohnya seorang pedagang telur, pedagang ayam ternak harus jelas barang

tersebut ada didalam gudang, jual beli tanah harus jelas ukuran luas tanah dan

letak dimana tempatnya.

q) Suatu Sebab yang Halal

Meskipun siapa saja dapat membuat perjanjian apa saja, tetapi ada

pengecualiannya yaitu sebuah perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan

undang-undang, ketentuan umum, moral dan kesusilaan (Pasal 1335

KUHPerdata).

Keempat syarat tersebut bersifat kumulatif artinya harus dipenuhi semuanya baru dapat

dikatakan bahwa perjanjian tersebut sah.

4. Bentuk-bentuk Perjanjian

Bentuk-bentuk perjanjian dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu tertulis dan

tidak tertulis. Perjanjian tertulis adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam

98
99

bentuk tulisan. Sedangkan perjanjian lisan suatu perjanjian yang dibuat oleh para

pihak dalam wujud lisan (cukup kesepakatan para pihak).

Ada tiga bentuk perjanjian tertulis, sebagimana dikemukakan berikut ini :69

a. Perjanjian di bawah tangan yang ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan

saja. Perjanjian itu hanya mengikat para pihak dalam perjanjian, tetapi tidak

mempunyai kekuatan mengikat pihak ketiga. Dengan kata lain, jika perjanjian

tersebut disangkal pihak ketiga maka para pihak atau salah satu pihak dari perjanjian

itu berkewajiban mengajukan bukti-bukti yang diperlukan untuk membuktikan

keberatan pihak ketiga dimaksud tidak berdasar dan tidak dapat dibenarkan.

b. Perjanjian dengan saksi notaris untuk melegalisir tanda tangan para pihak. Fungsi

kesaksian notaris atau suatu dokumen semata-mata hanya untuk melagilisir kebenaran

tanda tangan para pihak. Akan tetapi, kesaksian tersebut tidaklah mempengaruhi

kekuatan hukum dari isi perjanjian. Salah satu pihak mungkin saja menyangkal isi

perjanjian namun pihak yang menyangkal itu adalah pihak yang harus membuktikan

penyangkalannya.

c. Perjanjian yang dibuat dihadapan dan oleh notaris dalam bentuk akta notariel. Akta

notariel adalah akta yang dibuat di hadapan dan di muka pejabat yang berwenang

untuk itu. Pejabat yang berwenang untuk itu adalah notaris, camat, PPAT, dan lain-

lain. Jenis dokumen ini merupakan alat bukti yang sempurna bagi para pihak yang

bersangkutan maupun pihak ketiga. Ada fungsi akta notariel (autentik), yaitu :

i. Sebagai bukti bahwa para pihak yang bersangkutan telah

mengadakan perjanjian tertentu.

69
Salim, Hukum Perjanjian, Teori dan Praktik Penyusunan Perjanjian, ( Jakarta : Sinar Gafika, 2008, cet 5 ),
Hal. 42-43

99
100

ii. Sebagai bukti bagi pra pihak bahwa apa yang telah tertulis dalam

perjanjian adalah menjadi tujuan dan keinginan para pihak.

iii. Sebagai bukti kepada pihak ketiga bahwa pada tanggal tertentu,

kecuali jika sitentukan sebaliknya para pihak telah mengadakan

perjanjian dan bahwa isi perjanjian adalah sesuai dengan kehendak

para pihak.

5. Unsur-Unsur Perjanjian

Terdapat 3 unsur dalam perjanjian, yaitu :70

1. Unsur Essensialia

Unsur essensialia adalah sesuatu yang harus ada yang merupakan hal pokok sebagai

syarat yang tidak boleh diabaikan dan harus dicantumkan dalam suatu

perjanjian.Bahwa dalam suatu perjanjian haruslah mengandung suatu ketentuan

tentang prestasi-prestasi. Hal ini adalah penting disebabkan hal inilah yang

membedakan antara suatu perjnajian dengan perjanjian lainnya.

Unsur Essensialia sangat berpengaruh sebab unsur ini digunakan untuk memberikan

rumusan, definisi dan pengertian dari suatu perjanjian. Jadi essensi atau isi yang

terkandung dari perjanjian tersebut yang mendefinisikan apa bentuk hakekat

perjanjian tersebut. Misalnya essensi yang terdapat dalam definisi perjanjian jual beli

dengan perjanjian tukar menukar. Maka dari definisi yang dimuat dalam definisi

perjanjian tersebutlah yang membedakan antara jual beli dan tukar menukar.

70
Ditinjau dari www.rudipradisetia.com/2010/11/unsur-unsur-dalam-perjanjian-dalam.html diakses pada
tanggal 7 januari 2020 pukul 15.00

100
101

Jual beli (Pasal 1457) :

Suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk menyerahkan

suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan.

Tukar menukar (Pasal 1591)

Suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak mengikatkan diri untuk saling

memberikan suatu barang secara timbal balik sebagai suatu ganti barang lain.

Dari definsi tersebut diatas maka berdasarkan essensi atau isi yang dikandung dari

definisi diatas maka jelas terlihat bahwa jual beli dibedakan dengan tukar menukar

dalam wujud pembayaran harga.

Maka dari itu unsur essensialia yang terkandung dalam suatu perjanjian menjadi

pembeda antara perjanjian yang satu dengan perjanjian yang lain.

Semua perjanjian bernama yang diatur dalam buku III bagian kedua memiliki

perbedaan unsur essensialia yang berbeda antara yang satu dengan perjanjian yang

lain.

2. Unsur Naturalia

Naturalia adalah ketentuan hukum umum, suatu syarat yang biasanya dicantumkan

dalam perjanjian. Unsur-unsur atau hal ini biasanya dijumpai dalam perjanjian-

perjanjian tertentu, dianggap ada kecuali dinyatakan sebaliknya.

Merupakan unsur yang wajib dimiliki oleh suatu perjanjian yang menyangkut suatu

keadaan yang pasti ada setelah diketahui unsur essensialianya. Jadi terlebih dahulu

harus dirumuskan unsur essensialianya baru kemudian dapat dirumuskan unsur

naturalianya. Misalnya jual beli unsur naturalianya adalah bahwa si penjual harus

101
102

bertanggung jawab terhadap kerusakan-kerusakan atau cacat-cacat yang dimiliki oleh

barang yang dijualnya. Misalnya membeli sebuah televisi baru. Jadi unsur essensialia

adalah usnur yang selayaknya atau sepatutnya sudah diketahui oleh masyarakat dan

dianggap suatu hal yang lazim atau lumrah.

3. Unsur Aksidentalia

Yaitu berbagai hal khusus (particular) yang dinyatakan dalam perjanjian yang

disetujui oleh para pihak. Accidentalia artinya bisa ada atau diatur, bisa juga tidak

ada, bergantung pada keinginan para pihak, merasa perlu untuk memuat ataukah

tidak.

Selain itu aksidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian yang

merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para

pihak, sesuai dengan kehendak para pihak yang merupakan persyaratan khusus yang

ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak.

Jadi unsur aksidentalia lebih menyangkut mengenai faktor pelengkap dari unsur

essensialia dan naturalia, misalnya dalam suatu perjanjian harus ada tempat dimana

prestasi dilakukan.

6. Saat Lahirnya Perjanjian

Menetapkan kapan saat lahirnya perjanjian mempunyai arti penting bagi :

a) kesempatan penarikan kembali penawaran;

b) penentuan resiko;

c) saat mulai dihitungnya jangka waktu kadaluwarsa;

d) menentukan tempat terjadinya perjanjian.

102
103

Berdasarkan Pasal 1320 jo 1338 ayat (1) BW/KUHPerdata dikenal adanya asas

konsensual, yang dimaksud adalah bahwa perjanjian/kontrak lahir pada saat

terjadinya konsensus/sepakat dari para pihak pembuat kontrak terhadap obyek yang

diperjanjikan.

Pada umumnya perjanjian yang diatur dalam BW bersifat konsensual. Sedang yang

dimaksud konsensus/sepakat adalah pertemuan kehendak atau persesuaian kehendak

antara para pihak di dalam kontrak. Seorang dikatakan memberikan persetujuannya/

kesepakatannya (toestemming), jika ia memang menghendaki apa yang disepakati.

Mariam Darus Badrulzaman melukiskan pengertian sepakat sebagai pernyataan

kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antar pihak-pihak.

Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak

yang menerima penawaran dinamakan akseptasi (acceptatie). Jadi pertemuan

kehendak dari pihak yang menawarkan dan kehendak dari pihak yang akeptasi itulah

yang disebut sepakat dan itu yang menimbulkan/melahirkan kontrak/perjanjian.71

B. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Terapeutik

1. Pengertian Perjanjian Terapeutik

Transaksi terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan pasien, berupa

hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Objek

dari perjanjian ini adalah berupa upaya atau terapi untuk penyembuhan pasien,

dimana dalam transaksi terapeutik terdapat para pihak yang mengikatkan diri dalam

suatu perikatan atau perjanjian, yaitu dokter sebagai pihak yang melaksanakan atau

71
Ditinjau dari www.patriciasimatupang.wordpress.com “syarat sahnya perjanjian saat lahirnya-perjanjian”
diakses pada tanggal 10 januari 2020 pukul 17.00

103
104

memberikan pelayanan medis dan pasien sebagai pihak yang menerima pelayanan

medis.

Jadi perjanjian atau transaksi terapeutik adalah suatu transaksi untuk menentukan

atau upaya mencari terapi yang paling tepat bagi pasien yang dilakukan oleh dokter.

Menurut hukum, objek perjanjian dalam transaksi terapeutik bukan kesembuhan

pasien, melainkan mencari upaya yang tepat untuk kesembuhan pasien (Nasution,

2005).

Hubungan terapeutik merupakan perikatan berdasar daya upaya maksimum

dimana dokter tidak menjanjikan kesembuhan tetapi berjanji berdaya upaya maksimal

untuk menyembuhkan, oleh karena itu tindakan yang dilakukan belum tentu berhasil.

Hubungan tersebut dinamakan inspanningsverbintenis yang tidak dilihat hasilnya

tetapi lebih ditekankan pada upaya yang dilakukan hasilnya tidak seperti yang

diharapkan dan hal ini berbeda dengan hubungan resultaatsverbintenis yang dinilai

dari hasil yang dicapai dan tidak mempermasalahkan upaya yang dilakukan. Ciri-ciri

khusus hubungan terapeutik yaitu:

1) Subjeknya terdiri dari dokter sebagai pemberi pelayanan medik profesional yang

pelayanannya didasarkan pada prinsip pemberian pertolongan dan pasien sebagai

penerima pelayanan medik yang membutuhkan pertolongan.

2) Objeknya berupa upaya medik profesional yang bercirikan memberikan

pertolongan.

3) Tujuannya adalah pemeliharaan dan peningkatan kesehatan (Nasution, 2005).

104
105

2. Syarat Sah Perjanjian Terapeutik

Syarat Sah Perjanjian Terapeutik Perjanjian terapeutik secara khusus memang tidak
diatur dalam Buku III KUHPdt. Namun, secara umum semua perjanjian yang mengikat,
termasuk perjanjian terapeutik harus memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 1320
KUHPdt agar perjanjian tersebut menjadi sah.

Adapun unsur-unsur tersebut adalah;

a. Sepakat mengikatkan diri


Adanya persetujuan kehendak antara para pihak yang telah membuat perjanjian
(consensus). Persetujuan kehendak adalah kesepakatan, seia sekata antara pihak-
pihak mengenai pokok perjanjian.
b. Cakap membuat perikatan
Adanya kecakapan para pihak-pihak untuk membuat perjanjian (capacity). Pada
umumnya orang yang dapat dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum apabila
ia sudah dewasa, artinya sudah mencapai umur 21 tahun atau sudah kawin
walaupun belum 21 tahun. Sedangkan menurut ketentuan, pasal 1330
KUHPerdata, dikatakan tidak cakap membuat perjanjian ialah orang belum
dewasa, orang yang berada dibawah pengampuan, dan wanita bersuami. Mereka
ini apabila melakukan perbuatan hukum harus diwakili oleh wali mereka.
c. Ada suatu hal tertentu (object)
Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, objek perjanjian, prestasi yang
wajib dipenuhi. Kejelasan mengenai pokok perjanjian atau objek perjanjian ialah
untuk memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban para pihak.
d. Karena sebab yang halal (causa)
dalam hal ini yang dimaksud sebab yang halal adalah bersedianya dokter untuk
memberikan informasi tentang penyakit pasien dan informasi upaya
penyembuhan karena suatu sebab yaitu informasi tentang penyakit yang dirasakan
oleh pasien.
e. Informed concent

105
106

Syarat sah yang ke lima inilah yang memperkuat perbedaan perjanjian terapeutik
dengan perjanjian pada umumnya. Informed concent adalah persetujuan yang
diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan
medis yang akan dilakukan terhadap pasien.

Syarat pertama dan kedua adalah mengenai subjeknya atau pihak- pihak dalam pejanjian
sehingga disebut syarat subjektif, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif
karena mengenai objek suatu perjanjian. Dalam hal syarat subjektif tidak terpenuhi maka salah
satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan.

Pihak yang dapat meminta pembatalan adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang
memberikan sepakatnya secara tidak bebas. Sehingga perjanjian yang dibuat tersebut mengikat
selama tidak dibatalkan oleh keputusan pengadilan atas permintaan pihak yang berhak meminta
pembatalan.72

Pelayanan tindakan medis dalam perjanjian terapeutik perlunya persetujuan yang


diberikan oleh pasien atau keluarga pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan atas dasar
mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. persetujuan tindakan
medis dalam perjanjian terapeutik ini disebut sebagai Informed Consenst. Untuk dapat dilakukan
tindakan medis baik berupa diagnostik maupun terapeutik, maka diperlukan informed consent
yang merupakan konstruksi dari persesuaian kehendak yang harus dinyatakan baik oleh dokter
maupun pasien setelah masingmasing menyatakan kehendaknya sehingga masing-masing telah
menyatakan informed concent secara timbal balik. Oleh karena itu, informed consent diartikan
sebagai persetujuan setelah informasi.73

Persetujuan yang dimaksud diatas dapat berupa persetujuan secara lisan maupun isyarat

yang menunjukkan sikap-sikap yang memberi kesan setuju. Namun, kedua cara ini dapat

merepotkan dokter jika dibelakang hari diingkari. Oleh sebab itu, para dokter diharapkan untuk

secara lengkap memberikan informasi kepada pasien dalam bentuk tindakan yang akan atau

perlu dilaksanakan dan juga resikonya. Persetujuan dari pasien, dalam hal ini memiliki arti yang

72
Hasanudin Rahman, Legal Drafting, PT Citra aditya Bakti, Bandung, 2000 , Hlm. 5
73
Endang Kusuma Astuti, Op.Cit., Hlm. 129

106
107

cukup luas sebab dengan pasien membubuhkan tanda tangannyadi formulir persetujuan tindakan

medis, maka dianggap pasien telah sepakat atau setuju menyerahkan nasibnya pada dokter.

Tindakan medis yang memberlakukan atau yang membutuhkan informed concent adalah:

1. Pembedahan invasif mayor atau minor

2. Semua prosedur yang menyangkut lebih dari risiko bahaya yang ringan

3. Semua bentuk terapi radiologi

4. Terapi kejut listrik

5. Semua prosedur yang berhubungan dengan percobaan, dan

6. Semua prosedur yang mana formulir concent dibutuhkan oleh undang-undang atau
perturan.

3. Sifat dan Ciri Perjanjian Terapeutik

Sifat atau Ciri Perjanjian Terapeutik Perjanjian terapeutik adalah perjanjian yang

dilakukan antara dokter dengan pasien, berupa hubungan hukum yang melahirkan hak dan

kewajiban bagi kedua belah pihak. Perjanjian terapeutik memiliki sifat dan ciri khusus yang

berbeda dengan perjanjian pada umumnya karena obyek perjanjian terapeutik bukan kesembuhan

pasien melainkan, mencari “upaya” yang tepat untuk kesembuhan pasien, yaitu sebagai berikut;

1. Perjanjian terapeutik adalah perjanjian yang dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu scara

lisan dan secara tertulis. Terjadinya perjanjian terapeutik secara lisan itu pada saat pasien

menemui dokter dan memberitahukan keadaan dirinya dan dokter besedia memberikan informasi

tentang keadaan yang dirasakan pasien seperti penyakit apa yang dialami oleh pasien sebenarnya

dan memberikan informasi tentang upaya penyembuhan terhadap penyakit yang diderita pasien

seperti memberikan obat ringan dan memberikan saran untuk beristirahat. Dan saat itu juga

pasien mempercayai informasi yang didapat dari dokter. Kepercayaan pasien terhadap dokter dan

107
108

bersedianya dokter memberikan informasi inilah yang menimbulkan suatu perjanjian terapeutik

secara lisan. Meskipun tidak terdapat kata “sepakat” ataupun “berjanji” dalam kegiatan upaya

pelayanan kesehatan yang diberikan dokter terhadap pasien, tetapi dengan gerak tubuh dan/atau

isyarat yang dilakukan oleh dokter dan pasien inilah yang dianggap telah menyepakati suatu

perjanjian tersebut. dan biasanya perjanjian terapeutik secara lisan ini terjadi pada saat pasien

mengalami sakit yang tidak terlalu parah atau penyakit yang tidak membutuhkan tindakan medis

dan rawat inap. sedangkan untuk pasien dalam keadaan sakit yang membutuhkan tindakan medis

seperti operasi dan rawat inap, dibutuhkannya perjanjian terapeutik secara tertulis. Dengan

maksud untuk menyepakati bersedianya pasien dan/atau keluarga pasien dilakukannya tindakan

medis terhadap pasien yang dilakukan oleh dokter dan tim medis sebagai pembantu dokter.

2. Upaya penyembuhan kesehatan yang diberikan oleh dokter kepada pasien tidak bergantung

pada hasil. Maksudnya ialah segala upaya pelayanan kesehatan untuk tujuan menyembuhkan

penyakit yang diderita pasien, tidak dapat ditentukan hasilnya akan selalu baik. Dokter dalam

perjanjian terapeutik ini hanya sebatas melakukan upaya semaksimal mungkin untuk

penyembuhan penyakit yang diderita pasien. Hasil tidak dapat dipastikan dan tidak dapat di

sesuaikan oleh keinginan pasien dan/atau keluarga pasien.

3. Ketidakpastian hasil dari upaya penyembuhan yang dilakukan oleh dokter, jika menimbulkan

ketidakpuasan pasien dan/atau keluarga pasien terhadap hasil akhir tidak dapat dokter dikatakan

wanprestasi dan dokter tetap mendapatkan haknya yaitu pembayaran. Jadi, sifat atau ciri

perjanjian terapeutik dari apa yang telah dipaparkan di atas adalah perjanjian terapeutik juga

melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang terikat didalamnya, perjanjian terapeutik

dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara lisan dan tertulis, perjanjian terapeutik tidak

bergantung pada hasil, tetapi hanya sebatas upaya maksimal yang dilakukan dokter, bahwa

108
109

perjanjian terapeutik tidak mengenal “wanprestasi”, dan ketidakpuasan yang didapat oleh pasien

dan/atau keluarga pasien terhadap hasil akhir dari upaya maksimal yang dilakukan dokter tidak

mempengaruhi hak dokter untuk mendapatkan pembayaran.

4. Berakhirnya Perjanjian Terapeutik

Saat timbulnya perjanjian antara dokter dan pasien adalah pada saat pasien meminta

seorang dokter untuk mengobatinya dan dokter menerimanya. Berakhirnya hubungan dokter-

pasien dapat dilakukan dengan cara :

1. Sembuhnya pasien dari keadaan sakitnya dan sang dokter menganggap tidak diperlukan lagi

pengobatan. Penyembuhan tidak usah sampai total namun melihat keadaan pasien tidak usah

memerlukan lagi pelayanan medis.

2. Dokter mengundurkan diri, dengan syarat :74

4. Pasien menyetujui pengunduran diri tersebut.

5. Kepada pasien diberikan waktu cukup dan pemberitahuan sehingga ia bisa

memperoleh pengobatan dari dokter yang lain.

6. Jika dokter merokemendasikan kepada dokter lain yang sama kompetensinya

untuk menggantikan dokter semula itu dengan persetujuan pasiennya.

3. Pengakhiran oleh pasien. Seorang pasien bebas untuk mengakhiri pengobatannya dengan

dokternya. Apabila diakhiri maka sang dokter berkewajiban untuk memberikan nasihat apakah

masih diperlukan pengobatan lanjutan dan memberikan informasi yang cukup kepada

penggantinya sehingga pengobatan dapat diteruskan oleh penggantinya. Apabila dokter

74
J, Guwandi,S.H dalam buku “Dokter, Pasien dan Hukum” hlm 25.

109
110

memakai seorang dokter lain maka dianggap bahwa dokter yang pertama telah diakhiri

hubungannya, kecuali diperjanjikan bahwa mereka akan mengobati bersama atau dokter kedua

hanya dipanggil untuk konsultasi tujuan khusus

4. Meninggalnya si pasien.

5. Meninggalnya si dokter atau ia sudah tidak mampu lagi menjalani profesinya sebagai dokter

6. Sudah selesainya kewajiban dokter seperti ditentukan dalam perjanjian.

7. Dalam kasus gawat darurat, apabila dokter yang mengobati atau dokter pilihan pasien sudah
datang atau terdapat penghentian keadaan kegawat-daruratannya.

8. Lewatnya jangka waktu, apabila perjanjian medis itu ditentukan dalam jangka waktu tertentu.

9. Persetujuan kedua belah pihak bahwa hubungan dokter-pasien itu sudah diakhiri.

C. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Melakukan Jasa

Menurut Pasal 1601 KUHPerdata, ada tiga jenis perjanjian untuk melakukan pekerjaan,

yaitu:

1. Perjanjian untuk melakukan jasa tertentu

2. Perjanjian perburuhan

3. Perjanjian pemborongan pekerjaan

Perjanjian untuk melakukan jasa tertentu dapat kita temui dalam kehidupan sehari-hari,

misalnya seorang pelukis yang menerima pesanan lukisan dari orang lain, seorang dokter

terhadap pasiennya.

Menurut Pasal 1 nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan :

  “Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu

sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.

110
111

Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan

barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.”

Biasanya perjanjian perburuhan diadakan melalui perjanjian kerja antara majikan dan buruh

secara perseorangan.

Sedangkan perjanjian pemborongan pekerjaan diatur dalam pasal 1601b, yaitu:

“Pemborongan pekerjaan adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu, si

pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain,

pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang ditentukan.”

Dalam undang-undang tidak terdapat definisi mengenai jenis perjanjian untuk melakukan

jasa tertentu, mungkin hal ini sudah dianggap jelas. Pada umumnya, dalam perjanjian untuk

melakukan jasa tertentu dapat dikatakan bahwa satu pihak menghendaki dari pihak lainnya agar

melakukan suatu pekerjaan jasa sesuai dengan keahlian yang dimilikinya dengan menerima upah

atau imbalan. Misalnya: seorang datang ke penjahit untuk dibuatkan sebuah kemeja, seorang

pasien konsultasi pada dokter, atau seseorang datang pada notaris agar dibuatkan sebuah akta.

Di dalam perjanjian untuk melakukan jasa ini biasanya terdapat adanya suatu kehendak

dari pihak lawan untuk dilakukannya suatu prestasi agar tercapai suatu tujuan yang telah

disepakati. Di sini pihak yang menghendaki dilakukannya suatu prestasi biasanya bersedia untuk

membayar upah. Biasanya pihak lawan (yang melakukan prestasi) ini adalah seorang ahli dalam

melakukan pekerjaan tersebut dan biasanya ia juga sudah memasang tariff atas jasanya tersebut,

yang biasanya dinamakan honorarium.

Di dalam Kamus Besar Indonesia dijelaskan mengenai pengertian jasa, yaitu :

111
112

“Perbuatan yang memberikan segala sesuatu yang diperlukan orang lain, pelayanan, servis,

aktivitas, kemudahan, manfaat, dan sebagainya yang dapat dijual kepada orang lain (konsumen)

yang menggunakan atau menikmatinya.”

Dengan merujuk pada penjelasan di atas maka pengertian perjanjian jasa adalah

persetujuan (tertulis atau dengan lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih dimana pihak yang

memiliki suatu keahlian tertentu melaksanakan suatu perbuatan yang memberikan segala sesuatu

yang diperlukan, berupa, pelayanan, servis, aktivitas, kemudahan, manfaat dan sebagainya yang

dapat dijual kepada pihak lainnya (konsumen) yang menggunakan atau menikmatinya.

D. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Hukum

1) Pengertian Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang

dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat

menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum atau dengan kata lain perlindungan

hukum adalah berbagai upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk

memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman

dari pihak manapun.75

Perlindungan hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan

terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum

dari kesewenangan atau sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi

suatu hal dari hal lainnya. Berkaitan dengan konsumen, berarti hukum memberikan perlindungan

75
Satjipto Rahardjo. Loc Cit. hlm. 74

112
113

terhadap hak-hak pelanggan dari sesuatu yang mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak

tersebut.76

Perlindungan hukum adalah penyempitan arti dari perlindungan, dalam hal ini hanya

perlindungan oleh hukum saja. Perlindungan yang diberikan oleh hukum, terkait pula dengan

adanya hak dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai subyek hukum

dalam interaksinya dengan sesama manusia serta lingkungannya. Sebagai subyek hukum

manusia memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan suatu tindakan hukum.77

Menurut Setiono, perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi

masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan

hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk

menikmati martabatnya sebagai manusia.78

Menurut Muchsin, perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk melindungi individu

dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang menjelma dalam sikap dan

tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama manusia.79

2) Klasifikasi Perlindungan Hukum

Menurut Muchsin, perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subyek-

subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya

dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

a. Perlindungan Hukum Preventif


76
Philipus M. Hadjon. Loc Cit. hlm. 25
77
CST Kansil. Loc Cit. hlm. 102
78
Setiono. Rule of Law (Supremasi Hukum). Surakarta. Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret. 2004. hlm. 3
79
Muchsin. Op Cit. hlm. 14

113
114

Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya

pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundangundangan dengan maksud untuk mencegah suatu

pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan sutu kewajiban.

b. Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda, penjara,

dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu

pelanggaran.

114
BAB IV

TANGGUNG JAWAB KLINIK KECANTIKAN TERHADAP KERUGIAN


KONSUMEN (STUDI KASUS KLINIK KECANTIKAN DURA SKIN)

A. Sejarah singkat Klinik Kecantikan Dura Skin Clinic Center Jakarta

Diawali pada tahun 1994, Ibu Mimi Liliana dan Mr. Dennis Owen, memulai bisnis

mereka di Amerika Serikat. Mereka mempunyai impian yang sangat kuat untuk menciptakan

suatu produk yang dapat mengatasi permasalahan kulit wajah, sehingga terciptalah produk

Duraskin yang didukung dengan kecanggihan teknologi McKenna Labs, USA.

Kemudian pada tahun 1999, melalui Skin Health Group Singapore, produk Duraskin

tersebar di beberapa Negara Asia dan Pasifik, Duraskin di Indonesia dipasarkan mulai tanggal 3

Mei 1999.

Pada tahun 2001, Duraskin menghadirkan sebuah klinik kecantikan yang menyediakan

perawatan bagi para pelanggan yang membutuhkan penanganan lebih lanjut untuk memelihara

kesehatan kulitnya. Klinik dengan nama “Duraskin Centre” pertama didirikan tahun 2001 di

Jakarta dengan menawarkan “total solution concept”, dimana setiap individu dapat memperoleh

solusi bagi permasalahan kulit wajah maupun tubuh, agar dapat tampil lebih sehat dan percaya

diri.

Hingga sekarang, dengan kantor berpusat di Jakarta, Duraskin kini memiliki pusat

perawatan kecantikan dengan Duraskin Centre dan House of Dura yang telah tersebar di seluruh

wilayah Indonesia.

Duraskin memiliki FDA Approval dari Amerika dan Nomor Notifikasi/Badan POM.

Duraskin memakai Nano Technology dalam setiap produknya yang dibuat khusus agar partikel

yang terkandung didalamnya lebih optimal diserap oleh kulit dan tidak menyumbat pori-pori
116

kulit. Duraskin juga menggunakan bahan alami yang bekerja lebih efektif, menghambat

perkembangan melanin namun tetap memberikan rasa aman bagi kesehatan kulit.

B. Tanggung Jawab Klinik Kecantikan Dura Skin Clinic Center Jakarta terhadap

konsumen apabila mengalami kerugian yang disebabkan oleh pelayanan jasa

perawatan dan produk Klinik Kecantikan Dura Skin Clinic Center

Pada dasarnya hubungan dokter dan pasien timbul dari hubungan keperdataan yang

bersifat sebagai suatu “transaksi terapeutik” dan merupakan “hulpverleningsconract”, kontrak

untuk memberikan bantuan pertolongan.

Dalam hubungan itu maka kiranya perlu diingatkan kembali bahwa dengan demikian ada

dua hal yang perlu diperhatikan dalam hubungan keperdataan ini, yaitu:

Pertama, bahwa dalam hubungan hubungan keperdataan inisiatif untuk mengajukan

permasalahan medis ke pengadilan adalah inisiatif dari para pihak (dengan sendirinya pihak yang

dirugikan),

Kedua, peran hakim dalam perkara perdata adalah sebagai hakim perdamaian, mengusahakan

sejauh mungkin tercapainya perdamaian antara pihak, dan bukan sebagai pihak yang

menjatuhkan putusan pidana.

Dasar hukum bagi tanggung jawab perdata ini diatur dalam BW, yaitu sebagai berikut:

(1) Pasal 1234 BW :

“Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak terpenuhinya suatu perikatan, barulah

mulai diwajibkan, apabila si berhutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi

perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau

116
117

dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah

dilampaukannya.”

Ketentuan pasal 1234 BW ini memberikan dasar hukum bagi permintaan ganti rugi yang

diakibatkan karena “wanprestatie”, tidak dipenuhinya prestasi dalam suatu perikatan.

(2) Pasal 1365 BW :

“Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain,

mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian

tersebut.”

Berbeda dengan ketentuan pasal 1243 BW yang memberikan dasar hukum bagi

penggantian kerugian karena “wanprestatie”, maka ketentuan pasal 1365 BW ini memberikan

dasar hukum bagi penggantian kerugian karena perbuatan yang melanggar hukum

(onrechtmatige daad).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Peraturan

Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 Tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan,

dan dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.9 Tahun 2014 Tentang Klinik. Menurut Pasal 25

ayat (1) Permenkes Tentang Klinik, untuk mendirikan sebuah klinik, pelaku usaha harus

memiliki izin mendirikan dan izin operasional.

Undang-Undang Kesehatan mengatur ketentuan mengenai sediaan farmasi dan alat

kesehatan yang diedarkan kepada masyarakat di mana dalam Pasal 98 ayat (1) UndangUndang

Kesehatan dikatakan bahwa : “Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman,

berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan terjangkau”. Rumusan dalam Pasal tersebut diperkuat

dalam Pasal 106 ayat (1) yang mengatakan bahwa : “Sediaan Farmasi dan alat kesehatan hanya

dapat diedarkan setelah mendapat izin edar”. Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga

117
118

mengatur mengenai hak-hak yang dimiliki oleh konsumen seperti yang termuat dalam Pasal 4

huruf a, di antaranya adalah Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam

mengkonsumsi barang dan/ atau jasa. Pasal 4 huruf c juga diatur bahwa, konsumen memiliki Hak

atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.

Sebaliknya Pasal 7 huruf b Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa

Pelaku Usaha berkewajiban untuk memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai

kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta Pasal 7 huruf d yang menyebutkan bahwa pelaku

usaha wajib untuk menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan sesuai dengan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.

Tanggung jawab pembayaran ganti kerugian yang dialami oleh konsumen sebagai akibat

penggunaan produk didasarkan pada beberapa ketentuan yaitu berdasarkan wanprestasi dan

perbuatan melawan hukum.80

Ganti kerugian yang diperoleh karena adanya wanprestasi merupakan akibat tidak

dipenuhinya kewajiban utama atau kewajiban tambahan yang berupa kewajiban atas prestasi

utama atau kewajiban jaminan/garansi dalam perjanjian sedangkan tuntutan ganti kerugian yang

didasarkan pada perbuatan melawan hukum tidak perlu didahului dengan perjanjian sehingga

tuntutan ganti kerugian dapat dilakukan oleh setiap pihak yang dirugikan, walaupun tidak pernah

terdapat hubungan perjanjian antara pelaku usaha dengan konsumen. Untuk dapat menuntut ganti

kerugian, maka kerugian tersebut harus merupakan akibat dari perbuatan melanggar hukum

sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa :

“Setiap perbuatan yang melawan hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain

mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian ini mengganti kerugian tersebut”. Hal

80
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2011, hlm. 126

118
119

tersebut berarti, untuk dapat menuntut ganti kerugian harus dipenuhi unsurunsur sebagai

berikut :81

1. Adanya perbuatan melanggar hukum;

2. Adanya kerugian;

3. Adanya hubungan kausalitas antara perbuatan melanggar hukum dan kerugian;

4. Adanya kesalahan.

Sehubungan dengan kerugian yang dialami oleh seorang konsumen jasa pelayanan

kesehatan, Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Kesehatan telah mengatur bahwa : “Tenaga

kesehatan,dan/atau penyelenggara kesehatan wajib bertanggung jawab apabila ada pasien atau

konsumen yang menderita kerugian akibat kesalahan dan kelalaiannya”. Selain itu, Pasal 19

ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga telah mengatur bahwa : “Pelaku usaha

wajib bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau

kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau

diperdagangkan”.

Selanjutnya ketentuan pasal 1367 BW mengatur tentang siapa saja yang dapat

digolongkan ke dalam mereka yang tidak mampu bertanggung jawab sehingga dengan demikian

tidak dapat dimintai penggantian kerugian, dan siapa pula yang bertanggung jawab atas mereka

ini. Khususnya ketentuan pasal 1367 BW akan relevan artinya bagi mereka yang melakukan

perbuatan melanggar hukum yang belum dewasa atau yang cacat mental, sehingga dengan

demikian orang tua atau walinya yang bertanggung jawab.

Selanjutnya apabila karena kurang hati-hatinya atau dengan sengaja itu mengakibatkan

orang lain cacat badannya kita jumpai pengaturannya dalam ketentuan pasal 1371 BW.

(3) Pasal 1371 BW :


81
Ibid.

119
120

“Penyebaban luka atau cacatnya sesuatu anggota badan dengan sengaja atau karena

kurang hati-hati memberikan hak kepada si korban untuk, selain penggantian biaya-

biaya penyembuhan , menuntut penggantian kerugian yang disebabkan oleh luka atau

cacat tersebut. Juga penggantian kerugian ini dinilai menurut kedudukan dan

kemampuam kedua belah pihak, dan menurut keadaan. Ketentuan paling akhir ini pada

umumnya berlaku dalam hal menilaikan kerugian, yang diterbitkan dari sesuatu

kejahatan terhadap pribadi seseorang.”

Dalam kaitannya dengan tindakan medis yang mengakibatkan adanya mati atau cacat

tubuh tersebut maka yang wajib mengganti kerugian ialah orang yang menjalankan

profesi jabatan itu. Dalam praktek kerugian yang disebabkan baik karena “wanprestatie”

atau pun karena “onrechtmatige daad” tersebut tidak banyak menimbulkan perbedaan.

Dalam hal demikian maka dapat kita bayangkan dan perhitungkan bahwa setiap gugatan

penggantian kerugian yang disebabkan karena kesengajaan atau kurang hati-hatinya dokter

dalam menjalankan profesinya akan selalu mengalami kegagalan, dan oleh karena itu maka

diperlakukan adanya suatu standard baku mengenai sampai seberapa jauh ketekunan dan sikap

hati-hati tersebut ditentukan. Dari kriteria tersebut dapat kita simpulkan bahwa tidak pada setiap

kesalahan atau pada setiap kecelakaan secara otomatis dapat diadakan tuntutan ganti rugi.

Pengertian tersebut harus diartikan secara luas, yaitu apakah si pelaksana profesi tersebut dalam

hal ini dokter telah melaksanakan pekerjaannya dengan baik dan sempurna, dalam arti apakah

semua perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran yang mutakhir telah diusahakan sejauh

mungkin untuk ditetapkan dalam menjalankan pekerjaannya itu.

Tanggung Jawab Pelaku Usaha Secara Perdata Setiap pelaku usaha harus bertanggung

jawab untuk memberikan ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh konsumen akibat

120
121

penggunaan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan oleh pelaku usaha. Begitu juga dengan

konsumen klinik kecantikan ilegal yang menderita kerugian, maka klinik kecantikan tersebut

harus bertanggung jawab mengganti kerugian tersebut. Mengenai tanggung jawab pelaku usaha

untuk mengganti kerugian konsumen ini diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang Perlindungan

Konsumen dan Pasal 58 Undang-Undang Kesehatan. Untuk memperoleh kompensasi atas

kerugian yang diderita maka konsumen dapat menuntut pertanggungjawaban secara perdata

kepada pelaku usaha.

Terdapat dua bentuk pertanggungjawaban hukum secara perdata yaitu

pertanggungjawaban atas kerugian yang disebabkan karena wanprestasi dan pertanggungjawaban

atas kerugian yang disebabkan karena perbuatan melawan hukum.

a. Pertanggungjawaban Atas Kerugian yang Disebabkan Oleh Wanprestasi.

Hubungan hukum akan terjadi apabila konsumen datang ke klinik kecantikan untuk

melakukan perawatan atau untuk berobat. Hubungan hukum antara dokter, konsumen

dan klinik kecantikan berbentuk perikatan untuk berbuat sesuatu, yang dikenal

sebagai jasa pelayanan kesehatan. Pasien dan/atau konsumen adalah pihak yang

menerima jasa pelayanan kesehatan sedangkan dokter serta klinik kecantikan adalah

pihak-pihak pemberi jasa pelayanan kesehatan. Perikatan antara pasien dan/ atau

konsumen dengan pelaku usaha dapat lahir dari suatu perjanjian, oleh karena itu jika

pelaku usaha tidak memenuhi perjanjian tersebut maka pelaku usaha dianggap telah

melakukan wanprestasi. Perikatan terjadi antara konsumen dengan dokter sebagai

pelaku usaha. Perjanjian antara dokter dengan pasien dikenal dengan nama perjanjian

terapeutik. Perjanjian terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan pasien yang

memberikan kewenangan kepada dokter untuk melakukan kegiatan pelayanan

121
122

kesehatan kepada pasien berdasarkan keahlian dan keterampilan yang dimiliki oleh

dokter tersebut. Keadaan wanprestasi dalam hubungan hukum antara dokter dan

pasien membentuk pertanggungjawaban hukum bagi dokter terhadap kerugian yang

timbul. Wanprestasi dokter dapat berupa pelaksanaan tindakan medis yang tidak

seharusnya, yakni tindakan medis yang bertentangan dengan standar profesi medis

atau standar pelayanan medis. Bentuk kerugian yang dapat dituntut akibat

wanprestasi adalah berupa kerugian materiil yaitu kerugian yang dapat diukur dengan

nilai uang terutama biaya perawatan, biaya perjalanan, dan biaya obat-obatan.

Adanya kerugian ini harus dibuktikan bahwa kerugian tersebut merupakan akibat

langsung dari pelayanan medis dokter yang menyimpang. Jika ternyata akibat

wanprestasi ini tidak hanya menimbulkan kerugian materiil tetapi juga menimbulkan

kerugian immateriil maka konsumen dapat menuntut kerugian immateriil itu

berdasarkan perbuatan melawan hukum. Apabila praktik pelayanan kesehatan kulit

yang dilakukan oleh dokter di klinik kecantikan ilegal terbukti melakukan

pelanggaran standar pelayanan berupa standar mutu, keamanan dan kemanfaatan dari

kosmetika dan Laser yang digunakan dan/atau diedarkan sehingga mengakibatkan

kerugian materiil dan immateriil, maka konsumen dapat menuntut dokter selaku

pelaku usaha klinik kecantikan illegal berdasarkan wanprestasi dan perbuatan

melawan hukum.

b. Pertanggung jawaban Atas Kerugian yang Disebabkan Oleh Perbuatan Melawan

Hukum

Pasal 58 Undang-Undang Kesehatan menyebutkan bahwa setiap orang berhak

mendapatkan ganti rugi karena kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan yang

122
123

berakibat kematian atau cacat permanen. Jaminan yang diberikan Pasal 58

UndangUndang Kesehatan hanya akan jadi sekadar huruf mati apabila tidak diikuti

doktrin perbuatan melawan hukum yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata.

Apabila konsumen pengguna jasa klinik kecantikan ingin menggugat klinik

kecantikan dan/ atau dokter berdasarkan perbuatan melawan hukum, maka konsumen

tersebut harus dapat membuktikan bahwa pelayanan kesehatan kulit yang dilakukan

oleh pelaku usaha atau dokter di klinik kecantikan tersebut memenuhi unsur-unsur

perbuatan melawan hukum. Adapun unsur-unsur perbuatan melawan hukum tersebut

adalah sebagai berikut :

1) Adanya perbuatan melawan hukum

Perbuatan dapat dikatakan melawan hukum apabila bertentangan dengan hak

orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri, bertentangan dengan

kesusilaan dalam masyarakat, dan bertentangan dengan sikap hati-hati yang

seharusnya diindahkan dalam pergaulan masyarakat terhadap diri atau benda orang

lain. Bertentangan dengan hak orang lain maksudnya adalah bertentangan dengan

hak pasien sebagai konsumen yang telah diatur dalam Undang-Undang Kesehatan

dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Salah satu hak konsumen yang

dijamin oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah mengenai hak atas

keamanan, kenyamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/ atau

jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha, selain itu Pasal 98 dan 106 UndangUndang

Kesehatan juga memberikan jaminan atas pengamanan sediaan farmasi berupa

kosmetika dan alat kesehatan yang beredar dalam masyarakat termasuk yang

digunakan oleh klinik kecantikan dengan cara mendaftarkannya terlebih dahulu

123
124

kepada BPOM untuk diberikan notifikasi. Dengan adanya notifikasi tersebut maka

kosmetika dan alat kesehatan yang beredar tersebut dipastikan telah memenuhi

standar mutu dan aman untuk dikonsumsi masyarakat.

Permenkes Tentang Klinik mengatur mengenai Izin operasional dan Izin praktik

yang harus dimiliki oleh suatu klinik. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin bahwa

baik sarana maupun prasarana yang terdapat dalam suatu klinik sudah sesuai

prosedur dan memenuhi standar mutu. Namun pada praktiknya, klinik kecantikan

ilegal telah melakukan pelanggaran hak atas keamanan dan keselamatan konsumen

dalam menggunakan produk dan jasa yang disediakan dalam klinik tersebut. Klinik

kecantikan tersebut terbukti tidak memiliki izin mendirikan dan izin operasional.

Selain itu, kosmetika dan alat kesehatan yang digunakan tidak terdaftar di BPOM

sehingga tidak ada jaminan bahwa kosmetika dan Laser yang digunakan dalam

klinik tersebut aman untuk digunakan. Dalam kasus klinik kecantikan ini, dapat

dikatakan unsur perbuatan melawan hukum ini telah terpenuhi.

2) Adanya Kesalahan

Untuk dapat menuntut dokter tersebut dengan tuntutan perbuatan melawan

hukum, maka konsumen harus dapat membuktikan adanya kesalahan dokter dalam

menjalankan kewajibannya sehingga menimbulkan kerugian. Kesalahan yang

dilakukan dokter bisa dalam bentuk kesengajaan ataupun kelalaian. Kesalahan

karena kelalaian berarti dokter tidak menduga akibat yang timbul akibat

perbuatannya dan tidak ada motif darinya untuk menimbulkan suatu akibat tertentu

kepada konsumen sedangkan kesalahan karena kesengajaan berarti dokter

124
125

melakukan tindakannya secara sadar dan sudah mengetahui akibat yang dapat timbul

akibat tindakannya tersebut dan menyadari bahwa tindakannya tersebut melanggar

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dokter mengaku ia mengetahui bahwa

kosmetika dan alat kesehatan yang digunakan memang belum terdaftar di BPOM

namun menurutnya kandungan dari kosmetika tersebut aman untuk dikonsumsi.

Selain itu, dokter juga mengatakan bahwa tidak didaftarkannya klinik kecantikannya

kepada Dinkes kabupaten Karawang adalah akibat proses birokrasi yang menyita

waktu sangat lama. Unsur adanya kesalahan dalam kasus ini sudah terpenuhi,

dikarenakan dokter secara sadar mengetahui bahwa seharusnya ia harus

mendaftarkan klinik kecantikan miliknya kepada Dinkes Kabupaten Karawang dan

sebelum diedarkan kosmetika dan Laser tersebut harus didaftarkan di BPOM namun

untuk menghindari proses yang menurutnya rumit dan untuk menjual kosmetika

tersebut dengan harga yang lebih murah, dokter melalaikan kewajibannya untuk

mendaftarkannya kepada BPOM.

3) Adanya Kerugian

Kerugian akibat perbuatan melawan hukum ini meliputi kerugian materiil dan

kerugian immateriil. Adapun kerugian materiil yang ditanggung oleh konsumen

berupa biaya perawatan dan biaya kosmetika yang telah ia keluarkan selama proses

perawatan wajahnya berlangsung sedangkan kerugian immateriil yaitu berupa rasa

sakit yang dirasakan pada bagian wajahnya, selain itu konsumen kehilangan rasa

percaya dirinya akibat kerusakan pada bagian wajahnya. Berkaitan dengan besarnya

ganti kerugian yang harus dibayar, pada dasarnya harus berpegang pada asas bahwa

ganti kerugian yang harus dibayar sedapat mungkin membuat pihak yang rugi

125
126

dikembalikan pada kedudukan semula seandainya tidak terjadi kerugian atau dengan

kata lain ganti kerugian menempatkan sejauh mungkin orang yang dirugikan dalam

kedudukan yang seharusnya andai kata perjanjian dilaksanakan secara baik atau

tidak terjadi perbuatan melanggar hukum. Ganti kerugian harus diberikan sesuai

dengan kerugian yang sesungguhnya tanpa memperhatikan unsur-unsur yang tidak

terkait langsung dengan kerugian itu, seperti kemampuan / kekayaan pihak yang

bersangkutan.82

4) Adanya hubungan kausalitas antara perbuatan melawan hukum dan kerugian.

Konsumen harus dapat membuktikan bahwa pelayanan kesehatan kulit yang ia

jalani serta penggunaan kosmetika dan Laser di klinik kecantikan tersebutlah yang

mengakibatkan kerugian pada dirinya. Untuk membuktikan adanya hubungan

kausalitas antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian yang diderita

diperlukan keterangan dari ahli kedokteran kulit dan hasil uji laboratorium BPOM.

Selanjutnya, dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan melawan hukum di atas,

maka dalam hal terjadi kerugian pada konsumen pengguna jasa klinik kecantikan

akibat penggunaan kosmetika dan alat kesehatan tanpa izin edar untuk perawatan.

Kasus-kasus komplain konsumen di Klinik Kecantikan DuraSkin

Case 1 :

Pasien wanita, berUmur 31. Datang dengan keluhan wajah kusam dan banyak bekas

jerawat yang berwarna hitam. Pasien disarankan oleh dokter untuk melakukan

chemicalpeeling yang bertujuan untuk mencerahkan dan mengurangi bekas hitam akibat

82
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo,Op.Cit, hlm 134

126
127

jerawat dengan efek sementara muka akan merah, kering dan terkelupas.

Chemicalpeeling dilakukan dengan cara mengoleskan cairan asam dengan dosis tertentu

yang dilakukan oleh dokter. Pasien tidak menginginkan muka merah walaupun telah di

beritahu oleh dokter efek sementara chemichalpeeling namun masih tetap ingin mencoba

treatment yang ditawarkan oleh dokter dan di tawarkan treatment yang lain . Setelah

treatment selesai, muka pasien merah akibat dari chemichalpeeling dan pasien merasa

kurang nyaman dan mengkomplain ke dokter, sehingga dokter memberikan kompensasi

kepada pasien adalah penambahan treatment lain yang diberikan secara gratis, untuk

meredakan merah setelah chemichalpeeling. Hasil dari kompensasi dan penjelasan

tambahan dari dokter, pasien merasa cukup puas dan menerima.

Case 2:

Pasien wanita, berumur 15 tahun. Datang dengan keluhan banyak rambut/bulu di ketiak

dan warna ketiak yang gelap. Pasien ingin menghilangkan bulu dan mencerahkan kulit

ketiaknya. Dokter menyarankan laser yang dilakukan secara rutin hingga bulu ketiak

tidak tumbuh lagi dan melakukan scrub di rumah untuk alternatif mencerahkan warna

kulit di ketiak. Pasien setuju melakukan treatment yang disarankan dokter. keesokan hari

setelah treatment laser pasien mengeluh kulit ketiaknya panas dan terbentuk luka kecil

pada ketiak sebelah kiri dengan ukuran kurang lebih diameter 1cm. Dokter menyarankan

pasien untuk datang kontrol dan melihat keadaan pasien secara langsung. Setelah melihat

luka yang terbentuk dokter memberikan edukasi tentang penyembuhan luka, memberikan

treatment oxygen untuk mempercepat peroses penyembuhan dan menyuruh pasien untuk

kontrol kembali. Setelah 1 minggu, luka sudah mengering dan proses penyembuhan luka

127
128

hampir sempurna dan pasien merasakan puas dengan hasil penyembuhan luka dan ingin

melakukan laser kembali jika luka sudah sembuh sempurna.

Case 3:

Pasein wanita, berumur 35 tahun. Datang dengan keluhan scar pada muka akibat jerawat.

Dokter menyarankan untuk melakukan treatment dermaroller. Dermaroller adalah

tindakan yang dilakukan oleh dokter dengan cara melukai seluruh permukaan wajah

menggunakan jarum mikro yang steril dengan tujuan untuk merangsang pertumbuhan

jaringan baru sehingga scar yang terbentuk akan mengecil dan naik. Pasien menerima

segala efek sementara dari tindakan dermaroller. Setelah menyelesaikan treatment, pasien

merasakan kurang puas karena dermaroller yang dilakukan tidak mengenai satu bagian

scar atau bekas luka dan mengeluh ke dokter, sehingga dokter melakukan kompesasi

dengan memberikan treatement dermaroller gratis 1 kali pada kedatangan pasien

selanjutnya. Pasien merasakan puas dengan kompensasi yang diterimanya.

Berdasarkan wawancara yang peneliti lakukan pada klinik kecantikan DuraSkin, setiap

keluhan diselesaikan dengan tindakan-tindakan medis. Tindakan tersebut seperti, penambahan

dosis pada produk yang digunakan konsumen, perawatan kembali sampai keadaan pasien normal

kembali, intensitas perawatan yang dilakukan secara bertahap dan/atau terus-menerus.

Jadi Adapun tindakan medis Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

No. 290 tahun 2008 Pasal 1 no. 3 adalah tindakan preventif, diagnostik, terapeutik atau

rehabilitatif yang dilakukan oleh dokter.Tindakan yang diberikan oleh dokter dalam mengatasi

keluhan tersebut termasuk dalam tindakan terapeutik, karena merupakan tanggung jawab dari

klinik untuk mengganti kerugian konsumen.

128
129

Berdasarkan penuturan dr. Yosephina Napitupulu, tindakan tersebut diberikan dengan

melihat bagaimana keluhan itu dapat terjadi, apakah dikarenakan perawatan atau berdasarkan

produk-produk yang diberikan oleh dokter dari pihak klinik tidak sesuai atau disebabkan karena

kesalahan konsumen itu sendiri. Jika keluhan tersebut memang disebabkan oleh kesalahan

tindakan atau berdasarkan produk-produk yang tidak sesuai dengan kesepakatan yang diberikan

oleh dokter terhadap pasien (wanprestasi), maka dokter akan melakukan pemulihan kembali

terhadap kondisi yang dikeluhkan oleh pasien. Pasien akan diberikan perawatan secara gratis

atau dengan potongan harga tertentu dengan disesuaikan pada kondisi pasien tersebut. Tindakan

medis tersebut merupakan salah satu bentuk tanggung jawab dari pihak klinik kecantikan.

Sebelum memberikan ganti rugi terhadap keluhan yang diadukan oleh pasien, harus

diketahui terlebih dahulu apakah keluhan tersebut karena kesalahan yang dilakukan oleh pasien

atau dari pihak klinik (dokter). Pihak klinik akan ganti rugi apabila kesalahan tersebut ada pada

dokter atau pada pihak klinik itu sendiri. Tanggung jawab tersebut dilihat bagaimana kedudukan

dokter itu pada klinik tersebut, berdasarkan Pasal 1367 KUH Perdata, apakah dokter tersebut

sebagai pekerja di klinik kecantikan itu atau pemilik (owner) di klinik kecantikan itu sendiri.

Bentuk penggantian kerugian sebagai sebab perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur

dalam kedua Pasal di atas (Pasal 1365 dan Pasal 1366 KUH Perdata) dapat dalam bentuk materil

dan immateril, tetapi yang selalu terjadi sebagaimana pengakuan narasumber, bentuk ganti rugi

yang diberikan oleh pihak klinik di atas yaitu dalam bentuk immaterial, di mana dengan

memberikan perawatan-perawatan lebih lanjutsesuai dengan tingkatan-tingkatan yang telah

dianalisis oleh dokter atau berdasarkan keluhan dari pasien.

129
130

C. Upaya Hukum yang dapat ditempuh konsumen dalam hal kerugian yang dialaminya

Sebuah konflik berubah atau berkembang menjadi sebuah sengketa bilamana pihak yang

merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas, baik secara langsung kepada pihak yang

dianggap sebagai penyebab kerugian atau kepada pihak lain. 83 Ketidaktaatan pada isi transaksi

konsumen, kewajiban, serta larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat melahirkan sengketa antara pelaku usaha dan

pelanggan.

Ada tiga jenis pelanggaran yang potensial dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu:

a. Perbuatan atau tindakan pelaku usaha melanggar kepentingan dan hak- hak konsumen;

b. Produk yang dipasarkan oleh pelaku saha melanggar ketentuan larangan dalam UU;

c. Tanggung jawab yang harus dipikul oleh pelaku usaha.

Menurut UUPK, penyelesaian sengketa konsumen memiliki kekhasan. Sehingga para pihak

yang bersengketa, dalam hal ini pihak konsumen, dapat menyelesaikan sengketa itu mengikuti

beberapa lingkungan peradilan ataupun memilih jalan penyelesaian di luar pengadilan, yaitu

penyelesaiaan sengketa melalui peran ombudsman.

Adapun sengketa yang terjadi antara pihak klinik (dokter) dengan pasien disebut sengketa

medik. Sengketa medik adalah sengketa yang tejadi antara pasien atau keluarga pasien dengan

tenaga kesehatan atau klinik.Sengketa medik antara pasien dengan pihak klinik atau dokter

terjadi karena adanya ketidakpuasan dari pasien, ketidakpuasan itu berasal dari hasil tindakan

yang tidak sesuai harapan atau adanya dampak negatif dari hasil pengobatan, munculnya

penyakit tambahan, serta kerugian yang dialami pasien.

Negosiasi atau perundingan merupakan suatu proses untuk mencapai kesepakatan dengan

pihak lain. Negosiasi merupakan bentuk penyelesaian sengketa oleh para pihak sendiri tanpa
83
Rachmadi Usman.Pilihan Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. 2003. hlm. 1.

130
131

bantuan dari pihak lain, dengan cara bermusyawarah atau berunding untuk mencari pemecahan

yang dianggap adil oleh para pihak. Hasil dari negosiasi merupakan penyelesaian kompromi

yang tidak mengikat secara hukum. Negosiasi dapat digunakan untuk menyelesaikan setiap

bentuk sengketa, apakah itu sengketa ekonomi, politik, hukum, wilayah, keluarga, suku, dan

lain-lain.

Segi positif dari negosiasi ini adalah sebagai berikut;

a). para pihaklah yang memegang palu hakimnya sendiri;

b). Sifatnya rahasia;

c).Hukum acara atau formalitas persidangan tidak ada.

Segi negatif dari forum negosiasi ini yaitu, manakala kedudukan para pihak tidak

seimbang, dimana salah satu pihak kuat sedangkan pihak yang lain lemah. Dalam keadaan ini,

pihak yang kuat berada dalam posisi untuk menekan pihak lainnya. Satu pihak yang terlalu keras

dengan pendiriannya dapat mengakibatkan proses negosiasi ini menjadi tidak produktif. Hal

tersebut sering terjadi manakala dua pihak bernegosiasi untuk menyelesaikan sengketa.

Dengan tidak adanya pihak ketiga dalam proses penyelesaian sengketa ini menjadikan

negosiasi sebagai tahap pertama dalam penyelesaian sengketa. Dalam proses negosiasi ini

menghasilkan suatu keputusan maka hasil kesepakatan tersebut dituliskan dalam dokumen

perjanjian, seperti yang tertulis dalam Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Alternatif Penyelesaian Sengketa, menyebutkan bahwa; penyelesaian sengkata atau beda

pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketa diselesaikan dalam pertemuan langsung

(negosiasi) oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 hari dan hasilnya dituangkan dalam

suatu kesepakatan tertulis.

131
132

Adapun macam-macam upaya hukum yang dapat ditempuh oleh konsumen jasa

kecantikan untuk menuntut ganti rugi akibat kerugian yang terjadi dalam transaksi pada klinik

kecantikan dapat dilakukan melalui beberapa cara:

1. Litigasi (penyelesaian sengketa di peradilan umum)

Dasar hukum untuk mengajukan gugatan di pengadilan terdapat dalam Pasal 45 ayat (1)

UUPK, yang menyetakan, “setiap konsumen yana dirugikan bisa menggugat pelaku usaha

melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau

melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum berdasarkan pilihan sukarela para

pihak yang bersengketa”.

Dalam kasus perdata di pengadilan negeri, pihak konsumen yang diberi hak mengajukan

gugatan menurut Pasal 46 UUPK adalah:

a). Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;

b). Kelompok konsumen yang mempunyai kepeningan yang sama;

c). Perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaiu berbentuk

badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa

tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan

telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;

d).Pemerintah dan/atau instansi terkait apaila barang dan/atau jasa yng dikonsumsi atau

dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.

2. Non Litigasi

Penyelesaian sengketa konsumen malalui jalur non litigasi (di luar pengadilan)

digunakan untuk mengatasi keberlakuan proses pengadilan, dalam Pasal 45 ayat (4) UUPK

disebutkan bahwa, “jika telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan,

132
133

gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh jika upaya itu dinyatakan tidak berhasil oleh

salah satu pihak atau oleh pihak yang bersengketa”.

Penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi dapat ditempuh melalui Yayasan

Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Direktorat Perlindungan Konsumen Dinas Perindustrian

dan Perdagangan (Disperindag), dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagai

mediatornya. Dan melalui cara negosiasi kepada pelaku usaha. Jika penyelesaian sengketa

melalui BPSK, maka salah satu pihak tidak dapat menghentikan perkaranya di tengah jalan,

sebelum BPSK menjatuhkan putusan. Artinya, bahwa mereka terikat utuk menempuh proses

pemeriksaan sampai saat penjatuhan putusan. Dari hasil wawancara beberapa konsumen Klinik

Kecantikan yang tidak cocok menggunakan produk dari klinik kecantikan, upaya hukum yang

dilakukan adalah dengan cara non litigasi atau dengan musyawarah yaitu datang langsung

kepada pihak klinik kecantikan yang bersangkutan untuk dimintai pertanggungjawabannya atau

ganti rugi.

Hasil wawancara dari tiga konsumen DuraSkin Clinic Centre

1) Saya pasien wanita berumur 17 tahun, datang dengan keluhan jerawat dan komedo yang

sangat banyak di muka saya dan membuat tingkat kepercayaan diri saya menurun.

Sehingga orang tua saya membawa saya ke klinik DuraSkin untuk bertemu dokter dan

melakukan perawatan jerawat yang sesuai dengan umur saya. Dokter menjelaskan

treatment yang akan jalani adalah treatment jerawat dengan cara dikeluarkan komedo, di

lakukan penyinaran untuk membunuh kuman jerawat dan juga saya di jelaskan oleh

dokter bagaimana cara membersihkan muka di rumah, berapa kali saya harus mencuci

muka, makanan apa saja pemicu jerawat serta faktor-faktor terjadinya jerawat. Setelah

133
134

melakuakn treatment 3 kali di DuraSkin dan mengikuti nasehat dari dokter, saya

merasakan perubahan yang signifikan yaitu jerawat dan komedo saya sangat berkurang,

kulit saya terlihat lebih bersih, kulit saya terlihat lebih sehat. Saya merasa sangat puas

dengan hasil treatment di Duraskin, membuat percaya diri saya naik kembali.

2) Saya pasien wanita, berumur 53 tahun. Datang dengan keluhan flek pada kedua pipi saya.

Flek muncul kurang lebih sejak saya berumur 45 tahun. Temen saya menyarankan saya

untuk mencoba treatment flek di Duraskin karena ia merasakan hasilnya sendiri. Saya

berkonsultasi dengan dokter. Dokter menjelaskan faktor-faktor terbentuknya flek dan

cara mengurangi flek agar tidak bertambah banyak dan hitam, setelah itu dokter

menyarankan untuk melakukan treatment pengangkatan sel kulit mati dan laser flek

untuk membuat kulit saya menjadi cerah dan flek sedikit memudar. Semenjak saat itu

saya mulai rutin melakukan treatment karena perubahan yang saya rasakan adalah kulit

saya menjadi jauh lebih cerah, flek saya menipis dan tidak bertambah banyak. Saya telah

melakukan treatment flek di Duraskin kurang lebih telah 1 tahun dan saya akan tetap

melakukan perawatan di Duraskin karena pelayanannya yang memuaskkan, mulai dari

beauticiannya hingga dokternya.

3) Saya pasien laki-laki, berumur 34 tahun. Datang dengan keluhan komedo yang banyak

dan pori-pori yang besar. Saya ingin terlihat lebih cerah dan muka yang sehat. Dengan

melakukan pencarian di media sosial, saya memberanikan diri untuk mencoba treatment

di klinik DuraSkin. Saya berkonsultasi dengan dokter dan memberitahu keluhan saya,

sehingga dokter menyarankan untuk melakukan treatment microdermabrasi.

Microdermabrasi adalah pengangkatan sel kulit mati yang di lakukan dengan

134
135

menggunakan alat diamond tip dengan sensasi seperti di sedot. Setelah dokter

menjelaskan proses dan tujuan treatment, sayapun menyetujuinya. Setelah melakukan

treatment saya merasakan kulit wajah saya lebih cerah, halus dan pori-pori saya sedikit

mengecil setelah beberapa kali treatment. Sejak saat itu saya melakukan perawatan rutin

di Duraskin saat saya tidak sibuk, kurang lebih saya telah melakukan perawatan si

Duraskin 8 bulan.

135
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, baik melalui penelitian kepustakaan maupun penelitian

lapangan, serta analisis yang telah penulis lakukan, berikut disajikan kesimpulan yang

merupakan jawaban dari permasalahan di dalam penelitian ini, yaitu:

1) Peran konsumen di dalam klinik kecantikan merupakan sebagai pemakai atau pengguna

dari jasa dermatologi yang disediakan oleh pihak klinik kecantikan DuraSkin Clinic

Centre. Para pihak yang merupakan tenaga medis, bagian farmasi klinik dan segala pihak

yang terkait dalam perusahaan dibawah naungan PT. Multi Sejahtera Bersama

merupakan pihak sebagai penyedia jasa dermalotogi yang disediakan untuk memuaskan

konsumen.

2) Hubungan konsumen terhadap perjanjian yang terjadi merupakan suatu transaksi

terapeutik di klinik kecantikan disebabkan karena adanya kesepakatan antara dokter dan

juga pasien dimana pasien dan dokter memiliki kecakapan dalam melakukan kesepakatan

terhadap tindakan apa yang akan dilakukan kepada pasien dan tindakan tersebut

diperboleh untuk dilakukan sesuai dengan aturan yang ada. Kesepatan terjadi saat pasien

menyetujui tindakan yang akan dilakukan oleh dokter serta krim yang akan digunakan

oleh pasien. Terjadinya transaksi terapeutik di klinik kecantikan ini dikarenakan pasien

ingin memperoleh kesembuhan sakit kronis kulit sebagaimana yang dimaksud yaitu

masalah jerawat diwajah dan/ataupun masalah kulit lainnya seperti kulit yang tidak cerah.

3) Tanggung jawab yang diterapkan oleh Klinik Kecantikan DuraSkin Clinic Centre Jakarta

ada 2 (dua) macam, yakni tanggung jawab apabila terdapat kerugian yang diakibatkan
137

oleh produk dan/atau obat-obatan yang dijual, dan tanggung jawab kerugian atas jasa

pelayanan yang dilakukan oleh tenaga medis (dokter) atau tenaga pelaksana (beautician),

baik berupa wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum. Dalam praktiknya selama

ini tanggung jawab yang diberikan oleh Klinik Kecantikan DuraSkin Clinic Centre

Jakarta berkaitan dengan keluhan konsumen yang termaksud dalam wanprestasi dan

belum terdapat keluhan yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum. Pada

pelaksanaannya Klinik Kecantikan DuraSkin Clinic Centre mengedepankan

pertanggungjawaban berbentuk pelayanan perawatan kesehatan kecantikan sesuai

dengan jenis keluhan yang disampaikan oleh pasien selaku konsumen sampai wajah

konsumen membaik kembali.

Berdasarkan hasil penelitian pada Klinik Kecantikan DuraSkin Clinic Center Jakarta,

pada praktiknya selama ini pasien selaku konsumen dan Klinik Kecantikan DuraSkin

Clinic Center Jakarta selaku pelaku usaha selalu mengedepankan penyelesaian sengketa

melalui jalur nonlitigasi, berupa upaya damai yang menciptakan suatu keadaan

musyawarah mufakat. Hal ini terbukti dari tidak pernah adanya sengketa antara kedua

belah pihak yang masuk ke jalur litigasi.

B. Saran

1) Konsumen Klinik Kecantikan DuraSkin Clinic Centre Jakarta sebaiknya lebih teliti

dalam menggunakan jasa dan produk yang ditawarkan oleh klinik kecantikan. Konsumen

diharapkan lebih mendengar terlebih dahulu saran dan efek samping dari treatment yang

akan dilakukan atau diberikan oleh pihak klinik kecantikan.

137
138

2) Pihak Klinik Kecantikan DuraSkin Clinic Center Jakarta diharapkan lebih memberikan

informasi yang jelas kepada konsumen mengenai kegunaan dan efek samping pada

penggunaan obat-obatan dan/atau produk secara benar untuk mengurangi keluhan

konsumen. Sebaiknya lebih diatur secara jelas dalam Perjanjian Kerja mengenai status

dan masa kerja, serta tanggungjawab atau sanksi-sanksi yang dapat dijatuhkan kepada

beautician selaku tenaga pelaksana apabila menyebabkan kerugian.

3) Pihak klinik kecantikan diharapkan lebih memberikan pelatihan atau edukasi terhadap

beautician atau tenaga-tenaga kerja medis yang bekerja di klinik kecantikan DuraSkin

agar terhindar dari segala jenis kerugian yang dapat dialami konsumen di klinik

kecantikan. Apabila konsumen sudah mengalami kerugian maka pihak klinik kecantikan

diharapkan lebih mengetahui treatment yang mana lebih cocok untuk wajah atau kulit

konsumen agar wajah atau kulit konsumen membaik kembali.

138
DAFTAR PUSTAKA

A.Z Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta : Diadit Media 2002

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta : Sinar Grafika 2008

Abdul Halim Barkatulah, Hukum Perlindungan Konsumen, Banjarmasin : Nusa Media

2008

Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum dan Masalah Medik, Airlangga University Press 1984

, Simposium Hukum Kedokteran (Medical Law), Jakarta 1993, Badan

Pembina Hukum Nasional

J.Guwandi, Dokter, Pasien dan Hukum, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 1996

Indra Bastian Suryono, Penyelesaian Sengketa Kesehatan, Jakarta : Salemba Medika 2011

Agus Budianto dan Gwendolyn Ingrid Utama, 2010, Aspek Jasa Pelayanan Kesehatan

Dalam Perspektif Perlindungan Pasien, Bandung, Karya Putra Darwati

Amiruddin Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Raja

Grasindo Persada.

Anny Isfandyarie, 2006, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter Buku I,

Jakarta, Prestasi Pustaka.

Astrid Susanto, 2006, Pengantar Sosiologi Dan Perubahan Sosial, Bandung, Bina Cipta.

Bahar Azwar, 2002, Sang Dokter, Jakarta, Kesaint Blank.

Bahder Johan Nasution, 2013, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Jakarta,

Rieneka Cipta.

Celine Tri Siwi, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung, Sinar Grafika.

139
140

Elly M. Setiadi dan Usman Kholip, 2011, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala

Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya,

Jakarta, Kencana Prenada Media Group.

Husni Syawali, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung, Mandar Maju.

Irving M. Zeitlin, 1998, Memahami Kembali Sosiologi, Yogyakarta, Gajah Mada University

Press.

JURNAL :

Olga Stepani, Perlindungan Hukum Pasien Klinik Kecantikan (studi kasus konflik dalam Klinik

Kecantikan di Semarang), Jurnal Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang

2017

Siska Diana Sari, Perlindungan Hukum bagi pengguna klinik Kecantikan Estetika Berdasarkan

perspektif hak konstitusional warga negara, Jurnal Fakultas Hukum

Universitas PGRI Madiun 2018

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:

 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan

 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Peraturan Menteri

Kesehatan Nomor. 9 Tahun 2014 Tentang Klinik

140
141

ARTIKEL/JURNAL:

http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/49553/Chapter%20II.pdf?

sequence=4&isAllowed=y

Desi Arlinda. 2016. Aku Dan Mukaku.http://lovelylind.blogspot.co.id/2016/02/aku-dankulit


mukaku-yang-eeerrgghh.html
Anonim. 2015. Etika Dan Profesi Dokterhttps://batambest.files.wordpress.com/2012/05/etika
profesi-dokterisipresentasi2. pdf
Dina Syarifa. 2015. Dokter Kecantikan Dan Dokter Kulit Apa Bedanya.
http://journal.sociolla.com/tips-hacks/dokter-kecantikan-dan-dokter-kulitapabedanya
Anonim. 2015. Apa itu Dermatologi: Gambaran Umum.
https://www.docdoc.com/id/info/specialty/dermatologi.
Selfia Mona Peggystia. 2013. Formulasi dan Teknologi Sediaan Semi Solid Krim
http://selfiamona.blogspot.co.id/2013/10/formulasi-dan-teknologi-sediaan semi_9939.html
Anonim. https://batambest.files.wordpress.com/2012/05/etika-profesi-dokter-isipresentasi2. pdf

141

Anda mungkin juga menyukai