DISERTASI
NANI MULYATI
NPM: 1106044951
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
JAKARTA
JANUARI 2018
ii
PERNYATAAN ORISINALITAS
adalah karya orisinal saya dan setiap serta seluruh sumber acuan telah ditulis sesuai dengan
kaidah penulisan ilmiah yang berlaku di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Nani Mulyati
NPM: 1106044951
iii
PROMOTOR/PENGUJI
Promotor:
Prof. Dr. Topo Santoso, S.H, M.H
Ko-Promotor:
Dr. Suhariyono, SH. MH
Tim Penguji:
Prof. Harkristuti Harkrisnowo, SH. MA. PhD.
Prof. Mardjono Reksodiputro, SH. MA.
Prof. Dr. Valerine J.L. Kriekhoof, SH. MA.
Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, SH. MH. FCBArb.
Dr. Surastini Fitriasih, SH. MH.
Dr. Chairul Huda SH. MH.
Dr. Eva Achjani Zulfa, SH., MH
v
Kata Pengantar
Alhamdulillah, segala puji syukur kepada Allah SWT atas karunia, rahmat, kebaikan
dan kasih sayang – Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Cukup panjang
perjalanan yang telah dilalui untuk akhirnya dapat menyelesaikan semua ini. Perjalanan
panjang tersebut akan menjadi sebuah kisah dengan pelajaran hidup yang sangat berharga
bagi kehidupan penulis ke depan.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya ingin penulis sampaikan dari lubuk hati
yang paling dalam kepada:
1. Prof. Dr. Topo Santoso, SH. MH., yang merupakan dekan FHUI periode 2013 - 2017
dan sekaligus adalah promotor yang sangat penulis banggakan dan teladani. Beliau
telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran, perhatian dan selalu memberikan
motivasi serta inspirasi kepada penulis untuk terus berjuang menyelesaikan disertasi
ini dengan sebaik-baiknya.
2. Dr. Suhariyono, SH. MH., yang merupakan ko-promotor dalam penulisan disertasi ini
seperti orang tua yang bijaksana bagi penulis. Memberikan masukan dan arahan
dengan cara yang menenangkan, menyemangati dengan memberikan kepercayaan
yang besar bahwa penulis dapat melakukan yang terbaik.
3. Para tim penguji yang sangat terpelajar, Prof. Harkristuti Harkrisnowo, SH. MA.
PhD., Prof. Mardjono Reksodiputro, SH. MA., Prof. Dr. Valerine J.L. Kriekhoof, SH.
MA., Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, SH. MH. FCBArb., Dr. Surastini Fitriasih, SH.
MH., Dr. Chairul Huda SH. MH., Dr. Eva Achjani Zulfa, SH., MH. Para tim penguji
pada dasarnya adalah penyempurna yang mematutkan disertasi ini menjadi lebih
layak dan rancak. Terima kasih banyak yang tidak terhingga kepada seluruh tim
penguji atas kesediaannya memberikan bimbingan, arahan, petunjuk, saran dan
pelajaran bagi penulis. Semoga segala kebaikan Bapak dan Ibu dibalas oleh Allah
SWT dengan kebaikan yang lebih baik lagi dan ilmu bermanfaat yang diberikan akan
menjadi amal sholeh bagi Bapak/Ibu di hadapan Allah SWT.
4. Pimpinan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Melda Kamil Ariando, SH.,
LL.M., Ph.D., dan jajaran Pimpinan FHUI Periode sebelumnya, Ibu Dr. Ratih
Lestarini, SH., MH selaku Wadek bidang akademik, riset dan kemahasiswaan dan Ibu
Wirdyaningsih, SH., MH, selaku Wadek bidang administrasi umum, SDM dan
ventura.
5. Pimpinan program pascasarjana FHUI mulai dari awal penulis menjadi mahasiswa
pada tahun 2011 yang pada saat itu ada di bawah kepemimpinan Prof. Dr. Rosa
Agustina, SH. MH., dan ketua Program S3 Bapak Andri G. Wibisana, SH. LLM.
PhD., hingga saat ini dipimpin oleh Prof. Dr. Satya Arinanto, SH. MH., dan ketua
Program S3 Ibu Tri Hayati, SH., MH. Beserta seluruh staff pendidikan yang telah
banyak memberikan bantuan dan kemudahan dalam pengurusan administrasi selama
penulis menempuh pendidikan.
6. Pimpinan Universitas Andalas dan Pimpinan Fakultas Hukum Universitas Andalas
yang penulis hormati, Bapak Dekan, Prof. Dr. Zainul Daulay, SH., MH., beserta
Wakil Dekan I, Bapak Dr. Kurniawarman, SH. MH., Wakil Dekan II, Bapak Dr.
Busyra Azheri, SH., MH dan Wakil Dekan III Bapak Charles Simabura, SH. MH.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Andalas Periode 2010 – 2014, Prof. Yuliandri,
SH., MH., beserta para Wakil Dekan yang telah memberikan izin kepada penulis
untuk melanjutkan pendidikan. Para Guru Besar Fakultas Hukum Universitas
Andalas, Bapak dan Ibu dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas yang tidak bisa
penulis sebutkan satu per satu, terima kasih untuk bantuan, perhatian dan doa-doa
vi
terbaik yang telah dikirimkan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan disertasi
ini.
7. Guru Besar di Bagian Hukum Pidana Universitas Andalas, Prof. Dr. Elwi Danil, SH.
MH., yang telah memberikan dukungan dan dorongan kepada penulis untuk
melanjutkan pendidikan S3 di FHUI dan Prof. Dr. Ismansyah., SH. MH., yang pada
saat penulis memulai pendidikan adalah Ketua Bagian yang selalu memberikan
dukungan dan kemudahan kepada penulis. Ketua Bagian Bapak Dr. A. Irzal Rias, SH.
MH, Sekretaris Ibu Yusrida SH., MH., Bendahara Ibu Efren Nova, SH., MH.; seluruh
dosen Bagian Hukum Pidana, Ibu Dr. Aria Zurnetti, SH. MH., Uni Dr. Siska
Elvandari, SH. MH., Ibu Nelwitis, SH., MH., Tante Diana Arma, SH., MH., Ibu
Yandriza, SH., MH., Bapak Yoserwan, SH., MH., LLM., Bapak Dr. Fadillah Sabri,
SH. MH., Ibu Tenofrimer, SH., MSi., Bapak Apriwal Gusti., SH., Riki Afrizal, SH.,
MH. Penulis ucapkan terima kasih banyak untuk perhatian dan semua kebaikannya
selama ini. Kiriman doa-doa terbaik penulis sampaikan kepada Almarhumah Ibu Dr.
Shinta Agustina, SH., MH., dan almarhum Prof. Dr. Teguh Sulistia, SH., M.Hum.,
merupakan dosen yang penulis teladani mulai semenjak memasuki lingkungan
Fakultas Hukum Universitas Andalas. Semoga beliau ditempatkan di tempat yang
mulia.
8. Terima kasih secara khusus penulis sampaikan kepada adinda Edita Elda, SH., MH.,
Delfina Gusman, SH. MH., Uda Lucky Raspati, SH., MH., Uda Iwan Kurniawan,
SH., MH., Uni Yasniwati, SH., MH., Uni Wetria Fauzi, SH., MH, Uni Nilma Suryani,
SH., MH., Uni Dr. Delfiyanti, SH. MH., Uni Devianty Fitry, SH. MH., yang
merupakan teman terbaik yang selalu memberikan dukungan, motivasi, dan
membantu keperluan penulis selama dalam pendidikan.
9. Prof. dr. John Vervaele yang menjadi supervisor selama penulis menjadi visiting
researcher di Willem Pompe Institute for Criminal Law and Criminology, Utrecht
University, Belanda. Seluruh staff Willem Pompe Institute, terutama Marcella Kiel
(Secretary to the Board of Utrecht University School of Law) dan dr. Mark Hornman
yang banyak membantu penulis selama melakukan penelitian di Utrecht University.
10. Para narasumber yang bersedia meluangkan waktunya untuk penulis temui dan
wawancarai sehingga dapat menambah pemahaman penulis mengenai topik disertasi
ini, Prof. mr. H.R.B.M. (Henk) Kummeling dari Utrecht University, Bapak Dr.
Shidarta, SH., MH., dari Universitas Bina Nusantara, Ibu Dr. Yetty Komalasari Dewi,
SH., LLM., dari Universitas Indonesia, Hakim Tinggi di Pengadilan Tinggi DKI
Jakarta, Hakim Tinggi Heru Pramono., SH., M.Hum., dan Hakim Tinggi Dr.
Siswandriyono., SH., M.Hum. Bapak Yuli Tambing, SH., M.Si, Bapak I Ketut
Setiawan, SH., Mas Lukman Haryano, SH., MH., dari Badan Narkotika Nasional
(BNN), Bapak Ilham Putuhena dari Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) dan
Bapak Roki Panjaitan, SH selaku panitera pidana khusus MA Republik Indonesia dan
Bapak Ogan Sudrajat, SH., MH., selaku koordinator Peninjauan Kembali/Grasi pada
Kepaniteraan Pidana Khusus MA Republik Indonesia.
11. Teman-teman seperjuangan dalam suka dan duka, angkatan 2011 S3 FHUI yang
penulis banggakan, Mb Dr. Helza Novalita, SH., MH., Ibu Antarin Prasanthi Sigit,
SH., Msi., abang Dr. Ahmad Sofian, SH., MA., Uda Dr. Roberia, SH., MH., Bang Dr.
Brian A. Prastyo, SH., LLM., Bang Dr. Abdul Salam., SH., MH., Pak Dr. Anthon
Raharusun, SH., MH, Bang Dr. Zulham, SH., MH., Adik Dr. Teddy Anggoro, SH.,
MH., Pak Aad Rusyad Nurdin, SH., MKn., Afra Roki., SH., MH., Pak Dr. Chandra
Yusuf, SH., LLM., Pak Richard Burton, SH., MH., Pak Jenderal (Purn) Fachrul Razi,
abang Hakim Bongbongan Silaban, SH., LLM. Doa-doa terbaik juga penulis kirimkan
kepada Almarhum mas A. Azis, SH., MH.
vii
12. Teman-teman S3 FHUI lintas angkatan, yang selalu saling berbagi informasi,
pengalaman, keceriaan, keseruan, kesedihan, dukungan dan doa-doa yang selalu
mengiringi pertemuan dan curhatan. Pak Simpleks, Reza, Mb Nenny, Kak Maria, Mb
Inne, Rahmat, Pak Iwan, Mb Risda, Artha, Pak Tio, Mb Laily, Mb Maya, Mb Ratih,
Mb Fuli, Mb Dr. Ike, Mb Nathalina, Mb Feby, Manohara. My best prayers and wishes
buat semuanya.
Orang tua yang sangat penulis sayangi, Papa, Ir. Emzalmi, Msi., mama Rosmawati,
BA., semua perjuangan ini diawali dari keinginan untuk membuat papa dan mama bangga
dan bahagia. Tiada satu kata ataupun perbuatan yang dapat mengungkapkan betapa penulis
sangat berterima kasih dan bersyukur atas segala kasih sayang yang telah diterima selama ini.
Mertua yang sangat penulis sayangi, Papah Ropii Ali Zaini, Mamah Laela Nurlela, terima
kasih untuk pengertian, kesabaran, perhatian dan doa-doa yang telah diberikan kepada kami.
Uni Tuti Kurnia, SP., MM., dan Mas Heri Prabowo., ST., MT., beserta ananda Aisyah,
Aliyah, Husna; Adinda Dodi Febrizal, SH., dan Mitra Maulia Tamba, S. Si., beserta ananda
Yusuf, Fatimah dan (alm) Ibrahim; kesayangan Amirah Shalihah; Aa Rully Budhiana, ST.,
dan Teteh Tatih Heryatih, beserta ananda Dafhin, dan Nafiz; Teteh Sizka Ferawati, SE., Aa
Agung Sedayu, SE., seluruh keluarga besar di Padang dan di Majalengka.
Suami yang sangat penulis cintai, Ferry Christian, ST., MM., pasangan, sahabat,
partner dalam semua keadaan, terima kasih yang tidak terhingga untuk kasih sayang, cinta,
dukungan, pengertian, kesabaran, perhatian, pengorbanan dan banyak hal baik lain yang telah
diberikan. Penulis mungkin tidak akan dapat menyelesaikan disertasi ini dan sampai di titik
ini apabila tidak ada pendukung sehebat dirimu. Couldn’t get any bigger with anyone else
beside me. Anak-anak kami yang insya Allah sholehah, Amanda Nabila Afnan dan Alyssa
Azzahra Afnan; semoga kalian dapat memahami bahwa perjuangan untuk mendapatkan
sesuatu itu tidak pernah mudah; disertasi ini bunda persembahkan untuk kalian sebagai
motivasi, inspirasi dan kebanggaan dalam melangkah dan mengarungi kehidupan yang lebih
baik.
Meskipun disetasi ini telah diusahakan dan dibuat dengan semaksimal mungkin,
namun tentunya tidak ada kesempurnaan yang hakiki, sehingga penulis terbuka untuk segala
masukan atau saran baik terhadap materi ataupun terhadap cara penulisan disertasi ini.
Semoga disertasi ini dapat memberikan manfaat untuk masyarakat luas dan dapat menjadi
bahan rujukan yang berguna bagi ilmu hukum khususnya hukum pidana di Indonesia.
Nani Mulyati.
viii
Dengan hak bebas royalti non eksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data, merawat, dan
mempublikasikan disertasi saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan
pemilik hak cipta.
Nani Mulyati
ix
ABSTRAK
Peran korporasi sebagai aktor sosial sangat besar dan penting seiring dengan semakin
kompleks dan majunya kehidupan masyarakat. Saat ini terdapat ketidakjelasan mengenai
konsep korporasi sebagai subjek hukum pidana dan entitas apa saja yang bisa
dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Disamping itu, pengaturan mengenai
pembebanan pertanggungjawaban pidana bagi korporasi masih sangat minim, terutama
mengenai pemisahan pertanggungjawaban pidana korporasi dan pengurus (subjek manusia)
ketika terjadi suatu tindak pidana di dalam korporasi. Keadaan ini mengakibatkan sangat
sedikit kasus hukum yang menjadikan korporasi dapat dituntut atas perilakunya yang
bertentangan dengan ketentuan hukum yang mengandung sanksi pidana; dan ada
kecenderungan untuk melihat korporasi dan personel pengendali (directing mind) korporasi
adalah subjek hukum yang sama, sehingga mereka dapat dipertukarkan satu dengan yang
lainnya (interchangeable) dalam hal penuntutan dan penjatuhan sanksi pidana. Disertasi ini
melakukan telaahan mengenai teori subjek hukum dan karakteristik yang diperlukan oleh
suatu entitas yang bukan manusia untuk dapat juga dipertanggungjawabkan dalam hukum
pidana. Selanjutnya, penelitian ini menganalisis pemaknaan dan penerapan konsep korporasi
dan bentuk-bentuk korporasi yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana serta
implementasi pertanggungjawaban pidana korporasi dalam kasus hukum dan peraturan
perundang-undangan. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, didukung
dengan pendekatan wawancara mendalam (in-depth interview) dan micro-comparative study.
Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa definisi korporasi yang selama
ini dipakai dalam beberapa UU khusus di Indonesia dan juga dalam RKHUP, merupakan
pengadopsian istilah yang kurang tepat. Penulis berpendapat bahwa istilah yang paling cocok
digunakan untuk merujuk kepada subjek hukum kolektif terlepas apakah memiliki
personalitas hukum mandiri ataukah tidak memiliki status sebagai subjek hukum adalah
‘organisasi’. Selanjutnya, mengenai posisi korporasi publik perlu untuk ditegaskan dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Negara sebagai penyelenggara kepentingan
umum secara prinsip masih dianggap imun dari prosekusi hukum pidana, begitu juga
pemerintahan daerah ketika menjalankan fungsi administrasi pemerintahan. Partai politik
seharusnya tidak dapat diberikan sanksi berupa pembubaran secara paksa dalam mekanisme
hukum pidana karena mereka memiliki fungsi konstitusi yang cukup signifikan. Terakhir, R-
KHUP sebaiknya memberikan kriteria yang lebih jelas mengenai kondisi seperti apa yang
diperlukan untuk membebankan pertanggungjawaban pidana bagi korporasi dan pengurus
korporasi, serta pengaturan secara khsusus mengenai hukum acara bagi subjek hukum
korporasi dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (R-KUHAP), agar
aparat penegak hukum memiliki acuan hukum dalam menjadikan korporasi sebagai subjek
tindak pidana dan juga agar tidak mencampuradukkan ke dua subjek hukum ini sebagai
subjek hukum yang sama dan dapat dipertukarkan satu dengan yang lainnya.
ABSTRACT
The more complex and advance the society, the more significant and important the roles of
corporations as social actors. At the moment, there is a lack of clarity about the concept of
corporation as a criminal legal subject and about what entities can be criminally liable.
Besides, provisions about the attribution of criminal liability for corporation is very limited,
especially regarding the separation of corporate criminal liability and personal liability
(human legal subject) when there is criminal act within the corporation. This condition has
led to the fact that there are only few legal cases where corporation is prosecuted for their
unlawful behaviour that contradicts with legal provisions that contain criminal sanction; and
there is tendency to treat corporations and their directors as the same legal subjects, so one
subject can replace another subject position (interchangeable) in terms of prosecution and
imposition of criminal sanction. This dissertation examines legal subject theory and required
characteristics that must be possessed by a non-human entity to be a criminal legal subject
and be criminally liable. Furthermore, this research analyses the meaning and application of
the concept of corporation, corporate forms that can be criminally liable and the
implementation of corporate criminal liability in legal cases and regulations. Research
methodology that is adopted is doctrinal method, supported with in-depth interview and
micro-comparative study. From the study that has been done, it can be concluded that the
definition of corporation that is adopted in several special regulations and drafted penal code
is inappropriate. Thus, I argue that the proper terminology to address group regardless
whether it has or has no legal personality is ‘organisation’. Additionally, the position of
public corporation needs to be affirmed by the drafted penal code. The State as the
administrator of public interests generally is still immune from the criminal prosecution; the
same principle applies to municipal corporations, as long as they carry public administration
functions. Moreover, political parties are recognized as having significant constitutional
function; thus they cannot be forcibly dissolved in criminal law mechanism. Last, drafted
Penal Code should provide a more explicit criteria regarding on how to impose criminal
liability for corporations and for its board of directors, as well as special arrangements for
corporation in drafted Procedural Criminal Code, so that the law enforcement officers have
guidance in putting and treating corporation as criminal legal subject and do not treat
corporations and it’s board of directors as the same subjects.
DAFTAR ISI
HALAMAN
HALAMAN JUDUL............................................................................................................... i
PERNYATAAN ORISINALITAS......................................................................................... ii
HALAMAN PROMOTOR DAN PENGUJI NASKAH DISERTASI................................ iii
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR............................................................................................................. v
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI......................................................................... viii
ABSTRAK................................................................................................................................ ix
ABSTRACT............................................................................................................................... x
DAFTAR ISI............................................................................................................................. xi
DAFTAR SINGKATAN.......................................................................................................... xiv
DAFTAR KASUS..................................................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................... 1
A. Latar Belakang............................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian............................................................... 24
1. Perumusan Masalah (Statement of the Problem) .................................................... 24
2. Pertanyaan Penelitian (Research Questions) .......................................................... 25
C. Tujuan Penelitian.......................................................... ................................................ 25
D. Manfaat Penelitian.......................................................... .............................................. 26
E. Kerangka Teoritis dan Konseptual.......................................................... ..................... 27
1. Kerangka Teoritis.......................................................... ........................................ 27
a. Teori tentang Subjek Hukum............................................................................ 27
b. Teori tentang Pertanggungjawaban Pidana....................................................... 34
c. Teori tentang Pertanggungjawaban Pidana Korporasi...................................... 39
2. Kerangka Konseptual.......................................................... .................................. 57
F. Metode Penelitian.......................................................... ............................................... 59
1. Metode Pendekatan.......................................................... ...................................... 59
2. Jenis Data.......................................................... ..................................................... 61
G. Sistematika Penulisan.......................................................... ........................................ 63
2.
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Peraturan Perundang-Undangan
Negara Lain………………………………………………………………………. 268
a. UK Corporate Manslaughter and Corporate Homicide Act 2007……………. 268
b. KUHP Belanda................................................................................................. 270
3. Pertanggungjawaban Pidana Individu Personel Korporasi..................................... 271
a. Pertanggungjawaban Pidana Terbatas dari Personel Pengendali Korporasi… 275
b. Pertanggungjawaban Pidana Absolut dari Personel Pengendali Korporasi…. 277
c. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi sebagai Pelepas Tanggung Jawab
(Scapegoat) bagi Pertanggungjawaban Pidana Individu Personel Korporasi? 279
4. Sanksi Pidana bagi Korporasi dalam Peraturan Perundang-undangan…………….. 283
B. Implementasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Putusan Pengadilan............ 295
1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Putusan Pengadilan di Indonesia..... 295
a. Doktrin Pertanggungjawaban Pidana Korporasi yang Diadopsi...................... 296
b. Subjek Hukum yang Dipertanggungjawabkan................................................. 311
c. Catatan Khusus Mengenai Kasus PT. Kallista Alam....................................... 316
2. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Putusan Pengadilan di
Negara Lain................................................................................................................ 320
a. Doktrin Pertanggungjawaban Pidana yang Diadopsi....................................... 320
b. Ketercelaan (Blameworthiness) dari Korporasi............................................... 326
c. Kedudukan Korporasi dalam Penyertaan Tindak Pidana (Corporate
Criminal Complicity)........................................................................................ 331
C. Implementasi Pertanggungjawaban Pidana bagi Subjek Hukum Organisasi yang Tidak
Berbadan Hukum……………………………………………………………………….. 342
D. Prospek Pengembangan Ketentuan tentang Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di
Masa Depan…………………………………………………………………………….. 347
1. Pembebanan Pertanggungjawaban Pidana Kepada Korporasi…………………… 348
2. Pembebanan Pertanggungjawaban Pidana bagi Pengurus Korporasi…………….. 352
3. Pertanggungjawaban Pidana bagi Organisasi yang Tidak Berbadan Hukum……. 356
BAB V PENUTUP…………………………………………………………………………… 359
A. Simpulan………………………………………………………………………………. 359
B. Saran…………………………………………………………………………………... 364
DAFTAR SINGKATAN
AD : Anggaran Dasar
APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
BI : Bank Indonesia
BPK : Badan Pemeriksa Keuangan
BUMN : Badan Usaha Milik Negara
BUMD : Badan Usaha Milik Daerah
DPR : Dewan Perwakilan Rakyat
DPD : Dewan Perwakilan Daerah
DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
EU : European Union
HR : Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda)
ITE : Informasi dan Transaksi Elektronik
KUHP : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
KUHPer : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
KY : Komisi Yudisial
KPU : Komisi Pemilihan Umum
NKRI : Negara Kesatuan Republik Indonesia
MA : Mahkamah Agung
MK : Mahkamah Konstitusi
Ormas : Organisasi Kemasyarakatan
TP : Tindak Pidana
Tipikor : Tindak Pidana Korupsi
PT (1) : Perseroan Terbatas
PT (2) : Pengadilan Tinggi
PP : Peraturan Pemerintah
PERJA : Peraturan Jaksa Agung
PERPU : Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
PK : Peninjauan Kembali
Parpol : Partai Politik
POLRI : Kepolisian Negara Republik Indonesia
PPK : Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
RI : Republik Indonesia
RKUHP : Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
SK KMA : Surat Keputusan Ketua Mahkakah Agung
TNI : Tentara Nasional Indonesia
UU : Undang-Undang
UUD : Undang-Undang Dasar
US : United States (Amerika Serikat)
UK : United Kingdom (Inggris Raya)
WNI : Warga Negara Indonesia
WNA : Warga Negara Asing
xv
DAFTAR KASUS
1. Indonesia v Kim Young Woo. Putusan Mahkamah Agung No. 862 189 - 190, 305-
K/PID.SUS/2010. 306, 312.
2. Indonesia v PT. Giri Jaladhi Wana (PT. GJW). Putusan Pengadilan 190, 297-299.
Tinggi Tipikor Banjarmasin No. 04/PID.SUS/2011.
3. Indonesia v. Suwir Laut. Putusan Mahkamah Agung No. 2239 190-191, 299-
K/Pid.Sus/2012. 300, 312-313.
4. Indonesia v Indar Atmanto. Putusan MA No. 787K/PID.SUS/2014. 191-192, 301-
302, 313-314.
5. Indonesia v Herlan Bin Ompo. Putusan MA No. 2441 K/Pid.Sus/2013. 192-193, 302-
303, 311.
6. Indonesia v Ricksy Prematuri. Putusan MA No. 2330 K/Pid.Sus/2014. 193-194, 303-
304, 311.
7. Indonesia v PT. Adei Plantation & Industry (PT. API). Putusan MA No. 195, 306-308,
2042K/Pid.Sus/2015. 315.
8. Indonesia v PT. National Sago Prima (PT. NSP). Putusan PT Pekanbaru 193, 308-309.
No. 27/Pid.Sus/2015/PT.PBR.
9. Indonesia v PT. Kallista Alam. Putusan Mahkamah Agung No. 1554 195-196, 309-
K/Pid.Sus/2015. 311, 316-320.
10. Indonesia v Zuhroni alias Zarkasih. Putusan PN Jakarta Selatan No. 311, 346-347.
2192/PID.B/2007/PN.JKT.SL
11. HR 25 Januari 1994, NJ 1994. Volkel Case. 208.
15. HR. 8 July 1992, NJ 1993, 12. City of Tilburg Case. 222, 223
29. United States v. Bank of New England (1987), 821 F.2d 884. 49
30. R v RL and JF [2008] EWCA Crim 1970; [2008] WLR (D) 299. 345
31. R v. Robert Millar (Contractors) Ltd and Robert Millar, [1970] QB 233 339-340
33. R. v. P&O European Ferries (Dover) Ltd. [1991] 93 Cr. App. R. 72 49, 50
35. R v Chargot Ltd [2008] UKHL 73 (10 Dec 2008); [2009] 2 All E.R. 645 272
DAFTAR TABEL
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam semua cabang ilmu hukum, baik hukum materil maupun hukum
formil, subjek hukum merupakan unsur yang sangat penting, karena dia adalah
seseorang atau entitas 1 yang menjadi pemegang hak dan kewajiban hukum. 2
Sebagaimana dikemukakan oleh Kelsen, hukum tidak bisa hanya berbicara
tentang hak dan kewajiban saja, melainkan juga harus dapat menentukan
seseorang atau sesuatu yang mampu memiliki hak dan kewajiban tersebut. “There
must exist something that has the duty or the right.“ 3
1
Entitas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah satuan yang berwujud atau wujud,
Kamus Besar Bahasa Indonesia versi online /dalam jaringan (daring), www.kbbi.web.id, diakses
Maret 2016.
2
Andrew Borkowski, Text Book on Roman Law, reprinted 2cd Ed, (London: Blackstone
Press Limited, 2001), hlm. 84. Lihat juga Hans Kelsen (2), Pure Theory of Law, second revised
and enlarge edition, diterjemahkan oleh Max Knight, (Berkeley: University of California Press,
1967), hlm.168; Bryant Smith, “Legal Personality,” Yale Law Journal, Vol. 37, No. 3, January
1928, 283-299, hlm. 283.
3
Hans Kelsen (1), General Theory of Law and State, 6th printing, diterjemahkan oleh
Anders Wedberg, (New Jersey: The Lawbook Exchange Ltd, 2003), hlm. 93.
4
Brendan (Bo) F. Pons, “The Law and Philosophy of Personhood: Where Should South
Dakota Abortion Law Go From Here?,” South Dakota Law Review, 2013, hlm. 121
5
Jack M. Balkin, “Understanding Legal Understanding: The Legal Subject and the
Problem of Legal Coherence,” Yale Law Journal, 1993: 105-176.
Universitas Indonesia
2
legal subject, legal person, jural subject, atau hanya person atau persona. 6
Literatur hukum Indonesia mengadopsi beberapa istilah seperti purusa hukum,
awak hukum atau pribadi hukum.7
6
Person berasal dari bahasa Latin persona, Prancis: personne, Belanda dan Jerman:
persoon. Ngaire Naffine (1), “Who are Law’s Persons? From Cheshire Cats to Respobsible Cats to
Responsible Subjects,” Modern Law Review, Vol. 66, No. 3, 2003, hlm. 346-367, lihat juga John
Dewey, “The Historic Background of Corporate Legal Personality,” The Yale Law Journal, Vol.
35, No. 6, April, 1926, 655-673, hlm. 655. Lihat juga Janne E. Nijman, Non-State Actors and the
International Rule of Law: Revisiting the ‘Realist Theory’ of International Legal Personality”,
Amsterdam University Research Paper Series, 2010, hlm. 4. Namun ada juga beberapa ahli yang
menggunakan istilah “object” untuk merujuk kepada person di mana yang dimaksudkan adalah
semua benda yang kepadanya hukum berlaku. Seperti misalnya dalam Harvard Law Review’s
Notes, What We Talk about When We Talk about Persons: The Language of a Legal Fiction,
Harvard Law Review, Vol. 114, No. 6, 2001, 1745-178, hlm. 1745.
7
Handri Raharjo, Hukum Perusahaan (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009). Purusa
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: 1. Hubungan kekerabatan menurut garis
keturunan laki-laki, 2. Orang;manusia.
8
Naffine (1), op., cit., hlm. 351.
9
Peter A. French, “The Corporation as a Moral Person,” American Philosophical
Quarterly, Vol. 16, No. 3, 1979, 207-215, hlm. 207.
10
L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. 26, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita,
1996), hlm. 191
11
Ibid.
Universitas Indonesia
3
Manusia (man, human being) jelas masuk dalam kategori subjek hukum
ini. Sebagaimana dikemukakan oleh Austin bahwa “a human being considered as
invested with rights, or considered as subject to duties“.12 Berlakunya manusia
sebagai subjek hukum mulai dari saat ia dilahirkan sampai meninggal dunia;
bahkan, janin dalam kandungan pun dapat dianggap sebagai pembawa hak jika
terdapat kepentingan hukum atasnya. 13 Di samping manusia, ada juga subjek
hukum bukan manusia (non-human legal subject) yang sudah diterima masuk
dalam komunitas subjek hukum. Misalnya, pemerintah kota (municipalities),
negara, asosiasi, badan hukum, perkumpulan, persatuan, dan badan usaha,
merupakan subjek hukum yang berbeda dari anggota pribadi yang ada di
dalamnya.14 Kelompok ini disebut juga dengan juristic person, rechtpersoon, atau
judicial person.15 Hukum pidana Indonesia menggunakan istilah korporasi untuk
merujuk kepada kelompok subjek hukum ini. Pemaknaan, kategorisasi, dan
pertanggungjawaban sebagai subjek hukum inilah yang akan dibahas dalam
disertasi ini.
12
John Austin, Lectures of Jurisprudence (5th ed, 1885) hlm. 350 dikutip dari Kelsen (1),
hlm. 94.
13
C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,
1989), hlm. 117. Ada banyak pembahasan berkaitan dengan kedudukan anak yang ada dalam
kandungan baik berupa zigot, embrio ataupun janin seharusnya termasuk dalam pengertian
“person” sehingga memiliki hak konstitusi yang sama dengan manusia yang telah dilahirkan,
sehingga tidak dapat dihilangkan nyawanya tanpa ada proses hukum yang adil terhadapnya.
Apabila janin termasuk dalam pengertian person sebagai bagian dari natural person dalam hukum,
maka aborsi, percobaan medik terhadap bagian-bagian janin menjadi kegiantan yang illegal, Lihat
Charles I. Lugosi, “Conforming to the Rule of Law: When Person and Human Being Finally Mean
the Same Thing in Fourteenth Amendment Jurisprudence,” Issues in Law and Medicine, No. 22,
2007, 119-303, hlm. 125. Lihat juga Michael Stokes Paulsen, “The Plausibility of Personhood,”
Ohio State Law Journal, No. 74, 2012, 13-73.
14
Kelsen (2), Op.cit., hlm. 171. Lihat juga George F. Deiser, "The Juristic Person. I,"
University of Pennsylvania Law Review and American Law Register, 48 New Series 3, 1908, hlm.
131–142.
15
Lihat Kelsen (1), op., cit., hlm. 94. Kelsen membedakan ada dua jenis orang hukum
(legal persons) yaitu physical (natural) dan juristic persons.
16
Chirstopher D. Stone, “Should Trees Have Standing? Toward Legal Rights for Natural
Objects”, Southern California Law Review, 45, 1972, 450 -501, Yan – Juan, TE., “A Review on
the Legal Subject Position of Animals”, Journal of Luoyang Institute of Science and Technology
(Social Science Edition), 4, 2009, 18., Lihat juga Gunther Teubner, “Rights of Non-humans?
Electronic Agents and Animals as New Actors in Politics and Law,” Journal of Law and Society,
33(4), 2006, 497-521.
Universitas Indonesia
4
lagi adalah pembahasan tentang komputer dan robot dengan agen cerdas
(intelligent agent) yang mungkin dapat menjadi subjek hukum yang memiliki
kapasitas hukum sama dengan manusia.17
Hal yang hampir sama juga berlaku untuk kelompok atau sekumpulan
orang yang bekerja sama dalam satu bentuk organisasi atau bentuk lainnya, baik
berbentuk perusahaan terbatas, badan usaha, asosiasi maupun organisasi non-
profit, yang tadi disebut sebagai korporasi. Mereka mungkin dapat memenuhi
syarat untuk menjadi subjek hukum dengan segala konsekuensi yang bisa
diembannya. Namun kriteria apa saja yang ditetapkan hukum untuk menyatakan
suatu kelompok kolektif ini merupakan subjek hukum, masih merupakan suatu
permasalahan yang cukup pelik.20
Sudah menjadi suatu yang umum saat ini bahwa struktur dan cara kerja
masyarakat banyak dipengaruhi oleh berbagai bentuk organisasi. Peran organisasi
menjadi aktor sosial yang sangat besar dan penting seiring dengan berjalannya
17
Andrade, Francisco, et al. "Contracting agents: legal personality and representation,"
Artificial Intelligence and Law Vol. 15, No. 4, 2007, 357-373, hlm. 371, David Calverley, J.,
“Imagining a Non-biological Machine as a Legal Person,” Ai & Society, 22 (4), 2008: 523 – 537,
Lihat juga Peter M. Asaro, “Robots and Responsibility from a Legal Perspective,” Working Paper
University of Umea Sweden, 2007, bisa diakses pada http://www.peterasaro.org/writing/
ASARO%20Legal%20Perspective.pdf
18
Jan Klabbers, "Legal Personality: The Concept of Legal Personality." Ius Gentium 11,
2005, 35-79, hlm. 40.
19
Andrew Borkowski, op., cit., hlm. 84. Sampai masa perang civil Amerika budak
dianggap sebagai property yang dimiliki oleh person sehingga mereka tidak memiliki hak,
meskipun mereka pada dasarnya pada masa itu dapat dipidana apabila melakukan kesalahan.
Harvad Law Review’s Notes menjelaskan budak ini sebagai subjek hukum ”human non person”,
yaitu mereka manusia tetapi mereka dianggap bukan persons dalam hukum pada masa itu. Lihat
Harvard Law Review’s Note, op., cit., hlm. 1747. Sedangkan wanita sampai awal abad ke dua
puluh masih belum bisa menikmati beberapa hak yang bersifat publik. Lihat juga Naffine (1), op.,
cit., hlm. 347.
20
Ibid.
Universitas Indonesia
5
Dalam penerimaan korporasi sebagai subjek hukum pidana, ada tiga topik
yang muncul ketika membicarakan tanggung jawab pidana korporasi: personalitas
korporasi, tanggung jawab korporasi dan budaya korporasi. 24 Personifikasi
korporasi sebagai subjek hukum menimbulkan cukup banyak permasalahan.25 Hal
ini dikarenakan bahwa domain pidana dipandang sebagai instrumen yang secara
fundamental diciptakan untuk menangani penyimpangan yang dilakukan oleh
manusia, penyimpangan yang dihasilkan dari cara berfikir dan pola perilaku yang
eksklusif milik manusia. 26 Secara tradisional, baik menurut sistem civil law
21
Christopher Harding, Criminal Enterprise: Individuals, Organisations And Criminal
Responsibility, 2007, (UK: Willian Publishing), hlm. 7.
22
Arthur W. Machen, Jr., “Corporate Personality”, Harvard Law Review, Vol. 24, No. 4,
Feb., 1911, 253-267, hlm. 255. Lihat juga Pinto and Evans, Corporate Criminal Liability,
(London: Sweet & Maxwell, 2003), hlm. 6.
23
Setiyono, Kejahatan Korporasi, cet. Ke-3, (Malang: Bayumedia Publishing, 2005), hlm.
7-9.
24
Celia Wells (1), “Corporate Criminal Liability in England and Wales: Past, Present and
Present,” dalam Corporate Criminal Liability: Emergence, Convergence and Risk, ed. Mark Pieth
and Radha Ivory, (London: Springer, 2011), hlm. 94.
25
Mr. J. M. van Bemmelen, Hukum Pidana 1 Hukum Pidana Meterial Bagian Umum, cet.
2, (Bandung: Binacipta, 1987), hlm. 233.
26
Lederman, op., cit., hlm. 647.
Universitas Indonesia
6
maupun common law subjek hukum pidana hanyalah manusia, sedangkan legal
entity bukanlah merupakan subjek hukum. Dalam sistem civil law, ada doktrin
yang berkembang yaitu universitas delinguere non potest atau badan hukum tidak
mungkin melakukan tindak pidana. 27 Seiring dengan hal ini, dalam sistem
common law juga terdapat suatu ungkapan yang terkenal dari William Blackstone
yang menyatakan bahwa korporasi tidak dapat melakukan ‘pengkhianatan,
kejahatan, atau tindak pidana lainnya dalam kapasitasnya sebagai korporasi.28
27
Leonard Orland and Charles Cachera, “Corporate Crime and Punishment in France:
Criminal Responsibility of Legal Entities under the New French Criminal Code, Connecticut
Journal of International Law, 1995, Vol. 11, 114‐ 117, hlm. 115. Univeristas meruapakan istilah
hukum Romawi yang paling dekat dengan konsep korporasi modern.
28
William Blackstone, dikutip dari Orland & Cachera, Op., Cit, hlm. 117.
29
Eli Lederman, “Models for Imposing Corporate Criminal Liability: From Adaptation and
Imitation Toward Aggregation and the Search for Self-Identity,” Buffallo Criminal Law Review,
Vol. 4, No. 1, April 2000, 641-708, hlm. 642.
30
KUHP pada Pasal 59 secara umum masih berpandangan bahwa korporasi bisa menjadi
pelaku tindak pidana (dader), tetapi pertanggungjawaban pidananya tetap berada pada pengurus.
Lihat Mardjono Reksodiputro (1), “Kejahatan Korporasi: Suatu Fenomena Dalam Bentuk Baru,”
Jurnal Hukum Internasional, vol. 1, no. 4, 2004, 693-708, hlm. 697.
31
V.S Khanna, “Corporate Criminal Liability: What Purpose Does It Serve?,” Harvard
Law Review, Vol. 109, No. 7, 1996, 1477-1534, hlm. 1479.
32
Ibid.
Universitas Indonesia
7
dengan hukum formil, misalnya, siapa yang akan hadir di persidangan atau sanksi
apa yang bisa dijatuhkan dan sebagainya.33
Adapun yang dimaksud dengan corporate crime menurut Frank and Lynch
adalah:
Socially injurious and blameworthy acts, legal or illegal, that cause
financial, physical or environmental harm, committed by corporations and
business against their workers, the general public, the environment, other
corporations and business, the government, or other countries. The
benefactor of such crimes is the corporation.35
(suatu tindakan yang berbahaya secara sosial dan tercela, legal atau ilegal,
yang menyebabkan kerugian finansial, fisik atau lingkungan, dilakukan
oleh korporasi dan badan usaha terhadap pekerja, masyarakat umum,
lingkungan, korporasi dan badan usaha lain, pemerintah atau terhadap
negara lain. Penerima manfaat dari tindak pidana tersebut adalah
korporasi.)
33
Ibid., hlm. 1480.
34
Komisi Hukum Nasional, Sistem Pemidanaan dalam Pidana Ekonomi, Working Paper,
s.a, hlm. 5-6.
35
Nancy K. Frank dan Michael J. Lynch, Corporate Crime, Corporate Violence, A
Premier, (New York: Harrow and Heston, 1992), sebagaimana dikutip dari Sutan Remy Sjahdeini
(1), Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, cet. 2, (Jakarta: Grafiti Pers, 2007), hlm. 40.
Universitas Indonesia
8
36
Limited menegaskan bahwa korporasi merupakan subjek hukum pidana.
Sebagaimana Lord Chancellor, Lord Selbourne mengatakan dalam kasus ini:
“There can be no question that the word ‘person’ may… include a person in law:
that is, a corporation, as well as a natural person”.37 Berselang sembilan tahun
kemudian yaitu pada tahun 1889 dalam Interpretation Act Inggris, pada section 2
(1) menegaskan kembali bahwa “person” di setiap undang-undang kecuali secara
tegas dinyatakan sebaliknya maka termasuk di dalamnya adalah korporasi.38
36
The Pharmaceutical Society v London & Provincial Supply Association Ltd (1880) 5 App
Cas. 857, HL. sebagaimana dikutip dari Pinto and Evans, op., cit., hlm. 27.
37
Ibid.
38
Ibid., hlm. 28.
39
Kathleen F. Brickey, Corporate and White Collar Crime, 2cd Edition, (Boston: Little,
Brown and Company, 1995), hlm. 1.
40
Ibid. lihat juga John M. Scheb and John M. Scheb II, Criminal Law, 6th edition, (USA:
Wadsworth Cengage Learning, 2012), hlm. 223.
41
Edward B. Diskant, “Comparative Corporate Criminal Liability: Exploring the Uniqely
American Doctrine Through Comparative Criminal Procedure,” The Yale Law Journal, Vol. 118,
No. 1, Oktober, 2008, 126-176, hlm. 126. Lihat Sara Sun Beale and Adam G. Safwat, “What
Developments in Western Europe Tell Us about American Critiques of Corporate Criminal
Liability,” Buffalo Criminal Law Review, Vol. 8, No. 1 (April 2004), 89-163, hlm. 106.
42
Lihat Chistina de Maglie, “Models of Corporate Criminal Liablity in Comparative Law,”
Washington University Global Studies Law Review, Vol. 4, Issue 3, 2005, 547-566, hlm. 562.
Universitas Indonesia
9
Selain Jerman, Spanyol, Swedia dan Republik Ceko juga adalah di antara Negara
di Eropa yang tidak memberikan sanksi pidana untuk kejahatan korporasi tetapi
sanksi yang bersifat adminstratif.43
43
James Gobert dan Ana-Maria Pascal (editor), European Developments in Corporate
Criminal Liability, (Oxon: Routledge, 2011), sub title “Country Report: Countries with
Adminstrative Liability,” hlm. 327.
44
Indonesia, Undang-Undang Darurat Penimbunan Barang, UU Darurat No. 17 Tahun
1955, LN. No. 90 Tahun 1951, TLN No. 155, Ps. 11. UU ini dicabut dengan Perpu No. 8 Tahun
1962 Tentang Perdagangan Barang-Barang Dalam Pengawasan.
45
Indonesia, Undang-Undang Darurat Pengusutan, Penuntutan Tindak Pidana Ekonomi,
UU Darurat No. 7 Tahun 1955, LN No. 27 Tahun 1955,TLN. No. 801, Ps. 15. UU darurat ini
menjadi UU sejak 1 Januari 1961 menjadi UU No. 1 Tahun 1961, LN No. 3 Tahun 1961.
46
Santoso Poedjosoebroto, “Tindak Pidana Ekonomi”, dalam Hukum dan Masyarakat,
Nomor Kongres I. Sebagaimana dikutip dari Andi Hamzah, Hukum Pidana Ekonomi (Jakarta:
Penerbit Erlangga, Edisi Revisi, 1986) hlm. 13. Di Belanda penerimaan korporasi sebagai subjek
hukum pidana juga diterima dalam UU khusus terlebih dahulu yaitu Wet op de economische
delicten yang disahkan tahun 1951 sedangkan dalam Penal Codenya, legal person secara resmi
diterima pada tahun 1976. Lihat B.F. Keulen & E. Gritter, “Corporate Criminal Liability in the
Netherlands, Netherlands Comparative Law Association,” Electronic Journal of Comparative
Law, Vol. 14.3, Desember 2010, 1-12. hlm. 2-3.
Universitas Indonesia
10
47
Indonesia, Undang-Undang Pasar Modal, UU No. 8 Tahun 1995, LN. No. 64 Tahun
1995, TLN. No. 3608.
48
Indonesia. Undang-Undang Psikotropika. UU No. 5 Tahun 1997. LN. No. 10 Tahun
1997. TLN. No. 3671.
49
Indonesia, Undang-Undang Narkotika, UU No. 35 Tahun 2009, LN. No. 143, TLN. No.
5062.
50
Indonesia, Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat, UU No. 5 Tahun 1999, LN. No. 33, TLN. No. 3817.
51
Indonesia, Undang-Undang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun 1999, LN. 42
Tahun 1999, TLN. 3821.
52
Indonesia, Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU No. 4 Tahun 2009,
LN. No. 4 Tahun 2009, TLN. No. 4959.
Universitas Indonesia
11
53
Indonesia, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme, Perpu No. 1 Tahun 2002, LN. No. 106 Tahun 2002, TLN. No. 4232.
Sebagaimana telah ditetapkan menjadi Undang-undang dengan UU No. 15 Tahun 2003 Tetang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, LN. No. 45 Tahun 2003, TLN. 4284.
54
Indonesia, Undang-Undang No. 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan, LN. No. 93, Tahun 2006.
55
Indonesia, Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 11 Tahun
1995 Tentang Cukai, LN. No. 105 Tahun 2007, TLN. No. 4755.
56
Indonesia, Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No.
32 Tahun 2009, LN. No. 140 Tahun 2009, TLN. No. 5059.
Universitas Indonesia
12
57
Penjelasan lebih mendalam tentang berbagai pengaturan beberapa undang-undang
tentang perumusan korporasi sebagai subjek tindak pidana bisa dilihat di Barda Nawawi Arief,
Kapita Selekta Hukum Pidana, cet. 2 (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), hlm. 235-237 dan
Sjahdeini (1), op., cit., hlm. 131-161.
58
Departmenan Hukum dan HAM, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Nasional, Jakarta, 2015, Pasal 48.
59
Soetan Malikoel Adil, Pembaharuan Hukum Perdata Kita, (Jakarta: PT. Pembangunan,
1955) hlm. 83. Istilah korporasi (corporation) merupakan sinonim dari perusahaan (company) di
mana pembuat undang-undang di Amerika lebih suka menggunakan istilah korporasi sedangkan di
Inggris para pembuat undang-undang lebih memilih menggunakan istilah perusahaan. Lihat
L.C.B. Gower, “Some Contrast Between British and American Corporation Law”, Harvard Law
Review, Vol. 69, No. 8 (Jun, 1956), 1369-1402, hlm. 1369.
Universitas Indonesia
13
kekayaan baik merupakan badan hukum atau pun bukan”. Pengertian ini masih
dipertahankan sampai sekarang. Pasal 190 R-KUHP tahun 2015 menjelaskan
pengertian korporasi sebagai “kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau
kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.” Dengan
demikian sejak tahun 1982 korporasi menurut ahli hukum pidana Indonesia, tidak
hanya badan hukum seperti pengertian korporasi dalam hukum perdata, tetapi
juga bukan badan hukum
Universitas Indonesia
14
Universitas Indonesia
15
66
United Kingdom, Bribery Act 2010, s. 7 (1) dan (5)
67
Dalam tradisi negara Common Law seperti United Kingdom, Australia, Canada dll,
Crown memiliki Legal personality, namun menurut Common Law hal tersebut imun dari
prosekusi. Imunitas Crown juga bisa menguntungkan Crown Bodies (misalnya departemen atau
agensi pemerintah), namun imunitas korporasi yang secara penuh atau sebagain dimiliki oleh
Crown atau government-owned corporations (GOCs) akan sangat bergantung kepada jurisdiksi
dan kejahatan yang sedang dibahas. Lihat Mark Pieth and Radha Ivory, “Emergence and
Convergence: Corporate Criminal Liability Principles in Overview”, in Corporate Criminal
Liability: Emergence, Convergence and Risk, Mark Pieth and Radha Ivory (editor), (London:
Springer, 2011), hlm. 15. Dengan dimasukkannya Her Majesty dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Canada ini, maka dapat disimpulkan bahwa Canada secara tegas menghilangkan
hak imun Crown dari prosekusi yang selama ini ada dan diterima dalam Common Law.
Pembahasan mendalam mengenai Crown Immunity akan dibahas secara mendalam pada Bab III
disertasi ini.
68
Canada, Canadian Criminal Code, s. 2,22.1, 22.2. bisa diakses pada: http://laws-
lois.justice.gc.ca/eng/acts/C-46/page-1.html#h-2
69
Dutch, Dutch Penal Code, article 51 (1), dan dalam article yang sama sub article 3
menjelaskan “equal status as a legal person applies to a company without legal personality, a
partnership, a firm of ship owners, and a separate capital sum assembled for a special purposes.”
Rectpersoon pada Article 51 (1) Dutch Penal Code yang diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh
Universitas Indonesia
16
121-2 menentukan bahwa: “Moral persons (Les personnes morales), with the
exception of the State, are criminally liable for the offenses committed on their
account by their organs or representatives . . . in the cases provided for by statute
or regulations.”70 Dalam hal perbedaan antara negara atau non-negara dan profit
dan non-profit, jurisdiksi civil law secara umum menyediakan beberapa ukuran
imunitas terhadap pemerintah, organ pemerintah, dan agensi pemerintah. Seperti
misalnya KUHP Perancis, secara jelas mengecualikan negara dari kategori moral
persons yang bisa/mampu bertanggung jawab secara pidana dan mengenakan
pembatasan spesial terhadap otoritas lokal dalam kemampuan mereka untuk
dituntut secara pidana, namun Perancis dalam hal ini memasukkan organisasi non-
profit sebagai salah satu subjek hukum pidana. Berbeda dengan Perancis, Italia
memberikan lebih banyak restriksi bagi subjek hukum bukan manusianya, karena
Italia mengecualikan organisasi yang menjalankan fungsi signifikan dari
konstitusi seperti partai politik, unions, dan otoritas publik yang non-ekonomi.
Sedangkan Hungaria dan Belgia mengecualikan entitas tanpa tujuan ekonomi
71
(non-profit organization), jadi hanya organisasi yang memiliki orientasi
ekonomi saja yang dianggap dapat bertanggung jawab secara kriminal di hadapan
pengadilan pidana.
Dari Kitab Hukum Pidana beberapa negara yang disebutkan di atas dapat
dipahami bahwa korporasi tidak bisa disamakan dengan asosiasi yang tidak
berbadan hukum ataupun dengan organisasi, karena memang filosofi awal dari
korporasi tidaklah mencakup pengertian seluas yang dianut oleh R-KUHP.
Bahkan Perancis dan Belanda menggunakan istilah legal person atau moral
person untuk menjelaskan semua subjek hukum bukan manusia. Apabila tujuan
dari pengertian korporasi yang dimaksudkan KUHP adalah organisasi lalu kenapa
menggunakan istilah korporasi untuk semua perkumpulan orang dan/atau
kekayaan baik berbadan hukum ataupun tidak berbadan hukum tanpa terkecuali
yang notabene mencakup semua bentuk perkumpulan atau organisasi yang akan
Louise Rayar dan Stafford Wadsworth dari Universiteit Maastricht diterjemahkan sebagai juristic
person sebagai lawan dari natural person. Dikutip dari Yusuf Shofie, op., cit., hlm. 148.
70
France, Penal Code, 1995, Art. 121-2, dapat diakses dalam bahasa Inggris di
http://www.legifrance.gouv.fr.
71
Pieth and Ivory, op., cit., hlm. 17.
Universitas Indonesia
17
menimbulkan pengertian atau pemaknaan yang berbeda dari filosofi korporasi itu
sendiri.
72
Muladi, “Standar Pembubaran Ormas Anarkis”, Kompas.com, (17 Februari 2011),
diakses 14 November 2012.
73
Indonesia, Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, UU No. 14 Tahun 2008, LN.
No. 61 Tahun 2008, TLN. No. 4846.
Universitas Indonesia
18
Indonesia dapat dipidana apabila tidak melakukan fungsinya dengan baik sebagai
penyelenggara jalan dan menimbulkan kecelakaan baik ringan, sedang atau
berat.74
Di samping itu, korporasi dengan definisi yang sangat luas seperti yang
saat ini diterima memberikan juga konsekuensi bahwa perkumpulan orang yang
terorganisasi tetapi bersifat informal bisa termasuk dalam pengertian korporasi.
Misalnya kumpulan orang yang berdemonstrasi, kumpulan ibu-ibu arisan yang
melakukan pertemuan dengan rutin, klub pencinta olahraga tertentu dan
sebagainya. Bukankah definisi korporasi yang terlalu luas ini akan memberikan
konsekuensi yang juga terlalu luas? Tidakkah hal ini akan menyulitkan aparat
penegak hukum dalam mengidentifikasi mana kejahatan yang
pertanggungjawabannya personal dan mana tindak pidana yang
pertanggungjawabannya dipikul oleh korporasi.
74
Indonesia, Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, UU No. 22 Tahun 2009,
LN. No. 96 Tahun 2009, TLN. No. 5025, Ps. 273 jo. Ps. 24 jo. Ps. 7-13.
Universitas Indonesia
19
75
Brent Fisse, “Controlling Governmental Crime: Issue of Individual and Collective
Liability,” dalam Peter Grabosky and Irena Le Lievre (editor), Government Illegality, (Canberra,
Australia: Australian Institute of Criminology, 1987), hlm. 122.
Universitas Indonesia
20
76
Hindra Liauw, Susno: Robert Tantular Nyaris Kabur ke Singapura, Kompas, 20 Januari
2010, diakses 14 November 2012.
77
Dikutip dari Antara News.com, “Pakar: Korporasi Terlibat Kasus Gayus Dapat
Dipidana,” http://www.antaranews.com/print/1292501410, diakses 21 Februari 2013. Pendapat
disampaikan dalam seminar dengan tema: “Kasus Gayus Ditinjau dari Pendekatan Interdisipliner”
78
Tempo, “Kasus Patrialis Akbar, KPK Telusuri Alur Peristiwa Suap di MK,” diakses
Selasa 14 Maret 2017, dapat diakses di https://m.tempo.co/read/news/2017/03/14/063855614/
kasus-patrialis-akbar-kpk-telusuri-alur-peristiwa-suap-di-mk.
Universitas Indonesia
21
79
Putusan Mahkamah Agung RI No. 862 K/Pid.Sus/2010, hlm. 95.
80
Ibid.
Universitas Indonesia
22
Penelitian ini sangat penting untuk dilakukan karena masih sangat sedikit
dan bahkan hampir sulit ditemukan bahan pembahasan yang memfokuskan diri
pada permasalahan subjek hukum korporasi sebagai subjek hukum pidana di
Indonesia. Penelitian ini akan membahas teori berkaitan dengan subjek hukum
korporasi dan akan dilakukan telaahan tentang siapa saja subjek hukum yang
dimaksudkan dengan korporasi yang diartikan sebagai “kumpulan terorganisasi
dari orang dan/atau kekayaan baik berbadan hukum maupun yang tidak berbadan
hukum.” Selanjutnya akan dilakukan analisis mengenai implementasi
pertanggungjawaban pidana korporasi baik dalam peraturan perundang-undangan
maupun dalam putusan pengadilan. Baik peraturan perundang-undangan dan
putusan pengadilan di Indonesia maupun di negara lain. Sangat penting untuk
melakukan perbandingan model hukum dan praktik di negara lain, untuk
mengetahui bagaimana mereka mengatur tentang subjek hukum korporasi dalam
hukum pidananya.
Universitas Indonesia
23
81
Sjahdeini (1), op., cit.
82
Yusuf Sofie, “Tanggung Jawab Pidana Korporasi (Corporate Criminal Liability) Dalam
Hukum Perlindungan Konsumen,” (Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta, 2010).
83
Dwidja Priyatno, “Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggunjawaban Pidana
Korporasi di Indonesia,” (Disertasi Doktor Universitas Padjajaran, Bandung, 2004).
84
Artha Theresia, “Pemidanaan Korporasi Atas Tindak Pidana Korupsi Dalam Pembaruan
Sistem Pidana Indonesia,” (Disertasi Doktor Universitas Jayabaya, Jakarta, 2017).
Universitas Indonesia
24
85
Bambang Nurhadi, “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Penerapan Undang-
Undang Kepailitan di Indonesia,” (Disertasi Doktor Universitas Padjajaran, Bandung, 2009).
86
Sudharmawatiningsih, ”Corporate Killers: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Terhadap Matinya Orang,” (Disertasi Doktor Universitas Diponegoro, Semarang, 2007).
87
Wahjono, “Pertanggungjawaban Pidana Bagi Korporasi Perseroan Terbatas Dalam
Tindak Pidana Lingkungan,” (Disertasi Doktor Universitas Airlangga, Surabaya, 2009).
88
Wartiningsih, “Urgensi Penetapan Korporasi Sebagai Subyek Hukum Pidana Dalam
Tindak Pidana Illegal Loging,” (Disertasi Doktor Universitas Airlangga, Surabaya, 2010).
89
Etty Ucu Ruhayati, “Perlindungan Hukum terhadap Korban Tindak Pidana yang
Dilakukan oleh Korporasi,” (Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta, 2003).
Universitas Indonesia
25
C. Tujuan Penelitian
Secara keseluruhan, tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan solusi
ataupun jawaban dari permasalahan-permasalahan yang dikaji dalam penelitian
ini, yaitu untuk:
Universitas Indonesia
26
D. Manfaat Penelitian
Universitas Indonesia
27
1. Kerangka Teoritis
Dalam menganalisis permasalahan-permasalahan yang telah dikemukakan
di atas, penelitian ini akan mempergunakan tiga teori, yaitu: a) teori tentang
subjek hukum, b) teori tentang pertanggungjawaban pidana (criminal liability)
dan, c) teori tentang pertanggungjawaban pidana korporasi (corporate criminal
liability)
90
Konsep mengenai subjek ini tidak hanya berlaku dalam ilmu hukum tetapi berlaku pada
semua ilmu, dikembangkan pada awalnya dalam ilmu matematika dan fisika, lihat Broad,
Scientific Thought (1923) hlm. 39 sebagaimana dikutip dari Dewey, op., cit., hlm. 661.
91
Dewey, op., cit., hlm. 661.
Universitas Indonesia
28
dan kewajiban yang ada pada mereka. Di lain pihak, manusia, orang singular atau
perkumpulan orang, jelas akan bertindak berbeda, atau memiliki konsekuensi
yang berbeda, bergantung pada apakah mereka memiliki hak dan kewajiban
tertentu, dan berperilaku menurut hak-hak tertentu yang mereka miliki dan
kewajiban-kewajiban yang diberikan kepada mereka.92
Para pendukung teori subjek hukum sebagai pengemban hak dan atau
kewajiban hukum tersebut cenderung untuk memandang secara abstrak dan murni
92
Ibid.
93
Ngaire Naffine adalah Proffesor Hukum di Universitas Adelaide Australia, publikasinya
kebanyakan di bidang kriminologi, hukum pidana, jurisprudence, dan feminist legal theory. Di
antara tulisannya yang telah dipublikasikan dan memberikan pengaruh cukup besar terhadap ilmu
hukum adalah “Law’s Meaning of Life: Philosophy, Religion, Darwin and the Legal Person, Hart
Publishing, Oxford, 2009”, “Gender and Justice (editor), Ashgate, Aldershot, England, 2002”,
“Are Persons Property? Legal Debates about Property and Personality (dengan M. Davies),
Ashgate, Aldershot, England, 2001”, “Feminism and Criminology, Polity Press, Cambridge,
1997”, “Gender, Crime and Feminism, Dartmouth Publishing, 1995” dan lain-lain. Teori
mengenai persons yang dikemukakan oleh Naffine dalam tulisannya “Who are Law’s Persons?
From Cheshire Cats to Respobsible Cats to Responsible Subjects,” yang dimuat dalam Modern
Law Review pada tahun 2003 merupakan tulisan yang sangat komprehansif dan lengkap tentang
pengertian persons, teori ini juga digunakan sebagai pisau analisis oleh penelitian lain seperti
Constantine Ntsanyu Nana, “Corporate Criminal Liability in The United Kingdom: Determining
the Appropriate Mechanism of Imputation,” Disseration for Doctor of Philosophy, The Robert
Gordon University, 2009 dan Jeroen Veldman, “The Corporate Condition”, Dissertation for
Doctor of Philosophy, University of Leicester, 2010.
94
Naffine (1), op., cit., hlm. 350.
95
Kelsen (1), op., cit., hlm. 91.
Universitas Indonesia
29
karakter hukum dengan cara memisahkan hukum dari teori moral, sosial, politik
dan sejarah. Subjek hukum ada hanya sebagai kapasitas untuk berfungsi dalam
hukum, kapasitas tersebut perlu diberikan oleh hukum kepada subjek tersebut
untuk dapat memiliki personalitas atau kepribadian hukum. 96 Menurut para ahli
hukum yang berpandangan legalist, pengertian person tidak ada kaitannya dengan
kondisi kemanusiaan, dan bukanlah merupakan urusan hukum untuk memikirkan
permasalahan yang bersifat metafisika, ontologi atau perdebatan mengenai
keberadaan sesuatu.
Dengan pengertian ini, maka apa saja bisa memiliki personalitas hukum
tanpa ada limit natural, karena legal persons ditetapkan seperti itu atau
didefinisikan menjadi ada, sehingga mereka bisa termasuk binatang, janin, orang
yang sudah mati, lingkungan, korporasi, apa saja yang menurut hukum perlu
untuk dimasukkan ke dalam komunitas legal persons. Tidak ada karakter tertentu
yang membuat perbedaan antara makhluk (being) dan bukan makhluk (non-being)
yang menghalangi mereka menjadi persons. 97 Person tidak perlu dianalogikan
sebagai makhluk mulia (sacred beings), atau makhluk alami (natural beings), atau
makhluk moral (moral beings).
Menurut teori pertama ini, tidak perlu ada karakter khusus dari sesuatu
untuk bisa menjadi persons. Syarat yang diperlukan untuk bisa menjadi persons
cukup adalah ketika hukum memberikan mereka kemampuan formal untuk
menyandang hak atau kewajiban. Sepanjang suatu entitas sesuai dengan tujuan
dari suatu ketentuan hukum yang sedang dibuat, maka entitas tersebut bisa
menjadi subjek hukum. Menurut Kelsen, persons ada selama mereka memiliki
hak dan kewajiban; terlepas apakah mereka tidak memiliki eksistensi sekalipun.98
Bahkan Nekam menyarankan untuk menggunakan istilah entitas hukum (legal
entity) dan mengganti istilah person dan subjek untuk menghilangkan kerancuan
96
Ibid.
97
Ibid., hlm. 351.
98
Kelsen (2), op., cit., hlm. 93.
Universitas Indonesia
30
Teori kedua dari legal persons adalah makhluk yang masuk akal
(reasonable). Pengertian ini yang secara umum diterima sebagai pengertian
hukum formal tentang persons. Suatu hal yang diterima secara konvensional
dalam hukum bahwa seseorang akan menjadi subjek hukum pada saat ia
dilahirkan dan berhenti menjadi subjek hukum pada saat otaknya secara
keseluruhan mati.100
99
Alexander Nekam, The Personality Conception of the Legal Entity (Cambridge Mass:
Harvard University Press, 1983).
100
Naffine (1), op., cit., hlm. 357.
101
Dikutip dari Dewey, op., cit., hlm. 666.
102
B. Arief Sidharta, Ilmu Hukum Indonesia: Upaya Pengembangan Ilmu Hukum
Sistematik yang Responsif terhadap Perubahan Masyarakat, (Bandung: UNPAR Press, 2016),
hlm. 1.
103
Ibid., hlm. 2.
104
Ibid., hlm. 4.
Universitas Indonesia
31
Menurut teori kedua ini, hak dan kewajiban melibatkan pilihan rasional,
sehingga unsur “rational individuated substance” menjadi bagian yang sangat
penting dalam konsep “person”. Kondisi ini bertahan lama, bahkan setelah masa
metafisika dan teologi. Meskipun konsep ini sebenarnya memiliki ambiguitas
tentang pencampuran konsep manusia (human) dengan orang (person) yang
105
Margaret Meek Lange, “Exploring the Theme of Reflective Stability: John Rawls’
Hegelian Reading of David Hume, Public Reason, 1, 2009, hlm. 34.
106
Aristotle of Greece (385 atau 384 B.C.-322 B.C) menjelaskan “man is subject to nature
in as much as he is a part of the universe and, therefore, subject to the laws of matter and creation
and man is subject to nature in as much as he dominates it by his spirit. His spirit enables him to
will freely and, therefore, to distinguish between good and evil.” (manusia tunduk terhadap alam
seperti dia adalah bagian dari alam semesta dan, sehingga tunduk terhadap hukum materi dan
penciptaan dan manusia tunduk terhadap alam sebanyak dia mendominasi itu dengan sprit nya.
Spirit nya memungkinkan dia untuk secara bebas berkehendak dan, sehingga, dapat membedakan
antara baik dan buruk.) Dikutip dari Surya Prakash Sinha, Jurisprudence: Legal Philosophy,
(United States: West Publising Co, 1993), hlm. 86-87. Menurut Roscoe Pond, belakangan para
jurist mulai berfikir bahwa kehendak manusia (human wills) semakin kompleks, sehingga pada
berbagai pembahasan filosofi mulai menggunakan konsep keingingan atau kemauan manuisa
(human wants or desires). Mereka mulai berfikir bahwa apa yang harus mereka lakukan tidak
hanya untuk menyeimbangkan atau mengharmoniskan wills, tetapi, jika tidak untuk
menyeimbangkan, paling tidak untuk mengharmoniskan kepuasan terhadap keinginan (the
satisfaction of wants). Roscoe Pound, An Introduction to the Philosophy of Law, (New Haven,
Connecticut, USA: Yale University Press), hlm. 89.
107
Immanuel Kant (1724-1808) lihat Freeman, Llyod’s Introduction to Jurisprudence, 7th
edition, (London: Sweet & Maxwell Limited, 2004), hlm. 118.
108
Philippe Ducor, “The Legal Status of Human Materials”, Drake Law Review, 44 (3)
1996, hlm. 195-259, hlm. 200.
Universitas Indonesia
32
menurut Kelsen merupakan suatu kesalahan besar. 109 Menurut Kelsen, man
(manusia) dan persons (orang) adalah konsep yang berbeda yang berasal dari
konsiderasi yang berbeda. Manusia, menurutnya adalah konsep yang ada dalam
biologi dan psikologi atau dalam ilmu alam, sedangkan orang (persons) adalah
konsep dalam hukum, dari analisis norma hukum.110
Legal persons menurut teori ketiga ini seiring dengan pengertian person
yang dikemukakan oleh John Locke, di mana tindakan dan kualifikasi hanya
dimiliki oleh makhluk yang pintar, mampu ikut dalam suatu hubungan hukum,
bisa berbahagia dan bersedih. 113 Dengan kata lain, menurut teori ketiga, legal
persons adalah subjek yang memiliki tingkat intelektualitas yang baik dan
makhluk moral yang bisa bertanggung jawab terhadap tindakannya. Dalam
konteks moral, orang tersebut adalah individu yang dapat membuat keputusan dan
dapat mengeksekusi keputusan tersebut secara independen. Sedangkan dalam
109
Kelsen (1), op., cit., hlm. 94
110
Ibid.
111
R. Tur, “The “Persons” in Law”, dalam Persons and Personality: A Contemporary
Inquary, A. Peacocke dan G. Gillet (editor), (Oxford: Basil Balckwell, 1987), hlm. 123. Dikutip
dari Naffine (1), op., cit., hlm. 347.
112
M. H. Kramer, “Do Animals and Dead People Have Legal Rights?” Canadian Journal
of Law and Jurisprudence, No. 29, hlm. 36. Dikutip dari Naffine (1), op., cit., hlm. 347.
113
J. Locke, An Essay Concerning Human Understanding, dirangkum dan diedit oleh J.W.
Yolton, (London: Everyman, J.M. Dent, 1993), Buku 2, Chapter XXVII, paragraf 26. Dikutip dari
Naffine (1), op., cit., hlm. 347.
Universitas Indonesia
33
konteks legal, orang tersebut memiliki hak dan kewajiban untuk membuat
keputusan dan dapat mengeksekusinya.114
Teori subjek yang bertanggung jawab sebagai moral agent sama dengan
pengertian yang dijelaskan oleh Elizabeth Wolgast yaitu seorang subjek adalah
individu yang pertama memutuskan untuk melakukan sesuatu dan kemudian dia
melaksanakan niatnya tersebut dalam suatu tindakan; orang tersebut
memerintahkan dirinya untuk bertindak dan bertindak dalam arahannya sendiri.115
Dalam konteks ini, maka konsep menangani legal person tidak berbeda dengan
konsep moral mengenai person, yang berarti legal persons haruslah ‘practicle
reasoners’ yaitu, mereka bertindak karena alasan-alasan. Sebagaimana More
menjelaskan bahwa person adalah makhluk yang rasional, makhluk yang
bertindak untuk hasil akhir yang cerdas berdasarkan pemikirannya yang
rasional. 116 Orang-orang yang kurang akal, atau orang-orang yang terasing dari
konsekuensi logikanya sendiri, orang yang tidak cukup rasional untuk dapat
beralasan tentang moral atau norma hukum dan menyesuaikan perilakunya
dengan hal tersebut maka mereka bukanlah persons. Dengan demikian, manusia
yang sangat gila, tidak cukup dianggap seperti manusia lain karena tidak memiliki
salah satu atribut pentingnya, yaitu rasionalitas, untuk dianggap sebagai persons,
yang kepadanya moral dan norma hukum ditujukan.117
114
C.N. Nana, op., cit., hlm. 44.
115
E. Wolgast, Ethics of an Artificial Person: Lost Responsibility in Professions and
Organizations (Stanford, CA: Stanford University Press, 1992), dikutip dari Naffine (1), op., cit.,
hlm. 362.
116
M. Moore, Law and Psyschiatry, hlm. 48 sebagaimana dikutip dari Naffine (1), op., cit.,
hlm. 363.
117
Nafine (1), op., cit., hlm. 363.
118
Re A (Children) Conjoined Twins: Surgical Separation [2000] 4 All ER 961. Dikutip
dari Naffine (1), op., cit., hlm. 363.
Universitas Indonesia
34
masih sangat kecil, manusia dewasa yang tidak kompeten dan tentunya juga
mengecualikan makhluk lain yang tidak rasional dan tidak dapat bertanggung
jawab terhadap perbuatannya seperti hewan, tumbuhan, lingkungan dan lain-
lain.119
119
Ibid., hlm. 364.
120
Luis E. Chiesa, “Of Persons and the Criminal Law: (Second Tier) Personhood as a
Prerequisite for Victimhood,” Pace Law Review, Vol. 28, 2008, 759, hlm. 765.
121
Ibid.
Universitas Indonesia
35
aktor individu, karena karakteristik hukum pidana yang pada dasarnya merupakan
pertanggungjawaban atas perbuatan dan kesalahan pribadi (subjective liability).122
122
Celia Wells dan Oliver Quick, Lacey, Wells and Quick: Reconstructing Criminal Law,
Fourth Edition, (Cambridge: Cambrige University Press, 2010), hlm. 119.
123
Dalam beberapa buku teks ‘actus reus’ diartikan sebagai wrongful act (Scheb, Criminal
Law. 6th edition, (USA: Wadsworth Cengage Learning, 2012), hlm. 5), prohibited conduct (Mike
Molan, Denis Lanser dan Duncan Bloy, Bloy and Parry’s Criminal Law, Fourth Edition, (London:
Cavendish Publishing Limited, 2000), hlm. 25), guilty conduct (Noel Cross, Criminal Law &
Criminal Justice: An Introduction, (London: Sage, 2010), hlm. 5.
124
Mens rea kadang kala diartikan guilty intent atau niat jahat (lihat misalnya David W.
Neubauer, America’s Courts and the Criminal Justice System, Ninth edition, (USA: Thomson
Wadsworth, 2008), hlm. 42), criminal intent (Scheb, op., cit., hlm. 5), kadang kala hanya diartikan
mental element (R.A Duff, Answering for Crime: Responsibility and Liability in the Criminal Law,
(Oxford: Hart Publishing, 2007), hlm. 202), state of mind (Michael Jefferson, Criminal Law, 9th
edition, (England: Pearson Longman, 2009), hlm. 45), sebagaimana Prof. Remy mengartikannya
sebagai ‘sikap kalbu’ lihat Sjahdeini (1), op., cit. hlm. 37.
125
Alan W. Norrie, Punishment, Responsibility and Justice: A Relational Critique.
Reprinted. (Oxford: Oxford University Press, 2004), hlm. 94. Pandangan ini biasanya disebut
pandangan dualistis yang memisahkan unsur objektif dan unsur subjektif atau pemisahan antara
tindak pidana dengan pertanggungjawaban pidana. Berbeda dengan pandangan monistis yang
menganggap unsur tersebut adalah merupakan syarat penjatuhan pidana. Lihat Muladi dan Dwidja
Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Edisi Ketiga, Cetakan ke-5, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2015), hlm. 63. Lihat juga Chairul Huda, Dari ‘Tiada Pidana Tanpa
Kesalahan’ Menuju Kepada ‘Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan’, Edisi
Pertama, Cetakan Ke-4, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group: 2011), hlm. 6. Bandingkan
dengan pendapat Utrect menjelaskan bahwa untuk dapat dikatakan telah ada suatu peristiwa
pidana maka haruslah memenuhi dua unsur: 1) adanya suatu kelakuan yang melawan hukum
(anasir melawan hukum), 2) seorang pembuat yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya
(anasir kesalahan). Lihat Mr. Drs. E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, (Surabaya:
Pustaka Tinta Mas, 2000), hlm. 285
126
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, cetakan ke-lima, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,
1993), hlm. 57.
127
Ibid., hlm. 54.
Universitas Indonesia
36
Mens rea walaupun memiliki makna yang berbeda pada setiap tindak
pidana, 128
namun secara umum dapat dikatakan adalah “the voluntary doing of
morally wrong act forbidden by penal law.” 129 Tindakan sukarela (voluntary
doing) mengharuskan suatu subjek memiliki kehendak bebas (free will) atau
paling tidak menginginkan terjadinya tindakan tersebut, di mana orang tersebut
memiliki kuasa untuk itu dan menjadi sumber utama dari tindakan tersebut. 130
Untuk menjadikan seseorang secara moral bisa dipersalahkan (moral
blameworthiness), mereka haruslah memiliki kehendak bebas terhadap
kejahatannya, dan untuk menjadikan kehendak bebas terhadap suatu tindakan bisa
menjadi perbuatan jahat, mereka haruslah memiliki kesadaran moral (moral
conscience) yaitu memiliki kesadaran akan nilai-nilai baik dan buruk.131
Dalam konsep hukum pidana Indonesia mens rea bisa dikaitkan dengan
konsep kesalahan (schuld) karena sama-sama membicarakan unsur psikis atau
disebut unsur subjektif dari pelaku ketika melakukan tindak pidana. Van
Bemmelen dan van Hattum menjelaskan hubungan antara kesalahan dengan
pertanggungjawaban sebagai: “pengertian kesalahan yang paling luas meliputi
semua unsur yang mana seseorang dipertanggungjawabkan menurut hukum
pidana mencakup semua hal yang bersifat psikis secara kompleks berupa
perbuatan pidana dan pelakunya.”132
128
Ada ketentuan yang menggunakan standar kesengajaan atau kealpaan untuk
menunjukkan keberadaan mens rea. Dalam hukum pidana barat, mens rea bisa terwujud dalam
bentuk intention, recklessness, yang bisa dilihat dari standard willfully, knowingly, dan permits.
129
H.L.A Hart (3), dengan suatu introduksi oleh John Gardner, Punishment and
Responsibility: Essays in the Philosophy of Law, Second edition, (Oxford: Oxford University
Press, 2008), hlm. 36.
130
Ibid.
131
Ibid.
132
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka,
2014), hlm. 124.
133
Menurut Schaffmeister, Keizer, dan Sutorius, kesengajaan itu bisa berbentuk sadar akan
keharusan atau kepastian (awareness of necessity and certainty), sadar kemungkinan besar
(awareness of probability), kesengajaan bersyarat (awareness of possibility). Lihat Schaffmeister,
Keizer, dan Sutorius, Hukum Pidana, diedit oleh J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan, (Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 2007), hlm. 82.
Universitas Indonesia
37
134
Satochid Kertanegara menjelaskan kesengajaan adalah terjemahan opzet yang diartikan
sebagai “melaksanakan sesuatu perbuatan yang didorong oleh suatu keinginan untuk berbuat atau
bertindak.” Lihat Satochid Kertanegara, Hukum Pidana: Kumpulan Kuliah, Bagian Satu, (Balai
Lektur Mahasiswa), hlm. 247.
135
Eddy O.S. Hiariej, op., cit., hlm. 127.
136
Moeljatno, op., cit., hlm. 165. Pembahasan mengenai kemampuan bertanggungjawab
akan dilakukan pada Bab II, sub-bab “Kapasitas Hukum (Legal Capacity) sebagai Syarat untuk
Menjadi Subjek Hukum Pidana.
137
Pembahasan mendalam mengenai exemption, justification and excuse dapat dilihat pada
Celia Wells dan Oliver Quick, op., cit., hlm. 119.
138
Utrecht, op., cit., hlm. 348.
139
Ibid.
140
Alan W. Norrie, op., cit., hlm. 141.
Universitas Indonesia
38
does not make a person legally guilty unless the mind is legally blameworthy.”141
Artinya, bahwa suatu subjek tidak dapat dibebani dengan pertanggungjawaban
pidana apabila tidak ada unsur kesalahan (schuld) pada dirinya yang berdasarkan
pada adanya kemampuan bertanggung jawab, kesengajaan (dolus) atau kelalaian
(culpa), dan dasar penghapus pertanggungjawaban pidana dari subjek tersebut.
Untuk dapat membebankan pertanggunjawaban pidana kepada suatu subjek tidak
cukup dengan telah dilakukannya tindak pidana saja, akan tetapi juga harus ada
unsur kesalahan atau sikap batin yang dapat dicela yang berkaitan dengan
perbuatan yang dilakukannya tersebut.142
141
Sutan Remy Sjahdeini (1), op., cit., hlm. 33, ada juga ahli yang mengaitkan maksim ini
bukan dengan pertanggungjawaban pidana nya tetapi dengan perbuatannya sebagaimana misalnya
Minkes menjelaskan maksim ini dengan “an act is not wrongful unless accompanied by a
wrongful state of mind, lihat Minkes, Corporate and White Collar Crime. (Los Angeles, USA:
Sage, 2008), hlm. 61. Pembahasan mendalam mengenai tiada pidana tanpa kesalahan ini juga bisa
dibaca pada buku Chairul Huda, op., cit..
142
Moeljatno, op., cit., hlm. 57.
143
R.A Duff membedakan antara strict criminal liability dengan strict criminal
responsibility, menurut beliau: “Responsibility is for the commission of an offence consisting in
actus reus plus mens rea: only once that is proved does the defendant have anything to answer for;
only then can any formal burden of proof be laid on the defendant. Liability then depends on
whether the defendant can offer evidence in support of a defence that is sufficient at least to create
a reasonable doubt about her guilt, all things considered.” Lihat R.A Duff, Answering for Crime:
Responsibility and Liability in the Criminal Law, (Oxford: Hart Publishing, 2007), hlm. 230.
144
Menurut Ashworth dan Horder prinsip pertanggungjawaban pengganti di dalam hukum
pidana memang merupakan pengecualian dari prinsip mengenai individual autonomy, di mana
dalam hal ini bisa mempersalahkan subjek atas suatu perbuatan yang bukan merupakan perbuatan
sukarela dari subjek tersebut, menurut mereka, prinsip ini hanya bisa dibenarkan untuk tujuan
kesejahteraan (welfare) dengan nilai-nilai penegakan hukum yang benar dengan memastikan
peringatan yang memadai mengenai standar yang diharapkan dari suatu subjek hukum. Lihat
Andrew Ashworth dan Jeremy Horder, Principles of Criminal Law, seventh edition, (Oxford:
Oxford University Press, 2013), hlm. 10. Sedangkan Muladi dan Dwidja Priyatno menjelaskan
penerapan doktrin strict dan vicarious liability haruslah tetap mencerminkan perlindungan
terhadap hak asasi manusia dan mencerminkan rasa keadilan yang tumbuh dan hidup di dalam
masyarakat. Lihat Muladi dan Dwidja Priyatno, op., cit., hlm. 122-123.
145
R.A Duff, op., cit., hlm. 252.
146
Moeljatno, op., cit., hlm. 153.
Universitas Indonesia
39
147
Ibid.
148
Ashworth dan Horder, op., cit., hlm. 5.
149
Fletcher (2), Rethinking Criminal Law (Oxford, UK: Oxford University Press, 2000),
hlm. 656.
150
Michael Jefferson, Criminal Law, 8th edition, (England: Pearson Longman, 2007), hlm.
48. Di beberapa negara misalnya di Belgia, untuk tindak pidana pers dipergunakan sistem
tanggung jawab suksesif (waterfall system), di mana tuduhan jatuh dari satu tingkat ketingkat
berikutnya, mulai dari penerbit, editor dan kemudian penulis. Bentuk ini juga merupakan salah
satu bentuk vicarious liability di mana pertanggungjawaban pidana dari satu orang dapat dipikul
oleh orang yang lainnya. Namun tujuan dari bentuk pertanggungjawaban ini adalah untuk
perlindungan terhadap kebebasan pers, sehingga penulis berita tidak selalu dapat dipersalahkan
atas berita yang dibuatnya. Pembahasan lebih lanjut mengenai pertanggungjawaban pidana
waterfall system yang ada pada tindak pidana pers dapat dilihat pada tulisan Mustafa Abdullah,
“Sistem Pertanggungjawaban Tindak Pidana Pers,” dalam Jufrina Rizal dan Suhariyono AR
(editor). Demi Keadilan: Ontologi Hukum Pidana dan Sistem Peradilan Pidana - Enam
Dasawarsa Harkristuti Harkrisnowo. (Jakarta: Pustaka Kemang, 2016), hlm. 72-74.
Universitas Indonesia
40
151
Pieth dan Ivory, “Emergence and Convergence: Corporate Criminal Liability Principles
in Overview”, in Corporate Criminal Liability: Emergence, Convergence and Risk, Mark Pieth
and Radha Ivory (editor), (London: Springer, 2011), hlm. 21-22. Lihat juga Andri G. Wibisana,
“Kejahatan Lingkungan oleh Korporasi: Mencari Bentuk Pertanggungjawaban Korporasi dan
Pemimpin/Pengurus Korporasi untuk Kejahatan Lingkungan di Indonesia,“ Jurnal Hukum &
Pembangunan, 46 No. 2, 2016: 149-195, hlm. 155-168. Sedangkan Prof. Sutan Remy Sjahdeini
menjelaskan tujuh jenis doktrin mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi yaitu: 1) doctrine
of strict liability, 2) doctrine of vicarious liability, 3) doctrine of delegation, 4) doctrine of
identification, 5) doctrine of aggregation, 6) the corporate culture model, 7) reactive corporate
fault, lihat Sjahdeini (1), op., cit., hlm. 77-124. Namun beberapa doktrin yang dipaparkan Prof.
Remy sebenarnya bisa dimasukkan kepada doktrin lain yang juga berkaitan seperti misalnya
doctrine of delegation sebenarnya merupakan gradasi dari vicarious liability, dan reactive
corporate fault sebenarnya merupakan gradasi lain dari doktrin corporate culture model.
152
Teori gabungan adalah teori yang dikemukakan oleh Sutan Remy Sjahdeini sebagai
alternatif teori untuk pembebanan pertanggungjawaban pidana bagi korporasi. Sutan Remy
Sjahdeini (2), Ajaran Pemidanaan: Tindak Pidana Korporasi & Seluk Beluknya, Edisi Kedua,
(Jakarta: Kencana, 2017), hlm. 197-216.
153
Menurut pandangan ini, pertanggungjawaban langsung (direct liability) adalah tidak
mungkin karena organisasi selalu bertindak melalui organ atau pengurusnya. Lihat Vervaele, John
A. E. Vervaele, “Societas/Universitas Can be Guilt and Punished: 60 Years of Experience in The
Netherlands,” Derecho comparado y Derecho comunitario, Estudios de Derecho Judicial, 115,
Madrid, 2007, 11-64. Dan juga hasil diskusi dengan Prof. John Vervaele, Profesor in Economic
and European Criminal Law, pada bulan September 2014, di Law, Economics and governance
Faculty, Utrecht University, Belanda.
154
Vervaele, op., cit.
Universitas Indonesia
41
identity) yang memiliki semua karakteristik natural yang dimiliki manusia sebagai
entitas natural.155
Apabila dikaitkan dengan pendapat Vervaele diatas, maka vicarious
liability dan identification doctrine merupakan indirect liability yang mana
pertanggungjawaban korporasi diatribusikan dari perilaku dan kehendak organ
atau pengurus tertentu di dalam organisasi sebagai perilaku dan kehendak
organisasi, sedangkan doktrin agregasi dan doktrin budaya perusahaan merupakan
direct liability dimana perbuatan dan kesalahan ditemukan langsung pada
korporasinya. Dalam hal indirect liability dapat dipahami bahwa secara aktual ada
individu tertentu di dalam korporasi yang telah melakukan tindak pidana yang
bisa diatribusikan kepada korporasi, tentunya disini dapat disimpulkan bahwa
yang bersalah dan dapat bertanggung jawab adalah individu yang bersangkutan
dan atau korporasinya. Sedangkan pada direct liability dimana kesalahan tidak
ditarik dari individu tertentu tetapi dari pengetahuan dan tindakan kolektif dari
anggota korporasi atau dari budaya dan kebijakan korporasi maka yang dapat
bertanggung jawab dalam hal ini hanya korporasi saja dan bukan individu tertentu
dari korporasi , kecuali memang ada kesalahan individu dalam terwujudnya tindak
pidana.
155
Misalnya Lederman dalam tulisannya “Models for Imposing Corporate Criminal
Liability: From Adaptation and Imitation Toward Aggregation and the Search for Self Identity”
menejelaskan bahwa karena korporasi itu memiliki self identity maka pengelaborasian
pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi seharusnya tidaklah berdasarkan adaptation atau
imitation sebagaimana doktrin vicarious liability dan identification doctrine yang selama ini
diterima, tetapi dengan menggunakan doktrin aggregasi dan budaya perusahaan sebagai identitas
sendiri dari korporasi. Lihat Lederman, op., cit.
156
Ketentuan mengenai hubungan majikan dan bawahan ‘respondeat superior’ (latin) – let
the master answer. Lihat Brandon L. Garrett, (1) Too Big Too Jail: How Prosecutors Compromise
with Corporations, (London, England: The Belknap Press of Harvard University Press, 2014),
hlm. 4. Vicarious liability sebenarnya memiliki cakupan yang lebih luas daripada respondeat
superior, karena vicarious liability meliputi semua bentuk pertanggungjawaban yang dilakukan
oleh orang lain, sedangkan respondeat superior terbatas hubungan antara pemberi kerja dan
Universitas Indonesia
42
seorang pemberi kuasa (principal) dapat bertanggung jawab atas perbuatan yang
dilakukan oleh penerima kuasa (agent), selama perbuatan dari agent tersebut
adalah dalam batas kewenangannya. 157 Ketentuan mengenai adanya hubungan
kerja antara pelaku dengan organisasi (agent dari organisasi) dan ketentuan
mengenai scope of employment merupakan bagian dari ajaran atribusi (Rules of
Attribution). Dimana korporasi dianggap tidak memiliki kapasitas sendiri untuk
dapat melakukan sesuatu, sehingga diperlukan suatu aturan yang menjelaskan
bahwa tindakan dari agen manusia di dalam korporasi dapat diatribusikan dan
dianggap sebagai tindakan dari korporasinya sendiri. Biasanya ketentuan ini diatur
pada Anggaran Dasar korporasi, misalnya ketentuan yang mengatur bahwa
keputusan dari direksi merupakan keputusan dari korporasi. Tentunya Anggaran
Dasar tidak dapat memuat semua ketentuan yang terlalu detail, sehingga
Anggaran Dasar hanya akan memuat ketentuan yang bersifat penting saja
(primary rules of attribution).158 Sedangkan untuk ketentuan atribusi yang bersifat
umum (general rules of attribution) berlaku prinsip-prinsip keagenan (principles
of agency) secara umum. Dengan prinsip ini korporasi bisa melakukan suatu
tindakan melalui keagenan dari para pegawainya. Melalui kombinasi antara
‘primary rules of attribution’ dan ‘general rules of attribution,’ tindakan dari para
pegawai dapat dilihat sebagai tindakan dari perusahaan.159
Sehingga untuk dapat berlakunya pertanggungjawaban pengganti ini,
haruslah dibuktikan tiga hal: 1) bahwa memang terdapat hubungan kerja antara
pelaku tindak pidana dengan organisasi yang bersangkutan (agent), 2) juga harus
dibuktikan bahwa perbuatan pekerja tersebut adalah dalam rangka tugas dan
perannya di dalam organisasi (scope of employment),160 dan 3) dengan maksud
untuk menguntungkan korporasi (intent to benefit the corporation). 161 Prinsip
hubungan kerja (employment principle) sebagai salah satu syarat pada vicarious
pekerja. Lihat pembahasan mengenai hal ini misalnya pada James R. Schirott dan Sherry K. Drew,
“The Vicarious Liability of Public Officials Under the Civil Rights Act,” Akron Law Review,
2015, vol. 8, issue 1.
157
Sjahdeini (1), op., cit., hlm. 84.
158
Pinto and Evans, op., cit., hlm. 61
159
Ibid.
160
Ibid.
161
De maglie, op., cit., hlm. 553.
Universitas Indonesia
43
liability ini juga bisa berupa hubungan lain yang berdasarkan prinsip
pendelegasian wewenang dan kewajiban (the delegation principle).162
Pieth dan Ivory membagi pertanggungjawaban pengganti terhadap
korporasi (corporate vicarious liability) menjadi dua: strict vicarious liability dan
163
qualified vicarious liability. Pertanggungjawaban pengganti ketat (strict
vicarious liability) banyak diterapkan di Amerika Serikat. 164 Menurut doktrin
strict vicarious liability, korporasi dapat dipersalahkan atas suatu tindakan dari
pekerja atau anggota dari korporasi, yang dilakukan dalam lingkup pekerjaannya
dan dilakukan untuk menguntungkan atau memberi manfaat kepada korporasi.165
Tidak menjadi penting menurut doktrin ini apakah pekerja tersebut berada pada
166
kedudukan yang penting dalam korporasi atau tidak, dan juga tidak
memperhitungkan apakah korporasi telah melakukan upaya-upaya dalam
mencegah perilaku yang menyimpang tersebut. 167 Cukup dengan kenyataan
bahwa seorang anggota korporasi atau pegawai suatu korporasi bertindak untuk
kepentingan atau menguntungkan korporasi (intent to benefit the corporation)168
dan dalam lingkup tugas dan atau kewajibannya (scope of authority) di dalam
korporasi, maka korporasi sudah dapat dipersalahkan dan bertanggung jawab atas
perilaku anggotanya tersebut.169
Pertama kali diterima dalam kasus New York Central & Hudson River
Railroad Co. v. United States 212 US 481 (1909). 170 Dalam kasus New York
Central, hakim menyatakan bahwa asisten manajer pada perusahaan kereta api
tersebut telah menawarkan pengembalian uang (rebate) kepada kostumer,
162
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana. Cet. 2. Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2010, hlm. 250.
163
Pieth dan Ivory, op., cit., hlm. 21-22
164
Ibid.
165
Joshua D. Greenberg dan Ellen C. Brotman, "Strict Vicarious Criminal Liability for
Corporations and Corporate Executives: Stretching the Boundaries of Criminalization," American
Criminal Law Review, 51, 2014, hlm. 81.
166
Andri G. Wibisana, op., cit., hlm. 155.
167
Pieth dan Ivory, op., cit., hlm. 22.
168
Faktor yang penting di beberapa negara dalam mengatribusikan pertanggungjawaban
pidana kepada suatu organisasi adalah adanya unsur menguntungkan organisasi ini. Seperti
misalnya di Amerika, Australia, Perancis, Belanda dan Kanada. Lihat Andri G. Wibisana, op., cit.,
hlm. 158.
169
Ved P. Nanda, “Corporate Criminal Liability in the United States: Is a New Approach
Warranted?” dalam Mark Pieth and Radha Ivory (editor), Corporate Criminal Liability:
Emergence, Convergence and Risk, (London: Springer, 2011), hlm. 68-69.
170
V.P. Nanda, op., cit., hlm. 68.
Universitas Indonesia
44
melanggar ketentuan pada Elkins Act.171 Perbuatan dari asisten manajer tersebut
dipertanggungjawabkan juga terhadap perusahaannya.
Qualified vicarious liability berkembang di Inggris untuk ketentuan yang
diatur pada Undang-Undang. Penerapan pertanggungjawaban korporasi
berdasarkan qualified vicarious liability dianggap lebih lunak dibandingkan
172
dengan strict vicarious liability. Di mana biasanya penerapan
pertanggungjawaban diikuti dengan pembelaan mengenai uji kelayakan (due
diligence), yang memungkinkan korporasi melakukan pembelaan diri dengan
menyatakan bahwa dia telah melakukan berbagai upaya yang cukup untuk
mencegah terjadinya tindak pidana. Sehingga korporasi dapat dibebaskan dari
pertanggungjawaban pidana atas tindakan dari pegawainya apabila dia telah
melakukan segala macam upaya untuk melakukan pencegahan terhadap terjadinya
173
tindak pidana tersebut. Sebagai batasan dalam membebankan
pertanggungjawaban pidana menurut qualified vicarious liability, organisasi
dinyatakan memiliki kesalahan apabila telah memenuhi syarat berikut: 1)
perusahaan haruslah sadar akan adanya resiko akan terjadinya tindak pidana atau
akibat yang ditimbulkan dari suatu tindakan yang akan dapat dipidana, 2)
perusahaan memiliki kewajiban hukum untuk menghentikan terjadinya tindak
pidana tersebut, 3) perusahaan memiliki kapasitas untuk mencegah terjadinya
tindak pidana, dan 4) perusahaan gagal dalam melakukan pencegahan terhadap
terjadinya tindak pidana.174
Lucian E. Dervan, “Corporate Criminal Liability, Moral Culpability, and the Yates
171
Universitas Indonesia
45
semua orang yang berada di dalam organisasi atau yang terkait dengan organisasi
memiliki status yang cukup untuk menyebabkan korporasi bertanggung jawab
secara vicarious atas kejahatan mereka.176 Doktrin ini berkembang pada mulanya
dari suatu putusan pengadilan di Inggris, Tesco Supermarkets Ltd. v. Nattrass
(yang lebih dikenal dengan kasus Tesco). 177 Dalam putusan ini The House of
Lords menyatakan bahwa manajer toko bukanlah merupakan penentu kehendak
(directing mind and will) dari korporasi sebesar Tesco, yang telah mendelegasikan
kekuasaan untuk membuat keputusan kepada agen yang ada di bawahnya secara
luas, sehingga tidak dapat dipersalahkan atas perbuatan manajer toko tersebut.178
Menurut doktrin identifikasi, korporasi diidentifikasikan melalui orang-
orang penting atau pimpinan dari korporasi tersebut, orang-orang penting ini
disebut sebagai legal alter ego dari korporasi, sehingga korporasi dapat
bertanggung jawab atas tindakan dan kesalahan dari mereka. 179 Korporasi akan
dinyatakan bertanggung jawab atas suatu tindak pidana hanya apabila salah satu
dari para personel pengendali bersalah sebagai pelaku dari tindak pidana
tersebut.180 Sebagaimana dalam kasus Tesco, hakim menjelaskan:
“A corporation… must act through living persons though not always one
and the same person. Then the person who acts is not speaking or acting
for the company. He is acting as the company and his mind which directs
his acts is the mind of the company.”181
(Suatu korporasi… harus bertindak melalui manusia meskipun tidak selalu
satu orang dan orang yang sama. Sehingga perkataan dan tindakan dari
orang tersebut bukan untuk perusahaan. Dia bertindak sebagai perusahaan
dan pikiran yang mengarahkan tindakannya adalah pikiran dari
perusahaan.)
176
James Gobert, op., cit., hlm. 142.
177
[1972] AC 153 at 1 (Reid LJ), dikutip dari Pieth dan Ivory, op., cit., hlm. 23. Meskipun
kasus ini bukan kasus yang pertama menggunakan teori identifikasi untuk mempidana korporasi.
Lihat Sjahdeini (1), op., cit., hlm. 100-102. Lihat juga pemaparan kasus yang lebih awal
mengakomodasi doktrin identifikasi ini pada Mike Molan, Denis Lanser dan Duncan Bloy, op.,
cit., hlm. 139.
178
Pieth dan Ivory, op., cit., hlm. 23-24.
179
Ibid., hlm. 22.
180
Pinto and Evans, op., cit., hlm. 58.
181
Dikutip dari Harding, op., cit., hlm. 142.
Universitas Indonesia
46
182
Canadian Dredge and Dock Co. v. R. (Dredge and Dock), Canada [1985] 1 SCR 662,
paras. 29, 32 (Estey J), dikutip dari Pieth dan Ivory, op., cit., hlm. 24.
183
Dikutip dari Muladi dan Dwidja Priyatno, op., cit., hlm. 232.
184
Ibid., hlm. 233.
185
Sjahdeini (1), op., cit., hlm. 104-105.
186
Ibid.
Universitas Indonesia
47
187
James Gobert, op., cit., hlm. 141.
188
Ibid., hlm. 142.
189
Pinto dan Evans, op., cit., hlm. 60.
190
Harding, op., cit., hlm. 142. Seorang personel pengendali perusahaan kadang kala tidak
memiliki akses untuk dapat mengontrol seluruh aktifitas perusahaan sebagaimana dalam kasus
Tesco, meskipun tindakan dari store manager merupakan tindakan dengan kehendak untuk
memberikan keuntungan bagi perusahaan. Selain itu, seorang personel pengendali perusahaan
juga kadang kala tidak memiliki kemampuan untuk mempengaruhi suatu kebijakan perusahaan
besar. Sebagai ilustrasi misalnya, PT. Accenture Indonesia, memiliki kebijakan untuk mendukung
komunitas Lesbian, Gay, Bisexual, and Transgender (LGBT). Kebijakan ini merupakan kebijakan
Universitas Indonesia
48
Accenture global yang tidak bisa dipengaruhi bahkan oleh seorang Country Managing Director
PT. Accenture Indonesia. Lihat https://www.accenture.com/us-en/company-lesbian-gay-bisexual-
transgender. Diakses Februari 2017.
191
Pinto dan Evans, op., cit., hlm. 58.
192
James Gobert, op., cit., hlm. 142.
193
Hasil wawancara dengan Prof. Sutan Remy Sjahdeini, SH., MH., Kamis, 16 Februari
2017, Jakarta.
194
Harding, op., cit., hlm. 143.
195
Ibid. Mengenai Budaya kerja dan etos yang unik dari suatu korporasi akan dibahas
secara mendalam pada sub bab ‘Doktrin Budaya Perusahaan’ pada bab ini.
Universitas Indonesia
49
tanpa tergantung terhadap satu atau dua orang individu yang menjadi anggota
yang ada di dalamnya (the irrelevance of person).196
Secara teori menurut Harding penjabaran doktrin identifikasi yang
menjelaskan pengurus pengendali sebagai legal alter ego dari korporasi
memberikan implikasi hukum yang cukup rumit mengenai kemungkinan
pelanggaran terhadap ajaran tidak adanya penuntutan ganda (double jeopardy atau
ne bis in idem) apabila kedua pihak dimungkinkan untuk dapat bertanggungjawab
atas tindak pidana yang sama.197
Universitas Indonesia
50
203
perusahaan besar. Di samping itu doktrin agregasi merupakan
pertanggungjawaban pidana korporasi yang tidak berdasarkan kepada kesalahan
individu tertentu di dalam korporasi, tetapi merupakan pertanggungjawaban
pidana yang berdasarkan kepada kesalahan dari korporasi sendiri sebagai suatu
subjek hukum.204
Doktrin agregasi ini diterima di Amerika Serikat misalnya dalam kasus
United States v. Bank of New England, dijelaskan bahwa pengetahuan kolektif
dari pegawai bank dapat dilekatkan kepada pengetahuan bank sebagai suatu
korporasi.205 Meskipun para individu di dalam korporasi tidak mengetahui bahwa
mereka terlibat dalam suatu tindak pidana, tetapi agregat dari komponen yang ada
dapat dikaitkan dengan pengetahuan korporasi (corporation’s knowledge). 206
Suatu korporasi dapat bertanggung jawab secara pidana meskipun tidak terdapat
bukti bahwa ada individu tertentu di dalam korporasi memiliki kehendak untuk
melakukan tindak pidana ataupun mengetahui bahwa tindakan mereka dapat
menimbulkan suatu tindak pidana.207
Namun doktrin agregasi ini ditolak dalam beberapa kasus di Inggris,
misalnya dalam kasus R v HM Coroner for East Kent, ex p. Spooner.208 Kapal
Herald of Free Enterprise terbalik dalam perjalanan dari Zeebrugge pada tahun
1987. Kapal tersebut terbalik karena berlayar dalam keadaan bagian pintu haluan
kapal (bow doors) masih terbuka, yang mengakibatkan air masuk ke dalam deck
mobil sehingga mengakibatkan kapal menjadi tidak stabil, oleng dan akhirnya
tenggelam. Kejadian ini mengakibatkan meninggalnya 200 orang dan penuntutan
terhadap P&O European Ferries (Dover) Ltd. karena kelalaian yang
mengakibatkan kematian. 209 Tidak ada satupun direksi mengetahui mengenai
203
Neil Cavanagh, “Corporate Criminal Liability: An Assesment of the Models of Fault,”
The Journal of Criminal Law, 75, 2011; 414-440, hlm. 426.
204
Rick Sarre (1), “Penalising Corporate ‘culture’: The Key to Safer Corporate Activity?”
dalam James Gobert dan Ana-Maria Pascal (editor), European Developments in Corporate
Criminal Liability, (Oxon: Routledge, 2011), hlm. 87
205
United States v. Bank of New England (1987), 821 F.2d 884. Merupakan kasus terhadap
pelanggaran Currency Transaction Reporting Act yang mewajibkan setiap bank untuk melaporkan
transaksi diatas US$ 10.000,- lihat Andri G. Wibisana, op., cit., hlm. 163.
206
V.P. Nanda, op., cit., hlm. 70.
207
Neil Cavanagh, op., cit., hlm. 425.
208
Ibid.
209
R v. HM Coroner for East Kent; Ex parte Spooner (1989) 88 Cr. App. R. 10; R. v. P&O
European Ferries (Dover) Ltd. [1991] 93 Cr. App. R. 72. Dikutip dari Pieth dan Ivory, op., cit.,
hlm. 27 dan James Gobert, op., cit., hlm. 147.
Universitas Indonesia
51
ketidakberesan yang ada di kapal dan juga karena tidak ada satu tindakan pun dari
board member yang mengakibatkan terjadinya peristiwa tersebut, namun jaksa
berpendapat bahwa fakta-fakta dan pengetahuan yang dimiliki secara kolektif oleh
dewan direksi seharusnya dapat dianggap sebagai kelalaian dari perusahaan untuk
mencegah terjadinya persitiwa tersebut. Pendapat tersebut ditolak oleh
pengadilan, menurut Lord Justice Bingham, agregasi dari tindakan dan sikap
kalbu dari individu yang diatribusikan sebagai tindakan dan sikap kalbu dari
organisasi adalah inkonsisten dengan doktrin yang selama ini diterima yaitu
doktrin identifikasi.210
Penjabaran yang disampaikan oleh Lord Justice Bingham dalam kasus
diatas dapat dipahami sebagai keterbatasan kemampuan doktrin identifikasi untuk
bisa menjelaskan pertanggungjawaban korporasi. Meskipun cukup jelas dalam
kasus diatas bahwa pengetahuan kolektif dari dewan direksi seharusnya sudah
cukup untuk bisa membebankan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi
sebagai pihak yang bertanggungjawab dalam terjadinya tindak pidana, namun
karena hakim dalam hal ini hanya menyandarkan pertanggungjawaban kepada
doktrin identifikasi yang mensyaratkan adanya unsur kesalahan dari pengurus
pengendali, maka korporasi tidak dapat dipersalahkan atas terjadinya tindak
pidana.
210
Pieth dan Ivory, op., cit., hlm. 27
211
Ibid., hlm. 22.
212
Rick Sarre (1), op., cit., hlm. 86.
Universitas Indonesia
52
korporasi. 213 Budaya perusahaan bisa dilihat secara formal pada prosedur dan
kebijakan perusahaan, atau secara informal dari bagaimana budaya tersebut
mempengaruhi tindakan dan tingkah laku individu di dalam korporasi.214
Smiley menjelaskan ada sesuatu dari organisasi, entah itu strukturnya,
identitasnya, etos, aturan, ideologi atau standard bertindak (code of conduct) dari
entitas tersebut yang bisa dipersalahkan atas timbulnya suatu tindak pidana di
mana anggota organisasi digiring untuk bertindak karena satu atau lebih aspek-
aspek kolektif tersebut.215 Budaya perusahaan ini baik secara aktif maupun secara
pasif mengizinkan atau menoleransi ketidakpatuhan pada ketentuan hukum yang
menggiring terjadinya suatu tindak pidana. 216 Sehingga tindak pidana atau
palanggaran yang dilakukan tidak dapat dilihat sebagai perilaku insidental atau
tidak terduga dari karyawan atau anggota organisasi.217
Misalnya dalam kasus Enron, budaya tidak jujur, ditambah dengan sistem
pemberian insentif yang salah, diperburuk dengan ketiadaan pengawasan yang
baik, akan memungkinkan anggota grup menipu pemegang saham dan juga
masyarakat luas. 218 Atau kasus kecelakaan di tempat kerja (inujuries in the
workplace) lebih sering dikaitkan dengan keputusan manajemen secara
keseluruhan tentang prosedur keselamatan dan ‘budaya perusahaan’ yang
mendevaluasi standar keselamatan karyawan, dan biasanya bukan disebabkan
karena kecerobohan satu orang pengendali perusahaan saja. 219 Keadaan dimana
secara tertulis perusahaan bisa saja menyatakan bahwa dia mempedulikan
213
Fisse dan Braithwaite, op., cit., hlm. 22.
214
Rick Sarre (2), “White-Collar Crime and Prosecution,” dalam Hendry N. Pontell dan
Gilbert Geis (editor), International Handbook of White-Collar and Corporate Crime, (New York,
USA: Springer, 2007), hlm. 650.
215
Marion Smiley, From Moral Agency To Collective Wrongs: Re-Thinking Collective
Moral Responsibility, Journal Of Law and Policy, 19, 171, 2010-2011, hlm. 197. Namun Foster
menjelaskan apabila yang dimaksudkan dengan budaya perusahaan adalah cara berfikir (mindset)
dari perusahaan, maka seharusnyalah ditelusuri dari mindset para pengendai korporasi itu.
Sehingga dalam hal ini Foster berpendapat bahwa doktrin budaya perusahaan tidak selalu
merupakan pertanggungjawaban langsung dari organisasi tetapi juga bisa merupakan
pertanggungjawaban tidak langsung organisasi yang ditarik dari kesalahan pengurus organisasi.
Untuk pandangan Foster ini bisa dilihat lebih lanjut pada Neil Foster, “Individual Liability of
Company Officers,” dalam James Gobert dan Ana-Maria Pascal (editor), European Developments
in Corporate Criminal Liability, (Oxon: Routledge, 2011), hlm. 115.
216
Rick Sarre (1), op., cit., hlm. 88.
217
Lederman, op., cit., hlm. 695.
218
Kenneth Shockley, “Programming Collective Control,” Journal of Social Philosophy,
38, 2007, 442, hlm. 449.
219
Neil Foster, op., cit., hlm. 115.
Universitas Indonesia
53
220
Rick Sarre (2), op. cit., hlm. 650.
221
Dikutip dari Harding, op. cit., hlm. 145.
222
Ibid.
223
Ibid.
224
Peter Cleary Yeager, “Understanding Corporate Lawbreaking: From Profit Seeking to
Law Finding,” dalam Hendry N. Pontell dan Gilbert Geis (editor), International Handbook of
White-Collar and Corporate Crime, (New York, USA: Springer, 2007), hlm. 34.
Universitas Indonesia
54
225
Lederman, op., cit., hlm. 695.
226
De Maglie, op., cit., hlm. 558.
227
Ibid., hlm. 559.
228
Australia, Criminal Code Act 1995, Part 2.5. Corporate Criminal Responsibility,
Division 12.3: Fault elements other than negligence:
(1) If intention, knowledge or recklessness is a fault element in relation to a physical
element of an offence, that fault element must be attributed to a body corporate that
expressly, tacitly or impliedly authorised or permitted the commission of the offence.
(2) The means by which such an authorisation or permission may be established include:
a. Proving that the body corporate’s board of directors intentionally, knowingly or
recklessly carried out the relevant conduct, or expressly, tacitly or impliedly
authorised or permitted the commission of the offence; or
b. Proving that a high managerial agent of the body corporate intentionally,
knowingly or recklessly engaged in the relevant conduct, or expressly, tacitly or
impliedly authorised or permitted the commission of the offence; or
c. Proving that a corporate culture existed within the body corporate that directed,
encouraged, tolerated or led to non‑ compliance with the relevant provision; or
Universitas Indonesia
55
menyatakan bahwa suatu organisasi bertanggung jawab atas suatu tindak pidana
yang dilakukan di dalam lingkup objektif organisasi dan dalam pelaksanaan
kegiatan organisasi yang tidak dapat dipersalahkan kepada individu tertentu tetapi
terjadi karena ketidakberesan dari organisasi (disorganization).229
Dapat disimpulkan dalam hal ini, bahwa budaya, etos kerja, kebijakan,
sistem kerja, atau praktek yang secara umum telah diterima oleh organisasi,
menggiring atau menoleransi terjadinya kejahatan. 230 Doktrin ini lebih efektif
untuk bisa meminta pertanggungjawaban pidana dari organisasi besar yang
apabila menggunakan doktrin identifikasi tidak bisa dipersalahkan karena mereka
telah mendelegasikan kekuasaan dan tugas-tugas secara luas kepada karyawan
yang lebih rendah.231
Meskipun doktrin budaya perusahaan mendasarkan kesalahan kepada
budaya perusahaan itu sendiri, namun, doktrin ini tidak menutup kemungkinan
untuk juga dapat meminta pertanggungjawaban pidana kepada individu tertentu di
dalam organisasi. Baik perusahaan maupun individu yang mungkin menjadi
bagian dari jaring pengambilan keputusan (web of decisions), yang menggiring
d. Proving that the body corporate failed to create and maintain a corporate
culture that required compliance with the relevant provision.
(Divisi 12.3: Elemen kesalahan selain kelalaian:
(1) apabila adanya niat, pengetahuan atau kelalaian merupakan elemen yang diperlukan
dalam suatu tindak pidana, maka elemen kesalahan harus diatribusikan kepada suatu
korporasi yang baik secara terang-terangan, secara diam-diam, atau secara tersirat
memperkenankan atau mengizinkan dilakukannya tindak pidana tersebut.
(2) Salah bentuk memperkenankan atau mengizinkan terjadinya tindak pidana adalah
dengan:
a. Apabila dewan direksi dengan sengaja, dengan sadar, atau dengan kelalaian
melakukan perbuatan yang relevan, atau secara terang-terangan atau secara
diam-diam atau secara tersirat memperkenankan atau mengizinkan dilakukannya
tindak pidana; atau
b. Apabila pihak manajemen pada level atas dengan sengaja, dengan sadar, atau
dengan kelalaian melakukan perbuatan yang relevan, atau secara terang-terangan
atau secara diam-diam atau secara tersirat memperkenankan atau mengizinkan
dilakukannya tindak pidana; atau
c. Apabila budaya perusahaan yang ada pada korporasi mengarahkan, mendorong,
mentolerir atau menggiring kepada terjadinya tindak pidana.
d. Apabila korporasi gagal untuk membentuk atau melaksanakan budaya
perusahaan yang mewajibkan kepatuhan terhadap ketentuan yang relevan.)
229
Bunyi lengkap dari Pasal 102 (1) Swiss Criminal Code 1937 adalah: “If a felony or
misdemeanour is committed in an undertaking in the exercise of commercial activities in
accordance with the objects of the undertaking and if it is not possible to attribute this act to any
specific natural person due to the inadequate organisation of the undertaking, then the felony or
misdemeanour is attributed to the undertaking...”
230
Marion Smiley, op., cit., hlm. 197.
231
Michael Jefferson, op., cit., hlm. 232.
Universitas Indonesia
56
kepada terjadinya tindak pidana, sehingga mereka dapat menjadi subjek yang
bertanggung jawab.232
Ke empat doktrin yang dijelaskan diatas merupakan cara yang bisa
digunakan untuk menjelaskan bagaimana melekatkan pertanggungjawaban pidana
kepada suatu subjek hukum organisasi. Setiap doktrin memiliki kelebihan dan
kekurangan dalam menjelaskan hubungan antara actus reus dan mens rea dengan
pertanggungjawaban pidana yang bisa diberikan kepada organisasi. Sehingga
sangat penting untuk bisa mengambil kelebihan dari masing-masing doktrin untuk
bisa memaksimalkan kemampuan hukum pidana untuk meminta
pertanggungjawaban kepada suatu organisasi yang melakukan tindak pidana.
5) Ajaran Gabungan
232
Rick Sarre (1), op., cit., hlm. 86.
233
Sutan Remy Sjahdeini (2), op., cit., hlm. 197-216.
Universitas Indonesia
57
2. Kerangka Konseptual
Untuk menunjang kerangka teori sebagaimana telah dikemukakan di atas,
maka dalam penelitian ini diberikan penjabaran mengenai beberapa konsep yang
sering digunakan, antara lain:
a. Subjek Hukum
Subjek hukum adalah pengemban hak dan/atau kewajiban, dimana
kepadanya hukum berlaku. 234 Meskipun terdapat cukup banyak perdebatan
berkaitan dengan makna subjek hukum ini, namun pengertian tersebut diatas
merupakan pendeskripsian yang paling dominan diterima oleh banyak pemikir
hukum. Dalam kebanyakan literatur, istilah orang/persona (person) dipergunakan
untuk merujuk kepada pengemban hak dan kewajiban hukum, mengidentifikasi
pihak yang kepadanya hukum dapat diterapkan, 235 sehingga tulisan ini akan
menggunakan secara bergantian istilah subjek hukum dengan person.
Tulisan ini juga akan mengadopsi pemikiran Kelsen yang membagi person
kepada dua kelompok, yaitu natural person dan juristic person.236 Juristic person
meskipun dalam beberapa literatur dapat dipersamakan dengan legal person,
namun dalam khasanah hukum Indonesia, pengertian legal person akan bermakna
234
Borkowski, op., cit., hlm. 84.
235
Ngaire Naffine (2), Legal Theory Today, Law’s Meaning of Life: Philosophy, Religion,
Darwin and the Legal Person, (Portland: Hart Publishing, 2009), hlm. 1.
236
Kelsen (2), op.cit., hlm. 171.
Universitas Indonesia
58
b. Korporasi
237
Sebagaimana misalnya diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas, Indonesia,
Undang-Undang Perseroan Terbatas, UU No. 40 Tahun 2007, LN. No. 106 Tahun 2007.
238
Bryan A. Garner (editor in Chief), Black’s Law Dictionary, ninth Edition, (USA:
Thomson Reuter, 2009), hlm. 391.
239
Joel Balkan, The Corporation, (New York: Free Press, 2004), hlm. 1.
Universitas Indonesia
59
F. Metode Penelitian
1. Metode Pendekatan
240
J.E. Post, L.E Preston, dan S. Sachs, Redefinig the Corporation (Standford: Standford
University Press, 2002), hlm. 17.
241
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat. 1986. Jakarta: CV. Rajawali, hal 15. Menurut Soetandyo metode penelitian normatif ini
sama dengan penelitian yang di dalam literatur internasional disebut penelitian doktrinal. Lihat
Soetandyo Wignjosoebroto, “Ragam-ragam Penelitian Hukum”, dalam Metode Penelitian Hukum,
Sulistyowati Irianto dan Shidarta (editor), (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), hlm.
122. Sedangkan Philip Hadjon menyebut penelitian normative dengan penelitian dogmatik, lihat
Bernard Arief Sidharta, “Penelitian Hukum Normatif: Analisis Penelitian Filosofikal dan
Dogmatikal”, dalam Metode Penelitian Hukum, Sulistyowati Irianto dan Shidarta (editor),
(Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), hlm. 143.
242
In-depth interview merupakan wawancara yang memberikan kebebasan subjek interview
untuk mengarahkan jalannya pembicaraan. Interview mendalam ini biasanya digunakan dalam
Universitas Indonesia
60
observasi partisipan (participant observation), yang digunakan baik oleh pengamat partisipan
maupun peneliti yang tidak menggunakan cover terhadap apa yang sedang dipelajari. Lihat Earl
Babbie, The Practice of Social Research, (New York: Wadsworth Publishing Company, 1998),
hlm. 282. Kelebihan dari metode wawancara adalah tingkat fleksibelitas yang tinggi, tingkat
respon yang baik dari pewawancara ataupun pihak yang diwawancarai, tingkah laku yang tidak
verbal dan spontanitas yang bisa diperhatikan dari subjek wawancara, kelengkapan semua bahan
yang ingin diteliti dan ketahui, serta pewawancara bisa mengontrol pertanyaan yang diajukan
berdasarkan alur perkembangan pembicaraan. Lihat Kenneth D. Bailey, Methods of Social
Research, Second Edition, (New York: The Free Press, 1982), hlm. 182-183.
243
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cetakan ke-6, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2010), hlm. 97.
244
Scholten, dikutip dari Visser ‘t Hooft, Filosofie van de Rechtswetenschap,
diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, (Bandung, Laboratorium Hukum Fakultas Hukum
Universitas Katolik Parahyangan, 2009), hlm. 96.
245 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Surabaya:
Universitas Indonesia
61
2. Jenis Data
Metode analisis yang digunakan adalah metode analisis kualitatif. Analisis
kualitatif maksudya adalah penelitian yang non-numerik (nonnumerical
examination) dan penginterpretasian terhadap suatu observasi, dengan tujuan
untuk menemukan makna dan pola yang mendasari suatu hubungan.249 Data yang
digunakan adalah data yang mengarah pada kajian-kajian yang bersifat teoritis
dalam bentuk asas, konsepsi, pandangan, doktrin hukum, serta kaedah hukum
yang berkaitan dengan tema korporasi, badan hukum dan badan usaha sebagai
subjek dalam rezim hukum pidana, yang kemudian data ini dianalisis secara
kualitatif.
Navigator (Boston: Person Allyn & Bacon, 2006), hlm. 418-453. Menurut Harkristuti
Harkrisnowo, ada beberapa faktor yang tidak boleh diabaikan dalam melakukan comparative
study, diantaranya adalah: a) sistem hukum dan sistem peradilan yang berbeda, b) jumlah tindak
pidana yang dilaporkan dan yang dicatat oleh kepolisian, c) perbedaan data yang dicatat dalam
laporan statistic, d) unsur-unsur tindak pidana yang berbeda antara Negara, e) akurasi pencatatan
atau perekaman data, f) penggunaan istilah yang sama dengan makna yang berbeda. Lihat
Harkristuti Harkrisnowo, “Penelitian Hukum Pidana dan Sistem Peradilan Pidana,” dalam Jufrina
Rizal dan Suhariyono AR (editor), Demi Keadilan: Ontologi Hukum Pidana dan Sistem Peradilan
Pidana - Enam Dasawarsa Harkristuti Harkrisnowo, (Jakarta: Pustaka Kemang, 2016), hlm. 541-
542.
248
Jaakko Husa, A New Introduction to Comparative Law, (Oxford: Hart Publishing, 2015),
hlm. 101.
249
Earl Babbie, op. cit., hlm. G5.
Universitas Indonesia
62
250
Soetandyo Wignjosoebroto, op., cit., hlm. 128.
251
Ibid., 127.
Universitas Indonesia
63
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan disertasi ini terdiri dari lima bab, sebagai berikut :
Bab III dari penelitian ini akan membahas tentang pemakmanaan konsep
korporasi di Indonesia dan membandingkannya dengan negara lain, mengkaji
entitas apa sajakah yang mungkin termasuk kedalam pengertian korporasi, Bab ini
juga akan membahas bagaimana implementasi pemaknaan korporasi sebagai
subjek hukum di Indonesia dan negera lain.
252
Johnny Ibrahim, op., cit., hlm. 296.
Universitas Indonesia
64
Bab V berisikan kesimpulan dari hasil penelitian yang dilakukan serta saran yang
dapat diberikan berkaitan dengan hasil penelitian yang diperoleh.
Universitas Indonesia
65
BAB II
1
Objek secara umum dipandang sebagai properti, segala sesuatu yang bermanfaat,
dapat dimiliki dan dikuasai oleh suatu subjek hukum. Lihat Mochtar Kusumaatmdja dan
Universitas Indonesia
66
objek dan subjek merupakan topik yang sangat vital di hampir semua teori
hukum;2 karena konsep kepribadian (personhood) tidak hanya memengaruhi
interaksi manusia dengan dunianya, tetapi konsep ini juga sangat penting
untuk menentukan hak, kewajiban dan perlindungan yang diberikan hukum
kepada suatu objek atau subjek hukum.3
Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum: Suatu Pengenalan Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu
Hukum, Buku I, Cetakan ke 3, (Bandung: PT. Alumni, 2013), hlm. 84.
2
James Boyle, “The Postmodern Subject in Legal Theory,” University of Colorado
Law Review, Vol. 62, 1991, 489-524, hlm. 500.
3
Brendan (Bo) F. Pons, “The Law and Philosophy of Personhood: Where Should
South Dakota Abortion Law Go From Here?” South Dakota Law Review, 2013, hlm. 121.
Perbedaan mengenai konsep orang sebagai subjek dan benda sebagai objek pertama kali
dielaborasi secara jelas pada Kodifikasi Hukum Romawi. Lihat Ngaire Naffine, Legal Theory
Today, Law’s Meaning of Life: Philosophy, Religion, Darwin and the Legal Person
(Portland: Hart Publishing, 2009), hlm. 48.
4
John Finnis, 'The Priority of Person', dalam Oxford Essays in Jurisprudence (Forth
Series), ed. by Jeremy Horder (Oxford, UK: Oxford University Press, 2002), hlm. 12.
5
PW Duff, Personality in Roman Private Law (Cambridge, Cambridge University
Press, 1938), hlm. 3.
Universitas Indonesia
67
6
John Austin, dalam R. Campbell (editor), 5th edition, Lectures on Jurisprudence
(London: John Murray, 1885), hlm. 164.
7
Mochtar Kusumaatmdja dan Arief Sidharta, op., cit., hlm. 80; Soebijono
Tjitrowinoto, op., cit., hlm. 17; Riduan Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum
Perdata, Edisi ketiga, (Bandung: PT. Alumni, 2006), hlm. 41. Bryant Smith, “Legal
Personality,” Yale Law Journal, Vol. 37, No. 3, January 1928, 283-299, hlm. 283. (a person
is a “capable of rights and duties”), Maitland juga menjelaskan subjek hukum sebagai “a
right and duty bearing unit”, lihat Frederic William Maitland (2), H.A.L. Fisher (editor). The
Collective Papers of Frederic William Maitland, (Cambridge, UK: The University Press,
1911), Michoud menyatakan: “for legal science, the notion of person... signifies simply a
subject of rights –duties”, dikutip dari John Dewey, op., cit., hlm. 659.
8
Hans Kelsen (2), op., cit., hlm. 116.
9
Ibid., hlm. 118. Meskipun menurut Satjipto Rahardjo, pengertian hak sebagaimana
tersebut diatas hanyalah merupakan pengertian hak dalam arti sempit, karena secara luas hak
juga bisa berupa kemerdekaan, kekuasaan dan imunitas yang tidak ada kaitannya dengan
kewajiban orang lain terhadap pemilik hak. Lihat Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cetakan ke
VIII, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2014), hlm. 56.
10
Hans Kelsen (2), op., cit., hlm. 119.
Universitas Indonesia
68
11
Bryant Smith, op., cit., hlm. 283.
12
Jan Klabbers, "Legal Personality: The Concept of Legal Personality," Ius Gentium
11, 2005, 35-79, hlm. 37.
13
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan XXVIII, (Jakarta: Intermasa,
1996), hlm. 19. Padangan Subekti ini juga banyak dianut oleh para pemikir hukum seperti
misalnya P.N.H Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Penerbit
Djambatan, 1999), hlm. 22. David Kader, “Law of Tortious Prenatal Death Since Roe v.
Wade,” Missouri Law Review, 1980, Vol 45, Issue 4, hlm. 640. Emma A. Maddux,
“Comment: Time To Stand: Exploring The Past, Present, And Future Of Nonhuman Animal
Standing,” Wake Forest Law Review, No. 47, Winter 2012, hlm. 1246. Sidharta juga
berpandangan bahwa suatu substansi akan sudah dianggap sebagai subjek hukum cukup
dengan dia sebagai penerima hak saja. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Sidharta,
Staff Pengajar Universitas Bina Nusantara, pada hari Senin, 1 Agustus 2016, di Universitas
Bina Nusantara, Jakarta.
14
Hans Kelsen (2), op., cit., hlm.129. Menurut Kelsen, kemampuan suatu entitas
untuk mengajukan klaim atas pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain atas hak yang
dimilikinya, merupakan konsekuensi dari kepemilikan hak dan kewajiban.
Universitas Indonesia
69
15
Esa Paasivirta, “The European Union: From an Aggregate of States to a Legal
Person,” Hofstra Law and Policy Symposium, Vol. 37, 2, 1997, hlm. 37.
16
Charles I. Lugosi, “Conforming to the Rule of Law: When Person and Human
Being Finally Mean the Same Thing in Fourteenth Amendment Jurisprudence,” Issues in
Law and Medicine, No. 22, 119-303, hlm. 175.
17
Menurut Smith, kapal memperolah personalitas dari kenyataan bahwa dia mengairi
lautan yang ada pada jurisdiksi yang berbeda. Lihat Bryant Smith, op., cit., hlm. 288.
Universitas Indonesia
70
Adapun yang bukan person dapat dibagi lagi menjadi dua bagian,
yaitu manusia, seperti misalnya budak pada zaman dahulu dianggap tidak
memiliki kedudukan dalam hukum, tidak dapat melakukan perbuatan hukum
dan hak-haknya tidak diakui menurut hukum, serta orang yang kurang waras
atau gila, juga merupakan contoh orang yang memiliki fisik tetapi dalam
hukum dianggap tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum sehingga
dianggap tidak memiliki hak dan kewajiban dalam hukum. Sedangkan bukan
subjek hukum yang bukan manusia adalah kolektif yang tidak memiliki
kepribadian hukum, seperti misalnya persekutuan perdata, persekutuan firma,
perkumpulan dan lain sebagainya, serta makhluk hidup lainnya seperti
binatang, tumbuhan dan seterusnya. Apabila digambarkan dalam suatu skema
maka secara garis besar dapat digambarkan sebagai berikut:18
Entitas
(Entity)
Person Non-person
(Subjek Hukum) (Objek hukum)
18
Bagan ini dimodifikasi dari pembagian person dalam arti luas sebagaimana yang
dikemukakan oleh Jethro W Brown dalam tulisannya yang berjudul “Personality of the
Corporation and the State” yang diterbitkan dalam The Law Quarterly Review tahun 1905.
Brown, W. Jethro, “Personality of the Corporation and the State,” Law Quarterly Review, 21,
No. 365 (1905), hlm. 376. Dicetak ulang pada Journal of Institutional Economics, Vol. 4,
Issue 2, August 2008, hlm. 255-273.
Universitas Indonesia
71
19
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kamus
versi online/daring (dalam jaringan), http://kbbi.web.id.
20
English Oxford Living Dictionary, versi online, dapat diakses secara online pada
https://en.oxforddictionaries.com
21
Cambridge Dictionary, versi online, dapat diakses secara online pada
http://dictionary.cambridge.org
22
Hans Kelsen (1), op., cit., hlm. 93.
23
Harvard Law Review’s Notes, “What We Talk about When We Talk about Persons:
The Language of a Legal Fiction,” Harvard Law Review, Vol. 114, No. 6, 2001, 1745-178,
hlm. 1745.
24
Hans Kelsen (1), op., cit., hlm. 95.
25
Alexis Dyschkant, “Legal Personhood”, University of Illinois Law Review, No. 5,
2015, hlm. 2079.
26
Hans Kelsen (1), op., cit., hlm. 95.
Universitas Indonesia
72
27
Ngaire Naffine (2), op., cit., hlm. 12.
28
Hans Kelsen (1), op., cit., hlm. 91.
29
Esa Paasivirta, op., cit., hlm. 40.
30
Ibid.
31
Harvard Law Review’s Notes, op., cit., hlm. 1746. Misalnya dalam kasus Scott v.
Sandford (1857) Mahkamah Agung Amerika berpendapat bahwa ras Afrika yang diimpor
ataupun dilahirkan di Amerika Serikat (baik sudah merdeka ataupun belum) bukanlah warga
Negara Amerika, dan Congress tidak bisa menjadikan mereka warganegara. Hakim dalam
kasus ini berpendapat bahwa pada saat deklarasi kemerdekaan Amerika pada tahun 1776 dan
pada pembentukan konstitusi Amerika pada tahun 1789; dan opini publik pada saat itu adalah
bahwa negro dapat secara hukum dijadikan budak karena kedudukannya yang lebih rendah. 31
Konsekuensinya adalah hak khusus dan imunitas yang dijamin konstitusi kepada penduduk
Amerika tidak berlaku kepada para budak, seperti mereka tidak bisa mengajukan tuntutan di
pengadilan. Lihat Scott v. Sandford (60 U.S. 393 (1856)), dikutip dari Justia US Supreme
Court, https://supreme.justia.com/cases/federal/us/60/393/case.html, diakses 22 November
2014.
32
Harvard Law Review’s Notes, op., cit., hlm. 1747.
Universitas Indonesia
73
33
See Jarman v. Patterson, 23 Ky. (7 TB. Mon.) 644, 645-46 (i828).
34
Sarudzayi M. Matambanadzo (1), “Embodying Vulnerability: A Feminist Theory of
the Person,” Duke Journal of Gender Law & Policy, 20, 2012, hlm. 50.
35
John Dawson, “The Changing Legal Status of Mentally Disabled People,” Journal
of Law and Medicine, 2, 1994, hlm. 41.
Universitas Indonesia
74
yang berkulit putih, dan tidaklah adil untuk menjadikan yang satu adalah
budak dan yang lainnya adalah tuan.36
Universitas Indonesia
75
37
Sarudzayi M. Matambanadzo (2), “The Body, Incorporated,” Tulane Law Review,
Vol 87, 1, 2013, hlm. 2-3.
38
Istilah prerational human dan postrational human disadur dari tulisan Alexis
Dyschkant, op., cit., hlm. 2076.
39
George P. Fletcher (2), Rethinking Criminal Law, (Oxford, UK: Oxford University
Press, 2000), hlm. 373.
Universitas Indonesia
76
Dalam hukum pidana tentu janin tidak bisa menjadi pelaku tindak
pidana (subjek hukum pidana), tetapi penerimaan janin sebagai person akan
berpengaruh terhadap misalnya, penentuan apakah kalau terjadi kejahatan
terhadap bayi di dalam kandungan yang mengakibatkan janin itu meninggal
baik di dalam kandungan ibunya atau setelah dilahirkan, bisa menimbulkan
pertanggungjawaban pidana.42 Apabila seseorang melakukan penganiayaan
kepada seorang wanita hamil yang mengakibatkan bayi yang ada di dalam
kandungannya mati, atau seorang wanita meminum suatu ramuan yang dapat
menyebabkan janin di dalam perutnya mati, atau ada orang lain yang
memberikan ramuan tersebut kepada wanita hamil, apakah dapat
dipersalahkan dengan pembunuhan.
Secara umum menurut common law, ada dua pendapat mengenai hal
tersebut. Pertama, sebagaimana Lord Hale berpendapat bahwa perbuatan
tersebut bukanlah peristiwa pembunuhan, karena bayi tersebut masih
dianggap belum ada (rerum natura).43 Pendapat kedua adalah kejahatan
dianggap ada apabila janin tersebut meninggal setelah ia dilahirkan hidup.
Menurut pandangan ini, apabila janin tersebut mati sebelum dilahirkan, maka
tidak ada pidana pembunuhan di situ, namun, apabila janin tersebut dilahirkan
dalam keadaan hidup untuk beberapa waktu dan kemudian meninggal, maka
kejahatan pembunuhan dianggap telah dilakukan karena luka yang terjadi di
40
Brendan (Bo) F. Pons, op., cit., hlm. 121
41
Ibid.
42
Dalam hal ini, tidak berarti bahwa korban tindak pidana haruslah selalu person, bisa
juga barang atau kekayaan, namun kedudukan janin yang dilihat sebagai person atau non-
person akan memberikan implikasi yang berbeda terhadap pertanggunjawaban pidana dan
pemidanaan.
43
Ibid.
Universitas Indonesia
77
44
Ibid., hlm. 123.
45
Ibid., hlm. 124.
46
Di beberapa negara yang telah maju, bahkan permasalahan ini semakin pelik dengan
adanya teknologi bayi tabung yang memungkinkan sepasang suami istri menyewa rahim
seorang wanita untuk menjadi ibu pengganti yang mengandung seorang janin. Dalam
perkembangannya praktek surrogate mother ini bahkan bisa dianggap sebagai praktek jual
beli anak. Sebagaimana dapat dilihat pada artikel David M. Smolin, “Surrogacy as the Sale of
Children: Applying Lessons Learned from Adopting to the Regulation of the Surrogacy
Industry’s Global Marketing of Children,” Pepperdine Law Review, vol. 43, Issue 2, 2016,
hlm. 265-344.
Universitas Indonesia
78
mungkin dilakukan pada manusia yang telah memiliki status sebagai subjek
hukum.47 Namun, untuk kasus penganiayaan yang mengakibatkan janin
meninggal dianggap bukanlah suatu pembunuhan, sehingga dapat dikatakan
bahwa janin dalam hal ini tidak dianggap sebagai subjek hukum yang berdiri
sendiri, tetapi merupakan bagian dari ibunya. Dapat disimpulkan dalam hal
ini bahwa hukum Indonesia melihat status janin sebagai person masih
berdasarkan kasus per kasus, tidak memberikan status secara jelas apakah
janin itu adalah person yang memiliki hak-hak konstitusi atau tidak.
47
Dalam hal ini hukum memberikan penundaan pemberian jaminan hak untuk hidup
sebagai hak dasar setiap subjek hukum oleh Undang-undang. George P. Fletcher (2), op., cit.,
hlm. 373.
48
2003 1 NZLR 115. Sebagaimana dikutip dari Ngaire Naffine (2), op., cit., hlm. 52.
49
Ngaire Naffine (2), op., cit. hlm. 52.
50
Ibid.
51
1996 5 Tas R 365. Sebagaimana dikutip dari Ngaire Naffine (2), op., cit., hlm. 51.
52
Ngaire Naffine (2), op., cit., hlm. 51.
Universitas Indonesia
79
53
Davis v. Davis, 842 S.W.2d 588, 604 (Tenn. 1992), dikutip dari Jens David Ohlin,
“Is the Concept of the Person Necessary for Human Rights?” dalam Fluer Johns (editor),
International Legal Personality, (England: Ashgate Publishing Limited, 2010), hlm. 438.
54
Ibid., hlm. 437.
55
Davis v. Davis, No. 180, 1990 Tenn. App. LEXIS 642, dikutip dari Jens David
Ohlin, op., cit., hlm. 438.
56
Davis v. Davis, 842 S.W.2d 588, 604 (Tenn. 1992), dikutip dari Jens David Ohlin,
op., cit., hlm. 439.
57
Ibid.
Universitas Indonesia
80
58
Ibid.
59
Chirstopher D. Stone, “Should Trees Have Standing? Toward Legal Rights for
Natural Objects,” Southern California Law Review, 45, 1972, 450 -501. Lihat juga Gunther
Teubner, “Rights of Non-humans? Electronic Agents and Animals as New Actors in Politics
and Law,” Journal of Law and Society, 33(4), 2006, 497-521.
60
Richard J. Katz, “Origins of Animal Law: Three Perspectives,” Animal Law, Vol.
10: 1, 2004, hlm. 2.
61
Ibid., hlm. 2.
Universitas Indonesia
81
62
Indonesia, Undang-Undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya, UU No. 5 Tahun 1990, LN No. 49 Tahun 1990.
63
Indonesia, Undang-Undang tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, UU No. 18
Tahun 2009, LN No. 84 Tahun 2009, TLN No. 5015. Sebagaimana dirubah dengan
Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009
Tentang Peternakan dan Kesehatan, UU No. 41 Tahun 2014, LN No. 338 Tahun 2014, TLN
No. 5619.
64
Indonesia. Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU
No. 32 Tahun 2009 LN. No. 140 Tahun 2009. TLN. No. 5059.
65
United States, Chimpanzee Health Improvement, Maintenance and Protection Act
(42 U.S.C. §287a-3a (2000)).
66
United States, Endangered Species Act (16 U.S.C. §1531 et seq. (1973)).
67
United States, Animal Welfare Act (7 U.S.C. §2131 (1966)).
68
Ngaire Naffine (2), op., cit., hlm. 8.
69
Gary Francione, “Animal Rights Theory and Utilitarianism: Relative Normative
Guidance,” Animal Law Journal, 75, 1997, hlm. 100-101.
Universitas Indonesia
82
70
Thomas S. Szasz, “Psychiatry, Ethics and the Criminal law,” Columbia Law
Review, Vol. 58, No. 2, February 1958, 183-198, hlm. 191.
71
Sebagaimana teori tentang person yang dikemukakan oleh Thomas Aquinas tentang
reasonable person yang memiliki kemampuan alami untuk memilih secara masuk akal
(resonable) dan kehendak bebas (free will) sehingga memiliki determinasi moral (moral
determination) yang baik. Lihat lebih lanjut kerangka teori tentang person pada Bab I.
72
Chidir Ali, op., cit., hlm. 11-12.
73
Ibid., hlm. 12.
Universitas Indonesia
83
74
Hans Kelsen (2), op., cit., hlm.128.
75
Ibid.
76
G.W. The Postmodern Subject, The Elementary Principles of Jurisprudence
(London, UK: Pitman & Sons, 1949), hlm. 149.
77
Independent, 15 August 1991, p. 8. Dikutip dari Wells (2), Corporations and
Criminal Responsibility, 2cd edition, (New York: Oxford Univerisy Press, 2001), p. 65.
Universitas Indonesia
84
78
Becky Boyle, “Free Tilly?: Legal Personhood For Animals And The
Intersectionality Of The Civil & Animal Rights Movements,” Indiana Journal Of Law And
Social Equality, Volume 4, Issue 2, 2016, hlm. 169.
79
Kasus ini diperiksa di United States District, Court Southern District of California.
Dalam kasus ini, PETA tidak menggunakan undang-undang yang biasa digunakan untuk
mengajukan tuntutan terhadap hak hewan, seperti misalnya Animial Walfare Act, Endangered
Species Act, tetapi mendasarkan gugatannya kepada Konsititusi Amerika Serikat. Animal
Walfare Act dan Endangered Species Act memungkinkan binatang diwakili oleh pihak lain
seperti PETA, tetapi untuk gugatan yang berdasarkan kepada pelanggaran hak-hak dasar
yang diatur dalam konstitusi maka yang menjadi penggugat adalah pihak yang bersangkutan,
yang dalam hal ini adalah ke lima paus Orca tersebut. Ibid., hlm. 177.
80
Emma A. Maddux, op., cit., hlm. 1245.
Universitas Indonesia
85
81
Ibid., hlm. 1245.
82
Intelligent agent menurut Arcand dan Pelletier adalah bagian dari artificial
intelligent yang diberikan cognitive psychology dan divalidasi dengan pendekatan sistem
komputer yang menyerupai sistem kerja otak manusia (human-computer system). Lihat
Arcand & Pelletier, “Cognition Based Multi-Agent Architecture,” dalam Wooldridge, Müller
dan Tambe (editor), Intellegent Agents II: Agent Theories, Architectures, and Languages,
(Germany: Springer, 1996), hlm. 274. Intelligent agent apabila diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia adalah agen yang cerdas. Namun istilah “agen yang cerdas” ini tidak
digunakan agar tidak membingungkan. Sehingga di dalam disertasi ini tetap digunakan istilah
intelligent agent.
Universitas Indonesia
86
83
Lawrence B. Solum, “Legal Personhood for Artificial Intelligences,” North
Carolina Law Review, 70, 1992, hlm. 1231.
84
Keith Abney Patrick Lin, George A. Bekey, Robot Ethics: The Ethical and Social
Implications of Robotics (London: The MIT Press 2012), hlm. 157.
85
Samir Chopra and Laurence White, “Artificial Agents-Personhood in Law and
Philosophy,” ECAI, vol. 16, 2004, hlm. 635.
86
McCarthy, J., and Patrick J. Hayes, “Some Philosophical Problems from the
Standpoint of Artificial Intelligence,” Readings in artificial intelligence, 1969, 431-450.
Universitas Indonesia
87
87
Ibid.
88
Samir Chopra and Laurence White, op., cit., hlm. 635.
Universitas Indonesia
88
bagi suatu agen buatan yang memenuhi syarat sebagai moral agent, mungkin
melalui suatu sistem registrasi sebagaimana pada badan hukum.89
89
Ibid.
90
Katsuhito Iwai, ”Persons, Things and Corporations: The Corporate Personality
Controversy and Comparative Corporate Governance,” The American Journal of
Comparative Law, Vol. 47, No. 4, Autumn, 1999, 583-632, hlm. 593.
Universitas Indonesia
89
Organisasi yang dikenal pada masa modern seperti sekarang ini telah
lama ada dalam bentuk awal yang dibahas dalam konsep korporasi, yang pada
awalnya digunakan dalam hubungannya dengan Gereja katolik Romawi,
biara, asosiasi seni (craft guild), universitas dan pemerintahan kota
(municipality).92
91
Dikutip dari Christopher Harding, Criminal Enterprise: Individuals, Organisations
And Criminal Responsibility, (Willian Publishing. 2007), hlm. 55.
92
Ibid., hlm. 33.
Universitas Indonesia
90
93
Ibid., hlm. 7
94
Isu mengenai hal Ini kadang-kadang menggunakan Istilah "moral considerability"
Lihat Misalnya Mark H. Bernstein, On Moral Considerability: An Essay On Who Morally
Matters (Oxford, UK: Oxford University Press, 1998).
95
Meir Dan-Cohen (1), Rights, Persons, and Organizations: A Legal Theory for
Bureaucratic Society, (Berkeley: University of California Press, 1986), hlm. 15.
96
Christopher Harding, op., cit., hlm. 33.
Universitas Indonesia
91
97
Lihat Ron Harris (1), “The Transplantation of the Legal Discourse on Corporate
Personality Theories: From German Codification to British Political Pluralism and American
Big Business,“ Washington and Lee Law Review, Vol. 63, No. 4, 2006, 1421-1478, hlm.
1423. Michael J. Phillips juga menjelaskan bahwa secara tradisional ada tiga teori yang
mendominasi teori korporasi, meskipun nama mereka bervariasi, tetapi bisa disebutkan yaitu:
“concession/fiction theory, the aggregate theory, and the real entity theory”. Lihat Michael
J. Phillips, “Reappraising the Real Entity Theory of The Corporation,” Florida State
University Law Review, No. 21, 1994, hlm. 1063. Senada dengan Haris dan Phillips, Mark M.
Hager juga mengelompokkan secara garis besar tiga teori tentang kepribadian korporasi ini
menjadi: “fiction, the contractual-association, and the real entity paradigms of corporate
nature.” Lihat Mark M. Hager, "Bodies Politic: The Progressive History of Organizational
Real Entity Theory." University of Pittsburgh Law Review, 50, 1988, 575, hlm. 579. lihat
juga Lederman, "Models for Imposing Corporate Criminal Liability: From Adaptation and
Imitation Toward Aggregation and the Search for Self-Identity," Buffallo Criminal Law
Review, Vol. 4, No. 1, April 2000, 641-708, dan Peter A. French, “The Corporation as a
Moral Person.” American Philosophical Quarterly. Vol. 16. No. 3. 1979. 207-215, hlm. 208-
209. Chidir Ali dalam bukunya mengidentifikasi setidaknya ada 8 (delapan) teori badan
hukum: 1. Teori Fiksi, 2. Teori organ, 3. Leer van het ambtelijk vermogen, 4. Teori kekayaan
bersama, 5. Teori kekayaan bertujuan, 6. Teori kekayaan yuridis, 7. Teori dari Leon Duguit,
8. Teori ‘orde eenheid (kesatuan tertib). Namun kedelapan teori ini secara garis besar adalah
gradasi dari tiga teori besar sebagaimana yang dikemukakan oleh Ron Haris, Phillips dan
Hager.
98
Michael J. Phillips, op., cit., hlm. 1061. Dewey dalam hal ini berpendapat bahwa
teori fiksi dan teori konsesi adalah dua teori yag berbeda karena muncul dengan latar
belakang dan pengembangan yang tidak sama. Lihat Dewey, op. cit., 667.
Universitas Indonesia
92
99
Innocent IV (1525, book II, rubr. 20, chap. 57, decretal of 21 April 1246)
sebagaimana dikutip dari Luc Foisneau, Elements of Fiction in Hobbes’s System of
Philosophy dalam Richard scholar dan Alexis Tradié (editor), Fiction and the Frontiers of
Knowledge in Europe 1500-1800, (Inggris: Ashgate Publishing Limited, 2010), hlm. 80.
Pemikiran Pope Innocent IV ini sebenarnya dalam konteks pada masa itu ketika suatu
persatuan gereja yang disebut kolegium memberikan sumpah, ada pilihan untuk yang
melakukan sumpah tersebut bukanlah semua anggota tetapi dilakukan oleh satu orang yang
mewakili kolegium tersebut. lihat Maximilian Koessler, “The Person in Imagination or
Persona Ficta of The Corporation, “ Louisiana Law Review, Vol. 9, No. 4, May 1949, 435-
449, hlm. 437.
100
Savigny dalam tulisannya “Persons as the Subjecta of Legal Relation,” yang
merupakan judul dari volume kedua dari karyanya yang terkenal “System of Roman Law.”
Dikutip dari Katsuhito Iwai, op., cit, 583-632, hlm. 601.
101
Luc Foisneau, op., cit., hlm. 80.
102
Gierke (3 Das deuthes Genossenschaftrect, 279-285) sebagaimana dikutip dari
Dewey, op., cit., hlm. 665
103
Harold J. Laski, “The Personality of Assosiations,” Harvard Law Review, Vol. 29,
No. 4, 1916, 404-426, hlm. 410.
104
Harris (1), op., cit., hlm. 1424.
Universitas Indonesia
93
105
Laski, op., cit., hlm. 406.
106
Dewey, op., cit., hlm. 667.
107
Kelsen menggunakan istilah juristic person untuk merujuk kepada subjek hukum
bukan manusia yang diakui oleh hukum sebagai ‘orang’
108
Hans Kelsen (1), op., cit., hlm. 105.
109
Ngaire Naffine (2), op., cit., hlm. 21.
110
Hans Kelsen (1), op., cit.,hlm. 96.
111
George W Keeton, The Elementary Principles of Jurisprudence, (London, UK:
Pitman & Sons, 1949), hlm. 118-119.
Universitas Indonesia
94
Universitas Indonesia
95
but by virtue of meeting the formal criteria for personhood laid down by the
law.”119 (kepribadian hukum bukanlah masalah atribut fisik atau mental.
Manusia bukanlah orang hukum (legal person) karena karakteristik fisik atau
mentalnya, tetapi karena memenuhi kriteria formal yang ditentukan oleh
hukum.) Alexander Nekam bahkan menyarankan untuk menghilangkan
istilah ‘person’ dan ‘subject’ dan menggantinya dengan terminologi ‘legal
entity’, secara khusus untuk terhindar dari semua implikasi yang mungkin
bisa mengandung makna bahwa hukum berurusan dengan natural beings atau
makhluk hidup.120
Korporasi adalah suatu badan hasil ciptaan hukum yang terdiri dari
struktur fisik atau corpus dan ke dalamnya hukum memasukkan unsur animus
yang membuat badan itu mempunyai kepribadian. Oleh karena badan hukum
119
Peter Cane, Responsibility in Law and Morality (Oxford: Hart Publishing, 2002),
hlm. 40.
120
Alexander Nekam, The Personality Conception of the Legal Entity (Cambridge
Mass: Harvard University Press, 1983).
121
Margaret Davies, Asking the Law Question: the Dissolution of Legal Theory, 3rd
edition, (Sydney, Australia: Law Book Company, 2008), hlm. 7.
122
Ngaire Naffine (2), op., cit., hlm. 31.
123
Ibid., hlm. 36.
Universitas Indonesia
96
124
Satjipto Rahardjo, op., cit., hlm. 110
125
Dalam hal ini Kelsen menjelaskan bahwa korporasi merupakan bentuk juristic
person yang paling umum ditemui dalam makna teknis yang sempit. Korporasi diartikan
sebagai suatu grup dari individu yang diperlakukan oleh hukum sebagai satu kesatuan, yaitu
sebagai person yang memiliki hak dan kewajiban yang berbeda dari hak dan kewajiban
individu yang ada didalamnya. Hans Kelsen (1), op., cit., hlm. 96.
126
Hans Kelsen (1), op., cit., hlm. 96.
127
Ibid., hlm. 98.
Universitas Indonesia
97
128
Ibid., hlm. 99.
129
Ngaire Naffine (2), op., cit., hlm. 36.
130
FH Lawson, “The Creative Use of Legal Concepts.” New York University Law
Review, 32, 1957, hlm. 915.
Universitas Indonesia
98
131
Lihat Ron Harris (1), op., cit., hlm. 1423, lihat juga Lederman, op. cit. dan Peter A.
French, op., cit., hlm. 208-209.
132
French, op., cit., hlm. 209.
133
Hans Kribbe, “Corporate Personality: A Political Theory of Association,”
(Disertasi Doktor London School of Economics and Political Science, Inggris, 2014), hlm.
20.
Universitas Indonesia
99
Grup menjadi badan hukum (legal entities) oleh usaha sukarela dan
konsensual yang dilakukan oleh para anggota grup tersebut, sehingga
menimbulkan konsekuensi terciptanya status baru menjadi persona hukum
terpisah dari anggota yang ada.134 Nama suatu badan hukum akan menjadi
payung bagi hak-hak orang biologis yang ada di dalam perkumpulan
tersebut.135 Konsep ini dimulai dengan asumsi bahwa manusia adalah
pemagang asli dari hak dan kewajiban dan kemudian menyimpulkan bahwa
korporasi hanya akan berhak untuk menyandang legal personhood sejauh hal
itu akan melindungi hak dari anggota manusia yang merupakan angggota dari
grup tersebut.136
134
Ron Harris (1), op., cit., hlm. 1424.
135
French, op., cit., hlm. 209.
136
Hardvard Law Review’s Note, op., cit., hlm. 1754.
137
Lihat David K. Millon, “The Theories of the Corporations,” Duke Law Journal,
No. 2, 1990, 201-263, hlm. 203.
138
Nicholas H. D. Foster, “Company Law Theory in Comparative Perspective:
England and France”, The American Journal of Comparative Law, Vol. 48, No. 4, Autumn,
2000, 573-621, op., cit., hlm. 585.
139
David K. Millon, op., cit., hlm. 203.
140
Ron Harris (1), op., cit., hlm. 1424.
141
Iwai, op., cit., hlm. 584.
Universitas Indonesia
100
142
Nicholas H. D. Foster, op., cit., hlm. 584.
143
James Boyle, op., cit., hlm. 519.
144
Ron Harris (1), op., cit., hlm. 1424.
145
Ibid.
146
French, op., cit., hlm. 209.
147
Dicey, sebagaimana dikutip dari Dewey, op., cit., hlm. 673.
148
Foster, op., cit., hlm. 584.
Universitas Indonesia
101
Paham realis ini dapat dibagi lagi menjadi tiga kelompok: rasionalis,
religius, dan naturalis,151 tergantung berapa jarak yang diyakini antara agregat
anggota di satu sisi dan korporasi sebagai entitas yang berbeda dan terpadu
disisi lain.152 Banyak para ahli saat ini yang menganut paham realist. Dimana
pendekatan ini semakin ambisius, dengan menegaskan bahwa keberadaan
korporasi terlepas dari gabungan individu yang ada di dalamnya. Penganut
aliran ini tidak menyangkal bahwa korporasi terdiri dari manusia. Mereka
meyakini bahwa korporasi memiliki fenomena yang sama dengan hukum
alam lainnya bahwa dunia penuh dengan gabungan dari molekul yang bersifat
berbeda dengan benda yang dibentuknya. Misalnya, air (H2o) terdiri dari
hydrogen dan oksigen, komponen-komponen pembentuk air ini memiliki sifat
yang tidak sama dengan air. Dalam hal korporasi, manusia yang ada di
149
Gierke, Political Theories of the Middle Age (1902) xxvi (diterjemahkan dan
dikomentari oleh Maitland) sebagaimana dikutip dari Dewey, op., cit., hlm. 658.
150
Dewey, op., cit., hlm. 658. Kehendak sebagai syarat untuk dapat disebut sebagai
subjek hukum.
151
Ngaire Naffine, op., cit., 20.
152
Meir Dan-Cohen (2), “Epilogue on Corporate Personhood and Humanity,” New
Criminal Law Review, Vol. 16, Issue 2, Spring 2013, 300-308, hlm. 302.
Universitas Indonesia
102
dalamnya atau gabungan dari manusia tersebut merupakan hal yang berbeda
dari korporasi itu sendiri.153
153
Ibid., hlm. 302.
154
Millon, op., cit., hlm. 203.
155
Ibid.
156
Meir Dan-Cohen (1), op., cit., hlm. 15.
157
“Entity/aggregate, natural/artificial nature of corporations,” Lihat Millon, op., cit.,
hlm. 205
Universitas Indonesia
103
Celia Wells (1), “Corporate Criminal Liability in England and Wales: Past, Present
158
and Present,” dalam Corporate Criminal Liability: Emergence, Convergence and Risk, Mark
Pieth dan Radha Ivory (editor), (London: Springer, 2011), hlm. 93.
159
Ibid.
160
Ibid.
161
Dikutip dari Christopher Harding, op., cit., hlm. 29.
Universitas Indonesia
104
a) Agregat
Agregat mengacu pada suatu kolektif yang tidak terorganisasi dan
terbentuk secara acak, contohnya keramaian di suatu tempat umum, penonton
konser, peserta seminar, pengunjung tempat wisata, orang yang berbelanja di
pasar, orang yang sedang beribadah berjamaah di masjid atau tempat ibadah
162
Ibid.
163
Harding, op., cit., hlm. 46.
Universitas Indonesia
105
lainnya. Dalam hal ini setiap orang datang secara bersama-sama ke suatu
tempat dan memiliki tujuan yang secara umum sama (misalnya menonton
pertunjukan musik, mengikuti seminar, berbelanja, beribadah), tetapi
kedatangan mereka secara bersama-sama ini bersifat acak dan kebetulan.
Mereka secara kebetulan memiliki tujuan yang sama pada waktu dan tempat
yang kebetulan sama, tetapi dalam hal yang lain mereka mungkin tidak
memiliki hal lain yang sama atau tidak saling kenal satu dengan yang lainnya.
Kedatangan mereka secara bersamaan bersifat longgar dan kebetulan,
keterikatan mereka hanya sementara untuk mengejar tujuan yang tidak terus
menerus.164
b) Grup Sosial
Anggota grup sosial memiliki rasa kekomunitasan dan nilai-nilai serta
budaya yang sama. Anggota dari kelompok tersebut memiliki banyak
kesamaan, perasaan dan pengalaman yang sama dan berhubungan satu
dengan yang lainnya dalam hal yang signifikan, tetapi perilaku mereka tidak
terkoordinasi untuk mencapai tujuan tertentu. Contoh dari grup sosial adalah
kelompok etnis, bangsa (bukan negara), kelompok kekerabatan, kelas sosial,
kelompok pekerjaan yang sama, orang-orang dengan pandangan politik atau
agama yang sama. Kelompok seperti ini berada di tengah-tengah spektrum,
tidak memenuhi karakteristik untuk disebut organisasi, tetapi dapat menjadi
dasar terbentuknya suatu organisasi.165 Misalnya, suatu bangsa bisa
mengoranisir diri menjadi suatu negara, suatu kelompok pekerjaan yang sama
bisa membentuk organisasi professional, ikatan dokter misalnya, kelompok
dengan pandangan politik yang sama dapat membentuk suatu partai politik,
kelompok dengan pandangan agama yang sama bisa membentuk gereja atau
masjid, dan lain-lain.
Ada beberapa argumen tentang garis batas antara sosial grup dengan
organisasi, terutama tentang kelompok kekerabatan, kelompok etnis dan
164
Ibid.
165
Ibid.
Universitas Indonesia
106
c) Organisasi
Terminologi organisasi baru digunakan setelah abad ke dua puluh,
sebelumnya, kelompok sosial tidaklah disebut sebagai organisasi. Seperti
misalnya para ahli yang mula-mula membahas organisasi seperti Michels
(1911) dan Weber (1910-1914) tidak menggunakan istilah organisasi tetapi
birokrasi (bureaucracies), Fayol (1916) menggunakan istilah badan sosial
(social bodies) dan Urwick (1933) membahas ‘struktur pemerintahan,
eklesiastik, militer dan bisnis.’168 Bukan berarti sebelum abad ke dua puluh
apa yang pada saat ini disebut organisasi tidak ada, tetapi baru sedikit konsep
mengenai grup sosial.
166
Ibid., hlm. 47.
167
Talcott Parsons Dan Robert F. Bales, Family, Socialization And Interaction
Process (The Free Press. 1955).
168
Ibid., hlm. 32.
Universitas Indonesia
107
yang ada karena gabungan akibat dari berbagai tindakan individu, yang
masing-masingnya mengejar tujuannya sendiri, dan dari situlah suatu sistem
ekonomi atau kelas sosial terbentuk dan memunculkan pola yang terorganisir
dari tindakan sosial, meskipun tidak ada satu orangpun yang secara eksplisit
mengorganisir usaha dari individu tersebut.169 Dalam hal ini suatu grup yang
secara spontan terbentuk seperti misalnya kelas sosial, grup etnis, bangsa
(yang berbeda dengan negara), kelompok kekerabatan, dan juga keluarga
tidak dikategorikan sebagai organisasi, karena mereka tidak memiliki
karakteristik yang dibentuk karena tujuan dan pemikiran tertentu.170
Ada beberapa definisi organisasi yang telah dibuat oleh para ahli
dalam ilmu sosiologi. Penjelasan Weber bisa dijadikan titik awal yang
penting untuk melihat pengertian organisasi. Weber membedakan
organisasi171 dengan grup sosial yang lainnya. Konsep organisasi nya Weber
mengacu kepada bentuk organisasi formal, yang besar, dan kompleks. Weber
menjelaskan organisasi sebagai hubungan sosial yang tertutup atau
membatasi keterlibatan orang luar dengan adanya aturan, dimana perintah
dilakukan oleh orang tertentu yang fungsi umumnya adalah pimpinan atau
kepala, sehingga dapat dikatakan bahwa organisasi dalam pengertian Weber
ini merupakan hubungan dalam lingkup interaksi yang tertutup dan terbatas,
perintah interaksi dari struktur diberikan oleh organisasi itu sendiri,
interaksinya lebih bersifat asosiatif daripada bersifat komunal (yang
membuatnya berbeda dengan grup sosial yang lain seperti misalnya
keluarga), serta memiliki tujuan tertentu yang berkelanjutan.172
Universitas Indonesia
108
173
Amitai Etzioni, Modern Organizations, dikutip dari Christopher Harding, op., cit.,
hlm. 39.
174
Dikutip dari John McAuley, Joanne Duberley and Phil Johnson, Organization
Theory: Challenges and Perspectives, (England: Pearson Education, 2007), hlm. 12.
175
Ibid.
176
Jeffrey A. Miles, Management and Organization Theory: Jossey – Bass Reader,
(San Francisco: John Wiley & Sons, 2012).
Universitas Indonesia
109
177
Christopher Harding, op., cit., hlm. 42.
178
Doug McAdam dan W. Richard Scott, “Organizations and Movements,” dalam
Davis, McAdam, Scott dan Zaid (editor), Social Movements and Organization Theory,
(Cambridge: Cambridge University Press: 2005), hlm. 7
179
Ibid.
Universitas Indonesia
110
180
Ibid.
181
Ibid.
182
Ibid. hlm. 8
183
Ibid.
Universitas Indonesia
111
‘organisasi’ dianggap yang paling tepat mewakili grup sosial yang memiliki
kekohesian dan dapat menjadi pengemban pertanggungjawaban pribadi,
untuk membedakannya dengan grup yang lebih longgar sebagai ‘grup sosial’
atau ‘agregat’.184
184
Christopher Harding, op., cit., hlm. 43.
185
Ibid., hlm. 45. Contoh-contoh diberikan oleh penulis.
186
Meir Dan-Cohen (1), op., cit., hlm. 31.
Universitas Indonesia
112
i. Struktur
Poin awal yang paling nyata dari kesatuan organisasi yang lengkap
adalah adanya struktur yang permanen. Hal ini menyiratkan keberadaan dari
suatu pola yang tetap dan jelas. Hubungan antara struktur dan konsepsi yang
menyatu dari organisasi dapat dipahami dengan analogi antara mobil dengan
komponennya. Kinerja dari suatu organisasi sebagaimana juga mobil sangat
bergantung pada struktur yang ada di dalamnya. Pada suatu organisasi,
struktur diterima sebagai faktor yang membawa pembaharuan dan perubahan.
Kombinasi kedua ide yang berkaitan ini menjadikan organisasi sebagai suatu
struktur yang dapat dimodifikasi, susunan internalnya bisa ditransformasi
untuk membawa perubahan capaian yang diinginkan.187
187
Ibid., hlm. 32.
188
T1 adalah waktu yang lalu, T2 adalah waktu sekarang dan T3 adalah waktu yang
akan datang. Ibid.
189
Ibid., hlm. 32.
Universitas Indonesia
113
190
Ibid., hlm. 36
191
Ibid.
192
Ibid., hlm. 37.
193
Ibid.
194
Peter A. French, op., cit., hlm. 208-209.
Universitas Indonesia
114
195
John Minkes dan Leonard Minkes, “Editor’s Introduction,” dalam John Minkes dan
Leonard Minkes (editor), Corporate and White Collar Crime, (Los Angeles, USA: Sage,
2008)
196
Meir Dan-Cohen (1), op., cit., hlm. 33.
197
Ibid., hlm. 34.
Universitas Indonesia
115
198
Ibid., hlm. 35.
199
Ibid., hlm. 35-36.
Universitas Indonesia
116
200
Chidir Ali, op., cit., hlm. 7., Stephen C. Hicks, 'On The Citizen And The Legal
Person: Toward The Common Ground Of Jurisprudence, Social Theory, And Comparative
Law As The Premise Of A Future Community, And The Role Of The Self Therein',
Cincinnati Law Review, 59, 1991, hlm. 816.
201
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Edisi
Ketiga, Cetakan ke-5, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), hlm. 29.
Universitas Indonesia
117
202
Indonesia, Undang-Undang Darurat Republik Indonesia tentang Penimbunan
Barang-Barang, UU No. 17/1951, LN No. 90, TLN. No. 155.
203
Subekti, op., cit., hlm. 21.
204
Ibid.
Universitas Indonesia
118
205
Ali Ridho, Badan Hukum, dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan,
Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, Edisi Pertama, Cetakan Ke-3, (Bandung: PT.
Alumni, 2012), hlm. 2.
206
Chidir Ali, op., cit., hlm. 19.
207
Ibid.
208
HMN. Purwositjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia: Bentuk-Bentuk
Perusahaan, (Jakarta: Djambatan: 1987), hlm. 65.
209
Chidir Ali, op., cit., hlm. 20.
Universitas Indonesia
119
H. Th. Ch. Kal dan V.F.M. Den Hartog menjelaskan bahwa manusia
adalah purusa210 wajar yang merupakan subjek hukum. Menurut hukum ada
juga subjek hukum yang lain yaitu suatu organisasi. Organisasi yang
memperoleh sifat subjek hukum itu adalah purusa hukum atau badan hukum.
Purusa hukum dapat bertindak dalam hubungan hukum sebagai purusa wajar
apabila dia bisa mempunyai kekayaan, bisa berunding, bisa membuat
perjanjian yang mengikat, bisa bertindak dan bersengketa dalam hukum serta
dapat bertanggung jawab dalam arti hukum tentang segala perbuatannya
itu.211
210
Purusa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, merupakan kategori kata dari
keragaman kesusastraan Melayu, yang berarti orang; manusia. Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kamus versi online / daring (dalam jaringan),
http://kbbi.web.id.
211
Ibid.
212
Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa Purnadi Purbacara dan Agus
Brotosusilo berpendapat bahwa terjemahan yang paling cocok untuk rechtpersoon atau legal
person dalam bahasa Indonesia adalah pribadi hukum. Sehingga pribadi hukum dan badan
hukum adalah terminologi yang sama yang merujuk kepada legal person.
213
Chidir Ali, op., cit., hlm. 20.
214
Ibid., hlm. 19.
Universitas Indonesia
120
satu orang, 2. Yayasan, yaitu suatu harta kekayaan yang dipergunakan untuk
tujuan tertentu, dan diperlakukan sebagai satu subjek mandiri.215
215
Ibid., hlm. 21.
216
Ibid., hlm. 21.
217
Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu
Pengenalan Pertama Ruang lingkup Berlakunya Ilmu hukum: Buku I, (Bandung: Alumni,
2000), hlm. 82-83.
218
HMN. Purwositjipto, op., cit., hlm. 12.
Universitas Indonesia
121
219
Ali Ridho, op., cit., hlm. 45-50.
Universitas Indonesia
122
Organisasi yang teratur yang menjadi ciri dari suatu badan hukum ini
dapat dikaitkan dengan syarat-syarat organisasi sebagaimana yang
dikemukakan oleh Cohen sebagaimana telah dibahas pada subbab
sebelumnya.220
220
Lihat subbab D. Konstruksi Tipologi Organisasi dalam Struktur Sosial pada Bab
ini.
221
Andjar Pachta W, Myra Rosana Bachtiar, dan Nadia Maulisa Benemay, Hukum
Koperasi Indonesia, Cetakan ke-3, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 77.
222
Ibid., hlm. 77-78.
Universitas Indonesia
123
223
Ibid., hlm. 78.
224
Ali Ridho, op., cit., hlm. 52.
225
Pembahasan mendalam mengenai kedudukan firma dan persekutuan komanditer
dalam hukum perdata, dibahas secara rinci oleh Ali Ridho, op., cit., hlm. 53-94.
226
Surojo Wingnyodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta: Gunung
Agung, 1982), hlm. 103.
227
Ibid.
228
Ter Haar, B., Bzn, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya
Paramita, 1983), terjemahan K.ng. Soebakti Poesponoto, Cet ke-7, hlm. 165.
Universitas Indonesia
124
229
Ali Ridho, op., cit., hlm. 121-123.
230
Ibid., 123.
231
Christopher Harding, op., cit., hlm. 28.
Universitas Indonesia
125
232
Ibid., hlm. 6.
233
Ibid., hlm. 48.
234
Ibid.
Universitas Indonesia
126
Apabila dilihat dari tujuan pendirian suatu organisasi, maka menurut Talcott
Parsons organisasi dapat dikelompokkan ke dalam empat kategori:235
1. Enterprise
Organisasi yang berorientasi bisnis dan tujuan ekonomi, mendorong
pertumbuhan ekonomi dan kekayaan, peningkatan pengetahuan, dan
pengembangan pemenuhan kebutuhan pribadi. Masuk dalam kategori
ini menurut Harding adalah organisasi bisnis, organisasi di bidang
pendidikan, dan penelitian.
2. Organisasi pengaturan dan perwakilan
Organisasi yang melayani kebutuhan dasar dari masyarakat dan
merupakan perwakilan dari berbagai mancam kepentingan yang
berbeda dari masyarakat. Contohnya: suku, negara (termasuk juga
departemen pemerintahan), gereja, organisasi antar-negara.
235
Talcott Parsons, Structure and Process in Modern Societies (The Free Press, 1960),
hlm. 45-46.
236
Christopher Harding, op., cit., hlm. 50-51.
Universitas Indonesia
127
237
Chidir Ali, op., cit., hlm. 57.
238
Ali Ridho, op., cit., hlm. 3.
239
Chidir Ali, op., cit., hlm. 59-62.
Universitas Indonesia
128
240
Ibid., hlm. 62-63.
241
Ibid., hlm. 57.
242
Seperti misalnya Soedjono Dirdjosisworo dalam bukunya menyamakan perusahaan
dengan badan usaha. Lihat Soedjono Dirdjosisworo, Hukum Perusahaan Mengenai Bentuk-
Bentuk Perusahaan (Badan Usaha) di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1997).
243
Yetty Komalasari Dewi. Berdasarkan hasil wawancara pada hari Kamis, 31 Maret
2016 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta. Lihat juga Yetty
Komalasari Dewi, "Pemikiran Baru Tentang Persekutuan Komanditer (CV): Studi
Universitas Indonesia
129
Setiap bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara tetap dan terus
menerus dengan tujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba, baik
yang diselenggarakan oleh orang perseorangan, maupun badan usaha
yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum, yang
didirikan dan berkedudukan dalam wilayah Negara Republik
Indonesia.244
Apabila dilihat dari pengertian di atas maka perusahaan bisa berupa:
1) Perusahaan yang diselenggarakan oleh orang perseorangan disebut
perusahaan perseroan (maatschap);245 2) Perusahaan berbentuk badan usaha
yang berbadan hukum, misalnya Perseroan Terbatas (PT) , Koperasi; 246 3)
Perusahaan berbentuk badan usaha yang tidak berbadan hukum seperti
firma.247
Perbandingan KUHD dan WvK serta Putusan-Putusan Pengadilan di Indonesia dan Belanda."
Disertasi Doktor Universitas Indonesia, 2011.
244
Indonesia, Undang-Undang Tentang Dokumen Perusahaan, UU No. 8 Tahun
1997, LN. No. 18 Tahun 1997. Menurut Yetty Komalasari Dewi pengertian yang paling tepat
untuk perusahaan adalah pengertian perusahaan sebagaimana yang tertuang di dalam UU
Dokumen Perusahaan ini. Perusahaan adalah business entities yang orientasinya adalah laba.
245
Soedjono Dirdjosisworo, op., cit., hlm. 12.
246
Koperasi memiliki dualisme kepentingan di samping bertujuan untuk mencari
keuntungan tetapi juga bertujuan sosial dengan prinsip kekeluargaan dengan semangat tolong
menolong dan gotong royong. Sehingga dapat dikatakan bahwa koperasi adalah usaha yang
bersifat sosial, tetapi tetap bermotif ekonomi. Keuntungan yang diperoleh koperasi tidak
semata-mata untuk keuntungan badan koperasi itu sendiri tetapi untuk kepentingan
kesejahteraan anggota koperasi. Mengenai pembahasan mendalam tentang koperasi lihat
lebih lanjut Andjar Pachta W, Myra Rosana Bachtiar, dan Nadia Maulisa Benemay, op., cit.
247
Meskipun kedudukan firma sebagai badan usaha yang berbadan hukum dan tidak
berbadan hukum masih menjadi perdebatan. Sebagaimana dijelaskan oleh Ali Ridho, op., cit.,
hlm. 52.
248
Chidir Ali, op., cit., hlm. 63. Ali Ridho juga membedakan antara korporasi dengan
yayasan. Lihat Ali Ridho, op., cit., hlm. 6
249
Ali Ridho, op., cit., hlm. 3.
250
Chidir Ali, op., cit., hlm. 64. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Tentang
Yayasan, UU No. 16 Tahun 2001, Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 28
Universitas Indonesia
130
Tahun 2004. Pasal 1 ayat (1) menjelaskan “yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas
kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang
sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.” Selanjutnya, Pasal 2
menjelaskan bahwa yayasan mempunyai organ yang terdiri dari pembina, pengurus dan
pengawas.
251
Ali Ridho, op., cit., hlm. 95-96.
252
William G. Brucker dan James E. Rebele, “Fraud at a Public Authority”, Journal of
Accounting Education, Vol. 28, Issue 1, March 2010, 26-37, hlm. 34.
Universitas Indonesia
131
Dari sisi politik, negara merupakan subjek hukum kolektif yang paling
besar dan umum. Sebagaimana Maitland menjelaskan “the greatest of all
artificial person, politically speaking, is the State.”253 (yang terbesar dari
semua orang buatan, secara politis, adalah negara.) Negara yang disebut
“body politic” dibahas cukup detail oleh Thomas Hobbes dalam Leviathan.
Hobbes menjelaskan body politic adalah:
“An artificial man whose sovereignty is an artificial soul that gives
life to the whole body, an embodied entity, with nerves located in its
legal and social structures in order to dole out punishment and
rewards. A body directed by the sovereign and every joint and
member is moved to perform his duty.”254
(suatu manusia buatan yang kedaulatannya adalah jiwa buatan yang
memberikan kehidupan kepada seluruh tubuhnya, entitas yang
diwujudkan, dengan syaraf yang terletak pada struktur hukum dan
sosialnya untuk mencegah penghukuman dan penghargaan. Suatu
badan yang diarahkan oleh kedaulatan dan setiap sendi dan anggota
digerakkan untuk menjalankan fungsinya masing-masing.)
253
Frederic William Maitland (3), State, Trust and Corporation, David Runciman dan
Manus Ryan (editor), (Cambridge, UK: Cambridge University Press, 2003), hlm. 32.
254
Dikutip dari Saru M. Matambanadzo (2), op., cit., hlm. 32.
255
Antonin Scalia dan Bryan A. Garner, Reading Law: The Interpretation of Legal
Texts, (United States of America: Thomas/West: 2012), hlm. 273.
256
Frederic William Maitland (3), op., cit., hlm. 51.
Universitas Indonesia
132
257
Antonin Scalia dan Bryan A., op., cit., hlm. 274.
258
91 F.Supp.2d 137 (D.D.C.2000)
259
Antonin Scalia dan Bryan A. Garner, op., cit., hlm. 274-275.
260
Christopher Harding, op., cit., hlm. 22.
Universitas Indonesia
133
261
Dikutip dari Roel de Lange, “Political and Criminal Responsibility,” Journal of
Comparative Law, Vol. 6, No. 4, December 2002, hlm. 309,
262
Oleg Jastrebov dan Albina Batjaeva, “On the Issue of Recognazing a State as a
Legal Entity: Past and Present”, World Applied Sciences Journal, 30 (5), 2014, 612-616, hlm.
613.
Universitas Indonesia
134
263
Ibid.
264
Gugatan class action dimungkinkan menurut Pasal 91 UU No. 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pasal 46 UU No. 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan konsumen.
265
Sudikno Metrokusumo, “Gugatan Actio Popularis dan Batas Kewenangan Hakim,”
Artikel di Hukum online, Senin, 27 November 2006,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/ hol15774/gugatan-actio-popularis-dan-batas-
kewenangan-hakim, diakses 29 November 2015.
266
Sudikno Metrokusumo, “Gugatan Actio Popularis dan Batas Kewenangan Hakim,”
Artikel di Hukum online, Senin, 27 November 2006,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/ hol15774/gugatan-actio-popularis-dan-batas-
kewenangan-hakim, diakses 29 November 2015.
267
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan No. 228/Pdt.G/2006/PN.Jkt/Pst
268
Mahkamah Agung RI, Putusan No. 2596 K/Pdt/2008, tanggal 14 September 2009,
Jo. Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No. 377/Pdt/2007/PT.DKI, tanggal 6 Desember 2007,
Jo. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 228/Pdt.G/2006/PN.Jkt/Pst
269
Putusan No. 278/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst
Universitas Indonesia
135
270
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia vs PT. Merbau
Pelalawan Lestari, Mahkamah Agung RI, Putusan No. 460 K/Pdt/2016, tanggal 18 Agustus
2016.
271
PT. Kallista Alam vs. Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia,
Putusan Mahkamah Agung No. 651 K/Pdt/2015, tanggal 28 Agustus 2015.
272
Roscoe Pound, op., cit., hlm. 189 – 199.
273
Ibid., hlm. 199.
274
William A. Edmundson, “Privacy”, dalam Martin P. Golding dan William A.
Edmundson (editor), Philosophy of Law and Legal Theory, (Malden, Massachussets, USA),
hlm. 280.
Universitas Indonesia
136
Universitas Indonesia
137
278
Naffine (2), op., cit., hlm. 4.
279
Ibid., hlm. 5.
280
Ibid.
281
Sidharta, “Heurestika dan Hermeneutika: Penalaran Hukum Pidana,” dalam Jufrina
Rizal dan Suhariyono AR (editor), Demi Keadilan: Ontologi Hukum Pidana dan Sistem
Peradilan Pidana-Enam Dasawarsa Harkristuti Harkrisnowo, (Jakarta: Pustaka Kemang,
2016), hlm. 15.
Universitas Indonesia
138
Universitas Indonesia
139
dalam pengertian subjek hukum karena memiliki hak di dalam hukum, hak
untuk dilindungi karena merupakan binatang langka yang harus dilindungi
menurut Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya.283 Harimau tersebut telah melakukan pengintaian dan
melakukan aksinya pada saat yang menurutnya tepat sehingga menyebabkan
anak tersebut mati. Bukankah dalam hal ini bisa dikatakan semua unsur pasal
pembunuhan berencana berdasarkan pasal tersebut di atas telah dipenuhi oleh
harimau itu? Namun, apakah kemudian harimau atau entitas lainnya yang
bukan manusia itu dapat dikatakan sebagai subjek yang bertanggung jawab
atas pelanggaran pasal tersebut?
283
Indonesia, Undang-Undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya, UU No. 5/1990, LN No. 49 Tahun 1990, Pasal 21.
284
Chidir Ali, op., cit., hlm. 11-12.
285
Hak yang diberikan kepada hewan, tumbuhan, lingkungan bahkan kepada benda
mati seperti misalnya ketentuan yang melindungi hewan atau tumbuhan langka, atau
ketentuan untuk tidak merusak lingkungan dengan melakukan pencemaran, atau ketentuan
untuk tidak merusak monumen bersejarah tujuannya adalah untuk kepentingan manusia dan
peradaban manusia. Misalnya Pasal 66, Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar
Budaya, menyebutkan: “Setiap orang dilarang merusak Cagar Budaya, baik seluruh maupun
bagian-bagiannya, dari kesatuan, kelompok, dan/atau dari letak sosial.” Cagar Budaya dalam
hal ini adalah benda mati yang diberikan perlindungan oleh hukum bukan karena dia adalah
suatu makhluk hidup yang harus dihormati tetapi karena untuk kepentingan manusialah dia
diberikan hak untuk dilindungi. Kepentingan masyarakat untuk pelestarian cagar budaya
yang merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan
Universitas Indonesia
140
Para ahli hukum yang berpadangan seperti ini berpendapat bahwa hukum
diciptakan untuk mengatur kehidupan manusia agar harmonis dan teratur,
salah satunya adalah dengan memberikan perlindungan kepada hewan agar
tercipta keteraturan dalam berperilaku terhadap entatas lain selain manusia.
Perlindungan yang diberikan kepada wujud yang berbeda dari manusia
tersebut muncul untuk melindungi kepentingan dari komunitas manusia
tertentu atas benda-benda tersebut.286
Universitas Indonesia
141
For ‘person’, as we shall see, means legal subject; and if the subject
of a reflex right is the individual toward whom the behavior of an
obligated individual has to take place, then animal etc, toward whom
man are obligated in a certain way are indeed “subjects” of right to
this behavior in the same sense in which the creditor is the subject of
the right that consists in the obligation of the debtor.
(Mengenai ‘orang’, seperti yang akan kita lihat, berarti subjek hukum;
dan apabila subjek dari satu hak yang relfleks adalah individu kepada
siapa perilaku seseorang yang diwajibkan harus dilakukan, maka
hewan dan sebagainya, kepada siapa manusia diwajibkan dengan cara
tertentu adalah memang “subjek” dari hak terhadap perilaku tersebut,
sama dengan kreditor adalah subjek dari hak yang merupakan
kewajiban dari debitur.)
Meskipun kemudian Kelsen menjelaskan bahwa dalam konteks
hukum, yang perlu diperhatikan adalah kemampuan dari suatu pemegang hak
untuk dapat mempertahankan haknya tersebut di hadapan hukum. Apabila
hak yang diberikan kepada suatu entitas tidak memberikan implikasi apa-apa
dihadapan hukum, maka tidak ada kepentingan hukum mengenai hal
289
Indonesia, Undang-Undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya, UU No. 5/1990, LN No. 49 Tahun 1990, Pasal 21.
290
Hans Kelsen (2), op., cit., hlm.128.
Universitas Indonesia
142
tersebut.291 Hal ini tentu dapat diterima apabila yang sedang dibahas adalah
subjek hukum perdata yang mensyaratkan para pihak untuk dapat
mengajukan gugatan di pengadilan secara perorangan. 292 Namun dalam suatu
kasus pidana, hak mengajukan tuntutan itu telah diambil alih oleh negara,
sehingga tidak menjadi persoalan apakah pemilik hak memiliki kemampuan
untuk dapat mengajukan tuntutan secara pribadi di hadapan pengadilan atau
tidak.
291
Ibid.
292
Meskipun dalam keadaan tertentu penggugat dapat mewakilkan dirinya untuk hadir
di persidangan kepada pihak yang diberikan kuasa untuk itu. Bahkan dalam sebuah kasus di
Amerika, binatang pun dapat diwakili oleh manusia dalam mengajukan gugatan perdata.
Lihat lebih lanjut pembahasan mengenai hal ini pada sub bab binatang sebagai subjek hukum
dalam disertasi ini.
Universitas Indonesia
143
293
Alan Norrie, Punishment, Responsibility and Justice: A Relational Critique,
Reprinted, (Oxford: Oxford University Press, 2004), hlm. 93.
294
L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. 26, (Jakarta: PT. Pradnya
Paramita, 1996), hlm. 191.
295
Riduan Syahrani, op., cit., hlm. 45.
Universitas Indonesia
144
296
Nancy Knauer, “Defining Capacity: Balancing the Competing Interest of
Autonomy and Need”, Temple Political & Civil Rights Law Review, vol. 12, 2002, hlm. 323.
297
Ibid.
298
Richard G. Singer dan John Q. La Fond, Criminal Law, Fourth Edition, (New
York: 2007), hlm. 477-478.
299
Menurut Vervaele, hukum pidana mengenal konsep pelaku (offender), pelaku yang
bertanggung jawab (responsible agent) dan subjek yang dapat dijatuhi hukum pidana
(punishable agent). Dalam menganalisis setiap subjek hukum pidana, penting untuk dapat
mengidentifikasi manakah subjek hukum yang bisa menjadi offender, responsible agent dan
punishable agent. Beliau mencontohkan subjek hukum yang bisa bertanggung jawab secara
pidana, tetapi tidak dapat dihukum dalam kasus Volkel case di Belanda yang akan dibahas
pada Bab III. Dalam kasus yang diuji di Court of Hertogenbosch tersebut, dinyatakan bahwa
negara bertanggung jawab terhadap pencemaran lingkungan yang terjadi, tetapi tidak bisa
diberikan sanksi pidana. Hasil diskusi dengan Prof. John Vervaele, Profesor in Economic and
European Criminal Law, pada bulan September 2014, di Law, Economics and governance
Faculty, Utrecht University, Belanda.
Universitas Indonesia
145
300
Dikutip dari Mr. Drs. E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I,
(Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 2000), hlm. 291.
301
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, (Yogyakarta: Cahaya Atma
Pustaka, 2014), hlm. 128.
302
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, cetakan ke-lima, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,
1993), hlm. 165-166.
303
Ibid.
304
Pasal 55 (b) Undang-Undang No. 5 Tahun 2011 Tentang Akuntan Publik
menyatakan: “akuntan publik yang dengan sengaja melakukan manipulasi, memalsukan,
dan/atau menghilangkan data atau catatan pada kertas kerja atau tidak membuat kertas kerja
yang berkaitan dengan jasa yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
sehingga tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya dalam rangka pemeriksaan oleh pihak
Universitas Indonesia
146
akuntan publik, yang juga memiliki kriteria tertentu yang ditentukan oleh
Undang-Undang tersebut. Contoh lain adalah ketentuan Pasal 12 ayat (3)
Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang hanya ditujukan untuk atau normadressaat
nya adalah pajabat atau pegawai Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK) atau Lembaga Pengawas dan Pengatur saja, ketentuan ini
tidak berlaku bagi orang lain.305
yang berwenang dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana
denda paling banyak Rp300.000.000 (tiga ratus juta rupiah).
305
Indonesia, Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang, UU No. 8/2010, Pasal 12 ayat (3) menyebutkan: “Pejabat atau pegawai
PPATK atau Lembaga Pengawas atau Pengatur dilarang memberitahukan laporan Transaksi
Keuangan Mencurigakan yang akan atau telah dilaporkan kepada PPATK secara langsung
atau tidak langsung dengan cara apa pun kepada Pengguna Jasa atau pihak lain.” Kemudian
Pasal 12 ayat (5) menjelaskan sanksi pidana atas pelanggaran tersebut bisa dikenakan sanksi
berupa penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana dendan paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
306
Richard G. Singer dan John Q. La Fond, op., cit., hlm. 495.
307
Utrecht, Mr. Drs. E. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, (Surabaya: Pustaka
Tinta Mas, 2000, hlm. 348.
308
Kegilaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah: “1. sifat (keadaan,
perihal) gila; 2. kegemaran (keasyikan, kesukaan) yang berlebih-lebihan: 3. sesuatu yang
melampaui batas; 4. kebodohan, kesalahan (dengan sengaja); 5. ketidakberesan; kericuhan;
kekacauan. Lihat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Kamus versi online / daring (dalam jaringan), http://kbbi.web.id.
Universitas Indonesia
147
49 (2) KUHP, dan perintah jabatan yang tidak sah sebagaimana diatur pada
Pasal 51 (2) KUHP dan dalam pengaruh obat (intoxication).309
309
Intoxication (keadaan mabuk) merupakan salah satu alasan pemaaf menurut
common law, di mana kemabukan tersebut sampai pada suatu keadaan yang menyebabkan
otak seseorang menjadi rusak sehingga terjadi penurunan penilaian terhadap norma-norma
baik dan buruk serta merusak respon emosional. Lihat misalnya pembahasan mengenai hal
ini pada Molan, Mike. Denis Lanser dan Duncan Bloy, Bloy and Parry’s Criminal Law.
Fourth Edition, (London: Cavendish Publishing Limited, 2000), hlm. 219.
310
Sudarto, op., cit., hlm. 151-152.
311
Eddy O.S. Hiariej, op. cit., hlm. 234.
Universitas Indonesia
148
312
Ibid., 217.
313
Ibid.
314
Eddy O.S. Hiariej, op. cit., hlm. 237.
315
Ryu dan Silving, “Error Juris: A Comparative Study,” The University of Chicago
Law Review, vol. 24, no. 3, 1957, hlm. 421.
316
Eddy O.S. Hiariej, op. cit., hlm. 237.
317
Diening, J.A.A, On Reasonable Liability: A Comparison of Dutch and Canadian
Law regarding the Limits of Criminal Liability, (Arnhem: Gouda Quint, 1982), hlm. 276.
318
Misalnya lihat Celia Wells, (1), op., cit., hlm. 108.
319
Section 7 (2) UK Bribery Act 2010 secara lengkap berbunyi: “But it is a defence
for commercial organization (“C”) to prove that C had in place adequate procedures
designed to prevent persons associated with C from undertaking such conduct.” (Namun
Universitas Indonesia
149
adalah suatu pembelaan bagi organisasi komersil (“C”) untuk membuktikan bahwa C telah
menerapkan prosedur yang memadai yang dirancang untuk mencegah orang-orang yang
terkait dengan C melakukan tindakan tersebut.)
Universitas Indonesia
150
BAB III
Bab ini akan meneliti aspek yang pertama, yaitu jenis-jenis atau bentuk
organisasi apa saja yang bisa menjadi subjek hukum pidana. Sebelum melihat
1
Pada awalnya korporasi hanya dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana yang
tidak memerlukan pembuktian tentang kesalahan atau tindak pidana dengan pertanggungjawaban
ketat (strict liability). Namun dengan diterimanya teori tentang vicarious criminal liability di
Amerika Serikat dan teori identifikasi di Inggris, jenis-jenis tindak pidana yang bisa dibebankan
pertanggungjawabannya kepada korporasi menjadi semakin luas. Pembahasan mengenai jenis
tindak pidana yang bisa dilakukan oleh korporasi lebih menjadi kontroversi pada negara dengan
latar belakang sistem civil law dibandingkan di negara dengan latar belakang common law. karena
di Common law, pertimbangan mengenai apakah suatu korporasi dapat melakukan suatu tindak
pidana adalah permasalahan interpretasi terhadap aturan hukum atau common law. Untuk negara
dengan latar belakang civil law ada negara yang menggunakan “all crime approach”, di mana
korporasi dianggap dapat melakukan semua tindak pidana yang ada di KUHP nya. Negara yang
menggunakan pendekatan ini misalnya Belanda dan Perancis. Ada juga negara dengan latar
belakang civil law menggunakan “list-based approach” yang berarti hanya tindak pidana tertentu
saja yang dapat dilakukan oleh korporasi. Negara yang menggunakan pendekatan ini misalnya
Italia, Spanyol, Portugis, dan Polandia. Pembahasan yang cukup lengkap mengenai hal ini dapat di
lihat pada Pieth, Ivory, “Emergence and Convergence: Corporate Criminal Liability Principles in
Overview”, in Corporate Criminal Liability: Emergence, Convergence and Risk, Mark Pieth and
Radha Ivory (editor), (London: Springer, 2011), hlm. 15. Mardjono Reksodiputro menyarankan
untuk membatasi penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi untuk tindak pidana dengan
ketercelaan moral yang berat saja. Sedangkan untuk tindak pidana yang bersifat administratif atau
penatakelolaan pemerintahan tidak perlu diterapkan pertanggungjawaban pidana korporasi.
Menurut beliau perlu ada pembahasan mengenai tindak pidana yang bersifat mala prohibita dan
mala in se dalam pertanggungjawaban pidana korporasi. Pendapat disampaikan pada wawancara
personal dengan Mardjono Reksodiputro, Profesor Hukum Pidana Universitas Indonesia,10 Maret
2017 di Jakarta.
2
Cristina de Maglie, “Models of Corporate Criminal Liablity in Comparative Law,”
Washington University Global Studies Law Review, Vol. 4, Issue 3. 2005, 547-566, hlm. 550.
Universitas Indonesia
151
bentuk-bentuk organisasi apa saja yang bisa dijadikan subjek hukum pidana, pada
bagian awal akan diuraikan istilah yang digunakan undang-undang di Indonesia
untuk merujuk kepada subjek hukum kolektif. Selanjutnya akan dianalisis
pengertian korporasi menurut para ahli dan penggunaan istilah korporasi di
berbagai UU di beberapa negara lain serta kritisi terhadap pengertian korporasi
yang dianut oleh hukum pidana Indonesia. Pada sub-bab B akan dinalisis jenis
korporasi apa saja yang bisa dimintai pertanggungjawaban pidana.
3
Penjabaran secara lengkap mengenai proses analisa peraturan perundang-undangan yang
memuat ketentuan mengenai subjek hukum bukan manusia yang berbentuk kolektif dipaparkan
pada Lampiran 1. Undang-Undang Indonesia dengan organisasi sebagai Subjek Hukum Pidana.
4
Indonesia, Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD,
UU No. 8/2012. LN. No. 117 Tahun 2012, TLN. No. 5316. Pada Pasal 79 dijelaskan bahwa
pelaksana kampanye pemilu termasuk adalah organisasi.
5
Dicabut dengan Indonesia, Undang-Undang tentang Pencabutan UU No.
11/PNPS/Tahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, UU No. 26/1999, LN. No. 73
Tahun 1999. Pada Pasal 17 dijelaskan: “jika suatu tindak pidana subversi dilakukan oleh atau atas
nama suatu badan hukum, perseroan, perserikatan orang, yayasan atau organisasi lainnya, maka
tindakan peradilan dilakukan, baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan orang, yayasan
atau organisasi lainnya itu, baik terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak
pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu, maupun terhadap
kedua-duanya.”
6
Indonesia, Undang-Undang tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, UU No. 13/1998, LN.
No. 190 Tahun 1998, TLN. No. 3796. Pada Pasal 26 menyebutkan: “Setiap orang atau badan
dan/atau organisasi atau lembaga yang dengan sengaja tidak melakukan pelayanan dalam rangka
Universitas Indonesia
152
peningkatan kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3), Pasal 19 ayat (2)
dan ayat (3), padahal menurut hukum yang berlaku baginya wajib melakukan perbuatan tersebut,
diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun atau denda sebanyak-banyaknya
Rp 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah).”
7
Indonesia, Undang-Undang tentang Wajib Daftar Perusahaan, UU No. 3/1982, LN. No.
7 Tahun 1982, TLN No. 3214.
8
Indonesia, Undang-Undang tentang Dokumen Perusahaan, UU No. 8/1997, LN. No. 18
Tahun 1997. TLN No. 3674.
9
Dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan Indonesia. Undang-Undang tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial. UU No. 24/2011. LN No. 116 Tahun 2011. Pengertian ini masih
dipertahankan pada Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
10
Indonesia, Undang-Undang Darurat Pengusutan, Penuntutan Tindak Pidana Ekonomi,
UU Darurat No. 7/1955, LN No. 27 Tahun 1955, TLN. No. 801. Pasal 15.
11
Dicabut dengan Indonesia, Undang-Undang tentang Pos, UU No. 38/2009, LN No. 146
Tahun 2009.
12
Indonesia, Undang-Undang Darurat Republik Indonesia tentang Penimbunan Barang-
Barang, UU No. 17 Tahun 1951, LN No. 90, TLN. No. 155.
Universitas Indonesia
153
“Dalam hal suatu tindak pidana yang dapat dipidana menurut Undang-
Undang ini dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, perseroan
atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi, tuntutan pidana
ditujukan dan sanksi pidana dijatuhkan kepada…”
13
Ditetapkan menjadi UU dengan Indonesia, Undang-Undang tentang Penetapan
"Undang-Undang Darurat tentang Pinjaman Darurat," Sebagai Undang-Undang, UU No.
2/1952, LN No. 28 Tahun 1952.
14
Ditetapkan sebagai Undang-undang dengan UU No. 15 Tahun 1952 (Lembaran Negara
Tahun 1952 Nomor 67) dan UU ini dicabut dengan Indoensia, Undang-Undang tentang Pasar
Modal, UU No. 8/1995, LN No. 64 Tahun 1995.
15
Indonesia, Undang-Undang Darurat Republik Indonesia tentang Penimbunan Barang-
Barang, UU No. 17 Tahun 1951, LN No. 90, TLN. No. 155.
16
Dicabut dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 42), yang mana kemudian UU No. 22/1957 ini
juga dinyatakan tidak berlaku dengan Indonesia, Undang-Undang tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial, UU No. 2/2004, LN No. 6 Tahun 2004.
17
Indonesia, Undang-Undang tentang Perdangangan Berjangka Komoditi, UU No.
32/1997, LN. No. 93 Tahun 1997, TLN. No. 3720, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka
Komoditi, UU No. 10 Tahun 2011, LN No. 79 Tahun 2011, TLN No. 5232. Pasal 1 ayat (13)
menyebutkan bahwa kelompok orang termasuk ke dalam pengertian pihak.
18
Indonesia, Undang-Undang tentang Bangunan Gedung, UU No. 28/2002, LN. No. 134
Tahun 2002, TLN. No. 4247. Pasal 1 ayat (9) menjelaskan bahwa kelompok orang bisa menjadi
pemilik gedung.
Universitas Indonesia
154
19
Indonesia. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme. Perpu No. 1/2002, LN. No. 106 Tahun 2002, TLN. No. 4232.
Sebagaimana telah ditetapkan menjadi Undang-undang dengan UU No. 15 Tahun 2003 Tetang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, LN. No. 45 Tahun 2003, TLN. 4284.
20
Indonesia, Undang-Undang tentang Perdangangan Berjangka Komoditi, UU No.
32/1997, LN. No. 93 Tahun 1997, TLN. No. 3720, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 1997 Tentang Perdagangan Berjangka
Komoditi, UU No. 10 Tahun 2011, LN No. 79 Tahun 2011, TLN No. 5232. Pasal 1 ayat (13)
menyebutkan bahwa asosiasi termasuk ke dalam pengertian pihak.
21
Indonesia, Undang-Undang tentang Pasar Modal, UU No. 8/1995, LN. No. 64 Tahun
1995, TLN. No. 3608. Pasal 1 ayat (23) menjelaskan bahwa asosiasi termasuk dalam pengertian
pihak.
22
Indonesia, Undang-Undang tentang Pasar Modal, UU No. 8/1995, LN. No. 64 Tahun
1995, TLN. No. 3608. Pasal 1 ayat (23) menjelaskan bahwa usaha bersama termasuk dalam
pengertian pihak.
23
Indonesia, Undang-Undang tentang Perdangangan Berjangka Komoditi, UU No.
32/1997, LN. No. 93 Tahun 1997, TLN. No. 3720, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka
Komoditi, UU No. 10 Tahun 2011, LN No. 79 Tahun 2011, TLN No. 5232. Pasal 1 ayat (13)
menyebutkan bahwa usaha bersama termasuk ke dalam pengertian pihak.
24
Indonesia, Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang,
UU No. 21 Tahun 2007, LN No. 58 Tahun 2007, TLN No. 4720. Pasal 16.
25
Indonesia, Undang-Undang tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, UU No. 13/1998, LN.
No. 190 Tahun 1998, TLN. No. 3796. Pasal 26.
26
Indonesia. Undang-Undang tentang Kepabeanan, UU No. 10/1995, LN. No. 75 Tahun
1995, TLN. No. 3612, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang tentang Perubahan Atas
Universitas Indonesia
155
Namun istilah yang paling sering muncul untuk merujuk kepada subjek hukum
kolektif secara garis besar ada empat jenis, yaitu:
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. UU No. 17/2006. LN. No. 93
Tahun 2006. Pasal 108.
27
Indonesia, Undang-Undang tentang Cukai, UU No. 11/1995, LN. No. 76 Tahun 1995,
TLN. No. 3613, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Tentang Perubahan atas Undang-
Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai, UU No. 39 Tahun 2007, LN No. 105 Tahun 2007,
TLN No. 4755. Pasal 61 ayat (1).
28
Indonesia. Undang-Undang tentang Telekomunikasi, UU No. 36/1999, LN. No. 154
Tahun 1999, TLN. No. 3881, Pasal 1 ayat (8) menjelaskan salah satu bentuk penyelenggara
telekomunikasi adalah koperasi.
29
Ditetapkan menjadi UU dengan Indonesia, Undang-Undang tentang Penetapan
"Undang-Undang Darurat tentang Pinjaman Darurat," Sebagai Undang-Undang, UU No.
2/1952, LN No. 28 Tahun 1952. Pasal 3.
30
Ditetapkan sebagai Undang-undang dengan UU No. 15 Tahun 1952 (Lembaran Negara
Tahun 1952 Nomor 67) dan UU ini dicabut dengan Indoensia, Undang-Undang tentang Pasar
Modal, UU No. 8/1995, LN No. 64 Tahun 1995.
31
Indonesia, Undang-Undang Darurat Republik Indonesia tentang Penimbunan Barang-
Barang, UU No. 17 Tahun 1951, LN No. 90, TLN. No. 155. Pasal 1 butir (e) menjelaskan bahwa
yayasan merupakan salah satu bentuk badan hukum.
32
Indonesia, Undang-Undang Darurat Pengusutan, Penuntutan Tindak Pidana Ekonomi,
UU Darurat No. 7/1955, LN No. 27 Tahun 1955, TLN. No. 801. Pasal 15.
33
Indonesia, Undang-Undang Tentang Cukai, UU No. 11/1995, LN. No. 76 Tahun 1995,
TLN. No. 3613, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Tentang Perubahan atas Undang-
Undang No. 11 Tahun 1995 Tentang Cukai, UU No. 39 Tahun 2007, LN No. 105 Tahun 2007,
TLN No. 4755. Pasal 61 ayat (1).
34
Indonesia, Undang-Undang Tentang Telekomunikasi, UU No. 36/1999, LN. No. 154
Tahun 1999, TLN. No. 3881, Pasal 1 ayat (8) menjelaskan salah satu bentuk penyelenggara
telekomunikasi adalah instansi pemerintah dan instansi pertahanan negara.
35
Indonesia, Undang-Undang Tentang Cagar Budaya, UU No. 11/2010, LN. No. 130
Tahun 2010, TLN. No. 5168.
Universitas Indonesia
156
a) Badan Hukum
36
Ditetapkan menjadi UU dengan Indonesia, UU No. 25 Tahun 1953, LN No. 75 Tahun
1953.
37
Indonesia, Undang-Undang Tentang Paten, UU No. 13/2016, LN No. 176 Tahun 2016,
TLN No. 5922.
Universitas Indonesia
157
b) Korporasi
38
Pasal 1653 KUHPer secara lengkap berbunyi sebagai berikut: “Selain perseroan perdata
sejati, perhimpunan orang-orang sebagai badan hukum juga diakui undang-undang, entah badan
hukum itu diadakan oleh kekuasaan umum atau diakui sebagai demikian, entah pula badan hukum
itu diterima sebagai yang diperkenankan atau telah didirikan untuk suatu maksud tertentu yang
tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan.”
39
Indonesia, Undang-Undang Psikotropika, UU No. 5/1997. LN. No. 10 Tahun 1997,
TLN. No. 3671.
40
Indonesia, Undang-Undang Tentang Narkotika. LN. No. 67 Tahun 1997. TLN No. 3698.
41
Indonesia. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme. Perpu No. 1/2002, LN. No. 106 Tahun 2002, TLN. No. 4232.
Sebagaimana telah ditetapkan menjadi Undang-undang dengan UU No. 15 Tahun 2003 Tetang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, LN. No. 45 Tahun 2003, TLN. 4284.
42
Indonesia, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31/1999,
LN No. 140 Tahun 1999, TLN No. 3874.
43
Indonesia, Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 20 Tahun 2001, LN No. 134
Tahun 2001, TLN No. 4150.
44
Indonesia, Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang, UU No. 8/2010, LN No. 122 Tahun 2010.
Universitas Indonesia
158
45
Indonesia, Undang-Undang Tentang Praktik Kedokteran, UU No. 29 Tahun 2004, LN
No. 116 Tahun 2004, TLN No. 4431.
46
Indonesia, Undang-Undang Tentang Perikanan, UU No. 31/2004, LN. 118 Tahun 2004,
TLN. No. 4433. Meskipun Pasal 1 (14) Undang-Undang ini menyebutkan bahwa setiap orang
adalah juga termasuk korporasi, namun pertanggungjawaban pidananya menurut Pasal 101 hanya
diberikan kepada pengurusnya saja dan tidak kepada korporasinya.
47
Indonesia. Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun
2004 Tentang Perikanan. UU No. 45/2009. LN. No. 154 Tahun 2009. TLN No. 5073.
48
Indonesia, Undang-Undang Tentang Pangan, UU No. 18/2012, LN No. 227 Tahun 2012,
TLN No. 5360. Pasal 1 ayat (38).
49
Ketentuan mengenai korporasi sebagai subjek tindak pidana sudah diatur semenjak
konsep R-KUHP tahun 1982/1983. Diatur pada Pasal 39, 40, 41, 42, 43A, 111.
Universitas Indonesia
159
dalamnya. Dapat dikatakan bahwa UU ini merupakan cikal bakal dari pengretian
korporasi dalam arti luas sebagaimana yang dianut oleh R-KUHP tahun
1982/1983 dan juga oleh UU khusus lainnya.
Hal yang sama juga dapat ditemukan pada UU No 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika. Pasal 1 ayat (20) menjelaskan “kejahatan terorganisasi adalah
kejahatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur yang terdiri atas 3
(tiga) orang atau lebih yang telah ada untuk suatu waktu tertentu dan bertindak
bersama dengan tujuan melakukan suatu tindak pidana narkotika.” Apabila
dianalisis secara mendalam maka kejahatan yang dilakukan secara terorganisasi
dipahami sebagai suatu tindak pidana yang dilakukan oleh organisasi yang
Universitas Indonesia
160
50
Berdasarkan hasil wawancara dengan pegawai Badan Narkotika Nasional (BNN), di
Jakarta tanggal 1 November 2017.
51
Ibid. Namun memang diakui oleh pihak BNN bahwa pembuktian mengenai hal ini sangat
sulit mengingat karakteristik tindak pidana narkotika yang sangat tertutup.
Universitas Indonesia
161
Hal yang sama juga bisa dilihat pada UU Informasi dan Transaksi
Elektronik, dimana pada Pasal 1 (21), pengertian orang adalah orang perseorangan
atau badan hukum, sedangkan Pasal 52 (4) menjelaskan pemberatan pidana ketika
subjek tindak pidananya adalah korporasi, padahal tidak ada penjelasan mengenai
subjek hukum korporasi, dari semua ketentuan yang mengandung ancaman pidana
ditujukan kepada “setiap orang” yang apabila dikembalikan kepada Pasal 1 (21)
adalah mencakup hanya badan hukum yang tentu berbeda dengan pengertian
korporasi (apabila yang dianut adalah pengertian korporasi yang secara umum
diterima pada peraturan khusus lain). Sama hal nya dengan Undang-Undang
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, sepertinya konsep korporasi
disini tidak dikaitkan dengan partikulasi subjeknya, tetapi dikaitkan dengan
pertanggungjawaban atau pemberian sanksi pidananya.
c) Badan Usaha
Universitas Indonesia
162
dan bukan perusahaan. Dari UU yang dibahas di atas tidak ada keseragaman
mengenai pengertian badan usaha, berbeda dengan korporasi yang diartikan
seragam dalam semua UU yang menggunakan istilah tersebut. Pada beberapa UU
dijelaskan “badan usaha” bisa berbentuk badan hukum atau tidak berbadan
hukum, misalnya UU Lingkungan, UU ITE. UU ITE juga menambahkan bahwa
badan usaha bisa berbentuk perusahaan perseorangan atau perusahaan
persekutuan. Namun, ada juga UU yang hanya menjelaskan Badan usaha sebagai
badan hukum yang menjalankan jenis usaha tetap saja, jadi hanya yang berbadan
hukum saja yang dianggap sebagai badan usaha, seperti misalnya pengertian
badan usaha yang dianut oleh UU Minyak dan Gas Bumi. Sehingga apabila dilihat
dari pemaparan UU di atas, dapat disimpulkan bahwa badan usaha adalah badan
yang menjalankan usaha, bisa berbadan hukum atau tidak berbadan hukum dan
bentuk usahanya bisa berbagai macam, bisa berbentuk perusahaan persekutuan
maupun perusahaan perseorangan, dan setiap UU menjelaskan berbeda-beda
tentang apa itu perusahaan dan apa itu badan usaha.
d) Badan
54
Indonesia, Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, UU
No. 6/1983, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 16/2009, LN. No. 62
Tahun 2009, TLN No. 4953, Pasal 1(3).
Universitas Indonesia
163
Menurut Hart prinsip dasar untuk menjelaskan makna dari suatu peristilahan
adalah dengan mempertimbangkan kondisi dimana kalimat itu dibuat dengan
karakteristik yang ada didalamnya.55 Dalam hal ini Hart mengikuti filsuf bahasa
Wittgenstein yang juga mengadvokasi pembahasan mengenai suatu konsep
dengan cara meneliti bagaimana cara kerja konsep tersebut dalam penggunaan
nyata, sehari-hari, sosial, dan bahasa.56 Setiap terminologi seperti ‘orang’ hanya
bisa dimengerti dalam konteks yang digunakan dan ketika semua penggunaan
tersebut dipertimbangkan secara bersama-sama barulah akan didapatkan makna
55
HLA Hart (1), Definition and Theory in Jurisprudence, 1953, (Oxford: Clarendon Press),
hlm. 28.
56
Ngaire Naffine (2), Legal Theory Today, Law’s Meaning of Life: Philosophy, Religion,
Darwin and the Legal Person, (Portland: Hart Publishing, 2009), hlm. 39.
Universitas Indonesia
164
57
Ibid., 40.
58
Pengertian korporasi dikelompokkan berdasarkan pengertian korporasi secara harfiah
dari segi bahasa, pengertian korporasi sebagai badan hukum yang memiliki personalitas sendiri,
pengertian korporasi sebagai organisasi binis, dan pengertian korporasi dalam arti yang luas.
59
Margaret M. Blair, “Corporate Personhood and the Corporate Persona,” University of
Illinois Law Review, No. 3, 2013, 785, hlm. 788.
60
Christopher Harding, Criminal Enterprise: Individuals, Organisations And Criminal
Responsibility, (Willian Publishing. 2007), hlm. 33.
61
Soetan K. Malikoel Adil, Pembaharuan Hukum Perdata Kita, Jakarta: PT.
Pembangunan, 1995, hlm. 83.
Universitas Indonesia
165
62
Chidir Ali, Badan Hukum. Cetakan 5. (Bandung: Penerbit Alumni, 2014), hlm. 64
63
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Edisi Ketiga.
Cetakan ke-5. (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), hlm. 19-20.
64
A.Z Abidin, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983), hlm. 54.
65
Rudi Prasetyo, Perkembangan Korporasi dalam Proses Modernisasi dan Penyimpangan-
penyimpangannya, makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kejahatan Korporasi di FH
UNDIP, (Semarang: 23-24 November 1989), hlm. 2. Sebagaimana dikutip dari Muladi dan Dwidja
Priyatno, op., cit., hlm. 27.
66
Hans Kelsen (1), General Theory of Law and State. 6th printing, Diterjemahkan oleh
Anders Wedberg, (New Jersey: The Lawbook Exchange Ltd, 2003), hlm. 96.
Universitas Indonesia
166
67
Joel Balkan, The Corporation, op., cit., hlm. 1.
68
Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kamus Hukum, (Jakarta Pradnya Paramita, 1979), hlm. 34.
69
Robert Hessen, In Defense of the Corporation, Second Printing, (California, US: Hoover
Institution Press, 1979), hlm. xiv.
70
Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, (Semarang: CV Aneka, 1977), hlm. 256.
Universitas Indonesia
167
71
A. Abdurachman, Ensiklopedia Ekonomi Keuangan dan Perdagangan, (Inggris-
Indonesia), Jilid I, (Jakarta: Yayasan Prapancha, 1963), hlm. 246.
72
Bryan A. Garner (editor in Chief), Black’s Law Dictionary, ninth Edition, (USA:
Thomson Reuter, 2009), hlm. 391.
73
Amy Hackney Blackwell, Essential Law Dictionary, (Illinois: Spinx Publishing, 2008),
hlm. 106.
74
P.H. Collin, Dictionary of Law, Fourth Edition, (London, UK: Bloomsbury Publishing
Plc, 2005), hlm. 73.
Universitas Indonesia
168
75
Linda Picard Wood et al., Merriam-Webster’s Dictionary of Law, (Massachusetts, USA:
Merriam-Webster Inc., 1996), hlm. 108.
76
Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu
Pengenalan Pertama Ruang lingkup Berlakunya Ilmu hukum, Buku I, (Bandung: Alumni, 2000),
hlm. 82-83.
77
Thavorn Thitthongkam, John Walsh, Chanchai Bunchapattanasakda, “The Roles of
Foreign Language in Business Administration,” Journal of Management Research, vol. 3, no. 1,
2011, hlm. 4.
Universitas Indonesia
169
Universitas Indonesia
170
Corporation, Seventh Printing, (New Brunswick, USA: Transaction Publisher, 2008), hlm. 4.
Korporasi dalam artian big business ini juga diadopsi oleh Roman Tomasic, Stephen Bottomley &
Rob Mcqueen dalam bukunya yang berjudul “Corporations Law in Australia” juga menjelaskan
bahwa corporation adalah big business, meskipun untuk membatasi kerancuan mereka
menggunakan istilah “modern corporation” dan “modern corporation law”. Lihat Roman
Tomasic, Stephen Bottomley & Rob Mcqueen, Corporations Law in Australia, Second Edition,
(Sydney, Australia: The Federation Press, 2002). Richard Whittington dan Michael Mayer dalam
bukunya “The European Corporation: Strategy, Structure, and Social Science” juga membahas
corporation sebagai large business corporation. Lihat Richard Whittington dan Michael Mayer,
The European Corporation: Strategy, Structure, and Social Science, (Oxford: Oxford University
Press, 2002). Ted Nace dalam “Gangs of America: The Rise of Corporate Power and the Disabling
of Democracy” juga hanya membahas big busniss ketika berbicara corporation. Lihat Ted Nace,
Gangs of America: The Rise of Corporate Power and the Disabling of Democracy, (San Francisco,
US: Berrett – Koehler Publisher, Inc, 2005).
82
David Runciman dan Magnus Ryan, “Editor’s Introduction”, Maitland, State, Trust and
Corporation, diedit oleh David Runciman dan Magnus Ryan, (Cambrige, UK: Cambridge
University Press, 2003), hlm. xii.
83
Wesley B. Truitt, The Corporation, (Westport, Connecticut: Greenwood Press, 2006),
hlm. 2-3.
Universitas Indonesia
171
84
N.E Algra, H.W. Gokkel, Kamus istilah Hukum Fockema Andreae Balanda – Indonesia,
(diterjemahkan dan diedit oleh Saleh Adiwinata, A. Teloeki, dan Boerhanoeddin St. Batoeah),
(Bandung: Binacipta, 1983), hlm. 83.
85
Margaret M. Blair, op., cit., hlm. 788.
86
Christopher Harding, op., cit., hlm. 33.
87
Soetan K. Malikoel Adil, op., cit., hlm. 83.
88
Harold J. Laski, “The Personality of Associations,” Harvard Law Review, Vol. 29, No. 4.
1916. 404-426.
Universitas Indonesia
172
Universitas Indonesia
173
Universitas Indonesia
174
macam institusi seperti kota, distrik, universitas, college, rumah sakit, organisasi
sosial, uskup, dekan, biara dan badan gereja lainnya. 92 Di samping tujuan
keberlangsungan yang terus menerus, tujuan lain dari dibentuknya korporasi
adalah untuk kepentingan kemandirian pengelolaan (self-governance). Misalnya
charter yang diberikan kepada kota pada abad pertengahan secara eksplisit
diberikan untuk kemandirian pengelolaan ini.
92
Ron Harris (2), op., cit.
93
Bryan A. Garner, op., cit., hlm. 415.
94
Peter F. Drucker, op., cit., hlm. 4.
Universitas Indonesia
175
95
Cornell University Law School, “Corporations”, Legal Information Institute, bisa diakses
di https://www.law.cornell.edu/wex/corporations
96
L.C.B. Gower, “Some Contrast Between British and American Corporation Law,”
Harvard Law Review, Vol. 69, No. 8 (Jun, 1956), 1369-1402, hlm. 1369
97
Roman Tomasic, Stephen Bottomley & Rob Mcqueen mengutip pendapat Ireland P
dalam tulisannya “The Rise of the Limited Liability Company,” menjelaskan bahwa terminologi
“company”, “partnership, dan “corporation” memiliki makna yang berbeda. Mereka menjelaskan
bahwa “if a joint stock company was incorporated by charter or special Act, the term
“corporation” would be used to describe its legal status” Lihat Roman Tomasic, Stephen
Bottomley & Rob Mcqueen, op., cit., hlm. 5.
98
‘Corporation sole’, diterapkan pertama kali untuk a parish church (rector ecclesiae
parochialis), dan kemudian titel ‘Corporation sole’, juga diberikan kepada Bishops atau kepada
jabatan keagamaan yang dianggap mulia. Titel ini juga diberikan kepada “King or to the Crown”.
Meskipun menurut Maitland, konsep ‘Corporation Sole’ itu sendiri adalah sebuah konsep yang
sembrono dari pengembangan teori korporasi sebagai persona ficta. Lihat Maitland, “State, Trust
and Corporation”, diedit oleh David Runciman dan Magnus Ryan, (Cambrige, UK: Cambridge
University Press, 2003), hlm. xvi. Menurut Blair, tujuan dari dibentuknya corporation sole adalah
untuk membuat jelas kedudukan properti yang dikontrol adalah bukan properti pribadi tetapi
properti yang berkaitan dengan kedudukan corporation sole tersebut dan segala macam kontrak
yang dibuat bukanlah dalam kedudukan mereka sebagai pribadi tetapi sebagai kapastias resmi
mereka dalam corporation sole tersebut. Sehingga dapat dipastikan semua properti, hak dan
kewajiban yang timbul dari kontrak yang dibuat akan dapat dilanjutkan kepada penerus korporasi
tersebut. Lihat Margaret M. Blair, op., cit., hlm. 789-790.
Universitas Indonesia
176
Pada bagian ini akan dibahas bagaimana negara lain menempatkan istilah
korporasi dalam peraturan perundang-undangannya.
Universitas Indonesia
177
18) a corporation;
19) a department or other body listed in Schedule 1;
20) a police force;
21) a partnership, or a trade union or employers’ association, that is an
employer.”
“Person, owner, and other words and expressions of the like kind, include
the Crown and any public body or local authority, and any board, society,
or company, and any other body of persons, whether incorporated or not,
and the inhabitants of the district of any local authority, in relation to such
acts and things as it or they are capable of doing or owning.”
(orang, pemilik, dan kata-kata serta ungkapan lain yang sejenis, termasuk
adalah Penguasa dan semua badan publik atau otoritas lokal, dan semua
dewan, masyarakat, atau perusahaan, dan semua bentuk kumpulan orang
lain, baik berbentuk korporasi atau tidak, dan setiap penduduk dari distrik
disetaip pemerintah daerah, sehubungan dengan tindakan dan barang-
barang seperti itu, atau mereka mampu untuk melakukan atau memiliki.”
“Organization means:
101
Singapore Penal Code (Chapter 224), Chapter II, Section 11 [Indian PC 1860, s 11].
102
Lihat Canadian Department of Justice, “Criminal Liability of Organizations: A Plain
Language Guide to Bill C-45,” 2003, hlm. 4. Bisa diakses pada http://www.justice.gc.ca/eng/rp-
pr/other-autre/c45/c45.pdf
Universitas Indonesia
178
103
Dutch, Dutch Penal Code, Article 51 (1).
Universitas Indonesia
179
juga menyandingkan natural person dengan korporasi sebagai subjek hukum yang
menjadi pengertian person atau setiap orang. Australian Criminal Code 2002,
Section 49 (1) menyebutkan: “This Act applies to corporations as well as
individuals.” (undang-undang ini berlaku terhadap korporasi maupun individu.)
Meskipun dalam Criminal Code Australia ataupun dalam Legislation Act tidak
dijelaskan siapakah yang dimaksudkan dengan korporasi. Namun apabila dilihat
kepada Australian Corporation Act 2001, Section 57 A, Meaning of corporation:
Universitas Indonesia
180
publik, Australia menggunakan istilah body corporate agar tidak rancu dengan
corporation yang biasanya adalah organisasi yang bertujuan profit.104
104
Victorian Law Reform Commission, “Criminal Liability for Workplace Death and
Serious Injury in the Public Sector,” Victorian Law Reform Commission’s Report, 2002, hal. 4.
Universitas Indonesia
181
105
Lihat Bab II sub-bab “Kelompok Kolektif yang Dapat Memiliki Indentitas sebagai
Organisasi”
106
Chidir Ali, op., cit., hlm. 20.
Universitas Indonesia
182
composed of assets”.107 Meskipun dalam konteks ini Grossman dan Hart tidak
menjelaskan pengertian korporasi tetapi firma (firm) yang dalam ilmu ekonomi
merupakan salah satu bentuk oranisasi yang bertujuan untuk melakukan suatu
kegiatan bisnis. Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan kemudian,
bahwa kumpulan kekayaan adalah juga salah satu bentuk organisasi.
107
Sanford J. Grossman dan Oliver D. Hart, “The Cost and Benefit of Ownership: A
Theory of Vertical and Lateral Integration,” Journal of Political Economy, 94 (4), 691 -719, hlm.
692.
Universitas Indonesia
183
108
HLA Hart (1), op., cit., hlm. 5.
109
Ibid.
Universitas Indonesia
184
110
Andrew E. Taslitz, Reciprocity And The Criminal Responsibility Of Corporations, 41
Stetson Law Review, 73, 2011-2012, hlm. 75.
Universitas Indonesia
185
1. Korporasi Privat
111
Ada juga ahli yang mengelompokkan organisasi menjadi public, private dan non-profit
organization, lihat Herbert Simon, “Rationality in Political Behavior”, Political Economy and
Political Psychology, vol. 16, No. 1, Maret 1995, 45-61. Non profit organization atau social
purpose corporation, seperti organisasi keagamaan, atau organisasi sosial lainnya, sebenarnya
cukup sulit untuk dimasukkan ke salah satu kategorisasi privat atau quasi-publik, tetapi tidak
dibuatkan kategori sendiri dalam disertasi ini tetapi dimasukkan ke dalam private sphere
corporation, untuk memberikan ruang yang cukup dalam pembahasan tanggung jawab pidana
lembaga Negara dan quasi public agencies.
112
Istilah pubic corporation dipakai oleh ahli seperti Roscoe Pound (An Introduction to the
Philosophy of Law). Istilah yang digunakan untuk merujuk kepada public corporation ini juga
berbeda-beda, seperti misalnya public bodies (Criminal Code Canada, Criminal Act New
Zealand), public authority (William G. Brucker dan James E. Rebele, “Fraud at a Public
Authority”), public agencies, public entities (Lenna E. Smith, “Is Strict Liability the Answer in the
Battle against Foreign Corporate Bribery,” Brooklyn Law Review, Vol. 79, No. 4, 2013), public
organizations (Herbert Simon, “Rationality in Political Behavior”, Political Economy and Political
Psychology, vol. 16, No. 1, Maret 1995), legal entity under public law (Swiss Criminal Code),
public law legal person (B.F. Keulen dan E. Gritter, “Corporate Criminal Liability in the
Netherlands,” Corporate Criminal Liability, Springer Netherlands, 2011) .
113
Meir, Dan-Cohen (3), Between Selves and Collectivities: Toward a Jurisprudence of
Identity, University of Chicago Law Review, Vol. 61, Issue 4 (Fall 1994), 1213-1244, hlm. 1216.
Universitas Indonesia
186
114
Christopher Harding, op., cit., hlm. 51.
115
Ibid., hlm. 9.
116
Terminologi enterprise kadangkala digunakan untuk merujuk kepada organisasi jenis
ini. Lihat Christopher Harding, op., cit., hlm. 51
117
Mardjono Reksodiputro berpendapat bahwa kejahatan korporasi merupakan kejahatan
kerah putih (white colar crime) yang memang ditujukan bagi perusahaan yang berskala besar saja
(big business dan konglomerasi), sehingga sebaiknya perusahaan yang berlingkup bisnis kecil
(usaha kecil menengah) tidak perlu dibicarakan pada kejahatan korporasi. Lihat Mardjono
Reksodiputro (1), op., cit., hlm. 699.
Universitas Indonesia
187
diambil oleh organisasi pun akan sangat berkaitan dengan tujuan pemaksimalan
laba tersebut.118
118
Meir Dan-Cohen (1), op., cit., hlm. 17.
119
Muladi dan Dwidja Priyatno, op., cit., hlm. 12-13.
120
Indonesia, Undang-Undang Tentang Perseroan Terbatas, UU No. 40 Tahun 2007, LN
No. 106 Tahun 2007.
121
Salah satu ahli hukum perdata yang berpendapat bahwa korporasi itu adalah perusahaan
yang berbentuk badan hukum khususnya PT adalah Yetty Komalasari Dewi, “Pemikiran Baru
Tentang Persekutuan Komanditer (CV): Studi Perbandingan KUHD dan WvK Serta Putusan-
Putusan Pengadilan Indonesia dan Belanda,” Disertasi, Universitas Indonesia, 2011, hlm. 73.
122
Meir, Dan-Cohen (3), op., cit., hlm. 1216.
123
Hal ini terutama dapat dilihat dengan kepemilikan saham yang tandinya dimiliki oleh
pemilik saham dominan kemudian bisa berpindah tangan kepada investor yang lebih menyebar.
Bahkan ada beberapa perusahaan yang sahamnya dimiliki oleh perusahaan keuangan lain yang
juga mengolah modal yang ada pada mereka, seperti misalnya bank, perusahaan investasi,
perusahaan asuransi atau lembaga pengolah uang pensiun. Pemegang sahamnya adalah organisasi,
sedangkan orang-perorangan yang menyimpan uangnya di lembaga keuangan tersebut tidak
memiliki klaim langsung terhadap kepemilikan saham di perusahaan tersebut. Lihat Meir Dan-
Cohen (1), op., cit., hlm. 19-20.
124
Andrew E. Taslitz, op., cit., hlm. 79.
Universitas Indonesia
188
Hak otonomi dan hak berekspresi dari korporasi modern telah menerima
pengakuan misalnya dalam konstitusi Amerika.126 Korporasi di Amerika
dilindungi oleh Amandemen ke-empat yang menjelaskan bahwa mereka tidak bisa
ditangkap tanpa alasan hukum yang kuat (membuat mereka menjadi bagian dari
“orang” Amerika yang mana kepadanya Amandemen berlaku).127 Amandemen
ke-lima, melarang penuntutan ganda, perampasan properti tanpa pemberian
kompensasi yang sesuai kepada korporasi. Dan pada Amandemen ke-Enam dan
Tujuh, korporasi mendapatkan hak untuk disidang dengan juri dalam kasus pidana
maupun perdata. Demikian juga, korporasi memiliki hak kebebasan berpendapat
sesuai dengan Amandemen Pertama, termasuk hak untuk berpendapat dalam
politik dan perdagangan. Korporasi juga memiliki hak untuk memperoleh
perlindungan yang sesuai berdasarkan Amandemen ke-empat belas.128
125
Ibid., hlm. 75.
126
Pembahasan mendalam mengenai hak konstitusi korporasi di Amerika dapat dilihat
lebih lanjut dalam Brandon L. Garret, (2) “The Constitutional Standing of Corporations,”
University of Pennsylvania Law Review, vol. 163, p. 95, 2014.
127
Termasuk di dalamnya adalah tidak dapat diperiksa dan ditangkap tanpa alasan yang
jelas (unreasonable searches and seizures) dan ketentuan yang melarang penerbitan surat
pemeriksaan kecuali dengan alasan yang kuat (upon probable cause). Beberapa kasus yang
berkaitan dengan pelanggaran ketentuan ini misalnya Camara v. Municipal Court, See v. City of
Seattle. Lihat lebih lanjut Brandon L. Garret, (2) op., cit., hal. 126.
128
Andrew E. Taslitz, op., cit., hlm. 76. Kasus hukum yang paling mencolok dijadikan
rujukan dalam pemberian hak perlindungan yang sama kepada korporasi, sebagaimana hak
perlindungan yang sama diberikan kepada setiap warga Amerika Serikat yang diatur pada
Amandemen ke empat belas Konstitusi Amerika adalah Santa Clara County v. Southern Pacific
Railroad Co., 118 US 394 (1886). Kasus ini merupakan kasus hukum perusahaan yang diperiksa
di Mahkamah Agung Amerika Serikat berkaitan dengan penarikan pajak bagi properti perusahaan
kereta api. Pada tahun 1878 legislator negara Bagian California mengeluarkan aturan baru
berkaitan dengan perpajakan yang tidak mengurungi kewajiban pajak perusahaan dengan hutang,
di mana hak ini diberikan kepada individu. Meskipun dalam kasus ini hakim tidak secara eksplisit
membahas tentang perubahan ke-14 dari konstitusi Amerika Serikat, tetapi dalam pertimbangan
hukumnya hakim menjelaskan bahwa Konstitusi California telah melanggar ketentuan mengenai
perlindungan yang sama bagi setiap warga negara Amerika Serikat, sebagaimana diatur oleh
Amandemen ke-14 Konstitusi Amerika Serikat karena tidak memberikan perlindungan tersebut
kepada perusahaan perkeretaapian dan perusahaan quasi publik yang lainnya.
Universitas Indonesia
189
Hanya sedikit hak yang dimiliki oleh manusia yang tidak dimiliki oleh
perusahaan. Apabila perusahaan diperlakukan sebagaimana layaknya manusia
dengan segala hak-hak yang dimiliki oleh korporasi maka seharusnya kita juga
memperlakukannya seperti manusia yang juga bisa bertanggung jawab secara
pidana apabila mereka berperilaku menyimpang. Banyak kasus hukum baik di
Indonesia maupun di negara lain, yang berkaitan dengan subjek hukum kolektif
yang berbentuk Perusahaan Terbatas (PT). Beberapa kasus di Indonesia akan
dipaparkan sebagai berikut:129
1.. Tindak Pidana PT. DEI adalah perusahaan yang - Putusan PN Bekasi No.
Pencemaran bergerak di bidang pengelolaan 458/Pid.B/2008/PN.Bks tanggal
Lingkungan limbah Cair Bahan Berbahaya 22 Juni 2009:
oleh PT. dan Beracun (B3) yang berdiri o Menyatakan Terdakwa PT.
Dongwoo semenjak 2001, di Cikarang DEI bersalah melakukan
Environmental Utara, Kabupaten Bekasi. PT. tindak pidana “Lingkungan
Indonesia (PT. DEI melakukan pembuangan hidup secara berlanjut”
DEI) yang limbah B3 tanpa pengolahan ke o Menjatuhkan pidana denda
diwakili oleh tanah kosong di daerah kampung sebesar Rp.325 juta, subsider
Kim Young Sempu, Desa Pasir Gembong, 6 bulan kurungan.
Woo sebagai Cikarang Utara, sehingga o Perampasan keuntungan yang
Presiden menyebabkan masyarakat di diperoleh dari tindak pidana
Direktur PT. sekitarnya mengalami kepala dan penutupan PT. DEI
DEI. Terdakwa pusing, tenggorokan kering, - Putusan PT Bandung No.
dalam kasus ini dada sesak, perut mual dan 465/Pid/2009/PN.Bks tanggal 3
adalah Kim muntah-muntah. Desember 2009: Menguatkan
Young Woo. Putusan PN Bekasi.
- Putusan MA No. 862
129
Sampai saat ini belum banyak kasus hukum yang memidana korporasi di Indonesia.
Kasus yang ada pada table 3 adalah kasus hukum yang baru ada di Indonesia sampai saat
penelitian ini dilakukan. Tabel ini dimodifikasi, disunting dan ditambahkan dari tabel yang dibuat
oleh Muladi dan Diah Sulistyani, “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Corporate Criminal
Responsibility),” Edisi ke-2, Cetakan ke-1, (Bandung: Alumni, 2015), hlm. 83-92. Pemaparan
kasus ini tidak hanya digunakan untuk melihat perisitilahan yang digunakan sebagaimana untuk
kepentingan bab ini saja, tetapi juga akan dipakai untuk analisa putusan yang berkaitan dengan
pertanggungjawaban pidana dan sanksi yang dibahas pada Bab IV. Ke sembilan kasus ini dipilih
karena sampai saat ini baru putusan tersebut yang menjadikan korporasi dapat dibebani
pertanggungjawaban pidana dan dijatuhi sanksi pidana.
Universitas Indonesia
190
2..
Tindak Pidana Penyidik Kejaksaan Tinggi - Putusan PN Banjarmasin No.
Korupsi dengan Kalimantan Selatan menetapkan 812/Pid.Sus/2011/PN.BJM
Tersangka PT. PT. GJW sebagai tersangka tanggal 09 Juni 2011, dengan
Giri Jaladhi korporasi karena berperan dan amar:
Wana (PT. juga menikmati segala o Menyatakan PT. GJW telah
GJW) keuntungan dari pembangunan terbukti secara sah dan
dan pengelolaan Pasar Sentra meyakinkan bersalah
Antasari Banjarmasin sehingga melakukan TP korupsi secara
dapat dimintakan berlanjut sebagaimana dalam
pertanggungjawaban pidana. dakwaan primair Ps. 2 (1) Jo.
Ps. 18 Jo. Ps. 20 UU
Pemberantasan Tipikor Jo.
Ps. 64 (1) KUHP.
o Menjatuhkan pidana denda
sebesar Rp.1,3M
o Menjatuhkan pidana
tambahan berupa penutupan
sementara Tersangka PT.
GJW selama 6 (enam) bulan.
- Putusan PT Tipikor Banjarmasin
No. 04/PID.SUS/2011:
Menguatkan putusan PN
Banjarmasin.
- Telah berkekuatan hukum tetap
dan dieksekusi.
Universitas Indonesia
191
Universitas Indonesia
192
5. Tipikor pada PT. CPI sejak tahun 2003 – 2011 - Putusan PN Jakarta Pusat No.
Universitas Indonesia
193
6. Tipikor pada PT. CPI sejak tahun 2003 – 2011 Putusan PN Jakarta Pusat No.
proyek melakukan proses bioremediasi 85/PID.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst,
Bioremediasi (menetralkan tanah dari limbah tanggal 7 Mei 2013:
PT. Chevron minyak mentah) yang proses
Universitas Indonesia
194
- Menjatuhkan pidana
terhadap terdakwa dengan
pidana penjara selama 2
(dua) tahun dan denda
sebesar Rp200.000.000,-
(dua ratus juta rupiah),
subsider dua bulan.
- Menjatuhkan pidana
terhadap terdakwa dengan
pidana penjara selama 5
(lima) tahun dan denda
sebesar Rp200.000.000,-
(dua ratus juta rupiah),
subsider dua bulan.
- Menghukum PT. GPI
membayar uang pengganti
US$3.089.281,26.
Universitas Indonesia
195
7. Tindak pidana PT. API adalah pelaku usaha - Putusan PN Pelalawan No.
Lingkungan perkebunan kelapa sawit di 228/Pid.Sus/2013/PN.PLW
hidup dengan kabupaten Pelalawan dan tanggal 9 September 2014,
tersangka PT. Bengkalis Propinsi Riau. Tindak menyatakan:
Adei Plantation pidana lingkungan hidup berupa o PT. API bersalah melakukan
& Industry (PT. penimbunan anak sungai untuk tindak pidana “karena
API) yang perluasan lahan serta kelalaiannya mengakibatkan
diwakili Tan Kei pembakaran untuk dilampauinya kriteria baku
Yoong sebagai mempersiapkan lahan. Kegiatan kerusakan lingkungan hidup”
Direksi tersebut telah menyebabkan o Pidana denda sebesar Rp.1,5
(Direktur kebakaran yang luas dan Milyar dan pidana tambahan
Regional) menghasilkan kabut asap yang berupa perbaikan akibat
mencemari udara melebihi batas tindak pidana untuk
ambang pencemaran, merusak memulihkan lahan yang
sifat kimia tanah, merusak sifat rusak dengan biaya sebesar
biologi tanah, merusak sifat fisik Rp.15,1 Miliyar.
tanah, merusak aspek flora. - Putusan PT Pekanbaru No.
286/Pid.Sus/2014/PT.PBR
tanggal 13 Januari 2015
menguatkan Putusan PN
Pelalawan.
- Putusan Kasasi MA No.
2042K/Pid.Sus/2015 tanggal 14
Maret 2016: menolak
permohonan kasasi dari penuntut
umum.
8. Tindak Pidana PT. NSP adalah badan usaha - Putusan PN Bengkalis No.
Lingkungan yang bergerak di bidang 547/Pid.Sus/2014./PN.Bls,
Hidup dengan pertanian, pengusahaan hutan, menyatakan:
tersangka PT. usaha pemanfaatan hasil hutan o PT. NSP bersalah melakukan
National Sago bukan kayu pada hutan tanaman tindak pidana “karena
Prima (PT. industri dalam hutan tanaman kelalaiannya mengakibatkan
NSP), yang (Sagu) di Propinsi Riau. dilampauinya kriteria baku
diwakili oleh Melakukan penyiapan lahan kerusakan lingkungan hidup”
Eris Ariaman dengan pembakaran dan sengaja o Menjatuhkan pidana denda
selaku Direktur membiarkan terjadinya sebesar Rp.2 Miliar dan pidana
Utama kebakaran sehingga tambahan berupa kewajiban
mengakibatkan kerusakan tanah melengkapi sarana pencegahan
dan lingkungan. dan penanggulangan
Universitas Indonesia
196
Universitas Indonesia
197
Ada banyak catatan penting berkaitan dengan subjek pelaku pada kasus-
kasus di atas. Di mana, para penegak hukum masih mencampuradukkan
pertanggungjawaban pribadi dari para eksekutif dengan pertanggungjawaban
pidana dari perusahaannya sebagai subjek hukum yang mandiri. Untuk
pembahasan yang lebih mendalam mengenai hal ini akan dilakukan pada bab IV.
Dari pemaparan kasus di atas, dapat dijelaskan bahwa paradigma
pertanggungjawaban korporasi bisnis terutama untuk korporasi yang berbadan
hukum berbentuk PT sudah diterima dalam rezim hukum pidana Indonesia
terutama untuk tindak pidana di bidang lingkungan dan tindak pidana korupsi. Di
Amerika juga bentuk tindak pidana yang paling banyak melibatkan organisasi
adalah tindak pidana lingkungan, sekitar 30 % (tiga puluh persen), diikuti dengan
fraud 21 % (dua puluh satu persen), makanan dan obat-obatan 12 % (dua belas
persen) dari total 118 (seratus delapan belas) organisasi yang dihukum pidana
pada tahun 2015.130
130
US Sentencing Commission, “Organizational Offenders,” Quick Facts, October 2016.
Jumlah ini adalah semua kasus yang diteruskan ke pengadilan, tidak termasuk ke dalam kasus
yang diselesaikan dengan Deffered Prosecution Agreement atau Non-Prosecution Agreement.
Universitas Indonesia
198
131
Jeff Atkitson dan Martin Schurrah, Globalizing Social Justice, The Role of Non-
Governmental Organizations in Bringing About Social Change, (New York: Palgrave Macmillan,
2009), hlm. Viii.
132
Daniel Saulean dan Carmen Epure, “Defining the Nonprofit Sector,” Working Papers of
The Johns Hopkins Comparative Nonprofit Sector Project No. 32, diedit oleh Lester M. Salamon
dan Helmut K. Anheier, (Baltimore: The John Hopkins Institute for Policy Studies, 1998), hlm. 1.
133
Indonesia, Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan, UU No. 17/2013, LN
No. 116 Tahun 2013, TLN No. 5430, Pasal 1 (1).
134
Indonesia, Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan, UU No. 17/2013, LN
No. 116 Tahun 2013, TLN No. 5430, Pasal 10 dan Pasal 11.
135
Ibid., Pasal 10. Pembahasan mengenai organisasi yang tidak berbadan hukum sebagai
subjek hukum pidana akan dibahas pada sub bab berikutnya.
136
Perkumpulan yang dimaksudkan tunduk pada pengertian dan persyaratan formal
sebagaimana yang diatur pada Staatsblad 1870 No. 64 Tentang Perkumpulan-Perkumpulan
Berbadan Hukum (Rechtspersoonlijkheid van Vereenigingen) dan Staatsblad 1939 No. 570
Tentang Perkumpulan Indonesia (Inlandsche Vereniging).
Universitas Indonesia
199
hobi, kesenian dan lain-lain.137 Bentuk yang formal dari CSO biasanya disebut
Non-Government Organization (NGO), yaitu perhimpunan yang secara formal
terorganisir dan merupakan lembaga yang umumnya self-governing, privat dan
non-profit.138 Sebagaimana Jeff Atkitson dan Martin Schurrah menjelaskan bahwa
‘Non-government organizations are a sub-set of CSO.”
137
Tidak termasuk ke dalam pengertian organisasi yang tidak bertujuan kepada profit ini
rumah sakit atau lembaga pendidikan yang bertujuan kepada keuntungan, karena lembaga ini
meskipun memiliki aspek sosial tetapi tujuan utama dari pembentukan organisasinya adalah profit.
Maka secara umum bisa disebut sebagai korporasi privat yang bertujuan kepada keuntungan.
Berbeda dengan RS atau lembaga pendidikan yang didirikan oleh pemerintah yang tujuan
utamanya bukanlah profit tetapi pelayanan umum. Tetapi Lembaga layanan umum ini juga tidak
bisa dimasukkan kepada pengelompokan Organisasi kemasyarakatan, karena lebih cocok masuk
kepada korporasi yang ada di lingkup kuasi publik.
138
Jeff Atkitson dan Martin Schurrah, Globalizing Social Justice, The Role of Non-
Governmental Organizations in Bringing About Social Change, (New York: Palgrave Macmillan,
2009), hlm. Viii.
139
Belanda pertama kali memperkenalkan pertanggungjawaban pidana korporasi pada
tahun 1951 melalui Economic Offences Act yang hanya berlaku untuk tindak pidana di bidang
ekonomi saja. Pada Article 15 dijelaskan bahwa kejahatan ekonomi dapat dilakukan oleh suatu
badan hukum, sehingga badan hukum tersebut dapat diprosekusi dan dihukum secara pidana. Pasal
15 Economic Offences Act ini kemudian dicabut dengan diberlakukannya Penal Code tahun 1976,
yang menjelaskan bahwa badan hukum dapat menjadi subjek hukum pidana secara umum, dan
tidak terbatas hanya pada kejahatan di bidang ekonomi saja. Lihat B.F. Keulen dan E. Gritter,
Corporate Criminal Liability in the Netherlands, (Netherlands: Springer, 2011), 177-191.
Universitas Indonesia
200
person, dapat menjadi pelaku tindak pidana umum dan tidak terbatas hanya pada
tindak pidana di bidang ekonomi saja.140
Namun, ada beberapa negara dengan latar belakang jurisdiksi civil law
yang secara umum mengecualikan organisasi sosial yang tidak berorientasi profit
dari pertanggungjawaban pidana korporasi. Seperti misalnya: Hungaria142 dan
Belgia,143 tidak memasukkan organisasi yang tidak bertujuan ekonomi sebagai
subjek dari hukum pidana. Hal ini karena memang tujuan utama dari
pembentukan pertanggungjawaban pidana korporasi mereka ditujukan secara
spesifik terhadap korporasi yang bertujuan bisnis saja.
140
Article 51 (1) Dutch Penal Code, mejelaskan: “Offences can be committed by natural
persons and legal persons”
141
Indonesia, Undang-Undang Tentang Cagar Budaya, UU No. 11/2010, LN. No. 130
Tahun 2010, TLN. No. 5168, Pasal 113 (1). Meskipun UU ini pada Pasal 101 – 112 menjelaskan
tindak pidana yang ditujukan kepada setiap orang yang apabila dilihat kepada Pasal 1 (35)
termasuk juga adalah kelompok orang, masyarakat dan badan usaha, tetapi sepertinya kelompok
orang dan masyarakat tidak dianggap sebagai subjek hukum yang bertanggung jawab secara
organisasi karena tidak disebutkan sebagai subjek yang bertanggung jawab sesuai dengan Pasal
113.
142
Santha, Ferenc dan Szilvia Dobroesi, “Corporate Criminal Liability in Hungary”, dalam
buku Mark Pieth, Radha Ivory (editors), Corporate Criminal Liability: Emergence, Convergence
and Risk, (London: Springer, 2011), hlm. 318.
143
Ibid.
Universitas Indonesia
201
2. Korporasi Publik
144
Meir, Dan-Cohen (3), op., cit., hlm. 1216.
145
Hasil wawancara dengan Prof. Sutan Remy Sjahdeini, SH., MH., Kamis, 16 Februari
2017, Jakarta.
146
Ibid.
147
Ibid., hlm.1217.
Universitas Indonesia
202
148
Menurut UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, dijelaskan bahwa
terdapat tiga klasifikasi urusan pemerintahan yaitu: urusan pemerintahan absolut, konkuren dan
umum. Urusan pemerintahan absolut adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi
kewenangan pemerintahan pusat, yang meliputi: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi,
moneter dan fiscal nasional, dan agama. Lihat Indoensia, Undang-Undang tentang Pemerintahan
Daerah, UU No. 23/2014, LN No. 244 Tahun 2014. TLN 5587, Pasal 9 Jo. Pasal 10.
149
Machfud Sidik, “Format Hubungan Keuangan Pemerintahan Pusat dan Daerah yang
Mengacu pada Pencapaian Tujuan Nasional”, Paper disampaikan pada Seminar Nasional Public
Sector Scorecard, Jakarta, 2002, hlm. 1.
150
Maitland, op., cit., hlm. 2.
Universitas Indonesia
203
dimiliki oleh negara tersebut terhadap intervensi dari pihak lain. 151 Austin dalam
bukunya The Province of Jurisprudence, menjelaskan bahwa negara “donates the
idividual person or the body of individual persons, which bears the supreme
power in an independent society.”152 Sedangkan teori korporasi sebagaimana telah
dibahas sebelumnya diberikan kepada bentuk-bentuk lembaga keagamaan dan
selanjutnya diberikan kepada kota dan distrik pemerintahan sebagai perpanjangan
tangan dari raja. Dapat dipahami kemudian bahwa sebenarnya negara bersumber
dari teori mengenai state sedangkan kota (municipality) bersumber dari teori
mengenai korporasi.153
Negara sebagai juristic person sudah dikenal sebagai subjek pada hukum
pidana internasional cukup lama. Sanksi hukum internasional, untuk kejahatan
internasional, khususnya perang, biasanya tidak diinterpretasikan sebagai
punishment, namun secara prinsip memiliki karakter yang sama dengan sanksi
dalam hukum pidana, perampasan paksa kehidupan dan kebebasan individu,
sanksi internasional dalam hal ini diberikan kepada negara.154 Mekanisme
internasional melalui International Criminal Court (ICC) baru akan berjalan
setelah mekanisme ditingkat nasional tidak berjalan dengan baik. Misalnya dalam
hal pelanggaran HAM berat di suatu negara, apabila negara tersebut tidak
melakukan suatu langkah yang diperlukan untuk menghukum pelaku atau
menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat tersebut atau malah melindungi
pelaku, barulah kasus tersebut bisa dibawa kepada mekanisme internasional.155
151
Otto. von Gierke, Political Theories of the Middle Age, F. W. Maitland (editor),
(Cambridge: Cambridge University Press, 1900), hlm. xiii.
152
J. Austin, The province of jurisprudence determined, W. E. Rumble (editor),
(Cambridge: Cambridge University Press, 1995, reprinted 2001), hlm. 190.
153
Kelsen memiliki pandangan yang agak berbeda mengenai hal ini, menurut beliau, negara
adalah suatu fenomena hukum, yaitu suatu juristic person, sebagaimana korporasi. Walaupun
Kelsen berpendapat bahwa karakteristik pembentukan dari Negara dan korporasi adalah sama,
namun kemudian Kelsen menjelaskan bahwa terdapat perbedaan yang mendasar antara Negara
dengan korporasi privat lainnya, yaitu “normative order that constitutes the State corporation.”
Dan kemudian Kelsen menjelaskan bahwa Negara adalah “community created by a national legal
order.” Lihat Hans Kelsen (1), op., cit., hlm. 181.
154
Hans Kelsen (1), op., cit., hlm. 106.
155
Andrey Sujatmoko, Tanggung Jawab Negara Atas Pelanggaran Berat HAM, (Jakarta:
Grasindo, 2005), hlm. 4-5. Meskipun banyak perdebatan juga mengenai pertanggungjawaban
pidana Negara dalam konteks hukum internasional, sebagaimana diulas misalnya oleh Geoff
Gilbert, “The Criminal Responsibility of State,” International and Comparative Law Quarterly,
vol. 39, No. 2, April 1990, pp. 345-369, Johan D. van der Vyver, “Prosecution and Punishment of
Universitas Indonesia
204
Ada beberapa negara yang secara tegas menjadikan negara sebagai subjek
hukum pidana nasionalnya dengan tidak membedakan negara dengan bentuk
organisasi privat lainnya. Seperti misalnya Canada,157 yang secara tegas
menyatakan bahwa the Crown, public body, municipality berada di posisi yang
sejajar dengan organisasi privat lainnya. New Zealand dalam Criminal Act 1961,
Section 2 bagian Interpretation juga secara tegas menyatakan bahwa Crown and
any public body or local authority termasuk ke dalam subjek hukum dalam
Criminal Act nya. Norwegia, Denmark dan Irlandia juga memperlakukan sama
korporasi publik baik yang ada di pemerintahan pusat maupun yang ada di daerah
the Genocide,” Fordham International Law Journal, vol. 23, 1999, 286. Namun, pembahasan
mengenai hal ini tidak akan dilakukan lebih mendalam pada disertasi ini.
156
Lihat misalnya pembahasan yang dilakukan oleh Penny Green dan Tony Ward, State
Crime: Governments, Violence and Corruption, (London, UK: Pluto Press, 2004), hal. 5. Alan
Doig, State Crime, (Oxon, UK: Willan Publishing, 2011), David, O. Friedrichs, State Crime,
Volume I: Defining, Delineating and Explaining State Crime, (Aldershot, UK: Ashgate, 1998).
Meskipun dalam penjabarannya banyak literatur menggabungkan kejahatan yang dilakukan oleh
Negara baik dalam konteks hukum pidana nasional maupun dalam konteks hukum pidana
internasional.
157
Sebagaimana telah diuraikan pada sub-bab “Perbandingan Pemaknaan dan Penggunaan
Istilah Korporasi” di atas, Canada dalam Criminal Code-nya, pada Section 2, 21 menjelaskan Her
Majesty, Public body and Municipality termasuk ke dalam organisasi yang dilis termasuk dalam
pengertian everyone, person, and owner, and similar expression.
Universitas Indonesia
205
Ada juga beberapa negara yang secara umum tidak menerima negara
sebagai subjek hukum pidana nya, tetapi menerima pertanggungjawaban pidana
158
Mark Bovens, “Analysing and Assessing Accountability: A Conceptual Framework,”
European Law Journal, vol. 13, No. 4, July 2007, 447-468, hal. 458.
159
John A. E. Vervaele, “Societas/Universitas Can be Guilt and Punished: 60 Years of
Experience in The Netherlands,” Derecho comparado y Derecho comunitario, Estudios de
Derecho Judicial, 115, Madrid, 2007, 11-64.
160
277 US 438 (1928), dikutip dari Nicholas Seddon, Government Contracts: Federal,
State and Local, Fourth Edition, (Australia: The Federation Press, 2009), hlm. 16.
Universitas Indonesia
206
Prinsip dasarnya negara dan lembaga negara tidak mungkin dituntut secara
pidana,165 dan negara tidak bisa menjadi subjek dari sanksi pidana, kecuali
dinyatakan secara eksplisit dalam ketentuan UU.166 Ada beberapa UU yang
memang secara tegas menyatakan bahwa korporasi publik termasuk kedalam
subjek hukum dari ketentuan tersebut.
161
Di beberapa negara tindak pidana yang menjadi perhatian penting terhadap kejahatan
yang dilakukan oleh korporasi baik privat maupun publik misalnya isu lingkungan, isu
pembunuhan (corporate killing, atau isu tentang kesehatan dan keamanan kerja), isu korupsi, isu
terorisme dan lain-lain.
162
Dalam kasus United States v. Lee, 106 U.S. 196 (1882) hakim menjelaskan bahwa
doktrin mengenai kekebalan penguasa (sovereign immunity) dari proses hukum adalah doktrin
yang diakui dan berasal dari Inggris dan juga berlaku di Amerika. Dikutip dari John Lobato dan
Jeffrey Thedore, “Federal Soverign Immunity,” Harvard Law School Federal Budget Policy
Seminar, Briefing Paper No. 21, hlm. 3.
163
George W. Pugh, “Historical Approach to the Doctrine of Sovereign Immunity,”
Louisiana Law Review, vol. 13, 1953, 476-494, hlm. 476.
164
Ibid., hlm. 478. Crown diartikan sebagai sumber dari kekuasaan yang dimiliki oleh tiga
tangan penyelenggara negara, eksekutif, legislatif dan yudikatif. Namun Crown tidak hanya
terbatas pada pemerintahan pusat saja, seperti misalnya di Australia, terdapat enam States dan satu
Pemerintahan Federal, setiap State dan Federal memiliki Crown atau pemimpin masing-masing.
Untuk States, Crown biasanya mengacu kepada gubernur sebagai perpanjangan tangan dari
Penguasa (the sovereign). Lihat Victorian Law Reform Commission, op., cit., hlm. 6.
165
Sara Sun Baeale, “A Response to the Critics of Corporate Criminal Liability,” American
Criminal Law Review, vol. 46, 2009,1482, hlm. 1496.
166
Nicholas Seddon, op., cit., hlm. 215. Untuk Australia, prinsip ini diikuti oleh hakim
dalam memutus beberapa kasus di High Court, seperti misalnya kasus Cain v Doyle (1946), 72
CLR 409, 425, Hakim Dixon menjelaskan: “The principle that the Crown cannot be criminally
liable for a supposed wrong… provides a rule of interpretation which must prevail over anything
but the clearest expression of intention.” Dikutip dari Victorian Law Reform Commission, op.,
cit., hlm. 8.
Universitas Indonesia
207
Belanda juga sampai saat ini masih memberikan imunitas kepada negara
dari prosekusi hukum pidana. Penal Code Belanda tidak secara jelas
mengecualikan negara dari pengertian badan hukum yang bisa menjadi subjek
hukum pidananya, namun juga tidak secara tegas merinci bahwa negara termasuk
ke dalam pengertian legal person pada Article 51 Penal Code. Sehingga dalam
penjabaran lebih lanjut terjadi di pengadilan mengenai kemungkinan apakah
negara bisa menjadi subjek hukum pidana atau tidak. Dalam putusan pengadilan,
masih dianut pemahaman bahwa negara tidak bisa diprosekusi dalam rezim
hukum pidana. Sebagaimana putusan Supreme Court Belanda pada suatu tindak
167
Departemen atau Badan Pemerintah yang termasuk ke dalam pengertian organisasi
dijelaskan pada Schedule 1 yang merupakan lampiran tidak terpisahkan dari Chapter 19 ini,
disebutkan beberapa Badan dan Department seperti: Attorney General’s Office, Cabinet Office,
Central Office of Information, Crown Office and Procurator Fiscal Service, Crown Prosecution
Service Department for Communities and Local Government, Department for Constitutional
Affairs (including the Scotland Office and the Wales Office), Department for Culture, Media and
Sport Department for Education and Skills, Department for Environment, Food and Rural Affairs
Department for International Development Department for Transport, Department for Work and
Pensions Department of Health, Department of Trade and Industry Export Credits Guarantee
Department Foreign and Commonwealth Office, Forestry Commission, General Register Office
for Scotland Government Actuary’s Department Her Majesty’s Land Registry, Her Majesty’s
Revenue and Customs Her Majesty’s Treasury, Home Office, Ministry of Defence, National
Archives, National Savings and Investments, Office for National Statistics, Office of the Deputy
Prime Minister, Office of Her Majesty’s Chief Inspector of Education and Training in Wales,
Ordnance Survey, Privy Council Office, Public Prosecution Service for Northern Ireland Registers
of Scotland Executive Agency Revenue and Customs, Scottish Executive, Serious Fraud Office,
Treasury Solicitor’s Department, UK Trade and Investment, Welsh Assembly Government.
168
Kepolisian dianggap sebagai instansi yang paling sering berhubungan dan
bersinggungan dengan masyarakat sehingga dilihat paling mungkin untuk bisa melakukan
kejahatan terhadap masyarakat, misalnya pelanggaran terhadap hak asasi manusia, pembunuhan
terhadap anggota masyarakat yang tidak bersenjata, dan lain-lain. Lihat Alan Doig, op., cit., hlm.
26.
169
United States, Solid Waste Disposal Act, 42 U.S.C (Amended 2002), Sec 1004 (15)
Universitas Indonesia
208
Di Belanda beberapa waktu yang lalu ada suatu usulan dari anggota
parlemen Belanda untuk memberikan kepastian hukum mengenai kedudukan
negara dalam hukum pidana. Usulan tersebut akan memasukkan klausul mengenai
kemungkinan negara dan korporasi publik lainnya bisa menjadi subjek hukum
pidana sejajar dengan korporasi privat dengan menambahkan subsection pada
Article 51 Dutch Penal Code. Apabila usulan ini diterima, maka kemudian, negara
dan termasuk lembaga-lembaga negara yang saat ini masih imun dari prosekusi
hukum pidana dapat bertanggung jawab pidana sebagai subjek hukum yang
madiri.173 Namun pada Juli 2016 usulan ini ditolak dengan alasan bahwa
pertanggungjawaban negara adalah secara politik dan bukan melalui mekanisme
hukum pidana.174
170
HR 25 Januari 1994, NJ 1994, 598. Lebih dikenal dengan Volkel Case. Kasus posisi nya
adalah pada suatu Military airport Volkel milik Kementrian Pertahanan dinyatakan telah
melakukan polusi karena kebocoran minyak dari tangki penampungan (pelanggaran terhadap
Article 14 Law of Protection of Soil), putusan Court of Hertogenbosch, 1 February 1993, NJ 1993,
256, menyatakan bahwa negara bertanggung jawab tetapi tidak dapat diberikan sanksi pidana.
Kemudian putusan Hoge Raad menyatakan negara adalah imun dari prosekusi hukum pidana,
tetapi menyatakan bahwa negara melalui Kementrian pertahanan harus mempertanggungjawabkan
perbuatannya kepada parleman.
171
Putusan pengadilan yang menyatakan bahwa pertanggungjawaban negara seharusnya
diprioritaskan dilakukan secara politik dan adiminstratif. Tweede Kamer, “Strafrechtelijke
aansprakelijkheid van overheidsorganen/Criminal Liability of Public bodies,” Letter of the
Minister of Justice, 2000 – 2001, 25294. Dikutip dari Vervaele, op., cit.
172
Lihat Keulen and Gitter, op., cit., hlm.188.
173
Ibid.
174
Hasil wawancara dengan Prof. Henk Kummeling (distinguished University Professor at
Utrecht University), Kamis, 6 April 2017, Depok.
Universitas Indonesia
209
“This act shall not apply to the State of Hungary, foreign states, the
institutions listed in the Constitution of the Republic of Hungary, the Office
of the National Assembly, the Office of the President of the Republic, the
Office of the Ombudsmen, and any bodies which are, according to the law,
responsible for tasks of governance, public administration and local
government administration, and international organizations established
under international agreements.”
175
Maitland, op., cit., hlm. xxv.
176
Hasil diskusi dengan Prof. John Vervaele, Profesor in Economic and European Criminal
Law, pada bulan September 2014, di Law, Economics and governance Faculty, Utrecht University,
Belanda.
177
David Roef, Strafbare Overheden: Een Rechtsvergelijke Studie naar de Strafrechtelijke
aansprakelijkheid van Overheden voor Milieuverstoring (summary in English), (Groningen, the
Netherlands: 2001), hlm. 592.
Universitas Indonesia
210
178
Misalnya Victorian Crimes (Workplace Deaths and Serious Injuries) Bill 2001.
Universitas Indonesia
211
negara sepakat bahwa negara tidak termasuk dalam pengertian person, yang
kepadanya berlaku ketentuan hukum. Termasuk di dalamnya adalah klaim
mengenai negara lah yang merupakan sumber hukum utama yang mendefinisikan
mengenai perbuatan apa yang bisa dipidana, dan sistem hukum seperti apa yang
perlu dibuat untuk menegakkan suatu ketentuan, mulai dari proses prosekusi
sampai ajudikasi.179 Adapun alasan-alasan yang dijelaskan untuk tidak bisa
menerima negara sebagai subjek hukum pidana ini adalah: 1) adanya doktrin
kekebalan hukum dari penguasa (Crown immunity) yang berkembang pada negara
dengan jurisdiksi common law, 2) bahwa sistem hukum pidana yang ada, tidak
sesuai dan tidak memungkinkan untuk menjadikan negara bertanggung jawab di
dalam hukum pidana,180 3) banyak dari lembaga negara yang tidak memiliki
identitas hukum terpisah untuk kepentingan prosekusi, karena mereka memiliki
personalitas atau identitas hukum yang sama dengan negara, tidaklah
memungkinkan untuk memprosekusi diri sendiri,181 4) ada banyak bentuk dari
penyimpangan yang dilakukan oleh korporasi publik yang tidak bisa
dikategorikan sebagai kejahatan, karena bertujuan untuk menjalankan fungsi
pemerintahan yang bertujuan untuk mengembangkan dan melindungi
kesejahteraan umum.182
Namun, doktrin mengenai crown immunity ini mengalami erosi dan mulai
tergerus.183 Perkembangan yang kontemporer terhadap isu ini adalah korporasi
publik dan korporasi privat diperlakukan sama ketika melakukan perbuatan yang
dapat diberikan sanksi pidana, mereka dapat dimintai pertanggungjawabannya
secara pidana. Adapun beberapa dasar penting untuk tidak bisa menerima
imunitas yang diberikan kepada korporasi publik antara lain: 1) prinsip persamaan
kedudukan di hadapan hukum (equality before the law) membuat semua subjek
hukum dapat bertanggung jawab atas perbuatan menyimpang yang dilakukannya.
179
Alan Doig, op., cit., hlm. 32.
180
Ibid.
181
Sara Sun Baeale, op., cit., hlm. 1496.
182
Alan Doig, op., cit., 21.
183
Brent Fisse and John Braithwaite, Corporation, Crime and Accountability, (Cambridge,
UK: Cambridge University Press, 1993), hlm. 215. Hal ini juga dapat dilihat dengan
perkembangan beberapa negara seperti Canada yang secara tegas menerima negara sebagai subjek
hukum pidana pada Criminal Act nya, ataupun usulan untuk tidak mengecualikan Negara dari
subjek hukum pidana yang saat ini sedang diusulkan oleh parlemen di Belanda.
Universitas Indonesia
212
Terlepas latar belakang apapun yang dimiliki oleh subjek hukum tersebut, apakah
organisasi publik atau privat, 2) Pemerintah adalah teladan dan contoh bagi subjek
hukum yang lainnya, bagaimana mungkin memaksakan suatu aturan kepada
organisasi privat apabila yang membuat aturan sendiri tidak mematuhi atau imun
dari sanksi yang ada apabila yang bersangkutan tidak mematuhi aturan tersebut, 3)
prosekusi terhadap diri sendiri bukanlah hal yang aneh dilakukan karena proses
evaluasi dan koreksi bisa dilakukan baik dari luar ataupun dari dalam diri sendiri,
sehingga alasan yang menyatakan bahwa negara vs negara adalah hal yang tidak
mungkin dilakukan kurang bisa diterima,184 4) kekuasaan yang tanpa batas yang
dimiliki oleh negara bisa mengakibatkan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh
negara dan institusi publik, sehingga harus ada satu mekanisme untuk dapat
mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan mekanisme yang lebih
terbuka dan terukur, tidak cukup hanya pertanggungjawaban politik dan
adminstratif.
184
Lihat David Roef, op., cit., hlm. 594.
185
Ibid.
Universitas Indonesia
213
Merupakan hal yang harus diakui, bahwa organisasi publik adalah juga
pihak yang ikut dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam berinteraksi satu dengan
yang lainnya suatu subjek hukum bisa melakukan perbuatan yang dapat dikenakan
sanksi pidana,186 tidak terkecuali adalah organisasi publik atau organisasi privat.
Perlu diakui bahwa pemberian kekebalan hukum kepada organisasi publik dalam
menjalankan aktifitasnya merupakan suatu ketidakadilan yang akan memicu
terjadinya keseweng-wenangan.
186
Menurut Prof. Adrianus Meliala, apabila negara menguat, maka bentuk kejahatan dan
penyimpangan oleh negara biasanya berupa tindakan aktif (commission) dalam hal melanggar hak-
hak warga negara, namun, apabila negara berada dalam posisi yang lemah terhadap warga negara,
biasanya kejahatan dan penyimpangan negara justru berupa pembiaran (omission) terkait dengan
kejahatan yang dilakukan oleh pihak-pihak lain, khususnya yang berada pada level messo-mikro.
Varian kejahatan negara bisa berupa korupsi, kejahatan hasil kolaborasi antara korporasi bisnis
dengan korporasi publik, kejahatan terorganisasi, teror oleh negara, kejahatan perang, genosida,
krisis karena penanganan yang tidak tepat oleh negara, dan lain-lain. Lihat Adrianus Meliala,
“Kejahatan Negara: Pendekatan Sistem dalam Negara,” dalam Sri Windarti (editor), Mardjono
Reksodiputro: Pengabdian Seorang Guru Besar Hukum Pidana, (Depok: Badan Penerbit FHUI,
2007), hlm. 2-6.
187
Hasil wawancara dengan Prof. Sutan Remy Sjahdeini, SH., MH., Kamis, 16 Februari
2017, Jakarta.
188
Mengenai perbuatan yang mana saja yang bisa diberikan sanksi kepada korporasi publik,
cukup beragam di beberapa negara, tergantung kepentingan dari negara yang bersangkutan,
Universitas Indonesia
214
lembaga yang mana saja. Sehingga pendekatan yang paling tepat untuk diterima
adalah pada prinsipnya negara dan lembaga-lembaga krusial dari fungsi
pemerintahan seharusnyalah mendapatkan kekebalan dari proses prosekusi hukum
pidana, tetapi dalam perbuatan tertentu juga seharusnya dimungkinkan untuk
dimintai pertanggungjawaban pidana, tertutama apabila penyelesaian melalui
rezim hukum yang lain dirasa kurang maksimal.
Lembaga yang mana saja yang bisa disebut sebagai negara dan rantai
komando seperti apa yang ada di dalam organisasi negara sehingga dapat
dikatakan sebagai suatu perbuatan menyimpang dari organisasi tersebut dapat
disebut sebagai kejahatan organisasi, yang dapat dimintai pertanggungjawabannya
kepada negara. Berkaitan dengan hal ini, Belanda memberikan perpanjangan
kekebalan proses hukum pidana kepada lembaga-lembaga negara yang diatur di
dalam Konstitusinya (constitutional public corporation). Sehingga yang masuk ke
dalam pengertian negara yang perlu diberikan kekebalan hukum dalam
menjalankan fungsinya hanyalah lembaga-lembaga yang dijamin oleh konstitusi
saja. Alasan yang diberikan oleh hakim dalam menjelaskan imunitas yang
diberikan kepada institusi pemerintah adalah karena mereka menjalankan kegiatan
utama dari negara (core business of the state) sehingga mereka perlu mendapatkan
perlindungan dari prosekusi pidana.189
beberapa negara misalnya memberikan pengaturan mengenai kejahatan lingkungan (di Belanda
kebanyakan kasus yang berkaitan dengan korporasi publik adalah kejahatan di bidang lingkungan),
pembunuhan oleh organisasi, keamanan, kesehatan dan kesejahteraan pegawai (Inggris dan
Australia misalnya, punya UU khusus yang mengatur tentang keselamatan kerja yang dilakukan
oleh organisasi baik itu adalah organisasi privat atau publik), terorisme, korupsi dan lain-lain.
189
Hasil diskusi dengan Prof. John Vervaele, Profesor in Economic and European Criminal
Law, pada bulan September 2014, di Law, Economics and governance Faculty, Utrecht University,
Belanda.
190
Indonesia, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, BAB II.
191
Ibid., BAB III
192
Ibid., Pasal 17. Termasuk di dalam nya adalah Kejaksaan Agung dan Sekretaris Kabinet
yang merupakan lembaga setingkat menteri.
193
Ibid., BAB VI: Pasal 18 – 18B.
Universitas Indonesia
215
194
Ibid., BAB VII: Pasal 19 – Pasal 22B.
195
Ibid., BAB VIIA: Pasal 22C – Pasal 22D.
196
Ibid., Pasal 22E .
197
Ibid., Pasal 23D. Menurut Pasal 4 UU No. 23 Tahun 1999 jo. UU No. 3 Tahun 2004
Tentang Bank Indonesia, menjelaskan Bank Indonesia adalah Bank sentral Republik Indonesia.
Bank Indonesia adalah badan hukum, lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-
hal yang secara tegas diatur dalam UU. Dalam penjelasan Ps. 4 (3) disebutkan bahwa diberikannya
status badan hukum kepada Bank Indonesia adalah untuk memberikan kejelasan wewenang Bank
Indonesia untuk mengelola kekayaan sendiri yang terlepas dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara. Dijelaskan juga bahwa Bank Indonesia adalah badan hukum publik yang berwenang
menetapkan peraturan dan mengenakan sanksi dalam batas kewenangannya.
198
Indonesia, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, Pasal 24 – Pasal 24A
199
Ibid., Pasal 24B
200
Ibid., Pasal 24C
201
Ibid., Pasal 30
202
Khusus untuk Pemerintahan Daerah tidak mendapatkan imunitas dari prosekusi pidana
di Belanda dan di beberapa negara lain yang mengecualikan negara dari proses pidananya.
Mengenai hal ini akan dibahas lebih lanjut pada sub-bab selanjutnya.
203
Lembaga Pemerintah Non-Departemen, dulu disebut Lembaga Pemerintah Non-
Departemen (LPND)
204
Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, “Kelembagaan,”
dapat diakses pada www.menpan.go.id/kelembagaan
Universitas Indonesia
216
205
Ibid.
206
Henk R.B.M. Kummeling dan Ton P.W. Duijkersloot, “Agencies and the Netherlands”,
dalam Luc Verhey dan Tom Zwart (editor), Agencies in European and Comparative Perspective,
(Antwerp, Belgium: Intersentia, 2003), hlm. 106.
207
Ibid., hlm.107.
Universitas Indonesia
217
sangat penting untuk mempertegas bahwa negara dan lembaga negara adalah
dikecualikan dari pengertian “setiap orang” yang terdapat dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana.
Namun, memang tidak dapat dipungkiri ada beberapa tindak pidana yang
seharusnya memungkinkan korporasi publik dapat bertanggung jawab secara
pidana. Indonesia secara umum telah mengakomodir hal ini, setidaknya terdapat 6
(enam) buah UU yang memungkinkan korporasi publik bertanggung jawab secara
pidana dan diperlakukan sama dengan korporasi privat. Misalnya dalam UU No.
14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik, memungkinkan badan
publik untuk dapat bertanggung jawab secara pidana dengan tujuan memastikan
akuntabilitas dan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan administrasi
publik yang dijalankan. Badan publik menurut pengertian UU ini sangat luas
mencakup hampir semua lembaga negara bahkan penyelenggara negara yang ada
di tingkat daerah dan organisasi yang tidak sepenuhnya dibentuk oleh negara.
Sebagaimana UU tersebut menjelaskan pengertian badan publik sebagai
berikut:208
“Badan publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan
lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan
negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN
dan/atau APBD, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau
seluruh dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD, sumbangan
masyarakat, dan/atau luar negeri.”
Dapat digarisbawahi bahwa UU ini menggunakan istilah badan publik dan
bukan badan hukum publik atau korporasi publik. Pengertian badan publik yang
diadopsi oleh UU ini sangat luas bahkan tidak hanya badan hukum tetapi juga
organisasi yang tidak berbadan hukum sepanjang memenuhi syarat sebagaimana
dijabarkan dalam pengertian UU ini, dan juga memasukkan Badan Usaha Milik
Negara,209 Partai Politik,210 dan organisasi nonpemerintah. Apabila dijabarkan
kriteria yang dianut UU ini untuk mengkategorikan pengertian badan publik
adalah: a) lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, b) badan lain yang fungsi dan
tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau
208
Indonesia, Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, UU No. 14 Tahun 2008,
LN. No. 61 Tahun 2008, TLN. No. 4846, Pasal 1 (3).
209
Ibid., Pasal 14.
210
Ibid., Pasal 15.
Universitas Indonesia
218
Ketentuan pidana dari undang-undang ini diatur pada Pasal 273 yang
menjelaskan bahwa penyelenggara jalan yang tidak segera melakukan perbaikan
jalan dan mengakibatkan kecelakaan lalu lintas sebagaimana diatur pada Pasal 24
UU ini, dapat dipidana dengan penjara atau denda.
Universitas Indonesia
219
Universitas Indonesia
220
212
Istilah Municipal Corporation menunjukkan bahwa pada awalnya memang
pemerintahan kota dibentuk dengan konsep korporasi. Misalnya pada tahun 1835 Inggris
membentuk Municipal Corporations Act 1835 untuk melakukan reformasi terhadap Borough yang
ada di England dan Wales. Selanjutnya Municipal Corporations Act 1882 mempertegas dan
memperjelas kekuasaan yang dimiliki oleh pembuat ketentuan yang ada di daerah-daerah. Lihat
HLA. Hart (2), The Concept of Law,” Second Edition, Postscript diedit oleh Penelope A. Bulloch
dan Joseph Raz, (Oxford: Clarendon Press, 1994), hlm. 31.
213
Australia memiliki enam States, setiap State memiliki Crown atau pemimpin masing-
masing. Untuk States, Crown biasanya mengacu kepada gubernur sebagai perpanjangan tangan
dari Penguasa (the sovereign). Lihat Victorian Law Reform Commission, op., cit., hal. 6.
214
John F. Dillon, The Law of Municipal Corporation, Second edition – Revised and
Enlarged, Vol. 1, (New York, US: James Cockcroft & co, 1873), hlm. x.
Universitas Indonesia
221
“Moral persons (Les personnes morales), with the exception of the State,
are criminally liable for the offenses committed on their account by their
organs or representatives according to the distinctions set out in articles
121-4 and 121-7.
However, local public authorities and their associations incur criminal
liability only for offences committed in the course of their activities which
may be exercised through public service delegation conventions.”
Universitas Indonesia
222
Namun, otoritas publik lokal dan asosiasinya yang lain dapat bertanggung
jawab dalam hukum pidana hanya untuk tindak pidana yang dilakukan
untuk menjalankan aktivitas yang mungkin bisa dilakukan melalui
konvensi pendelegasian pelayanan publik.)
217
HR 6 January, NJ 1998, 367. Kasus Pikmeer II ini, merupakan pembahasan kasus yang
sama dengan kasus Pikmeer I. Mahkamah Agung Belanda menjelaskan lebih jauh bahwa tindakan
pemerintah secara umum dapat dibagi dua, yang pertama adalah tindakan pemerintah yang bersifat
administratif pemerintahan dan yang kedua adalah tindakan pemerintah yang secara prinsip dapat
diprivatisasi. Dalam kasus ini hakim menjelaskan bahwa normalisasi sungai merupakan tugas
pemerintah yang bersifat adminstratif, tetapi pembuangan lumpur yang terkontaminasi untuk
melakukan penghematan biaya merupakan tindakan pemerintah yang dapat diprivatitasikan kepada
pihak swasta. Aktifitas kedua ini menurut hakim dalam kasus ini dapat dituntut secara pidana.
218
David Roef, op., cit., hlm. 592.
219
HR 23 Oktober 1990, NJ 1991, 496. (City of Voorburg Case)
220
HR. 8 July 1992, NJ 1993, 12.
221
HR 23 April 1996, NJ 1996, 513. Kasus pencemaran lingkungan, pembuangan bekas
kerukan di pinggir sungai Pikmeer di province of Friesland, yang mempertanyakan
pertanggungjawaban pidana pemerintahan Kota Boornsterhem dan Water Management West-
Friesland. Mahkamah Agung Belanda menyatakan bahwa pemerintahan kota menjalankan
aktifitas untuk kepentingan umum sehingga mereka tidak bertanggung jawab secara pidana.
Universitas Indonesia
223
Sejalan dengan putusan Hoge Raad di atas, dalam kasus yang melibatkan
Municipality of Tilburg,222 Hoge Raad juga berpendapat sama. Dalam kasus ini
Pemerintah kota Tilburg membangun polisi tidur (speed retarders) tanpa
pertimbangan dan pengkajian yang matang. Hoge Raad menjelaskan tindakan
yang dilakukan oleh pemerintah kota berkaitan dengan fungsi pemerintahan untuk
menjamin keamaan dari masyarakat. Sehingga, pemerintah kota tidak dapat
dinyatakan bertanggung jawab.
222
HR. 8 July 1992, NJ 1993, 12. (City of Tilburg Case)
223
HR 23 April 1996, NJ 48, 513. (City of Urk Case)
224
John A. E. Vervaele, op., cit.
Universitas Indonesia
224
225
HR 6 January 1998, NJ 1998, 367.
226
Henk R.B.M. Kummeling dan Ton P.W. Duijkersloot, op., cit., hlm.106
227
David Roef, op., cit., hlm. 593.
228
Pemerintah kota Enschede dianggap lalai dalam melakukan pengawasan terhadap
penimbunan bahan berbahaya yang melebihi standar keamanan, dalam kejadian ini terjadi ledakan di
S.E. Fireworks, perusahaan yang menyimpan dan membuat kembang api, pada hari Sabtu, tanggal 13
Mei 2000, ledakan tersebut mengakibatkan 22 (dua puluh dua) orang meninggal, dan lebih dari 1000
(seribu) orang terluka. Meskipun dalam kasus ini pengadilan berpendapat pemerintah kota tidak
dapat dimintai pertanggungjawaban karena kelalaian tersebut. Pembahasan cukup mendalam
mengenai kasus ini dapat dibaca pada Renee Huijsmans dan Gerrit van Maaner, “Supervisors’
Liability: The Dutch Fireworks Case: A Comparative Study between the Netherlands, The the United
Kingdom and Germany on State Liability in Case of Failure of Supervision,” Maastricht Journal of
European and Comparative Law, vol. 16, issue 4, 2009. Lihat juga K.J. de Graaf dan J.H. Jans,
“Liability of Public Authorities in Cases of Non-Enforcement of Environmental Standards,” Pace
Environmental Law Review, vol. 24, Issue 2, Summer 2007, Article 3, 377-398.
229
Kebakaran yang terjadi pada malam tahun baru 2001 pada tiga buah pub di kota
Volendam, yang mengakibatkan 14 (empat belas) orang meninggal dan 200 (dua ratus) orang lebih
terluka.
230
Roel De Lange, “Political and Criminal Responsibility,” Electronic Journal of
Comparative Law, vol. 6, no. 4, 2002, 305-325, hlm. 319.
Universitas Indonesia
225
telah terjadi privatisasi atas kegiatan tersebut maka korporasi publik seharusnya
dapat bertanggung jawab dan dapat dipidana.231
231
Muladi dan Dwidja Priyatno, op., cit., hlm. 134.
Universitas Indonesia
226
232
Lihat Grant McConnell, Private Power and American Democracy (New York, US:
Knopf, 1966); John Kenneth Galbraith, The New Industrial State, 4th edition, (Houghton Mifflin:
1971). Untuk pembahasan mengenai fenomena dalam konteks teori hukum lihat Roberto
Mangabeira Unger, Knowledge & Politics (New York, USA: Free Press, 1976).
233
Meir, Dan-Cohen (3), op., cit., hlm. 1216.
234
Indonesia, Undang-Undang tentang Badan Usaha Milik Negara, UU No. 19 Tahun
2003, LN No. 70 Tahun 2003, Pasal 1 (1), menjelaskan pengertian BUMN adalah badan usaha
yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara
langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
235
Indonesia, Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. UU No. 23/2014. LN No.
244 Tahun 2014. TLN 5587, Pasal 1 (40), menjelaskan BUMD adalah badan usaha yang seluruh
atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh daerah.
236
Indonesia, Undang-Undang tentang Badan Usaha Milik Negara, UU No. 19 Tahun
2003, LN No. 70 Tahun 2003, Pasal 1 (1).
Universitas Indonesia
227
237
Yesmil Anwar dan Adang, Kriminologi (Bandung: Refika Aditama, 2010), hlm. 222.
238
Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tentang Pengelolaan Keuangan
Badan Layanan Umum, PP No. 23 Tahun 2005, Lembaran Negara Tahun 2005 No. 48, Tambahan
Lembaran Negara No. 4502, Pasal 1 (1).
239
Indonesia, UU Darurat Tentang Pajak Peredaran, UU Darurat No. 12 Tahun 1950,
penjelasan Pasal 2.
Universitas Indonesia
228
240
Meskipun kedudukan BUMN masih menjadi perdebatan baik di kalangan ahli hukum
maupun di kalangan penegak hukum (berdasarkan wawancara dengan Hakim Tinggi Heru
Pramono, SH., MH, pada tanggal 31 Mei 2016 di Pengadilan Tinggi Jakarta). Pasal 2 huruf g
Undang-Undang Keuangan Negara, UU No. 17 Tahun 2003, menjelaskan keuangan Negara
termasuk adalah “kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain
berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang,
termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah.” Pengertian ini
terlalu luas sehingga keuangan BUMN masih dianggap sebagai kekayaan Negara, apabila ada
hutang dan piutang dari BUMN apakah akan menjadi hutang dan piutang Negara. Apabila BUMN
dipailitkan harus dengan keputusan Menteri Keuangan, apakah Menteri keuangan akan
memailitkan BUMN yang mana pemegang sahamnya adalah juga Menteri Keuangan? Tidak hanya
Universitas Indonesia
229
Apabila melihat kepada praktek dan ketentuan yang secara umum diterima
di Belanda, korporasi kuasi pemerintah tidak mendapatkan imunitas sebagaimana
negara atau pemerintahan daerah mendapatkan perlakuan khusus. Suatu putusan
Hoge Raad nya di tahun 1987 menjelaskan bahwa universitas pemerintah tidak
imun dari proses pidana sebagaimana negara memiliki kekebalan. 242 The
University of Groningen dinyatakan bersalah telah melakukan pembongkaran
pemakaman di Anloo tanpa memperoleh izin yang diperlukan. Mahkamah Agung
Belanda menjelaskan bahwa universitas Groningen tidak bisa menyatakan dirinya
imun dari prosekusi pidana karena bukan merupakan badan publik sebagaimana
yang diatur pada Chapter 7 Konstitusi Belanda.243
Alasan yang dijadikan faktor utama menerima korporasi kuasi publik ini
dapat bertanggung jawab secara pidana dan diperlakukan sama dengan korporasi
privat lainnya adalah alasan perlakuan yang sama di hadapan hukum. Apabila
korporasi kuasi pemerintah yang pada prinsipnya menjalankan aktifitas yang juga
dilakukan oleh korporasi privat, dikecualikan dari pertanggung jawaban pidana,
tentunya pihak privat akan lebih resisten menerima aturan yang diterapkan kepada
mereka. Sebuah penelitian yang dilakukan di Australia dan Inggris mengenai
tindakan pidana yang dilakukan oleh suatu rumah sakit swasta yang tidak
memberikan pelayanan yang seharusnya kepada pasien, memberikan pembelaan
atas tindakan mereka dengan menyatakan bahwa rumah sakit pemerintah yang ada
di bawah kementrian kesehatan memperlakukan pasien mereka dengan lebih
Universitas Indonesia
230
buruk.244 Hal ini tentu dapat dipahami bagaimana mungkin pemerintah bisa
menerapkan aturan dengan baik kepada pihak lain dan berharap mereka mau
mematuhi aturan tersebut dengan senang hati tetapi terhadap instansi lain yang
ada dibawah pemerintah tidak diterapkan aturan yang sama. Memanglah
seharusnya lembaga kuasi pemerintah yang menjalankan kegiatan yang juga bisa
dijalankan oleh pihak privat dapat mempertanggungjawabkan segala tindaknnya
secara pidana sebagaimana aturan tersebut juga berlaku bagi korporasi privat.
Disamping hal tersebut di atas, dimana kejahatan dilakukan oleh satu
korporasi kuasi pemerintah secara sendiri, terdapat jenis kejahatan yang dalam
hubungan kerjasama atau dalam interaksi antara institusi pemerintah dengan
organisasi bisnis terjadi suatu bentuk kejahatan organisasi yang secara
karakteristik berbeda dengan kejahatan yang terjadi karena kesalahan dari satu
organisasi bisnis saja atau karena kesalahan dari suatu organisasi publik saja. Jenis
dari kejahatan organisasi yang merupakan produk kolektif dari tindakan bersama
antara institusi pemerintah dengan suatu organisasi bisnis. Tindak pidana
dilakukan melalui suatu organisasi negara atau mendapat fasilitas dari organisasi
negara. Michalowki dan Kramer menggunakan istilah “state-corporate crime”
untuk kejahatan jenis ini. Mereka menjelaskan pengertian state-corporate crime
adalah:
244
Brent Fisse and John Braithwaite, op., cit., hlm. 216.
245
Reymond J. Michalowski dan Ronald C. Kramer, “State – Corporate Crime and
Criminological Inquiry,” dalam Hendry N. Pontell dan Gilbert Geis (editor), International
Handbook of White-Collar and Corporate Crime, (New York, USA: Springer, 2007).
Universitas Indonesia
231
Tentunya jenis kejahatan yang terjadi karena hubungan kerja sama antara
korporasi publik dengan korporasi privat atau kejahatan yang terjadi karena
difasilitasi oleh korporasi publik ini memiliki karakteristik yang khusus
dibandingkan dengan tindak pidana yang terjadi karena peran suatu organisasi
secara mandiri. Dan seharusnyalah kedua korporasi, baik korporasi publiknya
maupun korporasi privatnya dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya
secara pidana sesuai dengan perannya dalam terlaksananya suatu tindak pidana.
Universitas Indonesia
232
membubarkan partai politik menurut Pasal 24C (1) Undang-Undang Dasar 1945
merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi.248
248
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 24C ayat (1). Pada Pasal 68 UU Tentang
Mahkamah Konstitusi dijelaskan bahwa pihak yang dapat mengajukan permohonan untuk
melakukan pembubaran suatu partai politik adalah pemerintah dengan alasan bertentangan dengan
UUD 1945. Indonesia, Undang-Undang Tentang Mahkamah Konstitusi, UU No. 24 Tahun 2003,
LN. No. 98 Tahun 2003, TLN No. 4316. Sebagaimana terakhir dirubah dengan Indonesia,
Undang-Undang Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-UNdang No. 1
Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang, UU No. 4 Tahun 2014, LN No. 5 Tahun 2014,
TLN. No. 5493.
249
Indonesia, Undang-Undang Tentang Partai Politik, UU No. 2 Tahun 2008, LN No. 2
Tahun 2008, TLN No. 5189 Tahun 2011, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 2 Tahun
2011, LN No. 8 Tahun 2011, TLN No. 5189. Pasal 49 (2) menjelaskan: “Pengurus Partai Politik
yang menerima sumbangan dari perseorangan dan/atau perusahaan/badan usaha yang melebihi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf b dan huruf c dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda 2 (dua) kali lipat dari jumlah dana yang
diterima.”
Universitas Indonesia
233
bertindak melalui organ nya ketika melakukan suatu tindak pidana untuk
mendapatkan keuntungan dari perbuatan itu juga dapat dimintai
pertanggungjawaban.
Mengenai kedudukan partai politik sebagai subjek atau aktor kolektif yang
bisa dimasukkan ke dalam pengertian korporasi sebagaimana beberapa undang-
undang khusus di luar KUHP mengaturnya, masih banyak perdebatan mengenai
hal ini. Beberapa kali partai politik dibicarakan mungkin bisa masuk dalam
pengertian korporasi dan dapat bertanggung jawab secara pidana sebagaimana
beberapa UU khusus telah mengadopsinya. Kasus yang sedang banyak
dibicarakan saat ini misalnya kasus korupsi E-KTP yang melibatkan beberapa
partai politik.250 Kasus ini bahkan sampai menyebabkan DPR ingin mengajukan
hak angket kapada KPK.251
250
Fachrur Rozie, “3 Parpol Disebut dalam Dakwaan Terima Aliran Dana Kasus E-KTP,”
http://news.liputan6.com/read/2880662/3-parpol-disebut-dalam-dakwaan-terima-aliran-dana-
kasus-e-ktp. Dikases 20 Maret 2017.
251
Isyana Artharina, “Hak Angket DPR Dinilai Jadi ‘Manuver Untuk Menekan KPK Soal
E-KTP,” http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-39730365, diakses 12 Mei 2017.
Universitas Indonesia
234
Namun, partai politik adalah badan hukum yang terdiri dari sekumpulan orang
yang memiliki tujuan yang sama, memiliki identitas mandiri sebagai suatu subjek
hukum yang memiliki hak dan kewajiban hukum, serta dapat terlibat dalam suatu
hubungan hukum dengan subjek hukum yang lainnya. Dalam melakukan
hubungan hukum dengan subjek hukum yang lainnya, partai politik memiliki
potensi untuk bisa melanggar ketentuan yang mengandung sanksi pidana.
Sehingga sepatutnya lah mereka dapat bertanggung jawab di hadapan hukum
pidana sebagai subjek hukum mandiri terhadap perilaku menyimpang yang
mereka lakukan. Meskipun partai politik memiliki fungsi yang signifikan, tetapi
tidak cukup vital untuk perlu untuk dikecualikan dari pertanggungjawaban pidana
sebagaimana negara atau lembaga-lembaga negara lainnya.
252
Dalam kasus R v. L (R) and F (J) [2008] EWCA Crim 1970, (kasus di Inggris mengenai
tindak pidana lingkungan, pencemaran air oleh tumpahan minyak suatu usaha kilang minyak yang
kegiatannya dilakukan oleh suatu club yang tidak berbadan hukum). Hughes LJ menjelaskan
bahwa sebenarnya pemisahan asosiasi yang berbadan hukum dengan yang tidak berbadan hukum
hanyalah dikotomi yang diciptakan oleh hukum. Pemisahan tersebut justru menimbulkan
kebingungan akan posisi hukum. Padahal menurut kenyataan, asosiasi tersebut dilihat sebagai
suatu entitas sendiri oleh semua pihak yang berhubungan dengannya. Kontrak dan kesepakatan
yang dibuat dengan asosiasi tersebut tidak pernah dianggap sebagai kesepakatan yang dibuat
dengan individu tertentu dari asosiasi tetapi dengan asosiasi sebagai suatu entitas sendiri.
253
Corpus (Latin): Body, anima (Latin): soul, lihat Maitland, op., cit., hlm. viii.
Universitas Indonesia
235
dalamnya.254 Asosiasi yang tidak berbadan hukum ini hanya dilihat sebagai
kumpulan orang-orang yang saling berhubungan berdasarkan suatu kesepakatan,
baik kesepakatan tertulis maupun kesepakatan yang lisan. Berbeda dengan
korporasi yang dinyatakan sebagai badan yang memiliki identitas mandiri di
hadapan hukum melalui suatu proses hukum yang ditentukan, badan yang tidak
berbadan hukum ini dapat terbentuk sesuai dengan bentuk yang diinginkannya
tanpa harus bergantung kepada perizinan yang diberikan oleh kekuasaan.
Asosiasi semacam itu ada dalam berbagai ukuran dan struktur. Asosiasi ini
biasanya memiliki dua karakteristik dasar, yaitu: asosiasi tersebut bukanlah suatu
badan yang mendaftarkan diri sebagaimana perusahaan yang tunduk kepada UU
Perusahaan atau asosiasi tersebut ada bukan untuk tujuan mencari keuntungan
yang membuatnya berbeda dari partnership atau joint venture.255 Menurut
KUHPer, persekutuan perdata sedikit berbeda dengan Perserikatan perdata.
Persekutuan perdata adalah perserikatan perdata yang menjalankan perusahaan
sebagaimana diatur dalam Pasal 1618 jo. Pasal 1623 KUHPer.256 Sedangkan Jean-
Charles membedakan antara “societies civiles” dan “societies commerciales”.257
Wujud sosial atau yang bisa digolongkan kepada ‘societas civiles” atau
perserikatan perdata bisa mengusung kepentingan politik anggotanya, atau
kepentingan keagamaan, atau kepentingan lainnya. Sehingga dapat disimpukan
bahwa asosiasi yang tidak berbadan hukum ini bisa bertujuan bisnis dan juga bisa
bertujuan sosial, namun intinya tidak mendaftarkan diri sebagai organisasi yang
memilik status sebagai badan hukum.
Keuntungan dari pengorganisasian dengan bentuk ini tentu sangat jelas,
bahwa cukup dengan kesepakatan antara para anggota saja sudah terbentuklah
suatu organisasi yang diinginkan. Dan seiring dengan berjalannya waktu dalam
proses pembentukannya organisasi ini bisa berevolusi, berubah dengan perlahan-
254
Dalam hakum perdata, asosiasi yang tidak berbadan hukum tidak memiliki kepribadian
hukum sehingga tidak dapat mengajukan tuntutan atas nama asosiasi itu sendiri dan juga tidak
mengizinkan suatu tuntutan diajukan terhadap asosiasi, jika tidak menyebutkan nama setiap sekutu
sebagai tergugat. Lihat Yetty Komalasari Dewi, Pemikiran Baru Tentang Persekutuan Komanditer
(CV): Studi Perbandingan KUHD dan WvK Serta Putusan-Putusan Pengadilan Indonesia dan
Belanda, Disertasi, Universitas Indonesia, 2011, hlm. 76.
255
Scottish Law Commission, “Unincorporated Associations,” Discussion Paper No. 140,
Desember 2008, hlm. 1.
256
Yetty Komalasari Dewi, op., cit., hlm. 90.
257
Ibid.
Universitas Indonesia
236
lahan sebelum menyatakan kepada publik keberadaannya yang sah. Dalam hal ini
ada proses ‘self-government born’ dari terbentuknya jenis organisasi yang lebih
dikenal sebagai entitas sosial (social entities).258 Misalnya kelompok perserikatan
buruh (trade union), yang bermula dari beberapa pekerja yang berkumpul
bersama untuk mencapai tujuan tertentu yang sama, dan kemudian secara bertahap
dan perlahan-lahan jumlahnya semakin banyak, hingga akhirnya mereka menjadi
perserikatan buruh yang besar.259
Kenyataan bahwa ada suatu bentuk organisasi yang tidak berbadan hukum
dalam masyarakat tanpa harus mendapatkan pengakuan dan izin dari negara
tentang keberadaanya tentu memudahkan masyarakat untuk bersosialisasi dan
mengaspirasikan diri, tetapi, ada dampak negatif, Maitlaind menyebutnya ‘dark
side’ dari kemudahan tersebut, tentang apa yang ada dibelakang organisasi
tersebut, yang tidak dapat diketahui oleh negara, entah itu kegiatannya, atau
orang-orang yang ada di dalamnya.260 Grup yang menurut kenyataan memang ada
di dalam masyarakat, menyandang hak dan kewajiban atas namanya sendiri,
terlepas apakah negara mengakuinya sebagai korporasi atau tidak menurut
Maitland adalah suatu fakta moral (moral facts) yang seharusnya diakui oleh
hukum keberadaanya.261
Suatu asosisasi yang tidak terdaftar bisa menjadi “orang” meskipun bukan
entitas yang berbeda, tidak memiliki personalitas hukum yang terpisah, tetapi
tidak menghalanginya untuk dapat dituntut dihadapan hukum pidana.262 Indonesia
apabila dilihat dari beberapa UU yang telah berlaku secara khusus sebenarnya
telah menerima prinsip ini dari mulai berlakunya UU Darurat No. 17 Tahun 1951
Tentang Penimbunan Barang-Barang. Pasal 1 (e) jo. Pasal 11 UU ini menjelaskan
bahwa badan hukum dalam arti yang seluas-luasnya dapat bertanggung jawab atas
namanya sendiri. Badan hukum menurut UU ini adalah “tiap perusahaan atau
perseroan, perserikatan atau yayasan, dalam arti yang seluas-luasnya, juga jika
kedudukan sebagai badan hukum itu baik dengan jalan hukum ataupun
berdasarkan kenyataan tidak diberikan kepadanya.” Pengertian badan hukum yang
258
Maitland, op., cit., hlm. xxi.
259
Meir Dan-Cohen, (1) op., cit., hlm. 25.
260
Maitland, op., cit., hlm. xxii.
261
Ibid., hlm. xxv.
262
Celia Wells, op., cit., hlm. 95.
Universitas Indonesia
237
dianut disini termasuk adalah perserikatan yang tidak berbadan hukum menurut
hukum, cukup dengan suatu kenyataan bahwa ada sekumpulan orang yang
mengatas namakan dirinya secara bersama-sama sebagai suatu entitas yang
berbeda dari anggota yang ada di dalamnya, sebagaimana yang dinyatakan
Maitland diatas, maka perserikatan tersebut dapat dituntut atas namanya sendiri.
Namun karena tidak didukung oleh hukum acara yang mengatur bagaimana cara
menuntut dan memberikan sanksi untuk jenis subjek hukum ini, dan mungkin
karena dirasa kurangnya tingkat urgensi untuk menuntut asosiasi yang tidak
berbadan hukum, maka kasusnya tidak banyak dibahas di pengadilan.
Ada satu kasus di Indonesia dimana melibatkan suatu organisasi yang
tidak berbadan hukum, dalam kasus tindak pidana terorisme yang kemudian
hakim dalam putusannya menyatakan organisasi yang bernama Al-Jamaah Al-
Islamiyah sebagai organisasi terlarang karena dianggap terafiliasi dengan
organisasi Al-Qaeda beserta Osama Bin Laden dan bertanggung jawab atas
rentetan terror yang ada di Indonesia.263
Dapat dipahami kemudian kenapa organisasi yang tidak berbadan hukum
perlu untuk diterima sebagai subjek hukum pidana tertentu, yaitu untuk
mengakomodasi pelaku tindak pidana yang tidak hanya mendaftarkan diri sebagai
badan hukum, tetapi juga yang tidak mendaftarkan diri tetapi ada di dalam
kehidupan bermasyarakat, organisasi ini juga berpotensi melakukan tindak pidana.
Seperti kasus organisasi Al Jamaah Al Islamiyah diatas, apabila UU tidak
menjelaskan bahwa subjek hukum dari UU ini adalah juga termasuk organisasi
yang tidak berebadan hukum, maka akan sulit untuk meletakkan posisi organisasi
Al-Jamaah Al-Islamiyah dalam kedudukannya sebagai subjek hukum yang
diaggap melakukan kegiatan terorisme.
263
Mark Forbes and Brendan Nicholson, Jemaah Islamiah Declared ‘Forbidden’, The Age
Australia, April 22, 2008, www.theage.com.au, tgl. 21 April 2014.
Universitas Indonesia
238
Entitas yang bisa menjadi subjek hukum pidana dan dapat bertanggung
jawab secara penuh atas namanya sendiri dihadapan hukum pidana cukup
264
Christopher Harding, op., cit., hlm. 12.
265
De Maglie, op., cit., hlm. 551.
Universitas Indonesia
239
Universitas Indonesia
240
Act Canada yang berlaku pada tahun 2004, dijelaskan bahwa Crown
termasuk kedalam pengertian organisasi yang termasuk kedalam pengertian
person. Pembahasan mengenai kemampuan negara dapat bertanggung
jawab di hadapan hukum pidana justru banyak dilakukan pada negara
dengan sistem civil law, seperti misalnya Perancis, secara tegas menyatakan
bahwa negara tidak termasuk kedalam pengertian moral person yang bisa
bertanggung jawab dihadapan hukum pidana. Ada beberapa negara lain
yang secara tegas menyatakan bahwa negara tidak termasuk dalam
pengertian person dalam kitab undang-undang hukum pidananya seperti
misalnya Spanyol,268 Belgia,269 Hungaria.270 Belanda juga sampai saat ini
masih memberikan imunitas kepada negara dari prosekusi hukum pidana.
Penal Code Belanda tidak secara jelas mengecualikan negara dari
pengertian badan hukum yang bisa menjadi subjek hukum pidananya,
namun juga tidak secara tegas merinci bahwa negara termasuk ke dalam
pengertian legal person. Sehingga penjabaran lebih lanjut mengenai
kemampuan negara untuk dapat bertanggung jawab di hadapan hukum
pidana terjadi di pangadilan. Dalam putusan pengadilan, masih dianut
sampai saat ini pemahaman bahwa negara tidak bisa diprosekusi dalam
rezim hukum pidana.271
3. Ada juga beberapa negara yang meskipun secara prinsip tidak menerima
negara sebagai subjek hukum pidana nya (Crown immunity atau
governmental immunity), tetapi menerima pertanggungjawaban pidana
korporasi publik pada UU khusus tertentu. Seperti misalnya Inggris,272
Australia.273 Indonesia juga setidaknya dalam 6 (enam) buah UU khusus
268
Hasil diskusi dengan Prof. John Vervaele, Profesor in Economic and European Criminal
Law, pada bulan September 2014, di Law, Economics and governance Faculty, Utrecht University,
Belanda.
269
Article 5 dari Penal Code Belgia 1999, mengecualikan semua korporasi publik dari
pertanggungjawaban pidana tanpa memberikan pengecualian kepada Negara sebagai pemerintahan
pusat maupun pemerintahan daerah. Lihat juga pemaparan mengenai hal ini pada David Roef, op.,
cit., hlm. 592.
270
Hungary, Article 1 (2).Act CIV of 2001 on Measure Applicable to Legal Entities Under
Criminal Law.
271
HR 25 Januari 1994, NJ 1994, 598.
272
Inggris, Article 1 (2), Corporate Manslaugher and Corporate Homicide Act 2007
(Chapter 19).
273
Misalnya Victorian Crimes (Workplace Deaths and Serious Injuries) Bill 2001.
Universitas Indonesia
241
274
Ada beberapa pengecualian untuk keberlakuan imunitas penguasa ini di negara common
law, ada beberap UU khusus yang mengecualikan mereka dari imunitas, namun prinsip umumnya
adalah mereka tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana termasuk local government atau
pemerintah daerahnya.
275
David Roef, op., cit., hlm. 592.
Universitas Indonesia
242
276
Pieth, Ivory, op., cit., hlm. 17
277
Article 131-39 Penal Code Perancis.
278
R v. L (R) and F (J) [2008] EWCA Crim 1970.
Universitas Indonesia
243
hukum pidana.279 Meskipun ada juga beberapa Negara yang tidak menerima
pertanggungjawaban pidana dari organisasi yang tidak berbadan hukum
seperti misalnya Perancis dan Denmark. Dalam banyak UU di Indonesia
pun ketika merujuk kepada subjek hukum organisasi sering meniadakan
pembedaan antara badan yang berbadan hukum maupun yang tidak
berbadan hukum, mereka hampir diperlakukan sama. Namun, ada juga
beberapa UU yang secara tegas menyatakan bahwa yang dirujuk oleh UU
tersebut hanyalah badan yang berbadan hukum saja.
279
Celia Wells, op., cit., hlm. 95.
Universitas Indonesia
244
BAB IV
1
Penjabaran lebih lanjut mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi pada
undang-undang yang diteliti dapat dilihat pada lampiran disertasi.
Universitas Indonesia
245
2
Indonesia, Undang-Undang tentang Lembaga Keuangan Mikro, UU No. 1 Tahun
2013, LN. No. 12 Tahun 2013, TLN No. 5394. Pasal 34, menjelaskan dalam hal tindak
pidana dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk Perusahaan Terbatas atau koperasi
maka yang bertanggung jawab adalah mereka yang memberikan perintah atau bertindak
sebagai pimpinan dalam tindak pidana tersebut.
3
Indonesia, Undang-Undang tentang Perikanan, UU No. 31/2004, LN. 118 Tahun
2004, TLN. No. 4433, jo. Undang-Undang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun
2004, UU No. 45/2009, LN. No. 154 Tahun 2009, TLN No. 5073.
4
Ibid., Pasal 1 (14) jo. Pasal 101.
5
Ibid., Pasal 84 – 104.
Universitas Indonesia
246
Universitas Indonesia
247
Universitas Indonesia
248
Universitas Indonesia
249
Universitas Indonesia
250
subjek hukum mandiri yang terpisah dan memiliki hak dan kewajiban
hukum masing-masing.
8
Indonesia, Undang-Undang tentang Perasuransian. UU Nomor 40/2014, LN No.
337 Tahun 2014, TLN No. 5618, Pasal 81.
9
Ps. 1 (14) UU ini menjelaskan: “Personil pengendali korporasi adalah setiap orang
yang memiliki kekuasaan atau wewenang sebagai penentu kebijakan korporasi atau
memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan korporasi tersebut tanpa harus mendapat
otorisasi dari atasannya.” Ada beberapa buku teks yang menggunakan istilah ‘leading
position’ untuk mempertegas maksud dari personil pengendali korporasi ini, sepeti
misalnya Anna Salvina Valenzano, “’Triggering Persons’ in ‘Ex Crimine’ Liability of
Legal Entities,” dalam Brodowski, at all (editors), Regulating Corporate Criminal
Liability,” (Switzerland: Springer, 2014), hlm. 103.
Universitas Indonesia
251
Universitas Indonesia
252
10
Keulen dan Gritter, Corporate Criminal Liability in the Netherlands.
(Netherlands: Springer, 2011), hlm. 181. Dan juga Vervaele, op., cit.
Universitas Indonesia
253
Universitas Indonesia
254
(1) “Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau
atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan
kepada:
Universitas Indonesia
255
Perumusan Pasal 116 (1) dan (2) ini sepintas seperti tidak ada
masalah, karena kalau dibaca terpisah pada ayat (1) dijelaskan bila terjadi
suatu tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama
badan usaha, maka tuntutan pidana dan sanksi pidana bisa dijatuhkan
kepada badan usaha atau kepada orang yang memberikan perintah atau
kepada orang yang menjadi pemimpin kegiatan tersebut. Dapat disimpulkan
disini badan usaha bisa menjadi subjek penuntutan dan penjatuhan sanksi
pidana. Tetapi apabila kemudian ayat (2) dihubungkan dengan ayat (1)
justru menjadi rancu, karena dijelaskan bahwa apabila tindak pidana
dilakukan: a) oleh orang yang berdasarkan hubungan kerja, b) atau
berdasarkan hubungan lain, c) bertindak dalam lingkup kerja badan usaha,
maka sanksi pidananya justru dijatuhkan kepada a) pemberi perintah b) atau
pemimpin dalam tindak pidana tersebut. Ayat (2) Pasal 116 ini justru
memberikan penjelasan bahwa badan usaha tidak dijatuhi sanksi pidana
ketika tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh orang yang
berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain, dan bertindak
dalam lingkup kerja badan usaha. Jadi tidak jelas kemudian dalam kondisi
13
Pasal ini menjelaskan keadaan yang diperlukan untuk menjelaskan suatu tindak
pidana dilakukan oleh badan usaha, tetapi pasal ini justru menjelaskan bahwa yang
bertanggung jawab terhadap tindak pidana tersebut adalah pemberi perintah atau pemimpin
dan bukan badan usahanya. Padahal pada Ps. 116 (1) telah menyebutkan bahwa badan
usaha dapat dimintai pertanggungjawaban pidana secara mandiri. Sehingga dirasa malah
jadi tidak konsisten, siapa yang dapat bertanggung jawab dalam kondisi yang dijelaskan
pada ayat (2) pemberi perintahnya, atau badan usahanya atau kedua-duanya. Kemudian
juga menimbulkan pertanyaan, dalam kondisi apa Ps. 116 (1) dapat berlaku, di mana suatu
tindak pidana lingkungan hidup dianggap dilakukan oleh suatu badan usaha sehingga badan
usaha tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dan dijatuhi sanksi pidana.
Universitas Indonesia
256
seperti apa suatu tindak pidana yang dilakukan oleh, untuk atau atas nama
badan usaha bisa diberikan sanksi pidana kepada badan usaha nya.
14
Andri G. Wibisana, op., cit., hlm. 178-179.
Universitas Indonesia
257
15
Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia. Peraturan Jaksa Agung RI tentang
Pedoman Penanganan Perkara Pidana dengan Subjek Hukum Korporasi. Perja No. PER-
028/A/JA/10/2014, Lampiran hlm. 3-4.
Universitas Indonesia
258
Universitas Indonesia
259
16
Indonesia, SK Ketua Mahkamah Agung tentang Tata Cara Penanganan Perkara
Tindak Pidana Korporasi. SK Ketua MA No. 13 Tahun 2016, Pasal 4.
17
Pieth dan Ivory, op., cit., hlm. 23.
18
De Maglie, op., cit., hlm. 558.
Universitas Indonesia
260
Universitas Indonesia
261
Dari unsur-unsur PPK yang diadopsi oleh PERJA dan PERMA dapat
dilihat bahwa kedua ketentuan ini sudah menggunakan kombinasi dari
beberapa doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi. PERJA dan
PERMA mengkombinasikan pertanggungjawaban tidak langsung (indirect
liability) di mana perbuatan dan kesalahan pengurus korporasi dapat
diatribusikan menjadi perbuatan dan kesalahan dari korporasi dan
pertanggungjawaban langsung (direct liability), di mana kesalahan ditarik
langsung dari korporasi tanpa perlu mengidentifikasi individu tertentu yang
ada di dalam korporasi. Misalnya standar kesalahan yang didasarkan pada
korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana, korporasi menerima tindak
pidana, korporasi tidak mencegah dampak yang lebih luas, atau korporasi
tidak memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku untuk
menghindari terjadinya tindak pidana.
Pasal 49 menjelaskan:19
19
Pasal 49 yang dibahas adalah RKUHP Hasil Timus per 10 Oktober 2017.
Universitas Indonesia
262
Universitas Indonesia
263
Universitas Indonesia
264
23
Pasal 50 RKUHP Hasil Timus per 10 Oktober 2017.
Universitas Indonesia
265
24
Pasal 51 RKUHP Hasil Timus per 10 Oktober 2017.
Universitas Indonesia
266
Universitas Indonesia
267
Universitas Indonesia
268
undang-undang ini lebih luas dari pada directing mind yang dianut oleh
doktrin identifikasi yang secara tradisional dianut oleh pengadilan di
Inggris.25 Siapa saja pengurus yang dapat dikategorikan sebagai senior
management dijelaskan oleh undang-undang ini pada Section 1 subsection
(4) adalah:
Universitas Indonesia
270
b. KUHP Belanda
“Pasal 51:
1. Tindak pidana dapat dilakukan oleh orang perseorangan atau badan
hukum.
2. Apabila tindak pidana dilakukan oleh badan hukum, proses pidana
dapat dijalankan dan pemidanaan serta tindakan yang ditentukan
oleh hukum dapat diberikan kepada:
27
Pieth dan Ivory, op., cit., hlm. 27. Pieth dan Ivory menggunakan istilah holistic
approach, sebagaimana telah dibahas pada bab II disertasi ini, bahwa holistic approach
adalah salah satu pandangan tentang corporate personality yang secara penuh mengakui
realitas entitas kolektif dan menolak kemungkinan untuk mereduksi kenyataan tersebut
menjadi individu-individu dan hubungan antara individu tersebut. Sehingga dapat dipahami
bahwa trend yang berkembang memang adalah mengarah kepada pendekatan realitas
terhadap keberadaan suatu korporasi.
28
Diterjemahkan secara bebas oleh penulis.
Universitas Indonesia
271
a. Badan hukum,
b. Orang yang memerintahkan dilakukannya tindak pidana,
atau terhadap orang-orang yang secara nyata
mengarahkan dilakukannya tindak pidana,
c. Atau terhadap orang yang dijelaskan pada poin a dan b
secara bersama-sama.
3. Dalam menerapkan subsection sebelumnya di bawah ini dianggap
sama kedudukannya dengan badan hukum: asosiasi yang tidak
berbadan hukum, partnership, perusahaan pelayaran, kekayaan
dengan tujuan tertentu.”
Tidak ada penjelasan lebih lanjut dari KUHP Belanda mengenai
doktrin apa yang mereka anut untuk membebankan pertanggungjawaban
pidana. Doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi Belanda banyak
dikembangkan di pengadilan. Pembahasan mengenai bagaimana pengadilan
di Belanda membebankan pertanggungjawaban pidana korporasi akan
dilakukan pada bagian selanjutnya pada Bab ini. Belanda menggunakan
beberapa kriteria dalam mengatribusikan pertanggungjawaban pidana
berdasarkan karakteristik kasus yang sedang diperiksa.29
29
Lihat Bab ini pada bagian sub-bab “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam
Putusan Pengadilan di Negara Lain.”
Universitas Indonesia
272
30
Ibid., Lampiran hlm. 5.
31
Pinto dan Evans, op., cit., hlm. 73.
32
Ibid.
33
Neil Foster, op., cit., hlm. 114.
Universitas Indonesia
273
34
Pinto dan Evans, op., cit., hlm. 75.
35
Pieth dan Ivory, op., cit., hlm. 21.
36
James Gobert, op., cit., hlm. 143.
37
Neil Foster, op., cit., hlm. 118.
Universitas Indonesia
274
38
Patrick Bernau, “Decision and Punishment: Or – Hold Bankers Responsible!:
Corporate Criminal Liability from Economic Perspective,” dalam Dominik Brodowski, et
al (editors), Regulating Corporate Criminal Liability, (Dorrecht: Springer, 2014), hlm. 48.
39
James Gobert, op., cit., hlm. 143.
40
Ibid., hlm. 119. Ada beberapa negara seperti misalnya Amerika Serikat yang
memang tidak membuat secara khusus ketentuan mengenai pertanggungjawaban individu
dalam perannya pada suatu organisasi yang melakukan tindak pidana (dalam konteks ini
Foster menjelaskan mengenai International Comparison of Health and Safety
Responsibilities of Company Director). Neil Foster, op., cit., hlm. 119. Namun secara
umum dapat dipahami bahwa pertanggungjawaban pidana individu personel korporasi tidak
selalu diatur di dalam suatu peraturan perundang-undangan, karena mungkin dianggap
bahwa pertanggungjawaban pidana individual adalah hal yang alamiah dan memang sudah
menjadi karakteristik dasar dari hukum pidana.
Universitas Indonesia
275
Universitas Indonesia
276
the relevant statutory provisions committed by a body corporate is proved to have been
committed with the consent or connivance of, or to have been attributable to any neglect on
the part of, any director, manager, secretary or other similar officer of the body corporate
or a person who was purporting to act in any such capacity, he as well as the body
corporate shall be guilty of that offence and shall be liable to be proceeded against and
punished accordingly.”
43
Pinto dan Evans, op., cit., hlm. 81-83.
44
Ibid., hlm. 82.
45
Ibid.
46
Ibid.
Universitas Indonesia
277
Universitas Indonesia
278
52
Sjahdeini (2), op., cit., hlm. 256-260.
53
Ibid.
Universitas Indonesia
280
54
Sara Sun Beale, “The Development and Evaluation of the U.S. Law of Corporate
Criminal Liability and the Yates Memo,” Stetson Law Review, vol. 46, 2016, hlm. 42.
55
Lucian E. Dervan, op., cit., hlm. 125.
56
Sara Sun Beale, op., cit., hlm. 42.
57
Semenjak kasus Arthur Andersen pada tahun 2002, yang menyebabkan ditutupnya
perusahaan akunting tersebut dan ribuan pekerja kehilangan pekerjaan, banyak kasus yang
melibatkan korporasi di Amerika Serikat diproses dengan Deferred and non-prosection
agreement. Perjanjian penundaan penuntutan bisa disebut sebagai masa percobaan (term of
probation) sebelum dilakukannya penuntutan secara formal terhadap perusahaan. Adapun
tujuan dari Perjanjian Penundaan Penuntutan adalah untuk memberikan kesempatan kepada
organisasi melakukan perbaikan diri dengan pengaturan dari dalam organiasi sendiri (self-
regulation) dan mencegah terulangnya tindak pidana yang sama di kemudian hari.
Perjanjian ini akan memaksa korporasi untuk mengadopsi program kepatuhan yang lebih
efektif (effective compliance programs) sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
ada, dengan diawasi oleh pihak yang lebih independen dalam pelaksanaan program
kepatuhan tersebut. Metode ini lebih dipilih oleh korporasi dan jaksa penuntut umum
karena dianggap dapat meminimalisir konsekuensi ikutan atau tambahan (collateral
consequences) yang tidak diharapkan dari proses pemidanaan terhadap korporasi dan juga
untuk menghindari tingginya biaya yang dibutuhkan dan tingginya tingkat kesulitan dalam
menuntut korporasi. Lihat pembahasan mengenai hal ini misalnya pada Leonard Orland,
The Transformation of Corporate Criminal Law, Brooklyn Journal of Corporate Financial
& Commercial Law, Vol. 1, 2006, 45-85. hlm. 48., Connor Bildfell, “Justice Deferred?
Why and How Canada Should Embrace Deferred Prosecution Agreements in Corporate
Criminal Cases,” Canadian Criminal Law Review, Vol. 20, March 2016, 161-207, David
Hess, Cristie L. Ford, Corporate Criminal Reporter, Crime Without Conviction: The Rise of
Deferred and Non Prosecution Agreements, (Nat’l Press Club, Wash., D.C.), Dec. 28,
Universitas Indonesia
281
2005. Pada awal dikenalnya deferred prosecution agreements di Amerika Serikat pada awal
tahun 1900 an, digunakan untuk kejahatan yang tidak serius seperti pencurian retail
terutama ketika pelaku adalah anak-anak atau remaja atau pelaku belum pernah melakukan
tindak pidana, untuk menghindari para remaja ini diberikan label sebagai penjahat atau
kriminal. Lihat Peter Reilly, “Justice Deferred is Justice Denied: We Must End Our Failed
Experiment in Deferring Corporate Criminal Prosecutions,” Brigham Young University
Law Review, Vol. 2015, Issue 2, 307, hlm. 314. Pembahasan mengenai deffered dan non-
prosecution agreements merupakan pembahasan yang sangat luas sehingga tidak dapat
dilakukan secara detail pada disertasi ini karena bukan merupakan fokus dari penulisan
disertasi ini.
58
Brandon L. Garrett, (3) “The Corporate Criminal as Scapegoat.” Virginia Law
Review, vol. 101, 2015, hlm. 1791 -1792.
59
Ibid., hlm. 1850.
Universitas Indonesia
282
60
Ibid.
61
Elizabeth E. Joh dan Thomas W. Joo, “The Corporation As Snitch: The New DOJ
Guidelines on Prosecuting White Collar Crime,” Virginia Law Review, Vol. 101, 2015,
hlm. 59.
62
Miriam H. Baer, “Too Vast to Succeed,” Michigan Law Review, vol. 114, 2016,
hlm. 1112.
Universitas Indonesia
283
dan mens rea dari tindak pidana tersebut terpenuhi. Dalam kondisi ini tentu
pertanggungjawaban pidana korporasi saja tidak cukup, perlu untuk juga
mempertanggungjawabkan personel korporasi bersama-sama dengan
korporasinya. Namun pada kasus tertentu memang tidak dapat dipungkuri
bahwa korporasi dapat dipertanggungjawabkan tanpa bisa untuk menjadikan
personel pengendalinya bersalah.63
63
Beberapa kasus mengenai kondisi ini dibahas pada sub-bab “Ketercelaan
(Blameworthiness) dari Korporasi pada Bab ini.
64
Dikutip dari Jeffrie G. Murphy, “Does Kant Have a Theory of Punishment”,
Columbia Law Review, April, 1987, hlm. 513.
65
Thom Brooks, Punishment, (Oxon, UK: Routledge, 2012), hlm. 1
Universitas Indonesia
284
yang luas, baik bagi pelaku sendiri, bagi korban ataupun bagi masyarakat.66
Di samping itu, pemidanaan yang dilakukan melalui proses hukum yang adil
sangat penting untuk menghindari penghukuman yang dilakukan secara
semena-mena atau dengan main hakim sendiri oleh masyarakat (vigilante).67
66
Muladi dan Dwidja Priyatno, op., cit., hlm. 253.
67
Peter Joyce, Criminal Justice: An Introduction to Crime and the Criminal Justice
System, (Devon, UK: Willan Publishing, 2006), hlm. 104.
68
Richard G. Singer dan John Q. La Fond, Criminal Law, 4th edition, Austin:
Wolters Kluwer, 2007, hlm. 21.
69
Ibid., Menurut Dan-Cohen Meir, yang secara berturut-turut merupakan
pemahaman dari konsekuensialis, yang sebagian besar kelompok utilitarian. Sedangkan
teori retributive merupakan pemahaman deontologis, yang sebagian besar merupakan
pemikiran kelompok Kantian. Lihat Dan-Cohen Meir, Sanctioning Corporations, Journal of
Law and Policy, Vol. 19., Issue 1 (2010), 15-44, hlm. 22. Mengenai teori pemidanaan tidak
akan dilakukan secara mendalam pada disertasi ini untuk memberikan ruang yang lebih
luas dalam melakukan pembahasan mengenai sanksi pidana yang paling sesuai diterapkan
terhadap subjek hukum organisasi.
70
Toni Erskine, “Making Sense of Responsibility in International Relations,” dalam
Toni Erskine (editor), Can Institutions Have Responsibility?” (New York, US: Palgrave
Macmillan, 2003), hlm. 10.
Universitas Indonesia
285
71
Peter J. Henning, “Corporate Criminal Liability and the Potential for
Rehabilitation,” American Criminal Law Review, 2009, 1417.
72
Suhariyono AR, Pembaruan Pidana Denda di Indonesia: Pidana Denda sebagai
Sanksi Alternatif, Jakarta: Papas Sinar Sinanti, 2012, hlm. 350.
73
Fisse, Brent and John Braithwaite, Corporation, Crime and Accountability,
(Cambridge, UK: Cambridge University Press, 1993), hlm. 81.
74
Suhariyono AR, op., cit., hlm. 350.
75
Ibid.
Universitas Indonesia
286
76
Indonesia, Undang-Undang tentang Keantariksaan, UU No. 21/2013, LN No. 133
Tahun 2013, TLN No. 5435, Pasal 100.
77
Indonesia, Undang-Undang tentang Pelayaran, UU No. 17/2008, LN No. 64
Tahun 2008, TLN No. 4849, Pasal 335.
78
Indonesia, Undang-Undang tentang Pangan, UU No. 18/2012, LN No. 227 Tahun
2012, TLN No. 5360, Pasal 148.
79
Indonesia, Undang-Undang tentang Kesehatan, UU No. 36/2009, LN No. 144
Tahun 2009, TLN No. 5063, Pasal 201 (1).
80
Indonesia, Undang-Undang Pornografi, UU No. 44/2008, LN No. 181 Tahun
2008, TLN No. 4928, Pasal 40.
81
Indonesia, Undang-Undang tentang Narkotika, UU No. 35/2009, LN. No. 143,
TLN. No. 5062. Pasal 130 (1).
82
Indonesia. Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. UU No. 22 Tahun
2009. LN. No. 96 Tahun 2009. TLN. No. 5025, Pasal 315.
83
Indonesia, Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan, UU No. 21/2011,
LN. No. 111, TLN. No. 5253. Pasal 52-54.
Universitas Indonesia
287
84
Indonesia, Undang-Undang Ketenagalistrikan, UU No. 30/2009, LN No. 133
Tahun 2009, TLN. No. 5052, Pasal 55 (20).
85
Indonesia, Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
UU No. 32/2009 LN. No. 140 Tahun 2009, TLN. No. 5059, Pasal 117.
86
Indonesia. Undang-Undang tentang Perfilman. UU No. 33/2009. LN. 141 Tahun
2009. TLN No. 5060, Pasal 82 (1).
87
Indonesia. Undang-Undang Tentang Cagar Budaya. UU No. 11/2010. LN. No.
130 Tahun 2010. TLN. No. 5168, Pasal 113 (2).
88
Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, UU
No. 19/2013, LN. No. 131, TLN. No. 5433. Pasal 104.
89
Indonesia, Undang-Undang tentang Perkebunan, UU No. 39/2014, LN. No. 308,
TLN. No. 5613. Pasal 133.
90
USDOJ, Office of the Deputy Attorney General 2008b, USAM § 9–28.1000(A),
General Principle.
91
Corporate Criminal Reporter, Crime Without Conviction: The Rise of Deferred
and Non Prosecution Agreements, (Nat’l Press Club, Wash., D.C.), Dec. 28, 2005,
available at http://www.corporatecrimereporter.com/deferredreport.htm
Universitas Indonesia
288
92
Lihat secara umum mengenai hal ini dalam tulisan V.S. Khanna, op., cit., Anne-
Marie Boisvert, Corporate Criminal Liability, Disscussion Paper, Faculty of Law
University of Montreal, 1999. Bisa diakses pada http://www.ulcc.ca/en/criminal-section/98-
criminal-section-study-papers/1076-corporate-criminal-liability-discussion-
paper?showall=&limitstart=, diakses Desember 2014.
93
Erik Luna, “Curious Case of Corporate Criminality,” American Criminal Law
Review, vol. 46, 2009, 1507, hlm. 1509.
94
Celia Wells, op. cit., hlm. 105.
95
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 10.
96
Beberapa UU menyebutkan sanksi administrasi sebagai sanksi tambahan terhadap
sanksi pokok. Misalnya Indonesia, Undang-Undang tentang Lalu lintas Devisa dan Sistem
Nilai Tukar, UU No. 24 Tahun 1999, LN. No. 67 Tahun 1999, TLN No. 3844, Pasal 7.
97
Indonesia, Undang-Undang tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan
Tindak Pidana Ekonomi, UU Darurat No. 7 Tahun 1955, LN No. 27 Tahun 1955, TLN.
No. 801, Pasal 7.
98
Indonesia, Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang, UU No. 21 Tahun 2007, LN No. 58 Tahun 2007, TLN No. 4720, Pasal 15 (2).
99
Indonesia, Undang-Undang tentang Pornografi, UU No. 44 Tahun 2008, LN No.
181 Tahun 2008, TLN No. 4928, Pasal 41.
Universitas Indonesia
289
100
Indonesia, Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang, UU No. 8 Tahun 2010, LN No. 122 Tahun 2010, Pasal 7 (2).
101
Indonesia, Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU
No. 31/1999 Jo. UU No. 20/2001, LN No. 140 Tahun 1999, TLN No. 3874, Pasal 18.
102
Mardjono Reksodiputro (2), Menyelaraskan Pembaruan Hukum, (Jakarta:
Komisi Hukum Nasional RI, 2009), hlm. 45.
103
KUHP mengatur beberapa bentuk sanksi tindakan, antara lain: penempatan di
rumah sakit jiwa bagi orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan karena jiwanya cacat
dalam tubuhnya atau terganggu penyakit (Pasal 44 (2)), bagi anak yang berumur di bawah
16 tahun, hakim dapat memberikan tindakan berupa mengembalikan kepada orang tua atau
walinya, atau memerintahkan agar anak tersebut diserahkan kepada negara, dengan
dimasukkan dalam rumah pendidikan negara atau tempat bekerja negara (Pasal 45).
104
Indonesia, Undang-Undang tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan
Tindak Pidana Ekonomi, UU Darurat No. 7 Tahun 1955, LN No. 27 Tahun 1955, TLN.
No. 801, Pasal 8.
105
Indonesia, Undang-Undang tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat, UU No. 5 Tahun 1999, LN. No. 33, TLN. No. 3817, Pasal 49.
106
Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun
1999, LN. 42 Tahun 1999. TLN. 3821, Pasal 63. Meskipun UU ini menyebutkan kewajiban
Universitas Indonesia
290
Tabel 4.4 Jenis pidana tambahan dan tindakan bagi korporasi yang
telah diatur pada UU Khusus
penarikan barang dari peredaran bukan sebagai sanksi tindakan tetapi sebagai sanksi
tambahan.
Universitas Indonesia
291
Universitas Indonesia
292
Universitas Indonesia
293
115
United States Guidelines Manual 2005, §8 introductary commentary dan §8 Part
D1.1 (Organization Probation).
116
James Gobert dan Maurice Punch, Rethinking Corporate Crime, (London, UK:
Butterworths, 2003), hlm. 235.
117
United States. Federal Sentencing Guidelines Manual 2005, §8B1.3. Community
Service – Organizations.
118
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Hasil Timus per 10 Oktober
2017.
119
Sjahdeini (2), op., cit., hlm. 272.
Universitas Indonesia
294
samping itu, menurut beliau sanksi pencabutan izin usaha dan pembubaran
korporasi pada prinsipnya hasil akhirnya adalah sama. Karena kedua jenis
sanksi ini pada akhirnya mengakibatkan korporasi tidak dapat melakukan
kegiatan usahanya. Konsekuensi perdata dari pembubaran atau penutupan
korporasi secara permanen dan pencabutan izin menurut beliau adalah
likuidasi aset korporasi untuk pelunasan utang-utang korporasi kepada
kreditornya.120
Universitas Indonesia
295
kondisi: (1) keberadaan program kepatuhan dan etika yang efektif; dan (2)
pelaporan diri, kerjasama atau penerimaan tanggung jawab.122
Universitas Indonesia
296
Dari beberapa kasus hukum yang diteliti, tidak banyak putusan yang
memberikan pemaparan hukum yang cukup tajam mengenai pelekatan
pertanggungjawaban pidana yang diberikan kepada subjek hukum
korporasi. Dari kasus tersebut, dapat disimpulkan bahwa hakim dalam
membebankan pertanggungjawaban pidana bagi korporasi cenderung untuk
menganut teori vicarious criminal liability, di mana tindakan dan kesalahan
dari salah satu pengurus korporasi dalam rangka tugas dan kewajibannya
dianggap sebagai tindakan dan kesalahan dari korporasi. Tujuh kasus yang
diteliti mengadopsi teori vicarous criminal liability dalam membebankan
pertanggungjawaban pidana bagi korporasi.
Pada beberapa kasus (5 kasus) hakim menambahkan keyakinan
dengan mengaitkan kedudukan pelaku sebagai directing mind atau personel
pengendali korporasi yang disebut legal alter ego dari korporasi, sehingga
segala perbuatan dan kesalahan dari dirinya yang dilakukan dalam rangka
tugas dan jabatannya di dalam korporasi bisa dianggap sebagai perbuatan
dan kesalahan dari korporasi, yang merupakan bagian dari identification
theory.
Dalam kaitannya dengan teori vicarious criminal liability dan
identification theory, hakim menggunakan kriteria atau standar yang lebih
deskriptif untuk membebankan pertanggungjawaban pidana bagi korporasi
yaitu adanya keuntungan atau manfaat yang diperoleh korporasi dari tindak
pidana yang dilakukan.
Dua kasus lingkungan hidup menggunakan teori budaya perusahaan
dalam membebankan pertanggungjawaban pidana bagi korporasi. Hakim
menjelaskan bahwa korporasi tidak memiliki peralatan yang memadai untuk
dapat mencegah terjadinya tindak pidana merupakan bagian dari kegagalan
Universitas Indonesia
297
Pada kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh PT. GJW,
hakim mendasarkan pertimbangannya dengan menggunakan doktrin
vicarious liability dan identifikasi (identification doctrine). Hakim
berpendapat bahwa:
“Menimbang, bahwa dalam perjanjian Kerja Sama Nomor :
664/I/548/Prog- Nomor : 003/GJW/VII/1998 tentang Kontrak Bagi
Tempat Usaha dalam rangka Pembangunan Pasar Induk Antasari
Kota Banjarmasin yang ditandatangani oleh St. Widagdo Bin Suraji
Sastro, Direktur Utama yang dalam hal ini bertindak untuk dan atas
nama PT. Giri Jaladhi Wana (Terdakwa), maka jelas bahwa tindakan
St. Widagdo Bin Suraji Sastro tersebut dalam rangka maksud dan
tujuan korporasi serta untuk memberikan manfaat bagi korporasi
tersebut yaitu PT. Giri Jaladhi Wana (Terdakwa).”123
123
Pengadilan Tinggi Banjarmasin, Putusan No. 04/PID.SUS/2011/PT. BJM, hlm.
147.
Universitas Indonesia
298
pemerintah daerah selama beberapa tahun pasar tersebut dikelola oleh PT.
GJW).124
Apabila dikaitkan dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang menjadi dasar penuntutan dalam kasus ini, Pasal 20
butir (2) menyebutkan:
“Tindak pidana Korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak
pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan
hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam
lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-
sama.125
124
Pengadilan Tinggi Banjarmasin, Putusan No. 04/PID.SUS/2011/PT. BJM, hlm.
147.
125
Indonesia, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No.
31/1999, LN No. 140 Tahun 1999, TLN No. 3874, sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 20 Tahun 2001, LN No. 134
Tahun 2001, TLN No. 4150.
Universitas Indonesia
299
126
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan No. 2239 K/Pid.SUS, hlm. 472.
Universitas Indonesia
300
127
Sebagaimana telah dijelaskan pada kerangka teori mengenai doktrin vicarious
liability dalam teori pertanggungjawaban pidana korporasi.
Universitas Indonesia
301
128
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan No. 787 K/PID.SUS/2014, hlm.
142 dan hlm. 175.
129
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan No. 01/PID.Sus/2013/PN.JKT.PST,
hlm. 273.
Universitas Indonesia
302
terhadap suatu tindak pidana yang terjadi di dalam korporasi, terlepas dari
kedudukan dari personel yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana.
Universitas Indonesia
303
130
Putusan PN Jakarta Pusat No. 81/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST, tanggal 8 Mei
2013, hlm. 234.
Universitas Indonesia
304
(1) KUHP. Dipidana dengan pidana penjara selama lima tahun dan denda
sebesar Rp. 200 juta dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar diganti
dengan pidana kurungan selama tiga bulan. Dan menjatuhkan hukuman
uang pengganti sebesar US$ 3,1 juta kepada PT. SGJ.
Hakim juga menghukum PT. GPI untuk membayar uang pengganti
dengan pertimbangan:
“Terdakwa selaku direktur PT. GPI dalam melakukan perbuatannya
itu.... adalah untuk dan atas nama PT. GPI serta dimaksudkan untuk
memberikan keuntungan bagi PT. GPI melalui pekerjaan
biomerediasi;.... dalam melakukan kontrak biomerediasi dengan PT.
CPI terdakwa bertindak selaku direktur PT. GPI dan pelaksanaan
kontrak tersebut dilakukan oleh PT. GPI dan untuk kepentingan PT.
GPI dan persyaratannyapun dilakukan PT. CPI kepada PT. GPI...”131
131
Putusan PN Jakarta Pusat No. 85/PID.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst, tanggal 7 Mei
2013, hlm. 265.
Universitas Indonesia
305
Perkara ini berawal dari timbulnya gejala sakit yang dialami oleh
masyarakat Kampung Sempu, Desa Pasir Gombong, Kecamatan Cikarang
Utara, Kabupaten Bekasi, yang mengalami kepala pusing, tenggorokan
kering, dada sesak, perut mual dan muntah-muntah. Gejala tersebut
disebabkan oleh gas dari limbah yang dibuang oleh Dedi Permana dan
Awing yang berasal dari PT. DEI. Dedi Permana dan Awing adalah pemilik
truk yang disewa oleh PT. DEI untuk membuang limbah ke Kampung
Sempu.
Universitas Indonesia
306
dikirim ke PPLI di Bogor untuk diproses lebih lanjut maka PT. DEI
mendapatkan keuntungan.... sekitar US $31175,2.”
Universitas Indonesia
307
134
Pengadilan Tinggi Pekanbaru, Putusan No. 286/Pid.Sus/2014/PT.PBR, hlm. 65.
135
Putusan Pengadilan Negeri Pelalawan, Putusan No. 228/Pid.Sus/2013/PN Plw,
hlm. 198
136
Ibid.
Universitas Indonesia
308
Universitas Indonesia
309
138
Ibid., hlm. 180.
Universitas Indonesia
310
Universitas Indonesia
311
memang kasus yang diteliti adalah kasus lingkungan hidup dan tindak
pidana korupsi yang berdasarkan kedua undang-undang yang mengatur
tentang tindak pidana ini menggunakan doktrin vicarious liability untuk
mengatribusikan pertanggungjawaban pidana bagi korporasi. Di samping
itu, pada dua kasus tindak pidana lingkungan hidup hakim mendasarkan
pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi berdasarkan
kepada teori budaya korporasi dan melihat kesalahan korporasi berdasarkan
kesalahan dalam kegagalam mencegah tindak pidana dan kebijakan
korporasi yang mendorong terjadinya tindak pidana.
Universitas Indonesia
312
Universitas Indonesia
313
Universitas Indonesia
314
Universitas Indonesia
315
Dalam hal ini Tan Kei Yoong yang dari awal tidak pernah diperiksa
sebagai pelaku tindak pidana, dapat menggantikan sanksi pidana denda yang
diberikan kepada PT. API. Hakim dalam hal ini melihat bahwa subjek
korporasi dan subjek manusia yang mewakili korporasi adalah sama.
Sehingga apabila korporasi tidak mampu untuk memenuhi kewajibannya
membayar pidana denda maka dapat digantikan oleh wakilnya dengan
pidana kurungan. Pemahaman seperti ini menurut penulis sangat keliru dan
berbahaya bagi kepastian hukum dan merupakan pelanggaran hak asasi
manusia.
Beberapa kasus di atas jelas menunjukkan bahwa terdapat
ketidakjelasan hakim dalam menentukan subjek yang dapat
dipertanggungjawabkan ketika tindak pidana terjadi dalam kerangka
kegiatan korporasi. Hakim cenderung melihat korporasi sebagai
interchangeable dengan pengurus korporasi. Pemahaman ini sangat keliru
148
Pengadilan Tinggi Pekanbaru, Putusan No. 286/Pid.Sus/2014/PT.PBR, hlm. 53.
149
Putusan Pengadilan Negeri Pelalawan, Putusan No. 228/Pid.Sus/2013/PN Plw,
hlm. 213.
Universitas Indonesia
316
Universitas Indonesia
317
Universitas Indonesia
318
dalam penuntutan ganda dalam ranah hukum pidana saja ataukah juga
termasuk penyelesaian perkara melalui ranah hukum lain seperti misalnya
perdata, adminstrasi atau penyelesaian perkara di luar pengadilan.153
Permasalahan yang terakhir ini lah yang menjadi pembahasan dalam kasus
tindak pidana lingkungan hidup yang dilakukan oleh PT. Kallista Alam.
Secara umum memang prinsip ne bis in idem ini hanya berlaku
untuk penuntutan di ranah hukum pidana saja, tidak berlaku untuk proses
hukum pada ranah yang berbeda. Misalnya di negara-negara European
Union, Neagu menjelaskan: “as a general rule, the ne bis in idem principle
applies mainly in criminal proceedings. This means that parallel or
subsequent administrative or civil proceedings regarding the same acts are
not prohibited.”154 (sebagai suatu aturan umum, prinsip ne bis in idem
berlaku terutama pada proses peradilan pidana. Ini berarti bahwa proses
paralel dengan proses hukum adminstrasi atau perdata mengenai tindakan
yang sama tidak dilarang.)
Untuk Amerika Serikat misalnya dijelaskan oleh Ferdico, Fradella
dan Totten: “It does not protect against criminal prosecution of a person
after the person has been penalized in a civil proceeding.”155 (Prinsip ini
tidak melindungi seseorang dari penuntutan pidana setelah orang tersebut
diberikan sanksi pada proses hukum perdata.) Bahkan di Amerika Serikat
prinsip double jeopardy tidak menghalangi penuntutan pidana secara
bersamaan antara Pengadilan Federal dan pengadilan negara bagian
(parallel State and Federal prosecutions) apabila memang tindak pidana
yang dilakukan secara bersamaan melanggar ketentuan Federal dan
ketentuan negara bagian pada saat yang bersamaan.156
Dalam kasus pidana lingkungan hidup yang dilakukan PT. Kallista
Alam, hakim yang memutus perkara (Hakim Agung Surya Jaya, Hakim
Agung Margono dan Hakim Agung Suhadi) telah tepat dalam
mengimplementasikan prinsip ini. Di mana hakim menjelaskan bahwa yang
153
Ibid.
154
Ibid., hlm. 958.
155
Ferdico, Fradella dan Totten, op., cit.
156
Lihat David W. Neubauer, op., cit., hlm. 53-55.
Universitas Indonesia
319
dimaksudkan dengan ‘orang tidak boleh dituntut dua kali’ pada Pasal 76
KUHP ini tidak berlaku untuk pemeriksaan perkara pada ranah hukum yang
berbeda. “Bahwa pemeriksaan perkara dalam ranah hukum perdata dengan
perkara dalam ranah hukum pidana sekalipun objek, subjek, locus dan
tempus, peristiwa yang sama secara hukum tidak dapat dikatakan melanggar
prinsip hukum Ne bis In Idem.”157
Dalam hal penjatuhan sanksi, hakim yang memutus perkara PT.
Kallista Alam menjelaskan bahwa kerugian yang dialami negara karena
kebakaran hutan yang disebabkan oleh PT. Kallista alam untuk biaya
pemulihan rehabilitasi lahan yang berjumlah Rp366.098.669.000,00 (tiga
ratus enam puluh enam miliar sembilan puluh delapan juta enam ratus enam
puluh sembilan ribu rupiah) tidak dibebankan kembali kepada PT. Kallista
Alam, karena telah dibebankan pada perkara perdata yang berkaitan dengan
tindak pidana yang bersangkutan. Sehingga dalam putusan ini hakim tidak
memberikan sanksi denda dan hanya membebankan biaya perkara saja.158
Dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan perkara yang sama pada
ranah hukum yang berbeda dimungkinkan dan tidak bertentangan dengan
prinsip ne bis in idem sebagaimana diatur pada Pasal 76 KUHP. Sedangkan
mengenai pemberian sanksi, dalam hal ini cukup adil dengan tidak
memberikan sanksi adminstratif berupa ganti kerugian yang memang telah
dibebankan pada perkara perdata. Namun menurut penulis, sebenarnya hal
ini tidak menghalangi hakim untuk juga dapat memberikan sanksi denda
sebagai bentuk penghukuman secara pidana.
Selanjutnya hakim dalam kasus PT. Kallista Alam (Hakim Agung
Surya Jaya, Hakim Agung Margono dan Hakim Agung Suhadi),
berpendapat bahwa sebaiknya pendakwaan/penuntutan korporasi dan
pengurusnya tidak dilakukan secara splitsing atau terpisah, tetapi sebaiknya
157
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan No. 1554 K/Pid.Sus/2015, hlm.
53
158
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan No. 1554 K/Pid.Sus/2015, hlm.
58.
Universitas Indonesia
320
disatukan dalam satu berkas dakwaan, agar tidak melanggar asas peradilan
cepat, murah dan sederhana.159
Pasal 141 huruf b KUHAP menjelaskan bahwa jaksa penuntut umum
dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya di dalam satu
surat dakwaan apabila ada tindak pidana yang saling bersangkut paut. Di
mana penjelasan pasal ini menerangkan tindak pidana bersangkut paut
apabila dilakukan oleh lebih dari seorang yang bekerjasama dan dilakukan
pada saat yang bersamaan.160
Menurut penulis hal ini sangat masuk akal, dan sangat efisien jika
dibandingkan dengan pemeriksaan kasus ini dilakukan secara terpisah, akan
terjadi pengulangan-pengulangan yang seharusnya tidak perlu. Baik
pengulangan mengenai pembuktian actus reus maupun mengenai mens rea
dari kedua subjek hukum, walaupun berbeda tetapi keduanya sangat
berkaitan satu dengan yang lainnya.161
Universitas Indonesia
321
Universitas Indonesia
322
168
Ibid.
169
Ibid.
170
Keulen dan Gritter, op., cit., hlm. 183.
Universitas Indonesia
323
Mahkamah Agung Belanda dalam hal ini memberikan kriteria yang sangat
penting mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi. Mahkamah Agung
juga mulai mengadopsi pendekatan realis dimana korporasi dilihat sebagai
subjek mandiri yang memiliki pola kerja, kegiatan rutin dan sistem
pengelolaan yang berbeda dengan aktivitas dari orang tertentu di dalam
korporasi.
171
Rb. Roermond 27 Januari 2009, LJN BH1649.
Universitas Indonesia
324
pekerja tersebut terpeleset dan jatuh dari atap dan kemudian meninggal.
Pengadilan menyatakan bahwa korporasi bersalah telah melanggar
kewajiban untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan ketentuan mengenai
keamanan dan keselamatan kerja dan menyatakan korporasi
bertanggungjawab atas kematian pekerjanya tersebut. Kasus ini
menggunakan kriteria yang digunakan pada kasus IJzerdraad sebagai dasar
pembebanan pertanggungjawaban pidana bagi korporasi.
172
Keiler, op., cit., hlm. 484.
Universitas Indonesia
325
Universitas Indonesia
326
tindak pidana tersebut “reasonably attributed,” cukup masuk akal atau layak
untuk diatribusikan kepada korporasi yang bersangkutan. Beberapa kasus
menggunakan standar pelaku fungsional (functional perpetration) untuk
membebankan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Pada
kesempatan yang lain pengadilan di Belanda juga menggunakan beberapa
kriteria seperti penerimaan korporasi terhadap tindak pidana, tindak pidana
dilakukan untuk kepentingan korporasi atau untuk keuntungan korporasi
atau kegagalan korporasi untuk mengambil langkah yang diperlukan untuk
mencegah terjadinya tindak pidana.
Universitas Indonesia
327
korporasi. Tidak mudah untuk menerapkan konsep mens rea yang pada
awalnya diciptakan untuk manusia dan diterapkan juga terhadap suatu
korporasi. Sebagaimana Jim Gobert dan Maurice Punch menjelaskan:179
179
James Gobert dan Maurice Punch, op., cit., hlm. 10.
180
Ibid., hlm. 75
181
Transco Plc v HM Advocate, 2004 SLT 41.
182
The Edinburgh Law Review Note, Corporate Culpable Homicide: Transco Plc v
H M Advocate, The Edinburgh Law Review, vol. 8, 2004, hlm. 262.
183
Ibid.
Universitas Indonesia
328
184
Ana – Maria Pascal, “A Legal Person’s Conscience: Philosophical Underpinnings
of Corporate Criminal Liability,” dalam James Gobert dan Ana-Maria Pascal (editor),
European Developments in Corporate Criminal Liability, (Oxon: Routledge, 2011), hlm.
41.
185
Ibid.
186
Ibid.
187
Ibid. hlm. 42.
Universitas Indonesia
329
Universitas Indonesia
330
Universitas Indonesia
331
195
Corporate criminal complicity misalnya digunakan oleh Jonathan Clough,
“Punishing the Parent: Corporate Criminal Complicity in Human Rights Abuses,” Brooklyn
Journal of International Law, vol. 33: 3, 2008.
Universitas Indonesia
332
196
Harding, op., cit., hlm. 244.
197
Ibid., hlm. 250.
198
Ashworth dan Horder, op., cit., hlm. 5. Dalam sistem hukum common law,
penyertaan dikenal sebagai complicity dan incitement yang merupakan salah satu bentuk
inchoate offences di samping attempt. Dalam hukum pidana internasional doktrin yang
berkembang untuk kejahatan dengan penyertaan ini biasanya disebut sebagai ‘joint criminal
enterprise’ atau ‘common purpose,’ doktrin yang biasanya digunakan secara bergantian,
misalnya dalam kasus Prosecutor v. Milutinovic (the Kosovo case), Case No. IT-99-37-AR
72, Judgment, 36 (May 21, 2003), sedangkan istilah ‘co-perpetration’ kadang-kadang
dipakai tetapi memiliki definisi yang belum terlalu ajeg, istilah ‘co-perpetration’ dalam
kasus Prosecutor v. Kvocka, Case No. IT–98–30/1 – T. Judgement, 276, 287 (Nov. 2,
2001), dibedakan dengan istilah lain dengan tingkat partisipasi yang lebih besar dalam
terlaksananya tindak pidana. Lihat pembahasan mengenai hal ini dalam Tarek F.
Maassarani, “Four Counts of Corporate Complicity,” International Law and Politics, vol.
38:39, November 2006, hlm. 51.
199
Innocent agency dijelaskan oleh Andrew Ashworth dan Jeremy Horder sebagai
“a person can be said to cause another to act where the third party lacks rationality or has
been tricked.” Lihat Andrew Ashworth dan Jeremy Horder, Principles of Criminal Law,
seventh edition, (Oxford: Oxford University Press, 2013), hlm. 115. Pembahasan lebih
lanjut mengenai konsep innocent agency bisa dibaca pada tulisan Peter Alldridge, “The
Doctrine of Innocent Agency,” Criminal Law Forum, 1990, 2; Richard D. Taylor,
“Procuring, Causation, Innocent Agency and the Law Commission,” Criminal Law Review,
2008, 32. Konsep mengenai menyuruh melakukan atau dalam bahasa Belanda Doenplegen
memang tidak dikenal dalam Penal Code Perancis sebagai induk dari Wetboek van
Strafrecht. Begitu juga di Jerman dan Belgia tidak mengenal konsep doenplegen. Orang
yang menyuruh melakukan dianggap sebagai pelaku dalam pengertian yang luas sedangkan
orang yang disuruh dianggap hanya sebagai alat atau instrument. Lihat penjelasan
mengenai hal ini pada Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, (Yogyakarta:
Cahaya Atma Pustaka, 2014, hlm. 302.
Universitas Indonesia
333
200
Membantu melakukan tindak pidana secara umum dipidana lebih rendah
sepertiga dari pelaku tindak pidana. Lihat Pasal 57 KUHP.
201
Menurut Pasal 55 KUHP, Pelaku tindak pidana, pihak yang menyuruh
melakukan tindak pidana, turut serta melakukan tindak pidana dan yang menganjurkan
untuk melakukan tindak pidana, disebut sebagai penyertaan. Dalam hal ini subjek dipidana
sebagai pelaku tindak pidana. Bunyi lengkap dari pasal ini adalah: “ (1) Dipidana sebagai
pelaku suatu tindak pidana: 1. mereka yang melakukan, menyuruh melakukan, dan yang
turut serta melakukan perbuatan; 2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan
sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan atau
ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan,
sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.”
202
Pasal 56 berbunyi: “Dipidana sebagai pembantu suatu kejahatan: 1. Mereka
yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan, 2. Mereka yang sengaja
memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.”
203
Jonathan Clough, op., cit., hlm. 905.
204
Tarek F. Maassarani, op., cit., hlm. 45.
205
Charles Doyle, “Corporate Criminal Liability: An Overview of Federal Law,”
Congressional Research Service (CRS) Report, 7 – 5700, October, 2013, hlm. 6.
Universitas Indonesia
334
206
Title IX dari Organized Crime Control Act 1970, Pub. L. 91 – 452, 84, Stat. 922.
Pembahasan cukup komprehensif tentang UU ini bisa dibaca pada laporan yang dibuat oleh
Michael Levi dan Alaster Smith, “A Comparative Analysis of Organised Crime Conspiracy
Legislation and Practice and Their Relevance to England and Wales,” England Home
Office Online Report 07/02, Desember 2002.
207
Kasus di Amerika yang didasarkan pada aturan ini misalnya United States v.
Salerno et al. (1992) 505 US 317. Dalam kasus ini, suatu keluarga mafia Cosa Nostra,
dinyatakan bersalah atas pelanggaran UU ini. Meskipun yang dipidana akhirnya adalah
individu manusia yang ada dalam keluarga mafia ini dan bukan organisasi keluarganya.
Lihat Harding op., cit., hlm. 257.
208
Harding, op., cit., hlm. 257. Bunyi lengkap dari article 2 (a) EU Joint Action of
1998 adalah: conduct by any person who, with intent and with knowledge of either the aim
and general criminal activity of the organisation or the intention of the organisation to
commit the offences in question, actively takes part in: 1. the organisation's criminal
activities falling within Article 1, even where that person does not take part in the actual
execution of the offences concerned and, subject to the general principles of the criminal
law of the Member State concerned, even where the offences concerned are not actually
committed, 2. the organisation's other activities in the further knowledge that his
participation will contribute to the achievement of the organisation's criminal activities
falling within Article 1.
Universitas Indonesia
335
Dalam kasus Nye & Nissen v. United States,210 korporasi dan CEO
nya (dan tiga orang lain di dalam korporasi) dinyatakan bersalah telah
berkonspirasi untuk melakukan penipuan negara dalam hal pajak dan
melanggar ketentuan § 37 US Criminal Code (sekarang 18 U.S.C § 371),
dan menyerahkan faktur palsu kepada pihak yang berwenang dan melanggar
ketentuan § 35 Criminal Code (sekarang 18 U.S.C § 1001). Meskipun ada
juga hakim di Amerika Serikat yang berpendapat bahwa sifat dasar dan
karakteristik korporasi tidak memungkinkan mereka berperan sebagai pihak
yang ikut serta dalam suatu konspirasi tindak pidana dengan personel
pengendali korporasi, misalnya hakim dalam putusan United States v.
Jefferson.211
Universitas Indonesia
336
melakukan suatu tindak pidana apabila memang ada pihak lain yang ikut
serta dalam konspirasi tindak pidana tersebut.212 Namun Pinto dan Evans
berpandangan bahwa suatu konsporasi tidak bisa dilakukan antara korporasi
dengan pengurus korporasi. Sebagaimana Pinto dan Evans mengutip
pendapat Hakim Nield dalam kasus pidana di Inggris R v McDonnel,
dimana dalam kasus ini perusahaan dan managing director nya dituntut
karena berkonspirasi untuk melakukan penipuan. Hakim Nield menjelaskan:
“…the true position is that a company and a director cannot be convicted of
conspiracy when the only human being who is said to have broken the law
or intended to do so is the one director..”213
Universitas Indonesia
337
untuk mengadakan kerja sama untuk melakukan suatu tindak pidana (shared
intent), atau kesadaran untuk bekerja sama yang terjadi diantara para pihak.
Kedua adalah kerja sama nyata dalam melakukan tindak pidana. Mengenai
dua bentuk kesengajaan yang dikemukakan oleh Pompe ini, Moeljatno
berpandangan bahwa bentuk kesengajaan yang pertama berkaitan dengan
mens rea, sedangkan kesengajaan kedua berkaitan dengan actus reus dalam
mewujudkan tindak pidana.217
217
Ibid.
218
Anita Ramasastry dan Robert C. Thompson, “Commerce, Crime and Conflict:
Legal Remedies for Private Sector Liability for Grave Breaches of International Law, A
Survey of Sixteen Countries,” Fafo – Report 536, 2006, hlm. 18-19.
219
Ibid.
220
United States v. Sain, 141 F. 3d 463, 474 – 75 (3d Cir. 1998). Dapat diakses pada
http://www.allcourtdata.com/law/case/united-states-v-samir-k-sain-no-97-3114-united-
states-of-america-v/cB6D4s6?page=8.
Universitas Indonesia
338
Kasus ini berawal dari kontrak antara AEC dengan Angkatan Darat
Amerika Serikat. Berdasarkan kontrak tersebut AEC berkewajiban untuk
membangun dan mengoperasikan pengelolaan limbah pada depot Angkatan
Darat di Tooele, Utah. Namun dalam pelaksanaan kontrak tersebut Sain dan
AEC membuat pernyataan salah mengenai pengelolaan limbah air dan
melakukan mark up terhadap harga barang. Sain dan AEC dinyatakan telah
melakukan penipuan (defraud) terhadap Angkatan Darat dan melanggar
ketentuan Major Fraud Act of 1998. Hakim dalam putusan ini menjelaskan
bahwa korporasi merupakan subjek hukum mandiri yang terpisah dari
anggota yang ada di dalamnya dan terpisah dari pemilik perusahaan bahkan
ketika pemilik perusahaan tersebut adalah tunggal satu orang, sehingga
perusahaan sebagai subjek hukum mandiri dapat berperan sebagai turut serta
dengan pemiliknya untuk mewujudkan suatu tindak pidana.
Universitas Indonesia
339
Universitas Indonesia
340
225
Ibid.
226
Harding, op., cit., hlm. 257.
227
Spanyol pada prinsipnya tidak mengenal pertanggungjawaban pidana yang
dilakukan oleh korporasi, sehingga dalam kasus ini yang dinyatakan bersalah bukan bank
Riggs sebagai korporasi tetapi adalah pegawai senior dari bank tersebut. Lihat Anita
Ramasastry dan Robert C. Thompson, op., cit., hlm. 14.
228
Doe v. Unocol Corp., 963 F. Supp. 880, 883. Dikutip dari Jonathan Clough,
“Punishing the Parent: Corporate Criminal Complicity in Human Rights Abuses,” Brooklyn
Journal of International Law, vol. 33: 3, 2008, hlm. 900.
229
Presbyterian Church of Sudan v. Talisman Energy, Inc., 244 F. Supp. 2d 289,
299-301 (S.D.N.Y. 2003). Talisman diduga menyadari bahwa pemerintah Sudan melakukan
Universitas Indonesia
341
proteksi terhadap operasi minyak di Negara tersebut, berdasarkan kontrak kerjasama antara
Talisman dengan Pemerintah Sudan, mengakibatkan pemusnahan etnis atau genosida,
pembunuhan dan perbudakan sejumlah warga sipil (termasuk wanita dan anak-anak) dan
penghancuran desa. Lihat Jonathan Clough, “Punishing the Parent: Corporate Criminal
Complicity in Human Rights Abuses,” Brooklyn Journal of International Law, vol. 33: 3,
2008, hlm. 900.
Universitas Indonesia
342
((1) Penuntutan untuk tindak pidana yang diduga dilakukan oleh suatu
partnership harus diajukan atas nama partnership tersebut (dan bukan
atas nama para partner).
(2) Penuntutan untuk tindak pidana yang diduga dilakukan oleh suatu
asosiasi yang tidak berbadan hukum (selain berbentuk partnership)
harus diajukan atas nama asosiasi tersebut (dan bukan atas nama
para anggotanya).
230
Section 33 dari Criminal Justice Act 1925 mengatur tentang hukum acara apabila
yang menjadi terdakwa adalah korporasi.
231
Subsection 7 ini memberikan penegasan bahwa para partner, anggota atau
pengurus belum tentu bertanggung jawab atau mereka tidak otomatis bersalah atas
perbuatan salah dari partnership atau asosiasi.
Universitas Indonesia
344
Universitas Indonesia
345
Universitas Indonesia
346
234
Mark Forbes and Brendan Nicholson, Jemaah Islamiah Declared ‘Forbidden’,
The Age Australia, April 22, 2008, www.theage.com.au, tgl. 21 April 2014.
235
Iwan Sutiawan (reporter), Tian Arief (editor), “Al-Jamaah Al-Islamiyah
Dinyatakan Sebagai Korporasi Terlarang,” Gatra News, Selasa, 08 September 2015,
http://www.gatra.com/hukum/164067-jaksa-eksekusi-al-jamaah-al-islamiyah-sebagai-
korporasi-terlarang, diakses 11 November 2015.
236
Mengenai kedudukan subjek pribadi dan organisasi dalam hal
pertanggungjawaban dan sanksi pidana yang diberikan, akan dibahas lebih dalam pada
BAB IV disertasi ini.
Universitas Indonesia
347
Universitas Indonesia
348
Universitas Indonesia
349
Universitas Indonesia
350
Universitas Indonesia
351
Universitas Indonesia
352
Universitas Indonesia
353
Universitas Indonesia
354
Universitas Indonesia
355
Universitas Indonesia
356
Universitas Indonesia
357
Universitas Indonesia
358
239
Pieth, Ivory, op., cit., hlm. 15.
240
United States Guidelines Manual 2005, §8A1.1 menjelaskan pengertian
organisasi sebagai “a person other than an individual includes corporations, partnerships,
associations, joint-stock companies, unions, trusts, pension funds, unincorporated
organizations, governments and political subdivisions thereof, and non-profit
organizations.”
Universitas Indonesia
359
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Universitas Indonesia
360
Universitas Indonesia
361
Universitas Indonesia
362
Universitas Indonesia
363
Universitas Indonesia
364
B. Saran
Universitas Indonesia
365
Universitas Indonesia
366
Universitas Indonesia
367
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Abdurachman, A. Ensiklopedia Ekonomi Keuangan dan Perdagangan. (Inggris-
Indonesia). Jilid I. (Jakarta: Yayasan Prapancha, 1963).
Abidin, A.Z. Bunga Rampai Hukum Pidana. (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983).
Allen, Michael J. Text Book on Criminal Law. 4th edition. (London: Blackstone
Press Limitied, 1997).
Allison, Graham T. Essence of Decision: Explaining the Cuban Missile Crisis.
Second Edition. (New York, US: Longman, 1999).
Apeldoorn, L.J. van. Pengantar Ilmu Hukum. Cet. 26. (Jakarta: PT. Pradnya
Paramita, 1996).
Arcand & Pelletier. “Cognition Based Multi-Agent Architecture.” Dalam
Wooldridge, Müller dan Tambe (editor). Intelligent Agents II: Agent
Theories, Architectures, and Languages. (Germany: Springer, 1996).
Arief, Barda Nawawi. Kapita Selekta Hukum Pidana. Cet. 2. (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2010).
Atkitson, Jeff dan Schurrah, Martin. Globalizing Social Justice, The Role of Non-
Governmental Organizations in Bringing About Social Change. (New
York: Palgrave Macmillan, 2009).
Atmasasmita, Romli. Capita Selekta Kriminologi. (Bandung: Armico, 1983).
Babbie, Earl. The Practice of Social Research. (New York: Wadsworth Publishing
Company, 1998).
Universitas Indonesia
368
Bailey, Kenneth D. Methods of Social Research. Second Edition. (New York: The
Free Press, 1982).
Cane, Peter. Responsibility in Law and Morality (Oxford: Hart Publishing, 2002).
Cohen, Meir Dan (1). Rights, Persons, and Organizations: A Legal Theory for
Bureaucratic Society. (Berkeley: University of California Press, 1986).
Collin, P.H. Dictionary of Law. Fourth Edition. (London, UK: Bloomsbury
Publishing Plc, 2005).
Dahl, Robert A. Pluralist Democracy in the United States: Conflict and Consent
(Chicago, US: Rand McNally, 1968).
Davies, Margaret. Asking the Law Question: the Dissolution of Legal Theory, 3rd
edition. (Sydney, Australia: Law Book Company, 2008).
Dillon, John F. The Law of Municipal Corporation. Second edition – Revised and
Enlarged. Vol. 1. (New York, US: James Cockcroft & co, 1873).
Universitas Indonesia
369
Duff, R.A. Answering for Crime: Responsibility and Liability in the Criminal Law,
(Oxford: Hart Publishing, 2007), hlm. 202
Ferdico, Fradella dan Totten. Tenth edition. Criminal Procedure: For the Criminal
Justice Professional. (USA: Wadsworth, 2009).
Finnis, John. "The Priority of Person", dalam Jeremy Horder (editor), Oxford
Essays in Jurisprudence. Forth Series (Oxford, UK: Oxford University
Press, 2002).
Fisse, Brent and John Braithwaite. Corporation, Crime and Accountability
(Cambridge, UK: Cambridge University Press, 1993).
Fisse, Brent. “Controlling Governmental Crime: Issue of Individual and Collective
Liability,” dalam Peter Grabosky and Irena Le Lievre (editor),
Government Illegality (Canberra, Australia: Australian Institute of
Criminology, 1987), hal. 122.
Fletcher, George P. (1). Basic Concepts of Criminal Law (New York: Oxford
University Press, 1998).
_________. (2). Rethinking Criminal Law (Oxford, UK: Oxford University Press,
2000).
Foisneau, Luc. "Elements of Fiction in Hobbes’s System of Philosophy" dalam
Fiction and the Frontiers of Knowledge in Europe 1500-1800. Richard
scholar dan Alexis Tradié (editor). (Inggris: Ashgate Publishing Limited,
2010).
Universitas Indonesia
370
Foster, Neil. “Individual Liability of Company Officers.” Dalam James Gobert dan
Ana-Maria Pascal (editor). European Developments in Corporate
Criminal Liability. (Oxon: Routledge, 2011).
Garret, Brandon L. (1) Too Big Too Jail: How Prosecutors Compromise with
Corporations. (London, England: The Belknap Press of Harvard
University Press, 2014).
Gierke, Otto. Von. Political Theories of the Middle Age. F. W. Maitland (editor).
(Cambridge: Cambridge University Press, 1900).
Gobert, James dan Ana-Maria Pascal (editor), European Developments in
Corporate Criminal Liability, (Oxon: Routledge, 2011)
Gobert, James. “Squaring the Circle: the Relationship between Individual and
Organizational Fault,” dalam James Gobert dan Ana-Maria Pascal
(editor), European Developments in Corporate Criminal Liability, (Oxon:
Routledge, 2011).
Gobert, James dan Maurice Punch. Rethinking Corporate Crime. (London, UK:
Butterworths, 2003).
Green, Penny dan Tony Ward. State Crime: Governments, Violence and
Corruption. (London, UK: Pluto Press, 2004).
Haar, B., Bzn, Ter. Asas-asas dan Susunan Hukum Adat. Cet ke-7. Terjemahan
K.ng. Soebakti Poesponoto (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983).
Hamzah, Andi. Hukum Pidana Ekonomi. Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit Erlangga,
1986.
Harahap, Yahya. Hukum Perseroan Terbatas. Cetakan ke tiga. (Jakarta: Sinar
Grafika, 2011).
Harding, Christopher. Criminal Enterprise: Individuals, Organisations And
Criminal Responsibility. (Willian Publishing. 2007).
Universitas Indonesia
371
_________. (2), The Concept of Law,” Second Edition, Postscript diedit oleh
Penelope A. Bulloch dan Joseph Raz, (Oxford: Clarendon Press, 1994).
_________. (3) dengan suatu introduksi oleh John Gardner, Punishment and
Responsibility: Essays in the Philosophy of Law, Second edition, (Oxford:
Oxford University Press, 2008).
Hartley, Richard D. Corporate Crime, (California, US: ABC-CLIO, Inc, 2008).
Jefferson, Michael. Criminal Law, 8th edition, (England: Pearson Longman, 2007).
Joyce, Peter. Criminal Justice: An Introduction to Crime and the Criminal Justice
System, (Devon, UK: Willan Publishing, 2006)
Kansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. (Jakarta: Balai
Pustaka, 1989).
Keeton, George W. The Elementary Principles of Jurisprudence, (London, UK:
Pitman & Sons, 1949).
Kelsen, Hans. (1). General Theory of Law and State. 6th printing. Diterjemahkan
oleh Anders Wedberg, (New Jersey: The Lawbook Exchange Ltd, 2003).
_________. (2). Pure Theory of Law. second revised and enlarge edition.
diterjemahkan oleh Max Knight (Berkeley: University of California Press,
1967).
Universitas Indonesia
372
Kummeling, Henk R.B.M. dan Ton P.W. Duijkersloot. “Agencies and the
Netherlands.” dalam Luc Verhey dan Tom Zwart (editor). Agencies in
European and Comparative Perspective. (Antwerp, Belgium: Intersentia,
2003).
Kusumaatmadja, Mochtar dan B. Arief Sidharta. Pengantar Ilmu Hukum, Suatu
Pengenalan Pertama Ruang lingkup Berlakunya Ilmu hukum. Buku I.
(Bandung: Alumni, 2000).
Lin, Keith Abney Patrick dan George A. Bekey, Robot Ethics: The Ethical and
Social Implications of Robotics (London: The MIT Press 2012).
Maitland, Frederic William (2). H.A.L Fisher (editor). The Collective Papers of
Frederic William Maitland, (Cambridge, UK: The University Press,
1911).
Maitland, Frederic William (3). State, Trust and Corporation. David Runciman
dan Manus Ryan (editor). (Cambridge, UK: Cambridge University Press,
2003).
McAuley, John. Joanne Duberley and Phil Johnson. Organization Theory:
Challenges and Perspectives. (England: Pearson Education, 2007).
McConnell, Grant. Private Power and American Democracy. (New York, US:
Knopf, 1966).
Universitas Indonesia
373
Minkes, John, dan Leonard Minkes. (editor). Corporate and White Collar Crime.
(Los Angeles, USA: Sage, 2008).
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, cetakan ke-lima, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,
1993.
Molan, Mike. Denis Lanser dan Duncan Bloy, Bloy and Parry’s Criminal Law.
Fourth Edition, (London: Cavendish Publishing Limited, 2000)
Muladi dan Diah Sulistyani. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. (Corporate
Criminal Responsibility).” Edisi ke-2. Cetakan ke-1. (Bandung: Alumni,
2015).
Nace, Ted. Gangs of America: The Rise of Corporate Power and the Disabling of
Democracy. (San Francisco, US: Berrett – Koehler Publisher, Inc, 2005).
Naffine, Ngaire (2). Legal Theory Today, Law’s Meaning of Life: Philosophy,
Religion, Darwin and the Legal Person. (Portland: Hart Publishing,
2009).
Universitas Indonesia
374
Ohlin, Jens David. “Is the Concept of the Person Necessary for Human Rights?” dalam
Fluer Johns (editor). International Legal Personality (England: Ashgate
Publishing Limited, 2010).
Pachta, W., Andjar, Myra Rosana Bachtiar, dan Nadia Maulisa Benemay. Hukum
Koperasi Indonesia. Cetakan ke-3. (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2008).
Parsons, Talcontt. Structure and Process in Modern Societies (The Free Press,
1960).
Parsons, Talcott Dan Robert F. Bales, Family, Socialization And Interaction
Process (The Free Press. 1955).
Pascal, Ana – Maria. “A Legal Person’s Conscience: Philosophical Underpinnings
of Corporate Criminal Liability.” Dalam James Gobert dan Ana-Maria
Pascal (editor). European Developments in Corporate Criminal Liability.
(Oxon: Routledge, 2011).
Pieth, Mark dan Ivory, Radha. “Emergence and Convergence: Corporate Criminal
Liability Principles in Overview.” Dalam Mark Pieth and Radha Ivory
(editor). Corporate Criminal Liability: Emergence, Convergence and
Risk, Mark Pieth and Radha Ivory (editor). (London: Springer, 2011).
Pinto and Evans. Corporate Criminal Liability. (London: Sweet & Maxwell,
2003).
Post, Preston dan Sachs. Redefining the Corporation (Standford: Standford
University Press, 2002).
Pound, Roscoe. An Introduction to the Philosophy of Law. Fourth printing. (New
Haven, Connecticut, USA: Yale University Press, 1930).
Purwositjipto, HMN. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia: Bentuk-Bentuk
Perusahaan. (Jakarta: Djambatan: 1987).
Universitas Indonesia
375
Runciman, David dan Ryan, David. “Editor’s Introduction”, Maitland, State, Trust
and Corporation. (Cambrige, UK: Cambridge University Press, 2003).
Salmond, John. Jurisprudence. Glanville L. Williams (editor). 10th edition
(London: Sweet & Maxwell, 1947).
Salter dan Mason. Writing Law Dissertations: An Introduction and Guide to the
Conduct of Legal Research. (London: Pearson Education Limited, 2007).
Santha, Ferenc dan Szilvia Dobroesi. “Corporate Criminal Liability in Hungary.”
dalam buku Mark Pieth, Radha Ivory (editors). Corporate Criminal
Liability: Emergence, Convergence and Risk. (London: Springer, 2011).
Sarre, Rick. (1). “Penalising Corporate ‘culture’: The Key to Safer Corporate
Activity?” dalam James Gobert dan Ana-Maria Pascal (editor), European
Developments in Corporate Criminal Liability, (Oxon: Routledge, 2011).
Universitas Indonesia
376
Singer, Richard G. dan John Q. La Fond. Criminal Law. Fourth Edition. (New
York: 2007).
Sinha, Surya Prakash. Jurisprudence: Legal Philosophy. (United States: West
Publising Co, 1993).
Sjahdeini, Sutan Remy (1). Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Cet. 2.
(Jakarta: Grafiti Pers, 2007)
_________ (2). Ajaran Pemidanaan: Tindak Pidana Korporasi & Seluk Beluknya.
Edisi Kedua. (Jakarta: Kencana, 2017).
Soekanto, Soerjono dan Mamuji, Sri. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat. (Jakarta: CV. Rajawali, 1986)
Utrecht, Mr. Drs. E. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, (Surabaya: Pustaka
Tinta Mas, 2000),
Universitas Indonesia
377
Wells, Celia (1). “Corporate Criminal Liability in England and Wales: Past,
Present and Present.” Dalam Corporate Criminal Liability: Emergence,
Convergence and Risk. Mark Pieth and Radha Ivory (editor). (London:
Springer, 2011).
Wells, Celia (2). Corporations and Criminal Responsibility. 2cd edition. (New
York: Oxford Univerisy Press, 2001).
Weygandt, Jerry J. et al. Accounting Principles. Twelfth Edition. (Asia: John
Wiley & Sons Asia, 2010).
Whittington, Richard dan Mayer, Michael. The European Corporation: Strategy,
Structure, and Social Science. (Oxford: Oxford University Press, 2002).
Universitas Indonesia
378
Beale, Sara Sun. “The Development and Evaluation of the U.S. Law of
Corporate Criminal Liability and the Yates Memo.” Stetson Law
Review. Vol. 46. 2016.
Bildfell, Connor “Justice Deferred? Why and How Canada Should Embrace
Deferred Prosecution Agreements in Corporate Criminal Cases,”
Canadian Criminal Law Review. Vol. 20. March 2016. 161-207.
Blair, Margaret M. “Corporate Personhood and the Corporate Persona.”
University of Illinois Law Review. No. 3. 2013. 785.
Bovens, Mark. “Analysing and Assessing Accountability: A Conceptual
Framework.” European Law Journal. Vol. 13. No. 4. July 2007. 447-
468.
Boyle, Becky. “Free Tilly?: Legal Personhood For Animals And The
Intersectionality Of The Civil & Animal Rights Movements.” Indiana
Journal Of Law And Social Equality. Vol. 4. Issue 2. 2016.
Chiesa, Luis E. “Of Persons and the Criminal Law: (Second Tier) Personhood
as a Prerequisite for Victimhood.” Pace Law Review. Vol. 28. 2008.
759.
Universitas Indonesia
379
Ducor, Philippe. “The Legal Status of Human Materials.” Drake Law Review.
44 (3) 1996. 195-259.
Universitas Indonesia
380
Universitas Indonesia
381
Harvard Law Review's Note. “What We Talk about When We Talk about
Persons: The Language of a Legal Fiction.” Harvard Law Review.
Vol. 114. No. 6. 2001. 1745-178.
Joh, Elizabeth E. dan Joo, Thomas W. “The Corporation As Snitch: The New
DOJ Guidelines on Prosecuting White Collar Crime.” Virginia Law
Review. Vol. 101. 2015.
Kader, David. "Law of Tortious Prenatal Death Since Roe v. Wade." Missouri
Law Review. Vol 45. Issue 4. 1980.
Katz, Richard J. “Origins of Animal Law: Three Perspectives.” Animal Law.
Vol. 10: 1. 2004.
Keiler, Johannes. “Actus Reus and Participation in European Criminal Law.”
Disertasi Maastricht University. 2013.
Universitas Indonesia
382
Universitas Indonesia
383
Lugosi, Charles I. “Conforming to the Rule of Law: When Person and Human
Being Finally Mean the Same Thing in Fourteenth Amendment
Jurisprudence.” Issues in Law and Medicine. No. 22. 2006. 119-303.
Luna, Erik. “Curious Case of Corporate Criminality.” American Criminal Law
Review. Vol. 46. 2009. 1507.
Universitas Indonesia
384
Rozie, Fachrur. “3 Parpol Disebut dalam Dakwaan Terima Aliran Dana Kasus
E-KTP.” http://news.liputan6.com/read/2880662/3-parpol-disebut-dalam-
Universitas Indonesia
385
Universitas Indonesia
386
Stone, Chirstopher D. “Should Trees Have Standing? Toward Legal Rights for
Natural Objects.” Southern California Law Review. 45. 1972. 450 -
501.
Szasz, Thomas S. "Psychiatry, Ethics and the Criminal law." Columbia Law
Review. Vol. 58. No. 2. February 1958. 183-198.
Taslitz, Andrew E. "Reciprocity And The Criminal Responsibility Of
Corporations." Stetson Law Review. 41. 73. 2011-2012.
Tempo.co, “Jadi Tersangka, Mantan Dirut Garuda Emirsyah Satar Dicegah ke
Luar Negeri,” Jumat, 20 Januari 2017,
https://nasional.tempo.co/read/news/2017/01/20/063838026/jadi-
tersangka-mantan-dirut-garuda-emirsyah-satar-dicegah-ke-luar-
negeri, diakses 21 Januari 2017.
The Edinburgh Law Review Note. Corporate Culpable Homicide: Transco Plc
v H M Advocate. The Edinburgh Law Review. Vol. 8. 2004.
Universitas Indonesia
387
Australia. Victorian Crimes (Workplace Deaths and Serious Injuries) Bill 2001.
Australia. New South Wales (NSW) Occupational Health and Safety Act 2000.
Universitas Indonesia
388
Universitas Indonesia
389
Universitas Indonesia
390
3817.
Indonesia. Undang-Undang Lalu lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. UU No.
24 Tahun 1999. LN. No. 67 Tahun 1999. TLN No. 3844.
Universitas Indonesia
391
Universitas Indonesia
392
Tahun 2004 Tentang Perikanan. UU No. 45/2009. LN. No. 154 Tahun
2009. TLN No. 5073.
Universitas Indonesia
393
Universitas Indonesia
394
United Kingdom. Health and Safety at Work etc. Act 1974 (HSWA).
United States. Nye & Nissen v. United States, 336 U.S. 613, 619 (1949).
United States. United States v. Sain, 141 F. 3d 463, 474 – 75 (3d Cir. 1998).
Universitas Indonesia
395
United States. United States. Scott v. Sandford (60 U.S. 393 (1856)), dapat
diakses online pada Justia US Supreme Court,
https://supreme.justia.com/cases/federal/us/60/393/case.html, diakses 22
November 2014.
Universitas Indonesia
Lampiran 1. Undang-Undang Indonesia dengan Organisasi sebagai Subjek Hukum Pidana1
Untuk memberikan gambaran yang lengkap tentang peristilahan dan terminologi yang digunakan di dalam perjalanan sejarah
menurut rezim hukum pidana Indonesia, akan dipaparkan pada tabel berikut:
No. Undang-Undang Terminologi yang digunakan Subjek hukum yang bisa Sanksi pidana yang bisa
dikenakan sanksi dijatuhkan kepada korporasi
2. UU Darurat No. 13 Tahun Ps. 3: Badan Hukum, Ps. 11: Anggota pengurus atau
1950 Tentang Pinjaman perserikatan, perseroan, yayasan wakil badan hukum,
1
Dimodifikasi, disunting dan ditambahkan dari tabel yang dibuat oleh Kristian, “Hukum Pidana Korporasi: Kebijakan Integral (Integral Policy) Formulasi
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia”, (Bandung: Nuansa Aulia, 2014), hlm. 78-99. Tabel ini dibuat bukan untuk mengidentifikasi semua UU yang
pernah ada dan memuat subjek hukum organisasi, tetapi untuk mengidentifikasi istilah yang digunakan pada UU yang merujuk kepada subjek hukum organisasi,
sehingga ada beberapa UU yang menggunakan istilah yang sama dan tidak dimasukkan ke dalam tabel ini. Disamping itu, tabel ini tidak hanya dipakai untuk
melihat peristilahan yang digunakan sebagaimana kepentingan bab ini, tetapi juga akan dianalisa untuk keperluan pada Bab IV mengenai pertanggungjawaban
pidan dan sanksi. Prof. Barda Nawawi dalam buku beliau “Kapita Selekta Hukum Pidana” juga mengidentifikasi beberapa UU yang mengandung istilah,
pertanggungjawaban dan sanksi pidana bagi tindak pidana yang melibatkan korporasi, namun, tabel ini cakupannya lebih luas dan lebih lengkap untuk tidak hanya
mengidentifikasi bahwa ada berbagai macam dan ada perbedaan istilah tetapi juga melihat karakteristik UU seperti apa menggunakan istilah apa, dan istilah yang
paling sering digunakan oleh UU untuk merujuk kepada berbagai bentuk organisasi.
2
Ditetapkan menjadi UU dengan Indonesia, UU No. 25 Tahun 1953, LN No. 75 Tahun 1953.
3
Penjelasan Pasal 2 menyatakan bahwa badan hukum berdasarkan hukum publik juga bisa disebut sebagai pengusaha, sepanjang kegiatan penyerahan barang dan
jasa yang dilakukan bukanlah dalam rangka menjalankan pemerintahan. Sehingga institusi negara sebenarnya bisa disebut sebagai pelaku usaha yang tunduk pada
segala ketentuan yang mengatur pelaku usaha privat jika menjalankan kegiatan yang bukan bersifat pemerintahan. Mengenai kemampuan korporasi publik dapat
bertanggung jawab di dalam hukum pidana akan dibahas secara mendalam pada sub bab selanjutnya.
396
Darurat4 perserikatan, perseroan, yayasan
3. UU No. 1 Tahun 1951 Ps. 19: Badan Hukum Ps. 19: Pengurus Badan Hukum
Tentang Berlakunya UU
No. 12 Tahun 1948 Tentang
Kerja
4. UU No. 2 Tahun 1951 Ps. 4: majikan ialah tiap-tiap Ps. 30: Anggota – anggota
Tentang Peryataan orang atau badan hukum Pengurus Badan Hukum
Berlakunya UU No. 13
Tahun 1947 Tentang
Kecelakaan
5. UU No. 3 Tahun 1951 Ps. 7: “Badan Hukum” Ps. 7: Pengurus Badan Hukum
Tentang Pernyataan
Berlakunya UU Pengawasan
Perburuhan5
6. UU Darurat No. 12 Tahun Ps. 4: Badan Hukum Ps. 4: Pengurus atau wakilnya
1951 Tentang Mengubah setempat
Ordonantie Tijdelijke
4
Ditetapkan menjadi UU dengan Indonesia, Undang-Undang tentang Penetapan "Undang-Undang Darurat tentang Pinjaman Darurat," Sebagai Undang-Undang,
UU No. 2/1952, LN No. 28 Tahun 1952.
5 Indonesia, Undang-Undang tentang Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk seluruh
Indonesia, UU No. 3 Tahun 1951, LN No. 4 Tahun 1951.
397
Byzondere Strafbepalingen
(Stbl. 1948 No. 17) dan UU
RI Dahulu No. 8 Tahun
1948
7. UU Darurat No. 13 Tahun Ps. 9: Badan Hukum, perseroan, Ps. 9: anggota Pengurus atau
1951 Tentang Bursa6 perserikatan lain atau yayasan wakilnya setempat
8. UU Darurat No. 16 Tahun Ps. 1 (1) huruf b: majikan adalah Ps. 19: Pengurus atau pemimpin
1951 Tentang Penyelesaian orang atau badan hukum yang badan hukum, perserikatan atau
Perselisihan Perburuhan7 mempekerjakan buruh sejumlah orang itu.
9. UU Darurat No. 17 Tahun Ps. 1 (e): Badan Hukum: “tiap Ps. 11: Badan Hukum8 dan atau Ps. 11: Perampasan barang, denda,
1951 Tentang Penimbunan perusahaan atau perseroan, orang-orang. hukuman tambahan dan tindakan-
Barang-Barang perserikatan atau yayasan, dalam tindakan:
arti yang seluas-luasnya, juga jika
6
Ditetapkan sebagai Undang-undang dengan UU No. 15 Tahun 1952 (Lembaran Negara Tahun 1952 Nomor 67) dan UU ini dicabut dengan Indoensia, Undang-
Undang tentang Pasar Modal, UU No. 8/1995, LN No. 64 Tahun 1995.
7
Dicabut dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 42), yang mana
kemudian UU No. 22/1957 ini juga dinyatakan tidak berlaku dengan Indonesia, Undang-Undang tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, UU No.
2/2004, LN No. 6 Tahun 2004.
8
Pertanggungjawaban pidana yang dapat dibebankan kepada badan hukum pertama kali diterima dalam UU tentang Penimbunan Barang ini, dan UU ini juga
menganut pemahaman bahwa badan hukum yang dapat bertanggung jawab bukan hanya badan hukum menurut hukum tetapi juga badan hukum yang menurut
kenyataan dilihat sebagai badan hukum.
398
kedudukan sebagai badan hukum a. Pengumuman keputusan
itu baik dengan jalan hukum hakim tentang perbuatan itu.
ataupun berdasarkan kenyataan b. Kewajiban untuk membayar
tidak diberikan kepadanya.” sejumlah uang jaminan paling
banyak seratus ribu rupiah.
10. UU Darurat No. 19 Tahun Ps. 46: Badan Hukum Ps. 46: Anggota Pengurus
1951 Tentang Pemungutan
Pajak Penjualan9
11. UU Darurat No. 13 Tahun Ps. 5: Badan Hukum Ps. 5: Pengurus atau Wakil
1952 Tentang Larangan Badan Hukum
untuk Mempergunakan dan
Memasukkan Dalam
Peredaran Uang Perak10
12. UU No. 3 Tahun 1953 Ps. 3: Badan Hukum Ps. 3: Pengurus atau Wakil
Tentang Pembukaan Badan Hukum
11
Apotek
9
Ditetapkan mejadi UU dengan Indonesia, Undang-Undang tentang Penetapan "Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1951, Tentang Pemungutan Pajak
Penjualan" (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 1951) Sebagai Undang-Undang, UU No. 35/1953, LN No. 85 Tahun 1953.
10
Ditetapkan menjadi UU dengan Indonesia. Undang-Undang tentang Penetapan "Undang-Undang Darurat Tentang Larangan Untuk Mempergunakan dan
Memasukkan Dalam Peredaran Uang Perak Lama, Yang Dikeluarkan Berdasarkan "Indische Muntwet 1912" (Undang-Undang Darurat Nomor 13 Tahun 1952,
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 1952)" Sebagai Undang-Undang. UU No. 26/1953. LN No. 76 Tahun 1953.
11
Dinyatakan tidak berlaku dengan UU Darurat No. 5 Tahun 1958 Tentang Kedudukan Hukum Apotek Darurat
399
13. UU Darurat No. 4 Tahun Ps. 7: Badan Hukum Ps. 7: Anggota atau Pengurus
1955 Tentang Larangan dari badan hukum
Untuk Mengumpulkan Uang
Logam yang Sah dan
Memperhitungkan Agio
pada Waktu Penukaran
Alat-Alat Pembayaran yang
Sah
14. UU Darurat No. 7 Tahun 1955Ps. 15: Badan Hukum, Perseroan, Ps. 15: Badan Hukum, Ps. 6: Hukuman Pokok sama dengan
Tentang Tindak PidanaPerserikatan orang, Yayasan Perseroan, Perserikatan orang, Hukum Pokok KUHP dengan
Ekonomi Yayasan, Pemberi perintah, maksimal hukuman lebih berat dari
pemimpin pada ketentuan KUHP
a. Pencabutan hak-hak
b. Penutupan seluruhnya atau
sebagian perusahaan
c. Perampasan barang-barang
d. Penghapusan sebagian atau
seluruh keuntungan
e. Pengumuman putusan hakim
400
a. Penempatan perusahaan
dibawah pengampuan
b. Pembayaran uang jaminan
c. Mengerjakan apa yang
dilalaikan, meniadakan apa
yang dilakukan tanpa hak,
melakukan jasa-jasa untuk
memperbaiki akibat-akibat.
15. UU No. 11 PNPS Tahun Ps. 17: Badan hukum, perseroan, Ps. 17: Mereka yang memberi
1963 Tentang Tindak perserikatan orang, yayasan atau perintah untuk melakukan tindak
12
Pidana Subversi organisasi lainnya pidana atau pemimpin dalam
perbuatan itu
16. UU No. 2 Tahun 1981 Ps. 34: Badan Usaha Ps. 34:
Tentang Metrologi Legal
a. Pengurus, apabila berbentuk
badan hukum dan atau
yayasan
b. Sekutu aktif, apabila
berbentuk persekutuan atau
perkumpulan orang
c. Wakil atau kuasanya di
12
Dicabut dengan Indonesia, Undang-Undang tentang Pencabutan UU No. 11/PNPS/Tahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, UU No. 26/1999, LN.
No. 73 Tahun 1999.
401
Indonesia, apabila kantor
pusatnya berkedudukan di
luar wilayah RI.
17. UU No. 3 Tahun 1982 Ps. 1 (c): Pengusaha adalah setiap Ps. 35: Pengurus atau Pemegang
Tentang Wajib Daftar orang perseorangan atau kuasa dari badan hukum
Perusahaan persekutuan atau “Badan Hukum”
yang menjalankan sesuatu jenis
perusahaan
18. UU No. 6/1983 Tentang Ps. 1 (3): Badan adalah Bab VIII (Ketentuan pidana): BAB VIII (Ketentuan Pidana):
Ketentuan Umum dan Tata sekumpulan orang dan/atau modal menjelaskan semua adresat kurungan, penjara, denda
Cara Perpajakan yang merupakan kesatuan baik pasalnya adalah “setiap orang”
Sebagaimana Telah yang melakukan usaha yang (walaupun tidak ada keterangan
Beberapa Kali diubah meliputi PT, perseroan umum siapa yang dimaksud
Terakhir dengan UU No. komanditer, perseroan lainnya, dengan setiap orang, tetapi
16/2009 BUMN, atau BUMD dengan diasumsikan merujuk kepada
nama dan dalam bentuk apapun, wajib pajak sebagai mana
firma, kongsi, koperasi, dana dijelaskan pada Ps. 1 (2) yang
pensiun, persekutuan, menjelaskan wajib pajak adalah
perkumpulan, yayasan, organisasi orang pribadi atau badan).
massa, organisasi sosial politik,
atau organisasi lainnya, lembaga
dan bentuk lainnya termasuk
kontrak investasi kolektif dan
402
bentuk usaha tetap.13
19. UU No. 5 Tahun 1984 Ps. 1 (7): Perusahaan industri Bab X (Ps. 24-28): Hanya Bab X (Ps. 24-28): Pidana penjara
Tentang Perindustrian14 adalah “badan usaha” yang menyebutkan “barang siapa” dan atau denda dengan hukuman
melakukan kegiatan di bidang tanpa memberikan penjelasan tambahan dicabut izin usaha
usaha industri lebih lanjut apakah perusahaan industrinya
industri dapat dipidana sebagai
subjek mandiri.
20. UU No. 6 Tahun 1984 Ps. 19: Badan hukum, perseroan, Ps. 19: Ps. 19: Pidana penjara dan denda,
Tentang Pos15 perserikatan orang lain atau seta tindakan tata tertib.
yayasan 1. Badan hukum, perseroan,
perserikatan orang atau (tidak dijelaskan lebih lanjut di
yayasan dalam UU ini tindakan tata tertib
2. Orang yang memberi yang bisa diberikan)
perintah melakukan tindak
pidana sebagai pimpinan
atau penanggung jawab
dalam perbuatan atau
kelalaian yang bersangkutan
13
Perubahan ke tiga (UU No. 28/2007). UU yang berkaitan dengan perpajakan konsisten menggunakan istilah “badan” untuk merujuk kepada subjek selain orang
perseorangan, seperti misalnya UU No. 11/2016 Tentang Pengampuan Pajak pada Ps. 1 (2): wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang mempunyai
kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Lihat Indonesia, Undang-Undang tentang Pengampuan Pajak,
UU No. 11/2016, LN No. 131 Tahun 2016, TLN No. 5899.
14
Dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan Indonesia, Undang-Undang tentang Perindustrian, UU No. 3/2004, LN No. 4 Tahun 2004.
15
Dicabut dengan Indonesia, Undang-Undang tentang Pos, UU No. 38/2009, LN No. 146 Tahun 2009.
403
3. Terhadap kedua-duanya.
21. UU No. 9 Tahun 1985 Ps. 1 (5): Setiap orang atau badan Ps. 6: setiap orang atau Badan Bab VIII (Ps. 24-30): Pidana
Tentang Perikanan16 hukum hukum penjara dan atau denda
22. UU No. 4 Tahun 1990 Penjelasan Ps. 6 (1): yang Orang perseorangan, Bab IV: Pidana kurungan dan denda
Tentang Serah Simpan dimaksud orang adalah orang persekutuan, badan hukum baik (denda relatif kecil)
Karya Cetak dan Karya perseorangan, persekutuan, badan milik negara maupun swasta
Rekam hukum baik milik negara maupun (walaupun tidak dijelaskan
swasta secara tegas apakah badan
hukum dapat bertanggungjawab
secara mandiri)
23. UU No. 2 Tahun 1992 Ps. 24: Badan hukum atau badan Ps. 24: Badan tersebut ataupun Ps. 21: Pidana penjara dan pidana
Tentang Usaha usaha yang tidak berbadan hukum terhadap mereka yang denda
Perasuransian (dicabut memberikan perintah atau
dengan UU No. 40 Tahun pimpinan dalam melakukan
2014) tindak pidana maupun terhadap
kedua-duanya.
24. UU No. 3 Tahun 1992 Ps. 1 (3): “pengusaha” adalah Pengurus dan/atau kepada Ps. 29: Kurungan atau denda.
Tentang Jaminan Sosial orang, “persekutuan, atau badan perusahaan yang bersangkutan
16
Dicabut dengan UU No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan Jo. Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan. UU No. 45/2009. LN. No. 154 Tahun 2009. TLN No. 5073.
404
Tenaga Kerja17 hukum” yang menjalankan suatu (walaupun tidak disebutkan Ps. 30: Dikenakan sanksi
perusahaan. secara tegas bahwa perusahaan adminstratif, berupa ganti rugi atau
dapat bertanggung jawab denda yang akan diatur lebih lanjut
Ps. 1 (4): Perusahaan adalah sebagai pribadi hukum mandiri) dengan Peraturan Pemerintah.
setiap bentuk “badan usaha” yang
mempekerjakan tenaga kerja
dengan tujuan mencari untung
atau tidak, baik milik swasta
maupun milik negara
25. UU No. 4 Tahun 1992 Ps. 7: Badan Ps. 36: Badan (secara tegas Ps. 36: Pidana penjara dan/atau
Tentang Perumahan dan menyebutkan pasal ini ditujukan denda
Permukiman18 untuk badan)
26. UU No. 7 Tahun 1992 Jo. Ps. 22: Badan hukum yang Ps. 46: terhadap mereka yang Ps. 46-51: Penjara serta denda
UU No. 10 Tahun 1998 berbentuk perseroan terbatas, memberi perintah atau yang (dengan sanksi denda yang sangat
Tentang Perbankan perserikatan, dan yayasan atau bertindak sebagai pimpinan besar, sangat disayangkan
koperasi dalam perbuatan pidana atau pertanggungjawabannya hanya
terhadap kedua-duanya. diberikan kepada pemberi perintah
Penjelasan Ps. 22 (1) huruf a: dan atau pemimpin saja tanpa
Yang termasuk dalam pengertian menyebutkan bahwa badan
badan hukum Indonesia antara hukumnya pun dapat dipidana
lain adalah Negara Republik
17
Dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan Indonesia. Undang-Undang Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. UU No. 24/2011. LN No. 116 Tahun
2011.
18
Dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan Indonesia, Undang-Undang tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman, UU No. 1/2011, LN No. 7 Tahun 2011.
405
Indonesia, BUMN, BUMD, sebagai subjek hukum pidana yang
Koperasi dan Badan usaha milik mandiri)
swasta
27. UU No. 8 Tahun 1992 Ps 9: Badan usaha yang berstatus Ps. 44: Perusahaan/ badan usaha Ps. 44: sanksi denda dan/atau sanksi
Tentang Perfilman badan hukum Indonesia.19 administratif
28. UU No. 12 Tahun 1992 Ps. 47 (1): Badan usaha yang Ps. 48: Perorangan atau badan Ps. 61: Penjara, kurungan, atau
Tentang Sistem Budi Daya berbentuk badan hukum yang hukum denda
Tanaman didirikan menurut hukum
Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia.
o Koperasi,
o BUMN, BUMD atau
o Perusahaan swasta
19
Indonesia, Undang-Undang tentang Perfilman, UU No. 8/1992, LN. No. 32 Tahun 1992, TLN No. 3473, Penjelasan Ps. 9 ayat(1) menjelaskan bahwa usaha
perfilman dilakukan oleh badan hukum, yaitu perseroan terbatas atau koperasi atau bentuk lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. UU
ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan Indonesia, Undang-Undang tentang Perfilman, UU No. 33/2009, LN. 141 Tahun 2009, TLN No. 5060.
406
29. UU No. 8 Tahun 1995 Ps. 1 (23): pihak adalah orang Ps. 103: setiap pihak dapat Ps. 103: penjara dan denda (bukan
Tentang Pasar Modal perseorangan, perusahaan, usaha dikenakan sanksi pidana (tidak sebagai alternatif tetapi sebagai
bersama, asosiasi atau kelompok secara tegas menyebutkan badan posisi berdampingan bersama)
yang terorganisasi hukumnya bisa dipidana tetapi
dari pengertian pihak yang juga
termasuk badan hukum, maka
dapat disimpulkan bahwa badan
hukum yang bersangkutan dapat
bertanggungjawab secara
mandiri)
30. UU No. 10/1995 jo. UU No. Ps. 1 (12): orang adalah orang Ps. 108: Ps. 108 (3): pidana pokok yang
17/2006 Tentang perseorangan atau badan hukum dijatuhkan senantiasa berupa pidana
Kepabeanan a. Badan hukum, perseroan denda paling banyak tiga ratus juta
atau perusahaan, rupiah untuk tindak pidana yang
perkumpulan, yayasan atau diacam dengan pidana penjara,
koperasi dengan tidak menghapuskan pidana
b. Mereka yang memberikan denda apabila atas tindak pidana
perintah atau pimpinan atau tersebut diancam dengan pidana
melalaikan pencegahan penjara dan pidana denda.
terjadinya tindak pidana
31. UU No. 11/1995 jo. UU No. Ps. 1 (8): Orang adalah badan Ps.61 (1): Ps. 61 (4): pidana pokok yang
39/2007 Tentang Cukai hukum atau orang pribadi dijatuhkan senantiasa berupa pidana
a. Badan hukum, perseroan denda paling banyak tiga ratus juta
atau perusahaan,
407
perkumpulan, yayasan atau rupiah untuk tindak pidana yang
koperasi. diacam dengan pidana penjara,
b. Mereka yang memberi dengan tidak menghapuskan pidana
perintah atau yang bertindak denda apabila atas tindak pidana
sebagai pemimpin atau tersebut diancam dengan pidana
melalaikan pencegahan penjara dan pidana denda.
terjadinya suatu tindak
pidana
32. UU No. 5/1997 Tentang Ps. 1 (13): korporasi adalah Ps. 59 (3): korporasi Ps. 59 (3): di samping dipidananya
Psikotropika20 kumpulan terorganisasi dari orang pelaku tindak pidana, kepada
dan/atau kekayaan, baik korporasi dikenakan pidana denda
merupakan badan hukum maupun sebesar Rp.5.000.000.000,00 (lima
bukan. milyar rupiah)
33. UU No. 32/1997 jo UU No. Ps. 1 (13): pihak adalah orang Ps. 71-76: Setiap pihak Ps. 71-76: Penjara dan denda
10/2011 Tentang perseorangan, koperasi, badan (sehingga masuk kedalamnya
20
Indonesia, Undang-Undang Psikotropika, UU No. 5/1997. LN. No. 10 Tahun 1997, TLN. No. 3671. Undang-Undang Tentang Psikotropika ini merupakan UU
pertama yang secara tegas menggunakan istilah korporasi untuk merujuk kepada aktor kolektif.
408
Perdagangan Berjangka usaha lain, badan usaha bersama, juga adalah semua bentuk
Komoditi asosiasi, atau kelompok orang kolektif yang disebutkan pada
perseorangan, dan/atau Ps. 1 (13).
perusahaan yang terorganisasi
34. UU No. 13/1998 Tentang Ps. 26: setiap orang atau badan Ps. 26: setiap orang, badan, Ps. 26: pidana kurungan atau denda
Kesejahteraan Lanjut Usia atau organisasi atau lembaga21 organisasi atau lembaga
35. UU No. 5/1999 Tentang Ps. 1 (5): pelaku usaha adalah Ketentuan yang mengandug Ps. 48: Pidana pokok berupa penjara
Larangan Monopoli dan setiap orang perorangan atau sanksi pidana ditujukan kepada dan denda
Persaingan Usaha Tidak badan usaha, baik yang berbentuk pelaku usaha, misal Ps. 4, Ps. 9,
Sehat badan hukum atau bukan badan Ps. 14 dst. (sehingga dapat Ps. 49: Pidana tambahan berupa:
hukum yang didirikan dan disimpulkan bahwa segala a. Pencabutan izin usaha
berkedudukan atau melakukan bentuk kolektif yang disebutkan b. Larangan untuk menduduki
kegiatan dalam wilayah hukum pada Ps. 1 (5) adalah aktor jabatan direksi atau komisaris
negara Republik Indonesia, baik kolektif yang merupakan subjek selama jangka waktu tertentu
sendiri maupun bersama-sama hukum mandiri yang terpisah c. Penghentian kegiatan atau
melalui perjanjian, dan dapat bertanggung jawab tindakan tertentu yang
menyelenggarakan berbagai atas namanya sendiri. menyebabkan timbulnya
kegiatan usaha dalam bidang kerugian pada pihak lain.
ekonomi.
21
UU ini menggunakan istilah badan, lembaga dan organisasi yang cukup berbeda dengan UU yang lain dalam mengakomodasi bentuk kolektif, tetapi sayang UU ini
tidak memberikan penjelasan lebih lanjut tentang definisi badan, lembaga dan organisasi yang digunakan pada UU ini.
409
36. UU No. 8/1999 Tentang Ps. 1 (3): pelaku usaha (dengan Ps. 61: Pelaku usaha dan/atau Ps. 62: Pidana pokok berupa penjara
Perlindungan Konsumen pengertian pelaku usaha sama pengurusnya (karena pengertian dan denda
persis dengan pengertian pelaku pelaku usaha adalah juga
usaha pada UU 5/1999 Tentang termasuk badan usaha baik yang Ps. 63: Pidana tambahan berupa:
Larangan Monopoli dan berbadan hukum maupun yang a. Perampasan barang tertentu
Persaingan Usaha Tidak Sehat tidak berbadan huku, maka UU b. Pengumuman putusan hakim
ini mengakui bahwa badan usaha c. Pembayaran ganti rugi
adalah subjek hukum mandiri d. Perintah penghentian kegiatan
yang bisa bertanggungjawab atas tertentu yang menyebabkan
namanya sendiri) timbulnya kerugian konsumen
e. Kewajiban penarikan barang dari
peredaran; atau
f. Pencabutan izin usaha.
37. UU No. 23/1999 Jo. UU No. Ps. 2 (4): setiap orang atau badan Ps. 66: menjelaskan sanksi Ps. 66-71: denda
3/2004 Tentang Bank pidana atas pelanggaran Ps. 2 (4)
Indonesia yang ditujukan kepada setiap
orang atau badan
38. UU No. 24/1999 Tentang Ps. 1 (3): Penduduk adalah orang, Ps. 6: menjelaskan sanksi pidana Ps. 6: pidana denda
Lalu lintas Devisa dan badan hukum, atau badan lainnya, yang dapat diberikan atas
Sistem Nilai Tukar yang berdomisili atau berencana pelanggaran Ps. 3 (2) yang Ps. 7: tambahan sanksi adminsitratif,
berdomisili di Indonesia menyebutkan TP yang dapat berupa:
410
sekurang-kurangnya 1 (satu) dilakukan oleh penduduk. a. Teguran tertulis
tahun, termasuk perwakilan dan Sehingga norm adresat dari b. Denda
staf diplomatik RI di luar negeri ketentuan ini adalah penduduk c. Pencabutan izin usaha
sebagaimana dijelaskan pada Ps.
1 (3), yang didalamnya juga
termasuk badan hukum atau
badan lain.
39. UU No. 31/1999 Jo. UU No. Ps. 1 (1): korporasi adalah Ps. 20: korporasi dan atau Ps. 20 (7): pidana denda dengan
20/2001 Tentang kumpulan orang dan atau pengurusnya22 ketentuan maksimum ditambah 1/3
Pemberantasan Tindak kekayaan yang terorganisasi baik (satu pertiga).
Pidana Korupsi merupakan badan hukum maupun
bukan badan hukum. Ps. 18: Pidana
tambahan:
22
Pada penjelasan Ps. 20 (1) dijelaskan pengurus adalah organ korporasi yang menjalankan kepengurusan korporasi yang bersangkutan sesuai dengan anggaran dasar,
termasuk mereka yang dalam kenyataanya memiliki kewenangan dan ikut memutuskan kebijakan korporasi. Dapat disimpulkan bahwa pengurus menurut UU ini
tidak hanya pengurus berdasarkan AD korporasi, tetapi juga adalah pengurus yang mungkin tidak berada dalam AD tetapi dalam kenyataanya ikut serta dalam
pengambilan kebijakan korporasi tersebut. Pengaturan seperti ini dirasa perlu untuk setiap ketentuan yang mengatur tentang pertanggungjawaban pidana yang
melihatkan organisasi, karena dalam kenyataannya sering kali banyak kepentingan dari pihak yang tidak ada dalam susunan organisasi tetapi memiliki pengaruh
yang besar dalam suatu keputusan yang diambil oleh organisasi.
411
begitu pula dari barang yang
menggantikan barang-barang
tersebut;
b. Pembayaran uang
pengganti maksimal sama dengan
harta benda yang diperoleh dari
tipikor;
40. UU No. 36 Tahun 1999 Ps. 1 (8): penyelenggara Ps. 11 (1), 20, penyelenggaran Ps. 47-59: penjara dan atau denda
Tentang Telekomunikasi telekomunikasi adalah telekomunikasi (yang merujuk
perseorangan, koperasi, BUMN, kembali pada ketentuan Ps. 1
BUMD, Badan Usaha swasta, (8)).
instansi pemerintah dan instansi
pertahanan negara. Ps. 48: Penyelenggara jaringan
telekomunikasi
412
41. UU No. 40/1999 Tentang Ps. 1 (2): Perusahaan pers adalah Ps. 18: Perusahaan pers Ps. 18: penjara atau denda
Pers badan hukum Indonesia yang
menyelenggarakan usaha pers
meliputi media cetak, media
elektronik, dan kantor berita serta
perusahaan media lainnya yang
secara khusus menyelenggarakan,
menyiarkan, atau menyalurkan
informasi.
41. UU No. 41/1999 Jo. UU No. Ps. 78 (14): badan hukum atau Ps. 78 (14): Pengurusnya baik Ps. 78 (14): sesuai dengan ancaman
19/2004 Tentang Kehutanan badan usaha sendiri-sendiri atau bersama- pidana ditambah 1/3 (satu pertiga)
sama
Ps. 78 (15): semua hasil hutan dari
hasil kejahatan atau pelanggaran
dirampas untuk negara.
42. UU No. 42/1999 Tentang Ps. 1 (10): Setiap orang adalah Ps. 35: setiap orang Ps. 35: Penjara dan denda
Fidusia orang perseorangan atau korporasi
43. UU No. 56/1999 Tentang Ps. 1 (5): korporasi adalah Ps. 41: apabila perbuatan yang Ps. Bab V (Ketentuan Pidana):
Rakyat Terlatih kumpulan orang dan/atau diancam dengan pidana penjara semua sanksi berbentuk pidana
413
kekayaan yang terorganisasi, baik dilakukan oleh korporasi, sanksi penjara. (sehingga dalam konteks
merupakan badan hukum maupun diberikan kepada pengurusnya pidana, korporasi tidak dapat
bukan badan hukum. dikenakan secara pribadi sanksi
pidana tetapi hanya pengurus)
44. UU No. 14/2001 Tentang Ps. 129: badan hukum Ps. 129: Badan hukum Bab XV (Ketentuan Pidana): penjara
Paten23 (meskipun tidak disebutkan dan/atau denda (meskipun dalam
dengan jelas bahwa badan ketentuan ini hanya disebutkan
hukum merupakan subjek dari ‘barang siapa’ tanpa menjelaskan
ketentuan yang mengandung siapa saja yang termasuk ‘barang
sanksi pidana tetapi pada Ps. 129 siapa’ tetapi dapat disimpulkan dari
disebutkan bahwa TP di bidang Ps. 129 bahwa TP di bidang paten
paten bisa dilakukan oleh orang bisa juga dilakukan oleh badan
atau badan hukum. hukum.
45. UU No. 22/2001 Tentang Ps. 1 (17): Badan usaha adalah Ps. 56 (1): Badan usaha dan Ps. 56 (1): pidana denda, dengan
Minyak dan Gas Bumi perusahaan berbentuk badan bentuk usaha tetap dan/atau ketentuan paling tinggi pidana denda
hukum yang menjalankan jenis pengurusnya ditambah sepertiganya.
usaha bersifat tetap, terus-
menerus dan didirikan
berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku serta
bekerja dan berkedudukan di
23
Pengaturan yang hampir sama juga dapat ditemui pada UU No. 15/2001 Tentang Merek. UU tentang Paten ini telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan
Indonesia, Undang-Undang tentang Paten, UU No. 13/2016, LN No. 176 Tahun 2016, TLN No. 5922.
414
wilayah NKRI.
46. UU No. 28/2002 Tentang Ps. 1 (9): Pemilik bangunan Ps. 47 (1): setiap orang atau Ps. 47 (2): kurungan dan atau denda
Bangunan Gedung gedung adalah orang, badan badan
hukum, kelompok orang atau
perkumpulan yang menurut
hukum sah sebagai pemilik
bangunan gedung
415
Persero.
47. UU No. 13/2003 Tentang Ps. 1 (5): Pengusaha adalah orang Meskipun Pasal-pasal yang Ps. 183-189: Pidana penjara dan
Ketenagakerjaan perseorangan, persekutuan, atau mengatur ketentuan pidana (Ps. denda
badan hukum yang menjalankan 183-189), tidak secara tegas
suatu perusahaan... menyebutkan suatu perusahaan
atau pengusaha dapat dipidana
Ps. 1 (6): Perusahaan adalah: sebagai subjek hukum
a. Setiap bentuk usaha yang independen, tetapi hanya
berbadan hukum atau tidak, menyebutkan ‘barang siapa’,
milik orang perseorangan, namun dari ketentuan yang diacu
persekutuan atau badan hukum, oleh pasal ini merujuk kepada
baik swasta maupun milik perbuatan pengusaha dan
negara yang mempekerjakan perusahaan yang diatur seperti
pekerja/buruh... dalam Ps. 42, Ps. 68, Ps. 74, Ps.
b. usaha-usaha sosial dan usaha- 80 dst.
usaha lain yang mempunyai
pengurus dan mempekerjakan
orang lain dengan membayar
upah...
48. UU No. 15/2003 Tentang Ps. 1 (2): Setiap orang adalah Ps. 17: korporasi dan/atau Ps. 18: denda paling banyak satu
Penetapan PP Pengganti UU orang perseorangan, kelompok pengurusnya triliun, dibekukan atau dicabut
No. 1/2002 Tentang orang, baik sipil maupun militer izinnya dan dinyatakan sebagai
Pemberantasan Tindak maupun polisi yang bertanggung
416
Pidana Terorisme menjadi jawab secara individual atau korporasi yang terlarang.
UU korporasi.
49. UU No. 7/2004 Tentang Ps. 96: Badan Usaha Ps. 96: Badan Usaha Ps. 96: denda ditambah denda yang
Sumber Daya Air24 dijatuhkan
50. UU No. 15/2004 Tentang Penjelasan Ps. 10: yang Ketentuan pidana yang diatur Bab VI (Ps. 24-Ps.26): Penjara
Pemeriksaan Pengelolaan dimaksud dengan seseorang pada Bab VI (Ps. 24-Ps.26) dan/atau denda
dan Tanggung Jawab adalah orang perseorangan atau ditujukan kepada ‘setiap orang’
Keuangan Negara badan hukum dan ‘setiap pemeriksa’. Salah
satu ketentuan yang diancam
dengan ketentuan pidana adalah
pelanggaran atas Ps. 10,
sehingga dapat disimpulkan
dalam hal ini badan hukum
adalah subjek hukum mandiri
yang dapat bertanggung jawab
atas namanya sendiri karena
24
Dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan Putusan MK Nomor 85/PPU-XI/2013.
417
sebagaimana penjelasan Ps. 10
dijelaskan bahwa badan hukum
termasuk dalam makna
25
seseorang.
51. UU No. 24/2004 Tentang Ps. 95 (3) dan (4): Badan Ps. 95 (3) dan (4): Badan Ps. 95 (3) dan (4): Penjara serta
Lembaga Penjamin denda
Simpanan
52. UU No. 29/2004 Tentang Ps. 80: korporasi26 Ps. 80: korporasi Ps. 80: denda ditambah sepertiga dan
Praktik Kedokteran pidana tambahan berupa pencabutan
izin
53. UU No. 31/2004 Jo. UU Ps. 1 (14): setiap orang adalah Ps. 101: Pengurus27 Bab XV (Ps. 84 - Ps. 104): penjara
No.45/2009 Tentang orang perseorangan atau korporasi dan denda (dengan denda yang
Perikanan cukup besar bahkan ada yang
Ps. 1 (15): korporasi adalah maksimal dua puluh miliar), namun
kumpulan orang dan/atau sayang tidak mengakomodir
kekayaan yang terorganisasi baik pertanggungjawaban pidana oleh
25
Pasal yang mengatur ketentuan pidana yang ditujukan kepada ‘setiap pemeriksa’ sepertinya tidak bisa disimpulkan ditujukan kepada Badan Pemeriksa
Keuangannya tetapi lebih kepada individu perorangan pemeriksa, meskipun pada Ps. 1 (3) dijelaskan yang dimaksud dengan pemeriksa adalah orang yang
melaksanakan tugas pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara untuk dan atas nama BPK.
26
Pada Pasal 80 secara tegas dijelaskan apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh korporasi. Apabila menggunakan penalaran legal formal maka menurut UU ini,
hanya Pasal 80 ini saja yang bisa diberikan sanksi pidana kepada korporasi sedangkan pelanggaran atas pasal-pasal lain yang ditujukan kepada ‘setiap orang’ tidak
bisa diberikan kepada korporasi.
27
Pasal ini menegaskan bahwa meskipun pada Ps. 1 (14) dijelaskan setiap orang adalah juga termasuk korporasi, namun pertanggungjawaban pidananya hanya
diberikan kepada pengurusnya saja dan tidak kepada korporasinya.
418
merupakan badan hukum maupun korporasi hanya pengurus saja.
bukan badan hukum
54. UU No. 38/2004 Tentang Ps. 1 (19): orang adalah orang Ps. 65: Badan usaha28 Ps. 65 (1): pidana denda ditambah
Jalan perseorangan atau badan usaha sepertiga denda yang dijatuhkan
baik yang berbadan hukum
maupun yang tidak berbadan
hukum.
55. UU No. 39/2004 Tentang Ps. 1 (15): orang adalah pihak Bab XIII (Ps. 102 – 104): Bab XIII (Ps. 102 – 104): penjara
Penempatan dan orang perseorangan atau badan ketentuan pidana yang ditujukan dan/atau denda
Perlindungan Tenaga Kerja hukum kepada ‘setiap orang’, sehingga
Indonesia di Luar Negeri dapat disimpulkan badan hukum
adalah subjek hukum mandiri
yang dapat bertanggung jawab
secara mandiri atas namanya
sendiri
56. UU No. 12/2006 Tentang Ps. 1 (6): setiap orang adalah Ps. 38 (1): korporasi dan/atau Ps. 38 (2): denda dan dicabut izin
Kewarganegaraan orang perseorangan, termasuk pengurus yang bertindak untuk usahanya
korporasi dan atas nama korporasi
28
Pasal ini menegaskan ada tiga pasal (Ps. 12, 42, dan Ps. 54), yang apabila dilanggar maka sanksinya diberikan kepada badan usahanya saja. Dengan adanya
pengaturan mengenai hal ini, maka akan menjadi rancu apakah ketentuan pasal lain yang ada sanksi pidananya yang ditujukan kepada ‘setiap orang’ apabila
dilanggar tidak bisa diberikan kepada badan usahanya.
419
57. UU No. 21/2007 Tentang Ps. 1 (4): Setiap orang adalah Ps. 13-15: korporasi dan/atau Ps. 15 (1): pidana denda dengan
Pemberantasan Tindak orang perseorangan atau korporasi pengurusnya pemberatan 3 (tiga) kali daripada
Pidana Perdagangan Orang yang melakukan tindak pidana denda untuk orang perseorangan
perdagangan orang
Ps. 15 (2): pidana tambahan, berupa:
Ps. 1 (6): korporasi adalah
kumpulan orang dan/atau a. pencabutan izin usaha
kekayaan yang terorganisasi baik b. perampasan kekayaan hasil
merupakan badan hukum maupun tindak pidana
bukan badan hukum c. pencabutan status badan
hukum
Ps. 16: Kelompok yang d. pemecatan pengurus
29
terorganisasi e. pelarangan kepada pengurus
tersebut untuk mendirikan
korporasi dalam bidang usaha
yang sama.
29
Meskipun ketentuan ini memberikan pengertian korporasi sebagai kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, tetapi membedakan pengaturan antara
tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi (yaitu diatur pada Ps. 13-15), dan pengaturan khusus mengenai tindak pidana perdagangan orang yang dilakukan oleh
‘kelompok yang terorganisasi’ (Ps. 16), sehingga dapat disimpulkan bahwa UU ini tidak menganggap sama antara korporasi dengan ‘kelompok yang terorganisasi’.
420
58. UU No. 2/2008 Jo. UU No. Ps. 49: perusahaan atau badan Ps. 49: setiap orang atau Ps. 49: penjara dan denda
2/2011 Tentang Partai usaha perusahaan dan atau badan
Politik usaha30
59. UU No. 11/2008 Tentang Ps. 1 (21): orang adalah orang Bab XI (Ps. 45-52): semua Ps. 52 (4): pidana pokok ditambah
Informasi dan Transaksi perseorangan, baik WNI, WNA, ketentuan pidana mengacu dua pertiga
Elektronik maupun badan hukum kepada ‘setiap orang’. Sehingga
dapat disimpulkan termasuk
Ps. 1 (22): Badan usaha adalah didalamnya juga diatur badan
perusahaan perseorangan atau hukum sebagai subjek hukum
perusahaan persekutuan, baik mandiri.
yang berbadan hukum maupun
yang tidak berbadan hukum Ps. 52 (4): Korporasi31
60. UU No. 14/2008 Tentang Ps. 1 (3): Badan publik adalah Bab XI (Ps. 51 – 57): ketentuan Bab XI (Ps. 51 – 57): pidana penjara
Keterbukaan Informasi lembaga eksekutif, legislatif, yang mengandung sanksi pidana dan/atau denda
Publik yudikatif, dan badan lain yang ditujukan kepada orang dan
fungsi dan tugas pokoknya
30
Pasal ini mengatur tentang sanksi pidana yang bisa diberikan kepada orang, perusahaan atau badan usaha yang memberikan sumbangan kepada partai politik
melebihi dari ketentuan yang ditetapkan UU ini. Tetapi untuk partai politik yang menerima sumbangan tidak diberikan sanksi kepada partai politiknya, tetapi
kepada pengurusnya saja. (sebagaimana diatur dalam Ps. 49 (2) dengan sanksi penjara dan denda). Namun, dalam ayat 3 Ps ini dijelaskan bahwa sumbangan yang
diterima oleh partai politik yang melebihi batas ketentuan akan disita oleh Negara.
31
Walaupun tidak dimunculkan pada Ps. 1 tentang pengertian-pengertian, tetapi Ps. 52 mengatur ketentuan mengenai sanksi yang diberikan kepada korporasi yang
melakukan TP ITE. Agar tidak menimbulkan kebingungan, peristilahan yang digunakan seharusnyalah konsisten karena ketika pengertian orang yang dijelaskan
pada Ps. 1 (21) adalah perseorangan dan atau badan hukum, tetapi pada pasal mengenai sanksi menggunakan istilah korporasi bukannya badan hukum menjadi
rancu, karena apabila dilihat pengertian keduanya adalah cukup berbeda (kalau korporasi yang dimaksudkan adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang
terorganisasi baik berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum).
421
berkaitan dengan badan publik
penyelenggaraan negara, yang
sebagian atau seluruh dananya
bersumber dari APBN dan/atau
APBD, atau organisasi
nonpemerintah sepanjang
sebagian atau seluruh dananya
bersumber dari APBN dan/atau
APBD, sumbangan masyarakat,
dan/atau luar negeri.
61. UU No. 17/2008 Tentang Ps. 1 (61): setiap orang adalah Ps. 333: korporasi dan/atau Ps. 335: denda dengan pemberatan 3
Pelayaran orang perseorangan atau korporasi pengurus (tiga) kali dari pidana denda untuk
pengurus
62. UU No. 21/2008 Tentang Ps. 59: Badan hukum Ps. 59: mereka yang memberi
Perbankan Syariah perintah dan/atau yang bertindak
sebagai pemimpin dalam TP
tersebut
422
63. UU No. 44/2008 Tentang Ps. 1 (3): Setiap orang adalah Ps. 40 (1): korporasi dan/atau Ps. 40: maksimum pidanan dikalikan
Pornografi orang perseorangan atau pengurusnya 3 (tiga) dari pidana dendan yang
korporasi, baik yang berbadan ditentukan
hukum maupun yang tidak
berbadan hukum Ps. 41: Pidana tambahan, berupa:
64. UU No. 1/2009 Tentang Ps. 1 (55): setiap orang adalah Ps. 441: korporasi dan/atau Ps. 443: dendan dengan pemberatan
Penerbangan orang perseorangan atau korporasi pengurus 3 (tiga) kali dari pidana denda untuk
pengurus
65. UU No. 22/2009 Tentang Ps. 7: Penyelenggaraan lalu lintas Ps. 273: Penyelenggara jalan Ps. 273: penjara atau denda (dengan
Lalu Lintas dan Angkutan dan angkutan jalan dalam pidana yang relatif kecil)
Jalan kegiatan pelayanan langsung Ps. 315: Perusahaan angkutan
kepada masyarakat dilakukan oleh umum dan/atau pengurusnya Ps. 315: dalam hal tindak pidana
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dilakukan oleh perusahaan angkutan
badan hukum, dan/atau umum, pidana denda paling banyak
masyarakat. dikalikan 3 (tiga)
Ps. 1 (21): Perusahaan angkutan Ps. 315: dalam hal tindak pidana
umum adalah badan hukum yang dilakukan oleh perusahaan angkutan
menyediakan jasa angkutan orang umum, dapat diberikan pidana
423
dan/atau barang dengan kendaraan tambahan berupa pembekuan
bermotor umum. sementara atau pencabutan izin
66. UU No. 30/2009 Tentang Ps. 1 (18): setiap orang adalah Ps. 55 (1): Badan usaha dan/atau Ps. 55 (2): Pidana yang dikenakan
Ketenagalistrikan orang perorangan atau badan baik pengurusnya berupa denda maksimal ditambah
yang berbadan hukum maupun sepertiganya.
yang bukan berbadan hukum.
67. UU No. 32/2009 Tentang Ps. 1 (32): setiap orang adalah Ps. 116: badan usaha dan/atau Ps. 117: apabila tuntutan pidana
Perlindungan dan orang perseorangan atau badan yang memberi perintah atau diajukan kepada pemberi perintah,
Pengelolaan Lingkungan usaha, baik yang berbadan hukum pemimpin dalam kegiatan tindak maka sanksi pidana diperberat
Hidup maupun yang tidak berbadan pidana sepertiga.
hukum.
Ps. 119: Pidana tambahan dan
tindakan tata tertib berupa:
424
tahun.
68. UU No. 33/2009 Tentang Ps. 82: korporasi Ps. 82 (2): korporasi dan/atau Ps. 82 (1): Pidana denda ditambah
Perfilman pengurus korporasi 1/3 (satu pertiga) dari ancaman
pidananya
69. UU No. 35/2009 Tentang Ps. 1 (21): korporasi adalah Ps. 130: korporasi Ps. 130 (1): selain pidana penjara
Narkotika kumpulan terorganisasi dari orang dan denda terhadap pengurusnya,
dan/atau kekayaan, baik pidana yang dapat dijatuhkan
merupakan badan hukum maupun terhadap korporasi berupa pidana
bukan badan hukum denda dengan pemberatan 3 (tiga)
kali dari pidana denda untuk orang
perorangan.
425
denda maksimumnya ditambah 1/3
(sepertiga).
70. UU No. 36/2009 Tentang Ps. 201 (1): korporasi Ps. 201 (1): korporasi Ps. 201 (1): denda dengan
Kesehatan pemberatan 3 (tiga) kali
71. UU No. 38/2009 Tentang Ps. 1 (13): orang adalah orang Ps. 42: Penyelenggara pos Ps. 42-47: Pidana penjara atau denda
Pos perseorangan ataupun badan
hukum. (dapat diasumsikan bahwa badan
usaha nya juga dapat
Ps. 4 (1): Penyelenggaraan pos bertanggung jawab sebagai
dilakukan oleh badan usaha pribadi hukum mandiri)
berbadan hukum Indonesia.
Ps. 43-47: merujuk kepada
Ps. 4 (2): sanksi pidana yang ditujukan
kepada setiap orang.
Badan usaha dapat berbentuk: Sebagaimana dijelaskan pada Ps.
a. BUMN 1 (13) bahwa orang adalah juga
b. BUMD termasuk badan hukum,
c. Badan Usaha Milik Swasta sehingga badan hukum dapat
d. Koperasi juga dikenakan sanksi pidana
426
atas pelanggaran ketentuan ini.
72. UU No. 8/2010 Tentang Ps. 1 (9): Setiap orang adalah Ps. 6: korporasi dan/atau Ps. 7 (1): Pidana denda
Tindak Pidana Pencucian orang perseorangan atau korporasi personil pengendali korporasi
Uang Ps. 7 (2): Pidana tambahan, berupa:
Ps. 1 (10): korporasi adalah
kumpulan orang dan/atau a. pengumuman putusan hakim,
kekayaan yang terorganisasi, baik b. pembekuan sebagian atau seluruh
merupakan badan hukum maupun kegiatan usaha koperasi,
bukan badan hukum. c. pencabutan izin usaha,
d. pembubaran dan/atau pelarangan
korporasi
e. Perampasan aset korporasi untuk
negara,
f. Pengambilalihan korporasi oleh
negara.
427
mencukupi, pidana kurungan
pengganti denda dijatuhkan kepada
personil pengendali korporasi.
73. UU No. 11/2010 Tentang Ps. 1 (35): setiap orang adalah Ps. 113 (1): badan usaha Ps. 113 (2): dipidana dengan
Cagar Budaya perseorangan, kelompok orang, dan/atau orang yang memberi ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana
masyarakat, badan usaha perintah untuk melakukan tindak denda terhadap orang perseorangan
berbadan hukum, dan/atau badan pidana
usaha bukan berbadan hukum. Ps. 115 (1): Pidana tambahan
berupa:
a. Kewajiban mengembalikan
bahan, bentuk, tata letak,
dan/atau teknik pengerjaan
sesuai dengan aslinya atas
tanggungan sendiri; dan/atau
b. Perampasan keuntungan yang
diperoleh dari tidak pidana
74. UU No. 1/2011 Tentang Ps. 1 (25): setiap orang adalah Ps. 155: Badan hukum Ps. 155: Kurungan atau denda
Perumahan dan Kawasan orang perseorangan atau “badan (walaupun pasal ini secara tegas
Permukiman hukum” ditujukan kepada badan hukum,
tetapi sanksinya masih berupa
Ps. 1 (26): Badan hukum adalah
428
badan hukum yang didirikan WNI kurungan)
yang kegiatannya dibidang
penyelenggaraan perumahan dan
kawasan pemukiman.
75. UU No. 10/2011 Tentang Ps. 1 (13): Pihak adalah orang Ps. 71-73: setiap pihak dapat Ps. 71-73: pidana penjara dan denda
Perubahan atas UU No. perseorangan, koperasi, badan dijatuhi sanksi pidana (apabila
32/1997 Tentang usaha lain, badan usaha bersama, dikaitkan dengan pengertian (perumus UU menyebutkan penjara
Perdagangan Berjangka asosiasi, atau kelompok orang pihak pada Ps. 1 (13) maka dan denda bukan sebagai pilihan tapi
Komoditi perseorangan, dan/atau berarti badan usaha dilihat berdampingan secara bersamaan,
perusahaan yang terorganisir sebagai subjek hukum mandiri yang mana hal ini tidak
yang dapat dimintai dimungkinkan apabila terpidana
pertanggungjawaban secara adalah badan usaha sebagai subjek
pribadi) hukum)
76. UU No. 21/2011 Tentang Ps. 52 – 54: Korporasi Bab XII (Ps. 52 – 54):
Otoritas Jasa Keuangan Korporasi Bab XII (Ps. 52 – 54): denda
sebanyak 3 (tiga) kali lipat dari
denda untuk orang perorangan 32
dan/atau sebesar jumlah kerugian
32
Naskah lengkap dari pasal-pasal dalam UU ini sebenarnya tidak menyebutkan bahwa denda yang diberikan kepada korporasi itu adalah 3 (tiga) kali lipat dari denda
yang diberikan kepada orang perorangan, tetapi menyebutkan nominal maksimumnya. Dan ketentuannya diulang-ulang disetiap pasal yang mengandung ketentuan
pidana. Misalnya pada Ps. 52 (1) dijelaskan bahwa sanksi bagi orang perorangan adalah 15.000.000.000,00 (lima belas miliar), kemudian pada ayat 2 dari pasal ini
menjelaskan apabila kejahatan tersebut dilakukan oleh korporasi maka denda maksimumnya adalah 45,000,000,000,00 (empat puluh lima miliar). Dan hal ini
berulang untuk pasal-pasal berikutnya yang mengandung ketentuan pidana (Ps. 53 dan Ps. 54). Sepertinya kurang efektif membuat pengulangan yang seharusnya
tidak perlu dilakukan seperti itu.
429
yang ditimbulkan akibat pelanggaran
tersebut.
77. UU No. 24/2011 Tentang Ps. 1 (9): Pemberi kerja adalah Ps. 55 ditujukan kepada pemberi
Badan Penyelenggara orang perseorangan, pengusaha, kerja (sebagaimana dijelaskan Ps. 55: bagi pemberi kerja dapat
Jaminan Sosial badan hukum, atau badan lainnya pada Ps. 1 (9) bahwa pemberi dipidana penjara paling lama 8
yang mempekerjakan tenaga kerja kerja termasuk adalah badan (delapan) tahun atau pidana denda
atau penyelenggara negara yang hukum atau badan lainnya dan paling banyak Rp.1.000.000.000,-
mempekerjakan pegawai negeri juga penyelenggara negara). (satu milyar rupiah)
dengan membayar gaji, upah, atau Sehingga dapat disimpulkan
imbalan dalam bentuk lainnya. badan-badan yang disebutkan
diatas dapat bertanggung jawab
sebagai suatu subjek hukum
mandiri atas namanya sendiri.
77. UU No. 8/2012 Tentang Ps. 79: Pelaksana kampanye Ps. 79: organisasi pelaksana
Pemilihan Umum Anggota pemilu anggota DPR, DPRD kampanye pemilu BAB XII (Ps. 273 – 321): Penjara
DPR, DPD, dan DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/kota dan denda
terdiri atas..... orang seorang dan Ps. 303: kelompok, perusahaan
organisasi yang ditunjuk oleh dan/atau badan usaha non
perserta pemilu... pemerintah
430
Ps. 306: setiap perusahaan
percetakan surat suara
78. UU No. 18/2012 Tentang Ps. 1 (38): setiap orang adalah Ps. 148: korporasi dan atau
Pangan orang perseorangan atau pengurus Ps. 148 (1): pidana denda dengan
korporasi, baik yang berbadan pemberatan 3 (tiga) kali pidana
hukum maupun yang tidak denda terhadap perseorangan
berbadan hukum
Ps. 148 (2): Pidana tambahan
berupa:
33
Pasal ini menjelaskan sanksi pidana bagi “pelaksana kegiatan penghitungan cepat”, namun tidak jelas juga apakah yang ditujukan itu adalah lembaganya atau
individu saja, karena tidak ada keterangan mengenai hal tersebut secara jelas.
34
Pasal ini menjelaskan bahwa Penyelenggara pemilu apabila melakukan TP akan dikenakan sanksi lebih berat satu pertiga dari ketentuan pidana. Namun apakah
yang dimaksudkan pasal ini adalah Komisi Pemilihan Umum sebagai lembaga penyelenggara pemilu ataukah hanya kepada anggota KPU saja, dimana pada Ps. 1
(6) dijelaskan Komisi Pemilihan Umum atau KPU adalah lembaga penyelenggara pemilu yang bersifat tetap, dan mandiri yang bertugas melaksanakan pemilu.
431
79. UU No. 1/2013 Tentang Ps. 34: dalam hal TP dilakukan Ps. 34: mereka yang
Lembaga Keuangan Mikro oleh badan hukum yang berbentuk memberikan perintah atau
PT atau koperasi bertindak sebagai pimpinan
dalam TP
80. UU No. 18/2013 Tentang Ps. 1 (21): setiap orang adalah Ps. 82 – Ps. 104: korporasi
Pencegahan dan orang perseorangan dan/atau (dalam setiap ayat pasal-pasal Ps. 109 (5): Pidana pokok berupa
Pemberantasan Perusakan korporasi yang melakukan tersebut diatas menguraikan denda
Hutan perbuatan perusakan hutan secara secara terpisah ketentuan untuk
Ps. 109 (6): Pidana tambahan berupa
terorganisasi di wilayah hukum orang perseorangan dan
penutupan seluruh atau sebagian
Indonesia dan/atau berakibat korporasi)
perusahaan
hukum di wilayah hukum
Indonesia. Ps. 109: korporasi dan/atau
pengurusnya
Ps. 1 (21): Korporasi adalah
kumpulan orang dan/atau
kekayaan yang terorganisasi, baik
berupa badan hukum maupun
bukan badan hukum.
81. UU No. 19/2013 Tentang Ps. 1 (8): setiap orang adalah Ps. 104: Korporasi dan atau
Perlindungan dan orang perseorangan atau pengurusnya Ps. 104: pidana denda dengan
Pemberdayaan Petani korporasi, baik yang berbadan pemberatan 1/3 (satu pertiga) dari
hukum maupun yang tidak pidana denda terhadap perseorangan
berbadan hukum
432
82. UU No. 21/2013 Tentang Ps. 100: Korporasi atau badan Ps. 100: apabila tindak pidana
Keantariksaan hukum dilakukan oleh korporasi atau Ps. 100: Pidana denda dengan
badan hukum pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana
denda terhadap orang.
83. UU No. 3/2014 Tentang Ps. 1 (7): Setiap orang adalah Ps. 121: korporasi dan/atau
Perindustrian orang perseorangan atau korporasi pengurus Ps. 120: Penjara dan denda
84. UU No. 39/2014 Tentang Ps. 1 (15): setiap orang adalah Ps. 133: korporasi dan atau Ps. 133: pidana denda maksimal
Perkebunan orang perseorangan atau pengurus ditambah sepertiga dari pidana denda
korporasi, baik yang berbadan terhadap orang perorangan
hukum maupun yang tidak
berbadan hukum
85. UU No. 40/2014 Tentang Ps. 1 (34): Setiap orang adalah Ps. 81: Korporasi, Pengendali Ps. 82: Pidana yang dijatuhkan
Perasuransian orang perseorangan atau korporasi dan/atau pengurus yang terhadap korporasi adalah pidana
bertindak untuk dan atas nama denda paling banyak
korporasi Rp600.000.000,00 (enam ratus miliar
rupiah)
433
86 UU No. 7/2016 Tentang Ps. 1 (26): setiap orang adalah BAB IX (Ps. 73-74): mengatur BAB IX (Ps. 73-74): Penjara
Perlindungan dan orang perseorangan atau tindak pidana yang ditujukan dan/atau denda
Pemberdayaan Nelayan, korporasi, baik yang berbentuk bagi “setiap orang” yang
Pembudidaya Ikan dan badan hukum maupun yang tidak termasuk di dalamnya adalah
Petambak Garam berbadan hukum. korporasi sehingga korporasi
dapat dipidana sebagai subjek
Ps. 1 (27): Pelaku usaha adalah hukum mandiri.
orang perseorangan atau korporasi
yang melakukan usaha prasarana
dan/atau sarana produksi
perikanan....
87. UU No. 8/2016 Tentang Ps. 1 (17): setiap orang adalah Ps. 144 dan 145: setiap orang Ps. 144 dan Ps. 145: pidana penjara
Penyandang disabilitas orang perseorangan atau (tidak secara tegas menyebutkan atau denda
korporasi, baik yang berbadan korporasi dapat dipidana secara
hukum maupun yang tidak mandiri tetapi dapat disimpulkan
berbadan hukum dari pengertian setiap orang pada
Ps. 1 (17)
88. UU No. 13/2016 Tentang Ps. 1 (13): orang adalah orang BAB XVII (Ps. 161 – Ps. 166): BAB XVII (Ps. 161 – Ps. 166):
Paten perseorangan atau badan hukum ketentuan pidana yang ditujukan Penjara dan atau denda, dengan tidak
kepada “setiap orang”. Sehingga membedakan sanksi untuk orang
badan hukum dapat bertanggung perorangan dengan badan hukum.
jawab secara pidana sebagai
subjek hukum mandiri
434
435