Anda di halaman 1dari 452

UNIVERSITAS INDONESIA

KORPORASI SEBAGAI SUBJEK HUKUM DAN


PERTANGGUNGJAWABAN PIDANANYA DALAM HUKUM PIDANA
INDONESIA

DISERTASI

Untuk dipertahankan di hadapan


Sidang Akademik Universitas Indonesia
di bawah Pimpinan Dekan Fakultas Hukum UI
Prof. Melda Kamil Ariando, SH., LL.M., Ph.D
guna memperoleh gelar Doktor dalam Ilmu Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Rabu, 10 Januari 2018

NANI MULYATI
NPM: 1106044951

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
JAKARTA
JANUARI 2018
ii

PERNYATAAN ORISINALITAS

Penulis dengan ini menyatakan bahwa disertasi:

“Korporasi sebagai Subjek Hukum dan Pertanggungjawaban Pidananya dalam Hukum


Pidana Indonesia”

adalah karya orisinal saya dan setiap serta seluruh sumber acuan telah ditulis sesuai dengan
kaidah penulisan ilmiah yang berlaku di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Depok, 10 Januari 2018


Yang menyatakan,

Nani Mulyati
NPM: 1106044951
iii

PROMOTOR/PENGUJI

Disertasi ini dipertahankan di hadapan Tim Penguji


di bawah pimpinan
Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Prof. Melda Kamil Ariando, SH., LL.M., Ph.D

Promotor:
Prof. Dr. Topo Santoso, S.H, M.H

Ko-Promotor:
Dr. Suhariyono, SH. MH

Tim Penguji:
Prof. Harkristuti Harkrisnowo, SH. MA. PhD.
Prof. Mardjono Reksodiputro, SH. MA.
Prof. Dr. Valerine J.L. Kriekhoof, SH. MA.
Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, SH. MH. FCBArb.
Dr. Surastini Fitriasih, SH. MH.
Dr. Chairul Huda SH. MH.
Dr. Eva Achjani Zulfa, SH., MH
v

Kata Pengantar

Alhamdulillah, segala puji syukur kepada Allah SWT atas karunia, rahmat, kebaikan
dan kasih sayang – Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Cukup panjang
perjalanan yang telah dilalui untuk akhirnya dapat menyelesaikan semua ini. Perjalanan
panjang tersebut akan menjadi sebuah kisah dengan pelajaran hidup yang sangat berharga
bagi kehidupan penulis ke depan.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya ingin penulis sampaikan dari lubuk hati
yang paling dalam kepada:
1. Prof. Dr. Topo Santoso, SH. MH., yang merupakan dekan FHUI periode 2013 - 2017
dan sekaligus adalah promotor yang sangat penulis banggakan dan teladani. Beliau
telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran, perhatian dan selalu memberikan
motivasi serta inspirasi kepada penulis untuk terus berjuang menyelesaikan disertasi
ini dengan sebaik-baiknya.
2. Dr. Suhariyono, SH. MH., yang merupakan ko-promotor dalam penulisan disertasi ini
seperti orang tua yang bijaksana bagi penulis. Memberikan masukan dan arahan
dengan cara yang menenangkan, menyemangati dengan memberikan kepercayaan
yang besar bahwa penulis dapat melakukan yang terbaik.
3. Para tim penguji yang sangat terpelajar, Prof. Harkristuti Harkrisnowo, SH. MA.
PhD., Prof. Mardjono Reksodiputro, SH. MA., Prof. Dr. Valerine J.L. Kriekhoof, SH.
MA., Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, SH. MH. FCBArb., Dr. Surastini Fitriasih, SH.
MH., Dr. Chairul Huda SH. MH., Dr. Eva Achjani Zulfa, SH., MH. Para tim penguji
pada dasarnya adalah penyempurna yang mematutkan disertasi ini menjadi lebih
layak dan rancak. Terima kasih banyak yang tidak terhingga kepada seluruh tim
penguji atas kesediaannya memberikan bimbingan, arahan, petunjuk, saran dan
pelajaran bagi penulis. Semoga segala kebaikan Bapak dan Ibu dibalas oleh Allah
SWT dengan kebaikan yang lebih baik lagi dan ilmu bermanfaat yang diberikan akan
menjadi amal sholeh bagi Bapak/Ibu di hadapan Allah SWT.
4. Pimpinan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Melda Kamil Ariando, SH.,
LL.M., Ph.D., dan jajaran Pimpinan FHUI Periode sebelumnya, Ibu Dr. Ratih
Lestarini, SH., MH selaku Wadek bidang akademik, riset dan kemahasiswaan dan Ibu
Wirdyaningsih, SH., MH, selaku Wadek bidang administrasi umum, SDM dan
ventura.
5. Pimpinan program pascasarjana FHUI mulai dari awal penulis menjadi mahasiswa
pada tahun 2011 yang pada saat itu ada di bawah kepemimpinan Prof. Dr. Rosa
Agustina, SH. MH., dan ketua Program S3 Bapak Andri G. Wibisana, SH. LLM.
PhD., hingga saat ini dipimpin oleh Prof. Dr. Satya Arinanto, SH. MH., dan ketua
Program S3 Ibu Tri Hayati, SH., MH. Beserta seluruh staff pendidikan yang telah
banyak memberikan bantuan dan kemudahan dalam pengurusan administrasi selama
penulis menempuh pendidikan.
6. Pimpinan Universitas Andalas dan Pimpinan Fakultas Hukum Universitas Andalas
yang penulis hormati, Bapak Dekan, Prof. Dr. Zainul Daulay, SH., MH., beserta
Wakil Dekan I, Bapak Dr. Kurniawarman, SH. MH., Wakil Dekan II, Bapak Dr.
Busyra Azheri, SH., MH dan Wakil Dekan III Bapak Charles Simabura, SH. MH.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Andalas Periode 2010 – 2014, Prof. Yuliandri,
SH., MH., beserta para Wakil Dekan yang telah memberikan izin kepada penulis
untuk melanjutkan pendidikan. Para Guru Besar Fakultas Hukum Universitas
Andalas, Bapak dan Ibu dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas yang tidak bisa
penulis sebutkan satu per satu, terima kasih untuk bantuan, perhatian dan doa-doa
vi

terbaik yang telah dikirimkan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan disertasi
ini.
7. Guru Besar di Bagian Hukum Pidana Universitas Andalas, Prof. Dr. Elwi Danil, SH.
MH., yang telah memberikan dukungan dan dorongan kepada penulis untuk
melanjutkan pendidikan S3 di FHUI dan Prof. Dr. Ismansyah., SH. MH., yang pada
saat penulis memulai pendidikan adalah Ketua Bagian yang selalu memberikan
dukungan dan kemudahan kepada penulis. Ketua Bagian Bapak Dr. A. Irzal Rias, SH.
MH, Sekretaris Ibu Yusrida SH., MH., Bendahara Ibu Efren Nova, SH., MH.; seluruh
dosen Bagian Hukum Pidana, Ibu Dr. Aria Zurnetti, SH. MH., Uni Dr. Siska
Elvandari, SH. MH., Ibu Nelwitis, SH., MH., Tante Diana Arma, SH., MH., Ibu
Yandriza, SH., MH., Bapak Yoserwan, SH., MH., LLM., Bapak Dr. Fadillah Sabri,
SH. MH., Ibu Tenofrimer, SH., MSi., Bapak Apriwal Gusti., SH., Riki Afrizal, SH.,
MH. Penulis ucapkan terima kasih banyak untuk perhatian dan semua kebaikannya
selama ini. Kiriman doa-doa terbaik penulis sampaikan kepada Almarhumah Ibu Dr.
Shinta Agustina, SH., MH., dan almarhum Prof. Dr. Teguh Sulistia, SH., M.Hum.,
merupakan dosen yang penulis teladani mulai semenjak memasuki lingkungan
Fakultas Hukum Universitas Andalas. Semoga beliau ditempatkan di tempat yang
mulia.
8. Terima kasih secara khusus penulis sampaikan kepada adinda Edita Elda, SH., MH.,
Delfina Gusman, SH. MH., Uda Lucky Raspati, SH., MH., Uda Iwan Kurniawan,
SH., MH., Uni Yasniwati, SH., MH., Uni Wetria Fauzi, SH., MH, Uni Nilma Suryani,
SH., MH., Uni Dr. Delfiyanti, SH. MH., Uni Devianty Fitry, SH. MH., yang
merupakan teman terbaik yang selalu memberikan dukungan, motivasi, dan
membantu keperluan penulis selama dalam pendidikan.
9. Prof. dr. John Vervaele yang menjadi supervisor selama penulis menjadi visiting
researcher di Willem Pompe Institute for Criminal Law and Criminology, Utrecht
University, Belanda. Seluruh staff Willem Pompe Institute, terutama Marcella Kiel
(Secretary to the Board of Utrecht University School of Law) dan dr. Mark Hornman
yang banyak membantu penulis selama melakukan penelitian di Utrecht University.
10. Para narasumber yang bersedia meluangkan waktunya untuk penulis temui dan
wawancarai sehingga dapat menambah pemahaman penulis mengenai topik disertasi
ini, Prof. mr. H.R.B.M. (Henk) Kummeling dari Utrecht University, Bapak Dr.
Shidarta, SH., MH., dari Universitas Bina Nusantara, Ibu Dr. Yetty Komalasari Dewi,
SH., LLM., dari Universitas Indonesia, Hakim Tinggi di Pengadilan Tinggi DKI
Jakarta, Hakim Tinggi Heru Pramono., SH., M.Hum., dan Hakim Tinggi Dr.
Siswandriyono., SH., M.Hum. Bapak Yuli Tambing, SH., M.Si, Bapak I Ketut
Setiawan, SH., Mas Lukman Haryano, SH., MH., dari Badan Narkotika Nasional
(BNN), Bapak Ilham Putuhena dari Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) dan
Bapak Roki Panjaitan, SH selaku panitera pidana khusus MA Republik Indonesia dan
Bapak Ogan Sudrajat, SH., MH., selaku koordinator Peninjauan Kembali/Grasi pada
Kepaniteraan Pidana Khusus MA Republik Indonesia.
11. Teman-teman seperjuangan dalam suka dan duka, angkatan 2011 S3 FHUI yang
penulis banggakan, Mb Dr. Helza Novalita, SH., MH., Ibu Antarin Prasanthi Sigit,
SH., Msi., abang Dr. Ahmad Sofian, SH., MA., Uda Dr. Roberia, SH., MH., Bang Dr.
Brian A. Prastyo, SH., LLM., Bang Dr. Abdul Salam., SH., MH., Pak Dr. Anthon
Raharusun, SH., MH, Bang Dr. Zulham, SH., MH., Adik Dr. Teddy Anggoro, SH.,
MH., Pak Aad Rusyad Nurdin, SH., MKn., Afra Roki., SH., MH., Pak Dr. Chandra
Yusuf, SH., LLM., Pak Richard Burton, SH., MH., Pak Jenderal (Purn) Fachrul Razi,
abang Hakim Bongbongan Silaban, SH., LLM. Doa-doa terbaik juga penulis kirimkan
kepada Almarhum mas A. Azis, SH., MH.
vii

12. Teman-teman S3 FHUI lintas angkatan, yang selalu saling berbagi informasi,
pengalaman, keceriaan, keseruan, kesedihan, dukungan dan doa-doa yang selalu
mengiringi pertemuan dan curhatan. Pak Simpleks, Reza, Mb Nenny, Kak Maria, Mb
Inne, Rahmat, Pak Iwan, Mb Risda, Artha, Pak Tio, Mb Laily, Mb Maya, Mb Ratih,
Mb Fuli, Mb Dr. Ike, Mb Nathalina, Mb Feby, Manohara. My best prayers and wishes
buat semuanya.

Disertasi ini dipersembahkan untuk:

Orang tua yang sangat penulis sayangi, Papa, Ir. Emzalmi, Msi., mama Rosmawati,
BA., semua perjuangan ini diawali dari keinginan untuk membuat papa dan mama bangga
dan bahagia. Tiada satu kata ataupun perbuatan yang dapat mengungkapkan betapa penulis
sangat berterima kasih dan bersyukur atas segala kasih sayang yang telah diterima selama ini.
Mertua yang sangat penulis sayangi, Papah Ropii Ali Zaini, Mamah Laela Nurlela, terima
kasih untuk pengertian, kesabaran, perhatian dan doa-doa yang telah diberikan kepada kami.
Uni Tuti Kurnia, SP., MM., dan Mas Heri Prabowo., ST., MT., beserta ananda Aisyah,
Aliyah, Husna; Adinda Dodi Febrizal, SH., dan Mitra Maulia Tamba, S. Si., beserta ananda
Yusuf, Fatimah dan (alm) Ibrahim; kesayangan Amirah Shalihah; Aa Rully Budhiana, ST.,
dan Teteh Tatih Heryatih, beserta ananda Dafhin, dan Nafiz; Teteh Sizka Ferawati, SE., Aa
Agung Sedayu, SE., seluruh keluarga besar di Padang dan di Majalengka.
Suami yang sangat penulis cintai, Ferry Christian, ST., MM., pasangan, sahabat,
partner dalam semua keadaan, terima kasih yang tidak terhingga untuk kasih sayang, cinta,
dukungan, pengertian, kesabaran, perhatian, pengorbanan dan banyak hal baik lain yang telah
diberikan. Penulis mungkin tidak akan dapat menyelesaikan disertasi ini dan sampai di titik
ini apabila tidak ada pendukung sehebat dirimu. Couldn’t get any bigger with anyone else
beside me. Anak-anak kami yang insya Allah sholehah, Amanda Nabila Afnan dan Alyssa
Azzahra Afnan; semoga kalian dapat memahami bahwa perjuangan untuk mendapatkan
sesuatu itu tidak pernah mudah; disertasi ini bunda persembahkan untuk kalian sebagai
motivasi, inspirasi dan kebanggaan dalam melangkah dan mengarungi kehidupan yang lebih
baik.
Meskipun disetasi ini telah diusahakan dan dibuat dengan semaksimal mungkin,
namun tentunya tidak ada kesempurnaan yang hakiki, sehingga penulis terbuka untuk segala
masukan atau saran baik terhadap materi ataupun terhadap cara penulisan disertasi ini.
Semoga disertasi ini dapat memberikan manfaat untuk masyarakat luas dan dapat menjadi
bahan rujukan yang berguna bagi ilmu hukum khususnya hukum pidana di Indonesia.

Depok, 10 Januari 2018

Nani Mulyati.
viii

PERSETUJUAN PUBLIKASI DISERTASI


UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Saya, yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : Nani Mulyati


NPM : 1106044951
Program Studi : Doktor Pasca Sarjana
Fakultas : Hukum

untuk pengembangan ilmu pengetahuan, dengan ini menyetujui memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Eksklusif (non exclusive, royalty-free right) untuk
mempublikasikan disertasi saya yang berjudul “Korporasi sebagai Subjek Hukum dan
Pertanggungjawaban Pidananya dalam Hukum Pidana Indonesia”

Dengan hak bebas royalti non eksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data, merawat, dan
mempublikasikan disertasi saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan
pemilik hak cipta.

Demikian persetujuan publikasi ini saya buat dengan sebenarnya.

Depok, 10 Januari 2018

Nani Mulyati
ix

ABSTRAK

Nama : Nani Mulyati


NPM : 1106044951
Program Studi : Ilmu Hukum
Judul : Korporasi sebagai Subjek Hukum dan Pertanggungjawabannya dalam
Hukum Pidana Indonesia

Peran korporasi sebagai aktor sosial sangat besar dan penting seiring dengan semakin
kompleks dan majunya kehidupan masyarakat. Saat ini terdapat ketidakjelasan mengenai
konsep korporasi sebagai subjek hukum pidana dan entitas apa saja yang bisa
dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Disamping itu, pengaturan mengenai
pembebanan pertanggungjawaban pidana bagi korporasi masih sangat minim, terutama
mengenai pemisahan pertanggungjawaban pidana korporasi dan pengurus (subjek manusia)
ketika terjadi suatu tindak pidana di dalam korporasi. Keadaan ini mengakibatkan sangat
sedikit kasus hukum yang menjadikan korporasi dapat dituntut atas perilakunya yang
bertentangan dengan ketentuan hukum yang mengandung sanksi pidana; dan ada
kecenderungan untuk melihat korporasi dan personel pengendali (directing mind) korporasi
adalah subjek hukum yang sama, sehingga mereka dapat dipertukarkan satu dengan yang
lainnya (interchangeable) dalam hal penuntutan dan penjatuhan sanksi pidana. Disertasi ini
melakukan telaahan mengenai teori subjek hukum dan karakteristik yang diperlukan oleh
suatu entitas yang bukan manusia untuk dapat juga dipertanggungjawabkan dalam hukum
pidana. Selanjutnya, penelitian ini menganalisis pemaknaan dan penerapan konsep korporasi
dan bentuk-bentuk korporasi yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana serta
implementasi pertanggungjawaban pidana korporasi dalam kasus hukum dan peraturan
perundang-undangan. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, didukung
dengan pendekatan wawancara mendalam (in-depth interview) dan micro-comparative study.
Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa definisi korporasi yang selama
ini dipakai dalam beberapa UU khusus di Indonesia dan juga dalam RKHUP, merupakan
pengadopsian istilah yang kurang tepat. Penulis berpendapat bahwa istilah yang paling cocok
digunakan untuk merujuk kepada subjek hukum kolektif terlepas apakah memiliki
personalitas hukum mandiri ataukah tidak memiliki status sebagai subjek hukum adalah
‘organisasi’. Selanjutnya, mengenai posisi korporasi publik perlu untuk ditegaskan dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Negara sebagai penyelenggara kepentingan
umum secara prinsip masih dianggap imun dari prosekusi hukum pidana, begitu juga
pemerintahan daerah ketika menjalankan fungsi administrasi pemerintahan. Partai politik
seharusnya tidak dapat diberikan sanksi berupa pembubaran secara paksa dalam mekanisme
hukum pidana karena mereka memiliki fungsi konstitusi yang cukup signifikan. Terakhir, R-
KHUP sebaiknya memberikan kriteria yang lebih jelas mengenai kondisi seperti apa yang
diperlukan untuk membebankan pertanggungjawaban pidana bagi korporasi dan pengurus
korporasi, serta pengaturan secara khsusus mengenai hukum acara bagi subjek hukum
korporasi dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (R-KUHAP), agar
aparat penegak hukum memiliki acuan hukum dalam menjadikan korporasi sebagai subjek
tindak pidana dan juga agar tidak mencampuradukkan ke dua subjek hukum ini sebagai
subjek hukum yang sama dan dapat dipertukarkan satu dengan yang lainnya.

Kata Kunci: korporasi, pertanggungjawaban pidana korporasi, subjek hukum pidana


x

ABSTRACT

Name : Nani Mulyati


Student Number : 1106044951
Program : Legal Studies
Title : Corporation as Legal Subject and It’s Criminal Liability in Indonesian
Criminal Law

The more complex and advance the society, the more significant and important the roles of
corporations as social actors. At the moment, there is a lack of clarity about the concept of
corporation as a criminal legal subject and about what entities can be criminally liable.
Besides, provisions about the attribution of criminal liability for corporation is very limited,
especially regarding the separation of corporate criminal liability and personal liability
(human legal subject) when there is criminal act within the corporation. This condition has
led to the fact that there are only few legal cases where corporation is prosecuted for their
unlawful behaviour that contradicts with legal provisions that contain criminal sanction; and
there is tendency to treat corporations and their directors as the same legal subjects, so one
subject can replace another subject position (interchangeable) in terms of prosecution and
imposition of criminal sanction. This dissertation examines legal subject theory and required
characteristics that must be possessed by a non-human entity to be a criminal legal subject
and be criminally liable. Furthermore, this research analyses the meaning and application of
the concept of corporation, corporate forms that can be criminally liable and the
implementation of corporate criminal liability in legal cases and regulations. Research
methodology that is adopted is doctrinal method, supported with in-depth interview and
micro-comparative study. From the study that has been done, it can be concluded that the
definition of corporation that is adopted in several special regulations and drafted penal code
is inappropriate. Thus, I argue that the proper terminology to address group regardless
whether it has or has no legal personality is ‘organisation’. Additionally, the position of
public corporation needs to be affirmed by the drafted penal code. The State as the
administrator of public interests generally is still immune from the criminal prosecution; the
same principle applies to municipal corporations, as long as they carry public administration
functions. Moreover, political parties are recognized as having significant constitutional
function; thus they cannot be forcibly dissolved in criminal law mechanism. Last, drafted
Penal Code should provide a more explicit criteria regarding on how to impose criminal
liability for corporations and for its board of directors, as well as special arrangements for
corporation in drafted Procedural Criminal Code, so that the law enforcement officers have
guidance in putting and treating corporation as criminal legal subject and do not treat
corporations and it’s board of directors as the same subjects.

Keywords: corporation, corporate criminal liability, criminal legal subject


xi

DAFTAR ISI
HALAMAN
HALAMAN JUDUL............................................................................................................... i
PERNYATAAN ORISINALITAS......................................................................................... ii
HALAMAN PROMOTOR DAN PENGUJI NASKAH DISERTASI................................ iii
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR............................................................................................................. v
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI......................................................................... viii
ABSTRAK................................................................................................................................ ix
ABSTRACT............................................................................................................................... x
DAFTAR ISI............................................................................................................................. xi
DAFTAR SINGKATAN.......................................................................................................... xiv
DAFTAR KASUS..................................................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................... 1
A. Latar Belakang............................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian............................................................... 24
1. Perumusan Masalah (Statement of the Problem) .................................................... 24
2. Pertanyaan Penelitian (Research Questions) .......................................................... 25
C. Tujuan Penelitian.......................................................... ................................................ 25
D. Manfaat Penelitian.......................................................... .............................................. 26
E. Kerangka Teoritis dan Konseptual.......................................................... ..................... 27
1. Kerangka Teoritis.......................................................... ........................................ 27
a. Teori tentang Subjek Hukum............................................................................ 27
b. Teori tentang Pertanggungjawaban Pidana....................................................... 34
c. Teori tentang Pertanggungjawaban Pidana Korporasi...................................... 39
2. Kerangka Konseptual.......................................................... .................................. 57
F. Metode Penelitian.......................................................... ............................................... 59
1. Metode Pendekatan.......................................................... ...................................... 59
2. Jenis Data.......................................................... ..................................................... 61
G. Sistematika Penulisan.......................................................... ........................................ 63

BAB II SUBJEK HUKUM BUKAN MANUSIA: SEJARAH DAN PERKEMBANGAN 65


A. Subjek Hukum dalam Pembahasan Teori..................................................................... 65
1. Manusia sebagai Subjek Hukum yang dapat Menjadi Pengemban Hak dan/atau
Kewajiban.............................................................................................................. 65
2. Entitas Bukan Manusia sebagai Subjek Hukum.................................................... 74
a. Janin sebagai Subjek Hukum.......................................................................... 75
b. Hewan dan Tumbuhan sebagai Subjek Hukum.............................................. 80
c. Intelligent Agent sebagai Subjek Hukum........................................................ 85
d. Korporasi sebagai Subjek Hukum................................................................... 88
1) Doktrin tentang Kepribadian Hukum Korporasi (Corporate Legal
Personality)............................................................................................ 91
a) Pandangan Formalis tentang Kepribadian Hukum Korporasi...... 91
b) Pandangan Reduksionis tentang Kepribadian Hukum Korporasi 98
c) Pandangan Realis tentang Kepribadian Hukum Korporasi........... 100
2) Korporasi dalam Struktur Sosial............................................................. 103
xii

B. Badan Hukum Menurut Hukum Indonesia..................................................................... 116


C. Kategorisasi Korporasi dalam Berbagai Konteks Kepentingan..................................... 124
D. Negara sebagai Subjek Hukum....................................................................................... 131
E. Subjek Hukum Pidana sebagai Penyandang Hak dan Kewajiban Hukum..................... 136
1. Normadressaat dari Ketentuan Pidana………………………………………….. 137
2. Kapasitas Hukum (Legal Capacity) sebagai Syarat untuk Menjadi Subjek
Hukum Pidana....................................................................................................... 143

BAB III KORPORASI SEBAGAI SUBJEK HUKUM DALAM REZIM HUKUM


PIDANA......................................................................................................................... 150
A. Mengupas Peristilahan Korporasi dalam Hukum Pidana............................................... 151
1. Identifikasi dan Analisis Korporasi sebagai Subjek Hukum Pidana pada
Undang-Undang Indonesia...................................................................................... 151
2. Pengertian Korporasi Menurut Para Ahli................................................................. 163
3. Korporasi dalam Peraturan Perundang-undangan Negara Lain............................... 176
4. Kritisi terhadap Pengertian Korporasi..................................................................... 180
5. Kesimpulan Mengenai Peristilahan Korporasi......................................................... 183
B. Bentuk dan Jenis Korporasi yang Dapat Dipertanggungjawabkan dalam Hukum
Pidana............................................................................................................................ 184
1. Korporasi Privat....................................................................................................... 185
a. Perusahaan yang Bertujuan untuk Mencari Laba sebagai Subjek Hukum
Pidana........................................................................................................... 186
b. Organisasi Kemasyarakatan yang Tidak Bertujuan pada Profit sebagai
Subjek Hukum Pidana.................................................................................. 197
2. Korporasi Publik....................................................................................................... 201
a. Negara dan Pemerintahan Pusat sebagai Subjek Hukum Pidana................. 202
b. Pemerintahan Daerah (Municipal Corporation) sebagai Subjek Hukum
Pidana........................................................................................................... 220
3. Korporasi Kuasi Pemerintah (Quasi-Governmental Corporation) sebagai Subjek
Hukum Pidana.......................................................................................................... 226
4. Partai Politik sebagai Subjek Hukum Pidana........................................................... 228
5. Organisasi yang Tidak Berbadan Hukum sebagai Subjek Hukum Pidana............... 234

BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI……………………….. 244


A. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Peraturan Perundang-Undangan............... 244
1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia………………………………………………………………………….. 244
a. Model Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (PPK) 1…………………….. 246
b. Model Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (PPK) 2.................................. 247
c. Model Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (PPK) 3…………………….. 250
d. Model PPK yang Diadopsi oleh Peraturan Jaksa Agung (PERJA) tentang
Subjek Hukum Korporasi................................................................................. 256
e. Model PPK yang Diadopsi oleh Peraturan Mahkamah Agung (PERMA)
tentang Perkara Tindak Pidana Korporasi........................................................ 258
f. Model PPK Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ……………. 257
xiii

2.
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Peraturan Perundang-Undangan
Negara Lain………………………………………………………………………. 268
a. UK Corporate Manslaughter and Corporate Homicide Act 2007……………. 268
b. KUHP Belanda................................................................................................. 270
3. Pertanggungjawaban Pidana Individu Personel Korporasi..................................... 271
a. Pertanggungjawaban Pidana Terbatas dari Personel Pengendali Korporasi… 275
b. Pertanggungjawaban Pidana Absolut dari Personel Pengendali Korporasi…. 277
c. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi sebagai Pelepas Tanggung Jawab
(Scapegoat) bagi Pertanggungjawaban Pidana Individu Personel Korporasi? 279
4. Sanksi Pidana bagi Korporasi dalam Peraturan Perundang-undangan…………….. 283
B. Implementasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Putusan Pengadilan............ 295
1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Putusan Pengadilan di Indonesia..... 295
a. Doktrin Pertanggungjawaban Pidana Korporasi yang Diadopsi...................... 296
b. Subjek Hukum yang Dipertanggungjawabkan................................................. 311
c. Catatan Khusus Mengenai Kasus PT. Kallista Alam....................................... 316
2. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Putusan Pengadilan di
Negara Lain................................................................................................................ 320
a. Doktrin Pertanggungjawaban Pidana yang Diadopsi....................................... 320
b. Ketercelaan (Blameworthiness) dari Korporasi............................................... 326
c. Kedudukan Korporasi dalam Penyertaan Tindak Pidana (Corporate
Criminal Complicity)........................................................................................ 331
C. Implementasi Pertanggungjawaban Pidana bagi Subjek Hukum Organisasi yang Tidak
Berbadan Hukum……………………………………………………………………….. 342
D. Prospek Pengembangan Ketentuan tentang Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di
Masa Depan…………………………………………………………………………….. 347
1. Pembebanan Pertanggungjawaban Pidana Kepada Korporasi…………………… 348
2. Pembebanan Pertanggungjawaban Pidana bagi Pengurus Korporasi…………….. 352
3. Pertanggungjawaban Pidana bagi Organisasi yang Tidak Berbadan Hukum……. 356
BAB V PENUTUP…………………………………………………………………………… 359
A. Simpulan………………………………………………………………………………. 359
B. Saran…………………………………………………………………………………... 364

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………….…….. 367


A. Buku 367
B. Artikel, Jurnal dan Karya Ilmiah 377
C. Peraturan Perundang-Undangan dan Putusan Pengadilan 387
LAMPIRAN………...………………………………………………………………….…….. 396
xiv

DAFTAR SINGKATAN

AD : Anggaran Dasar
APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
BI : Bank Indonesia
BPK : Badan Pemeriksa Keuangan
BUMN : Badan Usaha Milik Negara
BUMD : Badan Usaha Milik Daerah
DPR : Dewan Perwakilan Rakyat
DPD : Dewan Perwakilan Daerah
DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
EU : European Union
HR : Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda)
ITE : Informasi dan Transaksi Elektronik
KUHP : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
KUHPer : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
KY : Komisi Yudisial
KPU : Komisi Pemilihan Umum
NKRI : Negara Kesatuan Republik Indonesia
MA : Mahkamah Agung
MK : Mahkamah Konstitusi
Ormas : Organisasi Kemasyarakatan
TP : Tindak Pidana
Tipikor : Tindak Pidana Korupsi
PT (1) : Perseroan Terbatas
PT (2) : Pengadilan Tinggi
PP : Peraturan Pemerintah
PERJA : Peraturan Jaksa Agung
PERPU : Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
PK : Peninjauan Kembali
Parpol : Partai Politik
POLRI : Kepolisian Negara Republik Indonesia
PPK : Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
RI : Republik Indonesia
RKUHP : Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
SK KMA : Surat Keputusan Ketua Mahkakah Agung
TNI : Tentara Nasional Indonesia
UU : Undang-Undang
UUD : Undang-Undang Dasar
US : United States (Amerika Serikat)
UK : United Kingdom (Inggris Raya)
WNI : Warga Negara Indonesia
WNA : Warga Negara Asing
xv

DAFTAR KASUS

No. Kasus Halaman

1. Indonesia v Kim Young Woo. Putusan Mahkamah Agung No. 862 189 - 190, 305-
K/PID.SUS/2010. 306, 312.
2. Indonesia v PT. Giri Jaladhi Wana (PT. GJW). Putusan Pengadilan 190, 297-299.
Tinggi Tipikor Banjarmasin No. 04/PID.SUS/2011.
3. Indonesia v. Suwir Laut. Putusan Mahkamah Agung No. 2239 190-191, 299-
K/Pid.Sus/2012. 300, 312-313.
4. Indonesia v Indar Atmanto. Putusan MA No. 787K/PID.SUS/2014. 191-192, 301-
302, 313-314.
5. Indonesia v Herlan Bin Ompo. Putusan MA No. 2441 K/Pid.Sus/2013. 192-193, 302-
303, 311.
6. Indonesia v Ricksy Prematuri. Putusan MA No. 2330 K/Pid.Sus/2014. 193-194, 303-
304, 311.
7. Indonesia v PT. Adei Plantation & Industry (PT. API). Putusan MA No. 195, 306-308,
2042K/Pid.Sus/2015. 315.
8. Indonesia v PT. National Sago Prima (PT. NSP). Putusan PT Pekanbaru 193, 308-309.
No. 27/Pid.Sus/2015/PT.PBR.
9. Indonesia v PT. Kallista Alam. Putusan Mahkamah Agung No. 1554 195-196, 309-
K/Pid.Sus/2015. 311, 316-320.
10. Indonesia v Zuhroni alias Zarkasih. Putusan PN Jakarta Selatan No. 311, 346-347.
2192/PID.B/2007/PN.JKT.SL
11. HR 25 Januari 1994, NJ 1994. Volkel Case. 208.

12. HR 6 January 1998, NJ 1998, 367. Pikmeer II Case. 222

13. HR 23 April 1996, NJ 1996, 513. Pikmeer I Case. 222

14. HR 23 Oktober 1990, NJ 1991, 496. City of Voorburg Case. 222-223

15. HR. 8 July 1992, NJ 1993, 12. City of Tilburg Case. 222, 223

16. HR 23 April 1996, NJ 48, 513. City of Urk Case. 223

17. HR 10 November 1987, NJ 1988, 303. (The University of Groningen 229


Case)
18. HR 21 Oktober, 2003, NJ 2006, 328 (Drijfmest Case) 321-323
xvi

19. HR 29 Maret 2005, LJN AR7619 (Visserij Case) 338


20. HR, 23 Februari , 1954, 378. (IJzerdraad case) 320-321
21. HR 1 Juni 1981, NJ 1982, 80. (Kablejauw case) 321
22. HR 14 Januari 1992, NJ 1992, 413. (kasus klub malam) 321
23. Rb. Roermond 27 Januari 2009, LJN BH1649. (kasus kelalaian yang 323-324
menyebabkan orang mati)
24. United States v Ionia Management S.A. 555 F.3d 303 (2d Cir, 2009). 325
25. State v. Wohlsol, Inc., 670 N.W.2d 292, 297 (Minn. Ct. App. 2003). 325
26. Santa Clara County v. Southern Pacific Railroad Co., 118 US 394 188.
(1886)
27. Nye & Nissen v. United States, 336 U.S. 613, 619 (1949) 335
28. United States v. Sain, 141 F. 3d 463, 474 – 75 (3d Cir. 1998) 337 - 338

29. United States v. Bank of New England (1987), 821 F.2d 884. 49
30. R v RL and JF [2008] EWCA Crim 1970; [2008] WLR (D) 299. 345

31. R v. Robert Millar (Contractors) Ltd and Robert Millar, [1970] QB 233 339-340

32. Tesco Supermarkets Ltd. v. Nattrass. [1972] AC 153 44, 47

33. R. v. P&O European Ferries (Dover) Ltd. [1991] 93 Cr. App. R. 72 49, 50

34. R v HM Coroner for East Kent, ex p. Spooner(1989) 88 Cr. App. R. 10 49, 50

35. R v Chargot Ltd [2008] UKHL 73 (10 Dec 2008); [2009] 2 All E.R. 645 272

36. Transco Plc v HM Advocate 2004 SLT 41 327-329

37. R v Spree and Keymark Services Ltd (2004) 329-330


xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Jenis-Jenis Kelompok Kolektif............................................................................. 111


Tabel 3.1 Kasus Pidana yang Melibatkan Korporasi Bisnis di Pengadilan Indonesia.......... 189
Tabel 4.1 Unsur-unsur PPK yang dianut pada model PPK 1, 2, dan 3 …………………… 251
Tabel 4.2 Unsur-unsur PPK yang dianut pada model yang dianut oleh PERJA
dan PERMA…………………………………………………………………….. 260
Tabel 4.3 Doktrin PPK yang dianut pada model-model PPK di Indonesia……………….. 267
Tabel 4.5 Jenis pidana tambahan dan tindakan bagi korporasi yang telah diatur
pada UU Khusus………………………………………………………………… 290
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam semua cabang ilmu hukum, baik hukum materil maupun hukum
formil, subjek hukum merupakan unsur yang sangat penting, karena dia adalah
seseorang atau entitas 1 yang menjadi pemegang hak dan kewajiban hukum. 2
Sebagaimana dikemukakan oleh Kelsen, hukum tidak bisa hanya berbicara
tentang hak dan kewajiban saja, melainkan juga harus dapat menentukan
seseorang atau sesuatu yang mampu memiliki hak dan kewajiban tersebut. “There
must exist something that has the duty or the right.“ 3

Pembahasan filosofis tentang konsep kepribadian (concept of personhood)


kurang mendapatkan perhatian dari para ahli hukum dibandingkan pembahasan
tentang objek karena ahli hukum lebih banyak memfokuskan diri pada aturan apa
yang harus diterapkan dibandingkan pembahasan tentang kepada siapa hukum itu
dibentuk. 4 Padahal menurut Balkin, koherensi pemahaman hukum tidak dapat
dicapai apabila hanya melakukan pembahasan tentang objek hukum tanpa
melakukan pembahasan tentang subjek hukum. 5 Dalam literatur hukum, istilah
yang digunakan untuk merujuk kepada subjek hukum ini cukup beragam, seperti

1
Entitas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah satuan yang berwujud atau wujud,
Kamus Besar Bahasa Indonesia versi online /dalam jaringan (daring), www.kbbi.web.id, diakses
Maret 2016.
2
Andrew Borkowski, Text Book on Roman Law, reprinted 2cd Ed, (London: Blackstone
Press Limited, 2001), hlm. 84. Lihat juga Hans Kelsen (2), Pure Theory of Law, second revised
and enlarge edition, diterjemahkan oleh Max Knight, (Berkeley: University of California Press,
1967), hlm.168; Bryant Smith, “Legal Personality,” Yale Law Journal, Vol. 37, No. 3, January
1928, 283-299, hlm. 283.
3
Hans Kelsen (1), General Theory of Law and State, 6th printing, diterjemahkan oleh
Anders Wedberg, (New Jersey: The Lawbook Exchange Ltd, 2003), hlm. 93.
4
Brendan (Bo) F. Pons, “The Law and Philosophy of Personhood: Where Should South
Dakota Abortion Law Go From Here?,” South Dakota Law Review, 2013, hlm. 121
5
Jack M. Balkin, “Understanding Legal Understanding: The Legal Subject and the
Problem of Legal Coherence,” Yale Law Journal, 1993: 105-176.

Universitas Indonesia
2

legal subject, legal person, jural subject, atau hanya person atau persona. 6
Literatur hukum Indonesia mengadopsi beberapa istilah seperti purusa hukum,
awak hukum atau pribadi hukum.7

Menurut Naffine, pengertian subjek hukum sebagai pengemban hak dan


kewajiban terlalu dangkal, karena hukum bisa dengan sangat mudah memberikan
status subjek hukum atau legal person terhadap hampir semua entitas, “they can
include animals, foetuses, the dead, the environment, corporations, indeed
whatever law finds convenient to include in its community of persons.” 8
Sedangkan French menjelaskan bahwa pengertian subjek hukum dapat
dikelompokkan menjadi tiga konsep yaitu: konsep metafisika, konsep moral, dan
konsep hukum; pengertian subjek hukum sebagai pengemban hak dan kewajiban
menurutnya hanya mengakomodir pengertian subjek hukum dalam konsep hukum
saja.9
Suatu subjek hukum akan dapat melaksanakan hak dan kewajibannya
apabila dia memiliki kapasitas untuk itu. Kemampuan sesuatu atau seseorang
untuk dapat melaksanakan hak dan kewajiban tersebut dikatakan memiliki
kewenangan hukum atau kapasitas hukum (legal capacity).10 Kewenangan hukum
tersebut, menurut Apeldoorn adalah sifat yang diberikan oleh hukum dan hanya
dimiliki oleh mereka yang secara spesifik diberikan kemampuan tersebut.11

6
Person berasal dari bahasa Latin persona, Prancis: personne, Belanda dan Jerman:
persoon. Ngaire Naffine (1), “Who are Law’s Persons? From Cheshire Cats to Respobsible Cats to
Responsible Subjects,” Modern Law Review, Vol. 66, No. 3, 2003, hlm. 346-367, lihat juga John
Dewey, “The Historic Background of Corporate Legal Personality,” The Yale Law Journal, Vol.
35, No. 6, April, 1926, 655-673, hlm. 655. Lihat juga Janne E. Nijman, Non-State Actors and the
International Rule of Law: Revisiting the ‘Realist Theory’ of International Legal Personality”,
Amsterdam University Research Paper Series, 2010, hlm. 4. Namun ada juga beberapa ahli yang
menggunakan istilah “object” untuk merujuk kepada person di mana yang dimaksudkan adalah
semua benda yang kepadanya hukum berlaku. Seperti misalnya dalam Harvard Law Review’s
Notes, What We Talk about When We Talk about Persons: The Language of a Legal Fiction,
Harvard Law Review, Vol. 114, No. 6, 2001, 1745-178, hlm. 1745.
7
Handri Raharjo, Hukum Perusahaan (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009). Purusa
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: 1. Hubungan kekerabatan menurut garis
keturunan laki-laki, 2. Orang;manusia.
8
Naffine (1), op., cit., hlm. 351.
9
Peter A. French, “The Corporation as a Moral Person,” American Philosophical
Quarterly, Vol. 16, No. 3, 1979, 207-215, hlm. 207.
10
L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. 26, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita,
1996), hlm. 191
11
Ibid.

Universitas Indonesia
3

Manusia (man, human being) jelas masuk dalam kategori subjek hukum
ini. Sebagaimana dikemukakan oleh Austin bahwa “a human being considered as
invested with rights, or considered as subject to duties“.12 Berlakunya manusia
sebagai subjek hukum mulai dari saat ia dilahirkan sampai meninggal dunia;
bahkan, janin dalam kandungan pun dapat dianggap sebagai pembawa hak jika
terdapat kepentingan hukum atasnya. 13 Di samping manusia, ada juga subjek
hukum bukan manusia (non-human legal subject) yang sudah diterima masuk
dalam komunitas subjek hukum. Misalnya, pemerintah kota (municipalities),
negara, asosiasi, badan hukum, perkumpulan, persatuan, dan badan usaha,
merupakan subjek hukum yang berbeda dari anggota pribadi yang ada di
dalamnya.14 Kelompok ini disebut juga dengan juristic person, rechtpersoon, atau
judicial person.15 Hukum pidana Indonesia menggunakan istilah korporasi untuk
merujuk kepada kelompok subjek hukum ini. Pemaknaan, kategorisasi, dan
pertanggungjawaban sebagai subjek hukum inilah yang akan dibahas dalam
disertasi ini.

Di samping korporasi, juga akan diteliti bagaimana kedudukan makhluk


hidup lainnya seperti binatang dan tumbuhan dalam penerimaan mereka sebagai
pengemban hak dan/atau kewajiban hukum. 16 Bahkan yang lebih kontemporer

12
John Austin, Lectures of Jurisprudence (5th ed, 1885) hlm. 350 dikutip dari Kelsen (1),
hlm. 94.
13
C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,
1989), hlm. 117. Ada banyak pembahasan berkaitan dengan kedudukan anak yang ada dalam
kandungan baik berupa zigot, embrio ataupun janin seharusnya termasuk dalam pengertian
“person” sehingga memiliki hak konstitusi yang sama dengan manusia yang telah dilahirkan,
sehingga tidak dapat dihilangkan nyawanya tanpa ada proses hukum yang adil terhadapnya.
Apabila janin termasuk dalam pengertian person sebagai bagian dari natural person dalam hukum,
maka aborsi, percobaan medik terhadap bagian-bagian janin menjadi kegiantan yang illegal, Lihat
Charles I. Lugosi, “Conforming to the Rule of Law: When Person and Human Being Finally Mean
the Same Thing in Fourteenth Amendment Jurisprudence,” Issues in Law and Medicine, No. 22,
2007, 119-303, hlm. 125. Lihat juga Michael Stokes Paulsen, “The Plausibility of Personhood,”
Ohio State Law Journal, No. 74, 2012, 13-73.
14
Kelsen (2), Op.cit., hlm. 171. Lihat juga George F. Deiser, "The Juristic Person. I,"
University of Pennsylvania Law Review and American Law Register, 48 New Series 3, 1908, hlm.
131–142.
15
Lihat Kelsen (1), op., cit., hlm. 94. Kelsen membedakan ada dua jenis orang hukum
(legal persons) yaitu physical (natural) dan juristic persons.
16
Chirstopher D. Stone, “Should Trees Have Standing? Toward Legal Rights for Natural
Objects”, Southern California Law Review, 45, 1972, 450 -501, Yan – Juan, TE., “A Review on
the Legal Subject Position of Animals”, Journal of Luoyang Institute of Science and Technology
(Social Science Edition), 4, 2009, 18., Lihat juga Gunther Teubner, “Rights of Non-humans?
Electronic Agents and Animals as New Actors in Politics and Law,” Journal of Law and Society,
33(4), 2006, 497-521.

Universitas Indonesia
4

lagi adalah pembahasan tentang komputer dan robot dengan agen cerdas
(intelligent agent) yang mungkin dapat menjadi subjek hukum yang memiliki
kapasitas hukum sama dengan manusia.17

Kriteria yang digunakan untuk memberikan kewenangan hukum bagi


subjek hukum manusia di antaranya adalah umur yang sudah mencukupi, atau
memiliki akal pikiran yang baik sehingga mereka dapat mengemban hak dan
kewajiban dalam hukum. Bagi anak yang belum cukup umur ataupun orang yang
kurang akal atau gila bukanlah subjek hukum yang memiliki kewenangan
hukum.18 Bahkan di awal-awal peradaban, budak dan wanita bukanlah merupakan
subjek hukum yang memiliki kewenangan hukum penuh atas dirinya.19

Hal yang hampir sama juga berlaku untuk kelompok atau sekumpulan
orang yang bekerja sama dalam satu bentuk organisasi atau bentuk lainnya, baik
berbentuk perusahaan terbatas, badan usaha, asosiasi maupun organisasi non-
profit, yang tadi disebut sebagai korporasi. Mereka mungkin dapat memenuhi
syarat untuk menjadi subjek hukum dengan segala konsekuensi yang bisa
diembannya. Namun kriteria apa saja yang ditetapkan hukum untuk menyatakan
suatu kelompok kolektif ini merupakan subjek hukum, masih merupakan suatu
permasalahan yang cukup pelik.20

Sudah menjadi suatu yang umum saat ini bahwa struktur dan cara kerja
masyarakat banyak dipengaruhi oleh berbagai bentuk organisasi. Peran organisasi
menjadi aktor sosial yang sangat besar dan penting seiring dengan berjalannya

17
Andrade, Francisco, et al. "Contracting agents: legal personality and representation,"
Artificial Intelligence and Law Vol. 15, No. 4, 2007, 357-373, hlm. 371, David Calverley, J.,
“Imagining a Non-biological Machine as a Legal Person,” Ai & Society, 22 (4), 2008: 523 – 537,
Lihat juga Peter M. Asaro, “Robots and Responsibility from a Legal Perspective,” Working Paper
University of Umea Sweden, 2007, bisa diakses pada http://www.peterasaro.org/writing/
ASARO%20Legal%20Perspective.pdf
18
Jan Klabbers, "Legal Personality: The Concept of Legal Personality." Ius Gentium 11,
2005, 35-79, hlm. 40.
19
Andrew Borkowski, op., cit., hlm. 84. Sampai masa perang civil Amerika budak
dianggap sebagai property yang dimiliki oleh person sehingga mereka tidak memiliki hak,
meskipun mereka pada dasarnya pada masa itu dapat dipidana apabila melakukan kesalahan.
Harvad Law Review’s Notes menjelaskan budak ini sebagai subjek hukum ”human non person”,
yaitu mereka manusia tetapi mereka dianggap bukan persons dalam hukum pada masa itu. Lihat
Harvard Law Review’s Note, op., cit., hlm. 1747. Sedangkan wanita sampai awal abad ke dua
puluh masih belum bisa menikmati beberapa hak yang bersifat publik. Lihat juga Naffine (1), op.,
cit., hlm. 347.
20
Ibid.

Universitas Indonesia
5

waktu, bahkan merupakan aktor yang paling dominan untuk menentukan


bagaimana dunia ini bekerja. Misalnya, diskusi mengenai globalisasi lebih
merujuk kepada aktivitas dari pemerintah, institusi antarnegara, atau perusahaan
multinasional dibandingkan dengan pembahasan mengenai kegiatan individual
manusia.21

Dengan semakin meningkatnya peran organisasi dalam masyarakat,


personifikasi atau kepribadian subjek hukum korporasi menjadi pembahasan yang
penting dalam ilmu hukum. Personifikasi korporasi sebagai subjek hukum
awalnya merupakan konsep hukum yang berasal dari hukum perdata semenjak
abad ke tujuh belas, terutama berkaitan dengan konsep hukum kepemilikan. 22
Konsep inipun akhirnya mulai diterima dalam bidang hukum lainnya. Misalnya,
dalam hukum adminstrasi negara, pemberian izin usaha tidak hanya diberikan
kepada manusia saja, tetapi juga kepada korporasi. Dalam hukum agraria, badan
hukum dimungkinkan untuk memiliki beberapa hak atas tanah, seperti hak pakai,
hak guna usaha, hak guna bangunan dan sebagainya.23

Dalam penerimaan korporasi sebagai subjek hukum pidana, ada tiga topik
yang muncul ketika membicarakan tanggung jawab pidana korporasi: personalitas
korporasi, tanggung jawab korporasi dan budaya korporasi. 24 Personifikasi
korporasi sebagai subjek hukum menimbulkan cukup banyak permasalahan.25 Hal
ini dikarenakan bahwa domain pidana dipandang sebagai instrumen yang secara
fundamental diciptakan untuk menangani penyimpangan yang dilakukan oleh
manusia, penyimpangan yang dihasilkan dari cara berfikir dan pola perilaku yang
eksklusif milik manusia. 26 Secara tradisional, baik menurut sistem civil law

21
Christopher Harding, Criminal Enterprise: Individuals, Organisations And Criminal
Responsibility, 2007, (UK: Willian Publishing), hlm. 7.
22
Arthur W. Machen, Jr., “Corporate Personality”, Harvard Law Review, Vol. 24, No. 4,
Feb., 1911, 253-267, hlm. 255. Lihat juga Pinto and Evans, Corporate Criminal Liability,
(London: Sweet & Maxwell, 2003), hlm. 6.
23
Setiyono, Kejahatan Korporasi, cet. Ke-3, (Malang: Bayumedia Publishing, 2005), hlm.
7-9.
24
Celia Wells (1), “Corporate Criminal Liability in England and Wales: Past, Present and
Present,” dalam Corporate Criminal Liability: Emergence, Convergence and Risk, ed. Mark Pieth
and Radha Ivory, (London: Springer, 2011), hlm. 94.
25
Mr. J. M. van Bemmelen, Hukum Pidana 1 Hukum Pidana Meterial Bagian Umum, cet.
2, (Bandung: Binacipta, 1987), hlm. 233.
26
Lederman, op., cit., hlm. 647.

Universitas Indonesia
6

maupun common law subjek hukum pidana hanyalah manusia, sedangkan legal
entity bukanlah merupakan subjek hukum. Dalam sistem civil law, ada doktrin
yang berkembang yaitu universitas delinguere non potest atau badan hukum tidak
mungkin melakukan tindak pidana. 27 Seiring dengan hal ini, dalam sistem
common law juga terdapat suatu ungkapan yang terkenal dari William Blackstone
yang menyatakan bahwa korporasi tidak dapat melakukan ‘pengkhianatan,
kejahatan, atau tindak pidana lainnya dalam kapasitasnya sebagai korporasi.28

Perdebatan mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi menjadi isu


yang hangat dibicarakan ketika korporasi mulai memiliki peran yang signifikan
dalam kehidupan masyarakat pada masa urbanisasi dan revolusi industri. 29
Meskipun demikian, konsep pertanggungjawaban pidana korporasi pada awalnya
kurang diterima dengan baik. Hal ini terjadi sebagian karena hukum pidana
memperhitungkan unsur rasionalitas dan otonomi moral dari seorang individu.30
Kesulitan untuk menjadikan korporasi sebagai subjek hukum pidana
sebagaimana dirangkum oleh Khanna, 31 di antaranya adalah berkaitan dengan
kemampuan suatu fiksi hukum yang bernama korporasi untuk dapat melakukan
suatu tindakan hukum. Kesulitan kedua, adalah bagaimana menjelaskan korporasi
memiliki moral yang bisa dipersalahkan (moral blameworthiness) yang
merupakan persyaratan untuk dapat dipidananya seseorang. 32 Kesulitan ketiga
berkaitan dengan doktrin ultra vires, di mana perusahaan tidak bertanggung jawab
atas tindakan agennya apabila tindakan tersebut di luar dari ketentuan yang ada
dalam anggaran dasar perusahaan tersebut, dan kesulitan keempat berkaitan

27
Leonard Orland and Charles Cachera, “Corporate Crime and Punishment in France:
Criminal Responsibility of Legal Entities under the New French Criminal Code, Connecticut
Journal of International Law, 1995, Vol. 11, 114‐ 117, hlm. 115. Univeristas meruapakan istilah
hukum Romawi yang paling dekat dengan konsep korporasi modern.
28
William Blackstone, dikutip dari Orland & Cachera, Op., Cit, hlm. 117.
29
Eli Lederman, “Models for Imposing Corporate Criminal Liability: From Adaptation and
Imitation Toward Aggregation and the Search for Self-Identity,” Buffallo Criminal Law Review,
Vol. 4, No. 1, April 2000, 641-708, hlm. 642.
30
KUHP pada Pasal 59 secara umum masih berpandangan bahwa korporasi bisa menjadi
pelaku tindak pidana (dader), tetapi pertanggungjawaban pidananya tetap berada pada pengurus.
Lihat Mardjono Reksodiputro (1), “Kejahatan Korporasi: Suatu Fenomena Dalam Bentuk Baru,”
Jurnal Hukum Internasional, vol. 1, no. 4, 2004, 693-708, hlm. 697.
31
V.S Khanna, “Corporate Criminal Liability: What Purpose Does It Serve?,” Harvard
Law Review, Vol. 109, No. 7, 1996, 1477-1534, hlm. 1479.
32
Ibid.

Universitas Indonesia
7

dengan hukum formil, misalnya, siapa yang akan hadir di persidangan atau sanksi
apa yang bisa dijatuhkan dan sebagainya.33

Namun terlepas dari permasalahan teori hukum tersebut, dalam


perkembangannya, hukum pidana saat ini sudah menerima korporasi sebagai
subjek hukum pidana dengan pemahaman bahwa korporasi pun bisa memiliki
perilaku negatif yang dapat merugikan masyarakat luas. Seperti, melakukan
pencemaran lingkungan, persaingan curang, manipulasi pajak, manipulasi
pembukuan perusahaan, kejahatan terhadap konsumen dan praktik-praktik
penyimpangan lain yang memang dirasakan akibatnya oleh masyarakat luas
dengan korban lebih besar dan banyak daripada tindak pidana yang dilakukan
oleh orang perseorangan. Perilaku menyimpang inilah yang kemudian disebut
sebagai kejahatan korporasi (corporate crime).34

Adapun yang dimaksud dengan corporate crime menurut Frank and Lynch
adalah:
Socially injurious and blameworthy acts, legal or illegal, that cause
financial, physical or environmental harm, committed by corporations and
business against their workers, the general public, the environment, other
corporations and business, the government, or other countries. The
benefactor of such crimes is the corporation.35
(suatu tindakan yang berbahaya secara sosial dan tercela, legal atau ilegal,
yang menyebabkan kerugian finansial, fisik atau lingkungan, dilakukan
oleh korporasi dan badan usaha terhadap pekerja, masyarakat umum,
lingkungan, korporasi dan badan usaha lain, pemerintah atau terhadap
negara lain. Penerima manfaat dari tindak pidana tersebut adalah
korporasi.)

Meskipun teori mengenai kemampuan korporasi untuk melakukan suatu


tindak pidana masih menimbulkan perdebatan, di Inggris pada tahun 1880 dalam
kasus The Pharmaceutical Society v. London & Provincial Supply Association

33
Ibid., hlm. 1480.
34
Komisi Hukum Nasional, Sistem Pemidanaan dalam Pidana Ekonomi, Working Paper,
s.a, hlm. 5-6.
35
Nancy K. Frank dan Michael J. Lynch, Corporate Crime, Corporate Violence, A
Premier, (New York: Harrow and Heston, 1992), sebagaimana dikutip dari Sutan Remy Sjahdeini
(1), Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, cet. 2, (Jakarta: Grafiti Pers, 2007), hlm. 40.

Universitas Indonesia
8

36
Limited menegaskan bahwa korporasi merupakan subjek hukum pidana.
Sebagaimana Lord Chancellor, Lord Selbourne mengatakan dalam kasus ini:
“There can be no question that the word ‘person’ may… include a person in law:
that is, a corporation, as well as a natural person”.37 Berselang sembilan tahun
kemudian yaitu pada tahun 1889 dalam Interpretation Act Inggris, pada section 2
(1) menegaskan kembali bahwa “person” di setiap undang-undang kecuali secara
tegas dinyatakan sebaliknya maka termasuk di dalamnya adalah korporasi.38

Sedangkan di Amerika Serikat, pengakuan korporasi sebagai subjek


hukum pidana yang terpisah dari pengurusnya pertama kali disahkan dalam
Sherman Act pada tahun 1890.39 Kasus pertama yang memidana korporasi adalah
New York Central & Hudson River Railroad v. United States pada tahun 1909.40
Namun tidak semua negara liberal dan negara maju menerapkan dan menerima
korporasi sebagai subjek hukum pidana. Salah satunya adalah Jerman yang
sampai saat ini masih tidak mengenal pertanggungjawaban pidana korporasi.41

Jerman menganut sistem tradisional bahwa hukum pidana adalah hukum


yang ditujukan bagi individu yang memiliki self determination dan kapasitas
untuk moral choice, di samping itu, ketika menggunakan pertanggungjawaban
administratif untuk subjek hukum korporasi maka sanksi yang dijatuhkan adalah
sanksi administratif yang dipandang tidak stigmatizing dibanding dengan sanksi
pidana.42 Padahal, jika dicermati secara sosial ekonomi, Jerman merupakan salah
satu negara industri yang memiliki perekonomian yang mapan dan maju, dan
tentunya juga terdapat kejahatan yang dilakukan oleh badan usaha atau korporasi.

36
The Pharmaceutical Society v London & Provincial Supply Association Ltd (1880) 5 App
Cas. 857, HL. sebagaimana dikutip dari Pinto and Evans, op., cit., hlm. 27.
37
Ibid.
38
Ibid., hlm. 28.
39
Kathleen F. Brickey, Corporate and White Collar Crime, 2cd Edition, (Boston: Little,
Brown and Company, 1995), hlm. 1.
40
Ibid. lihat juga John M. Scheb and John M. Scheb II, Criminal Law, 6th edition, (USA:
Wadsworth Cengage Learning, 2012), hlm. 223.
41
Edward B. Diskant, “Comparative Corporate Criminal Liability: Exploring the Uniqely
American Doctrine Through Comparative Criminal Procedure,” The Yale Law Journal, Vol. 118,
No. 1, Oktober, 2008, 126-176, hlm. 126. Lihat Sara Sun Beale and Adam G. Safwat, “What
Developments in Western Europe Tell Us about American Critiques of Corporate Criminal
Liability,” Buffalo Criminal Law Review, Vol. 8, No. 1 (April 2004), 89-163, hlm. 106.
42
Lihat Chistina de Maglie, “Models of Corporate Criminal Liablity in Comparative Law,”
Washington University Global Studies Law Review, Vol. 4, Issue 3, 2005, 547-566, hlm. 562.

Universitas Indonesia
9

Selain Jerman, Spanyol, Swedia dan Republik Ceko juga adalah di antara Negara
di Eropa yang tidak memberikan sanksi pidana untuk kejahatan korporasi tetapi
sanksi yang bersifat adminstratif.43

Di Indonesia sendiri, perkembangan korporasi sebagai subjek hukum


pidana diatur dalam undang-undang di luar KUHP atau dalam undang-undang
pidana khusus. Diterimanya korporasi sebagai subjek tindak pidana di Indonesia
pertama kali dinyatakan oleh Undang-Undang Darurat Nomor 17 Tahun 1951
tentang Penimbunan Barang-Barang, yang dalam Pasal 11 Undang-Undang
tersebut menjelaskan bahwa badan hukum dapat dipidana secara terpisah dari
pengurusnya. 44 Korporasi sebagai subjek hukum pidana kemudian diperkuat
dengan dikeluarkannya UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan,
Penuntutan Tindak Pidana Ekonomi (yang selanjutnya disingkat UUTPE), yang
dalam Pasal 15 Undang-Undang tersebut dijelaskan bahwa badan hukum,
perseroan, perserikatan orang atau yayasan merupakan subjek hukum yang dapat
dipidana.45

Menurut Santoso Poedjosoebroto, 46 UUTPE ini merupakan saduran dari


“Wet op de economische delicten” yang disahkan di Belanda pada tahun 1951.
Dapat dipahami kemudian bahwa penerimaan konsep korporasi sebagai subjek
hukum pidana di Indonesia terjadi karena proses penyaduran konsep yang sama
dari negeri Belanda.

43
James Gobert dan Ana-Maria Pascal (editor), European Developments in Corporate
Criminal Liability, (Oxon: Routledge, 2011), sub title “Country Report: Countries with
Adminstrative Liability,” hlm. 327.
44
Indonesia, Undang-Undang Darurat Penimbunan Barang, UU Darurat No. 17 Tahun
1955, LN. No. 90 Tahun 1951, TLN No. 155, Ps. 11. UU ini dicabut dengan Perpu No. 8 Tahun
1962 Tentang Perdagangan Barang-Barang Dalam Pengawasan.
45
Indonesia, Undang-Undang Darurat Pengusutan, Penuntutan Tindak Pidana Ekonomi,
UU Darurat No. 7 Tahun 1955, LN No. 27 Tahun 1955,TLN. No. 801, Ps. 15. UU darurat ini
menjadi UU sejak 1 Januari 1961 menjadi UU No. 1 Tahun 1961, LN No. 3 Tahun 1961.
46
Santoso Poedjosoebroto, “Tindak Pidana Ekonomi”, dalam Hukum dan Masyarakat,
Nomor Kongres I. Sebagaimana dikutip dari Andi Hamzah, Hukum Pidana Ekonomi (Jakarta:
Penerbit Erlangga, Edisi Revisi, 1986) hlm. 13. Di Belanda penerimaan korporasi sebagai subjek
hukum pidana juga diterima dalam UU khusus terlebih dahulu yaitu Wet op de economische
delicten yang disahkan tahun 1951 sedangkan dalam Penal Codenya, legal person secara resmi
diterima pada tahun 1976. Lihat B.F. Keulen & E. Gritter, “Corporate Criminal Liability in the
Netherlands, Netherlands Comparative Law Association,” Electronic Journal of Comparative
Law, Vol. 14.3, Desember 2010, 1-12. hlm. 2-3.

Universitas Indonesia
10

Pada tahapan selanjutnya, pengakuan korporasi sebagai subjek hukum


pidana di Indonesia berlangsung secara terpisah-pisah dan menggunakan istilah
yang beragam pada undang-undang khusus lainnya. Di antaranya adalah Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal47 yang pada Pasal 1 angka 23
menyebutkan “pihak” adalah orang perseorangan, perusahaan, usaha bersama,
asosiasi, atau kelompok yang terorganisasi. Demikian juga Pasal 1 angka 13
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika48 dan Pasal 1 angka
21 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika 49 menggunakan
istilah “korporasi”. Korporasi diartikan sebagai kumpulan terorganisasi dari orang
dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan.

Selain penggunaan istilah di atas, Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor


5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat 50 dan Pasal 1 angka 3 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen 51 menggunakan istilah “pelaku usaha”. Pelaku usaha adalah setiap
orang perorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum atau bukan
badan hukum. Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara52 menyebutkan juga istilah “badan usaha”,
adalah setiap badan hukum yang bergerak di bidang pertambangan yang didirikan
berdasakan hukum Indonesia dan berkedudukan dalam wilayah NKRI.

Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Tentang


Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, sebagaimana telah ditetapkan menjadi
Undang-undang dengan UU No. 15 Tahun 2003 tetang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan

47
Indonesia, Undang-Undang Pasar Modal, UU No. 8 Tahun 1995, LN. No. 64 Tahun
1995, TLN. No. 3608.
48
Indonesia. Undang-Undang Psikotropika. UU No. 5 Tahun 1997. LN. No. 10 Tahun
1997. TLN. No. 3671.
49
Indonesia, Undang-Undang Narkotika, UU No. 35 Tahun 2009, LN. No. 143, TLN. No.
5062.
50
Indonesia, Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat, UU No. 5 Tahun 1999, LN. No. 33, TLN. No. 3817.
51
Indonesia, Undang-Undang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun 1999, LN. 42
Tahun 1999, TLN. 3821.
52
Indonesia, Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU No. 4 Tahun 2009,
LN. No. 4 Tahun 2009, TLN. No. 4959.

Universitas Indonesia
11

Tindak Pidana Terorisme53 menggunakan istilah “setiap orang” yang di dalamnya


mencakup pula korporasi. Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok
orang baik sipil, militer atau polisi yang bertanggung jawab secara individual
atau korporasi. Kemudian, dalam Pasal 1 angka 3 dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang
terorganisir baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-


Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan,54 dalam Pasal 1 angka 12
ditentukan bahwa “orang” adalah orang perseorangan atau badan hukum. Hal
yang sama juga ditentukan dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39
Tahun 2007 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai,55
bahwa yang dimaksud dengan “orang” adalah orang pribadi atau badan hukum.

Ketentuan yang hampir sama juga terdapat dalam Pasal 1 angka 32


Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. 56 “Setiap orang” diartikan sebagai orang perseorangan atau
badan usaha baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menentukan bahwa “setiap orang”
adalah orang perseorangan atau korporasi. Istilah-istilah di atas juga digunakan
dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang Nomor 20 Tahun 2001 serta
beberapa undang-undang di luar KUHP lain, misalnya Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

53
Indonesia, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme, Perpu No. 1 Tahun 2002, LN. No. 106 Tahun 2002, TLN. No. 4232.
Sebagaimana telah ditetapkan menjadi Undang-undang dengan UU No. 15 Tahun 2003 Tetang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, LN. No. 45 Tahun 2003, TLN. 4284.
54
Indonesia, Undang-Undang No. 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan, LN. No. 93, Tahun 2006.
55
Indonesia, Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 11 Tahun
1995 Tentang Cukai, LN. No. 105 Tahun 2007, TLN. No. 4755.
56
Indonesia, Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No.
32 Tahun 2009, LN. No. 140 Tahun 2009, TLN. No. 5059.

Universitas Indonesia
12

Dari pemaparan beberapa undang-undang di atas dapat disimpulkan bahwa


pada awalnya istilah yang digunakan untuk menunjuk subjek hukum bukan
manusia beraneka ragam, ada yang menggunakan istilah korporasi, badan hukum,
badan usaha, asosiasi, kelompok orang, usaha bersama, kelompok teroraganisasi,
yayasan, perseroan dan lain-lain. 57 Pengaturan mengenai subjek hukum bukan
manusia dalam undang-undang di luar KUHP yang mengandung ketentuan pidana
di dalamnya, dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian, yakni:
a. Undang-undang yang mengatur kegiatan ekonomi, biasanya menggunakan
istilah badan hukum atau badan usaha.
b. Undang-undang yang bersifat serious crime seperti psikotropika,
narkotika, pencucian uang, korupsi, dan terorisme menggunakan istilah
korporasi dan menjelaskan pengertian koporasi sebagai kumpulan orang
atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun
bukan badan hukum.

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R-KUHP) sudah


menerima korporasi sebagai subjek hukum pidana. 58 Pada Pasal 48 R-KUHP
disebutkan bahwa “korporasi merupakan subjek tindak pidana”. Kemudian Pasal
214 R-KUHP mengartikan korporasi adalah bagian dari makna setiap orang.
Ketentuan tersebut berbunyi: “Setiap orang adalah orang perseorangan, termasuk
korporasi”.

Korporasi secara etimologis berasal dari bahasa latin corporatio, dan


dalam bahasa Inggris disebut corporation, sedangkan dalam bahasa Belanda
59
disebut corporatie. Pengertian korporasi dalam Konsep R-KUHP tahun
1982/1983 Pasal 111 adalah “kumpulan terorganisasi dari orang dan atau

57
Penjelasan lebih mendalam tentang berbagai pengaturan beberapa undang-undang
tentang perumusan korporasi sebagai subjek tindak pidana bisa dilihat di Barda Nawawi Arief,
Kapita Selekta Hukum Pidana, cet. 2 (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), hlm. 235-237 dan
Sjahdeini (1), op., cit., hlm. 131-161.
58
Departmenan Hukum dan HAM, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Nasional, Jakarta, 2015, Pasal 48.
59
Soetan Malikoel Adil, Pembaharuan Hukum Perdata Kita, (Jakarta: PT. Pembangunan,
1955) hlm. 83. Istilah korporasi (corporation) merupakan sinonim dari perusahaan (company) di
mana pembuat undang-undang di Amerika lebih suka menggunakan istilah korporasi sedangkan di
Inggris para pembuat undang-undang lebih memilih menggunakan istilah perusahaan. Lihat
L.C.B. Gower, “Some Contrast Between British and American Corporation Law”, Harvard Law
Review, Vol. 69, No. 8 (Jun, 1956), 1369-1402, hlm. 1369.

Universitas Indonesia
13

kekayaan baik merupakan badan hukum atau pun bukan”. Pengertian ini masih
dipertahankan sampai sekarang. Pasal 190 R-KUHP tahun 2015 menjelaskan
pengertian korporasi sebagai “kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau
kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.” Dengan
demikian sejak tahun 1982 korporasi menurut ahli hukum pidana Indonesia, tidak
hanya badan hukum seperti pengertian korporasi dalam hukum perdata, tetapi
juga bukan badan hukum

Sutan Remy Sjahdeini mengistilahkan korporasi yang dianut oleh hukum


pidana Indonesia sebagai pengertian korporasi dalam arti yang luas. Menurut
hukum perdata, yang berwenang melakukan perbuatan hukum adalah orang
perseorangan dan badan hukum. Namun dalam hukum pidana, korporasi meliputi
badan hukum seperti perseroan terbatas (PT), yayasan, koperasi, atau
perkumpulan yang telah disahkan sebagai badan hukum. Di samping itu,
korporasi juga meliputi perkumpulan yang bukan badan hukum seperti firma,
perseroan komanditer atau CV, dan persekutuan atau maatschap, yaitu badan-
badan usaha yang menurut hukum perdata bukan suatu badan hukum.60 Bahkan
lebih jauh lagi, pengertian korporasi dalam hukum pidana bisa juga mencakup
sekumpulan orang yang terorganisasi dan memiliki pimpinan dan melakukan
perbuatan-perbuatan hukum, misalnya melakukan perjanjian dalam rangka
kegiatan usaha atau kegiatan sosial yang dilakukan oleh pengurusnya untuk dan
atas nama kumpulan orang tersebut.61 Jadi, dapat dikatakan bahwa dalam konsep
hukum pidana Indonesia, seluruh subjek hukum bukan manusia dapat terwakili
dengan pengertian korporasi yang dianut oleh R-KUHP dan beberapa UU khusus
(di luar KUHP) yang telah berlaku di Indonesia.

Apakah memang pembuat undang-undang bermaksud menentukan


pengertian korporasi untuk semua perkumpulan? Tidakkah perbedaan definisi
untuk konsep korporasi ini bertentangan dengan prinsip kepastian hukum?
Bukankah hukum diciptakan untuk memberikan kepastian bagi masyarakat.
Apabila hukum memberikan definisi yang berbeda-beda untuk suatu peristilahan
tidakkah hukum itu sendiri yang justru memberikan ketidakjelasan kepada
60
Sjahdeini (1), op., cit., hlm. 45-46.
61
Ibid.

Universitas Indonesia
14

masyarakat. Tidakkah pengertian korporasi dalam arti luas sebagaimana yang


dianut oleh R-KUHP ini terlalu luas sehingga melebihi kapasitas korporasi itu
sendiri, karena pengertian tersebut di atas mencakup semua bentuk perkumpulan
orang (associated bodies)? Entitas seperti apa sajakah yang bisa dicakup oleh
pengertian korporasi dengan definisi yang dianut sekarang?

Apakah negara-negara lain juga menganut pengertian korporasi


sedemikian luasnya? Pada suatu kesempatan, Perdana Menteri Inggris Mr.
Balfour pernah dikritik karena menyatakan bahwa serikat buruh (trade union)
sebagai korporasi.62 Apabila kita melihat beberapa undang-undang di negara lain,
misalnya negara dengan latar belakang sistem common law seperti Amerika,
Inggris dan Kanada, maka Amerika Serikat dalam Model Penal Code-nya
menjelaskan yang dimaksud dengan “person, he and actor include any natural
person and, where relevant, a corporation or an unincorporated association”.63
Sedangkan bagian Interpretation dalam US Code (USC) mendefinisikan kata-kata
“person” dan “whoever” to include “corporations, companies, associations,
firms, partnerships, societies, and joint stock companies, as well as individuals”.
Dalam Organized Crime Act Amerika juga dijelaskan yang dimaksud dengan
orang atau person adalah “any individual or entity capable of holding a legal or
beneficial interest in property”.64

Seperti di Amerika Serikat, Inggris juga menjelaskan dalam Interpretation


Act 1978 ”the word person includes a body of persons corporate or
unincorporate. 65 Kemudian, dalam undang-undang khusus yang belakangan
disahkan di Inggris mulai menggunakan istilah organisasi untuk merujuk pada
body of corporate, misalnya dalam UK’s Corporate Manslaughter and Corporate
Homicide Act 2007 pada chapter 19 (CMCH UK) menjelaskan CMCH UK
62
Maitland (1), “Moral Personality and Legal Personality”, Journal of the Society of
Comparative Legislation, New Series, Vol. 6, No. 2 (1905), 192-200, hlm. 193. Di Inggris serikat
buruh merupakan masyarakat sukarela (voluntary society) yang tidak bisa dipersamakan dengan
korporasi. Pembahasan lebih jauh tentang kedudukan serikat buruh di Inggris dapat dilihat di
W.M. Geldart, “The Status of Trade Unions in England”, Harvard Law Review, Vol. 25, No. 7
(May 1912), hlm. 579-601.
63
American Law Institute, Model Penal Code, 1981, §1.13 General Definition.
64
United States, 18 U.S.C.A. § 1961 (4), dan subtitle (3) menjelaskan yang dimaksud
dengan enterprise adalah “any individual, partnership, corporation, association, or other legal
entity, and any union or group of individuals associated in fact although not a legal entity”
65
United Kingdom, Ss 5 and schs 1 and 2 pt 1, para 4 (5) Interpretation Act 1978.

Universitas Indonesia
15

berlaku terhadap “organizations”, yang kemudian dijelaskan bahwa termasuk


dalam pengertian organisasi adalah “listed government departments, police forces,
and other unincorporated employers.” Kemudian juga dalam UK’s Bribery Act
2010, UK mengkriminalisasi pemberian fasilitas atau penyogokan yang dilakukan
oleh “commercial organization”.66

Kanada pada 2004 yang paling akhir mereformasi Kitab Undang-Undang


Hukum Pidana-nya juga menggunakan istilah organisasi untuk menunjuk kepada
subjek hukum bukan manusia. Dalam salah satu sub-bab KUHP-nya mengenai
Interpretation ditentukan bahwa “everyone, person, and owner, and similar
expressions, include Her Majesty 67 and an organization”. Pada subjudul yang
sama dijelaskan arti organisasi adalah “(a) a public body, body corporate, society,
company, firm, partnership, trade union or municipality, or (b) an association of
persons that (i) is created for common purpose, (ii) has an operational structure,
and (iii) holds ifself out to the public as an association of persons.”68

Sedangkan beberapa negara dengan sistem civil law seperti Belanda,


Perancis, dan Hungaria, secara umum menerima subjek hukum bukan manusia
sebagai subjek hukum dalam hukum pidana. Seperti misalnya, Dutch Penal Code
dalam Article 51 (1) menjelaskan “offences can be commited by natural persons
and legal persons (rechtspersonen)”. 69 Perancis dalam Penal Codenya Article

66
United Kingdom, Bribery Act 2010, s. 7 (1) dan (5)
67
Dalam tradisi negara Common Law seperti United Kingdom, Australia, Canada dll,
Crown memiliki Legal personality, namun menurut Common Law hal tersebut imun dari
prosekusi. Imunitas Crown juga bisa menguntungkan Crown Bodies (misalnya departemen atau
agensi pemerintah), namun imunitas korporasi yang secara penuh atau sebagain dimiliki oleh
Crown atau government-owned corporations (GOCs) akan sangat bergantung kepada jurisdiksi
dan kejahatan yang sedang dibahas. Lihat Mark Pieth and Radha Ivory, “Emergence and
Convergence: Corporate Criminal Liability Principles in Overview”, in Corporate Criminal
Liability: Emergence, Convergence and Risk, Mark Pieth and Radha Ivory (editor), (London:
Springer, 2011), hlm. 15. Dengan dimasukkannya Her Majesty dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Canada ini, maka dapat disimpulkan bahwa Canada secara tegas menghilangkan
hak imun Crown dari prosekusi yang selama ini ada dan diterima dalam Common Law.
Pembahasan mendalam mengenai Crown Immunity akan dibahas secara mendalam pada Bab III
disertasi ini.
68
Canada, Canadian Criminal Code, s. 2,22.1, 22.2. bisa diakses pada: http://laws-
lois.justice.gc.ca/eng/acts/C-46/page-1.html#h-2
69
Dutch, Dutch Penal Code, article 51 (1), dan dalam article yang sama sub article 3
menjelaskan “equal status as a legal person applies to a company without legal personality, a
partnership, a firm of ship owners, and a separate capital sum assembled for a special purposes.”
Rectpersoon pada Article 51 (1) Dutch Penal Code yang diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh

Universitas Indonesia
16

121-2 menentukan bahwa: “Moral persons (Les personnes morales), with the
exception of the State, are criminally liable for the offenses committed on their
account by their organs or representatives . . . in the cases provided for by statute
or regulations.”70 Dalam hal perbedaan antara negara atau non-negara dan profit
dan non-profit, jurisdiksi civil law secara umum menyediakan beberapa ukuran
imunitas terhadap pemerintah, organ pemerintah, dan agensi pemerintah. Seperti
misalnya KUHP Perancis, secara jelas mengecualikan negara dari kategori moral
persons yang bisa/mampu bertanggung jawab secara pidana dan mengenakan
pembatasan spesial terhadap otoritas lokal dalam kemampuan mereka untuk
dituntut secara pidana, namun Perancis dalam hal ini memasukkan organisasi non-
profit sebagai salah satu subjek hukum pidana. Berbeda dengan Perancis, Italia
memberikan lebih banyak restriksi bagi subjek hukum bukan manusianya, karena
Italia mengecualikan organisasi yang menjalankan fungsi signifikan dari
konstitusi seperti partai politik, unions, dan otoritas publik yang non-ekonomi.
Sedangkan Hungaria dan Belgia mengecualikan entitas tanpa tujuan ekonomi
71
(non-profit organization), jadi hanya organisasi yang memiliki orientasi
ekonomi saja yang dianggap dapat bertanggung jawab secara kriminal di hadapan
pengadilan pidana.

Dari Kitab Hukum Pidana beberapa negara yang disebutkan di atas dapat
dipahami bahwa korporasi tidak bisa disamakan dengan asosiasi yang tidak
berbadan hukum ataupun dengan organisasi, karena memang filosofi awal dari
korporasi tidaklah mencakup pengertian seluas yang dianut oleh R-KUHP.
Bahkan Perancis dan Belanda menggunakan istilah legal person atau moral
person untuk menjelaskan semua subjek hukum bukan manusia. Apabila tujuan
dari pengertian korporasi yang dimaksudkan KUHP adalah organisasi lalu kenapa
menggunakan istilah korporasi untuk semua perkumpulan orang dan/atau
kekayaan baik berbadan hukum ataupun tidak berbadan hukum tanpa terkecuali
yang notabene mencakup semua bentuk perkumpulan atau organisasi yang akan

Louise Rayar dan Stafford Wadsworth dari Universiteit Maastricht diterjemahkan sebagai juristic
person sebagai lawan dari natural person. Dikutip dari Yusuf Shofie, op., cit., hlm. 148.
70
France, Penal Code, 1995, Art. 121-2, dapat diakses dalam bahasa Inggris di
http://www.legifrance.gouv.fr.
71
Pieth and Ivory, op., cit., hlm. 17.

Universitas Indonesia
17

menimbulkan pengertian atau pemaknaan yang berbeda dari filosofi korporasi itu
sendiri.

Apakah mungkin muncul permasalahan ketika hukum pidana manganut


pengertian korporasi seperti tersebut di atas. Misalnya apakah organisasi
masyarakat yang anarkis bisa dibubarkan dengan konsep pertanggungjawaban
korporasi.72 Atau bahkan mungkinkah menggunakan konsep pertanggungjawaban
korporasi untuk menuntut korporasi publik seperti negara atau Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) atau lembaga negara lainnya karena tidak ada pengucualian khusus
untuk lembaga negara? Kemudian apakah sebuah keluarga yang merupakan
kelompok terorganisasi dari orang dan kekayaan yang memiliki ikatan emosi kuat
bisa dimasukkan sebagai subjek hukum korporasi? Apakah korporasi yang
dimaksudkan di dalam R-KUHP ini juga termasuk adalah partai politik?

Bagaimana dengan lembaga negara atau lembaga kementerian/non-


kementerian, misalnya lembaga eksekutif dan lembaga yudikatif atau legislatif
baik di tingkat pusat maupun daerah? Berkaitan dengan hal tersebut dalam hukum
Indonesia pada prinsipnya lembaga negara atau lembaga kementerian/non-
kementerian sudah diterima sebagai subjek hukum pidana. Pasal 1 angka 3
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
menentukan bahwa, Badan publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif,
dan badan lain yang fungsi dan tugasnya adalah melakukan pelayanan publik di
mana dana operasionalnya berasal dari uang negara baik pusat maupun daerah
atau lembaga non-pemerintah yang mendapatkan dana dari pemerintah atau dari
masyarakat atau dari luar negeri.73 Mereka dapat dipidana apabila tidak memenuhi
kewajiban untuk memberikan informasi yang sepatutnya kepada masyarakat.

Di samping itu, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu


Lintas dan Angkutan Jalan pada Pasal 273 jo. Pasal 24 jo. Pasal 7-13 juga
menjelaskan bahwa penyelenggara lalu lintas dan angkutan jalan yang terdiri dari
pemerintah, kementerian terkait, pemerintah daerah dan kepolisian Republik

72
Muladi, “Standar Pembubaran Ormas Anarkis”, Kompas.com, (17 Februari 2011),
diakses 14 November 2012.
73
Indonesia, Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, UU No. 14 Tahun 2008, LN.
No. 61 Tahun 2008, TLN. No. 4846.

Universitas Indonesia
18

Indonesia dapat dipidana apabila tidak melakukan fungsinya dengan baik sebagai
penyelenggara jalan dan menimbulkan kecelakaan baik ringan, sedang atau
berat.74

Ketika R-KUHP menganut pengertian korporasi adalah semua “kumpulan


terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum
maupun bukan badan hukum,” maka konsekuensinya adalah setiap lembaga
pemerintahan, ataupun non-pemerintahan, atau semua bentuk kolektif, adalah
subjek hukum pidana terhadap semua tindak pidana yang terdapat dalam undang-
undang di Indonesia. Mereka bisa menjadi subjek terhadap tindak pidana
pencurian, penghinaan, perbuatan tidak menyenangkan, apa saja tanpa terkecuali.

Di samping itu, korporasi dengan definisi yang sangat luas seperti yang
saat ini diterima memberikan juga konsekuensi bahwa perkumpulan orang yang
terorganisasi tetapi bersifat informal bisa termasuk dalam pengertian korporasi.
Misalnya kumpulan orang yang berdemonstrasi, kumpulan ibu-ibu arisan yang
melakukan pertemuan dengan rutin, klub pencinta olahraga tertentu dan
sebagainya. Bukankah definisi korporasi yang terlalu luas ini akan memberikan
konsekuensi yang juga terlalu luas? Tidakkah hal ini akan menyulitkan aparat
penegak hukum dalam mengidentifikasi mana kejahatan yang
pertanggungjawabannya personal dan mana tindak pidana yang
pertanggungjawabannya dipikul oleh korporasi.

Selanjutnya adalah permasalahan dalam pengatribusian


pertanggungjawaban pidana kepada subjek hukum korporasi. Adanya dualisme
pertanggungjawaban di dalam tindak pidana yang melibatkan korporasi karena
sifat dasar korporasi yang merupakan agregat dari anggota-anggota dan kebutuhan
korporasi untuk memiliki organ dalam menjalankan keinginannya. Dualisme
pertanggungjawaban yang dimaksud adalah pertanggungjawaban individu dalam
perannya sebagai pengurus atau personel korporasi dan pertanggung jawaban
korporasi itu sendiri. Kedua-dua pertanggung jawaban ini diterima dalam hukum
pidana, adalah tidak masuk akal mereduksi pertanggung jawaban yang satu

74
Indonesia, Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, UU No. 22 Tahun 2009,
LN. No. 96 Tahun 2009, TLN. No. 5025, Ps. 273 jo. Ps. 24 jo. Ps. 7-13.

Universitas Indonesia
19

kepada yang lainnya karena masing-masing memiliki personalitas sendiri yang


terpisah. 75 Tentu tidak adil untuk mereduksi pertanggungjawaban pidana dari
seorang individu menjadi pertanggungjawaban pidana organisasi secara
keseluruhan kecuali memang ada peran dari korporasi untuk terwujudnya tindak
pidana tersebut, dan sebaliknya adalah juga tidak adil mereduksi
pertanggungjawaban korporasi kepada pengurus atau individu tertentu apabila dia
sama sekali tidak memiliki kuasa untuk mencegah terjadinya tindak pidana
tersebut. Ada kondisi di mana suatu korporasi bertanggung jawab baik secara
moral maupun secara hukum atas suatu tindakannya, yang tidak berarti bahwa
anggota tertentu dari korporasi tersebut bisa dikatakan juga bersalah dan
bertanggung jawab terhadap apa yang telah dilakukan oleh korporasi. Sangat
penting untuk menelusuri dalam kondisi seperti apa bisa dikatakan suatu
korporasi dapat dipertanggungjawabkan atas namanya sendiri dan dalam kondisi
seperti apa personel korporasi bertanggung jawab atas terjadinya tindak pidana.
Untuk itu, perlu diketahui teori apa yang bisa digunakan untuk
membenarkan status korporasi sebagai subjek hukum yang memiliki personalitas
independen dari individu di dalamnya dan apa yang membedakannya dengan
pertanggungjawaban individu organ di dalam korporasi. Teori apakah yang dianut
oleh Indonesia dalam mengidentifikasi korporasi? Hal ini penting untuk ditelaah
lebih mendalam sehingga dalam penerapan hukum tidak menimbulkan kerancuan
dan kesimpangsiuran.
Tidak banyak undang-undang yang memberikan penjelasan kapan suatu
korporasi dikatakan telah melakukan kejahatan. Lebih kurang hanya sebelas
undang-undang dari delapan puluh delapan undang-undang yang diteliti yang
mengatur tentang pertanggungjawaban pidana bagi badan hukum. Keadaan ini
diperburuk dengan kurang jelasnya pengaturan mengenai prosedur dan tata cara
penanganan perkara pidana terhadap subjek hukum korporasi. Hal ini
menyebabkan tidak banyak kasus hukum yang menjadikan korporasi sebagai
subjek tindak pidana. Demi kepentingan kepraktisan, kadangkala aparat penegak
hukum menyampingkan kemungkinan untuk memasukkan korporasi sebagai

75
Brent Fisse, “Controlling Governmental Crime: Issue of Individual and Collective
Liability,” dalam Peter Grabosky and Irena Le Lievre (editor), Government Illegality, (Canberra,
Australia: Australian Institute of Criminology, 1987), hlm. 122.

Universitas Indonesia
20

pelaku tindak pidana. Seperti dalam kasus Bank Century, sebagaimana


diungkapkan oleh Susno Duadji, mengapa polisi pada awalnya menjerat Robert
Tantular dengan pelanggaran sejumlah ketentuan pasal dalam Undang-Undang
tentang Perbankan saja dan bukan sebagai kejahatan korporasi, Susno
menjelaskan, "Saat itu, yang penting ditangkap dulu saja."76 Pernyataan ini jelas
menyiratkan bahwa untuk menjadikan korporasi sebagai pelaku tindak pidana
menimbulkan permasalahan yang tidak ringan bagi aparat penegak hukum.

Beberapa kasus besar lain yang mungkin sebenarnya dapat dianggap


merupakan tindak pidana korporasi, namun hal ini tidak diproses sebagaimana
mestinya berdasarkan peraturan perundang-undangan, misalnya, kasus lumpur
Lapindo yang menimbulkan banyak kerugian bagi masyarakat. Mardjono
Reksodiputro menjelaskan bahwa kemungkinan perusahaan yang melakukan
penyuapan terhadap Gayus Tambunan dapat dipidana sebagai korporasi, memang
benar yang menyerahkan uang penyuapan tersebut adalah orang, tetapi uang suap
tersebut berasal dari uang perusahaan dengan tujuan untuk mengurangi kewajiban
pajak perusahaan bersangkutan. 77 Hal yang hampir sama juga bisa ditemukan
pada kasus korupsi yang melibatkan hakim MK, Patrialis Akbar, yang disangka
menerima suap terkait uji materil Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014
Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Pihak yang memberikan suap adalah
memang orang perorangan, tetapi terkait dengan perusahaan impor daging yang
dimiliki oleh yang bersangkutan. 78 Sehingga seharusnyalah korporasi juga bisa
dijadikan subjek yang dapat bertanggung jawab atas tindak pidana tersebut.

Di samping itu, hakim masih kurang memahami mengenai siapa sajakah


yang disebut sebagai subjek hukum atau teori apa yang dipakai dalam menetapkan
sesuatu adalah subjek hukum yang bisa bertanggung jawab dalam hukum pidana.
Misalnya kasus PT. Dongwoo Environmental Indonesia (PT. DEI), yang diputus

76
Hindra Liauw, Susno: Robert Tantular Nyaris Kabur ke Singapura, Kompas, 20 Januari
2010, diakses 14 November 2012.
77
Dikutip dari Antara News.com, “Pakar: Korporasi Terlibat Kasus Gayus Dapat
Dipidana,” http://www.antaranews.com/print/1292501410, diakses 21 Februari 2013. Pendapat
disampaikan dalam seminar dengan tema: “Kasus Gayus Ditinjau dari Pendekatan Interdisipliner”
78
Tempo, “Kasus Patrialis Akbar, KPK Telusuri Alur Peristiwa Suap di MK,” diakses
Selasa 14 Maret 2017, dapat diakses di https://m.tempo.co/read/news/2017/03/14/063855614/
kasus-patrialis-akbar-kpk-telusuri-alur-peristiwa-suap-di-mk.

Universitas Indonesia
21

Mahkamah Agung yang memidana korporasi dalam putusan No. 862


K/Pid.Sus/2010. Mahkamah Agung menguatkan putusan pengadilan yang lebih
rendah menyatakan bahwa PT. DEI telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana “pencemaran lingkungan secara berlanjut” dan
menjatuhkan pidana denda sebesar Rp.650.000.000,- (enam ratus lima puluh juta
rupiah) dan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti denda kurungan
selama enam bulan.79

Dari sisi subjek hukum, hakim seperti mencampuradukkan subjek hukum


pribadi dengan subjek hukum organisasinya, karena dari awal yang menjadi
terdakwa adalah Kim Young Woo, selaku Presiden Direktur PT. DEI, namun
dalam pemaparan putusan selalu merujuk kepada PT. DEI, dan dalam amar
putusan dijelaskan yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang
dituduhkan adalah PT. DEI. Sebagaimana hakim dalam putusan ini menjelaskan:
“menyatakan terdakwa PT. DEI dalam hal ini diwakili oleh Kim Young Woo
telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“Pencemaran Lingkungan Secara Berlanjut”…,” 80 pada halaman yang sama
hakim menjelaskan: “mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon
kasasi/terdakwa: Kim Young Woo.” PT. DEI dan Kim Young Woo adalah dua
subjek hukum yang berbeda tetapi diperlakukan seolah-olah adalah sama dan
dapat dipertukarkan (interchangeable) satu dengan yang lainnya. Dalam hal
hukuman pidana, hakim dalam putusan ini memberikan sanksi pidana denda yang
cukup besar kepada korporasi, tetapi apabila korporasi tidak membayar denda,
maka digantikan dengan hukuman kurungan yang akan dijalani oleh Kim Young
Woo. Lagi-lagi hal ini merupakan kekeliruan yang sangat fatal dari cara pandang
mengenai subjek hukum, bagaimana mungkin satu subjek hukum yang berbeda
mananggung hukuman terhadap subjek hukum yang lain. Di samping itu, sanksi
pidana yang diberikan menjadi kurang bermakna apabila pidana yang dijatuhkan
hanyalah kurungan enam bulan terhadap subjek hukum manusianya saja, padahal
kerugian yang dialami masyarakat atas tindakan yang dilakukan terpidana
sangatlah besar.

79
Putusan Mahkamah Agung RI No. 862 K/Pid.Sus/2010, hlm. 95.
80
Ibid.

Universitas Indonesia
22

Namun, sebenarnya putusan ini merupakan putusan yang sangat penting


dalam pertanggungjawaban korporasi pada rezim hukum pidana Indonesia, karena
sebelumnya belum ada satupun putusan yang memidana korporasi. Ada beberapa
kasus yang menjadikan korporasi sebagai terdakwa, namun tidak berhasil
meyakinkan hakim untuk akhirnya dinyatakan bertanggung jawab secara
korporasi. Misalnya saja kasus PT. Newmont Minahasa Raya (MNR) yang
sempat menjadi perhatian publik pada tahun 2005-2007, yang pada akhirnya
Pengadilan Negeri Manado menyatakan bahwa terdakwa I yaitu PT MNR sebagai
perusahaan dinyatakan tidak bersalah dan bebas murni.

Penelitian ini sangat penting untuk dilakukan karena masih sangat sedikit
dan bahkan hampir sulit ditemukan bahan pembahasan yang memfokuskan diri
pada permasalahan subjek hukum korporasi sebagai subjek hukum pidana di
Indonesia. Penelitian ini akan membahas teori berkaitan dengan subjek hukum
korporasi dan akan dilakukan telaahan tentang siapa saja subjek hukum yang
dimaksudkan dengan korporasi yang diartikan sebagai “kumpulan terorganisasi
dari orang dan/atau kekayaan baik berbadan hukum maupun yang tidak berbadan
hukum.” Selanjutnya akan dilakukan analisis mengenai implementasi
pertanggungjawaban pidana korporasi baik dalam peraturan perundang-undangan
maupun dalam putusan pengadilan. Baik peraturan perundang-undangan dan
putusan pengadilan di Indonesia maupun di negara lain. Sangat penting untuk
melakukan perbandingan model hukum dan praktik di negara lain, untuk
mengetahui bagaimana mereka mengatur tentang subjek hukum korporasi dalam
hukum pidananya.

Penelitian ini merupakan penelitian yang berbeda dari penelitian yang


pernah dilakukan sebelumnya karena dari hampir semua penelitian yang telah
dilakukan kebanyakan membicarakan pertanggungjawaban pidana dari korporasi
(corporate criminal liability) dan bukan khusus membicarakan subjek hukum
bukan manusia sebagai subjek hukum pidana itu sendiri.

Universitas Indonesia
23

Beberapa penelitian terdahulu yang ada sedikit irisan dengan tema


disertasi ini antara lain Pertanggungjwaban Pidana Korporasi,81 secara singkat
buku ini menjelaskan tentang korporasi sebagai pelaku tindak pidana, sejarah
pertanggungjawaban pidana korporasi dan pandangan beberapa negara tentang
pertanggungjawaban korporasi, namun tidaklah secara komprehansif membahas
tentang korporasi dalam pengertian “kumpulan terorganisasi orang dan/atau
kekayaan baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum”. Ada
beberapa penelitian lain yang juga berkaitan dengan penelitian ini antara lain
Tanggung Jawab Pidana Korporasi (Corporate Criminal Liability) dalam Hukum
Perlindungan Konsumen, 82 Yusuf Sofie dalam penelitiannya cukup lengkap
dalam memaparkan pertanggungjawaban pidana korporasi, sejarah dan latar
belakang diterimanya korporasi sebagai subjek hukum pidana, namun spesifikasi
dari tulisannya hanyalah korporasi dalam pengertian yang cukup sempit, yaitu
korporasi sebagai badan usaha dan secara spesifik membahas korporasi dalam
konteks hukum perlindungan konsuman saja. Dapat ditambahkan pula bahwa
dalam penelitian “Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi di Indonesia,”83 Dwidja Priyatno mengupas secara mendalam
beberapa undang-undang khusus di Indonesia yang memuat ketentuan tentang
pertanggungjawaban pidana bagi korporasi dan beliau menemukan bahwa dari
beberapa undang-undang khusus yang telah menerima korporasi sebagai pelaku
kejahatan, hampir semua tidak ditunjang dengan pengaturan yang memadai dalam
tataran praktik sehingga menimbulkan banyak kesulitan di lapangan oleh aparat
penegak hukum.

Selain itu, terdapat beberapa penelitian tentang pertanggungjawaban


pidana korporasi yang secara khusus dibahas dalam beberapa lapangan hukum
seperti “Pemidanaan Korporasi Atas Tindak Pidana Korupsi Dalam Pembaruan
Sistem Pidana Indonesia,” 84 “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam

81
Sjahdeini (1), op., cit.
82
Yusuf Sofie, “Tanggung Jawab Pidana Korporasi (Corporate Criminal Liability) Dalam
Hukum Perlindungan Konsumen,” (Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta, 2010).
83
Dwidja Priyatno, “Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggunjawaban Pidana
Korporasi di Indonesia,” (Disertasi Doktor Universitas Padjajaran, Bandung, 2004).
84
Artha Theresia, “Pemidanaan Korporasi Atas Tindak Pidana Korupsi Dalam Pembaruan
Sistem Pidana Indonesia,” (Disertasi Doktor Universitas Jayabaya, Jakarta, 2017).

Universitas Indonesia
24

Penerapan Undang-Undang Kepailitan di Indonesia”, 85


“Corporate Killers:
86
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Matinya Orang”,
“Pertanggungjawaban Pidana bagi Korporasi Perseroan Terbatas dalam Tindak
Pidana Lingkungan”, 87 “Urgensi Penetapan Korporasi sebagai Subyek Hukum
Pidana dalam Tindak Pidana Illegal Loging”,88 “Perlindungan Hukum Terhadap
89
Korban Tindak Pidana yang Dilakukan oleh Korporasi”. Namun semua
penelitian disertasi ini tidaklah sama dengan rancangan penelitian ini karena
spesifikasi yang berbeda dari apa yang ditelaah. Penelitian di atas menitikberatkan
pada pertanggungjawaban pidana di beberapa bidang hukum secara spesifik,
sedangkan usulan penelitian ini secara khusus membahas subjek hukum bukan
manusia yang di dalamnya termasuk pengertian perusahaan, badan usaha lainnya,
organisasi nonprofit, dan organisasi masa untuk memahami status dan kedudukan
masing-masing yang dikaitkan dengan konsep pertanggungjawaban pidana.

B. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian

1. Perumusan Masalah (Statement of the Problem)


Hukum pidana merupakan hukum yang diciptakan untuk pelaku kejahatan
manusia sebagai individu yang independen, rasional dan dapat bertanggungjawab
atas perbuatannya. Namun dengan adanya interaksi sosial dan kebutuhan manusia
untuk terus meningkatkan kualitas hidupnya maka muncullah berbagai macam
bentuk organisasi dan kelompok manusia yang juga berperan secara signifikan
dalam kehidupan manusia. Kelompok manusia ini kemudian mulai diakui hukum
pidana sebagai orang yang berbeda dari anggota yang ada di dalamnya sehingga
mereka dapat disebut sebagai subjek hukum bukan manusia. Salah satu bentuk
subjek hukum bukan manusia yang diakui hukum pidana Indonesia adalah

85
Bambang Nurhadi, “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Penerapan Undang-
Undang Kepailitan di Indonesia,” (Disertasi Doktor Universitas Padjajaran, Bandung, 2009).
86
Sudharmawatiningsih, ”Corporate Killers: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Terhadap Matinya Orang,” (Disertasi Doktor Universitas Diponegoro, Semarang, 2007).
87
Wahjono, “Pertanggungjawaban Pidana Bagi Korporasi Perseroan Terbatas Dalam
Tindak Pidana Lingkungan,” (Disertasi Doktor Universitas Airlangga, Surabaya, 2009).
88
Wartiningsih, “Urgensi Penetapan Korporasi Sebagai Subyek Hukum Pidana Dalam
Tindak Pidana Illegal Loging,” (Disertasi Doktor Universitas Airlangga, Surabaya, 2010).
89
Etty Ucu Ruhayati, “Perlindungan Hukum terhadap Korban Tindak Pidana yang
Dilakukan oleh Korporasi,” (Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta, 2003).

Universitas Indonesia
25

korporasi. Hampir semua undang-undang khusus (undang-undang di luar KUHP)


yang lahir belakangan ini menempatkan korporasi sebagai subjek hukum pidana
dan Rancangan Kitab Hukum Pidana pun telah secara tegas menyatakan bahwa
korporasi termasuk pengertian “orang” dalam setiap tindak pidana. Pada saat ini
muncul ketidakjelasan pemahaman mengenai subjek hukum korporasi sebagai
subjek hukum pidana di Indonesia. Hal ini dapat dilihat terutama bagaimana
hukum pidana Indonesia memaknai dan memahami konsep korporasi sebagai
subjek hukum pidana dan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana.

2. Pertanyaan Penelitian (Research Questions)


Berdasarkan landasan pemikiran yang dipaparkan di atas, penelitian ini
mencoba untuk mengevaluasi, menganalisis, dan mencari solusi terhadap
beberapa pertanyaan penelitian di bawah ini:

1. Bagaimanakah sejarah dan perkembangan korporasi sebagai subjek


hukum pidana?

2. Bagaimanakah hukum pidana di Indonesia dan negara lain memaknai


dan menerapkan konsep korporasi sebagai subjek hukum bukan
manusia dan entitas apa sajakah yang termasuk ke dalam pengertian
korporasi?

3. Bagaimanakah implementasi pertanggungjawaban pidana korporasi


dalam putusan pengadilan dan peraturan perundang-undangan?

C. Tujuan Penelitian
Secara keseluruhan, tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan solusi
ataupun jawaban dari permasalahan-permasalahan yang dikaji dalam penelitian
ini, yaitu untuk:

1. Mengkaji sejarah dan perkembangan subjek hukum bukan manusia


dan landasan penetapan perkumpulan manusia sebagai subjek hukum
baik dalam bentuk korporasi, asiosiasi, group atau bentuk lainnya
sebagai subjek hukum pidana.

Universitas Indonesia
26

2. Menganalisis pemaknaan dari korporasi menurut hukum pidana,


menelaah apakah sebenarnya korporasi itu, baik menurut teori,
undang-undang maupun dalam putusan pengadilan. Untuk mengetahui
apakah peristilahan dan pemaknaan yang diadopsi dalam berbagai
peraturan Indonesia yang merujuk kepada subjek hukum kolektif telah
sesuai dengan teori hukum. Penelitian ini juga mengidentifikasi dan
menyelisik beberapa permasalahan yang mungkin muncul dengan
definisi korporasi yang dianut oleh peraturan perundang-undangan
tersebut. Di samping itu, juga untuk menyelidiki bagaimanakah negara
lain memaknai korporasi sebagai bagian dari juristic person, untuk
dapat memberikan analisis dan solusi berkaitan dengan bagaimanakah
seharusnya pemaknaan korporasi sehingga tidak menimbulkan
permasalahan yang akan merugikan penegakan hukum itu sendiri. Di
samping itu juga akan dianalisis bentuk organisasi seperti apa saja
yang dapat dianggap bertanggung jawab di hadapan hukum pidana.

3. Menelaah bagaimana implementasi pertanggungjawaban pidana


korporasi dalam peraturan perundang-undangan dan putusan
pengadilan baik di Indonesia maupun negara lain.

D. Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi baik dalam


tataran practical melalui perangkat hukum ataupun kontribusi terhadap ilmu
pengetahuan. Kontribusi yang diharapkan dalam tataran practical dari hasil
penelitian ini adalah dapat membantu aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa,
dan terutama hakim dalam menyelesaikan kasus pidana dalam konteks kegiatan
korporasi. Di samping itu, bagi lembaga legislatif diharapkan hasil penelitian ini
berguna dalam pembahasan dan pembaharuan undang-undang khusus (undang-
undang di luar KUHP) yang mengandung ketentuan pidana yang dilakukan oleh
korporasi. Bagi pemerintah, diharapkan hasil penelitian ini dapat memberi
masukan dalam mengevaluasi kebijakan yang ada dan menjadi bahan

Universitas Indonesia
27

pertimbangan untuk menentukan kebijakan akan datang yang berkaitan dengan


tindak pidana korporasi atau dalam merumuskan peraturan pelaksanaan yang
berkaitan dengan hal tersebut.

Selain kontribusi dalam tataran practical melalui perangkat dan penegakan


hukum, tentunya diharapkan hasil penelitian ini mampu memberikan tambahan
wacana bagi academia, baik dosen, mahasiswa ataupun peneliti lain yang tertarik
mengkaji konsep subjek hukum bukan manusia sebagai subjek hukum pidana di
Indonesia.

E. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis
Dalam menganalisis permasalahan-permasalahan yang telah dikemukakan
di atas, penelitian ini akan mempergunakan tiga teori, yaitu: a) teori tentang
subjek hukum, b) teori tentang pertanggungjawaban pidana (criminal liability)
dan, c) teori tentang pertanggungjawaban pidana korporasi (corporate criminal
liability)

a. Teori tentang Subjek Hukum

Subjek adalah sesuatu yang dapat menandakan apapun yang memiliki


konsekuensi tertentu.90 Dalam bidang hukum, konsekuensi yang ditandakan oleh
subjek adalah konsekuensi yang berkarakter sosial, di mana konsekuensi sosial ini
dikontrol dan dimodifikasi karena mereka menjadi pemegang hak dan kewajiban,
hak istimewa (privileges) dan kekebalan (immunities). 91 Dengan pemaknaan
tersebut dapat dipahami bahwa benda-benda mati seperti molekul atau meja tidak
memenuhi syarat untuk menjadi subjek hukum, yang mungkin memiliki
konsekuensi sosial tertentu, tetapi konsekuensi sosial tersebut tidak muncul
karena mereka mengemban hak dan kewajiban. Benda-benda mati tersebut akan
terus berperilaku persis sebagaimana mereka berperilaku dengan atau tanpa hak

90
Konsep mengenai subjek ini tidak hanya berlaku dalam ilmu hukum tetapi berlaku pada
semua ilmu, dikembangkan pada awalnya dalam ilmu matematika dan fisika, lihat Broad,
Scientific Thought (1923) hlm. 39 sebagaimana dikutip dari Dewey, op., cit., hlm. 661.
91
Dewey, op., cit., hlm. 661.

Universitas Indonesia
28

dan kewajiban yang ada pada mereka. Di lain pihak, manusia, orang singular atau
perkumpulan orang, jelas akan bertindak berbeda, atau memiliki konsekuensi
yang berbeda, bergantung pada apakah mereka memiliki hak dan kewajiban
tertentu, dan berperilaku menurut hak-hak tertentu yang mereka miliki dan
kewajiban-kewajiban yang diberikan kepada mereka.92

Dalam menganalisis permasalahan hukum yang telah dikemukakan di atas,


penelitian ini akan mengadopsi teori tentang subjek hukum yang dikemukan oleh
Naffine 93 dalam karyanya “Who are Law’s Persons? From Cheshire Cats to
Responsible Cats to Responsible Subjects,” yang dimuat dalam Modern Law
Review pada tahun 2003. Naffine menjelaskan ada tiga teori mengenai legal
personality.

Teori pertama menjelaskan personalitas hukum sebagai kemampuan


formal (formal capacity) untuk menanggung suatu hak hukum (legal right)
sehingga dapat berpartisipasi dalam hubungan hukum (legal relations).94 Legal
person bukanlah entitas yang berbeda dari hak dan kewajibannya, tetapi
merupakan suatu kesatuan personifikasi, dan karena hak dan kewajiban
merupakan norma hukum maka legal person dalam konteks ini bisa juga disebut
kesatuan personifikasi dari suatu set norma-norma hukum.95

Para pendukung teori subjek hukum sebagai pengemban hak dan atau
kewajiban hukum tersebut cenderung untuk memandang secara abstrak dan murni
92
Ibid.
93
Ngaire Naffine adalah Proffesor Hukum di Universitas Adelaide Australia, publikasinya
kebanyakan di bidang kriminologi, hukum pidana, jurisprudence, dan feminist legal theory. Di
antara tulisannya yang telah dipublikasikan dan memberikan pengaruh cukup besar terhadap ilmu
hukum adalah “Law’s Meaning of Life: Philosophy, Religion, Darwin and the Legal Person, Hart
Publishing, Oxford, 2009”, “Gender and Justice (editor), Ashgate, Aldershot, England, 2002”,
“Are Persons Property? Legal Debates about Property and Personality (dengan M. Davies),
Ashgate, Aldershot, England, 2001”, “Feminism and Criminology, Polity Press, Cambridge,
1997”, “Gender, Crime and Feminism, Dartmouth Publishing, 1995” dan lain-lain. Teori
mengenai persons yang dikemukakan oleh Naffine dalam tulisannya “Who are Law’s Persons?
From Cheshire Cats to Respobsible Cats to Responsible Subjects,” yang dimuat dalam Modern
Law Review pada tahun 2003 merupakan tulisan yang sangat komprehansif dan lengkap tentang
pengertian persons, teori ini juga digunakan sebagai pisau analisis oleh penelitian lain seperti
Constantine Ntsanyu Nana, “Corporate Criminal Liability in The United Kingdom: Determining
the Appropriate Mechanism of Imputation,” Disseration for Doctor of Philosophy, The Robert
Gordon University, 2009 dan Jeroen Veldman, “The Corporate Condition”, Dissertation for
Doctor of Philosophy, University of Leicester, 2010.
94
Naffine (1), op., cit., hlm. 350.
95
Kelsen (1), op., cit., hlm. 91.

Universitas Indonesia
29

karakter hukum dengan cara memisahkan hukum dari teori moral, sosial, politik
dan sejarah. Subjek hukum ada hanya sebagai kapasitas untuk berfungsi dalam
hukum, kapasitas tersebut perlu diberikan oleh hukum kepada subjek tersebut
untuk dapat memiliki personalitas atau kepribadian hukum. 96 Menurut para ahli
hukum yang berpandangan legalist, pengertian person tidak ada kaitannya dengan
kondisi kemanusiaan, dan bukanlah merupakan urusan hukum untuk memikirkan
permasalahan yang bersifat metafisika, ontologi atau perdebatan mengenai
keberadaan sesuatu.

Dengan pengertian ini, maka apa saja bisa memiliki personalitas hukum
tanpa ada limit natural, karena legal persons ditetapkan seperti itu atau
didefinisikan menjadi ada, sehingga mereka bisa termasuk binatang, janin, orang
yang sudah mati, lingkungan, korporasi, apa saja yang menurut hukum perlu
untuk dimasukkan ke dalam komunitas legal persons. Tidak ada karakter tertentu
yang membuat perbedaan antara makhluk (being) dan bukan makhluk (non-being)
yang menghalangi mereka menjadi persons. 97 Person tidak perlu dianalogikan
sebagai makhluk mulia (sacred beings), atau makhluk alami (natural beings), atau
makhluk moral (moral beings).

Menurut teori pertama ini, tidak perlu ada karakter khusus dari sesuatu
untuk bisa menjadi persons. Syarat yang diperlukan untuk bisa menjadi persons
cukup adalah ketika hukum memberikan mereka kemampuan formal untuk
menyandang hak atau kewajiban. Sepanjang suatu entitas sesuai dengan tujuan
dari suatu ketentuan hukum yang sedang dibuat, maka entitas tersebut bisa
menjadi subjek hukum. Menurut Kelsen, persons ada selama mereka memiliki
hak dan kewajiban; terlepas apakah mereka tidak memiliki eksistensi sekalipun.98
Bahkan Nekam menyarankan untuk menggunakan istilah entitas hukum (legal
entity) dan mengganti istilah person dan subjek untuk menghilangkan kerancuan

96
Ibid.
97
Ibid., hlm. 351.
98
Kelsen (2), op., cit., hlm. 93.

Universitas Indonesia
30

yang dimunculkan karena dekatnya istilah tersebut dengan konsep-konsep yang


berada di luar konsep hukum.99

Teori kedua dari legal persons adalah makhluk yang masuk akal
(reasonable). Pengertian ini yang secara umum diterima sebagai pengertian
hukum formal tentang persons. Suatu hal yang diterima secara konvensional
dalam hukum bahwa seseorang akan menjadi subjek hukum pada saat ia
dilahirkan dan berhenti menjadi subjek hukum pada saat otaknya secara
keseluruhan mati.100

Konsepsi dominan mengenai “person” menurut teori kedua ini dijelaskan


oleh Thomas Aquinas (1224-1274) dengan, vera persona est rei rationabilis
individua substantia. 101 Dalam pengertian ini, setiap kata terakhir (rasionalis,
individual, substantia) memiliki makna teknis yang pembahasannya kembali
kepada diskusi metafisika oleh Aristoteles. Mengenai sifat dari makluk
“individual”, memang, merupakan suatu permasalahan yang sangat menarik
perhatian filusuf pada abad pertengahan.

Arief Sidharta menjelaskan faktor utama yang membedakan manusia


dengan makhluk lainnya adalah akal budi (rasio) dan hati nurani (conscience,
102
geweten). Adanya dan bekerjanya akal budi dan nurani menyebabkan
terbentuknya nilai-nilai di dalam diri manusia, sehingga memiliki kemampuan
untuk memahami dan membedakan antara baik dan buruk, salah dan benar, boleh
dan tidak boleh, adil dan tidak adil, bermoral dan tidak bermoral dan
sebagainya. 103 Adanya kemampuan tersebut di atas, menyebabkan manusia
memiliki kebebasan untuk menentukan dan memutuskan sendiri sikap dan
perbuatan tersebut sesuai dengan keyakinan dan pilihannya.104

99
Alexander Nekam, The Personality Conception of the Legal Entity (Cambridge Mass:
Harvard University Press, 1983).
100
Naffine (1), op., cit., hlm. 357.
101
Dikutip dari Dewey, op., cit., hlm. 666.
102
B. Arief Sidharta, Ilmu Hukum Indonesia: Upaya Pengembangan Ilmu Hukum
Sistematik yang Responsif terhadap Perubahan Masyarakat, (Bandung: UNPAR Press, 2016),
hlm. 1.
103
Ibid., hlm. 2.
104
Ibid., hlm. 4.

Universitas Indonesia
31

Makhluk yang rasional juga merupakan teori subjek menurut Rawls,


105
Hume dan Hegel. Masuk akal (reasonable) berarti diberkahi dengan
kemampuan alami untuk memilih, sebagaimana dijelaskan Aristotels bahwa
manusia sebagai bagian dari sifat naturalnya haruslah memiliki kehendak bebas
(free will).106 Human freedom inilah menurut Immanuel Kant yang menyebabkan
adanya moral dan yang mendeterminasi moral.107 Manusia sebagai makhluk yang
memiliki moral membuatnya berbeda dengan benda-benda mati ataupun makhluk
hidup lainnya seperti tumbuhan atau binatang.

Ketika manusia merupakan unsur yang reasonable dengan kehendaknya


yang bebas dapat dikatakan bahwa mereka merupakan individu yang otonomi (an
autonomous individual); yang digambarkan sebagai individu yang terpisah
(separate), berbeda (distinct) dan memiliki individualisme (possess
individualism).108

Menurut teori kedua ini, hak dan kewajiban melibatkan pilihan rasional,
sehingga unsur “rational individuated substance” menjadi bagian yang sangat
penting dalam konsep “person”. Kondisi ini bertahan lama, bahkan setelah masa
metafisika dan teologi. Meskipun konsep ini sebenarnya memiliki ambiguitas
tentang pencampuran konsep manusia (human) dengan orang (person) yang

105
Margaret Meek Lange, “Exploring the Theme of Reflective Stability: John Rawls’
Hegelian Reading of David Hume, Public Reason, 1, 2009, hlm. 34.
106
Aristotle of Greece (385 atau 384 B.C.-322 B.C) menjelaskan “man is subject to nature
in as much as he is a part of the universe and, therefore, subject to the laws of matter and creation
and man is subject to nature in as much as he dominates it by his spirit. His spirit enables him to
will freely and, therefore, to distinguish between good and evil.” (manusia tunduk terhadap alam
seperti dia adalah bagian dari alam semesta dan, sehingga tunduk terhadap hukum materi dan
penciptaan dan manusia tunduk terhadap alam sebanyak dia mendominasi itu dengan sprit nya.
Spirit nya memungkinkan dia untuk secara bebas berkehendak dan, sehingga, dapat membedakan
antara baik dan buruk.) Dikutip dari Surya Prakash Sinha, Jurisprudence: Legal Philosophy,
(United States: West Publising Co, 1993), hlm. 86-87. Menurut Roscoe Pond, belakangan para
jurist mulai berfikir bahwa kehendak manusia (human wills) semakin kompleks, sehingga pada
berbagai pembahasan filosofi mulai menggunakan konsep keingingan atau kemauan manuisa
(human wants or desires). Mereka mulai berfikir bahwa apa yang harus mereka lakukan tidak
hanya untuk menyeimbangkan atau mengharmoniskan wills, tetapi, jika tidak untuk
menyeimbangkan, paling tidak untuk mengharmoniskan kepuasan terhadap keinginan (the
satisfaction of wants). Roscoe Pound, An Introduction to the Philosophy of Law, (New Haven,
Connecticut, USA: Yale University Press), hlm. 89.
107
Immanuel Kant (1724-1808) lihat Freeman, Llyod’s Introduction to Jurisprudence, 7th
edition, (London: Sweet & Maxwell Limited, 2004), hlm. 118.
108
Philippe Ducor, “The Legal Status of Human Materials”, Drake Law Review, 44 (3)
1996, hlm. 195-259, hlm. 200.

Universitas Indonesia
32

menurut Kelsen merupakan suatu kesalahan besar. 109 Menurut Kelsen, man
(manusia) dan persons (orang) adalah konsep yang berbeda yang berasal dari
konsiderasi yang berbeda. Manusia, menurutnya adalah konsep yang ada dalam
biologi dan psikologi atau dalam ilmu alam, sedangkan orang (persons) adalah
konsep dalam hukum, dari analisis norma hukum.110

Teori ketiga mengenai legal personality adalah subjek yang bertanggung


jawab (the responsible subject). Menurut pemahaman ketiga ini, tidak semua
manusia (human beings) memenuhi syarat untuk menjadi orang (persons), tetapi
hanya yang rasional dan yang kompeten menurut hukum saja. Sebagaimana
Richard Tur menggunakan istilah “personalitas hukum penuh” yang di dalamnya
mensyaratkan person haruslah bisa menginisiasi action di pengadilan, dituntut
atau menuntut. 111 Sedangkan menurut Matthew Kramer manusia dewasa yang
kompeten baik secara mental maupun legal adalah pemegang hak yang definitif
yaitu individu yang bisa bertanggung jawab secara pribadi terhadap tindakan
perdata dan pidananya.112 Apabila diperbandingkan dengan teori pertama, maka
dalam konsep ketiga ini, ada suatu subjek yang aktif dan makhluk moral yang
dapat bertanggung jawab atas perbuatannya.

Legal persons menurut teori ketiga ini seiring dengan pengertian person
yang dikemukakan oleh John Locke, di mana tindakan dan kualifikasi hanya
dimiliki oleh makhluk yang pintar, mampu ikut dalam suatu hubungan hukum,
bisa berbahagia dan bersedih. 113 Dengan kata lain, menurut teori ketiga, legal
persons adalah subjek yang memiliki tingkat intelektualitas yang baik dan
makhluk moral yang bisa bertanggung jawab terhadap tindakannya. Dalam
konteks moral, orang tersebut adalah individu yang dapat membuat keputusan dan
dapat mengeksekusi keputusan tersebut secara independen. Sedangkan dalam

109
Kelsen (1), op., cit., hlm. 94
110
Ibid.
111
R. Tur, “The “Persons” in Law”, dalam Persons and Personality: A Contemporary
Inquary, A. Peacocke dan G. Gillet (editor), (Oxford: Basil Balckwell, 1987), hlm. 123. Dikutip
dari Naffine (1), op., cit., hlm. 347.
112
M. H. Kramer, “Do Animals and Dead People Have Legal Rights?” Canadian Journal
of Law and Jurisprudence, No. 29, hlm. 36. Dikutip dari Naffine (1), op., cit., hlm. 347.
113
J. Locke, An Essay Concerning Human Understanding, dirangkum dan diedit oleh J.W.
Yolton, (London: Everyman, J.M. Dent, 1993), Buku 2, Chapter XXVII, paragraf 26. Dikutip dari
Naffine (1), op., cit., hlm. 347.

Universitas Indonesia
33

konteks legal, orang tersebut memiliki hak dan kewajiban untuk membuat
keputusan dan dapat mengeksekusinya.114

Teori subjek yang bertanggung jawab sebagai moral agent sama dengan
pengertian yang dijelaskan oleh Elizabeth Wolgast yaitu seorang subjek adalah
individu yang pertama memutuskan untuk melakukan sesuatu dan kemudian dia
melaksanakan niatnya tersebut dalam suatu tindakan; orang tersebut
memerintahkan dirinya untuk bertindak dan bertindak dalam arahannya sendiri.115
Dalam konteks ini, maka konsep menangani legal person tidak berbeda dengan
konsep moral mengenai person, yang berarti legal persons haruslah ‘practicle
reasoners’ yaitu, mereka bertindak karena alasan-alasan. Sebagaimana More
menjelaskan bahwa person adalah makhluk yang rasional, makhluk yang
bertindak untuk hasil akhir yang cerdas berdasarkan pemikirannya yang
rasional. 116 Orang-orang yang kurang akal, atau orang-orang yang terasing dari
konsekuensi logikanya sendiri, orang yang tidak cukup rasional untuk dapat
beralasan tentang moral atau norma hukum dan menyesuaikan perilakunya
dengan hal tersebut maka mereka bukanlah persons. Dengan demikian, manusia
yang sangat gila, tidak cukup dianggap seperti manusia lain karena tidak memiliki
salah satu atribut pentingnya, yaitu rasionalitas, untuk dianggap sebagai persons,
yang kepadanya moral dan norma hukum ditujukan.117

Seiring dengan hal tersebut, John Harris dalam kasus Re A (Children)


118
(Conjoined Twins: Surgical Separation) mengemukakan teori mengenai
‘kapasitas kognitif’ sebagai dasar untuk memberikan status legal persons; sebagai
dasar pemikiran untuk membenarkan secara etis tindakan operasi pemisahan
kembar yang menyelamatkan Jodie dan membunuh Mary, karena baik Jodie
ataupun Mary bukanlah persons pada saat mereka dioperasi. Teori mengenai
person yang terdiri dari kapasitas kognitif tertentu mengecualikan manusia yang

114
C.N. Nana, op., cit., hlm. 44.
115
E. Wolgast, Ethics of an Artificial Person: Lost Responsibility in Professions and
Organizations (Stanford, CA: Stanford University Press, 1992), dikutip dari Naffine (1), op., cit.,
hlm. 362.
116
M. Moore, Law and Psyschiatry, hlm. 48 sebagaimana dikutip dari Naffine (1), op., cit.,
hlm. 363.
117
Nafine (1), op., cit., hlm. 363.
118
Re A (Children) Conjoined Twins: Surgical Separation [2000] 4 All ER 961. Dikutip
dari Naffine (1), op., cit., hlm. 363.

Universitas Indonesia
34

masih sangat kecil, manusia dewasa yang tidak kompeten dan tentunya juga
mengecualikan makhluk lain yang tidak rasional dan tidak dapat bertanggung
jawab terhadap perbuatannya seperti hewan, tumbuhan, lingkungan dan lain-
lain.119

Teori ketiga mengenai person ini digambarkan secara karakteristik dari


atribut mentalnya, kemampuan untuk memahami situasi dirinya, kemampuan
120
rasionalnya (self-conscious rational being), dan dengan demikian dapat
diasumsikan bertanggung jawab terhadap tindakannya. Person dipahami pada
dasarnya sebagai kondisi mental dan bukan sebagai suatu makhluk yang
biologis.121

Teori ketiga yang menjelaskana bahwa person adalah responsible subject


yang memiliki determinasi mental cukup untuk dapat mempertibangkan
tindakannya dan dapat mempertanggungjawabkan segala keputusan rasional yang
dibuatnya merupakan pengertian person yang paling dapat diterima sebagai
subjek hukum pidana terutama dalam kaitannya dengan subjek yang secara aktif
dapat melakukan suatu tindak pidana, bertanggung jawab di dalam hukum pidana
dan dapat menanggung sanksi pidana yang diberikan kepadanya.

b. Teori tentang Pertanggungjawaban Pidana

Di samping teori tentang subjek hukum sebagaimana di kemukakan di


atas, disertasi ini juga menggunakan teori pertanggungjawaban pidana untuk
menganalisis pertanyaan penelitian yang dikemukakan. Konsep mengenai
pertanggungjawaban, adalah konsep mengenai kondisi seperti apa yang harus ada
apabila seorang individu harus bertanggung jawab terhadap perbuatannya.
Pertanggungjawaban pidana (criminal liability) pada awalnya melekat hanya pada

119
Ibid., hlm. 364.
120
Luis E. Chiesa, “Of Persons and the Criminal Law: (Second Tier) Personhood as a
Prerequisite for Victimhood,” Pace Law Review, Vol. 28, 2008, 759, hlm. 765.
121
Ibid.

Universitas Indonesia
35

aktor individu, karena karakteristik hukum pidana yang pada dasarnya merupakan
pertanggungjawaban atas perbuatan dan kesalahan pribadi (subjective liability).122

Untuk dapat bertanggung jawab secara pidana haruslah memuhi syarat


adanya perilaku jahat (actus reus) 123 dan niat jahat (mens rea), 124 sehingga
kombinasi keduanyalah yang membuat suatu subjek bertanggung jawab dalam
125
hukum pidana (culpable subject). Actus reus menurut Moeljatno dapat
dipersamakan dengan perbuatan pidana (criminal act).126 Moeljatno menjelaskan
pengertian perbuatan pidana adalah “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu,
bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.” 127 Pertanggungjawaban pidana
tidak mungkin ada tanpa diawali dengan adanya suatu perbuatan pidana.

122
Celia Wells dan Oliver Quick, Lacey, Wells and Quick: Reconstructing Criminal Law,
Fourth Edition, (Cambridge: Cambrige University Press, 2010), hlm. 119.
123
Dalam beberapa buku teks ‘actus reus’ diartikan sebagai wrongful act (Scheb, Criminal
Law. 6th edition, (USA: Wadsworth Cengage Learning, 2012), hlm. 5), prohibited conduct (Mike
Molan, Denis Lanser dan Duncan Bloy, Bloy and Parry’s Criminal Law, Fourth Edition, (London:
Cavendish Publishing Limited, 2000), hlm. 25), guilty conduct (Noel Cross, Criminal Law &
Criminal Justice: An Introduction, (London: Sage, 2010), hlm. 5.
124
Mens rea kadang kala diartikan guilty intent atau niat jahat (lihat misalnya David W.
Neubauer, America’s Courts and the Criminal Justice System, Ninth edition, (USA: Thomson
Wadsworth, 2008), hlm. 42), criminal intent (Scheb, op., cit., hlm. 5), kadang kala hanya diartikan
mental element (R.A Duff, Answering for Crime: Responsibility and Liability in the Criminal Law,
(Oxford: Hart Publishing, 2007), hlm. 202), state of mind (Michael Jefferson, Criminal Law, 9th
edition, (England: Pearson Longman, 2009), hlm. 45), sebagaimana Prof. Remy mengartikannya
sebagai ‘sikap kalbu’ lihat Sjahdeini (1), op., cit. hlm. 37.
125
Alan W. Norrie, Punishment, Responsibility and Justice: A Relational Critique.
Reprinted. (Oxford: Oxford University Press, 2004), hlm. 94. Pandangan ini biasanya disebut
pandangan dualistis yang memisahkan unsur objektif dan unsur subjektif atau pemisahan antara
tindak pidana dengan pertanggungjawaban pidana. Berbeda dengan pandangan monistis yang
menganggap unsur tersebut adalah merupakan syarat penjatuhan pidana. Lihat Muladi dan Dwidja
Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Edisi Ketiga, Cetakan ke-5, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2015), hlm. 63. Lihat juga Chairul Huda, Dari ‘Tiada Pidana Tanpa
Kesalahan’ Menuju Kepada ‘Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan’, Edisi
Pertama, Cetakan Ke-4, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group: 2011), hlm. 6. Bandingkan
dengan pendapat Utrect menjelaskan bahwa untuk dapat dikatakan telah ada suatu peristiwa
pidana maka haruslah memenuhi dua unsur: 1) adanya suatu kelakuan yang melawan hukum
(anasir melawan hukum), 2) seorang pembuat yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya
(anasir kesalahan). Lihat Mr. Drs. E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, (Surabaya:
Pustaka Tinta Mas, 2000), hlm. 285
126
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, cetakan ke-lima, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,
1993), hlm. 57.
127
Ibid., hlm. 54.

Universitas Indonesia
36

Mens rea walaupun memiliki makna yang berbeda pada setiap tindak
pidana, 128
namun secara umum dapat dikatakan adalah “the voluntary doing of
morally wrong act forbidden by penal law.” 129 Tindakan sukarela (voluntary
doing) mengharuskan suatu subjek memiliki kehendak bebas (free will) atau
paling tidak menginginkan terjadinya tindakan tersebut, di mana orang tersebut
memiliki kuasa untuk itu dan menjadi sumber utama dari tindakan tersebut. 130
Untuk menjadikan seseorang secara moral bisa dipersalahkan (moral
blameworthiness), mereka haruslah memiliki kehendak bebas terhadap
kejahatannya, dan untuk menjadikan kehendak bebas terhadap suatu tindakan bisa
menjadi perbuatan jahat, mereka haruslah memiliki kesadaran moral (moral
conscience) yaitu memiliki kesadaran akan nilai-nilai baik dan buruk.131

Dalam konsep hukum pidana Indonesia mens rea bisa dikaitkan dengan
konsep kesalahan (schuld) karena sama-sama membicarakan unsur psikis atau
disebut unsur subjektif dari pelaku ketika melakukan tindak pidana. Van
Bemmelen dan van Hattum menjelaskan hubungan antara kesalahan dengan
pertanggungjawaban sebagai: “pengertian kesalahan yang paling luas meliputi
semua unsur yang mana seseorang dipertanggungjawabkan menurut hukum
pidana mencakup semua hal yang bersifat psikis secara kompleks berupa
perbuatan pidana dan pelakunya.”132

Menurut Vos, unsur-unsur kesalahan dalam hukum pidana meliputi tiga


hal: 1) kemampuan bertanggungjawab, 2) hubungan psikis pelaku dengan
perbuatannya yang biasanya dalam bentuk kesengajaan (dolus)133 atau kelalaian

128
Ada ketentuan yang menggunakan standar kesengajaan atau kealpaan untuk
menunjukkan keberadaan mens rea. Dalam hukum pidana barat, mens rea bisa terwujud dalam
bentuk intention, recklessness, yang bisa dilihat dari standard willfully, knowingly, dan permits.
129
H.L.A Hart (3), dengan suatu introduksi oleh John Gardner, Punishment and
Responsibility: Essays in the Philosophy of Law, Second edition, (Oxford: Oxford University
Press, 2008), hlm. 36.
130
Ibid.
131
Ibid.
132
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka,
2014), hlm. 124.
133
Menurut Schaffmeister, Keizer, dan Sutorius, kesengajaan itu bisa berbentuk sadar akan
keharusan atau kepastian (awareness of necessity and certainty), sadar kemungkinan besar
(awareness of probability), kesengajaan bersyarat (awareness of possibility). Lihat Schaffmeister,
Keizer, dan Sutorius, Hukum Pidana, diedit oleh J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan, (Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 2007), hlm. 82.

Universitas Indonesia
37

(culpa)134 dan 3) tidak ada dasar-dasar yang menghapuskan pertanggungjawaban


135
pelaku atas perbuatannya. Moeljatno menjelaskan kemampuan
bertanggungjawab adalah keadaan batin orang yang normal, yang sehat. 136
Ada beberapa kondisi yang bisa dijadikan dasar pembenar dan pemaaf atas
suatu perbuatan pidana yang bisa menghilangkan pertanggungjawaban pidana.137
Menurut Utrecht dasar pembenar (rechtvaardigingsgrond) adalah alasan yang
menghapuskan anasir melawan hukum, misalnya, pembelaan darurat,
melaksanakan peraturan perundang-undangan, perintah yang dikeluarkan oleh
138
suatu pejabat yang berkuasa. Sedangkan dasar pemaaf
(schulduitsluitingsgrond) adalah asalan yang menghilangkan kesalahan, meskipun
perbuatannya bersifat melawan hukum tetapi tidak dapat dipindana, misalnya
keadaan darurat, paksaan psikis, kelebihan pembelaan darurat, perintah yang
dikeluarkan oleh pejabat yang tidak berkuasa.139
Ketika seseorang bertindak karena berada di bawah tekanan, atau karena
seseorang bertindak karena kondisi kejiwaan yang tidak normal, maka subjek
tersebut bertindak tidak secara bebas dan otonom, sehingga kondisi ini bisa
menghilangkan kesalahan atau dapat memberikan gradasi pertanggungjawaban
yang berbeda dengan subjek yang secara penuh melakukan suatu kejahatan karena
kehendak bebas dari dalam dirinya.140
Maksim yang berlaku untuk adanya pertanggungjawaban adalah tiada
pidana tanpa kesalahan (Geen straf zonder schuld), actus non facit reum, nisi
mens sit rea (Latin), yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai “an act
does not make a man guilty of a crime, unless his mind be also guilty’ atau “an act

134
Satochid Kertanegara menjelaskan kesengajaan adalah terjemahan opzet yang diartikan
sebagai “melaksanakan sesuatu perbuatan yang didorong oleh suatu keinginan untuk berbuat atau
bertindak.” Lihat Satochid Kertanegara, Hukum Pidana: Kumpulan Kuliah, Bagian Satu, (Balai
Lektur Mahasiswa), hlm. 247.
135
Eddy O.S. Hiariej, op., cit., hlm. 127.
136
Moeljatno, op., cit., hlm. 165. Pembahasan mengenai kemampuan bertanggungjawab
akan dilakukan pada Bab II, sub-bab “Kapasitas Hukum (Legal Capacity) sebagai Syarat untuk
Menjadi Subjek Hukum Pidana.
137
Pembahasan mendalam mengenai exemption, justification and excuse dapat dilihat pada
Celia Wells dan Oliver Quick, op., cit., hlm. 119.
138
Utrecht, op., cit., hlm. 348.
139
Ibid.
140
Alan W. Norrie, op., cit., hlm. 141.

Universitas Indonesia
38

does not make a person legally guilty unless the mind is legally blameworthy.”141
Artinya, bahwa suatu subjek tidak dapat dibebani dengan pertanggungjawaban
pidana apabila tidak ada unsur kesalahan (schuld) pada dirinya yang berdasarkan
pada adanya kemampuan bertanggung jawab, kesengajaan (dolus) atau kelalaian
(culpa), dan dasar penghapus pertanggungjawaban pidana dari subjek tersebut.
Untuk dapat membebankan pertanggunjawaban pidana kepada suatu subjek tidak
cukup dengan telah dilakukannya tindak pidana saja, akan tetapi juga harus ada
unsur kesalahan atau sikap batin yang dapat dicela yang berkaitan dengan
perbuatan yang dilakukannya tersebut.142

Dalam perkembangannya terdapat pengecualian terhadap prinsip tiada


pidana tanpa kesalahan, seperti dalam pertanggungjawaban pidana ketat (strict
143
criminal liability) atau pertanggungjawaban pidana pengganti (vicarous
144
criminal liability). Pertanggungjawaban pidana ketat adalah
pertanggungjawaban pidana yang tidak mensyaratkan adanya pembuktian
megenai kesalahan (proof of fault) dari pihak yang melakukan tindak pidana.145
Di Belanda pertanggungjawan pidana ketat disebut leer van het materiele feit.146

141
Sutan Remy Sjahdeini (1), op., cit., hlm. 33, ada juga ahli yang mengaitkan maksim ini
bukan dengan pertanggungjawaban pidana nya tetapi dengan perbuatannya sebagaimana misalnya
Minkes menjelaskan maksim ini dengan “an act is not wrongful unless accompanied by a
wrongful state of mind, lihat Minkes, Corporate and White Collar Crime. (Los Angeles, USA:
Sage, 2008), hlm. 61. Pembahasan mendalam mengenai tiada pidana tanpa kesalahan ini juga bisa
dibaca pada buku Chairul Huda, op., cit..
142
Moeljatno, op., cit., hlm. 57.
143
R.A Duff membedakan antara strict criminal liability dengan strict criminal
responsibility, menurut beliau: “Responsibility is for the commission of an offence consisting in
actus reus plus mens rea: only once that is proved does the defendant have anything to answer for;
only then can any formal burden of proof be laid on the defendant. Liability then depends on
whether the defendant can offer evidence in support of a defence that is sufficient at least to create
a reasonable doubt about her guilt, all things considered.” Lihat R.A Duff, Answering for Crime:
Responsibility and Liability in the Criminal Law, (Oxford: Hart Publishing, 2007), hlm. 230.
144
Menurut Ashworth dan Horder prinsip pertanggungjawaban pengganti di dalam hukum
pidana memang merupakan pengecualian dari prinsip mengenai individual autonomy, di mana
dalam hal ini bisa mempersalahkan subjek atas suatu perbuatan yang bukan merupakan perbuatan
sukarela dari subjek tersebut, menurut mereka, prinsip ini hanya bisa dibenarkan untuk tujuan
kesejahteraan (welfare) dengan nilai-nilai penegakan hukum yang benar dengan memastikan
peringatan yang memadai mengenai standar yang diharapkan dari suatu subjek hukum. Lihat
Andrew Ashworth dan Jeremy Horder, Principles of Criminal Law, seventh edition, (Oxford:
Oxford University Press, 2013), hlm. 10. Sedangkan Muladi dan Dwidja Priyatno menjelaskan
penerapan doktrin strict dan vicarious liability haruslah tetap mencerminkan perlindungan
terhadap hak asasi manusia dan mencerminkan rasa keadilan yang tumbuh dan hidup di dalam
masyarakat. Lihat Muladi dan Dwidja Priyatno, op., cit., hlm. 122-123.
145
R.A Duff, op., cit., hlm. 252.
146
Moeljatno, op., cit., hlm. 153.

Universitas Indonesia
39

Pada awalnya digunakan untuk pelanggaran, namun menurut Moeljatno konsep


ini tidak dipakai lagi di negeri Belanda.147 Di Inggris beberapa tindak pidana yang
pertanggungjawaban pidana nya bersifat ketat digunakan untuk tindak pidana
yang dilakukan oleh korporasi dan pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh
subjek individu.148

Pertanggungjawaban pidana pengganti merupakan perpanjangan dari


konsep yang ada di hukum perdata tentang kewajiban majikan bertanggungjawab
terhadap perbuatan bawahan yang dilakukan untuk kepentingan si majikan
tersebut.149 Konsep ini juga dianggap merupakan pengecualian dari maksim tiada
pidana tanpa kesalahan karena yang melakukan tindak pidana adalah orang lain
tetapi subjek tersebut tetap dapat dianggap bersalah atas tindak pidana yang
dilakukan oleh orang lain tersebut.150 Mengenai vicarious criminal liability akan
dibahas lebih lanjut pada teori tentang pertanggungjawaban pidana korporasi
(corporate criminal liability).

c. Teori tentang Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Teori selanjutnya yang akan digunakan dalam menganalisis disertasi ini


adalah teori tentang pertanggungjawaban pidana bagi korporasi. Apabila
ditelusuri secara mendalam mengenai doktrin pertanggungjawaban korporasi,
secara umum dapat dibagi menjadi lima, yaitu: 1) pertanggungjawaban pengganti
(vicarious liability), 2) doktrin identifikasi (identification doctrine), 3) doktrin

147
Ibid.
148
Ashworth dan Horder, op., cit., hlm. 5.
149
Fletcher (2), Rethinking Criminal Law (Oxford, UK: Oxford University Press, 2000),
hlm. 656.
150
Michael Jefferson, Criminal Law, 8th edition, (England: Pearson Longman, 2007), hlm.
48. Di beberapa negara misalnya di Belgia, untuk tindak pidana pers dipergunakan sistem
tanggung jawab suksesif (waterfall system), di mana tuduhan jatuh dari satu tingkat ketingkat
berikutnya, mulai dari penerbit, editor dan kemudian penulis. Bentuk ini juga merupakan salah
satu bentuk vicarious liability di mana pertanggungjawaban pidana dari satu orang dapat dipikul
oleh orang yang lainnya. Namun tujuan dari bentuk pertanggungjawaban ini adalah untuk
perlindungan terhadap kebebasan pers, sehingga penulis berita tidak selalu dapat dipersalahkan
atas berita yang dibuatnya. Pembahasan lebih lanjut mengenai pertanggungjawaban pidana
waterfall system yang ada pada tindak pidana pers dapat dilihat pada tulisan Mustafa Abdullah,
“Sistem Pertanggungjawaban Tindak Pidana Pers,” dalam Jufrina Rizal dan Suhariyono AR
(editor). Demi Keadilan: Ontologi Hukum Pidana dan Sistem Peradilan Pidana - Enam
Dasawarsa Harkristuti Harkrisnowo. (Jakarta: Pustaka Kemang, 2016), hlm. 72-74.

Universitas Indonesia
40

agregasi (aggregation doctrine), 4) doktrin budaya perusahaan (corporate


culture)151 dan teori gabungan.152
Dalam hal bagaimana mengatribusikan atau mengkonstruksi kesalahan
dari suatu korporasi, Vervaele menjelaskan terdapat dua pendekatan, yang
pertama adalah pertanggungjawaban pidana tidak langsung (indirect liability), di
mana organisasi dianggap selalu bertindak melalui anggota-anggota yang ada di
dalamnya.153 Sehingga haruslah dicari individu yang ada pada kedudukan tertentu
di dalam organisasi, apakah itu pimpinannya, atau direksinya atau pengurus
lainnya, dan kemudian kesalahan mereka diatribusikan kepada korporasi. Kedua
adalah, pertanggungjawaban langsung (direct liability),154 dimana actus reus dan
mens rea bisa langsung ditelusuri dari perilaku korporasi. Sehingga dalam hal ini
korporasi secara langsung telah melakukan tindak pidana dan harus dipersalahkan
atas hal tersebut. Pertanggungjawaban langsung ini merupakan pengembangan
dari teori personalitas korporasi realistik, dimana para ahli yang mendukung
pandangan realistik berpendapat bahwa korporasi adalah identitas sendiri (self-

151
Pieth dan Ivory, “Emergence and Convergence: Corporate Criminal Liability Principles
in Overview”, in Corporate Criminal Liability: Emergence, Convergence and Risk, Mark Pieth
and Radha Ivory (editor), (London: Springer, 2011), hlm. 21-22. Lihat juga Andri G. Wibisana,
“Kejahatan Lingkungan oleh Korporasi: Mencari Bentuk Pertanggungjawaban Korporasi dan
Pemimpin/Pengurus Korporasi untuk Kejahatan Lingkungan di Indonesia,“ Jurnal Hukum &
Pembangunan, 46 No. 2, 2016: 149-195, hlm. 155-168. Sedangkan Prof. Sutan Remy Sjahdeini
menjelaskan tujuh jenis doktrin mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi yaitu: 1) doctrine
of strict liability, 2) doctrine of vicarious liability, 3) doctrine of delegation, 4) doctrine of
identification, 5) doctrine of aggregation, 6) the corporate culture model, 7) reactive corporate
fault, lihat Sjahdeini (1), op., cit., hlm. 77-124. Namun beberapa doktrin yang dipaparkan Prof.
Remy sebenarnya bisa dimasukkan kepada doktrin lain yang juga berkaitan seperti misalnya
doctrine of delegation sebenarnya merupakan gradasi dari vicarious liability, dan reactive
corporate fault sebenarnya merupakan gradasi lain dari doktrin corporate culture model.
152
Teori gabungan adalah teori yang dikemukakan oleh Sutan Remy Sjahdeini sebagai
alternatif teori untuk pembebanan pertanggungjawaban pidana bagi korporasi. Sutan Remy
Sjahdeini (2), Ajaran Pemidanaan: Tindak Pidana Korporasi & Seluk Beluknya, Edisi Kedua,
(Jakarta: Kencana, 2017), hlm. 197-216.
153
Menurut pandangan ini, pertanggungjawaban langsung (direct liability) adalah tidak
mungkin karena organisasi selalu bertindak melalui organ atau pengurusnya. Lihat Vervaele, John
A. E. Vervaele, “Societas/Universitas Can be Guilt and Punished: 60 Years of Experience in The
Netherlands,” Derecho comparado y Derecho comunitario, Estudios de Derecho Judicial, 115,
Madrid, 2007, 11-64. Dan juga hasil diskusi dengan Prof. John Vervaele, Profesor in Economic
and European Criminal Law, pada bulan September 2014, di Law, Economics and governance
Faculty, Utrecht University, Belanda.
154
Vervaele, op., cit.

Universitas Indonesia
41

identity) yang memiliki semua karakteristik natural yang dimiliki manusia sebagai
entitas natural.155
Apabila dikaitkan dengan pendapat Vervaele diatas, maka vicarious
liability dan identification doctrine merupakan indirect liability yang mana
pertanggungjawaban korporasi diatribusikan dari perilaku dan kehendak organ
atau pengurus tertentu di dalam organisasi sebagai perilaku dan kehendak
organisasi, sedangkan doktrin agregasi dan doktrin budaya perusahaan merupakan
direct liability dimana perbuatan dan kesalahan ditemukan langsung pada
korporasinya. Dalam hal indirect liability dapat dipahami bahwa secara aktual ada
individu tertentu di dalam korporasi yang telah melakukan tindak pidana yang
bisa diatribusikan kepada korporasi, tentunya disini dapat disimpulkan bahwa
yang bersalah dan dapat bertanggung jawab adalah individu yang bersangkutan
dan atau korporasinya. Sedangkan pada direct liability dimana kesalahan tidak
ditarik dari individu tertentu tetapi dari pengetahuan dan tindakan kolektif dari
anggota korporasi atau dari budaya dan kebijakan korporasi maka yang dapat
bertanggung jawab dalam hal ini hanya korporasi saja dan bukan individu tertentu
dari korporasi , kecuali memang ada kesalahan individu dalam terwujudnya tindak
pidana.

1) Pertanggungjawaban Pidana Pengganti (Vicarious Criminal Liability)

Konsep pertanggungjawaban pidana pengganti merupakan ajaran yang


diambil dari hukum perdata tentang perbuatan melawan hukum (the law of torts)
berdasarkan doktrin respondeat superior.156 Menurut doktrin respondeat superior,

155
Misalnya Lederman dalam tulisannya “Models for Imposing Corporate Criminal
Liability: From Adaptation and Imitation Toward Aggregation and the Search for Self Identity”
menejelaskan bahwa karena korporasi itu memiliki self identity maka pengelaborasian
pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi seharusnya tidaklah berdasarkan adaptation atau
imitation sebagaimana doktrin vicarious liability dan identification doctrine yang selama ini
diterima, tetapi dengan menggunakan doktrin aggregasi dan budaya perusahaan sebagai identitas
sendiri dari korporasi. Lihat Lederman, op., cit.
156
Ketentuan mengenai hubungan majikan dan bawahan ‘respondeat superior’ (latin) – let
the master answer. Lihat Brandon L. Garrett, (1) Too Big Too Jail: How Prosecutors Compromise
with Corporations, (London, England: The Belknap Press of Harvard University Press, 2014),
hlm. 4. Vicarious liability sebenarnya memiliki cakupan yang lebih luas daripada respondeat
superior, karena vicarious liability meliputi semua bentuk pertanggungjawaban yang dilakukan
oleh orang lain, sedangkan respondeat superior terbatas hubungan antara pemberi kerja dan

Universitas Indonesia
42

seorang pemberi kuasa (principal) dapat bertanggung jawab atas perbuatan yang
dilakukan oleh penerima kuasa (agent), selama perbuatan dari agent tersebut
adalah dalam batas kewenangannya. 157 Ketentuan mengenai adanya hubungan
kerja antara pelaku dengan organisasi (agent dari organisasi) dan ketentuan
mengenai scope of employment merupakan bagian dari ajaran atribusi (Rules of
Attribution). Dimana korporasi dianggap tidak memiliki kapasitas sendiri untuk
dapat melakukan sesuatu, sehingga diperlukan suatu aturan yang menjelaskan
bahwa tindakan dari agen manusia di dalam korporasi dapat diatribusikan dan
dianggap sebagai tindakan dari korporasinya sendiri. Biasanya ketentuan ini diatur
pada Anggaran Dasar korporasi, misalnya ketentuan yang mengatur bahwa
keputusan dari direksi merupakan keputusan dari korporasi. Tentunya Anggaran
Dasar tidak dapat memuat semua ketentuan yang terlalu detail, sehingga
Anggaran Dasar hanya akan memuat ketentuan yang bersifat penting saja
(primary rules of attribution).158 Sedangkan untuk ketentuan atribusi yang bersifat
umum (general rules of attribution) berlaku prinsip-prinsip keagenan (principles
of agency) secara umum. Dengan prinsip ini korporasi bisa melakukan suatu
tindakan melalui keagenan dari para pegawainya. Melalui kombinasi antara
‘primary rules of attribution’ dan ‘general rules of attribution,’ tindakan dari para
pegawai dapat dilihat sebagai tindakan dari perusahaan.159
Sehingga untuk dapat berlakunya pertanggungjawaban pengganti ini,
haruslah dibuktikan tiga hal: 1) bahwa memang terdapat hubungan kerja antara
pelaku tindak pidana dengan organisasi yang bersangkutan (agent), 2) juga harus
dibuktikan bahwa perbuatan pekerja tersebut adalah dalam rangka tugas dan
perannya di dalam organisasi (scope of employment),160 dan 3) dengan maksud
untuk menguntungkan korporasi (intent to benefit the corporation). 161 Prinsip
hubungan kerja (employment principle) sebagai salah satu syarat pada vicarious

pekerja. Lihat pembahasan mengenai hal ini misalnya pada James R. Schirott dan Sherry K. Drew,
“The Vicarious Liability of Public Officials Under the Civil Rights Act,” Akron Law Review,
2015, vol. 8, issue 1.
157
Sjahdeini (1), op., cit., hlm. 84.
158
Pinto and Evans, op., cit., hlm. 61
159
Ibid.
160
Ibid.
161
De maglie, op., cit., hlm. 553.

Universitas Indonesia
43

liability ini juga bisa berupa hubungan lain yang berdasarkan prinsip
pendelegasian wewenang dan kewajiban (the delegation principle).162
Pieth dan Ivory membagi pertanggungjawaban pengganti terhadap
korporasi (corporate vicarious liability) menjadi dua: strict vicarious liability dan
163
qualified vicarious liability. Pertanggungjawaban pengganti ketat (strict
vicarious liability) banyak diterapkan di Amerika Serikat. 164 Menurut doktrin
strict vicarious liability, korporasi dapat dipersalahkan atas suatu tindakan dari
pekerja atau anggota dari korporasi, yang dilakukan dalam lingkup pekerjaannya
dan dilakukan untuk menguntungkan atau memberi manfaat kepada korporasi.165
Tidak menjadi penting menurut doktrin ini apakah pekerja tersebut berada pada
166
kedudukan yang penting dalam korporasi atau tidak, dan juga tidak
memperhitungkan apakah korporasi telah melakukan upaya-upaya dalam
mencegah perilaku yang menyimpang tersebut. 167 Cukup dengan kenyataan
bahwa seorang anggota korporasi atau pegawai suatu korporasi bertindak untuk
kepentingan atau menguntungkan korporasi (intent to benefit the corporation)168
dan dalam lingkup tugas dan atau kewajibannya (scope of authority) di dalam
korporasi, maka korporasi sudah dapat dipersalahkan dan bertanggung jawab atas
perilaku anggotanya tersebut.169
Pertama kali diterima dalam kasus New York Central & Hudson River
Railroad Co. v. United States 212 US 481 (1909). 170 Dalam kasus New York
Central, hakim menyatakan bahwa asisten manajer pada perusahaan kereta api
tersebut telah menawarkan pengembalian uang (rebate) kepada kostumer,

162
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana. Cet. 2. Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2010, hlm. 250.
163
Pieth dan Ivory, op., cit., hlm. 21-22
164
Ibid.
165
Joshua D. Greenberg dan Ellen C. Brotman, "Strict Vicarious Criminal Liability for
Corporations and Corporate Executives: Stretching the Boundaries of Criminalization," American
Criminal Law Review, 51, 2014, hlm. 81.
166
Andri G. Wibisana, op., cit., hlm. 155.
167
Pieth dan Ivory, op., cit., hlm. 22.
168
Faktor yang penting di beberapa negara dalam mengatribusikan pertanggungjawaban
pidana kepada suatu organisasi adalah adanya unsur menguntungkan organisasi ini. Seperti
misalnya di Amerika, Australia, Perancis, Belanda dan Kanada. Lihat Andri G. Wibisana, op., cit.,
hlm. 158.
169
Ved P. Nanda, “Corporate Criminal Liability in the United States: Is a New Approach
Warranted?” dalam Mark Pieth and Radha Ivory (editor), Corporate Criminal Liability:
Emergence, Convergence and Risk, (London: Springer, 2011), hlm. 68-69.
170
V.P. Nanda, op., cit., hlm. 68.

Universitas Indonesia
44

melanggar ketentuan pada Elkins Act.171 Perbuatan dari asisten manajer tersebut
dipertanggungjawabkan juga terhadap perusahaannya.
Qualified vicarious liability berkembang di Inggris untuk ketentuan yang
diatur pada Undang-Undang. Penerapan pertanggungjawaban korporasi
berdasarkan qualified vicarious liability dianggap lebih lunak dibandingkan
172
dengan strict vicarious liability. Di mana biasanya penerapan
pertanggungjawaban diikuti dengan pembelaan mengenai uji kelayakan (due
diligence), yang memungkinkan korporasi melakukan pembelaan diri dengan
menyatakan bahwa dia telah melakukan berbagai upaya yang cukup untuk
mencegah terjadinya tindak pidana. Sehingga korporasi dapat dibebaskan dari
pertanggungjawaban pidana atas tindakan dari pegawainya apabila dia telah
melakukan segala macam upaya untuk melakukan pencegahan terhadap terjadinya
173
tindak pidana tersebut. Sebagai batasan dalam membebankan
pertanggungjawaban pidana menurut qualified vicarious liability, organisasi
dinyatakan memiliki kesalahan apabila telah memenuhi syarat berikut: 1)
perusahaan haruslah sadar akan adanya resiko akan terjadinya tindak pidana atau
akibat yang ditimbulkan dari suatu tindakan yang akan dapat dipidana, 2)
perusahaan memiliki kewajiban hukum untuk menghentikan terjadinya tindak
pidana tersebut, 3) perusahaan memiliki kapasitas untuk mencegah terjadinya
tindak pidana, dan 4) perusahaan gagal dalam melakukan pencegahan terhadap
terjadinya tindak pidana.174

2) Doktrin Identifikasi (Identification Doctrine)

Doktrin identifikasi ini sebenarnya adalah pengembangan vicarious


liability terhadap pertanggungjawaban pidana korporasi. 175 Doktrin ini adalah
pembatasan dari doktrin pertanggungjawaban pengganti yang menyatakan tidak

Lucian E. Dervan, “Corporate Criminal Liability, Moral Culpability, and the Yates
171

Memo.” Stetson Law Review. Vol. 26, 2016, hlm. 112.


172
Pieth dan Ivory, op., cit., hlm. 23.
173
Ibid.
174
James Gobert, “Squaring the Circle: the Relationship between Individual and
Organizational Fault,” dalam James Gobert dan Ana-Maria Pascal (editor), European
Developments in Corporate Criminal Liability, (Oxon: Routledge, 2011), hlm. 144 - 145.
175
De Maglie, op., cit., hlm. 554.

Universitas Indonesia
45

semua orang yang berada di dalam organisasi atau yang terkait dengan organisasi
memiliki status yang cukup untuk menyebabkan korporasi bertanggung jawab
secara vicarious atas kejahatan mereka.176 Doktrin ini berkembang pada mulanya
dari suatu putusan pengadilan di Inggris, Tesco Supermarkets Ltd. v. Nattrass
(yang lebih dikenal dengan kasus Tesco). 177 Dalam putusan ini The House of
Lords menyatakan bahwa manajer toko bukanlah merupakan penentu kehendak
(directing mind and will) dari korporasi sebesar Tesco, yang telah mendelegasikan
kekuasaan untuk membuat keputusan kepada agen yang ada di bawahnya secara
luas, sehingga tidak dapat dipersalahkan atas perbuatan manajer toko tersebut.178
Menurut doktrin identifikasi, korporasi diidentifikasikan melalui orang-
orang penting atau pimpinan dari korporasi tersebut, orang-orang penting ini
disebut sebagai legal alter ego dari korporasi, sehingga korporasi dapat
bertanggung jawab atas tindakan dan kesalahan dari mereka. 179 Korporasi akan
dinyatakan bertanggung jawab atas suatu tindak pidana hanya apabila salah satu
dari para personel pengendali bersalah sebagai pelaku dari tindak pidana
tersebut.180 Sebagaimana dalam kasus Tesco, hakim menjelaskan:
“A corporation… must act through living persons though not always one
and the same person. Then the person who acts is not speaking or acting
for the company. He is acting as the company and his mind which directs
his acts is the mind of the company.”181
(Suatu korporasi… harus bertindak melalui manusia meskipun tidak selalu
satu orang dan orang yang sama. Sehingga perkataan dan tindakan dari
orang tersebut bukan untuk perusahaan. Dia bertindak sebagai perusahaan
dan pikiran yang mengarahkan tindakannya adalah pikiran dari
perusahaan.)

Kapasitas seorang pengurus untuk mengambil keputusan dalam suatu


sektor operasional di dalam korporasi menunjukkan kapasitasnya untuk bertindak

176
James Gobert, op., cit., hlm. 142.
177
[1972] AC 153 at 1 (Reid LJ), dikutip dari Pieth dan Ivory, op., cit., hlm. 23. Meskipun
kasus ini bukan kasus yang pertama menggunakan teori identifikasi untuk mempidana korporasi.
Lihat Sjahdeini (1), op., cit., hlm. 100-102. Lihat juga pemaparan kasus yang lebih awal
mengakomodasi doktrin identifikasi ini pada Mike Molan, Denis Lanser dan Duncan Bloy, op.,
cit., hlm. 139.
178
Pieth dan Ivory, op., cit., hlm. 23-24.
179
Ibid., hlm. 22.
180
Pinto and Evans, op., cit., hlm. 58.
181
Dikutip dari Harding, op., cit., hlm. 142.

Universitas Indonesia
46

sebagai tindakan dari korporasi. 182 Sedangkan Viscount Dilhorne menjelaskan


directing mind atau pejabat senior dari suatu organisasi adalah seseorang atau
beberapa orang yang dalam kenyataanya mengendalikan jalannya perusahaan dan
ia tidak bertanggung jawab terhadap orang lain di dalam perusahaan.183 Meskipun
dalam beberapa kasus hakim memberikan pandangan yang berbeda-beda tentang
batasan sampai dimana dalam susunan organisasi seorang organ dianggap sebagai
alter ego atau penentu kehendak (directing mind) atau pejabat senior dari
perusahaan. Misalnya dalam kasus Universal Telecasters pada tahun 1997 di
Australia, hakim Bowen C.J. dan Franki J. dalam kasus ini berpendapat bahwa
manajer penjualan tidak dapat dipandang sebagai alter ego atau penentu kehendak
dari perusahaan, sedangkan hakim Nimmo J, berpendapat sebaliknya karena
manajer disini memiliki kekuasaan dalam hal mengambil kebijakan manajerial
(managerial disrcretion).184
Sjahdeini menjelaskan bahwa penentu kehendak dari suatu korporasi tidak
hanya dilihat dari sisi formal yuridis saja, misalnya direksi atau petinggi yang sah
dari suatu perusahaan. Tetapi juga menurut kenyataan dalam operasional kegiatan
perusahaan, meskipun pihak tersebut secara formal yuridis bukanlah orang yang
memiliki kedudukan penting dapat juga disebut sebagai directing mind dari
organisasi tersebut, sepanjang dia dapat mempengaruhi kebijakan dan keputusan
185
strategis dari organisasi. Misalnya mereka itu adalah pemegang saham
mayoritas atau komisaris perseroan yang dapat mempengaruhi pengambilan
keputusan suatu korporasi dapat disebut juga sebagai penentu kehendak dari
korporasi. 186 Hal ini sebenarnya juga sudah diakui di dalam undang-undang
Indonesia misalnya pada penjelasan Pasal 20 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No.
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di mana
dijelaskan bahwa pengurus adalah organ korporasi yang menjalankan
kepengurusan korporasi yang bersangkutan sesuai dengan anggaran dasar,
termasuk mereka yang dalam kenyataanya memiliki kewenangan dan ikut

182
Canadian Dredge and Dock Co. v. R. (Dredge and Dock), Canada [1985] 1 SCR 662,
paras. 29, 32 (Estey J), dikutip dari Pieth dan Ivory, op., cit., hlm. 24.
183
Dikutip dari Muladi dan Dwidja Priyatno, op., cit., hlm. 232.
184
Ibid., hlm. 233.
185
Sjahdeini (1), op., cit., hlm. 104-105.
186
Ibid.

Universitas Indonesia
47

memutuskan kebijakan korporasi. Pengaturan seperti ini dirasa perlu diakomodasi


secara umum dalam setiap ketentuan yang mengatur tentang pertanggungjawaban
pidana yang melibatkan korporasi, karena dalam kenyataannya sering kali banyak
kepentingan dari pihak yang tidak ada dalam susunan organisasi tetapi memiliki
pengaruh yang besar dalam suatu keputusan yang diambil oleh organisasi.
Keuntungan dari penggunaan doktrin identifikasi adalah bahwa penemuan
‘pemikiran’ (mind) korporasi dapat dengan mudah dilihat dari pemimpin yang
187
dapat mempengaruhi keputusan perusahaan tersebut. Namun, Gober
mengemukakan beberapa permasalahan dalam pengadopsian doktrin identifikasi
sebagai berikut: pertama, doktrin ini akan sering memungkinkan para pimpinan
perusahaan dan juga perusahaannya untuk terbebas dari pertanggungjawaban
pidana karena mereka tidak secara langsung melakukan actus reus dari tindak
pidana atau tidak secara langsung menyarankan untuk melakukan tindak pidana.
Tindakan independen dari karyawan bawahan baik dilakukan secara sendiri-
sendiri atau bersama-sama yang melaksanakan kebijakan perusahaan dengan tidak
benar bisa memutus rantai sebab-akibat untuk meminta pertanggungjawaban
korporasi atas suatu akibat yang merugikan masyarakat.188
Doktrin identifikasi hanya akan dapat diaplikasikan dengan sempurna
terhadap perusahaan kecil, seperti misalnya bisnis yang dijalankan oleh satu orang
atau bisnis keluarga. Pada perusahaan jenis ini, apabila tindak pidana dilakukan di
dalam perusahaan, kemungkinan besar tindak pidana tersebut dilakukan oleh
direkturnya atau personel pengendali lainnya.189 Pada perusahaan besar, seorang
direktur akan jarang memiliki keterlibatan langsung untuk dapat bertanggung
jawab terhadap suatu tindak pidana. Selain itu, pada perusahaan besar kadang kala
seorang personel pengendali tidak memiliki kontrol menyeluruh terhadap aktifitas
perusahaan. 190 Tanpa adanya pertanggungjawaban personal dari seseorang yang

187
James Gobert, op., cit., hlm. 141.
188
Ibid., hlm. 142.
189
Pinto dan Evans, op., cit., hlm. 60.
190
Harding, op., cit., hlm. 142. Seorang personel pengendali perusahaan kadang kala tidak
memiliki akses untuk dapat mengontrol seluruh aktifitas perusahaan sebagaimana dalam kasus
Tesco, meskipun tindakan dari store manager merupakan tindakan dengan kehendak untuk
memberikan keuntungan bagi perusahaan. Selain itu, seorang personel pengendali perusahaan
juga kadang kala tidak memiliki kemampuan untuk mempengaruhi suatu kebijakan perusahaan
besar. Sebagai ilustrasi misalnya, PT. Accenture Indonesia, memiliki kebijakan untuk mendukung
komunitas Lesbian, Gay, Bisexual, and Transgender (LGBT). Kebijakan ini merupakan kebijakan

Universitas Indonesia
48

dikategorikan sebagai ‘directing mind and will’ korporasi, maka


pertanggungjawaban tidak dapat diatribusikan kepada korporasinya. Sebagaimana
Gober mengemukakan kritikannya terhadap putusan Tesco Supermarkets Ltd v
Nattrass yang menjadi dasar diterimanya doktrin identifikasi ini:

“One of the prime ironies of Nattrass is that it propounds a theory of


corporate liability wich works best in case where it is needed least and
works least in cases where it is needed most.”191
(salah satu ironi utama dari Nattrass adalah mengemukakan teori tentang
pertanggungjawaban korporasi yang berfungsi dengan baik pada kasus di
mana teori tersebut tidak terlalu diperlukan dan kurang berfungsi pada
kasus diaman teori tersebut paling dibutuhkan.)

Kedua, masalah lain dengan penerapan doktrin identifikasi adalah ketika


seorang pimpinan organisasi bertindak bertentangan dengan kepentingan terbaik
organisasi. Apabila para pimpinan bertindak dengan mengatasnamakan korporasi
namun tindakan tersebut sebenarnya merugikan korporasi untuk kepentingan
pribadi dari pengurus atau eksekutif. 192 Hal ini sejalan dengan pandangan
Sjahdeini bahwa penggunaan doktrin identifikasi saja dalam pertanggungjawaban
pidana korporasi tidak akan adil bagi pemegang saham.193
Selajutnya Harding mengemukakan bahwa penggunaan doktrin
identifikasi yang menganut pemahaman bahwa personel pengendali sebagai legal
alter ego dari organisasi memudarkan pendapat tentang realitas kemandirian
subjek organisasi.194 Para ahli yang berpandangan realis menjelaskan keberadaan
korporasi sebagai subjek mandiri yang memiliki kemampuan untuk memiliki
pilihan yang rasional sebagaimana manusia alami. Korporasi sebagai subjek
hukum mandiri memiliki otonomi fungsional (functional autonomy) dan budaya
kerja dan etos yang unik (distinct ethos).195 Dalam hal otonomi fungsional dapat
dijelaskan bahwa korporasi memiliki kemampuan untuk dapat terus bertahan

Accenture global yang tidak bisa dipengaruhi bahkan oleh seorang Country Managing Director
PT. Accenture Indonesia. Lihat https://www.accenture.com/us-en/company-lesbian-gay-bisexual-
transgender. Diakses Februari 2017.
191
Pinto dan Evans, op., cit., hlm. 58.
192
James Gobert, op., cit., hlm. 142.
193
Hasil wawancara dengan Prof. Sutan Remy Sjahdeini, SH., MH., Kamis, 16 Februari
2017, Jakarta.
194
Harding, op., cit., hlm. 143.
195
Ibid. Mengenai Budaya kerja dan etos yang unik dari suatu korporasi akan dibahas
secara mendalam pada sub bab ‘Doktrin Budaya Perusahaan’ pada bab ini.

Universitas Indonesia
49

tanpa tergantung terhadap satu atau dua orang individu yang menjadi anggota
yang ada di dalamnya (the irrelevance of person).196
Secara teori menurut Harding penjabaran doktrin identifikasi yang
menjelaskan pengurus pengendali sebagai legal alter ego dari korporasi
memberikan implikasi hukum yang cukup rumit mengenai kemungkinan
pelanggaran terhadap ajaran tidak adanya penuntutan ganda (double jeopardy atau
ne bis in idem) apabila kedua pihak dimungkinkan untuk dapat bertanggungjawab
atas tindak pidana yang sama.197

3) Doktrin Agregasi (Aggregation Doctrine)

Semakin besar suatu organisasi, akan semakin sulit untuk dapat


mengidentifikasi seseorang atau beberapa orang di dalam organisasi yang dapat
dikatakan merupakan perwujudan dari korporasi, sehingga lebih memungkinkan
suatu organisasi besar untuk dapat lolos dari pertanggungjawaban pidana. 198
Beberapa pendapat menjelaskan bahwa doktrin agregasi lebih cocok untuk
digunakan dalam hal mens rea dari beberapa orang di dalam organisasi
dikumpulkan (sebagai agregat) untuk dapat memenuhi tingkat kesalahan yang
diperlukan untuk melakukan penuntutan.199
Menurut doktrin agregasi, suatu organisasi dapat memiliki kehendak
sendiri atau kehendak group (group intention) yang dapat ditelusuri dari gabungan
kehendak atau perbuatan kolektif pemangku kepentingan yang menentukan di
dalam organisasi tersebut. 200 Menurut Remmelink, pengetahuan bersama dari
sebagian besar anggota direksi dapat dianggap sebagai pengetahuan dari
korporasi. 201 Suprapto menjelaskan bahwa kesalahan yang ada pada suatu
korporasi merupakan gabungan dari kesalahan (kesalahan kolektif) dari pengurus
202
korporasi tersebut. Doktrin agregasi ini lebih memudahkan dalam
pengatribusian pertanggungjawaban pidana kepada korporasi karena
menghilangkan kesulitan dalam mengidentifikasi kesalahan manajerial pada
196
Ibid.
197
Harding, op., cit., hlm. 133.
198
Mike Molan, Denis Lanser dan Duncan Bloy, op., cit., hlm. 141.
199
Ibid.
200
Pieth dan Ivory, op., cit., hlm. 22.
201
Dikutip dari Muladi dan Dwidja Priyatno, op., cit., hlm. 130.
202
Ibid.

Universitas Indonesia
50

203
perusahaan besar. Di samping itu doktrin agregasi merupakan
pertanggungjawaban pidana korporasi yang tidak berdasarkan kepada kesalahan
individu tertentu di dalam korporasi, tetapi merupakan pertanggungjawaban
pidana yang berdasarkan kepada kesalahan dari korporasi sendiri sebagai suatu
subjek hukum.204
Doktrin agregasi ini diterima di Amerika Serikat misalnya dalam kasus
United States v. Bank of New England, dijelaskan bahwa pengetahuan kolektif
dari pegawai bank dapat dilekatkan kepada pengetahuan bank sebagai suatu
korporasi.205 Meskipun para individu di dalam korporasi tidak mengetahui bahwa
mereka terlibat dalam suatu tindak pidana, tetapi agregat dari komponen yang ada
dapat dikaitkan dengan pengetahuan korporasi (corporation’s knowledge). 206
Suatu korporasi dapat bertanggung jawab secara pidana meskipun tidak terdapat
bukti bahwa ada individu tertentu di dalam korporasi memiliki kehendak untuk
melakukan tindak pidana ataupun mengetahui bahwa tindakan mereka dapat
menimbulkan suatu tindak pidana.207
Namun doktrin agregasi ini ditolak dalam beberapa kasus di Inggris,
misalnya dalam kasus R v HM Coroner for East Kent, ex p. Spooner.208 Kapal
Herald of Free Enterprise terbalik dalam perjalanan dari Zeebrugge pada tahun
1987. Kapal tersebut terbalik karena berlayar dalam keadaan bagian pintu haluan
kapal (bow doors) masih terbuka, yang mengakibatkan air masuk ke dalam deck
mobil sehingga mengakibatkan kapal menjadi tidak stabil, oleng dan akhirnya
tenggelam. Kejadian ini mengakibatkan meninggalnya 200 orang dan penuntutan
terhadap P&O European Ferries (Dover) Ltd. karena kelalaian yang
mengakibatkan kematian. 209 Tidak ada satupun direksi mengetahui mengenai

203
Neil Cavanagh, “Corporate Criminal Liability: An Assesment of the Models of Fault,”
The Journal of Criminal Law, 75, 2011; 414-440, hlm. 426.
204
Rick Sarre (1), “Penalising Corporate ‘culture’: The Key to Safer Corporate Activity?”
dalam James Gobert dan Ana-Maria Pascal (editor), European Developments in Corporate
Criminal Liability, (Oxon: Routledge, 2011), hlm. 87
205
United States v. Bank of New England (1987), 821 F.2d 884. Merupakan kasus terhadap
pelanggaran Currency Transaction Reporting Act yang mewajibkan setiap bank untuk melaporkan
transaksi diatas US$ 10.000,- lihat Andri G. Wibisana, op., cit., hlm. 163.
206
V.P. Nanda, op., cit., hlm. 70.
207
Neil Cavanagh, op., cit., hlm. 425.
208
Ibid.
209
R v. HM Coroner for East Kent; Ex parte Spooner (1989) 88 Cr. App. R. 10; R. v. P&O
European Ferries (Dover) Ltd. [1991] 93 Cr. App. R. 72. Dikutip dari Pieth dan Ivory, op., cit.,
hlm. 27 dan James Gobert, op., cit., hlm. 147.

Universitas Indonesia
51

ketidakberesan yang ada di kapal dan juga karena tidak ada satu tindakan pun dari
board member yang mengakibatkan terjadinya peristiwa tersebut, namun jaksa
berpendapat bahwa fakta-fakta dan pengetahuan yang dimiliki secara kolektif oleh
dewan direksi seharusnya dapat dianggap sebagai kelalaian dari perusahaan untuk
mencegah terjadinya persitiwa tersebut. Pendapat tersebut ditolak oleh
pengadilan, menurut Lord Justice Bingham, agregasi dari tindakan dan sikap
kalbu dari individu yang diatribusikan sebagai tindakan dan sikap kalbu dari
organisasi adalah inkonsisten dengan doktrin yang selama ini diterima yaitu
doktrin identifikasi.210
Penjabaran yang disampaikan oleh Lord Justice Bingham dalam kasus
diatas dapat dipahami sebagai keterbatasan kemampuan doktrin identifikasi untuk
bisa menjelaskan pertanggungjawaban korporasi. Meskipun cukup jelas dalam
kasus diatas bahwa pengetahuan kolektif dari dewan direksi seharusnya sudah
cukup untuk bisa membebankan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi
sebagai pihak yang bertanggungjawab dalam terjadinya tindak pidana, namun
karena hakim dalam hal ini hanya menyandarkan pertanggungjawaban kepada
doktrin identifikasi yang mensyaratkan adanya unsur kesalahan dari pengurus
pengendali, maka korporasi tidak dapat dipersalahkan atas terjadinya tindak
pidana.

4) Doktrin Budaya Korporasi (Corporate Culture atau Corporate


Disorganization)

Menurut doktrin budaya korporasi, suatu korporasi dapat memiliki


kesalahan sendiri apabila korporasi tersebut memiliki sistem atau budaya yang
memungkinkan terjadinya tindak pidana. 211 Korporasi sebagai subjek mandiri
dapat memiliki kesalahan yang berasal dari dirinya sendiri dan tidak selalu berasal
dari individu tertentu yang bekerja untuk organisasi tersebut.212 Menurut Fisse dan
Braithwaite, budaya korporasi ini ditransmisikan dari satu generasi ke generasi
berikutnya tanpa terpengaruh dengan pergantian personel atau anggota

210
Pieth dan Ivory, op., cit., hlm. 27
211
Ibid., hlm. 22.
212
Rick Sarre (1), op., cit., hlm. 86.

Universitas Indonesia
52

korporasi. 213 Budaya perusahaan bisa dilihat secara formal pada prosedur dan
kebijakan perusahaan, atau secara informal dari bagaimana budaya tersebut
mempengaruhi tindakan dan tingkah laku individu di dalam korporasi.214
Smiley menjelaskan ada sesuatu dari organisasi, entah itu strukturnya,
identitasnya, etos, aturan, ideologi atau standard bertindak (code of conduct) dari
entitas tersebut yang bisa dipersalahkan atas timbulnya suatu tindak pidana di
mana anggota organisasi digiring untuk bertindak karena satu atau lebih aspek-
aspek kolektif tersebut.215 Budaya perusahaan ini baik secara aktif maupun secara
pasif mengizinkan atau menoleransi ketidakpatuhan pada ketentuan hukum yang
menggiring terjadinya suatu tindak pidana. 216 Sehingga tindak pidana atau
palanggaran yang dilakukan tidak dapat dilihat sebagai perilaku insidental atau
tidak terduga dari karyawan atau anggota organisasi.217
Misalnya dalam kasus Enron, budaya tidak jujur, ditambah dengan sistem
pemberian insentif yang salah, diperburuk dengan ketiadaan pengawasan yang
baik, akan memungkinkan anggota grup menipu pemegang saham dan juga
masyarakat luas. 218 Atau kasus kecelakaan di tempat kerja (inujuries in the
workplace) lebih sering dikaitkan dengan keputusan manajemen secara
keseluruhan tentang prosedur keselamatan dan ‘budaya perusahaan’ yang
mendevaluasi standar keselamatan karyawan, dan biasanya bukan disebabkan
karena kecerobohan satu orang pengendali perusahaan saja. 219 Keadaan dimana
secara tertulis perusahaan bisa saja menyatakan bahwa dia mempedulikan

213
Fisse dan Braithwaite, op., cit., hlm. 22.
214
Rick Sarre (2), “White-Collar Crime and Prosecution,” dalam Hendry N. Pontell dan
Gilbert Geis (editor), International Handbook of White-Collar and Corporate Crime, (New York,
USA: Springer, 2007), hlm. 650.
215
Marion Smiley, From Moral Agency To Collective Wrongs: Re-Thinking Collective
Moral Responsibility, Journal Of Law and Policy, 19, 171, 2010-2011, hlm. 197. Namun Foster
menjelaskan apabila yang dimaksudkan dengan budaya perusahaan adalah cara berfikir (mindset)
dari perusahaan, maka seharusnyalah ditelusuri dari mindset para pengendai korporasi itu.
Sehingga dalam hal ini Foster berpendapat bahwa doktrin budaya perusahaan tidak selalu
merupakan pertanggungjawaban langsung dari organisasi tetapi juga bisa merupakan
pertanggungjawaban tidak langsung organisasi yang ditarik dari kesalahan pengurus organisasi.
Untuk pandangan Foster ini bisa dilihat lebih lanjut pada Neil Foster, “Individual Liability of
Company Officers,” dalam James Gobert dan Ana-Maria Pascal (editor), European Developments
in Corporate Criminal Liability, (Oxon: Routledge, 2011), hlm. 115.
216
Rick Sarre (1), op., cit., hlm. 88.
217
Lederman, op., cit., hlm. 695.
218
Kenneth Shockley, “Programming Collective Control,” Journal of Social Philosophy,
38, 2007, 442, hlm. 449.
219
Neil Foster, op., cit., hlm. 115.

Universitas Indonesia
53

kesehatan dan keselamatan kerja para pegawainya. Namun tekanan yang


diberikan kepada individu pegawai sangat tinggi dan tidak realistis untuk bisa
memenuhi target profit dan efisiensi waktu, maka ada kemungkinan perusahaan
mengkompromikan kesehatan dan keselamatan pegawainya.220
Studi yang dilakukan oleh Conley dan O’Barr’s dalam kasus keterlibatan
Archer Daniel Midland (ADM) pada cartel Lysine, yang diperiksa oleh
Department of Justice Amerika Serikat pada tahun 1990an menyimpulkan bahwa
budaya perusahaan yang bersifat top-down dan budaya memberikan penghargaan
yang sangat besar terhadap pengaruh dan kontrol bisa berdampak terhadap
kegiatan organisasi untuk melakukan price fixing. 221 Menurut mereka, dalam
dunia bisnis, penetapan harga (price fixing) adalah bentuk dari kontrol terhadap
ketidakpastian pasar. Prinsip ekonomi ini sama dengan keinginan pelaut untuk
bisa mengontrol angin. Keinginan untuk bisa melakukan tindakan penetapan
harga dalam suatu organisasi bisnis bisa berasal dari atas atau dari bawah. 222
Apabila kegiatan price fixing itu berasal dari personel yang ada di hirarki atas
organisasi, maka personel yang ada di bahwa akan melaksanakannya sebagai
bentuk perpanjangan dari kekuasaan dan pengaruh dari atasannya. Apabila
kegiatan price fixing itu berasal dari orang-orang yang ada di tengah-tengah
hirarki, maka hal ini merupakan suatu budaya perusahaan yang akan bisa
dipropagandakan dengan cepat.
Itu adalah salah satu contoh kondisi yang bisa dipilih oleh perusahaan
untuk dilakukan agar mendapatkan keuntungan yang merupakan tujuan
223
utamanya. Menurut Yeager, budaya perusahaan dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor diantaranya adalah kepribadian pimpinan perusahaan,
karakteristik pasar dimana perusahaan bersaing, serta kewaspadaan dan kehati-
hatian aparat penegak hukum.224

220
Rick Sarre (2), op. cit., hlm. 650.
221
Dikutip dari Harding, op. cit., hlm. 145.
222
Ibid.
223
Ibid.
224
Peter Cleary Yeager, “Understanding Corporate Lawbreaking: From Profit Seeking to
Law Finding,” dalam Hendry N. Pontell dan Gilbert Geis (editor), International Handbook of
White-Collar and Corporate Crime, (New York, USA: Springer, 2007), hlm. 34.

Universitas Indonesia
54

Menurut Lederman, termasuk dalam kategori ini juga adalah beberapa


kondisi berikut:225 1) tindak pidana yang dilakukan oleh anggota korporasi ketika
prosedur atau kebijakan korporasi mungkin dapat menggiring kepada
dilakukannya perbuatan tersebut, 2) ketika yang melakukan tindak pidana tersebut
adalah orang yang ada pada posisi penting di dalam manajemen korporasi, atau
ketika mereka menginstruksikan, mendorong, atau mendukung perbuatan
melanggar hukum tersebut, 3) ketika korporasi meratifikasi atau memberikan
dukungan secara eksplisit terhadap suatu pelanggaran yang dilakukan oleh
anggota korporasi (setelah dilakukannya tindak pidana).
Apabila dikaitkan dengan pendapat De Maglie dalam menjelaskan model
kesalahan korporasi: 1) corporate policy, 2) corporate culture, 3) preventive fault,
4) reactive corporate fault,226 model Corporate policy de Maglie mirip dengan
pendapat pertama dari Lederman, corporate culture model merupakan
pengelaborasian dari pendapat kedua dari Lederman, dan pendapat ketiga adalah
apa yang disebut De Maglie reactive corporate fault. Preventive fault model
menurut de Maglie, adalah ketika korporasi gagal untuk mengimplementasikan
suatu sistem internal yang memadai untuk mencegah terjadinya tindak pidana.227
Doktrin budaya organisasi ini diterima di Australia dan Swiss dalam
Criminal Code nya. Section 12.3 Criminal Code Act Australia menjelaskan bahwa
elemen kesalahan berupa kehendak, pengetahuan, atau kelalaian diatribusikan
kepada organisasi apabila secara eksplisit, tersirat, diam-diam, mengesahkan atau
mengizinkan terjadinya tindak pidana. 228 Article 102 (1) Criminal Code Swiss

225
Lederman, op., cit., hlm. 695.
226
De Maglie, op., cit., hlm. 558.
227
Ibid., hlm. 559.
228
Australia, Criminal Code Act 1995, Part 2.5. Corporate Criminal Responsibility,
Division 12.3: Fault elements other than negligence:
(1) If intention, knowledge or recklessness is a fault element in relation to a physical
element of an offence, that fault element must be attributed to a body corporate that
expressly, tacitly or impliedly authorised or permitted the commission of the offence.
(2) The means by which such an authorisation or permission may be established include:
a. Proving that the body corporate’s board of directors intentionally, knowingly or
recklessly carried out the relevant conduct, or expressly, tacitly or impliedly
authorised or permitted the commission of the offence; or
b. Proving that a high managerial agent of the body corporate intentionally,
knowingly or recklessly engaged in the relevant conduct, or expressly, tacitly or
impliedly authorised or permitted the commission of the offence; or
c. Proving that a corporate culture existed within the body corporate that directed,
encouraged, tolerated or led to non‑ compliance with the relevant provision; or

Universitas Indonesia
55

menyatakan bahwa suatu organisasi bertanggung jawab atas suatu tindak pidana
yang dilakukan di dalam lingkup objektif organisasi dan dalam pelaksanaan
kegiatan organisasi yang tidak dapat dipersalahkan kepada individu tertentu tetapi
terjadi karena ketidakberesan dari organisasi (disorganization).229
Dapat disimpulkan dalam hal ini, bahwa budaya, etos kerja, kebijakan,
sistem kerja, atau praktek yang secara umum telah diterima oleh organisasi,
menggiring atau menoleransi terjadinya kejahatan. 230 Doktrin ini lebih efektif
untuk bisa meminta pertanggungjawaban pidana dari organisasi besar yang
apabila menggunakan doktrin identifikasi tidak bisa dipersalahkan karena mereka
telah mendelegasikan kekuasaan dan tugas-tugas secara luas kepada karyawan
yang lebih rendah.231
Meskipun doktrin budaya perusahaan mendasarkan kesalahan kepada
budaya perusahaan itu sendiri, namun, doktrin ini tidak menutup kemungkinan
untuk juga dapat meminta pertanggungjawaban pidana kepada individu tertentu di
dalam organisasi. Baik perusahaan maupun individu yang mungkin menjadi
bagian dari jaring pengambilan keputusan (web of decisions), yang menggiring

d. Proving that the body corporate failed to create and maintain a corporate
culture that required compliance with the relevant provision.
(Divisi 12.3: Elemen kesalahan selain kelalaian:
(1) apabila adanya niat, pengetahuan atau kelalaian merupakan elemen yang diperlukan
dalam suatu tindak pidana, maka elemen kesalahan harus diatribusikan kepada suatu
korporasi yang baik secara terang-terangan, secara diam-diam, atau secara tersirat
memperkenankan atau mengizinkan dilakukannya tindak pidana tersebut.
(2) Salah bentuk memperkenankan atau mengizinkan terjadinya tindak pidana adalah
dengan:
a. Apabila dewan direksi dengan sengaja, dengan sadar, atau dengan kelalaian
melakukan perbuatan yang relevan, atau secara terang-terangan atau secara
diam-diam atau secara tersirat memperkenankan atau mengizinkan dilakukannya
tindak pidana; atau
b. Apabila pihak manajemen pada level atas dengan sengaja, dengan sadar, atau
dengan kelalaian melakukan perbuatan yang relevan, atau secara terang-terangan
atau secara diam-diam atau secara tersirat memperkenankan atau mengizinkan
dilakukannya tindak pidana; atau
c. Apabila budaya perusahaan yang ada pada korporasi mengarahkan, mendorong,
mentolerir atau menggiring kepada terjadinya tindak pidana.
d. Apabila korporasi gagal untuk membentuk atau melaksanakan budaya
perusahaan yang mewajibkan kepatuhan terhadap ketentuan yang relevan.)
229
Bunyi lengkap dari Pasal 102 (1) Swiss Criminal Code 1937 adalah: “If a felony or
misdemeanour is committed in an undertaking in the exercise of commercial activities in
accordance with the objects of the undertaking and if it is not possible to attribute this act to any
specific natural person due to the inadequate organisation of the undertaking, then the felony or
misdemeanour is attributed to the undertaking...”
230
Marion Smiley, op., cit., hlm. 197.
231
Michael Jefferson, op., cit., hlm. 232.

Universitas Indonesia
56

kepada terjadinya tindak pidana, sehingga mereka dapat menjadi subjek yang
bertanggung jawab.232
Ke empat doktrin yang dijelaskan diatas merupakan cara yang bisa
digunakan untuk menjelaskan bagaimana melekatkan pertanggungjawaban pidana
kepada suatu subjek hukum organisasi. Setiap doktrin memiliki kelebihan dan
kekurangan dalam menjelaskan hubungan antara actus reus dan mens rea dengan
pertanggungjawaban pidana yang bisa diberikan kepada organisasi. Sehingga
sangat penting untuk bisa mengambil kelebihan dari masing-masing doktrin untuk
bisa memaksimalkan kemampuan hukum pidana untuk meminta
pertanggungjawaban kepada suatu organisasi yang melakukan tindak pidana.

5) Ajaran Gabungan

Dari beberapa doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi sebagaimana


yang dijelaskan di atas, Sutan Remy Sjahdeini menjelaskan ajaran gabungan
dalam pembebanan pertanggungjawaban pidana bagi korporasi. Beliau
menjelaskan 10 (sepuluh) unsur-unsur yang harus dipenuhi, yaitu:233
a) Perbuatan tersebut merupakan suatu tindak pidana, baik omisi ataupun
komisi.
b) Actus reus bisa dilakukan atau diperintahkan oleh personel pengendali
(directing mind atau controlling mind) korporasi.
c) Mens rea ditarik dari mens rea personel pengendali.
d) Memberikan manfaat bagi korporasi.
e) Tindak pidana terjadi karena memanfaatkan keberadaan, fasilitas atau
biaya korporasi.
f) Perbuatan tersebut adalah intra vires (within powers), dilakukan dalam
rangka maksud dan tujuan korporasi.
g) Tindak pidana yang dilakukan oleh personel pengendali korporasi
adalah dalam rangka tugas dan wewenang dalam jabatan personel
pengendali di dalam korporasi.

232
Rick Sarre (1), op., cit., hlm. 86.
233
Sutan Remy Sjahdeini (2), op., cit., hlm. 197-216.

Universitas Indonesia
57

h) Apabila actus reus tidak dilakukan langsung oleh personel pengendali


korporasi, maka perbuatan tersebut harus atas perintah, atau pemberian
kuasa atau disetujui oleh personel pengendali korporasi, atau
persetujuan dianggap diberikan apabila personel pengendali tidak
melakukan pencegahan atau tidak melarang dilakukannya tindak pidana
atau tidak mengambil tindakan yang cukup ketika tindak pidana
tersebut terjadi,
i) Tidak ada alasan pembenar dan pemaaf dari terjadinya tindak pidana
tersebut.
j) Actus reus dan mens rea tidak harus ada pada satu orang tetapi bisa
berada pada beberapa orang yang ada di dalam korporasi.

2. Kerangka Konseptual
Untuk menunjang kerangka teori sebagaimana telah dikemukakan di atas,
maka dalam penelitian ini diberikan penjabaran mengenai beberapa konsep yang
sering digunakan, antara lain:

a. Subjek Hukum
Subjek hukum adalah pengemban hak dan/atau kewajiban, dimana
kepadanya hukum berlaku. 234 Meskipun terdapat cukup banyak perdebatan
berkaitan dengan makna subjek hukum ini, namun pengertian tersebut diatas
merupakan pendeskripsian yang paling dominan diterima oleh banyak pemikir
hukum. Dalam kebanyakan literatur, istilah orang/persona (person) dipergunakan
untuk merujuk kepada pengemban hak dan kewajiban hukum, mengidentifikasi
pihak yang kepadanya hukum dapat diterapkan, 235 sehingga tulisan ini akan
menggunakan secara bergantian istilah subjek hukum dengan person.
Tulisan ini juga akan mengadopsi pemikiran Kelsen yang membagi person
kepada dua kelompok, yaitu natural person dan juristic person.236 Juristic person
meskipun dalam beberapa literatur dapat dipersamakan dengan legal person,
namun dalam khasanah hukum Indonesia, pengertian legal person akan bermakna

234
Borkowski, op., cit., hlm. 84.
235
Ngaire Naffine (2), Legal Theory Today, Law’s Meaning of Life: Philosophy, Religion,
Darwin and the Legal Person, (Portland: Hart Publishing, 2009), hlm. 1.
236
Kelsen (2), op.cit., hlm. 171.

Universitas Indonesia
58

berbeda. Secara umum dalam hukum Indonesia legal person diterjemahkan


sebagai badan hukum, yang untuk mendapatkan status badan hukum ini haruslah
melalui beberapa proses administrasi kepada negara.237 Di lain pihak, pengertian
juristic person yang dipergunakan dalam konteks tulisan ini adalah semua subjek
hukum bukan natural person, baik yang berstatus badan hukum ataupun tidak
berbadan hukum ataupun subjek hukum lain yang diakui dapat menjadi
pengemban hak dan/atau kewajiban hukum.

b. Korporasi

Black’s Law Dictionary menjelaskan pengertian korporasi sebagai:


“Corporation, An Entity (Usually a business) having authority under law
to act as a single person distinct from the shareholders who own it and
having rights to issue stock and exist indefinitely, a group or succession of
persons established in accordance with legal rules into a legal or juristic
person that has a legal personality distinct from the natural persons who
make it up, exists indefinitly apart from them, and has the legal powers
that its constitution gives it.”238
(Korporasi, suatu entitas (biasanya suatu badan usaha) memiliki otoritas
berdasarkan hukum untuk bertindak sebagai satu orang yang terpisah dari
para pemegang saham yang memilikinya dan memiliki hak-hak untuk
menerbitkan saham dan keberadaannya tanpa batas, sebuah kelompok atau
suksesi dari orang-orang yang memiliki kepribadian hukum yang berbeda
dari orang natural yang menciptakannya, terlepas dari mereka secara tidak
terbatas, dan memiliki kekuatan hukum yang diberikan oleh
konstitusinya.)
Joel Bakan menjelaskan bahwa korporasi adalah suatu institusi hukum,
yang keberadaan dan kapasitasnya untuk beroperasi bergantung kepada hukum
dan ketentuan-ketentuan yang mengatur tindakan dari orang yang ada di
dalamnya. 239 Selanjutnya Post, Preston dan Sachs, mengemukakan bahwa
korporasi adalah suatu organisasi yang terlibat dalam memobilisasi sumber daya
untuk kegunaan yang produktif dalam rangka untuk menciptakan kekayaan dan

237
Sebagaimana misalnya diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas, Indonesia,
Undang-Undang Perseroan Terbatas, UU No. 40 Tahun 2007, LN. No. 106 Tahun 2007.
238
Bryan A. Garner (editor in Chief), Black’s Law Dictionary, ninth Edition, (USA:
Thomson Reuter, 2009), hlm. 391.
239
Joel Balkan, The Corporation, (New York: Free Press, 2004), hlm. 1.

Universitas Indonesia
59

manfaat lainnya bagi para anggota dan pemangku kepentingan organisasi


tersebut.”240

Dari berbagai konsep korporasi yang dikemukakan di atas dapat ditarik


kesimpulan bahwa korporasi merupakan badan hukum yang keberadaan dan
kapasitasnya tergantung pada hukum dan mengatur perilaku anggotanya dengan
tujuan tertentu. Korporasi memperoleh status sebagai badan hukum setelah
melalui proses inkorporasi. Proses inkorporasi inilah yang membedakan status
korporasi dengan suatu badan yang tidak melalui proses inkorporasi atau disebut
juga unincorporated body.

F. Metode Penelitian

1. Metode Pendekatan

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif analitis. Dengan


deskriptif analitis dimaksudkan untuk memberikan suatu analisis tentang
permasalahan hukum korporasi sebagai subjek hukum bukan manusia sebagai
dalam rezim hukum pidana Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode yuridis
normatif, yaitu dalam mencari data yang digunakan berpegang pada segi-segi
yuridis dengan menganalisis bahan-bahan hukum.241 Di samping itu, penelitian ini
dalam mengumpulkan data juga didukung dengan pendekatan wawancara
mendalam (in-depth interview)242 dengan ahli hukum dan aparat penegak hukum
terutama hakim.

240
J.E. Post, L.E Preston, dan S. Sachs, Redefinig the Corporation (Standford: Standford
University Press, 2002), hlm. 17.
241
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat. 1986. Jakarta: CV. Rajawali, hal 15. Menurut Soetandyo metode penelitian normatif ini
sama dengan penelitian yang di dalam literatur internasional disebut penelitian doktrinal. Lihat
Soetandyo Wignjosoebroto, “Ragam-ragam Penelitian Hukum”, dalam Metode Penelitian Hukum,
Sulistyowati Irianto dan Shidarta (editor), (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), hlm.
122. Sedangkan Philip Hadjon menyebut penelitian normative dengan penelitian dogmatik, lihat
Bernard Arief Sidharta, “Penelitian Hukum Normatif: Analisis Penelitian Filosofikal dan
Dogmatikal”, dalam Metode Penelitian Hukum, Sulistyowati Irianto dan Shidarta (editor),
(Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), hlm. 143.
242
In-depth interview merupakan wawancara yang memberikan kebebasan subjek interview
untuk mengarahkan jalannya pembicaraan. Interview mendalam ini biasanya digunakan dalam

Universitas Indonesia
60

Adapun pendekatan yang digunakan untuk menjawab permasalahan dalam


disertasi ini antara lain pendekatan peraturan perundang-undangan, yaitu
pendekatan penelitian yang menggunakan peraturan perundang-undangan yang
terdiri dari legislasi dan regulasi baik di Indonesia maupun di negara lain. 243
Scholten dalam Algemeen Deel membedakan interpretasi undang-undang
berdasarkan pemakaian bahasa, interpretasi sejarah undang-undang dan
sistematikal. 244 Di samping menggunakan pendekatan peraturan perundang-
undangan, penelitian ini juga memakai pendekatan kasus (case approach).
Pendekatan kasus ini diperlukan untuk melihat implementasi norma-norma dan
kaidah hukum dalam praktik nyata hukum yang terdapat dalam putusan
pengadilan atau yurisprudensi.245

Penelitian ini juga menggunakan pendekatan perbandingan hukum


(Comparative Approach).246 Dalam menerapkan penelitian perbandingan hukum
digunakan unsur- unsur sistem hukum sebagai titik tolak. Unsur-unsur sistem
hukum tersebut mencakup: struktur hukum yang meliputi lembaga-lembaga
hukum, substansi hukum yang mencakup perangkat kaedah hukum, dan budaya
hukum yang mencakup nilai-nilai yang dianut. 247 Penelitian ini secara spesifik

observasi partisipan (participant observation), yang digunakan baik oleh pengamat partisipan
maupun peneliti yang tidak menggunakan cover terhadap apa yang sedang dipelajari. Lihat Earl
Babbie, The Practice of Social Research, (New York: Wadsworth Publishing Company, 1998),
hlm. 282. Kelebihan dari metode wawancara adalah tingkat fleksibelitas yang tinggi, tingkat
respon yang baik dari pewawancara ataupun pihak yang diwawancarai, tingkah laku yang tidak
verbal dan spontanitas yang bisa diperhatikan dari subjek wawancara, kelengkapan semua bahan
yang ingin diteliti dan ketahui, serta pewawancara bisa mengontrol pertanyaan yang diajukan
berdasarkan alur perkembangan pembicaraan. Lihat Kenneth D. Bailey, Methods of Social
Research, Second Edition, (New York: The Free Press, 1982), hlm. 182-183.
243
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cetakan ke-6, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2010), hlm. 97.
244
Scholten, dikutip dari Visser ‘t Hooft, Filosofie van de Rechtswetenschap,
diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, (Bandung, Laboratorium Hukum Fakultas Hukum
Universitas Katolik Parahyangan, 2009), hlm. 96.
245 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Surabaya:

Bayumedia Publishing, 2005), hlm. 321.


246
Ibid., hlm. 313. Lihat juga Michael Salter dan Julie Mason, Writing Law Dissertations:
An Introduction and Guide to the Conduct of Legal Research, (London: Pearson Education
Limited, 2007), hlm. 190-191. Dan Marzuki, op., cit., hlm. 132-136.
247
Nilai-nilai yang dianut bisa juga berasal dari sejarah suatu tempat atau negara. Ketika
yang diteliti adalah kejadian-kejadian sejarah untuk membuat penjelasan yang valid pada waktu
dan tempat tertentu, baik dengan melakukan perbandingan langsung terhadap kejadian sejarah
yang lain, teori, atau perbandingan dengan kondisi pada saat ini maka sebenarnya bisa disebut
pendekatan historical comparative yang menurut beberapa ahli merupakan pendekatan tersendiri.
Lihat Larry W. Kreuger & Lawrence Neuman, Social Work Research Methods with Research

Universitas Indonesia
61

menggunakan micro-comparative study. Pada micro-comparative study, objek


penelitian berada pada micro level dari sistem hukum, misalnya peraturan
perundang-undangan di bidang tertentu saja, atau implementasi konsep tertentu
248
pada putusan pengadilan. Pendekatan ini digunakan untuk menjawab
pertanyaan ke dua dan ke tiga dari permasalahan penelitian, yaitu mencari
pemaknaan dan implementasi pertanggungjawaban pidana korporasi. Peneliti
mencoba untuk membandingkan pemaknaan korporasi dan implementasi
pertanggungjawaban pidana korporasi di Indonesia dengan Amerika Serikat dan
Inggris sebagai salah satu negara common law yang menerima korporasi sebagai
subjek hukum pidana, di samping itu, peneliti juga akan melakukan perbandingan
dengan Belanda sebagai negara civil law yang karena faktor historis merupakan
rujukan utama hukum pidana di Indonesia.

2. Jenis Data
Metode analisis yang digunakan adalah metode analisis kualitatif. Analisis
kualitatif maksudya adalah penelitian yang non-numerik (nonnumerical
examination) dan penginterpretasian terhadap suatu observasi, dengan tujuan
untuk menemukan makna dan pola yang mendasari suatu hubungan.249 Data yang
digunakan adalah data yang mengarah pada kajian-kajian yang bersifat teoritis
dalam bentuk asas, konsepsi, pandangan, doktrin hukum, serta kaedah hukum
yang berkaitan dengan tema korporasi, badan hukum dan badan usaha sebagai
subjek dalam rezim hukum pidana, yang kemudian data ini dianalisis secara
kualitatif.

Navigator (Boston: Person Allyn & Bacon, 2006), hlm. 418-453. Menurut Harkristuti
Harkrisnowo, ada beberapa faktor yang tidak boleh diabaikan dalam melakukan comparative
study, diantaranya adalah: a) sistem hukum dan sistem peradilan yang berbeda, b) jumlah tindak
pidana yang dilaporkan dan yang dicatat oleh kepolisian, c) perbedaan data yang dicatat dalam
laporan statistic, d) unsur-unsur tindak pidana yang berbeda antara Negara, e) akurasi pencatatan
atau perekaman data, f) penggunaan istilah yang sama dengan makna yang berbeda. Lihat
Harkristuti Harkrisnowo, “Penelitian Hukum Pidana dan Sistem Peradilan Pidana,” dalam Jufrina
Rizal dan Suhariyono AR (editor), Demi Keadilan: Ontologi Hukum Pidana dan Sistem Peradilan
Pidana - Enam Dasawarsa Harkristuti Harkrisnowo, (Jakarta: Pustaka Kemang, 2016), hlm. 541-
542.
248
Jaakko Husa, A New Introduction to Comparative Law, (Oxford: Hart Publishing, 2015),
hlm. 101.
249
Earl Babbie, op. cit., hlm. G5.

Universitas Indonesia
62

Kajian dilakukan dengan melakukan analisis terdapat data sekunder yang


meliputi:

1. Bahan hukum primer merupakan data yang berupa peraturan perundang-


undangan yang menjadi sumber hukum pidana dan undang-undang yang
menjadikan korporasi, badan hukum dan badan usaha sebagai subjek
hukum pidana. Di antaranya adalah Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, Undang-Undang tentang Lingkungan Hidup, Undang-Undang
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang tentang
Pecegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, undang-
undang lain yang mengandung ketentuan tentang pertanggungjawaban
pidana bagi korporasi. Di samping itu juga akan dianalisis beberapa kasus
hukum yang melibatkan korporasi atau organisasi sebagai subjek tindak
pidana.
2. Bahan hukum sekunder merupakan data yang erat hubungannya dan
menunjang data hukum primer. Bahan hukum sekunder adalah hasil
kegiatan teoritis-akademis yang bertujuan untuk membuat sistem hukum
positif menjadi bersifat rasional serta pasti.250 Bahan hukum sekunder ini
umumnya terdiri atas karya akademisi baik yang bersifat diskriptif ataupun
komentar yang memperkaya pengetahuan tentang hukum positif yang
berlaku (ius constitutum) dan/atau yang seharusnya berlaku demi
terpenuhinya rasa keadilan (ius constituendum).251 Adapun bahan hukum
sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi tulisan para ahli,
hasil penelitian ataupun bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan
korporasi, badan hukum dan badan usaha sebagai subjek hukum pidana.
Bentuk bahan hukum sekunder ini antara lain buku, jurnal ataupun artikel.
3. Bahan hukum tersier, yaitu data yang memberikan petunjuk terhadap data
hukum primer dan sekunder, yang lebih dikenal dengan bahan acuan
bidang hukum, yang meliputi kamus hukum, kamus Bahasa Indonesia,

250
Soetandyo Wignjosoebroto, op., cit., hlm. 128.
251
Ibid., 127.

Universitas Indonesia
63

Kamus Bahasa Inggris, Kamus Bahasa Belanda, ensiklopedia dan lain-


lain.252
Di samping bahan hukum tertulis, penelitian ini juga ditunjang dengan
data yang berasal dari wawancara yang diperoleh dari ahli hukum dan aparat
penegak hukum seperti hakim, untuk menunjang pemahaman terhadap topik yang
ingin diteliti dan untuk mengetahui persepsi dari praktisi hukum berkaitan dengan
tema korporasi, badan hukum dan badan usaha sebagai subjek dalam rezim
hukum pidana di Indonesia.

G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan disertasi ini terdiri dari lima bab, sebagai berikut :

Bab I menjelaskan latar belakang permasalahan yang menggambarkan pentingnya


pembahasan tentang korporasi subjek hukum bukan manusia sebagai subjek
dalam rezim hukum pidana Indonesia. Bab ini juga menjelaskan pokok
permasalahan yang dikaji, tujuan dan manfaat yang diharapkan dari penulisan ini,
kerangka teoritis yang terdiri dari kerangka teori dan kerangka konsep. Bab ini
juga menjelaskan metodologi yang digunakan dalam melakukan penelitian dan
diakhiri dengan sistematika penulisan.

Bab II membahas sejarah dan perkembangan tentang juristic person secara


umum, bagaimana pergumulan pemikiran ahli berkaitan dengan penetapan subjek
hukum baik natural person maupun juristic person, dan kemudian bab ini juga
membahas bagaimana latar belakang penerimaan subjek hukum bukan manusia
dalam ranah hukum pidana secara umum dan diikuti dengan pembahasan
mengenai penerimaan subjek hukum bukan manusia.

Bab III dari penelitian ini akan membahas tentang pemakmanaan konsep
korporasi di Indonesia dan membandingkannya dengan negara lain, mengkaji
entitas apa sajakah yang mungkin termasuk kedalam pengertian korporasi, Bab ini
juga akan membahas bagaimana implementasi pemaknaan korporasi sebagai
subjek hukum di Indonesia dan negera lain.

252
Johnny Ibrahim, op., cit., hlm. 296.

Universitas Indonesia
64

Bab IV berisikan analisis mengenai implementasi pertanggungjawaban pidana


korporasi dalam kasus-kasus hukum dan peraturan perundang-undangan baik di
Indonesia maupun di negara lain. Dari analisis yang dilakukan kemudian pada
bagian akhir dikemukakan prospek mengenai pengaturan koporasi di masa yang
akan datang.

Bab V berisikan kesimpulan dari hasil penelitian yang dilakukan serta saran yang
dapat diberikan berkaitan dengan hasil penelitian yang diperoleh.

Universitas Indonesia
65

BAB II

SUBJEK HUKUM BUKAN MANUSIA: SEJARAH DAN


PERKEMBANGAN

Bab ini akan mendiskusikan perkembangan dan sejarah subjek hukum


bukan manusia dalam hukum secara umum dan dalam hukum pidana. Pada
bagian awal akan dianalisis kedudukan manusia sebagai subjek hukum yang
yang dapat menjadi pengemban hak dan/atau kewajiban hukum yang diterima
secara umum. Selanjutnya akan dilakukan pembahasan tetang entitas bukan
manusia yang dapat menjadi subjek hukum seperti janin, hewan, intelligent
agent dan korporasi sebagai subjek hukum bukan manusia. Kemudian akan
dibahas pandangan para ahli mengenai kepribadian hukum korporasi dan
kedudukan korporasi dalam struktur sosial. Pada subbab selanjutnya akan
dilakukan pembahasan mengenai badan hukum menurut hukum Indonesia,
kemudian kategorisasi korporasi dan kedudukan negara sebagai subjek
hukum secara umum. Pada bagian berikutnya akan dilakukan analisis
berkaitan dengan subjek hukum pidana sebagai normaressaat dari suatu
ketentuan hukum dan kapasitas yang diperlukan untuk dapat menjadi subjek
hukum pidana.

A. Subjek Hukum dalam Pembahasan Teori

1. Manusia sebagai Subjek Hukum yang dapat Menjadi Pengemban


Hak dan/atau Kewajiban Hukum

Dalam hukum ada perbedaan yang mendasar antara penyebutan objek


atau benda (things)1 dan subjek atau orang (person). Pembahasan mengenai

1
Objek secara umum dipandang sebagai properti, segala sesuatu yang bermanfaat,
dapat dimiliki dan dikuasai oleh suatu subjek hukum. Lihat Mochtar Kusumaatmdja dan

Universitas Indonesia
66

objek dan subjek merupakan topik yang sangat vital di hampir semua teori
hukum;2 karena konsep kepribadian (personhood) tidak hanya memengaruhi
interaksi manusia dengan dunianya, tetapi konsep ini juga sangat penting
untuk menentukan hak, kewajiban dan perlindungan yang diberikan hukum
kepada suatu objek atau subjek hukum.3

Secara umum dapat dikatakan bahwa hukum diciptakan dan


diberlakukan untuk semua substansi yang masuk dalam pengertian subjek
hukum; dan aturan-aturan hukum pada dasarnya adalah hubungan antara
subjek hukum yang satu dengan subjek hukum yang lainnya.4 Subjek hukum
yang biasanya disebut sebagai orang, diterjemahkan dari terminologi person.
Menurut sejarah pada awalnya bermakna topeng (mask) yang biasa dipakai
oleh aktor Yunani dan Romawi di atas panggung pertunjukan.5 Seiring
dengan berjalannya waktu, person bermakna orang yang memakai topeng
tersebut atau para aktornya dengan karakter yang melekat padanya dalam
pertunjukan tersebut. Istilah person pada akhirnya digunakan dalam makna
hukum sebagai sesuatu yang dapat menyandang hak dan kewajiban yang
dibedakan karena berbagai keadaan, sebagaimana para aktor dengan
karakternya yang berbeda-beda. John Austin menjelaskan adanya
transformasi dari makna peristilahan person sampai akhirnya digunakan oleh
hukum untuk merujuk pada subjek yang kepadanya hukum berlaku:

Signified originally, a mask worn by a player, to mark the character


he bore in the piece: and is transferred by a metaphor to the character
itself. By a further metaphor it is transferred from dramatic character

Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum: Suatu Pengenalan Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu
Hukum, Buku I, Cetakan ke 3, (Bandung: PT. Alumni, 2013), hlm. 84.
2
James Boyle, “The Postmodern Subject in Legal Theory,” University of Colorado
Law Review, Vol. 62, 1991, 489-524, hlm. 500.
3
Brendan (Bo) F. Pons, “The Law and Philosophy of Personhood: Where Should
South Dakota Abortion Law Go From Here?” South Dakota Law Review, 2013, hlm. 121.
Perbedaan mengenai konsep orang sebagai subjek dan benda sebagai objek pertama kali
dielaborasi secara jelas pada Kodifikasi Hukum Romawi. Lihat Ngaire Naffine, Legal Theory
Today, Law’s Meaning of Life: Philosophy, Religion, Darwin and the Legal Person
(Portland: Hart Publishing, 2009), hlm. 48.
4
John Finnis, 'The Priority of Person', dalam Oxford Essays in Jurisprudence (Forth
Series), ed. by Jeremy Horder (Oxford, UK: Oxford University Press, 2002), hlm. 12.
5
PW Duff, Personality in Roman Private Law (Cambridge, Cambridge University
Press, 1938), hlm. 3.

Universitas Indonesia
67

to legal condition. For men as subject of law are distinguished by


conditions, just as players by the characters they present.6
(ditandai pada awalnya, sebagai topeng yang dipakai oleh pemain
teater, untuk menandai karakter yang diperankannya, dan
bertransformasi menjadi metafora kepada karakter itu sendiri, dengan
metafora yang lebih lanjut kemudian istilah itu ditransfer dari karakter
pada suatu drama menjadi kondisi hukum. Bagi manusia sebagai
subjek hukum dibedakan dalam beberapa kondisi, sama dengan para
pemain drama dengan karakter yang mereka tunjukkan.)
Hampir semua literatur hukum, baik literatur hukum Indonesia
maupun literatur hukum barat, mengartikan subjek hukum (subjectum juris,
legal subject, rechtpersoonlikheid, person) sebagai penyandang hak dan/atau
kewajiban hukum.7 Subjek hukum adalah pemilik hak (right holder) dan pada
saat yang bersamaan juga adalah pemilik kewajiban (obligation holder).8
Suatu hak subjektif, tidak akan ada tanpa adanya kewajiban hukum yang
paralel dengan hak tersebut. Dengan kata lain, suatu hak itu ada hanya apabila
ada orang lain yang memiliki kewajiban yang harus dilakukan terhadap orang
tersebut.9 Untuk itulah, ketentuan hukum dibuat oleh negara untuk menjamin
bahwa hak natural dari setiap individu dapat dilindungi dengan merumuskan
kewajiban-kewajiban yang paralel dengan hak tersebut kepada orang lain
yang berkaitan.10

Dengan diberikannya hak dan kewajiban hukum kepada sesuatu,


artinya sudah memberikan personalitas hukum (legal personality,

6
John Austin, dalam R. Campbell (editor), 5th edition, Lectures on Jurisprudence
(London: John Murray, 1885), hlm. 164.
7
Mochtar Kusumaatmdja dan Arief Sidharta, op., cit., hlm. 80; Soebijono
Tjitrowinoto, op., cit., hlm. 17; Riduan Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum
Perdata, Edisi ketiga, (Bandung: PT. Alumni, 2006), hlm. 41. Bryant Smith, “Legal
Personality,” Yale Law Journal, Vol. 37, No. 3, January 1928, 283-299, hlm. 283. (a person
is a “capable of rights and duties”), Maitland juga menjelaskan subjek hukum sebagai “a
right and duty bearing unit”, lihat Frederic William Maitland (2), H.A.L. Fisher (editor). The
Collective Papers of Frederic William Maitland, (Cambridge, UK: The University Press,
1911), Michoud menyatakan: “for legal science, the notion of person... signifies simply a
subject of rights –duties”, dikutip dari John Dewey, op., cit., hlm. 659.
8
Hans Kelsen (2), op., cit., hlm. 116.
9
Ibid., hlm. 118. Meskipun menurut Satjipto Rahardjo, pengertian hak sebagaimana
tersebut diatas hanyalah merupakan pengertian hak dalam arti sempit, karena secara luas hak
juga bisa berupa kemerdekaan, kekuasaan dan imunitas yang tidak ada kaitannya dengan
kewajiban orang lain terhadap pemilik hak. Lihat Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cetakan ke
VIII, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2014), hlm. 56.
10
Hans Kelsen (2), op., cit., hlm. 119.

Universitas Indonesia
68

rechpersonlijkheid) kepada substansi tersebut.11 Tanpa adanya personalitas


hukum, suatu substansi tidak akan dianggap ada dalam hukum. Sehingga, dia
tidak dapat melakukan suatu perbuatan yang diakui oleh hukum ataupun
bertanggung jawab secara pribadi di hadapan hukum.12

Dalam pengelaborasian pengertian subjek hukum sebagai pengemban


hak dan kewajiban, ada beberapa ahli seperti misalnya Subekti yang
berpandangan bahwa suatu entitas sudah dapat disebut sebagai subjek hukum
ketika ia adalah pembawa hak tanpa perlu memiliki kewajiban hukum yang
melekat padanya.13 Subekti mencontohkan misalnya janin yang berada di
dalam kandungan seorang wanita, sudah memiliki hak waris atas kekayaan
kedua orang tuanya. Sehingga hak yang dimiliki oleh janin dalam hal ini
membuatnya layak untuk menyandang status sebagai subjek hukum. Hak
janin di dalam kandungan juga dijamin dalam Pasal 2 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPer) sepanjang janin tersebut dilahirkan dalam keadaan
hidup.

Beberapa ahli menjelaskan subjek hukum sebagai penyandang hak


dan kewajiban hukum, mampu memiliki properti, dapat melakukan perbuatan
hukum, dapat dituntut dan menuntut di pengadilan.14 Dalam pemahaman yang
kedua, suatu entitas dapat disebut sebagai subjek hukum tidak cukup hanya
dengan memiliki hak saja tetapi juga memiliki kewajiban-kewajiban yang
harus dilakukan dan larangan yang harus ditinggalkan serta mampu ikut serta

11
Bryant Smith, op., cit., hlm. 283.
12
Jan Klabbers, "Legal Personality: The Concept of Legal Personality," Ius Gentium
11, 2005, 35-79, hlm. 37.
13
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan XXVIII, (Jakarta: Intermasa,
1996), hlm. 19. Padangan Subekti ini juga banyak dianut oleh para pemikir hukum seperti
misalnya P.N.H Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Penerbit
Djambatan, 1999), hlm. 22. David Kader, “Law of Tortious Prenatal Death Since Roe v.
Wade,” Missouri Law Review, 1980, Vol 45, Issue 4, hlm. 640. Emma A. Maddux,
“Comment: Time To Stand: Exploring The Past, Present, And Future Of Nonhuman Animal
Standing,” Wake Forest Law Review, No. 47, Winter 2012, hlm. 1246. Sidharta juga
berpandangan bahwa suatu substansi akan sudah dianggap sebagai subjek hukum cukup
dengan dia sebagai penerima hak saja. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Sidharta,
Staff Pengajar Universitas Bina Nusantara, pada hari Senin, 1 Agustus 2016, di Universitas
Bina Nusantara, Jakarta.
14
Hans Kelsen (2), op., cit., hlm.129. Menurut Kelsen, kemampuan suatu entitas
untuk mengajukan klaim atas pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain atas hak yang
dimilikinya, merupakan konsekuensi dari kepemilikan hak dan kewajiban.

Universitas Indonesia
69

secara aktif di dalam perhubungan hukum. Penambahan kriteria ‘mampu


memiliki properti, dapat melakukan perbuatan hukum, dapat dituntut dan
menuntut di pengadilan’ akan membawa implikasi yang berbeda pada
pengidentifikasian subjek hukum; karena, pada pengertian yang kedua ini,
ada kualifikasi khusus yang harus dipenuhi oleh suatu substansi untuk dapat
disebut sebagai subjek hukum. Tidak semua orang memenuhi syarat untuk
dapat berpartisipasi di dalam hukum dan masyarakat. Sebagian orang bisa
dikecualikan dari hukum atau hanya memiliki akses yang sangat terbatas
terhadap hukum.15 Misalnya, orang yang kurang waras, mereka dapat
dikatakan subjek hukum dalam pengertian yang pertama karena memiliki
hak-hak hukum yang melekat pada dirinya, contohnya, hak untuk dilindungi
dan mendapatkan perlakuan yang sepantasnya. Namun, apabila menggunakan
pengertian yang kedua, dengan penambahan kriteria ‘dapat memiliki properti,
dapat melakukan hubungan hukum, dituntut dan menuntut di pengadilan’
maka orang yang kurang waras dalam hal ini tidak termasuk dalam pengertian
subjek hukum, tetapi dikatakan sebagai objek perlindungan hukum.

Secara garis besar, segala entitas dalam pandangan hukum dapat


dibagi menjadi dua bagian, yaitu person dan non-person. Person dapat dibagi
lagi menjadi manusia (human) dan bukan manusia (non-human). Manusia
adalah orang yang natural (natural person) sebagaimana Tuhan menciptakan
manusia, sedangkan person yang bukan manusia (artificial atau juridical
person) adalah ciptaan dan buatan hukum manusia untuk kepentingan
masyarakat dan pemerintahan;16 misalnya perkumpulan (collective) yang
diakui oleh hukum sebagai person, seperti misalnya perseroan terbatas,
koperasi, yayasan, badan hukum publik, bisa juga misalnya kapal yang
memperoleh personalitas hukum untuk kepentingan hukum tertentu.17

15
Esa Paasivirta, “The European Union: From an Aggregate of States to a Legal
Person,” Hofstra Law and Policy Symposium, Vol. 37, 2, 1997, hlm. 37.
16
Charles I. Lugosi, “Conforming to the Rule of Law: When Person and Human
Being Finally Mean the Same Thing in Fourteenth Amendment Jurisprudence,” Issues in
Law and Medicine, No. 22, 119-303, hlm. 175.
17
Menurut Smith, kapal memperolah personalitas dari kenyataan bahwa dia mengairi
lautan yang ada pada jurisdiksi yang berbeda. Lihat Bryant Smith, op., cit., hlm. 288.

Universitas Indonesia
70

Adapun yang bukan person dapat dibagi lagi menjadi dua bagian,
yaitu manusia, seperti misalnya budak pada zaman dahulu dianggap tidak
memiliki kedudukan dalam hukum, tidak dapat melakukan perbuatan hukum
dan hak-haknya tidak diakui menurut hukum, serta orang yang kurang waras
atau gila, juga merupakan contoh orang yang memiliki fisik tetapi dalam
hukum dianggap tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum sehingga
dianggap tidak memiliki hak dan kewajiban dalam hukum. Sedangkan bukan
subjek hukum yang bukan manusia adalah kolektif yang tidak memiliki
kepribadian hukum, seperti misalnya persekutuan perdata, persekutuan firma,
perkumpulan dan lain sebagainya, serta makhluk hidup lainnya seperti
binatang, tumbuhan dan seterusnya. Apabila digambarkan dalam suatu skema
maka secara garis besar dapat digambarkan sebagai berikut:18

Entitas
(Entity)

Person Non-person
(Subjek Hukum) (Objek hukum)

Manusia Bukan Manusia


Manusia Bukan Manusia
(human- (human- (Non-human)
physical) (Non-human)
physical)

badan hukum, Contohnya budak pada Yaitu semua yang


contohnya Perseroan zaman dahulu, dianggap dapat dikategorikan
Terbatas, negara, tidak memiliki hak dalam sebagai objek
koperasi, yayasan dll. hukum termasuk collective
yang tidak berbadan
hukum, misalnya
persekutuan perdata,
persekutuan firma,
binatang, tumbuhan
dll.

18
Bagan ini dimodifikasi dari pembagian person dalam arti luas sebagaimana yang
dikemukakan oleh Jethro W Brown dalam tulisannya yang berjudul “Personality of the
Corporation and the State” yang diterbitkan dalam The Law Quarterly Review tahun 1905.
Brown, W. Jethro, “Personality of the Corporation and the State,” Law Quarterly Review, 21,
No. 365 (1905), hlm. 376. Dicetak ulang pada Journal of Institutional Economics, Vol. 4,
Issue 2, August 2008, hlm. 255-273.

Universitas Indonesia
71

Entitas merupakan suatu wujud;19 atau suatu benda dengan


keberadaan yang mandiri;20 atau sesuatu yang keberadaannya mandiri dan
berbeda dari keberadaan benda yang lain.21 Menurut Kelsen, suatu entitas
terdiri dari substansi dengan segala kualitas yang dimiliki oleh substansi
tersebut; begitu juga dengan legal person, merupakan entitas yang sama dan
satu kesatuan dengan segala kualitas termasuk kewajiban dan hak hukum
yang disandangnya.22 John Chipman Gray meneliti bahwa "dalam buku-buku
hukum, sebagaimana juga dalam buku lain, dan dalam pembicaraan sehari-
hari, ‘orang’ (person) sering digunakan sebagai kata ganti untuk manusia
(human), namun makna teknis ‘orang’ dalam hukum adalah subjek dari hak
dan kewajiban hukum.” Dan kata ‘orang’ dalam hukum bisa mengecualikan
manusia dan memasukkan bukan manusia.23

Konsep mengenai orang merupakan personifikasi dari suatu norma-


norma hukum yang kompleks, sehingga orang, adalah suatu elemen yang
terdiri dari kesatuan norma plural yang dimiliki oleh orang tersebut. 24 Hak
dan kewajiban yang ada pada person dimanifestasikan dalam perilakunya.
Manusia dewasa dengan semua kualitas yang ada pada dirinya seringkali
dijadikan sebagai patokan dalam menentukan apakah suatu entitas bisa
disebut sebagai subjek hukum atau tidak.25 Sedangkan budak atau orang yang
tidak waras, dipandang sebagai bukan orang dalam hukum atau tidak
memiliki kepribadian hukum yang berarti bahwa tidak ada norma hukum
pada orang tersebut yang membuat kualitas dari segala perilakunya menjadi
hak dan kewajiban.26

19
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kamus
versi online/daring (dalam jaringan), http://kbbi.web.id.
20
English Oxford Living Dictionary, versi online, dapat diakses secara online pada
https://en.oxforddictionaries.com
21
Cambridge Dictionary, versi online, dapat diakses secara online pada
http://dictionary.cambridge.org
22
Hans Kelsen (1), op., cit., hlm. 93.
23
Harvard Law Review’s Notes, “What We Talk about When We Talk about Persons:
The Language of a Legal Fiction,” Harvard Law Review, Vol. 114, No. 6, 2001, 1745-178,
hlm. 1745.
24
Hans Kelsen (1), op., cit., hlm. 95.
25
Alexis Dyschkant, “Legal Personhood”, University of Illinois Law Review, No. 5,
2015, hlm. 2079.
26
Hans Kelsen (1), op., cit., hlm. 95.

Universitas Indonesia
72

Jenis-jenis makhluk yang dimasukkan sebagai ‘legal person’


mengalami perubahan dan berkembang seiring dengan perkembangan cara
berfikir tentang sifat dasar manusia (human nature) dan nilai-nilai
kemanusiaan (human value).27 Pada hukum primitif, binatang, tumbuhan,
bahkan benda-benda mati dianggap dapat melakukan suatu delik.28 Pada
hukum Romawi kuno, variasi kapasitas hukum membedakan antara penduduk
(civis), yang dapat melakukan perbuatan hukumnya sendiri (sui generis), atau
hanya sebagai penduduk biasa yang berada di bawah kontrol orang lain
(alieni juris).29 Di Amerika (pada berbagai situasi dan waktu), wanita, orang
negro (African), penduduk asli Amerika (Indian), telah dikecualikan dari
makna awal “We the people” dalam konstitusinya.30 Sejarah hukum di
Amerika tentang ‘orang’ telah menjelaskan adanya human non-persons, non-
human persons, dan kasus-kasus yang diperbatasan.31

Adanya status human non-persons dengan fakta mengenai


perbudakan menimbulkan masalah mendasar tentang teori personalitas dalam
hukum. Hakim yang menganut versi dangkal dari kepribadian
membandingkan status hukum budak dengan binatang atau
mengkategorikannya sebagai jenis kepemilikan.32 Sejarah menununjukkan
bahwa penolakan umum tentang personalitas hukum budak jelas

27
Ngaire Naffine (2), op., cit., hlm. 12.
28
Hans Kelsen (1), op., cit., hlm. 91.
29
Esa Paasivirta, op., cit., hlm. 40.
30
Ibid.
31
Harvard Law Review’s Notes, op., cit., hlm. 1746. Misalnya dalam kasus Scott v.
Sandford (1857) Mahkamah Agung Amerika berpendapat bahwa ras Afrika yang diimpor
ataupun dilahirkan di Amerika Serikat (baik sudah merdeka ataupun belum) bukanlah warga
Negara Amerika, dan Congress tidak bisa menjadikan mereka warganegara. Hakim dalam
kasus ini berpendapat bahwa pada saat deklarasi kemerdekaan Amerika pada tahun 1776 dan
pada pembentukan konstitusi Amerika pada tahun 1789; dan opini publik pada saat itu adalah
bahwa negro dapat secara hukum dijadikan budak karena kedudukannya yang lebih rendah. 31
Konsekuensinya adalah hak khusus dan imunitas yang dijamin konstitusi kepada penduduk
Amerika tidak berlaku kepada para budak, seperti mereka tidak bisa mengajukan tuntutan di
pengadilan. Lihat Scott v. Sandford (60 U.S. 393 (1856)), dikutip dari Justia US Supreme
Court, https://supreme.justia.com/cases/federal/us/60/393/case.html, diakses 22 November
2014.
32
Harvard Law Review’s Notes, op., cit., hlm. 1747.

Universitas Indonesia
73

merefleksikan suatu pemahaman bahwa ada suatu perbedaan sigfikan antara


kemanusiaan dan kepribadian hukum.33

Demikian pula dalam hal penerimaan wanita sebagai ‘orang’ yang


baru diterima pada pertengahan abad ke sembilan belas. Sebelumnya,
menurut sejarah hukum Inggris, wanita yang telah menikah dalam banyak hal
tidak diberikan status hukum yang terpisah dari suaminya, misalnya dalam
membuat kotrak atau memiliki properti.34

John Dawson menjelaskan berdasarkan fakta sejarah bahwa terdapat


perbedaan status hukum dari manusia:

Children, married women, bunkrupts, lunatics, Jews and foreigners


have all been assigned a distict legal status within the history of the
common law, distinguishing their legal position from the norm of the
adult, male, solvent, sane, Christian citizen.35
(anak-anak, wanita yang sudah menikah, orang yang bangkrut, orang
gila, orang Yahudi dan orang asing mereka semua telah diberi status
hukum yang berbeda dalam sejarah common law, yang membedakan
posisi hukum mereka dari norma orang dewasa, laki-laki, orang yang
mampu membayar utang, waras, warga yang Kristen.)
Perkembangan kehidupan meletakkan dasar fondasi bagi hak asasi
manusia bahwa semua orang adalah sama berharganya dengan yang lain.
Manusia terlepas dari latar belakang gender, agama, suku ataupun warna
kulitnya adalah sama, memiliki hak asasi yang sama dan berhak untuk
diperlakukan sama di hadapan hukum. Manusia memang diciptakan berbeda,
ada laki-laki dan perempuan, tidaklah adil untuk memperlakukan mereka
secara berbeda, memberikan perlakuan yang istimewa bagi laki-laki dan
perlakuan yang tidak menguntungkan bagi perempuan adalah suatu perilaku
yang tidak sesuai dengan hukum alam. Manusia ada yang berkulit hitam, ada

33
See Jarman v. Patterson, 23 Ky. (7 TB. Mon.) 644, 645-46 (i828).
34
Sarudzayi M. Matambanadzo (1), “Embodying Vulnerability: A Feminist Theory of
the Person,” Duke Journal of Gender Law & Policy, 20, 2012, hlm. 50.
35
John Dawson, “The Changing Legal Status of Mentally Disabled People,” Journal
of Law and Medicine, 2, 1994, hlm. 41.

Universitas Indonesia
74

yang berkulit putih, dan tidaklah adil untuk menjadikan yang satu adalah
budak dan yang lainnya adalah tuan.36

Hukum mengakui hal ini secara universal dalam Universal


Declaration of Human Rigths (1948), pada Pasal 1 dijelaskan bahwa “semua
orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama”.
Bahkan dalam mengadili tersangka dan menghukum terpidanapun hukum
haruslah memperlakukan mereka sebagai subjek yang memiliki martabat
(human dignity) bukan sebagai objek dari prosedur hukum yang ada.
Sehingga untuk saat ini dapat dikatakan bahwa semua manusia atau natural
person adalah person di hadapan hukum tanpa terkecuali, sebagaimana Pasal
6 Universal Declaration of Human Rigths juga mempertegas hal ini:
“everyone has the right to recognition everywhere as a person before the
law.” (setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan pengakuan di mana pun
sebagai person dihadapan hukum.)

Pembahasan mengenai kepribadian hukum yang dilakukan oleh


banyak ahli memang memusatkan perhatiannya kepada manusia sebagai
subjek utama hukum. Namun perkembangan teknologi, kehidupan sosial
masyarakat dan kesadaran untuk melakukan pengolahan lingkungan dengan
bertanggung jawab dan berkelanjutan, memberikan pengaruh yang cukup
besar terhadap luasnya cakupan subjek hukum atau orang-orang yang dapat
berpartisipasi dalam hubungan hukum atau peristiwa hukum. Subjek hukum
tidak lagi hanya hak monopoli dari manusia dengan segala kapasitas yang
dimilikinya, tetapi hukum kemudian juga mengakomodasi subjek hukum lain
yang bukan manusia (non-human legal subject).

2. Entitas Bukan Manusia sebagai Subjek Hukum

Pembahasan tentang apa saja subjek hukum bukan manusia masih


merupakan perdebatan yang belum ada kesepakatan diantara para ahli hukum.
Sebagaimana Matambanadzo mengemukakan bahwa ada sebagian ahli
36
Patricia Smith, “Four Themes in Feminist Legal Theory”, dalam Martin P. Golding
dan William A. Edmundson (editor), Philosophy of Law and Legal Theory, (Malden,
Massachussets, USA), hlm. 93.

Universitas Indonesia
75

memperluas batasan subjek hukum sampai kepada fetus, jaringan tubuh,


binatang bahkan kepada benda mati. Ada juga ahli yang membatasi legal
personhood hanya kepada korporasi saja.37 Pada subbab berikut akan dibahas
entitas yang sering diperdebatkan mengenai statusnya sebagai subjek hukum,
yaitu: janin, hewan, intelligent agent dan korporasi.

a. Janin sebagai Subjek Hukum

Pembahasan janin sebagai subjek hukum biasanya sering


disandingkan dengan manusia yang sedang dalam keadaan koma yang hanya
bisa hidup dengan bantuan alat-alat medis. Karena mereka dianggap manusia
yang tidak memiliki kesadaran dan kemampuan bertindak sebagaimana
manusia dewasa yang cakap pada umumnya. Fetus dianggap sebagai entitas
yang prerational human sedangkan orang yang koma sebagai postrational
human.38 Namun dalam penelitian ini penulis hanya memfokuskan
pembahasan kepada janin karena cukup banyak irisan dari kedua kondisi
entitas tersebut sehingga apabila dibahas secara bersama-sama akan banyak
pengulangan-pengulangan.

Janin merupakan substansi awal dari manusia, namun status janin


sebagai person masih menjadi pembahasan yang sampai saat ini terus
dibicarakan baik dalam teori maupun dalam kasus hukum di pengadilan.
Kapan suatu substansi mendapatkan statusnya sebagai subjek hukum atau
memiliki personalitas hukum, masih menjadi perdebatan. Termasuk untuk
janin, karena banyak ahli yang masih berbeda pendapat mengenai hal itu, dan
terdapat perbedaan pendapat hakim dalam memutuskan kasus mengenai hal
tersebut.39 Di beberapa negara isu mengenai aborsi menyebabkan
pembahasan yang sangat panjang mengenai status janin di dalam kandungan;

37
Sarudzayi M. Matambanadzo (2), “The Body, Incorporated,” Tulane Law Review,
Vol 87, 1, 2013, hlm. 2-3.
38
Istilah prerational human dan postrational human disadur dari tulisan Alexis
Dyschkant, op., cit., hlm. 2076.
39
George P. Fletcher (2), Rethinking Criminal Law, (Oxford, UK: Oxford University
Press, 2000), hlm. 373.

Universitas Indonesia
76

apakah janin merupakan person dalam pengertian konstitusi sehingga berhak


untuk mendapatkan perlindungan dasar tentang hak untuk hidup, kebebasan,
dan perlindungan yang sama di hadapan hukum.40 Tidak hanya
mempengaruhi isu tentang aborsi, pembahasan tentang apakah janin termasuk
dalam pengertian person juga akan berpengaruh terhadap segala tindakan
yang dilakukan terhadap janin, seperti misalnya penelitian stem cell embrio,
kloning, dan bayi tabung.41

Dalam hukum pidana tentu janin tidak bisa menjadi pelaku tindak
pidana (subjek hukum pidana), tetapi penerimaan janin sebagai person akan
berpengaruh terhadap misalnya, penentuan apakah kalau terjadi kejahatan
terhadap bayi di dalam kandungan yang mengakibatkan janin itu meninggal
baik di dalam kandungan ibunya atau setelah dilahirkan, bisa menimbulkan
pertanggungjawaban pidana.42 Apabila seseorang melakukan penganiayaan
kepada seorang wanita hamil yang mengakibatkan bayi yang ada di dalam
kandungannya mati, atau seorang wanita meminum suatu ramuan yang dapat
menyebabkan janin di dalam perutnya mati, atau ada orang lain yang
memberikan ramuan tersebut kepada wanita hamil, apakah dapat
dipersalahkan dengan pembunuhan.

Secara umum menurut common law, ada dua pendapat mengenai hal
tersebut. Pertama, sebagaimana Lord Hale berpendapat bahwa perbuatan
tersebut bukanlah peristiwa pembunuhan, karena bayi tersebut masih
dianggap belum ada (rerum natura).43 Pendapat kedua adalah kejahatan
dianggap ada apabila janin tersebut meninggal setelah ia dilahirkan hidup.
Menurut pandangan ini, apabila janin tersebut mati sebelum dilahirkan, maka
tidak ada pidana pembunuhan di situ, namun, apabila janin tersebut dilahirkan
dalam keadaan hidup untuk beberapa waktu dan kemudian meninggal, maka
kejahatan pembunuhan dianggap telah dilakukan karena luka yang terjadi di

40
Brendan (Bo) F. Pons, op., cit., hlm. 121
41
Ibid.
42
Dalam hal ini, tidak berarti bahwa korban tindak pidana haruslah selalu person, bisa
juga barang atau kekayaan, namun kedudukan janin yang dilihat sebagai person atau non-
person akan memberikan implikasi yang berbeda terhadap pertanggunjawaban pidana dan
pemidanaan.
43
Ibid.

Universitas Indonesia
77

dalam rahim.44 Di Amerika Serikat beberapa putusan pengadilan menerapkan


prinsip “born alive” ini untuk kematian bayi yang diakibatkan oleh cidera
sebelum kelahiran.45

Sedangkan menurut hukum Indonesia, melakukan pembunuhan


terhadap janin atau istilah yang digunakan undang-undang adalah
pengguguran kandungan merupakan suatu tindak pidana sebagaimana diatur
dalam Pasal 346 sampai dengan Pasal 348 KUHP jo. Pasal 75 (1) jo. Pasal
194 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam hal ini,
niat awal dari pelaku memang adalah untuk melakukan pengguguran
kandungan. Namun, dalam kasus penganiayaan terhadap wanita hamil yang
mengakibatkan meninggalnya janin dalam kandungan, KUHP menganut
pemahaman bahwa hal tersebut bukanlah suatu tindak pidana pembunuhan,
tetapi merupakan suatu perbuatan penganiayaan yang mengakibatkan luka
berat, sebagaimana diatur pada Pasal 351 atau Pasal 353 jo. Pasal 90 KUHP.

Mengenai hal ini, secara umum hukum Indonesia memberikan


jaminan hak untuk hidup kepada janin di dalam kandungan dari niatan pihak-
pihak yang ingin menggugurkannya, termasuk apabila yang ingin
menggugurkan janin itu adalah wanita yang memiliki janin tersebut atau
ibunya.46 Pengecualian dari ketentuan ini adalah Pasal 75 (2) Undang-Undang
No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, di mana pengguguran kandungan
dapat dilakukan apabila ada indikasi kedaruratan medis atau kehamilan yang
ditimbulkan akibat perkosaan. Pengecualian ini menunjukkan bahwa janin
belum dianggap memiliki hak yang sama dengan subjek hukum yang telah
memiliki hak penuh untuk hidup, dalam kasus tertentu janin masih dapat
dikorbankan bahkan dihilangkan keberadaanya yang mana hal ini tidak

44
Ibid., hlm. 123.
45
Ibid., hlm. 124.
46
Di beberapa negara yang telah maju, bahkan permasalahan ini semakin pelik dengan
adanya teknologi bayi tabung yang memungkinkan sepasang suami istri menyewa rahim
seorang wanita untuk menjadi ibu pengganti yang mengandung seorang janin. Dalam
perkembangannya praktek surrogate mother ini bahkan bisa dianggap sebagai praktek jual
beli anak. Sebagaimana dapat dilihat pada artikel David M. Smolin, “Surrogacy as the Sale of
Children: Applying Lessons Learned from Adopting to the Regulation of the Surrogacy
Industry’s Global Marketing of Children,” Pepperdine Law Review, vol. 43, Issue 2, 2016,
hlm. 265-344.

Universitas Indonesia
78

mungkin dilakukan pada manusia yang telah memiliki status sebagai subjek
hukum.47 Namun, untuk kasus penganiayaan yang mengakibatkan janin
meninggal dianggap bukanlah suatu pembunuhan, sehingga dapat dikatakan
bahwa janin dalam hal ini tidak dianggap sebagai subjek hukum yang berdiri
sendiri, tetapi merupakan bagian dari ibunya. Dapat disimpulkan dalam hal
ini bahwa hukum Indonesia melihat status janin sebagai person masih
berdasarkan kasus per kasus, tidak memberikan status secara jelas apakah
janin itu adalah person yang memiliki hak-hak konstitusi atau tidak.

Pembahasan mengenai kedudukan janin sebagai person bahkan lebih


menarik lagi di dalam proses pengadilan. Misalnya sebuah kasus di New
Zealand, Re an Unborn Child,48 dimana seorang ibu yang sedang
mengandung seorang janin di dalam perutnya berkeinginan untuk
mendapatkan keuntungan materi dengan membuat film porno dari proses
persalinan bayi yang dikandungnya.49 Hakim dalam kasus ini memutuskan
bahwa janin tersebut dianggap sebagai ‘legal person’ yang terpisah dari ibu
yang mengandungnya sehingga perlu ditunjuk seorang wali lain yang berbeda
dari ibunya, untuk melindunginya dari keinginan si ibu yang dapat melanggar
hak bayi tersebut.50 Kasus lain yang juga menarik mengenai status hukum
dari janin adalah sebuah kasus di Mahkamah Agung Tasmania Re the Estate
of K,51 tentang apakah suatu embrio yang dibekukan (frozen embryo) dapat
menerima warisan. Hakim dalam kasus ini memutuskan bahwa konsep yang
berlaku adalah bahwa janin yang terlahir hidup dapat memiliki hak waris,
ketentuan ini juga berlaku sama bagi embiro yang dibekukan, meskipun
waktu kelahiran anak tersebut belum bisa ditentukan bahkan bisa jadi masih
sangat lama.52

47
Dalam hal ini hukum memberikan penundaan pemberian jaminan hak untuk hidup
sebagai hak dasar setiap subjek hukum oleh Undang-undang. George P. Fletcher (2), op., cit.,
hlm. 373.
48
2003 1 NZLR 115. Sebagaimana dikutip dari Ngaire Naffine (2), op., cit., hlm. 52.
49
Ngaire Naffine (2), op., cit. hlm. 52.
50
Ibid.
51
1996 5 Tas R 365. Sebagaimana dikutip dari Ngaire Naffine (2), op., cit., hlm. 51.
52
Ngaire Naffine (2), op., cit., hlm. 51.

Universitas Indonesia
79

Sebuah putusan pengadilan di Mahkamah Agung Tennessee53 juga


membahas mengenai kedudukan frozen embryo. Dalam kasus ini sepasang
suami istri bercerai dan berselisih di pengadilan mengenai apa yang harus
dilakukan terhadap embrio beku yang mereka miliki. Sang suami
menginginkan agar embrio tersebut dimusnahkan, sedangkan sang istri
menghendaki embio tersebut untuk dipertahankan. Midlevel Appellate Court
berpandangan bahwa kehidupan dimulai pada saat terjadi pembuahan
sehingga memberikan perwalian dari embrio tersebut kepada sang istri.54
Sedangkan Tennessee Court of Appeals menolak putusan tersebut dan
berpendapat bahwa apabila embrio tersebut dipertahankan dan diberikan
perwaliannya kepada sang istri, maka sang suami akan menjadi ayah diluar
keinginannya dan dapat memikul beban psikologis, ditambah lagi beban
hukum, sebagai konsekuensi ketika menjadi seorang ayah.55

Tenneesse Supreme Court menjelaskan bahwa terdapat tiga posisi


utama mengenai status embrio. Posisi yang pertama melihat embrio sebagai
subjek yang humanis setelah terjadinya fertilisasi atau pembuahan, yang
mengakibatkan mereka dapat memiliki hak sebagaimana person.56 Pandangan
kedua berpendapat bahwa status embrio sama dengan status jaringan manusia
(human tissue) lainnya, sehingga dengan kata lain hanyalah merupakan
properti. Pandangan ketiga merupakan pandangan pertengahan dari kedua sisi
ekstrim di atas, yang menolak untuk menganggap embrio merupakan person
yang seutuhnya, tetapi juga berpandangan bahwa embrio pantas untuk
mendapatkan penghargaan yang lebih baik dari pada jaringan manusia
lainnya karena potensinya untuk menjadi person di kemudian hari dan makna
simboliknya yang penting bagi banyak manusia.57 Tenneesse Supreme Court
dalam kasus ini berpandangan dikotomi antara person-properti tidaklah sesuai

53
Davis v. Davis, 842 S.W.2d 588, 604 (Tenn. 1992), dikutip dari Jens David Ohlin,
“Is the Concept of the Person Necessary for Human Rights?” dalam Fluer Johns (editor),
International Legal Personality, (England: Ashgate Publishing Limited, 2010), hlm. 438.
54
Ibid., hlm. 437.
55
Davis v. Davis, No. 180, 1990 Tenn. App. LEXIS 642, dikutip dari Jens David
Ohlin, op., cit., hlm. 438.
56
Davis v. Davis, 842 S.W.2d 588, 604 (Tenn. 1992), dikutip dari Jens David Ohlin,
op., cit., hlm. 439.
57
Ibid.

Universitas Indonesia
80

untuk diterapkan. Sehingga pengadilan secara eksplisit mendukung


pandangan ketiga dan memutuskan untuk memusnahkan embrio yang beku
tersebut.58

b. Hewan dan Tumbuhan sebagai Subjek Hukum

Tidak hanya bagi manusia, pergerakan terhadap dukungan hak-hak


hewan dan tumbuhan juga menyarankan pemberian hak dan perlindungan
hukum yang sama bagi hewan dan tumbuhan sebagaimana juga kepada
manusia. Pembahasan mengenai apakah tumbuhan atau hewan bisa memiliki
kedudukan di hadapan hukum, apakah mereka dapat mengajukan gugatan di
pengadilan cukup banyak dibahas secara teori.59 Di beberapa negara, hukum
hewan (animal law) telah dipraktekkan secara luas dan dimasukkan ke dalam
kurikulum mata pelajaran di fakultas hukum.60 Tujuan dari hukum hewan ini
adalah untuk menggunakan semua instrumen hukum yang ada agar dapat
memberikan hak dan perlindungan terhadap populasi hewan dan memberikan
pengakuan bahwa mereka juga memiliki peran yang unik di dalam
masyarakat sebagaimana manusia.61

Apabila berbicara mengenai hak hewan, tumbuhan atau lingkungan,


maka pada prinsipnya hukum telah mengakui bahwa mereka memiliki hak
hukum (legal rights) untuk mendapatkan perlindungan dari perbuatan
penganiayaan, penelantaran, pengeksploitasian dan segala macam bentuk
perbuatan yang tidak sepantasnya mereka dapatkan. Sudah cukup banyak
usaha yang diberikan untuk memberikan perlidungan kepada makhluk hidup
seperti tumbuhan dan hewan, di Indonesia misalnya terdapat beberapa
undang-undang yang menjadikan tumbuhan dan hewan sebagai objek

58
Ibid.
59
Chirstopher D. Stone, “Should Trees Have Standing? Toward Legal Rights for
Natural Objects,” Southern California Law Review, 45, 1972, 450 -501. Lihat juga Gunther
Teubner, “Rights of Non-humans? Electronic Agents and Animals as New Actors in Politics
and Law,” Journal of Law and Society, 33(4), 2006, 497-521.
60
Richard J. Katz, “Origins of Animal Law: Three Perspectives,” Animal Law, Vol.
10: 1, 2004, hlm. 2.
61
Ibid., hlm. 2.

Universitas Indonesia
81

perlindungan seperti misalnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang


Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang menyatakan
bahwa perdagangan satwa yang dilindungi merupakan suatu tindak pidana,62
Undang-Undang No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan
Hewan,63 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.64 Di Amerika Serikat misalnya, terdapat
Chimpanzee Health Improvement, Maintenance and Protection Act,65
Endangered Species Act,66 Animal Welfare Act.67

Argumentasi yang sering diberikan para penggiat binatang untuk


memasukkannya sebagai legal person adalah bahwa manusia dan hewan
memiliki banyak karakteristik yang sama terutama untuk hewan dengan
tingkat intelektual yang tinggi, sehingga merupakan sesuatu hal yang sangat
wajar apabila hukum juga dapat melindungi binatang dengan memasukkan
mereka kedalam komunitas ‘legal person’.68 Usaha untuk memberikan
perlindungan kepada hewan belum maksimal menurut Gary Francione adalah
karena status hewan yang masih dianggap sebagai objek, properti atau
kepemilikan.69

Meskipun secara umum hukum telah mengakui hak hukum (legal


rights) dari hewan dan tumbuhan, namun sampai saat ini hewan belum
dianggap sebagai bagian dari ‘legal person’ yang dapat terlibat secara aktif di
dalam perhubungan hukum; kerena hewan, tumbuhan dan lingkungan
dianggap tidak memiliki kewajiban hukum sebagaimana manusia memiliki

62
Indonesia, Undang-Undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya, UU No. 5 Tahun 1990, LN No. 49 Tahun 1990.
63
Indonesia, Undang-Undang tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, UU No. 18
Tahun 2009, LN No. 84 Tahun 2009, TLN No. 5015. Sebagaimana dirubah dengan
Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009
Tentang Peternakan dan Kesehatan, UU No. 41 Tahun 2014, LN No. 338 Tahun 2014, TLN
No. 5619.
64
Indonesia. Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU
No. 32 Tahun 2009 LN. No. 140 Tahun 2009. TLN. No. 5059.
65
United States, Chimpanzee Health Improvement, Maintenance and Protection Act
(42 U.S.C. §287a-3a (2000)).
66
United States, Endangered Species Act (16 U.S.C. §1531 et seq. (1973)).
67
United States, Animal Welfare Act (7 U.S.C. §2131 (1966)).
68
Ngaire Naffine (2), op., cit., hlm. 8.
69
Gary Francione, “Animal Rights Theory and Utilitarianism: Relative Normative
Guidance,” Animal Law Journal, 75, 1997, hlm. 100-101.

Universitas Indonesia
82

kewajiban hukum yang harus dilaksanakannya ketika berperan di dalam


kehidupan bermasyarakat. Dapat dianalogikan dalam hal ini seperti orang
yang kurang akal, tidak waras atau mengalami suatu penyakit mental seperti
schizophrenia;70 Hukum mengakui mereka sebagai bagian dari masyarakat
yang harus dilindungi atau objek perlindungan hukum, tetapi ketika mereka
melakukan suatu perbuatan pidana, misalnya melempar orang lain dengan
batu atau perbuatan lain yang dianggap sebagai perbuatan pidana, orang gila
atau orang yang tidak waras ini tidak dapat dipidana karena
ketidakmampuannya untuk berfikir secara normal tentang apa yang
dilakukannya, ketidakmampuannya untuk memberikan penalaran tentang baik
atau buruknya suatu perbuatan membuat mereka tidak memenuhi syarat
sebagai legal person yang dapat bertanggung jawab atas perbuatan yang
dilakukannya.71

Van Apeldoorn menjelaskan bahwa pemberian status hewan sebagai


subjek hukum adalah merupakan hal yang sebenarnya tidak menjadi
permasalahan yang besar. Seperti halnya memberikan kepribadian hukum
kepada organisasi dan bahkan kepada kumpulan kekayaan seperti yayasan,
pemberian status subjek hukum bagi hewan juga adalah hal yang tidak terlalu
72
aneh. Jadi untuk konteks hukum, sebenarnya bisa saja hewan disebut
sebagai subjek hukum atau person. Namun menurut Chidir Ali permasalahan
ini bukanlah permasalahan hukum, tetapi lebih kepada pertanyaan moral
tentang apakah patut hewan diperlakukan seperti manusia?73 Apakah
kesadaran etis manusia dapat menerima bahwa hukum yang merupakan
peraturan kesusilaan yang ditujukan kepada makhluk yang berakal itu juga
diberlakukan kepada hewan. Para ahli yang berpandangan formalis seperti
Kelsen tidak mempermasalahkan hal ini sebatas kenyataan bahwa hewan
merupakan pemegang hak hukum seperti hak untuk dilindungi dan

70
Thomas S. Szasz, “Psychiatry, Ethics and the Criminal law,” Columbia Law
Review, Vol. 58, No. 2, February 1958, 183-198, hlm. 191.
71
Sebagaimana teori tentang person yang dikemukakan oleh Thomas Aquinas tentang
reasonable person yang memiliki kemampuan alami untuk memilih secara masuk akal
(resonable) dan kehendak bebas (free will) sehingga memiliki determinasi moral (moral
determination) yang baik. Lihat lebih lanjut kerangka teori tentang person pada Bab I.
72
Chidir Ali, op., cit., hlm. 11-12.
73
Ibid., hlm. 12.

Universitas Indonesia
83

diperlakukan dengan sepantasnya.74 Meskipun Kelsen kemudian


mengemukakan kenyataan bahwa hak yang dimiliki oleh seseorang di dalam
hukum akan bisa bekerja apabila orang tersebut memiliki kemampuan untuk
mempertahankan haknya di hadapan pengadilan ketika haknya tersebut
dilanggar oleh orang lain.75 Kenyataan bahwa hewan tidak memiliki
kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum itu membuatnya tidaklah
sama dengan manusia pada umumnya.

Perjalanan sejarah hukum tentang apakah hewan bisa menjadi subjek


hukum yang memiliki kedudukan hukum juga berubah seiring dengan
perjalanan waktu sebagaimana juga status person dari manusia mengalami
perubahan dari waktu ke waktu. Ada beberapa kasus dimana hewan bisa
diadili di pengadilan pidana dan bahkan bisa dihukum pidana. Artinya dalam
hal ini hewan bisa menjadi subjek tindak pidana, dapat bertanggung jawab
dan dapat dihukum.76 Misalnya, Pada masa Yunani kuno hewan dan
tumbuhan bisa diadili di pengadilan atas tindakan salah yang dilakukannya.
Begitu juga pada abad pertengahan sebagaimana dijelaskan oleh Keeton, di
Jerman, seekor ayam jantan dimasukkan ke dalam penjara, dan dituduh telah
mengganggu ketertiban umum karena berkokok terus menerus dengan keras.
Belum lama ini juga di Argentina, seekor anjing dinyatakan bersalah telah
melakukan pembunuhan terhadap anak umur tiga tahun yang juga adalah
anak dari tuannya, sehingga anjing tersebut dihukum penjara seumur hidup.77

Pada tahun 2012, di Amerika Serikat terdapat sebuah kasus yang


menjadi landmark bagi perlindungan binatang yang memungkinkan binatang
sebagai pribadi mampu dan memiliki kedudukan hukum (legal standing)
untuk mengajukan gugatan hukum di hadapan pengadilan, yaitu kasus
Tilikum v. Sea World. Meskipun kasus ini adalah kasus perdata, tetapi sangat
penting untuk digarisbawahi bahwa hewan sebagai pribadi bisa memiliki

74
Hans Kelsen (2), op., cit., hlm.128.
75
Ibid.
76
G.W. The Postmodern Subject, The Elementary Principles of Jurisprudence
(London, UK: Pitman & Sons, 1949), hlm. 149.
77
Independent, 15 August 1991, p. 8. Dikutip dari Wells (2), Corporations and
Criminal Responsibility, 2cd edition, (New York: Oxford Univerisy Press, 2001), p. 65.

Universitas Indonesia
84

kedudukan hukum untuk mempertahankan hak konstitusinya di hadapan


pengadilan Amerika Serikat.

Dalam kasus ini, penggugatnya adalah Tilikum, Katina, Corky,


Kasatka, dan Ulises, lima ekor paus Orca yang menginginkan kebebasan dan
kemerdekaannya dari seaworld. Seaworld dianggap telah melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan perbudakan dan kerja paksa sebagaimana
diatur dalam konstitusi Amerika Serikat.78 Ini merupakan kasus pertama
dalam sejarah Amerika Serikat yang mempertimbangkan bahwa perbudakan
tidak hanya berlaku pada manusia tetapi juga pada hewan dan hewan dapat
mengajukan tuntutan di pengadilan untuk dapat dibebaskan dari perbudakan
tersebut. Kelima paus tersebut diwakili oleh The organization People for the
Ethical Treatment of Animal (PETA) yang menyatakan diri sebagai sahabat
(next friend) dari ke lima paus tersebut. Meskipun hakim yang memutus
kasus ini berpendapat bahwa kelima paus tersebut dianggap tidak memiliki
kedudukan (standing) untuk mengajukan gugatan kepada Seaworld
berdasarkan artikel III Konstitusi Amerika Serikat amandemen ke tiga
belas.79

Menurut hukum Amerika Serikat, untuk dapat memiliki kedudukan


(standing) di pengadilan, agar dapat mengajukan tuntutan dan gugatan,
seseorang haruslah memenuhi empat persyaratan awal, sehingga hakim
haruslah mengevalusi empat tahapan tersebut.80 Level 1 dari evaluasi yang
dilakukan adalah persyaratan dasar tentang “kepribadian hukum” (legal
personhood), level 2 adalah kepemilikan hak hukum (legal rights possessed),
termasuk claim rights (hak untuk menuntut), dan immunity rights (hak

78
Becky Boyle, “Free Tilly?: Legal Personhood For Animals And The
Intersectionality Of The Civil & Animal Rights Movements,” Indiana Journal Of Law And
Social Equality, Volume 4, Issue 2, 2016, hlm. 169.
79
Kasus ini diperiksa di United States District, Court Southern District of California.
Dalam kasus ini, PETA tidak menggunakan undang-undang yang biasa digunakan untuk
mengajukan tuntutan terhadap hak hewan, seperti misalnya Animial Walfare Act, Endangered
Species Act, tetapi mendasarkan gugatannya kepada Konsititusi Amerika Serikat. Animal
Walfare Act dan Endangered Species Act memungkinkan binatang diwakili oleh pihak lain
seperti PETA, tetapi untuk gugatan yang berdasarkan kepada pelanggaran hak-hak dasar
yang diatur dalam konstitusi maka yang menjadi penggugat adalah pihak yang bersangkutan,
yang dalam hal ini adalah ke lima paus Orca tersebut. Ibid., hlm. 177.
80
Emma A. Maddux, op., cit., hlm. 1245.

Universitas Indonesia
85

imunitas). Kemudian pengadilan akan mengevaluasi level 3: apakah penuntut


atau penggugat memiliki hak privat untuk bertindak di dalam hukum, baik
yang diberikan oleh undang-undang, konstitusi, perjanjian, atau common law.
Setelah melewati ketiga level evaluasi tersebut, barulah kemudian hakim
mempertimbangkan tentang kedudukan (standing) dari penuntut atau
penggugat. Dimana dalam mengevalusi kedudukan ini terdapat tiga
persyaratan: pertama, penggugat memang telah menderita atau mengalami
kerugian, penderitaan dan kerugian tersebut memang disebabkan karena
tindakan dari orang yang dituntut, dan kerugian tersebut dapat diatasi dengan
keputusan pengadilan yang memenangkan penuntut.81

Meskipun gugatan ini akhirnya harus ditolak oleh hakim karena ke


lima paus orca tersebut dianggap tidak memiliki kedudukan hukum untuk
dapat disebut sebagai person berdasarkan amandemen ke tiga belas Konstitusi
Amerika Serikat, namun, konsep mengenai bagaimana penegak hukum
menjabarkan langkah-langkah yang harus diambil ketika dihadapkan pada
pertanyaan mengenai kedudukan hukum suatu entitas ini menurut penulis
sangat penting. Sehingga ketika hakim dihadapkan kepada kasus yang sulit
dalam mengidentifikasi apakah suatu entitas yang bukan manusia adalah
subjek hukum dan memiliki legal standing di hadapan pengadilan bisa
menggunakan langkah-langkah tersebut di atas.

c. Intelligent Agent82 sebagai Subjek Hukum

Perubahan besar pada kompleksitas masyarakat modern saat ini juga


ditandai dengan semakin berkembangnya teknologi komputer dan robotik

81
Ibid., hlm. 1245.
82
Intelligent agent menurut Arcand dan Pelletier adalah bagian dari artificial
intelligent yang diberikan cognitive psychology dan divalidasi dengan pendekatan sistem
komputer yang menyerupai sistem kerja otak manusia (human-computer system). Lihat
Arcand & Pelletier, “Cognition Based Multi-Agent Architecture,” dalam Wooldridge, Müller
dan Tambe (editor), Intellegent Agents II: Agent Theories, Architectures, and Languages,
(Germany: Springer, 1996), hlm. 274. Intelligent agent apabila diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia adalah agen yang cerdas. Namun istilah “agen yang cerdas” ini tidak
digunakan agar tidak membingungkan. Sehingga di dalam disertasi ini tetap digunakan istilah
intelligent agent.

Universitas Indonesia
86

yang memiliki intelektual buatan (artificial intelligence/AI), yang


memungkinkan robot atau sistem komputer memiliki otonomi sendiri dalam
menentukan pilihan dengan program yang ditanamkan padanya. Ilmu kognitif
dimulai dengan asumsi bahwa sifat alami dari intelektualitas manusia adalah
kompleksitas komputasi, sehingga cara berfikir manusia inilah yang secara
prinsip dijadikan model program yang dijalankan pada komputer. Artificial
Intelligent menggunakan model komputasi manusia ini dalam
83
pengembangannya. Keadaan ini menimbulkan perdebatan mengenai apakah
hal tersebut dapat mengalihkan pertanggungjawaban hukum dari pencipta
atau operator kepada mesin atau intelligent agent itu sendiri.84

Para ahli hukum memperhatikan permasalahan kepribadian hukum


dari intelligent agent ini dalam beberapa konteks, paling sering dibicarakan
dalam menemukan doktrin hukum untuk kontrak elektronik yang dibuat oleh
artificial agent dan pembahasan mengenai apakah sistem hukum perlu
mempertimbangkan agen buatan sebagai legal person dalam konteks hak-hak
konstitusional yang dijamin oleh hukum yang diberikan kepada setiap orang
secara umum, seperti misalnya hak kebebasan berbicara (freedom of speech),
perlakuan yang adil dan sama dalam proses hukum (due process and fair
trail).85

Suatu entitas dikatakan cerdas (intelligent) menurut McCarthy dan


Hayes adalah apabila entitas itu memiliki:

an adequate model of the world (including the intellectual world of


mathematics, understanding of its own goals and other mental
process),… if it can get additional information from external world
when required, and can perform such tasks in the external world as its
goals demand and its physical abilities permit.86

83
Lawrence B. Solum, “Legal Personhood for Artificial Intelligences,” North
Carolina Law Review, 70, 1992, hlm. 1231.
84
Keith Abney Patrick Lin, George A. Bekey, Robot Ethics: The Ethical and Social
Implications of Robotics (London: The MIT Press 2012), hlm. 157.
85
Samir Chopra and Laurence White, “Artificial Agents-Personhood in Law and
Philosophy,” ECAI, vol. 16, 2004, hlm. 635.
86
McCarthy, J., and Patrick J. Hayes, “Some Philosophical Problems from the
Standpoint of Artificial Intelligence,” Readings in artificial intelligence, 1969, 431-450.

Universitas Indonesia
87

(suatu model yang memadai tentang dunia (termasuk dunia intelektual


matematika, memahami tujuannya sendiri dan proses mental
lainnya),… apabila dia dapat memperoleh informasi tambahan dari
dunia luar yang diperlukan, dan dapat melakukan tugas di dunia luar
sesuai dengan tujuannya yang diperlukan dan kemampuan fisiknya
memungkinkan.)
Namun untuk menjadi agen moral, tidak cukup hanya pintar saja,
beberapa elemen penting untuk bisa masuk dalam makna ‘moral personhood’
adalah adanya kehendak bebas (free will), dan niat (intentionality), yang
merupakan bentuk konkrit yang penting ada pada suatu entitas untuk dapat
menjadi ‘person’. Menurut penalaran yang masuk akal, seorang manusia akan
memutuskan apa yang akan dilakukan setelah mengevaluasi akibat dari
perbuatan yang dia pilih untuk lakukan, kemampuan untuk
mempertimbangkan apakah suatu perbuatan baik atau tidak baik. Suatu
‘intelligent agent’ juga harus menggunakan proses yang sama untuk dapat
dikatakan mesin yang memiliki determinisme.

Biasanya mesin akan dimasukkan ‘reasoning programs’ yaitu suatu


program deduksi yang mencoba untuk menemukan strategi dari tindakan
yang diyakini dapat menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi dan
mampu mengeksekusi pilihan yang telah dibuat.87 Beberapa agen buatan bisa
sangat kompleks dan penalaran mereka sangat adaptif, sehingga dapat
merespon dengan penalaran mereka sendiri. Suatu artificial agent yang
diinternalisasi dengan suatu set ‘perintah’ mungkin bisa dimasukkan ke dalam
pengertian ‘agen moral’ apabila agen buatan ini mempunyai otonomi yang
cukup untuk dapat melanggar perintah yang telah diinternalisasikan
kepadanya.88

Menurut Chopra dan White, isu mengenai ‘kepribadian hukum’ suatu


artificial intelligent untuk saat ini belumlah siap untuk dijadikan subjek
hukum dan dibawa ke pengadilan, namun menurut mereka, perlu dibuat suatu
sistem yang mengatur tentang pemberian dan pengakuan status ‘legal person’

87
Ibid.
88
Samir Chopra and Laurence White, op., cit., hlm. 635.

Universitas Indonesia
88

bagi suatu agen buatan yang memenuhi syarat sebagai moral agent, mungkin
melalui suatu sistem registrasi sebagaimana pada badan hukum.89

d. Korporasi sebagai Subjek Hukum

Sebagaimana telah dipaparkan di atas, bahwa janin, hewan, tumbuhan


dan intellegent agent mungkin bisa menjadi subjek hukum yang dapat
bertanggung jawab secara moral dan hukum terhadap perbuatannya, masih
banyak perdebatan mengenai hal tersebut. Namun, hingga saat ini, subjek
hukum bukan manusia yang sudah diterima secara umum di banyak negara,
baik dalam teori maupun dalam praktek adalah badan hukum, yang
merupakan agen kolektif yang mampu mengemban hak dan kewajiban, dapat
bertanggung jawab sebagai pribadi mandiri yang terpisah dari anggota-
anggota yang ada di dalamnya.

Katsuhito Iwai berpendapat bahwa perusahaan yang berbadan hukum


adalah ‘person’ atau subjek dan juga adalah properti atau objek dalam waktu
yang bersamaan. Badan hukum dapat memiliki aset sebagaimana subjek
hukum manusia dapat memilikinya, namun berbeda dengan manusia natural,
badan hukum di saat yang bersamaan juga dimiliki oleh pemilik modal.
Secara natural, sebenarnya badan hukum bukanlah orang ataupun benda.
Namun dalam hukum, suatu perusahaan diberikan status keduanya,
kepribadian (personality) dan kebendaan (thingness). Sehingga sebenarnya
konsep mengenai badan hukum ini telah mengakibatkan pembagian mengenai
subjek dan objek menjadi tidak berlaku secara tegas. 90 Seperti halnya juga
pada kondisi tertentu ada manusia yang tidak dapat dianggap sebagai subjek.

Pembahasan mengenai kelompok sebagai non-human legal subject,


bisa mencakup berbagai variasi entitas yang beragam seperti negara,
perusahaan, institusi non-pemerintah, geng, kerumunan dan lain sebagainya.
Konsep, teori dan definisi juga bisa bervariasi antara terminologi agensi,

89
Ibid.
90
Katsuhito Iwai, ”Persons, Things and Corporations: The Corporate Personality
Controversy and Comparative Corporate Governance,” The American Journal of
Comparative Law, Vol. 47, No. 4, Autumn, 1999, 583-632, hlm. 593.

Universitas Indonesia
89

identitas, kepribadian dan personalitas, antara deskripsi aktor kolektif, grup


dan korporat. Terminologi dasar seperti natural, metafisik, dan moral juga
bisa memiliki makna yang mirip tetapi tidak sama persis antara disiplin ilmu
dan penulis serta ahli yang berbeda.91 Ada cukup banyak literatur dalam
bidang ekonomi yang menekankan pembahasannya pada perusahaan dan
firma. Ilmu hukum menekankan pembahasan pada kepribadian hukum (legal
personality) dan agensi moral (moral agency). Sedangkan hubungan
internasional yang membahas tentang pertanggungjawaban organisasi juga
memiliki fokus yang berbeda dari negara dan institusi antar negara.

Keberadaan aktor kolektif atau perhimpunan atau perkumpulan


menurut hukum Indonesia telah diakui dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KHUPer) pada Pasal 1653 menyatakan:

“Selain perseroan yang sejati oleh undang-undang diakui pula


perhimpunan-perhimpunan orang sebagai perkumpulan-perkumpulan,
baik perkumpulan-perkumpulan itu diadakan atau diakui sebagai
demikian oleh kekuasaan umum, maupun perkumpulan-perkumpulan
itu diterima sebagai diperbolehkan, atau telah didirikan untuk suatu
maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau
kesusilaan yang baik.”

Organisasi yang dikenal pada masa modern seperti sekarang ini telah
lama ada dalam bentuk awal yang dibahas dalam konsep korporasi, yang pada
awalnya digunakan dalam hubungannya dengan Gereja katolik Romawi,
biara, asosiasi seni (craft guild), universitas dan pemerintahan kota
(municipality).92

Isu mengenai personalitas organisasi, berbicara mengenai bagaimana


menyamakan organisasi dengan manusia dalam moral dan hukum. Perspektif
mengenai personifikasi korporasi (corporate personhood) dapat diparalelkan
dengan pembahasan tentang binatang, agen intelejen, atau embrio sebagai
subjek hukum. Dalam filosofi moral dan hukum terdapat peran yang kuat dari

91
Dikutip dari Christopher Harding, Criminal Enterprise: Individuals, Organisations
And Criminal Responsibility, (Willian Publishing. 2007), hlm. 55.
92
Ibid., hlm. 33.

Universitas Indonesia
90

individu manusia dalam kehidupan sosial dan etika bermasyarakat, bahwa


manusia adalah agen yang paling utama dalam bidang sosial dan etik
sehingga berimplikasi terhadap perannya sebagai aktor utama dalam bidang
hukum. Pandangan seperti ini memiliki dasar ontologi, dengan argumen
bahwa manusia adalah nyata (real) sedangkan organisasi dikonstruksi dari
tindakan manusia dan hanya dapat bertindak melalui agen manusia, sehingga
mengakibatkan peran dari aktor organisasi hanya dipandang sebagai masalah
konstruksi hukum.93

Pertanyaan mengenai apakah organisasi dianggap sebagai entitas yang


terpisah dari individu didalamnya sudah menjadi pembahasan cukup lama,
dan masih menjadi pembahasan yang panjang sampai sekarang. Apakah non-
human entities memiliki ciri-ciri kepribadian moral yang memberikan mereka
kemampuan untuk memiliki pertimbangan moral (moral consideration)
sebagaimana yang dimiliki oleh manusia.94 Apakah korporasi dipandang
sebagai orang (dalam hal memiliki personifikasi yang lengkap) atau korporasi
dilihat sebagai kumpulan orang (dalam hal ini sebagai agregat orang). 95 Ada
suatu perpindahan dari konsepsi diri dari gabungan individu-individu menjadi
suatu entitas yang indepen. Pada masa transisi ini, bahasa dan prosedur
inkorporasi juga diikuti dengan perubahan linguistik dari berbentuk plural
(merepresentasikan sejumlah orang yang bergabung menjadi satu satu dalam
bentuk kolektif) menjadi singular, sehingga menjadi unit tunggal yang
memiliki identitas sendiri yang berbeda.96 Sehingga korporasi dapat dianggap
secara normatif memiliki status sebagai aktor independen yang kepadanya
dapat dimintakan pertanggungjawaban moral dan hukum dan lebih khusus
lagi pertanggungjawaban pidana.

93
Ibid., hlm. 7
94
Isu mengenai hal Ini kadang-kadang menggunakan Istilah "moral considerability"
Lihat Misalnya Mark H. Bernstein, On Moral Considerability: An Essay On Who Morally
Matters (Oxford, UK: Oxford University Press, 1998).
95
Meir Dan-Cohen (1), Rights, Persons, and Organizations: A Legal Theory for
Bureaucratic Society, (Berkeley: University of California Press, 1986), hlm. 15.
96
Christopher Harding, op., cit., hlm. 33.

Universitas Indonesia
91

1) Doktrin tentang Kepribadian Hukum Korporasi (Corporate


Legal Personality)

Dalam literatur hukum, doktrin mengenai kepribadian korporasi


(corporate personhood atau corporate legal personality), dapat
97
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: formalis, reduksionis, dan realis.

a) Pandangan Formalis tentang Kepribadian Hukum Korporasi

Teori pertama mengenai personalitas hukum grup yang menyandang


status sebagai subjek hukum adalah teori fiksi, yang disebut juga dengan teori
kepribadian fiksi (fictitious personality theory), teori kepribadian buatan
(artificial personality theory), teori konsesi atau teori hirarki.98 Teori ini
pertamakali diperkenalkan secara luas oleh Sinibald Fieschi yang lebih
dikenal sebagai Paus Innocent IV (1180/90-1254), yang menjelaskan “cum
collegium in causa universitatis fingatur una persona” yaitu: “kolegium atau

97
Lihat Ron Harris (1), “The Transplantation of the Legal Discourse on Corporate
Personality Theories: From German Codification to British Political Pluralism and American
Big Business,“ Washington and Lee Law Review, Vol. 63, No. 4, 2006, 1421-1478, hlm.
1423. Michael J. Phillips juga menjelaskan bahwa secara tradisional ada tiga teori yang
mendominasi teori korporasi, meskipun nama mereka bervariasi, tetapi bisa disebutkan yaitu:
“concession/fiction theory, the aggregate theory, and the real entity theory”. Lihat Michael
J. Phillips, “Reappraising the Real Entity Theory of The Corporation,” Florida State
University Law Review, No. 21, 1994, hlm. 1063. Senada dengan Haris dan Phillips, Mark M.
Hager juga mengelompokkan secara garis besar tiga teori tentang kepribadian korporasi ini
menjadi: “fiction, the contractual-association, and the real entity paradigms of corporate
nature.” Lihat Mark M. Hager, "Bodies Politic: The Progressive History of Organizational
Real Entity Theory." University of Pittsburgh Law Review, 50, 1988, 575, hlm. 579. lihat
juga Lederman, "Models for Imposing Corporate Criminal Liability: From Adaptation and
Imitation Toward Aggregation and the Search for Self-Identity," Buffallo Criminal Law
Review, Vol. 4, No. 1, April 2000, 641-708, dan Peter A. French, “The Corporation as a
Moral Person.” American Philosophical Quarterly. Vol. 16. No. 3. 1979. 207-215, hlm. 208-
209. Chidir Ali dalam bukunya mengidentifikasi setidaknya ada 8 (delapan) teori badan
hukum: 1. Teori Fiksi, 2. Teori organ, 3. Leer van het ambtelijk vermogen, 4. Teori kekayaan
bersama, 5. Teori kekayaan bertujuan, 6. Teori kekayaan yuridis, 7. Teori dari Leon Duguit,
8. Teori ‘orde eenheid (kesatuan tertib). Namun kedelapan teori ini secara garis besar adalah
gradasi dari tiga teori besar sebagaimana yang dikemukakan oleh Ron Haris, Phillips dan
Hager.
98
Michael J. Phillips, op., cit., hlm. 1061. Dewey dalam hal ini berpendapat bahwa
teori fiksi dan teori konsesi adalah dua teori yag berbeda karena muncul dengan latar
belakang dan pengembangan yang tidak sama. Lihat Dewey, op. cit., 667.

Universitas Indonesia
92

institusi dianggap sebagai suatu kesatuan, yang merepresentasikan satu


orang.”99

Pemikiran tentang konsep personalitas hukum korporasi sebagai suatu


fiksi hukum kemudian dikembangkan secara mendalam oleh seorang ahli
hukum Romawi F.C von Savigny.100 Dogma ini menjelaskan tentang karakter
murni fiksi dan karakter intelektual dari juristic person, mereka bukanlah
person yang nyata tetapi merupakan gelar yang diberikan hukum (judicial
title).101 Doktrin bahwa badan hukum merupakan personae fictae pada masa
itu sebenarnya diarahkan pada lembaga-lembaga gereja (ecclesiastic bodies).
Doktrin ini dinyatakan sebagai alasan mengapa suatu kolegium gereja pada
saat itu tidak dapat diasingkan atau bersalah atas suatu delik; karena mereka
tidak memiliki tubuh (body), jiwa (soul) ataupun kehendak (will), mereka
hanya fiksi dan tidak nyata adanya,102 sehingga dapat dipahami bahwa grup
tersebut merupakan suatu fiksi yang ada hanya dalam kontemplasi hukum.103

Menurut teori fiksi, group memperoleh status hukum dengan cara


inkorporasi atau pendirian, yang mana proses inkorporasi ini merupakan
monopoli yang dikuasai oleh negara; hanya negara yang bisa
menginkorporasi group dan memberikan mereka personalitas hukum dengan
memberikan hak dan kewajiban.104 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
korporasi adalah hasil ciptaan negara, kehendaknya adalah kehendak yang

99
Innocent IV (1525, book II, rubr. 20, chap. 57, decretal of 21 April 1246)
sebagaimana dikutip dari Luc Foisneau, Elements of Fiction in Hobbes’s System of
Philosophy dalam Richard scholar dan Alexis Tradié (editor), Fiction and the Frontiers of
Knowledge in Europe 1500-1800, (Inggris: Ashgate Publishing Limited, 2010), hlm. 80.
Pemikiran Pope Innocent IV ini sebenarnya dalam konteks pada masa itu ketika suatu
persatuan gereja yang disebut kolegium memberikan sumpah, ada pilihan untuk yang
melakukan sumpah tersebut bukanlah semua anggota tetapi dilakukan oleh satu orang yang
mewakili kolegium tersebut. lihat Maximilian Koessler, “The Person in Imagination or
Persona Ficta of The Corporation, “ Louisiana Law Review, Vol. 9, No. 4, May 1949, 435-
449, hlm. 437.
100
Savigny dalam tulisannya “Persons as the Subjecta of Legal Relation,” yang
merupakan judul dari volume kedua dari karyanya yang terkenal “System of Roman Law.”
Dikutip dari Katsuhito Iwai, op., cit, 583-632, hlm. 601.
101
Luc Foisneau, op., cit., hlm. 80.
102
Gierke (3 Das deuthes Genossenschaftrect, 279-285) sebagaimana dikutip dari
Dewey, op., cit., hlm. 665
103
Harold J. Laski, “The Personality of Assosiations,” Harvard Law Review, Vol. 29,
No. 4, 1916, 404-426, hlm. 410.
104
Harris (1), op., cit., hlm. 1424.

Universitas Indonesia
93

didelegasikan, tujuannya ada karena telah mendapat pengakuan dari


negara.105 Teori fiksi merupakan teori filsafat bahwa korporasi adalah sebuah
nama, sesuatu yang diciptakan oleh intelektualitas dan ada ketika negara
memberikan kekuatan hukum kepadanya. 106

Hans Kelsen menjelaskan bahwa “imputation to a juristic person107 is


a juristic construction, not the description of a natural reality. It is therefore
not necessary to make the hopeless attempt to demonstrate that the juristic
person is a real being, not a legal fiction.”108 (mengenai suatu juristic person
adalah suatu konstruksi hukum, bukan suatu deskripsi tentang realitas natural.
Sehingga tidak perlu untuk membuat suatu usaha yang sia-sia untuk
menunjukkan bahwa juristic person adalah suatu makhluk yang nyata, bukan
suatu fiksi hukum.) Menurut padangan formalis, subjek hukum merupakan
suatu abstraksi yang murni ciptaan hukum, sehingga para ahli hukum tidak
perlu untuk memberikan perhatian khusus kepada kondisi kemanusiaan dari
subjek hukum, bukanlah urusan hukum untuk membahas sesuatu yang
bersifat metafisik, ontologi, atau perdebatan tentang keberadaan atau
determinasi sesuatu.109

Menurut Kelsen tidak ada perbedaan yang mendasar antara


personifikasi manusia natural sebagai subjek hukum yang mengemban hak
dan kewajiban hukum dengan personifikasi juristic person atau non-human
legal subject karena keduanya adalah merupakan konstruksi hukum. Subjek
hukum itu menjadi pengemban hak dan kewajiban ketika hukum memberikan
hak dan kewajiban kepadanya.110 George Keeton menyatakan bahwa suatu
sistem hukum dapat mempersonifikasi objek atau makhluk apapun yang
diinginkannya.111 John Salmond mengungkapkan bahwa ‘orang (person)
adalah makhluk apapun yang dipandang hukum dapat menyandang hak dan

105
Laski, op., cit., hlm. 406.
106
Dewey, op., cit., hlm. 667.
107
Kelsen menggunakan istilah juristic person untuk merujuk kepada subjek hukum
bukan manusia yang diakui oleh hukum sebagai ‘orang’
108
Hans Kelsen (1), op., cit., hlm. 105.
109
Ngaire Naffine (2), op., cit., hlm. 21.
110
Hans Kelsen (1), op., cit.,hlm. 96.
111
George W Keeton, The Elementary Principles of Jurisprudence, (London, UK:
Pitman & Sons, 1949), hlm. 118-119.

Universitas Indonesia
94

kewajiban.’112 Richard Tur mengemukakan hal yang serupa bahwa konsep


mengenai personalitas hukum adalah secara keseluruhan bersifat formal dan
merupakan suatu slot kosong yang bisa diisi oleh apapun yang bisa memiliki
hak dan kewajiban.113 Sehingga apapun dan siapapun dapat menjadi ‘legal
person’ sepanjang entitas itu sesuai dengan tujuan dari peraturan, ketentuan
dan aturan hukum yang ada. Bryant Smith adalah juga merupakan salah satu
pendukung pandangan formalis ini. Personalitas hukum menurut Smith
adalah kapasitas formal yang dimiliki oleh suatu makhluk untuk suatu
hubungan hukum.114 Subjek hukum merupakan suatu konstruksi hukum yang
memiliki karakter mampu untuk bertindak dihadapan hukum, dan subjek
hukum itu ada karena mereka menyandang hak dan kewajiban tertentu dan
karena mereka berhubungan dengan subjek hukum yang lainnya.115

Para ahli yang berpandangan formalis berpendapat bahwa konsep


orang (person) berbeda dengan konsep manusia (human), terminologi person
merupakan istilah hukum, sedangkan terminologi kedua adalah istilah yang
digunakan dalam ilmu alam.116 Orang, baik yang alami maupun yang buatan,
merupakan personifikasi teknis dari norma-norma hukum yang menjadi satu
kesatuan dengan kualitas orang tersebut. Manusia yang memiliki hak dan
kewajiban bermakna bahwa norma-norma hukum mengatur perilaku dari
manusia tersebut.117 Pernyataan ini juga berlaku sama bagi ‘orang’ tidak
natural, yang memiliki hak dan kewajiban. Subjek hukum baik yang natural
maupun yang buatan keduanya adalah abstraksi hukum, tidak perlu untuk
membuat perbedaan yang mendasar antara subjek hukum manusia dengan
subjek hukum bukan manusia.118 Peter Cane menyatakan bahwa: “legal
personality is not a matter of physical and mental attributes. Human beings
are not legal person by virtue of their physical and mental characteristics,
112
John Salmond, Jurisprudence, Editor: Glanville L. Williams, 10th edition, 1947,
(London: Sweet & Maxwell), hlm. 318.
113
Richard Tur, ‘The Person in Law’ dalam Arthur Peacocked dan Grant Gillett
(editor), Persons and Personality: a Contemporary Inquary, (Oxford: Basil Blackwell,
1987), hlm. 121.
114
Bryant Smith, op., cit., hlm. 283.
115
Ibid., hlm. 284.
116
Hans Kelsen (1), op., cit., hlm. 94.
117
Ibid., hlm. 95.
118
Bryant Smith, op., cit., hlm. 293.

Universitas Indonesia
95

but by virtue of meeting the formal criteria for personhood laid down by the
law.”119 (kepribadian hukum bukanlah masalah atribut fisik atau mental.
Manusia bukanlah orang hukum (legal person) karena karakteristik fisik atau
mentalnya, tetapi karena memenuhi kriteria formal yang ditentukan oleh
hukum.) Alexander Nekam bahkan menyarankan untuk menghilangkan
istilah ‘person’ dan ‘subject’ dan menggantinya dengan terminologi ‘legal
entity’, secara khusus untuk terhindar dari semua implikasi yang mungkin
bisa mengandung makna bahwa hukum berurusan dengan natural beings atau
makhluk hidup.120

Dapat diinterpretasikan bahwa ‘person’ menurut pandangan legalis


merupakan suatu kesatuan konseptual (conceptual unity), dan bukan
merupakan suatu entitas moral atau makhluk hidup.121 Subjek hukum adalah
murni ciptaan hukum, sehingga, segala atribut lain selain atribut hukum yang
melekat pada manusia tidak perlu diperhitungkan dan dibicarakan dalam
hukum, seperti manusia yang rasional, manusia yang bermoral, beretika,
beragama, dan atribut lainnya dari manusia tidaklah merupakan fitur yang
harus diperhatikan dari keberadaan manusia sebagai subjek hukum.122 ‘Legal
person’ menurut pandangan formalis bukanlah merupakan terminologi moral
sebagaimana yang dikemukakan oleh filsuf dengan konotasi agensi atau
status moralnya. ‘Legal person’ juga bukanlah merupakan terminologi
sebagaimana dalam bahasa umum yang berkonotasi manusia sebagai
makhluk hidup.123

Korporasi adalah suatu badan hasil ciptaan hukum yang terdiri dari
struktur fisik atau corpus dan ke dalamnya hukum memasukkan unsur animus
yang membuat badan itu mempunyai kepribadian. Oleh karena badan hukum

119
Peter Cane, Responsibility in Law and Morality (Oxford: Hart Publishing, 2002),
hlm. 40.
120
Alexander Nekam, The Personality Conception of the Legal Entity (Cambridge
Mass: Harvard University Press, 1983).
121
Margaret Davies, Asking the Law Question: the Dissolution of Legal Theory, 3rd
edition, (Sydney, Australia: Law Book Company, 2008), hlm. 7.
122
Ngaire Naffine (2), op., cit., hlm. 31.
123
Ibid., hlm. 36.

Universitas Indonesia
96

itu merupakan ciptaan hukum, maka seperti penciptaannya, maka


kematiannya pun juga ditentukan oleh hukum.124

Menurut Kelsen suatu korporasi125 dipandang sebagai person karena


ada perintah hukum (legal order) yang menetapkan hak dan kewajiban
hukum tertentu yang berkaitan dengan kepentingan anggota tetapi bukan
merupakan hak dan kewajiban dari anggotanya, melainkan merupakan hak
dan kewajiban dari korporasi itu sendiri. Hak dan kewajiban tersebut, secara
khusus, terbentuk karena tindakan dari organ korporasi. Misalnya, suatu
gedung disewa oleh organ korporasi, atas nama korporasi, hak untuk
menggunakan gedung tersebut, berdasarkan pada interpretasi biasa,
merupakan hak dari korporasi dan bukan merupakan hak dari anggotanya.
Kewajiban untuk membayar sewanya juga merupakan kewajiban korporasi
itu sendiri dan bukan merupakan kewajiban dari anggota yang ada di
dalamnya.126 Dalam hal ada seseorang yang melanggar hak korporasi, maka
yang berhak untuk mengajukan tuntutan adalah korporasi dan bukan anggota
korporasi, begitu juga apabila korporasi lalai dalam melakukan kewajibannya
maka sanksi diberikan kepada korporasi dan bukan kepada anggotanya.

Suatu individu bertindak sebagai organ dari suatu korporasi apabila


berperilaku sesuai dengan perintah khusus yang membentuk korporasi.
Beberapa individu membentuk suatu grup atau asosiasi hanya apabila mereka
terorganisasi, jika setiap individu memiliki fungsi khusus dengan
hubungannya dengan individu yang lain. Mereka terorganisasi ketika
tindakan mutualnya diatur dengan suatu perintah atau suatu sistem norma
yang disebut statuta atau “by laws” dari korporasi, suatu norma-norma
kompleks yang mengatur perilaku anggotanya.127 Sehingga dapat dikatakan
bahwa suatu korporasi itu ada dalam hukum hanya melalui statutanya.

124
Satjipto Rahardjo, op., cit., hlm. 110
125
Dalam hal ini Kelsen menjelaskan bahwa korporasi merupakan bentuk juristic
person yang paling umum ditemui dalam makna teknis yang sempit. Korporasi diartikan
sebagai suatu grup dari individu yang diperlakukan oleh hukum sebagai satu kesatuan, yaitu
sebagai person yang memiliki hak dan kewajiban yang berbeda dari hak dan kewajiban
individu yang ada didalamnya. Hans Kelsen (1), op., cit., hlm. 96.
126
Hans Kelsen (1), op., cit., hlm. 96.
127
Ibid., hlm. 98.

Universitas Indonesia
97

Seorang individu milik sebuah asosiasi atau membentuk organisasi hanya


sejauh perilaku mereka diatur oleh perintah organisasi. Apabila perilaku
mereka tidak diatur oleh organisasi maka, individu tersebut tidak menjadi
milik atau bagian dari organisasi. Suatu organisasi atau asosiasi bukanlah apa-
apa dalam pandangan hukum melainkan perintah (order) dari organisasi
itulah yang dianggap penting. Mempersalahkan organisasi atas tindakan yang
dilakukan oleh individu menyangkut hubungan dari suatu fakta perintah
hukum (legal order) yang dipersonifikasikan sebagai suatu unit. 128

Jadi menurut Kelsen, Juristic person adalah personifikasi dari suatu


order yang mengatur perilaku dari beberapa individu. Prinsip ini menurut
Kelsen juga berlaku sama dengan subjek hukum manusia alami, karena
seseorang merupakan personifikasi norma-norma yang kompleks yang ada
dalam diri orang tersebut yang mengatur perilaku dan perbuatanya.
Pembebanan tanggung jawab kepada organisasi atas tindakan yang dilakukan
oleh individu yang berperilaku menurut perintah organisasi ini dimungkinkan
hanya apabila hukum dari negara (law of the state) sudah memberikan efek
kepada pemberlakukan statuta pembentukan korporasi, sehingga yang
memberikan personalitas kepada korporasi itu adalah law of the State.

Hukum menurut pandangan formalis merupakan suatu sistem tertutup


yang tidak melihat kepada ilmu yang lain mengenai makna dari terminologi
yang digunakannya.129 Lawson menjelaskan bahwa:

“legal personality, estates and contracts are parts of a world of their


own, which is in some way related to the world of fact but is separate
from them. It is an artificial world whose members are to some extent
arbitrarily, though not irrationally, created to serve certain purposes.
Thus they can be defined with their fair exactness, much more
satisfactory than the facts of everyday life.”130
(kepribadian hukum, tanah milik dan kontrak adalah bagian dari dunia
mereka sendiri, yang dalam beberapa hal terkait dengan dunia fakta
tetapi terpisah dari mereka. Ini adalah dunia buatan yang anggotanya

128
Ibid., hlm. 99.
129
Ngaire Naffine (2), op., cit., hlm. 36.
130
FH Lawson, “The Creative Use of Legal Concepts.” New York University Law
Review, 32, 1957, hlm. 915.

Universitas Indonesia
98

pada batas tertentu dibuat dengan kehendak sendiri, meskipun tidak


irasional, untuk mencapai tujuan tertentu. Sehingga mereka dapat
didefinisikan dengan ketepatan yang adil, jauh lebih memuaskan
daripada fakta kehidupa sehari-hari.)

b) Pandangan Reduksionis tentang Kepribadian Hukum


Korporasi

Pandangan kedua adalah korporasi sebagai kontrak atau agregat atau


partnership, atau disebut juga teori kontraktual.131 Pandangan reduksionis ini
dijelaskan French sebagai teori yang merupakan konsep yang berasal dari
Amerika Serikat sebagai pertentangan dari teori fiksi yang berakar dari
hukum romawi.132 Berbeda dengan pandangan formalis yang menyatakan
bahwa korporasi adalah sesuatu yang fiksi dan mendapatkan pengakuan akan
keberadaannya secara formal dari penguasa, pandangan reduksionis tidak
melihat korporasi sebagai sesuatu yang fiksi tetapi sebagai agregat dari
individu; atau sebagai kontrak yang dibuat oleh individu-individu tersebut
untuk ikut serta dalam suatu tujuan bersama yang ditentukan oleh individu-
individu tersebut secara suka rela.

Pandangan reduksionis menjelaskan ketika berbicara tentang entitas


gabungan (collective entities), dimana korporasi termasuk didalamnya,
merujuk pada agregat individu dan interaksi yang terjadi antara individu-
individu dalam gabungan entitas tersebut. Menurut pandangan reduksionis,
perilaku suatu organisasi selalu merupakan agregat dari perilaku individu
yang ada di dalam organisasi; atau hubungan sebab dan akibat antara
perilaku-perilaku individu dengan konsekuensi (baik yang diinginkan maupun
yang tidak diinginkan) dari perilaku tersebut.133

131
Lihat Ron Harris (1), op., cit., hlm. 1423, lihat juga Lederman, op. cit. dan Peter A.
French, op., cit., hlm. 208-209.
132
French, op., cit., hlm. 209.
133
Hans Kribbe, “Corporate Personality: A Political Theory of Association,”
(Disertasi Doktor London School of Economics and Political Science, Inggris, 2014), hlm.
20.

Universitas Indonesia
99

Grup menjadi badan hukum (legal entities) oleh usaha sukarela dan
konsensual yang dilakukan oleh para anggota grup tersebut, sehingga
menimbulkan konsekuensi terciptanya status baru menjadi persona hukum
terpisah dari anggota yang ada.134 Nama suatu badan hukum akan menjadi
payung bagi hak-hak orang biologis yang ada di dalam perkumpulan
tersebut.135 Konsep ini dimulai dengan asumsi bahwa manusia adalah
pemagang asli dari hak dan kewajiban dan kemudian menyimpulkan bahwa
korporasi hanya akan berhak untuk menyandang legal personhood sejauh hal
itu akan melindungi hak dari anggota manusia yang merupakan angggota dari
grup tersebut.136

Korporasi secara historis berasal dari kelompok orang atau individu,


di mana mekanisme hukum yang tersedia untuk mengatur hubungan antara
individu dengan individu yang lainnya adalah kontrak (corporation as nexus
of contracts).137 Dari sanalah kemudian disimpulkan bahwa grup yang diakui
secara hukum itu adalah kontrak atau bisa dikatakan bahwa korporasi
menggunakan kontrak sebagai mekanisme utamanya.138 Dalam hal korporasi
dijalankan oleh manajemen yang berbeda dengan pemegang saham, maka
manajemen dalam hal ini adalah seperti trustee dari shareholders.139
Kelahiran badan hukum menurut teori ini merupakan ranah yang ada secara
privat dan bukan merupakan ranah hukum publik.140

Dalam perkembangannya pandangan formalis dan pandangan


reduksionis mengenai corporate legal personality ini disebut juga teori
nominalistik (nominalistic theory) yang kemudian sering dipersandingkan
dengan teori realistik dari personalitas korporasi.141

134
Ron Harris (1), op., cit., hlm. 1424.
135
French, op., cit., hlm. 209.
136
Hardvard Law Review’s Note, op., cit., hlm. 1754.
137
Lihat David K. Millon, “The Theories of the Corporations,” Duke Law Journal,
No. 2, 1990, 201-263, hlm. 203.
138
Nicholas H. D. Foster, “Company Law Theory in Comparative Perspective:
England and France”, The American Journal of Comparative Law, Vol. 48, No. 4, Autumn,
2000, 573-621, op., cit., hlm. 585.
139
David K. Millon, op., cit., hlm. 203.
140
Ron Harris (1), op., cit., hlm. 1424.
141
Iwai, op., cit., hlm. 584.

Universitas Indonesia
100

c) Pandangan Realis tentang Kepribadian Hukum Korporasi

Pandangan realis atau kadangkala dirujuk sebagai pandangan ‘entitas


alami’ (natural entity theory)142 merupakan kritik terhadap pandangan
formalis, karena formalis mengemukakan bahwa subjek itu ditentukan oleh
kebijakan publik sedangkan realis, menjelaskan bahwa subjek itu ada karena
interaksi sosial di antara masyarakat.143 Teori ini dipelopori oleh Otto von
Gierke seorang ahli hukum dari Jerman yang secara konsisten menjelaskan
secara akademik konsep corporate realistic.144 Pemikiran Gierke kemudian
dijelaskan dan dikembangkan oleh ahli hukum dan ahli sejarah Inggris,
Maitland yang menyebarluaskan pemahaman tentang teori realistik dari
personalitas korporasi ke negara lain terutama Inggris dan Amerika.145

Menurut teori tersebut, hukum tidak dapat membuat sendiri


subjeknya, namun hanya mengakhui fakta sosial yang memenuhi syarat
menurut hukum sehingga korporasi merupakan hasil dari tindakan sosial
tertentu yang kemudian memiliki personalitas de facto, yang kemudian
hukum mendeklarasikannya sebagai fakta yuridis (juridical fact).146 Ketika
beberapa orang mengikatkan dirinya secara bersama dan bertindak dengan
cara tertentu untuk tujuan yang sama maka mereka telah menciptakan suatu
tubuh sendiri yang berbeda dengan individu-individu yang ada didalamnya,
tubuh baru tersebut tercipta bukan karena fiksi hukum, tetapi karena sifat
dasar dari hal tersebut.147 Akibat dari kedudukan “realitas” yang diberikan
kepada korporasi adalah bahwa kepribadian korporasi sama nyatanya dengan
kepribadian individu sehingga hukum juga seharusnya bisa mengakui realitas
ini dengan memberikan hak yang sama sebagaimana orang perorangan. 148

142
Nicholas H. D. Foster, op., cit., hlm. 584.
143
James Boyle, op., cit., hlm. 519.
144
Ron Harris (1), op., cit., hlm. 1424.
145
Ibid.
146
French, op., cit., hlm. 209.
147
Dicey, sebagaimana dikutip dari Dewey, op., cit., hlm. 673.
148
Foster, op., cit., hlm. 584.

Universitas Indonesia
101

Pendapat Gierke sebagaimana dijelaskan kembali oleh Maitland


menyatakan “a univeristas (or corporate body) … is a living organism and a
real person, with body and members and a will of its own. Itself can will,
itself can act … it is a group of person, and its will is a group will.”149 (suatu
badan hukum… adalah makhluk hidup dan suatu orang yang nyata, dengan
tubuh dan anggota-anggota dan kehendaknya sendiri. Dirinya sendiri bisa
berkehendak, dirinya sendiri bisa bertindak… ini adalah kelompok orang, dan
ini adalah kehendak kelompok.) Dari kutipan yang dijelaskan di atas dapat
dipahami bahwa Gierke dan Maitland dalam posisi yang menyatakan bahwa
sifat yang secara intrinsik harus dimiliki oleh suatu entitas untuk bisa menjadi
subjek hukum adalah “will” atau kehendak.150 Apabila entitas tersebut
memiliki kehendak yang independen terhadap dirinya sendiri maka dia dapat
menjadi pengemban hak dan kewajiban dalam hukum.

Paham realis ini dapat dibagi lagi menjadi tiga kelompok: rasionalis,
religius, dan naturalis,151 tergantung berapa jarak yang diyakini antara agregat
anggota di satu sisi dan korporasi sebagai entitas yang berbeda dan terpadu
disisi lain.152 Banyak para ahli saat ini yang menganut paham realist. Dimana
pendekatan ini semakin ambisius, dengan menegaskan bahwa keberadaan
korporasi terlepas dari gabungan individu yang ada di dalamnya. Penganut
aliran ini tidak menyangkal bahwa korporasi terdiri dari manusia. Mereka
meyakini bahwa korporasi memiliki fenomena yang sama dengan hukum
alam lainnya bahwa dunia penuh dengan gabungan dari molekul yang bersifat
berbeda dengan benda yang dibentuknya. Misalnya, air (H2o) terdiri dari
hydrogen dan oksigen, komponen-komponen pembentuk air ini memiliki sifat
yang tidak sama dengan air. Dalam hal korporasi, manusia yang ada di

149
Gierke, Political Theories of the Middle Age (1902) xxvi (diterjemahkan dan
dikomentari oleh Maitland) sebagaimana dikutip dari Dewey, op., cit., hlm. 658.
150
Dewey, op., cit., hlm. 658. Kehendak sebagai syarat untuk dapat disebut sebagai
subjek hukum.
151
Ngaire Naffine, op., cit., 20.
152
Meir Dan-Cohen (2), “Epilogue on Corporate Personhood and Humanity,” New
Criminal Law Review, Vol. 16, Issue 2, Spring 2013, 300-308, hlm. 302.

Universitas Indonesia
102

dalamnya atau gabungan dari manusia tersebut merupakan hal yang berbeda
dari korporasi itu sendiri.153

Teori korporasi sebagai entitas yang natural sebagaimana manusia


alami juga digunakan oleh para pendukung corporate social responsibility
sebagai argumen untuk memberikan kewarganegaraan bagi korporasi
(corporate citizenship), yang menyatakan bahwa seperti manusia alami,
korporasi juga seharusnya dapat menikmati kebebasan untuk bertindak
sebagai warga yang bertanggung jawab secara sosial. 154 Sehingga,
manajemen korporasi dalam bertindak haruslah mempertimbangkan
pertanggungjawaban publik dari korporasi, meskipun hal ini akan berdampak
kepada keuntungan dari korporasi (yang juga secara tidak langsung akan
berdampak kepada keuntungan yang diperoleh oleh pemilik saham atau
shareholders).155
Perdebatan filosofis mengenai entitas kolektif ditandai dengan
perdebatan abadi antara pandangan holistic dan atomistic, secara garis besar
antara pandangan yang secara penuh mengakui realitas entitas kolektif dan
menolak kemungkinan untuk mereduksi kenyataan tersebut menjadi individu-
individu dan hubungan antara individu tersebut, dan pandangan yang melihat
entitas kolektif terdiri dari individu-individu sehingga bisa direduksi menjadi
individu dan hubungan antar individu tersebut.156 Millon menjelaskan bahwa
perdebatan mengenai sifat dari korporasi adalah perdebatan antara pandangan
yang menyatakan korporasi sebagai sesuatu yang alami atau natural dengan
pandangan yang menyatakan korporasi sebagai sesuatu yang artificial, dan
juga perdebatan antara pandangan yang menyatakan korporasi sebagai suatu
entitas sendiri dengan pandangan yang menyatakan korporasi sebagai suatu
agregat.157

153
Ibid., hlm. 302.
154
Millon, op., cit., hlm. 203.
155
Ibid.
156
Meir Dan-Cohen (1), op., cit., hlm. 15.
157
“Entity/aggregate, natural/artificial nature of corporations,” Lihat Millon, op., cit.,
hlm. 205

Universitas Indonesia
103

Korporasi adalah badan hukum bukan manusia yang alami, dan


mereka adalah bagian terpenting dari kemajuan ekonomi, kekuatan
pendorong dibalik kehidupan modern. Namun penerimaan personifikasi
hukum korporasi di dalam hukum pidana menjadi lebih rumit dibandingkan
dengan rezim hukum yang lain.158 Pertanyaan seperti misalnya apakah masuk
akal untuk menendang mereka atau membuat mereka berteriak dihadapan
pengadilan pidana? Padahal mereka hanya bisa ditendang dan berteriak
melalui agen manusianya? Pertanyaan seperti ini tidak pernah dipertanyakan
ketika korporasi menjadi subjek hukum adminstrasi atau perdata. Hukum
pidana memiliki karakteristik yang berbeda dengan hukum perdata. Hukum
pidana memiliki beberapa karakteristik yang khusus karena mengatur tentang
standar perilaku, yang didukung dengan sistem penghukuman oleh negara.
Hukum pidana biasanya membutuhkan bukti tentang adanya unsur kesalahan
seperti niat, pengetahuan, atau kelalaian dari subjek.159 Berbeda dengan
karakteristik hukum pidana di atas, hukum perdata berfungsi untuk
mengkompensasi kerugian yang ditimbulkan. Hukum perdata memiliki
standar pembuktian yang lebih rendah di bandingkan dengan standar
pembuktian pada hukum pidana. Suatu korporasi atau seorang individu bisa
mengasuransikan suatu resiko yang bersifat perdata. Hal ini tidak dapat
dilakukan dalam pertanggungjawaban pidana.160

2) Korporasi dalam Struktur Sosial

Dalam masyarakat kontemporer dapat dilihat betapa peran korporasi


sama pentingnya dengan peran individu di dalam kehidupan masyarakat.
Mark Bovens menjelaskan korporasi sebagai ciri dari organisasi pada abad ke
dua puluh, yang mana korporasi ini telah masuk kepada semua faset
kehidupan.161 Amitari Etzioni berpendapat bahwa masyarakat modern sangat

Celia Wells (1), “Corporate Criminal Liability in England and Wales: Past, Present
158

and Present,” dalam Corporate Criminal Liability: Emergence, Convergence and Risk, Mark
Pieth dan Radha Ivory (editor), (London: Springer, 2011), hlm. 93.
159
Ibid.
160
Ibid.
161
Dikutip dari Christopher Harding, op., cit., hlm. 29.

Universitas Indonesia
104

bergantung kepada korporasi sebagai bentuk kelompok sosial yang paling


rasional dan efisien.162

Saat ini sangat mudah untuk mengidentifikasi korporasi yang ada di


setiap tingkat sosial. Mulai dari urusan pemerintahan dan urusan publik yang
diurus oleh sebuah organisasi yang sudah terbentuk secara mapan, seperti
negara, organisasi international antar negara (intergovernmental
organisations /IGOs), atau ke arah bawah misalnya instansi pemerintah,
departemen atau pemerintahan daerah. Di bidang ekonomi dan perdagangan,
didominasi oleh organisasi yang biasanya berbentuk perusahaan atau firma.
Organisasi yang dibentuk oleh masyarakat sipil untuk mengekspresikan
dirinya dalam mewakili kepentingan kelompok melalui organisasi non-profit
(non-profit Organisations /NGOs). Di bidang pendidikan dan budaya,
terstruktur dalam bentuk institusi atau lembaga seperti universitas, lembaga
penelitian, atau institusi seni dan kebudayaan.

Interaksi sosial yang terjadi di antara individu masyarakat bisa


menggiring terbentuknya suatu komunitas; namun tidak semua bentuk
interaksi dan komunitas tersebut bisa dikategorikan sebagai korporasi.
Sehingga bentuk kelompok yang berbeda akan memberikan konsekuensi
hukum yang berbeda pula.

Berdasarkan karakteristik keterikatan hubungan antar anggota


kelompok, Harding memaparkan tiga tipe kolektif: agregat, grup sosial dan
organisasi.163 Sub-bab ini akan menguraikan tiga tipe kolektif tersebut dan
menganalisa tipe kolektif yang mana yang dapat dikategorikan termasuk
dalam pengertian korporasi.

a) Agregat
Agregat mengacu pada suatu kolektif yang tidak terorganisasi dan
terbentuk secara acak, contohnya keramaian di suatu tempat umum, penonton
konser, peserta seminar, pengunjung tempat wisata, orang yang berbelanja di
pasar, orang yang sedang beribadah berjamaah di masjid atau tempat ibadah
162
Ibid.
163
Harding, op., cit., hlm. 46.

Universitas Indonesia
105

lainnya. Dalam hal ini setiap orang datang secara bersama-sama ke suatu
tempat dan memiliki tujuan yang secara umum sama (misalnya menonton
pertunjukan musik, mengikuti seminar, berbelanja, beribadah), tetapi
kedatangan mereka secara bersama-sama ini bersifat acak dan kebetulan.
Mereka secara kebetulan memiliki tujuan yang sama pada waktu dan tempat
yang kebetulan sama, tetapi dalam hal yang lain mereka mungkin tidak
memiliki hal lain yang sama atau tidak saling kenal satu dengan yang lainnya.
Kedatangan mereka secara bersamaan bersifat longgar dan kebetulan,
keterikatan mereka hanya sementara untuk mengejar tujuan yang tidak terus
menerus.164

b) Grup Sosial
Anggota grup sosial memiliki rasa kekomunitasan dan nilai-nilai serta
budaya yang sama. Anggota dari kelompok tersebut memiliki banyak
kesamaan, perasaan dan pengalaman yang sama dan berhubungan satu
dengan yang lainnya dalam hal yang signifikan, tetapi perilaku mereka tidak
terkoordinasi untuk mencapai tujuan tertentu. Contoh dari grup sosial adalah
kelompok etnis, bangsa (bukan negara), kelompok kekerabatan, kelas sosial,
kelompok pekerjaan yang sama, orang-orang dengan pandangan politik atau
agama yang sama. Kelompok seperti ini berada di tengah-tengah spektrum,
tidak memenuhi karakteristik untuk disebut organisasi, tetapi dapat menjadi
dasar terbentuknya suatu organisasi.165 Misalnya, suatu bangsa bisa
mengoranisir diri menjadi suatu negara, suatu kelompok pekerjaan yang sama
bisa membentuk organisasi professional, ikatan dokter misalnya, kelompok
dengan pandangan politik yang sama dapat membentuk suatu partai politik,
kelompok dengan pandangan agama yang sama bisa membentuk gereja atau
masjid, dan lain-lain.

Ada beberapa argumen tentang garis batas antara sosial grup dengan
organisasi, terutama tentang kelompok kekerabatan, kelompok etnis dan

164
Ibid.
165
Ibid.

Universitas Indonesia
106

keluarga. Apabila ‘kelompok kekerabatan’ bisa dimasukkan ke dalam


kategori komunitas yang sama tetapi tidak memenuhi syarat untuk dikatakan
sebagai organisasi. Sedangkan kelompok suku seringkali memiliki struktur
yang dibangun dengan jelas seperti dalam suatu pemerintahan kecil, dan
keluarga bahkan lebih sulit lagi untuk diposisikan.166 Dalam satu sisi keluarga
merupakan skala terkecil dan terikat lebih erat dari kelompok kekerabatan,
tetapi keluarga juga bisa memiliki suatu aturan internal, pengelolaan dan
pengaturan serta representasi yang membuat mereka memiliki karakter
aktifitas yang terorganisasi dalam rangka mencapai tujuan tertentu.167
Kategori biologis keluarga juga bisa menjadi kategori sosial, politik, dan
ekonomi, misalnya klan (sebagai grup politik keluarga), geng (keluarga
mafia), bisnis keluraga (bentuk yang sangat umum dalam kategori ekonomi).

c) Organisasi
Terminologi organisasi baru digunakan setelah abad ke dua puluh,
sebelumnya, kelompok sosial tidaklah disebut sebagai organisasi. Seperti
misalnya para ahli yang mula-mula membahas organisasi seperti Michels
(1911) dan Weber (1910-1914) tidak menggunakan istilah organisasi tetapi
birokrasi (bureaucracies), Fayol (1916) menggunakan istilah badan sosial
(social bodies) dan Urwick (1933) membahas ‘struktur pemerintahan,
eklesiastik, militer dan bisnis.’168 Bukan berarti sebelum abad ke dua puluh
apa yang pada saat ini disebut organisasi tidak ada, tetapi baru sedikit konsep
mengenai grup sosial.

Blau menjelaskan perbedaan antara organisasi yang formal dengan


‘struktur sosial (social structure)’ yang lain adalah bahwa organisasi
merupakan struktur sosial yang sengaja dibentuk untuk mencapai tujuan
tertentu, dan aturan-aturan yang ada sengaja dibuat, sistem sosial diciptakan
dari prosedur yang secara formal diberlakukan dan bukan sistem sosial yang
hanya mucul karena paksaan. Sedangkan ‘struktur sosial’ adalah fenomena

166
Ibid., hlm. 47.
167
Talcott Parsons Dan Robert F. Bales, Family, Socialization And Interaction
Process (The Free Press. 1955).
168
Ibid., hlm. 32.

Universitas Indonesia
107

yang ada karena gabungan akibat dari berbagai tindakan individu, yang
masing-masingnya mengejar tujuannya sendiri, dan dari situlah suatu sistem
ekonomi atau kelas sosial terbentuk dan memunculkan pola yang terorganisir
dari tindakan sosial, meskipun tidak ada satu orangpun yang secara eksplisit
mengorganisir usaha dari individu tersebut.169 Dalam hal ini suatu grup yang
secara spontan terbentuk seperti misalnya kelas sosial, grup etnis, bangsa
(yang berbeda dengan negara), kelompok kekerabatan, dan juga keluarga
tidak dikategorikan sebagai organisasi, karena mereka tidak memiliki
karakteristik yang dibentuk karena tujuan dan pemikiran tertentu.170

Ada beberapa definisi organisasi yang telah dibuat oleh para ahli
dalam ilmu sosiologi. Penjelasan Weber bisa dijadikan titik awal yang
penting untuk melihat pengertian organisasi. Weber membedakan
organisasi171 dengan grup sosial yang lainnya. Konsep organisasi nya Weber
mengacu kepada bentuk organisasi formal, yang besar, dan kompleks. Weber
menjelaskan organisasi sebagai hubungan sosial yang tertutup atau
membatasi keterlibatan orang luar dengan adanya aturan, dimana perintah
dilakukan oleh orang tertentu yang fungsi umumnya adalah pimpinan atau
kepala, sehingga dapat dikatakan bahwa organisasi dalam pengertian Weber
ini merupakan hubungan dalam lingkup interaksi yang tertutup dan terbatas,
perintah interaksi dari struktur diberikan oleh organisasi itu sendiri,
interaksinya lebih bersifat asosiatif daripada bersifat komunal (yang
membuatnya berbeda dengan grup sosial yang lain seperti misalnya
keluarga), serta memiliki tujuan tertentu yang berkelanjutan.172

Selanjutnya Etzioni menjelaskan tentang definisi organisasi yang


banyak dipengaruhi oleh pendapat Weber yang juga membedakan antara
169
Peter M. Blau, Entry in The International Encyclopedia of the Social Siences,
dikutip dari Christopher Harding, op., cit., hlm. 41.
170
Ibid.
171
Weber menggunakan istilah grup yang berbentuk korporasi (corporate group) yang
diterjemahkan dari bahasa Jerman ‘verband’, terminologi ini merupakan salah satu yang
sangat penting dalam tulisan Weber. Menurut Talcott Parsons sebagai penerjemah buku ini,
ia tidak menggunakan terminologi asosiasi karena tidak mengimplikasikan perbedaan yang
formal antara pimpinan dengan anggota biasa dalam grup. Lihat Max Weber, The Theory of
Social and Economic Organization, diterjemahkan oleh A.M. Henderson dan Talcott
Parsons, (The Free Press: 1947), hlm. 145.
172
Max Weber, op., cit., hlm. 136-152.

Universitas Indonesia
108

organisasi yang formal dan yang informal. Menurutnya, organisasi adalah


unit sosial atau grup manusia yang sengaja dibentuk untuk mencapai tujuan
tertentu, memiliki visi perencanaan untuk tenaga kerja, kekuasaan dan
tanggungjawab untuk komunikasi, ada pusat kekuasaan yang meninjau
kegiatan organisasi, dan ada mekanisme penggantian anggota.173

Talcott Parson, seorang ahli sosial yang sangat berpengaruh


menjelaskan organisasi adalah “a formal analytical point of reference,
primacy of orientation to the attainment of a specific goal or purpose is used
as the defining characteristic of an organization which distinguishes it from
other types of social system.”174 (suatu titik acuan yang analitik formal,
keutamaan orientasi untuk mencapai suatu tujuan tertentu digunakan untuk
mendefinisikan karakteristik dari suatu organisasi yang membedakannya dari
tipe sistem sosial yang lainnya.)

Seiring dengan pendapat Parson di atas, Schein juga memberikan


definisi yang mirip tetapi dengan pengembangan. Schein menjelaskan
organisasi adalah “the rational coordination of the activities of a number of
people for the achievement of some common explicit purpose or goal, through
division of labor or function, and through a hierarchy of authority and
responsibility.”175 (koordinasi rasional dari aktifitas beberapa orang untuk
mencapai suatu tujuan yang sama dan eksplisit, melalui pembagian kerja atau
fungsi, dan melalui hirarki wewenang dan tanggung jawab.)

Selanjutnya Miles menjelaskan pengertian organisasi sebagai:176

“deliberate arrangements and conscious coordinations of people to


achieve a common goal or set of goals. Organizations have a distinct
purpose and a delibarete structure and they accomplish specific goals
through the work and behavior of people. An organization is not a
random group of people who come together by chance, rather it is a

173
Amitai Etzioni, Modern Organizations, dikutip dari Christopher Harding, op., cit.,
hlm. 39.
174
Dikutip dari John McAuley, Joanne Duberley and Phil Johnson, Organization
Theory: Challenges and Perspectives, (England: Pearson Education, 2007), hlm. 12.
175
Ibid.
176
Jeffrey A. Miles, Management and Organization Theory: Jossey – Bass Reader,
(San Francisco: John Wiley & Sons, 2012).

Universitas Indonesia
109

consciously and formally established entity that is designed to


accomplish certain goals that its members would be unable to reach
by themselves. It is a managed system designed and operated to
achive mission, vision, strategies and goals.”
(pengaturan yang disengaja dan koordinasi orang yang dilakukan
secara sadar untuk mencapai suatu atau beberapa tujuan yang sama.
Organisasi memiliki tujuan yang berbeda dan suatu struktur yang
sengaja dan mereka mencapai tujuan tersebut melalui pekerjaan dan
perilaku orang. Suatu organisasi bukanlah grup acak dari orang yang
datang secara bersama-sama karena kebetulan, tetapi merupakan suatu
entatitas yang secara sadar dan secara formal dibentuk untuk
mencapai tujuan yang mana anggota-anggota di dalamnya tidak akan
mampu untuk mencapainya apabila mereka melakukannya sendirian.
Ini adalah suatu sistem yang teratur yang dibentuk dan dijalankan
untuk mencapai misi, visi, strategi dan tujuan.)
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa organisasi
memiliki beberapa karakteristik penting yang membuat mereka berbeda
dengan grup sosial yang lain. Pertama, kegiatan organisasi diarahkan untuk
mencapai tujuan tertentu, baik tujuan formal organisasi maupun tujuan lain
yang dihasilkan dari kegiatan sehari-hari organisasi. Kedua, terdiri dari
kerangka kerja untuk hubungan dan interaksi sosial yang formal. Ke tiga,
terdapat suatu sistem perintah mengenai pengambilan keputusan kolektif dan
pengimplementasian keputusan tersebut. Karakteristik ke empat,
dipertahankan dalam suatu sistem posisi yang terkait dengan peran tertentu
dari organisasi dan bukan berdasarkan peran individu tertentu secara
khusus.177

Ada banyak teori organisasi yang dikemukan para ahli diantaranya


adalah teori birokratik yang dikemukakan oleh Weber.178 Teori ini
menekankan kepada hubungan formal yang dimiliki oleh organisasi yang
tidak dimiliki oleh grup sosial yang lainnya. Ada juga teori principal-agent
seperti misalnya yang dikemukakan oleh Grossman dan Hart.179 Teori ini
menjelaskan hubungan manusia dengan organisasi secara keseluruhan.

177
Christopher Harding, op., cit., hlm. 42.
178
Doug McAdam dan W. Richard Scott, “Organizations and Movements,” dalam
Davis, McAdam, Scott dan Zaid (editor), Social Movements and Organization Theory,
(Cambridge: Cambridge University Press: 2005), hlm. 7
179
Ibid.

Universitas Indonesia
110

Selanjutnya rational-action teori yang menjelaskan bahwa setiap aktifitas


organisasi dapat dijelaskan dalam suatu pilihan yang rasional berdasarkan
tujuan yang ingin mereka capai, sebagaimana yang dikemukakan oleh
Simon.180 Ada juga contingency theory yang menjelaskan bagaimana
organisasi beradaptasi dengan lingkungannya sehingga bisa menjadi lebih
efektif dan efisien, sebagaimana yang dikemukakan oleh misalnya Lawrence
dan Lorsch.181 Pengembangan dari contingency theory adalah organizational
ecology theory. Berbeda dengan contingency theory yang lebih
menitikberatkan kemampuan organisasi beradaptasi dengan lingkungannya
supaya lebih efektif dan efisien, ecology theory memberikan penekanan
kepada kemampuan organisasi untuk bertahan (organizational survival).182
Selanjutnya ada neoinstitutional theory sebagaimana yang dikemukakan oleh
Meyer dan Rowan. Teori ini menjelaskan bahwa organisasi berevolusi untuk
menyesuaikan dengan kondisi sosial dan kinerja organisasi, selain
kepercayaan dan efisiensi, legitimasi dan kemampuan untuk bertanggung
jawab menjadi standar yang penting bagi organisasi.183

Menurut Harding, organisasi memang adalah terminologi yang paling


sesuai untuk merujuk kepada kelompok kolektif yang memiliki karakteristik
khusus sebagaimana yang telah dikemukakan di atas. Apabila menggunakan
terminologi ‘korporasi’, maka dapat menyebabkan kekeliruan karena dapat
mengecualikan organisasi yang tidak berbadan hukum seperti misalnya
partnership atau serikat buruh. Terminologi grup yang ‘kompleks’ atau
‘berskala besar’ juga dapat menimbulkan kebingungan karena ada kolektif
yang signifikan dalam sosial dan hukum yang tidak kompleks dan berskala
besar. Istilah ‘organisasi formal’ juga masih dirasa kurang tepat walaupun
sudah cukup mendekati, karena hanya menunjukkan bentuk yang secara
hukum terbentuk dan terlihat oleh publik, yang bisa terlihat jelas pada
perusahaan atau negara, tetapi tidak ada dalam kelompok sosial seperti
organisasi teroris atau organisasi terlarang lainnya. Sehingga terminologi

180
Ibid.
181
Ibid.
182
Ibid. hlm. 8
183
Ibid.

Universitas Indonesia
111

‘organisasi’ dianggap yang paling tepat mewakili grup sosial yang memiliki
kekohesian dan dapat menjadi pengemban pertanggungjawaban pribadi,
untuk membedakannya dengan grup yang lebih longgar sebagai ‘grup sosial’
atau ‘agregat’.184

Untuk menggambarkan jenis-jenis kelompok kolektif di atas, agregat,


grup sosial dan organisasi, dapat digambarkan secara singkat melalui tabel
berikut:185

Tabel 2.1 Jenis-Jenis Kelompok Kolektif

Agregat Grup sosial Organisasi

Acak, kebetulan, Perasaan yang sama akan Terkoordinasi dan


komposisi kebersamaan, atau perasaan terstruktur untuk
keterikatan mengejar tujuan tertentu

Contohnya: Contohnya: Contohnya:

Audiens seminar, Grup etnis Jawa, kelas Negara, Pertamina,


keramaian di pasar sosial menengah keatas, Koperasi Desa dll.
swalayan jemaah mesjid al-Furqan dll

Cohen menguraikan beberapa sifat penting yang harus dipenuhi oleh


suatu kelompok kolektif untuk dapat menjadi organisasi, sehingga dia dapat
menjadi subjek hukum yang memiliki identitas mandiri dan dapat
bertanggung jawab secara mandiri sebagai identitas kolektif menggantikan
individu sebagai aktor. Menurut Cohen, organisasi memiliki syarat-syarat
sebagai berikut: struktur yang permanen, berorientasi pada tujuan, identitas
yang permanen, kompleks, formal, pembuat keputusan, memiliki struktur
fungsi.186

184
Christopher Harding, op., cit., hlm. 43.
185
Ibid., hlm. 45. Contoh-contoh diberikan oleh penulis.
186
Meir Dan-Cohen (1), op., cit., hlm. 31.

Universitas Indonesia
112

i. Struktur
Poin awal yang paling nyata dari kesatuan organisasi yang lengkap
adalah adanya struktur yang permanen. Hal ini menyiratkan keberadaan dari
suatu pola yang tetap dan jelas. Hubungan antara struktur dan konsepsi yang
menyatu dari organisasi dapat dipahami dengan analogi antara mobil dengan
komponennya. Kinerja dari suatu organisasi sebagaimana juga mobil sangat
bergantung pada struktur yang ada di dalamnya. Pada suatu organisasi,
struktur diterima sebagai faktor yang membawa pembaharuan dan perubahan.
Kombinasi kedua ide yang berkaitan ini menjadikan organisasi sebagai suatu
struktur yang dapat dimodifikasi, susunan internalnya bisa ditransformasi
untuk membawa perubahan capaian yang diinginkan.187

ii. Permanen, Fungsional dan Orientasi terhadap Tujuan


Permanen berarti bahwa organisasi dapat bertahan selama beberapa
generasi tanpa kehilangan identitas fundamental sebagai unit yang berbeda,
meskipun semua anggota yang ada di dalamnya sudah berbeda dengan
pembentuk awalnya. Permanen direfleksikan dalam dua fungsi yang utama
dari organisasi, yaitu memori dan perencanaan. Melihat suatu organisasi pada
suatu waktu (t2), bahwa tindakan dan keputusan yang diambil pada saat itu
dipengaruhi oleh kejadian pada masa lalu t1 (karena memori yang ada) dan
pada masa yang akan datang t3 (karena rencana jangka panjang organisasi).
Namun, karena sifat dasar dari permanen, yang memisahkan identitas
organisasi dengan identitas dari individu tertentu, komposisi personal dari
organisasi bisa sangat berbeda dari waktu t1, t2 dan t3,188 sehingga tidak ada
satu individupun yang saling berhubungan dari rentang waktu tersebut,
sehingga dapat dikatakan bahwa organisasi dari sifatnya yang permanen
menyebabkannya menjadi independen secara waktu (temporal
independence).189

187
Ibid., hlm. 32.
188
T1 adalah waktu yang lalu, T2 adalah waktu sekarang dan T3 adalah waktu yang
akan datang. Ibid.
189
Ibid., hlm. 32.

Universitas Indonesia
113

Karakteristik organisasi sebagai suatu struktur fungsional (functional


structure) sangat berkaitan dengan karakteristik organisasi yang berorientasi
pada tujuan tertentu (goal oriented).190 Organisasi disebut sebagai suatu
struktur fungsional karena organisasi tersebut merupakan instrumen yang
dibentuk secara formal untuk dapat mencapai tujuan tertentu yang dinyatakan
secara jelas. Sebagai instrumen atau alat untuk mencapai tujuan, maka segala
tindakan dan keputusan yang dibuat oleh organisasi haruslah sesuai dan dapat
mencerminkan pencapain tujuan yang telah ditentukan tersebut.191

Namun kadang kala kebijakan dari struktur fungsional bisa tidak


sejalan dengan tujuan awal dari organisasi (goal displacement). Menurut
Selznick, goal displacement bisa terjadi karena aktifitas harian organisasi
yang menyebabkan munculnya permasalahan yang mungkin tidak berkaitan
dengan tujuan organisasi. Permasalahan ini kemudian lebih menjadi pusat
perhatian para anggota organisasi; perilaku nyata ini menggantikan tujuan
yang diakui.192 Sehingga goal displacement tidak selalu karena kebijakan dari
salah seorang organ organisasi, bukan juga karena mencerminkan
kepentingan salah satu organ organisasi, tetapi lebih karena konsekuensi dari
fungsi yang sistemik yang dihasilkan oleh organisasi sendiri.193

iii. Pengambilan Keputusan (Decision Making)


Dalam menjalankan kegiatannya organisasi memiliki suatu sistem
pengambilan keputusan yang mapan. French menggunakan istilah
Corporation’s Internal Decision Structure (CID structure).194 CID structure
inilah yang menurut French merupakan alat yang digunakan untuk melihat
intentionality atau keinginan dari suatu korporasi. Para ahli ekonomi
menjelaskan bahwa pada suatu organisasi dalam membuat suatu keputusan
juga terdapat rational choice theory, dimana organisasi dalam memilih suatu

190
Ibid., hlm. 36
191
Ibid.
192
Ibid., hlm. 37.
193
Ibid.
194
Peter A. French, op., cit., hlm. 208-209.

Universitas Indonesia
114

keadaan berdasarkan pertimbangan yang rasional.195 Misalnya untuk


organisasi yang bertujuan mencari laba, maka pilihan organisasi yang dibuat
adalah pilihan rasional yang sesuai dengan tujuan tersebut. Corporation’s
Internal Decision Structure yang dikaitkan dengan rational choice theory ini
menjadi salah satu dasar untuk menjelaskan kemampuan organisasi memiliki
unsur kesalahan di dalam pertanggungjawaban pidana.

Proses pembuatan keputusan menjelaskan kemampuan untuk


menunjukkan fungsi pengumpulan, pendaftaran, pencatatan, pengkodean, dan
penyebaran informasi kepada setiap anggota organisasi. Pengambilan
keputusan di dalam organisasi berasal dari koleksi informasi yang menyebar
diantara berbagai personil organisasi, bukan pada personil organisasi tertentu.
Informasi yang dikumpulkan, pada siapa disebarkan, bagaimana informasi
tersebut disimpan, dan akhirnya menjadi hasil akhir berupa suatu pilihan,
sangatlah bergantung pada struktur organisasi, pada keberadaan unit atau
posisi yang ada, pada prosedur operasi standar yang berkaitan, sebagaimana
juga bergantung pada keberadaan gangguan yang mungkinkan ada pada saat
pengolahan informasi.196

iv. Ukuran, Formalitas dan Kompleksitas


Besar atau kecilnya suatu organisasi dapat dilihat dari besarnya skala
operasi dan banyaknya jumlah individu yang terlibat dalam kegiatan
organisasi tersebut. Semakin besar suatu organisasi maka pengaruh keputusan
dan kebijakan organisasi tersebut akan semakan besar terhadap kehidupan
sosial masyarakat. Di samping itu, keputusan dan kebijakan yang bersifat
eksternal (keputusan yang dibuat oleh pihak lain di luar organisasi), seperti
suatu kebijakan hukum mengenai organisasi tersebut, juga akan berdampak
besar bagi kehidupan masyarakat luas. Suatu organisasi yang besar biasanya
juga lebih formal dan kompleks.197

195
John Minkes dan Leonard Minkes, “Editor’s Introduction,” dalam John Minkes dan
Leonard Minkes (editor), Corporate and White Collar Crime, (Los Angeles, USA: Sage,
2008)
196
Meir Dan-Cohen (1), op., cit., hlm. 33.
197
Ibid., hlm. 34.

Universitas Indonesia
115

Formalitas menjadi ciri yang penting dari suatu organisasi semenjak


teori birokrasi sebagaimana yang dikemukakan oleh Weber. Konsep
formalitas akan berkaitan dengan tugas-tugas, tanggung jawab, dan target
serta harapan yang melekat pada setiap peran dari individu di dalam
organisasi. Dalam konteks organisasi, seorang individu akan memiliki “dual
personality” yaitu, personalitas organisasi (organizational personality),
misalnya sebagai manajer hukum, dan sebagainya, dan personalitas individu
(individual personality), misalnya A, dengan kedudukannya sebagai seorang
istri dengan dua orang anak. Semakin formal suatu organisasi, maka akan
semakin tegas pula pemisahan kedua personalitas yang dimiliki oleh individu
yang ada di dalam organisasi tersebut. Keterikatan individu terhadap
organisasi dapat dilihat dari loyalitas dan identifikasi yang dimiliki oleh
individu terhadap organisasi, yang berimplikasi terhadap perubahan perilaku
dan tingkah laku seorang individu ketika berada di dalam organisasi. 198 Dual
personality yang ada di dalam suatu organisasi juga mengakibatkan
terdapatnya dualisme pertanggungjawaban (dual responsibility) pidana
organisasi dan organ manusia yang ada di dalam organisasi. Pembahasan
mengenai dualisme pertanggungjawaban pidana organisasi dan organ
individu di dalam organisasi akan dibahas lebih lanjut pada bab IV disertasi
ini.

Suatu kebijakan atau tindakan yang dibuat oleh organisasi merupakan


suatu proses panjang dan kompleks dari pembuatan keputusan, proses
negosiasi yang panjang, hubungan otoritas, prosedur operasi, dan aktifitas
serta proses lainnya. Semakin kompleks suatu organisasi, maka akan semakin
sulit untuk menelusuri suatu keputusan dan tindakan organisasi terhadap
keinginan dan tindakan tertentu dari individu di dalam organisasi. Keputusan
dan tindakan organisasi bukanlah merupakan refleksi langsung dari keputusan
atau tindakan seorang individu saja.199

198
Ibid., hlm. 35.
199
Ibid., hlm. 35-36.

Universitas Indonesia
116

B. Badan Hukum Menurut Hukum Indonesia

Pada pembahasan sebelumnya sudah dikaji berbagai bentuk aktor


kolektif yang ada di dalam masyarakat dan aktor kolektif yang mana saja
yang dapat diidentifikasi sebagai organisasi. Selanjutnya, akan dianalisis
konsep badan hukum menurut hukum Indonesia. Konsep ini penting untuk
ditelaah karena badan hukum inilah yang disebut sebagai subjek hukum
bukan manusia yang memiliki personalitas hukum mandiri dan telah diterima
menurut hukum Indonesia.

Dalam berbagai literatur hukum Indonesia, badan hukum dijelaskan


sebagai terjemahan dari rechtspersoon, legal person, juristische person.200
Dalam menterjemahkan legal person sebagai badan hukum sebenarnya
beberapa ahli belumlah sepakat. Sebagaimana telah disinggung juga pada
penjelasan sebelumnya, bahwa ada beberapa ahli yang menterjemahkan legal
person sebagai purusa hukum, awak hukum, pribadi hukum dan sebagainya.
Menurut Chidir Ali, istilah rechtpersoon di Belanda sendiri baru dikenal
setelah diundangkannya Buku II N.B.W. (nieuw, baru). Sebelumnya istilah
yang digunakan adalah zedelijk lichaam. Mengenai zedelijk lichaam,
Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka menjelaskan sebagai berikut:

“Dalam menterjemahkan zedelijk lichaam menjadi ‘badan hukum’,


maka lichaam itu benar terjemahannya badan, tetapi hukum sebagai
terjemahan zedelich itu salah, karena arti sebenarnya susila. Oleh
karena istilah zedelijk lichaam dewasa ini sinonim dengan
rechtpersoon, maka lebih baik kita gunakan pengertian itu dengan
terjemahan ‘pribadi hukum’”201
Penulis secara pribadi sependapat dengan Soerjono Soekanto dalam hal
ini. Dari segi bahasa person diartikan orang, maka secara bahasa sebenarnya
legal person berarti ‘orang hukum’, tetapi istilah orang hukum mungkin akan
membingungkan karena kata-kata orang sangat erat kaitannya dengan

200
Chidir Ali, op., cit., hlm. 7., Stephen C. Hicks, 'On The Citizen And The Legal
Person: Toward The Common Ground Of Jurisprudence, Social Theory, And Comparative
Law As The Premise Of A Future Community, And The Role Of The Self Therein',
Cincinnati Law Review, 59, 1991, hlm. 816.
201
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Edisi
Ketiga, Cetakan ke-5, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), hlm. 29.

Universitas Indonesia
117

manusia dengan segala sifat kemanusiaannya. Istilah ‘orang hukum’ tidak


diadopsi sebagai terjemahan dari legal person atau rechtpersoon. Apabila
dilihat kepada kata personality yang diartikan dalam bahasa Indonesia dengan
kepribadian, seperti Legal personality akan diartikan sebagai kepribadian
hukum, maka menurut penulis legal person akan lebih cocok diterjemahkan
sebagai pribadi hukum dari pada badan hukum.

Para pembuat undang-undang sepertinya lebih menyukai istilah badan


hukum dari pada pribadi hukum karena dalam banyak undang-undang, istilah
yang diakomodasi untuk merujuk kepada kelompok kolektif yang dianggap
mampu untuk berpartisipasi di dalam hubungan hukum adalah istilah ‘badan
hukum’. Misalnya Undang-Undang Darurat Republik Indonesia No. 17
Tahun 1951 tentang Penimbunan Barang-Barang menggunakan istilah Badan
Hukum. Pasal 1 UU ini menjelaskan yang dimaksud dengan badan hukum
adalah “tiap perusahaan atau perseroan, perserikatan atau yayasan, dalam arti
yang seluas-luasnya, juga jika kedudukan sebagai badan hukum itu baik
dengan jalan hukum ataupun berdasarkan kenyataan tidak diberikan
kepadanya.”202 Pada penjelasan Pasal 11 diterangkan bahwa badan hukum
diartikan seluas-luasnya. UU ini juga merupakan UU pertama di Indonesia
yang menyatakan bahwa badan hukum dapat dipertanggung jawabkan
sebagai pribadi sendiri menurut hukum pidana. Badan hukum yang diartikan
seluas-luasnya menurut UU ini, merupakan cikal bakal dari pengertian
korporasi yang kemudian diantut menurut hukum pidana Indonesia.

Menurut Subekti, badan hukum adalah orang yang diciptakan oleh


hukum.203 Badan hukum dapat memiliki hak dan melakukan perbuatan
hukum, ikut dalam lalu lintas hukum, dapat memiliki kekayaan sendiri, serta
dapat dituntut dan menuntut di muka pengadilan, sebagaimana halnya dengan
manusia.204 Pendapat Subekti sejalan dengan pandangan Ali Ridho yang
menjelaskan bahwa badan hukum adalah suatu badan yang dapat mempunyai

202
Indonesia, Undang-Undang Darurat Republik Indonesia tentang Penimbunan
Barang-Barang, UU No. 17/1951, LN No. 90, TLN. No. 155.
203
Subekti, op., cit., hlm. 21.
204
Ibid.

Universitas Indonesia
118

hak-hak, kewajiban-kewajiban hukum dan dapat mengadakan hubungan


hukum.205

Selanjutnya E. Utrecht menjelaskan bahwa rechtpersoon atau badan


hukum adalah badan yang menurut hukum berkuasa (berwenang) menjadi
pendukung hak. Badan hukum sebagai gejala kemasyarakatan adalah suatu
gejala riil, sebagai fakta yang benar dalam pergaulan hukum. Meskipun badan
hukum tidak berwujud nyata seperti manusia, tetapi kenyataan bahwa badan
hukum memiliki kekayaan (vermogen) dan hak serta kewajiban yang terpisah
dari anggotanya, menjadi penting di hadapan hukum.206 Seirama dengan
Utrecht, R. Rochmat Soemitro juga menjelaskan bahwa badan hukum adalah
suatu badan yang dapat mempunyai harta, hak serta kewajiban seperti orang
pribadi.207

Sedangkan Molengraff dan Zelyemaker berpendapat bahwa adanya


pemisahan kekayaan yang dimiliki oleh suatu persekutuan tidak menjadi
faktor penentu apakah persekutuan tersebut merupakan badan hukum, sebab
untuk dapat disebut sebagai badan hukum maka haruslah juga memiliki
pertanggungjawaban yang terpisah pula.208

Sri Soedewi Maschun Sofwan mengemukakan bahwa manusia adalah


badan pribadi, di samping manusia, hukum juga memberikan kedudukan
badan pribadi kepada wujud lain, yang disebut badan hukum. Dimana yang
dimaksud dengan badan hukum menurut Sri Soedewi Maschun Sofwan
adalah kumpulan dari orang-orang bersama-sama mendirikan suatu badan
(perhimpunan) dan kumpulan harta kekayaan yang tersendirikan untuk tujuan
tertentu (yayasan).209

205
Ali Ridho, Badan Hukum, dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan,
Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, Edisi Pertama, Cetakan Ke-3, (Bandung: PT.
Alumni, 2012), hlm. 2.
206
Chidir Ali, op., cit., hlm. 19.
207
Ibid.
208
HMN. Purwositjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia: Bentuk-Bentuk
Perusahaan, (Jakarta: Djambatan: 1987), hlm. 65.
209
Chidir Ali, op., cit., hlm. 20.

Universitas Indonesia
119

H. Th. Ch. Kal dan V.F.M. Den Hartog menjelaskan bahwa manusia
adalah purusa210 wajar yang merupakan subjek hukum. Menurut hukum ada
juga subjek hukum yang lain yaitu suatu organisasi. Organisasi yang
memperoleh sifat subjek hukum itu adalah purusa hukum atau badan hukum.
Purusa hukum dapat bertindak dalam hubungan hukum sebagai purusa wajar
apabila dia bisa mempunyai kekayaan, bisa berunding, bisa membuat
perjanjian yang mengikat, bisa bertindak dan bersengketa dalam hukum serta
dapat bertanggung jawab dalam arti hukum tentang segala perbuatannya
itu.211

Selanjutnya Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo berpendapat


bahwa pribadi hukum212 sebagai suatu badan yang memiliki harta kekayaan
terlepas dari anggota-anggotanya, dianggap sebagai suatu subjek hukum –
mempunyai kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum, memiliki
tanggung jawab, memiliki hak-hak serta kewajiban-kewajiban – seperti yang
dimiliki oleh seseorang. Pribadi hukum ini memiliki kekayaan tersendiri,
mempunyai pengurus atau pengelola dan dapat bertindak sendiri sebagai
pihak di dalam suatu perjanjian.213

Longemann menjelaskan bahwa badan hukum sebagai pendukung hak


dan kewajiban tetap ada, diteruskan dan terdapat kontinuitas dari
keberadaannya, sedangkan pengurus yang menjadi wakil dari badan hukum
tersebut dapat berganti-ganti.214

Menurut J.J. Dormeier, badan hukum bisa berarti dua hal: 1.


Persekutuan orang-orang yang di dalam pergaulan hukum bertindak sebagai

210
Purusa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, merupakan kategori kata dari
keragaman kesusastraan Melayu, yang berarti orang; manusia. Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kamus versi online / daring (dalam jaringan),
http://kbbi.web.id.
211
Ibid.
212
Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa Purnadi Purbacara dan Agus
Brotosusilo berpendapat bahwa terjemahan yang paling cocok untuk rechtpersoon atau legal
person dalam bahasa Indonesia adalah pribadi hukum. Sehingga pribadi hukum dan badan
hukum adalah terminologi yang sama yang merujuk kepada legal person.
213
Chidir Ali, op., cit., hlm. 20.
214
Ibid., hlm. 19.

Universitas Indonesia
120

satu orang, 2. Yayasan, yaitu suatu harta kekayaan yang dipergunakan untuk
tujuan tertentu, dan diperlakukan sebagai satu subjek mandiri.215

Selanjutnya Chidir Ali mengemukakan bahwa badan hukum adalah


segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat yang
demikian itu oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban.216

Beberapa ahli juga mencoba untuk menjelaskan badan hukum dari


ciri-ciri yang dimilikinya. Seperti misalnya Mochtar Kusumaatmadja dan B.
Arief Sidharta menjelaskan beberapa ciri-ciri badan hukum adalah:

(a) memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan orang-


orang yang menjalankan kegiatan dari badan-badan hukum tersebut;
(b) memiliki hak dan kewajiban yang terpisah dari hak dan kewajiban
orang-orang yang menjalankan kegiatan badan hukum tersebut; (c)
memiliki tujuan tertentu; (d) berkesinambungan (memiliki
kontinuitas) dalam arti keberadaannya tidak terikat pada orang-orang
tertentu, karena hak dan kewajibannya tetap ada meskipun orang-
orang yang menjalankannya berganti.217

Sedangkan HMN. Purwosutjipto menjelaskan untuk dapat disebut


sebagai badan hukum, suatu badan haruslah memenuhi syarat sebagai
berikut:218

1. Terdapat kekayaan dengan tujuan tertentu yang terpisah dengan


kekayaan para sekutu badan tersebut;
2. Terdapat kepentingan bersama yang merupakan tujuan badan
tersebut;
3. Terdapat beberapa orang sebagai pengurus badan tersebut; dan
4. Pengesahan pemerintah atas badan tersebut menjadi badan hukum.

Selanjutnya Ali Ridho menjelaskan ada empat syarat-syarat atau


unsur-unsur dari suatu badan hukum, yaitu:219

215
Ibid., hlm. 21.
216
Ibid., hlm. 21.
217
Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu
Pengenalan Pertama Ruang lingkup Berlakunya Ilmu hukum: Buku I, (Bandung: Alumni,
2000), hlm. 82-83.
218
HMN. Purwositjipto, op., cit., hlm. 12.

Universitas Indonesia
121

1. Adanya harta kekayaan yang terpisah


2. Mempunyai tujuan tertentu. Tujuan yang dimaksudkan disini bisa
berupa tujuan bersifat ideel atau tujuan yang bersifat komersial.
Menurut Ali Ridho, tujuan dari suatu badan hukum haruslah
sesuai dengan keadilan hukum, tidak bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Sehingga
menurut Ali Ridho, suatu organisasi terlarang tidaklah bisa
dimasukkan ke dalam pengertian badan hukum.
3. Mempunyai kepentingan sendiri. Kepentingan adalah hak
subjektif dari badan hukum tersebut. Badan hukum yang memiliki
kepentingan itu dapat menuntut dan mempertahankan
kepentingannya terhadap pihak ketiga dalam pergaulan hukum.
Kepentingan dari suatu badan hukum haruslah bersifat terus
menerus dan kontinu. Sebagaimana Meyers menjelaskan suatu
panitia penggalangan dana bantuan terhadap suatu bencana alam
tidak dapat disebut sebagai suatu badan hukum karena
kepentingan yang ada disitu tidaklah bersifat terus menerus.
4. Adanya organisasi yang teratur. Organisasi yang teratur ini dapat
dipersandingkan dengan ciri ke-tiga dari pendapat HMN.
Purwosutjipto yaitu adanya pengurus dari suatu badan hukum.

Dari berbagai pengertian dan beberapa ciri-ciri badan hukum yang


dikemukan oleh para ahli, maka penulis menyimpulkan bahwa badan hukum
adalah “kumpulan orang dan/atau kekayaan yang dapat menyandang hak
dan/atau kewajiban hukum, yang diakui keberadaanya karena kebutuhan
sosial masyarakat, dapat berpartisipasi sebagai subjek mandiri dalam suatu
peristiwa atau hubungan hukum.”

Untuk menjelaskan ciri-ciri umum dari badan hukum sehingga dia


dapat dianggap sebagai subjek hukum mandiri yang memiliki personalitas
hukum sendiri, penulis menyimpulkan sebagai berikut:

219
Ali Ridho, op., cit., hlm. 45-50.

Universitas Indonesia
122

a. Adanya kekayaan badan hukum yang terpisah dari anggota-


anggota yang ada di dalamnya,
b. Adanya hak dan/atau kewajiban yang terpisah,
c. Adanya tujuan tertentu dari badan hukum,
d. Adanya kontinutas dari keberadaan kelompok kolektif yang tidak
terikat dengan keberadaan anggota tertentu; serta
e. Adanya suatu organisasi yang teratur.

Organisasi yang teratur yang menjadi ciri dari suatu badan hukum ini
dapat dikaitkan dengan syarat-syarat organisasi sebagaimana yang
dikemukakan oleh Cohen sebagaimana telah dibahas pada subbab
sebelumnya.220

Namun, syarat-syarat formal dari suatu badan hukum tertentu bisa


dikonstruksikan secara khusus oleh undang-undang yang mengaturnya.
Kapan dan syarat apa yang harus dipenuhi oleh suatu aktor kolektif untuk
dapat menjadi badan hukum dengan bentuk tertentu bisa bergantung kepada
aturan hukum yang berlaku untuk itu.221 Misalnya untuk dapat menjadi suatu
badan hukum yang bernama koperasi, menurut undang-undang yang berlaku
adalah ketika para pendiri membuka rekening bank atas nama koperasi dan
menyetorkan ‘modal dasar’ atau simpanan pokok para anggota pendiri, yang
dicatat sebagai setoran wajib dan lain-lain, sesuai kesepakatan yang
dituangkan dalam ‘Akta Pendirian’ atau ‘Anggaran Dasar’. Dengan adanya
rekening bank yang tersendiri atas nama koperasi, menunjukkan bahwa telah
terdapat pemisahan harta kekayaan koperasi dari harta para pendiri, pengurus
dan anggotanya. Di samping itu, diatur pula mengenai identitas koperasi
seperti misalnya nama, logo, bidang usaha, domisili hukum dari koperasi
tersebut.222

220
Lihat subbab D. Konstruksi Tipologi Organisasi dalam Struktur Sosial pada Bab
ini.
221
Andjar Pachta W, Myra Rosana Bachtiar, dan Nadia Maulisa Benemay, Hukum
Koperasi Indonesia, Cetakan ke-3, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 77.
222
Ibid., hlm. 77-78.

Universitas Indonesia
123

Penulis kurang setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa


ketentuan hukum yang berlakulah yang menentukan kapan suatu
perkumpulan dapat disebut sebagai badan hukum sehingga diakui sebagai
subjek hukum yang dapat bertindak secara sah, mampu untuk mengemban
hak dan kewajiban hukum sebagai subjek yang tersendiri.223 Karena menurut
penulis, pemikiran ini terlalu legal formal tentang konsep badan hukum. Dari
pemaparan sebelumnya tentang badan hukum, jelaslah bahwa sebenarnya
badan hukum atau legal person tidaklah harus suatu badan yang sudah
diundangkan oleh pemerintah dengan syarat-syarat formal tertentu saja,
tetapi juga adalah segala macam perkumpulan yang menurut kenyataan ada
dalam pergaulan hukum, terlepas apakah perkumpulan tersebut memiliki
bentuk yang telah diundangkan, asalkan memenuhi ciri-ciri sebagai badan
hukum sebagaimana yang telah dijabarkan di atas. Meskipun untuk
mendeteksi apakah suatu kelompok kolektif itu dapat dikatakan badan hukum
tidaklah mudah, sehingga perbedaan-perbedaan pendapat bisa muncul.224
Misalnya perbedaan pendapat mengenai kedudukan hukum firma sebagai
suatu badan hukum, Molengraaff dan Scholten berbeda pandangan tentang
hal ini.225

Dalam beberapa literatur hukum adat, dijelaskan bahwa di daerah-


daerah tertentu di Indonesia juga terdapat lembaga adat yang sudah dikenal
lama dalam hukum adat Indonesia yang dapat digolongkan juga sebagai
badan hukum sebagaimana konsep yang ada dalam hukum perdata.226
Misalnya konsep Nagari di Minangkabau, Sekaha subak dan Sekaha banjar di
Bali.227 Menurut Ter Haar, badan-badan hukum pribumi ini sudah sejak lama
mendapatkan pengakuan dalam peraturan atau wet.228 Salah satunya dapat

223
Ibid., hlm. 78.
224
Ali Ridho, op., cit., hlm. 52.
225
Pembahasan mendalam mengenai kedudukan firma dan persekutuan komanditer
dalam hukum perdata, dibahas secara rinci oleh Ali Ridho, op., cit., hlm. 53-94.
226
Surojo Wingnyodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta: Gunung
Agung, 1982), hlm. 103.
227
Ibid.
228
Ter Haar, B., Bzn, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya
Paramita, 1983), terjemahan K.ng. Soebakti Poesponoto, Cet ke-7, hlm. 165.

Universitas Indonesia
124

ditemukan dalam Lembaran Negara (staatsblad) Tahun 1927 Nomor 91 Pasal


1 dan Pasal 3.

Di samping lembaga adat di atas, menurut Ali Ridho, wakaf juga


termasuk ke dalam pengertian badan hukum yang konsepnya hampir mirip
dengan konsep yayasan.229 Wakaf adalah suatu lembaga hukum Islam yang di
banyak daerah di Indonesia telah diterima oleh masyarat hukum adat sebagai
suatu badan hukum yang berasal dari agama (godsdienstig bestanddeel van
het adatrecht). Sebagaimana yayasan, lembaga wakaf juga memiliki ciri-
ciri:230 a) adanya harta kekayaan sendiri, dengan perbuatan mewakafkan
maka kekayaan dipisahkan dan tidak dimiliki oleh orang pribadi tetapi
kegunaannya saja yang dinikmati secara terus-menurus oleh masyarakat
umum; b) Mempunyai tujuan sendiri, baik tujuan yang bersifat ibadah
maupun tujuan yang bersifat amal kebaikan; c) Mempunyai organisasi,
penyelenggaraan wakaf dilakukan oleh Mutawalii yang berkuasa untuk
mengurus harta wakaf sehingga mencapai tujuan dari wakaf itu.

C. Kategorisasi Korporasi dalam Berbagai Konteks Kepentingan

Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa terdapat tiga jenis


kelompok orang dalam domain sosial, yang pertama adalah agregat, yaitu
kelompok yang pada dasarnya memiliki komposisi acak dan kebetulan,
seperti misalnya kerumunan atau suatu keramaian. Kedua adalah kelompok
sosial, yang memiliki persamaan tetapi perasaan kebersamaannya tidak terlalu
kuat, misalnya kelompok etnis dan kelas sosial. Ketiga adalah organisasi,
sebagai kelompok yang terkoordinasi dan terstruktur dalam mengejar tujuan
tertentu.231

Ada beberapa jenis kelompok yang memiliki konstruksi dan definisi


hukum yang tegas, seperti bentuk-bentuk perusahaan. Sedangkan
pendefinisian dan bentuk dari beberapa kelompok lainnya seperti organisasi

229
Ali Ridho, op., cit., hlm. 121-123.
230
Ibid., 123.
231
Christopher Harding, op., cit., hlm. 28.

Universitas Indonesia
125

terlarang dalam kejahataan terorganisir seperti tidak pernah dapat ditemukan


kesepakatannya dan selalu dalam perdebatan yang panjang. Atau lembaga
negara dan komponen-komponennya juga memiliki fondasi konstitusi yang
jelas dan tegas, namun tetap menjadi pembahasan yang memiliki interpretasi
yang berbeda-beda dalam wacana teoritis, seperti misalnya dalam kaitannya
dengan konsep ‘negara berdaulat’ (sovereign state) yang dapat didekonstruksi
dalam hubungan internasional.232

Beberapa organisasi lebih sering dilihat sebagai institusi atau lembaga,


seperti misalnya sekolah, rumah sakit, dan lembaga pemasyarakatan, adalah
beberapa contoh institusi spesifik yang ada dalam lingkup pendidikan,
kesehatan dan organisasi penal. Penggunaan terminologi institusi atau
lembaga juga merupakan kebiasaan yang sering dipakai dalam hubungan
internasional sehingga organisasi antar pemerintahan seperti United Nations
(UN) lebih sering disebut sebagai institusi. 233

Upaya untuk pengklasifikasian organisasi sangatlah besar dan


merupakan sesuatu yang dapat diperdebatkan. Misalnya saja universitas, tidak
diragukan lagi bahwa suatu universitas merupakan sebuah organisasi dan
merupakan salah satu bentuk korporasi. Tetapi di dalam universitas ada
fakultas, lembaga penelitian, yang juga memiliki ciri-ciri dan juga dapat
disebut organisasi di dalam diri mereka sendiri, saling berkompetisi satu
dengan lainnya, memiliki struktur kekuasaan, pengambilan keputusan, tujuan
dan budaya yang berbeda.234 Selain itu, pada saat sekarang ini universitas
juga bisa tampil sebagai lembaga ekonomi dan penelitian di samping
perannya sebagai lembaga pendidikan. Juga sangat lah penting untuk
dipahami bahwa pengklasifikasian organisasi bisa bergantung kepada
tujuannya masing-masing. Definisi organisasi banyak yang menjelaskan
bahwa organisasi memiliki tujuan tertentu, sehingga pengklasifikasian
berdasarkan kepada tujuan dari organisasi menjadi cukup penting untuk
dilakukan.

232
Ibid., hlm. 6.
233
Ibid., hlm. 48.
234
Ibid.

Universitas Indonesia
126

Dari berbagai literatur tentang kelompok kolektif yang telah


ditelusuri, dapat disimpulkan bahwa pengkategorian organisasi bisa berbeda
antara satu penulis dengan penulis yang lainnya, tergantung kepada
penekanan yang digunakan oleh penulis yang bersangkutan. Untuk
memberikan gambaran tentang beberapa pengkategorian organisasi, akan
dipaparkan beberapa ketegori yang dibuat oleh beberapa ahli.

Apabila dilihat dari tujuan pendirian suatu organisasi, maka menurut Talcott
Parsons organisasi dapat dikelompokkan ke dalam empat kategori:235

1. Organisasi yang berorientasi pada produksi ekonomi (contohnya


adalah perusahaan);
2. Organisasi yang berorientasi pada tujuan politik (contohnya organisasi
pemerintahan);
3. Organisasi integral yang bertujuan untuk menyelesaikan konflik
(contohnya: pengadilan, rumah sakit);
4. Organisasi yang berpola dan bertujuan perlindungan (masuk dalam
kategori ini adalah organisasi budaya, pendidikan, agama);

Harding mengelompokkan organisasi menjadi dua secara garis besar:236

1. Enterprise
Organisasi yang berorientasi bisnis dan tujuan ekonomi, mendorong
pertumbuhan ekonomi dan kekayaan, peningkatan pengetahuan, dan
pengembangan pemenuhan kebutuhan pribadi. Masuk dalam kategori
ini menurut Harding adalah organisasi bisnis, organisasi di bidang
pendidikan, dan penelitian.
2. Organisasi pengaturan dan perwakilan
Organisasi yang melayani kebutuhan dasar dari masyarakat dan
merupakan perwakilan dari berbagai mancam kepentingan yang
berbeda dari masyarakat. Contohnya: suku, negara (termasuk juga
departemen pemerintahan), gereja, organisasi antar-negara.

235
Talcott Parsons, Structure and Process in Modern Societies (The Free Press, 1960),
hlm. 45-46.
236
Christopher Harding, op., cit., hlm. 50-51.

Universitas Indonesia
127

Pengelompokan organisasi yang dilakukan oleh Harding, bisa


disandingkan dengan pembagian badan hukum yang dijelaskan oleh Chidir
Ali; Dimana Chidir Ali menggolongkan badan hukum menjadi:237

1. Badan Hukum Publik

Badan hukum publik adalah negara sebagai badan hukum yang


orisinil. Ali Ridho menyebut badan hukum ini dengan istilah Lembaga
Umum (Instelling), sedangkan Sri Soedewi M.S menyebutnya sebagai ‘badan
hukum ketatanegaraan’.238 Suatu badan hukum dapat dikatakan sebagai badan
hukum publik apabila badan hukum tersebut mempunyai kekuasaan sebagai
penguasa atau memiliki wewenang publik, dapat mengambil keputusan-
keputusan dan membuat peraturan-peraturan yang mengikat orang lain.
Selanjutnya suatu badan hukum dapat dikatakan sebagai badan hukum publik
apabila didirikan atau terjadi melalui konstruksi hukum publik, yaitu dibentuk
oleh penguasa atau negara dengan undang-undang atau peraturan lainnya.
Bentuk badan hukum publik ini apabila dikaitkan dengan Ps. 1653 KUHPer
disebutkan sebagai ‘Perkumpulan yang diadakan oleh kekuasaan umum’. Di
samping itu bisa juga dilihat dari jenis kegiatan yang dilakukan oleh badan
hukum tersebut, apabila badan hukum tersebut menjalankan kegiatan untuk
kepentingan umum maka badan hukum tersebut dapat dikelompokkan ke
dalam badan hukum publik.239

Badan hukum publik ada yang memiliki wilayah kekuasaan tertentu


seperti misalnya Negara Republik Indonesia sebagai penyelenggara
pemerintahan pusat, atau pemerintahan daerah seperti DKI Jakarta,
pemerintahan daerah Kota Depok, sampai ke instansi terkecil yang dibentuk
oleh negara untuk kepentingan pemerintahan. Di samping badan hukum
publik yang memiliki wilayah kekuasaan atau teritori ada juga badan hukum
publik yang tidak memiliki teritori kekuasaan tetapi dibentuk untuk tujuan

237
Chidir Ali, op., cit., hlm. 57.
238
Ali Ridho, op., cit., hlm. 3.
239
Chidir Ali, op., cit., hlm. 59-62.

Universitas Indonesia
128

tertentu dari pemerintah.240 Seperti misalnya Bank Indonesia yang dibentuk


untuk tujuan pengaturan kebijakan moneter di Indonesia, Angkatan Darat,
Laut dan Udara untuk kepentingan pertahanan negara, Kementrian-
Kementrian untuk menjalankan fungsi tertentu pemerintahan.

Badan hukum publik tidak hanya lembaga negara yang menjalankan


fungsi eksekutif, tetapi juga lembaga negara yang menjalankan fungsi
legislatif dan yudikatif. Seperti Majelis Permusyawatan Rakyat (MPR),
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD),
Kejaksaan Republik Indonesia untuk menjalankan fungsi, Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, Mahkamah Konstitusi, dan sebagainya.

2. Badan Hukum Perdata

Badan hukum perdata adalah badan hukum yang didirikan atas


pernyataan kehendak dari orang-perorangan yang ada di dalamnya.241
Bentuk-bentuk badan hukum perdata diatur baik di dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUHPer) maupun di dalam Kitab-Kitab Hukum
Dagang. Badan Hukum Perdata bisa badan hukum yang berorientasi kepada
profit atau laba dan badan hukum yang tidak berorientasi profit. Badan
hukum yang berorientasi profit disebut perusahaan. Banyak yang
menyandingkan istilah perusahaan dengan istilah badan usaha. 242 Namun,
menurut Yetty Komalasari Dewi, istilah perusahaan merupakan terminologi
hukum, sedangkan istilah badan usaha tidak ada dasar hukumnya karena
merupakan terminologi yang digunakan pada bidang ekonomi. 243 Adapun
pengertian perusahaan menurut Undang-Undang Dokumen Negara adalah:

240
Ibid., hlm. 62-63.
241
Ibid., hlm. 57.
242
Seperti misalnya Soedjono Dirdjosisworo dalam bukunya menyamakan perusahaan
dengan badan usaha. Lihat Soedjono Dirdjosisworo, Hukum Perusahaan Mengenai Bentuk-
Bentuk Perusahaan (Badan Usaha) di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1997).
243
Yetty Komalasari Dewi. Berdasarkan hasil wawancara pada hari Kamis, 31 Maret
2016 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta. Lihat juga Yetty
Komalasari Dewi, "Pemikiran Baru Tentang Persekutuan Komanditer (CV): Studi

Universitas Indonesia
129

Setiap bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara tetap dan terus
menerus dengan tujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba, baik
yang diselenggarakan oleh orang perseorangan, maupun badan usaha
yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum, yang
didirikan dan berkedudukan dalam wilayah Negara Republik
Indonesia.244
Apabila dilihat dari pengertian di atas maka perusahaan bisa berupa:
1) Perusahaan yang diselenggarakan oleh orang perseorangan disebut
perusahaan perseroan (maatschap);245 2) Perusahaan berbentuk badan usaha
yang berbadan hukum, misalnya Perseroan Terbatas (PT) , Koperasi; 246 3)
Perusahaan berbentuk badan usaha yang tidak berbadan hukum seperti
firma.247

Chidir Ali membagi badan hukum perdata berdasarkan sifatnya


menjadi korporasi dan yayasan.248 Korporasi diartikan sebagai suatu
kumpulan yang mempunyai anggota-anggota, dan yayasan diartikan sebagai
harta yang dipisahkan untuk memperjuangkan suatu tujuan tertentu.249
Menurut Chidir Ali perbedaan yang mendasar antara korporasi dengan
yayasan adalah bahwa yayasan merupakan badan hukum yang tidak
beranggota. Tetapi yayasan mempunyai pengurus (bestuur) yang mengurus
kekayaan dan penyelenggaraan tujuannya.250

Perbandingan KUHD dan WvK serta Putusan-Putusan Pengadilan di Indonesia dan Belanda."
Disertasi Doktor Universitas Indonesia, 2011.
244
Indonesia, Undang-Undang Tentang Dokumen Perusahaan, UU No. 8 Tahun
1997, LN. No. 18 Tahun 1997. Menurut Yetty Komalasari Dewi pengertian yang paling tepat
untuk perusahaan adalah pengertian perusahaan sebagaimana yang tertuang di dalam UU
Dokumen Perusahaan ini. Perusahaan adalah business entities yang orientasinya adalah laba.
245
Soedjono Dirdjosisworo, op., cit., hlm. 12.
246
Koperasi memiliki dualisme kepentingan di samping bertujuan untuk mencari
keuntungan tetapi juga bertujuan sosial dengan prinsip kekeluargaan dengan semangat tolong
menolong dan gotong royong. Sehingga dapat dikatakan bahwa koperasi adalah usaha yang
bersifat sosial, tetapi tetap bermotif ekonomi. Keuntungan yang diperoleh koperasi tidak
semata-mata untuk keuntungan badan koperasi itu sendiri tetapi untuk kepentingan
kesejahteraan anggota koperasi. Mengenai pembahasan mendalam tentang koperasi lihat
lebih lanjut Andjar Pachta W, Myra Rosana Bachtiar, dan Nadia Maulisa Benemay, op., cit.
247
Meskipun kedudukan firma sebagai badan usaha yang berbadan hukum dan tidak
berbadan hukum masih menjadi perdebatan. Sebagaimana dijelaskan oleh Ali Ridho, op., cit.,
hlm. 52.
248
Chidir Ali, op., cit., hlm. 63. Ali Ridho juga membedakan antara korporasi dengan
yayasan. Lihat Ali Ridho, op., cit., hlm. 6
249
Ali Ridho, op., cit., hlm. 3.
250
Chidir Ali, op., cit., hlm. 64. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Tentang
Yayasan, UU No. 16 Tahun 2001, Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 28

Universitas Indonesia
130

Di samping badan hukum perdata yang bertujuan mencari keuntungan


atau laba, ada juga badan hukum yang tidak bertujuan untuk mencari laba
atau disebut perkumpulan. Perkumpulan dalam arti sempit adalah
perkumpulan yang memperoleh status sebagai badan hukum apabila telah
memperoleh pengakuan dari Menteri Kehakiman sebagaimana diatur dalam
LN. 1870-64.251 Namun dalam arti luas, perkumpulan bisa ada dalam
kehidupan masyarakat sebagai suatu kenyataan tanpa harus mendapatkan
pengakuan dari negara.

Badan hukum publik juga bisa mendirikan suatu badan hukum


keperdataan, misalnya Perusahaan negara, Badan Usaha Milik Negara, Bank
Daerah, Badan Layanan Umum dan sebagainya. Jenis badan usaha ini
menurut Brucker dan Rebele disebut quasi governmental unit.252

Berdasarkan kategorisasi badan hukum di atas, untuk kepentingan


disertasi ini penulis membagi kelompok kolektif kepada tiga kelompok, yaitu:

a. Kelompok kolektif yang bersifat private (private sphere)


b. Kelompok kolektif yang bersifat publik (public sphere); dan
c. Kelompok kolektif yang bersifat antara public dan private (quasi
governmental unit).

Kedudukan kelompok kolektif dalam hukum pidana akan dibahas lebih


lanjut pada Bab III disertasi ini. Pengelompokan ini juga digunakan untuk
mengnalisis kemampuan mereka dalam pertanggungjawaban pidana.

Tahun 2004. Pasal 1 ayat (1) menjelaskan “yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas
kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang
sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.” Selanjutnya, Pasal 2
menjelaskan bahwa yayasan mempunyai organ yang terdiri dari pembina, pengurus dan
pengawas.
251
Ali Ridho, op., cit., hlm. 95-96.
252
William G. Brucker dan James E. Rebele, “Fraud at a Public Authority”, Journal of
Accounting Education, Vol. 28, Issue 1, March 2010, 26-37, hlm. 34.

Universitas Indonesia
131

D. Negara sebagai Subjek Hukum

Dari sisi politik, negara merupakan subjek hukum kolektif yang paling
besar dan umum. Sebagaimana Maitland menjelaskan “the greatest of all
artificial person, politically speaking, is the State.”253 (yang terbesar dari
semua orang buatan, secara politis, adalah negara.) Negara yang disebut
“body politic” dibahas cukup detail oleh Thomas Hobbes dalam Leviathan.
Hobbes menjelaskan body politic adalah:
“An artificial man whose sovereignty is an artificial soul that gives
life to the whole body, an embodied entity, with nerves located in its
legal and social structures in order to dole out punishment and
rewards. A body directed by the sovereign and every joint and
member is moved to perform his duty.”254
(suatu manusia buatan yang kedaulatannya adalah jiwa buatan yang
memberikan kehidupan kepada seluruh tubuhnya, entitas yang
diwujudkan, dengan syaraf yang terletak pada struktur hukum dan
sosialnya untuk mencegah penghukuman dan penghargaan. Suatu
badan yang diarahkan oleh kedaulatan dan setiap sendi dan anggota
digerakkan untuk menjalankan fungsinya masing-masing.)

Pada awalnya negara dikecualikan dari pengertian person.255 Konsep


awal korporasi yang dikenal dalam jurisprudence, tidaklah memasukkan
negara sebagai korporasi. Karena korporasi justru ada karena pengesahan dari
negara. Sebagaimana Maitland menjelaskan: “Corporations.... as the term is
used in our jurisprudence, do not include States, but only derivative
creations, owing their existence and powers to the States, acting through its
legislative department.”256 (korporasi... sebagai istilah yang digunakan dalam
ilmu hukum kita, tidak termasuk negara, tetapi hanya ciptaan turunan karena
keberadaan dan wewenang mereka bergantung kepada negara, bertindak
melalui departemen hukum nya.”

253
Frederic William Maitland (3), State, Trust and Corporation, David Runciman dan
Manus Ryan (editor), (Cambridge, UK: Cambridge University Press, 2003), hlm. 32.
254
Dikutip dari Saru M. Matambanadzo (2), op., cit., hlm. 32.
255
Antonin Scalia dan Bryan A. Garner, Reading Law: The Interpretation of Legal
Texts, (United States of America: Thomas/West: 2012), hlm. 273.
256
Frederic William Maitland (3), op., cit., hlm. 51.

Universitas Indonesia
132

Pengecualian negara dari pengertian person berarti pengecualian juga


untuk semua lembaga negara (agencies of the sovereign).257 Misalnya Central
Intelligence Agency (CIA) di Amerika Serikat dinyatakan oleh District Court
tidak termasuk dalam pengertian person dalam U.S Code Title 28 Tentang
Judiciary and Judicial Procedure §1782 (a) yang menyatakan bahwa District
Court dimana seseorang berdomisili bisa memerintahkan orang tersebut
untuk menghasilkan dokumen atau hal lain untuk dipergunakan pada
persidangan di negara lain atau Tribunal Internasional.258 Putusan ini
berkaitan dengan kasus In Re Al Fayed yang diperiksa di Pengadilan
Perancis. Dalam kasus ini, Mohamed al-Fayed, ayah dari Dodi al-Fayed,
meminta Pengadilan Perancis untuk memerintahkan CIA mengeluarkan suatu
dokumen yang akan dipergunakan dalam pemeriksaan kasus kecelakaan lalu
lintas yang menyebabkan meninggalnya Dodi al-Fayed dan Princess Diana.
CIA menolak permintaan tersebut dengan alasan bahwa CIA tidak termasuk
dalam pengertian person dalam ketentuan 28 U.S.C. §1782 (a) tersebut dan
District Court berpandangan sama mengenai hal tersebut.259
Berbeda dengan konteks hukum nasional, dalam hukum internasional,
tidak ada permasalahan yang mendasar ketika membicarakan mengenai
negara sebagai subjek hukum terhadap berbagai tindakan-tindakan hukum
yang dilakukan oleh negara. Misalnya ketika negara melakukan tindakan
yang melanggar hukum internasional. Kejahatan yang dilakukan negara di
hadapan hukum internasional bisa dianalogikan seperti tindak pidana biasa
pada konteks hukum nasional.260 Menurut hukum internasional hal utama
untuk mendeteksi apakah suatu negara memiliki personalitas hukum adalah
dengan mengaitkannya dengan kedaulatan (sovereignty).
Apabila hukum internasional yang mengaitkan kemampuan suatu
negara untuk menjadi subjek hukum dengan kedaulatan, maka Hukum
Adminstrasi Negara dan Hukum Tata Negara akan mengaitkan subjek hukum

257
Antonin Scalia dan Bryan A., op., cit., hlm. 274.
258
91 F.Supp.2d 137 (D.D.C.2000)
259
Antonin Scalia dan Bryan A. Garner, op., cit., hlm. 274-275.
260
Christopher Harding, op., cit., hlm. 22.

Universitas Indonesia
133

negara dengan kekuasaan (power). Sebagaimana A.D. Belinfante


261
menjelaskan:
“No powers without responsiblity, no one should have powers to
exersice official public authority, unless he or she can be held
responsible for the exersice (or non-exersice) of those power; No
responsiblity without powers, no one should be held responsible for
acts or omissions falling outside the scope of his powers.”
(tidak ada kekuasaan tanpa pertanggungjawaban, tidak ada seseorang
yang dapat menjalankan kekuasaan otoritas publik, kecuali dia dapat
bertanggung jawab atas pelaksanaan (atau tidak menjalankan)
kekuasaannya tersebut; tidak ada tanggung jawab tanpa ada
kekuasaan, tidak ada seorang pun yang dapat bertanggung jawab
untuk pelaksanaan atau tidak melaksanakan sesuatu yang berada di
luar lingkup kekuasaannya.)

Kekuasaan utama negara adalah otoritas untuk mengatur anggota


masyarakat yang ada di dalam kekuasaannya. Negara memiliki kekuasaan
untuk menciptakan norma hukum dan membuat peraturan-peraturan,
mengatur anggota masyarakat untuk bersikap dan bertindak sesuai dengan
yang diinginkan oleh negara, mengadili dan menghukum anggota masyarakat
yang tidak melaksanakan ketentuan yang telah dibuat oleh negara.262
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia menjelaskan
dasar pembentukan Negara Republik Indonesia adalah:
“untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial.”

Untuk dapat mencapai tujuan tersebut dan untuk dapat menjalankan


fungsi dan kegiatannya, negara memerlukan seperangkat organ, yang dengan
organ tersebut negara akan bertindak secara nyata dan melaksanakan
keinginan dan kehendaknya untuk tujuan yang telah digariskan. Tindakan
dari segala organ negara seharusnya diatur dengan prinsip dasar administrasi
yang baik. Dalam doktrin hukum, tidak ada ruang bagi pemerintah dan

261
Dikutip dari Roel de Lange, “Political and Criminal Responsibility,” Journal of
Comparative Law, Vol. 6, No. 4, December 2002, hlm. 309,
262
Oleg Jastrebov dan Albina Batjaeva, “On the Issue of Recognazing a State as a
Legal Entity: Past and Present”, World Applied Sciences Journal, 30 (5), 2014, 612-616, hlm.
613.

Universitas Indonesia
134

organisasi publik untuk melakukan suatu perbuatan yang bertentangan


dengan hukum.263
Hukum perdata juga mengakomodasi negara sebagai subjek hukum, di
mana negara dengan organ pemerintahan yang ada didalamnya dapat
bertindak dalam hukum baik itu membuat kontrak, terlibat dalam kegiatan
jual beli, sewa menyewa dan sebagainya. Di samping kemampuan negara
untuk terlibat dalam kegiatan ekonomi, negara juga bisa digugat secara
perdata atas segala tindakan atau pembiaran yang dilakukan oleh negara atau
otoritas negara yang tidak sesuai dengan kesepakatan, kontrak atau atas suatu
ketentuan yang ada, baik sendiri-sendiri maupun secara berkelompok atau
perwakilan kelompok (class action).264 Masyarakat untuk kepentingan umum
juga bisa mengajukan gugatan perdata terhadap negara atas suatu perbuatan
melawan hukum yang dilakukan negara. Gugatan bersama untuk kepentingan
umum ini disebut citizen law suit atau di Belanda biasanya disebut actio
popularis.265 Menurut Sjahdeini yang dimaksud dengan actio popularis
adalah prosedur pengajuan gugatan yang dilakukan oleh perwakilan warga
negara untuk melindungi kepentingan umum.266 Beberapa kasus citizen law
suit yang pernah diajukan kepada negara misalnya putusan pengadilan dalam
perkara perlindungan hukum terhadap pekerja rumah tangga,267 gugatan atas
penyelenggaraan ujian nasional,268 gugatan atas penyelenggaraan jaminan
sosial.269 Sebaliknya, negara sebagai subjek hukum juga bisa mengajukan
gugatan perdata terhadap subjek hukum yang lainnya, seperti dalam kasus

263
Ibid.
264
Gugatan class action dimungkinkan menurut Pasal 91 UU No. 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pasal 46 UU No. 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan konsumen.
265
Sudikno Metrokusumo, “Gugatan Actio Popularis dan Batas Kewenangan Hakim,”
Artikel di Hukum online, Senin, 27 November 2006,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/ hol15774/gugatan-actio-popularis-dan-batas-
kewenangan-hakim, diakses 29 November 2015.
266
Sudikno Metrokusumo, “Gugatan Actio Popularis dan Batas Kewenangan Hakim,”
Artikel di Hukum online, Senin, 27 November 2006,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/ hol15774/gugatan-actio-popularis-dan-batas-
kewenangan-hakim, diakses 29 November 2015.
267
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan No. 228/Pdt.G/2006/PN.Jkt/Pst
268
Mahkamah Agung RI, Putusan No. 2596 K/Pdt/2008, tanggal 14 September 2009,
Jo. Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No. 377/Pdt/2007/PT.DKI, tanggal 6 Desember 2007,
Jo. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 228/Pdt.G/2006/PN.Jkt/Pst
269
Putusan No. 278/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst

Universitas Indonesia
135

pembalakan hutan yang dilakukan oleh PT. Merbau Pelalawan Lestari,270


kasus pembakaran hutan oleh PT. Kallista Alam.271
Namun, untuk konsep kepemilikan (property), negara sebagai subjek
hukum memiliki beberapa keistimewaan yang berbeda dengan subjek hukum
manusia atau korporasi. Kepemilikan dari organisasi publik ini dinamakan
sebagai property of public corporation. Perlu pembahasan yang baik
mengenai property of public corporation agar dapat dideterminasi apa saja
yang tidak bisa sama sekali dimiliki oleh negara seperti misalnya manusia
(human beings), benda yang bisa dimiliki oleh negara tetapi tidak bisa
dipindahtangankan, dan benda yang memang dapat dimiliki secara penuh
oleh negara. Misalnya negara menyatakan bahwa sungai merupakan properti
negara, dimiliki dan dikelola oleh negara untuk kepentingan masyarakat luas,
untuk kepentingan irigasi atau sebagai penghasil listrik. Kepemilikan tersebut
hanyalah bersifat penjagaan (guardianship) untuk kepentingan umum, yang
bersifat penggunaan benda (imperium), bukan bersifat kepemilikan
(dominium).272 Negara sebagai korporasi tidak memiliki sungai sebagaimana
negara memiliki furnitur di kantor pemerintahan. Sehingga sangatlah penting
untuk meregulasi konservasi sumber alam yang penting bagi kehidupan
masyarakat untuk mengeliminasi friksi dan mencegah pemborosan.273
Begitu juga dalam pembahasan mengenai doktrin privasi (privacy),
secara umum adalah merupakan hak yang dimiliki oleh setiap subjek hukum,
baik itu subjek hukum individual ataupun korporasi. Korporasi bisnis
misalnya dilindungi hak privasinya dalam hal rahasia bisnis. Konsep privasi
dan kerahasiaan (secrecy) merupakan dua hal yang saling berhubungan.274
Berbeda dari alasan hak privasi subjek hukum lainnya yang berkaitan dengan
kehormatan (dignity) atau otonomi dari subjek hukum. Hak eksekutif untuk

270
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia vs PT. Merbau
Pelalawan Lestari, Mahkamah Agung RI, Putusan No. 460 K/Pdt/2016, tanggal 18 Agustus
2016.
271
PT. Kallista Alam vs. Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia,
Putusan Mahkamah Agung No. 651 K/Pdt/2015, tanggal 28 Agustus 2015.
272
Roscoe Pound, op., cit., hlm. 189 – 199.
273
Ibid., hlm. 199.
274
William A. Edmundson, “Privacy”, dalam Martin P. Golding dan William A.
Edmundson (editor), Philosophy of Law and Legal Theory, (Malden, Massachussets, USA),
hlm. 280.

Universitas Indonesia
136

mendapatkan privasi baik fisik maupun privasi informasi yang dimiliki


biasanya berlandaskan kepada raisons d’état275 dan instrumen pertimbangan
lain yang serupa, bukan berdasarkan pemikiran bahwa pengungkapan kinerja
pemerintah atau instrumen negara lainnya akan dapat mengganggu
kehormatan (dignity) atau otonomi dari negara.276
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa secara umum, negara
dikecualikan dalam menginterpretasikan pengertian person. Namun, negara
sebagai subjek hukum bukan manusia sudah diterima dalam rezim hukum
tertentu, misalnya hukum internasional, hukum tata negara, hukum
adminstrasi negara, dan juga hukum perdata.277 Meskipun terdapat beberapa
keistimewaan mengenai konsep hukum tertentu terhadap subjek hukum
negara, misalnya mengenai konsep kepemilikan atau mengenai konsep
privasi. Pembahasan lebih lanjut mengenai kedudukan negara sebagai subjek
hukum pidana akan dibahas secara mendalam pada Bab III disertasi ini.

E. Subjek Hukum Pidana sebagai Penyandang Hak dan Kewajiban


Hukum

Untuk menjadi person, rezim hukum tertentu bisa mengakomodasi


syarat yang berbeda satu dengan yang lainnya. Pemikiran tentang siapa, apa
dan kapasitas apa yang harus dimiliki untuk bisa menjadi ‘person’ bisa
275
Merupakan suatu alasan politik terhadap suatu tindakan yang dilakukan oleh
negara, khususnya ketika berhubungan dengan keterbukaan, keadilan dan kejujuran. Untuk
pembahasan lebih detail lihat Klaus Dieter Wolf, “The New Raison d’Etat as a Problem for
Democracy in World Sociey,” European Journal of International Relations, Vol. 5,
September 1999, hlm. 333-363.
276
William A. Edmundson, “Privacy”, dalam Martin P. Golding dan William A.
Edmundson (editor), Philosophy of Law and Legal Theory, (Malden, Massachussets, USA),
hlm. 280. Contoh konkrit mengenai hak privasi negara adalah kerahasiaan mengenai kegiatan
keamanan negara yang diberikan perlindungan dari keterbukaan informasi bukan karena
alasan privasi tetapi lebih karena untuk menjamin rahasia keamanan negara bocor kepada
pihak luar yang akan membahayakan negara.
277
Yang mewakili negara sebagai subjek hukum dalam kasus perdata adalah presiden,
namun presiden dapat memberikan kuasa khusus kepada pembantu di bawahnya. Di Amerika
Serikat kuasa khusus tersebut diberikan kepada Department of Justice atau Attorney General.
Beberapa kasus yang melibatkan negara Indonesia dalam kasus perdata misalnya Churcill
Mining and Planet Mining Pty Ltd v. Republic of Indonesia (ICSID (International Centre for
the Settlement of Investment Disputes) case No. ARB/12/40 and 12/14) tahun 2012. Indian
Metals & Ferro Alloys Ltd (IMFA) v. Republic of Indonesia (PCA case No. 2015-40) tahun
2015.

Universitas Indonesia
137

dibahas dari pandangan historis, politis, moral, filosofis, metafisik dan


teologis.278 Menurut liberal moral philosopher, ‘person’ adalah makhluk
moral, suatu makhluk yang berakal dan reflek yang dapat membuat pilihan
yang rasional. Pemikiran ini banyak mempengaruhi pengertian ‘person’ di
bidang hukum, terutama hukum pidana, dengan idenya mengenai makhluk
yang bertanggung jawab (responsible agent) yang bisa dimintai
pertanggungjawaban atas kejahatan yang dilakukannya. Bagi ahli yang
berdasarkan pemikirannya pada pandangan religius, person adalah makhluk
yang mulia (sacred being) yang harus dihormati dan dilindungi. Hukum
kesehatan sering mengakomodasi pemaknaan person dengan pengertian
‘makhluk mulia’ ini. Pengertian orang sebagai ‘makhluk mulia’ cenderung
memasukkan pengertian janin yang ada di dalam perut seorang wanita
sebagai ‘person’.279 Sedangkan para ahli hukum formalis yang menolak
segala bentuk teori metafisik, person adalah kata sederhana yang bermakna
setiap makhluk atau entitas yang bisa mengemban hak dan kewajiban.280

Dalam kaitannya dengan hukum pidana, subjek hukum adalah


pengemban hak dan kewajiban yang secara aktif (commission) atau pasif
(omission) dapat melakukan suatu tindak pidana atau menjadi pelaku tindak
pidana. Siapa saja yang bisa menjadi subjek hukum pidana merupakan isu
yang penting dalam pembahasan apakah subjek hukum di luar manusia dapat
menjadi pelaku tindak pidana, dimintai pertanggungjawaban pidana atau
diberi sanksi pidana.281

1. Normadressaat dari Ketentuan Pidana

Subjek dalam hukum pidana biasanya adalah adressat dari aturan


hukum yang mengandung sanksi pidana. Misalnya Pasal 340 KUHP
menyebutkan: “barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih

278
Naffine (2), op., cit., hlm. 4.
279
Ibid., hlm. 5.
280
Ibid.
281
Sidharta, “Heurestika dan Hermeneutika: Penalaran Hukum Pidana,” dalam Jufrina
Rizal dan Suhariyono AR (editor), Demi Keadilan: Ontologi Hukum Pidana dan Sistem
Peradilan Pidana-Enam Dasawarsa Harkristuti Harkrisnowo, (Jakarta: Pustaka Kemang,
2016), hlm. 15.

Universitas Indonesia
138

dahulu merampas nyawa orang lain, diancam dengan pembunuhan dengan


rencana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama
waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.” Subjek dari ketentuan ini
adalah ‘barang siapa’. Siapakah yang bisa dimaksudkan kepada ‘barang
siapa’, apa syarat untuk bisa masuk dalam pengertian ‘barang siapa’, dan
kapasitas apa yang harus ada bagi suatu entitas untuk bisa menjadi ‘barang
siapa’?

Tidak ada satu ketentuanpun di dalam KUHP yang menjelaskan


‘barang siapa’ itu merujuk kepada siapa. Namun, secara bahasa, ‘barang
siapa’ biasanya merujuk kepada manusia, atau orang. Menurut ilmu hukum,
yang merupakan ilmu tentang norma, yaitu, norma yang mengatur perilaku
manusia, maka diasumsikan bahwa barang siapa dalam pasal ini merujuk
kepada manusia, dan memang tidak ada perdebatan mengenai manusia
sebagai normadressaat dari suatu ketentuan pidana. Meskipun gradasi dari
tingkat pertanggungjawaban manusia bisa berbeda-beda tergantung dari
memampuannya untuk memiliki penalaran sebagai manusia yang mampu
berfikir dengan pikiran yang lurus. Misalnya anak-anak atau orang yang
kurang waras memiliki gradasi yang berbeda mengenai kedudukannya
dihadapan hukum dengan manusia dewasa yang normal.282

Apabila dikaitkan dengan pengertian subjek hukum yang diterima


secara umum. Di mana pengertian subjek hukum yang diakomodasi adalah
pengemban hak dan/atau kewajiban hukum, dan dimaknai secara legal formal
seperti itu. Cukup dengan telah memiliki hak hukum saja suatu entitas sudah
bisa dikatakan sebagai subjek hukum, maka ‘barang siapa’ dalam konteks
pasal ini bisa menjadi sangat luas. Misalnya seekor harimau, telah melakukan
pengintaian terhadap mangsanya seorang anak kecil yang sedang bermain di
pinggir hutan. Setalah melihat adanya kesempatan, kemudian harimau
tersebut menerkam anak itu sampai akhirnya meninggal. Dalam kasus ini,
harimau tersebut mungkin bisa dikatakan telah memenuhi semua unsur-unsur
Pasal 340 sebagaimana disebutkan di atas. Harimau bisa dimasukkan ke
282
Pembahasan mengenai hal ini akan dibahas lebih lanjut dalam subbab ‘Kapasitas
hukum’ dalam bab ini.

Universitas Indonesia
139

dalam pengertian subjek hukum karena memiliki hak di dalam hukum, hak
untuk dilindungi karena merupakan binatang langka yang harus dilindungi
menurut Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya.283 Harimau tersebut telah melakukan pengintaian dan
melakukan aksinya pada saat yang menurutnya tepat sehingga menyebabkan
anak tersebut mati. Bukankah dalam hal ini bisa dikatakan semua unsur pasal
pembunuhan berencana berdasarkan pasal tersebut di atas telah dipenuhi oleh
harimau itu? Namun, apakah kemudian harimau atau entitas lainnya yang
bukan manusia itu dapat dikatakan sebagai subjek yang bertanggung jawab
atas pelanggaran pasal tersebut?

Ketika membahas hewan sebagai subjek hukum, terjadi inkonsistensi


dari para ahli untuk menyatakan apakah binatang itu adalah juga subjek
hukum atau tidak. Meskipun binatang diberikan hak oleh hukum untuk
mendapatkan perlindungan, tetapi banyak para ahli yang berpendapat bahwa
binatang tidak dapat dinyatakan sebagai subjek hukum, karena hukum
merupakan aturan kesusilaan yang diciptakan untuk mengatur kehidupan
manusia. Kalaupun binatang diberikan hak-hak tertentu di hadapan hukum,
hak-hak tersebut diberikan hanyalah sebagai bentuk penghormatan kepada
sesama makhluk yang hidup berdampingan dengan manusia.284 Ada juga ahli
yang menyatakan bahwa perlindungan yang diberikan kepada binatang,
tumbuhan, lingkungan, atau benda mati, diberikan justru untuk kepentingan
manusia itu sendiri, bukan diberikan kepada wujud binatang, tumbuhan,
lingkungan atau benda mati sebagai subjek hukum atau sebagai person.285

283
Indonesia, Undang-Undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya, UU No. 5/1990, LN No. 49 Tahun 1990, Pasal 21.
284
Chidir Ali, op., cit., hlm. 11-12.
285
Hak yang diberikan kepada hewan, tumbuhan, lingkungan bahkan kepada benda
mati seperti misalnya ketentuan yang melindungi hewan atau tumbuhan langka, atau
ketentuan untuk tidak merusak lingkungan dengan melakukan pencemaran, atau ketentuan
untuk tidak merusak monumen bersejarah tujuannya adalah untuk kepentingan manusia dan
peradaban manusia. Misalnya Pasal 66, Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar
Budaya, menyebutkan: “Setiap orang dilarang merusak Cagar Budaya, baik seluruh maupun
bagian-bagiannya, dari kesatuan, kelompok, dan/atau dari letak sosial.” Cagar Budaya dalam
hal ini adalah benda mati yang diberikan perlindungan oleh hukum bukan karena dia adalah
suatu makhluk hidup yang harus dihormati tetapi karena untuk kepentingan manusialah dia
diberikan hak untuk dilindungi. Kepentingan masyarakat untuk pelestarian cagar budaya
yang merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan

Universitas Indonesia
140

Para ahli hukum yang berpadangan seperti ini berpendapat bahwa hukum
diciptakan untuk mengatur kehidupan manusia agar harmonis dan teratur,
salah satunya adalah dengan memberikan perlindungan kepada hewan agar
tercipta keteraturan dalam berperilaku terhadap entatas lain selain manusia.
Perlindungan yang diberikan kepada wujud yang berbeda dari manusia
tersebut muncul untuk melindungi kepentingan dari komunitas manusia
tertentu atas benda-benda tersebut.286

Menurut penulis, agak membingungkan ketika menyambungkan


konsep subjek hukum yang diartikan sebagai penyandang hak dan/atau
kewajiban hukum dengan subjek hukum di dalam konteks hukum pidana,
karena biasanya aturan pidana berbicara tentang aturan-aturan yang harus
dilakukan atau tidak boleh dilakukan oleh seseorang di dalam kehidupan
bermasyarakat, dan apabila orang tersebut melakukan apa yang dilarang atau
tidak melakukan apa yang seharusnya dia lakukan, maka orang tersebut akan
mendapatkan suatu hukuman dari negara. Dapat dikatakan bahwa subjek
hukum pidana diartikan sebagai subjek norma atau adressat dari ketentuan
hukum pidana (normadressaat) atau siapa yang diwajibkan untuk melakukan
atau tidak melakukan suatu aturan.287

Apabila ada seseorang yang diwajibkan untuk melakukan sesuatu hal


terhadap orang lain, maka yang dikatakan sebagai subjek dalam hal ini adalah
orang yang pertama, yaitu orang yang berkewajiban melakukan sesuatu hal
tersebut dan bukan orang yang terakhir. Dalam hal ini, orang yang memiliki
hak tersebut adalah objek dari kewajiban hukum yang diatur.288 Misalnya,
Pasal 21 Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya menyebutkan: “Setiap orang dilarang untuk menangkap,

pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat,


berbangsa dan bernegara.
286
Chidir Ali, op., cit., hlm. 11-12.
287
Menurut Ruiter sebagaimana dijelaskan oleh Maria Farida Indrati, suatu norma
mengandung paling tidak empat unsur: 1. subyek norma, yaitu seseorang atau sekelompok
orang yang kepadanya norma ditujukan (normadressaat), 2. operator norma, yaitu cara
keharusan berperilaku (modus van behoren), 3. obyek norma atau perilaku yang dirumuskan
(normgedrag), 4. Kondisi norma atau syarat-syarat berlakunya norma (normcondities). Lihat
Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-Undangan, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007).
288
Hans Kelsen (2), op., cit., hlm.128.

Universitas Indonesia
141

melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan


memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup.”289 Subjek dari
norma ini adalah ‘setiap orang’ sedangkan ‘satwa yang dilindungi’adalah
bagian dari objek norma. ‘Satwa yang dilindungi’ disini adalah penyandang
hak (right holder) karena berdasarkan UU ini memiliki hak untuk tidak
ditangkap, dilukai, dibunuh dan seterusnya. Apabila menggunakan pandangan
formalis, maka ‘satwa yang dilindungi’ dalam hal ini bisa disebut sebagai
subjek hukum secara umum karena merupakan penyandang hak hukum yang
dijamin oleh negara. Namun, ‘satwa yang dilindungi’ ini tidak dapat
mewakili dirinya sendiri untuk mempertahankan hak nya, misalnya
mengajukan gugatan atau tuntutan atau melaporkan ke pihak yang berwajib
apabila haknya dilanggar. Terlepas apakah binatang itu tidak dapat
mengajukan klaim hukum ke pengadilan secara pribadi, tidak merubah
keadaan bahwa dia memiliki hak hukum (rights holder). Sebagaimana Kelsen
menjelaskan sebagai berikut:290

For ‘person’, as we shall see, means legal subject; and if the subject
of a reflex right is the individual toward whom the behavior of an
obligated individual has to take place, then animal etc, toward whom
man are obligated in a certain way are indeed “subjects” of right to
this behavior in the same sense in which the creditor is the subject of
the right that consists in the obligation of the debtor.
(Mengenai ‘orang’, seperti yang akan kita lihat, berarti subjek hukum;
dan apabila subjek dari satu hak yang relfleks adalah individu kepada
siapa perilaku seseorang yang diwajibkan harus dilakukan, maka
hewan dan sebagainya, kepada siapa manusia diwajibkan dengan cara
tertentu adalah memang “subjek” dari hak terhadap perilaku tersebut,
sama dengan kreditor adalah subjek dari hak yang merupakan
kewajiban dari debitur.)
Meskipun kemudian Kelsen menjelaskan bahwa dalam konteks
hukum, yang perlu diperhatikan adalah kemampuan dari suatu pemegang hak
untuk dapat mempertahankan haknya tersebut di hadapan hukum. Apabila
hak yang diberikan kepada suatu entitas tidak memberikan implikasi apa-apa
dihadapan hukum, maka tidak ada kepentingan hukum mengenai hal

289
Indonesia, Undang-Undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya, UU No. 5/1990, LN No. 49 Tahun 1990, Pasal 21.
290
Hans Kelsen (2), op., cit., hlm.128.

Universitas Indonesia
142

tersebut.291 Hal ini tentu dapat diterima apabila yang sedang dibahas adalah
subjek hukum perdata yang mensyaratkan para pihak untuk dapat
mengajukan gugatan di pengadilan secara perorangan. 292 Namun dalam suatu
kasus pidana, hak mengajukan tuntutan itu telah diambil alih oleh negara,
sehingga tidak menjadi persoalan apakah pemilik hak memiliki kemampuan
untuk dapat mengajukan tuntutan secara pribadi di hadapan pengadilan atau
tidak.

Dengan pemahaman bahwa subjek hukum adalah penyandang hak


dan/atau kewajiban hukum, maka dapat dikatakan bahwa komunitas subjek
hukum pidana lebih sempit dari pada komunitas subjek hukum secara umum.
Apabila digambarkan maka posisi subjek hukum pidana dengan subjek
hukum dalam artian yang umum adalah sebagai berikut:

Subjek hukum Subjek hukum


Pidana
secara umum

Apabila pengertian subjek hukum secara umum adalah penyandang


hak dan/atau kewajiban hukum, maka pengertian subjek hukum pidana yang
paling sesuai diakomodasi adalah pengemban hak dan kewajiban hukum,
yang mampu bertanggung jawab di hadapan hukum. Dalam artian tidak hanya
dengan memiliki hak saja suatu entitas serta merta bisa menjadi subjek
hukum pidana, tetapi juga harus memiliki kewajiban hukum dan dengan

291
Ibid.
292
Meskipun dalam keadaan tertentu penggugat dapat mewakilkan dirinya untuk hadir
di persidangan kepada pihak yang diberikan kuasa untuk itu. Bahkan dalam sebuah kasus di
Amerika, binatang pun dapat diwakili oleh manusia dalam mengajukan gugatan perdata.
Lihat lebih lanjut pembahasan mengenai hal ini pada sub bab binatang sebagai subjek hukum
dalam disertasi ini.

Universitas Indonesia
143

segala kapasitas yang ada pada dirinya mampu menjalankan kewajiban


tersebut, mampu untuk bertanggung jawab apabila dia tidak menjalankan
kewajibannya tersebut dan dapat dihukum berdasarkan ketentuan yang ada.
Apabila dikaitkan dengan pengertian person yang dikemukakan oleh Naffine,
sebagaiman dijelaskan dalam kerangka teori, maka pengertian subjek hukum
pidana yang paling sesuai adalah person sebagai substansi yang autonomous,
responsible for, and in control of her/his action (otonom, bertanggung jawab
terhadap, dan dapat mengendalikan tindakannya) lah yang paling sesuai untuk
diadopsi sebagai subjek hukum pidana ditambah dengan kemampuannya
untuk bertanggung jawab terhadap perbuatan yang berasal dari penalaran
rasionalnya.293 Akan lebih mudah untuk menalarkan subjek hukum pidana
sebagai entitas yang dapat bertanggungjawab dari pada menjelaskan subjek
hukum pidana sebagai pengemban hak dan/atau kewajiban. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa subjek hukum pidana adalah substansi yang menyandang
hak dan kewajiban hukum, dapat melakukan perbuatan hukum dan dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya.

2. Kapasitas Hukum (Legal Capacity) sebagai Syarat untuk Menjadi


Subjek Hukum Pidana

Kualifikasi khusus yang harus dipenuhi suatu subjek hukum untuk


dapat melakukan atau menjalankan hak dan kewajibannya ini disebut
kapasitas hukum (legal capacity).294 Hukum memisahkan mana individu yang
memiliki kapasitas dan mana individu yang tidak memiliki kapasitas hukum.
Orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang
dewasa, sehat akal dan fikirannya serta tidak dilarang oleh undang-undang
untuk melakukan suatu perbuatan hukum tertentu.295

293
Alan Norrie, Punishment, Responsibility and Justice: A Relational Critique,
Reprinted, (Oxford: Oxford University Press, 2004), hlm. 93.
294
L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. 26, (Jakarta: PT. Pradnya
Paramita, 1996), hlm. 191.
295
Riduan Syahrani, op., cit., hlm. 45.

Universitas Indonesia
144

Penentuan ketidakcakapan (incapacity) mempresentasikan garis


pemisah antara mana entitas yang bisa disebut sebagai subjek hukum dan
siapa yang termasuk kedalam objek perlindungan hukum.296 Di satu sisi
adalah individu yang tidak hanya diberikan kemampuan untuk bertindak dan
untuk membuat suatu keputusan yang secara hukum mengikat, tetapi juga
bertanggung jawab secara hukum untuk semua tindakan dan keputusan yang
dibuatnya. Di sisi yang lain adalah individu yang dianggap tidak memiliki
otoritas untuk membuat suatu keputusan sehingga tidak dapat dipersalahkan
atas keputusan dan tindakan yang dibuatnya.297

Dalam hukum pidana, subjek yang dimaksudkan bukan hanya


memiliki kemampuan menurut hukum untuk melakukan suatu tindak pidana,
tetapi juga memiliki kemampuan untuk mengerti proses persidangan yang
sedang berlangsung (capacity to understand the proceedings), mampu untuk
menghadiri proses tersebut (competency to stand trial) dan memiliki
kapabilitas mental dan psikologis untuk dapat mempertanggungjawabkan
segala perbuatan yang dilakukannya.298

Tidak semua subjek hukum dapat melakukan suatu tindak pidana,


tidak semua pelaku tindak pidana dapat bertanggung jawab secara pidana atas
perbuatan yang dilakukannya.299 Sebagaimana telah disinggung pada
kerangka teoritis mengenai pertanggunggungjawaban pidana, bahwa salah
satu unsur untuk dapat dikatakan adanya kesalahan pada pelaku tindak pidana

296
Nancy Knauer, “Defining Capacity: Balancing the Competing Interest of
Autonomy and Need”, Temple Political & Civil Rights Law Review, vol. 12, 2002, hlm. 323.
297
Ibid.
298
Richard G. Singer dan John Q. La Fond, Criminal Law, Fourth Edition, (New
York: 2007), hlm. 477-478.
299
Menurut Vervaele, hukum pidana mengenal konsep pelaku (offender), pelaku yang
bertanggung jawab (responsible agent) dan subjek yang dapat dijatuhi hukum pidana
(punishable agent). Dalam menganalisis setiap subjek hukum pidana, penting untuk dapat
mengidentifikasi manakah subjek hukum yang bisa menjadi offender, responsible agent dan
punishable agent. Beliau mencontohkan subjek hukum yang bisa bertanggung jawab secara
pidana, tetapi tidak dapat dihukum dalam kasus Volkel case di Belanda yang akan dibahas
pada Bab III. Dalam kasus yang diuji di Court of Hertogenbosch tersebut, dinyatakan bahwa
negara bertanggung jawab terhadap pencemaran lingkungan yang terjadi, tetapi tidak bisa
diberikan sanksi pidana. Hasil diskusi dengan Prof. John Vervaele, Profesor in Economic and
European Criminal Law, pada bulan September 2014, di Law, Economics and governance
Faculty, Utrecht University, Belanda.

Universitas Indonesia
145

adalah kemampuannya untuk bertanggung jawab. Van Hammel mengenai hal


ini menjelaskan bahwa paling tidak terdapat tiga kapasitas yang harus
dimiliki seseorang untuk dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya
dalam hukum pidana. Pertama adalah kemampuan untuk dapat mengerti
makna dan akibat dari perbuatannya, yang kedua, mempunyai kemampuan
untuk memahami bahwa perbuatan yang dilakukannya bertentangan dengan
hukum, dan yang ketiga, memiliki kemampuan untuk menentukan kehendak
berbuat.300 Ketiga kemampuan yang dijelaskan oleh van Hammel ini bersifat
kumulatif, artinya semua unsur haruslah terpenuhi. Apabila ada satu saja
unsur yang tidak ada, maka seseorang dianggap tidak dapat
dipertanggungjawabkan terhadap perbuatan pidana yang dilakukannya. 301

Moeljatno mengenai kemampuan bertanggung jawab menjelaskan


bahwa terdapat dua faktor penting yang harus ada pada seorang subjek
hukum.302 Faktor yang pertama adalah faktor akal (intellectual factor), yang
diartikan sebagai kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang baik
dan buruk, yang sesuai hukum dan yang melawan hukum. Faktor yang kedua
adalah faktor perasaan atau kehendak (volitional factor), yaitu kemampuan
untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan
buruknya perbuatan tadi.303

Beberapa ketentuan pidana bisa menentukan kapasitas khusus yang


harus dipenuhi untuk bisa menjadi pelaku pidana, atau normadressaat khusus
dan tidak berlaku untuk semua subjek hukum. Misalnya untuk dapat
dinyatakan sebagai pelaku atas ketentuan Pasal 55 (b) Undang-Undang No. 5
Tahun 2011 tentang Akuntan Publik,304 seseorang haruslah merupakan

300
Dikutip dari Mr. Drs. E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I,
(Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 2000), hlm. 291.
301
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, (Yogyakarta: Cahaya Atma
Pustaka, 2014), hlm. 128.
302
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, cetakan ke-lima, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,
1993), hlm. 165-166.
303
Ibid.
304
Pasal 55 (b) Undang-Undang No. 5 Tahun 2011 Tentang Akuntan Publik
menyatakan: “akuntan publik yang dengan sengaja melakukan manipulasi, memalsukan,
dan/atau menghilangkan data atau catatan pada kertas kerja atau tidak membuat kertas kerja
yang berkaitan dengan jasa yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
sehingga tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya dalam rangka pemeriksaan oleh pihak

Universitas Indonesia
146

akuntan publik, yang juga memiliki kriteria tertentu yang ditentukan oleh
Undang-Undang tersebut. Contoh lain adalah ketentuan Pasal 12 ayat (3)
Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang hanya ditujukan untuk atau normadressaat
nya adalah pajabat atau pegawai Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK) atau Lembaga Pengawas dan Pengatur saja, ketentuan ini
tidak berlaku bagi orang lain.305

Tidak semua pelaku tindak pidana dapat mempertanggungjawabkan


perbuatannya, atau dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Hukum
pidana tidak hanya mensyaratkan adanya suatu tindakan yang membahayakan
(harmful conduct) untuk mempersalahkan dan menjatuhkan sanksi pidana,
tetapi juga mensyarakatkan adanya niat jahat, hukum pidana tidak akan
mempersalahkan dan menghukum orang yang tidak mampu untuk memahami
signifikansi moral dari perbuatannya.306 Ada beberapa alasan pemaaf dari
kesalahan yang dilakukan sehingga memungkinkan pelaku untuk tidak dapat
dimintai pertanggungjawabannya secara pidana (schulduitsluitingsgrond).307
Misalnya doktrin tentang kegilaan308 (insanity), belum cukup umur (infancy),
pembelaan terpaksaan yang melampaui batas sebagaimana diatur pada Pasal

yang berwenang dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana
denda paling banyak Rp300.000.000 (tiga ratus juta rupiah).
305
Indonesia, Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang, UU No. 8/2010, Pasal 12 ayat (3) menyebutkan: “Pejabat atau pegawai
PPATK atau Lembaga Pengawas atau Pengatur dilarang memberitahukan laporan Transaksi
Keuangan Mencurigakan yang akan atau telah dilaporkan kepada PPATK secara langsung
atau tidak langsung dengan cara apa pun kepada Pengguna Jasa atau pihak lain.” Kemudian
Pasal 12 ayat (5) menjelaskan sanksi pidana atas pelanggaran tersebut bisa dikenakan sanksi
berupa penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana dendan paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
306
Richard G. Singer dan John Q. La Fond, op., cit., hlm. 495.
307
Utrecht, Mr. Drs. E. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, (Surabaya: Pustaka
Tinta Mas, 2000, hlm. 348.
308
Kegilaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah: “1. sifat (keadaan,
perihal) gila; 2. kegemaran (keasyikan, kesukaan) yang berlebih-lebihan: 3. sesuatu yang
melampaui batas; 4. kebodohan, kesalahan (dengan sengaja); 5. ketidakberesan; kericuhan;
kekacauan. Lihat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Kamus versi online / daring (dalam jaringan), http://kbbi.web.id.

Universitas Indonesia
147

49 (2) KUHP, dan perintah jabatan yang tidak sah sebagaimana diatur pada
Pasal 51 (2) KUHP dan dalam pengaruh obat (intoxication).309

Alasan pemaaf karena kegilaan diatur pada Pasal 44 KUHP, yang


menjelaskan: “tidak dapat bertanggung jawab: (1) barang siapa melakukan
perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan
karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau terganggu karena penyakit.”
Selanjutnya kedudukan khusus diberikan kepada anak yang belum cukup
umur dalam kemampuannya untuk dapat dipertanggungjawabkan dalam
hukum pidana, sebagaimana diatur pada Undang-Undang No. 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pasal 21 UU ini menjelaskan bahwa
anak yang belum berumur 12 tahun tidak dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatannya dan penyelesaian perkara ini tidak dilakukan melalui
mekanisme hukum pidana.

Pasal 49 (2) berbunyi: “Pembelaan terpaksa yang melampaui batas,


yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena
serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.” Sudarto menjelaskan
ada tiga syarat untuk pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang
pertama adalah kelampauan batas yang diperlukan, kedua, pembelaan
dilakukan sebagai akibat langsung dari kegoncangan jiwa yang hebat dan
ketiga, kegonjangan jiwa tersebut merupakan akibat langsung atau ada
hubungan kausal secara langsung dengan serangan. 310 Mengenai perintah
jabatan yang tidak sah, Hiariej menjelaskan tiga syarat yang harus dipenuhi
untuk dapat berlakunya yaitu: perintah itu dipandang sebagai perintah yang
sah, dilaksanakan dengan itikad baik, dan pelaksanaan perintah tersebut
berada dalam ruang lingkup pekerjaannya.311

309
Intoxication (keadaan mabuk) merupakan salah satu alasan pemaaf menurut
common law, di mana kemabukan tersebut sampai pada suatu keadaan yang menyebabkan
otak seseorang menjadi rusak sehingga terjadi penurunan penilaian terhadap norma-norma
baik dan buruk serta merusak respon emosional. Lihat misalnya pembahasan mengenai hal
ini pada Molan, Mike. Denis Lanser dan Duncan Bloy, Bloy and Parry’s Criminal Law.
Fourth Edition, (London: Cavendish Publishing Limited, 2000), hlm. 219.
310
Sudarto, op., cit., hlm. 151-152.
311
Eddy O.S. Hiariej, op. cit., hlm. 234.

Universitas Indonesia
148

Sedangkan mengenai pengaruh obat (intoxication), hukum pidana


Indonesia belum menerima konsep ini sebagai alasan pemaaf.312 Misalnya
orang yang mabuk karena minuman keras atau karena mengkonsumsi
narkotika melakukan tindak pidana, maka ketika sadar dia tetap harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kecuali orang tersebut tanpa
sepengetahuannya dibuat mabuk.313

Di samping alasan yang disebutkan di atas, terdapat juga alasan


pemaaf lain yang berada di luar undang-undang. Seperti afwezigheid van alle
schuld (avas) atau tidak ada kesalahan sama sekali, atau disebut juga sesat
yang dapat dimaafkan.314 Avas dibedakan dalam dua kategori: error facti
(kesesatan fakta) dan error juris (kesesatan hukum), atau dalam common law
disebut ignorance or mistake of law,315 yaitu suatu perbuatan dengan
perkiraan hal itu tidak dilarang oleh undang-undang.316

Menurut Diening, avas dapat diparalelkan dengan defence of due


diligence pada common law, karena sama-sama bertujuan untuk
menunjukkan bahwa tidak terdapat kesalahan pada subjek. 317 Untuk subjek
tindak pidana korporasi, alasan tidak ada kesalahan atau due diligence
defence merupakan salah satu alasan yang sering dipertimbangkan hakim
untuk tidak membebankan pertanggungjawaban pidana bagi korporasi.318
Misalnya UK Bribery Act 2010 Section 7 (2) menjelaskan bahwa korporasi
dapat membela diri dengan membuktikan bahwa mereka telah menerapkan
prosedur yang layak untuk mencegah pengurus korporasi melakukan tindak
pidana korupsi.319

312
Ibid., 217.
313
Ibid.
314
Eddy O.S. Hiariej, op. cit., hlm. 237.
315
Ryu dan Silving, “Error Juris: A Comparative Study,” The University of Chicago
Law Review, vol. 24, no. 3, 1957, hlm. 421.
316
Eddy O.S. Hiariej, op. cit., hlm. 237.
317
Diening, J.A.A, On Reasonable Liability: A Comparison of Dutch and Canadian
Law regarding the Limits of Criminal Liability, (Arnhem: Gouda Quint, 1982), hlm. 276.
318
Misalnya lihat Celia Wells, (1), op., cit., hlm. 108.
319
Section 7 (2) UK Bribery Act 2010 secara lengkap berbunyi: “But it is a defence
for commercial organization (“C”) to prove that C had in place adequate procedures
designed to prevent persons associated with C from undertaking such conduct.” (Namun

Universitas Indonesia
149

Dapat disimpulkan bahwa hukum pidana mementingkan perhitungan


mengenai kemampuan suatu subjek untuk dapat dipertanggungjawabkan atas
suatu perbuatannya yang tercela. Ketercelaan suatu subjek dapat dimaafkan
atas beberapa alasan misalnya karena alasan kegilaan, belum cukup umur,
pembelaan terpaksaan yang melampaui batas dan perintah jabatan yang tidak
sah. Di samping itu terdapat juga alasan pemaaf lain yang berada di luar
undang-undang seperti afwezigheid van alle schuld (avas) atau tidak ada
kesalahan sama sekali. Avas dapat diparalelkan dengan defence of due
diligence pada common law, karena sama-sama bertujuan untuk
menunjukkan bahwa tidak terdapat kesalahan pada subjek. Untuk korporasi,
due diligence defence merupakan salah satu alasan untuk dapat dimaafkan
dari pembebanan pertanggungjawaban pidana.

adalah suatu pembelaan bagi organisasi komersil (“C”) untuk membuktikan bahwa C telah
menerapkan prosedur yang memadai yang dirancang untuk mencegah orang-orang yang
terkait dengan C melakukan tindakan tersebut.)

Universitas Indonesia
150

BAB III

KORPORASI SEBAGAI SUBJEK HUKUM DALAM REZIM HUKUM


PIDANA

De Maglie menjelaskan bahwa terdapat tiga aspek pembahasan yang


berbeda ketika membicarakan mengenai kejahatan yang dilakukan oleh korporasi
di setiap jurisdiksi. Pertama adalah pengkajian mengenai jenis-jenis atau bentuk
organisasi apa saja yang bisa menjadi subjek hukum pidana dan dijatuhi sanksi
pidana, pembahasan kedua adalah telaahan mengenai bentuk tindak pidana apa
saja yang bisa dilakukan oleh korporasi,1 dan selanjutnya pembahasan mengenai
kriteria apa saja yang diperlukan untuk mengatribusikan pertanggungjawaban
pidana kepada korporasi.2

Bab ini akan meneliti aspek yang pertama, yaitu jenis-jenis atau bentuk
organisasi apa saja yang bisa menjadi subjek hukum pidana. Sebelum melihat
1
Pada awalnya korporasi hanya dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana yang
tidak memerlukan pembuktian tentang kesalahan atau tindak pidana dengan pertanggungjawaban
ketat (strict liability). Namun dengan diterimanya teori tentang vicarious criminal liability di
Amerika Serikat dan teori identifikasi di Inggris, jenis-jenis tindak pidana yang bisa dibebankan
pertanggungjawabannya kepada korporasi menjadi semakin luas. Pembahasan mengenai jenis
tindak pidana yang bisa dilakukan oleh korporasi lebih menjadi kontroversi pada negara dengan
latar belakang sistem civil law dibandingkan di negara dengan latar belakang common law. karena
di Common law, pertimbangan mengenai apakah suatu korporasi dapat melakukan suatu tindak
pidana adalah permasalahan interpretasi terhadap aturan hukum atau common law. Untuk negara
dengan latar belakang civil law ada negara yang menggunakan “all crime approach”, di mana
korporasi dianggap dapat melakukan semua tindak pidana yang ada di KUHP nya. Negara yang
menggunakan pendekatan ini misalnya Belanda dan Perancis. Ada juga negara dengan latar
belakang civil law menggunakan “list-based approach” yang berarti hanya tindak pidana tertentu
saja yang dapat dilakukan oleh korporasi. Negara yang menggunakan pendekatan ini misalnya
Italia, Spanyol, Portugis, dan Polandia. Pembahasan yang cukup lengkap mengenai hal ini dapat di
lihat pada Pieth, Ivory, “Emergence and Convergence: Corporate Criminal Liability Principles in
Overview”, in Corporate Criminal Liability: Emergence, Convergence and Risk, Mark Pieth and
Radha Ivory (editor), (London: Springer, 2011), hlm. 15. Mardjono Reksodiputro menyarankan
untuk membatasi penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi untuk tindak pidana dengan
ketercelaan moral yang berat saja. Sedangkan untuk tindak pidana yang bersifat administratif atau
penatakelolaan pemerintahan tidak perlu diterapkan pertanggungjawaban pidana korporasi.
Menurut beliau perlu ada pembahasan mengenai tindak pidana yang bersifat mala prohibita dan
mala in se dalam pertanggungjawaban pidana korporasi. Pendapat disampaikan pada wawancara
personal dengan Mardjono Reksodiputro, Profesor Hukum Pidana Universitas Indonesia,10 Maret
2017 di Jakarta.
2
Cristina de Maglie, “Models of Corporate Criminal Liablity in Comparative Law,”
Washington University Global Studies Law Review, Vol. 4, Issue 3. 2005, 547-566, hlm. 550.

Universitas Indonesia
151

bentuk-bentuk organisasi apa saja yang bisa dijadikan subjek hukum pidana, pada
bagian awal akan diuraikan istilah yang digunakan undang-undang di Indonesia
untuk merujuk kepada subjek hukum kolektif. Selanjutnya akan dianalisis
pengertian korporasi menurut para ahli dan penggunaan istilah korporasi di
berbagai UU di beberapa negara lain serta kritisi terhadap pengertian korporasi
yang dianut oleh hukum pidana Indonesia. Pada sub-bab B akan dinalisis jenis
korporasi apa saja yang bisa dimintai pertanggungjawaban pidana.

A. Mengupas Peristilahan Koporasi dalam Hukum Pidana

1. Identifikasi dan Analisis Korporasi sebagai Subjek Hukum Pidana pada


Undang-Undang Indonesia3

Dari beberapa peraturan perundang-undangan Indonesia yang


mengakomodir subjek hukum bukan manusia yang berbentuk kolektif, dapat
disimpulkan bahwa terminologi yang digunakan untuk merujuk kepada subjek
hukum kolektif beragam, diantaranya adalah:

a) Organisasi, misalnya digunakan pada Undang-Undang No. 8 Tahun 2012


tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD,4 Undang-
Undang No. 11 PNPS Tahun 1963 tentang Tindak Pidana Subversi,5
Undang-Undang No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia.6

3
Penjabaran secara lengkap mengenai proses analisa peraturan perundang-undangan yang
memuat ketentuan mengenai subjek hukum bukan manusia yang berbentuk kolektif dipaparkan
pada Lampiran 1. Undang-Undang Indonesia dengan organisasi sebagai Subjek Hukum Pidana.
4
Indonesia, Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD,
UU No. 8/2012. LN. No. 117 Tahun 2012, TLN. No. 5316. Pada Pasal 79 dijelaskan bahwa
pelaksana kampanye pemilu termasuk adalah organisasi.
5
Dicabut dengan Indonesia, Undang-Undang tentang Pencabutan UU No.
11/PNPS/Tahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, UU No. 26/1999, LN. No. 73
Tahun 1999. Pada Pasal 17 dijelaskan: “jika suatu tindak pidana subversi dilakukan oleh atau atas
nama suatu badan hukum, perseroan, perserikatan orang, yayasan atau organisasi lainnya, maka
tindakan peradilan dilakukan, baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan orang, yayasan
atau organisasi lainnya itu, baik terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak
pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu, maupun terhadap
kedua-duanya.”
6
Indonesia, Undang-Undang tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, UU No. 13/1998, LN.
No. 190 Tahun 1998, TLN. No. 3796. Pada Pasal 26 menyebutkan: “Setiap orang atau badan
dan/atau organisasi atau lembaga yang dengan sengaja tidak melakukan pelayanan dalam rangka

Universitas Indonesia
152

b) Perusahaan, misalnya digunakan pada Undang-Undang No. 3 Tahun 1982


tentang Wajib Daftar Perusahaan,7 Undang-Undang No. 8 Tahun 1997
tentang Dokumen Perusahaan,8 Undang-Undang No. 8 Tahun 1992 tentang
Perfilman, Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-
Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
c) Persekutuan, misalnya digunakan pada UU No. 4 Tahun 1990 tentang Serah
Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam. Persekutuan juga kadangkala
dijelaskan sebagai salah satu bentuk pengertian pengusaha, misalnya pada
Pasal 1 butir (c) Undang-Undang No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar
Perusahaan disebutkan “pengusaha adalah setiap orang perseorangan atau
persekutuan atau badan hukum yang menjalankan sesuatu jenis
perusahaan.” Pengertian ini juga diadopsi oleh Undang-Undang No. 3
Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.9
d) Perseroan, misalnya digunakan pada Undang-Undang Darurat No. 7 Tahun
1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi,10 Undang-Undang No. 6 Tahun 1984
tentang Pos.11 Ada juga undang-undang yang menjelaskan perseroan
sebagai salah satu bentuk badan hukum, misalnya pada Undang-Undang
Darurat No. 17 Tahun 1951 tentang Penimbunan Barang-Barang,12 Undang-
Undang No. 10 Tahun 1995 jo. Undang-Undang No. 17 Tahun 2006 tentang
Kepabeanan, pada Pasal 1 ayat (8) menyebutkan “orang adalah badan
hukum atau orang pribadi,” tetapi ketika membahas pertanggungjawaban
pidana pada Pasal 108 dipertegas bentuk badan hukum yang dimaksudkan:

peningkatan kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3), Pasal 19 ayat (2)
dan ayat (3), padahal menurut hukum yang berlaku baginya wajib melakukan perbuatan tersebut,
diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun atau denda sebanyak-banyaknya
Rp 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah).”
7
Indonesia, Undang-Undang tentang Wajib Daftar Perusahaan, UU No. 3/1982, LN. No.
7 Tahun 1982, TLN No. 3214.
8
Indonesia, Undang-Undang tentang Dokumen Perusahaan, UU No. 8/1997, LN. No. 18
Tahun 1997. TLN No. 3674.
9
Dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan Indonesia. Undang-Undang tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial. UU No. 24/2011. LN No. 116 Tahun 2011. Pengertian ini masih
dipertahankan pada Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
10
Indonesia, Undang-Undang Darurat Pengusutan, Penuntutan Tindak Pidana Ekonomi,
UU Darurat No. 7/1955, LN No. 27 Tahun 1955, TLN. No. 801. Pasal 15.
11
Dicabut dengan Indonesia, Undang-Undang tentang Pos, UU No. 38/2009, LN No. 146
Tahun 2009.
12
Indonesia, Undang-Undang Darurat Republik Indonesia tentang Penimbunan Barang-
Barang, UU No. 17 Tahun 1951, LN No. 90, TLN. No. 155.

Universitas Indonesia
153

“Dalam hal suatu tindak pidana yang dapat dipidana menurut Undang-
Undang ini dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, perseroan
atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi, tuntutan pidana
ditujukan dan sanksi pidana dijatuhkan kepada…”

e) Perserikatan, misalnya digunakan pada Undang-Undang No. 7 Tahun 1992


Jo. Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Istilah
perserikatan sering dipergunakan pada undang-undang awal yang
diterbitkan pemerintah, misalnya Undang-Undang Darurat No. 13 Tahun
1950 tentang Pinjaman Darurat,13 UU Darurat No. 13 Tahun 1951 tentang
Bursa,14 UU Darurat No. 17 Tahun 1951 tentang Penimbunan Barang-
Barang,15 UU Darurat No. 16 Tahun 1951 tentang Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan,16 dimana perserikatan biasanya dipersandingkan
dengan badan hukum, perseroan, yayasan.
f) Kelompok orang, misalnya digunakan pada Undang-Undang No. 32 Tahun
1997 jo Undang-Undang No. 10 Tahun 2011 tentang Perdagangan
Berjangka Komoditi,17 Undang-Undang No. 28 Tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung,18 Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 Jo. Peraturan

13
Ditetapkan menjadi UU dengan Indonesia, Undang-Undang tentang Penetapan
"Undang-Undang Darurat tentang Pinjaman Darurat," Sebagai Undang-Undang, UU No.
2/1952, LN No. 28 Tahun 1952.
14
Ditetapkan sebagai Undang-undang dengan UU No. 15 Tahun 1952 (Lembaran Negara
Tahun 1952 Nomor 67) dan UU ini dicabut dengan Indoensia, Undang-Undang tentang Pasar
Modal, UU No. 8/1995, LN No. 64 Tahun 1995.
15
Indonesia, Undang-Undang Darurat Republik Indonesia tentang Penimbunan Barang-
Barang, UU No. 17 Tahun 1951, LN No. 90, TLN. No. 155.
16
Dicabut dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 42), yang mana kemudian UU No. 22/1957 ini
juga dinyatakan tidak berlaku dengan Indonesia, Undang-Undang tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial, UU No. 2/2004, LN No. 6 Tahun 2004.
17
Indonesia, Undang-Undang tentang Perdangangan Berjangka Komoditi, UU No.
32/1997, LN. No. 93 Tahun 1997, TLN. No. 3720, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka
Komoditi, UU No. 10 Tahun 2011, LN No. 79 Tahun 2011, TLN No. 5232. Pasal 1 ayat (13)
menyebutkan bahwa kelompok orang termasuk ke dalam pengertian pihak.
18
Indonesia, Undang-Undang tentang Bangunan Gedung, UU No. 28/2002, LN. No. 134
Tahun 2002, TLN. No. 4247. Pasal 1 ayat (9) menjelaskan bahwa kelompok orang bisa menjadi
pemilik gedung.

Universitas Indonesia
154

Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1/2002 tentang Pemberantasan


Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang.19
g) Asosiasi, misalnya digunakan pada Undang-Undang No. 32 Tahun 1997 jo
Undang-Undang No. 10 Tahun 2011 tentang Perdagangan Berjangka
Komoditi,20 Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.21
h) Usaha bersama, misalnya digunakan pada Undang-Undang No. 8 Tahun
1995 tentang Pasar Modal,22 Undang-Undang No. 32 Tahun 1997 jo
Undang-Undang No. 10 Tahun 2011 tentang Perdagangan Berjangka
Komoditi.23
i) Kelompok terorganisasi, misalnya digunakan pada Undang-Undang No. 21
Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.24
j) Lembaga, misalnya digunakan pada Undang-Undang No. 13 Tahun 1998
tentang Kesejahteraan Lanjut Usia.25
k) Koperasi, misalnya disebutkan sebagai salah satu aktor kolektif pada
Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 jo. Undang-Undang No. 17 Tahun
2006 tentang Kepabeanan,26 Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 jo.

19
Indonesia. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme. Perpu No. 1/2002, LN. No. 106 Tahun 2002, TLN. No. 4232.
Sebagaimana telah ditetapkan menjadi Undang-undang dengan UU No. 15 Tahun 2003 Tetang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, LN. No. 45 Tahun 2003, TLN. 4284.
20
Indonesia, Undang-Undang tentang Perdangangan Berjangka Komoditi, UU No.
32/1997, LN. No. 93 Tahun 1997, TLN. No. 3720, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 1997 Tentang Perdagangan Berjangka
Komoditi, UU No. 10 Tahun 2011, LN No. 79 Tahun 2011, TLN No. 5232. Pasal 1 ayat (13)
menyebutkan bahwa asosiasi termasuk ke dalam pengertian pihak.
21
Indonesia, Undang-Undang tentang Pasar Modal, UU No. 8/1995, LN. No. 64 Tahun
1995, TLN. No. 3608. Pasal 1 ayat (23) menjelaskan bahwa asosiasi termasuk dalam pengertian
pihak.
22
Indonesia, Undang-Undang tentang Pasar Modal, UU No. 8/1995, LN. No. 64 Tahun
1995, TLN. No. 3608. Pasal 1 ayat (23) menjelaskan bahwa usaha bersama termasuk dalam
pengertian pihak.
23
Indonesia, Undang-Undang tentang Perdangangan Berjangka Komoditi, UU No.
32/1997, LN. No. 93 Tahun 1997, TLN. No. 3720, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka
Komoditi, UU No. 10 Tahun 2011, LN No. 79 Tahun 2011, TLN No. 5232. Pasal 1 ayat (13)
menyebutkan bahwa usaha bersama termasuk ke dalam pengertian pihak.
24
Indonesia, Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang,
UU No. 21 Tahun 2007, LN No. 58 Tahun 2007, TLN No. 4720. Pasal 16.
25
Indonesia, Undang-Undang tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, UU No. 13/1998, LN.
No. 190 Tahun 1998, TLN. No. 3796. Pasal 26.
26
Indonesia. Undang-Undang tentang Kepabeanan, UU No. 10/1995, LN. No. 75 Tahun
1995, TLN. No. 3612, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang tentang Perubahan Atas

Universitas Indonesia
155

Undang-Undang No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai,27 UU No. 36 Tahun


1999 tentang Telekomunikasi.28
l) Yayasan, misalnya digunakan pada Undang-Undang Darurat No. 13 Tahun
1950 tentang Pinjaman Darurat,29 Undang-Undang Darurat No. 13 Tahun
1951 tentang Bursa,30 Undang-Undang Darurat No. 17 Tahun 1951 tentang
Penimbunan Barang-Barang,31 Undang-Undang Darurat No. 7/1955 tentang
Pengusutan, Penuntutan Tindak Pidana Ekonomi,32 Undang-Undang No. 11
Tahun 1995 jo. Undang-Undang No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai.33
m) Instansi, misalnya digunakan pada Undang-Undang No. 36 Tahun 1999
tentang Telekomunikasi.34
n) Masyarakat, misalnya Pasal 1 ayat (35) Undang-Undang No. 11/2010
tentang Cagar Budaya menjelaskan bahwa setiap orang termasuk adalah
masyarakat.35

Namun istilah yang paling sering muncul untuk merujuk kepada subjek hukum
kolektif secara garis besar ada empat jenis, yaitu:

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. UU No. 17/2006. LN. No. 93
Tahun 2006. Pasal 108.
27
Indonesia, Undang-Undang tentang Cukai, UU No. 11/1995, LN. No. 76 Tahun 1995,
TLN. No. 3613, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Tentang Perubahan atas Undang-
Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai, UU No. 39 Tahun 2007, LN No. 105 Tahun 2007,
TLN No. 4755. Pasal 61 ayat (1).
28
Indonesia. Undang-Undang tentang Telekomunikasi, UU No. 36/1999, LN. No. 154
Tahun 1999, TLN. No. 3881, Pasal 1 ayat (8) menjelaskan salah satu bentuk penyelenggara
telekomunikasi adalah koperasi.
29
Ditetapkan menjadi UU dengan Indonesia, Undang-Undang tentang Penetapan
"Undang-Undang Darurat tentang Pinjaman Darurat," Sebagai Undang-Undang, UU No.
2/1952, LN No. 28 Tahun 1952. Pasal 3.
30
Ditetapkan sebagai Undang-undang dengan UU No. 15 Tahun 1952 (Lembaran Negara
Tahun 1952 Nomor 67) dan UU ini dicabut dengan Indoensia, Undang-Undang tentang Pasar
Modal, UU No. 8/1995, LN No. 64 Tahun 1995.
31
Indonesia, Undang-Undang Darurat Republik Indonesia tentang Penimbunan Barang-
Barang, UU No. 17 Tahun 1951, LN No. 90, TLN. No. 155. Pasal 1 butir (e) menjelaskan bahwa
yayasan merupakan salah satu bentuk badan hukum.
32
Indonesia, Undang-Undang Darurat Pengusutan, Penuntutan Tindak Pidana Ekonomi,
UU Darurat No. 7/1955, LN No. 27 Tahun 1955, TLN. No. 801. Pasal 15.
33
Indonesia, Undang-Undang Tentang Cukai, UU No. 11/1995, LN. No. 76 Tahun 1995,
TLN. No. 3613, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Tentang Perubahan atas Undang-
Undang No. 11 Tahun 1995 Tentang Cukai, UU No. 39 Tahun 2007, LN No. 105 Tahun 2007,
TLN No. 4755. Pasal 61 ayat (1).
34
Indonesia, Undang-Undang Tentang Telekomunikasi, UU No. 36/1999, LN. No. 154
Tahun 1999, TLN. No. 3881, Pasal 1 ayat (8) menjelaskan salah satu bentuk penyelenggara
telekomunikasi adalah instansi pemerintah dan instansi pertahanan negara.
35
Indonesia, Undang-Undang Tentang Cagar Budaya, UU No. 11/2010, LN. No. 130
Tahun 2010, TLN. No. 5168.

Universitas Indonesia
156

a) Badan Hukum

Badan hukum merupakan istilah yang paling sering digunakan untuk


merujuk kepada subjek hukum bukan manusia yang berbentuk kolektif. Mulai
dari awal adanya undang-undang yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik
Indonesia, seperti misalnya Undang-Undang Darurat No. 12 Tahun 1950 tentang
Pajak Peredaran;36 sampai undang-undang yang diterbitkan tahun-tahun terakhir
inipun masih banyak yang menggunakan istilah badan hukum, misalnya Pasal 1
ayat (13) Undang-Undang No. 13 Tahun 2016 tentang Paten menjelaskan “orang
adalah orang perseorangan atau badan hukum.”37

Undang-Undang No. 17 Tahun 1951 tentang Penimbunan Barang-Barang


merupakan Undang-Undang pertama yang dengan tegas menyatakan bahwa badan
hukum merupakan subjek hukum mandiri yang dapat bertanggung jawab secara
pidana atas namanya sendiri. Sebagaimana Pasal 11 ayat (1) menjelaskan bahwa:

“Bilamana suatu perbuatan yang boleh dihukum berdasarkan Undang-


undang ini, dilakukan oleh suatu badan hukum, maka tuntutan itu
dilakukan dan hukuman dijatuhkan terhadap badan hukum itu atau
terhadap orang-orang termaksud dalam ayat 2, atau terhadap kedua-
duanya.”
Undang-Undang ini juga menerima pengertian badan hukum dalam arti
yang seluas-luasnya yang tidak hanya mencakup badan hukum yang telah
terdaftar dan diterima sebagai badan hukum menurut hukum tetapi juga
mengakomodasi badan hukum yang ada berdasarkan kenyataan. Pasal 1 butir (e)
menjelaskan badan hukum: “tiap perusahaan atau perseroan, perserikatan atau
yayasan, dalam arti yang seluas-luasnya, juga jika kedudukan sebagai badan
hukum itu baik dengan jalan hukum ataupun berdasarkan kenyataan tidak
diberikan kepadanya.”

Pengertian ini sejalan dengan pengertian “Perhimpunan orang-orang”


sebagaimana dijelaskan Pasal 1653 KUHper yang berada pada BAB IX tentang

36
Ditetapkan menjadi UU dengan Indonesia, UU No. 25 Tahun 1953, LN No. 75 Tahun
1953.
37
Indonesia, Undang-Undang Tentang Paten, UU No. 13/2016, LN No. 176 Tahun 2016,
TLN No. 5922.

Universitas Indonesia
157

“Badan Hukum”.38 Sehingga dapat dikatakan bahwa pengertian badan hukum


yang dianut oleh UU ini adalah cikal bakal dari pengertian korporasi yang juga
menerima segala bentuk badan walaupun tidak memiliki status sebagai badan
hukum menurut hukum.

b) Korporasi

Istilah korporasi partama kali muncul pada Undang-Undang No. 5 Tahun


1997 tentang Psikotropika.39 Apabila diperhatikan dari beberapa undang-undang
awal yang menggunakan istilah korporasi sebagai subjek hukum dapat dikatakan
adalah undang-undang yang digolongkan ke dalam kejahatan yang bersifat serius
(serious crime) seperti Undang-Undang Psikotropika, Undang-Undang No. 22
Tahun 1997 tentang Narkotika,40 sebagaimana telah dicabut dan diganti dengan
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Undang-Undang No. 15
Tahun 2003 Jo. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1/2002
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang,41
Undang-Undang No. 31 Tahun 199942 Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,43 Undang-Undang No. 8 Tahun
2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.44

Namun istilah korporasi ini kemudian digunakan dalam banyak UU lain


semenjak tahun 2000an. Korporasi misalnya digunakan pada Undang-Undang No.

38
Pasal 1653 KUHPer secara lengkap berbunyi sebagai berikut: “Selain perseroan perdata
sejati, perhimpunan orang-orang sebagai badan hukum juga diakui undang-undang, entah badan
hukum itu diadakan oleh kekuasaan umum atau diakui sebagai demikian, entah pula badan hukum
itu diterima sebagai yang diperkenankan atau telah didirikan untuk suatu maksud tertentu yang
tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan.”
39
Indonesia, Undang-Undang Psikotropika, UU No. 5/1997. LN. No. 10 Tahun 1997,
TLN. No. 3671.
40
Indonesia, Undang-Undang Tentang Narkotika. LN. No. 67 Tahun 1997. TLN No. 3698.
41
Indonesia. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme. Perpu No. 1/2002, LN. No. 106 Tahun 2002, TLN. No. 4232.
Sebagaimana telah ditetapkan menjadi Undang-undang dengan UU No. 15 Tahun 2003 Tetang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, LN. No. 45 Tahun 2003, TLN. 4284.
42
Indonesia, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31/1999,
LN No. 140 Tahun 1999, TLN No. 3874.
43
Indonesia, Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 20 Tahun 2001, LN No. 134
Tahun 2001, TLN No. 4150.
44
Indonesia, Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang, UU No. 8/2010, LN No. 122 Tahun 2010.

Universitas Indonesia
158

29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran,45 Undang-Undang No. 31 Tahun


2004 tentang Perikanan46 Jo. Undang-Undang No.45 Tahun 2009 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan,47
Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan.48

Konsep korporasi yang dipakai oleh Undang-Undang Psikotropika sebagai


undang-undang yang pertama mengadopsi istilah korporasi mengikuti pengertian
korporasi seperti yang dianut dalam Konsep R-KUHP dari semenjak tahun
1982/1983.49 Pada Pasal 111 R-KUHP tahun 1982/1983 disebutkan bahwa
korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan atau kekayaan, baik
merupakan badan hukum ataupun bukan.” Tidak ada penjelasan lebih lanjut
kenapa Tim Pengkaji Hukum Pidana tahun 1982/1983 merumuskan korporasi
demikian, dan tidak ada juga penjelasan lebih lanjut kenapa korporasi juga
termasuk didalamnya adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan atau kekayaan
yang tidak berbadan hukum. Namun pengertian korporasi dalam pengertian yang
luas ini sebenarnya sudah ada semenjak Undang-Undang Darurat No. 17 Tahun
1951 tentang Penimbunan Barang-Barang, di mana pada Pasal 1 (e) dijelaskan
bahwa badan hukum adalah “tiap perusahaan atau perseroan perserikatan atau
yayasan dalam arti yang seluas-luasnya, juga jika kedudukan sebagai badan
hukum itu baik dengan jalan hukum ataupun berdasarkan kenyataan tidak
diberikan kepadanya.” Dapat disimpulkan bahwa badan hukum menurut UU ini
tidak hanya badan hukum yang secara hukum diakui tetapi juga termasuk
perserikatan yang tidak berbadan hukum menurut hukum, cukup dengan suatu
kenyataan bahwa ada sekumpulan orang yang mengatasnamakan dirinya secara
bersama-sama sebagai suatu entitas yang berbeda dari anggota yang ada di

45
Indonesia, Undang-Undang Tentang Praktik Kedokteran, UU No. 29 Tahun 2004, LN
No. 116 Tahun 2004, TLN No. 4431.
46
Indonesia, Undang-Undang Tentang Perikanan, UU No. 31/2004, LN. 118 Tahun 2004,
TLN. No. 4433. Meskipun Pasal 1 (14) Undang-Undang ini menyebutkan bahwa setiap orang
adalah juga termasuk korporasi, namun pertanggungjawaban pidananya menurut Pasal 101 hanya
diberikan kepada pengurusnya saja dan tidak kepada korporasinya.
47
Indonesia. Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun
2004 Tentang Perikanan. UU No. 45/2009. LN. No. 154 Tahun 2009. TLN No. 5073.
48
Indonesia, Undang-Undang Tentang Pangan, UU No. 18/2012, LN No. 227 Tahun 2012,
TLN No. 5360. Pasal 1 ayat (38).
49
Ketentuan mengenai korporasi sebagai subjek tindak pidana sudah diatur semenjak
konsep R-KUHP tahun 1982/1983. Diatur pada Pasal 39, 40, 41, 42, 43A, 111.

Universitas Indonesia
159

dalamnya. Dapat dikatakan bahwa UU ini merupakan cikal bakal dari pengretian
korporasi dalam arti luas sebagaimana yang dianut oleh R-KUHP tahun
1982/1983 dan juga oleh UU khusus lainnya.

Hampir semua undang-undang khusus yang menggunakan istilah korporasi


sebagai subjek hukum bukan manusia, mendefinisikan korporasi sebagai
“kelompok orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik yang berbadan
hukum maupun yang tidak berbadan hukum.” Namun ada beberapa undang-
undang seperti misalnya Undang-Undang Pornografi, Undang-Undang
Pemberdayaan Petani, Undang-Undang Pangan, masih mempertegas korporasi
baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. Padahal, dari
definisi korporasi yang dianut secara umum pada undang-undang Indonesia saja
sudah cukup untuk mengakomodasi badan yang tidak berbadan hukum. Apakah
undang-undang ini masih memiliki pemahaman bahwa korporasi hanyalah
merupakan badan yang berbadan hukum saja sebagaimana pemahaman yang
secara umum diterima dalam teori tentang kepribadian hukum.

Pada Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan


Orang, meskipun Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang ini memberikan pengertian
korporasi sebagai kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik
berbentuk badan hukum maupun tidak berbadan hukum, tetapi membedakan
pengaturan antara tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi (yaitu diatur pada
Ps. 13-15), dan pengaturan khusus mengenai tindak pidana perdagangan orang
yang dilakukan oleh ‘kelompok yang terorganisasi’ (Ps. 16), sehingga dapat
disimpulkan bahwa Undang-Undang ini tidak menganggap sama antara korporasi
dengan ‘kelompok yang terorganisasi’.

Hal yang sama juga dapat ditemukan pada UU No 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika. Pasal 1 ayat (20) menjelaskan “kejahatan terorganisasi adalah
kejahatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur yang terdiri atas 3
(tiga) orang atau lebih yang telah ada untuk suatu waktu tertentu dan bertindak
bersama dengan tujuan melakukan suatu tindak pidana narkotika.” Apabila
dianalisis secara mendalam maka kejahatan yang dilakukan secara terorganisasi
dipahami sebagai suatu tindak pidana yang dilakukan oleh organisasi yang

Universitas Indonesia
160

memang diciptakan untuk melakukan kejahatan atau disebut organisasi terlarang.


Dapat dipahami kemudian bahwa yang membedakan antara kejahatan korporasi
dengan kejahatan terorganisasi sebagaimana yang dipahami oleh UU ini adalah:
korporasi merupakan suatu badan yang secara hukum sah, melakukan kegiatan
yang tidak bertentangan dengan hukum (meskipun konsep korporasi yang
diterima oleh UU ini tidak secara eksplisit menjelaskan seperti itu), sedangkan
organisasi terlarang adalah organisasi yang sengaja dibuat untuk melakukan
tindak pidana.

Penerimaan korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam UU Narkotika


sejalan dengan United Nation Convention against Transnational Organized Crime
2000 yang mensyaratkan agar legal person pun dapat dipertanggungjawabkan
dalam tindak pidana yang bersifat transnasional dan terorganisasi. Khusus untuk
tindak pidana narkotika di Indonesia memang saat ini belum ada satu kasuspun
yang telah menjadikan korporasi sebagai tersangka tindak pidana narkotika.
Namun ada kemungkinan memang korporasi melakukan tindak pidana narkotika
terutama dalam penyertaan tindak pidana. Salah satu contoh yang mengarah ke
situ adalah tindak pidana membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito
narkotika yang dilakukan oleh perusahaan pengangkutan (freight forwarding).50
Contoh kasus yang lain adalah perusahaan importir prekursor narkotika yang
secara melawan hukum mengimpor prekursor melebihi kuota yang ditentukan dan
lain sebagainya.51 Sehingga pengaturan mengenai kemungkinan korporasi
dijadikan sebagai salah satu subjek tindak pidana narkotika adalah hal yang juga
penting untuk pencegahan di kemudian hari.

Istilah korporasi juga digunakan oleh Undang-Undang tentang


Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, tetapi apabila diperhatikan lebih detail
lagi mengenai peristilahan yang digunakan untuk merujuk kepada subjek
hukumnya justru bukan korporasi tetapi “kelompok orang”, dimana kelompok
orang dijelaskan sebagai kelompok orang sipil, militer, maupun polisi. Korporasi

50
Berdasarkan hasil wawancara dengan pegawai Badan Narkotika Nasional (BNN), di
Jakarta tanggal 1 November 2017.
51
Ibid. Namun memang diakui oleh pihak BNN bahwa pembuktian mengenai hal ini sangat
sulit mengingat karakteristik tindak pidana narkotika yang sangat tertutup.

Universitas Indonesia
161

justru dikaitkan dengan pertanggungjawabannnya, dimana dijelaskan bahwa


“kelompok orang” ini bertanggung jawab baik secara individu ataupun
korporasi.52

Hal yang sama juga bisa dilihat pada UU Informasi dan Transaksi
Elektronik, dimana pada Pasal 1 (21), pengertian orang adalah orang perseorangan
atau badan hukum, sedangkan Pasal 52 (4) menjelaskan pemberatan pidana ketika
subjek tindak pidananya adalah korporasi, padahal tidak ada penjelasan mengenai
subjek hukum korporasi, dari semua ketentuan yang mengandung ancaman pidana
ditujukan kepada “setiap orang” yang apabila dikembalikan kepada Pasal 1 (21)
adalah mencakup hanya badan hukum yang tentu berbeda dengan pengertian
korporasi (apabila yang dianut adalah pengertian korporasi yang secara umum
diterima pada peraturan khusus lain). Sama hal nya dengan Undang-Undang
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, sepertinya konsep korporasi
disini tidak dikaitkan dengan partikulasi subjeknya, tetapi dikaitkan dengan
pertanggungjawaban atau pemberian sanksi pidananya.

c) Badan Usaha

Badan usaha banyak digunakan oleh undang-undang yang mengatur


kegiatan perekonomian misalnya UU Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU
Perindustrian, UU Pasar Modal, UU Minyak dan Gas Bumi, UU Lingkungan, UU
ITE. Meskipun menurut Yetty Komalasari peristilahan badan usaha tidak ada
dasar hukumnya, tetapi merupakan peristilahan yang digunakan di bidang
ekonomi, istilah dengan pengertian yang sama dalam bidang hukum menurut
beliau yang paling tepat adalah “perusahaan”.53 Namun dari penelitian yang
dilakukan, istilah yang justru lebih banyak digunakan UU adalah “badan usaha”
52
Indonesia, Perpu No. 1/2001 Jo. UU No. 15/2003 Tentang Penetapan Perpu No. 1/2002
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU, Pasal 1 (2).
53
Menurut Yetty Komalasari Dewi pengertian yang paling tepat untuk “perusahaan” adalah
pengertian perusahaan sebagaimana yang tertuang pada Pasal 1 (1) Undang-Undang No. 8 Tahun
1997 Tentang Dokumen Perusahaan : “Setiap bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara tetap
dan terus menerus dengan tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba, baik yang
diselenggarakan oleh orang perseorangan, maupun badan usaha yang berbentuk badan hukum atau
bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan dalam wilayah Negara Republik
Indonesia.” Indonesia, Undang-Undang Dokumen Perusahaan, UU No. 8 Tahun 1997, LN. No.
18 Tahun 1997, TLN. 3674). Hasil wawancara dengan Ibu Yetty Komalasari Dewi, Staff Pengajar
Hukum Perdata di Universitas Indonesia, Kamis, 31 Maret 2016 di Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Salemba, Jakarta.

Universitas Indonesia
162

dan bukan perusahaan. Dari UU yang dibahas di atas tidak ada keseragaman
mengenai pengertian badan usaha, berbeda dengan korporasi yang diartikan
seragam dalam semua UU yang menggunakan istilah tersebut. Pada beberapa UU
dijelaskan “badan usaha” bisa berbentuk badan hukum atau tidak berbadan
hukum, misalnya UU Lingkungan, UU ITE. UU ITE juga menambahkan bahwa
badan usaha bisa berbentuk perusahaan perseorangan atau perusahaan
persekutuan. Namun, ada juga UU yang hanya menjelaskan Badan usaha sebagai
badan hukum yang menjalankan jenis usaha tetap saja, jadi hanya yang berbadan
hukum saja yang dianggap sebagai badan usaha, seperti misalnya pengertian
badan usaha yang dianut oleh UU Minyak dan Gas Bumi. Sehingga apabila dilihat
dari pemaparan UU di atas, dapat disimpulkan bahwa badan usaha adalah badan
yang menjalankan usaha, bisa berbadan hukum atau tidak berbadan hukum dan
bentuk usahanya bisa berbagai macam, bisa berbentuk perusahaan persekutuan
maupun perusahaan perseorangan, dan setiap UU menjelaskan berbeda-beda
tentang apa itu perusahaan dan apa itu badan usaha.

d) Badan

Istilah “badan” konsisten digunakan oleh UU yang bersifat keuangan,


seperti misalnya UU Perpajakan, UU BI, UU Lalu Lintas Devisa, UU Lembaga
Penjamin simpanan, UU Pengampuan Pajak, dimana badan dijelaskan sebagai
“sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha yang meliputi PT, perseroan komanditer, perseroan lainnya,
BUMN, atau BUMD dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,
organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk lainnya
termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.”54 Pengertian “badan”
ini pada prinsipnya mengakomodasi semua bentuk kolektif bahkan kontrak
investasi kolektif pun dianggap sebagai badan yang tidak dikenal dalam pengetian
kelompok kolektif lainnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengertian badan ini
lebih luas dari pada pengertian korporasi, badan hukum ataupun badan usaha.

54
Indonesia, Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, UU
No. 6/1983, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 16/2009, LN. No. 62
Tahun 2009, TLN No. 4953, Pasal 1(3).

Universitas Indonesia
163

Namun berbeda dengan pengertian korporasi yang tidak mengecualikan korporasi


publik, pengertian badan yang dijelaskan dalam UU Perpajakan sepertinya
mengecualikan badan publik yang termasuk di dalamnya negara, instansi negara,
pemerintahan provinsi atau daerah lainnya.

2. Pengertian Korporasi Menurut Para Ahli

Selanjutnya pada subbab ini akan dianalisis mengenai konsep “korporasi”


secara khusus. Terminologi ini dibahas secara mendalam karena memang istilah
kontemporer yang digunakan oleh banyak UU baru dan juga RKUHP untuk
merujuk kepada subjek hukum kolektif menggunakan istilah “korporasi.” Untuk
mengetahui apa sebenarnya pengertian, makna dan definisi dari korporasi, penulis
mencoba mengumpulkan pengertian korporasi dari berbagai sumber. Pengertian
ini akan dikelompokkan berdasarkan pengertian korporasi menurut pandangan
para ahli, baik ahli hukum maupun ahli di bidang lainnya, serta pengertian
korporasi dari berbagai kamus dan ensiklopedia. Tujuannya adalah untuk melihat
bagaimana istilah korporasi digunakan dalam berbagai konteks ilmu. Istilah
korporasi yang akan ditelaah secara khusus hanya akan membatasi diri pada
peristilahan korporasi yang secara bahasa diterjemahkan dari “corporation”
dalam bahasa Inggris. Sehingga pembahasan ini tidak akan melebar kepada
istilah-istilah bentuk kolektif yang lainnya.

Menurut Hart prinsip dasar untuk menjelaskan makna dari suatu peristilahan
adalah dengan mempertimbangkan kondisi dimana kalimat itu dibuat dengan
karakteristik yang ada didalamnya.55 Dalam hal ini Hart mengikuti filsuf bahasa
Wittgenstein yang juga mengadvokasi pembahasan mengenai suatu konsep
dengan cara meneliti bagaimana cara kerja konsep tersebut dalam penggunaan
nyata, sehari-hari, sosial, dan bahasa.56 Setiap terminologi seperti ‘orang’ hanya
bisa dimengerti dalam konteks yang digunakan dan ketika semua penggunaan
tersebut dipertimbangkan secara bersama-sama barulah akan didapatkan makna

55
HLA Hart (1), Definition and Theory in Jurisprudence, 1953, (Oxford: Clarendon Press),
hlm. 28.
56
Ngaire Naffine (2), Legal Theory Today, Law’s Meaning of Life: Philosophy, Religion,
Darwin and the Legal Person, (Portland: Hart Publishing, 2009), hlm. 39.

Universitas Indonesia
164

penuh dari terminologi tersebut.57 Sehingga dalam menganalisa pengertian


korporasi di bawah ini, tidak hanya dilihat dari definisi korporasi yang
dikemukakan oleh para ahli saja, tetapi juga dilihat dari penggunaan istilah
“korporasi” dalam beberapa konteks kalimat ilmiah.

Untuk dapat melihat definisi dan makna korporasi yang lebih


komprehensif dari berbagai ahli akan dipaparkan berikut ini:58

a. Pengertian Korporasi secara harfiah dari segi bahasa


1) Margaret M. Blair: “corporations,” from the Latin word corpus,
meaning body, because the law recognized the group of people who
formed the corporation could act as one body or one legal person.59
(korporasi, dari bahasa Latin corpus, yang berarti badan, karena
hukum mengakui kelompok orang yang membentuk korporasi yang
dapat bertindak sebagai suatu badan atau sebagai satu badan hukum.)
2) Christopher Harding: Terminologi ‘corporation’ menyingkapkan
proses membadankan sesuatu yang tidak berbadan, karena secara
harfiah memberikan kesan pemberian bentuk jasmani (corporeal
form), sesuatu diberikan badan atau tubuh sendiri.60
3) Soetan K. Malikoel Adil: korporasi (corporatie, Belanda),
(corporation, Inggris), berasal dari kata “corporation” dalam bahasa
Latin. Seperti halnya dengan kata-kata lain yang berakhiran dengan
“tio”, “corporatio” merupakan kata benda (substantivum) yang
berasal dari kata kerja “corporare” yang berarti adalah proses atau
pekerjaan membadankan.61
b. Pengertian Korporasi sebagai badan hukum yang memiliki personalitas
sendiri

57
Ibid., 40.
58
Pengertian korporasi dikelompokkan berdasarkan pengertian korporasi secara harfiah
dari segi bahasa, pengertian korporasi sebagai badan hukum yang memiliki personalitas sendiri,
pengertian korporasi sebagai organisasi binis, dan pengertian korporasi dalam arti yang luas.
59
Margaret M. Blair, “Corporate Personhood and the Corporate Persona,” University of
Illinois Law Review, No. 3, 2013, 785, hlm. 788.
60
Christopher Harding, Criminal Enterprise: Individuals, Organisations And Criminal
Responsibility, (Willian Publishing. 2007), hlm. 33.
61
Soetan K. Malikoel Adil, Pembaharuan Hukum Perdata Kita, Jakarta: PT.
Pembangunan, 1995, hlm. 83.

Universitas Indonesia
165

4) Utrecht: Korporasi adalah “Suatu gabungan orang yang dalam


pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai suatu subjek
hukum tersendiri suatu personifikasi. Korporasi adalah badan hukum
yang beranggota, tetapi mempunyai hak kewajiban terpisah dari hak
kewajiban anggota masing-masing.”62
5) Muladi dan Dwidja Priyatno: Istilah korporasi berasal dari kata
corporate, yaitu suatu badan yang mempunyai sekumpulan anggota
dan anggota-anggota tersebut mempunyai hak dan kewajiban sendiri,
yang terpisah dari hak dan kewajiban masing-masing anggota.63
6) A.Z Abidin: korporasi dipandang sebagai realita sekumpulan manusia
yang diberikan hak sebagai unit hukum, yang diberikan pribadi hukum
untuk tujuan tertentu.64
7) Rudi Prasetyo: Istilah korporasi sebagaimana yang lazim digunakan di
kalangan pakar hukum pidana merujuk kepada konsep ‘badan hukum’
sebagaimana yang biasa dikenal dalam hukum perdata, atau yang
dalam bahasa Belanda disebut sebagai rechtpersoon, atau dalam
bahasa Inggris disebut legal entities atau corporation.65
8) Han Kelsen: Korporasi merupakan bentuk juristic person yang paling
umum ditemui dalam makna teknis yang sempit. Korporasi diartikan
sebagai “a group of individuals treated by the law as a unity, namely
as a person having rights and duties distinct from those of the
individuals composing it.”66 (sekelompok individu yang diperlakukan
oleh hukum sebagai satu kesatuan, yaitu orang yang memiliki hak dan
kewajiban yang berbeda dari para individu yang membentuknya.)
9) Joel Balkan: Korporasi adalah “a legal institution, one whose
existence and capacity to operate depend upon the law and set of

62
Chidir Ali, Badan Hukum. Cetakan 5. (Bandung: Penerbit Alumni, 2014), hlm. 64
63
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Edisi Ketiga.
Cetakan ke-5. (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), hlm. 19-20.
64
A.Z Abidin, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983), hlm. 54.
65
Rudi Prasetyo, Perkembangan Korporasi dalam Proses Modernisasi dan Penyimpangan-
penyimpangannya, makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kejahatan Korporasi di FH
UNDIP, (Semarang: 23-24 November 1989), hlm. 2. Sebagaimana dikutip dari Muladi dan Dwidja
Priyatno, op., cit., hlm. 27.
66
Hans Kelsen (1), General Theory of Law and State. 6th printing, Diterjemahkan oleh
Anders Wedberg, (New Jersey: The Lawbook Exchange Ltd, 2003), hlm. 96.

Universitas Indonesia
166

imperatives that direct the actions of people whithin it.67 (suatu


institusi hukum, yang keberadaan dan kapasitasnya untuk beroperasi
bergantung kepada hukum dan beberapa aturan yang mengarahkan
tindakan dari orang-orang yang ada di dalamnya.)
10) Subekti dan Tjitrosudibio: korporasi adalah suatu perseroan yang
merupakan badan hukum.68
11) Robert Hessen: “corporations, unlike other organizations or
associations, are “creature of the state” because they require
69
governmental permission to exist.” (korporasi, berbeda dengan
organisasi atau asosiasi lainnya, adalah “ciptaan negara” karena
keberadaan mereka memerlukan izin pemerintah.)
12) Yan Pramadya Puspa dalam Kamus Hukum: “Suatu perseroan yang
merupakan badan hukum; korporasi atau perseroan disini yang
dimaksud adalah suatu perkumpulan atau organisasi yang oleh hukum
diperlakukan seperti seorang manusia (personal) ialah sebagai
pengemban (atau pemilik) hak dan kewajiban memiliki hak
menggugat ataupun digugat di muka pengadilan. Contoh badan
hukum itu adalah PT (Perseroan Terbatas), N.V (namloze
vennotschaap), dan yayasan (stichting); bahkan negara juga
merupakan badan hukum.”70
13) Abdurachman dalam Ensiklopedia Ekonomi Keuangan dan
Perdagangan: Corporatio (korporasi; perseroan) adalah suatu
kesatuan menurut hukum atau suatu badan susila yang diciptakan
menurut undang-undang sesuatu negara untuk menjalankan suatu
usaha atau aktivitas atau kegiatan lainnya yang sah. Badan ini dapat
dibentuk untuk selama-lamanya atau untuk suatu jangka waktu
terbatas, mempunyai nama dan identitas yang dengan nama dan
identitas itu dapat dituntut dimuka pengadilan, dan berhak akan
mengadakan suatu persetujuan menurut kontrak dan melaksanakan

67
Joel Balkan, The Corporation, op., cit., hlm. 1.
68
Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kamus Hukum, (Jakarta Pradnya Paramita, 1979), hlm. 34.
69
Robert Hessen, In Defense of the Corporation, Second Printing, (California, US: Hoover
Institution Press, 1979), hlm. xiv.
70
Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, (Semarang: CV Aneka, 1977), hlm. 256.

Universitas Indonesia
167

semua fungsi lainnya yang seseorang dapat melaksanakannya menurut


undang-undang suatu negara. Pada umumnya suatu corporation dapat
merupakan suatu organisasi pemerintah, setengah pemerintah atau
pertikelir.71
14) Black’s Law Dictionary:
“Corporation, An Entity (Usually a business) having authority under
law to act as a single person distinct from the shareholders who own
it and having rights to issue stock and exist indefinitely, a group or
succession of persons established in accordance with legal rules into
a legal or juristic person that has a legal personality distinct from the
natural persons who make it up, exists indefinitly apart from them,
and has the legal powers that its constitution gives it.”72
(Korporasi, suatu entitas (biasanya suatu badan usaha) memiliki
otoritas berdasarkan hukum untuk bertindak sebagai satu orang yang
terpisah dari para pemegang saham yang memilikinya dan memiliki
hak-hak untuk menerbitkan saham dan keberadaannya tanpa batas,
sebuah kelompok atau suksesi dari orang-orang yang memiliki
kepribadian hukum yang berbeda dari orang natural yang
menciptakannya, terlepas dari mereka secara tidak terbatas, dan
memiliki kekuatan hukum yang diberikan oleh konstitusinya.)
15) Amy Hackney Blackwell dalam Essential Law Dictionary: “The legal
entity created by law of an association of people who hold shares of a
business, existing as an artificial person that can sue and be sued and
whose liability is generally limited to corporate assets.”73 (suatu
entitas hukum yang diciptakan oleh hukum sendiri, merupakan
asosiasi orang yang memegang saham dari suatu bisnis, berdiri
sebagai suatu orang buatan yang dapat dituntut dan menuntut,
kemampuannya umumnya terbatas pada aset korporasi.)
16) The Concise Dictionary of Law: “corporation (body corporate): an
entity that has legal personality, i.e. it is capable of enjoying and
being subject to legal rights and duties.”74 (korporasi (badan

71
A. Abdurachman, Ensiklopedia Ekonomi Keuangan dan Perdagangan, (Inggris-
Indonesia), Jilid I, (Jakarta: Yayasan Prapancha, 1963), hlm. 246.
72
Bryan A. Garner (editor in Chief), Black’s Law Dictionary, ninth Edition, (USA:
Thomson Reuter, 2009), hlm. 391.
73
Amy Hackney Blackwell, Essential Law Dictionary, (Illinois: Spinx Publishing, 2008),
hlm. 106.
74
P.H. Collin, Dictionary of Law, Fourth Edition, (London, UK: Bloomsbury Publishing
Plc, 2005), hlm. 73.

Universitas Indonesia
168

korporat): suatu entitas yang memiliki kepribadian hukum, yaitu


mampu untuk menjadi subjek hak dan kewajiban hukum.)
17) Merriam-Webster’s Dictionary of Law: corporation: an invisible,
intangible, artificial creation of the law existing as a voluntary
chartered association of individuals that has most of the rights and
duties of natural persons but with perpetual existence and limited
liability.75 (korporasi: suatu ciptaan buatan hukum yang tidak terlihat,
tidak berwujud, berada sebagai suatu asosiasi individu yang terbentuk
secara suka rela yang memiliki hampir semua hak dan kewajiban
yang dimiliki oleh orang natural tetapi dengan keberadaan yang kekal
dan pertanggungjawaban yang terbatas.)
c. Pengertian korporasi sebagai organisasi bisnis
18) Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta: Sekumpulan orang yang
untuk hubungan-hubungan hukum tertentu demi mewujudkan tujuan
memperoleh keuntungan tertentu bersepakat untuk bertindak sebagai
satu kesatuan.76
19) Thavorn Thitthongkam, John Walsh, Chanchai Bunchapattanasakda:
“There are three types of priciple forms in business organization: Sole
Proprietorship, Partnership and Corporation... The third type of
business ownership model is the corporation. Here, the ownership is
devided into shares and management distributes net profit in the form
of dividens to shareholders.”77
(ada tiga bentuk organisasi bisnis: perniagaan pelimik tunggal,
partnership dan korporasi... pada bentuk ke tiga dari organisasi bisnis
yaitu korporasi, kepemilikan dibagi menjadi saham-saham dan
manajemen mendistribusikan pendapatan dengan bentuk deviden
kepada pemilik saham.)

20) Meir Dan-Cohen:


“the basic image of the corporation within traditional legal theory is
that of a group of businessmen – or entrepreneurs, as they were once
called – who get together for a mutual venture.... The corporation is,

75
Linda Picard Wood et al., Merriam-Webster’s Dictionary of Law, (Massachusetts, USA:
Merriam-Webster Inc., 1996), hlm. 108.
76
Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu
Pengenalan Pertama Ruang lingkup Berlakunya Ilmu hukum, Buku I, (Bandung: Alumni, 2000),
hlm. 82-83.
77
Thavorn Thitthongkam, John Walsh, Chanchai Bunchapattanasakda, “The Roles of
Foreign Language in Business Administration,” Journal of Management Research, vol. 3, no. 1,
2011, hlm. 4.

Universitas Indonesia
169

no doubt, the most conspispicuous organization treated as a “legal


person” and as such it often serves as the legal paradigm of a
collective entity.”78
(bentuk dasar korporasi pada teori hukum yang tradisional adalah
suatu grup pengusaha – atau enterprener, seperti mereka dulu pernah
disebut – yang berkumpul untuk membentuk suatu usaha bersama...
korporasi adalah, tidak diragukan lagi, organisasi yang paling
konservatif diakui sebagai “badan hukum” dan karena itu sering
diperlakukan sebagai paradigma dari entitas kolektif.)

21) Post, Preston dan Sachs: ”an organization engage in mobilizing


resources for productive uses in order to create wealth and other
benefits for its multiple constituents or stakeholders.”79 (suatu
organisasi yang terlibat dalam memobilisasi sumber daya untuk
kegunaan yang produktif dalam rangka untuk menciptakan kekayaan
dan keuntungan lainnya untuk para pembentuk dan pemegang saham
nya.)
22) Jerry J. Weygandt, Paul D. Kimmel, Donald E. Kieso: Corporation is
a business organized as a legal entity separate and distinct from its
owners under state corporation law.80 (korporasi adalah suatu bisnis
yang terorganisasi sebagai suatu entitas hukum yang terpisah dan
berbeda dari para pemilik berdasarkan hukum perusahaan.)
23) Peter F. Drucker:
“this term may be extremely confusing as the term has a very different
legal meaning which is by no means extinct or confined to the legal
profession. Berle and Means, for instance, not intend to include the
corner cigar stores in their discussion even though in many cases they
are corporations. Nor do they mean to exclude a large business that –
as may well happen – is owned by an unlimited partnership. For the
large-scale business enterprise – usually, if not always, owned in
corporate form. Hence I find myself constrained to follow common
usage and to use the term “large corporation” or “corporation”.81
78
Meir Dan-Cohen, (1) Rights, Persons, and Organizations: A Legal Theory for
Bureaucratic Society, (Berkeley: University of California Press, 1986), hlm. 17.
79
J.E. Post, L.E Preston, dan S. Sachs, Redefining the Corporation (Standford: Standford
University Press, 2002), hlm. 17.
80
Jerry J. Weygandt, Paul D. Kimmel, Donald E. Kieso, Accounting Principles, Twelfth
Edition, (Asia: John Wiley & Sons Asia, 2010), hlm. 459.
81
Dapat dipahami bahwa untuk melihat korporasi dari sisi ekonomi bisa tidak terikat juga
dengan pengertian korporasi yang dipahami dalam bidang hukum, bahwa para ahli ekonomi
cenderung memasukkan semua bentuk perseroan sebagai makna korporasi, terutama untuk
perseroan atau organisasi yang berorientasi profit dengan skala yang besar, walaupun sebenarnya
tidak bisa disebut koporasi tetapi berprinsip partnership. Lihat Peter F. Drucker, Concept of the

Universitas Indonesia
170

(terminologi ini bisa sangat membingungkan karena memiliki makna


hukum yang sangat berbeda yang digunakan oleh para profesional
hukum. Berle dan Means, misalnya, tidak memasukkan warung rokok
kecil dalam diskusi mereka meskipun pada beberapa kasus mereka
adalah korporasi. Mereka juga tidak mengecualikan bisnis besar yang
mungkin berbentuk partnership yang tidak terbatas. Untuk perusahaan
bisnis besar, biasanya meskipun tidak selalu, dimiliki dalam bentuk
korporat oleh karena itu, saya membatasi diri saya untuk mengikuti
penggunaan umum dan menggunakan istilah “korporasi besar” atau
“korporasi”.)
d. Pengertian Korporasi dalam pengertian yang luas
24) David Runciman dan Magnus Ryan: Corporations are, like states,
organised and durable groups of human beings.82 (korporasi adalah,
seperti negara, grup manusia yang terorganisasi dan tahan lama.)
25) Wesley B. Triutt: Corporate persons could be towns, religious groups,
universities, and guilds, usually associations of marchants or artisans.
They represented a permanent organizational structure to preserve
the customs of the group, to generate wealth and to pass it intact to
future generations.83 (orang-orang korporat bisa berbentuk kota, grup
agama, universitas, kota, asosiasi dari pedagang sampai seniman.
Mereka merepresentasikan suatu struktur organisasi yang permanen
untuk melestarikan kebiasaan kelompok, untuk menghasilkan
kekayaan dan untuk meneruskannya secara utuh kepada generasi
berikutnya.)

Corporation, Seventh Printing, (New Brunswick, USA: Transaction Publisher, 2008), hlm. 4.
Korporasi dalam artian big business ini juga diadopsi oleh Roman Tomasic, Stephen Bottomley &
Rob Mcqueen dalam bukunya yang berjudul “Corporations Law in Australia” juga menjelaskan
bahwa corporation adalah big business, meskipun untuk membatasi kerancuan mereka
menggunakan istilah “modern corporation” dan “modern corporation law”. Lihat Roman
Tomasic, Stephen Bottomley & Rob Mcqueen, Corporations Law in Australia, Second Edition,
(Sydney, Australia: The Federation Press, 2002). Richard Whittington dan Michael Mayer dalam
bukunya “The European Corporation: Strategy, Structure, and Social Science” juga membahas
corporation sebagai large business corporation. Lihat Richard Whittington dan Michael Mayer,
The European Corporation: Strategy, Structure, and Social Science, (Oxford: Oxford University
Press, 2002). Ted Nace dalam “Gangs of America: The Rise of Corporate Power and the Disabling
of Democracy” juga hanya membahas big busniss ketika berbicara corporation. Lihat Ted Nace,
Gangs of America: The Rise of Corporate Power and the Disabling of Democracy, (San Francisco,
US: Berrett – Koehler Publisher, Inc, 2005).
82
David Runciman dan Magnus Ryan, “Editor’s Introduction”, Maitland, State, Trust and
Corporation, diedit oleh David Runciman dan Magnus Ryan, (Cambrige, UK: Cambridge
University Press, 2003), hlm. xii.
83
Wesley B. Truitt, The Corporation, (Westport, Connecticut: Greenwood Press, 2006),
hlm. 2-3.

Universitas Indonesia
171

26) Kamus Hukum Fockema Andreae: Corporatie adalah: “Dengan istilah


ini kadang-kadang dimaksudkan suatu badan hukum; sekumpulan
manusia yang menurut hukum terikat mempunyai tujuan yang sama,
atau berdasarkan sejarah menjadi bersatu, yang memperlihatkan
sebagai subjek hukum tersendiri dan oleh hukum dianggap sebagai
suatu kesatuan.”84

Dari berbagai pengertian korporasi yang telah dipaparkan diatas, dapat


disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

Secara harfiah Blair mengkonfirmasi bahwa kata korporasi berasal dari


bahasa Latin ‘corpus’ yang berarti badan.85 Sebagaimana Harding menjelaskan
bahwa sebenarnya terminologi ‘corporation’ menyingkapkan proses
membadankan sesuatu yang tidak berbadan, karena secara harfiah memberikan
kesan pemberian bentuk jasmani (corporeal form), sesuatu diberikan badan atau
tubuh sendiri.86 Hal ini juga sesuai dengan apa yang dikemukan oleh Soetan K.
Malikoel Adil, yang diikuti oleh banyak ahli hukum Indonesia ketika membahas
pengertian korporasi, bahwa korporasi (corporatie, Belanda), (corporation,
Inggris), berasal dari kata “corporation” dalam bahasa Latin. Seperti halnya
dengan kata-kata lain yang berakhiran dengan “tio”, “corporatio” merupakan
kata benda (substantivum) yang berasal dari kata kerja “corporare” yang berarti
adalah proses atau pekerjaan membadankan.87 Sehingga dapat dipahami bahwa
hasil dari proses membadankan ini adalah sesuatu yang disebut korporasi.
Prosedur inkorporasi kemudian diikuti dengan perubahan bahasa dari plural
(merepresentasikan jumlah kolektif anggota) menjadi sebutan singular, dimana
kolektif bertransformasi menjadi unit yang memiliki identitas sendiri yang
berbeda dari anggota yang ada di dalamnya.88

84
N.E Algra, H.W. Gokkel, Kamus istilah Hukum Fockema Andreae Balanda – Indonesia,
(diterjemahkan dan diedit oleh Saleh Adiwinata, A. Teloeki, dan Boerhanoeddin St. Batoeah),
(Bandung: Binacipta, 1983), hlm. 83.
85
Margaret M. Blair, op., cit., hlm. 788.
86
Christopher Harding, op., cit., hlm. 33.
87
Soetan K. Malikoel Adil, op., cit., hlm. 83.
88
Harold J. Laski, “The Personality of Associations,” Harvard Law Review, Vol. 29, No. 4.
1916. 404-426.

Universitas Indonesia
172

Apabila diperhatikan dengan baik, maka semua pendapat para ahli


sebagaimana dikemukan di atas dapat dikembalikan kepada teori mengenai
kepribadian korporasi sebagaimana yang sudah dibahas pada BAB II disertasi ini.
Dimana ada tiga teori berkaitan dengan keberadaan korporasi, yang pertama teori
konsesi atau formalis, kedua, teori agregat atau kontrak, dan yang ketiga teori
realitas. Misalnya, pengertian korporasi yang dikemukan oleh Subekti, Kelsen,
Balkan yang secara jelas dapat dikategorikan sebagai pengertian korporasi yang
masuk dalam teori konsesi. Atau pendapat AZ. Abidin yang walaupun
berpendapat korporasi sebagai suatu realitas, tetapi AZ. Abidin menjelaskan
bahwa hak yang dimiliki korporasi sebagai unit hukum diperoleh sebagai
pemberian hukum yang mana ini merupakn ciri khas dari teori konsesi. Mochtar
Kusumaatmadja dan Arief Sidharta termasuk ke dalam ahli yang berpendapat
bahwa korporasi merupakan kontrak di antara anggotanya sebagaimana mereka
berpendapat bahwa korporasi ada karena para anggotanya “bersepakat untuk
bertindak sebagai satu kesatuan”. Atau pendapat Runciman dan Ryan yang
mengemukakan bahwa korporasi adalah kelompok orang yang terorganisir dan
tahan lama (durable). Utrecht, Muladi dan Dwidja Priyatno walaupun tidak secara
eksplisit, namun juga dapat dikategorikan masuk dalam teori agregat, dimana
mereka menjelaskan bahwa korporasi sebagai gabungan orang yang memiliki hak
dan kewajiban yang terpisah dari anggotanya. Sedangkan Maitland, Truitt,
Drucker dapat dikatakan adalah ahli yang menjelaskan korporasi sebagai suatu
kenyataan yang merupakan teori realitas. Misalnya Maitland menjelaskan bahwa
korporasi itu keberadaannya tidak bergantung apakah dia secara teknis telah
melalui proses inkorporasi atau tidak.

Pengertian korporasi memang pada awalnya termasuk segala macam


bentuk kelompok yang terorganisasi yang diakui memiliki badan sendiri. Seperti
misalnya negara yang termasuk ke dalam public corporation, korporasi dengan
tujuan sosial (social purpose corporation), korporasi berorientasi bisnis atau
keuntungan (business corporation), korporasi yang bergerak di bidang
keagamaan. Segala macam bentuk kelompok kolektif yang dapat memenuhi
syarat untuk bisa disebut sebagai korporasi. Karena dari sejarahnya, korporasi
awalnya dibuat untuk mengatur gereja katolik Romawi dan lembaga keagamaan

Universitas Indonesia
173

di Eropa pada abad pertengahan.89 Institusi tersebut diberikan otoritas melalui


charter oleh penguasa lokal atau oleh raja. Dengan adanya charter tersebut
lembaga keagamaan itu dapat beroperasi sebagai entitas mandiri yang juga dapat
memiliki properti berbeda dari kepemilikan anggota yang ada di dalamnya.
Dengan kemampuan institusi tersebut memiliki properti atas namanya sendiri
memberikan kepastian agar properti tersebut tidak akan diwariskan kepada
keturunan dari anggota yang mengurus dan mengontrol properti tersebut atas
nama institusi. Di samping itu juga untuk memastikan bahwa harta institusi
keagamaan tersebut tidak akan dikembalikan kepada penguasa ketika pengurus
meninggal.90 Dengan kata lain, dengan adanya charter yang menyatakan institusi
keagamaan tersebut adalah suatu entitas mandiri memungkinkan keberlangsungan
korporasi tersebut untuk jangka waktu yang lama.91

Prinsip ini, dimana sekelompok orang dapat bertindak bersama-sama


dalam hukum, sebagai suatu entitas yang tunggal, dengan jangka waktu hidup
yang tidak terbatas, paling tidak untuk kepentingan memiliki kekayaan atau
properti, kemudian diterapkan kepada kota atau distrik atau kelompok
masyarakat. Sampai abad ke enam belas, korporasi digunakan untuk berbagai
89
Margaret M. Blair, op., cit., hlm. 789. Pendapat ini lebih diterima secara umum dalam
banyak pembahasan sejarah tentang korporasi, tetapi Ron Harris dalam tulisannya sebenarnya
mengidentifikasi beberapa pendapat ahli mengenai asal keberadaan korporasi. Ron Harris
menjelaskan bahwa ada beberapa ahli sejarah mengusut asal muasal korporasi pada konsep
‘universitas’ pada teks Romawai kuno, yang berbeda dengan konsep ‘societas’ (partnership)
sebagaimana dikodifikasi pada ‘Corpus Juris Civilis’ di abad ke enam (P.W.Duff, Personality in
Roman Private Law, 1971). Ada juga ahli yang mengaitkannya dengan konsep distrik dan kota
(Maitland, Township and Borough, 1964). Ada juga yang mengaitkannya dengan lembaga gereja
(Harold J. Berman, Law and Revolution: The Formation of the Western Legal Tradition, 1983).
Ada juga ahli sejarah Jerman yang berpendapat konsep ini tumbuh dari kelompok komunal dan
‘Volgsgeit’ dari klan Jerman pada masa pertengahan (Gierke, Political Theories, Natural Law, and
Community in Historical Perspective). Pembahasan lebih lanjut mengenai hal ini dapat dilihat
pada Ron Harris (2), Industrializing English Law: Entrepreneurship and Business Organizations,
1720 – 1844 (2000), hlm. 16.
90
Sebagaimana Mark menjelaskan bahwa dengan diberikannya charter maka ada
pembedaan antara properti publik dan properti privat yang tidak bisa dicampur adukkan begitu
saja. Lihat Gregory A. Mark, “The Personification of the Business Corporation in American Law,”
University of Chicago Law Review, vol. 54, issue 4, 1987, hlm. 1449. Mark dalam menjabarkan
konsep mengenai properti publik dan properti privat mengacu kepada kasus Trustees of Dartmouth
Collage v. Woodward, 17 U.S. 518 (1819). Ron Harris dalam menjelaskan kasus ini menegaskan
bahwa “private corporations were viewed as private property, when the private corporation is
created, it is subject to no other control on the part of the Crown.” Lihat Ron Harris (1), op., cit.,
hlm. 1459.
91
Gregory A. Mark, op., cit., hlm. 1450.

Universitas Indonesia
174

macam institusi seperti kota, distrik, universitas, college, rumah sakit, organisasi
sosial, uskup, dekan, biara dan badan gereja lainnya. 92 Di samping tujuan
keberlangsungan yang terus menerus, tujuan lain dari dibentuknya korporasi
adalah untuk kepentingan kemandirian pengelolaan (self-governance). Misalnya
charter yang diberikan kepada kota pada abad pertengahan secara eksplisit
diberikan untuk kemandirian pengelolaan ini.

Dari pengertian-pengertian di atas, dapat diyakini bahwa menurut sejarah


hukum, terminologi korporasi memang hanyalah badan hukum yang memiliki
personalitas hukum mandiri yang terpisah dari anggota-anggota yang ada di
dalamnya. Sebagaimana Black’s Law Dictionary menyatakan bahwa otoritas yang
dimiliki oleh koporasi sebagai individu yang berbeda tersebut diperoleh menurut
hukum dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.93 Hampir semua ahli
berpendapat bahwa korporasi itu hanyalah badan hukum yang memperoleh status
badan hukum berdasarkan hukum saja. Namun, pengecualian juga dapat dilihat
dari pendapat Drucker yang mengutip pernyataan Berle dan Means, dimana yang
dimaksudkan dengan koporasi adalah semua organisasi yang berorientasi bisnis,
dalam skala yang besar saja, terlepas apakah sebenarnya bentuk organisasi itu
adalah tidak berbadan hukum seperti partnership.94 Pengecualian lainnya adalah
aliran realis seperti yang dianut Maitland, yang menjelaskan keberadaan korporasi
adalah suatu yang natural yang tidak memerlukan pengakuan hukum untuk
menjadikannya badan sendiri yang mandiri. Implikasinya adalah segala badan
baik tidak berbadan hukum menurut hukum tetapi dapat disebut korporasi
menurut kenyataan adalah termasuk dalam pengertian badan mandiri menurut
Maitland.

Meskipun pada awalnya korporasi dibentuk untuk institusi yang bukan


bertujuan bisnis, tetapi dalam perkembangannya korporasi menjadi ciri khas dari
organisasi bisnis. Di Amerika Corporation Law adalah apa yang seperti kita kenal
dengan Hukum Perusahaan di Indonesia. Dimana setiap negara bagian berhak
untuk membuat UU sendiri yang mengatur pembentukan, organisasi dan

92
Ron Harris (2), op., cit.
93
Bryan A. Garner, op., cit., hlm. 415.
94
Peter F. Drucker, op., cit., hlm. 4.

Universitas Indonesia
175

pembubaran korporasi. Kebanyakan negara bagian mengikuti Model Business Act


dalam pembentukan Corporate Law nya.95 Banyak ahli di Amerika dalam
membahas corporation, mengacu kepada big business dan tidak kepada bentuk
asosiasi yang lain, sebagaimana dibahas di atas oleh Drucker dan Nace. Menurut
Gower, memang pembuat undang-undang di Amerikan lebih suka menggunakan
istilah korporasi untuk merujuk kepada perusahaan, dibandingkan dengan Inggris
yang cenderung menggunakan istilah company.96 Prinsip ini juga bisa ditemukan
di Australia, dimana ahli dari Australia juga ketika membahas tentang
Corporation Law mereka mengacu kepada big business yang keberadaannya
memerlukan proses incorporation.97

Ada beberapa pengecualian dari konsep korporasi yang sudah disimpulkan


di atas sebagaimana Maitland menjelaskan dalam sejarah dan konsep hukum,
istilah korporasi tidak selamanya adalah berbentuk kelompok kolektif (aggregate
corporations), tetapi sejarah hukum juga mengenal korporasi yang melekat
kepada individu atau kedudukan tertentu yang dikenal dengan “corporation
sole”.98 Sebaliknya, tidak semua kelompok kolektif adalah korporasi seperti
misalnya adalah “trust” sebagaimana yang dikenal pada hukum perdata barat yang

95
Cornell University Law School, “Corporations”, Legal Information Institute, bisa diakses
di https://www.law.cornell.edu/wex/corporations
96
L.C.B. Gower, “Some Contrast Between British and American Corporation Law,”
Harvard Law Review, Vol. 69, No. 8 (Jun, 1956), 1369-1402, hlm. 1369
97
Roman Tomasic, Stephen Bottomley & Rob Mcqueen mengutip pendapat Ireland P
dalam tulisannya “The Rise of the Limited Liability Company,” menjelaskan bahwa terminologi
“company”, “partnership, dan “corporation” memiliki makna yang berbeda. Mereka menjelaskan
bahwa “if a joint stock company was incorporated by charter or special Act, the term
“corporation” would be used to describe its legal status” Lihat Roman Tomasic, Stephen
Bottomley & Rob Mcqueen, op., cit., hlm. 5.
98
‘Corporation sole’, diterapkan pertama kali untuk a parish church (rector ecclesiae
parochialis), dan kemudian titel ‘Corporation sole’, juga diberikan kepada Bishops atau kepada
jabatan keagamaan yang dianggap mulia. Titel ini juga diberikan kepada “King or to the Crown”.
Meskipun menurut Maitland, konsep ‘Corporation Sole’ itu sendiri adalah sebuah konsep yang
sembrono dari pengembangan teori korporasi sebagai persona ficta. Lihat Maitland, “State, Trust
and Corporation”, diedit oleh David Runciman dan Magnus Ryan, (Cambrige, UK: Cambridge
University Press, 2003), hlm. xvi. Menurut Blair, tujuan dari dibentuknya corporation sole adalah
untuk membuat jelas kedudukan properti yang dikontrol adalah bukan properti pribadi tetapi
properti yang berkaitan dengan kedudukan corporation sole tersebut dan segala macam kontrak
yang dibuat bukanlah dalam kedudukan mereka sebagai pribadi tetapi sebagai kapastias resmi
mereka dalam corporation sole tersebut. Sehingga dapat dipastikan semua properti, hak dan
kewajiban yang timbul dari kontrak yang dibuat akan dapat dilanjutkan kepada penerus korporasi
tersebut. Lihat Margaret M. Blair, op., cit., hlm. 789-790.

Universitas Indonesia
176

tidak dapat disebut korporasi tetapi disebut sebagai unincorporated body.99


Pembahasan mendalam mengenai unincorporated body akan dilakukan pada sub
bab selanjutnya pada Bab ini. Konsep ini sangat penting untuk digarisbawahi
untuk memberikan pemahaman bahwa korporasi tidaklah selalu kumpulan orang
atau kekayaan, dan korporasi juga tidaklah sama dengan unincorporated body
atau kumpulan orang yang tidak dapat disebut sebagai badan.

3. Korporasi dalam Peraturan Perundang-undangan Negara Lain

Pada bagian ini akan dibahas bagaimana negara lain menempatkan istilah
korporasi dalam peraturan perundang-undangannya.

Negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Canada, Singapura dan New


Zealand, menerima perbedaan antara korporasi dengan badan yang bukan
korporasi. Artinya, korporasi tidaklah dapat dipersamakan dengan badan yang
tidak melalui proses inkorporasi (unincorporated body) sehingga tidak bisa
disebut sebagai korporasi. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana negara tersebut
menjabarkan pengertian orangnya.

Amerika Serikat dalam Model Penal Code, pada §1.13, General


Definitions, subtitle (8) menjelaskan: “person," "he" and "actor" include any
natural person and, where relevant, a corporation or an unincorporated
association.” Pada US Code, Title 1, Chapter 1, § 1, menjelaskan the “words
“person” and “whoever” include “corporations, companies, associations, firms,
partnerships, societies, and joint stock companies, as well as individuals.”

Inggris dalam Interpretation Act 1978, menjelaskan ”the word person


includes a body of persons corporate or unincorporate.”100 Selanjutnya apabila
dilihat kepada UU yang relatif belum terlalu lama diterbitkan oleh Inggris
Corporate Manslaughter and Corporate Homicide Act 2007, juga menjelaskan
posisi yang berbeda antara korporasi dengan asosiasi yang tidak berbadan hukum.
UU ini tidak menggunakan istilah legal person atau person tetapi organisasi
sebagai subjek hukum atau norm adrest dari ketentuan yang ada di dalamnya.
99
Maitland, op., cit., hlm. xiii
100
United Kingdom, Ss 5 and schs 1 and 2 pt 1, para 4 (5) Interpretation Act 1978.

Universitas Indonesia
177

Pada Section 1 (2) dijelaskan:

“The organisations to which this section applies are—

18) a corporation;
19) a department or other body listed in Schedule 1;
20) a police force;
21) a partnership, or a trade union or employers’ association, that is an
employer.”

Penal Code Singapura (Chapter 224), pada Chapter II mengenai General


Explanation pada section 11 menjelaskan: “the word “person” includes any
company or association or body of persons, whether incorporated or not.”101
Selanjutnya New Zealand pada Criminal Act 1961, Section 2 bagian
Interpretation menjelaskan:

“Person, owner, and other words and expressions of the like kind, include
the Crown and any public body or local authority, and any board, society,
or company, and any other body of persons, whether incorporated or not,
and the inhabitants of the district of any local authority, in relation to such
acts and things as it or they are capable of doing or owning.”

(orang, pemilik, dan kata-kata serta ungkapan lain yang sejenis, termasuk
adalah Penguasa dan semua badan publik atau otoritas lokal, dan semua
dewan, masyarakat, atau perusahaan, dan semua bentuk kumpulan orang
lain, baik berbentuk korporasi atau tidak, dan setiap penduduk dari distrik
disetaip pemerintah daerah, sehubungan dengan tindakan dan barang-
barang seperti itu, atau mereka mampu untuk melakukan atau memiliki.”

Canada dalam Criminal Code nya memang tidak menggunakan istilah


korporasi sebagai subjek hukum kolektifnya, tetapi menggunakan istilah
organisasi,102 sebagaimana Section 2, 22.1 menjelaskan: “everyone, person, and
owner, and similar expressions, include Her Majesty and an organization”.
(setiap orang, orang, dan pemilik, dan ungkapan yang sama, termasuk yang mulia
Ratu dan suatu organisasi.) Selanjutnya organisasi dijelaskan pada 22.2.

“Organization means:

101
Singapore Penal Code (Chapter 224), Chapter II, Section 11 [Indian PC 1860, s 11].
102
Lihat Canadian Department of Justice, “Criminal Liability of Organizations: A Plain
Language Guide to Bill C-45,” 2003, hlm. 4. Bisa diakses pada http://www.justice.gc.ca/eng/rp-
pr/other-autre/c45/c45.pdf

Universitas Indonesia
178

(a) a public body, body corporate, society, company, firm, partnership,


trade union or municipality, or
(b) an association of persons that
(i) is created for common purpose,
(ii) has an operational structure, and
(iii) holds ifself out to the public as an association of persons.”
(Organisasi berarti:
(a) badan publik, korporasi, masyarakat, perusahaan, firma, partnership,
serikat pekerja atau pemerintahan daerah, atau
(b) suatu asosiasi orang yang:
(i) dibentuk untuk suatu tujuan yang sama
(ii) memiliki suatu struktur operasional, dan
(iii) mengemukakan kepada masyarakat luas diri mereka sebagai
suatu asosiasi.)
Pengertian organisasi yang dijelaskan Criminal Code Canada ini juga tidak
menyamakan korporasi (body corporate) dengan asosiasi yang lainnya.

Selanjutnya, negara-negara dengan latar belakang civil law, justru tidak


menggunakan istilah korporasi untuk merujuk kepada subjek hukum yang lain
selain manusia. Misalnya pada Penal Code Belanda dan Perancis, korporasi tidak
digunakan bersandingan dengan natural person sebagai subjek hukum pidana.
Natural person dipersandingkan dengan legal persons atau rechtspersonen di
Belanda atau Moral persons (Les personnes morales) di Perancis. Dimana Penal
Code Belanda pada Article 51 (1) menjelaskan: “offences can be committed by
natural persons and legal persons (rechtspersonen)”.103 Penal Code Perancis
Article 121-2 : “Moral persons (Les personnes morales), with the exception of the
State, are criminally liable for the offenses committed on their account by their
organs or representatives according to the distinctions set out in articles 121-4
and 121-7.” (orang-orang moral (Les personnes morales), dengan pengecualian
terhadap negara, bertanggung jawab dalam hukum pidana untuk tindak pidana
yang dilakukan untuk kepentingan mereka oleh organ atau perwakilan mereka
menurut pengecualian sebagaimana dikemukakan pada articles 121-4 dan 121-7.)

Indonesia dalam penempatan korporasi sebagai bersandingan dengan orang


atau natural person, mirip dengan Australia menerapkannya. Dimana Australia

103
Dutch, Dutch Penal Code, Article 51 (1).

Universitas Indonesia
179

juga menyandingkan natural person dengan korporasi sebagai subjek hukum yang
menjadi pengertian person atau setiap orang. Australian Criminal Code 2002,
Section 49 (1) menyebutkan: “This Act applies to corporations as well as
individuals.” (undang-undang ini berlaku terhadap korporasi maupun individu.)
Meskipun dalam Criminal Code Australia ataupun dalam Legislation Act tidak
dijelaskan siapakah yang dimaksudkan dengan korporasi. Namun apabila dilihat
kepada Australian Corporation Act 2001, Section 57 A, Meaning of corporation:

(1) “Subject to this section, in this Act, corporation includes:


(a) a company; and
(b) any body corporate (whether incorporated in this jurisdiction
or elsewhere); and
(c) an unincorporated body that under the law of its place of
origin, may sue or be sued, or may hold property in the name
of its secretary or of an office holder of the body duly
appointed for that purpose.
(2) Neither of the following is a corporation :
(a) an exempt public authority;
(b) a corporation sole.”
(Section 57 A, Makna korporasi:
(1) “Subjek dari bagian ini, dalam undang-undang ini, korporasi
termasuk:
(a) suatu perusahaan; dan
(b) setiap korporasi (baik terdaftar pada jurisdiksi ini atau pada
jurisdiksi lain); dan
(c) suatu badan yang tidak terdaftar yang menurut hukum tempat
asalnya, dapat menuntut dan dituntut, atau dapat memiliki
properti, atas nama sekretarisnya atau pemegang jabatan dari
badan tersebut yang ditunjuk untuk tujuan tersebut.
(2) Tidak termasuk dalam pengertian korporasi adalah:
a. Otoritas publik yang dibebaskan
b. Koporasi tunggal (corporation sole))
Apabila merujuk pada pengertian korporasi yang dianut oleh UU
Korporasi Australia ini, dapat dinyatakan bahwa Australia dalam hal pengertian
korporasi justru memberikan pengecualian kepada korporasi publik dan
corporation sole. Berbeda dengan Indonesia yang tidak memberikan keterangan
tentang organisasi yang mana saja yang bisa termasuk ke dalam pengertian
korporasinya. Untuk pengertian organisasi yang juga mencakup korporasi di ranah

Universitas Indonesia
180

publik, Australia menggunakan istilah body corporate agar tidak rancu dengan
corporation yang biasanya adalah organisasi yang bertujuan profit.104

4. Kritisi terhadap Pengertian Korporasi

Indonesia pada R-KUHP tahun 2015 pada Pasal 48 menyebutkan:


“korporasi merupakan subjek tindak pidana”, Pasal 214 menyebutkan “Setiap
orang adalah orang perseorangan, termasuk korporasi” dan selanjutnya pada Pasal
190 menjelaskan pengertian korporasi adalah “kumpulan terorganisasi dari orang
dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.”
Pengertian ini juga diadopsi oleh banyak undang-undang khusus di luar KUHP
yang menerima pertanggungjawaban pidana bagi korporasi.

Penulis akan melakukan analisis mengenai pengertian korporasi ini secara


khusus pada bagian ini. Pengertian korporasi sebagai “kumpulan terorganisasi dari
orang dan/atau kekayaan, baik berbadan hukum maupun bukan badan hukum”
apabila diuraikan terdiri dari lima elemen:

a. Kumpulan terorganisasi dari orang,


b. Kumpulan terorganiasi dari kekayaan,
c. Kumpulan terorganisasi dari orang dan kekayaan,
d. Baik merupakan badan hukum,
e. Maupun bukan badan hukum.

Kumpulan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah 1) sesuatu yang


telah dikumpulkan; himpunan, 2) kelompok, 3) perhimpunan; serikat, 4) tempat
berkumpul, rapat, pertemuan. Dalam konteks pengertian korporasi pengertian
yang paling tepat adalah kelompok atau perhimpunan. Apabila dikaitkan dengan
keterangan selanjutnya, kelompok tersebut adalah kelompok yang terorganisasi.
Kata terorganisasi berasal dari kata organisasi yang ketika ditambah dengan
imbuhan ter- berarti memiliki sifat organisasi.

104
Victorian Law Reform Commission, “Criminal Liability for Workplace Death and
Serious Injury in the Public Sector,” Victorian Law Reform Commission’s Report, 2002, hal. 4.

Universitas Indonesia
181

Organisasi sebagaimana telah dibahas pada Bab II memiliki ciri-ciri:


struktur yang permanen, keberadaan yang independen secara waktu (temporal
independence), struktur fungsional untuk mencapai tujuan tertentu, memiliki suatu
sistem pengambilan keputusan yang mapan (Corporation’s Internal Decision
Structure), memiliki ukuran besar yang dapat dilihat dari besarnya skala operasi
dan banyaknya jumlah individu yang terlibat dalam kegiatan organisasi tersebut,
bersifat formalitas yang berkaitan dengan tugas-tugas, tanggung jawab, dan target
serta harapan yang melekat pada setiap peran dari individu di dalam organisasi,
bersifat kompleks yang berkaitan dengan pembuatan keputusan, hubungan
otoritas, prosedur operasi, dan aktifitas serta proses lainnya.105

Elemen pertama dari pengertian korporasi “kumpulan terorganisasi dari


orang,” berarti adalah kelompok orang yang memiliki ciri-ciri organisasi.
Kelompok orang yang memiliki ciri-ciri sebagai organisasi sebenarnya adalah
organisasi itu sendiri, karena kelompok orang yang tidak memiliki ciri-ciri
sebagai organisasi tidak dapat disebut sebagai organisasi tetapi agregat atau
kelompok sosial sebagaimana telah dibahas juga pada Bab II.

Selanjutnya akan dianalisis mengenai elemen “kumpulan terorganisasi dari


kekayaan.” Apakah yang dimaksudkan dengan kumpulan kekayaan itu? Menurut
Pasal 10 (2) Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan, organisasi ada yang berbasis anggota dan ada yang tidak
berbasis anggota. Selanjutnya Pasal 11 (3) UU ini menjelaskan organisasi yang
tidak berbasis anggota adalah yayasan. Yayasan menurut Undang-Undang No. 16
Tahun 2001 tentang Yayasan adalah “badan hukum yang terdiri atas kekayaan
yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang
sosial, keagamaan, dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota.” Sedangkan
menurut Sri Soedewi Maschun Sofwan, yayasan adalah kumpulan harta kekayaan
yang tersendirikan untuk tujuan tertentu.106 Grossman dan Hart menjelaskan
bahwa suatu firma bisa berupa kumpulan kekayaan, “we define the firm as being

105
Lihat Bab II sub-bab “Kelompok Kolektif yang Dapat Memiliki Indentitas sebagai
Organisasi”
106
Chidir Ali, op., cit., hlm. 20.

Universitas Indonesia
182

composed of assets”.107 Meskipun dalam konteks ini Grossman dan Hart tidak
menjelaskan pengertian korporasi tetapi firma (firm) yang dalam ilmu ekonomi
merupakan salah satu bentuk oranisasi yang bertujuan untuk melakukan suatu
kegiatan bisnis. Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan kemudian,
bahwa kumpulan kekayaan adalah juga salah satu bentuk organisasi.

Elemen selanjutnya adalah “kumpulan terorganisasi dari orang dan


kekayaan.” Secara umum penjelasan mengenai elemen ini telah dicakup oleh dua
elemen sebelumnya sehingga tidak dilakukan lagi pembahasan secara khusus.
Elemen “baik berbadan hukum” adalah bentuk pengkhususan dari elemen-elemen
sebelumnya. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa elemen-elemen sebelumnya
bisa disebut organisasi, maka elemen ke empat ini memberikan pengkhususan
dengan menjelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan korporasi adalah
organisasi yang berbadan hukum. Berbadan hukum sebagaimana telah dibahas
pada bab II artinya bisa cukup luas, namun dalam pengertian legal formal,
berbadan hukum adalah badan yang memperoleh status sebagai badan hukum
setelah memenuhi persyaratan formal untuk bentuk badan hukum tertantu
berdasarkan undang-undang yang mengaturnya.

Elemen terakhir dari definisi korporasi adalah “maupun bukan badan


hukum.” Sebagaimana elemen ke empat, elemen ke lima ini juga memberikan
penjelasan mengenai elemen-elemen sebelumnya. Apabila digabungkan dengan
elemen sebelumnya maka elemen ini berbunyi organisasi yang tidak berbadan
hukum. Organisasi dari sifat naturalnya memang tidak berbadan hukum kecuali
dia melakukan langkah-langkah formal untuk membuat dirinya diakui sebagai
badan hukum. Elemen terakhir ini menurut penulis merupakan suatu kekeliruan
dalam memberikan definisi terhadap korporasi. Sebagaimana telah dijelaskan
pada bagian sebelumnya dari bab ini, bahwa dari berbagai ahli yang
mengemukakan pengertian korporasi, dari sejarah korporasi dan dari penerapan
istilah ini dari berbagai undang-undang di negara lain, dapat disimpulkan bahwa
korporasi adalah hanya organisasi yang berbadan hukum saja. Sedangkan

107
Sanford J. Grossman dan Oliver D. Hart, “The Cost and Benefit of Ownership: A
Theory of Vertical and Lateral Integration,” Journal of Political Economy, 94 (4), 691 -719, hlm.
692.

Universitas Indonesia
183

organisasi yang tidak berbadan hukum tidak dapat dipersamakan dengan


korporasi.

5. Kesimpulan Mengenai Peristilahan Korporasi

Memang tidak mudah untuk memberikan definisi yang lengkap terhadap


suatu terminologi yang mana terminologi tersebut telah berkembang menjadi
sesuatu dengan makna yang berbeda dari pengertian harfiah dari istilah tersebut.
Sebagaimana Hart menjelaskan bahwa seringkali terdapat perbedaan antara
makna suatu istilah dalam hukum dengan istilah yang sama di luar hukum,
meskipun mereka saling berhubungan dalam beberapa hal. Dapat dipahami juga
bahwa usaha untuk membuat suatu definisi seringkali tidak melingkupi seluruh
makna yang diharapkan.108 Sebagaimana Hart berpendapat bahwa:

‘Corporation’, ‘right’ or ‘duty’… do not have the straightforward


connection with counterparts in the world of fact which most ordinary
words have and to which we appeal in our definition of ordinary words.
There is nothing which simply ‘corresponds’ to these legal words and
when we try to define them we find that the expressions we tender in our
definition specifying kinds of persons, things, qualities, events… are never
precisely the equivalent of these legal words though often connected with
them in some way.109
(‘korporasi,’ ‘hak’, ‘kewajiban’… tidak memiliki hubungan langsung
dengan istilah yang sama di dunia nyata yang kebanyakan kata-kata biasa
miliki dan yang kepadanya kita membandingkan definisi dari kata-kata
biasa. Tidak ada yang benar-benar ‘sesuai’ dengan kata-kata hukum ini
dan ketika kita mencoba untuk mendefinisikan mereka kita menemukan
bahwa ungkapan yang biasa kita pakai dalam mendefinisikan jenis orang,
benda, kualitas, kejadian… tidak pernah benar-benar persis dengan kata-
kata hukum ini meskipun berhubungan dalam beberapa hal.)

Dari berbagai pemaparan yang telah dijelaskan di atas, mulai dari


penjabaran pengertian istilah korporasi yang disampaikan oleh berbagai ahli, dan
dari analisa terhadap beberapa UU di berbagai negara, penulis sependapat dengan
Taslitz yang menyatakan bahwa korporasi tidak diragukan lagi merupakan
organisasi yang paling mencolok diperlakukan sebagai legal person dan

108
HLA Hart (1), op., cit., hlm. 5.
109
Ibid.

Universitas Indonesia
184

merupakan paradigma hukum terhadap suatu badan kolektif (collective entity).110


Sehingga apabila menggunakan dasar teori personalitas hukum korporasi yang
menyatakan bahwa korporasi adalah suatu hasil dari proses membadankan yang
mana badan tersebut mendapatkan personalitas atau kepribadiannya sendiri di
hadapan hukum melalui suatu proses inkorporasi, maka kurang tepat untuk
menggunakan istilah korporasi untuk badan yang tidak memenuhi syarat untuk
dapat disebut sebagai korporasi. Penulis berpendapat bahwa istilah korporasi
adalah istilah yang sudah ajeg untuk badan hukum yang telah melalui suatu proses
inkorporasi saja. Sedangkan badan yang tidak berstatus sebagai badan hukum
biasanya disebut sebagai unincorporated body.

Apabila memperhatikan article 51 sub article 3 Dutch Penal Code yang


berbunyi: “equal status as a legal person applies to a company without legal
personality, a partnership, a firm of ship owners, and a separate capital sum
assembled for a special purposes.” Status yang sama dengan badan hukum
diberikan kepada perusahaan tanpa personalitas hukum, partnership dan
seterusnya. Dapat dilihat bahwa organisasi yang tidak berbadan hukum secara
teori tidaklah sama dengan organisasi yang memiliki personalitas hukum (yang
disebut rechtspersonen), tetapi status mereka dipersamakan untuk kepentingan
hukum pidana di Belanda. Hal ini berbeda dengan bagaimana Indonesia
menjelaskan korporasi dengan pengertiannya adalah “kumpulan terorganisasi dari
orang dan/atau kekayaan baik merupakan berbadan hukum maupun bukan
berbadan hukum.” Disini, jelas sekali bahwa korporasi didefinisikan kurang
berhati-hati mengenai sejarah dan perkembangannya.

B. Bentuk dan Jenis Korporasi yang dapat Dipertanggungjawabkan dalam


Hukum Pidana

Pada pembahasan selanjutnya akan diidentifikasi entitas apa saja atau


organisasi apa saja yang bisa bertanggung jawab secara pidana. Perbedaan antara

110
Andrew E. Taslitz, Reciprocity And The Criminal Responsibility Of Corporations, 41
Stetson Law Review, 73, 2011-2012, hlm. 75.

Universitas Indonesia
185

entitas yang berbadan hukum/tidak berbadan hukum, organisasi publik/privat,


organisasi yang berorientasi profit/non-profit akan dievaluasi dari berbagai
perspektif. Untuk kepentingan disertasi ini korporasi dibagi berdasarkan korporasi
yang bersifat private (private corporation), korporasi yang bersifat publik (public
corporartion); dan korporasi yang bersifat antara publik dan privat (quasi
governmental).111 Korporasi privat akan dibagi menjadi bisnis atau perusahaan
yang berorientasi profit dan organisasi sosial yang biasanya tidak bertujuan profit
(social purpose corporation). Korporasi yang ada di lingkup publik, kadang kala
disebut public corporation,112 yaitu sebuah korporasi yang didirikan oleh
pemerintah yang mempunyai tujuan untuk memenuhi tugas-tugas adminstratif di
bidang usaha publik.113 Sedangkan quasi governmental unit adalah organisasi
yang memiliki aspek publik dan privat secara bersamaan.

1. Korporasi Privat

Korporasi privat didirikan untuk kepentingan spesifik yang bersifat privat.


Baik yang bergerak dibidang keuangan, infrastruktur, perdagangan, sosial,
keagamaan, hobi dan lain-lain. Ada tujuan yang bersifat ‘value added’ dari
organisasi dalam lingkup ini, seperti peningkatan standar taraf hidup, profit

111
Ada juga ahli yang mengelompokkan organisasi menjadi public, private dan non-profit
organization, lihat Herbert Simon, “Rationality in Political Behavior”, Political Economy and
Political Psychology, vol. 16, No. 1, Maret 1995, 45-61. Non profit organization atau social
purpose corporation, seperti organisasi keagamaan, atau organisasi sosial lainnya, sebenarnya
cukup sulit untuk dimasukkan ke salah satu kategorisasi privat atau quasi-publik, tetapi tidak
dibuatkan kategori sendiri dalam disertasi ini tetapi dimasukkan ke dalam private sphere
corporation, untuk memberikan ruang yang cukup dalam pembahasan tanggung jawab pidana
lembaga Negara dan quasi public agencies.
112
Istilah pubic corporation dipakai oleh ahli seperti Roscoe Pound (An Introduction to the
Philosophy of Law). Istilah yang digunakan untuk merujuk kepada public corporation ini juga
berbeda-beda, seperti misalnya public bodies (Criminal Code Canada, Criminal Act New
Zealand), public authority (William G. Brucker dan James E. Rebele, “Fraud at a Public
Authority”), public agencies, public entities (Lenna E. Smith, “Is Strict Liability the Answer in the
Battle against Foreign Corporate Bribery,” Brooklyn Law Review, Vol. 79, No. 4, 2013), public
organizations (Herbert Simon, “Rationality in Political Behavior”, Political Economy and Political
Psychology, vol. 16, No. 1, Maret 1995), legal entity under public law (Swiss Criminal Code),
public law legal person (B.F. Keulen dan E. Gritter, “Corporate Criminal Liability in the
Netherlands,” Corporate Criminal Liability, Springer Netherlands, 2011) .
113
Meir, Dan-Cohen (3), Between Selves and Collectivities: Toward a Jurisprudence of
Identity, University of Chicago Law Review, Vol. 61, Issue 4 (Fall 1994), 1213-1244, hlm. 1216.

Universitas Indonesia
186

ekonomi, peningkatan kekayaan, pengetahuan, dan pengembangan kebutuhan


personal, sosial dan kemasyarakatan.114 Perusahaan dan aktor bisnis merupakan
contoh yang paling utama dari bentuk kontemporer organisasi dalam lingkup
privat, tetapi, juga bisa mencakup yayasan, lembaga penelitian dan pendidikan
seperti universitas, organisasi keagamaan, serikat buruh, dan berbagai organisai
perwakilan lainnya.115

a. Perusahaan yang Bertujuan untuk Mencari Laba sebagai Subjek Hukum


Pidana

Perusahaan yang berorientasi bisnis116 merupakan bentuk paling umum


diterima sebagai subjek hukum yang dapat bertanggunjawab dalam semua rezim
hukum termasuk hukum pidana. Karena pada awalnya memang tujuan dari
pembentukan pertanggungjawaban pidana korporasi ditujukan untuk mengatur
perilaku menyimpang dari korporasi bisnis. Sebagaimana telah dibahas diatas,
korporasi pada aspek ilmu tertentu dalam perkembangannya mengerucut kepada
pengertian perusahaan besar.117 Oleh karena itulah kenapa istilah yang muncul
untuk pertanggungjawaban pidana aktor kolektif adalah pertanggung jawaban
pidana korporasi (corporate criminal responsibility), dan konsep mengenai
kepribadian hukum yang berkembang untuk aktor kolektif adalah personalitas
hukum korporasi (corporate legal personality). Korporasi yang dimaksudkan
pada awal-awal teori hukum ini dikembangkan memang adalah ditujukan kepada
korporasi bisnis khususnya korporasi bisnis yang pertanggungjawaban
anggotanya terbatas. Korporasi bisnis ini memiliki suatu tujuan utama yaitu untuk
mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, dimana semua keputusan yang

114
Christopher Harding, op., cit., hlm. 51.
115
Ibid., hlm. 9.
116
Terminologi enterprise kadangkala digunakan untuk merujuk kepada organisasi jenis
ini. Lihat Christopher Harding, op., cit., hlm. 51
117
Mardjono Reksodiputro berpendapat bahwa kejahatan korporasi merupakan kejahatan
kerah putih (white colar crime) yang memang ditujukan bagi perusahaan yang berskala besar saja
(big business dan konglomerasi), sehingga sebaiknya perusahaan yang berlingkup bisnis kecil
(usaha kecil menengah) tidak perlu dibicarakan pada kejahatan korporasi. Lihat Mardjono
Reksodiputro (1), op., cit., hlm. 699.

Universitas Indonesia
187

diambil oleh organisasi pun akan sangat berkaitan dengan tujuan pemaksimalan
laba tersebut.118

Di Indonesia bentuk korporasi bisnis dengan pertanggung jawaban terbatas


disebut Perseroan Terbatas (PT). PT merupakan terminologi yang paling erat
kaitannya dengan bidang hukum perdata mengenai konsep badan yang diciptakan
oleh hukum yang terdiri dari corpus dan animus, sehingga menjadikan badan
tersebut memiliki kepribadian yang mandiri.119 Kepribadian hukum yang dimiliki
oleh PT diperoleh setelah memenuhi kriteria dan melalui proses hukum yang
ditentukan oleh UU PT.120 PT inilah yang pada prinsipnya disebut sebagai
korporasi dalam ilmu ekonomi maupun dalam hukum perdata.121 Apabila saham
PT dijual kepada masyarakat luas secara terbuka, maka perusahaan tersebut akan
menjadi korporasi privat yang bersifat terbuka.122 Pada perusahaan terbuka,
terdapat pemisahan antara pemilik perusahaan dengan pihak yang menjalankan
perusahaan, sehingga yang dulunya peran pemilik perusahaan yang juga
menjalankan perusahaan sangat dominan tidak ditemukan pada perusahaan
terbuka.123 Korporasi bisnis ini beroperasi di bawah mandat utama untuk
meningkatkan keuntungan dan memaksimalkan harga saham, sehingga peran
utama dari pegawai dan direksi korporasi adalah untuk tundak pada mandat
tersebut.124

Sebagaimana manusia, korporasi bisnis juga memiliki hak otonomi yang


kuat untuk melakukan hal-hal yang diperlukan dalam rangka mencari keuntungan

118
Meir Dan-Cohen (1), op., cit., hlm. 17.
119
Muladi dan Dwidja Priyatno, op., cit., hlm. 12-13.
120
Indonesia, Undang-Undang Tentang Perseroan Terbatas, UU No. 40 Tahun 2007, LN
No. 106 Tahun 2007.
121
Salah satu ahli hukum perdata yang berpendapat bahwa korporasi itu adalah perusahaan
yang berbentuk badan hukum khususnya PT adalah Yetty Komalasari Dewi, “Pemikiran Baru
Tentang Persekutuan Komanditer (CV): Studi Perbandingan KUHD dan WvK Serta Putusan-
Putusan Pengadilan Indonesia dan Belanda,” Disertasi, Universitas Indonesia, 2011, hlm. 73.
122
Meir, Dan-Cohen (3), op., cit., hlm. 1216.
123
Hal ini terutama dapat dilihat dengan kepemilikan saham yang tandinya dimiliki oleh
pemilik saham dominan kemudian bisa berpindah tangan kepada investor yang lebih menyebar.
Bahkan ada beberapa perusahaan yang sahamnya dimiliki oleh perusahaan keuangan lain yang
juga mengolah modal yang ada pada mereka, seperti misalnya bank, perusahaan investasi,
perusahaan asuransi atau lembaga pengolah uang pensiun. Pemegang sahamnya adalah organisasi,
sedangkan orang-perorangan yang menyimpan uangnya di lembaga keuangan tersebut tidak
memiliki klaim langsung terhadap kepemilikan saham di perusahaan tersebut. Lihat Meir Dan-
Cohen (1), op., cit., hlm. 19-20.
124
Andrew E. Taslitz, op., cit., hlm. 79.

Universitas Indonesia
188

ekonomi. Mereka dapat memiliki properti, melakukan akuisisi, berpindah domisili


baik di dalam negeri maupun ke luar negeri, dan dapat berkembang menjadi
sangat besar. Korporasi juga memiliki hak mengemukakan pendapat yang kuat.
Mereka bisa mengiklankan produknya, memberikan uangnya untuk
mempromosikan berbagai jenis acara, membantu untuk mendanai kampanye
politik, dan melobi pemerintah.125

Hak otonomi dan hak berekspresi dari korporasi modern telah menerima
pengakuan misalnya dalam konstitusi Amerika.126 Korporasi di Amerika
dilindungi oleh Amandemen ke-empat yang menjelaskan bahwa mereka tidak bisa
ditangkap tanpa alasan hukum yang kuat (membuat mereka menjadi bagian dari
“orang” Amerika yang mana kepadanya Amandemen berlaku).127 Amandemen
ke-lima, melarang penuntutan ganda, perampasan properti tanpa pemberian
kompensasi yang sesuai kepada korporasi. Dan pada Amandemen ke-Enam dan
Tujuh, korporasi mendapatkan hak untuk disidang dengan juri dalam kasus pidana
maupun perdata. Demikian juga, korporasi memiliki hak kebebasan berpendapat
sesuai dengan Amandemen Pertama, termasuk hak untuk berpendapat dalam
politik dan perdagangan. Korporasi juga memiliki hak untuk memperoleh
perlindungan yang sesuai berdasarkan Amandemen ke-empat belas.128

125
Ibid., hlm. 75.
126
Pembahasan mendalam mengenai hak konstitusi korporasi di Amerika dapat dilihat
lebih lanjut dalam Brandon L. Garret, (2) “The Constitutional Standing of Corporations,”
University of Pennsylvania Law Review, vol. 163, p. 95, 2014.
127
Termasuk di dalamnya adalah tidak dapat diperiksa dan ditangkap tanpa alasan yang
jelas (unreasonable searches and seizures) dan ketentuan yang melarang penerbitan surat
pemeriksaan kecuali dengan alasan yang kuat (upon probable cause). Beberapa kasus yang
berkaitan dengan pelanggaran ketentuan ini misalnya Camara v. Municipal Court, See v. City of
Seattle. Lihat lebih lanjut Brandon L. Garret, (2) op., cit., hal. 126.
128
Andrew E. Taslitz, op., cit., hlm. 76. Kasus hukum yang paling mencolok dijadikan
rujukan dalam pemberian hak perlindungan yang sama kepada korporasi, sebagaimana hak
perlindungan yang sama diberikan kepada setiap warga Amerika Serikat yang diatur pada
Amandemen ke empat belas Konstitusi Amerika adalah Santa Clara County v. Southern Pacific
Railroad Co., 118 US 394 (1886). Kasus ini merupakan kasus hukum perusahaan yang diperiksa
di Mahkamah Agung Amerika Serikat berkaitan dengan penarikan pajak bagi properti perusahaan
kereta api. Pada tahun 1878 legislator negara Bagian California mengeluarkan aturan baru
berkaitan dengan perpajakan yang tidak mengurungi kewajiban pajak perusahaan dengan hutang,
di mana hak ini diberikan kepada individu. Meskipun dalam kasus ini hakim tidak secara eksplisit
membahas tentang perubahan ke-14 dari konstitusi Amerika Serikat, tetapi dalam pertimbangan
hukumnya hakim menjelaskan bahwa Konstitusi California telah melanggar ketentuan mengenai
perlindungan yang sama bagi setiap warga negara Amerika Serikat, sebagaimana diatur oleh
Amandemen ke-14 Konstitusi Amerika Serikat karena tidak memberikan perlindungan tersebut
kepada perusahaan perkeretaapian dan perusahaan quasi publik yang lainnya.

Universitas Indonesia
189

Hanya sedikit hak yang dimiliki oleh manusia yang tidak dimiliki oleh
perusahaan. Apabila perusahaan diperlakukan sebagaimana layaknya manusia
dengan segala hak-hak yang dimiliki oleh korporasi maka seharusnya kita juga
memperlakukannya seperti manusia yang juga bisa bertanggung jawab secara
pidana apabila mereka berperilaku menyimpang. Banyak kasus hukum baik di
Indonesia maupun di negara lain, yang berkaitan dengan subjek hukum kolektif
yang berbentuk Perusahaan Terbatas (PT). Beberapa kasus di Indonesia akan
dipaparkan sebagai berikut:129

Tabel 3.1 Kasus Pidana yang Melibatkan Korporasi Bisnis di Pengadilan


Indonesia

No. Perkara Uraian Singkat Perkembangan

1.. Tindak Pidana PT. DEI adalah perusahaan yang - Putusan PN Bekasi No.
Pencemaran bergerak di bidang pengelolaan 458/Pid.B/2008/PN.Bks tanggal
Lingkungan limbah Cair Bahan Berbahaya 22 Juni 2009:
oleh PT. dan Beracun (B3) yang berdiri o Menyatakan Terdakwa PT.
Dongwoo semenjak 2001, di Cikarang DEI bersalah melakukan
Environmental Utara, Kabupaten Bekasi. PT. tindak pidana “Lingkungan
Indonesia (PT. DEI melakukan pembuangan hidup secara berlanjut”
DEI) yang limbah B3 tanpa pengolahan ke o Menjatuhkan pidana denda
diwakili oleh tanah kosong di daerah kampung sebesar Rp.325 juta, subsider
Kim Young Sempu, Desa Pasir Gembong, 6 bulan kurungan.
Woo sebagai Cikarang Utara, sehingga o Perampasan keuntungan yang
Presiden menyebabkan masyarakat di diperoleh dari tindak pidana
Direktur PT. sekitarnya mengalami kepala dan penutupan PT. DEI
DEI. Terdakwa pusing, tenggorokan kering, - Putusan PT Bandung No.
dalam kasus ini dada sesak, perut mual dan 465/Pid/2009/PN.Bks tanggal 3
adalah Kim muntah-muntah. Desember 2009: Menguatkan
Young Woo. Putusan PN Bekasi.
- Putusan MA No. 862

129
Sampai saat ini belum banyak kasus hukum yang memidana korporasi di Indonesia.
Kasus yang ada pada table 3 adalah kasus hukum yang baru ada di Indonesia sampai saat
penelitian ini dilakukan. Tabel ini dimodifikasi, disunting dan ditambahkan dari tabel yang dibuat
oleh Muladi dan Diah Sulistyani, “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Corporate Criminal
Responsibility),” Edisi ke-2, Cetakan ke-1, (Bandung: Alumni, 2015), hlm. 83-92. Pemaparan
kasus ini tidak hanya digunakan untuk melihat perisitilahan yang digunakan sebagaimana untuk
kepentingan bab ini saja, tetapi juga akan dipakai untuk analisa putusan yang berkaitan dengan
pertanggungjawaban pidana dan sanksi yang dibahas pada Bab IV. Ke sembilan kasus ini dipilih
karena sampai saat ini baru putusan tersebut yang menjadikan korporasi dapat dibebani
pertanggungjawaban pidana dan dijatuhi sanksi pidana.

Universitas Indonesia
190

K/PID.SUS/2010 tanggal 7 April


2011:
o Menyatakan Terdakwa PT.
DEI bersalah melakukan
tindak pidana “Pencemaran
Lingkungan Secara
Berlanjut”
o Menjatuhkan pidana denda
sebesar Rp. 650 juta, subsider
pidana kurungan selama 6
(enam) bulan .
o Perampasan keuntungan dari
TP dan penutupan PT. DEI

2..
Tindak Pidana Penyidik Kejaksaan Tinggi - Putusan PN Banjarmasin No.
Korupsi dengan Kalimantan Selatan menetapkan 812/Pid.Sus/2011/PN.BJM
Tersangka PT. PT. GJW sebagai tersangka tanggal 09 Juni 2011, dengan
Giri Jaladhi korporasi karena berperan dan amar:
Wana (PT. juga menikmati segala o Menyatakan PT. GJW telah
GJW) keuntungan dari pembangunan terbukti secara sah dan
dan pengelolaan Pasar Sentra meyakinkan bersalah
Antasari Banjarmasin sehingga melakukan TP korupsi secara
dapat dimintakan berlanjut sebagaimana dalam
pertanggungjawaban pidana. dakwaan primair Ps. 2 (1) Jo.
Ps. 18 Jo. Ps. 20 UU
Pemberantasan Tipikor Jo.
Ps. 64 (1) KUHP.
o Menjatuhkan pidana denda
sebesar Rp.1,3M
o Menjatuhkan pidana
tambahan berupa penutupan
sementara Tersangka PT.
GJW selama 6 (enam) bulan.
- Putusan PT Tipikor Banjarmasin
No. 04/PID.SUS/2011:
Menguatkan putusan PN
Banjarmasin.
- Telah berkekuatan hukum tetap
dan dieksekusi.

3. TP Perpajakan TP di bidang perpajakan yang - PN Jakarta Pusat melalui putusan


PT. Asian Agri dilakukan oleh 14 (empat belas) No. 234/PID.B/-

Universitas Indonesia
191

Group (PT. perusahaan yang tergabung 2011/PN.JKT.PST, tanggal 15


AAG) dalam PT. AAG Maret 2012 menyatakan bahwa
dakwaan jaksa prematur dan tidak
Yang melakukan rekayasa dapat diterima.
laporan keuangan untuk - PT Jakarta melalui Putusan No.
menghindari kewajiban 241/PID.2012/PT/DKI, tanggal
perpajakan 23 Juli 2012 menguatkan Putusan
Terdakwa dalam kasus ini PN Jakarta Pusat.
adalah Suwir Laut alias Liu Che - MA melalui putusan No. 2239
Sui alias Atak selaku Tax K/Pid.Sus/2012, pada tanggal 18
Manager PT. AAG didakwa Desember 2012 membatalkan
telah telah secara sengaja putusan PT Jakarta dan
menganjurkan, membantu memutuskan:
melakukan tindak pidana di o Terdakwa Suwir Laut
bidang perpajakan untuk dan bersalah melakukan TP
atas nama 14 (empat belas) “Menyampaikan Surat
perusahaan yang tergabung di Pemberitahuan Dan/Atau
dalam AAG. Keterangan Yang Isinya Tidak
Benar atau Tidak Lengkap
Secara Berlanjut”
o Menjatuhkan pidana penjara
selama 2 (dua) tahun, dengan
masa percobaan berkelakuan
baik selama 3 (tiga) tahun,
dengan syarat khusus dalam
waktu 1 (satu) tahun, 14
(empat belas) Perusahaan yang
tergabung dalam AAG yang
pengisian SPT Tahunan
diwakili oleh Terdakwa untuk
membayar denda 2 (dua) kali
pajak terutang, seluruhnya
berjumlah
Rp.2.519.955.391.304,-

4. Tindak Pidana - PT. IM2 adalah anak - Putusan Pengadilan Tipikor


Korupsi PT. perusahaan PT. Indosat. PT. Jakarta No.
Indosat dan PT. IM2 dituntut telah membuat 01/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Pst,
Indosat Mega perjanjian kerjasama dengan tanggal 8 Juli 2013 menyatakan:
Media (PT. PT. Indosat untuk menghindari o Terdakwa bersalah dan
IM2) kewajiban PT. IM2 membayar dipidana penjara selama 4
Up Front Fee dan Biaya Hak (empat) tahun serta denda

Universitas Indonesia
192

Penggunaan (BPH) pita sebesar Rp.200 juta subsider


frekuensi radio 3G kepada tiga bulan kurungan.
Negara dengan kerugian o Menghukum PT. Indosat dan
negara sebesar PT. IM2 membayar uang
Rp.1.358.343.346.674,- pengganti sebesar
- Terdakwa Indar Atmanto Rp.1.358.343.346.674,-
(Dirut PT. IM2) - Putusan PT Tipikor DKI Jakarta
No. 33/Pid/Tpk/2013/PT.DKI,
tanggal 12 Desember 2013
memutuskan:
o Pidana penjara terhadap
terdakwa selama 8 (delapan)
tahun serta pidana denda
Rp.200 juta subsider
kurungan tiga bulan.
o Menghapuskan uang
pengganti bagi PT. Indosat
dan PT. IM2 karena kedua
perusahaan tersebut bukanlah
subyek dalam surat dakwaan
Penuntut Umum.
- Putusan MA No.
787K/PID.SUS/2014, tanggal
10 Juli 2014, memutuskan:
o Pidana penjara bagi terdakwa
Indar Atmanto selama 8 tahun
serta denda Rp.300 juta
subsider 6 bulan kurungan.
o Menghukum PT. Indosat dan
PT. IM2 membayar uang
pengganti sebesar
Rp.1.358.343.346.674,-

- Putusan Peninjauan Kembali No.


77 PK/PID.SUS/2015, tanggal
20 Oktober 2015: Menolak
permohonan PK dari Indar
Atmanto dan menyatakan
putusan kasasi yang
dimohonkan PK tetap berlaku.

5. Tipikor pada PT. CPI sejak tahun 2003 – 2011 - Putusan PN Jakarta Pusat No.

Universitas Indonesia
193

proyek melakukan proses bioremediasi 81/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.


Bioremediasi (menetralkan tanah dari limbah PST, tanggal 8 Mei 2013,
PT. Chevron minyak mentah) yang proses - Putusan PT DKI Jakarta No.
Pacific pengerjaannya ditenderkan 27/PID/TPK/2013/PT.DKI,
Indonesia (CPI) diantaranya kepada PT. SGJ dan tanggal 18 September 2013,
dengan PT. Green Planet Indonesia (PT. - Putusan MA No. 2441
terdakwa Herlan GPI). Bioremediasi ini K/Pid.Sus/2013, tanggal 10
Bin Ompo dianggarkan USD 270 juta yang Maret 2014:
Direktur PT. merupakan dana penggantian o Menyatakan Terdakwa
Sumigita Jaya pemulihan lingkungan (cost Herlan bin Ompo terbukti
(PT. SGJ) recovery) PT. CPI. Proyek secara sah dan
bioremediasi diduga tidak ada meyakinkan bersalah
atau fiktif dan merugikan negara melakukan “Tindak
hingga Rp.210,25 Miliar. Pidana Korupsi secara
bersama-sama dan
berlanjut.
o Mempidana terdakwa
dengan 6 (enam) tahun
pidana penjara dan denda
Rp.250.000.000,- (dua
ratus lima puluh juta
rupiah), subsider 3 bulan
kurungan.
o Menghukum PT. SGJ
membayar uang pengganti
US$6,900,929.67 (enam
juta sembilan ratus ribu
sembilan ratus dua puluh
sembilan dollar Amerika
koma enam puluh tujuh
sen)
- Putusan Peninjauan Kembali
No. 29/PK/Pid.Sus/2015,
tanggal 8 September 2016:
mengabulkan PK dan
membebaskan Herland Bin
Ompo

6. Tipikor pada PT. CPI sejak tahun 2003 – 2011 Putusan PN Jakarta Pusat No.
proyek melakukan proses bioremediasi 85/PID.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst,
Bioremediasi (menetralkan tanah dari limbah tanggal 7 Mei 2013:
PT. Chevron minyak mentah) yang proses

Universitas Indonesia
194

Pacific pengerjaannya ditenderkan - Menjatuhkan pidana


Indonesia (CPI) diantaranya kepada PT. SGJ dan terhadap terdakwa dengan
dengan PT. GPI. Bioremediasi ini pidana penjara selama 5
terdakwa Ricksy dianggarkan USD 270 juta yang (lima) tahun dan denda
Prematuri selaku merupakan dana penggantian sebesar Rp200.000.000,-
Direktur PT pemulihan lingkungan (cost (dua ratus juta rupiah),
Green Planet recovery) PT. CPI. Proyek subsider dua bulan.
Indonesia (PT. bioremediasi diduga tidak ada - Menghukum PT. GPI
GPI) atau fiktif dan merugikan negara membayar uang pengganti
hingga Rp.210,25 Miliar. US$3.089.281,26.

Putusan PT DKI Jakarta No.


28/PID/TPK/2013/PT.DKI, tanggal
12 September 2013:

- Menjatuhkan pidana
terhadap terdakwa dengan
pidana penjara selama 2
(dua) tahun dan denda
sebesar Rp200.000.000,-
(dua ratus juta rupiah),
subsider dua bulan.

Putusan MA No. 2330


K/Pid.Sus/2014 tanggal 10 Februari
2014:

- Menjatuhkan pidana
terhadap terdakwa dengan
pidana penjara selama 5
(lima) tahun dan denda
sebesar Rp200.000.000,-
(dua ratus juta rupiah),
subsider dua bulan.
- Menghukum PT. GPI
membayar uang pengganti
US$3.089.281,26.

Putusan Peninjauan Kembali No.


36/PK/Pid.Sus/2015:mengabulkan
PK dan membebaskan Ricksy
Prematuri.

Universitas Indonesia
195

7. Tindak pidana PT. API adalah pelaku usaha - Putusan PN Pelalawan No.
Lingkungan perkebunan kelapa sawit di 228/Pid.Sus/2013/PN.PLW
hidup dengan kabupaten Pelalawan dan tanggal 9 September 2014,
tersangka PT. Bengkalis Propinsi Riau. Tindak menyatakan:
Adei Plantation pidana lingkungan hidup berupa o PT. API bersalah melakukan
& Industry (PT. penimbunan anak sungai untuk tindak pidana “karena
API) yang perluasan lahan serta kelalaiannya mengakibatkan
diwakili Tan Kei pembakaran untuk dilampauinya kriteria baku
Yoong sebagai mempersiapkan lahan. Kegiatan kerusakan lingkungan hidup”
Direksi tersebut telah menyebabkan o Pidana denda sebesar Rp.1,5
(Direktur kebakaran yang luas dan Milyar dan pidana tambahan
Regional) menghasilkan kabut asap yang berupa perbaikan akibat
mencemari udara melebihi batas tindak pidana untuk
ambang pencemaran, merusak memulihkan lahan yang
sifat kimia tanah, merusak sifat rusak dengan biaya sebesar
biologi tanah, merusak sifat fisik Rp.15,1 Miliyar.
tanah, merusak aspek flora. - Putusan PT Pekanbaru No.
286/Pid.Sus/2014/PT.PBR
tanggal 13 Januari 2015
menguatkan Putusan PN
Pelalawan.
- Putusan Kasasi MA No.
2042K/Pid.Sus/2015 tanggal 14
Maret 2016: menolak
permohonan kasasi dari penuntut
umum.

8. Tindak Pidana PT. NSP adalah badan usaha - Putusan PN Bengkalis No.
Lingkungan yang bergerak di bidang 547/Pid.Sus/2014./PN.Bls,
Hidup dengan pertanian, pengusahaan hutan, menyatakan:
tersangka PT. usaha pemanfaatan hasil hutan o PT. NSP bersalah melakukan
National Sago bukan kayu pada hutan tanaman tindak pidana “karena
Prima (PT. industri dalam hutan tanaman kelalaiannya mengakibatkan
NSP), yang (Sagu) di Propinsi Riau. dilampauinya kriteria baku
diwakili oleh Melakukan penyiapan lahan kerusakan lingkungan hidup”
Eris Ariaman dengan pembakaran dan sengaja o Menjatuhkan pidana denda
selaku Direktur membiarkan terjadinya sebesar Rp.2 Miliar dan pidana
Utama kebakaran sehingga tambahan berupa kewajiban
mengakibatkan kerusakan tanah melengkapi sarana pencegahan
dan lingkungan. dan penanggulangan

Universitas Indonesia
196

kebakaran hutan dengan


pengawasan Badan
Lingkungan Hidup Kabupaten
Kepulauan Meranti dalam
jangka waktu 1 (satu) tahun.
- Putusan PT Pekanbaru No.
27/Pid.Sus/2015/PT.PBR:
menguatkan Putusan PN
Bengkalis
- Saat ini dalam proses kasasi

9. Tindak Pidana PT. Kallista Alam adalah - Putusan PN Meulaboh No.


Lingkungan perusahaan perkebunan dan 131/Pid.B/2013/PN.MBO,
Hidup dengan pertanian, terutama perkebunan menyatakan:
terdakwa PT. kelapa sawit yang berkedudukan o PT. Kallista Alam bersalah
Kallista Alam, di Kabupaten Nagan Raya, melakukan tindak pidana
yang diwakili Kecamatan Darul Makmur. lingkungan hidup yang
oleh Subianto Melakukan penyiapan lahan dilakukan secara berlanjut.
Rusid selaku dengan pembakaran dan sengaja o Menjatuhkan pidana terhadap
Direktur membiarkan terjadinya terdakwa denda sebesar 3
kebakaran secara berulang dan Milyar Rupiah.
berlanjut, sehingga - Putusan PT Banda Aceh No.
mengakibatkan kerusakan tanah 201/Pid/2014/PT.BNA, tanggal
dan lingkungan. 19 November 2014, menyatakan:
o PT. Kallista Alam terbukti
secara sah dan meyakinkan
melakukan Tindak pidana
membuka lahan untuk
perkebunan kelapa sawit
dengan cara merusak
lingkungan secara berlanjut.
o Menjatuhkan pidana denda
sebesar 3 Milyar Rupiah
- Putusan MA No. 1554
K/Pid.Sus/2015, tanggal 5 April
2016, menyatakan:
o Menguatkan putusan
pengadilan yang lebih rendah
o Oleh karena dalam perkara
perdata yang telah diputus di
Mahkamah Agung dengan No.
651 K/PDT/2015 yang

Universitas Indonesia
197

berhubungan dengan perkara a


quo, telah membebankan ganti
rugi sebesar
Rp.366.098.669.000,- (366
Milyar), maka dalam perkara a
quo, tidak dibebankan lagi
pidana denda.

Ada banyak catatan penting berkaitan dengan subjek pelaku pada kasus-
kasus di atas. Di mana, para penegak hukum masih mencampuradukkan
pertanggungjawaban pribadi dari para eksekutif dengan pertanggungjawaban
pidana dari perusahaannya sebagai subjek hukum yang mandiri. Untuk
pembahasan yang lebih mendalam mengenai hal ini akan dilakukan pada bab IV.
Dari pemaparan kasus di atas, dapat dijelaskan bahwa paradigma
pertanggungjawaban korporasi bisnis terutama untuk korporasi yang berbadan
hukum berbentuk PT sudah diterima dalam rezim hukum pidana Indonesia
terutama untuk tindak pidana di bidang lingkungan dan tindak pidana korupsi. Di
Amerika juga bentuk tindak pidana yang paling banyak melibatkan organisasi
adalah tindak pidana lingkungan, sekitar 30 % (tiga puluh persen), diikuti dengan
fraud 21 % (dua puluh satu persen), makanan dan obat-obatan 12 % (dua belas
persen) dari total 118 (seratus delapan belas) organisasi yang dihukum pidana
pada tahun 2015.130

b. Organiasai Kemasyarakatan yang Tidak Bertujuan pada Profit sebagai


Subjek Hukum Pidana

Organisasi yang tidak bertujuan kepada profit atau keuntungan ekonomi


(non profit oriented organizations) atau disebut Jeff Atkitson dan Martin Schurrah
sebagai Civil Society Organizations (CSO) adalah sebuah organisasi, yang bukan
organisasi pemerintah atau bisnis, dimana sekelompok masyarakat berkumpul
bersama untuk mencapai tujuan yang sama dengan melakukan kegiatan secara

130
US Sentencing Commission, “Organizational Offenders,” Quick Facts, October 2016.
Jumlah ini adalah semua kasus yang diteruskan ke pengadilan, tidak termasuk ke dalam kasus
yang diselesaikan dengan Deffered Prosecution Agreement atau Non-Prosecution Agreement.

Universitas Indonesia
198

kolektif.131 Biasanya organisasi kemasyarakatan ini mengisi celah yang kosong


antara organisasi bisnis dan pemerintah, atau bisa dikatakan mereka berada di
tengah-tengah kedua nya.132

Apabila dikaitkan dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 tentang


Organisasi kemasyarakatan (UU Ormas), pada Pasal 1 ayat (1) dijelaskan
pengertian organisasi kemasyarakatan adalah “organisasi yang didirikan dan
dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi,
kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan dan tujuan untuk berpartisipasi
dalam pembangunan demi tercapainya tujuan NKRI yang berdasarkan
Pancasila.”133 Kemudian Pasal 4 menjelaskan bahwa “Ormas bersifat sukarela,
sosial, mandiri, nirlaba, dan demokratis.” Dapat disimpulkan bahwa pengertian
organisasi kemasyarakatan yang dianut oleh undang-undang memiliki artian yang
cukup luas termasuk semua organisasi yang didirikan oleh sejumlah warga negara
untuk mencapai tujuan tertentu yang bukan bagian dari organisasi kenegaraan dan
bukan pula organisasi bisnis.

Menurut UU Ormas, ormas ada yang berbasis anggota yang disebut


perkumpulan dan ada yang tidak berbasis anggota seperti yayasan,134 ada yang
berbadan hukum dan ada yang tidak berbadan hukum.135 Sehingga dapat
dijelaskan bahwa ada tiga varian dari organisasi kemasyarakatan, yaitu: organisasi
kemasyarakatan yang berbentuk perkumpulan,136 organisasi kemasyarakatan yang
berbentuk yayasan, dan organisasi kemasyarakatan yang tidak berbadan hukum.
Organisasi ini bisa bergerak di bidang sosial, keagamaan, pendidikan, kesehatan,

131
Jeff Atkitson dan Martin Schurrah, Globalizing Social Justice, The Role of Non-
Governmental Organizations in Bringing About Social Change, (New York: Palgrave Macmillan,
2009), hlm. Viii.
132
Daniel Saulean dan Carmen Epure, “Defining the Nonprofit Sector,” Working Papers of
The Johns Hopkins Comparative Nonprofit Sector Project No. 32, diedit oleh Lester M. Salamon
dan Helmut K. Anheier, (Baltimore: The John Hopkins Institute for Policy Studies, 1998), hlm. 1.
133
Indonesia, Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan, UU No. 17/2013, LN
No. 116 Tahun 2013, TLN No. 5430, Pasal 1 (1).
134
Indonesia, Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan, UU No. 17/2013, LN
No. 116 Tahun 2013, TLN No. 5430, Pasal 10 dan Pasal 11.
135
Ibid., Pasal 10. Pembahasan mengenai organisasi yang tidak berbadan hukum sebagai
subjek hukum pidana akan dibahas pada sub bab berikutnya.
136
Perkumpulan yang dimaksudkan tunduk pada pengertian dan persyaratan formal
sebagaimana yang diatur pada Staatsblad 1870 No. 64 Tentang Perkumpulan-Perkumpulan
Berbadan Hukum (Rechtspersoonlijkheid van Vereenigingen) dan Staatsblad 1939 No. 570
Tentang Perkumpulan Indonesia (Inlandsche Vereniging).

Universitas Indonesia
199

hobi, kesenian dan lain-lain.137 Bentuk yang formal dari CSO biasanya disebut
Non-Government Organization (NGO), yaitu perhimpunan yang secara formal
terorganisir dan merupakan lembaga yang umumnya self-governing, privat dan
non-profit.138 Sebagaimana Jeff Atkitson dan Martin Schurrah menjelaskan bahwa
‘Non-government organizations are a sub-set of CSO.”

Kebanyakan negara tidak memberikan pembedaan yang siginifikan


mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap entitas ormas yang memiliki
personalitas hukum namun tidak bertujuan profit dengan korporasi bisnis.
Kalaupun ada pembahasan khusus mengenai hal ini, hanya sebatas pembahasan
teori baik oleh para ahli maupun dalam putusan pengadilan. Pembahasan khusus
untuk subjek hukum ormas yang tidak berbadan hukum akan dilakukan secara
terpisah pada sub-bab ini.

Di Belanda memang pada awalnya pengaturan mengenai kemampuan


suatu legal person untuk bertanggung jawab dalam hukum pidana hanya sebatas
kejahatan yang bersifat ekonomi saja,139 namun semenjak direvisinya Penal Code
Belanda pada tahun 1976, dan memasukkan aturan mengenai kemungkinan suatu
legal person menjadi subjek hukum pidana, maka secara umum, suatu legal

137
Tidak termasuk ke dalam pengertian organisasi yang tidak bertujuan kepada profit ini
rumah sakit atau lembaga pendidikan yang bertujuan kepada keuntungan, karena lembaga ini
meskipun memiliki aspek sosial tetapi tujuan utama dari pembentukan organisasinya adalah profit.
Maka secara umum bisa disebut sebagai korporasi privat yang bertujuan kepada keuntungan.
Berbeda dengan RS atau lembaga pendidikan yang didirikan oleh pemerintah yang tujuan
utamanya bukanlah profit tetapi pelayanan umum. Tetapi Lembaga layanan umum ini juga tidak
bisa dimasukkan kepada pengelompokan Organisasi kemasyarakatan, karena lebih cocok masuk
kepada korporasi yang ada di lingkup kuasi publik.
138
Jeff Atkitson dan Martin Schurrah, Globalizing Social Justice, The Role of Non-
Governmental Organizations in Bringing About Social Change, (New York: Palgrave Macmillan,
2009), hlm. Viii.
139
Belanda pertama kali memperkenalkan pertanggungjawaban pidana korporasi pada
tahun 1951 melalui Economic Offences Act yang hanya berlaku untuk tindak pidana di bidang
ekonomi saja. Pada Article 15 dijelaskan bahwa kejahatan ekonomi dapat dilakukan oleh suatu
badan hukum, sehingga badan hukum tersebut dapat diprosekusi dan dihukum secara pidana. Pasal
15 Economic Offences Act ini kemudian dicabut dengan diberlakukannya Penal Code tahun 1976,
yang menjelaskan bahwa badan hukum dapat menjadi subjek hukum pidana secara umum, dan
tidak terbatas hanya pada kejahatan di bidang ekonomi saja. Lihat B.F. Keulen dan E. Gritter,
Corporate Criminal Liability in the Netherlands, (Netherlands: Springer, 2011), 177-191.

Universitas Indonesia
200

person, dapat menjadi pelaku tindak pidana umum dan tidak terbatas hanya pada
tindak pidana di bidang ekonomi saja.140

Indonesia juga termasuk ke dalam negara yang secara umum menerima


pertanggungjawaban pidana dari bentuk organisasi yang tidak berorientasi profit,
apabila dikaitkan dengan pengertian korporasi sebagaimana yang dianut dalam
banyak UU. Namun ada UU yang memang mengkhususkan subjek yang bisa
bertanggung jawab secara pidana hanya terhadap badan usaha yang berarti disini
adalah organisasi bisnis saja. Seperti misalnya UU tentang Cagar Budaya,141 UU
Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU Perindustrian, UU Pasar Modal, UU Minyak
dan Gas Bumi, UU tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Walaupun sebenarnya untuk UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, sangat disayangkan kenapa UU ini tidak mengakomodasi subjek tindak
pidananya adalah korporasi tetapi membatasi hanya terhadap badan usaha saja,
padahal pengrusakan lingkungan bisa juga dilakukan oleh badan yang tidak
berorientasi binis.

Namun, ada beberapa negara dengan latar belakang jurisdiksi civil law
yang secara umum mengecualikan organisasi sosial yang tidak berorientasi profit
dari pertanggungjawaban pidana korporasi. Seperti misalnya: Hungaria142 dan
Belgia,143 tidak memasukkan organisasi yang tidak bertujuan ekonomi sebagai
subjek dari hukum pidana. Hal ini karena memang tujuan utama dari
pembentukan pertanggungjawaban pidana korporasi mereka ditujukan secara
spesifik terhadap korporasi yang bertujuan bisnis saja.

140
Article 51 (1) Dutch Penal Code, mejelaskan: “Offences can be committed by natural
persons and legal persons”
141
Indonesia, Undang-Undang Tentang Cagar Budaya, UU No. 11/2010, LN. No. 130
Tahun 2010, TLN. No. 5168, Pasal 113 (1). Meskipun UU ini pada Pasal 101 – 112 menjelaskan
tindak pidana yang ditujukan kepada setiap orang yang apabila dilihat kepada Pasal 1 (35)
termasuk juga adalah kelompok orang, masyarakat dan badan usaha, tetapi sepertinya kelompok
orang dan masyarakat tidak dianggap sebagai subjek hukum yang bertanggung jawab secara
organisasi karena tidak disebutkan sebagai subjek yang bertanggung jawab sesuai dengan Pasal
113.
142
Santha, Ferenc dan Szilvia Dobroesi, “Corporate Criminal Liability in Hungary”, dalam
buku Mark Pieth, Radha Ivory (editors), Corporate Criminal Liability: Emergence, Convergence
and Risk, (London: Springer, 2011), hlm. 318.
143
Ibid.

Universitas Indonesia
201

2. Korporasi Publik

Korporasi publik, yaitu sebuah korporasi yang didirikan oleh pemerintah


yang mempunyai tujuan untuk memenuhi tugas-tugas adminstratif di bidang
usaha publik.144 Sebagaimana telah juga disinggung pada bab II disertasi ini,
bahwa korporasi publik memiliki ciri-ciri antara lain: mempunyai kekuasaan
sebagai penguasa atau wewenang publik, dapat membuat keputusan dan peraturan
yang mengikat publik, didirikan atau terjadinya melalui konstruksi hukum publik
(dibentuk oleh penguasa atau negara dengan undang-undang atau peraturan
lainnya). Menurut Sjahdeini, ciri utama yang paling mencolok dalam
membedakan antara korporasi publik dan korporasi privat adalah kemampuan
korporasi publik untuk membuat peraturan yang bisa mengikat publik atau
masyarakat luas.145 Misalnya Bank Indonesia sebagai bank sentral RI, memiliki
kewenangan untuk mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia, dan peraturan ini
dapat mengikat masyarakat luas. Berbeda dengan suatu perusahaan swasta sebut
saja misalnya PT. Astra Honda Motor, apabila perusahaan ini membuat suatu
aturan hanya bisa mengikat secara terbatas terhadap karyawan perusahaan yang
bersangkutan dan tidak bisa mengikat masyarakat yang lebih luas.

Negara dalam penatakelolaan masyarakat, struktur regulasi, dan


representasi dari berbagai kepentingan masyarakat memerlukan suatu bentuk
organisasi, semakin maju masyarakat maka membutuhkan semakin maju juga
bentuk organisasi yang mengelolanya.146 Kecendrungan negara terhadap
desentralisasi dan birokratisasi untuk keberlanjutan menunjukkan kesamaan yang
juga berlaku bagi korporasi privat pada umumnya. Negara dengan ukurannya,
kompleksitas birokrasinya, dan monopolinya terhadap kekuasaan yang memaksa
(coercive power), juga merupakan karakteristik yang banyak dimiliki oleh entitas
kolektif lainnya, seperti perusahaan besar yang memiliki ukuran dan kompleksitas
birokrasi yang mungkin sama besarnya dengan sebuah negara. 147 Meskipun

144
Meir, Dan-Cohen (3), op., cit., hlm. 1216.
145
Hasil wawancara dengan Prof. Sutan Remy Sjahdeini, SH., MH., Kamis, 16 Februari
2017, Jakarta.
146
Ibid.
147
Ibid., hlm.1217.

Universitas Indonesia
202

dalam beberapa karakteristik negara memiliki kesamaan dengan korporasi privat,


tetapi terdapat perbedaan yang cukup mendasar antara korporasi publik yang
menjalankan fungsi penatakelolaan masyarakat dengan korporasi yang
menjalankan kepentingan privat.

Pengelolaan kebutuhan masyarakat yang bersifat sensitif dan signifikan


biasanya dilakukan oleh pemerintahan pusat,148 sedangkan pengelolan
kepentingan masyarakat yang bersifat kedaerahan, biasanya dilimpahkan dan
didelegasikan kepada pemerintahan daerah. Secara umum, konsep desentralisasi
terdiri dari desentralisasi politik (political decentralization), desentralisasi
adminstratif (administrative decentralization), desentralisasi fiscal (fiscal
decentralization) dan desentralisasi ekonomi (economic or market
decentralization).149

Untuk pembahasan selanjutnya dari disertasi ini akan dibedakan antara: a.


korporasi publik yang berada dalam sistem pemerintahan pusat dan negara serta b.
korporasi publik yang berada dalam level pemerintahan daerah sebagai
perpanjangan negara melakukan pengelolaan bagian-bagian yang lebih kecil dari
negara, seperti provinsi, kabupaten atau kota.

a. Negara dan Pemerintahan Pusat sebagai Subjek Hukum Pidana

Dalam sejarah hukum, doktrin mengenai negara dan korporasi (the


doctrine of State and Corporation/Staats und Korporationslehre merupakan dua
teori yang berbeda.150 Teori mengenai negara sudah dibicarakan banyak oleh para
ahli hukum seperti misalnya Thomas Hobbes dalam Leviathan sebagaimana sudah
dipaparkan sebelumnya pada BAB II. Sebagaimana Hobbes, Gierke juga
mengaitkan teori mengenai negara ini dengan kedaulatan (sovereignty) yang

148
Menurut UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, dijelaskan bahwa
terdapat tiga klasifikasi urusan pemerintahan yaitu: urusan pemerintahan absolut, konkuren dan
umum. Urusan pemerintahan absolut adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi
kewenangan pemerintahan pusat, yang meliputi: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi,
moneter dan fiscal nasional, dan agama. Lihat Indoensia, Undang-Undang tentang Pemerintahan
Daerah, UU No. 23/2014, LN No. 244 Tahun 2014. TLN 5587, Pasal 9 Jo. Pasal 10.
149
Machfud Sidik, “Format Hubungan Keuangan Pemerintahan Pusat dan Daerah yang
Mengacu pada Pencapaian Tujuan Nasional”, Paper disampaikan pada Seminar Nasional Public
Sector Scorecard, Jakarta, 2002, hlm. 1.
150
Maitland, op., cit., hlm. 2.

Universitas Indonesia
203

dimiliki oleh negara tersebut terhadap intervensi dari pihak lain. 151 Austin dalam
bukunya The Province of Jurisprudence, menjelaskan bahwa negara “donates the
idividual person or the body of individual persons, which bears the supreme
power in an independent society.”152 Sedangkan teori korporasi sebagaimana telah
dibahas sebelumnya diberikan kepada bentuk-bentuk lembaga keagamaan dan
selanjutnya diberikan kepada kota dan distrik pemerintahan sebagai perpanjangan
tangan dari raja. Dapat dipahami kemudian bahwa sebenarnya negara bersumber
dari teori mengenai state sedangkan kota (municipality) bersumber dari teori
mengenai korporasi.153

Negara sebagai juristic person sudah dikenal sebagai subjek pada hukum
pidana internasional cukup lama. Sanksi hukum internasional, untuk kejahatan
internasional, khususnya perang, biasanya tidak diinterpretasikan sebagai
punishment, namun secara prinsip memiliki karakter yang sama dengan sanksi
dalam hukum pidana, perampasan paksa kehidupan dan kebebasan individu,
sanksi internasional dalam hal ini diberikan kepada negara.154 Mekanisme
internasional melalui International Criminal Court (ICC) baru akan berjalan
setelah mekanisme ditingkat nasional tidak berjalan dengan baik. Misalnya dalam
hal pelanggaran HAM berat di suatu negara, apabila negara tersebut tidak
melakukan suatu langkah yang diperlukan untuk menghukum pelaku atau
menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat tersebut atau malah melindungi
pelaku, barulah kasus tersebut bisa dibawa kepada mekanisme internasional.155

151
Otto. von Gierke, Political Theories of the Middle Age, F. W. Maitland (editor),
(Cambridge: Cambridge University Press, 1900), hlm. xiii.
152
J. Austin, The province of jurisprudence determined, W. E. Rumble (editor),
(Cambridge: Cambridge University Press, 1995, reprinted 2001), hlm. 190.
153
Kelsen memiliki pandangan yang agak berbeda mengenai hal ini, menurut beliau, negara
adalah suatu fenomena hukum, yaitu suatu juristic person, sebagaimana korporasi. Walaupun
Kelsen berpendapat bahwa karakteristik pembentukan dari Negara dan korporasi adalah sama,
namun kemudian Kelsen menjelaskan bahwa terdapat perbedaan yang mendasar antara Negara
dengan korporasi privat lainnya, yaitu “normative order that constitutes the State corporation.”
Dan kemudian Kelsen menjelaskan bahwa Negara adalah “community created by a national legal
order.” Lihat Hans Kelsen (1), op., cit., hlm. 181.
154
Hans Kelsen (1), op., cit., hlm. 106.
155
Andrey Sujatmoko, Tanggung Jawab Negara Atas Pelanggaran Berat HAM, (Jakarta:
Grasindo, 2005), hlm. 4-5. Meskipun banyak perdebatan juga mengenai pertanggungjawaban
pidana Negara dalam konteks hukum internasional, sebagaimana diulas misalnya oleh Geoff
Gilbert, “The Criminal Responsibility of State,” International and Comparative Law Quarterly,
vol. 39, No. 2, April 1990, pp. 345-369, Johan D. van der Vyver, “Prosecution and Punishment of

Universitas Indonesia
204

Namun, negara sebagai subjek hukum pidana dalam hukum nasional,


memiliki partikularitas dibandingkan dengan negara ketika menjadi subjek hukum
pidana internasional. Kejahatan yang dilakukan oleh negara menurut beberapa
literatur disebut sebagai state crime. State crime merupakan bentuk penyimpangan
yang dilakukan oleh organisasi partikular negara, sebagaimana konsep yang sama
pada corporate crime yang biasanya mengacu kepada kejahatan yang dilakukan
oleh organisasi partikular bisnis, organized crime yang biasanya mengacu kepada
kejahatan yang dilakukan oleh organisasi terlarang. 156 Meskipun subjeknya
berbeda sehingga penyebutannya biasanya berbeda, tetapi kesemua bentuk
kejahatan yang disebutkan di atas adalah kejahatan yang dilakukan oleh suatu
organisasi dan bukan oleh orang perseorangan sebagaimana kejahatan pada
umumnya.

Ada beberapa negara yang secara tegas menjadikan negara sebagai subjek
hukum pidana nasionalnya dengan tidak membedakan negara dengan bentuk
organisasi privat lainnya. Seperti misalnya Canada,157 yang secara tegas
menyatakan bahwa the Crown, public body, municipality berada di posisi yang
sejajar dengan organisasi privat lainnya. New Zealand dalam Criminal Act 1961,
Section 2 bagian Interpretation juga secara tegas menyatakan bahwa Crown and
any public body or local authority termasuk ke dalam subjek hukum dalam
Criminal Act nya. Norwegia, Denmark dan Irlandia juga memperlakukan sama
korporasi publik baik yang ada di pemerintahan pusat maupun yang ada di daerah

the Genocide,” Fordham International Law Journal, vol. 23, 1999, 286. Namun, pembahasan
mengenai hal ini tidak akan dilakukan lebih mendalam pada disertasi ini.
156
Lihat misalnya pembahasan yang dilakukan oleh Penny Green dan Tony Ward, State
Crime: Governments, Violence and Corruption, (London, UK: Pluto Press, 2004), hal. 5. Alan
Doig, State Crime, (Oxon, UK: Willan Publishing, 2011), David, O. Friedrichs, State Crime,
Volume I: Defining, Delineating and Explaining State Crime, (Aldershot, UK: Ashgate, 1998).
Meskipun dalam penjabarannya banyak literatur menggabungkan kejahatan yang dilakukan oleh
Negara baik dalam konteks hukum pidana nasional maupun dalam konteks hukum pidana
internasional.
157
Sebagaimana telah diuraikan pada sub-bab “Perbandingan Pemaknaan dan Penggunaan
Istilah Korporasi” di atas, Canada dalam Criminal Code-nya, pada Section 2, 21 menjelaskan Her
Majesty, Public body and Municipality termasuk ke dalam organisasi yang dilis termasuk dalam
pengertian everyone, person, and owner, and similar expression.

Universitas Indonesia
205

dengan korporasi privat lainnya, semuanya dapat bertanggung jawab secara


pidana sebagai suatu organisasi.158

Adapun alasan yang dijadikan dasar untuk menerima korporasi publik


termasuk negara sebagai subjek hukum pidana yang dapat dimintai pertanggung
jawaban adalah prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law).
Adalah tidak bijaksana dan tidak adil untuk mengecualikan pertanggungjawaban
pidana dari suatu aktifitas yang membahayakan masyarakat yang dilakukan oleh
suatu institusi negara. Suatu perbuatan pidana secara sifat alaminya dapat dimintai
pertanggungjawaban kepada pelakunya, terlepas dari apakah pelakunya adalah
korporasi publik atau korporasi privat.159 Lembaga negara seharusnyalah menjadi
subjek terhadap aturan yang sama dengan yang diterapkan kepada organisasi yang
lainnya, menjadi teladan dalam penegakan aturan bukannya malah kebal terhadap
aturan yang dibuat. Sebagaimana hakim Louis D. Brandeis dalam opini nya
sebagai dissenting dalam suatu kasus di Amerika, Olmstead v United States, kasus
tentang penyadapan telepon oleh lembaga pemerintah, menjelaskan:

“Decency, security, and liberty alike demand that government officials


shall be subject to the same rules of conduct that are commands to the
citizen. In a government law, existence of the government will be imperiled
if it fails to observe the law scrupulously. Our government is the potent,
the omnipresent, teacher. For good or ill, it teaches the whole people by its
example.”160
(kesopanan, keamanan, dan juga kebebasan menuntut para pegawai
pemerintah untuk juga tunduk pada aturan berperilaku yang sama bagi
para penduduk biasa. Dalam hukum pemerintahan, keberadaan pemerintah
akan terancam apabila mereka gagal untuk mematuhi hukum dengan teliti.
Pemerintah adalah guru yang kuat dan berkuasa. Baik atau buruk, mereka
mengajarkan seluruh orang dengan teladannya.)

Ada juga beberapa negara yang secara umum tidak menerima negara
sebagai subjek hukum pidana nya, tetapi menerima pertanggungjawaban pidana

158
Mark Bovens, “Analysing and Assessing Accountability: A Conceptual Framework,”
European Law Journal, vol. 13, No. 4, July 2007, 447-468, hal. 458.
159
John A. E. Vervaele, “Societas/Universitas Can be Guilt and Punished: 60 Years of
Experience in The Netherlands,” Derecho comparado y Derecho comunitario, Estudios de
Derecho Judicial, 115, Madrid, 2007, 11-64.
160
277 US 438 (1928), dikutip dari Nicholas Seddon, Government Contracts: Federal,
State and Local, Fourth Edition, (Australia: The Federation Press, 2009), hlm. 16.

Universitas Indonesia
206

korporasi publik pada UU khusus tertentu,161 seperti misalnya, Inggris,


Amerika162 dan Australia, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, menurut
common law, berkembang doktrin “Crown Immunity.” Konsep “Crown Immunity”
secara tradisional berasal dari maxim “King can do no wrong,”163 Imunitas yang
pada awalnya merupakan hak personal dari raja kemudian dikembangkan menjadi
imunitas penguasa; dengan berkembangnya negara merdeka kemudian konsep
Crown Immunity juga bertransformasi menjadi kekebalan bagi penguasa
negara.164

Prinsip dasarnya negara dan lembaga negara tidak mungkin dituntut secara
pidana,165 dan negara tidak bisa menjadi subjek dari sanksi pidana, kecuali
dinyatakan secara eksplisit dalam ketentuan UU.166 Ada beberapa UU yang
memang secara tegas menyatakan bahwa korporasi publik termasuk kedalam
subjek hukum dari ketentuan tersebut.

Seperti misalnya UK Corporate Manslaugher and Corporate Homicide


Act 2007 (Chapter 19), Article 1 (2) menjelaskan termasuk di dalam pengertian
organisasi yang bisa bertanggung jawab terhadap tindak pidana ini adalah

161
Di beberapa negara tindak pidana yang menjadi perhatian penting terhadap kejahatan
yang dilakukan oleh korporasi baik privat maupun publik misalnya isu lingkungan, isu
pembunuhan (corporate killing, atau isu tentang kesehatan dan keamanan kerja), isu korupsi, isu
terorisme dan lain-lain.
162
Dalam kasus United States v. Lee, 106 U.S. 196 (1882) hakim menjelaskan bahwa
doktrin mengenai kekebalan penguasa (sovereign immunity) dari proses hukum adalah doktrin
yang diakui dan berasal dari Inggris dan juga berlaku di Amerika. Dikutip dari John Lobato dan
Jeffrey Thedore, “Federal Soverign Immunity,” Harvard Law School Federal Budget Policy
Seminar, Briefing Paper No. 21, hlm. 3.
163
George W. Pugh, “Historical Approach to the Doctrine of Sovereign Immunity,”
Louisiana Law Review, vol. 13, 1953, 476-494, hlm. 476.
164
Ibid., hlm. 478. Crown diartikan sebagai sumber dari kekuasaan yang dimiliki oleh tiga
tangan penyelenggara negara, eksekutif, legislatif dan yudikatif. Namun Crown tidak hanya
terbatas pada pemerintahan pusat saja, seperti misalnya di Australia, terdapat enam States dan satu
Pemerintahan Federal, setiap State dan Federal memiliki Crown atau pemimpin masing-masing.
Untuk States, Crown biasanya mengacu kepada gubernur sebagai perpanjangan tangan dari
Penguasa (the sovereign). Lihat Victorian Law Reform Commission, op., cit., hlm. 6.
165
Sara Sun Baeale, “A Response to the Critics of Corporate Criminal Liability,” American
Criminal Law Review, vol. 46, 2009,1482, hlm. 1496.
166
Nicholas Seddon, op., cit., hlm. 215. Untuk Australia, prinsip ini diikuti oleh hakim
dalam memutus beberapa kasus di High Court, seperti misalnya kasus Cain v Doyle (1946), 72
CLR 409, 425, Hakim Dixon menjelaskan: “The principle that the Crown cannot be criminally
liable for a supposed wrong… provides a rule of interpretation which must prevail over anything
but the clearest expression of intention.” Dikutip dari Victorian Law Reform Commission, op.,
cit., hlm. 8.

Universitas Indonesia
207

Departemen atau Badan Pemerintah167 dan Kepolisian.168 Atau Solid Waste


Disposal Act Amerika yang juga menyatakan lembaga-lembaga pemerintahan
termasuk dalam pengertian person menurut undang-undang ini, dimana person
dijelaskan sebagai: “individual, trust, firm, joint stock company, corporation
(including a government corporation), partnership, association, State,
municipality, commission, political subdivision of a State, or any interstate body
and shall include each department, agency, and instrumentality of the United
States.” 169

Belanda juga sampai saat ini masih memberikan imunitas kepada negara
dari prosekusi hukum pidana. Penal Code Belanda tidak secara jelas
mengecualikan negara dari pengertian badan hukum yang bisa menjadi subjek
hukum pidananya, namun juga tidak secara tegas merinci bahwa negara termasuk
ke dalam pengertian legal person pada Article 51 Penal Code. Sehingga dalam
penjabaran lebih lanjut terjadi di pengadilan mengenai kemungkinan apakah
negara bisa menjadi subjek hukum pidana atau tidak. Dalam putusan pengadilan,
masih dianut pemahaman bahwa negara tidak bisa diprosekusi dalam rezim
hukum pidana. Sebagaimana putusan Supreme Court Belanda pada suatu tindak

167
Departemen atau Badan Pemerintah yang termasuk ke dalam pengertian organisasi
dijelaskan pada Schedule 1 yang merupakan lampiran tidak terpisahkan dari Chapter 19 ini,
disebutkan beberapa Badan dan Department seperti: Attorney General’s Office, Cabinet Office,
Central Office of Information, Crown Office and Procurator Fiscal Service, Crown Prosecution
Service Department for Communities and Local Government, Department for Constitutional
Affairs (including the Scotland Office and the Wales Office), Department for Culture, Media and
Sport Department for Education and Skills, Department for Environment, Food and Rural Affairs
Department for International Development Department for Transport, Department for Work and
Pensions Department of Health, Department of Trade and Industry Export Credits Guarantee
Department Foreign and Commonwealth Office, Forestry Commission, General Register Office
for Scotland Government Actuary’s Department Her Majesty’s Land Registry, Her Majesty’s
Revenue and Customs Her Majesty’s Treasury, Home Office, Ministry of Defence, National
Archives, National Savings and Investments, Office for National Statistics, Office of the Deputy
Prime Minister, Office of Her Majesty’s Chief Inspector of Education and Training in Wales,
Ordnance Survey, Privy Council Office, Public Prosecution Service for Northern Ireland Registers
of Scotland Executive Agency Revenue and Customs, Scottish Executive, Serious Fraud Office,
Treasury Solicitor’s Department, UK Trade and Investment, Welsh Assembly Government.
168
Kepolisian dianggap sebagai instansi yang paling sering berhubungan dan
bersinggungan dengan masyarakat sehingga dilihat paling mungkin untuk bisa melakukan
kejahatan terhadap masyarakat, misalnya pelanggaran terhadap hak asasi manusia, pembunuhan
terhadap anggota masyarakat yang tidak bersenjata, dan lain-lain. Lihat Alan Doig, op., cit., hlm.
26.
169
United States, Solid Waste Disposal Act, 42 U.S.C (Amended 2002), Sec 1004 (15)

Universitas Indonesia
208

pidana yang dilakukan oleh Kementrian Pertahanan (Volkel Case),170 menyatakan


bahwa negara memiliki kekuasaan untuk melakukan aktifitas yang diperlukan
untuk menjalankan fungsi kepentingan umum. Negara dalam hal ini Kementrian
Pertahanan, tidak bertanggung jawab dalam rezim hukum pidana, tetapi
bertanggung jawab secara politik kepada Parlemen.171 Kementerian Pertahanan
dianggap sebagai bagian dari negara atau pemerintah pusat karena menjalankan
fungsi utama dari negara (core business of the state), yaitu untuk menjaga
pertahanan negara. Dijelaskan kemudian bahwa sistem hukum pidana yang ada,
tidak sesuai dan tidak memungkinkan untuk menjadikan negara bertanggung
jawab di dalam hukum pidana.172

Di Belanda beberapa waktu yang lalu ada suatu usulan dari anggota
parlemen Belanda untuk memberikan kepastian hukum mengenai kedudukan
negara dalam hukum pidana. Usulan tersebut akan memasukkan klausul mengenai
kemungkinan negara dan korporasi publik lainnya bisa menjadi subjek hukum
pidana sejajar dengan korporasi privat dengan menambahkan subsection pada
Article 51 Dutch Penal Code. Apabila usulan ini diterima, maka kemudian, negara
dan termasuk lembaga-lembaga negara yang saat ini masih imun dari prosekusi
hukum pidana dapat bertanggung jawab pidana sebagai subjek hukum yang
madiri.173 Namun pada Juli 2016 usulan ini ditolak dengan alasan bahwa
pertanggungjawaban negara adalah secara politik dan bukan melalui mekanisme
hukum pidana.174

170
HR 25 Januari 1994, NJ 1994, 598. Lebih dikenal dengan Volkel Case. Kasus posisi nya
adalah pada suatu Military airport Volkel milik Kementrian Pertahanan dinyatakan telah
melakukan polusi karena kebocoran minyak dari tangki penampungan (pelanggaran terhadap
Article 14 Law of Protection of Soil), putusan Court of Hertogenbosch, 1 February 1993, NJ 1993,
256, menyatakan bahwa negara bertanggung jawab tetapi tidak dapat diberikan sanksi pidana.
Kemudian putusan Hoge Raad menyatakan negara adalah imun dari prosekusi hukum pidana,
tetapi menyatakan bahwa negara melalui Kementrian pertahanan harus mempertanggungjawabkan
perbuatannya kepada parleman.
171
Putusan pengadilan yang menyatakan bahwa pertanggungjawaban negara seharusnya
diprioritaskan dilakukan secara politik dan adiminstratif. Tweede Kamer, “Strafrechtelijke
aansprakelijkheid van overheidsorganen/Criminal Liability of Public bodies,” Letter of the
Minister of Justice, 2000 – 2001, 25294. Dikutip dari Vervaele, op., cit.
172
Lihat Keulen and Gitter, op., cit., hlm.188.
173
Ibid.
174
Hasil wawancara dengan Prof. Henk Kummeling (distinguished University Professor at
Utrecht University), Kamis, 6 April 2017, Depok.

Universitas Indonesia
209

Ada beberapa negara yang secara eksplisit mengecualikan negara dari


pengertian legal person nya, seperti misalnya Perancis, yang secara eksplisit
mengecualikan negara (state) dari pengertian moral person yang dijelaskan pada
Penal Code mereka. Perancis menurut Maitland, merupakan negara yang para
ahlinya mengaplikasikan dan menggunakan teori hukum dengan serius, dan
merupakan negara yang menerapkan secara ketat teori tentang penggabungan
(incorporation) terhadap grup atau kelompok kolektif.175 Article 121-2 Penal
Code Perancis berbunyi:: “Moral persons (Les personnes morales), with the
exception of the State, are criminally liable for the offenses committed on their
account by their organs or representatives according to the distinctions set out in
articles 121-4 and 121-7.”

Spanyol sangat mirip pengaturannya dengan Perancis, juga mengecualikan


negara dari subjek hukum pidananya.176 Belgia juga termasuk negara yang
mengecualikan semua korporasi publik dari prosekusi pidana. Article 5 dari Penal
Code Belgia yang disahkan pada tahun 1999, mengecualikan semua korporasi
publik dari pertanggungjawaban pidana tanpa memberikan pengecualian kepada
negara sebagai pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah. Sehingga dapat
disimpulkan, Belgia mengecualikan semua bentuk korporasi publik tanpa
terkecuali.177 Hungaria juga mengecualikan negara dari pengertian korporasi
mereka, sebagaimana Act CIV of 2001 on Measure Applicable to Legal Entities
Under Criminal Law, pada Article 1 (2) menjelaskan:

“This act shall not apply to the State of Hungary, foreign states, the
institutions listed in the Constitution of the Republic of Hungary, the Office
of the National Assembly, the Office of the President of the Republic, the
Office of the Ombudsmen, and any bodies which are, according to the law,
responsible for tasks of governance, public administration and local
government administration, and international organizations established
under international agreements.”

175
Maitland, op., cit., hlm. xxv.
176
Hasil diskusi dengan Prof. John Vervaele, Profesor in Economic and European Criminal
Law, pada bulan September 2014, di Law, Economics and governance Faculty, Utrecht University,
Belanda.
177
David Roef, Strafbare Overheden: Een Rechtsvergelijke Studie naar de Strafrechtelijke
aansprakelijkheid van Overheden voor Milieuverstoring (summary in English), (Groningen, the
Netherlands: 2001), hlm. 592.

Universitas Indonesia
210

(undang-undang ini tidak berlaku untuk negara Hongaria, negara-negara


asing, institusi-institusi yang disebutkan di konstitusi Republik Hongaria,
Majelis Nasional, Presiden, Ombudsmen, dan badan lain yang berdasarkan
undang-undang bertanggung jawab untuk tugas-tugas pemerintahan,
pengaturan publik dan pemerintahan daerah, organisasi internasional yang
didirikan berdasarkan perjanjian internasional.)

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat empat


pendekatan yang digunakan dalam penerimaan negara sebagai subjek hukum
pidana di beberapa negara, yaitu:

f. Negara yang secara eksplisit tidak membedakan antara korporasi publik


dengan korporasi privat, mereka diperlakukan sama dalam hal
kemampuannya bertanggung jawab di hadapan hukum pidana. Negara
yang menggunakan pendekatan ini misalnya adalah Canada, New
Zealand, Norwegia, Denmark dan Irlandia.
g. Negara yang secara umum tidak menerima negara sebagai subjek
hukum pidana nya (Crown immunity atau governmental immunity),
tetapi menerima pertanggungjawaban pidana korporasi publik pada UU
khusus tertentu. Seperti misalnya Inggris, Amerika, Australia178 dan
lain-lain.
h. Negara yang tidak menjelaskan apakah negara termasuk di dalam
subjek hukum pidananya seperti Belanda, namun dalam putusan di
pengadilan masih menganut pemahaman bahwa negara vs negara tidak
dimungkinkan, karena segala macam perilaku negara
dipertanggungjawabkan secara politik atau administratif.
i. Negara yang dengan tegas menyatakan bahwa negara tidak bisa
bertanggung jawab secara pidana atas perbuatannya. Pendekatan ini
banyak diterima terutama negara dengan latar belakang jurisdiksi civil
law, seperti misalnya Perancis, Spanyol, Hungaria, Belgia, Italia dan
lain-lain.

Tentunya ada kelebihan dan kekurangan apabila korporasi publik diterima


atau tidak diterima sebagai subjek hukum pidana. Secara tradisonal hampir semua

178
Misalnya Victorian Crimes (Workplace Deaths and Serious Injuries) Bill 2001.

Universitas Indonesia
211

negara sepakat bahwa negara tidak termasuk dalam pengertian person, yang
kepadanya berlaku ketentuan hukum. Termasuk di dalamnya adalah klaim
mengenai negara lah yang merupakan sumber hukum utama yang mendefinisikan
mengenai perbuatan apa yang bisa dipidana, dan sistem hukum seperti apa yang
perlu dibuat untuk menegakkan suatu ketentuan, mulai dari proses prosekusi
sampai ajudikasi.179 Adapun alasan-alasan yang dijelaskan untuk tidak bisa
menerima negara sebagai subjek hukum pidana ini adalah: 1) adanya doktrin
kekebalan hukum dari penguasa (Crown immunity) yang berkembang pada negara
dengan jurisdiksi common law, 2) bahwa sistem hukum pidana yang ada, tidak
sesuai dan tidak memungkinkan untuk menjadikan negara bertanggung jawab di
dalam hukum pidana,180 3) banyak dari lembaga negara yang tidak memiliki
identitas hukum terpisah untuk kepentingan prosekusi, karena mereka memiliki
personalitas atau identitas hukum yang sama dengan negara, tidaklah
memungkinkan untuk memprosekusi diri sendiri,181 4) ada banyak bentuk dari
penyimpangan yang dilakukan oleh korporasi publik yang tidak bisa
dikategorikan sebagai kejahatan, karena bertujuan untuk menjalankan fungsi
pemerintahan yang bertujuan untuk mengembangkan dan melindungi
kesejahteraan umum.182

Namun, doktrin mengenai crown immunity ini mengalami erosi dan mulai
tergerus.183 Perkembangan yang kontemporer terhadap isu ini adalah korporasi
publik dan korporasi privat diperlakukan sama ketika melakukan perbuatan yang
dapat diberikan sanksi pidana, mereka dapat dimintai pertanggungjawabannya
secara pidana. Adapun beberapa dasar penting untuk tidak bisa menerima
imunitas yang diberikan kepada korporasi publik antara lain: 1) prinsip persamaan
kedudukan di hadapan hukum (equality before the law) membuat semua subjek
hukum dapat bertanggung jawab atas perbuatan menyimpang yang dilakukannya.

179
Alan Doig, op., cit., hlm. 32.
180
Ibid.
181
Sara Sun Baeale, op., cit., hlm. 1496.
182
Alan Doig, op., cit., 21.
183
Brent Fisse and John Braithwaite, Corporation, Crime and Accountability, (Cambridge,
UK: Cambridge University Press, 1993), hlm. 215. Hal ini juga dapat dilihat dengan
perkembangan beberapa negara seperti Canada yang secara tegas menerima negara sebagai subjek
hukum pidana pada Criminal Act nya, ataupun usulan untuk tidak mengecualikan Negara dari
subjek hukum pidana yang saat ini sedang diusulkan oleh parlemen di Belanda.

Universitas Indonesia
212

Terlepas latar belakang apapun yang dimiliki oleh subjek hukum tersebut, apakah
organisasi publik atau privat, 2) Pemerintah adalah teladan dan contoh bagi subjek
hukum yang lainnya, bagaimana mungkin memaksakan suatu aturan kepada
organisasi privat apabila yang membuat aturan sendiri tidak mematuhi atau imun
dari sanksi yang ada apabila yang bersangkutan tidak mematuhi aturan tersebut, 3)
prosekusi terhadap diri sendiri bukanlah hal yang aneh dilakukan karena proses
evaluasi dan koreksi bisa dilakukan baik dari luar ataupun dari dalam diri sendiri,
sehingga alasan yang menyatakan bahwa negara vs negara adalah hal yang tidak
mungkin dilakukan kurang bisa diterima,184 4) kekuasaan yang tanpa batas yang
dimiliki oleh negara bisa mengakibatkan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh
negara dan institusi publik, sehingga harus ada satu mekanisme untuk dapat
mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan mekanisme yang lebih
terbuka dan terukur, tidak cukup hanya pertanggungjawaban politik dan
adminstratif.

Mengenai kemampuan hukum pidana dalam keberfungsiannya untuk


mengkoreksi perilaku negara dan organ-organ negara, menurut Roef bukanlah hal
yang perlu dipermasalahkan terlalu besar. Dalam rezim hukum yang lain, seperti
misalnya pada hukum perdata atau hukum administrasi dapat diterima negara
memberikan sanksi kepada dirinya sendiri (state sanctions itself), tetapi kenapa
pada hukum pidana hal ini menjadi sesuatu yang tidak bisa diterima? Menurut
Roef, seharusnya dalam hal ini negara tidak dilihat sebagai suatu organisasi yang
luar biasa besar dengan segala organnya yang rumit, cukup melihat bahwa telah
terjadi suatu pelanggaran yang seharusnya dapat dipertanggungjawabkan secara
pidana oleh satu organisasi yang ada di dalam negara. Kalaupun misalnya satu
organisasi atau departemen harus membayar denda kepada Kementrian
Kehakiman misalnya (dimana mereka memiliki budget yang terpisah), tentu akan
memberikan efek jera dikemudian hari untuk bertindak dan berperilaku lebih baik
di kemudian hari, sebagaimana itulah tujuan dari hukum pidana.185

184
Lihat David Roef, op., cit., hlm. 594.
185
Ibid.

Universitas Indonesia
213

Merupakan hal yang harus diakui, bahwa organisasi publik adalah juga
pihak yang ikut dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam berinteraksi satu dengan
yang lainnya suatu subjek hukum bisa melakukan perbuatan yang dapat dikenakan
sanksi pidana,186 tidak terkecuali adalah organisasi publik atau organisasi privat.
Perlu diakui bahwa pemberian kekebalan hukum kepada organisasi publik dalam
menjalankan aktifitasnya merupakan suatu ketidakadilan yang akan memicu
terjadinya keseweng-wenangan.

Namun perlu juga digarisbawahi bahwa kemungkinan untuk meminta


pertanggungjawaban pidana kepada negara atas pelanggaran hukum yang
dilakukannya tentu akan berdampak kepada aktivitas dan stabilitas negara yang
tidak diharapkan akan terjadi, karena tujuan dari hukum adalah untuk
menciptakan ketentraman bukan sebaliknya. Di samping itu, apabila negara dan
lembaga penting negara dan diprosekusi secara pidana dan diberikan sanksi
pidana akan berpengaruh buruk terhadap kehormatan negara dan kepercayaan
publik terhadap kemampuan negara dalam pengelolaan kepentingan umum.
Misalnya saja Bank Indonesia, apabila dinyatakan bersalah atas suatu tindak
pidana dan diberikan denda, walaupun jumlahnya kecil akan sangat berpengaruh
terhadap stabilitas moneter Negara dan kepercayaan dunia internasional terhadap
kredibilitas Bank Indonesia.187

Sehingga menurut penulis, kalaupun memang diperlukan untuk menerima


negara sebagai subjek hukum pidana yang dapat mempertanggungjawabkan
perbuatannya, haruslah dibatasi terhadap perbuatan yang mana saja188 dan

186
Menurut Prof. Adrianus Meliala, apabila negara menguat, maka bentuk kejahatan dan
penyimpangan oleh negara biasanya berupa tindakan aktif (commission) dalam hal melanggar hak-
hak warga negara, namun, apabila negara berada dalam posisi yang lemah terhadap warga negara,
biasanya kejahatan dan penyimpangan negara justru berupa pembiaran (omission) terkait dengan
kejahatan yang dilakukan oleh pihak-pihak lain, khususnya yang berada pada level messo-mikro.
Varian kejahatan negara bisa berupa korupsi, kejahatan hasil kolaborasi antara korporasi bisnis
dengan korporasi publik, kejahatan terorganisasi, teror oleh negara, kejahatan perang, genosida,
krisis karena penanganan yang tidak tepat oleh negara, dan lain-lain. Lihat Adrianus Meliala,
“Kejahatan Negara: Pendekatan Sistem dalam Negara,” dalam Sri Windarti (editor), Mardjono
Reksodiputro: Pengabdian Seorang Guru Besar Hukum Pidana, (Depok: Badan Penerbit FHUI,
2007), hlm. 2-6.
187
Hasil wawancara dengan Prof. Sutan Remy Sjahdeini, SH., MH., Kamis, 16 Februari
2017, Jakarta.
188
Mengenai perbuatan yang mana saja yang bisa diberikan sanksi kepada korporasi publik,
cukup beragam di beberapa negara, tergantung kepentingan dari negara yang bersangkutan,

Universitas Indonesia
214

lembaga yang mana saja. Sehingga pendekatan yang paling tepat untuk diterima
adalah pada prinsipnya negara dan lembaga-lembaga krusial dari fungsi
pemerintahan seharusnyalah mendapatkan kekebalan dari proses prosekusi hukum
pidana, tetapi dalam perbuatan tertentu juga seharusnya dimungkinkan untuk
dimintai pertanggungjawaban pidana, tertutama apabila penyelesaian melalui
rezim hukum yang lain dirasa kurang maksimal.

Lembaga yang mana saja yang bisa disebut sebagai negara dan rantai
komando seperti apa yang ada di dalam organisasi negara sehingga dapat
dikatakan sebagai suatu perbuatan menyimpang dari organisasi tersebut dapat
disebut sebagai kejahatan organisasi, yang dapat dimintai pertanggungjawabannya
kepada negara. Berkaitan dengan hal ini, Belanda memberikan perpanjangan
kekebalan proses hukum pidana kepada lembaga-lembaga negara yang diatur di
dalam Konstitusinya (constitutional public corporation). Sehingga yang masuk ke
dalam pengertian negara yang perlu diberikan kekebalan hukum dalam
menjalankan fungsinya hanyalah lembaga-lembaga yang dijamin oleh konstitusi
saja. Alasan yang diberikan oleh hakim dalam menjelaskan imunitas yang
diberikan kepada institusi pemerintah adalah karena mereka menjalankan kegiatan
utama dari negara (core business of the state) sehingga mereka perlu mendapatkan
perlindungan dari prosekusi pidana.189

Untuk Indonesia beberapa lembaga negara yang dijelaskan pada UUD,


adalah: Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),190 Pemerintahan Negara,191
Kementerian Negara,192 Pemerintahan Daerah,193 Dewan Perwakilan Rakyat

beberapa negara misalnya memberikan pengaturan mengenai kejahatan lingkungan (di Belanda
kebanyakan kasus yang berkaitan dengan korporasi publik adalah kejahatan di bidang lingkungan),
pembunuhan oleh organisasi, keamanan, kesehatan dan kesejahteraan pegawai (Inggris dan
Australia misalnya, punya UU khusus yang mengatur tentang keselamatan kerja yang dilakukan
oleh organisasi baik itu adalah organisasi privat atau publik), terorisme, korupsi dan lain-lain.
189
Hasil diskusi dengan Prof. John Vervaele, Profesor in Economic and European Criminal
Law, pada bulan September 2014, di Law, Economics and governance Faculty, Utrecht University,
Belanda.
190
Indonesia, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, BAB II.
191
Ibid., BAB III
192
Ibid., Pasal 17. Termasuk di dalam nya adalah Kejaksaan Agung dan Sekretaris Kabinet
yang merupakan lembaga setingkat menteri.
193
Ibid., BAB VI: Pasal 18 – 18B.

Universitas Indonesia
215

(DPR),194 Dewan Perwakilan Daerah (DPD),195 Komisi Pemilihan Umum


(KPU),196 Bank Indonesia (BI),197 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah
Agung (MA) dan Badan Peradilan di bawahnya,198 Komisi Yudisial (KY),199
Mahkamah Konstitusi (MK),200 Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian
Negara Republik Indonesia (POLRI).201 Apabila menggunakan prinsip Belanda
yang mengecualikan lembaga negara yang terdapat di dalam UUD atau
constitutional public corporation maka hanya lembaga-lembaga tersebut diatas
yang mendapatkan perlindungan hukum dari proses hukum pidana, sedangkan
lembaga lain tidak mendapatkan imunitas dari pertanggung jawaban pidana.202
Di samping lembaga di atas, di Indonesia ada beberapa lembaga khusus
(special agencies) yang disebut Lembaga non-struktural dan Lembaga Pemerintah
Non Kementerian.203 Terdapat setidaknya 80 (delapan puluh) Lembaga non-
struktural,204 diantaranya adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
Ombudsman Republik Indonesia, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK), Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), Komisi
Kepolisian Nasional, Komisi Kejaksaan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban, Badan Pengawas Pemilihan Pemilu, Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Badan
Amil Zakat Nasional (Baznas), Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH

194
Ibid., BAB VII: Pasal 19 – Pasal 22B.
195
Ibid., BAB VIIA: Pasal 22C – Pasal 22D.
196
Ibid., Pasal 22E .
197
Ibid., Pasal 23D. Menurut Pasal 4 UU No. 23 Tahun 1999 jo. UU No. 3 Tahun 2004
Tentang Bank Indonesia, menjelaskan Bank Indonesia adalah Bank sentral Republik Indonesia.
Bank Indonesia adalah badan hukum, lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-
hal yang secara tegas diatur dalam UU. Dalam penjelasan Ps. 4 (3) disebutkan bahwa diberikannya
status badan hukum kepada Bank Indonesia adalah untuk memberikan kejelasan wewenang Bank
Indonesia untuk mengelola kekayaan sendiri yang terlepas dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara. Dijelaskan juga bahwa Bank Indonesia adalah badan hukum publik yang berwenang
menetapkan peraturan dan mengenakan sanksi dalam batas kewenangannya.
198
Indonesia, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, Pasal 24 – Pasal 24A
199
Ibid., Pasal 24B
200
Ibid., Pasal 24C
201
Ibid., Pasal 30
202
Khusus untuk Pemerintahan Daerah tidak mendapatkan imunitas dari prosekusi pidana
di Belanda dan di beberapa negara lain yang mengecualikan negara dari proses pidananya.
Mengenai hal ini akan dibahas lebih lanjut pada sub-bab selanjutnya.
203
Lembaga Pemerintah Non-Departemen, dulu disebut Lembaga Pemerintah Non-
Departemen (LPND)
204
Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, “Kelembagaan,”
dapat diakses pada www.menpan.go.id/kelembagaan

Universitas Indonesia
216

Migas), dan Badan Perlindungan Konsumen. Selain itu, terdapat setidaknya 28


(dua puluh delapan) Lembaga Pemerintah Non-Kementerian,205 diantaranya:
Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Kepegawaian Negara (BKN), Badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Badan Meteorologi, Klimatologi, dan
Geofisika (BMKG), Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
(BNPT), Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
(BNP2TKI), Badan Pertanahan Nasional (BPN), serta Lembaga Sandi Negara.
Lembaga tersebut di atas merupakan lembaga khusus yang apabila
menggunakan prinsip pengecualian terhadap constitutional public corporation
tidak mendapatkan imunitas sebagaimana lembaga negara yang dilindungi UUD.
Menurut Kummeling dan Duijkersloot, di Belanda permasalahan mengenai
lembaga independen juga tidak terlalu jelas bagaimana kedudukannya dalam hal
kemampuannya untuk dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Namun pada
prinsipnya mereka tidak memperolah kekebalan sebagaimana negara, tetapi
diperlakukan sebagaimana pemerintahan daerah, sehingga dapat bertanggung
jawab secara pidana.206 Pengecualian terhadap ketentuan ini apabila menggunakan
penalaran yang digunakan pada Volkel case yang dijadikan rujukan dalam
memberikan kekebalan kepada negara dari pertanggungjawaban pidana di
Belanda, lembaga-lembaga yang mempertanggungjawabkan tindakannya kepada
parlemen pada prinsipnya masih dianggap imun dari prosekusi pidana.207
Diterimanya lembaga negara sebagai korporasi tentunya akan
menimbulkan pro dan kontra. Apabila memang negara dikecualikan sebagai
subjek hukum pidana, menurut penulis seharusnya dijelaskan secara tegas bahwa
negara dan lembaga negara tidak termasuk ke dalam pengertian korporasi
sebagaimana Perancis menjelaskan hal tersebut secara eksplisit pada Penal Code
nya. Berbeda dengan negara-negara common law, yang memiliki doktrin tentang
“precedent” yang mengikat, Indonesia tidak memiliki sistem seperti itu, yang
memungkinkan hakim menafsirkan redaksi UU secara harfiah. Sehingga akan

205
Ibid.
206
Henk R.B.M. Kummeling dan Ton P.W. Duijkersloot, “Agencies and the Netherlands”,
dalam Luc Verhey dan Tom Zwart (editor), Agencies in European and Comparative Perspective,
(Antwerp, Belgium: Intersentia, 2003), hlm. 106.
207
Ibid., hlm.107.

Universitas Indonesia
217

sangat penting untuk mempertegas bahwa negara dan lembaga negara adalah
dikecualikan dari pengertian “setiap orang” yang terdapat dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana.
Namun, memang tidak dapat dipungkiri ada beberapa tindak pidana yang
seharusnya memungkinkan korporasi publik dapat bertanggung jawab secara
pidana. Indonesia secara umum telah mengakomodir hal ini, setidaknya terdapat 6
(enam) buah UU yang memungkinkan korporasi publik bertanggung jawab secara
pidana dan diperlakukan sama dengan korporasi privat. Misalnya dalam UU No.
14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik, memungkinkan badan
publik untuk dapat bertanggung jawab secara pidana dengan tujuan memastikan
akuntabilitas dan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan administrasi
publik yang dijalankan. Badan publik menurut pengertian UU ini sangat luas
mencakup hampir semua lembaga negara bahkan penyelenggara negara yang ada
di tingkat daerah dan organisasi yang tidak sepenuhnya dibentuk oleh negara.
Sebagaimana UU tersebut menjelaskan pengertian badan publik sebagai
berikut:208
“Badan publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan
lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan
negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN
dan/atau APBD, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau
seluruh dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD, sumbangan
masyarakat, dan/atau luar negeri.”
Dapat digarisbawahi bahwa UU ini menggunakan istilah badan publik dan
bukan badan hukum publik atau korporasi publik. Pengertian badan publik yang
diadopsi oleh UU ini sangat luas bahkan tidak hanya badan hukum tetapi juga
organisasi yang tidak berbadan hukum sepanjang memenuhi syarat sebagaimana
dijabarkan dalam pengertian UU ini, dan juga memasukkan Badan Usaha Milik
Negara,209 Partai Politik,210 dan organisasi nonpemerintah. Apabila dijabarkan
kriteria yang dianut UU ini untuk mengkategorikan pengertian badan publik
adalah: a) lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, b) badan lain yang fungsi dan
tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau

208
Indonesia, Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, UU No. 14 Tahun 2008,
LN. No. 61 Tahun 2008, TLN. No. 4846, Pasal 1 (3).
209
Ibid., Pasal 14.
210
Ibid., Pasal 15.

Universitas Indonesia
218

seluruh dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD,211 c) organisasi


nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN
dan/atau APBD, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.

Di samping UU tentang Keterbukaan Informasi Publik, UU No. 22 Tahun


2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan juga memungkinkan beberapa
instansi pemerintah bertanggung jawab secara pidana atas pelanggaran ketentuan
UU tersebut. Pada Pasal 7 (1) dijelaskan Penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan
jalan dalam kegiatan pelayanan langsung kepada masyarakat dilakukan oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah, badan hukum, dan/atau masyarakat. Dan Pasal 7
(2) menjelaskan Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan oleh
Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
tugas pokok dan fungsi instansi masing-masing meliputi:

a. “Urusan pemerintahan di bidang Jalan, oleh kementerian negara yang


bertanggung jawab di bidang jalan;
b. Urusan pemerintahan di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di
bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan
c. Urusan pemerintahan di bidang pengembangan industri Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di
bidang pengembangan teknologi; dan
d. Urusan pemerintahan di bidang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan
Bermotor dan Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasional Manajemen
dan Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas, oleh Kepolisian
Negara Republik Indonesia.”

Ketentuan pidana dari undang-undang ini diatur pada Pasal 273 yang
menjelaskan bahwa penyelenggara jalan yang tidak segera melakukan perbaikan
jalan dan mengakibatkan kecelakaan lalu lintas sebagaimana diatur pada Pasal 24
UU ini, dapat dipidana dengan penjara atau denda.

Ada beberapa UU lain yang juga mengatur ketentuan yang memungkinkan


beberapa korporasi publik dapat bertanggung jawab secara pidana. Diantaranya
211
Frase “badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan
negara” relatif mudah dipahami dan diindentifikasi, tetapi mengaitkannya dengan sumber dananya
yang bersumber dari APBN dan atau APBD memberikan kerancuan terhadap kedudukan beberapa
lembaga seperti misalnya BUMN, BUMD, BI atau Badan Hukum Negara lainnya. Apakah badan
yang fungsi dan tugasnya berkaitan dengan penyeleggaraan Negara tetapi pendanaannya tidak
berasal dari APBN atau APBD termasuk dalam pengertian badan publik yang dimaksudkan oleh
UU ini.

Universitas Indonesia
219

adalah UU No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti


UU No. 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi UU.
Pasal 1 (2) UU ini menjelaskan setiap orang adalah “orang perseorangan,
kelompok orang baik sipil, militer, maupun polisi yang bertanggung jawab secara
individu atau korporasi.” Sehingga dapat disimpulkan dalam hal ini polisi dan
militer yang merupakan lembaga pertahanan negara sebagai korporasi dapat
bertanggung jawab secara pidana atas pelanggaran ketentuan UU ini.

UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, pada Pasal 8 (2)


menjelaskan bahwa setiap orang atau badan hukum dapat memiliki bangunan
gedung atau bagian bangunan gedung, dimana pada penjelasan pasal ini
menjabarkan badan hukum adalah badan hukum privat dan badan hukum publik.
Yang termasuk kepada badan hukum publik menurut penjelasan Pasal 8 (2)
adalah instansi/lembaga pemerintahan, perusahaan milik negara, persahaan milik
daerah. Kemudian pada Pasal 47 dijelaskan bahwa setiap orang atau badan yang
melanggar ketentuan UU ini bisa dipidana dengan pidana kurungan atau pidana
denda. Dapat disimpulkan bahwa berdasarkan pada UU ini, instansi atau lembaga
negara termasuk adalah subjek hukum yang bisa dimintai pertanggung jawaban
pidana atas perbuatannya yang melanggar ketentuan UU ini.

UU No. 13/2003 Tentang Ketenagakerjaan menjelaskan pada Pasal 1 (6)


bahwa badan hukum milik negara termasuk pada pengertian perusahaan yang
mempekerjakan pekerja dengan membayar upah atau imbalan, sehingga apabila
melanggar ketentuan yang ada pada UU ini bisa dipidana dengan ancaman pidana
sebagaimana diatur pada Pasal 183- Pasal 189.

UU No. UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan


Sosial (BPJS), yang mengatur tentang kewajiban para pemberi kerja untuk
membayar dan menyetorkan uang BPJS karyawan yang menjadi tanggung
jawabnya, termasuk dalam pengertian pemberi kerja adalah penyelenggara negara
yang mempekerjakan pegawai negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 1 (9) Jo. Ps.
19 (1) dan (2), dimana pelanggaran atas ketentuan ini para pemberi kerja bisa
diberikan sanki pidana berupa penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana
denda paling banyak 1 Milyar rupiah.

Universitas Indonesia
220

Sehingga dapat disimpulkan kalau Indonesia pada prinsipnya telah


menerima pertanggungjawaban pidana korporasi publik secara terbatas pada UU
yang secara tegas menyebutkan bahwa korporasi publik tertentu bisa dimintai
pertanggungjawaban pidana apabila melanggar ketentuan UU tersebut. UU diatas
secara terbatas telah memungkinkan hal tersebut, meskipun dalam hal
pelaksanaan sepertinya belum pernah ada suatu tuntutan pidana yang ditujukan
kepada korporasi publik.

b. Pemerintahan Daerah (Municipal Corporation)212 sebagai Subjek Hukum


Pidana
Pemerintahan daerah dibedakan dari pemerintahan pusat yang biasanya
mengacu kepada negara yang pimpinan tertingginya adalah presiden, perdana
menteri atau raja. Meskipun untuk beberapa negara common wealth pengertian
crown juga termasuk pada pimpinan negara bagian (states) seperti gubernur.213
Menurut John F. Dillon, Municipal corporation adalah “an institution designed to
regulate and administer the mere local or internal concerns of the incorporated
place in matters pertaining to it and not relating directly to the people of the state
at large.”214 (suatu institusi yang dirancang untuk mengatur dan mengelola urusan
lokal atau internal dari tempat yang telah diinkorporasi mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan hal itu dan tidak berhubungan langsung dengan penduduk
negara yang lebih luas.) Pemerintahan daerah dibedakan dari negara karena
memang di beberapa negara, posisi mereka dibedakan dalam pertanggungjawaban
di hadapan hukum pidana. Konsep mengenai negara merupakan hasil dari
ekspansi besar pemerintah dan lingkup operasinya. Ukuran yang besar dan
kompleksitas pemerintahan modern menyebabkan desentralisasi. Unit

212
Istilah Municipal Corporation menunjukkan bahwa pada awalnya memang
pemerintahan kota dibentuk dengan konsep korporasi. Misalnya pada tahun 1835 Inggris
membentuk Municipal Corporations Act 1835 untuk melakukan reformasi terhadap Borough yang
ada di England dan Wales. Selanjutnya Municipal Corporations Act 1882 mempertegas dan
memperjelas kekuasaan yang dimiliki oleh pembuat ketentuan yang ada di daerah-daerah. Lihat
HLA. Hart (2), The Concept of Law,” Second Edition, Postscript diedit oleh Penelope A. Bulloch
dan Joseph Raz, (Oxford: Clarendon Press, 1994), hlm. 31.
213
Australia memiliki enam States, setiap State memiliki Crown atau pemimpin masing-
masing. Untuk States, Crown biasanya mengacu kepada gubernur sebagai perpanjangan tangan
dari Penguasa (the sovereign). Lihat Victorian Law Reform Commission, op., cit., hal. 6.
214
John F. Dillon, The Law of Municipal Corporation, Second edition – Revised and
Enlarged, Vol. 1, (New York, US: James Cockcroft & co, 1873), hlm. x.

Universitas Indonesia
221

desentralisasi ini kemudian mengalami proses birokratisasi dimana mereka


mendefiniskan tujuan mereka sendiri, mengembangkan prosedur operasi mereka
sendiri, menciptakan bidang-bidang yang menjadi keahliannya, dan menjadi
melekat kepada konstituennya. Sehingga mereka tumbuh menjadi terpisah dari
induknya, mencapai level kemandirian fungsi yang tinggi yang membuat mereka
menjadi satu kategori yang menyatukan konstituen didalamnya.215

Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa ada beberapa negara yang


memberikan perpanjangan imunitas kepada pemerintahan daerah, seperti misalnya
Belgia, dan Hungaria, termasuk juga negara Common Law216 seperti Inggris,
Amerika dan Australia dengan prinsip Crown Immunity. Namun ada juga
beberapa negara yang memang secara tegas menjelaskan bahwa pemerintahan
daerah tidak imun dari ketentuan pidana seperti misalnya, Canada dalam Criminal
Code 2004, dan New Zealand dalam Local Government Act 2002. Perancis secara
terbatas juga menerima pertanggunjawaban pidana pemerintahan daerah,
sebagaimana dalam Penal Code Article 121-2 menjelaskan:

“Moral persons (Les personnes morales), with the exception of the State,
are criminally liable for the offenses committed on their account by their
organs or representatives according to the distinctions set out in articles
121-4 and 121-7.
However, local public authorities and their associations incur criminal
liability only for offences committed in the course of their activities which
may be exercised through public service delegation conventions.”

(orang-orang moral (Les personnes morales), dengan pengecualian


terhadap negara, bertanggung jawab dalam hukum pidana untuk tindak
pidana yang dilakukan untuk kepentingan mereka oleh organ atau
perwakilan mereka menurut pengecualian sebagaimana dikemukakan pada
articles 121-4 dan 121-7.
215
Mengenai desentralisasi dan kehilangan kontrol sentral dari pemerintah, bisa dilihat
Michael D. Reagan, The Managed Economy 222-33 (Oxford, 1963). Lihat juga Robert A. Dahl,
Pluralist Democracy in the United States: Conflict and Consent (Chicago, US: Rand McNally,
1968). Bandingkan dengan Graham T. Allison, Essence of Decision: Explaining the Cuban Missile
Crisis, Second Edition, (New York, US: Longman, 1999), yang menjelaskan "suatu pemerintahan
terdiri dari konglomerat yang semi-feudal, oraganisasi yang bersekutu secara longgar, yang
masing-masing memiliki kehidupan yang penting"
216
Ada pengecualian untuk keberlakuan imunitas penguasa ini di negara dengan sistem
common law, misalnya pada beberapa UU khusus yang dengan tegas menyatakan bahwa mereka
tidak mendapatkan imunitas terhadap pelanggaran dari ketentuan UU tersebut, namun prinsip
umumnya adalah mereka tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana termasuk local
government atau pemerintah daerahnya.

Universitas Indonesia
222

Namun, otoritas publik lokal dan asosiasinya yang lain dapat bertanggung
jawab dalam hukum pidana hanya untuk tindak pidana yang dilakukan
untuk menjalankan aktivitas yang mungkin bisa dilakukan melalui
konvensi pendelegasian pelayanan publik.)

Seperti halnya dengan Perancis, Belanda sama dalam memperlakukan


pemerintahan daerah, pada prinsipnya bisa dimintai pertanggungjawaban pidana,
tetapi mereka masih tidak dapat diganggu gugat dalam hal menjalankan fungsi
yang murni administratif (Pikmeer II Case),217 Belanda memberikan pengecualian
terhadap perbuatan dalam rangka menjalankan tugas administratif (exclusive
administrative task). Sedangkan perancis memberikan pengecualian kepada tugas-
tugas yang tidak dapat didelegasikan kepada korporasi privat. 218 Namun berbeda
dengan Perancis yang dengan tegas menyatakan bahwa pemerintah daerah tidak
mendapatkan perpanjangan kekebalan hukum dari proses pidana, Belanda
meninggalkan permasalahan ini untuk dibahas oleh pengadilan. Akan dibahas di
bawah ini beberapa kasus di Belanda yang melibatkan pemerintah daerah sebagai
pihak yang dituntut di pengadilan pidana di Belanda.

Secara konsisten pengadilan Belanda menyatakan bahwa pemerintah


daerah tidak dapat dipidana apabila murni menjalankan fungsi adminstratif seperti
kasus City of Voorburg,219 Municipality of Tilburg,220 Pikmeer I Case.221
Pemerintah kota Voorburg menghancurkan sarang burung bangau (herons nest) di
suatu taman karena dianggap mengotori taman tersebut, yang mana perbuatan
tersebut merupakan pelanggaran terhadap Birds Law. Proses hukum kasus ini
berjalan cukup panjang sampai ke Mahkamah Agung, dimana di setiap tingkat

217
HR 6 January, NJ 1998, 367. Kasus Pikmeer II ini, merupakan pembahasan kasus yang
sama dengan kasus Pikmeer I. Mahkamah Agung Belanda menjelaskan lebih jauh bahwa tindakan
pemerintah secara umum dapat dibagi dua, yang pertama adalah tindakan pemerintah yang bersifat
administratif pemerintahan dan yang kedua adalah tindakan pemerintah yang secara prinsip dapat
diprivatisasi. Dalam kasus ini hakim menjelaskan bahwa normalisasi sungai merupakan tugas
pemerintah yang bersifat adminstratif, tetapi pembuangan lumpur yang terkontaminasi untuk
melakukan penghematan biaya merupakan tindakan pemerintah yang dapat diprivatitasikan kepada
pihak swasta. Aktifitas kedua ini menurut hakim dalam kasus ini dapat dituntut secara pidana.
218
David Roef, op., cit., hlm. 592.
219
HR 23 Oktober 1990, NJ 1991, 496. (City of Voorburg Case)
220
HR. 8 July 1992, NJ 1993, 12.
221
HR 23 April 1996, NJ 1996, 513. Kasus pencemaran lingkungan, pembuangan bekas
kerukan di pinggir sungai Pikmeer di province of Friesland, yang mempertanyakan
pertanggungjawaban pidana pemerintahan Kota Boornsterhem dan Water Management West-
Friesland. Mahkamah Agung Belanda menyatakan bahwa pemerintahan kota menjalankan
aktifitas untuk kepentingan umum sehingga mereka tidak bertanggung jawab secara pidana.

Universitas Indonesia
223

pengadilan, hakim memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang apakah


pemerintah kota memiliki imunitas sebagaimana negara. Di tingkat pertama
hakim menjelaskan bahwa pemerintah kota berbeda dengan negara mengenai
kemampuannya bertanggung jawab dalam hukum pidana, sehingga pemerintah
kota dalam hal ini dinyatakan telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
Birds Law. Namun, Hoge Raad berpandangan berbeda, dan menyatakan bahwa
pengadilan yang lebih rendah seharusnya menyatakan proses hukum ini tidak
dapat diterima karena, pemerintah daerah (dalam hal ini pemerintah kota) adalah
badan publik yang dijelaskan pada Chapter 7 konstitusi. Dimana pemerintah kota
memiliki kewajiban menjalankan fungsi publiknya (exercise public function)
untuk melakukan pengelolaan taman kota sebagai kewajiban adminstratif nya.

Sejalan dengan putusan Hoge Raad di atas, dalam kasus yang melibatkan
Municipality of Tilburg,222 Hoge Raad juga berpendapat sama. Dalam kasus ini
Pemerintah kota Tilburg membangun polisi tidur (speed retarders) tanpa
pertimbangan dan pengkajian yang matang. Hoge Raad menjelaskan tindakan
yang dilakukan oleh pemerintah kota berkaitan dengan fungsi pemerintahan untuk
menjamin keamaan dari masyarakat. Sehingga, pemerintah kota tidak dapat
dinyatakan bertanggung jawab.

Berbeda dengan putusan di atas, The Municipality of Urk dalam suatu


kasus tentang perikanan, dimana pemerintah kota melakukan suatu pelelangan
ikan yang dianggap telah melakukan pelanggaran terhadap aturan mengenai
Registration fees.223 Sejalan dengan hal ini juga, Pemerintah kota Middelburg
sampai Vlissingen pada tahun 1995, didenda sebesar 16,000 guilders karena
melakukan pelanggaran dalam hal melaksanakan pelelangan ikan. Menurut Hoge
Raad, perbuatan dari pemerintah kota ikut terlibat dalam suatu aktifitas ekonomi,
bukan dalam rangka menjalankan fungsi publik, dapat bertanggung jawab secara
pidana terhadap perbuatannya yang bertentangan dengan ketentuan hukum.224

222
HR. 8 July 1992, NJ 1993, 12. (City of Tilburg Case)
223
HR 23 April 1996, NJ 48, 513. (City of Urk Case)
224
John A. E. Vervaele, op., cit.

Universitas Indonesia
224

Dalam kasus Pikmeer II,225 Hoge Raad memberikan penjelasan mengenai


kedudukan pemerintah daerah dalam proses hukum pidana, bahwa imunitas dari
pemerintah daerah sangat terbatas, hanya apabila mereka murni menjalankan
fungsi adminstrasi saja bisa diberikan kekebalan, selain itu, mereka dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana.226 Meskipun menurut David Roef, cukup sulit untuk
membedakan antara tugas–tugas yang murni bersifat administratif (fungsi
pemerintahan) dengan tugas (admininstratif) lain dari instansi pemerintah.227
Beberapa kasus yang juga menjadi sorotan tentang pertanggungjawaban pidana
pemerintah kota adalah dalam kasus Municipality of Enschede228 dan Municipality
of Volendam.229 Meskipun pada kedua kasus ini tidak sampai membawa
pemerintah kota nya ke pengadilan karena kelalaian dalam melakukan
pengawasan, tetapi kedua kasus ini menjadi perhatian publik yang sangat besar
dan semakin memberikan tekanan kepada pemerintah untuk dapat
mempertanggungjawabkan kelalaiannya di hadapan publik secara terukur dan
bukan melakui proses politik dan administratif yang dianggap kurang efektif.230

Muladi dan Dwidja Priyatno juga memberikan pandangan yang sama


mengenai hal ini, mereka berpendapat bahwa badan hukum publik ketika
bertindak dalam kapasitasnya untuk memelihara kepentingan umum atau
masyarakat tidak dapat dipidana dan dipertanggungjawabkan secara pidana,
namun apabila mereka bertindak dalam lalu lintas perekonomian atau apabila

225
HR 6 January 1998, NJ 1998, 367.
226
Henk R.B.M. Kummeling dan Ton P.W. Duijkersloot, op., cit., hlm.106
227
David Roef, op., cit., hlm. 593.
228
Pemerintah kota Enschede dianggap lalai dalam melakukan pengawasan terhadap
penimbunan bahan berbahaya yang melebihi standar keamanan, dalam kejadian ini terjadi ledakan di
S.E. Fireworks, perusahaan yang menyimpan dan membuat kembang api, pada hari Sabtu, tanggal 13
Mei 2000, ledakan tersebut mengakibatkan 22 (dua puluh dua) orang meninggal, dan lebih dari 1000
(seribu) orang terluka. Meskipun dalam kasus ini pengadilan berpendapat pemerintah kota tidak
dapat dimintai pertanggungjawaban karena kelalaian tersebut. Pembahasan cukup mendalam
mengenai kasus ini dapat dibaca pada Renee Huijsmans dan Gerrit van Maaner, “Supervisors’
Liability: The Dutch Fireworks Case: A Comparative Study between the Netherlands, The the United
Kingdom and Germany on State Liability in Case of Failure of Supervision,” Maastricht Journal of
European and Comparative Law, vol. 16, issue 4, 2009. Lihat juga K.J. de Graaf dan J.H. Jans,
“Liability of Public Authorities in Cases of Non-Enforcement of Environmental Standards,” Pace
Environmental Law Review, vol. 24, Issue 2, Summer 2007, Article 3, 377-398.
229
Kebakaran yang terjadi pada malam tahun baru 2001 pada tiga buah pub di kota
Volendam, yang mengakibatkan 14 (empat belas) orang meninggal dan 200 (dua ratus) orang lebih
terluka.
230
Roel De Lange, “Political and Criminal Responsibility,” Electronic Journal of
Comparative Law, vol. 6, no. 4, 2002, 305-325, hlm. 319.

Universitas Indonesia
225

telah terjadi privatisasi atas kegiatan tersebut maka korporasi publik seharusnya
dapat bertanggung jawab dan dapat dipidana.231

Dari pemaparan mengenai pertanggungjawaban pidana pemerintahan


daerah sebagai korporasi publik terhadap suatu perbuatan yang bertentangan
dengan hukum, banyak negara menerapkan ukuran yang lebih longgar di
bandingkan dengan imunitas yang dimiliki oleh pemerintahan pusat. Negara
seperti Perancis yang secara tegas menyatakan negara dikecualikan dari
pengertian moral person, juga secara tegas menyatakan bahwa pemerintahan
daerah tidak memiliki imunitas terhadap proses pidana, dengan pengecualian
apabila perbuatan tersebut tidak dapat didelegasikan kepada pihak privat.
Sedangkan Belanda yang memang tidak menjelaskan bagaimana kedudukan
korporasi publik di Penal Code nya, dalam beberapa putusan pengadilan
menjalaskan bahwa pemerintahan pusat adalah imun, tetapi tidak dengan
pemerintah daerah, mereka dapat dipidana, dengan pengecualian tindakan yang
murni adalah menjalankan fungsi administratif. Meskipun ada beberapa negara
yang secara prinsip umum masih memberikan kekebalan kepada pemerintah
daerah terutama negara dengan sistem common law, dengan prinsip crown
immunity nya, tetapi memberikan kemungkinan pemerintah daerah atau lembaga
pemerintah lainnya bertanggung jawab secara pidana pada UU khusus.

Penulis berpendapat bahwa pemerintah daerah adalah perpanjangan tangan


dari negara dalam menjalankan fungsi adminstratif di tingkat daerah dalam rangka
untuk mensejahterakan kepentingan umum. Sehingga untuk menjamin
pelaksanaan fungsi tersebut seharusnya lah pemerintah daerah mendapatkan
perlindungan hukum dari prosekusi hukum pidana sepanjang dalam rangka
menjalankan fungsi adiminstratif pemerintahan tersebut. Namun, untuk fungsi lain
yang dijalankan pemerintah daerah, misalnya ikut serta dalam kegiatan lalu lintas
perekonomian, penulis berpendapat seharusnya memang pemerintah daerah dapat
dimintai pertanggungjawaban pidana. Untuk itu, perlu dijelaskan secara tegas di
dalam KUHP mengenai kedudukan pemerintahan daerah dalam kemampuannya
untuk bertanggung jawab di dalam hukum pidana.

231
Muladi dan Dwidja Priyatno, op., cit., hlm. 134.

Universitas Indonesia
226

3. Korporasi Kuasi Pemerintah (Quasi-Governmental Corporation) sebagai


Subjek Hukum Pidana

Kompleksitas kegiatan pemerintah mengharuskan mereka untuk dapat


mengatur segala macam kepentingan, yang kadang kala sebagian peran
pemerintah harus didelegasikan pelaksanaannya kepada organisasi yang lain.
Akibat dari hal ini adalah garis pemisah antara organisasi “pemerintah” dan
organisasi “swasta” menjadi kabur secara progresif. Unit kuasi-pemerintah pun
sekarang semakin banyak dengan bercampurnya suber daya pemerintah dan
swasta; organisasi baru ini mengakibatkan menghilangnya batas antara ranah
publik dan privat.232 Dengan proses pembuatan kontrak, pihak swasta mengambil
alih fungsi yang secara tradisional merupakan kegiatan organisasi pemerintah,
namun dalam batasan yang diperjanjikan dan dalam hubungan pengawasan oleh
lembaga pemerintah yang terkait. Dalam sektor privat yang lain, pemerintah
mengatur sedemikian rupa sehingga aktor yang non-pemerintah tidak memiliki
kemandirian yang lebih besar daripada yang diberikan kepada lembaga yang
secara formal merupakan bagian dari struktur pemerintah.233

Di Indonesia korporasi kuasi pubilik ini seperti BUMN234 dan BUMD235


yang merupakan badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki
oleh negara atau pemerintah daerah melalui penyertaan secara langsung yang
berasal dari kekayaan yang dipisahkan.236 Biasanya korporasi ini melayani
kepentingan umum, seperti PT. Kereta Api Indonesia, Perusahaan Listrik Negara,

232
Lihat Grant McConnell, Private Power and American Democracy (New York, US:
Knopf, 1966); John Kenneth Galbraith, The New Industrial State, 4th edition, (Houghton Mifflin:
1971). Untuk pembahasan mengenai fenomena dalam konteks teori hukum lihat Roberto
Mangabeira Unger, Knowledge & Politics (New York, USA: Free Press, 1976).
233
Meir, Dan-Cohen (3), op., cit., hlm. 1216.
234
Indonesia, Undang-Undang tentang Badan Usaha Milik Negara, UU No. 19 Tahun
2003, LN No. 70 Tahun 2003, Pasal 1 (1), menjelaskan pengertian BUMN adalah badan usaha
yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara
langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
235
Indonesia, Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. UU No. 23/2014. LN No.
244 Tahun 2014. TLN 5587, Pasal 1 (40), menjelaskan BUMD adalah badan usaha yang seluruh
atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh daerah.
236
Indonesia, Undang-Undang tentang Badan Usaha Milik Negara, UU No. 19 Tahun
2003, LN No. 70 Tahun 2003, Pasal 1 (1).

Universitas Indonesia
227

Pertamina, dan Perusahaan Air Minum.237 Menurut Undang-Undang BUMN,


badan hukum milik negara bisa dikategorikan menjadi: Perusahaan Perseroan
(Persero), Perusahaan Perseroan Terbuka, Perusahaan Umum (Perum). Disamping
lembaga tersebut juga dikenal Badan layanan umum (BLU) yang merupakan
instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan
kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa tanpa mengutamakan
mencari keuntungan.238

Ketentuan mengenai kemampuan beberapa institusi publik yang


menjalankan kegiatan privat sebenarnya sudah diatur dari awal kemerdekaan
seperti misalnya Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pajak
Peredaran, yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang dengan UU No. 25
Tahun 1953. Pada penjelasan Pasal 2 dinyatakan bahwa badan hukum
berdasarkan hukum publik juga bisa disebut sebagai pungusaha, sepanjang
kegiatan penyerahan barang dan jasa yang dilakukan bukan lah dalam rangka
menjalankan pemerintahan.239 Sehingga, institusi negara sebenarnya bisa disebut
sebagai pelaku usaha yang tunduk pada segala ketentuan yang mengatur pelaku
usaha privat jika menjalankan kegiatan yang bukan bersifat pemerintahan.

Dalam beberapa UU Indonesia telah diakui bahwa organisasi kuasi


pemerintahan seperti BUMN dan BUMD merupakan subjek hukum mandiri yang
terpisah dari negara dan dapat menjadi subjek hukum pidana. Seperti misalnya
UU No. 38 Tahun 2009 tentang Pos, menjelaskan bahwa penyelenggara Pos dapat
berbentuk BUMN atau BUMD dan tunduk pada ketentuan yang bisa diberikan
sanksi pidana apabila melakukan pelanggaran, atau UU No. 28 Tahun 2002
tentang Bangunan Gedung, juga mengatur tentang kemungkinan instunsi
pemerintah yang memiliki gedung untuk tunduk pada ketentuan tersebut dan
apabila terdapat pelanggaran dapat diganjar dengan sanksi pidana. Undang-
undang lain yang juga mengatur tentang kemungkinan BUMN atau BUMD dapat

237
Yesmil Anwar dan Adang, Kriminologi (Bandung: Refika Aditama, 2010), hlm. 222.
238
Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tentang Pengelolaan Keuangan
Badan Layanan Umum, PP No. 23 Tahun 2005, Lembaran Negara Tahun 2005 No. 48, Tambahan
Lembaran Negara No. 4502, Pasal 1 (1).
239
Indonesia, UU Darurat Tentang Pajak Peredaran, UU Darurat No. 12 Tahun 1950,
penjelasan Pasal 2.

Universitas Indonesia
228

dijatuhi sanksi pidana misalnya UU No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi,


UU No. 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budi Daya Tanaman, UU No. 7 Tahun
1992 Jo. UU No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, UU No. 6/1983 Tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Beberapa Kali
diubah Terakhir dengan UU No. 16/2009, UU No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan.

Undang-undang tentang kehutanan yang lama, menganut pemahaman


bahwa BUMN dan BUMD yang melakukan pengelolaan kehutanan dapat
bertanggung jawab secara pidana apabila melakukan pelanggaran, namun pada
UU Kehutanan yang baru UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan tidak menjelaskan apakah BUMN dapat
diberikan sanksi pidana, hanya saja UU ini menyatakan korporasi termasuk dalam
pengertian setiap orang dan korporasi diartikan secara luas sebagai “kumpulan
orang dan atau kekayaan yang terorganisir baik yang berbadan hukum ataupun
yang tidak berbadan hukum,” tanpa menjelaskan apakah BUMN atau BUMD
termasuk kedalam pengertian korporasi yang dimaksud dalam UU ini. UU No. 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga tidak
satupun pasalnya menjelaskan tentang kemampuan BUMN atau BUMD dapat
menjadi subjek ketentuan yang ada di dalam UU tersebut namun merujuk kepada
subjek aturannya sebagai setiap orang yang termasuk di dalamnya adalah
korporasi. Pertanyaannya apakah memang pembuat UU bermaksud memasukkan
BUMN dan BUMD sebagai subjek dari aturan-aturan yang ada di UU ini ataukah
tidak. Ataukah memang sudah dapat diterima secara umum bahwa BUMN dan
BUMD adalah subjek yang secara logika termasuk dalam pengertian korporasi.240

240
Meskipun kedudukan BUMN masih menjadi perdebatan baik di kalangan ahli hukum
maupun di kalangan penegak hukum (berdasarkan wawancara dengan Hakim Tinggi Heru
Pramono, SH., MH, pada tanggal 31 Mei 2016 di Pengadilan Tinggi Jakarta). Pasal 2 huruf g
Undang-Undang Keuangan Negara, UU No. 17 Tahun 2003, menjelaskan keuangan Negara
termasuk adalah “kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain
berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang,
termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah.” Pengertian ini
terlalu luas sehingga keuangan BUMN masih dianggap sebagai kekayaan Negara, apabila ada
hutang dan piutang dari BUMN apakah akan menjadi hutang dan piutang Negara. Apabila BUMN
dipailitkan harus dengan keputusan Menteri Keuangan, apakah Menteri keuangan akan
memailitkan BUMN yang mana pemegang sahamnya adalah juga Menteri Keuangan? Tidak hanya

Universitas Indonesia
229

Di beberapa negara, pengertian korporasi kuasi pemerintah ini cukup luas,


seperti misalnya di Amerika Serikat beberapa institusi seperti Federal Home Loan
Mortgage Corp. yang pada prinsipnya tidak menerima uang pajak untuk
operasional perusahaannya tetapi dibentuk melalui Congressional Charter disebut
juga sebagai quasi governmental units241 yang dapat bertanggung jawab secara
pidana dan termasuk kedalam pengertian person dalam berbagai peraturan
perundang-undangan.

Apabila melihat kepada praktek dan ketentuan yang secara umum diterima
di Belanda, korporasi kuasi pemerintah tidak mendapatkan imunitas sebagaimana
negara atau pemerintahan daerah mendapatkan perlakuan khusus. Suatu putusan
Hoge Raad nya di tahun 1987 menjelaskan bahwa universitas pemerintah tidak
imun dari proses pidana sebagaimana negara memiliki kekebalan. 242 The
University of Groningen dinyatakan bersalah telah melakukan pembongkaran
pemakaman di Anloo tanpa memperoleh izin yang diperlukan. Mahkamah Agung
Belanda menjelaskan bahwa universitas Groningen tidak bisa menyatakan dirinya
imun dari prosekusi pidana karena bukan merupakan badan publik sebagaimana
yang diatur pada Chapter 7 Konstitusi Belanda.243
Alasan yang dijadikan faktor utama menerima korporasi kuasi publik ini
dapat bertanggung jawab secara pidana dan diperlakukan sama dengan korporasi
privat lainnya adalah alasan perlakuan yang sama di hadapan hukum. Apabila
korporasi kuasi pemerintah yang pada prinsipnya menjalankan aktifitas yang juga
dilakukan oleh korporasi privat, dikecualikan dari pertanggung jawaban pidana,
tentunya pihak privat akan lebih resisten menerima aturan yang diterapkan kepada
mereka. Sebuah penelitian yang dilakukan di Australia dan Inggris mengenai
tindakan pidana yang dilakukan oleh suatu rumah sakit swasta yang tidak
memberikan pelayanan yang seharusnya kepada pasien, memberikan pembelaan
atas tindakan mereka dengan menyatakan bahwa rumah sakit pemerintah yang ada
di bawah kementrian kesehatan memperlakukan pasien mereka dengan lebih

UU Keungan Negara, UU Perbendaharaan Negara dan UU Tindak Pidana Korupsi juga


memberikan posisi yang sulit mengenai kedudukan BUMN sebagai subjek hukum pidana.
241
Rani Gupta, “Privatization v. The Public’s Right to Know,” The Reporters Committee
for Freedom of the Press, Summer 2007, hlm. 10.
242
HR 10 November 1987, NJ 1988, 303. (The University of Gronigen Case).
243
Keulen and Gitter, op., cit., hlm. 187.

Universitas Indonesia
230

buruk.244 Hal ini tentu dapat dipahami bagaimana mungkin pemerintah bisa
menerapkan aturan dengan baik kepada pihak lain dan berharap mereka mau
mematuhi aturan tersebut dengan senang hati tetapi terhadap instansi lain yang
ada dibawah pemerintah tidak diterapkan aturan yang sama. Memanglah
seharusnya lembaga kuasi pemerintah yang menjalankan kegiatan yang juga bisa
dijalankan oleh pihak privat dapat mempertanggungjawabkan segala tindaknnya
secara pidana sebagaimana aturan tersebut juga berlaku bagi korporasi privat.
Disamping hal tersebut di atas, dimana kejahatan dilakukan oleh satu
korporasi kuasi pemerintah secara sendiri, terdapat jenis kejahatan yang dalam
hubungan kerjasama atau dalam interaksi antara institusi pemerintah dengan
organisasi bisnis terjadi suatu bentuk kejahatan organisasi yang secara
karakteristik berbeda dengan kejahatan yang terjadi karena kesalahan dari satu
organisasi bisnis saja atau karena kesalahan dari suatu organisasi publik saja. Jenis
dari kejahatan organisasi yang merupakan produk kolektif dari tindakan bersama
antara institusi pemerintah dengan suatu organisasi bisnis. Tindak pidana
dilakukan melalui suatu organisasi negara atau mendapat fasilitas dari organisasi
negara. Michalowki dan Kramer menggunakan istilah “state-corporate crime”
untuk kejahatan jenis ini. Mereka menjelaskan pengertian state-corporate crime
adalah:

“illegal or socially injurious actions that result from a mutually


reinforcing interaction between (1) policies and/or practices in pursuit of
the goals of one or more institutions of political governance and (2)
policies and/or practices in pursuit of the goals of one or more institutions
of economic production and distribution.”245
(suatu perbuatan ilegal atau berbahaya secara sosial yang diakibatkan dari
suatu interaksi yang dilakukan bersama antara (1) kebijakan dan/atau
praktik dalam mencapai tujuan dari satu atau beberapa institusi pemerintah
dan (2) kebijakan dan/atau praktik untuk mencapai tujuan dari satu atau
beberapa institusi produksi dan distribusi ekonomi.)

244
Brent Fisse and John Braithwaite, op., cit., hlm. 216.
245
Reymond J. Michalowski dan Ronald C. Kramer, “State – Corporate Crime and
Criminological Inquiry,” dalam Hendry N. Pontell dan Gilbert Geis (editor), International
Handbook of White-Collar and Corporate Crime, (New York, USA: Springer, 2007).

Universitas Indonesia
231

Tentunya jenis kejahatan yang terjadi karena hubungan kerja sama antara
korporasi publik dengan korporasi privat atau kejahatan yang terjadi karena
difasilitasi oleh korporasi publik ini memiliki karakteristik yang khusus
dibandingkan dengan tindak pidana yang terjadi karena peran suatu organisasi
secara mandiri. Dan seharusnyalah kedua korporasi, baik korporasi publiknya
maupun korporasi privatnya dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya
secara pidana sesuai dengan perannya dalam terlaksananya suatu tindak pidana.

4. Partai Politik sebagai Subjek Hukum Pidana

Di beberapa negara, kedudukan partai politik sebagai subjek hukum


pidana diperlakukan secara khusus, seperti misalnya Italia mengecualikan partai
politik dari subjek hukum yang bisa bertanggung jawab secara pidana karena
dianggap menjalankan fungsi yang signifikan dari konstitusi.246 Disamping Italia,
Perancis juga memberikan perlakuan khusus untuk partai politik dalam hal
kemampuannya bertanggung jawab dalam hukum pidana. Meskipun Perancis
menerima pertanggung jawaban pidana yang dilakukan oleh partai politik, namun,
dalam Article 131-39 Penal Code Perancis dijelaskan bahwa sanksi terberat tidak
berlaku bagi partai politik. Dimana partai politik tidak bisa mendapatkan
pengawasan pengadilan (judicial surveillance) dan tidak dapat dibubarkan dengan
paksa (be forcibly dissolved).247

Untuk Indonesia, meskipun pembentukan partai politik tidak dilakukan


berdasarkan UUD, tetapi UUD menjelaskan beberapa kali tentang partai politik,
sebagaimana Pasal 6A (2) mengenai pemilihan Presiden dan wakil presiden, Pasal
8, dalam hal Presiden dan wakil presiden tidak dapat melakukan kewajibannya
secara bersamaan, dan Pasal 22E mengenai pemilihan DPR dan DPRD. Dapat
dipahami bahwa partai politik memiliki fungsi konstitusional yang cukup penting
dalam pemerintahan Indonesia. Secara adminstratif, kewenangan untuk
246
Pieth, Ivory, op., cit., hlm. 17
247
Meskipun secara umum di perancis diterima bahwa semua korporasi privat yang
berbadan hukum dapat bertanggung jawab secara pidana, tetapi ada beberapa organisasi yang
diberikan perlakuan istimewa seperti partai politik, perserikatan buruh, asosiasi dagang (trade
associations) yang diatur pada Article 131-39 Penal Code Perancis.

Universitas Indonesia
232

membubarkan partai politik menurut Pasal 24C (1) Undang-Undang Dasar 1945
merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi.248

Namun bagaimana kedudukan partai politik dalam kemampuannya


bertanggung jawab dalam hukum pidana sepertinya masih tidak ada kejelasan dari
pembuat UU. Apakah partai politik dapat dipersamakan dengan korporasi
sehingga dapat bertanggung jawab sebagaimana korporasi privat diperlakukan
dalam hukum pidana, dapat dianggap sebagai subjek hukum yang memiliki
personalitas hukum yang penuh dan dapat bertanggung jawab atas segala macam
perbuatannya ataukah ada karakteristik khusus dari partai politik yang mana ada
fungsi khusus dari nya yang perlu dilindungi oleh UU ketika menghadapi suatu
tuntutan pidana.

Apabila dianalisis dari Undang-Undang tentang Partai Politik, UU No. 2


Tahun 2008 jo. UU No. 2 Tahun 2011, dapat disimpulkan UU ini tidak menganut
pemahaman partai politik dapat diberikan sanksi pidana sebagai suatu organisasi.
Pasal 49 undang-undang ini menjelaskan mengenai sanksi pidana yang diberikan
bagi orang, perusahaan dan/atau badan usaha yang memberikan sumbangan
kepada partai politik melebihi dari ketentuan yang ditetapkan. Tetapi ketika
membahas partai politik yang menerima dana tersebut, UU tidak memberikan
sanksi kepada partai politiknya sebagai subjek mandiri, tetapi sanksi pidana
diberikan kepada pengurus yang menerima dana sumbangan tersebut.249 Padahal
apabila dicerimati perbuatan tersebut dilakukan dalam peran dan fungsi pengurus
dan untuk kepentingan organisasi. Sehingga sepatutnya lah partai politik yang

248
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 24C ayat (1). Pada Pasal 68 UU Tentang
Mahkamah Konstitusi dijelaskan bahwa pihak yang dapat mengajukan permohonan untuk
melakukan pembubaran suatu partai politik adalah pemerintah dengan alasan bertentangan dengan
UUD 1945. Indonesia, Undang-Undang Tentang Mahkamah Konstitusi, UU No. 24 Tahun 2003,
LN. No. 98 Tahun 2003, TLN No. 4316. Sebagaimana terakhir dirubah dengan Indonesia,
Undang-Undang Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-UNdang No. 1
Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang, UU No. 4 Tahun 2014, LN No. 5 Tahun 2014,
TLN. No. 5493.
249
Indonesia, Undang-Undang Tentang Partai Politik, UU No. 2 Tahun 2008, LN No. 2
Tahun 2008, TLN No. 5189 Tahun 2011, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 2 Tahun
2011, LN No. 8 Tahun 2011, TLN No. 5189. Pasal 49 (2) menjelaskan: “Pengurus Partai Politik
yang menerima sumbangan dari perseorangan dan/atau perusahaan/badan usaha yang melebihi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf b dan huruf c dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda 2 (dua) kali lipat dari jumlah dana yang
diterima.”

Universitas Indonesia
233

bertindak melalui organ nya ketika melakukan suatu tindak pidana untuk
mendapatkan keuntungan dari perbuatan itu juga dapat dimintai
pertanggungjawaban.

Mengenai kedudukan partai politik sebagai subjek atau aktor kolektif yang
bisa dimasukkan ke dalam pengertian korporasi sebagaimana beberapa undang-
undang khusus di luar KUHP mengaturnya, masih banyak perdebatan mengenai
hal ini. Beberapa kali partai politik dibicarakan mungkin bisa masuk dalam
pengertian korporasi dan dapat bertanggung jawab secara pidana sebagaimana
beberapa UU khusus telah mengadopsinya. Kasus yang sedang banyak
dibicarakan saat ini misalnya kasus korupsi E-KTP yang melibatkan beberapa
partai politik.250 Kasus ini bahkan sampai menyebabkan DPR ingin mengajukan
hak angket kapada KPK.251

Apabila menggunakan pengertian korporasi sebagaimana yang dianut oleh


Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan juga
beberapa undang-undang khusus lainnya, yang mengartikan korporasi adalah
“kumpulan terorganiasi dari orang dan/atau kekayaan baik merupakan badan
hukum maupun bukan badan hukum,” maka sangat jelas bahwa partai politik
termasuk dalam pengertian ini. Partai politik sebagaimana dijelaskan pada Pasal 3
Undang-Undang tentang Partai Politik didaftarkan ke Departemen berbentuk
badan hukum. Pasal 1 Undang-Undang Tentang Partai Politik menjelaskan
pengertian Partai Politik adalah:

“Organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga


negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-
cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota,
masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa partai politik memiliki
peran dan fungsi yang signifikan di dalam menjalankan amanah konstitusi.

250
Fachrur Rozie, “3 Parpol Disebut dalam Dakwaan Terima Aliran Dana Kasus E-KTP,”
http://news.liputan6.com/read/2880662/3-parpol-disebut-dalam-dakwaan-terima-aliran-dana-
kasus-e-ktp. Dikases 20 Maret 2017.
251
Isyana Artharina, “Hak Angket DPR Dinilai Jadi ‘Manuver Untuk Menekan KPK Soal
E-KTP,” http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-39730365, diakses 12 Mei 2017.

Universitas Indonesia
234

Namun, partai politik adalah badan hukum yang terdiri dari sekumpulan orang
yang memiliki tujuan yang sama, memiliki identitas mandiri sebagai suatu subjek
hukum yang memiliki hak dan kewajiban hukum, serta dapat terlibat dalam suatu
hubungan hukum dengan subjek hukum yang lainnya. Dalam melakukan
hubungan hukum dengan subjek hukum yang lainnya, partai politik memiliki
potensi untuk bisa melanggar ketentuan yang mengandung sanksi pidana.
Sehingga sepatutnya lah mereka dapat bertanggung jawab di hadapan hukum
pidana sebagai subjek hukum mandiri terhadap perilaku menyimpang yang
mereka lakukan. Meskipun partai politik memiliki fungsi yang signifikan, tetapi
tidak cukup vital untuk perlu untuk dikecualikan dari pertanggungjawaban pidana
sebagaimana negara atau lembaga-lembaga negara lainnya.

Kekhususan yang menurut penulis perlu diberikan kepada partai politik


mengingat mereka memiliki fungsi cukup signifikan di dalam menjalankan peran
konstitusi dan kerentanan mereka untuk dapat dikriminalisasi oleh lawan politik
terutama partai yang sedang berkuasa, adalah dengan memberikan perlindungan
kepada mereka untuk tidak bisa dibubarkan secara paksa.

5. Organisasi yang Tidak Berbadan Hukum sebagai Subjek Hukum Pidana

Menurut teori hukum, terdapat perbedaan antaran organisasi yang tidak


berbadan hukum dengan korporasi yang memiliki kepribadian hukum mandiri
yang terpisah dari anggota yang ada di dalamnya.252 Badan yang tidak berbadan
hukum atau unincoporated body apabila dilihat dari bahasa adalah seperti
inanimate soul (jiwa yang mati).253 Asosiasi yang tidak berbadan hukum tidak
memiliki identitas atas namanya sendiri yang terpisah dari anggota yang ada di

252
Dalam kasus R v. L (R) and F (J) [2008] EWCA Crim 1970, (kasus di Inggris mengenai
tindak pidana lingkungan, pencemaran air oleh tumpahan minyak suatu usaha kilang minyak yang
kegiatannya dilakukan oleh suatu club yang tidak berbadan hukum). Hughes LJ menjelaskan
bahwa sebenarnya pemisahan asosiasi yang berbadan hukum dengan yang tidak berbadan hukum
hanyalah dikotomi yang diciptakan oleh hukum. Pemisahan tersebut justru menimbulkan
kebingungan akan posisi hukum. Padahal menurut kenyataan, asosiasi tersebut dilihat sebagai
suatu entitas sendiri oleh semua pihak yang berhubungan dengannya. Kontrak dan kesepakatan
yang dibuat dengan asosiasi tersebut tidak pernah dianggap sebagai kesepakatan yang dibuat
dengan individu tertentu dari asosiasi tetapi dengan asosiasi sebagai suatu entitas sendiri.
253
Corpus (Latin): Body, anima (Latin): soul, lihat Maitland, op., cit., hlm. viii.

Universitas Indonesia
235

dalamnya.254 Asosiasi yang tidak berbadan hukum ini hanya dilihat sebagai
kumpulan orang-orang yang saling berhubungan berdasarkan suatu kesepakatan,
baik kesepakatan tertulis maupun kesepakatan yang lisan. Berbeda dengan
korporasi yang dinyatakan sebagai badan yang memiliki identitas mandiri di
hadapan hukum melalui suatu proses hukum yang ditentukan, badan yang tidak
berbadan hukum ini dapat terbentuk sesuai dengan bentuk yang diinginkannya
tanpa harus bergantung kepada perizinan yang diberikan oleh kekuasaan.
Asosiasi semacam itu ada dalam berbagai ukuran dan struktur. Asosiasi ini
biasanya memiliki dua karakteristik dasar, yaitu: asosiasi tersebut bukanlah suatu
badan yang mendaftarkan diri sebagaimana perusahaan yang tunduk kepada UU
Perusahaan atau asosiasi tersebut ada bukan untuk tujuan mencari keuntungan
yang membuatnya berbeda dari partnership atau joint venture.255 Menurut
KUHPer, persekutuan perdata sedikit berbeda dengan Perserikatan perdata.
Persekutuan perdata adalah perserikatan perdata yang menjalankan perusahaan
sebagaimana diatur dalam Pasal 1618 jo. Pasal 1623 KUHPer.256 Sedangkan Jean-
Charles membedakan antara “societies civiles” dan “societies commerciales”.257
Wujud sosial atau yang bisa digolongkan kepada ‘societas civiles” atau
perserikatan perdata bisa mengusung kepentingan politik anggotanya, atau
kepentingan keagamaan, atau kepentingan lainnya. Sehingga dapat disimpukan
bahwa asosiasi yang tidak berbadan hukum ini bisa bertujuan bisnis dan juga bisa
bertujuan sosial, namun intinya tidak mendaftarkan diri sebagai organisasi yang
memilik status sebagai badan hukum.
Keuntungan dari pengorganisasian dengan bentuk ini tentu sangat jelas,
bahwa cukup dengan kesepakatan antara para anggota saja sudah terbentuklah
suatu organisasi yang diinginkan. Dan seiring dengan berjalannya waktu dalam
proses pembentukannya organisasi ini bisa berevolusi, berubah dengan perlahan-

254
Dalam hakum perdata, asosiasi yang tidak berbadan hukum tidak memiliki kepribadian
hukum sehingga tidak dapat mengajukan tuntutan atas nama asosiasi itu sendiri dan juga tidak
mengizinkan suatu tuntutan diajukan terhadap asosiasi, jika tidak menyebutkan nama setiap sekutu
sebagai tergugat. Lihat Yetty Komalasari Dewi, Pemikiran Baru Tentang Persekutuan Komanditer
(CV): Studi Perbandingan KUHD dan WvK Serta Putusan-Putusan Pengadilan Indonesia dan
Belanda, Disertasi, Universitas Indonesia, 2011, hlm. 76.
255
Scottish Law Commission, “Unincorporated Associations,” Discussion Paper No. 140,
Desember 2008, hlm. 1.
256
Yetty Komalasari Dewi, op., cit., hlm. 90.
257
Ibid.

Universitas Indonesia
236

lahan sebelum menyatakan kepada publik keberadaannya yang sah. Dalam hal ini
ada proses ‘self-government born’ dari terbentuknya jenis organisasi yang lebih
dikenal sebagai entitas sosial (social entities).258 Misalnya kelompok perserikatan
buruh (trade union), yang bermula dari beberapa pekerja yang berkumpul
bersama untuk mencapai tujuan tertentu yang sama, dan kemudian secara bertahap
dan perlahan-lahan jumlahnya semakin banyak, hingga akhirnya mereka menjadi
perserikatan buruh yang besar.259
Kenyataan bahwa ada suatu bentuk organisasi yang tidak berbadan hukum
dalam masyarakat tanpa harus mendapatkan pengakuan dan izin dari negara
tentang keberadaanya tentu memudahkan masyarakat untuk bersosialisasi dan
mengaspirasikan diri, tetapi, ada dampak negatif, Maitlaind menyebutnya ‘dark
side’ dari kemudahan tersebut, tentang apa yang ada dibelakang organisasi
tersebut, yang tidak dapat diketahui oleh negara, entah itu kegiatannya, atau
orang-orang yang ada di dalamnya.260 Grup yang menurut kenyataan memang ada
di dalam masyarakat, menyandang hak dan kewajiban atas namanya sendiri,
terlepas apakah negara mengakuinya sebagai korporasi atau tidak menurut
Maitland adalah suatu fakta moral (moral facts) yang seharusnya diakui oleh
hukum keberadaanya.261
Suatu asosisasi yang tidak terdaftar bisa menjadi “orang” meskipun bukan
entitas yang berbeda, tidak memiliki personalitas hukum yang terpisah, tetapi
tidak menghalanginya untuk dapat dituntut dihadapan hukum pidana.262 Indonesia
apabila dilihat dari beberapa UU yang telah berlaku secara khusus sebenarnya
telah menerima prinsip ini dari mulai berlakunya UU Darurat No. 17 Tahun 1951
Tentang Penimbunan Barang-Barang. Pasal 1 (e) jo. Pasal 11 UU ini menjelaskan
bahwa badan hukum dalam arti yang seluas-luasnya dapat bertanggung jawab atas
namanya sendiri. Badan hukum menurut UU ini adalah “tiap perusahaan atau
perseroan, perserikatan atau yayasan, dalam arti yang seluas-luasnya, juga jika
kedudukan sebagai badan hukum itu baik dengan jalan hukum ataupun
berdasarkan kenyataan tidak diberikan kepadanya.” Pengertian badan hukum yang

258
Maitland, op., cit., hlm. xxi.
259
Meir Dan-Cohen, (1) op., cit., hlm. 25.
260
Maitland, op., cit., hlm. xxii.
261
Ibid., hlm. xxv.
262
Celia Wells, op., cit., hlm. 95.

Universitas Indonesia
237

dianut disini termasuk adalah perserikatan yang tidak berbadan hukum menurut
hukum, cukup dengan suatu kenyataan bahwa ada sekumpulan orang yang
mengatas namakan dirinya secara bersama-sama sebagai suatu entitas yang
berbeda dari anggota yang ada di dalamnya, sebagaimana yang dinyatakan
Maitland diatas, maka perserikatan tersebut dapat dituntut atas namanya sendiri.
Namun karena tidak didukung oleh hukum acara yang mengatur bagaimana cara
menuntut dan memberikan sanksi untuk jenis subjek hukum ini, dan mungkin
karena dirasa kurangnya tingkat urgensi untuk menuntut asosiasi yang tidak
berbadan hukum, maka kasusnya tidak banyak dibahas di pengadilan.
Ada satu kasus di Indonesia dimana melibatkan suatu organisasi yang
tidak berbadan hukum, dalam kasus tindak pidana terorisme yang kemudian
hakim dalam putusannya menyatakan organisasi yang bernama Al-Jamaah Al-
Islamiyah sebagai organisasi terlarang karena dianggap terafiliasi dengan
organisasi Al-Qaeda beserta Osama Bin Laden dan bertanggung jawab atas
rentetan terror yang ada di Indonesia.263
Dapat dipahami kemudian kenapa organisasi yang tidak berbadan hukum
perlu untuk diterima sebagai subjek hukum pidana tertentu, yaitu untuk
mengakomodasi pelaku tindak pidana yang tidak hanya mendaftarkan diri sebagai
badan hukum, tetapi juga yang tidak mendaftarkan diri tetapi ada di dalam
kehidupan bermasyarakat, organisasi ini juga berpotensi melakukan tindak pidana.
Seperti kasus organisasi Al Jamaah Al Islamiyah diatas, apabila UU tidak
menjelaskan bahwa subjek hukum dari UU ini adalah juga termasuk organisasi
yang tidak berebadan hukum, maka akan sulit untuk meletakkan posisi organisasi
Al-Jamaah Al-Islamiyah dalam kedudukannya sebagai subjek hukum yang
diaggap melakukan kegiatan terorisme.

Sebuah tantangan yang besar bagi masyarakat kontemporer muncul dari


aktifitas organisasi terlarang yang juga tidak kalah kuat dibandingkan dengan
aktor korporasi atau organisasi pemerintah. Meskipun organisasi ini tidak
memiliki dasar pendirian secara formal dan legal tetapi dapat beroperasi secara
efektif dan kuat seperti halnya aktor yang formal. Organisasi terlarang ini

263
Mark Forbes and Brendan Nicholson, Jemaah Islamiah Declared ‘Forbidden’, The Age
Australia, April 22, 2008, www.theage.com.au, tgl. 21 April 2014.

Universitas Indonesia
238

memberikan paradigma yang berbeda dari aktor organisasi, menimbulkan


permasalahan identitas dan pertanggungjawaban yang berbeda pula.264
Penal Code Belanda juga menjelaskan bahwa asosiasi yang tidak berbadan
hukum dapat menjadi subjek hukum pidana sebagaimana sejak tahun 1976, suatu
legal person dapat dianggap secara umum melakukan suatu tindak pidana. Article
51 (3) Dutch Penal Code menjelaskan: “for the application of the former
subsections, equal status as a legal person applies to a company without legal
personality, a partnership, a firm of ship owners, and a separate capital sum
assembled for a special purpose.” (untuk penerapan dari ketentuan sebelumnya,
status yang sama sebagai badan hukum berlaku kepada perusahaan tanpa
kepribadian hukum, suatu partnership, firma dari pemilik kapal, dan suatu
kumpulan kekayaan yang dipisahkan untuk tujuan tertentu.)
Apabila dianalisis lebih mendalam, kata-kata dari UU Belanda ini
memberikan penekanan bahwa sebenarnya asosiasi yang tidak berbadan hukum
menurut karakteristik naturalnya tidaklah memiliki kepribadian hukum
sebagaimana korporasi memiliki status itu. Namun, asosiasi yang tidak berbadan
hukum tersebut diberikan status yang sama dengan legal person, untuk
kepentingan pertanggungjawabannya di dalam hukum pidana.
Ada beberapa negara yang tidak menerima organisasi yang tidak berbadan
hukum sebagai subjek tindak pidana yang dapat melakukan tindak pidana,
bertanggung jawab dihadapan hukum pidana dan dapat diberikan sanksi pidana.
Perancis dan Denmark adalah diantara negara yang mengecualikan organisasi
yang tidak berbadan hukum sebagai subjek dari hukum pidana,265 sehingga dalam
hal ini yang mengemuka adalah pertanggungjawaban pidana pribadi dari masing-
masing anggota organisasi.

6. Kesimpulan Mengenai Entitas yang bisa Menjadi Subjek Hukum Pidana

Entitas yang bisa menjadi subjek hukum pidana dan dapat bertanggung
jawab secara penuh atas namanya sendiri dihadapan hukum pidana cukup

264
Christopher Harding, op., cit., hlm. 12.
265
De Maglie, op., cit., hlm. 551.

Universitas Indonesia
239

beragam di berbagai negara. Namun apabila dikelompokkan berdasarkan


pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Korporasi privat didirikan untuk kepentingan spesifik yang bersifat privat.
Korporasi privat dibedakan antara perusahaan sebagai badan usaha yang
bertujuan untuk mencari laba dan korporasi privat yang tidak bertujuan pada
profit. Di semua negara, korporasi yang berorientasi bisnis merupakan
bentuk paling umum diterima sebagai subjek hukum yang dapat
bertanggunjawab dalam semua rezim hukum termasuk hukum pidana.
Kebanyakan negara tidak memberikan pembedaan yang siginifikan
mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi privat tanpa
tujuan bisnis dengan korporasi bisnis. Kalaupun ada pembahasan khusus
mengenai hal ini, hanya sebatas pembahasan teori baik oleh para ahli
maupun dalam putusan pengadilan. Namun, ada beberapa negara dengan
latar belakang jurisdiksi civil law yang mengecualikan organisasi sosial
yang tidak berorientasi profit ini dari pertanggungjawaban pidana korporasi.
Seperti misalnya: Hungaria266 dan Belgia,267 tidak memasukkan organisasi
yang tidak bertujuan ekonomi sebagai subjek dari hukum pidana. Hal ini
karena memang tujuan utama dari pembentukan pertanggungjawaban
pidana korporasi mereka ditujukan secara spesifik terhadap korporasi yang
bertujuan bisnis saja.
2. Korporasi publik dikelompokkan menjadi korporasi yang ada di
pemerintahan pusat dan daerah serta kuasi pemerintah. Untuk negara dan
beberapa korporasi yang dianggap sebagai organisasi yang vital dalam
menjalankan fungsi pemerintahan di hampir semua negara diberikan
kekebalan dari proses pidana. Untuk negara dengan sistem common law,
seperti misalnya Inggris, Amerika dan Australia masih dianut dotrin “crown
immunity” yang memberikan kekebalan hukum kepada negara, crown
immunity ini juga diperpanjang bagi organ negara, yaitu instansi yang
menjalankan fungsi penting dari negara. Namun ada juga negara dengan
sistem common law yang secara eksplisit menegaskan bahwa doktrin crown
immunity tidak berlaku, seperti Canada dan New Zealand. Pada Criminal
266
Ferenc Santha dan Szilvia Dobroesi, op., cit., hlm. 318.
267
Mark Pieth, Radha Ivory, op., cit., hlm. 318.

Universitas Indonesia
240

Act Canada yang berlaku pada tahun 2004, dijelaskan bahwa Crown
termasuk kedalam pengertian organisasi yang termasuk kedalam pengertian
person. Pembahasan mengenai kemampuan negara dapat bertanggung
jawab di hadapan hukum pidana justru banyak dilakukan pada negara
dengan sistem civil law, seperti misalnya Perancis, secara tegas menyatakan
bahwa negara tidak termasuk kedalam pengertian moral person yang bisa
bertanggung jawab dihadapan hukum pidana. Ada beberapa negara lain
yang secara tegas menyatakan bahwa negara tidak termasuk dalam
pengertian person dalam kitab undang-undang hukum pidananya seperti
misalnya Spanyol,268 Belgia,269 Hungaria.270 Belanda juga sampai saat ini
masih memberikan imunitas kepada negara dari prosekusi hukum pidana.
Penal Code Belanda tidak secara jelas mengecualikan negara dari
pengertian badan hukum yang bisa menjadi subjek hukum pidananya,
namun juga tidak secara tegas merinci bahwa negara termasuk ke dalam
pengertian legal person. Sehingga penjabaran lebih lanjut mengenai
kemampuan negara untuk dapat bertanggung jawab di hadapan hukum
pidana terjadi di pangadilan. Dalam putusan pengadilan, masih dianut
sampai saat ini pemahaman bahwa negara tidak bisa diprosekusi dalam
rezim hukum pidana.271
3. Ada juga beberapa negara yang meskipun secara prinsip tidak menerima
negara sebagai subjek hukum pidana nya (Crown immunity atau
governmental immunity), tetapi menerima pertanggungjawaban pidana
korporasi publik pada UU khusus tertentu. Seperti misalnya Inggris,272
Australia.273 Indonesia juga setidaknya dalam 6 (enam) buah UU khusus

268
Hasil diskusi dengan Prof. John Vervaele, Profesor in Economic and European Criminal
Law, pada bulan September 2014, di Law, Economics and governance Faculty, Utrecht University,
Belanda.
269
Article 5 dari Penal Code Belgia 1999, mengecualikan semua korporasi publik dari
pertanggungjawaban pidana tanpa memberikan pengecualian kepada Negara sebagai pemerintahan
pusat maupun pemerintahan daerah. Lihat juga pemaparan mengenai hal ini pada David Roef, op.,
cit., hlm. 592.
270
Hungary, Article 1 (2).Act CIV of 2001 on Measure Applicable to Legal Entities Under
Criminal Law.
271
HR 25 Januari 1994, NJ 1994, 598.
272
Inggris, Article 1 (2), Corporate Manslaugher and Corporate Homicide Act 2007
(Chapter 19).
273
Misalnya Victorian Crimes (Workplace Deaths and Serious Injuries) Bill 2001.

Universitas Indonesia
241

menyatakan kemungkinan korporasi publik bertanggung jawab secara


pidana dan diperlakukan sama dengan korporasi privat. Seperti misalnya
UU UU No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik, UU
No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, UU No. 15
Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1
Tahun 2002 tentang Pemberantasan tindak pidana terorsme menjadi UU,
UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan dan UU No. 24 tahun 2011 tentang BPJS juga
memungkinkan beberapa korporasi publik tertentu bertanggung jawab
secara pidana atas pelanggaran ketentuan UU tersebut. Undang-undang di
atas secara terbatas telah memungkinkan beberapa korporasi publik dapat
bertanggung jawab secara pidana. Meskipun dalam hal pelaksanaan
sepertinya belum pernah ada suatu tuntuan pidana yang ditujukan kepada
korporasi publik.
4. Untuk pemerintahan daerah atau korporasi publik yang ada di daerah, ada
beberapa negara yang memberikan perpanjangan imunitas kepada
pemerintahan daerah, seperti misalnya Belgia, dan Hungaria, termasuk juga
negara Common Law274 seperti Inggris, Amerika dan Australia dengan
prinsip Crown Immunity. Namun ada juga beberapa negara yang memang
secara tegas menjelaskan bahwa pemerintahan daerah tidak imun dari
ketentuan pidana seperti misalnya, Canada dalam Criminal Code 2004, New
Zealand dalam Local Government Act 2002, Perancis dalam Penal Code
Article 121-2. Perancis dalam hal pertanggungjawaban pidana perintah
daerah mengecualikan pertanggungjawaban kepada tugas-tugas yang tidak
dapat didelegasikan kepada korporasi privat.275 Belanda juga pada
prinsipnya menganut pemahaman bahwa pemerintah daerah (decentralized
authority) bisa dimintai pertanggungjawaban pidana, tetapi mereka masih
tidak dapat diganggu gugat dalam hal menjalankan tugas yang murni
bersifat administratif (exclusive administrative task). Namun berbeda

274
Ada beberapa pengecualian untuk keberlakuan imunitas penguasa ini di negara common
law, ada beberap UU khusus yang mengecualikan mereka dari imunitas, namun prinsip umumnya
adalah mereka tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana termasuk local government atau
pemerintah daerahnya.
275
David Roef, op., cit., hlm. 592.

Universitas Indonesia
242

dengan Perancis yang dengan tegas menyatakan bahwa pemerintah daerah


tidak mendapatkan perpanjangan kekebalan hukum dari proses pidana nya
di dalam Penal Code, Belanda meninggalkan permasalahan ini untuk
dibahas oleh pengadilan.
5. Untuk korporasi kuasi-pemerintah pada kebanyakan negara tidak
memberikan perlakuan khusus dalam hal kemampuannya bertanggung
jawab di hadapan hukum pidana. Alasan yang dijadikan faktor utama
menerima korporasi kuasi publik ini dapat bertanggung jawab secara pidana
dan diperlakukan sama dengan korporasi privat lainnya adalah alasan
perlakuan yang sama dihadapan hukum (equality before the law). Apabila
korporasi kuasi pemerintah yang biasanya melakukan kegiatan di bidang
privat dikecualikan dari pertanggungjawaban pidana, tentunya pihak privat
akan lebih resisten menerima aturan yang diterapkan kepada mereka.
6. Pada beberapa negara, kedudukan partai politik sebagai subjek hukum
pidana diperlakukan secara khusus, seperti misalnya di Italia mengecualikan
partai politik dari subjek hukum yang bisa betanggung jawab secara pidana
karena dianggap menjalankan fungsi yang signifikan dari konstitutusi.276 Di
samping Italia, Perancis juga memberikan perlakuan khusus untuk partai
politik, dimana partai politik tidak bisa mendapatkan pengawasan
pengadilan (judicial surveillance) dan tidak dapat dibubarkan dengan paksa
(be forcibly dissolved).277
7. Menurut teori hukum, terdapat perbedaan antaran asosiasi yang tidak
berbadan hukum dengan korporasi yang memiliki kepribadian hukum
mandiri yang terpisah dari anggota yang ada di dalamnya.278 Namun, dalam
pertanggunjawaban pidana yang diterima di banyak negara, suatu asosisasi
yang tidak terdaftar atau asosiasi yang dianggap tidak memiliki kepribadian
hukum, dapat menjadi “subjek tindak pidana.” Meskipun bukan entitas yang
berbeda dan tidak memiliki personalitas hukum yang terpisah, tetapi tidak
menghalanginya untuk dapat dituntut dan bertanggung jawab dihadapan

276
Pieth, Ivory, op., cit., hlm. 17
277
Article 131-39 Penal Code Perancis.
278
R v. L (R) and F (J) [2008] EWCA Crim 1970.

Universitas Indonesia
243

hukum pidana.279 Meskipun ada juga beberapa Negara yang tidak menerima
pertanggungjawaban pidana dari organisasi yang tidak berbadan hukum
seperti misalnya Perancis dan Denmark. Dalam banyak UU di Indonesia
pun ketika merujuk kepada subjek hukum organisasi sering meniadakan
pembedaan antara badan yang berbadan hukum maupun yang tidak
berbadan hukum, mereka hampir diperlakukan sama. Namun, ada juga
beberapa UU yang secara tegas menyatakan bahwa yang dirujuk oleh UU
tersebut hanyalah badan yang berbadan hukum saja.

279
Celia Wells, op., cit., hlm. 95.

Universitas Indonesia
244

BAB IV

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

Dalam bab ini akan dilakukan analisis mengenai


pertanggungjawaban pidana korporasi dalam peraturan perundang-undangan
dan implementasi pertanggungjawaban pidana korporasi dalam putusan
pengadilan. Pada bagian awal akan dibahas mengenai model-model
pertanggungjawaban pidana korporasi pada peraturan perundang-undangan
Indonesia dan negara lain. Bagian selanjutnya akan dilakukan analisis
mengenai implementasi pertanggungjawaban pidana korporasi pada putusan
pengadilan di Indonesia dan negara lain. Selanjutnya akan dibahasan
mengenai pertanggungjawaban pidana bagi subjek hukum organisasi yang
tidak berbadan hukum dan prospek pengembangan ketentuan tentang
korporasi di masa yang akan datang berdasarkan analisis yang dilakukan
pada bagian sebelumnya.

A. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Peraturan


Perundang-undangan

1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Peraturan


Perundang-undangan Indonesia

Pada bagian ini akan dianalisis bagaimana pengaturan mengenai


pertanggungjawaban pidana korporasi (selanjutnya disingkat PPK) yang
terdapat di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Dari 88
undang-undang Indonesia yang dianalisis,1 tidak banyak undang-undang
(hanya 11 UU) yang menjelaskan bagaimana pengatribusian


1
Penjabaran lebih lanjut mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi pada
undang-undang yang diteliti dapat dilihat pada lampiran disertasi.

Universitas Indonesia

245

pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Bahkan ada undang-undang


yang relatif baru masih belum menerima pertanggungjawaban korporasi dan
masih membebankan pertanggungjawaban kepada pengurusnya saja. Seperti
Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro,2
Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 jo. Undang-Undang No. 45 Tahun
2009 tentang Perikanan.3 UU tentang perikanan ini sudah mengakui
pengertian setiap orang adalah termasuk korporasi tetapi ketika yang
melakukan tindak pidana adalah korporasi yang bertanggung jawab tetap
adalah pengurus.4 Sangat disayangkan sekali, padahal denda yang
diancamkan ketika terjadi tindak pidana cukup besar sampai dua puluh
miliar rupiah.5
Fakta bahwa belum semua UU yang baru diterbitkan menerima
pertanggungjawaban pidana korporasi menunjukkan bahwa politik hukum
negara mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi masih belum jelas.
Padalah RKUHP semenjak tahun 1982 sudah mewacanakan untuk
menerima pertanggungjawaban pidana korporasi. Begitu juga banyak UU
khusus yang diatur di luar KUHP sudah menerima pertanggungjawaban
pidana korporasi.
Apabila beberapa UU khusus yang tidak menerima
pertanggungjawaban pidana korporasi tersebut berhadapan dengan UU
khusus lain yang sudah menerima pertanggungjawaban pidana korporasi
tentu akan menimbulkan kebingungan bagi aparat penegak hukum untuk
dapat melakukan proses hukum terhadap korporasi.
Dari beberapa UU di Indonesia yang menjabarkan keadaan yang
memungkinkan pengatribusian pertanggungjawaban pidana kepada
korporasi, masih sangat terbatas pada pertanggungjawaban pidana yang


2
Indonesia, Undang-Undang tentang Lembaga Keuangan Mikro, UU No. 1 Tahun
2013, LN. No. 12 Tahun 2013, TLN No. 5394. Pasal 34, menjelaskan dalam hal tindak
pidana dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk Perusahaan Terbatas atau koperasi
maka yang bertanggung jawab adalah mereka yang memberikan perintah atau bertindak
sebagai pimpinan dalam tindak pidana tersebut.
3
Indonesia, Undang-Undang tentang Perikanan, UU No. 31/2004, LN. 118 Tahun
2004, TLN. No. 4433, jo. Undang-Undang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun
2004, UU No. 45/2009, LN. No. 154 Tahun 2009, TLN No. 5073.
4
Ibid., Pasal 1 (14) jo. Pasal 101.
5
Ibid., Pasal 84 – 104.

Universitas Indonesia

246

berdasarkan pada doktrin vicarious liability dan identification doctrine.


Doktrin pertanggungjawaban pengganti yang diadopsi oleh beberapa UU
adalah doktrin pertanggungjawaban pengganti yang ketat (strict vicarious
liability). Sebagaimana dijelaskan pada kerangka teori tentang
pertanggungjawaban pidana korporasi, bahwa doktrin strict vicarious
liability mengatribusikan perbuatan dan kesalahan dari seseorang yang
bertindak untuk atau atas nama korporasi tanpa melihat kedudukannya di
dalam korporasi dan tanpa melihat usaha yang telah dilakukan oleh
korporasi untuk melakukan pencegahan terhadap terjadinya tindak pidana.
Sedangkan UU yang lebih baru mulai juga menerapkan doktrin qualified
vacarious liability yang menambahkan kriteria tindak pidana dilakukan
untuk memberikan manfaat bagi korporasi atau dilakukan untuk
kepentingan korporasi dan doktrin identifikasi yang melihat bahwa
korporasi tidak dapat dipersalahkan untuk tindak pidana yang dilakukan
oleh pekerja operasional pada level yang lebih rendah karena dianggap tidak
mencerminkan kehendak dari korporasi secara keseluruhan.
Apabila dianalisis beberapa UU yang memberikan penjelasan kapan
suatu korporasi dianggap melakukan tindak pidana sehingga dapat dimintai
pertanggungjawaban atas namanya sendiri dapat dikelompokkan menjadi 3
model pertanggungjawaban pidana korporasi.

a. Model Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (PPK) 1

Model pertanggungjawaban pidana 1 diadopsi pada 5 UU: pada


Pasal 20 (2) UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 108 (2) UU No. 10/1995 jo.
UU No. 17/2006 tentang Kepabeanan, Pasal 61 (2) UU No. 11/1995 jo. UU
No. 39/2007 tentang Cukai, Pasal 17 (2) UU No. 15/2003 tentang Penetapan
PP Pengganti UU No. 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Universitas Indonesia

247

Terorisme menjadi UU, Pasal 40 (2) UU No. 44 Tahun 2008 tentang


Pornografi.6

Model pertanggungjawaban pidana korporasi ini menjelaskan


sebagai berikut:

“Tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu


korporasi, apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-
orang yang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan
hubungan lain bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik
sendiri maupun bersama-sama.”7

Pada model pertanggungjawaban pidana korporasi 1, dapat


diartikulasikan beberapa unsur tentang kapan suatu tindak pidana dikatakan
dilakukan oleh korporasi apabila: a) dilakukan oleh orang-orang yang baik
berdasarkan hubungan kerja, b) atau berdasarkan hubungan lain, c) dalam
lingkungan badan hukum, d) sendiri-sendiri, e) atau bersama-sama.

b. Model Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (PPK) 2


Model pertanggungjawaban pidana korporasi 2 diterima pada 3 UU:


pada Pasal 13 (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang, UU No. 21 Tahun 2007, Pasal 441 UU No. 1 Tahun
2009 tentang Penerbangan dan Pasal 333 UU No. 17 Tahun 2008 tentang
Pelayaran.
Pada model ke 2 ini, ditambahkan beberapa kriteria untuk
menjelaskan kapan suatu tindak pidana dikatakan dilakukan oleh korporasi:

“tindak pidana perdagangan orang dianggap dilakukan oleh


korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang
yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi atau untuk
kepentingan korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja maupun

6
UU ini mengatur cukup lengkap tentang tindak pidana pornografi yang dilakukan
oleh korporasi, baik dalam hal hukum materil maupun dalam hukum pidana formilnya,
diatur secara khusus pada 2 pasal, yaitu: Pasal 40 dan Pasal 41.
7
Perumusan seperti ini sebenarnya pertama kali dapat ditemui pada Pasal 15 UU
Darurat No. 7/1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.

Universitas Indonesia

248

hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik


sendiri maupun bersama-sama.”

Model pertanggungjawaban pidana korporasi 2 terdapat beberapa


tambahan unsur yang apabila dijabarkan secara lengkap adalah: a) dilakukan
oleh orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi, b) atau untuk
kepentingan korporasi, c) berdasarkan hubungan kerja, d) atau hubungan
lain, e) dalam lingkungan korporasi, f) sendiri, g) atau bersama-sama.
Pada model pertanggungjawaban pidana korporasi 2 ditemukan
unsur yang lebih jelas dibandingkan dengan model pertanggungjawaban
pidana korproasi 1, seperti adanya penambahan unsur ‘dilakukan oleh orang
yang bertindak untuk dan atas nama korporasi.’ Unsur ini cukup
memberikan batasan mengenai pengurus yang mana yang dapat
menyebabkan korporasi dapat dipertanggungjawabkan, hanya orang-orang
yang memiliki kualifikasi sebagai orang yang dapat bertindak untuk dan
atas nama korporasi saja yang dapat menyebabkan korporasinya
dipertanggungjawabkan. Selanjutnya unsur ‘untuk kepentingan korporasi,’
unsur ini sangat penting dalam pengatribusian pertanggungjawaban
korporasi untuk memberikan batasan perbuatan yang mana dari pengurus
korporasi yang dapat mengakibatkan korporasi juga dapat
dipertanggungjawabkan, karena bisa juga suatu tindak pidana dilakukan
oleh orang yang ada di dalam korporasi tetapi tindak pidana tersebut tidak
untuk kepentingan atau menguntungkan korporasi tetapi justru untuk
kepentingan pribadi pengurus tersebut.
Mengenai siapa yang dapat dituntut dan dipidana ketika korporasi
dilakukan oleh atau atas nama korporasi, pada beberapa UU diberikan
penjelasan bahwa penuntutan dan pemidanaan terhadap tindak pidana yang
dilakukan korporasi dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurus.
Seperti misalnya Pasal 20 (1) Undang-Undang tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi menjelaskan: “Dalam hal tindak pidana korupsi
dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan
penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau
pengurusnya.”

Universitas Indonesia

249

Mirip dengan ketentuan di atas, Pasal 13 (2) Undang-Undang


tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang juga mengatur hal yang sama
mengenai siapa yang dapat dituntut dan dipidana. Pasal 13 (2) menjelaskan
sebagai berikut: “Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan
oleh suatu korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka
penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan dilakukan terhadap korporasi
dan/atau pengurusnya.”
Ketentuan ini menggiring pemahaman bahwa ketika korporasi
melakukan suatu tindak pidana, maka yang dapat bertanggung jawab secara
kumulatif-alternatif adalah korporasi itu sendiri atau pengurusnya atau
kedua-duanya. Menurut penulis ketentuan ini kurang adil baik bagi
korporasi maupun bagi pengurus.
Dari segi korporasi, seharusnya mereka dilihat sebagai subjek
hukum mandiri yang terpisah dari anggota-anggota yang ada di dalamnya.
Mereka memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban hukum atas nama
mereka sendiri. Sehingga mereka pantas untuk mendapatkan proses hukum
yang sesuai, mulai dari proses penyidikan, penuntutan, pembuktian dan
pembebanan tanggung jawab pidana.
Begitu juga dengan pengurus korporasi, mereka juga seharusnya
dilihat sebagai subjek hukum yang terpisah dari korporasi itu sendiri.
Kalaupun misalnya mereka memang memiliki peran dalam terjadinya tindak
pidana yang dilakukan oleh korporasi, perbuatan mereka tersebut
seharusnyalah dibuktikan tersendiri, bukan dilihat sebagai interchangeable
dengan perbuatan korporasi. Karena korporasi itu adalah suatu organisasi
yang memiliki mekanisme kerja yang kompleks dan tidak hanya
bergantung kepada keberadaan satu atau dua orang saja.
Dari kasus-kasus hukum yang dianalisis, dapat diketahui bahwa
ketentuan ini memang membuat hakim akhirnya menginterpretasikan bahwa
mereka dapat membebankan pertanggungjawaban pidana dan sanksi pidana
secara kumulatif-alternatif kepada korporasi dan/atau kepada pengurus.
Mereka bahkan dilihat sebagai dua subjek hukum yang yang dapat
dipertukarkan (interchangeable). Padahal masing-masing subjek merupakan

Universitas Indonesia

250

subjek hukum mandiri yang terpisah dan memiliki hak dan kewajiban
hukum masing-masing.

c. Model Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (PPK) 3


Model pertanggungjawaban pidana korporasi ini digunakan oleh


Undang-undang No. 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
pada Pasal 6 (2) dan Pasal 81 UU No. 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian.8 Model ini tidak lagi menggunakan doktrin vicarious
liability tetapi mulai menggunakan doktrin identifikasi. Model ini
memberikan kriteria yang lebih rinci mengenai keadaan kapan suatu tindak
pidana dilakukan oleh korporasi meskipun dikaitkan bukan dengan
perbuatan atau pertanggungjawaban tetapi dengan penjatuhan sanksi pidana.
UU yang menggunakan model ini menjelaskan:

“Pidana dijatuhkan terhadap korporasi apabila tindak pidana


pencucian uang:
d) dilakukan atau diperintahkan oleh personil pengendali
korporasi;9
e) dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan
korporasi;
f) dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau
pemberi perintah; dan
g) dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi
korporasi.”
Undang-undang ini merupakan UU dengan penjabaran yang cukup
jelas mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi. Model ini
mempertegas keadaan seperti apa yang memungkinkan suatu korporasi


8
Indonesia, Undang-Undang tentang Perasuransian. UU Nomor 40/2014, LN No.
337 Tahun 2014, TLN No. 5618, Pasal 81.
9
Ps. 1 (14) UU ini menjelaskan: “Personil pengendali korporasi adalah setiap orang
yang memiliki kekuasaan atau wewenang sebagai penentu kebijakan korporasi atau
memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan korporasi tersebut tanpa harus mendapat
otorisasi dari atasannya.” Ada beberapa buku teks yang menggunakan istilah ‘leading
position’ untuk mempertegas maksud dari personil pengendali korporasi ini, sepeti
misalnya Anna Salvina Valenzano, “’Triggering Persons’ in ‘Ex Crimine’ Liability of
Legal Entities,” dalam Brodowski, at all (editors), Regulating Corporate Criminal
Liability,” (Switzerland: Springer, 2014), hlm. 103.

Universitas Indonesia

251

dikatakan melakukan suatu tindak pidana, dimana tindakan dari personil


pengendali bisa dikatakan merupakan tindakan dari korporasi (identification
doctrine), dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan fungsi korporasi
(contribute to the corporate goal), dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi
pelaku di dalam korporasi atau syarat scope of employment, dilakukan
dengan maksud untuk memberikan manfaat bagi korporasi (intent to benefit
the corporation).
Tabel 4.1 berikut menjelaskan secara lebih jelas mengenai unsur-
unsur PPK yang dianut pada model-model yang dijelaskan di atas:
No. Model PPK 1 Model PPK 2 Model PPK 3
1. Dilakukan oleh orang- Dilakukan oleh orang Dilakukan atau
diperintahkan oleh
orang berdasarkan yang bertindak untuk
personil pengendali
hubungan kerja atau dan/atau atas nama korporasi
berdasarkan hubungan korporasi
lain
2. dalam lingkungan atau untuk kepentingan dan dilakukan dalam
rangka pemenuhan
badan hukum korporasi
maksud dan tujuan
korporasi

3. sendiri-sendiri maupun berdasarkan hubungan dan dilakukan sesuai


dengan tugas dan fungsi
bersama-sama kerja atau hubungan
pelaku atau pemberi
lain perintah

4. dalam lingkungan dan dilakukan dengan


maksud memberikan
korporasi
manfaat bagi korporasi
5. Sendiri atau bersama-
sama.

Pada model pertanggungjawaban pidana korporasi 1 sangat jelas


doktrin yang dianut adalah strict vicarious liability di mana kesalahan dari
semua level anggota korporasi tidak menjadi masalah untuk dapat
diatribusikan kepada korporasi. Di samping itu cukup dengan fakta bahwa
telah terjadi tindak pidana di dalam korporasi yang dilakukan oleh pengurus

Universitas Indonesia

252

korporasi tanpa melihat apakah perbuatan tersebut dilakukan untuk


memberikan manfaat atau untuk kepentingan korporasi atau tidak, dapat
menyebabkan korporasi dipertanggungjawabkan.
Pada model pertangungjawaban pidana 2, doktrin yang dianut adalah
vicarious liability dan ada sedikit doktrin identifikasi. Model PPK 2
memberikan batasan pengurus yang mana yang dapat mengakibatkan
korporasi dapat dipertanggungjawabkan dengan menambahkan unsur
“dilakukan oleh orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi,’
sehingga tidak hanya berdasarkan hubungan kerja atau hubungan lain
sebagaimana diadopsi pada model PPK1. Di samping itu korporasi juga
dapat dinyatakan melakukan tindak pidana apabila tindak pidana tersebut
dilakukan untuk kepentingan korporasi. Dalam hal ini harus dapat
dibuktikan bahwa tindak pidana dilakukan dalam rangka tugas pengurus
untuk kepentingan korporasi. Unsur ini mengeleminasi kemudian korporasi
dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang bukan untuk kepentingan
korporasi seperti misalnya tindak pidana yang dilakukan pengurus untuk
kepentingan pribadi. pertanggungjawaban pidana ini diatribusikan secara
vicarious kepada korporasi sebagai pihak yang mempekerjakan atau pihak
yang mendelegasikan tugas-tugas kepada individu tersebut.
Doktrin vicarious criminal liability ini sebenarnya sudah digunakan
pada Pasal 15 UU Darurat No. 7/1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan
Peradilan Tindak Pidana Ekonomi yang juga merupakan peraturan yang
mirip dengan ketentuan yang sama di Belanda. Di Belanda sendiri memang
tidak membatasi bahwa suatu tindak pidana yang bisa diatribusikan kepada
korporasi harus dilakukan oleh pegawai pada level tertentu saja, suatu
tindakan melawan hukum dari pegawai yang rendahan atau pegawai yang
bersifat operasional di lapangan juga bisa diatribusikan sebagai kejahatan
yang dilakukan oleh korporasi.10
Tujuannya adalah untuk memberikan ruang yang cukup besar
kepada pengadilan untuk melihat dan menilai apakah suatu kejahatan bisa


10
Keulen dan Gritter, Corporate Criminal Liability in the Netherlands.
(Netherlands: Springer, 2011), hlm. 181. Dan juga Vervaele, op., cit.

Universitas Indonesia

253

diatribusikan kepada korporasinya atau tidak.11 Sehingga memang di


Belanda ada cukup banyak kasus yang menyatakan bahwa korporasi bisa
dianggap bersalah karena kesalahan yang dilakukan oleh petugas di
lapangan (bukan kesalahan yang dilakukan oleh petinggi korporasi).12
Model pertanggungjawaban pidana korporasi 3 mengadopsi
identification doctrine di mana tindakan dari personel pengendali dapat
diatribusikan kepada korporasi sepanjang dilakukan dalam rangka
pemenuhan maksud dan fungsi korporasi, dilakukan sesuai dengan tugas
dan fungsi pelaku di dalam korporasi, dan dilakukan dengan maksud untuk
memberikan manfaat bagi korporasi.
Model PPK 3 membatasi pertanggungjawaban pidana korporasi
ditarik dari perbuatan dan kesalahan personel pengendali. Meskipun model
ini masih memungkinkan pertanggungjawaban pidana korporasi ditarik dari
perbuatan dan kesalahan dari pengurus yang berada pada level yang lebih
rendah tetapi kata-kata “diperintah oleh pengurus pengendali” cukup
membatasi penerapan pertanggungjawaban pidana bagi korporasi, karena
ada kemungkinan pengurus pengendali tidak secara tegas atau tidak secara
langsung memerintahkan personel di bawahnya untuk melakukan suatu
perbuatan yang bertentangan dengan UU.
Model ini juga membatasi perbuatan personel pengendali yang dapat
dipertanggungjawabkan kepada korporasi adalah apabila dilakukan dalam
rangka pemenuhan maksud dan fungsi korporasi (contribute to the
corporate goal), dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku di dalam
korporasi atau syarat scope of employment, dilakukan dengan maksud untuk
memberikan manfaat bagi korporasi (intent to benefit the corporation).
Dengan kriteria ini maka akan mengesampingkan kemungkinan
pembebanan pertanggungjawaban pidana korporasi apabila perbuatan
personel pengendali adalah untuk keuntungan pribadi personel pengendali.
Mengenai mens rea, model pertanggungjawaban pidana 1, 2 dan 3
menggunakan pertanggungjawaban pengganti (indirect liability) dari

11
Keulen dan Gritter, op., cit., hlm. 181.
12
Misalnya HR. 16 June 1981, NJ 1981, dan HR. 29 May 1984, NJ. 1985, Case 6.
Lihat Vervaele, op., cit., hlm. 11.

Universitas Indonesia

254

kesalahan pengurus atau personel pengendali yang diatribusikan kepada


korporasi. Doktrin vicarious liability yang kemudian dikembangkan
menjadi doktrin identifikasi merupakan cara pengatribusian
pertanggungjawaban pada korporasi yang paling awal diterima dalam
hukum pidana sebagaimana kasus-kasus awal korporasi yang dijatuhi sanksi
pidana. Kedua doktrin ini sebenarnya sudah bisa menjadikan korporasi
pihak yang mengemban pertanggungjawaban pidana atas suatu tindak
pidana yang dirumuskan UU yang bersangkutan, tetapi belum banyak kasus
yang menjadikan korporasi sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam
suatu tindak pidana yang melibatkan korporasi, hanya terbatas pada
beberapa kasus lingkungan hidup dan korupsi sebagaimana yang telah
dikemukakan di atas. Di samping kurang jelasnya aturan tentang kondisi
seperti apa yang dapat dikatakan bahwa suatu korporasi telah melakukan
tindak pidana, kekurangan jelas prosedur dan tata cara penanganan perkara
pidana terhadap subjek hukum korporasi, menambah keengganan dari
penegakan hukum untuk menempatkan korporasi sebagai subjek yang dapat
bertanggung jawab dalam hukum pidana.
Di samping beberapa model PPK tersebut di atas, akan dilakukan
analisis secara khusus mengenai UU No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU ini sebenarnya
mengadopsi model pertanggungjawaban pidana korporasi 1, namun
pengaturan ketentuan mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi pada
UU ini sangat membingungkan terutama mengenai kriteria pembebanan
pertanggungjawaban pidana korporasi dan pembebanan
pertanggungjawbaan pidana bagi pengurus korporasi. Pasal 116 (1) UU No.
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
menjelaskan kapan suatu korporasi dapat dikatakan melakukan tindak
pidana:

(1) “Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau
atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan
kepada:

a. badan usaha; dan/atau

Universitas Indonesia

255

b. orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak


pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin
kegiatan dalam tindak pidana tersebut.

(2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan
kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup
kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi
perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa
memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau
bersama-sama.” 13

Perumusan Pasal 116 (1) dan (2) ini sepintas seperti tidak ada
masalah, karena kalau dibaca terpisah pada ayat (1) dijelaskan bila terjadi
suatu tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama
badan usaha, maka tuntutan pidana dan sanksi pidana bisa dijatuhkan
kepada badan usaha atau kepada orang yang memberikan perintah atau
kepada orang yang menjadi pemimpin kegiatan tersebut. Dapat disimpulkan
disini badan usaha bisa menjadi subjek penuntutan dan penjatuhan sanksi
pidana. Tetapi apabila kemudian ayat (2) dihubungkan dengan ayat (1)
justru menjadi rancu, karena dijelaskan bahwa apabila tindak pidana
dilakukan: a) oleh orang yang berdasarkan hubungan kerja, b) atau
berdasarkan hubungan lain, c) bertindak dalam lingkup kerja badan usaha,
maka sanksi pidananya justru dijatuhkan kepada a) pemberi perintah b) atau
pemimpin dalam tindak pidana tersebut. Ayat (2) Pasal 116 ini justru
memberikan penjelasan bahwa badan usaha tidak dijatuhi sanksi pidana
ketika tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh orang yang
berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain, dan bertindak
dalam lingkup kerja badan usaha. Jadi tidak jelas kemudian dalam kondisi


13
Pasal ini menjelaskan keadaan yang diperlukan untuk menjelaskan suatu tindak
pidana dilakukan oleh badan usaha, tetapi pasal ini justru menjelaskan bahwa yang
bertanggung jawab terhadap tindak pidana tersebut adalah pemberi perintah atau pemimpin
dan bukan badan usahanya. Padahal pada Ps. 116 (1) telah menyebutkan bahwa badan
usaha dapat dimintai pertanggungjawaban pidana secara mandiri. Sehingga dirasa malah
jadi tidak konsisten, siapa yang dapat bertanggung jawab dalam kondisi yang dijelaskan
pada ayat (2) pemberi perintahnya, atau badan usahanya atau kedua-duanya. Kemudian
juga menimbulkan pertanyaan, dalam kondisi apa Ps. 116 (1) dapat berlaku, di mana suatu
tindak pidana lingkungan hidup dianggap dilakukan oleh suatu badan usaha sehingga badan
usaha tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dan dijatuhi sanksi pidana.

Universitas Indonesia

256

seperti apa suatu tindak pidana yang dilakukan oleh, untuk atau atas nama
badan usaha bisa diberikan sanksi pidana kepada badan usaha nya.

Permasalahan yang kedua adalah, ketika suatu penuntutan terhadap


tindak pidana dapat dilakukan kepada badan usaha tetapi di dalam kondisi
tertentu sanksinya hanya bisa diberikan kepada pengurus akan
menyebabkan kebingungan mengenai pertanggungjawaban pengurus atau
pertanggungjawaban badan usaha sebagai subjek mandiri yang berbeda
secara individu. Akan ada kondisi dimana suatu perkara yang dituntut
adalah korporasi tetapi yang menjalankan sanksi adalah pengurus, atau
ketika yang dituntut adalah pengurus tetapi yang diberikan sanksi adalah
korporasi. Hal ini dapat dilihat pada beberapa putusan pengadilan
sebagaimana telah dibahas di atas. Andri G. Wibisana juga mengidentifikasi
beberapa permasalahan dalam Pasal 116 UU Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup ini, terutama ketika dikaitkan dengan
penjatuhan sanksi yang diatur pada Pasal 118.14

d. Model PPK yang Diadopsi oleh Peraturan Jaksa Agung (PERJA)


tentang Subjek Hukum Korporasi

Beberapa upaya telah dilakukan oleh Kejaksaan Agung dengan


mengeluarkan Peraturan Jaksa Agung RI No. PER-028/A/JA/10/2014
tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana dengan Subjek Hukum
Korporasi (selanjutnya disebut PERJA tentang Subjek hukum korporasi).
Aturan ini memberikan penambahan pedoman bagi jaksa penuntut
umum untuk mengisi kekosongan aturan mengenai tata cara pembebanan
pertanggungjawaban pidana kepada subjek hukum korporasi. PERJA
tentang subjek hukum koporasi pada lampiran menjelaskan kriteria
perbuatan yang dapat dimintakan pertanggungjawaban kepada korporasi
sebagai berikut:


14
Andri G. Wibisana, op., cit., hlm. 178-179.

Universitas Indonesia

257

a) Perbuatan yang didasarkan pada keputusan pengurus korporasi


yang melakukan maupun turut serta melakukan;
b) Dilakukan untuk kepentingan korporasi baik karena pekerjaan
atau hubungan lain;
c) Perbuatan yang menggunakan sumber daya manusia, dana
dan/atau segala bentuk dukungan atau fasilitas lainnya dari
korporasi;
d) Perbuatan yang dilakukan oleh pihak ketiga atas permintaan atau
perintah korporasi atau pengurus korporasi;
e) Dalam rangka melaksanakan kegiatan usaha sehari-hari korporasi;
f) Menguntungkan korporasi;
g) Tindakan yang diterima/biasanya diterima (accepted) oleh
korporasi;
h) Korporasi secara nyata menampung hasil tindak pidana.15
PERJA tentang subjek hukum korporasi ini memberikan kriteria
yang cukup jelas dalam penjabaran kriteria perbuatan mana yang dapat
dibebankan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. PERJA ini juga
tidak secara ketat mengadopsi satu jenis doktrin pertanggunjawaban pidana
korporasi. PERJA menganut identifikasi secara luas dan menambahkan
beberapa kriteria lain yang bisa dianggap sebagai perbuatan yang dapat
dibebankan pertanggungjawabannya kepada korporasi. Kriteria yang
digunakan oleh Perja tentang Subjek Hukum Korporasi ini juga sudah
cukup maju dengan mengidentifikasi bahwa korporasi bisa berperan dalam
suatu tindak pidana sebagai pihak yang memfasilitasi terjadinya tindak
pidana ketika sumber daya korporasi digunakan untuk melakukan tindak
pidana dan juga dalam hal korporasi berperan sebagai pihak yang
menampung hasil tindak pidana.


15
Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia. Peraturan Jaksa Agung RI tentang
Pedoman Penanganan Perkara Pidana dengan Subjek Hukum Korporasi. Perja No. PER-
028/A/JA/10/2014, Lampiran hlm. 3-4.

Universitas Indonesia

258

e. Model PPK yang Diadopsi oleh Peraturan Mahkamah Agung


(PERMA) tentang Perkara Tindak Pidana Korporasi

Pada akhir 2016 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan


Mahkamah Agung No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan
Perkara Tindak Pidana Korporasi (selanjutnya disebut PERMA tentang
perkara tindak pidana korporasi). PERMA seperti berusaha untuk
memisahkan antara penemuan actus reus dan mens rea dari korporasi.
Ketentuan mengenai pemenuhan actus reus dikemukan pada Pasal 3
PERMA dijelaskan bahwa suatu tindak pidana dilakukan oleh korporasi
apabila: dilakukan oleh orang berdasarkan hubungan kerja, atau berdasarkan
hubungan lain, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang bertindak
untuk dan atas nama korporasi di dalam maupun di luar lingkungan
korporasi. Kriteria ini sama dengan yang ada pada model
pertanggungjawaban pidana korporasi 2 dengan mengurungkan unsur untuk
kepentingan korporasi dan menambahkan unsur bertindak di dalam maupun
di luar lingkungan korporasi.
Mengenai penemuan kesalahan (mens rea atau blameworthiness),
PERMA tentang Tindak Pidana Korporasi mulai meninggalkan pemahaman
konvensional tentang korporasi yang dilihat sebagai suatu fiksi tetapi dilihat
sebagai suatu realitas subjek hukum yang mandiri. Korporasi merupakan
subjek mandiri yang terlepas dari perilaku tertentu dari manusia yang ada di
dalamnya. Hal ini dapat dilihat dari bunyi Pasal 4 (2) PERMA yang
menyatakan bahwa unsur kesalahan dari korporasi dapat dilihat dari:
a) Korporasi memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak
pidana tersebut, atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk
kepentingan korporasi;
b) Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana;
c) Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan
untuk mencegah tindak pidana, atau korporasi tidak mencegah
dampak yang lebih luas, atau korporasi tidak memastikan

Universitas Indonesia

259

kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku untuk


menghindari terjadinya tindak pidana.16

Unsur kesalahan (mens rea) yang bersifat subjektif biasanya


ditemukan di dalam diri pelaku tindak pidana. PERMA tidak mengaitkan
sikap kalbu dari korporasi dengan individu tertentu di dalam korporasi tetapi
lebih melihat kepada sistem pengorganisasian dan manajemen korporasinya
sendiri. Sehingga dapat disimpulkan bahwa PERMA ini mulai menganut
pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi secara langsung
(direct liability); di mana actus reus dan mens rea tidak diasosiasikan
dengan actus reus dan kesalahan dari subjek manusia tertentu yang ada di
dalam korporasi, tetapi korporasi dianggap memiliki suatu sistem
independen yang dapat memiliki kesalahan dari dirinya sendiri.
Selanjutnya, PERMA ini juga memberikan pembatasan terhadap
model pertanggungjawaban pidana korporasi yang selama ini dianut oleh
kebanyakan UU khusus yang ada di Indonesia, di mana doktrin yang
diterima adalah doktrin pertanggungjawaban pengganti ketat (strict
vicarious liability). PERMA sepertinya cenderung menerima qualified
vicarious liability yang memungkinkan pembelaan mengenai uji kelayakan
(due diligence),17 dan juga mengakomodasi sedikit doktrin corporate
culture yang salah satu komponennya adalah upaya pencegahan tindak
pidana (preventive fault) dan langkah yang diperlukan dalam merespon
tindak pidana (reactive corporate fault).18
Dengan kata lain, korporasi bisa menyatakan diri tidak bersalah
dalam suatu tindak pidana yang dituduhkan kepadanya sepanjang telah
melakukan langkah-langkah pencegahan yang dianggap perlu dalam
terjadinya tindak pidana atau apabila telah mengambil langkah yang tepat
untuk mencegah meluasnya resiko akibat terjadinya tindak pidana atau
unsur-unsur sebagaimana dijelaskan di atas tidak ditemukan.


16
Indonesia, SK Ketua Mahkamah Agung tentang Tata Cara Penanganan Perkara
Tindak Pidana Korporasi. SK Ketua MA No. 13 Tahun 2016, Pasal 4.
17
Pieth dan Ivory, op., cit., hlm. 23.
18
De Maglie, op., cit., hlm. 558.

Universitas Indonesia

260

Tabel 4.2 berikut menjelaskan secara lebih jelas mengenai unsur-


unsur PPK yang dianut pada model yang dianut oleh PERJA dan PERMA
yang dijelaskan di atas:
No. Model PPK PERJA Model PPK PERMA
1. Perbuatan yang didasarkan pada dilakukan oleh orang berdasarkan
keputusan pengurus korporasi yang hubungan kerja atau berdasarkan
melakukan maupun turut serta hubungan lain
melakukan
2. Dilakukan untuk kepentingan sendiri-sendiri maupun bersama-sama
korporasi baik karena pekerjaan
atau hubungan lain
3. Perbuatan yang menggunakan bertindak untuk dan atas nama
sumber daya manusia, dana korporasi
dan/atau segala bentuk dukungan
atau fasilitas lainnya dari korporasi;
4. Perbuatan yang dilakukan oleh di dalam maupun di luar lingkungan
pihak ketiga atas permintaan atau korporasi
perintah korporasi atau pengurus
korporasi
5. Dalam rangka melaksanakan Korporasi memperoleh keuntungan atau
kegiatan usaha sehari-hari manfaat dari tindak pidana tersebut,
korporasi atau tindak pidana tersebut dilakukan
untuk kepentingan korporasi
6. Menguntungkan korporasi Korporasi membiarkan terjadinya
tindak pidana
7. Tindakan yang diterima/biasanya Korporasi tidak melakukan langkah-
diterima (accepted) oleh korporasi langkah yang diperlukan untuk
mencegah tindak pidana

8. Korporasi secara nyata menampung korporasi tidak mencegah dampak yang


hasil tindak pidana lebih luas
9. korporasi tidak memastikan kepatuhan

Universitas Indonesia

261

terhadap ketentuan hukum yang berlaku


untuk menghindari terjadinya tindak
pidana

Dari unsur-unsur PPK yang diadopsi oleh PERJA dan PERMA dapat
dilihat bahwa kedua ketentuan ini sudah menggunakan kombinasi dari
beberapa doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi. PERJA dan
PERMA mengkombinasikan pertanggungjawaban tidak langsung (indirect
liability) di mana perbuatan dan kesalahan pengurus korporasi dapat
diatribusikan menjadi perbuatan dan kesalahan dari korporasi dan
pertanggungjawaban langsung (direct liability), di mana kesalahan ditarik
langsung dari korporasi tanpa perlu mengidentifikasi individu tertentu yang
ada di dalam korporasi. Misalnya standar kesalahan yang didasarkan pada
korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana, korporasi menerima tindak
pidana, korporasi tidak mencegah dampak yang lebih luas, atau korporasi
tidak memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku untuk
menghindari terjadinya tindak pidana.

e. Model PPK Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Selanjutnya akan dilakukan pembahasan terhadap


pertanggungjawaban korporasi menurut Rancangan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana. Ketentuan mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi
diatur pada Paragraf 6 dengan judul ‘korporasi’, dan dijabarkan pada Pasal
48 sampai dengan Pasal 54.

Pasal 49 menjelaskan:19

“Tindak pidana korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan oleh


orang-orang yang mempunyai kedudukan fungsional dalam
struktur organisasi korporasi yang bertindak untuk dan atas nama
korporasi atau bertindak demi kepentingan korporasi, yang
berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain, dalam
lingkup usaha atau kegiatan korporasi tersebut, baik secara sendiri-
sendiri maupun bersama-sama.”


19
Pasal 49 yang dibahas adalah RKUHP Hasil Timus per 10 Oktober 2017.

Universitas Indonesia

262

Selanjutnya penjelasan Pasal 49 ini mengemukakan yang dimaksud


dengan ‘kedudukan fungsional’ adalah:
“orang tersebut mempunyai kewenangan mewakili, kewenangan
mengambil keputusan, dan kewenangan untuk menerapkan
pengawasan terhadap korporasi tersebut. Termasuk di sini orang-
orang tersebut berkedudukan sebagai orang yang
menyuruhlakukan, turut serta melakukan, penganjuran, atau
pembantuan tidak pidana tersebut.”

Pasal 49 sepertinya mengatur mengenai actus reus dari suatu tindak


pidana korporasi. Pasal ini menjelaskan bahwa tindak pidana korporasi
haruslah dilakukan oleh orang yang mempunyai kedudukan fungsional.
Apabila diperhatikan dari kata-kata ‘dilakukan oleh orang-orang yang
mempunyai kedudukan fungsional, dan dikaitkan dengan penjelasan Pasal
49, maka suatu korporasi dikatakan melakukan suatu tindak pidana hanya
apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai
kewenangan mewakili, kewenangan mengambil keputusan, dan
kewenangan untuk menerapkan pengawasan terhadap korporasi.
Bandingkan pengertian ‘orang-orang yang mempunyai kedudukan
fungsional’ yang dianut oleh RKUHP dengan pengertian personel
pengendali yang dianut pada Pasal 1 (14) UU No. 8 Tahun 2010 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang: “Personil pengendali korporasi adalah
setiap orang yang memiliki kekuasaan atau wewenang sebagai penentu
kebijakan korporasi atau memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan
korporasi tersebut tanpa harus mendapat otorisasi dari atasannya.”
Dapat dipahami bahwa perancang undang-undang mendasarkan
pemikirannya kepada doktrin identifikasi untuk menjelaskan
pertanggungjawaban suatu korporasi atas suatu tindak pidana. Namun
membatasi pengadopsian satu teori saja untuk membuktikan keterlibatan
korporasi terhadap suatu tindak pidana merupakan kemunduran terhadap
kemungkinan untuk meminta pertanggungjawaban pidana pada subjek
hukum korporasi. Dalam kenyataannya tidak sering para pemimpin
korporasi bertindak langsung dalam kegiatan operasional korporasi.
Kalaupun posisi para pemimpin ini adalah sebagai orang yang

Universitas Indonesia

263

menyuruhlakukan, turut serta melakukan, penganjuran, atau pembantuan


tindak pidana, tentunya harus ada pembuktian mengenai peran langsung dari
para pemimpin dalam menyuruhlakukan, turut serta melakukan,
penganjuran, atau pembantuan tindak pidana.
Sebagaimana telah dijelaskan juga sebelumnya pada kerangka teori
bahwa Gobert mengidentifikasi setidaknya dua kelemahan dari doktrin
identifikasi, bahwa doktrin ini akan sering memungkinkan para pimpinan
perusahaan dan juga perusahaannya untuk terbebas dari
pertanggungjawaban pidana karena mereka tidak secara langsung
melakukan actus reus dari tindak pidana atau tidak secara langsung
menyarankan untuk melakukan tindak pidana.20 Masalah lain dengan
penerapan doktrin identifikasi adalah ketika seorang pimpinan korporasi
bertindak bertentangan dengan kepentingan terbaik organisasi. Apabila para
pimpinan bertindak dengan mengatasnamakan organisasi namun tindakan
tersebut sebenarnya merugikan organisasi untuk kepentingan pribadi.21
Selanjutnya Pasal 49A menambahkan bahwa tindak pidana korporasi
dapat dilakukan oleh personel pengendali korporasi dan pemberi perintah
yang berada di luar struktur organisasi tetapi dapat mengendalikan
korporasi.22 Dapat dipahami bahwa yang dimaksudkan oleh perancang
KUHP di sini adalah tidak hanya membatasi tindak pidana dapat dilakukan
oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan fungsional di dalam struktur
korporasi saja tetapi juga beneficiary owners yang merupakan orang-orang
yang dalam kenyataan memiliki kewenangan dan ikut memutus kebijakan
korporasi. Mereka tidak ada di dalam struktruk organisasi tetapi memiliki
pengaruh yang besar terhadap jalannya operasional korporasi tidak dapat
dianggap sebagai perilaku korporasi.
Pengaturan mengenai hal ini sebenarnya telah diterima pada UU No.
31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Di mana penjelasan Pasal 20 menyatakan bahwa pengurus
adalah organ korporasi yang menjalankan kepengurusan korporasi yang

20
James Gobert, op., cit., hlm. 142.
21
Ibid.
22
Pasal 49A RKUHP Hasil Timus per 10 Oktober 2017.

Universitas Indonesia

264

bersangkutan sesuai dengan anggaran dasar, termasuk mereka yang dalam


kenyataanya memiliki kewenangan dan ikut memutuskan kebijakan
korporasi.
Ketentuan mengenai hal ini dirasa sangat penting karena dalam
kenyataannya kadangkala tindak pidana dilakukan tidak selalu oleh personel
pengendali tetapi bisa juga dilakukan atau diperintahkan oleh orang yang
ada di luar korporasi tetapi memiliki pengaruh yang sangat besar dalam
pengambilan kebijakan korporasi.
Selanjutnya Pasal 50 menjelaskan: “Jika tindak pidana dilakukan
oleh korporasi, pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi
dan/atau pengurusnya, pemberi perintah atau personel pengendali
korporasi.”23
Ketentuan seperti ini menurut penulis memberikan kerancuan
tentang subjek mandiri diantara korporasi dan subjek individu di dalam
korporasi. Seharusnya kalau yang dinyatakan melakukan tindak pidana
adalah korporasi maka yang bertanggungjawab adalah korporasi, dan kalau
memang ada unsur kesalahan pada individu pengurus, maka dia juga dapat
bertanggung jawab atas kesalahannya tersebut. Pandangan seperti inilah
yang kemudian banyak ditemukan pada putusan hakim dalam memeriksa
kasus hukum yang melibatkan korporasi sebagai pelaku tindak pidana.
Hakim seperti mencampuradukkan pelaku korporasi dan pelaku individu
sebagai dua subjek hukum yang sama, mereka seperti dapat dipertukarkan
(interchangeable), dapat bertanggung jawab atas perilaku menyimpang dari
subjek hukum yang lainnya.
Selanjutnya redaksional Pasal 51 menjelaskan:

“Korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana atas


suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau atas nama korporasi,
jika perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usaha atau kegiatan
sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain
yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan atau jika perbuatan


23
Pasal 50 RKUHP Hasil Timus per 10 Oktober 2017.

Universitas Indonesia

265

tersebut dilakukan di luar lingkup usaha atau kegiatan yang


menguntungkan atau dilakukan demi kepentingan korporasi.”24

Pasal ini menurut penulis dapat memiliki dua implikasi yang


berbeda:
1. Pasal ini seperti memberikan peluang bahwa korporasi dapat
dipertanggungjawabkan apabila tindak pidana tersebut dilakukan untuk
dan/atau atas nama korporasi, jika termasuk dalam lingkup usaha atau
kegiatannya atau kegiatan tersebut menguntungkan atau dilakukan demi
kepentingan korporasi. Tidak ada pembatasan dalam hal ini siapa yang
melakukan tindak pidana, apakah jika tindak pidana tersebut dilakukan
oleh pekerja bawahan dan bukan dilakukan oleh orang-orang yang
mempunyai kedudukan fungsional dapat dikatakan korporasi dapat
dimintai pertanggungjawaban pidana?
2. Pasal ini merupakan pembatasan dari Pasal 49 yang menyatakan bahwa
tindak pidana korporasi adalah apabila tindak pidana tersebut dilakukan
oleh personel pengendali dan dapat dipertanggungjawabkan kepada
korporasi hanya apabila dilakukan untuk dan/atau atas nama korporasi
atau menguntungkan atau dilakukan demi kepentingan korporasi.
Apabila dikaitkan dengan penjelasan Pasal 51, dimana diterangkan
bahwa:
“Mengenai kedudukan sebagai pembuat tindak pidana dan sifat
pertanggungjawaban pidana dari korporasi terdapat kemungkinan
sebagai berikut:
g. Pengurus korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan oleh
karena itu penguruslah yang bertanggung jawab;
h. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan pengurus yang
bertanggung jawab; atau
i. korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan juga sebagai yang
bertanggung jawab.
Oleh karena itu, jika suatu tindak pidana dilakukan oleh dan untuk
suatu korporasi maka penuntutannya dapat dilakukan dan pidananya
dapat dijatuhkan terhadap korporasi sendiri atau korporasi dan
pengurusnya, atau pengurusnya saja.”


24
Pasal 51 RKUHP Hasil Timus per 10 Oktober 2017.

Universitas Indonesia

266

Kalau diperhatikan lebih lanjut sebenarnya penjelasan pasal ini lebih


cocok dijadikan penjelasan untuk Pasal 50 yang menjelaskan hubungan
pelaku tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana yang mengikuti
perbuatan tersebut. Namun, karena perancang undang-undang
meletakkannya sebagai penjelasan Pasal 51, maka akan dikaitkan dengan
ketentuan yang terkandung pada Pasal 51. Apabila diperhatikan kata-kata
pengurus di dalam penjelasan Pasal 51, sepertinya tidak membatasi pelaku
sebagai orang-orang yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur
organisasi, atau tidak membatasinya sebagai pengurus pengendali, sehingga
pengurus korporasi bisa berarti juga pengurus yang ada di tingkat bawah
dari struktur organisasi. Sehingga Pasal 51 dan penjelasannya akan
memberikan makna yang jauh berbeda dari doktrin identifikasi sebagaimana
yang diinginkan oleh Pasal 49. Doktrin yang diadopsi Pasal 51 adalah
vicarious liability sebagaimana dijelaskan bahwa korporasi dapat
bertanggungjawab atas suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan atas nama
korporasi, sepanjang memang perbuatan tersebut termasuk di dalam lingkup
usaha korporasi.
Permasalahan selanjutnya dari naskah RKUHP dapat ditemukan
pada Pasal 52, dimana dijelaskan sebagai berikut: “Pertanggungjawaban
pidana pengurus korporasi dibatasi sepanjang pengurus mempunyai
kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi.” Pasal ini
mencoba untuk memberikan penjelasan mengenai kondisi seperti apa yang
dapat menjadikan pengurus korporasi bertanggung jawab atas suatu tindak
pidana yang terjadi di dalam korporasi. Namun bukannya merinci actus reus
dan mens rea seperti apa yang harus ada untuk membebani seorang
pengurus korporasi untuk dapat bertanggung jawab terhadap tindak pidana
yang terjadi di dalam korporasi, pasal ini malah membatasi pengurus yang
mana yang dapat bertanggung jawab ketika suatu tindak pidana terjadi di
dalam korporasi. Terlihat sangat jelas bahwa RKUHP sangat ingin
menggunakan doktrin identifikasi saja dan membatasi segala
pertanggungjawaban pidana hanya sampai pengurus pengendali saja.

Universitas Indonesia

267

Dari pemamaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa naskah


RKUHP seperti mengadopsi doktrin identifikasi untuk dapat menjelaskan
perbuatan korporasi sehingga dia dapat dipertanggungjawabkan, namun
mengadopsi hanya doktrin identifikasi saja dirasa merupakan suatu
kemunduran dalam penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi.
Apabila model-model pertanggungjawaban pidana korporasi yang
telah dikemukakan di atas dikaitkan dengan doktrin pertanggungjawaban
pidana korporasi, maka dapat disimpulkan bahwa kebanyakan peraturan
perundang-undangan menggunakan pertanggungjawaban pidana tidak
langsung (indirect liability) berupa vicarious criminal liability dan
identification doctrine. Sedangkan PERJA dan PERMA menganut juga
pertanggungjawaban langsung (direct liability) di mana penemuan
perbuatan dan kesalahan korporasi disandarkan pada kriteria yang lebih
konkrit dari cara pengelolaan korporasi itu sendiri.
Tabel 4.3 berikut menjelaskan secara lebih jelas mengenai doktrin
PPK yang dianut pada model-model di atas:
o. Vicarious Identification Aggregation Corporate
liability culture
1. Model PPK 1 ✔
2. Model PPK 2 ✔
3. Model PPK 3 ✔
4. Model PPK PERJA ✔ ✔ ✔
5. Model PPK PERMA ✔ ✔
6. Model PPK RKUHP ✔

Dari pemaparan ini dapat disimpulkan bahwa politik hukum


mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi masih beragam, di mana
setiap peraturan perundang-undangan memiliki cara pandang yang berbeda
sehingga hal ini menimbulkan kesulitan dalam penegakan hukum bagi
korporasi.

Universitas Indonesia

268

2. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Peraturan


Perundang-undangan Negara Lain

a. UK Corporate Manslaughter and Corporate Homicide Act 2007

Inggris pada tahun 2007 mengesahkan undang-undang baru tentang


pertanggungjawaban pidana bagi korporasi untuk tindak pidana
pembunuhan. Undang-undang ini menggunakan terminologi organisasi
untuk merujuk kepada subjek hukum kolektif. Mengenai
pertanggungjawaban pidana, undang-undang ini menggunakan standar “cara
pengelolaan dan pengorganisasian.” Section 1 subsection (1) undang-
undang ini menjelaskan: “an organisation to which this section applies is
guilty of an offence if the way in which its activities are managed or
organised: (a) causes a person’s death, and (b) amounts to a gross breach
of a relevant duty of care owed by the organisation to the deceased.” (suatu
organisasi yang kepada nya ketentuan ini berlaku dinyatakan bersalah atas
tindak pidana apabila cara pengelolaan atau pengaturan aktifitasnya: (a)
menyebabkan seseorang mati, dan (b) diakibatkan oleh suatu pelanggaran
terhadap kewajiban untuk memperhatikan (duty of care) dari organisasi
terhadap almarhum.)

Selanjutnya subsection (3) menjelaskan lebih lanjut bahwa


organisasi dapat dinyatakan bersalah apabila cara pengelolaan dan
pengorganisasian yang dilakukan oleh senior management merupakan
elemen yang substansial terhadap terjadinya akibat sebagaimana ditentukan
pada subsection (1). Subsection (3) menjelaskan sebagai berikut:

“an organisation is guilty of an offence under this section only if the


way in which its activities are managed or organised by its senior
management is a substantial element in the breach referred to in
subsection (1).” (suatu organisasi bersalah atas tindak pidana
berdasarkan pasal ini hanya apabila cara pengelolaan dan pengaturan
aktifitas yang dilakukan oleh manajemen senior adalah elemen yang
penting dalam pelanggaran sebagaimana dijelaskan pada subsection
(1).)
Undang-undang ini tidak menggunakan terminologi directing mind,
tetapi senior management. Definisi senior management yang dianut oleh
Universitas Indonesia

269

undang-undang ini lebih luas dari pada directing mind yang dianut oleh
doktrin identifikasi yang secara tradisional dianut oleh pengadilan di
Inggris.25 Siapa saja pengurus yang dapat dikategorikan sebagai senior
management dijelaskan oleh undang-undang ini pada Section 1 subsection
(4) adalah:

“Senior management”, in relation to an organisation, means the


persons who play significant roles in: (a) the making of decisions
about how the whole or a substantial part of its activities are to be
managed or organized, or (b) the actual managing or organising of
the whole or a substantial part of those activities. (Manajemen
senior, dalam kaitannya dengan suatu organisasi, berarti orang yang
memiliki peran yang penting dalam: (a) pembuatan keputusan
tentang bagaimana sebagian atau ke seluruhan aktifitas nya, atau (b)
pengatur atau pengelola yang aktual dari sebagian atau ke seluruhan
bagian dari aktifitas organisasi.)
Menurut ketentuan ini, tidak hanya direksi atau pimpinan tertinggi dari
organisasi yang bisa termasuk ke dalam senior management, tetapi juga
adalah pihak yang dapat membuat suatu keputusan tentang bagian
substansial dari aktifitas organisasi dan juga orang yang secara nyata
mengelola seluruh atau suatu bagian yang substansial dari aktifitas
organisasi.

Selanjutnya undang-undang ini juga memungkinan untuk


menggunakan doktrin budaya perusahaan dalam menilai apakah suatu
korporasi dapat bertanggung jawab atas suatu tindak pidana. Section 8 (3)
dari UU ini membolehkan juri untuk mempertimbangkan apakah terdapat
suatu sikap, kebijakan, sistem, atau suatu praktek yang telah diterima oleh
organisasi yang mungkin mendorong atau menoleransi tindak pidana.26
Section 8 (3) secara lengkap berbunyi:
“The jury may also:
a. consider the extent to which the evidence shows that there were
attitudes, policies, systems or accepted practices within the
organisation that were likely to have encouraged any such
failure as is mentioned in subsection (2), or to have produced
tolerance of it.”

25
Johannes Keiler, op., cit., hlm. 458.
26
United Kingdom, Corporate Manslaughter and Corporate Homocide 2007,
Section 8 (3). Berbunyi:

Universitas Indonesia

270

(Para juri dapat juga:


a. mempertimbangkan sejauh mana bukti menunjukkan bahwa
terdapat sikap, kebijakan, sistem atau praktik yang telah
diterima di dalam organisasi yang cenderung mendorong
pelanggaran sebagaimana disebutkan pada subsection (2), atau
yang dapat mengakibatkan ditoleransinya perbuatan tersebut.)

Inggris yang secara umum menerima doktrin identifikasi pada


putusan pengadilannya, pada undang-undang Corporate Manslaughter and
Corporate Homocide 2007 (CMCH UK) mulai bergeser menggunakan
pendekatan pertanggungjawaban langsung (direct liability).27 Di samping
memperluas subjek hukum grup kolektif yang bisa bertanggung jawab di
dalam hukum pidana, CMCH UK mulai meninggalkan persyaratan yang
menyatakan bahwa tindak pidana dilakukan oleh pegawai atau pengurus
atau personel pengendali korporasi, dan lebih menekankan kepada aktifitas
dan cara pengelolaan dan pengorganisasian korporasi. Selanjutnya undang-
undang ini juga memungkinkan untuk melihat apakah terdapat budaya
korporasi yang mendorong atau mentoleransi terjadinya tindak pidana.

b. KUHP Belanda

Mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi KUHP Belanda


dijelaskan pada Pasal 51. Pasal 51 KUHP Belanda secara keseluruhan
berbunyi:28

“Pasal 51:
1. Tindak pidana dapat dilakukan oleh orang perseorangan atau badan
hukum.
2. Apabila tindak pidana dilakukan oleh badan hukum, proses pidana
dapat dijalankan dan pemidanaan serta tindakan yang ditentukan
oleh hukum dapat diberikan kepada:

27
Pieth dan Ivory, op., cit., hlm. 27. Pieth dan Ivory menggunakan istilah holistic
approach, sebagaimana telah dibahas pada bab II disertasi ini, bahwa holistic approach
adalah salah satu pandangan tentang corporate personality yang secara penuh mengakui
realitas entitas kolektif dan menolak kemungkinan untuk mereduksi kenyataan tersebut
menjadi individu-individu dan hubungan antara individu tersebut. Sehingga dapat dipahami
bahwa trend yang berkembang memang adalah mengarah kepada pendekatan realitas
terhadap keberadaan suatu korporasi.
28
Diterjemahkan secara bebas oleh penulis.

Universitas Indonesia

271

a. Badan hukum,
b. Orang yang memerintahkan dilakukannya tindak pidana,
atau terhadap orang-orang yang secara nyata
mengarahkan dilakukannya tindak pidana,
c. Atau terhadap orang yang dijelaskan pada poin a dan b
secara bersama-sama.
3. Dalam menerapkan subsection sebelumnya di bawah ini dianggap
sama kedudukannya dengan badan hukum: asosiasi yang tidak
berbadan hukum, partnership, perusahaan pelayaran, kekayaan
dengan tujuan tertentu.”
Tidak ada penjelasan lebih lanjut dari KUHP Belanda mengenai
doktrin apa yang mereka anut untuk membebankan pertanggungjawaban
pidana. Doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi Belanda banyak
dikembangkan di pengadilan. Pembahasan mengenai bagaimana pengadilan
di Belanda membebankan pertanggungjawaban pidana korporasi akan
dilakukan pada bagian selanjutnya pada Bab ini. Belanda menggunakan
beberapa kriteria dalam mengatribusikan pertanggungjawaban pidana
berdasarkan karakteristik kasus yang sedang diperiksa.29

Pasal 51 KUHP Belanda hanya menjelaskan ketika tindak pidana


dilakukan oleh korporasi, sanksi dapat diberikan kepada korporasi dan/atau
pengurus. Redaksional Pasal ini yang banyak ditemui dalam peraturan
perundang-undangan Indonesia dan akhirnya menimbulkan banyak kasus
hukum yang mencampuradukkan subjek manusia dengan subjek korporasi
dalam pertanggungjawaban dan pemidanaan. Padalah kedua subjek tersebut
adalah berbeda dan tidak dapat dipertukarkan dalam hal
pertanggungjawaban pidana ataupun pemidanaannya.

3. Pertanggungjawaban Pidana Individu Personel Korporasi

Dari beberapa peraturan perundang-undangan Indonesia yang


diteliti, tidak ada yang menjelaskan secara eksplisit kapan seorang pengurus
dapat dinyatakan bertanggung jawab terhadap suatu tindak pidana yang


29
Lihat Bab ini pada bagian sub-bab “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam
Putusan Pengadilan di Negara Lain.”

Universitas Indonesia

272

terjadi di dalam korporasi. Hanya ada PERJA yang mengelaborasi tentang


hal ini secara khusus. PERJA tentang Subjek Hukum Korporasi pada
lampiran menjelaskan kriteria perbuatan pengurus korporasi yang dapat
dimintakan pertanggungjawaban pidana, yaitu:
a) Setiap orang yang melakukan, turut serta melakukan, menyuruh
melakukan, menganjurkan melakukan atau membantu melakukan
tindak pidana;
b) Orang yang memiliki kendali dan wewenang untuk melakukan
tindakan pencegahan tetapi tidak melakukan tindakan tersebut,
dan menyadari bahwa terdapat resiko yang cukup besar dengan
pembiaran tersebut;
c) Setiap orang yang mempunyai pengetahuan akan adanya resiko
yang cukup besar, cukuplah apabila ia tahu bahwa tindak pidana
tersebut dilakukan oleh korporasi.30

Dalam hukum perdata, prinsip umum yang diterima adalah adanya


pertanggungjawaban terbatas (limited liability), dimana direksi dan
pemegang saham dari suatu perusahaan tidaklah bertanggung jawab secara
pribadi atas suatu perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
perusahannya.31 Dasar dari prinsip umum ini adalah bahwa korporasi
tersebut memiliki kepribadian yang terpisah dari anggota-anggota yang ada
di dalamnya.32 Prinsip ini disebut juga sebagai doktrin ‘corporate veil.’33
Sehingga dapat dipahami bahwa terdapat pemisahan antara korporasi
dengan anggota-anggota yang melakukan pengurusan terhadap korporasi
atau dengan para pegawai yang dibayar oleh korporasi tersebut.

Prinsip yang sama juga berlaku dalam hukum pidana, dimana


pengurus perusahaan tidak akan secara otomatis dapat dikatakan
bertanggung jawab secara pribadi apabila korporasi bersalah atas suatu


30
Ibid., Lampiran hlm. 5.
31
Pinto dan Evans, op., cit., hlm. 73.
32
Ibid.
33
Neil Foster, op., cit., hlm. 114.

Universitas Indonesia

273

tindak pidana. Meskipun prinsip yang dipakai bukanlah “corporate veil”


yang timbul karena adanya proses inkorporasi atau proses memberikan
status yang terpisah kepada suatu organisasi, tetapi prinsip “personal
liability” sebagaimana yang dianut dalam pertanggungjawaban hukum
pidana. Para pengurus hanya akan dapat dipersalahkan apabila yang
bersangkutan memang telah melakukan suatu tindak pidana (komisi) atau
tidak melakukan kewajiban (omisi) yang ada pada dirinya sehingga
terwujudlah tindak pidana tersebut.34
Korporasi dalam melakukan aktivitasnya memang membutuhkan
subjek manusia. Selalu dipahami bahwa ada orang natural (natural person)
di dalam korporasi yang telah melakukan suatu tindak pidana sehingga
menyebabkan korporasi dapat dipertanggungjawabkan atas kerusakan yang
timbul karena tindak pidana tersebut. Atau setidak-tidaknya ada subjek
manusia yang berhubungan dengan korporasi yang menjadi pemicu
terjadinya tindak pidana.35 Dari pemahaman inilah kemudian muncul
pertanggungjawaban tidak langsung (indirect liability) dari korporasi, di
mana perbuatan dan kesalahan pengurus ditarik menjadi perbuatan dan
kesalahan korporasi (vicarious liability dan identification doctrine).
Ketika tindak pidana terjadi di dalam korporasi dan korporasi
dianggap dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana tersebut,
pengurus dapat juga dijadikan ikut bersalah dalam tindak pidana itu.
Tujuannya adalah agar seorang pelaku tindak pidana tidak bisa berlindung
di balik pertanggungjawaban pidana korporasi.36 Adanya
pertanggungjawaban pidana korporasi tidak diharapkan akan menjadi
pelepas tanggung jawab (scapegoats) dari kesalahan yang dilakukan oleh
pengurus korporasi.37 Selain itu, agar pengurus dapat lebih berhati-hati


34
Pinto dan Evans, op., cit., hlm. 75.
35
Pieth dan Ivory, op., cit., hlm. 21.
36
James Gobert, op., cit., hlm. 143.
37
Neil Foster, op., cit., hlm. 118.

Universitas Indonesia

274

dalam melakukan pengelolaan korporasi dan dalam mengambil suatu


keputusan di dalam korporasi.38
Namun dalam kenyataannya pengendali korporasi tidak dapat
dikatakan otomatis bersalah apabila korporasi melakukan suatu tindak
pidana apabila memang tidak ada perannya dalam terwujudnya tindak
pidana. Pemahaman ini berkembang karena teori realitas korporasi
(corporate realistic dalam konsep corporate legal personality) yang
berpendapat bahwa korporasi adalah subjek mandiri dengan semua
kapasitas yang dimilikinya, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara
pribadi dari perilaku dan kesalahan korporasi sendiri (direct liability), yang
kemudian berkembang menjadi doktrin budaya korporasi dan doktrin
agregasi. Menurut doktrin ini korporasi bisa dipertanggungjawabkan tanpa
harus bergantung kepada perilaku dan niat jahat tertentu dari subjek
individu yang ada di dalam korporasi.39 Sehingga ketika koporasi
melakukan suatu tindak pidana tidak berarti secara otomatis ada pengurus
tertentu di dalam korporasi dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana
tersebut.
Dari beberapa peraturan perundang-undangan yang ada di negara
lain, secara umum ada dua pendekatan yang digunakan dalam
pengatribusian pertanggungjawaban pidana individu direksi perusahaan atas
suatu tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.40 Pertama adalah
pendekatan yang selalu menyatakan bahwa personel pengendali secara
otomatis selalu bersalah apabila korporasi melakukan suatu tindak pidana.


38
Patrick Bernau, “Decision and Punishment: Or – Hold Bankers Responsible!:
Corporate Criminal Liability from Economic Perspective,” dalam Dominik Brodowski, et
al (editors), Regulating Corporate Criminal Liability, (Dorrecht: Springer, 2014), hlm. 48.
39
James Gobert, op., cit., hlm. 143.
40
Ibid., hlm. 119. Ada beberapa negara seperti misalnya Amerika Serikat yang
memang tidak membuat secara khusus ketentuan mengenai pertanggungjawaban individu
dalam perannya pada suatu organisasi yang melakukan tindak pidana (dalam konteks ini
Foster menjelaskan mengenai International Comparison of Health and Safety
Responsibilities of Company Director). Neil Foster, op., cit., hlm. 119. Namun secara
umum dapat dipahami bahwa pertanggungjawaban pidana individu personel korporasi tidak
selalu diatur di dalam suatu peraturan perundang-undangan, karena mungkin dianggap
bahwa pertanggungjawaban pidana individual adalah hal yang alamiah dan memang sudah
menjadi karakteristik dasar dari hukum pidana.

Universitas Indonesia

275

Kedua adalah pertanggungjawaban terbatas dari personel pengendali


sepanjang memenuhi unsur tindak pidana yang dilakukan.
Menurut Doelder, di Belanda, tidak dalam semua kasus diperlukan
secara absolut untuk mengidentifikasi manusia natural yang secara nyata
melakukan tindak pidana di dalam korporasi; khususnya apabila
korporasinya telah menyatakan diri berasalah (pleaded guilty).41 Bahkan
pada Corporate Manslaughter and Corporate Homicide Act 2007 (UK)
(CMCHA), secara eksplisit mengatur bahwa dalam suatu tindak pidana
yang menyatakan bahwa organisasi bersalah atas suatu tindak pidana yang
diatur oleh UU ini, tidak dapat mempersalahkan individu yang ada di dalam
organisasi atas tindak pidana tersebut ataupun atas pembantuan terjadinya
tindak pidana. Sebagaimana Section 18 dari UU ini menjelaskan: “[a]n
individual cannot be guilty of aiding, abetting, counselling or procuring the
commission of an offence of corporate manslaughter.” (Seorang individu
tidak dapat dinyatakan bersalah atas pembantuan, persekongkolan atau
pengajuran melakukan suatu tindak pidana pembunuhan oleh korporasi).

a. Pertanggungjawaban Pidana Terbatas dari Personel Pengendali


Korporasi

Inggris termasuk dalam negara yang menjelaskan bahwa


pertanggungjawaban pidana dari direksi tergantung kepada kontribusinya
dalam terwujudnya tindak pidana. Misalnya pada Section 37 Health and
Safety at Work etc. Act 1974 (UK) (HSWA) menjelaskan bahwa apabila
tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dilakukan dengan persetujuan
(consent), persekongkolan (connivance), atau disebabkan karena kelalaian
(neglect) dari direktur, manajer, sekretaris, atau pengurus organisasi lainnya,
atau pihak lain yang bertindak dalam kapasitas yang sama, maka individu
tersebut harus juga dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana
tersebut sesuai dengan perannya.42

41
Hans de Doelder, “Criminal Liability of Corporations – Netherlands,” dalam Hans
de Doelder dan Klaus Tiedemann (editor), Criminal Liability of Corporation, (The Hague:
Kluwer Law Interntional, 1996), hlm. 300.
42
United Kingdom, Health and Safety at Work etc. Act 1974 (HSWA), Section 37
secara lengkap berbunyi: “Offences by bodies corporate. (1) Where an offence under any of

Universitas Indonesia

276

Ketentuan mengenai adanya persetujuan (consent), persekongkolan


(connivance), atau kelalaian (neglect) dari pengurus terhadap terwujudnya
tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi merupakan syarat yang banyak
dimasukkan dalam beberapa peraturan Inggris untuk mengatribusikan
pertanggungjawaban pidana kepada pengurus atau direksi.43 Ketentuan yang
sama misalnya juga dimuat pada Section 18 (1) Theft Act 1968 dan Theft Act
1978, Section 20 Trade Descriptions Act 1968, Section 14 Company
Director’s Disqualification Act 1986, Section 9 (3) Knives Act 1997.
Menurut Pinto dan Evans, persetujuan (consent) bisa diberikan
meskipun tidak terdapat pengetahuan aktual (actual knowledge) terhadap
tindak pidana tersebut.44 Artinya persetujuan bisa diberikan secara terang-
terangan, atau secara diam-diam, atau bahkan hanya dengan membiarkan
suatu tindak pidana tanpa melakukan suatu pencegahan terhadap
berlangsungnya tindak pidana tersebut. Sedangkan dalam hal
persekongkolan (connivance) terdapat tingkat keterlibatan yang lebih tinggi
dari pada persetujuan (consent) sehingga pengetahuan aktual akan
keberadaan tindak pidana tersebut haruslah dimiliki oleh pengurus.45
Kelalaian (neglect) dijelaskan oleh Pinto dan Evans sebagai
kegagalan untuk melakukan sesuatu kewajiban yang diketahui harus
dilakukan (the obligation knows should be done) atau patut diketahui harus
dilakukan (the obligation ought to know should be done) oleh seseorang
(dalam konteks ini dari pengurus korporasi).46 Untuk dapat mengetahui
adanya kelalaian dari pengurus yang perlu diidentifikasi adalah unsur
objektif mengenai apa yang seharusnya diketahui (ought to have known) dan
bukan pertanyaan subjektif mengenai apa yang secara nyata diketahui oleh


the relevant statutory provisions committed by a body corporate is proved to have been
committed with the consent or connivance of, or to have been attributable to any neglect on
the part of, any director, manager, secretary or other similar officer of the body corporate
or a person who was purporting to act in any such capacity, he as well as the body
corporate shall be guilty of that offence and shall be liable to be proceeded against and
punished accordingly.”
43
Pinto dan Evans, op., cit., hlm. 81-83.
44
Ibid., hlm. 82.
45
Ibid.
46
Ibid.

Universitas Indonesia

277

pengurus (what the director actually knews).47 Berbeda dengan consent,


dalam hal neglect tidak terdapat persetujuan terhadap suatu tindak pidana
tetapi kurangnya perhatian yang diberikan oleh pengurus terhadap
kewajiban yang seharusnya dilakukan.48
Dalam R v Chargot Ltd,49 berkaitan dengan pertanggungjawaban
individu berdasarkan pelanggaran atas Section 37 HSWA, Lord Hope
menjelaskan bahwa pertanggungjawaban pidana korporasi harus terlebih
dahulu dibuktikan, dan kemudian barulah mencari apakah terdapat
persetujuan (consent), persekongkolan (connivance) atau kelalaian (neglect)
dari pihak individu dalam organisasi yang merupakan unsur dalam
pengatribusian pertanggungjawaban pidana kepada individu organisasi.

b. Pertanggungjawaban Pidana Absolut dari Personel Pengendali


Korporasi50

Selanjutnya adalah pendekatan yang menjelaskan bahwa personel


pengendali korporasi juga dianggap bersalah dalam suatu tindak pidana
yang dilakukan oleh korporasi, kecuali dia mampu membuktikan bahwa dia
tidak bersalah. Artinya beban pembuktian tentang ada atau tidaknya
ketidakterlibatan pengurus dalam suatu tindak pidana yang dilakukan oleh
korporasi ada pada pengurus yang bersangkutan bukan pada penuntut
umum.51
Misalnya di Australia dalam New South Wales (NSW) Occupational
Health and Safety Act tahun 2000, Section 26, menyatakan bahwa apabila
suatu korporasi diduga bersalah telah melakukan tindak pidana, maka

47
Neil Foster, op., cit., hlm. 121.
48
Ibid., hlm. 122.
49
United Kingdom, R v Chargot Ltd [2008] UKHL 73 (10 Dec 2008); [2009] 2 All
E.R. 645. Seorang karyawan Chargot yang bertugas untuk melakukan kegiatan di bidang
peternakan meninggal dunia disebabkan karena truk yang digunakannya untuk melakukan
kegiatan tersebut terbalik. Mr. Ruttle yang merupakan direktur dari kelompok perusahaan
termasuk Chargot, dan beberapa direksi dari perusahaan kontraktor yang terlibat dalam
terjadinya peristiwa tersebut didakwa dengan Section 37 HSWA. Pada tingkat pertama
pengadilan menyatakan bahwa kedua perusahaan dan Mr. Ruttle bersalah, pada tingkat
banding dan kasasi hakim juga berkeyaninan bahwa semua pihak bersalah. Dikutip dari
Neil Foster, op., cit., hlm. 121.
50
Penggunaan istilah ‘Pertanggungjawaban pidana absolut dari para personel
pengendali korporasi’ disadur dari pendapat Neil Foster, op. cit., hlm. 129.
51
Ibid., hlm. 124.

Universitas Indonesia

278

pengurus korporasi juga dianggap bersalah telah melakukan tindak pidana


tersebut, kecuali dia dapat membuktikan bahwa dia tidak dalam posisi dapat
mempengaruhi perilaku korporasi mengenai tindak pidana tersebut, atau
telah melakukan segala usaha yang layak (all due diligence) untuk
mencegah tindak pidana tersebut.
Section 26 Occupational Health and Safety Act 2000 (NSW)
berbunyi secara lengkap sebagai berikut:
“26. Offences by corporations – liability of directors and managers
(1) If a corporation contravenes, whether by act or omission,
any provision of this Act or the regulations, each director of
the corporation, and each person concerned in the
management of the corporation, is taken to have
contravened the same provision unless the director or
person satisfies the court that:
(a) he or she was not in a position to influence the
conduct of the corporation in relation to its
contravention of the provision, or
(b) he or she, being in such a position, used all due
diligence to prevent the contravention by the
corporation.
(2) A person may be proceeded against and convicted under a
provision pursuant to subsection (1) whether or not the
corporation has been proceeded against or been convicted
under that provision.”
(26. Tindak pidana oleh korporasi – Pertanggungjawaban para
direktur dan manejer:
(1) apabila korporasi melanggar ketentuan, baik dengan
melakukan tindak pidana atau tidak melakukan
kewajibannya, berdasarkan ketentuan UU ini, setiap
direktur korporasi, dan setiap orang yang
berkepentingan di dalam manajemen korporasi,
dianggap melanggar ketentuan yang sama kecuali
direktur dan orang tersebut dapat membuktikan di
hadapan pengadilan bahwa:
(a) dia tidak dalam posisi untuk dapat mempengaruhi
perilaku korporasi sehubungan dengan pelanggaran
ketentuan tersebut, atau
(b) apabila dia ada dalam posisi untuk dapat
mempengaruhi perilaku korporasi, namun dia telah
menggunakan semua upaya yang layak untuk
mencegah tindak pidana tersebut.
(2) Seseorang dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan
ketentuan yang diatur pada subsection (1) baik apabila
korporasinya dituntut maupun tidak dituntut
berdasarkan ketentuan yang sama.)
Universitas Indonesia

279

c. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi sebagai Pelepas Tanggung


Jawab (Scapegoat) bagi Pertanggungjawaban Pidana Individu
Personel Korporasi?

Apabila suatu korporasi dinyatakan telah melakukan suatu tindak


pidana, apakah kemudian pengurus atau personel pengendali korporasi
dapat selalu dimintai pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana
tersebut? Sjahdeini mengenai hal ini berpendapat bahwa pengurus akan
selalu dapat dimintai pertanggungjawaban apabila korporasi dinyatakan
telah melakukan tindak pidana.52 Beliau berpandangan bahwa tidak
mungkin korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila tidak
ada pengurus atau personel pengendali dari korporasi tersebut yang juga
ikut dapat dipertanggungjawabkan. Karena beliau berpendapat bahwa
perbuatan dan kesalahan dari pengurus atau personel pengendali lah yang
menyebabkan korporasi dapat dipertanggungjawabkan. Apabila pengurus
atau personel pengendali tidak dimintai pertanggungjawaban maka hal
tersebut memungkinkan pengurus atau pengurus pengendali bersikap lempar
batu sembunyi tangan, atau dapat berlindung di balik punggung korporasi
untuk melepaskan dirinya dari pertanggungjawaban pidana. Di samping itu,
apabila hanya korporasinya saja yang dipidana sedangkan pengurus tidak
dipidana maka tidak akan menimbulkan efek jera bagi pribadi pengurus atau
personel pengendali.53
Hal ini dapat dimaklumi karena Sjahdeini mengenai
pertanggungjawaban pidana bagi korporasi menggunakan kriteria penemuan
kesalahan atau mens rea dari personel pengendali korporasi. Sehingga
korporasi tidak mungkin dapat dipertanggungjawabkan kecuali ada
kesalahan dari pengurus pengendali. Beliau tidak mengakui adanya
pengatribusian pertanggungjawaban pidana langsung (direct liability) dari
korporasi.


52
Sjahdeini (2), op., cit., hlm. 256-260.
53
Ibid.

Universitas Indonesia

280

Pada September 2015, United States Department of Justice (DOJ)


mengumumkan Yates Memo (memorandum dari wakil Jaksa Agung Sally
Yates); kebijakan baru mengenai pertanggungjawaban individu atas tindak
pidana yang terjadi di dalam korporasi. Yates Memo menggarisbawahi
pentingnya penuntutan terhadap individu, sebagaimana juga pentingnya
penuntutan bagi korporasi.54 Memo ini juga memperbaiki kebijakan United
States Department of Justice (DOJ) untuk mendorong korporasi
menyampaikan kepada DOJ semua fakta yang relevan tentang kesalahan
individu.55
Banyak yang melihat Yates Memo sebagai tanggapan atas kritik
bahwa DOJ telah gagal untuk melakukan penuntutan bagi subjek individu
atau personel korporasi dalam suatu tindak pidana yang dilakukan oleh atau
terjadi di dalam korporasi.56 Kritikan ini muncul karena beberapa tahun
belakangan ini di Amerika Serikat memang aparat penegak hukum lebih
cenderung untuk menyelesaikan tindak pidana korporasi melalui Perjanjian
Penundaan Penuntutan (differed prosecution agreements) dan perjanjian
tanpa penuntutan (nonprosecution agreements).57


54
Sara Sun Beale, “The Development and Evaluation of the U.S. Law of Corporate
Criminal Liability and the Yates Memo,” Stetson Law Review, vol. 46, 2016, hlm. 42.
55
Lucian E. Dervan, op., cit., hlm. 125.
56
Sara Sun Beale, op., cit., hlm. 42.
57
Semenjak kasus Arthur Andersen pada tahun 2002, yang menyebabkan ditutupnya
perusahaan akunting tersebut dan ribuan pekerja kehilangan pekerjaan, banyak kasus yang
melibatkan korporasi di Amerika Serikat diproses dengan Deferred and non-prosection
agreement. Perjanjian penundaan penuntutan bisa disebut sebagai masa percobaan (term of
probation) sebelum dilakukannya penuntutan secara formal terhadap perusahaan. Adapun
tujuan dari Perjanjian Penundaan Penuntutan adalah untuk memberikan kesempatan kepada
organisasi melakukan perbaikan diri dengan pengaturan dari dalam organiasi sendiri (self-
regulation) dan mencegah terulangnya tindak pidana yang sama di kemudian hari.
Perjanjian ini akan memaksa korporasi untuk mengadopsi program kepatuhan yang lebih
efektif (effective compliance programs) sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
ada, dengan diawasi oleh pihak yang lebih independen dalam pelaksanaan program
kepatuhan tersebut. Metode ini lebih dipilih oleh korporasi dan jaksa penuntut umum
karena dianggap dapat meminimalisir konsekuensi ikutan atau tambahan (collateral
consequences) yang tidak diharapkan dari proses pemidanaan terhadap korporasi dan juga
untuk menghindari tingginya biaya yang dibutuhkan dan tingginya tingkat kesulitan dalam
menuntut korporasi. Lihat pembahasan mengenai hal ini misalnya pada Leonard Orland,
The Transformation of Corporate Criminal Law, Brooklyn Journal of Corporate Financial
& Commercial Law, Vol. 1, 2006, 45-85. hlm. 48., Connor Bildfell, “Justice Deferred?
Why and How Canada Should Embrace Deferred Prosecution Agreements in Corporate
Criminal Cases,” Canadian Criminal Law Review, Vol. 20, March 2016, 161-207, David
Hess, Cristie L. Ford, Corporate Criminal Reporter, Crime Without Conviction: The Rise of
Deferred and Non Prosecution Agreements, (Nat’l Press Club, Wash., D.C.), Dec. 28,

Universitas Indonesia

281

Garrett dalam artikelnya yang berjudul “The Corporate Criminal as


Scapegoat” memaparkan banyaknya kasus kejahatan korporasi yang
ditangani oleh negara federal, terutama setelah krisis global, yang tidak
mengikutkan para eksekutif perusahaan juga dipertanggungjawabkan.58
Dalam artikel tersebut Garrett menjelaskan bahwa dari tahun 2001 sampai
2014, kejaksaan membuat 306 kesepakatan penundaan dan penghentian
penuntutan (deferred and non-prosection agreement) dengan korporasi.
Dari jumlah tersebut hanya 34%, atau 104 kasus kejahatan korporasi yang
juga mengikutkan para pegawai dan pengurusnya dipertanggungjawabkan,
dengan total 414 orang. Masih menurut artikel ini, kebanyakan dari personel
yang dipertanggungjawabkan bukanlah para personel pengendali atau top
executives tetapi adalah personel yang berada pada level menengah atau
bawah. Dari personel yang dituntut, hanya tiga belas presiden direktur, dua
puluh enam adalah CEO (Chief Executive Officer), dua puluh delapan
adalah CFO (Chief Financial Officer), dan lima puluh sembilan adalah
wakil presiden direktur.

Namun apakah fakta ini bisa disebut bahwa pertanggungjawaban


pidana korporasi dapat menjadi pelepas tanggung jawab bagi
pertanggungjawaban pidana individu personel korporasi? Garrett sendiri
dalam artikel tersebut di atas tidak setuju dengan hal itu. Menurutnya pola
penegakan hukum terhadap tindak pidana korporasi tidak dapat
disamaratakan.59 Pada kasus tertentu korporasi dan para pengurusnya bisa
dipertanggungjawabkan secara bersama, tetapi bisa juga korporasi


2005. Pada awal dikenalnya deferred prosecution agreements di Amerika Serikat pada awal
tahun 1900 an, digunakan untuk kejahatan yang tidak serius seperti pencurian retail
terutama ketika pelaku adalah anak-anak atau remaja atau pelaku belum pernah melakukan
tindak pidana, untuk menghindari para remaja ini diberikan label sebagai penjahat atau
kriminal. Lihat Peter Reilly, “Justice Deferred is Justice Denied: We Must End Our Failed
Experiment in Deferring Corporate Criminal Prosecutions,” Brigham Young University
Law Review, Vol. 2015, Issue 2, 307, hlm. 314. Pembahasan mengenai deffered dan non-
prosecution agreements merupakan pembahasan yang sangat luas sehingga tidak dapat
dilakukan secara detail pada disertasi ini karena bukan merupakan fokus dari penulisan
disertasi ini.
58
Brandon L. Garrett, (3) “The Corporate Criminal as Scapegoat.” Virginia Law
Review, vol. 101, 2015, hlm. 1791 -1792.
59
Ibid., hlm. 1850.

Universitas Indonesia

282

dipertanggungjawabkan tanpa ikut serta mempertanggungjawabkan personel


korporasi. Kondisi ini bisa saja terjadi apabila pengkonstruksian kesalahan
pada individu tidak dapat tercapai tetapi faktanya sangat nyata bahwa tindak
pidana tersebut dilakukan oleh korporasi. Maka dalam hal ini menurut
Garrett justru pertanggungjawaban pidana bagi korporasi adalah kambing
hitam yang berguna (useful scapegoat), karena dengan pertanggungjawaban
pidana korporasi dapat mengatasi kesulitan praktis untuk
mempertanggungjawabkan individu dan dapat mencapai tujuan sosial dan
pemidanaan dalam pertanggungjawaban pidana korporasi; mulai dari
mengkompensasi korban tindak pidana dengan lebih maksimal dan
reformasi struktural korporasi dapat dicapai dengan lebih menyeluruh.60
Menanggapi Yates Memo tersebut Joh dan Joo juga berpendapat
bahwa Memo tersebut patut diapresiasi tetapi terdapat permasalahan dalam
penerapannya.61 Karakteristik tindak pidana korporasi adalah berbeda
dengan tindak pidana lainnya. Di mana pembuatan keputusan korporasi
dilakukan oleh beberapa orang dengan prioritas dan potensi yang berbeda-
beda dan mungkin bertentangan satu dengan yang lainnya. Sehingga dalam
tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi tidak selalu mudah untuk
menemukan kesalahan dari personel pengendali untuk dapat memenuhi
standar perbuatan (actus reus) dan kesalahan (mens rea) sebagaimana yang
disyaratkan oleh hukum pidana. Hal yang sama juga dikemukakan oleh
Miriam H. Baer , bahwa terdapat kerumitan dalam kejahatan korporasi yang
berbeda dengan jenis kejahatan lain dan kesulitan yang melekat dalam
pembuktian kesalahan personel pengendali yang sering tertutupi dalam
mekanisme pengambilan keputusan korporasi yang kompleks.62
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban pidana
individu personel korporasi adalah penting apabila memang keterlibatannya
dalam terjadinya tindak pidana tidak terbantahkan dan kriteria actus reus


60
Ibid.
61
Elizabeth E. Joh dan Thomas W. Joo, “The Corporation As Snitch: The New DOJ
Guidelines on Prosecuting White Collar Crime,” Virginia Law Review, Vol. 101, 2015,
hlm. 59.
62
Miriam H. Baer, “Too Vast to Succeed,” Michigan Law Review, vol. 114, 2016,
hlm. 1112.

Universitas Indonesia

283

dan mens rea dari tindak pidana tersebut terpenuhi. Dalam kondisi ini tentu
pertanggungjawaban pidana korporasi saja tidak cukup, perlu untuk juga
mempertanggungjawabkan personel korporasi bersama-sama dengan
korporasinya. Namun pada kasus tertentu memang tidak dapat dipungkuri
bahwa korporasi dapat dipertanggungjawabkan tanpa bisa untuk menjadikan
personel pengendalinya bersalah.63

4. Sanksi Pidana bagi Korporasi dalam Peraturan Perundang-


undangan

Penerimaan korporasi dalam kemampuannya untuk menjadi subjek


tindak pidana dan dapat dipertanggunjawabkan terhadap suatu tindak
pidana, diikuti dengan pembenaran dalam penjatuhan sanksi atau
penghukuman terhadap korporasi tersebut. Sehingga sangat penting pada
pembahasan selanjutnya dianalisis sanksi pidana seperti apa yang diatur
oleh peraturan perundang-undangan untuk subjek hukum korporasi.

Pidana menurut Immanuel Kant adalah hal-hal tidak menyenangkan


yang dijatuhkan karena dilakukannya perbuatan tercela, dimana tingkat
pertanggungjawaban pidana tergantung pada tingkat kebebasan pelaku pada
saat melakukan tindakan tercela tersebut; semakin besar tingkat kebebasan
yang dimiliki seseorang pada saat melakukan tindak pidana, semakin besar
pertanggungjawaban pidana yang dapat dimintakan kepada orang itu.64

Sanksi pidana menurut Brooks dapat diberikan karena adanya


pelanggaran hukum, dimana proses penghukuman dilaksanakan dan
diberikan dengan sengaja oleh penguasa melalui suatu sistem hukum, dan
penghukuman itu haruslah menimbulkan nestapa bagi pelaku.65 Pemidanaan
merupakan hal yang sangat penting, karena akan memberikan konsekuensi


63
Beberapa kasus mengenai kondisi ini dibahas pada sub-bab “Ketercelaan
(Blameworthiness) dari Korporasi pada Bab ini.
64
Dikutip dari Jeffrie G. Murphy, “Does Kant Have a Theory of Punishment”,
Columbia Law Review, April, 1987, hlm. 513.
65
Thom Brooks, Punishment, (Oxon, UK: Routledge, 2012), hlm. 1

Universitas Indonesia

284

yang luas, baik bagi pelaku sendiri, bagi korban ataupun bagi masyarakat.66
Di samping itu, pemidanaan yang dilakukan melalui proses hukum yang adil
sangat penting untuk menghindari penghukuman yang dilakukan secara
semena-mena atau dengan main hakim sendiri oleh masyarakat (vigilante).67

Secara tradisional, dua respon berbeda akan diberikan untuk


menjawab pertanyaan apa sebenarnya tujuan dari pemberian hukuman
pidana. Pembenaran dari diberikannya hukuman pidana terhadap seseorang
atau sesuatu adalah merupakan interaksi antara keinginan untuk
memberikan pencegahan (deterrence) terulangnya kejahatan yang sama di
dalam masyarakat, dengan membuat seseorang yang mungkin kalau
dilepaskan akan melakukan suatu kejahatan yang lebih berat dari yang telah
dilakukannya (incapacitation) atau merehabilitasi orang-orang yang telah
melakukan kejahatan (rehabilitation);68 dan fungsi pembalasan
(retribution), yang menjelaskan bahwa orang yang telah melakukan
kejahatan telah melakukan suatu tindakan yang immoral sehingga harus
dihukum untuk mengkompensasi tindakannya yang immoral tersebut.69

Demikian juga dalam hal sanksi yang diberikan kepada suatu


korporasi, apabila suatu korporasi dapat disalahkan atas suatu tindakan atau
atas suatu kelalaian yang mereka lakukan, maka sangat penting untuk
mencegah korporasi tersebut berbuat tindak pidana yang sama di kemudian
hari, dan mencegah korporasi yang lain melakukan kesalahan yang sama,70


66
Muladi dan Dwidja Priyatno, op., cit., hlm. 253.
67
Peter Joyce, Criminal Justice: An Introduction to Crime and the Criminal Justice
System, (Devon, UK: Willan Publishing, 2006), hlm. 104.
68
Richard G. Singer dan John Q. La Fond, Criminal Law, 4th edition, Austin:
Wolters Kluwer, 2007, hlm. 21.
69
Ibid., Menurut Dan-Cohen Meir, yang secara berturut-turut merupakan
pemahaman dari konsekuensialis, yang sebagian besar kelompok utilitarian. Sedangkan
teori retributive merupakan pemahaman deontologis, yang sebagian besar merupakan
pemikiran kelompok Kantian. Lihat Dan-Cohen Meir, Sanctioning Corporations, Journal of
Law and Policy, Vol. 19., Issue 1 (2010), 15-44, hlm. 22. Mengenai teori pemidanaan tidak
akan dilakukan secara mendalam pada disertasi ini untuk memberikan ruang yang lebih
luas dalam melakukan pembahasan mengenai sanksi pidana yang paling sesuai diterapkan
terhadap subjek hukum organisasi.
70
Toni Erskine, “Making Sense of Responsibility in International Relations,” dalam
Toni Erskine (editor), Can Institutions Have Responsibility?” (New York, US: Palgrave
Macmillan, 2003), hlm. 10.

Universitas Indonesia

285

apabila memungkinkan merehabilitas korporasi tersebut untuk menjadi


subjek hukum yang lebih baik dikemudian hari.71

Jenis pidana bisa dikelompokkan menjadi pidana pokok, pidana


tambahan dan tindakan. Jenis pidana pokok yang diterima saat ini di
Indonesia diatur pada Pasal 10 KUHP, terdiri dari pidana mati, pidana
penjara, pidana kurungan, pidana denda dan pidana tutupan. Dari semua
pidana pokok yang tersedia memang sanksi dendalah yang paling mungkin
diberikan kepada korporasi karena bentuk pidana pokok yang lain lebih
bersifat hukuman badan yang hanya bisa diberikan kepada subjek hukum
manusia.72

Pidana denda dengan paradigma profit yang menitikberatkan


perhitungan antara untung dan rugi merupakan jenis sanksi yang paling
umum diterapkan terhadap korporasi terutama korporasi yang berorientasi
pada profit.73 Hampir semua kasus hukum yang dibahas memberikan sanksi
denda kepada korporasi yang dinyatakan bersalah sebagai pelaku tindak
pidana.

Menurut Suharyono, pada umumnya pidana denda untuk korporasi


merupakan pidana denda kategori V yaitu antara tujuh tahun sampai lima
belas tahun.74 Apabila pidana yang harusnya diterima adalah pidana mati,
pidana seumur hidup atau penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun, maka
untuk korporasi disamakan dengan pidana denda kategori VI. Adapun
minimum pidana denda yang bisa diberikan kepada korporasi adalah pidana
denda kategori IV. Untuk menentukan pidana denda bagi korporasi apabila
pidananya bersifat tunggal, maka dapat diberikan maksimal 3 (tiga) kali dari
ancaman untuk orang individu.75


71
Peter J. Henning, “Corporate Criminal Liability and the Potential for
Rehabilitation,” American Criminal Law Review, 2009, 1417.
72
Suhariyono AR, Pembaruan Pidana Denda di Indonesia: Pidana Denda sebagai
Sanksi Alternatif, Jakarta: Papas Sinar Sinanti, 2012, hlm. 350.
73
Fisse, Brent and John Braithwaite, Corporation, Crime and Accountability,
(Cambridge, UK: Cambridge University Press, 1993), hlm. 81.
74
Suhariyono AR, op., cit., hlm. 350.
75
Ibid.

Universitas Indonesia

286

Dari beberapa UU yang diteliti tidak banyak yang menjelaskan


sanksi khusus bagi korporasi, beberapa yang menjelaskan memang
kebanyakan menggunakan standar maksimal 3 (tiga) kali denda subjek
hukum individu untuk diberikan kepada subjek hukum korporasi. Misalnya
UU tentang Keantariksaan,76 UU Pelayaran,77 UU tentang Pangan,78 UU
tentang Kesehatan,79 UU tentang Pornografi,80 UU tentang Narkotika,81 UU
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,82 UU tentang Otoritas Jasa Keuangan.83
Pada UU tentang Otoritas Jasa Keuangan, tidak secara jelas menyebutkan
bahwa denda yang diberikan kepada korporasi itu adalah 3 (tiga) kali lipat
dari denda yang diberikan kepada orang perorangan, tetapi menyebutkan
nominal maksimumnya, dan ketentuannya diulang-ulang disetiap pasal yang
mengandung ketentuan pidana. Misalnya pada Pasal 52 (1) dijelaskan
bahwa sanksi bagi orang perorangan adalah 15.000.000.000,00 (lima belas
miliar), kemudian pada ayat 2 dari pasal ini menjelaskan apabila kejahatan
tersebut dilakukan oleh korporasi maka denda maksimumnya adalah
45,000,000,000,00 (empat puluh lima miliar). Dan hal ini berulang untuk
pasal-pasal berikutnya yang mengandung ketentuan pidana (Pasal 53 dan
Pasal 54). Sepertinya kurang efektif membuat pengulangan yang seharusnya
tidak perlu dilakukan seperti itu.

Namun ada juga beberapa undang-undang yang memberikan


pemberatan 1/3 (satu per tiga) dari sanksi yang bisa diberikan kepada subjek


76
Indonesia, Undang-Undang tentang Keantariksaan, UU No. 21/2013, LN No. 133
Tahun 2013, TLN No. 5435, Pasal 100.
77
Indonesia, Undang-Undang tentang Pelayaran, UU No. 17/2008, LN No. 64
Tahun 2008, TLN No. 4849, Pasal 335.
78
Indonesia, Undang-Undang tentang Pangan, UU No. 18/2012, LN No. 227 Tahun
2012, TLN No. 5360, Pasal 148.
79
Indonesia, Undang-Undang tentang Kesehatan, UU No. 36/2009, LN No. 144
Tahun 2009, TLN No. 5063, Pasal 201 (1).
80
Indonesia, Undang-Undang Pornografi, UU No. 44/2008, LN No. 181 Tahun
2008, TLN No. 4928, Pasal 40.
81
Indonesia, Undang-Undang tentang Narkotika, UU No. 35/2009, LN. No. 143,
TLN. No. 5062. Pasal 130 (1).
82
Indonesia. Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. UU No. 22 Tahun
2009. LN. No. 96 Tahun 2009. TLN. No. 5025, Pasal 315.
83
Indonesia, Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan, UU No. 21/2011,
LN. No. 111, TLN. No. 5253. Pasal 52-54.

Universitas Indonesia

287

orang perorangan. Seperti misalnya UU Ketenagalistrikan,84 UU


85 86
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Perfilman, UU
Cagar Budaya,87 UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani,88 UU
Perkebunan.89 Pemberatan pidana dengan jumlah 1/3 (satu per tiga) dari
sanksi pidana yang diberikan kepada subjek hukum orang perorangan ini
dirasa tidak cukup banyak atau terlalu kecil untuk subjek hukum berbentuk
organisasi atau korporasi. Sehingga tingkat efektifitas dari fungsi
pemidanaannya sulit untuk dicapai.

Namun banyak juga ahli yang meragukan keefektifan pidana denda


pada korporasi, bahwa pidana denda tidak memberikan jaminan bahwa
pelaku ataupun korporasi lain akan jera untuk melakukan tindak pidana
yang sama. Besarnya denda yang diberikan seringkali jauh lebih sedikit
dibandingkan dengan dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh korporasi
tersebut, sehingga bisa dikatakan besaran denda yang diberikan hanya
menjadi bagian dari biaya untuk melakukan bisnis.

Sebaliknya, ada juga kekhawatiran bahwa denda yang berlebihan


justru bisa memberikan konsekuensi ikutan atau tambahan (collateral
consequences)90 yang tidak diharapkan dari proses pemidanaan terhadap
korporasi.91 Pemidanaan terhadap korporasi mungkin dapat memberikan
efek negatif kepada pemegang saham, kreditur, karyawan atau konsumen


84
Indonesia, Undang-Undang Ketenagalistrikan, UU No. 30/2009, LN No. 133
Tahun 2009, TLN. No. 5052, Pasal 55 (20).
85
Indonesia, Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
UU No. 32/2009 LN. No. 140 Tahun 2009, TLN. No. 5059, Pasal 117.
86
Indonesia. Undang-Undang tentang Perfilman. UU No. 33/2009. LN. 141 Tahun
2009. TLN No. 5060, Pasal 82 (1).
87
Indonesia. Undang-Undang Tentang Cagar Budaya. UU No. 11/2010. LN. No.
130 Tahun 2010. TLN. No. 5168, Pasal 113 (2).
88
Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, UU
No. 19/2013, LN. No. 131, TLN. No. 5433. Pasal 104.
89
Indonesia, Undang-Undang tentang Perkebunan, UU No. 39/2014, LN. No. 308,
TLN. No. 5613. Pasal 133.
90
USDOJ, Office of the Deputy Attorney General 2008b, USAM § 9–28.1000(A),
General Principle.
91
Corporate Criminal Reporter, Crime Without Conviction: The Rise of Deferred
and Non Prosecution Agreements, (Nat’l Press Club, Wash., D.C.), Dec. 28, 2005,
available at http://www.corporatecrimereporter.com/deferredreport.htm

Universitas Indonesia

288

yang tidak bersalah.92 Pemberian sanksi denda bagi korporasi


memungkinkan pihak yang tidak bersalah ikut dihukum bersama dengan
orang yang melakukan tindak pidana.93 Sehingga memang sangat penting
untuk menerapkan prinsip kehati-hatian dalam pemberian pidana kepada
korporasi. Prinsip kehati-hatian ini juga ditegaskan dalam Sentencing
Guidance Inggris agar hakim dalam memberikan sanksi pidana denda
haruslah memperhatikan dampaknya terhadap para pekerja dan efek lain
kepada masyarakat seperti misalnya terganggungya pelayanan kepada
publik.94

Disamping pidana pokok, hakim bisa memberikan pidana tambahan


yang terdiri dari pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang, dan
pengumuman putusan hakim.95 Selain itu, beberapa undang-undang khusus
di luar KUHP juga mengatur beberapa sanksi tambahan di luar yang telah
diatur KUHP,96 misalnya penutupan seluruh atau sebagian perusahaan,
penghapusan sebagian atau seluruh keuntungan,97 pencabutan izin usaha,
perampasan kekayaan hasil tindak pidana, pencabutan status badan hukum,
pemecatan pengurus, pelarangan kepada pengurus untuk mendirikan
korporasi dalam bidang usaha yang sama,98 pembekuan izin usaha,99


92
Lihat secara umum mengenai hal ini dalam tulisan V.S. Khanna, op., cit., Anne-
Marie Boisvert, Corporate Criminal Liability, Disscussion Paper, Faculty of Law
University of Montreal, 1999. Bisa diakses pada http://www.ulcc.ca/en/criminal-section/98-
criminal-section-study-papers/1076-corporate-criminal-liability-discussion-
paper?showall=&limitstart=, diakses Desember 2014.
93
Erik Luna, “Curious Case of Corporate Criminality,” American Criminal Law
Review, vol. 46, 2009, 1507, hlm. 1509.
94
Celia Wells, op. cit., hlm. 105.
95
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 10.
96
Beberapa UU menyebutkan sanksi administrasi sebagai sanksi tambahan terhadap
sanksi pokok. Misalnya Indonesia, Undang-Undang tentang Lalu lintas Devisa dan Sistem
Nilai Tukar, UU No. 24 Tahun 1999, LN. No. 67 Tahun 1999, TLN No. 3844, Pasal 7.
97
Indonesia, Undang-Undang tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan
Tindak Pidana Ekonomi, UU Darurat No. 7 Tahun 1955, LN No. 27 Tahun 1955, TLN.
No. 801, Pasal 7.
98
Indonesia, Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang, UU No. 21 Tahun 2007, LN No. 58 Tahun 2007, TLN No. 4720, Pasal 15 (2).
99
Indonesia, Undang-Undang tentang Pornografi, UU No. 44 Tahun 2008, LN No.
181 Tahun 2008, TLN No. 4928, Pasal 41.

Universitas Indonesia

289

pembubaran dan/atau pelarangan korporasi, pengambilalihan korporasi oleh


negara,100 dan pembayaran uang pengganti.101

Dari UU yang telah diteliti hanya sedikit yang mengakomodir


kemungkinan untuk pemberian sanksi tambahan sebagaimana dijelaskan
pada lampiran, sehingga hakim memang mengalami keterbatasan dalam
menentukan jenis sanksi pidana yang bisa diberikan kepada subjek hukum
korporasi.

Di samping sanksi tambahan, KUHP juga mengatur mengenai sanksi


tindakan, yaitu suatu perlakuan sebagai pengganti pidana102 dengan tujuan
untuk memulihkan keadaan tertentu bagi pelaku maupun korban.103
Beberapa ketentuan undang-undang khusus yang mengatur bentuk sanksi
tindakan yang dapat diberikan kepada subjek hukum korporasi, misalnya
penempatan perusahaan dibawah pengampuan, pembayaran uang jaminan
selama waktu tertentu, pembayaran sejumlah uang menurut taksiran yang
diperoleh dari tindak pidana yang dilakukan, kewajiban melakukan apa
yang dilalaikan tanpa hak, meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak,
melakukan jasa untuk memperbaiki akibat perbuatan pelaku,104 penghentian
kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada
pihak lain,105 kewajiban penarikan barang dari peredaran.106


100
Indonesia, Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang, UU No. 8 Tahun 2010, LN No. 122 Tahun 2010, Pasal 7 (2).
101
Indonesia, Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU
No. 31/1999 Jo. UU No. 20/2001, LN No. 140 Tahun 1999, TLN No. 3874, Pasal 18.
102
Mardjono Reksodiputro (2), Menyelaraskan Pembaruan Hukum, (Jakarta:
Komisi Hukum Nasional RI, 2009), hlm. 45.
103
KUHP mengatur beberapa bentuk sanksi tindakan, antara lain: penempatan di
rumah sakit jiwa bagi orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan karena jiwanya cacat
dalam tubuhnya atau terganggu penyakit (Pasal 44 (2)), bagi anak yang berumur di bawah
16 tahun, hakim dapat memberikan tindakan berupa mengembalikan kepada orang tua atau
walinya, atau memerintahkan agar anak tersebut diserahkan kepada negara, dengan
dimasukkan dalam rumah pendidikan negara atau tempat bekerja negara (Pasal 45).
104
Indonesia, Undang-Undang tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan
Tindak Pidana Ekonomi, UU Darurat No. 7 Tahun 1955, LN No. 27 Tahun 1955, TLN.
No. 801, Pasal 8.
105
Indonesia, Undang-Undang tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat, UU No. 5 Tahun 1999, LN. No. 33, TLN. No. 3817, Pasal 49.
106
Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun
1999, LN. 42 Tahun 1999. TLN. 3821, Pasal 63. Meskipun UU ini menyebutkan kewajiban

Universitas Indonesia

290

Tabel 4.4 Jenis pidana tambahan dan tindakan bagi korporasi yang
telah diatur pada UU Khusus

No. Pidana Tambahan Tindakan


1. Penutupan seluruh atau sebagian Penempatan perusahaan di bawah
perusahaan pengampuan
2. Penghapusan sebagian atau seluruh Pembayaran uang jaminan selama
keuntungan waktu tertentu
3. Pencabutan izin usaha Pembayaran sejumlah uang menurut
taksiran yang diperoleh dari tindak
pidana yang dilakukan
4. Perampasan kekayaan hasil tindak Kewajiban melakukan apa yang
pidana dilalaikan tanpa hak
5. Pencabutan status badan hukum Meniadakan apa yang dilakukan tanpa
hak
6. Pemecatan pengurus Melakukan jasa untuk memperbaiki
akibat perbuatan pelaku
7. Pelarangan kepada pengurus untuk Penghentian kegiatan atau tindakan
mendirikan korporasi dalam bidang tertentu yang menyebabkan timbulnya
usaha yang sama kerugian pada pihak lain
8. Pembekuan izin usaha Kewajiban penarikan barang dari
peredaran.
9. Pembubaran dan/atau pelarangan
korporasi
10. Pengambilalihan korporasi oleh
negara
11. Pembayaran uang pengganti

Dari undang-undang yang diteliti terdapat istilah yang cukup


beragam untuk merujuk pada sanksi tambahan yang sama, seperti misalnya


penarikan barang dari peredaran bukan sebagai sanksi tindakan tetapi sebagai sanksi
tambahan.

Universitas Indonesia

291

ada undang-undang yang menggunakan istilah penutupan seluruh atau


sebagian perusahaan, seperti misalnya diatur pada Pasal 109 (6) Undang-
Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan. Namun ada juga undang-undang yang menggunakan
istilah pembubaran dan/atau pelarangan korporasi, seperti misalnya
digunakan oleh Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang.

Menurut Fisse, Brent and John Braithwaite, pemidanaan yang tidak


bersifat moneter, baik berupa denda, pembayaran uang pengganti dan segala
macam sanksi yang berkaitan dengan pembayaran sejumlah uang dari harta
korporasi, lebih memungkinkan ditanggung oleh korporasi sendiri tanpa
membebani pihak lain yang tidak bersalah seperti misalnya konsumen,
pemegang saham atau karyawan.107 Pemidanaan yang tidak bersifat moneter
ini termasuk bentuk-bentuk sanksi tambahan dan sanksi tindakan
sebagaimana telah disebutkan di atas. Untuk organisasi yang tidak
berorientasi pada profit, Crawford menyarankan agar bentuk hukumannya
tidak hanya terbatas kepada bentuk yang telah diakomodasi di atas, tetapi
bisa juga misalnya dengan memaksa organisasi untuk secara terbuka di
depan umum meminta maaf, menebus kesalahan atau merubah dirinya.108

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) juga


telah mengakomodasi beberapa bentuk sanksi pidana baik pokok maupun
tambahan yang lebih variatif, seperti menambahkan kemungkinan untuk
memberikan sanksi pengawasan109 dan sanksi kerja sosial (community
service order).110 Di samping itu, Perancang RKUHP juga sudah
mewacanakan untuk memberikan pengaturan secara khusus mengenai
bentuk sanksi yang dapat diberikan kepada korporasi. Hal ini diatur pada
bagian ketiga dengan judul “Pidana dan Tindakan Bagi Korporasi.”

107
Fisse, Brent and John Braithwaite, op., cit., hlm. 82.
108
Neta Crawford, op., cit., hlm. 196-202.
109
Menurut Mardjono Reksodiputro, sanksi pengawasan ini serupa tapi tidak sama
dengan pidana percobaan, dan konsep ini merupakan penyaduran konsep probation yang
telah diterapkan di beberapa Negara yang lain. Lihat Mardjono Reksodiputro (2), op., cit.,
hlm. 44.
110
Ibid.

Universitas Indonesia

292

Pengaturan mengenai hal ini sangat penting untuk dilakukan mengingat


korporasi memiliki karakteristik tersendiri yang tidak dapat dipersamakan
dengan subjek hukum manusia dalam hal bentuk sanksi yang dapat
diberikan.

Rancangan Pasal 138A menjelaskan bahwa pidana bagi korporasi


terdiri atas pidana pokok dan pidana tambahan.111 Pasal ini jelas
menyatakan bahwa pidana bagi korporasi tidak hanya pidana pokok tetapi
juga pidana tambahan. Namun apakah posisinya di sini mereka dapat
diberikan secara sendiri-sendiri atau harus diberikan secara bersamaan.
Apakah dapat diberikan pidana pokok saja tanpa pidana tambahan ataukah
dapat diberikan pidana tambahan saja tanpa adanya pidana pokok. Sjahdeini
menjelaskan bahwa akan lebih efektif untuk memberikan pidana tambahan
sebagai keharusan dalam pemidanaan bagi korporasi, sehingga korporasi
tidak hanya diberikan denda tetapi juga pidana tambahan yang bersifat
compulsory. Misalnya pidana denda dibarangi dengan pengumuman putusan
hakim untuk memberikan efek mempermalukan yang lebih besar
(shamming effect).112

Selanjutnya rancangan Pasal 138B RKUHP menjelaskan bahwa


korporasi hanya dapat diberikan pidana pokok berupa denda.113 Menurut
penulis hal ini sangat disayangkan, kenapa pidana pengawasan dan pidana
kerja sosial tidak dipertimbangkan juga dapat diberikan kepada korporasi.
Sanksi pengawasan merupakan sanksi yang sangat penting untuk bisa
diberikan kepada korporasi. Bahkan di Amerika Serikat, 65 % (enam puluh
lima persen) kasus yang melibatkan korporasi mendapatkan sanksi
pengawasan sebagai bagian dari hukuman mereka.114 US Sentencing
Guidelines Manual menjelaskan tujuan dari pemberian sanksi pengawasan
bagi organisasi adalah untuk menjamin bahwa organisasi akan

111
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Hasil Timus per 10 Oktober
2017.
112
Sjahdeini (2), op., cit., hlm. 271.
113
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Hasil Timus per 10 Oktober
2017.
114
Richard D. Hartley, Corporate Crime, (California, US: ABC-CLIO, Inc, 2008),
hlm. 57.

Universitas Indonesia

293

melaksanakan sanksi lain yang diberikan kepadanya, misalnya pembayaran


restitusi, membayar penggantian, menjamin dilaksanakannya sanksi kerja
sosial, untuk dapat mencegah dan mendeteksi pelanggaran di masa yang
akan datang, memastikan organisasi membuat modifikasi dalam
penyelenggara operasional organisasi dalam kepatuhannya terhadap
ketentuan undang-undang dan untuk mencapai tujuan dari pemberian
sanksi.115

Di samping pidana pengawasan, pidana kerja sosial juga merupakan


bentuk pidana pokok yang penting bagi subjek korporasi. Berbeda dengan
pidana denda, pidana kerja sosial dianggap bisa meminimalisir dampak
ikutan (collateral consequences) yang tidak diharapkan dari pemidanaan
kepada subjek korporasi.116 US Sentencing Guidelines menjelaskan bahwa
hukuman kerja sosial (community services) yang diberikan oleh hakim
kepada korporasi harus dirancang sedemikian rupa untuk dapat
memperbaiki kerusakan yang telah ditimbulkan oleh tindak pidana yang
dilakukan korporasi.117

Jenis-jenis pidana tambahan yang dapat diberikan kepada korporasi


sebagaimana diwacanakan oleh perancang RKUHP cukup beragam.
Rancangan Pasal 138C RKUHP menjelaskan beberapa bentuk pidana
tambahan antara lain: (1) perampasan barang tertentu, (2) penutupan
permanen korporasi, (3) pencabutan izin, dan/atau (4) pengumuman
keputusan hakim.118

Mengenai pembubaran korporasi atau penutupan korporasi secara


permanen, meskipun merupakan sanksi pidana tambahan, tetapi menurut
Sjahdeini, pada hakikatnya sama dengan pidana mati bagi korporasi.119 Di


115
United States Guidelines Manual 2005, §8 introductary commentary dan §8 Part
D1.1 (Organization Probation).
116
James Gobert dan Maurice Punch, Rethinking Corporate Crime, (London, UK:
Butterworths, 2003), hlm. 235.
117
United States. Federal Sentencing Guidelines Manual 2005, §8B1.3. Community
Service – Organizations.
118
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Hasil Timus per 10 Oktober
2017.
119
Sjahdeini (2), op., cit., hlm. 272.

Universitas Indonesia

294

samping itu, menurut beliau sanksi pencabutan izin usaha dan pembubaran
korporasi pada prinsipnya hasil akhirnya adalah sama. Karena kedua jenis
sanksi ini pada akhirnya mengakibatkan korporasi tidak dapat melakukan
kegiatan usahanya. Konsekuensi perdata dari pembubaran atau penutupan
korporasi secara permanen dan pencabutan izin menurut beliau adalah
likuidasi aset korporasi untuk pelunasan utang-utang korporasi kepada
kreditornya.120

Dari beberapa jenis sanksi tambahan yang dimungkinkan dapat


diberikan kepada korporasi sebagaimana yang diwacanakan oleh perancang
KUHP, menurut penulis sangat disayangkan kenapa sanksi berupa
pembayaran uang pengganti tidak dimungkinkan untuk dapat diberikan.
Padahal sanksi ini merupakan sanksi yang paling banyak diberikan oleh
hakim Indonesia dalam kasus tindak pidana korupsi dan tindak pidana
lingkungan hidup sebagaimana yang dibahas pada disertasi ini. Sehingga
penulis berpendapat bahwa sebagaiknya pidana tambahan berupa
pembayaran uang pengganti dapat juga dimungkinkan diberikan kepada
korporasi.

Selanjutnya Rancangan Pasal 138L memungkinkan hakim untuk


juga memberikan bentuk tindakan bagi korporasi seperti misalnya
pengambilalihan korporasi, penutupan sementara bangunan, pelarangan
sementara waktu atau permanen, melakukan perbuatan tertentu, perintah
mengembalikan pada keadaan semula, pembiayaan pelatihan kerja, dan/atau
penempatan di bawah pengawasan.121

Dalam hal faktor pemberat dan peringan pidana, US Sentencing


Guidelines Manual menjelaskan empat faktor yang bisa dijadikan
pertimbangan untuk memberatkan hukuman bagi korporasi: (1) toleransi,
atau keterlibatan dalam tindak pidana; (2) riwayat korporasi; (3)
pelanggaran korporasi dari suatu perintah; dan (4) obstruksi keadilan dari
korporasi. Pengurangan hukuman korporasi dapat diberikan dalam dua

120
Ibid., hlm. 273.
121
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Hasil Timus per 10 Oktober
2017.

Universitas Indonesia

295

kondisi: (1) keberadaan program kepatuhan dan etika yang efektif; dan (2)
pelaporan diri, kerjasama atau penerimaan tanggung jawab.122

B. Implementasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam


Putusan Pengadilan

Pada bagian ini akan dilakukan analisis putusan pengadilan


mengenai implementasi pertanggungjawaban pidana korporasi dan
pertanggungjawaban pidana bagi personel pengurus korporasi ketika tindak
pidana terjadi di dalam korporasi.

1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Putusan Pengadilan


di Indonesia

Pada tabel 2 di Bab III telah dipaparkan beberapa kasus yang


memidana korporasi: tindak pidana pencemaran lingkungan oleh PT.
Dongwoo Environmental Indonesia (PT. DEI) yang diwakili oleh Kim
Young Woo sebagai Presiden Direktur PT. DEI, tindak pidana korupsi
dengan tersangka PT. Giri Jaladhi Wana (PT. GJW), tindak pidana
perpajakan PT. Asian Agri Group (PT. AAG), tindak pidana korupsi PT.
Indosat dan PT. Indosat Mega Media (PT. IM2), tindak pidana korupsi pada
proyek Bioremediasi PT. Chevron Pacific Indonesia (CPI) dengan terdakwa
Herlan Bin Ompo Direktur PT. Sumigita Jaya (PT. SJ), tindak pidana
korupsi pada proyek Bioremediasi PT. Chevron Pacific Indonesia (CPI)
dengan terdakwa Ricksy Prematuri selaku Direktur PT Green Planet
Indonesia (PT. GPI), tindak pidana lingkungan hidup dengan tersangka PT.
Adei Plantation & Industry (PT. API) yang diwakili Tan Kei Yoong sebagai
Direksi (Direktur Regional), tindak pidana lingkungan hidup dengan
tersangka PT. National Sago Prima (PT. NSP), yang diwakili oleh Eris
Ariaman selaku Direktur Utama, tindak pidana lingkungan hidup dengan
terdakwa PT. Kallista Alam, yang diwakili oleh Subianto Rusid selaku
Direktur, kasus tindak pidana terorisme yang menyatakan organisasi Al-
Jamaah Al-Islamiyah sebagai organisasi terlarang.

122
Ved. P. Nanda, op., cit., hlm. 71.

Universitas Indonesia

296

Akan disampaikan catatan dari hasil analisis yang dilakukan


terhadap putusan pengadilan tersebut mengenai pertanggungjawaban pidana
korporasi sebagai berikut:

a. Doktrin Pertanggungjawaban Pidana Korporasi yang Diadopsi

Dari beberapa kasus hukum yang diteliti, tidak banyak putusan yang
memberikan pemaparan hukum yang cukup tajam mengenai pelekatan
pertanggungjawaban pidana yang diberikan kepada subjek hukum
korporasi. Dari kasus tersebut, dapat disimpulkan bahwa hakim dalam
membebankan pertanggungjawaban pidana bagi korporasi cenderung untuk
menganut teori vicarious criminal liability, di mana tindakan dan kesalahan
dari salah satu pengurus korporasi dalam rangka tugas dan kewajibannya
dianggap sebagai tindakan dan kesalahan dari korporasi. Tujuh kasus yang
diteliti mengadopsi teori vicarous criminal liability dalam membebankan
pertanggungjawaban pidana bagi korporasi.
Pada beberapa kasus (5 kasus) hakim menambahkan keyakinan
dengan mengaitkan kedudukan pelaku sebagai directing mind atau personel
pengendali korporasi yang disebut legal alter ego dari korporasi, sehingga
segala perbuatan dan kesalahan dari dirinya yang dilakukan dalam rangka
tugas dan jabatannya di dalam korporasi bisa dianggap sebagai perbuatan
dan kesalahan dari korporasi, yang merupakan bagian dari identification
theory.
Dalam kaitannya dengan teori vicarious criminal liability dan
identification theory, hakim menggunakan kriteria atau standar yang lebih
deskriptif untuk membebankan pertanggungjawaban pidana bagi korporasi
yaitu adanya keuntungan atau manfaat yang diperoleh korporasi dari tindak
pidana yang dilakukan.
Dua kasus lingkungan hidup menggunakan teori budaya perusahaan
dalam membebankan pertanggungjawaban pidana bagi korporasi. Hakim
menjelaskan bahwa korporasi tidak memiliki peralatan yang memadai untuk
dapat mencegah terjadinya tindak pidana merupakan bagian dari kegagalan

Universitas Indonesia

297

korporasi untuk mengimplementasikan suatu sistem internal yang memadai


untuk mencegah terjadinya tindak pidana (preventive fault). Di samping itu,
rendahnya kepedulian korporasi terhadap ancaman terjadinya tindak pidana
dan tidak hati-hatinya pengelolaan korporasi merupakan bagian dari
corporate policy yang mendorong terjadinya tindak pidana.
Analisis secara mendalam mengenai bagaimana hakim menjelaskan
pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi sebagai berikut:

a) Kasus Tindak Pidana Korupsi PT. GJW

Pada kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh PT. GJW,
hakim mendasarkan pertimbangannya dengan menggunakan doktrin
vicarious liability dan identifikasi (identification doctrine). Hakim
berpendapat bahwa:
“Menimbang, bahwa dalam perjanjian Kerja Sama Nomor :
664/I/548/Prog- Nomor : 003/GJW/VII/1998 tentang Kontrak Bagi
Tempat Usaha dalam rangka Pembangunan Pasar Induk Antasari
Kota Banjarmasin yang ditandatangani oleh St. Widagdo Bin Suraji
Sastro, Direktur Utama yang dalam hal ini bertindak untuk dan atas
nama PT. Giri Jaladhi Wana (Terdakwa), maka jelas bahwa tindakan
St. Widagdo Bin Suraji Sastro tersebut dalam rangka maksud dan
tujuan korporasi serta untuk memberikan manfaat bagi korporasi
tersebut yaitu PT. Giri Jaladhi Wana (Terdakwa).”123

Hakim berpandangan bahwa suatu tindak pidana bisa dilakukan oleh


korporasi apabila dilakukan atau diperintahkan oleh directing mind dari
perusahaan (dalam hal ini pengadilan menjelaskan bahwa direktur utama
dari PT. GJW yang juga menjadi terpidana dalam kasus ini bertindak untuk
dan atas nama perusahaan), dalam rangka maksud dan tujuan korporasi
(untuk mendapatkan keuntungan), dalam rangka tugasnya di dalam
korporasi (sebagai direktur utama), dan memberikan manfaat bagi korporasi
(korporasi diuntungkan dengan tidak membayarkan retribusi kepada


123
Pengadilan Tinggi Banjarmasin, Putusan No. 04/PID.SUS/2011/PT. BJM, hlm.
147.

Universitas Indonesia

298

pemerintah daerah selama beberapa tahun pasar tersebut dikelola oleh PT.
GJW).124
Apabila dikaitkan dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang menjadi dasar penuntutan dalam kasus ini, Pasal 20
butir (2) menyebutkan:
“Tindak pidana Korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak
pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan
hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam
lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-
sama.125

Undang-undang tidak membatasi dalam hal ini bahwa yang


melakukan tindak pidana haruslah personel dalam posisi penting tertentu,
sehingga personel korporasi yang berada pada posisi yang tidak strategis
bisa memberikan implikasi tindak pidana tersebut dilakukan oleh korporasi.
Selanjutnya tindak pidana tersebut dilakukan di dalam lingkungan
korporasi; frasa ini punya arti yang sangat luas, baik tindakan yang
dilakukan dalam peran yang bersangkutan di dalam korporasi untuk
menjalankan aktivitas korporasi /intra vires, bahkan ketika tindak pidana
tersebut dilakukan oleh seseorang yang ada hubungan kerja atau hubungan
lain dengan korporasi tetapi tindakan tersebut bertujuan untuk
menguntungkan diri sendiri dengan memanfaatkan keberadaan korporasi
bisa disebut sebagai tindak pidana yang dilakukan di dalam lingkungan
korporasi. Terakhir tindak pidana tersebut dapat dilakukan sendiri maupun
bersama-sama.
Dapat disimpulkan dari redaksi undang-undang bahwa
pengatribusian tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana yang dilakukan
oleh korporasi sangat luas dan hakim dalam kasus ini memberikan
penyempitan dengan menjelaskan unsur-unsur dalam pasal ini dengan


124
Pengadilan Tinggi Banjarmasin, Putusan No. 04/PID.SUS/2011/PT. BJM, hlm.
147.
125
Indonesia, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No.
31/1999, LN No. 140 Tahun 1999, TLN No. 3874, sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 20 Tahun 2001, LN No. 134
Tahun 2001, TLN No. 4150.

Universitas Indonesia

299

mengaitkannya dengan doktrin vicarious liability dan identifikasi. Hal ini


dapat disimpulkan dari: a) tindak pidana tersebut dilakukan oleh direktur
utama yang memiliki peran besar dalam penentuan kebijakan perusahaan
(sebagai penjelasan terhadap unsur yang pertama: dilakukan oleh seseorang
yang ada hubungan kerja atau hubungan lainnya), b) dilakukan dalam
rangka maksud dan tujuan korporasi, dalam rangka tugasnya di dalam
korporasi, dan memberikan manfaat bagi korporasi (sebagai penjelasan dari
unsur ke dua: dilakukan di dalam lingkungan korporasi).

b) Kasus Tindak Pidana Perpajakan PT. Asian Agri Group


(PT. AAG)

Selanjutnya dalam kasus tindak pidana perpajakan yang melibatkan


PT. AAG, hakim yang memeriksa kasus ini (Hakim Agung Djoko Sarwoko,
Hakim Agung Komariah E. Sapardjaja, dan Hakim Agung Sri Murwahyuni)
menjelaskan:
“Menimbang, bahwa sekalipun secara individual perbuatan
Terdakwa terjadi karena ”mensrea” dari Terdakwa, namun karena
perbuatan tersebut semata-mata untuk kepentingan dari korporasi
maka Mahkamah Agung berpendapat bahwa apa yang dilakukan
oleh Terdakwa adalah dikehendaki atau ”mensrea” dari 14 (empat
belas) korporasi, sehingga dengan demikian pembebanan tanggung
jawab pidana ”Individual Liability” dengan corporate liability harus
diterapkan secara simultan sebagai cerminan dari doktrin respondeat
superior atau doktrin ”Vicarious Liability” diterapkan pertanggungan
jawab pidana kepada korporasi atas perbuatan atau prilaku Terdakwa
sebagai personifikasi dari korporasi yang diwakilinya menjadi tugas
dan tanggung jawab lagi pula apa yang dilakukan Terdakwa telah
diputuskan secara kolektif.126

Hakim dalam kasus ini mendasarkan pelekatan tanggung jawab


pidana kepada korporasi kepada doktrin vicarious liability dengan
menekankan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Suwir laut merupakan
perbuatan yang dikehendaki oleh korporasi dengan menarik mens rea dari
Suwir laut selaku terdakwa dan beberapa pengurus korporasi lainnya yang


126
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan No. 2239 K/Pid.SUS, hlm. 472.

Universitas Indonesia

300

ikut memutuskan untuk melakukan penghindaran pajak. Di samping itu


hakim juga menekankan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa
adalah untuk kepentingan korporasi (memberikan manfaat kepada
korporasi).
Suwir laut dalam surat dakwaan disebutkan sebagai tax manager PT.
AAG. Hakim kemudian dengan mendasarkan pertimbangannya kepada
doktrin vicarious liability menjelaskan bahwa Suwir laut adalah
personifikasi dari korporasi yang diwakilinya. Tidak ada penjelasan lebih
lanjut dari hakim mengapa mens rea dari Suwir laut yang hanya berperan
sebagai tax manager bisa ditarik sebagai mens rea dari semua perusahaan
(empat belas perusahan yang berada dalam grup AAG) tersebut. Hakim
tidak menjelaskan lebih lanjut dalam putusan ini apakah memang ada
hubungan kerja atau hubungan lain yang menjelaskan bahwa perusahaan
telah mendelegasikan kewenangan tertentu kepada Suwir laut (pemenuhan
prinsip agency dan rules of attribution), sehingga doktrin vicarious liabiity
ini bisa digunakan.127 Lebih lanjut, hakim menitikberatkan
pertimbangannya kepada kemanfaatan yang diterima oleh korporasi dari
tindak pidana penggelapan pajak yang dilakukan oleh Suwir Laut.
Adanya kemanfaatan yang diperoleh oleh korporasi dari tindak
pidana yang dilakukan oleh pengurus korporasi memang merupakan
indikasi yang paling mudah untuk bisa mengidentifikasi apakah terdapat
kehendak dari korporasi terhadap tindak pidana tersebut, hal ini terutama
berlaku untuk korporasi bisnis yang bertujuan kepada profit. Namun untuk
dapat menggunakan doktrin vicarious liability dalam menjelaskan
pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh korporasi seharusnya
hakim memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai kedudukan dan peran
subjek individu di dalam organisasi. Apalagi ke empat belas perusahaan
yang berada di dalam grup AAG tersebut adalah subjek hukum yang
memiliki kepribadian hukum yang mandiri yang terpisah dari PT. AAG.


127
Sebagaimana telah dijelaskan pada kerangka teori mengenai doktrin vicarious
liability dalam teori pertanggungjawaban pidana korporasi.

Universitas Indonesia

301

c) Kasus Tindak Pidana Korupsi PT. IM2


Pada kasus tindak pidana korupsi yang melibatkan PT. IM2,128
hakim juga mendasarkan kesalahan korporasi pada doktrin vicarious
liability. Dalam kasus ini yang menjadi terdakwa adalah Indar Atmanto
selaku Direktur Utama PT. IM2, namun hakim dalam kasus ini juga
memberikan sanksi berupa uang pengganti kepada PT. IM2. Pembahasan
mengenai penerapan doktrin ini dilakukan oleh hakim pada pengadilan
tingkat pertama. Pertimbangan hakim dalam memutuskan hal ini adalah
bahwa: Indar Atmanto selaku direktur utama PT. IM2 telah mewakili
perusahaannya untuk terikat pada suatu perjanjian yang dibuat dengan PT.
Indosat, dimana perjanjian tersebut mengakibatkan timbulnya kerugian
negara dengan menghindari kewajiban PT. IM2 untuk melakukan
pembayaran up front fee. Hakim dalam putusan ini menjelaskan bahwa:
“menurut ajaran vikarius (vicarious liability) seseorang
dimungkinkan bertanggung jawab atas perbuatan orang lain. Apabila
teori ini diterapkan pada korporasi, berarti korporasi dimungkinkan
untuk bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan
oleh para pegawainya, kuasanya, atau mandatarisnya, atau siapapun
yang bertanggung jawab kepada korporasi.”129

Berdasarkan pertimbangan ini maka hakim menjelaskan bahwa PT.


IM2 juga seharusnya dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas
tindakan yang dilakukan oleh Indar Atmanto tersebut. Hakim dalam kasus
ini murni melekatkan pertanggungjawaban pidana terhadap PT. IM2
berdasarkan doktrin vicarious liability tanpa melakukan pembahasan
terhadap doktrin identifikasi, walaupun memang yang menjadi tersangka
dalam hal ini adalah direktur utama dari PT. IM2. Hal ini memang
dimungkinkan karena sebagaimana telah dibahas sebelumnya pada kasus
tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh PT. GJW, Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menganut doktrin strict vicarious
liability, yang memungkinkan korporasi dapat dipertanggungjawabkan


128
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan No. 787 K/PID.SUS/2014, hlm.
142 dan hlm. 175.
129
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan No. 01/PID.Sus/2013/PN.JKT.PST,
hlm. 273.

Universitas Indonesia

302

terhadap suatu tindak pidana yang terjadi di dalam korporasi, terlepas dari
kedudukan dari personel yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana.

d) Tindak Pidana Korupsi PT. Sumigita Jaya (PT. SGJ)


Terdakwa dalam kasus ini dari awal adalah Herland Bin Ompo
sebagai Direktur pada PT. SGJ. PT. SGJ didakwa merugikan keuangan
negara karena secara bersama-sama dengan PT. Chevron Pacific Indonesia
(PT. CPI) sejak tahun 2003 – 2011 melakukan proses bioremediasi
(menetralkan tanah dari limbah minyak mentah) yang proses pengerjaannya
ditenderkan diantaranya kepada PT. SGJ. Bioremediasi ini dianggarkan
USD 270 juta yang merupakan dana penggantian pemulihan lingkungan
(cost recovery) PT. CPI. Tindakan tersebut dianggap merugikan keuangan
negara karena merupakan cost recovery atau biaya operasional PT. CPI
yang akan mengurangi bagi hasil keuntungan PT. CPI berdasarkan
Production Sharing Contract (PSC) antara Negara cq BP Migas dengan PT.
CPI sebagai salah satu Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).
Herland dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum
untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara secara
bersama-sama dan berlanjut. Melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal
18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1)
KUHP. Dipidana dengan pidana penjara selama enam tahun dan denda
sebesar Rp. 250 juta dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar diganti
dengan pidana kurungan selama tiga bulan. Dan menjatuhkan hukuman
uang pengganti sebesar US$ 6,9 juta kepada PT. SGJ.
Adapun pertimbangan hakim dalam memberikan hukuman berupa
uang pengganti kepada PT. SGJ adalah karena:
“Terdakwa selaku direktur PT. SGJ dalam melakukan perbuatannya
itu untuk dan atas nama PT. SGJ serta dimaksud untuk memberi

Universitas Indonesia

303

keuntungan kepada PT. SGJ sehingga dipandang adil dan beralasan


jika PT. SGJ dihukum untuk membayar uang pengganti.”130

Dari penjelasan hakim tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa


hakim mendasarkan putusannya pada doktrin vicarious criminal liability, di
mana tindakan dan kesalahan dari salah satu pengurus korporasi dianggap
sebagai tindakan dan kesalahan dari korporasi itu sendiri. Dalam kasus ini,
Herland sebagai direktur PT. SGJ juga adalah personel pengendali, sehingga
relevan juga untuk menyatakan bahwa hakim juga menggunakan doktrin
identifikasi sebagai dasar untuk membebankan pertanggungjawaban bagi
PT. SGJ. Di samping itu, hakim juga menggunakan kriteria keuntungan
yang diperoleh korporasi dari tindak pidana yang dilakukan sebagai dasar
untuk juga menjatuhkan sanksi bagi korporasi.

e) Tindak Pidana Korupsi PT. Green Planet Indonesia (PT.


GPI)
Sama seperti kasus PT. SGJ, pada kasus PT. GPI juga yang menjadi
terdakwa adalah Ricksy Prematuri selaku Direktur PT. GPI. PT. GPI
didakwa telah merugikan negara dengan melakukan proses bioremediasi
(menetralkan tanah dari limbah minyak mentah) yang proses pengerjaannya
ditenderkan kepada PT. GPI. Bioremediasi ini dianggarkan USD 270 juta
yang merupakan dana penggantian pemulihan lingkungan (cost recovery)
PT. CPI.
Ricksy Prematuri dinyatakan bersalah telah melakukan perbuatan
melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara secara bersama-sama dan berlanjut. Melanggar ketentuan Pasal 2
ayat (1) jo. Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat


130
Putusan PN Jakarta Pusat No. 81/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST, tanggal 8 Mei
2013, hlm. 234.

Universitas Indonesia

304

(1) KUHP. Dipidana dengan pidana penjara selama lima tahun dan denda
sebesar Rp. 200 juta dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar diganti
dengan pidana kurungan selama tiga bulan. Dan menjatuhkan hukuman
uang pengganti sebesar US$ 3,1 juta kepada PT. SGJ.
Hakim juga menghukum PT. GPI untuk membayar uang pengganti
dengan pertimbangan:
“Terdakwa selaku direktur PT. GPI dalam melakukan perbuatannya
itu.... adalah untuk dan atas nama PT. GPI serta dimaksudkan untuk
memberikan keuntungan bagi PT. GPI melalui pekerjaan
biomerediasi;.... dalam melakukan kontrak biomerediasi dengan PT.
CPI terdakwa bertindak selaku direktur PT. GPI dan pelaksanaan
kontrak tersebut dilakukan oleh PT. GPI dan untuk kepentingan PT.
GPI dan persyaratannyapun dilakukan PT. CPI kepada PT. GPI...”131

Dari pertimbangan hakim sebagaimana dijelaskan di atas dapat


disimpulkan bahwa hakim mengadopsi doktrin vicarious criminal liability
dalam membebankan pertanggungjawaban bagi korporasi, di mana hakim
menggunakan standar adanya hubungan kerja antara pelaku tindak pidana
dengan korporasi, dan tindak pidana tersebut dilakukan untuk dan atas nama
korporasi. Melihat posisi Ricksy Prematuri sebagai direktur PT. GPI bisa
dijelaskan juga hakim menggunakan doktrin identifikasi dalam
mengatribusikan pertanggungjawaban pidana bagi korporasi, karena Ricksy
dianggap sebagai personel pengendali yang disebut legal alter ego dari PT.
GPI, sehingga segala perbuatan dan kesalahan dari dirinya yang dilakukan
dalam rangka tugas dan jabatannya di dalam korporasi bisa dianggap
sebagai perbuatan dan kesalahan dari korporasi itu sendiri. Kriteria lain
yang dapat dijadikan standar hakim dalam membebankan
pertanggungjawaban pidana bagi korporasi adalah adanya keuntungan yang
diperoleh oleh korporasi dari tindak pidana yang telah dilakukan.


131
Putusan PN Jakarta Pusat No. 85/PID.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst, tanggal 7 Mei
2013, hlm. 265.

Universitas Indonesia

305

f) Kasus Tindak Pidana Lingkungan Hidup PT. Dongwoo


Environmental Indonesia (PT. DEI)
PT. DEI adalah perusahaan yang bergerak di bidang pengelolaan
limbah Cair Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang berdiri semenjak
2001, di Cikarang Utara, Kabupaten Bekasi. PT. DEI dinyatakan bersalah
telah melakukan tindak pidana “Pencemaran Lingkungan Secara Berlanjut”
yang berakhir dengan penutupan PT. DEI.

Perkara ini berawal dari timbulnya gejala sakit yang dialami oleh
masyarakat Kampung Sempu, Desa Pasir Gombong, Kecamatan Cikarang
Utara, Kabupaten Bekasi, yang mengalami kepala pusing, tenggorokan
kering, dada sesak, perut mual dan muntah-muntah. Gejala tersebut
disebabkan oleh gas dari limbah yang dibuang oleh Dedi Permana dan
Awing yang berasal dari PT. DEI. Dedi Permana dan Awing adalah pemilik
truk yang disewa oleh PT. DEI untuk membuang limbah ke Kampung
Sempu.

Apabila melihat pertimbangan yang dikemukakan oleh hakim, maka


dapat disimpulkan dua kriteria untuk dapat dijadikan dasar pembebanan
pertanggungjawaban pidana bagi PT. DEI. Pertama adalah bahwa tindakan
pembungan limbah yang dilakukan oleh Dedi Permana dan Awing di
Kampung Sempu diketahui dan disetujui oleh Kim Young Woo sebagai
Presiden Direktur PT. DEI. Sebagaimana dikemukakan oleh hakim bahwa
jadwal pembuangan dan besaran upah yang dibayarkan kepada Dedi
Permana ditandatangani dan disetujui sendiri oleh Kim Young Woo.132

Kriteria kedua yang juga dapat ditemukan pada dakwaan adalah


adanya keuntungan atau manfaat yang diperoleh PT. DEI dari tindak pidana
yang dilakukan oleh pengurus pengendali. PT. DEI disebutkan mendapatkan
keuntungan dengan tidak melakukan pengolahan limbahan B3 sesuai
dengan prosedur yang seharusnya.133 Sebagaimana dikemukakan oleh Jaksa
bahwa: “Karena PT. DEI membuang limbah cair B3 yang seharusnya

132
Putusan Pengadilan Negeri Bekasi, Putusan No. 458/Pid.B/2008/PN.Bks, hlm.
74.
133
Mahkamah Agung RI, Putusan No. No. 862 K/PID.SUS/2010, hlm. 19, 35.

Universitas Indonesia

306

dikirim ke PPLI di Bogor untuk diproses lebih lanjut maka PT. DEI
mendapatkan keuntungan.... sekitar US $31175,2.”

Meskipun hakim dalam perkara ini tidak mengemukakan secara


eksplisit kriteria atau doktrin apa yang digunakan dalam pembebanan
pertanggungjawaban pidana bagi PT. DEI, tetapi dapat disimpulkan bahwa
hakim cenderung menggunakan identifikasi doktrin, di mana tindakan dari
personil pengendali korporasi dalam hal ini Kim Young Woo (Presiden
Direktur) dapat diatribusikan sebagai tindakan dari korporasi, ditambah
dengan fakta bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menguntungkan
korporasi, maka dapat dikatakan bahwa PT. DEI sangat terang dapat
dipertanggungjawabkan atas pencemaran lingkungan yang mengakibatkan
tertanggunya kesehatan masyarakat dan lingkungan di sekitar tempat
pembuangan limbah.

g) Tindak Pidana Lingkungan Hidup PT. Adei Plantation &


Industry (PT. API)
PT. API adalah perusahaan perkebunan kelapa sawit di kabupaten
Pelalawan dan Bengkalis Propinsi Riau. PT. API didakwa melakukan tindak
pidana lingkungan hidup berupa penimbunan anak sungai untuk perluasan
lahan serta pembakaran untuk mempersiapkan lahan. Kegiatan tersebut telah
menyebabkan kebakaran yang luas dan menghasilkan kabut asap yang
mencemari udara melebihi batas ambang pencemaran, merusak sifat kimia
tanah, merusak sifat biologi tanah, merusak sifat fisik tanah dan merusak
aspek flora. Hakim menyatakan PT. API bersalah melakukan tindak pidana
“karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup,” melanggar ketentuan Pasal 99 (1) Undang-Undang No.
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup.
PT. API dijatuhi pidana denda sebesar Rp.1,5 Milyar dan pidana tambahan
berupa perbaikan akibat tindak pidana untuk memulihkan lahan yang rusak
dengan biaya sebesar Rp.15,1 Miliyar.
Hakim menyatakan bahwa berdasarkan fakta yang terungkap di
persidangan bahwa telah terjadi kebakaran yang berkepanjangan selama dua

Universitas Indonesia

307

minggu di areal perkebunan milik terdakwa, sehingga mengakibatkan


tercemarnya lingkungan dan gangguan asap yang dampaknya meluas
sampai ke negara tetangga.134 Hakim dalam putusannya mengaitkan
kelalaian dari pengurus PT. API dengan pertanggungjawaban pidana yang
dibebankan kepada PT. API. Sebagaimana pertimbangan yang dikemukakan
oleh hakim dalam hal melihat adanya kelalaian dari PT. API:
“Menimbang, bahwa menghubungkan pengertian kelalaian atau
kealpaan tersebut dengan peristiwa yang didakwakan kepadanya.
Hal-hal yang telah Danesuvaran (production director PT. API) dan
PT. API lakukan ternyata tidak cukup dengan hanya memenuhi
syarat-syarat yang bersifat kebendaan seperti pembangunan menara
tower, petugas pemadam kebakaran beserta perlengkapannya,
sosialisasi ataupun pengadaan plang-plang yang melarang membakar
lahan dan sebagainya, Danesuvaran lalai untuk mengantisipasi
potensi kebakaran dari lahan pihak ketiga...”135

“Menimbang, bahwa selain kelalain dari diri Danesuvaran, majelis


juga melihat adanya kelalaian pada diri Sutrisno, selaku Asisten
Lapangan yang membawahi.... Sutrisno membiarkan api yang
membakar lahan pada areal DAS Jiat yang seharusnya dipadamkan.
Saksi Sutrisno tidak menjalankan sungguh-sungguh perintah-
perintah yang ada dalam SOP PT. API dengan alasan yang belum
tentu terjadi.”136

Tidak ada pembahasan pada putusan tentang bagaimana kelalaian


pada diri pengurus korporasi ini bisa dijadikan pertanggungjawaban bagi
PT. API. Namun sepertinya hakim secara implisit mengadopsi doktrin
vicarious criminal liability, di mana perbuatan dan kesalahan dari pengurus
yang memiliki hubungan kerja dan melaksanakan pekerjaannya untuk
korporasi dapat dianggap sebagai perbuatan dan kesalahan dari korporasi itu
sendiri. Sehingga kelalaian pengurus dalam mengantisipasi kebakaran hutan
dapat diatribusikan kepada PT. API bahwa dalam melakukan kegiatan
pengelolaan lahan PT. API telah lalai dalam melakukakan upaya-upaya
untuk mengantisipasi terjadinya kebakaran dan tidak menyediakan sarana


134
Pengadilan Tinggi Pekanbaru, Putusan No. 286/Pid.Sus/2014/PT.PBR, hlm. 65.
135
Putusan Pengadilan Negeri Pelalawan, Putusan No. 228/Pid.Sus/2013/PN Plw,
hlm. 198
136
Ibid.

Universitas Indonesia

308

yang diperlukan untuk memadamkan kebakaran yang terjadi di areal


perkebunan miliknya.

h) Tindak Pidana Lingkungan Hidup PT. National Sago Prima


(PT. NSP)
PT. NSP adalah badan usaha yang bergerak di bidang pertanian,
pengusahaan hutan, usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada hutan
tanaman industri dalam hutan tanaman (Sagu) di Propinsi Riau. Majelis
hakim menyatakan PT. NSP telah bersalah “karena kelalaiannya
mengakibatkan dilampauinya kriteria baku kerusakan lingkungan hidup,”
melanggar ketentuan Pasal 99 (1) Undang-Undang No. 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup. Majelis hakim
pada tingkat pertama menjatuhkan pidana denda sebesar Rp.2 Miliar dan
pidana tambahan berupa kewajiban melengkapi sarana pencegahan dan
penanggulangan kebakaran hutan dengan pengawasan Badan Lingkungan
Hidup Kabupaten Kepulauan Meranti dalam jangka waktu 1 (satu) tahun.
Putusan ini dikuatkan oleh hakim tingkat banding.

Adapun dasar hakim untuk membebankan pertanggungjawaban


pidana pada PT. NSP adalah:

“karena kelalain yang dilakukan oleh terdakwa dilakukan oleh orang


yang bertindak dan untuk atas nama terdakwa dalam rangka
hubungan kerja di mana menurut hemat majelis di dalam perseroan
terdapat mekanisme pelaporan sehingga pihak-pihak dalam
korporasi haruslah dianggap mengetahui tentang ada tidaknya suatu
perbuatan atau pembiaran terhadap satu keadaan sehingga terwujud
satu kebijakan korporasi, maka apabila hal ini dikaitkan dengan
kelalaian sebagaimana yang telah majelis pertimbangkan di atas
maka terdakwa dapat diminta pertanggungjawabannya.”
PT. NSP dinyatakan lalai dalam mengantisipasi dan tidak melakukan
hal-hal yang perlu untuk mencegah terjadinya kebakaran lahan.137 Meskipun
terdakwa telah melakukan tindakan yang cukup dalam penanggulangan dan
pencegahan kebakaran hutan yang terjadi pada areal perkebunan milik
terdakwa namun karena terdakwa tidak memiliki sarana dan prasarana

137
Putusan PN Bengkalis No. 547/Pid.Sus/2014./PN.Bls, hlm. 175.

Universitas Indonesia

309

pencegahan kebakaran yang maksimal dan sesuai standar sehingga upaya


pemadaman kebakaran pada areal konsesi terdakwa tidak berhasil dilakukan
dan meluas dan berlangsung berkepanjangan dari Januari sampai Maret
2014.138

Dari pertimbangan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa hakim


menggunakan doktrin vicarious criminal liability untuk mengatribusikan
pertanggungjawaban pidana bagi korporasi. Di mana hakim menjelaskan
bahwa tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang yang memiliki
hubungan kerja dengan korporasi. Di samping itu, majalis hakim juga
menggarisbawahi sistem kerja korporasi yang menghasilkan kebijakan
korporasi (corporate policy). Hal ini merupakan kriteria yang ditemukan
pada doktrin budaya korporasi. Meskipun masih menitikberatkan
pertimbangannya pada vicarious criminal liability tetapi ada sedikit
pandangan doktrin budaya korporasi pada pertimbangan hakim dalam
membebankan pertanggungjawaban pidana bagi korporasi pada kasus tindak
pidana lingkungan yang dilakukan oleh PT. NSP.

i) Tindak Pidana Lingkungan Hidup PT. Kallista Alam

PT. Kallista Alam adalah perusahaan perkebunan kelapa sawit yang


berkedudukan di Kabupaten Nagan Raya, Kecamatan Darul Makmur. PT.
Kallista Alam didakwa melakukan penyiapan lahan dengan pembakaran dan
sengaja membiarkan terjadinya kebakaran secara berulang dan berlanjut,
sehingga mengakibatkan kerusakan tanah dan lingkungan. Melanggar
ketentuan Pasal 108 ayat (1) jo. Pasal 69 ayat (1) huruf (h), Pasal 116 ayat
(1) huruf (a), Pasal 118, Pasal 19 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, jo. Pasal 64 ayat
(1) KUHP.

Hakim menyatakan bahwa PT. Kallista Alam terbukti bersalah telah


melakukan perbuatan yang didakwakan dan menghukum PT. Kallista Alam
untuk membayar pidana denda sebesar Rp 3 Milyar. Adapun pertimbangan


138
Ibid., hlm. 180.

Universitas Indonesia

310

hakim dalam menyatakan PT. Kallista dapat dipertanggungjawabkan adalah


karena:

“Minimnya peralatan yang tersedia di PT. Kallista Alam dari jumlah


standar minimal yang harus dimiliki termasuk tidak tersedianya
menara pengawas api yang seharusnya ada, menunjukkan kepedulian
yang rendah terhadap ancaman terjadinya kebakaran lahan baik yang
dilakukan secara sengaja maupun akibat kelalaian sehingga areal
yang terbakar makin luas.”139
“Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Pasal 2 mengenai asas diatur
mengenai asas kehati-hatian, sehingga dengan demikian dengan
tidak hati-hatinya pengelolaan perkebunan PT. Kallista Alam
karyawan dan staf terdakwa tidak mampu memadamkan api,
haruslah dinyatakan pembukaan lahan telah dilakukan dengan cara
membakar.”140
Dari pertimbangan yang disampaikan oleh majelis hakim ini dapat
disimpulkan bahwa hakim mendasarkan pertimbangannya untuk
membebankan pertanggungjawaban pidana bagi korporasi pada teori budaya
perusahaan. Bahwa korporasi tidak memiliki peralatan yang memadai untuk
dapat mencegah terjadinya tindak pidana merupakan bagian dari kegagalan
korporasi untuk mengimplementasikan suatu sistem internal yang memadai
untuk mencegah terjadinya tindak pidana (preventive fault). Rendahnya
kepedulian korporasi terhadap ancaman terjadinya kebakaran dan tidak hati-
hatinya pengelolaan perkebunan yang dilakukan PT. Kallista Alam
merupakan bagian dari corporate policy yang mendorong terjadinya tindak
pidana.

Dari beberapa kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa kebanyakan


hakim menggunakan doktrin vicarious criminal liability untuk
membebankan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Di samping
itu hakim dalam melakukan analisis kasus juga mengaitkan doktrin
vicarious criminal liability dengan doktrin identifikasi di mana peran
personil pengendali yang dianggap sebagai directing mind menjadi penting
dalam melihat kesalahan dari korporasi. Hal ini dapat dimaklumi karena

139
Putusan PN Meulaboh No. 131/Pid.B/2013/PN.MBO, hlm. 135.
140
Putusan PN Meulaboh No. 131/Pid.B/2013/PN.MBO, hlm. 133.

Universitas Indonesia

311

memang kasus yang diteliti adalah kasus lingkungan hidup dan tindak
pidana korupsi yang berdasarkan kedua undang-undang yang mengatur
tentang tindak pidana ini menggunakan doktrin vicarious liability untuk
mengatribusikan pertanggungjawaban pidana bagi korporasi. Di samping
itu, pada dua kasus tindak pidana lingkungan hidup hakim mendasarkan
pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi berdasarkan
kepada teori budaya korporasi dan melihat kesalahan korporasi berdasarkan
kesalahan dalam kegagalam mencegah tindak pidana dan kebijakan
korporasi yang mendorong terjadinya tindak pidana.

b. Subjek Hukum yang Dipertanggungjawabkan

Hanya sedikit undang-undang yang menjelaskan bagaimana


pengatribusian pertanggungjawaban pidana kepada korporasi (hanya sebelas
dari delapan puluh delapan undang-undang yang diteliti) dan tidak ada
ketentuan yang eksplisit mengenai penentuan kapan dikatakan suatu tindak
pidana dilakukan oleh korporasi dan kapan pengurus dapat
dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang terjadi di dalam
korporasi. Disebabkan karena hal tersebut, dalam beberapa kasus hukum
yang diteliti, penegak hukum seperti mencampuradukkan kedua subjek
(subjek manusia dengan subjek korporasi) sebagai subjek yang sama.
Dalam kasus organisasi Al-Jamaah Al-Islamiyah, yang diperiksa dan
menjadi terdakwa subjek hukumnya adalah orang manusia (Zuhroni alias
Zarkasih). Zuhroni juga bukanlah ketua dari Al-Jamaah Al-Islamiyah,
tetapi dalam amar putusan hakim memberikan sanksi denda kepada
korporasi dan menyatakan korporasi Al-Jamaah Al-Islamiyah sebagai
organisasi terlarang dan membubarkannya.
Hal yang sama juga dapat ditemukan pada kasus tindak pidana
korupsi yang melibatkan PT. GPI dan PT. SGJ dalam kaitannya dengan
proyek bioremediasi PT. Chevron Pasific Indonesia (PT. CPI), dimana yang
didakwa adalah subjek hukum manusia (Herland bin Ompo sebagai diretur
utama PT. SGJ dan Ricksy Prematuri selaku direktur utama PT. GPI),

Universitas Indonesia

312

namun hakim dalam putusannya memberikan sanksi pidana tambahan


berupa uang pengganti kepada korporasi.141
Begitu juga di dalam kasus pencemaran lingkungan yang dilakukan
oleh PT. Dongwoo Environmental Indonesia (PT. DEI) yang diwakili oleh
Kim Young Woo sebagai Presiden Direktur PT. DEI. Dalam kasus ini juga
yang menjadi terdakwa adalah Kim Young Woo, namun dalam amar
putusan, hakim memberikan sanksi denda kepada korporasi dan apabila
denda tersebut tidak dapat dibayar maka diganti dengan kurungan oleh Kim
Young Woo.142 Tidak ada pembahasan mengenai pemisahan subjek hukum
antara korporasi dan subjek hukum manusia di dalam putusan hakim dalam
kasus ini, sepertinya mereka dilihat sebagai subjek hukum yang sama dan
bisa dipertukarkan (interchangeable). Kurang tepat mencampuradukkan
kedua subjek hukum ini diperlakukan seolah-olah adalah seperti subjek
hukum yang sama, bisa dipidana untuk mengganti pertanggungjawaban dari
subjek hukum yang lain. Apabila memang hakim dalam putusan ini
berpandangan Kim Young Woo adalah directing mind dari perusahaan
sehingga perusahaannya bisa dipidana, maka yang bertanggungjawab adalah
perusahaan dan yang harus dipidana adalah perusahaan. Di samping itu
penuntutan terhadap kedua subjek hukum (PT. DEI dan Kim Young Woo)
seharusnya dilakukan baik secara terpisah (splitsing) maupun disatukan
sehingga dalam hal pembuktian kedua subjek hukum harus diuji secara
masing-masing dalam pemenuhan unsur-unsur pidana.
Hal yang sama juga ditemui dalam kasus perpajakan PT. AAG, yang
menjadi terdakwa dan diperiksa adalah subjek manusia (Suwir Laut alias
Liu Che Sui alias Atak) selaku tax manager PT. AAG, tetapi yang diberikan
sanksi adalah juga Perusahaannya.143 Putusan kasus ini menurut penulis
sebenarnya merupakan salah satu putusan yang sangat kaya akan
pertimbangan hukum dari hakim yang mengadili (Hakim Agung Djoko
Sarwoko, Hakim Agung Komariah E. Sapardjaja, dan Hakim Agung Sri

141
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan No. 2441 K/PID.SUS/2013 dan
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan No. 2330 K/PID.SUS/2014.
142
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan No. 862 K/PID.SUS/2010, hlm.
95.
143
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan No. 2239 K/Pid.SUS, hlm. 474.

Universitas Indonesia

313

Murwahyuni), menguraikan unsur-unsur pidana dengan sangat detail dan


mengakomodir cukup banyak doktrin hukum dalam analisis kasus
perpajakan perusahaan-perusahaan yang berada di bawah PT. AAG ini.
Dalam pertimbangannya hakim mengakui bahwa secara formal
korporasi tidak dijadikan terdakwa dalam kasus ini,144 tetapi dengan
pertimbangan tujuan pemidanaan dari UU Perpajakan adalah bukan untuk
tujuan retributif kepada pelaku individual tetapi lebih kepada pemenuhan
rasa keadilan agar korporasi dapat membayar Pajak Pendapatan Penghasilan
dan Pajak Badan untuk kepentingan penerimaan negara, maka hakim juga
memberikan sanksi pidana kepada korporasi untuk membayar denda 2 (dua)
kali pajak terhutang perusahaan.145
Pelaku individual Suwir Laut dalam kasus ini diberikan sanksi
pidana penjara selama 2 (dua) tahun, dengan masa percobaan berkelakuan
baik selama 3 (tiga) tahun. Walaupun menurut hakim pelaku individual
dalam kasus ini dinyatakan bersalah dan bertanggung jawab, tetapi sanksi
yang diterima oleh pelaku individual adalah cukup mengurangi stigma
kriminal pada subjek individual dengan diberikan masa percobaan. Menurut
penulis, dan mungkin juga hakim dalam kasus ini, subjek individual
sebenarnya berada dalam posisi sebagai subjek yang dipergunakan atau
diperalat oleh korporasi untuk melakukan tindak pidana guna mencapai
maksudnya menghindari kewajiban pajak. Atau kalau bukan diperalat,
mungkin dibujuk oleh korporasi untuk mencapai tujuan korporasi.
Meskipun subjek individu melakukan perbuatan tersebut dengan sadar,
namun menurut penulis tingkat free will pelaku dalam melakukan perbuatan
tersebut dipengaruhi juga oleh kenyataan bahwa pelaku bekerja dan dibayar
oleh korporasi.
Dalam kasus PT. IM2 bahkan hakim yang mengadili (Hakim Agung
Artidjo Alkostar, Hakim Agung Mohammad Askin, dan Hakim Agung
Lumme) berpendapat bahwa subjek hukum manusia (pengurus) dan subjek
hukum korporasi adalah merupakan subjek hukum yang dalam hal
penuntutan dan penjatuhan sanksi pidana berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UU

144
Ibid., hlm. 472.
145
Ibid., 472-473.

Universitas Indonesia

314

No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan


Tindak Pidana Korupsi adalah bersifat kumulatif-aternatif, sehingga mereka
dapat dipertukarkan dalam hal pembebanan pertanggungjawaban pidana dan
dalam hal penjatuhan sanksi pidana.146 Sehingga meskipun Jaksa Penuntut
Umum tidak melakukan penuntutan secara khusus terhadap korporasinya
(IM2), tetapi terdakwa dalam kapasitasnya sebagai direktur utama PT. IM2
dianggap telah merugikan negara dengan tindakannya membuat perjanjian
mengenai pembagian frekuensi radio dengan PT. Indosat, sehingga PT. IM2
dapat diberikan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti
meskipun tidak pernah dituntut.147
Penulis berpendapat bahwa hakim kurang tepat dalam pandangannya
mengenai kedudukan subjek hukum korporasi dan subjek hukum manusia
yang ada di dalam korporasi sebagai dua subjek hukum yang dapat
dipertukarkan, sehingga pembuktian terhadap kesalahan salah satu subjek
secara otomatis akan menjadikan subjek yang lainnya juga adalah bersalah
atas suatu tindak pidana yang dituduhkan padanya. Tidak adil untuk
menyatakan suatu subjek bersalah atas suatu tindak pidana tanpa adanya
pemeriksaan atau pengujian mengenai keterlibatannya dalam tindak pidana
tersebut. Sebagaimana telah dibahas juga pada sub bab sebelumnya bahwa
ada hak-hak dasar dari korporasi yang juga harus dipenuhi dalam
pembuktian dan proses pengadilan pidana yang memang belum
diakomodasi oleh hukum acara di Indonesia.
Apabila dalam beberapa kasus yang telah dibahas di atas korporasi
ikut diberikan sanksi pidana padahal yang dituntut, didakwa dan diperiksa di

146
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan No. 787 K/PID.SUS/2014, hlm.
142 dan hlm. 175.
147
Ibid., mengenai materi kasus tidak akan dilakukan pembahasan secara mendalam
dalam disertasi ini, namun secara umum penulis berpendapat ada banyak fakta kasus yang
diabaikan oleh hakim dalam memutus kasus ini, sepertinya hakim terlalu menekankan
mengenai unsur korupsi dengan kurang mempertimbangkan unsur-unsur lain yang secara
cukup nyata dan jelas dapat ditangkap sebagai bukan kasus korupsi. Seperti misalnya
penjelasan mengenai kenyataannya bahwa sama sekali tidak terjadi pembagian frekuensi
antara PT. Indosat dengan PT. IM2, tetapi adalah pembagian jaringan, yang menurut
keterangan ahli adalah berbeda dengan frekuensi, yang pada prinsipnya bukanlah
merupakan suatu tindakan yang bertentangan dengan hukum dan merugikan negara.
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan No. 787 K/PID.SUS/2014, hlm. 142 dan
hlm. 131. Hal yang sama juga bisa disimpulkan dalam kasus tipikor PT. GPI dan PT. SGJ
dalam kaitannya dengan proyek bioremediasi PT. Chevron Pasific Indonesia (CPI).

Universitas Indonesia

315

pengadilan adalah subjek hukum manusia di dalam korporasi; hal


sebaliknya terjadi pada kasus tindak pidana lingkungan hidup PT. API. Pada
kasus ini yang dijadikan terdakwa dari awal adalah PT. API yang diwakili
oleh Tan Kei Yoong selaku managing director. PT. API dinyatakan telah
lalai sehingga mengakibatkan dilampauinya kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup, sehingga hakim pada Pengadilan Negeri yang dikuatkan
oleh Pengadilan Tinggi memberikan sanksi pidana denda kepada PT. API
sebesar Rp.1.500.000.000,- (satu milyar lima ratus juta rupiah) “dengan
ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana
kurungan yang diwakili oleh Sdr. Tan Kei Yoong selama 5 (lima) bulan.”148
Hakim dalam putusan PT. API menjelaskan:
“Menimbang, bahwa oleh karena yang menjadi terdakwa dalam
perkara ini adalah korporasi atau badan usaha yang tidak mungkin
dikenai pidana badan/fisik, maka sebagai penanggung jawab
terteinggi pada PT. API... maka Sdr. Tan Kei Yoong adalah pihak
yang dianggap tepat untuk menjalani pidana pengganti kurungan
tersebut.”149

Dalam hal ini Tan Kei Yoong yang dari awal tidak pernah diperiksa
sebagai pelaku tindak pidana, dapat menggantikan sanksi pidana denda yang
diberikan kepada PT. API. Hakim dalam hal ini melihat bahwa subjek
korporasi dan subjek manusia yang mewakili korporasi adalah sama.
Sehingga apabila korporasi tidak mampu untuk memenuhi kewajibannya
membayar pidana denda maka dapat digantikan oleh wakilnya dengan
pidana kurungan. Pemahaman seperti ini menurut penulis sangat keliru dan
berbahaya bagi kepastian hukum dan merupakan pelanggaran hak asasi
manusia.
Beberapa kasus di atas jelas menunjukkan bahwa terdapat
ketidakjelasan hakim dalam menentukan subjek yang dapat
dipertanggungjawabkan ketika tindak pidana terjadi dalam kerangka
kegiatan korporasi. Hakim cenderung melihat korporasi sebagai
interchangeable dengan pengurus korporasi. Pemahaman ini sangat keliru


148
Pengadilan Tinggi Pekanbaru, Putusan No. 286/Pid.Sus/2014/PT.PBR, hlm. 53.
149
Putusan Pengadilan Negeri Pelalawan, Putusan No. 228/Pid.Sus/2013/PN Plw,
hlm. 213.

Universitas Indonesia

316

mengingat korporasi adalah subjek yang berbeda dengan pengurus


korporasi, mereka seharusnya dituntut dan dibuktikan kesalahannya atas
namanya sendiri. Tidak adil untuk menyatakan suatu subjek bersalah atas
suatu tindak pidana tanpa adanya pemeriksaan atau pengujian mengenai
keterlibatannya dalam tindak pidana tersebut. Kecenderungan hakim untuk
melihat korporasi sebagai interchangeable dengan korporasi ini digiring
oleh peraturan perundang-undangan yang masih sangat minim dan masih
kurang jelas mengatur mengenai pemisahan pembebanan
pertanggungjawaban pidana bagi korporasi dan pengurus korporasi.
Keadaan ini diperparah dengan belum adanya pengaturan mengenai
hukum acara pidana bagi subjek korporasi, sehingga menambah
kompleksitas dari permasalahan pemidanaan bagi korporasi dalam hukum
pidana Indonesia. Hal ini dapat menggiring kepada ketidakadilan terhadap
hak-hak subjek yang terlibat, baik itu subjek individu perorangan maupun
subjek korporasi. Sehingga juga sangat penting untuk memberikan
pengaturan hukum acara pidana bagi subjek korporasi. Tidak hanya
kewajiban korporasi saja yang perlu diatur, tetapi juga hak-hak mereka, baik
ketika mereka menjadi tersangka, terdakwa, korban atau saksi tindak
pidana.

c. Catatan Khusus Mengenai Kasus PT. Kallista Alam


Pada kasus pencemaran lingkungan hidup yang dilakukan oleh PT.


Kallista Alam, di samping proses hukum yang berjalan pada pengadilan
pidana, PT. Kallista Alam juga menjadi tergugat dalam kasus perdata
dengan Reg. No. 12/Pdt.G/2012.PN.Mbo yang diajukan oleh Kementerian
Lingkungan Hidup.
Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup memang memungkinkan penegakan hukum
dengan memberdayagunakan berbagai ketentuan hukum baik hukum
administrasi, hukum perdata, maupun hukum pidana. Meskipun dijelaskan
bahwa penegakan hukum pidana lingkungan tetap memerhatikan asas

Universitas Indonesia

317

ultimum remedium yang mewajibkan penegakan hukum pidana sebagai


upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum yang lain dianggap
tidak berhasil.150
Adanya persamaan subjek, objek, tempat (locus) dan waktu (tempus)
dalam perkara ini memunculkan pembahasan mengenai kemungkinan PT.
Kallista Alam mengalami penuntutan ganda (double jeopardy) yang
dikemukakan oleh kuasa hukum PT. Kallista Alam. Pasal 76 KUHP
menjelaskan bahwa: “Kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin
diulangi, orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh
hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi
tetap.”
Prinsip double jeopardy memberikan jaminan bahwa seseorang tidak
dapat dituntut ke dua kalinya untuk tindak pidana yang sama dan telah
mendapatkan kekuatan hukum yang tetap dan tidak dapat diberikan sanksi
ganda untuk tindak pidana yang sama.151 Neagu menjelaskan “the ne bis in
idem principle is to be understood as a rule forbidding further
prosecution/judgment/conviction for the same offence/conduct/act.152
(Prinsip ne bis in idem dipahami sebagai ketentuan yang melarang
penuntutan/ pengadilan/ penghukuman untuk tindak pidana/ perilaku/
perbuatan yang sama).
Meskipun prinsip ne bis in idem ini terdengar sederhana, tetapi ada
banyak permasalahan yang bisa muncul dalam mengaplikasikan prinsip ini.
Misalnya, dasar apa yang digunakan untuk menentukan suatu tuntutan
sebagai sama (idem), apakah berdasarkan definisi atau klasifikasi tindak
pidana yang dilakukan (in abstracto) ataukah berdasarkan kesamaan fakta-
fakta hukum pada kasus (idem factum, in concreto); apakah ruang lingkup
prinsip ne bis in idem ini mengacu pada satu jurisdiksi negara ataukah
berlaku secara internasional; apakah ruang lingkup prinsip ini hanya berlaku

150
Indonesia, Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
UU No. 32/2009, LN. No. 140 Tahun 2009, TLN. No. 5059, Penjelasan umum butir 5.
151
Ferdico, Fradella dan Totten, Tenth edition, Criminal Procedure: For the
Criminal Justice Professional, (USA: Wadsworth, 2009), hlm. 28.
152
Norel Neagu, “The Ne Bis in Idem Principle in the Interpretation of European
Courts: Towards Uniform Interpretation,“ Leiden Journal of International Law, Volume
25, Issue 04, 2012, hlm. 955.

Universitas Indonesia

318

dalam penuntutan ganda dalam ranah hukum pidana saja ataukah juga
termasuk penyelesaian perkara melalui ranah hukum lain seperti misalnya
perdata, adminstrasi atau penyelesaian perkara di luar pengadilan.153
Permasalahan yang terakhir ini lah yang menjadi pembahasan dalam kasus
tindak pidana lingkungan hidup yang dilakukan oleh PT. Kallista Alam.
Secara umum memang prinsip ne bis in idem ini hanya berlaku
untuk penuntutan di ranah hukum pidana saja, tidak berlaku untuk proses
hukum pada ranah yang berbeda. Misalnya di negara-negara European
Union, Neagu menjelaskan: “as a general rule, the ne bis in idem principle
applies mainly in criminal proceedings. This means that parallel or
subsequent administrative or civil proceedings regarding the same acts are
not prohibited.”154 (sebagai suatu aturan umum, prinsip ne bis in idem
berlaku terutama pada proses peradilan pidana. Ini berarti bahwa proses
paralel dengan proses hukum adminstrasi atau perdata mengenai tindakan
yang sama tidak dilarang.)
Untuk Amerika Serikat misalnya dijelaskan oleh Ferdico, Fradella
dan Totten: “It does not protect against criminal prosecution of a person
after the person has been penalized in a civil proceeding.”155 (Prinsip ini
tidak melindungi seseorang dari penuntutan pidana setelah orang tersebut
diberikan sanksi pada proses hukum perdata.) Bahkan di Amerika Serikat
prinsip double jeopardy tidak menghalangi penuntutan pidana secara
bersamaan antara Pengadilan Federal dan pengadilan negara bagian
(parallel State and Federal prosecutions) apabila memang tindak pidana
yang dilakukan secara bersamaan melanggar ketentuan Federal dan
ketentuan negara bagian pada saat yang bersamaan.156
Dalam kasus pidana lingkungan hidup yang dilakukan PT. Kallista
Alam, hakim yang memutus perkara (Hakim Agung Surya Jaya, Hakim
Agung Margono dan Hakim Agung Suhadi) telah tepat dalam
mengimplementasikan prinsip ini. Di mana hakim menjelaskan bahwa yang


153
Ibid.
154
Ibid., hlm. 958.
155
Ferdico, Fradella dan Totten, op., cit.
156
Lihat David W. Neubauer, op., cit., hlm. 53-55.

Universitas Indonesia

319

dimaksudkan dengan ‘orang tidak boleh dituntut dua kali’ pada Pasal 76
KUHP ini tidak berlaku untuk pemeriksaan perkara pada ranah hukum yang
berbeda. “Bahwa pemeriksaan perkara dalam ranah hukum perdata dengan
perkara dalam ranah hukum pidana sekalipun objek, subjek, locus dan
tempus, peristiwa yang sama secara hukum tidak dapat dikatakan melanggar
prinsip hukum Ne bis In Idem.”157
Dalam hal penjatuhan sanksi, hakim yang memutus perkara PT.
Kallista Alam menjelaskan bahwa kerugian yang dialami negara karena
kebakaran hutan yang disebabkan oleh PT. Kallista alam untuk biaya
pemulihan rehabilitasi lahan yang berjumlah Rp366.098.669.000,00 (tiga
ratus enam puluh enam miliar sembilan puluh delapan juta enam ratus enam
puluh sembilan ribu rupiah) tidak dibebankan kembali kepada PT. Kallista
Alam, karena telah dibebankan pada perkara perdata yang berkaitan dengan
tindak pidana yang bersangkutan. Sehingga dalam putusan ini hakim tidak
memberikan sanksi denda dan hanya membebankan biaya perkara saja.158
Dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan perkara yang sama pada
ranah hukum yang berbeda dimungkinkan dan tidak bertentangan dengan
prinsip ne bis in idem sebagaimana diatur pada Pasal 76 KUHP. Sedangkan
mengenai pemberian sanksi, dalam hal ini cukup adil dengan tidak
memberikan sanksi adminstratif berupa ganti kerugian yang memang telah
dibebankan pada perkara perdata. Namun menurut penulis, sebenarnya hal
ini tidak menghalangi hakim untuk juga dapat memberikan sanksi denda
sebagai bentuk penghukuman secara pidana.
Selanjutnya hakim dalam kasus PT. Kallista Alam (Hakim Agung
Surya Jaya, Hakim Agung Margono dan Hakim Agung Suhadi),
berpendapat bahwa sebaiknya pendakwaan/penuntutan korporasi dan
pengurusnya tidak dilakukan secara splitsing atau terpisah, tetapi sebaiknya


157
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan No. 1554 K/Pid.Sus/2015, hlm.
53
158
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan No. 1554 K/Pid.Sus/2015, hlm.
58.

Universitas Indonesia

320

disatukan dalam satu berkas dakwaan, agar tidak melanggar asas peradilan
cepat, murah dan sederhana.159
Pasal 141 huruf b KUHAP menjelaskan bahwa jaksa penuntut umum
dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya di dalam satu
surat dakwaan apabila ada tindak pidana yang saling bersangkut paut. Di
mana penjelasan pasal ini menerangkan tindak pidana bersangkut paut
apabila dilakukan oleh lebih dari seorang yang bekerjasama dan dilakukan
pada saat yang bersamaan.160
Menurut penulis hal ini sangat masuk akal, dan sangat efisien jika
dibandingkan dengan pemeriksaan kasus ini dilakukan secara terpisah, akan
terjadi pengulangan-pengulangan yang seharusnya tidak perlu. Baik
pengulangan mengenai pembuktian actus reus maupun mengenai mens rea
dari kedua subjek hukum, walaupun berbeda tetapi keduanya sangat
berkaitan satu dengan yang lainnya.161

2. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Putusan Pengadilan


di Negara Lain

a. Doktrin Pertanggungjawaban Pidana Korporasi yang Diadopsi

Di Belanda pada awalnya kasus yang sering menjadi rujukan hakim


dalam menjelaskan tentang pertanggungjawaban pidana korporasi adalah
kasus IJzerdraad.162 Kasus ini sebenarnya bukanlah kasus tindak pidana
yang dilakukan oleh korporasi, tetapi memberikan kriteria tentang pelaku
fungsional (functional perpetration) untuk tindak pidana yang dilakukan
oleh subjek hukum manusia.163 Kasus ini membahas tentang apakah seorang

159
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan No. 1554 K/Pid.Sus/2015, hlm.
55.
160
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8/1981, LN.
No. 76 Tahun 1981, TLN. No. 3258, Pasal 141.
161
Meskipun dalam praktik mungkin akan lebih mudah apabila jaksa membuktikan
terlebih dahulu keterlibatan dan kesalahan pengendali perusahaan secara terpisah.
Sebagaimana misalnya dalam tindak pidana korupsi PT. GJW di Banjarmasin, pengendali
perusahaan telah diperiksa, dinyatakan bersalah dan dihukum terlebih dahulu baru lah jaksa
mengajukan tuntutan kepada korporasinya.
162
HR, 23 Februari , 1954, 378. (Ijzerdraad case)
163
Keulen dan Gritter, op., cit., hlm. 182.

Universitas Indonesia

321

pemilik usaha (orang natural) dapat bertanggungjawab secara pidana untuk


beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh para pegawainya.164 Di mana
para pegawainya melakukan ekspor barang ilegal dan membuat dokumen
ekspor palsu.

MA Belanda secara umum berpandangan bahwa pemilik dapat


bertanggung jawab secara pidana untuk perbuatan pegawainya apabila
perbuatan tersebut dilakukan untuk kepentingan pemilik usaha tersebut
(atau apabila pemilik dapat melakukan intervensi terhadap perbuatan
pegawainya). Dalam keadaan ini dianggap bahwa pemilik telah menerima
perbuatan tersebut.

Kriteria ini digunakan oleh MA Belanda untuk juga mengatribusikan


pertanggungjawaban pidana korporasi pada beberapa kasus. Misalnya kasus
Kablejauw, dimana MA Belanda menyatakan suatu perusahaan perikanan
bertanggung jawab atas pelanggaran UU perikanan. Perusahaan tersebut
dianggap memiliki kontrol terhadap para nelayan yang dipekerjakannya dan
dianggap menerima perbuatan tersebut.165 Dasar pertimbangan yang sama
dipergunakan untuk menyatakan suatu klub malam bersalah atas tindakan
penjaganya yang mendiskriminasi orang-orang Turki yang ingin masuk ke
klub malam tersebut.166
Pada tahun 2003 Mahkamah Agung Belanda memutus sebuah kasus
yang menjadi landmark mengenai kapan suatu perbuatan pidana dapat
diatribusikan kepada karporasi, putusan HR 21 October, 2003, NJ 2006, 328
(Drijfmest Case).167 Dalam kasus ini korporasi A dituntut karena melakukan
polusi tanah, melanggar ketentuan Undang-Undang perlindungan Tanah di
Belanda (Wet Bodembescherming). A dalam kasus ini berkedudukan
sebagai pengelola tanah untuk B (B adalah pemilik tanah), sedangkan yang
melakukan pembuangan limbah adalah pihak ke tiga (C) yang dipekerjakan
oleh B.

164
Ibid.
165
HR 1 Juni 1981, NJ 1982, 80.
166
HR 14 Januari 1992, NJ 1992, 413.
167
Johannes Keiler, “Actus Reus and Participation in European Criminal Law,”
Disertasi Maastricht University, 2013, hlm. 477

Universitas Indonesia

322

Korporasi A memberikan pembelaan bahwa tindakan tersebut tidak


dapat diatribusikan kepada dirinya karena dia bukanlah pihak yang
melakukan pembuangan limbah tersebut. Pengadilan yang lebih rendah
berpandangan bahwa kewajiban A lah untuk memastikan lahan yang ada di
dalam kekuasaannya memenuhi ketentuan peraturan yang ada.
Mahkamah Agung Belanda berpandangan bahwa pertimbangan
tersebut kurang tepat. Mahkamah Agung menyatakan bahwa skop
pengelolaan yang dilakukan oleh A haruslah diteliti secara detail sebelum
perbuatan tersebut dapat diatribusikan sebagai perbuatan dari korporasi A.
Hakim berpandangan bahwa suatu tindak pidana dapat diatribusikan kepada
korporasi apabila tindakan tersebut “reasonably attributed,” cukup masuk
akal atau layak untuk diatribusikan kepada korporasi yang bersangkutan.168
Hakim dalam kasus ini menjelaskan bahwa standar untuk
menentukan apakah suatu perbuatan dapat dikatakan layak diatribuskan
(reasonably attributed) kepada korporasi sangat bergantung kepada
perbuatan dan kasus yang ada.169 Secara umum Mahkamah Agung
menguraikan beberapa kriteria penting untuk dapat mengatribusikan suatu
tindak pidana sebagai perbuatan dari korporasi:
1) Tindak pidana diduga dilakukan oleh seseorang yang bekerja untuk
korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja formal maupun
berdasarkan hubungan lainnya,
2) tindak pidana yang dilakukan merupakan bagian dari kegiatan
normal sehari-hari (everyday normal business) dari korporasi,
3) korporasi mendapatkan keuntungan dari tindakan tersebut,
4) korporasi menerima (accepted) tindak pidana tersebut, dimana
termasuk dalam penerimaan tindak pidana adalah kegagalan
korporasi untuk mengambil langkah yang diperlukan untuk
mencegah (failure to take reasonable care) dilakukannya tindak
pidana tersebut.170


168
Ibid.
169
Ibid.
170
Keulen dan Gritter, op., cit., hlm. 183.

Universitas Indonesia

323

Mahkamah Agung Belanda dalam hal ini memberikan kriteria yang sangat
penting mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi. Mahkamah Agung
juga mulai mengadopsi pendekatan realis dimana korporasi dilihat sebagai
subjek mandiri yang memiliki pola kerja, kegiatan rutin dan sistem
pengelolaan yang berbeda dengan aktivitas dari orang tertentu di dalam
korporasi.

Di Belanda, kriteria yang dijelaskan pada kasus Drijfmest juga


digunakan dalam beberapa kasus setelahnya. Misalnya kasus pada tahun
2006 yang diputus di Pengadilan Tinggi Hertogenbosch. Sebuah korporasi
dinyatakan bersalah karena melanggar ketentuan dalam UU tentang
perlindungan lingkungan. Korporasi dalam kegiatan bisnis sehari-harinya
membakar sampah termasuk kabel listrik yang bertentangan dengan
ketentuan UU di Belanda. Hakim dalam putusan ini menjelaskan bahwa
kegiatan pembakaran sampah tersebut merupakan bagian dari kegiatan
bisnis sehari-hari dari korporasi yang telah berulang-ulang kali dilakukan
(kriteria ke dua Drijfmest case). Tindakan tersebut dilakukan oleh pegawai
yang dipekerjakan oleh korporasi dan diberikan kebebasan untuk melakukan
pekerjaannya. Korporasi dianggap dapat dipertanggungjawabkan karena
tidak melakukan pengawasan terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh
pegawainya. Korporasi juga diaggap telah melanggar standar kewajiban
untuk memperhatikan (duty of care standard) yang selayaknya diharapkan
dilakukan oleh korporasi dalam kondisi yang sama dengan tidak
menyediakan instruksi yang diperlukan bagi pekerjanya ketika menangani
sampah yang mengandung barang-barang selain kayu.

Pada tahun 2009 Pengadilan negeri Roermond, menyatakan suatu


korporasi lalai sehingga menyebabkan orang mati (Article 307 KUHP
Belanda).171 Pengadilan mengatribusikan perbuatan dari seorang pengurus
pengendali korporasi yang menginstruksikan seorang pegawai korporasi
untuk membersihkan talang air di atap bangungan tanpa menggunakan
perlengkapan keamanan yang layak. Ketika membersihkan talang air


171
Rb. Roermond 27 Januari 2009, LJN BH1649.

Universitas Indonesia

324

pekerja tersebut terpeleset dan jatuh dari atap dan kemudian meninggal.
Pengadilan menyatakan bahwa korporasi bersalah telah melanggar
kewajiban untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan ketentuan mengenai
keamanan dan keselamatan kerja dan menyatakan korporasi
bertanggungjawab atas kematian pekerjanya tersebut. Kasus ini
menggunakan kriteria yang digunakan pada kasus IJzerdraad sebagai dasar
pembebanan pertanggungjawaban pidana bagi korporasi.

Dapat disimpulkan bahwa pengadilan di Belanda menggunakan


kriteria yang digunakan pada kasus Dijfmest dan IJzerdraad dengan
fleksibel. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa KUHP Belanda tidak
memberikan kriteria yang jelas mengenai pembebanan pertanggungjawban
pidana korporasi, secara umum KUHP Belanda menganut doktrin strict
vicarious criminal liabiliaty. Namun kriteria pembebanan
pertanggungjawaban pidana korporasi secara lebih nyata dapat ditemukan
dari beberapa kasus hukum yang telah dikemukakan di atas. Pengadilan di
Belanda menggunakan beberapa kombinasi kriteria dalam membebankan
pertanggungjawaban pidana pada korporasi tergantung kepada kasus yang
sedang dibahas. Menurut Keiler, apabila kasus yang sedang dihadapi adalah
tindak pidana yang memerlukan pembuktian mens rea, maka besar
kemungkinan kriteria yang digunakan oleh pengadilan adalah kriteria yang
lebih subjektif seperti yang digunakan pada kasus IJzerdraad.172 Namun
pengadilan Belanda juga menerima kriteria yang lebih objektif dalam
membebankan pertanggungjawaban pidana bagi korporasi sebagaimana
yang diterima pada kasus Dijfmest.

Di Amerika Serikat doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi


yang diadopsi adalah doktrin strict vicarious liability. Di US hakim tidak
membatasi secara ketat bahwa tindak pidana yang dapat dibebankan kepada
korporasi hanya terbatas pada tindak pidana yang dilakukan oleh pejabat
penting dalam korporasi. Perbuatan dari pegawai yang berada pada level
bawah juga memungkinkan korporasi dinyatakan bertanggung jawab.


172
Keiler, op., cit., hlm. 484.

Universitas Indonesia

325

Misalnya pada tahun 2009, korporasi Ionia Management S.A, suatu


perusahaan manajemen kapal dinyatakan bertanggung jawab atas tindakan
membuang limbah yang terkontaminasi minyak dari kapal yang dikelola
oleh Ionia.173 Untuk menutupi perbuatannya pegawai Ionia melakukan
rekayasa terhadap buku catatan minyak kapal. Ionia dinyatakan bersalah
oleh pengadilan banding second circuit berdasarkan putusan juri melanggar
UU Pencegahan polusi dari kapal Amerika Serikat (US Act to Prevent
Pollution from Ship).174

Di samping itu, di Amerika secara umum juga tidak menerapkan


pembelaan mengenai uji kelayakan (due diligence defence) bagi
korporasi.175 Misalnya dalam kasus State of Minnesota v. Wohlsol. Inc pada
tahun 2003.176 Wohlsol. Inc adalah sebuah korporasi yang berlisensi untuk
melakukan penjualan terhadap minuman yang memabukkan. Seorang
pelayan di bar menyajikan minuman beralkohol kepada dua orang anak
yang berumur dua puluh tahun tanpa meminta kartu identitas mereka. Salah
satu dari mereka meminum lima bir dan kemudian terlibat dalam sebuah
kecelakaan mobil yang fatal. Meskipun Wohlsol. Inc telah menjelaskan
bahwa mereka telah secara khusus melatih dan menginstruksikan
pegawainya (termasuk pelayan) untuk tidak memberikan minuman
memabukkan kepada anak yang di bawah umur, namun pengadilan tetap
pada pandangan bahwa Wohlsol. Inc bersalah atas pelanggaran karena
mengizinkan dua orang yang di bawah umur untuk minum minuman
beralkohol di tempat berlisensi yang melanggar Minnesota State §
340A.503, subd. 1 (a) (1) (1998).

Dari beberapa kasus yang telah dikemukakan di atas dapat


disimpulkan bahwa hakim di Belanda dalam membebankan
pertanggungjawaban pidana kepada korporasi menggunakan ukuran apakah

173
US v Ionia Management S.A. 555 F.3d 303 (2d Cir, 2009).
174
Ved P. Nanda, “Corporate Criminal Liability in the United States: Is a New
Approach Warranted?” dalam Mark Pieth and Radha Ivory (editor), Corporate Criminal
Liability: Emergence, Convergence and Risk, (London: Springer, 2011), hlm. 69-70.
175
Eli Lederman (2), “Corporate Criminal Liability: The Second Generation,”
Stetson Law Review, 46, 2016, hlm. 73.
176
State v. EWCA sol, Inc., 670 N.W.2d 292, 297 (Minn. Ct. App. 2003).

Universitas Indonesia

326

tindak pidana tersebut “reasonably attributed,” cukup masuk akal atau layak
untuk diatribusikan kepada korporasi yang bersangkutan. Beberapa kasus
menggunakan standar pelaku fungsional (functional perpetration) untuk
membebankan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Pada
kesempatan yang lain pengadilan di Belanda juga menggunakan beberapa
kriteria seperti penerimaan korporasi terhadap tindak pidana, tindak pidana
dilakukan untuk kepentingan korporasi atau untuk keuntungan korporasi
atau kegagalan korporasi untuk mengambil langkah yang diperlukan untuk
mencegah terjadinya tindak pidana.

Amerika Serikat mengadopsi doktrin strict vicarious liability di


mana korporasi dapat bertanggung jawab atas suatu tindak pidana yang
dilakukan oleh seorang pegawai atau pihak lain yang bertindak untuk
korporasi, tanpa melihat kedudukannya di dalam korporasi. Sepanjang dapat
dibuktikan bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk dan atas nama
korporasi, dilakukan dalam skop pekerjaannya, dan bertindak untuk
kepentingan korporasi.177 Amerika Serikat juga tidak menerapkan
pembelaan mengenai uji kelayakan (due diligent defence) bagi korporasi.
Suatu korporasi dapat dinyatakan bersalah atas tindak pidana yang
dilakukan oleh pegawai biasa yang bertindak bertentangan dengan
kebijakan korporasi (corporate policy) atau program kepatuhan (compliance
program) yang berlaku di dalam korporasi.

b. Ketercelaan (Blameworthiness) dari Korporasi


Hukum pidana yang bersifat menghukum, sangat mementingkan


unsur ketercelaan (kesalahan dan sikap kalbu yang jahat) dari perbuatan
yang dilakukan oleh pelaku.178 Salah satu pembahasan yang sangat penting
dalam pertanggungjawaban pidana korporasi adalah pembahasan mengenai
di mana dapat ditemukan ketercelaan atau sikap kalbu (mens rea) dari suatu

177
Eli Lederman (2), op., cit., hlm. 73.
178
Sally S. Simpson, Corporate Crime, Law, and Social Control, (Cambridge:
Cambridge University Press, 2005), hlm. 69.

Universitas Indonesia

327

korporasi. Tidak mudah untuk menerapkan konsep mens rea yang pada
awalnya diciptakan untuk manusia dan diterapkan juga terhadap suatu
korporasi. Sebagaimana Jim Gobert dan Maurice Punch menjelaskan:179

“Criminal law was not developed with companies in mind. Concepts


such as mens rea and actus reus, wich make perfectly good sense
when applied to individuals, do not translate easily to an inanimate
fictional entity such as a corporation.” (hukum pidana tidak
dikembangkan dengan pemikiran perusahaan sebagai pelaku tindak
pidana. Konsep seperti mens rea dan actus reus, yang cukup masuk
akal untuk diterapkan kepada subjek individu, tidak dapat
ditranslasikan secara mudah kepada suatu entitas tidak bernyawa dan
bersifat fiksi seperti korporasi.)
Tindak pidana yang terjadi dalam konteks korporasi biasanya
merupakan hasil dari rangkaian kejadian yang saling berhubungan dan
melibatkan beberapa aktor yang ada di dalam organisasi (yang tidak selalu
memiliki tingkat kesalahan yang sama);180 sehingga sangat sulit untuk
menggantungkan kesalahan korporasi pada satu atau dua orang saja.

Pada pembahasan selanjutnya akan dilakukan analisis terhadap dua


buah kasus yang berkaitan dengan penemuan kesalahan dari suatu kejahatan
korporasi. Kasus yang pertama adalah Transco Plc.181 Transco merupakan
perusahaan yang melakukan bisnis pendistribusian gas, dinyatakan bersalah
telah menyebabkan kebocoran gas yang memicu ledakan besar sehingga
mengakibatkan sebuah keluarga yang terdiri dari empat orang meninggal
dunia.182 Transco dipidana dengan denda £15,000,000 (235,3 Milyar
Rupiah) karena telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 3 dan Pasal 33
(1) Undang-Undang Kesehatan dan Keselamatan di Tempat Kerja Inggris
(UK Health and Safety at Work Act 1974 (HSW Act)).183


179
James Gobert dan Maurice Punch, op., cit., hlm. 10.
180
Ibid., hlm. 75
181
Transco Plc v HM Advocate, 2004 SLT 41.
182
The Edinburgh Law Review Note, Corporate Culpable Homicide: Transco Plc v
H M Advocate, The Edinburgh Law Review, vol. 8, 2004, hlm. 262.
183
Ibid.

Universitas Indonesia

328

Berdasarkan dakwaan, Transco dinyatakan gagal untuk membuat


catatan yang akurat mengenai kondisi jaringan pipa yang dimilikinya.184
Siapakah yang dapat dipersalahkan dalam hal ini dan siapa yang ada di
dalam organisasi yang dapat mengakibatkan kesalahan tersebut dapat ditarik
menjadi kesalahan korporasi secara keseluruhan? Apabila hanya
menyandarkan kepada doktrin identifikasi yang menyatakan bahwa mens
rea dari korporasi haruslah berasal dari pengurus pengendali korporasi, akan
sangat sulit untuk membuktikan kesalahan korporasi, karena untuk
perusahaan sebesar Transco, pengurus pengendali tidak akan memiliki
pengetahuan menyeluruh terhadap seluruh kegiatan operasional sehari-hari
perusahaannya. Pada perusahaan besar, seringkali kesalahan bukanlah
bersifat terpusat pada orang tertentu, tetapi kesalahan bisa menyebar pada
beberapa struktur organisasi yang sangat berlapis.185

Dalam kasus Transco, setidaknya terdapat dua divisi yang secara


langsung dapat dipersalahkan atas terjadinya tindak pidana: divisi
pencatatan dan divisi pemeliharaan (maintenance).186 Sistem komunikasi
yang dibentuk oleh korporasi antara ke dua divisi ini juga bisa memiliki
peran penting atas terjadinya tindak pidana. Pada divisi pemeliharaan saja
paling tidak terdapat dua lapisan struktur organisasi, pertama petugas yang
memeriksa status pipa gas, dan yang lain adalah petugas teknis yang
melakukan perbaikan pipa. Di samping itu, bagian keuangan dan bagian
kepegawaian (human resources) juga bisa memiliki peran yang penting
dalam pengalokasian dana dan menentukan petugas yang bertanggung
jawab untuk melakukan pekerjaan yang diperlukan.187 Secara total ada
empat atau lima perbuatan yang bersifat independen pada divisi yang
berbeda.


184
Ana – Maria Pascal, “A Legal Person’s Conscience: Philosophical Underpinnings
of Corporate Criminal Liability,” dalam James Gobert dan Ana-Maria Pascal (editor),
European Developments in Corporate Criminal Liability, (Oxon: Routledge, 2011), hlm.
41.
185
Ibid.
186
Ibid.
187
Ibid. hlm. 42.

Universitas Indonesia

329

Tentu saja ada pengurus pengendali (top management) yang


melakukan koordinasi dan kontrol terhadap divisi – divisi yang terpisah
tersebut. Namun, apakah adil apabila menempatkan tanggung jawab yang
begitu besar hanya pada satu, dua atau tiga orang saja? Apakah dapat
diharapkan satu orang tersebut memiliki pemikiran menyeluruh terhadap
sebuah sistem yang begitu kompleks?188 Dari beberapa kondisi tersebut
dapat dipahami bahwa mengidentifikasi kesalahan korporasi hanya dari
pengurus pengendali saja merupakan suatu doktrin yang sulit untuk
diaplikasikan dalam pertanggunajwaban pidana korporasi terutama untuk
korporasi dengan kompleksitas sistem kerja yang sangat tinggi.

Dalam kasus Transco, hanya korporasi nya saja yang dinyatakan


bersalah dan dipidana atas pelanggaran terhadap HSW Act, tanpa
mengikutsertakan salah satu dari subjek manusia yang ada di dalam
korporasi tersebut.189 Hal ini dimungkinkan karena memang konstruksi
fakta dari kasus ini sangat sulit untuk menunjuk satu orang yang secara
langsung memiliki peran nyata dalam terwujudnya tindak pidana.

Kasus selanjutnya yang akan dibahas adalah Keymark Services


Ltd.190 Keymark Services merupakan perusahaan pengangkutan,
menyatakan diri bersalah atas pembunuhan terhadap seorang anak buahnya
(Stephen Law), dan juga dua orang lainnya (Neil Owen dan Benjamin
Kwapong) pada tahun 2004 dan dihukum dengan pidana denda sebesar
£50,000 (784,7 Juta Rupiah).191 Di samping Keymark Services sebagai
korporasi, juga dihukum atas pembunuhan, Melvyn Spree selaku direksi
Keymark Services dengan pidana penjara selama 7 tahun. Selain Melvyn
Spree, juga ikut dipidana direksi Keymark lainnya, Lorraine March dengan
dakwaan turut serta memalsukan catatan waktu kerja pengemudi dengan
pidana 16 bulan penjara, serta sekretaris perusahaan Clare Miller dengan
dakwaan yang sama dengan pidana 160 jam kerja sosial. Izin usaha

188
Ibid.
189
Ibid., hlm. 41.
190
R v Spree and Keymark Services Ltd (2004).
191
Alex Davies, Corporate Manslaughter and Corporate Homicide Act: Special
Report (Cambridge: Workplace Law Group, 2008), hlm. 30.

Universitas Indonesia

330

Keymark Services juga dicabut, sedangkan Spree dan March dihukum


dilarang untuk menduduki posisi yang sama selama hidupnya.192

Kasus ini bermula dari kecelakaan yang terjadi pada 27 Februari


2002, di mana Stephen Law yang merupakan salah satu pengemudi truk
milik Keymark Services tertidur pada saat mengendarai truk nya dan
mengakibatkan kecelakaan beruntun terhadap tujuh buah mobil lainnya.193
Pada saat terjadinya kecelakaan Stephen Law tengah menjalankan tugasnya
yang berdurasi selama 18 jam. Di hadapan pengadilan Northampton Crown
Court, terbukti bahwa Keymark Services menganjurkan para pengemudinya
untuk memalsukan catatan waktu kerja sehingga mereka dapat bekerja lebih
lama dari pada waktu yang diperbolehkan oleh peraturan yang berlaku. Hal
ini memungkinkan para pengemudi Keymark bekerja sepanjang yang
mereka inginkan, tanpa istirahat yang cukup. Pengadilan berpendapat bahwa
praktik kerja yang berlaku pada perusahaan ini adalah seperti sebuah sistem
yang menanti terjadinya kecelakaan (an accident waiting to happen).194

Dari ke dua kasus yang dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa


penentuan mens rea dari suatu kejahatan yang dilakukan oleh korporasi
akan sangat bergantung kepada fakta yang ada pada kasus tersebut.
Kadangkala mens rea bisa ditarik dari personel pengendali korporasi
menggunakan doktrin identifikasi atau vicarious criminal liability (indirect
liability), namun kadangkala mens rea dari korporasi bisa ditarik dari
agregasi kesalahan beberapa pegawai atau pengurus korporasi atau bisa juga
ditarik dari budaya kerja korporasi yang menggiring terjadinya tindak
pidana (direct liability).

Penemuan kesalahan korporasi secara langsung misalnya diatur


dalam PERMA tahun 2016 tentang Perkara Tindak Pidana Korporasi.
Sebagaimana telah dibahas di atas bahwa PERMA ini Pasal 4 (2)
menjelaskan bahwa unsur kesalahan dari korporasi dapat dilihat dari apakah
korporasi memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut

192
Ana – Maria Pascal, op., cit., hlm. 42
193
Ibid.
194
Ibid.

Universitas Indonesia

331

(benefit the corporation), atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk


kepentingan korporasi, atau korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana,
korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk
mencegah tindak pidana, atau korporasi tidak mencegah dampak yang lebih
luas, atau korporasi tidak memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum
yang berlaku untuk menghindari terjadinya tindak pidana.
Apabila dibandingkan antara implementasi pertanggungjawaban
pidana korporasi pada kasus hukum di Indonesia dan di negara lain, dapat
disimpulkan bahwa kasus di Indonesia cenderung menggunakan doktrin
vicarious liability dan identifikasi, Amerika cenderung menggunakan
vicarious liability, Inggris dalam putusan pengadilan memperkenalkan
dotrin identifikasi, tetapi dalam peraturan perundang-undangan mulai
menerima corporate culture doctrine, Belanda menggunakan kombinasi
antara vicarious dan direct liability.

c. Kedudukan Korporasi Dalam Penyertaan Tindak Pidana (Corporate


Criminal Complicity)195

Pada beberapa kasus hukum di negara lain, terdapat kondisi di mana


korporasi ditempatkan sebagai pihak yang ikut dalam penyertaan suatu
tindak pidana. Pada bagian ini akan dilakukan pembahasan mengenai hal
tersebut.

Kompleksitas kegiatan korporasi melibatkan sejumlah individu


manusia yang menjalankan peran berbeda-beda. Dalam hal ini, terjadinya
tindak pidana adalah hasil dari peran individu manusia tersebut di dalam
korporasi. Kegiatan tersebut dilakukan oleh individu manusia, tetapi terjadi
dalam kerangka perannya di dalam korporasi atau untuk melayani
kebutuhan korporasi. Sehingga, keberadaan korporasi dan performa kerja
individu dalam susunan organisasi merupakan hal yang penting untuk


195
Corporate criminal complicity misalnya digunakan oleh Jonathan Clough,
“Punishing the Parent: Corporate Criminal Complicity in Human Rights Abuses,” Brooklyn
Journal of International Law, vol. 33: 3, 2008.

Universitas Indonesia

332

pengalokasian pertanggungjawaban pidana.196 Di samping sebagai payung


dari terjadinya tindak pidana, korporasi juga bisa berperan sebagai yang
memberikan pengarahan atau ikut berpartisipasi dalam tindak pidana,
dimana korporasi atau tujuan korporasi memenuhi unsur perbuatan dan niat
jahat dalam tindak pidana tersebut.197

Ajaran mengenai penyertaan dan pembantuan tindak pidana


dibentuk untuk memastikan bahwa subjek yang dalam kenyataanya tidak
melakukan tindak pidana secara penuh namun memegang peranan yang
penting dalam terwujudnya tindak pidana dapat dimintai
198
pertanggungjawaban. Peran seseorang baik individu manusia dalam
perannya pada suatu korporasi atau korporasi sebagai subjek mandiri dalam
suatu tindak pidana bisa sebagai pelaku (perpetrator), menyuruh melakukan
(innocent agency),199 turut serta melakukan (participatory), menganjurkan
untuk melakukan (encouraging crime), atau membantu melakukan


196
Harding, op., cit., hlm. 244.
197
Ibid., hlm. 250.
198
Ashworth dan Horder, op., cit., hlm. 5. Dalam sistem hukum common law,
penyertaan dikenal sebagai complicity dan incitement yang merupakan salah satu bentuk
inchoate offences di samping attempt. Dalam hukum pidana internasional doktrin yang
berkembang untuk kejahatan dengan penyertaan ini biasanya disebut sebagai ‘joint criminal
enterprise’ atau ‘common purpose,’ doktrin yang biasanya digunakan secara bergantian,
misalnya dalam kasus Prosecutor v. Milutinovic (the Kosovo case), Case No. IT-99-37-AR
72, Judgment, 36 (May 21, 2003), sedangkan istilah ‘co-perpetration’ kadang-kadang
dipakai tetapi memiliki definisi yang belum terlalu ajeg, istilah ‘co-perpetration’ dalam
kasus Prosecutor v. Kvocka, Case No. IT–98–30/1 – T. Judgement, 276, 287 (Nov. 2,
2001), dibedakan dengan istilah lain dengan tingkat partisipasi yang lebih besar dalam
terlaksananya tindak pidana. Lihat pembahasan mengenai hal ini dalam Tarek F.
Maassarani, “Four Counts of Corporate Complicity,” International Law and Politics, vol.
38:39, November 2006, hlm. 51.
199
Innocent agency dijelaskan oleh Andrew Ashworth dan Jeremy Horder sebagai
“a person can be said to cause another to act where the third party lacks rationality or has
been tricked.” Lihat Andrew Ashworth dan Jeremy Horder, Principles of Criminal Law,
seventh edition, (Oxford: Oxford University Press, 2013), hlm. 115. Pembahasan lebih
lanjut mengenai konsep innocent agency bisa dibaca pada tulisan Peter Alldridge, “The
Doctrine of Innocent Agency,” Criminal Law Forum, 1990, 2; Richard D. Taylor,
“Procuring, Causation, Innocent Agency and the Law Commission,” Criminal Law Review,
2008, 32. Konsep mengenai menyuruh melakukan atau dalam bahasa Belanda Doenplegen
memang tidak dikenal dalam Penal Code Perancis sebagai induk dari Wetboek van
Strafrecht. Begitu juga di Jerman dan Belgia tidak mengenal konsep doenplegen. Orang
yang menyuruh melakukan dianggap sebagai pelaku dalam pengertian yang luas sedangkan
orang yang disuruh dianggap hanya sebagai alat atau instrument. Lihat penjelasan
mengenai hal ini pada Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, (Yogyakarta:
Cahaya Atma Pustaka, 2014, hlm. 302.

Universitas Indonesia

333

(assisting crime).200 Ketentuan mengenai penyertaan diatur dalam Pasal 55


(1) KUHP.201 Sedangkan ketentuan mengenai pembantuan diatur pada Pasal
56 KUHP.202

Sama halnya dengan subjek manusia, suatu korporasi bisa dianggap


sebagai pihak yang ikut serta dalam penyertaan atau pembantuan suatu
tindak pidana. Apabila koporasi mengetahui atau setidak-tidaknya
menyadari keikutsertaannya atau memiliki peran dalam terwujudnya suatu
tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain.203 Misalnya, korporasi bisa
berperan dalam hal pemberian dana, fasilitas, perlengkapan, arahan, logistik,
atau motivasi yang diketahui dapat dimanfaatkan untuk melakukan suatu
kejahatan, entah itu pemerkosaan, pembunuhan, kerja paksa atau kejahatan
lainnya.204 Kesalahan korporasi juga bisa ditelusuri dari pembiaran
penggunaan fasilitas korporasi untuk melakukan suatu kejahatan yang
dilakukan oleh subjek hukum lain atau pengurus korporasi, sehingga
korporasi dapat dikatakan berperan dalam membantu terjadinya tindak
pidana.205

Aturan mengenai kemungkinan suatu korporasi berkedudukan


sebagai pihak yang ikut serta dalam suatu penyertaan atau pembantuan
tindak pidana pada umumnya tidak dibuat secara khusus demikian, karena
prinsip yang paling mengemuka bukanlah jenis subjek yang ikut serta dalam


200
Membantu melakukan tindak pidana secara umum dipidana lebih rendah
sepertiga dari pelaku tindak pidana. Lihat Pasal 57 KUHP.
201
Menurut Pasal 55 KUHP, Pelaku tindak pidana, pihak yang menyuruh
melakukan tindak pidana, turut serta melakukan tindak pidana dan yang menganjurkan
untuk melakukan tindak pidana, disebut sebagai penyertaan. Dalam hal ini subjek dipidana
sebagai pelaku tindak pidana. Bunyi lengkap dari pasal ini adalah: “ (1) Dipidana sebagai
pelaku suatu tindak pidana: 1. mereka yang melakukan, menyuruh melakukan, dan yang
turut serta melakukan perbuatan; 2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan
sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan atau
ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan,
sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.”
202
Pasal 56 berbunyi: “Dipidana sebagai pembantu suatu kejahatan: 1. Mereka
yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan, 2. Mereka yang sengaja
memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.”
203
Jonathan Clough, op., cit., hlm. 905.
204
Tarek F. Maassarani, op., cit., hlm. 45.
205
Charles Doyle, “Corporate Criminal Liability: An Overview of Federal Law,”
Congressional Research Service (CRS) Report, 7 – 5700, October, 2013, hlm. 6.

Universitas Indonesia

334

tindak pidana, tetapi adalah bagaimana konstruksi fakta dari terlaksananya


tindak pidana tersebut, apakah memang peran korporasi adalah sebagai
pihak yang membantu atau turut dalam penyertaan terjadinya tindak pidana.
Namun di Amerika Serikat ada beberapa ketentuan yang secara khusus
memuat ketentuan mengenai corporate complicity ini, misalnya pada UU
Amerika tentang Recketeering Influenced and Corrupt Organizations
(RICO)206 yang mengkriminalisasi perbuatan mengotorisasi, memberikan
bantuan dan membujuk untuk melakukan tindak pidana seperti tender
kolutif (bid-rigging), pemerasan (extortion) dan pembunuhan yang
melibatkan kejahatan terorganisasi,207 atau European Union Joint Action of
1998, pada article 2 (a) menjelaskan keterlibatan dalam aktifitas organisasi
yang diketahui dapat berkontribusi terhadap tercapainya suatu kegiatan
kriminal. Niat jahat dalam semua bentuk keikutsertaan (participatory)
dalam kejahatan sebagaimana dijelaskan pada article 2 (a) EU Join Action
ditelusuri dari niat (intent) dan pengetahuan (knowledge) organisasi
terhadap suatu tindak pidana yang terjadi di dalam organisasi, atau dapat
dilihat dari tujuan atau aktifitas umum dari organisasi itu sendiri.208

Ada cukup banyak kasus yang membahas tentang korporasi sebagai


pihak yang membantu atau ikut serta pada suatu penyertaan dalam
terwujudnya suatu tindak pidana. Berikut ini akan dipaparkan beberapa


206
Title IX dari Organized Crime Control Act 1970, Pub. L. 91 – 452, 84, Stat. 922.
Pembahasan cukup komprehensif tentang UU ini bisa dibaca pada laporan yang dibuat oleh
Michael Levi dan Alaster Smith, “A Comparative Analysis of Organised Crime Conspiracy
Legislation and Practice and Their Relevance to England and Wales,” England Home
Office Online Report 07/02, Desember 2002.
207
Kasus di Amerika yang didasarkan pada aturan ini misalnya United States v.
Salerno et al. (1992) 505 US 317. Dalam kasus ini, suatu keluarga mafia Cosa Nostra,
dinyatakan bersalah atas pelanggaran UU ini. Meskipun yang dipidana akhirnya adalah
individu manusia yang ada dalam keluarga mafia ini dan bukan organisasi keluarganya.
Lihat Harding op., cit., hlm. 257.
208
Harding, op., cit., hlm. 257. Bunyi lengkap dari article 2 (a) EU Joint Action of
1998 adalah: conduct by any person who, with intent and with knowledge of either the aim
and general criminal activity of the organisation or the intention of the organisation to
commit the offences in question, actively takes part in: 1. the organisation's criminal
activities falling within Article 1, even where that person does not take part in the actual
execution of the offences concerned and, subject to the general principles of the criminal
law of the Member State concerned, even where the offences concerned are not actually
committed, 2. the organisation's other activities in the further knowledge that his
participation will contribute to the achievement of the organisation's criminal activities
falling within Article 1.

Universitas Indonesia

335

kasus yang menyatakan korporasi berperan dalam penyertaan atau


pembantuan tindak pidana.

1. Korporasi Turut Berkonspirasi209 Melakukan Tindak Pidana

Dalam kasus Nye & Nissen v. United States,210 korporasi dan CEO
nya (dan tiga orang lain di dalam korporasi) dinyatakan bersalah telah
berkonspirasi untuk melakukan penipuan negara dalam hal pajak dan
melanggar ketentuan § 37 US Criminal Code (sekarang 18 U.S.C § 371),
dan menyerahkan faktur palsu kepada pihak yang berwenang dan melanggar
ketentuan § 35 Criminal Code (sekarang 18 U.S.C § 1001). Meskipun ada
juga hakim di Amerika Serikat yang berpendapat bahwa sifat dasar dan
karakteristik korporasi tidak memungkinkan mereka berperan sebagai pihak
yang ikut serta dalam suatu konspirasi tindak pidana dengan personel
pengendali korporasi, misalnya hakim dalam putusan United States v.
Jefferson.211

Pinto dan Evans mengenai kemungkinan korporasi berperan sebagai


pihak yang berkonspirasi untuk melakukan suatu tindak pidana
berpandangan bahwa suatu organisasi bisa saja berkonspirasi untuk

209
Konsep konspirasi mirip seperti konsep permufakatan jahat dalam hukum pidana
Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 88 KUHP, yang memiliki unsur: 1) dua orang
atau lebih, 2) telah sepakat, 3) akan melakukan kejahatan. Tidak semua bentuk
pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan secara
pidana, hanya tindak pidana yang secara eksplisit menjelaskan tentang itu, misalnya
permufakatan jahat untuk melakukan makar sebagaimana diatur pada Pasal 110 (1) KUHP,
permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terorisme (Pasal 15 Perpu
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme), permufakatan jahat untuk melakukan tindak
pidana narkotika (Pasal 132 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika). Menurut Molen,
Bloy dan Lanser, conspiracy adalah “a person agrees with any other person or persons to
commit a crime and treated as an offence.” Menurut mereka, pandangan umum dalam
hukum pidana adalah bahwa perbuatan bersepakat untuk melakukan tindak pidana saja
tanpa adanya tindak pidana tidak akan mengakibatkan timbulnya pertanggungjawaban
pidana. Namun dalam conspiracy, perbuatan bersepakat dan mendiskusikan untuk
melakukan tindak pidana sudah cukup untuk membuat para pihak dapat
dipertanggungjawabkan. Menurut common law, ada beberapa bentuk konspirasi yang dapat
menimbulkan pertanggungjawaban pidana misalnya conspiracy to defraud dan conspiracy
to corrupt public morals. Lihat Molan, Bloy dan Lanser, Modern Criminal Law, Fifth
Edition, (London: Cavendish Publishing, 2003), hlm. 137-138.
210
Nye & Nissen v. United States, 336 U.S. 613, 619 (1949), dikutip dari Justia
Justice Supreme Court website, https://supreme.justia.com/cases/federal/us/336/613/,
diakses 9 Februari 2016.
211
88 F. 3d 240, 241 (3d Cir), cert. denied, 117 U.S 536 (1996). Dikutip dari
pertimbangan hakim dalam kasus Nye & Nissen v. United States.

Universitas Indonesia

336

melakukan suatu tindak pidana apabila memang ada pihak lain yang ikut
serta dalam konspirasi tindak pidana tersebut.212 Namun Pinto dan Evans
berpandangan bahwa suatu konsporasi tidak bisa dilakukan antara korporasi
dengan pengurus korporasi. Sebagaimana Pinto dan Evans mengutip
pendapat Hakim Nield dalam kasus pidana di Inggris R v McDonnel,
dimana dalam kasus ini perusahaan dan managing director nya dituntut
karena berkonspirasi untuk melakukan penipuan. Hakim Nield menjelaskan:
“…the true position is that a company and a director cannot be convicted of
conspiracy when the only human being who is said to have broken the law
or intended to do so is the one director..”213

Harding mengenai konspirasi yang melibatkan organisasi juga


berpendapat bahwa konsep ini tidak semudah penjabaran konspirasi sebagai
suatu tindak pidana yang direncanakan secara bersama antara beberapa
pihak.214 Menurut beliau, ada dua permasalahan dalam penerapan konsep
ini, yang pertama adalah, apabila doktrin pertanggungjawaban pidana
korpirasi yang dianut adalah doktrin identifikasi, dimana korporasi dan
pengurus pengendali korporasi dianggap sebagai legal alter ego antara satu
dengan yang lainnya, sehingga mereka dianggap sebagai satu tubuh,
bagaimana mungkin mereka berkonspirasi dengan diri mereka sendiri?
Permasalahan kedua adalah, konspirasi yang dilakukan di dalam organisasi,
antara para eksekutif dengan korporasi, dimana mereka terkait dengan
permasalahan yang sama dan dilakukan oleh alter ego nya, apakah mereka
kedua-duanya bisa bertanggung jawab, apakah tidak akan terjadi penuntutan
ganda (double jeopardy atau ne bis in idem) dalam hal ini.215

2. Korporasi sebagai Turut Serta Melakukan Tindak Pidana

Mengenai pertanggungjawaban pidana dalam turut serta, Pompe


menjelaskan ada dua unsur kersengajaan.216 Pertama adalah kesengajaan

212
Pinto and Evans, Corporate Criminal Liability, (London: Sweet & Maxwell,
2003), hlm. 76.
213
Ibid.
214
Harding, op., cit., hlm. 131.
215
Ibid., hlm. 132-136.
216
Eddy O.S. Hiariej, op., cit., hlm. 311.

Universitas Indonesia

337

untuk mengadakan kerja sama untuk melakukan suatu tindak pidana (shared
intent), atau kesadaran untuk bekerja sama yang terjadi diantara para pihak.
Kedua adalah kerja sama nyata dalam melakukan tindak pidana. Mengenai
dua bentuk kesengajaan yang dikemukakan oleh Pompe ini, Moeljatno
berpandangan bahwa bentuk kesengajaan yang pertama berkaitan dengan
mens rea, sedangkan kesengajaan kedua berkaitan dengan actus reus dalam
mewujudkan tindak pidana.217

Dalam keikutsertaan korporasi di dalam suatu tindak pidana, konsep


‘shared intent’ akan lebih sulit untuk terpenuhi, karena korporasi biasanya
akan bertujuan pada profit dalam mengambil setiap langkah dan keputusan
sedangkan pihak yang lain bisa memiliki tujuan yang berbeda dalam
pelaksanaan suatu tindak pidana.218 Beberapa negara seperti misalnya
Belanda menerapkan standar yang lebih rendah dari pada shared intent,
tetapi cukup bahwa pihak yang membantu mengetahui (has knowledge),
kesadaran (awareness) bahwa dia terlibat dalam suatu perilaku jahat atau
kesadaran akan hasil tertentu yang bersifat jahat cukup untuk menyatakan
bahwa subjek tersebut turut serta dalam membantu suatu tindak pidana
(dolus directus).219

Kedudukan korporasi sebagai yang turut serta melakukan tindak


pidana, misalnya dapat ditemukan pada kasus United States v. Sain.220
Terdakwa dalam kasus ini adalah Samir K. Sain dan perusahaannya
Advanced Environmental Consultants, Inc (AEC). AEC adalah perusahaan
konsultan di bidang lingkungan, sedangkan Sain adalah konsultan
lingkungan professional berlisensi, merupakan pemegang saham tunggal
dan presiden direktur di AEC.


217
Ibid.
218
Anita Ramasastry dan Robert C. Thompson, “Commerce, Crime and Conflict:
Legal Remedies for Private Sector Liability for Grave Breaches of International Law, A
Survey of Sixteen Countries,” Fafo – Report 536, 2006, hlm. 18-19.
219
Ibid.
220
United States v. Sain, 141 F. 3d 463, 474 – 75 (3d Cir. 1998). Dapat diakses pada
http://www.allcourtdata.com/law/case/united-states-v-samir-k-sain-no-97-3114-united-
states-of-america-v/cB6D4s6?page=8.

Universitas Indonesia

338

Kasus ini berawal dari kontrak antara AEC dengan Angkatan Darat
Amerika Serikat. Berdasarkan kontrak tersebut AEC berkewajiban untuk
membangun dan mengoperasikan pengelolaan limbah pada depot Angkatan
Darat di Tooele, Utah. Namun dalam pelaksanaan kontrak tersebut Sain dan
AEC membuat pernyataan salah mengenai pengelolaan limbah air dan
melakukan mark up terhadap harga barang. Sain dan AEC dinyatakan telah
melakukan penipuan (defraud) terhadap Angkatan Darat dan melanggar
ketentuan Major Fraud Act of 1998. Hakim dalam putusan ini menjelaskan
bahwa korporasi merupakan subjek hukum mandiri yang terpisah dari
anggota yang ada di dalamnya dan terpisah dari pemilik perusahaan bahkan
ketika pemilik perusahaan tersebut adalah tunggal satu orang, sehingga
perusahaan sebagai subjek hukum mandiri dapat berperan sebagai turut serta
dengan pemiliknya untuk mewujudkan suatu tindak pidana.

Di Belanda pada tahun 2005, suatu korporasi (korporasi perikanan)


dituntut turut serta melakukan tindak pidana yang melanggar Undang-
Undang Perikanan (Visserijwet), HR 29 Maret 2005, LJN AR7619.
Korporasi dituntu telah turut serta dengan kapal dan awaknya untuk
mengecilkan ukuran jaring ikan yang digunakan dengan tujuan untuk bisa
menangkap ikan lebih banyak. Hakim dalam kasus ini menjelaskan bahwa
tindak pidana tersebut layak untuk diatribusikan kepada korporasi
(menggunakan kriteria sebagaimana yang diatur dalam Drijfmest case yang
telah dibahas di atas) karena memenuhi kriteria: berkaitan dengan kegiatan
normal dan rutin dari korporasi, korporasi mendapatkan keuntungan dari
tindakan tersebut, dan tindakan tersebut dilakukan oleh seseorang yang
dipekerjakan oleh korporasi.

3. Korporasi sebagai Pihak yang Menganjurkan untuk


Melakukan Tindak Pidana

Kedudukan korporasi sebagai pihak yang menyarankan terjadinya


tindak pidana, misalnya kasus Nick Lesson dan Barings Bank di Inggris. Di
mana Barings Bank dianggap sebagai pihak yang menyarankan tindak

Universitas Indonesia

339

pidana ketika bank tersebut menugaskan Nick Leeson ke kantor Barings


Bank di Singapura, padahal izin Leeson untuk melakukan perdagangan di
London telah ditolak, fakta yang tidak disampaikan kepada otoritas di
Singapura, mengakibatkan Leeson melakukan suatu perdagangan yang
illegal.221 Di samping itu, Leeson juga memiliki pengalaman yang sangat
terbatas sebagai pialang sebelum di tempatkan di kantor Singapura.

Bentuk yang paling umum dari ‘menyarankan untuk melakukan


tindak pidana’ adalah dengan memberikan perintah, menasehati, membujuk,
atau memberikan saran, baik secara langsung maupun tidak langsung.222
Dalam kasus Leeson, kebijakan perusahaan mendorongnya untuk
melakukan tindak pidana tersebut; di mana bonus yang sangat besar
diberikan kepada pialang, melebihi gaji individu yang diterima setiap bulan,
apabila berhasil memperoleh keuntungan yang besar. Pemberian bonus ini
mendorong pialang untuk melakukan spekulasi dengan resiko yang sangat
tinggi dengan kurang memperhatikan strategi investasi.223

4. Korporasi sebagai yang Membantu Melakukan Tindak


Pidana

Korporasi dalam kedudukannya sebagai pihak yang memfasilitasi


suatu tindak pidana, misalnya kasus di Inggris, R v. Robert Millar
(Contractors) Ltd and Robert Millar.224 Dimana seorang supir truk
pengangkut barang dituntut karena telah mengakibatkan kematian yang
diakibatkan oleh perbuatannya mengemudikan truk dengan sembrono,
ditambah dengan kondisi ban yang sudah dalam keadaan rusak, dan dengan
muatan truknya yang sangat penuh. Ban mobil tersebut kemudian meledak
dan menabrak sebuah mobil dan mengakibatkan enam orang meninggal.
Pengadilan menyatakan bahwa perusahaan bersalah sebagai pihak yang

221
Dikutip dari James Gobert, “Squaring the Circle: The Relationship between
Individual and Organizational Fault,” dalam James Gobert dan Ana-Maria Pascal (editor),
European Developments in Corporate Criminal Liability, (Oxon: Routledge, 2011), hlm.
149.
222
Ibid., hlm. 150.
223
Ibid.
224
R v. Robert Millar (Contractors) Ltd and Robert Millar, [1970] QB 233. Dikutip
dari James Gobert, op., cit., hlm. 150.

Universitas Indonesia

340

membantu terjadinya tindak pidana. Bahkan dalam kasus ini perusahaan


diberikan sanksi yang lebih berat dari pada supir tersebut, karena
perusahaan dianggap sadar akan resiko yang ada ketika membiarkan mobil
perusahaan tetap beroperasi walaupun keadaannya tidak memenuhi standar
untuk digunakan.225

Ada juga beberapa kasus yang dibahas di tribunal internasional


melibatkan beberapa pihak individu manusia yang dinyatakan membantu
atau memfasilitasi terjadinya suatu tindak pidana yang berada dalam
konteks organisasi.226 Ada juga sebuah kasus di Spanyol, yang menuduhkan
suatu perbantuan tindak pidana yang dilakukan oleh Bank Riggs (bank
Amerika yang beroperasi di Spanyol), diduga membantu Jenderal Agusto
Pinochet melakukan pelanggaran atas perintah membekukan aset
Pinochet.227 Dalam hal ini organisasi bukan dianggap sebagai pihak yang
membantu tindak pidana yang dilakukan oleh pengurusnya, tetapi
membantu pihak ketiga untuk melakukan tindak pidana.

Bahkan konsep mengenai corporate complicity yang berasal dari


hukum pidana ini juga disadur oleh hukum perdata menjadi konsep
mengenai korporasi sebagai pembantu perbuatan melawan hukum (tort)
yang juga sudah diakui dalam beberapa kasus perdata, misalnya kasus
perusahaan minyak Amerika Unocol,228 yang diduga terlibat dalam hal
mengetahui (knowing involvement) pelanggaran hak asasi manusia yang
dilakukan oleh militer Burma pada suatu tambah lepas pantai di Amerika
Serikat. Atau kasus perusahaan energi Kanada, Talisman Energy, Inc. yang
diduga terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia di Sudan.229


225
Ibid.
226
Harding, op., cit., hlm. 257.
227
Spanyol pada prinsipnya tidak mengenal pertanggungjawaban pidana yang
dilakukan oleh korporasi, sehingga dalam kasus ini yang dinyatakan bersalah bukan bank
Riggs sebagai korporasi tetapi adalah pegawai senior dari bank tersebut. Lihat Anita
Ramasastry dan Robert C. Thompson, op., cit., hlm. 14.
228
Doe v. Unocol Corp., 963 F. Supp. 880, 883. Dikutip dari Jonathan Clough,
“Punishing the Parent: Corporate Criminal Complicity in Human Rights Abuses,” Brooklyn
Journal of International Law, vol. 33: 3, 2008, hlm. 900.
229
Presbyterian Church of Sudan v. Talisman Energy, Inc., 244 F. Supp. 2d 289,
299-301 (S.D.N.Y. 2003). Talisman diduga menyadari bahwa pemerintah Sudan melakukan

Universitas Indonesia

341

Sehingga dapat disimpulkan bahwa peran korporasi sebagai yang


menyuruh melakukan, turut serta melakukan, penganjuran, atau pembantuan
tidak pidana dapat diterima secara umum sepanjang fakta-fakta yang ada di
dalam kasus menyatakan korporasi dalam kedudukannya sebagai suatu
subjek mandiri melakukan peran sebagai yang menyuruh melakukan, turut
serta melakukan, penganjuran, atau pembantuan tidak pidana. Namun,
dalam hal kedudukan organisasi sebagai pihak yang berkonspirasi dalam
suatu tindak pidana terdapat catatan khusus, dimana pada prinsipnya dapat
diterima sepanjang ada pihak lain di luar organisasi yang juga terlibat dalam
terjadinya tindak pidana tersebut. Namun dalam hal konspirasi tindak
pidana terjadi antara organisasi dengan pengurus organisasi terdapat
pandangan yang cukup beragam dari para ahli. Apabila doktrin yang dianut
dalam pembebanan tindak pidana adalah doktrin identifikasi yang
menyatakan bahwa pengurus pengandali adalah legal alter ego dari
korporasi, maka sulit untuk menjelaskan bahwa mereka saling berkonspirasi
untuk melakukan suatu tindak pidana, di samping juga terdapat isu
mengenai kemungkinan terjadinya penuntutan ganda (double jeopardy atau
ne bis in idem) dalam hal ini.

Mengenai kedudukan korporasi dalam penyertaan dan pembantuan


tindak pidana di Indonesia, belum ada ketentuan atau kasus hukum yang
menjelaskan mengenai hal ini. Namun PERMA tahun 2016 tentang Perkara
Tindak Pidana Korporasi hal ini dimungkinkan, namun terbatas terhadap
pertanggungjawaban grup korporasi. Pasal 6 PERMA menjelaskan:

“Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh korporasi dengan


melibatkan induk korporasi dan/atau korporasi subsidiari dan/atau
korporasi yang mempunyai hubungan dapat dipertanggungjawabkan
secara pidana sesuai dengan peran masing-masing.”


proteksi terhadap operasi minyak di Negara tersebut, berdasarkan kontrak kerjasama antara
Talisman dengan Pemerintah Sudan, mengakibatkan pemusnahan etnis atau genosida,
pembunuhan dan perbudakan sejumlah warga sipil (termasuk wanita dan anak-anak) dan
penghancuran desa. Lihat Jonathan Clough, “Punishing the Parent: Corporate Criminal
Complicity in Human Rights Abuses,” Brooklyn Journal of International Law, vol. 33: 3,
2008, hlm. 900.

Universitas Indonesia

342

Pasal ini menjelaskan bahwa korporasi induk (parent company) atau


perusahaan subsidiari (subsidairy company) dapat dipertanggungjawabkan
tidak hanya sebagai pelaku, tetapi juga bisa dipertanggungjawabkan dalam
perannya sebagai penyertaaan atau pembantuan terhadap terjadinya tindak
pidana yang terjadi pada satu grup korporasi, apabila masing-masing
korporasi memang memiliki peran dalam terjadinya tindak pidana.

C. Implementasi Pertanggungjawaban Pidana bagi Subjek Hukum


Organisasi yang Tidak Berbadan Hukum

Pada Bab II telah dibahas mengenai kedudukan organisasi yang


tidak berbadan hukum sebagai subjek hukum pidana. Organisasi yang tidak
berbadan hukum memiliki kemampuan yang sama dengan korporasi untuk
dapat melakukan suatu tindak pidana. Mereka bisa menjadi pelaku
pencemaran lingkungan, korupsi, pencucian uang, terorisme dan
sebagainya. Sehingga perlu ada pengaturan mengenai kemampuan mereka
untuk dapat bertanggung jawab dalam hukum pidana.
Mengenai pertanggungjawaban pidana bagi organisasi yang tidak
berbadan hukum, pada prinsipnya mereka dipandang sebagai subjek hukum
mandiri yang terpisah dari anggota-anggota yang ada di dalama organisasi
itu sendiri. Organisasi memiliki identitas atas namanya sendiri yang terlepas
dari anggota yang membentuknya. Kekayaan organisasi juga tidak bisa
dipandang sebagai kekayaan individu tertentu dari organisasi.
Pada Health Act 2006 Inggris memberikan penekanan sendiri
tentang kejahatan di bidang kesehatan sebagaimana yang diatur oleh UU
tersebut apabila dilakukan oleh asosiasi yang tidak berbadan hukum atau
oleh suatu partnership. Pada Section 77 dengan judul “Tindak Pidana yang
dilakukan oleh partnership dan asosiasi yang tidak berbadan hukum lainnya
(Offences committed by partnerships and other unincorporated
associations),” menjelaskan:

(1) “Proceedings for an offence alleged to have been committed by a


partnership shall be brought in the name of the partnership (and not
in that of any of the partners).
Universitas Indonesia

343

(2) Proceedings for an offence alleged to have been committed by an


unincorporated association (other than a partnership) shall be
brought in the name of the association (and not in that of any of its
members).
(3) Rules of court relating to the service of documents shall have effect
as if the partnership or unincorporated association were a body
corporate.
(4) In proceedings for an offence brought against a partnership or an
unincorporated association, the following provisions apply as they
apply in relation to a body corporate—
1) section 33 of the Criminal Justice Act 1925 (c. 86) and
Schedule 3 to the Magistrates’ Courts Act 1980 (c. 43);230
2) sections 70 and 143 of the Criminal Procedure (Scotland)
Act 1995 (c. 46);
3) section 18 of the Criminal Justice Act (Northern Ireland)
1945 (c. 15 (N.I.)) and Schedule 4 to the Magistrates’ Courts
(Northern Ireland) Order 1981 (S.I. 1981/1675 (N.I. 26)).
(5) A fine imposed on a partnership on its conviction for an offence is to
be paid out of the partnership assets.
(6) A fine imposed on an unincorporated association on its conviction
for an offence is to be paid out of the funds of the association.
(7) Subsections (1) and (2) are not to be read as prejudicing any
liability of a partner, officer or member under section 76(4) or
(6).”231

((1) Penuntutan untuk tindak pidana yang diduga dilakukan oleh suatu
partnership harus diajukan atas nama partnership tersebut (dan bukan
atas nama para partner).

(2) Penuntutan untuk tindak pidana yang diduga dilakukan oleh suatu
asosiasi yang tidak berbadan hukum (selain berbentuk partnership)
harus diajukan atas nama asosiasi tersebut (dan bukan atas nama
para anggotanya).

(3) Aturan pengadilan mengenai penanganan dokumen berlaku seolah-


olah partnership dan asosiasi yang tidak berbadan hukum tersebut
adalah badan hukum.

(4) Dalam penuntutan atas tindak pidana yang diajukan kepada


partnership atau suatu asosiasi yang tidak berbadan hukum,
ketentuan berikut berlaku sebagaimana mereka berlaku bagi badan
hukum:


230
Section 33 dari Criminal Justice Act 1925 mengatur tentang hukum acara apabila
yang menjadi terdakwa adalah korporasi.
231
Subsection 7 ini memberikan penegasan bahwa para partner, anggota atau
pengurus belum tentu bertanggung jawab atau mereka tidak otomatis bersalah atas
perbuatan salah dari partnership atau asosiasi.

Universitas Indonesia

344

1) section 33 of the Criminal Justice Act 1925 (c. 86) and


Schedule 3 to the Magistrates’ Courts Act 1980 (c. 43);232
2) sections 70 and 143 of the Criminal Procedure (Scotland) Act
1995 (c. 46);
3) section 18 of the Criminal Justice Act (Northern Ireland) 1945
(c. 15 (N.I.)) and Schedule 4 to the Magistrates’ Courts
(Northern Ireland) Order 1981 (S.I. 1981/1675 (N.I. 26)).

(5) Denda yang diberikan kepada partnership berdasarkan putusan


pengadilan atas suatu partnership dibayar dari aset partnership.
(6) Denda yang diberikan kepada suatu asosiasi yang tidak berbadan
hukum berdasarkan putusan pengadilan atas nama asosiasi tersebut
dibayar dari aset asosiasi.
(7) Subsection (1) dan (2) tidak boleh dianggap sebagai pembiasan
terhadap pertanggungjawaban parner, petugas, atau anggota
berdasarkan section 76 (4) atau (6)).

Dapat dikatakan bahwa tidak ada perbedaan yang mendasar ketika


yang menjadi subjek yang sedang diperiksa adalah asosiasi yang tidak
berbadan hukum atau korporasi yang memiliki personalitas hukum mandiri.
Meskipun dalam teori mereka diperlakukan berbeda, tetapi di dalam
peraturan perundang-undangan maupun di hadapan pengadilan pidana
sepertinya mereka adalah sama, sama-sama berdiri di depan pengadilan
sebagai suatu organisasi yang berdiri atas namanya sendiri dan bukan atas
nama anggota-anggota yang ada di dalamnya. Dalam hukum acara maupun
dalam pembuktian perbuatan jahat dan pertanggungjawaban pidana mereka
diperlakukan sama.
Untuk mempertegas antara pertanggungjawaban organisasi yang
tidak berbadan hukum dengan para pengurusnya, UK Health Act 2006 ini
menjelaskan pada Section 76 (4):
“Section 76 (4): if an offence committed by a partnership is
proved—
(a) to have been committed with the consent or connivance of a
partner, or
(b) to be attributable to any neglect on his part,
the partner as well as the partnership is guilty of the offence and
liable to be proceeded against and punished accordingly.”
(Section 76 (4): apabila tindak pidana yang dilakukan oleh suatu
partnership terbukti—

232
Section 33 dari Criminal Justice Act 1925 mengatur tentang hukum acara apabila
yang menjadi terdakwa adalah korporasi.

Universitas Indonesia

345

(a) dilakukan dengan persetujuan atau persekongkolan dengan


partner, atau
(b) disebabkan karena kelalaian yang dilakukannya,
para partner dan juga partnershipnya bertanggung jawab atas tindak
pidana tersebut sehingga dapat dipidana).

Section 76 (6) mengatur ketentuan yang sama untuk asosiasi yang


tidak berbadan hukum. Dapat disimpulkan bahwa para anggota organisasi
dapat juga dinyatakan bersalah atas tindak pidana yang dilakukan oleh
organisasinya apabila memang mereka memiliki peran dalam terjadinya
tindak pidana.
Pada suatu kasus pencemaran air di Inggris, R v RL and JF (2008),233
hakim menyatakan bahwa asosiasi yang tidak berbadan hukum dapat
bertanggung jawab atas tindak pidana tersebut. Kasus ini berawal dari
retaknya pipa minyak pemanas milik suatu klub golf yang menyebabkan
minyak panas tersebut mengkontaminasi saluran air yang ada di dekatnya.
Perbuatan ini merupakan pelanggaran terhadap section 85 dari Water
Resources Act. Pipa, tank dan pemanas tersebut dimiliki oleh klub golf yang
tidak berbadan hukum.
Kasus ini membahas mengenai siapa yang dapat bertanggung jawab
atas tindak pidana tersebut, apakah para anggotanya (dalam hal ini dua
orang pengurus pengendali asosiasi tersebut) atau asosiasi yang tidak
berbadan hukumnya. Hakim menjelaskan berdasarkan Interpretation Act
asosiasi yang tidak berbadan hukum juga adalah termasuk dalam pengertian
person dalam peraturan perundang-undangan Inggris, sehingga klub golf
tersebut dinyatakan dapat bertanggung jawab. Hakim juga berpandangan
bahwa tuntutan terhadap anggota klub tidak dapat dilakukan apabila tidak
terdapat kesalahan pribadi dari anggota klub tersebut.
Hughes LJ dalam kasus ini menjelaskan bahwa klub ini memiliki
900 orang anggota, tanah, bangunan dan aset lainnya. Tidak diragukan lagi
asosiasi ini berdiri sebagai entitas mandiri dalam segala hal selama
bertahun-tahun, meskipun dia tidak diakui dalam hukum memiliki
personalitas sendiri.

233
R v RL and JF [2008] EWCA Crim 1970; [2008] WLR (D) 299.

Universitas Indonesia

346

di Indonesia juga terdapat satu kasus hukum yang membahas


mengenai pertanggungjawaban pidana bagi organisasi yang tidak berbadan
hukum. Kasus terorisme yang dilakukan oleh organisasi Al-Jamah AL-
Islamiyah yang diputus tahun 2007 oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Meskipun yang dijadikan terdakwa dalam kasus ini adalah bukan
organisasinya tetapi orang natural yang menjadi anggota organisasi tersebut,
tetapi hakim dalam putusannya juga memberikan sanksi denda kepada
organisasi dan menyatakan organisasi tersebut sebagai organisasi terlarang.
Organisasi ini dianggap terafiliasi dengan organisasi Al-Qaeda beserta
Osama Bin Laden dan bertanggung jawab atas rentetan terror yang ada di
Indonesia, termasuk diantaranya adalah peristiwa bom Bali tahun 2002,
dimana 202 orang meninggal dunia, peristiwa bom Bali 2005, pemboman di
hotel Marriott pada tahun 2003 dan Kedutaan Australia di Indonesia pada
tahun 2004, kerusuhan di Poso dan Ambon.234
Kasus ini telah diputus dan memiliki kekuatan hukum tetap dan
bahkan sudah dieksekusi oleh kejaksaan.235 Terdakwa dalam kasus ini
adalah anggota dari Al-Jamah Al-Islamiyah yaitu Zuhroni alias Zarkasih.236
Hakim melalui Putusan PN Jakarta Selatan No.
2192/PID.B/2007/PN.JKT.SL, menyatakan:

- Al-Jamaah Al-Islamiyah selaku korporasi yang salah satu


pengurusnya adalah terdakwa terbukti secara meyakinkan
melakukan tindak pidana terorisme;
- Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana Penjara
selama 15 (lima belas) tahun;


234
Mark Forbes and Brendan Nicholson, Jemaah Islamiah Declared ‘Forbidden’,
The Age Australia, April 22, 2008, www.theage.com.au, tgl. 21 April 2014.
235
Iwan Sutiawan (reporter), Tian Arief (editor), “Al-Jamaah Al-Islamiyah
Dinyatakan Sebagai Korporasi Terlarang,” Gatra News, Selasa, 08 September 2015,
http://www.gatra.com/hukum/164067-jaksa-eksekusi-al-jamaah-al-islamiyah-sebagai-
korporasi-terlarang, diakses 11 November 2015.
236
Mengenai kedudukan subjek pribadi dan organisasi dalam hal
pertanggungjawaban dan sanksi pidana yang diberikan, akan dibahas lebih dalam pada
BAB IV disertasi ini.

Universitas Indonesia

347

- Menghukum Al-Jamaah Al-Islamiyah selaku korporasi yang salah


satu pengurusnya adalah terdakwa dengan pidana denda sebesar
Rp.10.000.000 (sepuluh juta rupiah)
- Menetapkan Al-Jamaah Al-Islamiyah selaku korporasi yang salah
satu pengurusnya adalah terdakwa dinyatakan sebagai korporasi
yang terlarang.

Organisasi Al-Jamaah Al-Islamiyah yang dinyatakan sebagai


korporasi terlarang pada kasus di atas, merupakan organisasi masyarakat
yang tidak didaftarkan sebagai organisasi resmi dengan bentuk khusus
sebagaimana yang diatur oleh UU. Organisasi ini terbentuk sebagai sebuah
kenyataan yang ada dalam kehidupan sosial masyarakat sebagai badan yang
memiliki anggota-anggota, kepengurusan yang tetap dan punya tujuan yang
jelas.
Namun dalam hal sanksi yang diberikan tentu tidak bisa berupa
pembubaran atau pencabutan izin karena dalam hal pembentukan pun
mereka tidak memiliki personalitas di hadapan hukum dan tidak ada izin
yang bisa dicabut juga, sehingga bentuk sanksi yang mungkin memang
adalah pelarangan organisasi dan atau denda sebagaimana dalam kasus
Jamah al Islamiyah yang telah dibahas sebelumnya.

D. Prospek Pengembangan Ketentuan tentang Pertanggungjawaban


Pidana Korporasi di Masa Depan

Dari analisis kasus hukum dan peraturan perundang-undangan yang


telah dilakukan, penulis berpendapat bahwa terdapat pengaturan yang sangat
minim mengenai pembebanan pertanggungjawaban pidana korporasi.
Hakim dalam memutus kasus hukum dirasa sangat legalistis sehingga perlu
dibuat suatu aturan yang cukup detail dan deskriptif mengenai kapan suatu
korporasi dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang
terjadi di dalam lingkungan korporasi dan kapan pengurus juga dapat ikut
dipersalahkan atas tindak pidana tersebut. Di samping itu, juga perlu
kejelasan mengenai bagaimana kedudukan dan pembebanan

Universitas Indonesia

348

pertanggungjawaban pidana bagi subjek hukum organisasi yang tidak


berbadan hukum.

1. Pembebanan Pertanggungjawaban Pidana bagi Korporasi

Teori pertanggungjawaban pidana korporasi (corporate criminal


liability) yang saat ini berkembang ada empat macam: vicarious criminal
liability, identification, aggregation dan corporate culture, sebagaimana
telah dikemukakan pada kerangka teori. Peraturan perundang-undangan dan
kasus hukum di Indonesia cenderung mengadopsi vicarious criminal
liability theory dalam membebankan pertanggungjawaban pidana bagi
korporasi. Vicarious liability memang merupakan teori asal dalam
penerimaan pertanggungjawaban pidana bagi korporasi. Teori ini cukup luas
untuk dapat mengalihkan pertanggungjawaban pengurus korporasi terlepas
dari kedudukannya di dalam korporasi, menjadi pertanggungjawaban pidana
bagi korporasi. Namun teori ini terlalu luas dan dapat merugikan korporasi,
sehingga perlu juga ada pembatasan bahwa tindakan tersebut dilakukan
untuk memberikan manfaat bagi korporasi (benefit the corporation), atau
dilakukan dalam rangka maksud dan tujuan korporasi (contribute to the
corporate goal) atau dilakukan dalam rangka tugas dan wewenang pengurus
(intra vires dan scope of employment). Sehingga teori vicarious criminal
liability dengan kriteria yang lebih konkrit tetap perlu dipertahankan dalam
pembebanan pertanggungjawaban pidana korporasi Indonesia.
Teori identifikasi merupakan penyempitan dari teori vicarious
liability yang berkembang pada putusan pengadilan di Inggris. Berdasarkan
teori ini, korporasi diidentifikasikan melalui directing mind (pengurus
pengendali) korporasi yang disebut sebagai legal alter ego dari korporasi,
sehingga korporasi dapat bertanggung jawab atas tindakan dan kesalahan
mereka. Keuntungan dari penggunaan doktrin identifikasi adalah bahwa
penemuan ‘pemikiran’ (mind) korporasi dapat dengan mudah dilihat dari
pengurus pengendali yang dapat mempengaruhi keputusan korporasi
tersebut. Namun, doktrin ini akan sering memungkinkan para pimpinan
perusahaan dan juga perusahaannya untuk terbebas dari

Universitas Indonesia

349

pertanggungjawaban pidana karena mereka tidak secara langsung


melakukan actus reus dari tindak pidana atau tidak secara langsung
menyarankan untuk melakukan tindak pidana. Tindakan independen dari
karyawan bawahan baik dilakukan secara sendiri-sendiri atau bersama-sama
yang melaksanakan kebijakan perusahaan dengan tidak benar bisa memutus
rantai sebab-akibat untuk meminta pertanggungjawaban korporasi atas suatu
akibat yang merugikan masyarakat. Doktrin identifikasi hanya akan dapat
diaplikasikan dengan sempurna terhadap perusahaan kecil. Pada perusahaan
besar, seorang direktur akan jarang memiliki keterlibatan langsung untuk
dapat bertanggung jawab terhadap suatu tindak pidana. Selain itu, pada
perusahaan besar kadang kala seorang personel pengendali tidak memiliki
kontrol menyeluruh terhadap aktifitas perusahaan. Tanpa adanya
pertanggungjawaban personal dari seseorang yang dikategorikan sebagai
‘directing mind and will’ korporasi, maka pertanggungjawaban tidak dapat
diatribusikan kepada korporasinya. Sehingga menurut penulis, teori
identifikasi saja tidak dapat dijadikan satu-satunya landasan dalam
membebankan pertanggungjawaban pidana bagi korporasi.
Mengenai pertanggungjawaban pidana bagi korporasi, penulis
berpendapat prinsip umum yang harus digunakan dalam mengatribusikan
pertanggungjawaban pidana kepada korporasi adalah apabila tindakan
tersebut “reasonably attributed,” cukup masuk akal atau layak untuk
diatribusikan kepada korporasi yang bersangkutan. Untuk menilai apakah
suatu tindak pidana dianggap masuk akal atau layak untuk diatribusikan
kepada suatu korporasi, penulis secara umum sependapat dengan Sjahdeini
tentang ajaran gabungan. Ajaran ini mencakup unsur yang penting dalam
pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Namun penulis
berpendapat bahwa perlu untuk menambahkan kriteria mengenai
kemungkinan budaya perusahaan yang mendorong, menggiring, atau
menoleransi terjadinya tindak pidana (doktrin budaya perusahaan) dalam
membebankan pertanggungjawaban pidana kepada suatu organisasi.
Mengadopsi doktrin budaya perusahaan ini dirasa perlu untuk
mendorong perusahaan membentuk budaya kerja yang taat hukum dan

Universitas Indonesia

350

kebijakan yang tidak menggiring pengurus nya untuk melakukan hal-hal


yang akan melanggar ketentuan hukum. Budaya kerja korporasi menurut
penulis tidak hanya bergantung kepada satu atau dua orang pengurus
pengendali korporasi dan tidak tergantung pada satu waktu tertentu saja,
tetapi adalah suatu kebijakan besar mengenai bagaimana perilaku korporasi
dari waktu ke waktu. Hal ini sejalan dengan sifat korporasi yang tidak akan
kehilangan identitas fundamentalnya sebagai subjek yang berbeda,
meskipun semua anggota yang ada di dalamnya sudah berbeda dengan
pembentuk awalnya.
Sehingga penulis menyarankan untuk memberikan penyempurnaan
akan ajaran ini sebagai berikut: Suatu tindak pidana dianggap dilakukan
oleh korporasi apabila suatu tindak pidana:
a) Dilakukan oleh personel pengendali (directing mind) korporasi;
atau apabila perbuatan tersebut tidak dilakukan langsung oleh
personel pengendali korporasi, maka perbuatan tersebut dapat
dilakukan oleh seseorang yang bekerja untuk korporasi, baik
berdasarkan hubungan kerja formal maupun berdasarkan
hubungan lainnya:
i. Dilakukan untuk memberikan manfaat bagi korporasi
(benefit the corporation); atau
ii. Dilakukan dalam rangka maksud dan tujuan korporasi
(contribute to the corporate goal); atau
iii. Dilakukan dalam rangka tugas dan wewenang pengurus
(intra vires dan scope of employment); atau
b) Disetujui atau diterima oleh korporasi. Persetujuan dianggap
diberikan apabila korporasi tidak melakukan pencegahan
(failure to take reasonable care) atau tidak melarang
dilakukannya tindak pidana atau tidak mengambil tindakan
yang cukup ketika tindak pidana tersebut terjadi (reactive
corporate fault); atau
c) Didorong atau ditoleransi oleh budaya, sistem, praktek kerja
yang secara umum diterima oleh korporasi (corporate policy).

Universitas Indonesia

351

Mengenai unsur ‘perbuatan tersebut merupakan suatu tindak pidana,


baik omisi ataupun komisi, tidak ada alasan pembenar dan pemaaf dari
terjadinya tindak pidana tersebut, actus reus dan mens rea tidak harus ada
pada satu orang tetapi bisa berada pada beberapa orang yang ada di dalam
korporasi, dan unsur tindak pidana terjadi karena memanfaatkan
keberadaan, fasilitas atau biaya korporasi,’ menurut penulis penting untuk
dijabarkan tetapi bukan sebagai syarat untuk menyatakan suatu tindak
pidana telah melakukan tindak pidana.
Dalam hal korporasi memberikan fasilitas dalam terwujudnya tindak
pidana, sebagaimana yang dikemukakan oleh Sjahdeini sebagai salah satu
syarat untuk menyatakan suatu korporasi dapat bertanggungjawab dalam
hukum pidana, penulis berpendapat bahwa pemanfaatan organisasi untuk
melakukan suatu tindak pidana tidak melulu harus dilakukan oleh personel
pengendali korporasi. Sepanjang pemanfaatan fasilitas korporasi tersebut
menjadi syarat utama dalam pelaksanaan tindak pidana dan dilakukan oleh
banyak anggota korporasi, maka menurut penulis hal tersebut menjadi
syarat yang cukup untuk juga bisa mempersalahkan korporasi atas
pemberian bantuan terjadinya tindak pidana. Atau keadaan dimana
penggunaan fasiltas secara terus menerus oleh anggota organisasi yang
berbeda-beda dalam jangka waktu yang lama tanpa terikat siapa pimpinan
organisasinya bisa juga disambungkan dengan doktrin ‘budaya perusahaan’.
Mengenai penemuan kesalahan atau ketercelaan dari korporasi,
penulis berpendapat kesalahan bisa ditarik dari kesalahan pengurus
pengendali, atau dari beberapa orang di dalam organisasi terlepas posisinya
di dalam organisasi atau dari sistem kerja atau dari budaya perusahaan.
Pengkonstruksian kesalahan korporasi akan sangat bergantung kepada fakta
dari kasus yang sedang di hadapi oleh hakim. Namun standar yang
digunakan untuk menilai kesalahan korporasi tetap adalah “reasonably
attributed,” cukup masuk akal atau layak untuk diatribusikan kepada
korporasi. Kriteria kesalahan korporasi yang bisa dijadikan ukuran misalnya
adalah korporasi membiarkan atau menerima tindak pidana (accepted the
crime), korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk

Universitas Indonesia

352

mencegah tindak pidana (preventive fault), atau korporasi tidak mencegah


dampak yang lebih luas (reactive corporate fault), atau korporasi tidak
memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku untuk
menghindari terjadinya tindak pidana (failure to take reasonable care).

2. Pembebanan Pertanggungjawaban Pidana bagi Pengurus Korporasi

Dipertanggungjawabkannya korporasi atas suatu tindak pidana, tidak


secara otomatis membuat pengurus tertentu dapat dipertanggungjawabkan
juga atas tindak pidana yang sama. Begitu juga sebaliknya
pertanggungjawaban pidana korporasi juga tidak secara otomatis
menghapus pertanggungjawaban pidana dari pengurus yang memiliki peran
dalam terjadinya tindak pidana. Dari berbagai peraturan perundang-
undangan Indonesia yang telah dibahas, belum ada pengaturan secara
khusus mengenai kapan seorang pengurus dapat dikatakan bertanggung
jawab atas suatu tindak pidana yang terjadi di dalam korporasi, kecuali
PERJA yang secara eksplisit telah membedakan actus reus dari korporasi
dan actus reus dari pengurus. Pengaturan mengenai hal ini dirasa sangat
perlu untuk memperjelas kapan suatu tindak pidana bisa dibebankan
pertanggungjawabannya kepada korporasi dan kapan bisa dibebankan
kepada pengurusnya.

Mengenai standar apa yang bisa diberikan untuk menjelaskan


seorang pengurus dapat dimintai pertanggungjawaban atas suatu tindak
pidana yang terjadi di dalam korporasi, penulis berpendapat bahwa kriteria
adanya persetujuan (consent), persekongkolan (connivance), atau
disebabkan karena kelalaian (neglect) dari pengurus, yang dimuat dalam
beberapa undang-undang di UK cukup penting untuk bisa diterima dalam
hukum Indonesia mengenai kriteria pembebanan pertanggungjawaban
pidana bagi pengurus ketika tindak pidana terjadi dalam korporasi.

Namun konsep mengenai consent, connivance dan neglect perlu


dijabarkan lebih lanjut. Apabila melihat kriteria yang digunakan oleh

Universitas Indonesia

353

PERJA tentang Subjek Hukum Korporasi sebenarnya cukup rinci dan


deskriptif dalam memberikan kriteria kapan seorang pengurus dapat
dipertanggungjawabkan. Sebagaimana PERJA tentang Subjek Hukum
Korporasi menjelaskan bahwa seorang pengurus di dalam korporasi dapat
dipertanggungjawabkan apabila:

a) Setiap orang yang melakukan, turut serta melakukan, menyuruh


melakukan, menganjurkan melakukan atau membantu melakukan
tindak pidana;
b) Orang yang memiliki kendali dan wewenang untuk melakukan
tindakan pencegahan tetapi tidak melakukan tindakan tersebut,
dan menyadari bahwa terdapat resiko yang cukup besar dengan
pembiaran tersebut;
c) Setiap orang yang mempunyai pengetahuan akan adanya resiko
yang cukup besar, cukuplah apabila ia tahu bahwa tindak pidana
tersebut dilakukan oleh korporasi.

Poin a yang menjabarkan tentang peran pengurus dalam suatu tindak


pidana yang terjadi di dalam korporasi, baik apabila dia melakukannya
secara langsung sebagai pelaku, maupun ketika pengurus tersebut berperan
dalam turut serta melakukan tindak pidana, menyuruh melakukan atau
menganjurkan atau membantu melakukan tindak pidana merupakan konsep
hukum pidana yang sudah diterima dalam hukum pidana Indonesia. Konsep
penyertaan dan pembantuan tindak pidana menurut penulis sebenarnya telah
mencakupi konsep persetujuan (consent), persekongkolan (connivance)
sebagaimana yang dijadikan kriteria pembebanan pertanggungjawaban
pidana bagi pengurus dalam tindak pidana korporasi di beberapa UU negara
lain.

Namun untuk poin a ini, menurut penulis perlu untuk ditambahkan


unsur “untuk memberikan manfaat atau kepentingan korporasi. Unsur ini
penting dijelaskan secara eksplisit untuk menghindari perbuatan pengurus
yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi dengan
memanfaatkan korporasi, di mana perbuatan tersebut justru merugikan

Universitas Indonesia

354

korporasi dan bukan untuk kepentingan korporasi. Sehingga poin a tersebut


akan berbunyi: “Setiap orang yang melakukan, turut serta melakukan,
menyuruh melakukan, menganjurkan melakukan atau membantu melakukan
tindak pidana untuk memberikan manfaat atau untuk kepentingan
korporasi.”

Selanjutnya poin b dan c yang menjelaskan bahwa “orang yang


memiliki kendali dan wewenang untuk melakukan tindakan pencegahan
tetapi tidak melakukan tindakan tersebut, dan menyadari bahwa terdapat
resiko yang cukup besar dengan pembiaran tersebut serta orang yang
mempunyai pengetahuan akan adanya resiko yang cukup besar, cukuplah
apabila ia tahu bahwa tindak pidana tersebut dilakukan oleh korporasi,”
merupakan kondisi yang deskriptif dalam mengidentifikasi kelalain
pengurus untuk menjalankan kewajiban untuk memperhatikan (duty of care)
yang seharusnya menjadi tugasnya. Hal ini sejalan dengan konsep kelalain
(neglect) dari pengurus sebagaimana yang dianut oleh UU di negara lain.
Sehingga penulis berpendapat bahwa kriteria yang dapat dijadikan standar
dalam membebankan pertanggungjawaban pidana bagi pengurs dalam suatu
tindak pidana korporasi adaalah:
a) Setiap orang yang melakukan, turut serta melakukan, menyuruh
melakukan, menganjurkan melakukan atau membantu melakukan
tindak pidana untuk memberikan manfaat atau untuk kepentingan
korporasi;
b) Orang yang memiliki kendali dan wewenang untuk melakukan
tindakan pencegahan tetapi tidak melakukan tindakan tersebut,
dan menyadari bahwa terdapat resiko yang cukup besar dengan
pembiaran tersebut;
c) Setiap orang yang mempunyai pengetahuan akan adanya resiko
yang cukup besar, cukuplah apabila ia tahu bahwa tindak pidana
tersebut dilakukan oleh korporasi.

Universitas Indonesia

355

Dari analisis yang telah dilakukan, penulis berpendapat mengenai


pembebanan pertanggungjawaban pidana bagi korporasi dan pengurus
korporasi ketika terjadi suatu tindak pidana, terdapat tiga kemungkinan:

1) Apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh pengurus korporasi


namun tidak layak untuk diatribusikan kepada korporasi, maka
pertanggungjawaban pidananya adalah pertanggungjawaban pidana
individu pengurus korporasi. Sehingga yang dapat
dipertanggungjawabkan adalah pengurusnya saja.
2) Apabila tindak pidana tersebut dilakukan secara terstruktur oleh
korporasi, tanpa dapat diidentifikasi suatu subjek manusia tertentu di
dalam korporasi yang dapat dipersalahkan atas terjadinya tindak
pidana, maka korporasi dapat dipertanggungjawabkan atas namanya
sendiri.
3) Apabila tindak pidana tersebut terjadi karena pengurus memiliki
peran dalam terjadinya tindak pidana baik secara langsung atau
dengan memerintahkan atau menyarankan dilakukannya tindak
pidana yang dilakukan untuk kepentingan korporasi, maka kedua-
dua subjek, baik pengurus maupun korporasi dapat
dipertanggungjawabkan atas tindak pidana tersebut.

Adapun alasan penulis untuk menerima kemungkinan ke dua di


mana hanya korporasi yang dapat dipertanggungjawabkan adalah karena
dari beberapa kasus yang dianalisis ditemukan kondisi di mana konstruksi
fakta dari kasus tersebut sangat sulit untuk menunjuk satu orang yang secara
langsung memiliki peran nyata (baik actus reus maupun mens rea) dalam
terwujudnya tindak pidana. Namun tindak pidana tersebut sangat nyata,
“reasonably attributed,” masuk akal atau layak untuk diatribusikan kepada
korporasi. Misalnya kasus Transco Plc di UK, atau United States v. Bank of
New England.

Universitas Indonesia

356

3. Pertanggungjawaban Pidana bagi Organisasi yang Tidak Berbadan


Hukum

Dalam teori hukum memang terdapat perbedaan antara badan hukum


dengan organisasi yang tidak berbadan hukum. Namun dalam kehidupan
nyata keduanya berpotensi untuk melanggar ketentuan hukum. Hukum
pidana Indonesia juga telah menerima pertanggungjawaban pidana
organisasi yang tidak berbadan hukum pada beberapa UU khusus. Putusan
pengadilan Indonesia mengenai Al-Jamaah Al-Islamiyah juga telah
menunjukkan bahwa pengaturan mengenai hal ini penting untuk diatur
dalam hukum pidana. Sehingga menurut penulis memang sepatutnya
organisasi yang tidak berbadan hukum dapat dipertanggungjaabkan di
dalam hukum pidana sebagai subjek hukum mandiri.
Mengenai ketentuan UU yang menyatakan bahwa organisasi yang
tidak berbadan hukum adalah termasuk ke dalam pengertian korporasi,
penulis berpendapat bahwa hal tersebut adalah kurang tepat. Sebagaimana
telah dikemukakan pada Bab III disertasi ini bahwa korporasi adalah badan
hukum yang telah melalui proses inkorporasi dan tidak dapat dipersamakan
dengan organisasi yang tidak berbadan hukum. Menurut penulis, akan lebih
baik menggunakan istilah organisasi untuk merujuk kepada aktor kolektif
dengan segala macam bentuknya baik yang berbadan hukum ataupun tidak
berbadan hukum. Sehingga dalam mengelaborasikan pertanggung jawaban
pidana terhadap organisasi tidak terjebak dalam perdebatan mengenai teori
personalitas hukum, apakah suatu organisasi memiliki personalitas hukum
mandiri atau tidak, tetapi justru karakteristik organisasi itulah yang akan
menjadi titik berat pembahasan.
Organisasi sebagaimana telah dibahas pada bab sebelumnya berbeda
dengan agregat dan grup sosial. Organisasi memiliki kompleksitas,
formalitas dan hubungan yang lebih erat dibandingkan dengan kelompok
sosial lainnya. Syarat untuk bisa disebut sebagai organisasi sebagaimana
telah dijabarkan pada Bab II adalah memiliki: struktur yang permanen,
keberadaan yang independen secara waktu (temporal independence),
struktur fungsional untuk mencapai tujuan tertentu, memiliki suatu sistem

Universitas Indonesia

357

pengambilan keputusan yang mapan (Corporation’s Internal Decision


Structure), memiliki ukuran besar yang dapat dilihat dari besarnya skala
operasi dan banyaknya jumlah individu yang terlibat dalam kegiatan
organisasi tersebut, bersifat formalitas yang berkaitan dengan tugas-tugas,
tanggung jawab, dan target serta harapan yang melekat pada setiap peran
dari individu di dalam organisasi, bersifat kompleks yang berkaitan dengan
pembuatan keputusan, hubungan otoritas, prosedur operasi, dan aktifitas
serta proses lainnya.237
Terminologi organisasi ini akan melingkupi semua bentuk kelompok
kolektif yang memiliki ciri-ciri sebagai organisasi baik yang berbadan
hukum maupun yang tidak berbadan hukum, baik yang bertujuan pada profit
maupun yang bersifat nirlaba atau non-profit. Organisasi juga bisa
mencakup harta yang dipisahkan seperti pengertian yayasan sebagaimana
telah dibahas juga pada Bab III.238 Untuk memberikan pembatasan jenis
organisasi yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, maka
penulis berpendapat agar membatasinya pada organisasi yang terdaftar saja.
Pendaftaran organisasi bergantung pada tujuan pembentukan organisasi,
apabila organisasi tersebut bertujuan pada profit maka, tunduk pada UU No.
3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan, apabila organisasi tersebut
bersifat nirlaba, maka tunduk pada UU No. 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan.
Beberapa negara dengan UU-nya yang baru terbit belakangan ini,
memang lebih cenderung untuk menggunakan istilah organisasi untuk
merujuk kepada aktor kolektif. Sebagaimana telah dibahas di atas, misalnya
Canadian Criminal Code 2004 yang menjelaskan bahwa UU tersebut
berlaku kepada organisasi, atau Corporate Manslaughter and Corporate
Homicide Act 2007, Inggris, pada Chapter 19 menjelaskan “organisasi”,
termasuk beberapa departemen pemerintahan, kepolisian, dan pemberi kerja
lainnya, baik yang berbentuk asosiasi yang notabene tidak berbadan hukum.
Dan juga, Bribery Act 2010 Inggris, Chapter 23, mengkriminalisasi

237
Lihat Bab II sub-bab “Kelompok Kolektif yang Dapat Memiliki Indentitas
sebagai Organisasi”
238
Lihat Bab III sub-bab “Kritisi terhadap Pengertian Korporasi.”

Universitas Indonesia

358

perbuatan pemfasilitasan tindak pidana korupsi yang dapat dilakukan oleh


“commercial organizations”.239 Begitu juga dengan United States
Guidelines Manual 2005, menggunakan istilah organisasi untuk merujuk
kepada segala bentuk subjek yang bukan manusia.240
Terminologi organisasi menurut penulis akan lebih leluasa
diaplikasikan untuk kehidupan sosial kemasyarakatan yang semakin
kompleks di masa yang akan datang. Pada saat ini saja ada begitu banyak
jenis, nama, bentuk dan kategori organisasi. Satu organisasi bisa memiliki
banyak anak organisasi yang berdiri sendiri. Bahkan UI yang berstatus
PTN-BH yang sampai saat ini masih belum jelas bagaimana posisinya,
apakah bisa dikategorikan sebagai korporasi ataukah tidak, juga memiliki
PT. Makara Mas yang entah bagaimana posisinya dalam pengertian
korporasi. Dalam ilmu kriminologi juga yang dibahas adalah kejahatan
organisasi, atau kejahatan dalam konteks berorganisasi (organizational
crime) bukan hanya fokus pada corporate crime. Sehingga di masa yang
akan datang, di mana kehidupan bermasyarakat akan semakin kompleks dan
dinamis, penggunaan istilah yang lebih luas menurut penulis akan lebih
aplikatif dibandingkan menggunakan istilah yang sangat sepit seperti
korporasi.


239
Pieth, Ivory, op., cit., hlm. 15.
240
United States Guidelines Manual 2005, §8A1.1 menjelaskan pengertian
organisasi sebagai “a person other than an individual includes corporations, partnerships,
associations, joint-stock companies, unions, trusts, pension funds, unincorporated
organizations, governments and political subdivisions thereof, and non-profit
organizations.”

Universitas Indonesia

359

BAB V
PENUTUP

A. Simpulan

Dari penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan beberapa hal


berkaitan dengan pertanyaan penelitian yang telah diajukan sebagai berikut:

1. Korporasi sebagai subjek hukum pidana:


a. Subjek hukum yang diartikan sebagai pengemban hak dan/atau
kewajiban hukum tidak selalu dapat diparalelkan dengan subjek hukum
pidana yang adalah subjek norma atau norm-adressaat. Subjek hukum
pidana, yang biasanya dirujuk sebagai person atau orang atau setiap
orang atau barang siapa menggunakan standar “reasonable and
responsible person.” Pertanggungjawaban suatu subjek akan dikaitkan
dengan kapasitas intelektual dan kemampuannya untuk berkehendak dan
berbuat. Sebagai konsekuensi dari hal tersebut, gradasi
pertanggungjawaban pidana yang dimiliki oleh suatu subjek akan
bergantung kepada gradasi kapasitas yang dimiliki oleh subjek hukum
yang bersangkutan pada saat dia melakukan suatu perbuatan pidana.
b. Di samping manusia, saat ini hukum pidana telah menerima korporasi
sebagai subjek hukum yang dapat memiliki hak dan/atau kewajiban
hukum, dan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Kemampuan
suatu korporasi untuk dapat dipertanggungjawabkan di hadapan hukum
secara teori dikaitkan dengan kepribadian hukum (legal personality)
yang dimiliki oleh korporasi. Meskipun konsep mengenai kepribadian
hukum menjadi dasar yang penting dalam pertanggungjawaban pada
rezim hukum yang lain (seperti dalam hukum perdata), dalam
perkembangannya hukum pidana mulai menghilangkan dikotomi antara
korporasi yang berkepribadian hukum dengan organisasi yang tidak

Universitas Indonesia
360

berkepribadian hukum. Dapat dikatakan bahwa hukum pidana dalam


mengakui keberadaan suatu korporasi bukan berdasarkan keberadaannya
secara legal formal tetapi berdasarkan kenyataan keikutsertaannya di
dalam kehidupan bermasyarakat. Konsep ini sangat dekat dengan teori
kepribadian yang dikemukakan oleh aliran realis, yang menyatakan
bahwa suatu organisasi tidak dilihat keberadaannya berdasarkan syarat-
syarat formal yang ada pada organisasi tersebut, tetapi lebih kepada
keberadaan organisasi yang secara nyata ada di tengah-tengah kehidupan
bermasyarakat.
c. Istilah korporasi di Indonesia tidak mudah untuk dipahami karena dua
hal, yang pertama istilah korporasi adalah istilah yang sudah ajeg untuk
badan hukum yang telah melalui suatu proses hukum saja (berstatus
badan hukum). Sedangkan badan yang tidak berstatus sebagai badan
hukum biasanya disebut sebagai unincorporated body yang tidak dapat
dipersamakan dengan korporasi. Dengan demikian, kurang tepat
menggunakan istilah korporasi untuk merujuk kepada organisasi yang
tidak berbadan hukum. Permasalahan kedua adalah karena korporasi
didefinisikan dengan pengertian yang sangat luas sehingga korporasi
dapat juga mencakup semua bentuk organisasi tidak terkecuali korporasi
publik (negara, pemerintahan daerah dan lembaga negara), kuasi publik
dan partai politik.
2. Entitas yang diperlakukan khusus dalam pengertian korporasi:
a. Secara umum, negara dan lembaga-lembaga krusial dari fungsi
pemerintahan seharusnya mendapatkan kekebalan dari prosekusi hukum
pidana, dengan beberapa pengecualian. Untuk menjamin negara
mendapatkan pengecualian dari pengertian korporasi yang diterima
sebagai subjek hukum pidana, menurut penulis seharusnya dijelaskan
secara tegas pada KUHP. Berbeda dengan negara-negara common law,
yang memiliki doktrin tentang “precedent” yang mengikat, Indonesia
tidak memiliki sistem seperti itu, yang memungkinkan hakim
menafsirkan redaksi UU secara harfiah. Untuk itu, harus dipertegas

Universitas Indonesia
361

bahwa negara dan lembaga negara adalah dikecualikan dari pengertian


“setiap orang” yang terdapat dalam KUHP.
b. Selanjutnya mengenai kedudukan partai politik. Penulis berpendapat
bahwa partai politik memiliki peran yang penting dalam menjalankan
amanah konstitusi, yang peran tersebut tidak cukup vital untuk diberikan
imunitas pertanggungjawaban pidana. Perlindungan yang perlu diberikan
kepada partai politik adalah dari segi sanksi, yakni partai politik tidak
dapat dibubarkan secara paksa dalam mekanisme hukum pidana,
mengingat mereka memiliki kerentanan untuk dapat dikriminalisasi oleh
lawan politik terutama partai yang sedang berkuasa.
3. Implementasi pertanggungjawaban pidana korporasi:
a. Hanya sedikit peraturan perundang-undangan di Indonesia yang memuat
mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi (11 dari 88 UU
yang diteliti). Dari ke 11 UU tersebut terdapat 3 model
pertanggungjawaban pidana korporasi. Setiap model merujuk kepada
doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi yang berbeda-beda, model
kesatu menggunakan doktrin strict vicarious criminal liability, model
kedua menggunakan model qualified vicarious criminal liability, dan
model ketiga (juga model dalam RUU KUHP) menggunakan
identification doctrine. Selain model di atas, di dalam PERJA dan
PERMA memiliki model sendiri yakni mulai mengarah kepada direct
liability dengan mengadopsi beberapa doktrin pertanggungjawaban
pidana korporasi, termasuk juga kriteria dari corporate culture doctrine.
Model pertanggungjawaban pidana yang bermacam-macam ini tentu
menimbulkan kesulitan dalam penerapan pertanggunjawaban pidana
korporasi di Indonesia.
b. Dalam menyatakan suatu korporasi dapat dipertanggungjawabkan
terhadap suatu tindak pidana tidaklah harus bersandar hanya pada salah
satu doktrin saja, karena setiap doktrin memiliki kelebihan dan
kekurangan masing-masing. Untuk itu, penggabungan beberapa
kelebihan dari teori pertanggungjawaban pidana korporasi akan diperoleh
suatu keadilan (ajaran gabungan), karena mengadopsi hanya satu doktrin

Universitas Indonesia
362

saja akan memberikan pembatasan terhadap kemampuan korporasi untuk


dapat dipertanggunjawabkan secara pidana.
c. Dari analisis kasus-kasus hukum di Indonesia yang melibatkan korporasi,
hakim tampaknya mencampuradukkan subjek hukum ini dengan personel
pengendali korporasi, sehingga dalam praktik yang dilakukan penuntutan
adalah korporasi, namun yang dijatuhi sanksi ternyata personel
pengendalinya. Begitu juga sebaliknya, jika penuntutan dilakukan
terhadap korporasi, justru yang dijatuhi sanksi adalah personel
pengendali yang notabene tidak pernah ditempatkan sebagai terdakwa.
Hal ini menurut penulis tidak adil dan dapat melanggar hak asasi manusia
untuk mendapatkan proses hukum yang adil. Terjadinya pencampuran
subjek korporasi dengan subjek pengurus dalam putusan pengadilan
didorong oleh ketentuan perundang-undangan yang kurang spesifik
mengenai pertanggungjawaban dan pemidanaan yang dapat diberikan
bagi subjek korporasi dan pengurusnya (baik ketentuan materil dan
formil). Dengan demikian, perlu dibuat aturan yang lebih jelas mengenai
pemisahan pertanggungjawaban pidana korporasi dan pengurusnya,
mengenai kondisi seperti apa yang diperlukan untuk menyatakan suatu
korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dan dalam kondisi
seperti apa suatu korporasi dapat dikatakan bertanggung jawab.
Pertanggungjawaban pidana merupakan pertanggunggjawaban subjektif
atau personal liability yang berasal dari suatu perilaku jahat yang
dilakukan karena adanya kesalahan dari pelaku. Pengidentifikasian
subjek yang dapat dipertanggungjawabkan dalam suatu tindak pidana
yang melibatkan korporasi sepatutnyalah disesuaikan dengan perbuatan
atau peran dari subjek tersebut dalam terjadinya tindak pidana. Apakah
yang dapat dipertanggungjawabkan itu adalah individu di dalam
korporasi atau korporasi.
d. Hukum pidana tidak mempermasalahkan dikotomi antara subjek hukum
yang berkepribadian hukum dan mana subjek hukum yang tidak
berkepribadian hukum. Mereka diperlakukan sama di dalam hukum
pidana, yakni sama-sama dapat dipertanggungjawabkan. Di tambah lagi,

Universitas Indonesia
363

di kemudian hari bentuk organisasi akan sangat beragam, kompleks dan


tidak terdapat sekat yang jelas antara satu organisasi dengan organisasi
yang lain. Satu organisasi bisa memiliki anak dengan bentuk atau jenis
organisasi yang lain lagi. Misalnya suatu BUMN bisa punya anak dengan
bentuk yang berbagai macam. Menurut penulis, akan lebih baik
menggunakan istilah organisasi untuk merujuk kepada kelompok dengan
segala macam bentuknya, sehingga dalam mengelaborasikan
pertanggungjawaban pidana terhadap organisasi tidak terjebak dalam
perdebatan mengenai teori personalitas hukum atau tidak terkungkung
dengan istilah korporasi yang lebih sempit. Organisasi yang dapat
dipertanggungjawabkan adalah: 1) organisasi dengan karakteristik
struktur permanen, 2) keberadaannya yang independen secara waktu
(temporal independence), 3) memiliki struktur fungsional untuk
mencapai tujuan tertentu, 4) memiliki suatu sistem pengambilan
keputusan yang mapan (Corporation’s Internal Decision Structure), 5)
memiliki ukuran besar yang dapat dilihat dari besarnya skala operasi dan
banyaknya jumlah individu yang terlibat dalam kegiatan organisasi
tersebut, 6) bersifat formalitas yang berkaitan dengan tugas-tugas,
tanggung jawab, dan target serta harapan yang melekat pada setiap peran
dari individu di dalam organisasi, dan 7) bersifat kompleks yang
berkaitan dengan pembuatan keputusan, hubungan otoritas, prosedur
operasinal, dan aktifitas serta proses lainnya. Untuk memberikan
pembatasan jenis organisasi yang dapat dipertanggungjawabkan dalam
hukum pidana, penulis berpendapat agar membatasinya pada organisasi
yang terdaftar saja. Pendaftaran organisasi bergantung pada tujuan
pembentukan organisasi tersebut. Jika organisasi tersebut bertujuan
mencari keuntungan (orientasi profit) maka tunduk pada Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan. Jika organisasi
tersebut bersifat nirlaba maka organisasi tersebut tunduk pada Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, atau
bentuk organisasi lain yang diatur pendaftarannya pada Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Universitas Indonesia
364

B. Saran

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan korporasi


sebagai subjek hukum dan pertanggungjawabannya dalam hukum pidana
Indonesia, penulis menyampaikan beberapa saran sebagai berikut:

1. Istilah korporasi yang selama ini dipakai dalam beberapa Undang-Undang


khusus di Indonesia dan juga dalam RUU KHUP, merupakan pengadopsian
istilah yang kurang tepat. Di masa yang akan datang, bentuk organisasi akan
sangat beragam dan kompleks sehingga penulis berpendapat bahwa istilah
yang paling cocok digunakan untuk merujuk kepada subjek hukum kolektif
terlepas apakah memiliki personalitas hukum mandiri ataukah tidak memiliki
status sebagai subjek hukum adalah ‘organisasi’.
2. Posisi korporasi publik, perlu untuk ditegaskan dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (RUU KUHP). Negara sebagai penyelenggara kepentingan
umum secara prinsip masih dianggap imun dari prosekusi hukum pidana, di
mana penyelesaian konflik biasanya dilakukan melalui jalur adminstratif
ataupun politik. Begitu juga pemerintahan daerah, sepanjang menjalankan
fungsi administrasi pemerintahan sebagai perpanjangan tangan dari
pemerintah pusat, masih dianggap dilindungi dari pertanggungjawaban di
dalam hukum pidana. Apabila dibiarkan terbuka tanpa penjelasan mengenai
pengecualian korporasi publik dari pengertian “setiap orang”, maka akan ada
kemungkinan korporasi publik dijadikan subjek yang bisa diproses secara
pidana.
3. Partai politik merupakan organisasi yang ikut dalam pergaulan bermasyarakat
dan seharusnyalah tunduk kepada semua ketentuan hukum sehingga patut
untuk dapat bertanggung jawab secara pidana. Namun partai politik diakui
oleh UUD Negara RI Tahun 1945 sebagai organisasi yang memiliki fungsi
konstitusi yang cukup signifikan, sehingga penting untuk dilindungi dari
kemungkinan dibubarkan untuk kepentingan politik tertentu. Jadi, sanksi
berupa pembubaran secara paksa seharusnya tidak dapat diberikan kepada
partai politik dalam mekanisme hukum pidana.

Universitas Indonesia
365

4. KUHP (RUU KHUP) sebaiknya memberikan kriteria yang lebih jelas


mengenai kondisi seperti apa yang diperlukan untuk membebankan
pertanggungjawaban pidana kepada organisasi dan kriteria seperti apa yang
dapat menjadikan pengurus dapat juga dibebani pertanggungajawaban pidana.
Sangat penting untuk memberikan penjelasan mengenai actus reus dan mens
rea dari masing-masing subjek hukum pada peraturan perundang-undangan
agar aparat penegak hukum tidak mencampuradukkan ke dua subjek hukum
ini sebagai subjek hukum yang sama dan dapat dipertukarkan
(interchangeable) antara satu dengan yang lainnya. Penulis
merekomendasikan agar menggunakan modifikasi ajaran gabungan untuk
dijadikan pedoman dalam menyatakan suatu organisasi dapat
dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana:
a) Dilakukan oleh personel pengendali (directing mind) korporasi; atau
apabila perbuatan tersebut tidak dilakukan langsung oleh personel
pengendali korporasi, maka perbuatan tersebut dapat dilakukan oleh
seseorang yang bekerja untuk korporasi, baik berdasarkan hubungan
kerja formal maupun berdasarkan hubungan lainnya:
i. Dilakukan untuk memberikan manfaat bagi korporasi (benefit
the corporation); atau
ii. Dilakukan dalam rangka maksud dan tujuan korporasi
(contribute to the corporate goal); atau
iii. Dilakukan dalam rangka tugas dan wewenang pengurus (intra
vires dan scope of employment); atau
b) Disetujui atau diterima oleh korporasi (accepted by the corporation).
Persetujuan dianggap diberikan apabila korporasi tidak melakukan
pencegahan (failure to take reasonable care) atau tidak melarang
dilakukannya tindak pidana (corporate policy) atau tidak mengambil
tindakan yang cukup ketika tindak pidana tersebut terjadi (reactive
corporate fault); atau
c) Didorong atau ditoleransi oleh budaya, sistem, praktek kerja yang
secara umum diterima oleh korporasi (corporate culture).

Universitas Indonesia
366

Sedangkan pengurus dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana dalam


suatu tindak pidana yang dilakukan korporasi apabila:
a) Melakukan, turut serta melakukan, menyuruh melakukan,
menganjurkan melakukan atau membantu melakukan tindak pidana
untuk memberikan manfaat atau untuk kepentingan korporasi; atau
b) Memiliki kendali dan wewenang untuk melakukan tindakan
pencegahan tetapi tidak melakukan tindakan tersebut, dan menyadari
bahwa terdapat resiko yang cukup besar dengan pembiaran tersebut;
atau
c) Mempunyai pengetahuan akan adanya resiko yang cukup besar,
cukuplah apabila ia tahu bahwa tindak pidana tersebut dilakukan oleh
korporasi.

5. Di samping pengaturan mengenai hukum materil, pengaturan mengenai


hukum formil atau hukum acara mengenai bagaimana
mempertanggungjawabkan korporasi juga penting untuk diatur dalam RUU
KUHAP termasuk juga pengaturan mengenai hak-hak korporasi yang perlu
dilindungi ketika mereka menjadi tersangka, terdakwa, terpidana atau
menjadi korban tindak pidana.

Universitas Indonesia
367

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU
Abdurachman, A. Ensiklopedia Ekonomi Keuangan dan Perdagangan. (Inggris-
Indonesia). Jilid I. (Jakarta: Yayasan Prapancha, 1963).
Abidin, A.Z. Bunga Rampai Hukum Pidana. (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983).

Adil, Soetan K. Malikoel. Pembaharuan Hukum Perdata Kita. (Jakarta: PT.


Pembangunan, 1995).
Algra, N.E dan Gokkel, H.W. Kamus istilah Hukum Fockema Andreae Balanda –
Indonesia. Diterjemahkan dan diedit oleh Saleh Adiwinata, A. Teloeki,
dan Boerhanoeddin St. Batoeah. (Bandung: Binacipta, 1983).

Ali, Chidir. Badan Hukum. Cetakan 5. (Bandung: Penerbit Alumni, 2014).

Allen, Michael J. Text Book on Criminal Law. 4th edition. (London: Blackstone
Press Limitied, 1997).
Allison, Graham T. Essence of Decision: Explaining the Cuban Missile Crisis.
Second Edition. (New York, US: Longman, 1999).

Anwar, Yesmil dan Adang. Kriminologi. (Bandung: Refika Aditama, 2010).

Apeldoorn, L.J. van. Pengantar Ilmu Hukum. Cet. 26. (Jakarta: PT. Pradnya
Paramita, 1996).
Arcand & Pelletier. “Cognition Based Multi-Agent Architecture.” Dalam
Wooldridge, Müller dan Tambe (editor). Intelligent Agents II: Agent
Theories, Architectures, and Languages. (Germany: Springer, 1996).

Arief, Barda Nawawi. Kapita Selekta Hukum Pidana. Cet. 2. (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2010).
Atkitson, Jeff dan Schurrah, Martin. Globalizing Social Justice, The Role of Non-
Governmental Organizations in Bringing About Social Change. (New
York: Palgrave Macmillan, 2009).
Atmasasmita, Romli. Capita Selekta Kriminologi. (Bandung: Armico, 1983).

Austin, John. The province of jurisprudence determined. W. E. Rumble (editor).


(Cambridge: Cambridge University Press, 1995, reprinted 2001).

Babbie, Earl. The Practice of Social Research. (New York: Wadsworth Publishing
Company, 1998).

Universitas Indonesia
368

Bailey, Kenneth D. Methods of Social Research. Second Edition. (New York: The
Free Press, 1982).

Balkan, Joel. The Corporation. (New York: Free Press, 2004).

Bemmelen, Mr. J. M. van. Hukum Pidana 1 Hukum Pidana Meterial Bagian


Umum. Cet. 2. (Bandung: Binacipta, 1987).

Bernard Arief Sidharta, “Penelitian Hukum Normatif: Analisis Penelitian


Filosofikal dan Dogmatikal.” dalam Metode Penelitian Hukum,
Sulistyowati Irianto dan Shidarta (editor), (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2011).

Bernau, Patrick. “Decision and Punishment: Or – Hold Bankers Responsible!:


Corporate Criminal Liability from Economic Perspective,” dalam
Dominik Brodowski, et al (editors). Regulating Corporate Criminal
Liability. (Dorrecht: Springer, 2014).
Bernstein, Mark H. On Moral Considerability: An Essay On Who Morally Matters.
(Oxford, UK: Oxford University Press, 1998).

Blackwell, Amy Hackney. Essential Law Dictionary. (Illinois: Spinx Publishing,


2008).
Borkowski, Andrew. Text Book on Roman Law. Reprinted Second Ed, (London:
Blackstone Press Limited, 2001).
Brickey, Kathleen F. Corporate and White Collar Crime. 2cd Edition. (Boston:
Little, Brown and Company, 1995).

Brooks, Thom. Punishment (Oxon, UK: Routledge, 2012).

Cane, Peter. Responsibility in Law and Morality (Oxford: Hart Publishing, 2002).

Cohen, Meir Dan (1). Rights, Persons, and Organizations: A Legal Theory for
Bureaucratic Society. (Berkeley: University of California Press, 1986).
Collin, P.H. Dictionary of Law. Fourth Edition. (London, UK: Bloomsbury
Publishing Plc, 2005).
Dahl, Robert A. Pluralist Democracy in the United States: Conflict and Consent
(Chicago, US: Rand McNally, 1968).
Davies, Margaret. Asking the Law Question: the Dissolution of Legal Theory, 3rd
edition. (Sydney, Australia: Law Book Company, 2008).
Dillon, John F. The Law of Municipal Corporation. Second edition – Revised and
Enlarged. Vol. 1. (New York, US: James Cockcroft & co, 1873).

Universitas Indonesia
369

Dirdjosisworo, Soedjono. Hukum Perusahaan Mengenai Bentuk-Bentuk


Perusahaan (Badan Usaha) di Indonesia. (Bandung: Mandar Maju,
1997).
Doelder, Hans de. “Criminal Liability of Corporations – Netherlands.” Dalam
Hans de Doelder dan Klaus Tiedemann (editor). Criminal Liability of
Corporation. (The Hague: Kluwer Law Interntional, 1996).

Doig, Alan. State Crime. (Oxon, UK: Willan Publishing, 2011).


Drucker, Peter F. Concept of the Corporation. Seventh Printing. (New Brunswick,
USA: Transaction Publisher, 2008)
Duff, PW. Personality in Roman Private Law (Cambridge: Cambridge University
Press, 1938).

Duff, R.A. Answering for Crime: Responsibility and Liability in the Criminal Law,
(Oxford: Hart Publishing, 2007), hlm. 202

Edmundson, William A. “Privacy”, dalam Martin P. Golding dan William A.


Edmundson (editor), Philosophy of Law and Legal Theory. (Malden,
Massachussets, USA).

Erskine, Toni. “Making Sense of Responsibility in International Relations,” dalam


Toni Erskine (editor), Can Institutions Have Responsibility? (New York,
US: Palgrave Macmillan, 2003)

Ferdico, Fradella dan Totten. Tenth edition. Criminal Procedure: For the Criminal
Justice Professional. (USA: Wadsworth, 2009).

Finnis, John. "The Priority of Person", dalam Jeremy Horder (editor), Oxford
Essays in Jurisprudence. Forth Series (Oxford, UK: Oxford University
Press, 2002).
Fisse, Brent and John Braithwaite. Corporation, Crime and Accountability
(Cambridge, UK: Cambridge University Press, 1993).
Fisse, Brent. “Controlling Governmental Crime: Issue of Individual and Collective
Liability,” dalam Peter Grabosky and Irena Le Lievre (editor),
Government Illegality (Canberra, Australia: Australian Institute of
Criminology, 1987), hal. 122.
Fletcher, George P. (1). Basic Concepts of Criminal Law (New York: Oxford
University Press, 1998).
_________. (2). Rethinking Criminal Law (Oxford, UK: Oxford University Press,
2000).
Foisneau, Luc. "Elements of Fiction in Hobbes’s System of Philosophy" dalam
Fiction and the Frontiers of Knowledge in Europe 1500-1800. Richard
scholar dan Alexis Tradié (editor). (Inggris: Ashgate Publishing Limited,
2010).

Universitas Indonesia
370

Foster, Neil. “Individual Liability of Company Officers.” Dalam James Gobert dan
Ana-Maria Pascal (editor). European Developments in Corporate
Criminal Liability. (Oxon: Routledge, 2011).

Freeman. Llyod’s Introduction to Jurisprudence. 7th edition. (London: Sweet &


Maxwell Limited, 2004).
Friedrichs, David, O. State Crime. Volume I: Defining, Delineating and Explaining
State Crime. (Aldershot, UK: Ashgate, 1998).
Galbraith, John Kenneth. The New Industrial State. 4th edition. (Houghton
Mifflin:1971).
Garner, Bryan A. (editor in Chief). Black’s Law Dictionary, Ninth Edition. (USA:
Thomson Reuter, 2009).

Garret, Brandon L. (1) Too Big Too Jail: How Prosecutors Compromise with
Corporations. (London, England: The Belknap Press of Harvard
University Press, 2014).
Gierke, Otto. Von. Political Theories of the Middle Age. F. W. Maitland (editor).
(Cambridge: Cambridge University Press, 1900).
Gobert, James dan Ana-Maria Pascal (editor), European Developments in
Corporate Criminal Liability, (Oxon: Routledge, 2011)

Gobert, James. “Squaring the Circle: the Relationship between Individual and
Organizational Fault,” dalam James Gobert dan Ana-Maria Pascal
(editor), European Developments in Corporate Criminal Liability, (Oxon:
Routledge, 2011).

Gobert, James dan Maurice Punch. Rethinking Corporate Crime. (London, UK:
Butterworths, 2003).

Green, Penny dan Tony Ward. State Crime: Governments, Violence and
Corruption. (London, UK: Pluto Press, 2004).

Haar, B., Bzn, Ter. Asas-asas dan Susunan Hukum Adat. Cet ke-7. Terjemahan
K.ng. Soebakti Poesponoto (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983).
Hamzah, Andi. Hukum Pidana Ekonomi. Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit Erlangga,
1986.
Harahap, Yahya. Hukum Perseroan Terbatas. Cetakan ke tiga. (Jakarta: Sinar
Grafika, 2011).
Harding, Christopher. Criminal Enterprise: Individuals, Organisations And
Criminal Responsibility. (Willian Publishing. 2007).

Harkrisnowo, Harkristuti. “Penelitian Hukum Pidana dan Sistem Peradilan


Pidana,” dalam Jufrina Rizal dan Suhariyono AR (editor). Demi Keadilan:

Universitas Indonesia
371

Ontologi Hukum Pidana dan Sistem Peradilan Pidana - Enam Dasawarsa


Harkristuti Harkrisnowo. (Jakarta: Pustaka Kemang, 2016).

Harris, Ron (2). Industrializing English Law: Enterpreneurship and Business


Organizations, 1720 – 1844 (Cambrige, UK: Cambrige University Press,
2000).

Hart, H.L.A. (1) Definition and Theory in Jurisprudence. (Oxford: Clarendon


Press, 1953).

_________. (2), The Concept of Law,” Second Edition, Postscript diedit oleh
Penelope A. Bulloch dan Joseph Raz, (Oxford: Clarendon Press, 1994).
_________. (3) dengan suatu introduksi oleh John Gardner, Punishment and
Responsibility: Essays in the Philosophy of Law, Second edition, (Oxford:
Oxford University Press, 2008).
Hartley, Richard D. Corporate Crime, (California, US: ABC-CLIO, Inc, 2008).

Hessen, Robert. In Defense of the Corporation. Second Printing. (California, US:


Hoover Institution Press, 1979).

Hiariej, Eddy O.S. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. (Yogyakarta: Cahaya Atma


Pustaka, 2014).

Hooft, Visser ‘t. Filosofie van de Rechtswetenschap. Diterjemahkan oleh B. Arief


Sidharta. (Bandung, Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas
Katolik Parahyangan, 2009).
Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. (Surabaya:
Bayumedia Publishing, 2005).
Indrati S, Maria Farida. Ilmu Perundang-Undangan (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 2007).

Jefferson, Michael. Criminal Law, 8th edition, (England: Pearson Longman, 2007).

Joyce, Peter. Criminal Justice: An Introduction to Crime and the Criminal Justice
System, (Devon, UK: Willan Publishing, 2006)
Kansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. (Jakarta: Balai
Pustaka, 1989).
Keeton, George W. The Elementary Principles of Jurisprudence, (London, UK:
Pitman & Sons, 1949).
Kelsen, Hans. (1). General Theory of Law and State. 6th printing. Diterjemahkan
oleh Anders Wedberg, (New Jersey: The Lawbook Exchange Ltd, 2003).

_________. (2). Pure Theory of Law. second revised and enlarge edition.
diterjemahkan oleh Max Knight (Berkeley: University of California Press,
1967).

Universitas Indonesia
372

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia.


Kamus versi online / daring (dalam jaringan), http://kbbi.web.id.

Kertanegara, Satochid. Hukum Pidana: Kumpulan Kuliah, Bagian Satu, (Balai


Lektur Mahasiswa).

Keulen, B.F. dan Gritter, E. Corporate Criminal Liability in the Netherlands.


(Netherlands: Springer, 2011).
Kreuger & Neuman. Social Work Research Methods with Research Navigator.
(Boston: Person Allyn & Bacon, 2006).

Kristian. Hukum Pidana Korporasi: Kebijakan Integral (Integral Policy)


Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia
(Bandung: Nuansa Aulia, 2014).

Kummeling, Henk R.B.M. dan Ton P.W. Duijkersloot. “Agencies and the
Netherlands.” dalam Luc Verhey dan Tom Zwart (editor). Agencies in
European and Comparative Perspective. (Antwerp, Belgium: Intersentia,
2003).
Kusumaatmadja, Mochtar dan B. Arief Sidharta. Pengantar Ilmu Hukum, Suatu
Pengenalan Pertama Ruang lingkup Berlakunya Ilmu hukum. Buku I.
(Bandung: Alumni, 2000).

Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Cetakan ke 6. (Bandung: PT.


Citra Aditya Bakti, 2011).

Lee, Matthew T. dan Jeannine A. Gailey. “Attributing Responsibility for


Organizational Wrongdoing.” Dalam Hendry N. Pontell dan Gilbert Geis
(editor). International Handbook of White-Collar and Corporate Crime.
(New York, USA: Springer, 2007).

Lin, Keith Abney Patrick dan George A. Bekey, Robot Ethics: The Ethical and
Social Implications of Robotics (London: The MIT Press 2012).

Maitland, Frederic William (2). H.A.L Fisher (editor). The Collective Papers of
Frederic William Maitland, (Cambridge, UK: The University Press,
1911).
Maitland, Frederic William (3). State, Trust and Corporation. David Runciman
dan Manus Ryan (editor). (Cambridge, UK: Cambridge University Press,
2003).
McAuley, John. Joanne Duberley and Phil Johnson. Organization Theory:
Challenges and Perspectives. (England: Pearson Education, 2007).

McConnell, Grant. Private Power and American Democracy. (New York, US:
Knopf, 1966).

Universitas Indonesia
373

Michalowski, Reymond J. dan Ronald C. Kramer. “State – Corporate Crime and


Criminological Inquiry.” Dalam Hendry N. Pontell dan Gilbert Geis
(editor). International Handbook of White-Collar and Corporate Crime.
(New York, USA: Springer, 2007).

Miles, Jeffrey A. Management and Organization Theory: Jossey – Bass Reader.


(San Francisco: John Wiley & Sons, 2012).

Minkes, John, dan Leonard Minkes. (editor). Corporate and White Collar Crime.
(Los Angeles, USA: Sage, 2008).

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, cetakan ke-lima, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,
1993.

Molan, Mike. Denis Lanser dan Duncan Bloy, Bloy and Parry’s Criminal Law.
Fourth Edition, (London: Cavendish Publishing Limited, 2000)
Muladi dan Diah Sulistyani. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. (Corporate
Criminal Responsibility).” Edisi ke-2. Cetakan ke-1. (Bandung: Alumni,
2015).

Muladi dan Dwidja Priyatno. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Edisi


Ketiga. Cetakan ke-5. (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015).

Munzer, Stephen R. “Theory of Property”, dalam Martin P. Golding dan William


A. Edmundson (editor), The Blackwell Guide to Philosophy of Law and
Legal Theory (USA: Blackwell Publishing, 2005).

Nace, Ted. Gangs of America: The Rise of Corporate Power and the Disabling of
Democracy. (San Francisco, US: Berrett – Koehler Publisher, Inc, 2005).
Naffine, Ngaire (2). Legal Theory Today, Law’s Meaning of Life: Philosophy,
Religion, Darwin and the Legal Person. (Portland: Hart Publishing,
2009).

Nanda, Ved P. “Corporate Criminal Liability in the United States: Is a New


Approach Warranted?” Dalam Mark Pieth and Radha Ivory (editor).
Corporate Criminal Liability: Emergence, Convergence and Risk.
(London: Springer, 2011).

Nekam, Alexander. The Personality Conception of the Legal Entity (Cambridge


Mass: Harvard University Press, 1983).
Neubauer, David W. America’s Courts and the Criminal Justice System, Ninth
edition, (USA: Thomson Wadsworth, 2008).
Norrie, Alan. Punishment, Responsibility and Justice: A Relational Critique.
Reprinted. (Oxford: Oxford University Press, 2004).

Universitas Indonesia
374

Ohlin, Jens David. “Is the Concept of the Person Necessary for Human Rights?” dalam
Fluer Johns (editor). International Legal Personality (England: Ashgate
Publishing Limited, 2010).

Pachta, W., Andjar, Myra Rosana Bachtiar, dan Nadia Maulisa Benemay. Hukum
Koperasi Indonesia. Cetakan ke-3. (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2008).
Parsons, Talcontt. Structure and Process in Modern Societies (The Free Press,
1960).
Parsons, Talcott Dan Robert F. Bales, Family, Socialization And Interaction
Process (The Free Press. 1955).
Pascal, Ana – Maria. “A Legal Person’s Conscience: Philosophical Underpinnings
of Corporate Criminal Liability.” Dalam James Gobert dan Ana-Maria
Pascal (editor). European Developments in Corporate Criminal Liability.
(Oxon: Routledge, 2011).

Pieth, Mark dan Ivory, Radha. “Emergence and Convergence: Corporate Criminal
Liability Principles in Overview.” Dalam Mark Pieth and Radha Ivory
(editor). Corporate Criminal Liability: Emergence, Convergence and
Risk, Mark Pieth and Radha Ivory (editor). (London: Springer, 2011).
Pinto and Evans. Corporate Criminal Liability. (London: Sweet & Maxwell,
2003).
Post, Preston dan Sachs. Redefining the Corporation (Standford: Standford
University Press, 2002).
Pound, Roscoe. An Introduction to the Philosophy of Law. Fourth printing. (New
Haven, Connecticut, USA: Yale University Press, 1930).
Purwositjipto, HMN. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia: Bentuk-Bentuk
Perusahaan. (Jakarta: Djambatan: 1987).

Puspa, Yan Pramadya. Kamus Hukum. (Semarang: CV Aneka, 1977).

Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. (Bandung: Alumni, 1986).

Reksodiputro, Mardjono (2). Menyelaraskan Pembaruan Hukum, (Jakarta: Komisi


Hukum Nasional RI, 2009).

Ridho, Ali. Badan Hukum, dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan,


Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf. Edisi Pertama. Cetakan Ke-3.
(Bandung: PT. Alumni, 2012)

Universitas Indonesia
375

Roef, David. Strafbare Overheden: Een Rechtsvergelijke Studie naar de


Strafrechtelijke aansprakelijkheid van Overheden voor Milieuverstoring
(summary in English). (Groningen, the Netherlands: 2001).

Runciman, David dan Ryan, David. “Editor’s Introduction”, Maitland, State, Trust
and Corporation. (Cambrige, UK: Cambridge University Press, 2003).
Salmond, John. Jurisprudence. Glanville L. Williams (editor). 10th edition
(London: Sweet & Maxwell, 1947).
Salter dan Mason. Writing Law Dissertations: An Introduction and Guide to the
Conduct of Legal Research. (London: Pearson Education Limited, 2007).
Santha, Ferenc dan Szilvia Dobroesi. “Corporate Criminal Liability in Hungary.”
dalam buku Mark Pieth, Radha Ivory (editors). Corporate Criminal
Liability: Emergence, Convergence and Risk. (London: Springer, 2011).

Sarre, Rick. (1). “Penalising Corporate ‘culture’: The Key to Safer Corporate
Activity?” dalam James Gobert dan Ana-Maria Pascal (editor), European
Developments in Corporate Criminal Liability, (Oxon: Routledge, 2011).

_________. (2). “White-Collar Crime and Prosecution.” Dalam Hendry N. Pontell


dan Gilbert Geis (editor), International Handbook of White-Collar and
Corporate Crime. (New York, USA: Springer, 2007).
Scalia, Antonin dan Bryan A. Garner. Reading Law: The Interpretation of Legal
Texts. (United States of America: Thomas/West, 2012).
Scheb, John M. and Scheb II, John M. Criminal Law. 6th edition. (USA:
Wadsworth Cengage Learning, 2012).
Seddon, Nicholas. Government Contracts: Federal, State and Local. Fourth
Edition. (Australia: The Federation Press, 2009).

Setiyono. Kejahatan Korporasi. Cet. Ke-3. Malang: Bayumedia Publishing, 2005.

Simanjuntak, P.N.H. Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia. (Jakarta:


Djambatan, 2009).

Sidharta. “Heurestika dan Hermeneutika: Penalaran Hukum Pidana,” dalam Jufrina


Rizal dan Suhariyono AR (editor). Demi Keadilan: Ontologi Hukum Pidana
dan Sistem Peradilan Pidana - Enam Dasawarsa Harkristuti Harkrisnowo.
(Jakarta: Pustaka Kemang, 2016).

Sidharta, B. Arief. Ilmu Hukum Indonesia: Upaya Pengembangan Ilmu Hukum


Sistematik yang Responsif terhadap Perubahan Masyarakat. (Bandung:
UNPAR Press, 2016).

Simpson, Sally S. Corporate Crime, Law, and Social Control. (Cambridge:

Universitas Indonesia
376

Cambridge University Press, 2005).

Singer, Richard G. dan John Q. La Fond. Criminal Law. Fourth Edition. (New
York: 2007).
Sinha, Surya Prakash. Jurisprudence: Legal Philosophy. (United States: West
Publising Co, 1993).
Sjahdeini, Sutan Remy (1). Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Cet. 2.
(Jakarta: Grafiti Pers, 2007)

_________ (2). Ajaran Pemidanaan: Tindak Pidana Korporasi & Seluk Beluknya.
Edisi Kedua. (Jakarta: Kencana, 2017).

Smith, Patricia. “Four Themes in Feminist Legal Theory”, dalam Martin P.


Golding dan William A. Edmundson (editor). Philosophy of Law and
Legal Theory (Malden, USA: Blackwell Publishing, 2005).

Soekanto, Soerjono dan Mamuji, Sri. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat. (Jakarta: CV. Rajawali, 1986)

Subekti dan R. Tjitrosudibi. Kamus Hukum. (Jakarta Pradnya Paramita, 1979).


Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Cetakan XXVIII. (Jakarta: Intermasa,
1996).
Suhariyono AR. Pembaruan Pidana Denda di Indonesia: Pidana Denda sebagai
Sanksi Alternatif. (Jakarta: Papas Sinar Sinanti, 2012).

Sujatmoko, Andrey. Tanggung Jawab Negara Atas Pelanggaran Berat HAM.


(Jakarta: Grasindo, 2005).

Syahrani, Riduan. Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata. Edisi ketiga.


(Bandung: PT. Alumni, 2006).

Tjitrowinoto, Soebijono. Hukum di Indonesia. (Malang: Rahma Kongsi, 1953).

Tomasic, Roman. Et al. Corporations Law in Australia. Second Edition. (Sydney,


Australia: The Federation Press, 2002).

Truitt, Wesley B. The Corporation. (Westport, Connecticut: Greenwood Press,


2006).
Tur, Richard. "The Person in Law" dalam Arthur Peacocked dan Grant Gillett
(editor), Persons and Personality: a Contemporary Inquiry. (Oxford:
Basil Blackwell, 1987).
Unger, Roberto Mangabeira. Knowledge & Politics (New York, USA: The Free
Press, 1976).

Utrecht, Mr. Drs. E. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, (Surabaya: Pustaka
Tinta Mas, 2000),

Universitas Indonesia
377

Weber, Max. The Theory of Social and Economic Organization. Diterjemahkan


oleh A.M. Henderson dan Talcott Parsons (The Free Press: 1947).
Wells, Celia dan Oliver Quick. Lacey, Wells and Quick: Reconstructing Criminal
Law. Fourth Edition. (Cambridge: Cambrige University Press. 2010.

Wells, Celia (1). “Corporate Criminal Liability in England and Wales: Past,
Present and Present.” Dalam Corporate Criminal Liability: Emergence,
Convergence and Risk. Mark Pieth and Radha Ivory (editor). (London:
Springer, 2011).

Wells, Celia (2). Corporations and Criminal Responsibility. 2cd edition. (New
York: Oxford Univerisy Press, 2001).
Weygandt, Jerry J. et al. Accounting Principles. Twelfth Edition. (Asia: John
Wiley & Sons Asia, 2010).
Whittington, Richard dan Mayer, Michael. The European Corporation: Strategy,
Structure, and Social Science. (Oxford: Oxford University Press, 2002).

Wignjosoebroto, Soetandyo. “Ragam-ragam Penelitian Hukum”, dalam Metode


Penelitian Hukum, Sulistyowati Irianto dan Shidarta (editor). (Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011).

Wingerde, Karin Van. Gerben Smid, “The Netherlands’ Approach to Negotiated


Settlements for Corruption Offences,” dalam A.O Makinwa (editor),
Negotiated Settlements for Corruption Offences: A European Perspective.
(Netherlands: Eleven International Publishing, 2015)

Wingnyodipuro, Surojo. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. (Jakarta: Gunung


Agung, 1982).

Wood, Linda Picard, et al. Merriam-Webster’s Dictionary of Law. (Massachusetts,


USA: Merriam-Webster Inc., 1996).

Yeager, Peter Cleary. “Understanding Corporate Lawbreaking: From Profit


Seeking to Law Finding.” Dalam Hendry N. Pontell dan Gilbert Geis
(editor). International Handbook of White-Collar and Corporate Crime.
(New York, USA: Springer, 2007).

B. ARTIKEl, JURNAL DAN KARYA ILMIAH

American Law Institute, Model Penal Code, 1981.

Antara News.com, “Pakar: Korporasi Terlibat Kasus Gayus Dapat Dipidana,”


http://www.antaranews.com/print/1292501410, diakses 21 Februari
2013

Universitas Indonesia
378

Asaro, Peter M. “Robots and Responsibility from a Legal Perspective.”


Working Paper University of Umea Sweden, 2007.

Australian Attorney – General’s Department, “Improving Enforcement


Options for Serious Corporate Crime: Consideration of a Deferred
Prosecution Agreements Scheme in Australia,” Public Consultation
Paper, March 2016
Beale, Sara Sun and Safwat, Adam G. “What Developments in Western
Europe Tell Us about American Critiques of Corporate Criminal
Liability.” Buffalo Criminal Law Review. Vol. 8. No. 1. April, 2004.
89-163.

Beale, Sara Sun. “The Development and Evaluation of the U.S. Law of
Corporate Criminal Liability and the Yates Memo.” Stetson Law
Review. Vol. 46. 2016.

Bildfell, Connor “Justice Deferred? Why and How Canada Should Embrace
Deferred Prosecution Agreements in Corporate Criminal Cases,”
Canadian Criminal Law Review. Vol. 20. March 2016. 161-207.
Blair, Margaret M. “Corporate Personhood and the Corporate Persona.”
University of Illinois Law Review. No. 3. 2013. 785.
Bovens, Mark. “Analysing and Assessing Accountability: A Conceptual
Framework.” European Law Journal. Vol. 13. No. 4. July 2007. 447-
468.
Boyle, Becky. “Free Tilly?: Legal Personhood For Animals And The
Intersectionality Of The Civil & Animal Rights Movements.” Indiana
Journal Of Law And Social Equality. Vol. 4. Issue 2. 2016.

Boyle, James. '“The Postmodern Subject in Legal Theory.” University of


Colorado Law Review. 62. 1991. 489-524.
Brucker, William G. dan James E. Rebele. “Fraud at a Public Authority.”
Journal of Accounting Education. Vol. 28. Issue 1. March 2010. 26-
37.
Cavanagh, Neil. “Corporate Criminal Liability: An Assessment of the Models
of Fault,” The Journal of Criminal Law. 75. 2011. 414-440.

Chiesa, Luis E. “Of Persons and the Criminal Law: (Second Tier) Personhood
as a Prerequisite for Victimhood.” Pace Law Review. Vol. 28. 2008.
759.

Chopra, Samir and Laurence White. “Artificial Agents-Personhood in Law


and Philosophy.” ECAI. Vol. 16. 2004.

Clough, Jonathan. “Punishing the Parent: Corporate Criminal Complicity in


Human Rights Abuses.” Brooklyn Journal of International Law. Vol.
33: 3. 2008.

Universitas Indonesia
379

Cohen, Meir Dan (2). "Epilogue on Corporate Personhood and Humanity,"


New Criminal Law Review, Vol. 16. Issue 2. Spring 2013. 300-308.
Cohen, Meir Dan (3). "Between Selves and Collectivities: Toward a
Jurisprudence of Identity." University of Chicago Law Review. Vol.
61. Issue 4. Fall 1994. 1213-1244.
Cornell University Law School, “Corporations”, Legal Information Institute,
bisa diakses di https://www.law.cornell.edu/wex/corporations
Dawson, John. “The Changing Legal Status of Mentally Disabled People.”
Journal of Law and Medicine. 2. 1994.

Davies, Alex. Corporate Manslaughter and Corporate Homicide Act: Special


Report (Cambridge: Workplace Law Group, 2008).

Deiser, George F. "The Juristic Person. I". University of Pennsylvania Law


Review and American Law Register. 48 New Series 3. 1908. 131–
142.
Departemen Hukum dan HAM. Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Nasional. Jakarta. 2015.
Dervan, Lucian E. “Corporate Criminal Liability, Moral Culpability, and the
Yates Memo.” Stetson Law Review. Vol. 26. 2016.

Dewey, John. “The Historic Background of Corporate Legal Personality.” The


Yale Law Journal. Vol. 35. No. 6. April 1926.
Dewi, Yetty Komalasari. "Pemikiran Baru Tentang Persekutuan Komanditer
(CV): Studi Perbandingan KUHD dan WvK serta Putusan-Putusan
Pengadilan di Indonesia dan Belanda." Disertasi Doktor Universitas
Indonesia. 2011.
Diskant, Edward B. "Comparative Corporate Criminal Liability: Exploring the
Uniqely American Doctrine Through Comparative Criminal
Procedure." The Yale Law Journal. Vol. 118. No. 1. Oktober, 2008.
126-176.
Doyle, Charles. “Corporate Criminal Liability: An Overview of Federal Law.”
Congressional Research Service (CRS) Report. 7 – 5700. October,
2013.

Ducor, Philippe. “The Legal Status of Human Materials.” Drake Law Review.
44 (3) 1996. 195-259.

Dutch Ministerie van Veiligheid en Justitie, “Criminaliteit en


rechtshandhaving 2011: Ontwikkelingen en samenhangen,” Justitie in
statistiek. 2012.
Dyschkant, Alexis. “Legal Personhood: How we are Getting it Wrong,”
University of Illinois Law Review, Vol. 5. 2015.

Universitas Indonesia
380

Foster, Nicholas H. D. “Company Law Theory in Comparative Perspective:


England and France.” The American Journal of Comparative Law.
Vol. 48. No. 4. Autumn. 2000. 573-621.
Francione, Gary. “Animal Rights Theory and Utilitarianism: Relative
Normative Guidance.” Animal Law Journal. 75. 1997.
Francisco, Andrade. et al. "Contracting Agents: Legal Personality and
Representation." Artificial Intelligence and Law. Vol. 15. No. 4.
2007. 357-373.
French, Peter A. “The Corporation as a Moral Person.” American
Philosophical Quarterly. Vol. 16. No. 3. 1979. 207-215.

Garrett, Brandon L. (2) “The Constitutional Standing of Corporations.”


University of Pennsylvania Law Review. Vol. 163. 2014. 95.

Garrett, Brandon L. (3) “The Corporate Criminal as Scapegoat.” Virginia Law


Review. Vol. 101. 2015.

Geldart, W.M. “The Status of Trade Unions in England.” Harvard Law


Review. Vol. 25. No. 7. May, 1912. 579-601.
Gilbert, Geoff. “The Criminal Responsibility of State.” International and
Comparative Law Quarterly. Vol. 39. No. 2. April 1990. 345-369.

Gower, L.C.B. “Some Contrast Between British and American Corporation


Law.” Harvard Law Review. Vol. 69. No. 8 (Jun, 1956). 1369-1402.
Graaf, K.J. de dan J.H. Jans. “Liability of Public Authorities in Cases of Non-
Enforcement of Environmental Standards.” Pace Environmental Law
Review. Vol. 24. Issue 2. Summer 2007. Article 3. 377-398.

Greenberg, Joshua D. dan Ellen C. Brotman. "Strict Vicarious Criminal


Liability for Corporations and Corporate Executives: Stretching the
Boundaries of Criminalization." American Criminal Law Review. 51.
2014.

Grossman, Sanford J. dan Hart, Oliver D. “The Cost and Benefit of


Ownership: A Theory of Vertical and Lateral Integration.” Journal of
Political Economy. 94 (4). 691 -719.
Gupta, Rani. “Privatization v. The Public’s Right to Know.” The Reporters
Committee for Freedom of the Press. Summer 2007.
Hager, Mark M. "Bodies Politic: The Progressive History of Organizational
Real Entity Theory." University of Pittsburgh Law Review. 50. 1988.
575.
Harris, Ron (1). “The Transplantation of the Legal Discourse on Corporate
Personality Theories: From German Codification to British Political
Pluralism and American Big Business.“ Washington and Lee Law
Review. Vol. 63. No. 4. 2006. 1421-1478.

Universitas Indonesia
381

Harvard Law Review's Note. “What We Talk about When We Talk about
Persons: The Language of a Legal Fiction.” Harvard Law Review.
Vol. 114. No. 6. 2001. 1745-178.

Henning, Peter J. “Corporate Criminal Liability and the Potential for


Rehabilitation.” American Criminal Law Review. 2009. 1417.
Huijsmans, Renee dan Gerrit van Maaner. “Supervisors’ Liability: The Dutch
Fireworks Case: A Comparative Study between the Netherlands, The
the United Kingdom and Germany on State Liability in Case of
Failure of Supervision.” Maastricht Journal of European and
Comparative Law. Vol. 16. Issue 4. 2009.
Iwai, Katsuhito. ”Persons, Things and Corporations: The Corporate
Personality Controversy and Comparative Corporate Governance.”
The American Journal of Comparative Law. Vol. 47. No. 4. Autumn.
1999. 583-632.
Iwan Sutiawan (reporter), Tian Arief (editor), “Al-Jamaah Al-Islamiyah
Dinyatakan Sebagai Korporasi Terlarang,” Gatra News, Selasa, 08
September 2015, http://www.gatra.com/hukum/164067-jaksa-
eksekusi-al-jamaah-al-islamiyah-sebagai-korporasi-terlarang, diakses
11 November 2015.
Jastrebov, Oleg dan Albina Batjaeva. “On the Issue of Recognazing a State as
a Legal Entity: Past and Present.” World Applied Sciences Journal.
30 (5). 2014. 612-616.
Jethro W Brown, “Personality of the Corporation and the State,” The Law
Quarterly Review,21, No. 365 (1905), 376. Dicetak ulang pada
Journal of Institutional Economics. Vol. 4. Issue 2. August 2008.
255-273.

Joh, Elizabeth E. dan Joo, Thomas W. “The Corporation As Snitch: The New
DOJ Guidelines on Prosecuting White Collar Crime.” Virginia Law
Review. Vol. 101. 2015.

Kader, David. "Law of Tortious Prenatal Death Since Roe v. Wade." Missouri
Law Review. Vol 45. Issue 4. 1980.
Katz, Richard J. “Origins of Animal Law: Three Perspectives.” Animal Law.
Vol. 10: 1. 2004.
Keiler, Johannes. “Actus Reus and Participation in European Criminal Law.”
Disertasi Maastricht University. 2013.

Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi,


"Kelembagaan." Dapat diakses pada
www.menpan.go.id/kelembagaan

Universitas Indonesia
382

Keulen, B.F. & Gritter, E. "Corporate Criminal Liability in the Netherlands,


Netherlands Comparative Law Association." Electronic Journal of
Comparative Law. Vol. 14.3. Desember 2010. 1-12.

Khanna, V.S. "Corporate Criminal Liability: What Purpose Does It Serve?,"


Harvard Law Review. Vol. 109. No. 7. 1996. 1477-1534.
Klabbers, Jan. "Legal Personality: The Concept of Legal Personality." Ius
Gentium 11. 2005. 35-79.
Knauer, Nancy. “Defining Capacity: Balancing the Competing Interest of
Autonomy and Need.” Temple Political & Civil Rights Law Review.
Vol. 12. 2002.
Koessler, Maximilian. “The Person in Imagination or Persona Ficta of The
Corporation.“ Louisiana Law Review. Vol. 9. No. 4. May 1949. 435-
449.

Kribbe, Hans “Corporate Personality: A Political Theory of Association,”


(Disertasi Doktor London School of Economics and Political Science,
Inggris, 2014).

Lange, Roel De. “Political and Criminal Responsibility.” Electronic Journal of


Comparative Law. Vol. 6. No. 4. 2002. 305-325.
Laski, Harold J. “The Personality of Associations.” Harvard Law Review. Vol.
29. No. 4. 1916. 404-426.
Lawson, FH. “The Creative Use of Legal Concepts.” New York University
Law Review. 32. 1957.
Lederman, Eli (1). "Models for Imposing Corporate Criminal Liability: From
Adaptation and Imitation Toward Aggregation and the Search for
Self-Identity." Buffallo Criminal Law Review. Vol. 4. No. 1. April
2000. 641-708.
_________ (2). “Corporate Criminal Liability: The Second Generation,”
Stetson Law Review. 46. 2016.

Levi, Michael dan Alaster Smith, “A Comparative Analysis of Organised


Crime Conspiracy Legislation and Practice and Their Relevance to
England and Wales,” England Home Office Online Report 07/02.
Desember 2002.
Liauw, Hindra. "Susno: Robert Tantular Nyaris Kabur ke Singapura."
Kompas. (20 Januari 2010). Diakses 14 November 2012.
Lobato, John dan Jeffrey Thedore. “Federal Sovereign Immunity.” Harvard
Law School Federal Budget Policy Seminar. Briefing Paper No. 21.
2006.

Universitas Indonesia
383

Lugosi, Charles I. “Conforming to the Rule of Law: When Person and Human
Being Finally Mean the Same Thing in Fourteenth Amendment
Jurisprudence.” Issues in Law and Medicine. No. 22. 2006. 119-303.
Luna, Erik. “Curious Case of Corporate Criminality.” American Criminal Law
Review. Vol. 46. 2009. 1507.

Maassarani, Tarek F. “Four Counts of Corporate Complicity.” International


Law and Politics. Vol. 38:39. November 2006.
Machen, Arthur W. Jr. “Corporate Personality.” Harvard Law Review. Vol.
24. No. 4. Feb., 1911. 253-267.
Maddux, Emma A. "Comment: Time To Stand: Exploring The Past, Present,
And Future Of Nonhuman Animal Standing." Wake Forest Law
Review. No. 47. Winter 2012.

Maglie, Chistina de. “Models of Corporate Criminal Liablity in Comparative


Law.” Washington University Global Studies Law Review. Vol. 4.
Issue 3. 2005. 547-566.

Maitland, Frederic William (1). “Moral Personality and Legal Personality”,


Journal of the Society of Comparative Legislation. New Series. Vol.
6. No. 2 (1905).
Mark, Gregory A. “The Personification of the Business Corporation in
American Law.” University of Chicago Law Review. Vol. 54. Issue 4.
1987.
Matambanadzo, Sarudzayi M. (1). “Embodying Vulnerability: A Feminist
Theory of the Person.” Duke Journal of Gender Law & Policy. 20.
2012.

Matambanadzo, Sarudzayi M. (2). “The Body, Incorporated.” Tulane Law


Review. Vol 87. 1. 2013.

McCarthy and Patrick J. Hayes. “Some philosophical problems from the


standpoint of artificial intelligence.” Readings in artificial
intelligence. 1969. 431-450.
Millon, David, K, “The Theories of the Corporations”, Duke Law Journal,
No. 2, 1990, 201-263, hlm. 203.
Muladi. "Standar Pembubaran Ormas Anarkis". Kompas.com. (17 Februari
2011), diakses 14 November 2012.
Murphy, Jeffrie G. “Does Kant Have a Theory of Punishment.” Columbia Law
Review. April. 1987.
Naffine, Ngaire (1). “Who are Law’s Persons? From Cheshire Cats to
Respobsible Cats to Responsible Subjects.” Modern Law Review.
Vol. 66. No. 3. 2003.
Nana, Constantine Ntsanyu. "Corporate Criminal Liability in the United
Kingdom: Determining the Appropriate Mechanism of Imputation."
Dissertation. Aberdeen: Robert Gordon University. 2009.

Universitas Indonesia
384

Neagu, Norel. “The Ne Bis in Idem Principle in the Interpretation of European


Courts: Towards Uniform Interpretation.“ Leiden Journal of
International Law. Volume 25. Issue 04. 2012.

Nijman, Janne E. Non-State Actors and the International Rule of Law:


Revisiting the ‘Realist Theory’ of International Legal Personality.”
Amsterdam University Research Paper Series, 2010.
Nurhadi, Bambang. "Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Penerapan
Undang-Undang Kepailitan di Indonesia." Disertasi Doktor
Universitas Padjajaran. Bandung. 2009.

Orland, Leonardo and Chacera, Charles. "Corporate Crime and Punishment in


French: Criminal Responsibility of Legal Entities under the New
French Criminal Code." Connecticut Journal of International Law.
Vol. 11. 1995. 114-117.
Paasivirta, Esa. “The European Union: From an Aggregate of States to a Legal
Person.” Hofstra Law and Policy Symposium. Vol. 37. 2. 1997.
Paulsen, Michael Stokes. “The Plausibility of Personhood.” Ohio State Law
Journal. No. 74. 2012. 13-73.
Phillips, Michael J. “Reappraising the Real Entity Theory of The
Corporation." Florida State University Law Review. No. 21. 1994.
Pons, Brendan (Bo) F. “The Law and Philosophy of Personhood: Where
Should South Dakota Abortion Law Go From Here?” South Dakota
Law Review. 2013.
Priyatno, Dwidja. "Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggunjawaban
Pidana Korporasi di Indonesia," Disertasi Doktor Universitas
Padjajaran. Bandung. 2004.
Pugh, George W. “Historical Approach to the Doctrine of Sovereign
Immunity.” Louisiana Law Review. Vol. 13. 1953. 476-494.

Ramasastry, Anita dan Robert C. Thompson, “Commerce, Crime and


Conflict: Legal Remedies for Private Sector Liability for Grave
Breaches of International Law, A Survey of Sixteen Countries,” Fafo
– Report 536, 2006
Reilly, Peter. “Justice Deferred is Justice Denied: We Must End Our Failed
Experiment in Deferring Corporate Criminal Prosecutions.” Brigham
Young University Law Review. Vol. 2015. Issue 2. 307.

Reksodiputro, Mardjono (1). “Kejahatan Korporasi: Suatu Fenomena Dalam


Bentuk Baru.” Jurnal Hukum Internasional. Vol. 1. No. 4. 2004. 693-
708.

Rozie, Fachrur. “3 Parpol Disebut dalam Dakwaan Terima Aliran Dana Kasus
E-KTP.” http://news.liputan6.com/read/2880662/3-parpol-disebut-dalam-

Universitas Indonesia
385

dakwaan-terima-aliran-dana-kasus-e-ktp. Dikases 20 Maret 2017.

Ruhayati. "Perlindungan Hukum terhadap Korban Tindak Pidana yang


Dilakukan oleh Korporasi." Disertasi Doktor Universitas Indonesia.
2003.
Ryu dan Silving. “Error Juris: A Comparative Study.” The University of
Chicago Law Review. Vol. 24. No. 3. 1957.

Saulean, Daniel dan Epure, Carmen. “Defining the Nonprofit Sector,”


Working Papers of The Johns Hopkins Comparative Nonprofit Sector
Project No. 32, diedit oleh Lester M. Salamon dan Helmut K.
Anheier. (Baltimore: The John Hopkins Institute for Policy Studies,
1998).

Schirott, James R. dan Sherry K. Drew. “The Vicarious Liability of Public


Officials Under the Civil Rights Act.” Akron Law Review. 2015. Vol.
8. Issue 1.

Scottish Law Commission, "Unincorporated Associations." Discussion Paper


No. 140. Desember 2008.

Shockley, Kenneth. “Programming Collective Control.” Journal of Social


Philosophy. 38. 2007. 442.

Sidik, Machfud. “Format Hubungan Keuangan Pemerintahan Pusat dan


Daerah yang Mengacu pada Pencapaian Tujuan Nasional.” Paper
disampaikan pada Seminar Nasional Public Sector Scorecard.
Jakarta. 2002.

Simon, Herbert. “Rationality in Political Behavior." Political Economy and


Political Psychology. Vol. 16. No. 1. Maret 1995. 45-61.
Smith, Bryant. “Legal Personality.” Yale Law Journal. Vol. 37. No. 3. January
1928. 283-299.
Smith, Lenna E. “Is Strict Liability the Answer in the Battle against Foreign
Corporate Bribery.” Brooklyn Law Review. Vol. 79. No. 4. 2013.
Smolin, David M. “Surrogacy as the Sale of Children: Applying Lessons
Learned from Adopting to the Regulation of the Surrogacy Industry’s
Global Marketing of Children.” Pepperdine Law Review. Vol. 43.
Issue 2. 2016.
Sofie, Yusuf. "Tanggung Jawab Pidana Korporasi (Corporate Criminal
Liability) Dalam Hukum Perlindungan Konsumen." Disertasi Doktor
Universitas Indonesia. Jakarta. 2010.
Solum, Lawrence B. "Legal Personhood for Artificial Intelligences." North
Carolina Law Review. 70. 1992.

Universitas Indonesia
386

Stone, Chirstopher D. “Should Trees Have Standing? Toward Legal Rights for
Natural Objects.” Southern California Law Review. 45. 1972. 450 -
501.
Szasz, Thomas S. "Psychiatry, Ethics and the Criminal law." Columbia Law
Review. Vol. 58. No. 2. February 1958. 183-198.
Taslitz, Andrew E. "Reciprocity And The Criminal Responsibility Of
Corporations." Stetson Law Review. 41. 73. 2011-2012.
Tempo.co, “Jadi Tersangka, Mantan Dirut Garuda Emirsyah Satar Dicegah ke
Luar Negeri,” Jumat, 20 Januari 2017,
https://nasional.tempo.co/read/news/2017/01/20/063838026/jadi-
tersangka-mantan-dirut-garuda-emirsyah-satar-dicegah-ke-luar-
negeri, diakses 21 Januari 2017.

Teubner, Gunther. “Rights of Non-humans? Electronic Agents and Animals


as New Actors in Politics and Law.” Journal of Law and Society.
33(4). 2006. 497-521.

Theresia, Artha. “Pemidanaan Korporasi Atas Tindak Pidana Korupsi Dalam


Pembaruan Sistem Pidana Indonesia.” (Disertasi Doktor Universitas
Jayabaya, Jakarta, 2017).

The Edinburgh Law Review Note. Corporate Culpable Homicide: Transco Plc
v H M Advocate. The Edinburgh Law Review. Vol. 8. 2004.

Thitthongkam, Thavorn, et al. “The Roles of Foreign Language in Business


Administration.” Journal of Management Research. Vol. 3. No. 1.
2011.

UK Serious Fraud Office, “SFO Completes £497.25m Deferred Prosecution


Agreement with Rolls-Roys PLC,” News Releases, 17 January 2017.
Dapat diakses pada https://www.sfo.gov.uk/2017/01/17/sfo-
completes-497-25m-deferred-prosecution-agreement-rolls-royce-
plc/. Diakses 20 Januari 2017.

Veldman, Jeroen. “The Corporate Condition.” Dissertation for Doctor of


Philosophy University of Leicester. 2010.

Vervaele, John A. E. “Societas/Universitas Can be Guilt and Punished: 60


Years of Experience in The Netherlands.” Derecho comparado y
Derecho comunitario. Estudios de Derecho Judicial. 115. Madrid.
2007. 11-64.

Victorian Law Reform Commission. “Criminal Liability for Workplace Death


and Serious Injury in the Public Sector.” Victorian Law Reform
Commission’s Report. 2002.
Vyver, Johan D. van der. “Prosecution and Punishment of the Genocide.”
Fordham International Law Journal. Vol. 23. 1999.

Universitas Indonesia
387

Wahjono, "Pertanggungjawaban Pidana Bagi Korporasi Perseroan Terbatas


Dalam Tindak Pidana Lingkungan." Disertasi Doktor Universitas
Airlangga. Surabaya, 2009.

Wartiningsih, "Urgensi Penetapan Korporasi Sebagai Subyek Hukum Pidana


Dalam Tindak Pidana Illegal Loging." Disetasi Doktor Universitas
Airlangga. 2010.

Wibisana, Andri G. “Kejahatan Lingkungan oleh Korporasi: Mencari Bentuk


Pertanggung Jawaban Korporasi dan Pemimpin/Pengurus Korporasi
untuk Kejahatan Lingkungan di Indonesia.“ Jurnal Hukum &
Pembangunan. 46 No. 2. 2016: 149-195.
Wicke, Jennifer. "Postmodern Identity And The Legal Subject." University Of
Colorado Law Review. 62. 1991. 455-474.

C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN PUTUSAN


PENGADILAN

Australia. Corporation Act 2001.

Australia. Criminal Code 2002.

Australia. Legislation Act 2001.

Australia. Victorian Crimes (Workplace Deaths and Serious Injuries) Bill 2001.

Australia. New South Wales (NSW) Occupational Health and Safety Act 2000.

Belanda. HR 23 April 1996, NJ 48, 513.


Belanda. HR 23 Oktober 1990, NJ, 496.

Belanda. HR 6 January 1998, 367.

Belanda. HR. 8 July 1992, NJ 1993, 12.

HR 21 Oktober, 2003, NJ 2006, 328.

Belanda. Penal Code 1976

Belgia. Penal Code 1999

Canada. Criminal Code 2004

Universitas Indonesia
388

Hungaria. Act CIV of 2001 on Measure Applicable to Legal Entities Under


Criminal Law.
Indonesia. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.

Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Indonesia. Undang-Undang tentang Penetapan "Undang-Undang Darurat


Nomor 12 Tahun 1950, Tentang Mengadakan Pajak Peredaran 1950
dan Undang-Undang Darurat Nomor 38 Tahun 1950 Tentang
Tambahan Dan Perubahan Undang-Undang Pajak Peredaran 1950,"
Sebagai Undang-Undang. UU No. 25/1953. LN No. 75 Tahun 1953.

Indonesia. UU Darurat Tentang Pajak Peredaran. UU Darurat No. 12 Tahun


1950. LN No. 19 Tahun 1950.

Indonesia, Undang-Undang tentang Berlakunya Undang-Undang Pengawasan


Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk
seluruh Indonesia, UU No. 3 Tahun 1951, LN No. 4 Tahun 1951.

Indonesia. Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Tentang Penimbunan


Barang-Barang. UU No. 17 Tahun 1951. LN No. 90, TLN. No. 155.

Indonesia. Undang-Undang Tentang Penetapan "Undang-Undang Darurat


tentang Pinjaman Darurat," Sebagai Undang-Undang. UU No. 2/1952.
LN No. 28 Tahun 1952.

Indonesia. Undang-Undang tentang Penetapan "Undang-Undang Darurat


Tentang Larangan Untuk Mempergunakan dan Memasukkan Dalam
Peredaran Uang Perak Lama, Yang Dikeluarkan Berdasarkan "Indische
Muntwet 1912" (Undang-Undang Darurat Nomor 13 Tahun 1952,
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 1952)" Sebagai
Undang-Undang. UU No. 26/1953. LN No. 76 Tahun 1953.

Indonesia. Undang-Undang tentang Penetapan "Undang-Undang Darurat


Nomor 19 Tahun 1951, Tentang Pemungutan Pajak Penjualan"
(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 1951) Sebagai
Undang-Undang. UU No. 35/1953. LN No. 85 Tahun 1953.

Indonesia. Undang-Undang Darurat Pengusutan, Penuntutan Tindak Pidana


Ekonomi. UU Darurat No. 7/1955. LN No. 27 Tahun 1955. TLN. No.
801.

Indonesia. Undang-Undang Tentang Darurat Penimbunan Barang. UU Darurat


No. 17/1955, LN. No. 90 Tahun 1951, TLN No. 155.

Universitas Indonesia
389

Indonesia. Undang-Undang Darurat tentang Kedudukan Hukum Apotek Darurat.


UU No. 5 Tahun 1958.

Indonesia. Undang-Undang tentang Pencabutan UU No. 11/PNPS/Tahun 1963


Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. UU No. 26/1999. LN. No.
73 Tahun 1999.
Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. UU No. 8 Tahun 1981,
LN. No. 76 Tahun 1981, TLN. No. 3258.

Indonesia. Undang-Undang tentang Wajib Daftar Perusahaan. UU No. 3/1982.


LN. No. 7 Tahun 1982, TLN No. 3214.

Indonesia. Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara


Perpajakan. UU No. 6/1983. Sebagaimana Telah Beberapa Kali diubah
Terakhir dengan UU No. 16/2009. LN. No. 62 Tahun 2009. TLN No.
4953.

Indonesia. Undang-Undang Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan


Ekosistemnya. UU No. 5/1990. LN. No. 49 Tahun 1990.

Indonesia. Undang-Undang tentang Pasar Modal. UU No. 8/1995. LN. No. 64


Tahun 1995. TLN. No. 3608.

Indonesia. Undang-Undang Tentang Kepabeanan. UU No. 10/1995. LN. No. 75


Tahun 1995. TLN. No. 3612. Sebagaimana diubah dengan Undang-
Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1995 Tentang Kepabeanan. UU No. 17/2006. LN. No. 93 Tahun 2006.

Indonesia. Undang-Undang Tentang Cukai. UU No. 11/1995. LN. No. 76 Tahun


1995. TLN. No. 3613. Sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 Tentang
Cukai. UU No. 39 Tahun 2007. LN No. 105 Tahun 2007. TLN No.
4755.

Indonesia. Undang-Undang Psikotropika. UU No. 5/1997. LN. No. 10 Tahun


1997. TLN. No. 3671.

Indonesia. Undang-Undang Tentang Dokumen Perusahaan. UU No. 8/1997. LN.


No. 18 Tahun 1997. TLN No. 3674.

Indonesia, Undang-Undang Tentang Perdangangan Berjangka Komoditi, UU


No. 32/1997, LN. No. 93 Tahun 1997, TLN. No. 3720, sebagaimana
diubah dengan Undang-Undang Tentang Perubahan atas Undang-
Undang No. 32 Tahun 1997 Tentang Perdagangan Berjangka Komoditi,
UU No. 10 Tahun 2011, LN No. 79 Tahun 2011, TLN No. 5232.

Indonesia. Undang-Undang Tentang Larangan Praktek Monopoli dan


Persaingan Usaha Tidak Sehat. UU No. 5/1999. LN. No. 33. TLN. No.

Universitas Indonesia
390

3817.

Indonesia. Undang-Undang Perlindungan Konsumen. UU No. 8/1999. LN. 42


Tahun 1999. TLN. 3821.

Indonesia. Undang-Undang Lalu lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. UU No.
24 Tahun 1999. LN. No. 67 Tahun 1999. TLN No. 3844.

Indonesia. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU No.


31/1999. LN No. 140 Tahun 1999. TLN No. 3874, sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. UU No. 20 Tahun 2001. LN No. 134 Tahun 2001. TLN No.
4150.
Indonesia. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Perpu No. 1/2002, LN. No.
106 Tahun 2002, TLN. No. 4232. Sebagaimana telah ditetapkan menjadi
Undang-undang dengan UU No. 15 Tahun 2003 Tetang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, LN. No. 45 Tahun
2003, TLN. 4284.
Indonesia. Undang-Undang Tentang Badan Usaha Milik Negara. UU No.
19/2003. LN No. 70 Tahun 2003.

Indonesia, Undang-Undang Tentang Mahkamah Konstitusi, UU No. 24/2003,


LN. No. 98 Tahun 2003, TLN No. 4316. Sebagaimana terakhir diubah
dengan Indonesia, Undang-Undang Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 Tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang, UU No. 4 Tahun
2014, LN No. 5 Tahun 2014, TLN. No. 5493.

Indonesia. Undang-Undang Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan


Industrial. UU No. 2/2004. LN No. 6 Tahun 2004.

Indonesia. Undang-Undang tentang Perindustrian. UU No. 3/2004. LN No. 4


Tahun 2004.

Indonesia. Undang-Undang Tentang Praktik Kedokteran. UU No. 29/2004. LN


No. 116 Tahun 2004. TLN No. 4431.

Indonesia. Undang-Undang tentang Perikanan. UU No. 31/2004. LN. 118 Tahun


2004. TLN. No. 4433.

Indonesia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tentang Pengelolaan


Keuangan Badan Layanan Umum. PP No. 23 Tahun 2005. LN No. 48
Tahun 2005. TLN No. 4502.

Universitas Indonesia
391

Indonesia. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.


UU No. 21/2007. LN No. 58 Tahun 2007. TLN No. 4720.

Indonesia. Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas. UU No. 40/2007. LN


No. 106 Tahun 2007.

Indonesia. Undang-Undang Tentang Partai Politik. UU No. 2 /2008. LN No. 2


Tahun 2008. TLN No. 5189 Tahun 2011. Sebagaimana telah diubah
dengan UU No. 2 Tahun 2011. LN No. 8 Tahun 2011. TLN No. 5189.

Indonesia. Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, UU No. 14/2008,


LN. No. 61 Tahun 2008. TLN. No. 4846.

Indonesia. Undang-Undang Pornografi. UU No. 44/2008. LN No. 181 Tahun


2008. TLN No. 4928.

Indonesia. Undang-Undang tentang Penerbangan, UU No. 1/2009, LN No. 1


Tahun 2009, TLN No. 4956.

Indonesia. Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara. UU No.


4/2009. LN. No. 4 Tahun 2009. TLN. No. 4959.

Indonesia, Undang-Undang Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, UU No.


18 /2009, LN No. 84 Tahun 2009, TLN No. 5015. Sebagaimana diubah
dengan Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan, UU
No. 41 Tahun 2014, LN No. 338 Tahun 2014, TLN No. 5619.

Indonesia. Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. UU No. 22/2009.


LN. No. 96 Tahun 2009. TLN. No. 5025.

Indonesia. Undang-Undang Tentang Ketenagalistrikan. UU No. 30/2009. LN


No. 133 Tahun 2009. TLN. No. 5052.

Indonesia. Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.


UU No. 32/2009 LN. No. 140 Tahun 2009. TLN. No. 5059.

Indonesia. Undang-Undang Tentang Perfilman. UU No. 33/2009. LN. 141 Tahun


2009. TLN No. 5060.

Indonesia. Undang-Undang Tentang Narkotika. UU No. 35/2009. LN. No. 143.


TLN. No. 5062.

Indonesia. Undang-Undang Tentang Pos. UU No. 38/2009. LN No. 146 Tahun


2009.

Indonesia. Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31

Universitas Indonesia
392

Tahun 2004 Tentang Perikanan. UU No. 45/2009. LN. No. 154 Tahun
2009. TLN No. 5073.

Indonesia. Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana


Pencucian Uang. UU No. 8/2010. LN No. 122 Tahun 2010.

Indonesia. Undang-Undang Tentang Cagar Budaya. UU No. 11/2010. LN. No.


130 Tahun 2010. TLN. No. 5168.

Indonesia. Undang-Undang Tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman. UU


No. 1/2011. LN No. 7 Tahun 2011

Indonesia. Undang-Undang Tentang Akuntan Publik. UU No. 5/2011. LN. No.


51 Tahun 2011.

Indonesia. Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-


Undangan. UU No. 12/2011. LN. No. 82 Tahun 2011. TLN. 5234.

Indonesia. Undang-Undang Tentang Otoritas Jasa Keuangan. UU No. 21/2011.


LN. No. 111 Tahun 2011. TLN. No. 5253.

Indonesia. Undang-Undang Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. UU


No. 24/2011. LN No. 116 Tahun 2011.

Indonesia. Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. UU No.


11/2012 . LN No. 153 Tahun 2012, TLN No. 5332.

Indonesia. Undang-Undang tentang Perkoperasian. UU No. 17/2012, LN. No.


212 Tahun 2012, TLN. No. 5355.

Indonesia, Undang-Undang Tentang Pangan, UU No. 18/2012, LN No. 227


Tahun 2012, TLN No. 5360.

Indonesia. Undang-Undang tentang Lembaga Keuangan Mikro. UU No. 1/2013.


LN. No. 12 Tahun 2013. TLN No. 5394.

Indonesia. Undang-Undang Tentang Organisasi Kemasyarakatan. UU No.


17/2013. LN. No. 116 Tahun 2013. TLN No. 5430.

Indonesia, Undang-Undang Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani,


UU No. 19/2013, LN. No. 131, TLN. No. 5433.

Indonesia. Undang-Undang Tentang Keantariksaan. UU No. 21/2013. LN No.


133 Tahun 2013, TLN No. 5435.
Indonesia. Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. UU No. 23/2014. LN
No. 244 Tahun 2014. TLN 5587.

Universitas Indonesia
393

Indonesia, Undang-Undang Tentang Perkebunan, UU No. 39/2014, LN. No. 308,


TLN. No. 5613.

Indonesia. Undang-Undang Tentang Perasuransian. UU Nomor 40/2014, LN


No. 337 Tahun 2014, TLN No. 5618.

Indonesia. Kejaksaan Republik Indonesia. Peraturan Jaksa Agung RI tentang


Pedoman Penanganan Perkara Pidana dengan Subjek Hukum
Korporasi. Perja No. PER-028/A/JA/10/2014.

Indonesia. Undang-Undang Tentang Pengampuan Pajak. UU No. 11/2016. LN


No. 131 Tahun 2016, TLN No. 5899.

Indonesia, Undang-Undang Tentang Paten, UU No. 13/2016, LN No. 176 Tahun


2016, TLN No. 5922.

Indonesia. SK Ketua Mahkamah Agung tentang Tata Cara Penanganan Perkara


Tindak Pidana Korporasi. SK Ketua MA No. 13 Tahun 2016.

Mahkamah Agung RI. Putusan No. 862 K/Pid.Sus/2010.

Mahkamah Agung RI. Putusan No. 2239 K/Pid.Sus/2012.

Mahkamah Agung RI. Putusan No. 2441 K/Pid.Sus/2013.

Mahkamah Agung RI. Putusan No. 787K/PID.SUS/2014.

Mahkamah Agung RI. Putusan No. 2330 K/Pid.Sus/2014.

Mahkamah Agung RI. Putusan No. 1554 K/Pid.Sus/2015.


New Zealand. Criminal Act 1961.
Perancis. Penal Code. 1995.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Putusan No. 241/PID.2012/PT/DKI.

Pengadilan Tinggi Banjarmasin, Putusan No. 04/PID.SUS/2011.

Pengadilan Tinggi Tipikor DKI Jakarta. Putusan No. 28/PID/TPK/2013/PT.DKI

Pengadilan Tinggi Tipikor DKI Jakarta. Putusan No. 33/Pid/Tpk/2013/PT.DKI.

Pengadilan Tinggi Tipikor DKI Jakarta. Putusan No. 27/PID/TPK/2013/PT.DKI.

Pengadilan Tinggi Pekanbaru. Putusan No. 286/Pid.Sus/2014/PT.PBR.

Universitas Indonesia
394

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Putusan No. 234/PID.B/-2011/PN.JKT.PST.

Pengadilan Tipikor Jakarta. Putusan No. 01/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Pst.

Pengadilan Tinggi Pekanbaru. Putusan No. 27/Pid.Sus/2015/PT.PBR.

Pengadilan Tinggi Banda Aceh. Putusan No. 201/Pid/2014/PT.BNA.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Putusan No. 81/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Putusan No. 85/PID.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst.

Pengadilan Negeri Pelalawan. Putusan No. 228/Pid.Sus/2013/PN.PLW.

Pengadilan Negeri Bengkalis. Putusan No. 547/Pid.Sus/2014./PN.Bls.

Pengadilan Negeri Meulaboh. Putusan No. 131/Pid.B/2013/PN.MBO.

Singapore, Penal Code (Chapter 224).


United Kingdom. Bribery Act 2010.
United Kingdom. Corporate Manslaughter and Corporate Homicide Act 2007.

United Kingdom. Interpretation Act 1978.

United Kingdom. Health and Safety at Work etc. Act 1974 (HSWA).

United State. Organized Crime Act. 18 U.S.C.A. 1961.


United States. Animal Welfare Act. 7 U.S.C. 1966.
United States. Chimpanzee Health Improvement, Maintenance and Protection
Act. 42 U.S.C. 2000.

United States. Endangered Species Act. 16 U.S.C. 1973.

United States. Federal Sentencing Guidelines Manual 2005 .


United States. Organized Crime Control Act 1970.
United States. Solid Waste Disposal Act, 42 U.S.C (Amended 2002).
United States. Speedy Trial Act. 18 U.S.C. 1974.

United States. Nye & Nissen v. United States, 336 U.S. 613, 619 (1949).

United States. United States v. Sain, 141 F. 3d 463, 474 – 75 (3d Cir. 1998).

Universitas Indonesia
395

United States. United States. Scott v. Sandford (60 U.S. 393 (1856)), dapat
diakses online pada Justia US Supreme Court,
https://supreme.justia.com/cases/federal/us/60/393/case.html, diakses 22
November 2014.

Universitas Indonesia
Lampiran 1. Undang-Undang Indonesia dengan Organisasi sebagai Subjek Hukum Pidana1

Untuk memberikan gambaran yang lengkap tentang peristilahan dan terminologi yang digunakan di dalam perjalanan sejarah
menurut rezim hukum pidana Indonesia, akan dipaparkan pada tabel berikut:

No. Undang-Undang Terminologi yang digunakan Subjek hukum yang bisa Sanksi pidana yang bisa
dikenakan sanksi dijatuhkan kepada korporasi

1. UU Darurat No. 12 Tahun Ps. 2: Pengusaha3 Ps. 58: Anggota pengurus


1950 Tentang Pajak
Peredaran 2 Ps. 58: Badan hukum

2. UU Darurat No. 13 Tahun Ps. 3: Badan Hukum, Ps. 11: Anggota pengurus atau
1950 Tentang Pinjaman perserikatan, perseroan, yayasan wakil badan hukum,

1
Dimodifikasi, disunting dan ditambahkan dari tabel yang dibuat oleh Kristian, “Hukum Pidana Korporasi: Kebijakan Integral (Integral Policy) Formulasi
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia”, (Bandung: Nuansa Aulia, 2014), hlm. 78-99. Tabel ini dibuat bukan untuk mengidentifikasi semua UU yang
pernah ada dan memuat subjek hukum organisasi, tetapi untuk mengidentifikasi istilah yang digunakan pada UU yang merujuk kepada subjek hukum organisasi,
sehingga ada beberapa UU yang menggunakan istilah yang sama dan tidak dimasukkan ke dalam tabel ini. Disamping itu, tabel ini tidak hanya dipakai untuk
melihat peristilahan yang digunakan sebagaimana kepentingan bab ini, tetapi juga akan dianalisa untuk keperluan pada Bab IV mengenai pertanggungjawaban
pidan dan sanksi. Prof. Barda Nawawi dalam buku beliau “Kapita Selekta Hukum Pidana” juga mengidentifikasi beberapa UU yang mengandung istilah,
pertanggungjawaban dan sanksi pidana bagi tindak pidana yang melibatkan korporasi, namun, tabel ini cakupannya lebih luas dan lebih lengkap untuk tidak hanya
mengidentifikasi bahwa ada berbagai macam dan ada perbedaan istilah tetapi juga melihat karakteristik UU seperti apa menggunakan istilah apa, dan istilah yang
paling sering digunakan oleh UU untuk merujuk kepada berbagai bentuk organisasi.
2
Ditetapkan menjadi UU dengan Indonesia, UU No. 25 Tahun 1953, LN No. 75 Tahun 1953.
3
Penjelasan Pasal 2 menyatakan bahwa badan hukum berdasarkan hukum publik juga bisa disebut sebagai pengusaha, sepanjang kegiatan penyerahan barang dan
jasa yang dilakukan bukanlah dalam rangka menjalankan pemerintahan. Sehingga institusi negara sebenarnya bisa disebut sebagai pelaku usaha yang tunduk pada
segala ketentuan yang mengatur pelaku usaha privat jika menjalankan kegiatan yang bukan bersifat pemerintahan. Mengenai kemampuan korporasi publik dapat
bertanggung jawab di dalam hukum pidana akan dibahas secara mendalam pada sub bab selanjutnya.

396
Darurat4 perserikatan, perseroan, yayasan

3. UU No. 1 Tahun 1951 Ps. 19: Badan Hukum Ps. 19: Pengurus Badan Hukum
Tentang Berlakunya UU
No. 12 Tahun 1948 Tentang
Kerja

4. UU No. 2 Tahun 1951 Ps. 4: majikan ialah tiap-tiap Ps. 30: Anggota – anggota
Tentang Peryataan orang atau badan hukum Pengurus Badan Hukum
Berlakunya UU No. 13
Tahun 1947 Tentang
Kecelakaan

5. UU No. 3 Tahun 1951 Ps. 7: “Badan Hukum” Ps. 7: Pengurus Badan Hukum
Tentang Pernyataan
Berlakunya UU Pengawasan
Perburuhan5

6. UU Darurat No. 12 Tahun Ps. 4: Badan Hukum Ps. 4: Pengurus atau wakilnya
1951 Tentang Mengubah setempat
Ordonantie Tijdelijke

4
Ditetapkan menjadi UU dengan Indonesia, Undang-Undang tentang Penetapan "Undang-Undang Darurat tentang Pinjaman Darurat," Sebagai Undang-Undang,
UU No. 2/1952, LN No. 28 Tahun 1952.
5 Indonesia, Undang-Undang tentang Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk seluruh
Indonesia, UU No. 3 Tahun 1951, LN No. 4 Tahun 1951.

397
Byzondere Strafbepalingen
(Stbl. 1948 No. 17) dan UU
RI Dahulu No. 8 Tahun
1948

7. UU Darurat No. 13 Tahun Ps. 9: Badan Hukum, perseroan, Ps. 9: anggota Pengurus atau
1951 Tentang Bursa6 perserikatan lain atau yayasan wakilnya setempat

8. UU Darurat No. 16 Tahun Ps. 1 (1) huruf b: majikan adalah Ps. 19: Pengurus atau pemimpin
1951 Tentang Penyelesaian orang atau badan hukum yang badan hukum, perserikatan atau
Perselisihan Perburuhan7 mempekerjakan buruh sejumlah orang itu.

Ps. 19: badan hukum,


perserikatan atau sejumlah orang

9. UU Darurat No. 17 Tahun Ps. 1 (e): Badan Hukum: “tiap Ps. 11: Badan Hukum8 dan atau Ps. 11: Perampasan barang, denda,
1951 Tentang Penimbunan perusahaan atau perseroan, orang-orang. hukuman tambahan dan tindakan-
Barang-Barang perserikatan atau yayasan, dalam tindakan:
arti yang seluas-luasnya, juga jika

6
Ditetapkan sebagai Undang-undang dengan UU No. 15 Tahun 1952 (Lembaran Negara Tahun 1952 Nomor 67) dan UU ini dicabut dengan Indoensia, Undang-
Undang tentang Pasar Modal, UU No. 8/1995, LN No. 64 Tahun 1995.
7
Dicabut dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 42), yang mana
kemudian UU No. 22/1957 ini juga dinyatakan tidak berlaku dengan Indonesia, Undang-Undang tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, UU No.
2/2004, LN No. 6 Tahun 2004.
8
Pertanggungjawaban pidana yang dapat dibebankan kepada badan hukum pertama kali diterima dalam UU tentang Penimbunan Barang ini, dan UU ini juga
menganut pemahaman bahwa badan hukum yang dapat bertanggung jawab bukan hanya badan hukum menurut hukum tetapi juga badan hukum yang menurut
kenyataan dilihat sebagai badan hukum.

398
kedudukan sebagai badan hukum a. Pengumuman keputusan
itu baik dengan jalan hukum hakim tentang perbuatan itu.
ataupun berdasarkan kenyataan b. Kewajiban untuk membayar
tidak diberikan kepadanya.” sejumlah uang jaminan paling
banyak seratus ribu rupiah.

10. UU Darurat No. 19 Tahun Ps. 46: Badan Hukum Ps. 46: Anggota Pengurus
1951 Tentang Pemungutan
Pajak Penjualan9

11. UU Darurat No. 13 Tahun Ps. 5: Badan Hukum Ps. 5: Pengurus atau Wakil
1952 Tentang Larangan Badan Hukum
untuk Mempergunakan dan
Memasukkan Dalam
Peredaran Uang Perak10

12. UU No. 3 Tahun 1953 Ps. 3: Badan Hukum Ps. 3: Pengurus atau Wakil
Tentang Pembukaan Badan Hukum
11
Apotek

9
Ditetapkan mejadi UU dengan Indonesia, Undang-Undang tentang Penetapan "Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1951, Tentang Pemungutan Pajak
Penjualan" (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 1951) Sebagai Undang-Undang, UU No. 35/1953, LN No. 85 Tahun 1953.
10
Ditetapkan menjadi UU dengan Indonesia. Undang-Undang tentang Penetapan "Undang-Undang Darurat Tentang Larangan Untuk Mempergunakan dan
Memasukkan Dalam Peredaran Uang Perak Lama, Yang Dikeluarkan Berdasarkan "Indische Muntwet 1912" (Undang-Undang Darurat Nomor 13 Tahun 1952,
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 1952)" Sebagai Undang-Undang. UU No. 26/1953. LN No. 76 Tahun 1953.
11
Dinyatakan tidak berlaku dengan UU Darurat No. 5 Tahun 1958 Tentang Kedudukan Hukum Apotek Darurat

399
13. UU Darurat No. 4 Tahun Ps. 7: Badan Hukum Ps. 7: Anggota atau Pengurus
1955 Tentang Larangan dari badan hukum
Untuk Mengumpulkan Uang
Logam yang Sah dan
Memperhitungkan Agio
pada Waktu Penukaran
Alat-Alat Pembayaran yang
Sah

14. UU Darurat No. 7 Tahun 1955Ps. 15: Badan Hukum, Perseroan, Ps. 15: Badan Hukum, Ps. 6: Hukuman Pokok sama dengan
Tentang Tindak PidanaPerserikatan orang, Yayasan Perseroan, Perserikatan orang, Hukum Pokok KUHP dengan
Ekonomi Yayasan, Pemberi perintah, maksimal hukuman lebih berat dari
pemimpin pada ketentuan KUHP

Ps. 7: Hukuman Tambahan, berupa:

a. Pencabutan hak-hak
b. Penutupan seluruhnya atau
sebagian perusahaan
c. Perampasan barang-barang
d. Penghapusan sebagian atau
seluruh keuntungan
e. Pengumuman putusan hakim

Ps. 8: Tindakan Tata Tertib, berupa:

400
a. Penempatan perusahaan
dibawah pengampuan
b. Pembayaran uang jaminan
c. Mengerjakan apa yang
dilalaikan, meniadakan apa
yang dilakukan tanpa hak,
melakukan jasa-jasa untuk
memperbaiki akibat-akibat.

15. UU No. 11 PNPS Tahun Ps. 17: Badan hukum, perseroan, Ps. 17: Mereka yang memberi
1963 Tentang Tindak perserikatan orang, yayasan atau perintah untuk melakukan tindak
12
Pidana Subversi organisasi lainnya pidana atau pemimpin dalam
perbuatan itu

16. UU No. 2 Tahun 1981 Ps. 34: Badan Usaha Ps. 34:
Tentang Metrologi Legal
a. Pengurus, apabila berbentuk
badan hukum dan atau
yayasan
b. Sekutu aktif, apabila
berbentuk persekutuan atau
perkumpulan orang
c. Wakil atau kuasanya di

12
Dicabut dengan Indonesia, Undang-Undang tentang Pencabutan UU No. 11/PNPS/Tahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, UU No. 26/1999, LN.
No. 73 Tahun 1999.

401
Indonesia, apabila kantor
pusatnya berkedudukan di
luar wilayah RI.

17. UU No. 3 Tahun 1982 Ps. 1 (c): Pengusaha adalah setiap Ps. 35: Pengurus atau Pemegang
Tentang Wajib Daftar orang perseorangan atau kuasa dari badan hukum
Perusahaan persekutuan atau “Badan Hukum”
yang menjalankan sesuatu jenis
perusahaan

18. UU No. 6/1983 Tentang Ps. 1 (3): Badan adalah Bab VIII (Ketentuan pidana): BAB VIII (Ketentuan Pidana):
Ketentuan Umum dan Tata sekumpulan orang dan/atau modal menjelaskan semua adresat kurungan, penjara, denda
Cara Perpajakan yang merupakan kesatuan baik pasalnya adalah “setiap orang”
Sebagaimana Telah yang melakukan usaha yang (walaupun tidak ada keterangan
Beberapa Kali diubah meliputi PT, perseroan umum siapa yang dimaksud
Terakhir dengan UU No. komanditer, perseroan lainnya, dengan setiap orang, tetapi
16/2009 BUMN, atau BUMD dengan diasumsikan merujuk kepada
nama dan dalam bentuk apapun, wajib pajak sebagai mana
firma, kongsi, koperasi, dana dijelaskan pada Ps. 1 (2) yang
pensiun, persekutuan, menjelaskan wajib pajak adalah
perkumpulan, yayasan, organisasi orang pribadi atau badan).
massa, organisasi sosial politik,
atau organisasi lainnya, lembaga
dan bentuk lainnya termasuk
kontrak investasi kolektif dan

402
bentuk usaha tetap.13

19. UU No. 5 Tahun 1984 Ps. 1 (7): Perusahaan industri Bab X (Ps. 24-28): Hanya Bab X (Ps. 24-28): Pidana penjara
Tentang Perindustrian14 adalah “badan usaha” yang menyebutkan “barang siapa” dan atau denda dengan hukuman
melakukan kegiatan di bidang tanpa memberikan penjelasan tambahan dicabut izin usaha
usaha industri lebih lanjut apakah perusahaan industrinya
industri dapat dipidana sebagai
subjek mandiri.

20. UU No. 6 Tahun 1984 Ps. 19: Badan hukum, perseroan, Ps. 19: Ps. 19: Pidana penjara dan denda,
Tentang Pos15 perserikatan orang lain atau seta tindakan tata tertib.
yayasan 1. Badan hukum, perseroan,
perserikatan orang atau (tidak dijelaskan lebih lanjut di
yayasan dalam UU ini tindakan tata tertib
2. Orang yang memberi yang bisa diberikan)
perintah melakukan tindak
pidana sebagai pimpinan
atau penanggung jawab
dalam perbuatan atau
kelalaian yang bersangkutan

13
Perubahan ke tiga (UU No. 28/2007). UU yang berkaitan dengan perpajakan konsisten menggunakan istilah “badan” untuk merujuk kepada subjek selain orang
perseorangan, seperti misalnya UU No. 11/2016 Tentang Pengampuan Pajak pada Ps. 1 (2): wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang mempunyai
kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Lihat Indonesia, Undang-Undang tentang Pengampuan Pajak,
UU No. 11/2016, LN No. 131 Tahun 2016, TLN No. 5899.
14
Dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan Indonesia, Undang-Undang tentang Perindustrian, UU No. 3/2004, LN No. 4 Tahun 2004.
15
Dicabut dengan Indonesia, Undang-Undang tentang Pos, UU No. 38/2009, LN No. 146 Tahun 2009.

403
3. Terhadap kedua-duanya.

21. UU No. 9 Tahun 1985 Ps. 1 (5): Setiap orang atau badan Ps. 6: setiap orang atau Badan Bab VIII (Ps. 24-30): Pidana
Tentang Perikanan16 hukum hukum penjara dan atau denda

22. UU No. 4 Tahun 1990 Penjelasan Ps. 6 (1): yang Orang perseorangan, Bab IV: Pidana kurungan dan denda
Tentang Serah Simpan dimaksud orang adalah orang persekutuan, badan hukum baik (denda relatif kecil)
Karya Cetak dan Karya perseorangan, persekutuan, badan milik negara maupun swasta
Rekam hukum baik milik negara maupun (walaupun tidak dijelaskan
swasta secara tegas apakah badan
hukum dapat bertanggungjawab
secara mandiri)

23. UU No. 2 Tahun 1992 Ps. 24: Badan hukum atau badan Ps. 24: Badan tersebut ataupun Ps. 21: Pidana penjara dan pidana
Tentang Usaha usaha yang tidak berbadan hukum terhadap mereka yang denda
Perasuransian (dicabut memberikan perintah atau
dengan UU No. 40 Tahun pimpinan dalam melakukan
2014) tindak pidana maupun terhadap
kedua-duanya.

24. UU No. 3 Tahun 1992 Ps. 1 (3): “pengusaha” adalah Pengurus dan/atau kepada Ps. 29: Kurungan atau denda.
Tentang Jaminan Sosial orang, “persekutuan, atau badan perusahaan yang bersangkutan

16
Dicabut dengan UU No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan Jo. Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan. UU No. 45/2009. LN. No. 154 Tahun 2009. TLN No. 5073.

404
Tenaga Kerja17 hukum” yang menjalankan suatu (walaupun tidak disebutkan Ps. 30: Dikenakan sanksi
perusahaan. secara tegas bahwa perusahaan adminstratif, berupa ganti rugi atau
dapat bertanggung jawab denda yang akan diatur lebih lanjut
Ps. 1 (4): Perusahaan adalah sebagai pribadi hukum mandiri) dengan Peraturan Pemerintah.
setiap bentuk “badan usaha” yang
mempekerjakan tenaga kerja
dengan tujuan mencari untung
atau tidak, baik milik swasta
maupun milik negara

25. UU No. 4 Tahun 1992 Ps. 7: Badan Ps. 36: Badan (secara tegas Ps. 36: Pidana penjara dan/atau
Tentang Perumahan dan menyebutkan pasal ini ditujukan denda
Permukiman18 untuk badan)

26. UU No. 7 Tahun 1992 Jo. Ps. 22: Badan hukum yang Ps. 46: terhadap mereka yang Ps. 46-51: Penjara serta denda
UU No. 10 Tahun 1998 berbentuk perseroan terbatas, memberi perintah atau yang (dengan sanksi denda yang sangat
Tentang Perbankan perserikatan, dan yayasan atau bertindak sebagai pimpinan besar, sangat disayangkan
koperasi dalam perbuatan pidana atau pertanggungjawabannya hanya
terhadap kedua-duanya. diberikan kepada pemberi perintah
Penjelasan Ps. 22 (1) huruf a: dan atau pemimpin saja tanpa
Yang termasuk dalam pengertian menyebutkan bahwa badan
badan hukum Indonesia antara hukumnya pun dapat dipidana
lain adalah Negara Republik

17
Dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan Indonesia. Undang-Undang Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. UU No. 24/2011. LN No. 116 Tahun
2011.
18
Dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan Indonesia, Undang-Undang tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman, UU No. 1/2011, LN No. 7 Tahun 2011.

405
Indonesia, BUMN, BUMD, sebagai subjek hukum pidana yang
Koperasi dan Badan usaha milik mandiri)
swasta

27. UU No. 8 Tahun 1992 Ps 9: Badan usaha yang berstatus Ps. 44: Perusahaan/ badan usaha Ps. 44: sanksi denda dan/atau sanksi
Tentang Perfilman badan hukum Indonesia.19 administratif

Ps. 44: perusahaan/badan usaha

28. UU No. 12 Tahun 1992 Ps. 47 (1): Badan usaha yang Ps. 48: Perorangan atau badan Ps. 61: Penjara, kurungan, atau
Tentang Sistem Budi Daya berbentuk badan hukum yang hukum denda
Tanaman didirikan menurut hukum
Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia.

Ps. 47 (2): Badan usaha yang


berbentuk badan hukum dapat
berupa:

o Koperasi,
o BUMN, BUMD atau
o Perusahaan swasta

19
Indonesia, Undang-Undang tentang Perfilman, UU No. 8/1992, LN. No. 32 Tahun 1992, TLN No. 3473, Penjelasan Ps. 9 ayat(1) menjelaskan bahwa usaha
perfilman dilakukan oleh badan hukum, yaitu perseroan terbatas atau koperasi atau bentuk lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. UU
ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan Indonesia, Undang-Undang tentang Perfilman, UU No. 33/2009, LN. 141 Tahun 2009, TLN No. 5060.

406
29. UU No. 8 Tahun 1995 Ps. 1 (23): pihak adalah orang Ps. 103: setiap pihak dapat Ps. 103: penjara dan denda (bukan
Tentang Pasar Modal perseorangan, perusahaan, usaha dikenakan sanksi pidana (tidak sebagai alternatif tetapi sebagai
bersama, asosiasi atau kelompok secara tegas menyebutkan badan posisi berdampingan bersama)
yang terorganisasi hukumnya bisa dipidana tetapi
dari pengertian pihak yang juga
termasuk badan hukum, maka
dapat disimpulkan bahwa badan
hukum yang bersangkutan dapat
bertanggungjawab secara
mandiri)

30. UU No. 10/1995 jo. UU No. Ps. 1 (12): orang adalah orang Ps. 108: Ps. 108 (3): pidana pokok yang
17/2006 Tentang perseorangan atau badan hukum dijatuhkan senantiasa berupa pidana
Kepabeanan a. Badan hukum, perseroan denda paling banyak tiga ratus juta
atau perusahaan, rupiah untuk tindak pidana yang
perkumpulan, yayasan atau diacam dengan pidana penjara,
koperasi dengan tidak menghapuskan pidana
b. Mereka yang memberikan denda apabila atas tindak pidana
perintah atau pimpinan atau tersebut diancam dengan pidana
melalaikan pencegahan penjara dan pidana denda.
terjadinya tindak pidana

31. UU No. 11/1995 jo. UU No. Ps. 1 (8): Orang adalah badan Ps.61 (1): Ps. 61 (4): pidana pokok yang
39/2007 Tentang Cukai hukum atau orang pribadi dijatuhkan senantiasa berupa pidana
a. Badan hukum, perseroan denda paling banyak tiga ratus juta
atau perusahaan,

407
perkumpulan, yayasan atau rupiah untuk tindak pidana yang
koperasi. diacam dengan pidana penjara,
b. Mereka yang memberi dengan tidak menghapuskan pidana
perintah atau yang bertindak denda apabila atas tindak pidana
sebagai pemimpin atau tersebut diancam dengan pidana
melalaikan pencegahan penjara dan pidana denda.
terjadinya suatu tindak
pidana

32. UU No. 5/1997 Tentang Ps. 1 (13): korporasi adalah Ps. 59 (3): korporasi Ps. 59 (3): di samping dipidananya
Psikotropika20 kumpulan terorganisasi dari orang pelaku tindak pidana, kepada
dan/atau kekayaan, baik korporasi dikenakan pidana denda
merupakan badan hukum maupun sebesar Rp.5.000.000.000,00 (lima
bukan. milyar rupiah)

Ps. 70: pidana denda sebesar 2 (dua)


kali pidana denda yang berlaku untuk
tindak pidana tersebut dan dapat
dijatuhkan pidana tambahan berupa
pencabutan izin usaha.

33. UU No. 32/1997 jo UU No. Ps. 1 (13): pihak adalah orang Ps. 71-76: Setiap pihak Ps. 71-76: Penjara dan denda
10/2011 Tentang perseorangan, koperasi, badan (sehingga masuk kedalamnya

20
Indonesia, Undang-Undang Psikotropika, UU No. 5/1997. LN. No. 10 Tahun 1997, TLN. No. 3671. Undang-Undang Tentang Psikotropika ini merupakan UU
pertama yang secara tegas menggunakan istilah korporasi untuk merujuk kepada aktor kolektif.

408
Perdagangan Berjangka usaha lain, badan usaha bersama, juga adalah semua bentuk
Komoditi asosiasi, atau kelompok orang kolektif yang disebutkan pada
perseorangan, dan/atau Ps. 1 (13).
perusahaan yang terorganisasi

34. UU No. 13/1998 Tentang Ps. 26: setiap orang atau badan Ps. 26: setiap orang, badan, Ps. 26: pidana kurungan atau denda
Kesejahteraan Lanjut Usia atau organisasi atau lembaga21 organisasi atau lembaga

35. UU No. 5/1999 Tentang Ps. 1 (5): pelaku usaha adalah Ketentuan yang mengandug Ps. 48: Pidana pokok berupa penjara
Larangan Monopoli dan setiap orang perorangan atau sanksi pidana ditujukan kepada dan denda
Persaingan Usaha Tidak badan usaha, baik yang berbentuk pelaku usaha, misal Ps. 4, Ps. 9,
Sehat badan hukum atau bukan badan Ps. 14 dst. (sehingga dapat Ps. 49: Pidana tambahan berupa:
hukum yang didirikan dan disimpulkan bahwa segala a. Pencabutan izin usaha
berkedudukan atau melakukan bentuk kolektif yang disebutkan b. Larangan untuk menduduki
kegiatan dalam wilayah hukum pada Ps. 1 (5) adalah aktor jabatan direksi atau komisaris
negara Republik Indonesia, baik kolektif yang merupakan subjek selama jangka waktu tertentu
sendiri maupun bersama-sama hukum mandiri yang terpisah c. Penghentian kegiatan atau
melalui perjanjian, dan dapat bertanggung jawab tindakan tertentu yang
menyelenggarakan berbagai atas namanya sendiri. menyebabkan timbulnya
kegiatan usaha dalam bidang kerugian pada pihak lain.
ekonomi.

21
UU ini menggunakan istilah badan, lembaga dan organisasi yang cukup berbeda dengan UU yang lain dalam mengakomodasi bentuk kolektif, tetapi sayang UU ini
tidak memberikan penjelasan lebih lanjut tentang definisi badan, lembaga dan organisasi yang digunakan pada UU ini.

409
36. UU No. 8/1999 Tentang Ps. 1 (3): pelaku usaha (dengan Ps. 61: Pelaku usaha dan/atau Ps. 62: Pidana pokok berupa penjara
Perlindungan Konsumen pengertian pelaku usaha sama pengurusnya (karena pengertian dan denda
persis dengan pengertian pelaku pelaku usaha adalah juga
usaha pada UU 5/1999 Tentang termasuk badan usaha baik yang Ps. 63: Pidana tambahan berupa:
Larangan Monopoli dan berbadan hukum maupun yang a. Perampasan barang tertentu
Persaingan Usaha Tidak Sehat tidak berbadan huku, maka UU b. Pengumuman putusan hakim
ini mengakui bahwa badan usaha c. Pembayaran ganti rugi
adalah subjek hukum mandiri d. Perintah penghentian kegiatan
yang bisa bertanggungjawab atas tertentu yang menyebabkan
namanya sendiri) timbulnya kerugian konsumen
e. Kewajiban penarikan barang dari
peredaran; atau
f. Pencabutan izin usaha.

37. UU No. 23/1999 Jo. UU No. Ps. 2 (4): setiap orang atau badan Ps. 66: menjelaskan sanksi Ps. 66-71: denda
3/2004 Tentang Bank pidana atas pelanggaran Ps. 2 (4)
Indonesia yang ditujukan kepada setiap
orang atau badan

Ps. 71 (2): badan

38. UU No. 24/1999 Tentang Ps. 1 (3): Penduduk adalah orang, Ps. 6: menjelaskan sanksi pidana Ps. 6: pidana denda
Lalu lintas Devisa dan badan hukum, atau badan lainnya, yang dapat diberikan atas
Sistem Nilai Tukar yang berdomisili atau berencana pelanggaran Ps. 3 (2) yang Ps. 7: tambahan sanksi adminsitratif,
berdomisili di Indonesia menyebutkan TP yang dapat berupa:

410
sekurang-kurangnya 1 (satu) dilakukan oleh penduduk. a. Teguran tertulis
tahun, termasuk perwakilan dan Sehingga norm adresat dari b. Denda
staf diplomatik RI di luar negeri ketentuan ini adalah penduduk c. Pencabutan izin usaha
sebagaimana dijelaskan pada Ps.
1 (3), yang didalamnya juga
termasuk badan hukum atau
badan lain.

39. UU No. 31/1999 Jo. UU No. Ps. 1 (1): korporasi adalah Ps. 20: korporasi dan atau Ps. 20 (7): pidana denda dengan
20/2001 Tentang kumpulan orang dan atau pengurusnya22 ketentuan maksimum ditambah 1/3
Pemberantasan Tindak kekayaan yang terorganisasi baik (satu pertiga).
Pidana Korupsi merupakan badan hukum maupun
bukan badan hukum. Ps. 18: Pidana 
 tambahan:

Ps. 1 (3): setiap orang adalah a. Perampasan barang bergerak,


berwujud, yang tidak berwujud,
orang perseorangan atau termasuk barang tidak bergerak yang
korporasi digunakan untuk atau yang
diperoleh dari tipikor, termasuk
perusahaan milik terpidana di mana
tindak pidana korupsi dilakukan,

22
Pada penjelasan Ps. 20 (1) dijelaskan pengurus adalah organ korporasi yang menjalankan kepengurusan korporasi yang bersangkutan sesuai dengan anggaran dasar,
termasuk mereka yang dalam kenyataanya memiliki kewenangan dan ikut memutuskan kebijakan korporasi. Dapat disimpulkan bahwa pengurus menurut UU ini
tidak hanya pengurus berdasarkan AD korporasi, tetapi juga adalah pengurus yang mungkin tidak berada dalam AD tetapi dalam kenyataanya ikut serta dalam
pengambilan kebijakan korporasi tersebut. Pengaturan seperti ini dirasa perlu untuk setiap ketentuan yang mengatur tentang pertanggungjawaban pidana yang
melihatkan organisasi, karena dalam kenyataannya sering kali banyak kepentingan dari pihak yang tidak ada dalam susunan organisasi tetapi memiliki pengaruh
yang besar dalam suatu keputusan yang diambil oleh organisasi.

411
begitu pula dari barang yang
menggantikan barang-barang
tersebut;

b. Pembayaran uang
pengganti maksimal sama dengan
harta benda yang diperoleh dari
tipikor;

c. Penutupan seluruh atau sebagian


perusahaan untuk waktu paling
lama 1 (satu) tahun;

d. Pencabutan seluruh atau


sebagian hak-hak tertentu atau
penghapusan seluruh atau sebagian
keuntungan tertentu, yang telah
atau dapat diberikan oleh
Pemerintah kepada terpidana.

40. UU No. 36 Tahun 1999 Ps. 1 (8): penyelenggara Ps. 11 (1), 20, penyelenggaran Ps. 47-59: penjara dan atau denda
Tentang Telekomunikasi telekomunikasi adalah telekomunikasi (yang merujuk
perseorangan, koperasi, BUMN, kembali pada ketentuan Ps. 1
BUMD, Badan Usaha swasta, (8)).
instansi pemerintah dan instansi
pertahanan negara. Ps. 48: Penyelenggara jaringan
telekomunikasi

412
41. UU No. 40/1999 Tentang Ps. 1 (2): Perusahaan pers adalah Ps. 18: Perusahaan pers Ps. 18: penjara atau denda
Pers badan hukum Indonesia yang
menyelenggarakan usaha pers
meliputi media cetak, media
elektronik, dan kantor berita serta
perusahaan media lainnya yang
secara khusus menyelenggarakan,
menyiarkan, atau menyalurkan
informasi.

41. UU No. 41/1999 Jo. UU No. Ps. 78 (14): badan hukum atau Ps. 78 (14): Pengurusnya baik Ps. 78 (14): sesuai dengan ancaman
19/2004 Tentang Kehutanan badan usaha sendiri-sendiri atau bersama- pidana ditambah 1/3 (satu pertiga)
sama
Ps. 78 (15): semua hasil hutan dari
hasil kejahatan atau pelanggaran
dirampas untuk negara.

42. UU No. 42/1999 Tentang Ps. 1 (10): Setiap orang adalah Ps. 35: setiap orang Ps. 35: Penjara dan denda
Fidusia orang perseorangan atau korporasi

43. UU No. 56/1999 Tentang Ps. 1 (5): korporasi adalah Ps. 41: apabila perbuatan yang Ps. Bab V (Ketentuan Pidana):
Rakyat Terlatih kumpulan orang dan/atau diancam dengan pidana penjara semua sanksi berbentuk pidana

413
kekayaan yang terorganisasi, baik dilakukan oleh korporasi, sanksi penjara. (sehingga dalam konteks
merupakan badan hukum maupun diberikan kepada pengurusnya pidana, korporasi tidak dapat
bukan badan hukum. dikenakan secara pribadi sanksi
pidana tetapi hanya pengurus)

44. UU No. 14/2001 Tentang Ps. 129: badan hukum Ps. 129: Badan hukum Bab XV (Ketentuan Pidana): penjara
Paten23 (meskipun tidak disebutkan dan/atau denda (meskipun dalam
dengan jelas bahwa badan ketentuan ini hanya disebutkan
hukum merupakan subjek dari ‘barang siapa’ tanpa menjelaskan
ketentuan yang mengandung siapa saja yang termasuk ‘barang
sanksi pidana tetapi pada Ps. 129 siapa’ tetapi dapat disimpulkan dari
disebutkan bahwa TP di bidang Ps. 129 bahwa TP di bidang paten
paten bisa dilakukan oleh orang bisa juga dilakukan oleh badan
atau badan hukum. hukum.

45. UU No. 22/2001 Tentang Ps. 1 (17): Badan usaha adalah Ps. 56 (1): Badan usaha dan Ps. 56 (1): pidana denda, dengan
Minyak dan Gas Bumi perusahaan berbentuk badan bentuk usaha tetap dan/atau ketentuan paling tinggi pidana denda
hukum yang menjalankan jenis pengurusnya ditambah sepertiganya.
usaha bersifat tetap, terus-
menerus dan didirikan
berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku serta
bekerja dan berkedudukan di

23
Pengaturan yang hampir sama juga dapat ditemui pada UU No. 15/2001 Tentang Merek. UU tentang Paten ini telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan
Indonesia, Undang-Undang tentang Paten, UU No. 13/2016, LN No. 176 Tahun 2016, TLN No. 5922.

414
wilayah NKRI.

Ps. 1 (18): Bentuk usaha tetap


adalah badan usaha yang didirikan
dan berbadan hukum di luar
NKRI yang melakukan kegiatan
di wilayah NKRI.

46. UU No. 28/2002 Tentang Ps. 1 (9): Pemilik bangunan Ps. 47 (1): setiap orang atau Ps. 47 (2): kurungan dan atau denda
Bangunan Gedung gedung adalah orang, badan badan
hukum, kelompok orang atau
perkumpulan yang menurut
hukum sah sebagai pemilik
bangunan gedung

Ps. 47: badan

Penjelasan Ps. 8 (2): yang


dimaksud dengan badan hukum
privat antara lain adalah PT,
yayasan, badan usaha yang lain,
seperti CV, firma dan bentuk
usaha lainnya. Sedangkan badan
hukum publik antara lain
instansi/lembaga pemerintahan,
BUMN, BUMD, Perum, Perjan,

415
Persero.

47. UU No. 13/2003 Tentang Ps. 1 (5): Pengusaha adalah orang Meskipun Pasal-pasal yang Ps. 183-189: Pidana penjara dan
Ketenagakerjaan perseorangan, persekutuan, atau mengatur ketentuan pidana (Ps. denda
badan hukum yang menjalankan 183-189), tidak secara tegas
suatu perusahaan... menyebutkan suatu perusahaan
atau pengusaha dapat dipidana
Ps. 1 (6): Perusahaan adalah: sebagai subjek hukum
a. Setiap bentuk usaha yang independen, tetapi hanya
berbadan hukum atau tidak, menyebutkan ‘barang siapa’,
milik orang perseorangan, namun dari ketentuan yang diacu
persekutuan atau badan hukum, oleh pasal ini merujuk kepada
baik swasta maupun milik perbuatan pengusaha dan
negara yang mempekerjakan perusahaan yang diatur seperti
pekerja/buruh... dalam Ps. 42, Ps. 68, Ps. 74, Ps.
b. usaha-usaha sosial dan usaha- 80 dst.
usaha lain yang mempunyai
pengurus dan mempekerjakan
orang lain dengan membayar
upah...

48. UU No. 15/2003 Tentang Ps. 1 (2): Setiap orang adalah Ps. 17: korporasi dan/atau Ps. 18: denda paling banyak satu
Penetapan PP Pengganti UU orang perseorangan, kelompok pengurusnya triliun, dibekukan atau dicabut
No. 1/2002 Tentang orang, baik sipil maupun militer izinnya dan dinyatakan sebagai
Pemberantasan Tindak maupun polisi yang bertanggung

416
Pidana Terorisme menjadi jawab secara individual atau korporasi yang terlarang.
UU korporasi.

Ps. 1 (3): Korporasi adalah


kumpulan orang dan/atau
kekayaan yang terorganisasi baik
merupakan badan hukum maupun
bukan badan hukum.

49. UU No. 7/2004 Tentang Ps. 96: Badan Usaha Ps. 96: Badan Usaha Ps. 96: denda ditambah denda yang
Sumber Daya Air24 dijatuhkan

50. UU No. 15/2004 Tentang Penjelasan Ps. 10: yang Ketentuan pidana yang diatur Bab VI (Ps. 24-Ps.26): Penjara
Pemeriksaan Pengelolaan dimaksud dengan seseorang pada Bab VI (Ps. 24-Ps.26) dan/atau denda
dan Tanggung Jawab adalah orang perseorangan atau ditujukan kepada ‘setiap orang’
Keuangan Negara badan hukum dan ‘setiap pemeriksa’. Salah
satu ketentuan yang diancam
dengan ketentuan pidana adalah
pelanggaran atas Ps. 10,
sehingga dapat disimpulkan
dalam hal ini badan hukum
adalah subjek hukum mandiri
yang dapat bertanggung jawab
atas namanya sendiri karena

24
Dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan Putusan MK Nomor 85/PPU-XI/2013.

417
sebagaimana penjelasan Ps. 10
dijelaskan bahwa badan hukum
termasuk dalam makna
25
seseorang.

51. UU No. 24/2004 Tentang Ps. 95 (3) dan (4): Badan Ps. 95 (3) dan (4): Badan Ps. 95 (3) dan (4): Penjara serta
Lembaga Penjamin denda
Simpanan

52. UU No. 29/2004 Tentang Ps. 80: korporasi26 Ps. 80: korporasi Ps. 80: denda ditambah sepertiga dan
Praktik Kedokteran pidana tambahan berupa pencabutan
izin

53. UU No. 31/2004 Jo. UU Ps. 1 (14): setiap orang adalah Ps. 101: Pengurus27 Bab XV (Ps. 84 - Ps. 104): penjara
No.45/2009 Tentang orang perseorangan atau korporasi dan denda (dengan denda yang
Perikanan cukup besar bahkan ada yang
Ps. 1 (15): korporasi adalah maksimal dua puluh miliar), namun
kumpulan orang dan/atau sayang tidak mengakomodir
kekayaan yang terorganisasi baik pertanggungjawaban pidana oleh

25
Pasal yang mengatur ketentuan pidana yang ditujukan kepada ‘setiap pemeriksa’ sepertinya tidak bisa disimpulkan ditujukan kepada Badan Pemeriksa
Keuangannya tetapi lebih kepada individu perorangan pemeriksa, meskipun pada Ps. 1 (3) dijelaskan yang dimaksud dengan pemeriksa adalah orang yang
melaksanakan tugas pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara untuk dan atas nama BPK.
26
Pada Pasal 80 secara tegas dijelaskan apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh korporasi. Apabila menggunakan penalaran legal formal maka menurut UU ini,
hanya Pasal 80 ini saja yang bisa diberikan sanksi pidana kepada korporasi sedangkan pelanggaran atas pasal-pasal lain yang ditujukan kepada ‘setiap orang’ tidak
bisa diberikan kepada korporasi.
27
Pasal ini menegaskan bahwa meskipun pada Ps. 1 (14) dijelaskan setiap orang adalah juga termasuk korporasi, namun pertanggungjawaban pidananya hanya
diberikan kepada pengurusnya saja dan tidak kepada korporasinya.

418
merupakan badan hukum maupun korporasi hanya pengurus saja.
bukan badan hukum

54. UU No. 38/2004 Tentang Ps. 1 (19): orang adalah orang Ps. 65: Badan usaha28 Ps. 65 (1): pidana denda ditambah
Jalan perseorangan atau badan usaha sepertiga denda yang dijatuhkan
baik yang berbadan hukum
maupun yang tidak berbadan
hukum.

55. UU No. 39/2004 Tentang Ps. 1 (15): orang adalah pihak Bab XIII (Ps. 102 – 104): Bab XIII (Ps. 102 – 104): penjara
Penempatan dan orang perseorangan atau badan ketentuan pidana yang ditujukan dan/atau denda
Perlindungan Tenaga Kerja hukum kepada ‘setiap orang’, sehingga
Indonesia di Luar Negeri dapat disimpulkan badan hukum
adalah subjek hukum mandiri
yang dapat bertanggung jawab
secara mandiri atas namanya
sendiri

56. UU No. 12/2006 Tentang Ps. 1 (6): setiap orang adalah Ps. 38 (1): korporasi dan/atau Ps. 38 (2): denda dan dicabut izin
Kewarganegaraan orang perseorangan, termasuk pengurus yang bertindak untuk usahanya
korporasi dan atas nama korporasi

28
Pasal ini menegaskan ada tiga pasal (Ps. 12, 42, dan Ps. 54), yang apabila dilanggar maka sanksinya diberikan kepada badan usahanya saja. Dengan adanya
pengaturan mengenai hal ini, maka akan menjadi rancu apakah ketentuan pasal lain yang ada sanksi pidananya yang ditujukan kepada ‘setiap orang’ apabila
dilanggar tidak bisa diberikan kepada badan usahanya.

419
57. UU No. 21/2007 Tentang Ps. 1 (4): Setiap orang adalah Ps. 13-15: korporasi dan/atau Ps. 15 (1): pidana denda dengan
Pemberantasan Tindak orang perseorangan atau korporasi pengurusnya pemberatan 3 (tiga) kali daripada
Pidana Perdagangan Orang yang melakukan tindak pidana denda untuk orang perseorangan
perdagangan orang
Ps. 15 (2): pidana tambahan, berupa:
Ps. 1 (6): korporasi adalah
kumpulan orang dan/atau a. pencabutan izin usaha
kekayaan yang terorganisasi baik b. perampasan kekayaan hasil
merupakan badan hukum maupun tindak pidana
bukan badan hukum c. pencabutan status badan
hukum
Ps. 16: Kelompok yang d. pemecatan pengurus
29
terorganisasi e. pelarangan kepada pengurus
tersebut untuk mendirikan
korporasi dalam bidang usaha
yang sama.

Ps. 16: dalam hal TP perdagangan


orang dilakukan oleh kelompok
terorganisasi: denda ditambah 1/3
(satu pertiga)

29
Meskipun ketentuan ini memberikan pengertian korporasi sebagai kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, tetapi membedakan pengaturan antara
tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi (yaitu diatur pada Ps. 13-15), dan pengaturan khusus mengenai tindak pidana perdagangan orang yang dilakukan oleh
‘kelompok yang terorganisasi’ (Ps. 16), sehingga dapat disimpulkan bahwa UU ini tidak menganggap sama antara korporasi dengan ‘kelompok yang terorganisasi’.

420
58. UU No. 2/2008 Jo. UU No. Ps. 49: perusahaan atau badan Ps. 49: setiap orang atau Ps. 49: penjara dan denda
2/2011 Tentang Partai usaha perusahaan dan atau badan
Politik usaha30

59. UU No. 11/2008 Tentang Ps. 1 (21): orang adalah orang Bab XI (Ps. 45-52): semua Ps. 52 (4): pidana pokok ditambah
Informasi dan Transaksi perseorangan, baik WNI, WNA, ketentuan pidana mengacu dua pertiga
Elektronik maupun badan hukum kepada ‘setiap orang’. Sehingga
dapat disimpulkan termasuk
Ps. 1 (22): Badan usaha adalah didalamnya juga diatur badan
perusahaan perseorangan atau hukum sebagai subjek hukum
perusahaan persekutuan, baik mandiri.
yang berbadan hukum maupun
yang tidak berbadan hukum Ps. 52 (4): Korporasi31

60. UU No. 14/2008 Tentang Ps. 1 (3): Badan publik adalah Bab XI (Ps. 51 – 57): ketentuan Bab XI (Ps. 51 – 57): pidana penjara
Keterbukaan Informasi lembaga eksekutif, legislatif, yang mengandung sanksi pidana dan/atau denda
Publik yudikatif, dan badan lain yang ditujukan kepada orang dan
fungsi dan tugas pokoknya

30
Pasal ini mengatur tentang sanksi pidana yang bisa diberikan kepada orang, perusahaan atau badan usaha yang memberikan sumbangan kepada partai politik
melebihi dari ketentuan yang ditetapkan UU ini. Tetapi untuk partai politik yang menerima sumbangan tidak diberikan sanksi kepada partai politiknya, tetapi
kepada pengurusnya saja. (sebagaimana diatur dalam Ps. 49 (2) dengan sanksi penjara dan denda). Namun, dalam ayat 3 Ps ini dijelaskan bahwa sumbangan yang
diterima oleh partai politik yang melebihi batas ketentuan akan disita oleh Negara.
31
Walaupun tidak dimunculkan pada Ps. 1 tentang pengertian-pengertian, tetapi Ps. 52 mengatur ketentuan mengenai sanksi yang diberikan kepada korporasi yang
melakukan TP ITE. Agar tidak menimbulkan kebingungan, peristilahan yang digunakan seharusnyalah konsisten karena ketika pengertian orang yang dijelaskan
pada Ps. 1 (21) adalah perseorangan dan atau badan hukum, tetapi pada pasal mengenai sanksi menggunakan istilah korporasi bukannya badan hukum menjadi
rancu, karena apabila dilihat pengertian keduanya adalah cukup berbeda (kalau korporasi yang dimaksudkan adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang
terorganisasi baik berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum).

421
berkaitan dengan badan publik
penyelenggaraan negara, yang
sebagian atau seluruh dananya
bersumber dari APBN dan/atau
APBD, atau organisasi
nonpemerintah sepanjang
sebagian atau seluruh dananya
bersumber dari APBN dan/atau
APBD, sumbangan masyarakat,
dan/atau luar negeri.

Ps. 1 (10): orang adalah orang


perseorangan, kelompok orang,
badan hukum, atau badan publik
sebagaimana dimaksud dalam UU
ini.

61. UU No. 17/2008 Tentang Ps. 1 (61): setiap orang adalah Ps. 333: korporasi dan/atau Ps. 335: denda dengan pemberatan 3
Pelayaran orang perseorangan atau korporasi pengurus (tiga) kali dari pidana denda untuk
pengurus

62. UU No. 21/2008 Tentang Ps. 59: Badan hukum Ps. 59: mereka yang memberi
Perbankan Syariah perintah dan/atau yang bertindak
sebagai pemimpin dalam TP
tersebut

422
63. UU No. 44/2008 Tentang Ps. 1 (3): Setiap orang adalah Ps. 40 (1): korporasi dan/atau Ps. 40: maksimum pidanan dikalikan
Pornografi orang perseorangan atau pengurusnya 3 (tiga) dari pidana dendan yang
korporasi, baik yang berbadan ditentukan
hukum maupun yang tidak
berbadan hukum Ps. 41: Pidana tambahan, berupa:

a. pembekuan izin usaha,


b. pencabutan izin usaha
c. perampasan kekayaan hasil TP
d. pencabutan status badan hukum

64. UU No. 1/2009 Tentang Ps. 1 (55): setiap orang adalah Ps. 441: korporasi dan/atau Ps. 443: dendan dengan pemberatan
Penerbangan orang perseorangan atau korporasi pengurus 3 (tiga) kali dari pidana denda untuk
pengurus

65. UU No. 22/2009 Tentang Ps. 7: Penyelenggaraan lalu lintas Ps. 273: Penyelenggara jalan Ps. 273: penjara atau denda (dengan
Lalu Lintas dan Angkutan dan angkutan jalan dalam pidana yang relatif kecil)
Jalan kegiatan pelayanan langsung Ps. 315: Perusahaan angkutan
kepada masyarakat dilakukan oleh umum dan/atau pengurusnya Ps. 315: dalam hal tindak pidana
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dilakukan oleh perusahaan angkutan
badan hukum, dan/atau umum, pidana denda paling banyak
masyarakat. dikalikan 3 (tiga)

Ps. 1 (21): Perusahaan angkutan Ps. 315: dalam hal tindak pidana
umum adalah badan hukum yang dilakukan oleh perusahaan angkutan
menyediakan jasa angkutan orang umum, dapat diberikan pidana

423
dan/atau barang dengan kendaraan tambahan berupa pembekuan
bermotor umum. sementara atau pencabutan izin

66. UU No. 30/2009 Tentang Ps. 1 (18): setiap orang adalah Ps. 55 (1): Badan usaha dan/atau Ps. 55 (2): Pidana yang dikenakan
Ketenagalistrikan orang perorangan atau badan baik pengurusnya berupa denda maksimal ditambah
yang berbadan hukum maupun sepertiganya.
yang bukan berbadan hukum.

67. UU No. 32/2009 Tentang Ps. 1 (32): setiap orang adalah Ps. 116: badan usaha dan/atau Ps. 117: apabila tuntutan pidana
Perlindungan dan orang perseorangan atau badan yang memberi perintah atau diajukan kepada pemberi perintah,
Pengelolaan Lingkungan usaha, baik yang berbadan hukum pemimpin dalam kegiatan tindak maka sanksi pidana diperberat
Hidup maupun yang tidak berbadan pidana sepertiga.
hukum.
Ps. 119: Pidana tambahan dan
tindakan tata tertib berupa:

a. Perampasan keuntungan yang


diperoleh dari tindak pidana
b. Penutupan seluruh atau sebagian
tempat usaha dan/atau kegiatan
c. Perbaikan akibat tindak pidana
d. Pewajiban mengerjakan apa yang
dilalaikan tanpa hak; dan/atau
e. Penempatan perusahaan dibawah
pengampuan paling lama 3 (tiga)

424
tahun.

68. UU No. 33/2009 Tentang Ps. 82: korporasi Ps. 82 (2): korporasi dan/atau Ps. 82 (1): Pidana denda ditambah
Perfilman pengurus korporasi 1/3 (satu pertiga) dari ancaman
pidananya

Ps. 82 (3): Pidana tambahan:

a. Perampasan keuntungan yang


diperoleh dari TP
b. Pencabutan izin usaha

69. UU No. 35/2009 Tentang Ps. 1 (21): korporasi adalah Ps. 130: korporasi Ps. 130 (1): selain pidana penjara
Narkotika kumpulan terorganisasi dari orang dan denda terhadap pengurusnya,
dan/atau kekayaan, baik pidana yang dapat dijatuhkan
merupakan badan hukum maupun terhadap korporasi berupa pidana
bukan badan hukum denda dengan pemberatan 3 (tiga)
kali dari pidana denda untuk orang
perorangan.

Ps. 130 (2): pidana tambahan berupa:

a. Pencabutan izin usaha; dan/atau


b. Pencabutan status badan hukum
Ps. 132 (2): apabila dilakukan secara
terorganisasi, pidana penjara dan

425
denda maksimumnya ditambah 1/3
(sepertiga).

70. UU No. 36/2009 Tentang Ps. 201 (1): korporasi Ps. 201 (1): korporasi Ps. 201 (1): denda dengan
Kesehatan pemberatan 3 (tiga) kali

Ps. 201 (2): Pidana tambahan:

a. Pencabutan izin usaha


b. Pencabutan badan hukum

71. UU No. 38/2009 Tentang Ps. 1 (13): orang adalah orang Ps. 42: Penyelenggara pos Ps. 42-47: Pidana penjara atau denda
Pos perseorangan ataupun badan
hukum. (dapat diasumsikan bahwa badan
usaha nya juga dapat
Ps. 4 (1): Penyelenggaraan pos bertanggung jawab sebagai
dilakukan oleh badan usaha pribadi hukum mandiri)
berbadan hukum Indonesia.
Ps. 43-47: merujuk kepada
Ps. 4 (2): sanksi pidana yang ditujukan
kepada setiap orang.
Badan usaha dapat berbentuk: Sebagaimana dijelaskan pada Ps.
a. BUMN 1 (13) bahwa orang adalah juga
b. BUMD termasuk badan hukum,
c. Badan Usaha Milik Swasta sehingga badan hukum dapat
d. Koperasi juga dikenakan sanksi pidana

426
atas pelanggaran ketentuan ini.

72. UU No. 8/2010 Tentang Ps. 1 (9): Setiap orang adalah Ps. 6: korporasi dan/atau Ps. 7 (1): Pidana denda
Tindak Pidana Pencucian orang perseorangan atau korporasi personil pengendali korporasi
Uang Ps. 7 (2): Pidana tambahan, berupa:
Ps. 1 (10): korporasi adalah
kumpulan orang dan/atau a. pengumuman putusan hakim,
kekayaan yang terorganisasi, baik b. pembekuan sebagian atau seluruh
merupakan badan hukum maupun kegiatan usaha koperasi,
bukan badan hukum. c. pencabutan izin usaha,
d. pembubaran dan/atau pelarangan
korporasi
e. Perampasan aset korporasi untuk
negara,
f. Pengambilalihan korporasi oleh
negara.

Ps. 9 (1): dalam hal korporasi tidak


mampu membayar pidana denda
tersebut, diganti dengan perampasan
harta kekayaan milik korporasi atau
personil pengendali korporasi.

Ps. 9 (2): dalam hal penjualan harta


kekayaan milik korporasi tidak

427
mencukupi, pidana kurungan
pengganti denda dijatuhkan kepada
personil pengendali korporasi.

73. UU No. 11/2010 Tentang Ps. 1 (35): setiap orang adalah Ps. 113 (1): badan usaha Ps. 113 (2): dipidana dengan
Cagar Budaya perseorangan, kelompok orang, dan/atau orang yang memberi ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana
masyarakat, badan usaha perintah untuk melakukan tindak denda terhadap orang perseorangan
berbadan hukum, dan/atau badan pidana
usaha bukan berbadan hukum. Ps. 115 (1): Pidana tambahan
berupa:

a. Kewajiban mengembalikan
bahan, bentuk, tata letak,
dan/atau teknik pengerjaan
sesuai dengan aslinya atas
tanggungan sendiri; dan/atau
b. Perampasan keuntungan yang
diperoleh dari tidak pidana

Ps. 115 (2): Pencabutan izin usaha

74. UU No. 1/2011 Tentang Ps. 1 (25): setiap orang adalah Ps. 155: Badan hukum Ps. 155: Kurungan atau denda
Perumahan dan Kawasan orang perseorangan atau “badan (walaupun pasal ini secara tegas
Permukiman hukum” ditujukan kepada badan hukum,
tetapi sanksinya masih berupa
Ps. 1 (26): Badan hukum adalah

428
badan hukum yang didirikan WNI kurungan)
yang kegiatannya dibidang
penyelenggaraan perumahan dan
kawasan pemukiman.

75. UU No. 10/2011 Tentang Ps. 1 (13): Pihak adalah orang Ps. 71-73: setiap pihak dapat Ps. 71-73: pidana penjara dan denda
Perubahan atas UU No. perseorangan, koperasi, badan dijatuhi sanksi pidana (apabila
32/1997 Tentang usaha lain, badan usaha bersama, dikaitkan dengan pengertian (perumus UU menyebutkan penjara
Perdagangan Berjangka asosiasi, atau kelompok orang pihak pada Ps. 1 (13) maka dan denda bukan sebagai pilihan tapi
Komoditi perseorangan, dan/atau berarti badan usaha dilihat berdampingan secara bersamaan,
perusahaan yang terorganisir sebagai subjek hukum mandiri yang mana hal ini tidak
yang dapat dimintai dimungkinkan apabila terpidana
pertanggungjawaban secara adalah badan usaha sebagai subjek
pribadi) hukum)

76. UU No. 21/2011 Tentang Ps. 52 – 54: Korporasi Bab XII (Ps. 52 – 54):
Otoritas Jasa Keuangan Korporasi Bab XII (Ps. 52 – 54): denda
sebanyak 3 (tiga) kali lipat dari
denda untuk orang perorangan 32
dan/atau sebesar jumlah kerugian

32
Naskah lengkap dari pasal-pasal dalam UU ini sebenarnya tidak menyebutkan bahwa denda yang diberikan kepada korporasi itu adalah 3 (tiga) kali lipat dari denda
yang diberikan kepada orang perorangan, tetapi menyebutkan nominal maksimumnya. Dan ketentuannya diulang-ulang disetiap pasal yang mengandung ketentuan
pidana. Misalnya pada Ps. 52 (1) dijelaskan bahwa sanksi bagi orang perorangan adalah 15.000.000.000,00 (lima belas miliar), kemudian pada ayat 2 dari pasal ini
menjelaskan apabila kejahatan tersebut dilakukan oleh korporasi maka denda maksimumnya adalah 45,000,000,000,00 (empat puluh lima miliar). Dan hal ini
berulang untuk pasal-pasal berikutnya yang mengandung ketentuan pidana (Ps. 53 dan Ps. 54). Sepertinya kurang efektif membuat pengulangan yang seharusnya
tidak perlu dilakukan seperti itu.

429
yang ditimbulkan akibat pelanggaran
tersebut.

77. UU No. 24/2011 Tentang Ps. 1 (9): Pemberi kerja adalah Ps. 55 ditujukan kepada pemberi
Badan Penyelenggara orang perseorangan, pengusaha, kerja (sebagaimana dijelaskan Ps. 55: bagi pemberi kerja dapat
Jaminan Sosial badan hukum, atau badan lainnya pada Ps. 1 (9) bahwa pemberi dipidana penjara paling lama 8
yang mempekerjakan tenaga kerja kerja termasuk adalah badan (delapan) tahun atau pidana denda
atau penyelenggara negara yang hukum atau badan lainnya dan paling banyak Rp.1.000.000.000,-
mempekerjakan pegawai negeri juga penyelenggara negara). (satu milyar rupiah)
dengan membayar gaji, upah, atau Sehingga dapat disimpulkan
imbalan dalam bentuk lainnya. badan-badan yang disebutkan
diatas dapat bertanggung jawab
sebagai suatu subjek hukum
mandiri atas namanya sendiri.

77. UU No. 8/2012 Tentang Ps. 79: Pelaksana kampanye Ps. 79: organisasi pelaksana
Pemilihan Umum Anggota pemilu anggota DPR, DPRD kampanye pemilu BAB XII (Ps. 273 – 321): Penjara
DPR, DPD, dan DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/kota dan denda
terdiri atas..... orang seorang dan Ps. 303: kelompok, perusahaan
organisasi yang ditunjuk oleh dan/atau badan usaha non
perserta pemilu... pemerintah

Ps.303: kelompok, perusahaan Ps. 306: perusahaan percetakan


dan/atau badan usaha non surat suara
pemerintah

430
Ps. 306: setiap perusahaan
percetakan surat suara

Ps. 317: Pelaksana kegiatan


penghitungan cepat33

Ps. 312: Penyelenggara Pemilu34

78. UU No. 18/2012 Tentang Ps. 1 (38): setiap orang adalah Ps. 148: korporasi dan atau
Pangan orang perseorangan atau pengurus Ps. 148 (1): pidana denda dengan
korporasi, baik yang berbadan pemberatan 3 (tiga) kali pidana
hukum maupun yang tidak denda terhadap perseorangan
berbadan hukum
Ps. 148 (2): Pidana tambahan
berupa:

a. Pencabutan hak-hak tertentu,


b. Pengumuman putusan hakim.

33
Pasal ini menjelaskan sanksi pidana bagi “pelaksana kegiatan penghitungan cepat”, namun tidak jelas juga apakah yang ditujukan itu adalah lembaganya atau
individu saja, karena tidak ada keterangan mengenai hal tersebut secara jelas.
34
Pasal ini menjelaskan bahwa Penyelenggara pemilu apabila melakukan TP akan dikenakan sanksi lebih berat satu pertiga dari ketentuan pidana. Namun apakah
yang dimaksudkan pasal ini adalah Komisi Pemilihan Umum sebagai lembaga penyelenggara pemilu ataukah hanya kepada anggota KPU saja, dimana pada Ps. 1
(6) dijelaskan Komisi Pemilihan Umum atau KPU adalah lembaga penyelenggara pemilu yang bersifat tetap, dan mandiri yang bertugas melaksanakan pemilu.

431
79. UU No. 1/2013 Tentang Ps. 34: dalam hal TP dilakukan Ps. 34: mereka yang
Lembaga Keuangan Mikro oleh badan hukum yang berbentuk memberikan perintah atau
PT atau koperasi bertindak sebagai pimpinan
dalam TP

80. UU No. 18/2013 Tentang Ps. 1 (21): setiap orang adalah Ps. 82 – Ps. 104: korporasi
Pencegahan dan orang perseorangan dan/atau (dalam setiap ayat pasal-pasal Ps. 109 (5): Pidana pokok berupa
Pemberantasan Perusakan korporasi yang melakukan tersebut diatas menguraikan denda
Hutan perbuatan perusakan hutan secara secara terpisah ketentuan untuk
Ps. 109 (6): Pidana tambahan berupa
terorganisasi di wilayah hukum orang perseorangan dan
penutupan seluruh atau sebagian
Indonesia dan/atau berakibat korporasi)
perusahaan
hukum di wilayah hukum
Indonesia. Ps. 109: korporasi dan/atau
pengurusnya
Ps. 1 (21): Korporasi adalah
kumpulan orang dan/atau
kekayaan yang terorganisasi, baik
berupa badan hukum maupun
bukan badan hukum.

81. UU No. 19/2013 Tentang Ps. 1 (8): setiap orang adalah Ps. 104: Korporasi dan atau
Perlindungan dan orang perseorangan atau pengurusnya Ps. 104: pidana denda dengan
Pemberdayaan Petani korporasi, baik yang berbadan pemberatan 1/3 (satu pertiga) dari
hukum maupun yang tidak pidana denda terhadap perseorangan
berbadan hukum

432
82. UU No. 21/2013 Tentang Ps. 100: Korporasi atau badan Ps. 100: apabila tindak pidana
Keantariksaan hukum dilakukan oleh korporasi atau Ps. 100: Pidana denda dengan
badan hukum pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana
denda terhadap orang.

83. UU No. 3/2014 Tentang Ps. 1 (7): Setiap orang adalah Ps. 121: korporasi dan/atau
Perindustrian orang perseorangan atau korporasi pengurus Ps. 120: Penjara dan denda

Ps. 1 (8): korporasi adalah


kumpulan orang dan/atau
kekayaan yang terorganisasi, baik
merupakan badan hukum maupun
bukan badan hukum

84. UU No. 39/2014 Tentang Ps. 1 (15): setiap orang adalah Ps. 133: korporasi dan atau Ps. 133: pidana denda maksimal
Perkebunan orang perseorangan atau pengurus ditambah sepertiga dari pidana denda
korporasi, baik yang berbadan terhadap orang perorangan
hukum maupun yang tidak
berbadan hukum

85. UU No. 40/2014 Tentang Ps. 1 (34): Setiap orang adalah Ps. 81: Korporasi, Pengendali Ps. 82: Pidana yang dijatuhkan
Perasuransian orang perseorangan atau korporasi dan/atau pengurus yang terhadap korporasi adalah pidana
bertindak untuk dan atas nama denda paling banyak
korporasi Rp600.000.000,00 (enam ratus miliar
rupiah)

433
86 UU No. 7/2016 Tentang Ps. 1 (26): setiap orang adalah BAB IX (Ps. 73-74): mengatur BAB IX (Ps. 73-74): Penjara
Perlindungan dan orang perseorangan atau tindak pidana yang ditujukan dan/atau denda
Pemberdayaan Nelayan, korporasi, baik yang berbentuk bagi “setiap orang” yang
Pembudidaya Ikan dan badan hukum maupun yang tidak termasuk di dalamnya adalah
Petambak Garam berbadan hukum. korporasi sehingga korporasi
dapat dipidana sebagai subjek
Ps. 1 (27): Pelaku usaha adalah hukum mandiri.
orang perseorangan atau korporasi
yang melakukan usaha prasarana
dan/atau sarana produksi
perikanan....

87. UU No. 8/2016 Tentang Ps. 1 (17): setiap orang adalah Ps. 144 dan 145: setiap orang Ps. 144 dan Ps. 145: pidana penjara
Penyandang disabilitas orang perseorangan atau (tidak secara tegas menyebutkan atau denda
korporasi, baik yang berbadan korporasi dapat dipidana secara
hukum maupun yang tidak mandiri tetapi dapat disimpulkan
berbadan hukum dari pengertian setiap orang pada
Ps. 1 (17)

88. UU No. 13/2016 Tentang Ps. 1 (13): orang adalah orang BAB XVII (Ps. 161 – Ps. 166): BAB XVII (Ps. 161 – Ps. 166):
Paten perseorangan atau badan hukum ketentuan pidana yang ditujukan Penjara dan atau denda, dengan tidak
kepada “setiap orang”. Sehingga membedakan sanksi untuk orang
badan hukum dapat bertanggung perorangan dengan badan hukum.
jawab secara pidana sebagai
subjek hukum mandiri

434
435

Anda mungkin juga menyukai