Anda di halaman 1dari 152

KRIMINALISASI KEBIJAKAN PEJABAT PUBLIK

PUSLITBANG HUKUM DAN PERADILAN


BADAN LITBANG DIKLAT KUMDIL
MAHKAMAH AGUNG RI
2014

KRIMINALISASI KEBIJAKAN PEJABAT PUBLIK

LAPORAN PENELITIAN

Koordinator Peneliti :
MOCH. IQBAL, S.H.

PUSLITBANG HUKUM DAN KEADILAN


BADAN LITBANG DIKLAT KUMDIL
MAHKAMAH AGUNG RI
2014

LAPORAN PENELITIAN

KRIMINALISASI KEBIJAKAN PEJABAT PUBLIK

Koordinator Peneliti :
MOCH IQBAL, S.H.

PUSLITBANG HUKUM DAN PERADILAN


BADAN LITBANG DIKLAT KUMDIL
MAHKAMAH AGUNG RI
2014

KATA PENGANTAR
Badan Penelitian dan Pengembangan & Pendidikan
dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI
merupakan satuan kerja yang lahir setelah semua Lembaga
Peradilan Yaitu :
1. Peradilan Umum;
2. Peradilan Agama;
3. Peradilan Tata Usaha Negara;
4. Peradilan Militer;
berada di bawah "satu atap" Mahkamah Agung RI. Salah satu
tugas dan tanggung jawab Badan Litbang Diklat Kumdil adalah
meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia bagi seluruh
aparat Peradilan, baik bagi Tenaga teknis (Hakim, Panitera dan
Jurusita) maupun tenaga non Teknis, termasuk Pejabat
Struktural.
Dan dalam rangka Pelaksanaan tugas tersebut, Badan
Litbang Diklat Kumdil meliput 4 (empat) unit kerja yakni :
1. Sekretariat Badan;
2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan
Peradilan;
3. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Teknis Peradilan;
4. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Manajemen dan
Kepemimpinan;
Salah satu unit dari Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah
Agung RI adalah Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum
dan Peradilan adalah Penelitian (Puslitbang).
Berdasarkan DIPA 2014 Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hukum dan Peradilan (Puslitbang) telah
melaksanakan berbagai macam kegiatan yang menjadi
tupoksinya.
Salah
satunya
adalah
Penelitian
"KRIMINALISASI KEBIJAKAN PEJABAT PUBLIK"
yang merupakan Penelitian Kepustakaan. Penelitian
tersebut dilaksanakan diwilayah Hukum Pengadilan di
i

Jakarta. Hasilnya telah disusun dan dibuat dalam bentuk


Buku Laporan.
Untuk itu, kami menyampaikan ucapan terima
kasih atas ketulusan dan keikhlasan semua pihak mulai
dari pengumpulan bahan-bahan sampai dengan selesainya
penelitian dan telah menjadi sebuah Buku Laporan
Penelitian "KRIMINALISASI KEBIJAKAN PEJABAT
PUBLIK".
Insya Allah, jerih payah kita semua akan menjadi amal
sholeh dihadapan Tuhan Yang Maha Kuasa, Amin.

Jakarta, September 2014


KEPALA
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
& PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
HUKUM DAN PERADILAN

NY. SITI NURDJANAH, SH., MH

ii

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT,
atas segala limpahan nikmat dan karunianya, sehingga Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan melalui
DIPA Balitbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI Tahun
Anggaran 2014 telah berhasil merealisasikan salah satu tugas
pokok dan fungsinya yakni menyelenggarakan kegiatan
penelitian.
Kegiatan tersebut diawali dengan Focus Grup
Discussion (FGD) untuk mendiskusikan Proposal Penelitian
berjudul "KRIMINALISASI KEBIJAKAN PEJABAT
PUBLIK" kegiatan FGD Proposal tersebut berlangsung di
Jakarta. Setelah FGD Proposal, dilanjutkan dengan memulai
pelaksanaan kegiatan Penelitian Kepustakaan di Jakarta,
melalui kompilasi bahan dan data penelitian, seleksi serta
analisis terhadap berbagai data, bahan, referensi
kepustakaan, dan putusan-putusan pengadilan yang relevan,
serta dilengkapi sejumlah wawancara dengan para
narasumber yang kompeten. Terhadap hasil Penelitian
tersebut kemudian dilakukan Kegiatan Focus Grup
Discussion (FGD) untuk membahas dan mendiskusikan
Hasil Penelitian dengan tujuan untuk mendapatkan masukan
dalam rangka penyempurnaan hasil penelitian.
FGD Proposal Penelitian, maupun FGD Hasil
Penelitian telah diikuti oleh para undangan, antara lain
meliputi beberapa Hakim Agung, Hakim Tinggi, Hakim
Tinggi Pengawasan, Hakim Tinggi yang diperbantukan pada
Balitbang Diklat, Hakim Yusitisial, Hakim Tingkat
Pertama, Fungsional Peneliti Puslitbang Mahkamah Agung,
peneliti dari Instarisi atau Lembaga lain, Akademisi dari
Perguruan Tinggi dan Staf Puslitbang. Dengan tujuan untuk
mendapatkan berbagai masukan, kritik dan usulan bagi
penyempurnaan proposal maupun hasil penelitian.
Diharapkan mampu meningkatkan kualitas dan kemanfaatan
hasil penelitian, baik bagi kalangan internal Mahkamah
iii

Agung beserta segenap jajaran dan hirarkinya, maupun bagi


para stake holder lainnya.
Buku Laporan Hasil Penelitian ini dibuat sebagai
bentuk pertanggungjawaban Kapuslitbang kepada Pimpinan
Mahkamah Agung RI, serta sebagai dokumentasi telah
selesainya pelaksanaan kegiatan tersebut. Semoga kiranya
dapat memberikan manfaat sebagaimana mestinya.

KEPALA
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
BADAN LITBANG DIKLAT KUMDIL MA-RI

Prof. Dr. BASUKI REKSO WIBOWO, S.H., M.S.


NIP. 19590107 198303 1 005

iv

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas
segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hidayah-Nya penulis
dapat menyelesaikan Laporan Hasil Penelitian yang berjudul
Himpunan dan Anotasi Putusan-Putusan Mahkamah Agung RI
tentang Sengketa Pajak.
Kemudian Tim Peneliti melaksanakan penelitian tersebut
dengan beberapa tahapan seperti: Tahapan penyusunan proposal,
tahapan seminar hasil penelitian melalui FGD (Focus Discussion
Group), tahapan perbaikan proposal, tahapan penyiapan data dan
wawancara di lapangan, pengolah data dan penyiapan hasil laporan
penelitian.
Dalam penyusunan laporan penelitian ini penulis banyak
mendapat saran, dorongan, bimbingan serta keterangan-keterangan
dari berbagai pihak yang merupakan pengalaman yang tidak dapat
diukur secara materi, bahwa sesungguhnya pengalaman dan
pengetahuan tersebut adalah yang terbaik bagi penulis. Oleh karena itu
dengan segala hormat dan kerendahan hati perkenankanlah penulis
mengucapan terima kasih kepada :
1. Yang terhormat Ibu Ny. Hj. Siti Nurdjanah, SH., MH selaku
Kepala Badan Litbang Diklat Kumdil dan Peradilan
2. Yang terhormat Bapak Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo, SH., MS
selaku Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan
Peradilan
3. Yang terhormat Bapak H. Ariansyah B. Dali P, SH., MH, Bapak
H. Yahya Syam, SH., MH, Bapak Jan Manopo, SH, Bapak R. Iim
Nurohim, SH, Bapak Rukman Hadi, SH., M.Si, Bapak Purwadi,
SH., M. Hum, para peserta FGD proposal dan FGD Hasil
penelitian yang telah memberikan saran dan masukan terkait
proses penyempurnaan laporan hasil penelitian ini.
4. Terima kasih kepada Bapak Khaerul Saleh, SH dan Sdri Mariyam
Sugiarti, S.Sos selaku Anggota Tim Penelitian
Demi kesempurnaan laporan hasil penelitian, Oleh karena itu
saya harapkan kepada pembaca untuk memberikan masukan-masukan
v

atau saran dan kritik yang bersifat membangun untuk kesempurnaan


laporan hasil penelitian ini.
Akhir kata semoga laporan hasil penelitian ini bermanfaat. Amin

Jakarta, Agustus 2014


Koordinator Peneliti,

Moch. Iqbal

vi

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR KABALITBANG DIKLAT KUMDIL .

KATA PENGANTAR KAPUSLITBANG KUMDIL ...

iii

KATA PENGANTAR PENULIS ....

DAFTAR ISI .....

vii

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..
B. Pokok Permasalahan .
C. Tujuan Penelitian ..
D. Kegunaan Penelitian .....
E. Kerangka Teori .
F. Metode Penelitian .
a. Tipe Penelitian .
b. Sifat Penelitian .
c. Data Penelitian .
d. Teknis Pengumpulan Data ...
i. Teknis Analis Data ..
ii. Lokasi, Waktu, dan Kelompok Sasaran .

1
1
6
6
7
7
14
14
14
15
16
16
16

KAJIAN TEORI KRIMINALISASI DAN


KONSEP KEBIJAKAN PEJABAT PUBLIK ...
A. Pengertian, Asas, dan Kriteria Kriminalisasi .
1. Pengertian Kriminalisasi .
2. Asas-asas Kriminalisasi ..
3. Kriteria Kriminalisasi ..
B. Konsep dan Pengertian Kebijakan Publik
1. Pengertian Kebijakan Publik ..
2. Jenis-jenis Kebijakan Publik ..
3. Tingkat-tingkat Kebijakan Publik .
a. Lingkup Nasional .

17
17
17
19
26
30
30
32
34
34

BAB I

BAB II

vii

b. Lingkup Wilayah Daerah ..


c. Pengertian Pejabat Publik .
BAB III

ANALIS
KASUS
KRIMINALISASI
KEBIJAKAN PEJABAT PUBLIK
1. Kasus 1
Kasus Tunjangan Dewan Perwakilan Daerah
Kota Malang
Putusan Nomor 2698 K/Pid.Sus/2010 ..
2. Kasus 2
Putusan Nomor 146 PK/Pid.Sus/2009 ..
3. Kasus 3
Kasus Kriminalisasi terhadap Pejabat (Publik)
Bank Mandiri
Putusan Nomor 1144 k/Pid/2006 .
4. Kasus 4
Putusan Nomor 572 K/Pid/2003

35
41

47

49
65

77
90

KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan ...
B. Saran .

103
103
104

DAFTAR PUSTAKA ...

107

LAMPIRAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK


INDONESIA NO. 24 TAHUN 2004

111

LAMPIRAN SURAT KEPUTUSAN ..

129

BAB IV

viii

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berakhirnya rezim pemerintahan dan sistem pemerintahan
otoriter, di era Orde Baru, telah memunculkan era Rezim
Reformasi, yang mengedepankan sistem kekuasaan yang
demokratis dengan slogan serba keterbukaan / transparansi.
Keterbukaan, telah membawa kehidupan berbangsa dan bernegara
yang lebih egaliter dan equal, kesetaraan disegala bidang.
Untuk mewujudkan dan mewujudkan dan memenuhi hasrat
dan arus reformasi, atau lebih tepatnya disebut euforia reformasi,
berbagai produk perundang-undangan direvisi, demikian pula
berbagai perangkat kelembagaan pengelola negara diperbaharui,
bahkan diadakan lembaga-lembaga baru demi pemenuhan
kebutuhan dan tunturan suara dan denyut nafas reformasi, dalam
wujudnya, lahirlah berbagai lembaga-lembaga baru dengan
kewenangan baru serta beban kerja dan tanggung jawab yang baru
pula. Di bidang hukum, bermunculan berbagai organ baru yang
disebut komisi-komisi, ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
Komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial, dan
lembaga (komisi) lainnya.Upaya pelayanan publik dan
penyelenggaraan kenegaraan dan tata pemerintahan untuk
kesejahteraan rakyat pun senantiasa ditingkatkan melalui berbagai
kebijakan (beleid), diskresi, dengan / berdasarkan kewenangan
yang ada.
Pejabat publik di tingkat pusat maupun daerah dalam
melakukan
tindakan
di
lapangan,
peraturan
maupun
penyelenggaraan administrasi negara tetaplah harus menjunjung
tinggi nilai-nilai hukum dan demokrasi, sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar 1945 dalam pasal 1 ayat (2) dan ayat
(3) UUD45 pasca amandemen.1
1

Kedaulatan Negara RI, dilaksanakan menurut apa yang diatur dalam


UUD 1945, dan negara berdasarkan hukum.
1

Dalam rangka melakukan tindakan hukum, pejabat publik,


sering melakukan tindakan diluar ketentuan hukum tertulis.
Keadaan ini adalah konsekuensi dari kenyataan, bahwa UndangUndang dan peraturan tertulis lainnya sering tertinggal dalam
mengantisipasi perkembangan zaman, perubahan nilai dan
meningkatnya kebutuhan hidup manusia seiring dengan kemajuan
yang dicapainya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Menurut JP. Wind tidak ada ketentuan tertulis yang (dapat)
mengatur segala aspek secara konkrit, hanya garis besarnya saja
yang diatur, untuk mengantisipasinya diperlukan suatu kebijakankebijakan terhadap adanya kefakuman atau ruang kosong dalam
menilai suatu permasalahan. Oleh karenanya agar prinsip legalitas
pada tahap operasionalnya dapat dilaksanakan secara dinamis,
efektif, dan efisien, maka diperlukan beleid/ diskresi.2
Membahas kebijakan publik perlu ditarik sejarah dan
perkembangannya menjelang tahun 1992-1997 terjadi apa yang
disebut post bureaucratie paradigm yang berbeda dengan
birokratik yang banyak dikritik, yaitu paradigma birokrasi yang
menekankan kepentingan publik, efisiensi, admisnistrasi, dan
kontrak, maka paradigma post bureaucratie menekankan pada
hasil yang berguna bagi masyarakat, kualitas dan nilai, produk dan
keterikatan pada norma. Paradigma birokratik mengutamakan
fungsi otoritas dan struktur, maka paradigma post bureaucratie
mengutamakan misi, pelayanan dan hasil akhir (out come). Kalau
paradigma birokratik menilai biaya, menekankan tanggung jawab
(responsibility). Paradigma post bureaucratie menekankan
pemberian nilai bagi masyarakat, membangun akuntabilitas, dan
memperkuat hubungan kerja.3 Kalau paradigma birokratik
mengutamakan ketaatan pada peraturan dan prosedur, maka
paradigma post bureaucratie menekankan pemahaman dan
penerapan norma-norma identifikasi, dan pemecahan masalah,
2

Wind, JP. Enige Bestuurs rechtelijke Begrippen: En de Algemene


Wet Bestuursrecht. Sdu uit gever bv Den Haag. 2004
3
Yeremias Keban. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik:
Konsep, Teori, dan Isu. Jogjakarta.Gavamedia:2008. Edisi 1. Hal 35
2

serta proses perbaikan yang berkesinambungan. Paradigma


birokratik
mengutamakan
beroperasinya
sistem-sistem
administrasi, maka paradigma post bureaucratie menekankan
pemisahan antara pelayanan dengan kontrol, membangun
dukungan terhadap norma-norma, memperluas pilihan pelanggan,
mendorong kegiatan kolektif, memberikan insentif, mengukur dan
menganalisis hasil, dan memperkaya umpan balikpemerintah harus
memfasilitasi, memberdayakan masyarakat, mendorong semangat
kompetitif, berorientasi pada misi, mementingkan hasil dan bukan
cara, mengutamakan kepentingan pelanggan, berjiwa wirausaha,
selalu berupaya dalam mencegah masalah atau antisipatif,
desentralistis, dan berorientasi pada pasar.
Paradigma ini dikenal dengan nama New Public Management
(NPM) di Inggris. Paradigma NPM ini melihat bahwa paradigma
terdahulu yaitu administrasi klasik kurang efektif dalam
memecahkan masalah dan memberikan pelayanan publik, termasuk
membangun masyarakat. Hood (Vigoda, 2003: 813)
mengungkapkan bahwa ada tujuh komponen doktrin dalam NPM,
yaitu :
Pemanfaatan manajemen profesional dalam sektor publik
Penggunaan indikator kinerja
Penekanan yang lebih besar pada kontrol output
Pergeseran perhatian ke unit-unit yang lebih kecil
Pergerseran ke kompetisi yang lebih tinggi
Penekanan gaya sektor swasta pada praktek manajemen, dan
Penekanan pada disiplin dan penghematan yang lebih tinggi
dalam pennggunaan sumber daya.
NPM dipandang sebagai pendekatan dalam administrasi
publik yang menerapkan pengetahuan dan pengalaman yang
diperoleh dalam dunia manajemen bisnis dan disiplin yang lain
untuk memperbaiki efisiensi, efektivitas, dan kinerja pelayanan
publik pada birokrasi modern (Vigoda, 2003:812).
NPM ini telah mengalami berbagai perubahan orientasi
(Ferlie, Ashburner, Fitzgerald, dan Pettigrew 1997). Orientasi
3

pertama yang dikenal dengan the efficiency drive yaitu


mengutamakan nilai efisiensi dalam pengukuran kinerja. Orientasi
kedua yang disebut sebagai downsizing and decentralization yang
mengutamakan penyederhanaan struktur, memperkaya fungsi dan
mendelegasikan otoritas kepada unit-unit yang lebih kecil agar
dapat berfungsi secara cepat dan tepat. Orientasi ketiga yaitu in
search of excellence yang mengutamakan kinerja optimal dengan
memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Orientasi
terakhir yang dikenal sebagai public service orientation. Model
terakhir ini menekankan pada kualitas, misi, dan nilai-nilai yang
hendak dicapai organisasi publik, memberikan perhatian yang lebih
besar kepada aspirasi, kebutuhan, dan partisipasi user dan warga
masyarakat, memberikan otoritas yang lebih tinggi kepada pejabat
yang dipilih masyarakat, termasuk wakil-wakil mereka.
Menekankan societal learning dalam pemberian pelayanan publik,
dan penekanan pada evaluasi kinerja secara berkesinambungan,
serta partisipasi masyarakat dan akuntabilitas. Perlu diketahui
bahwa paradigma NPM atau Reinventing government ini muncul di
Selandia Baru, Inggris, Amerika Serikat, dan beberapa negara lain
karena terjadi ketidak puasan masyarakat terhadap pemerintah.
Di tahun 2003, atau kurang lebih sepuluh tahun kemudian
muncul lagi paradigma baru yang oleh J.V.Denhardt dan
R.B.Denhardt (2003) diberi nama New Public Service (NPS).
Kedua tokoh ini menyarankan untuk meninggalkan prinsip
administrasi klasik dan NPM, dan beralih ke prinsip New Public
Service (NPS). Menurut Denhardt dan Denhardt (2003: 42-43),
administrasi publik harus:
1. Melayani warga masayarakat bukan pelanggan (serve
citizen, not customers)
2. Mengutamakan kepentingan publik (seek the public
interest)
3. Lebih menghargai
kewarganegaraan dari pada
kewirausahaan (value citizenship over entrepreneurship)
4. Berpikir strategis, dan bertindak demokratis (think
strategically, act democratically)
4

5. Menyadari bahwa akuntabilitas bukan merupakan suatu


yang mudah (recognize that accountability is not simple)
6. Melayani dari pada mengendalikan (server rather than
steer), dan
7. Menghargai orang, bukan produktivitas semata (value
people, not just productivity)
Semua paradigma diatas menunjukkan bahwa dalam beberapa
dasawarsa terakhir telah terjadi perubahan orientasi administrasi
publik secara cepat.Kegagalan yang dialami oleh suatu negara
telah disadari sebagai akibat dari kegagalannya dalam merespons
perubahan paradigma administrasi publik. Karena itu, perhatian
khusus tidak hanya diberikan kepada peran penting administrasi
publik, tetapi juga kecepatan dan ketepatan dalam merespon
perubahan paradigma yang ukurannya ditentukan oleh tujuan
akhirnya itu apakah memenuhi kepentingan umum atau tidak;
karena dalam hal kewenangan tindakan pejabat public meskipun
faktanya merugikan namun berguna bagi masyarakat luas.4
Gambaran, dan refleksi kebijakan publik tersebut pada
akhirnya bermuara pada kebijakan pejabat publik; dan kebijakankebijakan pejabat publik sebagai produk keputusan administrasi
publik ini, kini dipersoalkan, diuji, dan disoroti, bahkan banyak
yang menjadi obyek/sasaran pemidanaan, sehingga memunculkan
istilah yang sedang nge-trend saat ini, yang juga menjadi telaah
dalam penelitian ini, yaitu kriminalisasi kebijakan pejabat
publik, Menuruthematpenelitibanyak kebijakan-kebijakan pejabat
publik yang menjadi sasaran pemidanaan, atau yang
dikriminalisasikan. Argumen-argumen kebijakan seolah digugat,
sehingga penentu/ pembuat kebijakan perlu membuat penyataanpernyataan / argumen otoritatif5 yaitu pernyataan / penjelasan dari
pihak yang berwenang; ataupun ditunjang dengan pendapat pakar
4

Rumadhan Ismail ,jurnal legislasi Indonesia,Pengelolaan Keuangan


Negara dan Penerapan Hukum dalam Tindak Pidana Korupsi.Penerbit
Kemenkumham,2013,hlm.362.
5
Dunn, William N. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Gajah
Mada University Press. Edisi 2. Hal 155
5

tertentu, agar rekomendasi kebijakan dapat diterima. Kasus-kasus


aktual kriminalisasi kebijakan pejabat publik, seperti skandal Bank
Century, penyewaan/ pembelian armada pesawat Merpati, kredit
Bank Mandiri, persoalan penggunaan anggaran daerah oleh DPRD
Kota Malang6, banyak memakan korban dengan dipenjaranya
banyak pejabat publik, yang sesungguhnya secara proporsional,
dan hakikat tujuan hukum dan esensi pemidanaan adalah
sebuahkesia-siaan belaka, sampai-sampai Mentri koordinator
perekonomian harus beradap tasi dengan keinginan dan
pemahaman komisi pemberantasan korupsi disalah satu takl show
di Metro TV. (Senin, 2 juni 2014) dengan menyatakan bahwa
kebijakan ekonomi nasional harus cepat disikapi oleh Dirut BUMN
kalau mau menjadikan Indonesia bangkit.
B. Pokok Permasalahan
Dari latar belakang, dan uraian-uraian terdahulu, maka dapat
dirumuskan permasalahan dalam penelitian, sebagai berikut:
1. Bagaimana kedudukan dan peran keputusan / kebijakan
pejabat publik dalam kaitannya dengan kebijakannya
yang dikriminalisasikan?
2. Apakah kebijakan pejabat publik dapat dipidanakan atau
dikriminalisasi?
3. Bagaimana pengaruh kriminalisasi terhadap kebijakan
pejabat publik, dalam kaintannya dengan fungsi serta
peran sebagai wewenang pemerintahan?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan diatas maka tujuan
utama penelitian ini adalah:
a. Untuk menganalisis kedudukan dan peran kebijakan
pejabat publik.

Sukamto, Agus. Agus Sukamto Menggugat Sebuah Ironi


Keadilan. LSM for Publik Malang. 2012. Hal 302
6
6

b. Untuk mengetahui problem-problem yang muncul, ketika


kebijakan pejabat publik dilakukan.
c. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh
kriminalisasi atas kebijakan pejabat publik, serta faktorfaktor penyebabnya.
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini, dapat berguna bagi pimpinan Mahkamah
Agung dan para penegak hukum khususnya, serta para pejabat
publik pada umumnya, serta masyarakat yang peduli pada proses
penegakkan hukum pada umumnya; dan secara khusus berguna
untuk:
Memberi pengetahuan seputar eksistensi, tugas, fungsi,
dan peran pejabat publik pada umumnya
Untuk memberi pengetahuan, dan pemahaman tentang
kebijakan publik yang dapat dijadikan sebagai raw
material dalam menghadapi kasus-kasus kriminalisasi
terhadap kebijakan yang terjadi.
Untuk memberi penjelasan tentang pengaruh kriminalisasi
terhadap kebijakan pejabat publik, beserta segala
eksesnya, serta memberi kontribusi pemikiran dan
pemahaman terhadap kebijakan penegakkan hukum bagi
bangsa dan negara ini kedepan.
E.

Kerangka Teori
Keberadaan Indonesia sebagai negara hukum telah
ditentukan sejak awal, dalam konstitusi pasal 1 ayat (3),
menyatakan Negara Indonesia adalah negara hukum.
Konsekuensi sebuah negara hukum menurut F.J. Stahll
mengandung ciri-ciri sebagai berikut:7
1. Pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia
7

PUSLITBANG Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil


Mahkamah Agung RI. Eksekutabilitas, Putusan Peradilan Tata Usaha
Negara (Laporan Penelitian).2010. hal 10
7

2. Pemisahan kekuasaan negara


3. Pemerintahan berdasarkan Undang-Undang
4. Adanya peradilan Administrasi
Dalam operasionalnya, dari ciri-ciri negara hukum
yang dianut, ada kriteria atau syarat yang disebutkan oleh
Albert Venn Dicey8 dalam bukunya Introduction to The
Study of The Law of The Constitution terdapat 3 (tiga) prinsip
dasar dari sebuah negara hukum, yaitu:
1. Supremasi aturan-aturan hukum (the absolute
supremacy of predominance of regular law).
2. Kedudukan yang sama dihadapan hukum (equality
before the law, or the equal subjection of all cases to
the ordinary law of the led administrated by ordinary
Law of Court).
3. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia.
Dari pemahaman teori / konsep keberadaan Indonesia
sebagai negara hukum, sebagaimana rumusan yang
dikemukakan oleh Stahll, maupun Dicey, terdapat kesamaan
konsep recht staat, dan rule of law, keduanya mengharapkan
agar dalam suatu negara hukum diharuskan adanya supremasi
hukum sebagai panglima terhadap tindakan-tindakan
penguasa Negara, yaitu ketundukan pemerintahan Negara
beserta aktivitasnya terhadap peraturan perundang-undangan
sebagai hukum tertulis.
Pemahaman teori negara hukum, dimana pada unsur
pemerintahan berdasarkan Undang-Undang, dan kesamaan
kedudukan dihadapan hukum, seharusnya pula kesamaan
perlakuan terhadap setiap pejabat publik, institusi publik, yang
memiliki kewenangan yang sama oleh Undang-Undang yang
sederajat. Dengan asumsi, dalam suatu negara hukum dimana
segala organ pemerintahan, dan struktur ketatanegaraannya
tercipta sudah berdasarkan hukum (Undang-Undang),
seharusnya antar organ / lembaga yang masing-masing
8

Ibid.
8

memiliki kewenangan di bidangnya, tidak boleh saling


mendeligitimate satu dengan lainnya. Agar tidak terjadi
kekaburan dan pertentangan kewenangan antar lembaga, atau
terjadi kriminalisasi terhadap produk-produk keputusan
lembaga publik, kriminalisasi terhadap kebijakan pejabat
publik. Fakta yang terjadi, telah begitu banyak upaya-upaya
atau tindakan yang mengkriminalisasi keputusan / kebijakan
pejabat publik, yang telah menghadirkan kekhawatiran umum
akan mandeknya, atau bahkan terhentinya kreatifitas dari agen
/ aparatur pejabat publik, yang justru kehadiran dan perannya
diharapkan memperkuat eksistensi keberadaan negara hukum
Indonesia, di sektor ekonomi, perpajakan, kerja sama
internasional, dan lain lain.
Ketika pejabat publik yang memegang kewenangan
penentuan kebijakan di bidang tugasnya, sesuai dengan
keahlian dan otoritas yang dimilikinya, ternyata kebijakan
yang diambil, dipandang sebagai sebuah kesalahan tersebut,
tidak hanya dipertanggung jawabkan secara administratif,
atau secara keperdataan, melainkan mengarah pada perbuatan
pidana, atau korupsi. Disitulah muncul proses kriminalisasi
Pejabat publik yang bekerja untuk kepentingan publik, dan
memiliki kewenangan publik yang diberikan oleh hukum dan
perundang-undangan, sebagai konsekuensi Indonesia sebagai
negara hukum. Maka, diaturlah Undang-Undang / berbagai
Undang-Undang yang memberi wewenang / mandat kepada
pejabat publik / pemerintahan, seperti kehadiran UU No.39
tahun 2008, tentang Kementrian Negara, yang menyebutkan
bahwa, sebagai Perangkat Pemerintahan Kementrian
mempunyai tugas menyelenggarakan urusan tertentu dalam
pemerintahan dibawah dan bertanggung jawab kepada
Presiden.9Tugas-tugas dalam menyelenggarakan pemerintahan

Periksa pasal 1 angka (1), pasal 3, pasal 7, dan pasal 8 UU No.39


tahun 2008, tentangKementerian Negara
9

Negara yang dilakukan oleh kementrianadalah


sebagai
berikut:
1) Merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan
kebijakan di bidangnya, mengelola barang milik /
kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya.
Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan
tugas di bidangnya, dan melaksanakan kegiatan teknis
dari pusat sampai ke daerah.
2) Merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan
kebijakan di bidangnya, mengelola barang milik /
kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya,
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas di
bidangnya dan melaksanakan bimbingan teknis dan
supervisi atas pelaksanaan urusan kementrian di
daerah dan pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala
nasional.
3) Merumuskan dan menetapkan kebijakan di
bidangnya, mengkoordinasi dan mensinkronisasi
pelaksanaan kebijakan di bidangnya, mengelola
barang milik / kekayaan yang menjadi tanggung
jawabnya, dan melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan tugas di bidangnya.
Dari konsep kaedah yang tercermin dari (contoh)
pemerintahan yang berdasarkan UU tersebut sebagai tertuang
dalam norma UU memberi peluang kementrian / pejabat publik
untuk melakukan kebijakan, atau beleid / yang disebut juga
diskresi dalam ilmu administrasi / pemerintahan. Oleh F.A.M
Stroink disebut bevoegheid (kewenangan), yang merupakan konsep
inti dalam hukum tata negara dan administrasi negara.
Dalam hukum tata negara bevoegheid10 dideskripsikan
sebagai kekuasaan hukum (techtement) atau yang berkaitan
dengan kekuasaan, sedangkan dalam hukum Administrasi Negara
10

Wojowarsito, S. Kamus Umum Bahasa Indonesia - Belanda.


Jakarta. PT.Ichtiar Baru Van Hoeve. 1996. Hal 78.
10

membahas wewenang pemerintahan (bestuur bevoegheid).


Menurut Philipus Hadjom, dengan mengutip pendapat Henc Van
Maarseveen, konsep hukum publik kewenangan atau wewenang,
terdiri atas sekurang-kurangnya atas tiga komponen11, yaitu:
Pengaruh dasar hukum dan konformitas hukum komponen
pengaruh, ialah bahwa penggunaan kewenangan atau wewenang
dimaksud untuk mengendalikan pelaku subyek hukum. Komponen
dasar hukum, bahwa kewenangan atau wewenang tersebut harus
dapat ditunjukkan dasar hukumnya, dan komponen konformitas
hukum, mengandung makna adanya standar kewenangan, yaitu
standar umum (semua jenis wewenang) dan standar umum
kewenangan berupa norma hukum administrasi negara dan
seyogyanya dituangkan dalam aturan umum hukum administrasi
Negara, seperti yang berlaku di negeri Belanda, yaitu dalam AWB
(Algemene Bestuurrecht 1994). Meskipun di Indonesia belum
secara tegas dan rinci mencantumkan rumusan norma umum
hukum administrasi negara, melainkan masih dalam tahap RUU
etika pejabat publik, akan tetapi secara umum pengaturan
mengenai kewenangan ini tersebar di berbagai peraturan
perundang-undangan yang ada, sebagaimana diutarakan diatas
dalam UU No.39 tahun 2008 tentang Kementrian Negara, yang
mengatur tentang kebijakan publik oleh pejabat publik /
kementrian, dan lain lain. Dengan memahami kerangka teoritis,
keberadaan sebuah negara hukum, serta konsep / teori kewenangan
dan kebijakan pejabat publik, dalam kaitan adanya kriminalisasi
terhadap kebijakan-kebijakan pejabat publik, dalam penelitian ini
akan dibahas keberlakuannya dan / atau manfaatnya dengan
menggunakan pisau analisa (metode) penafsiran (interpretasi).
Undang-undang, sebagaimana kaedah pada umumnya, adalah
untuk melindungi kepentingan manusia, oleh karena itu harus
dilaksanakan atau ditegakkan untuk dapat melaksanakannya.
Undang-Undang harus diketahui orang. Agar dapat memenuhi asas
Hadjon, Philip. Dikutip dari tulisannya di Gema Peraturan tahun
VI. No.12. Agustus 2000.
11
11

setiap orang dianggap tahu akan undang-undang, maka harus


tersebar luas dan jelas pula. Kejelasan Undang-undang sangat
penting, oleh karena itu, setiap undang-undang selalu dilengkapi
dengan penjelasan yang dimuat dalam tambahan Lembaran
Negara. Namun sering kali terjadi bahwa penjelasan itu tidak juga
memberi kejelasan, karena hanya diterangkan dengan cukup
jelas, padahal teks Undang-undangnya tidak jelas dan masih
memerlukan penjelasan. Mungkin dengan demikian maksud
pembuat Undang-Undang hendak memberi kebebasan yang lebih
besar kepada hakim. Kalaupun Undang-Undang itu jelas, tidak
mungkin Undang-Undang itu lengkap dan tentu tidak mungkin
Undang-Undang itu mengatur segala aspek kehidupan kegiatan
manusia secara lengkap dantuntas12, karena kegiatan kehidupan
manusia itu tidak terhitung banyaknya, selain itu, Undang-undang
adalah hasil karya manusia yang terbatas kemampuannya.
Peristiwa hukum harus dicari lebih dahulu dari peristiwa
konkritnya, kemudian Undang-Undangnya ditafsirkan untuk dapat
diterapkan. Setiap peraturan hukum itu bersifat abstrak, karena
umum sifatnya, dan pasif, karena tidak akan menimbulkan akibat
hukum kalau tidak terjadi peristiwa konkrit. Peraturan hukum yang
abstrak itu memerlukan rangsangan, agar dapat aktif, agar dapat
diterapkan pada peristiwa yang cocok. Boleh dikatakan bahwa tiap
ketentuan Undang-Undang perlu dijelaskan, perlu ditafsirkan /
diinterpretasi lebih dahulu, untuk dapat diterapkanpada
peristiwanya. Interpretasi atau penafsiran, merupakan salah satu
metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang
gamblang mengenai teks Undang-Undang agar ruang lingkup
kaedah dapat diterapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu.
Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju
kepada pelaksanaan penjelasan yang dapat diterima oleh
masyarakat, mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa yang
Mertokusumo, Sudikno dan Pitlo,A. Bab-Bab Tentang Penemuan
Hukum. PT. Citra Aditya Bakti, kerjasama dengan Konsorsium Hukum,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan The Asia Foundation. Cetakan
ke 1. 1993. Hal 12.
12
12

konkrit. Metode interpretasi / penafsiran ini adalah sarana atau alat


untuk mengetahui makna Undang-Undang. Pembenarannya
terletak pada kegunaannya untuk melaksanakan ketentuan yang
konkrit, dan bukan untuk kepentingan metode itu sendiri, oleh
karena itu dikaji dengan hasil yang diperoleh. Menjelaskan
ketentuan Undang-Undang akhirnya adalah untuk merealisir fungsi
agar hukum positif itu berlaku.13 Menafsirkan Undang-Undang
untuk menentukan hukumnya, bukan hanya dilakukan oleh hakim,
tetapi juga oleh ilmuan, peneliti hukum, juga para justisiabel yang
mempunyai kepentingan dengan perkara (kasus) di pengadilan,
terutama pengacara / advokat untuk melakukan interpretasi atau
penafsiran. Dalam literatur, lazimnya dibedakan beberapa metode
penafsiran / interpretasi mengenai definisi masing-masing metode
tidak ada kesesuaian pendapat. Akan tetapi, sebagai metode
penemuan hukum interpretasi / penafsiranyang ada; Peneliti
memilih interpretasi sitematis atau interpretasi logis dalam
menganalisa dan menemukan jawaban dan kesimpulan-kesimpulan
atas permasalahan dalam penelitian ini. Dengan asumsi bahwa
interpretasi sistematis (logis) mengundang terjadinya suatu
Undang-Undang (hukum positif) selalu berkaitan dan berhubungan
dengan peraturan perundang-undangan yang lain.Menurut hemat
peneliti tidak ada Undang-Undang yang berdiri sendiri lepas sama
sekali dari keseluruhan perundang-undangan.
Menafsirkan Undang-Undang sebagai bagian dari keseluruhan
sistem perundang-undangan dengan jalan menghubungkannya
dengan Undang-undang lain.Tegasnya yang disebut interpretasi
sistematis atau interpretasi logis; bahwa dalam hal-hal yang tidak
diatur secara tegas oleh Undang-undang, pemecahannya harus
dicari, yang disesuaikan dengan sistem perundang-undangan dan
sesuai pula dengan peristiwa yang diatur oleh Undang-Undang.
F. Metode Penelitian / Pendekatan Penelitian
A. Tipe Penelitian :
13

Mertokusumo, Sudikno dan Pitlo,A. Ibid


13

Tipe penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah


penelitian hukum normatif atau penelitian yuridis normatif dan
penelitian yuridis empiris. Penelitian yuridis normatif adalah
penelitian yang mengacu pada kajian norma, asas-asas, dan teori
tentang kriminalisasi kebijakan pejabat publik; sedangkan
penelitian yuridis empiris adalah penelitian yang mengacu pada
kenyataan dan fakta-fakta kasus yang dipandang kriminalisasi atas
kebijakan publik. Ulasan fakta dan berbagai contoh kasus yang
dikriminalisasi, dalam kaitannya dengan diterapkannya /
diberlakukan sebuah kebijakan publik merupakan kenyataan dan
fakta empiris yang patut dikaji dan dianalisis kebenarannya sesuai
norma-norma yang berlaku umum, maupun asas-asas dan teori
hukum yang universal; sebagai ilmu, maka ilmu hukum memiliki
ciri khas yaitu sifatnya yang normatif dan praktis, yang oleh Peter
Mahmud disebut dengan istilah lain, yaitu ilmu yang perspektif dan
terapan.14
Disebut bersifat perspektif, karena mempelajari tujuan hukum,
nilai-nilai keadilan validitas aturan-aturan hukum, konsep-konsep
hukum dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan, ilmu
hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, ramburambu, dan melaksanakan aturan hukum.15 DHN Meuwissen
mengatakan bahwa, ilmu hukum dogmatik memiliki suatu karakter
tersendiri adalah sebuah ilmu sui generis yang tidak dapat
dibandingkan (diukur) dengan bentuk ilmu lain manapun.
B. Sifat Penelitian :
Sifat penelitian yang digunakan adalah bersifat deskriptif
analitis. Deskriptif analitis merupakan metode yang dipakai untuk
menggambarkan (description) suatu kondisi atau keadaan yang sedang
terjadi, yang tujuannya adalah untuk dapat memberikan data seteliti
mungkin, mengenai obyek penelitian, sehingga mampu menggali hal14

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Penerbit


Kencana. Hal 22
15
Hadin, H. M. dan Nuswardani, Nunuk. Penelitian Hukum Indonesia
Kontemporer. Genta Publishing. 2011 Hal 15
14

hal yang bersifat ideal; kemudian dianalisis berdasarkan teori, asas,


dan norma hukum yang berlaku. Dalam penelitian ini, hal tersebut
dilakukan dengan menguraikan kedudukan dan peran kebijakan
pejabat publik terkait dikriminalisasikan kebijakan-kebijakan yang
diterapkan.
Penelitian hukum yang bersifat deskriptif evaluatif, artinya
penelitian ini memberikan data seteliti mmungkin mengenai manusia
dan gejala-gejala lainnya, serta diuraikan sebagaimana keadaan
sesungguhnya. Secara umum data yang diperoleh dalam penelitian ini
akan dianalisis menggunakan metode kualitatif, dimana metode
kualitatif adalah sebuah model penelitian yang menghasilkan data
deskriptif.16
C. Data Penelitian:
i. Data Primer:
Data primer, berupa data hasil wawancara, dan interaksi
dengan sumber terkait, khususnya di lingkungan peradilan
dan penegak hukum.
ii. Data Sekunder:
a. Bahan Hukum Primer:
Adalah bahan hukum primer yang menyangkut regulasi
dan produk kebijakan pejabat publik, yang berkaitan dan
relevan dengan obyek penelitian ini.
b. Bahan Hukum Sekunder:
Buku-buku, maupun tulisan-tulisan ilmiah lainnya yang
berhubungan dengan penelitian ini
c. Bahan Hukum Tersier:
Bahan hukum tersier, yaitu berupa petunjuk atau
penjelasan mengenai bahan hukum primer atau pun bahan
hukum sekunder, yang berasal dari kamus, ensiklopedia,
majalah, koran, dan lain lain.

16

Komisi Hukum Nasional (KHN). Kebijakan Penegakan Hukum,


Suatu Rekomendasi. 2010. Hal 119
15

D. Teknis Pengumpulan Data:


Metode yang dilakukan dalam pengumpulan data
untuk penelitian ini adalah dengan:
1. Metode pengumpulan bahan dilakukan dengan penelitian
kepustakaan (library research). Studi ini dilakukan
dengan jalan meneliti dokumen-dokumen yang ada
dengan mengumpulkan data dan informasi, baik yang
berupa buku-buku, karangan-karangan ilmiah, peraturan
perundang-undangan, dan lainnya yang berkaitan dengan
penelitian ini, kemudian mencari, mempelajari dan
mencatat serta menginterpretasikan hal-hal yang terkait
penelitian ini.
2. Pengumpulan data primer dilakukan melalui penyebaran
kuisioner, dan wawancara/ interview pada informan di
lingkungan pengadilan, sehingga obyek permasalahan
dapat terungkap melalui jawaban informan secara terbuka
dan terarah, dan hasil wawancara dapat langsung ditulis
oleh peneliti.
i. Teknik Analisa Data
Berdasarkan
sifat
penelitian
ini,
yang
menggunakan metode penelitian deskriptif analitis,
maka analisa data yang digunakan adalah analisa
pendekatan secara kualitatif terhadap data sekunder
dan data primer. Deskripsi tersebut meliputi isi dan
struktur, isu hukum kriminalisasi kebijakan pejabat
publik.
ii. Lokasi, Waktu, Dan Kelompok Sasaran.
Penelitian ini dilaksanakan di Jakarta selama 10 hari
kerja.

16

BAB II
KAJIAN TEORI KRIMINALISASI DAN KONSEP
KEBIJAKAN PEJABAT PUBLIK
A. Pengertian, Asas, dan Kriteria Kriminalisasi
1. Pengertian Kriminalisasi :
Kriminalisasi dalam bahasa Inggris criminalization,
dalam ilmu kriminologi adalah sebuah proses saat terdapat
sebuah perubahan individu-individu yang cenderung untuk
menjadi pelaku kejahatan dan menjadi penjahat.
Dalam perkembangan penggunaannya, kriminalisasi
mengalami neologisme, yaitu menjadi sebuah keadaan saat
seseorang dapat dinyatakan sebagai pelaku kejahatan atau
penjahat oleh karena hanya adanya pemaksaan interpretasi
atas sebuah perundang-undangan melalui anggapan mengenai
penafsiran terhadap perilaku, sebagai kriminalisasi formal
dalam peraturan perundang-undangan.17 Contohnya, dalam
perseteruan antara KPK dan Polisi beberapa tahun yang lalu,
kata kriminalisasi digunakan media (publik) untuk
mendefinisikan upaya Polisi menjerat Pimpinan KPK.
Dalam teori konvensional, kriminalisasi merupakan
obyek studi hukum pidana materiil (substantive criminal law)
yang membahas penentuan suatu perbuatan sebagai tindak
pidana (perbuatan pidana atau kejahatan) yang diancam
dengan sanksi pidana tertentu. Perbuatan tercela yang
sebelumnya tidak dikualifikasikan sebagai perbuatan terlarang
dijustifikasi sebagai tindak pidana yang diancam dengan
sanksi pidana. Menurut Soerjono Soekanto, kriminalisasi
merupakan tindakan atau penetapan penguasa mengenai
perbuatan-perbuatan tertentu yang oleh masyarakat atau
golongan-golongan tertentu masyarakat dianggap sebagai

17

Id.wikipedia.org/wiki/kriminalisasi, diunduh tgl. 21 juli 2014


17

perbuatan yang dapat dipidana, menjadi perbuatan pidana.18


Atau membuat suatu perbuatan menjadi perbuatan kriminil
dan karena itu dapat dipidana oleh pemerintah dengan cara
kerja atas normanya.19
Pengertian kriminalisasi, dapat pula dilihat dari
perspektif nilai. Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan
kriminalisasi adalah perubahan nilai yang menyebabkan
sejumlah perbuatan yang sebelumnya merupakan perbuatan
yang tidak tercela dan tidak dituntut pidana, berubah menjadi
perbuatan yang dipandang tercela, dan perlu dipidana.
Dalam perspektif labeling, kriminalisasi adalah
keputusan badan pembentuk undang-undang pidana memberi
label terhadap tingkah laku manusia sebagai kejahatan atau
tindak pidana.Kriminalisasi merupakan masalah yang
kompleks dan terpisah-pisah. Kompleksitas kriminalisasi
terletak pada begitu banyaknya faktor yang terkait dan perlu
dipertimbangkan dalam proses kriminalisasi, dan diantara
faktor-faktor tersebut adakalanya terdapat perbedaan yang
sangat tajam. Kompleksitas itu berkaitan dengan jenis
perbuatan yang dapat dikriminalisasi tersebut, bukan hanya
meliputi perbuatan yang secara esensial mengandung sifat
jahat, tapi juga mencakup perbuatan materiil yang secara
hakiki tidak mengandung unsur jahat.
Kompleksitas kriminalisasi juga berhubungan dengan
perbedaan nilai dan norma yang dianut oleh kelompokkelompok masyarakat, baik karena pengaruh latar belakang
agama, dan budaya, maupun karena pengaruh latar belakang
pendidikan dan kelas sosial dalam masyarakat. Perbedaan
nilai dan norma mempengaruhi penilaian terhadap perbuaan
apa yang patut dikriminalisasi dan berpengaruh juga terhadap

18

Soekanto, Soerjono. Kriminologi Suatu Pengantar. Jakarta:1981.


Percetakan Ghalia Indonesia. Cetakan pertama. Hal 61.
19
Black, Henry Campbell. Black Law Dictionary. Saint Paul:1979.
West Publishing Co. Cetakan kelima. Hal 337.
18

penilaian atas gradasi keseriusan perbuatan yang akan


dikriminalisasi.
Kompleksitas kriminalisasi juga tampak dalam
beragamnya pilihan instrumen pengaturan kehidupan
masyarakat, dimana hukum pidana hanya salah satu instrumen
pengaturan kehidupan sosial yang tersedia. Instrumen
pengaturan kehidupan sosial lainnya adalah hukum perdata,
hukum administrasi, nilai moral, agama, disiplin, dan
kebiasaan. Hukum pidana tidak boleh ditempatkan sebagai
instrumen pertama (Primum remedium) untuk mengatur
kehidupan masyarakat, melainkan sebagai instrumen terakhir
(Ultimum remedium), untuk mengontrak tingkah laku individu
dalam kehidupan bersama. Penggunaan hukum pidana untuk
mengatur masyarakat mengenai aktivitas tertentu bukan suatu
keharusan, melainkan hanya satu alternatif dari instrumeninstrumen pengatur yang tersedia. Kompleksitas kriminalisasi
juga berkaitan dengan perubahan sosial dalam masyarakat
yang berlangsung secara cepat. Perubahan sosial merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan hukum, bila
masyarakat berubah, maka hukum pun berubah pula.
2.

Asas-Asas Kriminalisasi
Asas adalah prinsip-prinsip atau dasar-dasar atau
landasan pembuatan suatu peraturan, kebijakan dan keputusan
mengenai aktivitas hidup manusia. Asas hukum merupakan
norma etis, konsepsi falsafah negara, dan doktrin politik.20
Disamping itu, asas hukum juga merupakan pikiran-pikiran
yang menuntun, pilihan terhadap kebijakan, prinsip hukum,
pandangan manusia dan masyarakat, kerangka harapan
masyarakat.
Saleh, Roeslan. Kebijakan Kriminalisasi Dan Dekriminalisasi:
Apa Yang Dibicarakan Sosiologi Hukum Dalam Pembaruan Hukum Pidana
Indonesia, disampaikan dalam Seminar Kriminalisasi dan Dekriminalisasi
dalam Pembaruan Hukum Pidana Indonesia, Fakultas Hukum UII.
Yogyakarta. 15 Juli 1993. Hal 38-39.
19
20

Menurut Scholten, asas-asas hukum adalah pikiranpikiran yang tidak ditegaskan secara eksplisit dalam
undang-undang. Ukuran kepatutan menurut hukum dapat
dicari dalam pikiran-pikiran yang ada di belakang naskah
undang-undang. Sedangkan menurut Van Hoecke, asas-asas
hukum adalah opsi-opsi dasar bagi kebijakan
kemasyarakatan yang aktual, dan prinsip-prinsip etik
hukum.
Dalam konteks kriminalisasi, asas diartikan sebagai
konsepsi-konsepsi dasar, norma-norma etis, dan prinsipprinsip hukum yang menuntun pembentukan norma-norma
hukum pidana melalui pembuatan peraturan perundangundangan pidana. Dengan kata lain, asas hukum adalah
konsepsi dasar, norma etis, dan prinsip-prinsip dasar
penggunaan hukum pidana sebagai sarana penganggulangan
kejahatan.
Ada tiga asas kriminalisasi yang perlu diperhatikan
pembentuk undang-undang dalam menetapkan suatu
perbuatan sebagai tindak pidana beserta ancaman sanksi
pidananya, yakni: (1) asas legalitas; (2) asas subsidiaritas,
dan (3) asas persamaan/kesamaan.
Pertama, asas legalitas, yaitu asas yang esensinya
terdapat dalam ungkapan nullum delictum, nulla poena sie
praevia lege poenali yang dikemukakan oleh Von Feurbach.
Ungkapan itu mengandung pengertian bahwa tidak ada
suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas
perundang-undangan pidana yang sudah ada sebelum
perbuatan itu dilakukan. Asas legalitas adalah asas yang
paling penting dalam hukum pidana, khususnya asas pokok
dalam penetapan kriminalisasi.
Menurut Schafmeister dan J.E. Sahetapy21 asas
legalitas mengandung tujuh makna, yaitu: (i) tidak dapat
21

Sahetapy, J.E. (Ed.). Hukum Pidana. Yogyakarta:1996. Penerbit


Liberty. Hal 6-7
20

dipidana kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut


undang-undang; (ii) tidak ada penerapan undang-undang
pidana berdasarkan analogi; (iii) tidak dapat dipidana hanya
berdasarkan kebiasaan; (iv) tidak boleh ada perumusan delik
yang kurang jelas (syarat lex certa); (v) tidak ada kekuatan
surut dari ketentuan pidana; (vi) tidak ada pidana lain
kecuali yang ditentukan undang-undang; dan (vii)
penuntutan pidana hanya menurut cara yang ditentukan
undang-undang.
Dalam doktrin hukum pidana ada enam macam
fungsi asas legalitas. Pertama, pada hakikatnya, asas
legalitas dirancang untuk memberi maklumat kepada publik
seluas mungkin tentang apa yang dilarang oleh hukum
pidana sehingga mereka dapat menyesuaikan tingkah
lakunya.
Kedua, menurut aturan klasik, asas legalitas
mempunyai fungsi untuk membatasi ruang lingkup hukum
pidana. Sedangkan dalam aliran modern asas legalitas
merupakan instrumen untuk mencapai tujuan perlindungan
masyarakat.22
Ketiga, fungsi asas legalitas adalah untuk
mengamankan posisi hukum rakyat terhadap negara
(penguasa). Hal ini adalah tafsiran tradisional yang telah
mengenyampingkan arti asas legalitas sepenuhnya seperti
yang dimaksudkan oleh ahli-ahli hukum pidana pada abad
ke XVIII (delapan belas).23
Keempat, asas legalitas dikaitkan dengan peradilan
pidana mengharapkan lebih banyak lagi daripada hanya
akan melindungi warga masyarakat dari kesewenangPeters, Antonie A.G. Main Current in Criminal Law Theori in
Action, Gouda Quint by, Arnhem, 1986 hal.33. dikutip dari Kamariah,
Ajaran Sifat Melawan Hukum Material Dalam Hukum Pidana Indonesia.
Pidato Pengukuhan Guru Besar UNPAD, Bandung, Maret 1994. Hal 43
23
Roeslan Saleh mengutip Antonie A. G. Peter, dalam Asas Hukum
Pidana Dalam Perspektif. Jakarta:1981. Penerbit Aksara Baru. Hal. 28
21
22

wenangan pemerintah. Asas legalitas itu diharapkan


memainkan peranan yang lebih positif, yaitu harus
menentukan tingkatan-tingkatan dari persoalan yang
ditangani oleh suatu sistem hukum pidana yang sudah tidak
dapat dipakai lagi.24
Kelima, tujuan utama asas legalitas adalah untuk
membatasi kesewenang-wenangan yang mungkin timbul
dalam hukum pidana dan mengawasi serta membatasi
pelaksanaan dari kekuasaan itu atau menormakan fungsi
pengawasan dari hukum pidana itu. Fungsi pengawasan ini
juga merupakan fungsi asas kesamaan, asas subsidiaritas,
asas proporsionalitas, dan asas publisitas.25
Keenam, asas legalitas memberikan kepastian hukum
pada masyarakat mengenai perbuatan-perbuatan yang
dilarang (tindak pidana) yang disertai dengan ancaman
pidana tertentu. Dengan adanya penetapan perbuatan
terlarang itu berarti ada kepastian (pedoman) dalam
bertingkah laku bagi masyarakat.
Dari enam fungsi asas legalitas tersebut, fungsi asas
legalitas yang paling relevan dalam konteks kriminalisasi
adalah fungsi kedua yang berkenaan dengan fungsi untuk
membatasi ruang lingkup hukum pidana, dan fungsi ketiga
yang berkaitan dengan fungsi mengamankan posisi hukum
rakyat terhadap negara. Fungsi asas legalitas untuk
mengamankan posisi hukum rakyat terhadap negara dan
fungsi untuk melindungi anggota masyarakat dari tindakan
sewenang-wenang pihak pemerintah merupakan dimensi
politik hukum dari asas legalitas.26
Keberadaan hukum pidana harus dibatasi karena
hukum pidana merupakan bidang hukum yang paling keras
dengan sanksi yang sangat berat, termasuk sanksi pidana

24

Ibid, hal.35.
Ibid, hal. 14
26
Ibid, hal. 28
25

22

mati. Hukum pidana digunakan hanya untuk melindungi


kepentingan masyarakat yang sangat vital bagi kehidupan
bersama. Perbuatan-perbuatan yang perlu dikriminalisasi
adalah perbuatan-perbuatan yang secara langsung
mengganggu ketertiban kehidupan masyarakat.
Fungsi mengamankan posisi hukum rakyat terhadap
negara juga harus menjadi fokus perhatian hukum pidana.
Hukum pidana harus dapat menjadi hak-hak dasar setiap
warga negara, dan pembatasan terhadap hak-hak dasar
warga negara melalui instrumen hukum pidana semata-mata
dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar bagi semua
warga negara. Fungsi asas legalitas untuk mengamankan
posisi hukum rakyat terhadap negara dan fungsi untuk
melindungi anggota masyarakat dari tindakan sewenangwenangan pihak pemerintah yang merupakan dimensi
politik hukum dari asas legalitas.
Dalam praktek perundang-undangan asas legalitas
ternyata tidak dapat memainkan peranan untuk melindungi
posisi hukum rakyat terhadap penguasa dan untuk
membatasi kesewenang-wenangan pemerintah di dalam
membuat hukum dan proses penegakkan hukum.Asas
legalitas hanya berfungsi sebagai dasar hukum bagi
pemerintah untuk bertindak mengatur kehidupan
masyarakat melalui penetapan tindak pidana yang tidak
jarang merugikan kepentingan masyarakat, terutama pada
masa Orde Baru. Dengan bertambahnya tindak pidana,
bukan hanya merusak dimensi kegunaan dari asas lgalitas
menjadi rusak, tetapi juga asas perlindungan hukum.
Kedua, disamping berlandasakan kepada asas legalitas,
kebijakan kriminalisasi juga harus berdasarkan kepada asas
subsidiaritas. Artinya, hukum pidana harus ditempatkan
sebagai ultimum remedium (senjata pamungkas) dalam
penanggulangan kejahatan yang menggunakan instrumen
penal, bahkan sebagai primum remedium (senjata utama)
untuk mengatasi masalah kriminalitas.
23

Penerapan asas subsidiaritas dalam kebijakan


kriminalisasi dan dekriminalisasi mengharuskan adanya
penyelidikan tentang efektivitas penggunaan hukum pidana
dalam penanggulangan kejahatan atau perbuatan-perbuatan
yang merugikan masyarakat. Pokok permasalahan yang
perlu diteliti adalah apakah tujuan-tujuan yang ingin dicapai
dengan menggunakan hukum pidana itu tidak dapat dicapai
juga dengan menggunakan cara-cara lain yang lebih kecil
ongkos sosial dan individualnya? Hal ini menghendaki agar
kita mengetahui tentang akibat-akibat dari penggunaan
hukum pidana itu, dan dapat menjamin bahwa campur
tangan hukum pidana itu memang sangat berguna.
Apabila dalam penyelidikan itu ditemukan bahwa
penggunaan sarana-sarana lain (saranan non penal) lebih
efektif dan lebih bermanfaat untuk menanggulangi
kejahatan, maka janganlah menggunakan hukum pidana.
Dalam praktek perundang-undangan, upaya untuk
mengadakan penyelidikan tersebut bukan hanya tidak
dilakukan, tapi juga tidak terpikirkan penggunaan asas
subsidiaritas dalam praktek perundang-undangan ternyata
tidak berjalan seperti diharapkan. Hukum pidana tidak
merupakan ultimum remedium, melainkan sebagai primum
remedium. Penentuan pidana telah menimbulkan beban
terlalu berat dan sangat berlebihan terhadap para justitiable
dan lembaga-lembaga hukum pidana.
Kenyataan yang terjadi dalam praktek perundangundangan adalah adanya keyakinan kuat di kalangan
pembentuk undang-undang bahwa penetapan suatu
perbuatan sebagai perbuatan terlarang yang disertai dengan
ancaman pidana berat mempunyai pengaruh otomatis
terhadap perliaku anggota masyarakat.
Dalam upaya menanggulangi kasus perjudian
misalnya, pemerintah mengira, bahwa dengan perubahan
sanksi pidana yang ringan menjadi sangat berat bagi bandar
judi dan juga penjudi, lalu perjudian menjadi lebih tertib.
24

Tapi kenyataannya, perjudian tetap merajalela sampai


sekarang, beigu pula halnya dengan tindak pidana lalu
lintas. Dari pengalaman-pengalaman itu kemudian muncul
suatu keyakinan bahwa penghukuman yang keras tidak
mengendalikan kejahatan. Oleh karenanya mereka kembali
menggunakan asas subsidiaritas.27
Latar belakang semakin perlunya menggunakan asas
subsisdiaritas dalama penentuan perbuatan terlarang
didorong oleh dua faktor. Pertama, penggunaan asas
subsisdaritas akan mendorong lahirnya hukum pidana yang
adil. Kedua, praktek perundang-undangan menimbulkan
dampak negatif terhadap sistem hukum pidana akibat
overkriminalisasi dan overpenalisasi sehingga hukum
pidana menjadi kehilangan pengaruhnya dalam masyarakat.
Disamping itu, overkriminalisasi dan overpenalisasi
semakin memperberat beban kerja aparatur hukum dalam
proses peradilan pidana. Akibat selanjutnya, hukum pidana
tidak dapat berfungsi dengan baik dan karenanya pula
kehilangan wibawa.
Ketiga, selain asaslegalitas dan asas subsidiaritas, ada
asas lain yang juga mempunyai kedudukan penting dalam
proses kriminalisasi, yaitu asas persamaan / kesamaan.
Kesamaan
adalah
kesederhanaan
dan
kejelasan.
Kesederhanaan serta kejelasan itu akan menimbulkan
ketertiban. Menurut Servan dan Letrossne asas kesamaan
bukanlah pernyataan dari aspirasi tentang hukum pidana
yang lebih adil. Asas kesamaan lebih merupakan suatu
keinginan diadakannya sistem hukum pidana yang lebih
jelas dan sederhana. Sedangkan Lacretelle berpendapat
bahwa asas kesamaan tidaklah hanya suatu dorongan bagi
hukum pidana yang bersifat adil, tetapi juga untuk hukuman
pidana yang tepat.
Sakidjo, Aruan dan Poernomo, Bambang. Hukum Pidana.
Jakarta.1990. Ghalia Indonesia. Hal. 45
27

25

Asas-asas kriminalisasi tersebut ini adalah asas-asas


yang bersifat kritis normatif. Dikatakan kritis, oleh karena
dia dikemukakan sebagai ukuran untuk menilai tentang sifat
adilnya hukum pidana, dan normatif oleh karena dia
mempunyai fungsi mengatur terhadap kebijaksanaan
pemerintah dalam bidang hukum pidana.Secaragradual
dankonkret, kebijakandalampenggunaan hukum pidana28
berkolerasi erat dengan aspek kriminalisasi. Padaasasnya,
kriminalitas merupakan proses penetapan suatu perbuatan
sebagai yang dilarang dan diancam dengan pidana bagi
siapa saja yang melanggar larangan tersebut. Kriminalisasi
ini biasanya berakhir dengan terbentuknya Undang-undang
yang melarang dan mengancam dengan pidana
dilakukannya perbuatan-perbuatan tertentu.Sedangkan
dekriminalisasi adalah suatu proses yang menghilangkan
sifat dilarang dan diancam pidana dari suatu perbuatan
pidana, yang semula merupakan suatu perbuatan pidana lalu
menjadi perbuatan yang tidak dilarang dan tidak diancam
dengan pidana lagi. Dekriminalisasi harus dibedakan
dengan depenalisasi, dimana perbedaan itu semula diancam
pidana, ancaman pidana itu dibilangkan akan tetapi masih
dimungkinkan adanya penuntutan dengan cara lain melalui
hukum perdata atau hukum administrasi.
3.

Kriteria Kriminalisasi
Dalam membahas masalah kriminalisasi timbul dua
pertanyaan, yaitu: (i) apakah kriteria yang digunakan oleh
pembentuk undang-undang dalam mengkriminalisasi suatu
perbuatan sebagai tindak pidana yang diancam dengan
sanksi pidana tertentu?; (ii) apakah kriteria yang digunakan
pembentuk undang-undang untuk menetapkan ancaman

28

Lilik mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana Umum dan Khusus,


PT. Alumni, Bandung, 2012, hlm509
26

pidana terhadap tindak pidana yang satu lebih tinggi


daripada ancaman terhadap tindak pidana yang lain.
Dalam menentukan perilaku apa yang akan
dikriminalisasi seharusnya diawali dengan pertanyaan:
apakah suatu perilaku selayaknya dapat diserahkan kepada
private ethics ataukah ia telah menjadi bagian dari ranah
(domain) publik?29 Perilaku-perilaku yang masuk wilayah
privat tidak perlu dikriminalisasi jika sangat merugikan
kepentingan masyarakat.
Menurut Bassiouni, keputusan untuk melakukan
kriminalisasi dan dekriminalisasi harus didasarkan pada
faktor-faktor kebijakan tertentu yang mempertimbangkan
bermacam-macam faktor termasuk:30
a.
Keseimbangan sarana yang digunakan dalam
hubungannya dengan hasil-hasil yang ingin dicapai
b.
Analisis biaya terhadap hasil-hasil yang diperoleh
dalam hubungannya dengan tujuan-tujuan yang dicari
c.
Penilaian atau penafsiran tujuan-tujuan yang dicari itu
dalam kaitannya dengan prioritas-prioritas lainnya
dalam pengalokasikan sumber-sumber tenaga manusia
d.
Pengaruh sosial kriminalisasi dan dekriminalisasi
yang berkenaan dengan atau dipandang dari pengaruhpengaruhnya yang sekunder
Pandangan lain dikemukakan oleh Soedarto yang
mengungkapkan bahwa dalam menghadapi masalah
kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:31

29
Harkristuti Harkrisnowo mengutip Bentham dalam Konsep
Pemidanaan: Suatu Gugatan Terhadap Proses Legislasi di Indonesia,
Pidato Pengukuhan Guru Besar UI. Jakarta. Hal. 20
30
Bassiouni, M. Cherif. Substantive Criminal Law. 1978. Hal. 82.
Dikutip dari Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai Kebijakan Hukum
Pidana.Bandung. 1996. Citra Aditya Bhakti
31
Soedarto. Kapita Selekta Hukum Pidana.Bandung, Alumni.
1986. Hal 31.
27

a.

Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan


tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan
masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan
spiritual berdasarkan Pancasila. Sehubungan dengan
ini, (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk
menanggulangi
kejahatan
dan
mengadakan
pengoderan terhadap tindakan penanggulangan itu
sendiri demi kesejahteraan dan pengayoman
masyarakat.
b.
Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau
ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan
perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan
yang mendatangkan kerugian (materiil dan spiritual)
atas warga masyarakat.
c.
Penggunaan
hukum
pidana
harus
pula
memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost benefit
principle).
d.
Pengunaan hukum pidana harus pula memperhatikan
kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badanbadan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada
kelampauan beban tugas (overblasting).
Kriteria kriminalisasi yang dikemukakan Soedarto di
atas mempunyai persamaan dengan kriteria kriminaliasasi
hasil rumusan (kesimpulan) Simposium Pembaruan Hukum
Pidana (1976) yang menyebutkan beberapa kriteria umum
sebagai berikut:32
a.
Apakah perbuatan itu tidak disukai atau dibenci oleh
masyarakat karena merugikan, atau dapat merugikan,
mendatangkan korban atau dapat mendatangkan
korban?
b.
Apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan
hasilnya yang akan dicapai, artinya cost pembuatan
undang-undang, pengawasan dan penegakkan hukum,
32

Arif, Barda Nawawi, Op.Cit, hal 38-40


28

serta beban yang dipikul oleh korban, dan pelaku


kejahatan itu sendiri harus seimbang dengan situasi
tertib hukum yang akan dicapai?
c.
Apakah akan makin menambah beban aparat penegak
hukum yang tidak seimbang atau nyata-nyata tidak
dapat diemban oleh kemampuan yang dimilikinya?
d.
Apakah perbuatan-perbuatan itu menghambat atau
menghalangi cita-cita bangsa Indonesia sehingga
merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat?
Hullsman mengajukan beberapa kriteria absolut yang
perlu diperhatikan dalam proses kriminalisasi, yaitu sebagai
berikut:33
a.
Kriminalisasi seharusnya tidak ditetapkan sematamata atas keinginan untuk melaksanakan suatu sikap
moral tertentu terhadap
suatu bentuk perilaku
tertentu.
b.
Alasan utama untuk menetapkan satu perbuatan
sebagai tindak pidana seharusnya tidak pernah
didirikan suatu kerangka untuk perlindungan atau
perlakuan terhadap seorang pelaku kejahatan potensial
dalam kepentingannya sendiri.
c.
Kriminalisasi tidak boleh berakibat melebihi
kemampuan perlengkapan peradilan pidana.
d.
Kriminalisasi seharusnya tidak boleh dipergunakan
sebagai suatu tabir sekedar pemecahan yang nyata
terhadap suatu masalah.
Adapun menurut Moeljatno ada tiga kriteria
kriminalisasi dalam proses pembaruan hukum pidana.
Pertama, penetapan suatu perbuatan sebagai perbuatan
terlarang (perbuatan pidana) harus sesuai dengan perasaan
hukum yang hidup dalam masyarakat. Kedua, apakah
Hullsman sebagaimana dikutip Roeslan Saleh dalam, Dari
Lembaran Kepustakaan Hukum Pidana. Jakarta. 1988. Penerbit Sinar
Grafika. Hal 87.
33

29

ancaman pidana dan penjatuhaan pidana itu adalah jalan


yang utama untuk mencegah dilanggarnya laranganlarangan tersebut. Ketiga, apakah pemerintah dengan
melewati alat-alat negara yang bersangkutan, betul-betul
mampu untuk benar-benar melaksanakan ancaman pidana
kalau ternyata ada yang melanggar larangan.34
Menurut Peter W. Low, dalam melakukan
kriminalisasi perlu mengukur efek-efek yang mungkin
timbul dari pelaksanaan kriminalisasi. Ada efek yang perlu
diukur, yaitu, manfaat kriminalisasi terhadap masyarakat.
Pertanyaannya adalah, apakah kriminalisasi lebih banyak
membawa manfaat atau tidak kepada masyarakat. Tidak
mudah mengukur manfaat kriminalisasi karena adanya
kesulitan membedakan
B.

Konsep dan Pengertian Kebijakan Publik


1. Pengertian Kebijakan Publik
Istilah kebijakan publik adalah terjemahan istilah bahasa
Inggris "Public Policy". Kata "policy" ada yang
menerjemahkan menjadi "kebijakan" (Samodra Wibawa,
1994; Muhadjir Darwin, 1998) dan ada juga yang
menerjemahkan menjadi "kebijaksanaan" (Islamy, 2001;
Abdul Wahap, 1990). Meskipun belum ada "kesepakatan",
apakah policy diterjemahkan menjadi "Kebijakan" ataukah
"kebijaksanaan", akan tetapi tampaknya kecenderungan yang
akan datang untuk policy digunakan istilah kebijakan maka
dalam modul ini, untuk public policy diterjemahkan menjadi
"kebijakan publik".
Beberapa ahli memberikan pengertian / definisi kebijakan
publik, antara lain adalah:

Moeljatno. Azas-Azas Hukum Pidana.Jakarta:1985. PT.Bina


Cipta. Hal 5.
34

30

a.

Thomas R. Dye
Thomas R. Dye mendefinisikan kebijakan publik sebagai
berikut:
"Public Policy is whatever the government choose to do
or not to do". (Kebijakan publik adalah apapun pilihan
pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu). Menurut Dye, apabila pemerintah
memilih untuk melakukan sesuatu, maka tentunya ada
tujuannya, karena kebijakan publik merupakan
"tindakan" pemerintah. Apabila pemerintah memilih
untuk tidak melakukan sesuatu, inipun merupakan
kebijakan publik, yang tentunya memiliki tujuan. Sebagai
contoh: becak dilarang beroperasi di wilayah DKI
Jakarta, bertujuan untuk kelancaran lalu-lintas, karena
becak dianggap mengganggu kelancaran lalu-lintas, di
samping dianggap kurang manusiawi. Akan tetapi,
dengan dihapuskannya becak, kemudian muncul "ojek
sepeda motor". Meskipun "ojek sepeda motor" ini bukan
termasuk kendaraan angkutan umum, tetapi Pemerintah
DKI Jakarta tidak meiakukan tindakan untuk
melarangnya. Tidakadanya tindakan untuk melarang
"ojek" ini, dapat dikatakan kebijakan publik, yang dapat
dikategorikan sebagai "tidak melakukan sesuatu".
b. James E. Anderson
Anderson mengatakan:
"Public Policies are those policies developed by
governmental bodies and officials". (Kebijakan publik
adalah kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh
badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah).
c. David Easton
David Easton memberikan definisi publik sebagai:
Public policy is the authoritative allocation of values
for the whole society. (Kebijakan Publik adalah
pengalokasian nilai-nilai secara syah kepada seluruh
anggota masyarakat).
31

Kesimpulan:
a. Kebijakan publik dibuat oleh pemerintah yang berupa
tindakan tindakan pemerintah.
b. Kebijakan publik baik untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu itu mempunyai tujuan tertentu.
c. Kebijakan publik ditujukan untuk kepentingan
masyarakat.
2. Jenis-jenis Kebijakan Publik.
Jenis kebijakan publik menurut James E. Anderson
(1970) ada 4 :35
1) Substantive and Procedural Policies.
Substantive Policy.
Suatu
kebijakan
dilihatdari
substansi
masalahyangdihadapi oleh pemerintah.Contoh:
kebijakanpendidikan, kebijakan ekonomi, dan
Iain-lain.
Procedural Policy.
Suatu kebijakan dilihatdari pihak-pihak yang
terlibat
dalam
perumusannya
Policy
Stakeholders).
Contoh : dalam pembuatan suatu kebijakan
publik, meskipun ada Instansi/Organisasi
Pemerintah yang secara fungsional berwenang
membuatnya, misalnya Undang-undang tentang
Pendidikan, yang berwenang membuat adalah
Departemen Pendidikan Nasional, tetapi dalam
pelaksanaan
pembuatannya,
banyak
instansi/organisasi lain yang terlibat, baik
instansi/organisasi
pemerintah
maupun
organisasi bukan pemerintah, yaitu antara lain
DPR, Departemen Kehakiman, Departemen
Tenaga Kerja, Persatuan Guru Indonesia
35

http://www.academia.edu/4694245/diunduh 29 juli 2014


32

(PGRI), dan Presiden yang mengesyahkan


Undang-undang tersebut. Instansi-instansi/
organisasi-organisasi yang terlibat tersebut
disebut policy stakeholders.
2) Distributive, Redistributive, and Regulatory
Policies.
Distributive Policy.
Suatu kebijakan yang mengatur tentang
pemberian pelayanan/keuntungan kepada
individu-individu, kelompok-kelompok, atau
perusahaan-perusahaan.
Contoh: kebijakan tentang "Tax Holiday"
Redistributive Policy
Suatu kebijakan yang mengatur tentang
pemindahan alokasi kekayaan, pemilikan,
atau hak-hak.
Contoh: kebijakan tentang pembebasan tanah
untuk kepentingan umum.
Regulatory Policy.
Suatu kebijakan yang memgatur tentang
pembatasan/
pelarangan
terhadap
perbuatan/tindakan.
Contoh: kebijakan tentang larangan memiliki
dan menggunakan senjata api.
3)
Material Policy.
Suatu kebijakan yang mengatur tentang
pengalokasian/penyediaan
sumber-sumber
material
yang
nyata
bagi
penerimanya. Contoh: kebijakan pembuatan
rumah sederhana.
4)
Public Goods and Private Goods Policies.
Public Goods Policy.
Suatu kebijakan yang mengatur tentang
penyediaanbarang-barang/pelayanan33

pelayanan
oleh
pemerintah,
untukkepentingan
orang
banyak.
Contoh:
kebijakan
tentang
perlindungan keamanan, penyediaan
jalan umum.
Private Goods Policy.
Suatu kebijakan yang mengatur tentang
penyediaan barang-barang / pelayanan
oleh pihak swasta, untuk kepentingan
individu-individi (perorangan) di pasar
bebas, dengan imbalan biaya tertentu.
Contoh: kebijakan pengadaan barangbarang / pelayanan untuk keperluan
perorangan, misalnya tempat hiburan,
hotel, dan lain-lain.

3. Tingkat-tingkat Kebijakan Publik


Mengenai tingkat-tingkat kebijakan publik ini,
Lembaga Administrasi Negara (1997),
mengemukakan sebagai berikut:
a. Lingkup Nasional
1)Kebijakan Nasional
Kebijakan Nasional adalah adalah kebijakan negara
yang bersifat fundamental dan strategis dalam
pencapaian tujuan nasional/negara sebagaimana
tertera dalam Pembukaan UUD 1945. Yang
berwenang menetapkan kebijakan nasional adalah
MPR, Presiden, dan DPR. Kebijakan nasional yang
dituangkan dalam peraturan perundang-undangan
dapat berbentuk: UUD, Ketetapan MPR, Undangundang (UU), Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang (Perpu).
2) Kebijakan Umum
34

Kebijakan umum adalah kebijakan Presiden sebagai


pelaksanaan UUD, TAP MPR, UU,-untuk mencapai
tujuan nasional. Yang berwenang menetapkan
kebijakan umum adalah Presiden. Kebijakan umum
yang tertulis dapat berbentuk: Peraturan Pemerintah
(PP), Keputusan Presiden (Keppres), Instruksi
Presiden(Inpres).
3) Kebijakan Pelaksanaan.
Kebijaksanaan pelaksanaan adalah merupakan
penjabaran dari kebijakan umumsebagai strategi
pelaksanaan tugas di bidang tertentu. Berwenang
menetapkan
kebijakan
pelaksanaan
adalah
menteri/pejabat setingkat menteri dan pimpinan
LPND.Kebijakan pelaksanaan yang tertulis dapat
berbentuk Peraturan, Keputusan, Instruksi pejabat
tersebut di atas.
b. Lingkup Wilayah Daerah
1) Kebijakan Umum.
Kebijakan umum pada lingkup Daerah adalah
kebijakan pemerintah daerah sebagai pelaksanaan
azas desentralisasi dalam rangka mengatur urusan
Rumah Tangga Daerah.
Berwenang menetapkan kebijakan umum di Daerah
Provinsi adalah Gubernur dan DPRD Provinsi. Pada
Daerah Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Bupati
Walikota dan DPRD Kabupaten/Kota. Kebijakan
umum pada tingkat Daerah dapat berbentuk Peraturan
Daerah
(Perda)
Provinsi
dan
PERDA
Kabupaten/Kota.
2) Kebijakan Pelaksanaan
Kebijakan pelaksanaan pada lingkup Wilayah/Daerah
ada 3 macam:
35

a. Kebijakan pelaksanaan dalam rangka


desentralisasi merupakan realisasi pelaksanaan
PERDA;
b. Kebijakan pelaksanaan dalam rangka
dekonsentrasi merupakan pelaksanaan kebijakan
nasional di Daerah;
c. Kebijakan pelaksanaan dalam rangka tugas
pembantuan
(medebewind)
merupakan
pelaksanaan tugas Pemerintah Pusat di Daerah
yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
Berwenang menetapkan kebijakan pelaksanaan
adalah:
a. Dalam rangka desentralisasi adalah Gubernur /
Bupati / Walikota
b. Dalam rangka dekonsentrasi adalah Gubernur /
Bupati / Walikota
c. Dalam rangka tugas pembantuan adalah Gubernur
/ Bupati / walikota
Dalam rangka pelaksanaan desentralisasi
dan tugas pembantuan berupa Keputusan-keputusan
dan
Instruksi
Gubernur/Bupati/Walikota.Dalam
rangka
pelaksanaan
dekonsentrasi
berbentuk
Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota.
Sementara itu pakar kebijakan publik
mendefinisikan bahwa kebijakan publik adalah segala
sesuatu yang dikerjakan atau tidak dikerjakan oleh
pemerintah, mengapa suatu kebijakan harus dilakukan
dan apakah manfaat bagi kehidupan bersama harus
menjadi pertimbangan yang holistik agar kebijakan
tersebut mengandung manfaat yang besar bagi
warganya dan berdampak kecil dan sebaiknya tidak
menimbulkan persoalan yang merugikan, walaupun
demikian pasti ada yang diuntungkan dan ada yang
36

dirugikan, disinilah letaknya pemerintah harus


bijaksana dalam menetapkan suatu kebijakan (Thomas
Dye, 1992; 2-4).
Untuk memahami kedudukan dan peran
yang strategis dari pemerintah sebagai public actor,
terkait dengan kebijakan publik maka diperlukan
pemahaman bahwa untuk mengaktualisasinya
diperlukan suatu kebijakan yang berorientasi kepada
kepentingan rakyat. Seorang pakar mengatakan:
(Aminullah dalam Muhammadi, 2001: 371 372):
Bahwa kebijakan adalah suatu upaya atau
tindakan untuk mempengaruhi sistem
pencapaian tujuan yang diinginkan, upaya
dan tindakan dimaksud bersifat strategis
yaitu berjangka panjang dan menyeluruh.
Demikian pula berkaitan dengan kata
kebijakan ada yang mengatakan: (Ndraha 2003: 492499)
Bahwa kata kebijakan berasal dari
terjemahan kata policy, yang mempunyai
arti sebagai pilihan terbaik dalam batasbatas kompetensi actor dan lembaga yang
bersangkutan dan secara formal mengikat.
Meski demikian kata kebijakan yang berasal
dari policy dianggap merupakan konsep yang relatif
(Michael Hill, 1993: 8):
The concept of policy has a particular
status in the rational model as the relatively
durable element against which other

37

premises and actions are supposed to be


tested for consistency.36
Mengutip pendapat Bill Jenkins, didalam
buku The Policy Process, mendefinisikan kebijakan
publik sebagai berikut:
A set of interrelated decisions taken by a
political actor or group of actors concerning
the selection of goals and the means of
achieving them within a specified situation
where these decisions should, in principle,
be within the power of these actors to
achieve.
Berdasarkan berbagai definisi para ahli
kebijakan publik, kebijakan publik adalah kebijakankebijakan yang dibuat oleh pemerintah sebagai
pembuat kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan
tertentu di masyarakat di mana dalam penyusunannya
melalui berbagai tahapan. Tahap-tahap pembuatan
kebijakan publik menurut William Dunn, adalah
sebagai berikut:
1. Penyusunan Agenda
Agenda setting adalah sebuah fase dan
proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan
publik. Dalam proses inilah memiliki ruang untuk
memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik
dan prioritas dalam agenda publik dipertarungkan.
Jika sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai
masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam
agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan

36

http://abdiprojo.blogspot.com/2010/04/pengertian-kebijakanpublik.html,diunduh 4 agustus 2014


38

alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu


lain.susah juga semua bisa nulis
Dalam agenda setting juga sangat penting
untuk menentukan suatu isu publik yang akan
diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Issue
kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai
masalah kebijakan (policy problem). Policy issues
biasanya muncul karena telah terjadi silang pendapat
di antara para aktor mengenai arah tindakan yang
telah atau akan ditempuh, atau pertentangan
pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut.
Menurut William Dunn (1990), isu kebijakan
merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan
baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun
penilaian atas suatu masalah tertentu. Namun tidak
semua isu bisa masuk menjadi suatu agenda
kebijakan.
Ada beberapa Kriteria isu yang bisa
dijadikan agenda kebijakan publik (Kimber, 1974;
Salesbury 1976; Sandbach, 1980; Hogwood dan
Gunn, 1986) diantaranya:37
1. telah mencapai titik kritis tertentu jika diabaikan,
akan menjadi ancaman yang serius;
2. telah mencapai tingkat partikularitas tertentu
3. berdampak dramatis jika tidak dilakukan
pemunculan kebijakan oleh pejabat berwenang;
4. menjangkau dampak yang amat luas ;
5. mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan
dalam masyarakat ;
6. menyangkut suatu persoalan yang fasionable (sulit
dijelaskan, tetapi mudah dirasakan kehadirannya)

37

http://id.wikipedia.org/wiki/Kebijakan_publik, diunduh 4 agustus

2014
39

Karakteristik : Para pejabat yang dipilih dan


diangkat menempatkan masalah pada agenda publik.
Banyak masalah tidak disentuh sama sekali,
sementara lainnya ditunda untuk waktu lama.
Ilustrasi : Legislator negara dan kosponsornya
menyiapkan rancangan undang-undang mengirimkan
ke Komisi Kesehatan dan Kesejahteraan untuk
dipelajari dan disetujui. Rancangan berhenti di komite
dan tidak terpilih.
Penyusunan agenda kebijakan seyogianya
dilakukan berdasarkan tingkat urgensi dan esensi
kebijakan, juga keterlibatan stakeholder. Sebuah
kebijakan tidak boleh mengaburkan tingkat urgensi,
esensi, dan keterlibatan stakeholder.
2. Formulasi kebijakan
Masalah yang sudah masuk dalam agenda
kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat
kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk
kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik.
Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai
alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama
halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk
dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan
kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk
dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk
memecahkan masalah.
3. Adopsi / Legitimasi Kebijakan
Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan
otorisasi pada proses dasar pemerintahan. Jika
tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur
oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan mengikuti
arahan pemerintah. Namun warga negara harus
percaya bahwa tindakan pemerintah yang sah
40

mendukung. Dukungan untuk rezim cenderung


berdifusi - cadangan dari sikap baik dan niat baik
terhadap tindakan pemerintah yang membantu
anggota
mentolerir
pemerintahan
disonansi.
Legitimasi dapat dikelola melalui manipulasi simbolsimbol tertentu. Di mana melalui proses ini orang
belajar untuk mendukung pemerintah.
4. Penilaian/ Evaluasi Kebijakan
Secara umum evaluasi kebijakan dapat
dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi
atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi,
implementasi dan dampak. Dalam hal ini, evaluasi
dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya,
evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap
akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses
kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa
meliputi
tahap
perumusan
masalah-masalah
kebijakan, program-program yang diusulkan untuk
menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi,
maupun tahap dampak kebijakan.
c. Pengertian Pejabat Publik
Dari segi etimologis istilah pejabat publik terdiri
dari kata pejabat dan publik. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), kata pejabat berarti pegawai
pemerintah yang memegang jabatan penting (unsur) pimpinan
dan publik berarti orang banyak atau umum. Apabila
dipakai kata jabatan, istilah jabatan sendiri mempunyai
pengertian pekerjaan atau tegas di pemerintahan atau
organisasi.38

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa


Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka. Cetakan ke 2. Hal.198
38

41

Selain istilah pejabat publik diatas, terdapat juga


istilah pejabat publik yang juga sering digunakan. Miftah
Thoha menyebutkan: istilah jabatan politik baru kita kenal
setelah era reformasi ini karena banyak jabatan itu berasal dari
kekuatan partai politik. Dahulu pada zaman pemerintahan
Orde Baru jabatan itu dikenal sampai sekarang dengan istilah
jabatan negara, pejabatnya disebut sebagai pejabat negara.
Ketika itu dalam pemerintahan Orde Baru tidak dikenal
jabatan politik. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan
bahwa pada jaman Orde Baru jabatan politik dapat
dipersamakan dengan jabatan negara (pejabat negara).Jimly
Asshiddiqie menyatakan bahwa: para pejabat merupakan
political appointee sedangkan pejabat negeri merupakan
administrative appointee. Artinya para pejabat negara itu
diangkat dan dipilih karena pertimbangan yang bersifat
politik, sedangkan para pejabat negeri itu dipilih murni karena
alasan administratif. Semua pejabat yang diangkat karena
pertimbangan politik (political appointment) haruslah
bersumber dan dalam rangka pelaksanaan prinsip kedaulatan
rakyat. Karena rakyatlah yang pada pokoknya memegang
kedaulatan atau kekuasaan tertinggi dalam bidang politik
kenegaraan. Pejabat yang diangkat atas pertimbangan yang
demikian itulah yang biasa disebut sebagai pejabat negara
yang dipilih atau elected official.39
Untuk lebih menyederhanakannya, kita bisa pakai
pendapat Bagir Manan yang menyatakan bahwa lingkungan
jabatan dalam organisasi negara dapat dibedakan dengan
berbagai cara, yaitu:
(i)
Dibedakan antara jabatan alat kelengkapan negara
(jabatan organ negara, jebatan lembaga negara), dan
jabatan penyelenggara administrasi negara;
(ii)
Dibedakan antara jabatan politik dan bukan politik;
Asshiddiqie, Jimly. Perihal Undang-Undang. Jakarta:2010.
Rajawali Persa. Hal.373
39

42

(iii)

Dibedakan antara jabatan yang secara langsung


bertanggung jawab dan berada dalam kendali atau
pengawasan publik dan yang tidak langsung
bertanggung jawab dan tidak langsung berada dalam
pengawasan atau kendali publik;
(iv)
Dibedakan pula antara jabatan yang secara langsung
melakukan pelayanan umum dan tidak secara
langsung melakukan pelayanan umum.
Berdasarkan
pendapat-pendapat
diatas
dapat
disimpulkan bahwa pengertian pejabat publik berbeda
secara substansial dengan istilah pejabat politik, sebab
jabatan publik tidak selalu diisi melalui proses pemilihan
umum atau layaknya mekanisme pemilihan pejabat melaluii
proses politik. Namun dapat juga diisi melalui pengangkatan
dengan model dan prosedur tertentu.
Istilah pejabat publik banyak digunakan dalam sistem
hukum asing dan lingkup hukum internasional. Hal ini dapat
ditemukan dalam United Nations Convention against
Corruption (UN Convention) dan Organization of Economic
Co-Operation and Development-convention on Combating
Bribery of Foreign Public Officials in International Business
Transactions (OECD Convention).
Menurut UN Conventiion, pejabat publik (public
officials) adalah: any person holding a legislative, executive,
administrative or judicial office, whether appointed or
elected; any other persons who performs a public function or
provides a public service; any other person defined as a
public official in domestic law.40
Lalu, menurut OECD Convention, pejabat publik
berarti :
any person holding a legislative, administrative or
judicial office of a country, whether appointed or elected; any
40

www.u4.no/themes/conventions/convdefpublicofficial.cfm,
Conventions overview-defining public officials.diunduh 6agustus 2014
43

person exercising a public function for a foreign country,


including for a public agency or public enterprise; and any
official
or
agent
of
a
public
international
organization. Apabila dilihat dari ruang lingkupnya kedua
pengertian tersebut pada dasarnya sama. Perbedaannya hanya
pada cakupan jabatan publik dalam lingkungan organisasi
internasional.
Dalam Black's Law Dictionary juga disebutkan bahwa
pejabat publik adalah one who holds or is invested with a
public office; a person elected or appointed to carry out some
portion of a government's sovereign powers." Istilah public
officialsdipersamakan dengan istilah public officers.
Mengenai pengertian istilah pejabat negara, dalam
literatur lain, juga dikenal istilah ini. Sepintas memang istilah
ini amat dekat atau sama dengan pengertian istilah pejabat
publik. Dalam Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bebas dari Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme diberikan batasan istilah pejabat negara.
Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa penyelenggara negara
adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif,
legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan
tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Definisi lain dapat ditemukan dalam Undang-undang
Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undangundang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Kepegawaian. Dalam Pasal 1 ayat (4) diatur bahwa pejabat
negara adalah pimpinan dan anggota lembaga tertinggi/tinggi
negara sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 dan pejabat
negara yang ditentukan oleh undang-undang.
Oleh karena beragamnya istilah tersebut, dapat
disimpulkan bahwa pada dasarnya istilah pejabat publik
berbeda dengan pengertian pejabat negara dan pejabat
politik. Sebab cakupan pengertian pejabat publik lebih luas
dari kedua istilah lainnya, dan mencakup kedua istilah
44

tersebut.Sebagai perbandingan, tidak selalu seseorang yang


diangkat melalui proses politik melalui pemilihan umum
(pejabat politik) dapat dikategorikan sebagai pejabat negara.
Hal tersebut dapat dicontohkan dengan kedudukan anggota
DPRD dan Bupati yang tidak dikategorikan sebagai pejabat
negara. Namun ada pejabat negara yang diangkat tidak
melalui proses politik yang sebagaimana lazimnya dikenal
melalui proses pemilu, seperti pejabat komisi negara, yaitu
anggota KPK. Penulis menyimpulkan, terdapat kesan bahwa
seseorang yang duduk sebagai pejabat karir eksekutif (PNS
senior) di sebuah kementerian dianggap sebagai pejabat
negara. Meskipun secara yuridis tidak demikian, sebab
kedudukannya hanya sebagai pejabat karir di lingkungan PNS.
Penulis beranggapan bahwa lebih tepat jika
menggunakan istilah pejabat publik dengan tujuan untuk
mengakomodasi semua jenis jabatan publik yang lain. Hal
inilah yang menjadi salah satu sebab mengapa kemudian
istilah pejabat publik menjadi lebih populer dipakai oleh
berbagai kalangan.

45

46

BAB III
ANALIS KASUS: KRIMINALISASI KEBIJAKAN PEJABAT
PUBLIK
Setelah mencermati, dan memahami berbagai pengertian,
makna, dan esensi dari pada frase judul, kriminalisasi kebijakan
pejabat publik; maka pada bagian ini akan ditampilkan bentuk dan
model-model kasus dari hasil telaah / penelitian yang dikategorikan
sebagai kasus-kasus / peristiwa kriminalisasi yang terjadi terhadap
pejabat publik; yang pernah terjadi.
Sebagaimana dipahami, bahwa asas legalitas adalah salah satu
dari asas yang harus diperhatikan dalam sebuah penerapan pidana,
selain asas subsidiaritas dan asas persamaan; sehingga sebuah
penerapan pidana atau kriminalisasi wajib dibatasi, sesuai fungsi asas
legalitas dalam pemahaman dan pengertian pidana itu sendiri. Ini
sejalan pula dengan asas subsidiaritas yang artinya : Hukum pidana
harus ditempatkan sebagai Ultimum remidium (senjata pamungkas)
dalam penanggulangan kejahatan yang menggunakan instrumen penal,
bukan sebagai Primum remidium (senjata utama) untuk mengatasi
masalah kriminalitas.
Penerapan asas subsidiaritas dalam kebijjakan kriminalisasi
dan dekriminalisasi mengharuskan adanya penyelidikan tentang
efektivitas penggunaan hukum pidana.dalam penanggulangan
kejahatan atau perbuatan-perbuatan yang merugikan masyarakat.
Pokok permasalahan yang perlu diteliti adalah apakah tujuan-tujuan
yang ingin dicapai dengan menggunakan hukum pidana itu tidak dapat
dicapai juga dengan menggunakan cara-cara lain yang lebih kecil
ongkos sosialnya dan individunya. Hal ini mengkehendaki agar kita
mengetahui tentang akibat-akibat dari penggunaan hukum pidana itu,
dan dapat menjamin bahwa campur tangan hukum pidana itu memang
sangat berguna.41

Saleh, Ruslan, mengutip Antonie A.G.Peter dalam Asas-asas


Hukum Pidana dalam Perspektif. Jakarta: 1981. Aksara Baru. Hal.28
41

47

Apabila dalam penyelidikan itu ditemukan penggunaan


sarana-sarana lain (sarana non penal) yang lebih efektif dan lebih
bermanfaat untuk menanggulangi kejahatan, maka janganlah
menggunakan hukum pidana. Dalam praktek perundang-undangan,
upaya untuk mengandalkan penyelidikan tersebut bukan hanya tidak
dilakukan, tapi juga tidak terpikirkan penggunaan asas subsidiaritas.
Dalam praktek perundang-undangan ternyata tidak berjalan seperti
yang diharapkan. Hukum pidana bukanlah sebagai Ultimum remidium,
melainkan sebagai Primum remidium. Penentuan pidana telah
menimbulkan beban terlalu berat dan sangat berlebihan terhadap
justitiable dan lembaga-lembaga hukum pidana. Demikian pula
dengan asas kesamaan, yang seharusnya mepunyai kedudukan
penting, dimana kesamaan adalah kesederhanaan dan kejelasan,
dimana kesederhanaan dan kejelasan itu akan menimbulkan /
menghadirkan ketertiban, yang menurut Lacretille, asas (pidana)
kesamaan tidak hanya suatu dorongan bagi hukum pidana yang
bersifat adil, tetapi juga hukum pipdana yang tepat.
Pengabaian terhadap ketiga asas proses pemidanaan ini, atau
asas kriminalisasi, telah menghadirkan pemidanaan / kriminalisasi
secara berlebihan (over criminalisation) dalam wujud konkritnya.
Terjadi pidana yang dipaksakan, pidana yang dicari-cari; sengaja
mencari kesalahan pejabat-pejabat (publik) untuk dijadikan target
sebagai tersangka; serta berbagai macam dan jenis perilaku penegak
hukum yang negatif dalam penentuan proses pidana; kriminalisasi
pada akhirnya bermakna negatif. Mengacu pada berbagai inisiatif
pembuatan undang-undang setelah era reformasi, dengan semangat
anti korupsi yang tinggi; telah melahirkan produk legislasi yang
mencerminkan pengabaian terhadap asas-asas dan kriteria
kriminalisasi, sebagai bagian dari doktrin pemidanaan yang universal.
Penegak hukum terjebak pada mekanisme hukum undang-undang,
beserta kriteria hukuman yang ditentukan pembentuk undang-undang,
dengan alasan, begitulah hukum positif kita telah mengatur. Padahal,
betapapun hukum positif, atau undang-undang, menurut akal sehat
manusia is merely declaratin, atau sebagai mana dikatakan oleh
Rudolf Stammler, All positive law, he says; is an attempt at just
48

law.42 Oleh karenanya, ketika semua hukum positif (undang-undang


masih merupakan upaya mendapatkan / menemukan hukum yang adil,
maka terbuka ruang untuk mengganti dan merubahnya. Dalam
kaitannya dengan kebijakan pejabat publik yang dipidana
(dikriminalisasi); beberapa contoh kasus dijadikan analisis dalam
penelitian ini, antara lain:
1. Kasus 1
Kasus Tunjangan Dewan Perwakilan Daerah Kota
Malang.
Putusan Kasasi MA No.2698 K/Pid.Sus/2010, tanggal 21
Februari 2011
Isi Putusan:
Menolak Permohonan Kasasi Terdakwa, Drs. Agus
Sukamto, dan membebaskan Pemohon Kasasi untuk
membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini
sebesar Rp.2.500.000,-
Kasus yang populer di Kota Malang, dengan sebutan
Mark up tunjangan DPRD ini, adalah produk dari sebuah
keputusan / kebijakan pejabat publik, antara Walikota
Malang dengan pejabat DPRD Kota Malang, dimana
berawal dari penyusunan pas-pas anggaran untuk DPRD
Kota Malang; yang secara administrasi sudah
dipertanggung jawabkan, dan sudah dilaksanakan.
Persoalannya muncul, bermula dari hasil pemeriksaan
BPK RI, Perwakilan V Jogjakarta atas laporan keuangan
Kota Malang tahun anggaran 2004, No. 80/R./XV.4/05
tanggal 12 Mei 2005, dimana didapati pemberian bantuan
tunjangan kepada anggota DPRD Kota Malang yang
dianggap merugikan keuangan Negara / Daerah sebesar
Rp 4.008.200.000,- dan Rp 1.012.500.000,- ; yang oleh
media sering disebut kasus Rp 5,02 Milyard. Menurut
42

Allen, C.K. Law In The Makin. Oxford University Press. 7th


edition. Hal 23
49

kacamata BPK, kedua belanja tersebut tidak sesuai


dengan keputusan DPRD No.31/2002 tanggal 2
November 2004, tentang Tata Tertib DPRD Kota
Malang,
dan
Surat
Edaran
(SE)
Mendagri
No.161/321.1/SJ tanggal 29 Desember 2003 perihal
pedoman tentang kedudukan keuangan pimpinan dan
anggota DPRD.43
Dalam kenyataannya; nominal belanja dan prosedur
keluarnya anggaran tersebut sesuai dengan PERDA
APBD, yang dibuat dan ditanda tangani oleh Walikota
Malang saat itu, Drs.Peni Suparto. Anggaran diterima
oleh seluruh anggota dewan periode 1999-2004, dan tahun
2004-2009; sedangkan yang diterima oleh Terdakwa /
Terpidana Agus Sukamto, selama Januari 2004-Desember
2004. Aneh dan mengherankan dalam kasus ini,
pertanggung jawaban APBD 2004 oleh Walikota Malang
pada bulan Maret 2005 diterima secara aklamasi oleh
DPRD 2004-2009, bahkan laporan (audit BPK) tersebut
pun, telah dimasukkan dalam neraca keuangan Pemkot
Malang, dan dimasukkan sebagai piutang DPRD, untuk
mengetahui piutangnya telah dikembalikan atau belum
dikembalikan oleh DPRD 1999-2004 dan 2004-2009. Ini
berarti secara keadministrasian dan pengelolaan anggaran,
keputusan tersebut telah terkoreksi, dan ada payung
hukum, menjadi ranah administratif; dan seharusnya
pemegang otoritas keuangan daerah berada pada Kepala
Daerah, sedangkan terpidana kasus ini hanyalah sebagai
panitia anggaran dan wakilnya yang juga dipidana,
padahal yang menerima tunjangan yang menjadi masalah
(dipaksakan / dikriminalisasi) seharusnya seluruhnya
berjumlah 77 orang anggota DPRD, dan tentu Walikota
yang pada akhirnya sebagai penentu; Faktanya dari kasus
Sukamto, Agus. Agus Sukamto Menggugat: Sebuah Ironi
Keadilan. Malang:2012. LSM For Publik. Hal 4
43

50

ini, hanya 11 orang DPRD yang sudah diproses hukum,


yang lainnnya tidak tersentuh, Walikota Malang saat itu,
Peni Suparto tidak disentuh oleh proses pemidanaan,
sehingga menimbulkan tanda tanya mengapa terjadi
diskriminasi dalam proses hukum hingga saat ini?
Ironisnya lagi, terpidana kasus ini justru telah
mengembalikan
uang
tunjangan
dewan
yang
dipermasalahkan, namun tetap dipidana selama 2 tahun
penjara dengan putusan finalnya MA menolak kasasi yang
bersangkutan.
Kasus kriminalisasi terhadap DPRD Kota Malang ini,
walaupun 11 (sebelas) orang dari 77 (tujuh puluh tujuh)
orang yang seharusnya bertanggung jawab telah
meninggalkan persoalan keadilan dan kepastian hukum,
serta menghadirkan diskriminasi tebang pilih di satu sisi,
dan memperlihatkan kriminalisasi / proses kriminalisasi
terhadap pejabat publik, dengan segala eksesnya. Dalam
pandangan dan pendapat hukum (legal opinion) nya
terhadap kasus ini, pakar hukum pidana Drs.Sholehudin
dari Universitas Bhayangkara Surabaya, menyampaikan
pendapat, sebagai berikut44:
1) Bahwa terdakwa, Drs. H. Agus Sukamto, M.Si
telah diajukan ke persidangan PN Kota Malang,
karena didakwa melakukan tindak pidana korupsi,
baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama
dan berlanjut. Penuntut umum mengajukan
dakwaan berlapis (subsidair ten laste legging)
terhadap Terdakwa sebagaimana dirumuskan
dalam pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 UU No.31
Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas UU No.31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal
55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 ayat (1)
44

Agus Sukamto Menggugat, Ibid


51

KUHP sebagai dakwaan primair. Terdakwa juga


didakwa dengan pasal 3 Jo. Pasal 18 UU No. 31
Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal
55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 ayat (1)
KUHP sebagai dakwaan subsidair.
2) Bahwa Jaksa Penuntut Umum dalam uraian
dakwaannya menjelaskan, Terdakwa melakukan
tindak pidana korupsi menyuruh membuat
Rencana Anggaran Satuan Kerja (RASK) DPRD
Kota Malang Tahun Anggaran 2003 dengan cara
meniru APBD Kota Malang Tahun Anggaran
2003 secara melawan hukum ke dalam RAPBD
Tahun 2004, baik yang dilakukan secara sendirisendiri maupun bersama-sama dan berlanjut.
Dalam doktrin hukum piidana, suatu tindak
pidana bisasaja dilakukan oleh beberapa orang
yang masing-masing kapasitas dan kualitas
perbuatannya harus dibedakan dan diperjelas
Pertama, disebut sebagai orang yang
melakukan (pleger), yakni seseorang
yang secara sendiri telah berbuat
mewujudkan semua unsur dari tindak
pidana.
Kedua, orang yang menyuruh melakukan
(doen plegen), yakni orang yang
menggerakkan orang lain yang tidak
dapat dikenai pidana untuk melakukan
suatu tindak pidana.
Ketiga, orang yang turut melakukan
(medepleger),
yakni
orang
yang
wederrechtelijkheid dalam Perspektif
Tindak Pidana Korupsi di Indonesia.
52

Penyimpangan terhadap dua masalah ini yang


disebut
perbuatan
melawan
hukum
(wederrechtelijkheids)
dan
/
atau
menyalahgunakan kewenangan (detournement de
pouvoir). Selebihnya hanya dapat dikatakan
perbuatan melanggar hukum (onrechmatige
daad) yang dapat dikenakan sanksi keperdataan
dan / atau administratif.
3) Bahwa dalam konteks regulasi pengelolaan
keuangan daerah yang berkaitan dengan masalah
atau proses awal pembuktian bila terjadi
pelanggaran yang berindikasi melawan hukum
atau menyalahgunakan kewenangan, maka
instansi yang berwenang melakukan pemeriksaan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan
adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Seperti yang tertuang dalam pasal 13 dan pasal 14
UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan
Negara, bahwa BPK berwenang melakukan
pemeriksaan investigativ guna mengungkap
adanya indikasi kerugian Negara / daerah. Dan
bila ditemukan unsur pidananya, maka BPK wajib
melaporkan terhadap instansi yang berwenang.
4) Bahwa interpretasi dari kedua pasal tersebut
dalam poin Nomor 13 adalah: dalam soal
pengelolaan keuangan Negara / Daerah, aparat
Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK tidak boleh
melakukan tindakan pemeriksaan pro justicia
sebelum ada laporan dari BPK atau telah terdapat
laporan hasil pemeriksaan BPK yang memuat
temuan unsur pidananya. Jadi alat bukti sah yang
dapat dijadikan pembuktian terhadap dugaan
terjadinya tindak pidana korupsi baik yang
berbentuk
melawan
hukum
maupun
53

menyalahgunakan kewenangan yang berkaitan


dengan pengelolaan keuangan Negara / Daerah
harus bersumber dari BPK sebagai Lemabaga
Negara satu-satunya yang berwenang melakukan
pemeriksaan dan penilaian terjadinya kerugian
keuangan Negara / Daerah.
Bahwa dengan demikian, dakwaan yang ditujukan
kepada Terdakwa dalam konteks perkara ini,
hanya didasarkan pada peraturan perundangundangan yang bersifat administratif. Penggunaan
pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 UU Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang dijuncto-kan dengan
pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan pasal 64 KUHP
adalah TIDAK RELEVAN dan karenanya berarti,
Jaksa Penuntut Umum salah dalam menerapkan
hukumannya,
dan
secara
bersama-sama
melaksanakannya. Keempat-empatnya menurut
pasal 55 KUHP dipandang sebagai para
pembuat dari suatu tindak pidana.
5) Bahwa kedudukan Terdakwa tidak bisa
disamaratakan. Dan karenanya harus dipertegas
kapasitas pelaku dan kualitas perbuatannya.
Apakah sebagai actor intelectualis atau turut
serta, karena menyangkut soal pertanggungjawaban pidana pelaku dan permasalahan
pemidanaannya.
6) Bahwa unsur melawan hukum dalam dakwaan
primer merupakan bagian tertulis dari rumusan
delik. Ini maksudnya, pembentuk undang-undang
ingin
membatasi
supaya
rumusan
dan
pengertiannya tidak terlampau luas. Secara
doktrinal, rumusan delik seperti ini, sifat melawan
hukumnya harus dibuktikan secara hukum karena
bersifat khusus atau faset. Apakah perbuatan
terdakwa, benar-benar telah melawan hukum?
54

Harus dipertanyakan, melawan hukum apa?


Hukum Administrasi, Hukum Perdata, Hukum
Tata Negara atau Hukum Pidana?
7) Bahwa dalam fakta hukumnya, perbuatan
Terdakwa tidak melanggar ketentuan yang terkait
dengan prosedur memasukkan Anggaran dalam
RAPBD (yang tanpa adanya DASK). Perbuatan
menyuruh untuk meniru konsep RASK meskipun
dianggap suatu pelanggaran, tidak termasuk ke
dalam pengertian yang bersifat melawan hukum
secara hukum pidana. Sifat melawan hukum
adalah suatu istilah yang dalam hukum pidana
disebut wederrechtelijkheid yang mempunyai 4
(empat) konsep. Pertama, sifat melawan hukum
umum, yakni syarat umum untuk dapat dipidana.
Kedua, sifat melawan hukum khusus, yakni syarat
tertulis untuk dapat dipidana, yang mempunyai
arti khusus dalam tiap-tiap rumusan delik yang
harus ditafsirkan menurut konteks sosialnya.
Ketiga, melawan hukum formil, yakni semua
bagian yang tertulis dari rumusan delik telah
dipenuhi. Keempat, sifat melawan hukum
materiil, yakni melanggar atau membahayakan
kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh
legislator dalam urusan delik tertentu (lihat
dalam: Hukum Pidana, Prof.DR. N. Keizer dan
MR. E. PH. Sutorius, hal 39-54)
8) Bahwa, istilah sifat melawan hukum yang
dicantumkan dalam urusan delik, tidak selalu
berarti sama. Untuk menentukan isinya harus
dicermati dalam arti apa pembentuk undangundang hendak mengadakan pembatasan dari
ketentuan pidana itu atau pengkhususan lebih
lanjut dari rumusan deliknya. Bila dilihat dari
penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No.31 Tahun
55

1999, unsur secara melawan hukum dimaksudkan


sebagai hal-hal yang mencakup bersepakat
dengan orang lain berencana melakukan suatu
tindak pidana perbuatan melawan hukum dalam
arti formil. Pengertian perbuatan melawan hukun
formil dikemukakan oleh Prof. D. Simons yang
secara tegas menyatakan bahwa untuk dapat
dipidana suatu perbuatan harus jelas terungkap
dalam uraian isi delik atau tindak pidana dalam
aturan-aturan undang-undang pidana yang sah.
9) Bahwa pelanggaran terhadap PP No. 110 dan PP
No.105 Tahun 2000 dan Kepmendagri No. 29
Tahun 2002 dan SE Mendagri 161/3211/SJ
tanggal 29 Desember 2003 dalam konteks perkara
ini, secara yuridis-normatif harus diberi sanksi
administratif karena peraturan perundangundangan tersebut memang menetapkan seperti
itu. Misalnya Pembatalan Perda atau
Pengembalian Uang Negara. Tidak ada
kriminalisasi
tentang
perbuatan-perbuatan
terhadap ketentuan atau norma-norma yang diatur
dalam kedua peraturan perundang-undangan
tersebut.
10) Bahwa dalam kerangka hukum Administrasi
Negara, parameter yang membatasi gerak bebas
kewenangan aparatur Negara (discretionary
power) adalah Detournement de pouvoir
(penyalahgunaan wewenang) dan abus dedoit
(sewenang-wenang). Sedangkan dalam hukum
pidana kriterianya berupa wederrechtelijkheid
(melawan hukum) dan menyalahgunakan
kewenangan.
11) Bahwa unsur menyalahgunakan kewenangan ...
karena jabatan dalam dakwaan subsidair
merupakan delik inti (bestanddeel delict),
56

sedangkan unsur dengan tujuan menguntungkan


diri sendiri atau orang lain atau korporasi
hanyalah merupakan elemet delict dan karenanya
tidak menentukan perbuatan yang dirumuskan
sebagai strafbarenhandeling (perbuatan yang
dapat dipidana). Setiap orang boleh saja
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
korporasi sepanjang tidak dilakukan dengan cara
menyalahgunakan kewenangan atau kedudukan.
Itulah yang menjadi delik inti untuk menentukan
apakah suatu perbuatan termasuk kategori tindak
pidana.
12) Bahwa hukum pidana mempunyai otonomi untuk
memberikan pengertian yang berbeda dengan
pengertian yang terdapat dalam bidang ilmu
hukum lainnya. Tetapi jika hukum pidana tidak
menentukan lain maka dipergunakan pengertian
yang terdapat dalam bidang hukum lainnya (H.A.
Demeersemen tentang kajian De autonomie van
het materiele strafrecht; dalam Indriyanto Seno
Adji. Overheidsbeleid & Asas Materiele).
Seperti
pengertian
menyalahgunakan
kewenangan dalam hukum pidana yang diambil
dari pengertian detournement de pouvoir dalam
hukum
administrasi
yakni
menggunakan
wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud
diberikannya wewenang tersebut. Sedangkan
pengertian
sifat
melawan
hukum
(wederrechtelijkheid) tidak diambil dari bidang
ilmu hukum lainnya sebagaimana pendapat Prof.
D. Simons yang telah dijelaskan pada poin ke-6
diatas.
13) Bahwa sumber dana tunjangan kesehatan dalam
bentuk asuransi bagi anggota DPRD Kota Malang
periode 1999-2004 berasal dari Perubahan
57

Anggaran Keuangan (PAK) APBD Kota Malang


Tahun Anggaran 2004 sebagaimana ditetapkan
dalam PERDA No. 8 tahun 2004 yang tidak
mengatur sanksi pidana di dalamnya.
PERDA yang demikian dapat dikatakan tidak
termasuk ke dalam pengertian peraturan
perundang-undangan
pidana.
Konsekuensi
hukumny bila terjadi kesalahan atau pelanggaran
terhadap PERDA tersebut, penerapan sanksinya
harus mengacu pada peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Bila dalam peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi tersebut
memuat sistem sanksi pidana, maka dapat
diterapkan sanksi pidana terhadap pelanggarnya.
Tetapi bila tidak mengatur sanksi pidananya,
maka
pelanggaran-pelanggaran
yang
menimbulkan terjadinya kerugian keuangan
Negara / Daerah, sanksi yang diterapkan harus
bersifat
administratif,
yakni:
diwajibkan
mengganti kerugian keuangan Negara kepada
setiap pejabat Negara yang melanggar hukum
atau melalaikan kewajibannya baik langsung atau
tidak langsung yang merugikan keuangan Negara.
Misalnya kalau Perda tentang APBD, harus
mengacu pada UU No. 17 Tahun 2003 tentang
keuangan Negara, UU No. 15 Tahun 2004
Tentang
Pemeriksaan,
Pengelolaan,
dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara, UU No. 15
Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksaan
Keuangan dan PP No. 8 tahun 2006 tentang
Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi
Pemerintah serta peraturan perundang-undangan
terkait, seperti Keppres / Perpres, Kepmen, dll.
14) Bahwa hanya terdapat dua masalah yang dapat
dikenai sanksi pidana penjara dan denda terhadap
58

pelanggaran-pelanggaran yang berkaitan dengan


soal pengelolaan dan tanggung jawab keuangan
Negara / Daerah, yakni pertama, penyimpangan
terhadap kebijakan yang telah ditetapkan dalam
Perda tentang APBD. Kedua, penyimpangan
terhadap kegiatan Anggaran yang telah ditetapkan
dalam Perda tentang APBD.
Model dan bentuk-bentuk kriminalisasi terhadap
kebijakan pejabat publik di tingkat Pemerintah Daerahn
dan DPRD yang sering dilakukan oleh Penegak Hukum
secara salah kaprah sebagai diuraikan di atas, dalam
contoh kasus yang terkena pada ke-77 anggota DPRD
Kota Malang, namun hanya 11 orang yang diproses
hukum, dan salah satu diantaranya adalah Panitia
Anggaran, yang divonis 2 tahun penjara dengan putusan
kasasi Mahkamah Agung No. 2698 K/Pid.Sus/2010
tersebut, mengisahkan polemik yang tak kunjung selesai,
sebab kriminalisasi tersebut telah melahirkan wajah
buram penegakkan hukum berupa:
Diskriminasi perlakuan hukum / penegakkan
hukum terhadap warga / pejabat publik.
Merusak citra hukum / penegakkan hukum secara
luas.
Terkesan kuat mencari kesalahan dari pejabat
publik yang tidak disukai.
Masuknya unsur politis dalam proses penegakkan
hukum, karena didasari oleh fakta like and
dislike, dan lain lain.
Reaksi atas kriminalisasi tersebut telah memunculkan
pula perhatian DPR RI, melalui Komisi II dan III yang
akhirnya membentuk Panja (Panitia Kerja) berupa Panja
Penegakkan Hukum dan Pemerintah Daerah, yang
menyoroti dampak negatif dari proses kriminalisasi
terhadap kebijakan pejabat publik, yang telah begitu
59

banyak memakan korban di penjaranya seseorang yang


seharusnya
tidak
bersalah,
tetapi
dipidana
(dikriminalisasi). Panja DPR RI tersebut, pada akhirnya
menyimpulkan dan merekomendasikan kepada presiden
RI, sebagai berikut:
Berdasarkan penjelasan-penjelasan dari pejabat /
pihak yang diundang Panja Penegakan Hukum dan
Pemerintahan Daerah dalam Rapat Kerja, Rapat Dengar
Pendapat, maupun Rapat Dengar Pendapat Umum,
bahan-bahan tertulis yang diterima Panja, serta masukan,
pandangan dan pemikiran para Anggota Panja, Rapat
Pleno Panja Penegakan Hukum dan Pemerintahan
Daerah pada tanggal 28 September 2006, mengambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Aparat penegak hukum telah keliru memahami
posisi konstitusional DPRD sebagai badan
legislatif daerah sebagaimana ditentukan dalam
pasal 18 UUD 1945 juncto UU Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah juncto UU
Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.
2. Penerbitan Peraturan Pemerintah dan berbagai
Surat Edaran, Surat Keputusan, dan Peraturan
Menteri Dalam Negeri tentang keuangan daerah
telah
mereduksi
hak
dan
kewenangan
konstitusional DPRD yang diatur dan dijamin
Undang-Undang sehingga merusak sistem
pemerintahan daerah dan sistem hukum nasional.
3. Proses penegakan hukum yang mengacu kepada
Peraturan Pernerintah, Surat Edaran, Surat
Keputusan, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri
telah mengakibatkan makin rusaknya sistem
hukum dan sistem pemerintahan daerah.

60

4. Terdapat fakta yang kuat bahwa penegakan

5.

6.

7.

8.

hukum dilakukan secara tidak fair, tebang pilih


atau diskriminatif, tidak proporsional, dan
melanggar prinsip-prinsip negara hukum,
terutama prinsip kesetaraan di hadapan hukum
(equality before the law), dan prinsip penegakan
hukurn dengan cara-cara yang tidak bertentangan
dengan hukum.
Penegakan hukum untuk pemberantasan korupsi
dengan menggunakan PP Nomor 110 Tahun 2000
tentang Kedudukan Keuangan DPRD dan PP
Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan
Pertanggungjawaban Keuangan Daerah telah
melanggar prinsip-prinsip kedaulatan rakyat
(demokrasi) di tingkat lokal, karena anggota
DPRD yang dipilih melalui Pemilu Legislatif, dan
Gubernur/Bupati/walikota yang dipilih langsung
oleh rakyat adalah pelaksana kedaulatan rakyat
yang bertugas membuat kebijakan, antara lain
berupa Peraturan Daerah tentang APBD.
Tindak pidana korupsi menurut Panja Penegakan
Hukum dan Pemerintahan Daerah, adalah apabila
ditemukan unsur-unsur melawan hukum yang
terpenuhi dalam pelaksanaan APBD, bukan dalam
penyusunan dan penetapan APBD.
Terdapat fakta yang kuat bahwa telah terjadi
kriminalisasi
terhadap
politik
kebijakan
pemerintahan daerah, yakni politik kebijakan di
bidang anggaran, bahwa suatu perbuatan hukum
yang masuk hukum perdata dan hukum
administrasi dipaksakan masuk dalam hukum
pidana yang berujung pada proses pidana.
Penerapan produk hukum berupa PP Nomor 110
Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD
61

dalarn proses hukum terhadap anggota DPRD


maupun kepala daerah yang diduga melakukan
tindak pidana korupsi atas dana APBD adalah
tidak tepat karena PP Nomor 110 Tahun 2000
sudah dibatalkan oleh Putusan Mahkamah Agung
Nomor 04/C/HUM/2001 tanggal 9 September
2002.
9. Penerapan unsur perbuatan melawan hukum
materiil dalarn proses hukum terhadap anggota
DPRD maupun kepala daerah yang diduga
melakukan tindak pidana korupsi atas dana APBD
adalah tidak tepat karena ketentuan tentang unsur
melawan hukum materiil dalam penjelasan pasal
2 ayat 1 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana
diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah
dibatalkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 003/PUU-IV/2006.
10. Penerapan produk hukum berupa PP Nomor 105
Tahun
2000
tentang
Pengelolaan
dan
Pertanggungjawaban Keuangan Daerah dan
peraturan kebijakan dalam bentuk Surat Edaran
Mendagri, dalam proses hukum terhadap anggota
DPRD maupun kepala daerah yang diduga
melakukan tindak pidana korupsi atas dana
APBD, adalah tidak tepat karena substansi dari
PP Nomor 105 Tahun 2000 dan Surat Edaran
Mendagri sepenuhnya bersifat administratif.
Berdasarkan butir-butir kesimpulan di atas, Rapat
Pleno Panja Penegakan Hukum dan Pemerintahan Daerah
pada tanggal 28 September 2006 menyampaikan
rekomendasi sebagai berikut:45

45

www.parlemen.net
62

1. Mengingatkan Mahkamah Agung RI dan seluruh jajaran


peradilan umum dan peradilan tata usaha negara agar
senantiasa konsisten mengkaitkan Putusan Perkara Hak Uji
Materiil Mahkamah Agung RI Nomor 04/G/HUM/2001
tanggal 9 September 2002 yang membatalkan PP Nomor
110 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD
manakala dihadapkan pada perkara-perkara yang
dihubungkan dan didasarkan pada PP Nomor 110 Tahun
2000.
2. Meminta agar Presiden RI untuk menginstruksikan kepada
para pembantunya di bidang penegakan hukum, yaitu
Jaksa Agung RI dan Kepala Polri, agar pemberantasan
korupsi dilakukan secara adil, tidak tebang pilih atau
diskriminatif, proporsional, dan dengan menjunjung tinggi
prinsip-prinsip negara hukum, serta segera mengeluarkan
izin-izin pemeriksaan terhadap para kepala daerah yang
diduga melakukan tindak pidana korupsi.
3. Meminta Presiden RI untuk memerintahkan kepada
Menteri Dalam Negeri agar:
3.1. mempercepat proses penyusunan peraturan yang
mengatur mekanisme pemeriksaan anggota DPR dan
kepala daerah yang diduga melakukan tindak
pidana;
3.2. dalam menyusun rancangan produk hukum berupa
Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang DPRD
dan Kepala Daerah, dan dalam menerbitkan Suratsurat Edaran harus menjunjung prinsip otonomi
daerah yang telah diberikan Konstitusi RI dan diatur
dalam undang-undang, harus tidak bertentangan
dengan pcraturan perundang-undangan yang Iebih
tinggi, dan berkoordinasi dengan departemen terkait
Iainnya sehingga produk hukum yang dihasilkan
menjadi kondusif bagi kepentingan daerah.
4. Meminta Presiden RI untuk memberi teguran keras kepada
Jaksa Agung RI karena tidak mampu memimpin dan
63

mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang


kejaksaan dalam melakukan penanganan kasus dugaan
korupsi anggota DPRD dan kepala daerah yang
dihubungkan atau didasarkan pada PP Nomor 110 Tahun
2000.
5. Meminta Presiden RI untuk memerintahkan kepada Jaksa
Agung RI agar konsisten untuk tidak menggunakan PP
Nomor 110 Tahun 2000 (yang sudah dibatalkan oleh
Putusan Mahkarnah Agung Nornor 04/G/HUM/2001), PP
Nomor 105 Tahun 2000 (yang bersifat administratif), dan
Surat Edaran Mendagri (yang bersifat peraturan kebijakan)
sebagai dasar hukum penyelidikan, penyidikan, maupun
penuntutan kasus dugaan korupsi oleh anggota DPRD dan
kepala daerah, serta tidak menggunakan asas kepatutan
untuk mengkualifikasi adanya perbuatan melawan hukum
materiil (sudah dibatalkan oleh Putusan Uji Materiil
Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006).
6. Meminta Presiden RI untuk memerintahkan kepada Kepala
Polri agar konsisten untuk tidak menggunakan PP Nomor
110 Tahun 2000 (yang sudah dibatalkan oleh Putusan
Mahkamah Agung Nomor 04/G/HUM/2001), PP Nomor
105 Tahun 2000 (yang bersifat administratif), dan Surat
Edaran Mendagri (yang bersifat peraturan kebijakan)
sebagai dasar hukum penyelidikan, penyidikan, maupun
penuntutan kasus dugaan korupsi oleh anggota DPRD dan
kepala daerah, serta tidak menggunakan asas kepatutan
untuk mengkualifikasi adanya perbuatan melawan hukum
materiil (sudah dibatalkan oleh Putusan Uji Materiil
Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006).
7. Meminta Presiden RI agar dapat menghentikan
penanganan kasuskasus dugaan korupsi dana APBD oleh
anggota DPRD dan kepala daerah sesuai kewenangannya,
serta dapat segera memberikan rehabilitasi dan pemulihan
nama baik beserta segenap hak-haknya atas kerugian yang
diderita oleh anggota DPRD dan kepala daerah akibat
64

penggunaan PP Nomor 110 Tahun 2000, PP Nomor 105


Tahun 2000, serta Surat Edaran Mendagri.
8. Meminta Pimpinan DPR RI menugaskan kepacl Komisi II
dan Komisi III DPR RI untuk membentuk tim kerja guna
mengawasi pelaksanaan rekomendasi panja tersebut di
atas.
2. Kasus 2
Putusan Nomor 146 PK/Pid.Sus/2009
Dengan terdakwa:
I. Nama
Tempat lahir
Umur/ tanggal lahir
Jenis kelamin
Kebangsaan
Tempat tinggal
Agama
Pekerjaan

: YORIS MARTHIANUS;
: Batui ;
: 59 tahun/16 April 1950 ;
: Laki - laki ;
: Indonesia
: JI . Yos Sudarso No. 10, Kelurahan Luwuk,
Kec. Luwuk, Kab. Banggai ;
: Kristen Protestan ;
: Mantan Anggota DPRD Kab.Banggai Tahun
1999- 2004 ;

Bersama- sama dengan Para Terdakwa :


II. Nama
: HUSEN MAHDALI ;
Tempat lahir
: Bunta ;
Umur/ tanggal lahir : 57 tahun/10 Agustus 1953 ;
Jenis kelamin
: Laki-laki ;
Kebangsaan
: Indonesia ;
Tempat tinggal
: Dahulu di Jalur Dua KM. 2 Kel . Bungin ,
Kec. Luwuk, Kab.Banggai , sekarang
bertempat tinggal di Dongkalan Jalan Datu
Adam, Kel. Luwuk, Kab.Banggai ;
Agama
: Islam ;
Pekerjaan
: Mantan Anggota DPRD Kab.Banggai Tahun
65

1999- 2004 ;
III. Nama : MUSADDAD MILE;
Tempat lahir
: Luwuk;
Umur/ tanggal lahir : 55 tahun/29 Oktober 1955;
Jenis kelamin
: Laki - laki;
Kebangsaan
: Indonesia ;
Tempat tinggal
: Jl. G. Lompobatang No. 35, Kel .Baru,
Kec. Luwuk, Kab.Banggai;
Agama
: Islam;
Pekerjaan
: Mantan Anggota DPRD Kab.Banggai
Tahun 1999- 2004;
IV. Nama
: JUSUF DJALIL ;
Tempat lahir
: Luwuk ;
Umur / tanggal lahir : 64 tahun/20 Februari 1946 ;
Jenis kelamin
: Laki-laki ;
Kebangsaan
: Indonesia ;
Tempat tinggal
: Jl . Sungai Musi No. 41 Kel .Soho, Kec.
Luwuk, Kab.Banggai;
Agama
: Islam ;
Pekerjaan
: Mantan Anggota DPRD Kab. Banggai
Tahun 1999- 2004
Gambaran umum perkara:
Mereka Terdakwa I . HUSEN MAHDALI, Terdakwa I I .YORIS
MARTHIANUS, Terdakwa I I I . MUSADDAD MILE dan Terdakwa
IV. JUSUF DJALIL selaku Anggota Panggar / Anggota DPRD
Kabupaten Banggai Periode 1999-2004 dengan Anggota Panggar /
Anggota DPRD Kabupaten Banggai lainnya telah melakukan
perbuatan melawan hukum yaitu pada hari Kamis tanggal 4 Desember
2003 di l akukan rapat Panitia Anggaran Legislatif dalam rangka
membahas Rencana Anggaran Satuan Kerja DPRD Kabupaten
Banggai Tahun 2004 yang dipimpin Drs. H. TADJUDDIN TJATO
(almarhum) selaku Wakil Ketua DPRD dan Ketua Badan Urusan
66

Rumah Tangga (BURT) DPRD Kabupaten Banggai, hadir dalam


pembahasan tersebut antara lain Terdakwa IV. JUSUF DJALIL selaku
Anggota. Dalam pembahasan Rencana Anggaran Satuan Kerja
(RASK) tersebut telah disepakati tunjangan kesejahteraan Anggota
DPRD Kabupaten Banggai Tahun 2004 sebesar Rp.3.968.600 .000 , (tiga milyar sembilan ratus enam puluh delapan juta enam ratus ribu
rupiah) dengan perincian sebagai berikut :
Biaya asuransi Rp. 603.600.000 , Biaya genera l cek up Rp. 320.000.000 , Tunjangan kesejahteraan Rp. 3.045.000 .000 , Selanjutnya setelah disepakati besarnya tunjangan kesejahteraan
Anggota DPRD Kabupaten Banggai Tahun 2004 tersebut sebesar Rp.
3.968.600.000 , - ( tiga milyar sembilan ratus enam puluh delapan juta
enam ratus ribu rupiah ) dilaporkan kepada Ketua DPRD Kabupaten
Banggai (Drs. H. DJAR'UN SIBAY) dan dituangkan didalam
Keputusan Panitia Anggaran DPRD Kabupaten Banggai Nomor :
1/KPTS/PAN/DPRD/2003 tanggal 4 Desember 2003. Kemudian
Rencana Anggaran Satuan Kerja (RASK) Kabupaten Banggai tersebut
disampaikan oleh Ketua DPRD Kabupaten Banggai kepada Bupati
Banggai sesuai dengan surat Nomor : 173.1 /1000 /DPRD tangga l 4
Desember 2003 dan selanjutnya dibahas didalam Panitia Anggaran
Eksekutif. Setelah pembahasan Rencana Anggaran Satuan Kerja
(RASK) Kabupaten Banggai dilakukan secara menyeluruh oleh
Panitia Anggaran Eksekutif, selanjutnya dibawa dalam rapat Paripurna
DPRD Kabupaten Banggai yang dipimpin oleh Ketua DPRD (Drs
.DJAR'UN SIBAY) yang dihadiri Panitia Anggaran Eksekutif dan
Panitia Anggaran Legislatif antara lain Terdakwa II. YORRIS
MARTHIANUS, Terdakwa III. MUSADDAD MILE, Terdakwa IV.
JUSUF DJALIL. Selanjutnya pembahasan Rencana Pendapatan dan
Belanja Daerah (RAPBD) Kabupaten Banggai disepakati, maka pada
tanggal 12 Januari 2004 sampai dengan tanggal 29 Januari 2004
diadakan pembahasan RAPBD Kabupaten Banggai Tahun 2004 yaitu
Penggabungan Rencana Anggaran Satuan Kerja (RASK) DPRD
Kabupaten Banggai dengan anggaran eksekutif menjadi RAPBD.
67

Pada tanggal 29 Januari 2004 Rapat Paripurna DPRD Kabupaten


Banggai dengan agenda pengambilan keputusan terhadap RAPBD
Tahun 2004 tersebut dihadiri oleh Para unsur Pimpinan DPRD,
anggota DPRD serta unsur Eksekutif Kabupaten Banggai dengan
mengesahkan/menetapkan RAPBD Tahun 2004 yang dituangkan
didalam
Keputusan
DPRD
Kabupaten
Banggai
No.
1/KPTS/DPRD/2004 tanggal 29 Januari 2004 tentang Persetujuan atas
penetapan Peraturan Daerah Kabupaten Banggai tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten Banggai Tahun 2004 dan
Peraturan Daerah Kabupaten Banggai No. 1 Tahun 2004 tangga l 29
Januari 2004 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten Banggai Tahun 2004. Hasil rapat Paripurna tersebut
memutuskan besarnya tun jangan kesejahteraan / tunjangan kesehatan
bagi anggota DPRD Kabupaten Banggai Tahun 2004 sebesar Rp.
3.123.600.000,- (tiga milyar seratus dua puluh tiga juta enam ratus
ribu rupiah). Bahwa dalam penyusunan dan penetapan maupun
penerimaan Anggaran Belanja DPRD Tahun 2004 berupa tunjangan
kesejahteraan dalam bentuk uang pesangon dan asuransi tidak
didasarkan atau menyimpang dari Peraturan Pemerintah (PP) No. 110
Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD dan Surat Edaran
Menteri Dalam Negeri No. 161/321/SJ tanggal 29 Desember 2003
perihal Pedoman tentang Kedudukan Keuangan Pimpinan dan
Anggota DPRD. Sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerin
tah No. 110 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD dan
Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 161/321/SJ tanggal 29
Desember 2003 perihal Pedoman tentang Kedudukan Keuangan
Pimpinan dan Anggota DPRD, yang dimaksud tunjangan
kesejahteraan dalam ketentuan Peraturan Pemerintah No. 110 Tahun
2000 dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 161/321/SJ tanggal
29 Desember 2003 tersebut adalah :
Asuransi kesehatan;
Perumahan / sewa rumah dinas beserta per lengkapannya;
Pakaian dinas;
Apabila ada Anggota DPRD yang meninggal diberi santunan uang
duka.
68

Namun dalam pelaksanaannya tunjangan kesejahteraan Anggota


DPRD Kabupaten Banggai yang telah disahkan tersebut dibayarkan
kepada Anggota DPRD Kabupaten Banggai dalam bentuk uang
pesangon dan Asuransi Perkumpulan Bumi Putra 1912 Cabang
Manado serta Asuransi Idaman Prima Bumi Putra 1912 Cabang
Luwuk. Akibat dari persetujuan dan penerimaan Anggaran DPRD
Kabupaten
Banggai,
khususnya
terhadap
tunjangan
kesejahteraan/tunjangan kesehatan berdasarkan hasil perhitungan ahli
dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Negara
Cq. Pemerintah Daerah Kabupaten Banggai mengalami kerugian
sebesar Rp.3.494.527 .933, - ( tiga milyar empat ratus sembilan puluh
empat juta lima ratus dua puluh tujuh ribu sembi lan ratus tiga puluh
tiga rupiah ) atau setidak - tidaknya sekitar jumlah itu. Dari kerugian
Negara sebesar Rp. 3.494.527.933 , - (tiga milyar empat ratus
sembilan puluh empat juta lima ratus dua puluh tujuh ribu sembilan
ratus tiga puluh tiga rupiah) masing-masing Terdakwa telah menerima
tunjangan kesejahteraan dalam bentuk uang pesangon dan Asuransi
Perkumpulan untuk kepentingan pribadi atau perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain, dengan rincian sebagai berikut:
Terdakwa I. HUSEN MAHDALI sebesar Rp.87.100.444,(delapan puluh tujuh juta seratus ribu empat ratus empat puluh
empat rupiah ) atau setidak tidaknya sekitar jumlah itu;
Terdakwa II . YORRIS MARTHIANUS sebesar Rp. 65.647.841 , (enam puluh lima juta enam ratus empat puluh tujuh ribu delapan
ratus empat puluh satu rupiah ) atau setidak - tidaknya sekitar
jumlah itu;
Terdakwa III. MUSADDAD MILE sebesar Rp.87.100.444,(delapan puluh tujuh juta seratus ribu empat ratus empat puluh
empat rupiah ) atau setidak-tidaknya sekitar jumlah itu;
Terdakwa IV. JUSUF DJALIL sebesar Rp.65.647.841,- (enam
puluh lima juta enam ratus empat puluh tujuh ribu delapan ratus
empat puluh satu rupiah ) atau setidak - tidaknya sekitar jumlah itu;
Perbuatan mereka Terdakwa tersebut di atas sebagaimana diatur dan
diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) jo . Pasal 18 ayat (1) huruf b
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dan ditambah
69

dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo . Pasal 55 ayat (1) ke1 KUHP.
Tuntutan jaksa
1. Menyatakan mereka Terdakwa I . HUSEN MAHDALI, Terdakwa
II . YORRIS MARTHIANUS, Terdakwa III . MUSADDAD MILE
dan Terdakwa IV. JUSUF DJALIL bersalah secara sah dan
meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan
secara bersama-sama sebagaimana diatur dalam Pasal 3 jo . Pasal
17 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang telah
diubah dan di tambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo . Pasal 55 ayat
(1) ke- 1 KUHP ;
2. Menjatuhkan terhadap Para Terdakwa tersebut oleh karenanya
masing-masing dengan pidana penjara yaitu :
- Terdakwa I. HUSEN MAHDALI selama 4 (empat) tahun
dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan sementara ;
- Terdakwa II. YORRIS MARTHIANUS selama 3 (tiga) tahun
dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan sementara ;
- Terdakwa III. MUSADDAD MILE selama 3 (tiga) tahun
Putusan Pengadilan Negeri Luwuk Nomor : 18/Pid .B /2005/
PN.Lwk. , tangga l 20 Juni 2005 yang amar lengkapnya sebagai
berikut :
1. Menyatakan Terdakwa I. HUSEN MAHDALI, Terdakwa II.
YORRIS MARTHIANUS, Terdakwa III. MUSADDAD
MILE, Terdakwa IV. YUSUF DJALIL tidak terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
sebagaimana didakwakan dalam dakwaan Primair ;
2. Membebaskan Para Terdakwa dari dakwaan Primair tersebut ;
3. Menyatakan Terdakwa I. HUSEN MAHDALI, Terdakwa II
.YORRIS MARTHIANUS, Terdakwa III. MUSADDAD
MILE, Terdakwa IV. YUSUF DJALIL terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "korupsi yang
dilakukan secara bersama- sama" ;
70

4. Menjatuhkan pidana terhadap Para Terdakwa tersebut oleh


karenanya masing-masing dengan pidana penjara yaitu:
- Terdakwa I. HUSEN MAHDALI selama 1 (satu) tahun
dan 3 (tiga) bulan;
- Terdakwa II. YORRIS MARTHIANUS selama 1 (satu)
tahun;
- Terdakwa III. MUSADDAD MILE selama 1 (satu) tahun;
- Terdakwa IV. JUSUF DJALIL selama 1 (satu ) tahun dan
3 ( tiga ) bulan;
5. Menetapkan masa penahanan yang sah terhadap Para
Terdakwa yang telah dijalaninya dikurangkan seluruhnya dari
Iamanya pidana yang di jatuhkan ;
6. Menghukum Para Terdakwa untuk membayar denda masingmasing sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)
Subsidair 2 (dua) bulan kurungan ;
7. Menghukum Para Terdakwa untuk membayar uang pengganti
masing- masing sebagai berikut :
- Terdakwa
I.
HUSEN
MAHDALI
sebesar
Rp.87.100.444,- (delapan puluh tujuh juta seratus ribu
empat ratus empat puluh empat rupiah) dan apabila
harta Terdakwa tidak mencukupi untuk membayar
uang pengganti tersebut maka ia harus menjalankan
pidana tambahan selama 3 (tiga) bulan ;
- Terdakwa II. YORRIS MARTHIANUS sebesar
Rp.65.047.841, - (enam puluh lima juta empat puluh
tujuh ribu delapan ratus empat puluh satu rupiah ) dan
apabila harta Terdakwa tidak mencukupi untuk
membayar uang pengganti tersebut maka ia harus
menjalankan pidana selama 3 (tiga) bulan;
- Terdakwa III. MUSADDAD MILE sebesar
Rp.87.100.444,- (delapan puluh tujuh juta seratus ribu
rupiah empat ratus empat puluh empat rupiah) dan
apabila harta Terdakwa tidak mencukupi untuk
membayar uang pengganti tersebut maka ia harus
menjalankan pidana tambahan selama 3 (tiga) bulan;
71

Terdakwa
IV.
JUSUF
DJALIL
sebesar
Rp.65.647.841,- (enam puluh lima juta enam ratus
empat puluh tujuh ribu delapan ratus empat puluh satu
rupiah) dan apabila harta Terdakwa tidak mencukupi
untuk membayar uang pengganti tersebut maka ia
harus menjalankan pidana tambahan selama 3 (tiga)
bulan;

Putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah di Palu Nomor :


56/PID/2005/PT.PALU., tanggal 29 Desember 2005 yang amar
lengkapnya sebagai berikut :
- Menerima permintaan banding dari Para Pembanding :
1. JAKSA PENUNTUT UMUM pada Kejaksaan Negeri
Luwuk;
2. Terdakwa II . YORRIS MARTHIANUS dan;
3. Terdakwa I . HUSEN MAHDALI, Terdakwa III.
MUSADDAD MILE serta Terdakwa IV JUSUF
DJALI tersebut;
Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Luwuk tangga l 20 Juni
2005 Nomor : 18/Pid.B/2005/PN.Lwk. , yang dimohonkan banding
tersebut sehingga amar selengkapnya berbunyi sebagai berikut :
1. Menyatakan Para Terdakwa :
I . HUSEN MAHDALI ;
II. YORRIS MARTHIANUS ;
III . MUSADDAD MILE dan
IV. YUSUF DJALIL tersebut diatas tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana
didakwakan tersebut dalam dakwaan Primair;
2. Membebaskan Para Terdakwa oleh karena dari dakwaan Primair
tersebut ;
3. Menyatakan Para Terdakwa :
I.
HUSEN MAHDALI ;
II.
YORRIS MARTHIANUS ;
III.
MUSADDAD MILE dan
72

IV.

4.

5.

6.
7.
8.

YUSUF DJALIL tersebut diatas telah terbukti secara sah


dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
"korupsi yang dilakukan secara bersama-sama" ;
Menghukum Para Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara
masing-masing yaitu :
- Terdakwa I. HUSEN MAHDALI selama 2 (dua) tahun;
- Terdakwa II. YORRIS MARTHIANUS selama 2 (dua) tahun;
- Terdakwa III . MUSADDAD MILE selama 2 (dua) tahun;
- Terdakwa IV. JUSUF DJALIL selama 2 (dua) tahun;
Menetapkan bahwa pada waktu menjalankan putusan ini lamanya
Para Terpidana berada dalam tahanan sebelum putusan ini
mempunyai kekuatan hukum tetap akan dikurangkan seluruhnya
dari pidana yang di jatuhkan itu ;
Menghukum pula Para Terdakwa dengan pidana denda masingmasing sebanyak Rp.50.000.000 ,- ( lima puluh juta rupiah ) ;
Menetapkan bahwa apabila pidana denda tersebut tidak dibayar
maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 ( tiga ) bulan ;
Menghukum pula Para Terdakwa untuk membayar uang pengganti
masing-masing :
1. Terdakwa I . HUSEN MAHDALI sebanyak Rp.87.100.444, (delapan puluh tujuh juta seratus ribu empat ratus empat puluh
empat rupiah);
2. Terdakwa
II.
YORRIS
MARTHIANUS
sebanyak
Rp.65.647.841,- (enam puluh lima juta enam ratus empat
puluh tujuh ribu delapan ratus empat puluh satu rupiah);
3. Terdakwa III. MUSADDAD MILE sebanyak Rp.87.100.444,(delapan puluh tujuh juta seratus ribu empat ratus empat puluh
empat rupiah);
4. Terdakwa IV. JUSUF DJALIL sebanyak Rp.65.647.841,(enam puluh lima juta enam ratus empat puluh tujuh ribu
delapan ratus empat puluh satu rupiah);
8. Menetapkan bahwa apabila uang pengganti kerugian negara
tersebut tidak dibayarkan dalam tempo 1 (satu) bulan setelah
putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap, atau dari harta
bendanya tidak mencukupi guna pembayaran uang pengganti
73

tersebut, maka dipidana penjara masing-masing selama 3


(tiga) bulan;
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 646K/Pid /2006 tanggal
10 Agustus 2006 yang amar lengkapnya sebagai berikut :
Menolak permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi / Para
Terdakwa :
1. HUSEN MAHDALI,
2. YORRIS MARTHIANUS,
3. MUSADDAD MILE dan
4. JUSUF DJALIL tersebut;
Memperbaiki amar putusan Pengadilan Tinggi Palu Nomor :
56/Pid/2005/PT.Palu., tanggal 29 Desember 2005, yang amar
selengkapnya berbunyi sebagai berikut :
- Menerima permintaan banding dari Para Pembanding :
1. JAKSA PENUNTUT UMUM pada Kejaksaan Negeri Luwuk;
2. Terdakwa II. YORRIS MARTHIANUS dan;
3. Terdakwa I. HUSEN MAHDALI, Terdakwa III . MUSADDAD
MILE serta Terdakwa IV JUSUF DJALIL
tersebut ;
- Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Luwuk tanggal 20
Juni 2005 Nomor : 18/Pid .B /2005/PN.Lwk., yang
dimohonkan banding tersebut sehingga amar selengkapnya
berbunyi sebagai berikut :
1. Menyatakan Para Terdakwa :
I.
HUSEN MAHDALI;
II.
YORRIS MARTHIANUS;
III.
MUSADDAD MILE dan
IV.
YUSUF DJALIL
tersebut diatas tidak terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan
tersebut dalam dakwaan Primair;
2. Membebaskan Para Terdakwa oleh karena dari dakwaan
Primair tersebut;
3. Menyatakan Para Terdakwa;
74

I.
II.
III.
IV.

4.

5.

6.
7.
8.

HUSEN MAHDALI;
YORRIS MARTHIANUS;
MUSADDAD MILE dan
YUSUF DJALIL tersebut diatas telah terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
"korupsi yang di akukan secara bersama-sama";
Menghukum Para Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara
masing-masing yaitu :
- Terdakwa I . HUSEN MAHDALI selama 2 (dua) tahun ;
- Terdakwa I I . YORRIS MARTHIANUS selama 2 (dua)
tahun ;
- Terdakwa I I I . MUSADDAD MILE selama 2 (dua) tahun ;
- Terdakwa IV. JUSUF DJALIL selama 2 (dua) tahun;
Menetapkan bahwa pada waktu menjalankan putusan ini lamanya
Para Terpidana berada dalam tahanan sebelum putusan ini
mempunyai kekuatan hukum tetap akan dikurangkan seluruhnya
dari pidana yang dijatuhkan itu ;
Menghukum pula Para Terdakwa dengan pidana denda masing masing sebanyak Rp. 50.000.000 , - ( lima puluh juta rupiah ) ;
Menetapkan bahwa apabila pidana denda tersebut tidak dibayar
maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 ( tiga ) bulan ;
Menghukum pula Para Terdakwa untuk membayar uang pengganti
masing-masing :
1. Terdakwa
I.
HUSEN
MAHDALI
sebanyak
Rp.87.100.444,- (delapan puluh tujuh juta seratus ribu
empat ratus empat puluh empat rupiah);
2. Terdakwa II. YORRIS MARTHIANUS sebanyak
Rp.65.647.841,- (enam puluh lima juta enam ratus empat
puluh tujuh ribu delapan ratus empat puluh satu rupiah);
3. Terdakwa
III.
MUSADDAD
MILE
sebanyak
Rp.87.100.444,- (delapan puluh tujuh juta seratus ribu
empat ratus empat puluh empat rupiah);
4. Terdakwa IV. JUSUF DJALIL sebanyak Rp.65.647.841,(enam puluh lima juta enam ratus empat puluh tujuh ribu
delapan ratus empat puluh satu rupiah);
75

9. Menetapkan bahwa apabila uang pengganti kerugian negara


tersebut tidak dibayarkan dalam tempo 1 (satu) bulan setelah
putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap, atau dari harta
bendanya tidak mencukupi guna pembayaran uang pengganti
tersebut, maka dipidana penjara masing- masing selama 3
(tiga) bulan;
Alasan pemohon (Terdakwa) mengajukan Peninjauan kembali:
1. Bahwa terdapat fakta hukum baru tentang penegasan tidak
berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 110 Tahun 2000
berdasarkan Surat-Surat Mahkamah Agung Republik
Indonesia
2. Bahwa terdapatnya Fakta hukum baru sebagaimana termuat
dalam LAPORAN DAN REKOMENDASI PANJA
PENEGAKAN HUKUM DAN PEMERINTAH DAERAH,
Gabungan Komisi II dan Komisi III DPR R.I ., tanggal 10
Oktober 2006
3. Bahwa terdapatnya Fakta (Bukti) Baru (Novum) berdasarkan
putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 536
K/Pid/2005 , tanggal 10 Oktober 2007.
4. Bahwa terdapatnya Fakta Baru (Novum) berdasarkan putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor :
541K/Pid/2007, tanggal 12 Juni 2008.
Pertimbangan Peninjauan Kembali
1. Pasal 263 (2) huru f c jo pasal 266 ayat (2) huruf b angka 4
KUHAP terdapat cukup alasan untuk membatalkan putusan
Mahkamah Agung RI Nomor : 646 K/Pid /2006.
2. Pasal 191 ayat (2) KUHAP, Undang-Undang No. 48 Tahun
2009, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981, dan UndangUndang No. 14 Tahun 1985, sebagaimana yang telah diubah
dan di tambah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004,
dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2009 serta peraturan perundang- undangan lain yang
bersangkutan.
76

Amar Putusan:
MENGADILI
Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon
Peninjauan Kembali / Terpidana II : YORIS MARTHIANUS tersebut;
Membatalkan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 646K/Pid /2006
tanggal 10 Agustus 2006 jo Putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi
Tengah di Palu Nomor 56/PID/2005 /PT.PALU., tanggal 29
Desember 2005 jo Putusan Pengadilan Negeri Luwuk Nomor: 18/P
id.B /20051 PN.Lwk. , tanggal 20 Juni 2005.
MENGADILI KEMBALI
1. Menyatakan Terpidana II : YORIS MARTHIANUS tersebut di
atas terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya,
akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana ;
2. Melepaskan Terpidana II dari segala tuntutan hukum (Onts l aag
Van Al leRechtvervolging);
3. Memulihkan hak Terpidana II dalam kemampuan, kedudukan dan
harkat serta martabatnya;
3. Kasus 3
Kasus Kriminalisasi terhadap Pejabat (Publik) Bank
Mandiri,
Atas nama Edward Cornelis William Neloe (E.C.W.
Neloe), adalah pejabat (Direktur Utama Bank Mandiri);
bersama dua terpidana lainnya, M. Sholeh Tasripan dan I
Wayan Pugreg, ketiganya sebagai pejabat Bank Mandiri
Pusat sebagai penentu pemberian kredit / pemutus kredit;
ketiganya didakwa penuntut umum, telah melakukan
tindakan pidana (kriminalisasi) karena telah memberikan
kredit kepada PT.CGN (Cipta Graha Nusantara) / PT.
Tata Medan, kredit / pinjaman sebesar Rp
160.000.000.000,- (seratus enam puluh milyard rupiah).
Kredit tersebut kemudian macet, atau pengembaliannya
tersendat tidak sesuai jadwal, yang kemudian berujung
dengan upaya pelelangan atas aset / penjadwalan kembali
hutang (novasi), dan lain lain yang kian rumit, dan
77

memunculkan pula berbagai kepentingan pemilik modal


lain / penawar atas barang jaminan dan aset debitur.
Keadaan tersebut memunculkan dugaan korupsi, yang
dialamatkan pada pejabat Bank Mandiri dengan menjerat
ketiga pejabat publik tersebut diatas dengan tuduhan
korupsi, sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (1) Jo.
Pasal 18 Undang-undang No.31 Tahun 1999 Jo. Undangundang No.20 Tahun 2001, Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo.
Pasal 64 ayat (1) KUHP;
Berikut ini kutipan, beberapa poin dakwaan Jaksa dalam
kasus pemberian kredit ini, yang dianggap korupsi (proses
kriminalisasi), sebagai berikut:
Bahwa pada tanggal 24 Oktober 2002 para
Terdakwaselaku pemutus kredit telah menyetujui
untuk memberikan kredit Bridging Loan kepada PT.
Cipta Graha Nusantara sejumlah Rp.160 milyar
dengan tidak memenuhi norma-norma umum
perbankan dan tidak sesuai dengan asas-asas
perkreditan yang sehat sebagaimana diatur dalam
Artikel 520 Kebijakan Perkreditan Bank Mandiri
(KPBM) tahun 2000 karena fasilitas kredit Bridging
Loan dan pembiayaan secara refinancing
sebagaimana hasil Nota Analisa Kredit No.
CGR.CRM/314/2002 tanggal 23 Oktober 2002
perihal Permohonan fasilitas Bridging Loan atas
nama PT. Cipta Graha Nusantara, tidak diatur baik
oleh ketentuan Bank Indonesia maupun ketentuan
PT. Bank Mandiri. Ketentuan Bridging Loan dan
pembiayaan secara refinancing tersebut baru
diatur setelah para Terdakwa menyetujui kredit
Bridging Loan Rp.160 milyar kepada PT. CGN,
yaitu dalam KPBM tahun 2004 Artikel 620 tentang
Produk Perkreditan ;
Bahwa para Terdakwa selaku pemutus kredit
dalam menyetujui untuk memberikan kredit
78

Bridging Loan kepada PT. Cipta Graha


Nusantara sejumlah Rp.160 milyar tersebut juga
tidak mengindahkan ketentuan Artikel 520 KPBM
Tahun 2000 yaitu tidak didasarkan pada
penilaian yang jujur, objektif, cermat dan
seksama karena Nota Analisa Kredit No.
CGR.CRM 314/2002 tanggal 23 Oktober 2002
perihal Permohonan fasilitas Bridging Loan atas
nama PT. Cipta Graha Nusantara hanya dibuat
dalam waktu satu hari oleh saksi Susana Indah
Kris lndriati menyimpang dari kebiasaan
pembuatan Nota Analisa yang membutuhkan
waktu satu minggu s/d satu bulan. Sehingga data
dan fakta dianalisa secara tidak cermat keliru dan
tidak sesuai
dengan
prinsip
kehati-hatian
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang
No. 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan;
Bahwa ketidakcermatan dan kekeliruan tersebut
terlihat
dari
dicantumkannya
nama
PT.
Manunggal Wiratama sebagai pemenang lelang
aset kredit atas nama PT. Tahta Medan, padahal
kenyataannya
pemenang
lelang adalah PT.
Trimanunggal Mardiri Persada. (PT. TMMP);
Bahwa para Terdakwa selaku pemutus kredit dalam
menyetujui pemberian kredit
Bridging
Loan
sejumlah Rp.160 milyar kepada PT. Cipta Graha
Nusantara juga tidak melakukan penilaian atas
kelayakan
jumlah permohonan kredit dengan
proyek atau kegiatan usaha yang dibiayai/akan
dibiayai dengan maksud untuk menghindari
kemungkinan terjadinya praktek mark up yang
dapat merugikan bank sebagaimana diatur dalam
Butir 7 Artikel 530 Kebijakan Perkreditan Bank
79

Mandiri (KPBM) Tahun 2000, yaitu tidak


melakukan penelitian yang seksama berapa
sesungguhnya harga aset kredit PT. Tahta Medan
tersebut, namun langsung menyetujui pemberian
kredit Bridging Loan Rp. 160 milyar untuk
membiayai pembelian aset kredit PT. Tahta
Medan, padahal asset kredit PT. Tahta Medan
tersebut hanya dibeli oleh PT. Trimanunggal
Mandiri Persada dari BPPN hanya sejumlah USD.
10.855.289,52 equivalen Rp. 97 milyar,
sehingga kredit yang disetujui para Terdakwa
sejumlah Rp. 160 milyar untuk membiayai
pembelian asset kredit PT. Tahta Medan terlalu
mahal dengan kelebihan sekitar Rp. 63 milyar ;
Demikian pula dalam nota analisa kredit
Bridging Loan kepada PT. Cipta Graha Nusantara
sejumlah Rp.160 milyar yang disetujui oleh para
Terdakwa selaku pemutus kredit, diuraikan bahwa
PT. CGN mengajukan fasilitas kredit lnvestasi
sebesar USD.18,500,000.00 (delapan belas juta lima
ratus ribu US Dollar) yang akan digunakan untuk
membeli hak tagih eks Badan Penyehatan
Perbankan Nasional atas nama PT. Tahta Medan
dari PT. Manunggal Wiratama sebesar Rp. 160
milyar dan sisanya sebesar equivalen Rp.5 milyar
ditambah self financing dari PT. Cipta Graha
Nusantara sebesar Rp. 22.500.000.000,- digunakan
untuk mentake over saham yang dimiliki oleh
pemegang saham PT.Tahta Medan yaitu Dana
Pensiun Bank Mandiri Tiga
(DPBM3)
dan
PT.Pengelola Investasi Mandiri (PT. PIM))
namun kenyataannya PT. Cipta Graha Nusantara
tidak pernah menyetor self financing sejumlah Rp.
22.500.000.000,- dan saham PT. Pengelola
Investama Mandiri tidak berhasil dibeli atau
80

ditake over, demikian pula saham Dana Pensiun


Bank Mandiri Tiga baru dibayar sejumlah Rp
14.597,000.000 padahal seluruh harga saham
sejumlahRp. 18.246.250.00 sehingga masih sisa Rp.
3.649.250.000, yang tidak dibayar ;
Bahwa dalam nota analisa kredit Bridging Loan
kepada PT. Cipta Graha Nusantara sejumlah
Rp.160 milyar yang disetujui oleh para
Terdakwa tersebut diuraikan bahwa pembayaran
kepada PT. Manungggal Wiratama harus segera
dilaksanakan, padahal seharusnya sesuai dengan
Artikel 530 Kebijakan Perkreditan Bank Mandiri
(KPBM) Tahun 2000 sebagai pemutus kredit para
Terdakwa harus bertindak hati-hati sesuai dengan
prinsip kehati-hatian dan meneliti secara cermat
kebenaran seluruh lnformasi fakta dan data dan
tidak mengikuti keinginan pihak lain atau pihak
debitur ;
Bahwa dalam nota analisa kredit Bridging Loan
kepada. PT. Cipta Graha Nusantara sejumlah Rp.
160 milyar yang disetujui oleh para Terdakwa
selaku pemutus kredit, diuraikan bahwa agunan
berupa hak tagih kepada PT. Tahta Medan yang
akan diperoleh dari PT. Manunggal Wiratama
padahal para Terdakwa tidak mempunyai data dan
informasi yang lengkap tentang hak tagih tersebut
dibeli dari siapa karena ternyata data yang
diperoleh para Terdakwa bahwa yang menguasai
hak tagih PT. Manunggal Wiratama tidak benar,
karena kenyataannya yang menguasai adalah PT.
Trimanunggal Mandiri Persada (PT. TMMP). Oleh
karena itu para Terdakwa sebagai pemutus kredit
tidak mempunyai informasi yang lengkap tentang
agunan pokok yang dibiayai oleh kredit Bridging
Loan Rp.160 milyar tersebut ;
81

Bahwa para Terdakwa selaku pemutus kredit dalam


menyetujui pemberian kredit
Bridging
Loan
sejumlah Rp.160 milyar kepada PT. Cipta Graha
Nusantara
dengan
tidak
memperhatikan
Ketentuan Pedoman Pelaksanaan Kredit PT. Bank
Mandiri Bab VI Buku II tentang Informasi dan
data dari debitur PT. Cipta Graha Nusantara yang
mana salah satu persyaratannya debitur PT. Cipta
Graha Nusantara harus mempunyai neraca
laba/rugi (tiga) tahun terakhir dan neraca tahun
yang sedang berjalan atau neraca pembukaan bagi
perusahaan yang baru berdiri. Untuk permohonan
kredit atas Rp. 1 Milyar laporan keuangan harus
diaudit oleh Akuntan Publik terdaftar, namun
kenyataannya para Terdakwa selaku pemutus kredit
tetap menyetujui memberikan kredit Bridging Loan
sejumlah Rp.160 milyar kepada PT. Cipta Graha
Nusantara padahal PT. Cipta Graha Nusantara
merupakan perusahaan baru yang didirikan tanggal
23 April 2002 (6 bulan sebelum para Terdakwa
menyetujui kredit) dan tidak pernah menyerahkan
neraca tahun berjalan atau neraca pembukaan
(audited) kepada PT. Bank Mandiri serta saham
yang disetor hanya sebesar Rp. 600.000.000,- ;
Bahwa para Terdakwa selaku pemutus kredit dalam
menyetujui pemberian kredit
Bridging
Loan
sejumlah Rp.160 milyar tersebut kepada PT.
Cipta Graha
Nusatara
dengan
tidak
memperhatikan Ketentuan Pedoman Pelaksanaan
Kredit PT. Bank Mandiri Bab VI Buku II tentang
lntormasi dan data dari debitur, yang mana salah
satu persyaratannya, debitur harus menyerahkan
daftar jaminan yang menunjukkan jenis barang,
jumlah ukuran, lokasi, nilai (utama, tambahan,
sumber penilaian), status kepemilikan dan copy
82

bukti kepemilikan, karena pada kenyataannya di


dalam nota analisa kredit Bridging Loan, agunan
hanya berupa tagihan dari PT. Tahta Medan kepada
PT. Manunggal Wiratama (PT. Manunggal
Wiratama tidak pernah ada) yang diikat secara
fidusia, namun para Terdakwa selaku pemutus
kredit tetap menyetujui kredit Bridging Loan
padahal agunan Fidusia Eigendom Overdracht
(FEO) tidak dibuatkan akta pengikatan FEO
secara notariil sebagaimana diatur dalam Pedoman
Pelaksanaan Kredit Bab IV Sub Bab F butir 3.b.
tentang Sifat Pengikatan ; dan seterusnya
Atas dakwaan jaksa tersebut, Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan memutuskan dengan vonis bebas
murni, atas diri tersangka, namun ketika Jaksa
Penuntut Umum mengajukan Kasasi, Mahkamah
Agung justru memvonis tersangka dengan pidana
penjara 10 tahun dengan denda masing-masing Rp
500.000.000,- (lima ratus juta rupiah); bagi putusan
MA. No.1144 k/Pid/2006 ini, yang menganulir
putusan
PN.
Jakarta
Selatan
No.
2068/Pid.B/2005/PN.Jak-Sel, ini meski pun telah
selesai, dan Terdakwa telah menjalani hukuman,
namun secara akademis dan teoritis menyisakan
pertanyaan besar seiring dengan perkembangan ilmu
hukum dan dinamika perubahan pandangan terhadap
hukum global dan hukum internasional dan nasional,
khususnya yang berkaitan dengan hukum ekonomi,
dan pengembangan bisnis dan perekonomian.
Pertanyaan mendasar dan penting, justru terletak
pada keberadaan BUMN sebagai badan hukum
privat yang harus tunduk pada hukum privat, di satu
sisi dan pada sisi lain pejabat-pejabatnya adalah
pejabat publik; yang mengelola uang negara yang
telah dipisahkan; pertimbangan hukuum yang
83

diberikan MA atas pemidanaan tersebut antara lain


[46]
:
Bank Mandiri sebagai bank milik Negara.
Meskipun Bank Mandiri merupakan PT. Terbuka,
tetapi secara struktur, Bank Mandiri tetap sebagai
sebuah Persero yang menjadi ciri bahwa Bank
Mandiri adalah milik Negara. Perubahanperubahan
kepemilikan saham, apalagi saham
negara menduduki jumlah terbesar dibandingkan
dengan
pemegang
saham
lainnya
(posisi
dominan), sama sekali tidak mengurangi status
hukum Bank Mandiri sebagai BUMN yang
mengelola kekayaan Negara. Dalam status yang
demikian, direksi atau setiap orang yang bekerja
pada Bank Mandiri demikian pula BUMN
lainnya, tidak semata-mata melakukan fungsi
keperdataan tetapi juga fungsi publik yang
menjalankan tugas pemerintahan pada Bank
Mandiri sebagai BUMN. Lebih lanjut hal tersebut
secara hukum mengandung arti bahwa direksi atau
setiap orang yang bekerja pada BUMN seperti Bank
Mandiri, berkedudukan
sebagai
unsur
penyelenggara pemerintahan, karena itu kepada
mereka dapat diberlakukan ketentuan-ketentuan
mengenai penyelenggara pemerintah-an seperti
ketentuan tentang pemberantasan korupsi ;
Perbuatan merugikan Negara atau dapat merugikan
negara.
Seperti dikemukakan, sebagai BUMN, Bank
Mandiri mengelola kekayaan Negara,
sebagai
pengelola kekayaan Negara, maka tindakan
melawan hukum yang dilakukan direksi atau

46

Dikutip dari Pertimbangan Hukum, Putusan Kasasi No. 1144


k/Pid/2006
84

pegawai Bank Mandiri, yang merugikan atau


dapat
merugikan
Bank
Mandiri,
dapat
dikategorikan sebagai perbuatan korupsi, karena
telah menimbulkan kerugian atau dapat merugikan
Negara yaitu kekayaan Negara yang dikelola
Bank Mandiri;
Dari cara-cara Terdakwa memproses sampai pada
pengeluaran pinjaman in casu, menunjukkan ketidak
hati-hatian para Terdakwa, suatu yang secara nyata
melanggar asas kehati-hatian perbankan. Ketidak
hati-hatian tersebut sama sekali tidak dilakukan
tanpa sengaja atau kelalaian, melainkan suatu
kebijakan yang dilakukan secara sadar dengan
alasan-alasan yang tidak memadai, karena tidak
terbukti ada keadaan obyektif atau kenyataan
yang mendesak untuk menyimpangi prinsip kehatihatian. Tidaklah sesuai dengan kehati-hatian,
memproses pinjaman dalam waktu yang begitu
cepat yang semata-mata menggantungkan pada
berbagai
dokumen dari
Pemohon
tanpa
menganalisis keadaan nyata Pemohon. Bukanlah
suatu kehati-hatian, memberi pinjaman sebesar Rp
160.000.000.000,- sedangkan diketahui di PT.
Cipta Graha Nusantara sebagai pemohon pinjaman,
baru didirikan 6 bulan dengan modal setor Rp.
600.000.000,- suatu jumlah yang sangat kecil
dibandingkan dengan pinjaman. Lebih-lebih, para
Terdakwa menyetujui suatu pinjaman yang
disebut dana talangan atau bridging loan
sesuatu formula yang tidak dikenal dan tidak
mempunyai dasar hukum. Perbuatan ini sangat
nyata sebagai suatu yang tidak semata
menyalahgunakan wewenang yaitu menggunakan
wewenang tidak sesuai tujuan, tetapi
sebagai
perbuatan di luar hukum (out of law) karena itu
85

bersifat sewenang-wenang (willekeur atau arbitrary).


Terdakwa meletakkan diri diatas hukum, bukan
tunduk pada hukum ;
Alasan tindakan, untuk menghindari Bank
Mandiri akan dituntut membayar sejumlah US.$.
31 juta adalah suatu alasanyang dibuat-buat karena
bukan Bank Mandiri sebagai pemegang saham PT.
Tahta Medan. Pemegang saham adalah Dana
Pensiun Bank Mandiri, suatu badan yang
mempunyai kedudukan hukum di luar Bank
Mandiri (lihat keterangan Komisaris Dana Pensiun
Bank Mandiri). Walaupun seandainya Bank
Mandiri ikut bertanggung jawab, tindakan para
Terdakwa
sangat
tidak
wajar
untuk
membebaskan Bank Mandiri dari tanggung jawab,
dengan cara memberi pinjaman kepada pemohon
kredit untuk membeli PT. Tahta Medan. Kalau
Bank Mandiri dapat memberi pinjaman kepada
calon pembeli, mengapa tidak dilakukan sendiri
oleh Bank Mandiri, tidak perlu melalui tangan
pemohon kredit (peminjam). Lebih-lebih lagi,
pembelian tersebut tidak dilakukan pada saat
BPPN menjual, melainkan dari tangan pihak lain
yang membeli dari BPPN dengan harga yang lebih
murah yang memberi keuntungan lebih Rp. 6 milyar
kepada pembeli dari BPPN, tanpa dapat
menunjukkan bahwa PT.Tahta Medan sudah
dalam keadaan yang lebih baik dibandingkan
dengan saat dijual BPPN ;
Pengalihan utang pemohon kredit kepada PT.
Tahta Medan, Terdakwa menyetujui pengalihan
utang pemohon kredit kepada PT. Tahta Medan.
Persertujuan para Terdakwa sangat nyata
bertentangan dengan logika atau akal sehat. PT.
Tahta Medan dikuasai dan kemudian dijual BPPN
86

karena bermasalah. Apakah masuk akal, kalau


semua pinjaman pemohon kredit dialihkan kepada
PT. Tahta Medan yang oleh BPPN dilelang
karena menjadi beban belaka. Apakah masuk
diakal kalau PT.Tahta Medan dapat disulap
begitu kilat sehingga mampu membayar kepada
Bank Mandiri, Dikatakan PT. Tahta Medan
mampu membayar, dibuktikan dengan angsuran
tetapi dari jumlah yang sudah dibayar sangat
kecil dibandingkan dengan kewajiban, itupun
dilakukan tidak tepat waktu.
Persoalan jatuh tempo.
Dikatakan masa pinjaman belum jatuh tempo,
persoalan hukum yang dihadapi adalah perbuatan
Terdakwa yang merugikan Negara, bukan soal
jatuh tempo. Perbuatan Terdakwa yang dengan
sengaja
melanggar
prinsip-prinsip perbankan
seperti asas kehati-hatian menciptakan pinjaman
yang tidak diatur oleh hukum, tanpa menyetujui
pengalihan utang kepada PT. Tahta Medan yang
bermasalah dan lain-lain hal seperti dipertimbangkan
di atas secara nyata telah merugikan Bank
Mandiri sebagai BUMN yang tidak lain dari
kerugian Negara ;
Dari pertimbangan-pertimbangan di atas, terbukti
Majelis Hakim Judex Facti telah salah menerapkan
hukum, khususnya dalam unsur merugikan atau
dapat merugikan keuangan negara/perekonomian
Negara. Bahwa Judex Facti secara jelas
menyatakan
karena
telah
terbukti
unsur
memperkaya orang lain/suatu korporasi yang
dalam hal ini PT. Cipta Graha Nusantara
(PT.CGN), karena telah menerima kucuran dana
sebesar Rp. 160 milyar sebagai akibat dari
perbuatan para Terdakwa secara kolektif didalam
87

jabatannya yang bersifat melawan hukum karena


melanggar prinsip kehati-hatian tidak cermat
sebagaimana digariskan didalam Pasal 2 UndangUndang No. 7 Tahun 1992 sebagai-mana telah
diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No.
10 Tahun 1998 ; PT. Cipta Graha Nusantara (PT.
CGN) melalui Bridging Loan yang bernilai Rp.
160 milyar yang dicairkan pada tanggal 28 dan 29
Oktober 2002, dengan tujuan untuk membeli PT.
Tahta Medan dan membangun Tiara Tower ; PT.
Tahta Medan dibeli oleh PT. Tri Manunggal Mandiri
Persada melalui BPPN sebesar Rp. 97 milyar atau
setara US.$. 10.855.289,52, sehingga dengan
Bridging Loan PT. CGN, telah memperoleh sisa
kredit sebesar Rp. 63 milyar yang kemudian
menjadi keuntungan PT. Tri Manunggal Mandiri
sebagai penjual PT. Tahta Medan kepada PT.
Cipta Graha Nusantara, suatu keuntungan yang
didapat karena Terdakwa tidak melaksanakan
secara
benar
asas-asas
perbankan
yang
mengakibatkan kerugian negara;
Dengan fakta tersebut, PT. Cipta Graha Nusantara
(PT. CGN) telah memperoleh kredit talangan yang
dikeluarkan secara melawan hukum dan diputuskan
oleh para Terdakwa ; dengan perkataan lain kerugian
Negara telah terjadi, karena fihak PT. CGN yang
telah menikmati keuntungan kredit talangan. Perbuatan
para Terdakwa tersebut telah selesai secara sempurna,
walaupun hutang talangan (Bridging Loan) tersebut
baru akan jatuh tempo tahun 2007, akan tetapi
Menara/Tiara Tower di Medan pembangunannya
terlantar sampai sekarang, artinya kerugian Negara
jelas terbukti ;
Gambaran yang diperoleh dari rasionalisasi
pertimbangan hukum dalam kasus krinimalisasi terhadap
88

keputusan / kebijakan pejabat publik tersebut diatas,


betapa pun memasuki ruang hukum yang keliru, sebab
keputusan pemberian kredit perbankan dengan segala
kewenangan, dan persyaratan internal perbankan yang
ada, yang tentunya yang lebih memahami, dan lebih
mengerti adalah pejabat yang bersangkutan; Ketika
sebuah pemberian kredit ternyata macet, karena berbagai
faktor, seperti jaminan yang kurang, perbutan pembelian
asset / agunan, dll, tidak serta merta permasalahan kredit
tersebut menjadi tindak pidana karena di dalamnya ada
uang negara, dan pejabat pemerintahan / pejabat publik;
domainnya harus berlaku hukum unniversal; yaitu
domain keperdataan dengan pertanggung jawaban
perdata pula.
Apabila, rasionalisasi pemikiran yang tertuang dalam
pertimbangan hukum tersebut di atas dipertahankan,
secara teoritis semua debitur pada Bank-bank BUMN
adalah calon koruptor, meminjam ke bank pun terasa
traumatis disana ada sisi yang mengerikan akan
dikriminalisasikan, rakyat akan takut memanfaatkan
fasilitas kredit yang ada; sebaliknya pejabat perbankan
menjadi tumpul kreasi penciptaan produk perbankan,
karena salah sedikit bisa dikategorikan korupsi /
kriminalisasi akan terjadi; sedangkan prinsip dan asasasas pemidanaan tidak diterapkan. Padahal, dalam teori,
asas-asas dan prinsip pemidanaan (kriminalisasi) secara
hakiki kehadirannya adalah untuk membatasi kekuasaan
pemidanaan oleh negara yang cenderung menyimpang
dan berlebihan. Dalam konteks dunia bisnis perbankan,
proses dan persyaratan kredit, dan lain lain, adalah hal
baku yang patut dihormati keputusannya; kalaupun
muncul isu/dugaan penyimpangan kredit / proses kredit
yang berdampak pada kerugian Bank (BUMN) tidak ada
kerugian negara disana, dan tidak layak menggunakan
jurs korupsi (kriminil), karena sudah tidak ada uang
89

negara (lagi), ini demi kepastian hukum, sebab uang


negara yang dikelola oleh BUMN sebagai modal yang
dipisahkan sudah bukan uang Negara lagi, tetapi uang
perusahaan. Konsekuensi dari uang / modal perusahaan,
untuk menjaga dan mengkreasinya adalah para pejabat
BUMN, dengan kapasitas dan kapabilitas yang dimiliki;
mencari solusi dan mempertanggung jawabkan dalam
ranah hukum yang benar, yaitu pertanggung jawaban
internal perusahaan dan pertanggung jawaban secara
hukum perdata perbankan adalah dunia bisnis, dalam
dunia bisnis ada untung, dan ada rugi; sebagai resiko
menjalankan sebuah bisnis, maka ketika Negara /
Pemerintah turut serta berbisnis, sudah tentu telah
memperhitungkan faktor resiko; ketika bisnisnya ada
kerugian / salah urus, dan lain lain, itulah resiko Negara
berdagang.
4. Kasus 4
Putusan Nomor: 572 K/Pid/2003
Dengan Terdakwa:
1. Nama
Tempat lahir
Umur/tanggal lahir
Jenis kelamin
Kewarganegaraan
Agama
Tempat tinggal
Pekerjaan

2. Nama
Tempat lahir

: Ir. Akbar Tanjung


: Sibolga
: 57 tahun/14 agustus 1945
: Laki-laki
: Indonesia
: Islam
: Jl. Widya Chandra III/10 Jakarta
selatan
: Ketua DPR RI, Ketua Umum Partai
GOLKAR dan Mantan Menteri
Sekertaris Negara RI
: H. Dadang Sukandar
: Jakarta
90

Umur/tanggal lahir
Jenis kelamin
Kewarganegaraan
Agama
Tempat tinggal

Pekerjaan
3. Nama
Tempat lahir
Umur/tanggal lahir
Jenis kelamin
Kewarganegaraan
Agama
Tempat tinggal

Pekerjaan

: 54 tahun/12 September 1948


: Laki-laki
: Indonesia
: Islam
: Perumahan Pesanggarahan Permai
Blok C-34 Kelurahan Pertukangan,
Kecamatan Pesanggarahan Selatan,
Jakarta selatan
: Ketua Yayasan Raudatul Jamaah
: Winfried Simatupang
: Tapanuli
: 64 tahun/09 Agustus 1938
: Laki-laki
: Indonesia
: Kristen
: Jl. Layur No. 1554, Rt. 011 Rw. 06,
Kelurahan Jati Pulogadung, Jakarta
timur
: Pengusaha/Direktur PT. Bintang
Laut Timur Baru

Gambaran Umum Perkara:


Terdakwa 1 (Ir. Akbar Tanjung) dalam kedudukannya sebagai
Mensesneg RI yang diangkat berdasarkan surat keputusan presiden RI
nomor: 122/M tahun 1998 tanggal 22 mei 1998, bersama-sama dengan
terdakwa 2 (H. Dadang Sukandar selaku Ketua yayasan raudatul
jamaah, terdakwa 3 (Winfried Simatupang) selaku Direktur PT.
Bintang Laut timur baru dan selaku kuasa direksi PT. Trans Ligana
Service, PT. Arthalapan Bintang Jaya dan PT. Adiguna Cipta Sarana
atau selaku pribadi dengan kewenangan jabatannya melakukan
tindakan atau perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan
negara dan perekonomian negara untuk memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu badan, dalam hal menerima atau menggunakan
uang BULOG sebesar 40 milyar rupiah tidak sesuai dengan ketentuan
91

yang berlaku, serta diluar kepentingan BULOG atau bertentangan


dengan tugas dan fungsi kantor sekertaris negara atau setidak-tidaknya
bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dalam tata cara
penggunaan uang negara.
JPU menuntut Para Terdakwa untuk dinyatakan bersalah
melanggar Pasal 1 ayat (1) sub b UU 3 Tahun 1971 jo. Pasal 43 A UU
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, dan menuntut Terdakwa I dihukum pidana penjara selama 4
Tahun, sedangkan Terdakwa II dan Terdakwa III masing-masing
dihukum pidana penjara 3 Tahun 6 Bulan. Judex Facti PN Jakarta
Pusat menjatuhkan hukuman lebih rendah dari tuntutan JPU tersebut
di atas, yaitu Terdakwa I dihukum pidana penjara selama 3 Tahun dan
pidana denda Rp. 10.000.000,-, sedangkan Terdakwa II dan Terdakwa
III masing-masing dihukum pidana penjara 1 Tahun 6 Bulan dan
pidana denda Rp. 10.000.000,-. Pada tingkat banding, judex facti PT
Jakarta memperberat dan menyamakan hukuman Para Terdakwa,
yaitu masing-masing pidana penjara selama 3 Tahun dan pidana denda
Rp. 10.000.000,-.
Pertimbangan Hakim:
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Menimbang bahwa terhadap tuntutan jaksa , para terdakwa 1,
terdakwa 2, terdakwa 3 telah dinyatakan bersalah bersamasama melakukan tindak pidana korupsi seperti yang tercantum
dalam putusan pengadilan negeri jakarta pusat tanggal 4
september 2002 No. 449/PID.B/2002/PNJKT.PST yang amar
putusan berbunyi:
Menyatakan :
Para terdakwa masing-masing:
- Terdakwa 1 Ir. Akbar Tanjung
- Terdakwa 2 H. Dadang Sukandar
- Terdakwa 3 Winfried Simatupang
Terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah secara
bersama-sama melakukan tindak pidana KORUPSI.
92

Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa 1 Ir, Akbar


Tanjung dengan pidana penjara selama 3 tahun,
Terdakwa 2 H. Dadang Sukandar dan terdakwa 3
Winfried Simatupang dengan pidana penjara masingmasing selama 1 tahun dan 6 bulan, dan denda
masing-masing 10 juta rupiah subsider 3 bulan
kurungan.

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta


Dalam putusan pengadilan tinggi DKI Jakarta, menyatakan
bahwa sesuai dengan putusan No. 171/PID/2002/PT.DKI
membenarkan putusan pengadilan negeri jakarta pusat selain
itu juga memperberat hukumannya yaitu masing-masing
dipidana penjara 3 tahun.
Putusan Mahkamah Agung
Mahkamah Agung berpendapat, terhadap Terdakwa I:
Bahwa Judex Facti tidak salah dalam menerapkan hukum, karena
dakwaan yang menjadi dasar pemeriksaan telah memenuhi syaratsyart formil Pasal 143 ayat (2) KUHAP. Bahwa dakwaan terhadap
para Terdakwa telah sesuai dengan tempus delicti perkara ini. Bahwa
kebijakan Terdakwa I tersebut diambil dalam keadaan darurat.Bahwa
kebijakan yang dilakukan Terdakwa I tersebut bukanlah tanggung
jawabnya, karena Terdakwa hanya menjalankan perintah jabatan,
dalam hal ini adalah perintah presiden, karena Terdakwa I adalah
Pembantu Presiden dan hubungan kerja antara Terdakwa I dan
Presiden itu bersifat sebagai hukum publik. Bahwa perbuatan
Terdakwa I yang melakukan penunjukan terhadap Terdakwa II untuk
melakukan pengadaan dan penyaluran sembako tidaklah memenuhi
unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan, melainkan memenuhi
unsur rechtmatig dan legalitas. Bahwa dengan tidak terpenuhinya
unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang
ada padanya, maka tidak terpenuhi pula unsur melawan hukum pada
perbuatan Terdakwa I, yang mana unsur tersebut merupakan unsur
93

mutlak dalam dakwaan terhadap Terdakwa I. Terhadap Terdakwa II


dan III: Bahwa Para Terdakwa tersebut memenuhi unsur
barangsiapa. Bahwa perbuatan Terdakwa II dan III memenuhi unsur
melawan hukum, karena bertentangan dengan keharmonisan,
pergaulan hidup untu bertindak cermat erhadap orang lain. Bahwa
perbuatan Terdakwa II dan III tersebut memenuhi unsur memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, dengan demikian unsur
yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan
negara dan atau perekonomian negara menjadi terpenuhi, Terdakwa
II dan III memenuhi delik penyertaan dan tidak ada hal-hal yang dapat
meniadakan sifat tindak pidana Terdakwa. Berdasarkan pertimbanganpertimbangan tersebut, MA memutus bebas Terdakwa I namun
menghukum Terdakwa II dan III dengan pidana penjara selama 1
Tahun 6 Bulan dan pidana denda Rp. 10.000.000,- (HJN)
Amar Putusan
Mengadili
1. Mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi 1 Ir.
Akbar Tanjung, 2 H. Dadang Sukandar, 3 Winfried
Simatupang tersebut
2. Membatalkan Putusan pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 17
januari 2003 Nomor: 171/Pid/2002/PT.DKI, yang telah
memperbaiki putusan pengadilan negeri jakarta pusat tanggal
4 september 2002 Nomor: 449/Pid.B/PN.Jkt.Pst.
Mengadili Sendiri
1. Menyatakan Terdakwa 1 Akbar Tanjung tersebut tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana
sebagaimana didakwakan kepadanya dalam dakwaan primair
dan subsidair;
2. Membebaskan oleh karena itu terdakwa tersebut dari dakwaan
primair dan subsidair;
3. Menuliskan hak terdakwa tersebut dalam kemampuan dari
harkat serta martabatnya;
94

4. Menyatakan terdakwa 2 H. Dadang Sukandar dan terdakwa 3


Winfried Simatupang tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang
didakwakan kepadanya dalam dakwaan primair;
5. Membebaskan oleh karena itu terdakwa tersebut dari dakwaan
primair;
6. Menyatakan terdakwa 2 H. Dadang Sukandar dan terdakwa 3
Winfried Simatupang terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana: KORUPSI YANG
DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA;
7. Menghukum oleh karena itu kedua terdakwa tersebut, dengan
pidana penjara masing-masing selama: 1 tahun 6 bulan dan
denda masing-masing 10 juta rupiah dengan ketentuan apabila
denda tersebut tidak dibayar dan akan diganti dengan pidana
selama 3 bulan.
8. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa 2
dan terdakwa 3 tersebut dikurangkan seluruhnya dan pidana
yang dijatuhkan;
9. Menetapkan supaya barang-barang bukti berupa:
Uang tunai sebesar 40 milyar rupiah dirampas untuk
kepentingan negara;
Surat-surat, bundel-bundel/order dan surat-surat
berharga sebagaimana tercantum dalam daftar barang
bukti perkara ini dikembalikan kepada jaksa penuntut
umum untuk dipergunakan dalam perkara lain;
10. Membebankan perkara ini untuk semua tingkat peradilan
kepada terdakwa 2 dan terdakwa 3, yang untuk tingkat kasasi
masing-masing sebesar dua ribu ratus rupiah.
Analisa / kaidah hukum
Pertimbangan 1 (Keadaan Darurat & Tidak adanya Aturan)
Dalam putusannya di hal. 208 MA mengatakan:
Menimbang bahwa berdasarkan bukti-bukti di atas MA
berkesimpulan bahwa apa yang dilakukan oleh Terdakwa I yaitu
menerima dana non budgeter sebesar 40 M yang kemudian
95

diserahkan kepada Terdakwa II untuk digunakan dalam


pengadaan dan penyaluran sembako untuk masyarakat miskin,
bukan merupakan penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau
sarana, baik Terdakwa I baik selaku Mensesneg maupun sebagai
koordinator program pengadaan dan penyaluran sembako tersebut,
TAPI MERUPAKAN SUATU TINDAKAN YANG HARUS
DILAKUKAN
OLEH SEORANG
KOORDINATOR
/
MENSESNEG DALAM KEADAAN DARURAT (capital oleh
pen.) sesuai dengan kewenangan diskresioner yang ada padanya
untuk melaksanakan perintah Presiden sebagai atasannya. Bahwa
dalam keadaan darurat, tentu tidak dapat diharapkan menempuh
prosedur dan cara-cara dalam keadaan normal, TERLEBIH PULA
PENGGUNAAN DANA PENGELOLAAN KEUANGAN
NEGARA DALAM BENTUK DANA NON-BUDGETER
HANYA DIATUR OLEH APA YANG DISEBUT KONVENSI,
TIDAK SEPERTI HALNYA KEUANGAN NEGARA DALAM
BENTUK
APBN
YANG
PENGGUNAAN
DAN
PENGELOLAANNYA DIATUR OLEH KEPPRES (capital oleh
pen.), misalnya untuk pengadaan barang oleh pasal 21 sampai
dengan 30 dalam Keppres No. 16 Tahun 1999 dan Keppres No. 18
Tahun 2000 sebagaimana telah dikemukakan di atas.
Dari alinea di atas terdapat ketidakjelasan oleh karena di dalamnya
terdapat 2 (dua) pokok pikiran yang mungkin tidak sinkron satu sama
lain kalau tidak bisa dikatakan kontradiktif. Pokok pikiran tersebut
yaitu;
1. Tindakan Terdakwa I bukan merupakan tindak pidana atau
setidaknya bukan merupakan penyalahgunaan wewenang karena
dilakukan dalam keadaan darurat;
2. Tindakan Terdakwa I bukan merupakan tindak pidana karena
tidak ada aturan yang mengaturnya sehingga tidak ada
pelanggaran atas aturan.
Pertimbangan 2 (Kesengajaan)
Dalam pertimbangan Majelis Kasasi hal. 208 dikatakan bahwa
96

Menimbang bahwa MA tidak sependapat dengan


pertimbangan hukum judex factie, bahwa unsur
menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan itu
disimpulkan terbukti dari rangkaian perbuatan
Terdakwa I yang tidak melakukan atau mengusahakan
suatu mekanisme koordinasi kerja yang tidak terpadu
dengan baik, sehingga perbuatan materil Terdakwa I
menurut hukum bertentangan dengan asas kepatutan,
ketelitian, dan kehati-hatian dalam pengelolaan uang
negara padahal Terdakwa I memiliki wewenang untuk
itu. Menurut pendapat MA haruslah dibuktikan terlebih
dahulu unsur pokok dalam Hukum Pidana, apakah Terdakwa I
memang mempunyai kesengajaan (opzet) untuk melakukan
perbuatan penyalahgunaan wewenang tersebut, dan bahwa
memang Terdakwa I menghendaki dan mengetahui (met
willens en wetens) bahwa perbuatan itu dilarang, tapi tetap
dilakukannya. (Bandingkan pendapat Prof. J. Remmelink,
dalam buku terjemahan Hukum Pidana, terbitan PT Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta 2003, hal. 152 dst.)
Apabila pertimbangan Judex Factie yang dikutip oleh MA tersebut
diuraikan maka akan terlihat unsur-unsur pokok dari pertimbangan
Judex Factie tersebut, yaitu:
1. bahwa Terdakwa I tidak melakukan atau mengusahakan suatu
mekanisme koordinasi kerja yang terpadu dengan baik;
2. bahwa ketidakberbuatan tersebut di atas merupakan perbuatan
yang bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian dan kehatihatian dalam pengelolaan uang negara;
3. bahwa Terdakwa I memiliki wewenang untuk berlaku patut, teliti
dan hati-hati dalam mengelola uang negara;
4. bahwa perbuatan yang bertentangan dengan asas kepatutan,
ketelitian, dan kehati-hatian merupakan bentuk dari perbuatan
menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan.
97

Ketidaksependapat MA tersebut terhadap pertimbangan hukum Judex


Factie tidak jelas ditujukan kepada unsur yang mana, apakah unsur
yang (a), (b), (c) atau (d). Akan tetapi jika ketidaksepakatan tersebut
dikaitkan dengan kalimat selanjutnya dimana MA mengatakan bahwa
harus dibuktikan terlebih dahulu apakah Terdakwa I memilki
kesengajaan (opzet) untuk melakukan perbuatan penyalahgunaan
kewenangan tersebut maka maka dapat difatsirkan bahwa MA
mau mengatakan bahwa benar terjadi penyalahgunaan wewenang akan
tetapi penyalahgunaan wewenang tersebut tidak serta merta dapat
dipidana jika tidak terdapat unsur kesengajaan.
Dalam ilmu hukum pidana memang terdapat suatu asas yang
mengatakan bahwa tidak ada pemidanaan tanpa kesalahan (geen straf
zonder schuld/ actus non facit reum nisi mens sit rea/ an act does not
constitute itself guilt unless the mind is guilty). Suatu perbuatan
walaupun memenuhi semua unsur yang didakwakan akan tetapi jika
tidak terdapat unsur kesalahan dari jiwa pelaku maka terhadap pelaku
tersebut tidak dapat dikenakan pemidanaan. Penghapusan pidana
tersebut dapat berupa pembenaran atau pemaafan (dasar pembenar dan
dasar pemaaf), dan hal tersebut tergantung bagaimana hukum positif
mengatur hal tersebut serta bagaimana kasusnya. Sementara itu
Pompe membagi kesalahan menjadi beberapa unsur, yaitu:
1.
kelakuan yang bersifat melawan hukum
2.
kesengajaan (dolus/culpa)
3.
kemampuan bertanggung jawab pelaku
Pertimbangan 3 (Pembuktian Unsur Secara Melawan Hukum)
Mengenai Dakwaan Subsidari terhadap Terdakwa I MA hanya
terdapat 1 (satu) pertimbangan pokok, pada hal. 209-210 mulai alinea
ke-3 dikatakan:
Menimbang bahwa dalam penjelasan UU No. 3 Tahun 1971
dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan secara melawan
hukum dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan
hukum dalam arti formil maupun dalam arti materil,
yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam
98

perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut


dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan
atau norma kehidupan sosial dalam masyarakat maka
perbuatan tersebut dapat dipidana;
Menimbang bahwa sehubungan dengan pembuktian unsur
melawan hukum tersebut, Mahkamah Agung berpendapat
bahwa
oleh karena
perbuatan
menyalahgunakan
wewenang..dst. merupakan salah satu bentuk atau wujud
perbuatan melawan hukum, baik formil maupun materil,
maka dengan tidak terbuktinya unsur menyalahgunakan
wewenang..dst hal tersebut berarti bahwa unsur
melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam
dakwaan Subsidair tidak terpenuhi dalam perbuatan
Terdakwa I;
Menimbang bahwa pendapat Mahkamah Agung tersebut
sesuai pula dengan pendapat saksi ahli Prof. Dr. ANDI
HAMZAH, SH yang berpendapat Bahwa terhadap kasus ini
apabila uang dari BULOG tersebut baru sampai ketangan
Terdakwa I maka belum ada tindak pidana dan baru ada
tindak pidana setelah uang tersebut ada pada terdakwa
lainnya, yang ternyata tidak dipergunakan sebagaimana
mestinya, dan pendapat saksi ahli Prof. Dr. LOEBBY
LOQMAN, SH yang pihaknya berpendapat : Bahwa
ajaran
melawan
hukum
materil
negatif ada
batasannya,yaitu harus dicari aturan formilnya dan orang
tidak boleh dihukum kalau tidak ada aturan formil yang
dilanggar.
Atas pertimbangan tersebut terdapat suatu kontradiksi yang sangat
mencolok, dengan mengutip Penjelasan UU No. 3 Tahun 1971 MA
ingin menyatakan bahwa tanpa suatu aturan formil pun maka suatu
perbuatan tetap dapat memenuhi unsur melawan hukum jika
perbuatan tersebut melanggar norma masyarakat atau mengakui
99

doktrin perbuatan hukum materil yang bersifat positif, akan tetapi


kemudian MA juga menyatakan dengan mengambil pendapat Prof.
Loebby Loqman SH yang mengatakan bahwa melawan hukum harus
ditafsirkan hanya melawan hukum formal semata, atau dengan kata
lain menolak doktrin perbuatan hukum materil yang bersifat positif.
Pertimbangan 4 (Pertintah Jabatan)
Setelah beberapa pertimbangan di atas MA kemudian menambahkan
satu pertimbangan hukum lagi yang membebaskan Terdakwa I yang
intinya adalah Terdakwa I tidak terbukti bersalah oleh karena ia hanya
menjalankan perintah jabatan. Untuk lebih jelasnya akan dikutip katakata MA sendiri yang terdapat dalam hal. 210 putusan Kasasi ini:
Menimbang hawa selain berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas
adalah tidak berlebihan apabila dikemukakan, bahwa menurut
Mahkamah Agung berdasarkan Pasal 51 ayat 1 KUHP,
Terdakwa I tidak dapat dipidana berdasarkan perbuat yang telah
dilakukannya tersebut, oleh karena perbuatan a quo telah
dilakukan terdakwa I selaku MENSESNEG untuk melaksanakan
suatu perintah jabatan yang diberikan oleh kekuasaan yang
berwenang, dalam hal ini adalah Presiden R.I. (cq. Saksi B.J.
HABIBIE). Suatu perintah jabatan (ambelijk bevel) dalam pengertian
Undang-Undang tersebut diisyaratkan harus diberikan berdasarkan
suatu jabatan kepada orang-orang bawahan, dalam hubungan kerja
yang bersifat ukum publik atau bersifat publiek rechtelijk. (Pendapat
Prof. POMPE dan prof. VAN HAMEL yang dimuat dalam buku
Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia karangan Drs. P.A.F.
LAMINANTANG, SH, alaman 526, terbitan PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1977). Dengan kriteria doktrin tersebut perbuatan yang
dilakukan oleh Terdakwa I dapat diklasifikasikan sebagai
menjalankan perintah jabatan. Sebab perintah Presiden RI tersebut
diberikan kepada Terdakwa I selaku pembantu Presiden dan hubungan
kerja antara Presiden dan Terdakwa I itu bersifat hukum publik.
Bahkan perintah jabatan itu tidak selalu mesti tertulis, karena ada juga
yang tidak tertulis. Bilamana perintah tersebut dilaksanakan dan
sekaligus tindak pidana terjadi maka sifat dapat dipidana tindakan
100

tersebut akan hilang karena di dalam tindakan tersebut tidak


terkandung unsur melawan hukum. (Pendapat Prof. J. Remmelink,
dalam buku terjemahan Hukum Pidana, terbitan PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta 2003, halaman 253). Pengertian perintah jabatan juga
meliputi instruksi jabatan seperti yang dimaksud oleh pasal 51
KUHP, demikian pendapat Prof. Pompe yang diperkuat oleh Prof.
Van Hamel, dan diikuti pula oleh Mahkamah Agung dalam kasus ini;
Untuk dapat menilai apakah pertimbangan MA tersebut layak atau
tidak maka yang perlu diketahui adalah mengenai Pasal 51 ayat (1)
KUHP tersebut, serta apakah bagaimana doktrin-doktrin hukum
pidana membatasinya.
Pasal 51 KUHP berbunyi:
(1) Barangsiapa melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah
jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak akan itu, tidak
boleh dihukum;
(2) Perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang tidak berhak
tidak membebaskan dari hukuman, kecuali jika pegawai yang
dibawahnya atas kepercayaannya memandang bahwa
perintah itu seakan-akan diberikan kuasa yang berhak dengan
sah dan menjalankan perintah itu menjadi kewajiban pegawai
yang dibawah perintah tadi.
Sementara itu mengenai penggunaan pasal 51 KUHP sebagai dasar
pembenar / penghapus pidana para Ahli Hukum Pidana mengatakan
bahwa tidak serta merta perintah jabatan yang sah sekalipun
menghapuskan pidana, seperti yang terlihat dalam kutipan berikut ini:
dalam pelaksanaan perintah-jabatan, seperti halnya yang diutarakan
pada ketentuan undang-undang, maka alat dan cara pelaksanaan itu
harus seimbang, patut dan layak.

101

102

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan apa yang telah diterangkan sebagaimana konteks
terdahulu, maka dapat disimpulkan tentang aspek-aspek, sebagai
berikut:
1. Proses kriminalisasi terhadap kebijakan pejabat publik,
yang terjadi adalah akibat demokratisasi dan
keterbukaan/transparansi, sebagai buah dari era
Reformasi, pada satu sisi, dan pada sisi yang lain akibat
lemahnya pemahaman terhadap asas-asas prinsip, dan
teori kriminalisasi yang diterapkan oleh penegak hukum,
dalam proses pemidanaan secara benar dan adil.
2. Kriminalisasi yang terjadi terhadap kebijakan-kebijakan
pejabat
publik,
dapat
menimbulkan
berbagai
ketidakpastian hukum, bahkan dalam konteks yang lebih
luas dapat merusak hukum itu sendiri; karena telah mensuperiorkan aspek hukum tertentu (pidana) dan menegasi
fungsi dan peran yang seharusnya dijalankan oleh aspek /
domain hukum lain, seperti hukum perdata, dan
administrasi negara, dan segmen hukum lain yang ada.
3. Penonjolan pada peran kriminalisasi (pemidanaan)
terhadap sektor kebijakan pejabat publik, pada hakekatnya
merupakan pengingkaran terhadap dogma dan doktrin
pidana itu sendiri; sebagai Ultimum remidium (senjata
pamungkas / senjata terakhir), bukan sebagai senjata
utama / Primum remidium, oleh karenanya perbuatanperbuatan yang perlu dikriminalisasi, adalah perbuatan
yang secara langsung mengganggu ketertiban / kehidupan
masyarakat, melanggar aturan perundangan-undangan
yang berlaku serta ada niat jahat (mens rea ) dan ada
perbuatan jahat yang secara gamblang dapat dibuktikan.
4. Dari hasil penelitian ini, khusus dalam kasus-kasus yang
telah dijadikan analisa kriminalisasi terhadap kebijakan
103

pejabat publik, menghadirkan diskriminalisasi hukum dan


perlakuan diskriminalisasi dalam penegakkan hukum.
5. Secara dogmatik hukum dan doktrin hukum, kebijakan
pejabat publik merupakan ruang lingkup hukum
administrasi negara sebagai fungsi pemerintahan, oleh
karenanya kebijakannya tidak dapat dipidana /
dikriminalisasi.
Dalam
kenyataannya,
tindakan
kriminalisasi terhadap kebijakan pejabat publik, telah
menimbulkan berbagai persoalan hukum baru, bahkan
mematikan kreativitas pejabat penentu kebijakan dalam
mencari terobosan bisnis; tumpulnya daya saing
perusahaan Negara (BUMN / BUMD) karena takut
kebijakannya akan dikriminalisasi / dipaksakan
pemidanaan, karena euforia dan lemahnya pemahaman
terhadap prinsip-prinsip / asas-asas dasar kriminalisasi
pada para penegak hukum, serta target-target pemidanaan
yang tidak jelas dan tidak terukur.
B. Saran
1. Sudah saatnya, era paska reformasi ini untuk
memfungsikan kembali semua bidang hukum pada tempat
secara benar dan proporsional..
2. Kriminalisasi terhadap kebijakan pejabat publik perlu
ditinjau kembali dengan terlebih dahulu merevolusi
mental penegak hukum; agar dalam mengenakan /
menerapkan proses pemidanaan terhadap pejabat publik /
kebijakan publik harus mengutamakan domain hukum
non-pidana.
3. Perlu pembekalan ulang, terhadap setiap pelaksana /
penegakkan hukum pidana, tentang prinsip-prinsip dasar
dan asas-asas universal pemidanaan secara lebih
mendalam dan komprehensif, agar dalam menangani
sebuah kasus yang terkait dengan kebijakan pejabat
publik dapat lebih selektif, dan taat asas, terhadap nilai
104

4.

5.

6.

7.

dan norma hukum universal, di bidang-bidang hukum


perdata, hukum bisnis, hukum administrasi negara.
Perlu penegasan secara nasional tentang aspek kebijakan
pejabat publik yang patut dihormati dan dinyatakan
sebagai tidak dapat dikriminalisasi.
Untuk para hakim di semua tingkatan peradilan, agar
lebih memperdalam dan memperluas wawasan hukum
dalam memahami aspek-aspek khusus, hukum ekonomi,
keperdataan, dan administrasi pemerintahan, sehingga
memiliki kapasitas dan keberanian dalam menegakkan
hukum terkait kriminalisasi kebijakan pejabat publik, dan
sengketa bisnis yang berpengaruh pada penilaian
internasional, dan keberlakuan prinsip, dan asas-asas
hukum universal.
Saatnya untuk meninjau kembali dan mengusulkan
perubahan-perubahan kaedah dan norma-norma hukum
yang dinilai saling bertentangan, baik dari sisi substansi
maupun peran/pemberian kewenangan.
Undang-undang tentang Administrasi Negara /
Pemerintahan, perlu segera diadakan agar memperjelas
garis-garis kewenangan dan koordinasi antar instansi, dan
mempermudah pemahaman bagi para penegak hukum
yang dapat meminimalisir kriminalisasi terhadap
kebijakan pejabat Negara, agar tercipta good governance;
dimana rule of law ada di dalamnya.

105

106

DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.

4.
5.
6.
7.
8.

9.
10.

11.
12.
13.
14.

Allen, C.K. Law In The Makin. Oxford University Press. 7th


edition. Hal 23
Asshiddiqie, Jimly. Perihal Undang-Undang. Jakarta:2010.
Rajawali Persa. Hal.373
Bassiouni, M. Cherif. Substantive Criminal Law. 1978. Hal.
82. Dikutip dari Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai
Kebijakan Hukum Pidana.Bandung. 1996. Citra Aditya Bhakti
Black, Henry Campbell. Black Law Dictionary. Saint Paul:1979.
West Publishing Co. Cetakan kelima. Hal 337.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka. Cetakan ke 2. Hal. 198
Dunn, William N. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Gajah
Mada University Press. Edisi 2. Hal 155
Hadin, H. M. dan Nuswardani, Nunuk. Penelitian Hukum
Indonesia Kontemporer. Genta Publishing. 2011 Hal 15
Harkristuti Harkrisnowo mengutip Bentham dalam Konsep
Pemidanaan: Suatu Gugatan Terhadap Proses Legislasi di
Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar UI. Jakarta. Hal. 20
Hadjon, Philip. Dikutip dari tulisannya di Gema Peraturan
Tahun VI. No. 12. Agustus 2000
Hullsman sebagaimana dikutip Roeslan Saleh dalam, Dari
Lembaran Kepustakaan Hukum Pidana. Jakarta. 1988. Penerbit
Sinar Grafika. Hal 87.
Komisi Hukum Nasional (KHN). Kebijakan Penegakan Hukum,
Suatu Rekomendasi. 2010. Hal 119
Lilik mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana Umum dan Khusus,
PT. Alumni, Bandung, 2012, hlm509
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Penerbit
Kencana. Hal 22
Mertokusumo, Sudikno dan Pitlo, A. Bab-Bab Tentang
Penemuan Hukum. PT. Citra Aditya Bakti, kerjasama dengan
Konsorsium Hukum, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
dan The Asia Foundation. Cetakan ke 1. 1993. Hal 12.
107

15. Moeljatno. Azas-Azas Hukum Pidana.Jakarta:1985. PT.Bina


Cipta. Hal 5.
16. Peters, Antonie A.G. Main Current in Criminal Law Theori in
Action, Gouda Quint by, Arnhem, 1986 hal.33. dikutip dari
Kamariah, Ajaran Sifat Melawan Hukum Material Dalam
Hukum Pidana Indonesia. Pidato Pengukuhan Guru Besar
UNPAD, Bandung, Maret 1994. Hal 43
17. Roeslan Saleh mengutip Antonie A. G. Peter, dalam Asas Hukum
Pidana Dalam Perspektif. Jakarta:1981. Penerbit Aksara Baru.
Hal. 28
18. Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil
Mahkamah Agung RI Eksekutabilitas, Putusan Peradilan Tata
Usaha Negara (Laporan Penelitian). 2010.hal 10
19. Rumadhan Ismail, Jurnal Legislasi Indonesia, Pengelolaan
Keuangan Negara dan Penerapan Hukum dalam Tindak Pidana
Korupsi. Penerbit Kemenkumham, 2013, hlm.362.
20. Sahetapy, J.E. (Ed.). Hukum Pidana. Yogyakarta:1996. Penerbit
Liberty. Hal 6-7
21. Sakidjo, Aruan dan Poernomo, Bambang. Hukum Pidana.
Jakarta.1990. Ghalia Indonesia. Hal. 45
22. Saleh, Ruslan, mengutip Antonie A.G. Peter dalam Asas-asas
Hukum Pidana dalam Perspektif. Jakarta:1981. Aksara Baru. Hal
28
23. Soedarto. Kapita Selekta Hukum Pidana.Bandung, Alumni.
1986. Hal 31.
24. Soekanto, Soerjono. Kriminologi Suatu Pengantar. Jakarta:1981.
Percetakan Ghalia Indonesia. Cetakan pertama. Hal 61.
25. Sukamto, Agus. Agus Sukamto Menggugat Sebuah Ironi
Keadilan. LSM for Publik Malang. 2012. Hal 302
26. Wind, JP. Enige Bestuur Rechtelijke Begrippen: En de Algemene
Wet Bestuursrecht. Sdu uit gever bv Den Haag. 2004
27. Wojowarsito, S. Kamus Umum Bahasa Indonesia - Belanda.
Jakarta. PT.Ichtiar Baru Van Hoeve. 1996. Hal 78.

108

28. Yeremias Keban. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik:


Konsep, Teori, dan Isu. Jogjakarta.Gavamedia:2008. Edisi 1. Hal
35

Makalah
1.

Saleh, Roeslan. Kebijakan Kriminalisasi Dan Dekriminalisasi:


Apa Yang Dibicarakan Sosiologi Hukum Dalam Pembaruan
Hukum Pidana Indonesia, disampaikan dalam Seminar
Kriminalisasi dan Dekriminalisasi dalam Pembaruan Hukum
Pidana Indonesia, Fakultas Hukum UII. Yogyakarta. 15 Juli
1993. Hal 38-39.

109

110

LAMPIRAN PERATURAN PEMERINTAH


REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 2004

111

112

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 24 TAHUN 2004
TENTANG
KEDUDUKAN PROTOKOLER DAN KEUANGAN PIMPINAN
DAN ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 101 ayat
(3) Undang- undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang
Susunan dan Kedudukan MajelisPermusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, perlu ditetapkan Peraturan Pemerintah
tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan
Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah;
Mengingat : 1.
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1987 tentang
Protokol (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1987 Nomor 43, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3363);
3.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3839);
4.
Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nornor 72 Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3848);
5.
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara
113

6.

7.

8.

9.

10.

11.

Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47,


Tambahan Lembaran Negara Nomor 4286);
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003
tentang Susunan dan Kedudukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4310);
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4355);
Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 1990
tentang Ketentuan Keprotokolan Mengenai
Tata Tempat, Tata Upacara dan Tata
Penghormatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3952);
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000
tentang Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Provinsi sebagai Daerah
Otonom (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3952); 21
Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000
tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban
Keuangan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 202,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4022);
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pembinaan dan Pengawasan Atas
Penyelenggaraan
Pemerintahan
Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
114

2001 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara


Nomor 4090);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG


KEDUDUKAN PROTOKOLER DAN
KEUANGAN
PIMPINAN
DAN
ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT DAERAH

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan :
1.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah selanjutnya disebut DPRD
adalah DPRD sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
2.
Pimpinan DPRD adalah Ketua dan Wakil-wakil Ketua DPRD.
3.
Anggota DPRD adalah mereka yang diresmikan
keanggotaannya sebagai Anggota DPRD dan telah
mengucapkan sumpah/janji berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
4.
Sekretariat DPRD adalah unsur pendukung DPRD
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22
Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
5.
Sekretaris DPRD adalah Pejabat Perangkat Daerah yang
memimpin Sekretariat DPRD.
6.
Kedudukan Kedudukan Protokoler adalah kedudukan yang
diberikan
kepada
seseorang
untuk
mendapatkan
115

7.

8.

9.
10.

11.

12.

13.

14.

15.

penghormatan, perlakuan, dan tata tempat dalam acara resmi


atau pertemuan resmi.
Protokol adalah serangkaian aturan dalam acara kenegaraan
atau acara resmi yang meliputi aturan mengenai tata tempat,
tata upacara, dan tata penghormatan sehubungan dengan
penghormatan kepada seseorang sesuai dengan jabatan
dan/atau kedudukannya dalam negara, pemerintahan atau
masyarakat.
Acara resmi adalah acara yang bersifat resmi yang diatur dan
dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah atau Lembaga
Perwakilan Daerah, dalam melaksanakan tugas dan fungsi
tertentu, dihadiri oleh pejabat negara, pejabat pemerintah,
pejabat pemerintah Daerah serta undangan lainnya.
Tata upacara adalah aturan untuk melaksanakan upacara
dalam acara kenegaraan dan acara resmi.
Tata tempat adalah aturan mengenai urutan tempat bagi
pejabat negara, pejabat pemerintah, pejabat pemerintah
Daerah, dan tokoh masyarakat tertentu dalam acara
kenegaraan atau acara resmi.
Tata penghormatan adalah aturan untuk melaksanakan
pemberian hormat bagi pejabat negara, pejabat pemerintah,
pejabat pemerintah Daerah dan tokoh masyarakat tertentu
dalam acara kenegaraan atau acara resmi.
Uang representasi adalah uang yang diberikan setiap bulan
kepada Pimpinan dan Anggota DPRD sehubungan dengan
kedudukannya sebagai pimpinan dan anggota DPRD.
Uang Paket adalah uang yang diberikan setiap bulan kepada
Pimpinan dan Anggota DPRD dalam menghadiri dan
mengikuti rapat-rapat dinas.
Tunjangan jabatan adalah uang yang diberikan setiap bulan
kepada Pimpinan dan Anggota DPRD karena kedudukannya
sebagai ketua, wakil ketua, dan anggota DPRD.
Tunjangan alat kelengkapan DPRD adalah tunjangan yang
diberikan setiap bulan kepada Pimpinan atau Anggota DPRD
sehubungan dengan kedudukannya sebagai ketua atau wakil
116

16.

17.

18.

19.

20.

21.

ketua atau sekretaris atau anggota panitia musyawarah, atau


komisi, atau badan kehormatan, atau panitia anggaran atau
alat kelengkapan lainnya.
Tunjangan Kesejahteraan adalah tunjangan yang disediakan
kepada Pimpinan dan Anggota DPRD berupa tunjangan
pemeliharaan kesehatan dan pengobatan, rumah jabatan dan
perlengkapannya/rumah dinas, kendaraan dinas jabatan,
pakaian dinas, uang duka wafat/tewas dan bantuan biaya
pengurusan jenazah.
Uang jasa pengabdian adalah uang yang diberikan kepada
Pimpinan dan Anggota DPRD atas jasa pengabdiannya
setelah yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah selanjutnya
disebut APBD adalah rencana keuangan tahunan Pemerintah
Daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Pejabat Pemerintah adalah pejabat Pemerintah pusat yang
diberi tugas tertentu di bidangnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Pejabat Pemerintah Daerah adalah pejabat daerah otonom
yang diberi tugas tertentu di bidangnya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Instansi Vertikal adalah perangkat Departemen dan atau
Lembaga Pemerintah Non Departemen di Daerah.

BAB II
KEDUDUKAN PROTOKOLER PIMPINAN DAN ANGGOTA
DPRD
Bagian Pertama
Acara Resmi
Pasal 2
(1) Pimpinan dan Anggota DPRD memperoleh kedudukan Protokoler
dalam Acara Resmi.
(2) Acara Resmi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
117

a. Acara Resmi Pemerintah yang diselenggarakan di Daerah;


b. Acara Resmi Pemerintah Daerah yang menghadirkan Pejabat
Pemerintah;
c. Acara Resmi Pemerintah Daerah yang dihadiri oleh Pejabat
Pemerintah Daerah.
Bagian Kedua
Tata Tempat
Pasal 3
Tata tempat Pimpinan dan Anggota DPRD dalam acara resmi yang
diadakan di ibukota Provinsi, Kabupaten/Kota sebagai berikut :
a. Ketua DPRD di sebelah kiri Kepala Daerah;
b. Wakil-wakil Ketua DPRD bersama dengan Wakil Kepala
Daerah setelah pejabat instansi vertikal lainnya;
c. Anggota DPRD ditempatkan bersama dengan Pejabat
Pemerintah Daerah lainnya yang setingkat Asisten Sekretaris
Daerah dan Kepala Dinas/Badan dan atau Satuan Kerja
Daerah lainnya.
Pasal 4
Tata tempat dalam rapat-rapat DPRD sebagai berikut :
a. Ketua DPRD didampingi oleh Wakil-wakil Ketua DPRD;
b. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah ditempatkan sejajar
dan di sebelah kanan Ketua DPRD;
c. Wakil-wakil Ketua DPRD duduk di sebelah kiri Ketua
DPRD;
d. Anggota DPRD menduduki tempat yang telah disediakan
untuk Anggota;Sekretaris DPRD, peninjau, dan undangan
sesuai dengan kondisi Ruang Rapat.
Pasal 5
Tata tempat dalam Acara Pengambilan Sumpah/Janji dan Pelantikan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagai berikut :

118

a. Ketua DPRD di sebelah kiri Pejabat yang akan mengambil


Sumpah/Janji dan Melantik Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah;
b. Wakil-wakil Ketua DPRD duduk di sebelah kiri Ketua DPRD;
c. Anggota DPRD menduduki tempat yang telah disediakan
untuk Anggota;
d. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang lama, duduk di
sebelah kanan Pejabat yang akan mengambil Sumpah/Janji
dan melantik Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah;
e. Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang akan
dilantik duduk di sebelah kiri Wakil-wakil Ketua DPRD;
f. Sekretaris DPRD, peninjau, dan undangan sesuai dengan
kondisi Ruangan Rapat;
g. Mantan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah setelah
pelantikan duduk di sebelah kiri Wakil-wakil Ketua DPRD;
h. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang baru dilantik
duduk di sebelah kanan Pejabat yang mengambil
Sumpah/Janji dan melantik Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah.
Pasal 6
Tata tempat dalam Acara Pengucapan Sumpah/Janji Anggota DPRD
meliputi:
a. Pimpinan DPRD duduk di sebelah kiri Kepala Daerah dan
Ketua Pengadilan Tinggi/Pengadilan Negeri atau Pejabat yang
ditunjuk duduk di sebelah kanan Kepala Daerah;
b. Anggota DPRD yang akan mengucapkan sumpah/janji, duduk
di tempat yang telah disediakan;
c. Setelah pengucapan sumpah/janji Pimpinan Sementara DPRD
duduk di sebelah kiri Kepala Daerah;
d. Pimpinan DPRD yang lama dan Ketua Pengadilan
Tinggi/Pengadilan Negeri atau Pejabat yang ditunjuk duduk di
tempat yang telah disediakan;
e. Sekretaris DPRD duduk di belakang Pimpinan DPRD;
119

f.

Para undangan dan anggota DPRD lainnya duduk di tempat


yang telah disediakan; dan
g. Pers/kru TV/Radio disediakan tempat tersendiri.
Pasal 7
Tata tempat dalam Acara Pengambilan Sumpah/Janji dan Pelantikan
Ketua dan Wakil-wakil Ketua DPRD hasil Pemilihan Umum sebagai
berikut:
a. Pimpinan Sementara DPRD duduk di sebelah kiri Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah;
b. Pimpinan Sementara DPRD duduk di sebelah kanan Ketua
Pengadilan Tinggi / Ketua Pengadilan Negeri;
c. Setelah pelantikan, Ketua DPRD duduk di sebelah kiri Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Wakil-wakil Ketua DPRD
duduk di sebelah kiri Ketua DPRD;
d. Mantan Pimpinan Sementara DPRD dan Ketua Pengadilan
Tinggi/Ketua Pengadilan Negeri duduk di tempat yang telah
disediakan.
Bagian Ketiga
Tata Upacara
Pasal 8
(1) Tata upacara dalam Acara Resmi dapat berupa upacara
bendera atau bukan upacara bendera.
(2) Untuk keseragaman, kelancaran, ketertiban dan kekhidmatan
jalannya acara resmi, diselenggarakan tata upacara sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Keempat
Tata Penghormatan
Pasal 9
(1) Pimpinan dan Anggota DPRD mendapat penghormatan sesuai
dengan penghormatan yang diberikan kepada Pejabat Pemerintah.
(2) Penghormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
120

BAB III
BELANJA PIMPINAN DAN ANGGOTA DPRD
Bagian Pertama
Penghasilan
Pasal 10
Penghasilan Pimpinan dan Anggota DPRD terdiri dari :
a. Uang Representasi;
b. Uang Paket;
c. Tunjangan Jabatan;
d. Tunjangan Panitia Musyawarah;
e. Tunjangan Komisi;
f. Tunjangan Panitia Anggaran;
g. Tunjangan Badan Kehormatan;
h. Tunjangan Alat Kelengkapan Lainnya.
Pasal 11
(1) Pimpinan dan Anggota DPRD diberikan Uang Representasi.
(2) Uang Representasi Ketua DPRD Provinsi setara dengan Gaji
Pokok Gubernur, dan Ketua DPRD Kabupaten/Kota setara dengan
Gaji Pokok Bupati/Walikota yang ditetapkan Pemerintah.
(3) Uang Representasi Wakil Ketua DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota
sebesar 80% (delapan puluh perseratus) dari Uang Representasi
Ketua DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota.
(4) Uang Representasi Anggota DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota
sebesar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari Uang Representasi
Ketua DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota.
(5) Selain Uang Representasi yang diberikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) juga diberikan Tunjangan Keluarga dan Tunjangan
Beras yang besarnya sama dengan ketentuan yang berlaku pada
Pegawai Negeri Sipil.
Pasal 12
(1) Pimpinan dan Anggota DPRD diberikan Uang Paket.
(2) Uang Paket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar 10%
(sepuluh perseratus) dari Uang Representasi yang bersangkutan.
121

Pasal 13
(1) Pimpinan dan Anggota DPRD diberikan Tunjangan Jabatan.
(2) Tunjangan Jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar
145% (seratus empat puluh lima perseratus) dari masing-masing
Uang Representasi.
Pasal 14
(1) Pimpinan atau Anggota DPRD yang duduk dalam Panitia
Musyawarah atau Komisi atau Panitia Anggaran atau Badan
Kehormatan atau Alat kelengkapan lainnya yang diperlukan,
diberikan tunjangan sebagai berikut :
a. Ketua sebesar 7,5% (tujuh setengah perseratus) dari
Tunjangan Jabatan Ketua DPRD;
b. Wakil Ketua sebesar 5% (lima perseratus) dari Tunjangan
Jabatan Ketua DPRD;
c. Sekretaris sebesar 4% (empat perseratus) dari Tunjangan
Jabatan Ketua DPRD;
d. Anggota sebesar 3% (tiga perseratus) dari Tunjangan Jabatan
Ketua DPRD.
(2) Tunjangan Badan kehormatan unsur luar DPRD yang duduk dalam
Badan
Kehormatan, diberikan tunjangan sebagai berikut :
a. Ketua paling tinggi 50% (lima puluh perseratus) dari
Tunjangan Jabatan Ketua DPRD;
b. Wakil Ketua paling tinggi 45 % (empat puluh lima perseratus)
dari Tunjangan Jabatan Ketua DPRD;
c. Anggota paling tinggi 40% (empat puluh perseratus) dari
Tunjangan Jabatan Ketua DPRD.
Pasal 15
Pajak Penghasilan Pimpinan dan Anggota DPRD dikenakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

122

Bagian Kedua
Tunjangan Kesejahteraan
Pasal 16
(1) Pimpinan. dan Anggota. DPRD beserta, keluarganya diberikan
tunjangan pemeliharaan kesehatan dan pengobatan.
(2) Keluarga Pimpinan dan Anggota DPRD yang mendapat
pemeliharaan kesehatan dan pengobatan yaitu suami atau istri
beserta 2 (dua) orang anak.
(3) Tunjangan kesehatan dan pengobatan. sebagaimana, dimaksud
pada ayat (1) diberikan dalam bentuk pembayaran premi asuransi
kesehatan kepada Lembaga Asuransi Kesehatan yang ditunjuk
Pemerintah Daerah.
Pasal 17
(1) Pimpinan DPRD disediakan masing-masing 1 (satu) rumah jabatan
beserta perlengkapannya dan 1 (satu) unit kendaraan dinas
jabatan.
(2) Belanja pemeliharaan rumah jabatan beserta perlengkapannya dan
kendaraan dinas jabatan dibebankan pada APBD.
(3) Dalam hal Pimpinan DPRD berhenti atau berakhir masa baktinya,
wajib mengembalikan rumah jabatan beserta perlengkapannya
dan kendaraan dinas dalam keadaan baik kepada Pemerintah
Daerah paling lambat 1 (satu) bulan sejak tanggal pemberhentian.
Pasal 18
(1) Anggota DPRD dapat disediakan masing-masing 1 (satu) rumah
dinas beserta, perlengkapannya.
(2) Belanja pemeliharaan rumah dinas dan perlengkapannya
dibebankan pada APBD.
(3) Dalam hal Anggota DPRD diberhentikan atau berakhir masa
baktinya, wajib mengembalikan rumah dinas beserta
perlengkapannya dalam keadaan baik kepada Pemerintah Daerah
paling lambat I (satu) bulan sejak tanggal Pemberhentian.
123

Pasal 19
Rumah jabatan Pimpinan DPRD, rumah dinas Anggota DPRD beserta
perlengkapannya dan kendaraan dinas jabatan Pimpinan DPRD tidak
dapat disewabelikan atau digunausahakan atau dipindahtangankan
atau diubah struktur bangunan dan status hukumnya.
Pasal 20
(1) Dalam hal Pemerintah Daerah belum dapat menyediakan rumah
jabatan pimpinan atau rumah dinas Anggota DPRD, kepada yang
bersangkutan diberikan tunjangan perumahan.
(2) Tunjangan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa uang sewa rumah yang besarnya disesuaikan dengan
standar harga setempat yang berlaku yang ditetapkan dengan
Keputusan Kepala Daerah.
Pasal 21
(1) Pimpinan dan Anggota DPRD disediakan pakaian dinas.
(2) Standar satuan harga dan kualitas bahan pakaian dinas ditetapkan
dengan Keputusan Kepala Daerah.
Pasal 22
Dalam hal Pimpinan atau Anggota DPRD meninggal dunia, kepada
ahli waris diberikan :
a. Uang duka wafat sebesar 2 (dua) kali uang representasi atau apabila
meninggal dunia dalam menjalankan tugas diberikan uang duka
tewas sebesar 6 (enam) kali uang representasi;
b. Bantuan biaya pengurusan jenazah.
Bagian Ketiga
Uang Jasa Pengabdian
Pasal 23
(1) Pimpinan atau Anggota DPRD yang meninggal dunia atau
mengakhiri masa baktinya diberikan uang jasa pengabdian.

124

(2) Besarnya uang jasa pengabdian sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) disesuaikan dengan masa bakti Pimpinan dan Anggota DPRD
dengan ketentuan :
a. Masa bakti kurang dari 1 (satu) tahun, dihitung 1 (satu) tahun
penuh dan diberikan uang jasa pengabdian 1 (satu) bulan uang
representasi;
b. Masa bakti sampai dengan 1 (satu) tahun, diberikan uang jasa
pengabdian I (satu) bulan uang representasi;
c. Masa bakti sampai dengan 2 (dua) tahun, diberikan uang jasa
pengabdian 2 (dua) bulan uang representasi;
d. Masa bakti sampai dengan 3 (tiga) tahun, diberikan uang jasa
pengabdian 3 (tiga) bulan uang representasi;
e. Masa bakti sampai dengan 4 (empat) tahun, diberikan uang jasa
pengabdian 4 (empat) bulan uang representasi;
f. Masa bakti sampai dengan 5 (lima) tahun, diberikan uang jasa
pengabdian setinggi-tingginya 6 (enam) bulan uang
representasi.
(3) Dalam hal Pimpinan atau Anggota DPRD meninggal dunia, uang
jasa pengabdian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan
kepada ahli warisnya.
(4) Pembayaran uang jasa pengabdian dilakukan setelah yang
bersangkutan dinyatakan diberhentikan secara hormat sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB IV
BELANJA PENUNJANG KEGIATAN DPRD
Pasal 24
(1) Belanja Penunjang Kegiatan disediakan untuk mendukung
kelancaran tugas, fungsi dan wewenang DPRD.
(2) Belanja Penunjang Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disusun berdasarkan Rencana Kerja yang ditetapkan Pimpinan
DPRD.

125

BAB V
PENGELOLAAN KEUANGAN DPRD
Pasal 25
(1) Sekretaris DPRD menyusun belanja DPRD yang terdiri atas
belanja penghasilanPimpinan dan Anggota DPRD, tunjangan
kesejahteraan Pimpinan dan Anggota DPRD danbelanja Penun
ang Kegiatan DPRD yang diformulasikan ke dalam Rencana
Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah Sekretariat
DPRD.
(2) Belanja penghasilan Pimpinan dan Anggota DPRD sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tersebut dalam ketentuan Pasal 10,
dianggarkan dalam Pos DPRD.
(3) Tunjangan kesejahteraan Pimpinan dan Anggota DPRD
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut dalam ketentuan
Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 20, Pasal 2 1, Pasal 22, dan
Pasal 23 serta Belanja Penunjang Kegiatan DPRD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2), dianggarkan dalam Pos
Sekretariat DPRD yang diuraikan ke dalam jenis belanja sebagai
berikut :
a. Belanja Pegawai;
b. Belanja Barang dan Jasa;
c. Belanja Perjalanan Dinas;
d. Belanja Pemeliharaan;
e. Belanja Modal.
(4) Pengelolaan belanja DPRD dilaksanakan oleh Sekretaris DPRD
dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 26
Penganggaran atau tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban
belanja DPRD untuk tujuan lain di luar ketentuan yang ditetapkan
dalam peraturan Pemerintah ini, dinyatakan melanggar hukum.

126

Pasal 27
(1) Anggaran belanja DPRD merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari APBD.
(2) Penyusunan, pelaksanaan tata usaha dan pertanggungjawaban
belanja DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disamakan
dengan belanja satuan kerja perangkat daerah lainnya.
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 28
(1) Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota
DPRD Provinsi ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi.
(2) Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota
DPRD Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
Pasal 29
(1) Peraturan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 dapat dibatalkan apabila bertentangan
dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini.
(2) Pernbatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk Peraturan
Daerah Provinsi dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dilakukan oleh Gubernur.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 30
Semua peraturan yang berkaitan dengan kedudukan protokoler dan
keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD yang telah ditetapkan,
disesuaikan paling lambat 3 (tiga) bulan sejak ditetapkannya Peraturan
Pemerintah ini.

127

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 31
Dalam hal terjadi permasalahan pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini,
penyelesaiannya difasilitasi oleh Mentai Dalam Negeri bagi Provinsi
dan Gubernur selaku Wakil Pemerintah bagi Kabupaten/Kota.
Pasal 32
Pada saat ditetapkan Peraturan Pemerintah ini, Peraturan Pemerintah
Nomor 110 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 33
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Agustus 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Agustus 2004
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004
NOMOR 90.
128

LAMPIRAN SURAT KEPUTUSAN

129

130

Anda mungkin juga menyukai