Anda di halaman 1dari 127

POLITIK HUKUM AGRARIA

Gagasan Pendirian Pengadilan Agraria Perspektif DPD RI

© Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Daerah


Republik Indonesia, 2014
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang memperbanyak atau mengutip sebagian
atau seluruh isi buku tanpa ijin tertulis dari penerbit
Isi di luar tanggungjawab percetakan.

PENASEHAT:
Pimpinan Komite I DPD RI
Sekretaris Jenderal DPD RI
Wakil Sekretaris Jenderal DPD RI

PENANGGUNGJAWAB:
Adam Bachtiar. SH., MH.
Dra. Mesranian, MDev.Plg.
Indra Hardiansyah, S.IP., MM.
Muhamad Ilham Nur Rizal, SH

PENULIS:
Tim Kerja RUU Pengadilan Agraria
Dr. Moh. Fadli, SH., MH.
Dr. Fendi Setyawan, SH., MH.
Dr. Jazim Hamidi, SH., MH.
Drs. Idham Arsyad, M. Ag.

EDITOR:
Yance Arizona, SH, MH
Dr. Moh. Fadli, SH., MH.
Wahyu Taufik, SH
Betria Eriani, SE

ILUSTRATOR
Haris Agustin
Muhammad Sidik Permana
Budi Pratama
Kiki Yanuar Setiawan

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
Kata Pengantar Ketua Komite I DPD RI …………………….6
Pengantar Editor: Pengadilan Agraria dan Pemulihan Hak
Kewarganegaraan ………………………………………… 8

BAB I PENDAHULUAN........................................................ 15
A. Problematika Akut Sengketa Agraria ........................... 15
B. Pertanyaan/Masalah Pokok (Crusiel Question) ............. 23
C. Tujuan dan Kegunaan Pembentukan Pengadilan
Agraria…………………….............................................. 23

BAB II DISKURSUS TEORETIS DAN EMPIRIS PEMBENTUKAN


PENGADILAN AGRARIA ............................................... 25
A. Diskursus Teoretis ..................................................... 25
1. Agraria dan Sumber Daya Alam dalam Pengaturan
Hukum Agraria............................................................ 25
2. Hubungan-Hubungan Agraria...................................... 27
3. Struktur Agraria...........................................................29
4. Konflik Agraria............................................................. 31
B. Diskursus Empiris ..................................................... 33
1. Potret Konflik dan Sengketa Agraria Yang Semakin
Meluas....................................................................... 34
2. In-efektivitas Lembaga Peradilan Dalam Menyelesaikan
Konflik Agraria............................................................. 39
3. Urgensi Pembentukan Undang-Undang Pengadilan
Agraria......................................................................... 43
BAB III SINKRONISASI DAN HARMONISASI PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT DENGAN PEMBENTUKAN
PENGADILAN AGRARIA ........................................... 46
A. Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945............ 46
3
B. TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria
dan Pengelolaan Sumber Daya Alam............................ 48
C. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria.......................................... 54
1. Latar Belakang Pengaturan Undang-Undang Pokok
Agraria....................................................................... 54
2. Dasar-Dasar Hukum Agraria Nasional........................56
3. Dasar-Dasar untuk Mengadakan Kesatuan dan
Kesederhanaan Hukum Pertanahan
............................................. 65
4. Dasar-Dasar untuk Menciptakan Kepastian Hukum.. 67
D. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman................................................ 67
E. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan
Perubahan Kedua dengan Undang-Undang 3 Tahun
2009..............................................................................70
F. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2004 dan Perubahan Kedua
dengan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009...........76

BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS


PEMBENTUKAN PENGADILAN AGRARIA ................. 83
A. Landasan Filosofis ...................................................... 83
B. Landasan Sosiologis .................................................. 87
C. Landasan Yuridis ......................................................90

BAB V POLITIK HUKUM PEMBENTUKAN PENGADILAN AGRARIA


............................... 93
A. Paradigma yang Dibangun .............................................. 93

4
B. Ruang Lingkup dan Materi Muatan RUU Pengadilan Agraria
.................................. 93
1. Ketentuan Umum
2. Asas
3. Kedudukan dan Tempat Kedudukan
4. Lingkup Kewenangan
5. Susunan Pengadilan Agraria
6. Hukum Acara
7. Transparansi dan Akuntabilitas

BAB VI PENUTUP .................................................................... 119

DAFTAR PUSTAKA

5
Kata Pengantar
Ketua Komite I DPD RI

Sengketa dan konflik agraria telah terjadi di banyak tempat di penjuru


negeri. Permasalahan ini bukanlah permasalahan sambil lalu yang bisa
diabaikan begitu saja. Permasalahan sengketa dan konflik agraria telah
mengakibatkan banyak korban yang kehilangan tanah, tempat tinggal,
mata pencaharian, keluarga dan menjadikan beban hidup menjadi semakin
berat. Padahal tujuan negara ini dibentuk,, sebagaimana diamanatkan
dalam pembukaan UUD 1945, adalah untuk melindungi segenap bangsa
dan seluruh tumpah darah Indonesia. Oleh karena itu, upaya untuk
menyelesaikan segala macam sengketa dan konflik agrarian yang
menyebabkan penderitaan anak bangsa, merupakana upaya untuk
mencapai cita-cita konstitusi dan oleh karena itu pula perlu dijadikan
sebagai agenda konstitusional.
Dalam menjalankan kewenanganya pengawasan yang dimiliki, DPD
RI telah berkali-kali menerima laporan dari konstituen dari berbagai daerah
mengenai permasalahan sengketa dan konflik agrarian yang dialaminya.
Baik itu berkaitan dengan persoalan kehutanan, pertambangan, kelautan,
perkebunanan dan kegiatan pertanian lainnya. Bahkan pada tahun 2013
DPD RI merespons berbagai permasalahan sengketa dan konflik agrarian
tersebut dengan membentuk Panitia Khusus Konflik Agraria dan Sumber
Daya Alam DPD RI. Hasil dari kerja panitia tersebut kemudian diputuskan
dalam Keputusan DPD RI No. 63/DPD RI/IV/2012-2013. DPD RI sangat
menyadari bahwa eskalasi konflik keagrariaan yang semakin meningkat
dan meluas memerlukan segera upaya penyelesaian sengketa secara
menyeluruh, sistematis, berkepastian hukum, dan berkeadilan. Fakta
menunjukkan bahwa ketiadaan mekanisme dan lembaga khusus yang
menangani konflik agraria secara pasti, telah mendorong timbulnya
kekerasan dalam setiap konflik agraria. Oleh karena itu, DPD RI kemudian
menyiapkan RUU tentang Pengadilan Agraria untuk mengisi situasi kosong

6
dan kurang memadainya institusi hukum yang ada untuk menyelesaikan
sengketa dan konflik agraria.
Buku yang ada ditangan Anda ini merupakan kristalisasi dari
gagasan rakyat Indonesia yang disampaikan melalui DPD RI untuk
membentuk pengadilan khusus yang menangani masalah sengketa dan
konflik agraria yang telah disusun ke dalam naskah akademik. Naskah
akademik RUU Pengadilan Agraria kemudian disunting untuk menjadi
sebuah buku sehingga lebih mudah dibaca dan dipahami oleh masyarakat,
para pengambil kebijakan dan juga para akademisi untuk bisa melakukan
kajian yang lebih dalam mengenai gagasan untuk pembentukan Pengadilan
Agraria.
Atas terbitnya buku ini kami mengucapkan terimakasih kepada
seluruh anggota DPD RI, terutama Komite I DPD RI dan juga Panitia
Khusus Konflik Agraria dan Sumber Daya Alam DPD RI. Kami juga
berterimakasih kepada para staf ahli, akademisi, organisasi non-
pemerintahan dan masyarakat yang telah memberikan masukan yang
sangat berarti dalam pertemuan-pertemuan yang diadakan oleh DPD RI
untuk menyusun RUU Pengadilan Agraria. Semoga buku ini semakin
meningkatka kesadaran akan pentingnya untuk segera membentuk
pengadilan khusus untuk yang memiliki kewenangan menyelesaikan
sengketa dan konflik agraria agar mampu menjadi institusi yang efektif
guna mencapai keadilan agraria.

Ketua Komite I DPD RI

H. Alirman Sori, SH, MHum, MM.

7
Pengantar Editor:
Pengadilan Agraria dan Pemulihan Hak
Kewarganegaraan

Sengketa dan konflik agraria semakin massif dan meluas. Masih segar
dalam ingatan kita bagaimana konflik di Mesuji, Lampung pada tahun 2012
yang berujung pada tewasnya sejumlah pihak yang bertikai. Baru-baru ini
di Karawang petani menolak eksekusi 350 Ha lahan tempat mereka hidup
dan mencari penghidupan yang dilakukan atas dalih melaksanakan
putusan pengadilan yang memenangkan PT. Sumber Air Mas Pratama
(SAMP) yang telah diakuisisi oleh PT Agung Podomoro Land (APL) atas lahan
masyarakat. Kekerasan dan intimidasi tak terelakan. Masyarakat
berhadapan dengan sekitar 7.000 aparat bersenjata lengkap hendak
melakukan eksekusi. Sembilan petani dan empat buruh yang melakukan
aksi menolak eksekusi ditangkap, 10 buruh, lima petani dan satu
mahasiswa luka-luka, satu petani diantaranya luka tembak serta puluhan
lainnya luka-luka.
Protes masyarakat hadir karena mereka menilai putusan pengadilan
tidak adil karena mengusir mereka yang telah tinggal lama disana,
membangun kampong menjadi desa definitif dan mempunyia perangkat
desa, fasilitas umum dan sosial untuk masyarakat yang berjumlah 420 KK.
Tak berapa lama setelah bentrok antara petani dengan pihak
keamanan dalam proses eksekusi, pada tanggal 17-18 Juli 2014 Komisi
Pemberantasan Korupsi melakukan operasi tangkap tangan terhadap
Bupati Karawang (Ade Swara) bersama istri dan enam orang lainnya
termasuk pihak perwakilan dari PT. Agung Podomoro Land. Tangkap tangan
itu terkait dugaan gratifikasi dalam pengurusan izin tata ruang untuk
mempergunakan tanah yang sedang mengalami konflik dengan petani.
Operasi ini menunjukan bahwa permasalahan dibalik permasalahan konflik
agraria ada saja pihak-pihak yang melakukan cara kotor untuk
mengalahkan masyarakat.

8
Pada waktu yang hampir bersamaan, sejumlah ibu-ibu di Kabupaten
Rembang melakukan protes terhadap perusahaan PT. Semen Gresik
(sekarang PT. Semen Indonesia) yang melakukan operasi pembukaan
tambang karst di pengunungan Kendeng yang hanya berjarak 500 meter
dari pemukiman dan lahan pertanian mereka. Pasti pembangunan pabrik
semen itu akan berdampak kepada masyarakat sekitar yang akan
menghirup debu-debu yang hinggap di atas rumah dan ditanaman-tanam
hasil pertanian mereka.
Situasi konflik ini masih menunjukan bahwa hukum belum mampu
tampil menjadi kekuatan penyeimbang antara orang kecil dihadapan
penguasa. Malah seringkali institusi hukum melegitimasi tindakan-
tindakan yang tidak memihak kepada orang kecil. Hal ini sekaligus
memberikan penegasan bahwa institusi penegakan hukum belum memadai
untuk menyelesaikan permasalahan sengketa dan konflik agraria yang
semakin massif dan meluas.
Kurang memadainya institusi penegak hukum untuk menyelesaikan
sengketa dan konflik agraria itu kemudian membuat DPD RI mengambil
inisiatif untuk menyiapkan Rancangan Undang-Undang tentang Pengadilan
Agraria. Pengadilan Agraria diharapkan bisa menjadi salah satu solusi
untuk menyelesaikan sengketa dan konflik agraria dan memberikan
keadilan agraria sebagaimana dikehendaki oleh Pancasila dan UUD 1945.
Beberapa hal pokok yang menjadikan Pengadilan Agraria ini baru dan
relevan untuk menyelesaikan masalah sengketa dan konflik agraria
sehingga menjadi argumen yang diajukan di dalam buku ini antara lain: 1
Pertama, adanya penegasan bahwa penyelesaian sengketa dan konflik
agraria merupakan tuntutan pemenuhan jaminan konstitusional mengenai
keadilan agraria sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI
Tahun 1945 bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat”. Keberadaan pengadilan agraria merupakan sarana
untuk memenuhi janji konstitusi agar sumber-sumber agraria bisa
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

11
Lihat Bab I bagian pendahuluan untuk penjelasan lebih lanjut mengenai relevansi Pengadilan Agraria.

9
Kedua, secara sosiologis meluasnya konflik agraria dengan segala
dampak yang ditimbulkanya pertanda sebuah kegagalan berfungsinya
lembaga-lembaga peradilan yang ada sekarang dalam menyelesaikan
sengketa dan/atau konflik agraria. Penciptaan Pengadilan Agraria
merupakan gagasan baru yang tidak berarti menghidupkan Pengadilan
Landreform yang pernah dibuat untuk menyelesaikan masalah-masalah
yang terjadi karena pelaksanaan program landreform pada tahun 1960-an.
Pengadilan Agraria dibentuk untuk merombak struktur peradilan sehingga
diharapkan pada masing-masing daerah akan ada pengadilan khusus yang
dikelola oleh orang yang ahli di bidang agraria untuk menyelesaikan
masalah-masalah berkaitan dengan sengketa dan konflik agraria.
Ketiga, gagasan pembentukan Pengadilan Agraria diiringi dengan
paradigma baru dalam melihat konflik agraria, bukan lagi sebagai masalah
yang bersifat ordinary melainkan sudah menjadi masalah yang bersifat
extra ordinary. Oleh karena itu, untuk menjawab masalah yang extra
ordinary dibutuhkan langkah-langkah yang extra ordinary yakni perlu
adanya sebuah Pengadilan Agraria yang memiliki kekhususan
dibandingkan dengan mekanisme yang sudah ada selama ini.
Keempat, kehadiran Pengadilan Agraria yang dibangun sebagai
peradilan yang transparan dan kredibel akan menghadirkan penerimaan
masyarakat. Hal ini memiliki korelasi dengan problem psikologis dan
prosedural. Problem psikologis sebenarnya sangat erat kaitannya dengan
akseptabilitas sosial khususnya “endangered community”. Problem
psikologis ini sangat penting untuk dipecahkan terutama ketika kemudian
menghadapkan masyarakat yang masuk dalam “endangered community”
dihadapkan pada sebuah kosa kata peradilan yang berdasarkan
pengalaman dalam bersentuhan dengan “peradilan“ selama ini pandangan
masyarakat terhadap “peradilan” relatif tidak begitu baik. Dalam kata lain
tingkat kepercayaan masyarakat pada putusan pengadilan masih dirasakan
belum memenuhi rasa keadilan. Oleh karena itu, kehadiran sebuah
institusi pengadilan dengan pendekatan baru akan memberikan harapan
kepercayaan kepada masyarakat.

10
Sengketa hak dan sengketa kepentingan
Pengadilan Agraria dirancang untuk menyelesaikan perkara agraria, yaitu
perkara perdata yang timbul dalam pelaksanaan peraturan perundang-
undangan di bidang tanah, hutan, air, dan tambang. Perkara agraria yang
diselesaikan melalui Pengadilan Agraria adalah sengketa, yaitu perbedaan
pendapat yang mengakibatkan pertentangan antarsubyek hukum karena
adanya perselisihan mengenai hak atau kepentingan terkait penguasaan,
pemilikan dan pemanfaatan sumber daya agraria.
Dalam kaitannya dengan perkara agraria, sengketa dibagi dalam dua
jenis yaitu sengketa hak dan sengketa kepentingan. Penjelasan tentang
kedua sengketa ini sebagai berikut:
 Sengketa hak adalah perselisihan yang timbul karena adanya
pelanggaran terhadap hak penguasaan, kepemilikan dan pemanfaatan
sumber daya agraria yang dimiliki perseorangan atau badan hukum.
 Sengketa kepentingan adalah perselisihan yang timbul karena adanya
ketimpangan dan ketidakadilan dalam penguasaan, kepemilikan dan
pemanfaatan dibidang sumber daya agraria antara kelompok
masyarakat dengan orang atau badan hukum yang menguasai sumber
daya agraria dalam skala besar.
Pembagian kedalam dua jenis sengketa itu menjadikan Pengadilan
Agraria ini berbeda karena lembaga ini tidak saja menyelesaikan sengketa
karena adanya pertentangan klaim atas sumber-sumber agraria yang
umumnya bersifat individual, tetapi juga menangani sengketa kepentingan
yang terjadi karena ketimpangan dan ketidakadilan agraria. Jenis sengketa
kepentingan ini bersifat structural dan umumnya kolektif atau komunal
yang melibatkan banyak orang. Dalam hal ini termasuk pula mengadili
perampasan tanah yang dapat timbul dari pelaksanaan kebijakan oleh
pemerintah. Selama ini sengketa kepentingan, atau dengan kata lain konflik
agraria, tidak bisa disentuh oleh lembaga peradilan yang tersedia. Dengan
diterimanya kewenangan Pengadilan Agraria untuk menangani konflik
agraria, maka konflik agraria yang selama tidak terselesaikan dengan baik
bisa diajukan ke pengadilan agraria.

11
Selain itu, lingkup sengketa agraria yang diadili melalui Pengadilan
Agraria adalah sengketa yang menyangkut penguasaa, pemilikan, dan
pemanfaatan sumber daya alam yang meliputi bidang pertanahan,
kehutanan, perairan, dan pertambangan. Empat bidang ini merupakan
bidang yang sangat luas, namun penegasan lingkup yang luas tersebut bisa
membantu untuk menyelesaikan permasalahan agraria yang terkadang
terjadi lintas sektor. Oleh karena itu, Pengadilan Agraria tidak saja
dihadirkan untuk mengadili masalah tanah pertanian, tetapi juga yang
berkaitan dengan kehutanan, perairan, dan pertambangan.

Aspek khusus dalam hukum acara


Pengadilan Agraria dirancang sebagai pengadilan khusus dan oleh karena
itu memiliki sejumlah kekhususan. Beberapa kekhususan yang utama
antara lain mengenai biaya perkara. Selama ini masyarakat enggan datang
ke pengadilan selain karena mekanisme peradilan itu asing bagi mereka,
juga karena besarnya biaya yang harus mereka keluarkan untuk
berperkara. Sehingga pengadilan agraria yang dibentuk harus bisa
memberikan aksesibilitas kepada masyarakat. Salah satu mekanisme yang
diatur kemudian adalah memberikan pembebasan biaya perkara, khusus
untuk perkara yang nilai gugatannya dibawah dua ratus lima puluh juta
rupiah.
Hukum acara dalam Pengadilan Agraria dibentuk untuk mencari
keadilan materil. Hal ini berbeda dengan pengadilan Perdata yang
dilakukan untuk menemukan kebenaran formil. Namun upaya mengadili
dalam berperkara di Pengadilan Agraria bukanlah satu-satunya mekanisme
penyelesaian. Sebelum suatu sengketa diselesaikan oleh hakim pada
Pengadilan Agraria, terlebih dahulu menawarkan kepada para pihak agar
perkara tersebut diselesaikan melalui mediasi maupun konsiliasi. Peradilan
perdata pada umunya telah menerima lembaga mediasi, namun waktu
untuk mediasi dalam Pengadilan Agraria dapat diperpanjang apabila
nampak itikad baik dari para pihak untuk menyelesaikan permasalahan
secara damai.

12
Aspek khusus lain yang diatur dalam hukum acara adalah diakuinya
bukti-bukti tidak tertulis sebagai basis klaim masyarakat dalam sengketa
dan konflik agraria. Selama ini masyarakat selalu dikalahkan karena
peradilan formal mengandalkan bukti-bukti formal terutama surat dan
sertipikat tanah yang seringkali tidak dimiliki oleh masyarkat. Tidak ada
bukti tertulis bukan berarti masyarakat tidak memiliki tanah yang
disengketakan. Oleh karena itu, alat bukti yang diperluas sampai pada
bukti-bukti informal atau non-formal menjadi penting untuk mencapai
kebenaran materil dalam penyelesaian sengketa dan konflik agraria.
Pada umumnya pengadilan yang bersifat perdata memberikan beban
pembuktian kepada pihak yang mengajukan gugatan. Siapa yang
menggugat dialah yang harus mengajukan bukti dan dalil-dalil dari
gugatannya. Namun berbeda dalam pengadilan agraria, khususnya untuk
sengketa kepentingan (konflik agraria), beban pembuktian bisa dikenakan
kepada pihak tergugat. Dalam hal ini misalkan ketika satu kelompok
masyarakat sedang mengalami sengketa kepentingan (konflik agraria)
karena wilayah mereka diklaim oleh Kementerian Kehutanan sebagai
kawasan hutan, maka kelompok masyarakat itu bisa mengajukan gugatan
kemudian pihak kementerian kehutanan terlebih dahulu harus
memaparkan bukti secara sahih bahwa wilayah yang diklaimnya itu secara
procedural telah dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
dan melibatkan partisipasi masyarakat. Diterimanya pembebanan terbalik
pembuktian atau dikenal pula dengan asas pembuktian terbalik merupakan
terobosan hukum yang paling mendasar dalam sistem hukum Indonesia.

Memulihkan kewarganegaraan
Gagasan untuk melahirkan pengadilan agraria harus diletakan pada
konteks sosial dimana permasalahan sengketa dan konflik agraria telah
berlangsung semakin massif dan meluas. Negara harus hadir melakukan
intervensi untuk mengatasi hal tersebut sebelum situasi lebih jauh tampil
dalam bentuk keresahaan agraria yang semakin parah. Tugas pemerintah
untuk menghadirkan mekanisme penyelesaian permasalahan agraria

13
merupakan langkah strategis untuk memenuhi jaminan keadilan sosial dan
keadilan agraria yang terdapat di dalam Pancasila dan UUD 1945.
UUD 1945 telah memberikan dasar bahwa hak milik atas tanah, hak
mendapatkan manfaat, penghidupan yang layak serta memperoleh manfaat
dari penggunaan sumber-sumber-sumber agraria merupakan hak
konstitusional warga negara. Penegasan bahwa hak atas tanah dan sumber
daya agraria lainnya merupakan hak warga negara merupakan fondasi
penting untuk melakukan penataan hubungan antara rakyat dan negara.
Ketika hak atas tanah sumber daya agraria lainnya merupakan hak warga
negara, maka secara timbal balik adalah kewajiban dari negara untuk
menghormati, melindungi dan memenuhi hak warga negara tersebut.
Dengan demikian, negara harus mengambil langkah-langkah strategis
terhadap pelanggaran hak warga negara atas tanah dan sumber-sumber
agraria lainnya.
Inisiatif DPD RI untuk melalukan perancangan Undang-Undang
Pengadilan Agraria merupakan upaya untuk menghadirkan negara sebagai
pihak yang memiliki tanggungjawab dalam menyelesaikan sengketa dan
konflik agraria. Dalam diskursus hak asasi manusia, pembentukan
pengadilan sebagai sarana untuk menegakan hak asasi manusia
merupakan langkah untuk membuat hak asasi manusia menjadi dapat
dibenarkan (justifiable). Pembentukan Pengadilan Agraria telah sejalan
dengan semangat yang menghargai hak asasi manusia dan negara hukum
yang telah disepakati sebagai sendi dari pembangunan Republik Indonesia.
Melihat konteks permasalahan sengketa dan konflik agraria yang semakin
mengkhawatirkan, maka pembentukan Pengadilan Agraria haruslah
menjadi prioritas pemerintahan yang berkuasa.

Penyunting
Yance Arizona

14
BAB I
PENDAHULUAN

A. Problematika Akut Sengketa Agraria


Gagasan pendirian lembaga Pengadilan Agraria bukanlah suatu hal yang a-
historis atau muncul secara tiba-tiba, melainkan sudah ada sejak masa
kolonial atau bahkan sejak masa kerajaan dan/atau kesultanan
nusantara.2 Menurut catatan sejarah bahwa lembaga sejenis pengadilan
agraria yang pertama kali diakui oleh Pemerintah Belanda yaitu lembaga
pengadilan adat yang salah satu kompetensinya menyelesaikan sengketa
pertanahan antara masyarakat dengan masyarakat (individu maupun
kolektif) dan antara individu/masyarakat dengan penguasa. Lembaga
pengadilan tersebut sengaja dibentuk dan disediakan bagi para pencari
keadilan bumi putera (in-landers) atas sumber daya agraria yang
disengketakan di antara mereka. Mekanisme penyelesaian sengketa pada
lembaga pengadilan tersebut diselesaikan oleh hakim lokal yang terdiri dari
para pemimpin masyarakat adat, tokoh petani, maupun tokoh masyarakat
sendiri dan tunduk pada sub-sistem hukum adat (het adat rechts). Model
penyelesaian sengketa agraria ini dipilih karena dianggapnya lebih
memenuhi rasa keadilan dan kesadaran hukum masyarakat waktu itu.
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah Orde Lama pernah
memberlakukan program landreform secara terbatas sebagai implementasi
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (selanjutnya disebut UUPA) beserta peraturan pelaksanaannya.
Pada waktu itulah dibentuk Pengadilan landreform melalui Undang-Undang
No. 21 Tahun 1964 yang bersifat khusus mengadili sengketa yang timbul
dari pelaksanaan program landreform. Namun sayang lembaga pengadilan
tersebut usianya tidak lama dan akhirnya dihapus pada tahun 1970 oleh

2 Lebih lanjut periksa Nur Aini Setiawan, Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat:

Pola Pemilikan dan Sengketa Tanah Di Kota Yogyakarta Setelah Reorganisasi 1917, Sains
Sajogyo Institute – STPN Press, Yogyakarta, 2011, hlm. 64-133.

15
pemerintah Orde Baru karena dipandang menghambat program
pembangunan ekonomi yang kapitalistik oligarkis.3
Era posta Orde Baru Mei 1998 yang ditandai dengan krisis multi
dimensi telah melahirkan tuntutan reformasi di segala bidang, termasuk
tuntutan untuk menjalankan program reforma agraria untuk mengatasi
ketimpangan struktur agraria dan penyelesaian sengketa dan konflik
agraria. Pada era ini, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM)
bersama dengan Konsorsium Pembaruan Agraria mendorong dibentuknya
Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA) yang secara
khusus menangani konflik-konflik agraria di masa lalu. Komisi ini sebagai
lembaga transisi untuk menangani konflik-konflik agraria ditengah tidak
adanya peradilan agraria sementara konflik agraria terus terjadi.
Sayangnya usulan pembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian
Konflik Agraria (KNuPKA) tidak mendapat respon di masa pemerintahan
Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden menolak pembentukan
KNuPKA karena menganggap belum terlalu penting lembaga tersebut dan
mengusulkan untuk menguatkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk
menangani dan menyelesaikan konflik-konflik agraria di Indonesia.
Tuntutan penyelesaian konflik agraria juga berhasil masuk ke
panggung politik kebijakan yang ditandai dengan Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) pada tanggal 9 November 2001 menghasilkan Ketetapan MPR
No. IX/MPR/2001 tentang Reforma Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya
Alam.4 Salah satu mandat yang harus dijalankan baik oleh Presiden
maupun DPR RI adalah penyelesaian konflik agraria, namun sampai saat
ini mandat TAP MPR tersebut belum dijalankan.

3 Guna memperdalam dinamika Pangadilan Landreform ini, simak buku: Aristiono


Nugroho dkk., Ngadangan Kontemporer: Implikasi Sosial Landreforn Lokal, STPN Press,
Yogyakarta, 2011, hlm. 1-7; Arya W. Wirayuda, Dari Klaim Sepihak hingga Landrefrom
(Konflik Penguasaan Tanah di Surabaya 1959-1967), STPN Press, Yogyakarta, 2011, hlm.
85-101.
4 Periksa Pasal 4 huruf (c), Pasal 5 ayat (1) dan (2) Ketetapan MPR No.
IX/MPR/2001.

16
Melalui Kertas Posisi Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) No. 10
Tahun 2001, KPA mengajukan empat argumentasi mendasar mengapa
Pengadilan Agraria harus didirikan yaitu:5
1. Memungkinkan rakyat mengadukan tanahnya yang dirampas pada masa
lalu;
2. Menguatkan posisi rakyat dalam hal kepemilikan tanah;
3. Memungkinkan rakyat mendapatkan keadilan melalui pemulihan,
penggantian terhadap kerugian hak-hak yang dirampas oleh proses
masa lalu;
4. Memungkinkan satu terobosan hukum yang menjadi pintu masuk untuk
merekonstruksi sistem hukum yang tidak memenuhi rasa keadilan
rakyat.
Tuntutan pendirian Pengadilan Agraria kembali diwacanakan kepada
publik pada tanggal 11 dan 12 Oktober 2005 oleh beberapa kalangan
masyarakat, khususnya para advokat. Mereka mensinyalir bahwa tuntutan
gugatan sengketa agraria ke Pengadilan Umum telah menimbulkan banyak
keluhan, tegasnya berupa rasa tidak percaya karena beberapa faktor yang
melatar belakangi di antaranya: putusan pengadilan yang tidak memenuhi
rasa keadilan masyarakat, kinerja pelayanan sumber daya manusia (SDM)
agraria yang kurang baik, serta adanya campur tangan pihak ketiga yang
dapat mempengaruhi imparsialitas putusan sang hakim.
Konflik agraria hingga usia reformasi yang ke enam belas (tahun 2014)
ini terus terjadi bahkan semakin marak dan merata di seluruh wilayah
Indonesia. Eskalasi konflik keagrariaan ini tentu memerlukan segera upaya
penyelesaian sengketa secara menyeluruh, sistematis, berkepastian hukum,
dan berkeadilan. Fakta menunjukkan bahwa ketiadaan mekanisme dan
lembaga khusus yang menangani konflik agraria secara pasti, telah
mendorong timbulnya kekerasan dalam setiap konflik agraria. Puncak dari

5 Imam Koeswahyono, Gagasan Pembentukan Pengadilan Agraria (Telaah Bagi

Kontribusi Rancangan Undang-Undang Pengadilan Agraria), Kertas Kerja dalm bentuk


Makalah yang disampaikan dalam Forum Diskusi Komite 1 DPD RI, Gedung B, Lantai 2
DPD RI Senayan, Jakarta, 17 Juni 2013, hlm. 5-6.

17
semua bentuk kekerasan dalam konflik keagrariaan tersebut telah memicu
jatuhnya korban jiwa dari masyarakat yang tidak berdosa.6
Tahun 2011 misalnya, jumlah konflik agraria mencapai 163 kasus
dengan luas tanah yang disengketakan sekitar 472 ribu hektar dan telah
mengakibatkan sekitar 69.975 KK menjadi korban; 22 orang tewas, 34
orang tertembak, 275 orang ditahan, dan 147 orang mengalami
penganiayaan.7 Berbagai konflik agraria tersebut disadari telah
mengakibatkan: Pertama, hilangnya akses masyarakat terhadap sumber-
sumber agraria. Kedua, kerusakan struktur sosial masyarakat yang
didasari atas struktur agraria yang timpang, dan ketiga, terjadi kerusakan
mutu ekologi yang berkait langsung dengan turunan mutu manusia yang
kehidupannya bergantung terhadap sumber daya agraria. Karena itu,
penyelesaian konflik agraria sesungguhnya bukan sekedar untuk
mengakhiri kekerasan supaya tidak berulang, tetapi lebih jauh adalah
untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Penyelesaian konflik agraria selama ini masih mencerminkan adanya
suatu keadaan yang tidak memuaskan dan/atau tidak memenuhi rasa
keadilan, khususnya bagi kelompok-kelompok tertentu yang mengandalkan
hidup dari tanah dan kekayaan alam, seperti kaum petani, nelayan, dan
masyarakat adat. Bagi mereka, penguasaan atas tanah dan kekayaan alam
adalah syarat mutlak bagi keselamatan dan keberlanjutan hidup mereka.
Namun, konflik agraria telah memporakporandakan syarat keberlanjutan
hidup mereka. Bersamaan dengan ketidakpuasan dan ketidakadilan dalam
konflik tersebut, melekat sejumlah kekerasan, penyingkiran, eksploitasi dan
penindasan baik yang dilakukan oleh aparatur negara, perusahaan-
perusahaan berskala raksasa, maupun proyek-proyek lain.
Kekerasan, penyingkiran, dan penindasan yang dilakukan itu
tercermin dari sejumlah kebijakan publik yang tidak memihak pada

6Data base Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) telah merekam bahwa dari 1.753
kasus konflik agraria di sepanjang Tahun 1970 – 2001 telah merambah 11 juta hektar
tanah dan telah mengakibatkan sekitar 1 juta kepala keluarga (KK) menjadi korban. Dari
ribuan kasus ini ternyata hanya sekitar 7,6 % yang masuk pengadilan dan sebagian besar
berakhir dengan kekalahan di pihak warga. Selanjutnya lihat Lampiran Keputusan DPD RI
No. 63/DPD RI/IV/2012-2013 tentang Rekomendasi Panitia Khusus Konflik Agraria dan
Sumber Daya Alam DPD RI, 2013, hlm. 2-3.
7Ibid., hlm. 3.

18
aspirasi dan kepentingan-kepentingan korban, khususnya petani-petani
kecil dan miskin yang pada umumnya menguasai tanah sangat sedikit atau
bahkan tidak sama sekali (landless). Kelompok-kelompok petani yang
menguasai tanah agak besar atau yang menguasai tanah luas sekali pun
bisa saja mengalami ketidakadilan dan kekerasan yang dilakukan oleh
negara dan aparatnya tersebut manakala tanah-tanah hak milik atau yang
berada dalam penguasaannya dialihkan haknya kepada pihak lain, dengan
pengganti kerugian yang tidak memadai atau tanpa penggantian sama
sekali, yang dalam hal ini kekuatan hukum dan politik termasuk kekuatan
militer dan birokrasi dipergunakan secara efektif.
Komite I DPD-RI memandang bahwa berbagai konflik agraria yang
terjadi di Indonesia telah mengakibatkan berbagai dampak baik secara
ekonomi, sosial, dan lingkungan. Secara ekonomi konflik telah memaksa
pihak yang terlibat untuk mengeluarkan biaya. Dampak lanjutannya adalah
penurunan produktivitas kerja atau usaha karena selama sengketa yang
berlangsung, pihak-pihak yang terlibat harus mencurahkan tenaga dan
pikirannya serta meluangkan waktu khusus. Pada saat hak ekonomi dan
sosial masyarakat lokal terganggu dan bahkan terancam hilang oleh
aktivitas perusahaan maka tanpa disadari akan melahirkan sebuah konflik
dalam pengelolaan sumber daya alam. Kondisi ini, menstimulasikan
terjadinya resistensi dari masyarakat terhadap kehadiran perusahaan.
Sehubungan dengan hal tersebut, Komite I DPD-RI memandang perlu
menyusun Rancangan Undang-Undang Pengadilan Agraria yang secara
khusus akan mengatur dan menangani sengketa dan konflik agraria.
Keberadaan pengadilan khusus ini selain bertujuan untuk mendapatkan
kepastian hukum bagi pihak yang bersengketa, juga untuk menyelesaikan
berbagai konflik agraria secara berkeadilan dengan menjunjung tinggi hak-
hak masyarakat sehingga tujuan dari penguasaan negara atas sumber-
sumber agraria untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dan bangsa
Indonesia dapat tercapai.
Penyusunan RUU Pengadilan Agraria telah menjadi keputusan dalam
Rapat Pleno Komite I DPD-RI yang didasari berbagai pertimbangan:
Pertama, banyaknya laporan dan pengaduan konflik agraria yang diterima

19
oleh DPD RI yang tidak mendapatkan penanganan yang serius, menyeluruh
dan berkeadilan. Bahkan kecenderungan yang terjadi adalah penanganan
konflik bersifat parsial atau kasuistik dan tidak menyentuh pada akar
persoalan konflik.
Kedua, konflik agraria adalah situasi yang extra-ordinary sehingga
perlu penanganan yang juga bersifat extra-ordinary. Disebut extra-ordinary
karena konflik agraria yang bersifat struktural, dimana pihak yang
berkonflik banyak melibatkan antara masyarakat atau komunitas dengan
badan-badan usaha milik swasta maupun pemerintah. Ketiga, salah satu
rekomendasi Pansus Agraria dan Sumber Daya Alam DPD RI yang penting
diperhatikan terkait dengan penyelesaian konflik agraria di masa
mendatang adalah melakukan kajian pembentukan pengadilan khusus
agraria. Hal ini, selain untuk mendapatkan kepastian hukum, keberadaan
pengadilan khusus ini juga untuk menyelesaikan berbagai konflik agraria
secara berkeadilan dengan menjunjung tinggi hak-hak masyarakat sehingga
tujuan dari penguasaan negara atas sumber-sumber agraria untuk
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dan bangsa Indonesia dapat
tercapai.
Argumen-argumen pokok perlunya pembentukan Pengadilan Agraria
ini adalah: Pertama, adanya tuntutan pemenuhan prinsip fundamental
kehidupan manusia yaitu sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 Ayat (3)
UUD NRI Tahun 1945 bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Artinya secara filosofis, DPD RI merasa
berkewajiban memperjuangkan keberhasilan mewujudkan pendirian
Pengadilan Agraria ini. Kedua, fakta sosiologis menunjukkan bahwa
meluasnya konflik agraria dengan segala dampak yang ditimbulkanya
pertanda sebuah kegagalan berfungsinya lembaga-lembaga peradilan yang
ada sekarang dalam menyelesaikan sengketa dan/atau konflik agraria.
Realitas tersebut dapat dimaknai bahwa peran pemerintah (melalui lembaga
peradilan) di masa lalu atas desakan kekuatan-kekuatan pemilik modal
dalam penyelesaian sengketa dan/atau konflik agraria yang “timpang” itu,
merupakan refleksi dari ketidak-mampuan tata kelola kehidupan bernegara

20
yang demokratis atau jauh dari penegakan prinsip-prinsip negera yang
berdasarkan hukum (rechtsstaat).
Penciptaan Pengadilan Agraria tidak berarti menghidupkan kembali
UU No. 21 Tahun 1964 tentang Pengadilan Landreform, tetapi lebih
mengacu kepada corak-corak sengketa dan model penanganannya.8
Manakala sengketa pertanahan atau agraria hanya dijadikan bagian dari
penyebab terjadinya tindak pidana atau hanya sekedar menjadi persoalan
perdata, makna tanah sebagai sumber kehidupan yang memiliki dimensi
sosial-politik-ekonomi-religius menjadi hilang. Padahal keempat ciri ini
tidak pernah lepas dari kehidupan masyarakat Indonesia yang
berhubungan dengan tanah dan/atau sumber-sumber agraria lainnya.
Konflik agraria yang saat ini terjadi dan masih terus terjadi sudah turut
membantu menguak sisi gelap hubungan ketatanegaraan di Indonesia
selama masa Orde Baru. Sehingga penciptaan Pengadilan Agraria yang
independen bisa menjadi pintu masuk untuk memperbaiki sisi gelap
hubungan ini.
Ketiga, pembentukan lembaga Pengadilan Agraria merupakan
paradigma baru dalam melihat konflik agraria. Konflik agraria tidak lagi
dianggap sebagai masalah yang bersifat ordinary melainkan sudah menjadi
masalah yang bersifat extra ordinary. Oleh karena itu, untuk menjawab
masalah yang extra ordinary dibutuhkan langkah-langkah yang extra
ordinary yakni perlu adanya sebuah Pengadilan Agraria. Keberadaan
Pengadilan Agraria ini, tidak saja untuk kepentingan kekinian dalam
menyelesaikan konflik (conflict resolution) namun juga memiliki kepentingan
untuk mengurangi dan mengantisipasi konflik agraria di masa depan
(conflict prevention).
Keempat, kecepatan dan ketepatan Pengadilan Agraria dalam
menjawab konflik agraria akan sangat dipengaruhi oleh bacaan historis-
sosiologis terhadap konflik agraria dan peradilan itu sendiri. Dalam hal ini,
menempatkan konflik agraria sebagai sesuatu yang bersifat extra ordinary

8 Bandingkan dengan Arya W. Wirayuda, 2011, Dari Klaim Sepihak Hingga Land

Reform (Konflik Penguasaan Tanah Di Surabaya 1959-1967), STPN, Yogyakarta, hlm 89-
165; Aristiono dkk., 2011, Ngandangan Kontemporer; Implikasi Sosial Land Reform Lokal,
STPN, Yogyakarta, hlm. 1-7.

21
menjadi sesuatu yang sangat penting. Namun tentu saja perlu diwaspadai
jebakan-jebakan yang dapat menjauhkan subtansi dari pembentukan
Pengadilan Agraria ini, yakni untuk mewujudkan keadilan sosial dalam
bidang agraria. Untuk menghindari jebakan dan menghindari terjadinya
Pengadilan Agraria lahir prematur setidak-tidaknya ada dua hal yang
penting untuk dikritisi, yakni; 1) Proses pengembangan Pengadilan Agraria,
dan 2) Subtansi strategis yang direspon Pengadilan Agraria.
Berkenaan dengan poin pertama, sebenarnya memiliki korelasi dengan
problem psikologis dan prosedural. Problem psikologis sebenarnya sangat
erat kaitannya dengan akseptabilitas sosial khususnya “endangered
community”. Dimana mereka adalah orang-orang yang penting untuk diajak
berkomunikasi mengenai sebuah pilihan yang terbaik dalam menyelesaikan
konflik agraria karena mereka adalah orang-orang yang sedang atau
potensial terpapar akibat adanya konflik agraria. Problem psikologis ini
sangat penting untuk dipecahkan terutama ketika kemudian
menghadapkan masyarakat yang masuk dalam “endangered community”
dihadapkan pada sebuah kosa kata peradilan yang berdasarkan
pengalaman dalam bersentuhan dengan “peradilan“ selama ini pandangan
masyarakat terhadap “peradilan” relatif tidak begitu baik. Dalam kata lain
tingkat kepercayaan masyarakat pada putusan pengadilan masih dirasakan
belum memenuhi rasa keadilan.
Oleh karena itu, adalah penting memikirkan bagaimana membangun
social capital menjadi persetujuan (accord) lahirnya dan operasionalisasi
Pengadilan Agraria. Problem prosedural memiliki keterkaitan dengan
bagaimana strategi mengembangkan Pengadilan Agraria dengan proses dan
tahapan yang bisa diterima (socially aceptable). Artinya bagaimana proses
dan tahapan tersebut tidak sekedar ditentukan secara legalistik-positivistik
namun proses dan tahapan yang dibangun memang kredibel.
Berkenaan dengan poin kedua, tentang substansi yang harus
direspons oleh Pengadilan Agraria sangat dipengaruhi oleh bagaimana
membaca konflik agraria. Idealnya, Pengadilan Agraria mampu menjadi
wahana dalam menjawab problem ketimpangan struktur agraria yang
diyakini memberikan kontribusi yang signifikan timbulnya kemiskinan

22
struktural. Jadi secara yuridis konstitusional kehadiran Pengadilan Agraria
adalah sejalan dengan amanat konstitusi Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 33
Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dan telah diatribusikan oleh UU No. 5 Tahun
1960 tentang Peratuan Dasar Pokok-pokok Agraria.

B. Pertanyaan/Masalah Pokok (Crusiel Question)


Berangkat dari latar belakang di atas, pertanyaan pokoknya dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah benar kehadiran Pengadilan Agraria merupakan tuntutan atau
kebutuhan mendesak bagi pencari keadilan dalam menyelesaikan
sengketa dan/atau konflik yang terkait dengan sumber daya
keagrariaan?
2. Mengapa RUU tentang Pengadilan Agraria perlu dibentuk?
3. Apa yang menjadi dasar pertimbangan (berupa landasan filosofis,
sosiologis, yuridis, dan ekologis) pembentukan RUU tentang Pengadilan
Agraria?
4. Apa politik hukum yang akan diwujudkan dalam pembentukan RUU
tentang Pengadilan Agraria?

C. Tujuan dan Kegunaan Pembentukan Pengadilan Agraria


Tujuan dari penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang
tentang Pengadilan Agraria yang kemudian dikemas menjadi buku ini
adalah sebagai berikut:
1. Untuk membuktikan bahwa kehadiran Pengadilan Agraria sekarang ini
benar-benar sebuah keharusan (Conditio Sine Quanon) bagi para
pencari keadilan dan masyarakat luas, karena konflik agraria yang
tidak segera ditangani dengan benar, pasti, dan bertanggungjawab akan
menjadi bahaya laten yang mengancam kebangkrutan dan keruntuhan
negara.
2. Menggali dan menemukan alasan maupun argumentasi yang mendasar
(sosio-yuridis-historis) tentang perlunya pembentukan RUU Pengadilan
Agraria.
3. Menggali dan merumuskan landasan yang kuat, obyektif, dan

23
argumentatif terkait dengan pembentukan RUU tentang Pengadilan
Agraria dari perspektif filosofis, sosiologis, yuridis, dan ekologis.
4. Mendiskripsikan dan mensistematisasi substansi atau materi muatan,
ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pembentukan RUU
tentang Pengadilan Agraria secara komprehensif dan memenuhi kaidah
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Adapun kegunaan dari politik hukum pembentukan Rancangan
Undang-Undang tentang Pengadilan Agraria ini adalah:
1. Memberikan jaminan kepastian hukum bagi pencari keadilan dalam
menyelesaikan sengketa keagrariaan melalui jalur litigasi.
2. Memberikan penguatan dan keberpihakan kepada masyarakat
(terutama bagi para petani maupun pencari keadilan yang lain) dalam
memperjuangkan untuk memperoleh hak-hak kepemilikan atas sumber
daya agraria yang pernah dirampas maupun dikooptasi pada masa
yang lalu.
3. Menciptakan rasa aman, tentram, dan penuh manfaat bagi pencari
keadilan dengan hadirnya Pengadilan Agraria yang secara khusus
menangani penyelesaian sengketa keagrariaan dengan prinsip cepat,
sederhana, dan biaya murah.

24
BAB II
DISKURSUS TEORITIS DAN EMPIRIS PEMBENTUKAN
PENGADILAN AGRARIA

A. Diskursus Teoretis
1. Agraria dan Sumber Daya Alam dalam Pengaturan Hukum Agraria
Istilah “agraria” bila dirunut dari kata asalnya, yakni ager atau agri yang
berarti ladang atau sebidang tanah, dan dalam arti yang jamak bisa berarti
pedusunan atau pun daerah. Bachriadi dan Wiradi 9 melihat “agraria”
sebagai wilayah pertanian, atau sepetak sawah yang di dalamnya terdapat
tanaman, air, mineral dan pemukiman. Sedangkan Konsorsium Pembaruan
Agraria (KPA) menggunakan istilah ”sumber-sumber Agraria” yang
mempunyai arti semua bagian bumi yang mampu memberi penghidupan
bagi manusia yang meliputi perut bumi, tanah, air, udara maupun tumbuh-
tumbuhan yang terdapat di atasnya.10 Pengertian ini menunjukkan bahwa
“agraria” mengandung makna yang lebih luas dibandingkan istilah
pertanahan.
Soesangobeng membedakan antara hukum pertanahan dengan
hukum agraria. Hukum pertanahan merupakan ‘lex generalis’ sedangkan
hukum agraria adalah ‘lex specialis’ dalam hubungan pemilikan dan
pengolahan tanah. Menurutnya, hukum pertanahan memuat filosofi, asas,
ajaran dan teori tentang norma-norma dasar pertumbuhan serta perolehan
hak kepemilikan tanah sebagai benda yang menjadi objek harta kekayaan.
Sedangkan hukum agraria, merupakan pelaksanaan norma-norma hukum
pertanahan, tentang penggunaan dan pemanfaatan tanah sebagai benda
tidak tetap yang melahirkan hak perorangan untuk menikmati hasil tanah
baik oleh masyarakat maupun orang pribadi yang hak disebut sebagai hak
agraria.11

9DiantoBachriadi& Gunawan Wiradi, 2011. Enam Dekade Ketimpangan; Masalah


Penguasaan Tanah di Indonesia. Jakarta: Bina Desa, ARC dan KPA, hal. 1.
10Lebih jauh lihat, Konsorsium Pembaruan Agraria, 1999. Usulan Revisi UUPA.

KPA, hal. 5.
11 Herman Soesangobeng, 2012. Folosofi, Azas, Ajaran dan Teori Hukum Pertanahan

dan Keagrariaan Indonesia, Jakarta , hal. 5-6.

25
Terkait dengan berbagai pengertian agraria tersebut di atas, maka
naskah akademik ini merujuk pada pengertian agraria sebagaimana diatur
dalam Undang Undang Pokok Agraria (UUPA). Dalam UUPA disebutkan
bahwa objek yang diatur oleh hukum agraria di Indonesia meliputi: “bumi,
air, udara/ruang angkasa, dan segala kekayaan alam yang terdapat di atas
pemukaan tanah dan di dalam perut bumi”.12 Ditinjau dari wujudnya
secara fisik, objek hukum itu dapat berupa tanah, air, udara, mineral dan
energi, serta seluruh jenis tumbuhan dan binatang, termasuk yang
berbentuk mikro-organisme.
Seiring dengan telah dikeluarkannya Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam, maka secara subtansial istilah “agraria”
dan “sumber daya alam” mempunyai hubungan yang sangat erat. Sehingga
pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam merupakan
pekerjaan yang saling terkait dan berhubungan karena keduanya bertujuan
untuk mencapai kemakmuran bersama, kesejahteraan, keadilan dan
keberlanjutan.
Jika dikaitkan dengan pemanfaatan dan konservasi sumber daya
alam bagi kesejahteraan, keadilan, dan keberlanjutan, maka tinjauan
terhadap sumber daya alam (SDA) dapat dilihat dari dua sisi, yakni:
Pertama, hubungan antara kelompok sosial dengan SDA, dan hubungan
antara manusia dengan berbagai wujud dari SDA. Hubungan-hubungan
tersebut sebenarnya adalah sifat penguasaan manusia serta pemanfaatan
SDA yang dicakup dalam pengertian agraria. Dengan demikian, pengertian
agraria tidak terbatas pada aspek fisik tanah dan SDA lainnya, melainkan
termasuk di dalamnya aspek-aspek penguasaan manusia dan pemanfaatan
atas SDA tersebut.
Kedua, hubungan yang terjadi secara alamiah antar wujud SDA yang
mempunyai manfaat untuk memelihara integritas komunitas, habitat dan
ekosistem biologis, serta manfaat untuk menunjang proses ekologis
biologis, serta manfaat untuk menunjang proses ekologis yang penting
seperti pembentukan zat hara, arus penyerapan limbah, imigrasi satwa,

12 Lihat Pasal 2 UUPA No.5 Tahun 1960.

26
serapan dan aliran air, dan lain-lain. Hubungan-hubungan ini terjadi
dalam wilayah-wilayah yang secara alami terbentuk seperti wilayah daerah
aliran sungai, wilayah habitat hewan, wilayah pesisir dan pulau kecil, dan
lain-lain yang masing-masing mempunyai kondisi dan karateristik
tersendiri.13
Oleh karena itu, penggunaan istilah agraria di sini lebih menukik
pada penguasaan dan pemanfaatan tanah yang menjadi wadah dari
keberadaan SDA lainnya. Sedangkan titik tolak pengelolaan SDA adalah
pola pemanfaatan SDA yang terkandung dalam tanah tersebut. 14 Dengan
demikian penyelesaian konflik agraria di masa mendatang haruslah
memperhatikan keterkaitan dari agraria dan sumber daya alam. Konflik
agraria tidak hanya selalu berkaitan dengan tata kuasa (penguasaan atas
tanah), tetapi juga mencakup tata guna dan tata produksi dari tanah dan
kekayaan alam atau sumber-sumber agraria.

2. Hubungan-Hubungan Agraria
Sumber-sumber agraria merupakan anugerah Tuhan YME yang
fundamental dan vital untuk kelangsungan kehidupan umat manusia. Bagi
rakyat Indonesia, sumber-sumber agraria mempunyai arti dan fungsi yang
sangat luas, selain mempunyai fungsi ekonomi, sumber-sumber agraria
juga mempunyai arti secara sosial, politik, budaya dan bahkan religius. Hal
ini bermakna bahwa sumber-sumber agraria selain merupakan faktor
produksi secara ekonomi, juga sebagai landasan struktur sosial yang
utama. Karena itu, penguasaan atas sumber-sumber agraria akan
berimplikasi pada akumulasi kekuasaan yang lebih luas, baik ranah fisik
maupun sosial. Penguasaan atas sumber-sumber agraria bukan hanya
membentuk aset, tetapi menjadi dasar perolehan kuasa-kuasa ekonomi,
sosial dan politik.15

13 KSPA, Pokja PSDA dan KPA, 2001. Meneguhkan Komitmen Mendorong Perubahan:
Argumen-argumen dan usulan Ketetapan MPR RI tentang Pelaksanaan Pembaruan Agraria
dan Pengelolaan Sumberdaya Alam yang Adil dan Berkelanjutan, hal. 3
14Ibid, hal. 5.
15Endriatmo Soetarto dan Moh. Shohibuddin, 2005, Reforma Agraria; Prasyarat

Utama bagi Revitalisasi Pertanian dan Pedesaan. hal. 3.

27
Hal ini bermakna bahwa dalam setiap sumber agraria selalu disertai
hubungan-hubungan agraria yang kompleks. Menurut Wiradi, dalam
masyarakat agraris selalu ditandai dengan hubungan pokok antara mereka
yang mencurahkan tenaganya untuk berproduksi dengan mereka yang
tidak berproduksi langsung tetapi mengklaim sebagian dari hasil produksi
tersebut baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar penguasaan
mereka terhadap berbagai macam sarana atau alat produksi.16 Dalam hal
ini, salah satu persoalan mendasar yang perlu diperhatikan dalam
hubungan-hubungan agraria yang berlangsung adalah penguasaan dan
pemanfaatan atas sumber-sumber agraria, khususnya tanah.
Kompleksitas hubungan-hubungan agraria (khususnya penguasaan
dan pemanfaatan tanah) karena bukan hanya menyangkut hubungan
manusia dengan tanah, melainkan juga menyangkut hubungan manusia
dengan manusia. Hubungan manusia dengan tanah hanya akan bermakna
jika terjadi proses aktivitas atau kerja dalam bentuk kegiatan penggarapan
dan penguasaan lahan. Dalam proses produksi inilah akan melahirkan
hubungan-hubungan lain antara manusia dengan manusia, misalnya
hubungan antara pemilik tanah dengan penggarap, antara penyakap dan
buruh tani, antara sesama buruh tani, dan sebagainya.
Sejalan dengan itu, terdapat dua jenis hubungan dalam hubungan
manusia menguasai dan memanfaatkan sumber-sumber agraria, yaitu:
Pertama, hubungan teknis pengelolaan sumber-sumber agraria melalui
aktivitas produksi. Kedua, hubungan sebagai subjek agraria (masyarakat,
negara dan swasta) yang terlibat baik secara langsung maupun tidak
langsung dalam proses produksi sumber-sumber agraria. Hubungan
pertama disebut hubungan teknis agraria sedang yang kedua disebut
hubungan sosial agraria.17
Dari hubungan-hubungan agraria di atas kemudian muncul
pengaturan mengenai hak dan kewajiban dari orang-orang atau kelompok
orang yang terlibat di dalamnya. Adanya hak dan kewajiban inilah yang

16 Gunawan Wiradi, 2000. Reforma Agraria; Perjalanan yang Belum Berakhir.

Yogyakarta: Insist Press, hal. 22


17Endriatmo Soetarto dan Moh. Shohibuddin, 2005 ibid, hal. 4. Pandangan
keduanya didasarkan atas pendapat (Sitorus 2002)

28
kemudian menciptakan hukum agraria sebagai pengaturan mengenai
hubungan antar subjek hukum dengan keberadaan tanah, perairan,
udara/ruang angkasa, dan segala kekayaan alam yang terdapat di atas
permukaan tanah dan di dalam perut bumi dalam suatu wilayah tertentu.
Dengan demikian, hukum agraria pada hakekatnya adalah suatu
upaya untuk menciptakan keteraturan dalam pengelolaan dan pemanfaatan
tanah, perairan, udara, ruang angkasa, dan segala kekayaan alam yang
terdapat di atas permukaan tanah dan di dalam perut bumi. Lebih jauh
lagi, karena di dalam pengaturan ini melibatkan orang-orang dalam suatu
struktur tertentu, maka hukum agraria merupakan upaya mewujudkan
rasa keadilan masyarakat.

3. Struktur Agraria
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa masalah agraria
sangatlah kompleks, yakni hubungan antara subyek-subyek agraria dengan
sumber–sumber agraria baik secara teknis maupun secara sosial.
Kompleksitas hubungan inilah yang membentuk sebuah struktur agraria.
Oleh karena itu, strutkur agraria dapat digambarkan sebagai hubungan
segitiga antara subyek agraria (masyarakat, negara dan swasta) yang
berpusat pada obyek agraria (tanah, air, udara dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya).
Suatu struktur agraria sesungguhnya menggambarkan hubungan
yang terbangun dari bentuk-bentuk penguasaan dan pemilikan tanah.
Menurut Cohen,18 secara umum ada dua kelompok besar di dalam
masyarakat agraris, yaitu : Pertama, sekelompok kecil tuan-tuan tanah dan
petani besar, dan kedua adalah sekelompok besar petani penyakap, petani
kecil dan buruh tani tak bertanah. Menurutnya, hubungan diantara
kelompok-kelompok ini menjadi penentu utama dari berbagai sikap petani
terhadap pembaruan agraria dan sekaligus menentukan berhasil atau
tidaknya suatu program pembaruan.19

18S. I. Cohen, 1978. Agrarian Structure and Agrarian Reform. Martinus Nijhoff Social

Sciences Division. Leiden/Boston, hal. 17-19.


19 Lihat KPA, Konsep Pembaruan Agraria; Sebuah Strategi Pembangunan yang

Berorientasi pada Kesejahteraan Rakyat. Hal. 23.

29
Cohen menggambarkan lebih jauh bahwa secara tradisional struktur
agraria dalam pemilikan tanah dibedakan ke dalam empat tipe, yakni : 1)
Tipe komunal Afrika. 2) Tipe penguasaan Asia, 3) Tipe penguasaan tanah
Amerika Latin, dan 4) Tipe Perkebunan. Tipe komunal Afrika terdapat
kelompok-kelompok kesukuan di Afrika, dimana tanah merupakan
penguasaan bersama (common property) dan akses kepada tanah relatif
tidak dibatasi. Pada tipe Asia, dasar utamanya adalah pemilik-penggarap,
penyewa-penggarap, dan petani penyakap bagi hasil.
Pada tipe Amerika Latin, meskipun terdapat pemilik-penggarap,
penyewa-penggarap dan penyakap tetapi bentuk perkebunan yang disebut
sebagai “latifindio” sangat dominan. Latifindio merupakan unit penguasaan
tanah secara politik, pemilikannya bersifat guntai dan dikelola pegawai-
pegawai yang digaji serta digarap oleh petani yang berstatus semi-hamba.
Sedangkan pada tipe perkebunan, merupakan pemilikan tanah dalam skala
luas yang dimiliki oleh pengusaha swasta baik asing maupun domestik.
Penggunaan tanahnya bersifat intensif dan monokultur serta diproduksi
untuk komersial dan umumnya untuk kepentingan ekspor.20
Empat tipe ini meskipun masih banyak bertahan, tetapi mulai banyak
berubah karena adanya perubahan struktural akibat pembangunan. Kini
muncul bentuk-bentuk baru dari penguasaan tanah, yakni tipe pertanian
kapitalis modern yang tersebar luas. Tipe pertanian kapitalis modern ini
luas penguasaan tanahnya beragam. Pertanian ini dikerjakan secara
intensif untuk kepentingan komersial dan dikerjakan oleh tenaga kerja
bayaran. Tipe lainnya yang kurang tersebar adalah pertanian koperasi dan
pertanian negara.21
Struktur agraria yang digambarkan di atas secara konseptual,
mengandung baik potensi konflik maupun kerjasama. Kerjasama akan
terjadi apabila para subjek agraria bersedia dan mampu merumuskan
suatu kesepakatan perihal kepentingan dan klaim yang berbeda-beda
menyangkut akses terhadap objek agraria. Kemungkinan sebaliknya,
konflik agraria yang akan terjadi apabila terdapat benturan kepentingan

20S.I.Cohen, Loc. Cit.


21S.I. Cohen, Ibid, hal. 17-19.

30
intra dan antar subyek agraria ataupun tumpang tindih klaim akses
terhadap obyek agraria. Namun fakta empiris menunjukkan bahwa
hubungan-hubungan agraria intra dan antar subyek agraria cenderung
diwarnai gejala konflik agraria, baik yang bersifat laten maupun yang
bersifat manifes.

4. Konflik Agraria
Kata “konflik” mempunyai makna lebih luas ketimbang kata “sengketa”.
Kata “sengketa” memiliki skala lebih kecil, menyangkut pertentangan hak
yang nyata antara satu pihak dengan pihak lainnya, dan pada umumnya
diselesaikan lewat jalur-jalur yang disediakan secara hukum. Sementara
konflik agraria didefinisikan sebagai perbedaan atau pertentangan orang
atau komunitas atas penguasaan maupun pengelolaan tanah dan sumber
daya alam.22
Menurut Wiradi, sebagai gejala sosial, konflik agraria adalah suatu
proses interaksi antara dua (atau lebih) orang atau kelompok yang masing-
masing pihak memperjuangkan kepentingannya atas objek agraria.
Sebelum berubah menjadi konflik agraria, terlebih dahulu terjadi
“persaingan” untuk memperoleh suatu objek agraria tersebut. Dari
persaingan berubah menjadi konflik pada saat masing-masing pihak
berupaya untuk menghilangkan atau menghalangi secara terbuka untuk
menguasai atau memanfaatkan objek agraria. Jadi, konflik pada dasarnya
adalah bentuk ekstrim dan keras dari persaingan.23
Dalam Naskah Akademik KNuPKA24, konflik agraria didefinisikan
sebagai pertentangan klaim antar satu pihak atau lebih mengenai
penguasaan maupun pengelolaan terhadap tanah dan/atau sumber daya

22 Ibid, hal. 7.
23Wiradi, Gunawan. 2000. Reforma Agraria, Perjalanan Yang Belum Berakhir. KPA,
Insist Press, Pustaka Pelajar. Yogyakarta, hal. 85.
24KNuPKA adalah Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria, yaitu suatu

komisi yang diusulkan oleh Komnas HAM pada tahun 1999 untuk mengatasi konflik
agraria struktural kepada Presiden SBY, namun oleh Presiden SBY menolak untuk
membentuk komisi tersebut dan merekomendasikan untuk memperkuat Badan
Pertanahan Nasional.

31
alam lain yang menyertainya.25 Situasi ini disebut konflik karena klaim itu
ditampilkan secara terbuka oleh satu pihak melalui berbagai ekspresi
dengan maksud menghilangkan klaim pihak lainnya. Naskah ini
berpendirian bahwa upaya-upaya penyelesaian sengketa dan/atau konflik
agraria ini harus didudukkan sebagai bagian dari cara untuk menata ulang
distribusi penguasaan tanah yang timpang selama ini.
Badan Pertanahan Nasional (BPN) menggunakan istilah sengketa
pertanahan, konflik pertanahan dan perkara pertanahan. Sengketa
pertanahan adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan,
badan hukum, atau lembaga yang tidak berdampak luas secara sosio-
politis. Sementara itu, konflik pertanahan adalah perselisihan pertanahan
antara orang perseorangan, kelompok, golongan, organisasi, badan hukum,
atau lembaga yang mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas
secara sosio-politis. Kemudian yang terakhir, yaitu perkara pertanahan
yang selanjutnya disingkat perkara adalah perselisihan pertanahan yang
penyelesaiannya dilaksanakan oleh lembaga peradilan atau putusan
lembaga peradilan yang masih dimintakan penanganan perselisihannya di
BPN Republik Indonesia.26
Di kalangan pegiat dan aktivis agraria, menggunakan istilah “konflik
agraria struktural” untuk menamai dinamika konflik agraria yang sedang
terjadi dewasa ini. Penggunaan istilah “konflik agraria struktural” ini untuk
menjelaskan konflik agraria yang melibatkan penduduk setempat atau
kelompok-kelompok masyarakat sipil di satu pihak dengan kekuatan modal
dan/atau instrumen negara.27 Menurut Noer Fauzi, konflik agraria
struktural adalah pertentangan klaim yang berkepanjangan mengenai
suatu bidang tanah, sumber daya alam (SDA), dan wilayah kepunyaan

25 Perlu dicatat bahwa istilah ‘sengketa’ lebih popular digunakan oleh peraturan
perundangan, ketimbang istilah ‘konflik’. Sayangnya, kendati sering digunakan, kecuali UU
No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, tak satupun Undang-undang
yang mendefenisikan istilah ‘sengketa’. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
menggunakan istilah ‘perkara’ (lihat pasal 89 ayat (4)).
26 Lebih jauh lihat, Peraturan Kepala BPN-RINo. 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan

Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan


27 Lihat Naskah Akademik Usulan Pembentukan Komisi Nasional untuk
Penyelesaian Konflik Agraria, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia 2003. Juga tulisan Noer
Fauzi Rachman, 2011, Pengantar dalam Mulyani, Lilis, dkk (2011) Strategi Pembaruan
Agraria untuk Mengurangi Kemiskinan : Analisis Hukum dan Kelembagaan. Jakarta : PMB
LIPI dan PT Gading Inti Prima.

32
rakyat dengan badan usaha raksasa yang bergerak dalam bidang
infrastruktur, produksi, ekstraksi, dan konservasi; dan pihak-pihak yang
bertentangan tersebut berupaya dan bertindak secara langsung maupun
tidak menghilangkan klaim pihak lain.28
Menurut Dietz (1998), gejala konflik dalam hubungan-hubungan
agraria ini berakar pada pertentangan klaim menyangkut tiga hal berikut:
1) siapa yang berhak menguasai sumber-sumber agraria dan kekayaan
alam yang menyertainya; 2) siapa yang berhak memanfaatkan sumber-
sumber agraria dan kekayaan alam, dan 3) siapa yang berhak mengambil
keputusan atas penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria dan
kekayaan alam tersebut.
Sehingga dalam rumusan lainnya dapat dikatakan bahwa gejala
konflik agraria pada dasarnya mencerminkan pertentangan klaim
mengenai: siapakah yang dapat memiliki, menggunakan, dan mengelola,
serta siapakah yang mengontrol akses atas sumber-sumber agraria dan
kekayaan alam dan siapakah yang memperoleh manfaatnya. Sejauh mana
skala kedalaman dan keluasan konflik-konflik yang mengemuka pada
dasarnya cerminan dari seberapa akut problem struktural dalam
hubungan-hubungan agraria menyangkut pertentangan klaim atas sumber-
sumber agraria ini.

B. Diskursus Empiris
Ilustrasi teoritis yang telah digambarkan di atas bahwa sepanjang
sejarahnya sumber-sumber agraria selalu menjadi permasalahan karena
kedudukannya bukan hanya sebagai faktor produksi penting bagi
kehidupan umat manusia, tetapi juga mempunyai makna sosial, politik,
budaya dan religius. Penguasaan atas sumber-sumber agraria ini kemudian
melahirkan hubungan dan struktur agraria. Dalam praktiknya konflik
agraria terjadi karena pada dasarnya terbangun suatu hubungan-
hubungan agraria dan struktur agraria yang timpang dan tidak adil.
Ketiadaan mekanisme penyelesaian yang memberi kepastian hukum serta

28Lihat artikel (Opini) Noer Fauzi Rahman dan Rahma Mary, Media Indonesia, 2011.

33
rasa keadilan bagi pihak yang berkonflik, maka tercipta berbagai persoalan,
diantaranya:

1. Potret Konflik dan Sengketa Agraria Yang Semakin Meluas


Menurut Sumardjono, permasalahan agraria atau pertanahan secara garis
besar dikelompokkan menjadi empat bagian, yakni: 1) masalah
penggarapan rakyat atas tanah areal kehutanan, perkebunan, dan lain-
lain, 2) masalah yang berkenaan dengan pelanggaran ketentuan landreform,
3) masalah karena ekses-ekses dalam penyediaan tanah untuk
pembangunan, dan 4) sengketa perdata berkenaan dengan masalah
tanah.29
Ketiadaan mekanisme penyelesaian konflik agraria mengakibatkan
konflik agraria terus mengalami peningkatan. Hal ini seperti yang
ditunjukkan oleh Resource Center KPA 30 hingga tahun 2001, telah
melakukan perekaman atas 1.753 kasus konflik agraria31 yang sifatnya
struktural, yaitu kasus-kasus konflik yang terjadi (melibatkan) penduduk
setempat di satu pihak yang berhadapan dengan kekuatan modal dan/atau
instrumen negara.
Seluruh kasus yang terekam tersebut tersebar di 2.834
desa/kelurahan32 dan 1.355 kecamatan di 286 daerah Kabupaten/Kota

29 Maria S.W. Sumardjono, 2009. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan


Implementasi, Penerbit Buku Kompas, Cetakan vi,
30 KPA mengembangkan sistem inventarisasi data mengenai kasus sengketa agraria

yang terjadi di Indonesia lewat program Data Base Sengketa Agraria–KPA. Sistem ini
dikembangkan sebagai bagian kerjasama KPA dengan dari proyek penelitian
“LandTenureand Law in Indonesia: Implications for Livelihood, Community and Environment”
yang dilakukan oleh Dr. Carol Warren (MurdochUniversity, Perth) dan Dr. Anton Lucas
(FlindersUniversity, Adelaide). Data untuk kasus sengketa yang diinvetarisir bersumber
dari: kliping sejumlah media massa nasional, khususnya, yang terbit sejak tahun 1972 dan
beberapa media massa lokal (berdasarkan ketersediaannya di Sekretariat BP-KPA),
laporan-laporan investigasi yang dilakukan sejumlah anggota KPA, kronologi-kronologi
sengketa yang dikirim oleh masyarakat atau anggota KPA ke Sekretariat BP-KPA, serta
laporan-laporan dan hasil studi terhadap sengketa agraria yang telah diterbitkan dalam
bentuk buku, monograf, dan sebagainya.
31 Semua angka ini dan angka-angka yang menyertainya dapat dikatakan sebagai

angka minimal yang dapat diinventarisir oleh KPA. Hal ini dikarenakan oleh keterbatasan
metodologi pengumpulan data yang ada, tidak semua kasus sengketa/konflik yang terjadi
di Indonesia dapat terliput. Meskipun demikian, data-data ini dapatlah dijadikan sebuah
gambaran mengenai pola-pola konflik agraria yang terjadi di Indonesia selama masa Orde
Baru hingga sekarang.
32 Data ini merupakan angka minimal, karena banyak kasus-kasus yang terekam

tidak dapat diidentifikasi nama desa/kelurahan di mana warganya terlibat dalam konflik.

34
(lihat Tabel-1). Rentang waktu kasus-kasus tersebut mengemuka ke
permukaan adalah sejak tahun 1970 hingga 2001. Dari kasus-kasus itu
tercakup luas tanah yang dipersengketakan yang jumlahnya tidak kurang
dari 10.892.203 hektar dan telah mengakibatkan tidak kurang dari
1.189.482 KK menjadi korban.
Dilihat dari adanya kebijakan publik yang menjadi penyebab
terjadinya kasus-kasus sengketa dan/atau konflik tersebut, konflik yang
paling tinggi intensitasnya adalah yang terjadi karena sengketa atas lahan
perkebunan besar (344 kasus). Selanjutnya secara berturut-turut adalah
kasus-kasus yang terjadi akibat adanya kebijakan publik yang berkaitan
dengan pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan (243 kasus),
pembangunan perumahan dan kota baru (232 kasus), pengembangan
kawasan kehutanan produksi (141 kasus), pembangunan kawasan industri
dan pabrik (115 kasus), pembangunan bendungan dan sarana pengairan
(77 kasus), pembangunan sarana wisata (tourism, hotelsandresorts (73
kasus), pengembangan kawasan pertambangan besar (59 kasus) dan
pembangunan sarana militer (47 kasus).
Sampai saat ini, sejumlah konflik yang direkam oleh KPA belum
mendapatkan penyelesaian yang memadai,bahkan dalam
perkembangannya konflik-konflik agraria terus terjadi dalam eskalasi yang
semakin meluas. Dalam tiga tahun terakhir, 2010-2012, telah terjadi
lonjakan konflik agraria di Indonesia. Dalam laporan akhir tahunnya
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebut mencatat sedikitnya 106
konflik agraria di berbagai wilayah Indonesia pada 2010 dan di tahun 2011
meningkat menjadi 163 konflik agraria. Sedangkan sepanjang tahun 2012
KPA mencatat 198 konflik agraria terjadi di Indonesia. Luasan areal konflik
pada tahun 2012 ini mencapai lebih dari 963.411,2 hektar, serta
melibatkan 141.915 kepala keluarga (KK) dalam konflik-konflik yang terjadi.
Diagram berikut ini memperlihatkan sebaran kasus konflik agraria di
Indonesia yang terjadi antara 2010-2012 berdasarkan laporan KPA.

35
Sumber: Laporan Tahunan KPA 2010-2012

Dari 198 kasus yang terjadi di tahun 2012, terdapat 90 kasus terjadi
di sektor perkebunan (45%); 60 kasus di sektor pembangunan infrastruktur
(30 %); 21 kasus di sektor pertambangan (11 %); 20 kasus di sektor
kehutanan (4%); 5 kasus di sektor pertanian tambak/pesisir (3%); dan 2
kasus di sektor kelautan dan wilayah pesisir pantai (KPA, 2012). Pada
diagram berikut dapat dilihat sebaran kasus-kasus konflik agraria
sepanjang tahun 2010-2012 berdasarkan sektor.

Sumber: Laporan Tahunan KPA 2010-2012

36
Laporan KPA tidak jauh berbeda dengan yang dikeluarkan oleh
Serikat Petani Indonesia (SPI) yang mencatat sepanjang tahun 2011 total
luasan lahan yang disengketakan mencapai 342.360 hektar dengan
melibatkan 68.472 KK atau 273.888 orang tergusur dari tanahnya.
Menurut SPI, dari total 144 kasus, 103 di antaranya adalah kasus lama
yang terus terjadi di lapangan dan tak kunjung terselesaikan. Sebagian
besar merupakan konflik tanah antara petani dan masyarakat adat dengan
negara atau perusahaan. Sedangkan Perkumpulan untuk Pembaharuan
Hukum dan Masyarakat (HuMa) menyebutkan bahwa selama sepuluh
tahun terakhir terdapat 108 konflik agraria di 10 provinsi di Indonesia yang
didominasi oleh konflik tenurial dikawasan hutan (69 kasus) dan konflik
perkebunan (23 kasus). Konflik agraria ini melibatkan perusahaan-
perusahaan perkebunan swasta dan BUMN, perusahaan pertambangan,
Taman Nasional, dan Perhutani. Sementara Sawit Watch mencatat konflik
tanah khususnya yang terjadi di perkebunan kelapa sawit mencapai 663
kasus di seluruh Indonesia.
Meskipun memberikan angka jumlah konflik yang berbeda-beda,
semua lembaga yang disebut di atas juga mencatat bahwa hampir di setiap
konflik terdapat keterlibatan aparat keamanan seperti kepolisian dan
militer, selain keterlibatan preman atau pamswakarsa. Pengusaha
menggunakan mereka untuk mengamankan perusahaan dari tuntutan-
tuntutan masyarakat atas tanah yang dikuasai perusahaan. Aparat
keamanan yang seharusnya melindungi dan mengayomi masyarakat sesuai
dengan fungsinya dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian lebih
memilih untuk menjaga kepentingan perusahaan. Masyarakat penuntut
hak atas tanah kemudian menjadi sasaran kriminalisasi yang dilakukan
oleh aparat kepolisian.
Sementara lembaga pemerintah seperti BPN maupun lembaga negara
seperti Komnas HAM memiliki catatan mengenai jumlah konflik yang lain
lagi. BPN misalnya mencatat ada sekitar 2.810 kasus sengketa pertanahan
yang mereka tangani di seluruh Indonesia. Sementara Komnas HAM dalam
pernyataannya di akhir tahun 2012 menyatakan dari 5.422 berkas
pengaduan yang diterimanya sepanjang Januari hingga November 2012,

37
pengaduan terbanyak terkait dengan isu sengketa hak atas tanah dan
sumber daya alam lainnya, yaitu sebanyak 1.064 berkas. Sengketa hak
tersebut sebagian besar berakar pada tumpang-tindih hak yang mengacu
pada berbagai peraturan perundang-undangan yang juga tumpang-tindih
(Komnas HAM 2012).
Konflik agraria atau SDA semakin parah. Ketidakjelasan tata ruang
termasuk penetapan kawasan hutan, sampai sikap pemerintah yang
seakanmembiarkan konflik, semakin memperburuk keadaan.Perusahaan-
perusahaan masuk ke wilayah-wilayah berpenghuni milik masyarakat adat
atau lokal. Konflik antar warga, warga-perusahaan, warga-pemerintahpun
muncul. Masyarakat menjadi pihak yang paling banyak menanggung rugi. 33
Gesekan-gesekan berujung konflik pun terjadi. Sederet konflik SDA
menyebabkan kerugian harta dan jiwa terjadi hingga penutup tahun ini.
Data Walhi, menyebutkan, pada 2011, ada 8.307 kasus konflik agraria,
4302 kasus dinyatakan telah selesai. Paling banyak konflik terjadi di
Sumatera Barat 883 kasus, di Sulawesi Selatan 780, Jawa Barat 749, Jawa
Tengah 532, Bali 515, Jawa Timur 400, Nusa Tenggara Timur 335,
Sumatera Utara 331, Banten, 324, dan Kalimantan Timur 242
kasus.34Sementara, selama Pansus Konflik Agraria dan Sumber Daya Alam
DPD bekerja, telah disampaikan sebanyak 83 Kasus, yang terdiri dari:
No. KASUS JUMLAH
1. Konflik agraria akibat alokasi tanah untuk 29
perkebunan besar
2. Konflik agraria akibat alokasi tanah untuk 12
hutan produksi
3. Konflik agraria akibat alokasi tanah untuk 4
hutan konservasi dan lindung, termasuk taman
nasional
4. Konflik agraria akibat alokasi tanah untuk 9
pertambangan besar
5. Konflik agraria akibat alokasi tanah untuk 1
pariwisata
6. Konflik agraria akibat alokasi tanah untuk 2

33http://www.mongabay.co.id/2012/12/27/kaliedoskop-konflik-

agraria-2012-potret-pengabaian-suara-dan-hak-rakyat-bagian-2/#ixzz2OcKYZsLo. Lihat
juga Dewan Perwakilan Daerah, Laporan Pansus Konflik Agraria dan Sumber Daya Alam
Dewan Perwakilan Daerah.
34 Lihat, Dewan Perwakilan Daerah, Laporan Pansus Konflik Agraria dan Sumber

Daya Alam Dewan Perwakilan Daerah.

38
No. KASUS JUMLAH
pabrik dan kawasan industri
7. Konflik agraria akibat alokasi tanah untuk 1
fasilitas umum perkotaan
8. Konflik agraria akibat alokasi tanah untuk 2
transmigrasi
9. Konflik agraria akibat alokasi tanah untuk 5
fasilitas militer
10. Konflik agraria akibat alokasi tanah untuk 1
pemerintah
11. Konflik agraria akibat alokasi tanah untuk 18
fungsi-fungsi lainnya

Maraknya konflik agraria memperlihatkan keadaan masyarakat yang


selama ini mengalami ketiadaan akses bagi pemilikan, dan pemanfaatan
sumber-sumber agraria khususnya tanah. Sebenarnya, persoalan agraria di
Indonesia berupa kepemilikan dan penguasaan lahan pertanian oleh rakyat
yang demikian sempit dan timpang bukan hal baru. Bahkan, sejak awal
abad XX pemerintah Belanda menyadari hal ini melalui survei yang
dilakukan tahun 1903. Hasilnya menunjukkan bahwa hampir separuh
petani menguasai lahan kurang 0.50 hektar. 35
Kondisi ini bahkan tidak banyak mengalami perubahan setelah
kemerdekaan. Berdasarkan hasil sensus pertanian tahun 2003
menunjukkan bahwa dari 37,7 juta rumah tangga petani terdapat sekitar
36% yang dikategorikan sebagai “absolute-landless”. Sedangkan rata-rata
penguasaan tanah oleh 24,3 juta rumah tangga petani yang dapat
menguasai tanah adalah 0,89 hektar per rumah tangga.36

2. In-efektivitas Lembaga Peradilan dalam Menyelesaikan Konflik


Agraria
Menurut peraturan perundangan-undangan, penyelesaian sengketa/konflik
agraria dapat ditempuh melalui dua cara, yakni: [1] melalui pengadilan;
dan [2] di luar pengadilan (Pasal 74 ayat (1) UU No. 41 Tahun 1999 dan
Pasal 30 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1997, Pasal 88 ayat (2) UU No. 7 Tahun

35Jurnal Litbang Pertanian, Edisi April 2002. Hal, 133


36 Lihat, DiantoBacriadi dan Gunawan Wiradi, 2011. Enam Dekade Ketimpangan;
Masalah Penguasaan Tanah di Indonesia, KPA, ARC dan Bina Desa; Jakarta, hal. 18.

39
2004 tentang Sumber Daya Air). Sedangkan mengenai tugas, asas, jenis-
jenis dan kompetensi peradilan telah diatur dalam UU No. 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman yang membagi peradilan di bawah
Mahkamah Agung ke dalam: lingkungan peradilan umum, peradilan agama,
peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.37
Di samping itu pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah
satu lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Artinya, pengadilan
khusus tersebut dapat dibentuk pada lingkungan peradilan umum atau
peradilan agama, atau peradilan militer atau peradilan tata usaha negara.
Belakangan terdapat sejumlah pengadilan khusus seperti didirikannya
pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan HAM, pengadilan pajak dan
pengadilan tindak pidana korupsi. Bahkan dibentuk pula peradilan ad hoc
semacam peradilan ad hoc HAM dan (rencana) peradilan ad hoc tindak
pidana illegal logging.
Namun tak dapat dipungkiri bahwa sejauh ini terlihat lebih banyak
sengketa yang tidak terselesaikan ketimbang yang diselesaikan. Disamping
itu, terdapat fakta bahwa penyelesaian konflik agraria melalui pengadilan
sangat jarang dipilih oleh masyarakat. Hal ini disebabkan karena adanya
rasa apriori masyarakat terhadap pengadilan karena selama ini tidak
menjamin rasa keadilan mereka. Dari beberapa studi yang telah dilakukan,
terlihat pemihakan pengadilan bukanlah kepada rasa keadilan, tetapi lebih
kepada kekuasaan dan pengusaha yang memiliki kepentingan ekonomi
terhadap lahan-lahan yang disengketakan.38
Salah satu alasan mengapa rakyat tidak memilih lembaga peradilan
umum dalam menyelesaikan konflik tanah mereka, karena selama ini
lembaga peradilan sangat jarang mengadili perkara konflik atau sengketa
agraria. Umumnya yang terjadi adalah proses pengadilan terhadap

37 Selain peradilan umum dan khusus, yang seluruhnya berada dalam pengawasan
Mahkamah Agung, dikenal juga Mahkamah Konsitusi sebagai badan peradilan dalam
rangka penyelenggaraan kekuasaan kehakiman.
38 Mengenai hal ini lihat misalnya: Abdul Hakim G. Nusantara dan Budiman

Tanuredjo (1997), Dua Kado Hakim Agung buat KedungOmbo: Tinjauan Putusan-putusan
Mahkamah Agung tentang Kasus KedungOmbo, Jakarta: Elsam; Bachriadi (1998), Sengketa
Agraria dan Perlunya Menegakan Lembaga Peradilan Agraria yang Independen; dan
DiantoBachriadi dan Anton Lucas (2001), Merampas Tanah Rakyat: Kasus Tapos dan
Cimacan, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

40
tindakan-tindakan masyarakat yang dianggap sebagai tindakan kriminal
ketika mereka berusaha mempertahankan hak atau klaimnya. Penyebabnya
adalah aparat keamanan menganggap upaya masyarakat mempertahankan
hak-haknya sebagai tindakan yang melanggar hukum, dan sebaliknya
tindakan pihak-pihak yang menyerobot tanah-tanah rakyat sebagai sesuatu
yang sah menurut hukum.
Manakala kasus-kasus yang dianggap sebagai tindakan kriminal ini
dibawa ke pengadilan, biasanya anggota masyarakat yang dituduh
melakukan tindakan kriminal tersebut akan mengemukakan klaimnya
(haknya) atas tanah yang disengketakan, atau kemudian melakukan
gugatan perdata kepada pihak yang dianggap menyerobot hak-hak mereka.
Tetapi dari beberapa studi yang pernah dilakukan, maupun dari laporan-
laporan yang disampaikan ke publik oleh masyarakat maupun Lembaga
Sosial Masyarakat (LSM), pada umumnya hakim-hakim di pengadilan akan
lebih banyak berpegang pada hal-hal yang bersifat formal, khususnya
dalam melakukan proses pembuktian terhadap klaim-klaim yang
dikemukakan oleh kedua belah pihak. Sehingga pihak rakyat biasanya
akan kalah karena pada umumnya bukti-bukti pemilikan atau penguasaan
mereka atas tanah-tanah atau sumber-sumber agraria yang disengketakan
lemah jika dilihat dari sudut hukum formal.
Kasus yang sangat mencolok yang dapat dikemukakan sebagai
contoh adalah Kasus Cimacan (pembangunan lapangan golf). Terlepas dari
segala isu soal suap yang diterima oleh majelis hakim, putusan yang
diambil oleh majelis hakim pada waktu itu sangat mengesankan mereka
tidak mau melihat sejarah dari keberadaan tanah tersebut hingga bisa
berada di tangan rakyat dan alasan-alasan mengapa mereka menolak
pembangunan lapangan golf, di samping majelis hakim itu sendiri tidak
seksama memperhatikan kelemahan bukti-bukti dan kesaksian yang
disampaikan oleh pihak pengusaha.39 Ini menunjukan bahwa hakim-hakim
pada pengadilan umum lemah dalam segi penguasaan terhadap masalah-

39 Untuk jelasnya mengenai kasus ini lihat Bachriadi dan Lucas (2001), Merampas

Tanah Rakyat: Kasus Tapos dan Cimacan.

41
masalah agraria dan lemah pengalamannya dalam hal penyelesaian
sengketa agraria yang dapat memenuhi rasa keadillan masyarakat.40
Mengacu pada kasus-kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa
lembaga peradilan umum yang "diserahi" tugas untuk menyelesaikan
sengketa-sengketa itu tidak menunjukan kinerja yang baik sebagai sebuah
institusi yang bertugas dan berwenang untuk menjadi penentu bagi
keberlanjutan atau terputus atau berpindahnya hubungan yang terjalin
antara pihak-pihak yang bersegketa dengan tanah yang disengketakan.
Akibatnya banyak masyarakat yang menggunakan jalur nonlitagasi
ketimbang pengadilan dalam menyelesaikan kasusnya. Hal ini terlihat
dengan peningkatan sejumlah pengaduan ke lembaga-lembaga nonlitagasi,
seperti Komnas HAM dan DPR yang diharapkan dapat menyelesaikan
sengketa, dan terus maraknya aksi-aksi unjuk rasa menuntu penyelesaian
konflik agraria.
Dalam setiap persoalan sengketa agraria tampak ada "keengganan"
dan "ketidakmampuan" dari lembaga peradilan yang ada sekarang untuk
memasuki wilayah analisa perkara yang lebih besar yang terjalin dalam
hubungan sebab-akibat dengan persoalan awal yang diajukan ke meja
pengadilan. Karena wilayah-wilayah analisis perkara itu bisa jadi akan
masuk ke dalam dimensi-dimensi lain dari hubungan manusia/masyarakat
dengan tanah atau sumber-sumber agraria lainnya, yaitu dimensi politik
atau dimensi religius. Padahal jika menengok kepada sejumlah kasus-kasus
sengketa agraria yang muncul, nyaris tidak ada yang lepas dari persoalan
politik itu.41
Sementara di sisi lain, ketika ada satu-dua proses pengadilan
sengketa agraria yang secara langsung masuk ke dalam substansi
persoalan sengketa agraria itu sendiri, muncul persoalan lain yang juga
memelorotkan wibawa lembaga peradilan yang ada sekarang. Persoalannya
adalah ketidakberdayaan lembaga peradilan tertinggi – dalam hal ini MA –
untuk menjalankan fungsinya melahirkan putusan-putusan hukum yang
memenangkan rakyat yang bersengketa (bukan pihak lawannya) untuk

40 Lihat Bachriadi (1998), Sengketa Agraria dan Perlunya Menegakan Lembaga

Peradilan Agraria yang Independen.


41 Ibid, hal. 17.

42
sebuah keadilan yang wilayah-wilayah keputusan tersebut berada di dalam
wilayah-wilayah politik.
Dengan kata lain, lembaga peradilan yang ada sekarang ketika sudah
memasuki wilayah substansi sengketa agraria itu sendiri dan dengan
sendirinya sudah masuk ke dalam dimensi politik dari persoalan-persoalan
agraria tidak memiliki keberanian untuk independen dan melahirkan
keputusan akhir yang mengalahkan entitas politik yang lebih berkuasa
(powerful) yang sedang bersengketa dengan rakyat demi sebuah keadilan
yang memang sudah semestinya.

3. Urgensi Pembentukan Undang-Undang Pengadilan Agraria


Konflik agraria yang meluas dengan segala dimensi dan implikasinya,
menunjukkan kelemahan komitmen politik pemerintah dalam melakukan
perombakan struktur agraria yang timpang dan tidak adil. Di sisi lain,
berbagai kegagalan berfungsinya lembaga-lembaga peradilan yang ada
tersebut perlu dicarikan solusi untuk menyelesaikan konflik agraria yang
muncul secara adil dan mementingkan aspirasi rakyat kecil.
Dasar pemikiran penyelesaian sengketa pertanahan secara perdata
adalah bahwa tanah sebagai objek hukum merupakan barang tidak
bergerak yang secara khusus sudah diatur dalam UUPA beserta peraturan
pelaksanaannya. Proses penyelesaian perkara di pengadilan bertujuan
untuk memulihkan hak seseorang yang telah dirugikan atau terganggu,
mengembalikan suasana seperti dalam keadaan semula. Sehingga dengan
adanya hukum acara perdata orang dapat memulihkan haknya yang telah
dirugikan melalui pengadilan sehingga diharapkan selalu ada ketentraman
dan suasana damai dalam hidup bermasyarakat (Elsa;258-259)
Salah satu persoalan yang penting kita cermati dalam sengketa
pertanahan melalui peradilan umum saat ini adalah bahwa sengketa
pengadilan masih tetap menggunakan hukum acara perdata HIR (Herziene
Inladsch Reglement, untuk daerah Jawa-Madura) dan Rechtsreglement voor
de Buitengewesten, untuk luar Jawa-Madura (RBg) secara murni, padahal
sejak diundangkannya UUPA, tanah bukan lagi objek hukum perdata.
Sebagaimana diketahui bahwa sejak berlakunya UUPA, segala ketentuan

43
mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dalam buku II KUHPerdata dicabut kecuali kententuan mengenai hipotik.
Sehingga secara prinsipil, KUHPerdata berubah total hanya mengatur
masalah barang yang bergerak. Perubahan ini tentu mempunyai makna
yang luas karena dua ketentuan ini sangat berbeda secara prinsipil. UUPA
bersumber pada hukum adat, sementara KUHPerdata berpaham barat,
UUPA memberikan Hak menguasai Negara kepada negara dan memberikan
hak atas tanah kepada orang, sementara KUHPerdata mengatur pemberian
hak kepada orang dengan hak eigendom, hak erfpacht, dan hak opstal
terhadap tanah dengan dasar kewenangan negara adalah Hak Domein.
Pembentukan lembaga pengadilan agraria tidak berarti
menghidupkan kembali UU No. 21 Tahun 1964 tentang Pengadilan
Landreform, tetapi lebih mengacu kepada corak-corak sengketa dan model
penanganannya. Manakala sengketa pertanahan atau agraria hanya
dijadikan bagian dari penyebab terjadinya tindak pidana atau hanya
sekedar menjadi persoalan perdata.Makna tanah sebagai sumber
kehidupan yang memiliki dimensi sosial-politik-ekonomi-religius menjadi
hilang. Padahal keempat ciri ini tidak pernah lepas dari kehidupan
masyarakat Indonesia yang berhubungan dengan tanah dan/atau sumber-
sumber agraria lainnya.
Sengketa-sengketa agraria yang saat ini terjadi dan masih terus
terjadi sudah turut membantu menguak sisi gelap hubungan
ketatanegaraan di Indonesia selama masa Orde Baru. Sehingga penciptaan
lembaga peradilan agraria yang independen bisa menjadi pintu masuk
untuk memperbaiki sisi gelap hubungan tertsebut.
Jadi, sesungguhnya agenda menegakkan Peradilan Agraria yang
independen bukan hanya sebuah agenda untuk menyelesaikan persoalan-
persoalan sengketa agraria dengan cara yang lebih adil dan beradab, tetapi
juga merupakan bagian dari agenda untuk menciptakan perubahan sistem
dan kultur politik di Indonesia yang dicengkeram oleh kekuasaan
otoritarian lembaga eksekutif. Dengan kata lain, agenda yang lebih besar
dari menegakkan lembaga Peradilan Agraria yang independen adalah

44
bagian penting dalam menegakkan kehidupan demokrasi yang bersumber
dari kepentingan rakyat di Indonesia.

45
BAB III
SINKRONISASI DAN HARMONISASI PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PEMBENTUKAN
PENGADILAN AGRARIA

Kajian terhadap peraturan perundang-undangan ini dimaksudkan untuk


mengetahui kondisi hukum atau peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai substansi atau materi yang akan diatur. Dalam kajian
ini akan diketahui tingkat sinkronisasi, harmonisasi Peraturan Perundang-
undangan yang ada, untuk menghindari terjadinya tumpang- tindih
pengaturan. Hasil dari penjelasan atau uraian ini menjadi bahan bagi
penyusunan landasan filosofis dan yuridis dari pembentukan Undang-
Undang Pengadilan Agraria.
Berkaitan dengan hal tersebut, di bawah ini dikaji dan dipaparkan
beberapa substansi materi regulasi, baik yang termaktub dalam UUD NRI
1945 maupun dalam undang-undang yang berkaitan atau beririsan dengan
materi muatan Rancangan Undang-Undang tentang Pengadilan Agraria.
Dengan demikian akan diketahui materi muatan mana yang sudah diatur
maupun yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
telah berlaku, sehingga menjadi penting dan tidak berbenturan jika materi
muatan yang belum diatur tersebut, menjadi muatan dalam Rancangan
Undang-Undang tentang Pengadilan Agraria.

A. Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945


Sesuai dengan amanat UUD NRI 1945 , Pemerintah Negara Indonesia
dibentuk dengan tujuan “...melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial...”. Manifestasi yang sekaligus sebagai instrumen perwujudan dari
tujuan negara dan dibentuknya Pemerintah Negara Indonesia sebagaimana

46
yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD NRI 1945 tersebut tercantum
dalam pasal-pasal UUD NRI 1945.
Norma hukum yang ada dalam ketentuan-ketentuan UUD NRI 1945,
yang dapat dijadikan landasan konstitusional dan sekaligus sebagai
harmonisasi vertikal dalam pembentukan Rancangan Undang-Undang
Pengadilan Agraria adalah :
1. Pasal 1 ayat (3):
Negara Indonesia adalah negara hukum.
2. Pasal 24:
(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan.**)
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.***)
(3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman diatur dalam undang-undang.
3. Pasal 24A ayat (5) :
Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung
serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang.
4. Pasal 25
“Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim
ditetapkan dengan undang-undang”.
5. Pasal 27 ayat (1) :
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya.
6. Pasal 28A :
Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup
dan kehidupannya.**)
7. Pasal 28D ayat (1) :

47
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum.**)
8. Pasal 28G ayat (1) :
Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya,
serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan
untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.**)
9. Pasal 28H ayat (2) dan ayat (4)
(1) .......
(2) Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus
untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan.**)
(3) ......
(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik
tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa
pun.**)
10. Pasal 28-I ayat (1) :
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan
hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk
diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut
atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.**)
11. Pasal 33 ayat (3) :
Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

B. TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan


Pengelolaan Sumber Daya Alam
Pada tahun 2001, MPR melalui Sidang Tahunan pada tanggal 9 November
2001 menetapkan Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang

48
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. 42 TAP MPR ini
adalah hasil dari perjuangan yang terus-menerus pasca dari para pegiat
agraria yang menginginkan terlaksananya reforma agraria di Indonesia.
Ia dianggap titik puncak produk peraturan perundangan di bawah
konstitusi yang diharapkan dapat mendorong percepatan pembaruan
agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Selain sebagai payung hukum
pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam, ketetapan MPR ini
juga berarti sebuah konsensus nasional Bangsa Indonesia menuju
perombakan struktur agraria yang timpang dan perbaikan pengelolaan
sumber daya alam. MPR mengakui bahwa kebijakan dan praktik pemilikan,
penguasaan, pemanfaatan tanah dan sumber daya alam di Indonesia,
khususnya selama masa Orde Baru menimbulkan degradasi lingkungan,
ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatannya, menimbulkan berbagai konflik, serta adanya tumpang
tindih antara peraturan perundang-undangan agraria dengan sumber daya
alam. Sebagai sebuah produk hukum, TAP MPR Nomor IX/MPR/2001
memberi arah yang jelas baik dari sisi paradigmatik maupun substantif
mengenai kemana seharusnya politik hukum dan kebijakan pembaruan
agraria dan pengelolaan sumber daya alam Indonesia ke depan.
Kedudukan TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 dalam struktur peraturan
perundang-undangan Indonesia secara tegas dinyatakan masih berlaku
melalui TAP MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi
dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960
sampai dengan Tahun 2002, dimana dalam salah satu klausulnya
menyatakan bahwa TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 masuk katagori TAP
MPR yang masih tetap berlaku sampai terlaksananya semua ketentuan
42
Adapun Lahirnya Tap MPR No. IX/MPR/2001 didasarkan pada: (a) Pasal 1 ayat
(2), Pasal 2, Pasal 3, Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 25E, Pasal 28A, Pasal 28C ayat
(1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945; (b) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No.
XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan
Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; Serta Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia; (c) Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No. II/MPR/1999 tentang Peraturan
Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No.
V/MPR/2001; dan (d) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. IV/MPR/2000
tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah.

49
dalam ketetapan tersebut (Pasal 4 angka 11). Tetapi TAP MPR tidak
dimasukkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Kemudian, dalam Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, TAP MPR kembali ada dalam tata urutan perundang-
undangan.
Selama ditetapkan, TAP MPR ini belum pernah benar-benar
dilaksanakan. Konflik agraria, sektoralisme, tumpang tindih perundang-
undangan dibidang sumber daya alam, dan kebijakan yang pro kapital
menghiasi pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Penempatan TAP
MPR kembali kedalam tata urutan perundang-undangan membawa
harapan baru bagi dilaksanakannya implementasi TAP MPR dimasa datang.
Lahirnya Tap MPR No. IX/MPR/2001 ini lebih didorong adanya
kesadaran bahwa:43
a. sumberdaya agraria dan sumberdaya alam sebagai rahmat Tuhan
Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia, merupakan kekayaan
nasional yang wajib disyukuri. Oleh karena itu harus dikelola dan
dimanfaatkan secara optimal bagi generasi sekarang dan generasi
mendatang dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
b. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia mempunyai
tugas konstitusional untuk menetapkan arah dan dasar bagi
pembangunan nasional yang dapat menjawab berbagai persoalan
kemiskinan, ketimpangan dan ketidakadilan sosial-ekonomi rakyat
serta kerusakan sumberdaya alam.
c. pengelolaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam yang
berlangsung selama ini telah menimbulkan penurunan kualitas
lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai
konflik.
d. peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan
sumberdaya agraria dan sumberdaya alam saling tumpang tindih dan
bertentangan.

43 Lihat Diktum Pertimbangan Tap MPR Nomor IX/MPR/2001.

50
e. pengelolaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam yang adil,
berkelanjutan, dan ramah lingkungan harus dilakukan dengan cara
terkoordinasi, terpadu, dan menampung dinamika, aspirasi dan
peran serta masyarakat, serta menyelesaikan konflik.
f. untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia sebagaimana
tertuang dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945, diperlukan
komitmen politik yang sungguh-sungguh untuk memberikan dasar
dan arah bagi pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam
yang adil, berkelanjutan, dan ramah lingkungan.
Materi pengaturan yang terkandung dalam Tap MPR No.
IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya
Alam, adalah sebagai berikut:
a. Pasal 1: Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam merupakan
landasan peraturan perundang-undangan mengenai pembaruan
agraria dan pengelolaan sumberdaya alam.
b. Pasal 2: Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang
berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria,
dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan
hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.
c. Pasal 3: Pengelolaan sumberdaya alam yang terkandung di daratan,
laut dan angkasa dilakukan secara optimal, adil, berkelanjutan dan
ramah lingkungan.
d. Pasal 4: Negara mengatur pengelolaan sumberdaya agraria dan
sumberdaya alam untuk sebesar- besar kemakmuran rakyat.
e. Pasal 5: Pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam harus
dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip:
a. Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
b. menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
c. menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi
keanekaragaman dalam unifikasi hukum;

51
d. rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumberdaya
manusia Indonesia;
e. mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan
optimalisasi partisipasi rakyat;
f. mewujudkan keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan,
pemanfaatan, dan pemeliharaan sumberdaya agraria dan
sumberdaya alam;
g. memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang
optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi
mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan
dukung lingkungan;
h. melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai
dengan kondisi sosial budaya setempat;
i. meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor
pembangunan dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan
pengelolaan sumberdaya alam;
j. mengakui dan menghormati hak masyarakat hukum adat dan
keragaman budaya bangsa atas sumberdaya agraria dan
sumberdaya alam;
k. mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara,
pemerintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa
atau yang setingkat), masyarakat dan individu;
l. melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di
tingkat nasional, daerah rovinsi, kabupaten/kota, dan desa atau
yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan manajemen
sumberdaya agraria dan sumberdaya alam.
f. Pasal 6:
(1) Arah kebijakan pembaruan agraria adalah :
a. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam
rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor demi terwujudnya
peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip-
prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini.

52
b. Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang
berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk
rakyat, baik tanah pertanian maupun tanah perkotaan.
c. Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi
dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam
rangka pelaksanaan landreform.
d. Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan
sumberdaya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat
mengantisipasi potensi konflik dimasa mendatang guna
menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan
atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan
ini.
e. Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka
mengemban pelaksanaan pembaruan agraria dan
menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan
sumberdaya agraria yang terjadi.
f. Mengupayakan pembiayaan dalam melaksanakan program
pembaruan agraria dan penyelesaian konflik-konflik
sumberdaya agraria yang terjadi.
(2) Arah kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah :
a. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan
sumberdaya alam dalam rangka sinkronisasi kebijakan
antarsektor yang berdasarkan prinsip-prinsip sebagaimana
dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini.
b. Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan berbagai sumberdaya
alam melalui identifikasi dan inventarisasi kualitas dan
kuantitas sumberdaya alam sebagai potensi dalam
pembangunan nasional.
c. Memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat
mengenai potensi sumberdaya alam di daerahnya dan

53
mendorong terwujudnya tanggung jawab sosial untuk
menggunakan teknologi ramah lingkungan termasuk teknologi
tradisional.
d. Memperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis
sumberdaya alam dan melakukan upaya-upaya meningkatkan
nilai tambah dari produk sumberdaya alam tersebut.
a. Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumberdaya alam
yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi
konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya
penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip
sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini.
b. Menyusun strategi pemanfaatan sumberdaya alam yang
didasarkan pada optimalisasi manfaat dengan memperhatikan
kepentingan dan kondisi daerah maupun nasional.
g. Pasal 7: Menugaskan Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden
untuk segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria
dan pengelolaan sumberdaya alam dengan menjadikan Ketetapan ini
sebagai landasan dalam setiap pembuatan kebijakan; dan semua
undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan
dengan Ketetapan ini harus segera dicabut, diubah, dan/atau diganti.
h. Pasal 8: Menugaskan kepada Presiden Republik Indonesia untuk
segera melaksanakan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumberdaya Alam serta melaporkan pelaksanaannya pada Sidang
Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.

C. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar


Pokok-pokok Agraria
1. Latar Belakang Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria
Indonesia yang susunan kehidupan rakyatnya (termasuk
perekonomiannya), masih bercorak agraria, maka bumi, air dan ruang
angkasa, yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai
fungsi yang sangat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan

54
makmur sebagai yang dicita-citakan. Oleh karenanya hukum Agraria yang
berlaku pada jaman penjajahan, yang seharusnya merupakan salah satu
alat yang penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur
tersebut, ternyata dalam banyak hal justru merupakan penghambat dari
tercapainya cita-cita diatas. Hal ini disebabkan terutama:
a. karena hukum agraria yang berlaku pada zaman penjajahan sebagian
tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintah
jajahan, dan sebagian lainnya lagi dipengaruhi olehnya, hingga
bertentangan dengan kepentingan rakyat dan negara dalam
melaksanakan pembangunan semesta dalam rangka menyelesaikan
revolusi nasional pada saat itu;
b. karena sebagai akibat dari politik hukum pemerintah jajahan, maka
hukum agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, yaitu dengan
berlakunya peraturan-peraturan dari hukum adat disamping
peraturan-peraturan dari dan yang didasarkan atas hukum barat, hal
ini selain menimbulkan berbagai masalah antar golongan yang serba
sulit (pada saat itu), juga tidak sesuai dengan cita-cita persatuan
Bangsa;
c. karena bagi rakyat asli, hukum agraria penjajahan itu tidak
menjamin kepastian hukum.
Berhubung dengan tersebut di atas, perlu ada hukum agraria baru
yang bersifat nasional, yang akan mengganti hukum yang berlaku
sebelumnya, yang tidak lagi bersifat dualisme, tetapi yang sederhana dan
yang menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hukum agraria yang dirumuskan tersebut diharapkan akan memberi
kemungkinan akan tercapainya fungsi bumi, air dan ruang angkasa sebagai
yang dimaksudkan di atas dan harus sesuai pula dengan kepentingan
rakyat dan negara serta memenuhi keperluan menurut permintaan zaman
dalam segala soal agraria. Selain itu, hukum agraria nasional harus
mewujudkan penjelmaan dari pada asas kerokhanian, negara dan cita-cita
bangsa, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan,
Kerakyatan dan Keadilan Sosial serta khususnya harus merupakan
pelaksanaan dari ketentuan dalam Pasal 33 UUD 1945 dan Garis-garis

55
Besar Haluan Negara yang tercantum didalam Manifesto Politik Republik
Indonesia tanggal 17 Agustus 1959 dan ditegaskan dalam Pidato Presiden
tanggal 17 Agustus 1960.
Undang-undang ini sifatnya sebagai peraturan dasar bagi hukum
agraria, di dalamnya hanyalah asas-asas serta soal-soal dalam garis
besarnya saja dan oleh karena itu disebut Undang-Undang Pokok Agraria
yang pelaksanaan lebih lanjut diatur didalam berbagai undang-undang,
peraturan pemerintah, dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Undang-Undang Pokok Agraria disusun dengan tujuan:
a. meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional,
yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran,
kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat
tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.
b. meletakan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan ke-
sederhanaan dalam hukum pertanahan.
c. meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum
mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

2. Dasar-Dasar Hukum Agraria Nasional


Undang-Undang Pokok Agraria sebagai peraturan dasar yang mengatur
mengenai penguasaan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemilikan sumber-
sumber agraria berisi sejumlah dasar-dasar politik hukum berikut.
a. Dasar kenasionalan itu diletakkan dalam pasal 1 ayat (1), yang
menyatakan: "Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari
seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia" dan
Pasal 1 ayat 2 yang berbunyi bahwa: "Seluruh bumi, air dan ruang
angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam
wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa,
adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan
kekayaan nasional".
Hal ini berarti bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah
Republik Indonesia yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh bangsa
sebagai keseluruhan, menjadi hak pula dari bangsa Indonesia. Jadi

56
tidak semata-mata menjadi hak dari para pemiliknya saja. Demikian
pula tanah-tanah di daerah-daerah dan pulau-pulau tidaklah samata-
mata menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau yang
bersangkutan saja. Dengan pengertian demikian, hubungan bangsa
Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa Indonesia merupakan
semacam hubungan hak ulayat yang diangkat pada tingkatan yang
paling atas, yaitu pada tingkatan yang mengenai seluruh wilayah
Negara.
Adapun hubungan antara bangsa dan bumi, air serta ruang
angkasa Indonesia itu adalah hubungan yang bersifat abadi (Pasal 1
ayat (3)). Hal ini berarti selama rakyat Indonesia yang bersatu sebagai
bangsa Indonesia masih ada dan selama bumi, air serta ruang angkasa
Indonesia itu masih ada pula, dalam keadaan yang bagaimanapun tidak
ada sesuatu kekuasaan yang akan dapat memutuskan atau
meniadakan hubungan tersebut.
Hubungan antara bangsa dan bumi, air serta ruang angkasa
tersebut tidak berarti, bahwa hak milik perseorangan atas (sebagian
dari) bumi tidak dimungkinkan lagi. Di atas telah dikemukakan, bahwa
hubungan itu adalah semacam hubungan hak ulayat, jadi bukan berarti
hubungan milik. Dalam rangka hak ulayat dikenal adanya hak milik
perseorangan. Kiranya dapat ditegaskan bahwa dalam hukum agraria
yang baru dikenal pula hak milik yang dapat dipunyai seseorang, baik
sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain atas bagian
dari bumi Indonesia (Pasal 4 jo.Pasal 20). Dalam pada itu hanya
permukaan bumi saja, yaitu yang disebut tanah, yang dapat dihaki oleh
seseorang.
Selain hak milik sebagai hak turun-temurun, terkuat, dan
terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, terdapat pula hak
guna-usaha, hak guna-bangunan, hak-pakai, hak sewa, dan hak-hak
lainnya yang akan ditetapkan dengan Undang-undang lain (Pasal 4 jo
Pasal 16).
b. Mengganti asas domein warisan kolonial. Asas domein yang
dipergunakan sebagai dasar dari perundang-undangan agraria yang

57
berasal dari Pemerintah jajahan tidak dikenal dalam hukum agraria
yang baru.Asas domein bertentangan dengan kesadaran hukum rakyat
Indonesia dan asas dari negara yang merdeka dan modern.Berhubung
dengan ini asas tersebut, yang dipertegas dalam berbagai "pernyataan
domein", yaitu misalnya dalam Pasal 1 Agrarisch Besluit (S.1870-118),
S.1875-119a, S.1874- 94f, S.1888-58 ditinggalkan dan pernyataan-
pernyataan domein itu dicabut kembali.
Undang-Undang Pokok Agraria berpangkal pada pendirian, bahwa
untuk mencapai apa yang ditentukan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI
1945 tidak perlu dan tidaklah pula pada tempatnya, bahwa bangsa
Indonesia ataupun negara bertindak sebagai pemilik tanah. Adalah lebih
tepat jika negara, sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat
(bangsa) bertindak selaku Badan Penguasa. Dari sudut inilah harus
dilihat arti ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan, bahwa
"Bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya, pada tingkatan yang tertinggi dikuasai oleh
Negara". Sesuai dengan pangkal pendirian tersebut diatas perkataan
"dikuasai" dalam pasal ini bukanlah berarti "dimiliki", akan tetapi
adalah pengertian, yang memberi wewenang kepada negara, sebagai
organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia, untuk pada tingkatan
yang tertinggi:
1) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaannya.
2) menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas
(bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu.
3) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukkum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi,
air dan ruang angkasa.
Segala sesuatunya dengan tujuan untuk mencapai sebesar-besar
kemakmuran rakyat dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur
(Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3)).
Kekuasaan negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang
dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu.Artinya sampai

58
seberapa negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyai untuk
menggunakan haknya, sampai disitulah batas kekuasaan Negara
tersebut. Adapun isi hak-hak itu serta pembatasan-pembatasannya
dinyatakan dalam Pasal 4 dan pasal-pasal berikutnya serta pasal-pasal
dalam BAB II.
Kekuasaan Negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan
sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lainnya adalah lebih luas dan
penuh. Dengan berpedoman pada tujuan yang disebutkan diatas negara
dapat memberikan tanah yang demikian itu kepada seseorang atau
badan-hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan
keperluannya, misalnya hak milik, hak-guna-usaha, hak guna-
bangunan atau hak pakai atau memberikannya dalam pengelolaan
kepada sesuatu Badan Penguasa (Departemen, Jawatan atau Daerah
Swatantra) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-
masing (Pasal 2 ayat (4)). Kekuasaan Negara atas tanah-tanah inipun
sedikit atau banyak dibatasi pula oleh hak ulayat dari kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum, sepanjang menurut kenyataannya hak
ulayat itu masih ada.
c. Pengakuan terhadap keberadaan hak ulayat masyaakat hukum adat.
Bertalian dengan hubungan antara bangsa dan bumi serta air dan
kekuasaan negara sebagai yang disebut dalam Pasal 1 dan Pasal 2
maka didalam Pasal 3 diadakan ketentuan mengenai hak ulayat dari
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum, yang dimaksud akan
mendudukkan hak itu pada tempat yang sewajarnya dalam alam
bernegara dewasa ini. Pasal 3 itu menentukan: "Pelaksanaan hak ulayat
dan hak-hak yang serupa itu dari masya-rakat-masyarakat hukum adat,
sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa
hingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan
dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi".
Ketentuan ini pertama-tama berpangkal pada pengakuan adanya
hak ulayat dalam hukum agraria yang baru. Sebagaimana diketahui
biarpun menurut kenyataannya hak ulayat itu ada dan berlaku serta

59
diperhatikan pula didalam keputusan-keputusan hakim, belum pernah
hak tersebut diakui secara resmi dalam undang-undang, dengan akibat
bahwa dalam melaksanakan peraturan-peraturan agraria hak ulayat itu
pada zaman penjajahan dulu sering kali diabaikan. Penyebutan hak
ulayat dalam Undang-undang Pokok Agraria, yang pada hakekatnya
berarti pengakuan hak itu, maka pada dasarnya hak ulayat itu akan
diperhatikan, sepanjang hak tersebut menurut kenyataannya memang
masih ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan. Misalnya
dalam pemberian sesuatu hak atas tanah (umpamanya hak guna-
usaha) masyarakat hukum yang bersangkuatan. sebelumnya akan
didengar pendapatanya dan akan diberi "recognitie", yang memang ia
berhak menerimanya selaku pemegang hak ulayat itu.
Tetapi sebaliknya tidaklah dapat dibenarkan, jika berdasarkan
hak ulayat itu masyarakat hukum tersebut menghalang-halangi
pemberian hak guna-usaha. Sedangkan pemberian hak tersebut di
daerah itu sungguh perlu untuk kepentingan yang lebih luas. Demikian
pula tidaklah dapat dibenarkan jika sesuatu masyarakat hukum
berdasarkan hak ulayatnya, misalnya menolak begitu saja dibukanya
hutan secara besar-besaran dan teratur untuk melaksanakan proyek-
proyek yang besar dalam rangka pelaksanaan rencana menambah hasil
bahan makanan dan pemindahan penduduk. Pengalaman
menunjukkan pula, bahwa pembangunan daerah-daerah itu sendiri
seringkali terhambat karena mendapat kesukaran mengenai hak ulayat.
Inilah yang merupakan pangkal pikiran kedua dari ketentuan Pasal 3 di
atas. Kepentingan sesuatu masyarakat hukum harus tunduk pada
kepentingan nasional dan negara yang lebih luas dan hak ulayatnya
pun pelaksanaannya harus sesuai dengan kepentingan yang lebih luas.
Tidaklah dapat dibenarkan, jika dalam alam bernegara dewasa ini
sesuatu masyarakat hukum masih mempertahankan isi dan
pelaksanaan hak ulayatnya secara mutlak, seakan-akan ia terlepas dari
hubungannya dengan masyarakat hukum dan daerah-daerah lainnya
dalam lingkungan negara sebagai kesatuan. Sikap yang demikian terang
bertentangan dengan asas pokok yang tercantum dalam Pasal 2 dan

60
dalam prakteknya pun akan membawa akibat terhambatnya usaha-
usaha besar untuk mencapai kemakmuran Rakyat seluruhnya.
Tetapi sebagaimana telah jelas dari uraian di atas, tidak
berartibahwa kepentingan masyarakat hukum yang bersangkutan tidak
akan diperhatikan sama sekali.
d. Dasar yang keempat diletakkan dalam Pasal 6, yaitu bahwa "Semua hak
atas tanah mempunyai fungsi sosial". Hal ini berarti, bahwa hak atas
tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan
tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-
mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan
kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan
dengan keadaannya dan sifat dari haknya, hingga bermanfaat baik bagi
kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun
bermanfaat bagi masyarakat dan negara.
Tetapi ketentuan tersebut tidak berarti bahwa kepentingan
perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum
(masyarakat). Undang-Undang Pokok Agraria memperhatikan pula
kepentingan-kepentingan perseorangan.
Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah
saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapailah tujuan
pokok: kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya
(Pasal 2 ayat (3)).
Berhubung dengan fungsi sosialnya, suatu hal yang sewajarnya
tanah itu harus dipelihara baik-baik, agar bertambah kesuburannya
serta dicegah kerusakannya. Kewajiban memelihara tanah ini tidak saja
dibebankan kepada pemiliknya atau pemegang haknya yang
bersangkutan, melainkan menjadi beban pula dari setiap orang, badan-
hukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan
tanah itu (Pasal 15). Dalam melaksanakan ketentuan tersebut akan
diperhatikan kepentingan fihak yang secara ekonomis lemah.
e. Hanya warga Indonesia yang dapat mempunyai hak atas tanah. Sesuai
dengan asas kebangsaan tersebut dalam Pasal 1, menurut Pasal 9 jo
Pasal 21 ayat (1) hanya warganegara Indonesia saja yang dapat

61
mempunyai hak milik atas tanah. Hak milik tidak dapat dipunyai oleh
orang asing dan pemindahan hak milik kepada orang asing dilarang
(Pasal 26 ayat (2)). Orang-orang asing dapat mempunyai tanah dengan
hak pakai yang luasnya terbatas. Demikian juga pada dasarnya badan-
badan hukum tidak dapat mempunyai hak milik (Pasal 21 ayat (2)).
Adapun pertimbangan untuk (pada dasarnya) melarang badan-badan
hukum mempunyai hak milik atas tanah, ialah karena badan-badan
hukum tidak perlu mempunyai hak milik tetapi cukup hak-hak lainnya,
asal saja ada jaminan-jaminan yang cukup bagi keperluan-keperluan
yang khusus (hak guna-usaha, hak guna-bangunan, hak pakai menurut
Pasal 28, Pasal 35 dan Pasal 41). Dengan demikian dapat dicegah
usaha-usaha yang bermaksud menghindari ketentuan-ketentuan
mengenai batas maksimum luas tanah yang dipunyai dengan hak milik
(Pasal 17).
Meskipun pada dasarnya badan-badan hukum tidak dapat
mempunyai hak milik atas tanah, tetapi mengingat akan keperluan
masyarakat yang sangat erat hubungannya dengan faham keagamaan,
sosial dan hubungan perekonomian, maka diadakanlah suatu "escape-
clause" yang memungkinkan badan-badan hukum tertentu mempunyai
hak milik. Dengan adanya "escape-clause" ini maka cukuplah nanti bila
ada keperluan akan hak milik bagi sesuatu atau macam badan hukum
diberikan dispensasi oleh Pemerintah, dengan jalan menunjuk badan
hukum tersebut sebagai badan-badan hukum yang dapat mempunyai
hak milik atas tanah (Pasal 21 ayat (2)). Badan-badan hukum yang
bergerak dalam lapangan sosial dan keagamaan ditunjuk dalam pasal
49 sebagai badan-badan yang dapat mempunyai hak milik atas tanah,
tetapi sepanjang tanahnya diperlukan untuk usahanya dalam bidang
sosial dan keagamaan itu. Dalam hal-hal yang tidak langsung
berhubungan dengan bidang itu mereka dianggap sebagai badan
hukum biasa.
f. Kesetaraan antara laki-laki dan wanita. Terkait dengan asas
kebangsaan di atas ditentukan dalam Pasal 9 ayat (2): "Tiap-tiap
warganegara Indonesia baik laki-laki maupun wanita mempunyai

62
kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta
untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun
keluarganya".
Sejalan dengan hal itu perlu diadakan perlindungan bagi golongan
warganegara yang lemah terhadap sesama warga-negara yang kuat
kedudukan ekonominya. Dalam Pasal 26 ayat (1) ditentukan: "Jual beli,
penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-
perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta
pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah". Ketentuan inilah
yang akan merupakan alat untuk melindungi golongan-golongan yang
lemah dimaksud.
Selanjutnya dapat ditunjuk pula ketentuan-ketentuan yang
dimuat dalam Pasal 11 ayat (1), yang bermaksud mencegah terjadinya
penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui
batas dalam bidang-bidang usaha agrarian hal mana bertentangan
dengan asas keadilan sosial yang berperikemanusiaan. Segala usaha
bersama dalam lapangan agraria harus didasarkan atas kepentingan
bersama dalam rangka kepentingan nasional (Pasal 12 ayat (1)) dan
Pemerintah berkewajiban untuk mencegah adanya organisasi dan
usaha-usaha perseorangan dalam lapangan agraria yang bersifat
monopoli swasta (Pasal 13 ayat (2)).
Bukan saja usaha swasta, tetapi usaha-usaha pemerintah yang
bersifat monopoli harus dicegah jangan sampai merugikan rakyat
banyak. Oleh karena itu usaha-usaha pemerintah yang bersifat
monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan undang- undang (Pasal
13 ayat (3)).
g. Penataan ulang penguasaan, penggunaan, pemilikan dan pemanfaatan
sumber-sumber agraria. Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) mengatur suatu
asas yang sedang menjadi dasar perubahan-perubahan dalam struktur
pertanahan hampir diseluruh dunia, yaitu dinegara-negara yang
telah/sedang menyelenggarakan apa yang disebut "landreform" atau
"agrarian reform" yaitu"Tanah pertanian harus dikerjakan atau
diusahakan secara aktip oleh pemiliknya sendiri".

63
Supaya semboyan tersebut dapat diwujudkan perlu diadakan
ketentuan-ketentuan lainnya. Misalnya ketentuan tentang batas
minimum luas tanah yang harus dimiliki oleh orang tani, supaya ia
mendapat penghasilan yang cukup untuk hidup layak bagi diri sendiri
dan keluarganya (Pasal 13 jo Pasal 17). Selain itu perlu ada ketentuan
mengenai batas maksimum luas tanah yang boleh dipunyai dengan hak
milik (Pasal 17), agar dicegah tertumpuknya tanah ditangan golongan-
golongan yang tertentu saja. Dalam hubungan ini Pasal 7 memuat suatu
asas yang penting, yaitu pemilikan dan penguasaan tanah yang
melampaui batas tidak dipekenankan, karena hal yang demikian itu
adalah merugikan kepentingan umum. Akhirnya ketentuan itu perlu
dibarengi pula dengan pemberian kredit, bibit dan bantuan-bantuan
lainnya dengan syarat-syarat yang ringan, sehingga pemiliknya tidak
akan terpaksa bekerja dalam lapangan lain, dengan menyerahkan
penguasaan tanahnya kepada orang lain.
Mengingat susunan masyarakat pertanian kita sekarang masih
perlu dibuka kemungkinan adanya penggunaan tanah pertanian oleh
orang-orang yang bukan pemiliknya, misalnya secara sewa, bagi-hasil,
gadai dan lain sebagainya. Tetapi segala sesuatu peraturan-peraturan
lainnya, yaitu untuk mencegah hubungan-hubungan hukum yang
bersifat penindasan si-lemah oleh si-kuat (Pasal 24, Pasal 41 dan Pasal
53). Begitulah misalnya pemakaian tanah atas dasar sewa, perjanjian
bagi-hasil, gadai dan sebagainya itu tidak boleh diserahkan pada
persetujuan pihak-pihak yang berkepentingan sendiri atas dasar
"freefight", akan tetapi penguasa akan memberi ketentuan-ketentuan
tentang cara dan syarat-syaratnya, agar dapat memenuhi pertimbangan
keadilan dan dicegah cara-cara pemerasan ("exploitation de l-'homme par
l'homme"). Sebagai misal dapat dikemukakan ketentuan-ketentuan
didalam UU No. 2 Tahun 1960 tentang "Perjanjian Bagi Hasil" (L.N.
1960-2).
Ketentuan pasal 10 ayat (1) tersebut adalah suatu asas, yang
pelaksanaannya masih memerlukan pengaturan lebih lanjut (ayat (2)).
Dalam keadaan susunan masyarakat kita sekarang ini peraturan

64
pelaksanaan itu nanti masih perlu membuka kemungkinan
diadakannya dispensasi. Misalnya seorang pegawai-negeri yang untuk
persediaan hari-tuanya mempunyai tanah satu dua hektar dan
berhubung dengan pekerjaannya tidak mungkin dapat
mengusahakannya sendiri, harus dimungkinkan untuk terus memiliki
tanah tersebut. Selama itu tanahnya boleh diserahkan kepada orang
lain untuk diusahakan dengan perjanjian sewa, bagi-hasil dan lain
sebagainya. Tetapi setelah ia tidak bekerja lagi, misalnya setelah
pensiun, tanah itu harus diusahakannya sendiri secara aktip (ayat (3)).
h. Perencanaan penguasaan, penggunaan, pemilikan dan pemanfaatan
tanah. Akhirnya untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa dan
negara tersebut, perlu suatu rencana ("planning") mengenai peruntukan,
penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang angkasa untuk
pelbagai kepentingan hidup rakyat dan negara: Rencana Umum
("National planning") yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, yang
kemudian diperinci menjadi rencana-rencana khusus ("regional
planning") dari tiap-tiap daerah (Pasal 14). Dengan perencanaan itu
penggunaan tanah dapat dilakukan secara terpimpin dan teratur hingga
dapat membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi negara dan
rakyat.

3. Dasar-Dasar untuk Mengadakan Kesatuan dan Kesederhanaan


Hukum Pertanahan
Dasar-dasar untuk mencapai tujuan tersebut nampak jelas di dalam
ketentuan yang dimuat dalam Bab II Undang-Undang Pokok Agraria.
a. Sebagaimana telah diterangkan diatas hukum agraria sekarang ini
mempunyai sifat "dualisme" dan mengadakan perbedaan antara hak-
hak tanah menurut hukum adat dan hak-hak tanah menurut hukum-
barat, yang berpokok pada ketentuan-ketentuan dalam Buku II Kitab
Undang-undang Hukum Perdata Indonesia. Undang-undang Pokok
Agraria bermaksud menghilangkan dualisme dan secara sadar hendak
mengadakan kesatuan hukum, sesuai dengan keinginan rakyat sebagai
bangsa yang satu dan sesuai pula dengan kepentingan perekonomian.

65
Dengan sendirinya hukum agraria baru itu harus sesuai
dengan kesadaran hukum rakyat banyak. Oleh karena rakyat Indonesia
sebagian terbesar tunduk pada hukum adat, maka hukum agraria yang
baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum
adat itu, sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan dan
disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara yang
modern/internasional. Sebagaimana dimaklumi hukum adat dalam
pertumbuhannya tidak terlepas pula dari pengaruh politik dan
masyarakat kolonial yang kapitalistis dan masyarakat swapraja yang
feodal.
b. Dalam menyelenggarakan kesatuan hukum itu Undang- undang Pokok
Agraria tidak menutup mata terhadap masih adanya perbedaan dalam
keadaan masyarakat dan keperluan hukum dari golongan-golongan
rakyat. Berhubung dengan itu ditentukan dalam pasal 11 ayat 2:
"Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keprluan hukum golongan
rakyat dimana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional diperhatikan". Yang dimaksud dengan perbedaan yang
didasarkan atas golongan rakyat misalnya perbedaan dalam keperluan
hukum rakyat kota dan rakyat perdesaan, pula rakyat yang ekonominya
kuat dan rakyat yang lemah ekonominya. Maka ditentukan dalam ayat
2 tersebut selanjutnya, bahwa dijamin perlindungan terhadap
kepentingan golongan yang ekonomis lemah.
c. Penghapusan perbedaan antara hukum-adat dan hukum-barat dalam
bidang hukum agraria, maka maksud untuk mencapai, kesederhanaan
hukum pada hakekatnya akan terselenggarakan pula.
Selain hak milik sebagai hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh
yang dapat dipunyai orang atas tanah, hukum agraria yang baru pada
pokoknya mengenal hak-hak atas tanah, menurut hukum adat yang
disebut dalam pasal 16 ayat (1) huruf (d) sampai dengan (g). Adapun untuk
memenuhi keperluan yang telah terasa dalam masyarakat kita sekarang
diadakan 2 hak baru, yaitu hak guna-usaha (guna perusahaan pertanian,
perikanan dan peternakan) dan hak guna-bangunan (guna

66
mendirikan/mempunyai bangunan diatas tanah orang lain) pasal 16 ayat
(1) huruf b dan c).
Adapun hak-hak yang ada mulai berlakunya Undang-Undang ini
semuanya akan dikonvensi menjadi salah satu hak yang baru menurut
Undang-undang Pokok Agraria.

4. Dasar-Dasar untuk Menciptakan Kepastian Hukum


Usaha yang menuju kearah kepastian hak atas tanah tampak dari
ketentuan dari pasal-pasal yang mengatur pendaftaran tanah. Pasal 23, 32
dan 38, ditujukan kepada para pemegang hak yang bersangkutan, dengan
maksud agar mereka memperoleh kepastian tentang haknya itu. Sedangkan
Pasal 19 ditujukan kepada Pemerintah sebagai suatu perintah, agar
diseluruh wilayah Indonesia diadakan pendaftaran tanah yang bersifat
"rechts-kadaster", artinya yang bertujuan menjamin kepastian hukum.
Adapun pendaftaran itu akan diselenggarakan dengan mengingat
pada kepentingan serta keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalu-
lintas sosial ekonomi dan kemungkinan-kemungkinannya dalam bidang
personil dan peralatannya. Oleh karena itu maka akan didahulukan
penyelenggaraannya dikota-kota untuk lambat laun meningkat pada
kadaster yang meliputi seluruh wilayah negara.
Sesuai dengan tujuannya yaitu akan memberikan kepastian hukum
maka pendaftaran itu diwajibkan bagi para pemegang hak yang
bersangkutan, dengan maksud agar mereka memperoleh kepastian tentang
haknya itu. Sedangkan pasal 19 ditujukan kepada Pemerintah sebagai
suatu instruksi; agar diseluruh wilayah Indonesia diadakan pendaftaran
tanah yang bersifat "rechts- kadaster", artinya yang bertujuan menjamin
kepastian hukum.

D. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan


Kehakiman
UUD NRI 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum.
Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara
hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman

67
yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Pasal
24 ayat (1) UUD NRI 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan.
Perubahan UUD NRI 1945 telah membawa perubahan dalam
kehidupan ketatanegaraan, khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan
kehakiman. Perubahan tersebut antara lain menegaskan bahwa:
a. kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.
b. Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan
oleh undang-undang.
c. Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
d. Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung
dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Pada dasarnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman telah sesuai dengan perubahan Undang-UUD NRI
1945 di atas, namun substansi undang-undang tersebut belum mengatur
secara komprehensif tentang penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, yang
merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah

68
Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.
Selain pengaturan secara komprehensif, undang-undang ini juga
untuk memenuhi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU/2006,
yang salah satu amarnya telah membatalkan Pasal 34 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut juga telah membatalkan ketentuan yang terkait dengan
pengawasan hakim dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial.
Sehubungan dengan hal tersebut, sebagai upaya untuk memperkuat
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dan mewujudkan sistem peradilan
terpadu (integrated justice system), maka Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai dasar penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman perlu diganti.
Hal-hal penting dalam undang-undang ini antara lain sebagai berikut:
a. Mereformulasi sistematika Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman terkait dengan pengaturan secara
komprehensif dalam undang-undang ini, misalnya adanya bab
tersendiri mengenai asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman.
b. Pengaturan umum mengenai pengawasan hakim dan hakim
konstitusi sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan Kode
Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
c. Pengaturan umum mengenai pengangkatan dan pemberhentian
hakim dan hakim konstitusi.
d. Pengaturan mengenai pengadilan khusus yang mempunyai
kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara
tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan
badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung.
e. Pengaturan mengenai hakim ad hoc yang bersifat sementara dan
memiliki keahlian serta pengalaman di bidang tertentu untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara.
f. Pengaturan umum mengenai arbitrase dan alternatif penyelesaian
sengketa di luar pengadilan.

69
g. Pengaturan umum mengenai bantuan hukum bagi pencari keadilan
yang tidak mampu dan pengaturan mengenai pos bantuan hukum
pada setiap pengadilan.
h. Pengaturan umum mengenai jaminan keamanan dan kesejahteraan
hakim dan hakim konstitusi.

E. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung


sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2004 dan Perubahan Kedua dengan Undang-Undang 3 Tahun
2009
Salah satu unsur dalam tujuan pembangunan nasional yang diamanatkan
Garis-garis Besar Haluan Negara (saat lahirnya Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 dan sebelum diganti dengan RPJMN dan RPJMP) adalah
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu, dan
berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang sejahtera,
aman, tenteram, dan tertib. Suasana perikehidupan tersebut di atas
merupakan bagian dari gambaran terhadap tata kehidupan bangsa
Indonesia yang dicita-citakan perwujudannya melalui rangkaian upaya dan
kegiatan pembangunan yang berlanjut dan berkesinambungan.
Namun demikian pengalaman dalam kehidupan bernegara dan
berbangsa sejak kemerdekaan menunjukkan, bahwa usaha untuk
mewujudkan perikehidupan seperti itu sangat dipengaruhi oleh berbagai
hal yang saling berkait satu dengan lainnya. Cita tentang keadilan,
kebenaran, kepastian hukum, dan ketertiban sistem serta penyelenggaraan
hukum merupakan hal yang mempengaruhi tumbuhnya suasana
perikehidupan sebagaimana dimaksudkan di atas. Masalahnya adalah, hal
tersebut secara bersamaan merupakan pula tujuan kegiatan pembangunan
dibidang hukum dalam kerangka pelaksanaan pembangunan nasional.
Dengan pemahaman seperti ini, salah satu pendekatan yang ingin
dilakukan adalah kaitannya dengan penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman.

70
Berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata
Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Antar Lembaga-lembaga
Tinggi Negara dihubungkan dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana
yang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah Agung diberi kekuasaan dan
kewenangan untuk:
a. memeriksa dan memutus:
1) permohonan kasasi;
2) sengketa tentang kewenangan mengadili;
3) permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
b. memberikan pertimbangan dalam bidang hukum baik diminta
maupun tidak, kepada Lembaga Tinggi Negara;
c. memberikan nasehat hukum kepada presiden selaku Kepala Negara
untuk pemberian atau penolakan grasi;
d. menguji secara materiil hanya terhadap peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang;
e. melaksanakan tugas dan kewenangan lain berdasarkan undang-
undang.
Untuk dapat menyelenggarakan kekuasaan dan kewenangan tersebut
dengan sebaik-baiknya, Mahkamah Agung melaksanakan hal-hal sebagai
berikut :
a. wewenang pengawasan meliputi:
1) jalannya peradilan;
2) pekerjaan Pengadilan dan tingkah laku para Hakim di semua
Lingkungan Peradilan;
3) pengawasan yang dilakukan terhadap Penasihat Hukum dan
Notaris sepanjang yang menyangkut peradilan;
4) pemberian peringatan, tegoran, dan petunjuk yang diperlukan.
b. meminta keterangan dan pertimbangan dari :
1) Pengadilan di semua Lingkungan Peradilan;

71
2) Jaksa Agung;
3) Pejabat lain yang diserahi tugas penuntutan perkara pidana.
c. membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan
atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran jalannya
peradilan.
d. mengatur sendiri administrasinya baik mengenai administrasi
peradilan maupun administrasi umum.
Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana yang telah diganti
dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman ditegaskan:
a. Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara
hukum Republik Indonesia;
b. penyelenggara Kekuasaan Kehakiman adalah Pengadilan di
lingkungan:
1. Peradilan Umum;
2. Peradilan Agama;
3. Peradilan Militer;
4. Peradilan Tata Usaha Negara.
c. Mahkamah Agung adalah Pengadilan Tertinggi dan melakukan
pengawasan tertinggi atas perbuatan Pengadilan.
Dengan memperhatikan kedudukan dan peranan Mahkamah Agung
seperti tersebut di atas, perlu diberikan pengaturan yang mantap, jelas, dan
tegas kepada lembaga ini.
Salah satu prinsip yang telah diletakkan dalam Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana yang telah diganti dengan Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, adalah
bahwa peradilan harus memenuhi harapan para pencari keadilan yang
selalu menghendaki peradilan yang sederhana, cepat, tepat, adil, dan biaya
ringan. Seiring dengan prinsip tersebut di atas serta sebagai upaya untuk
mewujudkan sistem peradilan yang lebih efektif dan efisien dalam

72
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di negara hukum Republik
Indonesia, dalam Undang-undang ini ditegaskan bahwa Mahkamah Agung
adalah Pengadilan Negara Tertinggi dari semua Lingkungan Peradilan.
Untuk memperoleh Hakim Agung yang merdeka, berani mengambil
keputusan dan bebas dari pengaruh, baik dari dalam maupun dari luar,
diperlukan persyaratan sebagaimana diuraikan dalam Undang-undang ini.
Pada dasarnya pengangkatan Hakim Agung berdasarkan sistem karier dan
tertutup.
Namun demikian dalam hal-hal tertentu dapat pula dibuka
kemungkinan untuk mengangkat Hakim Agung yang tidak didasarkan
sistem karier. Untuk Hakim Agung yang didasarkan sistem karier berlaku
ketentuan Pasal 11 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 (Lembaran
Negara Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3041).
Selanjutnya untuk dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik-
baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila, maka perlu pula dibuat suatu undang-
undang yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku,
sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong
kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan yang dikenal
sebagai "Contempt of Court".
Mengenai bagaimana Mahkamah Agung akan dapat melaksanakan
tugas tersebut, Undang-undang ini juga memberikan kepadanya
keleluasaan untuk menetapkan sendiri pembidangan tugas dalam susunan
organisasinya sehingga dapat secara tuntas menjangkau penyelesaian
semua masalah yang berasal dari berbagai lingkungan peradilan.
Namun begitu mengingat tugas tersebut sangat luas dan berat, maka
untuk memberi dukungan administrasi yang sebaik-baiknya, dalam
Undang-undang ini ditetapkan adanya Sekretaris Jenderal yang dirangkap
oleh Panitera Mahkamah Agung. Perangkapan jabatan ini didasarkan pada
pemikiran bahwa dengan demikian penyelenggaraan pelayanan
administrasi Mahkamah Agung secara keseluruhan dapat dilakukan
dengan lebih efektif dan terpadu. Untuk itu, dalam pelaksanaan tugas
sehari-hari. Panitera Mahkamah Agung dibantu oleh Wakil Panitera

73
Mahkamah Agung untuk tugas-tugas administrasi peradilan, dan
Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung dibantu oleh Wakil Sekretaris
Jenderal Mahkamah Agung untuk tugas-tugas penyelenggaraan
administrasi umum, seperti pengurusan keuangan, kepegawaian, peralatan,
pemeliharaan, dan lain-lain.
Dengan pemisahan ini, panitera dapat lebih memusatkan
perhatiannya kepada tugas-tugas yang bersifat teknis peradilan. Sedangkan
pemberian dukungan administrasi yang meliputi administrasi keuangan,
kepegawaian peralatan, pemeliharaan, dan lain-lainnya diselenggarakan
oleh Sekretariat Jenderal.
Dalam perkembangannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985,
diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004. undang-undang ini
memuat perubahan terhadap berbagai substansi Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Perubahan tersebut, di samping
guna disesuaikan dengan arah kebijakan yang telah ditetapkan dalam UUD
NRI 1945, juga didasarkan atas Undang-undang mengenai kekuasaan
kehakiman baru yang menggantikan Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
sebagaimana diubah dengan Undang- Undang-Undang Nomor 35 Tahun
1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Substansi perubahan dalam undang-undang ini antara lain tentang
penegasan kedudukan Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan
kehakiman, syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi hakim agung,
serta beberapa substansi yang menyangkut hukum acara, khususnya
dalam melaksanakan tugas dan kewenangan dalam memeriksa dan
memutus pada tingkat kasasi serta dalam melakukan hak uji terhadap
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Dalam
Undang-Undang ini diadakan pembatasan terhadap perkara yang dapat
dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung. Pembatasan ini dimaksudkan
untuk mengurangi kecenderungan setiap perkara diajukan ke Mahkamah
Agung sekaligus untuk mendorong peningkatan kualitas putusan

74
pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding sesuai dengan nilai-nilai
hukum dan keadilan dalam masyarakat.
Dengan bertambahnya ruang lingkup tugas dan tanggung jawab
Mahkamah Agung antara lain di bidang pengaturan dan pengurusan
masalah organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di bawah
Mahkamah Agung, maka organisasi Mahkamah Agung perlu dilakukan pula
penyesuaian.
Dalam rangka penyesuaian dimaksud dan mengakomodasi
perkembangan hukum dalam masyarakat, maka Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2004 tersebut, dilakukan perubahan kembali
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009. Jadi, undang-undang ini
adalah Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004.
Perubahan dilakukan karena Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004,
khususnya yang menyangkut pengawasan, sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan ketatanegaraan
menurut UUD NRI 1945. Mahkamah Agung adalah pengadilan negara
tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang berada di bawahnya. Oleh
karena itu, Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap
badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha
negara. Akan tetapi, Mahkamah Agung bukan satu-satunya lembaga yang
melakukan pengawasan karena ada pengawasan eksternal yang dilakukan
oleh Komisi Yudisial. Berdasarkan Pasal 24B UUD NRI 1945, Komisi
Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan
mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Oleh karena itu,
diperlukan kejelasan tentang pengawasan yang menjadi kewenangan
Mahkamah Agung dan pengawasan yang menjadi kewenangan Komisi
Yudisial. Pengawasan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung meliputi
pelaksanaan tugas yudisial, administrasi, dan keuangan, sedangkan

75
pengawasan yang menjadi kewenangan Komisi Yudisial adalah pengawasan
atas perilaku hakim, termasuk hakim agung. Dalam rangka pengawasan
diperlukan adanya kerja sama yang harmonis antara Mahkamah Agung dan
Komisi Yudisial.

F. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum


sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2004 dan Perubahan Kedua dengan Undang-Undang Nomor
49 Tahun 2009.
Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan
Pancasila dan UUD NRI 1945 mengupayakan terwujudnya keadilan,
kebenaran, kepastian hukum, dan ketertiban penyelenggaraan sistem
hukum yang merupakan hal-hal pokok untuk menjamin kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Lebih dari itu, hal pokok tersebut merupakan masalah yang sangat
penting dalam usaha mewujudkan suasana perikehidupan yang sejahtera,
aman, tenteram, dan tertib seperti yang diamanatkan oleh Garis-garis Besar
Haluan Negara yang saat ini diganti dengan RPJMN dan RPJMP. Oleh
karena itu untuk mewujudkannya dibutuhkan adanya lembaga yang
bertugas menyelenggarakan keadilan dengan baik. Salah satu lembaga
untuk menegakkan kebenaran dan untuk mencapai keadilan, ketertiban,
dan kepastian hukum adalah badan-badan peradilan sebagaimana
dimaksudkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasan Kehakiman sebagaimana yang telah diganti
dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, yang masing-masing mempunyai lingkup kewenangan
mengadili perkara atau sengketa di bidang tertentu. Untuk terwujudnya
peradilan yang sederhana, cepat, tepat, adil, dan dengan biaya ringan
sebagaimana ditegaskan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970,
maka dasar yang selama ini berlandaskan pada Undang-Undang Nomor 13
Tahun 1965 mengenai kedudukan, susunan organisasi, kekuasaan tata
kerja, dan administrasi pengadilan di lingkungan Peradilan Umum, perlu

76
diganti dan disesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1970.
Undang-undang tentang Peradilan Umum ini merupakan
pelaksanaan ketentuan-ketentuan dan asas-asas yang tercantum data
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970. Kekuasaan Kehakiman di
lingkungan Peradilan Umum dalam Undang-undang ini dilaksanakan oleh
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang berpuncak pada Mahkamah
Agung. Dalam Undang-undang ini diatur susunan, kekuasaan, dan
kedudukan Hakim serta tata kerja administrasi pada Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Tinggi. Pengadilan Negeri merupakan Pengadilan Tingkat
Pertama untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana
dan perdata bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya, kecuali undang-
undang menentukan lain.
Pengadilan Tinggi merupakan Pengadilan Tingkat Banding terhadap
perkara-perkara yang diputus oleh Pengadilan Negeri, dan merupakan
Pengadilan tingkat pertama dan terakhir mengenai sengketa kewenangan
mengadili antar Pengadilan Negeri di daerah hukumnya. Di samping itu
sesuai dengan prinsip “diferensiasi” yang dicantumkan data Pasal 10
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 dan perubahannya, Pengadilan
dilingkungan Peradilan Umum sekaligus merupakan Pengadilan untuk
perkara tindak pidana ekonomi, perkara tindak pidana anak, perkara
pelanggaran lalu lintas jalan, dan perkara lainnya yang ditetapkan dengan
undang-undang. Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi
diatur dengan undang-undang tersendiri.
Mengingat luas lingkup tugas dan berat beban pekerjaan yang harus
dilaksanakan oleh Pengadilan, maka perlu adanya perhatian yang besar
terhadap tata cara dan pelaksanaan pengelolaan administrasi Pengadilan.
Hal ini sangat penting, karena bukan saja menyangkut aspek
ketertiban dalam penyelenggaraan administrasi baik di bidang perkara
maupun di bidang kepegawaian, gaji, kepangkatan, peralatan kantor, dan
lain-lainnya, melainkan juga akan mempengaruhi kelancaran
penyelenggaraan peradilan itu sendiri.

77
Oleh karenanya, penyelenggaraan administrasi Pengadilan dalam
undang-undang ini dibedakan menurut jenisnya dan dipisahkan
penanganannya, walaupun dalam rangka koordinasi pertanggung-jawaban
tetap dibebankan kepada seorang pejabat, yaitu panitera yang merangkap
sebagai sekretaris.
Selaku Panitera ia menangani administrasi perkara dan hal-hal
administrasi lain yang bersifat teknis peradilan (yustisial). Dalam
pelaksanaan tugas ini Panitera dibantu oleh seorang Wakil Panitera dan
beberapa orang Panitera Muda.
Selaku Sekretaris ia menangani administrasi umum seperti
administrasi kepegawaian dan lain sebagainya, sedang dalam pelaksanaan
tugasnya ia dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris.
Dengan demikian staf kepaniteraan dapat lebih memusatkan
perhatian terhadap tugas dan fungsinya membantu Hakim dalam bidang
peradilan, sedangkan tugas administrasi lainnya dapat dilaksanakan oleh
staf sekretariat.
Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku. Kepala
Negara atas usul Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua
Mahkamah Agung.
Di samping itu perlu adanya pengaturan tersendiri mengenai
tunjangan dan ketentuan lain bagi para pejabat peradilan khususnya para
Hakim; demikian pula pangkat dan gaji diatur tersendiri berdasarkan
peraturan yang berlaku, sehingga para pejabat peradilan tidak mudah
dipengaruhi baik moril maupun materiil.
Untuk lebih meneguhkan kehormatan dan kewibawaan Hakim serta
Pengadilan, maka perlu juga dijaga mutu (keahlian) para Hakim, dengan
diadakannya syarat-syarat tertentu untuk menjadi Hakim yang diatur
dalam undang-undang ini, dan diperlukan pembinaan sebaik-baiknya
dengan tidak mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan
memutus perkara.
Selain itu diadakan juga larangan bagi para Hakim merangkap
jabatan penasehat hukum, pelaksana putusan Pengadilan, wali, pengampu,
pengusaha, dan setiap jabatan yang bersangkutan dengan suatu perkara

78
yang akan atau sedang diadili olehnya. Selanjutnya diadakan pula larangan
rangkapan jabatan bagi Panitera dan Jurusita.
Agar peradilan dapat berjalan dengan efektif, maka Pengadilan Tinggi
diberi tugas pengawasan terhadap Pengadilan Negeri di daerah
hukumnya.Hal ini akan meningkatkan koordinasi antar Pengadilan Negeri
di daerah hukum suatu Pengadilan Tinggi yang bermanfaat bagi rakyat
pencari keadilan, karena Pengadilan Tinggi dalam melakukan pengawasan
tersebut dapat memberikan petunjuk, teguran, dan peringatan.
Selain itu pekerjaan dan kewajiban Hakim secara langsung dapat
diawasi sehingga jalannya peradilan yang sederhana, cepat, tepat, adil, dan
dengan biaya ringan akan lebih terjamin.Petunjuk-petunjuk yang
menimbulkan persangkaan keras, bahwa seorang Hakim telah melakukan
perbuatan tercela dipandang dari sudut kesopanan dan kesusilaan, atau
telah melakukan kejahatan, atau kelalaian yang berulang kali dalam
pekerjaannya, dapat mengakibatkan bahwa ia diberhentikan tidak dengan
hormat oleh Presiden selaku Kepala Negara, setelah ia diberi kesempatan
membela diri. Hal ini dicantumkan dengan tegas dalam undang-undang ini,
mengingat luhur dan mulianya tugas Hakim.Apabila ia melakukan
perbuatan tercela dalam kedudukannya sebagai pegawai negeri, baginya
tetap berlaku ancaman yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No.
30. Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Dalam perkembangannya, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman disahkan sebagai pengganti Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan–ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman. Sehubungan dengan hal tersebut telah diubah pula Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dengan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
merupakan salah satu undang-undang yang mengatur lingkungan
peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung perlu pula dilakukan
perubahan. Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum telah meletakkan dasar kebijakan bahwa segala urusan

79
mengenai peradilan umum, baik menyangkut teknis yudisial maupun non
yudisial yaitu urusan organisasi, administrasi, dan finansial di bawah
kekuasaan Mahkamah Agung. Kebijakan tersebut bersumber dari kebijakan
yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman sebagaimana dikehendaki oleh UUD NRI 1945.
Perubahan penting lainnya atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986
tentang Peradilan Umum antara lain sebagai berikut:
1. syarat untuk menjadi hakim dalam pengadilan di lingkungan peradilan
umum;
2. batas umur pengangkatan hakim dan pemberhentian hakim;
3. pengaturan tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim;
4. pengaturan pengawasan terhadap hakim.
Perkembangan berikutnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman diganti dengan Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung diubah lagi (perubahan kedua) dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009.
Perubahan undang-undang tersebut antara lain dilatarbelakangi
dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006
tanggal 23 Agustus 2006, dimana dalam putusannya tersebut telah
menyatakan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dan
ketentuan pasal-pasal yang menyangkut mengenai pengawasan hakim
dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan karenanya tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
Sebagai konsekuensi logis-yuridis dari putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut, telah dilakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2009.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004

80
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 49
Tahun 2009, merupakan salah satu undang-undang yang mengatur
lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, maka perlu
pula dilakukan perubahan sebagai penyesuaian atau sinkronisasi terhadap
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan
perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial.
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum telah meletakkan dasar kebijakan bahwa segala urusan
mengenai peradilan umum, pengawasan tertinggi baik menyangkut teknis
yudisial maupun non yudisial yaitu urusan organisasi, administrasi, dan
finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Sedangkan untuk
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim, pengawasan ekstenal dilakukan oleh Komisi Yudisial. Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
dimaksudkan untuk memperkuat prinsip dasar dalam penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman, yaitu agar prinsip kemandirian peradilan dan
prinsip kebebasan hakim dapat berjalan pararel dengan prinsip integritas
dan akuntabilitas hakim.
Perubahan penting lainnya atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum antara lain
sebagai berikut:
1. penguatan pengawasan hakim, baik pengawasan internal oleh
Mahkamah Agung maupun pengawasan eksternal atas perilaku hakim
yang dilakukan oleh Komisi Yudisial dalam menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim;
2. memperketat persyaratan pengangkatan hakim, baik hakim pada
pengadilan negeri maupun hakim pada pengadilan tinggi, antara lain
melalui proses seleksi hakim yang dilakukan secara transparan,

81
akuntabel, dan partisipatif serta harus melalui proses atau lulus
pendidikan hakim;
3. pengaturan mengenai pengadilan khusus dan hakim ad hoc.
4. pengaturan mekanisme dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian
hakim;
5. kesejahteraan hakim;
6. transparansi putusan dan limitasi pemberian salinan putusan;
7. transparansi biaya perkara serta pemeriksaan pengelolaan dan
pertanggungjawaban biaya perkara;
8. bantuan hukum;
9. Majelis Kehormatan Hakim dan kewajiban hakim untuk menaati Kode
Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Perubahan secara umum atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986
tentang Peradilan Umum sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum pada dasarnya
untuk mewujudkan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka
dan peradilan yang bersih serta berwibawa, yang dilakukan melalui
penataan sistem peradilan yang terpadu (integrated justice system), terlebih
peradilan umum secara konstitusional merupakan salah satu badan
peradilan di bawah Mahkamah Agung yang mempunyai kewenangan dalam
memeriksa, mengadili dan memutus perkara perdata dan pidana.

82
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG TENTANG
PENGADILAN AGRARIA

Pembentukan peraturan perundang-undangan, terutama undang-undang


dan peraturan daerah harus didasarkan pada tiga argumentasi penting,
yaitu argumentasi filosofis, sosiologis, dan yuridis. Secara metodologis
dalam penyusunan sebuah naskah akademis dari rancangan peraturan,
rumusan argumentasi filosofis, sosiologis, dan yuridis merupakan abstraksi
dari hasil kajian teoritis, konstatasi fakta empiris, dan evaluasi peraturan
perundang-undangan sampai pada urgensi pembentukan suatu undang-
undang.
Oleh karena itu, rumusan argumentasi filosofis, sosiologis, dan
yuridis pembentukan Rancangan Undang-Undang tentang Pengadilan
Agraria ini merupakan abstraksi dari uraian-uraian dalam bab sebelumnya,
terutama mengenai kajian teoritis dan konstataring fakta dalam sistem
peradilan di Indonesia, hasil analisa dan evaluasi peraturan perundang-
undangan di bidang kelembagaan dan kompetensi masing-masing
pengadilan, sampai pada pemikiran urgensi pembentukan Undang-Undang
tentang Pengadilan Agraria.

A. Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan
pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana
kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila
dan Pembukaan UUD NRI 1945.44
Pembentukan Undang-Undang Pengadilan Agraria didasarkan pada
beberapa argumentasi filosofis, yaitu:

44 Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan.

83
a. Memberikan jaminan tetap eksisnya cita-cita pembentukan
Negara Kesatuan Republik Indonesia, mewujudkan persatuan dan
kesatuan bangsa, serta keadilan dan kesejahteraan yang merata
diseluruh wilayah Indonesia.
b. Tujuan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan, termasuk
memberikan jaminan keadilan, rasa aman dan bebas dari rasa
takut serta dalam rangka terwujudnya kesejahteraan umum
sebagaimana diamanatkan dalam UUD NRI 1945.
c. Tanggungjawabnegara memberikan perlindungan, pemajuan,
penegakan dan pemenuhan hak asasi melalui upaya penciptaan
suasana yang aman, tentram, damai, adil dan sejahtera lahir
maupun batin sebagai wujud hak setiap orang atas perlindungan
diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda
yang dibawah kekuasaannya, melalui pengupayaan dan
pemerataan pembangunan serta peningkatan akses di bidang
hukum, politik, sosial, ekonomi, budaya, pertahanan dan
keamanan.
Untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional di atas salah
satunya melalui penyelenggaraan pengadilan yang cepat, murah dan
sederhana. Hal ini sejalan dengan cita-cita pembangunan nasional.
Pembangunan nasional Indonesia dalam pelaksanaanya mengacu pada
strategi yang bersifat inklusif.45 Strategi ini sejalan dengan Pancasila yang
menjadi pandangan hidup dan dasar falsafah di dalam setiap
penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
dalam kerangka mewujudkan tujuan nasional, yaitu terutama butir sila
ketiga dan kelima. Sila ketiga Pancasila adalah Persatuan Indonesia, dan
sila kelima adalah Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Strategi
inklusif ini sesuai dengan sila-sila tersebut, oleh karena pembangunan yang

45Lihat Pidato Presiden Republik Indonesia Tentang Pembangunan Nasional Dalam

Perspektif Daerah di depan Sidang Paripurna Khusus Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia, Jakarta, 19 Agustus 2009, hlm.1-2.

84
inklusif berarti pembangunan diselenggarakan secara holistik mencakup
semua aspek kehidupan, komponen termasuk dalam sistem peradilannya.
Sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat, konstitusi telah
memberikan amanat kepada pengelola negara untuk mewujudkan cita-cita
dan tujuan nasional di seluruh wilayah nusantara, sebagaimana termaktub
dalam Pembukaan UUD NRI 1945 yakni terwujudnya kehidupan yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Alinea ke-4 UUD NRI 1945
juga menyebutkan bahwa negara Indonesia melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial. Mandat ini tidak akan bisa dicapai apabila dalam
penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, bernegara dan berbangsa
tanpa disertai adanya tata kelola pemerintahan yang baik dan lebih khusus
lagi pada sistem peradilannya.
Manifestasi yang sekaligus sebagai instrumen perwujudan dari tujuan
negara dan dibentuknya Pemerintah Negara Indonesia sebagaimana yang
diamanatkan dalam Pembukaan UUD NRI 1945 tersebut tercantum dalam
pasal-pasal batang tubuh UUD NRI 1945. Pasal-pasal tersebut selain
sebagai landasan konstitusional juga secara substantif sebagai landasan
filosofis. Hal ini tercermin sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (3)
UUD NRI 1945 yang dinyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara
hukum”. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka kekuasaan kehakiman
harus merupakan kekuasaan yang merdeka dalam menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan yang dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya
yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata
usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Selain prasyarat di atas, dalam suatu negara hukum harus
mencerminkan bahwa:
a. semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya.

85
b. Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan
hidup dan kehidupannya.
c. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum.
d. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah
kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
merupakan hak asasi; dan
e. Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran
dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak
untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak
asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Dengan demikian, secara filosofis hukum dan penegakannya melalui
lembaga peradilan bertujuan untuk menciptakan kepastian, kemanfaatan dan
keadilan. Tujuan tersebut tampaknya memerlukan pengadilan khusus di
bidang agraria dengan harapan: (1) mampu melakukan proses penemuan
kebenaran materiil yang sangat diperlukan dalam penyelesaian konflik atau
sengketa agraria, jika putusan pengadilan sungguh-sungguh diharapkan
mewujudkan bukan hanya kepastian hukum namun lebih-lebih kemanfaatan
dan keadilan dalam redistribusi sumberdaya agraria; (2) pengadilan khusus ini
dapat mengeterapkan bukan hanya prinsip persamaan di hadapan hukum,
namun jika memang diperlukan sesuai dengan amanah Pasal 28H ayat (2) UUD
Negara RI 1945 juga mengeterapkan prinsip pemberian kemudahan dan
perlakuan khusus kepada pihak tertentu yang bersengketa agar mendapatkan
kesempatan dan manfaat yang sama terhadap sumberdaya agraria yang
menjadi obyek sengketa sehingga pihak tertentu tersebut mencapai persamaan
dan keadilan.

86
B. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis
sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah
dan kebutuhan masyarakat dan negara yang terkait dengan sistem
peradilan khususnya dalam penyelesaian-penyelesaian masalah-masalah
keagrariaan.
Sebagaimana yang telah dikemukakan di latar belakang bahwa
tuntutan pendirian Pengadilan Agraria kembali diwacanakan kepada publik
pada tanggal 11 dan 12 Oktober 2005 oleh beberapa kalangan masyarakat,
khususnya para advokat. Mereka mensinyalir bahwa tuntutan gugatan
sengketa agraria ke Pengadilan Umum telah menimbulkan banyak keluhan
tegasnya berupa rasa tidak percaya karena beberapa faktor yang melatar
belakangi di antaranya: putusan pengadilan yang tidak memenuhi rasa
keadilan masyarakat, kinerja pelayanan SDM Agraria yang kurang baik,
serta adanya campur tangan pihak ketiga yang dapat mempengaruhi
imparsialitas putusan hakim.
Konflik agraria hingga kini terus terjadi bahkan semakin marak dan
merata di seluruh wilayah Indonesia. Eskalasi konflik keagrariaan ini tentu
memerlukan segera upaya penyelesaian sengketa secara menyeluruh,
sistematis, berkepastian hukum, dan berkeadilan. Fakta menunjukkan
bahwa ketiadaan mekanisme dan lembaga khusus yang menangani konflik
agraria secara pasti, telah mendorong timbulnya kekerasan dalam setiap
konflik agraria.46
Berbagai konflik agraria mengakibatkan: Pertama, hilangnya akses
masyarakat terhadap sumber-sumber agraria. Kedua, kerusakan struktur
sosial masyarakat yang didasari atas struktur agraria yang timpang, dan

46 Data base Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) telah merekam bahwa dari
1.753 kasus konflik agraria di sepanjang Tahun 1970 – 2001 telah merambah 11 juta
hektar tanah dan telah mengakibatkan sekitar 1 juta kepala keluarga (KK) menjadi korban.
Dari ribuan kasus ini ternyata hanya sekitar 7,6 % yang masuk pengadilan dan sebagian
besar berakhir dengan kekalahan di pihak warga. Selanjutnya lihat Lampiran Keputusan
DPD RI No. 63/DPD RI/IV/2012-2013 tentang Rekomendasi Panitia Khusus Konflik
Agraria dan Sumber Daya Alam DPD RI, 2013, hlm. 2-3.

87
ketiga terjadi kerusakan mutu ekologi yang berkait langsung dengan
turunan mutu manusia yang kehidupannya bergantung terhadap sumber
daya agraria. Karenanya, penyelesaian konflik agraria sesungguhnya bukan
sekedar untuk mengakhiri kekerasan supaya tidak berulang, tetapi lebih
jauh adalah untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Penyelesaian konflik agraria selama ini masih mencerminkan adanya
suatu keadaan yang tidak memuaskan dan atau tidak memenuhi rasa
keadilan, khususnya bagi kelompok-kelompok tertentu yang mengandalkan
hidup dari tanah dan kekayaan alam, seperti kaum tani, nelayan, dan
masyarakat adat. Bagi mereka, penguasaan atas tanah dan kekayaan alam
adalah syarat dari keselamatan dan keberlanjutan hidup mereka. Namun,
konflik agraria telah memporak-porandakan syarat keberlanjutan hidup
mereka. Bersamaan dengan ketidakpuasan dan ketidakadilan dalam
konflik, melekat sejumlah kekerasan, penyingkiran, eksploitasi dan
penindasan baik yang dilakukan oleh aparatus negara, perusahaa-
perusahaan berskala raksasa, maupun proyek-proyek lain.
Melihat berbagai konflik agraria yang terjadi di Indonesia dan yang
telah mengakibatkan berbagai dampak baik secara ekonomi, sosial, dan
lingkungan, maka perlu adanya penanganan yang serius khususnya dari
aspek penyelesaian sengketanya, melalui pembentukan lembaga pengadilan
yang khusus menangani konflik-konflik keagrariaan.
Keberadaan pengadilan khusus ini selain bertujuan untuk
mendapatkan kepastian hukum bagi pihak yang bersengketa, juga untuk
menyelesaikan berbagai konflik agraria secara berkeadilan dengan
menjunjung tinggi hak-hak masyarakat sehingga tujuan dari penguasaan
Negara atas sumber-sumber agraria untuk kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat dan bangsa Indonesia dapat tercapai. Di sisi lain, masih terdapat
kekurangan tenaga ahli di bidang hukum agraria (khususnya hukum
tanah) di lingkungan pengadilan.
Pembentukan Pengadilan Agraria didasari berbagai pertimbangan,
diantaranya: Pertama, penanganan konflik agraria selama ini masih bersifat
parsial atau kasuistik dan tidak menyentuh pada akar persoalan

88
konflik.Kedua, konflik agraria adalah situasi yang extra-ordinary sehingga
perlu penanganan yang juga bersifat extra-ordinary. Disebut extra-ordinary
karena konflik agraria yang bersifat struktural, dimana pihak yang
berkonflik banyak melibatkan antara masyarakat atau komunitas dengan
badan-badan usaha milik swasta maupun pemerintah.
Ketiga, untuk mendapatkan kepastian hukum dalam menyelesaikan
berbagai konflik agraria secara berkeadilan dengan menjunjung tinggi hak-
hak masyarakat sehingga tujuan dari penguasaan negara atas sumber-
sumber agraria untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dan bangsa
Indonesia dapat tercapai. Keempat, adanya tuntutan pemenuhan prinsip
fundamental kehidupan manusia yaitu sebagaimana diamanatkan oleh
Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI 1945 bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Kelima, fakta sosiologis menunjukkan
bahwa meluasnya konflik agraria dengan segala dimensi yang
ditimbulkanya pertanda sebuah kegagalan berfungsinya lembaga-lembaga
peradilan yang ada sekarang untuk menyelesaikan konflik agraria dan
dapat dimaknai juga bahwa kekuasaan eksekutif dan desakan kekuatan-
kekuatan modal menunjukkan kehidupan bernegara di Indonesia tidak
mencerminkan tata kehidupan bernegara yang demokratis dan jauh dari
penegakan prinsip-prinsip negera yang berdasarkan hukum (rechstaat).
Keenam, keberadaan peradilan agraria ini, tidak saja untuk kepentingan
kekinian dalam menyelesaikan konflik (conflict resolution) namun juga
memiliki kepentingan untuk mengurangi dan mengantisipasi konflik agraria
di masa depan (conflict prevention).
Ketujuh, kecepatan dan ketepatan peradilan agraria dalam menjawab
konflik agraria akan sangat dipengaruhi oleh bacaan historis-sosiologis
terhadap konflik agraria dan peradilan itu sendiri. Dalam hal ini,
menempatkan konflik agraria sebagai sesuatu yang bersifat extra ordinary
menjadi sesuatu yang sangat penting, namun tentu saja perlu diwaspadai
jebakan-jebakan yang dapat menjauhkan subtansi dari pembentukan
peradilan agraria ini, yakni untuk mewujudkan keadilan sosial dalam
bidang agraria. Untuk menghindari jebakan dan menghindari terjadinya

89
peradilan agraria lahir prematur setidak-tidaknya ada dua hal yang penting
untuk dikritisi, yakni; 1) Proses pengembangan peradilan agraria, dan 2)
Subtansi strategis yang direspon peradilan agraria.

C. Landasan Yuridis
Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi
permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan
mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang
akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang
berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu
dibentuk peraturan perundang-undangan yang baru. Beberapa persoalan
hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang
tidak harmonis atau tumpang tindih, peraturannya sudah ada tetapi tidak
memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum ada dan sangat
dibutuhkan.
Secara substansi (kompetensi materi) yang berkaitan dengan
persoalan-persoalan (konflik) pertanahan selama ini diselesaikan melalui
Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara. Ruang lingkup
kompetensi Peradilan Umum berdasarkan ketentuan Pasal 50 UU No. 2
Tahun 1986 sebagaimana yang telah diubah dengan UU No. 49 Tahun 2009
adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan
perkara perdata baik ditingkat pertama maupun tingkat banding.
Sedangkan Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara berdasarkan
ketentuan Pasal 50 UU No. 5 Tahun 1986 sebagaimana yang telah diubah
dengan UU No. 51 Tahun 2009 adalah memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara.Kompetensi kedua peradilan
tersebut jika dikaitkan dengan masalah pertanahan ruang lingkup
penangannya hanya berkaitan dengan permasalahan kepemilihan dan hak-
hak atas tanah, baik yang menyangkut aspek keperdataan, pidana maupun
administratif. Sedangkan masalah-masalah konflik agraria yang ruang
lingkupnya jauh lebih luas dan dampaknya jauh lebih besar, belum menjadi

90
ruang lingkup penanganan peradilan ini. Terlebih lagi masih banyaknya
konflik-konflik agraria yang belum terselesaikan dan tertangani dengan
tuntas, serta dengan mengacu pada sejumlah ketentuan yang ada, perlu
dibentuk pengadilan agraria. Ketentuan yang dimaksudkan antara lain
adalah :
1. UUD NRI 1945 khususnya Pasal 24 jo. Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat
(2), dan Pasal 33 ayat (3). Ketentuan-ketentuan memberikan arahan
amanah bahwa peradilan harus diarahkan pada penegakan hukum dan
juga keadilan (Pasal 24 ayat (1) dengan cara menjamin adanya
perlindungan dan kepastian hukum serta perlakuan yang sama (Pasal
28D ayat (1)), namun jika perlakuan yang sama justru menyebabkan
terjadinya ketidak-adilan maka putusan pengadilan itu harus mampu
memberikan kemudahan dan perlakuan khusus agar seseorang
mendapatkan kesempatan dan manfaat yang sama terhadap sumberdaya
agraria sehingga seseorang tersebut mencapai persamaan dan keadilan
(Pasal 28H ayat (2)). Pengadilan khusus bidang agraria diharapkan dapat
melaksanakan amanah tersebut sehingga cita-cita sumberdaya agraria
dapat menjadi sumber kemakmuran bagi semua orang akan dapat
diujudkan;
2. TAP MPR No.IX/MPR/2001 khususnya Pasal 6 ayat (1) huruf d, huruf e,
huruf f, dan ayat (2) huruf e yang mengamanahkan untuk menyelesaikan
konflik penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria bagi
terlaksananya penegakan hukum dengan mendasarkan pada sejumlah
prinsip sebagaimana tertuang Pasal 5. Amanah lainnya yaitu
memperkuat kelembagaan serta kewenangan dan pembiayaan
kelembagaan yang bertugas dalam penyelesaian konflik dan reforma
agraria. Artinya, jika penyelesaian konflik agraria harus diselesaikan di
pengadilan, TAP MPR ini membuka kemungkinan untuk membentuk
pengadilan khusus bidang konflik agraria sebagai bagian dari penguatan
terhadap lembaga peradilan umum;
3. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
khususnya Pasal 27 yang memperkenankan pembentukan pengadilan
khusus di lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan

91
militer, dan peradilan tata usaha negara serta pembentukannya diatur
dalam Undang-undang. Artinya, pembentukan pengadilan khusus bidang
Agraria di lingkungan peradilan-peradilan tersebut dibuka dengan
pertimbangan pengadilan yang berlangsung saat ini tidak mampu
menyelesaikan secara tuntas sumber konflik atau sengketa agraria.
Syaratnya adalah pembentukannya diatur dalam undang-undang. Istilah
“dalam undang-undang” mengandung makna dapat dalam suatu
undang-undang tersendiri atau sebagai bagian dari undang-undang yang
memuat hukum materiil agrarian atau perpaduan keduanya. Dengan
pertimbangan bahwa pengadilan agraria mempunyai kompetensi
absolute terhadap sengketa yang bersumber dari penguasaan dan
pemanfaatan semua sumberdaya agraria, pilihan pembetukannya
dilakukan dengan undang-undang tersendiri karena secara teknis tidak
mungkin memasukkan pengaturan pembentukannya dalam masing-
masing Undang-Undang sumber daya agrarian yaitu tanah, hutan,
tambang, air, dan sumber daya alam lainnya.
Selain itu, secara yuridis dorongan pembentukan lembaga Pengadilan
Agraria lebih dikarenakan:
1. Secara materiil konflik-konflik agraria belum tertangani oleh lembaga
peradilan yang telah ada.
2. Mewujudkan amanat TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. 47
3. Dimungkinkannya suatu pengadilan khusus dapat dibentuk dalam salah
satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung
dengan suatu undang-undang.48
4. Untuk menciptakan Pengadilan Agraria yang memenuhi prinsip-prinsip
peradilan yang cepat, murah dan sederhana serta berkeadilan.

47 Lihat ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf d dan ayat (2) hurf e Tap MPR Nomor

IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam


48 Lihat ketentuan Pasal 27 UU Kekuasaan Kehakiman.

92
BAB V
POLITIK HUKUM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG
PENGADILAN AGRARIA

A. Paradigma dan arah pengaturan yang diinginkan


Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, harus diwujudkan oleh
penyelenggara negara. Perwujudannya termasuk dalam hal menata sumber
daya agraria dan menyelesaikan sengketa agraria. Sejalan dengan itu,
harus disiapkan sarana penyelesaian sengketa berupa Pengadilan Agraria,
berikut aparatur penyelenggaranya, tata cara atau mekanisme beracara di
dalamnya. Selain itu harus dicegah berbagai kemungkinan yang
merongrong tercapainya tujuan mewujudkan tujuan tersebut.
Sejalan dengan hal tersebut harus diatur secara tepat mengenai
asas, kedudukan dan tempat kedudukan pengadilan ini, kewenangan,
syarat-syarat calon hakim, prosedur pengisian, pengangkatan,
pemberhentian, Majelis Kehormatan Hakim, Panitera, Saksi, Keterangan
Ahli, Putusan, Pelaksanaan Putusan, sengketa tanah adat, transparansi
dan akuntabilitas, pengawasan, Ketentuan Peralihan, dan Ketentuan
Penutup.
Arah pengaturan dalam undang-undang ini adalah memberi arah
bagi terselenggaranya Pengadilan Agraria yang dapat mewujudkan
kepastian hukum, ketenteraman, dan keadilan bagi seluruh rakyat
Indonesia, yang diselenggarakan dengan proses cepat dan biaya murah,
dengan lebih mengutamakan kebenaran materiil.

B. Ruang Lingkup dan Materi Muatan RUU Pengadilan Agraria


1. Ketentuan Umum
Ketentuan umum Rancangan Undang-Undang tentang Pengadilan Agraria
memuat rumusan akademik mengenai batasan, definisi, alternatif,
singkatan, atau akronim yang digunakan dalam penyusunan norma.
Referensi rumusan ini berasal dari bahan hukum primer, sekunder, dan
tersier sehingga rumusan ketentuan umum menjadi komprehensif.

93
Ketentuan umum yang terdapat dalam Rancangan Undang-Undang tentang
Pengadilan Agraria adalah mengenai pengertian yang digunakan dalam
Rancangan Undang-Undang tentang Pengadilan Agraria tersebut, antara
lain sebagai berikut:
a. Agraria adalah bumi, air baik air permukaan maupun air tanah, dan
segala kekayaan alam yang terdapat di atas permukaan tanah berupa
sumberdaya hutan dan di dalam perut bumi berupa bahan tambang.
b. Tanah adalah permukaan bumi, baik yang ada di daratan maupun di
bawah air laut.
c. Tanah adat adalah bidang tanah yang dikuasai dengan hak ulayat suatu
Masyarakat Hukum Adat tertentu.
d. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat adalah perangkat kewenangan
yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat
tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup
para warganya, untuk mengambil manfaat dari sumber daya agraria
terutama tanah dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan
penghidupannya, yang timbul dari hubungan secara batiniah dan
lahiriah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum
adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.
e. Pengadilan Agraria adalah pengadilan khusus yang dibentuk di
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di lingkungan peradilan umum
yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara-perkara
agraria.
f. Perkara agraria adalah perkara perdata yang timbul dalam pelaksanaan
peraturan perundang-undangan di bidang tanah, hutan, air, dan
tambang.
g. Sengketa adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan
antarsubyek hukum karena adanya perselisihan mengenai hak atau
kepentingan terkait penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan sumber
daya agraria.
h. Sengketa hak adalah perselisihan yang timbul karena adanya
pelanggaran terhadap hak penguasaan, kepemilikan dan pemanfaatan
sumber daya agraria yang dimiliki perseorangan atau badan hukum.

94
i. Sengketa kepentingan adalah perselisihan yang timbul karena adanya
ketimpangan dan ketidakadilan dalam penguasaa, kepemilikan dan
pemanfaatan dibidang sumber daya agraria antara kelompok
masyarakat dengan orang atau badan hukum yang menguasai sumber
daya agraria dalam skala besar.
j. Mediasi sengketa agraria yang selanjutnya disebut mediasi adalah
penyelesaian sengketa hak dan sengketa kepentingan dalam bidang
agraria melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih
mediator yang netral.
k. Mediator Sengketa Agraria yang selanjutnya disebut mediator adalah
hakim dalam tingkat pengadilan pertama atau seseorang yang
memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri
untuk bertugas melakukan mediasi untuk menyelesaikan sengketa hak
dan/atau sengketa kepentingan di bidang agraria.
l. Konsiliasi Sengketa Agraria yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah
penyelesaian sengketa hak dan sengketa kepentingan dalam bidang
agraria melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih
konsiliator yang netral.
m. Konsiliator Sengketa Agraria yang selanjutnya disebut konsiliator adalah
hakim dalam tingkat pengadilan pertama atau seseorang yang
memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator yang ditetapkan oleh
Menteri untuk bertugas melakukan konsiliasi untuk menyelesaikan
sengketa hak dan/atau sengketa kepentingan di bidang agraria.
n. Hakim Karier adalah hakim pada Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi
dan Mahkamah Agung yang ditetapkan sebagai hakim Pengadilan
Agraria.
o. Hakim Ad-Hoc adalah hakim yang diangkat dengan syarat-syarat dan
mekanisme yang telah ditentukan untuk menjadi hakim ad-hoc pada
Pengadilan Agraria Tingkat Pertama, Tingkat Banding dan Tingkat
Kasasi.
p. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang agraria.
q. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan hukum.

95
2. Asas
Pengadilan Agraria ini dilaksanakan berdasarkan asas:
a. Keadilan adalah bahwa setiap materi muatan dalam undang-undang ini
harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga
negara khususnya pencari keadilan dibidang agraria.
b. Kemanfaatan adalah bahwa setiap materi muatan dalam undang-
undang ini harus dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya
bagi kehidupan dan kesejahteraan masyarakat.
c. Kepastian hukum adalah bahwa setiap materi muatan dalam undang-
undang ini harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat
melalui jaminan kepastian hukum.
d. Responsif adalah bahwa setiap materi muatan dalam undang-undang
ini harus dapat menampung kepentingan para pencari keadilan
dibidang agraria.
e. Kebenaran materiil adalah bahwa materi muatan dalam undang-undang
ini selain mengedepankan kebenaran formil juga kebenaran materiil
untuk mencapai keadilan yang hakiki.

3. Kedudukan dan tempat kedudukan


Pengadilan Agraria adalah salah satu pelaksana Kekuasaan Kehakiman
bagi rakyat pencari keadilan di bidang agraria. Pengadilan Agraria
merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan
Umum.
Pengadilan Agraria pada Tingkat Pertama berkedudukan di ibu kota
kabupaten atau kota, dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten
atau kota. Pengadilan Agraria pada Tingkat Banding berkedudukan di ibu
kota Provinsi, dan daerah hukumnya meliputi wilayah Provinsi.
Untuk pertama kali dengan undang-undang ini dibentuk Pengadilan
Agraria pada setiap Pengadilan Negeri Kabupaten/Kota yang berada di
setiap Ibukota Provinsi yang daerah hukumnya meliputi provinsi yang
bersangkutan. Di Kabupaten/Kota yang memiliki konflik agraria cukup
tinggi, dengan Keputusan Presiden harus segera dibentuk Pengadilan
Agraria pada Pengadilan Negeri setempat.

96
Sidang Pengadilan Agraria dilakukan di tempat kedudukannya dan
apabila dipandang perlu dapat dilakukan di tempat lain. Dalam hal
sengketa kepentingan hakim wajib melakukan pemeriksaan setempat.
Tempat sidang tersebut ditetapkan oleh Ketua.

4. Lingkup Kewenangan
Pengadilan Agraria bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan
memutus: di tingkat pertama, tingkat banding dan tingkat kasasi
mengenai sengketa hak yang menyangkut penguasaan, kepemilikan, dan
pemanfaatan sumber daya agraria; di tingkat pertama dan kasasi mengenai
sengketa kepentingan yang terkait dengan : (1) penguasaan, kepemilikan,
dan pemanfaatan sumber daya agraria; atau (2) perampasan tanah.

5. Susunan Pengadilan Agraria


Pengadilan Agraria terdiri dari Pengadilan Agraria yang berada dalam kamar
Pengadilan Negeri, merupakan Pengadilan Agraria Tingkat Pertama.
Pengadilan Agraria yang berada dalam kamar Pengadilan Tinggi,
merupakan Pengadilan Agraria Tingkat Banding. Pengadilan Agraria Tingkat
Pertama dibentuk dengan Keputusan Presiden. Pengadilan Agraria Tingkat
Banding dibentuk dengan undang-undang.
Susunan Pengadilan Agraria Tingkat Pertama terdiri dari Pimpinan,
Hakim Anggota, Panitera, Sekretaris, dan Jurusita. Susunan Pengadilan
Agraria Tingkat Banding terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera,
dan Sekretaris. Pimpinan Pengadilan Agraria Tingkat Pertama terdiri dari
seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua. Pimpinan Pengadilan Agraria
Tingkat Banding terdiri dari seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua. Hakim
Anggota Pengadilan Agraria Tingkat Banding adalah Hakim Tinggi.
Jumlah anggota hakim Pengadilan Agraria Tingkat Pertama sekurang-
kurangnya terdiri dari 9 (sembilan) orang termasuk Ketua dan Wakil Ketua
dengan unsur 3 (tiga) orang hakim karier dan 6 (enam) orang hakim ad hoc.
Jumlah anggota hakim Pengadilan Agraria Tingkat Banding sekurang-
kurangnya terdiri dari 6 (enam) orang termasuk Ketua dan Wakil Ketua

97
dengan unsur 2 (dua) orang hakim karier dan 4 (empat) orang hakim ad
hoc.

a. Majelis Hakim
Pemeriksaan perkara agraria dilakukan oleh majelis hakim Pengadilan
Agraria yang berjumlah 3 orang, terdiri atas 1 (satu) orang hakim karier
pada Pengadilan Agraria dan 2 (dua) orang hakim ad hoc. Majelis hakim
diketuai oleh hakim karier dari Pengadilan Agraria.
Hakim karier pada Pengadilan Agraria Tingkat Pertama ditunjuk oleh
Ketua Pengadilan Negeri. Hakim karier pada Pengadilan Agraria Tingkat
Banding ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Tinggi. Hakim karier pada Tingkat
Kasasi ditunjuk oleh Ketua Mahkamah Agung. Hakim karier dimaksud
ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
Hakim ad hoc diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku
Kepala Negara atas usul Ketua Mahkamah Agung. Untuk memilih dan
mengusulkan Hakim ad hoc, Ketua Mahkamah Agung membentuk panitia
seleksi. Panitia seleksi bertugas melakukan penerimaan pendaftaran dan
penyeleksian. Ketentuan mengenai Panitia Seleksi diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
Hakim karier dan Hakim ad hoc diangkat selama 5 (lima) tahun dan
dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Untuk dapat
ditetapkan sebagai Hakim karier pada Pengadilan Agraria, calon harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. berpengalaman menjadi hakim sekurang-kurangnya selama 10
(sepuluh) tahun;
b. berpengalaman menangani perkara perdata, terutama sengketa
keagrariaan;
c. menguasai hukum adat setempat yang berkaitan dengan keagrariaan;
d. cakap, jujur, dan memiliki integritas moral yang tinggi serta reputasi
yang baik selama menjalankan tugas;
e. tidak pernah dijatuhi hukuman disiplin dan/ atau terlibat dalam
perkara pidana; dan
f. memiliki sertifikat khusus sebagai hakim karier Pengadilan Agraria.

98
Untuk dapat diangkat menjadi Hakim ad hoc harus memenuhi syarat:
a. warga negara Indonesia;
b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
d. berumur paling rendah 45 (empat puluh lima) tahun dan paling tinggi
60 (enam puluh) tahun;
e. berpendidikan serendah-rendahnya Strata Satu (S-1) kecuali bagi
Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung syarat pendidikan Sarjana
Hukum;
f. sehat jasmani dan rohani;
g. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakukan tidak tercela; dan
h. berpengalaman sebagai ahli di bidang agraria minimal 5 (lima) tahun.
Sebelum memangku jabatannya, Hakim Ad-Hoc Pengadilan Agraria
wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau
kepercayaannya, bunyi sumpah atau janji itu adalah sebagai berikut :
“ Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa
saya untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung atau
tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun
juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu
kepada siapapun juga.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali
akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun
juga suatu janji atau pemberian.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, akan setia kepada dan
akan mempertahankan serta mengamalkan Nilai-nilai
Proklamasi, Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, dasar
negara, dan ideologi nasional, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan segala undang-undang
serta peraturan lain yang berlaku bagi negara Republik
Indonesia.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan
menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, seksama dan
dengan tidak membedakan orang dan akan melaksanakan
kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

99
Hakim Ad-Hoc Pengadilan Agraria Tingkat Pertama diambil sumpah
atau janjinya oleh Ketua Pengadilan Negeri atau pejabat yang ditunjuk.
Hakim Ad-Hoc Pengadilan Agraria Tingkat Banding diambil sumpah atau
janjinya oleh Ketua Pengadilan Tinggi atau pejabat yang ditunjuk. Hakim
Ad-Hoc Pengadilan Agraria Tingkat Kasasi diambil sumpah atau janjinya
oleh Ketua Mahkamah Agung atau pejabat yang ditunjuk.
Hakim Ad-Hoc tidak boleh merangkap jabatan sebagai :
a. anggota Lembaga Tinggi Negara;
b. kepala daerah/kepala wilayah;
c. lembaga legislatif tingkat daerah;
d. pegawai negeri sipil;
e. anggota TNI/Polri;
f. pengurus partai politik;
g. pengacara; atau
h. Komisaris atau direksi suatu perusahaan.
Dalam hal seorang Hakim Ad-Hoc yang merangkap jabatan
sebagaimana dimaksud di atas, jabatannya sebagai Hakim Ad-Hoc dapat
dibatalkan.

b. Pemberhentian Hakim
Hakim Ad-Hoc Pengadilan Agraria Tingkat Pertama, Tingkat Banding dan
Tingkat Kasasi diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:
a. meninggal dunia;
b. permintaan sendiri;
c. sakit jasmani atau rohani terus menerus selama 12 (dua belas)
bulan;
d. telah berumur 68 (enam puluh delapan) tahun bagi Hakim Ad-Hoc
pada Pengadilan Agraria Tingkat Pertama dan Tingkat Banding serta
telah berumur 70 (tujuh puluh tujuh) tahun bagi Hakim Ad-Hoc
pada Tingkat Kasasi;
e. tidak cakap dalam menjalankan tugas; atau
f. telah selesai masa tugasnya.

100
Masa tugas Hakim Ad-Hoc untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan
dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Hakim Ad-Hoc
Pengadilan Agraria diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya
dengan alasan :
a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
b. selama 3 (tiga) kali berturut-turut dalam kurun waktu 1 (satu) bulan
melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya tanpa
alasan yang sah; atau
c. melanggar sumpah atau janji jabatan.
Pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan sebagaimana
dimaksud dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk
mengajukan pembelaan kepada Mahkamah Agung. Hakim Ad-Hoc
Pengadilan Agraria sebelum diberhentikan tidak dengan hormat dapat
diberhentikan sementara dari jabatannya. Hakim Ad-Hoc yang
diberhentikan berlaku pula ketentuan sebagaimana di atas.
Pengangkatan Hakim Ad-Hoc Pengadilan Agraria dilakukan dengan
memperhatikan kebutuhan dan sumber daya yang tersedia. Untuk
pertama kalinya pengangkatan Hakim Ad-Hoc Pengadilan Agraria Tingkat
Pertama paling sedikit 6 (enam) orang dan pada Pengadilan Agraria Tingkat
Banding paling sedikit 4 (empat) orang.
Ketua Pengadilan Negeri melakukan pengawasan atas pelaksanaan
tugas Hakim, Hakim Ad-Hoc, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti pada
Pengadilan Agraria Tingkat Pertama (Pengadilan Negeri) sesuai dengan
kewenangannya. Ketua Pengadilan Tinggi melakukan pengawasan atas
pelaksanaan tugas Hakim Banding, Hakim Ad-Hoc Banding, Panitera
Muda, dan Panitera Pengganti pada Pengadilan Agraria Tingkat Banding
(Pengadilan Tinggi) sesuai dengan kewenangannya. Ketua Mahkamah
Agung melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas Hakim Kasasi,
Hakim Ad Hoc Kasasi, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti Pengadilan
Agraria pada Mahkamah Agung sesuai dengan kewenangannya.
Dalam melakukan pengawasan Ketua Pengadilan Negeri dapat
memberikan petunjuk dan teguran kepada Hakim dan Hakim Ad-Hoc.
Dalam melakukan pengawasan Ketua Pengadilan Tinggi dapat memberikan

101
petunjuk dan teguran kepada Hakim Banding dan Hakim Ad-Hoc Banding.
Dalam melakukan pengawasan Ketua Mahkamah Agung dapat memberikan
petunjuk dan teguran kepada Hakim Kasasi dan Hakim Ad Hoc Kasasi.
Petunjuk dan teguran dimaksud tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim,
Hakim Ad-Hoc dan Hakim Kasasi Pengadilan Agraria dalam memeriksa dan
memutus sengketa.
Tata cara pengangkatan, pemberhentian dengan hormat,
pemberhentian dengan tidak hormat, dan pemberhentian sementara
Hakim Ad-Hoc diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sedangkan
Tunjangan dan hak-hak lainnya bagi Hakim Ad-Hoc Pengadilan Agraria
diatur dengan Keputusan Presiden.

c. Kepaniteraan dan Panitera Pengganti


Pada setiap Pengadilan Negeri yang telah ada Pengadilan Agraria dibentuk
Sub Kepaniteraan Pengadilan Agraria yang dipimpin oleh seorang Panitera
Muda. Dalam melaksanakan tugasnya, Panitera Muda dibantu oleh
beberapa orang Panitera Pengganti. Sub Kepaniteraan mempunyai tugas
menyelenggarakan administrasi Pengadilan Agraria dan membuat
daftar semua sengketa yang diterima dalam buku perkara. Buku perkara,
sekurang-kurangnya memuat nomor urut, nama dan alamat para pihak,
dan jenis sengketa. Sub Kepaniteraan bertanggung jawab atas penyampaian
surat panggilan sidang, penyampaian pemberitahuan putusan dan
penyampaian salinan putusan.
Untuk pertama kali Panitera Muda dan Panitera Pengganti Pengadilan
Agraria diangkat dari Pegawai Negeri Sipil dari instansi Pemerintah yang
bertanggung jawab di bidang agraria. Ketentuan mengenai persyaratan, tata
cara pengangkatan, dan pemberhentian Panitera Muda dan Panitera
Pengganti Pengadilan Agraria diatur lebih lanjut menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Susunan organisasi, tugas, dan tata
kerja Sub Kepaniteraan Pengadilan Agraria diatur dengan Keputusan
Ketua Mahkamah Agung.
Panitera Pengganti bertugas mencatat jalannya persidangan dalam
Berita Acara. Berita Acara tersebut ditandatangani oleh Hakim, Hakim Ad-

102
Hoc, dan Panitera Pengganti. Panitera Muda bertanggung jawab atas buku
perkara dan surat-surat lainnya yang disimpan di Sub Kepaniteraan.
Semua buku perkara dan surat-surat dimaksud baik asli maupun foto copy
tidak boleh dibawa keluar ruang kerja Sub Kepaniteraan kecuali atas izin
Panitera Muda.

d. Mejelis Kehormatan Hakim


Pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis Kehormatan Hakim serta
tata cara pembelaan diri Hakim ditetapkan dengan Keputusan Presiden
atas usul Ketua Mahkamah Agung. Majelis Kehormatan Hakim bertugas:
a. meneliti dan meminta keterangan Ketua, Wakil Ketua, atau Hakim
yang diusulkan untuk: diberhentikan dengan hormat dan
diberhentikan tidak dengan hormat
b. mengusulkan pemberhentian sementara dari jabatan Ketua, Wakil
Ketua, atau Hakim karena diusulkan untuk diberhentikan tidak
dengan hormat.
Sidang Majelis Kehormatan Hakim diselenggarakan secara tertutup.

6. Hukum Acara
Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Agraria adalah Hukum Acara
Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum,
kecuali yang diatur secara khusus dalam undang-undang ini. Dalam proses
beracara di Pengadilan Agraria, pihak-pihak yang berperkara tidak
dikenakan biaya termasuk biaya eksekusi yang nilai gugatannya di bawah
Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).

a. Pengajuan Gugatan
Gugatan diajukan pada Pengadilan Agraria dimana obyek sengketanya
berada di wilayah pengadilan yang bersangkutan. Gugatan dapat diajukan
secara lisan maupun tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan
Agraria. Jika gugatan diajukan secara lisan maka Panitera wajib mencatat
pokok gugatan yang disampaikan oleh penggugat. Gugatan yang melibatkan

103
lebih dari satu penggugat dapat diajukan secara kolektif dengan
memberikan kuasa khusus. Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut
gugatannya sebelum tergugat memberikan jawaban. Apabila tergugat sudah
memberikan jawaban atas gugatan itu, pencabutan gugatan oleh penggugat
akan dikabulkan oleh Pengadilan Agraria hanya apabila disetujui tergugat.

b. Penyelesaian Sengketa Agraria Melalui Mediasi atau Konsiliasi


Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
kerja setelah menerima gugatan harus sudah memanggil para pihak
(penggugat dan tergugat). Pemanggilan dimaksudkan untuk memberikan
tawaran kepada para pihak, apakah para pihak akan menggunakan jalur
mediasi atau konsiliasi dalam penyelesaian sengketanya. Jika jalur mediasi
atau konsiliasi dipilih oleh para pihak, maka Ketua Pengadilan Negeri
menyerahkan kepada para pihak untuk menunjuk Mediator atau
Konsiliator selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak pilihan jalur
penyelesaiang sengketa tersebut dibuat. Jika dalam waktu 7 (tujuh) hari
kerja para pihak belum dapat menunjuk mediator atau konsiliator, maka
Ketua Pengadilan Negeri yang menunjuk Mediator atau Konsiliator.
Jangka waktu penyelesaian sengketa melalui Mediasi atau Konsiliasi
adalah: Untuk sengketa hak 40 (empat puluh) hari. Untuk sengketa
kepentingan 60 (enam puluh) hari. Jika dalam jangka waktu tersebut belum
menghasilkan kesepakatan, Mediator atau Konsiliator dengan kesepakatan
para pihak dapat mengajukan perpanjangan waktu kepada Ketua
Pengadilan Negeri. Ketua Pengadilan Negeri dapat memberikan
perpanjangan waktu: Untuk sengketa hak 14 (empat belas) hari. Untuk
sengketa kepentingan 30 (tiga puluh) hari. Apabila perpanjangan waktu
tetap belum menghasilkan kesepakatan, maka Ketua Pengadilan Negeri
melimpahkan penyelesaian sengketa tersebut ke jalur persidangan
pengadilan. Penyelesaian sengketa melalui mediasi atau konsiliasi
merupakan pilihan penyelesaian sengketa yang tidak bersifat berjenjang.

104
1) Penyelesaian Sengketa Agraria Melalui Mediasi
Penyelesaian sengketa melalui mediasi dilakukan oleh mediator yang dipilih
dan disepakati oleh para pihak. Pilihan mediator tersebut dilaporkan
kepada Ketua Pengadilan Negeri penerima perkara. Mediator yang dipilih
dan disepakati harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. warga negara Indonesia;
c. berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;
d. menguasai peraturan perundang-undangan di bidang agraria;
e. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
f. berpendidikan sekurang-kurangnya Strata Satu (S1); dan
g. syarat lain yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung.
Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah
menerima pelimpahan penyelesaian sengketa, mediator harus sudah
mengadakan penelitian tentang duduk perkaranya dan segera mengadakan
sidang mediasi.
Mediator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam
sidang mediasi guna diminta dan didengar keterangannya. Saksi atau saksi
ahli yang memenuhi panggilan berhak menerima penggantian biaya
perjalanan dan akomodasi yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan
Ketua Mahkamah Agung. Barang siapa yang diminta keterangannya oleh
mediator guna penyelesaian sengketa agraria berdasarkan undang-undang
ini, wajib memberikan keterangan termasuk membukakan buku dan
memperlihatkan surat-surat yang diperlukan. Dalam hal keterangan yang
diperlukan oleh mediator terkait dengan seseorang yang karena jabatannya
harus menjaga kerahasiaan, maka harus ditempuh prosedur sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mediator wajib
merahasiakan semua keterangan yang diminta
Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan Agraria
melalui mediasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh
para pihak dan disaksikan oleh mediator serta didaftar di Pengadilan
Agraria pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan
Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.

105
Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan
Agraria melalui mediasi, maka:
a. mediator mengeluarkan anjuran tertulis;
b. anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam waktu
selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang mediasi
pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak;
c. para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis
kepada mediator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran
tertulis dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja
setelah menerima anjuran tertulis;
d. pihak yang tidak memberikan pendapatnya sebagaimana dimaksud
pada huruf c dianggap menolak anjuran tertulis;
e. dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana
dimaksud pada huruf a, maka dalam waktu selambat-lambatnya 3
(tiga) hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui, mediator harus
sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama
untuk kemudian didaftar di Pengadilan Agraria pada Pengadilan
Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian
Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
Pendaftaran Perjanjian Bersama di Pengadilan Agraria pada
Pengadilan Negeri dilakukan sebagai berikut:
a. Perjanjian Bersama yang telah didaftar diberikan akta bukti
pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Perjanjian Bersama;
b. apabila Perjanjian Bersama tidak dilaksanakan oleh salah satu
pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan
eksekusi kepada Pengadilan Agraria pada Pengadilan Negeri di
wilayah Perjanjian Bersama didaftar untuk mendapat penetapan
eksekusi;
c. dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum
Pengadilan Agraria pada Pengadilan Negeri tempat pendaftaran
Perjanjian Bersama, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan
permohonan eksekusi melalui Pengadilan Agraria pada Pengadilan

106
Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke
Pengadilan Agraria pada Pengadilan Negeri yang berkompeten
melaksanakan eksekusi.
Dalam hal anjuran tertulis ditolak oleh salah satu pihak atau para
pihak, maka sengketa dilanjutkan pada jenjang persidangan pengadilan.
Mediator menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat-lambatnya
40 (empat puluh) hari kerja untuk sengketa hak dan 60 (enam puluh) hari
kerja untuk sengketa kepentingan. Jika dalam batas waktu tersebut belum
menghasilkan kesepakatan, Mediator dengan persetujuan para pihak dapat
mengajukan perpanjangan mediasi kepada ketua Pengadilan Negeri untuk
sengketa hak paling lama 14 (empat belas hari) dan untuk sengketa
kepentingan 30 (tiga puluh) hari. Jika batas waktu yang telah diperpanjang
terlampaui dan tidak menghasilkan kesepakatan, maka Ketua Pengadilan
Negeri menetapkan sengketa tersebut diselesaikan melalui jalur
persidangan di pengadilan.
Mediator berhak mendapat honorarium/imbalan jasa berdasarkan
penyelesaian sengketa yang dibebankan kepada negara. Besarnya
honorarium/imbalan jasa ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung.
Kinerja Mediator dalam menangani sengketa dipantau dan dinilai oleh
Ketua Pengadilan Negeri dimana sengketa didaftarkan.
Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian
mediator serta tata kerja mediasi diatur dengan Keputusan Ketua
Mahkamah Agung.

2) Penyelesaian Sengketa Agraria Melalui Konsiliasi


Penyelesaian sengketa melalui konsiliasi dilakukan oleh konsiliator yang
terdaftar pada kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang
pertanahan/agraria Kabupaten/Kota. Penyelesaian sengketa oleh
konsiliator, dilaksanakan setelah para pihak mengajukan permintaan
penyelesaian secara tertulis kepada Ketua Pengadilan Negeri. Ketua
Pengadilan Negeri setelah menerima pengajuan penyelesaian sengketa
melalui konsiliasi oleh para pihak, mempersilakan kepada para pihak
untuk menunjuk konsiliator yang disepakatinya. Para pihak dapat

107
mengetahui nama konsiliator yang akan dipilih dan disepakati dari daftar
nama konsiliator yang dipasang dan diumumkan pada kantor instansi
Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang pertanahan/agraria.
Konsiliator yang telah ditunjuk oleh apara pihak, wajib lapor kepada
kepada Ketua Pengadilan Negeri.
Konsiliator harus memenuhi syarat :
a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. warga negara Indonesia;
c. berumur sekurang-kurangnya 45 tahun;
d. pendidikan minimal lulusan Strata Satu (S-1);
e. berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;
f. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
g. memiliki pengalaman di bidang Agraria sekurang-kurangnya 5
(lima) tahun;
h. menguasai peraturan perundang-undangan di bidang
pertanahan/agraria; dan
i. syarat lain yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung.
Konsiliator yang telah terdaftar diberi legitimasi oleh Ketua
Mahkamah Agung atau Pejabat yang berwenang di bidang
Pertanahan/Agraria.
Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah
menerima permintaan penyelesaian sengketa secara tertulis, konsiliator
harus sudah mengadakan penelitian tentang duduk perkaranya dan
selambat-lambatnya pada hari kerja kedelapan harus sudah dilakukan
sidang konsiliasi pertama. Konsiliator dapat memanggil saksi atau saksi
ahli untuk hadir dalam sidang konsiliasi guna diminta dan didengar
keterangannya. Saksi atau saksi ahli yang memenuhi panggilan berhak
menerima penggantian biaya perjalanan dan akomodasi yang besarnya
ditetapkan dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
Barang siapa yang diminta keterangannya oleh konsiliator guna
penyelesaian sengketa agraria berdasarkan undang-undang ini, wajib
memberikan keterangan termasuk membukakan buku dan
memperlihatkan surat-surat yang diperlukan. Dalam hal keterangan yang

108
diperlukan oleh konsiliator terkait dengan seseorang yang karena
jabatannya harus menjaga kerahasiaan, maka harus ditempuh prosedur
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Konsiliator wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta.
Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian sengketa agraria
melalui konsiliasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani
oleh para pihak dan disaksikan oleh konsiliator dan didaftar di Pengadilan
Agraria pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan
Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian sengketa Agraria
melalui konsiliasi, maka:
a. konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis;
b. anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam waktu
selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang konsiliasi
pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak;
c. para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis
kepada konsiliator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran
tertulis dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja
setelah menerima anjuran tertulis;
d. pihak yang tidak memberikan pendapatnya sebagaimana dimaksud
pada huruf c dianggap menolak anjuran tertulis;
e. dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana
dimaksud pada huruf a, maka dalam waktu selambat-lambatnya 3
(tiga) hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui, konsiliator harus
sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama
untuk kemudian didaftar di Pengadilan Agraria pada Pengadilan
Negeri di wilayah pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama
untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
Pendaftaran Perjanjian Bersama di Pengadilan Agraria pada Pengadilan
Negeri sebagaimana dimaksud dilakukan sebagai berikut:
a. Perjanjian Bersama yang telah didaftar diberikan akta bukti
pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Perjanjian Bersama;

109
b. apabila Perjanjian Bersama tidak dilaksanakan oleh salah satu
pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan
eksekusi di Pengadilan Agraria pada Pengadilan Negeri di wilayah
Perjanjian Bersama di daftar untuk mendapat penetapan eksekusi;
c. dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum
Pengadilan Agraria pada Pengadilan Negeri tempat pendaftaran
Perjanjian Bersama, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan
permohonan eksekusi melalui Pengadilan Agraria pada Pengadilan
Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke
Pengadilan Agraria pada Pengadilan Negeri yang berkompeten
melaksanakan eksekusi.
Dalam hal anjuran tertulis sebagaimana dimaksud ditolak oleh salah
satu pihak atau para pihak, maka sengketa dilanjutkan pada jenjang
persidangan pengadilan.
Konsiliator menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat-
lambatnya 40 (empat puluh) hari kerja untuk sengketa hak dan 60 (enam
puluh) hari kerja untuk sengketa kepentingan. Jika dalam batas waktu
belum menghasilkan kesepakatan, Konsiliator dengan persetujuan para
pihak dapat mengajukan perpanjangan konsiliasi kepada ketua Pengadilan
Negeri untuk sengketa hak paling lama 14 (empat belas hari) dan untuk
sengketa kepentingan 30 (tiga puluh) hari. Jika batas waktu perpanjangan
terlampaui dan tidak menghasilkan kesepakatan, maka Ketua Pengadilan
Negeri menetapkan sengketa tersebut diselesaikan melalui jalur
persidangan di pengadilan.
Konsiliator berhak mendapat honorarium/imbalan jasa berdasarkan
penyelesaian sengketa yang dibebankan kepada negara. Besarnya
honorarium/imbalan jasa sebagaimana dimaksud ditetapkan oleh Ketua
Mahkamah Agung. Kinerja konsiliator dalam menangani sengketa dipantau
dan dinilai oleh Ketua Pengadilan Negeri dimana sengketa didaftarkan.
Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian
konsiliator serta tata kerja konsiliasi diatur dengan Keputusan Ketua
Mahkamah Agung.

110
3) Penyelesaian Sengketa Agraria Melalui Persidangan Pengadilan
Apabila para pihak tidak bersepakat memilih jalur Mediasi atau Konsiliasi
atau jangka waktu penyelesaian melalui Mediasi atau Konsiliasi telah habis
namun tidak menghasilkan kesepakatan dari para pihak, maka Ketua
Pengadilan Negeri membentuk dan menetapkan Majelis Hakim yang terdiri
atas 1 (satu) orang Hakim Karier sebagai Ketua Majelis dan 2 (dua) orang
Hakim Ad-Hoc sebagai Anggota Majelis yang memeriksa dan memutus
sengketa. Penetapan dan pembentukan Majelis Hakim sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
kerja sejak berakhirnya jangka waktu penyelesaian melalui jalur Mediasi
atau Konsiliasi.

a) Persiapan Persidangan
Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak adanya
kesepakatan para pihak untuk tidak menggunakan jalur mediasi maupun
konsiliasi atau habisnya jangka waktu penyelesaian melalui mediasi atau
konsiliasi yang tidak menghasilkan kesepakatan, Ketua Pengadilan Negeri
sudah menetapkan Majelis Hakim yang terdiri dari 1 (satu) orang Hakim
Karier sebagai Ketua Majelis dan 2 (dua) orang Hakim Ad-Hoc sebagai
Anggota Majelis yang akan memeriksa dan memutus perkara yang
diajukan. Setelah terbentuk majelis hakim, maka majelis hakim wajib
mamanggil para pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja. Untuk
membantu tugas Majelis Hakim ditunjuk seorang Panitera Pengganti.

b) Pemeriksaan Dengan Acara Biasa


Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak penetapan
Majelis Hakim, maka Ketua Majelis Hakim harus sudah melakukan sidang
pertama. Pemanggilan untuk datang ke sidang dilakukan secara sah
apabila disampaikan dengan surat panggilan kepada para pihak di alamat
tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui
disampaikan di tempat kediaman terakhir. Apabila pihak yang dipanggil
tidak ada di tempat tinggalnya atau tempat tinggal kediaman terakhir,
surat panggilan disampaikan melalui Kepala Kelurahan atau Kepala Desa

111
yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal pihak yang dipanggil atau
tempat kediaman yang terakhir. Penerimaan surat penggilan oleh pihak
yang dipanggil sendiri atau melalui orang lain dilakukan dengan tanda
penerimaan. Apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir
tidak dikenal, maka surat panggilan ditempelkan pada tempat
pengumuman di gedung Pengadilan Agraria yang memeriksanya.
Majelis Hakim dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir di
persidangan guna diminta dan didengar keterangannya. Setiap orang yang
dipanggil untuk menjadi saksi atau saksi ahli berkewajiban untuk
memenuhi panggilan dan memberikan kesaksiannya di bawah sumpah.
Barang siapa yang diminta keterangannya oleh Majelis Hakim guna
penyelidikan untuk penyelesaian sengketa agraria berdasarkan undang-
undang ini wajib memberikannya tanpa syarat, termasuk membukakan
buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan.
Dalam hal keterangan yang diminta Majelis Hakim terkait dengan seseorang
yang karena jabatannya harus menjaga kerahasian, maka harus ditempuh
prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Hakim wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta.
Dalam hal salah satu pihak atau para pihak tidak dapat menghadiri
sidang tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan, Ketua Majelis
Hakim menetapkan hari sidang berikutnya. Hari sidang berikutnya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dalam waktu selambat-
lambatnya 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal penundaan.
Penundaan sidang karena ketidakhadiran salah satu atau para pihak
diberikan sebanyak-banyaknya 2 (dua) kali penundaan.
Dalam hal penggugat atau kuasa hukumnya yang sah setelah
dipanggil secara patut tidak datang menghadap Pengadilan pada sidang
penundaan terakhir, maka gugatannya dianggap gugur, akan tetapi
penggugat berhak mengajukan gugatannya sekali lagi. Dalam hal tergugat
atau kuasa hukumnya yang sah setelah dipanggil secara patut tidak datang
menghadap Pengadilan pada sidang penundaan terakhir, maka Majelis
Hakim dapat memeriksa dan memutus perselisihan tanpa dihadiri tergugat.

112
Sidang Majelis Hakim terbuka untuk umum, kecuali Majelis Hakim
menetapkan lain. Setiap orang yang hadir dalam persidangan wajib
menghormati tata tertib persidangan. Setiap orang yang tidak mentaati
tata tertib persidangan, setelah mendapat peringatan dari atau atas
perintah Ketua Majelis Hakim, dapat dikeluarkan dari ruang sidang.
Dalam putusan Pengadilan Agraria ditetapkan kewajiban yang harus
dilakukan dan/atau hak yang harus diterima oleh para pihak atau salah
satu pihak atas setiap penyelesaian sengketa agraria.

c) Pemeriksaan Dengan Acara Cepat


Apabila terdapat kepentingan para pihak dan/atau salah satu pihak yang
cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan
permohonan dari yang berkepentingan, para pihak dan/atau salah satu
pihak dapat memohon kepada Pengadilan Agraria supaya pemeriksaan
sengketa dipercepat. Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah
diterimanya permohonan, Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan
penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan
tersebut. Terhadap penetapan ini tidak dapat digunakan upaya hukum.
Dalam hal permohonan dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri dalam
jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah dikeluarkannya penetapan,
menentukan Majelis Hakim, hari, tempat, dan waktu sidang tanpa melalui
prosedur pemeriksaan. Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian
kedua belah pihak, masing-masing ditentukan tidak melebihi 14 (empat
belas) hari kerja.

d) Pengambilan Putusan
Dalam mengambil putusan, Majelis Hakim mempertimbangkan hukum,
kesaksian, fakta-fakta yang ada, perjanjian yang ada, kesejarahan,
kebiasaan, kemanfaatan dan keadilan. Putusan Mejelis Hakim
dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum. Dalam hal salah satu pihak
tidak hadir dalam sidang, Ketua Majelis Hakim memerintahkan kepada
Panitera Pengganti untuk menyampaikan pemberitahuan putusan kepada
pihak yang tidak hadir tersebut. Putusan Majelis Hakim merupakan

113
putusan Pengadilan Agraria. Tidak dipenuhinya ketentuan dimaksud
berakibat putusan Pengadilan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan
hukum.
Putusan Pengadilan harus memuat :
a. kepala putusan berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
b. nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman atau tempat
kedudukan para pihak yang berselisih;
c. ringkasan pemohon/penggugat dan jawaban termohon/ tergugat
yang jelas;
d. pertimbangan terhadap setiap bukti dan data yang diajukan hal
yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa;
e. alasan hukum yang menjadi dasar putusan;
f. amar putusan tentang sengketa;
g. hari, tanggal putusan, nama Hakim, Hakim Ad-Hoc yang memutus,
nama Panitera, serta keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya
para pihak.
Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan di atas dapat menyebabkan
batalnya putusan Pengadilan Agraria.
Majelis Hakim wajib memberikan putusan dengan batas waktu
tertentu. Untuk penyelesaian sengketa hak dalam waktu selambat-
lambatnya 90 (sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak sidang pertama.
Untuk penyelesaian sengketa kepentingan dalam waktu selambat-
lambatnya 150 (seratus lima puluh) hari kerja terhitung sejak sidang
pertama. Putusan Pengadilan Agraria ditandatangani oleh Hakim, Hakim
Ad-Hoc dan Panitera Pengganti.
Panitera Pengganti Pengadilan Agraria dalam waktu selambat-
lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah putusan Majelis Hakim dibacakan,
harus sudah menyampaikan pemberitahuan putusan kepada pihak yang
tidak hadir dalam sidang. Selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja
setelah putusan ditandatangani, Panitera Muda harus sudah menerbitkan
salinan putusan. Panitera Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-
lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah salinan putusan diterbitkan harus

114
sudah mengirimkan salinan putusan kepada para pihak. Ketua Majelis
Hakim Pengadilan Agraria dapat mengeluarkan putusan yang dapat
dilaksanakan lebih dahulu, meskipun putusannya diajukan banding atau
kasasi.
Putusan Pengadilan Agraria pada Pengadilan Negeri mempunyai
kekuatan hukum tetap apabila :
a. Untuk sengketa hak tidak diajukan permohonan banding kepada
Pengadilan Tinggi dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat
belas) hari kerja; dan
b. Untuk sengketa kepentingan tidak diajukan permohonan kasasi
kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 14
(empat belas) hari kerja.
Penentuan 14 (empat belas) hari kerja:
a. bagi pihak yang hadir, terhitung sejak putusan dibacakan dalam
sidang majelis hakim;
b. bagi pihak yang tidak hadir, terhitung sejak tanggal menerima
pemberitahuan putusan.
Salah satu pihak atau para pihak yang hendak mengajukan
permohonan banding atau kasasi harus menyampaikan secara tertulis
melalui Sub Kepaniteraan Pengadilan Agraria pada Pengadilan Negeri
setempat. Sub Kepaniteraan Pengadilan Agraria pada Pengadilan Negeri
dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja terhitung
sejak tanggal penerimaan permohonan harus sudah menyampaikan berkas
perkara kepada Ketua Pengadilan Tinggi untuk permohonan banding atau
kepada Ketua Mahkamah Agung untuk permononan kasasi.

e) Penyelesaian Sengketa Agraria oleh Hakim Banding


Majelis Hakim Banding terdiri atas satu orang Hakim Tinggi dan dua orang
Hakim Ad-Hoc yang ditugasi memeriksa dan mengadili perkara sengketa
Agraria pada Pengadilan Tingkat Banding (Pengadilan Tinggi) yang
ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Tinggi. Tata cara permohonan banding
dan penyelesaian sengketa hak oleh Hakim Banding dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penyelesaian

115
sengketa hak pada Pengadilan Tingkat Banding (Pengadilan Tinggi)
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal
penerimaan permohonan banding.

f) Penyelesaian Sengketa Agraria oleh Hakim Kasasi


Majelis Hakim Kasasi terdiri atas satu orang Hakim Agung dan dua orang
Hakim Ad-Hoc yang ditugasi memeriksa dan mengadili perkara sengketa
Agraria pada Mahkamah Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah
Agung. Tata cara permohonan kasasi serta penyelesaian sengketa hak dan
sengketa kepentingan oleh Hakim Kasasi dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penyelesaian sengketa hak
dan sengketa kepentingan pada Mahkamah Agung selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan
kasasi.

g) Pembuktian
Alat bukti dapat berupa:
a. surat atau tulisan;
b. keterangan ahli;
c. keterangan para saksi; dan/atau
d. pengakuan para pihak;
e. persangkaan,
f. sumpah, dan
g. penguasaan fisik.
h. rekaman/video yang kebenarannya tidak diragukan
Surat atau tulisan sebagai alat bukti terdiri dari :
a. akta autentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang
pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan
berwenang membuat surat itu dengan maksud untuk dipergunakan
sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang
tercantum didalamnya;
b. akta di bawah tangan yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani
oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk

116
dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa
hukum yang tercantum didalamnya;
c. surat keputusan atau surat ketetapan yang diterbitkan oleh Pejabat
yang berwenang;
d. surat-surat lain atau tulisan yang tidak termasuk huruf a, huruf b,
dan huruf c yang ada kaitannya dengan Banding atau Gugatan.
Atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau
karena jabatannya, Hakim Ketua dapat menunjuk seorang atau beberapa
orang ahli. Dalam hal perkara yang berkaitan dengan/menyangkut tanah
adat/masyarakat hukum adat, Hakim harus menghadirkan saksi ahli dari
lingkungan masyarakat hukum adat setempat. Seorang ahli dalam
persidangan harus memberi keterangan baik tertulis maupun lisan, yang
dikuatkan dengan sumpah atau janji mengenai hal sebenarnya menurut
pengalaman dan pengetahuannya.
Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu
berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat, atau didengar sendiri oleh
saksi. Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali, kecuali
berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh Majelis atau Hakim
Tunggal. Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban
pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian
diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti.
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam:
a. Sengketa hak, merupakan beban dan tanggung jawab penggugat; dan
b. Sengketa kepentingan, merupakan beban dan tanggung jawab tergugat.

7. Transparansi Dan Akuntabilitas


Pengadilan Agraria wajib memberikan pelayanan hukum terhadap pihak-
pihak yang berperkara sesuai dengan prinsip penyelenggaraan pemerintah
yang baik dan bersih secara transparan dan akuntabel. Untuk mendukung
pelaksanaa fungsi pengadilan, pada Pengadilan Agraria dibangun sistem
manajemen dan administrasi perkara secara online.
Pengadilan wajib mengumumkan laporan berkala kepada masyarakat
mengenai:

117
a. perkara yang didaftar, diperiksa dan diputus; dan
b. pengelolaan keuangan dan tugas administrasi lainnya.
Laporan sebagaimana dimaksud dimuat dalam Laporan Tahunan yang
diterbitkan oleh Pengadilan Agraria.
Para pihak berhak mengetahui informasi mengenai proses
pemeriksaan setiap perkara dan mendapatkan putusan Pengadilan Agraria.
Pengawasan terhadap perilaku Hakim Pengadilan Agraria dilakukan oleh
Komisi Yudisial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Pengawasan atas teknis pengadilan dilakukan Mahkamah
Agung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

118
BAB VI
PENUTUP

Berdasarkan uraian dalam bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan


beberapa hal antara lain: Pertama, sesuai dengan amanat Pasal 33 ayat (3)
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara berwenang untuk
menguasai bumi, termasuk tanah, air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Berkenaan dengan
keagrariaan, negara berwenang untuk membuat kebijakan, mengatur,
mengurus, mengelola dan melakukan pengawasan terkait dengan:
peruntukan, persediaan dan pemeliharaan; hubungan hukum antara orang
dengan sumber daya agraria; dan hubungan hukum antara orang dan
perbuatan hukum mengenai agraria.
Kedua, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (UUPA) telah mengatur dan menjabarkan tentang
agraria dalam pokok-pokok atau garis besarnya. Namun demikian UUPA
perlu dilengkapi. Selanjutnya dengan berbagai perkembangan pada tahun
1970an cenderung diarahkan pada pertumbuhan, berbagai kebijakan dan
peraturan perundang-undangan banyak menyimpang dan tidak sesuai
dengan falsafah dan prinsip-prinsip dasar UUPA. Karena itu perlu
diluruskan kembali.
Ketiga, Undang-Undang tentang Peradilan Agraria disusun untuk
melengkapi dan menjabarkan UUPA dan meluruskan penafsiran yang tidak
sesuai dengan falsafah dan prinsip-prinsip UUPA. Untuk mendukung upaya
ini, falsafah UUPA dijadikan landasan, dan prinsip-prinsip UUPA diperkuat
dan dikembangkan selaras dengan prinsip-prinsip Pembaruan Agraria.
Berdasarkan kesimpulan tersebut kemudian dapat disampaikan saran
bahwa pembentukan Undang-Undang tentang Pengadilan Agraria
merupakan keniscayaan untuk memberikan keadilan bagi semua kelompok
masyarakat dalam memperoleh dan memanfaatkan sumber daya agraria,
secara adil berdasarkan UUPA. Lebih lanjut, Mahkamah Agung perlu
membentuk kamar khusus di bidang pertanahan, yang berisi hakim agung

119
yang memiliki kompetensi dalam bidang hukum agraria (khususnya
pertanahan).

120
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abdul Hakim G. Nusantara dan Budiman Tanuredjo (1997), Dua Kado
Hakim Agung buat Kedung Ombo: Tinjauan Putusan-putusan
Mahkamah Agung tentang Kasus Kedung Ombo, Jakarta: Elsam
Achmad Sodiki, 2013. Politik Hukum Agraria, Jakarta : Konsitusi Press.
AristionoNugroho, dkk., 2011, Ngandangan Kontemporer: Implikasi Sosial
Land Reform Lokal, STPN Press, Yogyakarta.
Arya W Wirayuda, 2011, Dari Klaim Sepihak Hingga Land Reform: Konflik
Penguasaan Tanah Di Surabaya 1959-1967, STPN Press, Yogyakarta.
Christodoulou, D, 1990. The Unpromised Land. Agrarian Reform an Conflict
Worldwide,London and New Jersey: Zed Books.
Dianto Bachriadi (1998), Sengketa Agraria dan Perlunya Menegakan
Lembaga Peradilan Agraria yang Independen
Dianto Bachriadi dan Anton Lucas (2001), Merampas Tanah Rakyat: Kasus
Tapos dan Cimacan, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Dewan Perwakilan Daerah, Laporan Pansus Konflik Agraria dan Sumber
Daya Alam Dewan Perwakilan Daerah
Dianto Bachriadi & Gunawan Wiradi, 2011. Enam Dekade Ketimpangan;
Masalah Penguasaan Tanah di Indonesia. Jakarta: Bina Desa, ARC
dan KPA.
Elsa Syarif, 2012. Menuntaskan Sengketa Melalui Pengadila Khusus
Pertanahan. Jakarta : Gramedia
Endriadmo Soetarto dan Shohibuddin, 2005, Reforma Agraria; Prasyarat
Utama Bagi REvitalisasi Pertanian dan Pedesaan. Bandung: KPA.
Gunawan Wiradi, 2000. Reforma Agraria; Perjalanan yang Belum Berakhir.
Yogyakarta: Insist Press.
Herman Soesangobeng, 2012. Filosofi, Azas,Ajaran dan Teori Hukum
Pertanahan dan Keagrariaan Indonesia.
KPA, Bina Desa, Pokja PSDA, 2001. Meneguhkan Komitmen Mendorong
Perubahan. Jakarta: Pokja PSDA.
--------------, 1999. Usulan Ketetapan MPR RI tentang Pembaruan Agraria.
Bandung: KPA
121
Maria S.W. Sumardjono, 2009. Kebijakan pertanahan antara regulasi dan
implementasi, Jakarta : penerbit buku kompas.
Muhammad Bakri, 2007, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara (Paradigma
Baru Untuk Reformasi Agraria), Citra Media, Yogyakarta.
Noer Fauzi, 2003. Bersaksi untuk Pembaruan Agraria; Dari Tuntutan Lokal
Hingga Kecendrungan Global. Yogyakarta : Insist Press.
Noer Fauzi Rachman, 2011, Pengantar dalam Mulyani, Lilis, dkk (2011)
Strategi Pembaruan Agraria untuk Mengurangi Kemiskinan : Analisis
Hukum dan Kelembagaan. Jakarta : PMB LIPI dan PT Gading Inti
Prima.
Tim Kerja Komnas HAM-KPA-HuMA-Walhi-Bina Desa, 2004. Pokok-Pokok
Pikiran Mengenai Penyelesaian Konflik Agraria. Jakarta: Tim Kerja
Komnas HAM.
Yanis Maladi, 2008, Pendaftaran Tanah Nasional dan Kehidupan Hukum
Masyarakat (Perspektif Teori-Teori Sosial), Mahkota Kata, Yogyakarta.
Winahyu Erwiningsih, 2009, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, Total
Media, Yogyakarta.

B. Disertasi
Abrar, 1999, Hak Penguasaan Negara Atas Pertambangan Berdasarkan
Undang-Undang Dasar 1945, Disertasi, UNPAD, Bandung.
Aslan Noor, 2003, Konsepsi Hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia
Ditinjau Dari Ajaran Hak Asasi Manusia, Disertasi, UNPAD, Bandung.
Ilyas, 2005, Konsepsi Hak Garap Atas Tanah Dalam Sistem Hukum
Pertanahan Indonesia Dalam Kaitannya Dengan Ajaran Negara
Kesejahteraan, Disertasi, UNPAD, Bandung.
Muchsan, 1997, Perbuatan Pemerintah Dalam Memperoleh Hak Atas Tanah
Untuk Kepentingan Umum, Disertasi, UGM, Yogyakarta.
Parlindungan A.P., 1975, Pandangan Kritis Berbagai Aspek Dalam
Pelaksanaan UUPA Di Daerah Jambi, Disertasi, UGM, Yogyakarta.
Ronald Z Titahelu, 1993, Penerapan Asas-Asas Hukum Umum Dalam
Penggunaan Tanah Untuk Sebesar-sebesar Kemakmuran Rakyat:

122
Suatu Kajian Filsafati dan Teoretik Tentang Pengaturan dan
Penggunaan Tanah Di Indonesia, Disertasi, UNAIR, Surabaya.

C. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Tap MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumber Daya Alam.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2004 dan Perubahan Kedua dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2009.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2004 dan Perubahan Kedua dengan Undang-Undang Nomor
49 Tahun 2009.
Peraturan Kepala BPN-RI No. 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian
dan Penanganan Kasus Pertanahan.

123
ANGGOTA KOMITE I
PERIODE 2009-2014

124
BIOGRAFI PENULIS:

Moh Fadli dilahirkan di Kota Bondowoso, Jawa Timur. Gelar


Doktor diperoleh dari Program Pascasarjana Universitas
Padjadjaran Bandung. Selain berprofesi sebagai tenaga edukatif
pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, Ia sebagai
Ketua Pusat Penelitian Peradaban Fakultas Hukum. Kegiatan
ekstra kurikuler, Ia aktif sebagai peneliti, konsultan legislative
drafting, Constitutional Lawyer, pengabdian masyarakat, dan aktif
sebagai sepiritualitas yang lain.
Beberapa buku yang sudah berhasil diterbitkan antara lain: “Hermeneutika Hukum
(Teori Penemuan Hukum Baru Dengan Interpretasi Teks)”, UII Press, Yogyakarta, 2005. E-
mail: jazim@telkom.net merupakan salah satu sarana silaturrahmi di antara kita, dan para
pembaca dapat memberikan saran, kritik, informasi, serta tausiahnya.

Jazim Hamidi dilahirkan di Kota Blambangan, Banyuwangi,


Jawa Timur. Saat ini sedang merampungkan program studi doktor
Ilmu Hukum (Hukum Tata Negara) di Pascasarjana Universitas
Padjadjaran Bandung. Selain berprofesi sebagai tenaga edukatif
pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, aktif juga
melakukan kegiatan riset, menulis, konsultan legislative drafting,
pengabdian masyarakat, dan kegiatan dakwah yang lain.
Beberapa buku yang sudah berhasil diterbitkan antara lain:
“Syiiran Kiai-kiai”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1993;
“Kompetensi PTIS Mengadapi PJPT II”, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1993 (sebagai Editor);
“Penerapan Asas-asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan yang Layak (AAUPPL) Di
Lingkungan Peradilan Administrasi”, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999; “Mengenal Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak Di Indonesia Berdasarkan UU No. 17 Tahun 1997”, Tarsito,
Bandung, 1999; “Otonomi Luas dan Mandiri Menuju Indonesia Baru”, Tarsito, Bandung,
1999 (sebagai Editor); “Yurisprudensi Penerapan AAUPPL”, Tatanusa, Jakarta, 2000;
“Amandemen UUD 1945 Antara Teks dan Konteks Dalam Negara Yang Sedang Berubah”,
Sinar Grafika, Jakarta , 2000 (sebagai Anggota Tim Penulis); “Intervensi Negara Terhadap

125
Agama (Studi Konvergensi Atas Politik Aliran Keagamaan dan Reposisi Peradilan Agama Di
Indonesia,” UII-Press, Yogyakarta, 2001; “Teori dan Hukum Konstitusi”, Rajawali Press,
Jakarta, 2003 (Edisi Revisi); “Memerdekakan Indonesia Kembali (Perjalanan Bangsa dari
Soekarno ke Megawati)”, IRCiSoD, Yogyakarta, 2004, dan “Hermeneutika Hukum (Teori
Penemuan Hukum Baru Dengan Interpretasi Teks)”, UII Press, Yogyakarta, 2005. E-mail:
jazim@telkom.net merupakan salah satu sarana silaturrahmi di antara kita, dan para pembaca
dapat memberikan saran, kritik, informasi, serta tausiahnya.

Fendi Setiawan dilahirkan di Pacitan, 17 Februari 1972. Saat ini


merupakan Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember. Selain
itu juga aktif sebagai Kepala Laboratorium Hukum di Fakultas
Hukum Universitas Negeri Jember. Menempuh pendidikan
kesarjanaan di Fakultas Hukum Jember kemudian dilanjutkan
dengan magister dan doktoral di Program Pasca Sarjana
Universitas Padjajaran, Bandung yang keduanya diselesaikan
dengan predikat cum laude. Gelar doktor diperoleh pada tahun
2010 dengan disertasi membahas mengenai perlindungan konsumen.
Selain mengajar, Fendi juga aktif dalam forum-forum ilmiah mengikuti konferensi
yang diselenggarakan di tingkat nasional dan internasional. Berbagai kegiatan penelitian dan
konsultasi dijalaninya, termasuk dalam banyak penyusunan rancangan peraturan daerah dan
rancangan undang-undang. Email: fendi.setyawan@gmail.com

Idham Arsyad dilahirkan di Polewali, 20 Agustus


1974. Saat ini sedang menempuh pendidikan magister
pada Program Pasca Sarjana, Jurusan Sosiologi
Pedesaan, pada Fakultas Ekologi Manusia, Institute
Pertanian Bogor. Sebelumnya menyelesaikan
pendidikan kesarjaan dari Institute Agama Islam
Negeri (IAIN) Alauddin, Makassar, Sulawesi Selatan.
Idham merupakan aktivis agraria dan pernah menjadi leader pada berbagai organisasi
gerakan agraria. Pada tahun 200-2013 menjadi Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan
Agraria (KPA) dan menjadi anggota Forum Indonesia untuk Keadilan Agraria (FIKA). Saat
ini menjadi Direktur Eksekutif Working Group Tenure (WGT) dan anggota Dewan Pakar
126
Konsorsium Pembaruan Agraria. Beberapa kali terlibat sebagai anggota Tim Ahli di DPD RI
untuk merancang undang-undang yang berkaitan dengan permasalahan agrarian antara lain
RUU Hak atas Tanah (2013) dan RUU Pengadilan Agraria (2014). Email:
bhotghel@yahoo.com

127

Anda mungkin juga menyukai