Author :
Prof. Dr. Mokhamad Khoirul Huda, S.H., M.H.
Layouter :
Dewi
Editor :
Dita Birahayu, S.H., M.H.
Design Cover :
Azizur Rachman
copyright © 2020
Penerbit
Scopindo Media Pustaka
Jl. Kebonsari Tengah No. 03, Surabaya
Telp. (031) 82519566
scopindomedia@gmail.com
ISBN : 978-623-6500-31-6
Setiap orang yang dengan atau tanpa hak melakukan pelanggaran terhadap hak ekonomi yang sebagaimana
dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan ancaman
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000 (seratus
juta rupiah)
Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan
pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f,
dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).
Setiap orang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta melakukan
pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf
e, dan/atau huruf g untuk peggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama
(empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).
ii
PRAKATA
Puji syukur pada Allah SWT atas segala berkah dan rahmat-Nya
sehingga dapat menyelesaikan buku dengan judul: “Hukum Asuransi
Jiwa: Masalah-Masalah Aktual di Era Disrupsi 4.0.”
Buku ini merupakan kumpulan dari artikel yang penulis
publikasikan dalam Jurnal Ilmiah versi bahasa Inggris di beberapa
negara. Dengan diterbitkannya dalam sebuah buku versi bahasa
Indonesia diharapkan dapat memberikan kemudahan pemahaman dan
mendorong mahasiswa, dosen, praktisi dan pemerhati di bidang hukum
asuransi untuk terus melakukan kajian-kajian guna memberikan solusi
komprehensif dalam permasalahan praktik hukum asuransi dewasa ini.
Buku ini dibagi menjadi lima bagian yang membedah berbagai
problem Hukum Asuransi Jiwa antara lain: Prinsip Iktikad Baik dalam
Perjanjian Asuransi Jiwa Studi Perbandingan Indonesia dan Inggris,
Kewajiban Menjelaskan dan Mengungkapkan Fakta Material sebagai
Iktikad Baik dalam Perjanjian Asuransi Jiwa, Karakteristik Perjanjian
Keagenan Asuransi jiwa, Penyelesaian Sengketa Asuransi Jiwa Melalui
Jalur Non Litigasi serta Penerapan Iktikad Baik oleh Pengadilan dalam
Perjanjian Asuransi Jiwa.
Semoga dengan hadirnya buku ini, bisa memberikan solusi
problem hukum asuransi jiwa di Indonesia. Sehingga buku ini bisa
menjadi tambahan khasanah pengetahuan untuk kita semua.
iii
iv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................... i
PRAKATA .................................................................................. iii
DAFTAR ISI ................................................................................ v
BAGIAN SATU
PRINSIP IKTIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN ASURANSI:
STUDI PERBANDINGAN INDONESIA DENGAN INGGRIS ...1
A. Latar Belakang ...................................................................................... 2
B. Perjanjian Asuransi .............................................................................. 5
C. Hakikat Iktikad Baik dalam Perjanjian Asuransi Jiwa
di Indonesia dengan Inggris ............................................................... 9
D. Kesimpulan ......................................................................................... 18
BAGIAN DUA
KEWAJIBAN MENJELASKAN DAN MENGUNGKAPKAN
FAKTA MATERIAL SEBAGAI IKTIKAD BAIK DALAM
PERJANJIAN ASURANSI JIWA .................................................. 23
A. Latar Belakang .................................................................................... 24
B. Ketentuan Iktikad Baik dalam Perjanjian Asuransi Jiwa .............. 26
C. Makna Fakta Material dalam Perjanjian Asuransi Jiwa ................ 29
D. Pelanggaran Kewajiban Pengungkapan dan Menjelaskan Fakta
Material dalam Perjanjian Asuransi Jiwa ........................................ 34
E. Kesimpulan ......................................................................................... 37
BAGIAN TIGA
KARAKTERISTIK PERJANJIAN KEAGENAN ASURANSI
JIWA ................................................................................................ 41
A. Latar Belakang .................................................................................... 42
B. Hubungan Antara Prinsipal dengan Agen Asuransi Jiwa ............ 43
C. Tanggung Jawab Prinsipal dan Agen Terhadap Pemegang Polis 50
D. Kesimpulan ......................................................................................... 53
v
BAGIAN EMPAT
PENYELESAIAN SENGKETA ASURANSI JIWA MELALUI
JALUR NON LITIGASI................................................................. 57
A. Latar Belakang .................................................................................... 58
B. Penyelesaian Sengketa Asuransi Jiwa di Badan Mediasi dan
Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI) ............................................ 59
C. Tantangan Penyelesaian Asuransi Jiwa dengan Cepat, Murah,
Adil dan Efisien ................................................................................. 64
D. Kesimpulan ......................................................................................... 68
BAGIAN LIMA
PENERAPAN IKTIKAD BAIK DI PENGADILAN DALAM
PERJANJIAN ASURANSI JIWA................................................... 71
A. Latar Belakang .................................................................................... 72
B. Iktikad Baik dalam Perjanjian Asuransi Jiwa ................................. 74
C. Sikap Pengadilan dalam Penerapan Iktikad Baik dalam
Perjanjian Asuransi Jiwa ................................................................... 77
D. Kesimpulan ......................................................................................... 84
vi
BAGIAN 1 PRINSIP IKTIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN ASURANSI
A. Latar Belakang
Tertanggung asuransi dari tahun ke tahun terus meningkat,
sehingga memiliki dampak kenaikan pada sengketa klaim asuransi. Hal
ini dapat dilihat pada data badan Mediasi Asuransi Indonesia bahwa
sengketa klaim dari tahun 2006-2015 telah mencapai 476 kasus dengan
rincian sengketa klaim asuransi jiwa berjumlah 245 kasus, asuransi
sosial berjumlah 4 kasus dan asuransi umum berjumlah 227 kasus
(BMAI, 2017).
Sengketa klaim asuransi jiwa terjadi karena perselisihan antara
tertanggung dan penanggung mengenai pelaksanaan perjanjian dalam
polis. Masalah yang muncul adalah sulitnya melakukan klaim polis
dikarenakan tertanggung terlambat pembayaran polis (lapse), Surat
Pengajuan Asuransi Jiwa diisi sendiri oleh agen asuransi dan tertanggung
dianggap tidak beriktikad baik dalam pengisian Surat Pengajuan Asuransi
Jiwa (SPAJ) dengan tidak memberikan informasi yang benar (misrepresentation)
atau tidak mengungkapkan fakta-fakta material yang diketahuinya pada
tertanggung (non disclosure).
Iktikad baik dalam perjanjian asuransi jiwa mewajibkan tertanggung
untuk memberitahukan secara teliti dan sejelas-jelasnya mengenai segala
fakta-fakta material yang berkaitan dengan objek yang diasuransikan
(Robert Merkin, 2007: 37). Pengetahuan apapun yang dibutuhkan oleh
penanggung, tertanggung akan memberikan informasi itu secara jelas
dan lengkap berkaitan dengan risiko yang akan ditanggung oleh
penanggung (Viktor Dover 1975: 343).
Perjanjian asuransi jiwa berdasarkan pada prinsip uberrimae fidei atau
utmost good faith. Menurut Scruttuo L. J dalam perkara Rozanes versus
Bowen bahwa “ as the under writer knows everything, it is the duty of the
assured…, to make a full disclosure to the underwriter without being asked of all
the material circumstance” (Kun Wahyu Wardhana: 2009: 34).
Meskipun secara umum iktikad baik sudah diatur dalam ketentuan
Pasal 1338 ayat 3 Burgelijke wet Boek, khusus untuk perjanjian asuransi
jiwa masih dibutuhkan penekanan secara khusus sebagaimana diatur
dalam Pasal 251 Wet Boek van Kophandel menyatakan:
2
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0
Jika diteliti secara seksama rumusan dalam Pasal 251 Wet Boek van
Kophandel terlalu berpihak pada penanggung dengan melindungi
penanggung atau membebaskan risiko yang tidak tepat diperalihkan
kepadanya, sehingga tidak menjadi pertimbangan, apakah pada diri
tertanggung itu terdapat iktikad baik ataupun buruk. Pasal 251 Wet Boek
van Kophandel memberikan kewajiban secara sepihak pada tertanggung
untuk memberikan keterangan dan informasi fakta-fakta material yang
benar dan tepat, sedangkan pihak penanggung sebaliknya mendapat
perlindungan terhadap pelanggaran asas iktikad baik dari tertanggung.
Hal ini dapat dilihat dari kalimat terakhir dari pasal tersebut yang
berbunyi: “…menyebabkan pertanggungan batal” (…maakt de
verzekering nietig).
Ketentuan Pasal 251 Wet Boek van Kophandel sangat berbeda dengan
rumusan Pasal 17 Marine Insurance Act 1906 di Inggris yang mengandung
makna reciprocal duties of good faith, yang berbunyi: “a contract of marine
insurance is a contract based upon the utmost good faith, and, if the utmost good
faith be not observed by either party, the contract may be avoided by the other party
(Susan Hodges, 2004: 85).
Beberapa ahli telah melakukan penelitian tentang iktikad baik antara
lain: Ridwan Khairandy (2003) telah melakukan penelitian iktikad baik
dalam kebebasan berkontrak. Penelitian ini menyimpulkan, filsafat
individualisme dengan berbagai cabangnya yang berkembang pada abad
ke sembilan belas menempatkan otonomi kehendak sebagai cara untuk
masuk kepada gagasan kebebasan untuk melakukan sesuatu. Belakangan
terbukti bahwa kebebasan berkontrak memiliki banyak kelemahan dan
kritik baik dari segi akibat negatif yang ditimbulkannya maupun dari
kesalahan yang berpikir yang melekat didalamnya. Kritik tersebut pada
3
BAGIAN 1 PRINSIP IKTIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN ASURANSI
4
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0
5
BAGIAN 1 PRINSIP IKTIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN ASURANSI
6
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0
7
BAGIAN 1 PRINSIP IKTIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN ASURANSI
8
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0
Pasal 251 Wetboek van Kophandel mengatur iktikad baik pra kontrak
dengan standar subjektif. Iktikad baik pra kontrak ialah kewajiban
untuk memberitahukan atau menjelaskan (mededelingsplicht) dan meneliti
(onderzoekplicht) fakta-fakta material bagi para pihak yang berkaitan
dengan pokok-pokok yang akan di negosiasikan. Sedangkan standar
subjektif berkaitan dengan sikap batin dan kejiwaan para pihak pada
waktu membuat perjanjian asuransi jiwa.
Prinsip yang terkandung di dalam Pasal 251 Wetboek van
Kophandel adalah prinsip uberrima fides atau uberrima fidae. Uberrima fides
atau uberrima fidei berasal dari bahasa Latin yang di difinisikan sebagai:
“a phrase used to express the perfect good faith, concealing nothing, with which a
contract must be made; for example in the case of insurance, the insured must observe
the most perfect good faith towards the insurer” (Robinson, Q.C. Douglas F.
and John Neocleous, 1998: 11).
Menurut Uli Foerstl kata fides berasal dari “the name of the Roman
goddess fides, the deification of good faith and honesty, the oath, and that one must
keep one's word.” Inti konsep bona fides adalah fides. Fides ini dikembangkan
sebagai standar prosedur kontrak, yang dikenal sebagai exceptio doli (Uli
Foerstl, 2005: ii).
Prinsip iktikad baik dalam hukum Romawi kemudian menyebar
ke sistem Civil Law dan sistem Common Law. Kemudian berkembang
di Belanda disebut dengan “te goede trouw” sedangkan di Inggris disebut
9
BAGIAN 1 PRINSIP IKTIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN ASURANSI
10
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0
11
BAGIAN 1 PRINSIP IKTIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN ASURANSI
12
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0
sebagai berikut:
“Insurance is a contract upon speculation. The special facts, upon which the
contingent chance is to be computed, lie most commonly in the knowledge of the
insured only; the under-writer trusts to his representation, and proceeds upon
confidence that he does not keep back any circumstances in his knowledge, to
mislead the under-writer into a belief that the circumstances does not exist, and
to induce him to estimate the risque as if it did not exist. The keeping back
such circumstance is a fraud, and therefore the policy is void… The governing
principle is applicable to all contracts and dealings. Good faith forbids either
party by concealing what he privately knows, to draw the other into a bargain,
from his ignorance of that fact and his believing the contrary …” ( Douglas
F. Robinson Q.C. and John Neocleous, 1998:11).
13
BAGIAN 1 PRINSIP IKTIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN ASURANSI
asuransi jiwa, iktikad baik saja belum cukup tetapi dituntut yang terbaik
dari iktikad baik dari calon tertanggung.
Kata utmost good faith dalam sistem Common Law berasal dari kata
“utmost” sebagai penekanan makna “good faith” yang menjadi bagian
konsep dasar. Sedangkan Susan Hodges mengatakan kata “utmost”
menunjukkan “suggests that a high degree of good faith is required to satisfy. ”
Hal ini perlu dimaknai bahwa kata good faith memiliki arti “different
things to different peoples in different moods at different times and in difference
places,” tetapi makna ontologi dinyatakan sebagai “fairness, fair conduct,
reasonable standarts of air dealing, decency, reasonableness, decent behavior, a
common ethical sense, a spirit of a solidarity, community standarts of fairness,
decency and reasonableness”(H. K. Lucke, 1987: 160).
Scrutton L.J dalam perkara Rozanes v. Bowen 1928, mengatakan
bahwa “as the underwriter knows nothing and the man who comes to him to ask
him to insure knows everthing, it is the duty of the assured…to make a full
disclosure to the under writer without being asked of all the material circumstances.”
Prinsip “utmost good faith” menentukan para pihak untuk bertindak
sesuai dengan iktikad baik pada umumnya. Kewajiban berfokus pada
kata “utmost” yang menjadi standar iktikad baik yang merupakan bagian
bentuk dari kejujuran.
Kewajiban “utmost good faith” harus dibedakan dari “good faith” yang
membutuhkan kejujuran dalam memberikan informasi, tetapi tidak
mewajibkan untuk mengungkapkan semua yang ia tahu. Jika “good faith”
digambarkan sebagai kewajiban untuk tidak memberikan informasi
yang tidak keliru, maka kata “utmost good faith” mewajibkan salah satu
pihak secara sukarela untuk mengungkapkan semua informasi yang
penting kepada pihak lain, bahkan tidak diminta untuk melakukannya.
Informasi yang diperlukan untuk diungkapkan oleh para pihak
untuk menentukan apakah kontrak itu adil dan merata yang tidak bisa
dipastikan dengan akal sehat atau pertanyaan yang wajar, seperti
kebanyakan perjanjian komersial lainnya. Secara khusus, untuk asuransi
jiwa menilai risiko yang diperjanjikan itu akan memerlukan informasi
dan pengetahuan dari pribadi tertanggung.
14
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0
15
BAGIAN 1 PRINSIP IKTIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN ASURANSI
16
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0
Hal ini telah dijadikan dasar putusan Lord Mansfield tahun 1766
dalam kasus Carter v. Boehm, bahwa kontrak asuransi berdasarkan pada
utmost good faith. Adapun posisi hukum kasus Carter v Boehm (1766.)
sebagai berikut:
“Background to Carter v Boehm: Carter was the Governor of Fort
Marlborough, which was built by the British East India Company in
Sumatra, Indonesia. Carter took out an insurance policy with Mr Boehm
against the fort being taken by a foreign enemy. A witness, Captain Tryon,
testified that Carter knew that the fort had been built to resist attacks from
17
BAGIAN 1 PRINSIP IKTIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN ASURANSI
natives, but not European enemies, and the French were likely to attack. The
French did attack, and Boehm refused to fulfill the insurance claim. Carter
sued, but failed to have the claim paid.”
D. KESIMPULAN
Asuransi merupakan perjanjian antara tertanggung dan penanggung
tentang pengalihan risiko. Pengaturan iktikad baik tertanggung asuransi
jiwa di Indonesia tunduk pada ketentuan Pasal 251 Wetboek van Kophandel
sedangkan di Inggris ketentuan iktikad baik tunduk pada Pasal 17 Marine
Insurance Act 1908. Iktikad baik di Indonesia disebut dengan istilah “te goede
18
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0
trouw” dan di Inggris disebut dengan “utmost good faith”. Iktikad baik dalam
perjanjian asuransi jiwa di Indonesia mewajibkan tertanggung untuk
memberitahukan atau menjelaskan (mededelingsplicht) dan juga meneliti
(onderzoekplicht) fakta material berkaitan dengan objek asuransi jiwa.
Sedangkan di Inggris prinsip iktikad baik mengharuskan masing-masing
pihak baik tertanggung maupun penanggung mempunyai kewajiban
timbal balik (reciprocity duty) untuk memberikan keterangan atau informasi
yang selengkap-lengkapnya data yang dapat mempengaruhi para pihak
untuk membuat kesepakatan dalam perjanjian asuransi jiwa baik diminta
atau tidak. Pada akhirnya ketentuan khusus iktikad baik dalam perjanjian
asuransi jiwa bagi penanggung di Indonesia diatur dalam Pasal 31 ayat 1
dan 2 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2014 tentang Perasuransian yang
memberikan kedudukan yang sama antara tertanggung dan penanggung
untuk mengungkapkan dan menjelaskan fakta material berkaitan dengan
objek asuransi jiwa.
19
BAGIAN 1 PRINSIP IKTIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN ASURANSI
Daftar Pustaka
20
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0
21
BAGIAN 1 PRINSIP IKTIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN ASURANSI
22
BAGIAN 2 KEWAJIBAN MENJELASKAN DAN MENGUNGKAPKAN FAKTA MATERIAL
A. Latar Belakang
Asuransi atau pertanggungan dalam bahasa Belanda dikenal
dengan istilah verzekering atau assurantie. Dalam bahasa Inggris, asuransi
dikenal dengan istilah insurance atau assurance. Dalam bahasa Arab,
asuransi dikenal dengan istilah at-ta’min (Dahlan,1996,p.138).
E. R. Hardy Ivamy (1979: 1) juga memberikan rumusan definisi
perjanjian asuransi sebagai:
“a contract of insurance in the widest sense of term may be defined as a contract
whereby one person, called the “Insurer”, undertatakes, in return for the agreed
consideration, called the “premium,” to pay to another person, called the
”Assured,” a sum money, or its equivalent, on the happening of a specified
event.”
24
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0
25
BAGIAN 2 KEWAJIBAN MENJELASKAN DAN MENGUNGKAPKAN FAKTA MATERIAL
Menurut Uli Foerstl kata fides berasal dari “the name of the Roman
goddess fides, the deification of good faith and honesty, the oath, and that one must
keep one's word.” Inti konsep bona fides adalah fides. Fides ini dikembangkan
sebagai standar prosedur perjanjian, yang dikenal sebagai exceptio doli
(Foerstl, 2005: ii).
Demikian pula Rumusan Pasal 17 Marine Insurance Act 1906
berbunyi: “a contract of marine insurance is a contract based upon the utmost good
faith, and, if the utmost good faith be not observed by either party, the contract may
be avoided by the other party.
Lord Mansfield menegaskan perlunya prinsip utmost good faith
dalam perjanjian asuransi di Inggris sebagai berikut:
“Insurance is a contract upon speculation. The special facts, upon which the
contingent chance is to be computed, lie most commonly in the knowledge of the
insured only; the under-writer trusts to his representation, and proceeds upon
26
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0
confidence that he does not keep back any circumstances in his knowledge, to
mislead the under-writer into a belief that the circumstances does not exist, and
to induce him to estimate the risque as if it did not exist. The keeping back
such circumstance is a fraud, and therefore the policy is void… The governing
principle is applicable to all contracts and dealings. Good faith forbids either
party by concealing what he privately knows, to draw the other into a bargain,
from his ignorance of that fact and his believing the contrary …”(Feng,
2008).
27
BAGIAN 2 KEWAJIBAN MENJELASKAN DAN MENGUNGKAPKAN FAKTA MATERIAL
Hal ini telah dijadikan dasar putusan Lord Mansfield tahun 1766
dalam kasus Carter v. Boehm, bahwa perjanjian asuransi berdasarkan pada
utmost good faith.
Adapun posisi hukum kasus Carter v Boehm (1766.) sebagai berikut:
“Background to Carter v Boehm: Carter was the Governor of Fort
Marlborough, which was built by the British East India Company in
Sumatra, Indonesia. Carter took out an insurance policy with Mr Boehm
against the fort being taken by a foreign enemy. A witness, Captain Tryon,
testified that Carter knew that the fort had been built to resist attacks from
natives, but not European enemies, and the French were likely to attack. The
French did attack, and Boehm refused to fulfill the insurance claim. Carter
sued, but failed to have the claim paid.” (Manning,2010: 5; Lowry; 2009).
28
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0
29
BAGIAN 2 KEWAJIBAN MENJELASKAN DAN MENGUNGKAPKAN FAKTA MATERIAL
30
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0
31
BAGIAN 2 KEWAJIBAN MENJELASKAN DAN MENGUNGKAPKAN FAKTA MATERIAL
32
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0
33
BAGIAN 2 KEWAJIBAN MENJELASKAN DAN MENGUNGKAPKAN FAKTA MATERIAL
34
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0
35
BAGIAN 2 KEWAJIBAN MENJELASKAN DAN MENGUNGKAPKAN FAKTA MATERIAL
36
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0
E. Kesimpulan
Sesuatu merupakan fakta material (material facts) jika pemberitahuan
atau penyembunyian suatu fakta akan mempengaruhi penanggung
dalam mengambil keputusan untuk menerima atau menolak risiko yang
ditawarkan, dan menentukan kondisi-kondisi dan syarat-syarat asuransi
jiwa apabila akan menerima risiko tersebut. Sehingga fakta material
tersebut bukan sekedar dalam bentuk, tetapi secara substansi juga
dianggap penting oleh penanggung.
Pelanggaran fakta material meliputi tidak memberikan penjelasan
atau keterangan yang keliru atau tidak benar (misrepresentation) dan tidak
mengungkapkan setiap apa yang diketahui oleh tertanggung (non
disclosure) yang membawa akibat batal perjanjian asuransi jiwa tersebut.
37
BAGIAN 2 KEWAJIBAN MENJELASKAN DAN MENGUNGKAPKAN FAKTA MATERIAL
Daftar Pustaka
38
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0
39
BAGIAN 2 KEWAJIBAN MENJELASKAN DAN MENGUNGKAPKAN FAKTA MATERIAL
40
BAGIAN 3 KARAKTERISTIK PERJANJIAN KEAGENAN ASURANSI JIWA
A. Latar Belakang
Asuransi dalam terminologi hukum merupakan suatu perjanjian
(Merkin, 2007: 3), oleh karena itu perlu dikaji sebagai acuan menuju
pada pengertian perjanjian itu sendiri. Perjanjian asuransi menawaran
suatu kepastian dari suatu ketidakpastian mengenai kerugian-kerugian
ekonomis yang mungkin diderita karena suatu peristiwa tidak tentu
(evenement).
Peristiwa tidak tentu tersebut biasa disebut dengan risiko. S.R
Diacon dan R.L. Carter (1984:3). mengatakan risiko itu ada setiap kali
orang tidak dapat menguasai dengan sempurna, atau mengetahui lebih
dulu mengenai masa depan” Emmet J.Vaughan and Therese Vaughan
(2003:3)mengatakan risiko: “a condition in which there is a possibility of an
adverse deviation from a desired outcome that is expected or hoped for.
Aqil Muhammad (2014:205) memberikan berpendapat bahwa:
“Insurance enables the whole society to minimize the risks caused by some
natural factors for instance earthquakes, hurricanes, tonados, flood; some
human actions for example theft, fraud, pollution, terrorism, and some
economic impacts such as inflation, obsolescence, depressions/recessions.
42
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0
43
BAGIAN 3 KARAKTERISTIK PERJANJIAN KEAGENAN ASURANSI JIWA
44
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0
45
BAGIAN 3 KARAKTERISTIK PERJANJIAN KEAGENAN ASURANSI JIWA
46
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0
47
BAGIAN 3 KARAKTERISTIK PERJANJIAN KEAGENAN ASURANSI JIWA
48
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0
49
BAGIAN 3 KARAKTERISTIK PERJANJIAN KEAGENAN ASURANSI JIWA
50
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0
51
BAGIAN 3 KARAKTERISTIK PERJANJIAN KEAGENAN ASURANSI JIWA
52
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0
D. Kesimpulan
Perjanjian keagenan terjadi antara agen dengan prinsipal yang
melahirkan hubungan hukum para pihak.Hubungan hukum tersebut
melahirkan hak dan kewajiban prinsipal dan agen. Hubungan hukum
tersebut diatur dalam kode etik keagenan dan Undang-Undang tentang
Perasuransian.
Adapun tindakan yang merugikan prinsipal seperti memberikan
informasi yang tidak benar, palsu dan /atau menyesatkan calon nasabah
mengenai risiko, manfaat, hak, kewajiban terkait produk asuransi jiwa
dan tidak menyetorkan premi yang telah di bayar oleh calon pemegang
polis maka menjadi tanggung jawab perusahaan asuransi yang diagenai
Prinsipal bisa memberikan teguran lisan dan/atau tertulis, peng-
hentian sementara aktivitas keagenan, mengakhiri perjanjian kerjasama
secara sepihak dan ganti rugi, jika agen melakukan pelangaran kode etik
keagenan. Sedangkan untuk pelanggaran hukum diancam dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).
53
BAGIAN 3 KARAKTERISTIK PERJANJIAN KEAGENAN ASURANSI JIWA
Daftar Pustaka
54
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0
55
BAGIAN 3 KARAKTERISTIK PERJANJIAN KEAGENAN ASURANSI JIWA
56
BAGIAN 4 PENYELESAIAN SENGKETA ASURANSI JIWA MELALUI JALUR NON LITIGASI
A. Latar Belakang
Pada umumnya masa depan manusia tidaklah pasti, karena tidak
seorang pun mengetahui kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi
atas hidup manusia. Namun sebagai mahluk Tuhan, setiap manusia
dibekali dengan akal pikiran dan panca indera sebagai alat untuk
mencari jalan keluar agar masa depan manusia menjadi menentu dan
terarah. Dengan berpedoman kepada pengalaman masa lalu, dapatlah
diperkirakan peristiwa-peristiwa apa yang mungkin menimpa dan
bagaimana metode yang perlu dilakukan untuk melindungi diri
terhadap risiko dalam kehidupan (Huda, 2017:53).
Risiko merupakan “a condition in which there is a possibility of an adverse
deviation from a desired outcome that is expected or hoped for” (Vaughan and
Therese, 2003: 3). Salah satu cara yang dipakai dalam rangka mengelola
risiko itu adalah asuransi (Huda, 2016:1037) Insurance enables the whole
society to minimize the risks caused by some natural factors for instance
earthquakes, hurricanes, tornados, flood; some human actions for example theft,
fraud, pollution, terrorism, and some economic impacts such as inflation,
obsolescence, depressions/recessions (Aqil, 2014: 205).
Asuransi juga merupakan sarana finansial dalam tata kelola
kehidupan keluarga dalam menghadapi risiko jiwa dan raga manusia
seperti risiko atas kesehatan, risiko kecelakaan, hari tua dan kematian
(Greene, 1988: 219). Asuransi menyediakan dana dalam menghadapi
risiko hidup yang tidak berkepastian (Purba, 1992: 275). Dengan
melihat risiko hidup yang sangat banyak melahirkan sikap mental yang
tinggi untuk ikut berasuransi pada masyarakat.
Meningkatnya peserta asuransi memiliki dampak yang sangat
tinggi terhadap sengketa asuransi jiwa. Badan Mediasi dan Arbitrase
Asuransi Indonesia mencatat sengketa meningkat secara signifikan
pada tahun 2012. BMAI telah mencatat 138 kasus atau naik 158%
dibanding kasus sengketa klaim pada tahun 2011 yang tercatat 48 kasus.
Untuk tahun 2013 jumlah total sengketa klaim 41 kasus dengan
perincian sengketa klaim asuransi jiwa berjumlah 27 kasus sedangkan
asuransi umum berjumlah 14 kasus (Huda, 2016: 6).
58
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0
59
BAGIAN 4 PENYELESAIAN SENGKETA ASURANSI JIWA MELALUI JALUR NON LITIGASI
60
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0
61
BAGIAN 4 PENYELESAIAN SENGKETA ASURANSI JIWA MELALUI JALUR NON LITIGASI
62
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0
63
BAGIAN 4 PENYELESAIAN SENGKETA ASURANSI JIWA MELALUI JALUR NON LITIGASI
64
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0
65
BAGIAN 4 PENYELESAIAN SENGKETA ASURANSI JIWA MELALUI JALUR NON LITIGASI
lainnya.
3. Prinsip keadilan
Keadilan memiliki makna untuk memberikan gambaran bahwa
lembaga ini memiliki peraturan dalam pengambilan keputusan,
serta harus memberikan alasan tertulis atas penolakan permohonan
penyelesaian sengketa dari konsumen dan/atau lembaga jasa
keuangan dengan ketentuan syarat: 1) mediator benar-benar
bertindak sebagai fasilitator dalam rangka mempertemukan
kepentingan para pihak yagn bersengketa untuk memperoleh
kesepakatan penyelesaian; 2) adjudikator dan arbiter dilarang
mengambil keputusan berdasarkan pada informasi yang tidak
diketahui para pihak dan 3) ajudikator dan arbiter wajib mengem-
bangkan alasan tertulis dalam setiap keputusannya.
4. Prinsip Efisiensi dan Efektifitas
BMAI harus menyelesaikan sengketa secara efisien, yang memiliki
ketentuan jangka waktu dalam penyelesaian sengketa serta
pengenaan biaya harus murah kepada konsumen dalam rangka
penyelesaian sengketa. Untuk efektivitas memiliki makna bahwa
BMAI memiliki peraturan sengketa yang memuat ketentuan yang
memastikan bahwa anggotanya mematuhi dan melaksanakan
setiap putusan serta mengawasi pelaksanaan putusan lembaga
tersebut.
Untuk meningkatkan kualitas layanan BMAI maka Otoritas Jasa
Keungan dalam Pasal 9 POJK No. 1 tahun 2014 memajibkan BMAI
untuk membuat laporan setiap enam (6) bulan yaitu pada bulan Juni
dan Desember paling lambat pada tanggal 10 bulan berikutnya. Adapun
laporan BMAI harus memuat informasi paling kurang harus memuat:
1) Jumlah permohonan penyelesaian sengketa;
2) Demografi dari konsumen yang mengajukan permohonan
penyelesaian sengketa;
3) Jumlah permohonan penyelesaian yang ditolak karena tidak
memenuhi persyaratan (termasuk alasan penolakan);
4) Sengketa yang masih dalam proses penyelesaian;
66
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0
67
BAGIAN 4 PENYELESAIAN SENGKETA ASURANSI JIWA MELALUI JALUR NON LITIGASI
D. Kesimpulan
Penyelesaian sengketa asuransi jiwa dapat diselesaikan melalui dua
jalur yaitu litigasi dan non litigasi. Khusus untuk jalur non litigasi,
Otoritas Jasa Keuangan telah membentuk Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa di sektor jasa keuangan khususnya asuransi yang
disebut Badan Mediasi dan Arbitrase Indonesia.
Penyelesaian melalui BMAI melalui dua tahap yaitu Mediasi dan
Ajudikasi. Proses penyelesaian perselisihan di BMAI terdiri dari: tahap
Mediasi yang berupa laporan keluhan diterima BMAI akan ditangani
oleh Case Manager. Case Manager akan berusaha mengupayakan agar
konsumen dan perusahaan asuransi dapat mencapai suatu penyelesaian
secara damai dan adil bagi kedua belah pihak. Bila perselisihan tidak
dapat diselesaikan melalui mediasi, maka dibawa ke tingkat berikutnya
yaitu adjudikasi untuk diputuskan oleh panel ajudikator yang ditunjuk
BMAI. Tahap ajudikasi jika perusahaan asuransi dinyatakan bersalah,
maka sengketa selesai dan perusahaan asuransi jiwa harus membayar
klaim dan jika konsumen yang kalah, maka dapat melanjutkan ke ranah
pengadilan atau arbitrase.
Penyelesaian yang mencerminkan asas cepat, murah, adil dan
efesien telah diatur dalam POJK No. 1/POJK.7/2014. Asas cepat
memiliki makna penyelesaian tersebut dalam waktu singkat pada tahap
mediasi dan adjudikasi dibutuhkan waktu 60 hari. Murah atau biaya
ringan memiliki makna uang yang dikeluarkan penyelesian sengketa
dapat dijangkau oleh konsumen. Adil memiliki makna mediator atau
adjudikator harus memperlakukan yang sama antara konsumen dan
perusahaan asuransi serta putusan didasari alasan. Untuk efisien
memiliki makna prosedur tidak berbelit-belit dalam penyelesaian
sengketa dan adanya kepastian hukum bagi para pihak.
68
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0
Daftar Pustaka
69
BAGIAN 4 PENYELESAIAN SENGKETA ASURANSI JIWA MELALUI JALUR NON LITIGASI
70
BAGIAN 5 PENERAPAN IKTIKAD BAIK OLEH PENGADILAN DALAM PERJANJIAN ASURANSI JIWA
A. Latar Belakang
Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah penduduk
Indonesia pada tahun 2000 sebanyak 205.132.458,00 jiwa dengan laju
pertumbuhan antara tahun 1990-2000 sebesar 1,4. Selanjutnya hasil
sensus pada tahun 2010 sebanyak 237.556.363.00 jiwa dengan laju
pertumbuhan antara tahun 2000 - 2010 sebesar 1,49 (BPS,2011:47).
Tahun 2013 Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN) memperkirakan penduduk Indonesia sudah mencapai 250
juta (BPS, 2015: 76). Sekitar 43,7 juta jiwa atau 18% memiliki
perlindungan asuransi jiwa (Berita Satu, 2015). Dari jumlah penduduk
yang ikut asuransi di Tahun 2012 Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia
(AAJI) dapat mengumpulkan total dana senilai Rp 1.946 triliun atau
naik sebesar 17,6 % dibandingkan dengan tahun 2011, yaitu Rp 1.656
triliun. Kenaikan jumlah tertanggung asuransi jiwa mengindikasikan
adanya peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya asuransi
jiwa (www.e-money, 2013).
Meningkatnya jumlah tertanggung memiliki dampak terhadap
sengketa klaim asuransi. Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI)
mencatat (www.bmai.or.id, 2014) 138 kasus atau naik 158%
dibandingkan kasus sengketa klaim pada tahun 2011 yang tercatat 48
kasus. Hingga saat ini 93 kasus penanggung harus membayar klaim.
Untuk tahun 2013 jumlah total sengketa klaim 41 kasus dengan rincian
sengketa klaim asuransi jiwa berjumlah 27 kasus, sedangkan asuransi
umum berjumlah 14 kasus.
Sengketa asuransi jiwa terjadi karena adanya perselisihan dari apa
yang sudah disepakati dalam perjanjian, contohnya Surat Pengajuan
Asuransi Jiwa diisi sendiri oleh agen asuransi dan tertanggung dianggap
tidak beriktikad baik dalam pengisian Surat Pengajuan Asuransi Jiwa
(SPAJ) dengan tidak memberikan informasi yang benar (misrepresentation)
atau tidak mengungkapkan fakta-fakta material yang diketahuinya pada
tertanggung (Huda, 2016:7)
Iktikad baik dalam perjanjian asuransi jiwa mewajibkan
tertanggung untuk memberitahukan secara teliti dan sejelas-jelasnya
72
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0
73
BAGIAN 5 PENERAPAN IKTIKAD BAIK OLEH PENGADILAN DALAM PERJANJIAN ASURANSI JIWA
Pasal 251 Wet Boek van Kophandel dikenal sebagai iktikad baik pra
kontrak dengan standar subjektif. Iktikad baik pra kontrak merupakan
kewajiban untuk memberitahukan atau menjelaskan (mededelingsplicht)
dan meneliti (onderzoekplicht) fakta-fakta material bagi para pihak yang
berkaitan dengan pokok-pokok yang akan di negosiasikan. Sedangkan
standar subjektif berkaitan dengan sikap batin dan kejiwaan para
pihak pada waktu membuat perjanjian asuransi jiwa.
Prinsip yang terkandung di dalam Pasal 251 Wet Boek van Kophandel
adalah uberrima fides atau uberrima fidae (Khairandy, 2004: 13). Uberrima
fides atau uberrima fidei berasal dari bahasa Latin yang di difinisikan
sebagai: “a phrase used to express the perfect good faith, concealing nothing, with
which a contract must be made; for example in the case of insurance, the insured
must observe the most perfect good faith towards the insurer”( Douglas, 1998:
11).
Menurut Uli Foerstl kata fides berasal dari “the name of the Roman
goddess fides, the deification of good faith and honesty, the oath, and that one must
keep one's word.” Inti konsep bona fides adalah fides. Fides ini dikembangkan
sebagai standar prosedur kontrak, yang dikenal sebagai exceptio doli (Uli
Foerstl, 2005, ii).
Prinsip iktikad baik dalam hukum Romawi kemudian menyebar
ke sistem Civil Law dan sistem Common Law. Kemudian berkembang
74
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0
75
BAGIAN 5 PENERAPAN IKTIKAD BAIK OLEH PENGADILAN DALAM PERJANJIAN ASURANSI JIWA
76
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0
77
BAGIAN 5 PENERAPAN IKTIKAD BAIK OLEH PENGADILAN DALAM PERJANJIAN ASURANSI JIWA
oleh tertanggung.
Mahkamah Agung dalam putusan tersebut menekankan
kewajiban bagi penanggung untuk meneliti fakta-fakta material (meng-
cross check) yang telah diberikan oleh tertanggung dalam SPAJ dan SKK
sebelum perjanjian disepakati. Dengan dikeluarkan Polis Nomor
0011560799 tertanggal 18 Desember 2007, maka saat itu terjadi
hubungan hukum antara tertanggung dan penanggung. Hakim pada
Mahkamah Agung melindungi pihak tertanggung yang beriktikad baik
dalam perjanjian asuransi jiwa. Tertanggung sebagai pihak yang
beriktikad baik telah melaksanakan kewajibannya dengan mem-
beritahukan segala fakta – fakta material yang diketahuinya pada
penanggung dalam SPAJ dan SKK, sehingga penanggung juga memiliki
kewajiban untuk beriktikad baik (prudent insurer) untuk meneliti fakta-
fakta material (meng-cross check kebenaran data dari tertanggung)
melalui tim peneliti dan dokter asuransi. Dengan ditandatangani
perjanjian asuransi jiwa tersebut maka penanggung mengakui
kebenaran data dalam SPAJ dan SKK, sehingga dengan meninggalnya
tertanggung maka ahli waris berhak untuk menerima nilai manfaat
sebesar Rp.210.000.000,00 (Dua Ratus Sepuluh Juta Rupiah).
Dalam putusan tersebut hakim telah menerapkan prinsip
iktikad baik pra kontrak, dimana hakim berpegang teguh pada hak dan
kewajiban para pihak dalam perjanjian asuransi yang telah disepakati
antara penanggung dan tertanggung yang tertuang dalam Polis Nomor
GH-001560799. Dalam perjanjian asuransi jiwa dikenal reciprocal duty
atau secara khusus dikenal dengan asas proporsionalitas, bahwa hak
dan kewajiban itu bertimbal balik secara adil, hukum harus menjamin
keadilan pada para pihak, tidak boleh akibat keteledoran penanggung
yang tidak meneliti fakta-fakta material, pihak tertanggung harus
menanggung kerugian.
Di sini juga hakim telah membuat terobosan hukum tidak
memaknai secara gramatikal norma dalam Pasal 251 KUH Dagang,
akan tetapi menggunakan interprestasi historis sehingga penanggung
tidak bisa berlindung dibalik Pasal 251 Wet Boek van Kophandel dengan
78
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0
79
BAGIAN 5 PENERAPAN IKTIKAD BAIK OLEH PENGADILAN DALAM PERJANJIAN ASURANSI JIWA
80
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0
81
BAGIAN 5 PENERAPAN IKTIKAD BAIK OLEH PENGADILAN DALAM PERJANJIAN ASURANSI JIWA
82
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0
83
BAGIAN 5 PENERAPAN IKTIKAD BAIK OLEH PENGADILAN DALAM PERJANJIAN ASURANSI JIWA
D. Kesimpulan
Makna iktikad baik pra kontrak asuransi jiwa memiliki standar
subjektif, yang didasarkan pada kejujuran untuk memberitahukan
secara teliti dan sejelas-jelasnya mengenai fakta-fakta material yang
berkaitan dengan objek asuransi. Para pihak dalam pembentukan
kontrak diharuskan mempunyai kecermatan untuk meneliti atau
memeriksa fakta-fakta material yang berkaitan dengan objek kontrak,
mulai dari tahap negosiasi hingga pelaksanaan kontrak. Karena itu
dalam iktikad baik pra kontrak setiap orang wajib memiliki kecermatan
(contractuele zorgvuldigheid) dan kemulian dalam kontrak (contractuele
rechtwaardigheid). Dengan demikian, negosiasi dalam kontrak asuransi
jiwa, harus didasari pula iktikad baik para pihak, disamping asas
proporsionalitas guna mencapai rasa keadilan bagi para pihak.
Pengadilan di Indonesia hingga saat ini belum memiliki
pemahaman yang utuh mengenai iktikad baik pra kontrak dalam
perjanjian asuransi jiwa, akibatnya penerapan iktikad baik pra kontrak
sering kali tidak konsisten dan tidak jelas paramater yang digunakan
dalam putusan. Untuk memberikan kesamaan dalam makna dan
standar iktikad baik pra kontrak dalam perjanjian asuransi jiwa,
Mahkamah Agung harus memberikan pedoman iktikad baik pra
kontrak dalam perjanjian asuransi jiwa dalam bentuk Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA) yang mewajibkan tertanggung untuk
memberikan keterangan fakta-fakta material (mededeling plicht). dan
kewajiban bagi penanggung untuk meneliti fakta-fakta material
tersebut (onderzoekplicht).
84
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0
Daftar Pustaka
85
BAGIAN 5 PENERAPAN IKTIKAD BAIK OLEH PENGADILAN DALAM PERJANJIAN ASURANSI JIWA
86