Anda di halaman 1dari 92

HUKUM ASURANSI JIWA :

MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0.

Author :
Prof. Dr. Mokhamad Khoirul Huda, S.H., M.H.

Layouter :
Dewi

Editor :
Dita Birahayu, S.H., M.H.

Design Cover :
Azizur Rachman

copyright © 2020
Penerbit
Scopindo Media Pustaka
Jl. Kebonsari Tengah No. 03, Surabaya
Telp. (031) 82519566
scopindomedia@gmail.com

ISBN : 978-623-6500-31-6

Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang Dilarang memperbanyak sebagian atau


seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari Penerbit
Sanksi Pelanggaran Pasal 113
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta

Setiap orang yang dengan atau tanpa hak melakukan pelanggaran terhadap hak ekonomi yang sebagaimana
dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan ancaman
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000 (seratus
juta rupiah)
Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan
pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f,
dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).
Setiap orang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta melakukan
pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf
e, dan/atau huruf g untuk peggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama
(empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).

ii
PRAKATA

Puji syukur pada Allah SWT atas segala berkah dan rahmat-Nya
sehingga dapat menyelesaikan buku dengan judul: “Hukum Asuransi
Jiwa: Masalah-Masalah Aktual di Era Disrupsi 4.0.”
Buku ini merupakan kumpulan dari artikel yang penulis
publikasikan dalam Jurnal Ilmiah versi bahasa Inggris di beberapa
negara. Dengan diterbitkannya dalam sebuah buku versi bahasa
Indonesia diharapkan dapat memberikan kemudahan pemahaman dan
mendorong mahasiswa, dosen, praktisi dan pemerhati di bidang hukum
asuransi untuk terus melakukan kajian-kajian guna memberikan solusi
komprehensif dalam permasalahan praktik hukum asuransi dewasa ini.
Buku ini dibagi menjadi lima bagian yang membedah berbagai
problem Hukum Asuransi Jiwa antara lain: Prinsip Iktikad Baik dalam
Perjanjian Asuransi Jiwa Studi Perbandingan Indonesia dan Inggris,
Kewajiban Menjelaskan dan Mengungkapkan Fakta Material sebagai
Iktikad Baik dalam Perjanjian Asuransi Jiwa, Karakteristik Perjanjian
Keagenan Asuransi jiwa, Penyelesaian Sengketa Asuransi Jiwa Melalui
Jalur Non Litigasi serta Penerapan Iktikad Baik oleh Pengadilan dalam
Perjanjian Asuransi Jiwa.
Semoga dengan hadirnya buku ini, bisa memberikan solusi
problem hukum asuransi jiwa di Indonesia. Sehingga buku ini bisa
menjadi tambahan khasanah pengetahuan untuk kita semua.

iii
iv
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..................................................................... i
PRAKATA .................................................................................. iii
DAFTAR ISI ................................................................................ v

BAGIAN SATU
PRINSIP IKTIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN ASURANSI:
STUDI PERBANDINGAN INDONESIA DENGAN INGGRIS ...1
A. Latar Belakang ...................................................................................... 2
B. Perjanjian Asuransi .............................................................................. 5
C. Hakikat Iktikad Baik dalam Perjanjian Asuransi Jiwa
di Indonesia dengan Inggris ............................................................... 9
D. Kesimpulan ......................................................................................... 18

BAGIAN DUA
KEWAJIBAN MENJELASKAN DAN MENGUNGKAPKAN
FAKTA MATERIAL SEBAGAI IKTIKAD BAIK DALAM
PERJANJIAN ASURANSI JIWA .................................................. 23
A. Latar Belakang .................................................................................... 24
B. Ketentuan Iktikad Baik dalam Perjanjian Asuransi Jiwa .............. 26
C. Makna Fakta Material dalam Perjanjian Asuransi Jiwa ................ 29
D. Pelanggaran Kewajiban Pengungkapan dan Menjelaskan Fakta
Material dalam Perjanjian Asuransi Jiwa ........................................ 34
E. Kesimpulan ......................................................................................... 37

BAGIAN TIGA
KARAKTERISTIK PERJANJIAN KEAGENAN ASURANSI
JIWA ................................................................................................ 41
A. Latar Belakang .................................................................................... 42
B. Hubungan Antara Prinsipal dengan Agen Asuransi Jiwa ............ 43
C. Tanggung Jawab Prinsipal dan Agen Terhadap Pemegang Polis 50
D. Kesimpulan ......................................................................................... 53

v
BAGIAN EMPAT
PENYELESAIAN SENGKETA ASURANSI JIWA MELALUI
JALUR NON LITIGASI................................................................. 57
A. Latar Belakang .................................................................................... 58
B. Penyelesaian Sengketa Asuransi Jiwa di Badan Mediasi dan
Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI) ............................................ 59
C. Tantangan Penyelesaian Asuransi Jiwa dengan Cepat, Murah,
Adil dan Efisien ................................................................................. 64
D. Kesimpulan ......................................................................................... 68

BAGIAN LIMA
PENERAPAN IKTIKAD BAIK DI PENGADILAN DALAM
PERJANJIAN ASURANSI JIWA................................................... 71
A. Latar Belakang .................................................................................... 72
B. Iktikad Baik dalam Perjanjian Asuransi Jiwa ................................. 74
C. Sikap Pengadilan dalam Penerapan Iktikad Baik dalam
Perjanjian Asuransi Jiwa ................................................................... 77
D. Kesimpulan ......................................................................................... 84

vi
BAGIAN 1 PRINSIP IKTIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN ASURANSI

A. Latar Belakang
Tertanggung asuransi dari tahun ke tahun terus meningkat,
sehingga memiliki dampak kenaikan pada sengketa klaim asuransi. Hal
ini dapat dilihat pada data badan Mediasi Asuransi Indonesia bahwa
sengketa klaim dari tahun 2006-2015 telah mencapai 476 kasus dengan
rincian sengketa klaim asuransi jiwa berjumlah 245 kasus, asuransi
sosial berjumlah 4 kasus dan asuransi umum berjumlah 227 kasus
(BMAI, 2017).
Sengketa klaim asuransi jiwa terjadi karena perselisihan antara
tertanggung dan penanggung mengenai pelaksanaan perjanjian dalam
polis. Masalah yang muncul adalah sulitnya melakukan klaim polis
dikarenakan tertanggung terlambat pembayaran polis (lapse), Surat
Pengajuan Asuransi Jiwa diisi sendiri oleh agen asuransi dan tertanggung
dianggap tidak beriktikad baik dalam pengisian Surat Pengajuan Asuransi
Jiwa (SPAJ) dengan tidak memberikan informasi yang benar (misrepresentation)
atau tidak mengungkapkan fakta-fakta material yang diketahuinya pada
tertanggung (non disclosure).
Iktikad baik dalam perjanjian asuransi jiwa mewajibkan tertanggung
untuk memberitahukan secara teliti dan sejelas-jelasnya mengenai segala
fakta-fakta material yang berkaitan dengan objek yang diasuransikan
(Robert Merkin, 2007: 37). Pengetahuan apapun yang dibutuhkan oleh
penanggung, tertanggung akan memberikan informasi itu secara jelas
dan lengkap berkaitan dengan risiko yang akan ditanggung oleh
penanggung (Viktor Dover 1975: 343).
Perjanjian asuransi jiwa berdasarkan pada prinsip uberrimae fidei atau
utmost good faith. Menurut Scruttuo L. J dalam perkara Rozanes versus
Bowen bahwa “ as the under writer knows everything, it is the duty of the
assured…, to make a full disclosure to the underwriter without being asked of all
the material circumstance” (Kun Wahyu Wardhana: 2009: 34).
Meskipun secara umum iktikad baik sudah diatur dalam ketentuan
Pasal 1338 ayat 3 Burgelijke wet Boek, khusus untuk perjanjian asuransi
jiwa masih dibutuhkan penekanan secara khusus sebagaimana diatur
dalam Pasal 251 Wet Boek van Kophandel menyatakan:

2
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0

”Alle verkeerde of onwaarachtige opgave, of alle verwijging van aan den


verzekerde bekende omstandigheden, hoezeer te goeder trouw aan diens ziijde
hebbende plaats gehad, welke van dien aard zijn, dat de overeekomst niet, of
niet onder dezelfde voorwaarden, zoude zijn gesloten, indien de verzekeraar
van den waren staat der zaak had kennis gredragen, maakt de verzekering
nietig.”

Jika diteliti secara seksama rumusan dalam Pasal 251 Wet Boek van
Kophandel terlalu berpihak pada penanggung dengan melindungi
penanggung atau membebaskan risiko yang tidak tepat diperalihkan
kepadanya, sehingga tidak menjadi pertimbangan, apakah pada diri
tertanggung itu terdapat iktikad baik ataupun buruk. Pasal 251 Wet Boek
van Kophandel memberikan kewajiban secara sepihak pada tertanggung
untuk memberikan keterangan dan informasi fakta-fakta material yang
benar dan tepat, sedangkan pihak penanggung sebaliknya mendapat
perlindungan terhadap pelanggaran asas iktikad baik dari tertanggung.
Hal ini dapat dilihat dari kalimat terakhir dari pasal tersebut yang
berbunyi: “…menyebabkan pertanggungan batal” (…maakt de
verzekering nietig).
Ketentuan Pasal 251 Wet Boek van Kophandel sangat berbeda dengan
rumusan Pasal 17 Marine Insurance Act 1906 di Inggris yang mengandung
makna reciprocal duties of good faith, yang berbunyi: “a contract of marine
insurance is a contract based upon the utmost good faith, and, if the utmost good
faith be not observed by either party, the contract may be avoided by the other party
(Susan Hodges, 2004: 85).
Beberapa ahli telah melakukan penelitian tentang iktikad baik antara
lain: Ridwan Khairandy (2003) telah melakukan penelitian iktikad baik
dalam kebebasan berkontrak. Penelitian ini menyimpulkan, filsafat
individualisme dengan berbagai cabangnya yang berkembang pada abad
ke sembilan belas menempatkan otonomi kehendak sebagai cara untuk
masuk kepada gagasan kebebasan untuk melakukan sesuatu. Belakangan
terbukti bahwa kebebasan berkontrak memiliki banyak kelemahan dan
kritik baik dari segi akibat negatif yang ditimbulkannya maupun dari
kesalahan yang berpikir yang melekat didalamnya. Kritik tersebut pada

3
BAGIAN 1 PRINSIP IKTIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN ASURANSI

umumnya dikaitkan gagalnya sistem ekonomi laissez faire yang menjadi


dasar kebebasan berkontrak, sehingga kemudian berkembang doktrin
negara kesejahteraan (welfare state). Walaupun iktikad baik menjadi asas yang
sangat penting dalam hukum kontrak dan telah diterima dalam berbagai
hukum nasional dan internasional, tetapi sampai sekarang permasalahan
tentang definisi iktikad baik tetap sangat abstrak. Pada akhirnya, pengertian
iktikad baik memiliki dua dimensi yaitu: dimensi pertama adalah dimensi
subjektif, yang berarti iktikad baik mengarah kepada makna kejujuran.
Dimensi yang kedua adalah dimensi yang memaknai iktikad baik sebagai
kerasionalan dan kepatutan atau keadilan. Standar iktikad baik dalam pra
kontrak didasarkan prinsip kecermatan dalam berkontrak, dengan asas ini,
para pihak masing-masing memiliki kewajiban untuk menjelaskan dan
meneliti fakta material yang berkaitan dengan kontrak tersebut. Iktikad
baik dalam kontrak memiliki tiga fungsi yaitu pertama, semua kontrak
harus ditafsirkan dengan iktikad baik. Iktikad baik juga memiliki fungsi
menambah kewajiban kontraktual. Dalam fungsi yang pertama, penafsiran
kontrak tidak hanya didasarkan kepada apa yang secara jelas diperjanjikan
atau kepada kehendak para pihak, tetapi juga harus memperhatikan iktikad
baik. Bahkan, terhadap kontrak yang sudah jelaspun masih dapat ditafsir-
kan dengan iktikad baik. Fungsi yang kedua, iktikad baik hakim dalam
suatu perkara tertentu menemukan isi perjanjian atau bahkan ketentuan
undang-undang; dan fungsi ketiga, manakala hakim dalam suatu perkara
tertentu dapat menambah isi kontrak yang bersangkutan sangat ber-
tentangan dengan keadilan dan kepatutan, ia dapat mengurangi atau
bahkan meniadakan suatu kewajiban kontraktual. Pengadilan di Indonesia
belum memiliki pemahaman yang utuh mengenai iktikad baik, akibatnya
penerapan iktikad baik seringkali menjadi tidak konsisten, dan tidak jelas
standar atau parameter apa yang digunakan untuk menilai iktikad baik
tersebut.
Demikian pula Zahry Vandawati Chumaida (2013) meneliti tentang
prinsip iktikad baik dan perlindungan tertanggung pada perjanjian asuransi
jiwa, yang dikatakan bahwa: iktikad baik dalam perjanjian asuransi yang
berkeadilan seharusnya bukan hanya dibebankan kepada pihak

4
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0

tertanggung, namun penanggung juga harus beriktikad baik dalam


melaksanakan perjanjian, sehingga terjadi keseimbangan. Memberikan
keterangan sejelas-jelasnya bukan hanya dibebankan pada pihak ter-
tanggung, penanggung juga harus menjelaskan isi perjanjian, cara klaim,
berkas apa saja yang nantinya dibutuhkan untuk proses serta klaim apabila
terjadi peristiwa tidak pasti. Salah satu cara mengelola sebuah risiko adalah
mengalihkan risiko tersebut kepada perusahaan asuransi. Hakikat risiko
dalam perjanjian asuransi adalah, bahwa risiko merupakan dasar dari objek
perjanjian asuransi. Karena itu risiko erat kaitannya dengan perjanjian
asuransi. Ketika muncul peristiwa tidak pasti yang menimpa tertanggung,
sehingga tertanggung menderita kerugian, maka penanggung harus segera
menunaikan kewajibannya untuk membayar ganti rugi (santunan) kepada
tertanggung. Perlindungan terhadap tertanggung dan penanggung selalu
atas dasar keadilan. Dengan adanya kepastian hukum diharapkan baik
perusahaan asuransi sebagai penanggung maupun tertanggung mentaati
hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelengaraan perlindungan
konsumen khususnya pemegang polis asuransi jiwa, serta negara men-
jamin adanya kepastian hukum. Penanggung harus bertanggung jawab
terhadap klaim asuransi yang diajukan oleh tertanggung maupun ahli waris
yang beriktikad baik. Penanggung dilarang menggunakan Pasal 251 Wet
Boek Koophandel sebagai tameng bagi penanggung untuk menghindari
kewajiban membayar klaim yang diajukan oleh tertanggung maupun ahli
waris tertanggung.

B. Perjanjian Asuransi Jiwa


Buku 3 Burgerlijke wet Boek Pasal 1774 memberikan pengertian
persetujuan untung-untungan (kans-overeenkomst, atau aleatory contract)
merupakan perbuatan yang hasilnya, mengenai untung-rugi, baik bagi
semua pihak, maupun bagi sementara pihak, bergantung kepada suatu
kejadian yang belum tentu (onzeker voorval/evenement). Adapun yang
termasuk perjanjian untung-untungan adalah asuransi, bunga cagak
hidup, perjudian dan pertaruhan.

5
BAGIAN 1 PRINSIP IKTIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN ASURANSI

Pasal 1774 Burgerlijke wet Boek menggolongkan perjanjian asuransi


itu termasuk perjanjian untung-untungan. Hal ini dikarenakan
perjanjian tersebut mengandung unsur “kemungkinan.” Kewajiban
penanggung untuk mengganti kerugian yang diderita oleh tertanggung
itu bergantung pada ada dan tidak adanya peristiwa tidak tentu (onzeker
voorval). Kalau peristiwa tidak tentu itu timbul, maka tertanggung
menderita rugi, yang akibatnya penanggung harus mengganti kerugian
tertanggung. Jika peristiwa tidak tidak tentu itu tidak ada, maka
penanggung tidak perlu memberikan penggantian apa pun juga.
H. M. N. Purwosutjipto menyatakan bahwa penggolongan
perjanjian asuransi ke dalam perjanjian perjudian dan pertaruhan itu
tidak tepat. Hal ini dikarenakan: pada pertanggungan hubungan antara
kemungkinan untung rugi dengan peristiwa tak tentu itu masih bisa
diperhitungkan atau diperkirakan, artinya bila kemungkinan terjadinya
peristiwa tidak tentu itu dekat atau kemungkinan timbulnya kerugian
itu tidak jauh, maka penanggung dapat menolak pertanggungan atau
menaikkan preminya; di dalam perjudian atau pertaruhan, hubungan
antara kemungkinan untung rugi dan peristiwa tak tentu itu tidak dapat
diperhitungkan atau diperkirakan semula. Adanya untung rugi itu sama
sekali bergantung pada nasib orang yang melakukan perjudian atau
pertaruhan. Berdasar alasan di atas, asuransi tidak tepat dimasukkan
dalam tingkat yang sama dengan perjudian atau pertaruhan. Lebih baik
jika perjanjian asuransi dikeluarkan dari kelompok perjanjian untung-
untungan dan diberikan tempat tersendiri dalam Wet Boek van Kophandel.
Hal ini sudah terjadi dengan ditempatkannya pada Bab IX dan X pada
Buku I serta Bab IX dan X pada Buku II Wet Boek van Kophandel
(H.M.N. Purwosutjipto, 1990: 52).
Pengertian asuransi dalam hukum positif di Indonesia dibatasi
secara formal dalam Pasal 246 Wet Boek van Kophandel berbunyi: asuransi
atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang
penanggung mengikatkan dirinya kepada seorang tertanggung, dengan
menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya
karena suatu kerugian, kerusakan, kehilangan keuntungan yang

6
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0

diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang


tidak tentu.”
Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian memberikan pengertian asuransi sebagai perjanjian
antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang
menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai
imbalan untuk: memberikan penggantian kepada tertanggung atau
pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan
keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang
mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadi suatu
peristiwa yang tidak pasti; atau memberikan pembayaran yang didasarkan
pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada
hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan
dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.
E. R. Hardy Ivamy (1979: 1) juga memberikan rumusan definisi
perjanjian asuransi sebagai berikut:
“a contract of insurance in the widest sense of term may be defined as a contract
whereby one person, called the “Insurer”, undertatakes, in return for the agreed
consideration, called the “premium,” to pay to another person, called the
”Assured,” a sum money, or its equivalent, on the happening of a specified
event.”

Selanjutnya, Robert Merkin (2007: 37), asuransi merupakan “a rare


species of contract where both parties, the insured and the insurer, are under a
mutual duty of utmost good faith.” Wei Song (2012: 9) berpendapat bahwa
di Inggris sebelum berlakunya Insurance Contract Act 1906, perjanjian
asuransi diatur oleh prinsip-prinsip hukum umum. Perjanjian asuransi
menurut Romer LJ terdapat dalam kasus antara Seaton versus Heath,
dimana hakim memberikan pengertian perjanjian asuransi sebagai
berikut: “contracts of insurance are generally matters of speculation, where the
person desiring to be insured has the means of knowledge as to the risk, and the
insurer has not the means or not the same means.” Sedangkan Turner
menggambarkan perjanjian asuransi sebagai:

7
BAGIAN 1 PRINSIP IKTIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN ASURANSI

“a contract by which one party, called the insurer, in consideration of a sum


of money called the premium undertakes to pay to another person called the
insured, a sum of money, or its equivalent, on the happening of a specified
event. The person undertaking the risk is called the insurer and the party who
is indemnified is called the insured.”

Perjanjian asuransi juga didefinisikan dengan mengacu pada


karakteristik tertentu. Pengertian klasik diberikan oleh Sir Robert
Megarry V.C dalam kasus Medical Defence Union Ltd v. Department of Trade
yang menyatakan:
“ first, the contract of insurance must provide that the assured would become
entitled to something on the occurrence of some event…. second, the event must
be one which involves some element of uncertainly…. third, the assured must
have an insurable interest in the subject matter of the contract…”

Khusus untuk perjanjian asuransi jiwa diatur dalam ketentuan


Pasal 1 Ordonnantie Op Het Levensverzekeringbedrijf S.1941-101. Pasal 1
tersebut mendefinisikan perjanjian asuransi jiwa sebagai:
“overeenkomstem van levensverzekering de overeenkomsten tot het doon van
geldelijke uitkeringen, tegen genot van premie en in verband met het leven of
den dood van den menschs. Overeenkomsten van herverzekering daaronder
begrepen, met dien verstande, dat overeenkomsten van ongevallenverzoring niet
als overeenkomsten van levensverzekering worden berschouwd.”

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa


perjanjian asuransi jiwa merupakan perjanjian antara perusahaan
asuransi (penanggung/insurer) dengan pemegang polis (tertanggung/
insured), yang pada hakikatnya penanggung mengambil alih risiko dari
tertanggung pada penanggung dengan memberikan nilai manfaat/
santunan sedangkan kewajiban tertanggung membayar premi, dengan
objek badan atau tubuh manusia (Huda, 2016:1038).

8
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0

C. Hakikat Iktikad Baik dalam Asuransi Jiwa


Secara umum iktikad baik diatur dalam Pasal 1338 ayat (3)
Burgelijke Wet Boek, khusus perjanjian asuransi jiwa iktikad baik
didasarkan pada Pasal 251 Wetboek van Kophandel yang menyatakan:
“Alle verkeerde of onwaarachtige opgave, of alle verwijging van aan den
verzekerde bekende omstandigheden, hoezeer te goeder trouw aan diens ziijde
hebbende plaats gehad, welke van dien aard zijn, dat de overeekomst niet, of
niet onder dezelfde voorwaarden, zoude zijn gesloten, indien de verzekeraar
van den waren staat der zaak had kennis gredragen, maakt de verzekering
nietig” (Engelbrecht, 1989: 915).

Pasal 251 Wetboek van Kophandel mengatur iktikad baik pra kontrak
dengan standar subjektif. Iktikad baik pra kontrak ialah kewajiban
untuk memberitahukan atau menjelaskan (mededelingsplicht) dan meneliti
(onderzoekplicht) fakta-fakta material bagi para pihak yang berkaitan
dengan pokok-pokok yang akan di negosiasikan. Sedangkan standar
subjektif berkaitan dengan sikap batin dan kejiwaan para pihak pada
waktu membuat perjanjian asuransi jiwa.
Prinsip yang terkandung di dalam Pasal 251 Wetboek van
Kophandel adalah prinsip uberrima fides atau uberrima fidae. Uberrima fides
atau uberrima fidei berasal dari bahasa Latin yang di difinisikan sebagai:
“a phrase used to express the perfect good faith, concealing nothing, with which a
contract must be made; for example in the case of insurance, the insured must observe
the most perfect good faith towards the insurer” (Robinson, Q.C. Douglas F.
and John Neocleous, 1998: 11).
Menurut Uli Foerstl kata fides berasal dari “the name of the Roman
goddess fides, the deification of good faith and honesty, the oath, and that one must
keep one's word.” Inti konsep bona fides adalah fides. Fides ini dikembangkan
sebagai standar prosedur kontrak, yang dikenal sebagai exceptio doli (Uli
Foerstl, 2005: ii).
Prinsip iktikad baik dalam hukum Romawi kemudian menyebar
ke sistem Civil Law dan sistem Common Law. Kemudian berkembang
di Belanda disebut dengan “te goede trouw” sedangkan di Inggris disebut

9
BAGIAN 1 PRINSIP IKTIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN ASURANSI

dengan “good faith.” (Carlo van Eijken, 2001:6).


Iktikad baik pra kontrak dalam asuransi jiwa di Belanda tunduk
pada ketentuan Pasal 7.17.1.928 ayat 1 Nieuwe Burgerlijke Wetboek
memberikan kewajiban pada tertanggung untuk mengungkapkan fakta-
fakta material sebagai berikut: “Prior to concluding the contract the policyholder
must disclose to the insurer all facts of which he is or ought to be aware and on
which, as he knows or ought to understand, the decision of the insurer whether, and
if so, on what terms, the latter is willing to conclude the insurance will or may
depend”
Penekanan pada Pasal 7.17.1.928 ayat 1 Nieuwe Burgerlijke Wetboek
bahwa sebelum perjanjian disepakati, maka tertanggung wajib untuk
memberikan segala keterangan kepada penanggung semua fakta yang
dia atau seharusnya ketahui, bahwa keputusan penanggung apakah
asuransi yang diminta dapat diterima atau tidak, dan jika dapat, dengan
persyaratan apa, tergantung dari keterangan tersebut.
Selanjutnya Pasal 7.17.1.928 ayat 4 Nieuwe Burgerlijke Wetboek
berkaitan dengan pengungkapan fakta-fakta yang penanggung seharusnya
ketahui sebagai berikut:
“The disclosure obligation does not extend to facts of which the insurer is
already or ought to be aware, or to facts which would not have resulted in a
less favourable decision for the policyholder. However, a policyholder or a third
person referred to in paragraph 2 or paragraph 3, who has given an incorrect
or incomplete answer to a specific question on the matter may not claim that
the insurer was already or ought to have been aware of specific facts. The
disclosure obligation shall also not extend to facts for which no medical
examination may be performed and on which no questions may be raised
pursuant to Articles 4 to 6, inclusive, of the Wet op de medische keuringen
(Medical Examinations Act) in the instances mentioned therein.”

Diatur pula dalam Pasal 7.17.1.928 ayat 6 Nieuwe Burgerlijke Wetboek


mengenai kesepakatan asuransi jiwa yang diperoleh dari pertanyaan
kuisioner (SPAJ dan SPKK) yang dibuat oleh tertanggung sebagai
berikut:

10
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0

“When the insurance is concluded on the basis of a questionnaire drafted by


the insurer, the insurer may not rely on the fact that questions were not
answered or that facts in respect of which no question was raised were not
disclosed or that the answer to a question couched in general terms was
incomplete, unless there was intent to mislead the insurer.”

Adapun pemaknaan iktikad baik pra kontrak terdapat dalam


yurisprudensi Belanda sebagai berikut: Kasus Baris v. Riezenkamp, HR.
15 November 1957, NJ 1958, 67, dalam putusan menyatakan bahwa
para pihak yang berunding harus dilandasi iktikad baik. Sebagai
konsekwensinya, pihak yang satu harus memperhatikan kepentingan
hukum pihak lainnya dalam kontrak. Hoge Raad kemudian berhasil
merumuskan atau manarik asas kecermatan dalam pembuatan kontrak
(contractuele zorgvuldigheid, duty of care), yaitu adanya kecermatan bagi
pembeli untuk meneliti atau memeriksa (onderzoeksplicht) fakta-fakta
(facts) material yang berkaitan dengan subjek kontrak.
Iktikad baik pra kontrak dalam perjanjian asuransi jiwa terdapat
pada perkara antara D. Tilkemena v. De Bataafsche Verzekering Maatschappij
N.V., tanggal 8 Juni 1962 NJ. 1962, 366 (yang kemudian dikenal
dengan Arrest Tilkemena’s Duim). Adapun Tilkemena telah mengambil
asuransi pada De Bataafsche Verzekeringmaatschppij N.V. Ketika meminta
penutupan asuransinya, Tilkemena tidak memberitahukan, bahwa di
masa yang lalu ia telah berkali-kali dipidana untuk berbagai kejahatan
dalam bidang hukum benda. Tetapi karena penanggung tidak pernah
menanyakan soal riwayat pidana tertanggung, serta tertanggung tidak
mengetahui arti hal tersebut, maka tidak dapat dianggap bahwa ter-
tanggung seyogyanya mengetahui bahwa keterangan yang tidak
diberikan itu adalah penting bagi penanggung. Maka jika tertanggung
tidak memberitahukan keterangan yang diharapkan, Pasal 251 Wetboek
van Kophandel tidak dapat dipakai oleh penanggung untuk menolak
klaim. Hoge Raad melakukan penafsiran terhadap Pasal 251 Wetboek van
Kophandel dengan menyatakan bahwa perjanjian batal demi hukum jika
tertanggung menyembunyikan keterangan (verzwijging), tetapi hanya

11
BAGIAN 1 PRINSIP IKTIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN ASURANSI

dapat dibatalkan oleh hakim atas permohonan penanggung jika ter-


tanggung memberikan keterangan yang keliru atau tidak benar (verkeerde
of ontwaarachtige opgave).
Menurut Arrest tersebut dalam hal terjadi keterangan yang keliru
atau tidak benar tidak dengan sendirinya mengakibatkan asuransi batal
seperti yang disebutkan dalam Pasal 251 Wetboek van Kophandel, tetapi
dapat dibatalkan dan juga harus diajukan ke pengadilan. Dapat diartikan
pula bahwa iktikad baik dari tertanggung perlu diperhatikan oleh penang-
gung pada waktu memberikan keterangan fakta material. Kewajiban
pengungkapan dalam Arrest Tilkemena dalam Nieuwe Burgerlijke Wetboek
sudah diatur dalam Pasal 7.17.1.928 ayat 1 dan ayat 6 (M. Keijzer de
Korver, 2008: 21).
Arrest Hoge Raad tanggal 19 Mei 1978 NJ.607 mengenai perkara
antara X di Belgia dengan De naamloze vennootschaap Goudse Verzekering
Maatschappij N.V di Amsterdam. Dinyatakan bahwa penting atau
tidaknya keterangan dari tertanggung sebagaimana dikehendaki Pasal
251 Wetboek van Kophandel harus diukur menurut pendapat seorang
penanggung yang bijaksana (prudent insurer). Hal ini dapat diartikan pula
bahwa penanggung tidak mencari-cari akan perlunya keterangan yang
dimaksud. Disini tertanggung juga harus jujur dalam menyampaikan
segala hal yang diketahui berkaitan dengan objek yang diasuransikan
pada penanggung (P. L. Wery dan M. M. Mendel, 2010:21).
Untuk itu dapat disimpulkan bahwa rumusan dalam Pasal 251
Wetboek van Kophandel dalam perjanjian asuransi jiwa oleh Hoge Raad
dimaknai dengan kewajiban yang sama bagi penanggung untuk meneliti
(mededelingsplicht) fakta material (material facts) seperti riwayat data
kesehatan tertanggung dalam proses negosiasi kontrak. Sebagai akibat
dari pandangan tersebut, maka para pihak baik tertanggung maupun
penanggung asuransi jiwa wajib memiliki kecermatan dalam pembuatan
perjanjian (contractuele zorgvuldigheid) dan kemuliaan dalam perjanjian
(contractuele rechtwaardigheid).
Lord Mansfield menegaskan perlunya prinsip utmost good faith
dalam kontrak asuransi di Inggris. Adapun pendapat Lord Mansfield

12
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0

sebagai berikut:
“Insurance is a contract upon speculation. The special facts, upon which the
contingent chance is to be computed, lie most commonly in the knowledge of the
insured only; the under-writer trusts to his representation, and proceeds upon
confidence that he does not keep back any circumstances in his knowledge, to
mislead the under-writer into a belief that the circumstances does not exist, and
to induce him to estimate the risque as if it did not exist. The keeping back
such circumstance is a fraud, and therefore the policy is void… The governing
principle is applicable to all contracts and dealings. Good faith forbids either
party by concealing what he privately knows, to draw the other into a bargain,
from his ignorance of that fact and his believing the contrary …” ( Douglas
F. Robinson Q.C. and John Neocleous, 1998:11).

Menurut Susan Hodges (2004:83) bahwa prinsip utmost good faith


bisa diberlakukan pada semua risiko dan subjek asuransi (the principle
applies to all policies whatever the risk or the subject-matter insured).
Kata “good faith” diterjemahkan sebagai iktikad baik. Oleh karena
itu utmost good faith diterjemahkan sebagai iktikad baik yang sebaik-
baiknya dan the principle of utmost good faith dapat diterjemahkan bahwa
masing-masing pihak dalam suatu perjanjian yang akan disepakati,
menurut hukum mempunyai kewajiban untuk memberikan keterangan
atau informasi yang selengkap-lengkapnya, yang akan dapat mem-
pengaruhi keputusan pihak yang lain untuk memasuki perjanjian atau
tidak, baik keterangan yang demikian itu diminta atau tidak.
Asuransi jiwa dalam sistem Common Law yang dinamakan principle
of utmost good faith bukanlah soal iktikad baik sebagaimana diatur dalam
Pasal 251 Wetboek van Kophandel, walaupun ada persamaan istilah
antara good faith dan te goede trouw. Principle utmost good faith menyangkut
kewajiban yang harus dipenuhi para pihak sebelum perjanjian ditutup
dan bukanlah yang harus dipenuhi dalam rangka pelaksanaan per-
janjian yang sudah ditutup seperti iktikad baik dalam Pasal 1338 ayat
3 Burgerlijke wet Boek.
Kata good faith diterapkan dalam prinsip kontrak komersial
sedangkan utmost good faith untuk kontrak asuransi jiwa. Dalam kontrak

13
BAGIAN 1 PRINSIP IKTIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN ASURANSI

asuransi jiwa, iktikad baik saja belum cukup tetapi dituntut yang terbaik
dari iktikad baik dari calon tertanggung.
Kata utmost good faith dalam sistem Common Law berasal dari kata
“utmost” sebagai penekanan makna “good faith” yang menjadi bagian
konsep dasar. Sedangkan Susan Hodges mengatakan kata “utmost”
menunjukkan “suggests that a high degree of good faith is required to satisfy. ”
Hal ini perlu dimaknai bahwa kata good faith memiliki arti “different
things to different peoples in different moods at different times and in difference
places,” tetapi makna ontologi dinyatakan sebagai “fairness, fair conduct,
reasonable standarts of air dealing, decency, reasonableness, decent behavior, a
common ethical sense, a spirit of a solidarity, community standarts of fairness,
decency and reasonableness”(H. K. Lucke, 1987: 160).
Scrutton L.J dalam perkara Rozanes v. Bowen 1928, mengatakan
bahwa “as the underwriter knows nothing and the man who comes to him to ask
him to insure knows everthing, it is the duty of the assured…to make a full
disclosure to the under writer without being asked of all the material circumstances.”
Prinsip “utmost good faith” menentukan para pihak untuk bertindak
sesuai dengan iktikad baik pada umumnya. Kewajiban berfokus pada
kata “utmost” yang menjadi standar iktikad baik yang merupakan bagian
bentuk dari kejujuran.
Kewajiban “utmost good faith” harus dibedakan dari “good faith” yang
membutuhkan kejujuran dalam memberikan informasi, tetapi tidak
mewajibkan untuk mengungkapkan semua yang ia tahu. Jika “good faith”
digambarkan sebagai kewajiban untuk tidak memberikan informasi
yang tidak keliru, maka kata “utmost good faith” mewajibkan salah satu
pihak secara sukarela untuk mengungkapkan semua informasi yang
penting kepada pihak lain, bahkan tidak diminta untuk melakukannya.
Informasi yang diperlukan untuk diungkapkan oleh para pihak
untuk menentukan apakah kontrak itu adil dan merata yang tidak bisa
dipastikan dengan akal sehat atau pertanyaan yang wajar, seperti
kebanyakan perjanjian komersial lainnya. Secara khusus, untuk asuransi
jiwa menilai risiko yang diperjanjikan itu akan memerlukan informasi
dan pengetahuan dari pribadi tertanggung.

14
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0

Perjanjian asuransi jiwa tertanggung dinilai lebih memahami


tentang objek yang akan dipertanggungkan yang berupa data kesehatan,
karena itu tertanggung harus mengungkapkan seluruh fakta material
(material facts) yang berkaitan dengan objek pertanggungan secara akurat
dan lengkap baik diminta atau tidak, seperti sakit yang pernah dialami,
kebiasaan merokok dan bahkan kebiasaan dalam berolah raga yang
berbahaya seperti panjat tebing.
Semua fakta material tersebut dinilai oleh penanggung, sehingga
dapat mempengaruhi keputusan penanggung untuk menerima atau
menolak risiko yang akan dipertanggungkan, maka wajib hukumnya
bagi calon tertanggung dinilai untuk memenuhi underwriting standart,
maka permohonan penutupannya akan diterima dengan premi standar,
tapi jika calon tertanggung tidak dapat memenuhi underwriting standart,
maka underwriting akan menolak atau dapat menerima dengan
mengenakan premi yang lebih mahal. (Zahry Vandawati Chumaida,
2013: 144).
Good faith terletak pada iktikad untuk selalu menjawab atau
mengungkapkan secara jujur setiap pertanyaan yang diminta oleh
penanggung. Sedangkan utmost adalah menekankan pada inisiatif dari
tertanggung untuk mengungkapkan juga fakta penting yang tidak
ditanyakan atau diminta oleh penanggung. Tatkala ia menyadari bahwa
fakta tersebut akan memperbesar risiko dari obyek pertanggungan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kata kunci dari utmost
good faith adalah kejujuran atau iktikad baik yang harus selalu ada dari
tertanggung untuk mengungkapkan fakta material yang dinilai akan
berpengaruh terhadap keputusan seorang penanggung. Dan idealnya
prinsip iktikat baik ini berlaku sebelum dan selama kontrak asuransi
tersebut masih berlaku.
Pengadilan telah menafsirkan bahwa “utmost good faith” adalah
standar yang sesuai untuk diterapkan dalam perjanjian asuransi jiwa.
Pada prinsipnya, hubungan antara penanggung dan tertanggung adalah
sama dalam kewajiban “utmost good faith” untuk asuransi jiwa.

15
BAGIAN 1 PRINSIP IKTIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN ASURANSI

Menurut Kapler A. Marpaung, sangat sering terjadi kesalapahaman


atas penerapan prinsip ini dalam bisnis asuransi jiwa. Utmost good faith
seolah-olah hanya menjadi kewajiban tertanggung, sedangkan penang-
gung tidak perlu atau seakan-akan tidak memiliki kewajiban untuk
beriktikad baik kepada tertanggung. (Kun Wahyu Wardhana, 2009: 36).
Lord Jauncey, House of Lord dalam kasus Banque Financiere v.
Skandia (UK) Insurance Co. Ltd juga menyimpulkan bahwa kewajiban
untuk melaksanakan “utmost good faith” dan membuat pengungkapkan
informasi material berlaku sama untuk kedua pihak yaitu tertanggung
dan penanggung. Dia menyatakan kewajiban iktikad baik saling dimiliki
oleh tertanggung dan penanggung sebagai berikut:
“The duty of disclosure arises because the facts relevant to the estimation of
the risk are most likely to be within the knowledge of the insured and the
insurer therefore has to rely upon him to disclose matters material to that risk.
The duty extends to the insurer as well as to the insured : Carter v.Boehm.
The duty is, however, limited to facts which are material to the risk insured,
that is to say facts which would influence a prudent insurer in deciding whether
to accept the risk and, if so, upon what terms and a prudent insured in entering
into the contract the terms proposed by the insurer. Thus any facts which would
increase the risk should be disclosed by the insured and any facts known to the
insurer but not the insured, which would reduce the risk, should be disclosed
by the insurer, There is, in general, no obligation to disclose supervening facts
which come to the knowledge of either party after conclusion of the contract…
Although there have been no reported cases involving the failure or an insurer
to disclose material facts to an insured the example given by Lord Mansfield
in Carter v.Boehm is of an insure who insured a ship for a voyage knowing
that she had already arriver.”(Wei Song, 2012 : 14).

Derrington dan Ashton mengatakan bahwa “good faith has proved


difficult to define, but it has generally come to mean fair dealing in which one party
puts the interests of the other at least at the same level of protection as his or her
own.”
Iktikad baik pra kontrak dalam asuransi jiwa memiliki standar yang
lebih tinggi dari pada hukum kontrak komersial, yang mengatakan
bahwa kebutuhan iktikad baik kontrak asuransi jiwa jauh lebih tinggi

16
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0

dan lebih ketat daripada kontrak komersial. Pertama, dalam kontrak


asuransi jiwa, para pihak diminta untuk secara sukarela mengungkapkan
secara benar fakta-fakta material apapun ke pihak lain, sementara dalam
kontrak komersial, para pihak tidak diwajibkan untuk melakukan
pengungkapan. Kedua, bentuk pelanggaran kewajiban iktikad baik
dalam kontrak asuransi jiwa adalah pemutusan kontrak, sedangkan
pelanggaran iktikad baik dalam hukum kontrak komersial tidak
membuat kontrak diputus sesuai dengan pilihan dari pihak yang tidak
melanggar. Ketiga, dalam hukum kontrak asuransi jiwa, penanggung
dapat mengakhiri kontrak di mana jika terjadi pelanggaran oleh
tertanggung, dalam hukum kontrak komersial pelanggaran harus kausal
terhubung dengan kerugian sebelum pihak yang dirugikan dapat
mengklaim kerusakan. Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa para pihak
dalam berkontrak menggunakan frasa utmost good faith dalam kontrak
asuransi jiwa dan frasa good faith dalam hukum kontrak komersial (Yu
Zheng, 2004: 40).
Lord Mansfield mengambaran iktikad baik sebagai:
“The governing principle applicable to all contracts and dealing. He introduced
that insurance is a contract based upon speculation, involving reliance and
confidence, particularly of the insurer upon the assured, but applicable to bot.
He stressed that insurer upon the assured, but applicable to both. He stressed
that insurance contract demands disclosure of circumstances and if any party
fail to disclose, even by mistake, this is fraud. The policy will void because of
this fraud.”(Bilal Ahmad, 2004: 7).

Hal ini telah dijadikan dasar putusan Lord Mansfield tahun 1766
dalam kasus Carter v. Boehm, bahwa kontrak asuransi berdasarkan pada
utmost good faith. Adapun posisi hukum kasus Carter v Boehm (1766.)
sebagai berikut:
“Background to Carter v Boehm: Carter was the Governor of Fort
Marlborough, which was built by the British East India Company in
Sumatra, Indonesia. Carter took out an insurance policy with Mr Boehm
against the fort being taken by a foreign enemy. A witness, Captain Tryon,
testified that Carter knew that the fort had been built to resist attacks from

17
BAGIAN 1 PRINSIP IKTIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN ASURANSI

natives, but not European enemies, and the French were likely to attack. The
French did attack, and Boehm refused to fulfill the insurance claim. Carter
sued, but failed to have the claim paid.”

Kasus Carter v. Boehm berkaitan dengan iktikad baik pra kontrak.


Manifestasi paling jelas dari kewajiban iktikad baik tersebut adalah
kewajiban untuk mengungkapkan fakta material (non disclosure of material
fact). Alasan untuk kewajiban pengungkapan dapat ditemukan dalam
pernyataan Lord Mansfield CJ dalam kasus Carter v Boehm. Pada intinya,
semua informasi relevan berkaitan dengan risiko yang akan diasuransi-
kan biasanya diketahui oleh pihak tertanggung sehingga mewajibkan
pada tertanggung untuk memberikan informasi tersebut pada penang-
gung sehingga dijadikan dasar pertimbangan bagi penanggung untuk
mengabil alih risiko (Allan Manning , 2010: 5).
Makna iktikad baik pra kontrak asuransi jiwa memiliki standar
subjektif, yang didasarkan pada kejujuran untuk memberitahukan
secara teliti dan sejelas-jelasnya mengenai fakta-fakta material yang
berkaitan dengan objek asuransi. Para pihak dalam pembentukan
kontrak diharuskan mempunyai kecermatan untuk meneliti atau
memeriksa fakta-fakta material yang berkaitan dengan objek kontrak,
mulai dari tahap negosiasi hingga pelaksanaan kontrak. Karena itu
dalam iktikad baik pra kontrak setiap orang wajib memiliki kecermatan
(contractuele zorgvuldigheid) dan kemulian dalam kontrak (contractuele
rechtwaardigheid). Dengan demikian, negosiasi dalam kontrak asuransi
jiwa, harus didasari pula iktikad baik para pihak, disamping asas
proporsionalitas guna mencapai rasa keadilan bagi para pihak.

D. KESIMPULAN
Asuransi merupakan perjanjian antara tertanggung dan penanggung
tentang pengalihan risiko. Pengaturan iktikad baik tertanggung asuransi
jiwa di Indonesia tunduk pada ketentuan Pasal 251 Wetboek van Kophandel
sedangkan di Inggris ketentuan iktikad baik tunduk pada Pasal 17 Marine
Insurance Act 1908. Iktikad baik di Indonesia disebut dengan istilah “te goede

18
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0

trouw” dan di Inggris disebut dengan “utmost good faith”. Iktikad baik dalam
perjanjian asuransi jiwa di Indonesia mewajibkan tertanggung untuk
memberitahukan atau menjelaskan (mededelingsplicht) dan juga meneliti
(onderzoekplicht) fakta material berkaitan dengan objek asuransi jiwa.
Sedangkan di Inggris prinsip iktikad baik mengharuskan masing-masing
pihak baik tertanggung maupun penanggung mempunyai kewajiban
timbal balik (reciprocity duty) untuk memberikan keterangan atau informasi
yang selengkap-lengkapnya data yang dapat mempengaruhi para pihak
untuk membuat kesepakatan dalam perjanjian asuransi jiwa baik diminta
atau tidak. Pada akhirnya ketentuan khusus iktikad baik dalam perjanjian
asuransi jiwa bagi penanggung di Indonesia diatur dalam Pasal 31 ayat 1
dan 2 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2014 tentang Perasuransian yang
memberikan kedudukan yang sama antara tertanggung dan penanggung
untuk mengungkapkan dan menjelaskan fakta material berkaitan dengan
objek asuransi jiwa.

19
BAGIAN 1 PRINSIP IKTIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN ASURANSI

Daftar Pustaka

Ahmad, Bilal (2004), The Pre-Contractual Duty of Good Faith: A


Compartive Analysis of the Duty of Utmost Good Faith in the
Marine Insurance Contract Law with the Duty of Good Faith in the
General Contract law. Thesis. Faculty of Law: Lund University.
Badan Mediasi Asuransi Indonesia (2017), Rekapitulasi Sengketa Yang
Masuk ke BMAI 2006-2015. [Online] accessed on January 28.
Available at <http://www.
bmai.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=16
6&Itemid=707>
Chu Chai, Poc, (2000). Principles of Insurance Law. Singapore: Butterworths.
Chumaida, Zahry Vandawati, (2013). Prinsip Itikad Baik dan Perlindungan
Tertanggung Pada Perjanjian Asuransi Jiwa. Disertasi. Surabaya:
Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Univesitas
Airlangga.
Dover, Victor, (1975). A Handbook to Marine Insurance, 8th edition, London:
Witherby & Co. Ltd.
Eijken, Carlo van, (2015). Bestaan er Verschillen Tussen het Nederlandse en het
Engelse Recht als het Gaat om de Goede Trouw Tijdens de Onderhandelingen
bij Bedrijfsovernames?, Scriptie Geschreven ter Afronding van de
Master Privaatrechtelijke Rechtspraktijk aan de Universiteit van
Amsterdam.
Engelbrecht, (1989). De Wetboeken Wetten en Verordeningen, Benevens de
Grondwet van de Republiek Indonesie. Jakarta: Ichtiar Baru - van Hoeve.
Foerstl, Ulil, (2005). The General Principle of Good Faith under the
United Nations Convention on Contracts for the International Sale
of Good (CISG)- A Fungtional Approach to Theory and Practice,
Dissertation, University of Cape Town School for Advanced Legal
Studies, Februari.
Huda, Mokhamad Khoirul (2016). Iktikad Baik Dalam Perjanjian Asuransi
Jiwa. UII Press: Yogyakarta.
Hodges, Susan (2004). Law of Marine Insurance, London: Cavendish
Publishing Limited.

20
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0

Ivamy, E. R. Hardy (1979). General Principles of Insurance Law. Fourth


Edition. London: Butterworths. 1979.
Lucke, H. K. (1987). Good Faith and Contractual Peformance, in P.D. Finn. (eds)
Essay on Contrac., Sydney: Law Book Company.
Manning, Allan (2005). Six Principles of General Insurance: A Comprehensive
Guide to Utmost Good Faith, Indemnity, Subrogation, Contribution, Insurable
Interest & Proximate Cause. Victoria: Mannings of Melbourne Pty
Ltd., Camberwell.
Merkin, Robert (2007). Practical Insurance Guides: Insurance Law-An
Introduction. London: Informa.
Purwosutjipto,H. M. N. (1990). Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia:
Hukum Pertanggungan. Cetakan Ketiga, Jakarta: Djambatan.
Robinson, Q.C. Douglas F., and John Neocleous (1998). Issues of
Insurance Fraud, International Symposium on The Prevention & Control
of Financial Fraud. Beijing
Song, Wei (2012). The Extend of Insured’s Duty of Disclosure: a
Comparative analysis of the Disclosure Obligations of Insured in
Australia, Singapura and China. Thesis. Faculty of Law. Queensland
Univesity of Technology.
Wahyu Wardana, Kun (2009). Hukum Asuransi: Proteksi Kecelakaan
Transportasi. Bandung: Mandar Maju.
Wery, P. L. (1990). Perkembangan Hukum tentang Iktikad Baik di Netherland.
Jakarta: Percetakan Negara.
Wery P. L., and M. M. Mendel (2010). Hoofzaken Verzekeringsrecht. Martinus
Matthijs: Mendel.
Zheng, Yu (2004). The Pre Contractual utmost Good Faith in The
Insurance Law: A Comparative Study of The Chinese Law and The
Common Law. Thesis. National Univesity of Singapure.
Khairandy, Ridwan (2003). Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak,
Disertasi, Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Keijzer de Korver, M. (2008). Verzekering en aan Sprakelijkehidrecht.
Juridish Up to Date Nummer 23/24 18 December.

21
BAGIAN 1 PRINSIP IKTIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN ASURANSI

22
BAGIAN 2 KEWAJIBAN MENJELASKAN DAN MENGUNGKAPKAN FAKTA MATERIAL

A. Latar Belakang
Asuransi atau pertanggungan dalam bahasa Belanda dikenal
dengan istilah verzekering atau assurantie. Dalam bahasa Inggris, asuransi
dikenal dengan istilah insurance atau assurance. Dalam bahasa Arab,
asuransi dikenal dengan istilah at-ta’min (Dahlan,1996,p.138).
E. R. Hardy Ivamy (1979: 1) juga memberikan rumusan definisi
perjanjian asuransi sebagai:
“a contract of insurance in the widest sense of term may be defined as a contract
whereby one person, called the “Insurer”, undertatakes, in return for the agreed
consideration, called the “premium,” to pay to another person, called the
”Assured,” a sum money, or its equivalent, on the happening of a specified
event.”

Menurut Robert Merkin (2007: 37), pengertian asuransi adalah “a


rare species of contract where both parties, the insured and the insurer, are under a
mutual duty of utmost good faith” .
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian memberikan pengertian asuransi sebagai perjanjian
antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang
menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai
imbalan untuk: memberikan penggantian kepada tertanggung atau peme-
gang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan
keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang
mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadi suatu
peristiwa yang tidak pasti; atau memberikan pembayaran yang didasarkan
pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada
hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan
dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.
Khusus untuk pengertian perjanjian asuransi jiwa diatur dalam
ketentuan Pasal 1 Ordonnantie Op Het Levensverzekeringbedrijf S.1941-101.
Pasal 1 tersebut mendefinisikan perjanjian asuransi jiwa sebagai berikut:

24
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0

“overeenkomstem van levensverzekering de overeenkomsten tot het doon van


geldelijke uitkeringen, tegen genot van premie en in verband met het leven of
den dood van den menschs. Overeenkomsten van herverzekering daaronder
begrepen, met dien verstande, dat overeenkomsten van ongevallenverzoring niet
als overeenkomsten van levensverzekering worden berschouwd.”

Iktikad baik dalam perjanjian asuransi jiwa mewajibkan tertanggung


untuk menjelaskan dan mengungkapkan secara teliti dan sejelas-jelasnya
mengenai segala fakta material yang berkaitan dengan objek yang
diasuransikan (Robert Merkin, 2007:37). Segala informasi berkaitan
dengan objek asuransi yang dibutuhkan oleh penanggung, maka tertang-
gung akan memberikan secara jelas dan lengkap. Tertanggung memberi-
kan keterangan itu bertujuan agar penanggung dapat mengetahui berat
ringannya risiko yang akan diambil alih oleh penanggung.
Penanggung menggunakan alasan tertanggung tidak beriktikad
baik dalam menjelaskan dan mengungkapkan fakta material secara
benar berkaitan dengan kondisi objek asuransi yang diketahuinya
dengan cara membatalkan perjanjian asuransi jiwa tersebut (Huda,
2016). Contohnya, saat tertanggung mengisi Surat Perjanjian Asuransi
Jiwa (SPAJ) dan Surat Keterangan Kesehatan (SKK) pada saat akan
dilakukan kesepakatan perjanjian asuransi jiwa. Biasanya di dalam SKK
terdapat pertanyaan berkaitan dengan apakah selama ini tertanggung
merokok ataupun pernah merokok pada dua tahun sebelumnya. Jika
ternyata tertanggung seorang perokok atau pernah merokok pada saat
dua tahun lalu, seharusnya tertanggung menuliskan “YA” tetapi
karena tertanggung berpikir hal tersebut tidak penting dan merasa saat
ini sangat sehat atau bisa juga karena takut premi naik, sehingga
menulis dalam SKK dengan jawaban “TIDAK” didalam isian tersebut.
Suatu ketika tertanggung melakukan klaim karena dirawat dirumah
sakit, hal itu akan menjadi masalah bagi tertanggung. Pada saat
melakukan klaim ke penanggung, mereka akan membuka dokumen-
dokumen tertanggung, salah satunya adalah SPAJ yang didalamnya
terdapat SKK dari tertanggung. Setelah mendapatkan laporan medis,

25
BAGIAN 2 KEWAJIBAN MENJELASKAN DAN MENGUNGKAPKAN FAKTA MATERIAL

ternyata tertanggung dirawat dirumah sakit karena adanya penyakit


jantung yang disebabkan karena rokok. Maka penanggung akan
menyatakan dengan tegas klaim tertanggung ditolak oleh penanggung.
Oleh karena itu SPAJ harus diisi dengan jujur, baik dan benar.
Untuk itu akan dibahas kewajiban untuk menjelaskan dan meng-
ungkapkan segala fakta material yang berkaitan data diri dan riwayat
kesehatan tertanggung sebagai bentuk iktikad baik dalam perjanjian
asuransi jiwa.

B. Ketentuan Iktikad Baik dalam Perjanjian Asuransi Jiwa


Pasal 251 Weboek van Kophandel mengatur kewajiban iktikad baik
yang disebut dengan “uberrima fides” atau “uberrima fidae” (Khairandy,
2004:13). Uberrima fides atau uberrima fidei berasal dari bahasa Latin
yang didifinisikan sebagai:
“a phrase used to express the perfect good faith, concealing nothing, with which
a contract must be made; for example in the case of insurance, the insured must
observe the most perfect good faith towards the insurer” (Robinson et.al,
1998: 11).

Menurut Uli Foerstl kata fides berasal dari “the name of the Roman
goddess fides, the deification of good faith and honesty, the oath, and that one must
keep one's word.” Inti konsep bona fides adalah fides. Fides ini dikembangkan
sebagai standar prosedur perjanjian, yang dikenal sebagai exceptio doli
(Foerstl, 2005: ii).
Demikian pula Rumusan Pasal 17 Marine Insurance Act 1906
berbunyi: “a contract of marine insurance is a contract based upon the utmost good
faith, and, if the utmost good faith be not observed by either party, the contract may
be avoided by the other party.
Lord Mansfield menegaskan perlunya prinsip utmost good faith
dalam perjanjian asuransi di Inggris sebagai berikut:
“Insurance is a contract upon speculation. The special facts, upon which the
contingent chance is to be computed, lie most commonly in the knowledge of the
insured only; the under-writer trusts to his representation, and proceeds upon

26
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0

confidence that he does not keep back any circumstances in his knowledge, to
mislead the under-writer into a belief that the circumstances does not exist, and
to induce him to estimate the risque as if it did not exist. The keeping back
such circumstance is a fraud, and therefore the policy is void… The governing
principle is applicable to all contracts and dealings. Good faith forbids either
party by concealing what he privately knows, to draw the other into a bargain,
from his ignorance of that fact and his believing the contrary …”(Feng,
2008).

Menurut Susan Hodges bahwa the principle applies to all policies


whatever the risk or the subject-matter insured (Hodge, 2004, p.83).
Lord Jauncey, House of Lord dalam kasus Banque Financiere v.
Skandia (UK) Insurance Co. Ltd juga menyimpulkan bahwa kewajiban
untuk melaksanakan “utmost good faith” dan membuat pengungkapkan
fakta material berlaku sama untuk kedua pihak yaitu tertanggung dan
penanggung. Dia menyatakan kewajiban iktikad baik saling dimiliki
oleh tertanggung dan penanggung sebagai berikut:
“The duty of disclosure arises because the facts relevant to the estimation of the
risk are most likely to be within the knowledge of the insured and the insurer
therefore has to rely upon him to disclose matters material to that risk. The
duty extends to the insurer as well as to the insured : Carter v.Boehm. The
duty is, however, limited to facts which are material to the risk insured, that
is to say facts which would influence a prudent insurer in deciding whether to
accept the risk and, if so, upon what terms and a prudent insured in entering
into the contract the terms proposed by the insurer. Thus any facts which would
increase the risk should be disclosed by the insured and any facts known to the
insurer but not the insured, which would reduce the risk, should be disclosed
by the insurer, There is, in general, no obligation to disclose supervening facts
which come to the knowledge of either party after conclusion of the contract…
Although there have been no reported cases involving the failure or an insurer
to disclose material facts to an insured the example given by Lord Mansfield
in Carter v.Boehm is of an insure who insured a ship for a voyage knowing
that she had already arriver.” (Robinson et.al, 1998: 11).

27
BAGIAN 2 KEWAJIBAN MENJELASKAN DAN MENGUNGKAPKAN FAKTA MATERIAL

Hal ini telah dijadikan dasar putusan Lord Mansfield tahun 1766
dalam kasus Carter v. Boehm, bahwa perjanjian asuransi berdasarkan pada
utmost good faith.
Adapun posisi hukum kasus Carter v Boehm (1766.) sebagai berikut:
“Background to Carter v Boehm: Carter was the Governor of Fort
Marlborough, which was built by the British East India Company in
Sumatra, Indonesia. Carter took out an insurance policy with Mr Boehm
against the fort being taken by a foreign enemy. A witness, Captain Tryon,
testified that Carter knew that the fort had been built to resist attacks from
natives, but not European enemies, and the French were likely to attack. The
French did attack, and Boehm refused to fulfill the insurance claim. Carter
sued, but failed to have the claim paid.” (Manning,2010: 5; Lowry; 2009).

Manifestasi paling jelas dari kewajiban iktikad baik tersebut adalah


kewajiban untuk menjelaskan dan mengungkapkan fakta material
(representation and disclosure of material facts). Alasan untuk kewajiban
pengungkapan dapat ditemukan dalam pernyataan Lord Mansfield CJ
dalam kasus Carter v Boehm. Pada intinya, semua informasi relevan
berkaitan dengan risiko yang akan diasuransikan biasanya diketahui
oleh pihak tertanggung sehingga mewajibkan pada tertanggung untuk
memberikan informasi tersebut pada penanggung sehingga dijadikan
dasar pertimbangan bagi penanggung untuk mengabil alih risiko.
Perjanjian asuransi jiwa tertanggung dinilai lebih memahami
tentang objek yang akan dipertanggungkan yang berupa data kesehatan,
karena itu tertanggung harus menjelaskan dan mengungkapkan seluruh
fakta material (material facts) yang berkaitan dengan objek pertang-
gungan secara akurat dan lengkap baik diminta atau tidak, seperti sakit
yang pernah dialami, kebiasaan merokok dan bahkan kebiasaan dalam
berolah raga yang berbahaya seperti panjat tebing, para layang dan
menyelam.
Semua fakta material tersebut dinilai oleh penanggung, sehingga
dapat mempengaruhi keputusan penanggung untuk menerima atau

28
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0

menolak risiko yang akan dipertanggungkan, maka wajib hukumnya


bagi calon tertanggung dinilai untuk memenuhi underwriting standart
(Chumaida, 2013: 144) permohonan penutupan akan diterima dengan
premi standar, tapi jika calon tertanggung tidak dapat memenuhi
underwriting standart, maka underwriting akan menolak atau dapat mene-
rima dengan mengenakan premi yang lebih mahal.

C. Makna Fakta Material dalam Perjanjian Asuransi Jiwa


Pada prinsipnya sebelum terjadi kesapakatan antara penanggung
dengan tertanggung dalam perjanjian asuransi jiwa, maka tertanggung
memiliki kewajiban untuk menjelaskan (duty of representation) dan meng-
ungkapkan (duty of disclosure) semua fakta material berkaitan dengan
objek yang akan diasuransikan.
Kewajiban untuk menjelaskan dan mengungkapkan fakta meterial
diatur dalam Pasal 251 Wetboek van Kophandel yang mengatur:
“Alle verkeerde of onwaarachtige opgave, of alle verwijging van aan den
verzekerde bekende omstandigheden, hoezeer te goeder trouw aan diens ziijde
hebbende plaats gehad, welke van dien aard zijn, dat de overeekomst niet, of
niet onder dezelfde voorwaarden, zoude zijn gesloten, indien de verzekeraar
van den waren staat der zaak had kennis gredragen, maakt de verzekering
nietig.”

Fakta material (material facts) merupakan semua fakta yang dapat


mempengaruhi pertimbangan penanggung apakah dia bersedia
menutup asuransi itu atau tidak, atau dia bersedia menutup asuransi
atas objek itu, tetapi dengan persyaratan atau premi yang lain dari
biasanya (Purba, 1995: 48.).
Fakta material dalam The Lectric Law Lirary’s Lexication sebagai:
“a fact that would be important to a reasonable person deciding whether to
engage or not to engage in a particular transaction; an important fact as
distinguished from un important or trivial detail. The Word material means
that the subject matter of which the statement (or concelament) related to a
factor circumstance which would be important to the decisión to be made a

29
BAGIAN 2 KEWAJIBAN MENJELASKAN DAN MENGUNGKAPKAN FAKTA MATERIAL

distinguished from insignificant, trivial or unimportant detail. A material fact


is one which might affect the outcome of the case under government law.”

Fakta material dalam Cila sebagai: “Every circumstance or information,


which would influence the judgement of a prudent insurer in assessing the risk or
those circumstances which influence the insurer decision to accept or refuse the risk
or which effect the fixing of the premium or the terms and conditions of the contract
must be disclosed.”
Hal serupa juga diatur dalam Pasal 7.17.928.1 Niewe Burgelijke wet
Boek Netherland mewajibkan tertanggung untuk menyampaikan seluruh
fakta yang ia ketahui atau seharusnya diketahui yang dibutuhkan oleh
penanggung dalam mengambil keputusan asuransi ( …all facts of which
he is or ought to be aware and on which, as he knows or ought to understand, the
decision of the insurer whether,…).
Pasal 7.17.1.928 ayat (4) Niewe Burglerlijke Wet Boek yang mengatur:
“The disclosure obligation does not extend to facts of which the insurer is already
or ought to be aware, or to facts which would not have resulted in a less favourable
decision for the policyholder. However, a policyholder or a third person referred to
in paragraph 2 or paragraph 3, who has given an incorrect or incomplete answer
to a specific question on the matter may not claim that the insurer was already or
ought to have been aware of specific facts. The disclosure obligation shall also not
extend to facts for which no medical examination may be performed and on which
no questions may be raised pursuant to Articles 4 to 6, inclusive, of the Wet op de
medische keuringen (Medical Examinations Act) in the instances mentioned
therein.”

Pasal 7.17.1.928 ayat (6) NBW mengenai kuisioner (Surat Perjanjian


Asuransi Jiwa dan Surat Keterangan Kesehatan) yang dibuat oleh
tertanggung sebagai berikut:
“When the insurance is concluded on the basis of a questionnaire drafted by the
insurer, the insurer may not rely on the fact that questions were not answered or
that facts in respect of which no question was raised were not disclosed or that the
answer to a question couched in general terms was incomplete, unless there was

30
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0

intent to mislead the insurer.”

Sedangkan dalam Marine Insurance Act 1906 fakta material


merupakan:
(1) Every material circumstance which is known to the assured, and the
assured is deemed to know every circumstance which, in the ordinary course of
business, ought to be known by him. If the assured fails to make such
disclosure, the insurer may avoid the contract.
(2) Every circumstance is material which would influence the judgment of a
prudent insurer in fixing the premium, or determining whether he will take the
risk.

Dalam memberikan fakta material pada penanggung, tertanggung


harus memiliki pengetahuan terhadap objek yang diasuransikan.
Adapun pengetahuan yang harus dimiliki tertanggung menurut Turner
dibagi menjadi lima yaitu: a. Knowledge of facts of public notoriety; b. Facts the
party should have knowlege about in the course of his busines); c. Facts subject to
actual knowledge by an agent; d. Facts being a natural extension of facts of actual
knowledge); dan 5. Presumed knowledge by law (Gjelsten, 2007).
Untuk menentukan suatu fakta material atau immaterial dalam
asuransi jiwa memang sulit, tetapi pada umumnya yang dimaksud dengan
fakta material adalah sebagai berikut : a. Fakta, yang menunjuk-kan risiko
lebih besar dalam perjanjian asuransi jiwa seperti jenis pekerjaan yang
penuh dengan risiko seperti perawat atau bidan yang rawan tertular
penyakit dari pasien; b. Faktor eksternal yang membuat risiko yang lebih
besar dari normal seperti hobi olah raga yang berbahaya seperti para
layang, diving; c. Fakta yang akan membuat jumlah kerugian yang lebih
besar dari yang biasanya diharapkan misalnya seorang perokok, pecandu
minuman alkohol; d. Sejarah asuransi jiwa seperti rincian santunan dan
klaim sebelumnya, jika ada perusahaan asuransi lain sebelumnya telah
menolak untuk objek dan kondisi khusus yang dikenakan oleh perusahaan
asuransi jiwa tersebut; dan e. Keberadaan asuransi jiwa lainnya yang
dimiliki tertanggung (Chai, 1993, Bahrun, 1988: 16).

31
BAGIAN 2 KEWAJIBAN MENJELASKAN DAN MENGUNGKAPKAN FAKTA MATERIAL

Berdasarkan jenisnya fakta material dalam perjanjian asuransi


jiwa dapat dikategorikan menjadi dua yaitu physical hazard dan moral
hazard. Physical hazard meliputi semua faktor fisik dari tertanggung
seperti usia, tempat tinggal, kebiasaan sehari-hari dan hobi olah raga
yang dimiliki. Sedangkan untuk moral hazard berkaitan dengan karakter
atau sifat moral dari tertanggung. Moral hazard seperti pengalaman klaim
atau ketidakjujuran yang akan membuat sebuah klaim polis atau
tertanggung pernah dipidana.
Sedangkan jika di rinci fakta material dalam asuransi jiwa berupa:
a. Data dari calon penanggung yang meliputi: nama lengkap, tempat
lahir, usia, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, bidang usaha
pekerjaan serta jabatan dan pangkat, instansi dan Nomor Pokok Wajip
Pajak; b. Data kesehatan dan hobi calon tertanggung yang meliputi: data
merokok, berat badan waktu lahir (khusus tertanggung anak-anak), data
yang pernah dialami gejala gejala/ diperiksa/ menderita/ didiagnosa/
mendapatkan pengobatan/ disarankan atau menjalani/ rawap inap/
menjalani operasi/ dianjurkan untuk mendapat nasihat medis/ telah
mendapat nasihat medis atau dirujuk ke dokter specialis, untuk kelainan
yang berkaitan dengan berbagai macam penyakit seperti tabun jauh,
telingga, tekanan darah tinggi, kencing manis, tumor, alergi, ganguan
pencernaan dan lainnya; c. Data tertanggung jika pernah menjalani atau
dianjurkan melakukan: pemeriksaan jantung/ darah/ air seni/ roentgen/
USG/ CT Scan/ Biopsi/ Pemeriksaan penunjang atau diagnostic lainnya
(apa saja, kapan, apakah alas an, hasil pemeriksaan); d. Data anggota
keluarga dari calon tertanggung (hidup atau meninggal) yang pernah
menderita jantung koroner/stroke/diabetes mellitus/kanker/dan lainnya;
e. Data calon tertanggung pernah atau sedang menggunakan obat-obat
terlarang/narkoba atau bahan aditif lainnya; f. Data tertanggung memilik
hobi atau sewaktu-waktu melakukan kegiatan yang berisiko tinggi atau
masih aktif dalam pekerjaan berisiko tinggi seperti menyelam, panjat
tebing, paralayang, balap mobil, pertambangan, nelayan, penerbangan dan
TNI/Polri.

32
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0

Kewajiban untuk mengungkapkan dan menjelaskan fakta material


penting berlaku: pertama, sejak perjanjian asuransi jiwa di negosiasikan
sampai kontrak asuransi jiwa selesai dibuat, yaitu pada saat pihak
asuransi menyetujui kontrak tersebut; kedua, pada saat perpanjangan
kontrak asuransi jiwa; dan ketiga, pada saat terjadi perubahan pada
kontrak asuransi jiwa mengenai hal-hal yang ada kaitannya dengan
perubahan-perubahan (Danarti, 2016).
Cris Parsons, David Green dan Mike Mead, mengatakan bahwa
jangka waktu kewajiban untuk memberikan fakta material yang penting
bisa berbeda-beda, tergantung situasi sebagai berikut: a. Common Law,
bermula saat negosiasi kontrak dilakukan dan berakhir pada saat
kontrak disetujui oleh para pihak; b.Contractual duty, mensyaratkan tidak
menyembunyikan fakta-fakta penting selama kontrak masih berlaku
dan memberikan hak kepada penanggung menolak untuk menerima
perubahan yang terjadi; c. Position at renewal, keharusan untuk meng-
ungkapkan fakta-fakta penting tergantung jenis kontraknya meliputi:
pertama, Long term bussines, untuk jenis asuransi jiwa dan kesehatan,
penanggung diwajibkan untuk menerima premi perpanjangan kontrak
jika tertanggung menghendaki untuk mem-perpanjang kontraknya dan
tidak ada kewajiban untuk mengungkapkan fakta-fakta material pada
saat perpanjangan; Kedua, Other bussines: untuk jenis asuransi lain, pada
saat perpanjangan tetap dibutuhkan persetujuan dari penanggung
dengan mengungkapkan kembali fakta-fakta penting; dan Ketiga,
Alternations to the contract, pada saat terjadi perubahan pada kontrak
asuransi jiwa antara lain mengenai peningkatan nilai pertanggungan
atau perubahan diskripsi dari obyek pertanggungan, berlaku kewajiban
untuk mengungkapkan fakta-fakta penting. Ketentuan ini juga berlaku
bagi long term business dan other business (Wardana,2009: 35).

33
BAGIAN 2 KEWAJIBAN MENJELASKAN DAN MENGUNGKAPKAN FAKTA MATERIAL

D. Pelanggaran Kewajiban mengungkapkan dan Menjelaskan


Fakta Material dalam Perjanjian Asuransi Jiwa.
Kewajiban untuk menjelaskan dan mengungkapkan fakta material
berlaku di seluruh tahap negosiasi sampai kontrak selesai. Menurut the
Supreme Court of Canada dalam kasus antara Canadian Indemnity Co. v.
Canadian Johns-Manville Co. memberikan pengertian mengenai pentingnya
pengetahuan penanggung sebagai berikut:
“Where it was held that an insurer could not use his own lack of due diligence
as a basis for avoiding a policy. The Court held that if an insurer does not
have the requisite degree of knowledge prior to considering a particular risk,
then it must acquire that knowledge by means of inquiry or investigation.”

Hal ini diperkuat oleh the Supreme Court dalam Co-operator


General Insurance Co v. Porteous di mana dinyatakan bahwa: “the duty
to exercise the utmost good faith not only exists at the time when the contract is made
but throughout the dealings between the parties both before and after the loss.”
Definisi a representation dalam hukum kontrak Inggris sebagai: “a
statement of fact made by one person to another which influences that other in
making a contract with the representor, but which is not necessarily a term of that
contract (Wincup, 2001: 277; Wise, 2009). Jika pernyataan itu salah maka
disebut dengan misrepresentation. Dengan difinisi tersebut dapat diiden-
tifikasikan ada tiga syarat pemberitahuan yang meliputi: pertama, per-
nyataan fakta (a statement of fact); kedua, dibuat oleh salah satu orang ke
orang lain (made by one person to another); dan ketiga, pengaruh yang lain
dalam membuat kontrak (influences that other in making a contract).
Bentuk pelanggaran dibagi menjadi dua yaitu:
1. Tidak memberikan penjelasan (Misrepresentation) meliputi:
a. Memberikan pernyataan atau keterangan yang salah tetapi bukan
karena kesengajaan (innocent). Apabila tertanggung sebelum
diterimanya permohonan asuransi (SPAJ) oleh penanggung,
tidak mengungkapkan fakta material secara benar dan lengkap
(non disclosure of material fact) tentang obyek yang akan di
asuransikan. Informasi fakta materil (material facts) merupakan

34
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0

informasi yang penting yang dapat menyebabkan ditolaknya


suatu permohonan asuransi, atau diterima tetapi syarat asuransi
dan premi berbeda (Kronman, 1978). Tidak semua informasi
merupakan informasi yang material, tetapi tidak mudah
menentukan apakah sesuatu informasi merupakan informasi yang
material atau bukan. Oleh karena itu agar tertanggung menyam-
paikan semua informasi yang diketahuinya dan yang seharusnya
diketahui tentang objek yang akan dipertanggungkan tersebut.
Pelanggaran dapat terjadi karena beberapa hal: tidak meng-
ungkapkan informasi secara benar dan lengkap; menyembunyikan
informasi; informasi yang diungkapkanya keliru, dan dengan sengaja
memberikan informasi yang tidak benar. (Yeasmeen, 2015; Kirby,
2011; ). Andrian Chandler dan Ian Brown (2013) membagi
misrepresentation menjadi dua yaitu innocent misrepresentation dan
negligence misrepresentation. Sedangkan Ewan McEndrick (2013)
membagi tipe misrepresentation menjadi tiga yaitu: 1). Fraudulent
misrepresentation; 2). Negligent misrepresentation; dan 3). Innocent
misrepresentation. Memberikan informasi (representation) biasanya
dengan pengisian formulir atau SPAJ termasuk didalamnya SKK
yang akan dipersiapkan oleh penanggung, bahkan tertanggung
seringkali diperingatkan agar menyampaikan segala informasi yang
diketahui dan yang seharusnya diketahui, maka diwajibkan
memberikan keterangan lain yang diperlukan untuk itu. Di tinjau
dari segi yuridis, yang berhak menentukan sebagai instansi akhir
suatu informasi yang diberikan oleh tertanggung sebagai infomasi
yang material atau tidak adalah hakim di pengadilan (Dobby, 1981:
149; Greene, 1983). Informasi yang material merupakan informasi
yang diketahui atau seharusnya diketahui oleh tertanggung
mengenai obyek pertanggungan yang dapat mempengaruhi oleh
sikap penanggung tentang penerimaan objek pertanggungan
tersebut. Dalam asuransi jiwa, yang dimaksud SPAJ dan SKK dapat
berbentuk formulir keterangan pribadi, keterangan keuangan,
keterangan kepegawaian dan surat keterangan lain yang oleh

35
BAGIAN 2 KEWAJIBAN MENJELASKAN DAN MENGUNGKAPKAN FAKTA MATERIAL

penanggung dianggap perlu dijadikan dasar suatu pertanggungan


(Sendra, 2004: 94).
Ketika seseorang menyatakan fakta dengan keyakinan atau
harapan yang benar tapi teryata salah. Contoh calon ter-tanggung
pernah dirawat di rumah sakit karena penyakit demam, tetapi
sumber demam belum diketahui, sehingga waktu mengisi polis
ditulis pernah sakit demam ternyata sumber penyakit tersebut
sangat berbahaya bagi tertanggung.
b. Memberikan pernyataan atau keterangan yang salah yang
dilakukan dengan sengaja untuk mendapatkan keuntungan
(Intentional/fraudulent). Jika calon tertanggung dalam pengisian
formulir permintaan asuransi jiwa dengan sengaja menyem-
bunyikan atau tidak menyampaikan suatu informasi yang material
mengenai obyek pertanggungan kepada penanggung maka
pertanggungan tersebut juga dapat menjadi batal. Atau keliru
yang disengaja muncul ketika pengusul sengaja mendis-torsi
informasi yang diketahui untuk menipu perusahaan asuransi.
Tujuan bagaimana memasuki kontrak atau untuk mendapatkan
pengurangan premi contohnya calon tertang-gung pada waktu
pengisian keterangan kesehatan pada SPAJ ditulis merokok satu
hari menghabiskan 5 batang teryata satu hari hingga 30 batang.
Keliru memberikan informasi akan mempengaruhi keputusan
penanggung. Dilihat dari cara penyampaian informasi, baik
innocent maupun concealment keduanya menyangkut penyampaian
informasi yang tidak benar. Hanya saja pada innocent informasi
yang tidak benar tersebut diberikan secara tidak sengaja, sedangkan
pada concealment dilakukan secara sengaja, dengan maksud menipu
penanggung (Dobbyin, 1981: 149).
2. Tidak mengungkapkan (non disclosure) fakta material meliputi:
a. Tidak mengungkapkan fakta atau tidak memberitahukan hal-hal
yang diperlukan pihak lain, bukan karena kesengajaan, namun
mungkin saja karena ketidaktahuan atau kelupaan (innocent). Ini
muncul ketika seseorang tidak menyadari fakta-fakta atau ketika

36
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0

menyadari fakta tidak menghargai signifikasinya misalnya: ter-


tanggung yang menderita demam rematik pada waktu masih anak-
anak, tetapi dia tidak mengungkapkan. Dia tidak tahu bahwa orang
yang pernah mengalami sering demam pada waktu kecil ini sangat
rentan terhadap penyait jantung pada usia lanjut.
b. Menyembunyikan keterangan atau fakta dengan sengaja untuk
mendapatkan keuntungan (Intentional/concealment). Kekeliruan
penyampaian informasi dapat terjadi karena cara penyampaian, isi
ataupun materi yang disampaikan berasal dari informasi yang tidak
benar. Ini dilakukan dengan disengaja untuk menipu penanggung
untuk menutup kontrak asuransi jiwa, yang ia tidak akan melakukan
itu jika mengetahui faktanya. Contohnya calon tertanggung
memiliki hobi olah raga yang berisiko tinggi seperti panjat tebing
atau paralayang tetapi oleh calon tertanggung tidak di tulis dalam
SPAJ.

E. Kesimpulan
Sesuatu merupakan fakta material (material facts) jika pemberitahuan
atau penyembunyian suatu fakta akan mempengaruhi penanggung
dalam mengambil keputusan untuk menerima atau menolak risiko yang
ditawarkan, dan menentukan kondisi-kondisi dan syarat-syarat asuransi
jiwa apabila akan menerima risiko tersebut. Sehingga fakta material
tersebut bukan sekedar dalam bentuk, tetapi secara substansi juga
dianggap penting oleh penanggung.
Pelanggaran fakta material meliputi tidak memberikan penjelasan
atau keterangan yang keliru atau tidak benar (misrepresentation) dan tidak
mengungkapkan setiap apa yang diketahui oleh tertanggung (non
disclosure) yang membawa akibat batal perjanjian asuransi jiwa tersebut.

37
BAGIAN 2 KEWAJIBAN MENJELASKAN DAN MENGUNGKAPKAN FAKTA MATERIAL

Daftar Pustaka

Baharum, Mohd Ali. (1988). Misrepresentation: a Study of English and


Islamic Contract Law. Kualalumpur: Al-Rahmaniah.
Chumaida, Zahry Vandawati. (2013). Prinsip Iktikad Baik dan
Perlindungan Tertanggung Pada Perjanjian Asuransi Jiwa.
Disertasi. Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Airlangga:
Surabaya.
Dahlan, Ahmad Aziz et.al. (1996). Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta:
Ichtiar baru van Hoeve.
Danarti, Dessy. (2011). Jurus Pintar Asuransi: Agar Tenang, Aman dan
Nyaman. Yogyakarta: Andi Offeset.
Dauglas F. Robinson Q.C . and John Neocleous. (1998). “Issues of
Insurance Fraud”. International Symposium on The Prevention &
Control of Financial Fraud, Beijing, 19-22, October.
Dobbyn, John F. (1981). Insurance Law. St. Paul Minn: West Publishing
Co.
Feng, Shi. (2008). Utmost Good Faith in Marine Insurance: a
Comparative Study of English and Chinese Maritem Law.
Plymouth Law Review. 1:154-160.
Huda, Mokhamad Khoirul. (2017). Good Faith in Life Insurance
Contract by Indonesian Court. Hasanudin Law Review. 3(1):49-58.
DOI.10.20956/halrev.v311.1046.
Huda, Mokhamad Khoirul et.al. (2016). “The Nature of the Contract
of Life Insurance Agency after Enactment of the Act Number
40 of 2014 on Insurance”. Journal of Advanced Research in Law and
Economics. 7(5):1037-1-41.
Hodges, Susan. (2004). Law of Marine Insurance. London: Calvendish
Publishing Limited.
Ibrahim, Johnny Ibrahim.(2008). Teori & Metodologi Penelitian Hukum
Normatif. Malang: Bayumedia Publishing.
Ivamy, Hardy. E.R. (1979). General Principles of Insurance Law. Fourt
Edition.London: Buttersworths.

38
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0

Khairandy, Ridwan. (2004). Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak.


Jakarta: Universitas Indonesia.
Kirby. Michael. ( 2011 ). Insurance Contract Law Reform – 30 Years
On. Insurance Law Journal. 1: 2753
Kronman, Anthony T. (1978). Mistake, Disclosure, Information, and
The Law of Contract. Journal of Legal Studies. 7 (1):1-19.
Lowry, John. ( 2009 ). Whither the Duty of Good Faith in UK
Insurance Contract. Connecticut Insurance Law Journal. 16 (1):97-
156.
Manning, Alan. (2010). Manning Six Principles of General Insurance: A
Comprehensive Guide to Utmost Good Faith, Indemnity, Subrogation,
Contribution, Insurable Interest & Proximate Cause, (Victoria:
Mannings of Melbourne Pty Ltd, Camberwell.
Marzuki, Peter Mahmud Marzuki. (2005). Penelitian Hukum. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Purba, Radiks. (1995).Memahami Asuransi di Indonesia.Jakarta: Pustaka
Binaman Pressindo.
Purwosutjipto, H.M.N. (1990). Pengertian Pokok Hukum Dagang: Hukum
Pertanggungan. Jakarta: Djambatan.
Poedjosoebroto, Santoso. (1969). Beberapa Aspek tentang Hukum
Pertanggungan Jiwa di Indonesia. Jakarta: Bhratara.
Merkin, Robert. (2007). Practical Insurance Guides: Insurance Law-An
Introduction. London: Informa.
Robinson Q.C.Dauglas F. and John Neocleous.(1998). Issues of
Insurance Fraud, International Symposium on The Prevention &
Control of Financial Fraud, Beijing, 19-22, Oktober.
Sendra, Ketut. (2004). Konsep dan Penerapan Asuransi Jiwa Unitlink
Proteksi Sekaligus Investasi; Buku Penuntun Agen dan Konsultan
Keuangan Unit Link untuk Sukses Meraih Lisensi. Yogyakarta; Bayu
Indra Grafika.
Yeasmeen, Nargis. ( 2015). Consequences of Non-Disclosure in the
Contract of Insurance. IOSR Journal of Business and Management.
17 (6):29-36.

39
BAGIAN 2 KEWAJIBAN MENJELASKAN DAN MENGUNGKAPKAN FAKTA MATERIAL

Wardana, Kun Wahyu. (2009). Hukum Asuransi: Proteksi Kecelakaan


Transportasi. Bandung: Mandar Maju.
Wise, Robert.K et.all. (2009). Of Lies and Disclimers-Contracting
Araund Fraud Under Texas Law. ST. Mary’s Law Journal.
41(119):119-176.
Wincup, Michael H. (2001). Contract Law and Practice. London: Hague.

40
BAGIAN 3 KARAKTERISTIK PERJANJIAN KEAGENAN ASURANSI JIWA

A. Latar Belakang
Asuransi dalam terminologi hukum merupakan suatu perjanjian
(Merkin, 2007: 3), oleh karena itu perlu dikaji sebagai acuan menuju
pada pengertian perjanjian itu sendiri. Perjanjian asuransi menawaran
suatu kepastian dari suatu ketidakpastian mengenai kerugian-kerugian
ekonomis yang mungkin diderita karena suatu peristiwa tidak tentu
(evenement).
Peristiwa tidak tentu tersebut biasa disebut dengan risiko. S.R
Diacon dan R.L. Carter (1984:3). mengatakan risiko itu ada setiap kali
orang tidak dapat menguasai dengan sempurna, atau mengetahui lebih
dulu mengenai masa depan” Emmet J.Vaughan and Therese Vaughan
(2003:3)mengatakan risiko: “a condition in which there is a possibility of an
adverse deviation from a desired outcome that is expected or hoped for.
Aqil Muhammad (2014:205) memberikan berpendapat bahwa:
“Insurance enables the whole society to minimize the risks caused by some
natural factors for instance earthquakes, hurricanes, tonados, flood; some
human actions for example theft, fraud, pollution, terrorism, and some
economic impacts such as inflation, obsolescence, depressions/recessions.

Asuransi juga merupakan sarana financial dalam tata kelola


kehidupan keluarga dalam menghadapi risiko jiwa dan raga manusia
seperti risiko atas kesehatan, risiko kecelakaan, hari tua dan kematian
(Greene, 1988: 209).
Produk asuransi jiwa berupa janji pemberian nilai manfaat/
santunan pada pemegang polis. Janji itu dituangkan dalam bentuk surat
perjanjian yang lazim disebut “polis”. Karena produk asuransi jiwa
merupakan produk tak berwujud maka metode pemasarannya pun
berbeda dengan metode pemasaran barang berwujud. Sifat dan
karakteristik produk yang berbeda-beda mendorong dan menentukan
daya tarik penjualan, prosedur, metode penetapan harga serta teknik
yang dipergunakan untuk mendistribusikan produk asuransi jiwa
tersebut (Khairandy, 2013: 247) Untuk meningkatan jumlah pemegang
polis maka prinsipal harus membangun sistem pemasaran yang

42
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0

menjadi jalur penghubung antara prinsipal dengan calon pemegang


polis. Dalam sistem tersebut agen asuransi jiwa merupakan basis
pemasaran produknya. Agen atau underwriting menghubungi calon
pemegang polis dan melaporkan langsung kepada pihak prinsipal segala
informasi yang telah diperoleh dari calon pemegang polis (Chai,
1992:307).
Agen memiliki peran yang sangat vital dalam perusahaan asuransi
jiwa. Artinya tidak ada agen, maka tidak ada polis asuransi (no solicitor
no insurance policy). Agen asuransi merupakan ujung tombak pemasaran
asuransi. Dalam memutuskan penjualan asuransi kepada calon peme-
gang polis mereka mewakili prinsipal. Agen yang mengenal, melayani
dan menguasai portofolio calon pemegang polis. Demikian dominasinya
posisi agen asuransi jiwa, maka agen juga yang dapat menyebabkan
pelanggaran dalam bisnis asuransi (Sendra, 2004: 117).
Bentuk pelanggaran agen yang dapat merugikan pemegang polis
seperti memberikan informasi yang tidak benar, palsu dan/atau
menyesatkan calon pemegang polis serta tidak menyetorkan premi
yang telah di bayar tersebut pada prinsipal.
Adapun masalah yang dikaji dalam tulisan ini adalah karakteristik
perjanjian keagenan asuransi jiwa yang berkaitan dengan tanggung
jawab prinsipal dan agen.

B. Hubungan antara Prinsipal dengan Agen Asuransi Jiwa


Istilah agen berasal dari bahasa Inggris dari kata “agent” (Birds,
2013:209) yang memiliki arti agen, wakil atau perantara. Black Law
Dictionary memberikan pengertian (Champbell, 1999:1322):
“agency is a fiduciary relationship ceated by express or implied contract or by
law in which one party (the agent) may act on behalf of another party (the
principal) and bind that other party by words or actions.”

(“Agen adalah hubungan kepercayaan yang dinyatakan dengan lisan


atau dengan kontrak di mana satu pihak (agen) dapat bertindak untuk
dan atas nama pihak lain (principal) dengan kata-kata atau tindakan").

43
BAGIAN 3 KARAKTERISTIK PERJANJIAN KEAGENAN ASURANSI JIWA

Sedangkan dalam ketentuan The Civil Code Netherlands dalam Pasal


7:428 mengatur (Harkamp and Tillema, 1995: 154).:
“an agent must be an independent intermediary. There is no employee-employer
relationship between him and his principal. The agent does not act in his
own name, but in the name, to the expense and at the risk of his principal.
There must be a steady relationship between principal and agent;...”

(“Agen haruslah perantara yang independen. Tidak ada hubungan


karyawan-majikan antara dia dan principal. Agen tidak bertindak
atas namanya sendiri, tetapi atas nama, dengan biaya dan dengan
risiko prinsipalnya. Harus ada hubungan yang timbal balik antara
prinsipal dengan agen;...”).

Menurut Tan Cheng Han (2014:4) sebegai berikut:


Agency is refereed to as the fiduciary relationship that arises when one person
(a principal) manifests assent to another person (an agent) that the agent shall
act on the principal’s behalf and subject to the principle’s control, and the agent
manifests assent or otherwise consent so to act.

(Agen sebagai wujud hubungan kepercayaan yang lahir ketika


pihak yang satu (prinsipal) menyatakan persetujuan kepada pihak
yang orang lain (agen) bahwa agen akan bertindak atas nama
prinsipal dan tunduk pada kententuan prinsipal, dan agen
melaksanakan persetujuan atau persetujuan lai untuk bertindak)

Sedangkan menurut The Insurance Association of Pakistan (2008)


memberikan definisi:
“an insurance agent is representative of an insurane company in soliciting an
d servicing policyholders.” An agent’s knowledge concerning an insurance
transaction is said to be the knowledge of the insurance company as well.
Wrongful acts of the agent are the responsibility of the company; these bind the
company to the custumer. Notice given by an insured to the agent is the same
as notice to the company.

44
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0

(Agen asuransi adalah perwakilan dari perusahaan asuransi dalam


meminta dan melayani pemegang polis. Pengetahuan agen tentang
transaksi asuransi juga disebut sebagai pengetahuan perusahaan
asuransi. Tindakan agen yang salah adalah tanggung jawab
perusahaan; ini mengikat perusahaan kepada pelanggan. Pemberi-
tahuan yang diberikan oleh tertanggung kepada agen sama dengan
pemberitahuan kepada perusahaan.)

Sedangkan Rasmussen menyatakan bahwa (2011:4):


The essentials of agency are few… first, the relation is a consensual one; an
agent agrees; or at least consent to act under direction or control of the principle.
Second, the relation is a fiduciary one; an agent agrees to act for and on behalf
on the principle. He is in no senese a proprietor entitled to the gains enterprise
nor is he expected to carry the risks.

(Esensi dari agen antara lain ... pertama, hubungannya adalah


konsensual; seorang agen setuju; atau setidaknya menyetujui untuk
bertindak dibawah kontrol atau kendali prinsip. Kedua, hubungannya
bersifat kepercayaan; seorang agen setuju untuk bertindak untuk dan
atas nama prinsipal tersebut. Dia bukan pemilik yang berhak atas
keuntungan perusahaan dia juga tidak diharapkan untuk menanggung
risiko).

Hubungan hukum antara prinsipal dengan agen didasarkan pada


agency agreement yang dibuat para pihak, yang mengatur hak dan
kewajiban para pihak. Agen dalam asuransi jiwa merupakan individu
yang bekerja pada prinsipal berdasarkan kuasa pada satu perusahaan
dengan sistem komisi (Khairandy, 2013: 247).
Para pihak dalam erjanjian keagenan terdiri dari: 1. Prinsipal,
adalah pihak yang memberikan perintah/kuasa kepada agen untuk
melakukan perbuatan hukum tertentu dalam hubungannnya dengan
pemegang polis/pihak ketiga. Penunjukkan agen oleh prinsipal
dilakukan secara tertulis dalam bentuk kontraktual, termasuk hak dan
kewajiban masing-masing; 2. Agen, adalah pihak penerima perintah/
kuasa untuk melakukan perbuatan hukum tertentu dalam hubungannya
dengan pemegang polis/pihak ketiga yang tercantum dalam perjanjian,

45
BAGIAN 3 KARAKTERISTIK PERJANJIAN KEAGENAN ASURANSI JIWA

termasuk hak dan kewajiban masing-masing; dan 3. Pemegang polis/


pihak ketiga, adalah yang melakukan perbuatan hukum atau transaksi
dengan agen (Putra, 2014:29).
Agen melakukan perjanjian dengan prinsipal melahirkan
hubungan hukum kemitraan, bukan ketenagakerjaan. Hubungan ini
memiliki kedudukan yang sama tinggi, bukan hubungan atas dan bawah
(subordinasi) seperti yang terjadi antara majikan dengan buruh. Namun
dalam kenyataan hubungan agen dengan prinsipal ini sama dengan
hubungan subordinasi.
Karakteristik hubungan prinsipal dan agen adalah pemberian
kuasa. Sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1792 Burgerlijke wet
Boek yang menyatakan bahwa: “pemberian kuasa adalah suatu per-
setujuan dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada orang
lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu
urusan.” Pemberian kuasa ini didasarkan atas dasar kesepakatan yang
dituangkan dalam bentuk perjanjian keagenan. Dalam Pasal 1795
Burgerlijke wet Boek mengatur pemberian kuasa yang bersifat khusus
yang hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih dan bersifat
umum yang meliputi segala kepentingan si pemberi kuasa. Menurut
ketentuan Pasal 1338 BW ayat (1) Burgerlijke wet Boek: “semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.”
Perjanjian keagenan dapat tercipta antara prinsipal dengan agen
atas kesepakatan bersama. Perjanjian keagenan lahir karena jasanya
dibutuhkan untuk menyalurkan produk prinsipal secara efisien.
Perjanjian keagenan merupakan cara yang efisien untuk menjual polis
asuransi jiwa. Perjanjian keagenan merupakan pilihan yang tepat bagi
prinsipal karena: pertama, kapasitas finansial prinsipal terbatas untuk
menangani seluruh aktivitas yang ditawarkan kepadanya dalam satu
wilayah tertentu, karena kekhawatiran terkonsentrasinya risiko; kedua,
prinsipal memasuki wilayah baru, harus menyediakan sejumlah servis
minimal kepada calon pemegang polis, klaim, pengumpulan premi dan
menjawab pertanyaan-pertanyaan calon pemegang polis, sehingga

46
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0

prinsipal tidak bisa melakukan secara langsung, dengan demikian


diperlukan agen (Rastuti, 2011:67).
Menurut Moniung prinsipal membutuhkan agen karena beberapa
sebab yaitu: pertama, prinsipal tidak menguasai area pemasaran
barang/atau jasanya; kedua, prinsipal terlalu sibuk dengan pekerjaan
pokoknya sehingga harus melakukan pendelegasian pekerjaannya, atau
ketiga, prinsipal membutuhkan pihak lain yang memiliki koneksi atau
hubungan bisnis serta jaringan pemasaran yang luas sehingga sasaran
dan target pemasaran barang dan/atau jasanya segera terealisasi (Moniung,
2015: 125).
Industri asuransi jiwa memberikan perhatian khusus masalah kode
etik, sebab berkembangnya perusahaan asuransi sangat ditentukan oleh
para agen asuransi. Untuk itu ditetapkan suatu kode etik keagenan
asuransi agar para agen asuransi memiliki profesionalisme. Tujuannya
agar mereka tidak menimbulkan salah pengertian, kontroversi persepsi
dan menempatkan agen asuransi sebagai profesi yang mulia (Sendra,
2014: 118) Untuk menjalankan kewajiban sebagai agen asuransi jiwa
maka kode etik menentukan perilaku antara lain sebagai berikut:
1. Menjunjung tinggi kepercayaan yang diberikan oleh prinsipal
dengan bersikap ramah, sopan, tertip dan jujur dalam melaksanakan
tugas/pekerjaan, serta berusaha dengan kemampuan/ pengetahuan
yang ada meningkatkan kesadaran berasuransi bagi masyarakat dan
memajukan perusahaan yang diwakili;
2. Mengutamakan kepentingan para pemegang polis dan prinsipal
dengan selalu memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada
pemegang polis maupun kepada mereka yang ditunjuk untuk
menerima faedah asuransi;
3. Menggunakan cara yang layak dan tidak melanggar kode etik
untuk mendapatkan/menutup calon pemegang polis dan dengan
tegas akan menolak segala cara yang dapat menurukan derajat
profesi aparat pemasaran asuransi jiwa, serta tidak akan mem-
berikan peryataan-peryataan dan janji-janji yang menyimpang dari
ketentuan polis;

47
BAGIAN 3 KARAKTERISTIK PERJANJIAN KEAGENAN ASURANSI JIWA

4. Memberikan keterangan yang benar dan lengkap serta tepat agar


pemegang polis dapat mengambil keputusan yang sesuai dengan
kebutuhan (Keputusan RAT No. 02/AAJI).
Agen asuransi jiwa memiliki larangan untuk dilakukan dalam
pekerjaan sehari-hari antara lain (Sendra, 2015: 126):
1. Melakukan propraganda yang dapat mendiskriditkan dan merusak
nama baik atau citra perusahaan asuransi;
2. Melakukan pekerjaan menjual produk asuransi tanpa memiliki
lisensi;
3. Mencari keuntungan pribadi dari jabatan atau profesionalismenya
sebagai agen, dengan pindah ke perusahan satu ke perusahaan
lainnya;
4. Melakukan pemindahan atau pembelian pemilik polis dari
perusahaan asuransi lain (twisting), untuk mendapatkan kinerja
atau prestasi yang baik dari perusahaannya, sehingga dapat
merugikan pemilik polis;
5. Menjual produk asuransi dengan memberikan keterangan atau
penjelasan yang kurang transparan dan kurang jujur (misrepresen-
tation) sehingga dapat menyebabkan kesalahan pemilik polis untuk
memilih produk yang tepat dan atau jumlah pertanggungannya
terlalu besar.
6. Melakukan penjualan produk asuransi dengan janji-janji potongan
atau diskon dan hadiah lainnya;
7. Menyalahgunakan premi, santunan, asuransi pemilik polis atau
tertanggung; dan
8. Menyembunyikan, memalsukan data-data dan informasi calon
pemilik polis atau tertanggung dan penerima manfaat, dengan
tujuan untuk mendapatkan provisi atau komisi besar sehingga
menguntukan diri sendiri, hal ini dapat menyebabkan dikesam-
pingkanya prinsip iktikad baik (utmost good faith) dan kepentingan
yang dapat diasuransikan (insurable interest).

48
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0

Perjanjian keagenan yang telah disepakati prinsipal dengan agen


melahirkan wewenang pada seorang agen. Agen asuransi memiliki tiga
wewenang yang meliputi: pertama, wewenang tersurat yang tercantum
dalam kontraknya dengan prinsipal yang dalam hal ini adalah
perusahaan asuransi jiwa; kedua, wewenang yang tersirat. Menurut
hukum memperoleh wewenang yang layak dianggap publik dimilikinya.
Hukum menyatakan bahwa publik tidak dapat diharapkan mengetahui
atau menyelidiki syarat-syarat sesungguhnya dari setiap perjanjian
keagenan. Publik mempercayai bahwa seorang agen mempunyai wewe-
nang untuk sesuatu tindakan tertentu sejauh menyangkut hukum; Ketiga,
agen mempunyai wewenang lahiriah yaitu wewenang yang telah
dilaksanakan agen itu yang didiamkan saja oleh principal (Hasymi, 2002: 92).
Pada umumnya hak-hak agen sehubungan dengan jasa keagenan
berupa: a.Hak atas komisi. Hak agen untuk menerima komisi dari
prinsipal atas jasa-jasa yang diberikan agen adalah hak yang melekat
pada praktek bisnis agen asuransi. Oleh karen itu hubungan keagenan
didasarkan pada perjanjian, maka pada umumnya komisi yang menjadi
hak agen ditentukan secara eksplisit dalam perjanjian keagenan b. Hak
untuk meminta pembayaran kembali (reimbursement) dari prinsipal
atas semua biaya dan pengeluaran-pengeluaran yang agen lakukan
sehubungan dengan pelaksanaan pekerjaan keagenan untuk kepen-
tingan prinsipal dan c. Hak untuk dibebaskan dari segala tanggung
jawab hukum. Sedangkan hak prinsipal lahir sebagai konsekuensi
pelaksanaan fiduciary duties dari agen yang mengakibatkan fiduciary
rights (Maniung, 2015:130).
Menurut Ivamy (11975:547) bahwa:
The chief duties which an agent owes to the principal are the following: a. To
carry out the transaction which he is employed to carry out; b. To obey his
instructions and to act strictly in accordance with the terms of his authority; c.
To act with reasonable and proper skill; d. To account to the principal for
money received; and e. To deal honestly with the principal.

49
BAGIAN 3 KARAKTERISTIK PERJANJIAN KEAGENAN ASURANSI JIWA

(Kewajiban utama seorang agen kepada prinsipal adalah sebagai


berikut: a. Untuk melakukan transaksi yang ia lakukan; b.
Mematuhi perintah dan bertindak secara ketat sesuai dengan
ketentuan kewenangannya; c. Untuk bertindak dengan keteram-
pilan yang wajar dan tepat; d. Untuk menjelaskan kepada prinsipal
untuk uang yang diterima; dan e. Kesepakata yang jujur dengan
prisipal).

Asuransi jiwa dinyatakan mulai berlaku dan mengikat para pihak


terhitung sejak premi diterima oleh agen asuransi (Pasal 28 ayat 3
Undang-Undang tentang Perasuransian). Demikian pula ketentuan
Pasal 255 Wet van Koophandel mengatur bahwa “hak dan kewajiban
penanggung dan pemegang polis timbul pada saat ditutupnya asuransi
walaupun polis belum diterbitkan.”
Penutupan asuransi dalam praktiknya dibuktikan dengan
disetujuinya aplikasi atau ditandatangani perjanjian sementara (cover
note) dan dibayarnya premi.Selanjutnya apabila suatu asuransi ditutup
langsung antara si calon pemegang polis atau seorang yang telah
diperintahkan untuk itu atau mempunyai kekuasaan untuk itu dan
prinsipal, maka haruslah polisnya dalam waktu 24 jam setelah
ditangantangani oleh prinsipal sudah diserahkan pada calon pemegang
polis. Apabila pertanggungan ditutup dengan perantara agen, maka
polis yang telah ditandatangani harus diserahkan dalam waktu delapan
hari setelah ditutupnya pejanjian asuransi.

C. Tanggung Jawab Prinsipal dan agen terhadap Pemegang


Polis
Pelaksanaan perjanjian keagenan berisi dengan mana, agen
mengikatkan dirinya untuk menjualkan produk dari prinsipal sehingga
agen dalam melaksanakan tugasnya bertindak untuk dan atas nama
prinsipal. Perjanjian keagenan berisi hak dan kewajiban untuk
menjualkan produk asuransi jiwa kepada calon pemengang polis,
melakukan penangihan premi pertama dari hasil penjualan produk
asuransi jiwa dan menyetorkan pada pihak prinsipal, menyerahkan

50
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0

seluruh dokumen dari calon pemegang polis yang berupa Surat


Permohonan Asuransi Jiwa(SPAJ) dan Surat Keterangan Kesehatan
(SKK).
Dalam pelaksanaannya sering terjadi penyimpangan yang
dilakukan oleh agen dalam menjalankan profesinya dengan melakukan
tindakan yang merugikan prinsipal. Adapun tindakan yang merugikan
prinsipal seperti memberikan informasi yang tidak benar, palsu dan/
atau menyesatkan calon nasabah mengenai risiko, manfaat, hak,
kewajiban terkait produk asuransi jiwa dan tidak menyetorkan premi
yang telah di bayar oleh calon pemegang polis maka menjadi tanggung
jawab perusahaan asuransi yang diagenai.
Hal ini diatur dalam Pasal 28 ayat 7 Undang-Undang tentang
Perasuransian berbunyi bahwa: “perusahaan asuransi wajib bertanggung
jawab atas pembayaran klaim yang timbul apabila agen asuransi telah
menerima premi atau kontribusi, tetapi belum menyerahkannya kepada
perusahaan asuransi tersebut.”
Hal tersebut senada dengan ketentuan Pasal 73 Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan Nomor POJK 2/POJK.05/2014 tentang Tata Kelola
perusahaan asuransi yang baik bagi perusahaan perasuransian mengatur
dalam hal perusahaan asuransi memasarkan produk asuransi melalui
agen asuransi, perusahaan asuransi wajib memenuhi ketentuan:
memiliki perjanjian keagenan dengan agen asuransi yang memasarkan
produk asuransinya; dan agen asuransi harus memiliki sertifikat
keagenan dari asosiasi perusahaan asuransi sejenis. Perusahaan asuransi
yang melakukan pemasaran melalui agen asuransi jiwa bertanggung
jawab penuh terhadap konsekuensi yang timbul dari penutupan
asuransi yang dilakukan oleh agen asuransi yang bersangkutan.
Untuk menghindari pelanggaran tejadi pada agen maka prinsipal
yang melakukan pemasaran melalui agen asuransi wajib melakukan
paling sedikit hal-hal sebagai berikut: 1. Memberikan pendidikan dan
juga pelatihan yang berkesinambungan kepada agen asuransi agar dapat
menjalankan profesinya dengan kompetensi dan juga integritas tinggi;
2. Mewajibkan agen asuransi terlebih dahulu memiliki sertifikat

51
BAGIAN 3 KARAKTERISTIK PERJANJIAN KEAGENAN ASURANSI JIWA

keagenan; 3. Mewajibkan kode etik yang ditetapkan oleh asosiasi


perusahaan asuransi sejenis dalam kontrak kegenan. Dan d. Mewajibkan
agen asuransi untuk mematuhi kode etik atau sejenisnya yang ditetapkan
oleh asosiasi perusahaan asuransi yang sesuai dengan bidang usahanya
berikut sanksi yang dikenakan terhadap setiap pelanggaran yang
dilakukan oleh agen asuransi.
Dalam hal agen terbukti tidak melaksanakan salah satu/sebagaian
atau seluruh kewajibannya sehingga menimbulkan kerugian bagi
pemegang polis dengan cara penyelesaian yang berupa tindakan
administratif seperti teguran yang berupa pemanggilan terhadap agen
yang bermasalah, memberikan peringatan dan penghentian secara
sepihak.
Khusus untuk agen yang tidak menyetorkan pembayaran premi
pemegang polis pada prinsipal maka agen harus menganti kerugian
yang timbul karena perbuatan tersebut. Penggantian kerugian dilakukan
dengan cara pemotongan hak-hak dari agen yang berupa provisi
maupun insentif bonus dari agen yang bersangkutan, penahanan lisensi
agen maupun jaminan berupa surat jaminan yang harus ditandatangani
oleh agen.
Undang-Undang tentang Perasuransian mengatur juga larangan
agen menggelapkan premi atau kontribusi serta agen asuransi wajib
memberikan sebuah informasi yang benar, tidak palsu, dan/atau tidak
menyesatkan kepada pemegang polis, tertanggung, atau peserta mengenai
risiko, manfaat, kewajiban dan pembebenan biaya terkait dengan produk
asuransi atau produk asuransi syariah yang ditawarkan.
Pasal 75 Undang-Undang tentang Perasuransian mengatur bahwa
“setiap orang yang dengan sengaja tidak memberikan informasi atau
memberikan informasi yang tidak benar, palsu, dan/atau menyesatkan
kepada pemegang polis, tertanggung, atau peserta dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).” Sedangkan Pasal 76
mengatur: setiap orang yang menggelapkan premi atau kontribusi
dipindana denga pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana

52
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0

denda paling banyak Rp.5.000.000.000,,-( lima miliar rupiah).


Berdasar ketentuan tersebut maka perbuatan agen yang mem-
berikan informasi yang salah dan penyalahgunaan wewenang dengan
menggelapkan uang premi hasil penagihan dari pemegang polis
merupakan tindak pidana yang dapat dihukum pidanan penjara paling
lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,- (lima milyar
rupiah) akibat perbuatan tersebut.

D. Kesimpulan
Perjanjian keagenan terjadi antara agen dengan prinsipal yang
melahirkan hubungan hukum para pihak.Hubungan hukum tersebut
melahirkan hak dan kewajiban prinsipal dan agen. Hubungan hukum
tersebut diatur dalam kode etik keagenan dan Undang-Undang tentang
Perasuransian.
Adapun tindakan yang merugikan prinsipal seperti memberikan
informasi yang tidak benar, palsu dan /atau menyesatkan calon nasabah
mengenai risiko, manfaat, hak, kewajiban terkait produk asuransi jiwa
dan tidak menyetorkan premi yang telah di bayar oleh calon pemegang
polis maka menjadi tanggung jawab perusahaan asuransi yang diagenai
Prinsipal bisa memberikan teguran lisan dan/atau tertulis, peng-
hentian sementara aktivitas keagenan, mengakhiri perjanjian kerjasama
secara sepihak dan ganti rugi, jika agen melakukan pelangaran kode etik
keagenan. Sedangkan untuk pelanggaran hukum diancam dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).

53
BAGIAN 3 KARAKTERISTIK PERJANJIAN KEAGENAN ASURANSI JIWA

Daftar Pustaka

Aqil, Muhammad et.all. (2014). Factor Influencing Insurance Agents Intention


to Leave: Findings from Life Insurance Sector in Pakistan. International
Journal of Marketing and Technology. Volume 4. Issue 4.
Birds, John.(2013). Birds’ Modern Insurance Law. London: Sweet &
Maxwell.
Chai, Poh Chu.(1992). Law of Insurance. Singapore: Longman.
Diacon, S.R and R.L Carter. (1984). Succes in Insurance. London: John
Murrey Ltd.
Greene, R. James S.Trieschmann. (1988). Risk and Insurance. Chicago:
South Western Publishing Co.
Han, Tan Cheng. (2010) The Law of Agency. Singapore: Academy
Publishing.
Hajar. (2013). Tanggung Gugat Prinsipal dalam Perjanjian Keagenan LPG.
Yuridika.Volume 28 No.3.
Hardy, Ivamy E.R. (1979). General Principles of Insurance Law. London:
Butterworths.
Henry Campbell, Black. (1999). Black’s Law Dictionary. St.Paul Minn:
West Publishing.
Merkin, Robert. (2007). Insurance Law-Introduction. London: Informa.
Moniung, Ezra Ridel.(2015). Perjanjian Keagenan dan Distributor Dalam
Perspektif Hukum Perdata. Lex Privatum.Vol.II No.1.
Putera, Andika Persada. (2014). Karakteristik Keagenan Bank. Yuridika.
Volume 29 No.3.
Rahau, Loredana et.all. (2012). Insurance Agents in The Sale of Insurance-
Competence, Responsibility and Limitations Through Legislation.
Academics Science Journal Economic Series. No.1 (1).
Rasmusen, Eric.(2011). Agency Law and Contract Formation. Harvard Law
School: Cambridge.
Rastuti, Tuti. (2011). Aspek Hukum Perjanjian Asuransi.Yogyakarta:
Pustaka Yustisia
Sembiring, Santoso. (2014). Hukum Asuransi.Bandung: Nuansa Mulia.

54
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0

Sendra. Ketut. (2004). Konsep dan Penerapan: Asuransi Jiwa Unit-Link


Proteksi Sekaligus Investasi.Yogykarta: Penerbit PPM.
Vaughan , Emmet J. and Therese Vaughan. (2003). Fundamentals of
Risk and Insurance.London: John Wiley & Sons.Inc.
Undang-Undang Nomor 40 tahun 2014 tentang Perasuransian,
Lembaran Negara 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 5618.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor POJK 2/POJK.05/2014
tentang Tata Kelola perusahaan asuransi yang baik bagi
perusahaan perasuransian

55
BAGIAN 3 KARAKTERISTIK PERJANJIAN KEAGENAN ASURANSI JIWA

56
BAGIAN 4 PENYELESAIAN SENGKETA ASURANSI JIWA MELALUI JALUR NON LITIGASI

A. Latar Belakang
Pada umumnya masa depan manusia tidaklah pasti, karena tidak
seorang pun mengetahui kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi
atas hidup manusia. Namun sebagai mahluk Tuhan, setiap manusia
dibekali dengan akal pikiran dan panca indera sebagai alat untuk
mencari jalan keluar agar masa depan manusia menjadi menentu dan
terarah. Dengan berpedoman kepada pengalaman masa lalu, dapatlah
diperkirakan peristiwa-peristiwa apa yang mungkin menimpa dan
bagaimana metode yang perlu dilakukan untuk melindungi diri
terhadap risiko dalam kehidupan (Huda, 2017:53).
Risiko merupakan “a condition in which there is a possibility of an adverse
deviation from a desired outcome that is expected or hoped for” (Vaughan and
Therese, 2003: 3). Salah satu cara yang dipakai dalam rangka mengelola
risiko itu adalah asuransi (Huda, 2016:1037) Insurance enables the whole
society to minimize the risks caused by some natural factors for instance
earthquakes, hurricanes, tornados, flood; some human actions for example theft,
fraud, pollution, terrorism, and some economic impacts such as inflation,
obsolescence, depressions/recessions (Aqil, 2014: 205).
Asuransi juga merupakan sarana finansial dalam tata kelola
kehidupan keluarga dalam menghadapi risiko jiwa dan raga manusia
seperti risiko atas kesehatan, risiko kecelakaan, hari tua dan kematian
(Greene, 1988: 219). Asuransi menyediakan dana dalam menghadapi
risiko hidup yang tidak berkepastian (Purba, 1992: 275). Dengan
melihat risiko hidup yang sangat banyak melahirkan sikap mental yang
tinggi untuk ikut berasuransi pada masyarakat.
Meningkatnya peserta asuransi memiliki dampak yang sangat
tinggi terhadap sengketa asuransi jiwa. Badan Mediasi dan Arbitrase
Asuransi Indonesia mencatat sengketa meningkat secara signifikan
pada tahun 2012. BMAI telah mencatat 138 kasus atau naik 158%
dibanding kasus sengketa klaim pada tahun 2011 yang tercatat 48 kasus.
Untuk tahun 2013 jumlah total sengketa klaim 41 kasus dengan
perincian sengketa klaim asuransi jiwa berjumlah 27 kasus sedangkan
asuransi umum berjumlah 14 kasus (Huda, 2016: 6).

58
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0

Guna untuk memberikan kepastian hukum penyelesaian sengketa


asuransi jiwa maka dikeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.
1/POJK.7/2014 pada Pasal 2 ayat (1) mengatur bahwa “pengaduan
wajib diselesaikan terlebih dahulu oleh lembaga jasa keuangan (perusahaan
asuransi jiwa).” Sedangkan Pasal 2 ayat (2) mengatur bawa: “dalam hal
tidak tercapai kesepakatan penyelesaian pengaduan maka konsumen
(insured) dan lembaga jasa keuangan (perusahaan asuransi jiwa) dapat
melakukan penyelesaian sengketa diluar pengadilan atau melalui
pengadilan. Penelitian ini akan mengkaji bagaimana karakteristik
penyelesaian sengketa asuransi jiwa melalui jalur di luar pengadilan (non
litigasi).”

B. Penyelesaian Sengketa Asuransi Jiwa di Badan Mediasi dan


Arbitrase Asuransi Indonesia
Mekanisme penyelesaian sengketa asuransi jiwa ditempuh melalui
dua cara yaitu penyelesaian melalui BMAI (internal dispute resolution) dan
penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan (external dispute
resoution). Penyelesian di BMAI memiliki karateristik yang senantiasa
cepat, dinamis, dan penuh inovasi disamping itu memiliki prosedur
yang cepat, berbiaya murah, dengan hasil yang obyektif, relevan dan
adil. Penyelesaian sengketa melalui BMAI bersifat rahasia, sehingga
masing-masing pihak yang bersengketa lebih nyaman dalam melakukan
proses penyelesaian sengketa, dan tidak memerlukan waktu yang lama
karena didesain dengan menghindari keterlambatan prosedural dan
administrasi, serta didukung orang-orang yang memiliki keahlian sesuai
dengan jenis sengketa, sehingga dapat menghasilkan putusan yang
objektif dan relevan.
BMAI memberikan layanan penyelesaian sengketa klaim asuransi
jiwa secara adil melalui alternatif penyelesaian sengketa dan pelayanan
konsumen asuransi untuk menumbuh kembangkan kepercayaan dan
minat masyarakat berasuransi demi mewujudkan kehidupan yang
nyaman dan sejahtera. Sedangkan misinya secara profesional ialah
independen dan imparsal yang meliputi membantu menyelesaikan

59
BAGIAN 4 PENYELESAIAN SENGKETA ASURANSI JIWA MELALUI JALUR NON LITIGASI

sengketa klaim asuransi antara perusahaan asuransi dan konsumen


melalui alternatif penyelesaian sengketa; memberikan informasi dan
pemahaman kepada masyarakat tentang perasuransian dan manejemen
risiko serta memberikan masukan kepada pemerintah dan pelaku usaha
perasuransian bahan pembelajaran dari sengketa-sengketa yang ditangani.
BMAI merupakan lembaga yang mudah diakses konsumen atau
perusahaan asuransi. Melalui proses mediasi, adjudikasi dan arbitrase
membantu menyelesaiakan sengketa klaim (tuntutan ganti rugi/
manfaat) dan memberikan solusi yang mudah bagi tertanggung atau
konsumen yang kurang memahamai asuransi dan kurang mampu untuk
menyelesaikan suatu perkara melalui pengadilan, apalagi membayar
biaya bantuan hukum yang mahal.
Untuk permohonan penyelesaian sengketa asuransi jiwa maka
konsumen harus mengisi lengkap formulir permohonan penyelesaian
sengketa (FPPS) yang disediakan oleh BMAI dan menyampaikan
kepada BMAI, untuk digunakan sebagai dasar melakukan investigasi
atas suatu sengketa. Penyelesaian sengketa asuransi jiwa di BMAI
memiliki batasan nilai tuntutan ganti rugi. Untuk proses mediasi dan
adjudikasi nilai tuntutan ganti rugi atau manfaat polis yang diper-
sengketakan tidak melebihi Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah)
per klaim untuk asuransi jiwa. Adapun penyelesaian sengketa asuransi
jiwa dapat diuraikan melalui tahapan sebagai berikut:
1. Mediasi
Mediasi merupakan proses negosiasi penyelesaian sengketa
dimana terdapat pihak luar yang tidak memihak, netral, tidak bekerja
sama dengan pihak yang bersengketa untuk membantu mereka guna
mencapai suatu kesepakatan hasil negosiasi yang memuaskan (Bandle,
2011: 30). Tahap mediasi ini konsumen mengajukan permohonan
penyelesaian sengketa klaim asuransi jiwa kepada BMAI. Mediator
akan berupaya untuk mencapai kata sepakat menyelesaikan sengketa
secara damai dan wajar bagi kedua belah pihak. Mediator akan bertindak
sebagai penengah antara konsumen dan perusahaan asuransi.

60
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0

Mediator berwenang untuk meminta kepada para pihak, dan para


pihak wajib untuk memberikan kepada mediator semua informasi dan
materi yang berkaitan dengan sengketa termasuk tetapi tidak terbatas:
a) copy lengkap dari polis beserta klausul dan endorsement, surat
permintaan asuransi, koresponden berkaitan dengan akseptasi
sampai polis diterbitkan;
b) Formulir klaim dan laporan-laporan pihak lain (polisi, loss
adjuster, dokter dan lain-lain);
c) Bukti-bukti berkaitan dengan nilai ganti rugi yang diajukan;
d) Bukti-bukti berkaitan dengan alasan penolakan klaim;
e) Copy semua koresponden antara para pihak berkaitan dengan
proses penyelesaian klaim termasuk notulasi atau catatan-catatan
rapat antara para pihak;
f) Informasi dari pihak ketiga (agen asuransi dan atau pialang
asuransi) yang memfasiitasi penerbitan/penutupan asuransi
tersebut.
Mediator melakukan wawancara, bila dianggap perlu, baik melalui
telepon maupun dengan pertemuan langsung. Apabila konsumen
berada diluar kota Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang dan Bekasi,
maka Mediator dapat menyelenggarakan mediasi dengan memfaatkan
fasilitas alat komunikasi telepon, fax, email atau dengan mendatangi
konsumen. Kemudian dilakukan analisa atas pengaduan sehingga
dapat membuat kesimpulan awal dan menentukan arah penyelesaian
sengketa, apakah akan menghentikan proses penyelesiaan sengketa
atau berlanjut pada proses investigasi.
Jika kesimpulan awal mediator tidak sependapat dengan penolakan
klaim, maka mediator segera menghubungi perusahaan asuransi untuk
mambahas kasus tersebut secara langsung dengan harapan dapat meng-
hasilkan suatu celah penyelesaian yang baik untuk para pihak yang
nantinya dapat ditawarkan pada konsumen.
Apabila konsumen tidak sepenuhnya dapat menerima alasan
penolakan perusahaan asuransi tetapi bersedia untuk menerima suatu
ganti rugi secara kompromi, maka mediator akan melakukan

61
BAGIAN 4 PENYELESAIAN SENGKETA ASURANSI JIWA MELALUI JALUR NON LITIGASI

pendekatan ke perusahaan asuransi. Bila perusahaan asuransi setuju


maka sengketa dapat diselesaikan tetapi bila perusahaan asuransi tidak
setuju maka sengketa dapat dilanjutkan di tingkatan adjudikasi.
2. Adjudikasi
Sengketa yang diajukan ke tingkat ajudikasi adalah sengketa yang
sudah menempuh mediasi dan belum mencapai kesepakatan atau
dimungkinkan tidak dapat diselesaikan melalui mediasi. Adjudikasi
BMAI akan menghasilkan penyelesaian yang berbentuk suatu putusan
yang bersifat final dan konklusif. Dasar-dasar dikeluarkan putusan
tersebut akan ditulis dan ditandatangani oleh semua anggota panel.
Putusan diumumkan dalam persidangan terakhir dan apabila para
pihak menerima putusan tersebut, maka para pihak menandatangani
putusan tersebut sebagai perjanjian penyelesaian sengketa.
Apabila sengketa diputuskan atas keuntungan konsumen oleh
panel adjudikator, ketetapan dapat mencakup jumlah pembayaran yang
harus dibayar sesuai yang dianggap adil oleh panel adjudikator atas
kerugian finansial yang diderita oleh konsumen, dan tidak termasuk
kerugian di luar jaminan polis. Panel adjudikator dapat sebagai bagian
dari keputusan, memberikan rekomendasi yang dianggap perlu kepada
perusahaan asuransi, akan tetapi rekomendasi ini tidak mengikat bagi
konsumen.
Apabila konsumen menolak keputusan adjudikasi BMAI, maka
konsumen bebas untuk melakukan upaya hukum selanjutnya sesuai
dengan yang diatur dalam polis untuk memperjuangkan hak-haknya.
Sebaliknya apabila keputusan yang diambil sidang adjudikasi adalah
mewajibkan perusahaan asuransi untuk membayar, maka perusahaan
harus melakukan eksekusi pembayaran sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam polis.
Putusan BMAI terhadap konsumen asuransi jiwa tidak mengikat,
akan tetapi bersifat final dan mengikat bagi perusahaan asuransi. Hal
ini berarti, jika perusahaan asuransi dikalahkan artinya perusahaan
asuransi harus membayar klaim. Dalam hal ini perusahaan asuransi
tersebut harus tunduk dan tidak dapat melakukan upaya hukum

62
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0

apapun. Dari gambaran tersebut, jelas BMAI merupakan lembaga


yang independen, sehingga sangat sulit bila BMAI disebutkan sebagai
alat bagi perusahaan asuransi untuk mengendalikan para konsumen
asuransi. Apabila melalui adjudikasi tidak menyelesaikan sengketa atau
konsumen menolak hasil adjudikasi, maka konsumen dapat mencari
penyelesaian lainnya (arbitrase atau melalui pengadilan). Namun
semua hasil adjudikasi BMAI tidak dapat menjadi bukti di pengadilan.
3. Arbitrase
Pengertian arbitrase diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternative Penyelesaian
Sengketa yang menyatakan bahwa cara penyelesaian suatu sengketa
perdata di luar peradilan umum didasarkan pada perjanjian arbitrase
yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Menurut
Petrauskas bahwa: arbitration is usually defined as a process where a neutral
third party delivers a decision which is final, and binding on both parties.
(Petrauskas 2011: 928). Khusus asuransi jiwa tunduk dalam SK:
001/SK-BMAI/09.2014 tentang Peraturan Prosedur Arbitrase Badan
Mediasi Asuransi Indonesia. Adapun pengertian arbitrase adalah cara
penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang diseleng-
garakan di BMAI dengan menggunakan peraturan dan prosedur
yang didasarkan pada perjanjian arbitrase.
Ruang lingkup penyelesaian sengketa asuransi melalui Arbitrase di
BMAI harus dinyatakan secara tegas dalam perjanjian Arbitrase, bahwa
semua sengketa yang timbul atau mungkin timbul dalam hubungan
hukum tersebut. Penyelesaian sengketa tersebut harus didasarkan pada
iktikad baik dengan berlandaskan tata cara kooperatif dan non
konfrontatif dengan mengeyampingkan penyelesaian sengketa melalui
pengadilan dan atau lembaga alternatif penyelesaian lainnya (Agrawal
2014:67). Permohonan Arbitrase didaftarkan dengan menyertakan
salinan surat tuntutan dalam jumlah cukup bagi keperluan persidangan.
Dalam Arbitrase surat tuntutan harus memuat:
a) Nama lengkap, dan tempat tinggal atau tempat kedudukan para
pihak;

63
BAGIAN 4 PENYELESAIAN SENGKETA ASURANSI JIWA MELALUI JALUR NON LITIGASI

b) Uraian singkat tentang sengketa;


c) Isi tuntutan yang jelas; disamping itu harus menyertakan lampiran-
lampiran: Akta daftar bukti yang diajukan berikut keterangan;
Foto copy bukuti-bukti; Foto copy perjanjian Arbitrase dan Foto
bukti pembayaran atas biaya pendaftaran.
Pemeriksaan sengketa dalam arbitrase dilakukan secara tertulis.
Pemeriksaan secara lisan dapat dilakukan apabila disetujui para pihak.
Semua pemeriksaan dilakukan secara tertutup sehingga tidak dapat
dihadiri oleh orang lain selain para pihak dan atau kuasa hukumnya.
Para pihak memiliki hak dan kesempatan yang sama dan adil dalam
mengemukakan pendapat, mengajukan bukti-bukti dan atau saksi-saksi.
Hukum yang berlaku dalam penyelesaian sengketa adalah hukum arbitrase
Indonesia yang sedang berlaku. Untuk jangka waktu pemeriksaan adalah
180 (seratur delapan puluh) hari terhitung sejak tanggal pengukuhan
arbiter tunggal/majelis.
Arbiter memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan
berdasarkan keadilan dan kepatutan, maka peraturan perundang-
undangan dapat dikesampingkan, dalam hal tertentu hukum memaksa
(dwingende regels) harus diterapkan dan tidak dapat disampingi oleh
Arbiter. Putusan Arbiter bersifat final dan mempunyai kekuatan
hukum tetap dan mengikat para pihak, dengan demikian tidak dapati
diajukan bading,kasasi atau peninjuan kembali.

C. Tantangan Penyelesaian Asuransi Jiwa dengan Cepat,


Murah, Adil dan Efisien.
Prinsip-prinsip dalam perlindungan konsumen khususnya asuransi
mencakup transparansi, perlakuan yang adil, keandalan, kerahasian
dan keamanan data/informasi konsumen serta penyelesaian sengketa
secara sederhana, cepat dan biaya ringan. Pasal 32 ayat (1) POJK No.
1/POJK.07/2013 menentukan pelaku usaha jasa keuangan (insurer)
wajib memiliki dan melaksanakan mekanisme pelayanan dan penyelesaian
pengaduan bagi konsumen. Pengaduan merupakan penyampaian
ungkapan ketidakpuasan konsumen (insured) yang disebabkan oleh

64
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0

adanya kerugian atau potensi kerugian finansial yang diduga terjadi


karena kesalahannya atau kelalalaian lembaga jasa keuangan (insurer)
dalam kegiatan penempatan dan pemanfaatan pelayanan dan/atau
produk lembaga jasa keuangan (Herierri, 2015: 45).
Ketetentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
No.1/POJK.07/2014 mengatur rangkaian perlindungan konsumen
mencakup edukasi, pelayanan informasi, pengaduan dan penyelesaian
pengaduan. Apabila dalam penyelesian pengaduan oleh perusahan
asuransi seringkali tidak tercapai kesepakatan antara konsumen dan
perusahanaan asuransi maka akan diselesaikan di BMAI. BMAI
memiliki prinsip-prinsip penyelesaian sengketa sebagai berikut:
1. Prinsip aksesibilitas
Aksesibilitas memiliki makna bahwa BMAI mudah diakses oleh
konsumen. Dengan akses yang mudah membuka peluang konsumen
asuransi bisa memanfaatkan secara baik untuk memecahkan
permasalahan. Guna membuka kemudahan dalam akses penyelesaian
maka BMAI juga mengembangkan startegi komunikasi untuk
meningkatkan akses konsumen terhadap layanan lembaga alternative
penyelesaian dan meningkatkan pemahaman konsumen terhadap
proses penyelesaian sengketa yang dilaksanakan oleh BMAI.
Dengan segala kemudahan maka layanan penyelesaian sengketa
konsumen akan bisa menjangkau seluruh wilayah Indonesia dari
wilayah Sabang hingga Merauke.
2. Prinsip Indepedensi
BMAI memiliki organ pengawas yang memastikan bahwa
penyelesaian telah memenuhi persyaratan untuk menjalankan
fungsinya. Untuk mendukung indepedensi lembaga ini maka
BMAI dilarang untuk memberikan hak veto kepada anggotanya.
BMAI juga berkonsultasi dengan pemangku kepentingan yang
relevan dalam menyusun atau mengubah peraturan sebelum
mengimplementasikannya. Untuk menjaga independensi maka
BMAI didukung sumber daya yang memadai untuk melaksanakan
fungsinya dan tidak tergantung kepada lembaga jasa keuangan

65
BAGIAN 4 PENYELESAIAN SENGKETA ASURANSI JIWA MELALUI JALUR NON LITIGASI

lainnya.
3. Prinsip keadilan
Keadilan memiliki makna untuk memberikan gambaran bahwa
lembaga ini memiliki peraturan dalam pengambilan keputusan,
serta harus memberikan alasan tertulis atas penolakan permohonan
penyelesaian sengketa dari konsumen dan/atau lembaga jasa
keuangan dengan ketentuan syarat: 1) mediator benar-benar
bertindak sebagai fasilitator dalam rangka mempertemukan
kepentingan para pihak yagn bersengketa untuk memperoleh
kesepakatan penyelesaian; 2) adjudikator dan arbiter dilarang
mengambil keputusan berdasarkan pada informasi yang tidak
diketahui para pihak dan 3) ajudikator dan arbiter wajib mengem-
bangkan alasan tertulis dalam setiap keputusannya.
4. Prinsip Efisiensi dan Efektifitas
BMAI harus menyelesaikan sengketa secara efisien, yang memiliki
ketentuan jangka waktu dalam penyelesaian sengketa serta
pengenaan biaya harus murah kepada konsumen dalam rangka
penyelesaian sengketa. Untuk efektivitas memiliki makna bahwa
BMAI memiliki peraturan sengketa yang memuat ketentuan yang
memastikan bahwa anggotanya mematuhi dan melaksanakan
setiap putusan serta mengawasi pelaksanaan putusan lembaga
tersebut.
Untuk meningkatkan kualitas layanan BMAI maka Otoritas Jasa
Keungan dalam Pasal 9 POJK No. 1 tahun 2014 memajibkan BMAI
untuk membuat laporan setiap enam (6) bulan yaitu pada bulan Juni
dan Desember paling lambat pada tanggal 10 bulan berikutnya. Adapun
laporan BMAI harus memuat informasi paling kurang harus memuat:
1) Jumlah permohonan penyelesaian sengketa;
2) Demografi dari konsumen yang mengajukan permohonan
penyelesaian sengketa;
3) Jumlah permohonan penyelesaian yang ditolak karena tidak
memenuhi persyaratan (termasuk alasan penolakan);
4) Sengketa yang masih dalam proses penyelesaian;

66
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0

5) Jangka waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masing-


masing sengketa;
6) Jenis layanan dan/atau produk yang menjadi sengketa; dan
7) Jumlah sengketa yang telah diputus dan hasil monitoring atas
pelaksanaan putusan yang dimaksud.
Untuk melihat keberadaan BMAI efektif sebagai penengah dalam
penyelesaian sengketa asuransi maka perlu diuraikan kelebihan sebagai
berikut (Sari, 2007: 107-108):
1) berkara melalui BMAI bebas biaya bagi tertanggung;
2) BMAI bersifat independen, sehingga tidak meiliki hak untuk
memaksa para pihak;
3) Waktu yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa relatif cepat
dibanding dengan proses litigasi karena prosedurnya pun lebih
sederhana;
4) Dapat menjaga relationship karana adanya jaminan kerahasian
putusan;
5) Meskipun kantornya berkedudukan di Jakarta tetap tertanggung
dari daerah manapun bisa mengrimkan pengaduan melalui
telepon, surat, faks, ataupun e-mail; dan
6) Jika para pihak belum puas atas putusan mediasi, maka dapat
melanjutkan ke pengadilan (upaya hukum lanjutan).
Sedangkan kelemahan keberadaan BMAI antara lain:
1) BMAI hanya menyelesaikan sengketa yang berkaitan dengan
anggota dari BMAI saja. Hal ini merugikan konsumen yang
mengalami sengketa denga perusahaan asuransi yang bukan
anggota BMAI. Saat ini BMAI memiliki anggota sebanyak 88
perusahaan asuransi. Diantaranya, 88 perusahaan asuransi umum,
41 perusahaan asuransi jiwa, 4 perusahaan asuransi jaminan sosial,
dan 4 perusahaan reasuransi;
2) Perusahaan asuransi terikat pada keputusan diwajibkan membayar
dan guna membiayai operasional lembaga tersebut. Adanya dana
yang masuk untuk operasional BMAI dari perusahaan asuransi
dapat saja membuka peluang bahwa peursahaan asuransi merasa

67
BAGIAN 4 PENYELESAIAN SENGKETA ASURANSI JIWA MELALUI JALUR NON LITIGASI

memiliki BMAI dan merasa bahwa BMAI ada di pihaknya. Tentu


ini akan sangat merugikan karena indepensinya kemudian
dipertanyakan.

D. Kesimpulan
Penyelesaian sengketa asuransi jiwa dapat diselesaikan melalui dua
jalur yaitu litigasi dan non litigasi. Khusus untuk jalur non litigasi,
Otoritas Jasa Keuangan telah membentuk Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa di sektor jasa keuangan khususnya asuransi yang
disebut Badan Mediasi dan Arbitrase Indonesia.
Penyelesaian melalui BMAI melalui dua tahap yaitu Mediasi dan
Ajudikasi. Proses penyelesaian perselisihan di BMAI terdiri dari: tahap
Mediasi yang berupa laporan keluhan diterima BMAI akan ditangani
oleh Case Manager. Case Manager akan berusaha mengupayakan agar
konsumen dan perusahaan asuransi dapat mencapai suatu penyelesaian
secara damai dan adil bagi kedua belah pihak. Bila perselisihan tidak
dapat diselesaikan melalui mediasi, maka dibawa ke tingkat berikutnya
yaitu adjudikasi untuk diputuskan oleh panel ajudikator yang ditunjuk
BMAI. Tahap ajudikasi jika perusahaan asuransi dinyatakan bersalah,
maka sengketa selesai dan perusahaan asuransi jiwa harus membayar
klaim dan jika konsumen yang kalah, maka dapat melanjutkan ke ranah
pengadilan atau arbitrase.
Penyelesaian yang mencerminkan asas cepat, murah, adil dan
efesien telah diatur dalam POJK No. 1/POJK.7/2014. Asas cepat
memiliki makna penyelesaian tersebut dalam waktu singkat pada tahap
mediasi dan adjudikasi dibutuhkan waktu 60 hari. Murah atau biaya
ringan memiliki makna uang yang dikeluarkan penyelesian sengketa
dapat dijangkau oleh konsumen. Adil memiliki makna mediator atau
adjudikator harus memperlakukan yang sama antara konsumen dan
perusahaan asuransi serta putusan didasari alasan. Untuk efisien
memiliki makna prosedur tidak berbelit-belit dalam penyelesaian
sengketa dan adanya kepastian hukum bagi para pihak.

68
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0

Daftar Pustaka

Agrawal, Krishna. (2014). Justice Dispensation Through The


Alternative Dispute Resolution System in India. Russian Law
Journal, II(2).
Aqil, Muhammad et. all. (2014). Factor Influencing Insurance Agents
Intention to Leave: Findings from Life Insurance Sector in
Pakistan. International Journal of Marketing and Technology. 4(4).
Bandle, Anne Laure and Theurich, Sarah. (2011). Alternative Dispute
Resolution and Art Law- A New Research Project of the Geneva
Art Law Centre. Journal of International Commercial Law and
Technology. 6(1).
Vaughan , Emmet J. and Therese Vaughan. (2003). Fundamentals of Risk
and Insurance. London, John Wiley & Sons.Inc.
Greene, Mark R. and James S. Trieschmann.(1988). Risk and Insurance.
Seven Editon. West Chicago, South Westhern Publishing Co.
Huda, Mokhamad Khoirul.(2016). Prinsip Iktikad Baik dalam
Perjanjian Asuransi Jiwa. Yogyakarta, Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia.
Huda, Mokhamad Khoirul, Nugraheni Ninis, Kamarudin. (2016). The
Nature of the Contract of Life Insurance Agency after
Enactement of the Act Number 40 of 2014 on Insurance, Journal
of Advanced Research in Law and Economics,(Volume VII, Fall),
5(19):1037-1041:10.14505/jarle.v7.5(19).09.
Huda, Mokhamad Khoirul. (2017). An Obligation to Represent and
Disclose Material Facts as a Good Faith in Life Insurance
Contract.Mediterranean Journal of Social Sciences, 8(4S1).
Herrieti, Nun. (2015). Mekanisme Penyelesaian Sengketa Nasabah
Setelah Diberlakukan POJK Nomor 1/POJK.7/2013 dan
POJK Nomor1/POJK.7/2014. Jurnal Hukum Acara Perdata, 1(1):
45-61.
Petrauskas, Feliksas and Kybartiene, Egle. (2011). On Line Dispute
Rosolution in Consumer Disputes, Jurisprudence,18(3).

69
BAGIAN 4 PENYELESAIAN SENGKETA ASURANSI JIWA MELALUI JALUR NON LITIGASI

Purba, Radiks.(1995). Memahami Asuransi di Indonesia. Jakarta, Pustaka


Binamaan Pressindo.
Puspitasari, Chandra Dewi. (2007). Alternatif Penyelesaian Sengketa
Asuransi Melalui Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI).
Jurnal Civities, 4 (2): 107-108.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan
Undang-Undang Nomor 21 of 2001 tentang Otoritas Jasa Keuangan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 on Insurance
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1 /POJK.07/2013 tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 tentang
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Sektor Jasa Keuangan .

70
BAGIAN 5 PENERAPAN IKTIKAD BAIK OLEH PENGADILAN DALAM PERJANJIAN ASURANSI JIWA

A. Latar Belakang
Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah penduduk
Indonesia pada tahun 2000 sebanyak 205.132.458,00 jiwa dengan laju
pertumbuhan antara tahun 1990-2000 sebesar 1,4. Selanjutnya hasil
sensus pada tahun 2010 sebanyak 237.556.363.00 jiwa dengan laju
pertumbuhan antara tahun 2000 - 2010 sebesar 1,49 (BPS,2011:47).
Tahun 2013 Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN) memperkirakan penduduk Indonesia sudah mencapai 250
juta (BPS, 2015: 76). Sekitar 43,7 juta jiwa atau 18% memiliki
perlindungan asuransi jiwa (Berita Satu, 2015). Dari jumlah penduduk
yang ikut asuransi di Tahun 2012 Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia
(AAJI) dapat mengumpulkan total dana senilai Rp 1.946 triliun atau
naik sebesar 17,6 % dibandingkan dengan tahun 2011, yaitu Rp 1.656
triliun. Kenaikan jumlah tertanggung asuransi jiwa mengindikasikan
adanya peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya asuransi
jiwa (www.e-money, 2013).
Meningkatnya jumlah tertanggung memiliki dampak terhadap
sengketa klaim asuransi. Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI)
mencatat (www.bmai.or.id, 2014) 138 kasus atau naik 158%
dibandingkan kasus sengketa klaim pada tahun 2011 yang tercatat 48
kasus. Hingga saat ini 93 kasus penanggung harus membayar klaim.
Untuk tahun 2013 jumlah total sengketa klaim 41 kasus dengan rincian
sengketa klaim asuransi jiwa berjumlah 27 kasus, sedangkan asuransi
umum berjumlah 14 kasus.
Sengketa asuransi jiwa terjadi karena adanya perselisihan dari apa
yang sudah disepakati dalam perjanjian, contohnya Surat Pengajuan
Asuransi Jiwa diisi sendiri oleh agen asuransi dan tertanggung dianggap
tidak beriktikad baik dalam pengisian Surat Pengajuan Asuransi Jiwa
(SPAJ) dengan tidak memberikan informasi yang benar (misrepresentation)
atau tidak mengungkapkan fakta-fakta material yang diketahuinya pada
tertanggung (Huda, 2016:7)
Iktikad baik dalam perjanjian asuransi jiwa mewajibkan
tertanggung untuk memberitahukan secara teliti dan sejelas-jelasnya

72
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0

mengenai segala fakta-fakta material yang berkaitan dengan objek yang


diasuransikan (Merkin, 2007:37). Pengetahuan apapun yang dibutuhkan
oleh penanggung, tertanggung akan memberikan informasi itu secara jelas
dan lengkap berkaitan dengan risiko yang akan ditanggung oleh
penanggung (Dover, 1975:343). Tertanggung memberikan keterangan
bertujuan agar penanggung dapat mengetahui berat ringannya risiko yang
akan diambil alih, untuk itu penanggung mutlak perlu mengetahui sejelas-
jelasnya tentang objek perjanjian asuransi (Purwosutjipto, 1990:52).
Penanggung menggunakan alasan tertanggung tidak beriktikad
baik dalam memberikan keterangan secara tidak benar atau tidak
mengungkapkan fakta-fakta material yang diketahui untuk mem-
batalkan perjanjian asuransi jiwa, seperti tertanggung tidak memberikan
keterangan berkaitan dengan riwayat kesehatan dengan benar
(Poedjosoebroto, 1969:138). Ini merupakan awal sengketa asuransi jiwa
yang harus diselesaikan di pengadilan.
Hakim dalam membuat putusan memiliki penafsiran yang
berbeda-beda berkaitan dengan makna iktikad baik, untuk itu, hakim
harus mengikuti perkembangan zaman dan memperbarui aturan
hukum. Sehubungan hal ini, Cardozo (2009: 20-25) menyatakan:
“My duty as judge may be objectify in law, not my own aspiration and
conviction and philosophies, but the aspiration and conviction and
philosophizer of the men and women on my time. Hardly shall I do this well
if may own sympathies and beliefs and passionate devotions are with a time
that is past.”

Seorang hakim yang baik adalah penterjemah dari rasa keadilan.


Hakim harus mengikuti dan menghayati terjadinya perubahan nilai
dalam hubungan di masyarakat. Melalui interpretasi yang baik, hukum
akan tetap hidup dari masa ke masa dengan memberikan rasa keadilan
bagi masyarakat. Karena keadilan pada hakikatnya akan didambakan
bagi setiap orang untuk menjaga hak dan kewajiban dalam kehidupan.

73
BAGIAN 5 PENERAPAN IKTIKAD BAIK OLEH PENGADILAN DALAM PERJANJIAN ASURANSI JIWA

B. Iktikad Baik dalam Perjanjian Asuransi Jiwa


Secara umum iktikad baik diatur dalam ketentuan Pasal 1338 ayat
(3) Burgerlijke wet Boek, khusus perjanjian asuransi jiwa iktikad baik
berdasar pada Pasal 251 Wet Boek van Kophandel yang menyatakan:
“Setiap keterangan yang keliru atau tidak benar, ataupun setiap
tidak memberitahukan hal-hal yang diketahui oleh si tertanggung,
betapapun iktikad baik ada padanya, yang demikian sifatnya,
sehingga, seandainya si penanggung telah mengetahui keadaan
yang sebenarnya, perjanjian itu tidak akan ditutup atau tidak
ditutup dengan syarat-syarat yang sama, mengakibatkan batalnya
pertanggungan” (Subekti, 1999: 74).

Pasal 251 Wet Boek van Kophandel dikenal sebagai iktikad baik pra
kontrak dengan standar subjektif. Iktikad baik pra kontrak merupakan
kewajiban untuk memberitahukan atau menjelaskan (mededelingsplicht)
dan meneliti (onderzoekplicht) fakta-fakta material bagi para pihak yang
berkaitan dengan pokok-pokok yang akan di negosiasikan. Sedangkan
standar subjektif berkaitan dengan sikap batin dan kejiwaan para
pihak pada waktu membuat perjanjian asuransi jiwa.
Prinsip yang terkandung di dalam Pasal 251 Wet Boek van Kophandel
adalah uberrima fides atau uberrima fidae (Khairandy, 2004: 13). Uberrima
fides atau uberrima fidei berasal dari bahasa Latin yang di difinisikan
sebagai: “a phrase used to express the perfect good faith, concealing nothing, with
which a contract must be made; for example in the case of insurance, the insured
must observe the most perfect good faith towards the insurer”( Douglas, 1998:
11).
Menurut Uli Foerstl kata fides berasal dari “the name of the Roman
goddess fides, the deification of good faith and honesty, the oath, and that one must
keep one's word.” Inti konsep bona fides adalah fides. Fides ini dikembangkan
sebagai standar prosedur kontrak, yang dikenal sebagai exceptio doli (Uli
Foerstl, 2005, ii).
Prinsip iktikad baik dalam hukum Romawi kemudian menyebar
ke sistem Civil Law dan sistem Common Law. Kemudian berkembang

74
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0

di Belanda disebut dengan “te goede trouw” sedangkan di Inggris disebut


dengan “good faith.”( Carlo: 6).
Iktikad baik pra kontrak dalam asuransi jiwa tunduk pada
ketentuan Pasal 7.17.1.928 ayat (1) NBW memberikan kewajiban pada
tertanggung untuk mengungkapkan fakta-fakta material sebagai
berikut:
“Prior to concluding the contract the policyholder must disclose to the insurer
all facts of which he is or ought to be aware and on which, as he knows or
ought to understand, the decision of the insurer whether, and if so, on what
terms, the latter is willing to conclude the insurance will or may depend”

Adapun pemaknaan iktikad baik pra kontrak terdapat dalam


yurisprudensi Belanda sebagai berikut:
Kasus Baris v. Riezenkamp, HR. 15 November 1957, NJ 1958, 67,
dalam putusan menyatakan para pihak yang berunding harus dilandasi
iktikad baik. Sebagai konsekwensinya, pihak yang satu harus mem-
perhatikan kepentingan hukum pihak lainnya dalam kontrak. Hoge Raad
kemudian berhasil merumuskan atau manarik asas kecermatan dalam
pembuatan kontrak (contractuele zorgvuldigheid, duty of care), yaitu adanya
kecermatan bagi pembeli untuk meneliti atau memeriksa (onderzoeksplicht)
fakta-fakta (facts) material yang berkaitan dengan subjek kontrak
(Ridwan,2013: 14).
Iktikad baik pra kontrak dalam perjanjian asuransi jiwa terdapat
pada perkara antara D. Tilkemena v. De Bataafsche Verzekering Maatschappij
N.V., tanggal 8 Juni 1962 NJ. 1962, 366 (yang kemudian dikenal
dengan Arrest Tilkemena’s Duim) (Suparman, 2004:3). Adapun Tilkemena
telah mengambil asuransi pada De Bataafsche Verzekeringmaatschppij N.V.
Ketika meminta penutupan asuransinya, Tilkemena tidak mem-
beritahukan, bahwa di masa yang lalu ia telah berkali-kali dipidana
untuk berbagai kejahatan dalam bidang hukum benda. Tetapi karena
penanggung tidak pernah menanyakan soal riwayat pidana tertanggung,
serta tertanggung tidak mengetahui arti hal tersebut, maka tidak dapat
dianggap bahwa tertanggung seyogyanya telah mengetahui bahwa

75
BAGIAN 5 PENERAPAN IKTIKAD BAIK OLEH PENGADILAN DALAM PERJANJIAN ASURANSI JIWA

keterangan yang tidak diberikan itu adalah penting bagi penanggung.


Maka jika tertanggung tidak memberitahukan keterangan yang
diharapkan, Pasal 251 Wet Boek van Kophandel tidak dapat dipakai oleh
penanggung untuk menolak klaim. Hoge Raad melakukan penafsiran
terhadap Pasal 251 Wet Boek van Kophandel dengan menyatakan bahwa
perjanjian batal demi hukum jika tertanggung menyembunyikan
keterangan (verzwijging), tetapi hanya dapat dibatalkan oleh hakim atas
permohonan penanggung jika tertanggung memberikan keterangan
yang keliru atau tidak benar (verkeerde of ontwaarachtige opgave).
Dengan demikian menurut Arrest tersebut dalam hal terjadi
keterangan yang keliru atau tidak benar tidak dengan sendirinya
mengakibatkan asuransi batal seperti yang disebutkan dalam Pasal 251
WvK, tetapi dapat dibatalkan dan juga harus diajukan ke pengadilan.
Dapat diartikan pula bahwa iktikad baik dari tertanggung perlu
diperhatikan oleh penanggung pada waktu memberikan keterangan
fakta material. Kewajiban pengungkapan dalam Arrest Tilkemena
dalam NBW sudah diatur dalam Pasal 7.17.1.928 ayat (1) dan ayat (6)
(Korver, 2008: 21).
Dalam Arrest Hoge Raad tanggal 19 Mei 1978 NJ.607 (Wery,2010:20)
mengenai perkara antara X di Belgia dengan De naamloze vennootschaap
Goudse Verzekering Maatschappij N.V di Amsterdam. Dinyatakan bahwa
penting atau tidaknya keterangan dari tertanggung sebagaimana
dikehendaki Pasal 251 WvK harus diukur menurut pendapat seorang
penanggung yang bijaksana (prudent insurer). Hal ini dapat diartikan pula
bahwa penanggung tidak mencari-cari akan perlunya keterangan yang
dimaksud. Disini tertanggung juga harus jujur dalam menyampaikan
segala hal yang diketahui berkaitan dengan objek yang diasuransikan
pada penanggung.
Untuk itu dapat disimpulkan bahwa rumusan dalam Pasal 251
Wet Boek van Kophandel dalam perjanjian asuransi jiwa oleh Hoge Raad
dimaknai dengan kewajiban yang sama bagi penanggung untuk meneliti
(mededelingsplicht) fakta material (material facts) seperti riwayat data
kesehatan tertanggung dalam proses negosiasi kontrak. Sebagai akibat

76
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0

dari pandangan tersebut, maka para pihak baik tertanggung maupun


penanggung asuransi jiwa wajib memiliki kecermatan dalam pembuatan
perjanjian (contractuele zorgvuldigheid) dan kemuliaan dalam perjanjian
(contractuele rechtwaardigheid).
Rumusan Pasal 251 Wet Boek van Kophandel KUH Dagang di
lengkapi dengan rumusan dalam Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 40 tahun 2014 tentang Perasuransian yang memberikan beban
kewajiban secara sepihak pada agen asuransi, pialang asuransi, pialang
reasuransi, dan perusahaan perasuransian wajib memberikan informasi
yang benar, tidak palsu, dan/atau tidak menyesatkan kepada pemegang
polis, tertanggung, atau peserta mengenai risiko, manfaat, kewajiban
dan pembebanan biaya terkait dengan produk asuransi atau produk
asuransi syariah yang ditawarkan. Akan tetapi rumusan Pasal 31 ayat (2)
tidak bisa memberikan jaminan perlindungan yang imbang berkaitan
dengan iktikad baik pra kontrak pada para pihak. Kewajiban penanggung
untuk meneliti fakta-fakta material yang telah diberikan oleh tertanggung
tidak diatur secara ekplisit dalam pasal tersebut.

C. Sikap Pengadilan dalam Penerapan Iktikad Baik Perjanjian


Asuransi Jiwa
Kewajiban iktikad baik dalam perjanjian asuransi jiwa diterapkan
dalam Putusan Nomor: 1093 K/Pdt/2010 antara Drs. Kusno Widayat
v. Direktur Utama PT. Asuransi Jiwasraya. Putusan Mahkamah Agung
Nomor:1093K/Pdt/2010 tersebut menolak permohonan Kasasi
Direktur Utama PT. Asuransi Jiwasraya. Pertimbangan hukumnya (ratio
decidendi) hakim menyatakan bahwa pengadilan tinggi yang menguatkan
pengadilan negeri tidak salah menerapkan hukum. Pengadilan negeri
sudah benar dalam pertimbangan hukum, dimana si penanggung
(perusahaan asuransi) pada waktu penandatanganan polis asuransi
harus terlebih dahulu meng-cross check kebenaran data tertanggung oleh
tim peneliti dan dokter asuransi, apalagi (quad non) payudara si
tertanggung sudah diangkat. Bahwa dengan penandatanganan polis,
penanggung mengakui atau menyatakan kebenaran data yang diberikan

77
BAGIAN 5 PENERAPAN IKTIKAD BAIK OLEH PENGADILAN DALAM PERJANJIAN ASURANSI JIWA

oleh tertanggung.
Mahkamah Agung dalam putusan tersebut menekankan
kewajiban bagi penanggung untuk meneliti fakta-fakta material (meng-
cross check) yang telah diberikan oleh tertanggung dalam SPAJ dan SKK
sebelum perjanjian disepakati. Dengan dikeluarkan Polis Nomor
0011560799 tertanggal 18 Desember 2007, maka saat itu terjadi
hubungan hukum antara tertanggung dan penanggung. Hakim pada
Mahkamah Agung melindungi pihak tertanggung yang beriktikad baik
dalam perjanjian asuransi jiwa. Tertanggung sebagai pihak yang
beriktikad baik telah melaksanakan kewajibannya dengan mem-
beritahukan segala fakta – fakta material yang diketahuinya pada
penanggung dalam SPAJ dan SKK, sehingga penanggung juga memiliki
kewajiban untuk beriktikad baik (prudent insurer) untuk meneliti fakta-
fakta material (meng-cross check kebenaran data dari tertanggung)
melalui tim peneliti dan dokter asuransi. Dengan ditandatangani
perjanjian asuransi jiwa tersebut maka penanggung mengakui
kebenaran data dalam SPAJ dan SKK, sehingga dengan meninggalnya
tertanggung maka ahli waris berhak untuk menerima nilai manfaat
sebesar Rp.210.000.000,00 (Dua Ratus Sepuluh Juta Rupiah).
Dalam putusan tersebut hakim telah menerapkan prinsip
iktikad baik pra kontrak, dimana hakim berpegang teguh pada hak dan
kewajiban para pihak dalam perjanjian asuransi yang telah disepakati
antara penanggung dan tertanggung yang tertuang dalam Polis Nomor
GH-001560799. Dalam perjanjian asuransi jiwa dikenal reciprocal duty
atau secara khusus dikenal dengan asas proporsionalitas, bahwa hak
dan kewajiban itu bertimbal balik secara adil, hukum harus menjamin
keadilan pada para pihak, tidak boleh akibat keteledoran penanggung
yang tidak meneliti fakta-fakta material, pihak tertanggung harus
menanggung kerugian.
Di sini juga hakim telah membuat terobosan hukum tidak
memaknai secara gramatikal norma dalam Pasal 251 KUH Dagang,
akan tetapi menggunakan interprestasi historis sehingga penanggung
tidak bisa berlindung dibalik Pasal 251 Wet Boek van Kophandel dengan

78
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0

membatalkan perjanjian asuransi jiwa tersebut secara sepihak.


Perkara Eva Hernita v. PT. Asuransi Jiwa Sequis Life, Nomor
1949 K/Pdt/2012 Mahkamah Agung menerapkan ajaran iktikad baik
pra kontrak dalam perjanjian asuransi jiwa. Putusan Mahkamah Agung
Nomor:1949K/Pdt/2012 menolak permohonan Kasasi PT. Asuransi
Jiwa Sequis Life. Dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah Agung
menyatakan permohonan kasasi yang diajukan oleh pemohon kasasi/
tergugat harus ditolak karena pengadilan negeri dan pengadilan tinggi
tidak salah menerapkan hukum karena secara hukum alasan penolakan
pembayaran klaim asuransi tidak dapat dibenarkan dan cenderung
mengada-ada hanya semata-mata menghindarkan tanggung jawab
ketika tertanggung meninggal dunia, lagi pula polis asuransi tidak
pernah dibatalkan oleh pihak penanggung hingga saat tertanggung
meninggal dunia, sehingga harus dianggap sah dan tetap berlaku dan
mengikat bagi kedua belah pihak yang membuatnya.
Dalam perkara diatas hakim masih berpegangan teguh terhadap
rumusan Pasal 1338 ayat (1) dan (3) KUH Perdata yang mengatakan
bahwa perjanjian yang dibuat para pihak berlaku sebagai undang-
undang bagi para pihak yang membuatnya serta perjanjian itu harus
dilaksanakan dengan iktikad baik.
Hakim berpendapat selama perjanjian tidak pernah dibatalkan
oleh penanggung maka perjanjian itu tetap sah berlaku dengan segala
hak dan kewajiban. Jika penanggung merasa ada keterangan/fakta –
fakta material yang tidak benar diberikan oleh tertanggung maka
seharusnya sudah dimintakan pembatalan sebelum tertanggung
meninggal (evenement).
Dari uraian diatas dapat diketahui tertanggung memiliki iktikad
baik dalam mengisi SPAJ dan SKK yang diminta oleh penanggung.
Penanggung tidak pernah melakukan penelitian terhadap keterangan
/fakta-fakta material dalam SPAJ dan SKK, sehingga jika ada
kekeliruan dari penanggung itu menjadi beban tanggung jawab dari
penanggung sendiri. Meninggalnya tertanggung, alm. Kiswanto Setiadi
tidak ada kaitannya dengan diagnosa sementara penyakit impending

79
BAGIAN 5 PENERAPAN IKTIKAD BAIK OLEH PENGADILAN DALAM PERJANJIAN ASURANSI JIWA

stroke/tranient ischemic attack dan tidak diakibatkan penyakti apapun,


melainkan terjadi secara tiba-tiba (sudden unexpected nocturnal death) pada
saat tidur di malam hari dan pada pagi harinya sudah tidak bangun lagi.
Dalam perkara ini hakim tidak mempertimbangkan rumusan Pasal
251 KUH Dagang berkaitan dengan makna iktikad baik serta iktikad
baik dalam tahap apa, hakim hanya mempertimbangkan bahwa
kebatalan perjanjian hanya bisa dilakukan dengan pengajuan ke
pengadilan (nietigbaar) bukan dengan nietig /void seperti yang dijadikan
dasar penanggung untuk menolak klaim tertanggung. Di sini hakim
menggunakan interprestasi sistimatis dan historis pada Pasal 251 Wet
Boek van Kophandel untuk memberikan rasa keadilan pada perjanjian
asuransi jiwa.
Penerapan iktikad baik pra kontrak dalam asuransi jiwa antara
Herni Sinurat v. PT. Avrist Assurance, Nomor 560 K/Pdt.Sus/2012.
Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor: 560 K/PDT.Sus/2012
tanggal 24 September 2012 mengabulkan permohonan kasasi dari
pemohon kasasi Herni Sinurat serta membatalkan putusan pengadilan
Negeri Tangerang Nomor 135/Pdt.Plw.BPSK/2012/PN.TNG
tanggal 10 Mei 2012. Dalam pertimbangan hukumnya hakim (ratio
decedenci) pada Mahkamah Agung mempertimbangkan bahwa riwayat
penerbitan polis asuransi jiwa atas nama alm. Mardi Simarmata
(tertanggung) diawali dengan didatangi oleh agen pelawan yang
namanya Maureen Ingrid Gantini, yang mana agen dimaksud
menawarkan program asuransi kesehatan, pada awalnya tertanggung
menolak berasuransi dengan memberikan beberapa pertimbangan,
penolakan yang demikian tidak membuat agen berhenti menawarkan
sampai disitu, tawaran terus dilakukan, karena tertanggung merasa
kasihan pada agen akhirnya memutuskan dan menyetujui dengan syarat
semua urusan mulai dari pengisian SPPA, pembayaran premi pertama,
pengambilan polis dan seterusnya diurus oleh agen, tidak hanya itu
pengurusan klaim asuransi atas meninggalnya tertanggung juga diurus
oleh agen dan bahwa para pihak dalam perkara ini telah menentukan
pilihan hukum (choice of forum) yaitu dengan cara penyelesaian sengketa

80
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0

dengan cara arbitrase Nomor 092/PCP/BPSK.DKI/XI/2011 tanggal


8 Nopember 2011 sehingga perkara ini menjadi kewenangan BPSK.
Dalam putusannya hakim pada Mahkamah Agung telah mengkaji
putusan BPSK yang sudah dianggap tepat. Adapun agen tertanggung
yang mengisikan data SPPA tidak sesuai dengan fakta-fakta yang ada
dapat dikategorikan beriktikad buruk. Karena agen menjalankan kuasa
dari pelawan maka pelawan dikategorikan beriktikad buruk pula.
Tindakan pelawan yang mendasarkan bahwa tertanggung tidak
memberikan informasi yang benar (fact material) sehingga menjadi dasar
pelawan tidak memenuhi kewajibannya termasuk perbuatan ingkar janji
(wanprestasi).
Mahkamah Agung menilai bahwa agen Maureen Ingrid Gantini
menjalankan kuasa pelawan tidak memiliki iktikad baik, karena
mengisikan data dalam SPPA tidak sesuai dengan fakta-fakta material
yang ada pada tertanggung. Agen hanya mementingkan calon tertanggung
untuk menutup perjanjian asuransi, tanpa mempertimbangkan risiko yang
akan dihadapi tertanggung untuk masa akan datang. Sehingga putasan
BPSK dianggap tepat bagi Mahkamah Agung, bahwa iktikad baik ada
pada tertanggung sehingga hak-hak yang bersangkutan perlu dilindungi
oleh hukum.
Karena agen menjalankan kuasa dari penanggung maka
penanggung harus bertanggung jawab terhadap ketidakjujuran dari
agen, sehingga penanggung harus membayar sebesar Rp.50.000.000,00
pada tertanggung. Ketentuan ini telah diatur dalam Pasal 28 ayat (7)
yang mengatur perusahaan asuransi wajib bertanggung jawab atas
pembayaran klaim yang timbul apabila agen asuransi telah menerima
premi tetapi belum menyerahkan kepada penanggung.
Dalam perkara tersebut penanggung memiliki kewajiban untuk
meneliti fakta-fakta material. Berdasarkan reciprocal duty tertanggung
berkewajiban untuk memberikan keterangan berkaitan dengan fakta-
fakta kesehatan, sedangkan penanggung juga memiliki kewajiban untuk
meneliti fakta-fakta material berkaitan dengan kesehatan dari
tertanggung. Tertanggung harus dilindungi hak-haknya mengingat

81
BAGIAN 5 PENERAPAN IKTIKAD BAIK OLEH PENGADILAN DALAM PERJANJIAN ASURANSI JIWA

tertanggung dikategorikan beriktikad baik karena sudah melaksanakan


segala kewajibannya. Agen yang mewakili penanggung tidak beriktikad
baik sehingga harus membayar nilai manfaat asuransi pada tertanggung.
Perkara Penerapan iktikad baik dalam perjanjian kredit dengan
syarat adanya perjanjian asuransi jiwa dalam perkara Erna Dwiningsih
v. PT. Bank Bumi Putra, Tbk sebagai tergugat I dan PT. Asuransi Jiwa
Central Asia Raya sebagai tergugat II Nomor 424 K/Pdt/2012
Dalam amar putusannya Mahkamah Agung Nomor: 424
K/Pdt/2012 tanggal 26 September 2012, mengabulkan permohonan :
I. PT.Bank Bumi Putra Tbk ; II. PT.Asuransi Jiwa Central Asia Raya
dan Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Balikpapan Nomor
35/Pdt.G/2008/PN.Bpp.tanggal 24 September 2008.
Dalam pertimbangan hukumnya hakim pada Mahkamah Agung
mempertimbangkan bahwa tertanggung telah memberikan keterangan
tidak benar dan fakta dipersidangan menunjukkan bahwa 7 (tujuh)
bulan atau dalam periode 2 (dua) tahun sebelum tanggal penggisian
formulir tersebut suami penggugat telah menderita penyakit Tumor
Buli-Buli stadium IV (tumor saluran kemih), sehingga suami penggugat
telah melakukan penipuan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Pasal 1328 KUH Perdata atau telah tidak jujur yang diatur dalam
ketentuan Pasal 251 Wet Boek van Kophandel. Perjanjian penutupan kredit
antara suami penggugat dengan tergugat II adalah tidak sah dan karena
itu tindakan tergugat yang menolak menghapus hutang suami
penggugat pada tergugat I secara hukum telah berdasar alasan yang sah.
Dalam putusan tersebut hakim pada Mahkamah Agung telah
menerapkan iktikad baik pra kontrak dengan standar yang bersifat
subjektif dimana perjanjian dalam polis asuransi dari awal sudah
dianggap tidak ada (batal demi hukum) karena ada unsur penipuan pada
tertanggung.
Tertanggung dibebani kewajiban untuk memberikan keterangan
berkaitan dengan fakta-fakta material kesehatan dari tertanggung,
sedangkan penanggung tidak diwajibkan untuk meneliti fakta-fakta
material. Pertimbangan hakim pada Mahkamah Agung tidak dilandasi

82
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0

pada reprocity duty atau proporsinalitas. Hakim memahami rumusan


Pasal 251 KUH Dagang dengan interprestasi secara gramatikal.
Sehingga tidak mencerminkan rasa keadilan bagi pihak tertanggung.
Tertanggung sebelum penutupan asuransi sudah melakukan medical
check up di Laboratorium Klinik Khatulistiwa pada tanggal 06 Januari
2007, hasilnya telah tercantum dalam surat Nomor Laboratorium
112520 yang diserahkan kepada tergugat. Tertanggung juga telah mengisi
formulir Permintaan Penutupan Asuransi Jiwa Kredit (SPPAJK) sesuai
dengan ketentuan asuransi. Tertanggung dalam perkara ini seharusnya
dikategorikan beriktikad baik, dan hukum harus melindunginya.Tidak
adil kesalahan yang dilakukan tergugat I yang menyimpan data hasil
laboratorium dan tergugat II yang tidak meneliti SPPAJK dilimpahkan
pada tertanggung.
Senada dengan hal tersebut Wirjono Projodikoro mengatakan
bahwa iktikad baik subjektif sebagai iktikad baik yang ada pada waktu
mulai berlakunya hubungan hukum. Iktikad baik pada waktu mulai
berlakunya hubungan hukum biasanya berupa perkiraan dalam hati
sanubari yang bersangkutan, bahwa syarat-syarat yang diperlukan bagi
mulai berlakunya hubungan hukum itu sudah dipenuhi semua. Jika
kemudian teryata bahwa sebenarnya ada syarat yang tidak dipenuhi,
maka, pihak yang beriktikad baik ini tidak boleh dirugikan sebagai
akibat dari tidak dipenuhinya syarat tersebut.
Dalam putusan diatas tidak ditemukan pertimbangan hakim pada
Mahkamah Agung apa sesungguhnya makna iktikad baik, bagaimana
kewajiban para pihak yaitu tertanggung dan penanggung sehubungan
dengan fakta material dan hakim tidak mengkaji rumusan Pasal 251
KUH Dagang secara mendalam, hal ini terbukti dengan diputuskannya
bahwa perjanjian asuransi jiwa tersebut batal demi hukum. Mengingat
seharusnya norma dalam Pasal 251 KUH Dagang adalah dapat
dibatalkan karena berkaitan dengan cacad kehendak khususnya
kesesatan/kekeliuran berhubungan dengan syarat subjektif dalam
Pasal 1320 KUH Perdata.

83
BAGIAN 5 PENERAPAN IKTIKAD BAIK OLEH PENGADILAN DALAM PERJANJIAN ASURANSI JIWA

D. Kesimpulan
Makna iktikad baik pra kontrak asuransi jiwa memiliki standar
subjektif, yang didasarkan pada kejujuran untuk memberitahukan
secara teliti dan sejelas-jelasnya mengenai fakta-fakta material yang
berkaitan dengan objek asuransi. Para pihak dalam pembentukan
kontrak diharuskan mempunyai kecermatan untuk meneliti atau
memeriksa fakta-fakta material yang berkaitan dengan objek kontrak,
mulai dari tahap negosiasi hingga pelaksanaan kontrak. Karena itu
dalam iktikad baik pra kontrak setiap orang wajib memiliki kecermatan
(contractuele zorgvuldigheid) dan kemulian dalam kontrak (contractuele
rechtwaardigheid). Dengan demikian, negosiasi dalam kontrak asuransi
jiwa, harus didasari pula iktikad baik para pihak, disamping asas
proporsionalitas guna mencapai rasa keadilan bagi para pihak.
Pengadilan di Indonesia hingga saat ini belum memiliki
pemahaman yang utuh mengenai iktikad baik pra kontrak dalam
perjanjian asuransi jiwa, akibatnya penerapan iktikad baik pra kontrak
sering kali tidak konsisten dan tidak jelas paramater yang digunakan
dalam putusan. Untuk memberikan kesamaan dalam makna dan
standar iktikad baik pra kontrak dalam perjanjian asuransi jiwa,
Mahkamah Agung harus memberikan pedoman iktikad baik pra
kontrak dalam perjanjian asuransi jiwa dalam bentuk Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA) yang mewajibkan tertanggung untuk
memberikan keterangan fakta-fakta material (mededeling plicht). dan
kewajiban bagi penanggung untuk meneliti fakta-fakta material
tersebut (onderzoekplicht).

84
HUKUM ASURANSI JIWA : MASALAH-MASALAH AKTUAL DI ERA DISRUPSI 4.0

Daftar Pustaka

Anonim. “Dana Pertanggungan Asuransi Jiwa Capai Rp.1.946 Triliun.”


Available at: http://www.e-Money News.htm, [Acessed May 1,
2013].
Ananomi, “Industri Asuransi Jiwa Bayar Klaim Rp.64,02 Triliun”
Available at: http://id.beritasatu.com. [AcessedApril 5, 2015].
Badan Pusat Statistik. (2011). Statistik Indonesia (Statistical Yearsbook of
Indonesia 2011). Jakarta: BPS.
Badan Pusat Statistik. (2015) Statistik Indonesia (Statistical Yearsbook of
Indonesia 2015). Jakarta: BPS.
BMAI.“Rekapitulasi Jumlah Sengketa.” Available at:
http://www.bmai.or.id/ [Diakses 18 April 2014]
Benjamin N. Cordozo. (2009). The Nature of The Judicial Process. New
York: Cosimo. Inc.
Carlo van Eijken, Bestaan er Verschillen Tussen het Nederlandse en het Engelse
Recht als het Gaat om de Goede Trouw Tijdens de Onderhandelingen bij
Bedrijfsovernames?, Scriptie Geschreven ter Afronding van de
Master Privaatrechtelijke Rechtspraktijk aan de Universiteit van
Amsterdam.
Douglas F. Robinson Q.C. and John Neocleous. (1998). Issues of
Insurance Fraud, International Symposium on The Prevention &
Control of Financial Fraud, Beijing, 19-22, Oktober.
H.M.N. Purwosutjipto. (1990). Pengertian Pokok Hukum Dagang
Indonesia: Hukum Pertanggungan. Jakarta: Djambatan.
Man Suparman dan Endang.(2004). Hukum Asuransi: Perlindungan
Tertanggung, Asuransi Deposito, Usaha Perasuransian. Cetakan ke 3.
Bandung: Alumni.
M.Keijzer de Korver. (2008). Verzekering en aan Sprakelijkehidrecht,
Juridish up to date Nummer 23/24 18 December.
Mokhamad Khoirul Huda. (2016). Prinsip Iktikad Baik dalam Perjanjian
Asuransi Jiwa. Yogyakarta: UII Press.

85
BAGIAN 5 PENERAPAN IKTIKAD BAIK OLEH PENGADILAN DALAM PERJANJIAN ASURANSI JIWA

_____________________, (2016). The Nature of the Contract of


Life Insurance Agency after Enactment of the Acct Number
40 of 2014 on Insurance. Journal of Advanced Research in Law and
Economics. Volume VII Issue 5 (19).
P.L.Wery dan M.M.Mendel.(2010). Hoofzaken verzekeringsrecht. Martinus:
Matthijs Mendel.
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio.(1999). Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang dan Undang-Undang Kepailitan. Cetakan ke-25. Jakarta:
Pradnya Paramita.
Ridwan Khairandy. (2004). Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak.
Jakarta: Universitas Indonesia.
Robert Merkin. (2007). Practical Insurance Guides: Insurance Law-An
Introduction. London: Informa.
Santoso Poedjosoebroto.(1969). Beberapa Aspek tentang Hukum
Pertanggungan Jiwa di Indonesia. Jakarta: Bhratara.
Uli Foerstl. (2005). The General Principle of Good Faith under the
United Nations Convention on Contracts for the International
Sale of Good (CISG)- A Fungtional Approach to Theory and
Practice, Dissertation, University of Cape Town School for
Advanced Legal Studies.
Viktor Dover. (1975). A Handbook to Marine Insurance. 8th edition.
London: Withherby & Co.Ltd.

86

Anda mungkin juga menyukai