LAPORAN PENELITIAN
Koordinator Peneliti :
RUDI SUPARMONO, SH., MH.
Koordinator Peneliti :
RUDI SUPARMONO, SH., MH.
ii
KATA PENGANTAR
iii
internal Mahkamah Agung beserta segenap jajaran dan
hirarkinya, maupun bagi para stake holder lainnya.
Buku Laporan Hasil Penelitian ini dibuat sebagai bentuk
pertanggungjawaban Kapuslitbang kepada Pimpinan Mahkamah
Agung RI, serta sebagai dokumentasi telah selesainya
pelaksanaan kegiatan tersebut. Semoga kiranya dapat memberikan
manfaat sebagaimana mestinya.
KEPALA
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
BADAN LITBANG DIKLAT KUMDIL MA-RI
iv
DAFTAR ISI
v
BAB III PRAKTIK HAKIM MEMUTUS PERKARA DI
LUAR DAKWAAN JAKSA PENUNTUT UMUM ... 39
A. Putusan Hakim yang Tidak Dapat Menerima
Kewenangan Hakim Memutus Perkara di Luar 39
Dakwaan ………………....................................…...
1. Putusan MA No. 238 K/Pid.Sus/2012 ...……… 39
2. Putusan MA No. 689 K/Pid/2011 ….….……… 44
B. Putusan Hakim yang Memutus Perkara di Luar
Dakwaan atas Dasar Kesamaan Jenis Perbuatan 48
(Serumpun) …………………………………….......
1. Putusan MA No. 693 K/Pid/1986 .......…..…… 48
2. Putusan PN Ranai No. 10 /Pid.B/2013/PN.Rni . 50
C. Putusan Hakim yang Memutus Perkara di Luar
Dakwaan atas Dasar Perbedaan Peran (Identifikasi 53
Pelaku) .……………………………………….…....
1. Putusan MA No. 1829 K/Pid.Sus/2011 .…….... 53
2. Putusan MA No. 2501 K/Pid.Sus/2011 ……..... 56
vi
DAFTAR PUSTAKA …………………….……………..…..……... 83
vii
viii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia telah mendasarkan dirinya sebagai Negara
hukum, sebagaimana termaktub dalam pasal 1 ayat 3 Undang-Undang
Dasar 1945. Dengan demikian hukum adalah panglima dalam setiap
lini kebijakan Negara dalam mengatur dan mengelola kepentingan
warga negaranya. Melalui hukum, warga negara dapat
memperjuangkan kepentingannya jika dirugikan baik oleh Pemerintah
maupun warga negara yang lain. Oleh karena itu dalam negara hukum,
setiap warga negara mempunyai hak hukum yang sama untuk
mengajukan gugatan atau menuntut penyelesaian konflik
kepentingannya kepada pengadilan.
Sebagai representasi dari pelaksana kekuasaan kehakiman,
pengadilan diberikan mandat oleh Undang-Undang untuk
menyelesaikan segala permasalahan hukum yang dihadapkan
kepadanya. Dalam melaksanakan fungsi kekuasaan kehakimannya,
lembaga peradilan dituntut untuk independen baik secara institusional
maupun secara personal (Hakim) terbebas dari segala intervensi
hingga dapat memutus perkara hukum yang dihadapkan kepadanya
dengan adil dan tidak berpihak (imparsial). Kebebasan Hakim dalam
memutus perkara ini merupakan salah satu unsur utama dari suatu
Negara hukum, dapat dikatakan bahwa bilamana kebebasan Hakim
atau independensi kekuasaan kehakiman tidak dapat diwujudkan maka
sangat mustahil Negara hukum dapat berdiri dengan tegak dan
sempurna. Dengan demikian independensi kekuasaan kehakiman
adalah sebuah keniscayaan bagi berdirinya Negara hukum Indonesia.
Kebebasan hakim atau independensi kekuasaan kehakiman
secara tegas mempunyai payung hukum yang kuat baik dalam
konstitusi maupun peraturan perundang-undangan. Secara fungsional,
kebebasan yang dimiliki oleh Hakim juga meliputi kebebasan
substantif dalam menginterpretasikan dan menerapkan hukum secara
adil. Oleh karenanya Hakim tidak hanya dituntut untuk menegakkan
hukum semata namun juga harus menegakkan keadilan. Dengan kata
1
lain dapat diistilahkan bahwa Hakim bukanlah corong dari Undang-
undang. Sebagaimana layaknya suatu Undang-Undang yang
keberadaannya merupakan moment opname sehingga terkadang kalah
dengan laju perkembangan masyarakat. Dengan eksistensi Undang-
undang yang demikian maka sangat nyata bahwa pada saat
diimplementasikan oleh penegak hukum dirasakan pengaturannya
kurang jelas atau kurang lengkap atau bahkan tidak sesuai lagi dengan
perkembangan yang ada sehingga dibutuhkan inovasi interpretasi dari
penegak hukum khususnya Hakim.
Melalui kekuasaan dan kebebasan untuk menginterpretasikan
Undang-undang dan menerapkannya pada kasus-kasus hukum yang
konkret, Hakim didorong untuk memformulasikan keadilan dalam
putusan-putusannya. Sehingga tugas untuk melakukan penemuan
hukum dan jika memungkinkan dapat melakukan pembentukan
hukum merupakan fungsi strategis dari seorang Hakim. Sebagaimana
dalam konstruksi sistem hukum nasional, pembentukan hukum yang
merupa sebagai yurisprudensi dijadikan sebagai salah satu sumber
hukum. Dengan demikian, tidak berlebihan kiranya jika para Hakim
didaulat sebagai aktor pembaru hukum.
Namun, terkadang muncul persoalan dan polemik terkait
pelaksanaan kebebasan hakim dalam menafsirkan atau menemukan
hukum baik yang bersifat materiil maupun formil. Salah satunya
penemuan hukum terkait dengan kewenangan hakim dalam memutus
perkara di luar dakwaan jaksa penuntut umum. Sebagaimana diketahui
bahwa secara normatif, putusan pidana dari pengadilan didasarkan
atas dakwaan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum.1 Jika dakwaan
dinilai telah tepat sesuai dengan fakta persidangan dan terbukti maka
1
Berdasarkan ketentuan Pasal 182 ayat (4) KUHAP di atas, Majelis
Hakim akan bermusyawarah dalam membuat suatu putusan, dengan
memperhatikan 2 (dua) hal berikut ini:
1. Surat Dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum;
2. Segala yang terbukti dalam pemeriksaan di persidangan (apabila ada
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah yang meyakinkan hakim atas
suatu tindak pidana dan pelaku tindak pidana tersebut, vide Pasal 183
KUHAP).
2
hakim dapat menjadikannya dasar putusan pidana bagi terdakwa,
namun bilamana dakwaan dinilai tidak tepat dan tidak sesuai dengan
fakta persidangan sehingga kesalahan terdakwa tidak terbukti secara
sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus bebas. Tidak ada
ketentuan yang membenarkan hakim memutus perkara di luar
dakwaan jaksa penuntut umum, padahal bisa jadi di dalam praktek
ditemukan kasus dimana perbuatan pidana terdakwa terbukti secara
sah dan meyakinkan berdasarkan fakta persidangan tetapi tidak masuk
dalam dakwaan jaksa penuntut umum.
Berdasarkan hal yang demikian maka secara implisit terdapat
pembatasan kewenangan terhadap hakim dalam menjatuhkan putusan
pada perkara pidana tidak boleh keluar dari dakwaan jaksa penuntut
umum. Hal inilah yang terkadang dalam praktek penerapannya
dilanggar atau diterobos oleh hakim dengan argumentasi demi
penegakan keadilan substantif memformulasikan putusan pidana di
luar dakwaan jaksa penuntut umum.
Dalam praktik, hakim memutus perkara di luar dakwaan jaksa
penuntut umum dapat dikategorikan menjadi tiga macam yaitu:
a. Putusan hakim yang tidak dapat menerima kewenangan hakim
dalam memutus perkara di luar dakwaan;
b. Putusan hakim yang memutus perkara di luar dakwaan atas
dasar kesamaan jenis perbuatan (serumpun);
c. Putusan hakim yang memutus perkara di luar dakwaan atas
dasar perbedaan peran (identifikasi pelaku).
Beberapa Putusan hakim yang tidak dapat menerima
kewenangan hakim dalam memutus perkara di luar dakwaan ialah
Putusan Mahkamah Agung No. 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan
Mahkamah Agung Nomor 689 K/Pid/2011. Putusan hakim yang
memutus perkara di luar dakwaan atas dasar kesamaan jenis perbuatan
(serumpun) misalnya Putusan Mahkamah Agung Nomor 693
K/Pid/1986 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor
10/Pid.B/2013/PN.Rni. Putusan hakim yang memutus perkara di luar
dakwaan atas dasar perbedaan peran (identifikasi pelaku) misalnya
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1829 K/PID.SUS/2011 dan
Putusan Mahkamah Agung Nomor 2501 K/Pid.Sus/2011.
3
Terobosan Hakim terkait memutus perkara pidana di luar
dakwaan Jaksa Penuntut Umum ini menarik untuk dikaji dan diteliti
apakah sesuai dengan kaedah-kaedah penemuan hukum atau
pembentukan hukum baik ditinjau dari perspektif asas, teori maupun
normanya. Dengan demikian penelitian kepustakaan tentang
Kewenangan Hakim dalam memutus Perkara di luar Dakwaan Jaksa
Penuntut Umum ini sangat penting keberadaannya.
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas maka
dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pertimbangan hukum dari hakim dalam
menjatuhkan putusan pidana di luar dakwaan jaksa
penuntut umum pada praktek penerapannya selama ini?
2. Bagaimanakah kedudukan hukum putusan pidana di luar
dakwaan jaksa penuntut umum menurut hukum positif
yang berlaku?
3. Bagaimanakah landasan filosofis, sosiologis dan yuridis
mengkategorikan putusan pidana di luar dakwaan jaksa
penuntut umum sebagai suatu pembentukan hukum?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian mengenai “Kewenangan Hakim dalam memutus
Perkara di luar Dakwaan Jaksa Penuntut Umum” ini mempunyai
beberapa tujuan diantaranya:
1. Untuk mengetahui, mendeskripsikan dan menganalisa
kedudukan hukum putusan pidana di luar dakwaan jaksa
penuntut umum menurut hukum positif yang berlaku.
2. Untuk mengetahui, mendeskripsikan dan menganalisa
pertimbangan hukum dari hakim dalam menjatuhkan putusan
pidana di luar dakwaan jaksa penuntut umum pada praktek
penerapannya selama ini.
3. Untuk mengetahui, mendeskripsikan dan menganalisis landasan
filosofis, sosiologis dan yuridis mengkategorikan putusan
4
pidana di luar dakwaan jaksa penuntut umum sebagai suatu
pembentukan hukum.
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian tentang “Kewenangan Hakim dalam memutus
Perkara di luar Dakwaan Jaksa Penuntut Umum” ini mempunyai
kegunaan, yang terdiri dari kegunaan teoritis dan kegunaan praktis.
Kegunaan teoritis dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi
sumbangan pemikiran secara teoritis terhadap pengembangan disiplin
ilmu hukum, dan khususnya tentang putusan pidana di luar dakwaan
jaksa penuntut umum dihubungkan dengan penerapan asas-asas
hukum acara pidana di Indonesia. Selain itu, penelitian ini diharapkan
mampu memberikan kontribusi praktis bagi para akademisi,
pengambil kebijakan, pembuat undang-undang, praktisi hukum,
aparatur penegak hukum khususnya jaksa penuntut umum dan hakim
yang berhadapan langsung dengan masalah yang terkait putusan
pidana di luar dakwaan jaksa penuntut umum.
E. Kerangka Pemikiran
Penelitian tentang “Kewenangan Hakim Dalam Memutus
Perkara di luar Dakwaan Jaksa Penuntut Umum” ini mempunyai
kerangka pemikiran yang digunakan sebagai pisau analisa membedah
permasalahan penelitian yang terdiri atas kerangka teoritis berupa
grand theory, middle theory dan applied theory. Teori negara hukum
dijadikan sebagai grand theory, asas-asas hukum acara pidana
sebagai middle theory, dan teori-teori penemuan hukum sebagai
applied theory.
1. Teori Negara Hukum
Suatu negara yang mendudukkan hukum sebagai kekuasaan
tertinggi atau diselenggarakan berdasarkan hukum dasar atau
konstitusi yang mempunyai kedudukan atau derajat suprmasi dalam
suatu negara disebut sebagai negara hukum. Negara hukum menurut
Daniel S. Lev adalah paham negara terbatas, di mana kekuasaan
politik resmi dikelilingi oleh hukum yang jelas dan yang
penerimaannya akan mengubah kekuasaan menjadi wewenang yang
5
ditentukan secara hukum. Pengertian lainnya mengenai negara hukum
adalah berdasarkan pada rule of law yang oleh Sunarjati Hartono
diartikan sebagai supremasi hukum.2
Dengan berpegang pada asumsi bahwa istilah negara hukum
merupakan genus begrip, maka ditemukan dalam kepustakaan lima
macam konsep negara hukum, sebagai species begrip, yaitu:
a. Negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang
dinamakan rechsstaat. Model negara hukum ini diterapkan
misalnya di Belanda, Jerman, dan Perancis;
b. Konsep rule of law yang diterapkan di negara-negara Anglo
Saxon, antara lain Inggris dan Amerika Serikat;
c. Suatu konsep yang disebut socialist legality yang diterapkan
antara lain di Uni Soviet sebagai negara Komunis;
d. Negara hukum menurut Qur’an dan Sunnah, untuk konsep ini
digunakan istilah nomokrasi Islam dari Malcom H. Kerr;
e. Konsep negara hukum Pancasila.3
Konsep Stahl tentang negara hukum ditandai oleh empat unsur pokok,
yaitu:
a. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia;
b. Negara didasarkan pada teori trias politica;
c. Pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang-undang
(wetmatig bestuur);
d. Ada peradilan administrasi negara yang bertugas menangani
kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah
(onrechtmatige overheidsdaad).4
Gagasan negara hukum yang berasal dari Stahl ini dinamakan
negara hukum formil, karena lebih menekankan pada suatu
pemerintahan yang berdasarkan undang-undang.
Selaras dengan pendapat Stahl tersebut di atas, Muchsin
berpendapat bahwa kekuasaan kehakiman harus bebas dan lepas dari
segala campur tangan dan pengarus dari pihak manapun, sebagaimana
2
Boy Nurdin, Kedudukan dan Fungsi Hakim dalam Penegakan
Hukum di Indonesia, (Bandung: Alumni, 2012), hlm. 34.
3
Ibid., hlm. 35.
4
Ibid., hlm. 37.
6
ditegaskan pada Pasal 3 ayat (1) UU No. 48 Th. 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman.5 Menurut Bambang Waluyo sebagaimana
dikutip Muchsin, ciri-ciri khas negara hukum yang sudah tersurat
dalam UUD Negara RI Tahun 1945, yaitu:
a. pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia, yang
mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial,
ekonomi, dan kebudayaan;
b. peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi
oleh suatu kekuasaan atau kekuatan apapun juga;
c. legalitas dalam segala bentuknya.6
Padmo Wahyono mencatat bahwa dalam perkembangannya,
pemerintahan yang berdasarkan undang-undang dianggap lamban dan
karena itu diganti dengan pemerintahan yang berdasarkan hukum atau
prinsip rechtmatig bestuur. Dengan demikian, negara hukum yang
formal menjadi negara hukum yang material dengan ciri rechmatig
bestuur. Kemudian lahirlah konsep konsep yang merupakan varian
dari rechsstaat itu, antara lain welvaarstaat dan verzorgingsstaat
sebagai negara kemakmuran.
Konsep negara hukum atau rechsstaat lebih bertumpu pada
sistem hukum kontinental yang disebut civil law. Karakteristik civil
law adalah administrative, sedangkan common law bersifat judicial.
Perbedaan karakteristik ini terjadi karena latar belakang kekuasaan
raja. Pada zaman Romawi, kekuasaan raja yang menonjol adalah
membuat peraturan melalui dekrit. Kekuasan tersebut kemudian
didelegasikan kepada pejabat-pejabat administratif yang membuat
pengarahan-pengarahan tertulis bagi hakim tentang bagaimana
memutus suatu sengketa. Sebaliknya di negara-negara Anglo Saxon,
kekuasaan utama dari raja adalah memutus perkara.
5
Muchsin, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka (Independence
Judiciary) Sesudah Perubahan UUD 1945 Menurut UU No. 48 Tahun 2009,
(Surabaya: UNTAG Press, 2010), hlm. x.
6
Bambang Waluyo, Implementasi Kekuasaan Kehakiman Republik
Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), hlm. 3 sebagaimana dikutip
Muchsin, Ibid., hlm. 4.
7
2. Asas-Asas Hukum Acara Pidana
Hukum Acara pidana memiliki tujuan sebagaimana ditegaskan
dalam Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana yang memberikan penjelasan bahwa:
Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah mencari dan
mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran
material, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu
perkara pidana dengan menerapkan ketentuan Hukum Acara
Pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari
siapa pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu
pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan
putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti
bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang
yang didakwa itu dapat dipersalahkan.7
7
Departemen Kehakiman Republik Indonesia Pedoman Pelaksanaan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Departemen
Kehakiman Republik Indonesia, Cetakan ketiga, 1982, hlm. 1.
8
Lilik Mulyadi, Op.cit., hlm. 11.
8
c.Pelaksanaan keputusan.9
Hukum acara pidana didasarkan pada falsafah atau pandangan
hidup bangsa dan dasar negara. Pelaksanaan hukum acara pidana
harus melindungi hak asasi manusia serta kewajiban warga negara
serta berdasarkan asas-asas sebagai berikut.
a. Perlakuan yang sama atas setiap orang di muka hukum dengan
tidak mengadakan perbedaan perlakuan;
b. Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya
dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang
diberi wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam
dengan cara yang diatur dengan undang-undang;
c. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan
atau dihadapkan di muka sidang pengadilan wajib dianggap
tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang
menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum
tetap;
d. Kepada seseorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun
diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang
dan/atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum
yang diterapkan wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi
sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum
yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan
asas hukum tersebut dilanggar;
e. Peradilan harus dilakukan dengan cepat, sederhana, dan biaya
ringan serta bebas, jujur, dan tidak memihak harus diterapkan
secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan;
f. Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan
memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan
untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya;
g. Kepada setiap tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan
dan/atau penahanan selain wajib diberi tahu dakwaan dan di
dasar hukum apa yang didakwakan kepadanya, juga wajib
9
Ibid.
9
diberitahukan haknya termasuk hak untuk menghubungi dan
meminta bantuan penasihat hukum;
h. Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya
terdakwa;
i. Sidang pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum kecuali
dalam hal yang diatur dalam undang-undang;
j. Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara
pidana dilakukan oleh ketua pengadilan negeri yang
bersangkutan.
F. Metode Penelitian
Penelitian tentang “Kewenangan Hakim dalam memutus
Perkara di luar Dakwaan Jaksa Penuntut Umum” ini menggunakan
metode penelitian hukum normatif (yuridis normatif). Yuridis
normatif maksudnya bahwa penelitian ini menggunakan data sekunder
10
Boy Nurdin, Op.cit, hlm. 87.
10
atau secondary data.11 Pendekatan yuridis normatif mengutamakan
pembahasan data sekunder berupa bahan-bahan hukum, baik bahan
hukum primer12, bahan hukum sekunder13 maupun bahan hukum
11
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI
Press, 2010), hlm. 12 menyebutkan data sekunder antara lain mencakup
dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian yang berwujud laporan
dan buku harian. Dari sudut tipenya, data sekunder dapat dibedakan antara
data sekunder yang bersifat pribadi dan data sekunder yang bersifat publik.
Data sekunder yang bersifat pribadi ialah dokumen pribadi seperti surat-surat,
buku harian dan data pribadi yang tersimpan di lembaga di mana yang
bersangkutan pernah bekerja atau sedang bekerja. Sedangkan data sekunder
yang bersifat publik berupa data arsip yaitu data yang dapat dipergunakan
untuk kepentingan ilmiah oleh para ilmuwan; data resmi pada instansi-
instansi pemerintah yang kadang-kadang tidak mudah untuk diperoleh, oleh
karena mungkin bersifat rahasia; data lain yang dipublikasikan misalnya
yurisprudensi Mahkamah Agung. Selain itu Soerjono Soekanto dan Sri
Mamudji, dalam Peranan dan Penggunaan Perpustakaan di dalam Penelitian
Hukum, (Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 1979), hlm. 15 sebagaimana dikutip Soerjono Soekanto, Ibid
menyebutkan bahwa ciri-ciri umum data sekuder adalah :
a. pada umumnya data sekunder dalam keadaan siap terbuat dan dapat
dipergunakan dengan segera;
b. baik bentuk maupun isi data sekunder, telah dibentuk dan diisi oleh
peneliti-peneliti terdahulu, sehingga peneliti kemudian, tidak mempunyai
pengawasan terhadap pengumpulan, pengolahan, analisa maupun
konstruksi data;
c. tidak terbatas oleh waktu maupun tempat.
12
Ibid., hlm. 52 menyebutkan bahwa bahan hukum primer ialah
bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari norma atau kaidah dasar
(Pembukaan Undang-undang Dasar 1945); Peraturan Dasar, yaitu Batang
Tubuh Undang-undang Dasar 1945, dan Ketetapan-ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat; Peraturan Perundang-undangan; bahan hukum
yang tidak dikodifikasi misalnya hukum adat; yurisprudensi; traktak; bahan
hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku, misalnya
Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang merupakan terjemahan yang
secara yuridis formil bersifat tidak resmi dari Wetboek van Strafrecht.
13
Ibid., Bahan hukum sekunder ialah bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, misalnya rancangan undang-
undang, hasil-hasil penelitian, dan hasil karya dari kalangan hukum.
11
tertier.14 Penelitian kepustakaan untuk memperoleh bahan-bahan
pustaka yang dijadikan sebagai data dasar atau utama. Pendekatan
yuridis normatif ini digunakan untuk menelusuri, meneliti dan
mengkaji objek tersebut melalui asas-asas hukumnya, perundang-
undangan nasional dalam melakukan telaah terhadap kewenangan
hakim dalam memutus perkara di luar dakwaan jaksa penuntut umum.
Adapun metode pendekatan yang diterapkan adalah melalui
pendekatan perundangan-undangan (Statute Approach) dan
pendekatan kasus (Case Approach). Pendekatan perundang-undangan
dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang
bersangkut paut dengan: hukum acara pidana khususnya terkait
dengan surat dakwaan dan putusan pengadilan; dan kebebasan hakim
dalam memeriksa dan memutus perkara. Pendekatan undang-undang
ini akan membuka kesempatan bagi Peneliti untuk mempelajari
konsistensi dan kesesuaian putusan pengadilan dalam menerapkan
KUHAP dan perundang-undangan yang terkait dengan kekuasaan
kehakiman.15
Pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah
terhadap putusan pengadilan. Pendekatan kasus berfokus pada ratio
14
Ibid., Bahan hukum tertier ialah bahan hukum yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,
seperti kamus, ensiklopedia, dan indeks kumulatif.
15
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cetakan ke-6, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, Jakarta), 2010, hlm. 133-134, Pendekatan
undang-undang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan
regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Bagi
penelitian untuk kegiatan praktis, pendekatan undang-undang ini akan
membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari konsistensi dan
kesesuaian antara undang-undang dan Undang-Undang Dasar atau antara
regulasi dan undang-undang. Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu
argumen untuk memecahkan isu yang dihadapi. Bagi penelitian untuk
kegiatan akademis, peneliti perlu mencari ratio legis dan dasar ontologis
lahirnya undang-undang tersebut. Dengan mempelajari ratio legis dan
ontologis suatu undang-undang, peneliti sebenarnya mampu menangkap
kandungan filosofi yang ada di belakang undang-undang itu. Memahami
kandungan filosofi yang ada di belakang undang-undang itu, peneliti tersebut
akan dapat menyimpulkan mengenai ada tidaknya benturan filosofis antara
undang-undang dengan isu yang dihadapi.
12
decidendi atau reasoning, yaitu pertimbangan pengadilan untuk
sampai pada suatu putusan.16
Jenis data dalam penelitian ini adalah data sekunder. Adapun
sumber data sekunder berasal dari penelitian kepustakaan (library
reserach) terhadap pelbagai macam sumber bahan hukum yang dapat
diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu: 17
1. Bahan hukum primer (primary resource atau authooritative
records), berupa UUD 1945, Ketetapan MPR, peraturan
perundang-undangan dan peraturan pelaksanaannya.
2. Bahan hukum sekunder (secondary resource atau not
authoritative records), berupa bahan-bahan hukum yang
dapat memberikan kejelasan terhadap bahan hukum
primer, seperti literatur, hasil-hasil penelitian, makalah-makalah
dalam seminar, artikel-artikel dan lain sebagainya; dan
3. Bahan hukum tersier (tertiary resource), berupa bahan-bahan
hukum yang dapat memberi petunjuk dan kejelasan terhadap
bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder seperti
berasal dari kamus/leksikon, ensiklopedia dan sebagainya.
Data kepustakaan yang merupakan data utama penelitian ini
dikumpulkan melalui metode sistematis guna memudahkan analisis
permasalahan. Adapun bahan-bahan tersebut yang dicatat dalam kartu
antara lain permasalahannya, asas-asas, argumentasi, implementasi
yang ditempuh, alternatif pemecahannya dan lain sebagainya.
Kemudian mengenai kepustakaan yang dominan dipergunakan adalah
kepustakaan dalam bidang hukum acara pidana khususnya mengenai
16
Ibid., hlm. 134, Pendekatan kasus (Case approach) dilakukan
dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan
isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah menjadi
kekuatan yang tetap. Kasus itu dapat berupa kasus yang terjadi di Indonesia
maupun di negara lain. Yang menjadi kajian pokok di dalam pendekatan
kasus adalah ratio decidendi atau reasoning, yaitu pertimbangan pengadilan
untuk sampai pada suatu putusan. Baik untuk kepentingan praktik maupu
untuk kajian akademis, ratio decidendi atau reasoning tersebut merupan
referensi bagi penyusunan argumentasi dalam pemecahan isu hukum.
17
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 13.
13
putusan pidana di luar dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Adapun lokasi
penelitian kepustakaan dilakukan di beberapa tempat antara lain di
Perpustakaan Balitbangdiklat Kumdil Mahkamah Agung RI,
Perpustakaan Mahkamah Agung RI, serta perpustakaan lain yang
menyediakan data sekunder yang sesuai dan diperlukan dalam
penelitian ini.
Selain itu untuk menunjang eksistensi data sekunder
sebagaimana disebutkan di atas maka penelitian ini juga didukung
oleh data lapangan (field research) yang diperoleh dari perbincangan
intensif dengan narasumber dan mengamati diskusi diantara para
narasumber yang berkompeten untuk menjelaskan permasalahan yang
telah diidentifikasikan oleh penulis. Selanjutnya data primair tersebut
dianalisis dan diolah secara kualitatif dan ditulis secara deskriptif
analisis.
Sebagai akhir dari pengolahan data, data primair dan data
sekunder yang diperoleh dalam penelitian dideskripsikan sesuai
dengan pokok permasalahan yang dikaji secara yuridis kualitatif.
Deskripsi dilakukan terhadap “isi maupun struktur hukum positif”18
yang berkaitan dengan putusan pidana di luar dakwaan Jaksa Penuntut
Umum. Data yang telah dideskripsikan selanjutnya ditentukan
maknanya melalui metode interpretasi dalam usaha memberikan
penjelasan atas kata atau istilah yang kurang jelas maksudnya dalam
suatu bahan hukum terkait pokok permasalahan yang diteliti sehingga
orang lain dapat memahaminya.19 Data yang telah dideskripsikan dan
diinterpretasikan sesuai pokok permasalahan selanjutnya
disistematisasi, dieksplanasi, dan diberikan argumentasi. Langkah
18
Philipus M. Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif),
dalam Yuridika, Nomor 6 Tahun IX, Nopember-Desember 1994, hlm. 6. lihat
juga Lilik Mulyadi, Hukum Pidana Adat: Pengkajian Asas, Teori, Praktek
dan Prosedurnya, Laporan Penelitian Pada Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, 2010, hlm. 22.
19
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum,
(Bandung: Penerbit Alumni, 2000), hlm. 20 dan Bambang Sutiyoso, Metode
Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti dan Berkeadilan,
(Yogyakarta: UII Press, 2006), hlm. 77 lihat juga Lilik Mulyadi, Op cit., hlm.
22.
14
sistematisasi dilakukan untuk memaparkan isi dan struktur hukum
atau hubungan hirarkis antara aturan-aturan hukum yang ada. Pada
tahap eksplanasi dijelaskan mengenai makna yang terkandung dalam
aturan-aturan hukum sehubungan dengan isu hukum dalam penelitian
ini sehingga keseluruhannya membentuk satu kesatuan yang saling
berhubungan secara logis. Sedangkan pada tahap argumentasi
diberikan penilaian terhadap data dari hasil penelitian ini untuk
selanjutnya ditemukan kesimpulannya. Oleh karena itu, metode
analisis yang diterapkan untuk mendapatkan kesimpulan atas
permasalahan yang dibahas adalah melalui analisis yuridis kualitatif.
Adanya penerapan analisis yuridis kualitatif itu sangat membantu
dalam proses memilih, mengelompokkan, membandingkan,
mensintesakan, dan menafsirkan secara sistematis untuk mendapatkan
penjelasan dari suatu fenomena yang diteliti.20
20
Lilik Mulyadi, Op cit, hlm. 22.
15
16
BAB II
LANDASAN FILOSOFIS DAN NORMATIF KEWENANGAN
HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA BERDASARKAN
DAKWAAN JAKSA PENUNTUT UMUM
21
Rusli Muhammad, Op.cit., hlm. 83.
22
Lilik Mulyadi, Op.cit., hlm. 37.
23
Ibid.
17
pemeriksaan pendahuluan yang merupakan dasar bagi hakim
untuk melakukan pemeriksaan yang bila ternyata cukup
terbukti, terdakwa dapat dijatuhi hukuman”.
b. M. Yahya Harahap mengemukakan bahwa “Surat dakwaan
adalah surat atau akta yang memuat rumusan tindak pidana
yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan
ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan, dan merupakan dasar
serta landasan bagi hakim dalam pemeriksaan di muka
pengadilan”.
c. A. Soetomo memberikan batasan bahwa surat dakwaan adalah
“Surat yang dibuat atau disiapkan oleh penuntut umum yang
dilampirkan pada waktu melimpahkan berkas perkara ke
pengadilan yangb memuat nama dan identitas pelaku perbuatan
pidana, kapan dn di mana perbuatan dilakukan serta uraian
secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai perbuatan tersebut
yang didakwakan telah dilakukan oleh terdakwa yang
memenuhi unsur-unsur pasal-pasal tertentu dari undang-undang
yang tertentu pula yang nantinya merupakan dasar dan titik
tolak pemeriksaan terdakwa di sidang pengadilan untuk
dibuktikan apakah benar perbuatan yang didakwakan itu betul
dilakukan dan apakah betul terdakwa adalah pelakunya yang
dapat dipertanggungjawabkan untuk perbuatan tersebut”.24
Dalam mengadili terdakwa, pembuktian dan fakta-fakta di
persidangan yang akan menentukan terbukti tidaknya seseorang
bersalah melakukan suatu tindak pidana sebagaimana disebutkan
dalam surat dakwaan dari penuntut umum. Apabila dalam
persidangan, kesalahan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan
menurut hukum sesuai rumusan surat dakwaan maka pengadilan akan
menjatuhkan pidana (Pasal 193 ayat (1) KUHAP). Sebaliknya, apabila
terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum,
atau perbuatan tersebut tidak dirumuskan dalam surat dakwaan, maka
24
A. Soetomo, Pedoman Dasar Pembuatan Surat Dakwaan Dan
Suplemen, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1989), hlm. 4, sebagaimana dikutip
Lilik Mulyadi, Ibid., hlm. 38-39.
18
pengadilan akan membebaskan terdakwa. Namun, terhadap hal ini,
ada suatu terobosan baru dari Mahkamah Agung melalui Putusan
Nomor 693 K/Pid/1986 tanggal 12 Juli 1986 dan Putusan Mahkamah
Agung RI Nomor 675 K/Pid/1987 tanggal 21 Maret 1989 di mana
terdakwa dapat dijauhi pidana dengan tindak pidana sejenis yang
sifatnya lebih ringan.25
25
Lilik Mulyadi, Ibid., hlm. 40.
26
Ibid., hlm. 41.
19
terdakwa dalam surat dakwaan jaksa/penuntut umum, sehingga
dengan diperiksanya identitas terdakwa secara cermat, teliti dan detail
diharapkan tidak terdapat kesalahan mengadili di persidangan atau
kesalahan menghadapkan terdakwa di dapan persidangan, kemudian
dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga
modus operandi kejahatan menjadi variatif tidak diharapkan seseorang
mempermainkan hukum sedemikian rupa seperti membayar orang lain
untuk menjadi terdakwa atau lebih tegas lagi secara universal untuk
menghindarkan agar jangan sampai orang yang melakukan suatu
tindak pidana akan tetapi tidak sampai diadili di depan persidangan
(error in persona).27
Kekurangan syarat formal surat dakwaan dari jaksa/penuntut
umum tidak menyebabkan surat dakwaan batal demi hukum (van
rechswege nietig atau null and void) akan tetapi surat dakwaan
tersebut dapat dibatalkan (vernietigbaar) atau dinyatakan batal
sebagaimana tercermin dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 41
K/Kr/1973 tanggal 25 Januari 1975.28 Rusli Muhammad menyebutkan
tidak terpenuhinya syarat formal ini berakibat surat dakwaan cacat
hukum (obscur libelle).
Mengenai syarat material, surat dakwaan berdasarkan Pasal
143 ayat (2) huruf b KUHAP berisikan uraian secara cermat, jelas dan
lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan
menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana tersebut dilakukan.
Terkait dengan persyaratan tersebut, ada dua pandangan. Pandangan
pertama, pengertian “cermat” maksudnya adalah bahwa surat dakwaan
dibuat dengan penuh ketelitian dan ketidaksembarangan serta hati-hati
disertai suatu ketajaman dan keteguhan. Selanjutnya, istilah “jelas”
maksudnya tidak menimbulkan kekaburan atau keragu-raguan serta
serba terang dan tidak perlu ditafsirkan lagi. Istilah “lengkap”
maksudnya tidak ada yag tercecer atau ketinggalan. Semuanya ada.29
27
Lilik Mulyadi, Ibid., hlm. 41-42.
28
Mahkamah Agung RI, Rangkuman Yurisprudensi Mahkamah
Agung RI Cetakan Kedua, (Jakarta: MARI dan The Asia Foundation, 1993),
hlm. 62.
29
Lilik Mulyadi, Op.cit., hlm. 43.
20
Pandangan kedua, pada dasarnya surat dakwaan tidak cermat,
jelas dan lengkap sehingga tidak memenuhi syarat material kebiasaan
praktik peradilan dan yurisprudensi dewasa ini mencatat dalam hal.
Hal esensial surat dakwaan hendaknya memuat secara lengkap unsur-
unsur (bestanddelen) daripada tindak pidana yang didakwakan.
Apabila unsur-unsur tersebut tidak diterangkan secara utuh dan
menyeluruh, maka hal ini menyebabkan dakwaan menjadi kabur
(obscurum lebellum) sehingga menyebabkan ketidakjelasan terhadap
tindak pidana apa yang dilanggar oleh perbuatan terdakwa. Misalnya,
dalam surat dakwaan mencampuradukan unsur-unsur penggelapan
(Pasal 372 KUHP) dan unsur penipuan (Pasal 378 KUHP) menjadi
satu sehingga menjadi tindak pidana baru dan terdakwa tidak mengerti
akan tindak pidana mana yang didakwakan sehingga surat dakwaan
harus batal demi hukum (van rechswege nietig) sebagaimana Putusan
Mahkamah Agung RI Nomor 1289 K/Pid/1984 tanggal 26 Juni 1987
atau dapat pula berupa surat dakwaan yang materinya menggabungkan
dan mencampuradukan unsur-unsur perbuatan pidana yang berdiri
sendiri dan tidak ada hubungannya satu sama lain, yaitu unsur Pasal 1
ayat (1) sub a digabungkan dengan unsur Pasal 1 ayat (1) sub b
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dengan satu dakwaan primer
sehingga merupakan penciptaan suatu tindak pidana baru yang tidak
dirumuskan dan diatur dalam undang-undang yang bersangkutan,
maka dakwaan demikian obscuur libbel sehingga dengan demikian
dakwaan batal demi hukum dan dalam diktum putusan hakim
disebutkan dengan amar, “Penuntutan Jaksa tidak dapat diterima”
sebagaimana disebutkan dalam Putusan Mahkamah Agung RI. Nomor
982 K/Pid/1988 tanggal 19 September 1990.30
Pandangan kedua, apabila dalam surat dakwaan yang terjadi
pertentangan isi perumusan perbuatan satu dengan lainnya, maka akan
timbul keraguan pada diri terdakwa tentang perbuatan yang
didakwakan kepadanya. Misalnya, apabila terdakwa didakwa “turut
melakukan dan turut membantu” melakukan tindak pidana pencurian.
Jadi terhadap tindak pidana dan perbuatan yang sama, terdakwa
30
Ibid., hlm. 44-45.
21
didakwa turut melakukan (medeplegen) sebagaimana ketentuan Pasal
55 ayat (1) ke-1e KUHP dan turut membantu (medeplichtigheid)
sebagaimana ketentuan Pasal 56 KUHP. Perumusan dakwaan seperti
ini jelas terjadi pertentangan antara satu dengan lainnya, yakni di satu
pihak terdakwa didakwa medeplegen dan kemudia pula didakwa
medeplichtigheid melakukan tindak pidana pencurian.31
Contohnya Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 296
K/Pid/1987 tanggal 15 Maret 1991 di mana seorang terdakwa didakwa
melakukan penyertaan (deelneming) dalam hal melakukan (plegen),
turut serta melakukan (medeplegen), menyuruh melakukan
(doenplegen), turut serta melakukan (medeplegen), menyuruh
melakukan (doenplegen) dan dengan sengaja membujuk (uitlokking)
sesuai ketentuan Pasal 56 KUHP dicampuradukkan menjadi satu
sehingga isinya bertentangan satu dengan lainnya dan mengakibatkan
terdakwa menjadi ragu terhadap tindak pidana manakah yang
didakwakan kepadanya sehingga merugikan dirinya dalam melakukan
pembelaan. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa surat dakwaan
hendaknya harus jelas memuat semua unsur tindak pidana yang
didakwakan (voldoende en duidelijke opvage van het feit) dan akibat
isi dakwaan antara satu dengan lainnya saling bertentangan, harus
dinyatakan batal demi hukum (van rechswege nietig atau null and
void).32
Mengenai isi surat dakwaan, Moeljatno menyarankan agar
pembuatan surat dakwaan berisi dua hal sebagaimana juga berlaku di
negara-negara Anglo Saxon, yaitu:
a. Particular of offence, yaitu lukisan atau uraian tentang
perbuatan terdakwa dengan kata-kata yang mudah dimengerti;
b. Statement of offence, yaitu pernyataan tentang aturan-aturan
atau pasal-pasal yang dilanggar terdakwa.
31
Ibid., hlm. 46.
32
Ibid., hlm. 46.
22
3. Bentuk-Bentuk Dakwaan
Menurut Andi Hamzah, dakwaan dapat disusun secara secara
tunggal, kumulatif, alternatif ataupun subsidair. Seorang atau lebih
terdakwa mungkin melakukan satu macam perbuatan saja, misalnya,
pencurian (biasa) berdasarkan Pasal 362 KUHP. Dalam hal seperti
itu, dakwaan disusun secara tunggal, yaitu pencurian (biasa).33
Sering pula seorang atau lebih terdakwa melakukan lebih dari
satu perbuatan (delik), misalnya di samping ia (mereka) melakukan
perbuatan pencurian (biasa), membawa pula senjata api tanpa ijin
yang berwajib. Dalam hal ini dakwaan disusun secara kumulatif.
Artinya, terdakwa (terdakwa-terdakwa) didakwa dua macam
perbuatan (delik) sekaligus, yaitu pencurian (biasa) dan membawa
senjata api tanpa ini yang berwajib. Dengan demikian, dakwaan akan
disusun sebagai dakwaan I, II, III, dan seterusnya. Ada kalanya
perbuatan-perbuatan tersebut dilakukan di tempat dan waktu yang
berbeda-beda. Mengajukan perkara tidak terpisah-pisah, sesuai dengan
asas hukum acara pidana yang dianut di Indonesia, yaitu peradilan
cepat, sederhana, dan biaya ringan.34
Apabila suatu dakwaan berbentuk dakwaan kumulatif, tiap
perbuatan (delik) harus dibuktikan sendiri-sendiri walaupun pidananya
disesuaikan dengan peraturan tentang delik gabungan (samenloop)
dalam Pasal 63 sampai Pasal 71 KUHP. Untuk itu perlu diperhatikan
peraturan gabungan tersebut beserta teori-teorinya dalam menyusun
dakwaan.35
Dakwaan alternatif dibuat dalam dua hal sebagaimana
dikemukakan van Bammelen, yaitu:
a. jika penuntut umum tidak mengetahui perbuatan mana apakah
yang satu ataukah yang lain akan terbukti nanti di persidangan
suatu perbuatan apakah merupakan pencurian ataukah
penadahan;
33
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2010), hlm. 180.
34
Ibid.
35
Ibid.
23
b. jika penuntut umum ragu, peraturan hukum pidana yang mana
yang akan diterapkan oleh hakim atas perbuatan yang menurut
pertimbangannya telah nyata tersebut.36
Dalam hal dakwaan alternatif yang sesungguhnya, menurut
van Bemmelen, masing-masing dakwaan tersebut saling
mengecualikan satu sama lain. Hakim dapat mengadakan pilihan
dakwaan mana yang telah terbukti dan bebas untuk menyatakan
bahwa dakwaan kedua yang telah terbukti tanpa memutuskan terlebih
dahulu tentang dakwaan pertama. Lain halnya dengan dakwaa
subsidair yang sesungguhnya karena dalam hal ini pembuat dakwaan
bermaksud agar hakim memeriksa terlebih dahulu dakwaan primair
dan jika ini tidak terbukti, barulah diperiksa dakwaan subsidair. Jadi,
van Bemmelen membedakan dakwaan alternatif dan subsidair secara
teoretis. Dalam praktik, sering dakwaan yang subsidair tersebut
disebut juga dakwaan alternatif, karena umumnya dakwaan disusun
oleh penuntut umum menurut bentuk subsidair. Jarang sekali dibuat
dakwaan yang alternatif yang sesungguhnya, yaitu dalam satu kalimat
dakwaan tercantum dua atau lebih perbuatan yang didakwakan yang
saling mengecualikan, misalnya dakwaan yang berbunyi: “bahwa
perbuatan itu dilakukan oleh terdakwa dengan direncanakan terlebih
dahulu atau tidak direncanakan terlebih dahulu. ...”. Di sini nyata
dakwaan ini bersifat alternatif yang sesungguhnya (tidak ada primair
36
Ibid., hlm. 180-181. Bandingkan Bambang Poernomo, Hukum
Acara Pidana Pokok-Pokok Peradilan Pidana Indonesia dalam Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1982 (Yogyakarta: Liberty,
1986), hlm. 24-25 sebagaimana dikutip Rusli Muhammad, Op.cit., hlm. 85,
dakwaan secara alternatif dibuat untuk menuntut perkara pidana yang
terdapat keragu-raguan mengenai jenis perbuatan pidana mana yang paling
tepat sehingga penuntutan diserahkan kepada pengadilan untuk memilih
secara tepat berdasarkan hasil pembuktian sidang agar mendapat putusan satu
jenis perbuatan pidana saja dari beberapa jenis yang dituduhkan. Sebagai
contoh, keragu-raguan untuk menuduh dengan dakwaan “kejahatan
pencurian” atau “kejahatan penggelapan”, dengan menunjuk kata “atau” di
antara perbuatan-perbuatan yang dituduhkan dari dua pokok perbuatan.
24
dan subsidair). Di sini hakim dapat memilih perbuatan mana (yang
direncanakan atau yang tidak) yang telah terbukti.37
Dalam perkembangannya, ternyata bentuk-bentuk dakwaan
tersebut di atas tidak secara konsekuen diikuti. Artinya, di dalam
menyusun dakwaan tidak selamanya menggunakan bentuk dakwaan
yang ada tersebut. Ternyata jaksa penuntut umum sering pula
melakukan kombinasi di antara bentuk-bentuk dakwaan tersebut.
Contohnya, jaksa penuntut umum ketika menyusun dakwaan
menggabungkan antara dakwaan subsider dan dakwaan kumulatif.
Bentuk dakwaan demikian belum dikenal dalam teori sehingga belum
ada namanya, tetapi dalam praktik sudah dapat dilaksanakan.38
Mengenai dakwaan bersusun lapis atau dakwaan bersusun
lapis, ciri utama dakwaan ini adalah disusun secara berlapis-lapis,
yaitu dimulai dari dakwaan terberat sampai yang ringan, berupa
susunan secara primer, susider, lebih subsider, lebih-lebih subsider,
dan seterusnya atau dapat pula disusun dengan istilah terutama,
penggantinya, penggantinya lagi, dan seterusnya.39 Pada hakikatnya
dakwaan subsidiaris hampir sama dengan jenis dakwaan alternatif.
Namun, ada perbedaannya, yaitu dalam dakwaan alternatif hakim
dapat langsung memilih dakwaan yang sekiranya cocok dengan
pembuktian di persidangan, sedangkan pada dakwaan subsidiaris,
hakim terlebih dahulu mempertimbangkan dakwaan terberat dahulu
(misalnya primer), apabila dakwaan primer tidak terbukti, kemudian
hakim mempertimbangkan dakwaan berikutnya (subsider) dan
seterusnya. Sebaliknya, apabila dakwaan primer telah terbukti, maka
dakwaan selebihnya (subsider dan seterusnya) tidak perlu dibuktikan
lagi.40
37
Ibid., hlm. 181.
38
Ibid., hlm. 86.
39
Ibid., hlm. 74.
40
Ibid.
25
B. Ruang Lingkup Kewenangan Hakim dalam Memeriksa dan
Memutus Perkara
Ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 4 Tahun
2004 menegaskan bahwa Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Badan peradilan
yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan
dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan
militer, dan peradilan tata usaha negara.
Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004
menegaskan kewajiban hakim untuk menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat. Pada bagian penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa
ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum
dan rasa keadilan masyarakat. Dalam mempertimbangkan berat
ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik
dan jahat dari terdakwa. Pada bagian penjelasan ayat (2) ini
disebutkan bahwa berdasarkan ketentuan ini, dalam menentukan berat
ringannya pidana yang akan dijatuhkan, hakim wajib memperhatikan
sifat baik atau sifat jahat dari terdakwa sehingga putusan yang
dijatuhkan setimpal dan adil sesuai dengan kesalahannya.
Kompetensi pengadilan pidana atau disebut juga wewenang
pengadilan adalah kewenangan untuk mengadili perkara pidana yang
terjadi dan diajukan kepadanya. Kompetensi pengadilan dalam teori
dibagi menjadi dua bagian, yaitu kompetensi absolut (abaolute
competentie) dan kompetensi relatif (relatieve competentie).
Kompetensi absolut adalah kewenangan pengadilan untuk mengadili
suatu perkara didasarkan atas tingkatan pengadilan dan ruang lingkup
badan-badan peradilan berdasarkan jenis perkara yang terjadi.
Tingkatan pengadilan adalah pengadilan tingkat pertama (pengadilan
negeri), pengadilan tingkat kedua (pengadilan tinggi), dan Mahkamah
Agung. Sementara jenis-jenis badan peradilan adalah peradilan umum,
peradilan militer, peradilan agama, peradilan tata usaha negara. Atas
26
dasar tingkatan dan jenis-jenis pengadilan ini, kewenangan masing-
masing pengadilan berbeda satu sama lainnya.41
Dapat dirumuskan beberapa prinsip yang memperhatikan
kewenangan masing-masing pengadilan itu sebagai berikut.
a. Pengadilan negeri berwenang mengadili semua perakara pidana
yang belum pernah diadili dan belum memperoleh putusan.
Berdasarkan prinsip ini, pelimpahan perkara oleh jaksa penuntut
umum harus dilimpahkan kepada pengadilan negeri, yaitu
pengadilan tingkat pertama, karena pengadilan inilah yang
berhak pertama kali mengadili perkara pidana yang
bersangkutan, tidak ada tingkatan pengadilan lain yang berhak
mengadili sebelum pengeadilan negeri mengadilinya.
b. Pengadilan tinggi berwenang mengadili perkara yang telah
diputus oleh pengadilan negeri yang dimintakan banding.
Berdasarkan prinsip ini terlihat bahwa kewenangan pengadilan
tinggi adalah berwenang mengadili perkara pidana yang telah
mendapat putusan oleh pengadilan negeri, tetapi putusan itu
dimohonkan banding. Ukuran kewenangan ini terletak pada ada
atau tidaknya permohonan banding. Jika putusan dimohonkan
banding, timbullah kewenangan pengadilan tinggi. Namun bila
permohonan banding tidak ada, dengan sendirinya kewenangan
mengadili itupun tidak akan ada. Kewenangan pengadilan
sebenarnya tidak hanya terbatas seperti tersebut di atas, tetapi
jika diteliti dalam KUHAP masih ada beberapa kewenangan
yang tertera dalam beberapa pasal KUHAP, yaitu:
1) Dalam bab tentang praperadilan Pasal 83 KUHP yang
telah pula diletakkan suatu kewenangan pengadilan tinggi,
yaitu memberikan putusan akhir sah atau tidaknya suatu
penghentian penyidikan atau penuntutan jika oleh hakim
praperadilan di pengadilan negeri telah diputus sebagai
tidak sahnya suatu penghentian penyidikan atau
penuntutan
41
Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, (Bandung:
PT Citra Aditya Bakti, 2007), hlm. 117.
27
2) Dalam rangkaiannya dengan Pasal 29 KUHP, misalnya
tentang suatu ketentuan khusus yang menyimpang dari
aturan umum tentang penahanan, yaitu suatu
perpanjangan penahanan, maka ketua pengadilan tingi
dapat memeriksa keberatan atas penahanan tersebut yang
telah diberikan oleh ketua pengadilan negeri;
3) Apabila pengadilan negeri menyatakan dirinya tidak
berwenang mengadili suatu perkara yang dilimpahkan
oleh penuntut umum untuk disidangkan, dan jika atas
penetapan pengadilan negeri penuntut umum berkeberatan
atas penetapan tersebut, penuntut umum dapat
mengajukan perlawanan yang diajukan kepada pengadilan
tinggi untuk mendapatkan penetapan sebagaimana Pasal
148 jo. 149 KUHP;
4) Pengadilan tinggi memutus sengketa wewenang
mengadili di antara dua pengadilan atau lebih yang
berkedudukan dalam hukum pengadilan tinggi tersebut
berdasarkan Pasal 151 KUHP.
d. Mahkamah Agung berwenang mengadili semua perkara
pidana yang dimintakan kasasi. Seperti halnya pada
kewenangan pengadilan tinggi, kewenangan Mahkamah
Agungpun ditentukan oleh ada tidaknya kasasi. Adanya
permohonan kasasi adalah syarat adanya kewenangan
Mahkamah Agung. Tanpa permohonan kasasi, Mahkamah
Agung tidak berwenang mengadili perkara yang telah
diputus oleh pengadilan negeri atau pengadilan tinggi.
Kewenangan yang dimaksud tersebut merupakan
kewenangan umum yang dimiliki oleh Mahkamah Agung.
Selain kewenangan tersebut masih terdapat kewenangan
lain seperti tersebar di dalam beberapa pasal KUHP,
antara lain:
28
C. Landasan Normatif Kewenangan Hakim dalam Memeriksa
dan Memutus Perkara Berdasarkan Dakwaan Jaksa Penuntut
Umum
Dakwaan sangat penting karena menjadi dasar pemeriksaan di
sidang pengadilan dan yang kemudian juga menjadi dasar putusan
hakim. Pemeriksaan dan putusan hakim tersebut terbatas pada apa
yang didakwakan oleh penuntut umum.42 Memang penuntut umum
adalah penentu mengenai delik apa saja yang didakwakan kepada
terdakwa. Ia disebut sebagai pemilik perkara atau tuntutan (dominus
litis). Hakim tidak akan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa
mengenai suatu perbuatan yang walaupun terbukti di persidangan
dilakukan oleh terdakwa tetapi tidak tercantum dalam dakwaan
penuntut umum.
Putusan pengadilan merupakan output dari suatu proses
peradilan di sidang pengadilan yang meliputi proses pemeriksaan
saksi-saksi, pemeriksaan terdakwa, dan pemeriksaan barang bukti.
Ketika proses pembuktian dinyatakan selesai oleh hakim, tibalah
saatnya hakim mengambil keputusan. 43 Adapun pengambalian setiap
putusan harus berdasarkan surat dakwaan, requisitor penuntut umum,
kemudian pada segala fakta dan keadaan-keadaan yang terbukti dalam
sidang pengadilan. Selain itu, putusan harus diambil dengan melalui
musyawarah jika hakim terdiri atas hakim majelis.44
Secara yuridis berdasarkan Pasal 1 angka 11 KUHAP, putusan
pengadilan adalah “Pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang
pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau
lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini”.
Berkenaaan dengan adanya musyawarah ini, A. Hamzah dan
Irdan Dahlan menyatakan: "Satu hal yang harus diingat bahwa dalam
musyawarah pengambilan putusan tersebut hakim tidak boleh
42
A. Hamzah dan Irdan Dahlan, Surat Dakwaan, (Bandung: Alumni,
1987), hlm. 124.
43
Rusli Muhammad, Op.cit., 2007), hlm. 199.
44
Ibid.
29
melampaui batas yang telah ditetapkan dalam suart penyerahan
perkara yang menjadi dasar pemeriksaan di sidang pengadilan."
Pasal 182 ayat (5) KUHAP menyebutkan :
"Dalam musyawarah tersebut hakim ketua majelis mengajukan
pertanyaan mulai dari hakim yang muda sampai hakim yang tertua,
sedangkan hakim ketua terakhir memberikan pendapatnya. Semua
pendapat harus disertai pertimbangan dan alasan-alasan pemeriksaan
di sidang pengadilan."
Ayat (6) menyebutkan: " Semua hasil musyawarah harus didasarkan
permufakatan yang bulat, kecuali setelah diusahakan dengan sungguh-
sungguh tidak dapat tercapai, amka ditempuh dua cara, yaitu:
a. Putusan diambil dengan suara terbanyak; dan
b. Jika tidak diperoleh suara terbanyak, diambil pendapat hakim
yang menguntungkan terdakwa.
Mengenai ketentuan Pasal 182 ayat (6) tersebut, Rusli
Muhammad berpendapat bahwa ketentuan tersebut sangat
menguntungkan terdakwa karena jika dalam musayawarah tidak ada
kesepakatan pendapat di mana seorang hakim berpendapat bahwa
terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan sehingga
harus dijatuhi pidana penjara sementara hakim lainnya berpendapat
beda, yakni bahwa terdakwa justru tidak terbukti melakukan
perbuatan pidana yang didakwakan sehingga terdakwa harus
dibebaskan dari tuduhan hukum, sedangkan seorang hakim lainnya
tidak memberikan pendapatnya alias abstain, dan jika terjadi
demikian, putusan yang dijatuhkan kepada terdakwa pastilah putusan
berupa pembebasan dari tuduhan.
Putusan pengadilan sebagaimana ketentuan Pasal 1 butir 11
KUHAP dapat didefinisikan, yaitu: “Pernyataan hakim yang
diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa
pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam
hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini."
Berdasarkan definisi ini, Lilik Mulyadi berpendapakan bahwa putusan
30
hakim merupakan akhir dari proses persidangan pidana untuk tahap
pemeriksaan di pengadilan negeri.45
Mengenai sifat putusan hakim, Pasal 191 KUHAP
menentukan sebagai berikut:
(1) Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di
sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan
kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka
terdakwa diputus bebas.
(2) Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang
didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu
tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus
lepas dari segala tuntutan hukum.
(3) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2),
terdakwa yang ada dalam status tahanan diperintahkan untuk
dibebaskan seketika itu juga karena ada alasan lain yang sah,
terdakwa perlu ditahan.
45
Lilik Mulyadi, Op.cit., hlm. 123.
46
Ibid., hlm. 126.
31
a. Putusan bebas dari segala tuduhan hukum;
b. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum; dan
c. Putusan yang mengandung pemidanaan.47
Mengenai putusan bebas dari segala tuduhan hukum, dapat
diartikan adalah putusan pengadilan yang dijatuhkan kepada terdakwa
karena dari hasil pemeriksaan sidang kesalahan terdakwa atas
perbuatan yang didakwakan kepadanya dinyatakan tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan.
Putusan bebas ini dijelaskan pula dalam Pasal 191 ayat (1)
KUHAP, yaitu: "Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil
pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan
yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas."
47
Rusli Muhammad, Op.cit., hlm. 201.
48
Martiman Prodjohamidjojo, Putusan Pengadilan, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1983), hlm. 1983, sebagaimana dikutip Rusli Muhammad, Ibid.,
hlm. 201.
32
Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa adanya
dua alat bukti yang sah itu belumlah cukup bagi hakim untuk
menjatuhkan pidana bagi seseorang. Berdasarkan alat-alat bukti yang
sah itu, hakim juga perlu memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak
pidana benar-benar telah terjadi dan bahwa terdakwa telah bersalah
melakukan tindak pidana tersebut. Sebaliknya, keyakinan hakim saja
tidak cukup apabila keyakinan tersebut tidak ditimbulkan oleh
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.49
Mengenai putusan lepas dari segala tuntutan hukum, putusan
dijatuhkan kepada terdakwa yang setelah melalui pemeriksaan
ternyata menurut pendapat pengadilan, perbuatan yang didakwakan
kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu
tindak pidana.50
Jenis putusan ini dasar hukumnya dapat ditemukan dalam Pasal
191 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan:
Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan
kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan
suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala
tuntutan.
49
Rusli Muhammad, Ibid., hlm. 202.
50
Ibid.
33
dapat dipertanggungjawabkan meskipun perbuatan yang didakwakan
itu terbukti.51
Terhadap putusan yang mengandung pelepasan terdakwa dari
segala tuntutan hukum yang menyangkut kurang tepatnya penerapan
hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat, menurut Pasal 67
KUHAP tidak dapat dimintakan pemeriksaan tingkat banding.
Meskipun Pasal 67 KUHAP itu mengatakan demikian, tidak berarti
setiap putusan pengadilan tingkat pertama, yang mengandung
pelepasan dari segala tuntutan hukum terdakwa atau penuntut umum
tidak berhak meminta banding ke pengadilan tinggi.52
Mengenai putusan yang mengandung pemidanaan, jenis
putusan pengadilan ini merupakan putusan yang membebankan suatu
pidana terhadap terdakwa karena perbuatan yang didakwakan terbukti
secara sah dan meyakinkan bahwa terdakwa bersalah melakukan
perbuatan yang didakwakan itu.53 Putusan dengan pemidanaan telah
diatur pada Pasal 193 ayat (3) KUHAP yang berbunyi: “Jika
pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak
pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan
pidana.”
Kesalahan terdakwa dibuktikan dengan minimal adanya dua
alat bukti dan hakim yakin akan kesalahan terdakwa itu berdasarkan
alat bukti yang ada. Dengan adanya dua alat bukti dan keyakinan
hakim ini, berarti juga syarat menjatuhkan pidana telah terpenuhi.
Putusan yang mengandung pemidanaan dan jenis putusan pengadilan
lainnya yang sah dan mempunyai kekuatan hukum jika diucapkan
pada persidangan terbuka untuk umum, sebagaimana ditentukan pada
Pasal 195 KUHAP yang berbunyi: “Semua putusan pengadilan hanya
sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang
terbuka umum.”
Tujuan dan guna surat dakwaan adalah sebagai dasar atau
landasan pemeriksaan perkara di sidang pengadilan. Hakim dalam
51
Ibid., hlm. 203
52
Ibid., hlm. 203-204.
53
Ibid., hlm. 204.
34
memeriksa suatu perkara tidak boleh menyimpang dari apa yang
dirumuskan dalam surat dakwaan. Kalau begitu, seorang terdakwa
yang dihadapkan ke sidang pengadilan hanya dapat dijatuhi hukuman
karena telah terbukti melakukan tindak pidana seperti yang disebutkan
atau dinyatakan jaksa dalam surat dakwaan. Oleh karena itu
pendekatan pemeriksaan persidangan harus bertitik tolak dan
diarahkan kepada usaha membuktikan tindak pidana yang dirumuskan
dalam surat dakwaan. Penegasan prinsip inipun dapat dilihat dalam
putusan Mahkamah Agung tanggal 16-12-1976 No. 68K/KR/1973
yang mengatakan: “Putusan pengadilan haruslah berdasarkan pada
tuduhan, yang dalam hal ini berdasarkan Pasal 315 KUHP, walaupun
kata-kata yang tertera dalam surat tuduhan lebih banyak ditujukan
pada Pasal 310 KUHP.” Hal seperti inilah yang oleh sebagian hakim
dalam pemeriksaan persidangan adakalanya diabaikan. Sering
pemeriksaan sidang menyimpang dari yang dirumuskan dalam suarat
dakwaan yang mengakibatkan pemeriksaan dan pertimbangan putusan
menyimpang dari yang dimaksudkan dalam surat dakwaan.54
Prinsip lain yang dapat ditarik dari ketentuan KUHAP bahwa
hanya jaksa penuntut umum yang berhak dan berwenang
menghadapkan dan mendakwa seseorang yang dianggap melakukan
pidana di muka sidang pengadilan. Pada prinsipnya instansi lain tidak
dibenarkan menghadapkan dan mendakwa seseorang terdakwa kepada
hakim di muka sidang pengadilan. Inilah prinsip umum. Akan tetapi
tentu terhadap prinsip umum ini terdapat pengecualian. Pengecualian
tersebut terhadap pada pemeriksaan perkara tindak pidana acara
ringan dan acara pemeriksaan pelanggaran lalu lintas jalan
berdasarkan Pasal 205 ayat (2) dan Pasal 212 KUHAP.
54
M. Yahya Harahap, Pembahsan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP Jilid I, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1993), hlm. 419.
35
D. Landasan Filosofis Kewenangan Hakim Memeriksa dan
Memutus Perkara Berdasarkan Dakwaan Jaksa Penuntut
Umum
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
menegaskan bahwa negara Indonesia berdasarkan atas hukum, tidak
berdasarkan atas kekuasaan belaka. Ini berarti hukum memegang
peranan penting bagi kehidupan negara dan masyarakat. Hukum
merupakan pedoman tingkah laku bagi segenap anggota masyarakat
yang meliputi untuk semua aspek kehidupan, dengan terwujudnya
ketertiban dan keadilan. Kurangnya rasa keadilan yang dilindungi
hukum akan merupakan salah satu sumber keresahan masyarakat.
Pemerataan memperoleh keadilan sangat penting dalam keseluruhan
pembangunan. Sebab, rasa keadilan merupakan salah satu naluri
manusia yang sangat kuat. Tanpa terpenuhinya rasa keadilan,
kemajuan di bidang apapun pasti akan tetap menggelisahkan hati
masyarakat.55
Dalam penyelenggaraan keadilan dalam masyarakat yang
sedang berubah, Satjipto Rahardjo sebagaimana dikutip Djoko
Prakoso menyebutkan bahwa “Dalam keadaan pertentangan-
pertentangan yang dapat membahayakan ketertiban dan keamanan
menuntut dilakukannya penyelesaian secara cepat dan kasuistik dan
tidak dapat ditampung dalam bentuk penyelesaian secara umum
(generalisasi), seperti lazimnya dikerjakan oleh pengaturan hukum”. 56
Lembaga peradilan merupakan pelaksana atau penerap hukum
terhadap suatu perkara dengan suatu putusan hakim yang bersifat
melihat, putusan mana dapat berupa pemidanaan terhadap orang yang
bersalah. Lembaga peradilan pada hakikatnya merupakan tempat
pengujian dan perwujudan negara hukum, merupakan barometer
kemampuan negara, sehingga tanpa pandang bulu siapa yang
melanggar hukum akan menerima hukuman yang setimpal dengan
55
Djoko Prakoso, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, Dalam Proses
Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 291.
56
Ibid.
36
perbuatannya, dan semua kewajiban yang berdasarkan hukum akan
terpenuhi.57
Hakim adalah salah satu elemen dasar dalam sistem peradilan
selain jaksa dan penyidik, yaitu kejaksaan dan kepolisian, sebagai
subjek yang melakukan tindakan putusan atas suatu perkara di dalam
suatu pengadilan. Hakim merupakan personifikasi atas hukum harus
menjamin rasa keadilan bagi setiap orang yang mencari keadilan
melalui proses hukum legal, dan untuk menjamin rasa keadilan itu
maka seorang hakim dibatasi oleh rambu-rambu, seperti akuntabilitas,
integritas, moral dan etika, transparansi dan pengawasan.58
Kemandirian hakim tidak tergantung kepada apa atau
siapapun, dan oleh karena itu bebas dari pengaruh apa atau siapapun.
Hakim atau peradilan yang merupakan tempat orang mencari keadilan
harus mandiri, independen dalam arti tidak tergantung atau terikat
pada siapapun, sehingga tidak harus memihak kepada siapapun agar
putusannya objektif. Kemandirian menuntut hakim dalam memeriksa
dan memutus perkara harus bebas. Dengan demikian kemandirian
hakim tidak dapat dipisahkan dari kebebasan hakim, tetapi merupakan
satu kesatuan.59
Terdapat ajaran hukum bebas (freirechtslehre) yang
merupakan penentang paling keras positivisme hukum. Dalam
penentangan terhadap positivisme hukum itu, freirechtslehre sejalan
dengan kaum realis di Amerika. Aliran freirechtslehre tidak berhenti
sampai pada analisis hukum sebagai kenyataan dalam masyarakat.
Penemuan hukum bebas bukanlah peradilan yang tidak terikat pada
undang-undang, hanya saja undang-undang tidak merupakan peranan
utama, tetapi sebagai alat bantu untuk memperoleh pemecahan yang
tepat menurut hukum dan yang tidak perlu harus sama dengan
penyelesaian undang-undang. Aliran ini muncul terutama di Jerman
57
Ibid., hlm. 291.
58
Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim, (Jakrata: Kencana
Prenada Media Group, 2012), hlm. 167.
59
Ibid., hlm. 168.
37
dan merupakan sintesis dari proses dialektika antara ilmu hukum
analitis dan ilmu hukum sosiologis.60
Aliran hukum bebas bependapat bahwa hakim mempunyai
tugas menciptakan hukum. Penemu hukum yang bebas tugas. Penemu
hukum yang bebas tugasnya bukanlah penerapan undang-undang,
tetapi menciptakan penyelesaian yang tepat untuk peristiwa kongkret,
sehingga peristiwa-peristiwa berikutnya dapat dipecahkan menurut
norma yang telah diciptakan oleh hakim. Tidak mustahil penggunaan
metode penemuan hukum bebas ini akan menghasilkan pemecahan
yang sama seperti metode-metode yang lain. Hal ini merupakan titik
tolak cara pendekatan problematis. Penggunaan hukum bebas tidak
akan berpendirian harus memutuskan demikian karena bunyi undang-
undang adalah demikian.61
60
Boy Nurdin, Op.cit., hlm. 96.
61
Ibid.
38
BAB III
PRAKTIK HAKIM MEMUTUS PERKARA
DI LUAR DAKWAAN JAKSA PENUNTUT UMUM
44
kurang lebih tiga meter dan selanjutnya korban langsung pulang ke
rumahnya.
Akibat perbuatan Terdakwa tersebut, korban RADIA
mengalami luka memar sesuai dengan hasil VISUM ET REPERTUM
yang dikeluarkan dan di tandatangani oleh dr. NI NYOMAN
JULIARTI pada Puskesmas Pangi dengan hasil pemeriksaan
menyebutkan bahwa korban RADIA mengalami memar (lebam) pada
betis bagian belakang atas sebelah kiri dengan diameter ± 5 cm.
Kesimpulan : Adanya lebam pada betis bagian belakang akibat
benturan benda tumpul. Perbuatan Terdakwa diatur dan diancam
pidana dalam Pasal 351 Ayat (1) KUHPidana.
46
Pada bagian MENGADILI, Mahkamah Agung mengabulkan
permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi Jaksa Penuntut Umum pada
Kejaksaan Negeri Parigi. Mahkamah Agung membatalkan putusan
Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah, Nomor 63/PID/2010/PT.PALU,
tanggal 02 November 2010, yang menguatkan putusan Pengadilan
Negeri Parigi, Nomor 135/Pid .B/2009/PN.PRG, tanggal 20 Jul i
2010.
Selanjutnya dengan mengadili sendiri Mahkamah Agung
menyatakan Terdakwa SITI SULAIHA alias LILI, terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Penganiayaan” .
Mahkamah Agung menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa SITI
SULAIHA alias LILI oleh karena itu dengan pidana penjara selama 2
(dua) bulan. Mahkamah Agung menetapkan pidana tersebut tidak
perlu dijalani kecuali di kemudian hari ada putusan pengadilan yang
menentukan lain, Terdakwa melakukan suatu tindak pidana sebelum
berakhirnya masa percobaan selama 4 (empat) bulan.
Berdasarkan uraian Putusan Mahkamah Agung Nomor 689
K/Pid/2011 tersebut dapat disimpulkan bahwa Pengadilan Negeri
Parigi telah salah dalam menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa SITI
SULAIHA alias LILI oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1
(satu) bulan karena terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana penganiayaan ringan sebagaimana diatur
pada Pasal 352 ayat (1) KUHP yang berbunyi:
(1) Lain daripada hal tersebut dalam Pasal 353 san 356,
penganiayaan yang tidak menyebabkan sakit atau
halangan untuk menjalankan jabatan atau pekerjaan,
dipidana sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana
penjara selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-
banyaknya empat ribu lima ratus rupiah. Pidana ini dapat
ditambah sepertiganya bagi orang yang melakukan
kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya atau
yang di bawah perintahnya.”
47
Padahal Jaksa Penuntut Umum tidak mendakwa SITI
SULAIHA alias LILI dengan Pasal 352 ayat (1) KUHP, melainkan
dengan Pasal 351 Ayat (1) KUHPidana yang berbunyi:
(1) Penganiayaan dipidana dengan pidana penjara selama-
lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-
banyaknya empat ribu lima ratus rupiah.
48
Dalam Dakwaan Subsidiar, mereka Terdakwa baik sendiri
maupun bersama-sama dengan bersekutu pada waktu dan tempat yang
disebutkan dalam dakwaan primair di atas, dengan sengaja memiliki
dengan melawan hukum telah mengambil rantai kalung mas
kepunyaan saksi Ny. Salimin al. Suyamti berat 24,5 gram seharga Rp.
280.000,-, caranya ialah mengambil pada leher saksi yang sedang
mengendarai sepeda ontel, kemudian mereka terdakwa melarikan diri
dengan sepeda motor Yamaha, kalungnya diambil, mana baik
seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain. Perbuatan
tersebut melanggar Pasal 362 jo. Pasal 55 KUHP.
b. Putusan Pengadilan Negeri
Terhadap perkara sebagaimana diuraikan di atas, Pengadilan
Negeri Boyolali menjatuhkan putusan yang amarnya antara lain
sebagai berikut: Pengadilan Negeri Boyolali menyatakan terdakwa
Siswanto alias Darwan dan Hadiwinarto alias Suroto “Melakukan
kejahatan pencurian dengan kekerasan yang dilakukan secara
bersama-sama” melanggar Pasal 365 ayat (1) dan ayat (2) sub 4
KUHP. Pengadilan Negeri Boyolali menghukum mereka oleh
karenanya dengan hukuman penjara selama masing-masing 1 tahun 3
bulan.
c. Putusan Pengadilan Tinggi Nomor 32/Pid/S/1986/PT. Smg
Pada pemeriksaan di tingkat banding, putusan tersebut
diperbaiki oleh Pengadilan Tinggi Semarang dengan putusannya
tanggal 3 Maret 1986 No. 32/Pid/S/1986/PT. Smg yang amarnya
berbunyi sebagai berikut: Pengadilan Tinggi Semarang menerima
permohonan banding dari Jaksa Penuntut Umum dan para Terdakwa
tersebut. Pengadilan Tinggi Semarang memperbaiki Putusan
Pengadilan Negeri Boyolali tanggal 13 Januari 1986 No.
175/Pid.S/1985/PN.Bi yang dimohonkan banding tersebut sekedar
mengenai pidana yang dijatuhkan terhadap Terdakwa II dan
penentuan mengenai barang bukti, sehingga dalam amarnya,
Pengadilan Tinggi Semarang menyatakan Terdakwa-Terdakwa
terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum telah melakukan
kejahatan pencurian dengan kekerasan yang dilakukan secara
bersama-sama. Perbuatan ini melanggar Pasal 365 ayat (1) dan ayat
49
(2) ke-1; ke-2 jo. Pasal 55 KUHP. Pengadilan Tinggi Semarang
menghukum para terdakwa oleh karena kesalahannya itu Siswanto
alias Darwan dengan hukuman penjara selama 1 (satu) tahun 3 (tiga)
bulan; dan Hadiwinarto alias Suroto dengan hukuman penjara selama
10 (sepuluh) bulan.
d. Putusan Mahkamah Agung Nomor 693 K/Pid/1986
Mahkamah Agung berpendapat bahwa amar putusan
Pengadilan Tinggi Semarang yang memperbaiki putusan Pengadilan
Negeri Boyolali dalam kualifikasi dari perbuatan yang terbukti
dipesalahkan pada Terdakwa harus diperbaiki berdasarkan
pertimbangan sebagai berikut: Benar kekerasan dalam perkara ini
terbukti, tetapi kekerasan itu merupakan cara melakukan pencurian,
sedangkan yang dimaksud dengan kekerasan dalam Pasal 365 ayat (1)
KUHP adalah sarana (middle) untuk memungkinkan sesuatu yang
dikehendaki. Jadi satu tahap sebelum in casu pencurian yang diniatkan
untuk dilakukan.
Mahkamah Agung mempertimbangkan bahwa benar yang
didakwakan adalah pencurian dengan pemberatan (gequalificeerde
diefstal), dengan sendirinya pencurian-pencurian yang lebih ringan
termasuk juga dalam dakwaan in casu Pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP.
Dari uraian putusan Mahkamah Agung tersebut di atas dapat
disimpulkan bahwa Mahkamah Agung menjatuhkan putusan dengan
memperbaiki amar putusan Pengadilan Tinggi Semarang Nomor
32/Pid/S/1986/PT. Smg khususnya mengenai kualifikasi dan rumusan
terbuktinya kesalahan terdakwa. Putusan Mahkamah Agung a quo
dapat dinilai sebagai putusan perkara di luar dakwaan jaksa penuntut
umum atas dasar kesamaan jenis perbuatan atau serumpun yang
ancaman pidananya lebih ringan dari yang didakwakan.
52
Majelis Hakim menilai persidangan perkara pidana mencari
kebenaran materil dari sebuah kasus, dan bukan semata mencari
kebenaran formil sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum,
karena itu kelemahan yang mungkin saja timbul dalam dakwaan Jaksa
Penuntut Umum, menjadi kewenangan Majelis Hakim untuk
menyempurnakannya disesuaikan dengan fakta yang terungkap
dipersidangan, disamping itu menurut hemat Majelis Hakim ketentuan
Pasal 55 ke-1 KUHP tersebut adalah merupakan pasal pelengkap atau
asessoir dari pasal pokoknya, sehingga Majelis Hakim dapat
mengenakan pasal pokoknya saja, tanpa perlu mempertimbangkan
pasal pelengkapnya. Lagi pula, sesuai dengan Yursiprudensi
Indonesia, Hakim diperkenankan memutuskan kesalahan Terdakwa di
luar dakwaan Jaksa Penuntut Umum, sepanjang bersesuaian dengan
fakta yang terungkap dipersidangan dan perbuatan tersebut terbukti.
Dari uraian putusan Pengadilan Negeri Ranai tersebut di atas
dapat disimpulkan bahwa Pengadilan Negeri Ranai telah menjauhkan
putusan dengan menyimpangi surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum
dan dapat dinilai sebagai putusan perkara di luar dakwaan Jaksa
Penuntut Umum atas dasar kesamaan jenis perbuatan yang ancaman
pidananya lebih tinggi dari yang didakwakan.
55
melanggar Pasal 111 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009).
Dari uraian putusan Mahkamah Agung tersebut di atas dapat
disimpulkan bahwa Mahkamah Agung menerima dan membenarkan
putusan Judex Facti yang tidak berdasarkan surat dakwaan Jaksa
Penuntut Umum dan dapat dinilai sebagai putusan perkara di luar
dakwaan Jaksa Penuntut Umum atas dasar perbedaan peran
(identifikasi pelaku).
58
c. Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya No.
571/PID/2011/PT.SBY
Terhadap putusan Pengadilan Negeri Bangkalan Nomor
124/Pid.B/2011/PN.Bkl tanggal 27 Juli 2011 diajukan banding dengan
putusan Pengadilan Tinggi Surabaya No. 571/PID/2011/PT.SBY
tanggal 26 September 2011 yang amarnya antara lain sebagai berikut:
Pengadilan Tinggi Surabaya menerima permintaan banding dari Jaksa
Penuntut Umum. Pengadilan Tinggi Surabaya menguatkan putusan
Pengadilan Negeri Bangkalan tanggal 27 Juli 2011 Nomor :
124/Pid.B/2011/PN.Bkl., yang dimintakan banding tersebut.
61
3. Semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia
adalah peradilan negara yang diatur dengan undang-undang;
4. Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Yang dimaksud dengan “sederhana” adalah pemeriksaan dan
penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efesien dan efektif. Yang
dimaksud dengan “biaya ringan” adalah biaya perkara yang dapat
dijangkau oleh masyarakat. Namun demikian, asas sederhana, cepat,
dan biaya ringan dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara di
pengadilan tidak mengesampingkan ketelitian dan kecermatan dalam
mencari kebenaran dan keadilan.
Mengenai kemandirian hakim, Pasal 3 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 menentukan bahwa hakim dalam menjalankan
tugas dan fungsinya berkewajiban menjaga kemandirian peradilan.
Kemandirian peradilan maksudnya adalah bebas dari campur tangan
pihak luar dan bebas dari segala bentuk tekanan, baik fisik maupun
psikis. Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain
di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Lebih lanjut berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004, hakim dan hakim konstitusi
berkewajiban menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Terkait kewenangan hakim dalam memutus perkara
dibutuhkan pemahaman mengenai aliran hukum. Aliran Positivisme
yang dikemukakan oleh HLA. Hart, seorang tokoh aliran positivisme
hukum dalam karyanya Positivism and the Separation of Law and
Moral sebagai berikut: Hukum adalah satu perintah yang datangnya
dari manusia. Tidak ada hubungan yang mutlak antara hukum dan
kesusilaan, atau antara hukum yang berlaku (law as it is) dan hukum
yang dicita-citakan (law as it ought to be). Analisis mengenai
pengertian hukum (legal concept) adalah penyelidikan secara sejarah
tentang sebab musabab hukum atau tentang sumber hukum. Analisis
juga mengenai penyelidikan secara sosiologis mengenai hubungan
hukum dengan gejala-gejala kemasayarakatan lainnya, penyelidikan
62
hukum yang didasarkan pada kesusilaan, dan tujuan-tujuan sosial
fungsi hukum dan sebagainya. Sistem hukum adalah suatu sistem
logika yang tertutup (closed logical syatem). Pada sistem ini,
ketentuan-ketentuan hukum yang benar bisa diperoleh dengan alat-alat
logika (logical means) dari peraturan-peraturan hukum yang telah
ditetapkan sebelumnya, pada memperhatikan tujuan-tujuan sosial,
politik, ukuran-ukuran moral dan sebagainya. Pertimbangan-
pertimbangan mengenai kesusilaan tidak dapat dibuat atau dibuktikan
dengan mempergunakan argumentasi-argumentasi dan bukti-bukti
berdasarkan logika, misalnya dalam hal keterangan-keterangan
tentang fakta-fakta (non cognitivism in ethics).62
Ajaran positivisme hukum adalah mengenai keyakinan bahwa
hukum yang ada, hukum yang berlaku pada saat tertentu dan pada
tempat tertentu. Menurut Auguste Comte, salah seorang peletak dasar
filsafat positivisme memunculkan doktrin bahwa pengalamanlah yang
dianggap benar, karena dapat dipastikan (diselidiki) dalam kenyataan
melalui ilmu pengetahuan, sehingga dapat ditentukan bahwa sesuatu
itu adalah sesuai kenyataaan (kebenaran).63
Positivisme hukum (mazhab hukum positif) memandang perlu
memisahkan secara tegas antara hukum dan moral (antara hukum
yang berlaku dan hukum yang seharusnya, antara das sein dan dan
sollen). Dalam pandangan kaum positivis tidak ada hukum lain selain
perintah penguasa. Bahkan, bagian mazhab hukum positif yang
dikenal dengan mazhab legisme berpendapat lebih tegas, bahwa
hukum adalah undang-undang. Dengan dasar konsep filsafat
positivisme, mazhab positivisme hukum merumuskan sejumlah
premis dan postulat mengenai hukum yang menghasilkan pandangan
dasar mazhab positivisme hukum bahwa:
62
Soetikno, Filsafat Hukum Bagian 1, (Jakarta: PT Pradnya Paramita,
2004), hlm. 53 sebagaimana dikutip Teguh Prasetyo dan Abdul Halim
Barkatullah, Filsafat, Teori, & Ilmu Hukum Pemikiran Menuju Masyarakat
yang Berkeadilan dan Bermartabat, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2012), hlm. 193-194.
63
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Ibid., hlm. 201.
63
a. Tata hukum suatu negara berlaku bukan karena mempunyai
dasar dalam kehidupan sosial, maupun dalam jiwa bangsa,
dan juga bukan berdasarkan hukum alam, namun mendapat
bentuk positifnya dari instansi yang berwenang;
b. Hukum harus dipandang semata-mata dari bentuk formalnya,
dengan demikian harus dipisahkan dari bentuk materialnya.
c. Isi hukum atau material hukumdiakui ada, tetapi bukan
menjadi bahan ilmu hukum, karena hal tersebut dapat merusak
kebenaran ilmiah ilmu hukum.64
64
Ibid., hlm. 201-202.
65
Ibid.
66
Ibid.
64
pertanggungjawaban, untuk menerima hukuman atau sanksi, dan
superioritas. Sanksi menurut Austin adalah semata-mata sebagai suatu
bentuk membebankan penderitaan (punishment bukan reward). Yang
disebut terakhir membawa Austin pada anlisisnya tentang
"kedaulatan" yang terkenal dan berpengaruh' "law strictly so called"
(kaidah-kaidah hukum positif) adalah perintah-perintah dari mereka
yang secara politik berkedudukan lebih tinggi (political superiors)
kepada mereka yang secara politik berkedudukan lebih rendah
(political inferiors).67
Law is a commad of the law giver (teori perintah-
bevelstheory). Hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang
berdaulat dalam suatu negara. Austin memisahkan antara hukum
dengan keadilan yang didasarkan atas gagasan-gagasan tentang baik
dan buruk dan didasarkan pula atas kekuasaan yang lebih tinggi.
Hukum adalah perintah dari penguasa yang memegang kekuasaan
tertinggi dan berdaulat. Aturan hukum yang diberlakukan di tengah-
tengah masyarakat adalah aturan tertulis sebagai pengejawantahan
kehendak dan keinginan penguasa. Hukum sebagai perintah memaksa
dalam keberlakuannya dapat saja adil atau sebaliknya. Adil atau tidak
adil tidak penting dalam penerapan hukum karena hal tersebut
merupakan kajian ilmu politik dan sosiologi.68
Hukum dari segi sifatnya dikonsepsikan sebagai suatu sistem
yang bersifat logis, tetap dan tertutup (closed logical system). Konsep
ini secara tegas memisahkan hukum dan moral (yang berkaitan
dengan keadian). Implementasi aturan hukum dalam masyarakat tidak
harus mempertimbangkan dan menilai dengan mengenai baik dan
buruk, karena hal tersebut berada di luar kajian hukum. Hukum yang
sesungguhnya adalah hukum yang memuat kaidah perintah, larangan,
sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Tanpa kaidah tersebut sebuah
aturan tidak dapat disebut hukum, tetapi hanya bisa dikatakan sebagai
aturan moral.
67
Ibid.
68
Ibid.
65
Austin meredukti hukum dengan menjelaskan bahwa hukum
adalah perintah yang berdaulat dengan menempatkan lembaga-
lembaga yang superior adalah upaya untuk mereduksi kekuatan-
kekuatan lain selain negara, terutama kekuatan-kekuatan yang hidup
dalam masyarakat yang sangat beragam.hlm. 204.
Dalam buku The Province Jurisprudence Determined, Austin
menyatakan bahwa hukum adalah perintah yang mengatur orang
perorang. Hukum dan perintah lainnya sebagai perintah untuk
dilaksanakan berasal dari pihak superior (penguasa) untuk mengikat
atau mengatur pihak inferior. Hukum adalah perintah yang
memaksadan mengikat , yang dapat saja bijaksana dan adil, atau
sebaliknya. Austin mula-mula membedakan hukum dalam dua jenis:
(1) hukum dari Tuhan (devine laws), dan (2) hukum yang dibuat
manusia. Mengenai hukum yang dibuat manusia ini Austin
membedakan lagi menjadi : (1) hukum yang sebenarnya (disebut juga
hukum positif) meliputi hukum yang dibuat oleh penguasa dan hukum
yang disusun oleh manusia secara individu untuk melaksanakan hak-
hak yang diberikan kepadanya; dan (2) hukum yang tidak sebenarnya
adalah hukum yang tidak dibuat oleh penguasa, sehingga tidak
memenuhi persyaratan sebagai hukum, misalnya ketentuan yang
dibuat suatu organisasi olahraga. Hukum yang sebenarnya memiliki
empat unsut yaitu (1) perintah (command), (2) sanksi (sanction), (3)
kewajiban (duty), dan (4) kedaulatan (souvereignty).69
Mengenai aliran Hukum Murni, Hans Kelsen membedakan
secara tajam antara "yang ada" (is) dan "yang seharusnya" (the ought),
dan secara konsekuen antara ilmu-ilmu alam dan disiplin-disiplin,
seperti ilmu hukum yang mempelajari fenomena "normative". Bagi
Kelsen hukum berurusan dengan bentuk (formal), buka isi (material).
Jadi, keadilan sebagai isi hukum berada di luar hukum, dengan
demikian hukum dapat saja tidak adil, tetapi ia tetaplah hukum karena
dikeluarkan oleh penguasa.70
69
Ibid., hlm. 205.
70
Ibid.
66
Menurut Hans Kelsen, penerapan hukum harus dengan
pendekatan metode normatif-yuridis yang bersih dari anasir non-
yuridis seperti sosiologis, politis, historis, dan etika. Peraturan hukum
selalu merupakan hukum positif (tertulis).71 Konsepsi hukum
positif (tertulis) adalah hukum dalam kenyataan (sollen kategories)
dan bukan hukum yang seharusnya atau yang dicita-citakan (sein
categories). Seorang ahli hukum tidak bisa bekerja dalam bidang
sollen dengan konstruksi pemikiran dan dunia sein. Baginya hukum
adalajh suatu keharusan yang mengatur manusia sebagai mahluk
hidup rasional. Dalam hal ini harus dipersoalkan oleh hukum bukanlah
bagaimana hukum itu seharusnya, tetapi apa hukumnya. Dengan
demikian, meskipun hukum itu sollenskategorie(kategori
keharusan/ideal) yang dipakai adalah hukum positif (ius constitutum),
bukan hukum yang dicita-citakan (ius constituendum). Di dalam
positivisme hukum (positivisme yuridis dan analitikal positivisme)
hukum direduksi sedemikian rupa, sebagaimana Kelsen mereduksi
realitas hukum yang bersifat beragam menjadi tunggal atau realitas
hukum yang bersih dari unsur-unsur nonyuridis.72
Menurut Hans Kelsen, hukum berdasarkan cirinya adalah a
coercive order atau suatu "tatanan yang memaksa". Semua tatanan
spasial memnpunyai sanksi, dan sanksi tidak hanya berupa hukuman
(punishment), tetapi dapat juga berupa ganjaran (reward). Salah satu
ciri yang menonjol pada teori Kelsen adalah bahwa setiap hukum
harus mempunyai alat pemaksa, agar dapat terasa ketenteraman dalam
batin masyarakat. (The law is, to be sure an ordering for promotion of
peace, in that it for bids they use of force in re)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kewenangan
hakim dalam memutus perkara telah diatur dalam Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman merupakan
kekuasaan merdeka yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Hukum positif tetap
71
Ibid.
72
Ibid., hlm. 206.
67
dijadikan sebagai acuan utama, namun ada kebebasan hakim untuk
tidak dapat dibatasi oleh rumusan-rumusan pasal-pasal undang-
undang.
73
Romly Atmasasmita, Teori Hukum Intregratif Rekonstuksi
Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif,
(Yogyakarta: Genta Publishing, 2012), hlm. 86.
74
Ibid., hlm. 87.
75
Ibid., hlm. 87-88.
68
2. Hukum memberi dukungan dan pengarahan kepada upaya
pembangunan untuk mencapai kemakmuran yang adil dan
merata;
3. Hukum menumbuhkan dan mengembangkan disiplin nasional
dan tanggungjawab sosial pada setiap anggota masyarakat;
4. Hukum menciptakan iklim dan lingkungan yang mendorong
kreativitas dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan
serta mendukung stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.76
Hukum Progresif memiliki karakteristiknya sendiri yang
uraiannya sebagai berikut. Paradigma dalam hukum progresif adalah
bahwa hukum adalah untuk manusia. Pegangan, optik atau keyakinan
ini tidak melihat hukum sebagai sesuatu yang sentral dalam
berhukum, melainkan manusialah yang berada di titik pusat
perputaran hukum. Hukum berputar di sekitar manusia sebagai
pusatnya. Hukum ada untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.
Apabila kita berpegang pada keyakinan, bahwa manusia akan selalu
diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk ke dalam
skema-skema yang telah dibuat oleh hukum.77
Manusia selalu merupakan unikum. Kendati demikian,
karakteristik itu tidak mendapatkan tempat dalam hukum. Di sini
hukum sudah bekerja seperti mesin yang tinggal memencet tombol
saja, ibarat mesin otomat (subsumptie automaat). Sementara itu
hukum harus bekerja dengan rumusan-rumusan hukum dalam
perundang-undangan, yang telah menyempitkan atau mereduksi
perbuatan manusia yang unik itu ke dalam skema atau standar
tertentu. Alih-alih menimbulkan ketertiban hukum dan keteraturan,
hukum nasional malah menjadi beban bagi kehidupan lokal, begitu
menurut bernard.78
Hukum Progresif menolak untuk mempertahankan keadaan
status quo dalam berhukum. Mempertahankan status quo memberi
76
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif : Sebuah Sintesa Hukum
Indonesia, Yogyakarta : Genta Publishing, 2009), hlm. 1-6 sebagaimana
dikutip dalam Romli Atmasasmita, Ibid., hlm. 88.
77
Satjipto Rahardjo, Ibid. hlm. 61.
78
Ibid., hlm. 61-62.
69
efek yang sama, seperti pada waktu orang berpendapat bahwa hukum
adalah tolak ukur untuk semuanya, dan manusia adalah untuk
berhukum. Cara berhukum yang demikian itu sejalan dengan cara
posivistik, normatif, dan legalistik. Sekali undang-undang mengatakan
atau merumuskan seperti itu, kita bisa berbuat banyak, kecuali
hukumnya diubah lebih dulu. Hal lain yang berhubungan dengan
penolakan terhadap cara berhukum yang pro status quo berkaitan
dengan perumusan-perumusan masalah ke dalam perundang-
undangan. Substansi undang-undang itu berangkat dari gagasan
tertentu dalam masyarakat yang kemudia bergulir ke lembaga atau
badan legislatif. Dalam lembaga inilah suatu gagasan itu kemudian
dirumuskan dalam kata serta kalimat dan akhirnya menjadi undang-
undang.79
Peradaban hukum tertulis akan memunculkan sekalian akibat
dan risiko sebagaimana dikemukakan di atas. Terkait dengan hal ini,
cara berhukum sebaiknya juga mengantisipasi tentang bagaimana
mengatasi hambatan-hambatan dalam menggunakan hukum tertulis
tersebut. Secara ekstrem, tidak dapat menyerahkan kepada masyarakat
untuk spenuhnya tunduk kepada hukum yang tertulis tersebut.
Berhukum yang lebih baik dan sehat adalah memberikan lorong-
lorong untuk melakukan pembebasan dari hukum dari hukum
formal.80
Hukum Progresif memberikan perhatian besar terhadap
peranan prilaku manusia dalam hukum. Ini bertentangan diametral
dengan paham, bahwa hukum itu hanya urusan peraturan. Peranan
manusia di sini merupakan konsekuensi terhadap pengakuan, bahwa
sebaiknya kita tidak berpegangan secara mutlak kepada teks formal
suatu perturan. Risiko besar akan dihadapi jika menyerah bulat pada
peraturan.81
Cara berhukum yang penting untuk mengatasi kemandegan
atau stagnasi adalah dengan membebaskan diri dari dominasi yang
79
Ibid., hlm. 62.
80
Ibid., hlm. 64.
81
Ibid., hlm. 66.
70
membuta kepada teks undang-undang. Cara seperti ini bisa dilakukan
apabila kita melibatkan unsur manusia atau perbuatan manusia dalam
hukum.82
Hukum Progresif melihat, mengamati dan ingin menemukan
cara berhukum yang mampu memberi jalan dan panduan bagi
kenyataan. Pengamatan dan pengalaman terhadap peta perjalanan dan
kehidupan hukum yang demikian itu menghasilkan keyakinan, bahwa
hukum itu sebaiknya bisa membiarkan semua mengalir secara alami
saja. Hal ini bisa tercapai apabila setiap kali hukum bisa melakukan
pembebasan terhadap sekat dan penghalang yang menyebabkan
hukum menjadi mandek, tidak lagi mengalir. Artinya, kehidupan dan
manusia tidak memperoleh pelayanan yang baik dari hukum.83
Hukum progresif adalah cara berhukum yang selalu gelisah
untuk membangun diri, sehingga berkualitas untuk melayani dan
membawa rakyat kepada kepada kesejahteraan dan kebahagiaan. Ideal
tersebut dilakukan dengan aktivitas yang berkesinambungan antara
merobohkan hukum, yang mengganjal dan menghambat
perkembangan (to arrest development) untuk membangun yang lebih
baik.84
Secara ringkas, hukum progresif sesungguhnya sederhana,
yaitu melakukan pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun
bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan hukum itu
mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi keapda manusia
dan kemanusiaan.85
Mengenai gagasan pengadilan progresif, Satjipto Rahardjo
dengan berfokus pada pengadilan tingkat kasasi berpendapat bahwa
pada tingkat kasasi, pengadilan tidak lagi melihat dan membicarakan
fakta. Yang dilakukan adalah memeriksa apakah hukum telah
dijalankan dengan benar oleh pengadilan tingkat bawah. Membaca
sepintas, orang bisa berkesimpulan, yang diperlukan MA hanya
membaca teks undang-undang dan menggunakan logika hukum (baca:
82
Ibid.
83
Ibid.,hlm. 69.
84
Ibid.
85
Ibid.
71
logika peraturan). Berdasarkan hal-hal yang terungkap dalam tingkat-
tingkat persidangan sebelumnya, MA akan memeriksa apakah
peraturan yang digunakan hakim di PN dan PT untuk menjatuhkan
putusan sudah benar. Bila benar demikian, tidak aka nada pintu masuk
bagi pengadilan progresif. Pengadilan progeresif adalah proses yang
sarat dengan compassion (Jawa: greget) yang memuat empati,
determinasi, nurani, dan sebagainya.86
Karakteristik pengadilan yang demikian itu tentu akan bisa
diekspresikan dengan baik manakala pengadilan sendiri memeriksa
kenyataan yang terjadi, tidak hanya menggunakan kredo “peraturan
dan logika”. Di situ hakim akan bisa menyaksikan sendiri “daging dan
darah” perkara yang diperiksa. Masalah menjadi gawat saat
pengadilan hanya melihat peraturan dan fakta yang tersaji tanpa
mengorek lebih dulu.Tumpuannya terletak pada bagaimana suatu teks
undang-undang akan dibaca untuk kemudian diterapkan terhadap
kejadian yang sudah terekam dalam dokumen.87
Menurut Satjipto, mengenai hakim progresif, pengadilan
progresif mengikuti maksim, “ hukum adalah untuk rakyat bukan
sebaliknya”. Bila rakyat adalah untuk hukum, apapun yang dipikirkan
dan dirasakan rakyat akan ditepis karena yang dibaca adalah kata-kata
undang-undang. Dalam hubungan ini, pekerjaan hakim menjadi lebih
kompleks. Seorang hakim bukan hanya teknisi undang-undang, tetapi
juga mahluk social. Karena itu, pekerjaan hakim sungguh mulia
karena ia bukan hanya memeras otak, tetapi nuraninya.88
Pokok-pokok pikiran atau teori Hukum Progresif oleh Satjipto
Rahardjo oleh Romli Atmasasta dapat diringkas sebagai berikut :
1. Hukum menolak tradisi analytical jurisprudence atau
rechtsdogmatief dan berbagai paham dengan aliran seperti
legal realism, freirechtslehre, sociological jurisprudence,
interresenjurisprudenz di Jerman, teori hukum alam dan
critical legal studies.
86
Ibid., hlm. 190.
87
Ibid.
88
Ibid., hlm. 191.
72
2. Hukum menolak pendapat bahwa keterlibatan (order) hanya
bekerja melalui institusi-institusi kenegaraan.
3. Hukum progresif ditujukan untuk melindungi rakyak menuju
kepada ideal hukum.
4. Hukum menolak status-quo serta tidak ingin menjadikan
hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani, melainkan
suatu institusi yang bermoral.
5. Hukum adalah institusi yang bertujuan mengantar manusia
kepada kehidupan yang adil, sejahtera, dan membuat manusia
bahagia.
6. Hukum progresif adalah “hukum yang pro rakyat” dan
“hukum yang pro keadilan”
7. Asumsi dasar hukum progresif adalah bahwa “hukum adalah
untuk manusia”, bukan sebaliknya. Berkaitan dengan hal
tersebut, hukum tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan
untuk sesuatu yang lebih luas dan lebih besar. Dengan
demikian, jika setiap kali ada masalah dalam dan dengan
hukum, maka hukumlah yang ditinjau dan diperbaiki, bukan
manusia yang dipaksakan untuk dimasukkan ke dalam sistem
hukum.
8. Hukum bukan merupakan suatu institusi yang absolute dan
final, nelainkan bergantung pada bagaimana mansusia melihat
dan menggunakannya. Manusialah yang merupakan penentu.
9. Hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law
as a process, law in the making).89
89
Romli Atmasasmita, Op.cit., hlm. 88-89.
73
April 1847 yang termuat dalam Staatsblad 1847 No. 23, dan hingga
saat ini masih berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-
Undang Dasar 1945 yang menyatakan: “Segala badan Negara dan
peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan
yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.”
Pasal 22 AB menyebutkan (dalam terjemahan):
“Hakim yang menolak untuk menyelesaikan suatu perkara
dengan alasan bahwa peraturan perundangan yang
bersangkutan tidak menyebutkan, tidak jelas atau tidak
lengkap, maka ia dapat dituntut untuk dihukum karena
menolak mengadili.”
90
Boy Nurdin, Op.cit., hlm. 87.
91
HR. Otje Salman, “Beberapa Aspek Filsafat Hukum dalam
Penegakan Hukum Melalui Penemuan Hukum di Indonesia”, pada Refleksi
Dinamika Hukum Rangkaian Pemikiran dalam Dekade Terakhir Analisis
Komprehensif Tentang Hukum Oleh 63 Akademisi dan Praktisi Hukum, Ed.
Rudi Rizky et.al, (Jakarta: Perum Percetakan Negara, 2008), hlm. 31.
74
judicial decision making....and the study of judicial decision making.
Oleh karena itu tugas hakim secara konkret adalah mengadili perkara,
yang pada dasarnya atau pada hakikatnya adalah melakukan
penafsiran terhadap realitas yang sering disebut sebagai penemuan
hukum. Apabila dilihat lebih jauh secara filsafat hukum maka
penemuan hukum dapat digambarkan sebagai berikut:
a. Apakah penemuan hukum hanya sekedar penerapan hukum
semata (rechtstespassing), yakni memasukkan atau atau
mensubsumsi fakta posita (premis minor) ke dalam
peraturan/undang (premis mayor) secara silogisme formil,
sebagaimana positivisme hukum, karena didasarkan padanan
bahwa undang-undang sudah lengkap dan sempurna untuk
setiap persoalan yuridis;
b. Apakah penerapan yang didasarkan kepada anggapan bahwa
undang-undang itu belum lengkap dan sempurna, akan tetap
undang-undang itu dipandang memiliki ekspansi logis dan
jangkauan melebar menurut logis (logische expansionskraf)
sebagaimana diajarkan Begriffsjurisprudenz dan
Konstruktionsprudenz;
c. Apakah penemuan hukum itu hanya menempatkan undang-
undang sebagai posisi sekunder dan sebagai kompas dan jiwa
dan aspirasi rakyat, hukum kebiasaan digunakan sebagai
sumber hukum yang utama, sebagaimana dilakukan oleh aliran
Interrenjurisprudenz atau aliran sejarah hukum atau aliran
sosial;
d. Apakah penemuan hukum merupakan penciptaan hukum
(rechsshepping) sebagaimana diajarkan aliran hukum bebas,
yakni bebas dari ikatan mutlak undang-undang;
e. Atau penemuan hukuman merupakan karya logis rasionol
sekaligus etis irasionil sebagaimana diajarkan aliran sistem
hukum terbuka.
Berdasarkan uraian di atas maka secara khusus penemuan
hukum adalah keseluruhan proses dan karya yang dilakukan oleh
hakim, yang menetapkan benar atau tidak benar menurut hukum
dalam suatu situasi kongkret berpikir dan seorang hakim atau jurist
75
yang diujikan pada hati nurani. Dalam kenyataannya penemuan
hukum memiliki banyak segi baik bersifat logis-rasionil-ilmiah, tetapi
juga sekaligus intuitif-irrasionil. Rasionil ilmiah artinya hakim
memiliki kemampuan mengenal dan memahami kenyataan
kejadiannya, serta aturan yang berlaku beserta ilmunya. Logis-
intelektual dalam menerapkan sebuah aturan yang berlaku beserta
ilmunya. Logis intelektual dalam menerapkan sebuah aturan terhadap
kasus posisinya dengan mengindahkan hukum logika, baik formil
maupun material, sedang aspek intuitif irasionilnya terletak dalam hal
penemu hukum itu melibatkan, menggunakan dan mendambakan
perasaannya yang halus dan murni mendampingi rasio dan logika
sehingga bersama-sama mewujudkan rasa keadilan yang dibimbing
oleh hati nurani, sehingga mengejawantah putusan yang adil
berdasarkan kebenaran tetapi juga sekaligus konsisten dengan sistem
hukumnya.92
Soejono Koesoemo Sisworo, menjelaskan tentang hakikat
penemuan hukum ini bahwa penemuan hukum selalu berkaitan
dengan situasi dan kondisi masyarakat dan tetap dalam lingkungan
sistem hukumnya, dengan pengertian bahwa penemuan hakim harus
bersumber pada cita hukumnya atau tujuan normanya (sesuai dengan
hukum positif), atau asas-asas hukum dan cita hukum meta empiris
yang abstrak universal semacam natural justice bahkan bersumber
pada grundnorm yang bersifat metafisis seperti Pancasila. Penemuan
hukum juga seyogyanya mempertimbangkan aspek fungsional, yang
menempatkan kesejahteraan sebagai dekapan filosofis dengan
bertumpu pada kemajuan ekonomi serta kondisi kultural masyarakat
sebagaimana ditegaskan konsep pemikiran utilitarianisme nampak
melekat dalam Pembukaan, Alinea Kedua, terutama pada makna “adil
dan makmur”. Jeremy Bentham menjelaskan the great happines for
the greatest number. 93
Berdasarkan uraian mengenai pemikiran atau teori penemuan
hukum tersebut di atas, hakim dapat menggunakan kewenangannya
92
Ibid., hlm. 33.
93
Ibid., hlm. 33-34.
76
untuk memeriksa dan memutus perkara di luar dakwaan jaksa
penuntut umum dengan mengemukakan pertimbangan-pertimbangan
hukum yang dijadikan dasar menjatuhkan putusan.
77
hukum yang telah diberikan lebih dahulu oleh pengadilan yang lebih
tinggi.94
Putusan-putusan Mahkamah Agung mengenai penerapan
hukum acara pidana dalam perkara tertentu yang selalu diikuti akan
membentuk yurisprudensi yang tetap dan menjadi sumber hukum
dalam hukum acara pidana. Salah satu contoh dapat dikemukakan
misalnya putusan Mahkamah Agung yang mengijinkan permohonan
kasasi terhadap putusan bebas asal jaksa penuntut umum dalam
memori kasasinya dapat membuktikan bahwa putusan tersebut bukan
merupakan putusan bebas murni merupakan sumber hukum acara
pidana yang mengatur tentang permohonan kasasi terhadap putusan
bebas dari segala dakwaan.95
94
Ramelan, Op.cit., hlm. 22.
95
Ibid.
78
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam praktik peradilan, masih terjadi putusan Hakim yang
tidak berdasarkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Ada tiga kategori
putusan Hakim yang tidak berdasarkan dakwaan Jaksa Penuntut
Umum, yaitu, pertama, putusan Hakim yang tidak dapat menerima
kewenangan Hakim dalam memutus perkara di luar dakwaan. Kedua,
putusan Hakim yang memutus perkara di luar dakwaan atas dasar
kesamaan jenis perbuatan atau serumpun. Ketiga, putusan Hakim yang
memutus perkara di luar dakwaan atas dasar perbedaan peran atau
identifikasi pelaku.
Dalam menjatuhkan putusan yang tidak mengacu pada
dakwaan Jaksa Penuntut Umum atau menjatuhkan putusan pidana di
luar dakwaan Jaksa Penuntut Umum, pada praktik penerapannya
Hakim mempunyai dasar alasan pertimbangan hukum yang bermuara
pada rasa keadilan hukum masyarakat.
Putusan pidana di luar dakwaan Jaksa Penuntut Umum
menurut hukum positif yang berlaku memiliki kedudukan hukum yang
kuat berdasarkan asas atau prinsip kebebasan hakim untuk memeriksa
dan memutus perkara. Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara
berkewajiban memperhatikan landasan filosofis, sosiologis dan
yuridis berlakunya ketentuan-ketentuan hukum, sehingga memiliki
dasar untuk memutus perkara pidana di luar dakwaan Jaksa Penuntut
Umum sebagai suatu pembentukan hukum.
B. Saran
Fakta masih terjadinya inkonsistensi putusan Hakim di luar
dakwaan Jaksa Penuntut Umum membutuhkan ketegasan dan atau
kelenturan sikap dari Mahkamah Agung. Melalui ketegasan sikap,
Mahkamah Agung dapat membentuk unifikasi atau pedoman
penyeragaman dan penyatuan sikap bagi Hakim untuk menjatuhkan
putusan yang memperhatikan dengan sungguh-sungguh isi dakwaan
Jaksa Penuntut Umum. Terkait dengan kebutuhan pedoman tersebut,
79
putusan-putusan Mahkamah Agung dapat dijadikan yurisprudensi,
khususnya putusan-putusan yang dasar pertimbangan hukumnya
mengacu pada materi dakwaan Jaksa Penuntut Umum.
Selain pembentukan yurisprudensi tetap, Mahkamah Agung
dapat pula membuat surat edaran berupa pedoman bagi hakim di
tingkat Pengadilan Negeri dan di tingkat Pengadilan Tinggi. Pedoman
ini berupa arahan kebijakan mengenai sikap Mahkamah Agung
terhadap pemahaman mengenai surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum
dan mengenai petunjuk-petunjuk bagi Hakim mengenai hal-hal yang
wajib diperhatikan bagi Hakim sebelum menjatuhkan putusan.
Sedangkan melalui kelenturan sikap, dengan tidak
menyimpangi asas atau prinsip kebebasan Hakim dalam memeriksa
dan memutus perkara, Mahkamah Agung tetap membuka keran ijtihad
hukum bagi para Hakim untuk dapat mengelaborasi sekaligus
mengembangkan alur pemikiran hukumnya yang searah dengan rasa
keadilan hukum masyarakat, dan tidak menafikan secara kasuistis
adanya putusan Hakim yang tidak berdasarkan surat dakwaan Jaksa
Penuntut Umum, sehingga pada akhirnya pembentukan hukum
menjadi suatu keniscayaan.
Dengan demikian, putusan di luar dakwaan sebaiknya tetap
dapat diberi tempat dalam praktik peradilan, namun harus dijatuhkan
dengan berdasar alasan yang sangat eksepsional, yakni:
1. perbuatan pidana terbukti namun perbuatan tersebut tidak
didakwakan, sedangkan perbuatan pidana yang terbukti masih
bersifat sejenis (serumpun) dengan perbuatan pidana yang
didakwakan dan penjatuhan pidananya bersifat lebih ringan.
2. fakta hukum konkrit di persidangan menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan peran dari Terdakwa (identifikasi pelaku)
pada perbuatan yang terbukti, walaupun perbuatan tersebut
tidak didakwakan, namun perbuatan tersebut masih
merupakan rangkaian dari tindak pidana yang didakwakan,
dengan sifat pemidanaan yang lebih ringan.
81
82
DAFTAR PUSTAKA
83
Muchsin, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka (Independence
Judiciary) Sesudah Perubahan UUD 1945 Menurut UU No. 48
Tahun 2009, UNTAG Press, Surabaya, 2010.
86
LAMPIRAN INVENTARISASI PUTUSAN DI
LUAR DAKWAAN JAKSA PENUNTUT UMUM
87
88
INVENTARISASI
PUTUSAN DI LUAR DAKWAAN JAKSA PENUNTUT UMUM
TAHUN 1986-2014
1. 689 K/Pid/2011 - PN Parigi Penganiayaan - R. Imam Harjadi, Kabul Alasan kasasi dapat
27-10-2011 - PT Sulawesi SH., MH. Kasasi dibenarkan, JF salah
Tengah - Dr. Salman menerapkan hukum
Luthan, SH., MH. karena menyatakan
- H.M. Zaharuddin Terdakwa bersalah
Utama, SH., MM. berdasarkan pasal
- Tety Siti Rochmat yang tidak
Setyawati, SH didakwakan oleh
(PP) Jaksa Penuntut
Umum dalam surat
dakwaannya.
2. 2089 K/Pid.Sus/2011 - PN Ketapang Narkotika - Prof.Dr.Komariah Kabul Alasan kasasi dapat
15-12-2011 - PT Pontianak E. Sapardjaja, SH. Kasasi. dibenarkan, JF salah
89
- Dr. Salman menerapkan hukum
Luthan, SH., MH. oleh karena
- Suhadi, SH., MH. menyatakan
- Rudi Suparmono, Terdakwa bersalah
SH., MH. (PP) dan menjatuhkan
pidana terhadap
Terdakwa
didasarkan pada
ketentuan pidana
Pasal 127 ayat (1)
huruf a UU No.35
Tahun 2009 yang
tidak didakwakan
oleh Jaksa Penuntut
Umum.
90
- Dr.H.Andi melakukan tindak
Samsan Nganro, pidana
SH., MH. penyalahgunaan
- Rudi Suparmono, narkotika golongan I
SH., MH. (PP) dalam bentuk
tanaman bagi diri
sendiri yang tindak
pidana tersebut tidak
didakwakan.
4. 693 K/Pid/1986 - PN Boyolali Pencurian - Ny.H.Siti Rosma Tolak Alasan kasasi tidak
12-07-1986 - PT Semarang Achmad, SH. Kasasi dapat dibenarkan,
- Ismail Rahardjo, (Perbaikan namun demikian
SH. Amar amar putusan PT
- Ny. Karlinah Putusan harus diperbaiki.
Palmini Achmad PT) Bahwa benar yang
Soebroto, SH. didakwakan adalah
- Ny. Anna Ginting pencurian dengan
Suka, SH. (PP) pemberatan
(gequalificeerde
diefstal), dengan
sendirinya
91
pencurian-pencurian
yang lebih ringan
termasuk juga dalam
dakwaan in casu
pasal 363 (1) ke 4
KUHP.
92
6. 230/Pid.B/2012/PN.GST - PN Gunung Pencurian - Sylvia Terbukti Bahwa perbuatan
25-10-2012 Sitoli Yudhiastika, SH. KDRT Terdakwa yang
- Sayed Fauzan, telah melakukan
SH. kekerasan fisik
- Edy Siong, SH. terhadap istrinya
M.Hum. sebagaimana diatur
- Richad dalam Pasal 44 ayat
Sihombing, SH. (4) UU No.23
(PP) Tahun 2004 yang
walaupun Penuntut
Umum tidak
mendakwakan
namun untuk
memenuhi rasa
keadilan maka
Majelis Hakim
berpendapat bahwa
Terdakwa haruslah
dinyatakan telah
93
terbukti secara sah
dan meyakinkan.
(Terdakwa didakwa
dengan dakwaan
tunggal Pasal 44
ayat (1) UU No. 23
Tahun 2004)
94
Penuntut Umum,
sepanjang
bersesuaian dengan
fakta yang
terungkap
dipersidangan.
8. 1829 K/Pid.Sus/2011 - PN Sidoarjo Narkotika - Prof.Dr. Mieke Tolak Alasan kasasi tidak
20-10-2011 - PT Surabaya Komar, SH.MCL. Kasasi. dapat dibenarkan, JF
- Dr. Sofyan dapat dibenarkan
Sitompul,SH.MH. menjatuhkan
H. Mahdi hukuman
Soroinda berdasarkan pasal
Nasution, SH., yang tidak
M.Hum. didakwakan oleh
- Amin Jaksa Penuntut
Safrudin,SH., Umum karena
MH. (PP) berdasarkan fakta
yang terbukti
dipersidangan
95
Terdakwa hanya
terbukti sebagai
pengguna/pemakai
Narkotika (Pasal
127 UU No.35
Tahun 2009).
96
narkotika.
Walaupun
Terdakwa tidak
didakwa dengan
Pasal tersebut, fakta
menunjukkan
perbuatan Terdakwa
masih merupakan
rangkaian dari
tindak pidana yang
didakwakan.
10. 2501 K/Pid.Sus/2011 - PN Bangkalan Narkotika - Prof.Dr.Komariah Tolak Alasan kasasi tidak
14-02-2012 - PT Surabaya E. Sapardjaja, SH. Kasasi. dapat dibenarkan,
- Prof.Dr. Surya putusan JF tidak
Jaya, SH., salah menerapkan
M.Hum. hukum oleh karena
- Suhadi, SH., MH. para Terdakwa
- Amin terbukti bersalah
Safrudin,SH., melakukan tindak
97
MH. (PP) pidana
penyalahgunaan
narkotika secara
bersama-sama
sesuai Pasal 127
ayat (1) huruf a UU
No.35 Tahun 2009
(para Terdakwa
didakwa dengan
dakwaan tunggal
melanggar Pasal 112
ayat (1) Jo Pasal 132
ayat (1) Undang
Undang Republik
Indonesia Nomor 35
Tahun 2009).
98
LAMPIRAN SURAT KEPUTUSAN
99
100