Anda di halaman 1dari 270

HUKUM

SEBUAH TELAAH SOSIOLOGIS

pm penerbit pustaka
magister semarang

PRANATA HUKUM
SEBUAH TELAAH SOSIOLPGIS

Prof. Dr. WaraxsiL SH MS


PENERBIT PUSTAKA MAGISTER
SEMARANG 2016
Esni

Perpustakaan Nasional: Kalal% Dalam Terbitan (KDI) Esmi

Hukume %uat Telaah Sosiologis / Warasih.


-
cet 4
Semarang; PelEbitPusuka Maøster, 2016

.Pranau Hukum, SebuahTelaah Sosiologis


Paullis:Prof Dr. Esmi Warassih, SH, MS
ßi: Elangtuo
%mpul: Elangtuo
Pustaka Magister

Pa•ætakan : CVs Elangtuo


Jln- PucanFr•i Timur IV/ 19 - Demak
ISBN 978-979-097-1158
Hak ciph dffndungi Undang-undang
All rserved Cebkan Ke lima, Nopember 2016

Ucapan Terima Kasih


Dari Penulis

uku Pranata Huktnn: &buah Sosiologis ini, pada dasamya


memuat tulisan-tulisan yang F•nah dipublikasikan dalam berbagai Jtmul
dan Majalah Ilmiah maupun disampaikan dalam berbagai forum
diskusi/seminar. Selain delapan tulisan yang dimuat dalam Majalah Ilmiah
Masalah-MasaIaIz Hukum milik Fakultas Hukum Univăns Diponegoro
&marang dan
Majalah Ilmiah Arena Hukum milik Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya Malang, dua tulisan telah
Alumni dalam buku kumpulan tulisan yang diedit oleh Prof. Dr.
Satjipto Rahardjo, SH; dan figa lainnya dipresentasikan melalui
forum diskusi/serninar ilmiah-
Ketika membuat tulisan-tulisan itu, tidaklah F•nah terpikrkan
bahwa mungKn pada suatu saat nanti akan
dalam sebuah karya yang utuh. Oleh karena itu, tidaklah
mengherankan kalau ada banyak ide atau gagasan yang terlontar
berulang-ulang dalam tulisan. Sebagai contoh, gagasan
Robert B. Seidman tentang Ukerangka hubungan kekuatan sosial
dengan proses bekerjanya hukum” dikuăp dalam beberapa tulisan
dengan fokus kajian yang berbeda-
Kondisi tulisan-tulisan yang demikian itulah yang membuat
saya agak ragu untuk memenuhi dari Karolus Kopong Medan dan
Mahmutarom Harun al Rasyid — keduanya Kandidat Doktor Ilmu
Hukum dari Universitas Diponegoro dan sekaligus sebagai
mahasiswa yang berada di bawah saya, sekarang sudah
lulus dan —adi Guru Besar - untuk•membukukannya sebagai sebuah
karya yang utuh. Namun, ka•aguan itu sirm set&h melihat hasil kerja
dan kesăusan dari kedua Kandidat Dokbr ini untuk dan
semua naskah tulisan yang agak tumpang tindih dan terkesan fdak
berhubtmgan satu sama lain itu menjadi sebuah karya yang memiliK
tiga fokus kajian,
Hukum, Budaya Hukum, seră Huhcm dan Kebija•aan Publik.

Saya patut berbangga apa yang dilakukan oleh kedua editor ini
fdak sekedar sebagai seorang 'Ikolektor” yang hanya

iii
malgumpulkan atau mengkoleksi tulisan-
tulisan yang ada untuk dibuklkan-
Melainkan, keduanya juga œlah ulang
struktur tulisan dan malgedit bahasanya sebagai sebuah karya yang
baru dan memiliki keterkaitan yang erat antara satu dalgan yang laüu
IXIgan danikian, üdaklah menghaankan kalau penampilan dari
naskah tulisan yang ada dalam buku ini agak bŒbeda dengan aslinya,
tetapi tidak sedikit pun pokok yang saya sampaikan
kepada
Aus segala pengorbanan waktu, dan pikran dari kedua
umtuk mayelsaikan naskah buku ini, pada keempaan ini saya
ucapkan terima kasih. Tanpa mereka berdua, karya ini ak akan
ada dalgan paumpilan seperü sekarang ini. Selain kepada maeka bŒdUa,
terima kasih juga saya sampaikan kepada teman dan rekan-rekan
yang membantu mengumpulkan kembali mskah-naskah tulisan
yang tasebar di berbagai Jumal dan Majalah Ilmialu Kepada vr.
Snyandaru Ua.ma dan saya sampaikan kasih kesediaannya untuk
naskah buku ini pada edisi dan keanpat. Selanjutnya diucapkan
kepada Badan PalŒbit
Diponegoro yang mgjadi kedua dari buku ini.
Kiranya jelas bahwa segala kekurangan dan kekeliruan yang
terdapat dalam buku ini, menjadi anggung jawab penulis saldiri tanpa
manbebankan segala pihak di Segala kritik, kecaman, dan saran
terhadap buku ini akan disambut dengan ucapan terima kasih***

%marang, Januari 20Œ


Esmi Warassih

Pengantar Editor:
Memahami UMulü-Wajah" Hukum
Oleh K. Kopong Medan & Mahmuim•om HR

erdebatan seputar korsep


ta•lfa.ng hukum hingga saat ini masih belum dan
menemukan tiük temu anhra puak atau kubu pembela aliran pemikran
dok&inal yang diilhami oleh paham hukum murni dengan non-
dok&inal yang lebih mengkaitkan dalgan tadisi ilmuilmu sosial. Para
pakar yang berada di bawah kedua kubu ini membangtm
argumenusinya untuk mentmjukkan bahwa konsep hukum yang
dianutnya paling benar dan tepat.
Dalam c&tan sejarah, perdeb&n anura kedua kubu itu dimulai
sgak abad 19 saat-saat awal munculnya Sosioloø Hukum (Sociology
of Law) di Eropa yang dimotori oleh Karl Marx, Henry S. Maine,
Emile Durkheim dan Max Weber. Para Empa selama itu dan
selama ini dika•tal sebagai sosiolog yang maE0ba dan
menganalisis hukum dari perspeküf sosial, dan dengan demikan
meeka digolongkan sebagai para ilmu peng&huan yang
disebut dengan Sosiologi Hukum . 1
itu pum mQgemuka
di Amerika saat munxvulnya perspeküf studi sociological
jurisprudenæ yang oleh Oliver Waldell Holmes, Nathan Cardozo, dan
Roscoe Pound. Harus dipahami bahwa apa yang
berkembang di Amaika itu agak berbeda dengan di
Eropa, karena sociological jurisprudenæ yang murrul di Amerika itu
berkembang dalam ranah ilmu hukum sedangkan perkembangan studi
sosial terhadap hukum (sodolou of Imo) di Eropa berlangsung dalam
ranah sosiologi- Sekalipun demikian, sodological jurisprudenæ pada
dasamya malcoba mengedepankan tesis
baca uraian So&ndyo Wignjosoebroto dalam Hukum:
Metode dan Dinamika Masalahnya, Jakarta: HUMA, 2002, halaman 17-
36.

bahwa hukum itu €daklah akan dapat dipahami dengan cukup


sempurna apabila €dak dikaji dalam hubungannya realitas
sosial.2

Muhi-Waiah Hukum
Kubu pendulamg aliran pemikiran
hukum sebagai sesuatu yang normologzł aau sesuatu yang bdand•an
pada loŃka normatf. Konsep hukum yang demikian itu
wajah hukum sebagai sebuah norma, norma yang diidentikkan
sebagai keadilan yang harus diwujudkan (ius mnstituendum), norma
yang senyatanya terwujud sebagai yang eksplisit dan secara
telah dirumuskan (ius mnsftuŕum) guna majamin kepastiannya,
pula yang baupa norma-norma hasil cipta penuh hakm
pengadilan (judBnents) mengadili suatu perkara dan para
pihak yang berperkara.3
Itu berarti, dalam sudut pandang yang normologzk saja hukum dapat
menampilkan tipologi wajah yang beragam, (1) wajah

yang sarat asas moral keadilan, (2) wajah yang sarat dengan norma yang
dipositifkan melalui pa•aturan pașundang-undangan, dan

2
Ibid. halaman 3649. Sekalipun para pencetus aliran pemildran
jarispudence atau aliranfunctionaljwisprudence yang berkembang di Arnerika itu
mengguna.kan basis sosial untuk membangun logika hukumnya, namun fokus
kajiannya tăp menampilkan wajah hukum yang normative. kala lain, basis sosial
dalam sadi-sadi sa:iologicaljaaisp•udence hanyalah sebagai pelengkap auu penunjang
unałk membangun logika hukum yang sejalan dengan realitas
sosial yang aa, dalam memutuskan perkara di
3
Elaborasi yang relatif memadai dapat dalam beberapa
ałlisan tersebar yang dibuat oleh Soetandyo Wigjosoebroto, antara lain ”Keragaman
dalam Konm Hukurn, Tipe Kajian, dan Maeri Tutorial Mala
Kuliah
Disertasi untuk Program ł»ktor Ilmu Huhma Univasitas Dipnegom, Semarang,
2001, halaman I-11); "Masalah Metodoł• dalam Penelitian Hukum Sehubungan dengan
Masalah Kerawnan Pendekatan Konseptualnya", Makalah
Rijuka: Fonm Kongmikasi Hasil
Bidang Hukum, diselenggarakan di Hotel Kencana, Bandungan, Kabupalen 5-6
Desember 1994, halaman 5-6.
(3) wajah yangjudge made atau tampil dalam putusan-putusan haKm.
Tipologi wajah hukum yang demikian itu selalu eksis sebagai tnŃan
dari suatu sistem doktrin ajaran, yakni ajaran bagaimana hukum harus
atau untuk menyeleaikan perkara.
Sebaliknya, kubu penganut aliran pemikiran non-dok&inal
mmgkonsepkan hukum bukan sekali-kali sebagai yang normologik,
melainkan sesuatu yang nomologik logika hukum yang
pada nomos sosial). Konsep hukum ymg demikian itu, jelas €dak
akan menampilkan wajahnya yang normaff (rules), melainkan sebagai
regulnrifies (pola-pola perilaku) yang gadi di alam pengalaman
dan/atau sebagaimana yang tersimak di dalam kehidupan sehari-hari
(sine ira et studio).1
Dalam tampilan pg lebih dă], wajah hukum yang regularities
non doktrinal dapat dalam dua tipoloŠ wajah yang bóedaă Pertama,
wajah hukum yang tampil sebagai irătusi sosial yang ril dan
fungsional di dalam sistem kehidupan masyarakat, baik dalam proses-
proses pemulihan dan pmyelesaian mauptm dalam prosG-
proses pengarahan dan perilaku yang baru- Kedua, wajah hukum
yang dapat tampil sebagai makna-makna simbolik sebagaimana
dan dalam aksi-aksi interaksi masyarakaŁ

Dikotomi yang Saling Menyapa


Tdepas dari păedaan dan silang selisih kedua paham — antara
yang doktrirłal dengan yang non-dokfrinal — sesungguhnya hanya
mau menunjukkan adanya perkembangan k•eatvibs manusia dalam
upayanya untuk membangłm pemahaman yang bmar pranata
yang namanya hukum itu. Mencermati bangtman pranata hukum
dmgan "multi wajah" sebagaimana diuraikan di fdaklah memadai
kalau hanya dilihat dari satu sudut pandang (paspeküf) saja. Dengan
segala kelebihan dan kelemahannya, semua yang dipakai
untuk melihat wajah hukum harus bisa saling menyapa, bukan saling
dan sambil maVdaim diri sebagai yang paling benar saldiri.
U
Virus mau menang se-tdiri" — dalam studi hukum yang
normaüf dan yang sosiologis — tampaky,ra ikut
1 Soetandyo Wigyosoebroto, op.cit., 2001, halaman 11-15; juga dalam Soetandyo
Wignyosoebroto, 1994, op.cit., halaman 6-7.
vii
mengganggu pola piKr para pakar hukum (akademisi) dan
praktisi hukum di
Perbedaan pandangan pendapat dalam dunia akademik
sesuatu yang wajar, dm bahkan meruFkan sesuatu yang diargtman,
namun kalau sampai menegasi dan men#nncurkan karier akademik
salah satu pihak maupakan sesuatu hal yang harus dihmdarkan
dalam dunia
Adalah sebuah langkah yang sangat apabila coba
dinamika saldi hukum yang di Program Doktor nmu Hukum (PDIH)
Universitas Diponegoro Semarang. Bukanlah sesuaül yang tidak
beralasan kalau para bEdirinya PDff-I Undip — seperü
Satjipto Rahardjo, Muladi, Barda Nawawi Arief, dan sebagainya —
program unggulannya yang yang memtm*nkan
orang-orang dari disiplin ilmu lain tmtuk studi di PDIH
Undip. Sfrategi pendidikan hukum yang itu dimaksudkan
tmtuk bisa mendapatkan bmpilan wajah hukum yang sesungguhnya.
Itu baarü, baik studi-studi yang normaüf maupu.m yang sosiologs,
antropologis, psikologis, poliük, ekonomi, dan sebagainya ikut
basama-sama sesuai minat para mahasiswanya agar wajah hukum
yang oleh paspeküf dapat disatukan majadi satu wajah hukum yang
utuh.
PDH Undip boleh dibilang memiliK pakar hukum yang hampir
berimbang, baik dari kubu normaüve maupun kubu sosiologis. Dari
kubu normaüf, sebut saja Prof- Dr. Muladi, Prof- Dr. Barda Nawawi
Prof. Dr. Sri Redjeki, Prof. Dr. Moempoeni, dan
sebagainyaSedangkan dari kubu sosiolog beberapa nama yang
kepakarannya juga tidak (fragukan Iagi, yakli Prof- Dr.
Rahardjo, Prof. Dr. Esmi Warassih Pujirahayu (penulis buku ini), Prof.
Soetandyo Wignjosoebrot05, dan saat ini sebagian
besar alumni Program Doktor Ilmu Hukum Undip
ikut pula mengembangkan studi socio- legal .
Pengelompokkan secara dikotomis ini tidak
dilihat secara "hitam-putih't, melainkan hanya
didasarkan pada kecenderungan minat semata,
karena, tampala•xya tidak tertutup kemungkinan

viii
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!

bagi masing-masing mereka untuk mengakui dan


memasuki ranah studi dari kubu yang lain.
Perpaduan dan saling menyapa antara berbagai
perspektif dalam memahami pranata hukum sebagai obyek studi
sebagaimana digalakkan oleh PDIH Undip dan mungkin di
Universitas-Universitas lain di Indonesia itu merupakan
contoh yang bagus untuk menjelaskan idealisme Edward O.
Wilson tentang "penyatuan ilmu pengetahuan" yang
dilontarkan dalam bukunya berjudul Consilience: The unity
of Knowledge2. Idealisme Wilson ini didasarkan pada suatu
keyakinan bahwa dunia ini bersifat tertata dan dapat
diterangkan hanya dengan sedikit saja hukum-hukum (alam).
Oleh karena itu, penyatuan ilmu pengetahuan bagi Wilson
merupakan "suatu lompatan bersama dengan mempertalikan atau
mempersatukan faktafakta dan teori-teori di seluruh
disiplin ilmu untuk menciptakan suatu dasar penalaran yang
sama dalam memberikan penjelasan tentang sebuah obyek
studi".
Bertolak dari pemikiran Wilson ini,
dapatlah kita mendambakan adanya penyatuan
dan penyamaan penalaran pada satu titik temu
antara para penstudi hukum normaüf yang
menggunakan kerangka pemildran dokfrinal
dengan yang berkiblat pada studi-studi
sosial tentang hukum yang non-doktrinal.
Dengan demikian, sudah saatnya kita tidak
perlu memperpanjang dan memperlebar dikotomi
yang terjadi di antara kedua kubu ini,
tetapi marilah kita satukan tekad dan
berusaha untuk membangun sebuah kolaborasi
yang kuat guna

5
Prof. Soetandyo Wignjosoebroto sesungguhnya adalah Guru
Besar Sosiologi Hukum dari Universitas Airlangga Surabaya,
yang selama ini membantu mengembangkan Progam Doktor Ilmu
Hukum Undip. Bahkan, jauh sebelum itu beliau telah
membaktikan ilmunya di Program Magister Ilmu Ilukum Undip.

2 Edward O. Wilson, Consilience: The Unity of Knowledge.


Alfred A. Knopf Inc, 1998.
ix
Esmi Warassih

menemukan sebuah tampilan wajah hukum yang benar-


benar sempuma.

Fokus Kaiian Buku int


Buku berjudul "Pranata Hukum: Sebuah Telaah
Sosiologis" yang ada di hadapan Anda, merupakan
sebuah kumpulan tulisan yang dibuat oleh Prof. Dr.
Esmi Warassih, SH, MS dengan menggunakan kerangka
berpikir non-doktrinal. Sekalipun demil<ian, ada
beberapa tulisan yang memiliki kecenderungan untuk
memasuki ranah sociological jurisprudence yang
berada dalam kelompok kajian doktinal. Kecenderungan
penulis yang bersifat dualistis dalam memahamkan
hukum itu harus bisa dimengerå, karena ilmu yang
digeluti selama ini adalah ilmu hukum, bukan
sosiologi.3
Dengan demikan, kedka membahas setiap masalah
hukum termasuk yang ada dalam buku ini, warna
jurisprudence akan selalu ikut mewarnai tulisannya.
It-u berarti, "telaah sosiologis" sebagaimana

3 Pengalaman Prof. Esmi seperti ini rupanya juga dialami


oleh para pencetus aliran pemikiran sociological
jurisprudence di Amerika Serikat pada tahun 1930-an —
seperti Oliver Wendell Holmes, Benjamin Nathan Cardozo,
dan Roscoe Pound. Sekalipun mereka mencoba mengintroduksi
analisis-analisis sosial ke dalam kajiankajian mengenai
permasalahan hukum, akan tetapi karena latar belakang
pendidikan dan profesi mereka sebagai seorang praktisi
hukum menyebabkan analisis-analisis yang mereka lakukan
tetap berada pada bingkai jurisprudence. Patut dicatat
bahwa Holmes adalah seorang hakim Mahkamah Agung Amerika
Serikat, Cardozo adalah seorang hakm di New York Supreme
Judicial Court dan kemudian menggantikan Holmes sebagai
Haldm Mahkamah Agung Amerika Serikat, dan Roscoe Pound
adalah seorang pengacara dan sebagai Auxilliary Judge
pada Nabraska Supreme Judicial Court. Selain itu,
Pound juga tercatat sebagai akademisi yang menduduki
jabatan Guru Besar hukum padaUniversitas Havard (baca
misalnya dalam Soetandyo Wignjosoebroto, op. cit, 2002,
halaman 39-49
x
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!

dimaksudkan dalam buku üü, tidak mencerminkan secara


persis analisis-analisis sosiologis sebagaimana
dikembangkan di Eropa Barat dalam ranah sociology of
law (sosiologi hukum). Demikian pula, apa yang
termuat dalam buku ini pun üdak seluruhnya
mencerminkan secara persis analisis sociological
jurisprudence sebagaimana dikembangkan di Serikat.
Kedua ranah studi — baik sociology
of law maupun sociological jurisprudence —
rupanya saling menyapa dalam buku ini untuk
menampilkan wajah hukum yang "sosiologis".
Untuk menampilkan secara koheren dan sistemaüs pokok-
pokok pikiran Prof. Esmi — demikian panggilan akrab Prof.
Dr. Esmi Warassih, SH MS - kami firn editor buku ini
mencoba menyeleksi dengan sungguh-sungguh seluruh karyanya
yang dipandang dapat memberikan gambaran tentang pranata
huküm, baik dari aspek substansi, budaya, dan kebijaksanaan
sebagai bentuk pengimplementasian hukum. Dan, untuk
memudahkan pembaca mengikuti isi buku ini, kami memilah-
milah tulisan tersebut ke dalam tiga bagian utama. Ketiga
bagian utama itu kami beri sub-judul sebagai berikut: (1)
Cita Hukum, (2) Budaya Hukum, dan (3) Hukum dan
Kebijaksanaan Publik. Selain itu, mengawali rangkaian
pembahasan dalam tiga sub-judul itu, kami tampilkan
"prolog" dengan judul "Basis Sosial. Hukum: Pertautan nn-iu
Hukum dan Ilmu Pengetahuan Sosial". Selanjutnya, pembahasan
dalam buku ini diakhiri dengan "epilog" berjudul
"Pendëkatan Interdisipliner terhadap Hukum: Sebuah
Keniscayaan".
Sebagai tulisan pembuka atau prolog, kami
tampilkan tulisan Prof. Esmi yang dipandang bisa
menghantar pembaca untuk memahami pokok-pokok pikiran
tentang basis sosial dari hukum. Pada dasamya tulisan
yang termuat dalam prolog ini memang dibuat bukan untuk
menghantar tulisan-tulisannya yang lain, namun menurut
pertimbangan kami tim editor bahwa tulisan ini layak
untuk ditampilkan di prolog untuk membuka wawasan
pembaca dalam memahami isi buku ini selanjutnya. 4

4 Oleh karena kemunculan tulisan dalam prolog ini bukan


disengaja oleh penulis untuk bakal menjadi tulisan pembuka
buku ini, maka tidaklah mengherankan kalau ada bagian-
xi
Esmi Warassih

Minimal, melalui tulisan ini Prof. Esmi hendak


menegaskan bahwa isi buku ini berada pada aras
sosiologis, yang memberikan dasar pemahaman tentang pranata
hukum dalam konteks sosial yang lebih luas.
Dalam konteks yang demikian itu, Prof. Esmi
mengingatkan agar para penstudi dan pengguna hukum harus
selalu menyadari secara sungguh-sungguh bahwa hukum itu
tidak begitu saja jatuh dari langit, tapi ia dibuat dan
selalu berada dalam lingkup sosial tertentu. Dengan
meminjam kata-katanya Sinzheimer, Prof. Esmi menegaskan,
bahwa "hukum tidaklah bergerak dalam ruang hampa dan
berhadapan dengan hal-hal yang abstrak Melainkan, ia selalu
berada dalam suatu tatanan sosial tertentu dan dalam
lingkup manusiamanusia yang hidup" .5 Dalam lingkup
pemikiran yang demikian pula, Robert B. Seidman menegaskan,
bahwa komponen-komponen kekuatan sosial dan personal akan
selalu bersinergi dalam proses bekerjanya hukurn. 6
Selanjutnyar bagan pertama dari buku ini memuat
tulisantulisan yang membahas secara khusus tentang masalah
"cita hukum" Dalam bagian ini ditampilkan figa tulisan
yang kalau ditarik benang merahnya maka akan bertemu pada
satu fokus yang sama, yak.ni tentang perwujudan cita atau
ide hukum dalam kehidupan sosial yang terus berubah dari
waktu ke waktu. Prof. Esmi menegaskan bahwa hukum sebagai
sistem norma dalam perkembangannya tidak hanya dipergunakan

bagian tertentu dari tulisan prolog ini sama dengan yang


ada dalam bagian-bagian lain dari buku ini. Sebut saja
misalnya, pandangan Robert B. Seidman tentang kerangka
hubungan antara kekuatan-kekuatan sosial dan personal dalam
bekerjanya hukum, diulas juga dalam tulisan tentang
"peranan kultur hukum dalam penegakan hukum", dan dalam
"pembinaan kesadaran hukum".
5 Pemikiran Sinzheimer tersebut pernah dielaborasi oleh
Satjipto Rahardjo dalarn tulisannya berjudul "Hukum dalam
Kerangka Ilmu-llmu Sosial dan Budaya", dalam Majalah
Ilmiah Masalah-Masalah Hulum, Nomor I Tahun 1972,
halaman 23.
6 Pemikiran Robert B. Seidman tersebut diulas secara
lengkap dalam buku yang ditulis bersama dengan William J.
Chamblis berjudul Law, Order and Power, Reading, Mass:
Addison-Wesly, 1971, halaman 5-13. Baca juga Robert B.
Seidman, "Law and Development: A General Model", dalam
Law and Society Review, No. VI, 1972.
xii
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!

untuk mengatur dan mempertahankan pola ångkah laku yang


sudah ada, melainkan lebih dari itu, hukum juga diperlukan
sebagai sarana pengarah dalam merealisasikan kebijaksanaan
negara dalam bidang sosial, budaya, ekonomi, poliåk,
pertahanan dan keamanan nasional.

Dałam konteks yang demikian iłu, Cita atau ide hukum


sesungguhnya diperlukan untuk membangun kehidupan
masyarakat yang demokratis. Iłu berarti, institusi hukum
dituntut untuk menjadi "Bintang Pemandu” yang dapat menjadi
penuntun bagi para pembuat/pengambil kebijaksanaan dałam
proses pembuatan dan pengimplementasian kebijaksanaan
publik yang adil dan demokratis. Sekalipun demikian,
menurut Prof. Esmi, dałam kenyataannya hukum sering
disalahgunakan, terutama untuk mempertahankan status quo
dan kepentingan-kepentingan kelompok tertentu.
Keca•łderungan seperti ini semakin kuat disebabkan oleh
paradigma pembangunan hukum yang digunakan selama ini
(terutama dałam masa Orde Baru) lebih berorientasi pada
kekuasaah.
Sekedar contoh dari ketimpangan iłu adalah soal
substansi Undang-Undang Nomor 15 dan Undang-Undang 16 Tahun
1969 tentang Pernilu dan Susduk MPR/DPR/DPRD pada masa orde
Baru, yang kalau dicermati lebih jauh sesungguhnya secara
politis dibuat untuk mempertahankan status quo. Hal ini
dapat dicermaă dari adanya kemungkinan masuknya "tangan”
eksekutif' di lembaga legislatif melalui kewenangan
pengangkatan atas sebagian anggota lembaga perwakilan
rakyat serta penerapan lembaga recall bagi anggota DPR/NTR.
Menyadari akan pergeseran peran hukum yang demikian
iłu, maka Prof. Esmi menyarankan agar "paradigma kekuasaan”
yang dipakai dałam pembangunan hukum di Indonesia ini perlu
diubah atau diganti dengan "paradigma morał”. Paradigma
morał yang diidealkan iłu memiliki seperangkat nilai yang
egalitarian, demokratis, pluralities, dan professional
untuk membangun "masyarakat madani” (doił society).
Perubahan paradigma ini penting dilakukan untuk memulihkan

xiii
Esmi Warassih

dan mengembalikan otentisitas hukum "sebagai sarana untuk


memberikan kebahagian terbesar bagi sëbanyak mungkin orang"
.7 Dałam nada yang sama, Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH -

7 Kerangka pemikiran yang demikian sesungguhnya sudah lama


menjadi bahan pergumulan kalangan filsuf sepanjang masa,
seperti Aristoteles, Thomas Aquinas, dan sebagainya. Baca
misalnya dałam PSA. van der Meij yang di Indonesiakan oleh
K.
xiv
Hukum, Sebuah Telaah Sosial

salah seorang "Begawan sosiologi hukum" dari Universitas Diponegoro


- akhir-akhir ini mulai menaruh keprihatinan yang sama ta r1tang
orientasi hukum ma•'tuju kebahagiaan. Såtjipto Rahardjo menegaskan,
bahwa hukum hendak•tya bisa memberi kebahagiaan, bukan sebalilqya
membuat ketidaknyamanan atau ketidak-tentraman hidup.12
Otenüsitas hukum yang demikian itu, dalam Pembukaan Undang•Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945? secara harafiah dirumuskan dengan kata-kata:
... untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang meljndungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan keterdban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial...
Bagian kedua berjudul "Budaya Hukum", secara khusus memuat
tulisan-tulisan yang menggagaskan ide tentang bagaimana memberdayakan "budaya
hukum" dalam membangun sebuah tatanan hukum yang sejalan konteks sosialnya.
Memang harus diakui bahwa pada hakikatnya hukum itu mengandung ide atau
konsepkonsep yang abstrak, namun dalam tataran yang praktis hukum itu sesungguhnya
dlbuat untuk diimplementasikan dalam kehidupan sosial sehari-hari. Dengan demikan,
titik tolak pemahaman terhadap hukum semestinya üdak sekedar sebagai suatu rumusan
"hitam putih" (blue print) yang ditetapkan dalam berbagai bentuk peraturan perundang-
undangan, melainkan harus dilihat juga sebagai suatu

Bertens, Filsuf-filsufBesar tentang Manusia. Jakarta: PT. Gramedia, 1988, halarnan 32-
45. Khusus tentang pemikiran dapat dibaca juga dalam Jean Roberts, "Keadilan dan
Polis" dalam Christopher Rowe & Malcolm Schofield yang di Indonesiakan oleh Aris
Ananda cs, Sejarah Pemikiran Politik Yunani dan Romawi. Jakarta: PT. Raja Grafmdo
Persada, 1999, halaman 412413. Baca juga E. Sumaryono, Etika Hukum: Relevansi
Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas, Yogyakaflä.* Penerbit Kanisius, 2002, halaman
69.
12 Satjipto Rahardjo, "Hukum Hendaknya Membuat Bahagia", artikel Opini dalam
Harian Kompas, 13 November 2002, halaman 4. Atas dasar pcmikirannya itulah yang
membuat Satjipto Rahardjo akhir-akhir ini mulai menggagaskan pemikiran tentang
perlunya membangun dan mengembangkan "hukum progresif" di Indonesia.

Xiv
Esmi Warassih

gejala yang dapat diamati di dalam masyarakat,


antara Iain melalui tingkah laku warga
masyarakatnya.
Dalam konteks yang demikian itu, maka perbincangan
tentang masalah "budaya hukum" menjadi penting.Budaya hukum
merupakan salah satu komponen yang sangat menentukan apakah
substansi hukum maupun tatanan proseduralnya diterima Oleh
masyarakat dimana hukum itu diterapkan atau ditegakkan.
Itulah sebabnya, Lawrence M. Friedman tak segan-segan
menegaskan, bahwa "komponen budaya merupakan motor
penggerak bagi sebuah tatanan hukum".
Kalau pada bagian pertama dan kedua, perbincangan
lebih difokuskan pada komponen ide dan nilai budaya hukum -
yang boleh kita katakan sebagai sesuatu yang abstrak — maka
pada bagian keåga ini Prof. Esmi leblh meldaratkan
pemikirannya pada sesuatu yang lebih kongkrit, yalQi dalam
bentuk produk hukum dan kebijaksanaan publik. Selain
menguraikan tentang prinsip-prinsip dasar dalam membuat
atau merumuskan suatu kebijaksanaan publik yang baik, Prof.
Esmi juga memaparkan secara lebih eksplisit masalah-masalah
kebijaksanaan pembangunan pada urnumnya, terutama tentang
masalah perlindungan hukum terhadap pasien dalam kasus
malpractice.
Menurut Prof. Esmi, hukum dan kebijaksanaan pemerintah
merupakan variabel yang memiliki keterkaitan yang sangat
erat, karena semua perencanaan dan pengimplementasian
kebijaksanaan pemerintah selalu dilakukan dalam

Dalam bahasa yang lebih sederhana, dapat


dikatakan bahwa' setiap kali pemerintah menetapkan
kebijaksanaannya, harus berdasarkan pada hukum, baik dalam
bentuk undang-undang, peraturan pelaksanaan maupun dalam
bentuk petunjuk-petunjuk pelaksanaan yang lebih telmis.
Atas dasar itu, pemahaman yang luas akan fungsi hukum dalam
pembangunan, terutama dalam mengarahkan perencanaan dan
pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah menjadi sangat penting
dilakukan. Apalagi, dalam kehidupan dewasa ini aspek hukum
sudah mulai merambah ke seluruh bidang kehidupan
masyarakat.
Hukum, Sebuah Telaah Sosial
Menyadari akan penampilan pranata hukum yang
terlingkup dalam berbagai aspek sosial, budaya, polifil<,
ekonomi dan sebagainya, maka cukup kalau pranata hukum
hanya dilfrlat secara konvensional sebagai sebuah produk
normatif. Pranata hukum harus dilihat dalam seluruh
dimensinya, sehingga kita dapat menangkap sebuah tampilan
wajah hukum yang benar-benar utuh. Oleh karena itulah pada
bagian epilog buku ini ditampilkan tulisan Prof. Esmi
berjudul "pendekatan interdisipliner terhadap hukum: sebuah
keniscayaan". Tulisan ini dimaksudkan untuk menggugah
perhatian kita, bahwa sudah saamya hukum itu harus dilihat
secara lengkap dengan menggunakan pendekatan
interdisipliner.
Itu berarti, semua penstudi hukum dalam tataran
teoritik maupun pengguna hukum dalam tataran praküs harus
sudah mulai bergandengan tangan untuk menguak misteri-
misteri tentang hukum, baik yang tampil secara kasat mata
dalam wujud produk perundangundangan maupun
berbagai hal yang berada di- balik hukum itu. Inilah sebuah
keharusan yang mau tidak mau harus ditempuh untuk
mendapatkan tampilan wajah hukum yang sebenamya.

Catatan Penutup
Demikianlah secara garis besar uraian dan
interpretasi kami tim editor terhadap isi pokok buku
ini, dan termasuk gambaran tentang perspektif yang
dipakai oleh penulis dalam membahas masalahmasalah
hukum. Interpretasi yang kami lakukan untuk
menghantar buku ini ke hadapan sidang pembaca mungkin
kurang sempuma atau mungkin membias dari konteks yang
diinginkan penulis dan para pembaca buku ini. Para
pembaca dapat saja memiliki pemahaman yang berbeda
tentang isi buku ini, tapi itulah yang kami harapkan
Esmi Warassih
agar dinamika pemikiran tentang isi buku ini terus
bergulir menuju wujudnya yang lebih sempuma.
Kami fim editor tetap berpegang pada prinsip, bahwa

ketika sebuah karya -entah dalam bentuk tulisan, entah

dalam bentuk karya xvi

Pranata

seni, dan Iain sebagainya - diumumkan atau dipentaskan, maka karya


tersebut bukan lagi menjadi milik sang penciptanya an sich, melainkan
sudah menjadi milik semua orang. ltu berarti, setiap orang berhak untuk
memberikan interpretasi terhadap isi karya tersebut, baik interpretasi
yang mendukung maupun bertentangan.
Demikian pula hal karya Prof. Esmi yang kami editori dengan judul "Pranata Hukum:
Sebuah Telaah Sosiologis" ini, sudah saatnya bukan lagi menjadi milik Prof. Esmi semata,
melainkan sudah menjadi milik seluruh sidang pembaca. Oleh karena itu, semua pembaca
bolehboleh saja memberikan interpretasi, dan semua itu akan tetap diterima sebagai bagian yang
tidak terpisahkan dari buku ini.Selamat berinterpretasi!!!

Semarang, Januari 2005


Hukum, Sebuah Telaah Sosial
wii

Pengantar Terbitan Kedua


Terbitan kedua buku Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis
adalah oleh Badan Penerbit UNDIP Semarang. Terbitan ini sama
sekali tidak merubah substansi buku ùli, hanya dilakukan perbaikan
terhadap beberapa kata yang pada terbitan awal salah
pengetikannya.

Pada pŒierbitan kali ini penulis tetap berharap buku


ini bisa bermanfaat bagi pembaca, terutama rekan-rekan yang
sedang menempuh studi doktoral. Buku ini bukanlah bingkai
dari kebenaran akademik, melainkan sekelumit perjalanan
berpil<ir dari para pencari di bidang Hukum.

Semarang, April 2011

Pengantar Terbitan Ketiga


Cetakan edisi ke 3 ini hadir setelah hampir satu tahun
buku ini kosong.Permintaan dari berbagai pihak telah
mendorong kami untuk mecetak kembali yang ketiga dengan
beberapa tambahan dan perubahan walaupun tidak secara
keseluruhan.Proses ediüng dilakukan di sana-sini karena
masih ditemukan salah cetak.Semoga kehadiran buku ini dapat
menambah wawasan pembaca dalam memahami hukum yang €dak
steril dari pengaruh faktor-faktor non hukum yang ada di
dalam masyarakat.Sesungguhnya permasalahan hukum pada
hakekatnya merupakan permasalahan manusia.
Untuk segala kekurangan dan kesalahan yang terjadi
dalam buku ini penulis minta maaf.

Semarang, Nopember 2014


Esmi Warassih
xviii
DAFTAR ISI

Pm.JGANTAR TERBITAN KEDUA. xviii


DAFrAR
DAFrAR BAGAN

PROLOG

BASIS HUKUM: PERTAUTAN ILMU HUKUM DAN ILMU


mxlŒrAHUAN SŒIAL
Dinamika Pemikiran dalam nmu Hukum
Hukum dan Ilmu Sosial
Bekerjanya Hukum
Hubungan "limbal Balik 13 Simpulan.
14

BAGIAN
ŒTAHUKUM

Hukum sebagai Sistem Norma dan Fungsi-Fungsinya


16
Hukum
Tujuan Hukum 19

Hukum %bagai
Fumgsi-fungsi Hukum

Simpulan

Fungsi Ciu Hukum dalam Pembangunan Hukum yang


Demokraüs
Elemen-Elemen Pembentukan Hukum
Peran Produk Hukum
Kejelasan Konsep dan Bahasa
Hukum Memahami Hukum Sebagai
Sistem Hukum:
Wu•ssi

Simpulan.

Pergeseran Paradigma Hukum:


Dari Paradigna Kekuasaan Menuju Paradigrna Moral
41
Dinamika Pembangtman di
Indonesia lipologi Kekuasaan
dan Hukum Jaman ORBA
Tatanan Hukum Pasca-Soeharto 47
Paradigna Kekuasaan dan Tatanan Hukum
Reformasi dan Pergeseran Paradigma Hukum 51
Transformasi Hukum dalam Era
Global Simpulan-

BAGIAN
BUDAYA HUKUM
Kulttu• Hukum dalam Penegakan Hukum
61 Hukum sebagai Suatu Sistem
62

Hukum
70
Komponen-komponen yang Mempengaruhi Pa-regakan
Hukum

Simpulan.

Pengaruh Budaya Hukum Terhadap Fungsi Hukum


Hukum Moden dan Budaya Hukum
Kegagalan Hukum Modem: Kasus Bagi 76
Hasil Kegagalan Hukum Modan: Kasus
Hukum sebagai Karya Kebudayaan.
Komp011Q Budaya Hukum
Ma•uju Efektivius Hukum
Melembagakan Mai Hukum Baru

Kesadaran
Hukum
Tæminologi
Kesadaran Hukum
Sikap Moral:
Kunci Kesadaran
Hukum
Bertingkah I-aka.
Faktor Penentu Kesadaran Hukum
Petimbangan Pembuatan Hukum
Pembinaan Kesadaran Hukum
Pruaa HIAann, Sån*Teinh

98

Hukum dan Kebijaksanaan Publik

Hukum dan
Kebijaksanaan Publik
100 Terminologi
Kebijaksanaan Publik 101
Hukum dalam Masyarakat
103
Perumusan Kebijaksanaan Publik.
104
Kebijaksanaan Publik

Disla•esi: Penjabaran Kebijaksanaan Publik 106


Simpulan

Hukum dan Pembangunan 126


Mahasiswa dan PQdidikan Hukum
Hukum dan Social
Engineering Sarjana Hukum 130
yang Handal

Paradigma Reversal:
Pemberdayaan Hukum Melalui Pembangunan
Alternatif 132 Dinamika Pemikiran
Hukum
Mega Lawyering: Jasa Hukum Era Global
136
Oriennsi PQdidikan Hukum138

Kasus Pendidikan Hukum di Indoneia


139

Perlindungan Hukum Pasiat


= Kasus Malpractice =
142 Terminologi
Malpracüce 144
Hubungan dan PasiQ 146
Kode Eük: Pedoman Tingkah Laku
147
Hukum dan Perlindungan Hak-Hak Pasien
151
Meminimalisasi Malpracüce
156

164
DAFTAR BACAAN
175
176
180
BIODATA (2) 182
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!

DAFTAR BAGAN
BACAN 1
10
BACAN 238

BACAN 363

BACAN 4
83
BACAN 592
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!

xxiii
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!

Prolog
Basis Sosial Hukum:
Pertautan Ilmu Hukum dan Ilmu
Pengetahuan Sosial

Dalam abad sekarang ini susunan masyarakat


menjadi semakin kompleks dan pembidangan kehidupannya pun
semakin maju. Secara tersirat keadaan ini hendak
mengisyaratkan, bahwa pengaturan yang dilakukan oleh hukum
juga harus mengikuti perkembangan yang demikian itu.
Apabila hukum tidak ingin dikatakan terånggal dari
perkembangan masyarakamya, maka hukum dituntut untuk
merespon segala seluk beluk kehidupan sosial yang
melingkupinya. Itu berarti, peranan hukum menjadi semakin
penting dalam menghadapi problema-problema sosial yang
timbul.

Dalam konteks pemahaman yang demikian, maka tidak cukup kalau


hukum itu hanya dipahami secara yuridis-normatif, yakni sebagai
tertib logis dari tatanan peraturan yang berlaku. Hukum juga perlu
diberi ruang untuk masuknya studi-studi deskriptif dengan
menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial. Studi-studi deskripåf itu
tampaknya sudah mulai marak dan menunjukkan eksistensinya. Bahkan,
tipologi studi-studi hukum yang non yuridis-normatif ini telah
menunjukkan bahwa hukum itu bukan lagi sebagai lembaga yang
otonom, melainkan sebagai suatu proses sosial. Sebagai suatu
proses sosial maka para penstudi hukum hendaknya secara maksimal
memanfaatkan hasil-hasil karya para ahli ilmu-ilmu sosial dalam
menggarap masalah-masalah yang dihadapinya.
Esmi Warassih

Di Sini berarti, antara ilmu-ilmu sosial dan


ilmu hukum mempunyai hubungan yang saling
dan saling mempengaruhi. Perbedaan
fungsi antara keduanya boleh dikata
hanya bersifat marginal saja. Namun, persoalannya sekarmg
adalah sampai sejauh mana pengaruh ilmu pengetahuan sosial
terhadap perkembangan ilmu hukum. Tulisan ini akan mencoba
menelaah secara deskriptif-analitis terhadap kebutuhan akan
ilmu pengetahuan sosia] maupun pengaruh yang ditimbulkannya
terhadap perkembangan ilmu hukum.

Dinamika Pemikiran dalam Ilmu Hukum


Ada banyak cara berpikir yang dapat dipakai untuk menjelaskan
dan memahami hukum. Cara berpikir yang pertama yang kemudian disebut
sebagai ”aliran analitis”ŕ memandang. hukum sebagai penetapan
kaitan-kaitan logis antara kaidah-kaidah dan antara bagianbagian
yang ada dalam hukum, Setiap istilah hukum yang dipakai selalu
didefinisikan secara tegas.8 Pandangan yang demikian itu cenderung
meletakkan setiap persoalan hukum sebagai persoalanpersoalan yang
legalitas-formal, terutama mengenai penafsiran serta panerapan
pasal-pasal undang-undang.

Aliran pemikiran ini berpendirian bahwa sejak suatu peraturan


hukum ditetapkan maka ia merupakan bagian tidak terpisahkan dari
sistem hukum positif, dan dengan demikian aturan hukum itu tetap
berputar sebagai bagian dari sistem tersebut secara logis,
rational, konsisten, dan sistemaăs. Itu artinya, ilmu hukum
sebagai ilmu pengetahuan tentang hukum positif selalu menempatkan
hukum di dalam batas-batas perundang-undangan, dan sebagai lembaga
yang otonom di tengah-tengah masyarakat.
Tidak dapat disangkal lagi bahwa perkembangan
masyarakat yang susunannya sudah semakin kompleks serta
pembidangan kehidupan yang semakin maju dan berkembang,
menghendaki pengaturan hukum juga harus mengikuti
perkembangan yang demikian itu. Hampir setiap bidang
kehidupan sekarang ini kita jumpai dalam peraturan hukum.
Hukum menelusuri hampir semua bidang kehidupan manusia.
Hukum semakin memegang peranan yang_sangat penting sebagai
kerangka kehidupan sosial masyarakat modern.

8 Yulius Stone, Law and the Social Sciences, Mineapolis:


University of Minnesota Press, 1969, halaman l .
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!

Namun, harus disadari sungguh-sungguh bahwa masalah


pengaturan oleh hukum itu bukan saja dilihat dari segi
legitimasinya, dan bukan juga semata-mata dilihat sebagai
ekspresi dari nilai-nilai keadilan. ltulah sebabnya muncul
suatu cara berpikir Iain (aliran pernikiran non-analitis)
yang tidak lagi melihat hukum sebagai lembaga yang otonom
di dalam masyarakat, melainkan sebagai suatu lembaga yang
bekerja untuk dan di dalam masyarakat.
Mengenai hal ini Sinzheimer mengatakan bahwa hukum
fidak bergerak dalam ruang yang hampa dm berhadapan dengan
hal-hal yang abstrak Melainkan, ia selalu berada dalam suatu
tatanan sosial tertentu dan manusia-manusia yang hidup. 9
Jadi, bukan hanya bagaimana mengatur sesuai dengan prosedur
hukum, melainkan juga bagaimana mengatur sehingga dalam
masyarakat timbul efek-efek yang memang dikehendaki oleh
hukum. Dengan demildan, masalah efisiensi suatu peraturan
hukum menjadi sangat penting, oleh karena menyangkut pula
kaitan-kaitan Iain dalam berfikimya, yaitu meninjau hubungan
hukum dengan faktor-faktor serta kekuatan-kekuatan sosial di
luamya. Hal ini jelas dikatakan pula oleh Robert B. Seidman,
bahwa setiap undang-undang, sekali dikeluarkan akan berubah,
baik melalui perubahan normal maupun melalui cara-cara yang
ditempuh birokrasi ketika bertindak dalam bidang poliük,
ekonomi, sosial, dan sebagainya.15

Campur tangan hukum yang semakin meluas ke dalarn


bidangbidang kehidupan masyarakat menyebabkan pengaitannya
dengan masalah-masalah sosial juga semakin intensif. Hal
ini menjadikan hubungan antara tertib hukum dan tertib
sosial yang lebih luas kian menjadi permasalahan pokok di
dalam ilmu hukum. Dalam kerangka pemahaman yang demikian
itu studi hukum yang harus memperhaffkan pula hubungan yang
demikian itu, maka kompleksitas hubungan yang berlangsung
antara terüb hukum dan tertib sosial tersebut harus
mendapat perhafian serius agar dapat memahami secara baik

9 Satjipto Rahardjo, "Hukum dalam Kerangka llmu-llmu


Sosial dan Budaya", dalam Majalah Ilmiah Masalah-Masalah
Hukum, Nomor I tahun 1972, halaman 23. 15 Robert B. Seidman,
"Law and Developmen, A General Model", dalam Law and
society Review, No. Vl. 1972, halaman 311-339.
3
Esmi Warassih

seluk beluk masalah yang diaturnya. Di sini berarti,


pengaturan oleh hukum itu tidak pernah terlepas dari
kehidupan manusia. Misalnya, tata aturan mengenai jual-
beli,
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
perkawinan dan sebagainya itu bersumber pada tingkah laku
manusia.

Sebagai suatu ilmu yang mencari penjelasan tentang


gejala-gejala yang kita temukan yang memungkinkan untuk
mengetahui sepenuhnya haldkat Obyek ymg dihadapi,10 tidak
dapat dilakukan jika tetap menetapkan hukum sebagai studi
hukum yang dogmaåk. Artinya, cara pandang terhadap obyek
hanya berkutat pada peraturan-paraturan dalam kerangka
sistim yang logis-rational dengan mengabdikan lingkungan
sosialnya.

Hukum sebagai suatu proses tidak dapat dilihat sebagai suatu


perjalanan penetapan peraturan-peraturan hukum saja. Melainkan,
hukum sebagai proses perwujudan tujuan sosial di dalam hukum. Dengan
demikian, yang tengah berlangsung dalam perjalanan penetapan
peraturan itu adalah adanya suatu proses penetrasi dari sektor-
sektor kehidupan masyarakat. Menga•tai hal ini Bredemeier
berpendapat bahwa di dalam suatu sistem sosial dapat di jumpai
bekerjanya 4 (empat) proses-proses fungsional utama, yaitu: (1)
adaptasi (2) perwujudan (3) mempertahankan pola dan (4) integrasi.
Keempat proses itu saling kait-mengkait dan secara timbalbalik
saling memberikan input. Setiap sub-proses memperoleh input dari
keåga Iainnya. Sementara itu, out put dari salah satu proses itu
juga akan menjadi input bagi sub-proses yang Iain.

Semuanya itu menunjukkan bahwa,


pemanfaatan hasil studi ilmu-ilmu sosial di
dalam studi hukum nampaknya sangat
diperlukan. Barang tentu ini tidak dapat
terjadi bila kerangka berfikir yang diikuå
masih tetap bertumpu pada aliran analisis-
positivitis.

Hukum dan Ilmu Pengetahuan Sosial


Sebagaimana diuraikan pada bagian
terdahulu bahwa di dalam kehidupan yang serba
kompleks dan modem ini hampir semua seluk
beluk kehidupan masyarakat diatur oleh hukum.
Hal ini dengan sendirinya mengandung pesan
agar hukum itu benar-benar digunakan secara

10 Jujun S. Suriasumantri, "11mu-llmu Alam dan Ilmu


Sosial", Kompas, tgl. 28 April 1979, halaman IV.
5
Esmi Warassih

efisien dan efektif untuk mengatur


masyarakat. Itu artinya, orang (baca = para
pembuat hukum) tidak cukup hanya

mengeluarkan peraturan-peraturan secara formal Perlu mendapat


perhatian juga dalam proses pembuatan suatu peraturan hukum adalah
komponen-komponen sosial yang mengitari proses hukum tersebut.
Untuk dapat memahami pengaruh kekuatan dari
komponenkomponen sosial ini secara Ieblh baik,
maka kita harus terus berusaha mendapatkan
informasi sebanyak-banyaknya yang dlhasilkan oleh
ilmu-llmu sosial. Kita ådak dapat berpaling dari
pengetahuan keilmuan yang dihasilkan oleh ilmu-
ilmu sosial, melainkan sebaliknya harus dapat
memanfaatkannya untuk membangun suatu tatanan
hukum yang bermanfaat bagi masyarakat. Adanya
kesadaran yang demikian itu akan membawa kita
untuk Iebih memahami kehidupan masyarakat dan
memberi kemampuan untuk memecahkan problemproblem
sosial, poliåk, ekonomi, dan Iain sebagainya.
Sebenamya pendirian bahwa gejala sosial
hanya dapat dipahami dengan mempelajari
bekejanya peristiwa sebab dan akibat dalam
masyarakat, pemah dinyatakan oleh Montesquieu
dalam pokok thesisnya. la menyatakan bahwa
hukum manusia ådak Iain adalah hasil akhir
dari bekerjanya berbagai faktor
tersebut,sehingga perlu bantuan dari ilmu
pengetahuan sosial. Oleh karena hakekat ilmu
pengetahuan sosial itu bersifat deskriptif
yang berusaha memaparkan apa adanya dan tidak
mengemukakan apa yang seharusnya tentang
suatu realitas sosial. Hal ini sangat berbeda
dengan ilmu pengetahuan hukum yang pada
hakikatnya bersifat normaåf dan evaluatif.
Berhadapan dengan hakikat ilmu hukum
dengan segala keterbatasannya itu, maka

6
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!

diperlukan "teori hukum sosial" untuk


memperluas wawasan keilmuan dari hukum agar
keluar dari kungkungan paradigrna lama yang
bersifal normaåf dan evaluatif semata.
Langkah pembaharuan wawasan keilmuan ini
hanya bisa dilakukan dengan melibatkan
kekuatan-kekuatan kultur sosial dan ekonomi
serta sebab-sebab sosial yang Iain.17 Dengan
demikian, para penstudi hukum dituntut untuk
memahirkan diri pula dalam segala segi
kehidupan sosial. Pintu masuk untuk memahami
semuanya itu adalah melalui pemahaman
terhadap hasil studi dari ilmu-ilmu yang
menggarap masalah itu, dan salah satu
diantaranya adalah ilmu-ilmu sosial.
Satjipto Rahardjo, "Pemanfaatan Ilmu Sosiologi untuk
Pengembangan Ilmu Hukum", dalam Majalah Hukum dan
Pembangunan, Nomor 2 Tahun 1979, halaman 156.
saran perbaikan dalam uraian ini dengan
mengedepankan "teori hukum sosial" itu, dapat dicermati melalui
pemikiran yang digagas oleh Pusat Hukum Internasional (International
Law Center) di New York sebagai berikut:18

Law and society are, therefore, intinutely


interrelated not only because the law is social
product, but because Law has as a goal the making of a
more developed and just society. This concept of In
emphasizes not only knowledge of the law as a set of
normative rules and the capacity to interpreted, but
the acquisition of other skills and insight, eg,
ability to analyze and evaluate the policy assumption
behind the law; awareness that there are problems of
social development which may be affected by the law;
appreciation of relationships between the legal system
and political and economic system and of the social
sciences as tools to -enable informed development of
law as an instrument of social change; concern
justice, and, thus a science of injustice.

Di samping itu, kebutuhan akan ilmu-ilmu sosial lainnya adalah


untuk menjelaskan hubungan hukum, terutama antara tingkah laku
manusia dengan ketentuan-ketentuan yang bekerja di dalam masyarakat.

7
Esmi Warassih

Dalam konteks yang demikian itu, maka perspektif hukum positivistik


yang hanya melihat obyelmya dalam bentuk peraturan-peraturan yang
logis-rasional sudah tidak memadai lagi.

Fungsi hukum sebagai sarana pengendali sosial sudah


tidak dapat lagi mengenddlikan sepenuhnya pada kemampuan
peraturanperaturan hukum formal Bertolak dari persoalan ini,
Satjipto Rahardjo pernah mengajukan sebuah pertanyaan
menggelitik, bahwa "apakah nilai-nilai hukum yang kita
miliki cukup mampu untuk mengatur kehidupan masyarakat
Indonesia sekarang yang sudah jauh lebih rumit dari pada
sediaka1a?"19 Pertanyaan seperti ini sebagai isyarat bahwa
sudah saafrlya studi hukum perlu dikaitkan dengan
bidangbidang lain yang terletak di luar lapangan ilmu hukum
seperti antopologi, sosiologi, ilmu politik, dan
sebagainya•.

18 Æntemational Legal Center, New York, "Legal Education


in a Changing World", Report ofthe Committee in Legal
Education in the Developing Countries, New York,
1975, halaman 60.
19 Satjipto Rahardjo, op.cit., 1979, halaman 157.

Mengenai masalah perbantahan terhadap kehandalan formalisme dalam


memahami dan menjelaskan masalah hukum ini, dapat kita temukan dalam
ucapan Eugen Erlich sebagaimana dikutip oleh Satjipto Rahardjo berikut
ini: ...the center of gravity of legal development lies not in legislation, nor in
juristic science, nor in judicial decision, but in society it self..
Pandangan-pandangan seperti itulah yang kemudian mendorong para penstudi
hukum untuk mulai memahami secara lebih seksama tentang hubungan antara hukum dan
masyarakat. Dengan demikian secara otomafis mendorong minat para penstudi hukum ke
arah pemanfaatan dari pandangan dan pemikiran dalam ilmu-ilmu sosial. Pergeseran
kerangka pemahaman terhadap persoalan-persoalan hukum itu juga sebetulnya dipicu oleh
kecenderungan dari pemerintah (negara) untuk menggunakan hukum secara sadar sebagai
salah satu pedoman penyusunan tata kehidupan sosial yang merumuskan paling jelas
hukum dan perubahan sosial yang baru. Hukum lalu dimanfaatkan sebagai saluran untuk
merumuskan kebijakan (policy) dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat termasuk
bidang sosial, ekonomi, politik dan budaya.
Hukum tidak dapat dipisahkan dari realitas sosial yang ada, sehingga
banyak tugas-tugas yang menyangkut pelaksanaan keadilan memerlukan
keahlian-keahlian yang bersifat non-hukum, yang seringkali belum dikuasai
benar oleh para petugas hukum yang ada pada saat ini. Untuk itu, para jurist perlu
menguasai ilmu-ilmu sosial agar dapat menambah pemahamannya mengenai
8
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!

hubungan antara hukum dan sarana kontrol sosial yang lain di dalam masyarakat
modem dan demokratis ini.21

Kompleksitas Bekerianya Hukum


Adanya perubahan-perubahan sosial yang besar dan
fundamental selalu diikuti dengan penyesuaian pada segi kehidupan
hukumnya. Namun, jika hukum sama sekali kurang atau bahkan
fidak dapat memberikan tanggapan terhadap perubahan-perubahan
sosial yang terjadi, maka itu sebagai pertanda bahwa ia tetap

20 Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu-llmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu


Hulatm, Alumni Bandung: 1977, halaman 25. 21 Yulius Stone, op.cit., halaman 7.
mempertahankan dirinya sebagai insåtusi yang tertutup. Bila ini
tetap terjadi maka hukum sulit diharapkan untuk menata kehidupan
sosial semakin besar dan kompleks.

Telah diuraikan bahwa hakekat ilmu sosial


berbeda dengan hakkat ilmu hukum. Adanya
perbedaan yang demikian itulah, kita dapat
memanfaatkan hasil pemikiran ilmu-ilmu sosial
dalam memberi umpan balik bagi pengembangan-
pengembangan teori hukum dalam rangka
memberikan landasan pemecahan terhadap
masalah•masalah yang dihadapi oleh
masyarakat. Untuk menilai keadaan itu perlu
disadari akan kompleksitas hukum itu sendiri.
Menurut Northop sebagaimana dikutip oleh Bodenheimer, bahwa
hukum memang tidak dapat dimengerti secara baik jika ia terpisah
dari norma-norma sosial sebagai "hukum yang hidup".22 Adapun ''hukum
yang hidup" oleh Eugen Erlich, dimaknakan sebagai hukum yang
menguasai hidup itu sendiri, sekalipun ia tidak dicantumkan dalam
peraturan-peraturan hukum.23

Pengetahuan yang dlhasilkan oleh ilmu-ilmu sosial akan


menjadi bahan yang sangat berharga dalam menuntun dan
memberitahu tentang bagaimana seyogyanya membuat suatu
peraturan yang semesånya, bagaimana menerapkan serta
melaksanakan suatu peraturan, dan bagaimana pula menilai
produk hukum yang dihasilkan tersebut. Berkat bantuan ilmu-
ilmu sosial pula kita dapat mengetahui bagaimana memahami
setiap persoalan yang timbul di dalam kerangka tertib sosial
9
Esmi Warassih

yang Iebih luas. Melalui pemanfaatan ilmu-ilmu sosial yang


ada hendaknya hukum dapat merumuskan kunci-kunci bagi sistem
tindakan agar memperoleh hasil yang efektif.
Penggunaan pengetahuan yang mendalam tentang hasil
karya ilmu-ilmu sosial, hukum akan Iebih mudah dan mampu
menghayati fenomena sosial. Suatu pendobrakan terhadap
kesadaran semacam itu akan terjadi apabila mereka mulai
menyadari bahwa sekalipun hukum itu tampak sebagai
seperangkat norma-norma hukum, tetapi ia selalu merupakan
hasil daripada suatu proses sosial. Itu berarå, usaha

22
Edgar Bodenheimer, Yurispudence:The Philosophy and Method
of the Lav, Cambriage, Massachusetts, 1962, halaman 106. 23
Ibid, halaman 106.

manusia untuk membuat dan merubah tatanan hukum itu senantiasa


berada di dalam konteks sosial yang terus berubah, 11

Robert B. Seidman menyatakan bahwa


Endakan apa pun yang akan diambil baik oleh
pemegang peran, lembaga-lembaga pelaksana
maupun pembuat Undang-undang selalu berada
dalam lingkup kompleksitas kekuatan-kekuatan
sosial, budaya, ekonomi, dan politik, dan
Iain sebagainya. Seluruh kekuatan-kekuatan
sosial selalu ikut bekerja dalam setiap upaya
untuk memfungsikan peraturan-peraturan yang
berlaku, mQerapkan sanksi-sanksinya, dan
dalam seluruh aktivitas lembaga-lembaga
pelaksanaannya.12 Akhimya peranan yang
dijalankan Oleh lembaga dan pranata hukum itu
merupakan hasil dari bekerjanya berbagai
macam faktor.
11 Satjipto Rahardjo, Hukum danMasyarakat, Angkasa,
Bandung, 1980, halaman 31.
12 William B. Chambliss & Robert B. Seidman, Law Order and
Power, Reading, Mass: Addison-Wesly, 1971, halaman 5-13.
Bacajuga Robert B. Seidman, "Law and Development, A
General Model", dalam Law and Society, No. VI, 1972.
10
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!

Itulah sebabnya, anjuran untuk


memberdayakan hasil-hasil studi dari ilmu-
ilmu sosial dalam menata lembaga dan tatanan
hukum menjadi sangat penting dilakukan. Dalam
konteks ini, tidak dapat dipungkiri lagi
bahwa saham yang dapat diberikan Oleh para
ahli di bidang ilmu-ilmu sosial akan besar
sekali artinya bagi pembaharuan hukum, dan
untuk membantu memperluas wawasan serta
pemahaman terhadap hukum
Adanya pengaruh kekuatan-kekuatan sosial dalam
bekerjanya hukum ini, secara jelas Seidman
menggambarkannya dalam bagan 1 berikut ini:13

Baganl

13 William B. Chamblis & Robert B. Seidman, Ibid, 1971,


halaman 12. Baca juga Robert B. Seidman, "Law and
Development, A General Model", op.cit.
11
Esmi Warassih

Model dari Seidman tersebut dapat dijelaskan bahwa


pengaruh faktor-faktor dan kekuatan-kekuatan sosial
terjadi mulai dari tahap pembuatan undang-undang,
penerapannya, dan sampai kepada peran yang diharapkan.
Uraian ini nanå akan menunjukkan bahwa hukum merupakan
suatu proses sosial yang dengan sendirinya merupakan
variabel yang mandiri (otonom) maupun tak mandiri
(tidak mandiri) sekaligus.
Sadar atau tidak sadar, kekuatan-kekuatan sosial sudah
mulai bekerja dalam tahapan pembuatan undang-undang.
Kekuatankekuatan sosial itu akan terus berusaha untuk masuk
dan mempengaruhi setiap proses legislasi secara efektif dan
efisien. Adapun peraturan yang dikeluarkan itu memang
menimbulkan hasil yang diinginkan, tapi efeknya itu pun
sangat tergantung pada kekuatan-kekuatan sosial yang
melingkupinya. Oleh sebab itu, orang

12
Pranata Hukum, Sebuah Sosial

Te188h tidak dapat melihat produk hukum sekedar


sebagai tindakan mengeluarkan peraturan secara formal,
melainkan lebih daripada itu.

Demikian pula, pengaruh kekuatan-kekuatan sosial


dirasakan juga dalam bidang penerapan hukum. Gustav
Radbruch14mengemukakan adanya tiga nilai dasar yang harus
diwujudkan dan perlu mendapat perhatian serius dari para
pelaksana hukum, yakni nilai keadilan, kepastian hukum, dan
kemanfaatan. Terutama nilai dasar kemanfaatan ini akan
mengarahkan hukum pada pertimbangan kebutuhan masyarakat
pada suatu saat tertentu, sehingga hukum it-u benar-benar
mempunyai peranan yang nyata bagi masyarakat. Bantuan ilmu-
ilmu sosial mendorong para pelaksana hukum untuk meneliti
masalah-masalah hukum yang dihadapkan kepadanya, sehingga
kasus yang diajukan baginya bukan semata-mata kasus
normatif, tetapi lebih dari itu kasus manusiaø
Untuk itu, perlu disadari bahwa hukum
memang merupakan bagian dari kehidupan
sosial dan dengan demikian tidak akan pemah
berada di ruang hampa. Apabila lembaga dar
pranata hukum tetap menutup diri dari
cabang-cabang ilmu yang lain, maka akan
semakin jauh pula usaha untuk menata
kehidupan sosial ke arah yang lebih baik dan
manusiawi. Berkaitan dengan hal di atas,
sangatlah tepat apabila Justice Brandeis
mengatakan: A lawyer who has not studied
economics and sociology is very apt to
become a public enemy.15
Bantuan pengetahuan ilmu-ilmu sosial dapat memberikan
daya penglihatan bahwa faktor atau masalah manusia juga
yang sesungguhnya menjadi persoalan hukum yang paling
mendasar. Lembaga-lembaga maupun peraturan-peraturan itu
hanyalah sekedar kerangka untuk menggarap masalahnya secara
cermat dan teråb.

14 Gustav Radbruch, Einfuhrung in die Rechtswissenschafi,


Stuttgart: K.F. Kohler, 1961 dalam Satjipto Rahardjo, 11mu
Hukum. Bandung: Penerbit Alumni, 1991, halaman 19-21.

13
Esmi Warassih

Sekalipun komponen-kompona'l sosial teramat penting


dalam penataan lembaga dan pranata hukum, namun hal
tersebut mendapat perhatian serius dari para pekerja hukum,
baik di kalangan intelektual, legislator maupun aparat
penegak hukum. Mengenai kekurangan pengetahuan dan kekurang
pedulian terhadap aspek non-

yuridik itu juga dirasakan oleh seorang pengacara kondang Yap Thiam
Hien. la mengatakan:16

"Sudah 20 tahun para advokat baik secara kolektif


atau perorangan mencoba menghumanisasikan hukum dan
lembaga-lembaga hukum tanpa mencapai kasil yang nyata.
Sebabnya antara lain adalah approach yang salah karena
kurang mengerti seluk beluk perubahan. Dan hal ini
mungkin diakibatkan oleh kekurangan pemahaman tentang
ilmu-ilmu sosial dan politik dan khususnya tentang
sosiolog"
Selanjutnya, peranan apa yang diharapkan dari warga
masyarakat, juga sangat ditentukan dan dibatasi oleh
kekuatankekuatan sosial tersebut, terutama sistem budaya.
Adapun yang dimaksudkan dengan "pemegang peran" adalah
semua warga negara baik itu hakim, polisi dan masyarakat.
Apapm terminology yang kita ajukan untuk menjelaskan apa
itu hukum, toh pada akhirnya •harus diingat bahwa pada
dasamya hukum itu merupakan budaya masyarakat.

Yehezkel Dror17 mengingatkan bahwa bidang budaya atau


aktivitas masyarakat tertentu ternyata sangat berjalinan
erat dengan aspek-aspek lain dalam masyarakat. Oleh karena
itu, usaha untuk mempelajari hukum secara terpisah dari
konteks sosialnya akan menjadi rumit. {tulah sebabnya, -
keåka me*aji masalah bekerjanya hukum, Seidman 18 berusaha
untuk memanfaatkan teori-teori dari ilmu-ilmu sosial, yak-
ni teori ''peran". la membicarakan peranan hukum dalam
menimbulkan perubahan-perubahan tertentu sebagaimana
dikehendaki oleh pembuat hukum.
Suatu peraturan dibuat atau dikeluarkan tentunya berisi
harapan-harapan yang hendaknya dilakukan oleh subyek hukum sebagai
pemegang peran. Namun, bekerjanya harapan itu tidak ditentukan

15 Edgar Bodenheimer, op.cit.,


halaman 344-345.
16 Satjipto Rahardjo•, Huhm dan Perubahan Sosial, Bandung:
Almuni, 1978, halaman 278.

14
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
hanya oleh kehadiran peraturan itu sendiri, melainkan juga oleh
beberapa faktor lain. Faktor-faktor yang turut menentukan bagaimana
respons yang akan diberikan oleh pemegang peran, antara

lain: (1) sanksi-sanksi yang terdapat di


dalamnya, (2) aktivitas dari lembaga
pelaksana hukum, (3) seluruh kekuatan-
kekuatan sosial, politik dan lain-lainnya yang bekerja atas
diri pemegang peran itu. Perubahan-perubahan itu pun disebabkan
oleh berbagai reaksi yang ditimbulkan oleh pemegang peran
terhadap pembuat undang-undang dan birokrasi. Demikian pula
sebaliknya, komponen birokrasi juga memberikan umpan balik
terhadap pembuat undang-undang maupun pihak pemegang peran.

Hubungan Timbal Balik


Walaupun ada perbedaan tujuan antara hukum dan ilmu-ilmu sosial,
namun dalam pertumbuhannya temyata bersifat saling melengkapi, dan
perbedaan fungsi antara keduanya hanyalah bersifat marginal. Bahkan, Michael
Barkun mengatakan bahwa:32
There is grotving recognition that the Icwyer often functions, however
unconsciously, as a social scientist, basing his decisions on empirically testable
prepositions about social behaviour. Conversely, the social scíentist cannot
adequately understand social behaviour without taking into account the role
played by rules and legal institutions.
Bagaimanapun studi mengenai hukum yang bersifat normatif
itu masih harus berjalan bersama-sama dengan
kegiatan-kegiatan deskripff yang dilakukan oleh studi
hukum yang sosiologik. Yulius Stone19 menyatakan bahwa,
sekalipun kerja ilmu sosialnya telah bisa selesai, namun persoalan
perfimbangan kebijaksanaan dan keadilan masih perlu

17 Yehezkel Dror, op.cit, 1969, halaman 90-99.


18 William J. Chambliss & Robert B. Seidman, op.cit, 1971,
halaman 12. Baca juga Robert B. Seidman, "Law and
Development, A General Model", op.cit, 1972. Juga dalam
Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu-llmu Sosial bagi
Pengembangan 11mu Hukum, Bandung: Alumni, 1977.
19 Yulius Stone, op.cit, halaman 7.

15
Esmi Warassih

dipertanyakan. Kerja mengumpulkan data dan bahkan juga usaha


inferensinya untuk simpulan umum dari fakta• fakta ini haruslah
dipandang sekedar sebagai landasan penggarapan masalah yang
lebih pokok. Adapun masalah yang lebih pokok ini ialah apakah
yang seharusnya diperbuat terhadap fakta-fakta itu?
Apa yang dipertanyakan oleh Yulius Stone itu persoalan efk
kebijakan sosial dan keadilan. Sekalipun belum jelas apakah
persoalan ini dapat diselesaikan secara metafisik, namun satu hal
telah jelas, bahwa persoalan-persoalan ini tidak akan dapat
diselesaikan secara empirik. Oleh sebab itu, di samping date
empirik itu dipakai untuk

32
Michael Barkun, Law and the Social System, New York: Liaber Atherton, 1973.

membuat konstruksi-konsfruksi teori sebagaimana yang


dicapai oleh beberapa bidang studi ilmu sosial, sumber-
sumber intelektual tersebut juga masih banyak yang harus
disisakan untuk keperluan penyelesaian masalah ad hoc yang
fimbul di dalam masyarakat dewasa ini. Ini adalah suatu
keharusan agar setiap pengetahuan yang masih ada masih
relevan dengan masyarakamya, dan penyesuaian
diri secara praktis masih mungkin dikerjakan,20

Simpulan
Tujuan ilmu adalah mQcari penjelasan dari gejala-
gejala yang ditemukan, yang memungkinkan kita
mengetahui sepenuhnya hakkat Obyek yang dihadapi.
Untuk sampai pada tujuan tersebut, ilmu pengetahuan
hukum tidak dapat menutup dirinya sebagai studi hukum
yang normatif. Melainkan ia perlu merangkum hasil olah
pikir dari ilmu-ilmu sosial yang pada hakikattya
merupakan studi yang desl«iptif yaitu memaparkan apa
adanya tanpa memberikan suatu penilaian.

20 Ibid, halaman 8.

16
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!

BAGIAN PERTAMA

Cita Hukum

17
Esmi Warassih

1
Hukum sebagai Sistem
Norma dan Fungsi-
Fungsinya

ukum dalam perkembangannya tidak hanya


dipergunakan untuk mengatur ångkah laku yang sudah ada dalam
masyarakat dan mempertahankan pola-pola kebiasaan yang telah
ada. Lebih jauh dari itu, hukum telah mengarah kepada
penggunaannya sebagai sarana untuk melakukan
perubahanperubahan dalam masyarakat semenjak Indonesia
melakukan pembangunan di segala bidany seperå yang terjadi
pada jaman orde baru melalui Rendana Pembangunan Lima Tahun
(Repelita).
Hukum sebagai sarana ini telah @rcetus pada hasil
keputusan Seminar Hukum Nasional ke tahun 1974 di Surabaya
sebagai berikut: "Perundang-undangan terutama dalam
masyarakat dinamis dan sedang berkembang, merupakan sarana
untuk merealisasi kebijaksanaan Negara dalam bidang-bidang
ekonomi, sosial budaya, politik dan pertahanan, keamanan
nasional sesuai dengan skala prioritas dalam pembangunan
nasional"
Kesadaran yang demikian itu berbeda dengan konsep hukum
yang diajarkan Ole-h Friedrich Karl von Savigy pendiri
aliran sejarah yang menyatakan bahwa hukum itu merupakan
ekspresi dari kesadaran hukum rakyat (Volkgeits). Konsep
tersebut memang didukung Oleh kenyataan sejarah, yaitu
masyarakat yang masih sederhana. Sebaliknya, konsep hukum
sebagai sarana berkait erat dengan perkembangan masyarakat
yang didasarkan pada perencanaan, yaitu dengan melakukan

18
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
pilihan-pilihan dari berbagai alternatif untuk mencapai
tujuan-tujuan yang diharapkan.

19
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!

Apabila kita mulai membicarakan hukum sebagai sarana,


maka sebenarnya saat ini hukum telah memasuki pembicaraan
mengenai hukum sebagai konsep yang modern. Hal ini dikarenakan
hukum merupakan suatu kebutuhan masyarakat sehingga ia bekerja
dengan cara memberikan petunjuk fingkah laku kepada manusia
dalam memenuhi kebutuhannya. la merupakan pencerminan kehendak
manusia tentang bagaimana seharusnya masyarakat itu dibina dan
kemana harus diarahkan.
Bertolak dari uraian tersebut di atas muncul beberapa
problem sebagai berikut: (1) tujuan apakah yang hendak
diwujudkan dalam hukum?, (2) fungsi apa saja yang dapat
dilakukan Oleh hukum?, dan (3) bagaimana fungsi hukum itu
dijalankan dalam kaitannya dengan sistem norma?

Pengertian Hukum
Hukum pada umumnya diartikan sebagai keseluruhan
peraturan atau kaedah dalam kehidupan bersama; keseluruhan
tentang fingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan
bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu
sanksi.21Namun demikian, hingga sekarang belum diperoleh suatu
pengertian hukum yang memadai dengan kenyataan. Hal ini
dikarenakan hukum memiliki banyak segi dan bentuk, sebagaimana
diungkapkan oleh Lemaire, bahwa hukum itu banyak segütya serta
meliputi segala lapangan kehidupan manusia menyebabkan orang
ådak mungkin membuat suatu definisi hukum yang memadal dan
komprehensif.22Demikian pula Kisch mengatakan, bahwa hukum itu
ådak dapat dilihat atau ditangkap oleh panca indera, maka
sukarlah untuk membuat suatu definisi tentang hukum yang
memuaskan umum.

Sekalipun demikan, pengertian hukum perlu


dikemukakan di sini sebagai Htik tolak

21 Sudikno Mertokusumo, MengenalHukum, Suatu Pengantar,


Yogyakarta: Liberti, 1986, halaman 37.
22 Van Apeldoorn, Pengantarllmu Hukum, Jakarta: 1983,
halaman 13.
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!

pembahasan selanjumya. Pengertian yang mungkin


diberikan pada hukum adalah sebagai berikut:23

19
1. Hukum dalam a-rü ilmu;
2. Hukum dalam arti disiplin atau sistem ajaran tentang
kenyataan;
3. Hukum dalam arti kaedah atau norma;
4. Hukum dalam arti tata hukum atau hukum posiåf tertulis;

5. Hukum dalam arü keputusan pejabat;


6. Hukum dalam arå petugas;
7. Hukum dalam alti proses pemerintahan; 8. Hukum dalam
arå perilaku yang teratur;
9. Hukum dalam arå jalinan nilai.
Di samping pengertian tersebut di atas dapatlah dikemukakan
beberapa pendapat para ahli. Menurut Van Vollen Hoven, hukum adalah
suatu gejala dalam pergaulan hidup yang bergolak terusmenerus dalam
keadaan bentur dan membentur tanpa henti-hQtinya dengan gejala-gejala
Iainnya24 demikian pula Soediman mendefinisikan hukum sebagai pikiran
atau anggapan orang tentang adil dan tidak adil•mengenai hubungan
antar manusia.

Berbagai pengertian hukum sebagaimana terurai di atas


menunjukkan bahwa hukum memiliki banyak dimensi yang sulit
untuk disatukan, mengingat masing-masing dimensi memiliki
metode yang berbeda. Secara garis besar F*tgerüan hukum
tersebut dapat dikelompokkan rna-tjadi tiga (3) pengertian
dasar:25 Pertmna, hukum dipandang sebagai kumpulan ide atau

23 Soerjono Soekanto & Soleman B. Taneko, Hukum Adat


Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1981, halaman 44.
24 C. Van Vollen Hoven, Penemuan Hukum Adat, Jakarat:
Penerbit Djambatan, 1981, halaman 6.
25 Satjipto Rahardjo, I[mu Hukum, Bandung: Penetbit Alumni,
1986, halaman 5-6.
21
Esmi Warassih

nilai abstrak. Konsekuensi metodologi adalah bersifat


filosofis.
Kedua, hukum dilihat sebagai suatu sistem peraturan-peraturan
yang abstrak, maka pusat perhaåan terfokus pada hukum sebagai suatu
lembaga yang benar-benar otonom, yang bisa kita bicarakan sebagai
subyek tersendiri terlepas dari kaitannya dengan hal-hal di luar
peraturan-peraturan tersebut. Konsekuensi metodologinya adalah
bersifat normaåf-analiås.

Ketiga, hukum dipahami sebagai sarana atau alat untuk


mengatur masyarakat, maka metoda yang dipergunakan adalah
metoda sosiologis. Pengertian ini mengaitkan hukum untuk
mencapai tujuan-tujuan serta memenuhi kebutuhan-kebutuhan
konkrit dalam masyarakat.

Dişisi lain hükum hendaknya dipandang


dengan pengerüan ketiga hal tersebut sehingga
hükum tidak lagi menjadi sosok yang terkotak-
kotak atau terfragmaıtasikan,maka hükum harus
dapat dilihat secara holistik.Hukum pada
dasamya merupakan hasil karya manusia atau
sebuah komunitas yg berjalan secara terus
menerus dan selalu mengalami proses untuk
mengkristal menjadi norma hükum yang tampak
dalam bentuk simbol-simbol.Menemukan malma-
malma yang terkandung dalam simbol tersebut
dapat diperoleh melalui metode socio-legal
dengan menggunakan pendekatan hermeneutik yang
tidak hanya melihat dari sisi tekstual namun
konteks dan kontekstualisasi
sekaligus.Diharapkan wajah hükum akan tampak
dari sisi filosofis ,normaüf dan sosiologis.

Tuİuan Hükum
Pengerüan-pengertian hükum sebagaimana diuraikan di atas
memberi petunjuk kepada kita bahwa sesungguhnya hükum
merupakan karya manusia sebagai cerminan kehendak dan
22
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!

sasaransasaran masyarakat yang ingin dicapainya. Dalam


literatüre dikenal beberapa teori tentang tujuan hukum.
Pertama, Teori Etis yang mengajukan tesis bahwa hükum itü
semata-mata bertujuan untuk menemukan keadüan. İsi hükum ditentukan
oleh keyakinan yang etis tentang apa yang adil dan tidak adil. Dengan
perkataan lain, hükum bertujuan untuk merealisasikan atau mewujudkan
keadilan. Salah seorang pendukung teori ini adalah Geny26. Keprihatinan
mendasar dari teori eüs ini terfokus pada dua pertanyaan tentang
keadilan, yakni (1) menyangkut hakikat keadilan, dan (2) menyangkut
isi atau norma untuk berbuat secara konkrit dalam keadaan tertentu.

Menurut para penganut teori etis ini, bahwa


hakikat keadilan itü terletak pada penilaian
terhadap suatu perlakuan atau tindakan. Dalam
hal ini ada dua pıhak yang terlibat, yaitu
pihak yang memperlakukan dan pihak yang
menerima perlakuan. Misalnya, antara orang tua
dan anahya, majikan dan buruh, hakim dan
yustisiabel, pemerintah dan warganya serta
laeditur dan debitur.27
Secara ideal, hakkat keadilan itu tidak hanya dilihat dari satu pihak
saja, tetapi harus dilihat dari dua pihak Namun demikian, kesulitannya
terletak pada pemberian batasan terhadap isi keadilan itu. Akibafrtya,
dalam praktek ada kecenderungan untuk memberikan penilaian terhadap
rasa keadilan hanya menurut pihak yang menerima perlakuan saja.s

Aristoteles membedakan keadilan menjadi dua macam keadilan,


yaitu justisia distributive yang menghendaki setiap orang mendapat apa
yang •menjadi hala•tya, dan justisia commutative yang menghendald
setiap orang mendapatkan hak yang sama banyaknya (keadilan yang
menyamakan). Demikian pula, Roscou Pound melihat keadilan dalam hasil-
hasil konkrit yang dapat diberikan kepada masyarakat, 42 berupa
pengalokasian sumber-sumber daya kepada anggota-anggota dan kelompok-
kelompok dalam masyarakat.
Kedua, Teori Utilitas. Penganut teori ini, antara lain
Jeremy Bentham, berpendapat bahwa tujuan hukum adalah untuk
menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi manusia dalam jumlah
yang sebanyak-banyalmya (the greatest happinesfor the greatest
number). Pada hakikamya hukum dimanfaatkan untuk menghasilkan
sebesar besamya kesenangan atau kebahagiaan bagi jumlah orang
yang terbanyak.

26 Sudikno Mertokusumo, op.cit, halamm 57.


27 ibid,halarnan 58
23
Esmi Warassih

Ketiga, Teori Campuran, yang berpendapat bahwa tujuan


pokok hukum adalah dan oleh karena itu keterå•ban
merupakan syarat bagi adanya suatu masyarakat yang teratur. Di
samping ketertiban, Mochtar Kusumaatrnadja berpendapat bahwa
tujuan lain dari hukum adalah untuk ma-tcapai keadilan secara
berbeda-beda (baik isi maupun ukurannya) menurut masyarakat
dan zamannya.43
Demikian pula Pumadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto
berpendapat bahwa tujuan hukum adalah demi kedamaian hidup
antar pribadi yang meliputi keteråban ekstem antar pribadi dan
ketenangan intern pribadi.28 Pendapat ini hampir serupa yang
diberikan oleh Van Apeldoom, bahwa pada dasarnya hukum
bertujuan untuk mengatur pergaulan hidup manusia secara damai.

42
Satjipto Rahardjo, op.cit, 1986, halaman 50.
43
Ibid., halaman 50.

28 Pumadi Purbacaraka & 5erjono Soekanto, Perihal Kaidah


Hukum, Bandung: Alumni, 1978, halaman 67.
24
Pranatn Sebuah Telaah Sosial

Sedangkan, Soebekti berpendapat bahwa hukum itu


mengabdi kepada tujuan negara untuk mendatangkan
kemakmuran dan kebahagiaan bagi rakyatnya.
Diasumsikan bahwa mengabdi kepada tujuan negara itu,
hukum mewujudkan keadilan dan ketertiban.
Berbagai tujuan yang hendak diwujudkan dalam masyarakat
melalui hukum yang dibuat itu, sekaligus menyebabkan tugas maupun
fungsi hukum pun semakin beragam. Secara garis besar tujuan-tujuan
tersebut meliputi pencapaian suatu masyarakat yang terfb dan damai,
mewujudkan keadilan, serta untuk mendatangkan kemakmuran dan
kebahagiaan atau kesejahteraan. Untuk dapat merealisasi tujuan-
tujuan tersebut, maka kita perlu membahas masalah fungsi-fungsi
yang dapat dijalankan oleh hukum.

Fungsi-fungsi Hukum
Manusia di dalam hidupnya selalu mempunyai
kebutuhankebutuhan atau kepentingan-kepentingan yang hendak
dipenuhinya. Namun, tidak semua manusia mempunyai kebutuhan
atau kepenffngan yang sama, melainkan kadang berbeda, dan
bahkan tidak jarang pula bertentangan satu sama lain. Di
lain pihak disadari pula bahwa terpenuhinya suatu kebutuhan
manusia amat tergantung pada manusia lainnya. Bahkan,
pemenuhan kebutuhan manusia dapat diselenggarakan di dalam
masyarakat yang tertib dan aman.
Oleh sebab itu, Hoebel menyimpulkan adanya empat
fungsi dasar hukum, yaitu:29

1. menetapkan hubungan-hubungan antara para anggota


masyarakat, dengan menunjukkan jenis-jenis tingkah laku-
tingkah laku apa yang diperkenankan dan apa pula yang
dilarang;
2. menentukan pembagian kekuasaan dan memerinci siapa saja
yang boleh melakukan serta siapakah yang harus
mentaatinya dan sekaligus memilihkan sanksi-sanksinya
yang tepat dan efektif;
3. menyelesaikan sengketa;
4. memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri
dengan kondisi-kondisi kehidupan yang berubah, yaitu
dengan

29 Edwin M. Schur, Law and Society: A Sociological View,


New York: Random House, 1968, halaman 79-82.
25
Esmi Warassih

cara merumuskan kembali hubungan esensial antara anggotaanggota


masyarakat
Di samping itu, hukum menghendaki agar warga masyarakat
bertingkah laku sesuai harapan masyarakat atau berfungsi
sebagai konbol sosial. Demikian pula hukum berfungsi
sebagai sarana untuk memperlancar proses interaksi sosial,
yaitu dengan memandang hukum sebagai suatu mekanisme
kontrol sosial yang bersifat umum dan beroperasi secara
merata di hampir seluruh sektor kehidupan
Bredemeier menyatakan bahwa fungsi utama suatu sistem hukum
bersifat integrative, artinya untuk mengurangi unsur-unsur
konflik yang potensial dalam masyarakat, dan untuk
melicinkan proses pergaulan sosial.30

Selanjutnya, apabila penyelenggaraan keadilan dalam masyarakat


yang dilakukan melalui hukum dilihat sebagai institusi sosial, maka
Idta mulai melihat hukum dalam kerangka yang luas, yaitu dengan
melibatkan berbagai proses dan kekuatan dalam masyarakat. Untuk
itu, penyelenggaraan keadilan dalam masyarakat berkaitan erat
tingkat kemampuan masyarakamya.
Pada masyarakat sederhana arånya masyarakat yang masih
kecil jumlahnya, hubungan-hubungan atau pola hubungan
antara para anggota masyarakat terjalin sangat erat
berdasarkan azas kekerabatan. Selain itu, senårnen dan
kepercayaan yang sama dan mempunyai lingktmgan yang relaåf
stabil, maka penyelenggaraan keadilan lebih nampak mudah.
Dalam suasana kebersamaan seperti itu, keterperincian tata
aturan tidak terlalu diutamakan. Bahkan, peraturan-
peraturan Mdak resmi, yang dipandang sebagai standar Mngkah
laku dalam masyarakat dianggap sudah sangat memadai. Hart
mQyebutkan tatanan hukum seperti itu sebagai primary rules
of obligation. Kelemahan yang dijumpai pada peraturan
demikian adalah ketidakpastian, karena ikatan peraturan
yang tidak merupakan satu sistem, peraturan-peraturannya
bersifat statis, dan cara-cara mempertahankan tatanan hukum
itu pun tidak dilakukan secara efisien.
Sebalik•tya, dalam masyarakat yang sudah semakin
kompleks, tidak cukup dibutuhkan tatanan hukum primer
(primary rules), melainkan sudah mulai membutuhkan tatanan
hukum yang memiliki
Te188h Sosi81

30halaman 79-82.
Ibid,

26
Pranata Hukum, Sebuah

kewajiban sekunder (secondary rules of


obligation). Peraturan-peraturan sekunder itu
antara lain peraturan-peraturan yang berisi
tentang pengakuan norma tertentu (rules of
recognition) sehingga jelas dan pasti apa yang
merupakan kaidah mengenai perbuatan atau hubungan
tertentu, peraturan-peraturan yang menggarap
perubahan-perubahan (rules of chmge), dan
peraturan bagi penyelesaian sengketa (rules of
adjudication). Beranjak dari sini, maka ke depan
perlu pengaturan dalam penyelenggaraan keadilan
secara lebih terorganisasi.31
Hukum sebagai ideal memiliki hubungan yang erat dengan
konseptualisasi keadilan secara abstrak. Dalam rangka itu
pula maka apa yang dilakukan oleh hukum adalah untuk
mewujudkan ide dan konsep keadilan yang diterima oleh
masyarakatnya ke dalam bentuk yang konkrit, berupa
pembagian maupun pengolahan sumber-sumber daya kepada
masyarakamya. Hal yang demikian juga berkaitan erat dengan
perkembangan masyarakat atau negara yang berorientasi
kesejahteraan dan kemaknuran.
Selanjutnya Aubert sebagaimana dikufip Gunther Teubner,
menambahkan lagi fungsi hukum yang bersifat prevention to
promotion, yang paralel dengan konsepnya Brockman dan Ewald, yakni
socialization of law. Konsep ini pun sejalan dengan pandangan
Luhman tentang konsep hukum sebagai social engineering as a
political approach to law, dan pandangan Heller yang melihat hukum
setara dengan positive state.32

Hokum Sebagai Suatu Sistem Norma


Apapun namanya maupun fungsi apa saja yang hendak
dilakukan oleh hukum tetap tidak terlepas dari pengertian
hukum sebagai suatu sistem, yaitu sebagai sistem norma.
Pemahaman yang demikian itu menjadi penång, karena dalam
menjalankan fungsinya untuk mencapai suatu tujuan yang
dikehendaki secara efekåf, hukum harus dilihat sebagai sub-
31 Satjipro Rahardjo, op.cit, 1986, halaman 117.
32 Gunther Teubner,The Transformation of Law in Welfare
State,Dilemmas ofLaw in the Welfare State, Walter de
Gruyter & Co, Berlin, 1985,halaman 5
27
Esmi Warassih
sistem dari suatu sistem yang besar yaitu masyarakat atau
lingkungannya. Pengeråan sistem sebagaimana didefinisikan
oleh beberapa ahli, antara lain Bertalanffy, Kenneth
Building, temyata mengundang implikasi yang sangat berarå

terhadap hukum, terutama berkaitan dengan aspek: (1) keintegrasian,


(2) keteraturan, (3) keutuhan, (4) keterorganisasian, (5)
keterhubungan komponen satu sama lain, dan (6) ketergantungan
komponen satu sama lain.33 Shrode dan Voich50 menambahkan pula bahwa
selain syarat sebagaimana tersebut di atas, sistem itu juga harus
berorientasi kepada tujuan.

Oleh karena hukum juga dipandang sebagai


suat11 sistem, maka untuk dapat memahaminya
perlu penggunaan pendekatan sistem. Berbagai
pengertian hukum sebagai sistem hukum
dikemukakan antara lain oleh M. Friedman,
bahwa hukum itu terdiri dari komponen
struktur, substansi dan kultur:34
1. Komponen sfruktur yaitu kelembagaan yang diciptakan oleh sistem
hukum itu dengan berbagai macam fungsi dalam rangka mendukung
bekerjanya sistem tersebut Komponen mi dimungkinkan untuk
melihat bagaimana sistem hukum itu memberikan pelayanan terhadap
penggarapan bahan-bahan hukum secara teratur.
2. Komponen substanăf yaitu sebagai output dari sistem
hukum, berupa peraturan-peraturan, keputusan-keputusan
yang digunakan baik oleh pihak yang mengatur maupun yang
diatur.
3. Komponen kultur yaitu terdiri dari nilai-
nilai, sikap-sikap, persepsi,custom,ways
of doing,ways of thinking,opinion yang
mempengaruhi bekerjanya hukum oleh
Lawrence M. Friedman disebut sebagai

33 Ludwig von Bertalanffy, General Sytem Theow,Foundation


Development Application, Penguin Books, Midlesex: 1971,
halaman 91.
William A. Shrode & Voich, Organization andManagement,
Basic System Concepts, Tlahassee, Fla: Florida State
University, 1974.
Ibid,

28
Pranata Hukum, Sebuah
kultur hukum. Kultur hukum inilah yang
berfungsi sebagai jembatan yang
antara peraturan hukum dengan
tingkah laku hukum seluruh warga
masyarakat.

Komponen kultur hukum ini hendaknya dibedakan antara internal legal


culture yaitu kultur hukum para latuyers and judges, dan external legal
culture yaitu kultur hukum masyarakat luas.35
Telaah Sosial

Selain itu, Lon L. Fuller juga berpendapat bahwa untuk


mengenal hukum sebagai sistem maka harus dicermati apakah
ia memenuhi delapan (8) azas atau priciples of legality
berikut ini:36

1. Sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan


artinya ia tidak boleh mengandung sekedar keputusan-
keputusan yang bersifat ad hoc.
2. Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu
harus diumumkan.
3. Peraturan tidak boleh berlaku surut
4. Peraturan-peraturan disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti.
5. Suatu sistem tidak boleh mangandung
peraturan-peraturan yang bertentangan satu
sama lain.
6. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang
melebihi apa yang dapat dilakukan.
7. Peraturan tidak boleh sering dirubah-ubah.
8. Harus ada kecocokan antara peraturan yang
diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-
hari.
34 Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social
Science Perspective, New York: Russel Sage Foundation,
1986, halaman 17.
35halaman 17
36 Lon L. Fuller, The Morality ofLaw, Edisi Revisi, New
Haven & London: Yale University Press, 1971, halaman 38-
39. Lihat juga dalam Satjipto Rahardjo, op.cit, 1986,
halaman 92.
29
Esmi Warassih
Selanjutnya, apabila kita mulai bicara tentang hukum sebagai
suatu sistem norma, Hans Kelsen berpendapat bahwa suatu norma
dibuat menurut norma yang lebih tinggi, dan norma yang lebih tinggi
ini pun dibuat menurut norma yang lebih Hnggi lagi, dan demikian
seterusnya sampai kita berhenti pada norma yang terånggi yang tidak
dibuat oleh norma lagi melainkan ditetapkan terlebih dulu
keberadaannya oleh masyarakat atau rakyat.

Hans Kelsen37 menamakan norma tertinggi


tersebut sebagai Grundnorm atau Basic Norm (Norma
Dasar), dan Grundnorm pada dasarnya tidak
berubah-ubah. Untuk mengatakan bahwa hukum
merupakan suatu sistem norma, maka Kelsen
agar obyek hukum bersifat empiris dan
dapat ditelaah secara logis. Sumber yang
mengandung penilaian etis diletakkan diluar
kajian hukum atau bersifat trancenden terhadap
hukum positif, dan oleh karenanya kajiannya
bersifat meta-yuridis.

Dengan adanya Grundnorm atau Basic Norm ini, maka


Hans Kelsen mengatakan, bahwa basic norm as the souræ
of validity and as the source of unity of legal
systems.38 Melalui Grundnorm inilah semua peraturan
hukum itu disusun dalam satu kesatuan secara
hirarkhis, dan dengan demikian ia juga merupakan
suatu sistem. Grundnorm merupakan sumber nilai bagi
adanya sistem hukum. Di samping itu, Grundnonn
menyebabkan terjadinya keterhubungan internal dari
adanya sistem. Sedangkan, terminology "norma" itu
sendiri, oleh Hans Kelsen, diartikan sebagai the
expression of the idea ... that a individual ought to
behave in a certain way.3940 Fungsi norma adalah

37 Hans Kelsen,1945, The General Theory ofLaw and Stole,


New York: Russel & Russel.
38 Ibid, lihat juga Yoseph Raz, The Concept ofLegal
System, Oxford: Clarendon Press, 1980, halaman 135-139.
39 Y.W. Harris, Law and Legal Science, Oford: Clarendon
Press, 1982, halaman 3657.
40halaman 36-57.
Ibid,

30
Pranata Hukum, Sebuah
commando, permission, authorizations and derogating
norms.
Hukum positif hanyalah perwujudan dari adanya norma-
norma dan dalam rangka untuk menyampaikan norma-norma
hukum. Hans Kelsen mengatakan ... every law is a norm
Perwujudan norma tampak sebagai suatu bangunan atau susunan
yang berjenjang mulai dari norma positif terånggi hingga
perwujudan yang paling rendah yang disebut sebagai
individual norm. Teori Hans Kelsen yang membentuk bangunan
berjenjang tersebut disebut juga stufentheory.
Akhimya, norma-norma yang terkandung dalam hukum positif itu
pun harus dapat ditelusuri kembali sampai pada norma yang pal-mg
dasar yaitu•Grandnorm. Oleh karena itu, dalam susunan norma hukum
tidak dibenarkan adanya konfradiksi antara norma hukum yang lebih
rendah dengan norma hukum yang lebih tinggi. Agar keberadaan hukum
sebagai suatu sistem tetap dapat dipertahankan, maka ia harus mampu
mewujudkan dngkat kegunaan (efficacy) secara minimum. Efficacy
suatu norma ini dapat terwujud apabila (1) ketaatan warga
sebagai suatu kewajiban yang dipaksakan oleh norma, dan
(2) perlu adanya persyaratan berupa sanksi yang diberikan oleh
norma.37
Te188h Sosi81

Simpu\an
Bertolak dari rangkaian pembahasan di
atas dapat disimpulkan, bahwa pada dasarnya
hukum mempunyai banyak fungsi dalam usahanya
mencapai tujuan-tujuan yang telah
ditetapkan. Oleh karena itu, dalam
perumusannya sebagai hukum positif harus
dipahami suatu sistem norma. Pemahaman ini
penting artinya untuk menghindari terjadinya
kontradiksi atau pertmtangan antara norma
hukum yang lebih tinggi dengan norma hukum
yang lebih rendah kedudukannya. Pemahaman
ini semakin penffng arănya, apabila kita
tetap berkeinginan agar keberadaan
(eksistensi) hukum sebagai suatu sistem
norma mempunyai daya guna dalam menjalankan
tugasnya di masyarakat.

31
Esmi Warassih

2
Fungsi Cita Hukum
dalam
Pembangunan Hukum
yang
Demokratis
alam penyusunan peraturan perundang-undangan yang
bersifat demokratis harus mempresentasikan peran hukum sebagai
alat untuk mendinamisasikan masyarakat. Dengan demikian fungsi
cita hukum dalam negara yang sedang dalam perubahan dapat
mengakomodasikan semua dinamika masyarakat yang kompleks
seperti Indonesia.

Perkembangan dan perubahan yang demikian pesat


akibat dari perkembangan telmologi dan industri,
menghendaki hadirnya suatu tatanan hukum yang mampu
mewujudkan tujuan-tujuan yang dikehendaki masyarakat.
Bagi Indonesia di era Orde Baru tujuan pembangunan yang
dicita-citakan itu sudah dirumuskan di dalam Pembukaan
Undang-undang Dasar 1945. untuk mewujudkan cita-cita
itu, Pemerintah Indcnesia juga telah berusaha untuk
menenerapkan nila-nilai tersebut segara konkrit ke
dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), dan
RQcana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).
Melalui penormaan Mngkah laku, hukum memasuki semua segi
kehidupan manusia, terutama memberikan suatu kerangka bagi
hubungan-hubungan yang dilakukan oleh anggota-anggota
masyarakat satu terhadap yang Iain. Hukum merupakan "The

32
Pranata Hukum, Sebuah Telaah
normative Life of the State and its citizens". 41 Hukum
menentukan serta mengatur bagaimana hubungan itu dilakukan dan
bagaimana akibatnya. Hukum memberikan pedoman tingkah laku,
baik ångkah

Sosi81

laku yang dilarang, dibutuhkan maupun yang diijinkan.


Penormaan ini dilakukan dengan membuat kerangka umum
dan kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam berbagai
bentuk peraturan perundangundangan yang ada.
Dalam yang demikian, hukum merupakan suatu kebutuhan yang
melekat pada kehidupan sosial itu sendiri. Hukum melayani
anggota-anggota masyarakat dalam mengalokasikan kekuasaan,
mendistribusikan sumber daya, melindungi kepentingan anggota-
anggota masyarakat, dan menjamin tercapainya tujuan yang telah
ditetapkan dalam masyarakat.
Perkembangan hukum yang semakin tangguh dan menonjol
menunjukkan bahwa hukum sebagai suatu konsep yang modern, yang
hendalmya Mdak hanya dilihat sebagai sarana untuk pengendalian
sosial, melainkan lebih dari itu sebagai sarana untuk
melakukan perubahan-perubahan. Dengan demikian, hukum Mdak
hanya menampakkan nilai-nilai yang sudah mapan, atau hanya
dilihat sekedar sebagai ändakan mengeluarkan peraturan-
peraturan secara formal saja.

Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan bahwa cita hukum


yang berisi patokan nilai memiliki peran dan fungsi yang
sangat penting dalam proses penyusunan peraturan perundang-
undangan (RUU) yang demokratis. Dalam konteks yang
demikian itulah hukum dirancang sedemikian rupa agar merupakan
bangunan hukum yang tertib dan teratur. Perundang-undangan
yang dibuat hendakrya tidak menimbulkan pertentangan satu sama
Iain, dan semua harus bermuara pada cita hukum yang telah
disepakati bersama.
Tulisan ini pun hendak menjelaskan bahwa cita hukum
hendaknya mewamai seluruh bangunan hukum yang ada. Dengan kata

41 Steven Vago, Law cmd Society, Prentice Hall Inc, 1981


hal. 9. P.S. Atiyah, Law and Modem Society. New York: Oxford
University Press, 1983.

33
Esmi Warassih

Iain, makna yang terkandung di dalam cita hukum harus dapat


terwujud dalam tatanan hukum yang demokratis-
Elemen-EIemen Pembentukan Hulcum
Menurut Burkhardt Krems sebagaimana dikutip oleh Attamimi, 42
pembentukan peraturan perundang-undangan meliputi kegiatan yang
berhubungan dengan isi atau substansi peraturan, metoda pembentukan,
serta proses dan prosedur pembentukan peraturan. Seüap bagian kegiatan
tersebut harus memenuhi persyaratan-persyaratannya sendiri agar produk
hukum tersebut dapat berlaku sebagaimana mestinya, baik secara
yuridis, secara poliüs maupun sosiologis. Oleh karena itu, menurut
Krems-,60 pembentukan peraturan perundang-undangan bukanlah merupakan
kegiatan yuridis semata, melainkan suatu kegiatan yang bersifat
interdisipliner. Ar€nya, setiap akfivitas pembentukan peraturan
perundang-undangan memerlukan bantuan ilmu-ilmu tersebut agar produk
hukum yang dihasilkan itu dapat diterima dan mendapat pengakuan dari
masyarakat.
Metoda pembentukan peraturan perundang-undangan
menentukan apakah suatu peraturan dapat mencapai sasarannya
cara yang sebaik-baikvya. Untuk itulah maka
bantuarl dari sosiologi hukum, ilmu-ilmu sosial
lainnya dan ilmu tŒ1tang perencanaan sangat diperlukan. Itu
artinya, masalah pengaturan oleh hukum bukanlah semata
persoalan-persoalan tentang legalitas formal yalQi tentang
bagaimana mengatur sesuatu sesuai dengan prosedur hukum.
Melainkan, juga bagaimana sehingga dalam masyarakat ümbul
efsk-efek yang memang dikehendald oleh hukum. Keadaan tersebut
semakin dibutuhkan dalam kehidupan karena dewasa ini semua
perencanaan kebijaksanaan dan program-program pembangunan
cenderung menjadikan pranata hukum sebagai sandarannya. Oleh
karena itu, pemahaman yang luas tentang fungsi hukum di zaman
sekarang menjadi penting artinya.

Peran Produk Hukum


Uraian terdahulu sekaligus mengisyaratkan bahwa institusi
hukum merupakan satu kebutuhan yang fungsional bagi
masyarakat.

42 A. Hamid S-. Attarnimi, "Proses Pembuatan Perundang-


undangan Ditinjau Dari Aspek Filsafat", Materi Kursus
Penyegaran Perancangan Perundang-undangan,
Semarang, 1990.
Ibid.
60

34
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!

Hukum merupakan elemen penting bagi perkembangan


politik, dan dengan demikian menjadikan hubungannya
dengan kebijaksanaan pemerintah semakin jelas, Keeratan hubungan itu
sebagaimana diungkapkan oleh Thomas R. Dye: Government lends legitimacy to
policies. Government.al policies are generally regarded as legal obligations which
command the loyalty of citizens. 43 Keberadaan institusi hukum merupakan
indikator atau kunci pengimplementasian dari suatu kebijaksanaan. Jay A. Sigler
mengisyaratkan, bahwa Constitutions, statutes, administrative orders and executive
orders are indicators of policy. Only governmental policies involve legal
obligations.62 Dengan demikian, hukum merupakan suatu bagian yang integral dari
kebijaksanaan. Law is an integral part of policy initiation, formalization,
implementations and evaluations. Legislative bodies formulate public policy
through statutes and appropriations controls.44
Dalam penjelasan UUD Negara Republik Indonesia 1945 pasall ayat 3 secara tegas
dinyatakan, bahwa negara republik Indonesia adalah negara hukurn. Eine Rechtstaat, a State
based Ott Law, a State governed by Law. Itu berarti, hukum bukanlah produk yang dibentuk
oleh lembaga lembaga tinggi negara saja, melainkan juga yang
mendasari dan ma•tgarahkan tindakan-tindakan lembaga-lembaga tersebut. Hukum adalah
dasar dan pemberi petunjuk bagi semua aspek kegiatan kemasyarakatan, kebangsaan dan
kenegaraan. Rakyat Indonesia, baik dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya,
pertahanan dan keamanan maupun dalam kehidupan hukum (dalam arti sempit) harus selalu
berpedoman oleh insåtusi yang namanya hukum.
Melalui norma hukum, ditetapkan posisi masing-masing anggota masyarakat dalam
hubungannya dengan pemenuhan suatu kebutuhan tertentu dan mengatur bagaimana
keterkaitannya dengan posisi anggota masyarakat yang lain. Kehadiran hukum diharapkan
dapat menimbulkan suatu kemantapan dan keteraturan dalam menyelenggarakan kebutuhan-
kebutuhan seluruh anggota masyarakat.
Keielasan Konsep dan Bahasa Hokum
Manakala kita hendak membicarakan penyusunan perundangundangan,
maka perlu diketahui arti dari legal drafting. Menurut Reed Dickerson (Professor
of Law, Indiana University), bahwa Legal drafting is crystallization and expression
in definitive form of a legal right, privilege, function, duty or status. It is the
development and preparation of legal instruments such as constitutions, statutes,

43 Thomas R. Dye, Understanding Public Policy, Prentice Hall Inc, 1978,halaman 3.,
Jay A. Sigler, The Legal Sources ofPublik Policy, D.C. Heath and Company 1977,
62

halaman 4
44 Ibid,halaman 4
Reed Dickeson, The Fundamentals of Legal Drafting,Boston Toronto: Little,Brown and
co, 1965, halaman 26-27
35
Esmi Warassih

regulations, ordinances, contracts, vill, convergenæs, indentures, trusts and leases.


64

Untuk melakukan proses perancangan perundangan secara lebih baik, maka pembentuk
peraturan perundang-undangan hendaknya menyadari dan memahami secara sungguh-
sungguh dua hal pokok, yaitu "konsep" dan 'tbahasa", terutama mencari kata-
kata dan konsep yang tepdt, Kejelasan konsep diperlukan untuk membantu dan menuntun
proses perancangan suatu produk hukum, baik dalam hal pengembangan substantive policy
maupun dalam mengkomunikasikannya.
Hal-hal yang sifamya me-tdasar dan konseptual dari suatu produk hukum itu
hendaknya ditelaah dan dikaji dari sudut pandang, baik sudut pandang filsafat hukum, teori
hukum, sosiologi hukum, sejarah hukum maupun dogmaåk hukum. Hingga saat ini
tampalmya ha} mi secara lebih serius dalam studi-studi ilmu hukum.
Keåadaan atau ketidakjelasan rumusan asas, konsep, budaya dan cita hukum, dapat
mengakibatkan produk hukum yang disusun akan segera menjadi usang. Oleh kaæna itu,
diperlukan suatu cara pandang ,landasan pemikiran yang bersifat mendasar dan
konsepsional dalam bidang hukum.

Di sinilah perlunya kesadaran bagl para ilmuwan hukum untuk ikut memildrkan
masalah perancangan dan perencanaan produk hukum secara mantap yang didasarkan pada
pemikran-pemildran konseptual. Dengan demikian, harus disadari sungguh-sungguh bahwa
aktivitas di bidang perencanaan produk hukum yang seperü itu fidak sekedar didasarkan
pada pemikiran seketika dan dangkal, melainkan harus selalu taat pada asas dan kerangka
konseptual yang mantap dan mendasar.

Memahami Hukum Sebagai Sistem


Kebutuhan akan hal-hal tersebut di muka, mengisyaratkan kepada
kita akan perlunya pendekatan sistem dalam hukum. Menurut Ludwig von
Bertalanfy, sistem adalah complexes of elements standing interaction; a
system is a set of elements standing interrelation among themselves and
with the environment.65 Secara lebih umum Shrode and Voich
mendefinisikan sistem sebagai a set of interrelated parts, working
independently and jointly, in pursuit of common objectives of the whole,
within a complex environment" .66
Definisi-definisi sistem tersebut menekankan kepada beberapa hal berikut ini: 67

36
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!

1. Sistem itu berorientasi kepada tujuan


(Purposive behavior the system is objective
oriented).
2. Keseluruhan adalah lebih baik dari sekedar jumlah dari bagian
bagiannya (Holism the whole is more than the sum of all the
parts).
3. Suatu sistem berinteraksi dengan sistem yang lebih besar, yaitu
lingkungan (Openness the system interacts with a larger system,
namely its environment).
4. Bekerjanya bagian-bagian dari sistem itu menciptakan sesuatu yang berharga
(Transformation the working of the parts creates something ofvalue).
5. Masing-masing bagian harus cocok satu sama lain (Interrelatedness the various parts
mustfit together).
6. Ada kekuatan pemersatu yang mengikat sistem
itu (Control mechanism - there is a unifyingforæ that
holds the system together).
Jika institusi hukum dipahami sebagai suatu sistem, maka seluruh tata aturan yang berada di
dalamnya tidak boleh saling bertentangan. Menurut stufenbau theory dari Kelsen, norma hukum yang
lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan norma hukum yang lebih Mnggi. Bahkan, lebih dari itu,
dalam pembentukan dan penegakan hukum sebagai suatu system, ia selalu menerima masukan

65
Ludwig von Bertalanfy•, General System Theory, Foundation, Development, Flication.
New York. George Braziller, 1968.
William A. Shmde and Voich, Organization and Management, Basic System Concepts.
Tllahassee, Fla: Florida State University, 1974. lihat juga dalam Satjipto
Rahardjo, 11mu Hukum. Bandung: Alumni, 1991, halaman 48
67
Ibid, halaman 122. juga dalam Satjipto Rahardjo,ibid , halaman 48-49
dari bidang-bidang lain yang selanjumya menghasilkan
keluaran yang disalurkan ke dalam masyarakat. L.M.
Friedman ma-tggambarkan keterpautan itu dengan
mengatakan, The heart of the system is the way in
turning input into output. The structure of the legal
like system is like some gigantic computer program,

37
Esmi Warassih

ended to deal with million of problems that are fed


dialing into the machine" . 45
Jika dipahami sebagai suatu sistem norma, maka setiap peraturan
perundang-undangan yang paling Mngø sampai pada yang paling rendah
haruslah merupakan suatu jalinan sistem yang tidak boleh saling
bertentangan satu sama lain. Proses pembentukan normanorma itu
dimulai dari yang paling Enggi sampai yang paling rendah itu disebut
sebagai proses konkriåsasi.

Cita Hukum: Kunci Pembentukan Hokum


Pembukan UUD Negara Republik Indonesia 1945 secara tegas
menggariskan bahwa pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam
Pembukaan adalah 91ewujudkan "cita hukum" (Rechtsidee), yang
tidak lain adalah "Pancasila". Isflah cita hukum (Rechtsidee)
perlu dibedakan dari konsep hukum (Rechtsbegriff)r karena
cita hukum ada di dalam cita bangsa Indonesia, baik berupa
gagasan, rasat cipta, dan. pikiran. Sedangkan, hukum
merupakan kenyataan dalam kehidupan yang berkaitan dengan
nilai yang diinginkan dan bertujuan mengabdi kepada nilai-
nilai tersebut.
Cita hukum dapat dipahami sebagai konsfruksi pikiran yang
merupakan keharusan untuk mengarahkan hukum pada cita-cita yang
diinginkan masyarakat. Demikian pula Gustav Radbruch,46 seorang ahli
filsafat hukum beraliran Neo-Kanüan sama seperti Rudolf Stammler,
berpendapat bahwa cita hukum berfungsi sebagai tolok ukur yang
bersifat regulaMf dan konsfitutif. Tanpa cita hukum, maka produk
hukum yang dihasilkan itu akan kehilangan mak%uanya.

45 L.M. Friedman, Legal System. USA: Russel Sage Foundation,


1975. lihat juga dalam Shrode and Voich, op.cit, 1974,halaman
12
46 Gustav Rdbruch, Einfuhrung in die Rechtswissenshaff.
Stuttgart: K.F. Kohler, 1961. Uraian segenggam tentang
pemikiran Gustav Radbruch, dapat dibaca dalam Satjipto
Rahardjo, op.cit, 1991, halaman 13-21.

38
Pranatn Sebuah Telaah Sosial

Pandangan Gustav Radbruch tersebut dapat dipahami


melalui teks asli berikut ini:70 de rechsidee niet allen
als een regulatieve maatstaaf fungeert (om het
positieve recht op zijn rechtsvaardigheid of
onrechtsvaardigheid te toetsen), maar tegelijk als
constitutive grondslag (zonder welke het recht zijn
zin als recht verliest) tegenstridige voorstelling,
dat de rechtsidee der gerechtigheid de gronslag vormt
van rech, dat met de idee in strijd kan zijn
(onrechtvaardig recht).
Dengan demikian, setiap proses pembentukan dan
penegakan serta perubahan-perubahan yang hendak
dilakukan terhadap hukum tidak boleh bertentangan
dengan cita hukum yang telah disepakati. Hans Kelsen
menyebut cita hukum sebagai Grundnorm atau Basic Norm.
Bahkan, Hans Kelsen memandangnya sebagai the source of
identity and as the source ofunity oflegal system".n
Cita hukum haruslah dipahami sebagai dasar sekaligus
pengikat dalam pembentukan perundang-undangan. Di sini,
aspek nilai yang terkandung dalam cita hukum semakin penting
artinya, dan secara instrumental berfungsi, bagi pembuat
kebijaksanaan (technical policy). Dimensi nilai yang
dipersoalkan di sini bukan saja dijumpai saat pembentukan
peraturan hukum, melainkan saat peraturan itu hendak
diimplementasikan, sebab pada saat pengimplementasiannya
itulah dibutuhkan produk kebijaksanaan yang lebih teknis-
operasional.

Dalarn pembuatan peraturan perundang-


undangan, dan dalam proses perwujudan nilai-
nilai yang terkandung dalam cita hukum ke
dalam norma-norma hukum, sangat tergantung
pada fingkat kesadaran dan penghayatan dari
para pembentuk peraturan perundang-undangan
(dalam hal ini para pejabat atau para waldl
rakyat). Tiadanya kesadaran dan penghayatan
akan nilai-nflai tersebut, akan menimbulkan
kesenjangan antara cita hukum dan norma hukum
yang dibuat Oleh sebab itu, dalam Negara

39
Esmi Warassih

Republik Indonesia yang memilild cita hukum


Pancasila dan sekaligus sebagai
Norma Fundamental Negara, setiap peraturan yang hendak dibuat

70
HJ Van Eikema Hommes, Hofdlijmen Van de Geschiedenis
Der Rechtsfilosofie, Twe de druk, Kluwer, Deventer, 1981,
hal 216-217 sebagaimana dikutip Esmi Warassih, "Implementasi
Kebijaksanaan Pemerintah melalui Peraturan Perundangundangan
dalam Perspektif Sosiologi", Disertasi Program Pascasarjana
Universitas Airlangga, Surabaya, 1991, halaman 85.
71
Joseph Raz, The Concept ofa Legal System, An
Introduction to the Theory ofLegal System, London:
University Press, 1973.

ha-idalQya diwarnai dan dialiri oleh nilai-nilai yang


terkandung di dalam cita hukum tersebut. Pemahaman dan
penghayatan nilai-nilai seperti itu semakin besar karena
hukum itu sesungguhnya sarat dengan dime•žsi nilai yang
dimiliki oleh masyarakat. Memahami hukum melalui pendekatan
sistem sebagaimana diuraikan di muka, sekaligus
mengisyaratkan bahwa hukum itu merupakan insfrumen yang
sarat dengan nilai. Oleh karena itu, kita berkeinginan untuk
mencari model penyusunan peraturan perundang-undangan yang
demokratis, dengan demikian kita ădak hanya berkutat pada
segi tăik dan ditopang oleh ilmu hukum yang bersifat
dogmatik saja. Burkhardt Krems,n bahkan mengemukakan bahwa
pembentukan isi suatu peraturan perundang-undangan merupakan
bidang gabungan antara politik hukum (Rechtspolitik) dan
sosiologi hukum (Rechtssoziologie).

Model Pembentukan Hukum yang Demokratis


Sebagai bangsa yang telah merdeka selama lebih dari
setengah abad — sadar atau tidak — Indonesia belum memiliki
sistem hukum ideal yang sesuai cita taju•an pendiria•ł
negara ini, yakni sistem hukum Pancasila. Oleh karena itu,
kita perlu menempatkan masalah yang sedang dihadapi bangsa
ini dalam konteks pemahaman secara sosiologis maupun politis
sekaligus. Dalam pengertian bahwa sebelum memasuki yuridis,
proses pembentukan suatu peraturan harus sudah melalui
tahapan sosio-politis secara final. Di sanalah kita akan
dapat memahami bahwa suatu peraturan itu sesungguhnya Iahir
melalui suatu proses yang membutuhkan waktu yang cukup

40
Pranata Hukum, Sebuah Telaah

panjang. Dari proses ini pula akhimya dapat diprediksikan,


seperă norma yang akan Iahir ke€ka peraturan itu dibuat,
terutama mengenai substansi dari norma-norma hukum tersebut.
Dengan memasukkan tahapan ”sosiologis" dan
”politis" sebagai bagian dari kegiatan penyusunan
produk hukum yang demol«atis, sesungguhnya dapat
memberikan pelajaran kepada kita bahwa ternyata
penyusunan produk hukum bukan sekedar suatu proses
yuridis. Akan tetapi, proses tersebut banyak
melibatkan berbagai komponen sistem yang cukup rumit
dan beragam. Pemahaman yang

72
A. Hamid S. Attamimi, op.cit,
Sosi81

demikian akan menjadi titik tolak untuk menilai, apakah suatu


produk hukum yang dihasilkan itu berkualitas atau tidak, apakah
didukung oleh sikap dan nilai-nilai yang dianut masyarakat atau
ditentang, dan
seterusnya.
Pertama, secara makro proses penyusunan suatu produk hukum (peraturan) dalam
tahapan sosiologis berlangsung dalam masyarakat dan ditentukan oleh tersedianya bahan-
bahan di dalamnya. Dalam konteks sosiologis, faktor masyarakat merupakan tempat
timbulnya suatu kejadian, permasalahan atau tujuan sosial. Namun demikian, suatu
permasalahan baru akan menjadi permasalahan kebijaksanaan (policy problem) bila
problem-problem itu dapat membangkitkan orang banyak untuk melakukan åndakan
terhadap problem-problem itu.
Untuk menentukan agar problem tersebut dapat masuk ke
dalam agenda pemerintah dapat dilihat dari beberapa faktor, antara
lain aspek peristiwanya, siapakah yang terkena peristiwa itu, apakah
mereka yang terkena peristiwa itu terwakili oleh mereka yang
mempunyai posisi sebagai pembuat keputusan, dan apakah jenis
hubungan antara pengaruh kebijaksanaan tersebut?
Apabila problem yang timbul tersebut dapat dimasukkan
dalam agenda pemerintah atau sebagai policy problem, maka
perbincangan itu akan memasuki tahapan kedua yang disebut
tahapan poliås. Tahapan ini berusaha mengidentifikasi problem dan

41
Esmi Warassih

kemudian merumuskan lebih lanjut.47 Di sini, seluruh ide atau


gagasan yang berhasil diidentifikasi dalam proses sosiologis itu
dipertajam lebih lanjut dalam wacana yang lebih la•iås oleh
kekuatan yang ada dalam masyarakat.
Tahapan politis inilah yang sangat menentukan, apakah ide atau gagasan itu perlu
dilanjutkan atau diubah untuk selanjumya memasuki tahapan yuridis. Konteks pemahaman
politis ini sangat menentukan bagi lahimya suatu peraturan, karena harus disadari bahwa
peraturan hukum itu merupakan salah satu alat yang penting untuk menyalurkan dan
mewujudkan tujuan-tujuan kebijaksanaan pemerintah.

Proses Transformasi Sosial dalam Hukum


Di dalam proses mengidentifikasi dan
merumuskan problem sangat ditentukan
oleh para pelaku yang terlibat, baik secara
individu maupun kelompok di dalam masyarakat.
Di samping itu, faktor lingkungan sosial,
ekonomi, politik, budaya, keamanan, geografi,
dan sebaønya dapat berpengaruh dan menjadi
bahan atau input bagi sistem poliåk yang
terdiri dari lembaga legislatif, eksekutif,
yudikatif, partai-partai politik, tokoh
masyarakat, dan sebagainya. Semuanya
berinteraksi dalam suatu kegiatan atau proses
untuk mengubah input menjadi output. Proses
ini, oleh Easton disebut dengan withinputs,
conversion process dan the bladc box.
Proses-proses transformasi dari keinginan-
keinginan sosial menjadi peraturan-peraturan
perundang-undangan baik dalam konteks politis dan
sosiologis, tidak hanya terjadi pada saat
pembentukan suatu peraturan. Dalam tahap
bekeljanya pun prosesproses tersebut berlangsung
terus dan mengoreksi secara terusmenerus produk
hukum yang dihasilkan tersebut. Bila dilukiskart
dengan menggunakan model sistem politik dari
47 Mengenai hal ini dapat di baca tulisan James E. Anderson, Public Policy Making.
York: Holt, Rinehart and Winston, 1979; lihat juga R. Dickerson, op.cit, 1965.
42
Pranata Hukum, Sebuah Telaah

Easton, maka akan tampak alur proses sebagaimana


tampak dalam bagan 2 berikut ini.
Bagart 2

BLACK BOX
Dernands

Sosi81

Sumberdiadaptasidari easton(1965:110)
Pihak-pihak yang terlibat dalam proses tersebut
sangat tergantung pada sistem politik negara yang
bersangkutan. Proses yang cukup panjang itu merupakan
proses transformasi dari beberapa tuntutan ke dalam
suatu keputusan yang otoritatif, dan hal ini
membutuhkan dukungan seluruh masyarakat.75 Itulah
sebabnya, Gristopher Ham & Michael Hill mengahkan, the

43
Esmi Warassih

draftsman is more likely to be engaged not only to use


his drafting expertise but to give advice on policy,
and even to participate in the policy decision.76
Setelah tahapan sosiologis dan poliås
dilalui, barulah proses pembuatan hukum
memasuki tahapan terakhir (ketiga) yang
disebut "tahapan yuridis". Pada tahapan ini
lebih memfokuskan diri pada masalah
penyusunan dan pengorganisasian masalah-
masalah yang diatur ke dalam rumusan-rumusan
hukum. Aspek-aspek yang perlu diperhatikan
dalam proses pengorganisasian dan penyusunan

14 Wayne Parsons, "Public Policy : Pengantar Teori dan


Praktik Analisis Kebijakan", Jakarta:Kencana, 2011, hal 25
75 Christopher Ham & Michael Hill, The Policy Process
in the Modern Capitalist State. N.Y. The Harvester
Press, 1985. 76 R. Dickerson, op,cit..

44
Pranata Hukum, Sebuah Telaah

rumusan-rumusan hukum itu antara lain aspek


consistency, sound arrangement dan normal usage.
Proses yang terjadi pada tahapan yuridis irü pun
bebas nilai, melainkan selalu dalam kungkungan
subsistem-subsistem non-yuridis, seperti sosial,
budaya, ekonomi, politik, dan lain sebagainya.
Untuk lebih mendekatkan pemahaman kita tentang hukum,
maka Harry C Bredemeier,n memberikan gambaran bahwa sistem
hukum yang berfungsi untuk melakukan integrasi mendapat
masukan dari subsistem ekonomi dengan output berupa penataan
kembali proses produksi dalam masyarakat. Sementara masukan
dari subsistem politik akan menghasilkan keluaran berupa
legitimasi dan konkriåsasi tujuan-tujuan, dan masukan dari
budaya akan menyumbangkan keluaran berupa keadilan.

Bergulirnya proses produksi hukum sebagaimana


diuraikan di atas sekaligus mengisyaratkan, bahwa proses
penyusunan praturan prundang-undangan yang demokraås
sangat ditentukan dan diwarnai oleh struktur masyarakat,
sistem politik dan landasan nilai suatu negara. Oleh
karena it-u- pulalah yang membuat Nonet & Selznick
menggolongkan tipologi hukum di dalam masyarakat
menjadi: (1) Law as the servant of repressive power; (2)
Law as a differentiated institution capable of taming
repression and protecting its own integrity and (3) Law
as a facilitation of response to social need and
aspirations.48

Simpulan
Keadaan hukum tidak dapat dipahami terlepas dari konteks
sosial dan konteks politis. Mencari model penyusunan peraturan
perundang-undangan yang demolcaüs, diharapkan dapat
menghasilkan kondisi hukum yang responsif sehingga dapat
menjawab berbagai tuntutan di masyarakat. Hal ini dapat
tercapai bila legal and political aspirations integrated,
access enlarged by integration of legal and social advocacy.Di
samping itu, penyusunan peraturan perundang-undangan yang
48 Nonet & Selmick, Law and Society in Transition: Toward
Responsive Law. New York and Row, 1978, halaman 16
45
Esmi Warassih

demokraüs membutuhkan partisipasi, problem ærztered dan


pendelegasian yang lebih luas.

77 Harry C. Bredemeier, "Law as an Integrative Mechanism",


dalam Vilhelm Aubert
(ed), Sociolou ofLaw, Middlesex: Penguin Book, 1973,halaman
52 - 67
Sosial

3
Pergeseran Paradigma
Hukum:
Dari Paradigma
Kekuasaan
Menuju Paradigma
Moral
ulisan ini menggambarkan tentang kehidupan
hukum di Indonesia yang cenderung berkiblat pada
paradigma kekuasaan. Kehidupan hukum yang
demłkian itu, menuntut suatu perombakan mendasar
dengan menggantikan paradigma kekuasaan dengan paradigma
moral agar hukum tampil lebih demokratis dan dapat
merespon kebutuhan dan harapan bangsa Indonesia.
Persoalan lain yang dibahas dalam tulisan ini adalah
mengenai masalah transformasi hukum dalam era global.
Persoalan globalisasi ini pun mengharuskan Indonesia
untuk menata sebuah tatanan hukum nasionnl yang tidak
hanya memperhatikan karakteristikkarakteristik
46
Pranata Hukum, Sebuah Telaah
lokal,melainkan juga perubahan-perubahan yang terjadi di
tingkat global.

Gerakan reformasi demi masa depan bangsa dan negara kita,


perlu didukung oleh semua komponen bangsa terutama kaum
intelektual akademisi dengan mengembangkan pokok-pokok
pikiran, ide-ide, konsep dan pemikiran yang positif agar
gerakan reformasi ini dapat mencapai tujuan yang dapat
dinikmati oleh semua rakyat Indonesia. Terutama sekali dalam
hal mempersiapkan bangsa ini menghadapi milla•młm ke-3.
Tantangan yang cukup berat, terutama bagi kalangan akademisi,
adalah tanggung jawab untuk secara aktif dan penuh ketulusan
ha€ membantu, menggali, membahas, menemukan dan memberikan
makna setiap isu yang muncul ke permukaan. Ini dimaksudkan
agar dapat ditemukan solusi terbaik untuk mengatasi
permasalahan yang dihadapi bangsa ini menuju terciptanya
masyarakat madani yang berlandaskan nilai-nilai dasar
Pancasilaa

Masyarakat madani di sini adalah suatu bentuk masyarakat


ideal yang di dalamnya €dak ada disldminasi, adanya kebebasan
bertindak dalam segala hal yang berkaitan dengan masalah
kemasyarakatan. Kebebasan individu dihargai tetapi tidak
anarkhi, membela kebebasan berekspresi tetapi pada saat yang
sama menuntut tanggung jawab efk, menolak intervensi negara
tetapi 'tetap memerlukan negara sebagai pelindung dan pencegah
konflik, baik yang internal maupun yarłg eksternal.49 Sejalan
dengan itu, Soetandyo Wignyosoebroto (1997) berpendapat bahwa
masyarakat warga adalah suatu masyarakat ideal yang di
dalamnya hidup manusia yang diakui berkedudukan sama dalam
soal pembagian hak dan kewajiban, warga-warga yang
berkesetaraan, berkebebasan dan berkeberdayaan.

Gejala yang sedang terjadi di dalam masyarakat Indonesia


merupakan suatu tuntutan tehadap kebutuhan dilakukannya
reformasi di segala bidang kehidupan baik politik, ekonomi
maupun hukum. Tuntutan tersebut merupakan refleksi masa lalu,
yaitu suatu masa di mana rejim Orde Baru berkuasa selama 32
tahun lamanya. Pada awal kelahirannya, Orde Baru memang
bertekad untuk melakukan pembaharuan dengan jalan
kekuatan rejim Orde Lama. Tekad yang paling utama adalah
dengan penuh semangat menata kembałi kehidupan politik yang

49 Muhammad A.S. Hikam, Demokrasi dan Civil Society, Jakarta:


LP3ES, 1996
47
Esmi Warassih

demokratis untuk mendapat legi€masi dan dukungan masyarakat.


Namun, dalam perjalanannya terjadilah suatu pergeseran drastis
dari poli€k yang demokratis ke arah yang otoriter.
Tulisan ini bertujuan untuk menggambarkan kehidupan hukum
di Indonesia dan menjelaskan hubungan sistem hukum dengan
sistem politik. Di samping itu, mencoba menjelaskan penti.nBya
perubahan paradigma pembangunan hukum agar lebih demokratis
dan dapat merespons suatu perubahan-perubahan yang terjadi
dalam agenda globalisasi.

Dinamika Pembangunan di Indonesia


Pembangunan yang menekankan pada bidang
ekonomi dan paradigma pertumbuhan dapat
berhasil bila didukung oleh stabilitas
politik. Oleh karena itu, menurut Alfian,
format baru politik yang
Sosi8i

dipakai dapat menjamin stabilitas adalah dengan


membangun lembaga eksekutif yang kuat.50 Lahirnya Undang-
undang No. 15 dan Undang-undang No. 16 Tahun 1969
masing-masing tentang Pernilu dan tentang Susduk
MPR/DPR/DPRD pada masa awal Orde Baru merupakan sebagian
dari instrumffl hukum yang dibuat untuk mendukung
penciptaan lembaga eksekutif yang kuat. Hal ini dapat
dicermati dari adanya kemungkinan masuknya Utangan"
eksekuåf di lembaga legislatif melalui kewenangan
pengangkatan atas sebagian anggota lembaga perwakilan
rakyat serta penetapan lembaga recall bagi anggota
DPR/MPR51

50 Alfian, Komunikasi Politik dan Sistem Politik Indonesia,


Jakarta: Gramedia, 1974.
51 Moh. Mahfud MD, "Demola•asi dalam Rangkaian Pembangunan
Hukum yang Responsif', Makalah Seminar Pembentukan
Pengajar Sosiologi Hukum di Indonesia, Pusat Studi Hukum dan
Masyarakat, Fakmltas I-lukum UNDIP Semarang, 1996. 82 Hubert
Feith, Repressive-Developmentalist Region in Asia. Un-
published Paper. 1987.
48
Pranata Hukum, Sebuah Telaah

Dalam perjalanan sejarah, kondisi tersebut


menyebabkan terjadinya pergeseran beberapa hal
mendasar dalam pembangunan. Pertama, strategi
dan implementasi pembangunan dengan model
pertumbuhan, ternyata membawa implikasi yang
terlalu jauh, tidak berjalannya trickle down
effects, melebamya jurang pemisah antara
strata sosial dan antar daerah, kehancuran
sektor-sektor usaha kecil termasuk sektor
industri rumah tangga dan sektor informal.
Dampak lainnya ialah bertambahnya pengangguran
absolut dan terselubung, membengkaknya hutang
negara, terjadinya kerusakan dan pencemaran
lingkungan hidup, dan pertumbuhan itu sendiri
bersifat semu.
Kedua, tumbuh dan berkembangnya rejim-rejim
yang represif, yang menurut Herbert Feith
disebut sebagai RepressiveDevelopmentalist
Regimes,82
yang cenderung korup atau
berkembang•tya korupsi, kolusi, manipulasi dan
nepotisme; hapusnya partisipasi politik
rakyat, terbatasnya kebebasan pers, sangat
minimnya peran serta masyarakat dalam proses-
proses pengambilan keputusan, bahkan
pelanggaran hak asasi manusia (HAM), dan
perampasan hak-hak rakyat semakin mengemuka.
Kondisi ini semakin diperparah oleh adanya
format politik waktu itu yang telah menobatkan
Presiden sebagai pemegang kekuasaan politik
yang paling besar. Minimal ada empat hal yang

menunjukkan kekuatan kekuasaan presiden yang besar itu.


Pertama, kekuatan Presiden itu sendiri merupakan setengah dari
seluruh kekuatan lembaga legislative. Kedua, Presiden adalah
Panglima tertnggi ABRI yang juga merupakan salah satu kekuatan
politik dominan di Indonesia. Ketiga, Presiden adalah Ketua

49
Esmi Warassih

Dewan Pembina Golkar yang merupakan fraksi yang menguasai


mayoritas kursi di Lembaga Permusyawaratan Perwakilan, dan
Keempat, Presiden menguasai anggaran belanja negara.

Penguasaan sumber daya politik yang begitu besar,


menyebabkan struktur politik di Indonesia sangat ditentukan
oleh kemauan politik Presiden. Kunci penentu sefap keputusan
politik di Indonesia pada waktu itu adalah Presiden, meskipun
prosedur formalnya tampak ditetapkan oleh DPR atau MPR Kondisi
itu pulalah yang memungkinkan pemerintah menempatkan dirinya
pada posisi sfrategis untuk menentukan semua kebijaksanaan
negara. Sementara rakyat dengan terpaksa menerimanya tanpa
diberi kesempatan untuk bersuara. Model pembentukan
kebijaksanaan negara semacam ini jelas sangat elitis, karpna
hanya merekalah yang tahu akan kebutuhan rakyat dan berusaha
memenuhinya, tanpa harus mengikutsertakan rakyat karena
dianggap pasif, apafs dan miskin informasi.52

Tipologi Kekuasaan dan Hukum Jaman


ORBA
Dinamika pembangunan dengan karakteristiknya
seperti itu pulalah yang menyebabkan produk hukum
lalu dipandang sebagai produk politik. Pdtret
hukum yang diwarnai oleh sistern politik seperf
itu, menyebabkan ia hanyalah sebagai alat untuk
mewujudkan tujuantujuan politik. Tatanan hukum
yang dikembangkan menjadi sangat elitis dan
konservatif, karena proses pembentukannya sangat
sentralisük dan tidak partisipatif. Otonomi
politik lebih mendominasi bila dibandingkan dengan
yang dimiliki oleh hukum. Akibamya, hukum
sering dikesampingkan demi kepentingan politik,
terutama bila negara disibukkan oleh pembenahan
politik secara mendasar seperti menjaga status quo
dan stabilitas.
Dengan demikian, apa yang merupakan hukum adalah apa yang
dikehendaki oleh kekuasaan polifk dan penguasa demi
kepentingan
Sosial53

52 Esmi Warassih, 1991 , op.cit.


50
Pranata Hukum, Sebuah Telaah

yang diinginkannya,U Tipe hukumnya pun pada akhirnya


bersifat represif, yang menghendaki ängkat kepatuhan
warga yang mendekati mutlak (Submissive Compliance).
Sedangkan, soal kritik mengkritik dianggap tidak loyal
kepada pemerintah. Hukum merupakan alat legitimasi bagi
program-program atau tujuan-tujuan lembaga eksekuåf dan
lebih mencerminkan kehendak mereka yang memiliki
kekuasaan. Kecenderungan otoritarianisme dan
sentralistik merupakan Ciri kebudayaan poliåk negara
patrimonial, yang pada akhirnya terjadi gejala over-
bureaucratization.85
Besamya porsi kekuasaan birokasi pemerintahan di
Indonesia dan sulit dikontol tersebut merupakan power house
State, di mana para pejabat pimpinan cenderung menjadi kepala
bukan manajer.54 Bahkan, Mattulada menyebutnya sebagai "negara
pejaba(', di mana para elitis tidak hanya memiliki akses ke
lembaga-lembaga politik melainkan juga ke lembaga-lembaga
bisnis, terutama perusahaan-perusahaan swasta nasional.
Munculnya Client bussinessmen atau "pengusaha klien", dan
ersatz capitalism atau ''kapitalisme semu" tidak terlepas dari
konteks tersebut di atas.55 Studi yang dilakukan Oleh Muhaimin
1990 memperkuat asumsi tentang berkembangtya "kapitalisme
semu" dan gejala-gejala Upengusaha klien" telah berlangsung

53 Daniel Lev. Lembaga Peradilan dan Kultur Hukum di


Indonesia dalam Masalahmasalah Pembangunan Politik, dalam
Yahya A. Muhaimin dan Colin Mac Andrew. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press, 1977; Philippe Nonet & Philip
Selznich,
Law and Society in Transition: Toward Responsive Law New
York: Harper & Row, 1978; Satjipto Rahardjo, "Paradigma Ilmu
Hukum Inaonesia Perspektif Sejarah", Makalah Simposium Ilmu
Hukum Paradigma dalam Ilmu Hukum Indonesia dalam rangka
Dies Natalis FH Undip ke-41, bekerjasama dengan Pusat Kajian
Hukum Indonesiaa Bagian Tengah dan Program Doktor Ilmu Hukum
Undip, Semarang 1998. 85 Soedjatmoko, Sistem Politik dan
Pembangunan dalam Agenda Penelitian Asia, Sebuah Renungan.
Jakarta: Prisma LP3ES, 1980.
54 Clifford Geertz, Aftenvord: The Politics ofMeaning Clair
Holt (ex), Culture and Politics in Indonesia. New York:
Comell University Press, 1974.
55 Yoshihara Kunio, Kapitalisme Semu Asia Tenggara, Jakarta:
LP3ES, 1991.
51
Esmi Warassih

sejak masa Demokrasi Parlementer, Demokrasi Terpimpin dan Orde


Baru. Seiring dengan proses pembangunan melalui model
pertumbuhan pada masa Orde Baru itu, intensitas kegiatan
"kapitalis semu" terus berkembang sedemikian rupa, karena
"rezeki" yang diperebutkan selama masa

Orde 56
Baru jauh lebih besar dibandingkan de-Igan masa-masa
sebelumnya.88

Mencermati dinamika pembangunan pada umumnya dan


pembangunan tatanan hukum sebagaimana diuraikan di atas, maka
dari perspektif empirik dapat dikatakan, bahwa produk hukum
yang dihasilkan sesungguhnya ådak terlepas dari lingkungannya,
baik lingkungan sosial, politik, dan ekonominya. Produk hukum
tidak terlepas, dan bahkan sangat melekat dengan zamannya.
Dalam kenyataannya kegiatan legislaåf (pembentukan undang-
undang) memang lebih banyak memuat keputusan-keputusan politik
daripada menjalankan pekerjaan-pekejaan hukum yang
sesungguhnya. Lembaga legislafff akhirnya leblh dekat dengan
poliåk dari pada dengan hukum.57 Itulah sebabnya, Gamblis
maupun Seidman berpendirian bahwa s&uktur kekuasaan telah
mulai bekerja semenjak hukum itu hendak dibentuk. 58 Kelompok
yang memi]iki kekuasaan yang kuat dapat dengan mudah
memberikan pengaruhnya di dalam pembuatan hukum dan
penegakannya.
Kekuasaan pemerintah ORBA yang menjadi semakin besar, dan bahkan
sudah di luar proporsi, terus berusaha menumbuhkan hegemoni kekuasaan
yang luar biasa dengan berbagai cara: (1) membangun sistem kepartaian
yang hegemoni; (2) tumpuan kekuatan Orde Baru ditopang oleh menyatunya
Presiden Soeharto, ABRI, Golkar dan Birokrasi; (3) membangun
konfigurasi otoriter melalui penciptaan jusåfikasi konstitusional
sehingga otoriter diciptakan berdasar peraturan yang secara formal ada
atau dibuat, 59 Keadaan hegemonial yang demikian itu menyebabkan hukum
menjadi kehilangan otonomi, otenåsitas dan profesionalisme dalam
bekerjanya. Hukum menjadi terkooptasi oleh kekuasaan, dan tidak mampu
bekerja dan mQyelesaikan pekerjaannya dengan benar.

56 Yahya A. Muh&imin, Bisnis dån Polifik Kebijaksanaan


Ekonomi Indonesia 19501951, Jakarta: LEES, 1990.
57 Satjipto Rahardjo, op.cit, 1998.
58 William Chamblis & Robert B. Seidman, Law Order and
Power. Reading Mass:
Addition-Westly, 1971.
59 Moh. Mahfud MD, 1996, op.cit.
52
Pranat8 Hukum,
Sâ)ü8h Te188h Sosİ81

Tatanan Hükum Pasca-Soeharto


Setelah lengsemya Soeharto 20 Mei 1998 maka estafet
beraljh ke tangan Habibie dengan Kabinet reformasi
pembangunannya mencoba untuk merespons tuntutan dan
aspirasi rakyat. Namun, pada kenyataannya aspirasi rakyat
untuk menuju suatu perubahan secara total sulit diwujudkan.
Keadaan semacam ini disebabkan masih banyaknya unsur Orde
Baru yang maşuk ke dalam masa-masa tersebut. Semisal,
lembaga pengadilan dihadapan eksekuüf
menjadikan lemahnya penanganan kasus-kasus KKN yang
melibatkan pejabat-pejabat Orde Baru.
Paradigma lama dan cara-cara lama tetap melekat hampir
di seluruh kelembagaan yang ada. Penanganan secara represif
terus berlanjut seperü menangani demonstrasi mahasiswa,
masyarakat yang tergusur dan masfrı banyak lagi.
Pembentukan perundang-undangan baru tidak dapat dilakukan
secara cepat/ lebih disebabkan pola pikir para aktor yang
sulit untuk melakukan perubahan terhadap cara lama yang
mereka pakai selama ini. Akibatnya tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap pemerintahan saat itü semakin melemah
dan luntur.

Pemüu pada tanggal 7 Juni 1999 boleh dikatakan telah


merubah wajah Indonesia. Melalui Sidang Umum NPR, Kyai
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati terpüih majadi
Presiden dan Wakü Presiden yang baru dengan Kabinet
Persatuan Nasional. Pemerintahan Gus Dur dan Megawafi saat
itü diharapkan merespon dan mewujudkan tuntutan reformasi
dengan menyelesaikan kasuskasus yang berbau KKN. Perubahan
paradigma dilanjutkan dengan pembentukan perundang-undangan
disertai penegakan hükum secara konsisten dengan
memperhaükan landasan filosofi, yuridis dan sosiologi. Hükum
hendalmya bersifat responsif, sebagai fasilitator yang dapat
merespon aspirasi dan kebutuhan-kebutuhan sosial.

Namun sebelum rejim Gus Dur dan Megawati


ini berbuat banyak untuk membenahi seluruh
tatanan hükum dan upaya pemberantasan KKN
yang melibatkan pejabat-pejabat rejim yang
lama, pemerintahan Gus Dur dilengserkan,
53
Esmi Warassih

Megawati dan Hamzah Has dipercayakan untuk


memimpin negeri ini dengan berbagai persoalan
bangsa yang rumit yang terasa sulit untuk
dipecahkan dalam waktu singkat. Sekalipun
kehadiran pemimpin baru dengan

tekad untuk mengakhiri krisis multi-dimensi yang melanda


Indonesia ini, tetapi tekad itu terasa seperti sesuatu yang
sulit diwujudkan. Langkah-langkah penataan hukum dan
penegakannya terasa masih belum menunjukkan keberpihakannya
yang berarti kepada kepenüngan masyarakat banyak.

Memang harus disadari bahwa suatu kehidupan


bermasyarakat, berbangsa dan bemegara sangat membutuhkan
adanya suatu tatanan yang dapat menuntun kita dalam
penyelenggaraan suatu negara hukum sebagaimana diamanatkan
oleh para pendiri negara ini dalam UUD 1945. namun pada
akhimya tatanan hukum itu selalu tidak terlepas dari
pengaruh lingkungan sosial sebagai habitatnya. Pengalaman
di Indonesia membuktikan bahwa produk hukum sangat diwamai
oleh konfigurasi politiknya. Hegemoni kekuasaan politik
yang telah memasuki bidang ekonomi memberikan andil dan
pengaruhnya yang sangat penting dalam produk hukum.
Berdasarkan hasil studi sementara menunjukkan bahwa
terdapat 64 Keppres (Keputusan Presiden) bermasalah yang
dikeluarkan Presiden Soeharto.92 Dengan keadaan seperti itu,
hukum mengalami kemerosotan disebabkan tatanan saat itu
telah dilandasi oleh paradigma kekuasaan, serüalisme
kekuatan dan monoliük.

Paradigma Kekuasaan dan Tatanan


Hukum
Uraian terdahulu sekaligus menunjukkan bahwa
pembangunan hukum pada masa ORBA sangat sarat
dengan paradigma kekuasaan. Hukum yang dilandasi
oleh paradigma kekuasaan hukum yang fdak
demokratis, yaitu suatu sistem hukum yang
totaliter. Sistem hukum seperti itu memiliki
ciri-ciri sebagai berikut:w
Pranata Hukum, Sebuah Telaah
1. Sistem hukumnya terdiri dari peraturan yang mengikat
yang isinya berubah-ubah tergantung putusan penguasa yang
dibuat secara arbitrer.
2, Dengan teknikalitas tertentu, hukum dipakai sebagai
"kedok'• untuk menutupi penggunaan kekuasaan secara
arbitrer. Hukum diterima berdasarkan kesadaran palsu dan
menurunkan derajat manusia.

Ekonomi-, 1998.
93
48Satjipto Rahardjo, op.cit
Sosi81

3. Penerimaan sosial terhadap hukum didasarkan pada kesadaran


palsu dan merendahkan derajat manusia.
4. Sanksi-sanksi hukum mengandung pengrusakan (disintegration) terhadap ikatan-
ikatan sosial serta menciptakan suatu suasana nihilisme sosial yang
menyebar.
5. Tujuan akhirnya adalah suatu legitimasi insftusional, terlepas
dari seberapa besar diterima oleh masyarakat
Tatanan hukum yang demikian itu juga menunjukkan adanya
hierarki, tetapi hierarki tersebut fdak didasarkan pada logika
hukum melainkan logika kekuasaan. Sudah barang tentu hal
tersebut menimbulkan persoalan menyangkut konsistensi dengan
cita hukum dan politik hukum. Di titik inilah keabsahan suatu
norma tidak secara otentik didasarkan pada norma lain, melainkan
didasarkan pada pendapat dan persetujuan dari suatu norma
bayangan yang sebetulnya isinya adalah kekuasaan.60 Hukum yang
demikian menolak pendekatan tak memihak (impersonal), dan
hanya alat untuk memberikan justifikasi atau pembenaran terhadap
tindakan pa•lguasa dan sebagai alat penjaga stabilitas.
Realitas seperü itu menunjukkan bahwa hukum itu bukanlah institusi yang dapat
dilepaskan dari konteks sosialnya. Arffnya, ketentuan secara normaff memerlukan
penanganan yang panjang untuk mewujudkan tujuannya di dalam masyarakat. Negara
hukum di Indonesia akan terwujud sangat tergantung pada bangsa ini sendiri. Penyebab
kemerosotan kehidupan hukum di negeri ini lebih disebabkan oleh hegemoni kekuasaan
yang selama 30-an tahun telah dibangun dengan suatu kolaborasi kekuasaan yang terdiri

60 Podgorecki (1996) dalam Satjipto Rahardjo,. Ibid.


55
Esmi Warassih
dari militer, Golkar dan birokrasi. Saat ini tanpa disadari negara kita telah berubah dari
"Negara Hukum" menjadi "Negara Kekuasaan". Kualitas hukum kita hukum otoriter
dengan memperlihatkan ciri-ciri otoritarian antara lain sebagai benkut: 95

1. Kaidah dasar totaliter.


Kaidah dasar dari sistem hukum totalitarian adalah tidak lain
berupa rumusan pikiran totaliter yang diselundupkan ke dalam
kaidah dasar tersebut yang pada gilirannya menjadi landasan
baõ kaidah/peraturan lain yang dikeluarkan. Untuk
menciptakan
Pranatn Sebuah Telaah Sosial

keberhasilan dari kerja tatanan yang demikian itu diciptakanlah


kelompok "intelektual" yang ditugasi untuk mengerjakan sekalian
transformasi kepada orde totalitarian. Langkah itu bisa dilakukan
melalui pembuatan kaidah hukum baru ataukah penafsiran kembali
dari yang lama.

2. Kaidah dasar di atas konsdtusi.


Supremasi dari kaidah dasar atas
konstitusi. Dalam orde totalitarian,
konstitusi diberikan kepada rakyat sebagai
suatu dokumen nasional tetapi sebenamya
sekedar sebagai "pemanis bibil/' (facade
document) belaka. Di belakangya tercatat
kaidah dasar yang totalitarian. Eksistensi
konstitusi hanya ingin membukäkan, bahwa
warga negara sudah meniknati hak-hak dan
perlindungan-perlindungan hukum, padahal
sesungguhnya hanya bersifat kosmeåk belaka.

3. Hukum yang membudak.


Watak membudak dari hukum (seroility).
Sistem sosial totalitarian tidak memberikan
tempat mandiri kepada hukum. Di situ hukum
tergantung. Dalam sistem seperå itu, hukum
hanya sah apabila dianggap mendapatkan
pengesahan dari kaidah yang lebih ünggi,
yang tidak bersifat hukum (legal) tetapi
poliåk. Kaidah politik yang lebih üngø
itulah yang secara pasti memberikan
pengesahan kepada hukum.
4. Birokrasi Totalitarian.
Dalam kultur birokrasi yang demikian itu terjadi
pembatasanpembatasan yang sangat jauh, melipufi semuanya,
yang memberi alasan rasional untuk penolakan terhadap
pendekatan yang tak memihak (imperscynaL). Birokrasi dalam
sistem hukum totalitarian membudak kepada dan bekerja
untuk elit yang berkuasa.

57
Esmi Warassih

5. Trias Politika pro-forma.


Penekanan terhadap dan oleh sistem peradilan. Sistem
totalitarian mengakui pembagian antara legislatif,
eksekutif dan peradilan secara proforma. Dalam keadaan
demikian, maka peradilan merupakan pihak yang paling
menjadi korban. Pengadilan tidak memiliki kekuasaan
memeriksa dan mengadili secara benar, melainkan hanya
menjadi sarana yang dipakai untuk menekan warga negara.

6. Kepatuhan terpaksa.
Sistem totalitarian didasarkan pada suatu legitimasi yang diberi
nama dead-end legitimacy.% Di sini warga negara menerima
hukum dan mentolerir fndakan pemerintah, oleh karena mereka
tidak melihat pilihan lain. Mereka menerima hukum, sekalipun
opresif, oleh karena itu lebih baik daripada tidak ada hukum
sama sekali. Legitimasi tersebut di atas berbeda dari natural
legitimacy, oleh karena di sini tidak diperlukan bantuan kekuatan
untuk menekan rakyat. Hukum diterima masyarakat berdasarkan
hakekamya, bukan karena ada kekuatan di belakangnya.
7. Tipe rekayasa merusak.
Rekayasa, seperti dipikirkan Roscoe Pound yang dikenal sebagai social
engineering by law, adalah Hndakan rasional biasa. Berbeda dengan
tipe tersebut maka dark social engineering97 adalah penggunaan teknik-
sosial untuk menimbulkan kerugian sosial (sosial harm) yang luas di
masyarakat.

Reformasi dan Pergeseran Paradigma


Hukum
Menyadari segala kelemahan penataan hukum pada masa lalu, maka agenda
pertama dan terpenting adalah mengembalikan atau memulihkan otentisitas hukum.
Langkah ini penfng dilakukan, karena hukum saat ini menjadi sangat terhambat dalam
usahanya untuk mengatur dan memberikan perlindungan dan keadilan. Oleh karena itu,
sebelum melakukan penataan hukum di negeri ini lebih jauh, perlu dipahami secara leblh
cermat tujuan kehadiran hukum bagi masyarakat. Menurut Jeremy Bentham bahwa hukum
itu pada dasamya bertujuan untuk memberikan kebahagiaan terbesar bagi sebanyak
mungkin orang (to provide the greatest happiness devided among the greatest number).

58
Pranatn Sebuah Telaah Sosial

Bagi Indonesia sendiri, tujuan hukum itu telah dirumuskan secara tegas dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sebagai berikut:
Untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum,

96
PodgorecH (1996) sebagaimana dikutip oleh Satjipto Rahardjo,
Ibid. 97 Ibid.
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdeaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial...

Bertolak dari kerangka pemahaman di atas, maka menurut para ahli filsafat
pencerahan, tatanan hukum yang dibentuk minimal memenuhi criteria berikut ini. Pertama,
hukum tidak boleh hanya merupakan alat bantu untuk mencapai rasionalitas, akan tetapi
hukum itu sendiri harus rasional. Dan, hukum yang rasional itu adalah hukum yang benar-
benar mampu mewujudkan tujuan kehadirannya di lingkungan sosial. Kedua, untuk
menjamin agar karya hukum yang rasional dapat mewujudkan tujuannya, harus didukung
oleh tindakan yang efisien oleh perangkat pelaksanaan hukumnya. Ketiga, tentang
pentingnya memasukkan substansi ke dalam bentuk hukum berkaitan sangat erat dengan
pengaruh struktur sosial masyarakat, karena hukum seharusnya mewujudkan tujuan-
tujuannya.
Oleh sebab itu, kalau Mdak ingin gagal maka reformasi hukum yang sudah mulai
diupayakan sejak 1998 itu, harus juga mengacu kepada kerangka pemahaman sebagaimana
disebutkan di atas. Itu berarå, reformasi haruslah merupakan usaha untuk menjadikan
hukum sebagai insåtusi yang mampu menjalankan pekerjaannya sesuai dengan kebutuhan
dan tuntutan zaman. Reformasi hukum merupakan on going proæss dan bukan sekedar
perubahan hukum biasa. Reformasi sesungguhnya merupakan suatu perubahan seperangkat
tata nilai untuk dijadikan dasar bagi suatu sistem hukum. Perubahan mendasar dimulai dari
perangkat nilai dan berlanjut sampai pada tataran substansi, struktur dan kultur hukumnya.
Di Sini berarti, reformasi semestinya memiliki visi yang jelas apabila tidak ingin
sekadar ma-ugubah hukum secara parsial. Sekedar contoh, visi dari Sentra Reformasi
Hukum Fakultas Hukum Undip adalah menempatkan tatanan hukum di atas dasar
"Paradigma Moral" menggantikan paradigma hukum lama yang didasarkan pada
"Paradigma Kekuasaan". Paradigma moral tersebut berupa seperangkat nilai yang bersifat
egalitarian, demokratis, pluralisås, dan profesional untuk membangun "rnasyarakat madani"
(Civil society). Oleh karena itu, usaha reformasi hukum hendaknya ditempatkan di atas
landasan paradigma baru tersebut.

59
Esmi Warassih

Mungkin tidak ada cara yang lebih bagus dan


tepat untuk menggambarkan masyarakat Indonesia
sekarang ini sedang berubah secara cepat dan
cukup mendasar. Indonesia adalah masyarakat yang
tengah mengalami fransformasi, yang dapat
diaråkan sebagai suatu perubahan bent-uk. Dapat
pula diaråkan sebagai penyusunan kembali unsur-
unsur dari suatu tatanan kehidupan masyarakat,
yang sudah dapat dipastikan mengganggu sistem
nilai yang sudah ada.61
Akibat kurangya kesadaran akan muatan nilai tersebut sebagai
satu kesatuan atau sistem nilai dalam peraturan
perundangundangan, sehingga penentu kehidupan sosial pun sering
terasa kurang jelas. Bahkan, sering dirasa kurang adil karena
muatan materinya bersifat interpretatif atau hanya memuat
masalah-masalah pokoknya saja, dan kemudian pemerintah diberi
ruang gerak yang luas untuk membuat penafsiran, terhadap berbagai
peraturan pelaksanaan yang lebih rendah. Namun dalam prakfiknya
peluang ini cenderung memihak atau mencerminkan kehendak dari
para pihak yang berkuasa.

Transformasi Hukum dalam Era Global


Uraian terdahulu mengingatkan kepada kita bahwa persoalan
pembangunan pada umumnya dan pembangunan hukum pada khususnya
masih mQYisakan problem yang sangat mendasar. Problem yang paling
mendasar adalah mendominasinya paradigma kekuasaan, yang
mengakibatkan hukum Hdak mampu memainkan peran yang sesungguhnya
sebagai alat untuk mewujudkan kesejahteraan. Selain problem
nasional yang rumit tersebut, Indonesia juga tengah
dihadapmukakan pada masalah transformasi global. Sudah barang
tentu, Indonesia semakin intens dalam menghadapi isu, baik yang
bersifat global, nasional, dan bahkan juga isu-isu lokal.
Berbicara tentang transformasi sosial, Umar Kayam
mengartikan pembangunan sebagai suatu proses pengalihan total
menuju suatu sosok baru yang semalän mapan. Transformasi
diandaikan sebagai tahap akhir dari suatu proses perubahan.

61 Esmi Warassih, 1996. "Potret Hukum Modern dalam Transformasi


Sosial, Desl«ipsi tentang hukum di Indonesia", Makalah Seminar
Hukum tentang Hukum dan Perubahan Sosial dalam Agenda
Globalisasi, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah, Surakarta,
1996.
60
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
Transformasi dapat pula diartikan sebagai suatu proses perubahan
secara bertahap, tetapi

dapat pula diartikan sebagai suatu fifk balik yang cepat bahkan abrupt. 62
Persoalan bagi Indonesia tidaklah sepenuhnya demikian transformasi yang
dikehendaki bersifat Rostowian, yaitu sebagai suatu proses linear-
hierarkis melalui proses pembangunan atau pertumbuhan ekonomi dengan
mengikuti konsep ünggal landas (the take off). Penganut konsep tinggal
landas ini berasumsi bahwa pembangunan itu berproses dari satu tahap ke
tahap berikutnya dan berakhir pada suatu tahap atau masa dengan konsumsi
massa yang tinggi.
Kiranya bansformasi bagi Indonesia Mdaklah sepenuhnya
demikian. Transformasi kita kehendaki juga bukan melalui suatu
proses dialekåka yang terus menerus diilhami oleh "pertentangan
kelas yang berebut penguasaan alat produksi" untuk akhirnya
sampai pada puncak dialektika "masyarakat yang tak berkelas yang
langgeng dan abadi". Bagi Hegel, bentuk a.khir dialektika ini
adalah "negara liberal", sedangkan Karl Marx menyebutnya sebagai
"masyarakat Komunis".
Bagi kita, bangsa Indonesia yang banyak
mengadopsi teori modemisasi dari Max Weber, perlu
mengetahui pandangannya tentang proses transformasi.
Max Weber menyimpulkan bahwa transformasi masyarakat
Eropa menjadi masyarakat kapitalis karena di dalam
tubuh masyarakat Eropa sendiri sudah terkandung
"potensi", ingredients budaya yang mendorong lahirnya
"semangat kapitalis" tersebut.63 Itu artinya, Weber
melihat transformasi itu terjadi dari sudut
perkembangan sistem nilai, bukan dari sudut
pergeseran penguasaan alat produksi.
Teori Weber yang berkaitan dengan masalah ini
adalah teori yang berasumsi bahwa manusia itu
sesungguhnya dibentuk oleh nilainilai budaya
sekitamya, khususnya nilai-nilai agama. Ciri-ciri
dari tansformasi Weberian adalah munculnya
masyarakat politik demokratis dengan tatanan
ekonomi kapitalistik. Tipe masyarakat seperti ini
62 Umar Kayam, "Transformasi Budaya Kita", Pidato Penguhlhan
•Guru Besarpada Fakultas Sastra UGM, Yogyakarta, 1989.
63 Lewis (1980) sebagaimana dikutip oleh Umar Kayam, Ibid,
61
Esmi Warassih

cenderung menganut pola kekuasaan yang bersifat


legalrasional dan didukung oleh birokrasi modem.
Toffler (1981) menyebut transformasi masyarakat
berlangsung dari gelombang revolusi pertanian,
gelombang revolusi industri, dan gelombang masa
depan

dengan revolusi telmologi canggh di bidang


e}ektonika, komputer dan biologi.
Dengan demikian, menurut Kayam, transformasi terjadi ketika
"serat-serat budaya" yang mengganggu anyaman teguh suatu
kebudayaan masyarakat sudah membusuk dan kemudian tidak dapat
berfungsi lagi sebagai pengikat kebudayaan. Selain itu Satjipto
Rahardjo justru berpendapat, bahwa transformasi yang sedang kita
alami ini lebih disebabkan oleh aspek instrumen
irrasional.64Instrumen-instrumen irrasional itu dapat berupa
paradigma, asumsi dasar, ataupun asas hukum yang sudah tidak
dapat menjawab kebutuhan masyarakat yang telah
perubahan tersebut. Oleh karena itu, transformasi menghendaki
adanya perubahan paradigmatis, dan untuk itu pembangunan budaya
hukum menjadi penting dan merupakan kunci dalam mengarahkan dan
memajukan masyarakat ke arah yang dicita-citakan oleh hukum dan
demokrasi.
Tidak ada tatanan sosial, termasuk di
dalamnya tatanan hukum, yang tidak bertolak dari
kearifan pandangan tentang manusia dan
masyarakat. Dengan perkataan lain, tidak ada
tanpa paradigrna.6566 Kesamaan sikap, perilaku,
64 Satjipto Rahardjo. "Pembangunan Hukum di Indonesia dalam
Konteks Situasi Global". Makalah Seminar Pertemuan
StafPengajar/Peminat Sosiologi Huhm seJawa Tengah dan DIY,
Universitas Muhammadiyah5 Surakarta, 1996.
65 Satjipto Rahardjo. "Pendayagunaan Sosiologi Hukum untuk
Memahami Proses-
Proses Sosial dalam Konteks Pembangunan dan Globalisasi",
Makalah Seminar Nasional Sosiologi Hukum dan Pembentukan
Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia, Pusat Studi Hukum dan
Masyarakat Fakultas Hukum Undip, 1998b.
66 Lawrence Friedman, Legal System, New York: Russel Sage
Foundation, 1986.
62
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
filosofi antara segmensegmen bangsa dalam
menghadapi globalisasi sangat diperlukan
mengingat legal culture merupakan the climate
ofsocial thought and social force which
determines haw law is used, avoided or abused
sebagai bagian dari transformasi sosia1.1(B
Memasuki era baru saat ini bagi masyarakat
Indonesia di dalam rangka membangun hukum nasional
dihadapkan pada tekanantekanan globalisasi
perdagangan bebas. Globalisasi telah merambah hampir
semua ranah kehidupan masyarakat, sehingga
diperkirakan bakal muncul suatu global society dengan
kualifikasi global seperti: global economy, global
education, global human condition, global humanity,
global order, dan global village.

Globalisasi menjadi sebuah isu sentral dalam dekade 80-an


dan menjadi pembicaraan di berbagai tingkat pemikiran.
Berdasarkan temuan histories, globalisasi merupakan sebuah proses
yang telah memakan waktu berabad-abad lamanya sejalan dengan
perjalanan sejarah manusia itu sendiri. Perbedaannya adalah bahwa
globalisasi yang berlangsung saat ini memiliki intesitas yang
semakin kuat dan semakin kuat dan semakin luas cakupannya.
Globalisasi merupakan proses kebudayaan, di mana ada
kecenderungan wilayah di dunia menjadi satu dalam format sosial-
politik-ekonomi. Globalisasi ekonomi yang sedang melanda seluruh
dunia saat ini menciptakan situasi dilemaås. Di satu Sisi
globalisasi mQciptakan pertumbuhan ekonomi dan kelimpahan
material, di Sisi lain menciptakan berbagai problem sosial
seperti memicu peningkatan kriminalitas, korupsi, kerusakan
ekolog, gaya hidup baru, dan sebagainya.
Ekspansi pasar ke negara-negara sedang berkembang menandai
globalisasi ekonomi, seperti diselenggarakannya pasar bersama
regional antara negara-negara tertentu seperti AFTA, NAFTA, APEC

63
Esmi Warassih
dan lain sebagainya. Untuk itu, dibutuhkan perubahan sistem nilai
budaya agar terwujud Consumer Culture yang memungkinkan
produkproduk industri dapat dengan mudah dikonsumsi dalam pasar
bersama tersebut. Ini merupakan sebuah rekayasa sosial dengan
skala yang maha luas yang didukung dengan institusi-insåtusi ilmu
pengetahuan, ekonomi, politik, teknoloø, dan lain sebagainya.
Semua ini bertujuan merangsang orang untuk semakin bersifat
konsumtif terhadap produk-produk indusfri. Dengan demikian,
eksistensi pasar tidak semata-mata berdimensi ekonomi, .tetapi
juga berdimensi sosial, budaya, dan poliük.67
Gejala tersebut meruntuhkan norma-norma lokal
atau tradisional, sementara masyarakat sendiri
belum memiliki normanorma untuk menghadapi
tantangan globalisasi. Mentalitas masyarakat
Indonesia seperti yang diajukan oleh
Koentjaraningrat sekitar 25 tahun yang lalu
kiranya belum banyak berubah. Bahkan, mentalitas
ala Koentjaraningrat itu cenderung menjangldå
semua lapisan masyarakat, seperti: (1) mentalitas
yang meremehkan mutu, (2) mentalitas menerabas,
(3) sikap tak percaya pada diri sendiri, (4)
sikap

yang tak disiplin, dan (5) sikap tak bertanggung


jawab. (Koentjoroningrat, 1975)
Munculnya gejala budaya konsumsi global, khususnya di
kalangan generasi muda seperti gaya Levis-Strausse, Mc
Donald, Benetton, budaya minum coca- cola merupakan salah
satu Sisi yang tercipta akibat ekspansi pasar, dan
munculnya pengusaha muda yang sukses tetapi semu (ersatz
atau pseudo young enterpreneur). Demikian pula, tumbuhnya
mega-Imofirms yang membangun organisasinya tidak hanya
secara nasional melainkan juga internasional. Keagungan
profesi (professional noblesse) semakin dicampakkan dan
para lawyer menjadi makin bussiness like yang menciptakan
bussiness lawyer ,sehingga institusi pengadian merupkan

67 Hans Dieters Evers. "Trade, Market Expasion and Political


Pluralision: Southeast Asia and Europe Compared", dalam The Moral
Economy of Trade Ethnicity and Development. London: Routledge,
1994.
64
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
pertarungan kemenangan Akibamya, profesi hukum lebih
terkonsentrasi pada fasilitas bisnis, getting things done
daripada mengatasi penderitaan manusia dan menolong orang.68
Apabila para lawyer yang tidak mengembangkan keahlian
dengan mengaitkannya dengan tuntutan intemasional
(international linkages and expertise) dan semata-mata
terikat pada hukum nasional, maka akan kehilangan arå.69
Sejak beberapa dekade terakhir Indonesia
semakin memasuki dan menjadi bagian dari proses
globalisasi, khususnya dalam proses
restrukturisasi ekonomi global. Itu berarti, mau
tidak mau Indonesia harus melakukan penataan
terhadap tatanan hukumnya agar tidak menghambat
proses global tersebut. Dalam penataan hukum itu,
Indonesia ådak hanya memperhatikan cita hukum dan
politik hukum nasional serta karakteristik lokal
(local characteristic). Melainkan, hendalmya juga
memperhatikan kecenderungan yang telah diakui
oleh negara yang telah mengikuti global trend,
yang tampak dalam instrumen-instrumen
internasional, seperå deklarasi, konvensi, code
of conduct, dan sebagainya.
Restrukturisasi ekonomi yang disebabkan oleh
globalisasi menghasilkan: (1) perubahan dalam
pola-pola produksi, (2) keterkaitan antara pasar-
pasar keuangan, (3) makin penångya MNC,

68 Marc Galanter, "Mega Law and Mega Lawyer in The Contemporary


United State", dalam The Sociology ofThe Profession. Dringwalt,
Lewis eds, 1983.
69 David M. Trubek, Global Restructuring and The Laws,
Studies of The Internalization oflegal Fields and The
Creation of Transitional Arenas. The paper is based on studies
conduced by research groups at the Global Studies Reseamh
Program (GSRP) at the University of Winconsin — Madison and the
Center Researches Interdiciplinaries de Vancresson (CRIV), 1993.
65
Esmi Warassih

(4) makin pa•ltingya perdagangan dan pertumbuhan dari blok-blok


perdagangan reøonal, (5) penyesuaian s&uktural dan privatisasi,
(6) hegemoni dari konsep neo-liberal dari hubungan ekonomi, yaitu
yang menekankan pada pasar-pasar privat, deregulasi, pengurangan
peranan pemerintah, perdagangan internasional bebas, (7) ten
dunia yang mengarah kepada demokratisasi, perlindungan HAM, dan
revitalisasi rule of law, memperkuat pengadilan, (8) munculnya
pelakupelaku supranasional dan yang mempromosikan HAM
dan demokrasi.
Perkembangan tersebut mempengaruhi perkembangan hukum
nasional bangsa-bangsa, sehingga perlu disusun atau dirumuskan
suatu agenda aksi dalam mengantisipasi budaya global tersebut di
masa mendatang. Ada dua hal yang perlu mendapat perhafian secara
seksama dalam mQghadapi globalisasi ini, antara lain: (1) masalah
hubungan antara warga negara dan hukum, (2) masalah kemampuan
hukum dan sistem politik kita di dalam memenuhi tuntutan rakyat
akan keadilan. Persoalannya adalah bagaimana menghadapi tatanan
hukum yang semakin mengalami internasionalisasi, bagaimana
menciptakan arena bansnasional bagi praktik hukum, dan bagaimana
menghadapi tantangan dari kekuatan-kekuatan ekonomi, poliük dan
tatanan sistem nasional bidang hukum.
Selanjumya, untuk menghindarkan masyarakat dari
consumer culture perlu diciptakan ildim yang
demokratis agar dapat menumbuhkan kesadaran hukum dan
kesadaran kritis bagi semua lapisan masyarakat dalam
mewujudkan lembaga atau insåtusi yang dapat
memberikan perl-indungan dan keadilan. Untuk
melindungi korban dari berbagai bentuk kejahatan
bisnis misalnya, perlu diciptakan lembaga
perlindungan konsumen, pengembangan dan penegakan
etika, baik itu etika bisnis, etika periklanan, etika
profesi, dan lain sebagainya beserta alat kontrolnya.
Agenda aksi untuk menghadapi globalisasi ekonomi
berkaitan dengan pembangunan hukum merupakan
pekerjaan besar bagi bangsa ini.

66
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!

Simpulan
Akhirnya tmtuk mengaktualisasikan tujuan masyarakat menuju
pembentukan masyarakat warga atau masyarakat madani yang
berdasarkan cita hukum Pancasila, maka perubahan paradigma dalam

tatanan hukum perlu diwujudkan dalam setiap tahap pekerjaan hukum. Namun,
tugas berat tersebut perlu didukung oleh sumber daya manusia yang dididik
dengan kurikulurn yang diorientasikan kepada terwujudnya cita-cita bangsa.
Tanpa melibatkan unsur pendidikan, khususnya pendidikan hukum, mustahil
reformasi hukum yang berparadigrna moral dapat berhasiL
Demikian pula, perlu penataan kembali secara
simultan bidang ekonomi, poliđl<ș dan membangun
budaya hukum yang dilandasi oleh nilai-nilai
dasar bangsa yang terumus secara normatif. Selain
itu, dalam mengimplementasikan nilai-nilai dasar
itu pun tidak boleh mengabaikan aspek realien der
Gesetzgebung atau modal sosial yang
telah dimiliki bangsa Indonesia
baik di tingkat domesăk maupun
internasional. Langkah ini
penting dilakukan, karena masing-masing sub
sistem tersebut saling merasuki secara intensif.
Oleh karena itu, hukum hendalqya benar-benar
fungsi sebagai pengintegrasi yang menerima,
mengolah, dan berbagai masukan dari subsistem
subsistem tersebut.

67
Esmi Warassih

BAGIAN KEDUA

Budaya Hukum

68
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!

1
Peranan Kultur Hukum
dalam Penegakan Hukum

ada hakikatnya hukum mengandung ide atau konsepkonsep


yang abstrak. Sekalipun absfrak, tapi ia dibuat untuk
diimplementasikan dalam kehidupan sosial seharihari. Oleh sebab
itu, perlu adanya suatu kegiatan untuk mewujudkan ide-ide
tersebut ke dalam masyarakat. Rangkaian kegiatan dalam rangka
mewujudkan ide-ide tersebut menjadi kenyataan merupakan suatu
proses penegakan hukum.
Ketika fokus pembicaraan kita telah
menyangkut penegakan hukum, maka keåka itu pula
pembicaraan kita bersinggungan dengan banyak
aspek Iain yang melingkupinya. Suatu hal yang
paså, bahwa usaha untuk mewujudkan ide atau nilai
selalu melibatkan lingkungan serta berbagai
pengaruh faktor Iainnya.
Oleh karena itu, hukum hendalmya
tidak dilihat sebagai suatu yang berdiri sendiri,
melainkan selalu berada di antara berbagai faktor
(interchange). Dalam konteks yang demikian itu,
tiåk tolak pemahaman terhadap hukum ådak sekedar
sebagai suatu "rumusan hitam putih" (blue prim)
yang ditetapkan dalam berbagai bentuk peraturan
perundang-undangan. Hukum hendaknya dilihat
sebagai suatu gejala yang dapat diamati di dalam
masyarakat antara Iain melalui tingkah laku warga
masyarakamya.
Itu artinya, tiåk perhatian harus ditujukan kepada hubungan antara
hukum dengan faktor-faktor non-hukum Iainnya, terutama faktor nilai dan

69
Esmi Warassih
sikap serta pandangan masyarakat, yang selanjumya disebut dengan kultur
hukum. Faktor-faktor non-hukum, termasuk kultur hukum itulah yang membuat
adanya perbedaan penegakan hukum antara masyarakat yang satu dengan
masyarakat Iainnya.
Bertolak dari uraian di atas, maka persoalan
mendasar yang perlu mendapat perhatian di sini
adalah, Pertama, bagaimanakah hubungan antara
hukum dengan struktur masyarakat? Kedua, fungsi-

fungsi apakah yang dapat dijalankan oleh hukum? Dan Ketiga, bagaimana
peranan kultur hukum terhadap bekerjanya hukum?

Hukum sebagai Suatu Sistem


Untuk dapat memahami persoalan yang berkaitan dengan hukum secara
lebüi baik, maka hukum hendaknya dilihat sebagai suatu sistem. Pengertian
dasar yang terkandung dalam sistem tersebut melipuå: (1) sistem itu selalu
berorientasi pada suatu tujuan, (2) keseluruhan adalah leblh dari sekedar
jumlah dan bagian-bagiannya, (3) sistem itu selalu berinteraksi dengan
sistem yang lebih besar yaitu lingkungannya, danl (4) bekerjanya bagian-
bagian dari sistem itu menciptakan sesuatu yang berharga.107
Secara umum Shrode & Voich mendefinisikan sistem
sebagai a set of interrelated parts, working independently
and jointly, in pursuit of common objectives of the whole,
within a complex environment.108
Pemahaman sistem yang demikian itu mengisyaratkan, bahwa
persoalan hukum yang kita hadapi sangat kompleks. Di satu sisi,
hukum dipandang sebagai suatu sistem nilai yang secara
keseluruhan dipayungi oleh sebuah norma dasar yang disebut
grundnorm atau basic norm. Norma dasar itulah yang dipakai
sebagai dasar dan sekaligus penuntun pelegakan hukum. Sebagai
sistem nilai, maka grundnorm itu merupakan sumber nüai dan juga
sebagai pembatas dalam penerapan hukum. Hans Keisen memandang
grundnorm sebagai the basic norm as the source of identity and as
the souræ of unity of legal system.109
Dari perspekåf yang Iain,hukum merupakan bagian dari
lingkungan sosialnya. Dengan demikian, hukum merupakan salah satu
subsistem di antara subsistem-subsistem sosial lain, seperti
sosial, budaya, dan ekonomi. Itu berarå, hukum tidak dapat
dilepaspisahkan dengan masyarakat sebagai basis bekerjanya. Di
sini tampak bahwa hukum berada di antara dunia nilai atau dunia
ide dengan dunia kenyataan sehari-hari (lihat bagian 3).110

70
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
107 William A. Shrode & J.R. Voich. Organization and Management,
Basic System Concept. Tllahassee, Fla: Florida State University
Press, 1974,halaman 12 - 22 Juga dalam Satjipto Rahardjo. 11mu
Hukum, Bandung: Alumni, 1991 , halaman 48-49.
Ibid, halaman 48.
Joseph Raz, op cit, 1973,halaman 136
Satjipto Rahardjo. op.cit, halaman 170

Satjipto Rahardjo dalam bukunya 11mu Hukum mengatäkån


bahwa:Hukum bergerak di antara dua (2) dunia yang berbeda, baik dunia
nilai maupun dunia sehari-hari (realitas sosial). Akbatnya, sering
terjadi ketegangan di saat hukum itu diterapkan.
Keåka hukum yang sarat dengan nilai-nilai itu
hendak diwujudkan, maka ia harus berhadapan dengan
berbagai macam faktor yang mempengaruhi dari lingkungan sosialnya.

Bagan 3

Bicara soal hukum sebagai suatu sistem, M. Friedman mengemukakan


adanya komponen-komponen yang terkandung dalam hukum itu:lll
1. Komponen yang disebut dengan struktur. la adalah kelembagaan yang
diciptakan oleh sistem hukum seperti pengadilan negeri,
71
Esmi Warassih

111 Lawrence M Friedman, "Legal Culture and Welfare State", dalam Gunther
Teubner (Ed), Dilemas of Law in the Welfare State. Berlin-New York: Walter de (huyter, 1986,
halaman 1307. William J. Chambliss & Robert B. Seidman, Law,
Order, and Power, Readling, Mass: Addisin-Wesly, 1971, halaman 5-13. Juga dalam Lawrence
Friedman, "Law and Development, A General Model", dalam Law and Society Review, No. VI,
1972.

pengadilan administasi yang mempunyai fungsi untuk mendukung


IEkerjanya sistem hukum itu sendiri. Komponen struktur ini
memungkinkan pemberian pelayanan dan pengarapan hukum secara teratur.
2. Komponen substansi yang berupa norma-norma hukum, baik itu
peraturan-peraturan, keputusan-keputusan dan sebagainya yang
semuanya dipergunakan Oleh para penegak hukum maupun Oleh
mereka yang diatur.
3. Komponen hukum yang bersifat kultural. la
terdiri dari ide-ide, sikap-sikap, harapan dan
pendapat tentang hukum. Kultur hukum ini
dibedakan antara internal legal culture yakni
kultur hukumnya lawyers dan judged's, dan
external legal culture yakni kultur hukum
masyarakat pada umumnya.
Semuanya merupakan pengikat sistem serta menentukan tempat
sistem hukum itu di tengah kultur bangsa secara keseluruhan.
Seseorang menggunakan atau ådak menggunakan hukum, dan patuh atau
tidak terhadap hukum sangat tergantung pada kultur hukumnya. Dapat
dikatakan bahwa kultur hukum seseorang dari lapisan bawah akan
berbeda dengan mereka yang berada di lapisan atas. Demikian pula,
kultur hukum seorang pengusaha berbeda dengan orang-orang yang
bekerja sebagai pegawai negeri dan seterusnya. Jadi, tidak ada dua
orang laki-laki maupun wanita yang memiliki sikap yang sama terhadap
hukum. Di sini, nampak adanya korelasi yang sistematik antara
berbagai faktor seperå umur, jenis kelamin, pekerjaan, kebangsaan
dan sebagainya.70

70 Lawrence M Friedman dalam Gunther Teubner (Ed), 1986,ibid


William J. Chambliss & Robert B. Seidman, 1971 op.cit, halaman 5-
13.
72
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!

Komponen-komponen yang Mempengaruhi


Penegakan Hukum
Saat ini hukum bukan hanya dipakai untuk
mempertandingkan pola-pola hubungan serta kaidah-
kaidah yang telah ada. Hukum yang diterima
sebagai konsep yang modem memili.ld fungsi untuk
melakukan suatu perubahan sosial. Bahkan, lebih
dari itu hukum dipergunakan untuk menyalurkan
hasil-hasil keputusan politik. Hukum bukan lagi
mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku
yang telah ada, tetapi juga berorientasi kepada
tujuan-tujuan

yang diinginkan, yaitu menciptakan pola-pola perilaku yang baru. Di dalam


menjalankan fungsinya, hukum senantiasa berhadapan dengan nilai-nilai
maupun pola-pola perilaku yang telah mapan dalam masyarakat.
Hukum senantiasa dibatasi oleh situasi atau lingkungan
dimana ia berada, sehingga Mdak heran kalau terjadi ketidak-
cocokan antara apa yang seharusnya (das Sollen) dengan apa yang
senyatanya (das Sein). Dengan perkataan lain, muncul diskrepansi
antara law in the books dan 1m in action. Oleh sebab itu
Chambliss dan Seidman dalam mengamati keadaan yang demikian itu
me•yebutkan The myth of the operation of the Imo to given the lie
daily.71
Selanjumyai apabila kita melihat penegakan
hukum merupakan suatu proses untuk mevvujudkan
tujuan-tujuan hukum menjadi kenyataan, maka
proses tersebut selalu melibatkan para pembuat
dan pelaksana hukum, serta masyarakatlya. Masing-
masing komponen ingin mengembangkan nilai-nilai
yang ada di lingkungan yang sarat dengan pengaruh
faktor-faktor non-hukum lainnya.
Apabila kita hendak melihat hukum sebagai suatu sistem sebagaimana
telah diuraikan terdahulu, maka penegakan hukum sebagai suatu proses akan
melibatkan berbagai macam komponen yang saling berhubungan, dan bahkan ada
yang memiliki tingkat ketergantungan yang cukup erat. Akibatnya, ketiadaan
salah satu komponen dapat menyebabkan inefficient maupun useless sehingga
tujuan hukum yang dicita-citakan itu sulit terwujud. Komponenkomponen

71 William J. Chambliss & Robert B. Seidman, 1971 Op Cit,


halaman. 3. Lawrence M. Friedman dalam Gunther Teubner (Ed),
Ibid.
73
Esmi Warassih
tersebut meliputi personel, information, budget, facilities substantive
law, procedural law, decision rules, dan decision habits.7273
Komponen-komponen personel, dalam hal ini
menyangkut manusianya, mendapat perhatian juga
dalam tulisan ini. Komponen "manusia" adalah
mereka yang membuat, melaksanakan maupun yang
terkena sasaran peraturan. Kiranya pemahaman ini
akan lebih jelas apabila kita menurunkan model
bekerjanya hukum sebagaimana dikemukakan oleh
Robert B. Seidman. 74 Mengenai kerangka hubungan
ini, perhatikan kembali bagan 1.

Melalui model tersebut dijelaskan bahwa


sefiap undang-undang sekali dikeluarkan akan
berubah baik melalui perubahan formal maupun
melalui cara-cara yang ditempuh• birokasi keüka
beründak. la berubah disebabkan oleh adanya
faktor personal dan perubahan kekuatan sosial,
budaya, ekonomi, poliük dan lain-lain yang
melingkupinya. Peşubahan itupun terutama
disebabkan oleh pemegang peran terhadap pembuat
undang-undang dan terhadap birokasi penegakan,
dan demikian pula sebaliknya.75
Setiap peraturan hükum selalu menghendaki
bagaimana seseorang itü diharapkan bertindak.
Dari bagan tersebut menunjukkan bahwa üngkah laku
seseorang tidak hanya ditentukan oleh hukum,
melainkan juga oleh kekuatan-kekuatan lainnya
yang muncul dalam lingkungan. Gambaran di muka
memberikan suatu pemahaman yang lebih baik
tentang hükum dan proses bekerjanya yang tidak
bebas nüai.

72 Yehezkel Dror,Ventuæs in Policy Sciences, Amsterdam:


Elsevier, 1971,halaman
73 -39
74 Lawrence M Friedman, dalam Gunther Teubner (Ed), Op Cit,
1996. William J. Chambliss & Robert B. Seidman, loc.cit.
75 1bid. halaman 5-13.
74
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!

Hükum dan Struktur Masyarakat


Hükum memiliki hubungan timbal balik dengan masyarakatnya,
karena hükum itü sendiri merupakan sarana pengatur masyarakat dan
bekerja di dalam masyarakat. Itulah sebabnya, hükum fidak
terlepas dari gagasan maupun pendapat-pendapat yang hidup di
kalangan anggota masyarakat. SYuktur masyarakat dapat menjadi
penghambat sekaligus dapat memberikan sarana-sarana sosial,
sehingga memungkinkan hükum dapat diterapkan dengan
sebaikbaiknya.
Hubungan fungsional antara sistem hükum dan
masyarakatnya diuraikan oleh Emile Durkheim yang
membedakan antara masyarakat dengan "Solidaritas
mekanik" dengan masyarakat dengan "solidaritas
organik”. Masyakarat dengan solidaritas mekanik
mendasarkan diri pada sifat kebersamaan antara
anggota-anggotanya. Di sini tipe hukumnya
bersifat "represif", karena hükum yang demikian
itü mampu mempertahankan kebersamaan tersebut.
Sebalilmya, masyarakat dagan solidaritas organik,
lebih mendasarkan diri pada individualisme dan
kebebasan para anggota-anggotanya. Sistem hukum
”restitutT' merupakan hukum yang sesuai untuk
menjaga kelangsungan masyarakat dengan
solidaritas organik. 76

Hubungan antara perkembangan hukum dengan


perkembangan masyarakat ini juga diuraikan oleh
H.L.A.' Hart. Hart bahkan memperkenalkan adanya
dua tipe masyarakat, yaitu tipe masyarakat yang
didasarkan atas primary rules of obligation dan
secondary rules of obligation.7778 Di dalam
masyarakat ăpe yang pertama, kita ădak menemukan
76 Emile Durkheim, The Division ofLabor in Society, George
Simpson, (transi), New York: The Free Press, 1964.
77 H.L.A. Halt. Hart, The Concept ofLaw.London: London
University Press, 1972., halaman 16. 119 Ibid.
78 Max Weber, 1954. On Law in Economy and Society, New York: A.
Clarion Boah,halaman 321 - 327.
75
Esmi Warassih

peraturan yang terperinci dan resmi. Di sini


tidak dijumpai adanya diferensiasi dan
spesialisasi badan-badan penegak hukum. Hal ini
disebabkan masyarakatnya masih merupakan
komunitas kecil yang didasarkan atas kekerabatan.
Mekanisme kontrol sosial yang demikian, bagi
kelompok masyarkat ini, dianggap sudah dapat
berfungsi secara efektif.
Sedangkan di dalam €pe masyarakat yang kedua, sudah
ditemui adanya diferensiasi dan institusionalisasi di
bidang hukum seperti rules of recognition yang menentukan
apa yang merupakan hukum, rules of change yaitu bagaimana
melakukan perubahan, dan rules of adjudication yang
berfungsi untuk menyelesaikan sengketa.119
Dengan mengajukan beberapa model tersebut
dapatlah dikatakan bahwa, perkembangan masyarakat
ikut menentukan tipe hukum mana yang berlaku.
Hubungan fungsional antara keduanya merupakan
dasar bagi penegakan hukum. Itu berarti, apabila
ffpe masyarakatnya sudah tergolong modem, maka
pola penegakan hukumnya pun ditandai oleh adanya
unsur birokasi yang merupakan salah satu ciri
dari masyarakat tersebut.łm Sifat birokratik
merupakan salah satu ciri yang sangat menonjol
dari masyarakat modem. Oleh karena itu, penegakan
hukum yang bersifat birokratis ini pun merupakan
jawaban bagi masyarakat modem dalam membuat
keputusan-keputusan yang memiliki ăngkat
tinggi.
Hukum modem yang memiliki ciri fonnal dan rasional hanya dapat
terlaksana, apabila ada dukungan adminisfrasi yang juga semakin rasional
pula. Demikian pula, penegakan hukum yang

76
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
demikian itu majadi eféktif apabila masyarakat yang menjadi basis sosial
bekerjanya hukum itu pun merupakan masyarakat yang tidak Iagi bersifat
fradisional atau kharismatis.79
Perkembangan hukum yang diikuü dengan perkembangan
masyarakat, tampaknya üdak terjadi dalam masyarakat Indonesia.
Semenjak bangsa memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17
Agustus 1945, maka tahap perkembangan masyarakat yang semula
adalah feodalisme masyarakat yang berdasarkan konstitusi. Mulai
saat itu hukum yang berlaku memiliki ciri-ciri yang modem, antara
lain bersifat tertulis, universal, dan bersifat teritorial.
Perkembangan hukum yang demikian itu tidak diiringi dengan
perkembangan masyarakatnya. Akibamya, nilai-nilai yang dimiliki
oleh bangsa Indonesia tetap saja tradisional dan tidak berubah.
Keadaan yang demikian itu tampak berpengaruh dalam proses
penegakan hukum hingga saat inie
Semestinya hukum yang dianut di Indonesia harus sarat dengan nilai-
nilai yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Kalau demikian halnya, maka
hukum bolehlah disebut sebagai sistem nilai. Kegagalan untuk mewujudkan
salah satu nilai-nilai tersebut bukan hanya berdampak pada timbulnya
sistem hukum yang tidak baik, melainkan hukum yang dibuat dan diterapkan
itu pun tidak bermakna bagi masyarakat yang bersangkutan.
Apabila institusi hukum dikaitkan dengan latar belakang
susunan masyarakat dan nilai-nilai yang dianutnya, maka kita
mulai berhadapan dengan pilihan mengenai nilai-mlai apa yang
harus diwujudkan oleh hukurn. Pilihan nilai tersebut sangat
ditentukan oleh kelompok atau golongan mana yang telah berkuasa, 80
yang sudah barang tentu amat berbeda dengan nilai-nilai
masyarakat pada umumnya. Kondisi yang demikian itu amat terasa di
negara kita yang sedang melaksanakan pembangunan di segala bidang
tampak di era orde baru sebagaimana tertuang dalam Garis-Garis
Besar Haluan Negara (GBHN) maupun dalam Rencana Pembangunan Lima
Tahun (REPELITA). Padahal pembangunan itu sendiri bertujuan untuk
mewujudkan nilai-nilai, sebagaimana pernyataan bahwa: Recht
is niet allen een functionæl system dat zorgt voor een
soepel verlopen van samenleving' s prosessen, mnar het heft
ook een warden dimensie.l-z
Dimensi nilai yang dipersoalkan tersebut bukan saja dijumpai
saat peraturan itu hendak diterapkan melainkan Mmbul sejak saat
peraturan itu hendak dibuat. Lawrence M Friedman menjelaskan

79 Ibid.
80 Yang dimaksud dengan golongan atau kelompok yang berkuasa di
sini adalah sekelompok kecil masyarakat berhak membuat keputusan-
keputusan politik Ini bukan berarti golongan tersebut tidak
memahami kepentingan masyarakat pada umumnya, melainkan karena
tanggung jawab untuk mensejahterakan rakyat terletak di
tangannya.
77
Esmi Warassih

bahwa faktor nilai yang menimbulkan perbedaan dalam kehidupan


hukum dalam masyarakat lebih disebabkan oleh kultur hukum. Kultur
hukum merupakan sikap-sikap dan nilai-nilai, keyakinan yang
dimiliki oleh masyarakat yang berhubungan dengan hukum, dan
lembaga-lembaganyar baik yang bersifat positif maupun negatif.
Unsur kultur hukum inilah yang akan mengapa seseorang
itu patuh atau tidak patuh tethadap peraturan yang ada. Oleh
karena itu, untuk dapat memahami perbedaan-perbedaan yang
terdapat di antara sistem hukum yang satu dengan yang Iain,
haruslah dicermati faktor kultur hukum sebagai latar munculnya
perbedaan itu. Sebab, demikian Friedman, kultur hukum itu
sesungguhnya berfungsi sebagai "motor penggerak keadilan", yakni
menjembatani sistem hukum dnegan sikap manusia dalam suatu
masyarakat.124
Secara lebih detail, Daniel S. Levi25 mencoba memerinci kultur hukum
ke dalam "nilai-nilai hukum prosedural" dan "nilai-nilai hukum subtanåve".
Di dalam tinjauannya mengenai kultur hukum di Indonesia, Lev menemukan,
bahwa cara-cara penyelesaian konflik mempunyai karakteristiknya sendiri
disebabkan oleh adanya dukungan nilai-nilai tertentu. Menurut Lev kompromi
dan perdamaian merupakan nilai-nilai yang mendapat dukungan kuat dari
masyarakat.
Peranan nilai dan sikap merupakan gejala
universal, sehingga di negara-negara yang sedang
berkembang seperti Indonesia, mudah terjadi
ketidakcocokan antara nilai-nilai yang telah
dipillh untuk diwujudkan dalam masyarakat dengan
nilai-nilai yang sudah mapan dan telah dihayati
Oleh anggota masyarakat. Hal ini disebabkan
nilai-

123
L.J.M. d'Anjau, Actoren en Factoren In Het Wetgeving 's
Process, Zewlie: WEJ.
Tjeenk Willink, 1986, halaman 12.
124
Lawrence M Friedman dalam Gunther Teubner (Ed), Ibid, 1986.
William J. Chambliss & Robert B. Seidman, 1971 loc.cit,
125
Daniel S. Lev "Lembaga Peradilan dan Kultur Hukum
Indonesia", dalam Yahya Muhaimin & Colin Mac Andrews (ed),
Masalah-masalah Pembangunan Politik, Gajah Mada University Press,
1980.

nilai yang dipilih oleh para pembuat peraturan disiapkan untuk sistem
hukum modern yang bersifat rasional, sementara di lain pihak masyarakat
Indonesia belum siap menerima sistem tersebut.

78
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!

Simpulan
Berdasarkan uraian terdahulu, dapatlah disimpulkan bahwa
faktor kultur hukum memegang peranan yang sangat penting di dalam
penegakan hukum. Kultur hukum berfungsi untuk menjembatani sistem
hukum dengan €ngkah laku masyarakatnya. Seseorang menggunakan
atau tidak menggunakan, dan patuh antara tidak patuh terhadap
hukum sangat ditentukan oleh nilai-nilai yang dihayati oleh
anggota masyarakatnya.

79
2
Pengaruh Budaya Hukum
Terhadap Fungsi Hukum
ampir setiap bidang kehidupan sekarang ini diattr Oleh
pexaturan-peraturan hukum. Melalui penormaan terhadap üngkah laku
manusia ini hukum menelusuri hampir semua bidang kehidupan manusim
Campum hukum yang semakin luas ke dalam bidang kehidupan
masyarakat menyebabkan masalah penerapan hukum majadi semakn
penüng tmtuk dipa•hittmgkan- Itu artinya, hukum harus bisa menjadi institusi
yang bekerja secara efektif di dalam masyarakat.
Bagi suatu masyarakat yang sedang membangun hukum selalu dikaitkan
dengan usaha-usaha untuk taraf kehidupan masyarakat ke arah
yang lebih baik Menghadapi keadaan demikan, maka peranan hukum majadi
p«tting dalam mewtjudkan tujuan itLL Fungsi hukum tidak cukup hanya
sebagai konbol sosial, melainkan lebih dari itu. Fungsi hukum yang
diharapkan dewasa ini adalah melakukan usaha t.mtuk menggerakkan rakyat
agar laku sesuai dengan cara-cara baru untuk mencapai suatu
tujuan yang Untuk bertindak ahu betingkahlaku sesuai dengan
ketentuan hukum perlu ada kesadaran hukum dari masyarakat, karena faktor
tersebut merupakan jembatan yang peraturan-
peraturan hukum dengan tingkah laku anggota masyamkat.
Kesadaran hukum masyarakat itu, olå erat dengan masalah budaya
hukun•rDimaksudkan deigan budaya hukum di sini adalah berupa kategori
nilai-nilai, pandangan-pandangan sikap-sikap yang mellFtgaruhi
bekerjanya hukum.
Keadaan yang demikian itu seolah-olah menggambarkan, bahwa
sesungguhnya fungsi hukum sekarang sudah mengalami yakni
secara lebih aküf melakukan perubahan-perubahan yang diinginkan. Lon L
Fuller melihat hukum itu sebagai usaha untuk mQcapai tujuan
Pembangunan yang menempati kedudukan yang unma di Indonesia memang
mengha1daki agar hukum dapat djadikan sandaran dan kerangka acuan- Itu
berarti, hukum harus bisa mendukung usaha-usaha yang sedang dilakukan
untuk membangun masyarakat, baik secara phisik maupun spiritual. Hukum
menjadi sarana baø mereka yang mempunyai kekuasaan dalam pemeintahan
untuk men&pkan dan menyalurkan berbagai kebijaksanaan pembangunan-
Dengan demikian, segala kebijaksanaan dapat dirumuskan
dQgan jelas dan melalui insütusi yang namanya hukum itu. Hukum majadi
sandaran bagi pihak, yang terlibat di dalam proses
pembangunan atau pelaksanaan keputusan-keputusan Fibangunan- 1-28 Namun,
harus diakui bahwa pembuat kebijaksanaan memptmyai kedudukan scxial
yang berbeda dengan yang menjadi sasaran kebijaksanaan itu, dan bahkan
posisi para pembuat kebijaksanaanlah yang lebih strateøs dan ma•uentukan.
Kestrategisan posisi itu pulalah yang membuat ma•eka Ucenderun' meneupkan
keputusan yang lebih mQcerminkan nilainilai dan kängnan-keinginan dari
golongan meeka. Kebijaksanaan Flingkaun
hanyalah merupakan suatu jawab mereka sebagai golongan eliæ
yang sedang berkuasa-
Dengan demikian, para kebijaksanaan dapat leluasa
apa saja, termasuk menjatuhkan pilihannya kepada sistem hukum yang
rasional sebagai saluran
Semenhra, seluruh hal yang diputuskan itu üdak selalu sejalan

Lawrence M. The Legal System, New York: Russell Sage 1975.


127 Lon L Fuller, The Morality of Law, New Haven, Conn: Yale University Press, 1971. Juga
dalam Sa$ipto Ra%o, Huhon, Masyvakat dan Bandung: Alumni, 1980:77.
Satjipto Rahardjo, Ibid, halaman 190.
H±zzn, Tăh Sosil

dengan kesiapan masyarakat untuk menerimanya. Akibăya, apa yang


diputuskan melalui hukum itu ffdak dapat dilaksanakan dengan baik dalam

81
masyarakat, karena Edak galan dengan nilai-nilai, sikapsikap serta
pandangan-pandangan yang dihayati oleh masyarakat.
Kondisi yang demikian, akan dijelaskan dengan
menggunakan dua contoh kongkit hasil temuan
Hukum Diponegoro (UNDIP) dan Pusat Studi
Hukum dan
(PSE-ff) Hukum Universias Airlangga (UNAR). Hasil temuan Fakultas
Hukum UNDIP Kesadaran Hukum Masyarakat Dalam Pelaksanaan
Hasil.1B Sedangkan, hasil temuan EI--IP Fakulbs Hukum UNAR
EfekEvitas Umur Minimum Untuk Kawin di
Kabupaten

Hukum Modem dan Budaya Hukum


Sesungguhnya, penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai
keadaan masyarakat sebagaimzna itu adalah suatu konsepsi yang
modern. Marc Galanter, hukum yang mempunyai dri-ciri
Beberapa adalah
territorial,
rasional; hukum dinilai dari sudut kegunaannya sebagai sarana untuk
masyarakaŁ131 Membicarakan persoalan hukum yang demikian
itu senantiasa dikaidcan dengan basis sosial dimana
hukum itu bekerja. perkenbangan struktur sosial Indoneia tidak atau
kurang sesuai dmgan hukum yang dikembangkan olă elit penguasa.
Dengan kata lain, struktur sosial bangsa Indonesia belum seluruhnya oleh
hukum modern sebagai basis

Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (UNDIP), Hukum Masyarakat dalam


Pelaksanaan Undang-Undang Bagi Hasil di Daerah Klaten", Lapran Penelitian, Semarang,
1976.
130 Afdol, Ketentuan Umur Minimum Untuk Kawin di
Bangkalan-Madura”, Lapran Penelitian, Surabaya: PSHP Fakultas Hukum UNAIR, 1979.
131 Marc Galanter, ”Modemisasi Sistem Hukum dalam Modernisasi, Dimmika
Pertumbuhan", dalam Myron Weina, Voice of America Forum Lectres, Halaman 102-105.
sosialnya. Akibatnya, banyak contoh yang ta•rtang kepincangan
pelaksanaan hukum mode•n elit penguasa itu.
ini memang tampak ada yang cukup kuat untuk menggunakan
hukum sebagai penyalur kebijaksanaan untuk matingkadcan
taraf hidup rakyat pedßaan. Di sini, hukum
dipakai sebagai landasan keøatan-keøam yang dilakukan ole.h
semua pihak yang terlibat dalam proses pembangunan. Tesis yang
barangkali dimilik oleh para elit Figuasa, bahwa senakn hukum itu dapat
dipakai secara efektif untuk mengarahkan üngkah laku manusia, maka
berhasil pula pembangtman itu dijalankan.
Persoalannya adalah bagaimana hukum itu dibuat agar dapat
mewujudkan tujuan yang diputuskan itu? Persoalan semacam
frlilah yang menøsyaratkan agar para hukum
basungguh-sungguh untuk menékuti frrsyaraün-
persyaratan Lon Fuller mamnjukkan "delapan
prinsip legalius" yang harus diikuti dalam membuat hukum,
yaitu:132
1. Harus ada peraturannya terlebih dahulu.
Peaturan itu harus diumumkan.

3. itu tidak boleh surut.


4. Perumusan peraturan-peraturan harus dapat
dimengerti oleh rakyat
5. Hukum €dak boleh meminta dijalankannya hal-
hal yang üdak mungkin.
6. sæama peat-uran üdak boleh tm•dapat
pa•mungan sama lain
7. harus tidak boleh
8. seeing diubah-ubah.
kessuaian anura ündakan-ündakan para pejabat
hukum dan peat-uran-peraturan yang telah dibuat.
Kegagalan untuk mewujudkan salah satu dari nilai-nilai
dapat maimbulkan hasil-hasil yang üdak sæuai apa yang
menjadi harapan dari isi peaturan itu. Namun demikian, sebaik apapun
hukum yang dibuat, pada akhimya sangat oleh budaya
hukum masyarakat yang bersangkt&n- Berbicara mengenai budaya

83
Warassih

hukum adalah mengaui bagaimana sikap-sikap, pandangan-pandangan


nilai-nilai yang dimilik oleh masyarakatSemua komp011Q budaya
hukum it-ulah yang sangat menentukan

Lon Fuller, 1971, halarnan 38-39, Satjipto Rahardjo, Hukum dan Magyarakat,
Bandung: Angka.sa, 1980, halarnan 78.

berhasil tidaknya kebijaksanaan yang telah dituangkan dalam


bentuk hukum itu. Masalah ini sangat berkaitan erat dengan
nilai-nilai yang telah disyaratkan oleh Fuller, khususnya
bagaimana masyarakat dapat mengetahui isi suatu peraturan,
dan apakah penyampaian isi maupun malma dari hukum telah
dilakukan.
Baik James C.N. Paul maupun ClaraTe J. Dias
berpendapat, bahwa perdebatan nilai-nilai yang terkandung
di dalam hukum nasional dan nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat desa (lokal) seringkali menyulitkan mereka untuk
dapat mengerf ketentuanketentuan hukum nasional yang
berlaku. Penyebarluasan hukum nasional kepada masyarakat
desa dirasa sangat kurang. Lembaga legislative yang
menghasilkan perundang-undangan dan penjelasan itu
seringkali dirasa masih berada pada jarak geografis maupun
sosial yang terlalu jauh.81
Harus disadari bahwa sekitar 80% rakyat Indonesia
hidup di pedesaan. Penduduk pedesaan ini bermukim
menyebarkan di sekitar 60.415 desa di seluruh Indonesia.
Pada umumnya taraf hidup rakyat desa tergolong miskin,
demikian pula Engkat pengetahuannya tergolong rendah.
Bagaimana mungkin kita dapat menuntut rakyat desa tersebut
untuk bertingkah laku sesuai dengan malata peraturan hukum.
Di samping mereka tidak dapat mengetahui isinya karena
sulit mengerti bahasa hukum, komunikasi hukum pun semata-
mata hanya sekedar untuk memenuhi syarat formal, yaitu
dengan dimuamya dalam Lembaran Negara. Saluran komunikasi
yang tidak terorganisasi secara baik dan rapi akan
berdampak pada kekeliruan informasi mengenai isi peraturan
hukum yang ingin disampaikan kepada masyarakat.

81 James CN. Paul dan Clarence J.Dias, "Law and Legal


Resources in The Mobilization of The Rural Poor for Self-
Reliant Development" dalam International Centerfor Law
in Development, edisi Juli 1980.

84
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
Sebagai akibat lanjutannya, timbul perbedaan antar apa
yang dikehendaki oleh undang-undang dengan praktek yang
dijalankan oleh masyarakat. Bagaimana seseorang dapat
diharapkan untuk berüngkah laku sesuai dengan perubahan
yang dikehendald oleh hukum, apabila ia tidak mengerti
perbuatan yang bagaimana sesungguhnya harus dilakukannya.
Apabila salah satu syarat yang diajukan Fuller tersebut,
yaitu fadanya komunikasi tentang malma peraturan, maka
rakyat tetap bertingkah laku sesuai dengan apa yang telah
menjadi pandangan maupun nilai-nilai yang telah melembaga.
Esmi

Kegagalan Hukum Modern: Kasus


Bagi Hasil
Sekedar contoh, berikut ini dikemukakan hasil temuan
Fakultas Hukum UNDIP tentang Peranan Kesadaran Hukum
Masyarakat dalam Pelaksanaan Undang-Undang Bagi Hasil
(UUPBH) 1976. Untuk mengetahui apa yang dikehendaki Oleh
undang-undang tersebut, kita dapat melihat dalam
konsiderans UUPBH tersebut. 134 Pertama, agar
pembagian hasil tanah antara pemilik dan penggarap
dilakukan secara adil. Kedua, mengupayakan agar kedudukan
hukum para penggarap dapat terjamin dengan baik dengan
merumuskan secara tegas hak-hak dan kewajiban-kewajiban
penggarap maupun pemilik.
Jelaslah bahwa para pembuat undang-undang itu
berkeinginan untuk mengangkat kedudukan petani
penggarap dengan melindungi hak-haknya. Untuk
mencapai tujuan itu, UUPBH menentukan beberapa syarat
yang harus dipenuhi sebagai berikut:135
a. Tanah garapan tidak boleh meleblhi 3 ha.
b. Perjanjian dibuat secara tertulis di hadapan Kepala Desa
dengan 2 orang saksi.
c. Batas waktu minirnum untu masa perjanjian adalah 3 tahun
untuk tanah biasa, dan 5 tahun untuk tanah kering.
d. Besarnya bagian hasil tanah bagi penggarap dan pemilik
ditetapkan Oleh Bupati.

e. Pembayaran/pemberan benda apapun kepada pemi]ik


dengan maksud untuk memperoleh tanah garapan
adalah terlarang.

85
Warassih
f. Penuntutan perjanjian sebelum berakhirnya jangka waktu
hanya mungkin dengan persetujuan kedua pihak atau atas
permintaan pemilik dalam hal penggarap tidak
mengusahakan tanah sebagaimana mestinya.
g. Kewajiban untuk membayar pajak dilarang untuk dibebankan
kepada penggarap.
Hubungan antara kedua belah pihak, yaitu pihak yang satu
menyerahkan tanahnya untuk digarap Oleh pihak yang Iain dengan
perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi. Sistem bagi hasil ini
disebut

134
Fakultas UNDIP, 1980, loc.cit.
Ibid.

maro, mertelul% yaitu institusi bagi hasil tradisional yang


telah dikenal dan hingga saat ini masih dijalankan di dalam
masyarakat. Dengan demikian lahimya UU Bagi Hasil tersebut
adalah untuk melakukan perubahan terhadap suatu lembaga
yang telah ada di dalam masyarakat. Perubahan yang
dilakukan melalui undang-undang tersebut adalah:137 (a)
mengenai batas waktu m-inimum bagi perjanjian; (b) adanya
syarat formal bagi pembuatan perjanjian; (c) masuknya unsur
pemerintahan ke dalam usuran perjanjian; dan (d) adanya
larangan untuk memberikan sesuatu kepada pemilik guna
memperoleh tanah garapan.
Keempat hal tersebut digunakan sebagai indikator,
untuk mengetahui bagaimanakah pengetahuan rakyat setempat
terhadap isi undang-undang itu. Ternyata, dari laporan
penelitian menunjukkan bahwa "tingkat kebutaan undang-
undang" melampaui 75%. Oleh karena itu, agar hukum dapat
dipakai sebagai sarana untuk mewujudkan tujuannya dengan
merubah ångkah laku masyarakat, maka komunikasi di antara
badan pembuat undang-undang dQgan masyarakat sebagai
adresat merupakan faktor yang amat penting. Namun demikian,
hasilnya hanya mencapai 6,13% dari seluruh proses
komunikasi.
Akibatnya, årnbul keådakcocokan antara tumtutan undangundang
dengan praktik yang dijalankan Oleh masyarakat. Adapun
penyimpangan dari norma-norma yang telah ditdltukan itu terungkap
92,2% perjanjian bagi hasil. Penyimpangan-penyimpangan dalam
perjanjian itu antara Iain, ådak membutuhkan saksi, tidak

86
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
dilakukan secara tertulis, dan tidak mengindahkan batas waktu
perjanjian. Mengenai batas minimum perjanjian yang ditetapkan 3
tahun untuk tanah basah misalnya, hanya 0,4% perjanjian bagi hasil
yang menepatinya. Sedangkan, mayoritas perjanjian bagi hasil yang
tidak menepati batas maksimum perjanjian.
Faktor yang agak menarik dalam penelitian ini adalah
kebiasaan untuk memberi sesuatu kepada pemilik tanah agar
dapat memperoleh tanah garapan tetap dilakukan, walaupun
Undang-Undang Bagi Hasil melarang perbuatan tersebut.
Kebiasaan tersebut terjadi di daerah yang subur seperti
Delanggu. Di sana dijumpai semacam

136 Maro dalam bahasa Jawa berarti "masing-masing mendapat


bagian setengah dari penghasilan", sedangkan mertelu
berarti "sepertiga bagi penggarap dan dua pertiga bagi
pemilik tanah sawah / lahan". 137 Fakultas Hukum UNDIP,
op.cit.

Esrni seller's marketß dan de1gan sendirinya


para calon penggarap harus bersaing terlebih
dahulu untuk dapat memperoleh tanah garapan.
Jadi, apa yang bisa dilakukan Oleh budaya
hukum di situ ditentukan oleh cara mereka
melakukan adaptasi terhadap lingkungam82

Kegagalan Hukum Modern: Kasus


Perkawinan
Komunikasi hukum merupakan salah satu faktor yang amat
penting di samping faktor-faktor Iainnya dalam membentuk
pemahaman, penerimaan dan pentaatan masyarakat pada isi
undangundang. Sebab, apa yang diinginkan dalam undang-
undang cenderung bertentangan dengan nilai-nilai yang telah
dihayaå oleh masyarakat. Padahal, unsur nilai maupun sikap
yang telah dihayati itu sesungguhnya merupakan "bensin"
yang akan menggerakkan motor dari tatanan hukum yang ada.
Suatu ilustrasi yang sangat menarik akan ditampilkan
di sini yaitu tentang pelaksanaan Undang-Undang no. 1 tahun
1974 tentang Perkawinan. Peneliåan yang dilakukan Oleh PSHP

82 Hukum ,
Fakultas
op.cit.Afdol, 1979,
139

op.cit.

87
Warassih
Fakultas Hukum Airlangga tentang efekåvitas ketQtuan umur
minimal untuk kawin (19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk
wanita) di Bangkalan Madura.139 Peneliüan ini ingin
mengetahui bagaimanakah bekerjanya ketentuan hukum baru itu
khususnya mengenai batas umur untuk kawin. Unthk dapat
mentaati ketentuan tersebut tentunya masyarakat sebagai
sasaran Ftgaturan undang-undang itu terleblh dahulu harus
mengetahui isinya. Pada kenyataan, laporan penelitian
justru memberikan data yang sebalikya.
Bagaimana mungkin rakyat di desa tempat penelitian itu
mengetahui bahkan mematuhi isi undang-undang perkawinan,
sedang pengetahuan kepala desa yang dapat menyebut batasan
umur kawin dengan tepat hanya mencapai 25.38%. Selebihnya,
bahkan sebagian besar kepala desa tidak mengetahui dengan
pasti ketentuan batas umur kawin. Peneliåan ini
juga, bahwa kebiasaan mengawinkan anak di bawah umur 16
tahun tetap saja dilakukan Oleh masyarakat desa di wilayah
Kabupaten Bangkalan. Sekitar 64,62%

perkawinan di bawah umur ditemukan di sebaõan besar desa-desa


wilayah Kabupaten Bangkalan.140
Temuan-temuan sebagaimana diuraikan di atas mengisyaratkan, bahwa untuk
memasukkan nilai-nilai yang baru ke dalam masyarakat memerlukan perubahan
sikap dari anggota-anggota masyarakamya. Oleh karena itu,
pelbagai strategi untuk menanamkan konsep-konsep dan persepsi
baru perlu dilakukan untük mempermudah dan membantu masyarakat beradaptasi
realitas baru itu. Jadi, di sini 1<ita berhadapan dengan usaha untuk merombak
cara pandang maupun nilai-nilai yang selama ini telah berfungsi dengan baik.
Harus disadari bahwa kebudayaan mempunyai kedudukan dan peranan
yang sangat penting di dalam kehidupan manusia. Para individu sejak kecil
telah diresapi oleh nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakat. Konsepsi-
konsepsi yang dimiliki itu sejak lama telah berakar dalam alam jiwa mereka. 141
Itulah sebabnya, nilai-nilai budaya yang sudah dimiliki sukar diganti dengan
nilai-nilai budaya lain dalam waktu singkat.

Hukum sebagai Karya Kebudayaan


Dengan demikian, kebudayaan suatu sistem tujuantujuan dan nilai-nilai
tertentu. Artinya, kebudayaan merupakan suatu blue print of behavior yang memberikan pedoman
tentang apa yang harus dilakukan, boleh dilakukan dan apa yang dilarang. Nilai sosial dan

88
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
budaya tersebut berperanan sebagai pedoman dan pendorong bagi perilaku
manusia di dalam proses interaksi sosial. Pada tataran yang lebih konkret, kebudayaan berfungsi
sebagai sistem perilaku. Itu berarti, kaedah-kaedah yang berlaku sebenarnya berakar pada nilainilai
sosial dan budaya dari masyarakat yang bersangkutan. Jadi, segala tingkah laku manus.ia
sesungguhnya berpedoman pada konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang baik dan apa yang
buruk.142

140
Ibid.
141
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia,
1974, halaman 32.
142
Soerjono Soekanto, 1976, Ibid, halaman 24.

89
Esmi Warassih

Hukum merupakan konkreăsasi nilai-nilai yang terbentuk dari


kebudayaan suatu masyarakat. Oleh karena setiap masyarakat
selalu menghasilkan kebudayaan, maka hukum pun selalu ada di
se€ap masyarakat, dan tampil dengan kekhasannya masing-masing.
Itulah sebabnya, Wolfgang Friedmann menyatakan bahwa hukum fidak
mempunyai kekuatan berlaku universal.83 Setiap bangsa
mengembangkan sendiri kebiasaan hukumnya sebagaimana mereka
mempunyai bahasanya sendiri juga. Tidak ada hukum dari suatu
negara tertentu dapat dipakaikan untuk bangsa dan negara lain.
Menurut Von Savigny,144 hukum itu merupakan pencerminan
volksgeist, jiwa rakyat, yang tidak mudah untuk diterjemahkan
melalui pembuatan hukum dewasa ini. Ungkapan ini akan lebih
sesuai dengan masyarakat di pedesaan, yang belum mengalami
penguraian yang tajam dalam bidang-bidang kehidupan sosialnya.

Komponen Budaya Hukum


Daniel S. Lev84 di dalam karangannya Judicial Institutions
and Legal Culture in Indonesia menguraikan tentang sistem hukum
dan budaya hukułru Menurut Lev sistem hukum menekankan pada
prosedur tetapi tidak menjelaskan tentang bagaimana sesungguhnya
orang-orang itu menyelesaikan masalahnya di dalam kehidupan
sehari-hari. Adapun budaya hukum diperinci ke dalam ”nilai-nilai
hukum prosedural” dan ”nilai-nilai hukum subtantif”. Nilai-nilai
hukum prosedural mempersoalkan tentang cara-cara pengaturan
masyarakat dan konflik. Sedangkan, komponen substantif
dari budaya hukum itu terdiri dari asumsi-asumsi fundamental
mengenai distribusi maupun penggunaan sumber-sumber di dalam
masyarakat, terutama mengenai apa yang adil dan tidak menurut
masyarakat, dan sebagainya. Budaya hukum merupakan unsur yang
penting untuk memahami perbedaan-perbedaan yang terdapat di
antara sistem hukum yang satu dengan yang lain.
Dalam pemahaman yang lebih luas Lawrence M. Friedman
memasukkan komponen budaya hukum sebagai bagian integral dari

83 Wolfgang Friedmann, Legal Theožy. Edisi ketiga, London:


Stevens & Sons Limited, 1953. Satjipto Rahardjo, 1980,10c.cit 144
Pendapat Von Savigny sebagaimana dikutip oleh Wolfgang
Friedmann, Op Cit, 1953, halaman 137. Satjipto Rahardjo,
loc.cit.
84 Daniel S. Lev, "Peradilan dan Kultur Hukum Indonesia”, dalam
PRISMA, No. 6 Tahun II, Desember 1973.

90
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
suatu sistem hukum. Friedman membedakan unsur sistem itu ke
dalam 3 (tiga) macam yaitu: (1) struktur; (2) substansi; dan (3)
kultur.85 Komponen adalah kelembagaan yang diciptakan
oleh sistem hukum dengan berbagai macam fungsinya dalam
mendukung bekerjanya sistem hukurn. Komponen "substansi" adalah
luaran dari sistem hukum, termasuk di dalamnya norma-norma yang
antara lain berwujud peraturan perundang-undangan. Semuanya itu
digunakan untuk mengatur Mngkah laku manusia. Sedangkan,
"kultur" (budaya) adalah nilai-nilai dan sikap-sikap yang
merupakan pengikat sistem itu, serta menentukan tempat sistem
itu di tengahtengah budaya bangsa sebagai keseluruhan. Mengenai
hal ini Friedman menegaskan, bahwa a legal system in actual
operation is a complex organism in which structure, substance,
and culture interact.147

Menuiu Efektivitas Hukum


Dalam setiap usaha untuk merealisasikan tujuan pembangunan, maka
sistem hukum itu dapat memainkan peranan sebagai pendukung dan
penunjangya. Suatu sistem hukum yang tidak efekåf tentunya akan
menghambat terealisasinya tujuan yang ingin dicapai itu. Sistem hukum
dapat dikatakan efektif bila perilaku-perilaku manusia di dalam
masyarakat sesuai dengan apa yang telah ditentukan di dalam aturan-
aturan hukum yang berlaku. Dalam hubungan ini persyaratan yang diajukan
oleh Fuller sebagaimana diuraikan terdahulu kiranya perlu diperhaåkan.
Selain itu, Paul dan Dias mengajukan 5 syarat yang harus dipenuhi untuk
malgefektifkan sistem hukum, yaitu:86
(1)mudah tidaknya malma aturan-aturan hukum itu untuk ditangkap
dan dipahami;

(2) luas tidahmya kalangan di dalam masyarakat yang mengetahui isi


aturan-aturan hukum yang bersangkutan;
(3) efisien dan efeküf tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum;

85 Lawrence M. Friedman, The Legal System, New York: Russel


Sage Foundation, 1975. Juga baca Lawrence M. Friedman, "On
Legal Development", alih bahasa Rachmadi Djoko Soemadijo dalam
Rutgers Law Review. No. l.
1969, halaman 27-30. 147
Lawrence M.
Friedman, 1975, op.cit, halaman 13-16.
86 Clarence J. Dias, "Research on Legal Services and Poverty,
its Relevance to the Design of Legal Services Program in
Developing Countries", dalam Washington University Law
Quarterly, no. I tahun, 1975. halaman 147-163.

91
Esmi Warassih

(4) adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang fidak hanya mudah


dijangkau dan dimasuki oleh setiap warga masyarakat, inelainkan juga
harus cukup efekff dalam sengketa-sengketa, dan;
(5)adanya anggapan dan pengakuan yang merata di kalangan warga
masyarakat bahwa aturan-aturan dan pranata-pranata hukum itu
memang sesungguhnya berdaya kemampuan yang efeküf.
Pernyataan yang diajukan baik itu dari Fuller maupun Dias
sangat untuk dikaji dalam hubungannya dengan pembicaraan tentang
budaya hukum. Hukum yang dipakai sebagai sarana untuk merubah
tingkah laku, tentunya mengandung nilai-nilai yang berbeda
dengan nilai-nilai yang telah dikenal oleh masyarakat terutama
masyarakat pedesaan. Mengingat pengetahuan masyarakat desa
sangat rendah dan bahkan masih banyak yang buta aksara, maka
sulit diharapkan mereka bisa n-mgerti, bahkan memahami peraturan
yang ada. Untuk ituj peranan birokrasi pelaksana, dalam hal ini
adalah kepala desa, sangat penãng arünya.
Namun demikian, penelifan di Bangkalan - Madura (saat
peneliüan tahun 1979) memberi fakta yang sangat menyedihkan.
Kepala desa sebagai orang yang memegang peranan penting di desa
justru fdak mempunyai pengetahuan yang memadai mengenai isi
Undang-Undang .Perkawinan. Hanya mengenai batas minimum umur
untuk kawin saja tidak diketahui secara persis, apalagi mengenai
seluruh isi atau malma undang-undang itu. Dengan demikian,
sangatlah sulit mengharapkan rakyat desa untuk mengetahui, dan
bahkan beründak sesuai dengan isi undang-undang. Dalam kondisi
yang demikian,rakyat akan tetap bertingkah laku sesuai dengan
pandangan-pandangan maupun nilai-nilai yang telah ada di dalam
masyarakamya.
Oleh karena itu, komunikasi hukum merupakan salah satu
syarat yang harus dipenuhi agar hukum berlaku efektif. Baik
Fuller, Paul & Dias, Howard, Mumners, maupun Friedman
mencantumkan persyaratan itu dalam rangka penghayatan nilai-
nilai yang baru bagi masyarakat. Selain itu, faktor sarana juga
perlu diperhatikan dalam penyampaian isi suatu peraturan.
Sebagaimana keadaan di desa Kabupaten Bangkalan misalnya,
temyata sekitar 53% desa menempuh

perjalanan ke ibu kota kecamatan dengan jalan


kaki. Hal ini sangat menyulitkan warga
masyarakat untuk berpartisipasi di dalam proses
memobilisasi hukum.

92
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!

Melembagakan Nilai Hukum Baru


Baik kehadiran Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil atau apa pun
produk hukum yang dihasilkan, pada akhimya menuntut agar
anggota-anggota masyarakat sebagai adresat hukum berångkah laku
sesuai dengan malma undang-undang tersebut. Chambliss dan
Seidman menyebut adresat hukum sebagai "pemegang peran". Seorang
anggota masyarakat adalah pemegang peran, dengan demikian mereka
diminta untuk memenuhi peran yang di-harapkan (role
expectation). Oleh karena yang paLing berpengaruh terhadap
pemegang peran adalah budaya hukumnya, maka terjadilah berbagai
macam kepincangan dalam pelaksanaannya. Timbulah ketidakcocokan
antara peran yang diharapkan dQgan peran yang dilakukan (role
performance).87
Untuk dapat menanamkan nilai-nilai baru sehingga dapat
melembaga sebagai pola-pola tingkah laku yang baru di
masyarakat, maka perlu adanya proses pelembagaan dan
intemalisasi dalam rangka pembentukan kesadaran hukum masyarakat
Bagaimanakah proses pelembagaan tersebut berjalan dapat dilihat
pada formula tQtang proses pelembagaan (bagan 4).88

Bagan 4
Efektivitas menanamkan Kekuatan yang menentang
unsur-unsur baru dari masyarakat

Proses pelembagaan =
Keceoatan menanam unsur-unsur baru

Efekåvitas menanam adalah hasil yang posiåf dari penggunaan


tenaga manusia, alat-alat, organisasi dan metoda untuk
menanamkan lembaga baru di dalam masyarakat. Penggunaan tenaga

87 Robert B. Seidrnan, Law and Development, A General Model,


dalam Law and Society Review, Tahun VI (1972); halaman 311-339.
88 Soerjono Soekanto, Pengantar Sosiologi Hukum, Jakarta: 1973,
halaman 103.

93
Esmi Warassih

manusia di Sini adalah bagaimana birokrasi itu bekerja. Dalam


proses ini dibutuhkan komitmen yang tulus dan kemampuan yang
tinggi dari para petugas dalam mengimplementasikan kebijaksanaan
yang tertuang dalam hukum itu.151
Tentunya sarana yang memadai serta organisasi yang rapi
turut menunjang usaha untuk mengintroduksikan kebijaksanaan
baru, terrnasuk hak-hak baru bagi masyarakat yang terkena
sasaran pengaturan itu. Usaha yang sungguh-sungguh perlu
dilakukan, karena harus disadari bahwa setiap usaha untuk
menanam sesuatu yang baru pasti akan_ mendapat perlawanan dari
pihak-pihak yang merasa dirugikan. Apabila bentuk perlawanan itu
tidak dikelola secara baik oleh petugas pelaksana, maka akan
berpengaruh negatif terhadap keberhasilan proses 1Elembagaan
tersebut.
Sistem pengawasan yang rapi harus pula dikembangkan, serta
usaha-usaha untuk menyadarkan mereka tentang unsur-unsur baru
tersebut terus. ditanamkan dan ditegaskan. Panjang atau
pendeknya jangka waktu yang dibutuhkan untuk proses penanaman
unsur-unsur baru itu juga ikut menentukan keberhasilannya.
Semakin tergesa-gesa orang berusaha maunam dan semalän cepat
pula mengharapkan hasil, semakin tipis efek positif yang muncul
dari proses pelembagaan itu. Demikian pula sebaliknya,
efektivitas kecepatan usaha-usaha menanam tersebut sebenarnya
tidak dapat dilihat berdiri sendiri, melainkan harus dihubungkan
dalgan faktor efektivitas menanamkan unsur-unsur baru.
Penambahan kecepatan menanam yang disertai dengan usaha menambah
efekåvitas akan menyebabkan hasil proses pelembagaan itu üdak
akan berkurang. Hasil tersebut akan berkurang apabila hanya
kecepatan menanam saja yang akan ditambah tanpa memperbesar
efektivitasnya.152 Kiranya usaha-usaha untuk menumbuhkan budaya
hukum yang baru dapat tercapai hasilnya, jika proses
pelembagaannya telah dilakukan secara sungguh-sungguh.
Sebagai akhir dari tulisan ini, saya mengajak
semua pihak untuk merenungkan kembali ucapan Max
Weber berikut ini. "Orang tak

ISI
Soetandyo Wignjosoebroto, "Keadilan Sosial: Sebuah
Perbincangan tentang Kebutuhan Golongan Miskin dan Apa yang
dapat Diperbuat oleh Hukum untuk Memenuhinya", Surabaya: FIS
UNAIR, 1980.
152
Soerjono Soekanto, op.cit, 1973, halaman 103.

94
Pranata Hukum, Sebuah Sosial
Te188h

akan mungkin berhasil mencapai sesuatu yang mungkin dicapai, kecuali


apabila dia tanpa putus-putusnya berani mencoba menjangkau hal-hal
yang tampahya tak mungkin dicapai .

95
Esmi Warassih

3
Pembinaan
Kesadaran Hukum
embina kesadaran hukum adalah suatu tuntutan
pembaharuan sosial yang dewasa ini menjadi perhaåan
pemerintah dan mulai digalakan dalam berbagai usaha
pembangunan. Sejak awal pemerintahan Orde baru (Orba) secara
jelas dan sistematis dituangkan dalam Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (VTPR) Nomor IV/ MPR/ 1978 mengenai
Garis-Garis Besar Haluan (GBHN) dalam hal hukum, tertib
hukum dan hukum. Penegasan hal ini dirumuskan
sebagai berikut:
(1)pembangunan di bidang hukum didasarkan atas landasan
sumber tertib hukum seperti terkandung dalam Pancasila
dan UndangUndang Dasar 1945;
(2)guna meningkatkan ketertiban dan kepastian hukum dalam
mengayomi masyarakat, yang merupakan syarat bagi
terciptanya stabilitas nasional yang mantap, maka
aparatur pemerintah pada umumnya dan aparatur penegak
hukum pada khususnya perlu terus menerus dibina dan
dikembangkan untuk peningkatan kemampuan serta
kewibawaannya;
(3)pembangunan dan pembinaan di bidang hukum
diarahkan agar hukum mampu memenuhi
kebutuhan sesuai dengan tingkat kemajuan
pembangunan, sehingga dapat diciptakan
keteråban dan kepasüan umum;
(4)usaha-usaha pQertiban badan-badan penegak hukum perlu
dilanjutkan;
(5)usaha meningkatkan kemampuan dan kewibawaan aparat
penegak hukum perlu dilanjutkan;

96
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
(6)meningkatkan kesadaran hukum sehingga masyarakat
menghayati hak dan kewajibannya;
(7)meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum
ke arah tegaknya hukum, keadilan dan pembinaan
perlindungan harkat dan martabat manusia, ketertiban
serta kepastian hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar
1945.
Melihat urutan tersebut jelas memberi gambaran bahwa
masalah pembinaan kesadaran hukum sangat berkaitan dengan
berbagai faktor, khususnya sikap para pelaksana hukum. Untuk
memupuk dan membina pertumbuhan kesadaran masyarakat, para
penegak hukum mempunyai peranan yang amat besar. Hal ini
penting dilakukan, mengingat institusi hukum itu sendiri
dipandang sebagai sarana penting untuk memelihara ketertiban
dan perdamaian dalam masyarakat.
Suatu bangsa yang ingin melihat tercapainya suatu
keteråban dan perdamaian dalam masyarakat akan terus
berusaha untuk mengatur dan mengarahkan ångkah laku seluruh
warga masyarakat menurut pola-pola tertentu. Salah satu cara
yang dapat dipakai untuk memperlancar interaksi antara para
warga masyarakat adalah dengan mengeluarkan norma-norma
hukum tertentu. Melalui hukum friilah antara Iain ditetapkan
peranan-peranan yang seharusnya dilakukan oleh warga
masyarakat. Namun, berdasarkan pengamatan maupun beberapa
hasil penelitian menunjukkan adanya ketidakcocokan antara
apa yang diharapkan Oleh hukum dan fr»gkah laku nyata warga
masyarakat.
Jadi, tegalmya suatu peraturan hukum baru akan menjadi
kenyataan bilamana didukung Oleh adanya kesadaran hukum dari
segenap warga masyarakat. Kesadaran terhadap berlakunya hukum
adalah dasar baø dilaksanakannya hukum itu sendiri. Semakin
merata kesadaran terhadap berlakunya hukum, semakin kecil
pula kemungkinan munculnya Mngkah laku yang tidak sesuai
dengan hukum. Persoalannya sekarang adalah bagaimana
menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat? Persoalan lanjutannya
adalah langkahlangkah apakah yang semestinya di-lakukan .
untuk membina kesadaran hukum masyarakat itu?

Terminologi Kesadaran Hukum


Mengawali pembahasan ini, ada baiknya
dijelaskan terlebih dahulu terminologi dari
kesadaran hukum. Kesadaran hukum dalam

97
Esmi Warassih

konteks ini berarti kesadaran untuk bermdak


sesuai dengan ketentuan hukum. Kesadaran
hukum masyarakat merupakan semacam jembatan
yang menghubungkan antara peraturan-peraturan
hukum dengan tingkah laku hukum anggota
masyarakatnya. Lawrence M. Friedman89 lebih
condong menyebutya sebagai bagian dari
'Ikultur hukum", yaitu nilai-nilai, sikap-
sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum.
Secara lebih detail Van Schmid sebagaimana dikutip oleh
Sunaryati Hartono, membedakan pengertian antara "perasaan
hukum" dan "kesadaran hukum".1S4 Untuk menunjukkan letak
perbedaan antara kedua istilah itu, Sunaryaå Hartono mencoba
menjelaskannya dengan menggunakan contoh berikut ini. Di
Sulawesi ±latan mjsålnya, terjadi pembunuhan aVäbat
pemutusan pertunangan yang menimbu-lkan malu keluarga bakal
pengan€n wanita. Demikian pula di Bali, seorang ahli waris
yang sah membunuh orang yang membagi-bagikan warisan, karena
ia tidak diberi bagian warisan. Penilaian rakyat yang Mmbul
secara spontan ini kiranya merupakan "perasaan hukum"
masyarakat. Namun, bila hal tersebut dirumuskan dalam
hukum, maka menurut kesadaran hukum
masyarakat Bali dan Sulawesi Selatan "penghinaan berat harus
ditebus dengan nyawa". Secara lebih abstrak lagi dapat
dikatakan, bahwa "kesalahan dan hukuman harus seimbang."155
Menurut Sunaryati Hartono, betapapun kesadaran hukum itu
berakar di dalam masyarakat, ia merupakan abstraksi yang
lebih rasional daripada perasaan hukum yang hidup di dalam
masyarakat. Dengan kata lain, kesadaran hukum merupakan
suatu pengertian _yang menjadi hasil ciptaan para sarjana
hukum. Hal ini tidak dapat dilihat secara langsung di dalam
kehidupan masyarakat, melainkan

89 Lawrence M. Fliedman, The Legal System. New York:


Russell Sage, 1975. Lihat juga dalam Lawrence M. Friedman,
"Legal Culture and Welfare State", •dalam Gunther Teubner
(Ed), Dilemas of Law in the Welfare State. New York: Walter
de Gruyter, 1986, halaman 13-27.
i 54 Sunaryati Hartono, "Peranan Kesadaran Hukum Rakyat Dalam
Pembaharuan Hukum", Kenas Kerja pada Symposium Kesadaran Hukum
Masyarakat dalam Masa Transisi, Jakarta: BPmq-Bina Cipta,
1975, halaman 89-90. Ibid.

98
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!

keberadaannya hanya dapat disimpulkan dari pengalaman hidup


sosial melalui suatu cara pemikiran dan cara penafsiran
tertentu. 90Selain itu, kesadaran hukum itu bukanlah semata-
mata sesuatu yang tumbuh secara spontan dalam hafi sanubari
masyarakat, akan tetapi ia juga merupakan sesuatu yang harus
dipupuk secara sadar, agar dapat tumbuh dalam haå sanubari
masyarakat. Von Savigny menjelaskan hal ini dengan
mengatakan, ist und wird mit dem volke.91
Uraian di atas telah menjelaskan tentang berbagai
pendapat tentang terminolog kesadaran hukum. Tampak bahwa
konsep kesadaran hukum itu sendiri mengandung unsur nilai
yang tQtunya sudah dihayati oleh warga masyarakat semenjak
kecil dan sudah melembaga serta mQdarah daging. Proses
pelembagaan ini akhirnya menjadi pedoman yang dipertahankan
oleh masyarakat dan ditanamkan melalui proses sosialisasi.
Selanjutnya, apa yang dihayati dan dilembagakan itu
diwujudkan dalam bentuk norma-norma yang menjadi patokan
bagi warga masyarakatnya dalam bertingkah laku. Jadi,
sebenamya tingkah laku warga masyarakat mengandung unsur
nilai yang sudah lama dihayatinya, dan ini pulalah yang
mempengaruhi bekerjanya hukum di dalam masyarakat.

Sikap Moral: Kunci Kesadaran Hukum


Dalam proses bekerjanya hukum, setiap anggota masyarakat
dipandang sebagai adressat hukum. Chambliss dan
Seidman92menyebut adressat hukum itu sebagai "pemegang peran"
(role occupant). Sebagai pemegang peran ia diharapkan oleh
hukum untuk memenuhi harapan-harapan tertentu sebagaimana
dicantumkan di dalam peraturan-peraturan. Dengan demikian,
anggota masyarakat diharapkan untuk memenuhi peran yang
tertulis di situ (role expectation).
Seorang anggota masyarakat akan melangsungkan pemikahan
misalnya, ia diharapkan memenuhi tindakan-tindakan tertentu,
antara lain berupa persyaratan umur undang-undang perkawinan

90 Ibid.
91 Uraian yang relatif lengkap tentang pendapat von Savigny
dapat ditemukan dalam Lawrence M. Friedman, op.cit.
92 Chambliss dan Seidman, Law, Order and Power, Rending
Mass: Adison Wesly, 1971.

99
Esmi Warassih
nomor 1 tahun 1974. Begitu pula seorang anggota masyarakat
yang akan

membeli tanahf ia pun diharapkan memenuhi tindakan-frldakan


tertentu sebagaimana tercantum dalam peraturan-peraturan
hukum dalam bidang agraria. Demikian pula, seorang pemilik
tanah yang hendak melakukan perjanjian bagi hasil harus
tunduk pula pada undang-undang perjanjian bagi hasil
(UUPBH).
Oleh karena pengaruh berbagai faktor yang
bekerja atas diri orang tersebut sebagai
pemegang peran, maka dapat saja terjadi suatu
penyimpangan antara peran yang diharapkan dan
peran yang dilakukan. Itu artinya, telah
terjadi ketidakcocokan antara isi peraturan
dan tingkah laku warga masyarakatnya. Di
sini, ada kemungkinan besar bahwa anggota
masyarakat tersebut tetap berfngkah laku
sesuai dengan nilai budaya yang telah lama
dan dihayatinya.
Sudah cukup banyak penelitian yang
menemukan bahwa kesadaran hukum masyarakat
terhadap peraturan-peraturan hukum yang
dibuat oleh negara masih jauh dari harapan.93
Perilaku yang bertentangan dengan hukum itu
lebih disebabkan oleh sikap moral (mores)
masyarakat yang tidak sejalan dengan isi
peraturan hukum tersebut. Menurut Sumner,
mores atau sikap moral masyarakat itu selalu
berada dalam posisi mendahului dan menjadi
penentu bekerjanya hukum. Sulit bag kita
untuk mengubah mores masyarakat secara besar-
besaran dan mendadak, apa pun rencana dan
alat yang dipakai. Mores memang dapat diubah,

93 Baca misalnya dalam Afdol, "Efektivitas Ketentuan Umur


Minimum untuk Kawin di Kabupaten Bangkalan-Madura'*,
Laporan Penelitian, Surabaya: PSHP UNAIR, 1979. Juga
dalam Pusat Studi Hukum dan Masyarakat, "Peranan Kesadaran
Hukum Masyarakat dalam Pelaksanaan, Undang-Undang Bagi
Hasil", Laporan Penelitian, Semarang: UNDIP, 1976.

100
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
tetapi dengan cara perlahanlahan dan dengan
suatu usaha yang terus menerus serta
bervariasi. 94
Demikian pula, para sosiolog modem yang
berorientasi empiris cenderung berpendapat
bahwa kekuatan pokok kontrol sosial itu
terletak pada adanya kaidah-kaidah kelompok
yang telah diresapi masyarakat. Kekuatan
konfrol sosial juga terletak pada adanya
tekanan-tekanan psikologis antar sesama warga
masyarakat. Itu berafi, kekuatan utama
konfrol sosial bukan terletak pada adanya
pasal-pasal peraturan hukum yang dibuat
formal dan tertuliss Walaupun, tidak dapat
dipungkiri bahwa bagaimanapun juga

94 Edwin M. Schur, Law and Society. New York: Random House,


1967, halaman 127-135, alih bahasa Soetandyo Wignjosoebrotn.

101
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!

peraturan-peraturan hukum formal dan tertulis


itu masih bisa memberikan pengarahan, pengaruh
dan efek-efek kekuatan pada pelaksanaannya.161
Jadi, jelaslah bahwa masalah kesadaran hukum ini Mrnbul
apabila nilai-nilai yang akan diwujudkan dalam peraturan hukum
itu merupakan nilai-nilai yang baru. Hal ini sebagai konsekuensi
logis dari meluasnya fungsi hukum yang Mdak sekedar merekam
kembali pola-pola tingkah laku yang sudah ada di dalam
masyarakat. la justru menjadi sarana penyalur kebijaksanaan-
kebijaksanaan pemerintah, sehingga terbuka kemungkinan akan
muncul keadaan-keadaan baru untuk merubah sesuatu yang sudah
ada.162 Di dalam undang-undang pokok perkawinan misalnya, berusaha
merubah Mngkah laku masyarakat dengan memasukkan unsur-unsur
baru seperå melarang perkawinan di bawah umur dan penerapan asas
poligami, UndangUndang bagi hasil juga memasukkan hal baru
berupa sistem pembagian hasil, tenggang waktu perjanjian, dan
sebagainya.
Sekalipun ada unsur-unsur baru dalam peraturan hukum, namun
beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa anggota masyarakat
yang dikatakan sebagai pemegang peran tetap saja berpola tingkah
laku yang sesuai dengan kesadaran hukumnya sendiri. Apa yang
menjadi cita-cita pembuat undang-undang itu rupanya belum
terwujud. Lain halnya kalau peraturan hukum itu hanya bersifat
memperkokoh nilai-nilai yang telah ada dan sudah diresapi oleh
anggota masyarakatnya. Karakteristik peraturan hukum seperti itu
jelas Mdak akan menimbulkan masalah kesadaran hukum masyarakat,
karena sesungguhnya aspek ini sudah sejak semula menyatu dengan
peraturan-peraturan hukum itu sendiri.

Motivasi Bertingkah LakU


Menghadapi produk hukum yang cenderung memasukkan unsur-unsur baru
itu, apakah seseorang pemegang peran akan bertindak sesuai dengan
ketentuan hukum seperti itu atau tidak, sangat tergantung pada tiga
variabel utama. Variabel-variabel itu

161
Ibid.
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
162
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Bandtmg:
Alumni, 1979, halaman 144.

antara lain:163 (1) apakah normanya telah disampaikan; (2) apakah


normanya serasi dengan tujuan-tuuan yang diterapkan bagi posisi
itu; (3) apakah si pemegang peran digerakkan oleh motivasi yang
menyimpang.
Pendapat Seidman tersebut bahwa
selain sosialisasi dan sikronisasi produk hukum,
faktor motivasi juga ikut menentukan tingkah
laku seseorang pemegang peran dalam menaati isi
produk hukum tersebut. Seidman membuat suatu
model yang berkamar empat untuk menunjukkan
hubungan antara bentuk ångkah laku dengan
motivasi para pemegang peran, sebagai berikut
(bagan

Bagan 5 TmGKAH LAKU

Konform (+) Konform

Konform (1) (2)

MOTIVASI
(3) (4)

Konform

Teori penyimpangan mengajarkan bahwa para pemegang


peran itu dapat mempunyai motivasi, baik yang berkehendak
untuk menyesuaikan diri dengan norma mauptm yang
Imtuk tidak menyesuaikan diri dengan kaharusan
norma. Sementara itu, pemegang peran itu dapat juga
mempunyai mgkah laku-tingkah laku yang mungkin konform dan
yang mungkin pula Mdak konform.

103
Esmi Warassih

Timbulnya penyimpangan ini bila kita kaitkan dengan


variabelvariabel di atas, mungkin akan memberi sedikit gambaran.
Untuk variabel (a) misalnya, di smi masalah komunikasi khususnya
komunikasi hukumnya menjadi penting. Apakah pemegang peran telah
mengetahui adanya peraturan dan sampai dimana ia memahami isinya
dan sebagainya. Demikian pula, variabel yang lain juga sangat

163 William J. Chambliss & Robert B. Seidman, op.cit. 1971.


Juga dalam Robert B. Seidman , "Law and Development, A. General
Model", dalam Law and Society
Review, Edisi vl tahun 1972.
164 Ibid. Juga dalam Lawrence Seidman, op.cit.
mempengaruhi tindakan dari anggota masyarakat terhadap peraturan-peraturan yang berlaku.
Ketidaksesuaian Üngkah laku dapat saja terjadi
sekalipun si pemegang peran berkehendak untuk menyesuaikan diri. Hal ini
mungkin terjadi pada perkara-perkara dimana ia ådak sadar akan normanya atau
norma-norma itu diketahui tetapi bersifat tidak serasi dengan tujuan-tujuan yang
ditetapkan untuk posisi pemegang peran itu. Adanya ketidakcocokan antara peranan
yang diharapkan oleh norma dengan tingkah laku yang nyata, karena fungsi hukum
ädak lagi sekedar merekam kembali pola-pola tingkah laku yang terdapat dalam
masyarakat. Melainkan, hukum pun ingn membentuk polapola tingkah laku yang baru.
Ciri yang demikian ini mengandung arfi bahwa fungsi hukum tidak hanya sebagai sosial
kontrol melainkan sebagai sarana untuk mewujudkan suatu masyarakat (baru) yang dicita-
citakan. Jadi, di sini sebenamya hukum sedang dipahami sebagai suatu konsepsi yang modern ,
dimana hukum digunakan sebagai sarana untuk melakukan social engineering. Itu arånya,
hukum diharapkan untuk dapat membentuk, mengarahkan, dan pada saat-saat tertentu juga
merubah masyarakat menuju sesuatu yang dicita-citakan. Fungsi hukum yang demikian ini,
ternyata tidak selalu didukung Oleh kehidupan sosial dimana hukum itu diterapkan. Untuk
memaksimalkan fungsi hukum itu, harus ditunjang Oleh tingkat kesadaran hukum masyarakat
yang memadai.

Faktor Penentu Kesadaran Hukum


Jika pembicaraan löta tentang warga negara
sebagai anggota masyarakat dan hendak melakukan
suatu pengamatan yang lengkap, maka kita pun ingin
menjawab secara lengkap mengenai pertanyaan bagaimana kesadaran
hukum mereka. Sudah tentu, kita akan berhadapan dengan
faktor-faktor yang cukup kompleks sebagaimana
telah dibicarakan sebelumnya. Jadi, sebenamya masalah timbulnya

104
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!

kesadaran hukum masyarakat sangat dipengaruhi Oleh bekerjanya


berbagai faktor dan kekuatan.
Dalam hal ini dapat dikatakan, bahwa tindakan yang akan
dilakukan oleh warga negara sebagai responsnya terhadap
peraturanperaturan hukum sangat tergantung dari isi norma hukum itu
sendiri, sanksi-sanksinya, akfrvritas para pelaksana hukum serta semua
faktor-

105
Esmi Warassih

faktor non yuridis yang bekerja atas dirinya.165


Dengan demikian, harus dapat dipahami bahwa
setiap undang-undang yang dikeluarkan atau
dibuat akan mengalami perubahan, baik melalui
perubahan formal maupun melalui cara-cara yang
ditempuh birokrasi ketika bertindak Perubahan
itu terjadi disebabkan Oleh adanya
kekuatankekuatan sosial, ekonomi dan sebagainya
yang bekerja memberikan impaknya. Alur
bekerjanya hukum dalam berbagai lingkup berbagai
faktor dan kekuatan itu, dapat dicermaå melalui
bagian yang dibuat oleh Seidman berikut ini.166
Untuk lebih memahami hal ini, periksa kembali
bagan 1.
Dari bagan tersebut kita dapat memahami bahwa proses bekerjanya
hukum itu sangat ditentukan Oleh beberapa faktor penting, yaitu: (1)
peraturan-peraturan hukumnya; (2) badan pembuat undangundang; (3) badan
pelaksana hukum (sanctioning agencies); (4) masyarakat sebagai sasaran
pengaturan (dalam diagram dikualifikasikan sebagai pemegang peran, yang
berarti peranannya di dalam masyarakat ditentukan Oleh apa yang
dirumuskan di dalam peraturan); (5) proses penerapan hukum; (6)
komunikasi hukumnya; (7) kompleks kekuatan sosial-poliük dan Iain-Iain
yang bekerja atas diri pembuat undang-undang, birokrat (pelaksana hukum)
maupun masyarakat sendiri sebagai pemegang peran; dan (8) proses umpan
balik antara semua komponen tersebut„
Dalam tulisan ini saya hanya akan memperhatikan masalah
hubungan antara masyarakat dan pelaksana hukum, sekalipun
demikian dalam pembicaraan selanjumya selalu saja dikaitkan
dengan faktor-faktor yang Iain. Oleh karena masalah yang sedang
kita bicarakan di sini tidak dapat dilihat secara sepotong-
potong, rnelainkan merupakan persoalan yang kompleks dan
diterima sebagai suatu proses yang melibatkan berbagai faktor
dan kekuatan.
Salah satu sumber bagi Mdak ditaaånya suatu peraturan adalah
faktor inkonsistensi dalam pelaksanaan hukum di samping faktor
komunikasi hukumnya juga. Contoh yang sangat mudah diamati di
sini yaitu Peraturan Daerah (Perda) yang memberikan ancaman
denda Rp 1000,- bagi orang-oran.g yang membuang sampah sembarang

Ibid,

106
Pranatn Sebuah Telaah Sosial

di ibukota Jawa Tengah. Perda semacam ini pun terdapat pula di


ibukota
Jawa Timur. Sekalipun ada aturan seperti itu, tapi kebersihan kota tak

Ibid.
166

kunjung tiba alias peraturan hukum tersebut tidak dijalankan. 167 Bahkan,
tidak dapat disangkal pula bahwa anggota masyarakat sebagai pemegang
peran pun Mdak mengetahui tentang adanya Perda tersebut. Berdasarkan
interview dosen hukum lingkungan pascasarjana UNAIR memperlihatkan bahwa
ternyata para pelaksanaannya pun tidak mengetahui secara persis tentang
adanya Perda tersebut.
Dalam konteks seperti di atas tampak bahwa
pengimplementasian sanksi yang telah dirumuskan dalam suatu
peraturan hukum, sangat ditQtukan oleh faktor komunikasi yang
baik untuk memperkenalkan produk hukum itu kepada masyarakat dan
seluruh perangkat pelaksananya. Selain faktor komunikasi,
pelaksanaan hukum yang dilakukan secara bersungguh-sungguh dan
konsekuen juga akan sangat menentukan proses bekerjanya hukum
itu.95 Suatu hal yang tak bisa dipungkiri ialah bahwa masih saja
kita jumpai adanya keengganan dalam menerapkan ketentuan atau
sanksi yang sudah ditentukan, dan kebiasaan-kebiasaan lain yang
kurang membantu sikap warga masyarakat dalam menaati hukum.

Pertimbangan Pembuatan Hukum


Kita tidak dapat begitu saja mengeluarkan peraturan hukum tanpa
menyediakan fasilitas atau sarana yang dapat menunjang terlaksananya
peraturan tersebut. Itu berarti, faktor-faktor yang diperlukan untuk
mewujudkan cita-cita sebagaimana tertuang dalam peraturan hukum tersebut
perlu dipersiapkan dengan baik. Haruslah dipahami bahwa sebenamya
pembuatan hukum itu merupakan suatu "rencana berEndak" (plan of
action).169 Artinya, apa yang disebut sebagai undang-undang itu hanyalah
sekedar kerangka atau pedoman bertindak, dan oleh karena itu masih harus
dilengkapi dengan segala macam sarana yang dibutuhkan agar dapat
dijalankan dengan semestinya.
Dengan memperhaåkan berbagai faktor tersebut
di atas, maka dalam rangka usaha-usaha untuk
melakukan pembinaan kesadaran hukum ini kita
tidak cukup melihatnya secara sepotong-potong.
167

95 Ibid.
Ibid.

107
Esmi Warassih

Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu-llmu Sosial bagi


Pengembangan 11mu
Hukum, Bandung: Alumni, 1977, halaman 174-179.
169

juga harus mena.ruh perhaüan kepada berbagai faktor


maupun kekuatan sosial yang melingkupinya. Seüap peraturan hukum
tentulah mempunyai tujuannya sendiri yang ingin dicapai. Untuk
sampai pada úljuan yang dikehendaki iñi diperlukan suatu usaha
yang sistematis melipuü teknik-tel<nik pengundang-undangan yang
dipakai. Strategi yang ditempuh ini pun sangat mirip dengan cara-
cara pemecahan masalah dalam manajemen ilmiah. A. Podgorecki
mengembangkan empat asas pokok yang perlu diperhaffkan dalam
mewujudkan tujuan sosial yang dikehendald, yakni:170
(1)suatu penggambaran yang baik mengenai situasi yang dihadapi;
(2)membuat suatu analisa mengenai yang ada
dan menempatkannya dalam suatu urutan hirarki.
Analisis. di sini melipuf pula perkiraan mengenai
apakah cara-cara yang akan dipakai tidak akan lebih
menimbulkan suatu efek yang baik malah memperburuk
keadaan.
(3)Melakukan verifikasi hipotesis-hipotesis,
seperff apakah suatu cara yang dipjkirkan
untuk dilakukan itu pada akhimya membawa kita
kepada tujuan sebagaimana yang dikehendaki.
(4)Pengukuran terhadap efek peraturan-peraturan yang ada.

Pembinaan Kesadaran Hukum


Pada dasamya kesadaran hukum itu merupakan kontrol agar
hukum yang telah dibuat itu dapat dijalankan dengan baik di
dalam masyarakat. Oleh karena itu, perlu adanya usaha-usaha ke
arah pembinaan kesadaran hukum masyarakat. Pembinaan ini
hendaknya berorientasi kepada usaha-usaha untuk menanamkan,
memasyarakatkan dan melembagakan nilai-nilai yang mendasari
peraturan hukum tersebut. Untuk itu perlu diperhatikan masalah
komunikasi hukumnya berikut penyebarluasan isi perundangundangan
sehingga dapat diketahui oleh para anggota masyakarat sebagai
sasaran pengaturan hukum itu.

Ibid,

108
Pranatn Sebuah Telaah Sosial
Selain itu, para pembuat undang-undang perlu menyadari bahwa dengan
mengeluarkan peraturan hukum itu üdak berarti pekerjaan telah selesai.
Melainkan, pekerjaan itu masih berlanjut dan

170
halaman 150.

Ibid.

109
Pranata Hukum, Sebuah Telaah
SOSİBI
merupakan suatu proses yang sangat panjang. Untuk itil/ perlu dipikirkan
sarana apa sajakah yang dibutuhkan agar peraturan hükum itü dapat
dijalankan dengan semestinya untuk mewujudkan tujuan yang dikehendaki.
Selanjutnya, harus disadari pula bahwa hükum itü adalah
ketentuan-ketentuan yang tidak personal sifatnya. Oleh karena
itu, pengendoran dalam hal pelaksanaan hükum perlu dihindari, dan
pola pelaksanaannya harus dijalankan secara tetap dan teratur.
Dengan demikian, masyarakat akan menyesuaikan tingkah lakunya
dengan keadaan tersebut. Di samping itü peningkatan kesadaran
hükum masyarakat dapat düakukan pula dengan memberi contoh dan
teladan dari mereka yang mempunyai peranan dalam masyarakat,
seperti polisi, hakim, lurah dan sebagainya. Keteladanan ini
pentjng diperhaükan, karena mengingat masyarakat kita masih
bersifat paternalisfik.
Masalah pembinaan kesadaran ini menjadi penfing
artinya bila kita bicara soal hükum sebagai konsep
yang modem. Di sini kita ödak hanya melihat masalah
pengaturan hükum itü dari segi ligifimasinya,
melainkan juga dari segi efektivitasnya. Oleh karena
itli, jika kita ingin agar hükum (modem) itü dapat
terlaksana dengan baik, maka struktur masyarakat pun
perlu dikembangkan untuk dapat menyesuaikan diri
dengan perkembangan hükum yang demikian itu. İni
penting dilakukan mengingat struktur masyarakat
Indonesia hingga saat ini belum seluruhnya memenuhi
tuntutan sistem hükum modern.
Kesadaran untuk memerlukan hükum sebagai sarana yang sengaja
dipakai untuk mencapai tujuan-tujuan yang kita kehendaki
dinyatakan pula dalam salah satu keputusan Seminar Hükum Nasional
ke III pada tahun 1974 di Surabaya. Keputusan itü dirumuskan
sebagai berikut ın "Peıundang-undangan terutama dalam masyarakat
dinamis dan yang sedang berkembang, merupakan sarana untuk
merealisis kebijaksanaan-kebijaksanaan negara dalam bidang-bidang
ekonomi, sosial, budaya, politik, pertahanan dan keamanan
nasional sesuai dengan skala prioritas dan pertahanan pembangunan
nasional .

171
Thid.

110
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!

BAGIAN KETIGA

Hukum dan
Kebijaksanaan Publik

111
Esmi Warassih

1
Hukum dan Kebijaksanaan
Publik
embangunan yang terus-menerus dilakukan untuk
mewujudkan tujuan nasional sebagaimana termaksud di dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
menyebabkan peranan hukum semakin mengedepan. Rangkaian-rangkaian
kegiatan beserta programprogram pembangunan sebagaimana
ditetapkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan
tahapan pembangunan yang dicanangkan melalui REPELITA (Rencana
Pembangunan Lima Tahun)172semasa Orde Baru, menunjukkan bahwa di
negara ini sedang terjadi perkembangan dan perubahan yang sangat
besar. Tujuan yang telah dipilih dan ditetapkan sudah barang
tentu hendak diwujudkan di dalam masyarakat. Melalui hukumlah
tujuan tersebut diterjemahkan ke dalam kenyataan sosial. Hukum
diharapkan mampu sebagai sarana untuk mewujudkan tujuan tersebut
karena pembangunan telah menghasilkan bermacam-macam tujuan yang
ingin dicapai dalam waktu yang bersamaan.

Melalui penormaan fngkah laku, hukum memasuki semua segi


kehidupan manusia, dan memberikan suatu kerangka bagi
hubunganhubungan yang dilakukan oleh anggota masyarakat satu
terhadap yang lain. Hukum merupakan The normative life of the
state and its citizens.96 Hukum menentukan serta mengatur
bagaimana hubungan itu dilakukan dan bagaimana akibatnya, dan
untuk itu hukum menentukan tingkah laku mana yang dilarang dan
mana yang diijinkan. Penormaan ini dilakukan dengan membuat
kerangka umum

172

96 Steven Vago, Law and Society, Prvntice Hall. Jersey, 1981, halaman 9.
112
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
Pola kebijaksanaan pembangunan yang demikian itu sangat popular pada masa pemerintahan
Orde Baru (ORBA) yang dipelopori oleh Presiden Soeharto bersama seluruh perangkat
kabinetnya.

dari suatu perbuatan yang diwujudkan dalam berbagai bentuk


peraturan perundang-undangan yang ada.
Perkembangan ini tidak terlepas dari perkembangan yang
tampak pada kehidupan sosialnya. Hukum merupakan suatu kebutuhan
yang melekat pada kehidupan sosial itu sendiri yaitu melayani
anggota masyarakat seperü mengalokasikan kekuasaan,
mendistribusikan sumber daya dan melindungi kepentingan anggota
masyarakat. Dalam konteks yang lebih spesifik, hukum pun banyak
digunakan sebagai sarana untuk mewujudkan kebijaksanaan publik.
Dalam rangka merealisasi kebijaksanaan, pembuat kebijaksanaan
menggunakan peraturan-peraturan hukum yang dibuat untuk
mempengaruhi aktivitas pemegang peran.

Hukum dan Kebiiaksanaan Publik


Hukum dan kebijaksanaan publik merupakan variabel yang
memilild keterkaitan yang sangat erat, sehingga telaah tentang
kebijaksanaan pemerintah semakin dibutuhkan untuk dapat memahami
peranan hukum saat ini. Kebutuhan tersebut semakin dirasakan
berseiring dengan sernakn meluasnya peranan pemerintah memasuki
bidang kehidupan manusia, dan semaldn kompleksnya persoalan-
persoalan ekonomi, sosial, dan politik Di samping itu, peraturan
hukum juga berperan untuk membantu pemerintah dalam usaha
menemukan alternatif kebijaksanaan yang baik dan bermanfaat bagi
masyarakat.
Apabila pembangunan itu merupakan suatu kegiatan untuk
melakukan perubahan-perubahan di dalam masyarakat, maka dapat
dipahami bahwa peranan pemerintah sebagai lembaga eksekutif
menjadi semakin menonjoL Melalui peraturan hukum, pemerintah
dapat dilaksanakan kebijaksanaan pembangunan di dalam tindakan
nyata. Namun, harus diingat bahwa persoalan yang dihadapi pada
saat ini bukan sekedar masalah legalitas formal, penafsiran,
penerapan pasal-pasal, melainlan tunhltan keadaan saat ini yang
menghendaki agar hukum dilihat dalam kerangka yang lebih luas dan
dalam kaitan dengan persoalan-persoalan yang sedang berkembang
dalam

113
Esmi Warassih

masyarakat. Hal ini sebagaimana tampak dari


pernyataan Thc International Legal Center (ILC)
bahwa; 97
The study of law can be seen as the study of the
rules and processes governing economic, political, and
social behavior. Yet all too often, as we have seen
the discipline is not presented as the suitable
vehicle it is for policy analysis.
Oleh sebab it-ulah dibutuhkan lawyers untuk dapat
menerjemahkan tujuan sekaligus menjabarkan kebijaksanaan ke dalam
peraturan perundang-undnagan yang mengekspresikan kebijaksanaan
publik. Mengingat semua perQcanaan kebijaksanaan dan program-
program dilaksanakan melalui hukum, maka pemahaman yang luas akan
fungsi hukum di jaman sekarang ini menjadi penting. Hal ini
disebabkan oleh fungsi sen&al negara yang berusaha menyiapkan,
menemukan dan menjalankan kebijaksanaan atas nama dan untuk
keseluruhan masyarakat di daerah kekuasaannya. Hukum memberikan
legitimasi bagi pelaksanaan kebijaksanaan publik, dan sebagai
peraturan perundang-undangan ia telah menampilkan sosoknya
sebagai salah satu alat untuk melaksanakan kebijaksanaan. 98 Dengan
kata lain, agar rencana pembangunan mendapat kekuatan dalam
pelaksanaannya, maka ia perlu mendapatkan status formal atau
dasar hukum tertentu.

Terminologi Kebiiaksanaan Publik


Dalam konteks pembicaraan tentang kebijaksanaan publik dan hukum,
maka perlu ditampilkan beberapa definisi tentang kebijaksaan publik itu

97 Intemational Legal Center, Legal Education in a Changing


World, New York, 1975, halaman 60.

98 Yay A Sigler, Benyamin R Beede, The Legal Sources ofPub1ic


Policy, D. Heath and Co: 1977, halaman 145. Perkembangan hukum
sebagai instrumental ini merupakan salah satu karakeristik
masyarakat terus menerus mengalami perubahan sebagaimana
diajukan Yehezkel Dror dalam Ventures in Policy Sciences.
Elsevier Amsterdam: 1971, halaman 167-169. Demikian pula semua
perencanaan kebijaksanaan dan program-program dilaksanakan
melalui hukum, dikemukakan oleh Edgar Bodenhcimer,
Jurisprudence, Harvard University Press, 1962, halaman 85. 176

Thomas R. Dye, Understanding Public Policy, Prentice Hall, Inc,


1978, halaman 3.
114
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
sendiri. Thomas R. Dye mendefinisikan kebijaksanaan publik sebagai is
whatever governments choose to do or not to do. 176

Sedangkan James E. Anderson mengatakan, Public policies are


those policies developed by governmental bodies and
officials.177 David Easton memberikan arå policies sebagai
the authoritative allocation of values for the whole
soåety-178 Lasswel dan Kaplan mQgartikan kebijaksanaan
sebagai A projected program of goals, values and
practices.179 Di lain pihak, Van De Gevel mengartikan
kebijaksanaan publik sebagai Beleid bestaat in essentie
uit æn sanænstel van gekozzn doelen, middelen en
tijdstippen. 180
Uraian di atas memberi gambaran kepada kita bahwa tidak ada
definisi kebijaksanaan yang sama. Namun, beberapa definisi yang
diajukan tersebut menunjukkan adanya beberapa unsur yang harus
ada yaitu, nilai, tujuan dan sarana. "Tujuan" dalam konteks ilü
diartikan sebagai Een doel, dosleinde of doelsttelling is een
wens over een toekomstige situatie die man besloten heft te
realiseren.181 Secara ideal, suatu keadaan yang diinginkan akan
tampak pada tujuan kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh
pemerintah. Namun demikian, penjabaran lebih konkeit dan jelas
amat diperlukan. "Sarana" dalam konteks ini diartikan sebagai
sesuatu yang dapat dipakai untuk mencapai sarana atau tujuan,
termasuk juga sesuatu yang dapat dipakai untuk jangka pendek
Salah satu sarana yang banyak dipilih adalah peraturan
perundang-undangan. Oleh sebab itu, pada hukum pun
mengandung nilai, konsep-konsep dan tujuan. Proses perwujudan ide
dan tujuan itu merupakan hakkat dari pelegakkan hukum. 182 Sebagai
contoh Garis-garis. Besar Haluan Negara merupakan salah satu
contoh bentuk kebijaksanaan publik yang dilegiümasi melalui
Ketetapan MPR mempunyai sifat mengikat bagi seluruh warga
masyarakat (era Orde Baru),

177 James E. Anderson, Public Policy Making, New York Holt,


Rinchart and Wiston, 1979, halaman 3.
178 Thomas R. Dye, loc.cit.
Ibid.
AAJS Van De Gevel, HPJ Van De Goor, Bestuur System, Een
Inleidding in de

115
Esmi Warassih
Bestuurskunde, 1984, halaman 199.
181
Ibid. halaman 22.
182
Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan
Sosiologis, BPHN, Sinar Bandung.

Hukum dalam Masyarakat


Untuk dapat menjelaskan keterkaitan antara kebijaksanaan
publik dengan hukum, maka perlu diketahui posisi hukum dalam
masyarakat. Berdasarkan pendekatan sosiologis, hukum bukan semata
sebagai suatu lembaga yang otonom atau sebagai variable yang
independen, melainkan sebagai lembaga yang bekerja untuk dan di
dalam masyarakat. Pemahaman yang demikian memberikan pemahaman
bahwa hukum sejak tahap inisiasi,pembentukan hukum sampai dengan
tahap implemementasi bahkan tahap penegakan hukum sangat
dipengaruhi oleh unsur-unsur yang lain yang ada di dalam
masyarakat.
Oleh karena itu, hukum tidak lagi hanye. berfungsi sebagai alat
kontrol sosial, tetapi juga dipakai sebagai sarana untuk melakukan
perubahan di dalam masyarakat. Bahkan, hukum pun dapat dipakai sebagai
sarana untuk mewujudkan tujuan-tujuan politik sebagaimana dikemukakan
oleh N. Luhman bahwa hukum berfungsi sebagai social engineenng as a
political approach to law.

Jika salah satu ciri dari hukum modern adalah


sebagai suatu bentuk kegiatan manusia yang dilakukani
secara sadar untuk mencapai tujuan, sedangkan
penetapan tujuan merupakan output dari sistem politik
yang dapat berupa alokasi nilai yang otoritatif.
Alokasi yang demikian inilah yang dinyatakan sebagai
kebijaksanaan publik, yang selanjutnya akan
diimplementasikan ke dalam masyarakat Dari Sisi ini
tampaklah bahwa hukum merupakan indikator adanya
kebijaksanaan sebagaimana ditegaskan oleh Sigler,
bahwa Constitutions, statutes, administrative orders
and executive orders are indicators ofpolicy.99
Menurut Dye, hubungan antara kebijaksanaan publik
dengan hukum semakin jelas disebabkan karena Government
lends legitimacy to policies. Govemmental policies are
generally regarded as legal obligations which command the
loyalty of citizen.100 Selanjutnya dikatakan: "Only
governmental policies involve legal obligations". Bahkan,
99 Yay A. Sigler, op.cit, halaman 4.
116
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
Sigler menegaskan bahwa hukum merupakan suatu bagian yang
integral dari kebijaksanaan: Latv is an integral part of
policy initiation formalization, implementations and
evaluation. Legislative bodies formulate

public policy through statutes and appropriations controls.101 Keadaan


seperti itu menyebabkan hukum merupakan kebutuhan yang funsional bagi
masyarakat, dan hukum dipandang sebagai elemen penång bag
politik

Perumusan Kebiiaksanaan Publik


Apabila kebijaksanaan publik itu telah memasuki bidang
kehidupan hukum, maka perumusannya pun harus tunduk pada teknik
pembuatan perundang-undnagan. Demikian pula, setiap kebijaksanaan
publik yang akan dituangkan atau dinyatakan dalam bentuk
peraturan harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu sebagaimana
ditegaskan oleh Sigler: Public Policy should be written into
simple, precise legal language, using as fav ambigious phrases as
possible.102
Pada umumnya isi kebijaksanaan yang dituangkan dalam sistem hukurn
diletakkan di bagian "menimbang", sedangkan konkretisasinya dituangkan
dalam ketentuan pasal-pasalnya terutama tampak dalam tujuan yang
ditetapkan. Untuk memenuhi persyaratan di atas tampalmya fdak mudah,
peraturan perundangundnagan mengandung "cacat logis", seperti
ambiguity baik secara semanåk maupun sintaåk.187 Kemenduaan ini dapat
terjadi karena maksud yang ingin dinyatakan melalui pembuatan
kebijaksanaan itu tidak dimengerti oleh pembuat undang-undang, karena ia
sendiri belum memahami ataupun memilik konsep yang jelas mengenai hal
yang hendak diatur.

Di samping itu, cara perumusan yang dilakukan melalui


peraturan perundang-undnagan adalah dengan membuat rumusanrumusan
hipoteäs,103 yakni hanya merumuskan kerangka umum suatu perbuatan
atau peristiwa yang terjadi dalam kenyataan hidup sehari-hari.

100 Thomas R. Dye, op.cit., halaman 20.


101 Yay A. Sigler, op.cit. halaman I l.
102 Yay A. Sigler, Ibid, halaman 98. Perlu diingat bahwa law as
set ofcommunicating with the public itu dikemukakan oleh
Yehezkel Dror, op.cit. halaman 170. Reed Dickerson, The
187

Fundamentals ofLegal Drafting, Little Brown and Co Boston,


Toronto, 1965, op.cit,halaman 26-27.
103 Satjipto Rahardjo, 11mu I-lulum, Alumni, Bandung, 1986,
halaman 71.
117
Esmi Warassih
Akibatnya, terkadang hukum banyak berbicara tentang konsep-konsep
yang sulit diketahui oleh mereka yang tidak mempelajafinya.
Konsep merupakan alat yang dipakai untuk

mengidentifikasikan dan mengklasifikasikan


fenomen-fenomen yang merupakan karakteristik dari
kenyataan sosial.
Suatu konsep juga dituntut. untuk mengandung arå (meanin$ul), karena
ia bertujuan untuk memberikan informasi. Sebagai contoh misalnya konsep
hak, kewajiban, kesalahan dan seterusnya merupakan sesuatu yang abstrak,
sehingga menyebabkan orang sulit memahaminya, dan bahkan dapat memberikan
penafsiran yang berbeda pula. Harus disadari bahwa perumusan hukum
bukanlah fakta empiris. Itulah sebabnya, perumusan secara umum tentang
sesuatu hal dapat menimbulkan perbedaan dalam penerapannya, dan oleh
karena itu penjabaran secara Iebih konkrit sangat perlu dilakukan. Untuk
itu, tidaklah mengherankan kalau di dalam pelaksanaan kebijaksanaan
selalu diiringi perbuatan atau pengubahan kebijaksanaan.

Implementasi Kebiiaksanaan Publik


Membicarakan keterkaitan antara hukum dan
kebijaksanaan publik akan semakin relevan pada
saat hukum diimplementasikan. Kegiatan
implementasi tersebut sebenamya merupakan bagian
dari policy making.104 Keadaan ini harus sungguh-
sungguh disadari mengingat proses implementasi
selalu melibatkan lingkungan dan kondisi yang
berbeda di setiap tempat, karena memiliki ciri-
ciri struktur sosial yang tidak sama. Demikian
pula, keterlibatan lembaga di dalam proses
implementasi selalu akan bekerja di dalam
konteks sosial tertentu sehingga terjadi
hubungan timbal balik yang dapat saling
mempengaruhi.
Proses implementasi kebanyakan diserahkan kepada lembaga
pemerintah dalam berbagai jenjang atau ångkat, baik Propinsi
maupun tingkat Kabupaten. Seåap jenjang pelaksanaan pun masih
membutuhkan pembentukan kebijaksanaan Iebih lanjut dalam berbagai

104 Hoogwood W. Brian and Lewis Gunn, Policy Analysisfor the


Real World, Oxford University Press, 1984.
118
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
bentuk peraturan perundang-undangan untuk memberikan penjabaran
Iebih lanjut.
Apabila sarana yang dipilih adalah hukum sebagai suatu proses
pembentukan kebijaksanaan publik, maka faktor-faktor non-hukum

akan selalu memberikan pąaruhnya dalam proses pelaksanannyae Untuk


mengantisipasi hal ini diperlukan langkah-langkah kebijaksanaan meliputi:
(1) menggabungkan rencana tindakan dari suatu program dengan menetapkan
tujuan, standard pelaksana, biaya dan waktu yang jelas; (2) melaksanakan
program dengan memobilisasi struktur, staf, biaya, resources, prosedur
dan metode, dan (3) membuat jadual pelaksanaan (time schedulle) dan
monitoring untuk menjamin bahwa program tersebut berjalan terus sesuai
rencana.190 Dengan demildan, jika terjadi pelanggaran dalam pelaksanaan
proB•am tersebut akan segera diambilkan tindakan yang melibatkan unsur
penetapan waktu, perencanaan dan monitoring.

Berangkat dari uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa Fmbentukan


peraturan perundang-undangan hendaknya disertai dengan action plan. Di
Indonesia (terutama pada jaman Presiden Soeharto) misalnya, untuk dapat
melaksanakan program-program Fmerintah sebagaimana tełcantum dalam GBHN
maupun Repelita, maka perlu dijabarkan leblh konkrit dalam bentuk
peraturan perundangan. Cladă191 mengklasifikasikan kebijaksanaan itu
menurut angț rendahnya tingkatan atau lev.el,. yaitu, (1) kebijaksanaan
politis (political policy), (2) kebijaksanaan eksekutif (executive
policy), (3) kebijaksanaan adminisfrative (administrative policy), dan
(4) kebijaksanaan teknis atau operasional (technical or operational
policy). Mengenai kebijaksanaan ini telah tampak di dalam perundang-
undangan di Indonesia.

Diskresi: Peniabaran Kebiiaksanaan


Publik
Dalam rangka pelaksanaan kebijaksanaan publik, para birokrat dapat
menentukan kebijaksanaannya sendiri untuk menyesuaikan denga-•ł situasi
di mana mereka berada, terutama yang berkaitan dengan sumber
daya seperff informasi, dana, tenaga ahli, tenaga-tenaga terampil maupun
mengenai pengetahuan dan nilai-nilai yang mereka miliki. Hal ini perlu
dilakukan Implementation is seen essensially as technical or
managerial problem.292 Untuk dapat

190
Ibid, halaman 200.
1 91 Bintoro Tjokroamidjojo, Pengantar Administrasi Pembangunan,
LP3ES, 1974, halaman 115.
192
Hoogwood W. Brian and Lewis Gunn, loc.cit.

119
Esmi Warassih
merespon suatu kebijaksanaan secara lebih efektifr perlu adanya
tahapan-tahapan yang harus dilalui, baik mengenai tahapan
perencanaan maupun pelaksanaannya. Selain itu, dalam rangka
mewujudkan rencana dari suatu program, maka peranan sumber daya
merupakan unsur utama yang sangat
Para birokrat dalam menjalankan aktivitasnya mempunyai "kebebasan"
untuk menjabarkan kebijaksanaan tertentu yang berkaitan dengan aspek
yuridisnya. Langkah yang demikian itu, oleh Rourke, disebut freies
ermessen atau pouvoir discretionnaire. Rourke menjelaskan lebih jauh,
bahwa:193

Discretion refers to the ability of an administrator


to choose among alternative to decide in effect law
the policies of the government should be implemented
in specific case.
Jeffery Jowell juga mengatakan, "discretion as the
room for decisional manouvre possessed by a decision maker
".194 Itu berarti, diskresi merupakan fenomena yang amat
penting dan fundamental, terutama di dalam
mengimplementasikan suatu kebijaksanaan publik. Dengan
adanya diskresi ini diharapkan agar dengan kondisi yang
ada dapat dicapai suatu hasil atau tujuan yang maksimal.
Oleh karena, many fields of law have highly discretionary
rules. As we see ...a, such rules have various purpose, in
any event, not all message can be clear ..1%

Pemberian otonomi dan diskresi disertai


sumber-sumber daya yang memadai merupakan
dirnQsi yang paling strategis di dalam
melaksanakan suatu aktivitas. Oleh karena itu,
hampir semua kebijaksanaan dalam berbagai
tingkatannya dibuat oleh mereka yang disebut
governing elites.l% Itu berarå, segala aktivitas
yang dikehendaki

193
Francis E. Rourke, Bureaucracy, Politics and Public Policy,
Little-Brown and Co. Toronta, 1976, halaman 32.
194 Christopher Ham & Michael Hill, The Policy Process in the
Modern Capitalist State, The Harvest Press, 1985, halaman 148-
163.
120
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
195 Lawrence M. Friedman, Legal System, Russel Sage-
Foundations, 1975, op.cit halaman 61.
196 Menurut Milton J. Esman, Governing Elites are defined in a
functional sense as those who exercise mayor decision making
power in the national government. It includes both those who hold
formal position of responsibility and those sympathetically
associated with them are not formally represented in governmental
hierarchy but exert important influence in the decision making
process" (Baca John

agar dilakukan Oleh pemegang peran lebih banyak di-tentukan oleh aküvitas
para birokrat itu sendiri.

Simpulan
Sebagai akhir dari uraian ini sekaligus penutup dapat dlkatakan,
bahwa untuk memahami hukum tidak cukup sekedar memahami hukum dalam
bentuk rumusan pasal-pasal yang hanya bergerak di bidang penafsiran,
dan konstruksi hukum. Melainkan, kita harus dapat memahami
hukum dari Sisi yang Iain, karena hukum itu dibuat Oleh manusia dan untuk
ma-•tgatur hidup manusia dalam bermasyarakat. Hukum üdak pernah bergerak
di ruang hampa, ia merupakan variabel yang senantiasa dinamis dan
dipengaruhi oleh berbagai faktor di Lingkungan masyarakat, baik itu
faktor sosial, ekonomi, budaya maupun politik
Pemahaman akan peranan hukum dengan situasi dan kondisi tertentu,
tidak terlepas dari unsur manusia, lembaga dan lingkungan masyarakatnya.
Pengaturan hukum yang tampak dalam rumusan pasal-pasal secara
itu merupakan permulaan dari pekerjaan yang .lebih berat
pada tahap berikutnya. Kiranya telaah tentang public policy secara
singkat ini sebagai suatu perkenalan dan dapat membuka kta
selanjutnya di dalam memahami peranan hukum dalam mewujudkan nilai-nilai
dasar hukum khususnya nilai keadilan dalam masyarakat. Selain itu,
diharapkan agar tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai secara
maksimal, dan dapat mengantar kita menuju masyarakat yang sejahtera.

121
Esmi Warassih
D. Montgoncry and William J. Siffin, The Polilcis of Development
Administration sebagaimana dikutip Oleh Bintoro Tjokroamidjojo),
op.cit, halaman 21.

2
Kebijaksanaan,
Hukum dan Pemerataan
Pembangunan

ada abad ke 20-an hingga saat ini


persoalan keadilan sosial sangat mengedepan di
dalam percaturan sosial dan politik Oleh karena
keadilan sosial adalah suatu prinsip yang
menyatakan secara normatif bahwa suatu situasi
sosial yang menggambarkan keadaan bagaimana
setiap warga masyarakat memperoleh kesejahteraan
yang cukup dan sepadan dengan usaha, kebutuhan
dan martabat kedudukannya di dalam masyarakat.l%

Arahan Yuridis
Cita-cita untuk mewujudkan keadilan sosial baø seluruh
rakyat Indonesia sudah merupakan tekad yang diamanatkan dalam
UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dalam Pasal 27
ayat (2) disebutkan bahwa "Tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan". Oleh
sebab itu, kurangnya kesempatan kerja yang produkåf maupun
ketidakmampuan dålam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasamya sebagai
manusia harus menjadi fokus perhatian dalam pembangunan nasional
122
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
Indonesia. Masalah-masalah kemiskinan yang dihadapi masih besar,
baik kemisknan Iahir maupun batin, dan harus terus diusahakan
sampai tuntas. Satu-satunya jalan untuk itu
adalah dengan melaksanakan pembangunan yang dapat

197 Soetandyo Wignjosoebroto: "Keadilan Sosial, sebuah


Perbincangan tentang Kebutuhan Golongan Mishn dan apa yang
dapat diperbuat oleh Hukum untuk memnuhiwa", dalam FIS-
UNAIR> halaman I.

123
Esmi Warassih

memberi kesempatan kerja kepada setiap orange perluasan lapangan


pekerjaan, maupun menaikkan penghasilan semua orang, mencerminkan
keadilan sosial, dan dapat meningkatkan martabat manusia.198

Untuk mewujudkan itu semua, maka kunci persoalan sebenamya


terletak dalam tekad politik (politicnl will). Apakah pemerataan
maupun pemerataan yang Iainnya akan benar-benar
diusahakan atau tidak, sangat bergantung pada poliåk
pemerintah. Dalam melaksanakan pembangunan maka usaha peningkatan
pendapatan nasional harus sekaligus menjamin pembagian pendapatan
yang merata bagi seluruh rakyat sesuai dengan rasa keadilan dalam
rangka diwujudkan asas keadilan sosial.
Melalui Repelita III pada jaman Orde Baru misalnya,
pemerataan pembangunan dan pembagian hasilnya merupakan unsur
pertama Trilogi Pembangunan di Indonesia. Arahan kebijaksanaan
itu menegaskan bahwa pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya
untuk menuju terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat akan
semakin tampil ke depan dan tercermin pada setiap kebijaksanaan
pembangunan. Asas pemerataan sebagaimana tertuang dalam Rencana
Pembangunan Lima Tahun (Repelita) III itu memuat 8 (delapan)
jalur pemerataany yakni: pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok
rakyat banyak, khususnya pangan, sandang dan perumahan;
pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan
kesehatan; perær-ataan pembagian pendapatan;. pemerataan
kesempatan kerja; pemerataan kesempatan berusaha; pemerataan
kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi
generasi muda dan kaum wanita; pemerataan penyebaran pembangunan
di seluruh wilayah tanah air; dan pemerataan kesempatan
memperoleh keadilan.199
Pemerataan pada intinya adalah langkah yang harus diambil
untuk mengangkat kelompok masyarakat yang berpendapatan rendah
dari jurang kemiskinan. Namun persoalannya, mengapa timbul
pemerataan, siapa atau golongan masyarakat yang mana yang pantas

198 H. Caroko, "Pembangunan Pedesaan Fokus Pembangunan


Nasional", dalam Analisa, Tahun , No. 3, i981, halaman 178.
199 Rancangan Repelita Ketiga Buku I, halaman 3.
Pranatn Sebuah Telaah Sosial

mendapat prioritas pemerataan, serta akibat apakah yang akan


timbul bila dalam masyarakat terjadi ketimpangan pembagian pa-
łdapatan.
Gambaran sepintas di atas sekaligus menunjukkan secara jelas bahwa
pemerataan yang diupayakan oleh pemerintah itu dituangkan dalam
kebijaksanaan pembangunan Repelita III. Namun demikian, perlu pengamatan
yang lebih seksama tentang seberapa jauh kebijaksanaan publik yang telah
diputuskan itu dapat mencapai sasarannya. Pencermatan lebih jauh juga
perlu didasarkan kepada masalah peranan yang dapat dimainkan oleh hukum
dalam rangka mewujudkan tujuan dari kebijaksanaan itu.

Orientasi Pembangunan
Menurut hasil Sakemas (Survey Angkatn Kerja Nasional) 1976
mengungkapkan, bahw•a dari 127,5 juta pa-•duduk Indonesia hanya
23,8 juta orang tinggal di daerah perkotaan, sedangkan sisanya
sebanyak 103,7 juta penduduk tinggal di daerah pedesaan. Jadi,
sebagian terbesar bangsa Indonesia (81,36%) hidup di daerah
pedesaan dan menyebar di 60.415 desa di seluruh Indonesia. 200
Temuan Sukemas tersebut üdak berbeda jauh dari perkembangan
terkini, bahwa perbandingan antara penduduk yang hidup di
perkotaan dengan di pedesaan masih sangat sig-üfikan.
Dari data tersebut di atas maka dapat dikatakan bahwa desa sebagai
basis masyarakat Indonesia merupak.an salah satu faktor yang sangat
menentukan bagi berhasilnya pembangunan nasional secara menyeluruh. Oleh
karenanya, pembangunan pedesaan merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari pembangunan nasional. Kalau kita terjun ke desa, maka dapat ditemui
berbagai gejala yang timbul di pedesaan, dan yang perlu diperhatikan
yaitu tingkat pertumbuhan penduduk yang masih tinggi. Di samping itu,
terdapat warga desa yang kekurangan gizi, tempat tinggal yang belum
memenuhi kesehatan dan lingkungan, rendahnya tingkat pendidikan dan melek
huruf, rendahnya tingkat pendapatan dan sebagainya.2m Kemiskinan dan
kesulitan hidup yang meliputi warga desa tercermin dari tingkat

200 Sumarto N. Mursito, "Gambaran Umum Tentang Pembangunan


Pedesaan di Indonesia”, dalam Analisa TahunX, No. 3, 1981a,
halaman 205.
201 Hasil Pcngamatan dan wawancara penulis pada waau mengikuti
penelitian di beberapa desa di Jawa Tengah, Falc Hukum Undip.
pendapatan yang rendah, yang tentunya mæ•lgakibatkan kemampuan
mereka untuk berkonsumsi dengan sendirinya rendah pula. Masalah
yang dihadapi mereka semata-mata hanyalah mempertahankan
kelangsungan hidup saja.
125
Esmi Warassih

Data Susenas BPS 1976 menunjukkan bahwa ternyata 66% rumah


tangga tak bertanah dan miskin dengan bidang nafkah pokolmya
adalah butuh dan menjual jasa. Bahkan, tingkat pendapatan
penduduk pedesaan berdasarkan garis kcmiskinan tcrgolong "sangat
miskin", dan kategori itu pun hanya didasarkan pada kebutuhan
minirnal palduduk atau pangan bergizi saja, Sedangkan, garis
kerniskinan dengan kategori "cukup miskin" didasarkan pada
kebutuhan minimal penduduk atas seluruh kebutuhan pokolmya yang
standar. Hasil Watching Susenas V dan Sukernas tahun 1976
menunjukkan, bahwa pendapatan perkapita penduduk yang tergolong
"sangat miskin" di perkotaan rata-rata lebih baik daripada
penduduk pedesaan baik di Jawa (60,2%) maupun luar Jawa (62,5%)
tergolong masih Usangat miskin"
Hidup dalam kemiskinan arånya hidup dengan tingkat konsumsi
pelbagai kebutuhan hidup jauh di bawah ukuran normal. Ini ådak
saja mempengaruhi status sosial dan gaya hidup tetapi juga
keadaan fisik, keadaan rumah, kesehatan secara umum, keadaan
makanan dan juga keadaan dalam memenuhi sandang dan sebagainya.
Lambannya kemajuan dalam taraf hidup di daerah pedesaan itu juga
terungkap dalam dua indikator lain. Pertama, pertumbuhan penduduk
pedesaan di negara-negara berkembang sebesar 21% antara tahun
1965 dan 1975. Indikator kedua, menurunnya ratio tanah pertanian
dan penduduk pertanian di semua kawasan negara berkembang.n Pada
waktu yang sama riset baru mengenai pembayan pendapatan dan
kemiskinan dalam proses pembangunan menunjukkan bahwa kemiskinan
masyarakat berlangsung terus terutama di daerah pedesaan. Faktor
utama kemiskinan masyarakat itu ialah tersebar luasnya
pengangguran dan setengah pengangguran atau pengangguran
terselubung di daerah pedesaan.

202
Sunarto N. Mursito, "Suatu Tinjauan Atas Kemiskinan Struktur di
Pedesaan
Indonesia", dalamAnalisa TahunX, No. 3, 1981, halaman
249-251. 203 Ibid, halaman 170.

126
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!

Kebanyakan warga desa di Jawa sekarang ini dapat


dikelompokkan menjadi tiga golongan. Golongan pertama,
mereka yang memiliki tanah yang cukup luas untuk menjamin
kehidupan yang lumayan cukup bagi keluarganya. Golongan
kedua, mereka yang terdiri dari petani-petani yang memiliki
atau menguasai tanah yang luasnya atau kualitasnya marginal,
sehingga kehidupan mereka sangat tergantung, baik dari
kesempatan kerja sampingan maupun dari iklim dan faktor
harga. Kalau ada hama werengj banjir atau kemarau yang
panjang tingkat kehidupan mereka langsung terpukul. Golongan
ketiga, mereka yang sama sekali tidak mempunyai tanah.
Kehidupan seluruhnya tergantung dari upahnya sebagai.
penggarap tanah. Golongan ini makin lama makin besar
jumlahnya, baik di Indonesia maupun di Asia umumnya. 105
Bahkan, rata-rata pendapatan penduduk peteni di pedesaan
Jawa-Madura turun Rp 202, sebagaimana terungkap dalam hasil
Susenas IV, 1969/1970 dan hasil Susenas V Sakemas 1976. 106
Gambaran tersebut sekaligus mempertegas pernyataan
bahwa jurang perbedaan tingkat pendapatan antara si kaya dan
si miskin tidak semakin sempit tetapi justru semakin
melebar. Salah satu faktor yang menjadi awal timbulnya
kemiskinan adalah masalah pelepasan tanah. Hal ini
disebabkan oleh (1) sistem pewarisan tanah, yang semakin
lama semakin mengecil; (2) tuntutan kebutuhan hidup yang
semakin mendesak; dan (3) adanya keinginan dari sekelompok
masyarakat untuk meningkatkan pemilikan tanah yang
berlebihan.

Akibatnya, kesempatan bekerja dan tingkat penghasilan


dari buruh yang tidak memiliki tanah itu semakin menurun dan
sangat tergantung pada pihak-pihak lain. Mereka terus
dieksploitasi oleh pihak-pihak itu, sehingga Mmbullah
kemiskinan struktural. Itu arånya, kemiskinan yang diderita
oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial
masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumbersumber
pendapatan yang sebenamya tersedia bagi mereka.107 Bahkan,

105 Soedjatmoko, "Dimensi—dimensi Struktur Kemiskinan", dalam


Prisma, No. 2, FebruaH 1980, halaman 70.
106 Sunarto, op.cit, 1981 b, halaman 146.
107 Alfian, Mely G. Tao, Selo Soemardjan, "Kemiskinan
Struktural: Suatu Bunga Rampai Jakarta: Yayasan Ilmu-llmu
Sosial, 1980, halaman 5.
127
Esmi Warassih
kemiskinan struktural juga meliputi kekurangan fasilitas,
pemukiman yang sehat, dan kekurangan komunikasi dengan dunia
sekitar.

Hukum yang berlaku saat ini pun masih terbatas pada mereka
yang merniliki tanah, misalnya saja proyek Bimas, Inmas dan
sebagainya. Proyek-proyek pemerintah itu tidak memberikan
peluang kepada golongan petani tanpa tanah atau biasa
disebut buruh tani. Mereka dipandang sebagai varga
masyarakat yang fdak memenuhi syarat untuk ikut serta dalam
progam-program pemerintah tersebut.

Dalam rentang waktu Pelita I dan II (Jaman Orde


Baru), segi pemerataan di Indonesia kurang mendapat
perhatian yang serius. Walaupun pembangunan saat itu
berlandaskan pada Trilogi Pembangunan yang meletakkan
asas pemerataan pada deretan yang ketiga. Kekecewaan
terhadap strategi pembangunan yang menitikberatkan
pada meningkamya produk nasional bruto atau naikya
income perkapita menimbulkan berbagai reaksi. Mulai
saat itu, timbullah gagasan untuk menggalang
pembangunan dengan menekankan aspek pemerataan. Pada
tahun 1976 Organisasi Perburuhan Internasional
mencetuskan gagasan tersebut, dan pemerataan itu lebih
diarahkan kepada pera»tu.hart kebutuhan pokok (basic
need) bagi di bawah garis kemiskinan,
Pembangunan pada haldkamya adalah usaha untuk menciptakan
kemakmuran dan kesejahtraan rakyat. Oleh karena itu, hasil-hasil
pembangunan harus dapat dinikmaf oleh seluruh rakyat dengan jalan
meningkatkan kesejahteraan lahir-bafn secara adil dan merata.
Sebaliknya, berhasilnya pembangunan tergantung pula kepada
parfsipasi selurah rakyat, yang berar€ pembangunan harus
dilaksanakan secara merata oleh segenap lapisan masyarakat.

Strategi Pemerataan Pembangunan


Semula banyak ahli berpendapat bahwa proses pembangunan
akan mampu menyebarkan hasilnya secara otomatis kepada
penduduk dengan pendapatan yang berlainan fngkat. Mula-mula
kelompok penduduk perpendapatan ünggi akan memetik hasil
128
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
pembangunan lebih cepat dan lebih banyak dibandingkan dengan
kelompok penduduk dengan fngkat pendapatan lebih rendah.
Peningkatan pembangunan memungldnkan pemerataan hasil
pembangunan yang lebih luas, sehingga bisa menjangkau
kelompok penduduk berpendapatan rendah. Perkembangan dan
meluasnya pembagan pendapatan ini dikenal dengan trickle
dawn effect.

Teori trickle down effect dan spread efect dari pola


pembangunan yang ditetapkan di negara berkembang dirasa
fidak berhasil memecahkan masalah pengangguran, kemiskinan
dan pembagian pendapatan yang tidak merata, baik di dalam
negara berkembang masing-masing maupum antara negara maju
dengan negara berkembang. Akhirnya, timbul cara pendekatan
kebutuhan pokok (basic need approach) dalam menanggulangi
kemiskinan, melalui pemerataan sebagai ke#atan yang harus
mendahului pembangunan. Jika Bank Dunia melontarkan ungkapan
Redistribution with Growth, maka Irma Adelman memperkenalkan
Redistribution before Growth.108
Kalau kita kembali meninjau Pelita I dan Pelita II
Caman Orde Baru) maka tampaklah bahwa pembangunan saat itu
leblh menekankan pada kenaikan atau meningkatkan Produk
Nasional Bruto. Berdasarkan hasil olahan data Biro Pusat
Statistik oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat
Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia,109 terungkap bahwa laju pertumbuhan Produk Domestik
Bruto pertahun menurut harga konstan 1978 yaitu: (1) pada
masa 1960-1980 sebesar1,77% pertahun, dan (2) pada masa
1966-1980 sebesar 7,18% setahun.

Sesungguhnya Produk Nasional Bruto berguna bagi


pemahaman perkembangan ekonomi, namun ini tidak cukup untuk
mengukur perkembangan pemerataan Ditinjau dari
sudut pembagian pendapatan maka yang kaya semakin kaya yang
miskin semakin miskin. Kemiskinan lazimnya dilukiskan
sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup
yang pokok. Mereka dikatakan berada di bawah garis
kemiskinan apabila pendapatan tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan hidup yang paling pokok, seperfi pangan, pakaian,

108 Emil Salim, Perencanaan Pembangunan dan Pemerazaan


Pendapatan, Jakarta: Yayasan Idayu, 1980, halaman 49.
109 N.N., "Pembangunan dengan Keadilan Sosial", Harian
Kompas, 27 April 1981.
129
Esmi Warassih
tempat berteduh. Kebanyakan dari mereka tidak berpendidikan,
dan jika ada pun tingkat pendidikannya sangat rendah.
Sebagian terbesar dari kelompok yang miskin ini terdapat di
daerah pedesaan dan mereka ini pada umumnya bekerja sebagai
buruh tani yang tidak memiliki tanah sendiri. Kalaupun ada
yang memiliki tanah, maka Lluasnya tidak seberapa dan fdak
cukup untuk membiayai ongkos hidup layak

Ciri yang sangat menonjol dari kelompok penduduk miskin


ini rata-rata tidak mempunyai peralatan kerja atau modal
sendiri. Oleh karena golongan miskin terpusat di pedesaan,
maka titik berat pembangunan harus diletakkan pada
pembangunan pedesaan. Hal ini ditegaskan pula oleh Presiden
Soeharto dalam pidatonya pada Sidang Umum MPR tanggal 12
Maret 1973. Untuk itu, dalam usaha memajukan ekonomi telah
diambil langkah-langkah untuk meletakkan dasar bagi
keadilan, terutama adil dalam menikmati hasil pembangunan.
Usaha ini menonjolkan dua segi yakni pertama, pembangunan
harus berarti merüngkatkan taraf hidup rakyat banyak; dan
kedua, pembangunan harus merata keseluruhan pelosok tanah
air. Dalam arü ini telah terkandung keharusan pembangunan
daerah sampai ke desa-desa.110
Begitu pula deklarasi asas-asas yang dihasilkan oleh
Konferensi sedunia tentang "Pembaharuan Agraria dan Pembangunan
Pedesaan" di Roma pada 12-20 Juli 1979 antara lain menegaskan:
"tujuan dasar pembangunan adalah perbaikan individual dan sosial,
pembangunan kemampuan sendiri dan perbaikan taraf hidup seluruh
rakyat, khususnya golongan miskin pedesaan" .111

Untuk bisa memahami secara lebih baik keadaan


kemiskinan penduduk adalah dengan cara mencermati €ngkat
pendapatannya. Sebab, pendapatan inilah yang dipergunakan
untuk membiayai kebutuhan hidupnya. Di samping merencanakan
pemerataan pendapatan maka perencanaan fasilitas-fasilitas
umum yang dibutuhkan oleh penduduk juga menjadi relevan.112
Oleh karena, sebagian dari pendapatan biasanya dipergunakan
juga untuk fasflitas-fasilitas umum yang tersedia, seperti
fasilitas kesehatan, pendidikan, pengangkutan dan
sebagainya.

110 H. Caroko, op.cit., halaman 178.


111 N.N., Konferensi Sedunia Pembangunan Agraria dan Pembangunan
Pedesaan, di Roma 12-2- Juli 1979, dalam Analisa, op.cit.
112 Peter D. Weldon, "Pemerataan Fasilitas Lebih
Relevan", dalam Prisma No. 1, Februari, 1976.
130
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
Dalam suasana membangun seperü sekarang ini penyebaran
Sekolah Dasar hpres, Puskesmas dan fasilitas-fasilitas lain
bagi rakyat kecil akan terbukti sangat menolong. Jika Idta
coba merunut ke belakang maka dapat diketahui bahwa
perencanaan pembangunan ekonomi di Indonesia semenjak 1967
memang dilakukan secara rapi.

Bahkan, GBHN dan Repelita jelas sekali menetapkan pemerataan


pendapatan sebagai salah satu sasaran pokoknya. Repelita Ill
misalnya, telah menetapkan aspek pemerataan pembangunan dan
pembagian hasilnya sebagai unsur pertama dari Trilogi Pembangunan
menuju terciptanya keadilan sosial. Namun, harus disadari bahwa
kemakmuran yang adil dan merata tidak dapat terwujud hanya dengan
menetapkan kebijaksanaan publik secara rinci. Kebijaksanaan yang
disusun secara rapi itu haruslah ditunjang pula sebuah pemerintahan
dengan tekad politik yang kuat untuk mempertahankan pola-pola dasar
tersebut dari tekanan kelompok-kelompok kuat dalam masyarakat.
Dalam rangka meratakan hasil pembangunan, maka
daerah dan masyarakat pedesaan merupakan sasaran dan
modal pembangunan nasional. Telah disinggung di muka
bahwa sebagian besar penduduk Indonesia bermukim di
pedesaan. Suatu hal yang harus diingat bahwa
pembangunan pedesaan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari pembangunan nasionaL
Masalah pemerataan pendapatan memang menjadi perhatian
yang utama khususnya dalam masa pembangunan sekarang ini.
Agar pelaksanaan pembangunan nasional dapat berjalan lancar,
maka bersamaan dengan itu harus pula diwujudkan stabilitas
nasional yang sehat dan dinamis baik di bidang politik
maupun di bidang ekonomi. Kegoncangan-kegoncangan ekonomi
jelas akan menghambat pembangunan dan secara politis
menganggu integrasi nasional. Kondisi yang demikian itu
sangat bertentangan dengan cita-cita untuk mewujudkan
masyarakat adil dan makmur.

Masalah kemiskinan di masyarakat memang sudah


menjadi keprihatinan Karl Marx113 sejak lama. Dari hasil
pengkajiannya itu, Karl Marx lalu merumuskan beberapa
proposisi yang masih relevan hingga kini. Proposisi
pertama, bila kelompok berpendapatan rendah semakin
sadar akan kepenmgan-kepenångan mereka, maka mereka

113 Yonathan H, Turner, The Structure of Sociological


Theory, The Dersuy Press, 1974, halaman 82.
131
Esmi Warassih
akan menanyakan legitimasi dari pola-pola disfribusi
pendapatan yang tidak merata itu (The more subordinate
segments become aware of their true collective
interest, the more likely they are to question the
legitimacy of the existing pattern of distribution of
scarce resources).

Proposisi kedua, bila kelompok berpendapatan


rendah semaldn sadar akan kepenångan-kepentingan atau
hak-hak kolektif mereka dan semakin besar pula mereka
mempersoalkan legitimasi, maka kemungkinan terjadinya
konflik semakin terbuka (The more subordinate segments
of a system are more oft}æir collective interest and
the greater their questioning of legitimacy of the
distribution off scarce resources, the more likely
they are join overt conflict against dominant segment
ofa system).
Proposisi ketiga, dalam kaitannya dengan
pemerataan pendapatan menunjukkan penångvyra tekad
politik pemerintah melalui kebijaksanaan-kebijaksanaan
nasionalnya untuk memperhatikan masalah pemerataan
demi kelancaran pembangunan itu sendiri. Tanpa
memperhaåkan hal yang demikian itu dapat menimbu]kan
suatu keadaan yang rawan dan timbulnya
keresahankeresahan dalam masyarakat ådak dapat
dihindari lagi (The more unequal the distribution of
scarce resources in a system, the more conflict of
interest between dominant and subordinate segment in
system).
Dalam hubungan inilah menjadi penerapan kebijaksanaan
pemerataan yang tertuju untuk mendobrak kelemahan dan
kekufangan kelompok penduduk miskin ini. Misalnya saja,
pembangunan Sekolah Dasar Inpres, bantuan jamban keluarga,
perbaikan kampung dan sebagainya, merupakan usaha
pembangunan sosial si miskin dalam mewujudkan kebijaksanaan
jalur kedua. Begitu pula program padat karya, transmigrasi,
program kerja antar daerah merupakan pelaksanaan
kebijaksanaan publik jalur keempat. Ciri pokok berbagai
kebijaksanaan itu ialah memberikan fasilitas dan ransangan
material bagi perbaikan hidup kelompok penduduk miskin.

132
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!

Peran Pemerintah
Oleh karena perikehidupan kemiskinan sudah berlangsung
sangat dalam dan lama, sehingga jalan keluar untuk mendobrak
lingkaran setan kerniskinan itu sulit bisa diharapkan dari
kelompok penduduk yang miskin ini. Dalam keadaan fingkat
kemiskinan seperti ini campur tangan luar diperlukan untuk
mengubah keadaan, dan Pemerintahlah yang mempunyai posisi
yang paling mampu dalam mengusahakan perubahan ini.

Tekad pemerintah tersebut dirancangkan untuk


memberantas kemiskinan struktural secara sfruktural pula
khususnya di pedesaan. Arah pembangunan Oleh pemerintah
ditempuh dengan kebijaksanaan pemerataan pembangunan untuk
dapat merombak struktur-struktur kemiskinan itu. Melalui
campur tangan pemerintah dalam ekonomi ini terwujudlah
pelbagai rencana dan kebijaksanaan pembangunan. Menjelang
pelaksanaan Repelita III pada waktu itu, Presiden Soeharto
telah memberikan dua pokok kebijaksanaan yang memberi Ciri
tersendiri kepada pembangunan sekarang. Kedua kebijaksanaan
itu, yakni: pertama, mengusahakan berkurangtya jumlah
penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, dan kedua
melaksanakan delapan jalur pemerataan.114

Pemerataan pada jntinya adalah langkah yang harus


diambil untuk mengangkat pendapatan rendah dari jurang
kemiskinan dan memutuskannya dari lingkaran setan
kemiskinan. Pengertian lingkaran setan ini digambarkan
Oleh Ragnar Nurske sebagai berikut A poor man may not
have enough to eat; being under nourished, is health
may be weak; being physically weak, his working
capacity may be loco, which mems that the is poor,
which in turn that he will not have enough to eat; and
so on.115

Dalam keadaan yang demikian itu, sungguh pun sama


diberikan kepada yang miskin, ini belum menjamin bahwa yang
miskin mampu dan bisa menggunakan kesempatan ini. Di sinilah
peranan pemerintah sangat diperlukan untuk mendorong mereka
yang tertinggal di belakang dan yang miskin untuk lebih
maju. Tanpa bantuan pemerintah mereka akan semakin tidak

114 Emil Salim, op.cit. halaman 71


115 Mubyarto, Ilmu Ekonomi, Ilmu Sosial dan Keadilan, Agra
Ekonomika, 1980, halaman 49.
133
Esmi Warassih
mampu mendapatkan bagian yang lebih layak dari pendapatan
nasional. Campur tangan dan peran aktif pemerintah membantu
mereka keluar dari lingkaran kemiskinan ini menjadi penång.
Harus disadari pula bahwa campur tangan tersebut akan
mencapai hasil yarrg maksimal apabila terdapat koordinasi
yang efektif dari berbagai usaha itu, dan untuk itu
perencanaan pembangunan perlu dilakukan.
Masalah campur tangan dari bantuan pemerintah untuk
membangun daerah yang terbelakang telah mqndapat beberapa
kritik.

Kritik tersebut terutama datang dari ahli ekonomi yang masih


percaya akan kemampuan mekanisme pasar untuk menciptakan
perkembangan di berbagai daerah secara harmonis. Masalah
tersebut üdak dibahas secara lebih mendalam dalam tulisan
ini. Hanya saja berbagai kalangan yang menyokong campur
tangan pemerintah yang luas untuk membangun daerahnya
sebenamya menyokong pendapat Myrdal dan Hirschman yang
mayatakan bahwa apabila perekonomian dikendalikan oleh
mekanisme pasar, dalam perekonomian akan timbul keadaan-
keadaan yang akan menghambat perkembangan ekonomi di daerah
yang lebih terbelakang. Dengan demikian, jika difinjau dari
sudut wilayah perkembangan ekonomi tidak akan berjalan
secara harmonis. Akibamya, lebih banyak Iagi sumber-sumber
daya dari daerah-daerah yang lebih miskin tidak berkembang
dan hal ini mempercepat proses pelebaran jurang
kesejahteraan antara daerah yang kaya dan daerah yang
terbelakang.215

Perombakan Tata Ekonomi


Pembangunan untuk banyak negara berkembang diarahkan
untuk mencapai laju pertumbuhan pendapatan perjiwa yang
optimal. Hal ini diperkirakan dapat dicapai apabila jumlah
Produk Nasional Bruto meningkat lebih cepat dari pertambahan
penduduk. Sejalan dengan meningkamya Produk Nasional Bruto
perjiwa di banyak negara berkembang, tampaklah bahwa bagian
dari pendapatan nasional yang diterima oleh 40% dari jumlah
penduduk üdak bertambah naik dalam masa pembangunan itu.
Bahkan, sebalila-ya akan mengalami kemunduran. Sedangkan
bagian dari produk nasional yang diterima oleh 20% dari
jumlah penduduk justru meningkat besar melebihi tingkat
kenaikan rata-rata nasonal.216

134
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
Ditinjau dan sudut Produk Nasional Bruto maka negara
berkembang menunjukkan kemajuan yang besar. Tetapi ditinjau
dari sudut pembagian pendapatan maka dalam masa pembangunan
ini yang kaya semakin kaya dan miskin semaldn miskin.
Sehingga kepincangan yang tadinya terdapat antara negara
maju dengan negara

215
Sadono Sukimo, Beberapa Aspek dalam Persoalan Pembangunan,
Jakarta:
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 1
976, halaman 21. 216 Emil Salim, op.cit,
halaman 16.

berkembang di fingkat intemasional, sekarang juga menjalar antara


kelompok masyarakat di dalam ångkat Nasional.

Namun, jurang pendapatan intemasional yang tetap lebar,


tampaknya lebih mudah diterima oleh para elite penguasa di
Dunia Ketiga, daripada jurang pendapatan di dalam negerinya
masingmasing yang justru sering lebih buruk daripada jurang
intemasional.217 Negara-negara maju memang memiliki kemampuan
yang lebih besar untuk merebut bagian dari pendapatan dunia
ke tangan mereka, berkat adanya sektor modern yang sangat
maju dan kemampuan-kemampuan Iain yang mereka miliki.
Sebaliknya, negara berkembang yang masih lemah sektor
modernnya dan belum maju industrinya, masih menitikberatkan
pembangunannya pada sektor pertanian, kemampuan
masyarakatnya untuk menabung masih sangat kecil. Akibatnya,
proses pembagian pendapatan dunia semakin pincang dan sangat
menguntungkan negara-negara maju.
Dalam keadaan serupa itu tidaklah mengherankan apabila
di forum internasional tumbuh keinginan untuk merombak tata
ekonomi yang berlaku dewasa ini di samping adanya kelompok
negara berkembang melakukm perjuangan menegakkan tata
ekonomi internasional baru. Perjuangan ini pada hakikatnya
adalah untuk mengusahakan proses pembangunan dalam dunia
intemasional yang memungkinkan pembagian pendapatan dunia
secara lebih merata. Pada saat ini, makin jelas tindakan
lembaga-lembaga intemasional dan beberapa negara industri
untuk mengutamakan perbaikan nasib rakyat yang hidup pada
kondisi misk_n absolut. Berseiring dengan itu, muncullah di
banyak dunia ketiga pembicaraan soal pemerataan pendapatan.
Kredit internasional pun semakin dituntut untuk mengarahkan
programnya kepada si miskin secara langsung.218

135
Esmi Warassih

Kunci Keberhasilan Pemerintah


Usaha-usaha pemerataan fasilitas dan sumber daya di
dalam masyarakat yang tertgah berkembang itu hampir dapat
dipastikan selalu bermula dari prakarsa pemerintah, dan itu
berarå petugaspetugas dalam aparatur pemerintahan harus
mengmplemen-

217
Dorodjatun Kuntjoro Yakti. "Mau ke Mana Kita dengan
Pembangunan Ekonomi
Ini", dalamPrisma, No. 10, 1978,
halaman 14. 218 Ibid.

tasikannya. Siapa yang umumnya duduk di dalam aparatur


pemerintahan, khususnya yang berwenang membuat keputusan
adalah mereka yang kebanyakan berasal dari kelas atau
lapisan sosial yang berbeda dari kelas atau lapisan sosial
dari mereka yang akan dijadikan sasaran kebijaksanaan
redistribusi. Oleh sebab itu, public policy bukan
merefleksikan permintaan massa tetapi condong pada nilai-
nilai dari kelas mereka. Hal ini diakui pula oleh Presiden
Tansania yang mengatakan bahwa:116
”Kamu yang ada dalam pemerintahan tampaknya lebih dekat
pada orang yang membutuhkan mobil kedua atau pendidikan
universitas daripada orang-orang yang ”kebutuhannya”
adalah sepatu sebagai pelindung kak telanjangnya atau
kebutuhan berupa kemampuan membaca dan menulis”.
Dengan demikian, yang paling menentukan terealisasi
atau tidaknya kebijaksanaan itu bukanlah semata-mata
terletak pada segala ide dan in abstracto
yang diucapkan para pejabat teras dan para politisi di
lembaga-lembaga kenegaraan di pusat. Rupanya yang lebih
adalah segala tindakan in concreto yang dilakukan
oleh pelaksana-pelaksana di daerah dan adanya kesediaan
serta kemampuan golongan lemah yang akan dibantu. Dalam arti
bahwa golongan lemah itu mampu memanfaatkan serta
mendayagunakan kesempatan yang telah dibukakan untuknya.
117
Perombakan struktur sosial yang tentu saja akan mengena
pada struktur kelas dan sfruktur stratifikasi harus
dikerjakan agar hasilhasil pembangunan dapat mencapai

116 Mubyarto, op.cit, halaman I l.


117 Soetandyo, loc.cit.
136
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
sasarannya. Ada KIK, KCK maupun TRI beasiswa dan sebagainya
merupakan bagian dari usaha untuk merealisasikan
kebijaksanaan redistribusi bagi golongan rakyat yang
berpendapataą rendah.
Berbagai kegiatan yang telah dilakukan oleh pemerintah
dalam rangka mewujudkan tujuan dari kebijaksanaan pemerataan
sebenamya belum dapat dipakai untuk mengetahui bagaimana
pengaruhnya terhadap kondisi target group. Thomas R.
Dye118menekankan adanya perbedaan antara policy output dan
policy impact. Selanjufrya, untuk dapat mengetahui apakah
ada perubahan-

perubahan pada target group, maka perlu diadakan penelitian dalam


rangka mengevaluasi program.
Untuk it-u harus memperhatikan adanya 2 (dua) masa, yaitu masa sebelum
program itu diimplementasikan dan masa sesudah kebijaksanaan pemerataan
dilaksanakan. Hasil dari dua masa tersebut diperbandingkan untuk mengetahui perubahan
atau pengaruh apakah yang telah terjadi akibat kebijaksanaan pemerataan itu
diimplementasikan. Namun demikian, Embul kesulitan-kesulitan, terutama mengenai
apakah perubahan yang terjadi itu hanya disebabkan oleh kebijaksanaan itu atau ada faktor
lain yang turut mempengaruhi masyarakat pada waktu yang bersamaan. Untuk menjawab
pertanyaan di atas, maka pertama-tama yang harus diketahui adalah, aspek pemerataan
mana yang mendapat prioritas utama. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan pemerintah dapat
dipakai sebagai indikator.
Dalam hal ini kita dapat melihat tindakan pemerintah yang dilakukan dalam rangka
mewujudkan tujuan pemerataan, yaitu dengan mendirikan SD Inpres, Puskesmas, BUUD,
KUD, rumahrumah murah, transmigrasi dan sebagainya. Semua hal yang dilakukan ini
belum cukup untuk mengetahui pengaruh dari kebijaksanaan. Untuk itu haruslah
diidQtifikasi perubahanperubahan lingkungan yang berkaitan dengan keøatan pemerintah
tersebut. Identifikasi yang demikian itu tampalqya masih sulit dilakukan, realisasi dari
kebijaksanaan itu sendiri masih dalam proses. Namun demikian, yang penting menurut
pendapat saya, bahwa bila kita menghendaki suatu perubahan melalui kebijaksanaan itu,
maka perlu diketahui persepsi dari target group mengenai kegiatan yang dilakukan dalam
mengimplementasi kebijaksanaan tersebut.
Misalnya, selama penduduk mempunyai persepsi bahwa sakit harus ke dukun
bukan ke doktert maka pendirian Puskesmas tidak mempunyai pengaruh. Demikian pula,
jika anak dipersepsi sebagai sumber tambahan pendapatan, maka mereka tidak akan dapat
mengerti maksud dan manfaat menyekolahkan anak. Akibatnya, anak justru tidak dapat
membantu mencarikan nafkah yang layak. Itu berarti, kesempatan-kesempatan berusaha

118 Thomas R. Dye, Understanding Public Policy, Eglewood


Cliffs: Premice Hall Inc.
137
Esmi Warassih
yang telah dibuka oleh pemerintah tidak dapat diharapkan mempunyai pengaruh selama
masyarakat masih mempunyai semboyan bahwa rezeki semata-mata di tangan Tuhan.

Pembangunan pada dasarnya merupakan proses


berlangsungnya perubahan-perubahan itu, dan untuk itu
masyarakat dituntut agar dapat beråndak menurut cara-cara
yang baru yang telah ditetapkan. Untuk diperlukan perubahan
sikap agar dapat beradaptasi dengan realitas baru tersebut.
Itu berarti, untuk mendukung program pembangunan, perlu
diusahakan pelbagai sikap baru berdasarkan konsep-konsep dan
persepsi-persepsi baru. Uraian di atas lebih menjelaskan
pada kita bahwa hukum di sini bukan semata dipakai sebagai
dasar saja melainkan lebih daripada itu. Hukum diusahakan
untuk menjadi sarana menyalurkan kebijaksanaan-kebijaksanaan
yang demikian, dan itu berarti hukum bisa menciptakan
keadaan-keadaan yang baru atau mengubah sesuatu yang sudah
ada.222 Dror223 menyatakan bahwa dalam suatu sistem hukum
terdapat komponenkomponen pokok yang harus diperhatikan
dalam rangka mengefekåfkan hukum yang berfungsi demikian it-
u. Beberapa komponen sistem hukum yang berkaitan dengan
kebijaksanaan pemerataan antara lain: (1) Substantive 1m;
(2) personal: other lawenforcing; (3) orgmization:
administration and physical; (4) resouræs: budgets
information and physical facility, dan (5) decision rules
and decision habits:formal, informal, implicit.
Hukum sebagai sarana untuk menyalurkan
kebijaksanaankebijaksanaan sangat ditentukan oleh hubungan antara
komponenkomponen itu satu sama lain serta bagaimana hubungan antara
komponen itu dengan tujuan yang hendak dicapai oleh kebijaksanaan.
Berhasil €dalqya seluruh rencana tersebut di atas tentu saja ådak
hanya tergantung dari kebijaksanaan-kebijaksanaan resmi yang
diumumkan pemerintah, melainkan ditentukan oleh segala tindakan para
pelaksananya. pula tersedianya fasilitas fisik, pembinaan lembaga-
lembaga sosial yang baru sangat mempengaruhi pelaksanaan program
pembangunan yang menyeluruh. Keputusan dan langkah petugas
pengimplema•ttasi dalam pelaksanaan kebijaksanaan pemerataan ini
sesungguhnya penting untuk dikaji, demi terwujudnya tujuan
Pembangunan Nasional.

Satjipto Rahardjo, I-Iuhun dan Perubahan Sosial, Bandung:


Almuni, .1979, halaman 144.
Yehezkel Dior "Policy Sciences View of Law", dalam
Yehezkel Dror, Ventures in Policy Sciences, Elsevier, North-
Holland, Inc. Second Prinång, 1977, halaman 170.
138
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!

Simpulan
Pembangunan adalah usaha pemerintah menaikkan
kesejahteraan rakyat. Untuk mewujudkan cita-citanya itu,
maka pemerintah melalui kebijaksanaan melakukan
tindakantindakan yang konkrit dan positif sebagai
implementasinya. Oleh karena rakyat yang menjadi target
group kebanyakan hidup di pedesaan, maka sasaran atau fokus
perhatian pemerintah perlu diarahkan pada rakyat miskin yang
hidup di desa. Walaupun desa merupakan satu kesatuan yang
utuh dalam rangka pembangunan secara menyeluruh.

Setiap program pembangunan harus meljhat manusia secara


utuh, sehingga bukan kepuasan lahiriah atau kepuasan
batiniah saja yang dikejar melainkan keserasian, keselarasan
dan keseimbangan antara keduanya. Sebagai konsekuensi logis
dari itu semua, maka kegiatan pembangunan yang dilakukan itu
bukan hanya kegiatan fisik tetapi juga perubahan sikap
mental yang men#lambat pembangunan.
Dengan menuangkan kebijaksanaan pemerataan pembangunan
dalam Ketetapan No. IV/MPR/1978 tentang Garis_Garis Besar
Haluan Negara, maka peranan hukum tidak hanya sebagai dasar
saja dari pelaksanaan kebijaksanaan. Melainkan, juga sebagai
sarana yang menyalurkan pemerataan untuk menciptakan
keadaan-keadaan baru atau mengubah sesuatu yang ada ke arah
yang dicita-citakan. Dengan dirumuskannya kebijaksanaan
pemerataan pembangunan itu ke dalam perundang-undangan
tersebut maka keputusan-keputusan itu dapat dikomunikasi_kan
kepada masyarakat luas dan menjadi landasan dari kegiatan-
kegiatan yang akan dilakukan oleh semua pihak yang terlibat
dalam proses pembangunan.

139
Esmi Warassih

Hükum dan
Pembangunan

ungguh menantang judul yang ditawarkan untuk


disampaikan dalam Stadium General yang dişelenggarakan
oleh Fakültas Hükum Universitas İslam Bandung (UNISBA)
pada tanggal 2 April 1998. Dua rangkaian kata yaitu
"hukum” dan ''pembangunan” merupakan pertaruhan
kualitas pertemuan ini. Sudah barang tentü paparan ini
belum memberikan gambaran yang lengkap dan utuh,
mengingat kedua hal tersebut memerlukan
pemikiran yang mendalam dan hendaknya secara terus
menerus dilakukan.
Mengaitkan "hukum” disatu sisi dan "Pembangunan”
menimbulkan beberapa peranyaan mendasar, yakrü ''dapatkah
hükum berperan dalam suatu pembangunan?”, "apakah hükum
merupakan sarana pengaturan masyarakat yang dapat bekerja
dengan baik?” , ''apakah hükum mempengaruhi masyarakat
ataukah sebaliknya ditentukan oleh kekuasaan atau proses-
proses sosial yang terdapat di luar hükum .
Mengkaji hubungan antara hükum dengan pembangunan
berarti arah kajian ini bersifat kontekstual. İtü berarti
hükum hendalmya memilih hakikatnya sebuah proyek studi yang
interdisipliner. Hakikat hükum yang demikian itü
mengharuskan keterlibatan berbagai disiplin ilmu pengetahuan
untuk membantu menjelaskan berbagai aspek yang berhubungan
dengan kehadiran hükum di masyarakat. Keragaman aspek dari
hükum itü tidak dapat dijelaskan tanpa memanfaatkan disiplin
ilmu pengetahuan lain seperti politik, antropolog,
sosiologi, dan sebagainya. Kajian semacam itü

140
Pranatn Sebuah Telaah Sosial
Hukutfi,

oleh Trubek disebut sebagai "teori sosial tentang hukum" atau "studi
hukum yang bersifat sosial" ,119
Studi sosial terhadap hukum menjadi suatu kebutuhan yang cukup mendesak,
mengingat pada abad ini kita melihat peranan negara semakin besar
dalam mencampuri kepenüngan dan kebutuhan masyarakat sebagaimana terwujud dalam
konsep tentang "Negara Kesejahteraan". Hukum dipergunakan untuk mewujudkan
tujuantujuan sosial tertentu melalui kebijaksanaan-kebijaksanaannya atau melalui
pembentukan peraturan-peraturan Campur tangan hukum yang semakin meluas ke dalam
bidang-bidang kehidupan masyarakat menyebabkan perhatian terhadap masalah-masalah
sosial menjadi semakin inta•tsif. Penetrasi yang semakin luas menimbulkan masalah-
masalah baru seperü hubungan antara perkembangan masyarakat dengan perkembangan
hukumnya, bagaimanakah peran dan fungsi hukum yang dapat dijalankannya dan
sebagainya. Berbagai permasalahan yang timbul dan disebabkan oleh adanya
pembangunan, memerlukan suatu pendekatan yang baru dan relevan.

Mahasiswa dan Pendidikan Hukum


Studi tentang hukum di Indonesia dewasa ini sebagian besar masih berkisar pada pemahaman
dan analisis hukum secara dognatis yang melihat hukum sebagai lembaga yang benar-benar otonom
terlepas dengan hal-hal di luar peraturan. Hukum dilihat sebagai suatu sistem yang logis - konsisten.
Ada kecenderungan untuk mengarahkan pendidikan hukum pada apa yang disebut vocational training.
Arah studi yang demikian itu memang dapat menghasilkan tenaga-tenaga profesional hukum yang
baik, tetapi bukan ilmuwan hukum dalam arti sebenamya. Tentunya kita keduanya.
Mengapa demikian ?

Pendekatan hukum sebagaimana disebutkan di atas bermuara pada pemahaman terhadap


sistem hukum yang berlaku pada suatu saat tertentu dan diorientasikan untuk memecahkan
persoalanpersoalan praktis dalam masyarakat melalui hukum. Itu berarti, ruang lingkupnya berkutat
pada peraturan-peraturan hukum, segala macam

keputusan dan dokumen hukum yang sah diterima oleh


masyarakat. Selain itu, memberikan perhatian terhadap teknik-
telanik untuk menerapkan hukum bagi penyelesaian persoalan-
persoalan hukum. Hal-hal demikian tentunya bernilai praktis
yang sangat tinggi dan menjadikan ilmu hukum sebagai ilmu
terapan. Walaupun demikian, pendekatan tersebut tentunya
memberikan ciri khusus, yakni memberikan kontribusinya
terhadap pembangunan.

'
119 David M. Trubek, 'Toward a Social Theory of Law: an Essay on the Study of Law
and Development", dalam Yale Law Journal, Vol. 82, l, 1972, halaman 1-50.
141
Esmi Warassih
Agar hukum lebih berperan dalam pembangunan, tentunya
diperlukan pendekatan lain yang interdisipliner agar hukum
dapat pula beründak sebagai motor penggerak pembangunan dan
membentuk masyarakat ke arah perwujudan nilai-nilai
pembangunan. Apabila pertalian antara hukum dan pembangunan
dilihat sebagai suatu proses tmtuk mengubah masyarakat, maka
hukum dapat berperan dalam bermacam-macam fungsi. Hukum dapat
dipakai sebagai alat yang digunakan secara sadar oleh manusia
di dalam masyarakat untuk mengubah lingkungan hidupnya. Di
lain pihak, hukum juga merupakan suatu nilai atau suatu
proses tmtuk mewujudkan nilai-nilai tertentu. Dengan
demikian, hukum sangat diharapkan peranannya secara efeküf
dalam pembangunan.

Pembangunan dapat berarti perubahan terus-menerus


dan mencakup bidang-bidang perilaku, ekonomi dan
kelembagaan.120Dikatakan demikian karena pada dasamya
pembangunan merupakan proses politik yang ditopang oleh
hukum. Hukum lebih menampakkan peranannya dalam proses
penyelenggaraan pembangunan, dan itu berarti hukum
dipandang sebagai proses, bukan sebagai sistem yang
statis.121 Pembangunan merupakan mekanisme perancangan
dan perencanaan masa depan, dan apabila hukum dapat
berperan secara nyata maka masa depan bangsa Indonesia
akan lebih manusiawi. Bukankah pembangunan di Indonesia
sudah berlandaskan hukum dan salah satu tujuan
pembangunan nasionalnya adalah memanusiakan manusia
Indonesia dengan jalan membangun manusia seutuhnya ?
Apabila hukum berperan dalam pembangunan, baik sebagai
alas dasar maupun sarana pengaturan dalam arti sebagai sarana
bagi

proses pembaharuan masyarakat, maka upaya-upaya pengangkatan


harkat dan martabat manusia dapat terwujud dan dengan
demikian pembangunan akan lebih bermakna.

120 Robert B. Seidman, The State, Law and Development, New York: St. Martin's
Press, 1978.
121 Stuart S Nagel (Ed), Law and Social Change, London: Sage Publication, 1970.
142
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!

Hokum dan Social Engineering


Era hukum dalam era pembangunan seperti sekarang ini
telah mendorong agar hukum mampu menampakkan sosoknya
sebagai sarana pembaharuan masyarakat, dan juga sebagai
proses perubahan dan pengembangan masyarakat. Untuk itu,
hukum hendaknya pola dan arah pembaharuan masyarakat
dan mampu menuntun kegiatan dan penyelenggaraan pembangunan
agar tujuan pembangunan yaitu mensejahterakan umat manusia
segera dapat terwujud.

Perkembangan baru tersebut ma-tghendaki agar sarjana


hukum yang dihasilkan tidak hanya menampilkan sosolmya
sebagai seorang yang memiliki "kebampilan sebagai tukang".
Melainkan, suatu keahlian yang mampu menggunakan sarana-
sarana hukum untuk menciptakan masyarakat sesuai dengan yang
dicita-citakan. Keadaan dan kebutuhan masyarakat dewasa ini
telah menuntut kita untuk meninjau kembali konsep-konsep lama
mengenai tempat dan peranan sarjana hukum dalam masyarakat.
Para sarjana hukum dituntut untuk Mdak hanya mempertahankan
status quo atau hanya menjadi legal craftsmanship dan legal
mechanic mengingat perundang-undangan dewasa ini banyak
dipakai untuk mewujudkan keputusan-keputusan politik yang
mendatangkan perubahan-perubahan. Suatu karakteristik dalam
perundang-undangan yang bisa disebut sebagai legalistic
fortvard planning atau developmental legislation.m
Di sini dibutuhkan ahli hukum yang mampu menjalankan
ketrampilan sebagai social engineer, sebuah kualitas sarjana
hukum yang mampu berperan sebagai pembaharu sosial, perencana
sosial atau arsitek sosial. Peranan tersebut diutamakan
dengan senantiasa mendorong peran mahasiswa untuk melihat
peranan hukum sebagai fungsi masyarakat. Mereka tidak hanya
menerima hukum begitu saja, melainkan berusaha untuk dapat
memberikan penjelasan mengenai kehadiran hukum dalam
masyarakat dengan segala seluk-beluknya.

227
Khirshna V.R. lyer, Social Mission ofLaw. Bombay: Orient
Longrnan, 1976.

Laporan hasil studi dari panitia a-hli yang dibentuk oleh International Legal
Center (ILC) menyatakan bahwa pengajaran hukum hendaknya diarahkan kepada

143
Esmi Warassih

pemahaman sebagai berikut:122 emphasizes not only knowledge of the law as a


set of normative rules and the capacity to interpret it, but the acquisition of other
skills and insights, e.g., ability to analyze and evaluate the policy assumptions
behind the law; awareness that there are problems of social development which
may be affected by the law; appreciation of relationships between the legal system
and political and economic system and of the social sciences as tools to enable
informed development oflaw as an instrument ofsocial change .

Sariana Hukum yang Handal


Usaha-usaha untuk mengatasi kekurangan yang dirasakan oleh para sarjana hukum
di Indonesia, pada dasarnya dapat digolongkan ke dalam dua pandangan. Pertama,
pandangan yang melihat bahwa perbaikan akan diperoleh mengusahakan agar para
mahasiswa hukum lebih banyak diperkenalkan dengan tuntutan dunia praktek agar mereka
menjadi lebih trampil. Usaha-usaha yang dilakukan di sini lazimnya sekarang disebut
dengan "pendidikan klinis". Sedangkan pandangan kedua berpendapat bahwa untuk dapat
melibatkan para sarjana hukum lebih aktif ke dalam masalah-masalah perubahan sosial,
terutama dalam pembangunan dewasa ini, maka diusahakan agar para sarjana hukum
sedikit banyak dipersiapkan untuk menjadi seorang perencana sosial. Peranan sebagai
social engineer di sini perlu diutamakan dengan senanüasa mendorong mahasiswa untuk
melihat fenomen hukum sebagai fungsi masyarakat.29

Dalam suasana seperti sekarang ini, tampaknya memang tidak dapat diharapkan,
bila hanya mempersiapkan tenaga-tenaga yang terampil secara teknis saja. Perkembangan
baru yang demikian itu menghendaki suatu ketrampilan baru antara lain:

Untuk memasåkan, bahwa para mahasiswa turut serta secara maksimal dalam
proses belajar dan mendorong terciptanya suatu

kemampuan berbuat secara kreatif daripada


hanya mengembangkan ket-rampilan yang
reproduktif.
Menghasilkan sarjana-sarjana hukum yang mampu menciptakan
masyarakat sebagaimana dikehendaki melalui sarana-sarana
hukum, dan mampu menyelesaikan masalah-masalah hukum di
dalam konteks sosialnya.
Suatu perubahan radikal dalam pendidikan hukum merupakan hal
yang esensial untuk mengubah pola berpikir para sarjana
hukum di negara-negara sedang berkembang. Mereka ini tidak

122 International Legal Center (ILC), Legal Education in a Changing World. New
York: International Legal Center, 1975.
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Bandung: Penerbit Angkasa, 1980.
144
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
dididik ke arah pemahaman terhadap suatu ilmu hukum yang
policy oriented. Pandangan kritis terhadap peraturan dan
asas-asas hukum di dalam konteks sosialnya adalah suatu
sikap yang berada di luar ruang lingkup pendidikan hukum di
negara-negara tersebut.
Dibutuhkan suatu jenis hukum, sarjana hukum dan lembagalembaga
hukum yang baru, yang mampu untuk meningkatkan parfisipasi
masyarakat yang sasaran pengaturan hukum itu secara maksimal
dalam pembuatan maupun pelaksanaan keputusan-keputusan
pembangunan. Dalam hubungan ini kita akan dihadapkan pada
kata-kata yang sudah menjadi asing bagi telinga hukum, seperå
trade-offs dan inæntives. Kata-kata seperå itu hanya akan
mempunyai arå sarjana hukum yang tidak lagi menerima
peranannya sebagai seorang pemerkara atau yang menerapkan
hukum, melainkan seorang perencana sosial dan seorang
perunding sosial.
Hukum itu bertujuan untuk menciptakan suatu masyarakat yang
lebih maju dan adil. Konsep hukum seperti ini menekankan
tidak hanya pada penångnya pengetahuan hukum sebagai
seperangkat peraturan-peraturan dan keahlian untuk
menafsirkannya, tetapi juga untuk mendapatkan atau menemukan
hukum.

4
Paradigma Reversal:
Pemberdayaan Hukum
Melalui Pembangunan
Alternatif

ada bulan Mei 1998 terjadi perubahan mendasar


seiring runtuhnya rejim Orde Baru yang dimotori oleh Soeharto

145
Esmi Warassih
selama 30-an tahun. Namun, tampaknya perubahanperubahan besar
belum terasa mengingat masa sesudah Soeharto ke tangan
Habibie dianggap dianggap sebagai masa fransisi. Kehidupan
hukum terasa tanpa perubahan, penegakan hukum dianggap masih
lemah, keka•łdoran dalam kesadaran hukum di mana-mana, mulai
dari lapisan masyarakat atas sampai lapisan masyarakat yang
paLing bawah.
Di sini penulis mencoba untuk mengajak pembaca untuk
melakukan perenungan atau kontemplasi mengapa hal tersebut
terjadi dalam kurun waktu lebih dari 50-an tahun merdeka,
tanpa untuk mencari siapa yang bersalah. Tampaknya telah
terjadi hubungan tarikmenarik antara hukum dan politik,
mengingat konfigurasi politik yang tampil sangat mewarnai
karakter dan kehidupan suatu produk hukumnya pula. Bila
terjadi pergeseran bidang politik maka hukum pun ikut
bergeser.
Selama ini hukum kita bersifat senfralistik, didorninasi
oleh lembaga-lembaga formal seperti eksekutif, bersifat
represif dan dibentuk untuk mempertahankan kekuasaan (status
quo), lebih mencerminkan kepenđngan kelompok yang memiliki
bargaining position yang kuat, tidak mencapai suatu tujuan
yang benar yaitu

keadilan. Untuk mendapatkan hukum yang responsif yang mampu


mencerminkan rasa keadilan dalam masyarakat, maka perlu
dilakukan proses partisipatif. Itu artinya, proses
pembentukan hukum itu tidak sekedar formalitas belaka, yang
sudah barang tentu diwamai bahkan ditentukan Oleh konfigurasi
poliåk saat itLL Pada era reformasi diharapkan konfigurasi
politik berubah ke arah demokratis sehingga dapat
menghasilkan produk-produk hukum yang lebih responsif. Jadi,
tidak terbatas pada upaya untuk menghasilkan produk - produk
hukum saja, melainkan sampai pada penegakannya di masyarakat.

Dinamika Pemikiran tentang Hukum


Realitas tersebut membawa implikasi terhadap pembangunan
hukum di masa mendatang. Bagaimanakah kernampuan sistem
politik dan sistem hukum kita agar dapat memenuhi tuntutan
rakyat berupa keadilan, bagaimana hubungan antara moral dan
hukum sehingga hukum benar - benar dapat membawa kehidupan
masyarakat pada pola yang dicita-citakan yaitu masyarakat
yang adil dan beradab.

146
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
Perbincangan tentang hukum dan keadilan tidak akan terlepas
dari pandangan falsafati Yang mendasarinya. Mereka yang berangkat
dari filsafat formalisme akan memandang hukum sebagai
prasyaratprakondisi bagi kehidupan rasional yang esensial. Hukum
merupakan peraturan yang dinyatakan secara umum dan hendaknya
dimengerti oleh semua orang. Hukum mengatur perbuatan-perbuatan mana
yang boleh dan tidak boleh. Bahkan hukum pun memberikan prediksi
bagi pelaku-pelaku yang bermain dengan konsekuensi-konsekuensi dari
setiap tindakan yang dilakukan. Hukum memberikan kepasåan dan
memberikan keteråban sosial dalam mengatur masyarakat. Hukum berlaku
universal dan sangat rasional. Semua orang memiliki kedudukan yang
sama di hadapan hukum.

Ternyata formalisme telah melupakan bahwa tidak semua


orang memiliki kemampuan, kesempatan dan tingkat kegahteraan
yang sama, baik kesempatan pendidikan, kekuasaan atau bidang-
bidang Iainnya. Formalisme lebih mementingkan bentuk dan
eksistensinya, sementara substansi hanya berurusan dengan isi
dan konsekuensinya tanpa memperdulikan unsur kultur dari
hukurn. Anggapan seperti itu telah mengabaikan dan melakukan
diskriminasi pada kaum miskin (poverty), tidak berdaya
(pctverlessness), lemah (physical weakness), dan

sebagainya. Hukum membuka lebar-lebar kemungkinan ketidakadilan


hadir "menyamar" sebagai keadi1an. 230

Pada Abad Pertengahan telah terjadi gelombang pemikiran


baru yang dikenal sebagai gerakan Au/clarung ataupun
Enlightenme7zt (Pencerahan). Pemikir Filsafat Pencerahan
menyadari bahwa formalisme dapat menjerumuskan masyarakat
pada ketidakadilan. Mereka berpendapat bahwa hukum dan
keadilan hendalmya terjadi korespondensi resiprokal dan
dinamis. Dalam pembangunan hukum hendaknya hukum lebih
difungsikan untuk mencapai keadilan. Kegagalan pencapaian
keadilan sebagai pertanda bahwa hukum tidak dapat menjalankan
fungsinya dengan benar. Kegagalan tersebut tentunya bakal
memicu munculnya kondisi sosial yang ådak kita inginkan,
seperti kekerasan, kerusuhan, penjarahan, kriminalitas,
protes-protes illegal dan åndakan - tindakan protes Iainnya.
Dalam pembängunan hukum hendaknya dilihat secara utuh
melalui pendekatan holistik, mengingat hukum bukan sekedar
formalitas yang hanya berurusan dengan soal - soal normative,
melainkan unsur kultur pun perlu mendapat perhaåan di samping
struktur dan substansinya. Dengan demikian hukum memiliki
keberlakuan:231

1. faktual/empiris, armya dipatuhi dan ditegakkan.


147
Esmi Warassih
2. normaåf/formal, yaitu kaidahnya cocok dalam sistem hukum
hierarkhis.
3. evaluaåf, yaitu diterima dan benar (bermakna) serta
memiliki sifat mewajibkan karena isinya.

Hal tersebut penting dicermati mengingat problema yang


dihadapi dalam pembangunan hukum di Indonesia pada masa
mendatang adalah tidak semata-mata terletak pada masalah-
masalah kepatuhan kepada hukum (an sich) tetapi juga terletak
pada bagaimana hukum benar-benar dapat mewujudkan keadilan.
Tidaklah berlebihan ungkapan bahwa The life of the lav has
not been logic, but it

Nasikun. "Globalisasi dan Problematika Pembangunan Hukum,


Suatu Tinjauan
Sosiologi", Makalah Seminar Pembentukan Asosiasi Pengajar
Sosiologi Hukum di Indonesia. Semarang: Pusat Studi Hukum dan
Masyarakat Fakultas Hukum Undip, 1996.
231
J. J. H. Bruggink. Refleksi Hukum, alih bahasa B.Arief
Sidharta, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 19%.

has been experience.123 Oleh sebab itu, masalah


nilai dan asas sebagai landasan pembentukan
suatu peraturan, perlu mendapat perhatian
utama, karena asas mengandung nilai moral dan
etis masyarakat. Bahkan, nilai-nilai tersebut
berperan terus sampai proses untuk mencapai
hakikat dari hukum, yaitu memberikan
kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin
orang.
Bila kita merenung kembali di masa-masa lalu, betapa
pedih dan prihatin karena hukum yang selama ini diharapkan
dapat menjadi pengayom dan pemberi keadilan hingga kni belum
terwujud. Hukum selama ini dipakai sebagai alat legitimasi
bagi penguasa untuk bertindak sewenang-wenang. Bahkan dapat
juga dipergunakan sebagai: (a) alat untuk menindas rakyat
demi mempertahankan kekuasaan, (b) untuk mengambil alih hak-

123 Pendapat Oliver Wendell Holmes sebagaimana dikutip


Soetandyo Wignjosoebroto dalam "Keragaman dalam Konsep
Hukum, Tipe Kajian dan Metode Penelitiannya", Bahan Kuliah
PDIH UNAIR tanpa tahun, halaman 10.
148
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
hak rakyat demi kepentingan umum, dan (c) untuk dapat
menguasaai aset-aset nasional. Hasil pembangunan selama ini
temyata bukan untuk kesejahteraan rakyat, melainkan
mewujudkan kesenjangan yang semakin lebar antar kelompok
miskin dan kaya. Kesenjangan disertai perlakuan Vidak
adil/keådakadilan di segala bidang merupakan kendala yang
serius dalam usaha melakukan reformasi hukum.

Pembangunan selama ini temyata menciptakan


ketidakberdayaan, baik secara individual maupun kelompok di
segala bidang kehidupan masyarakat (social, economic and
political disempowerment). Ketidak-berdayaan membatasi akses
ke sumber daya negara, mempersulit keadilan hukum, hilanylya
bargaining power sehingga rakyat semakin lemah terhadap
permintaan uang suap dalam menghadapi suatu persengketaan
yang berakhir pada ketidakberdayaan masyarakat.

Selanjumya, pendekatan alternaåf terhadap pembangunan


dalam literatur terbaru berfokus pada upaya untuk memampukan
kaum miskin dalam mengawasi dan melindungi kepenångannya,
lebih menekankan keutamaan politik untuk melindungi mereka.
Langkah ini dimaksudkan untuk memanusiakan sistem yang
membungkam mereka, dan untuk itu diperlukan , bentuk-bentuk
perlawanan dan perjuangan secara politis yang menekankan hak-
hak

mereka sebagai manusia dan warga negara yang tersingkir,


terutama kaum misldn. Pemecahan masalah aklbat pembangunan
adalah melalui pemberdayaan yang sering disamakan dengan
peralihan kekuatan dan akses terhadap sumber daya berupa
upaya meningkatkan kemampuan individu maupun kolektif yang
berbeda etiis dan sosial di berbagai bidang.

Mega Lawyering: Jasa Hukum Era


Global
Belum selesai kita melakukan pembangunan hukum,
Indonesia justru dihadapkan dengan persoalan baru, yaitu
masalah perubahan kondisi politik. Selain iłu, tidak dapat
disangkal lagi bahwa Indonesia pun telah diperhadapkan dengan
masalah dłmia abad ke-21 atau millennium ke-3. Era yang
sering disebut era globalisasi sarat dengan upaya pembentukan
sistem kapitalisme dunia dan liberalisasi perdagangan.
Kondisi semacam ini sudah barang tentu mengaldbatkan
149
Esmi Warassih
hubungan/kerjasama antara negara kuat dan negara berkembang
dałam berbagai kegiatan, termasuk hukurru Perubahan ke arah
global dan munculnya berbagai aktivitas yang transnasional
menghendaki adanya penyesuaian seperti perlu adanya
resfrukturisasi dałam proses-proses ekonomi dari nasional
menjadi internasional. Sudah dapat dipasđkan negara yang kuat
akan menang atas negara yang sedang berkembang/lemah. Bahkan,
bakal terjadi proses penyingkiran atau keădakberdayaan kaum
lemah dari yang kuat, dan terjadi pula proses ketergantungan
antara yang lemah terhadap yang kuat.
Salah satu sektor yang terkena dampak globalisasi dengan
disepakafinya General Agreement on Trade in Services (GATS—PU).
Kesepakatan ini mengandung arti bahwa negara-negara tersebut harus
membuka arus liberalisasi perdagangan jasa hukum. Profesi jasa hukum
merupakan sektor yang terkena dampak diberlakukannya GATS melalui
apa yang disebut mega-lawyering. Arus internasionalisasi dan
liberalisasi perdagangan jasa hukum akan terus meningkat seiring
dengan globalisasi ekonomi dan sektor bisnis. Pengelolaan jasa hukum
model Amerika melalui law finn yang berorientasi bisnis dan
komersial, sudah barang tentu mengganggu profesi jasa hukum
Indonesia.

Jasa hukum dalam bentuk lawfirm dilakukan secara


profesional oleh talaga-tenaga yang berkualitas dan memiliki
kemampuan dan standar yang profesional. Oleh karena
orientasinya adalah profit, maka klien-klien yang datang pun
adalah orang-orang yang tergolong mampu membeli jasa mereka.
Kelompok masyarakat yang demikian itu merupakan kelompok
minoritas, aklbatnya pelayanan hukum untuk masyarakat yang
miskin menjadi terabaikan. Jasa hukum ini didasarkan pada.
inisiatif maupun akåvitas warga masyarakat yang memerlukannya
dan sanggup memberikan imbalan. Pola semacam itu, lebih
bersifat individual-yuridis dalam membela kepenångan mereka
yang memilik kedudukan yang kuat. Dampalmya adalah kelompok
lemah semakin terpinggrkan dan tidak berdaya.

Indonesia sebagai negara berkembang dan saat ini


sedang dilanda krisis di berbagai bidang perlu
mencermati kembali hasil-hasil pembangunan masa lampau
dan mengambil pelajaran darinya untuk menopang sebuah
model "pembangunan alternatif". Paradigma pembangunan
alternaåf ini lebih memprioritaskan kaum miskin atau
tak berdaya agar dapat memanusiakan suatu sistem yang
dapat memberdayakan kaum yang terpinggirkan tersebut.
Model pembangunan ini pun mengupayakan agar praktek
150
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
pelayanan hukum tidak dilakukan secara diskriminaüf
sebagai akibat dari perbedaan tingkat pendidikan,
penghasilan, kekayaan, dan sumber daya Iainnya.

Lawyers hendalmya memiliki possession cf a


sensitive terhadap perkembangan masyarakat, dan
mampu menemukan serta memberikan reaksi terhadap
gejala-gejala tersebut. Disamping lawyers must set
up a legal culture not only to work as
professionals melaluiformal legal systems dan
proædures, mereka juga harus mampu menjadi public
Opinion leaders yang pandai perkembangan
masyarakat ke arah cita hukum dan demokrasi.
Legal serviæs to the poor perlu mendapat perhatian
serius untuk membangun masyarakat agar dapat mengetahui hak-
hak hukumnya. Hal ini perlu adanya political education dan
cultural Change. Mereka harus memajukan profesi hukum tidak
hanya di ruang pengadilan, melainkan juga harus berani
mengemukakan pendapat, kritik-kritik maupun komentar terhadap
setiap gejala masyarakat yang merugikan kemajuan profesi,
termasuk kesadaran hukum masyarakat Dalam usaha tersebut,
lawyers di negara berkembang tidak cukup hanya berusaha
melalui legal mechanism atau legal procedures karena jalan

tersebut terlalu sempit dan teknis. Langkah ini dimaksudkan


untuk mendapatkan impact yang lebih luas sehingg dapat
menjangkau seluruh lapisan masyarakat.

Orientasi Pendidikan Hukum


Persoalannya adalah bagaimana dengan dunia pendidikan
hukum di Indonesia. Hal ini perlu disadari oleh semua pakar
hukum, bahwa arus globalisasi sudah terasa saat ini khususnya
di bidang hukum. Tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa
pendidikan hukum di Indonesia perlu mendapat perhatian secara
saksama, mengingat pendidikan hukum saat ini €dak jauh
berbeda dengan pendidikan abad 19. Walaupun diakui telah ada
beberapa perubahan secara substansial, namun pendidikan hukum
belum dapat mengantar para lulusannya untuk dapat memasuki
globalisasi.

151
Esmi Warassih
Pendidikan hukum saat ini masih meniđkberatkan pada
bongkar pasang peraturan perundangan. Mahasiswa dididik
menjadi tukang-tukang hukum yang mahir memahami bagaimana
mekanisme dan menerapkan suatu peraturan terhadap suatu kasus
tertentu yang mereka hadapi. Dengan perkataan lain,
pendidikan hukum lebih bertumpuh pada vocational fraining
untuk mencetak legal craftsmanship dan legal mechanic.
Pendekatan yang dipergunakan lebih menekankan pada pendekatan
yuridis-formal dan preskriptif. Hal semacam itu memberi
gambaran bahwa dunia hukum itu bergerak antara ”hitam—
putih”, sehingga menyulitkan mahasiswa dalam melihat suatu
realitas sosial yang tidak selamanya bersifat dikotomis,
melainkan multidimensi, multi-aspek, mul€-metode dan bersifat
subyektif.
Harus disadari bahwa hukum ădak dapat terlepas dari
basis sosialnya yaitu masyarakat itu sendiri. Semaldn modern
suatu masyarakat, hukum menjadi penting peranannya dan
semakin dibutuhkan. Hukum ibarat air yang akan merembes
keseluruhan celah kehidupan manusia. Hukum merupakan
kebutuhan yang tidak dapat dihindari oleh manusia dalam
mewujudkan tujuan hidupnya. Masyarakat yang semakin kompleks
selain memerlukan hukum sebagai sarana konfrol sosial, juga
sebagai sarana untuk menciptakan kondisi-kondisi yang baru.
Hukum ădak hanya bersifat lokal dan nasional, melainkan
fransnasional, sehingga permasalahan hukum yang kita hadapi
pun tidak lagi bersifat sederhana. Memasuki

millenium ke-3, dunia semakin tidak berbatas, ditandai dengan


pertukaran informasi lintas batas, munculnya perusahaan yang
bersifat transnasional, pertukaran kebudayaan, dan masih
banyak lagi.

Perubahan basis sosial membawa pengaruh terhadap


hukumnya. Pendekatan kemasyarakatan secara global dan
bersifat interdisipliner merupakan suatu kebutuhan yang tidak
terelakkan. Hukum menjadi Iebih berorientasi kepada
kebijaksanaan publik. Hukum telah menjadikan kekuasaan negara
mencampuri hubungan ekonomi dan sosial agar Iebih mantap dan
untuk dapat memecahkan persoalan-persoalan sosial-ekonomi.
Dengan demikan, hukum senantiasa bersinggungan dengan
kehidupan Iain yang ada di dalam masyarakat.

Menyadari sepenuhnya terhadap apa yang akan terjadi,


menuntut seseorang untuk tidak berkutat pada masalah-masalah
yang positivistik. Lulusan Fakultas Hukum tidak hanya
152
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
memiliki professional skill, legal skill,' tetapi mereka
diharapkan mampu membaca, memahami dan menjelaskan fenomena
hukum yang terjadi di dalam masyarakat dan memiliki kemampuan
di bidang legal drafting, dan melakukan penelitian-peneLiåan
baik yang berorientasi pada pengembangan ilmu hukum maupun
untuk kepentingan praktek. Landasan etika moral-agama
disertai tanggung jawab, para sarjana hukum diharapkan dapat
berperan dan memberikan manfaat bagi kehidupan manusia itu
sendiri.

Mahasiswa dituntut memiliki kemampuan untuk menganalisis dan


melakukan penjelasan terhadap permesalahan-permasalahan hukum di
dalam realitas sosial, yang memiliki nuansa seperå politik, ekonomi,
sosial dan budaya, sehingga bergeser dari dunia hukum yang esoteric,
yaitu yang menekankan dan terbataS pada analisa hukum sebagai suatu
sistem logik-konsisten, ke arah kesadaran akan pembaharuan hukum dan
perencana sosial. Oleh sebab itu, perubahan di dalam sistem
pendidikan hukum merupakan tuntutan yang amat mendesak

Kasus Pendidikan Hukum di Indonesia


Pentingnya perubahan dalam sistem pendidikan hukum ini,
Iebih didorong oleh suatu kondisi dimana
hukum ådak lagi memiliki

wibawa dan ådak dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan


yang ada. Berbagai kasus seperå korupsi, penindasan hak asasi
manusia, kasus perbankan, penjarahan, seolah-olah sulit
tersentuh oleh hukum Di Sisi Iain kita telah meraffikasi
berbagai konvensikonvensi intemasional, yang lebih
berorientasi pada kepentingan ekonomi global tanpa
memperümbangkan bagaimana implementasinya di dalam
masyarakat. Hal ini harus menjadi pokok keprihaånan,
mengingat budaya hukum yang ada di dalam masyarakat berbeda
dengan budaya hukum yang ada di dalam peraturan Budaya hukum
ini dapat menimbulkan suatu kesQjangan antara apa yang
diharapkan dengan apa yang terjadi di dalam masyarakat.
Akhimya, hukum akan menunjukkan suatu hubungan
yang terus malerus terjadi.
Budaya hukum diaråkan sebagai persepsi, seperå pendapat
dan sikap seseorang atau masyarakat terhadap hukum, apakah
mereka akan taat atau ådak taat. Jadi, budaya hukum semacam
"motor" yang dapat mendorong seseorang atau masyarakat untuk
berperilaku yang sesuai atau bertentangan dengan hukum.
153
Esmi Warassih
Budaya hukum tersebut tidak terlepas dari ciri-ciri
masyarakat itu sendiri. Untuk Indonesia yang masyarakamya
bersifat communal, tentunya sulit untuk menerima kehadiran
budaya hukum yang bersifat individualistis, profit oriented
dan banyak dipengaruhi oleh aspek ekonomi.
Kasus keberadaan undang-undang tentang Hak
Kekayaan Intelektual misalnya, merupakan salah satu
contoh untuk menjelaskan masalah budaya hukum. Undang-
undang ini mensyaratkan agar seseorang yang mempunyai
temuan baru dan orisional hendaknya segera didaftarkan
untuk mendapatkan hak cipta. Namun pada umumnya hak
tersebut jarang digunakan, karena berbagai faktor yang
menyebabkan seseorang ådak ingin mempatenkan temuan
tersebut. Hal menarik terjadi misalnya di Bali, bila
seseorang menemukan/menciptakan sesuatu yang baru dalam
pembuatan patung, ia tidak segera mendaftarkannya.
Langkah yang ditempuh ini bukan kara-la *nasalah
peraturan penmdang-undangannya, melainkan adanya
kebanggaan apabila ada warga masyarakat yang meniru
ciptaannya, sekaligus dapat memberikan lapangan kerja
bagi sesamanya. Bagi si pendpta/penemu memaknai hal itu
sebagai wujud amal ibadah yang tak ternilai harganya.
Mereka tidak akan kuaår disaingi Oleh peniru atau
penjiplak tersebut. Bahkan, pemahaman

yang demikian itu selalu dilandasi oleh moral-agama, bahwa rejeki


seseorang ada ditangan Tuhan.
Kondisi semacam ini merupakan faktor pendorong bagi
pemberdayaan ekonomi di tingkat bawah. Mereka dapat menikmati
bersama hasil karya orang Iain tanpa ada k&kutan akan
dituntut. Masing-masing hak cipta mempunyai budaya hukum yang
berbeda, sehingga apabila ada seseorang meniru karya/ciptaan
orang Iain yang telah dipatenkan tanpa ijin dapat dituntut
secara hukum.
Kasus semacam ini banyak dijumpai di masyarakat kita,
hal tersebut di atas hanyalah sebuah contoh kecil saja.
Betapa rakyat akan kehilangan Iahan bagi kehidupannya bila
ketentuan hukum hak paten ini benar-benar diterapkan.
Pokok persoalan ymg penång adalah bukan menolak undang-undang
tersebut dalam kaitannya dengan globalisasi. Namun perlu
dipikirkan adalah bagaimana hukum diberdayakan agar tidak

154
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
menjadikan masyarakat, khususnya masyarakat lapisan bawah
semakin lemah, miskirt, dan Mdak berdaya.

155
Esmi Warassih

5
Perlindungan Hukum
Terhadap Pasien
= Kasus Malpractice =

salah kode etik kedokteran sudah lama menjadi


bahan perbjncangan di masyarakat berseiring
dengan mulai bermunculan praktek-praktek
pelayanan kesehatan yang merugikan para
pasien. Misalnya saja pada bulan Desember 1978 telah diadakan
Simposium Kode Etik Kedokteran Indonesia dengan tema
Penilaian Kembali Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia.
Fakultas Kedokteran Airlangga pun pada bulan April 1981
mengadakan Panel Diskusi Peranan Pendidikan Kedokteran dalam
Menegakkan Kode Etik Indonesia dan Pemantapan
Citra Dokter di dalam Masyarakat. Perbincangan yang sama
dilakukan pula di Bandung dengan tema Panel Diskusi Aspek
Hukum dalam Profesi Kedokteran.
Adanya berbagai macam diskusi tersebut memberi petunjuk
pada kita, bahwa sebenamya kalangan dokter sendiri merasakan
adanya pelayanan dokter yang kurang ataupun üdak sesuai
dengan maksud dari Kode Etik tersebut. Di samping itu dokter
saat ini memang sedang disoroü oleh masyarakat lewat media
massa, baik itu media televisi maupun beberapa surat kabar
harian yang terbit di ibukota. Pada umumnya, keluhan
masyarakat berupa pelayanan kesehatan yang mŒ1galabatkan
kerugian pasien atau dapat menimbulkan penderitaan lebih
lanjut. Misalnya, akibat ündakan

156
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!

dokter yang kurang tepat menyebabkan seorang pasien


meninggal dunia.

Kita kini memang hidup dalam suatu masa transisi


di mana terjadi perubahan besar dalam susunan
masyarakat yang mempengaruhi sendi-sendi kehidupan
kita. Kondisi sosial yang demikian itu dipengaruhi pula
oleh perubahan besar dan lebih mendalam sifafrlya,
yaitu karena pergeseran nilai-nilai budaya yang
mempengaruhi alam pikiran, mentalitet serta jiwa kita.
(saya kursipkan).233 Ini adalah akibat pembangunan yang
sekarang sedang kita lakukan di mana masa pembangunan
merupakan masa ketimpangan-ketimpangan.234

Perubahan nilai-nilai yang terjadl dalam masyarakat akan


mengakibatkan benturan-benturan kepentingan yang fidak jarang
menyebabkan seseorang akan bertindak menyimpang dari
normanorma yang telah ada sebelumnya. Kode EEk Kedokteran
adalah perwujudan nilai-nilai moral yang berlaku bagi profesi
kedokteran yang sampai kini berusaha mempertahankan kemuliaan
dan kehormatan profesi kedokteran. Oleh karena Kode Etik
tersebut mengandung makna yang sangat berkait erat dengan:235
Perilaku yang berisikan hak dan kewajiban berdasarkan
perasaan moral, dan
Perilaku yang sesuai untuk mendukung standar profesi.

Terjadinya hubungan kepercayaan antara dua insan yaitu sang


pengobat dan penderita, dalam zaman modem sekarang ini disebut
transaksi terapeutik antara dokter dan pasien. Dimaksudkan dengan
transaksi terapeutik adalah transaksi antara dokter dan pasien untuk
menentukan atau mencari terapi yang paling tepat bagi pasien.
124
Transaksi antara dokter dan pasien menimbulkan hak dan kewajiban

233 Kuntjaraningrat. "Pergeseran Nilai-Nilai Budaya dalam


Masa Transisi", Makalah Simposium Kesadaran Hukum Masyarakat
dalam Masa Transisi, BPHN Binacipta, 1975, halaman 17.
234 Selo Soemardjan. "Ketimpangan-Ketimpangan dalam
Pembangunan: Pengalaman Indonesia", dalam Yuwono Sudarsono
(Ed.), Pembangun Politik dan Perubahan Sosial, Jakarta:
Gramedia. 1976.

124 Ibid, halaman 4.


157
Esmi Warassih
235 Hermin Hadiati Koesvqadji. "Peranan Pendidikan
Kedokteran dalam Menegakkan Kode Etik Kedokteran Indonesia
dan Pemantapan Citra Dokter di dalam Masyarakat", Makalah
Panel Diskusi Fakultas Hukum Unair, Surabaya, 1981, halaman
3.

yang ümbal balik, dan apabila hak dan kewajiban itu


üdak dipenuhi oleh salah satu pihak yang sudah
bersepakat mengadakan fransaksi itu, maka wajarlah
apabila pihak yang merasa dirugikan melakukan tuntutan
gugatan. Sehingga akhir-akhir ini banyak permasalahan
yang menjurus pada tuduhan malpracticz kepada profesi
dokter. Sebagai pemakai dari jasa, maka pasien
merupakan konsumen yang memakai jasa pelayanan
kesehatan. Oleh karena konsumen menyangkut semua
individu, maka konsumen mempunyai hak yang mendapat
perlindungan hukum.
Berdasarkan beberapa pokok uraian di atas, maka
penelaahan mzlpractice dalarn tulisan ini dikaitkan dengan a-
ansaksi antara dokter pasien berdasarkan hubungan
keperdataan yang dijamin oleh Hak Asasi Manusia. Masalah
mendasar yang timbul dari penelaahan tersebut adalah sampai
seberapa jauh perlindungan hukum terhadap pasien aldbat
malpractice? Dari sini timbul beberapa persoalan yaitu:

(1) Adakah hak-hak pasien yang mendapat perlindungan


hukum?;
(2) Dapatkah hak-hak pasiŒ1 tersebut direalisir?;
(3) Faktor•faktor apakah yang menghambat terealisasinya hak-hak
pasien itu?;
(4)Usaha-usaha apakah yang dapat dilakukan untuk mengurangi
timbulnya malpractice.

Terminologi Malpractice
Malpractice adalah suatu tindakan yang kurang hati-hati
dari seseorang dalam menjalankan profesinya. Ukuran dari 6-
ngkah laku yang kurang hati-hafi itu tidak kita temui dalam
hukum melainkan terletak pada ketentuan seorang hakim atau
juri.237 Istilah malpractice mempunyai konotasi yang luas dan
biasanya dipakai untuk bad practice; suatu ketika disebut
dengan malapraxis, dalam hal perawatan seorang pasien.

158
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
Dalam Izgal Aspects of Medical Records238 kita dapat membaca
rumusan malpractice sebagai:

237
Hayt & Hayt. Legal Aspects ofMedical Records. Physicianus, Record Company
Berwyn, Illionis, 1964, halaman 328-329. 238
Ibid, halaman 329.

(1) the failure of a physician or surgeon in the treatment ofpatient to possess and
employ that reasonable degree of learning, skill, and experienæ which
ordinarily is possessed by others of his profession; or
(2) his failure to exercise reasonable and ordinary care and diligence in the
exertion ofhis skill and the application ofhis knowledgede; or
(3) his failure to exert his best judgement as to the treatment of the case entrusted
to him; or
(4) his failure to bestozv such reasonable and Udinary care, skill, and diligence as
physician and surgeens in the same neighborhood in the same general
ofpractice ordinarily have and exercise in like cases.
Dari terminology tersebut tampak bahwa åmbulnya malpractice bermula pada
hubungan pasien-dokter. Hubungan inilah yang memberikan dasar terdapamya hak dan
kewajiban antara kedua belah pihak. Dalam transaksi terapeutik dokter harus menggunakan
kepandaiannya maupun keilmuan yang dimilikinya dalam melakukan perawatan seorang
pasien dan kewajiban pasien untuk membayar honorarium dan sebagainya. Adanya
kelalaian dokter akibat hubungan yang telah terjadi dapat menyebabkan kerugian pasien.

Black's Law DictionaryB9 memerinci persyaratan untuk Embulnya suatu


medical malpractice ke dalam 4 hal, yaitu: (1) the existertce of a physician's duty
to the plaintiff, usually based upon the existence of the physician patient
relationship; (2) the applicable standard of care and its violation; (3) a
conpensable injury; (4) a causal connection between the violation ofthe standard
of care and the ham complained.
Persyaratan itupun memberi gambaran kepada kita bahwa malpractice bisa terjadi
bila ada hubungan dokter-pasien. Timbulnya malpractice harus didahului oleh hubungan
dokter dan pasien yang masing-masing pihak dibebani hak-hak maupun kewajiban. Oleh
karena hubungm dokter-pasien dalam fransaksi terapeutik itu bertumpu pada dua macam
hak asasi, yaitu hak untuk menentukan nasib sendiri dan hak atas informasi, 240 maka
pengertian malpractice yang dibahas dalam tulisan ini sangat berkait• dengan hak-hak
pasien yang ådak dipenuhi oleh seorang dokter. Sudah barang tentu persyaratan untuk
timbulnya malpractice sebagaimana telah diuraika_n di atas, tetap akan disinggung
sepanjang ada relevansi dengan masalah pokoknya.

159
Esmi Warassih
St. Paul Minn (Ed)., Blanch's Law Dictionary, 1979, halaman 864.
239 240

Hemin Hadiati Koeswadji, op.cit., 1981, halaman 17.

Hubungan Dokter dan Pasien


Transaksi antara dokter-pasien secara umum diatur dalam Pasal
1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Suatu transaksi atau
perjanjian dapat dikatakan sah bila memenuhi syarat-syarat:

(1)sepakat dari mereka yang mengikatkan dirinya;


(2)kecakapan untuk membuat suatu pei•ikatan;
(3) suatu hal tertentu; dan
(4)karena suatu sebab yang halal.
Transaksi terapeutik antara dokter-pasien pun harus memenuhi
syarat-syarat tersebut di atas, dan bila transaksi telah terjadi maka
kedua belah Plhak dibebani hak dan kewajiban yang dilindungi dan
dijamin oleh Hak Asasi Manusia sebagai hak-hak dasar yang bersifat
universal. Pada asasnya hubungan dokter-pasien dalam transaksi
terapeutik itu bertumpu pada dua macam hak asasi, yaitu hak untuk
menentukan nasib sendiri (the right to self determination) dan hak
atas informasi (the right to be informed).125

Adanya dua hak tersebut membawa konsekua-•tsi bagi


seorang dokter dalam menjalankan profesinya untuk
mengkomunikasikan setiap tindakan terapeutik itu kepada
pasiennya. Tentunya dokterlah yang dapat menseleksi apa yang
harus dikomunikasikan dan bagaimana caranya untuk
mengkomunikasikannya. Informasi dokter itu sangat diperlukan
oleh seorang pasien, sehingga dia dapat memilih ataupun
menQtukan nasib dirinya, perawatan apakah yang dia kehendaki.
Pada tahun 1914 oleh seorang Justice Cardozo di
Schloendorff Vs. Society of the New York Hospital
matyatakan, Every human being of adult years and sound
mind has a right to determine what shall he does with
his oturt body, a surgeon zvho performs an operaton
without his patient's consent, commits an assaultfor
which he is Liable in damages.126
Pernyataan yang hampir serupa dikemukakan pula
oleh seorang haldrn Natenson V. Kline: A mart is a
master of his own body. He may expressly prohibit of
performance of life saving surgery or other medical

125 Ibid., halaman 5.


126 David W. Florence. Informing Paliens The Need The Law,
The Dilema, Mineapolis Minnessota (USA), halarnan 8.
160
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
treatrnent. A doctor may well believe that an operation
or other form of

treatment 127is desirable or necessary, but the law does


not permit him to substitute his otvn judgement for
that of the patient by any form article or
deception.243

Dari dua pemyataan hakim tersebut di atas, dalam


hubungan dokter-pasien tersebut mengisyaratkan bahwa
informasi yang berkaitan dengan perawatan, diagnosa maupun
progtosa memberi beban kepada dokter untuk bertindak haff-haü
dan seksama dalam menanggapi kepercayaan yang dilimpahkan
oleh pasien kepadanya. Ini berarti, kalau dokter telah
memenuhi ketŒ1tuannya yang telah tercantum dalam Kode Etik
Kedokteran Lndonesia, maka segala kemungkinan yang terjadi
terhadap se€ap tindakan terapeutik itu harus dikomunikasikan
pada pasien. Komunikasi itu sangat penting bagi seorang
pasien untuk mengambil keputusan apakah yang akan dia
kehendaki. Tentunya keputusan itu juga harus disepakati oleh
dokternya.

Jadi, hak pasien itu perlu mendapat perhatian dalam


fransaksi tersebut. Hal ini disebabkan oleh sifat transaksi
terapeutik itu adalah memberikan bantuan pertolongan
(hulpver-leningscontract), dimana di satu pihak pasien yang
telah menyerahkan dirinya dengan kepercayaan bahwa dokterlah
dengan bekal ilmu dan ketrampilannya yang dimilikinya akan
dapat menolong dirinya.128 Dokter mempunyai kewajiban untuk
bertindak hati-haü dan teliti dalam melayani kepercayaan
pasien yang telah diberikan padanya. Sifat transaksi yang
sedemikian itu membawa konsekuensi dalam beban pembukfiannya.
Bagaimanakah seandainya tindakan dokter karena kurang
haffhatinya bisa menyebabkan cacat tubuh atau maffnya
seseorang? Dengan perkataan Iain firnbul permasalahan
malpractice itu.

127 Ibid.
128 Hermien Hadiati Koeswadji, op.cit. halaman 7.
161
Esmi Warassih

Kode Etik: Pedoman Tingkah Laku


Dokter
Kode Etik Kedokteran harus diarükan
sebagai pedoman üngkah laku bagi pelaksana
profesi medis. Etika dalam kaitannya dengan
filsafat dapat diartikan dalam dua hal,
yaitu:129

(1) syarat-syarat yang diperlukan untuk memberikan batasan


apa yang disebut sebagai perbuatan yang benar, baik, dan
(2) apa yang disebut summum bonum, yaitu batasan untuk sesuatu
yang dikatakan baik dan benar.

EHka dalam kaitannya dengan profesi tidak Iain daripada


suatu konsensus, suatu kesepakatan bersama di antara pendapat
para ahli dalam menentukan hal-hal yang berhubungan dengan
standar professional. Dalam arti yang demikian, maka etika
sangat erat berkait dengan: (1) perilaku yang berisikan hak
dan kewajiban berdasarkan perasaan moral; dan (2) perilaku
yang sesuai untuk mendukung standar profesi. Sehingga etika
dapat disebut sebagai filsafat tentang tindakan manusia.

Untuk dapat melaksanakan nilai-nilai yang terkandung


dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KEKI) tersebut maka
pengemban / pelaksana profesi harus menghayati serta
mengamalkan isinya itu. Masalah kepatuhan atau penghargaan
isi KEKI. Salah satu faktor yang mempengaruhi ketaatan
seorang pengemban profesi ditentukan Oleh jangka waktu
penanaman nilai-nilai KEKI, yaitu panjang atau pendeknya
jangka waktu dalam usaha-usaha menanamkan itu dilakukan dan
diharapkan memberi hasil.246 Oleh karena ketaatan pada KEKI
dikontrol atas dan Oleh dirinya sendiri.
Kedokteran disebut sebagai suatu profesi, yaitu suatu
pekerjaan yang bersifat memberikan pelayanan dan yang
mengandung dua unsur yaitu:247

(1)Menerapkan seperangkat pengetahuan yang tersusun secara


sistemaås terhadap problema-problema tertentu.

129 Ibid, halaman


162
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
(2)Problema-problema tersebut mempunyai relevansi yang
besar dalam hubungannya dengan nilai-nilai yang
dipandang pokok dalam masyarakat.
Kode eåk sebagai kode profesi merupakan faktor
yang sangat penting dalam rangka pendekatan kepada
pasien dan bersifat normatif. Norma-norma etik medis
memang Mdak dapat dipisahkan

246 Soerjono Soekanto, Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi


Kalangan Hukum. Bandung: Penerbit Alumni, 1976, halaman 45.
247 Satjipto Rahardjo. "Kode Etik Kedokteran Ditinjau dari
Segi Hukum", Kerras Kerja pada Simposium Kode Etik Kedolderan
Indonesia. Semarang, 1978, halaman 144.

dari nilai-nilai yang dipandang pokok dalam masyarakat. Norma


etik medis merupakan sub sistem dari sistem masyarakat secara
keseluruhan. Timbullah interaksi yang djnamis antara norma
etik kedokteran dan norma etik masyarakat, sehingga dokter
sebagai pengemban profesi diharapkan dapat mencerminkan nilai
yang dianut oleh dunia profesi kedokteran sebagai nilai
pandangan hidupnya.

Usaha untuk menanamkan norma etik medis


merupakan suatu proses yang panjang. Proses
pendidikan yang demikian itu hendaknya
dilihat sebagai suatu proses sosialisasi,
tidak hanya mengenai ketrampilan teknik yang
dibutuhkan, melainkan juga memapankan
komitmen kepada nilai-nilai serta norma-norma
yang mempunyai kedudukan senfral bagi tugas-
tugas profesionalnya.130

Faktor Sosial dan Malpractice Dokter


Malpractice Commission melaporkan bahwa pada tahun 1970
di Amerika telah tercatat tuntutan yang menyangkut soal
malpractice sebanyak 12.000 peristiwa. Claim ini bisa
diselesaikan sebelum pemeriksaan di pengadilan sejumlah 90%,
dimana 65% nya diselesaikan tanpa didahului oleh tuntutan

130 Satjipto Rahardjo, Ibid, 1978, halaman 149.


163
Esmi Warassih
hukum.131 Di Indonesia, masalah yang menyangkut malpracüce ini
belum bisa diketahui jumlahnya, hanya akhir-akhir ini
masyarakat banyak melakukan sorotan di berbagai media
khususnya surat-surat kabar harian menyangkut masalah
pelaksanaan profesi, tentunya menjurus pada adanya
malpractice.

Bagian Anestesi Rumah Sakit dr. Kariadi Fakultas


Kedokteran UNDIP Semarang telah melakukan penelitian
pendahuluan tentang kematian 7.348 penderita yang berhubungan
dengan tindakan anestesi umum secara retrospektif di Bagian
Bedah Rumah Sakit dr. Kariadi Semarang selama periode 1978-
1979. Hal yang sangat menarik dari laporan ini adalah
kemungkinan adanya beberapa faktor yang menimbulkan kematian
tersebut antara Iain:132
(1) status pisik penderita;

(2) macam dan sifat operasi;


(3)peranan kemampuan ahli bedah dan anestesi;
(4) sarana-sarana lain yang menunjang lancarnya pembedahan/ anestesi
dan pengelolaan penderita pasca bedah.
Sangat disayangkan bahwa dalam laporan itu üdak
disebutkan secara terperinci berapa persen penderita yang
meninggal akibat status fisik penderita, berapa penderita
yang meninggal aldbat peranan kemampuan ahli bedah dan
anestesi, dan berapa persen yang meninggal akibat, faktor
lain. Tetapi yang jelas meninggalnya penderita akibat faktor-
faktor tersebut dapat menunjukkan adanya malpractice.
Dokter dalam melaksanakan profesinya tidak dapat
terlepas dari lingkungan fisik yang melingkupinya. Sebagai
anggota masyarakat maka dokter pun selalu berinteraksi dengan
anggota masyarakat lainnya. Interaksi adalah akibat, dan
proses komunikasi adalah alat dari interaksi dan proses
sosial. Seåap proses sosial selalu melibatkan masalah sistem
nilai-nilai yang dapat dikelompokkan menjadi (1) welfare
values, dan (2) deference values.

131 Yosephine Y. King. A Comentary on the Report ofthe


Malpractice Commission.
Hapstra University, Hempstead, New York (USA), halaman 28.
132 IDI Semarang. Bulletin Kesehatan, vol. VI, No. 1, Mei
1981, halaman 12.
164
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
Welfare values adalah nilai-nilai yang dianggap penång
oleh dan untuk kehidupan manusia agar supaya ia dapat hidup
dengan layak, mempunyai pendapatan yang mencukupi keperluan
sehari-hari, nilai tentang kesehatan badaniah termasuk di
dalamnya perasaan aman dalam memperoleh atau melanjutkan
pekerjaannya; agar supaya kehidupannya tetap terjamin.
Sedangkan deference values adalah kelompok nilai yang lebih
tinggi, nilai-nilai moral yaitu apa yang dianggap baik buruk,
tidak jujur dan seterusnya.133
Keterlibatan nilai-nilai tersebut dalam interaksi sosial sangat
menentukan Engkah laku åndakan apa yang akan .diambil oleh seseorang
yang notabene adalah pengemban profesi medis. Baik itu welfare
values maupun deference values merupakan kekuatan-kekuatan yang
cenderung mempengaruhi Mngkah laku seorang. Tingkah lakutingkah laku
yang melanggar tiap norma apakah itu norma hukum, norma kebiasaan,
biasanya dirumuskan sebagai penyimpangan.

Teori penyimpangan mengajarkan bahwa para pemegang peran


(dalam hal ini profesi medis) itu dapat mempunyai moüvasi,
baik yang berkehendak untuk menyesuaikan diri dengan norma
(dalam hal ini menyangkut norma etik) maupun yang berkehendak
untuk tidak menyesuaikan diri dengan keharusan norma
(motivasi untuk dan motivasi untuk non-konform).
Kenyataan seperti ini dapat ditunjukkan melalui suatu model
yang berkamar empat, sebagai berikut:134 Untuk lebih jelasnya,
perhatikan kembali abstraksi yang termuat dalam bagan 5.

Tingkah laku yang üdak konform itu dapat


saja fimbul bersamasama dengan motivasi untuk
berkonform. Sebalil<nya, tingkahlaku yang
bersesuaian dengan bunyi norma dapat pula
timbul bersamasama dengan motivasi yang
berkehendak untuk tidak konform.

133 A. Astrid Susento, Pengantar Sosiologi dan Perubahan


Sosial. Bandung: Binacipta, Cetakan l, 1977, halaman 41.
134 Robert B. Seidman. "Law and Development: A General
Model", dalam Law in Review, No. 2, 1972, halaman 311-339.
165
Esmi Warassih

Ketidaksesuaian tingkahlaku dapat saja


terjadi sekalipun si pemegang peran telah
berkehendak sungguh-sungguh untuk
menyesuaikan diri. Hal ini dapat terjadi pada
perkara-perkara dimana dia tidak sadar akan
normanya, atau dimana norma-norma yang
menjadi pedoman perilakunya bersifat tidak
serasi tujuan-tujuan yang ditetapkan untuk
posisi-posisi si pemegang peran itu.

Hukum dan Perlindungan Hak-Hak


Pasien
Hak atas penghidupan, kemerdekaan, keselamatan dapat
kita jumpai dalam Universal Declaration of Human Rights.
Demikian pula Presiden JF. Kennedy telah menemukan empat hak
dasar yaitu: (1) hak memperoleh keamanan; (2) hak memilih;
(3) hak mendapat informasi dan; dan (4) hak untuk didengar.
Dalam pada itu Masyarakat Ekonomi Eropa juga telah
mensepakati lima hak dasar konsumen sebagai berikut: (1) hak
perlindungan kesehatan dan keamanan; (2) hak perlindungan
kepenüngan ekonomi; (3) hak mendapat ganti rugi; (4) hak atas
penerangan, dan; (5) hak untuk didengar. 135

Hak-hak dasar ini merupakan hak-hak yang bersifat


universal. Bila demikian maka timbul pertanyaan apakah hak-
hak dasar yang

bersifat universal itu diterima di Indonesia. Apakah hak-hak


dasar itu mendapat tempat di dalam Pancasila dan UUD 1945
(sebelum diamandemen). Di dalam Undang-Undang Dasar 1945
dapat kita jumpai pasal yang mengatur mengenai hak-hak warga
negara. Pasal yang menjamin hak-hak warga negara itu telah
diatur dalam pasal 27 ayat (2) dan pasal 28 Undang-Undang
Dasa-r 1945 maupun penjelasannya.

Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 menegaskan: "Tiap-åap warga


negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
135 Mariam Darus Badarulmman. "Perlindungan terhadap
Konsumen Dilihat dari Sudut Perjanjian Baku", dalam Hukum
dan Keadilan, No. 17, Tahun IX, JanuariFebruari 1981,
halarnan 23.
166
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
kemanusiaan". Penjelasan pasal ini pun menyatakan bahwa
ketentuan ini mengenai hak-hak warga negara. Ini meliputi hak
apa saja dari warga negara yang secara universal sudah
diakui. Misalnya saja hak atas penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan, maka hak tersebut melihat manusia secara utuh.
Hal ini tidak saja untuk mengejar kemajuan lahiriah atau
kepuasan baåniah melainkan keselarasan, keserasian dan
keseimbangan antara keduanya.
Demikian pula pasal 28 IJUD 1945 menegaskan:
"Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran
dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan
undang-undang". Penjelasan pasal ini menentukan bahwa memuat
hasrat bangsa Indonesia untuk membangun negara yang bersifat
demokrasi dan yang hendak menyelenggaralm pikiran dengan
lisan dan tulisan dalam rangka tercapainya keadilan sosial
dan perikemanusiaan. Ini mengandung makna, bahwa seseorang
mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri yang dicerminkan
dengan mengeluarkan apa yang dikehendaki, baik itu berbentuk
tu-lisan maupun lisan.
Untuk dapat mengeluarkan isi pikirannya mengenai apa yang
dikehendaki, tentunya telah didahului Oleh adanya informasi yang
diketahuinya. Adanya informasi ini penting baynya, agar ia dapat
ikut berpartisipasi dalam membangun negaranya. Jadi, secara implicit
hak untuk mendapat informasi maupun hak untuk menentukan nasib
dirinya dasar hukumnya ada dalam pasal 27 ayat 2 dan pasal 28 UUD
1945.
Selanjumya, Tap IV/PIR No. II/MPR/ 1978 menegaskan bahwa
setiap manusia mempunyai hak dan kewajiban asasi yang sama.
Sangat diharapkan agar hak dan kewajiban itu dipenuhi oleh
masingmasing orang. Penggunaan hak dan kewajiban asasi itu
harus

seimbang, selaras dan serasi sehingga tercipta saling


mencintai di antara sesama manusia. Begitu pula tentunya hak
dan kewajiban dokter-pasien, hendalmya dipatuhi, sehingga
tercapai hasil yang diharapkan oleh masing-masing pihak

Sekalipun pengaturan secara tegas tentang hak-hak pasien


tidak dijumpai, tetapi melalui undang-undang yang telah ada
maupun Tap MPR, adanya hak-hak dasar pasien dapat disimpulkan
dan perlu mendapatkan perlindungan. Persoalannya sekarang,
dapatkah hakhak dasar itu dilaksanakan atau dengan perkataan
Iain bagaimanakah perwujudan dari hak-hak dasar yang telah
mendapat tempat dalam perundang-undangan Indonesia.

167
Esmi Warassih

Hukum dalam Praktek Pelayanan Dokter


Transaksi terapeutzk antara dokter dan pasien bersifat
pemberian bantuan pertolongan. Seorang pasien mempunyai harapan
bahwa dokterlah satu-satunya yang dapat menolong dirinya. Dokter
harus bertindak hati-hati dalam melakukan tindakan terapeutzk dalam
menanggapi kepercayaan itu. Oleh karena pasien mempunyai hak yang
dilindungi oleh hukum, yaitu hak atas informasi dan hak untuk
menentukan nasib maka hal ini memberi kewajiban kepada dokter untuk
mengkomunikasikan padanya selengkap-lengkapnya. Pada umumnya
informasi yang diberikan oleh dokter bersifat lisan walaupun ada
kalanya tertulis. Informasi ini sangat penEng bagi seorang pasien
untuk dapat memberikan persetujuan ataupun menolak suatu perawatan
yang akan diberikan oleh dokter yang bersangkutan. Pasien
berdasarkan hak untuk menentukan nasib sendiri mungkin bisa menolak
dilanjutkannya perawatan atau pindah kepada dokter Iain.

Apabila tindakan dokter yang telah dilakukannya itu tanpa


seizing pasien, sedangkan risiko dari tindakannya itu dapat
menyebabkan cacat, maka pasien dapat menggugat dokter berdasarkan
wanprestasi dan onrechtmatigdaad yang diatur dalam pasal 1843 s/d
1889 KUH Perdata dan pasal 1365, 1366 KUH Perdata. Demikian pula
seandainya seorang dokter memberikan informasi yang tidak benar,
mtmgkin pasien itu dalam rangka suatu Obat baru misalnya dan ini off
the record atau untuk eksperimen Iainnya, maka tindakan dokter tanpa
persetujuan pasien itu pun dapat

dikenakan pasal penipuan atau perbuatan curang. Masalahnya


sekarang bagaimana seorang pasien dapat membuktikan bahwa
dokter telah melakukan Endakan malpractice tersebut.
Untuk membuktikan adanya malpractice, pada un-u-lllülya
timbul kesulitan, terutama untuk mengetahui apakah dengan
kerugian yang diderita pasien ada hubungan langsung atau
fidak dengan tindakan dokter. lvfisalnya, di sebuah Rumah
Sakit Semarang pemah dilakukan operasi terhadap seorang
korban paaganiayaan. Oleh operator dilakukan penjahitan pada
jaringan hipar yang robek. Sayang operator ceroboh, yang
dijahit hipar pada bagian sentral saja, sedang bagian dorsal
yang juga harus dijahit sama sekali €dak dilakukan
penjahitan. Akibatnya, korban mengalami pendarahan dan
akhirnya meninggal dunia. 254

Di sini tampak ada hubungan langsung antara kematian dan faktor


kecerobohan. Lain halnya dengan kasus berikutnya yaitu seorang
penderita yang menjalani operasi dengan ketalar sebagai biusnya.
Sehabis operasi semua berjalan baik dan normal. Namun, pada suatu
keüka penderita itu dioperasi lab dengan memakai ketalar sebagai
obat biusnya. Pada saat penderita maslh ditangani oleh dokter ahli
bius, üba-tiba meninggal dunia. Di sini sulit dibuktikan adanya
168
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
ündakan keliru/ceroboh dari dokter yang melakukannya. Sehingga
contoh hubungan langsung adi sulit dibuktikan.2S Di samping pasien
tidak dapat mŒwnjukkan sebab terjadinya malpractice, seorang dokter
yang telah melakukan perawatan sesuai dengan prinsip-prinsip
keahlian yang telah diperolehnya, üdak akan menyatakan bahwa apa
yang ia lakukan adalah untuk mendapatkan hasil yang tidak
dikehendaki.

Kadang-kadang dokter dalam memberikan pertolongan terhadap


penderita dibantu oleh tim dokter atau sejumlah para medis. Tindakan
dokter yang mengakibatkan kerugian penderita, üdak dapat dituduh
telah melakukan malprac€ce. Hal ini terjadi apabila tindakan dokter
dilakukan di rumah sakit yang bukan milik pribadinya, kecuali bila
operasi dilakukan pada klinik-klinik maupun praktek-praktek pribadi.
Selain dari itu faktor-faktor Iain, yaitu tersedianya fasilitas di

254
Bambang Prameng Santoso & Sofwan Dahlan. "Malpractice", Materi Ceramah
Klinik, Fakultas Kedokteran Undip, Semarang, 1981. 255
Ibid.

rumah sakit, sangat menentukan berhasil tidaknya tindakan dokter


yang telah dilakukan itu. Misalnya, waktu diadakan operasi listrik
mati, sehingga dokter tidak dapat melakukan cperasi dengan baik.
Atau akibat listrik mati maka alat pembantu pernafasan pasien yang
sepenuhnya tergantung pada listrik berhenti sehingga pasien mati
seketika.
Sekalipun dokter yang melakukan malpractiœ tidak dapat lolos
dari hukum pidana maupun pasal-pasal hukum perdata, namun timbul
beberapa hambatan. Seandainya dalam membuktikan adanya malpractice
perlu diajukan seorang saksi ahli, maka yang dapat menjadi saksi itu
pun dari kalangan medis sendiri. Di sini seorang saksi adalah
seorang yang wajib menyimpan rahasia pekejaannya, maka sebagai saksi
dapat menggunakan hak tolaknya berdasarkan pasal 146 dan pasal 277
HIR. Menurut pendapat Ko Tjay Sing, seorang saksi dapat
diperingatkan bahwa ia wajlb menyimpan rahasia pekerjaan, yang
seharusnya menggunakan hak tolaknya. Tetapi, kalau ia tetap bersedia
memberikan kesaksian, maka haldm wajib mendengarnya. Oleh karena hak
tolak menurut pasal-pasal itu adalah hak bukan merupakan kewaj1ban.136

Bila seorang pasien yang merasa dirugikan mengajukan


gugatan perdata untuk menuntut ganti rugi karen? dianggap
telah terjadi malpractice, maka dokter tidak akan membiarkan
nama dan kehormatannya dinodai. Menurut Hazewinkeluringa,
tidak dapat diharapkan dari para dokter untuk wajib penyimpan

136 Ko Tjay Sing. Rahasia Pekerjaan Dokter dan Advokat.


Jakarta: Gramedia, 1978, halaman 78-79. Ibid, halaman 70.
257

169
Esmi Warassih
rahasia dan membiarkan saja dirinya dihina, dimalukan atau
hendak dirugikan
257

Selanjutnya menurut Langemeyer, tidak serta merta


seorang dokter bebas membuka rahasia pekerjaannya kalau
digugat pasiennya. Dalam menghadapi hal demikian itu, seorang
dokter terlebih dahulu harus berusaha membela diri tanpa
membuka rahasianya. Apabila pembelaan itu temyata €dak cukup,
barulah ia dapat membuka rahasianya. Jadi, berhubung dengan
rahasia

170
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!

pekerjaannya itu maka ia Edak diperkenankan untuk terlebih


dahulu mengajukan fakta-fakta yang wajib rahasiakannya.258 ltu
berarti, dokter memang diwajibkan untuk penyimpan rahasia
pekerjaannya, namun dalam hal-hal tertentu dokter dapat
membuka rahasia itu, termasuk untuk kepenüngan pembelaan
djrinya. Sekalipun ada peluang untuk itu, tetapi mereka harus
membatasi diri untuk tidak mŒigungkapkan fakta-fakta yang
fidak perlu bagi pembelaan dirinya. 2.59 Seorang dokter yang
melakukan perbuatan karena daya paksa untuk membela dirinya,
telah diatur dalam pasal 48 maupun pasal 49 KUH Pidana. Namun
tidak dapat dipungkiri bahwa sekalipun dokter diharuskan untuk
membatasi diri dalam pembelaan dirinya, tetap ada kemungkinan
kepentingan ataupun hak pasien dirugikan. Oleh karena itu,
dalam mewujudkan hak-hak pasien, maka sistem peradilan di
Indonesia perlu dibenahi.

Meminimalisasi Malpractice
Penyebab terjadinya malpractiœ adalah ündakan dokter yang
kurang dalam merawat pasien yang menyebabkan kerugian pasien.
Di sampingt itu seorang dokter yang melakukan perawatan tanpa
persetujuan pasien, sedangkan hasil perawatan itu
mengakibatkan cacat atau maünya, maka dokter dapat dikenai
pasalpasal KUH Perdata. Terjadinya malpractice dapat
melibatkan €dak hanya satu dokter, mungkin juga tim dokter
atau tenaga para medis Iainnya. Bahkan, faktor-faktor Iain
dapat pula menentukan berhasil tidalmya €ndakan seorang
dokter. Oleh itu, perlu dilakukan usaha-usaha untuk mengurangi
terjadinya malpractice yajtu:
(1) penanaman nilai-nilai moral yang terkandung dalam KEKI
sebaiknya dilakukan sedini mungkin;
(2)pemberian i.zin praktek dokter harus diperketat misalnya dokter
spesialis tidak boleh praktek sebagai dokter umum;
(3)perlu dilakukan peninjauan secara berkala terhadap izin praktek;
(4)peningkatan pengetahuan maupun ketrampilan dokter perlu
dilakukan melalui diskusi-diskusi maupun sarana yang Iain;
(5)dokter harus memenuhi hak-hak pasien sebagaimana telah
dijelaskan di muka;

258
Ibid, halaman 70.
259
Ibid

171
Esmi Warassih

(6) dokter yang melanggar KEKI harus dikenai


sanksi yang tegas, misalnya pencabutan
sementara izin prakteimya.
Adapun kegagalan perawatan yang diakibatkan oleh faktorfaktor
Iain misalnya fasilitas rumah sakit yang fidak memenuhi syarat sebagai
rumah sakit maka perlu diadakan pengontrolan terhadap keadaan rumah
sakit maupun peninjauan kembali tujuan dari pendirian rumah saldt. Di
samping itu, perlu dibuat suatu persyaratan yang ketat untuk dapat
mendirikan sebuah rumah sakit, sehingga unsur untuk mencari keuntungan
semata-mata dapat dihindari. Misalnya, baru-baru ini terjadi protes
dari perawat Rumah Sakit Sumber Waras yang menuntut kenaikan gaji.
Rumah sakit yang melanggar atau tidak memenuhi persyaratan yang telah
ditentukan oleh Pemerintah harus ditindak tegas.

Simpulan
Beberapa simpulan dapat ditarik dari seluruh uraian di
atas, yakni:
Transaksi dokter-pasien timbul karena adanya
kepercayaan dari pasien bahwa dokter satu-
satunya manusia yang dapat memberikan
pertolongan. Di dalam fransaksi itu masing-
masing pihak dibebani hak-hak dan kewajiban
yang harus dipenuhinya.
Informasi perlu diberikan oleh seorang dokter kepada pasien
dengan selengkapnya. Informasi yang berdasarkan fakta yang
bohong baik itu dengan alasan untuk kepŒ1tingan pasien atau
untuk eksperimen, dapat dikenai hukuman pidana tentang
penipuan atau perbuatan curang.

Perawatan pasien oleh seorang dokter dapat dilakukan setelah ada


persetujuan dari pasien. Hak pasien yang dilanggar sehingga
menimbulkan kerugian, dokter dapat dikenai tuduhan melakukan
malpracfice.
Timbulnya kerugian yang diderita pasien disebabkan oleh
faktorfaktor Iain, maka dokter tidak dapat dituntut telah melakukan
malpractice.
Sekalipun hak-hak pasien sebagai hak dasar yang bersifat universal
itu secara implisit tercantum dalam perundangundangan kita, namun
perwujudan dari hak-hak dasar tersebut masih sulit dilaksanakan.

172
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!

Perlu adanya usaha yang sungguh-sungguh dalam mengurangi


terjadinya malpractice.

173
Esmi Warassih

Epilog
Kegunaan Pendekatan
Interdisipliner
Terhadap Hukum:
Sebuah Keniscayaan

alam penciptaan langt, bumi dan manusia, diperlukan


tatanan-tatanan agar hubungan antar ciptaan tersebut dapat berjalan
berkeseimbangan dan berkesemestaan. Tatanan diperlukan untuk mengatur
baik hubungan manusia dengan manusia, maupun manusia dengan alam yaitu
manusia dengan ciptaan yang lainnya seperti hewan, sumber daya air,
sumber daya hutan dan seterusnya. Tatanan-tatanan tersebut dapat berupa
tatanan yang berasal dari agama, tatanan kebiasaan (åd.ak tertulis) dan
dalam perkembangannya di abad modem terutama di saat muncul konsep
negara diperlukan tatanan yang tertulis, bersifat universal dan berlaku
umum.

Pada hakika&ya tatanan-tatanan tersebut


dipelukan untuk mencapai ketertiban atau
keteraturan agar berbagai kepenyngan manusia
dapat diintegrasikan secara baik. Di sinilah
letak begitu pentingnya keberadaan tatanan
untuk mengatur perilaku manusia pada umumnya.
Pengaturan perilaku manusia dalam alam semesta
ini yang berupa norma-norma hukum tidak pemah

174
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!

sepi dari nilai-nilai moral, etika, sopan


santun, agama, dan berbagai kepenfingan.

Demikian pula, norma hukum yang diposifffkan dan dirumuskan secara


tertulis ke dalam rumusan pasal-pasal peraturan perundangundangan
diharapkan ditaaü oleh masyarakatnya. Oleh sebab itu, norma hukum
mengandung nilai-nilai keadilan, nilai kepastian dan nilai kegunaan.

Ragam Cara Pandang


Perkembangan masyarakat selalu disertai dengan persoalanpersoalan
dan sekalig-us tatanan-tatanan yang hendak mengaturnya. Setiap
persoalan atau permasalahan yang terjadi di masyarakat membutuhkan
cara pandang yang berbeda. Aliran teori hukum yang positivisffk
melayani kebutuhan masyarakat abad 18 yang sudah barang tentu tidak
siap melayani kebutuhan masyarakat saat ini. Kemajuan teknologi di
berbagai bidang kehidupan perlu diiringi perkembangan hukumnya,
sehjngga cara pandang yang bersifat positivistik terus berkembang dan
kini muncul wacana baru seperti cara pandang kritis dan
konsfruktivisme.

Perubahan cara pandang terhadap perkembangan masyarakat


dan hukum tentu berdampak pada bidang keilmuan hukum yang kita
pelajari, yaitu lahirnya wacana tentang studi hukum kriüs.
Semula hukum hanya dikonsepkan sebagai sesuatu yang bebas
nilai dimaksud di sini nilai atau hal hal yang bersifat
absfrak terletak di luar susunan peraturan perundang-undangan
yang bersifat meta yuridis„ tetapi kemudian berkembang
pandangan baru yang berpendirian bahwa hukum itu pada dasamya
tidak nefral atau sarat nilai. Namun demikian, pandangan
positivisük yang tampaknya begitu membelenggu para sarjana
hukum terutama pada praktisi, sehingga alat •utama yang
dipakai dalam melakukan profesinya adalah peraturan-peraturan
perundang-undangan. Kondisi seperti ini dapat menimbulkan
keterünggalan hukum dalam mengikuti derap perubahan dan
perkembangan yang terjadi di masyarakat.

Pendidikan Hukum Konvensional


Cara pandang positivistik begitu mengkedepan dan
tampak terasa di strata satu Fakultas Hukum. Hal
tersebut merupakan salah satu penyebab munculnya
kesulitan dalam melakukan pembaharuan

175
Esmi Warassih

sistem hukum. Produk-produk hukum yang lahir begitu banyak


dirasakan semakin membelenggu kehidupan masyarakat, sehingga
keadilan dan kemanfaatan serta kedamaian sulit terwujud.
Hukum yang ada dirasakan semakn jauh dari basis sosialnya,
dan bahkan kesenjangan antara harapan dan kebutuhan
masyarakat sulit dipertemukan.
Tampalmya hukum sudah semakin tidak nyaman lagi dig-unakan
untu.k melindungi. dan mengarahkan masyarakat kearah yang lebih
bermartabat. Hukum justru semakin cenderung dipakai untuk
melegitimasi kepentingan-kepentingan tertentu dan dengan
demikian kepenångan-kepentingan tersebut akhirnya memiliki
keabsahan secara yuridis yang sulit terbantahkan. Dalam
konteks seperti ini, perspektif filsafati dan sosiologis
tampalmya mulai terabaikan dalam bingkai tatanan hukum.
Pendidikan hukum konvensional menurut Posner137 hanya
untuk melahirkan effective lawyers yang memiliki
ketrampilan litigasi dan negosiasi. Orientasi mereka
cenderung kepada klien dan kurang memperhatikan aspek non-
hukum. Bahkan, Weber138 menyatakan bahwa hukum cenderung untuk
getting thing done dan mengabaikan akan penderitaan
masyarakat tertindas. Hal tersebut sudah pernah dilontarkan
oleh International Legal Center139 pada tahun 1975 bahwa
pendidikan hukum hanya memberikan pengetahuan ta-ttang hukum
sebagai seperangkat aturan-aturan normatif dan kemampuan
menginterpretasikan. Mereka tidak memiliki kemampuan
menganalisis dan mengevaluasi asumsi-asumsi kebijaksanaan di
balik sebuah peraturan-peraturan.

Mereka pun kurang atau bahkan tidak memiliki


kesadaran yang memadai tentang permasalahan-
permasalahan yang berkembang di dalam masyarakat
yang mungkin diakibatkan oleh hukum. Pemahaman
yang tidak memadai mengakibaukan para sarjana
hukum sulit untuk dapat memahami hubungan antara

137 Richard A. Postler. The Problems ofJurisprudence.


London: University, 1993. Baca juga dalam Richard A.
Posmer. Frontiers of Legal Theory'. London:
Harvard University Press, 2001.
138 Max Weber, On Law in Economy andSociety. New York, A
Clarion Boah, 1954.
139 International Legal Center. Legal Education in a
Changing World. New York: Intemational Legal Center.

176
Pranatn Sebuah Telaah Sosial
hukum dengan aspek sosial, budaya, politik,
ekonomi dan sebagainya. Akibamya, para

Lawyers yang terkungkung dengan pola pikir seperti itu


cenderung untuk tujuan yang bersifat praktis (ad hoc) dalam
melaksanakan profesinya. Produk perundang-undangan pun
tampak kehilangan filter yang berbasis nilai filosofis dan
faktual (sosiologis). Bahkan, pendidikan hukum sangat lemah
mempersiapkan lulusannya untuk berperan dalam pembuatan
kebijaksanaan-kebijaksanaan yang berkaitan dengan pembuatan
maupun pa-lerapan huku-m.

Reformasi Pendidikan Hukum


Mencermaå perkembangan pendidikan hukum yang demikian
itu, maka Fakultas Hukum yang salah satu tugasnya
mempersiapkan lawyer yang handal - perlu segera berbenah
diri, termasuk dalam menentukan mata perkuliahannya,
melainkan juga cara pandang dan pendekatan konseptual
terhadap hukum pun perlu dilakukan perubahan secara
mendasar. Perubahan•-perubahan yang dibuat itu memungkinkan
mahasiswa memahami hukum secara interdisipliner dan
holistik. Bahkan, pemahaman terhadap hukum yang demikian
sudah harus diberikan kepada mahasiswa di strata satu (S-1).

Perspektif intemal sekaligus ekstemal dengan menggunakan


proposisi empirik, normatif, dan filosofis dalam setiap substansi
hukum perlu dikembangkan. Mahasiswa tidak sekedar memahami hukum
sebagai rumusan tertulis berupa pasal-pasal untuk kemudian
diterapkan dalam kasus-kasus yang dihadapinya. Melainkan, mereka
diberi kemampuan untuk dapat menganalisis berbagai permasalahan
hukum yang begitu komplek dengan menggunakan/mem-injam teoriteori
sosial yang diperlukan. Sebab, harus disadari sungguh-sungguh bahwa
hukum it-u dlbuat untuk manusia yang terlingkup dalam lingkungan
sosial

Diharapkan pula mahasiswa dapat menjelaskan keterkaitan


dan ketergantungan hukum sebagai sub-sistem dengan sub-sub
sistem lainnya. Di samping itu, mereka juga dapat menangkap
makna hukum sebagai suatu fQomena sosial yang terus berkembang
di dalam masyarakat. Hukurn tidak dapat terlepas dari filsafat
moral dan illnuilmu sosial lainnya. Hukum merupakan bagian
yang ådak terpisahkan sejak tahap inisiasi, formulasi,

177
Esmi Warassih
implementasi dan evaluasi sebuah kebijaksanaan. Para Lawyers
dibutuhkan untuk dapat menerjemahkan
Hukum,

sekaligus menjabarkan policy ke dalam peraturan


perunddngundangan.

Sebuah Keniscayaan
Berdasarkan uraian terdahulu, pemahaman interdisipliner
terhadap hukum merupakan kebutuhan yang tak terelakkan,
mengingat perkembangan masyarakat di fngkat domestik maupun
global. Lulusan strata satu (91) Fakultas Hukum tidak hanya
sekedar menjadi mesin atau corong undang-undangt melainkan
dapat sebagai insan pembaharu hukum. Mereka harus berjuang
menegakkan dan membangun kembali hukum Indonesia, dan sanggup
menghadapi perkembangan global.
Inilah sebuah keniscayaan, yang mau tidak mau
Pendidikan Hukum harus dibenahi sesegera mungkin. Apalagi
realitas di Indonesia menunjukkan bahwa hukum dengan berbagai
perangkatnya sudah üdak dipercayai lagi sebagai institusi
perumus dan penentu keadilan dan di masyarakat.
Tidak dapat dipungkiri Iag bahwa institusi hukum sudah mulai
dimanfaatkan sebagai lahan untuk keuntungan di tengah
penderitaan para pencari keadilan.

DAFrAR BACAAN

Afdol, 1979, "Efektivitas Ketentuan Umur Minimum Untuk Kawin


di Kabupaten Bangkalan Madura", Laporan Penelitian,
Surabaya: PSHP. Fakulyas Hukum UNAIR
Alf-ian, 1991. Komunikasi Politik dan Sistem Politik Indonesia,
Jakarta: Gramedia.

Alfian, Tan, Mely G. dan Soemardjan, Selo, 1980. Kemiskinan


Struktural: Suatu Bunga Rampai, Jakarta: Yayasan Ilmu-
llmu Sosial, cet. 1.

Alibasah, Pratomo M., 1979. "Masalah Profesi


Kesehatan", dalam Hukum No. 6 Tahun V, 1,
terbitan Yayasan Peneliåan dan
Pengembangan Hukum (Law Center).

178
Pranatn Sebuah Telaah Sosial
Anderson, J.E. 1979. Public Policy Making. New York: Halt,
Rinehart and Winston.

Athur, Edwin 1968, Law and Society, A Sociological


View, New York: Random House, halaman 127-135.
Atiyah, PS. 1983. Law and Modem Society. New York: Oxford University
Press.

Attamimi, Hamid, 1990. "Proses Pembuatan Perundang-undangan


diånjau dari Aspek Filsafa€', Kursus Penyegaran
Perancangan Perurtdang-undangan, Semarang.
Badrutzaman, Mariam Darus, 1981. "Perl-indungan Terhadap Konsumen
Dilihat Dari Sudut Perjanjian Baku", dalam Hukum dan
Keadilan, No. 17, Tahun IX, Januari — Pebruari.

Barkun, Michael. 1973. Law and The Social System.


New York: Liaber Atherton.
Bertalanffy, Ludwig Von. 1971. General System Theory, Foundation,
Development, Applications. Penguin Books, Middle-sex.
Bodenheimer, Edgar. 1962. Yurisprudznce. The Philosophy and
Method of flie Law. Cambridge.
Brian, Hoogwood W. & Gunn, Lewis, 1984. Policy Analysis for the Real
World, Oxford University Press.
Hukum,

Caroko, H., 1981. "Pembangunan Pedesaan, Fokus


Pembangunan Nasional", dalam Analisa, Tahun X,
No. j, Maret.
Castle, Lance, 1991. Birokrasi dan Masyarakat
Indonesia dalam Birokrasi Kepemimpinan dan
Resolusi Indonesia, Kumpulan Essai, Hapsara.
Cavendish Law Card, 1997, Jurisprudence,
Cavendish Publishing Lirnited.
Gambliss, William J. & Seidman, Robert B, 1971.
Law, Order and Power, Reading Mass: Addition
— VVestley.
d'Anjau L.J.M., 1986. Actoren en Factcren In Het
Wetgeving's Process, Zewlle, WE], Tjeenk,
Willink.

179
Esmi Warassih
Dickerson, R. 1965. The Fundamentals of Legal Drafting. Boston
Toronto: Little, Brown and Co.

Dias, Clarence J., 1975. "Research on Legal


Services and Poverty, its Relevance to
the Design of Legal Services Program in
Developing Countries", dalam Washington
University Latv Guarterly, No. 1 Tahun,
halaman 147-163.
Dror, Yehezkel. 1971. "Law and social Change",
dalam Yoel B. Grosman dan Mary H. Grossman,
Law and change in Modern America, Pacific
Polisades: Cul Goodyear Publishing Inc,
halaman 36-39.
1971. Ventures in Policy Sciences.
Amsterdam: Elsevier.
1977. "Policy Sciences View of Law",
dalam Dror, Yehezkel, Ventures in Policy
Sciences. North-Holland Inc, Second
Printing.

Durkheim, Emile, 1964. The Division of Labor


in Society, George Simpson, (tansi), New
York: The Free Press, Evers.
Feith, Hubert, 1987, Repressive — Developmentalist
Region in Asia, Unpublished Paper.
Florence, David We, Informing Patients The Need The Latv; The
Dilema, Mineapolis: Minnessota (USA).
Franck, Thomas M. & Weisband Edward (ed.), 1974. Seecrcy and Foreign
Policy. New York: Oxford University Press.

Friedman, Lawrence M, 1972. 'ZI-aw and Development, A


General Model", dalam Law and Society Review, No. VI/
1972.
1986. Legal Culture and The Welfare State dalam
Gunther Teubner, Dilemmas of Latv in The Welfare
State, Walter de Gruyter & Co.

180
Pranatn Sebuah Telaah Sosial
1986. The Legal System: A Social
Science Perspective, New York: Russel
Sage Foundaåons.
1969. "On Legal Developmen€', dalam Rutgers Law
Reviav, No. 1, halaman 27-30, aljh bahasa Rachmadi Djoko
Soemadijo.
Friedmann, Wolfgang, 1953, Legal Theory, London: Stevens &
Sons Limited.
Fuller, Lon Ia., 1971. The Morality of Law, Edisi
Revisi, New Haven & London: Yale University
Press.
Galanter, Marc, 1983. "Mega Law and Mega Lawyer
in The Contemporary United State", dalam The
Sociology of The Profession, Dringwalt,
Lewis eds.
"Modernisasi Sistem Hukum dalarn Modernisasi,
Dinamika Pertumbuhan", dalam Myron Weina, Voice of
America Forum Lectures.

Geertz, Clifford, 1974. Afterword: The Politics


of Meaning Clair Holt (ex), Culture and
Politics ill Indonesia. New York: Cornell
University Press.
Ham, Cristhoper and Hill, Michael. 1985. The Policy Process In The
Modern Capitalist State. The Harvester Press.
Hans Dieters. 1994. "Trade, Market Expasion and Political Pluralism:
Southeast Asia and Europe Compared", dalam Hans Dieter Evers
dan Heike Schradenr The Moral Economy of Trade Ethnicity and
Developing Market. London: Routledge.

Harry C., 1973. "Law as an Integraäve Mechanism", dalam


Vilheim Aubert (ed), Sociology ofLgw, Middlesex:
Penguin Books.
Hayt and Hayt, 1964. Legal Aspects of Medical Records, Physicians,
Record Company Berwyn, Illionis.

Hart, H.L.A., 1972. The Concept of Lmo,


London: London University Press.

181
Esmi Warassih
Hartono Sunaryati, 1975. "Peranan Kesadaran Hukum Rakyat
dalam Pembangunan", Naskah Simposium Keasaran Hukum
Masyarakat dalam Masa Transisi, Jakarta: BPHN.
Harris, J.W., 1982. Law and Legal Science, Clarendom Press, Oxford.

Hikam, Muhammad As. 1996. Demokrasi dan Civil Society, LP3ES,


Jakarta
Howard, CG dan Mumners R.S., 1969. Law: Its
Nature and Limits. New Jersey: Prenåce-Ha11,
halaman 46-47.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Semarang. Buletin Kesehatan,
Vol. VI, No. 1, Mei 1981.

International Legal Center New York, 1975. "Légal


Educaåon in a Changing World", Report cf the
Committee in Legal Education in the Developing
Countries, New York
lyer, V. R. Krishna, 1976. Social Mission of Lazv, Bombay: Orient
Longman.

Jakti, Dorodjatun Kuntjoro, 1978. UMau ke Mana


Kita dengan Pembangunan Ekonomi ini", dalam
Majalah Prisma, No. 10, Edisi November.
Kayam, Umar, 1989. "Transformasi Budaya Kita",
Pidato Pengukuhm Jabatan Guru Besar,
Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM.
Kantaprawira, Rusadi, 1987. Pendekatarz Sistem dalam Ilmu-llmu
Sosial, Sinar Baru Bandung.

Kartodirdjo, Sartono, 1979. "Masyarakat Pedesaan dalam


Pembangunan, Menyumbangkan Teknologi Berwajah
Manusiawi", dalam Prisma No. 6, Edisi Juni.
Karyadi, M, Reglemen Indonesia yang Dibaharui, S
1941 No. 44, Bogor: Penerbit Politeia.
King, Josephine Y, A Commentary on the Report of
Malpractiæ Commission, New York (USA):
Haspstra University, Hempstead.

Koeswadi, Hermien Hadiati, 1981. "Peranan Pendidikan Kedokteran dalam Mengakan


Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pemantapan Ciba Dokter di dalam
Masyarakat", Makalah Panel Diskusi, DiselQggarakan Oleh Fakultas Hukum
Unair Surabaya.

182
Pranatn Sebuah Telaah Sosial
Koentjoroningrat, 1975. "Pergeseran Nilai-Nilai Budaya dalam Masa Transisi", Makalah Simposium
Kesadaran Hukum Masyarakat dalam Masa Transisi. Jakarta: BPHN-Binacipta.

1974. Kebudayaan Mentalitet dan


Pembangunan, Jakarta: Gramedia.
Kelsen, Hans, 1945. The General Theory of Lato and State, New York:
Russel & Russel.
Kunio, Yoshihara, 1991. Kapitalisme Semu Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES. Lev,
Daniel S., 1973. "Peradilan dan Kultur Hukum Indonesia", dalam Prisma, No. 6,
Tahun II, Edisi Desember.
1977. "Lembaga Peradilan dan Kultur Hukum di Indonesia" dalam Yahya A.
Muhaimin dan Colin Mac Andrew, Masalah-masalah Pembangunm Politik, Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.

Mahfud MD, Moh, 1996. "Demokraüsasi dalam Rangkaian Pembangunan


Hukum yang Responsif", Makalah Seminar Pembentukan Asosiasi
Pengajar Sosiologi Hukum di Indonesia, Pusat Studi Hukum dan
Masyarakat, Fakultas Hukum Undip, Semarang.
Mertokusumo, Sudilmo, 1986. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberti
Jogyakarta.
Moeljatno, 1979, Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(Edisi Terjemahan), cet.
Montgonery, John D. & Siffin, William J., 19.... The Politics of
Development Administration.
Muhaimin, Yahya A, 1990. Bisnis dan Politik Kebijaksanaan Ekonomi
1950 - 1980, LP3ES, Jakarta.
Mubyarto, 1980. Ilmu Ekonomi, Ilmu Sosial dan Keadilan, Yayasan Agro Ekonomika.

183
Esmi Warassih

Mursito, Sunarto Ndaru, 1981. "Gambaran Umum Tentang


Pembangunan Pedesaan di Indonesia", dalam Analisa,
Tahun X, No. 3.
Nagel, S. Stuart (Ed.), 1970. Law and Social Change, London:
Sage Publication.

Nasikun, 1996. "Globalisasi dan Problemaåka


Pembangunan Hukum, Suatu Tinjauan
Sosiologi", Seminar Pembentukan Asosiasi
Pengajar Sosiologi Hukum di Indonesia,
Pusat Studi Hukum dan Masyarakat,
Fakultas Hukum Undip, Semarang.
Nusantara, Abdul Hakim G., 1981. "Bantuan Hukum dan
Kemiskinan Struktural", dalam Prisma, No. 1, Edisi
Januari.
Nonet, Philippe and Selmick. 1978. Law and
Society in Transition: Tavard Responsive
Law. New York: Harper and Row.
Parsons Wayne, "Public Policy : Pengantar Teori
dan Prakåk Analisis Kebijakan", Jakarta:
Kencana, 2011
Paul, James CN dan Dias, Clarence J. 1960. "Law
and Legal Resources in the Mobilization of
the Rural Poor for Self-Reliant
Developmen€', dalam International for Law in
Development, Edisi Juli.
Paul Minn, St. (Ed.), 1979, Black's Law
Dictionary, st. Paul Minn.
Permadi, 1980. "Pola Sikap Masyarakat terhadap
Masalah Perlindungan Konsumen", dalam Hukum
dan Keadilan, No. 16 Tahun VIll, Edisi
Nopember-Desember.
Postner, Richard A. 1993. The Problems of Jurisprudence. London:
Harvard University Press.
2001. Frontiers of Legal Theory. London. Harvard
Univ. Press.
Prijono, Onny S. dkk. 1996. Pemberdayaan Konsep, Kebijakan dan
Implementasi. Jakarta: Centre For Strategic and Internaåonal
Studies.

184
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!

PSHM Fakultas Hukum UNDIP, 1976, "Peranan Kesadaran Hukum


Masyarakat dalam Pelaksanaan Undang-Undang Bagi
Hasil", Laporan Hasil Penelitian, Semarang: FH UNDIP.

Purbacaraka, Purnadi & Soekanto, Soerjono, 1978, Perihal Kaedah Hukum, Bandung:
Penerbit Alumniâ
Rahardjo, Satjipto, 1972. ”Hukum dalam Kerangka Ilmu-llmu Sosial dan Budaya”, dalam Masalah-
masalah Hukum, No. 1, Terbitan Fakultas Hukum Undip.

1977. Pemanfaatan Ilmu-llmu Sosial bagi Pengmebangan Ilmu


Hukum, Bandung: Penerbit Alumni.

1978. ”Kode Etik Kedokteran Ditinjau dari Segi


Hukum”, Kertas Kerja pada Simposium Kode Etik Kedokteran
Indonesia, Semarang, 2-3 Desember.
1979. ”Pemanfaatan Sosiologi untuk Pembangunan Ilmu Hukum”,
dalam Hukum dan Pembangunan, No. 2, Terbitan Fakultas Hukum UI.
1979. Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung: Penerbit Alumni.

1979. '1Modernisasi dan Perkembangan Kesadaran


Hukum Masyaraka€', dalam Majalah Hukum, No. 6 Tahun
V/1979.
1979. ”Budaya Hukum”, Materi Ceramah pada Seminar
Hukum Nasional ke-IV di Jakarta.
1980. Hukunt, A/fnsyarakat dan Pełnbangunan, Bandung: Alumni.

1981. Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan


Sosiologis, Bandung: BPHN & Sinar Bandung.
1980. Hukum dan Masyarakat, Bandung: Penerbit Angkasa.
1991. Ilmu Hukum, Bandung: Penerbit Alumni.

1996. ”Pembangunan Hukum di Indonesia dalam


Konteks Situasi Global”, Makalah Seminar dan Pertemuan Staf
Pengajar/Peminat Sosiologi Hukum se-Jawa Tengah dan DIY,
Universitas Muhammadiyah, Surkarta.
1998a. "Pembangunan Hukum di Indonesia
Perspektif Sejarah”, Makalah Simposium Ilmu Hukum Paradigma
dalam 11mu Hukum Indonesia, dalam RG'tgka Dies Natalis FH undip
ke-41, Bekerjasama dengan Pusat Kajian Hukum

185
Esmi Warassih

Indonesia bagian Tengah dan Program Dokto." 11mu Hukum Undip


Semarang.

1998b "Pendayagunaan Sosiologi Hukum untuk Memahami


Proses-proses Sosial dalam Konteks Pembangunan
dan Globalisasi", Makalah Seminar Nasional Sosiologi Hukum dan
Pembentukali Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia, Pusat Studi Hukum
dan Masyarakat Fakultas Hukum Undip, Semarang.
Raz, Joseph, 1973. The Concept of a Legal Syste m, An Introduction to the Theory of Legal System,
London: Oxford University Press.

1980. The Conæpt of Legal System, London-Oxford: Clarendom Press.


Rourke, Francis E, 1976. Bareaneracy, Pilities an Public Policy, Toronto: Litle — Brown and Co.
Ritzer, George, 1980. Sociology A Multiple Paradigma Science, New York: Allyn and Bacon Inc.

Sigler, Yay A & Beede, Benyamin R, The Legal Sources of Public Policy, The
Heath and co.
Tjokroamidjojo, Bintoro, 1974. Pengantar
Administrasi Pembangunan, Jakarta: LP3ES.
United Naåon Administration of Development Programmes and Projects, Jane Mayor Issue.
Vago, Steven L., 1981. Law and Society, Prenåce Hali, Inct-Jersey.

Salim, Emil, 1980. Perencanan Pembangunan dan Pemerataan


Pendapatan, Jakarta: Yayasan Idayu.
Singarimbun, Masri, 1978. Pola Konsumsi ke Arah Pemerataan, dalam
Majalah Prisma, No. 10.
Santoso, Bambang Prameng & Sofwan Dahlan, 1981. "Malpractice",
Materi Ceramah Klimk, Fakultas Kedokteran Undip, 4 April.
Sianturi, R., 1980. "Perlindungan Konsumen Dilihat dari Sudut
Peraturan Perundang-undangan", dalam Hukum dan Keadilan,
No. 16 Tahun VIII, Edisi Nopember-Desembero

Sing, Ko Tjay, 1978. Rahasia Pekzrjaan Dokter dan


Advokat, Jakarta: Gramedia.
Soemardjan, Selo, 1976. t'Ketimpangan-ketimpangan da!am Pembangunan Pemngalaman
di Indonesia", dalam Sudarsono Yuwono (ed.). Pembangunm dan Perubahan
Politik. Jakarta: Gramedia.

186
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!

Subekti, R dan Tjitrosudibio, 1961. Kitab Undang-Undang Hukum


Perdata (terjemahzn). Jakarta: Pradnya Paramita.
Susanto, S. Astrid, 1977. Pengantar Sosiologi dan
Perubahan Sosial, Cet. I, Bandung: Binacipta.

Seidman dalam Law and Society Review, No. VI, halaman 311-339.
1978. The State, Law and Development, New York: St. Mar€n's Press.

Shrode, William A. & Voich, Dan, 1974. Organization and Management, Basic System Concepts.
Tllahassee, Fla Florida State University.

Sidharta, B. Arief, 1996. Refleksi tentang Hukum. Bandung. PT. Citra Aditya Bakti.

Singarimbun, Maski dan Penny, D.H., 1976. Penduduk dm Kemiskiltm: Kasus Srihardjo
di Pedesam Jawa. Jakarta: Bharata Karya Aksara,

Sukirno, Sadono, 1976. Beberapa Aspek dalam Persoalan Pembangunan Daerah. Jakarta: Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Soedjatmoko, 1978. "Berbagai Kebijaksanaan Nasional dari Model


Kebutuhan Dasar", dalam Majalah Prisma, No. 10, Edisi
November.
1980. Sistem Politik dan Pembangunan dalam Agenda
Penelitian Asia, Sebuah Renungan. Jakarta: Prisma-LP3ES.
1980. "Dimensi-dimensi Struktural Kemiskinan", dalam Majalah Prisma, No.
10, Edisi Februari.

Soekanto, Soerjono, 1973. Pengantar Sosiologi


Hukum, Jakarta: Penerbit Bhatara.

1976. Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka


Pembangunan di Indonesia, Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas
Indonesia.

1976. Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan


Hukum, Bandung: Penerbit Alimni.

& Taneko, Soleman B, 1981. Hukum Adat


Indonesia, Jakarta: Rajawali Press.

187
Esmi Warassih

1982. Kesadaran Hukum dan kepatuhan Hukum,


Jakarta: Penerbit Rajawali.
Suriasumantri, Yuyun S., 1979. "Dua Pola Kebudayaan: nmu-ilmu Alam
dan Ilmu-ilmu Sosial", Artikel dalam Kompas, .28 Mei, halaman
IV.
Stone, Yulius, 1969. Where Law and Social Science Stand, Lw.l and the
Social Sciences, Mineapolis: University of
Minuesota Press.
Tim Pembinaan Penataran P-4 Pegawai Republik Indonesia, 1978. Buku
111 (GBHN), Edisi pertama.
1978. Undang-Undang Dasar, Pedcman
Penghayatan dan PengamaZan PancasiZa (Ketetapan MPR
No. 11/MPR/1978), GarisGaris Besar Haluan Negara (Ketetapan
A{PR No. IV/MPR/1978).
Teubner, Gunther, 1985. The Transformation of Law in the Welfare State Dilemmas ofLaw in the
Welfare State, WIater de Gruyter.

Trubek, David M, 1993. "Global Restructuring and The Laws, Studies of


The Lnternalizaüon of Legal Fields and The
Creation of Transitional Arenas", The paper is based on
studies conducted by research groups at the Global Studies
Research Program (GSRP) at the University of
Wincosin - Madison and the Center Researches
Interdicipljnaries de Vancresson (CRIV).
1972. "Toward a Social Theory of Law: Essay on the
Study of Law and Development", dalam Yale Law Journal, Vol.
82, #1, halaman 1-50.
Turner, Yonathan H., 1974. The Structure of Sociological Theory, The Dorsey
Press.
Van Vollenhoven, C., 1981. Petzemuan Hukum Adat, Jakarta: Penerbit
Djambatano
Van De Gevel, AAJS, 1984. HPJ Van De Bestuurs system, Een
Inleidding in de bestuurskunde,H.E. Stenfert Kroese BV.,
Leiden/ Anwverpen

Warassih, Esmi, 1980. "Hasil Pengamatan serta


Wawancara dengan Penduduk di Beberapa Desa di

188
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!

Jawa Tengah" , Laporan Pelatihan Penelitian oleh


Fakultas Hukum undip, Tahun 1979/1980.
1991. "Implementasi Kebijaksanaan Pemerintah
melalui Peraturan Perundang-undangan dalam Perspektif
Sosiologis", Disertasi Program Pasca Sarjana, UNAIR,
Surabaya.

1996. "Pot-ret Hukum Modern dalam


Transformasi Sosial, Deskripsi tentang Hukum di
Indonesia", Makalah Seminar Hukum tentang Hukum
dan Perubahan Sosial dalam Agenda Globalisasi,
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah,
Surakarta

1998. "Pemberdayaan Hukum melalui


Pembangunan Alternaåf sebagai The
Paradigm of Reversal", Makalah pada
Renungan Kemerdzkaan RI, Fakulats Hukum
Undip, Semarang.
Weber, Max, 1954. On Law in Economy and Society,
New York, A Clarion Boah.
Weldon, Piter D., 1976. "Perataan Fasilitas Lebih
Relevan", dalam Majalah Prisma, No. 1, Edisi
Februari.
Wignjosoebroto, Soetandyo, 1980. "Keadilan Sosial: Sebuah
Perbincangan tentang Kebutuhan Golongan Miskin dan Apa
yang dapat diperbuat oleh Hukum untuk Memenuhinya",
Surabaya: FIS-Unair.

189
Pranatn Sebuah Telaah Sosial
INDEK
S
A 9
d 5
e A
l d
m v
a o
n k
, a
t
1 ,
3
9 1
A 7
d 9
m ,
i
n 1
i 9
s 5
t A
r d
a v
å o
o k
n a
, t

1
3 1
2 9
, 5
A
1
9
f
1 d
, o
l
1 ,

190
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
2
9 ,
4
, 1
8
9 7
9 A
, l
f
1 i
1 a
2 n
, ,

1 6
8 1
7 ,

6
A 2
f ,
d
o 1
l 3
„ 7
,
9
4 1
, 8
7
9 A
l
9 f
, i
a
1 n

1

191
Warassih

6
1
,
9
4
6
2
, 1
8
1
3 9
7 A
, m
e
1
8
r
7 i
A c
m a
e
r F
i o
c r
a u
m
F
o L
r e
u c
m t
u
L r
e e
c s
t „
u
r 9
e 4
s A
n
,

192
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
d 3
e 4
r A
s
s
o
n o
, s
i
5 a
6 s
, i

1 S
2 o
5
s
,
i
o
1
8 l
7 o
g
i
A
s H
a u
s k
u
p m
e ,
m
e
r 7
a 4
t ,
a
a 1
n 9
,
4
1

193
Warassih

A
t 1
t 8
a 9
m A
i u
f
m
k
i l
, a
r
4 u
9 n
, g
,
5
1
5
5
, 7
B
1 a
8 n
7 g
A k
u a
l
b
a
e n
r
t M
, a
d
4 u
3 r
, a
,

5
9
8 9
, ,

194
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
t
o
1
n
8 ,
7
B 7
a 6
r B
k
e
u
n n
, e
t
3 t
3 o
, n

1
8 7
7 6
B B
e e
e n
d t
e h
a
,
m
,
1
2 4
5 0
, ,

1 7
9 0
4 B
B e
e r
n t
e a
t l
a

195
Warassih

n 2
f
y
9
, ,

5 1
2 3
B 1
i ,
r
o 1
k 8
r 7
a B
s r
i u
, g
g
6 i
5 n
, k
,
6
9 1
, 5
8
1 ,
8
8 1
B 8
r 8
i B
a u
n d
, a
y
1 a

196
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
, 0
,
i 9
i 2
i ,
, 9
4
x ,
i 1
, 0
2
x ,
i 1
i 6
, 3
,
x 1
i 6
v 4
, ,

x 1
i 6
x 7
, ,

x 1
x 9
, 0
2 ,
3
, 1
7
9
3
1
,
,
8

197
Warassih

1 1
6
9 4
3 B
, u
l
1 l
e
9
t
4 i
, n
2
0 K
2 e
, s
2 e
h
0
a
3 t
B
a
u
d n
a ,
y
a 1
7
h 3
u
k B
u u
m l
,
l
1
e
0 t
2 i
,
n
1
6 K
3 e
, s
e

198
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
h m
a b
t l
a i
n s
„ s
,
1
7 8
3 4
B ,
u
r 8
k 5
h ,
a
r 8
d 6
t ,

K 9
r 0
e ,
m
s 1
, 0
4
4 ,
9 1
, 1
1
5 ,
5 1
C 1
h 4
a

199
Warassih

C t
i i
s
t
,
a
x
h i
u x
k ,
u
m 4
, 8
,
5
4 5
5
C
o D
l e
i w
n a
, n
6 P
4
e
,
m
9 b
0 i
, n
a
1
9 G
1 o
D
l
e
m
k
o a
k r
r ,
a

200
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
8
6 8
3 D
D i
i n
c a
k m
e i
r k
s a
o
n p
, e
m
5 b
0 a
, n
g
5 u
1 n
, a
n
,
5
6
, 6
3
5 D
u
8
r
,
h
e
1
i
2
m
8
,
8
7
1
,

201
Warassih
6
,
1
8 5
8 4
,
D
y
5
e
8
, ,

5 7
0 5
,
,
8
1 2
2 ,
5
, 1
8
9
1 ,
2
6 1
, 9
0
,
1
2 1
7 9
, 1
R
1 e
4 4
6
H 5
a 1
n
s
,
,
1
4 2
5 8
,
T
h
4

202
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
o ,
m
a 1
s 2
6
R ,
,
1
5 2
0 7
, ,

1 1
2 4
5 6
Esrni

Sum
ber
Nas
kah
Prolo
g:
"Basis
Sosial
Hukum:
Pertau
tan
Ilmu
Hukum
dengan
Ilmu
Penget

203
Warassih

ahuan
Sosial
l
',
dalam
Majala
h
llmiah
Masala
h-
Masala
h
Hukum,
terbit
an
Fakult
as
Hukum
Univer
sitas
Dipone
goro,
Nomor
5
Tahun
XIV-
1984,
halama
n 43-
49.
Tulisa
n ini
semula
berjud
ul
"Perta
utan
Ilmu
Penget
ahuan

204
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
Hukum
dengan
Ilmu
Penget
ahuan
Sosial
".

Bagia
n
Perta
ma:
Cita
Hukum
1. "Huk
um
seba
gai
Sist
em
Norm
a
dan
Fung
si-
Fung
siny
a",
dala
m
Maja
lah
llmi
ah
Masa
lah-
Masa
lah
Huku
m,

205
Warassih

terb
itan
Faku
ltas
Huku
m
Univ
ersi
tas
Dipo
nego
ro,
Nomo
r 5
Tahu
n
XXI-
1984
,
hala
man
3-9.
2. "Fun
gsi
Cita
Huku
m
dala
m
Pemb
angu
nan
Huku
m
yang
Demo
krat
is",
dala
m
Maja

206
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
lah
llmi
ah
Aren
a
Huku
m,
terb
itan
Faku
ltas
Huku
m
Univ
ersi
tas
Braw
ijay
a,
Nomo
r 15
Tahu
n
ke-
4,
ilA
ovem
ber
2001
,
hala
man
354-
361.
Tuli
san
ini
semu
la
berj
udul
"Fun

207
Warassih

gsi
Cita
Huku
m
dala
m
Peny
usun
an
Pera
tura
n
Peru
ndan
gan
yang
Demo
krat
is".
3. nPe
rge
ser
an
Par
adi
gma
Huk
um:
Dar
i
Par
adi
gma
kek
uas
aan
Menu
ju

208
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
Para
digm
a
Mora
l",
dala
m
Maja
lah
llmi
ah
Aren
a
Huku
m,
terb
itan
Faku
ltas
Huku
m
Univ
ersi
tas
Braw
ijay
a,
Nomo
r 9
Tahu
n
ke-
3,
Nove
mber
1999
,
hala
man
106-
109.
Tuli

209
Warassih

san
ini
semu
la
berj
udul
"Par
adig
ma
Keku
asaa
n
dan
Tran
sfor
masi
Soci
al:
Desk
rips
i
tent
ang
Huku
m di
Indo
nesi
a
dala
m
Agen
da
Glob
al".

Bagia
n
Kedua
:
Buday

210
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!

a
Hukum
1. l'Pe
ran
an
Kul
tur
Huk
um
dal
am
Pen
ega
kka
n
Huk
um"
,
dal
am
2. Maj
ala
h
llm
iah
Mas
ala
h-
Mas
ala
h
Huk
um,
ter
bit
an
Fak
ult
as

211
Warassih

Huk
um
Uni
ver
sit
as
Dip
one
gor
o,
Nom
or
2
Tah
un
199
5,
hal
ama
n
16-
22.
3. l'Pe
ngar
uh
Buda
ya
Huku
m
terh
adap
Fung
si
Huku
m",
dala
m
Satj
ipto
Raha

212
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
rdjo
(Ed)
,
Huku
m
dala
m
Pers
pekt
if
Sosi
al,
Band
ung:
Pene
rbit
Alum
ni,
1981
,
hala
man
123-
140.
4. "Pe
mbi
naa
n
Kes
ada
ran
Huk
um"
,
dal
am
Maj
ala
h

213
Warassih

Umi
ah

M
a
s
a
l
a
h
-
M
a
s
a
l
a
h

H
u
k
u
m
,

t
e
r
b
i
t
a
n

214
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
F
a
k
u
l
t
a
s

H
u
k
u
m

U
n
i
v
e
r
s
i
t
a
s

D
i
p
o
n
e
g
o
r
o

215
Warassih

'
o

'
N
o
m
o
r

T
a
h
u
n

X
I
I
I
-
1
9
8
3
,

h
a
l
a
m

216
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
a
n

8
-
1
5
.
Bagia
n
Ketig
a:
Hukum
dan
Publi
c
Polic
e
1. "Hu
kum
dan
Keb
ija
ksa
naa
n
Pub
lik
",
dal
am
Maj
ala
h
Ilm
iah
Mas
ala

217
Warassih

h-
Mas
ala
h
Huk
um,
ter
bit
an
Fak
ult
as
Huk
um
Uni
ver
sit
as
Dip
one
gor
o,
Nom
or
11
Tah
un
199
4,
hal
ama
n
19-
23.
Tul
isa
n
ini
sem
ula
ber
jud

218
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
ul:
"Ke
gun
aan
Tel
aah
'Ke
bij
aks
ana
an
Pub
lik
'
ter
had
ap
Per
ana
n
Huk
um
di
dal
am
Mas
yar
aka
t
Dew
asa
Ini
(Se
bua
h
Pen
gan
tar
) n
.

219
Warassih

2. "Ke
bij
aks
ana
an,
Huk
um.
dan
Pem
era
taa
n
Pem
ban
gun
an"
,
dal
am
Maj
ala
h
Ilm
iah
Mas
ala
h-
Mas
ala
h
Huk
um,
ter
bit
an
Fak
ult
as
Huk
um
Uni

220
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
ver
sit
as
Dip
one
aor
o;
Nom
or
1
Tah
un
198
3,
hal
ama
n
32-
40.
Tul
isa
n
ini
sem
ula
ber
jud
ul
"Ke
bij
aks
ana
an
Pem
era
taa
n
dal
am
Pem
ban
gun

221
Warassih

an"
.
3. H

Hu
ku
m
da
n
Pe
mb
an
gu
na
nn
,
Po
ko
k-
Po
ko
k
Pi
ki
ra
n
ya
ng
di
sa
mp
ai
ka
n
da

222
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!

la
m
St
ud
iu
m
Ge
ne
ra
l
Ma
ha
si
sw
a
Fa
ku
lt
as
Hu
ku
m
Un
iv
er
si
ta
s
Is
la
m
Ba
nd
un

223
Warassih

g
(U
NI
SB
A)
pa
da
ta
ng
ga
l
2
Ap
ri
l
19
98
.
4. "P
ar
ad
ig
ma
Re
ve
rs
al
:
Pe
mb
er
da
ya
an
Hu
ku

224
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
m
Me
la
lu
i
Pe
mb
an
gu
na
n
Al
te
rn
at
if
",
da
la
m
Hi
ro
da
i-
UN
DI
P
of
La
w
an
d
Po
li
ti
ca
l
Re
vi

225
Warassih

ew
,
Ed
is
i
kh
us
us
,
Ma
re
t
20
01
,
ke
rj
a
sa
ma
an
ta
ra
Un
iv
er
si
ta
s
Di
po
ne
go
ro
de
ng
an
Hi
ro

226
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
sh
im
a
Un
iv
er
si
ty
Je
pa
ng
.
Tu
li
sa
n
in
i
se
mu
la
be
rj
ud
ul
"L
aw
Em
po
we
rm
en
t
Th
ro
ug
h
Al
te

227
Warassih

rn
at
iv
e
De
ve
lo
pm
en
t
as
th
e
Pa
ra
di
m
of
Re
ve
rs
al
".
5. "P
er
li
nd
un
ga
n
Hu
ku
m
te
rh
ad

228
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!

ap
Pa
si
en
:
Ka
su
s
Ma
lp
ra
ct
ic
e"
,
da
la
m
Sa
tj
ip
to
Ra
ha
rd
jo
(E
d)
,
Hu
ku
m
da
la

229
Warassih

m
Pe
rs
pe
kt
if
So
si
al
,
Ba
nd
un
g:
Pe
ne
rb
it
Al
um
ni
,
19
81
,
ha
la
ma
n
59
-
79
.
Tu

230
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!

li
sa
n
in
i
se
mu
la
be
rj
ud
ul
"P
er
li
nd
un
ga
n
Hu
ku
m
te
rh
ad
ap
Pa
si
en
Ak
ib
at
Ma
lp

231
Warassih

ra
ct
ic
e"
.
Epilo
g:
"Pend
ekatan
Interd
isipli
ner
terhad
ap
Hukum:
Sebuah
Kenisc
ayaan
n
,
Pokok-
Pokok
Pikira
n yang
disamp
aikan
pada
Semilo
ka
Pengka
jian
Materi
dan
Penyus
unan
Silabi
Mata

232
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!
Kuliah
Sosiol
ogi
Hukum
dan
Hukum
dan
Masyar
akat
Fakult
as
Hukum
Unive
rsitas
Dipone
goro,
Semara
ng,
tangga
l 27-
28
Februa
ri
2004.
Tulisa
n ini
semula
berjud
ul
"Kegun
aan
Pendek
atan
Interd
isipli
ner
terhad

233
Warassih

ap
Hukumn
.

234
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!

BIODATA PENULIS
Prof. Dr. Esmi Warassih Pujirahayu, SH., MS. adalah
Guru Besar bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Unuversitas
Diponegoro (UNDIP) Semarang. la dilahirkan di Solo Jawa Tengah
pada tanggal 21 Oktober 1951. pendidikan Sekolah Dasar hingga
Pendidikan Tinggi Sfrata I (S-1) diselesaikan di Semarang Jawa
Tengah. Celar Sarjana Hukum (SH) diperoleh tahun 1975 di
Fakultas Hukum Undip, yalQi Fakultas yang kini menjadi tempat
untuk membalăkan ilmu pengetahuan hukum yang dimilikinya.
Sedangkan, gelar Magister Science (MS) bidang Sosiologi Hukum
(1983), dan gelar Doktor Ilmu Hukum (1991), ia peroleh di
Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya. Pada tahun 1986-1987
mengikuti Sandwich Program tentang Hukum Lingkungan dan
Kebijaksanaan Publik dibawah bimbingan Prof. Drupsteen di
Leiden University.
Selain mengajar di Fakultas Hukum UNDIP, ia juga
mengajar pada sejumlah Perguruan Tinggi di luar UNDIP (baik
untuk program S-1, S-2, dan S-3), di berbagai perguruan Tinggi
Negeri dan Swata. Dałam kapasitasnya sebagai akademisi, ia
dipercaya sebagai Rektor Universitas Pekalongan sejak 1999-
2005, Waki] Ketua Pusat Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas
Hukum UNDIP (1996-1999)/ Staf Ahli Lembaga Penelitian UNDIP
(1996-1997), anggota tim pembina untuk sejumlah Jurnal/Majalah
Ilmiah yang terbit di beberapa Perguruan Tinggi di Jawa, dan
sejak 1998 hingga sekarang aktif melayani konsultasi metodologi
penelitian hukum maupun sebagai promotor untuk mahasiswa
Program Doktor limu Hukum UNDIP. Pada tahun 1999 — 2005 Prof
Esmi dipercaya sebagai Rektor Universitas Pekalongan Jawa
Tengah.Selain iłu, Prof. Esmi pemah menjadi Ketua Program S2
Ilmu Hukum Unswagati 2005 hingga pertengahan 2008.SeIanjumya
Prof Esmi dipercaya sebagai Ketua Program Doktor Studi Ilmu
Hukum Universitas Diponegoro untuk periode 2008-2012.
Di sela-sela kesibukannya mengajar dan menjalankan
beberapa tugas akademik yang dipercayakan kepadanya, isteri
dari Drs. H. Abdullah Sodiq ini juga giat mempublikasikan ide
dan gagasannya tentang hukum dan masyarakat. Selain tersebar di
berbagai Jurnal/ Majalah Ilmiah dan beberapa buku kumpulan
tulisan,
ide dan gagasan yang tajam dan kritis tentang hukum dan masyarakat juga
dilontarkannya di berbagai forum seminar, semiloka, panel diskusi,
sarasehan, dan Iain sebagainya.

235
Esmi Warassih

Di lingkungan Direktorat Pembinaan Penelitian


dan Pengabdian pada Masyarakat Ditjen Dikti, Ibunda
dari Ida Nur'aini Noviyanti, S.Sos.MPd,MKom dan Dyah
Indah Noviyani,SPsi, M.Psi,.Psi. termasuk salah
seorang Peneliå Senior yang hingga kini dipercayakan
untuk menangani berbagai proyek penelitian, baik
dalam skala besar maupun kecil. Bahkan, Prof Esmi —
demikian ia biasa dipanggil — pemah dipercaya
menjadi penatar metodologi penelitian bidang
humaniora dan reviewer di lingkungan Ditjen Dikti
Depdiknas (1995-1997).

236
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!

BIODATA EDİTOR (ı)

Karolus Kopong Medan, SI-L MHum, lahir di AdonaraFlores


Timur Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), pada tanggal 22 April
1962. Pendidikan Sekolah Dasar hingga Sekolah Mengıgah Atas
(SMA) diselesaikan di Adonara-Flores (1971-1983). Menamatkan
pendidikan Sfrata-l pada Fakülüs Hükum Universitas Nusa Cendana
(UNDANA) Kupang tahun 1988. Tahun 1994 mengikuti Program S-2
(Magister) bidang limu Hükum di Universiüs Diponegoro (Undip)
dan menamatkannya pada tahun 1997. Sejak tahun 2001 menğkuti
Program Doktor (S-3) limu Hükum Universitas Diponegoro.
Terhitung sejak tahun 1990 hingga saat ini, menjadi staf
pengajar (dosan) pada Fakültas Hükum Universitas Nusa Cendana.
Tahun 1990-1991 menjadi Asisten Redaktur Pelaksana Surat Kabar
Kampus UVOKAL” terbitan Universitas Nusa Cendana. Pemah pula
menjadi Koresponden SKM DIAN yang terbit di Ende-Flores (1988-
1991), dan Wartawan "Perinfis” Surat Kabar Harian Pos Kupang
yang terbit di Kupang pada tahun 1992.
Pemah terlibat dalam beberapa proyek peneliüan yang
dibiayai oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Depdilmas dan ADB
bekerja sama dengan Leınbaga Peneliüan UNDANA. Terhitung sejak
tahun 2002, dipercaya untuk menangani proyek Rjset Unggulan
Kemasyarakatan dan Kemanusiaan (RUKK) III tahun 2002-2004
berjudul Pengembangan Pola Peradilan Semi-otonom Menurut Budaya
Lokal Lamahobt di Flores-Propinsi Nusa Tenggara Timur, yang
didanai oleh Kantor Kementrian Riset dan Teknologi bekerja sama
dengan UPI.
Pendidikan jumalistik yang pemah diikuti antara lain yang
secara rutin diselenggarakan oleh PMKRI-Cabang Kupang (19851988), dan
Pendidikan Jurnalistik Jarak Jauh Tingkat Dasar dan Menengah, yang
diselenggarakan oleh Biro Kursus Jumalistik Terbuka "Mandiri” Jakarta
tahun 1988. Mengikuü penaüran penulisan bükü ajar Perguruan Tinggi yang
diselenggarakan oleh Dirjen Dikti Depdilmas di Ujung Pandang pada bulan
September 1999.
Sejak masih mahasiswa hingga saat ini, aküf menulis
artikel untuk Majalah, Jurnal maupun Surat Kabar, terutama yang
terbit di Nusa Tenggara Timur. Sering mengikuti pula berbagai
seminar atau
diskusi ilmiah, baik di tingkat local maupun nasional. Beberapa buku yang pemah ditulis/dieditori, yalQi:
Budaya Lamaholot dalam Mitos, Ritus, Etika Adat, dan Praktek Penyelesaian Sengketa (sebagai Penulis)
bekerja sama dengan Kantor Kementrian Riset dan Teknologi dan LIPI, 2003, dan Sisi-Sisi Lain dari
Hukum di Indonesia (merupakan naskah kumpulan tulisan Prof. Dr. Satjito Rahardjo, SH.), yang diedit
bersama Dr. Frans J. Rengka, SH, MH dan diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas (2003).

237
Esmi Warassih

Sdr Kopong telah lulus sebagai Doktor Ilmu Hukum dengan karya disertasi
berjudul "Peradilan Rekonsiliatif: Konstruksi Penyelesaian Kasus-Kasus Kriminal
Menurut Tradisi Masyarakat Lamaholot di Flores, Propinsi Nusa Tenggara Timuf t
dibawah bimbingan Prof. Dr. Satjipto
Rahardjo, SH. dan Prof. Dr. Esmi Warassih,

238
Prenata Hukum, Sebuah Telaah Sosia!

BIODATA EDITOR (2)


Mahmutarom HR, SH, MH, lahir di Mranggen Demak Propinsi
Jawa Tengah, pada tanggal 18 Maret 1959. Pendidikan Sekolah
Dasar dan Madrasah Diniyah (19971), Sekolah Menengah Pertama
(SMP) dan Sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) tahun 1974
diselesaikan di Mranggen Demak. Selanjutnya, Sekolah Persiapan
IAIN (SP-IAIN) Walisongo di Semarang (1976).
Sarnbil berdagang (1977), mulai tahun 1978 mengikuå
pendidikan S-1 Program Ekstensi Fakultas Hukum UNTAG Semarang,
lulus Februari 1984. Tahun 1989 mengikuti Program Magister (S-
2) bidang Ilmu Hukum di KPK Ul-UNDIP Semarang dan lulus tahun
1992. Sejak tahun 2001 mengikuti Program Doktor (S-3) Ilmu
Hukum Universitas Diponegoro. Kiprah dan kepeduliannya terhadap
pengembangan bidang pendidikan, tergolong sangat tinggi.
Semenjak masih menekuni pendidikan Strata I, Tarom, demikian
nama akrabnya, sudah mendirikan lembaga pendidikan, dan
sekaligus menempati posisi penting dalam lembaga pendidikan
yang didirikannya. Tahun 1982, mendirikan SMP Nurussalam
Mranggen, dan menjabat Waldl Kepala Sekolah (sampai tahun
1985), Sekretaris Yayasan Nurussalam sampai sekarang. Tahun
1986, mendirikan Fakultas Syari'ah Institut Islam Walisembilan
Semarang (IIWS), yang merupakan pengembangan dari Fakultas
Hukum Islam UNNU Surakarta di Futuhiyyah Mranggen. Pada tahun
2000, membidani berdirinya Program Magister (S-2) Ilmu Hukum
UNTAG Semarang. Pada tahun yang sama (1999/2000) bersama
beberapa teman seperjuangannya semasa di IIWS mendirikan
Universitas Wahid Hasyim (UWH) Semarang dan sekaligus menjabat
Sekretaris Yayasan Wahid Hasyim sampai sekarang.
Beberapa jabatan akadernik yang pernah disandangnya, antara
Iain sebagai Sekretaris Fakultas Hukum Islam UNNU Surakarta di
Futuhiyyah Mranggen (1982-1986), Pembantu Dekan I Fakultas Syari'ah
Institut Islam Walisembilan (1984-1994), Pembantu Dekan II FS-IIWS
(1994-1998), menjadi Dosen Luar Biasa untuk mata kuliah Hukum Pidana
dan Hukum Acara di Fakultas Syari'ah IAIN Walisongo (1987-1997). Sejak
membaktikan ilmunya di Fakultas
Hukum UNTAG Semarang (1985-2001), ia pernah dipercayakan untuk

239
HIA-urrs SeMnhTcH1 Sœial

menduduki beberapa jabatan penting, antara lain: Sela•etaris Biro


Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) dan Ketua Pusat Kajian
Hukum dan Perundang-undangan PULTTBANG UNTAG (1987-
1989), Pembantu Delan 1 (1994-1999), dan Dekan (1999-2001).
Selain sibuk malgurus lembaga pendidikan, Tarom masih
menyempatkan diri untuk mengikuti berbagai macam
kursus/pelatihan dan seminar, baik di tingkat lokal Oawa Tengah)
maupun tingkat nasional. Beberapa pelaühan/penataran
Penataran Dosen Hukum Pidana dan Kriminologi Kerjasama
Indonesia-Belanda di Andalas Padang (1989),
AMDAL-A (1989), Seminar Kriminologi V (1989), International
Conference of Criminology (Nusa Dua Bali, 1989) dan Pelaühan
ManajemŒ1 University di UI Jakarta (1997) dan kegiabn lainnya.
PŒnah menjadi Pemakalah dalam forum seminar, antaxa lain dalam
Seminar Nasional "Peranan Hukum Pidana dalam Kebijakan
Ekonomi" di UNDP Semarang (1991), Seminar Nasional
"Penanggulangan Kejahatan Terpadu" di UNTAG (194), Pemakalah
dalam Seminar Regional/Hasil t&ltang
Daerah dalam Era Otonomi Daerah, Universitas Wahid Hasyim
(2000).
Beberapa karya dan kertas kaja yang pemah
dihasilkan antara lain "Poligami dalam Hukum Islam" (1987),
"Kebebasan dan Keterikatan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana"
(1988), "Hukum Islam dalam Paspektif Hukum
Nasional" (1990), dan "Rancang Bangun Hukum Nasional dalam
Visi Global" (2001). Saat ini selain sebagai Forum Komunikasi
Kelompok Bimbingan Haji dan Umroh Jawa Tengah juga
sedang menyelesaikan betjudul Konsep Keadilan
dalam Hukum Nasional dan Relevansinya dergan Pembaharuan
Hukum Pidana di Indonesia". Suatu upaya menggali nilai-nilai
keadilan Islam dan pemahaman masyarakat akan makia keadilan di
bawah bimbingan Prof. Dr. Esmi Warassih, SH.MS dan Abu

240
MA, Ph.D.Saat ini sdr Mahmutarom sudah mencapai gelar Doktor
dan telah menjadi Guru Besar di Univa•sitas Wahid Hasyim serta
menjabat sebagai Direktur Pasca %rjana-

241

Anda mungkin juga menyukai