PENDAHULUAN
Hukum Acara Pidana disebut juga dengan istilah hukum pidana formil,
yakni hukum yang mengatur tentang cara melaksanakan dan
mempertahankan hukum pidana materiil. Dengan kata lain, apabila terjadi
pelanggaran terhadap ketentuan hukum pidana materiil, maka menjadi
tugas dan tanggung jawab hukum pidana formil atau hukum acara pidana
untuk mencari dan menemukan siapa pelakunya serta bagaimana cara
memeriksa, mengadili dan menjatuhkan pidanya, termasuk pelaksanaan
pidanya.
1
tertulis oleh pejabat yang berwenang oleh UU dan hanya dalam hal dan
dengan cara yang diatur oleh UU (Asas legalitas dalam upaya paksa);
2
i. Asas bahwa pemeriksaan terhadap tersangka/terdakwa dilakukan
secara accusatoir dan inquisitoir.
a. Logika.
Dalam usaha menemukan kebenaran orang tentu menggunakan pikiran
dalam menghubungkan keterangan yang satu dengan yang lain dalam
hal ini digunakan logika. Bagian darihukum acara pidana yang paling
membutuhkan pemakaian logika adalah masalah pembuktian dan
metode penyelidikan. Dalam rangka menemukan kebenaran biasanya
dipergunakan dugaan atau hipotesis,selanjutnya bertitik tolak dari
hipotesis tersebut diusahakan pembuktian yang logis.
b. Psikologi.
Dalam rangka mengungkap isi hati tersangka/terdakwa, baik penyidik
maupun hakim seharusnya menguasai dan dapat menerapkan
pengetahuan psikologi, sehingga pemeriksa (penyidik maupun hakim)
perlu menempatkan diri bukan sebagai pemeriksa yang menggiring
tersangka/terdakwa ke penjara, melainklan sebagai kawan yang pada
akhirnya dapat berbicara dari hati ke hati. Apabila hubungan antara
pemeriksa dengan tersangka/terdakwa telah terbentuk, maka dengan
mudah pemeriksa dapat menyelinapkan pertanyaan-pertanyaan yang
menuju kepada pembuktian petunjuk/persangkaan kepada
tersangka/terdakwa.
c. Kriminalistik
Kalau psikologi sebagai ilmu pembantu berguna dalam hal
menghadapi manusianya (tersangka/terdakwa), maka kriminalistik
berguna dalam hal menilai faktanya dengan melakukan rekonstruksi.
Menurut Andi Hamzah, melukiskan kriminalistik sebagai
3
pengumpulan dan pengolahan data secara sistimatis yang dapat
berguna bagi penyidik dalam rangka merekonstruksi kejadian-kejadian
yang telah terjadi guna pembuktian. Adapunbagian-bagian
kriminalistik yang dipakai dalam pembuktian adalah ilmu tulisan, ilmu
kimia, fisiologi, anatomi patologik, toxiologi (ilmu racun),
pengetahuan tentang luka, daktiloskopi atau sidik jari, jejak kaki,
antropometri dan antropologi.
d. Psikiatri
Dalam rangka menemukan kebenaran materiil dari suatu perkara
pidana yang perlu diteliti tidak hanya manusia dan situasi yang normal,
akan tetapi terkadang juga hal-hal yang abnormal. Dalam hal
menemukantersangka/terdakwa yang diduga abnormal, maka ilmu
psikiatri sangat dibutuhkan. Adapun psikiatri yang diperguinakan
sebagai pembantu hukum acara pidana dinamakan psikiatri untuk
peradilan atau psikiatri forensic.
e. Kriminologi
Kriminologi diperlukan dalam usaha untuk mengetahui sebab-sebab
atau latar belakang terjadinya atau dilakukannya suatu perbuatan
pidana. Misalnya dalam perkara pidana korupsi yang dipandang
meraja lela, perlu diketahui sebab-sebab atau latar belakang dan
akibat-akibatnya, apakah oleh karena faktor gaji pegawai negeri yang
terlalu rendah atau karena kebudayaan atau karena modernisasi dllsb.
4
e. Peraturan Pemerintah (PP) No. 58 Tahun 2010, Tentang Perubahan
Atas PP No. 27 Tahun 1983, tentang Pelaksanaan KUHAP;
5
g. Pasal 323 KUHP, tentang Membuka Rahasia yang harus disimpan
karena pekerjaan/jabatan;
h. Pasal 332 KUHP, tentang Melarikan seorang perempuan di bawah
umur;
i. Pasal 367 KUHP, tentang Pencurian dalam lingkungan keluarga;
j. Pasal 370 KUHP, tentang Pemerasan dalam lingkungan keluarga;
k. Pasal 376 KUHP, tentang Penggelapan dalam lingkungan keluarga;
l. Pasal 394 KUHP, tentang Penipuan dalam lingkungan keluarga.
Persamaan :
Baik laporan maupun pengaduan, keduanya berisikan tentang
pemberitahuan dari seseorang kepada pejabat yang berwenang tentang
telah, sedang atau diduga akan terjadi perbuatan pidana.
Perbedaan :
6
tetapi hanya sekali dan tidak dapat diadukan ulang. (Pasal 75
KUHP);
2. GOLONGAN PAMEN :
AA. Komisaris Besar Polisi (Kolonel).
BB. Ajun Komisaris Besar Polisi/AKBP (Letnan Kolonel).
CC. Komisaris Polisi/Kompol (Mayor).
7
3. GOLONGAN PAMA :
AA. Ajun Komisaris Polisi/AKP (Kapten).
BB. Inspektur Polisi Tingkat I/Iptu (Letnan Satu)
CC. Inspektur Polisi Tingkat II/Ipda (Letnan Dua).
4. GOLONGAN BATI :
AA. Ajun Inspektur Polisi Tingkat I/Aiptu (Pembantu Letnan satu).
BB. Ajun Inspektur Polisi Tingkat II/Aipda (Pembantu Letnan Dua).
5. GOLONGAN BINTARA :
AA. Brigadir Polisi Kepala/Bripka (Sersan Mayor).
BB. Brigadir Polisi/Brigadir (Sersan Kepala).
CC. Brigadir Polisi Satu/Briptu (Sersan Satu).
DD. Brigadir Polisi Dua/Bripda (Sersan Dua).
6. GOLONGAN TAMTAMA :
AA. Ajun Brigadir Polisi/Abrigadir (Kopral Kepala)
BB. Ajun Brigadir Poisi Satu/Abriptu (Kopral Satu).
CC. Ajun Brigadir Polisi Dua/Abripda (Kopral Dua).
DD. Bhayangkara Kepala (Bharaka).
EE. Bhayangkara Satu (Bharatu).
FF. Bhayangkara Dua (Bharada).
Menurut ketentuan pasal 4 KUHAP, penyelidik adalah setiap pejabat
polisi negara RI (dari pangkat yang paling rendah/Bharada hingga yang
tertinggi/Jendral Polisi), sedangkan penyidik polri menurut pasal 6 ayat (1)
huruf a dan ayat (2) Jo. pasal 2 PP No. 27 Tahun 1983 adalah Polisi
Negara RI serendah-rendahnya berpangkat Ipda (Letnan Dua Polisi).
Apabila di suatu Sektor Polisi (Polsek) tidak ada pejabat penyidik, maka
Kapolsek yang berpangkat Bintara di bawah Aipda/Pembantu Letnan
Polisi (Sersan Mayor) karena Jabatannya adalah sebagai penyidik.
Kesimpulan : Setiap unsur aparat kepolisian adalah penyelidik, tetapi
setiap penyelidik belum tentu penyidik, melainkan hanya aparat kepolisian
yang memenuhi syarat kepangkatan tertentu saja (serendah-rendahnya
Ipda/Letda) yang dapat bertindak sebagai penyidik. Dengan kata lain
setiap penyidik pasti penyelidik, tetapi setiap penyelidik belum tentu
sebagai penyidik.
8
BAB II
PENERAPAN HUKUM
WEWENANG PENYELIDIK
Menurut ketentuan pasal 5 ayat (1) KUHAP, wewenang penyelidik
dibedakan atas dasar kewajiban dan perintah penyidik.
9
mencari keterangan dan barang bukti;
menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri;
mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab;
10
Menurut ketentuan pasal 2 ayat (1) huruf a PP No.27 Tahun 1983,
tentang Pelaksanaan KUHAP, untuk penyidik Polri sekurang-kurangnya
berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi/Ajun Inspektur Polisi Tingkat
Dua (Aipda),sedangkan untuk penyidik PNS tertentu (pejabat Bea Cukai,
Imigrasi, Kehutanan dll), sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur
Muda Tingkat I/Golongan II.b atau yang disamakan dengan itu. Tugas
utama penyidik adalah melakukan penyidikan.
WEWENANG PENYIDIK
Dalam melaksanakan tugas penyidikan, berdasarkan ketentuan pasal 7
KUHAP, penyidik mempunyai wewenang sebagai berikut :
menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya
tindak pidana;
melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal
diri tersangka;
melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
mengambil sidik jari dan memotret seorang;
memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi;
mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara;
mengadakan penghentian penyidikan;
mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
11
dapat melakukan tugas penyidikan yang diatuyr dalam undang-undang
ini. Tugas utama penyidik pembantu adalah melakukan penyidikan.
PROSEDUR PENYIDIKAN :
1.SUMBER TINDAKAN :
penyidik mengetahui terjadinya peristiwa yang patut diduga sebagai
perbuatan pidana;
penyidik menerima laporan atau pengaduan;
penyidik menerima penyerahan tersangka yang tertangkap tangan;
2.PROSES TINDAKAN :
12
dalam rangka penyidikan (pasal 111 ayat (1), (2) dan (3) KUHAP.
Akan tetapi apabila tersangka tidak tertangkap tangan, maka penyidik
mempelajari dan meneliti perisiwanya, apakah dapat dilakukan
penyidikan atau tidak.
A. DASAR :
Berdasarkan ketentuan Pasal 112 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP,
penyidik yang melakukan pemeriksaan berwenang memanggil
tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa. Bagi
mereka yang dipanggil wajib datang kepada penyidik.
B. CARA PEMANGGILAN :
13
berbicara langsung dengan orang yang dipanggil. Untuk itu
petugas membuat catatan bahwa surat panggilan telah diterima
oleh yang bersangkutan dengan membubuhkan tanggal dan
tanda tangan, baik petugas maupun orang yang dipanggil.
Apabila orang yang dipanggil tidak bersedia menandatangani,
maka petugas harus mencatat alasannya.
14
PROSEDUR PEMERIKSAAN PENYIDIKAN :
A. Terhadap Saksi :
2. Cara Pemeriksaan :
Saksi diperiksa secara tersendiri, tetapi boleh
dipertemukan dengan yang lain dan wajib memberikan
keterangan yang sebenarnya (pasal 116 ayat 2
KUHAP). Saksi diperiksa tanpa tekanan dari siapapun
dan atau dalam bentuk apapun (pasal 117 ayat 1
KUHAP).
2. Cara Pemeriksaan :
Orang ahli tersebut mengangkat sumpah atau
mengucapkan janji di depan penyidik bahwa ia akan
memberikan keterangan yang benar dan sebaik-baiknya;
Kecuali jika harkat, martabat, pekerjaan atau jabatannya
yang mewajibkan ia menyimpam rahasia dapat menolak
untuk memberikan keterangan yang diminta;
15
C. Terhadap Tersangka :
1. Waktu Pemeriksaan
Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh
penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada
penuntut umum;
Dalam hal Tersangka ditahan, maka dalam waktu 1
(satu) hari setelah perintah penahanan itu dijalankan,
ia harus memulai pemeriksaan terhadap tersangka
(pasal 122 KUHAP);
3. Proses Pemeriksaan :
16
keamanan negara, maka penasehat hukum hanya
boleh melihat tetapi tidak boleh mendengarkan
jalannya pemeriksaan (pasal 115 KUHAP);
c.MODEL PENYIDIKAN
Antara Crime Control Model dan Due Process Model dibangun atas
dasar nilai-nilai yang berbeda, namun demikian antara keduanya juga
mempunyai persamaan-persamaan, yakni kedua model tersebut sama-
sama bertumpu pada fungsi adversary system, hanya saja di dalam
Crime Control Model pada tahap penyidikan tidak bergitu mantap,
sedangkan di dalam Due Process Model berkembang begitu mantap dan
menekankan pada titik sentralnya. Dalam penanganan/penyelesaian
perkara Crime Control Model lebih mengutamakan effisiensi waktu,
artinya dengan waktu yang relatif singkat/cepat (high speed), suatu
perkara pidana harus dapat terselesaikan dengan tuntas. Aturan-aturan
yang ada tidak/kurang begitu diperhatikan (bertumpu pada azas
“prusumption of guilt”). Sebaliknya menurut Due Process Model,
penanganan suatu perkara pidana berjalan lambat (low speed), oleh
karena selalu memperhatikan aturan-aturan yang ada, terutama yang
berkaitan dengan hak-hak tersangka (bertumpu pada azas “presumption
of innocence).
17
Ciri-ciri dari Crime Control Model dan Due Process Model seolah-olah
diterapkan dalam penyidikan menurut KUHAP, hal mana dapat dilihat
dalam beberapa pasal yang ada di dalam KUHAP. Dengan kata lain
KUHAP mengambil sebagian dari cirri-ciri kedua model tersebut,
namun tidak termasuk Crime Control Model maupun Due Procces
Model.
i. Penangkapan
Pengertian Penangkapan
Menurut ketentuan Pasal 1 butir 20 KUHAP, penangkapan adalah
suatu tindakan penyidik yang berupa pengekangan sementara waktu
terhadap kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup
bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau
peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini.
Dasar Penangkapan :
18
pelakunya telah dipanggil secara sah dan patut tidak memenuhi
panggilan tersebut tanpa alasan yang sah.
19
ii. Penahanan
Pengertian Penahanan :
Menurut ketentuan Pasal 1 butir 21 KUHAP, penahanan adalah
penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu pleh
penyidik, penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam
hal dan menurut cara yang diatur oleh undang-undang ini.
20
Prosedur Penahanan :
21
BAGAN/SKEMA TENGGANG WAKTU PENAHANAN (Huruf a dan b)
KAS AS I : 50 hari: Ketua M.A =110 hari : Ketua M.A (ps. 29 KUHAP) = 170
Ps. 28 60 hari 30 + 30 = 60 hari
---------------------------------- ------------------------
Jumlah = 400 hari Jumlah = 700
JENIS-JENIS PENAHANAN
Ketentuan Pasal 22 KUHAP merupakan ketentuan baru, oleh karena hal serupa
tidak diatur di dalam HIR. Penahanan rumah dan penahanan kota diberikan
kepada tersangka atau terdakwa yang benar-benar dapat dijamin bahwa
tersangka/terdakwa tidak akan menyulitkan jalannya pemeriksaan penyidikan
serta tidak akan melarikan diri dan sewaktu-waktu diperlukan/dipanggil untuk
kepentingan pemeriksaan dapat hadir memenuhi panggilan tersebut.
22
sedemikian rupa, sehingga wajar apabila dengan ketentuan tersebut masa
penahanan rumah atau penahanan kota dikurangkan dengan pidana yang telah
dijatuhkan kepada terdakwa.
1. Penahanan Rutan
Selama belum ada Rumah Tahanan Negara di tempat dimana tersangka atau
terdakwa dikenakan penahanan, maka penahanan dapat dilakukan di kantor
kepolisian, kantor Kejaksaan Negeri/Tinggi, di kantor Lembaga
Pemasyarakatan, di Rumah Sakit dan dalam keadaan memaksa dilakukan di
tempat lain.
Kepala Rutan tidak boleh menerima tahanan dalam Rutan yang tidak
disertai dengan surat penahanan yang sah yang dikeluarkan oleh pejabat
yang bertanggung jawab secara yuridis atas tahanan tersebut sesuai dengan
tingkat pemeriksaan;
23
mengenai tahanan yang hampir habis masa penahanan atau masa
perpanjangan penahanannya;
Kepala Rutan demi hukum mengeluarkan tahanan yang telah habis masa
penahanan atau perpanjangan penahanannya;
Dalam hal tertentu tahanan dapat diberi ijin meninggalkan Rutan untuk
sementara dan untuk keperluan itu harus ada ijin dari pejabat yang
bertanggung jajwab secara yuridis atas tahanan itu;
2. Penahanan Rumah
3. Penahanan Kota
24
PENANGGUHAN PENAHANAN
Dasar Hukum : Pasal 31 KUHAP Jo. Pasal 35 dan 36 PP No. 27 Tahun 1983 Jo.
Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.14.PW.07.03 Tahun 1983,
tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP.
Berdasarkan ketentuan Pasal 31 KUHAP, penangguhan penahanan dilakukan
dengan cara sebagai berikut :
Permohonan penangguhan penahanan diajukan oleh tersangka atau terdakwa
dan ditujukan kepada pejabat yang melakukan penahanan (penyidik/penuntut
umum/hakim), sesuai dengan tingkat pemeriksaan;
25
Pelaksanaan Penangguhan Penahanan menurut Surat Keputusan Menteri
Kehakiman RI Nomor : M.14.PW.07.03 Tahun 1983 :
26
uang yang menjadi tanggungannya, maka untuk memenuhi uang jaminan itu
perlu penetapan pengadilan untuk melakukan penyitaan terhadap barang-
barang milik penjamin tersebut (menurut Hukum Acara Perdata);
iii. Penggeledahan
Dasar hukum pengaturan terdapat dalam Pasal 32 sampai dengan Pasal
37, Pasal 125 dan Pasal 126 KUHAP.
Menurut ketentuan Pasal 1 butir 17 KUHAP, penggeledahan rumah
adalah tindakan penyidik untuk memasuki tempat tinggal dan tempat
tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau
penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini. Sedangkan pengertian penggeledahan badan
menurut ketentuan Pasal 1 butir 18 KUHAP adalah tindakan penyidik
untuk mengadakan pemeriksaan badan dan atau pakaian tersangka untuk
mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawanya
serta untuk disita.
27
Pejabat yang berwenang melakukan penggeledahan rumah maupun
penggeledahan badan, berdasarkan ketentuan Pasal 7 Jo. Pasal 32
KUHAP adalah penyidik dan penyidik pembantu, atau berdasarkan Pasal
5 ayat 1.b KUHAP adalah penyelidik atas perintah penyidik.
28
Dalam keadaan yang tidak sangat perlu dan mendesak :
Berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat 1 dan ayat 2 KUHAP,
penggeledahan yang dilakukan oleh penyidik harus ada surat ijin dari
Ketua pengadilan Negeri setempat. Apabila yang melakukan
penggeledahan adalah bukan penyidik sendiri, maka selain harus ada
surat ijin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, juga harus ada
surat perintah tertulis dari penyidik.
Catatan : Berdasarkan ketentuan Pasal 35 KUHAP, kecuali dalam
keadaan tertangkap tangan, penyidik dalam rangka melakukan
penggeledahan dilarang memasuki ruang dimana sedang berlangsung
siding MPR, DPR, termasuk DPRD Tingkat I dan II, tempat dimana
sedang berlangsung ibadah dan atau upacara keagamaan dan duang
dimana sedang berlangsung siding pengadilan.
Cara Memasuki/Menggeledah Rumah :
1. Tanda Pengenal
Berdasarkan ketentuan Pasal 125 KUHAP, untuk melakukan
penggeledahan rumah, terlebih dahulu penyidik menunjukkan
tanda pengenalnya kepada tersangka atau keluarganya.
2. Saksi :
b. berdasarkan Pasal 33 ayat 3 KUHAP, apabila tersangka atau
penghuni setuju, maka penggeledahan disaksikan oleh 2
orang saksi, yakni warga dari lingkungan yang
bersangkutan/setempat, dimana salah satunya diusahakan
Ketua Lingkungan : Ketua atau Wakil Ketua Rukun
kampong, Ketua atau Wakil Ketua Warga, Ketua atau Wakil
Ketua Lembaga yang sederajad.
c. berdasarkan Pasal 35 ayat 4 KUHAP, apabila tersangka atau
penghuni tidak setuju, maka penggeledahan disaksikan oleh
Kepala Desa atau Ketua Lingkungan dengan 2 orang saksi.
Berita Acara :
Dalam waktu 2 hari setelah memasuki rumah, berdasarkan
ketentuan Pasal 126 ayat 1 KUHAP, penyidik membuat berita
acara tentang jalannya dan hasil penggeledahan rumah tersebut.
29
Berita acara tersebut dibacakan terlebih dahulu kepada
tersangka/penghuni atau pemilik rumah, kemudian diberi tanggal
dan ditandatangani oleh penyidik, tersangka atau keluarganya
dan atau Kepala Desa atau Ketua Lingkungan serta 2 orang saksi
(Vide : Pasal 126 ayat 2 KUHAP). Apabila tersangka atau
keluarganya tidak mau membubuhkan tanda tangannya, maka hal
tersebut dicatat dalam berita acara dengan menyebutkan
alasannya (Vide : Pasal 126 ayat 3 KUHAP).
Wewenang Lain :
Untuk keamanan dan ketertiban penggeledahan rumah, penyidik
dapat mengadakan penjagaan atau penutupan tempat yang
bersangkutan;
Penyidik dapat memerintahkan setiap orang yang dianggap perlu
agar meninggalkan tempat tersebut selama penggeledahan
berlangsung (Vide : Pasal 127 ayat 1 dan ayat 2 KUHAP);
Berdasarkan ketentuan Pasal 37 ayat 1 KUHAP, pada waktu
menangkap tersangka, penyidik hanya berwenang menggeledah
pakaian, termasuk benda yang dibawanya serta, apabila terdapat
dugaan keras dengan alasan yang cukup bahwa tersangka
kedapatan benda yang dapat disita.
Pada waktu menangkap tersangka atau tersangka dibawa kepada
penyidik, penyidik berwenang menggeledah pakaian dan atau
badan tersangka (Pasal 37 ayat 2 KUHAP); Penggeledahan
badan meliputi pememriksaan rongga badan dan terhadap
tersangka wanita dilakukan oleh penyidik wanita dengan bantuan
pejabat kesehatan (Penjelasan Pasal 37 KUHAP).
iv. Penyitaan
a. Pengertian Penyitaan
Menurut ketentuan Pasal 1 butir 16 KUHAP, penyitaan adalah
serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau
menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak
bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan
pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.
30
b. Pejabat Yang Berwenang Melakukan Penyitaan
- Penyidik atau Penyidik Pembantu
- Penyelidik atas perintah Penyidik
c. Sasaran/Obyek Penyitaan
- Penyitaan Benda
- Penyitaan Surat-surat
Penyitaan Benda :
1. Syarat-syarat Penyitaan :
d. Berdasarkan Pasal 38 ayat 1 KUHAP, penyitaan pada dasarnya
hanya dapat dilakukan dengan surat ijin dari Ketua pengadilan
Negeri Setempat;
e. Kecuali dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak,
berdasarkan Pasal 38 ayat 2 KUHAP, penyidik dapat melakukan
penyitaan tanpa surat ijin dari Ketua Pengadilan Negeri
Setempat, dengan ketentuan :
- penyitaan hanya dilakukan terhadap benda bergerak;
- wajib segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri
setempat guna memperoleh persetujuannya.
2. Benda Yang Dapat Disita
Secara umum benda yang dapat disita dapat dibedakan dalam 3 (tiga)
golongan, yakni :
a. benda yang dipergunakan sebagai alat untuk mrlakukan
perbuatan pidana (instrumenta delicti);
b. benda yang diperoleh atau hasil dari suatu perbuatan pidana
(corpora delicti);
c. benda lain yang tidak secara langsung mempunyai hubungan
dengan perbuatan pidana yang bersangkutan, akan tetapi
mempunyai alasan kuat untuk bahan pembuktian
Menurut ketentuan Pasal 39 KUHAP, benda yang dapat disita adalah
sebagai berikut :
(1). a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau
sebagian diduga diperoleh dari perbuatan pidana atau sebagai
hasil dari perbuatan pidana
31
b. benda yang dipergunakan secara langsung untuk melakukan
perbuatan pidana atau untuk mempersiapkannya.
c. benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi
penyidikanperbuatan pidana.
d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan
perbuatan pidana
e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan
perbuatan pidana yang dilakukan.
(2) benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau
karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan,
penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi
tersebut angka (1).
Dalam hal tertangkap tangan, maka benda ayang dapat disita adalah
sebagai berikut :
a. benda atau alat yang ternyata atau patut diduga telah
dipergunakan untuk melakukan perbuatan pidana atau benda lain
yang dapat dipakai sebagai barang bukti (Vide : Pasal 40
KUHAP);
b. paket atau surat atau benda yang pengangkutannya atau
pengirimannya dilakukan oleh Kantor Pos dan Telekomunikasi,
Jawatan maupun perusahaan komunikasi atau pengangkutan,
sepanjang diperuntukkan bagi tersangka atau yang berasal dari
padanya dan untuk itu harus diberikan Surat tanda Penerimaan
(Vide : Pasal 41 KUHAP)
3. Cara Melakukan Penyitaan :
a. Tanda Pengenal
Berdasarkan Pasal 128 KUHAP, pada waktu melakukan
penyitaan terlebih dahulu penyidik menunjukkan tanda
pengenalnya kepada orang dimana benda itu disita.
b. Tanda Penerimaan
Berdasarkan Pasal 42 ayat 1 KUHAP, penyidik berwenang
memerintahkan kepada orang yang menguasai benda yang dapat
disita untuk menyerahkan benda itu kepadanya dan untuk itu
diberi tanda penerimaan.
32
c. Memperlihatkan Benda Yang Disita
Berdasarkan Pasal 129 ayat 1 KUHAP, penyidik memperlihatkan
benda yang akan disita kepada orang dari mana benda itu disita
atau keluarganya serta dapat meminta keterangan tentang benda
yang akan disita itu dengan disaksikan oleh Kepala Desa atau
Ketua Lingkungan dengan 2 (dua) orang saksi.
d. Membuat Berita Acara Penyitaan
- atas tindakan penyitaan penyidik membuat berita acara;
- berita acara dibacakan terlebih dahulu kepada orang dari mana
benda itu disita atau keluarganya, dengan diberi tanggal dan
ditandatangani oleh penyidik maupun orang (tersita) atau
keluarganya atau kepala desa atau ketua lingkungan dengan 2
orang saksi (Vide Pasal 129 ayat 2 KUHAP); Apabila tersita
atau keluarganya tidak mau membubuhkan tanda tangannya,
maka berdasarkan Pasal 129 ayat 3 KUHAP dicatat dalam
berita acara dengan menyebutkan alasannya;
- Penyidik menyampaikan turunan berita acara penyitaan
tersebut kepada atasannya, tersita atau keluarganya, kepala desa
yang bersangkutan (Vide : Pasal 129 ayat 4 KUHAP).
4. Pengurusan Benda Sitaan
Penyidik setelah melakukan tindakan penyitaan benda-benda, maka
pengurusan benda-benda tersebut dilakukan dengan cara-cara
sebagai berikut :
a. Terhadap benda-benda yang terlarang atau dilarang diedarkan :
- dirampas untuk Negara, artinya benda yang harus diserahkan
kepada departemen yang bersangkutan, sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku, misalnya :
senjata api, obat-obatan;
- dimusnahkan, artinya benda-benda yang sedemikian sifatnya
sehingga harus dimusnahkan, hingga tidak dapat dipakai lagi,
misalnya uang palsu, alat pembuat uang palsu, sabu-sabu,
buku-buku porno dan lain sebagainya.
33
b. Terhadap benda-benda yang tidak dilarang atau dilarang
diedarkan, maka terhadap benda-benda tersebut diurus lebih
lanjut.
c. Terhadap benda-benda yang lekas rusak atau membahayakan :
Apabila benda yang disita termasuk benda yang lekas rusak ,
sehingga tidak mungkin disimpan sampai putusan pengadilan
dalam perkara yang bersangkutan berkekuatan hukum tetap atau
biaya penyimpanannya menjadi lebih tinggi, maka dengan
persetujuan tersangka atau kuasanya dapat diambil tindakan
sebagai berikut :
- apabila perkara masih ditangan penyidik atau penuntut umum,
maka benda tersebut dapat dijual lelang atau diamankan oleh
penyidik atau penuntut umum dengan disaksikan oleh
tersangka atau kuasanya.
- apabila perkara sudah ditanganpengadilan, maka berdasarkan
Pasal 45 ayat 1 KUHAP benda tersebut dapat diamankan atau
dijual lelang oleh penuntut umum atas ijin hakim yang
menyidangkan perkara tersebut dengan disaksikan oleh
terdakwa atau kuasanya.
- Pelaksanaan lelang dilakukan oleh kantor lelang Negara setalah
diadakan konsultasi dengan pihak penyidik atau penuntut
umum setempat atau hakim yang bersangkutan, sesuai dengan
tingkat pemeriksaan dan lembaga yang ahli dalam menentukan
sifat benda yang lekas rusak.
- Uang hasil pelelangan sesuai dengan Pasal 45 ayat 2 KUHAP
dipakai sebagai barang bukti, sedangkan yang untuk bahan
pembuktian, sesuai dengan Pasal 45 ayat 5 KUHAP sedapat
mungkin disisihkan sebagian kecil benda termaksud.
d. Terhadap Benda-benda Yang Tidak lekas Rusak, disimpan
dengan sebaik-baiknya.
34
Adapun cara penyimpanan benda sitaan tersebut dilakukan dengan
cara sebagai berikut :
1. Benda Yang Dapat Dibungkus
Dilakukan pembungkusan dengan terlebih dahulu dicatat berat
dan atau jumlah menurut jenis masing-masing, cirri maupun sifat
khas, tempat, hari dan tanggal penyitaan serta identitas orang dari
mana benda tersebut disita/tersita; Selanjutnya diberi lak dan cap
jabatan serta ditandatangani oleh penyidik (Vide : Pasal 130 ayat
1 KUHAP).
2. Benda Yang Tidak Dapat Dibungkus
Penyidik memberi catatan, seperti huruf/angka 1 diatas, yang
ditulis di atas label yang ditempelkan dan atau dikaitkan pada
benda tersebut (Vide : Pasal 130 ayat 2 KUHAP).
5. Penyimpanan dan Tanggung Jawab Benda Sitaan
a. benda sitaan disimpan dalam Rumah penyimpanan Benda Sitaan
(RUPBASAN). Selama belum ada Rupbasan dapat disimpan di
kantor kepolisian Negara, kantor kejaksaan negeri, pengadilan
negeri, gedung bank pemerintah dan dalam keadaan memaksa di
tempat lain atau tetap di tempat semula benda tersita (Vide :
Pasal 44 ayat 1 KUHAP).
b. tanggung jawab atas benda sitaan tersebut ada pada pejabat yang
berwenang, sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses
peradilan;
c. benda sitaan tersebut dilarang untuk dipergunakan oleh siapapun
(Vide : Pasal 44 ayat 2 KUHAP).
6. Pengambilan Benda Sitaan
a. Apabila benda yang disita masih diperlukan untuk kepentingan
penyidikan dan penuntutan, maka benda tersebut masih tetap
dalam penyitaan, sedangkan apabila tidak diperlukan, yakni
dalam hal :
- kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi;
- atau perkara tersebut tidak jadi dituntut, karena tidak cukup
bukti atau bukan sebagai perkara pidana/perbuatan pidana atau
35
- perkara tersebut dikesampingkan demi kepentingan umum,
atau
- perkara tersebut ditutup demi hukum, maka benda yang disita
tersebut dikembalikan kepada orang atau mereka dari siapa
benda tersebut disita atau kepada orang atau mereka yang
paling berhak, kecuali kalau benda tersebut diperoleh dari suatu
perbuatan pidana atau dipakai untuk melakukan perbuatan
pidana. Dalam pengembalian benda sitaan hendaknya sejauh
mungkin diperhatikan segi kemanusiaan, dengan
mengutamakan pengembalian benda yang menjadi sumber
kehidupan.
b. Berdasarkan Putusan Pengadilan
Apabila perkara pidana yang bersangkutan telah diputus, maka
benda yang dikenakan penyitaan tersebut dikembalikan kepada orang
atau mereka yang disebutkan dalam putusan, kecuali jika menurut
hakim terhadap benda tersebut : dirampas untuk Negara,
dimusnahkan atau dirusakkan hingga tidak dapat dipakai lagi, atau
masih dipakai sebagai barang bukti dalam perkara lain (Vide : Pasal
46 ayat 2 KUHAP).
Penyitaan Surat
1. Dasar
Dalam hal sesuatu perbuatan pidana sedemikian rupa sifatnya,
sehingga ada dugaan kuat dapat dipeoleh keterangan dari berbagai
surat, buku atau kitab daftar dan lain sebagainya, penyidik segera
pergi ke tempat yang dipersangkakan, untuk menggeledah,
memeriksa surat, buku atau kitab dan lain sebagainya dan jika perlu
menyitanya (Vide : Pasal 131 ayat 1 KUHAP).
Adapun mengenai cara penyitaan surat dilakukan menurut ketentuan
penyitaan terhadap benda.
2. Surat Palsu :
a. keterangan dari orang ahli
Dalam hal diterima pengaduan bahwa sesuatu surat atau tulisan
palsu atau dipalsukan atau didega palsu oleh penyidik, maka untuk
36
kepentingan penyidikan oleh penyidik dapat dimintakan
keterangan mengenai hal itu dari orang ahli (Vide : Pasal 132 ayat
1 KUHAP)
b. diperlukan yang asli
Apabila untuk bahan pertimbangan penyidik memerlukan surat
asli, maka :
- minta surat ijin Ketua pengadilan negeri Setempat;
- dapat dating atau minta kepada pejabat penyimpan umum supaya
ia mengirim surat asli
- pejabat penyimpan umum wajib memenuhi permintaan itu (Vide
: Pasal 132 ayat 1 KUHAP);
- bila tidak dikirimkan dalam waktu yang ditentukan tanpa alasan
sah, penyidik berwenang mengambilnya (Vide : Pasal 132 ayat 2
KUHAP)
c. berupa suatu daftar
Jika surat tersebut merupakan bagian dari suatu daftar yang tidak
dapat dipisahkan, maka penyidik dapat minta agar daftar tersebut
diserahkan seluruhnya untuk diperiksa, dengan menyerahkan
tanda penerimaan (Vide : Pasal 132 ayat 3 KUHAP); Sedangkan
jika surat tersebut tidak merupakan/menjadi bagian dari daftar,
maka :
o penyimpan membuat salinan penggantinya sampai surat yang
asli diterima kembali;
o di bagian bawah salinan itu penyimpan mencatat apa sebab
salinan itu dibuat (Vide : Pasal 132 ayat 3 KUHAP);
3. Biaya
Semua pengeluaran untuk kepentingan penyelesaian hal-hal tersebut
dibebankan sebagai biaya perkara (Vide : Pasal 132 ayat 6 KUHAP)
yang nantinya adalam putusan hakim akan ditentukan, apakah
dibebankan kepada terdakwa atau dibebankan/ditanggung oleh
negara.
37
Pemeriksaan Surat-surat Lain :
Dasar pengaturannya terdapat dalam ketentuan Pasal 47 sampai dengan
Pasal 49 KUHAP.
I. Pengertian
Surat lain adalah surat-surat yang tidak langsung mempunyai
hubungan dengan perbuatan pidana yang diperiksa, akan tetapi
dicurigai dengan alasan yang kuat.
II. Hak penyidik
Penyidik berhak untuk :
A. Membuka, memeriksa dan menyita surat lain yang dikirim
melalui kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan
telekomunikasi atau pengangkutan, jika benda tersebut dicurigai
dengan alasan yang kuat mempunyai hubugan dengan perkara
pidana yang sedang diperiksa.
1. Tata cara Pelaksanaan :
o untuk membuka, memeriksa dan menyita surat lain
tersebut dilakukan dengan ijin khusus yang dikeluarkan
untuk itu dari Ketua Pengadilan Negeri (Pasal 47 ayat 1
KUHAP), kecuali dalam hal tertangkap tangan, penyidik
berwenang memeriksanya/menyitanya sepanjang surat-
surat tersebut diperuntukkan bagi tersangka (Pasal 41
KUHAP);
o untuk kepentingan tersebut, penyidik meminta kepada
kantor pos dan telekomunikasi, kepala jawatan atau
perusahaan telekomunikasi yang bersangkutan untuk
menyerahkan surat dimaksudckepada penyidik dan atas
penyerhan tersebut penyidik memberikan surat tanda
penerimaan (Pasal 47 ayat 2 KUHAP).
2.Apabila surat lain tersebut ada hubungannya dengan perkara
yang sedang diperiksa, maka surat tersebut dilampirkan pada
berkas perkara (Pasal 48 ayat 1 KUHAP), sebaliknya apabila
tidak ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa,
maka surat tersebut ditutup rapid an segera diserahkan kembali
kepada kantor pos, telekomunikasi, jawatan atau perusahaan
38
telekomunikasi atau pengangkutan yang bersangkutan, dengan
sebelumnya oleh penyidik :
dibubuhi cap yang berbunyi : telah dibuka oleh penyidik;
dibubuhi tanggal, tanda tangan dan identitas penyidik
(Pasal 48 ayat 2 KUHAP)
3. Wajib Simpan Rahasia Surat
Berdasarkan ketentuan Pasal 48 ayat (3) KUHAP, penyidik
serta semua pejabat pada semua tingkat pemeriksaan wajib
merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas kekuatan
sumpah jabatan tentang isi surat yang dikembalikan itu.
4. Berita Acara
Atas tindakan yang telah dilakukannya, berdasarkan Pasal 49
ayat (1) KUHAP, penyidik membuat berita acara dan turunan
berita acara tersebut oleh penyidik dikirumkan kepada Kepala
Kantor Pos dan Telekomunikasi atau Kepala Jawatan atau
Perusahaan Telekomunikasi atau pengangkutan yang
bersangkutan (Pasal 49 ayat 2 KUHAP).
B. Penyidik, penuntut umum, hakim dan pejabat Rutan berhak menilik
surat menyurat antara tersangka atau terdakwa dengan penasehat
hukumnuya atau sanak keluarganya, jika terdapat cukup alasan untuk
menduga bahwa surat menyurat itu disalahgunakan (Vide : Pasal 62
ayat 2 KUHAP).
1. Penyalahgunaan Hak
Tersangka atau terdakwa berhak berkirim surat dan menerima surat
dari penasehat hukumnya dan sanak keluarganya setiap kali
diperlukan olehnya dan untuk itu disediakan alat tulis menulis
(Pasal 52 ayat 1 KUHAP). Pada dasarnya surat menyurat itu tidak
diperiksa, kecuali jika terdapat cukup alasan untuk menduga bahwa
surat menyurat tersebut disalahgunakan (Pasal 62 ayat 2 KUHAP) .
2. Tata Cara Pelaksanaan
Dalam hal surat itu ditilik oleh penyidik, penuntut umum, hakim
atau pejabat lain, maka hal tersebut diberitahukan kepada tersangka
atau terdakwa; surat tersebut dikembalikan/dikirim kembali kepada
pengirimnya setealah dibubuhi cap yang berbunyi : telah ditilik
(Pasal 62 ayat 3 KUHAP)
39
PRAPERADILAN
1. Pengertian Praperadilan
Istilah praperadilan berasal atau diambil dari kata pretrial, akan tetapi ruang
lingkupnya lebih sempit, oleh karena pretrial dapat meneliti apakah ada dasar
hukum yang cukup untuk mengajukan suatu penuntutan terhadap perkara
pidana ke depan pengadilan. Sementara ruang lingkup praperadilan terbatas
sepanjang yang diatur dalam Pasal 79 dan Pasal 95 KUHAP.
Praperadilan terdiri dari 2 (dua) kata, yakni pra dan peradilan. Pra berarti
sebelum, sedangkan peradilan berarti suatu proses pemeriksaan perkara di
depan pengadilan. Dengan demikian secara harafiah praperadilan dapat
diartikan sebelum proses pemeriksaan perkara di depan sidang pengadilan.
a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan, atas permintaan
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan
atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan
c. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi, oleh tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan
ke pengadilan.
Permintaan ganti kerugian sebagaimana dimaksud oleh Pasal 1 butir 10 huruf c
KUHAP tersebut, menurut Pasal 95 KUHAP dibedakan atas :
40
3. dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan UU :
a. adanya kerugian yang timbul akibat pemasukan rumah yang tidak
sah;
b. adanya kerugian yang timbul karena penggeledahan dan penyitaan
yang tidak sah menurut hukum;
c. penahanan tanpa alasan, yakni penahanan yang lebih lama dari
pidana yang dijatuhkan (Vide Penjelasan Pasal 95 ayat 1 KUHAP)
2. Yang Pokok Perkaranya Diajukan ke Pengadilan atas dasar dan alasan
sebagai berikut :
a. karena tersangka atau terdakwa atau terpidana telah ditangkap, ditahan,
dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan, tanpa alasan yang
berdasar UU;
b. karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan
Demikian pula permintaan rehabilitasi sebagaimana dimaksud oleh Pasal 1
butir 10 huruf c KUHAP menurut Pasal 97 KUHAP, juga dibedakan atas :
1. Yang Pokok Perkaranya Tidak Diajukan ke Pengadilan, atas dasar dan
alasan :
a. adanya penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang
sah/berdasarkan UU;
b. adanya kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan
2. Yang Pokok Perkaranya Diajukan ke Pengadilan, atas dasar dan alasan sbb :
a. diajukan oleh terdakwa yang oleh pengadilan diputus bebeas atau
lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah memperoleh
kekuatan hukum tetap;
b. rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam
putusan pengadilan yang bersangkutan (Vide Pasal 97 ayat 1 dan ayat
2 KUHAP).
41
horizontal oleh hakim pengadilan Negeri terhadap pelaksanaan tugas penyidik
maupun penuntut umum, terutama dalam hal menyangkut pelaksanaan upaya paksa.
Bertumpu pada asas praduga tidak bersalah, maka yang menjadi tujuan praperadilan
adalah untuk menempatkan pelaksanaan hukum pada porsi yang benar (proporsional)
demi terlindunginya hak asasi manusia, khususnya terjaminnya hak-hak tersangka
atau terdakwa dalam pememriksaan penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan di
depan sidang pengadilan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir 10 KUHAP Jo. Pasal 79, Pasal 80, Pasal 81 dan
Pasal 95 KUHAP, dapatlah disimpulkan bahwa dalam praperadilan terdiri dari 2
(dua) pihak, yakni :
42
IV. Kompetensi Pengadilan
1. Kompetensi Absolut
Dalam kaitannya dengan praperadilan, KUHAP hanya menentukan bahwa
praperadilan adalah kewenangan Pengadilan Negeri. Dengan demikian
sesungguhnya praperadilan itu termasuk kompetensi absolute dari badan
peradilan umum. Namun demikian persoalannya adalah bagaimana dengan
praperadilan yang diajukan oleh seseorang yang berstatus Militer terhadap
penyidik (Provost/CPM) atau terhadap Penuntut Umumnya (Oditur Militer)
juga termasuk dalam kewenangan Pengadilan Negeri untuk memeriksanya.
Dalam hal persoalan tersebut KUHAP tidak mengaturnya. Sehubungan
dengan hal tersebut Mahkamah Agung R.I. mengeluarkan Surat Edaran
Mahkamah Agung No.15 Tahun 1983 yang menentukan sebagai berikut :
43
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penentuan
kompetensi absolute didasarkan pada status dari penuntut praperadilan
(status tersangka/terdakwa) sendiri, apakah ia tunduk pada kewenangan
peradilan umum atau peradilan militer.
2. Kompetensi Relatif
44
2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan (Pasal 1 butir 10 huruf b
Jo. Pasal 77 huruf a KUHAP)
Berdasarkan ketentuan Pasal 109 ayat (2) KUHAP, alasan-alasan
yang sah untuk menghentikan penyidikan adalah sebagai berikut :
a. tidak/kurang cukup terdapat/tersedia alat bukti/bukti-bukti
b. peristiwa yang bersangkutan bukan merupakan perbuatan pidana
c. penyidikan dihentikan/ditutup demi hukum, dengan dasar dan
alasan :
- tersangka sakit jiwa/gila (Pasal 44 KUHP);
- tersangka meninggal dunia (Pasal 77 KUHP)ne bis in idem
(Pasal 76 KUHP);
- daluwarsa/lampau waktu/verjaring (Pasal 78 KUHP)
c.tidak adanya pengaduan dalam hal menyangkut delik aduan (Pasal
284, 287, 310, 315, 319, 321, 332 KUHP dll)
d. tersangka belum dewasa/dibawah umur
e. karena melaksnakan ketentuan UU (Pasal 50 KUHP)
f. karena melaksanakan perintah jabatan
45
Tuntutan Ganti Kerugian dibedakan atas :
46
+ pelaku belum dewasa/masih dibawah umum
c. Kekeliruan mengenai Orangnya
d. Kekeliruan mengenai Hukum yang diterapkan
Kekeliruan mengenai penerapan hukujm ini apabila pokok perkaranya
sampai ke pengadilan dan hakim menjatuhkan putusan lepas dari segala
tuntutan pidana. Kekeliruan mengenai penerapan hukum ini dapat terjadi
oleh karena :
47
penahanan diberitahukan kepada pemohon (Pasal 11 PP No.27 Tahun
1983).
48
benda/pengentian penyidikan/penuntutan terhadap Pemohon
praperadilan adalah tidak sah/bertentangan dengan hukum;
- menghukum Termohon praperadilan untuk membayar ganti
kerugian kepada Pemohon praperadilan sebesar Rp……
- menghukum Termohon praperadilan untuk merehabilitir nama
baik Pemohon praperadilan pada harkat dan martabatnya semula;
- menghukum Termohon praperadilan untuk membayar semua
biaya yang timbul dalam perkara praperadilan ini;
B. Pendaftaran Tuntutan Praperadilan
Lembaga Praperadilan merupakan satu kesatuan dan bagian tak
terpisahkan dengan Pengadilan Negeri, sehingga segala sesuatu yang
menyangkut administrasi yustisial dan pelaksanaan praperadilan berada di
bawah ruang lingkup kebijakan dan tata laksana Ketua Pengadilan Negeri.
Dengan demikian semua permintaan atau permohonan yang diajukan
kepada praperadilan harus melalui Ketua Pengadilan Negeri.
C. Biaya Praperadilan
KUHAP tidak memberikan pengaturan tentang biaya mengajukan tuntutan
praperadilan. Namun demikian oleh karena praperadilan diatur oleh
KUHAP, sehingga oleh karenanya masuk dalam ruang lingkup perkara
pidana, maka beban biaya untuk perkara pidana dalam praktek ditanggung
oleh Negara. Dengan demikian untuk mengajukan tuntutan praperadilan
tidak dikenakan biaya. Tuntutan praperadilan langsung didaftar kepada
Panitera Muda/Kepaniteraan Pidana Pengadilan Negeri yang berwenang
untuk itu.
49
Selanjutnya permohonan praperadilan tersebut diteruskan kepada Ketua
Pengadilan Negeri dan untuk itu Ketua Pengadilan negeri segera menunjuk
hakim (tunggal) praperadilan dan berkasnya diserahkan kepada hakim
yang telah ditunjuk tersebut. Selanjutnya dalam waktu 3 (tiga) hari setelah
diterimanya permohonan praperadilan, hakim yang telah ditunjuk tersebut
berdasarkan Pasal 82 ayat (1) huruf a KUHAP menetapkan hari sidang.
Namun tidak ada kejelasan apakah 3 hari tersebut dihitung sejak
diregisternya permohonan praperadilan tersebut di Kepaniteraan Pidana
atau terhitung sejak berkas diterima oleh hakim yang telah ditunjuk oleh
Ketua Pengadilan.
50
G. Acara Pemeriksaan Sidang Praperadilan
Ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP menyebutkan bahwa
pemeriksaan dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya dalam waktu
7 (tujuh) hari hakim sudah harus menjatuhkan putusannya. Persoalannya
adalah sejak kapan waktu 7 (tujuh) hari tersebut dihitung, apakah sejak
hari atau tanggal pendaftaran permohonan praperadilan atau sejak hari
sidang pertama dibuka dan hal inilah yang masih menimbulkan perbedaan
penafsiran dalam praktek peradilan.
H. Putusan Praperadilan
Ketentuan Pasal 82 ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa isi putusan
praperadilan yang daitur dalam Pasal 79, 80 dan 81 KUHAP harus
memuat dasar dan alasannya dengan jelas. Adapun yang dimaksud dengan
dasar dan alasan yang jelas adalah sebagai berikut :
1. Dasar Putusan
a. identitas para pihak (Pemohon dan Termohon)
b. isi dan tuntutan praperadilan
c. keterangan Pemohon Praperadilan
d. keterangan Termohon Praperadilan
e. keterangan saksi-saksi, baik dari Pemohon maupun Termohon
f. bukti-bukti tertulis yang diajukan oleh Pemohon dan Termohon
51
2. Pertimbangan Hukum
Hakim praperadilan dalam putusannya harus memberikan
pertimbangan hukum mengapa ia sampai pada suatu keyakinan atau
keputusan tersebut. Pertimbangan hakim tersebut tidak boleh
bertentangan satu sama lain atau mengandung kekeliruan yang nyata
atau suatu kekhilafan yang nyata.
3. Amar Putusan
Amar putusan memuat hal-hal yang diputuskan oleh hakim dalam
putusannya, baik menyangkut hal-hal yang ditolak atau yang
dikabulkan atau putusan yang tidak dapat diterima (niet onvankelijk
verklaard)
52
c. Tuntutan Praperadilan Dikabulkan
53
penangkapan, penahanan, tindakan lain yang tidak berdasarkan
undang-undang (memasuki rumah secara tidak sah, penggeledahan
tidak sah, penyitaan tidak sah), kesalahan tentang orangnya ataupun
kesalahan penerapan hukum, tidak dapat dimintakan atau dilakukan
upaya hukum banding.
54
BAB III
PENUNTUTAN
I. PRAPENUNTUTAN
A. Pengertian Prapenuntutan
Secara terminologis di dalam KUHAP maupun peraturan pelaksanaanya
tidak terdapat ketentuan yang memberikan batasan atau pengertian tentang
prapenuntutan.
Menurut ketentuan Pasal 121 KUHAP, berita acara dibuat atas kekuatan
sumpah jabatan, diberi tanggal, memuat perbuatan pidana yang
55
disangkakan, dengan menyebut waktu, tempat dan keadaan pada waktu
perbuatan pidana dilakukan, nama dan tempat tinggal tersangka dan saksi,
keterangan mereka yang dibuat berita acara, serta catatan tentang akta atau
benda serta segala sesuatu yang dianggap perlu untujk kepentingan
penyelesaian perkara. Selanjutnya menurut Pasal 75 KUHAP, hal-hal yang
harus dibuat berita acara oleh penyidik adalah setiap tindakan tentang
pemeriksaan tersangka, penangkapan, penahanan, penggeledahan,
penyitaan benda, pemasukan rumah, pemeriksaan surat, pemeriksaan
saksi, pemeriksaan TKP, pelaksananan penetapan dan putusan pengadilan
dan tindakan lain sesuai dengan ketentuan KUHAP.
1. harus dibuat oleh pejabat yang bersangkutan, artinya berita acara harus
dibuat oleh pejabat yang melakukan tindakan-tindakan yang harus
dibuat berita acara sebagaimana dimaksud oleh ketentuan Pasal 75 ayat
1 KUHAP. Jadi bukan pejabat atau orang lain walaupun ia pandai
membuat berita acara.
1. pada sudut atas sebelah kiri ditulis perkataan “Pro Justitia” (untuk
keadilan), guna memenuhi UU Bea Materai, maksudnya agar terbebas
dari bea meterai
56
c. ditengah-tengah ditulis perkataan berita acara dan kemudian
dimulai isi berita acara.
Isi Berita Acara : hari, tanggal, bulan dan tahun, jam perbuatan pidana
tersebut diketahui/suatu laporan/pengaduan dibuat; nama pembuat
berita acara; uraian tentang perbuatan pidana yang terjadi dan
pendapat-pendapat pemeriksa/pembuat berita acara.
Fungsi Berita Acara : sebagai alat bukti surat dan sebagai alat bukti
petunjuk (Vide Pasal 187 dan 188 KUHAP).
2. Laporan/Pengaduan
57
d. kesimpulan : Tersangka disuga telah melakukan perbuatan
pidana ….., melanggar Pasal …..
e. penutup
4. Laporan Poisi
58
b. penerbitan Surat perintah penunjukan Jaksa Peneliti yang bertugas
melakukan pemantauan perkembangan penyidan dan penelitian
serta penyelesaian perkara (P-16);
59
iii. Hasil penyidikan perkara pidana yang dilakukan oleh penyidik
pegawai negeri siupil (PPNS), penyerahan berkas perkara
tersangka beserta barang bukti dilakukan melalui penyisik
POlri dan selanjutnya penyidik Polri yang menyerahkan
kepada jaksa peneliti/penuntut umum;
60
bila terdakwa mangkir di persidangan, sedangkan pada
tahap penyidikan dan penuntutan mengakui terus terang
tentang perbuatannya
61
Adapun alasan penyerahan berkas perkara dari penyidik kepada
penuntut umum dilakukan 2 (dua) tahap adalah sebagai berikut :
b. Kelengkapan Materiil
Penelitian ditujukan pada substansi atau materi dari perbuatan
pidana yang terjadi serta kelengkapan informal, data, fakta dan
alat bukti yang diperlukan bagi kepentingan pembuktian.
Kriteria yang dapat digunakan sebagai tolok ukur kelengkapan
materiil antara lain :
62
iii. bagaimana perbuatan pidana tersebut dilakukan (modus
operandi)
iv. dimana perbuatan pidana tersebut dilakukan (locus delicti)
v. kapan perbuatan pidana tersebut dilakukan (tempus delicti)
vi. akibat apa yang ditimbulkannya
vii. apa yang hendak dicapai dengan perbuatan tersebut (motif
dilakukannya perbuatan)
2. Apabila dari hasil penelitian ternyata hasil penyidikan telah
lengkap, maka dikeluarkan Surat Pemberitahuan Hasil Penyidikan
sudah lengkap (P-21) dan apabila sebaliknya maka dikeluarkan
surat pemberitahuan hasil penyidikan belum lengkap (P-18),
kemudian berkas perkara dikembalikan dengan disertai petunjuk
guna melengkapi hasil penyidikan yang belum lengkap tersebut (P-
19). Untuk dilakukan pemeriksaan tambahan.
63
b. Prosedur Pelaksanaan :
Mekanisme Pelaksanaan :
64
Setelah berkas perkara, tersangka dan barang bukti diterima
oleh Penuntut Umum, Kajari/Kajati menerbitkan surat
perintah untuk melengkapi berkas perkara
65
dilakukan oleh penyidik (Polri) sudah lengkap dan berkas
perkara telah memenuhi persyaratan untuk dilimpahkan ke
pengadilan;
66
sebaiknya penyidik diundang untuk bertemu dengan Jaksa Peneliti
guna membahas petunjuk petunjuk dimaksud..
2. Berdasarkan Pasal 8 ayat (2) Jo. Pasal 110 ayat (1) dan (3) dan Pasal
138 ayat (2) KUHAP, tenggang waktu prapenuntutan adalah selama 28
hari.
67
penyidik tersebut oleh jaksa peneliti masih dinyatakan belum lengkap,
sehingga jaksa peneliti mengembalikan lagi berkas perkara tersebut
kepada penyidik. Begitu seterusnya hubungan timbale balik antara
penyidik dengan jaksa peneliti tidak ada batasnya, oleh karena KUHAP
memang tidak memberikan pembatasan sampai berapa kali berkas perkara
yang kurang lengkap tersebut dapat dikembalikan oleh jaksa peneliti.
Dengan demikian dalam praktek tenggang waktu prapenuntutan tersebut
tidak terdapat batasan waktu yang tegas, tergantung pada koordinasi antara
penyidik dengan jaksa peneliti. Sehubungan dengan tidak adanya
pembatasan waktu oleh KUHAP tersebut, maka sesuai dengan asas bahwa
tersangka berhak agar perkaranya segera diajukan atau diperiksa oleh
pengadilan, maka sebaliknya diadakan forum komunikasi dan kosnsultasi
atau penghubung antara kepolisian dengan kejaksaan. Dengan adanya
forum konsultasi atau penghubung tersebut dimaksudkan untuk
menghindari tidak jelasnya apa yang dimaksud oleh jaksa peneliti dalam
perintahnya untuk melengkapi berkas yang dikembalikan kepada penyidik
tersebut. Disamping itu juga untuk mencegah penyidik mengembalikan
berkas/hasil penyidikan tambahan tidak sesuai dengan petunjuk yang
diberikan oleh jaksa peneliti maupun untuk mencegah jangan sampai
tenggang waktu pengembalian tidak cukup atau berlarut-larut.
68
lagi kepada penyidik atau terhadap perkara tersebut dihentikan
penuntutannya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 140 ayat (4) KUIHAP, apabila dalam waktu
14 hari sejak diterimanya berkas perkara dari penyidik, penuntut umum
tidak mengembalikan berkas perkara penyidikan kepada penyidik atau
sebelum waktu 14 hari berakhir telah ada pemberitahuan dari penuntut
umum bahwa berkasnya telah lengkap, maka berkas perkara penyidikan
tersebut dianggap telah lengkap dan selanjutnya menjadi kerwajiban
penyidik untuk menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang
buktinya. Dengan diserahkannya tanggung jawab atas tersangka dan
barang bukti tersebut, maka sepenuhnya tanggung jawab perkara terdakwa
ada di pihak jaksa peneliti/penuntut umum. Selanjutnya penuntut umum
berdasarkan ketentuan Pasal 139 KUHAP harus segera membuat surat
dakwaan dan meneliti apakah berkas perkara tersebut telah memenuhui
syarat untuk dilimpahkan ke Pengadilan Negeri.
69
II. PENUNTUTAN
A. Pengertian Penuntutan
Jaksa menurut Pasal 1 butir 6.a KUHAP adalah pejabat yang diberi
wewenang oleh UU ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta
melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum yang tetap (inkracht van gewijsde). Sedangkan Penuntut
Umum menurut Pasal 1 butir 6.b KUHAP adalah jaksa yang diberi
wewenang oleh UU ini untuk melakukan penuntutan dan
mnelaksanakan penetapan hakim.
Isi atau bunyi pasal 1 butir 6b KUHAP tersebut sama persis dengan isi
atau bunyi pasal 13 KUHAP;
70
Kesimpulan :
B. Asas-asas Penuntutan
Asas ini merupakan penjelmaan dari asas “equality before the law”.
71
C. Tugas dan Wewenang Kejaksaan
1. Di bidang pidana:
D. Tahap-Tahap Penuntutan
72
b. Syarat-syarat Surat Dakwaan (Pasal 143 ayat (2) KUHAP) :
- kadaluarsa;
- tidak ada pengaduan dari pihak yang berkepentingan/ berhak
dalam hal menyangkut delik aduan;
- adanya surat dakwaan yang khilaf, misalnya menyebut pasal atau
perbuatan pidana secara keliru;
73
c. Macam-Macam Bentuk Surat Dakwaan
74
Misalnya: Penuntut Umum masih ragu-ragu untuk menetukan
apakah terdakwa tersebut melakukan perbuatan pidana
pencurian atau penggelapan.
75
iii. Surat Dakwaan Subsidair
Misalnya :
76
iv. Surat Dakwaan Komulatif
77
Bentuk dakwaan kombinasi ini dimaksudkan juga agar supaya
terdakwa tidak lepas dari pertanggungjawaban pidana atas
perbuatan pidana yang telah dilakukannya.
PERTAMA:
Primair :
Subsidair :
Lebih subsidair :
KEDUA:
Primair :
Subsidair :
Lebih subsidair :
78
digunakan untuk melakukan perbuatan pidana lain atau
menghindarkan diri dari pemidanaan karena perbuatan
pidana lain.
79
Adapun maksud perubahan surat dakwaan adalah sbb:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa
80
Istilah Tuntutan Pidana
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata requisitoir mempunyai
arti sebagai tuntutan jaksa dalam perkara di Pengadilan.
Istilah tuntutan pidana merupakan terjemahan dari requisitoir yang
oleh Mr. M. H. Tita Amidjaja diterjemahkan dengan tuntutan,
sedangkan Wirjono Prodjodikoro menerjemahkan dengan tuntutan
akhir/ terakhir.
Menurut Leden Marpaung, rumusan dalam Pasal 182 ayat (1) KUHAP
diatas dapat menimbulkan persepsi yang tidak tepat, karena dengan
demikian penuntut umum dapat mengajukannya dengan atau secara
lisan dan pula harus memuat pidana.
Lebih lanjut Leden Marpaung mengatakan bahwa lebih tepatnya istilah
requisitoir diterjemahkan dengan surat tuntutan, dengan alasan bahwa
surat tuntutan adakalanya tidak memuat pidana, misalnya berdasarkan
hasil pemeriksaan di sidang terdakwa tidak terbukti bersalah, maka
terdakwa harus dibebaskan dan sebelumnya penuntut umum harus
mengajukan tuntutan untuk membebaskan terdakwa.
Hal-hal yang harus dimuat (isi) dalam Surat Tuntutan:
- Pendahuluan;
- Surat dakwaan;
- Fakta-fakta yang terungkap di persidangan;
- Pembahasan yuridis;
- Kesimpulan;
- Tuntutan, dapat berupa :
- Tuntutan pemidanaan
- Tuntutan bebas dari segala dakwaan (vrijspraak)
- Tuntutan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechts
vervolging)
81
BAB IV
PEMERIKSAAN PERSIDANGAN
82
3. Perlawanan Terhadap Putusan Eksepsi
a. Diajukan terpisah dengan permohonan banding atas pokok perkaranya
(Pasal 156 ayat (4) KUHAP);
b. diajukan bersama-sama dengan permohonan banding atas pokok
perkaranya (Pasal 156 ayat (5) KUHAP);
4. Pembuktian atau Pemeriksaan Alat Bukti
a. Pengertian Pembuktian
Pembuktian merupakan tahap yang sangat menentukan dalam
penyelesaian suatu perkara, baik perkara pidana, perkara perdata,
perkara tata usaha negara maupun perkara lainnya. Berhasil atau
tidaknya tuntutan yang diajukan oleh Penuntut Umum (dalam perkara
pidana) atau pihak Penggugat (dalam perkara perdata), sangat
tergantung dan ditentukan oleh hasil pembuktian yang diperoleh di
persidangan.
Pengertian pembuktian pada intinya adalah suatu upaya yang
dilakukan oleh para pihak dalam suatu perkara (Penuntut Umum dan
Terdakwa dalam perkara pidana atau Penggugat dan Tergugat dalam
perkara perdata), dengan cara memberikan fakta-fakta yuridis dan
dasar-dasar yang menunjang atau mendukung kebenaran surat
dakwaan (perkara pidana) atau surat gugatan (perkara perdata) yang
dikemukakan oleh para pihak yang akan dipakai dasar dan alasan bagi
hakim dalam membuat pertimbangan-pertimbangan hukum guna
menjatuhkan suatu putusan (vonis).
b. Beban Pembuktian (Pasal 66 KUHAP);
Menurut Munir Fuadi yang dimaksud dengan beban pembuktian
adalah suatu penentuan oleh hukum tentang siapa yang harus
membuktikan suatu fakta yang dipersoalkan di pengadilan untuk
membuktikan dan meyakinkan pihak manapun bahwa fakta tersebut
memang benar-benar seperti yang diungkapkannya, dengan
konsekuensi hukum bahwa jika tidak dapat dibuktikan oleh pihak yang
dibebani pembuktian, fakta tersebut dianggap tidak pernah terjadi
seperti yang diungkapkan pihak yang mengajukan fakta tersebut di
pengadilan,
83
Berdasarkan ketentuan Pasal 66 KUHAP, beban pembuktian ada
pada pihak Penuntut Umum, artinya Penuntut Umumlah yang harus
atau berkewajiban untuk membuktikan surat dakwaan yang telah
dibuat atau disusunnya, berdasarkan alat bukti yang ada dalam perkara
pidana yang bersangkutan.
c. Sistim Pembuktian :
Menurut ketentuan hukum acara pada umumnya, dikenal adanya
4 (empat) macam sistem atau teori pembuktian, sebagai berikut :
i. Sistim pembuktian menurut keyakinan Hakim semata-mata
(conviction intime);
Menurut sistem atau teori ini, terbukti atau tidaknya suatu
peristiwa atau keadaan atau perbuatan, semata-mata tergantung dan
ditentukan oleh keyakinan hakim semata, tanpa mempertimbangkan
faktor-faktor lainnya. Dasar memperoleh keyakinan hakim tersebut
hanya bersumber pada perasaan atau feeling saja, tanpa berpijak pada
akal pikiran (ratio), sehingga subyektivitas hakim sangat tinggi,
bahkan bisa berlebihan dan dapat menimbulkan dampak adanya rasa
sentimen dan balas dendam, sehingga hasil pemeriksaan dan putusan
hakim menjadi tidak obyektif serta jauh dari rasa keadilan. Dengan
kata lain keadilan substansif sulit didapatkan oleh pencari keadilan.
ii. Sistim pembuktian menurut keyakinan Hakim atas dasar pemikiran
akal sehat/ logika (conviction rasionnee);
Sistem atau teori ini hampir sama dengan conviction intime,
perbedaannya terletak pada cara hakim memperoleh ketakinan yang
bersumber atau berpijak pada jalan pikiran atau logiuka (akal/rasio)
yang sehat atau pemikiran yang bersifat rasionil.
iii. Sistim pembuktian menurut UU secara positif (positief wettelijke);
Menurut teori ini, terbukti atau tidaknya suatu peristiwa atau
keadaan atau perbuatan tergantung dan ditentukan oleh atau
berdasarkan alat bukti yang sah menurut undang-undang, tanpa
disertai keyakinan hakim. Teori ini dipakai dalam penyelesaian
perkara perdata.
84
iv. Sistim pembuktian menurut UU secara negatif (negatief wettelijk);
Menurut sistem atau teori ini, terbukti atau tidaknya suatu
peristiwa atau keadaan atau perbuatan tergantung dan ditentukan
oleh atau berdasarkan alat bukti yang sah menurut hukum dengan
disertai adanya keyakinan hakim. Teori ini dipakai dalam
penyelesaian perkara pidana.
d. Alat Bukti dan Barang Bukti :
i. Pengertian;
Alat bukti adalah bukti-bukti yang secara jelas, tegas dan terbatas
(limitatif) telah diatur dan ditentukan oleh undang-undang, yakni
KUHAP (perkara pidana) dan HIR (perkara perdata). Sedangkan
barang bukti adalah barang yang dipakai untuk melakukan perbuatan
pidana/kejahatan (alat), barang yang diperoleh dari suatu perbuatan
pidana/kejahatan (hasil) dan barang yang bukan alat atau hasil dari
suatu perbuatan pidana, tetapi ada sangkut pautnya dengan perbuatan
pidana yang bersangkutan.
ii. Macam-Macam Alat Bukti (Pasal 184 ayat (1) KUHAP);
- keterangan saksi;
- keterangan ahli;
- surat;
- petunjuk;
- keterangan terdakwa.
(1) Keterangan Saksi
a. Pengertian;
Saksi adalah orang yang secara langsung melihat dan atau
mendengar suatu peristiwa atau kejadian kongkrit (saksi korban
atau saksi pelapor).
b. Syarat-syarat saksi;
i. syarat formil : dewasa, sehat jasmani dan rokhani serta tidak
ada hubungan keluarga atau hubungan semenda maupun
hubungan kerja dan diberikan dibawah sumpah atau janji.
ii. syarat materiil : saksi harus melihat dan atau mendengar
sendiri peristiwa atau kejadian kongkrit.
85
c. Syarat sahnya keterangan saksi :
i. diberikan dibawah sumpah;
ii. tidak bersifat testimonium de auditu;
iii. dinyatakan/ disampaikan di persidangan (Pasal 185 ayat (1)
KUHAP);
iv. didukung oleh alat bukti yang lain (Pasal 185 ayat (2) dan
ayat (3) KUHAP);
v. bersesuaian dengan alat bukti yang lain dan/atau barang bukti
yang diajukan (Pasal 185 ayat (6) KUHAP);
d. Kewajiban saksi :
i. menghadap pejabat yang memanggil;
ii. mengucapkan sumpah;
iii. memberikan keterangan yang benar;
e. Tata cara pemeriksaan saksi :
i. dipanggil satu persatu;
ii. diperiksa identitas saksi;
iii. pertanyaan yang diajukan dilarang memaksa, menjerat,
mengarahkan/ sugesti dan tidak sopan (berpedoman pada 5W
1H);
f. Perbedaan keterangan saksi di persidangan dan di BAP;
g. Tidak dapat didengar dan/atau dibebaskan sebagai saksi (Pasal
168 KUHAP).
(2) Keterangan Ahli
a. Pengertian
Keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah menurut undang-
undang hanya diatur dalam Pasal 186 KUHAP yang
menyebutkan bahwa keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli
nyatakan di sidang pengadilan. Selanjutnya menurut penjelasan
Pasal 186 KUHAP disebutkan bahwa keterangan ahli dapat juga
diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut
umum yang dituangkan dalam bentuk laporan dan dibuat dengan
mengingat sumpah jabatan pada waktu menerima jabatan atau
pekerjaan. Apabila hal tersebut tidak diberikan pada waktu
pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, maka
86
padapemriksaan di persidangan, diminta untuk memberikan
keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan.
Keterangan tersebut diberikan setelah mengucapkan sumpah
atau janji dihadapan hakim.
Untuk mencari dan menemukan pengertian yang lebih luas dan
terperinci, maka ketentuan Pasal 186 KUHAP tersebut harus
dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1 butir 28, Pasal 120, Pasal
133, Pasal 179 dan Pasal 180 KUHAP.
Menurut ketentuan Pasal 1 butir 28 KUHAP, keterangan saksi
adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki
keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat
terang suatu perkara pidana, guna kepentingan pemeriksaan.
Kesimpulan yang dapat diambil berpijak pada ketentuan Pasal 1
butir 28 KUHAP dikaitkan dengan ketentuan Pasal 184 ayat 1
huruf b dan Pasal 186 KUHAP adalaah sebagai berikut :
- keterangan tersebut harus merupakan keterangan yang
diberikan oleh seorang ahli yang memiliki keahlian khusus,
tentang sesuatu hal yang ada hubungannya dengan perkara
pidana yang sedang diperiksa;
- apabila keterangan yang diberikan seorang ahli tidak
didasarkan padakeahlian khusus tentang suatu keadaan yang
ada hubungannya dengan perkara pidana yang bersangkutan,
maka keterangan tersebut tidak memiliki nilai sebagai alat
bukti yang sah menurut undang-undang.
Kesimpulan yang dapat diambil apabila ketentuan Pasal 1 butir
28 KUHAP dikaitkan dengan ketentuan Pasal 120 KUHAP
adalah sebagai berikut :
- keterangan ahli dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah
menurut undang-undang apabila keterangan ahli tersebut
diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus di
bidangnya yang ada hubungannya dengan perkara pidana
yang sedang diperiksa tersebut.
- bentuk keterangan yang diberikan harus sesuai dengan
keahlian yang khusus menurut pengetahuannya.
87
Dengan demikian agar supaya keterangan ahli dapat dinilai
sebagai alat bukti, disamping faktor orangnya memiliki keahlian
khusus dalam bidangnya, harus pula dipenuhi faktor kedua, yakni
keterangan yang diberikan harus berbentuk keterangan menurut
pengetahuannya; Apabila keterangan yang diberikan berbentuk
pendengaran, penglihatan atau pengalamannya sehubungan
dengan perkara/peristiwa pidana yang terjadi, maka keterangan
tersebut sekalipun diberikan oleh seorang ahli, bukan/tidak
memiliki nilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-
undang sebagai keterangan ahli, melainkan berubah menjadi
keterangan saksi. Jadi untuk memberikan penilaian, apakah
sesuatu keterangan dapat dinilai sebagai keterangan ahli semata-
mata tidak ditentukan karena faktor keahliannya/faktor orangnya,
melainkan lebih dari itu keterangan tersebut harus murni
didasarkan pada pengetahuannya dan tidak dicampuraduk dengan
bentuk keterangan lain, karena hal tersebut berakibat tidak lagi
sebagai alat bukti keterangan ahli, melainkan berubah menjadi
keterangan saksi.
Kesimpulan yang dapat diambil apabila ketentuan Pasal 1 butir
28 KUHAP dihubungkan dengan Pasal 133 dan Pasal 120
kUHAP adalah bahwa seolah-olah UU mengelompokkan ahli ada
2 kelompok sebagai brikut :
- ahli secara umum, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1
butir 28 dan Pasal 120, yakni orang-orang yang memiliki
keahlian khusus dalam bidang tertentu, misalnya ahli jiwa,
akuntan, ahli kimia, ahli mesin, ahli pertambangan dan lain
sebagainya;
- ahli kedokteran kehakiman, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 133 KUHAP, yakni ahli yang khusus dalam bidang
kedokteran kehakiman yang berhubungan dengan bedah
mayat dan forensik
Ahli kedokteran kehakiman adalah seorang ahli yang khusus
memiliki keahlian yang berhubungan dengan korban yang
mengalami luka, keracunan ataupun meninggal dunia yang
88
diduga diakibatkan karena perbuatan pidana. Oleh karena itu
apabila keterangan ahli diberikan dokter yang bukan ahli
kedokteran kehakiman (dokter umum), maka sesuai dengan
ketentuan Pasal 133 ayat (2) KUHAP, keterangan dokter tersebut
selain tidak memiliki nilai kekuatan pembuktian, hanya dapat
dipergunakan hakim menjadi pendapatnya sendiri, apabila
keterangan itu dianggapnya benar, atau dapat dianalogikan
dengan ketentuan Pasal 161 ayat 2 KUHAP, yakni sebagai hal
untuk menguatkan keyakinan hakim saja.
Adanya pengelompokan ahli tersebut di atas dipertegas oleh
ketentuan Pasal 179 ayat 1 KUHAP yang menyebutkan bahwa
setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran
kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan
keterangan ahli demi keadilan.
Khusus mengenai tanda tangan atau tulisan yang akan dijadikan
alat bukti, maka untuk menentukan otentikasi dari tanda tangan
maupun tulisan tersebut, ahli yang diminta keterangannya adalah
sebagai berikut :
- untuk perbuatan pidana/delik umum dan delik khusus,
keterangan ahli otentikasi diberikan oleh Laboratorium
Kriminal Mabak (Pusat Laboratorium Forensik
Polri/Laboratorium Forensik Cabang untuk tingkat Polda);
- untuk perbuatan pidana/delik militer keterangan otentikasi
diberikan oleh Laboratorium Kriminal POM ABRI;
- untuk perkara yang bersifat koneksitas, keterangan otentikasi
dapat diberikan oleg salah satu Laboratorium Kriminal
berdasar kesepakatan bersama antara unsur-unsur penegak
hukum yang duduk dalam Team yang dibentuk untuk perkara
koneksitas tersebut.
b. Tata Cara Pemberian/Penyampaian Keterangan Ahli
Berdasarkan ketentuan Pasal 133 kUHAP dihubungan dengan
Penjelasan Pasal 186 KUHAP, maka jenis dan tata cata
pemberian/penyampaian keterangan ahli sebagai alat bukti yang
sah dapat melalui prosedur sebagai berikut :
89
Dimintakan Penyidik pada Tingkat Pemeriksaan Penyidikan
Diminta dan Diberikan di Persidangan.
c. Nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli
(3) Surat
a. Pengertian surat;
Menurut Asser-Anema, surat adalah segala sesuatu yang
mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti dan
dimaksudkan untuk mengeluarkan isi pikiran (Andi Hamzah,
1985: 253); sedangkan menurut Prof. Pitlo, surat adalah
pembawa tanda tangan bacaan yang berarti yang
menerjemahkan suatu isi pikiran, yang tidak termasuk surat
adalah foto dan peta, karena benda ini tidak memuat tanda
bacaan (Martiman Prodjohamidjojo, 1990: 138).
b. Surat menurut Pasal 187 ayat (1) huruf c KUHAP :
i. Berita cara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat
oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat
dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian
atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya
sendiri disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang
keterangannya itu (Akta Otentik, misal: surat/ akta yang
dibuat oleh Notaris, Panitera Pengadilan, Jurusita, surat IMB,
surat ijin eksport, Pasport, SIM, KTP, Akta Kelahiran, dllsb);
ii. Surat yang dibuat menurut peraturan perundang-undangan
atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang
termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggungjawabnya
dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau
sesuatu keadaan (Akta Otentik);
iii. Surat keterangan dari seorang ahli, yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu
keadaan yang diminta secara resmi dari padanya. Misalnya:
keterangan ahli yang berbentuk laporan/ Visum et Repertum
(VER), surat keterangan kematian, dllsb;
90
iv. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya
dengan isi dari alat pembuktian yang lain (akta di bawah
tangan).
c. Nilai kekuatan pembuktian surat;
(4) Petunjuk
a. Pengertian;
b. Cara memperoleh/ perolehan alat bukti petunjuk;
c. Saat/ waktu diperlukannya alat bukti petunjuk;
d. Nilai kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk.
II. Acara Pemeriksaan Singkat
1. Syarat pemeriksaan singkat :
a. Perkara pidana yang pembuktian dan penerapan hukumnya mudah;
b. Perkara (kejahatan/ pelanggaran) yang tidak termasuk Pasal 205 KUHAP
(Perkara Tipiring, yaitu perkara yang diancam pidana dengan atau
kurungan paling lama 3 bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya tujuh
ribu lima ratus rupiah;
c. Penghinaan ringan;
2. Tata cara pemeriksaan singkat :
a. Penuntut Umum menghadapkan Terdakwa, alat bukti yang ada dan
barang bukti (Pasal 203 ayat (2) KUHAP);
b. Waktu, tempat dan keadaan dilakukannya perbuatan pidana
diberitahukan secara lisan/ dibacakan dan dicatat dalam Berita Acara
Persidangan oleh Panitera Pengganti (Pasal 203 ayat (3) KUHAP);
c. Dapat dilakukan pemeriksaan tambahan paling lama 14 hari (Pasal 203
ayat (3) huruf b KUHAP);
d. Terdakwa dan/atau Penasihat Hukumnya dapat meminta penundaan
sidang paling lama 1 minggu (Pasal 203 ayat (3) huruf c KUHAP);
e. Putusan tidak dibuat secara khusus, melainkan dalam Berita Acara
Persidangan (Pasal 203 ayat 3 huruf d, e dan f KUHAP).
III. Acara Pemeriksaan Cepat
A. Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan
1. Objek Pemeriksaan Tipiring :
4. Perbuatan pidana tersebut diancam dengan pidana penjara atau
kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp. 7.500,-
91
5. Perbuatan pidana penghinaan ringan.
2. Tata Cara Pemeriksaan Tipiring :
f. Terdakwa dihadapkan ke depan sidang Pengadilan oleh Penyidik
atas kuasa Penuntut Umum, dalam waktu 3 hari sejak dibuatnya
BAP dengan disertai alat bukti maupun barang bukti yang ada (Pasal
205 ayat (2) KUHAP);
g. Diperiksa, diadili dan diputus oleh Hakim tunggal pada tingkat
pertama dan terakhir dan terhadap putusan yang dijatuhkan selain
pidana penjara tidak dapat diajukan banding ( Pasal 205 ayat (3)
KUHAP);
h. Pemeriksaan dilakukan pada hari tertentu dalam 7 hari (Pasal 206
KUHAP)
i. Penyidik memberitahukan secara tertulis kepada Terdakwa tentang
hari, tanggal, jam dan tempat ia harus menghadap sidang pengadilan
dan hal tersebut dicatat dengan baik oleh Penyidik. Selanjutnya,
catatan bersama berkasnya dikirim ke Pengadilan. Perkara dengan
acara pemeriksaan Tipiring yang diterima harus segera disidangkan
pada hari sidang itu juga (Pasal 207 ayat (2) huruf a dan b KUHAP);
j. Hakim yang bersangkutan memerintahkan Panitera mencatat dalam
Buku Register semua perkara yang diterimanya. Dalam buku register
tersebut dimuat: nama, identitas lengkap terdakwa, serta apa yang
didakwakan kepadanya (Pasal 207 ayat (2) huruf a dan b KUHAP);
k. Saksi tidak mengucapkan sumpah atau janji, kecuali jika dipandang
perlu (Pasal 208 KUHAP).
l. Putusan dicatat dalam Daftar Catatan Perkara dan selanjtnya oleh
Panitera dicatat dalam Buku Register serta ditandatangani oleh
Hakim yang bersangkutan dan Panitera. Berita Acara Pemeriksaan
Sidang tidak dibuat, kecuali jika dalam pemeriksaan tersebut
ternyata ada hal yang tidak sesuai dengan Berita Acara Pemeriksaan
yang dibuat oleh Penyidik (Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP).
B. Acara Pemeriksaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas
1. Objek Pemeriksaan :
Perkara pelanggaran tertentu terhadap Peraturan Perundang-undangan
Lalu Lintas Jalan (Pasal 211 KUHAP);
92
2. Tata Cara Pemeriksaan :
a. Tidak diperlukan Berita Acara Pemeriksaan (Pasal 207 ayat (1) huruf
a KUHAP);
b. Dapat menunjuk seorang wakil;
c. Apabila Terdakwa atau wakilnya tidak hadir ddi sidang, maka
pemeriksaan perkara dilanjutkan;
d. Apabila putusan diucapkan di luar hadirnya Terdakwa, maka surat
amar putusan segera disampaikan kepada terpidana;
e. Apabila putusan dijatuhkan di luar hadirnya Terdakwa dan
putusannya berupa pidana perampasan kemerdekaan, maka
Terdakwa dapat mengajukan perlawanan;
f. Dalam waktu 7 hari setelah putusan diberitahukan secara sah kepada
Terdakwa. maka Terdakwa dapat mengajukan perlawanan kepada
Pengadilan yang telah menjatuhkan putusan tersebut;
g. Dengan adanya perlawanan tersebut, maka putusan diluar hadirnya
Terdakwa tersebut menjadi gugur;
h. Setelah Panitera memberitahukan kepada Penyidik tentang
perlawanan itu, Hakim menetapkan hari sidang untuk memeriksa
kembali perkara yang bersangkutan;
i. Apabila putusan setelah dijatuhkannya perlawanan tetap berupa
pidana perampasan kemerdekaan, maka terhadap putusan tersebut,
Terdakwa dapat mengajukan upaya hukum banding (Pasal 214
KUHAP);
j. Pengembalian benda sitaan dilakukan tanpa syarat kepada yang
paling berhak, segara setelah putusan dijatuhkan apabila Terpidana
telah memenuhi isi amar putusan (Pasal 215 KUHAP).
PUTUSAN PENGADILAN
1. Pengertian
Putusan adalah pernyataan Hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan
yang terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini (Pasal 1 butir 11 KUHAP).
93
Putusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 11 KUHAP tersebut adalah
putusan akhir, oleh karena selain putusan akhir dikenal pula “putusan sela”,
yakni putusan yang dijatuhkan atau diucapkan diluar pokok perkara.
2. Syarat-Syarat Putusan
a. Harus memuat hal-hal yang ditentukan dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP;
b. Diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum (Pasal 195 KUHAP);
3. Isi Putusan (hal-hal yang ditentukan/ diatur dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP)
a. Kepala putusan;
b. Identitas lengkap Terdakwa;
c. Dakwaan Penuntut Umum;
d. Pertimbangan yang lengkap;
e. Surat tuntutan (requisitoir) Penuntut Umum;
f. Ketentuan/ Pasal yang menjadi dasar hukum putusan, disertai dengan hal-
hal yang memberatkan dan meringankan;
g. Hari dan tanggal dilakukannya musyawarah majelis;
h. Pernyataan kesalahan Terdakwa;
i. Ketentuan tentang pembebanan biaya perkara dan ketentuan tentang status
barang bukti;
j. Pernyataan tentang surat/ keterangan yang palsu, jika terdapat surat otentik
yang dianggap palsu;
k. Perintah agar Terdakwa tetap ditahan atau ditahan atau dibebaskan;
l. Hari dan tanggal putusan, nama Penuntut Umum, nama Hakim yang
memutus, serta Panitera Pengganti.
Catatan: Akibat hukum tidak dipenuhinya huruf a sampai dengan huruf l
tersebut, adalah putusan batal demi hukum.
Ketentuan yang harus dimuat dalam putusan yang bukan pemidanaan
(verordeling)
a. Tidak perlu memuat ketantuan Pasal 197 ayat (1) huruf e, f dan huruf h
KUHAP;
b. Harus memuat alasan dan peraturan perundang-undangan yang menjadi
dasar putusan (Pasal 197 ayat (1) huruf b KUHAP);
c. Harus memuat perintah supaya Terdakwa segera dibebaskan dari
tahanan, apabila berada dalam tahanan.
94
4. Bentuk Putusan
a. Putusan pemidanaan (verordeling);
b. Putusan pembebasan (vrijspraak);
c. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging)’
5. Cara Pengambilan Putusan
a. Dengan cara musyawarah mufakat (Pasal 182 ayat (2), (3), (4) dan (5)
KUHAP);
b. Dengan cara voting (Pasal 182 ayat (6) huruf a KUHAP);
c. Pendapat Hakim yang paling menguntungkan (Pasal 182 ayat (6) huruf b
KUHAP);
Kewajiban Hakim setelah menjatuhkan putusan berdasarkan Pasal 196 ayat (3)
KUHAP adalah memberitahu kepada Terdakwa tentang hak-haknya yang
meliputi:
a. Hak Terdakwa untuk mempelajari putusan (pikir-pikir);
b. Hak Terdakwa untuk segera menolak atau menerima putusan;
c. Hak Terdakwa untuk menyatakan banding.
95
BAB V UPAYA
HUKUM
I. Pengertian
Secara terminologis, menurut ketentuan Pasal 1 butir 22 KUHAP yang
dimaksud dengan upaya hukum adalah hak Terdakwa atau Penuntut Umum
untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau
banding atau kasasi, atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan
peninjauan kembali, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini.
96
Tenggang Waktu Perlawanan :
a. Perlawanan mengenai penahanan (Pasal 29 ayat (2) KUHAP),
sewaktu-waktu dapat diajukan;
b. Perlawanan terhadap Penetapan Pengadilan sebagaimana dimaksud
Pasal 149 ayat (1) KUHAP adalah 7 (tujuh) hari;
c. Perlawanan sebagaimana dimaksud Pasal 156 ayat (3) KUHAP secara
tegas juga tidak diatur, namun demi penyelesaian perkara secra cepat,
sebaiknya tidak lebih dari 7 (tujuh) hari;
d. Perlawanan terhadap putusan verstek adalah 7 (tujuh) hari, sejak
diberitahukan putusan verstek tersebut;
e. Perlawanan terhadap barang rampasan adalah 3 (tiga) bulan setelah
pengumuman.
2. Banding
a. Pengertian
i. Ditinjau dari segi Institusi Peradilan:
- merupakan pemeriksaan tingkat kedua dan terakhir
- Pengadilan Negeri merupakan instansi peradilan tingkat pertama
ii. Ditinjau dari segi yuridis :
- merupakan pemeriksaan ulang terhadap putusan Pengadilan
Negeri
- sifatnya merupakan upaya hukum biasa
- upaya banding merupakan hak
iii. Ditinjau dari segi tujuannya :
- memperbaiki kekeliruan putusan tingkat pertama (Putusan PN)
- mencegah kesewenangan dan penyalahgunaan jabatan
- pengawasan terciptanya keseragaman penerapan hukum
Kesimpulan : Pemeriksaan banding adalah upaya hukum biasa yang
dapat diminta oleh Terdakwa atau Penuntut Umum terhadap putusan
pengadilan tingkat pertama yang bertujuan untuk memperbaiki
kekeliruan atau kesalahan yang dilakukan oleh pengadilan tingkat
pertama, serta untuk menciptakan keseragaman dalam penerapan
hukum dan peraturan perundang-undangan, dengan cara memeriksa
97
dan memutuskan putusan yang telah dijatuhkan oleh pengadilan
tingkat pertama sebagai putusan akhir.
b. Alasan Banding
Undang-Undang (KUHAP) tidak memberikan secara rinci tentang
alasan permintaan banding, oleh karena itu dapat dilihat dari makna
pemeriksaan banding, yakni memeriksa dan memutus pada tingkat
terakhir putusan pengadilan tingkat pertama, sehingga dengan
demikian alasan banding adalah karena pemohon banding tidak
sependapat dan karenanya keberatan atas putusan yang telah
dijatuhkan oleh pengadilan tingkat pertama.
Adapun alasan tidak sependapat dan keberatan tersebut :
- dapat dikemukakan pemohon secara umum;
- dapat dikemukakan pemohon secara terperinci;
- permintaan banding dapat ditujukan terhadap hal-hal tertentu saja.
98
- putusan perampasan kemerdekaan dalam acara pemeriksaan
singkat;
- putusan praperadilan terhadap penghentian penyidikan/penghentian
penuntutan;
- putusan PN yang dijatuhkan secara in absentia;
- putusan dalam perkara subversi yang diputus vrijspraak.
99
termohon banding diberitahu dan diserahkan memori banding tersebut
untuk bahan membuat kontra memori banding.
3. Kasasi
a. Dasar Hukum (Pasal 244 - Pasal 258 KUHAP)
Berdasarkan Pasal 244 KUHAP, terhadap putusan perkara pidana
yang diberikan pada tingkat terahir oleh pengadilan lain selain dari
Mahkamah Agung dapat diajukan kasasi, oleh Terdakwa atau
Penuntut ke Mahkamah Agung, kecuali terhadap putusan bebas. Jadi,
permohonan kasasi dapat diajukan Terdakwa atau Penuntut Umum
kepada Mahkamah Agung terhadap semua putusan perkara pidana
yang diberikan oleh Pengadilan Tingkat Terahir yang berupa :
i. Putusan Pengadilan Negeri pada tingkat pertama dan terahir :
- perkara tipiring (Pasal 205 - 210 KUHAP)
- perkara pelanggaran lalu lintas jalan (Pasal 211 - 216 KUHAP)
Terhadap putusan perkara tipiring dan pelanggaran lalu lintas jalan
tidak dapat dimintakan banding, kecuali bila hakim menjatuhkan
100
putusan berupa perampasan kemerdekaan (Pasal 205 ayat (3) dan
Pasal 214 ayat (8) KUHAP).
ii. Putusan Pengadilan Tinggi pada tingkat banding.
b. Tujuan Kasasi
i. Sebagai koreksi terhadap kesalahan putusan pengadilan bawahan.
Misalnya kesalahan dalam penerapan hukum pembuktian (Pasal
183 Jo. Pasal 185 KUHAP Jo. Putusan MARI No. 298 K/Pid/1982,
tanggal 6 Juli1983). Dalam pemeriksaan suatu perkara pidana tidak
ada saksi yang disumpah maupun alat bukti lain yang dapat dipakai
sebagai bukti tentang kesalahan Terdakwa, sebagaimana yang
dimaksud oleh Pasal 183 KUHAP.
ii. Menciptakan dan membentuk hukum baru (judge making law).
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut kadang-kadang Mahkamah
Agung membuat dan menjatuhkan putusan yang “contra legem”.
Sebagai contoh Putusan MARI No. 275 K/Pid/1983, tanggal 15
Desember 1983, contra legem dengan Pasal 244 KUHAP, oleh
karena dalam perkara tersebut Mahkamah Agung membolehkan
dan menerima permohonan kasasi terhadap putusan bebas, dengan
alasan demi tercapainya pembinaan penegakan hukum secara adil
dan tepat.
Contoh lain : Putusan MARI No. 471 K/Kr/1979, tanggal 7 Januari
1982, Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Tinggi
Banjarmasin nomor 78/1979, tanggal 17 April 1979, dimana
Putusan Pengadilan Tinggi tersebut memperbaiki pidana yang
dijatuhkan oleh Pengadilan Balikpapan No. 15/1977, tanggal 7 juli
1978, dari 7 tahun 6 bulan menjadi 2 tahun 6 bulan, dalam perkara
pidana korupsi. dalam perkara tersebut Mahkamah Agung
menerima permohonan kasasi, dengan alasan dan pertimbangan
“pengurangan hukuman yang dilakukan oleh Pengadilan Tinggi
kurang dasar pertimbangannya, karena dengan pengurangan
tersebut kejahatan korupsi yang diancam dengan pidana maksimal
seumur hidup tidak memadai, baik dilihat dari segi edukatif,
preventif, korektif maupun represif”.
101
iii. Pengawasan terciptanya keseragaman penerapan hukum.
102
mengkesampingkan hak Terdakwa untuk didampingi Penasehat
Hukum. Sehubungan dengan hal tersebut, berdasarkan Keputusan
Menteri Kehakiman tersebut di atas, permohonan kasasi juga dapat
diajukan oleh orang yang khusus dikuasakan Terdakwa untuk itu
(berdasarkan surat kuasa khusus, setelah perkara yang dimohonkan
kasasi tersebut diberitahukan kepada Terdakwa).
f. Alasan Kasasi
i. yang dibenarkan oleh undang-undang
- tentang penerapan hukum;
- tentang cara mengadili;
103
- tentang pengadilan yang melampaui batas wewenang (absolut,
relatif atau memasukkan hal-hal non yuridis dalam
pertimbangan putusannya).
ii. yang tidak dibenarkan oleh undang-undang
- keberatan tentang Putusan Pengadilan Tinggi yang menguatkan
Putusan Pengadilan Negeri;
- keberatan atas penilaian pembuktian;
- pengulangan fakta;
- tidak menyangkut persoalan/ pokok perkara (menyimpang);
- tentang berat ringannya pidana atau besar kecilnya jumlah
denda;
- tentang pengembalian barang bukti, sepenuhnya menjadi
wewenang Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi (Putusan
MARI No. 107 K/Kr/1977, tanggal 16 Oktober 1978).
h. Putusan Kasasi
- permohonan kasasi dinyatakan tidak dapat diterima, karena tidak
memenuhi persyaratan formil, diantaranya karena permohonannya
terlambat diajukan, tidak membuat atau terlambat mengajukan
memori kasasi;
- menolak permohonan kasasi, karena tidak ada kesalahan dalam
penerapan hukum, memori kasasi mengulas dan memberikan
penilaian tentang pembuktian atau menyangkut tentang
104
penghargaan atas suatu kenyataan (fakta), karena Mahkamah
Agung bukan judex facti, tetapi judec juris;
- mengabulkan permohonan kasasi: membatalkan putusan judex
facti, atau tidak membatalkan tetapi hanya memperbaiki putusan.
105
Putusan yang dapat dimohonkan KDKH adalah Putusan PN atau
PT yang telah berkekuatan hukum tetap, sedangkan terhadap
Putusan MA harus diajukan Peninjauan Kembali.
Yang berhak mengajukan KDKH berdasarkan Pasal 259 ayat (1)
KUHAP adalah Jaksa Agung karena jabatannya dengan
mendasarkan pada pendapat yang diberikan oleh Jaksa dari
Kejaksaan yang menangani perkara yang bersangkutan.
Permohonan KDKH tidak boleh merugikan pihak yang
berkepentingan:
- tidak menjatuhkan putusan pemidanaan atau putusan
pembebasan;
- tidak memperberat pidana dari yang telah dijatuhkan dalam
putusan yang dimintakan KDKH;
- tidak boleh mencabut hak-hak keperdataan Terdakwa, jika hal
itu tidak terdapat dalam putusan yang dimintakan KDKH.
106
Salinan memori atau Risalah KDKH disampaikan kepada pihak
yang berkepentingan (Pasal 260 ayat (2) KUHAP), dengan maksud
Terdakwa atau pihak yang berkepentingan mengajukan kontra
memori KDKH (analog dengan ketentuan Pasal 248 ayat (6)
KUHAP).
b. Peninjauan Kembali (P.K.), Pasal 263 ayat (1) - Pasal 269 KUHAP
1. Putusan Yang Dapat Diajukan P.K.
- semua putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap,
setelah dilalui upaya hukum biasa (banding dan kasasi) tertutup.
Dengan kata lain tidak boleh mendahului upaya hukum biasa.
- dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan (PN, PT dan
MA), kecuali terhadap putusan bebas dan lepas dari tuntutan
hukum.
107
- Penuntut Umum tidak berhak,oleh karena upaya hukum P.K.
bertujuan untuk melindungi kepentingan Terdakwa/ Terpidana;
- Ahli Waris dari Terpidana yang mempunyai hak untuk
mengajukan P.K. adalah merupakan “hak orisinil”, bukan hak
substitusi. Jadi walaupun Terpidana masih hidup atau sedang
berada di Lembaga Permasyarakatan, maka Ahli Warisnya
langsung dapat mengajukan permohonan P.K. Akan tetapi bila
semula P.K. diajukan terpidana, kemudian Terpidana meninggal
dunia, maka permohonan diteruskan oleh Ahli Warisnya sebagai
hak substitusi; atau setelah Terpidana meninggal dunia, maka
Ahli Warisnya baru mengajukan P.K. berdasarkan hak
substistusi (Pasal 268 ayat (2) KUHAP).
- Permohonan P.K. juga dapat diajukan oleh atau melalui Kuasa
Hukum/ Penasehat Hukum, berdasarkan surat kuasa khusus.
3. Alasan P.K.
- terdapat keadaan atau bukti baru (novum), dengan ketentuan
keadaan baru atau bukti baru (novum) tersebutmemiliki sifat dan
kualitas yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa :
apabila novum tersebut diketahui atau diketemukan pada
waktu sidang masih berlangsung, dapat menjadi faktor dan
alasan untuk menjatuhkan putusan bebas atau lepas;
dapat menjadi alasan atau faktor untuk menjatuhkan putusan
yang menyatakan bahwa tuntutan Penuntut Umum tidak
dapat diterima;
dapat menjadi alasan untuk menjatuhkan putusan dengan
menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
- bila dalam pelbagai putusan terdapat saling pertentangan;
- bila terdapat kekhilafan yang nyata dalam putusan, yang dapat
berupa kekhilafan hakim atau kekeliruan hakim.
108
4. Tenggang Waktu P.K.
- tidak ada pembatasan;
- selama belum diputus, permohonan P.K. dapat dicabut tetapi
tidak dapat diajukan lagi.
5. Prosedur P.K
- diajukan oleh Pemohon melalui Kepaniteraan Pengadilan Negeri
yang menangani dan menjatuhkan putusan pada tingkat pertama;
- permohonan dicatat dalam Akta P.K. yang ditandatangani oleh
Panitera dan Pemohon (Pasal 264 KUHAP).
6. Pemeriksaan P.K.
Sebelum PN meneruskan permohonan P.K. ke Mahkamah Agung,
maka berdasarkan ketentuan Pasal 265 KUHAP, menugaskan
kepada PN yang bersangkutan untuk membuka persidangan (bila
alasan P.K. karena ada novum), dengan mekanisme sebagai berikut
:
- Ketua Pengadilan Negeri (KPN) menunjuk dan menetapkan
hakim yang akan memeriksa perkara melalui Penetapan, dengan
catatan bukan hakim yang dulu menjatuhkan putusan;
- pemeriksaan difokuskan pada alasan P.K. kemudian dibuat
berita acara pendapat yang sifatnya tidak menentukan, tetapi
hanya sebatas saran;
- sifat pemeriksaan terbuka untuk umum;
- dibuat Berita Acara Pemeriksaan, ditandatangani oleh Hakim,
Penuntut Umum, Pemohon dan Panitera;
- dibuat Berita Acara Pendapat, ditandatangani oleh Hakim,
Penuntut Umum, Pemohon dan Panitera;
- sebagai pendapat dan kesimpulan yang berisi penjelasan dan
saran PN tentang alsan-alsan P.K., dimana MA nantinya akan
menolak atau tidak dapat diterimanya permohonan P.K.;
- dibuat berdasarkan BAP;
- ditandatangani oleh Hakim dan Panitera;
- kemudian PN melanjutkan permohonan P.K. ke MA.
109
7. Yang Dikirim Oleh Pengadilan Negeri Kepada Mahkamah Agung
- surat permohonan P.K.;
- berkas perkara semula selengkapnya;
- BAP P.K.
- Berita Acara Pendapat.
Tembusan permohonan maupun pengiriman disampaikan kepada
Pemohon, Penuntut Umum dan Pengadilan Tinggi.
110