Anda di halaman 1dari 110

BAB I

PENDAHULUAN

1. Istilah dan Pengertian Hukum Acara Pidana

Hukum Acara Pidana disebut juga dengan istilah hukum pidana formil,
yakni hukum yang mengatur tentang cara melaksanakan dan
mempertahankan hukum pidana materiil. Dengan kata lain, apabila terjadi
pelanggaran terhadap ketentuan hukum pidana materiil, maka menjadi
tugas dan tanggung jawab hukum pidana formil atau hukum acara pidana
untuk mencari dan menemukan siapa pelakunya serta bagaimana cara
memeriksa, mengadili dan menjatuhkan pidanya, termasuk pelaksanaan
pidanya.

2. Tujuan Hukum Acara Pidana

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman R.I. Nomor M.01.PW.07.03


Tahun 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP, tujuan hukum acara
pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidaknya mendekati
kebenaran materiil, yakni kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari
suatu perkara pidana,dengan menerapkan ketentuan hukumacara pidana
secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari dan menemukan siapa
pelaku yang dapat disangka, didakwa telah melakukan sesuatu perbuatan
pidana dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan,
guna menentukan apakah terbukti sesuatu perbuatan pidana telah
dilakukan dan apakah terdakwa dapat dipersalahkan.

3. Asas-asas Penting dalam Hukum Acara Pidana :


a. Asas perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum
dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan (equality before the
law);

b. Asas bahwa setiap upaya paksa (penangkapan, penahanan,


penggeledahan dan penyitaan) hanya dilakukan berdasarkan perintah

1
tertulis oleh pejabat yang berwenang oleh UU dan hanya dalam hal dan
dengan cara yang diatur oleh UU (Asas legalitas dalam upaya paksa);

c. Asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) : Pasal 8 UU


No.4 Tahun 2004, Penjelasan Umum butir 3.c KUHAP).

d. Asas untuk mendapatkan ganti kerugian dan rehabilitasi bagi


seseorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa
alasan yang berdasarkan UU dan atau karena kekeliruan mengenai
orangnya atau hukum yang diterapkan, sejak di tingkat penyidikan
(Asas remedy and rehabilitation)

e. Asas bahwa peradilan dilaksanakan dengan cepat, sederhana dan biaya


ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak (Asas fair, impartial,
impersonal and objective) harus diterapkan secara konsekuen pada
seluruh tingkat peradilan. Asas ini merupakan penjabaran dari
ketentuan pasal 2 ayat (4) UU No.48 Tahun 2009, sedangkan
pencantuman “peradilan cepat” (constante justitie/speedy trial) di
dalam KUHAP diwujudkan dengan istilah “segera”, sebagaimana
dapat dilihat dalam pasal 24 ayat (4), pasal 25 ayat (4), pasal 26 ayat
(4), pasal 27 ayat (4) dan pasal 28 ayat (4) KUHAP; Pasal 50 ayat (1),
(2) dan (3) KUHAP, Pasal 102 ayat (1), 106, 107 ayat (3), 110, 138
dan Pasal 140 ayat (1) KUHAP.

f. Asas bahwa setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi


kesempatan untuk memperoleh bantuan hukum yang semata-mata
diberikan untuk kepentingan pembelaan atas dirinya. (Asas legal
assistance);

g. Asas bahwa kepada seorang tersangka sejak dilakukan penangkapan


dan atau penahanan wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum apa
yang didakwakan kepadanya serta haknya untuk menghubungi dan
meminta bantuan penasehat hukum. (Miranda Rule)

h. Asas bahwa pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya


terdakwa /sistim pemeriksaan langsung dan lisan/oral debat (Asas
presentasi).

2
i. Asas bahwa pemeriksaan terhadap tersangka/terdakwa dilakukan
secara accusatoir dan inquisitoir.

j. Asas bahwa sidang pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali


dalam hal-hal yang diatur dalam UU (Asas keterbukaan)

k. Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana


dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan (Asas
pengawasan);

4. Ilmu-ilmu Pembantu Hukum Acara Pidana :

a. Logika.
Dalam usaha menemukan kebenaran orang tentu menggunakan pikiran
dalam menghubungkan keterangan yang satu dengan yang lain dalam
hal ini digunakan logika. Bagian darihukum acara pidana yang paling
membutuhkan pemakaian logika adalah masalah pembuktian dan
metode penyelidikan. Dalam rangka menemukan kebenaran biasanya
dipergunakan dugaan atau hipotesis,selanjutnya bertitik tolak dari
hipotesis tersebut diusahakan pembuktian yang logis.

b. Psikologi.
Dalam rangka mengungkap isi hati tersangka/terdakwa, baik penyidik
maupun hakim seharusnya menguasai dan dapat menerapkan
pengetahuan psikologi, sehingga pemeriksa (penyidik maupun hakim)
perlu menempatkan diri bukan sebagai pemeriksa yang menggiring
tersangka/terdakwa ke penjara, melainklan sebagai kawan yang pada
akhirnya dapat berbicara dari hati ke hati. Apabila hubungan antara
pemeriksa dengan tersangka/terdakwa telah terbentuk, maka dengan
mudah pemeriksa dapat menyelinapkan pertanyaan-pertanyaan yang
menuju kepada pembuktian petunjuk/persangkaan kepada
tersangka/terdakwa.

c. Kriminalistik
Kalau psikologi sebagai ilmu pembantu berguna dalam hal
menghadapi manusianya (tersangka/terdakwa), maka kriminalistik
berguna dalam hal menilai faktanya dengan melakukan rekonstruksi.
Menurut Andi Hamzah, melukiskan kriminalistik sebagai

3
pengumpulan dan pengolahan data secara sistimatis yang dapat
berguna bagi penyidik dalam rangka merekonstruksi kejadian-kejadian
yang telah terjadi guna pembuktian. Adapunbagian-bagian
kriminalistik yang dipakai dalam pembuktian adalah ilmu tulisan, ilmu
kimia, fisiologi, anatomi patologik, toxiologi (ilmu racun),
pengetahuan tentang luka, daktiloskopi atau sidik jari, jejak kaki,
antropometri dan antropologi.

d. Psikiatri
Dalam rangka menemukan kebenaran materiil dari suatu perkara
pidana yang perlu diteliti tidak hanya manusia dan situasi yang normal,
akan tetapi terkadang juga hal-hal yang abnormal. Dalam hal
menemukantersangka/terdakwa yang diduga abnormal, maka ilmu
psikiatri sangat dibutuhkan. Adapun psikiatri yang diperguinakan
sebagai pembantu hukum acara pidana dinamakan psikiatri untuk
peradilan atau psikiatri forensic.

e. Kriminologi
Kriminologi diperlukan dalam usaha untuk mengetahui sebab-sebab
atau latar belakang terjadinya atau dilakukannya suatu perbuatan
pidana. Misalnya dalam perkara pidana korupsi yang dipandang
meraja lela, perlu diketahui sebab-sebab atau latar belakang dan
akibat-akibatnya, apakah oleh karena faktor gaji pegawai negeri yang
terlalu rendah atau karena kebudayaan atau karena modernisasi dllsb.

5. Sumber-sumber Hukum Acara Pidana :

a. UU No. 8 Tahun 1981, tentang Hukum Acara Pidana, berdasarkan


pasal 285 disebut pula dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP);
b. UU No. 48 Tahun 2009, Tentang Kekuasaan Kehakiman;
c. UU No. 11 Tahun 2021, Tentang Perubahan Atas UU No. 16 Tahun
2004, Tentang Kejaksaan Republik Indonesia;
d. UU No. 2 Tahun 2002, Tentang Kepolisian Republik Indonesia;

4
e. Peraturan Pemerintah (PP) No. 58 Tahun 2010, Tentang Perubahan
Atas PP No. 27 Tahun 1983, tentang Pelaksanaan KUHAP;

f. Kpts. Menteri Kehakiman RI No.M.01.PW.07.03 Tahun 1982, Tentang


Pedoman Pelaksanaan KUHAP;
g. Kpts. Menteri Kehakiman RI No.M.14.PW.07.03 Tahun 1983, tentang
Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP;
h. Surat-surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA);

6. Sumber Tindakan Penanganan Perkara Pidana : Laporan, Pengaduan,


Tertangkap Tangan.
a. Laporan (Pasal 1 butir 24 KUHAP)
Adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak
(setiap orang yang melihat, mendengar atau mengalami/menjadi
korban dari suatu perbuatan pidana) atau kewajiban berdasar undang-
undang (setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk
melakukan perbuatan pidana terhadap ketentraman dan keamanan
umum atau terhadap jiwa atau terhadap hak orang lain) kepada pejabat
yang berwenang tentang telah, sedang atau diduga akan terjadi
perbuatan pidana.
b. Pengaduan (Pasal 1 butir 25 KUHAP)
Adalah pemberitahuan yang disertai dengan permintaan oleh pihak
yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak
menurut hukum seorang yang telah melakukan perbuatan pidana
(delik) aduan yang merugikannya.

Menurut KUHP, yang termasuk perbuatan pidana (delik) aduan adalah


sebagai berikut :

a. Pasal 310, 311 KUHP, tentang Pemfitnahan;


b. Pasal 315 KUHP, tentang Penghinaan;
c. Pasal 317 JUHP, tentang Pengaduan/Laporan Fitnah;
d. Pasal 320, 321 KUHP, tentang Memfitnah orang yang sudah mati;
e. Pasal 284 KUHP, tentang Perzinahan;
f. Pasal 287 KUHP, tentang Percabulan;

5
g. Pasal 323 KUHP, tentang Membuka Rahasia yang harus disimpan
karena pekerjaan/jabatan;
h. Pasal 332 KUHP, tentang Melarikan seorang perempuan di bawah
umur;
i. Pasal 367 KUHP, tentang Pencurian dalam lingkungan keluarga;
j. Pasal 370 KUHP, tentang Pemerasan dalam lingkungan keluarga;
k. Pasal 376 KUHP, tentang Penggelapan dalam lingkungan keluarga;
l. Pasal 394 KUHP, tentang Penipuan dalam lingkungan keluarga.

Persamaan dan Perbedaan antara Laporan dan Pengaduan :

Persamaan :
Baik laporan maupun pengaduan, keduanya berisikan tentang
pemberitahuan dari seseorang kepada pejabat yang berwenang tentang
telah, sedang atau diduga akan terjadi perbuatan pidana.

Perbedaan :

a. Laporan diajukan dalam hal perbuatan pidana (delik) biasa,


sedangkan pengaduan diajukan dalam hal perbuatan pidana (delik)
aduan (klacht delicten);

b. Laporan tidak menjadi syarat penuntutan, sedang pengaduan


adalah merupakan syarat penuntutan, artinya tanpa pengaduan
tersebut penuntutan terhadap Pelaku tidak dapat dilakukan;

c. Laporan dapat diajaukan oleh setiap orang, sedangkan pengaduan


hanya dapat diajukan oleh orang-orang tertentu, yakni orang-orang
sebagaimana dimaksud dan diatur dalam Pasal 72 KUHP
(korban/keluarga korban dari suatu perbuatan pidana/delik aduan);

d. Sepanjang belum melampaui batas waktu/tenggang waktu


penuntutan (pasal 78 KUHP), laporan dapat diajukan kapan saja,
sedangkan pengaduan pengajuannya dibatasi oleh tenggang waktu
tertentu (6 dan 9 bulan), sebagaimana dimaksud dan diatur dalam
Pasal 74 KUHP;

e. Laporan yang telah diajukan tidak dapat dicabut kembali,


sedangkan pengaduan dapat dicabut kembali dalam waktu 3 bulan,

6
tetapi hanya sekali dan tidak dapat diadukan ulang. (Pasal 75
KUHP);

f. Dalam pengaduan harus ditegaskan adanya permintaan agar Pelaku


ditindak menurut hukum, sedangkan pada laporan permintaan
tersebut tidak perlu dikemukakan.

c. Tertangkap Tangan (Pasal 1 butir 19 KUHAP)

Adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan


perbuatan pidana atau dengan segera sesudah beberapa saat perbuatan
pidana tersebut dilakukan atau sesaat kemudian diserukan oleh
khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya atau apabila sesaat
kemudian padanya diketemukan benda yang diduga telah
dipergunakan untuk melakukan perbuatan pidana tersebut yang
menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau
membantu melakukan perbuatan pidana tersebut.

7. Pihak-pihak dalam Perkara Pidana dan Pihak Lain yang Terkait di


dalamnya :
a. Terlapor/Tersangka/Terdakwa (pasal 1 butir 14 dan butir 15 KUHAP);
b. Penyelidik/Penyidik (pasal 1 butir 4 dan butir 1 KUHAP);
c. Jaksa/Jaksa Peneliti/Penuntut Umum (pasal 1 butir 6 KUHAP);
d. Pihak Ketiga yang berkepentingan;

PENGGUNAAN SEBUTAN KEPANGKATAN PERWIRA, BINTARA


DAN TAMTAMA POLRI (Skep/1259/2000, tanggal 7 Oktober 2000,
m.b. : 1 Januari 2001)
1. GOLONGAN PATI :
AA. Jendral Polisi.
BB. Komisaris Jendral Polisi (Letnan Jendral).
CC. Inspektur Jendral Polisi (Mayor Jendral).
DD. Brigadir Jendral Polisi (Brigader Jendral).

2. GOLONGAN PAMEN :
AA. Komisaris Besar Polisi (Kolonel).
BB. Ajun Komisaris Besar Polisi/AKBP (Letnan Kolonel).
CC. Komisaris Polisi/Kompol (Mayor).

7
3. GOLONGAN PAMA :
AA. Ajun Komisaris Polisi/AKP (Kapten).
BB. Inspektur Polisi Tingkat I/Iptu (Letnan Satu)
CC. Inspektur Polisi Tingkat II/Ipda (Letnan Dua).

4. GOLONGAN BATI :
AA. Ajun Inspektur Polisi Tingkat I/Aiptu (Pembantu Letnan satu).
BB. Ajun Inspektur Polisi Tingkat II/Aipda (Pembantu Letnan Dua).

5. GOLONGAN BINTARA :
AA. Brigadir Polisi Kepala/Bripka (Sersan Mayor).
BB. Brigadir Polisi/Brigadir (Sersan Kepala).
CC. Brigadir Polisi Satu/Briptu (Sersan Satu).
DD. Brigadir Polisi Dua/Bripda (Sersan Dua).

6. GOLONGAN TAMTAMA :
AA. Ajun Brigadir Polisi/Abrigadir (Kopral Kepala)
BB. Ajun Brigadir Poisi Satu/Abriptu (Kopral Satu).
CC. Ajun Brigadir Polisi Dua/Abripda (Kopral Dua).
DD. Bhayangkara Kepala (Bharaka).
EE. Bhayangkara Satu (Bharatu).
FF. Bhayangkara Dua (Bharada).
Menurut ketentuan pasal 4 KUHAP, penyelidik adalah setiap pejabat
polisi negara RI (dari pangkat yang paling rendah/Bharada hingga yang
tertinggi/Jendral Polisi), sedangkan penyidik polri menurut pasal 6 ayat (1)
huruf a dan ayat (2) Jo. pasal 2 PP No. 27 Tahun 1983 adalah Polisi
Negara RI serendah-rendahnya berpangkat Ipda (Letnan Dua Polisi).
Apabila di suatu Sektor Polisi (Polsek) tidak ada pejabat penyidik, maka
Kapolsek yang berpangkat Bintara di bawah Aipda/Pembantu Letnan
Polisi (Sersan Mayor) karena Jabatannya adalah sebagai penyidik.
Kesimpulan : Setiap unsur aparat kepolisian adalah penyelidik, tetapi
setiap penyelidik belum tentu penyidik, melainkan hanya aparat kepolisian
yang memenuhi syarat kepangkatan tertentu saja (serendah-rendahnya
Ipda/Letda) yang dapat bertindak sebagai penyidik. Dengan kata lain
setiap penyidik pasti penyelidik, tetapi setiap penyelidik belum tentu
sebagai penyidik.

8
BAB II

TAHAP-TAHAP PENYELESAIAN PERKARA PIDANA/

PENERAPAN HUKUM

1. PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN

a.PENGERTIAN, TUGAS DAN WEWENANG PENYELIDIK

Menurut ketentuan pasal 1 butir 5 KUHAP, penyelidikan adalah


serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu
peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat
atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini. Sedangkan yang dimaksud dengan penyelidik
menurut ketentuan pasal 1 butir 4 KUHAP adalah pejabat polisi negara
RI yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan
penyelidikan.
Berdasarkan ketentuan pasal 1 butir 4 KUHAP tersebut dapatlah
dikatakan bahwa setiap/semua unsur aparat kepolisian negara RI dari
yang berpangkat paling rendah (Bharada s/d. Jendral Polisi) adalah
penyelidik. Dengan kata lain Polri adalah penyelidik tunggal/satu-
satunya aparat penyelidik.

Adapun tugas utama dari penyelidik adalah melakukan penyelidikan.


Dengan demikian jelaslah bahwa lembaga penyelidikan berfungsi
sebagai “penyaring”, apakah suatu peristiwa yang diduga sebagai
perbuatan pidana dapat dilakukan penyidikan atau tidak. Dengan adanya
lembaga penyelidikan setidaknya dapat dihindari tindakan penyidikan
yang keliru, terutama terhadap orang atau pelakunya maupun ketentuan
hukum yang diterapkan.

WEWENANG PENYELIDIK
Menurut ketentuan pasal 5 ayat (1) KUHAP, wewenang penyelidik
dibedakan atas dasar kewajiban dan perintah penyidik.

a. Karena Kewajiban, penyelidik mempunyai wewenang :


 menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya
tindak pidana;

9
 mencari keterangan dan barang bukti;
 menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri;
 mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab;

Menurut penjelasan UU No.8 Tahun 1981, yang dimaksud dengan


tindakan lain adalah tindakan dari penyelidik untuk kepentingan
penyelidikan, dengan syarat :

- tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;


- selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan
dilakukannya tindakan jabatan;
- tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam
lingkungan jabatannya;
- atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa;
- menghormati hak azazi manusia;

b. Atas perintah penyidik, penyelidik mempunyai wewenang :


 melakukan tindakan penangkapan, larangan meninggalkan tempat,
penggeledahan dan penyitaan;
 melakukan tindakan pemeriksaan dan penyitaan surat;
 mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
 membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik;

b. PENGERTIAN, TUGAS DAN WEWENANG PENYIDIK


Menurut ketentuan pasal 1 butir 2 KUHAP, penyidikan adalah
serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam Undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti,
yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi
dan guna menemukan tersangkanya. Sedangkan yang dimaksud dengan
penyidik menurut pasal 1 butir 1 KUHAP adalah pejabat polisi negara RI
atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus
oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
Syarat kepangkatan penyidik menurut KUHAP diselaraskan dengan
kedudukan dan kepangkatan penuntut umum dan hakim.

10
Menurut ketentuan pasal 2 ayat (1) huruf a PP No.27 Tahun 1983,
tentang Pelaksanaan KUHAP, untuk penyidik Polri sekurang-kurangnya
berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi/Ajun Inspektur Polisi Tingkat
Dua (Aipda),sedangkan untuk penyidik PNS tertentu (pejabat Bea Cukai,
Imigrasi, Kehutanan dll), sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur
Muda Tingkat I/Golongan II.b atau yang disamakan dengan itu. Tugas
utama penyidik adalah melakukan penyidikan.

WEWENANG PENYIDIK
Dalam melaksanakan tugas penyidikan, berdasarkan ketentuan pasal 7
KUHAP, penyidik mempunyai wewenang sebagai berikut :
 menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya
tindak pidana;
 melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
 menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal
diri tersangka;
 melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
 melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
 mengambil sidik jari dan memotret seorang;
 memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi;
 mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara;
 mengadakan penghentian penyidikan;
 mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Adapun untuk penyidik PNS tertentu mempunyai wewenang sesuai


dengan UU yang menjadi dasar hukumnya masing-masing. Dalam
pelaksanaan tugas penyidikan mereka berada di bawah koordinasi dan
pengawasan penyidik Polri.

PENGERTIAN, TUGAS DAN WEWENANG PENYIDIK


PEMBANTU
Menurut ketentuan pasal 1 butir 3 KUHAP, penyidik pembantu adalah
pejabat kepolisian negara RI yang karena diberi wewenang tertentu

11
dapat melakukan tugas penyidikan yang diatuyr dalam undang-undang
ini. Tugas utama penyidik pembantu adalah melakukan penyidikan.

WEWENANG PENYIDIK PEMBANTU :


Berdasarkan ketentuan pasal 11 KUHAP, penyidik pembantu
mempunyai wewenang sepertihalnya wewenang penyidik dalam pasal 7
ayat (1) KUHAP, kecuali mengenai penahanan wajib diberikan dengan
pelimpahan wewenang dari penyidik. Pelimpahan wewenang/wewenang
penahanan hanya diberikan apabila perintah dari penyidik tidak mungkin
dilakukan/diberikan, karena :

- dalam keadaan yang sangat diperlukan;


- terdapat hambatan perhubungan di daerah terpencil;
- di tempat yang belum ada petugas penyidik dan atau
- dalam hal lain yang dapat diterima menurut kewajaran;

KEDUDUKAN PENYIDIK PEMBANTU :


Penyidik pembantu membuat berita acara dan menyerahkan berkas
perkara kepada penyidik, kecuali dalam perkara dengan acara
pemeriksaan singkat dapat langsung diserahkan kepada penuntut umum.

PROSEDUR PENYIDIKAN :
1.SUMBER TINDAKAN :
 penyidik mengetahui terjadinya peristiwa yang patut diduga sebagai
perbuatan pidana;
 penyidik menerima laporan atau pengaduan;
 penyidik menerima penyerahan tersangka yang tertangkap tangan;

2.PROSES TINDAKAN :

Berdasarkan pasal 109 ayat (1) KUHAP, penyidik melakukan tindakan


penyidikan yang diperlukan dan memberitahukan kepada penuntut
umum dengan cara mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya
Penyidikan (SPDP).

3.TERSANGKA TERTANGKAP TANGAN

Apabila tersangka tertangkap tangan, maka penyidik wajib menangkap


tersangka dan wajib segera melakukan pemeriksaan dan tindakan lain

12
dalam rangka penyidikan (pasal 111 ayat (1), (2) dan (3) KUHAP.
Akan tetapi apabila tersangka tidak tertangkap tangan, maka penyidik
mempelajari dan meneliti perisiwanya, apakah dapat dilakukan
penyidikan atau tidak.

PROSEDUR PEMANGGILAN SAKSI DAN TERSANGKA


UNTUK KEPENTINGAN PENYIDIKAN

A. DASAR :

Berdasarkan ketentuan Pasal 112 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP,
penyidik yang melakukan pemeriksaan berwenang memanggil
tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa. Bagi
mereka yang dipanggil wajib datang kepada penyidik.

B. CARA PEMANGGILAN :

1. Pemanggilan yang sah :

Dilakukan dengan surat panggilan yang sah, yang didalamnya


memuat :
 alasan pemanggilan secara jelas;
 waktu dan tempat hadir yang ditentukan;
 nama dan jabatan yang dipanggil;
 nama dan alamat yang dipanggil;

2. Penyampian Surat Panggilan :

Tata cara penyampaian surat panggilan kepada tersangka


maupun saksi pada tingkat penyidikan tidak ada ketentuan
secara terperinci. Yang ada adalah tata cara pemanggilan
kepada terdakwa, saksi atau ahli berdasarkan pasal 227
KUHAP. Dengan mengikuti ketentuan pasal 227 KUHAP,
maka penyampaian surat panggilan untuk tersangka ataupun
saksi/saksi ahli pada tingkat penyidikan dapat dilakukan di
tempat kediaman terakhir atau tempat tinggal orang yang
dipanggil.

Apabila orang yang dipanggil ada di tempat, maka petugas


yang melakukan tugas pemanggilan harus bertemu sendiri dan

13
berbicara langsung dengan orang yang dipanggil. Untuk itu
petugas membuat catatan bahwa surat panggilan telah diterima
oleh yang bersangkutan dengan membubuhkan tanggal dan
tanda tangan, baik petugas maupun orang yang dipanggil.
Apabila orang yang dipanggil tidak bersedia menandatangani,
maka petugas harus mencatat alasannya.

Apabila orang yang dipanggil tidak ada di salah satu tempat


tersebut, maka penyampaian panggilan dilakukan dengan cara
sebagai berikut :

- Surat panggilan disampaikan melalui Kepala


Desa/Lurah/Pejabat setempat;
- Apabila orang yang dipanggil berada di luar negeri, maka
surat panggilan disampaikan melalui perwakilan RI di tempat
dimana orang yang dipanggil tersebut berdiam;

Apabila dengan cara tersebut di atas belum berhasil, maka


berdasarkan ketentuan Pasal 227 ayat (3) KUHAP, surat
panggilan ditempelkan di tempat pengumuman kantor pejabat
yang mengeluarkan surat panggilan tersebut.

3. Kewajiban Orang Yang dipanggil :

Orang yang dipanggil wajib hadir/datang kepada penyidik pada


waktu dan tempat yang telah ditentukan. Apabila orang yang
dipanggil (tersangka) datang, maka berdasarkan Pasal 50
KUHAP, berhak segera dilakukan pemeriksaan oleh penyidik
dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum.
Sebaliknya apabila yang dipanggil tidak datang, maka langkah
atau tindakan yang dilakukan penyidik adalah sebagai berikut :

 Penyidik berdasarkan Pasal 112 ayat (2) KUHAP memanggil


sekali lagi dengan perintah kepada petugas untuk
membawa/menghadapkan kepadanya;

 Apabila yang dipanggil tidak datang dengan memberi alasan


yang patut dan wajar, maka penyidik berdasarkan Pasal 113
KUHAP datang ke tempat kediamannya;

14
PROSEDUR PEMERIKSAAN PENYIDIKAN :

A. Terhadap Saksi :

1. Bisa hadir dalam pemeriksaan di Pengadilan atau


Tidak;
Apabila saksi diperkirakan bisa hadir di Pengadilan,
maka saksi diperiksa dengan tidak disumpah;
Sebaliknya apabila saksi sekiranya tidak dpat hadir di
Pengadilan, maka saksi diperiksa di bawah sumpah.

2. Cara Pemeriksaan :
Saksi diperiksa secara tersendiri, tetapi boleh
dipertemukan dengan yang lain dan wajib memberikan
keterangan yang sebenarnya (pasal 116 ayat 2
KUHAP). Saksi diperiksa tanpa tekanan dari siapapun
dan atau dalam bentuk apapun (pasal 117 ayat 1
KUHAP).

B. Terhadap Orang Ahli/Yang Memiliki Keahlian Khusus

1. Dasar : Pasal 120 ayat (1) KUHAP


Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat
meminta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki
keahlian khusus.

2. Cara Pemeriksaan :
Orang ahli tersebut mengangkat sumpah atau
mengucapkan janji di depan penyidik bahwa ia akan
memberikan keterangan yang benar dan sebaik-baiknya;
Kecuali jika harkat, martabat, pekerjaan atau jabatannya
yang mewajibkan ia menyimpam rahasia dapat menolak
untuk memberikan keterangan yang diminta;

15
C. Terhadap Tersangka :

1. Waktu Pemeriksaan
 Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh
penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada
penuntut umum;
 Dalam hal Tersangka ditahan, maka dalam waktu 1
(satu) hari setelah perintah penahanan itu dijalankan,
ia harus memulai pemeriksaan terhadap tersangka
(pasal 122 KUHAP);

2. Hak Memperoleh Bantuan Hukum

 Sebelum dimulainya pemeriksaan oleh penyidik,


berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2003, Tentang
Advokat, penyidik wajib memberitahukan kepada
tersangka tentang haknya untuk mendapatkan jasa
hukum atau bantuan hukum;

 Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau


didakwa melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas
tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu
yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih
yang tidak mempunyai penasehat hukum sendiri,
maka berdasarkan ketentuan Pasal 56 ayat (1)
KUHAP, pejabat yang bersangkutan pada semua
tingkat pemeriksaan wajib menunjuk penasehat
hukum bagi mereka;

3. Proses Pemeriksaan :

 keterangan tersangka kepada penyidik diberikan tanpa


tekanan dari siapapun atau dalam bentuk apapun
(pasal.117 ayat 1 KUHAP);

 penasehat hukum dapat mengikuti jalannya


pemeriksaan dengan cara melihat serta mendengar
pemeriksaan, kecuali dalam hal kejahatan terhadap

16
keamanan negara, maka penasehat hukum hanya
boleh melihat tetapi tidak boleh mendengarkan
jalannya pemeriksaan (pasal 115 KUHAP);

 kepada tersangka ditanyakan apakah menghendaki


adanya/hadirnya saksi yang menguntugkan (saksi a de
charge), bilamana dikehendaki maka hal tersebut
dicatat dalam berita acara dan penyidik wajib
memanggil dan memeriksa saksi tersebut (pasal 116
ayat 1 dan 2 KUHAP);

c.MODEL PENYIDIKAN

Menurut Herbert L. Packer, ada 2 (dua) model Hukum Acara Pidana,


yakni Crime Control Model dan Due Process Model, yang mana
keduanya adalah merupakan model-model ideal. Namun demikian antara
kedua model tersebut tidak dapat dipertentangkan, karena hanya
merupakan model saja.

Antara Crime Control Model dan Due Process Model dibangun atas
dasar nilai-nilai yang berbeda, namun demikian antara keduanya juga
mempunyai persamaan-persamaan, yakni kedua model tersebut sama-
sama bertumpu pada fungsi adversary system, hanya saja di dalam
Crime Control Model pada tahap penyidikan tidak bergitu mantap,
sedangkan di dalam Due Process Model berkembang begitu mantap dan
menekankan pada titik sentralnya. Dalam penanganan/penyelesaian
perkara Crime Control Model lebih mengutamakan effisiensi waktu,
artinya dengan waktu yang relatif singkat/cepat (high speed), suatu
perkara pidana harus dapat terselesaikan dengan tuntas. Aturan-aturan
yang ada tidak/kurang begitu diperhatikan (bertumpu pada azas
“prusumption of guilt”). Sebaliknya menurut Due Process Model,
penanganan suatu perkara pidana berjalan lambat (low speed), oleh
karena selalu memperhatikan aturan-aturan yang ada, terutama yang
berkaitan dengan hak-hak tersangka (bertumpu pada azas “presumption
of innocence).

17
Ciri-ciri dari Crime Control Model dan Due Process Model seolah-olah
diterapkan dalam penyidikan menurut KUHAP, hal mana dapat dilihat
dalam beberapa pasal yang ada di dalam KUHAP. Dengan kata lain
KUHAP mengambil sebagian dari cirri-ciri kedua model tersebut,
namun tidak termasuk Crime Control Model maupun Due Procces
Model.

KUHAP tidak menganut Crime Control Model maupun Due Process


Model, sehingga KUHAP tidak mempunyai model. Walaupun KUHAP
tidak mempunyai model, toh hal tersebut sekedar model, oleh karena
berbicara tentang model, maka model tidak sesuai dengan kenyataan.
Oleh karena itu walaupun kedua model tersebut cocok untuk negara lain,
tetapi hal tersebut tidak cocok/belum tentu cocok dengan negara kita,
oleh karena apa yang cocok atau sesuai bagi orang lain/negara lain,
belum tentu cocok atau sesuai untuk kita/negara kita. Demikian pula
mengenai model hukum acara pidana kita.

d.UPAYA PAKSA DALAM PENYIDIKAN :

i. Penangkapan

Pengertian Penangkapan
Menurut ketentuan Pasal 1 butir 20 KUHAP, penangkapan adalah
suatu tindakan penyidik yang berupa pengekangan sementara waktu
terhadap kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup
bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau
peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini.

Dasar Penangkapan :

 Berdasarkan ketentuan Pasal 17 KUHAP, karena ada dugaan kuat


bahwa seseorang telah melakukan perbuatan pidana berdasarkan
Bukti permulaan yang cukup;

 Perbuatan pidana yang bersangkutan berdasarkan Pasal 19 ayat (2)


KUHAP adalah berupa kejahatan atau pelanggaran yang terhadap

18
pelakunya telah dipanggil secara sah dan patut tidak memenuhi
panggilan tersebut tanpa alasan yang sah.

Pejabat Yang Berwenang Melakukan Penangkapan :

 Penyidik atau penyidik pembantu;


 Penyelidik atas perintah dari penyidik (pasal 16 ayat 1 dan 2
KUHAP);
Yang dimaksud dengan “perintah” disini adalah berupa surat
perintah yang dikeluarkan/dibuat tersendiri dan dikeluarkan
sebelum penangkapan dilakukan.

Cara Melakukan Penangkapan :

 Dalam Hal Tertangkap Tangan :


Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (2) KUHAP, penangkapan
dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan orang yang
menangkap harus segera menyerahkan pelaku beserta/tanpa barang
bukti kepada penyidik atau penyidik pembantu terdekat.
 Dalam Hal Tidak Tertangkap Tangan :
Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (3) KUHAP, penangkapan
dilakukan dengan Surat Perintah Penangkapan oleh Aparat
Kepolisian Negara RI, dengan :
- memperlihatkan surat tugas;
- memberikan surat perintah penangkapan kepada tersangka, yang
didalamnya berisikan tentang :
o identitas tersangka;
o alasan penangkapan dan uraian singkat tentang perbuatan
pidana yang disangkakan;
o tempat tersangka akan diperiksa;

- segera setelah melakukan penangkapan, kepada keluarga


tersangka harus diberikan surat tembusan penangkapan tsb.

Jangka Waktu Penangkapan :

Berdasarkan ketentuan Pasal 19 ayat 1 KUHAP, penangkapan hanya


dapat dilakukan paling lama 1 X 24 jam (satu hari).

19
ii. Penahanan

Pengertian Penahanan :
Menurut ketentuan Pasal 1 butir 21 KUHAP, penahanan adalah
penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu pleh
penyidik, penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam
hal dan menurut cara yang diatur oleh undang-undang ini.

Dasar dan Alasan Penahanan :

a.Dasar dan Alasan menurut Hukum/Alasan Yuridis(Alasan


Obyektif) :

 harus ada dugaan kuat berdasarkan bukti-bukti yang cukup


bahwa seseorang telah melakukan perbuatan pidana;
 ancaman pidana dari perbuatan pidana yang disangkakan adalah
5 tahun ke atas atau perbuatan pidana tertentu yang ancaman
pidananya kurang dari 5 tahun, sebagaimana yang dimaksud dan
diatur oleh pasal 21 ayat 4 sub.b. KUHAP.

b.Dasar dan Alasan menurut Keperluan/Alasan Non Yuridis (Alasan


Subyektif)

 adanya kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan


melarikan diri ;
 adanya kekhawatiran bahwa tersangka akan merusak atau
menghilangkan barang bukti;
 adanya kekhawatiran bahwa tersangka akan mengulangi lagi
perbuatannya atau melakukan perbuatan pidana yang lainnya.
Catatan : sifat dari ketiga alasan ini adalah alternatif.

Pejabat Yang Berwenang Melakukan Penahanan :

Oleh karena penahanan dapat dilakukan pada setiap tingkat


pemeriksaan, maka Pejabat yang berwenang pada semua tingkat
pemeriksaan, yakni penyidik, penuntut umum dan hakim adalah
merupakan pejabat yang berwenang melakukan penahanan
terhadap tersangka atau terdakwa.

20
Prosedur Penahanan :

i. Surat Perintah Penahanan.


Untuk melakukan penahanan harus dibuat surat perintah
penahanan oleh pejabat yang berwenang pada semua tingkat
pemeriksaan (penyidik, penuntut umum, hakim), dimana di
dalam surat perintah penahanan tersebut harus diuraikan
tentang :
- identitas tersangka atau terdakwa;
- alasan penahanan;
- uraian singkat tentang perbuatan pidana yang disangkakan
atau didakwakan;
- tempat tersangka atau terdakwa akan ditahan.

ii. Tembusan Surat Penahanan


Kepada keluarga tersangka atau terdakwa, berdasarkan Pasal
21 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP harus diberikan surat
tembusan penahanan.

Jangka Waktu/Tenggang Waktu Penahanan :

Jangka waktu penahanan menurut KUHAP dibedakan atas :

a. Untuk perbuatan pidana yang diancam pidana penjara 5 tahun/lebih dan


perbuatan pidana yang disebutkan dalam pasal 21 ayat (4) sub. b. KUHAP;

b. Untuk perbuatan pidana yang diancam dengan pidana penjara 9 tahun/lebih


atau dalam hal Tersangka/Terdakwa menderita gangguan fisik atau mental
yang berat dengan dibuktikan oleh Surat Keterangan Dokter, dalam bentuk
Visum et Repertum (VER) atau Visum et Repertum Psikiatrik (VERP).

21
BAGAN/SKEMA TENGGANG WAKTU PENAHANAN (Huruf a dan b)

PENYIDIKAN : 20 hari : Penuntut Umum = 60 hari : KPN (pasal 29 KUHAP) = 120


Ps. 24 40 hari 30 + 30 = 60 hari

PENUNTUTAN : 20 hari : KPN = 50 hari : KPN (pasal 29 KUHAP) = 110


Ps. 25 30 hari 30 + 30 = 60 hari

PERSIDANGAN : 30 hari : KPN = 90 hari : KPT (pasal 29 KUHAP) = 150


Ps. 26 60 hari 30 + 30 = 60 hari

BANDI NG : 30 hari : KPT = 90 hari : Mahkamah Agung (ps.29) = 150


Ps. 27 60 hari 30 + 30 = 60 hari

KAS AS I : 50 hari: Ketua M.A =110 hari : Ketua M.A (ps. 29 KUHAP) = 170
Ps. 28 60 hari 30 + 30 = 60 hari
---------------------------------- ------------------------
Jumlah = 400 hari Jumlah = 700

JENIS-JENIS PENAHANAN

Menurut ketentuan Pasal 22 KUHAP, penahanan dibedakan 3 (tiga) jenis sebagai


berikut :

1.Penahanan Rumah Tahanan Negara (RUTAN);


2.Penahanan Rumah;
3.Penahanan Kota;

Ketentuan Pasal 22 KUHAP merupakan ketentuan baru, oleh karena hal serupa
tidak diatur di dalam HIR. Penahanan rumah dan penahanan kota diberikan
kepada tersangka atau terdakwa yang benar-benar dapat dijamin bahwa
tersangka/terdakwa tidak akan menyulitkan jalannya pemeriksaan penyidikan
serta tidak akan melarikan diri dan sewaktu-waktu diperlukan/dipanggil untuk
kepentingan pemeriksaan dapat hadir memenuhi panggilan tersebut.

Pengawasan terhadap tersangka atau terdakwa dilakukan oleh pejabat yang


melakukan penahanan. Masa penahanan rumah atau penahanan kota dikurangkan
dengan pidana yang dijatuhkan, dimana untuk penahanan rumah jumlah
pengurangan yang diberikan adalah 1/3 dari masa tahanan, sedangkan untuk
penahanan kota adalah 1/5 dari masa tahanan. Ketentuan ini jelas merupakan
perwujudan dari pelaksanaan hak azazi manusia, sebagaimana yang dianut oleh
KUHAP, oleh karena dengan dilakukan penahanan, baik penahanan rumah atau
penahanan kota, hak-hak seseorang (tersangka/terdakwa) telah dibatasi

22
sedemikian rupa, sehingga wajar apabila dengan ketentuan tersebut masa
penahanan rumah atau penahanan kota dikurangkan dengan pidana yang telah
dijatuhkan kepada terdakwa.

1. Penahanan Rutan

Selama belum ada Rumah Tahanan Negara di tempat dimana tersangka atau
terdakwa dikenakan penahanan, maka penahanan dapat dilakukan di kantor
kepolisian, kantor Kejaksaan Negeri/Tinggi, di kantor Lembaga
Pemasyarakatan, di Rumah Sakit dan dalam keadaan memaksa dilakukan di
tempat lain.

Menurut pasal 19 PP No. 27 Tahun 1983 Jo. pasal 1 Peraturan Menteri


Kehakiman Nomor : M.04-UM.01.06 Tahun 1983, ditentukan bahwa :

 Di dalam Rutan ditempatkan tahanan yang masih dalamproses penyidikan,


penuntutan dan pemeriksaan di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan
Mahkamah Agung;

 Semua yang masih berstatus harus berada dan ditempatkan di dalam


Rutan, akan tetapi tempat tahanan tersebut dipisahkan berdasarkan jenis
kelamin, umur dan tingkat pemeriksaan;

 Untuk keperluan administrasi, tahanan sebagaimana tersebut di atas dibuat


daftar tahanan sesuai dengan tingkat pemeriksaan dan penggolongan;

 Kepala Rutan tidak boleh menerima tahanan dalam Rutan yang tidak
disertai dengan surat penahanan yang sah yang dikeluarkan oleh pejabat
yang bertanggung jawab secara yuridis atas tahanan tersebut sesuai dengan
tingkat pemeriksaan;

 Kepala Rutan tiap bulan membuat daftar mengenai tahanan dan


disampaikan kepada menteri, dalam hal ini Direktur Pemasyarakatan
dengan tembusan kepada pejabat yang bertanggung jawab secara yuridis
atas tahanan itu.sesuai dengan tingkat pemeriksaan dan Kepala Kantor
Wilayah Departemen Kehakiman yang bersangkutan.

 Kepala Rutan memberitahukan kepada pejabat yang bertanggung jawab


secara yuidis atas tahanan itu, sesuai dengan tingkat pemeriksaan

23
mengenai tahanan yang hampir habis masa penahanan atau masa
perpanjangan penahanannya;

 Kepala Rutan demi hukum mengeluarkan tahanan yang telah habis masa
penahanan atau perpanjangan penahanannya;

 Dalam hal tertentu tahanan dapat diberi ijin meninggalkan Rutan untuk
sementara dan untuk keperluan itu harus ada ijin dari pejabat yang
bertanggung jajwab secara yuridis atas tahanan itu;

 Pada Rutan ditugaskan dokter yang ditunjuk oleh menteri, guna


memelihara dan merawat kesehatan tahanan;

 Tahanan yang diberi ijin meninggalkan Rutan untuk sementara, selama


berada di luar tahanan dikawal dan dijaga oleh petugas kepolisian.

2. Penahanan Rumah

Dilaksanakan di rumah atau tempat tinggal/kediaman tersangka atau terdakwa,


dengan dilakukan pengawasan terhadapnya untuk menghindari segala sesuatu
yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan maupun
pemeriksaan persidangan.

3. Penahanan Kota

Dilaksanakan di kota tempat tinggal/kediaman tersangka atau terdakwa


dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melaporkan diri pada waktu
yang telah ditentukan. Tersangka atau terdakwa hanya boleh keluar rumah
atau kota dengan seijin dari pejabat yang melakukan penahanan
(penyidik/penuntut umum/hakim).

PENGALIHAN JENIS PENAHANAN

Menurut ketentuan Pasal 23 ayat 1 KUHAP, yang berwenang mengalihkan jenis


penahanan adalah pejabat yang telah melakukan penahanan (penyidik/penuntut
umum/hakim). Pengalihan sebagaimana dimaksud atau ditentukan dalam pasal 23
KUHAP dinyatakan secara tersendiri dengan Surat Perintah dari penyidik atau
penuntut umum atau hakim melalui penetapannya, dimana tembusannya
disampaikan kepada tersangka/terdakwa serta keluarganya dan kepada instansi
yang berkepentingan.

24
PENANGGUHAN PENAHANAN

Dasar Hukum : Pasal 31 KUHAP Jo. Pasal 35 dan 36 PP No. 27 Tahun 1983 Jo.
Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.14.PW.07.03 Tahun 1983,
tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP.
Berdasarkan ketentuan Pasal 31 KUHAP, penangguhan penahanan dilakukan
dengan cara sebagai berikut :
 Permohonan penangguhan penahanan diajukan oleh tersangka atau terdakwa
dan ditujukan kepada pejabat yang melakukan penahanan (penyidik/penuntut
umum/hakim), sesuai dengan tingkat pemeriksaan;

 Pejabat yang berwenang memberikan penangguhan adalah penyidik/penuntut


umum/hakim sesuai dengan tingkat pemeriksaan;

 Permohonan penangguhan penahanan, diberikan dengan/tanpa uang jaminan,


dengan/tanpa jaminan orang serta berdasarkan syarat yang ditentukan (wajib
lapor dan tidak keluar rumah atau kota.

Status Uang Jaminan/Jaminan Orang :

1. Pasal 35 PP No. 27 Tahun 1983 :


 Uang jaminan penangguhan penahanan disimpan di Kepaniteraan
Pengadilan Negeri;
 Bila tersangka/terdakwa melarikan diri dan setelah lewat 3 bulan tidak
diketemukan, maka uang jaminan tersebut menjadi milik negara;

2. Pasal 36 PP No. 27 Tahun 1983 :


 Dalm hal jaminan tersebut berupa orang, maka apabila tersangka/terdakwa
melarikan diri dan setelah lewat 3 bulan tidak diketemukan, penjamin wajib
membayar uang yang jumlahnya ditentukan oleh pejabat yang berwenang,
sesuai dengan tingkat pemeriksaan;
 Uang jaminan sebagaimana dimaksud di atas harus disetor ke Kas Negara
melalui Panitera Pengadilan Negeri;
 Bila penjamin tidak mampu atau tidak dapat membayar sejumlah uang,
maka juru sita melakukan penyitaan terhadap barang milik penjamin untuk
dijual lelang dan hasilnya disetor ke kas negara melalui Panitera Pengadilan
Negeri.

25
Pelaksanaan Penangguhan Penahanan menurut Surat Keputusan Menteri
Kehakiman RI Nomor : M.14.PW.07.03 Tahun 1983 :

1. Dalam hal ada permintaan untuk penangguhan penahanan yang dikabulkan,


maka diadakan perjanjian antara pejabat yang berwenang sesuai dengan
tingkat pemeriksaan dengan tersangka/penasehat hukumnya beserta syarat-
syaratnya;
2. Bila jaminan tersebut berupa uang, maka uang jaminan harus jelas disebutkan
dalam perjanjian dan besarnya ditetapkan oleh pejabat yang berwenang (ps.35
PP 27/1983);
3. Bila jaminan tersebut berupa orang, maka identitas orang yang menjamin
tersebut harus secara jelas dicantumkan dalam perjanjian dan ditetapkan pula
besarnya uang yang harus ditanggung oleh penjamin tersebut (ps. 36 PP.
27/1983);
4. Uang jaminan disetorkan sendiri oleh pemohon/penaseha hukum/keluarganya
ke Panitera Pengadilan Negeri dengan formulir penyetoran yang dikeluarkan
oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan;
5. Bukti setoran dibuat rangkap 3, sehelai untuk arsip panitera, sehelai dibawa
oleh yang menyetorkan sebagai bukti telah melaksanakan isi perjanjian dan
yang sehelai dikirimkan oleh panitera kepada pejabat yang berwenang;
6. Berdasarkan tanda bukti penyetoran, uang yang diperlihatkan oleh
keluarga/kuasanya atau berdasarkan tanda bukti penyetoran uang jaminan
yang diterima dari panitera Pengadilan Negeri atau surat jaminan dari
penjamin dalam hal jaminannya adalah orang, maka pejabat yang berwenang
sesuai dengan tingkat pemeriksaan mengeluarjan Surat Penetapan
Penangguhan Penahanan;
7. Bila berkas perkara telah diserahkan kepada penuntut umum dan penuntut
umum berpendapat bahwa berkas perkara sudah lengkap, sedangkan tersangka
masih dalam status penangguhan penahanan dengan jaminan, maka sebelum
penyidik mengeluarkan perintah penghentian penangguhan penahanan, agar
dikonsultasikan dengan pihak penuntut umum guna mempertimbangkan
kelanjutannya di tingkat penuntutan;
8. Dalam hal tersangka atau terdakwa melarikan diri dan tidak diketemukan lagi
dan jaminannya berupa orang, dimana penjaminnya tidak dapat membayar

26
uang yang menjadi tanggungannya, maka untuk memenuhi uang jaminan itu
perlu penetapan pengadilan untuk melakukan penyitaan terhadap barang-
barang milik penjamin tersebut (menurut Hukum Acara Perdata);

Keberatan Terhadap Penahanan Dan Perpanjangan Penahanan

1. Keberatan Terhadap Penahanan :


- Diajukan kepada penyidik yang melakukan penahanan
Apabila dalam waktu 3 hari belum terkabul/belum ada jawaban, maka
pemohon dapat mengajukan hal tersebut kepada atasan penyidik yang
bersangkutan dan atasan penyidik yang bersangkutan dapat mengabulkan
dengan/tanpa syarat. Untuk penyidik Pegawai Negeri Sipil, maka yang
dimaksud atasan adalah atasan fungsuional.
- Dapat Diajukan melalui Gugatan Praperadilan;
2. Keberatan Terhadap Perpanjangan Penahanan :
a. Bila perkaranya belum dilimpahkan ke Pengadilan Negeri, maka dapat
mengajukan keberatan ke Pengadilan Tinggi;
b. Bila perkaranya sudah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri, maka dapat
mengajukan keberatan ke Mahkamah Agung RI;

iii. Penggeledahan
Dasar hukum pengaturan terdapat dalam Pasal 32 sampai dengan Pasal
37, Pasal 125 dan Pasal 126 KUHAP.
Menurut ketentuan Pasal 1 butir 17 KUHAP, penggeledahan rumah
adalah tindakan penyidik untuk memasuki tempat tinggal dan tempat
tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau
penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini. Sedangkan pengertian penggeledahan badan
menurut ketentuan Pasal 1 butir 18 KUHAP adalah tindakan penyidik
untuk mengadakan pemeriksaan badan dan atau pakaian tersangka untuk
mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawanya
serta untuk disita.

27
Pejabat yang berwenang melakukan penggeledahan rumah maupun
penggeledahan badan, berdasarkan ketentuan Pasal 7 Jo. Pasal 32
KUHAP adalah penyidik dan penyidik pembantu, atau berdasarkan Pasal
5 ayat 1.b KUHAP adalah penyelidik atas perintah penyidik.

Cara Melakukan Penggeledahan :


 Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak :
Penggeledahan dapat dilakukan tanpa surat ijin penyitaan dari Ketua
Pengadilan Negeri setempat, terbatas pada : halaman rumah
tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada dan yang ada di
atasnya; setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau
ada; tempat perbuatan pidana dilakukan atau terdapat bekasnya;
tempat penginapan dan tempat umum lainnya (Vide : Pasal 34 ayat 1
KUHAP), dengan ketentuan :
Penyidik tidak diperkenankan mememriksa atau menyita surat, buku
dan tulisan lain yang tidak merupakan benda yang berhubungan
dengan perbuatan pidana yang bersangkutan, kecuali yang
berhubungan dengan atau diduga telah dipergunakan untuk
melakukan perbuatan pidana tersebut dan untuk itu penyidik wajib
segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat guna
memperoleh persetujuannya (Vide : Pasal 34 ayat 2 KUHAP).
Dalam waktu 2 hari setelah melakukan tindakan tersebut di atas,
penyidik harus membuat suatu berita acara dan turunan dari berita
acara tersebut disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah
yang bersangkutan (Vide : Pasal 34 ayat 1 Jo. Pasal 35 ayat 5
KUHAP).
Catatan : Pengertian keadaan yang sangat perlu dan mendesak
menurut penjelasan Pasal 34 ayat 1 KUHAP adalah suatu keadaan
dimana di tempat yang akan digeledah diduga keras terdapat
tersangka atau terdakwa yang patut dikhawatirkan segera melarikan
diri atau mengulangi perbuatannya atau benda yang dapat disita
dikhawatirkan segera dimusnakan atau dipindahtangankan,
sedangkan surat ijin dari Ketua pengadilan Negeri tidak mungkin
dikeproleh dengan cara yang layak dan dalam waktu yang singkat.

28
 Dalam keadaan yang tidak sangat perlu dan mendesak :
Berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat 1 dan ayat 2 KUHAP,
penggeledahan yang dilakukan oleh penyidik harus ada surat ijin dari
Ketua pengadilan Negeri setempat. Apabila yang melakukan
penggeledahan adalah bukan penyidik sendiri, maka selain harus ada
surat ijin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, juga harus ada
surat perintah tertulis dari penyidik.
Catatan : Berdasarkan ketentuan Pasal 35 KUHAP, kecuali dalam
keadaan tertangkap tangan, penyidik dalam rangka melakukan
penggeledahan dilarang memasuki ruang dimana sedang berlangsung
siding MPR, DPR, termasuk DPRD Tingkat I dan II, tempat dimana
sedang berlangsung ibadah dan atau upacara keagamaan dan duang
dimana sedang berlangsung siding pengadilan.
Cara Memasuki/Menggeledah Rumah :
1. Tanda Pengenal
Berdasarkan ketentuan Pasal 125 KUHAP, untuk melakukan
penggeledahan rumah, terlebih dahulu penyidik menunjukkan
tanda pengenalnya kepada tersangka atau keluarganya.
2. Saksi :
b. berdasarkan Pasal 33 ayat 3 KUHAP, apabila tersangka atau
penghuni setuju, maka penggeledahan disaksikan oleh 2
orang saksi, yakni warga dari lingkungan yang
bersangkutan/setempat, dimana salah satunya diusahakan
Ketua Lingkungan : Ketua atau Wakil Ketua Rukun
kampong, Ketua atau Wakil Ketua Warga, Ketua atau Wakil
Ketua Lembaga yang sederajad.
c. berdasarkan Pasal 35 ayat 4 KUHAP, apabila tersangka atau
penghuni tidak setuju, maka penggeledahan disaksikan oleh
Kepala Desa atau Ketua Lingkungan dengan 2 orang saksi.
Berita Acara :
 Dalam waktu 2 hari setelah memasuki rumah, berdasarkan
ketentuan Pasal 126 ayat 1 KUHAP, penyidik membuat berita
acara tentang jalannya dan hasil penggeledahan rumah tersebut.

29
 Berita acara tersebut dibacakan terlebih dahulu kepada
tersangka/penghuni atau pemilik rumah, kemudian diberi tanggal
dan ditandatangani oleh penyidik, tersangka atau keluarganya
dan atau Kepala Desa atau Ketua Lingkungan serta 2 orang saksi
(Vide : Pasal 126 ayat 2 KUHAP). Apabila tersangka atau
keluarganya tidak mau membubuhkan tanda tangannya, maka hal
tersebut dicatat dalam berita acara dengan menyebutkan
alasannya (Vide : Pasal 126 ayat 3 KUHAP).

Wewenang Lain :
 Untuk keamanan dan ketertiban penggeledahan rumah, penyidik
dapat mengadakan penjagaan atau penutupan tempat yang
bersangkutan;
 Penyidik dapat memerintahkan setiap orang yang dianggap perlu
agar meninggalkan tempat tersebut selama penggeledahan
berlangsung (Vide : Pasal 127 ayat 1 dan ayat 2 KUHAP);
 Berdasarkan ketentuan Pasal 37 ayat 1 KUHAP, pada waktu
menangkap tersangka, penyidik hanya berwenang menggeledah
pakaian, termasuk benda yang dibawanya serta, apabila terdapat
dugaan keras dengan alasan yang cukup bahwa tersangka
kedapatan benda yang dapat disita.
 Pada waktu menangkap tersangka atau tersangka dibawa kepada
penyidik, penyidik berwenang menggeledah pakaian dan atau
badan tersangka (Pasal 37 ayat 2 KUHAP); Penggeledahan
badan meliputi pememriksaan rongga badan dan terhadap
tersangka wanita dilakukan oleh penyidik wanita dengan bantuan
pejabat kesehatan (Penjelasan Pasal 37 KUHAP).

iv. Penyitaan
a. Pengertian Penyitaan
Menurut ketentuan Pasal 1 butir 16 KUHAP, penyitaan adalah
serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau
menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak
bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan
pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.

30
b. Pejabat Yang Berwenang Melakukan Penyitaan
- Penyidik atau Penyidik Pembantu
- Penyelidik atas perintah Penyidik
c. Sasaran/Obyek Penyitaan
- Penyitaan Benda
- Penyitaan Surat-surat
Penyitaan Benda :
1. Syarat-syarat Penyitaan :
d. Berdasarkan Pasal 38 ayat 1 KUHAP, penyitaan pada dasarnya
hanya dapat dilakukan dengan surat ijin dari Ketua pengadilan
Negeri Setempat;
e. Kecuali dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak,
berdasarkan Pasal 38 ayat 2 KUHAP, penyidik dapat melakukan
penyitaan tanpa surat ijin dari Ketua Pengadilan Negeri
Setempat, dengan ketentuan :
- penyitaan hanya dilakukan terhadap benda bergerak;
- wajib segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri
setempat guna memperoleh persetujuannya.
2. Benda Yang Dapat Disita
Secara umum benda yang dapat disita dapat dibedakan dalam 3 (tiga)
golongan, yakni :
a. benda yang dipergunakan sebagai alat untuk mrlakukan
perbuatan pidana (instrumenta delicti);
b. benda yang diperoleh atau hasil dari suatu perbuatan pidana
(corpora delicti);
c. benda lain yang tidak secara langsung mempunyai hubungan
dengan perbuatan pidana yang bersangkutan, akan tetapi
mempunyai alasan kuat untuk bahan pembuktian
Menurut ketentuan Pasal 39 KUHAP, benda yang dapat disita adalah
sebagai berikut :
(1). a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau
sebagian diduga diperoleh dari perbuatan pidana atau sebagai
hasil dari perbuatan pidana

31
b. benda yang dipergunakan secara langsung untuk melakukan
perbuatan pidana atau untuk mempersiapkannya.
c. benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi
penyidikanperbuatan pidana.
d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan
perbuatan pidana
e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan
perbuatan pidana yang dilakukan.
(2) benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau
karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan,
penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi
tersebut angka (1).
Dalam hal tertangkap tangan, maka benda ayang dapat disita adalah
sebagai berikut :
a. benda atau alat yang ternyata atau patut diduga telah
dipergunakan untuk melakukan perbuatan pidana atau benda lain
yang dapat dipakai sebagai barang bukti (Vide : Pasal 40
KUHAP);
b. paket atau surat atau benda yang pengangkutannya atau
pengirimannya dilakukan oleh Kantor Pos dan Telekomunikasi,
Jawatan maupun perusahaan komunikasi atau pengangkutan,
sepanjang diperuntukkan bagi tersangka atau yang berasal dari
padanya dan untuk itu harus diberikan Surat tanda Penerimaan
(Vide : Pasal 41 KUHAP)
3. Cara Melakukan Penyitaan :
a. Tanda Pengenal
Berdasarkan Pasal 128 KUHAP, pada waktu melakukan
penyitaan terlebih dahulu penyidik menunjukkan tanda
pengenalnya kepada orang dimana benda itu disita.
b. Tanda Penerimaan
Berdasarkan Pasal 42 ayat 1 KUHAP, penyidik berwenang
memerintahkan kepada orang yang menguasai benda yang dapat
disita untuk menyerahkan benda itu kepadanya dan untuk itu
diberi tanda penerimaan.

32
c. Memperlihatkan Benda Yang Disita
Berdasarkan Pasal 129 ayat 1 KUHAP, penyidik memperlihatkan
benda yang akan disita kepada orang dari mana benda itu disita
atau keluarganya serta dapat meminta keterangan tentang benda
yang akan disita itu dengan disaksikan oleh Kepala Desa atau
Ketua Lingkungan dengan 2 (dua) orang saksi.
d. Membuat Berita Acara Penyitaan
- atas tindakan penyitaan penyidik membuat berita acara;
- berita acara dibacakan terlebih dahulu kepada orang dari mana
benda itu disita atau keluarganya, dengan diberi tanggal dan
ditandatangani oleh penyidik maupun orang (tersita) atau
keluarganya atau kepala desa atau ketua lingkungan dengan 2
orang saksi (Vide Pasal 129 ayat 2 KUHAP); Apabila tersita
atau keluarganya tidak mau membubuhkan tanda tangannya,
maka berdasarkan Pasal 129 ayat 3 KUHAP dicatat dalam
berita acara dengan menyebutkan alasannya;
- Penyidik menyampaikan turunan berita acara penyitaan
tersebut kepada atasannya, tersita atau keluarganya, kepala desa
yang bersangkutan (Vide : Pasal 129 ayat 4 KUHAP).
4. Pengurusan Benda Sitaan
Penyidik setelah melakukan tindakan penyitaan benda-benda, maka
pengurusan benda-benda tersebut dilakukan dengan cara-cara
sebagai berikut :
a. Terhadap benda-benda yang terlarang atau dilarang diedarkan :
- dirampas untuk Negara, artinya benda yang harus diserahkan
kepada departemen yang bersangkutan, sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku, misalnya :
senjata api, obat-obatan;
- dimusnahkan, artinya benda-benda yang sedemikian sifatnya
sehingga harus dimusnahkan, hingga tidak dapat dipakai lagi,
misalnya uang palsu, alat pembuat uang palsu, sabu-sabu,
buku-buku porno dan lain sebagainya.

33
b. Terhadap benda-benda yang tidak dilarang atau dilarang
diedarkan, maka terhadap benda-benda tersebut diurus lebih
lanjut.
c. Terhadap benda-benda yang lekas rusak atau membahayakan :
Apabila benda yang disita termasuk benda yang lekas rusak ,
sehingga tidak mungkin disimpan sampai putusan pengadilan
dalam perkara yang bersangkutan berkekuatan hukum tetap atau
biaya penyimpanannya menjadi lebih tinggi, maka dengan
persetujuan tersangka atau kuasanya dapat diambil tindakan
sebagai berikut :
- apabila perkara masih ditangan penyidik atau penuntut umum,
maka benda tersebut dapat dijual lelang atau diamankan oleh
penyidik atau penuntut umum dengan disaksikan oleh
tersangka atau kuasanya.
- apabila perkara sudah ditanganpengadilan, maka berdasarkan
Pasal 45 ayat 1 KUHAP benda tersebut dapat diamankan atau
dijual lelang oleh penuntut umum atas ijin hakim yang
menyidangkan perkara tersebut dengan disaksikan oleh
terdakwa atau kuasanya.
- Pelaksanaan lelang dilakukan oleh kantor lelang Negara setalah
diadakan konsultasi dengan pihak penyidik atau penuntut
umum setempat atau hakim yang bersangkutan, sesuai dengan
tingkat pemeriksaan dan lembaga yang ahli dalam menentukan
sifat benda yang lekas rusak.
- Uang hasil pelelangan sesuai dengan Pasal 45 ayat 2 KUHAP
dipakai sebagai barang bukti, sedangkan yang untuk bahan
pembuktian, sesuai dengan Pasal 45 ayat 5 KUHAP sedapat
mungkin disisihkan sebagian kecil benda termaksud.
d. Terhadap Benda-benda Yang Tidak lekas Rusak, disimpan
dengan sebaik-baiknya.

34
Adapun cara penyimpanan benda sitaan tersebut dilakukan dengan
cara sebagai berikut :
1. Benda Yang Dapat Dibungkus
Dilakukan pembungkusan dengan terlebih dahulu dicatat berat
dan atau jumlah menurut jenis masing-masing, cirri maupun sifat
khas, tempat, hari dan tanggal penyitaan serta identitas orang dari
mana benda tersebut disita/tersita; Selanjutnya diberi lak dan cap
jabatan serta ditandatangani oleh penyidik (Vide : Pasal 130 ayat
1 KUHAP).
2. Benda Yang Tidak Dapat Dibungkus
Penyidik memberi catatan, seperti huruf/angka 1 diatas, yang
ditulis di atas label yang ditempelkan dan atau dikaitkan pada
benda tersebut (Vide : Pasal 130 ayat 2 KUHAP).
5. Penyimpanan dan Tanggung Jawab Benda Sitaan
a. benda sitaan disimpan dalam Rumah penyimpanan Benda Sitaan
(RUPBASAN). Selama belum ada Rupbasan dapat disimpan di
kantor kepolisian Negara, kantor kejaksaan negeri, pengadilan
negeri, gedung bank pemerintah dan dalam keadaan memaksa di
tempat lain atau tetap di tempat semula benda tersita (Vide :
Pasal 44 ayat 1 KUHAP).
b. tanggung jawab atas benda sitaan tersebut ada pada pejabat yang
berwenang, sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses
peradilan;
c. benda sitaan tersebut dilarang untuk dipergunakan oleh siapapun
(Vide : Pasal 44 ayat 2 KUHAP).
6. Pengambilan Benda Sitaan
a. Apabila benda yang disita masih diperlukan untuk kepentingan
penyidikan dan penuntutan, maka benda tersebut masih tetap
dalam penyitaan, sedangkan apabila tidak diperlukan, yakni
dalam hal :
- kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi;
- atau perkara tersebut tidak jadi dituntut, karena tidak cukup
bukti atau bukan sebagai perkara pidana/perbuatan pidana atau

35
- perkara tersebut dikesampingkan demi kepentingan umum,
atau
- perkara tersebut ditutup demi hukum, maka benda yang disita
tersebut dikembalikan kepada orang atau mereka dari siapa
benda tersebut disita atau kepada orang atau mereka yang
paling berhak, kecuali kalau benda tersebut diperoleh dari suatu
perbuatan pidana atau dipakai untuk melakukan perbuatan
pidana. Dalam pengembalian benda sitaan hendaknya sejauh
mungkin diperhatikan segi kemanusiaan, dengan
mengutamakan pengembalian benda yang menjadi sumber
kehidupan.
b. Berdasarkan Putusan Pengadilan
Apabila perkara pidana yang bersangkutan telah diputus, maka
benda yang dikenakan penyitaan tersebut dikembalikan kepada orang
atau mereka yang disebutkan dalam putusan, kecuali jika menurut
hakim terhadap benda tersebut : dirampas untuk Negara,
dimusnahkan atau dirusakkan hingga tidak dapat dipakai lagi, atau
masih dipakai sebagai barang bukti dalam perkara lain (Vide : Pasal
46 ayat 2 KUHAP).

Penyitaan Surat

1. Dasar
Dalam hal sesuatu perbuatan pidana sedemikian rupa sifatnya,
sehingga ada dugaan kuat dapat dipeoleh keterangan dari berbagai
surat, buku atau kitab daftar dan lain sebagainya, penyidik segera
pergi ke tempat yang dipersangkakan, untuk menggeledah,
memeriksa surat, buku atau kitab dan lain sebagainya dan jika perlu
menyitanya (Vide : Pasal 131 ayat 1 KUHAP).
Adapun mengenai cara penyitaan surat dilakukan menurut ketentuan
penyitaan terhadap benda.
2. Surat Palsu :
a. keterangan dari orang ahli
Dalam hal diterima pengaduan bahwa sesuatu surat atau tulisan
palsu atau dipalsukan atau didega palsu oleh penyidik, maka untuk

36
kepentingan penyidikan oleh penyidik dapat dimintakan
keterangan mengenai hal itu dari orang ahli (Vide : Pasal 132 ayat
1 KUHAP)
b. diperlukan yang asli
Apabila untuk bahan pertimbangan penyidik memerlukan surat
asli, maka :
- minta surat ijin Ketua pengadilan negeri Setempat;
- dapat dating atau minta kepada pejabat penyimpan umum supaya
ia mengirim surat asli
- pejabat penyimpan umum wajib memenuhi permintaan itu (Vide
: Pasal 132 ayat 1 KUHAP);
- bila tidak dikirimkan dalam waktu yang ditentukan tanpa alasan
sah, penyidik berwenang mengambilnya (Vide : Pasal 132 ayat 2
KUHAP)
c. berupa suatu daftar
Jika surat tersebut merupakan bagian dari suatu daftar yang tidak
dapat dipisahkan, maka penyidik dapat minta agar daftar tersebut
diserahkan seluruhnya untuk diperiksa, dengan menyerahkan
tanda penerimaan (Vide : Pasal 132 ayat 3 KUHAP); Sedangkan
jika surat tersebut tidak merupakan/menjadi bagian dari daftar,
maka :
o penyimpan membuat salinan penggantinya sampai surat yang
asli diterima kembali;
o di bagian bawah salinan itu penyimpan mencatat apa sebab
salinan itu dibuat (Vide : Pasal 132 ayat 3 KUHAP);
3. Biaya
Semua pengeluaran untuk kepentingan penyelesaian hal-hal tersebut
dibebankan sebagai biaya perkara (Vide : Pasal 132 ayat 6 KUHAP)
yang nantinya adalam putusan hakim akan ditentukan, apakah
dibebankan kepada terdakwa atau dibebankan/ditanggung oleh
negara.

37
Pemeriksaan Surat-surat Lain :
Dasar pengaturannya terdapat dalam ketentuan Pasal 47 sampai dengan
Pasal 49 KUHAP.
I. Pengertian
Surat lain adalah surat-surat yang tidak langsung mempunyai
hubungan dengan perbuatan pidana yang diperiksa, akan tetapi
dicurigai dengan alasan yang kuat.
II. Hak penyidik
Penyidik berhak untuk :
A. Membuka, memeriksa dan menyita surat lain yang dikirim
melalui kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan
telekomunikasi atau pengangkutan, jika benda tersebut dicurigai
dengan alasan yang kuat mempunyai hubugan dengan perkara
pidana yang sedang diperiksa.
1. Tata cara Pelaksanaan :
o untuk membuka, memeriksa dan menyita surat lain
tersebut dilakukan dengan ijin khusus yang dikeluarkan
untuk itu dari Ketua Pengadilan Negeri (Pasal 47 ayat 1
KUHAP), kecuali dalam hal tertangkap tangan, penyidik
berwenang memeriksanya/menyitanya sepanjang surat-
surat tersebut diperuntukkan bagi tersangka (Pasal 41
KUHAP);
o untuk kepentingan tersebut, penyidik meminta kepada
kantor pos dan telekomunikasi, kepala jawatan atau
perusahaan telekomunikasi yang bersangkutan untuk
menyerahkan surat dimaksudckepada penyidik dan atas
penyerhan tersebut penyidik memberikan surat tanda
penerimaan (Pasal 47 ayat 2 KUHAP).
2.Apabila surat lain tersebut ada hubungannya dengan perkara
yang sedang diperiksa, maka surat tersebut dilampirkan pada
berkas perkara (Pasal 48 ayat 1 KUHAP), sebaliknya apabila
tidak ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa,
maka surat tersebut ditutup rapid an segera diserahkan kembali
kepada kantor pos, telekomunikasi, jawatan atau perusahaan

38
telekomunikasi atau pengangkutan yang bersangkutan, dengan
sebelumnya oleh penyidik :
 dibubuhi cap yang berbunyi : telah dibuka oleh penyidik;
 dibubuhi tanggal, tanda tangan dan identitas penyidik
(Pasal 48 ayat 2 KUHAP)
3. Wajib Simpan Rahasia Surat
Berdasarkan ketentuan Pasal 48 ayat (3) KUHAP, penyidik
serta semua pejabat pada semua tingkat pemeriksaan wajib
merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas kekuatan
sumpah jabatan tentang isi surat yang dikembalikan itu.
4. Berita Acara
Atas tindakan yang telah dilakukannya, berdasarkan Pasal 49
ayat (1) KUHAP, penyidik membuat berita acara dan turunan
berita acara tersebut oleh penyidik dikirumkan kepada Kepala
Kantor Pos dan Telekomunikasi atau Kepala Jawatan atau
Perusahaan Telekomunikasi atau pengangkutan yang
bersangkutan (Pasal 49 ayat 2 KUHAP).
B. Penyidik, penuntut umum, hakim dan pejabat Rutan berhak menilik
surat menyurat antara tersangka atau terdakwa dengan penasehat
hukumnuya atau sanak keluarganya, jika terdapat cukup alasan untuk
menduga bahwa surat menyurat itu disalahgunakan (Vide : Pasal 62
ayat 2 KUHAP).
1. Penyalahgunaan Hak
Tersangka atau terdakwa berhak berkirim surat dan menerima surat
dari penasehat hukumnya dan sanak keluarganya setiap kali
diperlukan olehnya dan untuk itu disediakan alat tulis menulis
(Pasal 52 ayat 1 KUHAP). Pada dasarnya surat menyurat itu tidak
diperiksa, kecuali jika terdapat cukup alasan untuk menduga bahwa
surat menyurat tersebut disalahgunakan (Pasal 62 ayat 2 KUHAP) .
2. Tata Cara Pelaksanaan
Dalam hal surat itu ditilik oleh penyidik, penuntut umum, hakim
atau pejabat lain, maka hal tersebut diberitahukan kepada tersangka
atau terdakwa; surat tersebut dikembalikan/dikirim kembali kepada
pengirimnya setealah dibubuhi cap yang berbunyi : telah ditilik
(Pasal 62 ayat 3 KUHAP)

39
PRAPERADILAN

1. Pengertian Praperadilan
Istilah praperadilan berasal atau diambil dari kata pretrial, akan tetapi ruang
lingkupnya lebih sempit, oleh karena pretrial dapat meneliti apakah ada dasar
hukum yang cukup untuk mengajukan suatu penuntutan terhadap perkara
pidana ke depan pengadilan. Sementara ruang lingkup praperadilan terbatas
sepanjang yang diatur dalam Pasal 79 dan Pasal 95 KUHAP.

Praperadilan terdiri dari 2 (dua) kata, yakni pra dan peradilan. Pra berarti
sebelum, sedangkan peradilan berarti suatu proses pemeriksaan perkara di
depan pengadilan. Dengan demikian secara harafiah praperadilan dapat
diartikan sebelum proses pemeriksaan perkara di depan sidang pengadilan.

Berdasarkan pendapat dan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian


praperadilan adalah suatu proses pememriksaan volunteer sebelum
pememriksaan terhadap pokok perkara berlangsung di pengadilan. Adapun
yang dimaksud dengan pokok perkara adalah perkara pidana yang timbul atau
terjadi sebagai akibat telah dilakukannya perbuatan pidana oleh tersangka atau
terdakwa yang masih dalam tahap penyidikan atau penuntutan.

Menurut ketentuan Pasal 1 butir 10 KUHAP disebutkan bahwa praperadilan


adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut
cara yang diatur dalam UU ini tentang :

a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan, atas permintaan
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan
atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan
c. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi, oleh tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan
ke pengadilan.
Permintaan ganti kerugian sebagaimana dimaksud oleh Pasal 1 butir 10 huruf c
KUHAP tersebut, menurut Pasal 95 KUHAP dibedakan atas :

1. Yang Pokok Perkaranya Tidak Diajukan ke Pengadilan, atas dasar dan


alasan sebagai berikut :
1. karena penangkapan dan atau penahanan yang tidak sah
2. karena terjadi kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan

40
3. dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan UU :
a. adanya kerugian yang timbul akibat pemasukan rumah yang tidak
sah;
b. adanya kerugian yang timbul karena penggeledahan dan penyitaan
yang tidak sah menurut hukum;
c. penahanan tanpa alasan, yakni penahanan yang lebih lama dari
pidana yang dijatuhkan (Vide Penjelasan Pasal 95 ayat 1 KUHAP)
2. Yang Pokok Perkaranya Diajukan ke Pengadilan atas dasar dan alasan
sebagai berikut :
a. karena tersangka atau terdakwa atau terpidana telah ditangkap, ditahan,
dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan, tanpa alasan yang
berdasar UU;
b. karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan
Demikian pula permintaan rehabilitasi sebagaimana dimaksud oleh Pasal 1
butir 10 huruf c KUHAP menurut Pasal 97 KUHAP, juga dibedakan atas :
1. Yang Pokok Perkaranya Tidak Diajukan ke Pengadilan, atas dasar dan
alasan :
a. adanya penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang
sah/berdasarkan UU;
b. adanya kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan
2. Yang Pokok Perkaranya Diajukan ke Pengadilan, atas dasar dan alasan sbb :
a. diajukan oleh terdakwa yang oleh pengadilan diputus bebeas atau
lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah memperoleh
kekuatan hukum tetap;
b. rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam
putusan pengadilan yang bersangkutan (Vide Pasal 97 ayat 1 dan ayat
2 KUHAP).

II. Maksud dan Tujuan Praperadilan

Lembaga praperadilan lahir bersamaan dengan diundangkannya atau


diberlakukannya UU No. 8 Tahun 1981, tentang Hukum Acara Pidana yang
menggantikan HIR/R.Bg yang dinilai sudah sangat usang serta tidak mencerminkan
nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat dan tidak memberikan
perlindungan hukum terhadap hak azazi manusia (tersangka/terdakwa), antara lain
tidak adanya pembatasan masa penahanan bagi tersangka atau terdakwa atau dapat
diperpaanjang setiap kali habis m,asa penahanannya, tidak diberikannya kesempatan
bagi tersangka atau terdakwa untuk didampingi penasehat hukum, baik pada tahap
penyidikan.
Dengan melihat pada latar belakang tersebut di atas, maka adanya lembaga
praperadilan ini dimaksudkan sebagai sarana untuk melakukan pengawasan

41
horizontal oleh hakim pengadilan Negeri terhadap pelaksanaan tugas penyidik
maupun penuntut umum, terutama dalam hal menyangkut pelaksanaan upaya paksa.
Bertumpu pada asas praduga tidak bersalah, maka yang menjadi tujuan praperadilan
adalah untuk menempatkan pelaksanaan hukum pada porsi yang benar (proporsional)
demi terlindunginya hak asasi manusia, khususnya terjaminnya hak-hak tersangka
atau terdakwa dalam pememriksaan penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan di
depan sidang pengadilan.

III. Pihak-Pihak Dalam Praperadilan

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir 10 KUHAP Jo. Pasal 79, Pasal 80, Pasal 81 dan
Pasal 95 KUHAP, dapatlah disimpulkan bahwa dalam praperadilan terdiri dari 2
(dua) pihak, yakni :

1. Pihak yang mengajukan tuntutan praperadilan, disebut sebagai pihak


Pemohon/Penuntut/Peminta Praperadilan;
2. Pihak yang dituntut, disebut sebagai pihak Termohon/Tertuntut

Tuntutan Praperadilan Pemohon/Penuntut Termohon/Tertuntut Dasar


Hukum
sah/tidaknya penangkapan/penahanan Tsk/keluarga/kuasa Penyidikl/Penuntut Psl 79
hukum yang sah Umum KUHAP
sah atau tidaknya penghentian penyidikan Tsk/pihak ketiga Penyidik/Penuntut Psl 79
yang berkepentingan Umum Pasal 80
atau kuasa yang KUHAP
sah/penuntut umum
sah atau tidaknya penghentian pen untutan Tsk/pihak ketiga Penuntut Umum Psl 80
yang KUHAP
berkepentingan/kuasa
yang sah/penyidik
tuntutan ganti kerugian Tsk/Tdw/Terpid/ahli Pejabat yg melakukan Psl 95
waris upaya paksa (1) dan
(2)
a. Pkr tdk diajukan ke PN : KUHAP
ditangkap, ditahan, tindakan lain (memasuki
rumah, penggeledahan, penyitaan dll), tanpa
alasan yang sah, atau keliru ttg orang/hk yang
diterapkan
b. Pkr diajukan ke PN : Psl 98
ditangkap, ditahan, dituntut, diadili atau (3)
dikenalan tindakan lain, tanpa alasan yang KUHAP
sah/berdasar UU atauy kekeliruan ttg orang/hk Tsk/Tdw/Terpid/ahli
yang diterapkan waris

42
IV. Kompetensi Pengadilan
1. Kompetensi Absolut
Dalam kaitannya dengan praperadilan, KUHAP hanya menentukan bahwa
praperadilan adalah kewenangan Pengadilan Negeri. Dengan demikian
sesungguhnya praperadilan itu termasuk kompetensi absolute dari badan
peradilan umum. Namun demikian persoalannya adalah bagaimana dengan
praperadilan yang diajukan oleh seseorang yang berstatus Militer terhadap
penyidik (Provost/CPM) atau terhadap Penuntut Umumnya (Oditur Militer)
juga termasuk dalam kewenangan Pengadilan Negeri untuk memeriksanya.
Dalam hal persoalan tersebut KUHAP tidak mengaturnya. Sehubungan
dengan hal tersebut Mahkamah Agung R.I. mengeluarkan Surat Edaran
Mahkamah Agung No.15 Tahun 1983 yang menentukan sebagai berikut :

a. bahwa yang menjadi dasar/patokan untuk menentukan pengadilan mana


yang berwenang melaksanakaan sidang praperadilan, apakah Pengadilan
Negeri atau Pengadilan Militer adalah status pelaku perbuatan pidana
dan bukan status pejabat yang melakukan upaya paksa
(penangkapan/penahanan). Jadi apabila status pelaku kejahatan adalah
sipil, maka pengadilan yang melaksanakan sidang praperadilan adalah
Pengadilan Negeri, meskipun yang dituntut praperadilan adalah berstatus
militer.

b. berhubung dengan itu maka seorang militer yang dituntut telah


melakukan penangkapan/penahanan secara tidak sah dapat diperiksa di
depan sidang praperadilan yang dilaksnakan oleh Pengadilan Negeri,
apabila pelaku perbuatan pidananya adalah orang sipil.

Ketentuan Pasal 16 PP No. 27 Tahun 1983 mengatur tentang


praperadilan dalam perbuatan pidana yang dilakukan bersama-sama oleh
orang yang termasuk lingkungan peradilan umum dan militer. Dalam hal
ini tuntutannya harus dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan bagi masing-masing peradilan. Maksudnya bagi yang
tersangkanya berstatus militer, maka tuntutan praperadilannya diajujkan
ke Mahkamah Militer.

43
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penentuan
kompetensi absolute didasarkan pada status dari penuntut praperadilan
(status tersangka/terdakwa) sendiri, apakah ia tunduk pada kewenangan
peradilan umum atau peradilan militer.

2. Kompetensi Relatif

Kompetensi relative adalah menyangkut kewenangan dari beberapa


pengadilan yang sejenis (dalam lingkungan peradilan yang sama) yang
secara relative hanya satu yang paling berwenang untuk mememriksa dan
mengadili serta memutus perkara yang bersangkutan. Dalam kaitannya
dengan praperadilan, KUHAP tidak memberikan pengaturan.

Dalam praktek bisa terjadi misalnya suatu perbuatan pidana (kasus


pokoknya) terjadi di wilayah Pengadilan Negeri Jakarta Timur, sementara
penyidikan dilakukan oleh penyidik yang berdomisili di wilayah Pengadilan
Jakarta Pusat. Maka persoalannya adalah Pengadilan Negeri mana yang
paling berwenang memeriksa perkara praperadilan ? Dalam hal menyangkut
perkara pidananya, maka jelas bahwa kewenangan itu ada pada pengadilan
yang wilayah hukumnya meliputi tempat terjadinya (locus delicti) perbuatan
pidana yang bersangkutan. Seandainya kita konsekuen bahwa praperadilan
masuk ke ruang lingkup pidana, maka jelas bahwa kompetensi relatifnya
adalah juga sesuai dengan locus delictinya. Namun demikian dalam
prakteknya hal yang demikian tersebut masih simpang siur, karena ada
praperadilan yang diajukan pada Pengadilan negeri di tempat Termohon
praperadilan berdomicili.

1. Alasan-alasan Diajukannya Tuntutan Praperadilan

1. Sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan (Pasal 1 butir 10 Jo.


Pasal 77 huruf a KUHAP)

Penangkapan yang tidak sah adalah penangkapan yang tidak


memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh UU, baik syarat formil
maupun materiil. Demikian puyla penahanan yang tidak sah adalah
penahanan yang tidak memenuhi syarat yang ditentukan oleh UU,
baik syarat formil maupun syarat materiil.

44
2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan (Pasal 1 butir 10 huruf b
Jo. Pasal 77 huruf a KUHAP)
Berdasarkan ketentuan Pasal 109 ayat (2) KUHAP, alasan-alasan
yang sah untuk menghentikan penyidikan adalah sebagai berikut :
a. tidak/kurang cukup terdapat/tersedia alat bukti/bukti-bukti
b. peristiwa yang bersangkutan bukan merupakan perbuatan pidana
c. penyidikan dihentikan/ditutup demi hukum, dengan dasar dan
alasan :
- tersangka sakit jiwa/gila (Pasal 44 KUHP);
- tersangka meninggal dunia (Pasal 77 KUHP)ne bis in idem
(Pasal 76 KUHP);
- daluwarsa/lampau waktu/verjaring (Pasal 78 KUHP)
c.tidak adanya pengaduan dalam hal menyangkut delik aduan (Pasal
284, 287, 310, 315, 319, 321, 332 KUHP dll)
d. tersangka belum dewasa/dibawah umur
e. karena melaksnakan ketentuan UU (Pasal 50 KUHP)
f. karena melaksanakan perintah jabatan

3. Sah atau tidaknya pengehentian penuntutan

a. tidak/kurang cukup bukti


b. peristiwa atau perkara tersebut bukan perkara/perbuatan pidana
c. adanya ne bis in idem (Pasal 76 KUHP)
d. terdakwa meninggal dunia (Pasal 77 KUHP)
e. penuntutan telah daluwarsa (Paal 78 KUHP)
f. terdakwa tidak dapat dipertanggungjawabkan pidana (Pasal 44 KUHP)
g. tidak terdapat pengaduan dalam hal menyangkut delik aduan
h. karena melaksanakan ketentuan UU (Pasal 50 KUHP)
i. karena melaksanakan perintah jabatan (Paal 51 KUHP)

4. Adanya tuntutan ganti kerugian

Ganti kerugian adalah hak seseorang untuk mendapatkan pemenuhan atas


tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang. Timbulnya tuntutan ganti
kerugian karena penuntut atau pemohon telah dikenai tindakan sebagaimana
dimaksud dan diuraikan dalam Pasal 77 dan Pasal 95 KUHAP.

45
Tuntutan Ganti Kerugian dibedakan atas :

a. Perkara pokoknya (pokok perkaranya) tidak diajukan ke Pengadilan,


maka alasan diajukannya tuntutan ganti mkerugian adalah sebagai
berikut :
- dilakukannya penangkapan yang tidak sah;
- dilakukannya penahanan yang tidak sah;
- sah atau tidaknya penghentian penyidikan;
- sah atau tidaknya penghentian penuntutan;
- dikenakan tindakan lain yang tidak berdasarkan UU :
+ tidak sahnya memasuki rumah
+ tidak sahnya penggeledahan dan/atau penyitaan;
Tuntutan ganti kerugian tersebut dapat diajukan selambat-lambatnya 3
(tiga) bulan sejak putusan praperadilan diberitahukan (Pasal 7 ayat 2 PP
No.27 Tahun 1983). Dengan demikian berarti tuntutan ganti kerugian
sesuai dengan Pasal 95 KUHAP baru dapat dilakukan setelah adanya
putusan praperadilan yang menyatakan bahwa upaya paksa yang
dilakukan oleh penyidik/penuntut umum adalah tidak sah

b. Pokok perkaranya diajukan ke Pengadilan, maka alasan diajukannya


tuntutan gantikerugian adalah sebagai berikut :

- terdakwa diputus bebas (Vrijspraak), karena :


+ tidak terbukti adanya perbuatan pidana
+ ada perbuatan, tetapi bukan memrupakan perbuatan pidana
+ keliru orang yang diadili

- terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum (Ontslag van


Rechtsvervolging), karena :
+ kesalahan penerapan hukum
+ adanya ne bis in idem
+ perkaranya daluwarsa
+ tidak ada pengaduan dalam hal menyangkut delik aduan
+ perbuatan yang didakwakan bukan merupakan perbuatan pidana
+ pelaku tidak dapat dipertanggungjawabkan pidana
+ pelaku melakukan perintah jabatan
+ pelaku melaksanakan ketentuan undang-undang
+ adanya daya paksa (overmacht)
+ adanya noodweer atau nood weer exes

46
+ pelaku belum dewasa/masih dibawah umum
c. Kekeliruan mengenai Orangnya
d. Kekeliruan mengenai Hukum yang diterapkan
Kekeliruan mengenai penerapan hukujm ini apabila pokok perkaranya
sampai ke pengadilan dan hakim menjatuhkan putusan lepas dari segala
tuntutan pidana. Kekeliruan mengenai penerapan hukum ini dapat terjadi
oleh karena :

- ketentuan Pasal yang didakwakan salah/keliru;


- surat dakwaan kabur (obscuur libel);
- pengadilan yang memeriksa perkara yang bersangkutan tidak memiliki
kompetensi, baik kompetensi absolute maupun relative;
- perkaranya ne bis in idem;
- perkaranya telah daluwarsa;
- terdakwa tidak dapat dipertanggungjawabkan pidana;
- terdakwa masih belum dewasa/di bawah umur;
- terdakwa melaksanakan perintah jabatan;
- karena overmacht, nood weer atau nood weer exes.

5. Adanya tuntutan rehabilitasi


Rehabilitasi merupakan hak seseorang untuk mendapatkan pemulihan
haknya dalam kemampuan, kedudukan, harkat serta martabatnya seperti
semula sebelum terlibat dalam suatu perkara yang dapat diberikan dalam
tingkat penyidikan, penuntutan ataupun pada putusan pengadilan.

Dalam hal perkaranya sampai pada pengadilan, maka sesuai dengan


ketentuan Pasal 97 KUHAP rehabilitasi tersebut akan diberikan
bersamaman dengan putusan pengadilan, artinya apabila terdakwa diputus
bebas atau lepas dari tuntutan hukum maka dalam putusan hakim tersebut
sekaligus kedudukan serta martabatnya dirahibitir. Akan tetapi bagi perkara-
perkara yang tidak sampai ke pengadilan, maka sesuai dengan Pasal 97 ayat
(3) KUHAP rehabilitasi harus diberikan melalui putusan
pengadilan/praperadilan (Pasal 77 KUHAP).

Permintaan reahibilatsi bagi seseorang yang perkaranya dihentikan pada


tingkat penyidikan atau penuntutan diajukan selambat-lambatnya dalam
waktu 14 hari setelah putusan mengenai sah atau tidaknya penangkapan atau

47
penahanan diberitahukan kepada pemohon (Pasal 11 PP No.27 Tahun
1983).

Sesuai dengan ketentuan Pasal 13 PP No. 27 Tahun 1983 petikan mengenai


putusan rehabilitasi disampaikan oleh Panitera kepada Pemohon dan
salinannya diberikan kepada penyidik, penuntut umum, instansi
tempatbekerja yang bersangkutan dan ketua RW di tempat tinggal yang
bersangkutan.

Amar putusan pengadilan tentang rehabilitasi berbunyi : “memulihkan hak


terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.
Sedangkan amar putusan praperadilan mengenai rehabilitasi berbunyi :
“memulihkan hak Pemohon dalam kemmpuan, kedudukan dan harkat serta
martabatnya (Pasal 14 PP No. 27 Tahun 1983).

VI. Prosedur Pengajuan Tuntutan Praperadilan


A. Syarat syarat Permohonan
1. Syarat Formil :
a. nama lengkap Pemohon/Penuntut Praperadilan
b. umur/tempat dan tanggal lahir
c. pekerjaan
d. alamat/tempat tinggal (domicile)
2. Syarat Materiil/Substansiil :
a. tempus delicti, diuraikan waktu dilakukannya upaya paksa oleh
Termohon praperadilan yang meliputi hari, tanggal, bulan dan
tahun serta waktu/jam dilakukannya upaya paksa tersebut
b. locus delicti, diuraikan secara tegas dan jelas tempat dilakukannya
upaya paksa oleh Termohon praperadilan
c. bentuk upaya paksa yang dilakukan, diuraikan secara tegas, jelas
dankongkrit bentuk/tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh
Termohon praperadilan
d. uraian tentang ketentuan KUHAP yang dilanggar
e. rincian kerugian yang diderita oleh Pemohon praperadilan
f. hal-hal yang dituntut untuk diputuskan :
- menerima dan mengabulkan tuntutan praperadilan dari Pemohon
praperadilan untujk seluruhnya;
- menyatakan bahwa perbuatan Termohon praperadilan berupa
penangkapan/penahanan/penggeledahan rumah/badan/penyitaan

48
benda/pengentian penyidikan/penuntutan terhadap Pemohon
praperadilan adalah tidak sah/bertentangan dengan hukum;
- menghukum Termohon praperadilan untuk membayar ganti
kerugian kepada Pemohon praperadilan sebesar Rp……
- menghukum Termohon praperadilan untuk merehabilitir nama
baik Pemohon praperadilan pada harkat dan martabatnya semula;
- menghukum Termohon praperadilan untuk membayar semua
biaya yang timbul dalam perkara praperadilan ini;
B. Pendaftaran Tuntutan Praperadilan
Lembaga Praperadilan merupakan satu kesatuan dan bagian tak
terpisahkan dengan Pengadilan Negeri, sehingga segala sesuatu yang
menyangkut administrasi yustisial dan pelaksanaan praperadilan berada di
bawah ruang lingkup kebijakan dan tata laksana Ketua Pengadilan Negeri.
Dengan demikian semua permintaan atau permohonan yang diajukan
kepada praperadilan harus melalui Ketua Pengadilan Negeri.

Berdasarkan ketentuan Pasal 79 Jo. Pasal 80 dan Pasal 81 KUHAP,


permohonan praperadilan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri,
dengan cara mendaftarkannya melalui Kepaniteraan Pidana pada Kantor
pengadilan Negeri yang berwenang yang penomorannya dilakukan secara
tersendiri dengan Register kode khusus.

C. Biaya Praperadilan
KUHAP tidak memberikan pengaturan tentang biaya mengajukan tuntutan
praperadilan. Namun demikian oleh karena praperadilan diatur oleh
KUHAP, sehingga oleh karenanya masuk dalam ruang lingkup perkara
pidana, maka beban biaya untuk perkara pidana dalam praktek ditanggung
oleh Negara. Dengan demikian untuk mengajukan tuntutan praperadilan
tidak dikenakan biaya. Tuntutan praperadilan langsung didaftar kepada
Panitera Muda/Kepaniteraan Pidana Pengadilan Negeri yang berwenang
untuk itu.

D. Penentuan Hari Sidang


Setelah tuntutan atau permohonan praperadilan didaftarkan di
Kepaniteraan Pidana Pengadilan Negeri yang berwenang untuk itu, maka
permohonan tersebut deregister dalam perkara praperadilan yang
registernya dibuat secara khusus, tidak dicampur dengan perkara pidana.

49
Selanjutnya permohonan praperadilan tersebut diteruskan kepada Ketua
Pengadilan Negeri dan untuk itu Ketua Pengadilan negeri segera menunjuk
hakim (tunggal) praperadilan dan berkasnya diserahkan kepada hakim
yang telah ditunjuk tersebut. Selanjutnya dalam waktu 3 (tiga) hari setelah
diterimanya permohonan praperadilan, hakim yang telah ditunjuk tersebut
berdasarkan Pasal 82 ayat (1) huruf a KUHAP menetapkan hari sidang.
Namun tidak ada kejelasan apakah 3 hari tersebut dihitung sejak
diregisternya permohonan praperadilan tersebut di Kepaniteraan Pidana
atau terhitung sejak berkas diterima oleh hakim yang telah ditunjuk oleh
Ketua Pengadilan.

E. Panggilan Sidang Praperadilan


KUHAP tidak memberikan pengaturan tentang tata cara pemanggilan
terhadap pemohon maupun termohon praperadilan. Oleh karena itu dalam
praktek adakalanya panggilan tersebut diantar oleh Jurussita atau Panitera
Pengadilan Negeri, tetapi ada pula penyampaiannya melalui kejaksaan.
Mengingat praperadilan harus diselesaikan secara cepat, maka
penyampaian panggilan tersebut sebaiknya dilakukan oleh Pengadilan
Negeri yang bersangkutan, melalui Panitera atau Jurusita.

F. Pencabutan Tuntutan Praperadilan


Praperadilan adalah masuk dalam ruang lingkup perkara pidana/hukum
pidana, sementara dalam perkara pidana pencabutan laporan atau
pengaduan tidak menghentikan penyidikan ataupun penuntutan, kecuali
menyangkut delik aduan. Dalam perkara pidana, dengan adanya
perdamaian tidak menghapus atau mengilangkan sifat melawan hukumnya
perbuatan, sehingga tidak menghentikan penyidikan atau penuntutan
perkara pidana yang bersangkutan, setidaknya hal tersebut hanya sebatas
dapat menjadi alasan yang meringankan pidana yang akan dijatuhkan oleh
hakim (climentie). Berpijak pada ketentuan atau pemikiran tersebut, maka
pencabutan tuntutan praperadilan, karena adanya perdamaian antara
pemohon dan termohon praperadilan adalah tidak mengentikan
pemeriksaan oleh praperadilan, oleh karena dalam hal ini terdapat unsur
kepentingan umum yang harus dilindungi.

50
G. Acara Pemeriksaan Sidang Praperadilan
Ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP menyebutkan bahwa
pemeriksaan dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya dalam waktu
7 (tujuh) hari hakim sudah harus menjatuhkan putusannya. Persoalannya
adalah sejak kapan waktu 7 (tujuh) hari tersebut dihitung, apakah sejak
hari atau tanggal pendaftaran permohonan praperadilan atau sejak hari
sidang pertama dibuka dan hal inilah yang masih menimbulkan perbedaan
penafsiran dalam praktek peradilan.

Proses dan mekanisme (Acara) pememriksaan sidang praperadilan dalam


praktek adalah sebagai berikut :
1. pembukaan sidang praperadilan;
2. memeriksa kelengkapan para pihak;
3. pembacaan surat permohonan/tuntutan praperadilan;
4. jawaban oleh pihak Termohon praperadilan;
5. tanggapan (Replik) oleh Pemohon Praperadilan;
6. Tanggapan balik (Duplik) oleh Termohon Praperadilan;
7. Pembuktian (penyampaian alat bukti) oleh Pemohon dan Termohon;
8. penyampaian kesimpulan/konklusi oleh Pemohon dan Termohon;
9. Putusan.

H. Putusan Praperadilan
Ketentuan Pasal 82 ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa isi putusan
praperadilan yang daitur dalam Pasal 79, 80 dan 81 KUHAP harus
memuat dasar dan alasannya dengan jelas. Adapun yang dimaksud dengan
dasar dan alasan yang jelas adalah sebagai berikut :

1. Dasar Putusan
a. identitas para pihak (Pemohon dan Termohon)
b. isi dan tuntutan praperadilan
c. keterangan Pemohon Praperadilan
d. keterangan Termohon Praperadilan
e. keterangan saksi-saksi, baik dari Pemohon maupun Termohon
f. bukti-bukti tertulis yang diajukan oleh Pemohon dan Termohon

51
2. Pertimbangan Hukum
Hakim praperadilan dalam putusannya harus memberikan
pertimbangan hukum mengapa ia sampai pada suatu keyakinan atau
keputusan tersebut. Pertimbangan hakim tersebut tidak boleh
bertentangan satu sama lain atau mengandung kekeliruan yang nyata
atau suatu kekhilafan yang nyata.

3. Amar Putusan
Amar putusan memuat hal-hal yang diputuskan oleh hakim dalam
putusannya, baik menyangkut hal-hal yang ditolak atau yang
dikabulkan atau putusan yang tidak dapat diterima (niet onvankelijk
verklaard)

4. Isi Putusan PraperadilanSifat Putusan Praperadilan


a. Tuntutan Praperadilan Tidak Dapat Diterima, karena :
- tuntutan tidak berdasarkan hukum;
- tuntutan tidak patut;
- tuntutan salah;
- tuntutan kabur (obscuur libel);
- tuntutan tidak memenuhi persyaratan;
- obyek tuntutan tidak jelas;
- subyek tuntutan tidak lengkap;
- tuntutannya ne bis in idem;
- tuntutan daluwarsa (verjaring)

b. Tuntutan Praperadilan Ditolak, artinya pemohon praperadilan tidak


mampu membuktikan dalil-dalil permohonan atau tuntutannya.
Penolakan tersebut sifatnya dapat sebagian atau seluruhnya, artinya
sebagian tuntutan dikabulkan dan sebagian lagi ditolak.

52
c. Tuntutan Praperadilan Dikabulkan

Dalam hal Isi Putusan


Penangkapan dan penahanan oleh Penyidik harus segera membebaskan
penyidik tidak sah Tsk, memberi ganti rugi dan rehabilitasi
Penahanan oleh penuntut umum tidak Penuntut umum harus segera
sah membebaskan Tdw, memberi ganti rugi
dan rehabilitasi
Penghentian penyidikan tidak sah Penyidikan terhadap Tsk wajib
dilanjutkan
Penghentian penuntutan tidak sah Penuntut umum wajin melanjutkan
penuntutan terhadap Tdw
Penghentian penyidikan sah Ganti rugi (bila ditahan) dan/atau
rehabilitasi saja bila tidak pernah
ditahan
Penghentian penuntutan sah Ganti rugi (bila ditahan) dan/atau
rehabilitasi saja bila tidak pernah
ditahan
Benda yang disita ada yang tidak Benda tersebut dikembalikan kepada
termasuk alat bukti/barang bukti Tsk/pemiliknya

d. Tidak Berwenang Mengadili


Putusan tidak berwenang mengadili dapat terjadi oleh karena
Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara praperadilan tersebut
tidak berwenang memeriksanya, baik karena menyangkut
kompetensio absolute maupun kompetensi relatif

5. Sifat Putusan Praperadilan


Putusan praperadilan bersifat voluntair, artinya putusan praperadilan
bukanlah putusan terhadap pokok perkaranya, akan tetapi suatu
putusan yang diambil mendahului putusan pokok perkaranya. Oleh
karena itu putusan praperadilan hanyalah merupakan assesoir dari
perkara pokoknya.

6. Upaya Hukum Terhadap Putusan Praperadilan


Menurut ketentuan Pasal 83 ayat (1) KUHAP, disebutkan bahwa
terhadap putusan praperadilan yang menyangkut tentang tidak sahnya

53
penangkapan, penahanan, tindakan lain yang tidak berdasarkan
undang-undang (memasuki rumah secara tidak sah, penggeledahan
tidak sah, penyitaan tidak sah), kesalahan tentang orangnya ataupun
kesalahan penerapan hukum, tidak dapat dimintakan atau dilakukan
upaya hukum banding.

Akan tetapi terhadap putusan praperadilan yang menyangkut tentang


tidak sahnya penghentian penyidikan atau tidak sahnya penghentian
penuntutan, berdasarkan ketentuan Pasal 83 ayat (2) KUHAP dapat
dimintakan putrusan akhir kepada pengadilan Tinggi. Hal ini
menunjukan bahwa terhadap putusan tersebut penuntut umum dapat
melakukan upaya hukum banding. Demikian pula terhadap putusan
praperadilan tidak dapat diajukan kasasi, oleh karena keharusan
perkara praperadilan untu diputus secara cepat (Vide Keputusan
Menteri Kehakiman No.M.14.PW.07.03 Tahun 1983 butir 23 Jo.
Putusan Mahkamah Agung R.I. No. 227 K/KR/1982, tanggal 10 Mei
1984). Kesimpulannya terhadap putusan praperadilan tertutup
kemungkinan untuk dilakukan upaya hukum bias

54
BAB III
PENUNTUTAN

I. PRAPENUNTUTAN
A. Pengertian Prapenuntutan
Secara terminologis di dalam KUHAP maupun peraturan pelaksanaanya
tidak terdapat ketentuan yang memberikan batasan atau pengertian tentang
prapenuntutan.

Menurut pendapat para pakar, prapenuntutan adalah pelaksanaan


penelitian berkas perkara yang diterima oleh penyidik yang dilakukan oleh
jaksa peneliti yang disertai dengan petunujuk-petunjuk untuk melengkapi
kekurangan-kekurangan yang ada di dalam berkas perkara tersebut.

Berkas Perkara adalah berkas yang didalamnya berisikan berita acara-


berita acara penyidikan dan lampiran-lampirannya nyang dijahit menjadi
satu berkas.

Menurut ketentuan Pasal 187 KUHAP, berita acara disamakan dengan


pengertian “surat lain dalam bentuk resmi” yang harus dibuat atas sumpah
jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, dibuat dihadapan pejabat umum
yang berwenang atau yang dibuat oleh pejabat umum yang memuat
keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau
dialami sendiri disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang
keterangannya itu.

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, berita Acara adalah catatan


atau laporan tentang suatu perkara atau proses verbal. Sedangkan menurut
G.J. De Boer dan J.H. Smith, berita acara adalah surat yang dibuat oleh
pegawai umum yang memuat tentang suatu cerita yang sewajarnya perihal
yang telah didapat oleh pegawai itu sendiri, ditulis dengan sebenarnya,
teliti, berturut-turut menurut waktu, maupun uraian kembali yang benar
dan ringkas perihal yang telah diberitahukan kepadanya oleh orang lain.

Menurut ketentuan Pasal 121 KUHAP, berita acara dibuat atas kekuatan
sumpah jabatan, diberi tanggal, memuat perbuatan pidana yang

55
disangkakan, dengan menyebut waktu, tempat dan keadaan pada waktu
perbuatan pidana dilakukan, nama dan tempat tinggal tersangka dan saksi,
keterangan mereka yang dibuat berita acara, serta catatan tentang akta atau
benda serta segala sesuatu yang dianggap perlu untujk kepentingan
penyelesaian perkara. Selanjutnya menurut Pasal 75 KUHAP, hal-hal yang
harus dibuat berita acara oleh penyidik adalah setiap tindakan tentang
pemeriksaan tersangka, penangkapan, penahanan, penggeledahan,
penyitaan benda, pemasukan rumah, pemeriksaan surat, pemeriksaan
saksi, pemeriksaan TKP, pelaksananan penetapan dan putusan pengadilan
dan tindakan lain sesuai dengan ketentuan KUHAP.

Syarat-syarat Berita Acara adalah sebagai berikut :

1. harus dibuat oleh pejabat yang bersangkutan, artinya berita acara harus
dibuat oleh pejabat yang melakukan tindakan-tindakan yang harus
dibuat berita acara sebagaimana dimaksud oleh ketentuan Pasal 75 ayat
1 KUHAP. Jadi bukan pejabat atau orang lain walaupun ia pandai
membuat berita acara.

2. harus ditandatangani oleh pejabat yang membauat beritra acara dan


mereka yang dibuat berita acaranya. Jadi berita acara tidak boleh
ditandatangani oleh pejabat yang tidak membuat berita acara atas
tindakan-tindakan yang dilakukan

3. harus dibuat atas kekuatan sumpah jabatan

Bentuk Berita Acara :

KUHAP tidak menentukan atau mengaturnya. Menurut R. Susilo,bentuk


berita acara adalah sebagai berikut :

1. pada sudut atas sebelah kiri ditulis perkataan “Pro Justitia” (untuk
keadilan), guna memenuhi UU Bea Materai, maksudnya agar terbebas
dari bea meterai

2. di bawah perkataan pro justitia dituliskan :

a. nomor berita acara


b. perihal berita acara dan nama tersangka/saksi/berita acara apa yang
dibuat

56
c. ditengah-tengah ditulis perkataan berita acara dan kemudian
dimulai isi berita acara.

Isi Berita Acara : hari, tanggal, bulan dan tahun, jam perbuatan pidana
tersebut diketahui/suatu laporan/pengaduan dibuat; nama pembuat
berita acara; uraian tentang perbuatan pidana yang terjadi dan
pendapat-pendapat pemeriksa/pembuat berita acara.

Fungsi Berita Acara : sebagai alat bukti surat dan sebagai alat bukti
petunjuk (Vide Pasal 187 dan 188 KUHAP).

Susunan Berkas Perkara :

1. Menurut Atang Ranoemihardja :

1. Resume (Berita Acara Pendapat)

2. Laporan/Pengaduan

3. Berita Acara Pemeriksaan Tersangka

4. Berita Acara Pemeriksaan saksi

5. daftar adanya barang bukti

6. daftar yang memuat nama nama tersangka dan saksi-saksi

7. Surat-surat kelengkapan lain (surat perintah penangkapan,


penahanan bila tersangka ditangkap dan ditahan), surat perintah
perpanjangan penahanan, surat perintah penggeledahan bila
dilakukan dan surat perintah penyitaan bila dilakukan.

2. Menurut Praktek Preradilan :

1. Sampul Berkas Perkara

2. Daftar isi Berkas Perkara

3. Resume (Berita Acara Pendapat) :

a. dasar pemeriksaan/penyidikan : laporan/pengaduan


b. uraian singkat tentang perkara/kasus posisi
c. fakta-fakta : surat perintah Tugas, SP penangkapan,
penahanan, penggeledahan, penyitaan dll, keterangan-
keterangan saksi, keterangan tersangka dan barang bukti

57
d. kesimpulan : Tersangka disuga telah melakukan perbuatan
pidana ….., melanggar Pasal …..
e. penutup
4. Laporan Poisi

5. Gambar Sket TKP

6. Surat perintah Dimulainya Penyidikan

7. Surat perintah Penyidikan

8. Berita Acara Pemeriksaan di TKP

9. Berita Acara Pemeriksaan saksi-saksi

10. Berita Acara Pemeriksaan Tersangka

11. Berita Acara Penangkapan

12. Berita Acara Penahanan

13. ]Beroita Acara Penyitaan dll

14. Surat perintah penangkapan

15. Surat perintah penahanan

16. Surat perintah penyitaan

17. Surat permintaan perpanjangan penahanan

18. Surat persetujuan ijin penyitaan

19. Surat penetapan persetujuan ijin penyitaan

20. foto-foto dan identitas barang buikti

21. foto-foto dari obyek perbuatan pidana, misalnya gedung atau


tanaman yang dirusak dalam kasus pengrusakan)

22. daftar adanya saksi, tersangka dan barang bukti.

B. Ruang Lingkup Prapenuntutan


1. Penerimaan SPDP (Surat pemberitahuan dimulainya penyidikan)
a. dicatat dalam Register yang disediakan untuk itu, yakni Register
Penerikaan Dimulainya Penyidikan/Penghentian Penyidikan (P-9);

58
b. penerbitan Surat perintah penunjukan Jaksa Peneliti yang bertugas
melakukan pemantauan perkembangan penyidan dan penelitian
serta penyelesaian perkara (P-16);

c. Jaksa Peneliti berkoordinasi dengan penyidik, melalui forum


Konsultasi Penyidik-Penuntut Umum, guna memberikan
bimbingan atau pengarahan kepada penyidik, dengan tujuan agar
kegiatan penyidikan mampu menyajukan data dan fakta yang
diperlukan bagi kepentingan penuntutan, sehingga kemungkinan
bolak baliknya berkas perkara dapat dihindarkan. Selain koordinasi
dan kerja sama secra instansional tersebut, dibina pula koordinasi
dan kerja sama positip secara instansional melalui Forum Rapat
koordinasi antar penegak hukum (RAKORGAKKUM/DILJAPOL)
di tingkat daerah.

2. Penerimaan Berkas Perkara


Ketentuan Pasal 8 ayat (2) Jo. Pasal 110 ayat (1) KUHAP
menyebutkan bahwa dalam hal penyidik telah selesai melakukan
penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara
kepada penuntut umum.

Penyerahan berkas perkara dari penyidik kepada penuntut umum


berdasarkan Pasal 8 ayat (3) KUHAP dilakukan 2 (dua) tahap, yakni :

a. Tahap Pertama yang diserahkan hanya berkas perkaranya saja,


sedangkan Tersangka dan barang bukti masih tetap berada dibawah
kekuasaan dan tanggung jawab penyidik. Adapun pejabat yang
berwenang untuk menyerahkan atau melimpahkan berkas perkara
penyidikan kepada jaksa peneliti adalah sebagai berikut :

i. untuk perkara pidana yang diperiksa dengan acara pemeriksaan


biasa dilakukan oleh penyidik;

ii. untuk perkara pidana yang diperiksa dengan acara pemeriksaan


singkat yang penyidikannya dilakukan oleh penyidik
pembantu, maka berdasarkan Pasal 12 KUHAP dapat
diserahkan langsung kepada jaksa peneliti/penuntut umum;

59
iii. Hasil penyidikan perkara pidana yang dilakukan oleh penyidik
pegawai negeri siupil (PPNS), penyerahan berkas perkara
tersangka beserta barang bukti dilakukan melalui penyisik
POlri dan selanjutnya penyidik Polri yang menyerahkan
kepada jaksa peneliti/penuntut umum;

iv. Penyerahan berkas perkara pidana yang diperiksa dengan acara


pemeriksaan singkat diserahkan langsung ke sidang Pengadilan
Negeri oleh penydik atas kuasa penuntut umum (penyerahan
seolah olah dilakukan oleh penuntut umum);

v. Penyerahan berkas perkara pelanggran lalu lintas jalan


dilakukan langsung oleh penyidik, dimana penyidik tidak ada
keharusan untuk membuat BAP, akan tetapi :

- cukup membuat catatan tentang tanggal, waktu dan tempat


dimana terdakwa harus menghadap sidang di Pengadilan
Negeri;

- catatan tersebut diserahkan kepada Pengadilan Negeri


paling lambat pada kesempatan sidang berikutnya

b. Tahap Kedua yang diserahkan adalah tanggung jawab atas


Tersangka dan barang bukti :

i. Penyerahan Tanggung Jawab Atas Tersangka

- dilakukan per Berita Acara Pemeriksaan dan Penelitian


Tersangka

- penelitian terhadap tersangka dimaksudkan untuk


mengetahui sejauh mana kebenaran tentang keterangan
tersangka dalam BAP, identitas tersangka, status tersangka
ditahan atau tidak, pernah dihukum atau tidak, apa ada
keterangan yang perlu ditambahkan.

Berita acara pemeriksaan dan penelitian tersangka berfungsi


sebagai berikut :

 bahan pertimbangan penahanan

60
 bila terdakwa mangkir di persidangan, sedangkan pada
tahap penyidikan dan penuntutan mengakui terus terang
tentang perbuatannya

 berita acara penerimaan dan penelitian tersangka dapat


difungsikan sebagai alat bukti surat, sesuai dengan
ketentuan Pasal 187 KUHAP; Atau setidaknya sebagai alat
bukti petunjuk atas kesalahan terdakwa, sesuai dengan
ketentuan Pasal 188 KUHAP dan Yurisprudensi (Vide
Putusan MARI tanggal 30 Maret 1984 No.104 K/Pid/1983;
Atau setidaknya sebagai keterangan yang diberikan di luar
sidang (Vide Pasal 189 ayat 2 KUHAP)

 bila diperlukan penahanan, digunakan dokumen-dokumen


penahanan.

ii. Penyerahan Tanggung Jawab Atas Barang Bukti

- dilakukan per berita acara penenrimaan dan penelitian


barang bukti;

- hal-hal yang diperlukan untuk diteliti adalah kuantitas,


kualitas, kondisi dan identitas/spesifikasi lainnya;

- tolok ukur pememriksaan mempergunakan daftar adanya


barang bukti yang terlampir pada berkas perkara dan
dokumen-dokumen penyitaan (Surat perintah, berita acara,
ijin/persetujuan penyitaan;

- setelah penelitian dibuat label barang bukti, kartu barang


bukti, pencatatan dalam register barang bukti;

- bila dalam pen elitian ntersebut diperlukan bantuan dari


instansi lain, maka bantuan tersebut dimintakan kepada
isntansi lain;

- bila diperlukan penitipan barang bukti, maka


pelaksanaannya dilengkapi dengan surat perintah penitipan
barang bukti dan berita acara penitipan barang bukti.

61
Adapun alasan penyerahan berkas perkara dari penyidik kepada
penuntut umum dilakukan 2 (dua) tahap adalah sebagai berikut :

i. karena penyidikan hanya dipertanggungjawabkan kepada penyidik,


sehingga dalam hal Jaksa Peneliti berpendapat bahwa hasil
penyidikan kurang lengkap, maka Jaksa Peneliti segera
mengembalikannya kepada penyidik dengan disertai petunjuk-
petunjuk yang wajib dilengkapi oleh penyidik.

ii. Untuk mencegah kemungkinan larinya tersangka yang dikenakan


penahanan maupun mencegah rusak atau hilangnya barang bukti.

iii. Untuk mencegah terombang ambingnya keluarga tersangka yang


akan melakukan kunjungan dimana tersangka dilakukan
penahanan.

iv. Pertanggungjawabannya lebih jelas, sehingga dengan demikian


akan tercipta adanya kepastian hukum.

Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh Jaksa Peneliti pada penyerahan


berkas perkara pada tahap pertama adalah sebagai berikut :

1. Dicatat dalam Register Penenrimaan Berkas Perkara untuk


dilakukan penelitian terhadap berkas perkara yang difokuskan pada
a. Kelengkapan Formil
Penelitian ditujukan pada tindakan-tindakan yang telah
dilakukan oleh penyidik berdasarkan ketentuan ketentuan atau
formalitas-formalitas tertentu, antara lain : Surat perintah
Penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dll

b. Kelengkapan Materiil
Penelitian ditujukan pada substansi atau materi dari perbuatan
pidana yang terjadi serta kelengkapan informal, data, fakta dan
alat bukti yang diperlukan bagi kepentingan pembuktian.
Kriteria yang dapat digunakan sebagai tolok ukur kelengkapan
materiil antara lain :

i. apa yang terjadi (perbuatan pidana beserta kualifikasi dan


Pasal yang dilanggar)
ii. siapa pelakunya dan siapa pula saksi-saksinya

62
iii. bagaimana perbuatan pidana tersebut dilakukan (modus
operandi)
iv. dimana perbuatan pidana tersebut dilakukan (locus delicti)
v. kapan perbuatan pidana tersebut dilakukan (tempus delicti)
vi. akibat apa yang ditimbulkannya
vii. apa yang hendak dicapai dengan perbuatan tersebut (motif
dilakukannya perbuatan)
2. Apabila dari hasil penelitian ternyata hasil penyidikan telah
lengkap, maka dikeluarkan Surat Pemberitahuan Hasil Penyidikan
sudah lengkap (P-21) dan apabila sebaliknya maka dikeluarkan
surat pemberitahuan hasil penyidikan belum lengkap (P-18),
kemudian berkas perkara dikembalikan dengan disertai petunjuk
guna melengkapi hasil penyidikan yang belum lengkap tersebut (P-
19). Untuk dilakukan pemeriksaan tambahan.

a. Pengertian Pemeriksaan Tambahan

Pengertian pemeriksaan tambahan menurut Pasal 30 ayat (1)


huruf e UU No. 16 Tahun 2004, Tentang Kejaksaan Republik
Indonesia berbeda dengan pengertian pemeriksaan tambahan
menurut Pasal 203 ayat (3) huruf b KUHAP

Pemeriksaan tambahan menurut UU No. 16 Tahun 2004


dilakukan oleh Penuntut Umum sebelum melimpahkan berkas
perkara ke Pengadilan Negeri terhadap perkara tertentu setalah
dilakukan ketentuan Pasal 110 ayat (2) dan ayat (3) Jo. Pasal
138 ayat (2) huruf b KUHAP dilakukan oleh Penuntut Umum
atas perintah hakim setelah perkara dilimpahkan ke pengadilan

Pemeriksaan tambahan menurut Pasal 30 ayat (1) huruf e UU


bo. 16 Tahun 2004 berlaku terhadap perkara perkara tertentu
yang sulit pembuktiannya dan atau dapat meresahkan
mamsyarakat dan atau yang dapat membahayakan keselamatan
Negara, termasuk perkara pelanggaran terhadap UU No. 5
Tahun 1983, tentang Zone Ekonomi Eksklusif dan pelanggaran
terhadap UU No. 9 tahun 1985, tentang perikanan yang
penyidikannya dilakukan oleh Perwira TNI Angkata, Laut.

63
b. Prosedur Pelaksanaan :

i. Pelaksanaan Teknis Yuridis

Penuntut Umum setelah memberikan petunjuk kepada


penyidik diwajibkan mempersiapkan diri untuk menghadapi
kemungkinan dilakukannya pemeriksaan tambahan

Pemeriksaan tambahan dapat dilakukan terhadap berkas


perkara yang belum lengkap, meskipun telah dilakukan
penyidikan tambahan oleh penyidik Polri sesuai petunjuk dari
penuntut Umum. Atau dengan kata lain petunjuk Penuntut
Umum tidak dapat dipenuhi oleh penyidik Polri

Mekanisme Pelaksanaan :

Jaksa Peneliti/Penuntut Umum membuat pendapat yang


dituangkan dalam bentuk Berita Acara pendapat tentang perlu
tidaknya dilakukan pememriksaan tambahan;

Atas pendapat jaksa peneliti/Penuntut Umum,


Assipidum/Aspidsus/Kasi Pidum/Kasi Pidsus memberikan
saran kepada Kajati/Kajari

Apabila Kajari atau Kajati menyetujui dilaksanakannya


pemeriksaan tambahan, maka diambil langkah-langkah sbb :

- dalam hal berkas perkara sudah ada pada penuntut Umum,


dibuat surat kepada penyidik (Polri) agar menyerahkan
tersangka dan barang bukti kepada Penuntut Umum;

- dalam hal berkas perkara masih ditangan penyidik (Polri)


dalam rangka penyidikan tambahan sesuai petunjuk
Penuntut Umum dalam jangka waktu 14 hari, berdasarkan
Pasal 110 ayat (3) Jo. Pasal 138 ayat (2) KUHAP telah
dilampaui, maka penuntut umum membuat surat kepada
penyidik (Polri) agar menyerahkan berkas perkara,
tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum.

64
Setelah berkas perkara, tersangka dan barang bukti diterima
oleh Penuntut Umum, Kajari/Kajati menerbitkan surat
perintah untuk melengkapi berkas perkara

Pemanggilan saksi/ahli dilakukan secara langsung olej


Penuntut Umum atau dengan bantuan instansi lain

Dalam hal perlu dilakukan penyitaan terhadap surat atau


benda-benda guna melengkapi alat bukti dan atau melakukan
penggeledahan agar dilaksanakan menurut prosedur yang
diatur oleh KUHAP yang pelaksanaannya dituangkan dalam
Berita Acara

Hasil pemeriksaan tambahan yang dilengkapi dengan bberita


acara pendapat merupakan suplemen berkas perkara yang
diterima dari penyidik (Polri) dan merupakan satu kesatuan.

Terhadap hasil pemeriksaan tambahan penuntut umum segera


menentukan sikap apakah perkara itu telah memenuhi
persyaratan untuk dapat atau tidaknya dilimpahkan ke
Pengadilan

Pemeriksaan tambahan dilakukan dalam waktu 14 hari sejak


berkas perkara, tersangka dan barang bukti diterima oleh
penuntut umum.

ii. Pelaksanaan Teknis Administratif

Dalam melengkapi berkas perkara diperlukan kelengkapan


administrasi sebagai berikut :

- Berita Acara Pendapat hasil penelitian berkas perkara yang


diterima dari penyidik (Polri) setelah penyidik Polri
melakukan pememriksaan/penyidikan tambahan sesuai
dengan Pasal 110 ayat 3 Jo. Pasal 138 ayat 2 KUHAP.
Dalam Berita Acara Pendapat ini sesuai dengan hasil
penelitian, penuntut umum dapat menyarankan apakah
berkas perkara perlu dilengkapi dengan melakukan
pemeriksaan tambahan; Atau penyidikan tambahan yang

65
dilakukan oleh penyidik (Polri) sudah lengkap dan berkas
perkara telah memenuhi persyaratan untuk dilimpahkan ke
pengadilan;

- Surat kepada penyidik (Polri) agar menyerahkan berkas


perkara, tersangka dan barang bukti dengan pemberitahuan
bahwa penuntut umum akan melakukan pemeriksaan
tambahan setelah petunjuk yang telah diberikan tidak dapat
dipenuhi oleh penyidik;

- Surat kepada penyidik (Polri) agar menyerahkan berkas


perkara , tersangka dan barang bukti dengan pemberitahuan
bahwa penuntut umum akan melakukan pemeriksaan
tambahan setelah berkas perkara yang dikembalikan kepada
penyidik (Polri) untuk dilengkapi tidak diserahkan kembali
kepada penuntut umum meskipun telah lewat 14 hari;

- Surat perintah melengkapi berkas perkara;


- Surat panggilan saksi atau ahli untuk dilakukan
pemeriksaan tambahan;

- Berita acara pemeriksaan tambahan terhadap saksi/ahli;

- Surat permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk


melakukan penggeledahan atau penyitaan;

- Laporan untuk mendapatkan persetujuan penggeledahan


atau penyitaan;

- Berita acara penggeledahan atau penyitaan;


- Berita Acara Pendapat
3. Dalam surat pemberitahuan untuk melengkapi kekurangan berkas
perkara tersebut harus diuraikan secara cermat, jelas dan lengkap
tentang hal-hal apa saja yang harus dilengkapi oleh penyidik (Vide
Pasal 110 ayat 2 dan ayat 3 Jo. Pasal 138 ayat 2 KUHAP).
Disamping itu petunjuk untuk melengkapi tersebut disusun dalam
bahasa yang sederhana dengan mempergunakan kalimat-kalimat
efektif. Untuk akuratnya aplikasi petunjuk tersebut oleh penyidik,

66
sebaiknya penyidik diundang untuk bertemu dengan Jaksa Peneliti
guna membahas petunjuk petunjuk dimaksud..

4. Pengembalian berkas perkara kepada penyidik dilakukan melalui


kurir atau dalam hal terlaksana pertemuan dimaksud, berkas
perkara dapat diserahkan langsung kepada penyidik.

5. Dalam hal SPDP tidak ditindaklanjuti dengan penyerahan berkas


perkara dalam batas waktu 30 hari, maka Jaksa Peneliti meminta
laporan perkembangan hasil penyidikan.

Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat disimpulkan 2 (dua) hal penting


sebagai berikut :

1. Prapenuntutan adalah proses atau hubungan timbale balik antara


penyidik dengan jaksa peneliti dalam kaitannya dengan kesempurnaan
berkas perkara/hasil penyidikan, yakni mulai dari penyerahan berkas
oleh penyidik yang diterima oleh jaksa peneliti, kemudian
pengembalian berkas dari jaksa peneliti yang disertai dengan petunjuk-
petunjuk untuk melengkapi oleh penyidik sampai dengan penyerahan
kembali oleh penyidik setelah dilakukan pemeriksaan/penyidikan
tambahan oleh penyidik kepada jaksa peneliti. Dengan kata lain, secara
singkat dapat dikatakan bahwa prapenuntutan adalah proses
pengembalian berkas perkara penyidikan dari jaksa peneliti kepada
penyidik yang disertai petunjuk-petunjuk untuk melengkapi atas
kekurangan-kekurangan dan penyerahan kembali berkas perkara yang
telah dilengkapi tersebut oleh penyidik kepada jaksa peneliti.

2. Berdasarkan Pasal 8 ayat (2) Jo. Pasal 110 ayat (1) dan (3) dan Pasal
138 ayat (2) KUHAP, tenggang waktu prapenuntutan adalah selama 28
hari.

Walaupun berdasarkan ketentuan tersebut di atas, tenggang waktu


prapenuntutan adalah selama 28 hari, akan tetapi dalam kenyataannya atau
dalam praktek peradilan dapat saja terjadi penyidik telah menyerahkan
kembali berkas perkara yang telah dilengkapi sesuai dengan petunjuk dari
penuntut umum dalam waktu 14 hari, sebagaimana yang ditentukan oleh
undang-undang, namun ternyata berkas perkara yang telah dilengkapi oleh

67
penyidik tersebut oleh jaksa peneliti masih dinyatakan belum lengkap,
sehingga jaksa peneliti mengembalikan lagi berkas perkara tersebut
kepada penyidik. Begitu seterusnya hubungan timbale balik antara
penyidik dengan jaksa peneliti tidak ada batasnya, oleh karena KUHAP
memang tidak memberikan pembatasan sampai berapa kali berkas perkara
yang kurang lengkap tersebut dapat dikembalikan oleh jaksa peneliti.
Dengan demikian dalam praktek tenggang waktu prapenuntutan tersebut
tidak terdapat batasan waktu yang tegas, tergantung pada koordinasi antara
penyidik dengan jaksa peneliti. Sehubungan dengan tidak adanya
pembatasan waktu oleh KUHAP tersebut, maka sesuai dengan asas bahwa
tersangka berhak agar perkaranya segera diajukan atau diperiksa oleh
pengadilan, maka sebaliknya diadakan forum komunikasi dan kosnsultasi
atau penghubung antara kepolisian dengan kejaksaan. Dengan adanya
forum konsultasi atau penghubung tersebut dimaksudkan untuk
menghindari tidak jelasnya apa yang dimaksud oleh jaksa peneliti dalam
perintahnya untuk melengkapi berkas yang dikembalikan kepada penyidik
tersebut. Disamping itu juga untuk mencegah penyidik mengembalikan
berkas/hasil penyidikan tambahan tidak sesuai dengan petunjuk yang
diberikan oleh jaksa peneliti maupun untuk mencegah jangan sampai
tenggang waktu pengembalian tidak cukup atau berlarut-larut.

Permasalahan lain yang timbul sehubungan dengan pengembalian berkas


perkara atau hasiil penyidikan oleh penuntut umum kepada penyidik
adalah bagaimana bila tenggang waktu 14 hari untuk pengembalian
penyidikan tambahan tersebut tidak mencukupi, misalnya saksi yang
diperlukan masih belum diketemukan, apakah berkas perkara tersebut
dikembalikan kepada jaksa peneliti dalam keadaan tidak atau kurang
lengkap, atau tetap disimpan oleh penyidik dan menunggu sampai dengan
dapatnya dilengkapi atas kekurangannya ?

Sehubungan dengan permasalahan tersebut di atas, maka sebaliknya


berkas perkara tetap dikembalikan kepada jaksa peneliti dan pada akhirnya
tergantung pada jaksa peneliti yang akan mempertimbangkannya, apakah
terhadap berkas perkara yang belum lengkap tersebut akan dikembalikan

68
lagi kepada penyidik atau terhadap perkara tersebut dihentikan
penuntutannya.

Apabila jaksa peneliti akan menghentikan penuntutan suatu perkara


dengan alasan tidak atau kurang cukup bukti atau peprbuatan tersangka
tersebut bukan memrupakan perbuatan pidana atau perkara ditutup demi
hukum, maka jaksa peneliti wajib membuat Surat Ketetapan Penghentian
Penuntutan (SKPP) dan tembusannya disampaikan kepada Ketua
Pengadilan Negeri, penyidik, Kepala Rutan (bila tersangka atau terdakwa
ditahan) dan kepada tersangka atau terdakwa atau keluarganya atau
penasehat hukumnya.

Apabila terdakwa ditahan, maka dengan adanya SKPP tersebut terdakwa


harus segera dikeluarkan atau dibebaskan demi hukum, dengn catatan
suatu ketika terhadap terdakwa mamsih dapat dilakukan penuntutan
kembali bila dikemudian hari diperoleh bukti-bukti yang belum
diketemukan sebelumnya, sepanjang penuntutan terhadap terdakwa
tersebut belum daluwarsa dan dalam hal ini yang melakukan pemeriksaan
masih harus penyidik semula.

Berdasarkan ketentuan Pasal 140 ayat (4) KUIHAP, apabila dalam waktu
14 hari sejak diterimanya berkas perkara dari penyidik, penuntut umum
tidak mengembalikan berkas perkara penyidikan kepada penyidik atau
sebelum waktu 14 hari berakhir telah ada pemberitahuan dari penuntut
umum bahwa berkasnya telah lengkap, maka berkas perkara penyidikan
tersebut dianggap telah lengkap dan selanjutnya menjadi kerwajiban
penyidik untuk menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang
buktinya. Dengan diserahkannya tanggung jawab atas tersangka dan
barang bukti tersebut, maka sepenuhnya tanggung jawab perkara terdakwa
ada di pihak jaksa peneliti/penuntut umum. Selanjutnya penuntut umum
berdasarkan ketentuan Pasal 139 KUHAP harus segera membuat surat
dakwaan dan meneliti apakah berkas perkara tersebut telah memenuhui
syarat untuk dilimpahkan ke Pengadilan Negeri.

69
II. PENUNTUTAN

A. Pengertian Penuntutan

1. Menurut Ketentuan Pasal 1 Butir 7 KUHAP

Penuntutan adalah tindakan penutut umum untuk melimpahkan


perkara ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut
cara yang di atur dalam undang-undang ini, dengan permintaan supaya
diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang Pengadilan.

2. Menurut Wirjono Prodjodikoro

Penuntutan adalah menuntut seorang terdakwa di muka hakim pidana,


dengan cara menyerahkan perkara seorang terdakwa dengan berkas
perkara kepada hakim dengan permohonan supaya hakim memeriksa
dan kemudian memutus perkara pidana itu kepada terdakwa.

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapatlah dikatakan bahwa


penuntutan adalah tindakan penuntut umum menyerahkan berkas
perkara terdakwa ke Pengadilan Negeri yang berwenang agar hakim
menjatuhkan putusan terhadap terdakwa yang bersangkutan.

Berdasarkan ketentuan pasal 1 butir 7 KUHAP tersebut, satu-satunya


pejabat yang berwenang melakukan penuntutan adalah Penuntuit
Umum.

Ketentuan pasal 1 butir 6 KUHAP, membedakan antara pengertian :


“Jaksa” dan “Penuntut Umum”.

Jaksa menurut Pasal 1 butir 6.a KUHAP adalah pejabat yang diberi
wewenang oleh UU ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta
melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum yang tetap (inkracht van gewijsde). Sedangkan Penuntut
Umum menurut Pasal 1 butir 6.b KUHAP adalah jaksa yang diberi
wewenang oleh UU ini untuk melakukan penuntutan dan
mnelaksanakan penetapan hakim.

Isi atau bunyi pasal 1 butir 6b KUHAP tersebut sama persis dengan isi
atau bunyi pasal 13 KUHAP;

70
Kesimpulan :

a. ketentuan pasal 1 butir 6 KUHAP jo. Pasal 13 KUHAP


mengandung makna bahwa jaksa adalah aparatur kejaksaan;
b. hanya jaksa yang sedang menangani perkara pidana saja yang
dinamakan Penuntut Umum.

B. Asas-asas Penuntutan

Wewenang penuntutan dipegang oleh penuntut umum sebagai monopoli,


artinya tiada/ tidak ada badan lain yang boleh/ dapat melakukan
penuntutan selain penuntut umum. Wewenang yang demikian ini
dinamakan “dominis litis”.

Di dalam penuntutan dikenal adanya dua asas (beginsel), yakni :

1. Asas Legalitas (Legaliteits Beginsel)

Artinya : Penuntut Umum wajib melakukan penuntutan terhadap


semua orang yang berdasarkan alasan yang cukup telah
melakukan perbuatan pidana;

Asas ini merupakan penjelmaan dari asas “equality before the law”.

2. Asas Opportunitas (Opportuniteits Beginsel)

Artinya : Penuntut Umum tidak ada keharusan untuk melakukan


penuntutan terhadap seseorang walaupun terdapat bukti
atau alasan bahwa seseorang tersebut telah melakukan
perbuatan pidana, dengan alasan demi kepentingan umum.

Dasar hukumnya adalah Penjelasan Pasal 77 KUHAP Jo. Pasal 35


huruf C UU No. 16 Tahun 2004 yang pada intinya satu-satunya pejabat
yang mempunyai wewenang untuk mengkesampingkan perkara pidana
dengan alasan demi kepentingan umum adalah “Jaksa Agung”.

Jaksa Agung sebelum menggunakan wewenangnya tersebut, terlebih


dahulu bermusyawarah/ mendengar pendapat dengan pejabat-pejabat
tertinggi negara yang ada sangkut pautnya dengan perkara pidana yang
bersankutan (Menhankam, Kapolri, Presiden).

71
C. Tugas dan Wewenang Kejaksaan

1. Di bidang pidana:

a. melakukan penuntutan dalam perkara pidana;


b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan;
c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pututsan lepas
bersyarat;
d. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke Pengadilan yang
dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik;

2. Di bidang perdata dan tata usaha Negara, Kejaksaan dengan surat


kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan
untuk dan atas nama Negara atau pemerintah.

3. Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan


menyelenggarakan kegiatan:

a. peningkatan kesadaran hukum masyarakat;


b. pengamanan kebijakan penegakan hukum;
c. pengamanan peredaran barang cetakan;
d. pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan
masyarakat dan Negara;
e. pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
f. penelitian dan pengembangan hukum serta statisktik kriminal;

D. Tahap-Tahap Penuntutan

1. Penyusunan Surat Dakwaan

a. Pengertian Surat Dakwaan

Menurut A. Kasim Nasution, tuduhan adalah surat atau akta yang


memuat sesuatu perumusan dari tindak pidana yang dituduhkan
yang semnetara didapat/ disimpulkan dari surat-surat pemeriksaan
pendahuluan yang merupakan dasar bagi hakim untuk melakukan
pemeriksaan.

72
b. Syarat-syarat Surat Dakwaan (Pasal 143 ayat (2) KUHAP) :

- Syarat Formil, berisikan identirtas lengkap terdakwa (nama


lengkap, tempat dan tanggal lahir/ umur, jenis kelamin,
pekerjaan, kebangsaan/suku, alamat dllsb);

- Syarat Materiil, berisikan uraian secara cermat, jelas, dan


lengkap tentang perbuatan pidana yang didakwakan, dengan
menyebutkan waktu (tempos delicti) dan tempat (locus delicti)
dilakukannya perbuatan pidana yang bersangkutan;
Akibat hukum terhadap surat dakwaan yang tidak memenuhi syarat
meteriil (Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP) adalah batal demi
hukum (Pasal 143 ayat (3) KUHAP). Selain batal demi hukum
terhadap surat dakwaan dapat dinyatakan tidak dapat diterima (Niet
Onvankelijk Verklaard), apabila :

- kadaluarsa;
- tidak ada pengaduan dari pihak yang berkepentingan/ berhak
dalam hal menyangkut delik aduan;
- adanya surat dakwaan yang khilaf, misalnya menyebut pasal atau
perbuatan pidana secara keliru;

Permasalahan: haruskah dalam surat dakwaan itu pasal-pasal yang


didakwakan disebut atau dicantumkan ?

Untuk sempurnanya surat dakwaan, maka idealnya ketentuan pasal


yang dilanggar disebutkan. Akan tetapi oleh karena ketentuan pasal
143 ayat (2) huruf a dan b KUHAP tidak mensyaratkan untuk
menyebutkan pasal-pasal yang didakwakan, maka dengan tidak
dicantumkannya pasal-pasal yang didakwakan itu tidak berakibat
batalnya surat dakwaan ybs. Tetapi bila di dalam putusan, maka
pasal-pasal yang terbukti harus disebutkan, dengan akibat putusan
batal demi hukum bila tidak disebutkan.

73
c. Macam-Macam Bentuk Surat Dakwaan

Pada hakekatnya ada empat macam bentuk surat dakwaan, akan


tetapi dalam praktek berkembang dan muncul bentuk yang kelima
yang merupakan kombinasi atau gabungan antara bentuk dakwaan
komulatif dan subsidair atau alternatif

i. Surat Dakwaan Tunggal

Adalah surat dakwaan yang di dalamnya hanya disebutkan satu


perbuatan pidana saja yang dilakukan olh terdakwa tanpa
diikuti dengan dakwaan-dakwaan yang lainnya;

Bentuk surat dakwaan tunggal ini jarang dipergunakan kecuali


dalam hal tertangkap tangan, oleh karena mengandung risiko
yang besar bagi penuntut umum. Artinya, apabila terdapat
dakwaan tunggal tersebut tidak terbukti, maka dalam hal ini
terdakwa harus dibebaskan dan dalam keadaan yang demikian
ini penuntut umum akan menemui kesulitan untuk menuntut
terdakwa yang kedua kalinya karena perkaranya sudah
tergolong nebis in idem (Pasal 76 KUHP);

ii. Surat Dakwaan Alternatif

Adalah surat dakwaan dimana terhadap terdakwa secara faktual


didakwa melakukan lebih dari satu perbuatan pidana, akan
tetapi pada hakekatnya terdakwa hanya didakwa/ dipersalahkan
melakukan satu perbuatan pidana saja.

Dinamakan alternatif, oleh karena dakwaan-dakwaan tersebut


satu sama lain saling mengecualikan/ merupakan alternatif/
pilihan. Surat dakwaan ini dibuat dalam hal hasil pemeriksaan
menurut penuntut umum masih terdapat keraguan tentang jenis
perbuatan pidana apa yang tepat untuk didakwakan. Biasanya
dalam dakwaan alternatif ini dipergunakan kata-kata atau
diantara perbuatan pidana yang didakwakan.

74
Misalnya: Penuntut Umum masih ragu-ragu untuk menetukan
apakah terdakwa tersebut melakukan perbuatan pidana
pencurian atau penggelapan.

Bentuk dakwaan alternatif ini memberikan pilihan bagi hakim/


pengadilan untuk menentukan dakwaan mana yang tepat yang
dapat dipertangunggjawabkan kepada terdakwa, sehubungan
dengan perbuatan pidana yang dilakukannya.

Menurut M. Yahya Harahap, teknis pemeriksaan hakim


terhadap dakwaan alternatif adalah sebagai berikut:

1. Periksa dan pertimbangkan dahulu dakwaan pertama,


dengan ketentuan sbb:

a. bila dakwaan pertama telah terbukti, maka terhadap


dakwaan kedua/berikutnya tidak perlu diperiksa/
dipertimbangkan;
b. penjatuhan pidana di dasrkan pada dakwaan yang
dianggap terbukti;

2. Jika dakwaan pertama tidak terbukti, barulah hakim


melanjutkan pemeriksaan terhadap dakwaan berikutnya,
dengan ketentuan :

a. membebaskan terdakwa dari dakwaan yang tidak


terbukti;
b. menjatuhkan pidana berdasarkan dakwaan yang
dianggap terbukti; Atau : kemungkinan hakim dapat
menempuh cara pemeriksaan sbb:

- periksa dahulu dakwaan secara keseluruhan;


- dari hasil pemeriksaan atas keseluruhan dakwaan
tsb hakim memilih dan menentukan dakwaan yang
tepat dan terbukti serta dapat dipertanggujawabkan
terhadap terdakwa;

75
iii. Surat Dakwaan Subsidair

Adalah bentuk dakwaan yang terdiri dari beberapa dakwaan


secara berurutan dari dakwaan atas perbuatan pidana yang
ancaman pidananya terberat sampai dengan dakwaan atas
perbuatan pidana yang ancaman pidanannya paling ringan.

Penuntut Umum membuat surat dakwaan berbentuk subsidair,


karena beberapa pasal/ ketentuan pidana saling bertitik
singgung/ saling berdekatan dengan maksud dan tujuan agar
terdakwa tidak terlepas dari pertanggungjawaban pidana atas
perbuatan yanbg telah dilakukannya. Jadi, dalam dakwaan
subsidair jenis perbuatan pidananya sama hanya kualifikasinya
saja yang berbeda.

Misalnya :

Primair : Pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP);


Subsidair : Pembunuhan biasa (Pasal 338 KHP);
Lebih Subsidair : Penganiayaan berat yang direncanakan lebih
dahulu berakibat mati (Pasal 355 (2) KUHP);
Lebih Subsidair Lagi :Penganiayaan yang direncanakan lebih
dahulu berakibat mati (Pasal 353 (3) KUHP);
Lebih-Lebih Subsidair Lagi : Penganiayaan berakibat mati
(Pasal 351 (3) KUHP);

Berbeda dengan dakwaan yang berbentuk alternatif, maka cara


pemeriksaan dakwaan yang berbentuk subsidair harus dimulai
dari yang primair, begitu seterusnya apabila yang primair tidak
terbukti baru dilanjutkan pada dakwaan subsidair. Sedangkan
pada dakwaan yang berbentuk alternatif hakim bebas cara
memeriksanya (tidak harus dimulai dari yang primair).
Kesamaannya dengan dakwaan alternatif adalah bila dakwaan
primair telah terbukti maka yang lain tidak perlu dibuktikan.

76
iv. Surat Dakwaan Komulatif

Adalah dakwaan dimana kepada terdakwa di dakwa melakukan


perbuatan pidana secara concurcus (melakukan beberapa
perbuatan pidana) yang satu dengan yang lain saling terpisah/
berdiri sendiri, tetapi semuanya dilakukan oleh satu orang
terdakwa.

Di dalam dakwaan komulatif ini masing-masing dakwaan harus


dibuktikan. Apabila terhadap dakwaan pertama/ kesatu telah
terbukti maka terhadap dakwaan kedua, ketiga dst juga harus
dibuktikan. Demikian pula apabila salah satu dari dakwaan
tersebut dibatalkan maka terhadap dakwaan yang lain masih
tetap berlaku dan harus dibuktikan.

Dalam perumusannya surat dakwaan yang berbentuk komulatif


menggunakan kata-kata dan atau dakwaan pertama,/ kesatu,
kedua dst.

v. Surat Dakwaan Kombinasi

Bentuk dakwaan kombinasi ini tumbuh dalam praktek, yang


merupakan gabungan antara :

- bentuk dakwaan komulatif dengan alteratif; atau


- bentuk dakwaan komulatif dengan subsidair;

Dalam pembuatan surat dakwaan berbentuk kombinasi ini


memerlukan kecermatan dan ketelitian, karena selain
kecermatan yang menyangkut hukum pembuktiannya, juga
memerlukan ketelitian terhadap aturan-aturan hukum acaranya.

Misalnya perbuatan pidana/ delik ekonomi tidak dapat


dikombinasikan dengan perbuatan pidana korupsi. Hal mana
disebabkan oleh karena perbuatan pidana/ delik ekonomi
menjadi kewenangan Pengadilan Ekonomi, sedangkan
perbuatan pidana korupsi menjadi kewenangan Pengadilan
Tindak pidana Korupsi

77
Bentuk dakwaan kombinasi ini dimaksudkan juga agar supaya
terdakwa tidak lepas dari pertanggungjawaban pidana atas
perbuatan pidana yang telah dilakukannya.

Contoh bentuk dakwaan kombinasi:

PERTAMA:
Primair :
Subsidair :
Lebih subsidair :
KEDUA:
Primair :
Subsidair :
Lebih subsidair :

d. Penggabungan Surat Dakwaan (Voeging)

Berdasarkan ketentuan Pasal 141 KUHAP, Penuntut Umum dapat


melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu
surat dakwaan, apabila pada waktu yang sama atau hampir
bersamaan penuntut umum menerima beberapa berkas perkara,
dalam hal:

- beberapa perbuatan pidana telah dilakukan oleh seseorang yang


sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan
terhadap penggabungan perkara tersebut;

- beberapa perbuatan pidana bersangkut paut antara yang satu


dengan yang lainnya, artinya:

i. perbuatan pidana tersebut dilakukan oleh lebih dari satu


orang yang bekerja sama dan dilakukan pada saat yang
bersamaan;
ii. perbuatan pidana tersebut dilakukan oleh lebih dari satu
orang pada saat dan tempat yang berbeda tetapi merupakan
pelaksanaan dan permufakatan jahat yang telah dibuat
sebelumnya;
iii. perbuatan pidana tersebut dilakukan oleh seorang atau lebih
dengan maksud untuk mendapatkan alat yang akan

78
digunakan untuk melakukan perbuatan pidana lain atau
menghindarkan diri dari pemidanaan karena perbuatan
pidana lain.

- beberapa perbuatan pidana yang tidak bersangkut pautsatu


dengan yang lain, tetapi antara yang satu dengan yang lain ada
hubungannya, dimana demi kepentingan pemeriksaan maka
perlu adanya penggabungan.

Penggabungan perkara dapat dilakukan walaupun terjadi di


beberapa wilayah Pengadilan Negeri, tetapi karena antara perkara
yang satu dengan yang lain berhubungan dan saksi-saksi terbanyak
ada pada salah satu wilayah Pengadilan Negeri ybs, maka perkara
tersebut dapat digabungkan hanya dengan membuat satu surat
dakwaan

e. Pemisahan Surat Dakwaan/ Splitsing (Pasal 142 KUHAP)

Apabila berkas perkara yang diterima oleh penuntut umum dari


penyidik dilakukan oleh beberapa orang pelaku, tetapi tidak ada
hubungan sama sekali (misalnya pencurian dengan penganiayaan),
maka berkas perkara tersebut harus dipisah. Untuk itu dalam waktu
tujuh hari sebagaimana dimaksud dan diatur dalam Pasal 138
KUHAP, mengembalikan berkas tersebut kepada penyidik disertai
petunjuk-petunjuk seperlunya. Jadi, dalam hal penuntut umum
memecah perkara (splitsing), yang melakukan pemeriksaan
adalahh penyidik atas petunjuk penuntut umum. Pemisahan ini
diperlukan karena kemungkinan antara tersangka akan saling
menjadi saksi (saksi mahkota), sehingga memerlukan berkas
perkara tersendiri.

f. Perubahan Surat Dakwaan (Pasal 144 KUHAP)

Berdasarkan ketentuan Pasal 144 KUHAP penuntut umum dapat


mengubah surat dakwaan hanya satu kali saja dan selambat-
lambatnya dalam waktu tujuh hari sebelum sidang dimulai.

79
Adapun maksud perubahan surat dakwaan adalah sbb:

- Penyempurnaan, sehingga surat dakwaan tidak batal demi


hukum. Dalam melakukan perubahan ini penuntut umum
diharuskan konsultasi dengan ketua/ hakim yang bersangkutan;

- Tidak melanjutkan penuntutan terhadap perkara yang


bersangkutan. Ketentuan ini dapat membingungkan karena
sebenarnya bila tidak akan melanjutkan penuntutannya tidak
perlu mengubah surat dakwaan, tetapi cukup perkara ditarik
dari Pengadilan dan dibuatkan Surat Ketetapan Penghentian
Penuntutan (SKPP).

2. Pembuktian Surat Dakwaan

Bertitik tolak pada ketentuan Pasal 66 KUHAP, yang pada prinsipnya


tersangka atau terdakwa tidak dibebani beban pembuktian, sehingga
dengan demikian menjadi kewajiban penuntut umum untuk
membuktikan kebenaran atas dakwaannya didepan persidangan.
Artinya, penuntut umum berdasarkan alat-alat bukti yang ada harus
mampu membuktikan dakwaannya. Jadi tiap-tiap unsur dari
dakwaannya harus dapat dibuktikan kebenarannya dan terdakwalah
orang yang bersalah melakukan perbuatan pidana yang didakwakan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, penuntut umum


untuk membuktikan dakwaannya didasarkan pada alat bukti yang sah
yang terdiri dari 5 (lima) macam, yakni :

a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa

3. Penyusunan Surat Tuntutan (Requisitoir)


Menurut ketentuan Pasal 182 ayat (1) KUHAP disebutkan bahwa
setelah pemeriksaan di sidang dinyatakan selesai oleh hakim ketua
sidang/ ketua majelis, maka diberi kesempatan kepada penuntut umum
untuk mengajukan surat tuntutan (requisitoir).

80
Istilah Tuntutan Pidana
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata requisitoir mempunyai
arti sebagai tuntutan jaksa dalam perkara di Pengadilan.
Istilah tuntutan pidana merupakan terjemahan dari requisitoir yang
oleh Mr. M. H. Tita Amidjaja diterjemahkan dengan tuntutan,
sedangkan Wirjono Prodjodikoro menerjemahkan dengan tuntutan
akhir/ terakhir.

Di dalam KUHAP sendiri berdasrkan ketentuan Pasdal 182 ayat (2)


KUHAP mempergunakan istilah tuntutan pidana.

Menurut Leden Marpaung, rumusan dalam Pasal 182 ayat (1) KUHAP
diatas dapat menimbulkan persepsi yang tidak tepat, karena dengan
demikian penuntut umum dapat mengajukannya dengan atau secara
lisan dan pula harus memuat pidana.
Lebih lanjut Leden Marpaung mengatakan bahwa lebih tepatnya istilah
requisitoir diterjemahkan dengan surat tuntutan, dengan alasan bahwa
surat tuntutan adakalanya tidak memuat pidana, misalnya berdasarkan
hasil pemeriksaan di sidang terdakwa tidak terbukti bersalah, maka
terdakwa harus dibebaskan dan sebelumnya penuntut umum harus
mengajukan tuntutan untuk membebaskan terdakwa.
Hal-hal yang harus dimuat (isi) dalam Surat Tuntutan:
- Pendahuluan;
- Surat dakwaan;
- Fakta-fakta yang terungkap di persidangan;
- Pembahasan yuridis;
- Kesimpulan;
- Tuntutan, dapat berupa :
- Tuntutan pemidanaan
- Tuntutan bebas dari segala dakwaan (vrijspraak)
- Tuntutan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechts
vervolging)

Dengan demikian requisitoir memuat pembuktian berdasarkan alat


bukti yang sah atas semua unsur-unsur perbuatan pidana/ delik yang
dirumuskan dalam surat dakwaan.

81
BAB IV

PEMERIKSAAN PERSIDANGAN

Menurut KUHAP, ada 3 (tiga) macam acara pemeriksaan, yakni :


1. Acara Pemeriksaan Biasa;
2. Acara Pemeriksaan Singkat;
3. Acara Pemeriksaan Cepat, terdiri atas:
a. Acara Pemeriksaan Tipiring;
b. Acara Pemeriksaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan.

I. Acara Pemeriksaan Biasa


1. Tata Cara Pemeriksaan Terdakwa
a. Pemeriksaan dilakukan oleh Hakim yang ditunjuk oleh KPN;
b. Pemeriksaan dilakukan secara lisan dalam Bahasa Indonesia, secara
bebas dan terbuka untuk umum;
c. Anak dibawah umur 17 tahun dapat dilarangmenghadiri sidang;
d. Pemeriksaan dilakukan dengan hadirnya terdakwa;
e. Pemeriksaan dimulai dengan menanyakan identitas lengkap terdakwa;
f. Pembacaan surat dakwaan.
2. Keberatan (Eksepsi) Terdakwa atau Penasehat Hukum Terdakwa
a. Pengertian Eksepsi;
b. Macam-Macam atau Jenis Eksepsi :
i. Eksepsi tidak berwenang mengadili;
- keberatan tidak berwenang mengadili secara absolut;
- keberatan tidak berwenang mengadili secara relatif;
ii. Eksepsi dakwaan tidak dapat diterima (Niet Onvankelijk Verklaard);
- nebis in idem (Pasal 76 KUHP);
- daluarsa/ verjaring (Pasal 78 KUHP);
- perbuatan yang didakwakan bukan perbuatan pidan;
- tidak ada pengaduan, dalam hal menyangkut delik aduan;
iii. Eksepsi surat dakwaan batal demi hukum;
- tidak memenuhi ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP;
- tidak memenuhi ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHAP.

82
3. Perlawanan Terhadap Putusan Eksepsi
a. Diajukan terpisah dengan permohonan banding atas pokok perkaranya
(Pasal 156 ayat (4) KUHAP);
b. diajukan bersama-sama dengan permohonan banding atas pokok
perkaranya (Pasal 156 ayat (5) KUHAP);
4. Pembuktian atau Pemeriksaan Alat Bukti
a. Pengertian Pembuktian
Pembuktian merupakan tahap yang sangat menentukan dalam
penyelesaian suatu perkara, baik perkara pidana, perkara perdata,
perkara tata usaha negara maupun perkara lainnya. Berhasil atau
tidaknya tuntutan yang diajukan oleh Penuntut Umum (dalam perkara
pidana) atau pihak Penggugat (dalam perkara perdata), sangat
tergantung dan ditentukan oleh hasil pembuktian yang diperoleh di
persidangan.
Pengertian pembuktian pada intinya adalah suatu upaya yang
dilakukan oleh para pihak dalam suatu perkara (Penuntut Umum dan
Terdakwa dalam perkara pidana atau Penggugat dan Tergugat dalam
perkara perdata), dengan cara memberikan fakta-fakta yuridis dan
dasar-dasar yang menunjang atau mendukung kebenaran surat
dakwaan (perkara pidana) atau surat gugatan (perkara perdata) yang
dikemukakan oleh para pihak yang akan dipakai dasar dan alasan bagi
hakim dalam membuat pertimbangan-pertimbangan hukum guna
menjatuhkan suatu putusan (vonis).
b. Beban Pembuktian (Pasal 66 KUHAP);
Menurut Munir Fuadi yang dimaksud dengan beban pembuktian
adalah suatu penentuan oleh hukum tentang siapa yang harus
membuktikan suatu fakta yang dipersoalkan di pengadilan untuk
membuktikan dan meyakinkan pihak manapun bahwa fakta tersebut
memang benar-benar seperti yang diungkapkannya, dengan
konsekuensi hukum bahwa jika tidak dapat dibuktikan oleh pihak yang
dibebani pembuktian, fakta tersebut dianggap tidak pernah terjadi
seperti yang diungkapkan pihak yang mengajukan fakta tersebut di
pengadilan,

83
Berdasarkan ketentuan Pasal 66 KUHAP, beban pembuktian ada
pada pihak Penuntut Umum, artinya Penuntut Umumlah yang harus
atau berkewajiban untuk membuktikan surat dakwaan yang telah
dibuat atau disusunnya, berdasarkan alat bukti yang ada dalam perkara
pidana yang bersangkutan.
c. Sistim Pembuktian :
Menurut ketentuan hukum acara pada umumnya, dikenal adanya
4 (empat) macam sistem atau teori pembuktian, sebagai berikut :
i. Sistim pembuktian menurut keyakinan Hakim semata-mata
(conviction intime);
Menurut sistem atau teori ini, terbukti atau tidaknya suatu
peristiwa atau keadaan atau perbuatan, semata-mata tergantung dan
ditentukan oleh keyakinan hakim semata, tanpa mempertimbangkan
faktor-faktor lainnya. Dasar memperoleh keyakinan hakim tersebut
hanya bersumber pada perasaan atau feeling saja, tanpa berpijak pada
akal pikiran (ratio), sehingga subyektivitas hakim sangat tinggi,
bahkan bisa berlebihan dan dapat menimbulkan dampak adanya rasa
sentimen dan balas dendam, sehingga hasil pemeriksaan dan putusan
hakim menjadi tidak obyektif serta jauh dari rasa keadilan. Dengan
kata lain keadilan substansif sulit didapatkan oleh pencari keadilan.
ii. Sistim pembuktian menurut keyakinan Hakim atas dasar pemikiran
akal sehat/ logika (conviction rasionnee);
Sistem atau teori ini hampir sama dengan conviction intime,
perbedaannya terletak pada cara hakim memperoleh ketakinan yang
bersumber atau berpijak pada jalan pikiran atau logiuka (akal/rasio)
yang sehat atau pemikiran yang bersifat rasionil.
iii. Sistim pembuktian menurut UU secara positif (positief wettelijke);
Menurut teori ini, terbukti atau tidaknya suatu peristiwa atau
keadaan atau perbuatan tergantung dan ditentukan oleh atau
berdasarkan alat bukti yang sah menurut undang-undang, tanpa
disertai keyakinan hakim. Teori ini dipakai dalam penyelesaian
perkara perdata.

84
iv. Sistim pembuktian menurut UU secara negatif (negatief wettelijk);
Menurut sistem atau teori ini, terbukti atau tidaknya suatu
peristiwa atau keadaan atau perbuatan tergantung dan ditentukan
oleh atau berdasarkan alat bukti yang sah menurut hukum dengan
disertai adanya keyakinan hakim. Teori ini dipakai dalam
penyelesaian perkara pidana.
d. Alat Bukti dan Barang Bukti :
i. Pengertian;
Alat bukti adalah bukti-bukti yang secara jelas, tegas dan terbatas
(limitatif) telah diatur dan ditentukan oleh undang-undang, yakni
KUHAP (perkara pidana) dan HIR (perkara perdata). Sedangkan
barang bukti adalah barang yang dipakai untuk melakukan perbuatan
pidana/kejahatan (alat), barang yang diperoleh dari suatu perbuatan
pidana/kejahatan (hasil) dan barang yang bukan alat atau hasil dari
suatu perbuatan pidana, tetapi ada sangkut pautnya dengan perbuatan
pidana yang bersangkutan.
ii. Macam-Macam Alat Bukti (Pasal 184 ayat (1) KUHAP);
- keterangan saksi;
- keterangan ahli;
- surat;
- petunjuk;
- keterangan terdakwa.
(1) Keterangan Saksi
a. Pengertian;
Saksi adalah orang yang secara langsung melihat dan atau
mendengar suatu peristiwa atau kejadian kongkrit (saksi korban
atau saksi pelapor).
b. Syarat-syarat saksi;
i. syarat formil : dewasa, sehat jasmani dan rokhani serta tidak
ada hubungan keluarga atau hubungan semenda maupun
hubungan kerja dan diberikan dibawah sumpah atau janji.
ii. syarat materiil : saksi harus melihat dan atau mendengar
sendiri peristiwa atau kejadian kongkrit.

85
c. Syarat sahnya keterangan saksi :
i. diberikan dibawah sumpah;
ii. tidak bersifat testimonium de auditu;
iii. dinyatakan/ disampaikan di persidangan (Pasal 185 ayat (1)
KUHAP);
iv. didukung oleh alat bukti yang lain (Pasal 185 ayat (2) dan
ayat (3) KUHAP);
v. bersesuaian dengan alat bukti yang lain dan/atau barang bukti
yang diajukan (Pasal 185 ayat (6) KUHAP);
d. Kewajiban saksi :
i. menghadap pejabat yang memanggil;
ii. mengucapkan sumpah;
iii. memberikan keterangan yang benar;
e. Tata cara pemeriksaan saksi :
i. dipanggil satu persatu;
ii. diperiksa identitas saksi;
iii. pertanyaan yang diajukan dilarang memaksa, menjerat,
mengarahkan/ sugesti dan tidak sopan (berpedoman pada 5W
1H);
f. Perbedaan keterangan saksi di persidangan dan di BAP;
g. Tidak dapat didengar dan/atau dibebaskan sebagai saksi (Pasal
168 KUHAP).
(2) Keterangan Ahli
a. Pengertian
Keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah menurut undang-
undang hanya diatur dalam Pasal 186 KUHAP yang
menyebutkan bahwa keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli
nyatakan di sidang pengadilan. Selanjutnya menurut penjelasan
Pasal 186 KUHAP disebutkan bahwa keterangan ahli dapat juga
diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut
umum yang dituangkan dalam bentuk laporan dan dibuat dengan
mengingat sumpah jabatan pada waktu menerima jabatan atau
pekerjaan. Apabila hal tersebut tidak diberikan pada waktu
pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, maka

86
padapemriksaan di persidangan, diminta untuk memberikan
keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan.
Keterangan tersebut diberikan setelah mengucapkan sumpah
atau janji dihadapan hakim.
Untuk mencari dan menemukan pengertian yang lebih luas dan
terperinci, maka ketentuan Pasal 186 KUHAP tersebut harus
dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1 butir 28, Pasal 120, Pasal
133, Pasal 179 dan Pasal 180 KUHAP.
Menurut ketentuan Pasal 1 butir 28 KUHAP, keterangan saksi
adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki
keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat
terang suatu perkara pidana, guna kepentingan pemeriksaan.
Kesimpulan yang dapat diambil berpijak pada ketentuan Pasal 1
butir 28 KUHAP dikaitkan dengan ketentuan Pasal 184 ayat 1
huruf b dan Pasal 186 KUHAP adalaah sebagai berikut :
- keterangan tersebut harus merupakan keterangan yang
diberikan oleh seorang ahli yang memiliki keahlian khusus,
tentang sesuatu hal yang ada hubungannya dengan perkara
pidana yang sedang diperiksa;
- apabila keterangan yang diberikan seorang ahli tidak
didasarkan padakeahlian khusus tentang suatu keadaan yang
ada hubungannya dengan perkara pidana yang bersangkutan,
maka keterangan tersebut tidak memiliki nilai sebagai alat
bukti yang sah menurut undang-undang.
Kesimpulan yang dapat diambil apabila ketentuan Pasal 1 butir
28 KUHAP dikaitkan dengan ketentuan Pasal 120 KUHAP
adalah sebagai berikut :
- keterangan ahli dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah
menurut undang-undang apabila keterangan ahli tersebut
diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus di
bidangnya yang ada hubungannya dengan perkara pidana
yang sedang diperiksa tersebut.
- bentuk keterangan yang diberikan harus sesuai dengan
keahlian yang khusus menurut pengetahuannya.

87
Dengan demikian agar supaya keterangan ahli dapat dinilai
sebagai alat bukti, disamping faktor orangnya memiliki keahlian
khusus dalam bidangnya, harus pula dipenuhi faktor kedua, yakni
keterangan yang diberikan harus berbentuk keterangan menurut
pengetahuannya; Apabila keterangan yang diberikan berbentuk
pendengaran, penglihatan atau pengalamannya sehubungan
dengan perkara/peristiwa pidana yang terjadi, maka keterangan
tersebut sekalipun diberikan oleh seorang ahli, bukan/tidak
memiliki nilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-
undang sebagai keterangan ahli, melainkan berubah menjadi
keterangan saksi. Jadi untuk memberikan penilaian, apakah
sesuatu keterangan dapat dinilai sebagai keterangan ahli semata-
mata tidak ditentukan karena faktor keahliannya/faktor orangnya,
melainkan lebih dari itu keterangan tersebut harus murni
didasarkan pada pengetahuannya dan tidak dicampuraduk dengan
bentuk keterangan lain, karena hal tersebut berakibat tidak lagi
sebagai alat bukti keterangan ahli, melainkan berubah menjadi
keterangan saksi.
Kesimpulan yang dapat diambil apabila ketentuan Pasal 1 butir
28 KUHAP dihubungkan dengan Pasal 133 dan Pasal 120
kUHAP adalah bahwa seolah-olah UU mengelompokkan ahli ada
2 kelompok sebagai brikut :
- ahli secara umum, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1
butir 28 dan Pasal 120, yakni orang-orang yang memiliki
keahlian khusus dalam bidang tertentu, misalnya ahli jiwa,
akuntan, ahli kimia, ahli mesin, ahli pertambangan dan lain
sebagainya;
- ahli kedokteran kehakiman, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 133 KUHAP, yakni ahli yang khusus dalam bidang
kedokteran kehakiman yang berhubungan dengan bedah
mayat dan forensik
Ahli kedokteran kehakiman adalah seorang ahli yang khusus
memiliki keahlian yang berhubungan dengan korban yang
mengalami luka, keracunan ataupun meninggal dunia yang

88
diduga diakibatkan karena perbuatan pidana. Oleh karena itu
apabila keterangan ahli diberikan dokter yang bukan ahli
kedokteran kehakiman (dokter umum), maka sesuai dengan
ketentuan Pasal 133 ayat (2) KUHAP, keterangan dokter tersebut
selain tidak memiliki nilai kekuatan pembuktian, hanya dapat
dipergunakan hakim menjadi pendapatnya sendiri, apabila
keterangan itu dianggapnya benar, atau dapat dianalogikan
dengan ketentuan Pasal 161 ayat 2 KUHAP, yakni sebagai hal
untuk menguatkan keyakinan hakim saja.
Adanya pengelompokan ahli tersebut di atas dipertegas oleh
ketentuan Pasal 179 ayat 1 KUHAP yang menyebutkan bahwa
setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran
kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan
keterangan ahli demi keadilan.
Khusus mengenai tanda tangan atau tulisan yang akan dijadikan
alat bukti, maka untuk menentukan otentikasi dari tanda tangan
maupun tulisan tersebut, ahli yang diminta keterangannya adalah
sebagai berikut :
- untuk perbuatan pidana/delik umum dan delik khusus,
keterangan ahli otentikasi diberikan oleh Laboratorium
Kriminal Mabak (Pusat Laboratorium Forensik
Polri/Laboratorium Forensik Cabang untuk tingkat Polda);
- untuk perbuatan pidana/delik militer keterangan otentikasi
diberikan oleh Laboratorium Kriminal POM ABRI;
- untuk perkara yang bersifat koneksitas, keterangan otentikasi
dapat diberikan oleg salah satu Laboratorium Kriminal
berdasar kesepakatan bersama antara unsur-unsur penegak
hukum yang duduk dalam Team yang dibentuk untuk perkara
koneksitas tersebut.
b. Tata Cara Pemberian/Penyampaian Keterangan Ahli
Berdasarkan ketentuan Pasal 133 kUHAP dihubungan dengan
Penjelasan Pasal 186 KUHAP, maka jenis dan tata cata
pemberian/penyampaian keterangan ahli sebagai alat bukti yang
sah dapat melalui prosedur sebagai berikut :

89
 Dimintakan Penyidik pada Tingkat Pemeriksaan Penyidikan
 Diminta dan Diberikan di Persidangan.
c. Nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli
(3) Surat
a. Pengertian surat;
Menurut Asser-Anema, surat adalah segala sesuatu yang
mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti dan
dimaksudkan untuk mengeluarkan isi pikiran (Andi Hamzah,
1985: 253); sedangkan menurut Prof. Pitlo, surat adalah
pembawa tanda tangan bacaan yang berarti yang
menerjemahkan suatu isi pikiran, yang tidak termasuk surat
adalah foto dan peta, karena benda ini tidak memuat tanda
bacaan (Martiman Prodjohamidjojo, 1990: 138).
b. Surat menurut Pasal 187 ayat (1) huruf c KUHAP :
i. Berita cara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat
oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat
dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian
atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya
sendiri disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang
keterangannya itu (Akta Otentik, misal: surat/ akta yang
dibuat oleh Notaris, Panitera Pengadilan, Jurusita, surat IMB,
surat ijin eksport, Pasport, SIM, KTP, Akta Kelahiran, dllsb);
ii. Surat yang dibuat menurut peraturan perundang-undangan
atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang
termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggungjawabnya
dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau
sesuatu keadaan (Akta Otentik);
iii. Surat keterangan dari seorang ahli, yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu
keadaan yang diminta secara resmi dari padanya. Misalnya:
keterangan ahli yang berbentuk laporan/ Visum et Repertum
(VER), surat keterangan kematian, dllsb;

90
iv. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya
dengan isi dari alat pembuktian yang lain (akta di bawah
tangan).
c. Nilai kekuatan pembuktian surat;
(4) Petunjuk
a. Pengertian;
b. Cara memperoleh/ perolehan alat bukti petunjuk;
c. Saat/ waktu diperlukannya alat bukti petunjuk;
d. Nilai kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk.
II. Acara Pemeriksaan Singkat
1. Syarat pemeriksaan singkat :
a. Perkara pidana yang pembuktian dan penerapan hukumnya mudah;
b. Perkara (kejahatan/ pelanggaran) yang tidak termasuk Pasal 205 KUHAP
(Perkara Tipiring, yaitu perkara yang diancam pidana dengan atau
kurungan paling lama 3 bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya tujuh
ribu lima ratus rupiah;
c. Penghinaan ringan;
2. Tata cara pemeriksaan singkat :
a. Penuntut Umum menghadapkan Terdakwa, alat bukti yang ada dan
barang bukti (Pasal 203 ayat (2) KUHAP);
b. Waktu, tempat dan keadaan dilakukannya perbuatan pidana
diberitahukan secara lisan/ dibacakan dan dicatat dalam Berita Acara
Persidangan oleh Panitera Pengganti (Pasal 203 ayat (3) KUHAP);
c. Dapat dilakukan pemeriksaan tambahan paling lama 14 hari (Pasal 203
ayat (3) huruf b KUHAP);
d. Terdakwa dan/atau Penasihat Hukumnya dapat meminta penundaan
sidang paling lama 1 minggu (Pasal 203 ayat (3) huruf c KUHAP);
e. Putusan tidak dibuat secara khusus, melainkan dalam Berita Acara
Persidangan (Pasal 203 ayat 3 huruf d, e dan f KUHAP).
III. Acara Pemeriksaan Cepat
A. Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan
1. Objek Pemeriksaan Tipiring :
4. Perbuatan pidana tersebut diancam dengan pidana penjara atau
kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp. 7.500,-

91
5. Perbuatan pidana penghinaan ringan.
2. Tata Cara Pemeriksaan Tipiring :
f. Terdakwa dihadapkan ke depan sidang Pengadilan oleh Penyidik
atas kuasa Penuntut Umum, dalam waktu 3 hari sejak dibuatnya
BAP dengan disertai alat bukti maupun barang bukti yang ada (Pasal
205 ayat (2) KUHAP);
g. Diperiksa, diadili dan diputus oleh Hakim tunggal pada tingkat
pertama dan terakhir dan terhadap putusan yang dijatuhkan selain
pidana penjara tidak dapat diajukan banding ( Pasal 205 ayat (3)
KUHAP);
h. Pemeriksaan dilakukan pada hari tertentu dalam 7 hari (Pasal 206
KUHAP)
i. Penyidik memberitahukan secara tertulis kepada Terdakwa tentang
hari, tanggal, jam dan tempat ia harus menghadap sidang pengadilan
dan hal tersebut dicatat dengan baik oleh Penyidik. Selanjutnya,
catatan bersama berkasnya dikirim ke Pengadilan. Perkara dengan
acara pemeriksaan Tipiring yang diterima harus segera disidangkan
pada hari sidang itu juga (Pasal 207 ayat (2) huruf a dan b KUHAP);
j. Hakim yang bersangkutan memerintahkan Panitera mencatat dalam
Buku Register semua perkara yang diterimanya. Dalam buku register
tersebut dimuat: nama, identitas lengkap terdakwa, serta apa yang
didakwakan kepadanya (Pasal 207 ayat (2) huruf a dan b KUHAP);
k. Saksi tidak mengucapkan sumpah atau janji, kecuali jika dipandang
perlu (Pasal 208 KUHAP).
l. Putusan dicatat dalam Daftar Catatan Perkara dan selanjtnya oleh
Panitera dicatat dalam Buku Register serta ditandatangani oleh
Hakim yang bersangkutan dan Panitera. Berita Acara Pemeriksaan
Sidang tidak dibuat, kecuali jika dalam pemeriksaan tersebut
ternyata ada hal yang tidak sesuai dengan Berita Acara Pemeriksaan
yang dibuat oleh Penyidik (Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP).
B. Acara Pemeriksaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas
1. Objek Pemeriksaan :
Perkara pelanggaran tertentu terhadap Peraturan Perundang-undangan
Lalu Lintas Jalan (Pasal 211 KUHAP);

92
2. Tata Cara Pemeriksaan :
a. Tidak diperlukan Berita Acara Pemeriksaan (Pasal 207 ayat (1) huruf
a KUHAP);
b. Dapat menunjuk seorang wakil;
c. Apabila Terdakwa atau wakilnya tidak hadir ddi sidang, maka
pemeriksaan perkara dilanjutkan;
d. Apabila putusan diucapkan di luar hadirnya Terdakwa, maka surat
amar putusan segera disampaikan kepada terpidana;
e. Apabila putusan dijatuhkan di luar hadirnya Terdakwa dan
putusannya berupa pidana perampasan kemerdekaan, maka
Terdakwa dapat mengajukan perlawanan;
f. Dalam waktu 7 hari setelah putusan diberitahukan secara sah kepada
Terdakwa. maka Terdakwa dapat mengajukan perlawanan kepada
Pengadilan yang telah menjatuhkan putusan tersebut;
g. Dengan adanya perlawanan tersebut, maka putusan diluar hadirnya
Terdakwa tersebut menjadi gugur;
h. Setelah Panitera memberitahukan kepada Penyidik tentang
perlawanan itu, Hakim menetapkan hari sidang untuk memeriksa
kembali perkara yang bersangkutan;
i. Apabila putusan setelah dijatuhkannya perlawanan tetap berupa
pidana perampasan kemerdekaan, maka terhadap putusan tersebut,
Terdakwa dapat mengajukan upaya hukum banding (Pasal 214
KUHAP);
j. Pengembalian benda sitaan dilakukan tanpa syarat kepada yang
paling berhak, segara setelah putusan dijatuhkan apabila Terpidana
telah memenuhi isi amar putusan (Pasal 215 KUHAP).

PUTUSAN PENGADILAN
1. Pengertian
Putusan adalah pernyataan Hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan
yang terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini (Pasal 1 butir 11 KUHAP).

93
Putusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 11 KUHAP tersebut adalah
putusan akhir, oleh karena selain putusan akhir dikenal pula “putusan sela”,
yakni putusan yang dijatuhkan atau diucapkan diluar pokok perkara.
2. Syarat-Syarat Putusan
a. Harus memuat hal-hal yang ditentukan dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP;
b. Diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum (Pasal 195 KUHAP);
3. Isi Putusan (hal-hal yang ditentukan/ diatur dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP)
a. Kepala putusan;
b. Identitas lengkap Terdakwa;
c. Dakwaan Penuntut Umum;
d. Pertimbangan yang lengkap;
e. Surat tuntutan (requisitoir) Penuntut Umum;
f. Ketentuan/ Pasal yang menjadi dasar hukum putusan, disertai dengan hal-
hal yang memberatkan dan meringankan;
g. Hari dan tanggal dilakukannya musyawarah majelis;
h. Pernyataan kesalahan Terdakwa;
i. Ketentuan tentang pembebanan biaya perkara dan ketentuan tentang status
barang bukti;
j. Pernyataan tentang surat/ keterangan yang palsu, jika terdapat surat otentik
yang dianggap palsu;
k. Perintah agar Terdakwa tetap ditahan atau ditahan atau dibebaskan;
l. Hari dan tanggal putusan, nama Penuntut Umum, nama Hakim yang
memutus, serta Panitera Pengganti.
Catatan: Akibat hukum tidak dipenuhinya huruf a sampai dengan huruf l
tersebut, adalah putusan batal demi hukum.
Ketentuan yang harus dimuat dalam putusan yang bukan pemidanaan
(verordeling)
a. Tidak perlu memuat ketantuan Pasal 197 ayat (1) huruf e, f dan huruf h
KUHAP;
b. Harus memuat alasan dan peraturan perundang-undangan yang menjadi
dasar putusan (Pasal 197 ayat (1) huruf b KUHAP);
c. Harus memuat perintah supaya Terdakwa segera dibebaskan dari
tahanan, apabila berada dalam tahanan.

94
4. Bentuk Putusan
a. Putusan pemidanaan (verordeling);
b. Putusan pembebasan (vrijspraak);
c. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging)’
5. Cara Pengambilan Putusan
a. Dengan cara musyawarah mufakat (Pasal 182 ayat (2), (3), (4) dan (5)
KUHAP);
b. Dengan cara voting (Pasal 182 ayat (6) huruf a KUHAP);
c. Pendapat Hakim yang paling menguntungkan (Pasal 182 ayat (6) huruf b
KUHAP);

Kewajiban Hakim setelah menjatuhkan putusan berdasarkan Pasal 196 ayat (3)
KUHAP adalah memberitahu kepada Terdakwa tentang hak-haknya yang
meliputi:
a. Hak Terdakwa untuk mempelajari putusan (pikir-pikir);
b. Hak Terdakwa untuk segera menolak atau menerima putusan;
c. Hak Terdakwa untuk menyatakan banding.

95
BAB V UPAYA

HUKUM

I. Pengertian
Secara terminologis, menurut ketentuan Pasal 1 butir 22 KUHAP yang
dimaksud dengan upaya hukum adalah hak Terdakwa atau Penuntut Umum
untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau
banding atau kasasi, atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan
peninjauan kembali, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini.

II. Jenis-Jenis Upaya Hukum


A. Upaya Hukum Biasa
1. Perlawanan (Verzet)
Perlawanan merupakan upaya hukum berdasarkan undang-undang dalam
hal-hal yang telah ditentukan yang umumnya bersifat insidentil yang
tidak dimaksudkan terhadap putusan akhir dari Pengadilan Negeri.
Perlawanan diajukan ke Pengadilan Tinggi dan tidak diwajibkan dengan
akta seperti akta banding, antara lain:
a. Perlawanan tentang keberatan adanya perpanjangan penahanan (Pasal
29 ayat (7) Jl. Pasal 29 ayat (2) KUHAP);
b. Perlawanan dari Penuntut Umum terhadap Penetapan Pengadilan yang
menyangkut tentang ketidakwenangan Pengadilan Negeri untuk
menerima perkara pidana yang bersangkutan (Pasal 149 ayat (1) huruf
a KUHAP);
c. Perlawanan dari Penuntut Umum sehubungan dengan diterimanya
eksepsi dari Terdakwa atau Penasehat Hukum Terdakwa (Pasal 156
ayat (3) KUHAP);
d. Perlawanan dari Terdakwa atau Penasehat Hukum Terdakwa terhadap
Penetapan Pengadilan yang berkaitan dengan eksepsi yang
diajukannya (Pasal 156 ayat (4) KUHAP);
e. Perlawanan terhadap putusan sela yang diajukan oleh Penuntut Umum
dan/atau Terdakwa atau Penasehat Hukum Terdakwa.

96
Tenggang Waktu Perlawanan :
a. Perlawanan mengenai penahanan (Pasal 29 ayat (2) KUHAP),
sewaktu-waktu dapat diajukan;
b. Perlawanan terhadap Penetapan Pengadilan sebagaimana dimaksud
Pasal 149 ayat (1) KUHAP adalah 7 (tujuh) hari;
c. Perlawanan sebagaimana dimaksud Pasal 156 ayat (3) KUHAP secara
tegas juga tidak diatur, namun demi penyelesaian perkara secra cepat,
sebaiknya tidak lebih dari 7 (tujuh) hari;
d. Perlawanan terhadap putusan verstek adalah 7 (tujuh) hari, sejak
diberitahukan putusan verstek tersebut;
e. Perlawanan terhadap barang rampasan adalah 3 (tiga) bulan setelah
pengumuman.

2. Banding
a. Pengertian
i. Ditinjau dari segi Institusi Peradilan:
- merupakan pemeriksaan tingkat kedua dan terakhir
- Pengadilan Negeri merupakan instansi peradilan tingkat pertama
ii. Ditinjau dari segi yuridis :
- merupakan pemeriksaan ulang terhadap putusan Pengadilan
Negeri
- sifatnya merupakan upaya hukum biasa
- upaya banding merupakan hak
iii. Ditinjau dari segi tujuannya :
- memperbaiki kekeliruan putusan tingkat pertama (Putusan PN)
- mencegah kesewenangan dan penyalahgunaan jabatan
- pengawasan terciptanya keseragaman penerapan hukum
Kesimpulan : Pemeriksaan banding adalah upaya hukum biasa yang
dapat diminta oleh Terdakwa atau Penuntut Umum terhadap putusan
pengadilan tingkat pertama yang bertujuan untuk memperbaiki
kekeliruan atau kesalahan yang dilakukan oleh pengadilan tingkat
pertama, serta untuk menciptakan keseragaman dalam penerapan
hukum dan peraturan perundang-undangan, dengan cara memeriksa

97
dan memutuskan putusan yang telah dijatuhkan oleh pengadilan
tingkat pertama sebagai putusan akhir.

b. Alasan Banding
Undang-Undang (KUHAP) tidak memberikan secara rinci tentang
alasan permintaan banding, oleh karena itu dapat dilihat dari makna
pemeriksaan banding, yakni memeriksa dan memutus pada tingkat
terakhir putusan pengadilan tingkat pertama, sehingga dengan
demikian alasan banding adalah karena pemohon banding tidak
sependapat dan karenanya keberatan atas putusan yang telah
dijatuhkan oleh pengadilan tingkat pertama.
Adapun alasan tidak sependapat dan keberatan tersebut :
- dapat dikemukakan pemohon secara umum;
- dapat dikemukakan pemohon secara terperinci;
- permintaan banding dapat ditujukan terhadap hal-hal tertentu saja.

c. Akibat Permintaan Banding


- putusan menjadi mentah lagi;
- segala sesuatu menjadi tanggung jawab yuridis Pengadilan Tingkat
Banding (Pengadilan Tinggi);
- putusan yang dimohonkan banding tidak memiliki daya eksekusi.

d. Wewenang Tingkat Banding


- meliputi seluruh pemeriksaan terhadap putusan pengadilan tingkat
pertama (Vide: Putusan MARI No. 471 K/Kr/1979, tanggal 7
januari 1982);
- memeriksa kembali (memeriksa ulang) segala aspek pemeriksaan
dan putusan;
- memeriksa ulang perkara secara keseluruhan.

e. Putusan Yang Dapat Dimohonkan Banding


- putusan pemidanaan dalam perkara pidana yang diperiksa dengan
acara biasa dan singkat;
- putusan yang menyatakan dakwaan tidak dapat batal demi hukum,
baik dalam acara pemeriksaan biasa maupun singkat;

98
- putusan perampasan kemerdekaan dalam acara pemeriksaan
singkat;
- putusan praperadilan terhadap penghentian penyidikan/penghentian
penuntutan;
- putusan PN yang dijatuhkan secara in absentia;
- putusan dalam perkara subversi yang diputus vrijspraak.

f. Putusan Yang Tidak Dapat Dimohonkan Banding


Berdasarkan Pasal 67 Jo. angka 19 Putusan Menteri Kehakiman
Nomor M.14.PW.07.03 Tahun 1983 Jo. Putusan MARI No. 275
K/Pid/1983, tanggal 15 Desember 1983, putusan yang tidak dapat
dimohonkan banding adalah :
- putusan bebas (vrijspraak) Pasal 191 ayat (1) KUHAP;
- putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van
rechtsvervolging) Pasal 191 ayat (2) KUHAP;
- putusan dalam acara cepat, yakni perkara yang diperiksa dengan
acara Tindak Pidana Ringan (Tipiring) dan perkara pelanggaran
lalu lintas jalan.

g. Proses Pengajuan Permohonan Banding


- diajukan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah putusan ditajuhkan/
diucapakan, atau setelah ada pemberitahuan amar putusan kepada
Terdakwa (karena tidak hadir ketika putusan diucapkan/
dibacakan);
- diajukan oleh Terdakwa atau Penasehat Hukumnya, melalui
Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang telah memutuskan perkara
pidana yang bersangkutan;
- permohonan banding tersebut diberitahukan kepada Terdakwa atau
Penuntut Umum, tergantung pihak yang mengajukan permohonan
banding.

h. Pengajuan Memori dan Kontra Memori Banding


Tidak ada keharusan untuk membuat memori banding, apabila pihak
yang menyatakan banding membuat memori banding, maka kepada

99
termohon banding diberitahu dan diserahkan memori banding tersebut
untuk bahan membuat kontra memori banding.

i. Pemeriksaan Tingkat Banding


- dilakukan dengan majelis Hakim (minimal 3 orang) kecuali perkara
yang diperiksa dengan acara cepat, maka pemeriksaan dilakukan
dengan hakim tunggal;
- dasar pemeriksaan adalah berkas perkara yang dikirim dari dan
oleh Pengadilan Tingat pertama (Pengadilan Negeri), meliputi:
BAP dari pentyidik, BAP Persidangan, semua surat-surat yang
timbul di persidangan serta putusan dari Pengadilan Negeri yang
bersangkutan.

j. Putusan Tingkat Banding


Putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tingkat Banding
(Pengadilan Tinggi) ada 3 (tiga) kemungkinan, yakni: menguatkan
putusan Pengadilan Tingkat Pertama (PN), mengubah Putusan PN dan
membatalkan Putusan PN dan mengadili (membuat putusan) sendiri.

3. Kasasi
a. Dasar Hukum (Pasal 244 - Pasal 258 KUHAP)
Berdasarkan Pasal 244 KUHAP, terhadap putusan perkara pidana
yang diberikan pada tingkat terahir oleh pengadilan lain selain dari
Mahkamah Agung dapat diajukan kasasi, oleh Terdakwa atau
Penuntut ke Mahkamah Agung, kecuali terhadap putusan bebas. Jadi,
permohonan kasasi dapat diajukan Terdakwa atau Penuntut Umum
kepada Mahkamah Agung terhadap semua putusan perkara pidana
yang diberikan oleh Pengadilan Tingkat Terahir yang berupa :
i. Putusan Pengadilan Negeri pada tingkat pertama dan terahir :
- perkara tipiring (Pasal 205 - 210 KUHAP)
- perkara pelanggaran lalu lintas jalan (Pasal 211 - 216 KUHAP)
Terhadap putusan perkara tipiring dan pelanggaran lalu lintas jalan
tidak dapat dimintakan banding, kecuali bila hakim menjatuhkan

100
putusan berupa perampasan kemerdekaan (Pasal 205 ayat (3) dan
Pasal 214 ayat (8) KUHAP).
ii. Putusan Pengadilan Tinggi pada tingkat banding.

b. Tujuan Kasasi
i. Sebagai koreksi terhadap kesalahan putusan pengadilan bawahan.
Misalnya kesalahan dalam penerapan hukum pembuktian (Pasal
183 Jo. Pasal 185 KUHAP Jo. Putusan MARI No. 298 K/Pid/1982,
tanggal 6 Juli1983). Dalam pemeriksaan suatu perkara pidana tidak
ada saksi yang disumpah maupun alat bukti lain yang dapat dipakai
sebagai bukti tentang kesalahan Terdakwa, sebagaimana yang
dimaksud oleh Pasal 183 KUHAP.
ii. Menciptakan dan membentuk hukum baru (judge making law).
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut kadang-kadang Mahkamah
Agung membuat dan menjatuhkan putusan yang “contra legem”.
Sebagai contoh Putusan MARI No. 275 K/Pid/1983, tanggal 15
Desember 1983, contra legem dengan Pasal 244 KUHAP, oleh
karena dalam perkara tersebut Mahkamah Agung membolehkan
dan menerima permohonan kasasi terhadap putusan bebas, dengan
alasan demi tercapainya pembinaan penegakan hukum secara adil
dan tepat.
Contoh lain : Putusan MARI No. 471 K/Kr/1979, tanggal 7 Januari
1982, Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Tinggi
Banjarmasin nomor 78/1979, tanggal 17 April 1979, dimana
Putusan Pengadilan Tinggi tersebut memperbaiki pidana yang
dijatuhkan oleh Pengadilan Balikpapan No. 15/1977, tanggal 7 juli
1978, dari 7 tahun 6 bulan menjadi 2 tahun 6 bulan, dalam perkara
pidana korupsi. dalam perkara tersebut Mahkamah Agung
menerima permohonan kasasi, dengan alasan dan pertimbangan
“pengurangan hukuman yang dilakukan oleh Pengadilan Tinggi
kurang dasar pertimbangannya, karena dengan pengurangan
tersebut kejahatan korupsi yang diancam dengan pidana maksimal
seumur hidup tidak memadai, baik dilihat dari segi edukatif,
preventif, korektif maupun represif”.

101
iii. Pengawasan terciptanya keseragaman penerapan hukum.

c. Putusan Yang dapat Dimohon Kasasi (Pasal 244 KUHAP)


i. Semua putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terahir
oleh pengadilan, termasuk putusan dalam perkara Tipiring maupun
pelanggaran lalu lintas jalan yang bukan merupakan perampasan
kemerdekaan.
ii. Kecuali terhadap putusan Mahkamah Agung dan putusan bebas.
Walaupun berdasarkan Pasal 244 KUHAP kasasi terhadap putusan
bebas dilarang, demikian pula logika hukumnya berdasarkan Pasal
67 KUHAP, karena banding terhadap putusan bebas tidak
diperbolehkan (nota bene mestinya boleh kasasi), akan tetapi
kenyataannya MARI dalam praktek sering membuat putusan yang
contra legem, artinya MARI memperbolehkan kasasi atau putusan
bebas dan hal yang demikian oleh Mahkamah Agung dianggap
sebagai suatu “terobosan hukum”.
Sejarah penerobosan Pasal 244 KUHAP :
Pihak eksekutif (Departemen Kehakiman), pada tanggal 10
Desember 1983 mengeluarkan Surat Keputusan Menteri
Kehakiman No. M.M.14.PW.07.03 Tahun 1983, tentang Tambahan
Pedoman Pelaksanaan KUHAP, dibarengi dengan lampiran
Keputusan Menteri dengan tanggal dan nomor yang sama (pada
angka 19 Lampiran tersebut), terdapat penerobosan yang berupa
“pedoman” sebagai berikut :
- terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding;
- tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum dan keadilan
serta kebenaran, terhadap putusan bebas dapat diajukan kasasi.
Hal ini akan didasarkan pada Yurisprudensi.

d. Tata Cara/ Prosedur Kasasi


- permohonan diajukan melalui kepaniteraan (pidana) Pengadilan
Negeri yang telah memutus perkara tersebut;
- yang berhak mengajukan kasasi berdasarkan Pasal 244 KUHAP
adalah Terdakwa atau Penuntut Umum. Dalam hal ini seolah-olah

102
mengkesampingkan hak Terdakwa untuk didampingi Penasehat
Hukum. Sehubungan dengan hal tersebut, berdasarkan Keputusan
Menteri Kehakiman tersebut di atas, permohonan kasasi juga dapat
diajukan oleh orang yang khusus dikuasakan Terdakwa untuk itu
(berdasarkan surat kuasa khusus, setelah perkara yang dimohonkan
kasasi tersebut diberitahukan kepada Terdakwa).

e. Tenggang Waktu Kasasi


- 14 hari terhitung sejak putusan yang dimohonkan kasasi tersebut
diberitahukan kepada Terdakwa;
- apabila tenggang waktu 14 hari lewat, maka hak mengajukan kasasi
menjadi gugur, Terdakwa dianggap menerima putusan dan Panitera
membuat akta penerimaan putusan tersebut.
Berdasarkan Pasal 245 ayat (2) KUHAP, akta permohonan kasasi
diberikan kepada pihak Termohon Kasasi dan kepada Pemohon
Kasasi wajib membuat memori kasasi selambat-lambatnya dalam
waktu 14 hari terhitung sejak Pemohon mengajukan permohonan
kasasi tersebut dan kepada pihak Termohon juga diberitahu dan
diserahkan memori kasasi tersebut sebagai bahan membuat kontra
memori kasasi.
Berdasarkan Pasal 253 ayat (1) KUHAP, di dalam memori kasasi
harus diuraikan tentang “alasan” sekaligus keberatan-keberatan yang
menyangkut:
- kesalahan penerapan hukum atau hukum diterapkan tidak
sebagaimana mestinya;
- cara mengadili tidak dilakukan menurut ketentuan undang-uandang;
- pengadilan telah melampaui batas wewenang.

f. Alasan Kasasi
i. yang dibenarkan oleh undang-undang
- tentang penerapan hukum;
- tentang cara mengadili;

103
- tentang pengadilan yang melampaui batas wewenang (absolut,
relatif atau memasukkan hal-hal non yuridis dalam
pertimbangan putusannya).
ii. yang tidak dibenarkan oleh undang-undang
- keberatan tentang Putusan Pengadilan Tinggi yang menguatkan
Putusan Pengadilan Negeri;
- keberatan atas penilaian pembuktian;
- pengulangan fakta;
- tidak menyangkut persoalan/ pokok perkara (menyimpang);
- tentang berat ringannya pidana atau besar kecilnya jumlah
denda;
- tentang pengembalian barang bukti, sepenuhnya menjadi
wewenang Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi (Putusan
MARI No. 107 K/Kr/1977, tanggal 16 Oktober 1978).

g. Tata Cara Pemeriksaan Kasasi


- dilakukan minimal oleh 3 orang hakim (Majelis) dan dilarang
pemeriksaan dengan hakim tunggal (Pasal 253 ayat (2) KUHAP);
- pemeriksaan berdasarkan berkas perkara (Pasal 253 ayat (2)
KUHAP) meliputi: BAP Penyidik, BAP Persidangan PN dan PT,
surat-surat bukti, putusan PN dan PT;
- pemeriksaan tambahan didasarkan pada Putusan Sela, dilakukan
sendiri oleh Mahkamah Agung, atau dilakukan oleh Pengadilan
Negeri yang bersangkutan.

h. Putusan Kasasi
- permohonan kasasi dinyatakan tidak dapat diterima, karena tidak
memenuhi persyaratan formil, diantaranya karena permohonannya
terlambat diajukan, tidak membuat atau terlambat mengajukan
memori kasasi;
- menolak permohonan kasasi, karena tidak ada kesalahan dalam
penerapan hukum, memori kasasi mengulas dan memberikan
penilaian tentang pembuktian atau menyangkut tentang

104
penghargaan atas suatu kenyataan (fakta), karena Mahkamah
Agung bukan judex facti, tetapi judec juris;
- mengabulkan permohonan kasasi: membatalkan putusan judex
facti, atau tidak membatalkan tetapi hanya memperbaiki putusan.

B. Upaya Hukum Luar Biasa


I. Dasar Hukum (Bab XVIII, Pasal 259 - 269)
Upaya hukum luar biasa merupakan penyimpangan atau pengecualian
dari upaya hukum biasa (banding dan kasasi), oleh karena putusan yang
dapat dimintakan banding dan kasasi belum memperoleh kekuatan
hukum tetap dan dapat diajukan terhadap semua putusan, baik oleh
Terdakwa atau Penuntut Umum. Sedangkan upaya hukum luar biasa :
- diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap;
- hanya dapat diajukan dan ditujukan dalam keadaan tertentu, tidak
dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan, harus ada dan
terdapat keaadan-keadaan tertentu sebagai syarat yang mungkin dapat
diajukan upaya hukum luar biasa;
- diajukan kepada Mahkamah Agung, dan diperiksa dan diputus oleh
Mahkamah Agung, sebagai instansi pertama dan terahir.
Persamaan antara upaya hukum biasa dan upaya hukum luar
biasa,disamping sama-sama mengoreksi dan meluruskan kesalahan yang
terdapat dalam putusan yang bersangkutan, juga penglurusan kesalahan
tersebut dimaksudkan demi tegaknya hukum, kebenaran dan keadilan.

II. Macam-Macam Upaya Hukum Luar Biasa


a. Kasasi Demi Kepentingan Hukum (KDKH)
1. Pengertian Kasasi Demi Kepentingan Hukum
Kasasi Demi Kepentingan Hukum (KDKH) adalah upaya hukum
luar biasa yang diajukan terhadap semua putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap dari semua putusan pengadilan, selain
putusan Mahkamah Agung.

105
Putusan yang dapat dimohonkan KDKH adalah Putusan PN atau
PT yang telah berkekuatan hukum tetap, sedangkan terhadap
Putusan MA harus diajukan Peninjauan Kembali.
Yang berhak mengajukan KDKH berdasarkan Pasal 259 ayat (1)
KUHAP adalah Jaksa Agung karena jabatannya dengan
mendasarkan pada pendapat yang diberikan oleh Jaksa dari
Kejaksaan yang menangani perkara yang bersangkutan.
Permohonan KDKH tidak boleh merugikan pihak yang
berkepentingan:
- tidak menjatuhkan putusan pemidanaan atau putusan
pembebasan;
- tidak memperberat pidana dari yang telah dijatuhkan dalam
putusan yang dimintakan KDKH;
- tidak boleh mencabut hak-hak keperdataan Terdakwa, jika hal
itu tidak terdapat dalam putusan yang dimintakan KDKH.

2. Tata Cara Kasasi Demi Kepentingan Hukum (Pasal 260 KUHP)


- permohonan diajukan secara tertulis oleh Jaksa Agung (tidak
boleh lisan);
- permohonan diajukan kepada Mahkamah Agung melalui
Panitera Pengandilan Negeri setempat;
- permohonan disertai dengan memori/ risalah yang disertai
dengan atau memuat tentang alasan KDKH. Berdasarkan Pasal
248 ayat (1) KUHAP, memori KDKH merupakan syarat mutlak
yang bersifat memaksa (syarat formil), dengan konsekuensi atau
akibat hukum bahwa tanpa adanya memori KDKH, permohonan
KDKH tidak dapat diterima.

3. Alasan Dilakukannya Kasasi Demi Kepentingan Hukum


- sama dengan alasan diajukannya kasasi (ada 3 alasan);
- didasarkan pada kepentingan hukum semata-mata, yang meliputi
segala aspek kepentingan hukum itu sendiri, tidak tebatas pada
Pasal 253 ayat (1) KUHAP, sehingga dapat mencakup tentang
pemidanaan, barang bukti, biaya perkara, penilaian pembuktian.

106
Salinan memori atau Risalah KDKH disampaikan kepada pihak
yang berkepentingan (Pasal 260 ayat (2) KUHAP), dengan maksud
Terdakwa atau pihak yang berkepentingan mengajukan kontra
memori KDKH (analog dengan ketentuan Pasal 248 ayat (6)
KUHAP).

4. Tenggang Waktu Mengajukan Kasasi Demi Kepentingan Hukum


Pasal 259-262 KUHAP, tidak ditentukan atau tidak ada penegasan
atau tidak dibatasi. Menurut M. Yahya Harahap, tidak dibatasinya
tenggang waktu KDKH bertumpu pada 3 pemikiran, yakni :
- upaya hukum KDKH dan PK merupakan rumpun yang sama
dalam bentuk upaya hukum luar biasa;
- memiliki motivasi yang sama, bertujuan mengoreksi kesalahan
atas putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap;
- objeknya sama, yakni untuk memeriksa putusan pengadilan
yang telah berkekuatan hukum tetap.

5. Putusan dan Pemberitahuan Putusan Kasasi Demi Kepentingan


Hukum
- pada pokoknya sama dengan upaya hukum kasasi;
- bedanya salinan Putusan KDKH oleh Mahkamah Agung
disampaikan kepada Jaksa Agung.

b. Peninjauan Kembali (P.K.), Pasal 263 ayat (1) - Pasal 269 KUHAP
1. Putusan Yang Dapat Diajukan P.K.
- semua putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap,
setelah dilalui upaya hukum biasa (banding dan kasasi) tertutup.
Dengan kata lain tidak boleh mendahului upaya hukum biasa.
- dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan (PN, PT dan
MA), kecuali terhadap putusan bebas dan lepas dari tuntutan
hukum.

2. Yang Dapat Mengajukan P.K.


- Terpidana atau ahli warisnya;

107
- Penuntut Umum tidak berhak,oleh karena upaya hukum P.K.
bertujuan untuk melindungi kepentingan Terdakwa/ Terpidana;
- Ahli Waris dari Terpidana yang mempunyai hak untuk
mengajukan P.K. adalah merupakan “hak orisinil”, bukan hak
substitusi. Jadi walaupun Terpidana masih hidup atau sedang
berada di Lembaga Permasyarakatan, maka Ahli Warisnya
langsung dapat mengajukan permohonan P.K. Akan tetapi bila
semula P.K. diajukan terpidana, kemudian Terpidana meninggal
dunia, maka permohonan diteruskan oleh Ahli Warisnya sebagai
hak substitusi; atau setelah Terpidana meninggal dunia, maka
Ahli Warisnya baru mengajukan P.K. berdasarkan hak
substistusi (Pasal 268 ayat (2) KUHAP).
- Permohonan P.K. juga dapat diajukan oleh atau melalui Kuasa
Hukum/ Penasehat Hukum, berdasarkan surat kuasa khusus.

3. Alasan P.K.
- terdapat keadaan atau bukti baru (novum), dengan ketentuan
keadaan baru atau bukti baru (novum) tersebutmemiliki sifat dan
kualitas yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa :
 apabila novum tersebut diketahui atau diketemukan pada
waktu sidang masih berlangsung, dapat menjadi faktor dan
alasan untuk menjatuhkan putusan bebas atau lepas;
 dapat menjadi alasan atau faktor untuk menjatuhkan putusan
yang menyatakan bahwa tuntutan Penuntut Umum tidak
dapat diterima;
 dapat menjadi alasan untuk menjatuhkan putusan dengan
menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
- bila dalam pelbagai putusan terdapat saling pertentangan;
- bila terdapat kekhilafan yang nyata dalam putusan, yang dapat
berupa kekhilafan hakim atau kekeliruan hakim.

108
4. Tenggang Waktu P.K.
- tidak ada pembatasan;
- selama belum diputus, permohonan P.K. dapat dicabut tetapi
tidak dapat diajukan lagi.

5. Prosedur P.K
- diajukan oleh Pemohon melalui Kepaniteraan Pengadilan Negeri
yang menangani dan menjatuhkan putusan pada tingkat pertama;
- permohonan dicatat dalam Akta P.K. yang ditandatangani oleh
Panitera dan Pemohon (Pasal 264 KUHAP).

6. Pemeriksaan P.K.
Sebelum PN meneruskan permohonan P.K. ke Mahkamah Agung,
maka berdasarkan ketentuan Pasal 265 KUHAP, menugaskan
kepada PN yang bersangkutan untuk membuka persidangan (bila
alasan P.K. karena ada novum), dengan mekanisme sebagai berikut
:
- Ketua Pengadilan Negeri (KPN) menunjuk dan menetapkan
hakim yang akan memeriksa perkara melalui Penetapan, dengan
catatan bukan hakim yang dulu menjatuhkan putusan;
- pemeriksaan difokuskan pada alasan P.K. kemudian dibuat
berita acara pendapat yang sifatnya tidak menentukan, tetapi
hanya sebatas saran;
- sifat pemeriksaan terbuka untuk umum;
- dibuat Berita Acara Pemeriksaan, ditandatangani oleh Hakim,
Penuntut Umum, Pemohon dan Panitera;
- dibuat Berita Acara Pendapat, ditandatangani oleh Hakim,
Penuntut Umum, Pemohon dan Panitera;
- sebagai pendapat dan kesimpulan yang berisi penjelasan dan
saran PN tentang alsan-alsan P.K., dimana MA nantinya akan
menolak atau tidak dapat diterimanya permohonan P.K.;
- dibuat berdasarkan BAP;
- ditandatangani oleh Hakim dan Panitera;
- kemudian PN melanjutkan permohonan P.K. ke MA.

109
7. Yang Dikirim Oleh Pengadilan Negeri Kepada Mahkamah Agung
- surat permohonan P.K.;
- berkas perkara semula selengkapnya;
- BAP P.K.
- Berita Acara Pendapat.
Tembusan permohonan maupun pengiriman disampaikan kepada
Pemohon, Penuntut Umum dan Pengadilan Tinggi.

110

Anda mungkin juga menyukai