Anda di halaman 1dari 171

STUDILEMBAGA

PENEGAK HUKUM
KATA PENGANTAR

Pada kesempatan ini Penulis mengucapkan rasa syukur kepada Sang Pencipta
yang tak terhingga sehingga dapat menyelesaikan Buku ini dalam Judul Studi
Lembaga Penegak Hukum ini dengan baik. Buku ini diterbitkan khususnya
untuk kebutuhan para ilmuwan baik praktisi hukum, akademisi hukum yang
bertujuan untuk memperkuat dan mengembangkan keahlian dan keterampilan
para profesional hukum.

Pada dasarnya isi buku ini mngandung banyak uraian fungsi dan wewenang para
penegak hukum dan problematika penegak hukum di Indonesia serta beberapa
contoh kasus yang terjadi di Indonesia. Adapun isi dari konteks buku ini bersifat
memberikan banyak kontribusi bagi kita bagaimana para penegak hukum kita
dapat menegakan hukum dan berpihak pada keadilan yaitu keadilan untuk semua
dan keadilan yang bermartabat.

Demikianlah harapan dari Penulis semoga Buku ini dapat bermanfaat dan menjadi
bahan masukan bagi para penegak hukum kita dalam hal menegakan supremasi
hukum, Penulis juga sadar bahwa didalam penyajian Buku ini masih belum
sempurna oleh karena itu segala bentuk kritik dan saran akan kami terima dengan
hati ikhlas.

Bandar Lampung, April - 2020

Penulis,

Budi Rizki Husin, S.H., M.H


DAFTAR ISI

Hal

KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

1.1 Lembaga Penegak Hukum........................................................................ 1


1.2 Problematika Penegakan Hukum di Indonesia............................................... 3
1.3 Dampak dalam Penegakan Hukum di Indonesia............................................ 11
1.4 Kesimpulan Bab I ......................................................................................... 13
1.5 Soal-Soal Latihan .......................................................................................... 13

BAB II KEPOLISIAN ......................................................................................... 14

2.1 Polisi Sebagai Lembaga Penegak Hukum......................................................... 14


2.2 Susunan Organisasi dan Tata Kerja................................................................. 15
2.3 Tugas dan Wewenang ..................................................................................... 16
2.4 Peran Polisi dalam proses penyidikan ............................................................. 26
2.5 Konsep Perlindungan dan Pengayoman Kepolisian........................................ 35
2.6 Etika Profesi Kepolisian sebagai pedoman hidup bagi anggota Polri............. 37
2.7 Kesimpulan BAB II........................................................................................ 38
2.8 Soal-Soal Latihan ............................................................................................ 38

BAB III KEJAKSAAN ....................................................................................... 39

3.1 Lembaga Kejaksaan......................................................................................... 39


3.2 Fungsi Kejaksaan Dalam Mewujudkan Kepastian Hukum dan
Supremasi Hukum .......................................................................................... 41
3.3 Tugas dan Wewenang Kejaksaan RI.............................................................. 43
3.4 Fungsi Kejaksaan dalam Hak Asasi Manusia................................................. 45
3.5 Penegakan Hukum dalam Era Reformasi dan Globalisasi.............................. 45
3.6 Kesimpulan Bab III........................................................................................ 51
3.7 Soal-Soal Latihan........................................................................................... 51

BAB IV KEHAKIMAN ..................................................................................... 52

4.1 Sistem Kehakiman di Indonesia..................................................................... 52


4.2 Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Bertanggung Jawab .................. 55
4.3 Kehakiman dalam Kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana .................... 56
4.4 Lembaga Peradilan Transparan Terhadap Pengawasan Masyarakat
yang Efektif ...................................................................................................
61
4.5 Peran Lembaga Pengawas Eksternal terhadap Hakim..................................... 63
4.6 Kesimpulan Bab IV.........................................................................................
71
4.7 Soal-Soal Latihan ...........................................................................................
71

BAB V LEMBAGA PEMASYARAKATAN ..................................................


72
5.1 Tinjauan Tentang Lembaga Pemasyarakatan................................................... 72
5.2 Prisip-prinsip Pemasyarakatan.......................................................................... 76
5.3 Paradigma Sistem Pembinaan Narapidana........................................................ 81
5.4 Perwujudan Konkret Rehabilitasi dan Reintegrasi Sosial................................. 82
5.5 Kesimpulan Bab V ........................................................................................... 83
5.6 Soal–Soal Latihan............................................................................................. 84

BAB VI ADVOKAT ............................................................................................. 85

6.1 Advokat Sebagai Profesi yang Bebas, Mandiri dan Bertanggungjawab........... 85


6.2 Peran Advokat dalam Penegakan Hukum........................................................
91
6.3 Hak dan Kewajiban Advokat ........................................................................... 95
6.4 Tanggung Jawab Advokat Dalam Penegakan Hukum ...................................... 98
6.5 Kesimpulan Bab VI........................................................................................... 105
6.6 Soal-Soal Latihan.............................................................................................. 106

BAB VII KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI ...................................... 107

7.1 Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi........................................................ 107


7.2 Lembaga Anti Korupsi KPK............................................................................ 112
7.3 Eksistensi KPK Kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana Terpadu.............. 116
7.4 Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia KPK........................................... 123
7.5 Kesimpulan Bab VII.......................................................................................... 127
7.6 Soal-Soal Latihan.............................................................................................. 128
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 129
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Lembaga Penegak Hukum

Istilah “lembaga”, menurut Ensiklopedia Sosiologi diistilahkan dengan “institusi”


sebagaimana didefinisikan oleh Macmillan-- adalah merupakan seperangkat
hubungan norma-norma, keyakinan-keyakinan, dan nilai-nilai yang nyata, yang
terpusat pada kebutuhan-kebutuhan sosial dan serangkaian tindakan yang penting
dan berulang.

Lembaga Penegak hukum merupakan lembaga penegak keadilan dalam suatu


masyarakat, lembaga di mana masyarakat memerlukan dan mencari suatu
keadilan. Hukum menjamin agar keadilan dapat dijalankan secara murni dan
konsekuen untuk seluruh rakyat tanpa membedakan asal-usul, warna kulit,
kedudukan, keyakinan dan lain sebagainya. Jika keadilan sudah tidak ada lagi
maka masyarakat akan mengalami ketimpangan. Oleh karena itu, lembaga hukum
dalam masyarakat madani harus menjadi tempat mencari keadilan. Hal ini bisa
diciptakan jika lembaga hukum tersebut dihormati, dijaga dan dijamin
integritasnya secara konsekuen.

Jika kita berkaca kepada potret penegakan hukum di Indonesia setelah menilik
dari berbagai kasus belumlah berjalan dengan baik, bahkan bisa dikatakan buruk.
Lemahnya penegakan hukum di Indonesia saat ini dapat tercermin dari berbagai
penyelesaian kasus besar yang belum tuntas salah satunya praktek korupsi yang
menggurita, namun ironisnya para pelakunya sangat sedikit yang terjerat oleh
hukum. Kenyataan tersebut justru berbanding terbalik dengan beberapa kasus
yang melibatkan rakyat kecil, dalam hal ini aparat penegakkan hukum cepat
tanggap, karena sebagaimana kita ketahui yang terlibat kasus korupsi merupakan
kalangan berdasi alias para pejabat dan orang-orang berduit yang memiliki

1
kekuatan (power) untuk menginterfensi efektifitas dari penegakan hukum itu
sendiri.

Berbicara mengenai lembaga penegak hukum di Indonesia yang akan dibahas


dalam buku ini meliputi yaitu : kepolisian, kejaksaan, kehakiman, lembaga
pemasyarakatan, advokat dan ditambahkan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK).

Penegakan adalah proses, cara, perbuatan, menegakkan. 1 Selain itu hukum


memiliki beberapa pengertian atau definisi dari hukum, antara lain hukum adalah:

1. Peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang


dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah;
2. Undang-undang, peraturan, dsb untuk mengatur pergaulan hidup
masyarakat;
3. Patokan (kaidah,ketentuan) mengenai peristiwa (alam, dsb) yang tertentu;
4. Keputusan (pertimbangan) yang diterapkan oleh hakim (di pengadilan);
vonis.2

Hukum adalah keseluruhan peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah dalam suatu


kehidupan bersama: keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang erlaku
dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan
suatu sanksi.3

Jadi, kebijakan penegakan hukum adalah usaha-usaha yang diambil oleh


pemerintah atau suatu otoritas untuk menjamin tercapainya rasa keadilan dan
ketertiban dalam masyarakat dengan menggunakan beberapa perangkat atau alat
kekuasaan negara baik dalam bentuk undang-undang, sampai pada para penegak
hukum antara lain polisi, hakim, jaksa, serta pengacara.

1Alwi, Hasan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Cetakan ke-3. Jakarta, Balai Pustaka,
2005, hlm.1155.
2Ibid, hlm. 410.
3 Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar. Yogyakarta, Liberty, 1999, hlm.
40.

2
Bangsa yang beradab adalah bangsa yang menjalankan fungsi hukumnya secara
merdeka dan bermartabat. Merdeka dan bermartabat berarti dalam penegakan
hukum wajib berpihak pada keadilan, yaitu keadilan untuk semua. Sebab apabila
penegakan hukum dapat mengaplikasikan nilai keadilan, tentulah penerapan
fungsi hukum tersebut dilakukan dengan cara-cara berpikir yang filosofis.

Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan


manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Dalam penegakan hukum ada
tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu: kepastian hukum
(Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan
(Gerechtigkeit).4

Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiable terhadap tindakan


sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu
yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Sebaliknya masyarakat mengharapkan
manfaat dalam pelaksanaan atau penegakkan hukum. Hukum adalah untuk
manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi
manfaat bagi masyarakat. Selain itu masyarakat sangat berkepentingan bahwa
dalam pelaksanaaan atau penegakan hukum keadilan diperhatikan. Dalam
pelaksanaan atau penegakan hukum harus adil.5

Dalam pasal 27 UUD 1945 dengan jelas tercantum:

“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan


pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak
ada kecualinya.”

Rumusan tersebut mengandung makna bahwa semua warga negara Republik


Indonesia memiliki persamaan hukum dan hak-hak yang sama di hadapan
pemerintah. Dengan demikian dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak
boleh ada yang dinamakan diskriminasi terhadap warga negara. Bahkan tafsiran
tersebut juga menyangkut prinsip persamaan itu berlaku bagi siapa saja, apakah ia

4Ibid, hlm. 145.


5Ibid, hlm. 146.

3
seorang warga negara atau bukan, selama mereka adalah penduduk Negara
Republik Indonesia.6

1.2 Problematika Penegakan Hukum di Indonesia

Masalah utama penegakan hukum di negara-negara berkembang khususnya


Indonesia bukanlah pada sistem hukum itu sendiri, melainkan pada kualitas
manusia yang menjalankan hukum (penegak hukum). Dengan demikian peranan
manusia yang menjalankan hukum itu (penegak hukum) menempati posisi
strategis. Masalah transparansi penegak hukum berkaitan erat dengan
akuntabilitas kinerja lembaga penegak hukum. Undang-undang No. 28 tahun
1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi
dan nepotisme, telah menetapkan beberapa asas. Asas-asas tersebut mempunyai
tujuan, yaitu sebagai pedoman bagi para penyelenggara negara untuk dapat
mewujudkan penyelenggara yang mampu menjalankan fungsi dan tugasnya
secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab.7

Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang


hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu, sesuai dengan aspirasi
masyarakat. Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapatkan pengertian dari
golongan sasaran (masyarakat), di samping mampu membawakan atau
menjalankan peranan yang dapat diterima oleh mereka. Selain itu, maka golongan
panutan harus dapat memanfaatkan unsur-unsur pola tradisional tertentu,
sehingga menggairahkan partispasi dari golongan sasaran atau masyarakat luas.
Golongan panutan juga harus dapat memilih waktu dan lingkungan yang tepat di
dalam memperkenalkan norma-norma atau kaidah-kaidah hukum yang baru serta
memberikan keteladanan yang baik.8

6 Asshidiqie Jimly, penegakan hukum, Jakarta, Universitas Indonesia, 2011, hlm. 110.
7 Siswanto Penegakan Hukum Indonesia, Jakarta, Raja grafindo, 2005, hlm. 50.
8 Soekanto Soerjono, Faktor faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, Bandung, Alumni,
2002, hlm. 34.

4
Namun sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa salah satu penyebab
lemahnya penegakan hukum di Indonesia adalah masih rendahnya moralitas
aparat penegak hukum (hakim, polisi, jaksa dan advokat ) serta judicial
corruption yang sudah terlanjur mendarah daging sehingga sampai saat ini sulit
sekali diberantas. Adanya judicial corruption jelas menyulitkan penegakan
hukum di Indonesia karena para penegak hukum yang seharusnya menegakkan
hukum terlibat dalam praktek korupsi, sehingga sulit diharapkan bisa ikut
menciptakan pemerintahan yang baik atau good governance. Penegakan hukum
hanya bisa dilakukan apabila lembaga-lembaga hukum (hakim, jaksa, polisi dan
advokat) bertindak profesional, jujur dan menerapkan prinsip-prinsip good
governance.

Beberapa permasalahan mengenai penegakan hukum, tentunya tidak dapat


terlepas dari kenyataan, bahwa berfungsinya hukum sangatlah tergantung pada
hubungan yang serasi antara hukum itu sendiri, penegak hukum, fasilitasnya dan
masyarakat yang diaturnya. Kepincangan pada salah satu unsur, tidak menutup
kemungkinan akan mengakibatkan bahwa seluruh sistem akan terkena pengaruh
negatifnya. Misalnya, kalau hukum tertulis yang mengatur suatu bidang
kehidupan tertentu dan bidang-bidang lainnya yang berkaitan berada dalam
kepincangan. Maka seluruh lapisan masyarakat akan merasakan akibat pahitnya.

Penegak hukum yang bertugas menerapkan hukum mencakup ruang lingkup yang
sangat luas, meliputi: petugas strata atas, menengah dan bawah. Maksudnya
adalah sampai sejauhmana petugas harus memiliki suatu pedoman salah satunya
peraturan tertulis yang mencakup ruang lingkup tugasnya. Dalam penegakkan
hukum, menurut Soerjono Soekanto sebagaimana dikutip oleh Zainuddin Ali,
kemungkinan penegak hukum mengahadapi hal-hal sebagai berikut:

a) Sampai sejauhmana petugas terikat dengan peraturan yang ada,


b) Sampai batas-batas mana petugas berkenan memberikan kebijakan,
c) Teladan macam apakah yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada
masyarakat,

5
d) Sampai sejauh manakah derajat sinkronisasi penugasan yang diberikan
kepada para petugas sehingga memberikan batas-batas yang tegas pada
wewenangnya.

Lemahnya mentalitas aparat penegak hukum mengakibatkan penegakkan hukum


tidak berjalan sebagaimana mestinya. Banyak faktor yang mempengaruhi
lemahnya mentalitas aparat penegak hukum diantaranya lemahnya pemahaman
agama, ekonomi, proses rekruitmen yang tidak transparan dan lain sebagainya.
Sehingga dapat dipertegas bahwa faktor penegak hukum memainkan peran
penting dalam memfungsikan hukum. Kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas
penegak hukum rendah maka akan ada masalah. Demikian juga, apabila
peraturannya buruk sedangkan kualitas penegak hukum baik, kemungkinan
munculnya masalah masih terbuka.

Kondisi riil yang terjadi saat ini di Indonesia mengindikasikan adanya kegagalan
aparat-aparat penegak hukum dalam menegakan hukum. Kegagalan penegakan
hukum secara keseluruhan dapat dilihat dari kondisi ketidakmampuan (unability)
dan ketidakmauan (unwillingness) dari aparat penegak hukum itu sendiri.
Ketidakmampuan penegakan hukum diakibatkan profesionalisme aparat yang
kurang, sedangkan ketidakmauan penegakan hukum berkait masalah KKN
(korupsi kolusi dan nepotisme) yang dilakukan oleh aparat hukum sudah menjadi
rahasia umum. Terlepas dari dua hal di atas lemahnya penegakan hukum di
Indonesia juga dapat kita lihat dari ketidakpuasan masyarakat karena hukum yang
nota benenya sebagai wadah untuk mencari keadilan bagi masyarakat, tetapi
malah memberikan rasa ketidakadilan.

Akhir-akhir ini banyak isu yang sedang hangat-hangat di perbincangkan salah


satunya adalah permasalahan korupsi. Kasus ini seakan sudah menjadi tradisi
yang mendarah daging di bangsa ini. Penyakit korupsi melanda seluruh lapisan
masyarakat bahkan yang menjadi perhatian saat ini adalah para aparat yang
seharusnya menjadi penegak dalam kasus ini juga ikut terkait di dalamnya. Salah
satu lembaga yang menjadi perhatian adalah lembaga peradilan.

6
Korupsi telah merambat dan mengotori hampir seluruh institusi penegakan
hukum kita termasuk lembaga peradilan. Misalnya saja tentang salahnya
penegakan hukum di Indonesia seperti saat seseorang mencuri sandal, ia disidang
dan didenda hanya karena mencuri sandal seorang briptu yang harganya bisa
dibilang murah, sedangkan para koruptor di Indonesia bisa dengan leluasa
merajalela, menikmati hidup seakan tanpa dosa, karena mereka memandang
rendah hukum yang ada di Indonesia. Kita ambil contoh Arthalyta Suryani, yang
menempati ruang tahanan yang terbilang mewah dari tahanan yang lain karena
lengkap dengan fasilitas televisi, kulkas, AC, bahkan sampai ruang karokean. Hal
ini kemudian memperlihatkan diskriminasi di dalam pemutusan perkara oleh
lembaga peradilan kita dimana rakyat miskin yang tidak mempunyai kekuatan
financial seakan hukum begitu runcing kepadanya sedangkan para orang-orang
yang berduit menganggap hukum itu bisa dibeli bahkan saya anggap bahwa sel
tahanan mereka tidak layaklah dikatakan sebagai sel tetapi hotel sementara
sedangkan rakyat miskin begitu merasakan yang namanya sel tahanan.

Hukum di negara kita ini dapat diselewengkan atau disuap dengan mudahnya,
dengan inkonsistensi hukum di Indonesia. Selain lembaga peradilan, ternyata
aparat kepolisianpun tidak lepas dari penyelewengan hukum. Misalnya saat
terkena tilang polisi lalu lintas, ada beberapa oknum polisi yang mau atau bahkan
terkadang minta suap agar kasus ini tidak diperpanjang, polisinya pun
mendapatkan keuntungan materi dengan cepat namun salah tempat. Ini
merupakan contoh kongkrit di lingkungan kita.

Persamaan di hadapan hukum yang selama ini di kampanyekan oleh pemerintah


nyatanya tidak berjalan dengan efektif. Hukum yang berlaku sekarang di
Indonesia seakan-akan berpihak kepada segelintir orang saja. Supremasi hukum
di Indonesia masih harus diperbaiki untuk mendapat kepercayaan masyarakat dan
dunia internasional tentunya terhadap sistem hukum Indonesia. Masih banyak
kasus-kasus ketidakadilan hukum yang terjadi di negara kita. Keadilan harus
diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan
hukum yang sama tanpa kecuali. Namun, keadaan yang sebaliknya terjadi di

7
Indonesia. Hukum seakan tajam kebawah namun tumpul keatas. Ini terbukti
dengan banyaknya kasus yang terjadi, contohnya saja kasus nenek Minah yang
divonis 1,5 bulan penjara karena mencuri tiga buah kakao. Kasus seorang pria
yang sudah lanjut usia bernama Busrin mendapatkan hukuman selama 2 tahun
penjara serta denda Rp 2 miliar atau subsider 1 bulan kurungan karena kedapatan
menebang pohon mangrove untuk dibuatnya sebagai bahan bakar
memasak.Kemudian KasusSeorang wanita berusia lanjut bernama Meri, asal
Tegal, Jawa Tengah harus berurusan dengan hukum karena kedapatan menjual
petasan di rumahnya sendiri. Nenek Meri sendiri tidak mengetahui bahwa
menjual petasan tersebut dilarang karena sejak pemerintahan Presiden Soekarno,
dia sudah menjualnya dan baru kali ini terjerat hukum. Dikarenakan hal ini, pihak
Pengadilan Negeri Tegal menuntu Nenek Meri dengan hukuman 5 bulan penjara
dan 10 bulan masa percobaan. Setelah menjalani sidang lanjutan, pada akhirnya
Nenek Meri hanya dijatuhi hukuman penjara selama 3 bulan dengan masa
percobaan 6 bulan.Dari segi manapun mencuri memang tidak dibenarkan.
Namun, kita juga harus melihat dari sisi kemanusiaan.tidak adilnya ketika rakyat
kecil seperti itu betul-betul ditekan sedangkan para pejabat yang korupsi jutaan
bahkan miliaran rupiah bebas begitu saja, walaupun ada yang terjerat hukuman
tapi penjaranya bagaikan kamar hotel.

Sebenarnya apa yang terjadi dengan lembaga penegak hukum kita, sehingga
justice for all (keadilan untuk semua) berubah menjadi justice not for all
(keadilan untuk tidak semua). Hukum di negara kita ini seakan tidak
memperlihatkan cerminan terhadap kesamaan di depan hukum yang merata
kepada semua lapisan masyarakat tetapi terkesan tajam kebawah kepada rakyat
miskin tetapi tumpul keatas terhadap mereka yang mempunyai uang. Berbagai
kasus terkait dengan penegakan hukum di Indonesia yang sangat memprihatinkan
menjadi cambuk atau pukulan telak serta menjadi potret buram bagi kita semua
sebagai satu kesatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini
menjadi ironi tersendiri bagi kita.

8
Indonesia sendiri hukum dibuat berlandaskan Pancasila serta UUD 1945. Dalam
penegakkan hukum di Indonesia memang terjadi beberapa masalah seperti
ketidakmampuan suatu lembaga keadilan dalam memberikan keadilan itu sendiri
bagi masyarakat. Keadilan dianggap suatu yang sulit untuk didapatkan terutama
bagi masyarakat kelas bawah yang sekiranya merupakan golongan yang tidak
mampu dalam segi materi. Sekiranya kita dapat melihat fakta yang terjadi di
lapangan dengan berbagai macam kasus yang ada dan melibatkan masyarakat
kelas bawah. Beberapa kasus seperti pencurian sendal yang dilakukan oleh
seorang murid terhadap salah satu anggota kepolisian misalnya, terdapat berbagai
kejanggalan dalam kasus tersebut seperti berbedanya sandal yang dimaksud serta
adanya penganiayaan terhadap sang pelaku oleh oknum polisi tersebut. Dengan
hanya mencuri sepasang sendal jepit yang kemungkinan pula bukan anak tersebut
pelakunya, malah diberikan tuntutan hukuman 5 tahun penjara. Adilkah itu ?
Masyarakat awam pun pasti mengetahui apa yang dimaksud keadilan. Berbeda
dengan kasus yang melibatkan rakyat kecil yang seharusnya memang bisa
diselesaikan dengan rasa keadilan serta kekeluargaan, para pimpinan negara yang
terhormat malah melakukan banyak korupsi dan tak terselesaikan masalahnya.

Para penegak hukum antara lain hakim, jaksa, polisi, advokat dan penasihat
hukum. Di tangan merekalah terletak suatu beban kewajiban untuk
mengimplementasikan suatu prinsip keadilan sebagaimana yang tercantum dalam
sila kedua secara optimal dan maksimal. Namun , hal sebaliknya terjadi di
Indonesia. Banyak kasus penegakan hukum yang tidak berjalan semestinya.
Banyak keganjalan yang terjadi didalam penegakan hukum itu seperti dengan
mudahnya seseorang yang mempunyai uang mendapatkan fasilitas di ruang
tahanan atau ada beberapa kasus yang sangat mengganjal keputusan yang di
putuskan seperti kasus pencurian sandal diatas.

Penegakkan hukum dari aparat kepolisian juga dinilai sangat kurang, bisa dilihat
dengan banyaknya penilangan kepada kendaraan bermotor yang berakhir dengan
istilah UUD (Ujung-Ujungnya Duit) atau biasa disebut uang sogokkan. Serta ada
pula masalah tentang kebijakkan-kebijakkan pemerintah yang dinilai kurang serta

9
tidak didasari dengan landasan hukum yang tepat. Seperti kebijakkan bagi
pengendara motor yang diharuskan menyalakan lampu utama pada siang hari
yang dinilai kurang realistis. Karena menyalakan lampu pada siang hari sama saja
dengan pemborosan energi, sesungguhnya cahaya matahari sudah cukup terang
bagi pengguna jalan. Dan alasan karena banyaknya terjadi kecelakaan siang hari
oleh para pengguna sepeda motor tentu bukan karena lampu atau cahaya yang
kurang.

Dengan adanya pemanasan global dan yang dicanangkan pemerintah tentang save
energy-pun dipertanyakan karena memang menyalakan lampu pada siang hari
adalah pemborosan energi. Beberapa Undang-undang yang seharusnya dibuat
setiap tahun dengan jumlah yang sudah ditetapkan pun molor sehingga hanya ada
sedikit Undang-undang yang sudah terealisasikan. Hal ini tentu menjadi catatan
bagi pemerintah yang seharusnya hukum itu untuk keteraturan serta tercipta
kedamaian di negara kita menjadi begitu tidak dapat diandalkan.

Selain dengan masalah-masalah tersebut tentu dengan adanya hukum yang lemah
maka ketahanan negara juga akan lemah. Bisa kita lihat dari berbagai macam
kasus tentang perbatasan negara maupun pencaplokan wilayah dan budaya yang
dilakukan oleh negara tetangga. Pemerintah Indonesia sangat lamban dalam
mengambil sikap dalam hal pertahanan dan keamanan negara, adanya
kesenjangan sosial di wilayah perbatasan Indonesia serta kota-kota lain di
Indonesia serta sarana dan infrastruktur di daerah perbatasan yang sangat kurang
menjadi masalah yang harus ditanggapi serius oleh pemerintah. Masyarakat
perbatasan tentu merasa dianak tirikan oleh pemerintah karena tidak adanya peran
pemerintah dalam mengatasi hal tersebut, dan tentu hal ini menjadi senjata bagi
negara lain untuk dengan mudah mencaplok daerah perbatasan sebagai daerah
negaranya karena negara tersebut mengambil hati masyarakat dengan memberi
berbagai macam kebutuhan oleh negara tersebut berbeda dengan apa yang
diberikan oleh pemerintah Indonesia.

10
Hal tersebut menyebabkan bahwa suatu hukum di Indonesia walaupun dibuat
dengan berlandaskan pancasila serta UUD 1945 namun dalam pelaksanaannya
tidak ada jiwa pancasila yang melekat dalam setiap penegak hukum serta
pemerintah Indonesia. Dengan melemahnya hukum di Indonesia tentu sedikit
demi sedikit maka keadilan di Indonesia akan terkikis dengan adanya sikap
pemerintah yang seakan hanya mementingkan dirinya sendiri, jabatan dan
kekuasaan politik bagi diri dan partainya

Sungguh menjadi sesuatu yang ironis ketika kepercayaan masyarakat kepada


pemimpinnya menjadi berkurang, dan ketika itulah masyarakat akan menjadi
merasa tersakiti serta tak mempercayai kepemerintahan negara, karena
kepercayaan adalah salah satu tiang keadilan dan kemakmuran. Ketika hukum
yang hanya memihak golongan tertentu maka keadilan juga akan memudar dan
akan meruntuhkan derajat dan martabat negara. Dengan runtuhnya derajat negara,
runtuh pula negara tersebut dan akan mudah bagi pihak-pihak yang merasa
diuntungkan dengan situasi ini yaitu adanya intervensi asing dalam masalah
negara.

Karena intervensi itu sendiri sudah mulai muncul ketika banyaknya media asing
yang memberitakan tentang bobroknya negara ini. Sebagai salah satu contohnya
dimana ada media asing yang memberitakan tentang masalah jembatan yang tak
layak di Indonesia. Masyarakat terutama para siswa yang ingin bersekolah harus
menantang nyawa dengan menyebrangi sungai hanya dengan seutas tali. Dimana
peran pemerintah? Hanya ada janji yang entah kapan akan ditepati. Hukum
memang salah satu cara untuk memberikan keadilan, dan hukum seharusnya
ditegakkan dengan bijaksana, tegas dan apa adanya.

Selain beberapa faktor diatas, faktor uang juga mempengaruhi penegakan hukum
di Indonesia. Beberapa kasus bisa menjadi cerminan lemahnya hukum di
Indonesia ketika sudah berbenturan dengan uang, misalnya saja kasus korupsi
yang menjerat nama Gayus Tambunan. Kasus ini memang sudah di selesaikan
dipengadilan, tetapi walaupaun Gayus telah ditempatkan di dalam penjara,

11
nyatanya dia masih bebas untuk berwisata ke Bali bahkan sampai keluar negeri
yaitu Makau. Ini karena lemahnya iman para petugas yang seharusnya
menegakkan keadilan hukum setegak-tegaknya kalau sudah dihadapkan dengan
uang. Mereka tentunya mengabulkan permintaan Gayus tersebut tidak dengan
cuma-cuma, tetapi ada imbalan yang diberikan kepada para petugas tersebut.
Beberapa kasus yang diungkapkan sebelumnya seperti kasus Artalita, ini semua
tidak lepas dari lemahnya iman aparat yang bertugas menegakkan hukum ketika
sudah di hadapkan dengan uang. Apakah ini yang di namakan “uang berbicara”?
Dan apakan hukum di negeri ini semudah itu menjadi lunak?. Kalau sudah seperti
itu Anda pun dapat menilainya sendiri sebenarnya apa yang telah melanda hukum
di negeri tercinta kita ini, sehingga jangan heran kalau ada istilah yang kemudian
muncul di masyarakat kita tentang penegakkan hukum di Indonesia yaitu KUHP
(Kasih Uang Habis Perkara). Ini adalah cerminan bahwa rakyat Indonesia sudah
mulai hilang kepercayaan dengan penegakan hukum yang ada di Indonesia.

Penegakan hukum yang carut-marut, kacau, dan mengesampingkan keadilan


tersebut bisa saja diminimalisir kalau seandainya hukum dikembalikan kepada
fungsi aslinya, yaitu untuk untuk menciptakan keadilan, ketertiban serta
kenyamanan. Selain itu sebagaimana Menurut Soerjono Soekanto, hukum dapat
berfungsi dengan baik diperlukan keserasian dan hubungan antara empat faktor,
yakni:

1. Hukum dan peraturan itu sendiri.

Kemungkinannya adalah bahwa terjadi ketidak cocokan dalam peraturan


perundang-undangan mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu. Kemungkinan
lainnya adalah ketidakcocokan antara peraturan perundang-undangan dengan
hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan. Kadangkala ketidakserasian antara
hukum tertulis dengan hukum kebiasaan, dan seterusnya.

2. Mentalitas Petugas yang menegakkan hukum.

12
Penegak hukum antara lain mencakup hakim, polisi, jaksa, pembela, petugas
pemasyarakatan, dan seterusnya. Apabila peraturan perundang-undangan sudah
baik, akan tetapi jika mental penegak hukum kurang baik, maka akan terjadi pada
sistem penegakkan hukum.

3. Fasilitas yang diharapkan untuk mendukung pelaksanaan hukum.

Kalau peraturan perundang-undangan sudah baik dan juga mentalitas penegaknya


baik, akan tetapi fasilitas kurang memadai, maka penegakkan hukum tidak akan
berjalan dengan semestinya.

4. Kesadaran dan kepatuhan hukum dari para warga masyarakat.

Namun dipihak lain perlu juga disadari bahwa penegakan hukum bukan tujuan
akhir dari proses hukum karena keadilan belum tentu tercapai dengan penegakan
hukum, padahal tujuan akhirnya adalah keadilan. Pernyataan di atas merupakan
isyarat bahwa keadilan yang hidup di masyarakat tidak mungkin seragam. Hal ini
disebabkan keadilan merupakan proses yang bergerak di antara dua kutub citra
keadilan. Naminem Laedere semata bukanlah keadilan, demikian pula Suum
Cuique Tribuere yang berdiri sendiri tidak dapat dikatakan keadilan. Keadilan
bergerak di antara dua kutub tersebut. Pada suatu ketika keadilan lebih dekat pada
satu kutub, dan pada saat yang lain, keadilan lebih condong pada kutub lainnya.
Keadilan yang mendekati kutub Naminem Laedere adalah pada saat manusia
berhadapan dengan bidang-bidang kehidupan yang bersifat netral. Akan tetapi
jika yang dipersoalkan adalah bidang kehidupan spiritual atau sensitif, maka yang
disebut adil berada lebih dekat dengan kutub Suum Cuique Tribuere. Pengertian
tersebut mengisyaratkan bahwa hanya melalui suatu tata hukum yang adil orang
dapat hidup dengan damai menuju suatu kesejahteraan jasmani maupun rohani.9

Penegakan hukum yang acap kali menciderai rasa keadilan, baik keadilan
menurut pandangan yuridis maupun keadilan menurut masyarakat. Hal inilah
salah satu pemicu ketidakpercayaan masyarakat terhadap kinerja aparat penegak

9Ghofur Abdul, Pokok Pokok Penegakan Hukum.Jakarta, Bumi Aksara, 2006, hlm. 55-56.

13
hukum dalam menegakan hukum di tengah masyarakat. Jika kita pandang dari
kacamata sosiologi hukum, kita dapat mengasumsisikan bahwa ada dua faktor
yang paling menonjol yang mempengaruhi aparat penegak hukum dalam
menegakan hukum yaitu faktor internal dan eksternal. Adapun faktor internal
(yang berasal dari penegak hukum itu sendiri) salah satu contoh, adanya
kecenderungan dari aparat penegak hukum dalam menegakan hukum
berpedoman pada undang-undang semata sehingga mengesampingkan nilai-nilai
yang berkembang dalam masyarakat. Selanjutnya faktor eksternal (yang berasal
dari luar penegak hukum itu sendiri) misalnya ketika terjadi peristiwa hukum
adanya kecenderungan masyarakat yang menyelasaikan dengan caranya sendiri.

Realita penegakan hukum yang demikian sudah pasti akan menciderai hati rakyat
kecil yang akan berujung pada ketidakpercayaan masyarakat pada hukum,
khususnya aparat penegak hukum itu sendiri. Sebagaimana sama-sama kita
ketahui para pencari keadilan yang note bene adalah masyarakat kecil sering
dibuat frustasi oleh para penegak hukum yang nyatanya lebih memihak pada
golongan berduit. Sehingga orang sering menggambarkan kalau hukum Indonesia
seperti jaring laba-laba yang hanya mampu menangkap hewan-hewan kecil,
namun tidak mampu menahan hewan besar tetapi hewan besar tersebutlah yang
mungkin menghancurkan seluruh jaring laba-laba.10

Problematika penegakan hukum yang mengandung unsur


ketidakadilan mengakibatkan adanya isu mafia peradilan, keadilan dapat dibeli,
munculnya bahasa-bahasa yang sarkastis dengan plesetan HAKIM (Hubungi Aku
Kalau Ingin Menang), KUHAP diplesetkan sebagai Kurang Uang Hukuman
Penjara, UUD (Ujung-Ujungnya Duit) tidaklah muncul begitu saja. Kesemuanya
ini merupakan “produk sampingan” dari bekerjanya lembaga-lembaga hukum itu
sendiri. Ungkap-ungkapan ini merupakan reaksi dari rasa keadilan masyarakat
yang terkoyak karena bekerja lembaga-lembaga hukum yang tidak profesional
maupun putusan hakim/putusan pengadilan yang semata-mata hanya
berlandaskan pada aspek yuridis. Berlakunya hukum di tengah-tengah

10Asshidiqie Jimly, Op.cit, hlm. 156.

14
masyarakat, mengemban tujuan untuk mewujudkan keadilan, kepastian hukum
dan kemanfaatan dan pemberdayaan sosial bagi masyarakatnya.

1.3 Dampak dalam Penegakan Hukum di Indonesia

Penyelewengan atau inkonsistensi di Indonesia berlangsung lama bertahun-tahun


hingga sekarang, sehingga bagi masyarakat Indonesia ini merupakan rahasia
umum, hukum yang dibuat berbeda dengan hukum yang dijalankan, contoh
paling dekat dengan lingkungan adalah, penilangan pengemudi kendaraan yang
melanggar tata tertib lalu lintas. Mereka yang melanggar tata tertib lalu lintas
tidak jarang ingin berdamai di tempat atau menyelewengkan hukum, kemudian
seharusnya aparat yang menegakkan hukum tersebut dapat menangi secara
hukum yang berlaku di Indonesia, namun tidak jarang penegak hukum tersebut
justru mengambil kesempatan yang tidak terpuji itu untuk menambah pundi-
pundi uangnya.

Oleh karena itu, akibat-akibat yang ditimbulkan dari masalah penyelewengan


hukum tersebut diantaranya, yaitu:

1. Ketidakpercayaan masyarakat pada hukum

Masyarakat berpendapat hukum banyak merugikan mereka, terlebih lagi soal


materi sehingga mereka berusaha untuk menghindarinya. Karena mereka percaya
bahwa uanglah yang berbicara, dan dapat meringankan hukuman mereka, fakta-
fakta yang ada diputar balikan dengan materi yang siap diberikan untuk penegak
hukum. Kasus-kasus korupsi di Indonesia tidak terselesaikan secara tuntas karena
para petinggi Negara yang terlibat di dalamnya mempermainkan hukum dengan
menyuap sana sini agar kasus ini tidak terungkap, akibatnya kepercayaan
masayarakatpun pudar.

2. Penyelesaian konflik dengan kekerasan

Penyelesaian konflik dengan kekerasan contohnya ialah pencuri ayam yang


dipukuli warga, pencuri sandal yang dihakimi warga. Konflik yang terjadi di

15
sekelompok masyarakat di Indonesia banyak yang diselesaikan dengan
kekerasan, seperti kasus tawuran antar pelajar, tawuran antar suku yang
memperebutkan wilayah, atau ada salah satu suku yang tersakiti sehingga dibalas
degan kekerasan. Mereka tidak mengindahkan peraturan-peraturan
kepemerintahan, dengan masalah secara geografis, mereka. Ini membuktikan
masayarakat Indonesia yang tidak tertib hukum, seharusnya masalah seperti
maling sandal atau ayam dapat ditangani oleh pihak yang yang berwajib, bukan
dihakimi secara seenakanya, bahkan dapat menghilangkan nyawa seseorang.

3. Pemanfaatan Inkonsistensi Penegakan Hukum untuk Kepentingan Pribadi

Dari beberapa kasus di Indonesia, banyak warga Negara Indonesia yang


memanfaatkan inkonsistensi penegakan hukum untuk kepentingan pribadi.
Contohnya ialah pengacara yang menyuap polisi ataupun hakim untuk
meringankan terdakwa, sedangkan polisi dan hakim yang seharusnya bisa
menjadi penengah bagi kedua belah pihak yang sedang terlibat kasus hukum bisa
jadi lebih condong pada banayknya materi yang diberikan oleh salah satu pihak
yang sedang terlibat dalam kasus hukum tersebut.

4. Penggunaan Tekanan Asing dalam Proses Peradilan

Dalam hal ini kita dapat mengambil contoh pengrusakan lingkungan yang
diakibatkan oleh suatu perusahaan asing yang membuka usahanya di Indonesia,
mereka akan minta bantuan dari negaranya untuk melakukan upaya pendekatan
kepada Indonesia, agar mereka tidak mendapatkan hukuman yang berat, atau
dicabut izin memproduksinya di Indonesia.11

11Supriadi, Problematika Penegakan Hukum, Bandung, Alumni,2008, hlm. 312.

16
1.4 Kesimpulan Bab I

Masalah utama penegakan hukum di negara-negara berkembang khususnya


Indonesia bukanlah pada sistem hukum itu sendiri, melainkan pada kualitas
manusia yang menjalankan hukum (penegak hukum). Dengan demikian peranan
manusia yang menjalankan hukum itu (penegak hukum) menempati posisi
strategis. Masalah transparansi penegak hukum berkaitan erat dengan
akuntabilitas kinerja lembaga penegak hukum. Undang-undang No. 28 tahun
1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi
dan nepotisme, telah menetapkan beberapa asas. Asas-asas tersebut mempunyai
tujuan, yaitu sebagai pedoman bagi para penyelenggara negara untuk dapat
mewujudkan penyelenggara yang mampu menjalankan fungsi dan tugasnya
secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab

Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang


hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu, sesuai dengan aspirasi
masyarakat. Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapatkan pengertian dari
golongan sasaran (masyarakat), di samping mampu membawakan atau
menjalankan peranan yang dapat diterima oleh mereka. Selain itu, maka golongan
panutan harus dapat memanfaatkan unsur-unsur pola tradisional tertentu,
sehingga menggairahkan partispasi dari golongan sasaran atau masyarakat luas.
Golongan panutan juga harus dapat memilih waktu dan lingkungan yang tepat di
dalam memperkenalkan norma-norma atau kaidah-kaidah hukum yang baru serta
memberikan keteladanan yang baik.

17
BAB II

KEPOLISAN

2.1 Polisi Sebagai Lembaga Penegak Hukum

Indonesia adalah Negara hukum, dimana hukum yang dijabarkan oleh pemerintah
melalui pembentukan aturan perundang – undangan memiliki peran yang sangat
penting didalam mengatur, mengarahkan kehidupan masyarakatnya agar
menciptakan tatanan kehidupan yang teratur, adil, sejahtera dan damai. Salah satu
upaya vital yang dilakukan pemerintah dalam mewujudkan kehidupan bernegara
serta bermasyarakat yang teratur, adil, damai dan sejahtera adalah dengan cara
menegakkan berlakunya aturan hukum materiil dalam masyarakat Negara dengan
menggunakan aparat – aparat hukumnya.

Menurut Soerjono Soekanto, inti dan arti dari pada penegakan hukum terletak
pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai – nilai yang terjabarkan didalam
kaidah – kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai
rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan
mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Penegakan hukum mengandung
pilihan dan kemungkinan ketika dihadapkan dengan suatu kenyataan yang
kompleks dalam penerapannya.

Faktor ekonomi, politik, social, dan budaya mempunyai pengaruh yang besar
terhadap efektivitas dan efisiensi penegakan hukum, mulai dari pembuat aturan
perundang – undangannya, aturan perundang – undangnya sendiri, aparat
penegak hukumnya dan masyarakat.
Aparat penegak hukum memiliki peran yang penting sebagai jembatan
pelaksanaan suatu aturan (Sollen) agar dapat diimplementasikan dalam kehidupan
sosial, dimana dalam kenyataannya (Sein), dapat dikaji sejauh manakah
pelaksanaan itu dapat diterapkan. Didalam proses pelaksanaan mekanisme
hukum, timbul dua variable penting, yaitu hak dan kewajiban. Dimana

18
pelaksanaan hukum pada masyarakat berlaku secara umum kepada setiap warga
Negara, dengan adil, proporsional dan tidak diskriminatif.

Pada buku ini penulis ingin meneliti mengenai peran dan tugas polisi sebagai
pelayan masyarakat (Publick service) dalam menegakkan hukum (Law
enforcement) dan menciptakan kedamaian (Peace Maintenance), dengan
penilaian terhadap penerapan asas persamaan kedudukan hukum tiap
warganegara dimuka hukum (Equality before the law) menurut Undang – undang
mengenai kepolisian ( UU No. 2 tahun 2002) dari segi sosiologis.

Kepolisian Negara Republik Indonesia atau yang sering disingkat dengan Polri
dalam kaitannya dengan Pemerintahan adalah salah satu fungsi pemerintahan
negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan
hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, yang
bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi
terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum,
terselenggranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat,
serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak azasi
manusia.

Dalam kaitannya dengan kehidupan bernegara Polri merupakan alat negara yang
berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakan
hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat dalam rangka terpeligharanya keamanan dalam negeri. agar dalam
melaksanakan fungsi dan perannya diseluruh wilayah negera Republik Indonesia
atau yang dianggap sebagai wilayah negara republik Indonesia tersebut dapat
berjalan dengan efektif dan effisien, maka wilayah negara Republik Indonesia
dibagi dalam daerah hukum menurut kepentingan pelaksanaan tugas Kepolisian
Negra Republik Indonesia, sebagaimana yang ditentukan dalam Peaturan
Pemerintah wilayah kepolisian dibagi secara berjenjang mulai tingkat pusat yang
biasa disebut dengan Markas Besar Polri yang wilayah kerjanya meliputi seluruh
wilayah negara Republik Indonesia yang dipimpin oleh seorang Kapolri yang

19
bertanggung jawab kepada Presiden, kemudian wilayah di tingkat Provinsi
disebut dengan Kepolisian Daerah yang lazim disebut dengan Polda yang
dipimpin oleh seorang Kapolda yang bertanggung jawab kepada Kapolri, di
tingkat Kabupaten disebut dengan Kepolisian Resot atau disebut juga Polres yang
dipimpin oleh seorang Kapolres yang bertanggungjawab kepada Kapolda, dan di
tingkat Kecamatan ada Kepolisian Sektor yang biasa disebut dengan Polsek
dengan pimpinan seorang Kapolsek yang bertanggungjawab kepada Kapolres,
dan di tingkat Desa atau Kelurahan ada Pos Polisi yang dipimpin oleh seorang
Brigadir Polisi atau sesuai kebutuhan menurut situasi dan kondisi daerahnya.

2.2 Susunan Organisasi dan Tata Kerja

Susunan organisasi dan tata kerja Polri disesuaikan dengan kepentingan


pelaksanaan tugas dan wewenang yang di atur lebih lanjut dengan Keputusan
Presiden Nomor Tahun tentang, dalam organisasi Negara dan Pemerintahan
Polri yang dipimpin oleh Kapolri merupakan Lembaga Negara non Departemen
yang berkedudukan langsung di bawah Presiden, yang dlam pelaksanaan
tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, antara lain UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia. dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab
fungsi kepolisian Kapolri menetapkan, menyelenggarakan, dan mengendalikan
kebijakan teknis kepolisian, antara lain menentukan dan menetapkan:

1. penyelengaraan kegiatan operasional kepolisian dalam rangka


pelaksanaan tugas kepolisian negara Republik Indonesia; dan
2. penyelenggaraan pembinaan kemampuan Kepolisian Negera Republik
Indonesia.

Pelaksanaan kegiatan operasional dan pembinaan kemampuan


kepolisian dilaksanakan oleh seluruh fungsi kepolisian secara berjenjeng mulai
dari tingkat pusat sampai tingkat daerah yang trendah yaitu Pos Polisi, dan
tanggungjawab atas pelaksanaan tugas dan wewenang kepolisian secara hierarkhi
dari tingkat paling bawah ke tingkat pusat yaitu Kapolri, selanjutnya Kapolri

20
mempertangungjawabkannya kepada Presiden Republik Indonesia. Hal ini
mengingat karena Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan
persetujuan DPR-RI

2.3 Tugas dan Wewenang

Tugas pokok Kepolisin Negara Republik Indonesia adalah:

1. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;


2. menegakan hukum, dan
3. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat.
Dalam melaksanakan tugas pokok tersebut Polri melakukan:
1. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap
kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;
2. menyelenggaran segala kegiatan dalam menjamin keamanan ketertiban
dan kelancaran lalu lintas di jalan;
3. membina masyarakat untuk meningkatkan parsipasi masyarakat,
kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap
hukum dan peraturan perundang-undangan;
4. turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
5. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
6. melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap
kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentukbentuk
pengamanan swakarsa;
7. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana
sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan
lainnya;
8. menyelenggarakan indentifiksi kepolisian, kedokteran kepolisian,
laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingn tugas
kepolisian;

21
9. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan
lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk
memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia;
10. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum
ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;
11. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingan
dalam lingkungan tugas kepolisian; serta
12. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan,
yang dalam pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.

Agar dalam pelaksanaan tugas-tugas kepolisian sebagaimana tersebut di atas


dapat berjalan dengan baik, pelaksanaan tugasnya itu dapat dipatuhi, ditaati, dan
dihormati oleh masyarakat dipatuhi dalam rangka penegakan hukum, maka oleh
Undang-undang Polri diberi kewenangan secara umum yang cukup besar antara
lain;

1. menerima laporan dan/atau pengaduan;


2. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat
menggangu ketertiban umum;
3. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyekit msyarakat;
4. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam
persatuan dan kesatuan bangsa;
5. mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan
administratif kepolisian;
6. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan
kepolisian dalam rangka pencegahan;
7. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
8. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;
9. mencari keterangan dan barang bukti;
10. menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;

22
11. mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam
rangka pelayanan masyarakat;
12. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan
pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan msyarakat;
13. menerima dan menyimpa barang temuan untuk sementara waktu.

Selain kewenangan umum yang diberikan oleh Undang-Undang sebagaimana


terebut di atas, maka diberbagai Undang-Undang yang telah mengatur kehidupn
masyarakat, bangsa dan negara ini dalam Undng-Undang itu juga telah
memberikan Kewennagan kepada Polri untuk melaksanakan tugas sesuai dengan
perundangan yang mengaturnya tersebut antara lain;

1. memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan


masyarakat lainnya;
2. menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor;
3. memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor;
4. menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;
5. memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan
usaha di bidang jasa pengamanan;
6. memberikan izin dan malakukan pengawasan senjata api, bahan peledak,
dan senjata tajam;
7. memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus
dan petugas pengaman swakarsa dalam bidang teknis kepolisian;
8. melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan
memberantas kejahatan internasional;
9. melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang
berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait;
10. mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian
internasional;
11. melaksanakan kewenangan laian yang termasuk dalam lingkup tugas
kepolisian.

23
Dalam bidang penegakan hukum publik khususnya yang berkaitan dengan
penanganan tindak pidanan sebagaimana yang di atur dalam KUHAP, Polri
sebagai penyidik utama yang menangani setiap kejahatan secara umum dalam
rangka menciptakan keamanan dalam negeri, maka dalam proses penannganan
perkara pidana Pasal 16 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, telah
menetapkan kewenangan sebagai berikut:

1. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;


2. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian
perkara untuk kepentingan penyidikan;
3. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka
penyidikan;
4. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri;
5. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
6. memanggil orang untuk didengan dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
7. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
8. mengadakan penghentian penyidikan;
9. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
10. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang
berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau
mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yng disangka
melakukan tindak pidana;
11. memnberikan petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai
neri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil
untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan

24
12. mengadakan tindakan lain menurut hukum yng bertanggung jawab, yaitu
tindakan penyelidik dan penyidik yang dilaksankan dengan syarat sebagai
berikut;
 tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
 selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut
dilakukan;
 harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;
 pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa, dan
 menghormati hak azasi manusia

Peran Polisi sebagai penegak hukum berdasarkan atas asas persamaan kedudukan
hukum masyarakat (Equality before the law). Aparat kepolisian sebagai penegak
hukum sudah seharusnya dapat menjaadi panutan masyarakat, mampu menjadi
pengendali dan sahabat masyarakat, memiliki kualitas komunikasi yang baik.
Namun demikian polisi juga merupakan manusia biasa, yang tidak luput dari
kesalahan atau kekurangannya sebagai manusia yang memiliki nafsu atau emosi.
Undang – undang sudah mengatur secara tegas bagaimanakah tugas aparat
kepolisian dalam menegakkan hukum terhadap masyarakatnya, termasuk
kedudukannya sebagai pelayan masyarakat tanpa membeda bedakan kedudukan
social, politik, ekonomi, ras, agama dan budayanya. Namun demikaian terdapat
beberapa halangan didalam penegakan hukum yang dilakukan oleh polisi.12

Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain


dengan siapa dia berinteraksi.

1. Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi.


2. Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga
sulit sekali untuk membuat proyeksi.
3. Belum ada kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan
tertentu, terutama kebutuhan materiil.

12Soekanto Soerjono, Op.cit, hlm. 34.

25
4. kurangnya daya innovatif yang sebenarnya merupakan pasangan
konservatisme.

Dalam penerapan hukum dilapangan, secara sosiologis, polisi sebagai manusia


biasa kadang melukan tindakan – tindakan yang keluar dari jalur hukum, seperti
dikatakan oleh T.Parson dalam sibernetics law dipengaruhi oleh faktor politik
dan utamanya ekonomi.
Didalam undang – undang kepolisian yang baru, polisi dituntut selain sebagai
penegak hukum juga harus dapat membina hubungan yang baik dengan
masyarakat dalam kedidikannya sebagai public secvice.

Didalam konstitusi Indonesia secara mendasar, prinsip persamaan kedudukan


hukum warganegara tertulis pada pasal 27 ayat 1 Undang – undang dasar 1945 ,
dimana dikatakan “ segala warga Negara bersamaan kedudukannya didalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya”. Selanjutnya terhadap ketentuan tersebut secara
hierarkis dijabarkan pada tataran peraturan pelaksanaan. Salah satu peraturan
yang berkaitan dengan penegakan hukum adalah Undang – undang No.2 tahun
2002 tentang kepolisian RI. Didalam pasal 2 UU No. 2 tahun 2002 tersebut
dikatakan bahwa fungsi polisi merupakan salah satu fungsi pemerintahan Negara
dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat. Yang selanjutnya pada pasal 4
dikatakan bahwa tujuan dari kepolisian Negara RI adalah untuk mewujudkan
keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban
masyarakat tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan,
pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinannya ketentraman
masyarakat dengan menjunjung tinggi hal asasi manusia.Pasal 5 ayat 1 Undang –
undang kepolisisan menerangkan mengenai peran polisi dalam memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka
terpeliharanya keamanan dalam negeri. Mengenai tugas pokok polisi diterangkan
didalam pasal 13, yaitu :

26
a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.
b. Menegakkan hukum; dan
c. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada
masyarakat.

Terhadap tugas pokok polisi menurut pasal 13 tersebut dijabarkan didalam pasal
14, 15 dan 16 Undang – undang tersebut. Dalah satu pasal yang membatasi
wewenang polisi untuk bertindak sewenang – wenang adalah pasal 19 UU
kepolisian, dimana dikatakan didalam melaksanakan tugas dan wwenangnya,
pejabat kepolisisan NKRI senantiasa bertindak berdasarkan norma hukm dan
mengindahkan norma agama, kesusilaan serta menjunjung tinggi hak asasi
manusia.

Didalam melaksanakan tugasnya polisi terikat oleh sumpah profesinya, dan


dalam hubungannya dengan penegakan hukum dimasyarakat terdapat kalimat
sebagai berikut “…….bahwa saya, akan senantiasa menjunjung tinggi
kehormatan Negara, pemerintah dan martabat anggota kepolisian NKRI, serta
akan senantiasa mengutamakan kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara
daripada kepentingan saya sendiri, seorang atau golongan….”

Jadi secara umum hak asasi manusia memiliki keterlibatan yang penting sekali
dalam penegakan hukum yang dilakukan aparat polisi. Mengenai hak asasi
manusia di negara kita telah diatur tersendiri melalui Undang – Undang No.39
tahun 2004, dimana didalam pasal 1 butir 1 dikatakan, “hak asasi manusia adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakekat keberadaan manusia sebagai mahluk
Tuhan YME dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati dijunjung tinggi
dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.

Terkait dengan pelaksanaan penegakan hukum oleh polisi, peran hak asasi
manusia sangat penting, termasuk didalamnya mengenai masalah diskriminasi
hukum, seperti yang dijelaskan dalam ayat pasal 1 ayat 3 Undang – undang
tersebut “ diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan atau pengucilan yang

27
langsung ataupun tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar
agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan status sosial, status ekonomi, jenis
kelamin, bahasa, keyakinan, politik yang berakibat pengurangan,
penyimpanganatau penghapusan, pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak
asasi manusia, dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun
kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, social, budaya atau aspek
kehidupan lainnya”. Jadi dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa atas dasar hukum
yang seharusnya (Sollen) penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak
hukum, dalam hal ini secara khusus polisi dilakukan secara umum kepada setiap
warga Negara tanpa adanya diskriminasi atas agama, suku, ras, etnik, kelompok,
golongan status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan, politik,
semua memiliki kedudukan yang sama menurut hukum, memperoleh hak dan
kewajiban yang adil, seimbang dan proporsional secara hukum.

Namun demikian pada kenyataannya apabila kita melihat langsung fenomena –


fenomena penegakan hukum yang dilakukan oleh polisi dilapangan, terutama
didalam penanganan suatu pelanggaran ataupun penyelesaian masalah kriminal,
sudah menjadi hal yang terbiasa kita lihat sebagai masyarakat awam bahwa
penegakan hukum dilapangan sangat erat kaitannya dengan masalah – masalah
ekonomi dan politik. Terjadi klasifikasi status masyarakat didalam penyelesaian
hukum, baik diskriminasi sosial, politik maupun ekonomi. Didalam penegakan
hukum yang dilakukan oleh polisi, asas Equality before the law sudah secara
terang – terangan dilanggar. Kedudukan sosial, politik maupun ekonomi
seseorang amat memperngaruhi proses penyelesaian hukum yang dilakukan oleh
aparat. Penyelesaian hukum tak ubahnya sebagai transaksi ekonomi maupun
politik dinegara ini. Bagaimana kedudukan seseorang, punya pengaruh apa, dan
berapa kekuatan ekonominya mempengaruhi penegakan hukum dinegara kita,
bahkan hukum dapat dibeli dan dikendalikan. Jadi terhadap kenyataan yang
terjadi dimasyarakat secara konkrit, persamaan kedudukan hukum warga Negara
disimpangi, didiskriminasi. Dan ironisnya hal tersebut sudah menjadi virus
mematikan didalam sistem penegakan hukum Negara kita. Rakyat seperti

28
disuguhi oleh suatu sandiwara hukum dan politik yang menggelikan, masyarakat
tak ubahnya dianggap penonton yang bodoh, subyek hukum yang dikekang hak
asasinya.

Polisi yang seharusnya menjadi pengayom dan pelayan masyarakat malah


menjadi hal yang menakutkan bagi masyarakat, menjadi budak – budak ekonomi
seringkali merusak martabatnya yang mulia. Walau memang tidak seluruhnya
demikian, mungkin dapat dikatakan “oknum”, namun demikian seiring dengan
kemajuan jaman, rakyat semakin cerdas, semakin kritis menilai mana yang baik,
mana yang buruk, mana yang pantas dan tidak pantas. Kemudahan memperoleh
informasi pada masyaraka juga mendukung terciptanya citra yang kurang baik
baik penegakan hukum dinegara kita, dalam hal ini secara khusus aparat
kepolisian.

Tugas pokok kepolisian merupakan tugas tugas yang harus dikerjakan atau
dijalankan oleh lembaga kepolisian, dengan demikian tugas lembaga yang
dijalankan oleh anggota kepolisian dapat dimaknai sebagai bentuk atau jenis dari
pekerjaan khusus. Jenis pekerjaan tersebut menjadi tugas dan wewenang
kepolisian yang harus dijalankan dengan pengetahuan (intelektual), keahlian atau
kemahiran yang diperoleh melalui pendidikan atau training, dijalankan secara
bertanggung jawab dengan keahliannya, dan berlandaskan moral dan etika.
Organisasi Kepolisian, sebagaimana organisasi pada umumnya, memiliki “ Etika”
yang menunjukkan perlunya bertingkah laku sesuai dengan peraturan-peraturan
dan harapan yang memerlukan “ kedisiplinan” dalam melaksanakan tugasnya
sesuai misi yang diembanya selalu mempunyai aturan intern dalam rangka
meningkatkan kinerja, profesionalisme, budaya organisasi serta untuk menjamin
terpeliharanya tata tertib dan pelaksanaan tugas sesuai tujuan, peranan, fungsi,
wewenang dan tanggung jawab dimana mereka bertugas dan semua itu demi
untuk masyarkat. Persoalan-persoalan etika adalah persoalan-persoalan
kehidupan manusia. Tidak bertingkah laku semata-mata menurut naluri atau
dorongan hati, tetapi bertujuan dan bercita –cita dalam satu komunitas. Apakah
yang dimaksud dengan Etika ? Etika berasal dari bahasa latin disebut ethos atau

29
ethikos. Kata ini merupakan bentuk tunggal, sedangkan dalam bentuk jamak
adalah ta etha istilah ini juga kadang kadang disebut juga dengan mores, mos
yang juga berarti adat istiadat atau kebiasaan yang baik sehingga dari istilah ini
lahir penyebutan moralitas atau moral . Menurut W.J.S Poerwadarminta
pengertian Etika adalah ilmu pengetahuan tentang asas asas akhlak (moral). Etika
menurut I Gede A.B.Wiranata,SH.,M.H merupakan filsafat moral, yaitu
pemikiran yang dilandasi oleh rasional, kritis, mendasar, sistematis, dan
normative. Dalam konteks profesionalisme, etika memberikan jawaban dan
sekaligus pertanggungjawaban tentang ajaran moral, yaitu bagaimana seseorang
yang berprofesi harus bersikap, berprilaku dan bertanggung jawab
perbuatannya.13

Etika Kepolisian menurut Kunarto adalah serangkaian aturan dan peraturan yang
ditetapkan untuk membimbing petugas dalam menentukan, apakah tingkah laku
pribadi benar atau tidak. Rangkuman Etika Polri yang dimaksud telah dituangkan
dalam UU Nomor 2 tahun 2002 pasal 34 dan pasal 35. Pasal –pasal tersebut
mengamanatkan agar setiap anggota Polri dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya harus dapat mencerminkan kepribadian bhayangkara Negara
seutuhnya. Mengabdikan dirinya sebagai alat Negara penegak hukum, yang
tugas dan wewenangnya bersangkut paut dengan hak dan kewajiban warga
Negara secara langsung, diperlukan kesadaran dan kecakapan teknis yang tinggi,
oleh karena itu setiap anggota Polri harus menghayati dan menjiwai etika profesi
kepolisian dalam sikap dan perilakunya. Dalam tulisan ini Penulis merumuskan
permasalahan “ Bagaimana Etika Kepolisian dalam profesi kepolisian di bidang
penegakan hukum ?

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau


berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam
lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan

13Wiranata, I Gede, Dasar-Dasar Etika dan Moralitas Profesi (Pengantar Kajian Etika Profesi
Hukum), Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 2005, hlm. 22.

30
oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum
oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas,
proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap
hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan
sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma
aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan
hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya
diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan
memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam
memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu
diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.

Polisi sebagai garda terdepan dalam penegakan hukum memiliki tanggung jawab
yang cukup besar untuk mensinergikan tugas dan wewenangnya. Polri
Sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 13 undang – undang No. 2 tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu bahwa Polri memilik
tugas :

a. Memelihara Keamanan dan ketertiban masyarakat


b. Menegakan hukum
c. Memberikan Perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada
masyarakat

Dalam melaksanakan tugas dan wewenang tersebut Polisi harus senantiasa


melihat kepentingan masyarakat. Hal yang merupakan salah satu tugas Polisi
yang sering mendapat sorotan masyarakat adalah penegakan hukum. Pada
prakteknya penegakan hukum yang dilakukan oleh polisi senantiasa mengandung
2 pilihan. Pilihan pertama adalah penegakan hukum sebagaimana yang
disyaratkan oleh undang-undang pada umumnya, dimana ada upaya paksa yang
dilakukan polisi untuk menegakkan hukum sesuai dengan hukum acara yang
diatur dalam undang undang No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP. Sedangkan
pilihan kedua adalah tindakan yang lebih mengedepankan keyakinan yang

31
ditekankan pada moral pribadi dan kewajiban hukum untuk memberikan
perlindungan kepada anggota masyarakat.

Paradigma kepolisian sipil berkaitan erat dengan paradigma penegakan hukum.


Paradigma penegakan hukum masa lalu diwarnai oleh paradigma yang represif
yang ditandai dengan penggunaan kekuatan maksimal, satuan resere yang galak
yang menerapkan investigasi reaktif dengan segala cara demi pembuktian.
Paradigma baru Polri adalah kedekatan Polisi dan masyarakat dalam
mengeliminir akar akar kejahatan dan ketidaktertiban, menampilkan gaya
perpolisian yang lebih responsive- persuasif. Polisi abdi rakyat bukan abdi
penguasa yang oleh satjipto rahardjo disebut sebagai Polisi yang Protagonist.
Polisi sipil memiliki 3 kriteria yaitu cepat tanggap, keterbukaan dan akuntabilitas.
Kriteria tersebut menuntut sikap dan perilaku yang berlandasakan nilai nilai inti
tertentu yang didalam code of conduct for law enforcement officials PBB
dirumuskan sebagai integritas pribadi (integrity), kewajaran/adil (fairness), rasa
hormat (respect), kejujuran (honesty), keberanian/ keteguhan hati (courage) dan
welas asih (compassion). Nilai – nilai inti penegak hukum tersebut perlu
diharmonisasikan dengan nilai nilai yang terkandung di dalam Tribrata dan catur
Prasetya kemudian di implementasikan pada sikap dan perilaku anggota Polri
yang berwatak sipil melalui jabaran kode Etik Profesi. Guna mewujudkan
internalisasi nilai maka perlu dilakukan berbagai reformasi kelembagaan Polri
(aspec structural), reformasi sumber daya Polri (aspec instrumental) dan
reformasi sistem kepolisian (aspec cultural).

Di bidang operasional kepolisian sipil melakukan pengayoman dan perlindungan


kepada warga sehingga kegiatan warga di bidang ekonomi, social, politik, budaya
dan sebagainya dapat terselenggara dan tidak memperoleh hambatan
ketidaktertiban dan ketidakamanan. Karena itu kepolisian sipil
senantiasa berikhtiar melakukan upaya upaya pencegahan dan penangkalan baik
secara sendiri maupun dengan melibatkan masyarakat. Perpolisian Komunitas
(community policing) dijadikan program dasar dan meluas bagi warga kelurahan
dan desa desa. Binamitra dan inteligen melakukan rekayasa ( engineering )

32
terhadap potensi warga di dalam mencegah kejahatan dan ketidaktertiban. Patroli
sabhara dan lantas berfungsi sebagai simbol kehadiran aparat penegak hukum di
tengah-tengah masyarakat yang melakukan penjagaan, pengaturan pengawalan
dan atau patroli. Petugas-petugas ini hendaknya menampilkan kesabaran, kearifan
dan kepiawaian komunikasi sosial yang baik karena mereka berhadapan dengan
warga masyarakat yang pada umumnya orang baik-baik. Perlakuan yang arif
terhadap warga seperti itu akan lebih menimbulkan rasa hormat dan rasa ikut
bertanggung jawab di kemudian hari.

Polri adalah sebagai aparatur Negara dan birokrasi pemerintahan. Fungsi polisi
secara universal adalah membasmi kejahatan (fighting crime), memelihara
ketertiban (maintaining law and order) dan melindungi warga dari bahaya
(protecting people). Karenanya Polisi lazim dirumuskan sebagai badan
penegakan hukum (law enforcement agency) sebagai pemelihara ketertiban
(order maintenance) sebagai juru damai (peace keeping official) dan pelayanan
public (public servant). Meskipun berperan sebagai penegak hukum, namun visi
dan tujuan badan Kepolisian di Negara yang totaliter jelas jelas mengabdi kepada
penguasa. Polisi digunakan sebagai alat politik untuk melanggengkan kekuasaan
sehingga tampilan polisi menjadi antagonitis. Polisi oleh hukum diberikan
wewenang penggunan kekerasan jika terpaksa dengan tujuan untuk penyelamatan
dan penertiban masyarakat. Wewenang ini hanya dioperasionalkan secara
terbatas (bukan penggunaan kekerasan kekerasan total seperti yang dimiliki oleh
TNI/militer) karena itu Etika profesi kepolisian diharapkan dapat menghindarkan
petugas polisi dari tindakan yang emosi , semangat kesukuan, keagamaan dan
atau semangat sectarian lainya.

Dalam konteks masyarakat demokrasi, penegakan hukum hendaknya dipandang


sebagai perlindungan atau pemulihan hak warga yang terlanggar karena fungsi
hukum pada hakekatnya adalah melindungi hak. Penegakan hukum bukan
sekedar drama kekerasan lawan kekerasan atau pembalasan dendam namum lebih
merupakan sarana pemulihan keseimbangan yang terganggu. Kepolisian
mengemban 2 sosok yang berbeda bahkan sering bertolak belakang yakni sosok

33
keras (stronghand of law and society) dan sosok lembut (softhand of law and
society). Sosok ini harus ditampilkan dalam suatu ritme sesuai kondisi persoalan
yang dihadapi, ketika menghadapi warga yang sabar, patuh dan bisa diajak
komunikasi maka sosok lembut yang ditampilkan. Namun ketika berhadapan
dengan warga yang membangkang, bersikap bermusuhan bahkan menyerang
maka sosok keras terpaksa ditampilkan. Dalam menghadapi
pembangkangan/serangan polisi diberi dispensasi tentang penggunaan cara
paksaan, kekerasan dan bahkan penggunaan senjata api tetapi dalam batas batas
yang diperbolehkan hukum. Dengan paradigma penegakan hukum yang lebih
responsive-persuasif maka kekuatan fisik yang digunakan harus terukur dan
seimbang dengan perlawanan.

2.4 Peran Polisi dalam proses penyidikan

Pengambilan keputusan dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik


menunjukkan karakteristik yang menonjol dari penyidik. Satjipto rahardjo
mengatakan bahwa dalam pertukaran (interchange-interaction)
dengan masyarakat atau lingkungannya ternyata polisi memperlihatkan suatu
karakteristik yang menonjol dibandingkan dengan yang lain ( hakim, jaksa dan
advokat ). Polisi adalah hukum yang hidup atau ujung tombak dalam penegakan
hukum pidana. Dalam melakukan penangkapan dan penahanan misalnya polisi
menghadapi atau mempunyai permasalahan sendiri. Pada saat memutuskan
untuk melakukan penangkapan dan penahanan polisi sudah menjalankan
pekerjaan yang multifungsi yaitu tidak hanya sebagai polisi tetapi sebagai jaksa
dan hakim sekaligus. Penyidikan tersebut sangat rawan dan potensial untuk
terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) atau penyimpangan polisi
(police) baik dalam bentuk police corruption maupun police brutality. Berbagai
hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar laporan atau pemberitaan
menyangkut pencitraan Polri yang tidak baik adalah berkaitan dengan persoalan
sikap dan perilaku petugas Polri di bidang penyidikan.

34
Berkaitan dengan menyediakan aparatur penegak hukum guna menunjang
penegakan hukum yang berkeadilan, B. M. Taverne, seorang pakar hukum negeri
Belanda, yang terkenal dengan kata-katanya yang berbunyi, “geef me goede
rechter, goede rechter commissarissen, goede officieren van justitieen, goede
politie ambtenaren, en ik zal met een slecht wetboek van strafprosesrecht het
goede beruken” artinya “berikan aku hakim, jaksa, polisi dan advokat yang baik,
maka aku akan berantas kejahatan meskipun tanpa secarik undang-undang pun”.
Dengan perkataan lain, “berikan padaku hakim dan jaksa yang baik, maka dengan
hukum yang buruk sekalipun saya bisa mendatangkan keadilan. Artinya,
bagaimana pun lengkapnya suatu rumusan undang-undang, tanpa didukung oleh
aparatur penegak hukum yang baik, memiliki moralitas dan integritas yang tinggi,
maka hasilnya akan buruk.

Sistem peradilan pidana atau criminal justice system merupakan salah satu
kegiatan yang dilaksanakan oleh sub sistem-sistem Peradilan sebagai lembaga
penegakan hukum didalam melaksanakan tugas,fungsi dan perannya dalam
penegakkan hukum (law enforcement) yang dapat menjamin rasa keadilan
masyarakat,melindungi kepentingan negara,sehingga tercipta kepastian hukum
dan menghargai hak asasi manusia.Terkait dengan sistem peradilan pidana
diIndonesia,penegakan hukum atau law enforcement yang dilaksanakan oleh alat
negara penegak hukum dapat diklasifikasikan menjadi empat tahapan,yakni
penyidikan,penuntutan,peradilan dan pelaksanaan putusan. Penyidikan sebagai
tahapan pertama dimulai dari diadakannya penyelidikan, penindakan,
pemeriksaan, sampai dengan penyerahan berkas perkara dan barang bukti.

Sesuai dengan Pasal 1 ayat 2 KUHAP dikatakan bahwa penyidikan adalah


serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti
itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.Penyidik dalam hal ini adalah pejabat polisi negara Republik
Indonesia atau pejabat pegawai negri sipil yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang untuk melakukan penyidikan.(Pasal 1 ayat 1 KUHAP)

35
Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia tertentu yang diberi
wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan.
Penyidikan adalah tindakan penyidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti,
untuk membuat keterangan tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangka. Sebagaimana telah disebutkan dalam pasal 1 butir (1) dan pasal 6 ayat
(1) KUHAP bahwa yang dapat dikatakan sebagai penyidik yaitu pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang.
Seseorang yang ditunjuk sebagai penyidik haruslah memenuhi persyaratan-
persyaratan yang mendukung tugas tersebut, seperti misalnya : mempunyai
pengetahuan, keahlian disamping syarat kepangkatan. Namun demikian KUHAP
tidak mengatur masalah tersebut secara khusus. Menurut pasal 6 ayat (2) KUHP,
syarat kepangkatan pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang berwenang
menyidik akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Kemudian dalam penjelasan disebutkan kepangkatan yang ditentukan dengan


Peraturan Pemerintah itu diselaraskan dengan kepangkatan penuntut umum dan
hakim pengadilan umum. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun
1983 ( PP No. 27 / 1983 ) tentang Pelaksanaan KUHAP ditetapkan kepangkatan
penyidik Polri serendah rendahnya Pembantu Letnan Dua. Selaku penyidik Polri
yang diangkat Kepala Kepolisian negara Republik Indonesia yang dapat
melimpahkan wewenangnya pada pejabat polisi yang lain.

Tugas Polri sebagai penyidik dapat dikatakan menjangkau seluruh dunia .


Kekuasaan dan wewenangnya luar biasa penting dan sangat sulit Di Indonesia,
polisi memegang peranan utama penyidikan hukum pidana umum, yaitu
pelanggaran pasal-pasal KUHP.

Adapun mekanisme proses penyidikan tindak pidana, yaitu penerimaan


laporan/pengaduan, Pemanggilan, penagkapan, penahanan, penggeledahan,
penyitaan dan penanganan tempat kejadian perkara.

1. Laporan/Pengaduan

36
Pengaduan merupakan pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang
berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum
seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya.
Sedangkan laporan merupakan pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang
karena hak dan kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang
berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa
pidana. Maka penyidik yang emngetahui, menerima laporan/pengaduan tentang
terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib
segera melakukan tindakan penyelidikan/penyidikan yang diperlukan, (Ketentuan
hukum Pasal 1 angka 25, Pasal 1 angka 24, Pasal 102 ayat (1), Pasal 106
KUHAP).

2. Pemanggilan

Pemanggilan merupakan pemberitahuan dengan surat panggilan yang sah sesuai


bentuk dan format yang sudah ditentukan sebagai bukti untuk dipergunakan
dalam kelengkapan berkas pemeriksaan perkara pelanggaran disiplin. Penyidik
yag melakukan pemeriksaan berhak memanggil tersangk /saksi yang dianggap
perlu dengan:

a) Surat panggilan yang sah


b) Menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas
c) Memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya
pemanggilan dengan hari seseorang itu harus memenuhi panggilan
tersebut.

Orang yang dipanggil wajib datang, apabila tidak datang penyidik memenggil
sekali lagi dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya dan jika
yang dipanggil memberi alasan yang patut dan wajar, bahwa tidak dapat datang,
penyidik itu datang ketempatkediaman pihak yang diperiksa.Pertimbangan,
bahwa seseorang mempunyai peranan sebagai tersangka/saksi dalam suatu tindak
pidana yang telah terjadi dimana peranannya dapat diketahui dari laporan
kejadian, pengembangan hasil pemeriksaan yang dituangkan dalam BAP, laporan

37
hasil peyidikan, (ketentuan hukum Pasal 7 ayat (1) huruf g, Pasal 11, Pasal 2,
pasal 112 ayat (1), Pasal 113, Pasal 116 ayat (3) dan (4), Pasal 119 KUHAP).

3. Penangkapan

Penangkapan merupakan suatu tindakan penyidik berupa tangkap sementara


waktu kebebasan tersangka/terdakwa apabila cukup bukti guna kepentingan
penyidikan/tuntutan/peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
Undang-Udang. Pertimbangan:

 Bahwa seseorang yang diduga keras mempunyai peranan sebagai pelaku


tindak pidana yang terjadi atas dasar adanya bukti permulaan yang cukup,
perlu segera didengan ketengangannya dan diperiksa.
 Adanya permintaan dari penyidik/penyidik pembantu.
 Berturut-turut tidak memenuhi panggilan tanpa alasan yang sah.
 (ketentuan hukum Pasal 1 butir 20, Pasal 5 (1) huruf B, Pasal 7 (1) huruf
D, Pasal 11, 16, 18, 19 dan 37 (1) dan (2), Pasal 17, Pasal, Pasal 102 (2)
dan (3), dan Pasal 111 (1) KUHAP.
4. Penahanan

Penahanan adalah penempatan tersangka/terdakwa ditempat tertentu oleh


penyidik dengan penempatannya dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
Undang-Undang. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan pembantu
penyidik berwenang melakukan penahanan berdasarkan

a) Dugaan keras tersangka melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang


cukup
b) Dikuatirkan tersangka akan melarikan diri, merusak/menghlangkan
barang bukti danatau mengulangi tindak pidana.
c) Terhadap tersangka yang melakukan tindak pidana yang diancam pidana
penjara > 5 tahun dan atau melanggar Pasal-pasal tertentu.

Penyidik memberikan surat perintah penahanan yang mencantumkan identitas


tersangka dan alasan, uraian tindak pidananya dan tempat ia ditahan, tembusan

38
surat perintah penahanan harus diberikan kepada keluarganya, penahanan
dilakukan paling lama 20 hari, (Ketentuan hukum, Pasal 1 butir 21, Pasal 2 (1)
huruf D, Pasal 11, 20, 21, 22, 23, 24, 29, 31, dan Pasal 123 KUHAP).

5. Penggeledahan

Penggeledahan dibagi atas dua macam, penggeledahan rumah dan penggeledahan


badan. Penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah
tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan
pemeriksaan dan penyitaan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam Undang-Undang . Penggeledahan badan adalah tindakan penyidik
untuk mengadakan pemeriksaan badan dan atau pakaian tersangka untuk mencari
benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawahnya serta unruk disita.
Pertimbangan,

 salah satu kegiatan tindak upaya paksa dalam pelaksanaan sidik tindak
pidana, tindak penggeledahan
 Tindak penggeledahan dilakukan dengan maksud untuk mendapatkan
bukti-bukti atau barang bukti
 untuk mendahului tindakan penangkapan terhadap tersangka, menekan
peluang serangan tersangka kepada petugas.

(Ketentuan hukum Pasal 1 butir 17 dan 18, Pasal 5 (1) huruf B, Pasal 7 (1) hutuf
D, Pasal 11, 32, 33, 34, 36, dan Pasal 37 KUHAP).

6. Penyitaan

Penyitaan merupakan serangkaian tindakan penyidik untuk mengambikl alih dan


menyimpan dibawah pengawasannya benda bergerak atau tidak bergerak,
berwujud atau tidak berwujud utuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan.
Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat ijin ketuan
Pengadilan Negeri setempat, kecuali dalam keadaan sangat perlu dan mendesak,
penyitaan dapat dilakukan hanya atas benda bergerak dan wajib segera
melaporkan kepada ketua pengadilan negeri guna mendapatkan persetujuan.

39
Penyidik juga dapat berwenan memerintahkan kepada orang yang menguasai
benda yang dapat disita untuk menyerahkan bnda tersebut kepada penyidik
hdengan pertimbangan harus diberikan surat penerimaan. Pertimbangan:

a) Diperlukannya barang bukti yang ada kaitannya dengan kasus atau tindak
pidana yang terjadi untuk penentuan kasus.
b) Diperlukannya persyaratan kelengkapan bukti perkara guna pembuktian
dalam proses penyidikan.

(Ketentuan Hukum Pasal 1 butir 16, Pasal 5 (1) huruf B angka 1, Pasal 7 (1)
huruf D, Pasal 14, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 128, 129, dan Pasal 131
KUHAP).

7. Penanganan Tempat Kejadian Perkara

Tempat kejadian perkara adalah sumber keterangan dan bukti penting yang dapat
diolah untuk prngungkapan tindak pidana yan terjadi . Tempat kejadian perkara
merupakan sumber informasi awal unuk kepentingan penyidikan tindak pidana,
karena tempat tersebut suatu waktu pernah bertemu dan berinteraksinya antara
tersangka, saksi dan korban maupun dengan tempat kejadian perkara itu sendiri,
yang akan meninggalkan jejak dan atau barang bukti. Pengolahan tempat
kejadian perkara merupakan rangkaian kegiatan proses penyidik tindak pidana,
maka pelaksanaannya harus diselaraskan dengan ketentuan undang-undang yang
berlaku.

Untuk mampu memberdayakan tempat kejadian perkara benar, menjadi sumber


informasi dalam pembuktian, diperlikan kemampuan dan menguasai tehnik dan
taktik olah tempat kejadian perkara yang tepat dan benar baik secara yuridis
maupun secara tehnis, karena tindakan hukum yang dilakukan oleh petugas
peenyidik polisi di tempat kejadian perkara adalah kegiatan yang tidak
terpisahkan dalam proses penyidikan dan merupakan langkah awal untuk dapat
mengungkapkan tindak pidana yang terjadi.

40
(Ketentuan hukum Pasal 7 (1) huruf B, Pasal 111 dan 111 (3) dan (4) KUHAP.
Undang-undang nomer 28 tahun 1998 Pasal 15 (1) huruf a, b, c, dan d, Pasal 16
huruf a dan b)

”Tindakan lain” seperti yang dimaksud dalam pasal 7 ayat j KUHAP adalah :

1. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum,dalam hal ini tentu saja
hukum perundangan yang berlaku di negara Indonesia.

2. Selaras dengan kewajiban hukum yang menharuskan dilakukannya


tindakan jabatan.(Pasal 50 KUHP)

3. Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan
jabatannya.(Pasal 49 KUHP)

4. Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa (Pasal 48


KUHP)

5. Menghormati Hak Asasi Manusia.

Sesuai undang-undang no.2 tahun 2002 yang menyatakan bahwa pemeliharaan


keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yg
meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh
Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat negara yang dibantu oleh
masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Hal ini tentu saja
menuntut kinerja tinggi dari Polri sebagai pihak yang bersentuhan langsung
dengan masyarakat dalam pelaksanaan hukum di negara ini.Begitu sering kita
mendengar anekdot dikalangan masyarakat yang menyatakan bahwa; ” lapor ke
Polisi kehilangan ayam sama saja dengan kehilangan sapi” ,anekdot ini tidak
tercipta serta merta dimasyarakat,hal ini adalah buah dari kebiasaan yang sudah
terbudaya menjadi sebuah kukltur di tubuh Polri. Situasi ini diperparah pula
dengan begitu banyaknya kasus-kasus yang ditangani oleh polisi yang tidak atau
belum bisa terungkap seperti kasus pembunuhan aktivis HAM munir,kasus salah

41
tangkap di Jombang,kasus korupsi di berbagai daerah,atau juga kasus-kasus lain
yang penangannya dirasa sangat lama oleh masyarakat.Bukan hanya
itu,masyarakat juga sangat menyorot masalah rekruitment anggota Polri yang
memerlukan biaya yang sangat besar,karena adanya oknum-oknum yang
melakukan pungli atau uang pelicin agar seseorang bisa diterima disebuah
lembaga pendidikan Polri.

Memang hal tersebut tidak dapat kita lihat dari satu sisi masyarakat saja,dalam
bertugas kadangkala polisi juga menemukan kendala-kendala yang dapat
membuat terhambatnya penanganan suatu perkara pidana.Ada beberapa faktor
yang dirasa penulis menyebabkan hal ini terjadi,diantaranya :

1. Kualitas SDM Polri yang tidak memenuhi mutu standar guna memiliki
kualitas tinggi dalam mengemban tugas sebagai penegak hukum.Hal ini
banyak dipengaruhi oleh sistem rekruitment yang dipengaruhi pihak
lain,dalam hal ini pihak luar,sehingga menyebabkan tidak transparannya
proses rekruitmen itu sendiri.

2. Sarana prasarana yang walaupun terdengar klasik namun pada


kenyataannya memang memberikan pengaruh terhadap kinerja
polisi.Untuk sebuah peralatan olah TKP saja sebuah polsek tidak
mempunyai peralatan selengkap yang dimiliki polda,imbasnya tentu saja
penyidik polsek terkesan malas-malasan untuk bekerja.

3. Masih adanya oknum-oknum penyidik polri yang masih mengharapkan


imbalan dari pihak yang terkait dengan sebuah kasus pidana agar dapat
memperoleh keringanan-keringanan tertentu dari pihak polisi.Ulah para
oknum ini tentu saja dapat dinilai sebagai salah satu bentuk
penyalahgunaan wewenang yang dimiliki penyidik.

Contoh Kasus :

42
Pada tanggal 7 Maret 2010, pukul 03.30 WIB ada seseorang perempuan dianiaya
oleh mantan suaminya, akibat penganiayaan tersebut si korban mengalami luka
dan rasa sakit pada bagian bibir dan mulutnya. Bahwa setelah peristiwa tersebut
terjadi Korban pada waktu yang sama melaporkannya kepada pihak kepolisian.
Setelah sampai dan melaporkan peristiwa tersebut Si Korban di mintai keterangan
(BAP) tentang bagaimana peristiwa tersebut terjadi dan siapa pelakunya, hingga
pada akhirnya munculah pertanyaan terakhir dari penyidik , dan si Korban
ditanya oleh Penyidik : Apakah setelah peristiwa penganiayaan tersebut terjadi
Saksi Korban masih bisa bekerja ? Jawab Korban “ Iya, saya masih bisa bekerja
dengan baik. Bahwa dengan alasan si korban masih bisa bekerja dengan baik,
akhirnya Penyidik berkesimpulan bahwa Pelaku dikenakan pasal 352 ayat (2)
KUHP yakni penganiayaan ringan walaupun jika kita lihat secara kasat mata
demikian rupa parahnya luka tersebut. Akibat dari penggunaan pasal tersebut
akhirnya Pelaku tidak ditahan.

Bahwa selanjutnya setelah proses Pelaporan dan pemeriksaan selesai, ternyata


keesokan harinya akibat dari pemukulan tersebut Korban merasakan sakit nyeri
yang luar biasa pada bagian mulutnya, sehingga menyebabkan si Korban tidak
bisa berfikir dan berkonsentrasi, dan pada hari selanjutnya tanggal 8 Maret 2010
korban tidak bisa masuk kerja. Bahwa selanjutnya Korban kembali mendatangi
Penyidik dan meminta supaya pelaku ditahan, mengingat rasa sakit yang dialami
oleh Korban luar biasa sakitnya, khususnya dibagian mulut. Atas pernmintaan
tersebut Penyidik menolak untuk melakukan penahanan dengan alasan si korban
bukan lah penyanyi , sehingga walaupun mulutnya sakit dianggap masih bisa
melakukan aktifitas. Namun sebaliknya jika pun luka kecil dijari seorang pemain
biola yang hal tersebut menyebabkan si pemain biola tidak bisa bermain biola
maka kejahatan tersebut adalan penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam pasal
351 ayat (1) KUHP dan sipelaku bisa ditahan.

Bahwa pandangan tersebut sangatlah konservatif, diskirminatif dan sangat jauh


dari rasa keadilan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, mengingat
konstruksi hukum yang dibangun oleh penyidik terlalu simplikatif dalam

43
mengartikan sakit yang dapat mengahalangi seseorang untuk bekerja. Bagaimana
jika si Korban adalan seorang ibu rumah tangga yang tidak bekerja /
pengangguran, ketika dirinya teraniaya dan menimbulkan luka dijarinya sehingga
akibat luka dijarinya dia tidak bisa memotong bawang atau cabai apakah sipelaku
bisa dikenakan pasal 351 ayat (1) KUHP dan ditahan. Pertanyaan ini sangat
penting untuk kita ajukan, mengingat terkadang penyidik sering kali bermain-
main dan melakukan jual beli pasal dalam sebuah perkara, dimana kepada korban
dia mengatakan pasal yang dikenakan adalah pasal 352 sehingga pelaku tidak
ditahan, sedangkan pada pelaku selalu diancam akan dikenakan pasal 351 ayat (1)
KUHP sehingga harus ditahan. Hasilnya tentu saja si pelaku akan mengeluarkan
uang bagaimana caranya supaya sipelaku tidak ditahan, sedangkan tanggung
jawab Penydidik kepada Korban tidak perlu susah-susah mengingat dari awal
penyidik sudah mengelabui korban dengan penggunaan pasal 352 ayat (2) KUHP
dimana Pelaku tidak bisa ditahan.

Bahwa jika kita melihat akibat dari pemukulan tersebut tenyata sikorban
mengalami sakit nyeri dan tidak bisa bekerja dengan baik, maka secara otomatis
unsur-unsur penganiayaan ringan tidak bisa lagi dipertahankan oleh Penyidik
dalam perkara tersebut, melainkan masuk dalam peristiwa penganiayaan biasa
sebagaimana dimaksud dalam pasal 351 ayat (1) KUHP, sehingga sudah
seharusnya pelaku penganiayaan tersebut ditahan.

Jalan terbaik atas perkara tersebut adalah Korban dapat meminta BAP tambahan
yang mana hal tersebut dibenarkan menurut KUHAP. Dalam BAP tambahan
Korban bisa kembali menerangkan bahwa selang beberapa hari ternyata luka
yang dialami telah mengakibatkan sakit yang luar biasa sehingga Korban tidak
bisa bekerja dan harus meliburkan dirinya 2 hari untuk beristirahat.

Jika Pihak penyidik menolak untuk BAP tambahan, maka jalan terbaik adalah
mencabut berkas laporan dan memindahkannya ke tingkat yang lebih tinggi lagi
dengan alasan penyidik ditempat laporan semula tidak professional. Dalam hal
ini, jika pelaporan dilakukan di Polsek maka si pelapor bisa memindahkan

44
laporannya ke Polres,dan kejenjang yang lebih tinggi yaitu Polda dan Mabes
Polri, mengingat menurut KUHAP hal tersebut dibenarkan.

2.4 Konsep Perlindungan dan Pengayoman Kepolisian

Berbagai keluhan yang tertuju pada pihak korps baju coklat ini,tentu saja tidak
dapat diabaikan begitu saja.Jika ingin menancapkan eksistensinya Polri memang
harus benar-benar berbenah diri.Polri harus mampu merubah pandangan,serta
kultur budaya yang dirasa tidak pas. Ambil contoh tentang penanganan sebuah
kasus tindak pidana,mulai dari penerimaan laporan pengaduan penyidik harus
memberikan pelayanan yang optimal kepada korban sebuah tindak
pidana.Termasuk transparansi proses penyidikan yang harus bisa dilaksanakan
secara cepat dan tepat.Jangan ada lagi ulah-ulah oknum yang selalu
mengharapkan imbalan dari masyarakat pada setiap penanganan kasus,tidak ada
lagi masyarakat yang bertanya-tanya kapan kasus tindak pidana yang mereka
alami bisa terungkap,apalagi penanganan kasus yang justru malah memihak
pelakunya lantaran pelaku tersebut menjajikan sejumlah uang kepada
penyidik.Ini tentu saja sangat bertentangan dengan tugas pokok polisi sebagai
pelayan, pelindung,dan pengayom masyarakat.

Guna menjawab tuntutan masyarakat yang seiring perkembangan waktu semakin


terus bertambah. Polri umumnya dan penyidik polri khususnya harus segera
mengambil langkah-langkah cepat dan tepat.Langkah tersebut bukan tidak pernah
dilakukan,dari tahun ketahun sesungguhnya Polri terus menerus berbenah
diri,namun belum mencapai taraf yang maksimal dan seperti apa yang diharapkan
masyarakat pada umumnya.Sesuai dengan kebijakan Kapolri
Jenderal.Pol.Bambang Hendarso Danuri di awal kepemimpinannya,yang
menyatakan bahwa perlu adanya transformasi budaya ditubuh Polri.Dengan
berpedoman pada Grand Strategy Polri (2005-2010) yang berupa pencanangan
trust building,partnership building,dan strive for excellent.

Diawal 2009 ini,Polri mencanangkan sebuah program akselerasi untuk mencapai


sasaran Polri 2005-2009 yang bernama Quick Wins, program ini terdiri dari :

45
1. Quick Response yakni peningkatkan kecepatan polisi dalam merespon
laporan dari masyakarat,hal ini dengan peluncuran pelayanan Polri
melalui saluran telphone 112.

2. Transparansi Pelayanan SIM, STNK dan BPKB, arah nya ialah


pada penerbitan SIM, STNK dan BPKB adalah bagian dari pelayanan di
bidang registrasi dan identifikasi pengemudi dan kendaraan bermotor.

3. Transparansi Proses Penyidikan Tindak Pidana ,hal ini dilaksanakan


melalui Pemberian Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan
(SP2HP), dimana hal ini merupakan bentuk kepedulian dan tanggung
jawab penyidik terhadap masyarakat yang merupaka sarana komunikasi
atas segala tindakan-tindakan penyidikan yang telah dilakukan dan
dilaporkan kepada pihak pelapor.

4. Transparansi Recruitmen Personel, untuk menjawab tantangan tugas


Polri yang semakin kompleks dan global.

Hal yang paling penting untuk dicermati seorang penyidik polisi adalah
Transparasi proses penyidikan tindak pidana,hal ini disebabkan karena terlalu
banyak nya laporan atau pun komplain dari masyarakat mengenai masalah
penyidikan polri.Realisasi yang ingin dicapai tentu saja mengarah pada sosok
penyidik yang mampu dan dapat melaksanakan proses penyidikan dengan cepat
dan profesional.

Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) dimulai dari


penerimaan proses laporan pengaduan dari masyarakat sampai dengan selesainya
penanganan berkas oleh seorang penyidik.Kaitannya dengan SP2HP ini penyidik
harus mampu memberikan laporan kepada korban tindak pidana sesuai dengan
kategori kasus yang dihadapi,yakni :

Tahap pertama,setelah penerimaan sebuah Laporan Polisi dalam jangka waktu 3


hari harus sudah ada perkembangan tentang kasus yang diadukan tersebut dengan
mencantumkan :

46
 Keterangan yang menyatakan bahwa Laporan Polisi telah diterima dan
akan segera ditindak lanjuti.

 Satuan atau unit serta penyidik yang menangani kasus tersebut disertai
contact number dari penyidik tersebut agar pihak pelaporan dapat
langsung menanyakan perkembangan kasus pidananya.

Tahap kedua,tahapan ini adalah bagian dari penyelidikan dari sebuah kasus
pidana,ini pun dibuat sesuai dengan kategori tindak pidana tersebut,yakni :

 Kasus ringan/sedang,penanganan penyelidikan harus memberikan laporan


perkembangan hasil penyelidikan pada hari ke-15.

 Kasus sulit.sangat sulit,penanganan penyelidikan harus memberikan


laporan perkembangan hasil penyelidikan pada hari ke-15 dan hari ke-30.

Tahap ketiga,yakni tahapan penyidikan mengenai kasus tindak pidana dengan


kategori sebagai berikut :

 Kasus ringan ,penanganan penyidikannya memberikan laporan


perkembangan sampai dengan selesai dalam waktu 30 hari.

 Kasus mudah,penanganan penyidikannya memberikan laporan


perkembangan sampai dengan selesai dalam waktu 60 hari.

 Kasus sulit,penanganan penyidikannya memberikan laporan


perkembangan sampai dengan selesai dalam waktu 90 hari.

 Kasus sangat sulit,penanganan penyidikannya memberikan laporan


perkembangan sampai dengan selesai dalam waktu 120 hari.

Tahap keempat,yakni tahapan penyelesaian berkas perkara.

Tahap ini merupakan tahap paling terakhir terkait penyelesaian proses penyidikan
oleh anggota Polri,dan ditutup dengan pemberkasan guna segera dikirimkan ke
pihak Penuntut Umum sesuai dengan KUHAP.

47
2.5 Etika Profesi Kepolisian sebagai pedoman hidup bagi anggota Polri

Etika profesi kepolisian merupakan kristalisasi nilai-nilai Tribrata yang dilandasi


dan dijiwai oleh Pancasila serta mencerminkan jati diri setiap anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia dalam wujud komitmen moral selanjutnya disusun
kedalam Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang meliputi
pada Etika Kenegaraan, kelembagaan, kemasyarakatan dan kepribadian. Keempat
aspek diatas saling berkaitan erat satu sama lain yang secara simultan harus
ditumbuh kembangkan oleh setiap insan Polri sebagai aparat penegak hukum
yang profesional yang dilandasi dengan nilai-nilai luhur dalam Tribrata, integritas
moral, etika profesi dan berpegang teguh pada komitmen yang telah disepakati
dalam pelaksanaan tugasnya. Nilai –nilai falsafah hidup yang dimiliki semua
ketrampilan teknis yang dibutuhkan polisi dalam menghadapi tantangan social
kekinian semua berujung pada upaya merebut kepercayaan publik (public trust).

2.6 Kesimpulan BAB II

Aparat kepolisian sebagai penegak hukum sudah seharusnya dapat menjaadi


panutan masyarakat, mampu menjadi pengendali dan sahabat masyarakat,
memiliki kualitas komunikasi yang baik. Namun demikian polisi juga merupakan
manusia biasa, yang tidak luput dari kesalahan atau kekurangannya sebagai
manusia yang memiliki nafsu atau emosi. Undang – undang sudah mengatur
secara tegas bagaimanakah tugas aparat kepolisian dalam menegakkan hukum

48
terhadap masyarakatnya, termasuk kedudukannya sebagai pelayan masyarakat
tanpa membeda bedakan kedudukan social, politik, ekonomi, ras, agama dan
budayanya.

Paradigma kepolisian sipil berkaitan erat dengan paradigma penegakan hukum.


Paradigma penegakan hukum masa lalu diwarnai oleh paradigma yang represif
yang ditandai dengan penggunaan kekuatan maksimal, satuan resere yang galak
yang menerapkan investigasi reaktif dengan segala cara demi pembuktian.
Paradigma baru Polri adalah kedekatan Polisi dan masyarakat dalam
mengeliminir akar akar kejahatan dan ketidaktertiban, menampilkan gaya
perpolisian yang lebih responsive-persuasif. Polisi abdi rakyat bukan abdi
penguasa yang oleh satjipto rahardjo disebut sebagai Polisi yang Protagonist.
Polisi sipil memiliki 3 kriteria yaitu cepat tanggap, keterbukaan dan akuntabilitas.
Kriteria tersebut menuntut sikap dan perilaku yang berlandasakan nilai nilai inti
tertentu yang didalam code of conduct for law enforcement officials PBB
dirumuskan sebagai integritas pribadi (integrity), kewajaran/adil (fairness), rasa
hormat (respect), kejujuran (honesty), keberanian/ keteguhan hati (courage) dan
welas asih (compassion).

Hal yang paling penting untuk dicermati seorang penyidik polisi adalah
Transparasi proses penyidikan tindak pidana,hal ini disebabkan karena terlalu
banyak nya laporan atau pun komplain dari masyarakat mengenai masalah
penyidikan polri.Realisasi yang ingin dicapai tentu saja mengarah pada sosok
penyidik yang mampu dan dapat melaksanakan proses penyidikan dengan cepat
dan profesional.

49
50
BAB III

KEJAKSAAN

3.1 Lembaga Kejaksaan

Melaksanakan tugas dan wewenang serta fungsi Kejaksaan di daerah hukum


Kejaksaan Tinggi yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundangan-
undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa serta tugas-tugas lain
yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.

Fungsi Kejaksaan :

1. Perumusan kebijaksanaan pelaksanaan dan kebijaksanaan teknis


pemberian bimbingan dan pembinaan serta pemberian perijinan sesuai
dengan bidang tugasnya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan
kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung;

2. Penyelengaraan dan pelaksanaan pembangunan prasarana dan sarana,


pembinaan manajemen, administrasi, organisasi dan tatalaksanaan serta
pengelolaan atas milik negara menjadi tanggung jawabnya;

3. Pelaksanaan penegakan hukum baik preventif maupun yang berintikan


keadilan di bidang pidana;.

4. Pelaksanaan pemberian bantuan di bidang intelijen yustisial, dibidang


ketertiban dan ketentraman umum, pemberian bantuan,
pertimbangan, pelayanan dan penegaakan hukum di bidang perdata dan
tata usaha negara serta tindakan hukum dan tugas lain, untuk menjamin
kepastian hukum, kewibawaanm pemerintah dan
penyelamatan kekayaan negara, berdasarkan peraturan perundang-
undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan Jaksa Agung;

51
5. Penempatan seorang tersangka atau terdakwa di rumah sakit atau tempat
perawatan jiwa atau tempat lain yang layak berdasarkan penetapan Hakim
karena tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan hal - hal yang dapat
membahayakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri;

6. Pemberian pertimbangan hukum kepada instansi pemerintah, penyusunan


peraturan perundang-undangan serta peningkatan kesadaran hukum
masyarakat;

7. Koordinasi, pemberian bimbingan dan petunjuk teknis serta pengawasan,


baik di dalam maupun dengan instansi terkait atas pelaksanaan tugas dan
fungsinya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan
yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.

52
53
3.2 Fungsi Kejaksaan Dalam Mewujudkan Kepastian Hukum dan
Supremasi Hukum

Hukum mempunyai posisi strategis dan dominan dalam kehidupan masyarakat,


berbangsa dan bernegara. Hukum sebagai suatu sistem dapat berperan baik dan
benar ditengah masyarakat jika instrument pelaksanaannya dilengkapi dengan
kewenangan-kewenangan dalam bidang penegakan hukum. Salah satu diantara
kewenangan-kewenangan itu adalah Kejaksaan RI.

Kejaksaan merupakan sub sistem dari sistem ketatanegaraan Indonesia


sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Sebagai salah satu sub sistem dari suatu
sistem hukum, Kejaksaan memiliki kedudukan yang sentral dalam penegakan
hukum, di Indonesia. Sebagai salah satu sub sistem hukum, Kejaksaan berada
dalam satu kesatuan yang teratur dan terintegrasi, saling mempengaruhi dan
saling mengisi dengan sub sistem lainnya untuk mencapai tujuan dari sistem
hukum tersebut. Dari aspek kelembagaan, sub sistem hukum yang lain dalam
penegakan hukum di Indonesia adalah hakim, polisi, advokat/penasihat
hukum/pengacara, lembaga permasyarakatan, bahkan tersangka, terdakwa dan
terpidana.

Dalam UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Pasal 2 ayat (1)
menegaskan bahwa Kejaksaan RI adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan
kekuasaan negara dalam bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan
undang-undang. Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis),
mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi
Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke
Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara
Pidana. Disamping sebagai penyandang Dominus Litis, Kejaksaan juga
merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive
ambtenaar).

Oleh karena itu, adalah sebuah hal yang wajar jika masyarakat sangat
mendambakan institusi Kejaksaan dapat berfungsi secara optimal dalam

54
menegakkan supremasi hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta
dapat berfungsi menjadi tulang punggung reformasi, sehingga dapat
memperkokoh ketahanan dan konstitusi sebagai prasyarat bagi tegaknya
demokrasi dan civil society yang dicita-citakan. Kedudukan sentral Kejaksaan
berkait erat dengan kedudukan dan fungsi Kejaksaan dalam penegakan hukum di
Indonesia. Sudah tentu penekanan pada eksistensi dan eksisnya institusi ini baik
dalam tataran teoritis yang mengacu pada konsepsi negara hukum maupun dalam
asas normative praktis yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
Artinya, Kejaksaan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dalam
kedudukannya sebagai badan yang terkait dengan kekuasaan kehakiman dalam
penegakan hukum, harus menjunjung tinggi supremasi hukum sebagai prasyarat
mutlak bagi penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
Supremasi hukum berarti adanya jaminan konstitusional dalam proses politik
yang dijalankan oleh kekuasaan eksekutif, legislative, dan yudikatif. Supremasi
hukum akan selalu bertumpu pada kewenangan yang ditentukan oleh hukum .

Untuk mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum, disamping diperlukan norma-


norma hukum atau peraturan perundang-undangan, juga aparatur pengemban dan
penegak hukum yang professional, berintegritas, dan disiplin yang tinggi, serta
didukung oleh sarana dan prasarana hukum dan perilaku hukum masyarakat.
Idealnya, setiap negara hukum termasuk Indonesia harus memiliki
lembaga/institusi/aparat penegak hukum yang berkualifikasi demikian. Hukum
dan penegak hukum menurut Soerjono Soekanto, merupakan sebagian faktor
penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan
menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan . Oleh karena
itu, keberadaan Kejaksaan RI sebagai institusi penegak hukum, mempunyai
kedudukan yang sentral dan peranaan yang strategis di dalam suatu negara
hukum, karena institusi Kejaksaan menjadi filter antar proses penyidikan dan
proses pemeriksaan di persidangan, sehingga keberadaannya dalam kehidupan
masyarakat harus mampu mengemban tugas penegakan hukum.

55
Secara konsepsional, maka inti dari penegakan hukum terletak pada kegiatan
menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang
mantap dan mengejawatah dalam sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai
tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertaruhkan kedamaian
pergaulan hidup . Dalam kenyataannya, proses penegakan hukum itu memuncak
pada pelaksanaannya oleh para pejabat hukum itu sendiri . Artinya, terlaksana
tidaknya dengan baik suatu peraturan perundang-undangan juga akan tergantung
pada pelaksanaannya oleh aparat pejabat hukum. Dengan demikian, maka
masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang
mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut, adalah sebagai berikut : (1)
faktor hukumnya sendiri; (2) faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang
membentuk maupun yang menerapkan hukum; (3) faktor sarana atau fasilitas
yang mendukung penegakan hukum; (4) faktor masyarakat, yakni lingkungan di
mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; (5) faktor kebudayaan, yakni hasil
karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan
hidup.

Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena selain
merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolok ukur daripada
efektivitas penegakan hukum. UUD 1945 menentukan secara tegas bahwa
Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat). Sejalan dengan ketentuan tersebut
maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan
kesejahtraan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before the law). Oleh
karena itu, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil tersebut setidaknya
tercermin dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
sebagai perubahan atas UU No. 15 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia. UU Kejaksaan yang baru tersebut dimaksudkan untuk lebih
menetapkan kedudukan dan peran Kejaksaan RI sebagai lembaga negara
pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan.

56
Pelaksanaan kekuasaan negara dalam UU tersebut harus dilaksanakan secara
merdeka. Penegasan ini tertuang dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2004,
bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan
negara di bidang penuntutan secara merdeka dalam arti bahwa dalam
melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan
pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Ketentuan ini betujuan melindungi
profesi Jaksa dalam melaksanakan tugas profesionalnya. Kejaksaan sebagai salah
satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan
supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi
manusia, serta pemberantasan KKN. Oleh karena itu, Kejaksaan harus mampu
terlibat sepenuhnya dalam proses pembangunan antara lain turut menciptakan
kondisi yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan untuk
mewujudkan masyarakan adil dan makmur berdasarkan Pancasila, serta
kewajiban untuk turut menjaga dan menegakan kewajiban pemerintah dan negara
serta melindungi kepentingan masyarakat. Di sinilah letak peran strategis
Kejaksaan dalam pemantapan ketahanan bangsa.

3.3 Tugas dan Wewenang Kejaksaan RI

UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI telah mengatur tugas dan


wewenang Kejaksaan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 30, yaitu :14

1) Di bidang pidana, Kejaksaan empunyai tugas dan wewenang:


a. Melakukan penuntutan;
b. Melaksanakan penetapan hakin dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat,
putusan pidana pengawasan, dan keputusan bersyarat;
d. Melaksanakan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang;

14 Pasal 30 Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

57
e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus
dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama
Negara atau pemerintah
3) Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut
menyelenggarakan kegiatan:
a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum;
c. Pengamanan peredaran barang cetakan;
d. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat
dan Negara;
e. Pencegahan peyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
f. Penelitian dan pengembangan hukum statistik Kriminal.

Selain itu, Pasal 31 UU No. 16 Tahun 2004 menegaskan bahwa Kejaksaan dapat
meminta kepada hakim untuk menetapkan seorang terdakwa di rumah sakit atau
tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak karena bersangkutan tidak
mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahyakan
orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri. Pasal 32 Undang-undang No. 16
Tahun 2004 tersebut menetapkan bahwa di samping tugas dan wewenang tersebut
dalam undang-undang ini, Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain
berdasarkan undang-undang. Selanjutnya Pasal 33 mengatur bahwa dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan membina hubungan kerjasama
dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi
lainnya. Kemudian Pasal 34 menetapkan bahwa Kejaksaan dapat memberikan
pertimbangan dalam bidang hukum kepada instalasi pemerintah lainnya. Segenap
tugas dan wewenang Kejaksaan tersebut dilaksanakan dalam kerangka negara
hukum guna mewujudkan peran Kejaksaan dalam penegakan supremasi hukum

58
di negara Indeonesia, agar kesetabilan dan ketahanan bangsa dapat semakin
kokoh.

3.4 Fungsi Kejaksaan dalam Hak Asasi Manusia

Kaitan antara kejaksaan dan Hak asasi manusia adalah untuk mengembangkan
kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan
Pancasila, UUD 1945, dan Piagam PBB serta Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia. Meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna
berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuan
berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan. Komnas HAM mempunyai
kelengkapan yang terdiri dari Sidang Paripurna dan Subkomisi. Disamping itu,
Komnas Ham mempunyai Sekretariat Jenderal sebagai unsur pelayan

Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia


sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan Piagam PBB serta Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia. Meningktkan perlindungan dan penegakan hak asasi
manusia guna berkembengnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan
kemampuan berpartisipasi dalam berbagai kehidupan. Pada periode keanggotaan
2007-2012 Subkomisi Komnas HAM dibagi berdasarkan fungsi Komnas HAM
sesuai dengan Undang-undang yakni : Subkomisi Pengkajian dan Penelitian,
Subkomisi Pendidikan dan Penyuluhan, Subkomisi Pemantauan, dan Subkomisi
Mediasi.

3.5 Penegakan Hukum dalam Era Reformasi dan Globalisasi

Tiga belas tahun setelah pekik reformasi, ternyata cuma menetas ke kantong-
kantong keserakahan elite tertentu, bersikap aji mumpung dari perubahan
kesempatan, prosedur, kelembagaan politik, dan penegakan hukum. Bagi rakyat
banyak yang membayangkan penegakan hukum sebagai sarana keadilan dan
perlindungan hukum bagi kaum yang lemah. Akan tetapi, tekanan rezim baru
pada penegakan hukum yang semakin hari semakin tidak mewujudkan keadilan
dan semakin tidak berpihak kepada rakyat kecil. Kesemuanya itu, hanya

59
memerosotkan dan menihilkan wibawa reformasi sebagai sebuah mimpi buruk
terhadap penegakan hukum yang lebih baik. Hasrat reformasi untuk menegakkan
hukum atau menjadikan hukum sebagai panglima ternyata tidak terjadi. Dalam
realitas, hukum belum mampu menunjukkan superioritasnya untuk dilaksanakan
kepada siapa saja tanpa pandang bulu. Tetapi, justru menjadi area yang empuk
untuk berlindung bagi individu atau kelompok elite politik yang dekat dengan
kekuasaan.

Berapa banyak jaksa yang bermain mata dengan orang-orang jahat. Kasus jaksa
Urip Tri Gunawan, kasus Deviyanti Rochaeni, seorang jaksa penuntut umum di
Kejati Jawa Barat, bersama jaksa Fahri menerima uang suap dalam penanganan
kasus korupsi penyalahgunaan dana BPJS Kabupaten Subang, Jawa Barat. Uang
tersebut diberikan secara langsung di ruang kerja Devi, petugas KPK menemukan
uang yang diduga hasil pemberian Lenih sebesar Rp 528 juta. Majelis hakim
Pengadilan Tipikor Bandung akhirnya memvonis jaksa Devi 5 tahun penjara dan
denda Rp 300 juta subsider kurungan empat bulan. Kasus fahrizal jaksa di
Kejaksaan Negeri Padang, Farizal diduga menerima suap Rp 365 juta dari
Direktur Utama CV Semesta Berjaya, Xaveriandy Sutanto. Majelis hakim
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Padang memvonis Farizal 5 tahun penjara dan
denda Rp 250 juta subsider 4 bulan penjara serta wajib membayar uang pengganti
Rp 335,6 juta. Lalu kasus Kejaksaan Tinggi Bengkulu Parlin Purba Suap yang
diberikan kepada Parlin diduga berhubungan dengan pengumpulan data dan
bahan keterangan indikasi korupsi terkait dengan proyek pembangunan irigasi
yang berada di bawah Balai Wilayah Sungai Sumatera (BWSS) VII Provinsi
Bengkulu. Saat operasi tangkap tangan, tim KPK menyita barang bukti berupa
uang senilai Rp 10 juta. Diduga, sebelumnya Parlin telah menerima uang sebesar
Rp 150 juta.Majelis hakim menjatuhkan vonis 5 tahun penjara dan denda Rp. 200
juta subsidair 3 bulan kurungan. Hal ini membuktikan bahwa begitu banyak jaksa
yang selama ini bukan menegakkankeadilan tetapi justru mempermainkan
keadilan. Banyak kita jumpai jaksa di daerah yanghidupnya pun bergelimang
dengan uang.Memang, hukum sejatinya adalah untuk menghadirkan keadilan.

60
Dengan demikian, jika produk hukum ataupun putusan hukum tidak lagi berisi
nilai-nilai keadilan, sejak saat itu hukum tidak berhak lagi menyandang
predikatnya sebagai hukum. Pada saat itu hukum telah menjelma menjadi
kekuasaan di tangan segelintir/sekelompok orang untuk melakukan penindasan
terhadap kelompok lemah.

Sikap skeptis dan pesimis, bahkan putus asa merebak dari segala penjuru seperti
yang ditayangkan di televisi. Keadaan negara tak kunjung melaksanakan
penegakan hukum yang benar. Justru sebaliknya, kita menyaksikan penegakan
hukum yang tidak adil atau masyarakat termarjinalisasi berhadapan dengan
hukum. Bahkan, ironisnya mereka yang memiliki kekuasaan terkadang lolos dari
jeratan hukum. Maka mau tidak mau kondisi seperti itu akan memunculkan
gugatan terhadap eksistensi hukum semakin menguat. Ketika keadilan semakin
menjauh dalam proses hukum, hanya karena ketidak mampuan menegakkan
hukum untuk memperlakukan seseorang secara adil. Prinsip equality before the
law bahwa setiap orang memiliki kedudukan yang sama di depan hukum,
hanyalah sebuah cerita atau lip service belaka. Sementara, apa yang kita
pikirkan ketika menyaksikan seorang anak harus berhadapan dengan proses
hukum yang tidak mengenal kompromi hanya gara-gara kedapatan mengambil
sepatu atau sandal atau contoh kasus yang menarik adalah kasus nenek Minah
yang dituduh mencuri tiga biji kakao.

Dalam kasus ini seluruh unsur pasal 362 KUHP terbukti, yaitu terdakwa
mengambil barang milik orang lain dengan maksud untuk memiliki. Hakim yang
mengadili perkara tersebut menerapkan pasal 362 sehingga dia harus
menjatuhkan hukuman pidana voorwar delijk (percobaan) kepada terdakwa.
Walaupun dengan dalil dan dalih asas legalitas, keadilan harus tetap
dikedepankan. Pencurian sandal ataupun beberapa biji kakao secara yuridis
memang telah memenuhi ketentuan atau unsur-unsur KUHP. Namun, apakah
serta merta harus dilakukan proses hukum formal sebagaimana layaknya perkara
korupsi atau pelanggaran HAM. Demi kepastian hukum, sekecil apapun
pelanggaran hukum harus diproses secara hukum. Sampai di sini, siapapun pasti

61
tidak keberatan dengan ungkapan itu. Akan tetapi, masalahnya adalah apakah
dalam beberapa kasus tersebut harus digunakan cara-cara formal untuk
menyelesaikannya? Haruskah hakim menjatuhkan sanksi pidana berupa penjara
meskipun hanya beberapa minggu? Disisi lain, begitu banyak kasus yang nilainya
milyaran bahkan triliunan tetapi harus lenyap dalam proses hukum. Perkaranya
harus dihentikan tanpa adanya kejelasan dan alasan hukum yang pasti.

Seperti dilukiskan James Fenimore Coper, yaitu merupakan kepungan sifat buruk
demokrasi ketika untuk menggantikan hukum dengan opini politik. Ini adalah
wujud yang umum, dimana sejumlah orang mempertunjukkan sifat tirani,
melakukan justifikasi untuk melakukan politisasi hukum. Rezim Orde Baru
(Orba) yang berkuasa selama 32 tahun dianggap sangat korup dan cenderung
tidak menegakkan hukum. Karena itu, dianggap telah melenceng dari keinginan
para pendiri bangsa ini yang telah menyatakan bahwa Indonesia yang hendak
dibangun merupakan negara yang bertujuan untuk melindungi segenap tumpah
darahnya. Untuk itu, semua proses hukum harus di arahkan untuk mewujudkan
cita-cita bangsa tersebut. Artinya, tujuan mulia para founding father sebagai
pendiri negara adalah tidak boleh degradasi oleh produk hukum yang
bertentangan dengan tujuan untuk memberikan keadilan bagi rakyatnya. Sebab
keadilan itu menjadi tujuan, sementara kepastian hukum itu merupakan salah satu
cara untuk meraih keadilan. Oleh karena itu, suka atau tidak bahwa substansi
KUHP yang dibuat beberapa abad lalu tidak jarang meminggirkan keadilan
terhadap anak-anak atau orang lanjut usia. Hal itulah, di era reformasi seperti
sekarang ini di butuhkan penegak hukum yang berpandangan progresif. Mereka
tidak boleh terpaku pada pandangan legalistik atau pada bunyi teks hukum
semata-mata (corong undang-undang), tetapi memaknai teks tersebut dalam
konteks kekinian dan kebutuhan yang terus menerus berkembang. Dalam kaitan
itulah, penegak hukum harus memiliki keberanian untuk tidak menegakkan
undang-undang jika akan melahirkan ketidakadilan atau menimbulkan keresahan
sosial. Sebagai contoh, reaksi publik dalam sebuah proses hukum tidak boleh
dimaknai sebagai pembangkangan, tetapi sebagai sinyal bahwa ada sesuatu yang

62
salah dalam proses itu. Atau dengan kata lain, proses hukum yang adil (due
process of law) sesungguhnya mengandung makna yang dalam. Yaitu tidak
sekadar menuntut agar undang-undang dijalankan sebagaimana rumusan
tekstualnya, tetapi bagaimana keadilan dihadirkan secara riil dalam konteks
penegakan hukum di era sekarang ini.

Dengan proses hukum yang adil, hakim dapat mewujudkan agar undang-undang
dijalankan sebagaimana rumusan tekstualnya, tetapi bagaimana keadilan
dihadirkan dalam konteks penegakan hukum.Oleh karena itulah, hakim di dalam
mengadili menurut hukum di samping menerapkan undang-undang juga harus
mampu menemukan hokum (rechtsvinding) yang hidup di tengah-tengah
masyarakat ataukah mampu menciptakan hukum itu sendiri (rechtschepping).Hal
ini, sejalan dan relevan dengan apa yang pernah dikatakan seorang filsafat
terkenal, Immanuel Kant: bahwa keadilan merupakan hal yang penting dalam
kehidupan manusia (if justice is gone, there is no reasons for a man to live longer
on earth).

Dalam konteks ini, fokus dan komitmen penegak hukum haruslah dilaksanakan
dengan jujur , independen dan penuh integritas. Artinya, penegakan hukum
jangan berhenti pada janji dan retorika belaka. Sebab yang dibutuhkan rakyat
sekarang adalah bukti nyata dan implementasi dari berbagai harapan yang
dijanjikan. Terlalu mahal jika penegakan hukum dituntaskan oleh kepentingan
politik dan eksperimen kekuasaan. Sebab Indonesia sebagai negara hukum di
dalamnya terkandung pengertian adanya pengakuan pada prinsip supremacy of
law yang pada hakekatnya bahwa dalam negara hukum, eksistensi hukum harus
menjadi penentu segala-galanya sesuai dengan prinsip the rule of law.

Details Globalisasi ditandai dengan adanya keterbukaan dan kebebasan dalam


berbagai bidang kehidupan yang mengakibatkan perubahan dalam berbagai aspek
kehidupan yang berlangsung sangat cepat. Melalui globalisasi serta keterbukaan
informasi maka kegiatan ekonomi menjadi bersifat terbuka sehingga
mengakibatkan transaksi bisnis dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja.

63
Bentuk transaksi secara elektronik bukanlah merupakan suatu hal yang baru lagi,
dimana dengan transaksi erlektronik, maka kesepakatan akan terjadi secara
elektronik. Globalisasi membawa pengaruh dalam perkembangan hukum
korporasi maupun hukum bisnis sebagai akibat berkembangnya pranata-pranata
ekonomi dalam kegiatan bisnis yang mau tidak mau juga melahirkan suatu
pranata hukum baru yang bersifat mengimpor hukum asing khususnya hukum
yang berasal dari tradisi hukum Anglo Saxon dengan sistem hukum Common
Law. Sejalan dengan perkembangan tersebut, maka bentuk-bentuk kegiatan bisnis
di era globalisasi ini terus berkembang cepat mengikuti perkembangan bentuk-
bentuk kegiatan usaha didunia. Bahkan pranata ekonomi asing banyak masuk dan
berkembang di Indonesia yang kadangkala tidak cocok diterapkan di Indonesia.
Seperti bentuk-bentuk pranata hukum yang berkembang di tradisi hukum Anglo
Saxon dengan sistem hukumnya Common Law dimana perbedaan sistem hukum
menjadi kendala dalam penerapannya.

Dengan kemajuan teknologi maka telah berkembang bentuk-bentuk transaksi


eletronik yang merupakan bentuk perikatan atau hubungan hukum yang ramai
dibicarakan sebagai online contract, yaitu perikatan atau hubungan hukum yang
dilakukan secara elektronik dengan memadukan jaringan (networking) dari sistem
informasi berbasis komputer dengan sistem komunikasi yang berbasis jaringan
dan jasa telekomunikasi. Sehingga dalam hal ini telah melahirkan resolusi
perdagangan dan transaksi bisnis secara elektronik yang meliputi cara penjualan,
pembelian produk, pelayanan maupun transaksi bisnis itu sendiri. Melalui
transaksi secara e-commerce ini maka telah beralih pelaksanaan transaksi yang
berpedoman kepada kertas disertai tandatangan yang berwenang sebagai
dokumen transaksi menjadi transaksi secara elektronik dengan dokumen-
dokumen eketronik tanpa tanda tangan yang menjadi bukti keabsahan transaksi
tersebut. Perubahan tersebut terjadi karena kebutuhan bisnis memang
menghendakinya sehingga mengakibatkan terjadi impor atau pengambilalihan
hukum asing yang umumnya dilakukan secara bulat-bulat, artinya diberlakukan
apa adanya tanpa perubahan atau penyesuaian yang berarti. Sehingga seringkali

64
dalam pelaksanaannya menimbulkan permasalahan dan kendala. Sebagian besar
dari ketentuan hukum asing yang diambil alih tersebut justru berasal dari apa
yang dipraktikkan di negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon
seperti Inggris dan Amerika, padahal Indonesia sendiri menganut sistem hukum
Eropa Kontinental. Sehingga yang terjadi adalah bahwa dalam hukum korporasi
terjadi suatu transplantasi pranata-pranata hukum Anglo Saxon ke dalam batang
tubuh hukum Eropa Kontinental. Dalam hal ini badannya sudah berbentuk hukum
Anglo Saxon sementara kakinya masih berpijak pada atas hukum Eropa
Kontinental, dimana dalam banyak hal tranplantasi tersebut bersifat dipaksakan.
Akibat telah berkembang pranata hukum bisnis baru yang sebelumnya tidak
diatur dalam sistem hukum Indonesia telah mengakibatkan dalam pelaksanaannya
seringkali menimbulkan konflik atau sengketa yang dalam hal ini lebih dikenal
dengan istilah sengketa bisnis. Hukum korporasi/bisnis merupakan pranata
hukum yang penting mengingat perkembangan bisnis yang cukup pesat dan juga
mengingat sengketa-sengketa yang terjadi yang memerlukan pranata hukum yang
pasti dan jelas untuk pengaturannya. Oleh karenanya hukum bisnis dan hukum
korporasi sangatlah dibutuhkan dalam praktik.

Hukum bisnis harus mampu memberikan solusi apabila terjadi persoalan yang
berkaitan dengan kegiatan bisnis pada umumnya. Apalagi seperti telah diuraikan
di atas terdapat kecenderungan bahwa kegiatan ekonomi semakin mapan dengan
frekuensi yang cepat dengan hubungan hukum yang semakin beragam. Ini berarti
hukum bisnis harus berkembang sesuai dengan kebutuhan melalui titik-titik
simpul yang bersumber dari hukum perdata (yaitu hukum perikatan/perjanjian)
dan yang berasal dai titik simpul hukum dagang. Mengingat hukum bisnis pada
hakekatnya bersifat netral, maka perspektif hukum bisnis harus jalan dan sejajar
dengan kegiatan bisnis itu sendiri. Pertumbuhan ekonomi yang menjadi tumpuan
bagi perkembangan bisnis sangat membutuhkan berbagai perangkat
hukum/perangkat peraturan yang baru yang mampu memenuhi kebutuhan. Untuk
mengejar ketinggalan tersebut, maka dalam kaitannya dengan penegakan dan
penerapan hukum pada praktik bisnis dan korporasi maka harus terus dilakukan

65
pembaharuan hukum yang dilakukan dengan memenuhi syarat-syarat kerangka
pembangunan hukum.

3.6 Kesimpulan Bab 3

Kejaksaan merupakan sub sistem dari sistem ketatanegaraan Indonesia


sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Sebagai salah satu sub sistem dari suatu
sistem hukum, Kejaksaan memiliki kedudukan yang sentral dalam penegakan
hukum, di Indonesia. Sebagai salah satu sub sistem hukum, Kejaksaan berada
dalam satu kesatuan yang teratur dan terintegrasi, saling mempengaruhi dan
saling mengisi dengan sub sistem lainnya untuk mencapai tujuan dari sistem
hukum tersebut. Dari aspek kelembagaan, sub sistem hukum yang lain dalam
penegakan hukum di Indonesia adalah hakim, polisi, advokat/penasihat
hukum/pengacara, lembaga permasyarakatan, bahkan tersangka, terdakwa dan
terpidana.

Dalam UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Pasal 2 ayat (1)
menegaskan bahwa Kejaksaan RI adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan
kekuasaan negara dalam bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan
undang-undang. Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis),
mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi
Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke
Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara
Pidana. Disamping sebagai penyandang Dominus Litis, Kejaksaan juga
merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive
ambtenaar).

66
BAB IV

KEHAKIMAN

4.1 Sistem Kehakiman di Indonesia

Sistem Kehakiman Indonesia moden dibentuk oleh pemerintahan Hinda Belanda


Pada tahun 1978 , Raad van Justitie menjadikan mahkamah di Batavia sebagai
"Mahkamah Agung" untuk sebarang rayuan terhadap keputusan mahkamah-
mahkamah di Semarang dan Surabaya di Indonesia. Walaupun demikian,
Bataafse Republiek yang dikeluarkan pada tahun 1804 menetapkan bahawa:
"Susunan Kehakiman untuk penduduk pribumi akan tetap tinggal menurut
undang-undang serta adat mereka". Walaupun piagam tersebut tidak pernah
dikuatkuasakan kerana Bataafse Republiek dengan segera digantikan oleh
pemerintahan Hindia-Belanda ketentuan tersebut banyak mempengaruhi
pelaksanaan tugas Herman Willem Daendels, Gabenor Jeneral Hindia Belanda,
yang dilantik pada tahun 1807.

Pada tahun 1812 semasa pemerintahan British, susunan kehakiman untuk


penduduk Eropa diperluas oleh Leftenan Jeneral Stamford Raffles untuk
merangkumi penduduk asli yang tinggal di Batavia, Semarang, dan Surabaya.
Dalam Konvensyen London pada tahun 1814 selepas kekalahan Napoleon
Bonaparte dalam peperangan di Eropah, hampir semua daerah jajahan Hindia
Belanda yang diduduki oleh pihak British dikembalikan kepada Belanda.
Penyerahan kembali Pemerintahan Belanda tersebut diatur dalam St. 1816 No. 5.
Pada tahun 1819, St. 1819 No. 20 menetapkan bahawa undang-undang jenayah
dan sivil akan digubal untuk seluruh Jawa dan Madura, kecuali Jakarta,
Semarang, dan Surabaya, serta daerah-daerah berjiran yang masih dikekalkan di
bawah bidang kuasa Raad van Justitie. Dengan demikian, terdapat perbezaan
dalam susunan mahkamah antara penduduk asli yang tinggal di kota-kota tersebut
dan sekitarnya dengan penduduk asli yang tinggal di "desa-desa" (di pedalaman).

67
Bagi penduduk Eropah pula, susunan mahkamah seperti yang berikut dibentuk:
Mahkamah Hooggerechtshof di Jakarta, dan Mahkamah Raad van Justitie
masing-masing di Jakarta, Semarang dan Surabaya. Mahkamah Hooggerechtshof
juga bertindak sebagai mahkamah rayuan untuk keputusan-keputusan Mahkamah
Raad van Justitie.

Keputusan Gabenor Jeneral Hindia Belanda pada 3 Disember1847 yang kuasakan


pada 1 Mei1848 menetapkan susunan mahkamah di Jawa dan Madura seperti
yang berikut :

1. Mahkamah Hooggerechtshof (Mahkamah Agung)

2. Mahkamah Raad van Justitite

3. Mahkamah Rechtbank van Omgang

4. Mahkamah Landraad

5. Mahkamah Regentschapsgerecht (Mahkamah Keregenan)

6. Mahkamah Districtsgerecht (Mahkamah Daerah)

Susunan mahkamah berdasarkan keputusan Gabenor Jeneral tersebut membeza-


bezakan antara penduduk Indonesia dengan penduduk Eropah seperti yang
berikut:

Bangsa Indonesia Bangsa Eropah

Undang-undang Sivil

1. Districtsgerecht 1. Residentiegerecht

2. Regentschapsgerecht 2. Raad van Justitie

3. Landraad 3. Hooggerechtshof

68
4. Raad van Justitie

5. Hooggerechtshof

Undang-undang Jenayah

1. Idem 1. Landraad

2. Raad van Justitie

3. Hooggerechtshof

Pada tahun 1944 semasa pendudukan Jepun, Mahkamah Hooggerechtshof


(Saikoo Hooin ), badan kehakiman yang tertinggi dibubarkan melalui Undang-
undang No. 2 tahun 1944. Segala tugasnya, iaitu kekuasaan melakukan
pengawasan tertinggi terhadap jalannya kehakiman, diberikan kepada Mahkamah
Tinggi (Kooto Hooin ). Oleh itu, pada saat pembentukan Perlembagaan Republik
Indonesia 1945, Indonesia tidak mempunyai Badan Kehakiman yang tertinggi.

Satu-satunya ketentuan yang menunjuk ke arah pembentukan badan kehakiman


yang tertinggi ialah Fasal 24, Ayat 1 dalam Perlembagaan Republik Indonesia
1945. Maka dengan keluarnya Penetapan Pemerintah No. 9/S.D. tahun 1946,
Jakarta ditetapkan sebagai kedudukan Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Walaupun demikian, peraturan tersebut hanya menetapkan tempatnya sahaja.
Barulah dengan Undang-undang No. 7 tahun 1947 bahawa susunan kekuasaan
Mahkamah Agung dan Kejaksaaan Agung ditetapkan pada 3 Mac1947. Namun
dengan pembentukan Perlembagaan Republik Indonesia pada 18 Ogos1945,
Mahkamah Agung sebagai suatu badan kehakiman yang tertinggi menjadi suatu
kenyataan.

Pada tahun 1948, Undang-undang No. 7 tahun 1947 digantikan dengan Undang-
undang No. 19 tahun 1948 yang menetapkan bahawa:

69
1. Mahkamah Agung Indonesia ialah mahkamah persekutuan yang tertinggi.

2. Mahkamah-mahkamah persekutuan yang lain boleh diasaskan melalui


undang-undang persekutuan, dengan pengertian bahawa Daerah
Persekutuan Jakarta akan membentuk sekurang-kurangnya sebuah
mahkamah persekutuan yang mengadili pada peringkat pertama, serta
sekurang-kurangnya satu mahkamah persekutuan yang mengadili pada
peringkat rayuan.

Oleh sebab Perlembagaan Republik Indonesia 1945 telah dikembalikan dan tidak
sesuai dengan keadaan, maka pada tahun 1965, undang-undang digubal untuk
menggantikan Undang-undang No. 19 tahun 1948 dan Undang-undang No. 1
tahun 1950 dengan Undang-undang No. 13 tahun 1965 tentang mahkamah-
mahkamah awam dan Mahkamah Agung. Mahkamah Agung pernah ditempatkan
di luar Jakarta, iaitu di Yogyakarta, mulai dari bulan Julai 1946 sebelum
dikembalikan ke Jakarta pada 1 Januari1950 dengan pemulihan kedaulatan,
setelah selesainya Sidang Meja Bulat dengan pihak Belanda yang hendak
mengembalikan penjajahan mereka di Indonesia. Dengan demikian, Mahkamah
Agung terletak di luar Jakarta selama tiga tahun setengah.

Pada mula-mulanya, Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung berada di bawah


satu atap, bahkan di bawah satu jabatan, iaitu Jabatan Kehakiman. Kejaksaan
Agung dipisahkan daripada Mahkamah Agung sejak lahirnya Undang-undang
Pokok Kejaksaan (Undang-Undang No. 15 tahun 1961) di bawah Pendakwa
Agung Gunawan yang telah menjadi Menteri Pendakwa Agung. Para penjawat
Mahkamah Agung (Ketua, Timbalan Ketua, Hakim, dan Pendaftar) mulai
diberikan pangkat tentera bergelar dengan Peraturan Pemerintah 1946 No. 7 yang
bertarikh 1 Ogos1946, sebagai pelaksanaan Fasal 21 Undang-undang No. 7 tahun
1946 tentang Mahkamah Tentera.

Pada 1 Januari1950, Dr. Kusumah Atmadja mengambil alih pejabat dan bekas
kakitangan Mahkamah Hooggerechtshof. Pada waktu ini, keanggotaan
Mahkamah Agung terdiri daripada:

70
 Ketua: Kusumah Atmadja

 Timbalan Ketua: Satochid Kartanegara

 Anggota: Husen Tirteamidjaja, Wiijono Prodjodikoro, dan Sutan Kali


Malikul Adil

 Pendaftar: Soebekti

 Pendakwa Agung: Tirtawinata.

4.2 Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Bertanggung Jawab

Dalam pidato penutupan Sidang Tahunan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat


(MPR) Tahun 2002, Ketua MPR Amien Rais mengatakan: “Reformasi konstitusi
yang telah dilakukan merupakan suatu langkah besar demokrasi dalam upaya
menyempurnakan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menjadi konstitusi yang
demokratis, konstitusi yang sesuai dengan semangat zaman, konstitusi yang
mampu mewadahi dinamika bangsa dan perubahan zaman pada masa yang akan
datang. Dengan UUD yang telah diamendir, di hadapan kita telah terbentang
suatu era Indonesia baru yang lebih demokratis dan lebih maju”.

Terlepas dari berbagai pandangan terhadap pidato Ketua MPR di atas, tidak dapat
dipungkiri bahwa salah satu langkah besar yang dimaksud adalah perubahan
terhadap kekuasaan kehakiman. Sebelum amandemen, kekuasaan kehakiman
diatur dengan amat terbatas dalam UUD 1945. Bahkan, dalam pasal-pasal yang
mengatur kekuasaan kehakiman tidak ditemukan jaminan terhadap kekuasaan
kehakiman yang merdeka. Pasal 24 UUD 1945 menentukan: (1) kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan
kehakiman menurut undang-undang, dan (2) susunan dan kekuasaan badan-
badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang. Kemudian, Pasal 25 UUD
1945 menentukan, syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai
hakim ditetapkan dengan undang-undang.

71
Menyadari bahwa untuk memastikan terwujudnya kekuasaan kehakiman yang
merdeka diperlukan jaminan yang tegas dalam konstitusi, langkah besar yang
dihasilkan dalam amandemen UUD 1945 tidak hanya menyebutkan secara
eksplisit kekuasaan kehakiman yang merdeka. Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945
menegaskan, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Tidak
hanya itu, Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 mengamanatkan bahwa kekuasaan
kehakiman tidak hanya dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung tetapi juga oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi. Bahkan bagi seorang hakim, Pasal 24A Ayat (2)
UUD 1945 secara eksplisit menentukan, hakim agung harus memiliki integritas
dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di
bidang hukum. Khusus untuk menjaga kemandirian dan integritas hakim,
amandemen UUD 1945 juga memunculkan sebuah lembaga baru, yaitu Komisi
Yudisial.

Untuk mengkaji secara komprehensif implikasi hasil amandemen UUD 1945


terhadap kekuasaan kehakiman, tulisan ini membahas KEKUASAAN
KEHAKIMAN YANG MERDEKA DAN BERTANGGUNG JAWAB DI
MAHKAMAH AGUNG. Sesuai dengan hal tersebut, pembahasan dibagi dalam
tiga isu pokok, yaitu (1) peraturan perundang-undangan apa saja yang berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman yang memerlukan penyesuaian pasca-amandemen
UUD 1945, (2) setelah dibentuk lembaga-lembaga baru pasca-amandemen,
bagaimanakah hubungan checks and balances antara lembaga-lembaga tersebut
khususnya menyangkut kewenangan secara kelembagaan masing-masing, dan (3)
bagaimanakah kaitan antara pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang merdeka
dengan pertanggungjawabannya kepada publik.

4.3 Kehakiman dalam Kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

Kejahatan merupakan masalah sosial yang tidak hanya dihadapi oleh Indonesia
atau masyarakat dan negara tertentu, tetapi merupakan masalah yang dihadapi
oleh seluruh masyarakat di dunia. Kejahatan sebagaimana dikatakan oleh

72
Saiichiro Uno merupakan suatu unversal phenomena, tidak hanya jumlahnya saja
yang meningkat tetapi juga kualitasnya dipandang serius dibanding masa-masa
lalu. Lebih dari itu para ahli juga mengatakan disamping merupakan masalah
yang universal juga berlangsung terus menerus seperti dikatakan oleh para ahli
hukum Alan Cofey, Edward Eldefonso dan Walter Hartinger dengan ungkapan
kalimat “There has been a civilized society that did not find itself continually
with crime” Problema kejahatan dan cara penanggulangannya selalu saja
dihadapi oleh setiap negara apapun bentuk dan sistem hukumnya. Mulai dari
street crime seperti pembunuhan, perampokan, penganiayaan dan sebagainya
sampai pada apa yang disebut sebagai white collar crime atau yang dikenal
dengan istilah kejahatan kerah putih seperti korupsi, kejahatan perbankan dan
sebagainya. Apapun jenis dan bentuknya, kejahatan selalu menimbulkan reaksi
yang keras dari masyarakat. Bahkan masalah kejahatan kini semakin
membutuhkan peranan dari ahli-ahli kriminologi untuk memberikan kontribusi
pemikirannya dalam rangka pencegahan kejahatan.Cara-cara penanggulangan
kejahatan terlebih di bidang bisnis yang selama ini cenderung hanya terfokus
pada kejahatan yang dilakukan oleh korporasi kini telah mulai dipikirkan tentang
cara-cara pencegahan yang berorientasi pada usaha mencegah atau mengurangi
kesempatan untuk terjadinya kejahatan.

Angka statistik kriminal menunjukan jumlah kerugian yang diakibatkan oleh


terjadinya kejahatan. Data statistic criminal kepolisian sebagai perbandingan
tahun 1995 korban penganiayaan berat 1.219 wanita diperkosa,18.826 kendaraan
bermotor dicuri. Angka-angka tersebut pun belum tentu aktual karena
kemungkinan banyak pula kejahatan yang tidak dilaporkan ke polisi seperti
misalnya kasus pemerkosaan mempunyai angka gelap (dark number) yang tinggi
disebabkan karena banyak keluarga atau korban yang merasa malu untuk
melaporkan kasusnya. Angka gelap atau dark number adalah jumlah kejahatan
yang tidak terungkap karena berbagai sebab, diantaranya adalah karena dalam
banyak kasus ketika kejahatan terjadi aparat peradilan pidana tidak merespon
secara keseluruhan.

73
Proses peradilan pidana secara normal mulai beroperasi hanya ketika kejahatan
telah dilaporkan kepada polisi sebagaimana dikatakan oleh Michael Cavadino
dan James Dignan bahwa :“In many cases when a crime is committed, the
agencies of criminal justice never respond at all. For the criminal justice process
normally start to operate only when a crime is reported to the police, and by no
means all crimes are reported”. Perkembangan kejahatan dewasa ini tidak lagi
hanya sebatas teritorial suatu negara melainkan sudah melampaui batas teritorial
dan bahkan sudah menimbulkan dampak terhadap dua negara atau lebih serta
sudah memiliki lingkup dan jaringan internasional. Perkembangan kejahatan
internasional sudah menjadi perhatian masyarakat internasional terutama dari
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam hal ini dirasakan semakin penting perlunya
kerjasama internasional secara efektif berkenaan dengan masalah-masalah
kejahatan nasional dan transnasional.

Sejalan dengan perkembangan kejahatan di atas, maka upaya penanggulangan


kejahatan melalui instrumen hukum pidana juga mengalami perkembangan.
Sistem peradilan pidana telah ada sepanjang awal peradaban manusia. Abdur R.
Khandaker dalam kaitan ini menyatakan bahwa kejahatan ditemukan atau ada di
semua kultur atau budaya, dan setiap masyarakat menghasilkan mekanisme atau
cara untuk mengendalikan atau membasmi kejahatan ini. Dikatakan bahwa cime
is found in all cultures, and each society has generated mechanism to control or
eradicate it. Globalisasi yang oleh para ahli ekonomi dan bisnis didefinisikan
sebagai “the activities of multinational enterprises engaged in foreign direct
investment and the development of business networks to create value across
national borders” telah menambah maraknya variasi bentuk kejahatan yang
semakin membutuhkan perhatian yang serius dari para ahli pencegahan kejahatan
dan peradilan pidana.

Secara historis sebelum lahirnya pendekatan sistem, dikenal apa yang disebut
sebagai pendekatan hukum dan ketertiban atau “law and order approach” yang
bertumpu pada asas legalitas. Namun pendekatan hukum dan ketertiban ini dalam
praktek ternyata menimbulkan penafsiran ganda bagi petugas kepolisian, yaitu di

74
satu sisi penggunaan hukum sebagai instrumen ketertiban dimana hukum pidana
berisikan perangkat hukum untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat dan
penggunaan hukum pidana sebagai pembatas bagi aparat penegak hukum dalam
melaksanakan tugasnya, dengan kata lain hukum pidana bertugas melindungi
kemerdekaan individu dalam kerangka suatu sistem ketertiban masyarakat.
Dalam kenyataannya pendekatan hukum dan ketertiban ini telah mengalami
kegagalan terutama dalam menekan angka kriminalitas terutama di Amerika
Serikat sehingga muncul gagasan pendekatan sistem atau system approach di
dalam mekanisme administrasi peradilan pidana. Pendekatan ini dalam teori
kriminologi dan prevensi kejahatan dikenal sebagai “criminal justice system
model”.

Peradilan pidana dapat diartikan sebagai suatu proses bekerjanya beberapa


lembaga penegak hukum. Mekanisme peradilan pidana tersebut meliputi aktivitas
yang bertahap dimulai dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang
pengadilan, dan pelaksanaan putusan hakim yang dilakukan oleh lembaga
pemasyarakatan. Proses yang bekerja secara berurutan tersebut pada dasarnya
menuju pada suatu tujuan bersama yang dikehendaki. Keseluruhan proses itu
bekerja di dalam suatu sistem, sehingga masing-masing lembaga itu merupakan
subsistem yang saling berhubungan mempengaruhi antara satu dengan yang lain.
Dalam sistem peradilan pidana tersebut bekerja komponen-komponen fungsi atau
subsistem yang masing-masing harus berhubungan dan bekerja sama
sebagaimana dikatakan oleh Alan Coffey bahwa : “Criminal justice can function
systematically only to the degrees that each segment of the system takes into
account all other segments. In order words, the system is no more systematic than
the relationships between Police and prosecution, Police and Court Prosecution
and Corrections, Corrections and law, and so forth. In the absence of functional
relationships between segments, the criminal justice system is vulnerable to
fragmentation and ineffectiveness” .

Jadi fragmentasi dalam arti masing-masing subsistem bekerja sendiri-sendiri dan


tidak memperhatikan antar hubungan diantara sub-subsistem yang ada harus

75
dihindari bilamana diinginkan suatu sistem peradilan pidana yang efektif.
Berkaitan dengan hal di ini , Muladi menyatakan bahwa dalam konsep penegakan
hukum, telah berkembang kesepakatan-kesepakatan dan penegasan-penegasan
yang antara lain perlu dikembangkannya sistem peradilan pidana yang terpadu.
Sistem peradilan pidana terpadu tersebut mencakup sub-subsistem kepolisian,
kejaksaan, pengadilan dan lembaga koreksi (lembaga pemasyarakatan).
Disamping itu mengingat peranannya yang semakin besar, penasihat hukum
dapat pula dimasukkan sebagai subsistem. Dijelaskan selanjutnya, sistem
peradilan pidana terpadu adalah sistem yang mampu menjaga keseimbangan
perlindungan kepentingan, baik kepentingan negara, kepentingan masyarakat,
maupun kepentingan individu termasuk kepentingan pelaku tindak pidana dan
korban kejahatan. Menurut Muladi , makna integrated criminal justice system ini
adalah sinkronisasi atau keserampakan dan keselarasan yang dapat dibedakan
dalam :

1. Sinkronisasi struktural (structural syncronization);


2. Sinkronisasi substansial (substantial syncronization);
3. Sinkronisasi kultural (cultural syncronization).

Sinkronisasi struktural adalah keserampakan dan keselarasan dalam kerangka


hubungan antara lembaga penegak hukum, sinkronisasi substansial adalah
keserampakan dan keselarasan yang bersifat vertikal dan horisontal dalam
kaitannya dengan hukum positif, sedangkan sinkronisasi kultural adalah
keserampakan dan keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-
sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan
pidana. Wacana tentang sistem peradilan pidana terpadu ini telah lama
mengemuka. Bahkan, dapat dikatakan seiring dengan pembentukan UU No.8
Tahun 1981 tentang KUHAP. Sejak saat itu wacana pembentukan sistem
peradilan pidana terpadu terus-menerus diupayakan sampai saat ini. TAP MPR
RI No. VII/MPR/2000 tentang Laporan Tahunan Lembaga-Lembaga Tinggi
Negara, antara lain menekankan bahwa Mahkamah Agung perlu melaksanakan
asas-asas Sistem Peradilan Pidana Terpadu. Keterpaduan mengandung makna

76
fixed control arrangements dan sekaligus koordinasi yang sering diartikan
sebagai suatu proses pencapaian tujuan melalui kebersamaan norma dan nilai
(share norms and values ). Apabila keterpaduan dalam bekerjanya sistem tidak
dilakukan, diperkirakan akan terdapat tiga kerugian sebagai berikut :

a) Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-


masing instansi, sehubungan dengan tugas mereka bersama;
b) Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masing-
masing instansi (sebagai subsistem dari sistem peradilan Pidana);
c) Karena tangung jawab masing-masing instansi sering kurang jelas terbagi,
maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh
dari Sistem Peradilan Pidana.

Muladi menyatakan makna dari sistem peradilan pidana terpadu didasarkan pada
keseimbangan antara tindak pidana (daad) dan pelaku (dader) tindak pidana
tersebut. Muladi mendasarkan pandangannya pada tujuan atau fungsi ganda
Hukum Pidana, yaitu :

a) Secara primer berfungsi sebagai sarana penanggulangan kejahatan yang


rasional;
b) Secara sekunder, sebagai sarana pengaturan tentang kontrol sosial, baik
yang dilaksanakan secara spontan atau dibuat oleh negara dengan alat
perlengkapannya.

Dalam fungsi sekunder inilah Hukum Pidana modern bertujuan untuk policing
the police, yaitu melindungi warga masyarakat dari campur tangan penguasa
yang mungkin menggunakan pidana sebagai sarana secara tidak benar. Berkaitan
dengan fungsi hukum pidana tersebut, Packer menyatakan bahwa kesadaran
untuk menjalankan kedua fungsi tersebut secara hati-hati akan semakin menjadi
besar, bilamana setiap masalah dalam hukum pidana dipertimbangkan dengan
seksama. Masalah-masalah utama tersebut adalah kejahatan, kesalahan dan
pidana. Dalam sistem peradilan pidana terpadu, lembaga atau instansi yang
bekerja dalam penegakan hukum, meskipun tugasnya berbeda-beda dan secara

77
internal mempunyai tujuan sendiri-sendiri, tetapi pada hakikatnya masing-masing
subsistem dalam sistem peradilan pidana tersebut saling bekerjasama dan terikat
pada satu tujuan yang sama. Hal ini bisa terjadi jika didukung adanya sinkronisasi
dari segi substansi yang mencakup produk hukum di bidang sistem peradilan
pidana yang memungkinkan segenap subsistem dapat bekerja secara koheren,
koordinatif dan integratif.

Disamping itu juga di dukung oleh adanya sinkronisasi secara struktural di


masing-masing subsistem peradilan pidana seperti kepolisian, kejaksaan, dan
pengadilan, lembaga pemasyarakatan juga dalam hubungan fungsional secara
terpadu diantara unsur-unsur peradilan pidana tersebut termasuk dalam hal ini
adalah dengan unsur penasihat hukum/advokat dan last but not least adalah
sinkronisasi kultural dalam arti ada kesamaan nilai-nilai, pandangan-pandangan
dan sikap-sikap yang dihayati bersama diantara komponen sistem peradilan
pidana tersebut dalam rangka mencapai tujuan akhir sistem peradilan pidana yaitu
kesejahteraan masyarakat (social welfare). Tiadanya cara pandang, sikap dan
nilai-nilai tertentu yang mendukung keterpaduan sistem peradilan pidana akan
menyebabkan terjadinya fragmentasi dalam penegakan hukum dan mengarah
pada “instansi sentris” yang sangat tidak memungkinkan bagi terwujudnya sistem
peradilan pidana terpadu.
Menurut Barda Nawawi Arief sistem peradilan pidana pada hakikatnya identik
dengan sistem penegakan hukum pidana. Sistem penegakan hukum pidana pada
dasarnya merupakan sistem kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana yang
diimplementasikan/diwujudkan dalam 4 (empat) sub sistem, yaitu :

(1) kekuasaan penyidikan oleh lembaga penyidik;

(2) kekuasaan penuntutan oleh lembaga penuntut umum;

(3) kekuasaan mengadili/menjatuhkan putusan oleh badan peradilan; dan

(4) kekuasaan pelaksanan hukum pidana oleh aparat pelaksana eksekusi.

78
Keempat subsistem itu merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana
yang integral atau sering disebut dengan istilah Sistem Peradilan Pidana atau SPP
terpadu atau integrated criminal justice system.

4.4 Lembaga Peradilan Transparan Terhadap Pengawasan Masyarakat


yang Efektif

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang menjamin


kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menjalankan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Salah satu substansi penting perubahan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah adanya Komisi
Yudisial.

Komisi Yudisial adalah lembaga pengawas eksternal terhadap penyelenggaraan


kekuasaan kehakiman oleh badan peradilan dan hakim. Menurut A. Ahsin
Thohari, argumen utama bagi terwujudnya (raison d’atre) Komisi Yudisial di
dalam suatu Negara hukum, adalah: (1) komisi Yudisial dibentuk agar dapat
melakukan monitoring yang intensif terhadap kekuasaan kehakiman dengan
melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spektrum yang seluas-luasnya dan
bukan hanya monitoring secara internal, (2) komisi Yudisial menjadi perantara
(mediator) atau penghubung antara kekuasaan pemerintah (executive power) dan
kekuasaan kehakiman (judicial power) yang tujuan utamanya adalah untuk
menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman dari pengaruh kekuasaan apapun
juga khususnya kekuasaan pemerintah, (3) dengan adanya Komisi Yudisial,
tingkat efisiensi dan efektivitas kekuasaan kehakiman (judicial power) akan
semakin tinggi dalam banyak hal, baik yang menyangkut rekruitmen dan
monitoring hakim agung maupun pengelolaan keuangan kekuasaan kehakiman,
(4) terjaganya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan
memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus
(Komisi Yudisial), dan (5) dengan adanya Komisi Yudisial, kemandirian
kekuasaan kehakiman (judicial power) dapat terus terjaga, karena politisasi

79
terhadap perekrutan hakim agung dapat diminimalisasi dengan adanya Komisi
Yudisial yang bukan merupakan lembaga politik, sehingga diasumsikan tidak
mempunyai kepentingan politik.

Beranjak dari argumen-argumen di atas, jelaslah bahwa Komisi Yudisial adalah


Lembaga Negara yang bersifat mandiri dan mempunyai peranan yang sangat
penting dalam usaha mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui
kewenangannya mengusulkan pengangkatan hakim agung serta melakukan
pengawasan (pengawasan eksternal) terhadap hakim agung dan hakim yang
transparan dan partisipatif guna menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim.

Pada prinsipnya ketentuan Pasal 24B Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945 tidak saja merupakan landasan hukum terhadap kehadiran
Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, tetapi juga
menjadi landasan hukum yang kuat bagi reformasi bidang hukum dengan
memberikan kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk mewujudkan checks and
balances, dalam arti walaupun Komisi Yudisial bukan pelaku kekuasaan
kehakiman namun fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, yaitu
fungsi pengawasan. Jadi jelaslah bahwa Komisi Yudisial adalah lembaga negara
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang salah satu wewenangnya adalah melakukan pengawasan
terhadap hakim, yang meliputi hakim agung dan hakim pada badan peradilan di
semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta
hakim Mahkamah Konstitusi.

Dalam posisinya sebagai lembaga negara yang baru, perlu dan untuk tujuan
memberi informasi kepada masyarakat kiranya dalam tulisan ini dikemukakan
juga secara singkat mengenai kedudukan, wewenang dan tugas Komisi Yudisial.
Mengenai kedudukan dari Komisi Yudisial dapat kita lihat dari ketentuan Pasal 1
Butir ke-1 Undang Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang
menyatakan bahwa “Komisi Yudisial adalah lembaga negara sebagaimana

80
dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945”. Ketentuan ini menegaskan bahwa kedudukan Komisi Yudisial adalah
sebagai lembaga negara yang keberadaannya bersifat konstitusional.
Berkaitan dengan itu, menurut Pasal 2 Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 yang
menyatakan bahwa “Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang bersifat
mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau
pengaruh kekuasaan lain”. Kemandirian Komisi Yudisial itu dijamin oleh
ketentuan Pasal 24B Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, bahwa: “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim”.
Selanjutnya mengenai wewenang dan tugas dari Komisi Yudisial Republik
Indonesia dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal 24A Ayat (3) dan Pasal 24B
Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
diimplementasikan dalam Pasal 13 Undang Undang No. 22 Tahun 2004 pada
pokoknya wewenang dari Komisi Yudisial adalah:

1. Mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada Dewan Perwakilan


Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan
sebagai hakim agung oleh Presiden; dan
2. Mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Dari apa yang telah diuraikan di atas, maka jelaslah mengenai kedudukan,
wewenang dan tugas dari Komisi Yudisial Republik Indonesia sebagai lembaga
negara yang mandiri yang salah satu kewenangannya adalah melakukan fungsi
pengawasan terhadap hakim agung dan hakim pada badan peradilan di semua
lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung dan hakim
Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

81
4.5 Peran Lembaga Pengawas Eksternal terhadap Hakim.

Bahwa praktek penyalahgunaan wewenang di badan peradilan cenderung


menguat dan merusak seluruh sendi peradilan, mengakibatkan menurunnya
kewibawaan dan kepercayaan badan peradilan terhadap masyarakat dan dunia
internasional. Keadaan badan peradilan yang demikian tidak dapat dibiarkan terus
berlangsung, perlu dilakukan upaya-upaya yang luar biasa yang berorientasi
kepada terciptanya badan peradilan dan hakim yang sungguh-sungguh dapat
menjamin masyarakat dan pencari keadilan memperoleh keadilan, dan
diperlakukan secara adil dalam proses pengadilan sesuai peraturan perundang-
undangan.
Disadari bahwa terjadinya praktek penyalahgunaan wewenang di lembaga
peradilan sebagaimana dikemukakan di atas, disebabkan oleh banyak faktor
antara lain dan terutama adalah tidak efektifnya pengawasan internal (fungsional)
yang ada di badan peradilan. Sehingga tidak terbantahkan, bahwa pembentukan
Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas eksternal didasarkan pada lemahnya
pengawasan internal tersebut. Menurut Mas Achmad Santosa, bahwa lemahnya
pengawasan internal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (1)
kualitas dan integritas pengawas yang tidak memadai, (2) proses pemeriksaan
disiplin yang tidak transparan, (3) belum adanya kemudahan bagi masyarakat
yang dirugikan untuk menyampaikan pengaduan, memantau proses serta hasilnya
(ketiadaan akses), (4) semangat membela sesama korps (esprit de corps) yang
mengakibatkan penjatuhan hukuman tidak seimbang dengan perbuatan. Setiap
upaya untuk memperbaiki suatu kondisi yang buruk pasti akan mendapat reaksi
dari pihak yang selama ini mendapatkan keuntungan dari kondisi yang buruk itu,
dan (5) tidak terdapat kehendak yang kuat dari pimpinan lembaga penegak
hukum untuk menindak-lanjuti hasil pengawasan.
Beranjak dari pendapat di atas, menunjukkan bahwa tidak efektifnya fungsi
pengawasan internal badan peradilan pada dasarnya disebabkan oleh dua faktor
utama, yaitu adanya semangat membela sesama korps (esprit de corps) dan tidak
adanya kehendak yang sungguh-sungguh dari pimpinan badan peradilan untuk

82
menindaklanjuti hasil pengawasan internal terhadap hakim, sehingga membuka
peluang bagi hakim yang terbukti melakukan pelanggaran hukum dan kode etik
untuk mendapat “pengampunan” dari pimpinan badan peradilan yang
bersangkutan, sehingga tidak dikenakan sanksi sebagaimana mestinya. Oleh
karena itu, kehadiran suatu lembaga khusus yang menjalankan fungsi
pengawasan eksternal terhadap hakim.

Lembaga khusus tersebut adalah Komisi Yudisial. Sebagai lembaga negara yang
lahir dari tuntutan reformasi (reformasi hukum) dan berwenang untuk melakukan
reformasi peradilan, terutama dalam posisinya sebagai lembaga pengawas
eksternal, tidak mungkin Lembaga Negara ini membiarkan terus terjadinya
praktek penyalahgunaan wewenang di badan peradilan. Jadi, apabila dipahami
spirit dan orientasinya tidak berlebihan bahkan sejalan dengan tuntutan konstitusi
dan semangat reformasi peradilan apabila Komisi Yudisial melakukan langkah-
langkah dan strategi yang progresif dan proaktif dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim seperti
menyusun dan mengusulkan draft Peraturan Pemerintah Pengganti Undang
Undang (Perpu) tentang Perubahan Atas Undang Undang No. 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial kepada Presiden melalui Menteri Hukum dan HAM.
Draft Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang tersebut semata-mata
bertujuan untuk mengatasi berbagai penyalahgunaan wewenang badan peradilan,
memulihkan kewibawaan badan peradilan, serta memulihkan kepercayaan
masyaratakat dan pencari keadilan terhadap hakim sebagai penyelenggara utama
fungsi pengadilan.

Semua pihak, terutama para pihak yang terlibat dalam upaya penegakan hukum
dan pengawal reformasi hukum (reformasi peradilan) harus memahami dengan
benar, bahwa Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang secara hukum dan
konstitusional diberikan amanat dan mempunyai tanggungjawab untuk
memulihkan kewibawaan dan kepercayaan masyarakat terhadap badan peradilan
dan hakim melalui fungsi pengawasan (pengawas eksternal) yang dimilikinya.
Dalam kerangka itu, sepatutnya semua pihak yang mempunyai niat yang tulus

83
dalam upaya penegakan hukum dan keadilan, terutama dalam rangka reformasi
peradilan mendukung setiap upaya Lembaga Komisi Yudisial, yaitu agar dalam
pelaksanaan dan wewenangnya dapat berjalan efektif.

Mengingat peranan penting dari pengadilan dalam rangka menegakkan hukum


dan keadilan, maka terciptanya pengadilan yang merdeka, netral (tidak berpihak),
kompeten dan berwibawa yang mampu menegakkan wibawa hukum,
pengayoman hukum, kepastian hukum dan keadilan merupakan conditio sine qua
non atau persyaratan mutlak dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum.
Hanya pengadilan yang memiliki semua kriteria tersebut yang dapat menjamin
terwujudnya kepastian hukum dan keadilan.

Sebagai pelaku utama badan peradilan, maka posisi dan peran hakim agung dan
hakim menjadi sangat penting, terlebih dengan segala kewenangan yang
dimilikinya sangat memerlukan pengawasan yang efektif. Melalui putusannya,
seorang hakim misalnya: dapat mengalihkan hak kepemilikan seseorang,
mencabut kebebasan warga negara, menyatakan tidak sah tindakan sewenang-
wenang pemerintah terhadap masyarakat, sampai dengan memerintahkan
penghilangan hak hidup seseorang, dan lain-lain. Oleh karena itu, wewenang dan
tugas yang dimiliki oleh hakim harus dilaksanakan dalam rangka menegakkan
hukum, kebenaran, dan keadilan sesuai kode etik tanpa pandang bulu dengan
tidak membeda-bedakan orang seperti diatur dalam lafal sumpah seorang hakim,
di mana setiap orang sama kedudukannya di depan hukum (equality before the
law) dan hakim. Kewenangan hakim yang sangat besar itu menuntut
tanggungjawab yang tinggi, sehingga putusan pengadilan yang diucapkan dengan
irah-irah “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” mengandung
arti bahwa kewajiban menegakkan kebenaran dan keadilan itu wajib
dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada semua manusia, dan secara
vertical dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa

Untuk dapat melaksanakan semua fungsinya secara efektif, hakim tentu


membutuhkan kepercayaan dari masyarakat dan pencari keadilan. Hanya dengan

84
adanya kepercayaan itulah pengadilan dapat menyelesaikan perkara melalui jalur
hukum dengan baik. Kepercayaan terhadap lembaga peradilan tidaklah muncul
dengan sendirinya, tetapi harus melalui berbagai pembuktian bahwa badan
peradilan dan hakim sungguh-sungguh menjunjung tinggi hukum serta
menegakkan kebenaran dan keadilan secara benar dan konsisten. Oleh karenanya,
dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan itu, maka hakim sebagai
pelaksana utama dari fungsi pengadilan, harus mempunyai komiten, tekad, dan
semangat dalam membersihkan badan peradilan dari segala bentuk
penyalahgunaan wewenang dalam rangka memulihkan kewibawaan badan
peradilan dan upaya memulihkan kepercayaan masyarakat kepada hakim. Salah
satu hal penting yang disorot masyarakat untuk mempercayai hakim, adalah
perilaku dari hakim yang bersangkutan, baik dalam menjalankan tugas
yudisialnya maupun dalam kesehariannya. Karena itu setiap hakim harus menjaga
dan menegakkan kehirmatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dalam
rangka mewujudkan kebenaran dan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.

Bahwa fungsi pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial terhadap hakim agung
dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di
bawah Mahkamah Agung serta hakim Mahkamah Konstitusi meliputi
pengawasan yang bersifat preventif sampai dengan pengawasan yang bersifat
represif sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 24B ayat (1) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diimplementasikan
dalam Pasal 13 Huruf b, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 23 Undang-
undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

Mengenai fungsi pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia


sebagaimana dikemukakan di atas, diperkuat juga oleh ketentuan Pasal 34 ayat
(3) Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Ketentuan
Pasal 34 Ayat (3) menentukan bahwa: ”Dalam rangka mkehormatan, keluhuran
martabat serta perilaku hakim agung dan hakim, pengawasan dilakukan oleh
Komisi Yudisial yang diatur dalam undang-undang”. Hal ini sekaligus

85
mempertegas eksistensi dan fungsi Komisi Yudisial Republik Indonesia sebagai
lembaga pengawas eksternal terhadap hakim agung dan hakim dalam
melaksanakan tugas yudisialnya. Pengawasan eksternal terhadap hakim oleh
Komisi Yudisial memegang peranan yang sangat penting dan bertujuan agar para
hakim dalam menjalankan wewenang dan tugasnya sungguh-sungguh didasarkan
dan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku, kebenaran,
dan rasa keadilan masyarakat serta menjunjung tinggi kode etik profesi hakim.
Apabila hakim menjalankan wewenang dan tugasnya dengan baik dan benar,
maka bukan hanya kepastian hukum dan keadilan yang dapat diwujudkan, tetapi
juga kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim pun terpelihara.

Oleh karena itu, sifat hakim yang dilambangkan dalam kartika, cakra, candra,
sari, dan tirta merupakan sifat-sifat yang harus ditumbuhkembangkan dan
diwujudkan secara nyata dalam tindakan dan perilaku hakim agar senantiasa
berlandaskan pada prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, adil, bijaksana dan
berwibawa, berbudi luhur, serta menjunjung tinggi kejujuran. Ketaqwaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa adalah landasan dari semua prinsip-prinsip dalam
pedoman perilaku hakim. Ketaqwaan berarti percaya dan taqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan percayaannya masing-masing menurut
dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa ini mampu mendorong hakim untuk berperilaku baik dan penuh tanggung
jawab sesuai ajaran dan tuntunan agama dan kepercayaan yang dianutnya.
Disadari bahwa hakim dalam melaksanakan wewenang dan tugas tidak terlepas
dari berbagai kepentingan dari berbagai pihak. Keadaan yang demikian itu, tentu
rentan dan dapat menimbulkan conflict of interest bagi pribadi hakim yang
bersangkutan, sehingga perbuatan atau perilaku hakim yang demikian itu dapat
menodai kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, misalnya seorang
hakim menunjukkan sikap dan perilaku yang memihak kepada salah satu pihak
yang bersengketa dalam menjalankan tugas yudisialnya. Dalam menghadapi
keadaan yang demikian hakim harus dan dituntut untuk memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, dan professional.

86
Oleh karena itu, keberadaan Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas
eksternal terhadap hakim, serta dimasukkan dalam struktur kekuasaan kehakiman
Indonesia adalah agar warga masyarakat di luar struktur resmi lembaga parlemen
dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan, penilaian kinerja, dan kemungkinan
pemberhentian hakim sangatlah penting. Hal ini maksudkan untuk menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dalam rangka
mewujudkan kebenaran dan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dengan kehormatan dan keluhuran martabatnya, kekuasaan kehakiman yang
merdeka dan bersifat imparsial (independent and impartial judiciary) diharapkan
dapat diwujudkan, yang sekaligus diimbangi oleh prinsip akuntabilitas kekuasaan
kehakiman, baik dari segi hukum maupun segi etika. Untuk itu diperlukan suatu
institusi pengawasan yang independen terhadap para hakim, yang dibentuk di luar
struktur Mahkamah Agung. Melalui lembaga pengawas eksternal tersebut
aspirasi masyarakat di luar struktur resmi dapat dilibatkan dalam proses
pengangkatan para hakim agung serta dilibatkan pula dalam proses penilaian
terhadap etika kerja dan kemungkinan pemberhentian para hakim karena
pelanggaran terhadap etika.

Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan hakim, Komisi Yudisial


akan memperhatikan apakah putusan yang dibuat sesuai dengan kehormatan
hakim dan rasa keadilan yang ada dalam masyarakat. Sedangkan dalam menjaga
dan menegakkan keluhuran martabat hakim Komisi Yudisial harus mengawasi
apakah profesi hakim itu telah dijalankan sesuai etika profesi dan memperoleh
pengakuan masyarakat, serta mengawasi dan menjaga agar para hakim tetap
dalam hakekat kemanusiaannya, berhati nurani, sekaligus memelihara harga
dirinya, dengan tidak melakukan perbuatan tercela.Sejalan dengan fungsi
pengawasan oleh Komisi Yudisial itu, hakim dituntut untuk menjunjung tinggi
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku dalam melaksanakan wewenang
dan tugasnya sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman. Kehormatan adalah
kemulian atau nama baik yang senantiasa harus dijaga dan dipertahankan dengan
sebaik-baiknya oleh para Hakim dalam menjalankan fungsi pengadilan.

87
Kehormatan hakim itu terutama terlihat pada putusan yang dibuatnya, dan
pertimbangan yang melandasi, atau keseluruhan proses pengambilan keputusan
yang bukan saja berlandaskan peraturan perundang-undangan, tetapi juga rasa
keadilan yang timbul dari masyarakat. Sebagaimana halnya kehormatan,
keluhuran martabat yang merupakan tingkat harkat kemanusiaan atau harga diri
yang mulia yang sepatutnya tidak hanya dimiliki, tetapi harus dijaga dan
dipertahankan oleh hakim melalui sikap tindak atau perilaku yang berbudi pekerti
luhur. Hanya dengan sikap tindak atau perilaku yang berbudi pekerti luhur itulah
kehormatan dan keluhuran martabat Hakim dapat dijaga dan ditegakkan.

Sedangkan keluhuran menunjukkan bahwa profesi hakim adalah suatu


kemuliaan, atau profesi hakim adalah suatu officium nobile. Bila suatu profesi
terdiri dari aspek-aspek (1) organisasi profesi yang solid, (2) standar profesi, (3)
etika profesi, (4) pengakuan masyarakat, dan (5) latar belakang pendidikan
formal, maka suatu profesi officium nobile terutama berlandaskan etika profesi
dan pengakuan masyarakat. Sedangkan martabat menunjukkan tingkat hakekat
kemanusiaan, sekaligus harga diri. Selain tidak menodai kehormatan dan
keluhuran martabatnya, maka seorang hakim harus menunjukkan perilaku
berbudi pekerti luhur. Perilaku dapat diartikan sebagai tanggapan atau reaksi
individu terhadap rangsangan atau lingkungan. Perilaku hakim dapat
menimbulkan kepercayaan, tetapi juga menyebabkan ketidak-percayaan
masyarakat kepada putusan pengadilan. Ketidakpuasan masyarakat terhadap
putusan pengadilan sebagian disebabkan oleh kenyataan bahwa putusan hakim
sering dianggap tidak adil, kontroversial, bahkan tidak dapat dieksekusi secara
hukum. Keadaan ini menuntut hakim harus sungguh-sungguh memiliki integritas
dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, dan profesional dalam rangka
membangun dan menumbuhkan kepercayaan masyarakat dari masyarakat. Alat
hukum yang terdapat dalam hukum acara guna memperoleh keadilan dan
kebenaran, dalam prakteknya telah disalahgunakan untuk menakuti pihak lawan,
khususnya mereka yang tidak memiliki waktu dan uang untuk mengikuti proses
litigasi yang panjang. Sungguh beralasan apabila kurangnya kepatuhan pada etika

88
profesinyapun diarahkan kepada hakim. Jadi sangatlah beralasan apabila hakim
harus mempunyai budi pekerja yang luhur dalam keseharian maupun dalam
menjalankan tugas yudisialnya. Budi pekerti luhur ini adalah sikap dan perilaku
yang didasarkan kepada kematangan jiwa yang diselaraskan dengan norma-
norma yang berlaku di dalam masyarakat. Oleh karena itu, orang berbudi pekerti
luhur dalam bertindak dan berperilaku menggunakan perasaan, pemikiran, dan
dasar pertimbangan yang jelas, dalam arti ada dasar yang mengatur dan
berdasarkan akal sehat. Ini berarti bahwa bukan hanya kehormatan dan keluhuran
martabat itu yang harus dijaga dan ditegakkan, tetapi juga perilaku dari Hakim.

Setiap profesi termasuk hakim menggunakan sistem etika terutama untuk


menyediakan struktur yang mampu menciptakan disiplin tata kerja dan
menyediakan garis batas tata nilai yang dapat dijadikan pedoman para profesional
untuk menyelesaikan dilema etika yang dihadapi saat menjalankan fungsi
pengembanan profesinya sehari-hari. Etika merupakan norma-norma yang dianut
oleh kelompok, golongan atau masyarakat tertentu mengenai perilaku yang baik
dan buruk. Lebih dari itu, etika adalah refleksi kritis dan rasional mengenai
norma-norma yang terwujud dalam perilaku hidup manusia, baik secara pribadi
atau kelompok. Sistem etika bagi profesional dirumuskan secara konkret dalam
suatu kode etik profesi yang secara harfiah berarti etika yang ditulis. Kode etik
ibarat kompas yang memberikan atau menunjukkan arah bagi suatu profesi dan
sekaligus menjamin mutu moral profesi itu dalam masyarakat. Tujuan kode etik
ini adalah menjunjung tinggi martabat profesi atau seperangkat kaedah perilaku
sebagai pedoman yang harus dipatuhi dalam mengemban suatu profesi.

Kode etik profesi merupakan inti yang melekat pada suatu profesi, ialah kode
perilaku yang memuat nilai etika dan moral. Hakim dituntut untuk profesional
dan menjunjung etika profesi. Profesionalisme tanpa etika menjadikannya “bebas
sayap” (vluegel vrij) dalam arti tanpa kendali dan tanpa pengarahan. Sebaliknya,
etika tanpa profesionalisme menjadikannya “lumpuh sayap” (vluegel lam) dalam
arti tidak maju bahkan tidak tegak. Pelanggaran atas suatu kode etik profesi
tidaklah terbatas sebagai masalah internal lembaga peradilan, tetapi juga

89
merupakan masalah masyarakat. Dan pada kenyataannya kode etik profesi dan
pengawasan internal pada hakim tidak mampu untuk menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim tersebut. Beranjak dari apa
yang diuraikan, jelaslah bahwa Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas
eksternal terhadap hakim mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis
dalam upaya mendorong dan menciptakan hakim untuk selalu menjunjung tinggi
hukum, kebenaran, keadilan, dan kode etik dalam melaksanakan wewenang dan
tugasnya. Untuk itu tentu saja para hakim harus memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, dan profesional, sehingga kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim terjaga dan sesuai dengan yang
diharapkan oleh masyarakat dan pencari keadilan.

4.6 Kesimpulan Bab 4

Menyadari bahwa untuk memastikan terwujudnya kekuasaan kehakiman yang


merdeka diperlukan jaminan yang tegas dalam konstitusi, langkah besar yang
dihasilkan dalam amandemen UUD 1945 tidak hanya menyebutkan secara
eksplisit kekuasaan kehakiman yang merdeka. Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945
menegaskan, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Tidak
hanya itu, Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 mengamanatkan bahwa kekuasaan
kehakiman tidak hanya dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung tetapi juga oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi. Bahkan bagi seorang hakim, Pasal 24A Ayat (2)
UUD 1945 secara eksplisit menentukan, hakim agung harus memiliki integritas
dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di
bidang hukum. Khusus untuk menjaga kemandirian dan integritas hakim,
amandemen UUD 1945 juga memunculkan sebuah lembaga baru, yaitu Komisi
Yudisial.

90
BAB V

LEMBAGA PEMASYARAKATAN

5.1 Tinjauan Tentang Lembaga Pemasyarakatan

Pembangunan hukum sebagai upaya untuk menegakan keadilan, kebenaran dan


ketertiban dalam Negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945, diarahkan untuk meningkatkan kesadaran hokum,
menjamin penegakan, pelayanan dan kepastian hukum nasional yang mengabdi
pada kepentingan nasional. Dalam era pembangunan dewasa ini, kejahatan
merupakan masalah yang sangat meresahkan masyarakat. Kejahatan selalu akan
ditemukan di dalam masyarakat manapun juga, meski masyarakat itu sendiri
tidak pernah mendambakan kehadirannya. Oleh karena itu peran pemerintah
sangat penting dalam hal mengupayakan berbagai hal untuk mengupayakannya,
antara lain berupa penjatuhan pidana atau pemidanaan bagi mereka yang telah
terbukti melakukan tindak pidana.

Pelaksanaan pidana atau pemidanaan dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan


melalui suatu pembinaan dan bimbingan yang diberikan kepada mereka yang
telah melanggar hukum. Kebijakan pembinaan dengan system Pemasyarakatan
ini mencerminkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara yang menjujung tinggi
Hak Asasi Manusia (HAM). Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) sebagai institusi
teknik di jajaran Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia dan menjadi
wadah memasyarakatan kembali setiap orang (individu) yang telah melakukan
pelanggaran hukum, cukup relevan dikedepankan oleh karena mengingat
Lembaga Pemasyarakatan adalah institusi yang berhubungan langsung dengan
pembinaan dan warga binaan dan juga tahanan.

Setiap hari kita menemukan berbagai pemberitaan mengenai tindakan kejahatan


baik yang dilakukan secara berkelompok maupun individu secara terang-terangan
melakukan suatu tindakan kejahatan yang dapat merenggut korban baik individu

91
maupun kelompok melahirkan adanya perseteruan tindakan kejahatan. Kenyataan
ini menjadi suatu isu yang diemban oleh pemerintah untuk dapat menanggulangi
kejahatan-kejahatan tersebut dengan meningkatkan kewaspadaan para petugas
keamanan serta masyarakat dalam menggagalkan segala macam kejahatan dan
berbagai modus operandinya dengan cara menangkap para pelaku kejahatan agar
dihukum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Namun hal
demikian tersebut tidak memberikan efek jera terhadap pelaku kejahatan.
Kenyataannya setelah mereka bebas masih saja kerap melakukan lagi
pelanggaran dan tindak pidana.

Untuk mewujudkan proses proses pembinaan dan bimbingan yang maksimal,


Lembaga Pemasyarakatan sebagai salah satu wadah pembinaan dituntut untuk
lebih ditingkatkan peranannya dalam membina tahanan dan warga binaan. Hal
tersebut didukung dengan berlakunya Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995
Tentang Sistem Pemasyarakatan. Dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 15
Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan disebutkan bahwa “Sistem Pemasyarakatan
diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan (narapidana, anak didik
pemasyarakatan dan klien pemasyarakatan) agar menjadi manusia seutuhnya,
menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana
sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif
berperan dalam pembangunan dan hidup secara wajar sebagai warga yang baik
dan bertanggung jawab.

Hal ini berarti bahwa pembinaan terhadap narapidana juga harus bermanfaat, baik
selama yang bersangkutan menjalani pidana maupun setelah selesai menjalani
pidana, sehingga mereka memiliki kesempatan yang sama dengan anggota
masyarakat pada umumnya untuk dapat memberikan kontribusinya sebagai
anggota masyarakat yang aktif dan produktif dalam pembangunan bangsa. Warga
binaan sebagai anggota masyarakat yang karena tindak pidana yang dilakukannya
berada di dalam lembaga pemasyarakatan sebagai anggota masyarakat yang oleh
karena tindak pidana yang dilakukannya berada di dalam Lembaga
Pemasyarakatan juga tidak terlepas dari hakikatnya sebagai manusia yang harus

92
berkerja untuk memenuhi tuntutan hidup, kehidupan dan penghidupan, sehingga
pekerjaan memiliki nilai yang sangat strategis dan penting dalam pembinaan
warga binaan.

Dengan dilaksanakannya pidana kurungan berdasarkan sistem pemasyarakatan,


maka posisi sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia, disamping
mengembalikan narapidana kedalam masyarakat (reintegrasi sehat) mengandung
pula pengertian yang lebih luas yaitu juga berfungsi pencegahan terhadap
kejahatan. Dengan singkat tujuan pidana kurungan ialah pemasyarakatan.
15
Sistem Pemasyarakatan mengharuskan dirubahnya penjara menjadi lembaga
pemasyarakatan (Lapas). Dirubahnya sangkar menjadi sanggar, karena hanya
didalam sanggar pengayoman, pembinaan terpidana berdasarkan sistem
pemasyarakatan dan proses – proses pemasyarakatan dapat terwujud. Berkaitan
dengan upaya pembinaan dan penegakan hukum serta keadilan maka peranan
lembaga pemasyarakatan semakin penting artinya untuk mendidik dan membina
warga binaan yang menjalani hukuman. Oleh karena itu kewenangan ini harus
dijalankan dengan penuh rasa tanggung jawab terutama penyempurnaan sarana
maupun bimbingan para petugasnya, sehingga setelah habis pidanannya, maka
para warga binaan dapat kembali hidup ditengah-tengah masyarakat secara
normal dan wajar kembali seperti biasanya.

Namun yang menjadi tantangan dewasa ini adalah sejauh mana peranan lembaga
pemasyarakatan berfungsi secara efektif dalam melakukan pembinaan terhadap
warga binaan. Persoalan ini tergantung dari daya dukung yang tersedia sehingga
jaminan bagi narapidana untuk menjalani pembinaan secara tertib, sehingga
harapan untuk meningkatkan perubahan mental dan keterampilan secara bertahap
dapat terwujud. Setiap perbuatan jahat yang dilakukan seseorang harus mendapat
ancaman pidana sebagai sesuatu pembalasan dan kepadanya wajib menjalani
pidana kurungan. Oleh karena itu bagi orang-orang yang diancam dengan pidana
kurungan tidak dapat dinilai sebagai suatu tindakan balas dendam tetapi hakikat

15Krisnowo Harkistuti, Sistem Peradilan Pidana Terpadu ( Integreted Criminal Justice System),
Jakarta, 2002, hlm. 21.

93
dari ancaman pidana ini adalah salah satu upaya pembinaan yang dilakukan oleh
pemerintah melalui lembaga Pemasyarakatan sebagia tempat yang tepat untuk
menyadarkan pelaku-pelaku kejahatan ke arah yang positif sehingga anggapan
yang keliru dari masyarakat tentang pemidanaan yang kurang adil, disamping
perlakuan yang tidak manusiawi terhadap warga binaan dapat dihilangkan.

Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada


Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan
jasmani dan rohani Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. Pembinaan
yang dilaksanakan dalam sistem pemasyarakatan tidak terlepas dari instansi
pelaksanaannya. Pembinaan yang dilakukan hanya dapat diberikan kepada
Narapidana bukan kepada tahanan, karena disamping kasusnya belum tuntas dan
belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap (incracht) tetapi ia juga masih
dalam tahap proses penyidikan, penuntutan maupun persidangan di pengadilan.
Oleh karena itu kepadanya masih dikenakan Azas Praduga Tak
Bersalah. Pembinaan yang dilakukan terhadap Narapidana dalam sistem
pemasyarakatan bekerjasama dengan instansi atau lembaga yang terkait yaitu
Departemen Hukum dan Hak Azasi Manusia, Departemen Sosial, Departemen
Tenaga Kerja, Departemen Pendidikan, dan instansi lainnya. Jadi sebenarnya
yang berhak melaksanakan pembinaan terhadap Narapidana adalah Lembaga
Pemasyarakatan dan Balai Pemasyarakatan dengan metode pem-binaan yang
dilaksanakan berupa pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan dan di luar
Lembaga Pemasyarakatan. Pembinaan di dalam Lembaga Pemasya-rakatan
dilaksanakan oleh Lembaga Pemasyarakatan sedangkan pembinaan di luar
Lembaga Pemasyarakatan dilaksanakan oleh Balai Pemasyarakatan.

Sistem Pemasyarakatan erat kaitannya dengan pelaksanaan pidana hilang


kemerdekaan yang dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan penjatuhan pidana.
Pelaksanaan sistem hilang kemerdekaan yang berlangsung selama kurun waktu
tertentu merupakan refleksi-refleksi historis dalam perkembangan falsafah Peno
Koresksional dari masa ke masa. Secara singkat dapat dikatakan sejarah
Pemasyarakatan memuat value oriented atau value centered, karena Sistem

94
Pemasyarakatan itu sendiri konsisten dengan sistem nilai yang berlaku di
masyarakat. Konsepsi Pemasyarakatan, bukan semata-mata merumuskan tujuan
dari pidana penjara, melainkan suatu sistem pembinaan, suatu methodology
dalam bidang Treatment of Offenders. Sistem Pemasyarakatan bersifat
multilateral oriented, dengan pendekatan yang berpusat kepada potensi-potensi
yang ada, baik pada individu yang bersangkutan maupun yang ada di tengah-
tengah masyarakat, sebagai suatu keseluruhan. Secara singkat, Sistem
Pemasyarakatan merupakan bagian dari pidana pokok dalam sistem pidana hilang
kemerdekaan.

Sistem pidana penjara mulai dikenal di Indonesia dalam Wet Boek Van Strafrecht
Voor Nederland Indie, atau lebih dikenal dengan Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP), tepatnya pada Pasal 10 yang berbunyi : Pidana terdiri atas : (a)
Pidana Pokok terdiri dari Pidana Mati, Pidana Penjara, Pidana Kurungan, Pidana
Denda, Pidana Tutupan, (b) Pidana Tambahan terdiri dari : Pencabutan hak-hak
tertentu, perampasan barang-barang tertentu, pengumuman Putusan hakim.
Sistem Pidana Penjara melahirkan Sistem Kepenjaraan yang berlandaskan kepada
Reglement Penjara. Reglement Penjara sebagai instrumen penjatuhan pidana
penjara memerlukan wadah atau tempat pelaksanaan yang dikenal dengan
Rumah-rumah penjara. Secara etimologi kata penjara berasal dari penjoro (Jawa)
yang berarti tobat atau jera. Istilah Pemasyarakatan secara resmi menggantikan
istilah kepenjaraan sejak tanggal 27 April 1964, melalui amanat tertulis Presiden
Soekarno dibacakan pada Konfrensi Dinas Para Pejabat Kepenjaraan di Lembang
Bandung. Amanat ini dimaksudkan dalam rangka retooling dan reshaping dari
sistem kepenjaraan yang dianggap tidak selaras dengan adanya ide Pengayoman
sebagai konsepsi hukum nasional yang berkepribadian Pancasila.
Gagasan Pemasyarakatan dicetuskan pertama kali oleh Dr Sahardjo, SH, tepatnya
pada tanggal 5 Juli 1963 dalam pidato penganugerahan gelar Doktor Honoris
Causa di bidang ilmu hukum oleh Universitas Indonesia, dikemukakan bahwa : “
Di bawah pohon beringin pengayoman telah kami tetapkan untuk menjadi
penyuluh bagi petugas dalam membina narapidana, maka tujuan pidana penjara

95
kami rumuskan : di samping menimbulkan rasa derita, pada narapidana agar
bertobat, mendidik supaya ia menjadi anggota masyarakat Indonesia yang
berguna. Dengan singkat tujuan pidana penjara adalah Pemasyarakatan”.

Pemasyarakatan mengharuskan dirubahnya sangkar menjadi sanggar karena


hanya di dalam Sanggar Pengayoman, pembinaan narapidana berdasarkan sistem
pemasyarakatan dapat terwujud. Dalam perkembangan selanjutnya pelaksanaan
Sistem Pemasyarakatan semakin mantap dengan diundangkannya Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Secara implisit
menyatakan bahwa Sistem Pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas
Pengayoman, persamaan perlakuaan dan pelayanan, pendidikan, penghormatan
harkat dan martabat manusia, kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya
derita serta terjaminnya hak untuk berhubungan dengan keluarga dan orang-orang
tertentu.

5.2 Prisip-prinsip Pemasyarakatan

Adanya model pembinaan bagi narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan


tidak terlepas dari sebuah dinamika, yang bertujuan untuk lebih banyak
memberikan bekal bagi Narapidana dalam menyongsong kehidupan setelah
selesai menjalani masa hukuman (bebas). Seperti halnya yang terjadi jauh
sebelumnya, peristilahan Penjara pun telah mengalami perubahan menjadi
pemasyarakatan. Tentang lahirnya istilah Lembaga Pemasyarakatan dipilih sesuai
dengan visi dan misi lembaga itu untuk menyiapkan para narapidana kembali ke
masyarakat. Istilah ini dicetuskan pertama kali oleh Rahardjo, S.H. yang
menjabat Menteri Kehakiman RI saat itu.

Pemasyarakatan dinyatakan sebagai suatu sistem pembinaan terhadap para


pelanggar hukum dan sebagai suatu pengejawantahan keadilan yang bertujuan
untuk mencapai reintegrasi sosial atau pulihnya kesatuan hubungan antara Warga
Binaan Pemasyarakatan dengan masyarakat. Dalam perkembangan selanjutnya
Sistem Pemasyarakatan mulai dilaksanakan sejak tahun 1964 dengan ditopang
oleh UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. UU Pemasyarakatan itu

96
menguatkan usaha-usaha untuk mewujudkan suatu sistem Pemasyarakatan yang
merupakan tatanan pembinaan bagi Warga Binaan Pemasyarakatan. Dengan
mengacu pada pemikiran itu, mantan Menteri Hukum dan HAM Hamid
Awaludin mengatakan bahwa pemasyarakatan adalah suatu proses pembinaan
yang dilakukan oleh negara kepada para narapidana dan tahanan untuk menjadi
manusia yang menyadari kesalahannya.

Selanjutnya pembinaan diharapkan agar mereka mampu memperbaiki diri dan


tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukannya. Kegiatan di dalam LP
bukan sekedar untuk menghukum atau menjaga narapidana tetapi mencakup
proses pembinaan agar warga binaan menyadari kesalahan dan memperbaiki diri
serta tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukan. Dengan demikian
jika warga binaan di LP kelak bebas dari hukuman, mereka dapat diterima
kembali oleh masyarakat dan lingkungannya dan dapat hidup secara wajar seperti
sediakala. Fungsi Pemidanaan tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan
suatu proses rehabilitasi dan reintegrasi sosial Warga Binaan yang ada di dalam
LP.

Tentu saja hal ini sangat kontradiktif apabila dibandingkan dengan visi dan misi
pemasyaratan sebagai tempat pembinaan narapidana, agar keberadaannya dapat
diterima kembali oleh masyarakat sewaktu bebas. Perlu bagi kita untuk sejenak
melihat kembali tujuan pengadaan Lembaga Pemasyarakatan sebagai tempat
untuk membina dan menyiapkan seorang narapidana menjadi “lurus” dan siap
terjun kembali ke masyarakatnya kelak. Apakah selama ini pola dan cara
pembinaan dalam Lembaga Pemasyarakatan sudah sampai pada tujuannya?
Apakah bukannya pola pembinaan di LP itu malah membekali si narapidana
akan kelak lebih profesional? Butuh pemikiran bersama dalam mengurai benang
kusut di balik jeruji besi selama ini Sebagai dasar pembinaan dari Sistem
Pemasyarakatan adalah sepuluh prinsip Pemasyarakatan yaitu :

1. Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan


peranannya sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna.

97
2. Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam Negara.
3. Berikan bimbingan bukan penyiksaan supaya mereka bertobat.
4. Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk atau jahat
daripada sebelum dijatuhi pidana.
5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, para narapidana dan anak
didik harus dikenalkan dengan dan tidak boleh diasingkan dari
masyarakat.
6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak boleh
bersifat sekedar pengisi waktu, juga tidak boleh diberikan pekerjaan untuk
memenuhi kebutuhan dinas atau kepentingan Negara sewaktu-waktu saja.
Pekerjaan yang diberikan harus satu dengan pekerjaan di masyarakat dan
yang menunjang usaha peningkatan produksi.
7. Bimbingan dan didikan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik
harus berdasarkan Pancasila.
8. Narapidana dan anak didik sebagai orang-orang yang tersesat adalah
manusia, dan mereka harus diperlakukan sebagai manusia.
9. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan
sebagai salah satu derita yang dialaminya.
10. Disediakan dan dipupuk sarana-sarana yang dapat mendukung fungsi
rehabilitatif, korektif dan edukatif dalam Sistem Pemasyarakatan.

Dalam melaksanakan pembinaan tersebut, ada beberapa faktor yang perlu


diperhatikan ketika menyusun program pembinaan yaitu :

a. Tujuan kegiatan
b. Target kegiatan
c. Pelaksanaan kegiatan (petugas)
d. Peseta kegiatan (warga binaan pemasyarakatan)
e. Jenis kegiatan
f. Sarana dan biaya
g. Jangka waktu dan schedule kegiatan
h. Monitoring dan evaluasi

98
Poin penting yang hendak dicapai dalam pembinaan ini sebenarnya adalah
memperbaiki diri dan tingkah laku Narapidana agar ia dapat kembali hidup di
tengah-tengah masyarakat sebagaimana mestinya dan diharapkan tidak me-
ngulangi lagi untuk melakukan tindak pidana, sehingga masyarakat dapat hidup
dengan rasa aman, tertib dan damai. Pembinaan yang dilaksanakan dalam sistem
pemasyarakatan, di dalam ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Republik Indonesia
No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyebutkan bahwa “Pembinaan
dapat dilakukan secara intramural dan ekstramural yaitu di dalam Lembaga
Pemasyarakatan dan di luar Lembaga Pemasyarakatan” dengan arti kata
pembinaan itu dijalankan secara bertahap.

Tahap dari pola pelaksanaan pembinaan tersebut terdiri dari 4 (empat)


sebagai berikut :

a. Pembinaan Tahap Awal

Terhadap setiap Narapidana yang masuk di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan


penelitian untuk mengetahui segala hal ikhwal perihal dirinya, termasuk sebab-
sebab ia melakukan pelanggaran dan segala keterangan mengenai dirinya yang
dapat diperoleh dari keluarga, bekas majikan atau atasannya, teman sekerja, si
korban dari perbuatannya serta dari petugas instansi lain yang telah menangani
perkaranya. Pembinaan tahap ini disebut pembinaan tahap awal, dimana kegiatan
masa pengamatan, pe-nelitian dan pengenalan lingkungan untuk menentukan
perencanaan pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian yang
waktunya dimulai pada saat yang bersangkutan berstatus sebagai narapidana
sampai dengan 1/3 (sepertiga) dari masa pidananya. Pembina-an pada tahap ini
masih dilakukan dalam Lembaga Pemasyarakatan, dan pengawasannya
maksimum (maximum security).

b. Pembinaan Tahap Lanjutan Pertama

99
Apabila proses pembinaan terhadap Narapidana yang bersangkutan telah
berlangsung selama 1/3 (sepertiga) dari masa pidana yang sebenarnya dan
menurut pendapat Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) sudah di-capai cukup
kemajuan, antara lain menunjukkan keinsyafan, perbaikan, disiplin dan patuh
pada peraturan tata tertib yang berlaku di Lembaga Pe-masyarakatan, maka
Narapidana yang bersangkutan diberikan kebebasan lebih banyak dan bisa
ditempatkan pada Lembaga Pemasyarakatan dengan pengawasan medium
security.

c. Pembinaan Tahap Lanjutan Kedua

Apabila proses pembinaan terhadap Narapidana telah dijalani 1/2 (seperdua) dari
masa pidana yang sebenarnya dan menurut Tim Pengamat Pemasyarakatan telah
dicapai cukup kemajuan-kemajuan, baik secara fisik ataupun mental dan juga
segi keterampilannya, maka wadah proses pembinaan-nya diperluas dengan
asimilasi dengan masyarakat (berada di luar tembok Lembaga Pemasyarakatan)
antara lain : ber-ibadah, bekerja, bersekolah atau mengikuti kegiatan-kegiatan
sosial di masyarakat dan pada sore harinya mereka kembali ke Lembaga
Pemasya-rakatan. Pada tahap ini pengawasan kepada Narapidana sudah relatif
berkurang atau dengan minimum security.

d. Pembinaan Tahap Akhir

Apabila proses pembinaan telah menjalani 2/3 (dua per tiga) dari masa pidana
yang sebenarnya atau sekurang-kurangnya 9 (sembilan) bulan. Pembinaan ini
disebut pembinaan tahap akhir, yaitu kegiatan berupa perencanaan dari
pelaksanaan program integrasi yang dimulai sejak berakhirnya tahap lanjutan
sampai dengan berakhirnya masa pidana dari Narapidana yang bersangkutan.
Pembinaan pada tahap ini terhadap Narapidana yang memenuhi syarat diberikan
Cuti Menjelang Bebas atau Pembebasan Bersyarat dan pembinaannya dilakukan
di luar Lem-baga Pemasyarakatan oleh Balai Pemasyarakatan yang kemudian

100
disebut Pembimbingan Klien Pemasyarakatan. Pembimbingan adalah pem-berian
tuntutan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, intelektual, sikap dan perilaku professional kesehatan jasmani dan rohani
klien pemasyarakatan.

Penghuni Lembaga Pemasyarakatan bisa narapidana (napi) atau Warga Binaan


Pemasyarakatan (WBP) bisa juga yang statusnya masih tahanan, maksudnya
orang tersebut masih berada dalam proses peradilan dan belum ditentukan
bersalah atau tidak oleh hakim. Sesuai Undang Undang Nomor 12 Tahun 1995,
narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di
Lembaga Pemasyarakatan. Penghuni suatu lembaga pemasyarakatan atau orang-
orang tahanan itu terdiri dari :

1. Mereka yang menjalankan pidana penjara dan pidana kurungan;

2. Orang-orang yang dikenakan penahanan sementara;

3. Orang-orang yang disandera.

4. Lain-lain orang yang tidak menjalankan pidana penjara atau pidana


kurungan, akan tetapi secara sah telah dimasukkan ke dalam lembaga
pemasyarakatan.

Golongan orang-orang yang dapat dimasukkan atau ditempatkan di dalam


lembaga pemasyarakatan itu ialah :

1. Mereka yang ditahan secara sah oleh pihak kejaksaan;


2. Mereka yang ditahan secara sah oleh pihak pengadilan;
3. Mereka yang telah dijatuhi hukuman pidana hilang kemerdekaan oleh
pengadilan negeri setempat;
4. Mereka yang dikenakan pidana kurungan;
5. Mereka yang tidak menjalani pidana hilang kemerdekaan, akan tetapi
dimasukkan ke lembaga pemasyarakatan secara sah.

101
Dalam proses pembinaan narapidana oleh Lembaga Pemasyarakatan dibutuhkan
sarana dan prasarana pedukung guna mencapai keberhasilan yang ingin dicapai.
Sarana dan prasarana tersebut meliputi :

1. Sarana Gedung Pemasyarakatan

Gedung Pemasyarakatan merupakan representasi keadaan penghuni di dalamnya.


Keadaan gedung yang layak dapat mendukung proses pembinaan yang sesuai
harapan. Di Indonesia sendiri, sebagian besar bangunan Lembaga
Pemasyarakatan merupakan warisan kolonial, dengan kondisi infrastruktur yang
terkesan ”angker” dan keras. Tembok tinggi yang mengelilingi dengan teralis
besi menambah kesan seram penghuninya.

2. Pembinaan Narapidana

Bahwa sarana untuk pendidikan keterampilan di Lembaga Pemasyarakatan sangat


terbatas, baik dalam jumlahnya maupun dalam jenisnya, dan bahkan ada sarana
yang sudah demikian lama sehingga tidak berfungsi lagi, atau kalau toh
berfungsi, hasilnya tidak memadai dengan barang-barang yang diproduksikan di
luar (hasil produksi perusahan).

3. Petugas Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan

Petugas pemasyarakatan adalah pegawai negeri sipil yang menangangi


pembinaan narapidana dan tahanan di lembaga pemasyarakatan. Berkenaan
dengan masalah petugas pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan, ternyata dapat
dikatakan belum sepenuhnya dapat menunjang tercapainya tujuan dari pembinaan
itu sendiri, mengingat sebagian besar dari mereka relatif belum ditunjang oleh
bekal kecakapan melakukan pembinaan dengan pendekatan humanis yang dapat
menyentuh perasaan para narapidana, dan mampu berdaya cipta dalam
melakukan pembinaan.

102
5.3 Paradigma Sistem Pembinaan Narapidana

Ironis, hampir seluruh tindak kejahatan yang ditangani oleh Sistem Peradilan
Pidana Indonesia selalu berakhir di penjara. Padahal penjara bukan solusi terbaik
dalam menyelesaikan masalah-masalah kejahatan, khususnya tindak kejahatan di
mana “kerusakan” yang ditimbulkan oleh tindak kejahatan tersebut masih bisa di
restorasi sehingga kondisi yang telah “rusak” dapat dikembalikan menuju
keadaan semula, di mana dalam keadilan restoratif mi dimungkinkan adanya
penghilangan stigma dari individu pelaku. Dalam menyikapi tindak kejahatan
yang dianggap dapat direstorasi kembali, dikenal suatu paradigma penghukuman
yang disebut sebagai restorative justice, di mana pelaku kejahatan didorong
untuk memperbaiki kerugian yang telah ditimbulkannya kepada korban,
keluarganya dan juga masyarakat. Berkaitan dengan kejahatan yang
kerusakannya masih bisa diperbaiki, pada dasarnya masyarakat menginginkan
agar bagi pelaku diberikan “pelayanan” yang bersifat rehabilitatif. Masyarakat
mengharapkan para pelaku kejahatan akan menjadi lebih baik dibanding sebelum
mereka masuk kedalam institusi penjara, inilah yang dimaksud proses
rehabilitasi.

Kebutuhan dan keselamatan korban menjadi perhatian yang utama dari proses
restorative justice. Korban harus didukung dan dapat dilibatkan secara langsung
dalam proses penentuan kebutuhan hasil akhir dari kasus tindak pidana yang
dialaminya. Namun dengan demikian bukan berarti kebutuhan pelaku tindak
pidana diabaikan. Pelaku tindak pidana harus direhabilitasi dan di-reintegrasikan
ke dalam masyarakat. Konsekuensi dari kondisi mi mengakibatkan perlunya
dilakukan pertukaran informasi antara korban dan pelaku tindak pidana secara
langsung dan terjadinya kesepakatan yang saling menguntungkan di antara
keduanya sebagai hasil akhir dari tindak pidana yang terjadi.

5.4 Perwujudan Konkret Rehabilitasi dan Reintegrasi Sosial

Teori rehabilitasi dan reintegrasi sosial mengembangkan beberapa program


kebijakan pembinaan narapidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang

103
(UU) Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Program kebijakan itu
meliputi :

1. Asimilasi

Dalam asimilasi dikemas berbagai macam program pembinaan yang salah


satunya adalah pemberian latihan kerja dan produksi kepada narapidana.

2. Reintegrasi Sosial

Dalam integrasi sosial dikembangkan dua macam bentuk program pembinaan,


yaitu pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas. Pembebasan bersyarat
adalah pemberian pembebasan dengan beberapa syarat kepada narapidana yang
telah menjalani pidana selama dua pertiga dari masa pidananya, di mana dua
pertiga ini sekurang-kurangnya adalah selama sembilan bulan. Cuti menjelang
bebas adalah pemberian cuti kepada narapidana yang telah menjalani dua pertiga
masa pidanannya, di mana masa dua pertiga itu sekurang- kurangnya sembilan
bulan.

5.5 Kesimpulan Bab 5

Pelaksanaan pidana atau pemidanaan dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan


melalui suatu pembinaan dan bimbingan yang diberikan kepada mereka yang
telah melanggar hukum. Kebijakan pembinaan dengan system Pemasyarakatan
ini mencerminkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara yang menjujung tinggi
Hak Asasi Manusia (HAM).

Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) sebagai institusi teknik di jajaran


Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia dan menjadi wadah
memasyarakatan kembali setiap orang (individu) yang telah melakukan
pelanggaran hukum, cukup relevan dikedepankan oleh karena mengingat
Lembaga Pemasyarakatan adalah institusi yang berhubungan langsung dengan
pembinaan dan warga binaan dan juga tahanan.

104
Konsepsi Pemasyarakatan, bukan semata-mata merumuskan tujuan dari pidana
penjara, melainkan suatu sistem pembinaan, suatu methodology dalam bidang
Treatment of Offenders. Sistem Pemasyarakatan bersifat multilateral oriented,
dengan pendekatan yang berpusat kepada potensi-potensi yang ada, baik pada
individu yang bersangkutan maupun yang ada di tengah-tengah masyarakat,
sebagai suatu keseluruhan. Secara singkat, Sistem Pemasyarakatan merupakan
bagian dari pidana pokok dalam sistem pidana hilang kemerdekaan.

Selanjutnya pembinaan diharapkan agar mereka mampu memperbaiki diri dan


tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukannya. Kegiatan di dalam LP
bukan sekedar untuk menghukum atau menjaga narapidana tetapi mencakup
proses pembinaan agar warga binaan menyadari kesalahan dan memperbaiki diri
serta tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukan.

Dengan demikian jika warga binaan di LP kelak bebas dari hukuman, mereka
dapat diterima kembali oleh masyarakat dan lingkungannya dan dapat hidup
secara wajar seperti sediakala. Fungsi Pemidanaan tidak lagi sekedar penjeraan
tetapi juga merupakan suatu proses rehabilitasi dan reintegrasi sosial Warga
Binaan yang ada di dalam LP.

Tentu saja hal ini sangat kontradiktif apabila dibandingkan dengan visi dan misi
pemasyaratan sebagai tempat pembinaan narapidana, agar keberadaannya dapat
diterima kembali oleh masyarakat sewaktu bebas. Perlu bagi kita untuk sejenak
melihat kembali tujuan pengadaan Lembaga Pemasyarakatan sebagai tempat
untuk membina dan menyiapkan seorang narapidana menjadi “lurus” dan siap
terjun kembali ke masyarakatnya kelak. Apakah selama ini pola dan cara
pembinaan dalam Lembaga Pemasyarakatan sudah sampai pada tujuannya?
Apakah bukannya pola pembinaan di LP itu malah membekali si narapidana
akan kelak lebih profesional? Butuh pemikiran bersama dalam mengurai benang
kusut di balik jeruji besi selama ini.

105
BAB VI

ADVOKAT

6.1 Advokat Sebagai Profesi yang Bebas, Mandiri dan Bertanggungjawab

Advokat merupakan bagian diantara catur wangsa penegak hukum Indonesia


yang kerap mendapat sorotan masyarakat, terutama ketika mereka terlibat dalam
suatu sengketa hukum yang melibatkan peran advokat. Kedudukan advokat
kembali dipertanyakan dalam poin penting pembelaannya, terlebih dalam
sengketa hukum tersebut advokat mewakili kepentingan kliennya yang dalam
pandangan umum masyarakat kliennya tersebut berada di kedudukan yang salah.
Kritikan kemudian muncul, “sudah salah kok dibela, mesti maen belakang, pake
uang pelicin…”, berbagai kritikan terus mengalir dan tidak tertutup kemungkinan
penegak hukum yang menyertainya, baik jaksa maupun hakim yang memeriksa
dan memutus.

Advokat dalam lingkup proses perkara pidana disebut sebagai penasehat hukum,
dalam Undang-undang Advokat sendiri menyatakan bahwa advokat adalah orang
yang berprofesi memberikan jasa hukum, didalam dan diluar pengadilan. Entah
sebab apa yang kemudian membedakan sebutannya tersebut, namun penting
untuk diingat bahwa jasa hukum yang dimaksud pada dasarnya merupakan
tindakan untuk membela kepentingan hukum kliennya, dengan kata lain
kepentingan hukum kliennya berkaitan dengan proses sengketa itu tadi. Hal
kepentingan ini yang kemudian menjadi rancu di masyarakat.

Koordinasi diantara para penegak hukum mutlak diperlukan untuk terwujudnya


sistem peradilan yang benar-benar independen. Mulai dari tingkat polisi, jaksa,
hakim, Advokat sampai pada proses terakhir yaitu peran Lembaga
Pemasyarakatan (Kepala LP). Tentunya poin terakhir untuk keberhasilan
koordinasi ini adalah masyarakat itu sendiri. Peran masyarakat penting dalam
penegakan hukum, karena sebagai proses terakhir dari rangkaian sistem

106
penegakan hukum itu sendiri. Bahkan masyarakat pun tidak terlepas dari praktik
mafia peradilan, apakah dengan demikian masyarakat umumnya? tentu tidak,
namun mereka yang bersengketa besar kemungkinannya merupakan bagian dari
praktik mafia peradilan, akan tetapi advokatlah yang kemudian disalahkan. Ambil
konkritnya seperti ini, dalam suatu sengketa klien yang berperkara menginginkan
agar dalam proses persidangan nanti menang. Dengan berbagai alasan dan
apapun bentuknya yang penting advokat tersebut dapat memenangkan mereka.
Teori cermin (mirror theory) tentunya menjawab permasalahan siapa bagian dari
mafia peradilan itu sendiri, hanya untuk berkaca agar kita bersama dapat
membenahi carut marut peradilan saat ini.

Suatu yang menarik tentang keberadaan advokat, dibalik kritikan eksistensinya


adalah profesi ini memang penting keberadaannya. Sebutan officium nobile
tampaknya bercitra rasa mewah, elegan. Mengedepankan kerendahan hati
agaknya lebih baik, meminjam intermezo seorang advokat di Denpasar, advokat
dianalogikan seperti “toilet” (bukan diartikan yang sesungguhnya, akan tetapi
makna yang ingin diungkapkan) bukan maksud untuk merendahkan akan tetapi
keberadaannya walaupun “toilet” itu tak sedap dipandang mata dan identik
dengan sesuatu yang kurang baik untuk dibicarakan dengan kata lain kritikan
terus berdatangan, namun setiap orang yang membutuhkannya pasti akan datang
meminta bantuan untuk pembelaan kepentingan hukumnya. Sekedar kiasan
canda, bahwa sebenarnya profesi ini adalah berarti dan eksistensinya memang
mempengaruhi dalam dinamisasi hukum Indonesia. Dibalik itu semua, profesi ini
sama penting dengan catur wangsa penegakan hukum lainnya di Indonesia,
terlepas dari beragam presepsi yang menyelimutinya.

Advokat berstatus sebagai penegak hukum adalah salah satu perangkat hukum
dalam proses peradilan kedudukannya setara dengan penegak hukum
lainnya, menegakkan hukum dan keadilan. lebih tegas lagi adalah salah satu pilar
penegak supremasi hukum dan pelindung hak asasi manusia di Indonesia.
Berbicara tentang bantuan hukum dan perlindungan hak asasi manusia dalam
konteks Indonesia sebagai Negara hukum, menjadi pentingnya artinya manakala

107
dipahami bahwa dalam bangun Negara hukum melekat ciri-ciri yang mendasar,
seperti, perlindungan hukum atas hak-hak asasi manusia, persamaan hukum,
peradilan yang bebas tidak memihak dan tidak dipengaruhi oleh sesuatu
kekuasaan lain, dan legalitas dalam arti hukum dalam semua bentuknya. suatu
Negara tentu tidak dapat kita katakan sebagai Negara hukum, apabila Negara
bersangkutan tidak mampu memberikan penghargaan dan jaminan hukum
terhadap advokat, dan perlindungan hukum terhadap rakyatnya dan masalah
hak asasi manusia.

Begitu pentingnya perlindungan hukum, bantuan hukum dan hak asasi manusia,
karena menyangkut harkat dan martabat manusia di dunia, adanya instrument
HAM internasional sebagai rujukan seperti Charter of the United nation ( 1945 ),
Universal Declaration of Human Rights ( 1948 ), Indonesia telah membentuk
undang-undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi menentang
penyiksaan dan penghukuman lain yang kejam yang tidak manusiawi atau
merendahkan harkat dan martabat manusia, undang-undang Nomor. 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan undang-undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan hak asasi Manusia. Jadi setiap penegak hukum dalam
menegakkan hukum wajib mempedomani dan menaati undang-undang ini,
karena amanat bangsa Indonesia sebagai Negara hukum ( rechtstaat ) dan setiap
warga Negara mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum dan
pemerinrtahan, artinya jadi setiap warga Negara indonesia tanpa kecuali, berhak
atas perlindungan hukum, bantuan hukum dan perlakuan hukum yang manusiawi
dalam bentuk pribadi, keluarga, kehormatan, rasa aman dan rasa
keadilan, karena salah satu cita-cita dari perjuangan bangsa indonesia atau
proklamasi kemerdekaan indonesia yakni melindungi segenap tumpah darah
Indonesia dalam hukum dan hak asasi manusia.

Pada zaman penjajahan belanda di Indonesia, belanda menggunakan kekerasan


atau tekanan, membujuk dengan janji-janji, melakukan pemaksaan pengakuan
memberikan keterangan-keterangan, cara seperti itu sudah bukan saatnya lagi,
karena Indonesia sudah berada di alam kemerdekaan, boleh saja belanda

108
meninggalkan hukumnya di indonesia, tapi jangan mewarisi cara-cara
penjajah memperlakukan pribumi, ketika dituduh, didakwa melakukan
perbuatan yang melanggar hukum. dengan cara yang tidak manusiawi dalam
menegakkan hukum, ini merendahkan harkat dan martabat manusia yang sangat
bertentangan dengan hak asasi manusia, kita harus secara profesional dalam
menggali dan mengkaji peristiwa hukum dan fakta-fakta hukum yang terjadi serta
menggunakan alat-alat bukti, saksi-saksi yang ditentukan oleh KUHAP dalam
membuktikan dugaan atau sangkaan setiap orang yang diduga melakukan
perbuatan pidana untuk menegakkan hukum, bila mengabaikan itu, justru
melanggar hukum dan mencederai rasa keadilan, karena tidak sesuai undang-
undang dan bertentangan hak asasi manusia.

Setelah bangsa Indonesia yang merdeka, sudah tentu kita harus


tinggalkan hukum kolonial belanda yang tidak manusiawi dan melanggar hak-
hak azasi manusia, secara bertahap harus diganti dengan hukum yang
sesuai alam demokrasi dan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia, tegaknya
hukum dan keadilan berdasarkan pancasila, KUHAP adalah hukum acara.Produk
alam kemerdekaan, maka HIR banyak dikoreksi dan dilakukan pembaharuan,
khususnya dalam hal kedudukan dan hak-hak tersangka, terdakwa, hubungannya
dalam pemberian bantuan hukum kepada tersangka, terdakwa, KUHAP mengatur
bahwa bantuan hukum dari advokat dapat diberikan sejak seseorang ditangkap
dan ditahan, hal ini berbeda sekali dengan HIR yang mengatur bantuan hukum
itu baru dapat berikan setelah atau pada waktu pemeriksaan di muka sidang
pengadilan.

HIR (Herziene Indonesische Reglemen) hukum acara pidana lama peninggalan


belanda dan (KUHAP) Undang-undang Hukum Acara Pidana Indonesia, ( No. 8
tahun 1981 ), dibuat di alam kemerdekaan kedua hukum acara tersebut pada
substansinya memberikan hak – hak tersangka, terdakwa untuk didampingi oleh
advokat dalam persidangan, tetapi KUHAP lebih menjamin adanya kepastian
hukum dan rasa keadilan dalam proses hukum dan penegakkan hukum. Sejak
diundangkannya di Jakarta pada tanggal 5 April 2003 undang – undang Nomor.

109
18 Tahun 2003 tentang advokat, Undang-undang ini telah memberikan
kedudukan advokat secara tegas dan jelas sejajar dengan penegak hukum lainnya
seperti polisi, jaksa dan hakim, apalagi dalam pasal 37 Undang-undang No. 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman meyebutkan “ Setiap orang yang
tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.” jadi
seharusnya advokat memiliki kewenangan atau hak hukum untuk menguji
adanya bukti permulaan setiap orang yang patut disangka melakukan perbuatan
pidana bersama penegak hukum lainnya, ( prapenyidikan ) dan menjadikan azas
praduga tak bersalah, sebagai dasar untuk menguji kesalahan seseorang, apakah
cukup bukti yang ditentukan dalam KUHAP dan telah memenuhi semua unsur
pasal dari setiap pasal yang disangkakan, berdasar atau beralasan hukum,
perkara itu harus dilimpahkan ke pengadilan sebab perlakuan penahanan, bukan
vonis dan putusan yang berkekuatan hukum tetap dan eksekusi, itu terkesan
merampas kemerdekaan seseorang sudah pasti itu melanggar hak asasi hak
manusia, dan mengenyampingkan asas praduga tak bersalah, karena sifatnya
dipaksakan, undang-undang advokat merupakan asas legalitas bagi advokat
dalam menjalankan profesinya, sudah barang tentu bagi tersangka, terdakwa
yang didampingi advokat mendapatkan perlakuan yang manusiawi dan hak-
haknya sebagai tersangka, terdakwa yang ada dalam undang-undang, karena
advokat sebagai penegak hukum dijamin oleh Negara di dalam hukum dan
peraturan perundang-undangan, bebas mengeluarkan pendapat atau
pernyataan dalam mendampingi kliennya yang menjadi tanggung jawabnya
sejak dari awal penyidikan sebelum ditetapkan jadi tersangka sampai perkaranya
di pengadilan, dengan tetap berpegang pada sumpah atau janji dan kode etik
profesi dan peraturan perundang-undangan.

Kedudukan advokat sebagaimana diatur dalam undang-undang advokat dan hak-


hak tersangka dalam kitab undang-undang hukum acara pidana berkaitan erat
dengan penanganan perkara pidana atas diri tersangka, terdakwa. Advokat tidak
bisa lagi dipandang sebagai pelengkap persidangan, sebagai obyek penderita
dalam persidangan dan kadang-kala dianggap memperlambat dan mempersulit

110
jalannya persidangan, pandangan seperti ini adalah pandangan yang keliru dan
kaku, karena tidak tahu atau tidak mau tahu apa dan bagaimana kedudukan para
advokat Indonesia sekarang setelah adanya undang-undang advokat, namun
masih ada saja budaya hukum masyarakat tertentu yang alergi terhadap advokat,
ketika tersangka, terdakwa didampingi advokat, lalu menyuruh tersangka atau
keluarganya, agar tidak perlu didampingi advokat, ini konsep lama mustinya
harus ditinggalkan, karena KUHAP sendiri sudah menjamin hak-hak tersangka,
terdakwa, bahwa sejak saat ditangkap, ditahan dan disidik wajib didampingi
penasihat hukum yang berprofesi sebagai advokat, sejalan dengan perkembangan
sistem hukum sekarang dimana setiap kasus hukum beralasan untuk dibela,
karena hukum yang selalu diandalkan netral dan adil, sama rasa sama rata,
namun hukum sering tidak memberikan rasa keadilan dan tidak netral, hukum
seperti belah bambu diangkat sebelah dan diinjak sebelah yang
kadang merugikan mayoritas orang miskin yang lemah.

Menegakkan hukum selalu menyandang konsekuensi mengorbankan tersangka,


terdakwa karena menjadi obyek pemeriksaan, walaupun ada jaminan bagi
tersangka, terdakwa azas praduga tak bersalah, namun itu tidak menjamin dan
tidak memadai memberikan harapan hukum yang adil, walaupun azas Itu
ada dalam hukum, tapi terkesan disampingkan, Dalam undang-undang advokat
pasal 5 ayat (1) jelas disebutkan “ advokat adalah sebagai penegak hukum
” disebutkan sebagai penegak hukum yang mendampingi terdakwa dalam
persidangan cukup kuat, tidak sekedar sebagai obyek tetapi sebagai subyek
bersama para aparak penegak hukum lainnya, sama-sama berupaya menemukan
putusan yang adil. Dalam prakteknya kedudukan terdakwa adalah lemah,
mengingat penegak hukum seperti polisi, jaksa dan hakim pengetahuan hukum
cukup, di banding tersangka, itu perlunya kehadiran seorang advokat
untuk membantu menemukan putusan yang adil untuk terdakwa, agar proses
pencarian keadilan menjadi seimbang, karena berada dalam kedudukan masing-
masing pihak, yakni Negara melalui polisi, jaksa dan hakim berhadapan dengan
tersangka, terdakwa bersama advokat, tentu tahu apa hak-hak tersangka dalam

111
KUHAP, janganlah sampai terjadi dalam hukum kepentingan Negara
mengorbankan kepentingan rakyat ( tersangka,terdakwa ) demi tegaknya hukum
di Negara hukum.

Penilaian dulu masyarakat terhadap pembela, dulu pembela dianggap membela


yang salah dan membela yang bayar, bukan yang benar, ketika orang itu
tersandung persoalan hukum dan tidak merasa mendapat pelayanan jasa hukum
yang puas dan atau perkaranya tidak berhasil, penulis adalah advokat dan ketua
LSM “ Duta Advokasi Muslim Indonesia” Maros tidak menafihkan pandangan
itu, karena masih ada oknum menamakan diri sebagai pembela dan melakukan
profesi sebagai advokat, itu kejahatan dibidang hukum yang harus ditindaki,
itu keliru karena melecehkan profesi advokat, apalagi yang sudah
mengetahui, bahwa sudah ada undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang
advokat, advokat sekarang tidak boleh dinamakan pembela, beda dengan
penasihat hukum, sebab kata pembela dan kata advokat sudah berbeda dari segi
sosiologi, fisikologi dan kedudukan advokat, advokat sekarang sebagai penegak
hukum dalam undang-undang, untuk menjadi advokat harus sarjana hukum,
magang dua tahun, pernah mendapat pendidikan khusus advokat di kampus-
kampus yang memiliki fakultas hukum, lulus ujian advokat, serta harus
memiliki talenta, keberanian dalam arti positif, integritas kepada penegak hukum
lainnya, apalagi sesama advokat dan jankauan kerja seluruh peradilan di
Indonesia.

Pembela tidak harus sarjana hukum yang penting mengerti hukum, karena
kedudukan pembela dalam persidangan bukan sebagai penegak hukum hanya
pelengkap dalam persidangan. Jadi melalui tulisan ini advokat tidak lagi
dikatakan sama dengan pembela, harapan penulis, tidak ada lagi oknum
melakukan pekerjaan sebagai advokat dan tidak lagi dipandang pelengkap dalam
persidangan, karena KUHAP dan Undang-undang advokat tidak menamakan
pembela, tetapi pemberi bantuan hukum, tapi kita juga tidak perlu pungkiri dan
munafik mau kata advokat atau kata pembela, bila oknum advokat melakukan
perbuatan tercela dan merendahkan martabak dan harga diri seorang

112
advokat, profesi advokat adalah profesi yang mulia dan terhormat, bila kita
mampu memuliakan dan menghormati profesi kita, sebagai advokat berstatus
sebagai penegak hukum, penilaian itu, jadikan saja acuan dan
berpacu membentuk pribadi untuk megoreksi diri dan bercermin pada diri
sendiri, agar berbuat lebih berhati-hati dan menempatkan profesi advokat pada
kedudukannya sebagai penegak hukum dan profesi yang mulia dan terhormat
(officum nobile ), dalam menjalankan profesinya berada dibawah perlindungan,
hukum dan kode etik, memiliki kebebasan yang didasarkan pada kehormatan dan
kepribadian advokat yang berpegang teguh kepada kemandirian, kejujuran,
kerahasiaan dan keterbukaan serta imunitas hukum, Penampilan dipersidangan
dengan toga hitam dan dasi putih sama dengan jaksa dan hakim, menandahkan
kita sama kedudukan dalam persidangan, sama-sama penegak hukum, jadi
penilaian masyarakat biarlah masyarakat sendiri yang menilai, bagi kita advokat
senantiasa bekerja secara profesional dan sesuai bidang hukum yang menjadi
keahlian dalam menangani perkara. kita menjadikan sumpah atau janji
advokat dan kode etik profesi sebagai rel dalam menjalankan profesi.
Kedudukan advokat sebagai penegak hukum harus mandiri atau otonom tidak
tergantung kepada yang lain dalam persidangan, advokat harus menjaga diri dan
menahan nafsu agar tidak jatuh atau terpelesek, maka itu preseden buruk bagi
penegakkan hukum kedepan, maka jadilah advokat sebagai pilar atau benteng
terakhir penjaga dan pengawal keadilan, apa jadinya indonesia sebagai Negara,
bila advokat menjadikan hukum dan keadilan sesuatu yang bisa ditawar-tawar
atau warna bisa dirubah-rubah, advokat memberikan jasa hukum untuk keadilan
dan tegaknya hukum di Indonesia sebagai Negara hukum.

Harapan Penulis sebagai penutup tulisan ini, advokat memang mempunyai


kedudukan yang sama dengan penegak hukum lainnya, tetapi kita secara
personalitas masih kurang memiliki suatu pengetahuan hukum (kurang
berkualitas) dibanding penegak hukum lainnya. Contoh kecil saja undang-
undang korupsi, KDRT, Perlindungan Anak. Sementara tantangan kedepan tidak
sedikit dan semakin sulit, sejalan perkembangan pradaban manusia dan

113
perkembangan teknologi, maka dibutuhkan pula banyak aturan hukum
harus dibuat, melalui tulisan ini, ikatan-ikatan, himpunan, assosiasi advokat
bersama peradi sebagai wadah tunggal advokat di Indonesia dapat menyusun
suatu program pendidikan advokat, secara nasional atau pendidikan advokat
setingkat magister, di bawah naungan peradi yang berbentuk yayasan pendidikan
advokat atau lembaga pendidikan advokat di pusat, karena kita berharap kedepan,
bahwa advokat-advokat yang tua dan tidak menjalankan lagi profesi sebagai
advokat dapat mengabdikan dirinya sebagai guru luar biasa di fakultas huhum,
atau penasihat hukum di instansi-instansi di Indonesia.(A.1)

6.2 Peran Advokat dalam Penegakan Hukum

Dalam praktek hukum di Indonesia, Advokat juga dikenal sebagai Pengacara,


Konsultan hukum. Istilah tersebut mempunyai perbedaan pengertian yang cukup
bermakna, walaupun dalam bahasa Inggris semua istilah secara umum disebut
sebagai lawyer atau ahli hukum. Perbedaan pengertian disini adalah antara peran
yang diberikan oleh lawyer yang memakai istilah Advokat, pengacara dan
penasehat hukum yang dalam bahasa Inggris disebut trial lawyer atau secara
spesifik di Amerika dikenal dengan istilah attorney at law serta di Inggris dikenal
istilah barrister, dan peran yang diberikan oleh lawyer yang menggunakan istilah
konsultan hukum yang di Amerika dikenal dengan istilah counselor at law atau di
Inggris dikenal dengan istilah solicitor.

Kata Advokat itu sendiri berasal dari bahasa latin advocare, yang berarti to
defend, to call to one’s aid, to vouch or to warrant. Sedangkan dalam bahasa
Inggris Advocate, berarti to speak in favor of or defend by argument, to support,
indicate or recommend publicly.,dalam Kamus Hukum Advocaat/ Advocaat En
Procureur bahasa aslinya Belanda yang artinya Penasehat Hukum dan Pembela
Perkara atau Pengacara.

Sedangkan menurut Pasal (1) huruf (1) Undang-undang No. 18 tahun 2003,
Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam
maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan

114
Undang-Undang ini. Dalam praktinya proses pengangkatan seseorang untuk
dapat menjadi Advokat tidak lah mudah, ada beberapa tahap seorang untuk dapat
diangkat dan berprofesi sebagai Advokatantara lain disebutkan dalam Pasal 2, 3,
dan Pasal 4. Inti dari pasal-pasal tersebut bahwa sesorang untuk dapat menjadi
seorang pengacara memeiliki latar belakang sarjana hukum, kemudian mengikuti
pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat,
dan bila telah memenuhi syarat setelah dilantik sebagai Advokat maka Advokat
yang bersangkutan wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan
sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili
hukumnya.

Disini setelah Advokat tersebut dilantik maka secara tidak langsung Advokat
tersebut berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh
hukum dan peraturan perundang-undangan. Dan memilki Wilayah kerja meliputi
seluruh wilayah negara Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU
Advokat. Selanjutnya Advokat dalam menjalankan profesinya tersebut memiliki
hak dan kewajiban yang diatur pada Pasal 14 sampai dengan pasal 20, hak-hak
tersebut memberikan kekebalan hukum (hak immunitas) bagi pengacara dalam
menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung
jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi, namun itu tidak serta
merta ketentuan pidana setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan
profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai Advokat, tetapi bukan
Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000,00
(lima puluh juta) rupiah

Untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat maka perlu dibentuk Organisasi


Advokat merupakan wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang
dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan
untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat. Advokat merupakan bagian dari
penegak hukum yang sejajar dengan instansi penegak hukum lainnya.
Dalam UU No. 18/2003 tentang Advokat ditegaskan bahwa seorang

115
advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin
oleh hukum dan peraturan perundang-undangan. Kewenangan Advokat
sebagai Penegak Hukum ialah guna memberikan bantuan hukum kepada
kliennya yang bersangkutan dengan masalah hukum yang dihadapi.
Kewenangan Advokat adalah sebagai lembaga penegak hukum di luar
pemerintahan. Peranan seorang advokat dalam rangka menuju sistem
peradilan pidana terpadu sangat diperlukan hingga tercapai perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia.

Undang-Undang Advokat Pasal 1 huruf a merumuskan advokat sebagai orang


yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar
pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang ini. Dan
pada Pasal 1 huruf b dijelaskan secara definitif yang dikategorikan sebagai
jasa hukum adalah konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa,
mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain
untuk kepentingan klien. Dalam terjemahan tekstual pada rumusan pasal di
atas, advokat Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Oleh karena itu, selain pelaku
kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi,
badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman juga
harus mendukung terlaksananya kekuasaan kehakiman yang merdeka. Salah
satunya adalah profesi advokat yang bebas, mandiri, dan
bertanggungjawabsebagaimana selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2003.

Ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UU Advokat memberikan status kepada Advokat


sebagai penegak hukum yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak
hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Kedudukan tersebut
memerlukan suatu organisasi yang merupakan satu-satunya wadah profesi
Advokat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat, yaitu
”Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas

116
dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan
maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat”. Oleh karena
itu, Organisasi Advokat, yaitu PERADI, pada dasarnya adalah organ negara
dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent state organ) yang juga
melaksanakan fungsi Negara

Dengan demikian, profesi advokat memiliki peran penting dalam upaya


penegakan hukum. Setiap proses hukum, baik pidana, perdata, tata usaha negara,
bahkan tata negara, selalu melibatkan profesi advokat yang kedudukannya setara
dengan penegak hukum lainnya. Dalam upaya pemberantasan korupsi, terutama
praktik mafia peradilan, advokat dapat berperan besar dengan memutus mata
rantai praktik mafia peradilan yang terjadi. Peran tersebut dijalankan atau tidak
bergantung kepada profesi advokat dan organisasi advokat yang telah dijamin
kemerdekaan dan kebebasannya dalam UU Advokat.

Kemandirian dan kebebasan yang dimiliki oleh profesi advokat, tentu harus
diikuti oleh adanya tanggung jawab masing-masing advokat dan Organisasi
Profesi yang menaunginya. Ketentuan UU Advokat telah memberikan rambu-
rambu agar profesi advokat dijalankan sesuai dengan tujuan untuk menegakkan
hukum dan keadilan. Hal yang paling mudah dilihat adalah dari sumpah atau janji
advokat yang dilakukan sebelum menjalankan profesinya, yaitu:

“Demi Allah saya bersumpah/saya berjanji :

1. bahwa saya akan memegang teguh dan mengamalkan Pancasila sebagai


dasar negara dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia;
2. bahwa saya untuk memperoleh profesi ini, langsung atau tidak langsung
dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau
menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga;
3. bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pemberi jasa
hukum akan bertindak jujur, adil, dan bertanggung jawab berdasarkan
hukum dan keadilan;

117
4. bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi di dalam atau di luar
pengadilan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada
hakim, pejabat pengadilan atau pejabat lainnya agar memenangkan atau
menguntungkan bagi perkara Klien yang sedang atau akan saya tangani;
5. bahwa saya akan menjaga tingkah laku saya dan akan menjalankan
kewajiban saya sesuai dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab
saya sebagai Advokat;
6. bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau
memberi jasa hukum di dalam suatu perkara yang menurut hemat saya
merupakan bagian daripada tanggung jawab profesi saya sebagai seorang
Advokat.

Sumpah tersebut pada hakikatnya adalah janji seorang yang akan menjalani
profesi sebagai advokat, kepada Tuhan, diri sendiri, dan masyarakat. Seandainya
setiap advokat tidak hanya mengucapkannya sebagai formalitas, tetapi meresapi,
meneguhi, dan menjalankannya, tentu kondisi penegakan hukum akan senantiasa
meningkat lebih baik. Kekuasaan kehakiman akan benar-benar dapat
menegakkan hukum dan keadilan. Selain itu, untuk mewujudkan profesi advokat
yang berfungsi sebagai penegak hukum dan keadilan juga ditentukan oleh peran
Organisasi Advokat. UU Advokat telah memberikan aturan tentang pengawasan,
tindakan-tindakan terhadap pelanggaran, dan pemberhentian advokat yang
pelaksanaannya dijalankan oleh Organisasi Advokat.

Ketentuan Pasal 6 UU Advokat misalnya menentukan bahwa advokat dapat


dikenai tindakan dengan alasan:

1. mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya;


2. berbuat atau bertingkah laku yang tidak patut terhadap lawan atau rekan
seprofesinya;
3. bersikap, bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan pernyataan yang
menunjukkan sikap tidak hormat terhadap hukum, peraturan perundang-
undangan, atau pengadilan;

118
4. berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, atau harkat
dan martabat profesinya;
5. melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundangundangan dan atau
perbuatan tercela;
6. melanggar sumpah/janji Advokat dan/atau kode etik profesi Advokat.

6.3 Hak dan Kewajiban Advokat

Hak Dan Kewajiban Advokat menurut Pasal 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20 Undang –
Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat adalah :

Pasal 14

Advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara


yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan dengan tetap
berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.

Pasal 15

Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang
menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 16

Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam
menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan
Klien dalam sidang pengadilan.

Pasal 17

Dalam menjalankan profesinya, Advokat berhak memperoleh informasi, data,


dan dokumen lainnya, baik dari instansi Pemerintah maupun pihak lain yang
berkaitan dengan kepentingan tersebut yang diperlukan untuk pembelaan
kepentingan Kliennya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

119
Pasal 18

(1) Advokat dalam menjalankan tugas profesinya dilarang membedakan


perlakuan terhadap Klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan,
ras, atau latar belakang sosial dan budaya.

(2) Advokat tidak dapat diidentikkan dengan Kliennya dalam membela

perkara Klien oleh pihak yang berwenang dan/atau masyarakat.

Pasal 19

(1)Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari
Kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh Undang-
undang.

(2)Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan Klien, termasuk


perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksaan
dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik Advokat.

Pasal 20

(1) Advokat dilarang memegang jabatan lain yang bertentangan dengan

kepentingan tugas dan martabat profesinya.

(2) Advokat dilarang memegang jabatan lain yang meminta pengabdian


sedemikian rupa sehingga merugikan profesi Advokat atau mengurangi
kebebasan dan kemerdekaan dalam menjalankan tugas profesinya.

(3)Advokat yang menjadi pejabat negara, tidak melaksanakan tugas

profesi Advokat selama memangku jabatan tersebut

Setiap profesi memiliki tangung jawab terhadap profesinya, termasuk didalamnya


profesi advokat.Tanggung jawab tersebut melekat pada masing-masing profesi
sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Pembicaraan dan kajian terhadap
tanggung jawab profesi menjadi penting ketika banyak seorang professional

120
tidak bertanggungjawab terhadap profesinya. Begitu pula dengan profesi advokat.
Advokat berprofesi memberi jasa hukum dan bertugas menyelesaikan persoalan
hukum kliennya baik secara litigasi maupun nonlitigasi, Menurut Frans Hendra
Winata, tugas advokat adalah mengabdikan dirinya pada masyarakat sehingga dia
dituntut untuk selalu turut serta dalam penegakan Hak Asasi Manusia, dan dalam
menjalankan profesinya ia bebas untuk membela siapapun, tidak terikat pada
perintah (order) klien dan tidak pandang bulu siapa lawan kliennya, apakah dia
dari golongan kuat, penguasa, pejabat bahkan rakyat miskin sekalipun. Fungsi
advokat bukan hanya berperkara di pengadilan, namun sangat penting, mewakili
kepentingan warga negara dalam hubungannya dengan pemerintah. Justru karena
profesi advokat mengerti akan bentuk, lembaga dan aturan negara dan bertugas
untuk mewakili warga negara kalau bertentangan dengan negara atau warga
negara yang lainnya.

Di dalam sistem hukum di negara kita terdapat jaminan adanya kesamaan


dihadapan hukum (equality before the law) yang secara konseptual tertuang
dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 27 ayat 1 yang berbunyi : “Segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya“. Oleh sebab itu bagi setiap orang yang memerlukan
bantuan hukum (legal aid) selain merupakan hak asasi juga merupakan gerakan
yang dijamin oleh konstitusi.Disamping itu juga merupakan azas yang sangat
penting bahwa seorang yang terkena perkara mempunyai hak untuk mendapatkan
bantuan hukum (asas legal assistance), sehingga disinilah kedudukan profesi
advokat dalam kekuasaan yudikatif dalam rangka pemberian bantuan hukum
kepada masyarakat mempunyai arti yang sangat penting. Tetapi profesi mulia dan
tanggung jawab advokat tersebut terkadang hanya sebatas slogan yang tidak
dapat diimplementasikan dalam praktik-prakktik nyata, sehingga banyak advokat
yang melanggar. Misalnya saja kasus terlibatnya pengacara Haposan dalam kasus
Gayus Tambunan. Menurut Denny Indrayana peran terdakwa Haposan
Hutagalung sebagai pengatur rekayasa uang Gayus senilai Rp 25 miliar. Haposan
yang membuat skenario pemilik fiktif dan yang mengatur suap ke jaksa, hakim,

121
pengacara, polisi dan Gayus.Masing-masing memperoleh duit Rp 5 miliar. "Dari
uang Rp 25 miliar yang dia punya, dibagi 5 polisi, 5 jaksa, 5 hakim, 5 advokat, 5
untuk Gayus sendiri. Gayus sendiri mengatakan, uangnya disampaikan lewat
terdakwa(Haposan)," Kasus Pengacara Haposan menambah daftar panjang
pengacara yang terlibat dalam kasus mafia hukum.

Begitu pula dalam kasus Anggodo, peran pengacara sangatlah besar, dalam
rekaman pembicaraan yang sudah diketahui masyarakat, ada pembicaraan
mengenai pembayaran fee kepada pengacara. Keterlibatan pengacara adalah
hubungan profesi untuk membantu clientnya yang sedang bermasalah dengan
hukum.Pengacara Raja Bonaran Situmeang disebut turut serta melakukan
tindakan menghalangi penyidikan KPK.Bonaran yang merupakan kuasa hukum
dari terdakwa Anggodo Widjojo masuk dakwaan kliennya yang didakwa secara
berlapis.Hal tersebut terungkap dalam berkas dakwaan Anggodo Widjojo yang
dibacakan laksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurut Jaksa Edy Hartoyo, Anggodo Widjojo diduga melakukan serangkaian
tindakan agar kasus dugaan korupsipenyuapan dan pengadaan Sistem
Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) yang menjerat Anggoro Widjojo, kakak
kandung Anggodo, dapat berhenti. Perbuatan Anggodo tersebut dibantu Bonaran
Situmeang, Presiden Direktur PT Masaro Radiokom Putranefo Alexander
Prayugo.dan Ari Muladi.

Kasus Otto Cornelis Kaligis ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan kasus
pemberian suap kepada Hakim Pengadilan Tata Usaha Negeri Medan. Tiga
hakim itu adalah Tripeni Irianto, Dermawan Ginting dan Amir Fauzi.
Penetapann tersangka ini buntut dari operasi tangkap tangan (OTT) yang
dilakukan KPK terhadap anak M Yaghari Bastara anak buahnya terhadap tiga
hakim tersebut, dan panitera pengganti PTUN Syamsir Yusfan.Atas
perbuatannya, Pada tingkat pertama, OC Kaligis divonis hukuman penjara 5
tahun 5 bulan, denda Rp 300 juta subsider 4 bulan kurungan. Tak terima vonis
tersebut Kaligis mengajukan banding ke PT DKI Jakarta, namun hukumannya
diperberat menjadi 7 tahun. Pada tingkat kasasi di MA, kembali diperberat

122
menjadi 10 tahun penjara. Namun ketika Kaligis mengajukan upaya hukum luar
biasa (peninjauan kembali) hukuman Kaligis dikurangi menjadi 7 tahun penjara.

Kasus Kasman Sangaji merupakan Kuasa hukum dari artis pedangdut Saipul
Jamil. Pada Rabu,15 Juni 2016, penyidik KPK melakukan Operasi Tangkap
Tangan (OTT). Kasman turut terlibat bersama dengan kakak kandung Saipul
Jamil dalam praktik suap kepada Panitera PN Jakarta Utara Rohadi. Suap senilai
Rp 300 juta juta itu diberikan untuk meringankan hukuman Saipul Jamil yang
tengah terjerat kasus pencabulan. Peruntukannya, uang sebesar Rp 50 juta
diberikan agar Rohadi dapat menentukan susunan majelis hakim yang akan
memimpin persidangan Saipul.Sementara itu, uang Rp 250 juta yang diambil dari
rekening bank milik Saipul Jamil, diberikan kepada Rohadi untuk mengatur agar
Ketua Majelis Hakim Ifa Sudewi menjatuhkan vonis yang ringan terhadap Saipul.
Uang yang diserahkan Samsul kepada Bertha kemudian diberikan kepada Rohadi.
Atas perbuatannya, Kasman dijatuhi hukuman 3,5 tahun penjara, denda Rp 100
juta, subsidair 2 bulan kurangan oleh majelis hakim pada Pengadilan Tipikor
Jakarta.

Kemudian kasus Frederich yunadi sebagai tersangka kasus dugaan


menghalangi dan merintangi penyidikan kasus e-KTP dengan tersangka
Setya Novanto karena tak memenuhi panggilan pemeriksaan, Frederich
ditangkap dan ditahan KPK.

Dari beberapa contoh kasus tersebut adalah bagian kecil dari kasus-kasus yang
melibatkan pengacara.Sehingga penulis menganggap penting kajian-kajian yang
berhubungan dengan tanggung jawab profesi pengacara dalam penegakan hukum.

6.4 Tanggung Jawab Advokat Dalam Penegakan Hukum

Tanggung jawab dalam aspek bahasa memilik arti keadaan wajib menanggung
segala sesuatunya (kalau terjadi apa apa boleh dituntut, dipersalahkan,
diperkarakan, dsb. Pengertian tanggung jawab memang seringkali terasa sulit
untuk menerangkannya dengan tepat. Adakalanya tanggung jawab dikaitkan

123
dengan keharusan untuk berbuat sesuatu, atau kadang-kadang dihubungkan
dengan kesediaan untuk menerima konsekuensi dari suatu perbuatan. Banyaknya
bentuk tanggung jawab ini menyebabkan terasa sulit merumuskannya dalam
bentuk kata-kata yang sederhana dan mudah dimengerti. Tetapi kalau kita amati
lebih jauh, pengertian tanggung jawab selalu berkisar pada kesadaran untuk
melakukan, kesediaan untuk melakukan, dan kemampuan untuk melakukan.

Pada kebudayaan masyarakat Indonesia, umumnya "tanggung jawab" diartikan


sebagai keharusan untuk "menanggung" dan "menjawab" dalam pengertian lain
yaitu suatu keharusan untuk menanggung akibat yang ditimbulkan oleh perilaku
seseorang dalam rangka menjawab suatu persoalan.Bertanggung jawab
dimaksudkan sebagai kata searti untuk penyebab. „Bertanggung jawab atas‟
menunjukkan suatu hubungan kausalitas. Subyek yang bertanggung jawab
dianggap sebagai penyebab salah satu akibat yang telah berlangsung atau sebagai
penyebab kemungkinan terjadinya suatu akibat.

Lebih lanjut istilah “tanggung jawab” adalah “siap menerima kewajiban atau
tugas”. Arti tanggung jawab di atas semestinya sangat mudah untuk dimengerti
oleh setiap orang. Tetapi jika kita diminta untuk melakukannya sesuai dengan
definisi tanggung jawab tadi, maka seringkali masih merasa sulit, merasa
keberatan, bahkan ada orang yang merasa tidak sanggup jika diberikan
kepadanya suatu tanggung jawab. Kebanyakan orang mengelak bertanggung
jawab, karena jauh lebih mudah untuk “menghindari” tanggung jawab, daripada
“menerima” tanggung jawab.Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa
kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.Oleh karena
itu, selain pelaku kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi, badan-ban lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman juga harus mendukung terlaksananya kekuasaan kehakiman yang
merdeka. Salah satunya adalah profesi advokat yang bebas, mandiri, dan
bertanggungjawab , sebagaimana selanjutnya diatur dalam Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2003. Ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UU Advokat memberikan

124
status kepada Advokat sebagai penegak hukum yang mempunyai kedudukan
setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan
keadilan.Kedudukan tersebut memerlukan suatu organisasi yang merupakan satu-
satunya wadah profesi Advokat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Ayat (1)
UU Advokat, yaitu”Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi
Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas
profesi Advokat”.Oleh karena itu, Organisasi Advokat, yaitu PERADI, pada
dasarnya adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent
state organ) yang juga melaksanakan fungsi Negara.

Dengan demikian, profesi advokat memiliki peran penting dalam upaya


penegakan hukum. Setiap proses hukum, baik pidana, perdata, tata usaha negara,
bahkan tata negara, selalu melibatkan profesi advokat yang kedudukannya setara
dengan penegak hukum lainnya. Dalam upaya pemberantasan korupsi, terutama
praktik mafia peradilan, advokat dapat berperan besar dengan memutus mata
rantai praktik mafia peradilan yang terjadi.Peran tersebut dijalankan atau tidak
bergantung kepada profesi advokat dan organisasi advokat yang telah dijamin
kemerdekaan dan kebebasannya dalam UU Advokat.Dengan demikian, baik
secara yuridis maupun sosologis advokat memiliki tanggung jawab yang sangat
besar dalam penegakan hukum. Berhubungan dengan tanggung jawab advokat
dalam penegakan hukum setidaknya menurut penulis advokat harus bertanggung
jawab kepada empat hal yaitu bertanggungjawab kepada Tuhan Yang Maha Esa,
Kepada Kode Etik Advokat, Kepada Aturan perundang-undangan dan terkahir
kepada masyarakat.

Berikut penulis uraikan satu persatu. tanggung jawab advokat kepada


Tuhan.Manusia adalah mahluk religious yang memiliki kecerdasan
spiritual.Menurut Tony Buzan kecerdasan spiritual adalah yang berkaitan dengan
menjadi bagian dari rancangan segala sesuatu yang lebih besar, meliputi “melihat
suatu gambaran secara menyeluruh”. Sementara itu, kecerdasan spiritual menurut
Stephen R. Covey adalah pusat paling mendasar di antara kecerdasan yang lain,

125
karena dia menjadi sumber bimbingan bagi kecerdasan lainnya. Kecerdasan
spiritual mewakili kerinduan akan makna dan hubungan dengan yang tak
terbatas. Zohar dan Marshal mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai
kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu
kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang
lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup
seseorang lebih bermakna dari pada yang lain. Kecerdasan spiritual menurut
Khalil A Khavari di definisikan sebagai fakultas dimensi non-material kita atau
jiwa manusia.Ia menyebutnya sebagai intan yang belum terasah dan dimiliki oleh
setiap insan. Kita harus mengenali seperti adanya, menggosoknya sehingga
mengkilap dengan tekat yang besar, menggunakannya menuju kearifan, dan
untuk mencapai kebahagiaan yang abadi.

Dengan pengakuan potensi kecerdasan spiritual tersebut, manusia dengan


sendirinya memiliki tanggung jawab akan kehidupannya kepada Tuhan.
Tanggung jawab tersebut melekat pada diri manusia bukan disebabkan butuhnya
Tuhan kepada manusia melainkan bentuk rasa dan sikap iman manusia kepada
Tuhan.Tuhan menciptakan manusia di bumi ini bukanlah tanpa tanggung jawab,
melainkan untuk mengisi kehidupannya manusia mempunyai tanggung jawab
langsung terhadap Tuhan.Sehingga dikatakan tindakan manusia tidak lpas daei
hukuman hukuman Tuhan.Yang diruangkan dalam berbagai kitab suco melalui
berbagai macam agama. Pelanggaran dari hukuman hukuman tersebut akan
segera diperingatkan oleh Tuhan dan jika perungatan yang keraspun manusia
masih juga tidak menghiraikan maka Tuhan akan melakukan kutukan. Sebab
dengan mengabaikan perintah perintah Tuhan.Berarti menginggalkan tanggung
jawab yang seharusnya dilakukan terhadap Tuhan sebagai penciptanya.Bahkan
untuk memenuhi tanggungjawabnya manusia harus berkorban.

Sumpah tersebut pada hakikatnya adalah janji seorang yang akan menjalani
profesi sebagai advokat, kepada Tuhan, diri sendiri, dan masyarakat. Seandainya
setiap advokat tidak hanya mengucapkannya sebagai formalitas, tetapi meresapi,
meneguhi, dan menjalankannya, tentu kondisi penegakan hukum akan senantiasa

126
meningkat lebih baik. Kekuasaan kehakiman akan benar-benar dapat
menegakkan hukum dan keadilan. Tanggung Jawab kepada kode Etik advokat. Di
dalam Bab II Pasal 2 Kode Etik Advokat Indonesia Tentang Kepribadian
Advokat, disebutkan:

“Advokat Indonesia adalah warga Negara Indonesia yang bertakwa kepada


Tuhan Yang Maha Esa, bersikap satria, jujur dalam mempertahankan keadilan
dan kebenaran dilandasi moral yang tinggi, luhur dan mulia, dan yang dalam
melaksanakan tugasnya menjunjung tinggi hukum, Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia, kode etik Advokat serta sumpah jabatannya”

Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersikap satria, jujur dalam
mempertahankan keadilan dan kebenaran dilandasi moral yang tinggi, luhur dan
mulia, dan yang dalam melaksanakan tugasnya menjunjung tinggi hukum,
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, kode etik Advokat serta sumpah
jabatannya adalah “kepribadian yang harus dimiliki oleh setiap Advokat”. Kode
etik yang mengatur mengenai kepribadian advokat sangat berkaitan erat dengan
Ethika.Ethika merupakan filsafat moral untuk mendapatkan petunjuk tentang
perilaku yang baik, berupa nilai-nilai luhur dan aturan-aturan pergaulan yang baik
dalam hidup bermasyarakat dan kehidupan pribadi seseorang. Ethika moral ini
menumbuhkan kaedah-kaedah atau norma-norma ethika yang mencakup theori
nilai tentang hakekat apa yang baik dan apa yang buruk, dan theori tentang
perilaku (“conduct”) tentang perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk

Moral ini berkaitan erat dengan pandangan hidup, agama atau kepercayaan
maupun adat-kebiasaan masyarakat yang bersangkutan.Bangsa Indonesia
mempunyai Pancasila sebagai dasar ideologi Negara dan pandangan hidup dan
jati diri bangsa Indonesia, sehingga nilai-nilai Pancasila harus menjadi landasan
ethika moral bangsa Indonesia.termasuk sila Pertama dari Pancasila, yaitu
Ketuhanan Yang Maha Esa, yang menunjukkan bahwa, seluruh bangsa Indonesia
adalah bangsa yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, termasuk di
dalamnya adalah seorang Advokat.

127
Dari ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 3 huruf a. Kode Etik Advokat
Indonesia dapat disimpulkan bahwa seorang advokat, dalam menjalankan
profesinya, harus selalu berpedoman kepada:

a. Kejujuran profesional (professional honesty) sebagaimana terungkap dalam


Pasal 3 huruf a Kode Etik Advokat Indonesia dalam kata-kata “Oleh karena
tidak sesuai dengan keahilannya”, dan
b. Suara hati nurani (dictate of conscience).

Keharusan bagi setiap advokat untuk selalu berpihak kepada yang benar dan adil
dengan berpedoman kepada suara hati nuraninya berarti bahwa bagi advokat
Indonesia tidak ada pilihan kecuali menolak setiap perilaku yang berdasarkan “he
who pays the piper calls the tune” karena pada hakikatnya perilaku tersebut
adalah pelacuran profesi advokat. Tanggung jawab kepada Undang-Undang
Advokat.Untuk mewujudkan profesi advokat yang berfungsi sebagai penegak
hukum dan keadilan juga ditentukan oleh peran Organisasi Advokat.UU Advokat
telah memberikan aturan tentang pengawasan, tindakan-tindakan terhadap
pelanggaran, dan pemberhentian advokat yang pelaksanaannya dijalankan oleh
Organisasi Advokat. Ketentuan Pasal 6 UU Advokat misalnya menentukan
bahwa advokat dapat dikenai tindakan dengan alasan:

a) mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya;


b) berbuat atau bertingkah laku yang tidak patut terhadap lawan atau rekan
seprofesinya;
c) bersikap, bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan pernyataan
yang menunjukkan sikap tidak hormat terhadap hukum, peraturan
perundang-undangan, atau pengadilan;
d) berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, atau
harkat dan martabat profesinya;
e) melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundangundangan dan atau
perbuatan tercela;
f) melanggar sumpah/janji Advokat dan/atau kode etik profesi Advokat.

128
Untuk menunjang berfungsinya sistem hukum diperlukan suatu sistem etika yang
ditegakkan secara positif berupa kode etika di sektor publik. Di setiap sektor
kenegaraan dan pemerintahan selalu terdapat peraturan tata tertib serta pedoman
organisasi dan tata kerja yang bersifat internal. Di lingkungan organisasi-
organisasi masyarakat juga selalu terdapat Anggaran atau Pedoman Dasar dan
Anggaran atau Pedoman Rumah Tangga organisasi.Namun, baru sedikit sekali di
antara organisasi atau lembaga-lembaga tersebut yang telah memiliki perangkat
Kode Etika yang disertai oleh infrastruktur kelembagaan Dewan Kehormatan
ataupun Komisi Etika yang bertugas menegakkan kode etika dimaksud. Di
samping itu, kalaupun pedoman atau anggaran dasar dan rumah tangga tersebut
sudah ada, dokumen-dokumen itu hanya ada di atas kertas dalam arti tidak
sungguh-sungguh dijadikan pedoman perilaku berorganisasi. Pada umumnya,
dokumen-dokumen peraturan, pedoman atau anggaran dasar dan rumah tangga
terse¬but hanya dibuka dan dibaca pada saat diadakan kongres, muktamar atau
musyawarah nasional organisasi yang bersangkutan. Selebihnya dokumen-
dokumen tersebut hanya biasa dilupakan.

Demikian pula halnya UU Advokat teleh menentukan adanya kewajiban


menyusun kode etik profesi advokat oleh Organisasi Advokat untuk menjaga
martabat dan kehormatan profesi advokat. Setiap advokat wajib tunduk dan
mematuhi kode etik profesi advokat dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan
Organisasi Advokat. Berlaku tidaknya kode etik tersebut bergantung sepenuhnya
kepada advokat dan Organisasi Advokat. Untuk itu perlu dibangun infrastruktur
agar kode etik yang dibuat dapat ditegakkan. Infrastruktur tersebut membutuhkan
budaya taat aturan di lingkungan advokat itu sendiri, baik aturan hukum negara
maupun aturan berorganisasi termasuk anggaran dasar dan rumah tangga serta
kode etik profesi.Tradisi taat aturan inilah yang masih harus dibudayakan secara
luas. Selain itu, sistem dan mekanisme penegakan kode etik juga harus
dilembagakan melalui pembentukan Dewan Kehormatan yang credible diikuti
dengan mekanisme pengawasan yang tegas dan efektif.Sebagai organisasi profesi
yang memberikan jasa kepada masyarakat, mekanisme pengawasan yang dibuat

129
tentu harus pula membuka ruang bagi partisipasi publik dan menjalankan prinsip
transparansi. Tanpa adanya transparansi dan partisipasi publik, Organisasi
Advokat tidak akan dapat menjalankan fungsinya meningkatkan

Tanggungjawab kepada masyarakat.Pada hakekatnya manusai tidak bisa hidup


tanoa bantuan omanusia lain, sesua dengan kedudukannya sebagai mahluk social.
Karena membutuhkan manusia lain maka ia harus berkomunikasi dengan
manusia lain tersebut. Sehingga mdengan demikian manusia disisni merupakan
anggota masyarakat yang tentunya mempunyai tanggung jawab seperti anggota
masyarakat lain agat dapat melangsungkan hidupnya dalam masyarakat tersebut.
Wajarlah apabila segala tingkat lkau dan perbuatannya harus dipertaggung
jawabkan kepada masyarakat.

Seorang advokat tidak saja harus berprilaku jujur dan bermoral tinggi, tetapi
harus juga mendapat kepercayaan public, bahwa advokat tersebut akan selalu
berprilakuan demikian. Dengan diangkatnya seorang advokat , maka ia telah
diberi suatu kewajiban mulia melaksanakan perkerjaan terhormat (mobile
Officium), dengan hak eksklusif antara lain; 1) Menyatakan dirinya pada publik
bahwa ia seorang advokat; 2) Dengan begitu berhak memberikan nasihat hukum
dan mewakili kliennya; dan 3) Menghadap dimuka siding pengadilan dalam
proses perkara kliennya.

Akan tetapi, jangan dilupakan bahwa hak dan kewenangan istimewa juga
menimbulkan kewajiban advokat kepada masyarakat,yaitu:

1. Menjaga agar mereka yang menjadi anggota profesi advokat yang selalu
mempunyai kompetensi pengetahuan profesi untuk itu, dan mempunyai
integritas melaksanakan profesi terhormat;
2. Bersedia menyingkirkan mereka yang terbukti tidak layak menjalankan
profesi terhormat ini.

Kewajiban advokat kepada masyarakat tersebut di atas, bagian dari kewajiban


advokat kepada masyarakat, adalah telah memberi bantuan jasa hukum kepada

130
mereka yang secara ekonomi tidak mampu (miskin). Dalam KEAI Pasal 3
dinyatakan bahwa seorang advokat tidak dapat menolak dengan alasan
kedudukan sosial• orang yang memerlukan jasa hukum dan didalam Pasal 4
kalimat: mengurus perkara cuma-cuma telah tersirat kewajiban ini. Dan asas ini
dipertegas lagi dalam Pasal 7 KEAI alinea 8:... kewajiban untuk memberikan
bantuan hukum id cuma-cuma (prodeo) bagi ornag yang tidak mampu. Meskipun
di Indonesia telah ada lembaga-lembaga yang membantu kelompok ekonomi
lemah ini, khususnya dengan nama Lembaga Bantuan Hukum (LBH atau yang
serupa) dan Biro Bantuan Hukum (BBH atau yang serupa), namun kewajiban
advokat atau kantor advokat memberi jasa hukum kepada klien miskin, tetap
harus diutamakan.

Sebagai sebuah profesi yang terhormat dan menjadi bagian terpenting dari catur
wangsa penegakan hukum, Advokat memiliki tanggung jawab dalam mengemban
amanat untuk turut serta dalam mewujudkan supremasi hukum.Tanggung jawab
tersebut tidak semata-mata sebuah keharusan yang diwajibkan secara yuridis
melainkan kewajiban yang muncul dari tuntutan hati nurani. Kewajiban-
kewajiban seorang advokat tercermin dalam kemampuan bertanggung jawab
advokat terhadap Tuhan, Kode etik Profesi, aturan perundang-undangan dan
masyarakat.Tanggung jawab kepada Tuhan merupakan tanggung jawab mutlak
advokat sebagai makhluk yang memiliki nuansa religiusitas.Sedangkan tanggung
jawab terhadap kode etik profesi adalah sebagai manifestasi tanggung jawab
advokat sebagai bagian dari seorang profesionalisme yang diikat oleh etika.Selain
itu pula, tanggung jawab terhadap aturan perundang-undangan menjadi
konsekwensi logis seorang advokat dalam setiap sikap dan tindakannya.Pada
akhirnya seorang advokat dituntut pula untuk mampu mempertanggungjawabkan
setiap perbuatannya kepada masyarakat sebagai implementasi rasa tanggung
jawabnya kepada Tuhan, kode etik dan peraturan perundang-undangan.

131
6.5 Kesimpulan Bab 6

Advokat dalam lingkup proses perkara pidana disebut sebagai penasehat hukum,
dalam Undang-undang Advokat sendiri menyatakan bahwa advokat adalah orang
yang berprofesi memberikan jasa hukum, didalam dan diluar pengadilan. Entah
sebab apa yang kemudian membedakan sebutannya tersebut, namun penting
untuk diingat bahwa jasa hukum yang dimaksud pada dasarnya merupakan
tindakan untuk membela kepentingan hukum kliennya, dengan kata lain
kepentingan hukum kliennya berkaitan dengan proses sengketa itu tadi. Hal
kepentingan ini yang kemudian menjadi rancu di masyarakat.

Koordinasi diantara para penegak hukum mutlak diperlukan untuk terwujudnya


sistem peradilan yang benar-benar independen. Mulai dari tingkat polisi, jaksa,
hakim, Advokat sampai pada proses terakhir yaitu peran Lembaga
Pemasyarakatan (Kepala LP). Tentunya poin terakhir untuk keberhasilan
koordinasi ini adalah masyarakat itu sendiri. Peran masyarakat penting dalam
penegakan hukum, karena sebagai proses terakhir dari rangkaian sistem
penegakan hukum itu sendiri. Bahkan masyarakat pun tidak terlepas dari praktik
mafia peradilan, apakah dengan demikian masyarakat umumnya? tentu tidak,
namun mereka yang bersengketa besar kemungkinannya merupakan bagian dari
praktik mafia peradilan, akan tetapi advokatlah yang kemudian disalahkan.

Demikian pula halnya UU Advokat teleh menentukan adanya kewajiban


menyusun kode etik profesi advokat oleh Organisasi Advokat untuk menjaga
martabat dan kehormatan profesi advokat. Setiap advokat wajib tunduk dan
mematuhi kode etik profesi advokat dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan
Organisasi Advokat. Berlaku tidaknya kode etik tersebut bergantung sepenuhnya
kepada advokat dan Organisasi Advokat.

Untuk itu perlu dibangun infrastruktur agar kode etik yang dibuat dapat
ditegakkan.Infrastruktur tersebut membutuhkan budaya taat aturan di lingkungan
advokat itu sendiri, baik aturan hukum negara maupun aturan berorganisasi
termasuk anggaran dasar dan rumah tangga serta kode etik profesi.Tradisi taat

132
aturan inilah yang masih harus dibudayakan secara luas. Selain itu, sistem dan
mekanisme penegakan kode etik juga harus dilembagakan melalui pembentukan
Dewan Kehormatan yang credible diikuti dengan mekanisme pengawasan yang
tegas dan efektif.Sebagai organisasi profesi yang memberikan jasa kepada
masyarakat, mekanisme pengawasan yang dibuat tentu harus pula membuka
ruang bagi partisipasi publik dan menjalankan prinsip transparansi. Tanpa adanya
transparansi dan partisipasi publik, Organisasi Advokat tidak akan dapat
menjalankan fungsinya meningkatkan.

133
BAB VII

KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

7.1 Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi

Korupsi adalah penyalahgunaan wewenang atau jabatan resmi untuk keuntungan


pribadi atau kelompok dan orang-orang di sekitarnya. Korupsi di Indonesia mulai
berkembang sejak tahun 1958. Sebenarnya pada tahun 1951-1956 isu tentang
adanya korupsi sudah mulai diangkat oleh media, namun karena adanya
intervensi dari pemerintah terjadi pemberedelan media masa yang menjadi awal
kegagalan pemberantasan korupsi di Indonesia. Akibatnya korupsi terus
berkembang hingga saat ini. Dewasa ini korupsi di Indonesia berkembang secara
sistemik. Bahkan bagi sebagian orang korupsi bukan lagi pelanggaran hukum,
namun sebuah kebiasaan. Dalam penelitian dan pewrbandingan korupsi antar
negara, Indonesia selalu menduduki angka korupsi yang tinggi dan mulai ada
ditahap mengkhawatirkan.

Suburnya ladang korupsi di Indonesia mendorong pergerakan pemberantasan


korupsi. Namun pemberantasan korupsi di Indonesia belum menunjukkan adanya
titik terang, terbukti dengan adanya kasus korupsi yang terbengkelai
kejelasannya. Hal ini tentu menimbulkan kekhawatiran tentang kemungkinan
terjadinya “kleptokrasi” yaitu pemerintahan oleh pencuri, dimana berpura-pura
bertindak jujur pun tidak ada, apalagi dengan semakin meluasnya korupsi di
wilayah politik dan birokrasi. Disamping itu korupsi akan berdampak kompleks
pada sebuah negara. Tidak hanya kacaunya sistem pemerintahan, terkurasnya
uang negara dan ketidakadilan, namun dampak terburuknya adalah dampak pada
perekonomian negara yang akan berimbas pada kesejahteraan umum, terutama
rakyat kecil. Karena itu perang terhadap korupsi merupakan fokus signifikan
dalam suatu negara berdasarkan hukum. Bahkan sebagai tolok ukur keberhasilan
suatu pemerintahan. Hal ini menjadi unsur penting dalam penegakan hukum

134
suatu negara karena korupsi merupakan penyakit kanker yang imun, meluas,
permanen, dan merusak sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Maka pada tahun 2003 dibentuk komisi pemberantasan korupsi (KPK) untuk
mengatasi, menanggulangi, dan memberantas korupsi di Indonesia. Komisi ini
lahir berdasar UU RI No. 30 tahun 2002 tentang komisi pemberantasan tindak
pidana korupsi. Pemberantasan tindak pidana korupsi itu sendiri adalah
serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi
melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaandi sidang pengadilan dengan peran serta masyarakat berdasar
undang-undang yang berlaku. Pada awal terbentuknya, KPK hendak
memposisikan dirinya sebagai katalisator (pemicu) bagi aparat dan institusi lain
untuk terciptanya jalannya sebuah “ good and clean govermance” (pemerintahan
yang baik dan bersih). KPK sebagai lembaga independent, artinya tidak boleh ada
intervensi dari pihak lain dalam penyelidikannya agar diperoleh hasil sebaik
mungkin.

Lahirnya KPK didasarkan atas perkembangan pemikiran di dunia hukum bahwa


korupsi adalah kejahatan luar biasa, di atas keinginan politik parlemen dimana
sebagian anggota parlemen “bersih” berharap pemberantasan korupsi lebih
intensif, oleh karenanya bukan tidak mungkin KPK secara politik dibubarkan
atau amputasi kewenangan melalui tangan sebagian anggota parlemen yang
kotor. Sejauh ini kinerja KPK belum menunjukkan hasil yang memuaskan.
Memang telah banyak kasus korupsi yang telah diungkap KPK, namun pada
kenyataannya masih banyak kasus yang terbengkelai dan tidak diketahui
kejelasannya. Sebenarnya fungsi, peran dan wewenang KPK tidak hanya untuk
memberantas korupsi, tapi juga tindakan terkait penanganan korupsi. Maka pada
dasarnya KPK juga bertugas mengantisipasi, mengatasi, menyelidiki serta
mengadili pelaku korupsi. Maka perlu diketahui lebih banyak lagi tugas, peran,
wewenang KPK untuk lebih memahami tentang apa itu KPK agar masyarakat
juga bisa menilai dengan bijak bagaimana kinerja KPK yang sesungguhnya

135
Pemberantasan korupsi di Indonesia telah berjalan cukup lama. Berbagai upaya
represif dilakukan terhadap para pejabat publik atau penyelenggara negara yang
terbukti melakukan korupsi. Sudah tidak terhitung telah banyak pejabat negara
dan wakil rakyat yang merasakan getirnya hidup di hotel prodeo. Berdasarkan
sejarah, selain KPK yang terbentuk di tahun 2003, terdapat 6 lembaga
pemberantasan korupsi yang sudah dibentuk di negara ini yakni; (i) Operasi
Militer di tahun 1957, (ii) Tim Pemberantasan Korupsi di tahun 1967, (iii)
Operasi Tertib pada tahun 1977, (iv) tahun 1987 dengan Tim Optimalisasi
Penerimaan Negara dari sektor pajak, (v) dibentuknya Tim Gabungan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TKPTPK) pada tahun 1999, dan (vi)
tahun 2005 dibentuk Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas
Tipikor). Pada tahun 2011, Country rank Year CPI Score Indonesia baru sebesar
3,0. Country rank Year CPI Score mengurutkan negara-negara dalam derajat
korupsi tertentu yang terjadi pada para petugas publik dan politikus. Indeks ini
merefleksikan pandangan pelaku bisnis dan pengamat dari seluruh dunia
termasuk para ahli yang menjadi penduduk pada negara yang dievaluasi.

Sedangkan Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang sedang berjuang
dan mendambakan terciptanya good governance. Namun, keadaan saat ini
menunjukkan bahwa hal tersebut masih sangat jauh dari harapan. Kepentingan
politik, KKN, peradilan yang tidak adil, bekerja di luar kewenangan, dan
kurangnya integritas dan transparansi adalah beberapa masalah yang membuat
pemerintahan yang baik masih belum bisa tercapai. Untuk mencapai good
governance dalam tata pemerintahan di Indonesia, maka prinsip-prinsip good
governance hendaknya ditegakkan dalam berbagai institusi penting
pemerintahan. Dengan melaksanakan prinsip-prinsip good governance maka tiga
pilarnya yaitu pemerintah, korporasi, dan masyarakat sipil hendaknya saling
menjaga, saling support dan berpatisipasi aktif dalam penyelenggaraan
pemerintahan yang sedang dilakukan.

Salah satu hasil dari Perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945 (UUD Negara RI Tahun 1945) adalah beralihnya

136
supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi supremasi
konstitusi. Akibatnya, MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara karena semua
lembaga negara didudukkan sederajat dalam mekanisme checks and balances.
Sementara itu, konstitusi diposisikan sebagai hukum tertinggi yang mengatur dan
membatasi kekuasaan lembaga-lembaga negara. Perkembangan konsep trias
politica juga turut memengaruhi perubahan struktur kelembagaan di Indonesia. Di
banyak negara, konsep klasik mengenai pemisahan kekuasaan tersebut dianggap
tidak lagi relevan karena tiga fungsi kekuasaan yang tidak mampu
menyelenggarakan pemerintahan. Untuk menjawab tuntutan tersebut, negara
membentuk jenis lembaga negara baru yang diharapkan dapat lebih responsif
dalam mengatasi persoalan aktual negara. Maka, berdirilah berbagai lembaga
negara bantu dalam bentuk dewan, komisi, komite, badan, ataupun otorita,
dengan masing-masing tugas dan wewenangnya. Beberapa ahli tetap
mengelompokkan lembaga negara bantu dalam lingkup eksekutif, namun ada
pula sarjana yang menempatkannya tersendiri sebagai cabang keempat kekuasaan
pemerintahan.

Dalam konteks Indonesia, kehadiran lembaga negara bantu menjamur


pascaperubahan UUD Negara RI Tahun 1945. Berbagai lembaga negara bantu
tersebut tidak dibentuk dengan dasar hukum yang seragam. Beberapa di
antaranya berdiri atas amanat konstitusi, namun ada pula yang memperoleh
legitimasi berdasarkan undang-undang ataupun keputusan presiden. Salah satu
lembaga negara bantu yang dibentuk dengan undang-undang adalah Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal ini di dasarkan kepada landasan ideology dan
kontitusional Negara yaitu Pancasila dan UUD 1945 yang bangun atas kreativitas
bangsa.

Seiring berkembangnya ide-ide mengenai kenegaraan, masyarakat semakin


berkembang menghendaki negara memiliki struktur organisasi yang lebih
responsif terhadap tuntutan mereka. Terwujudnya efektivitas dan efisiensi baik
dalam pelaksanaan pelayanan publik maupun dalam pencapaian tujuan
penyelenggaraan pemerintahan juga menjadi harapan masyarakat yang

137
ditumpukan kepada negara. Perkembangan tersebut memberikan pengaruh
terhadap struktur organisasi negara, termasuk bentuk serta fungsi lembaga-
lembaga negara. Sebagai jawaban atas tuntutan perkembangan tersebut, berdirilah
lembaga-lembaga negara baru yang dapat berupa dewan (council), komisi
(commission), komite (committee), badan (board), atau otorita (authority).

Dalam konteks Indonesia, kecenderungan munculnya lembaga-lembaga negara


baru terjadi sebagai konsekuensi dilakukannya perubahan terhadap UUD Negara
RI Tahun 1945. Lembaga-lembaga baru itu biasa dikenal dengan istilah state
auxiliary organs atau state auxiliary institutions yang dalam bahasa Indonesia
diartikan sebagai lembaga negara bantu dan merupakan lembaga negara yang
bersifat sebagai penunjang. Salah satu lembaga negara bantu yang dibentuk pada
era reformasi di Indonesia adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Lembaga ini dibentuk sebagai salah satu bagian agenda pemberantasan korupsi
yang merupakan salah satu agenda terpenting dalam pembenahan tata
pemerintahan di Indonesia. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu jenis
dari berbagai jenis tindak pidana. Mengenai pengertian tindak pidana sendiri
sejak dulu telah banyak diciptakan oleh para sarjana, salah satunya yaitu yang
diungkapkan oleh Prof. Moelljatno dengan menggunakan istilah perbuatan pidana
yaitu: “Perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan
pidana barang siapa yang melanggar aturan tersebut. Menurut ujudnya atau
sifatnya perbuatan pidana ini adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum.
Perbuatan-perbuatan ini juga merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan
dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat
yang dianggap baik dan adil.” Sedangkan mengenai pengertian korupsi, menurut
arti katanya korupsi berasal dari Bahasa Latin Corruptio atau Corruptus yang
artinya busuk, buruk, bejat, dapat disuap, menyimpang dari kesucian, perkataan
yang menghina atau memfitnah. Dalam perkembangan selanjutnya kata korupsi
dalam perbendaharaan Bahasa Indonesia diartikan sebagai perbuatan curang dan
16
dapat disuap. Menurut K Soeparto, perkataan Corruptio mempunyai banyak

16Mariyanti, Istilah istilah hukum. Jakarta, Bumi aksara, 1986, hlm. 197.

138
makna, yaitu bederven (merusak), schenden (melanggar), dan omkopen
(menyuap). Pers acapkali memakai istilah korupsi dalam arti yang luas,
mencakup masalah-masalah tentang penggelapan.Korupsi dalam ensiklopedia
Indonesia disebutkan sebagai (dari bahasa latin: corruptio = penyuapan,
corruptore = merusak) gejala dimana para pejabat, badan-badan negara
menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta
ketidakberesan lainnya. Adapun arti harafiah dari korupsi dapat berupa kejahatan,
kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan dan ketidakjujuran. Dalam
pengertian lain dapat dikatakan sebagai perbuatan yang buruk seperti
penggelapan uang sogok dan sebagainya.

Ciri-ciri korupsi dijelaskan oleh Shed Husein Alatas dalam bukunya sosiologi
korupsi sebai berikut :

1. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang. Hal ini tidak sama
dengan kasus pencurian atau penipuan. Seorang operator yang korup
sesungguhnya tidak ada dan kasus itu biasanya termasuk dalam pengertian
penggelapan (fraud).
2. Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu telah
merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkuasa dan mereka
yang berada di dalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan
perbuatannya. Namun, walaupun demikian motif korupsi tetap dijaga
kerahasiaannya.
3. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik.
Kewajiban dan keuntungan itu tidak selalu berupa uang.
4. Mereka yang mempraktekkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk
menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran
hukum.
5. Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan
mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.
6. Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh
badan publik atau umum (masyarakat).

139
7. Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.

Pengembangan tipologi korupsi menurut Vito Tanzi adalah sebagai berikut :

1. Korupsi transaksi, yaitu korupsi yang terjadi atas kesepakatan diantara


seorang donor dengan resipien untuk keuntungan kedua belah pihak.
2. Korupsi ekstortif, yaitu korupsi yang melibatkan penekanan pemaksaan
untuk menghindari bahaya bagi mereka yang terlibat atau orang-orang yang
dekat dengan pelaku korupsi.
3. Korupsi investif, yaiut korupsi yang berawal dari tawaran yang merupakan
investasi untuk mengatisipasi adanya keuntungan di masa datang.
4. Korupsi nepotistik, yaitu korupsi yang terjadi karena perlakuan khusus baik
dalam pengangkatan kantor publik maupun pemberian proyek-proyek bagi
keluarga dekat.
5. Korupsi otogenik, yaitu korupsi yang terjadi ketika seorang pejabat mendapat
keuntungan karena memiliki pengetahuan sebagai orang dalam (insiders
information) tentang berbagai kebijakan publik yang seharusnya
dirahasiakan.
6. Korupsi supportif, yaitu perlindungan atau penguatan korupsi yang menjadi
intrik kekuasaan dan bahkan kekerasan.
7. Korupsi defensif, yaitu korupsi yang dilakukan dalam rangka
mempertahankan diri dari pemerasaan.

Korupsi dalam UU no. 31 tahun 1999 merupakan perbuatan secara melawan


hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Praktek korupsi dilihat
dari segi bentuknya terdiri dari:

1. Lebih banyak menyangkut penyelewengan di bidang materi yang


dikategorikan sebagai material corruption.
2. Perbuatan manipulasi dengan cara penyuapan, intimidasi, paksaan
dan/atau campur tangan yang dikategorikan sebagai political corruption.

140
3. Menyangkut manipulasi dalam bidang ilmu pengetahuan/hak cipta atau
disebut intellectual corruption.17

Korupsi melanggar hak asasi berupa hak sosial dan ekonomi masyarakat,
sehingga korupsi dipandang sebagai “extra–ordinary crime” (kejahatan yang luar
biasa yang memerlukan penanganan secara luar biasa pula. Pemerintah Indonesia
sudah beberapa kali membentuk lembaga yang menangani masalah korupsi.
Lembaga negara bukan konsep yang secara terminologis memiliki istilah tunggal
dan seragam. Di dalam literatur Inggris, istilah political institution digunakan
untuk menyebut lembaga negara, sedangkan bahasa Belanda mengenal istilah
staat organen atau staatsorgaan untuk mengartikan lembaga negara. Sementara di
Indonesia, secara baku digunakan istilah lembaga negara, badan negara, atau
organ negara.

7.2 Lembaga Anti Korupsi KPK

Beberapa lembaga antikorupsi yang pernah dibentuk selama kurun waktu tahun
1967-2008 sebagai berikut :

1. Nama Tim : Tim Pemberantas Korupsi


Jenis peraturan : Keppres 228/1967 tertanggal 2 Desember 1967.
Tugas/Sasaran : Membantu pemerintah memberantas korupsi dengan
tindakan bersifat refresif maupun preventif.
2. Nama Tim : Komisi empat
Jenis peraturan : Keppres 12/1970 tertanggal 31 Januari 1970.
Tugas/Sasaran : Menghubungi penjabat atau instansi pemerintah, swasta,
sipil atau militer. Memeriksa dokumen-dokumen administrasi pemerintah,
swasta, dan lain-lain. Minta bantuan pada aparatur negara pusat dan daerah.
3. Nama Tim : Komite Anti Korupsi (KAK)
Jenis Peraturan : Keppres 12/1970 tertanggal 31 Januari 1970

17Lopa, Baharudin, Kejahatan korupsi dan Penegakan Hukum. Kompas, 2001, hlm. 70.

141
Tugas/Sasaran : Kegiatan diskusi dengan pimpinan-pimpinan partai
politik dan bertemu dengan presiden Soeharto menanyakan masalah korupsi.
Catatan:KAK dibubarkan tanggal 15 Agustus 1970 setelah bekerja 2 bulan.
4. Nama Tim : OPSTIB
Jenis Peraturan : Inpres 9/1977
Tugas/Sasaran : Sasaran Opstib pada mulanya mengadakan pembersihan
pungutan liar di jalan-jalan. Kemudian diperluas meliputi penertiban uang
siluman di pelabuhan-pelabuhan dan pungutan resmi namun tidak sah menurut
hukum. Sejak Agustus 1977, sasaran penertiban beralih dari jalan raya ke
aparat pemerintah daerah dan departemen.
5. Nama Tim : Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) dihidupkan lagi.
Namun Keppres mengenai TPK ini tidak pernah terwujud.
6. Nama Tim : Tim Gabungan Antikorupsi
Jenis Peraturan : Mengacu pada UU No 31/1999 tentang Komisi
Antikorupsi PP No 19 Th 2000.
Tugas/Sasaran : Mengungkapkan kasus-kasus korupsi yang sulit
ditangani Kejaksaan Agung.
7. Nama Tim : Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK)
Jenis Peraturan :
1) UU RI nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
2) Kepres RI No. 73 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Panitia Seleksi
Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
3) PP RI No. 19 Tahun 2000 Tentang Tim Gabungan Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
4) UU RI No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang
Bersih dan Bebas Dari KKN
5) UU RI No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
6) UU RI No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

142
7) UU RI No. 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun
2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
8) PP RI No. 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta
Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
9) PP RI No. 109 Tahun 109 Tahun 2000 Tentang Kedudukan Keuangan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Tugas/Sasaran : Mengungkapkan kasus-kasus korupsi yang sulit ditangani


Kejaksaan Agung.

Contoh-contoh hasil korupsi yang berhasil ditangani Mahkama Agung :

1) 2 September - Memeriksa Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan selama


11 jam di gedung KPK. Pemeriksaan ini terkait kasus pembelian alat berat
senilai Rp 185,63 miliar oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang
dianggarkan pada 2003-2004. Tempo Interaktif
2) 19 Juni - Menahan Gubernur Kalimantan Timur, Suwarna A.F. setelah
diperiksa KPK dalam kasus ijin pelepasan kawasan hutan seluas 147 ribu
hektare untuk perkebunan kelapa sawit tanpa jaminan, dimana negara
dirugikan tak kurang dari Rp 440 miliar. 2007
3) Perkara atas nama Liem Klan Yin berhubungan dengan penjualan aset
tanah milik PT Industri Sandang Nusantara (Persero) Cabang Bandung;
Putusan: pidana penjara 4 tahun, denda Rpl .000.000.000,00 subsidair 10
bulan, uang pengganti Rp24.006.438.333,00; apabila uang tidak dibayar
harta akan dista dan dilelang, apabila harta yang dilelang tidak mencukupi
penjualan aset tanah milik PT Industri Sandang Nusantara (Persero)
Cabang Bandung;Sumber: Indonesia Corruption Watch

Berdasarkan kondisi dimana Indonesia tetap dicap sebagai salah satu


negara terkorup kelima di dunia tentunya ada beberapa hal yang kurang tepat
dalam pelaksanaan kebijakan atau pun kinerja dari lembaga pemberantasan

143
korupsi tersebut. Tidak berjalannya program-program pemberantasan korupsi di
Indonesia selama ini lebih banyak dikarenakan :

1. Dasar hukum untuk melaksanakan tugas dan fungsi dalam pemberantasan


korupsi tidak kuat.
2. Program pemberantasan korupsi tidak dilakukan secara sistematis dan
terintegrasi.
3. Sebagian lembaga yang dibentuk tidak punya mandat atau tidak
melakukan program pencegahan, sementara penindakan tindak pidana
korupsi dilaksanakan secara sporadis, sehingga tidak menyurutkan pelaku
korupsi lain dalam melakukan pelanggaran yang sama.
4. Masyarakat mempunyai persepsi bahwa lembaga anti korupsi yang
dibentuk berafiliasi kepada golongan/partai tertentu sehingga masyarakat
tidak mempercayai keberhasilan lembaga tersebut dalam memberantas
korupsi.
5. Tidak mempunyai sistem sumber daya manusia yang baik, sistem
rekrutmennya tidak transparan, program pendidikan dan pelatihan tidak
dirancang untuk meningkatkan profesionalisme pegawai dalam bekerja,
sehingga SDM yang ada pada lembaga tersebut tidak memiliki
kompetensi yang cukup dalam melaksanakan tugas dalam pemberantasan
korupsi.
6. Tidak didukung oleh sistem manajemen keuangan yang transparan dan
akuntabel. Sistem penggajian pegawai yang tidak memadai, mekanisme
pengeluaran anggaran yang tidak efisien dan pengawasan penggunaan
anggaran yang lemah.
7. Lembaga dimaksud menjalankan tugas dengan benar hanya pada tahun
pertama dan kedua, maka setelah itu menjadi lembaga pemberantas
korupsi yang korup dan akhirnya dibubarkan.

Upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi bukanlah suatu hal yang baru
dalam kebijakan pembangunan di Indonesia. Kebijakan tersebut telah
dilaksanakan pemerintah sejak masa Orde Lama. Begitu pula pada masa Orde

144
Baru juga telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Agenda yang terkait dengan pencegahan dan pemberantasan korupsi adalah


agenda mewujudkan Indonesia yang adil dan demokratis. Dalam agenda tersebut
terdapat beberapa sasaran penting yang hendak dicapai antara lain :

1. Meningkatnya keadilan dan penegakan hukum yang tercermin dari


terciptanya sistem hukum yang adil, konsekuen, dan tidak diskriminatif
serta yang memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap hak
asasi manusia; terjaminnya konsistensi seluruh peraturan perundang-
undangan di tingkat pusat dan daerah sebagai bagian dari upaya
memulihkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap kepastian hukum,
dengan prioritas penegakan hukum antara lain di bidang: (i) Penindakan
pelaku tindak pidana korupsi beserta pengembalian uang hasil korupsi
kepada negara; (ii) Peningkatan pemberdayaan Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (KPK) dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
(Pengadilan Tipikor); serta (iii) Pemberdayaan Komisi Pengawas
Kejaksaan sebagai pengawasan eksternal dari masyarakat terhadap kinerja
aparat kejaksaan.
2. Meningkatnya pelayanan birokrasi kepada masyarakat yang tercermin
dari: (1) Berkurangnya secara nyata praktek korupsi di birokrasi, dan
dimulai dari tataran (jajaran) pejabat yang paling atas; (2) Terciptanya
sistem pemerintahan dan birokrasi yang bersih, akuntabel, transparan,
efisien dan berwibawa; (3) Terhapusnya aturan, peraturan dan praktek
yang bersifat diskriminatif terhadap Indeks Persepsi Korupsi (IPK)
Transparency International menempatkan Indonesia pada urutan
ke 100 dengan skore 3,0 yang masih di bawah Thailand dan
Malaysia. Lembaga antikorupsi yang pernah dibentuk di Indonesia,
hanya KPK yang kinerjanya sudah memberikan hasil yang nyata dengan
mengungkap kasus berbagai kasus korupsi dan mampu menyelamatkan

145
keuangan negara. Namun demikian, kepercayaan masyarakat masih
belum sepenuhnya pulih.

Oleh karena itu, masih dibutuhkan kerja keras dari semua pihak, khususnya
aparatur negara sehingga dapat bekerja secara profesional, dengan
mengedepankan kepentingan rakyat melalui pelayanan yang berkualitas kepada
publik. Setiap aparatur negara perlu memegang teguh etika disiplin PNS yang
dapat mencegah setiap aparatur negara untuk bekerja secara menyimpang dari
ketentuan yang ada.

7.3 Eksistensi KPK Kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana Terpadu

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga negara yang dalam


melaksakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari
pengaruh kekuasaan manapun (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi). Tujuan dibentuknnya KPK tidak lain
adalah meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan
tindak pidana korupsi. KPK dibentuk karena institusi (Kepolisian, Kejaksaan,
Peradilan, Partai Politik dan Parlemen) yang seharusnya mencegah korupsi tidak
berjalan bahkan larut dan terbuai dalam korupsi. Pemberantasan tindak pidana
korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal.
Oleh karena itu pemberantasan korupsi perlu ditingkatkan secara professional,
intensif, dan berkesinambungan. Karena korupsi telah merugikan keuangan
negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional. Begitu
parahnya maka korupsi di Indonesia sudah dikategorikan sebagai tindak pidana
luar biasa (extra ordinary crime). Cara penanganan korupsi harus dengan cara
yang luar biasa. Untuk itulah dibentuk KPK yang mempunya wewenang luar
biasa, sehingga kalangan hukum menyebutnya sebagai suatu lembaga super
(super body).

Awal pembentukan KPK dengan semangat yang tinggi untuk memberantas


korupsi, namun beberapa bulan terbentuk nampaknya KPK dibiarkan untuk mati
suri. Hal tersebut terjadi karena kesalahan pemerintah dan DPR pada waktu itu

146
yang tidak serius memfasillitasi KPK untuk membangun infra struktur yang kuat.
Hal ini terbukti dengan KPK tidak punya penyidik sendiri, tidak punya pegawai,
tidak punya gedung yang representatif dan tidak punya peralatan serta infra
struktur untuk bergerak cepat. Dalam tahun pertama menjalankan peranannya
sebagai ujung tombak memerangi korupsi, KPK menghadapi beberapa kendala
yang klasik antara lain keterlambatan pencairan dana dari pemerintah. Hal ini
mengundang kritik miring dari berbagai pihak seperti Munarman, Ketua Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bahwa KPK hanya mencari-cari
alasan apabila ditagih tentang kinerja pimpinan KPK. Dia juga menambahkan
bahwa sulitnya memberantas korupsi karena pemerintah khususnya pejabat-
pejabat yang berwenang dalam memberantas korupsi sama sekali tidak memiliki
kemauan politik (political will). Selanjutnya Satya Arinanto, dosen Hukum Tata
Negara Universitas Indonesia mengatakan tidak ada upaya KPK dalam
menjalankan peranannya memberantas korupsi bukan karena faktor
keterlambatan dana, karena KPK juga dapat dana dari luar negeri maupun
bantuan asistensi dari partnership. Faktor lain yang menghambat adalah
kosongnya posisi Sekretaris Jendera KPK hampir delapan bulan setelah dibentuk,
sehingga mengganggu jalannya roda administrasi. Sebenarnya hal ini bisa
ditanggulangi dengan mengangkat Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal.

Karena hampir setengah setahun tidak menunjukkan kinerjanya maka KPK


menuai keritik tajam dari pakar hukum Prof Dr. Achmad Ali, yang juga anggota
Komisi Nasional HAM dan praktisi hukum Bambang Widjayanto mengatakan
bahwa KPK lebih menempatkan diri seperti akademisi, dan menjadi institusi
wacana yang terlalu mengada-ada. Prof Dr. Andi Hamzah menekankan bahwa
dalam enam bulan pertama KPK baru mau mencari apa yang harus dikerjakan.

Sebenarnya untuk melakukan peranannya KPK diberikan kewenangan yang luar


biasa seperti yang diatur dalam Pasal 6 butir b, c, d dan e UU. No. 30 tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa lembaga ini dapat
bertindak mulai dari:

147
1. Mensupervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan tindak pidana
korupsi;

2. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak


pidana korupsi;

3. Melakukan tindakan pencegahan korupsi;

4. Memonitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Dalam menangani kasus KPK diberi kewenangan memperpendek jalur birokrasi


dan proses dalam penuntutan. Jadi KPK mengambil sekaligus dua peranan yaitu
tugas Kepolisian dan Kejaksaan yang selama ini tidak berdaya dalam memerangi
korupsi. Disamping itu dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002, KPK diberi kewenangan untuk melakukan pengawasan, penelitian, atau
penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenang yang
berkaitan dengan pemberantasan korupsi dan instansi yang dalam melaksanakan
pelayanan publik. Selanjutnya KPK mengambil alih kasus korupsi yang sedang
ditangani kepolisian atau kejaksaan apabila :

1. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditinjaklanjuti;


2. Proses penanganan tindak pidana korupsi tidak ada kemajuan/berlarut-
larut/ tetunda tanpa alasan yang bisa dipertanggung jawabkan;
3. Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku
korupsi yang sesungguhnya;
4. Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;
5. Adanya hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur
tangan dari eksekutif, yudikatif atau legislatif; atau
6. Keadaan lain yang menurut pertimbangnan kepolisian atau kejaksaan,
penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan
dapat dipertanggungjawabkan.

148
Dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, KPK juga diberi
kerwenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak
pidana korupsi yang :

1. Melibatkan aparat pengak hukum, penyelengara negara dan orang lain


yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
aparat penegak hukum dan penyelengara negara;
2. Mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat; dan/atau
3. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1.000.000.000 (satu miliar
rupiah).

Untuk memerangi tindak pidana korupsi yang dikategorikan sebagai tindak


pidana luar biasa (extra ordinary crime), maka KPK diberi tambahan
kewenangan yang tidak dimiliki instititusi lain yaitu:

1. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;


2. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang
berpergian keluar negeri;
3. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang
keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa;
4. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk
memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka,
terdakwa, atau pihak lain yang terkait;
5. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa
kepada instansi terkait;
6. Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi
perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan,
lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau
terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada
hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa;

149
7. Meminta bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara
lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang
bukti diluar negeri;
8. Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk
melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan
dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.

Melihat kewenangan KPK, maka tidak heran kalau kalangan hukum


menyebutnya sebagai lembaga super (superbody). Disamping itu, peranan KPK
melebihi dari Kepolisian dan Kejaksaan dimana Kepolisian dan Kejaksaan dapat
mengeluarkan Surat Perintah. Penghentian Penyidikan dan Penuntutan (SPPP)
dalam perkara tindak pidana korupsi, sebaliknya berdasarkan Pasal 40 UU
Nomor 30 Tahun 2002, KPK tidak berwenang mengeluarkan SPP untuk
menghindari adanya main mata antara tersangka dan aparat KPK. Dengan
kewenangan yang super tersebut KPK mampu mengeliminasi korupsi secara
konseptual dan sistematis. Masyarakat tidak mau tahu akan keluh kesah KPK
bekait dengan kurangya personil maupun kesendirian KPK dalam menangani
tindak pidana korupsi.

Komisi Pemberantas Korupsi mulai memainkan perannya dengan membawa


mantan Abdullah Puteh, mantan Gubernur Nangroe Aceh Darussalam menjadi
tersangka korupsi pengadaan helikopter. Tahun 2005 merupakan kejutan dari
pelaksanaan peran KPK dalam memerangi korupsi yaitu berhasil menangkap
Mulyana Wira Kusuma, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mencoba
menyuap salah seorang auditor BPK. Kasus ini sekaligus mengungkap praktik
korupsi di tubuh KPU yang menyeret Nazarudin Syamsudin, Ketua, Rusadi
Kantaprawira anggota KPU dan Pejabat Sekreris Jenderal KPU serta stafnya.
Dalam waktu tidak beberapa lama KPK menangkap pengacara Abdulah Puteh
dan panitera Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Dilanjutkan dengan tindakan KPK
menangkap pengacara Probosutejo dan lima pegawai MA yang terlibat transaksi
penerimaan uang suap sebanyak 6 miliar. Hal ini menyebabkan KPK
menggeledah dan memeriksa tiga hakim agung, termasuk ketuanya Bagir Manan.

150
Kemudian Suratno, direktur Administrasi dan Keuangan RRI dibawa
kepengadilan begitu juga dengan rekanan RRI, Fahrani Husaini.

Lagi-lagi masyarakat dikejutkan dengan perlakuan diskriminasi KPK sewaktu


memeriksa Bagir Manan karena tidak memanggil Bagir Manan di kantor KPK
tapi malah datang kekantor dan diruangan Bagir Manan di MA. Hingga kini
kasusnya tidak jelas dan terkesan menguap ditelan awan. Ketua KPK mengakui
dalam kata sambutannya memperingati dua tahun berdirinya lembaga tersebut
bahwa perang terhadap korupsi yang dilakukannya bagaikan “kesunyian dan
kesendirian” karena tidak ada kemauan yang serius ditingkat kekuasaan, kecuali
kepura-puraan belaka. Bahkan beberapa kasus di atas tanpa rasa malu tak jarang
koruptor dilindungi dengan kekuasaan dan cara-cara invisible hand. Dia
menegaskan bahwa ditengah upaya semu perang terhadap korupsi yang dilakukan
KPK, semua jadi penonton baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif tetap diam
terpaku mesti satu persatu fakta dipertontonkan. Tidak ada satupun instansi yang
mencoba memperbaiki sistemnya.

KPK tidak akan bisa melaksanakan perannya secara optimal bilamana tidak
didukung oleh keinginan dan tindakan nyata pemerintah dalam penegakan
hukum, terutama perang terhadap korupsi. Hal ini terlihat bahwa perombakan
kabinet yang baru-baru ini dilakukan oleh presiden sama sekali tidak menyentuh
sekali bidang penegakan hukum. Bukankah untuk sudah disindir oleh Prof Dr.
Azyumardi Azra bahwa ikan membusuk dari kepala, jadi untuk memerangi
korupsi mulailah dari pimpinan tertinggi di lembaga atau departemen tersebut.
Selama itu tidak dilakukan maka perang terhadap korupsi tak ubahnya dengan
berperang melawan angin dan hanya retorika semata-mata. Indonesia merupakan
Negara dunia kegita, yang dalam artian bahwa Indonesia tergolong dalam
kelompok Negara berkembang. Dalam proses perkembangan itu, Indonesia
mencoba mensejajarkan diri dengan Negara-negara Eropa yang sudah terlebih
dahulu mencapai kemajuan. Perkembangan dalam dunia politik juga tidak kalah
cepatnya disbanding dengan perkembangan sendi-sendi kehidupan lainnya seperti
ekonomi dan ilmu pengetahuan.

151
Sebagai Negara berkembangan, politik yang terjadi di Negara itu sendiri yang
dalam hal ini adalah Indonesia masih dalam tahap pendewasaaan. Sehingga
masih banyak terlihat kekurangan dalam dunia perpolitikan di Indonesia.
Demikian juga dengan sikap para elit politik Indonesia yang masih tergolong
haus akan kekuasaan. Oleh karena banyak kita temui kecurangan dalam
pelaksanaan politik di Indonesia. Baik dari sikap para pejabat tinggi Negara
maupun para elit politik tersebut. Seakan-akan mereka haus akan harta dan tahta.
Bukan sekedar menjalanakan tugas dan kewajiban untuk mensejahterakan rakyat.
Melihat dari sikap para pejabat dan elit politik yang cenderung korup itu, maka
dibentuk suatu badan independen yang khusus menangani masalah korupsi.
Dalam hal ini badan tersebut memiliki kewenangan penuh untuk melacak dan
menangkap para pelaku korupsi yang telah terbukti melakukannya. Yang dalam
perekrutan anggotanya harus benar-benar bersih dan memiliki profesional tinggi
serta perspektif yang kuat sehingga dapat melihat secara lebih tajam persoalan
mendasar dari masalah merajalelanya korupsi. Sudah seharusnya desain program
dan kebijakan pemberantasan korupsi harus bercermin pada tipologi korupsi yang
mendominasi. Bukan sekedar menjalankan tugas dan kewajiban untuk
memberantas korupsi sebagaimana mandate Undang-undang tapi tanpa bekal
yang cukup memadai.

Dalam pelaksanaannya KPK yang memiliki kewenangan penuh untuk


menangkap dan menyelidiki kasus tindak pidana korupsi. Tidak dapat kita
pungkiri dengan kewenangan itu pula, KPK menjadi mimpi buruk bagi para
pejabat dan elit politik yang korupsi. Karena KPK dapat menangkap para pelaku
korupsi yang telah di curigai kapanpun dan dimana pun. Seperti yang telah kita
lihat pada akhir-akhir ini. Dalam kasus penangkapan Mantan Ketua Umum Partai
Demokrat (PD) Anas Urbaningrum ditahan di Rumah Tahanan yang berada di
Gedung KPK, Jakarta, usai menjalani pemeriksaan lima jam sebagai tersangka
gratifikasi Hambalang dan proyek lainnya, Jumat (10/1/2014) petang. Anas
ditahan untuk kepentingan penyidikan. “AU ditahan untuk 20 hari pertama,” kata
Johan melalui pesan singkat.

152
Penahanan Anas sempat membuat situasi di kantor KPK tegang. Bahkan,
kericuhan antar pewarta dan pihak kepolisian dan sejumlah loyalis Anas sempat
terjadi. Melihat dari sikap KPK yang tergolong tegas dan tepat itu, mungkin
menjadi terapi shock kepada para koruptor lainnya. Secara tidak langsung
kewenagan KPK yang terkadang dianggap melanggar privasi seseorang ini,
menjadi salah satu hal yang dapat membuat orang untuk berpikir ulang untuk
melakukan tindak pidana korupsi karena takut di tangkap oleh KPK yang datang
seperti angin tanpa bisa diduga.

Dalam kenyataannya, perbuatan korupsi yang telah dilakukan oleh para pejabat
tinggi Negara dan elit politik yang sepertinya sudah menjadi warisan dari rezim
Orde Baru dan telah menyisakan penderitaan bagi rakyat Indonesia yang hingga
kini belum dapat diatasi. Korupsi yang telah terjadi selama bertahun-tahun
memasuki setiap sendi-sendi kehidupan masyarakat banyak, terutama rakyat kecil
yang tidak tahu-menahu dengan urusan politik. Sikap korup para pejabat tinggi
Negara dan elit politik telah memporak-porandakan perekonomian Negara pada
khususnya. Korupsi miliaran bahkan triliunan rupiah telah menghisap habis yang
seharusnya menjadi hak rakyat Indonesia sebagai warga Negara. Korupsi yang
terjadi bukan hanya dalam satu departemen saja. Sepertinya setiap departemen
berlomba untuk korupsi. Banyak dana Negara yang hilang entah kemana dan
penggunaannya tanpa tujuan yang jelas. Kebanyakan dana itu masuk ke kantong
pribadi ataupun kelompok tertentu yang dengan sengaja menyelewengkan dana
tersebut untuk kepentingan sendiri atau kelompok.

Akibatnya banyak rakyat yang sampai saat ini tidak dapat memperoleh haknya.
Misalnya seperti korupsi terhadap dana kesehatan, pendidikan ataupun subsidi
BBM yang harusnya direalisasikan demi kepentingan masyarakat Indonesia yang
khususnya masyarakat miskin. Namun karena dana-dana tersebut telah
dikorupsikan sebelum sampai ke tangan orang yang berhak, sehingga banyak
rakyat yang kurang mampu tidak dapat mengecap pendidikan, tidak dapat berobat
serta tidak mampu membeli minyak untuk kebutuhan sehari-hari. Sedikit
banyaknya masyarakat miskin di Indonesia, dapat kita katakan akibat dari korupsi

153
yang merajalela di kalangan pejabat dan elit politik. Suatu Negara akan maju dan
berkembang apabila didukung dengan pemerintahan yang bersih.

7.4 Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia KPK

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan komisi di Indonesia yang


dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi, dan memberantas
korupsi di Indonesia. Komisi ini didirikan berdasarkan kepada undang-undang
nomor 30 tahun 2002 mengenai komisi pemberantasan korupsi. Penanganan
Kasus Korupsi oleh KPKtelah menangani kasus korupsi beberapa Pejabat mulai
dari Menteri, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Gubernur, Walikota/Bupati,
dan pengusaha yang ada kaitannya di Indonesia sejak tahun 2004.
"Selain kasus korupsi gubernur di Indonesia yang ditangani KPK sejak tahun
2004, sebanyak 34 kasus korupsi yang melibatkan Bupati dan Wali kota juga
ditangani KPK," kata Direktur Penelitian dan Pengembangan KPK, Roni Dwi
Susanto pada acara pencegahan kasus korupsi di Mamuju, Jumat (27/9). Berikut
ini :

1) Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan vonis kasasi kepada mantan Bupati


Lampung Selatan, Wendy Melfa dengan hukuman 10 tahun penjara dalam
kasus korupsi pengadaan tanah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU)
Sebalang. Dalam putusan kasasi MA dipimpin majelis hakim Agung MA
Artidjo Alkostar tersebut.
2) MA mengabulkan kasasi Jaksa Penuntut Umum (JPU), dan memperbaiki
putusan Pengadilian Tinggi Lampung dengan memvonis terpidana 10 tahun
penjara, dan mewajibkan terpidana membayar denda sebesar Rp 500 juta
subsider enam bulan penjara.
3) Setali tiga uang nasib dua mantan bupati yang bertetangga, Lampung Timur
dan Lampung Tengah. Jika mantan Bupati Lampung Timur Satono dihukum
15 tahun penjara, maka mantan Bupati Lampung Tengah, Andi Achmad
Sampurna Jaya juga dihukum dengan hukuman 3 tahun lebih ringan yaitu 12
tahun penjara.

154
4) (9/12/2013).Mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan
Ishaaq divonis 16 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider kurungan 1
tahun penjara. Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta
menyatakan, Luthfi terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian
uang. Luthfi bersama rekannya, Ahmad Fathanah, terbukti menerima suap Rp
1,3 miliar dari Direktur Utama PT Indoguna Utama, Maria Elizabeth Liman,
terkait kepengurusan penambahan kuota impor daging sapi. Uang itu diterima
Luthfi ketika masih menjabat anggota Komisi I DPR RI dan Presiden PKS.

5) (6/12/2013) Mantan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Angelina Sondakh


hukumannya diperberat Mahkamah Agung menjadi 12 tahun penjara.

6) Komisi Pemberantasan Korupsi, KPK memutuskan untuk menahan mantan


Kepala Korps Lalu Lintas Mabes Polri, Inspektur Jenderal Djoko Susilo pada
Senin (03/12) sore. Djoko sebelumnya telah ditetapkan sebagai tersangka
dalam kasus korupsi pengadaan alat ujian simulator surat izin mengemudi di
Kepolisian Indonesia.

7) Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan vonis lima


tahun penjara kepada politikus Partai Hanura Miryam S. Haryani. Majelis
hakim menilai Miryam terbukti secara sah dan meyakinkan memberikan
keterangan tidak benar saat menjadi saksi dalam perkara korupsi proyek
pengadaan kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP.Selain hukuman
penjara lima tahun, majelis hakim juga menjatuhkan pidana denda sebesar Rp
200 juta. Vonis hakim ini lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum
Komisi Pemberantasan Korupsi. Sebelumnya, jaksa menuntut agar Miryam
mendapatkan hukuman 8 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider enam
bulan kurungan. Miryam merupakan mantan anggota Komisi Pemerintahan
Dewan Perwakilan Rakyat periode 2009-2014.

8) Mantan Ketua DPR, Setya Novanto, disidang sebagai terdakwa kasus korupsi
proyek e-KTP. Dalam dakwaan yang dibacakan jaksa KPK di Pengadilan
Tipikor, Kamis (9/3/2017), Novanto disebut memiliki peran dalam mengatur

155
besaran anggaran e-KTP yang mencapai Rp 5,9 triliun. Dari anggaran itu,
rencananya 51 persen atau Rp 2,662 triliun akan digunakan untuk belanja
modal atau belanja riil pembiayaan proyek e-KTP. Sementara, 49 persen atau
sebesar Rp 2,558 triliun, akan dibagi-bagi ke sejumlah pihak. Novanto
bersama Andi, Anas, dan Nazaruddin kemudian disebut mengatur pembagian
anggaran dari 49 persen yang rencananya akan dibagi-bagi. Pembagiannya
adalah 7 persen (Rp 365,4 miliar) untuk pejabat Kementan, 5 persen (Rp 261
miliar) untuk anggota Komisi II DPR, dan 15 persen (Rp 783 miliar) untuk
rekanan/pelaksana pekerjaan. Sedangkan 11 persen (Rp 574,2 miliar)
direncanakan untuk Setya Novanto dan Andi Narogong, dan 11 persen (Rp
574,2 miliar) lainnya untuk Anas Urbaningrum dan Muhammad Nazaruddin.
Dan hingga sekarang masih dalam proses.

9) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat (20/12), memutuskan menahan


Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah.Ratu Atut Chosiyah ditahan setelah
ditetapkan sebagai tersangka kasus suap Pilkada Lebak, yang melibatkan
mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar.Sementara itu, sejumlah
aktivis mengapresiasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan
Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah setelah ditetapkan tersangka kasus suap
Pilkada Lebak yang melibatkan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil
Mochtar.Roni Dwi Susanto mengatakan, kasus yang melibatkan Gubernur
tersebut telah terproses secara hukum dan ditangani dengan tuntas. Ia
mengatakan KPK saat ini fokus menangani kasus korupsi ditingkat Provinsi
dan Kabupaten yang melibatkan pejabat setempat.

Tahun 2013 yang kerap disebut tahun penuh korupsi telah lewat. Namun berbagai
kasus korupsi yang mewarnai tahun 2013 ini belum sepenuhnya diselesaikan
dengan baik, meskipun KPK menargetkan akan selesai dan diusut sebelum 2014.
Faktanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum juga menuntaskan
sejumlah kasus yang dijanjikan tersebut. Selain kasus yang dijanjikan selesai

156
tahun ini, ada beberapa kasus yang masih mengambang di KPK. Berikut ini
adalah janji-janji KPK dan kasus yang belum dituntaskan:

1. Janji tuntaskan kasus Hambalang salah satu kasus besar yang dijanjikan KPK
akan selesai tahun ini adalah dugaan korupsi terkait proyek Hambalang.
Setidaknya ada dua perbuatan pidana yang disidik KPK terkait proyek ini,
yakni dugaan penyalahgunaan wewenang terkait pembangunan konstruksi
proyek Hambalang, serta dugaan penerimaan gratifikasi terkait pusdiklat
proyek Hambalang. Untuk kasus gratifikasi, KPK baru menetapkan satu
tersangka, yakni mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum.
Sementara itu dalam kasus dugaan penyalahgunaan wewenang, lembaga
antikorupsi itu menetapkan empat orang sebagai tersangka, yakni Mantan
Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Malllarangeng, Hingga kini, baru Andi,
Deddy, dan Teuku Bagus yang ditahan KPK. Meskipun sudah ditahan, berkas
perkara Andi dan Teuku Bagus masih menungggu diselesaikan. Dari total lima
tersangka, baru Deddy yang disidangkan kasusnya di Pengadilan Tipikor
Jakarta. Sementara pimpinan KPK dalam sejumlah kesempatan mengatakan
bahwa kasus Hambalang menjadi prioritas di KPK.

2. Janji selesaikan kasus Century selain Hambalang, kasus besar yang dijanjikan
KPK akan selesai tahun ini adalah dugaan korupsi pemberian fasilitas
pendanaan jangka pendek (FPJP) dan penetapan Century sebagai bank gagal
berdampak sistemik. Kasus ini menjerat mantan Deputi Gubernur Bank
Indonesia Budi Mulya dan Siti Fajriah. Namun, karena alasan kesehatan,
Fajriah belum diproses hukum. KPK menetapkan Budi secara resmi sebagai
tersangka pada Desember tahun lalu. Dia ditahan KPK pada 15 November
2013 di Rumah Tahanan KPK. Hingga kini, pemberkasan perkara Budi belum
dinyatakan lengkap (P21) sehingga belum bisa dilimpahkan ke tahap
penuntutan, apalagi kepengadilan dalam rapat dengan Tim Pengawas Bank
Century di DPR pertengahan Februari lalu, Ketua KPK Abraham Samad
menyatakan janjinya untuk menyelesaikan kasus Century tahun ini.

157
3. Belum ada tersangka di kasus BLBI penyelidikan perkara Bantuan Likuiditas
Bank Indonesia (BLBI), khususnya yang berkaitan dengan penerbitan Surat
Keterangan Lunas (SKL) untuk beberapa obligator yang dimulai KPK sekitar
April 2013, belum menghasilkan kemajuan signifikan. KPK belum
menetapkan satu pun tersangka dari penyelidikan tersebut. SKL untuk
sejumlah obligator ini dikeluarkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional
(BPPN) berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002. Saat itu,
Presiden yang menjabat adalah Megawati Soekarnoputri. SKL tersebut berisi
pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan
kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan
kewajibannya berdasarkan penyelesaian kewajiban pemegang saham, dikenal
dengan inpres tentang release and discharge berdasarkan inpres tersebut,
debitor BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang walaupun hanya 30 persen
dari jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) dalam bentuk tunai dan 70
persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN. Atas dasar bukti itu,
mereka yang diperiksa dalam penyidikan Kejaksaan Agung akan mendapatkan
surat perintah penghentian perkara (SP3). Tercatat beberapa nama
konglomerat papan atas, seperti Sjamsul Nursalim, The Nin King, dan Bob
Hasan, yang telah mendapatkan SKL dan sekaligus release and discharge dari
pemerintah. Padahal, Inpres No 8/2002 yang menjadi dasar kejaksaan
mengeluarkan SP3 itu bertentangan dengan sejumlah aturan hukum, seperti
UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terkait
penyelidikan ini, KPK telah meminta keterangan sejumlah mantan menteri, di
antaranya, mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara, Laksamana Sukardi,
mantan Menteri Keuangan dan Koordinator Perekonomian Rizal Ramli,
mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Kwik Kian Gie, mantan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Mariani Soewandi, mantan
Menteri Keuangan, Bambang Subianto.

158
4. Masih ada buronan selama dua tahun masa pemerintahan pimpinan KPK Jilid
III tak hanya menyisakan kasus-kasus yang belum tuntas, namun juga masih
ada buronan KPK yang belum ditangkap. Pemilik PT Masara Radiokom
Anggoro Widjojo melarikan diri ke luar negeri sejak 2009. Selaku pemilik PT
Masaro, Anggoro diduga menyuap empat anggota Komisi IV DPR, yakni
Azwar Chesputra, Al-Amin Nur Nasution, Hilman Indra, dan Fachri Andi
Leluas, agar mendorong pemerintah menghidupkan kembali proyek Sistem
Komunikasi Radio Terpadu (SKRT). PT Masaro Radiokom merupakan
rekanan Departemen Kehutanan dalam pengadaan SKRT 2007 yang nilai
proyeknya mencapai Rp 180 miliar. Saat itu, Departemen Kehutanan dipimpin
Menteri Kehutanan, MS Kaban. Proyek SKRT ini sebenarnya sudah
dihentikan pada 2004 lalu pada masa Menhut M Prakoso. Namun atas upaya
Anggoro, proyek tersebut dihidupkan kembali.
Kasus dugaan suap yang melibatkan Anggoro ini sempat menjadi prioritas
KPK. Plt Ketua KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean sekitar 2011
menyebut kasus ini sebagai salah satu prioritas KPK. Namun KPK terkendala
karena buronnya Anggoro. Kemudian sekitar Mei 2012, KPK mulai kembali
memeriksa saksi terkait kasus Anggoro, di antaranya, MS Kaban, Presiden
Direktur PT Masaro Radiokom, Putranefo Prayugo, serta mantan anggota
Komis IV DPR lainnya, yakni Azwar Chespura dan Hilman Indra.

5. Kasus yang tidak tuntas selain itu, masih ada kasus lain yang belum
dituntaskan oleh KPK. Misalnya, kasus suap cek pelawat yang belum
menyentuh auktor intelektualisnya, kasus suap Dana Percepatan Pembangunan
Infrastruktur Daerah (DPPID) yang diperkirakan berhenti pada dua anak buah
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar, yakni I Nyoman
Suisnaya dan Dadong Irbarelawan, serta pengusaha bernama Dharnawati,
yang divonis bersalah beberapa waktu yang lalu.

159
7.5 Kesimpulan Bab 7

Lahirnya KPK didasarkan atas perkembangan pemikiran di dunia hukum bahwa


korupsi adalah kejahatan luarbiasa, di atas keinginan politik parlemen dimana
sebagian anggota parlemen “bersih” berharap pemberantasan korupsi lebih
intensif, oleh karenanya bukan tidak mungkin KPK secara politik dibubarkan
atau amputasi kewenangan melalui tangan sebagian anggota parlemen yang
kotor. Sejauh ini kinerja KPK belum menunjukkan hasil yang memuaskan.
Memang telah banyak kasus korupsi yang telah diungkap KPK, namun pada
kenyataannya masih banyak kasus yang terbengkelai dan tidak diketahui
kejelasannya. Sebenarnya fungsi, peran dan wewenang KPK tidak hanya untuk
memberantas korupsi, tapi juga tindakan terkait penanganan korupsi. Maka pada
dasarnya KPK juga bertugas mengantisipasi, mengatasi, menyelidiki serta
mengadili pelaku korupsi. Maka perlu diketahui lebih banyak lagi tugas, peran,
wewenang KPK untuk lebih memahami tentang apa itu KPK agar masyarakat
juga bisa menilai dengan bijak bagaimana kinerja KPK yang sesungguhnya

Tujuan dibentuknnya KPK tidak lain adalah meningkatkan daya guna dan hasil
guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK dibentuk karena
institusi (Kepolisian, Kejaksaan, Peradilan, Partai Politik dan Parlemen) yang
seharusnya mencegah korupsi tidak berjalan bahkan larut dan terbuai dalam
korupsi. Pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang
belum dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu pemberantasan korupsi
perlu ditingkatkan secara professional, intensif, dan berkesinambungan. Karena
korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan
menghambat pembangunan nasional. Begitu parahnya maka korupsi di Indonesia
sudah dikategorikan sebagai tindak pidana luar biasa (extra ordinary crime). Cara
penanganan korupsi harus dengan cara yang luar biasa. Untuk itulah dibentuk
KPK yang mempunya wewenang luar biasa, sehingga kalangan hukum
menyebutnya sebagai suatu lembaga super (super body).

160
Awal pembentukan KPK dengan semangat yang tinggi untuk memberantas
korupsi, namun beberapa bulan terbentuk nampaknya KPK dibiarkan untuk mati
suri. Hal tersebut terjadi karena kesalahan pemerintah dan DPR pada waktu itu
yang tidak serius memfasillitasi KPK untuk membangun infra struktur yang kuat.
Hal ini terbukti dengan KPK tidak punya penyidik sendiri, tidak punya pegawai,
tidak punya gedung yang representatif dan tidak punya peralatan serta infra
struktur untuk bergerak cepat.

Dalam tahun pertama menjalankan peranannya sebagai ujung tombak memerangi


korupsi, KPK menghadapi beberapa kendala yang klasik antara lain
keterlambatan pencairan dana dari pemerintah. Hal ini mengundang kritik miring
dari berbagai pihak seperti Munarman, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia (YLBHI) bahwa KPK hanya mencari-cari alasan apabila ditagih
tentang kinerja pimpinan KPK. Dia juga menambahkan bahwa sulitnya
memberantas korupsi karena pemerintah khususnya pejabat-pejabat yang
berwenang dalam memberantas korupsi sama sekali tidak memiliki kemauan
politik (political will). Selanjutnya Satya Arinanto, dosen Hukum Tata Negara
Universitas Indonesia mengatakan tidak ada upaya KPK dalam menjalankan
peranannya memberantas korupsi bukan karena faktor keterlambatan dana,
karena KPK juga dapat dana dari luar negeri maupun bantuan asistensi dari
partnership. Faktor lain yang menghambat adalah kosongnya posisi Sekretaris
Jendera KPK hampir delapan bulan setelah dibentuk, sehingga mengganggu
jalannya roda administrasi. Sebenarnya hal ini bisa ditanggulangi dengan
mengangkat Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal.

161
DAFTAR PUSTAKA
Literatur
Alwi, Hasan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Cetakan ke-3. Jakarta, Balai
Pustaka, 2005.

Arief, Barda Nawawi, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana, Bandung
Citra Aditya Bakti, 2001.
Asshidiqie Jimly, Penegakan Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia, 2011.

Alatas. Syed Hussein, Sosiologi Korupsi, Jakarta, LP3ES, 1986.

Ghofur Abdul, Pokok Pokok Penegakan Hukum, Jakarta, Bumi Aksara, 2006.
Husin, Kadri, Sistem Peradilan Pidana Menurut KUHP, Tesis, Pasca Sarjana Ilmu Hukum.
Universitas Indonesia, 1985.
--------------Relevansi Kesatuan Pandang Penegak Hukum Dalam Penanggulangan
Kejahatan, Seminar Nasional Wibawa Penegak hukum Unila. Bandar Lampung, 1987.
Krisnowo Harkistuti, Sistem Peradilan Pidana Terpadu ( Integreted Criminal Justice
System), Jakarta, 2002.
Lopa, Baharudin, Kejahatan korupsi dan Penegakan Hukum. Kompas, 2001.
Mariyanti, Istilah istilah hukum, Jakarta, Bumi aksara, 1986.
Moeljatno. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam hukum pidana,
Yogyakarta,1969.
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Yogyakarta, Liberty, 1999.

Rahardjo, Satjipto, Masalah Penegakan Hukum, Jakarta, BPHN, 1977.

Siswanto, Penegakan Hukum Indonesia, Jakarta, Raja grafindo, 2005.

Soekanto Soerjono, Faktor faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, Bandung, Alumni,
2002.
Supriadi, Problematika Penegakan Hukum, Bandung, Alumni, 2008.

Wiranata, I Gede, Dasar-Dasar Etika dan Moralitas Profesi (Pengantar Kajian Etika Profesi
Hukum), Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 2005.

Perundang-Undangan

Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian


Undang Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan
Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat
Undang Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan
Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi

Anda mungkin juga menyukai