Anda di halaman 1dari 371

HUKUM PIDANA ISLAM

Prof. Dr. Drs. H. Makhrus Munajat, S.H., M.Hum.

H ukum pidana Islam selalu diperdebatkan dari segi the


Islamic values dalam sendi kehidupan masyarakat. Hukum
pidana Islam oleh sebagian pihak dikatakan produk hukum
yang tidak menghargai hak-hak asasi manusia, terutama ketika
bicara hukuman kisas bagi pembunuh, hukuman rajam bagi pezina,
hukuman potong tangan bagi pencuri dan hukuman mati bagi
murtad. Kondisi ini diperkeruh dengan propaganda bahwa hukum
Pidana Islam out of date dan tidak humanis. Kesan seperti itu
muncul dikarenakan hukum pidana Islam tidak dilihat secara utuh.
Buku ini meyakinkan bahwa hukum pidana Islam diterapkan

Prof. Dr. Drs. H. Makhrus Munajat, S.H., M.Hum.


dalam rangka menjunjung tinggai Hak-hak Asasi Manusia dengan
menerapkan dua prinsip, yaitu hukum asal (al-ahkam al-ashliyah)
yakni melarang siapa saja yang melanggar hak-hak asasi manusia,
dan hukum pelengkap (al-ahkam al-muayidah), yakni memberikan
sanksi bagi siapa yang melanggar HAM. Penulis telah berusaha
untuk menggali norma-norma yang terkandung dalam hukum
pidana Islam dalam sebuah kajian yang komprehensif. Hal ini
dilakukan guna memotret hukum Islam secara utuh dan
komprehensif.

Diterbitkan oleh:

Mahameru Press
Komplek Polri A2 no 42
Gowok Yogyakarta
Email: i.erpro79@gmail.com
Mahameru Press
HUKUM PIDANA ISLAM

Oleh:
Prof. Dr. Drs. H. Makhrus Munajat, S.H., M.Hum.

2019
Hukum Pidana Islam

Prof. Dr. Drs. H. Makhrus Munajat, S.H., M.Hum., Penulis


Yogyakarta: Mahameru Press
LVIII + 304 hal.; 14 x 21 cm
ISBN : 978-602-60754-0-6

Editor : Ita
Layout dan Desain Sampul : Robien

Diterbitkan oleh

Mahameru Press
Komplek Polri A2 no 42 Gowok Yogyakarta
PENGANTAR PENERBIT

Alhamdulillah Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam,


karena karunia, rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kami dapat
menyelesaikan karya ilmiah ini. Shalawat dan salam mudah-
mudahan tercurah kepada junjungan Nabi Agung Muhammad SAW.
Sungguh suatu pekerjaan yang tidak ringan bagi penulis dalam
mencari, mengumpulkan dan menyelekasi data, serta dalam proses
penyelesaian penulisan ini. Apalagi untuk mengupas masalah
Hukum Pidana Islam di Indonesia yang sumbernya amat langka dan
tidak banyak dilirik oleh para penulisi ketimbang persoalan lainnya.
Terus terang saja, hukum pidana Islam, kadangkala atau
malahan sering kali, dipandang sebelah mata, bahkan terlanjur
diasumsikan negatif sebagai hukum yang terbelakang, kejam, sadis,
bahkan tidak adil dan melanggar hak asasi manusia. Kesan yang
demikian, ironisnya, tidak saja muncul dari masyarakat kebanyakan,
tetapi bahkan dari kalangan muslim terpelajar sekalipun.
Penyebabnya, antara lain, terjadinya ketidakadilan ilmiah terhadap
hukum pidana Islam yang lagi-lagi justru dilakukan oleh intelektual
muslim sendiri. Akibatnya, hukum pidana Islam, adanya dianggap
sebagai tidak adanya.
Bermula dari kegelisahan itulah, penulis buku ini
memandang perlu menggambarkan hukum pidana Islam secara utuh
sekaligus mereaktualisasikannya, bahkan, jika perlu,
mendekonstruksi. Penggambaran tersebut selalu dibarengi dengan
sentuhan-sentuhan filosofis tanpa harus melupakan pesan-pesannya
yang universal. Ini perlu dilakukan guna mengikis habis paradigma
negatif di atas, disertai harapan semoga hukum pidana Islam tidak
hanya ada dalam wacana perdebatan belaka namun benar-benar ada
dalam realitas.
Karena kerinduan akan munculnya kritik terhadap hukum
Islam, termasuk hukum pidana Islam, bukan lagi hanya menjadi
warna pemikiran para mahasiswa dan intelektual muslim, maka
dipandang perlu bagi siapapun yang berminat mencermati
perbincangan syari’at Islam dalam konteks dunia kontemporer untuk
membaca buku ini.

Yogyakarta, 2019

Penulis.
KATA PENGANTAR
‫الرِحْي ِم‬ َّ ِ‫بِ ْـس ِم هللا‬
َّ ‫الر ْْح ِن‬
‫ أَ ْش َـهد اَ ْن لَ اِلهَ اِلَّ هللا َوأَ ْش َـهد اَ َّن ُمَـ َّـم ًدا َع ْـبده‬,‫ي‬ ِ ِ ‫اْلمد للِ ر‬
َ ْ ‫ب الْ َعالَم‬ َ ْ َْ
ِ ِ ِِ ِ ِ
‫ أ ََّمــا‬,‫ي‬َ ْ ‫ص َحابِه اَ ْْجَع‬ ْ َ‫السالَم َعلَى َرس ْول هللا َو َعلَى آله َو ا‬ َّ ‫الصالَة َو‬
َّ ,‫َوَرسـ ْـوله‬
‫بـَ ْـعد‬
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, karena karunia,
rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kami dapat menyelesaikan karya
ilmiah ini. Shalawat dan salam mudah-mudahan tercurah kepada
junjungan Nabi Agung Muhammad SAW. Sungguh suatu pekerjaan
yang tidak ringan bagi penulis dalam mencari, mengumpulkan dan
menyelekasi data, serta dalam proses penyelesaian penulisan ini.
Apalagi untuk mengupas masalah Hukum Pidana Islam di Indonesia
yang sumbernya amat langka dan tidak banyak dilirik oleh para
peneliti ketimbang persoalan lainnya.
Saat ini, perbincangan mengenai tuntutan penerapan syari’at
Islam, lebih-lebih tentang penerapan hukum Pidana Islam sedang
menghangat di Indonesia. Perdebatan panjangpun terus berlangsung
dan tak kunjung mereda. Sebagian pihak sangat mendukung, di pihak
lain menolak, bahkan ada yang mengambil posisi yang paling aman,
yakni diam.
Kondisi ini diperkeruh dengan propaganda bahwa hukum
Pidana Islam adalah sesuatu yang out of date dan dehumanis. Wajah
hukum pidana Islam yang kerap tergambar dalam media massa atau
buku-buku karya orientalis adalah sebagai sosok hukum yang kejam,
tidak manusiawi, melanggar HAM, kuno, terindikasi unsur balas
dendam.. Kesan seperti itu muncul karena hukum pidana Islam tidak
dilihat secara utuh atau parsial. Sementara di kalangan akademisi dan
dunia hukumpun telah membiarkan terjadinya ketidakadilan ilmiah
terhadap hukum pidana Islam. Ia tidak dipandang sebagai salah satu
sistem hukum yang hidup. Seharusnya ahli hukum melihat dan
menerima sistem hukum pidana Islam secara obyektif. Di Indonesia
yang penduduknya mayoritas beragama Islam, potret hukum pidana
Islam jarang dikenal dan dipelajari. Mestinya kalau kita jujur,
hukum pidana Islam harus digali dan dikaji dalam rangka
pengembangan dan pembaruan hukum di Indonesia
Penulis telah berusaha untuk menggali norma-norma yang
terkandung dalam hukum pidana Islam dalam sebuah kajian yang
komprehensif. Hal ini dilakukan guna memotret hukum Islam secara
utuh dan komprehensif.
Yogyakarta, 2019
Penulis

Prof. Dr. Drs. H. Makhrus Munajat, SH,M.Hum.


DAFTAR ISI

Pengantar Penerbit iii


Kata Pengantar v
Daftar Isi vii

BAB I PENGERTIAN JINAYAH DAN


PEMBAGIANNYA 1
A. Pengertian Jinayah 1
B. Unsur-unsur (Jarimah) 8
a. Unsur Formil 8
b. UnsurMateriil 9
c. Unsur Moril 9
C. Macam-macam Jarimah 10
a. Jarimah Hudud 10
b. Jarimah Qisas Diyat 11
c. Jarimah Ta’zir 11

BAB II ASAS-ASAS UMUM DALAM JINAYAH 17
A. Asas Legalitas 17
B. Sumber Hukum Asas Legalitas 18
C. Penerapan Asas Legalitas 21
D. Asas Tidak Berlaku Surut 26
E. Asas Praduga Tak Bersalah 31

BAB III PERCOBAAN MELAKUKAN JARIMAH 35
A. Pengertian Percobaan Tindak Pidana dan
Pendapat Fuqaha 35

| vii |
B. Fase-fase dalam Tindak Pidana 38
a. Fase Pemikiran dan Perencanaan 38
b. Fase Persiapan 40
c. Fase Pelaksanaan 41
C. Pendirian Hukum Positif 41
D. Hukuman Percobaan 43
E. Tidak Selesainya Percobaan 45
F. Tidak Selesai Melakukan Percobaan
Karena Taubat 46
G. Percobaan Melakukan Jarimah Mustahil 51

BAB IV TURUT SERTA BERBUAT JARIMAH 55


A. Pengertian dan Bentuk Penyertaan 55
B. Pandangan Fuqaha tentang Turut Serta
Berbuat Jarimah 57
C. Turut Berbuat Secara Langsung 59
D. Hukuman Para Peserta Langsung 63
E. Turut Berbuat Tidak Langsung 66
F. Bentuk Turut Serta Jarimah Tidak Langsung 67
a. Persepakatan 67
b. Menyuruh (menghasut: tahridl) 69
c. Memberi Bantuan (I’anah) 69
G. Pertalian Pembuat Langsung dan
Tidak Langsung (Mubasyarah Bisabab) 70
H. Pertalian Antara Turut Berbuat dengan Jarimah 72
I. Turut Berbuat Tidak Langsung dengan Jalan
Tidak Berbuat 73
J. Hukuman Kawan Berbuat Tidak langsung 74

BAB V PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA 77


A. Pengertian dan Dasar Hukum 77
B. Macam-macam Maksud Melawan Hukum 80

| viii |
1. Maksud melawan hukum umum
dan khusus 80
2. Maksud Melawan Hukum Tertentu dan
Tidak Tertentu 81
3. Maksud Langsung dan Tidak langsung 82
C. Hal-hal yang Dapat Mempengaruhi Hukuman 83
1. Menjalankan Ketentuan Syari’at 83
2. Karena Perintah Jabatan 86
3. Keadaan Terpaksa 87
4. Pembelaan Diri 90
5. Subhat 93
6. Unsur Pemaaf 94

BAB VI ‘UQUBAH (HUKUMAN) 97


A. Pengertian dan Prinsip-prinsip ‘Uqubah 97
B. Klasifikasi Hukuman 101
C. Gabungan Hukuman 102
D. Tujuan Hukuman 108

BAB VII JARIMAH HUDUD 113


A. Refleksi Jarimah Hudud 113
B. Redefinisi Jarimah Hudud 115

BAB VIII TINDAK PIDANA PERZINAAN 119


A. Pengertian dan Sumber Hukum
Delik Perzinaan 119
1. Pengertian Perzinaan 119
2. Sumber Hukum Delik Perzinaan 120
B. Konsep dan Kriteria Delik Perzinaan 124
1. Kriteria Delik Perzinaan dalam
Hukum Pidana Islam 124

| ix |
2. Konsep dan Kriteria Delik Perzinaan
dalam Hukum Positif 125
3. Konsep dan Kriteria Delik Perzinaan
dalam RUU KUHP 130
C. Sanksi Delik Perzinaan dalam Islam 136
D. Transformasi Pemikiran Delik Perzinaan
dalam konteks keindonesiaan 143
E. Transformasi Pemikiran Sanksi Delik
Perzinaan dalam konteks Keindonesiaan 151

BAB IX JARIMAH HUDUD 163


A. Pengertian Penuduh Palsu Zina (Qazf) 163
B. Dasar Hukum Delik Menuduh Zina 164
C. Transformasi Pemikiran tentang Delik
Menuduh Zina (Qazf) 166
D. Transformasi Pemikiran tentang
Sanksi Delik Menuduh Zina (Qazf) 174

BAB X TINDAK PIDANA PENCURIAN 181
A. Pengertian Delik Pencurian 181
B. Sumber Hukum Delik Pencurian 182
C. Konsep dan Kriteria Delik Pencurian 185
D. Konsep Delik Pencurian dengan Kekerasan 190
E. Transformasi Pemikiran tentang Sanksi
Delik Pencurian di Indonesia 195
F. Sanksi Delik Pencurian dengan Kekerasan
dalam Konteks Keindonesiaan 214

BAB XI JARIMAH RIDDAH 223


A. Pengertian Riddah 223
B. Sumber Hukum Jarimah Riddah 225
C. Konsep dan Kriteria Riddah dalam Islam 227

|x|
D. Konversi Agama dalam Tata
Hukum Indonesia 231
E. Transformasi Pemikiran tentang
Delik Riddah di Indonesia 248
F. Transformasi Pemikiran tentang Sanksi
Delik Riddah di Indonesia 252

BAB XII JARIMAH QISHASH DIYAT 259


A. Pengertian dan Dasar Hukum 259
B. Qishash Diyat dan Prinsip Keadilan 266
C. Delik Pembunuhan dan Pelukaan
Serta Sumber Hukumnya 269
1. Pengertian Delik Pembunuhan 269
2. Sumber Hukum Delik Pembunuhan 271
3. Delik Pelukaan dan Sumber Hukumnya 275
D. Konsep dan Kriteria Delik Pembunuhan
dan Pelukaan 276
E. Unsur-unsur Delik Pembunuhan
dan Pelukaan 282
F. Ketentuan Sanksi Tindak Pidana
Pembunuhan dan Pelukaan 284
G. Transformasi Pemikiran tentang Delik
Pembunuhan dan Pelukaan dalam Konteks
Keindonesiaan 288
H. Transformasi Pemikiran Tentang Sanksi
Tindak Pidana Pembunuhan dan Pelukaan
dalam Konteks Keindonesiaan 300

BAB XIII JARIMAH TA’ZIR 311


A. Pengertian dan Dasar Hukum Jarimah Ta’zir 311
B. Sumber Hukum Jarimah Ta’zir 315
C. Perbedaan Antara Jarimah Hudud dan Ta’zir 318

| xi |
D. Jenis-jenis Jarimah Ta’zir 320
1. Jarimah Ta’zir yang Berkaitan
dengan Pembunuhan 321
2. Jarimah Ta’zir yang Berkaitan dengan
Pelukaan 323
3. Jarimah Ta’zir yang Berkaitan dengan
Kejahatan terhadap Kehormatan dan
Kerusakan Akhlak 324
4. Jarimah Ta’zir yang Berkaitan
dengan Harta 327
5. Jarimah Ta’zir yang Berkaitan dengan
Kemaslahatan Individu 328
6. Jarimah Ta’zir yang Berkaitan dengan
Kemaslahatan Umum 328
E. Hukuman terhadap Pelaku Jarimah Ta’zir 329
1. Hukuman mati 329
2. Hukuman Cambuk 331
3. Hukuman Penjara 333
4. Hukuman Pengasingan 337
5. Merampas Harta 339
6. Mengubah Bentuk Barang 340
7. Hukuman Denda 341
8. Peringatan Keras 341
9. Hukuman Berupa Nasihat 342
10. Celaan (Taubikh) 343
11. Pengucilan 344
12. Pemecatan (Al-‘Azl) 346
13. Publikasi (At-Tasyhir) 347

DAFTAR PUSTAKA 349


DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS 357

| xii |
BAB I BAB I
ERTIAN PENGERTIAN JINAYAH,BAB
JINAYAH, UNSUR-UNSUR I
DAN
UNSUR-UNSUR DAN
PEMBAGIANNYA PENGERTIAN JINAYAH,
PEMBAGIANNYA
UNSUR-UNSUR DAN PEMBAGIANNYA
PENGERTIAN JI
PE
Jinayah
A. Pengertian Jinayah

A. Pengertian Jinayah
merupakan bentuk
Jinayah verbal noun
merupakan (masdar)
bentuk verbal dari
nounkata (masdar) dari kata
timologi
jana. Secarajana berarti berbuat
A. Pengertian
etimologi Jinayah dosa atau
jana berarti berbuat salah,
dosa atau salah,
(masdar)Jinayah 1merupakan
1
ah diartikan perbuatan
sedangkan jinayah Jinayah dosa
merupakan
diartikan atau perbuatan
bentuk verbal
perbuatan salah.
dosa ataunoun perbuatan dari kata
salah.
alimat jana.kalimat
jana’ala Secara jana’ala
qaumihi etimologi
jinayatan jana berarti
artinya iaberbuat jana.
dosa atau
telah artinya salah,etimologi j
Secara
Seperti dalam qaumihi jinayatan ia telah
alahan sedangkan
terhadap jinayahKata
kaumnya. diartikan
jana perbuatan
juga Kata dosasedangkan
berarti atau perbuatan
jinayah diartika
melakukan kesalahan terhadap kaumnya.
salah.1 Seperti dalam kalimat jana’ala qaumihi Seperti
jana juga berarti
jinayatandalam
artinya
erti dalam kalimat
“memetik”, jana as-samarat, artinya
jana “memetikartinya “memetikkalimat jana
as-samarat,
iaseperti
telah dalam kalimat
melakukan kesalahan terhadap kaumnya. Kata jana
nnya”. Orang yang jani melakukan kesalahan terh
buah dari juga berartiberbuat
pohonnya”. Orangjahat
“memetik”, yang disebut
berbuat
seperti dalam dandisebut
jahat
kalimat jani dan
jana as-samarat,
enai perbuatan disebut mujna alaih. 2
Kata jinayah “memetik”, seperti dalam k
orang yangartinya
dikenai“memetik
perbuatan buah dari pohonnya”.
disebut mujna Orang
alaih. 2 yangjinayah
Kata berbuat
kum sering jahat disebut
disebut denganjanidelik
dan atau
orangtindak
yang pidana. buah daridisebut
dikenai perbuatan pohonnya”. Ora
dalam istilah hukum sering disebut dengan delik atau tindak pidana.
mujna alaih. Kata jinayah dalam istilah hukum
2
orangsering
yangdisebut
dikenai perbua
ogi jinayah
kataterminologi mempunyai beberapa pengertian,
Secara dengan delik ataujinayah
kata mempunyai
tindak pidana. beberapa pengertian,
Secara terminologi kata jinayah
ngkapkan oleh Abd al-Qadir Awdah: dalam istilah hukum sering
seperti yang diungkapkan
mempunyai oleh
beberapa Abd al-Qadir
pengertian, Awdah:
seperti yang diungkapkan oleh
Abd al-Qadir Awdah: Secara terminologi kata ji
seperti yang diungkapkan o
‫ـﺮﹺﹴ‬
‫ﺲ‬ ‫ﻧﻔﹾ‬‫ﹶﻰﻏﹶﻴ‬‫ﻋﻠﻭ‬‫ﺎﻞﹸﻝﹴ ﺍﹶ‬‫ﻔﻣﻌ‬ ‫ﹾﻟ‬‫ﺍﹶ ﺍﻭ‬‫ﺲﹴﻊ‬
‫ﻗﹶ‬‫ﻧﺀٌﻔﹾﻭ‬ ‫ﺍ‬‫ﹶﻰﻮ‬‫ﻠﺳ‬‫ﺎﻋ‬‫ﺮﻞﹸﻋ‬‫ﻌ‬‫ﻔﺷ‬ ‫ﺍﹾﻟ‬‫ﻡ‬‫ﺮﻊ‬ ‫ﻗﹶﺤ‬‫ﻣﻭ‬ ٌ‫ﺍﻞﹲﺀ‬‫ﻮ‬‫ﻌ‬‫ﻓﺳ‬ ‫ﺎﻲ‬‫ﻋ‬‫ﺮﻫ‬‫ﻭ‬‫ﺔﹲﺷ‬‫ﻡ‬‫ﺎﻳ‬‫ﺮ‬‫ﺟﹺﻨ‬‫ﻣﺤ‬ ‫ﻞﹲ‬‫ﻓﻌ‬ ‫ﻲ‬‫ﻭﻫ‬ ‫ﺔﹲ‬‫ﺎﻳ‬‫ﺟﹺﻨ‬
33
‫ﻚ‬‫ـﺮﹺ ﺫﹶﺍﻟ‬‫ ﻏﹶﻴ‬‫ ﺍﹶﻭ‬3‫ﺎﻝﹴ‬‫ﻚ‬ ‫ ﻣ‬‫ﻟ‬‫ﻧﻔﹾﺲﹴ ﺍﹶﺫﹶﺍﻭ‬ ‫ﻠﹶﻰ‬‫ﻞﹸ ﻋ‬
g (perbuatan (perbuatan
dilarang oleh yang
baikdilarang oleh syara’ baik perbuatan itu mengenai
yangsyara’
dilarang perbuatan
oleh syara’ itu
baikmengenai
perbuatan itu mengenai
da, atau lainnya).
jiwa, harta benda, Jadi jinayah merupakan
atau lainnya). Jadi jinayah suatumerupakan suatu
1
Luwis Ma’luf, al-Munjid, (Bairut: Dar al-Fikr, 1954), hlm. 88. yang dilarang o
(perbuatan
dilarang
tindakan oleh
yang syara’
2 dilarang karena
Ibid, hlm. oleh dapat
67. syara’menimbulkan
karena dapat menimbulkan
a,bahaya
harta, keturunan, danal-Qadir
akal Awdah, At-Tasyri’ al-Jinai al-Islami,jiwa,
(intelegensi). (Bairut:harta benda, atau l
jiwa, Abd Dar al-Ku-
3
bagi harta,
tub, 1963), I: 67.
keturunan, dan akal (intelegensi).
tindakan yang dilarang o
bahaya bagi jiwa, harta, ket
a’luf, al-Munjid,
1 (Bairut:al-Munjid,
Dar al-Fikr, | 1hlm.
1954), | 88.
Luwis Ma’luf, (Bairut: Dar al-Fikr, 1954), hlm. 88.
67. 2
Ibid, hlm. 67. 1
Luwis Ma’luf, al-Mun
adir Awdah,
3 At-Tasyri’ al-Jinai al-Islami, (Bairut: Dar al-
jiwa, harta benda, atau lainnya). Jadi jinayah merupakan suatu
tindakan yang dilarang oleh syara’ karena dapat menimbulkan
bahaya bagi jiwa, harta, keturunan, dan akal (intelegensi).
Sebagian fuqaha menggunakan kata jinayah untuk perbuatan
yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti membunuh,
melukai, menggugurkan kandungan dan lain sebagainya. Dengan
demikian istilah fiqh jinayah sama dengan hukum pidana. Haliman
dalam desertasinya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan
hukum pidana dalam syari’at Islam adalah ketentuan-ketentuan
hukum syara’ yang melarang untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu, dan pelanggaran terhadap ketentuan hukum tersebut
dikenakan hukuman berupa penderitaan badan atau harta.4
Dalam Undang-undang Hukum Pidana Republik Persatuan
Arab (KUHP RPA) terdapat tiga macam penggolongan tindak
pidana yang didasarkan pada berat-ringannya hukuman, yaitu
jinayah, janhah dan mukhalafah. Jinayah di sini adalah jinayah
yang disebutkan dalam konstitusi dan merupakan tindakan yang
paling berbahaya. Konsekuensinya, pelaku tindak pidana diancam
dengan hukuman berat, seperti hukuman mati, kerja keras, atau
penjara seumur hidup (Pasal 10 KUHP RPA). Sedangkan janhah

4
Penderitaan badan dan benda di sini mengecualikan jarimah
diyat (denda), karena pada suatu saat denda karena diyat tidaklah
dibebankan kepada pelanggarnya, tetapi bisa kepada kaum kerabatnya
yang bertanggungjawab kepadanya yang dinamakan aqilah atau bisa
juga denda itu dibebankan kepada perbendaharaan negara (bait al-mal)
pada kondisi jarimah tidak mampu. Sebagai contoh pembunuhan yang
dilakukan karena kesalahan (khata’). Baca desertasi Haliman, Hukum
Pidana Syari’at Islam Menurut Ajaran Ahli Sunah, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1971), hlm. 64. Bandingkan dengan Ibnu Rusyd, Bidayah al-
Mujtahid Wa Nihayah al-Muqtasid, (Bairut: Dar al-Fikr, t.t.), II: 405.
Para ulama sepakat terhadap persoalan ganti rugi bagi pembunuhan
(tindak pidana) karena kesalahan bisa dibebankan kepada orang lain
karena ketidakmampuan pelaku tindak pidana (jarimah).

| 2 | Hukum Pidana Islam


adalah perbuatan yang diancam dengan hukuman lebih dari satu
minggu tetapi tidak sampai kepada penjatuhan hukuman mati atau
hukuman seumur hidup (Pasal 11 KUHP RPA). Adapun mukhalafah
adalah
jenis jenis pelanggaran
pelanggaran ringan
ringan yang yang ancaman
ancaman hukumannya hukumannya
tidak lebihtidak
dari
lebihminggu
satu dari satu minggu
(Pasal (Pasal
12 KUHP 12 KUHP RPA).
RPA). 5 5

Pengertian jinayah dalam bahasa Indonesia sering disebut


Pengertian jinayah dalam bahasa Indonesia sering disebut
dengan istilah peristiwa pidana, delik atau tindak pidana.
dengan istilah peristiwa pidana, delik atau tindak pidana.
Para fuqaha sering pula menggunakan istilah jinayah atau
jarimah Para
6 fuqahajarimah
. Istilah sering mempunyai
pula menggunakan istilahartijinayah
kandungan atau
yang sama
6
jarimah . Istilah jarimah mempunyai kandungan
dengan istilah jinayah, baik dari segi bahasa maupun dari segi arti yang sama
dengan
istilah. istilah
Dari segi jinayah, baik
bahasa dari segi
jarimah bahasa maupun
merupakan dari segi
kata jadian istilah.
(masdar)
Dari segi bahasa jarimah merupakan kata jadian
dengan asal kata jarama yang artinya berbuat salah, sehingga (masdar) dengan
asal
jarimah jarama yang
katamempunyai arti artinya
perbuatan berbuat
salah. salah, istilah, jarimah
sehingga
Dari segi jarimah
diartikan: arti perbuatan salah. Dari segi istilah, jarimah diartikan:
mempunyai

7
7
‫ﺮﹴ‬‫ﺰﹺﻳ‬‫ﺗﻌ‬ ‫ ﺍﹶﻭ‬‫ﺪ‬‫ﺎ ﹺﺑﺤ‬‫ﻬ‬‫ﻨ‬‫ﺎﻟﹶﻰ ﻋ‬‫ﺗﻌ‬ ُ‫ﺮ ﺍﷲ‬ ‫ﺯﺟ‬ ‫ﺔﹲ‬‫ﻴ‬‫ﺮﻋ‬ ‫ﺕ ﺷ‬
 ‫ﺍ‬‫ﻮﺭ‬ ‫ﻈﹸ‬‫ﻣﺤ‬
(larangan-larangan
(larangan-larangansyara’ yangyang
syara’ diancam oleh Allah
diancam olehdengan
Allahhukuman
dengan
had atau ta’zir).
hukuman had atau ta’zir).
Hukuman had adalah suatu sanksi yang ketentuannya sudah
Hukuman had adalah suatu sanksi yang ketentuannya sudah
dipastikan oleh nas. Adapun hukuman ta’zir adalah hukuman yang
dipastikan oleh nas.
pelaksanaannya Adapunsepenuhnya
diserahkan hukuman ta’zir adalah
kepada hukuman
penguasa. yang
Hukum
pelaksanaannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa.
ta’zir dijatuhkan dengan mempertimbangkan berat ringannya tindak Hukum
ta’zir dijatuhkan
pidana, situasi dan dengan mempertimbangkan
kondisi masyarakat, beratkepentingan
serta tuntutan ringannya
tindak Hal
umum. pidana, situasidikatakan
ini dapat dan kondisi
bahwamasyarakat, sertaditerapkan
hukuman ta’zir tuntutan
tidak secara definitif, melainkan melihat situasi
kepentingan umum. Hal ini dapat dikatakan bahwa hukuman dan kondisi, dan
bagaimana perbuatan jarimah terjadi, kapan waktunya,
ta’zir diterapkan tidak secara definitif, melainkan melihat situasi siapa
korbannya, dan sanksi apa yang pantas dikenakan demi menjamin
ketentraman dan kemaslahatan umat.8
5
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1967), 5hlm, 2; As-Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Bairut: Dar al-Fikr, 1992), II:
237. Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang,6 Abd
1967), hlm, Awdah,
al-Qadir 2; As-Sayid Sabiq, Fiqh
At-Tasyri`…, I: hlm.as-Sunnah,
67. (Bairut: Dar al-
Fikr, 1992),
7 II: 237.
Larangan-larangan syara’ yang dimaksud ada kalanya mengerjakan
perbuatan
6
Abdyang dilarang dan adakalanya meninggalkan perbuatan yang
al-Qadir Awdah, At-Tasyri`…, I: hlm. 67.
diperintah, Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sultaniyah, (Mesir: Dar al-Bab al-Halabi,
7
1973 ), hlm. 219.
Larangan-larangan syara’ yang dimaksud ada kalanya mengerjakan
perbuatan yang dilarang dan adakalanya meninggalkan perbuatan yang
diperintah, Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sultaniyah, (Mesir: Dar al-Bab al-
Halabi, 1973 ), hlm. 219. Hukum Pidana Islam | 3 |
8
Abd al-Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Mesir Dar al-Qalam,
1998), hlm. 198.
dan kondisi, dan bagaimana perbuatan jarimah terjadi, kapan
waktunya, siapa korbannya, dan sanksi apa yang pantas dikenakan
demi menjamin ketentraman dan kemaslahatan umat.8
Dalam hukum pidana Indonesia, hampir semua penetapan
hukuman menerapkan jarimah ta’zir, karena sifatnya yang
lebih umum dan elastis. Contohnya adalah Undang-undang No.
2 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Jalan Raya. Undang-
undang ini sistem berlakunya berbeda dengan undang-undang
sebelumnya, baik dari segi sanksi atau jenis pelanggarannya dan
kemungkinan akan berubah lagi jika muncul undang-undang yang
baru. Undang-undang tentang Linkungan Hidup, undang-undang
tentang keperdataan maupun undang-undang kepidanaan sangat
berpotensi mengalami perubahan dengan menyesuaikan situasi
dan kondisi.
Apa yang menyebabkan suatu perbuatan dianggap sebagai
suatu tindak kejahatan tidak lain adalah karena perbuatan itu sangat
merugikan kepada tatanan kemasyarakatan, atau kepercayaan-
kepercayaan atau harta benda, nama baik, kehormatan, jiwa
dan lain sebagainya, yang kesemuannya itu menurut hukum
syara’ harus dipelihara dan dihormati serta dilindungi. Suatu
sanksi diterapkan kepada pelanggar syara’ dengan tujuan agar
seseorang tidak mudah berbuat jarimah. Dengan harapan dengan
diterapkannya ancaman dan hukuman bagi pelaku jarimah akan
terwujud kemaslahatan umat. Abdul Wahab Khalaf mengatakan
bahwa tujuan umum disyari’atkan hukum adalah untuk merealisir
kemaslahatam umat9. Demikian juga hukum Islam ditegakkan
untuk melindungi lima hal, yaitu untuk perlindungan terhadap
agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta benda.
Perlindungan terhadap agama harus selalu ditegakkan,

8
Abd al-Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Mesir Dar al-Qalam, 1998),
hlm. 198.
9
Ibid.

| 4 | Hukum Pidana Islam


sehingga terhadap tindak kejahatan penghinaan terhadap agama
atau kepercayaan dikenai sanksi. Dalam jarimah hudud ada
jarimah riddah, yaitu murtadnya seseorang dikenai hukuman
mati. Perlindungan terhadap agama sama artinya dengan larangan
orang merusak atau meninggalkan agama.
Perlindungan terhadap jiwa berimplikasi terhadap penerapan
hukuman bagi pelaku yang mengganggu jiwa seseorang, oleh
karena itu hukum Islam melarang membunuh, dan melukai
anggota badan. Proteksi terhadap jiwa dalam hukum pidana Islam
dibahas dalam jarimah qisas diyat.10
Sedangkan dalam hal perlindungan terhadap keturunan,
hukum pidana Islam melarang berbuat zina, karena perbuatan
zina akan menjadikan kaburnya keturunan. Hukum Islam datang
untuk merombak bentuk perkawinan-perkawinan pada zaman
jahiliyah yang tidak mempertegas nasab. Proteksi terhadap nasab
dimaksudkan agar mereka yang dilahirkan juga mempunyai hak-
hak yang sama, seperti status sosial, waris, perwalian dan lain
sebagainya. Untuk mengantisipasi ketidakjelasan keturunan, maka
hukum pidana Islam melarang berbuat zina dan sebagai sanksinya
adalah hukum jilid (dera) atau rajam.
Perlindungan terhadap akal. Hukum Islam mengharamkan
segala sesuatu yang dapat merusak akal, sehingga tidak terbatas
pada masalah khamr (minuman keras), tetapi termasuk barang
sejenisnya, seperti morfin, heroin, ganja, arak, bir, extasy, pil
koplo, dan lain-lain. Oleh karena itu perbuatan seseorang yang
dapat merugikan akal dikenai sanksi. Dalam hukum pidana Islam
termasuk katagori jarimah hudud bagi perbuatan perusak akal

10
Jarimah qisas diyat adalah tindak pidana yang berkaitan dengan
pelanggaran terhadap jiwa atau anggota tubuh seseorang. Hukuman terhadap
tindak pidana ini adalah qisas, (yaitu memberikan perlakuan yang sama kepada
terpidana sesuai dengan tindak pidana yang ia lakukan, misalnya membunuh
dibalas dengan hukuman mati) atau diyat yaitu ganti rugi dengan harta melalui
keputusan hakim, Al-Jurjani, At-Ta’rifat, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.). hlm. 354.

Hukum Pidana Islam | 5 |


yang dikenal dengan sebutan jarimah syurb al-khamr, artinya
minum-minuman keras.
Perlindungan terhadap harta sangat ditekankan oleh agama
Islam. Setiap perbuatan yang dapat merugikan harta benda sangat
dilarang oleh Islam dan pelakunya ditindak tegas. Oleh karena
itu pencurian, penipuan, penggelapan, menipu timbangan, semua
itu termasuk perbuatan yang dilarang. Hukum pidana Islam
menggolongkannya ke dalam hukum pidana pencurian dan
hirabah (penyamunan).
Demikian pula dalam masalah-masalah yang apabila
dilakukan dapat merugikan kepentingan umum, semua itu diatur
dan ditegaskan dalam jarimah ta’zir, yaitu semua jarimah yang
jenisnya dan sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa
demi tegaknya kemaslahatan umat dengan berdasarkan pada nilai
keadilan.
Hukuman diancamkan kepada seseorang pembuat jarimah
agar orang tersebut tidak mengulangi tindak kejahatan, juga
memberi pelajaran kepada orang lain agar tidak berbuat jarimah.
Mengapa sanksi perlu diterapkan, karena aturan yang hanya
berupa larangan dan perintah saja tidak cukup, seperti perintah
shalat, zakat, haji bagi orang yang mampu. Pelanggaran terhadap
perintah di atas termasuk hal yang biasa, dan orang tidak takut untuk
melanggarnya. Hal ini dikarenakan tidak ada sanksi yang tegas
dan nyata di dunia. Perbuatan mencuri, zina, menipu, menyerobot
hak orang lain, tidak membayar zakat, tidak membayar kafarah
dan lain sebagainya, hal itu boleh jadi membawa keuntungan
bagi pelaku jarimah (perorangan tertentu). Keuntungan semacam
itu sama sekali tidak menjadi pertimbangan syara’, perbuatan
tersebut tetap dilarang, karena menganggap al-akhlak al-karimah
sebagai sendi dalam masyarakat sehingga semua perbuatan yang
bertentangan dengan akhlak akan dikenai hukuman. Sedangkan
hukum positif keberadaannya tidak demikian, bahkan boleh

| 6 | Hukum Pidana Islam


dikatakan hukum positif tidak menganggap al-akhlak al-karimah
sebagai sendi dalam masyarakat, sehingga suatu perbuatan baru
diancam pidana kalau perbuatan itu membawa kerugian pada
masyarakat. Contohnya dalam delik zina, hukum positif tidak
menghukum perbuatan tersebut kecuali ada unsur perkosaan yang
membawa kerugian pada salah satu pihak, akan tetapi hukum
Islam menghukum perbuatan tersebut dalam keadaan apapun
setelah terbukti adanya perbuatan zina. Contoh lainnya dalam hal
delik minum-minuman keras. Hukum positif baru menjatuhkan
hukuman bila pemabuk itu mengganggu ketertiban umum, akan
tetapi syari’at Islam menghukum peminum khamr, karena unsur
perbuatannya, yaitu bahwa minum khamr adalah perbuatan keji
sehingga pelakunya harus dikenai sanksi atau hukuman11.
Hukum positif dalam menjatuhkan hukuman bukan
berdasarkan pertimbangan bahwa perbuatan seseorang itu keji
atau tidak, tetapi lebih berdasarkan pada sejauh mana kerugian
yang diderita oleh masyarakat. Sedangkan hukum Islam dasar
pertimbangan penjatuhan hukuman adalah bahwa perbuatan
tersebut adalah merusak akhlak, karena jika akhlak terpelihara
maka akan terpelihara juga kesehatan badan, akal, hak milik, jiwa
dan ketentraman masyarakat.
Di muka telah disebutkan tentang definisi jarimah, yaitu
“larangan-larangan syara’ yang diancam dengan hukuman had atau
ta’zir. Larangan-larangan tersebut berkaitan dengan sikap berbuat
atau tidak berbuat. Sikap berbuat yang dianggap sebagai suatu
tindak pidana, misalkan al-Quran melarang membunuh, dan bila
seseorang melakukan pembunuhan maka tindakan orang tersebut
dianggap melakukan tindak pidana dengan sikap berbuat. Al-
Quran melarang berzina, maka zina dianggap pelanggaran hukum.
Adapun contoh tidak berbuat yang dapat dianggap sebagai tindak
pidana adalah tidak memberi makan kepada orang yang ditahan.

11
Abd al-Qadir Awdah, At-Tasyri’…, I: hlm. 70.

Hukum Pidana Islam | 7 |


Perbuatan semacam ini dianggap perbuatan tindak pidana dengan
sikap tidak berbuat. Ketentuan tersebut datangnya dari nas (al-
Qur’an dan al-Hadis), hasil ijtihad yang telah disepakati (ijtima)12
atau analogi (qiyas).

B. Unsur-unsur Jarimah
Secara singkat dapat dijelaskan, bahwa suatu perbuatan
dianggap delik (jarimah) bila terpenuhi syarat dan rukun. Adapun
rukun jarimah dapat dikategorikan menjadi 2 (dua): pertama,
rukun umum, artinya unsur-unsur yang harus terpenuhi pada
setiap jarimah. Kedua, unsur khusus, artinya unsur-unsur yang
harus terpenuhi pada jenis jarimah tertentu13.
Adapun yang termasuk dalam unsur-unsur umum jarimah
adalah:
a. Unsur formil (adanya undang-undang atau nas). Artinya setiap
perbuatan tidak dianggap melawan hukum dan pelakunya

12
Ijma’ menurut istilah ulama ushul ialah kesepakatan semua mujtahidin
di antara umat Islam pada suatu masa setelah wafanya Rasulullah, atas hukum
syar’i mengenai suatu peristiwa. Lihat Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh,
alih bahasa Noer Iskandar dkk. Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Jakarta: Rajawali
Press, 1991), hlm. 64. Contoh ijma yang berkaitan dengan hukum pidana Islam
“pada waktu Umar bin Khattab menjabat sebagai khalifah ada seseorang yang mati
dibunuh oleh dua orang. Beliau ragu-ragu untuk menjatuhkan hukuman, maka
beliau bertanya, ”Dapatkah beberapa orang dihukum qisas lantaran membunuh
satu orang?”. Akhirnya ia mengadakan musyawarah dengan para sahabat.
Dalam musyawarah Ali bin Abi Thalib berpendapat, “Bagaimana pendapatmu
ya Khalifah, jika ada seseorang mencuri seekor kambing dan masing-masing dari
mereka menikmati bagian dari hasil curian, apakah kau akan memotong tangan
mereka sebagai hukuman?”. Umar menjawab, “Ya”. Ali akhirnya berkata, “Kalau
begitu kasus ini sama”. Sidang menyetujui pendapat Ali, akhirnya dalam kasus
tersebut Umar bin Khatab memerintahkan hukum qisas kepada semua pelaku
yang terlibat dalam pembunuhan. Selanjutnya ia berfatwa seandainya penduduk
Sana membunuh satu orang dengan cara keji, maka niscaya akan saya bunuh
semua. As-Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), II: 127.
13
Ibid, hlm. 110-111.

| 8 | Hukum Pidana Islam


tidak dapat dipidana kecuali adanya nas atau undang-undang
yang mengaturnya. Dalam hukum positif masalah ini dikenal
dengan istilah asas legalitas, yaitu suatu perbuatan tidak dapat
dianggap melawan hukum dan pelakunya tidak dapat dikenai
sanksi sebelum adanya peraturan yang mengundangkannya14.
Dalam syari’at Islam lebih dikenal dengan istilah ar-rukn asy-
syar’i. Kaidah yang mendukung unsur ini adalah “tidak ada
perbuatan yang dianggap melanggar hukum dan tidak ada
hukuman yang dijatuhkan kecuali adanya ketentuan nas”.
Kaidah lain menyebutkan “tiada hukuman bagi perbuatan
mukalaf sebelum adanya ketentuan nas”15.
b. Unsur materiil (sifat melawan hukum). Artinya adanya tingkah
laku seseorang yang membentuk jarimah, baik dengan sikap
berbuat maupun sikap tidak berbuat. Unsur ini dalam hukum
pidana Islam disebut dengan ar-rukn al-madi.
c. Unsur moril (pelakunya mukalaf). Artinya, pelaku jarimah
adalah orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana
terhadap jarimah yang dilakukannya. Dalam syari’at Islam
unsur moril disebut dengan ar-rukn al-adabi. Haliman dalam
desertasinya menambahkan, bahwa orang yang melakukan
tindak pidana dapat dipersalahkan dan dapat disesalkan,
artinya bukan orang gila, bukan anak-anak dan bukan karena
dipaksa atau karena pembelaan diri.16
Unsur-unsur umum di atas tidak selamanya terlihat jelas dan
terang, namun dikemukakan guna mempermudah dalam mengkaji
persoalan-persoalan hukum pidana Islam dari sisi kapan peristiwa
pidana terjadi.17

14
KUHP Pasal 1 ayat (1).
15
Abd al-Qadir Awdah, At-Tasyri’…, I: 121.
16
Haliman, Hukum Pidana Islam Menurut Ajaran Ahli Sunah wal-
Jamaah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1968), hlm. 48.
17
Ahmad Hanafi, Asas-asas …, hlm. 36.

Hukum Pidana Islam | 9 |


Kedua, unsur khusus. Yang dimaksud dengan unsur khusus
ialah unsur yang hanya terdapat pada peristiwa pidana (jarimah)
tertentu dan berbeda antara unsur khusus pada jenis jarimah
yang satu dengan jenis jarimah yang lainnya. Misalnya pada
jarimah pencurian, harus terpenuhi unsur perbuatan dan benda.
Perbuatan itu dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi, barang
itu milik orang lain secara sempurna dan benda itu sudah ada pada
penguasaan pihak pencuri. Syarat yang berkaitan dengan benda,
bahwa benda itu berupa harta, ada pada tempat penyimpanan
dan mencapai satu nisab18. Unsur khusus yang ada pada jarimah
pencurian tidak sama dengan jarimah hirabah (penyamunan),
pelakunya harus mukalaf, membawa senjata, jauh dari keramaian
dan menggunakan senjata.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa antara unsur yang
umum dan khusus pada jarimah ada perbedaan. Unsur umum
jarimah macamnya hanya satu dan sama pada setiap jarimah,
sedangkan unsur yang khusus bermacam-macam serta berbeda-
beda pada setiap jenis jarimah.

C. Macam-macam Jarimah
Ulama fiqh membagi jarimah dilihat dari berbagai segi:
1. Jarimah bila dilihat dari berat ringannya hukuman ada tiga
jenis, yaitu hudud, qisas diyat dan ta’zir.
a. Jarimah Hudud yaitu perbuatan melanggar hukum yang
jenis dan ancaman hukumannya ditentukan oleh nas,
yaitu hukuman had (hak Allah). Hukuman had yang
dimaksud tidak mempunyai batas terendah dan tertinggi
dan tidak bisa dihapuskan oleh perorangan (si korban
atau walinya) atau masyarakat yang mewakili (ulil amri).

18
Abu Zahrah, Al-Jarimah wa al-Uqubah fi Fiqh al-Islam, (Mesir: Dar
al-Bab al-Halabi wa Auladuhu, t.t.), I: 147.

| 10 | Hukum Pidana Islam


Para ulama sepakat bahwa yang termasuk katagori
dalam jarimah hudud ada tujuh, yaitu (a) zina, (b) qazf
(menuduh zina), (c) pencurian, (d) perampokan atau
penyamunan (hirabah), (e) pemberontakan (al-baghy),
(f) minum-minuman keras, dan (g) riddah (murtad) 19.
Ketujuh macam jarimah hudud tersebut akan dibahas
dalam bab tersendiri.
b. Jarimah Qisas Diyat yakni perbuatan yang diancam
dengan hukuman qisas20 dan diyat21
Baik hukuman qisas maupun diyat merupakan hukuman
yang telah ditentukan batasnya, tidak ada batas terendah
dan tertinggi, tetapi menjadi hak perorangan (si korban dan
walinya), ini berbeda dengan hukuman had yang menjadi
hak Allah semata. Hukum qisas diyat penerapannya ada
beberapa kemungkinan, seperti hukum qisas bisa berubah
menjadi diyat, hukuman diyat menjadi dimaafkan dan
apabila dimaafkan maka hukuman menjadi hapus.
Yang termasuk dalam kategori jarimah qisas diyat: (a)
pembunuhan sengaja (al-qatl al-amd), (b) pembunuhan
semi sengaja (al-qatl sibh al-amd), (c) pembunuhan keliru
(al-qatl al-khata’), (d) penganiayaan sengaja (al-jarh al-
amd), (e) penganiayaan salah (al-jarh al-khata’)22.
c. Jarimah Ta’zir, yaitu memberi pelajaran, artinya suatu
jarimah yang diancam dengan hukum ta’zir yaitu hukuman

19
Abd al-Qadir Awdah, At-Tasyri`…, I: 79.
20
Qisas ialah hukuman yang berupa pembalasan setimpal (baca surat al-
Baqarah ayat 178). Maksudnya hukum balas bunuh atas orang yang membunuh,
al-Jurjani At-Ta`rifat, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 173.
21
Diyat ialah hukuman ganti rugi, yaitu pemberian sejumlah harta dari
pelaku kepada si korban atau walinya melalui keputusan hakim, as-Sayyid Sabiq,
Fiqh as-Sunah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1972), II: 107.
22
Abd al-Qadir Awdah, At-Tasyri` al-Jinai..., I: 79.

Hukum Pidana Islam | 11 |


selain had dan qisas diyat23. Pelaksanaan hukuman ta’zir,
baik yang jenis larangannya ditentukan oleh nas atau
tidak, baik perbuatan itu menyangkut hak Allah atau hak
perorangan, hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada
penguasa24.
Hukuman dalam jarimah ta’zir tidak ditentukan ukurannya
atau kadarnya, artinya untuk menentukan batas terendah
dan tertinggi diserahkan sepenuhnya kepada hakim
(penguasa). Dengan demikian syari’ mendelegasikan
kepada hakim untuk menentukan bentuk-bentuk dan
hukuman kepada pelaku jarimah.
Abd al-Qadir Awdah, membagi jarimah ta’zir menjadi tiga
yaitu:
Pertama, jarimah hudud dan qisas diyat yang mengandung unsur
subhat atau tidak memenuhi syarat, namun hal itu sudah dianggap
sebagai perbuatan maksiat, seperti wati` subhat, pencurian harta
syirkah, pembunuhan ayah terhadap anaknya, pencurian yang
bukan harta benda. Kedua, jarimah ta’zir yang jenis jarimahnya
ditentukan oleh nas, tetapi sanksinya oleh syar’i diserahkan kepada
penguasa, seperti sumpah palsu, saksi palsu, mengicu timbangan,
menipu, mengingkari janji, mengkhianati amanat, dan menghina
agama. Ketiga, jarimah ta’zir dan jenis sanksinya secara penuh
menjadi wewenang penguasa demi terealisasinya kemaslahatan
umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan
yang paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap peraturan
lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran terhadap perturan
pemerintah lainnya.25

23
Marsum, Jarimah Ta`zir, (Yogyakarta: Fakultas Hukum UII, 1988),
hlm. 2.
24
Ahmad Hanafi, Asas-asas..., hlm. 47.
25
Abd al-Qadir Awdah, Al-Tasyri’..., I:15.

| 12 | Hukum Pidana Islam


Bila diihat dari berubah tidaknya sifat jarimah ta’zir dan jenis
hukuman, para fuqaha membagi jarimah ta’zir ke dalam dua
macam: pertama, jarimah ta`zir yang jenisnya ditentukan oleh
syara’, seperti mu’amalah dengan cara riba, memicu timbangan,
mengkhianati amanat, korupsi, menyuap, manipulasi, nepotisme,
dan berbuat curang. Perbuatan tersebut semua dilarang, akan
tetapi sanksinya sepenuhnya diserahkan kepada penguasa.
Kedua, jarimah ta’zir yang ditentukan oleh pihak penguasa atau
pemerintah. Bentuk jarimah ta’zir yang kedua ini pada suatu
saat mengalami perubahan tergantung dari situasi dan kondisi
masyarakat pada waktu tertentu, misalnya undang-undang yang
mengatur tentang lalu lintas dan angkutan jalan raya.
Dalam menetapkan jarimah ta’zir, prinsip utama yang
menjadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan
melindungi setiap anggota masyarakat dari kemadaratan (bahaya).
Di samping itu, penegakan jarimah ta’zir harus sesuai dengan
prinsip syar’i (nas).
Adapun urgensi pembagian tindak pidana dalam hudud, qisas
diyat, dan ta’zir, adalah sebagai berikut:
a. Urgensi ditinjau dari Segi Kekuasaan Hakim
Dalam jarimah hudud apabila tindak pidana terbukti secara
hukum, maka hakim akan menjatuhkan hukuman secara definitif
menurut ketentuan syara’. Hakim dalam tugasnya pada jarimah
ini tidak berhak menambah atau mengurangi hukuman yang
telah menjadi ketetapan syara’. Sedang pada jarimah qisas diyat
hakim berwenang atas pembuktian yang meyakinkan. Hukuman
ditentukan oleh syara’ dengan pihak korban atau wali mempunyai
wewenang yang pokok, artinya hakim tidak boleh turut campur
apa yang akan diterapkan oleh si korban atau wali. Apabila si
korban atau wali memaafkan terpidana dengan ganti rugi atau
hukuman qisas tidak bisa dilaksanakan karena adanya halangan
syara’ seperti matinya terpidana sebelum dihukum qisas, maka

Hukum Pidana Islam | 13 |


hakim mewajibkan diyat, dan apabila dimaafkan korban, maka
hakim dapat menjatuhkan hukuman ta’zir. Adapun dalam jarimah
ta’zir hakim mempunyai kekuasaan yang luas dalam menjatuhkan
hukuman dari yang paling berat sampai kepada tingkatan hukuman
yang teringan.
b. Urgensi Ditinjau dari Segi Ampunan
Dalam jarimah hudud tidak ada unsur pemaafan dari pihak
manapun, baik dari si korban, wali maupun hakim termasuk
kepala negara atau kepala pemerintahan. Pada jarimah qisas diyat
unsur pemaafan ada pada pihak si korban atau wali, sedangkan
pada jarimah ta’zir unsur pemaafan ada sepenuhnya pada pihak
hakim atau penguasa.
c. Urgensi Ditinjau dari Segi Pengaruh Lingkungan
Jarimah hudud dan qisas diyat sama sekali tidak dipengaruhi
oleh lingkungan, sehingga apabila terbukti secara sah adanya
tindakan pidana hudud dan qisas diyat, maka hakim akan
menetapkan sanksi sesuai dengan ketentuan yang ada. Hal
ini berbeda dengan jarimah tazir di mana lingkungan sangat
berpengaruh dalam menentukan hukuman.
d. Urgensi Ditinjau dari Segi Alat Bukti
Mengingat jarimah lebih mendasarkan berat ringannya
hukuman, maka dari segi alat bukti juga tidak sama antara jenis
jarimah satu dengan lainnya. Untuk jarimah hudud diperlukan
empat orang saksi, seperti jarimah zina dan cukup dua saksi bagi
jarimah hudud lainnya termasuk jarimah qisas diyat. Adapun
untuk kesaksian jarimah ta’zir cukup dibuktikan dengan seorang
saksi26.

26
Abd al-Qadir Awdah, At-Tasyri`…, I: 67.

| 14 | Hukum Pidana Islam


Pembagian Jarimah Menurut Niat si Pelaku.
Jarimah jika dilihat dari niat si pelaku, maka ada dua
macam yaitu jarimah maqsudah (tindak pidana yang ada unsur
kesengajaan) dan jarimah ghairu maqsudah (tindak pidana yang
tidak disengaja). Maksud dari jarimah maqsudah adalah si pembuat
dengan sengaja melakukan perbuatan, sedang ia tahu perbuatan
itu dilarang. Adapun jarimah ghairu maqsudah adalah si pembuat
tidak sengaja melakukan perbuatan yang dilarang, akan tetapi
perbuatan tersebut terjadi akibat kekeliruannya.27

Jenis Jarimah Berdasarkan Sikap Berbuat atau Tidak Berbuat.


Jarimah jika dilihat dari perbuatan si pelaku maka ada dua
macam: a. jarimah ijabiyyah (jarimah positif ) yaitu si pembuat
melakukan perbuatan yang dilarang oleh syara’ atau undang-
undang. Seperti al-Quran melarang orang berzina, tetapi si
pembuat melakukan perzinaan. Sikap orang tersbut dianggap
melangar hukum karena melakukan perbuatan yang dilarang
oleh nash. Peristiwa dalam hukum positif disebut dengan istilah
delicta commissionis b. jarimah salabiyyah (jarimah negatif) yaitu
si pembuat tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan oleh
undang-undang atau syara’ seperti tidak membayar zakat, tidak
memberi makan orang yang ditahan. Peristiwa ini dalam hukum
positif disebut delicta ommissionis28.

Jarimah bila dilihat dari siapa yang menjadi korban


Pembagian jarimah berdasarkan siapa yang menjadi korban
diklasifikasikan menjdi dua macam; yakni jarimah masyarakat
dan jarimah perorangan. Jarimah masyarakat ialah jarimah

27
Ibid.
28
Ahmad Hanafi, Asas-asas…hlm. 14.

Hukum Pidana Islam | 15 |


yang pemberlakuan sanksinya untuk menjaga atau melindungi
kepentingan umum.29 Termasuk dalam kategori ini adalah
jarimah zina, qazf, sariqah, hirabah, syurb al-khamr. Adapun
jarimah perorangan ialah suatu jarimah yang hukuman diterapkan
kepada si pelaku untuk melindungi kepnetingan perorangan,
meskipun tidak lepas dari kepentingan masyarakat. Termasuk
dalam kategori ini adalah jarimah qisas diyat. Di dalamnya adalah
masalah pembunuhan semi sengaja, pembunuhan salah, pelukaan
karena keliru.
Kategori jarimah qisas diyat masuk dalam jarimah
perorangan dikarenakan konskewensi logis dari jarimah qisas diyat
sebagai hak adami juga ada perlindungan hukum secara langsung
untuk si korban kejahatan atau keluarganya. Hal ini sesuai dengan
tujuan dari pemidanaan dalam Islam yakni teributif (pembalasan),
edukatif (pendidikan), preventif (pencegahan) dan perlindungan
terhadap sikorban secara langsung atau indivikatif.30
Pembagian Jarimah didasarkan pada ketertiban umum.
Tindak pidana yang didasarakan pada sendi-sendi
kemaslahatan dan ketentraman umat atau masayarakat, yakni
terpeliharanya dan tegaknya aturan dibagi menjadi dua macam: a
jarimah adiyyah (biasa), yaitu suatu tindak pidana yang dilakukan
bukan untuk tujuan-tujuan politik, seperti penghinaan terhadap
agama tertentu, sabotase pada fasilitas umum. dan jarimah
siyasah (politik), yaitu tindak pidana yang memang bertujuan
untuk kepentingan-kepentingan poltitik. Gerakan separatis,
pembrontakan pada pemerintahan yang sah.31

29
Abd Qadir Awdah, at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami, hlm. 98.
30
Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam
31
Abd Qadir Awdah, At-Tasyri’….I. hlm. 100.

| 16 | Hukum Pidana Islam


BAB II
ASAS –ASAS UMUM DALAM JINAYAH

A. Asas Legalitas
Kata asas berasal dari bahasa Arab asasun yang berarti dasar
atau prinsip, sedangkan kata “legalitas” berasal dari bahasa
Latin yaitu lex (kata benda) yang berarti undang-undang, atau
dari kata jadian legalis yang berarti sah atau sesuai dengan
ketentuan undang-undang. Dengan demikian arti legalitas adalah
“keabsahan sesuatu menurut undang-undang”32. Secara historis
asas legalitas pertama kali digagas oleh Anselm van Voirbacht dan
penerapannya di Indonesia dapat dilihat Pasal 1 ayat (1) Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi “suatu
perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan
peraturan perundang-undangan pidana”.
Adapun istilah asas legalitas dalam syari’at Islam tidak
ditentukan secara jelas sebagaimana yang terdapat dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana positif. Kendati demikian bukan
berarti syari’at Islam (hukum pidana Islam) tidak mengenal asas
legalitas. Bagi pihak yang menyatakan bahwa hukum pidana
Islam tidak mengenal asas legalitas, hanyalah mereka yang belum
meneliti secara detail berbagai ayat yang secara substansial
menunjukkan adanya asas legalitas.33 Bertolak dari polemik

32
Subekti dan Tjitrosudibyo, Kamus Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita,
1969), hlm. 63.
33
Abd al-Qadir Awdah, At-Tasyri al-Jinai al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr,
t.t.), I: 118.

| 17 |
tentang ada atau tidaknya asas legalitas dalam hukum pidana
Islam, maka perlu adanya pernyataan yang tegas, yaitu bagaimana
eksistensi asas legalitas dalam hukum pidana Islam. Meskipun asas
legalitas tidak ditentukan secara tegas dalam hukum pidana Islam,
substansial
namun secaraterdapat ayat al-Qur’an
substansial terdapatdan
ayatkaidah yangdan
al-Qur’an mengisyaratkan
kaidah yang
substansial
substansial terdapat
terdapat ayat
ayat al-Qur’an
al-Qur’an dan
dan kaidah
kaidah yang
yang mengisyaratkan
mengisyaratkan
adanya asas legalitas
mengisyaratkan dalam
adanya hukum
asas pidana
legalitas Islam.
dalam hukum pidana Islam.
adanya
adanyaasas
asaslegalitas
legalitas dalam
dalam hukum
hukum pidana
pidana Islam.
Islam.
B. Sumber Hukum Asas Legalitas
B.
B. SumberHukum
B. Sumber
Sumber HukumAsas
Hukum AsasLegalitas
Asas Legalitas
Legalitas
Asas legalitas secara jelas dianut dalam hukum Islam. Terbukti
Asas
Asas
Asas legalitas
legalitas
legalitas secara
secara
secara jelas
jelas
jelas dianut dalamhukum
dianutdalam
dianut hukum Islam.
Islam. Terbukti
Terbukti
adanya beberapa ayat yang menunjukkan asas legalitas tersebut.
adanya
adanya beberapa
adanya beberapa ayat
beberapa ayat yang
ayat menunjukkan
menunjukkan asas
yang menunjukkan
yang legalitas tersebut.
asas manusia
legalitas tersebut.
Allah tidak akan menjatuhkan hukuman bagi umat dan tidak
Allah tidak
Allah tidak
Allah akan
tidakakan akanmenjatuhkan
menjatuhkan
menjatuhkan hukuman
hukuman bagi
hukuman umat manusia
bagisebelum dan
umat manusia tidak
akan meminta pertanggungjawaban manusia adanya
akan
dan meminta
akantidakmeminta pertanggungjawaban
pertanggungjawaban
akan meminta manusia manusia
pertanggungjawaban sebelum sebelum
adanya
penjelasan dan pemberitahuan melalui rasul-rasul-Nya. Demikian
penjelasan
penjelasan
adanya dan
dan pemberitahuan
penjelasan pemberitahuan melalui
melalui rasul-rasul-Nya.
dan pemberitahuan Demikian
melalui rasul-rasul-Nya.
juga kewajiban yang harus diemban oleh umat manusia adalah
juga kewajiban
juga kewajiban
Demikian yang harus
yang harus
juga kewajiban yangdiemban
diemban oleh umat manusia
harus diemban oleh umat manusia adalah
kewajiban yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, yakni
kewajiban
adalah
kewajiban yang
yang sesuai
kewajiban yang dengan
sesuai sesuai
dengandengankemampuan yang dimiliki,
kemampuan
kemampuan yang dimiliki,
yakni
taklif atau beban yang sanggup dikerjakan. Dasar hukum asas
yakni
taklif taklif
taklif atau atau beban
atau beban
beban yang yang
yang sanggup
sanggup sanggup dikerjakan.
dikerjakan.
dikerjakan. DasarDasar
hukum hukum
asas
legalitas
asas
legalitas dalam
legalitas
dalam Islam
dalam
adalah
IslamIslam sebagai
adalahadalah
sebagai berikut:
sebagai berikut:
berikut:
legalitas dalam Islam adalah sebagai berikut:
1.1. Al-Qur'an
1. Al-Qur’an
Al-Qur'an dalam
dalam
dalam Surat al-Isra
Surat
Surat ayat
al-Isra
al-Isra 15
ayatayat
15 15
1. Al-Qur'an dalam Surat al-Isra ayat 15
ً‫ﺚ رَرﺳُﺳ ْﻮﻮﻻًﻻ‬
ََ ‫ـﻌَﻌ‬
‫ـﺒْﺒ‬‫ﻰ ﻧَﻧ‬ ِ
ُْ َ ‫ﺚ‬ َ‫ـ‬ َْ‫ـ‬ ‫ﻰ‬‫ﺬﺬﺑِﺑْﻴْﻴ ََﻦﻦ َﺣَﺣﺘﺘ‬ ‫ﺎ ُﻣُﻣ َﻌَﻌ‬‫ﺎ‬‫ ََووََﻣﻣﺎﺎ ُُﻛﻛﻨﻨ‬...
...
...dan
...dan Kami
Kami tidak
tidak akan
akan menyiksa
menyiksa sebelum Kami mengutus
mengutus
...dan
... dan Kamitidak
Kami tidakakan
akanmenyiksa
menyiksa sebelum
sebelum Kami
Kami mengutus
seorang
seorang
seorangRasul.
Rasul.
Rasul.
seorang Rasul.
2.
2. Al-Qur'an
2. Al-Qur'an
Al-Qur’an
Al-Qur'an dalam
dalam
dalam Surat al-Qasas
Surat
Surat ayat
al-Qasas
al-Qasas 59
ayatayat
59 59
2. dalam Surat al-Qasas ayat
ِ‫ـﺚ ِِﻓ‬ ِ‫ـﻚ ﻣ ْﻬِﻠ‬
‫ـﻮاا‬
‫ـﻮ‬ ‫ــ‬‫ـﻠُﻠ‬
ْ‫ـُـ‬
ْ‫ـﻮْا‬ ‫ـ‬ ‫ـﺘْﺘ‬
ُ‫ـﻠ‬ ‫ـ‬ ‫ـﻮﻻًﻻﻻًﻳ ﻳ‬
َْ‫ـﻳَْﺘ‬
‫ــ‬
ْْ‫ـﻮ‬
َ ً ‫ـﻮ‬
‫ـﺳُﺳ‬
ْ‫ــ‬ ‫ﺳ‬‫ـﺎ ر‬ ‫ـ‬
ُُ َ‫ـﺎ َرَر‬
‫ـ‬
‫ـﺎ‬
‫ـ‬
‫ـ‬ ‫ﻣََﻬ‬‫ﻣ‬‫ﻣ‬ُ‫ـﻲ أُأُأ‬
‫ـﻬَﻬ‬ ‫ـ‬
‫ـ‬
‫ـﻲ‬
‫ـ‬
‫ـﻲ‬
‫ـ‬ ‫ـﻓ‬ َ‫ـﺚ‬
‫ـﺚ ﻓ‬ ‫ــ‬
ََ ‫ـ‬
‫ـﻌَﻌ‬
‫ـ‬ ‫ـََﻌ‬
‫ـﺒْﺒ‬
‫ـ‬ ‫ـْْﺒ‬‫ـﻳﻳ‬‫ـﻰ‬‫ــ‬
ََ‫ـﻰ ﻳ‬
َ‫ـ‬ ‫ـﺘ‬
‫ـ‬ ‫ـﺮىى َﺣَﺣﺘ‬
َ‫ـﺮ‬
َ
‫ـ‬
‫ـ‬
‫ـﻘ‬
‫ـ‬ُُ‫ـﻚ ااﻟْﻟْﻘ‬
ََ ‫ـ‬
‫ـﻚ‬ ‫ـ‬
‫ـ‬
‫ـ‬ ََ ‫ـ‬
‫ـﻚ ُﻣُ ْﻬ ﻠ‬ ‫ـ‬‫ـﺎ ََنن َرَرﺑﺑ‬
‫ـ‬
‫ـ‬ ‫ـ‬
‫ـ‬
‫ـﺎ ََﻛﻛ‬
‫ـﺎ‬
‫ـ‬
‫ـ‬ ‫ـ‬
‫ــ‬
‫ـﺎ‬‫َووَﻣﻣ‬
‫ـ‬ ََ
Dan DanAllah
Dan
Dan Allahtidak
Allah
Allah tidak akan
tidak
tidak akan menghancurkan
akan
akan menghancurkan penduduk
menghancurkan
menghancurkan penduduk suatu
penduduk
penduduk suatu negeri
suatu
suatu negeri
negeri
negeri
sebelum diutusnya Rasul di tengah-tengah mereka untuk
sebelum diutusnya Rasul di tengah-tengah mereka untuk
sebelum
sebelum diutusnya
diutusnya Rasul
Rasul di tengah-tengah
tengah-tengah mereka
mereka untuk
untuk
membacakan
membacakan ayat-ayat
membacakanayat-ayat kami
ayat-ayat …
kami
ayat-ayat kami
kami …
… …
membacakan
3.
3. Al-Qur'an
3. Al-Qur’an
Al-Qur'an dalam
dalam
dalam Surat al-An'am
Surat
Surat ayat
al-An’am
al-An'am 19
ayatayat
19 19
3. Al-Qur'an dalam Surat al-An'am ayat 19
...
... ‫ـﻠَﻠَﻠََﻎَﻎَﻎ‬ ‫ُﺣﻲ إِﻟَﻲ ﻫ َﺬ ا اﻟْ ُﻘ ﺮآ ُن ﻷُﻷُ ﻧﻧِْﺬِِﺬررﻛُﻛﻢﻢ ﺑِﺑِﻪِِﻪ ووﻣﻣﻦﻦ ﺑ‬
‫ـﺑﺑ‬ ِِ ‫وأ‬...
... ََ ‫ﻲ َﻫَ َﺬ ا اﻟْ ُﻘ ْْﺮآ ُن ﻷُ ْﻧْﺬ ََرَُُﻛ ْْﻢْ ﺑِﻪ َََوََﻣَ ْْْﻦ‬ َ‫ ََوأُﺣ ََﻲ إِﻟ‬...
َ‫ـ‬
……dandan al-Qur’an
al-Qur’an ini
ini diwahyukan
diwahyukan kepadamu
kepadamu supaya
supaya dengannya
dengannya
… dan al-Qur’an ini diwahyukan kepadamu supaya dengannya
Aku
Aku memberi
memberi peringatan
peringatan kepadamu
kepadamu dan
dan kepada
kepada orang yang
Aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang yang
sampai
sampaial-Qur’an
al-Qur’an(kepadanya)
(kepadanya) … …
| 18sampai
| al-Qur’an
Hukum Pidana(kepadanya) …
Islamal-Baqarah
4.4. Al-Qur'an
Al-Qur'an dalam
dalamSurat
Surat al-Baqarah ayat
ayat 286
286
4. Al-Qur'an dalam Surat al-Baqarah ayat 286
... ‫ ُوو ْﺳْﺳﺳَﻌﻌَﻌَﻬﻬَﻬﺎﺎﺎ‬‫ﻻ‬‫ـْْﻔﻔﺴًﺴﺎﺎ إِإِﻻ‬
...
... ‫اﷲُ ﻧﻧ‬
َ‫ـ‬
َ ‫اﷲ‬ ُُ ‫ﻠ‬‫ﻻَﻻَ ﻳﻳُ َﻜَﻜﻠ‬
‫ﻒ‬
‫ﻒ‬
ََ ْ ُ ً ُ ُ
membacakan ayat-ayat kami …
3. Al-Qur'an dalam Surat al-An'am ayat 19
ِ ِ ِ
َ‫ﻲ َﻫ َﺬ ا اﻟْ ُﻘ ْﺮآ ُن ﻷُ ﻧْﺬ َرُﻛ ْﻢ ﺑِﻪ َوَﻣ ْﻦ ﺑ‬ َ‫ َوأُﺣ َﻲ إِﻟ‬...
... ‫ـ ﻠَ َﻎ‬
……dan danal-Qur’an
al-Qur’anini diwahyukan kepadamu
ini diwahyukan kepadamu supaya
supaya dengannya
dengannya
Aku
Aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang yang
memberi peringatan kepadamu dan kepada orang yang
sampai al-Qur’an (kepadanya) …
sampai al-Qur’an (kepadanya) …
4.
4. Al-Qur'an dalam Surat al-Baqarah ayatayat
286286
Al-Qur’an dalam Surat al-Baqarah             
... ‫ﺎ‬ ‫ﻬ‬
َ ‫ﻌ‬ ‫ﺳ‬ْ ‫و‬ ‫ﻻ‬
 ِ
‫إ‬
 ‫ﺎ‬ ‫ﺴ‬ ‫ﻔ‬ْ ‫ـ‬َ
َ  ُ  ًsesuai ‫ﻧ‬ ‫اﷲ‬ ‫ﻒ‬ ‫ﻠ‬‫ َﻜ‬ُ‫ﻳ‬َ‫ﻻ‬
ُdengan
 ُ
Allah tidak membebani seseorang kecuali
Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan
kemampuannya
Allah …
tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan
kemampuannya …
Berdasarkanbeberapa
kemampuannya
Berdasarkan beberapa ketentuan
… ketentuan yang yangterdapat
terdapat dalam
dalam ayatayat
al-
Qur’an
al-Qur’an tersebut
Berdasarkan di beberapa
tersebut atas
di kemudian para yang
atas ketentuan
kemudian fuqaha merumuskan
paraterdapat
fuqaha dalam kaidah-
ayat
merumuskan al-
kaidah-kaidah
kaidah
Qur’an hukum hukum
tersebutIslam yang
di atas Islam yangdari
diambil
kemudian diambil
para substansi
fuqaha dari substansitersebut
ayat-ayat
merumuskan ayat-ayat
kaidah-di
33
tersebut di atas, seperti berikut ini:
atas,
kaidahseperti
hukum berikut
Islam ini:
yang diambil 34substansi ayat-ayat tersebut di
dari
atas, seperti berikut ini: 3    
  
  
               
 
  

 
Tidak ada hukuman
Tidak ada hukumanbagi perbuatan orang berakal sebelum adanya

bagi perbuatan  orang
berakal
  sebelum

  
ketentuan nas.
adanyaada
Tidak 35
ketentuan nas.44bagi perbuatan orang berakal sebelum
hukuman
adanya ketentuan nas.4     
            
 
Tidak ada
Tidak adatindak
tindakpidana
pidana dandantidaktidak ada ada hukuman hukuman

 kecuali
 kecuali
  adanya nas.
  adanya  55
 hukuman  adanya
     
   
nas.36 ada tindak pidana
  kecuali
   
   
  
  
   
5
Tidak dan tidak ada
    nas.
 
 
Pada asalnya semua perkara  dan   
 perbuatan   
  adalah
  diperbolehkan
      
Pada asalnya
Pada asalnya
kecuali adanyasemua
dalil perkara
semua yang
perkara dan
dan perbuatan
mengharamkan adalah
atau
perbuatan diperbolehkan
melarang
adalah perbuatan
diperbolehkan
kecuali adanya
adanya
tersebut.
kecuali 66
dalil yang
dalil yang mengharamkan
mengharamkan atau
atau melarang
melarang perbuatan
perbuatan
 6 37  
tersebut.       
         
tersebut.               

         

      
         


                      
  
      
        
        
Ibid, hlm. 115.
34

Ibid., hlm. 116.


35

36
33 As-Suyuti, Al-Asybah wa an-Naza’ir, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 59.
37Ibid, hlm. 115.
Al-Amidi, Al-Ihkam fi-Usul al-Ahkam. (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), I:
130; Al-Ghazali,
344
Ibid,
Ibid.,hlm.Al-Mustasfa
hlm.115.
116. min Ilm Usul, (Mesir: Dar al-Bab al-Mustofa al-
Halabi),
4
I: 63.
55Ibid.,
hlm. 116.
As-Suyuti, Al-Asybah wa an-Naza’ir, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.),
hlm. 59.
5
As-Suyuti, Al-Asybah wa an-Naza’ir, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.),
hlm. 59.66 Al-Amidi, Al-Ihkam fi-Usul al-Ahkam.Hukum
(Beirut:Pidana Islam |t.t.),
Dar al-Fikr, 19 I:|
130; Al-Ghazali,
6
Al-Amidi,Al-Mustasfa min Ilmal-Ahkam.
Al-Ihkam fi-Usul Usul, (Mesir: DarDar
(Beirut: al-Bab al-Mustofa
al-Fikr, t.t.), I:
al-Halabi), I: 63.
130; Al-Ghazali, Al-Mustasfa min Ilm Usul, (Mesir: Dar al-Bab al-Mustofa
al-Halabi), I: 63.
 
   
      
      
 
Pada asalnya semua perkara dan perbuatan adalah diperbolehkan
kecuali adanya dalil yang mengharamkan atau melarang perbuatan
tersebut.6
    
             
                
                
          
Suatuperbuatan
Suatu perbuatan atau atau sikap
sikap tidak
tidak berbuat
berbuat tidak
tidak bisa
bisa dipandang
dipandang
sebagai
sebagaisuatu
suatujarimah
jarimah sebelum
sebelum adanya
adanya nas
nas yang
yang tegas
tegas melarang
melarang
perbuatanIbid,
perbuatan
3
atau
atau sikap
hlm. 115. tidak berbuat. Apabila tidak ada ketentuan
sikap tidak berbuat. Apabila tidak ada ketentuan nas
nas yang
yang mengaturnya
mengaturnya
4
Ibid., maka maka
hlm. 116. perbuatan
perbuatan seseorangseseorang
tidak bisatidak bisa
dimintai
dimintai 5 pertanggungjawaban
pidana danpidana dan tidak dapat dipidana.38
7
pertanggungjawaban tidak dapat dipidana.
As-Suyuti, Al-Asybah wa an-Naza’ir, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.),
hlm.

 59.          
     
            
6

 Al-Ghazali,      min   Usul,   al-Bab


Al-Amidi, Al-Ihkam fi-Usul al-Ahkam. (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), I:
130;    Al-Mustasfa  Ilm
    Dar
  (Mesir:   al-Mustofa
  

al-Halabi), I: 63.
Menurutsyara’
Menurut syara’seseorang
seseorangtidak
tidakdapat
dapatdikenai
dikenaitaklif
taklif(pembebanan),
(pembebanan),
kecuali
kecualiorang
orang yang mampumemahami
yang mampu memahami dalil-dalil
dalil-dalil pembebanan
pembebanan dan
dan menurut
menurut syara’syara’ pembebanan
pembebanan itu hanyalah
itu hanyalah pekerjaanpekerjaan yang
yang mungkin
mungkin dilakukan, disanggupi dan diketahui sehingga ia dapat
dilakukan, disanggupi dan diketahui sehingga ia dapat
melaksanakan.
melaksanakan.398
Berdasarkan
Berdasarkan ayat-ayat
ayat-ayatal-Qur’an
al-Qur’andan dankaidah-kaidah
kaidah-kaidah pokok
pokok
dalam
dalamhukum
hukumpidana
pidana Islam
Islam tersebut
tersebut didi atas,
atas, maka
maka adaada dua
dua syarat
syarat
yang
yangharus
harusterpenuhi
terpenuhibagi
bagiseseorang
seseorangmaupun
maupun perbuatan
perbuatan sehingga
sehingga
dikategorikan
dikategorikan sebagai perbuatan pidana. Kedua syarat tersebut
sebagai perbuatan pidana. Kedua syarat tersebut
adalah:
adalah:
1. 1. Syarat yang berkaitan
Syarat yang berkaitandengan
dengan sifat
sifat mukalaf,
mukalaf, yaitu
yaitu : :
a. Sanggupmemahami
a. Sanggup memahaminas nassyara’
syara’yang
yangberisi
berisi taklif
taklif baik
baik yang
yang
berbentuk tuntutan maupun larangan. Dengan
berbentuk tuntutan maupun larangan. Dengan demikian tidak demikian
tidak termasuk kategori mukalaf orang yang gila (tidak
termasuk kategori mukalaf orang yang gila (tidak berakal).
berakal).
b. Pantas dimintai pertanggungwaban pidana dan dapat dijatuhi
b. Pantas dimintai pertanggungwaban pidana dan dapat
hukuman. Oleh karena itu orang yang dipaksakan atau berbuat
dijatuhi hukuman. Oleh karena itu orang yang dipaksakan

38
Ibn Hazm, Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), I: 52.
39
Abd al-Qadir Awdah, At-Tasyri…, I: 87.

7
Ibn Hazm, Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), I:
| 20
52. | Hukum Pidana Islam
8
Abd al-Qadir Awdah, At-Tasyri…, I: 87.
atau berbuat karena membela diri tidak termasuk dalam
kategori orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban
pidana.40
2. Syarat yang berkaitan dengan perbuatan mukalaf. Dalam hal
ini ada unsur yang harus terpenuhi, yaitu :
a. Perbuatan ini mungkin sanggup untuk dikerjakan atau
ditinggalkan.
b. Perbuatan itu dapat diketahui dengan sempurna oleh
orang yang berakal atau mukalaf, artinya beban yang
berisi larangan atau perintah itu sudah disiarkan dan
jelas ada ancaman hukuman bagi yang melanggar aturan
tersebut.41
Dengan demikian lahirnya asas legalitas dalam hukum Islam
ada sejak diturunkannya al-Qur’an. Karenanya asas legalitas
dalam hukum Islam jauh lebih awal bila dibandingkan dengan asas
legalitas dalam hukum positif yang baru muncul pada abad XVII
(sejak Revolusi Perancis tahun 1789). Asas legalitas ini selanjutnya
dimasukkan ke dalam “pernyataan hak-hak asasi manusia”, yang
dikeluarkan pada tahun 1879 dan kemudian diakomodir oleh
negara-negara lain.

C. Penerapan Asas Legalitas


Dengan berpegang kepada asas legalitas seperti yang
dikemukakan pada bab di muka serta kaidah “tidak ada
hukuman bagi perbuatan mukalaf sebelum adanya ketentuan
nas”42, maka perbuatan tersebut tidak bisa dikenai tuntutan
atau pertanggungjawaban pidana. Dengan demikian nas-nas

40
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1976), hlm. 59-60.
41
Ibid.
42
Abd al-Qadir Awdah, At-Tasyri…, I: 316.

Hukum Pidana Islam | 21 |


dalam syari’at Islam belum berlaku sebelum diundangkan dan
oleh orang banyak. Ketentuan ini memberi pengertian, bahwa
diketahui oleh orang banyak. Ketentuan ini memberi pengertian,
hukum orang
pidana Islam Ketentuan
baru berlaku setelah pengertian,
adanya nas yang
bahwaoleh
hukum pidana
banyak.Islam baru berlaku setelah adanya nasbahwa
ini memberi yang
mengundangkan.
mengundangkan.
hukum pidana Dengan
Dengan
Islam katalain,
kata
baru lain,bahwa
berlaku bahwa hukum
hukum
setelah adanya pidana
pidana Islam
nas Islamyang
tidak
tidak mengenal
mengenal sistemsurut,
sistem berlaku
mengundangkan. Dengan kataberlaku
yangbahwa
lain, surut,
dalam yang
pidana dalam
perkembangannya
hukum Islam
12
melahirkan
tidak kaidah:
perkembangannya 43
mengenalmelahirkan
sistem kaidah:
berlaku surut, yang dalam
perkembangannya melahirkan kaidah:12     
     

    
   
Tidak
Tidak berlaku
berlakusurut
surutpada
padahukum
hukumpidana Islam.  
Islam.
pidana
Sebagai
Tidak berlakugambaran
Sebagai padariil
gambaran
surut mengenai
riil mengenai
hukum penerapan
penerapanhukum
pidana Islam. hukum pidana
pidana
Islam yangyang
Islam menunjukkan
menunjukkan
Sebagai gambaran tidakriilberlaku
tidak berlakumisalnya:
mengenai misalnya:
penerapan hukum pidana
1. Beristrikan
1. Beristrikanbekas
Islam yang bekasibuibu
tiritiri
menunjukkan tidak berlaku misalnya:
Surat
1. Beristrikan an-Nisa
bekas
Surat an-Nisa ibu ayat
tiri
ayat 22, menunjukkan
22, menunjukkan dilarangnya dilarangnya
menikahi
menikahi
bekas istri bekas
Surat istri
an-Nisa
ayahnya ayahnya
ayat
(bekas (bekas
22, tiri),
ibu sesuaiibu
menunjukkan tiri), firman-Nya:
sesuaimenikahi
dilarangnya
dengan dengan

firman-Nya:
bekas istri ayahnya (bekas ibu 
   
    tiri), sesuaidengan 
   
firman-Nya:
           
 
                       
        
    
   
    
      
 
  
  
  
  

“Janganlah kamu mengawini wanita-wanita yang telah dikawini
Janganlah
“Janganlah
oleh ayahmu, kamu
kamu mengawiniapa wanita-wanita
mengawini
kecuali wanita-wanita
yang telah lewat,yang
yang telah
telah dikawini
dikawini
sesungguhnya
oleh
oleh ayahmu,
perbuatan ayahmu, kecuali
keji, apa
kecuali
itu adalah apa yang
dantelah
yang
dibenci telah lewat,
lewat, sesungguhnya
seburuk-buruk sesungguhnya
jalan”
perbuatan
perbuatan itu ituadalah
adalahkeji,
keji,dibenci
dibenci dan
dan seburuk-buruk
seburuk-buruk jalan.
jalan”
.
.
Sebelum
Sebelumditurunkannya
diturunkannya ayat ayat 22
22 surat
surat an-Nisa,
an-Nisa, perkawinan
perkawinan
Sebelum diturunkannya ayat 22 surat an-Nisa, perkawinan
semacam itu
semacam itu (mewarisi
(mewarisi ibu ibu tiri)
tiri) sudah
sudah menjadi
menjadi budaya
budaya bangsa
bangsa Arab.
Arab.
semacam itu (mewarisi ibu tiri) sudah menjadi budaya bangsa Arab.
Seperti diriwayatkan
Seperti diriwayatkan bahwabahwa Abu Abu Qais
Qais bin
bin Aslat
Aslat ketika
ketika meninggal
meninggal
Seperti diriwayatkan bahwa Abu Qais bin Aslat ketika meninggal
dunia, istrinya dipinang oleh anaknya sendiri yaitu Qais. LaluLalu
dunia, istrinya dipinang oleh anaknya sendiri yaitu Qais. si
si istri
dunia,
istriberkata,istrinya
itu berkata, dipinang
“Engkau oleh anaknya
kuanggap sendiri yaitu Qais. Lalu si istri
itu "Engkau kuanggap sebagaisebagai
anakkuanakku dan Engkau
dan Engkau adalah
itu berkata,
adalah termasuk"Engkau
putra kuanggap
terbaik sebagai
di anakku
kalangan dan Engkau
kaummu”. adalah
Kemudian
termasuk putra terbaik di kalangan kaummu". Kemudian istri itu
termasuk
istri itu datang putraketerbaik
tempatdiRasulullah,
kalangan kaummu".
untuk minta Kemudian
izin, danistri itu
ketika
datang ke tempat Rasulullah, untuk minta izin, dan ketika sampai
sampai
datangpada Rasulullah,
ke tempat seraya
Rasulullah, berkata,
untuk minta “Dia
izin, kuanggap
dan ketika sebagai
sampai
pada
padaRasulullah,
Rasulullah,seraya
seraya berkata,
berkata, “Dia
“Dia kuanggap
kuanggap sebagai anakku
sebagai anakku
sendiri,
sendiri, maka
maka bagaimana
bagaimana pendapatmu?”.
pendapatmu?”. Rasulullah menjawab,
Rasulullah menjawab,
43
Ibid.

12 12
Ibid.
Ibid.
| 22 | Hukum Pidana Islam
anakku sendiri, maka bagaimana pendapatmu?”. Rasulullah
menjawab, “Kembalilah ke rumah, maka tidak lama kemudian
turun surat an-Nisa ayat 22 tersebut di atas.
Dengan diturunkannya surat an-Nisa ayat 22, maka bentuk
perkawinan secara mewarisi bekas istri ayahnya (ibu tiri) dalam
penyelesaian hukumnya mempunyai dua segi.
Pertama, segi kepidanaan, perkawinan itu merupakan masalah
kepidanaan sehingga pelakunya dianggap sebagai pelanggar
hukum. Akan tetapi karena bentuk perkawinan tersebut terjadi
sebelum adanya nas yang melarang dan masa yang lewat, sedang
hukum pidana Islam tidak menganut sistem berlaku surut, maka
perbuatan orang tersebut tidak bisa dikenai sanksi pidana. Dengan
demikian berlakunya ketentuan pidana bagi pelanggaran hukum
terhadap perkawinan atas bekas istri ayah (ibu tiri), baru berlaku
sejak diturunkannya ayat tersebut.44
Kedua, segi keperdataan, karena perkawinan itu merupakan
bentuk perjanjian, maka sebagai akibatnya perikatan itu harus
diputuskan, artinya perkawinan itu harus diceraikan, demikian
juga orang yang menikahi istri lebih dari empat. Dengan demikian
dari segi keperdataan hukum Islam menganut sistem berlaku
surut.45

2. Hukum Riba
Riba juga merupakan bentuk budaya jahiliyah Arab yang
mengakar, maka setelah Islam datang dengan tegas dilarang
dan pelakunya diancam pidana ta’zir. Sebagaimana firman
Allah dalam surat al- Baqarah ayat 275:

44
Ahmad Hanafi, Asas-asas ..., hlm. 82.
45
Ibid.

Hukum Pidana Islam | 23 |


Riba juga merupakan bentuk budaya jahiliyah Arab yang
mengakar, maka setelah Islam datang dengan tegas dilarang dan
pelakunya diancam pidana ta’zir. Sebagaimana firman Allah dalam
surat al- Baqarah ayat 275:
                  
    
 
“Allah menghalalkan jual    dan
 beli  mengharamkan
  
  
 
barang
 riba,   
siapa
Allah yang kedatangan
menghalalkan jual beli ajaran dan dari mengharamkan Tuhan-nyariba, kemudian
barang
menghentikan
siapa yang (perbuatannya),
kedatangan ajaran makadari baginya apa yang
Tuhan-nya kemudian telah
menghentikan
lewat,13
barang (perbuatannya),
siapa
Ahmad Hanafi, yang
Asas-asas ..., hlm. kembali, maka 82. baginya apa yang telah
maka mereka adalah
lewat, barang
penghuni-penghuni
14
Ibid. siapa
neraka yang dan kembali,
mereka abadi maka mereka adalah
di dalamnya”
penghuni-penghuni neraka dan mereka abadi di dalamnya.
Pada jaman jahiliyah kota Mekkah dan Thaif banyak uang
Pada jaman jahiliyah kota Mekkah dan Thaif banyak uang
beredar. Perdagangan menjadi mata pencaharian pokok sehingga
beredar. Perdagangan menjadi mata pencaharian pokok sehingga
praktek
praktekriba
riba berlangsung
berlangsungantara
antaraorang-orangorang-orangArab Arabdengan
denganYahudi Yahudi
yang
yang tinggal
tinggal di di Arab.
Arab. Sistem
Sistem riba riba yang yang membudaya membudaya akhirnya akhirnya
menimbulkankekacauan
menimbulkan kekacauanmasyarakat
masyarakatArab Arabpada padasaatsaat itu. itu. Banyak
Banyak
orang yang
orang yang jatuh
jatuh ke
ke tangan
tangan periba,
periba, demikian demikianjuga juga istri
istri dan dan anak anak
gadisnya menjadi korban sebagai tebusan utang . Hal ini akhirnya
gadisnya menjadi korban sebagai tebusan utang 15
46
. Hal ini akhirnya
diperingatkanoleh
diperingatkan olehAllah
Allah dengan
dengan firman-Nya firman-Nya dalam dalam suratsurat an-Nur an-Nur
ayat33
ayat 33sebagai
sebagaiberikut:
berikut:

  
      
 
 
              
“Janganlah
Janganlah kamu
kamu paksa
paksa anak-anak
anak-anak gadismu melakukan
melakukan
kedurjanan, sedang
kedurjanan, sedang mereka
mereka sendiri
sendiri ingin
ingin memelihara
memelihara
kesuciannya,
kesuciannya, karena
karena kamu
kamu ingin
ingin harta
harta benda
benda dunia
dunia”
Di samping istri dan anak menjadi korban periba, ada sebagian
Di samping
mereka istri mempunyai
yang tidak dan anak menjadi
anakkorban
gadis periba, ada sebagian
dan istri, akhirnya
mereka
merekayang tidak mempunyai
menjadi budak periba anakakibat
gadis dan istri,
tidak akhirnyamelunasi
sanggup mereka
hutangnya. Sebagai akibatnya ada sebagian dari mereka yang
menjadi budak periba akibat tidak sanggup melunasi hutangnya.
akhirnyaakibatnya
Sebagai menjadi ada
perampok
sebagianterhadap para yang
dari mereka periba. Para pedagang
akhirnya menjadi
dengan banyaknya
perampok perampokan
terhadap para akhirnya
periba. Para pedagang membawa pengawal,
dengan banyaknya
perampokan akhirnya membawa pengawal, dan untuk membayar
pengawal mereka menaikkan bunga riba atas piutangnya.16
46
Marsum, Fiqh Jinayah, (Yogyakarta: UII, 1998), hlm. 7.

15
| 24 | Hukum Pidana
Marsum, Islam (Yogyakarta: UII, 1998), hlm. 7.
Fiqh Jinayah,
16
Ibid.
dan untuk membayar pengawal mereka menaikkan bunga riba
atas piutangnya.47
As-Sabuni dalam tafsirnya menjelaskan bahwa praktek riba
pada jaman jahiliyah misalnya A memberikan pinjaman kepada
B dengan batas waktu tertentu. Bila pada waktu yang telah
ditentukan B tidak bisa membayar hutangnya, maka B berkata
kepada A, “Berilah tempo buatku dan kutambah piutang tuan”.
Tambahan yang berlaku pada saat itu berkisar minimal 40%
sampai 100%.48
Praktek riba di atas itulah yang dinamakan riba nasiah, riba
karena tempo, riba yang dikenal pada jaman jahiliyah yang dikutuk
oleh al-Qur’an, oleh karenanya termasuk jarimah ta’zir.
Dengan adanya larangan riba dalam Islam, maka riba termasuk
perbuatan pidana (jarimah) sekaligus termasuk perkara perdata.
Dengan demikian nas-nas yang mengatur tentang riba berlaku
juga pada dua ketentuan, yaitu ketentuan pidana dan perdata.
Penyelesaian dari segi pidana, bahwa riba yang terjadi sebelum
diturunkannya ayat-ayat yang melarang riba (surat al-Baqarah
ayat 275, 278, dan 279), maka pelakunya tidak dapat dikenai
sanksi pidana, karena hukum pidana Islam tidak mengenal “sistem
berlaku surut”. Islam hanya menjatuhkan sanksi bagi pelaku riba
setelah ada nas yang mengharamkan riba. Sedangkan penyelesaian
dari segi perdata berlaku surut, artinya kreditur (orang yang
menghutangi) hanya berhak atas uang pokoknya saja, sedang
debitur (orang yang berhutang) hanya berkewajiban membayar
uang pokoknya saja.

3. Masalah Pencurian
Ketentuan jarimah pencurian ditegaskan oleh al-Qur’an
surat al-Maidah ayat 38:

47
Ibid.
48
As-Sabuni, Tafsir Ayat al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Fikr), II: 321.

Hukum Pidana Islam | 25 |


berhutang) hanya berkewajiban membayar uang pokoknya saja.
3. Masalah Pencurian
Ketentuan jarimah pencurian ditegaskan oleh al-Qur’an
surat al-Maidah ayat 38:
        

          
  
    
Pencuri
Pencurilaki-laki
laki-lakidan
danperempuan
perempuanpotong
potongtangan
tanganmereka
merekasebagai
sebagai
balasan
balasan terhadap
terhadap apaapa yang
yang mereka
mereka lakukan.
lakukan.
Ayat tersebut di atas menurut suatu riwayat tidak ada
Ayat tersebut di atas menurut suatu riwayat tidak ada kejelasan
kejelasan
mengenai mengenai surut.
berlakunya berlakunya
Oleh surut.
karenaOleh nas karena
yang nas yang
melarang
17
As-Sabuni,
melarang Tafsir Ayat
pencurian al-Ahkam,
tidak (Beirut:
mempunyai Dar al-Fikr),
kekuatan II: 321.
berlaku surut.
pencurian tidak mempunyai kekuatan berlaku surut. Artinya
Artinyayang
pencurian pencurian
terjadiyang terjadiditurunkannya
sebelum sebelum diturunkannya surat al-
surat al-Maidah
ayat 38, makaayat
Maidah pelakunya
38, maka tidak dapat dikenai
pelakunya tidak sanksi
dapat pidana
dikenai (bukan
sanksi
pelaku jarimah).
pidana (bukan pelaku jarimah).
Walaupun nas-nasnas-nas
Walaupun yang berhubungan
yang berhubungandengandengan
masalahmasalah
pidana
ada yang tegas
pidana ada dan
yangtidak
tegasmengenai tidak berlakunya
dan tidak mengenai surut, namun
tidak berlakunya surut,
secara umum
namun bahwa
secara nas-nas
umum tersebut
bahwa nas-nastidak mempunyai
tersebut kekuatan
tidak mempunyai
berlaku surut,berlaku
kekuatan sepertisurut,
disebutkan dalam kaidah:
seperti disebutkan dalam kaidah:
  
        

         
               
 
 
Menurut
Menurut syara’
syara’ tidak
tidak ada
ada yang
yang dibebankan
dibebankan kecuali
kecuali perbuatan
perbuatan
yang
yang mungkin
mungkin disanggupi
disanggupi oleholeh mukallaf
mukallaf dan
dan diketahuinya,
diketahuinya,
sehingga dengannya
sehingga dengannya kemungkinan
kemungkinan pekerjaan
pekerjaan itu dapat
itu dapat dikerjakan.
dikerjakan.
Dari kaidah dan nas-nas di atas dapatlah diambil pengertian
Dari
bahwakaidah
hukumdan nas-nas
pidana di tidak
Islam atas dapatlah
mempunyaidiambil pengertian
kekuatan berlaku
bahwa hukum
surut. pidana Islam tidak mempunyai kekuatan berlaku
surut.
D. Asas Tidak Berlaku Surut
D. Asas Tidak
Hukum Berlaku
pidanaSurut
Islam (jinayah)pada prinsip tidak berlaku
surut, hal ini sesuai dengan
Hukum pidana Islam (jinayah)pada kaidah la raj’iyyah
prinsip fitidak
at tasyri’ al-
berlaku
surut,jina’i tidak
hal ini berlaku
sesuai surutkaidah
dengan pada hukum pidanafi Islam,
la raj’iyyah artinya
at tasyri’ al-
jina’i tidak berlaku surut pada hukum pidana Islam, artinya
sebelum adanya nas yang melarang perbuatan, maka tindakan
sebelum adanya
mukalaf nasbisa
tidak yang melarang
dianggap perbuatan,
sebagai maka tindakan
suatu jarimah. Namun
dalam praktiknya ada beberapa jarimah yang diterapkan berlaku
surut, artinya perbuatan itu dianggap jarimah walaupun belum
| 26 | Hukum
ada Pidana
nas yang Islam
melarangnya.
Alasan diterapkannya pengecualian berlaku surut, karena pada
jarimah-jarimah yang berat dan sangat berbahaya apabila tidak
mukalaf tidak bisa dianggap sebagai suatu jarimah. Namun dalam
praktiknya ada beberapa jarimah yang diterapkan berlaku surut,
artinya perbuatan itu dianggap jarimah walaupun belum ada nas
yang melarangnya.
Alasan diterapkannya pengecualian berlaku surut, karena pada
jarimah-jarimah yang berat dan sangat berbahaya apabila tidak
diterapkan maka akan menimbulkan kekacauan dan kehebohan
diterapkan maka akan menimbulkan kekacauan dan kehebohan di
di kalangan kaum muslimin.
kalangan kaum muslimin.
Jarimah-jarimah yang diberlakukan surut antara lain:
Jarimah-jarimah yang diberlakukan surut antara lain:
1. 1. Jarimah Qazf(menuduh
Jarimah Qazf (menuduh zina)
zina)
Dasar
Dasarhukum
hukumadanya
adanya jarimah
jarimah qazf
qazf adalah
adalah firman
firman Allah
Allah
surat
surat an-Nur ayat4:4:
an-Nur ayat
       
   
      
                  
      
        
       
Mereka
“Merekayangyangmenuduh
menuduhwanita-wanita
wanita-wanita terhormat,
terhormat, kemudian
kemudian
mereka
mereka tidak
tidak mendatangkan empat orang
mendatangkan empat orang saksi,
saksi, maka
maka deralah
deralah
mereka
mereka dengan
dengan delapan
delapan puluh
puluh deraan,
deraan, dan
dan janganlah
janganlah kamu
kamu
terima persasian mereka untuk selama-lamanya.
terima persasian mereka untuk selama-lamanya”
Ada sebagian pendapat yang menyatakan bahwa nas
tersebutAdaturunsebagian pendapat
sebelum yang menyatakan
terjadinya bahwa nas
peristiwa pemfitnahan
tersebut turun
terhadap sebelum istri
diri Aisyah, terjadinya
Nabi peristiwa pemfitnahan
yang berbuat serong.terhadap
Setelah
adanya fitnah dan ternyata itu tidak benar maka
diri Aisyah, istri Nabi yang berbuat serong. Setelah pelakunya
adanya fitnah
dikenakan
dan ternyatahukuman jilid delapan
itu tidak benar puluh kali.
maka pelakunya Kalau peristiwa
dikenakan hukuman
itu
jilidbenar
delapanmaka puluhayat
kali.tersebut tidak mempunyai
Kalau peristiwa kekuatan
itu benar maka ayat
berlaku
tersebut surut.
tidak mempunyai kekuatan berlaku surut.
Pendapat
Pendapatlain lainyang
yangdipandang
dipandang lebih
lebih kuat,
kuat, bahwa
bahwa nasnas
tersebut diturunkansesudah
tersebut diturunkan sesudahterjadinya
terjadinya kedustaan
kedustaan terhadap
terhadap diri
diri Aisyah. Kisah pemfitnahan itu diceritakan
Aisyah. Kisah pemfitnahan itu diceritakan sebagai berikut: sebagai
berikut:Setelah perang dengan Bani Mustalib pada bulan Sya’ban
tahun 5 H, dalam perang itu diikuti pula orang munafik dan
istri Nabi, Aisyah, berdasarkan undian yang diadakan oleh
istri-istri Nabi. Dalam perjalanan Hukum Pidana
mereka di Islam | 27 |
peperangan,
mereka berhenti pada suatu tempat, kemudian Aisyah
keluar sebentar untuk suatu keperluan, kemudian kembali
ke tempat peristirahatan, tiba-tiba merasa kalungnya hilang,
Setelah perang dengan Bani Mustalib pada bulan
Sya’ban tahun 5 H, dalam perang itu diikuti pula orang
munafik dan istri Nabi, Aisyah, berdasarkan undian yang
diadakan oleh istri-istri Nabi. Dalam perjalanan mereka
di peperangan, mereka berhenti pada suatu tempat,
kemudian Aisyah keluar sebentar untuk suatu keperluan,
kemudian kembali ke tempat peristirahatan, tiba-tiba
merasa kalungnya hilang, akhirnya dia pergi lagi untuk
mencari kalungnya yang hilang. Rombongan perang itu
berangkat dengan penuh persangkaan bahwa Aisyah masih
diredup tempat peristirahatan. Kemudian sekembalinya
Aisyah dari mencari kalungnya ternyata redup sudah
kosong dan rombongan telah berangkat, saat itulah
Aisyah duduk dengan harapan rombongan akan kembali
menjemputnya. Tidak lama kemudian lewatlah sahabat
Nabi yang bernama Sofyan Ibn Muathal, diketemukannya
seorang wanita sedang tidur sendirian, seraya dia terkejut
dengan mengucap “Inna lillahi wa inna ilahi raji’un”
ketika dia melihat bahwa dia adalah istri Nabi (Aisyah).
Terbangunlah Aisyah, lalu dipersilahkan oleh Sofyan
untuk menaiki untanya dan Sofyan berjalan di depannya
sambil menuntun untanya sampai ke Madinah.49
Orang-orang yang melihat mereka akhirnya membicarakan
menurut pendapatnya masing-masing. Mulailah terjadinya
desas desus dan orang-orang munafik membesar-besarkan,
sehingga fitnah terhadap diri Aisyah tersebarluaskan sampai
menimbulkan kegoncangan yang besar di kalangan kaum
muslimin.50 Dalam sejarahnya, peristiwa pemfitnahan
terhadap diri Aisyah sempat menimbulkan kehebohan
di kalangan umat Islam (sahabat-sahabat Nabi) bahkan

49
Kisah ini diambil dalam kitab Lulu’ wa al-Marjan, hlm. 173.
50
As-Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), II: 349.

| 28 | Hukum Pidana Islam


hampir terjadinya perang antar golongan Aus dan Khazraj.
Karena jarimah itu dipandang sangat berbahaya dan sangat
mengganggu keutuhan masyarakat Muslim di kala itu, maka
Rasulullah setelah turunnya surat an-Nur ayat 4 menghukum
jilid delapan puluh kali terhadap pelaku pemfitnahan. Dengan
demikian nas tersebut mempunyai kekuatan berlaku surut
dengan pertimbangan demi ketenangan pada diri korban dan
mengembalikan nama baik mereka serta menghapuskan kesan
buruk dari orang
korban dan banyak. 51
mengembalikan nama baik mereka serta
20
Berdasarkan kesan
menghapuskan pendapat
buruk yang terakhir
dari orang ini, maka nas yang
banyak.
berkaitanBerdasarkan
dengan jarimah qazfyang
pendapat berlaku surut,ini,
terakhir sebab
makaRasulullah
nas yang
seolah-olah
berkaitan menerapkan nasqazf
dengan jarimah tersebut
berlakusebelum diturunkannya
surut, sebab Rasulullah
surat an-Nur ayat 4.
seolah-olah menerapkan nas tersebut sebelum diturunkannya
surat an-Nur ayat 4.
2. Jarimah Hirabah
2. Jarimah Hirabah
DasarDasar
hukum jarimah
hukum hirabah
jarimah adalah
hirabah adalahfirman
firmanAllah
Allah dalam
dalam
surat al-al-
surat Maidah
Maidahayat 33:
ayat 33:
 
           
               
 
    
    
 
    
                    

  
        
  
Sesungguhnya balasan
“Sesungguhnya bagi
balasan orang-orang
bagi orang-orang yang
yangmemerangi
memerangi Allah
Allah
dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi ialah
dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi ialah agar
agarmereka
mereka dibunuh,
dibunuh, atauatau disalib,
disalib, atauatau dipotong
dipotong tangan
tangan dan
dan kaki
kaki secara bersilang atau diasingkan dari bumi, itu semua
secara bersilang atau diasingkan dari bumi, itu semua adalah
adalah balasan
balasan bagi mereka
bagi mereka di duniadidan
dunia dan diadalah
di akhirat akhirat adalah
siksa yang
siksa yang pedih.
pedih”

Menurut suatu riwayat bahwa ayat tersebut turun sesudah


terjadinya peristiwa pembantaian terhadap penggembala unta.
Akibat peristiwa tersebut dikenakan sanksi terhadap orang Bani
51
Abd al-Qadir Awdah, At-Tasyri’…, I: 153.
Ukl (Urainah) yang melakukan kejahatan perampasan harta dan
membunuh penggembala unta sebelum diturunkannya nas. Dalam
kasus ini tergambar bahwa hukum pidanaHukumIslam
Pidana Islamjarimah
dalam | 29 |
tertentu mempunyai kekuatan berlaku surut.
Menurut suatu riwayat bahwa ayat tersebut turun sesudah
terjadinya peristiwa pembantaian terhadap penggembala unta.
Akibat peristiwa tersebut dikenakan sanksi terhadap orang Bani
Ukl (Urainah) yang melakukan kejahatan perampasan harta
dan membunuh penggembala unta sebelum diturunkannya
nas. Dalam kasus ini tergambar bahwa hukum pidana Islam
dalam jarimah tertentu mempunyai kekuatan berlaku surut.
Deskripsi tentang kejadian pembantaian penggembala
unta yang dilakukan oleh Bani Ukl adalah sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Kilabah dari Annas
sebagai berikut:
Sekumpulan Bani Ukl, datang menghadap Rasulullah,
dan menyatakan masuk Islam. Karena tidak cocok dengan
kondisi alam sekitarnya, akhirnya mereka sakit dan
mengadu kepada Rasulullah. Rasulullah menyarankan
agar tinggal bersama penggembala unta yang bernama
Bissar dan minum air susu unta tersebut. Mereka
setuju terhadap saran Rasul dan keluarlah mereka serta
minum air susu unta tersebut dan akhirnya sembuh.
Setelah sembuh mereka membunuh penggembala unta
dan menghalau semua untanya. Peristiwa tersebut
akhirnya sampai kepada Rasulullah. Dalam suatu riwayat
Rasulullah memerintahkan dua puluh pemuda Ansor
dan salah satunya diangkat menjadi Qaif (pemburu
jejak) yang bernama Kurz bin Jabir. Setelah mereka
tertangkap kemudian dihadapkan kepada Rasulullah.
Maka diperintahkan potong tangan dan kaki mereka
secara bersilang, dicelak mata mereka dengan besi
panas, kemudian ditinggalkan di terik matahari sampai
meninggal.52

52
Imam Bukhari, Sahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), IV: 51.

| 30 | Hukum Pidana Islam


Tujuan utama dari pemberlakuan surut adalah untuk
memelihara keamanan dan ketentraman masyarakat. Namun
berlakunya surut tersebut hanya terbatas pada jarimah-jarimah
yang dinilai berbahaya dan sangat menganggu kepentingan
umum.53

E. Asas
E. AsasPraduga
PradugaTak TakBersalah
Bersalah
Suatu konsekuensi yang tidak bisa dihindarkan dari asas
Suatu konsekuensi yang tidak bisa dihindarkan dari asas
legalitas adalah asas praduga tidak bersalah (principle of
legalitas adalah asas praduga tidak bersalah (principle of lawfullness/
lawfullness/presumption
presumption of innocence).of innocence).
Menurut asas Menurut asas ini,
ini, semua semua
perbuatan
dianggap boleh, kecuali dinyatakan sebaliknya oleh suatu suatu
perbuatan dianggap boleh, kecuali dinyatakan sebaliknya oleh nash
23
hukum. Selanjutnya, setiap orang dianggap tidak bersalah untuk
nash hukum.
54 Selanjutnya, setiap orang dianggap tidak bersalah
suatu
untukperbuatan jahat, kecuali
suatu perbuatan dibuktikan
jahat, kecuali kesalahannya
dibuktikan pada suatu
kesalahannya pada
kejahatan tanpa ada
suatu kejahatan keraguan.
tanpa Jika suatu
ada keraguan. Jikakeraguan yang beralasan
suatu keraguan yang
muncul,
beralasanseorang
muncul,tertuduh harus dibebaskan.
seorang tertuduh harus dibebaskan.
Konsep
Konseptersebut
tersebuttelah
telahdilembagakan
dilembagakan dalam dalam hukum Islam jauh
hukum Islam jauh
mengenalnya sebelum hukum pidana positif. Empat
mengenalnya sebelum hukum pidana positif. Empat belas abad yang belas abad
yang
silamsilam Nabi Muhammad :
bersabda :
24 55
Nabi Muhammad bersabda
    

           
      
  
  
  
  
       
       
Hindarkan bagi
Hindarkan bagi muslim
muslim hukuman
hukuman hudud
hudud kapan
kapan saja
saja kamu
kamu dapat
dapat
dan bila kamu dapat menemukan jalan
dan bila kamu dapat menemukan jalan untuk membebaskannya. untuk
Jika imam salah, lebih
membebaskannya. Jikabaik salahsalah,
imam dalamlebih
membebaskan
baik salahdaripada
dalam
salah dalam menghukum.
membebaskan daripada salah dalam menghukum.

Berkaitan erat dengan asas praduga tak bersalah adalah


Ahmad Hanafi, Asas-asas…, hlm. 46.
53
batalnya
54 hukuman karena adanya keraguan (doubt). Hadis Nabi
Sebaliknya dalam kaitan ibadah khusus, seperti shalat atau puasa,
semua
secaraperbuatan dilarang, kecuali“Hindarkan
jelas menyatakan: yang diperintahkan.
hudud dalam keadaan
55
At-Tirmizi, Sunan at-Tirmizi, (Mesir Dar al-Bab al-Halabi, 1963), IV: 33 .
ragu, lebih baik salah dalam membebaskan daripada salah
dalam menghukum.” Menurut ketentuan ini, putusan untuk
Hukum Pidana Islam | 31 |
23
Sebaliknya dalam kaitan ibadah khusus, seperti shalat atau puasa,
semua perbuatan dilarang, kecuali yang diperintahkan.
24
Berkaitan erat dengan asas praduga tak bersalah adalah
batalnya hukuman karena adanya keraguan (doubt). Hadis Nabi
secara jelas menyatakan: “Hindarkan hudud dalam keadaan
ragu, lebih baik salah dalam membebaskan daripada salah
dalam menghukum.” Menurut ketentuan ini, putusan untuk
menjatuhkan hukuman harus dilakukan dengan keyakinan, tanpa
adanya keraguan.56
Abd al-Qadir Awdah memberi contoh tentang keraguan itu
dalam kasus pencurian. Misalnya suatu kecurigaan mengenai
pencurian kepemilikan harta bersama. Jika seseorang mencuri
sesuatu yang dia miliki bersama orang lain, hukuman hadd bagi
pencurian menjadi tidak valid, karena dalam kasus tersebut
harta tidak secara khusus dimiliki orang lain, tetapi melibatkan
persangkaan adanya kepemilikan juga dari pelaku perbuatan
itu.57 Contoh lainnya adalah pencurian harta milik seseorang oleh
ayahnya sendiri. Di sini persangkaan tentang hak ayah terhadap
hak milik anaknya muncul, berdasarkan hadis Nabi anta wamaluka
liabika (engkau dan hartamu adalah milik ayahmu).
Keraguan tersebut dapat muncul karena kurangnya bukti-
bukti. Hal ini dapat terjadi jika seseorang melakukan suatu
perbuatan yang diancam hukuman hadd dan bukti satu-satunya
adalah pengakuannya sendiri. Akan muncul keraguan apabila ia
menarik pengakuannya itu.58
Dalam kaitan ini, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa
remeh atau tidak pentingnya sesuatu benda atau barang dapat
pula memunculkan keraguan, sehingga pencurian benda-benda
seperti itu tidak menjamin diterapkannya hadd. Tetapi pendapat

56
Subhat ialah ma yusbihu sabit wa laisa bisabit. berarti bertentangan
antara unsur formil dan materiilnya atau segala hal yang tetap dianggap tidak
tetap. Abd al-Qadir Audah, At-Tasyri al-Jinai…,I: 254.
57
Ibid.
58
Ibid., hlm. 256.

| 32 | Hukum Pidana Islam


ini tidak disetujui oleh Imam Abu Yusuf, Imam Malik, Imam
Syafi’i, dan Imam Ahmad. Menurut mereka, kualitas atau tidak
tahan lamanya suatu barang yang dicuri tidak memunculkan suatu
kecurigaan, yang dapat menjadikan tidak validnya hadd.59 Apakah
prinsip ini berlaku untuk semua kejahatan? Dari hadis Nabi yang
disebutkan di atas, hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman
hadd jika ada keraguan.
Dalam kejahatan-kejahatan hudud, keraguan60 membawa
pembebasan terdakwa dan pembatalan hukuman hadd. Akan
tetapi, ketika membatalkan hukuman hadd ini, hakim (jika
diperlukan) masih memiliki otoritas untuk menjatuhkan hukuman
ta’zir kepada terdakwa.61
Para sarjana muslim sepakat pada penetapan prinsip di atas
untuk kejahatan-kejahatan hudud dan qisas, namun mereka
berbeda pada penerapannya untuk kejahatan-kejahatan ta’zir.
Pandangan mayoritas adalah bahwa aplikasi prinsip ini tidak
meliputi kejahatan-kejahatan ta’zir. Akan tetapi, sebagian
sarjana memegang pendapat bahwa jenis kejahatan yang terakhir
semestinya tidak dikecualikan, atas dasar bahwa, tidak ada
sesuatupun dalam jiwa syariat menghalangi keberlakuannya.62

59
Penjelasan lebih detail untuk masalah ini lihat Abd al-Qadir Awdah,
At-Tasyri`..., hlm. 257.
60
Mazhab Syafi’i mengklasifikasikan subhat dalam tiga kategori:
(1) subhat yang berkaitan dengan tobyek; (2) subhat yang disebabkan oleh
pelakunya; (3) keraguan formal (muncul karena tidak sepakatnya para fuqaha
untuk suatu masalah). Sementara mazhab Hanafi mengklasifikasikan keraguan
ini ke dalam: (1) keraguan yang melekat dalam perbuatan itu; (2) keraguan yang
melekat pada tempatnya; dan (3) keraguan yang melekat dalam perjanjiannnya
Abd al-Qadir Audah, At-Tasyri’ al-Jinai al-Islami…, I hlm. 258-261.
61
Abdullahi Ahmad an-Naim, Dekonstruksi Syari’ah, alih bahasa, Ahmad
Syuedi, (Yogyakarta: LKIS, 2001), hlm. 200.
62
M. Salim al-Awa, “The Basis of Islamic Penal Legalism”, dalam
M. Cherif Bassioni, The Islamic Criminal Justice System (London: Oceana
Publications, Inc. 1982), hlm. 143-147.

Hukum Pidana Islam | 33 |


Menurut mereka, ketentuan ini dibuat dengan tujuan untuk
menjamin keadilan dan melindungi kepentingan terdakwa, baik
dakwaan itu untuk kejahatan hadd, qisas, atau ta’zir.63
Pendapat terakhir ini didukung oleh Nagaty Sanad dengan
alasan bahwa beberapa kejahatan ta’zir mungkin dijatuhi sanksi
yang sama beratnya dengan dua jenis kejahatan sebelumnya.
Hukuman mati, yang merupakan sanksi paling serius, dapat
diterapkan juga untuk kejahatan ta’zir ini.64 Atas dasar kedua
alasan tersebut, kejahatan-kejahatan ta’zir harus diperlakukan
sama dengan kejahatan-kejahatan hudud dan qisas dalam aplikasi
prinsip batalnya hukuman hadd (pokok) karena keraguan ini.65

63
Ibid.
64
Mengenai dapatkah hukuman ta’zir sama beratnya dengan hudud
dan qisas (misalnya, masih ada perbedaan pendapat, dapatkah dijatuhi pidana
mati).
65
At-Tirmizi, Sunan at-Tirmizi, (Mesir: Dar al-Bab al-Mustafa al-Halabi,
1963), IV: 33.

| 34 | Hukum Pidana Islam


BAB III
PERCOBAAN MELAKUKAN JARIMAH

A. Pengertian Percobaan Tindak Pidana dan Pendapat Fuqaha


Percobaan tindak pidana adalah tidak selesainya perbuataan
pidana karena adanya faktor eksternal, namun si pelaku ada
niat dan adanya permulaan perbuatan pidana.66 Hukum pidana
Islam tidak kosentrasi membahas delik percobaan, tetapi lebih
menekankan pada jarimah yang telah selesai dan belum selesai.67
Hal ini tidak berarti bahwa mereka tidak membicarakan isi teori
tentang “percobaan”, sebagaimana yang akan terlihat nanti. Tidak
adanya perhatian secara khusus terhadap jarimah percobaan
disebabkan oleh beberapa dua faktor.68
Pertama: Percobaan melakukan jarimah tidak dikenakan
hukuman had atau qisas, melainkan dengan hukuman ta’zir.69 Di
mana ketentuan sanksinya diserahkan kepada penguasa Negara
(ulul-al amri) atau hakim. Untuk menetapkan hukuman-hukuman
jarimah tersebut, baik yang dilarang dengan langsung oleh Syara’
atau yang dilarang oleh penguasa Negara tersebut, diserahkan
pula kepada mereka, agar bisa disesuaikan dengan kebutuhan

66
Jaih Mubarak, Kaidah-Kaidah Fiqh Jinayah,(Bandung: Bani Quraisy,
2004), hlm. 177.
67
Abd. Qadir Awdah, at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami (Beirut: Dar al-Kitab
al-Arabi, t.t.), I: 343.
68
Haliman, Hukum Pidana Islam Menurut Adjaran Ahli Sunnah wal
Jama’ah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hlm.224.
69
Ibid. Lihat Abd Qadir Awdah, at-Tasyri’ I: 343

| 35 |
masyarakat. Sesudah itu, hakim diberi wewenang luas dalam
menjatuhkan hukuman, di mana a bisa bergerak antara batas
tertinggi dengan batas terendah.70
Kebanyakan jarimah ta’zir bisa mengalami perubahan antara
dihukum dan tidak dihukum, dari masa ke masa, dan dari tempat
ke tempat lain, dan unsur-unsurnya juga dapat berganti-ganti
sesuai dengan pergantian pandangan penguasa-penguasa Negara.
Oleh karena itu di kalangan fuqaha tidak ada perhatian khusus
terhadap percobaan melakukan jarimah, karena percobaan ini
termasuk jarimah ta’zir.71
Kedua: Dengan danya aturan-aturan yang mencakup dari
Syara’ tentang hukuman jarimah ta’zir, maka aturan-aturan
khusus untuk percobaan tidak perlu diadakan, sebab hukuman
ta’zir dijatuhkan atas setiap perbuatan ma’siat (kesalahan) yang
tidak dikenakan hukuman had atau kifarat. Dengan perkataan
lain, setiap perbuatan yang dianggap percobaan atau permulaan
jahat dianggap ma’siat dan dapat dijatuhi hukuman ta’zir.72
Karena hukuman had dan kifarat hanya dikenakan atas jarimah-
jarimah tertentu yang benar-benar telah selesai, maka artinya
setiap percobaan (memulai) sesuatu perbuatan yang dilarang
hanya dijatuhi hukuman ta’zir, dan percobaan itu sendiri dianggap
ma’siat, yakni jarimah yang selesai juga, meskipun merupakan satu
bagian saja di antara bagian-bagian lain yang membentuk jarimah
yang tidak selesai, selama satu bagian itu sendiri dilarang. Jadi
tidak aneh kalau sesuatu perbuatan semata-mata menjadi suatu
jarimah, dan apabila bergabung dengan perbuatan lain maka akan
membentuk jarimah yang lain lagi.73

70
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1967), hlm.118-119.
71
Ibid.
72
A. Hanafi, Asas-asas..hlm. 119.
73
Abd Qadir Awdah, at-Tasyri’ al-Jina’i hlm. 344.

| 36 | Hukum Pidana Islam


Pencuri misalnya apabila telah melobangi dinding rumah,
kemudian dapat ditangkap sebelum sempat memasukinya, maka
perbuatannya itu semata-mata dianggap ma’siat (kesalahan) yang
bisa dijatuhi hukuman meskipun sebenarnya baru merupakan
permulaan dari pelaksanaan jarimah pencurian.
Demikian pula ketika ia masuk rumah orang lain dengan
maksud hendak mencuri, tanpa melobangi dindingnya atau menaiki
atapnya, dianggap telah memperbuat suatu jarimah tersendiri,
meskipun perbuatan tersebut bisa disebut juga pencurian yang
tidak selesai.74
Apabila pencuri tersebut dapat menyelesaikan berbagai-
bagai perbuatan yang membentuk jarimah pencurian dan dapat
membawa barang curiannya ke luar rumah, maka kumpulan
perbuatan tersebut dinamakan “pencurian”, dan dengan selesainya
jarimah pencurian itu maka hukuman had yang yelah ditentukan
dijatuhkan kepadanya, dan untuk masing-masing perbuatan yang
membentuk pencurian itu tidak boleh dikenakan hukuman ta’zir,
sebab masing-masing perbuatan tersebut sudah bercampur jadi
satu, yaitu pencurian.
Di sini jelaslah kepada kita, mengapa para fuqaha tidak
membuat pembahasan khusus tentang percobaan melakukan
jarimah, sebab yang diperlukan oleh mereka ialah pemisahan
antara jarimah yang telah seleai dengan jariman yang tidak selesai,
dimana untuk jarimah macam pertama saja dikenakan hukuman
had atau qisas, sedang untuk jarimah macam kedua hanya
dikenakan hukuman ta’zir.
Pendirian Syara’ tentang percobaan melakukan jarimah lebih
mencakup daripada hukum-hukum positif, sebab menurut Syara’
setiap perbuatan yang tidak selesai disebut ma’siat yang dijatuhi
hukuman, dan dalam hal ini tidak ada pengecualiannya. Siapa
yang mengangkat tongkat untuk dipukulkan kepada orang lain,

74
Ibid. hlm, 245.

Hukum Pidana Islam | 37 |


mengangkat tongkat untuk
maka ia dianggap dipukulkan
memperbuat kepada
ma’siat danorang lain,hukuman
dijatuhi maka ia
mengangkat
dianggap
ta’zir. Menuruttongkat
memperbuat untuk
hukum dipukulkan
ma’siat
positifdan kepada
dijatuhi
tidak semua orangta’zir.
hukuman
percobaan lain, maka ia
Menurut
melakukan
dianggap memperbuat
jarimahpositif
hukum dihukum. ma’siat
tidak semua dan dijatuhi
percobaan hukuman
melakukan ta’zir.
jarimah Menurut
dihukum.
hukum positif
Sesuai tidak
Sesuaidengan semua percobaan
denganpendirian melakukan
pendirian Syara’,
Syara’, maka jarimah
maka pada dihukum.
peristiwa
pada peristiwa
penganiayaan dengan
Sesuai
penganiayaan dengan maksud
dengan maksud untuk
pendirian untuk membunuh,
Syara’, membunuh, apabila
maka pada apabila
peristiwa
penganiayaanitudengan
penganiayaan
penganiayaan itu berakibat
berakibatmaksud kematian,
kematian, untuk maka perbuatan
membunuh,
maka perbuatan itu
apabila
itu dianggap
dianggap pembunuhan
penganiayaan
pembunuhan itu berakibat
sengaja. Kalau sengaja.
korban Kalau
kematian, maka korban maka
dapatperbuatan
perbuatan
dapat sembuh, itu sembuh,
dianggap
tersebut dianggap penganiayaan saja dengan hukumannyadengan
maka perbuatan
pembunuhan tersebut
sengaja. Kalau dianggap
korban dapatpenganiayaan
sembuh, maka sajaperbuatan
yang
hukumannya
tersebut dianggapyang khusus. Akan
penganiayaan tetapi
saja kalau
dengan pembuat
hukumannya
khusus. Akan tetapi kalau pembuat hendak membunuh korbannya, hendak
yang
membunuh
khusus. Akan korbannya,
tetapi kalau kemudian
pembuat tidak
hendak mengenai
membunuh
kemudian tidak mengenai sasarannya, maka perbuatan itu disebut sasarannya,
korbannya,
maka perbuatan
kemudian tidak itu disebut
mengenai ma’siat,
sasarannya, dan perbuatan
maka hukumannya adalah
itu disebut
ma’siat, dan hukumannya adalah ta’zir.10
ta’zir.75
ma’siat, dan hukumannya adalah ta’zir. 10

B. Fase-fase dalam Tindak Pidana


B.
B. Fase-fase
Fase-fasedalam
dalam Tindak
Tindak Pidana
Pidana fase-fase tertentu sebelum
Tiap–tiap jarimah mengalami
Tiap–tiap jarimah mengalami fase-fase tertentu sebelum
Tiap–tiap
terwujud jarimah
hasilnya. mengalami
Pembagian fase-fasefase-fase
ini diperlukantertentu sebelum
sekali, sebab
terwujud hasilnya. Pembagian fase-fase ini diperlukan sekali, sebab
terwujud
hanya padahasilnya.
salah satuPembagian fase-fase dapat
fase saja, pembuat ini diperlukan
dituntut darisekali,
segi
hanya
sebab pada
hanya salah
pada satu
salahfase
satu saja,
fase pembuat
saja, pembuatdapatdapat
dituntut dari segi
dituntut dari
kepidanaan, sedang pada fase-fase lainnya tidak dituntut.
kepidanaan, sedang pada fase-fase lainnya tidak dituntut.
a.segi kepidanaan,
Fase Pemikiransedang pada fase-fase
dan Perencanaan lainnya tidak
(marhalah dituntut.
at-tafkir wa at-
a.a. Fase
Fase Pemikiran
Pemikiran dan
dan Perencanaan
Perencanaan (marhalah
(marhalah at-tafkir
at-tafkir wawa at-
at-
tashmim)
tashmim)
tashmim)
Memikirkan dan merencanakan sesuatu jarimah tidak
Memikirkan
Memikirkan dan dan
merencanakan
merencanakan sesuatusesuatu
jarimahjarimah
tidak dianggap
tidak
dianggap ma’siat yang dijatuhi hukuman, karena menurut aturan
ma’siat yang
dianggap dijatuhi
ma’siat yang hukuman, karena menurut
dijatuhi hukuman, aturan aturan
karena menurut dalam
dalam
Syari’at
dalam Syari’at
Islam,Islam,
Syari’at Islam, seseorang
seseorang tidak
seseorang tidak
tidak dapat
dapat dituntut
dapatdituntut (sepersalahkan)
dituntut (sepersalahkan)
(sepersalahkan)
karena
karenalintasan
karena lintasanhatinya
lintasan hatinyaatau
hatinya atau niatan
atau niatan yang
niatan yang tersimpan
yang tersimpan dalam
tersimpan dalam dirinya,
dalam dirinya,
dirinya,
sesuai dengan kata-kata Rasulullah s.a.w. sebagai berikut:
sesuai
sesuai dengan
dengan kata-kata
kata-kata Rasulullah
Rasulullah s.a.w.
s.a.w. sebagai
sebagai 
berikut:
berikut:


 
 
 





 
 
 

 
76

10Haliman,Hukum Pidana…hlm.224.
75

76 Haliman,
Imam Hukum
Muslim, Pidana…hlm.224.
Sahih Muslim, Beirut: Dar al-Fikr, t.t. Juz I: 116.
11
Imam Muslim, Sahih Muslim, Beirut: Dar al-Fikr, t.t. Juz I: 116.

| 38 | Hukum Pidana Islam


“Tuhan memaafkan umatku dari apa yang dibisikkan atau
dicetuskan oleh dirinya, selama ia tidak berbuatan dan
tidak mengeluarkan kata-kata. Seseorang hanya dituntut
karena kata-kata yang diucapkannya dan perbuatan yang
dilakukannya”.

Aturan tersebut sudah terdapat dalam Syari’at Islam sejak


mula-mula diturunkan tanpa mengenal pengecualian. Akan tetapi
pada hukum positif aturan tersebut baru dikenal pada akhir abad
kedelapan belas Masehi, yaitu sesudah revolusi Perancis. Sebelum
masa itu, niatan dan pemikiran bisa dihukum, kalau dapat
dibuktikan. Juga pada hukum positif terhadap aturan tersebut ada
pengecualiannya.
Sebagai contoh ialah adanya perbedaan pada hukum pidana
Perancis dan RPA antara pembunuhan sengaja yang direncanakan
terlebih dahulu dengan pembunuhan biasa yang tidak direncanakan
terlebih dahulu, dimana untuk pembunuhan pertama dikenakan
hukuman yang lebih berat dari pada hukuman pembunuhan
macam kedua.77
Menurut KUHP RPA terhadap pembunuhan berencana
dikenakan hukuman mati, dan terhadap pembunuhan biasa
dikenakan hukuman kerja berat seumur hidup atau sementara
(pasal 230 dan 234).
Menurut KUHP Indonesia, karena pembunuhan berencana
dihukum mati atau dihukum penjara seumur hidup atau hukuman
penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun, dan kerana
pembunuhan biasa, dihukum dengan hukuman penjara selama
lamanya lima belas tahun.

77
A. Hanafi, Asas-asas, hlm. 227.

Hukum Pidana Islam | 39 |


kunci palsu untuk mencuri. Fase persi
g dapat dihukum, kecuali apabila perbuatan persiapan itu
ma’siat yang dapat dihukum, kecuali apab
ndang sebagai ma’siat, seperti hendak mencuri milik
engan jalan membiusnya. sendiri
Dalamdipandangcontoh ini membeli sebagai ma’siat, alat sepe
b. Fase Persiapan (marhalah
seseorang at-tahdzir)
dengan jalan membiusnya. Dal
membius orang lain itu
Menyiapkan alat sendiri
yang dipakai dianggap ma’siat
untuk melaksanakan yang
jarimah,
npa memerlukan kepadabius
seperti membeli senjata untukatau
selesainya membunuh membius
maksud orang lainorang
yang lain itu send
atau membuat
hendak
kunci palsu untuk mencuri. Fase persiapan juga tidak dianggap
13
mencuri.ma’siat yang dapat dihukum, dihukum, tanpa memerlukan kepada seles
kecuali apabila perbuatan persiapan
13
san untukitu sendiri dipandang
tidak memasukkan sebagaiyaitu
dituju, ma’siat,
fase seperti hendak mencuri
mencuri.
milik seseorang dengan jalan membiusnya. Dalam contoh ini
persiapan sebagai
ah bahwa membeli perbuatan alat bius atau membius
seseorang Alasan
yang orangbisa untuk
lain itu sendiri
dihukum tidak
dianggap
harus memasukka
ma’siat yang dihukum, jarimah, tanpa ialah
memerlukan bahwa kepada selesainya seseoran
perbuatan
uatan ma’siat, maksud danyang hendakma’siat baru
dituju, yaituterwujud
mencuri.78 apabila berisi
terhadap hakAlasan Tuhan untuk (hakberupa
tidak perbuatan
memasukkan
masyarakat) fase ma’siat,
dan persiapan
hak manusia, dan
sebagaima’siat b
jarimah, ialah bahwa perbuatan seseorang yang bisa dihukum
penyiapan harusalat-alat
berupa perbuatan
pelanggaran
jarimah pada galibnya
ma’siat,
terhadap baru
dan ma’siat tidak
hak terwujud
Tuhan
berisi (hak ma
an, makaapabila berisi pelanggaran
anggapan inisedang
masih terhadap
bisa hak
pada Tuhan (hak masyarakat)
penyiapan
dita’wilkan, alat-alat
artinya jarimah
dan hak manusia, sedang pada penyiapan alat-alat jarimah pada
an, sedang menurut
galibnya tidak berisi suatu
aturan suatu kerugian,
Syari’at
kerugian, maka
seseorang
maka anggapan anggapan
tidak bisa ini masi
ini masih
bisa dita’wilkan, artinya bisabisa diragukan, sedang
diragukan, sedang menurut
menurutaturan aturan S
dakan terhadapnya kecuali apabila didasarkan
Syari’at seseorang tidak bisa diambil tindakan terhadapnya
kepada
Sehingga kecuali apabiladianggap
peristiwa diambil
didasarkan kepada tindakan
sesuatu yangterhadapnya
keyakinan. Sehingga
syubhat dan kecuali a
peristiwa
dianggap sesuatu yang syubhat dan pelakunya hanya dikenakan
anya dikenakan hukumanhukuman
keyakinan.
ta’zir. Hal inita’zir. HalSehingga
sesuai kaidah: ini sesuai peristiwa kaidah: dianggap
14
  
pelakunya   
hanya 
dikenakanhukuman
 ta’z
79  
14
ya percobaan berbuat jarimah tidak dihukum qisas atau
an ta’zir. Sesungguhnya Sesungguhnya
percobaan percobaan
berbuat jarimah berbuat
tidak dihukum qisas jarimah
atau had melainkan ta’zir.
had melainkan ta’zir.
ksanaan (marhalah tanfidiyah)
a fase inilah perbuatanc. si Fase pembuat
Pelaksanaan dianggap (marhalahsebagaitanfidiyah
Jaih Mubarak, Kaidah-Kaidah Fiqh Jinayah, hlm. 180.
78

uk duhukum, tidak menjadi


Abd. Qadir
79
persoalan,
Pada
Awdah, at-Tasyri’ apakah
al-Jina’i fase
al-Islami perbuatan
inilah
(Beirut: Darperbuatan
al-Kitab si p
al-Arabi, t.t.), I: 343.
rupakan permulaan pelaksanaan jarimah. Untuk unsur duhukum,
materiil jarimah tidak menjadi p
melainkan| 40
cukup
| Hukum dihukum Islamapabila
Pidanatersebut perbuatanpermulaan
merupakan itu berupa pelaksan
u yang berupa pelanggaran atauatas tidak,hakmelainkan
masyarakatcukup dan hak dihukum ap
ma’siat, yaitu yang berupa pelanggaran a
c. Fase Pelaksanaan (marhalah tanfidiyah)
Pada fase inilah perbuatan si pembuat dianggap sebagai
jarimah. Untuk duhukum, tidak menjadi persoalan, apakah
perbuatan tersebut merupakan permulaan pelaksanaan unsur
materiil jarimah atau tidak, melainkan cukup dihukum apabila
perbuatan itu berupa ma’siat, yaitu yang berupa pelanggaran atas
hak masyarakat dan hak perseorangan, dan dimaksudkan pula
untuk melaksanakan unsur materiil, meskipun antara perbuatan
tersebut dengan unsur materiil masih terdapat beberapa langkah
lagi.80
Pada pencurian misalnya, melobangi tembok, membongkar
pintu dan sebagainya dianggap sebagai ma’siat yang dijatuhi
hukuman ta’zir, dan selanjutnya dianggap pula sebagai percobaan
pencurian, meskipun untuk terwujudny perbuatan pencurian
masih terdapat perbuatan-perbuatan lain lagi, seperti masuk
rumah, mengambil barang dari almari, dan membawanya ke luar
dan sebagainya.
Jadi ukuran perbuatan dalam percobaan yang bisa dihukum
ialah apabila perbuatan tersebut berupa ma’siat. Dalam hal
ini niatan dan tujuan pembuat sangat penting artinya untuk
menentukan apakah perbuatan itu ma’siat (salah) atau tidak.

C. Pendirian Hukum Positif


Pendirian hukum positif sama dengan Syara’ , bahwa
permulaan tindak pidana tidak dapat dihukum, baik pada fase-fase
pemikiran-perencanaan dan persiapan. Akan tetapi di kalangan
sarjana-sarjana hukum positif terdapat perbedaan pendapat
tentang saat di mana pembuat dianggap telah mulai melaksanakan
jarimahnya itu.

80
Abd. Qadir Awdah, at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami, I: 346-348.

Hukum Pidana Islam | 41 |


Menurut aliran obyektif (objectieve leer), saat tersebut ialah
ketika ia melaksanakan perbuatan material yang membentuk sesuatu
jarimah. Kalau jarimah tersebut terdiri dari satu perbuatan saja,
maka percobaan untuk jarimah itu ialah ketika memulai perbuatan
tersebut. Kalau jarimah itu terdiri dari beberapa perbuatan, maka
memulai salah satunya dianggap melakukan perbuatan, maka
memulai salah satunya dianggap melakukan perbuatan jarimah.
Mengerjakan perbuatan lain yang tidak masuk dalam rangka
pembentukan jarimah tidak dianggap telah mulai melaksanakan.
Dengan perkataan lain, aliran tersebut melihat kepada obyek atau
perbuatan yang telah dikerjakan oleh pembuat.81
Menurut aliran subyektif (subjectieve leer), untuk dikatakan
melakukan percobaan cukup apabila pembuat telah memulai
sesuatu pekerjaan apa saja yang mendatangkan kepada perbuatan
jarimah itu sendiri. Aliran tersebut memakai niatan dan pribadi
pembuat untuk mengetahui maksud yang dituju oleh perbuatannya
itu. Dengan perkataan lain, aliran tersebut lebih menekankan
kepada subyek, atau niatan pembuat.82
Nampaknya masing-masing aliran tersebut terlalu menyebelah
(eenzijdig), sedang seharusnya dalam soal-soal kepidanaan, tidak
dicukupkan dengan segi dari pembuat saja atau segi perbuatan
saja, melainkan harus memperhatikan kedua-dua segi tersebut
yakni perbuatan dari pembuat.
Dari perbandingan dengan Syari’t Islam, ternyata pendirian
Syari’at Islam dapat menampung kedua aliran subyektif dan
obyektif bersama-sama. Perbuatan yang bisa dihukum menurut
aliran subyektif bisa dihukum pula menurut Syari’at Islam.
Akan tetapi Syari’at Islam menambahkan syarat, yaitu apabila
perbuatan yang dilakukan pembuat bisa dikwalifikasikan sebagai
perbuatan ma’siat (perbuatan salah), baik bisa menyiapkan jalan

81
Ahamd Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, .hlm. 124.
82
Abd. Qadir Awdah, at-Tasyri, I: 227.

| 42 | Hukum Pidana Islam


untuk jarimah yang dimaksudkan atau tidak. Sedang menurut
aliran subyektif perbuatan yang mulai dikerjakan harus bisa
mendatangkan kepada unsur materialnya jarimah.
Sebagai contoh ialah orang yang masuk sesuatu rumah dengan
maksud untuk melakukan perbuatan zina dengan orang (wanita)
Menurut
yang adaalirandi obyektif,
dalamnya, perbuatan tersebut yang
dan perbuatan tidak diniatkannya
dapat dihukum, itu
tidak terjadi, karena sesuatu sebab, ada orang lain umpamanya.
sebab tidak ada kepentingan yang dirugikan. Menurut aliran
Menurut
subyektif, aliran obyektif,
perbuatan tersebut perbuatan tersebut tidak
dapat dihukum karenadapat dihukum,
sudah cukup
sebab tidakteguhnya
menunjukkan ada kepentingan
maksud yang yang adadirugikan. Menurut
pada dirinya. aliran
Menurut
subyektif, perbuatan tersebut dapat dihukum karena
Syari’at Islam, juga dapat dihukum sebab perbuatan itu sendiri sudah cukup
menunjukkan teguhnya maksud yang ada pada dirinya. Menurut
merupakan ma’siat (perbuatan salah).18
Syari’at Islam, juga dapat dihukum sebab perbuatan itu sendiri
Pendirian Syari’at juga mirip dengan pendapat yang hidup di
merupakan ma’siat (perbuatan salah).83
kalanganPendirian
sarjana-sarjana
Syari’athukum
juga mirippositif.
denganVospendapat
misalnya,yang
berpendapat
hidup di
kalangan sarjana-sarjana hukum positif. Vos misalnya, berpendapat
bahwa pada pokoknya teori subyektif lebih benar daripada teori
bahwa akan
obyektif, pada pokoknya
tetapi harus teoridiperbaiki
subyektif lebih
denganbenar daripada
rumus teori:
berikut
obyektif,
Pembuat baruakan
patuttetapi harusjika
dihukum, diperbaiki dengan
perbuatannya rumus berikut
berlawanan dengan:
Pembuat baru patut dihukum, jika perbuatannya
hukum, dengan pengertian, bahwa perbuatan itu tidak diperbolehkan berlawanan
dengan hukum, dengan pengertian, bahwa perbuatan itu tidak
(oleh masyarakat atau hukum) berhubung dengan kepentingan
diperbolehkan (oleh masyarakat atau hukum) berhubung dengan
hukum yang dikenai oleh jarimah itu.19
kepentingan hukum yang dikenai oleh jarimah itu.84

D. Hukuman Percobaan
D. Hukuman Percobaan
Menurut aturan Syari’at Islam, untuk jarimah-jarimah hudud
Menurut aturan Syari’at
dan qisas, jarimah-jarimah yangIslam, untuk
selesai jarimah-jarimah
tidak hudud
boleh dipersamakan
dan qisas, jarimah-jarimah yang selesai tidak boleh dipersamakan
dengan jarimah-jarimah yang tidak selesai (percobaan). Aturan
dengan jarimah-jarimah yang tidak selesai (percobaan). Aturan
tersebut berdasarkan
tersebut hadits
berdasarkan NabiNabi
hadits s.a.w. : :
s.a.w.
    
Siapa yang mencapai hukuman had bukan pada jarimah hudud (yang
83
Abdurahman
lengkap) maka al-Maliki,
diat termasuk Nidzam
orang yangal-Uqubah, Beirut: 20
menyeleweng” Dar al-Ummah,
1990), 155-157.
84
A.Hanafi, Asas-asas, hlm.

Hukum Pidana Islam | 43 |

18
Abdurahman al-Maliki, Nidzam al-Uqubah, Beirut: Dar al-
Ummah, 1990), 155-157.
Siapa yang mencapai hukuman had bukan pada jarimah hudud
(yang lengkap) maka diat termasuk orang yang menyeleweng”85
Aturan tersebut berlaku untuk jarimah-jarimah hudud dan
qisas, dan qisas termasuk juga hudud, karena hukuman tersebut
sudah ditentukan pula jumlahnya.
Oleh karena itu percobaan melakukan zina tidak boleh
dihukum dengan hukuman yang dijatuhkan atas perbuatan zina
sendiri yaitu jilid dan rajam.86
Demikian pula hukuman percobaan pencurian tidak bisa
dipersamakan dengan pencurian itu sendiri, yaitu potong tangan,
sebab hukuman potong tangan dijatuhkan atas jarimah yang telah
selesai.
Sudah barang tentu perbedaan antara percobaan melakukan
suatu jarimah dengan jarimah itu sendiri masih jauh, dan oleh
karena itu sudah sepantasnya kalau pembuat dijatuhi hukuman
sesuai dengan besarnya perbuatan. Apabila mempersamakan
hukuman antara percobaan jarimah dengan jarimah yang selesai,
akan medorong pembuat sesuatu jarimah untuk menyelesaikannya
sekali, sebab ia akan merasa bahwa dirinya sudah berhak akan
hukum lengkap dengan memulainya perbuatan, oleh karena itu ia
tidak perlu mengurungkan perbuatannya itu (percobaannya).
Meskipun demikian, kita dapat mempersamakan percobaan
melakukan jarimah ta’zir kepada percobaan melakukan jarimah
hudud dan qisas. Oleh karena itu, aturan tersebut diatas, yakni
tidak adanya persamaan hukuman antara jarimah percobaan
dengan jarimah lengkap, berlaku pula atas jarimah-jarimah ta’zir.

85
Imam Muslim, Sahih Muslim, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), I: 119.
86
Abd. Qadir Awdah, at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami (Beirut: Dar al-Kitab
al-Arabi, t.t.), I: 350

| 44 | Hukum Pidana Islam


E. Tidak Selesainya Percobaan
Seorang pembuat yang yang telah memulai perbuatan
jarimahnya adakalanya dapat menyelesaikannya atau tidak dapat
menyelesaikannya. Kalau dapat menyelesaikannya maka sudah
sepantasnya ia dijatuhi hukuman yang diancamkan terhadap
perbuatannya itu. Kalau tidak dapat menyelesaikannya, maka
adakalanya karena terpaksa atau karena kehendaknya sendiri.
Dalam keadaan tidak selesai karena kehendak sendiri, maka
adakalanya disebabkan karena ia bertaubat dan menyesal serta
kembali kepada Tuhan, atau disebabkan karena sesuatu diluar
taubat dan penyesalan diri, misalnya karena kekurangan alat-alat
atau khawatir terlihat oleh orang lain, atau hendak mengajak
temannya terlebih dahulu.87
Kalau tidak selesainya suatu jarimah dikarenakan terpaksa,
misalnya terpaksa tertangkap atau terkena suatu kecelakaan yang
menghalang-halangi berlangsungnya jarimah, maka keadaan
tersebut tidak mempengaruhi berlangsungnya pertanggungan
jawab pembuat, selama perbuatan yang dilakukannya itu bisa
disebut ma’siat (suatu kesalahan).
Kalau tidak selesainya jarimah karena sesuatu bukan
atas dasar taubat, maka pembuat juga bertanggung jawab atas
perbuatannya, apabila sudah cukup dipandang sebagai ma’siat
yakni merugikan hak masyarakat atau hak perseorangan.
Apabila seseorang hendak mencuri dari suatu rumah, kemudian
membongkar pintunya, akan tetapi ia tidak masuk rumah itu
karena terlihat olehnya peronda lewat dipekarangan rumah
tersebut dan dikhawatirkan akan menangkapnya, kemudian dia
pergi tanpa mengambil sesuatu barang, atau dia sudah masuk
rumah tetapi tidak dapat membuka almari besi tempat uang.88

87
Abd. Qadir Awdah, at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami (Beirut: Dar al-Kitab
al-Arabi, t.t.), I: 351
88
A. Hanafi, Asas-asas, hlm. 128-129.

Hukum Pidana Islam | 45 |


Dalam contoh tersebut pembuat tetap dijatuhi hukuman
meskipun ia mengurungkan perbuatannya, karena motif
pengurungan tersebut bukan taubat, sedangkan perbuatan yang
terjadi, adalah ma’siat yaitu membongkar pintu atau masuk
rumah orangyaitu
ma’siat lainmembongkar
tanpa izin. Akan tetapi
pintu atau kalau
masuk sudah
rumah sampai
orang lain pintu
tanpa
pekarangan dengan
izin. Akan tetapi maksud mencuri,
kalau sudah sampaikemudian mengurungkan
pintu pekarangan dengan
niatnya karena
maksud sesuatu
mencuri, sebab dari
kemudian dalam dirinya
mengurungkan niatnyadan lalusesuatu
karena pergi,
makasebab
ia tidak
daridihukum karena
dalam dirinya danperistiwa
lalu pergi,yang
makatelah diperbuatnya
ia tidak dihukum
itu tidak
karenadianggap
peristiwamelanggar
yang telah(merugikan)
diperbuatnyahak itumasyarakat
tidak dianggap atau
hak perseorangan dan oleh
melanggar (merugikan) hak karena itu atau
masyarakat tidak
hakdianggap
perseorangan ma’siat
dan
sedangkan apabila tidak ada ma’siat berarti tidak ada hukuman.
oleh karena itu tidak dianggap ma’siat sedangkan apabila tidak ada
ma’siat berarti tidak ada hukuman.

F. Tidak Selesai
F. Tidak Melakukan
Selesai MelakukanPercobaan
Percobaan Karena Taubat
Karena Taubat
Perbuatan jarimah
Perbuatan jarimah yang diurungkan
yang diurungkan (tidak
(tidak diselesaikan)
diselesaikan)
adakalanya berupa jarimah “hirabah” (pembegalan/ penggarongan)
adakalanya berupa jarimah “hirabah” (pembegalan/ penggarongan)
atau atau
jarimah-jarimah
jarimah-jarimahlain. Apabila
lain. Apabila berupa
berupajarimah
jarimah hirabah
hirabah maka
maka
pembuat tidak dijatuhi hukuman atas apa yang telah diperbuatnya.
pembuat tidak dijatuhi hukuman atas apa yang telah diperbuatnya.
Hal ini
Halsesuai dengan
ini sesuai firman
dengan Allah
firman ketika
Allah membicarakan
ketika membicarakanhukuman
hukuman
orangorang
yangyangmelakukan jarimah itu, dimana pada
melakukan jarimah itu, dimana pada penutupnya penutupnya
disebutkan sebagi
disebutkan berikut:
berikut:
sebagi

 ��

 
Kecuali orang-orang
“Kecuali yangyang
orang-orang Taubat (di(diantara
Taubat antaramereka)
mereka) sebelum
sebelum
kamukamu
dapat
dapat menguasai (menangkap) mereka; Maka Ketahuilah
menguasai (menangkap) mereka; Maka Ketahuilah
bahwasanya Allah
bahwasanya Maha
Allah Pengampun
Maha Pengampunlagi
lagi Maha Penyayang.
Maha Penyayang”.

Jadi apabila seseorang


Jadi apabila berbuat
seseorang jarimah
berbuat jarimahhirabah
hirabah sudah
sudah
menyatakan taubat dan penyesalan, maka hapuslah hukumannya
menyatakan taubat dan penyesalan, maka hapuslah hukumannya
meskipun itu telah melakukan jarimah yang selesai. Kalau demikian
kedudukan orang yang telah memperbuat jarimah hirabah,
| 46 | Hukum Pidana Islam
meskipun itu telah melakukan jarimah yang selesai. Kalau
demikian kedudukan orang yang telah memperbuat jarimah
hirabah, pembebasan dari hukuman juga dapat diberikan kepada
orang yang tidak menyelesaikan jarimah hirabah.
Kalau para fuqaha sudah sepakat pendapatnya tentang
hapusnya hukuman atas jarimah hirabah, karena taubat dan
pembebasan dari hukuman juga dapat diberikan kepada orang yang
penyesalan yang dinyatakan sebelum tertangkap, maka mereka
tidak menyelesaikan jarimah hirabah.
masih memperselisihkan tentang pengaruh taubat dan penyesalan
Kalau para fuqaha sudah sepakat pendapatnya tentang
tersebut pada jarimah-jarimah selain hirabah. Dalam hal ini ada
hapusnya hukuman atas jarimah hirabah, karena taubat dan
tiga pendapat
penyesalan yang dinyatakan sebelum tertangkap, maka mereka masih
memperselisihkan tentang pengaruh taubat dan penyesalan tersebut
Pendapat pertama.
pada jarimah-jarimah selain hirabah. Dalam hal ini ada tiga pendapat

Pendapat pertama dikemukakan oleh beberapa fuqaha dari


Pendapat pertama Pendapat pertama dikemukakan oleh beberapa
mazhab Syafi’i dan mazhab Hambali, yang mengatakan bahwa
fuqaha dari mazhab Syafi’i dan mazhab Hambali, yang mengatakan
taubat bisa menghapuskan hukuman. Alasan yang dikemukakannya
bahwa taubat bisa menghapuskan hukuman. Alasan yang
ialah bahwa Qur’an menyatakan hapusnya hukuman hirabah
dikemukakannya ialah bahwa Qur’an menyatakan hapusnya
karena hukuman
taubat, hirabah
sedangkan
karenahirabah adalah jarimah
taubat, sedangkan yang jarimah
hirabah adalah paling
berbahaya.
yang Kalau taubat dapat
paling berbahaya. Kalaumenghapuskan hukuman hukuman
taubat dapat menghapuskan jarimah
yang paling berbahaya, maka lebih-lebih lagi untuk jarimah-
jarimah yang paling berbahaya, maka lebih-lebih lagi untuk jarimah-
jarimahjarimah
lainnya. SelainSelain
lainnya. itu, pada penyebutan
itu, pada penyebutanbeberapa
beberapajarimah,
jarimah,
diikuti diikuti
dengandengan
pernyataan
pernyataan bahwa taubat dapatmenghapuskan
bahwa taubat dapat menghapuskan
hukuman. Misalnya
hukuman. pada pada
Misalnya penyebutan hukuman
penyebutan hukumanzina
zinayang
yangpertama
pertama
kali diadakan dimana dikatakan sebagai berikut:
kali diadakan dimana dikatakan sebagai berikut:

 

 
Dan terhadap dua orang
“Dan terhadap yang melakukan
dua orang perbuatan
yang melakukan perbuatankeji
kejididiantara
antara
kamu, Maka
kamu, Maka berilah hukuman kepada keduanya, Kemudian jika
berilah hukuman kepada keduanya, Kemudian jika
keduanya bertaubat
keduanya dan
bertaubat danmemperbaiki
memperbaiki diri,diri,
MakaMaka biarkanlah
biarkanlah mereka.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”

Hukum Pidana Islam | 47 |


mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang.

Juga padaJuga
penyebutan
pada hukuman
penyebutanpencurian
hukumanpada penutupannya
pencurian pada
dikatakan sebagai berikut
penutupannya dikatakan sebagai berikut 


 
Maka “Maka
barangsiapa bertaubat
barangsiapa (di (di
bertaubat antara
antarapencuri-pencuri itu)
pencuri-pencuri itu)
sesudahsesudah
melakukan
melakukankejahatan
kejahatanituitudandanmemperbaiki diri, Maka
memperbaiki diri, Maka
Sesungguhnya AllahAllah
Sesungguhnya menerima
menerima taubatnya.
taubatnya. Sesungguhnya Allah
Sesungguhnya Allah
Maha Pengampun
Maha Pengampunlagi lagi
MahaMahaPenyayang.
Penyayang”.
Dalam hadits Rasul s.a.w. disebutkan sebagai berikut:
Orang yang taubat dari Rasul
Dalam hadits suatus.a.w.
dosadisebutkan
maka iasebagai
seperti orangOrang
berikut: yang
tidak mempunyai dosa.suatu
yang taubat dari Dengandosa perkataan lain, orang
maka ia seperti siapa yang tidak
yang tidak
mempunyai dosa, dosa.
mempunyai maka Dengan
tidak adaperkataan
hukumanlain, hadsiapa
baginya.
yang tidak
Dalam peristiwa, “Ma’iz” yang lari setelah mendengar
mempunyai dosa, maka tidak ada hukuman had baginya.
keputusan hukuman atas “Ma’iz”
Dalam peristiwa, perbuatannya,
yang lari ketika
setelah Rasulullah
mendengar
diberitahu tentang larinya, maka Rasulullah mengatakan:diberitahu
keputusan hukuman atas perbuatannya, ketika Rasulullah “Biarkan
tentang larinya, maka Rasulullah mengatakan:
dia bertaubat, maka Allah akan menerima taubatnya.”. “Biarkan
89 dia
24
bertaubat, maka Allah akan menerima taubatnya.”.
Untuk hapusnya hukuman tersebut di atas, para fuqaha
Untuk hapusnya hukuman tersebut di atas, para fuqaha
memberi syarat, yaitu pada jarimah termaksud ialah jarimah yang
memberi syarat, yaitu pada jarimah termaksud ialah jarimah yang
menyinggung hak Allah, artinya jarimah-jarimah yang melanggar
menyinggung hak Allah, artinya jarimah-jarimah yang melanggar
hak masyarakat, seperti zina dan minum minuman keras, dan
hak masyarakat, seperti zina dan minum minuman keras, dan bukan
bukan jarimah
jarimah yang menyinggung hak perseorangan, seperti
yang menyinggung hak perseorangan, seperti pembunuhan
pembunuhan dan penganiayaan.
dan penganiayaan.
Menurut sebagian fuqaha masih ada satu syarat lagi yaitu
dibarenginya taubat (penyesalan) dengan tingkah laku yang baik dan
89
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, (Mesir: Dar al-Bab al-Halabi, t.t.), II:
24
459; Syaukani, Nail Abual-Authar, VII: 259.
Dawud, Sunan Abi Dawud, (Mesir: Dar al-Bab al-Halabi,
t.t.), II: 459; Syaukani, Nail al-Authar, VII: 259.

| 48 | Hukum Pidana Islam


Menurut sebagian fuqaha masih ada satu syarat lagi yaitu
dibarenginya taubat (penyesalan) dengan tingkah laku yang
baik dan syarat ini berarti menghendaki berlalunya suatu masa
tertentu, yang cukup untuk mengetahui ketulusan taubatnya itu.
Akan tetapi menurut fuqaha lain, syarat yang terakhir itu tidak
diperlukan, melainkan cukup dengan taubat semata-mata.
Berdasarkan pendapat tersebut, maka hukuman menjadi
hapus dari orang yang mengurungkan perbuatan jarimahnya
karena bertaubat, apabila jarimah tersebut berhubungan dengan
hak masyarakat. Untuk jarimah-jarimah yang mengenai hak-hak
perseorangan, maka sekalipun diurungkan karena taubat, namun
tidak menyebabkan hapusnya hukuman sama sekali.90

Pendapat kedua.
Pendapat ini dikemukakan oleh imam-imam Malik dan Abu
Hanifah, serta beberapa fuqaha dikalangan mazhab Syafi’i dan
Ahmad. Menurut mereka taubat tidak menghapuskan hukuman
kecuali untuk jarimah hirabah saja yang sudah ada ketentuannya
yang jelas. Pada dasarnya taubat tidak dapat menghapuskan
hukuman, karena kedudukan hukuman ialah sebagai kifarat
ma’siat penebus (kesalahan). Perintah untuk menjatuhkan
hukuman kepada orang-orang yang berzina dan mencuri bersifat
umum, baik mereka yang bertaubat atau tidak, Rasulullah juga
menyuruh melaksanakan hukuman rajam atas diri seorang yang
bernama “Ma’iz” 91dan orang wanita dari kampung Ghamidiyyah
dan hukuman potong tangan atas diri orang yang mengaku telah
mencuri. Orang-orang tersebut datang sendiri pada Rasulullah
s.a.w. dan mengakui perbuatan-perbuatannya serta minta agar

90
A. Hanafi, Asas-asas, hlm.130-131
91
Imam al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), IV:177;
Baca Fath al-Bari, Juz. XII: 102.

Hukum Pidana Islam | 49 |


mereka dibersihkan dari dosa dengan jalan menjatuhkan hukuman
atas diri mereka. Perbuatan mereka tersebut dinamakan taubat.
Menurut fuqaha-fuqaha tersebut diatas, antara jarimah-
jarimah hirabah dengan jarimah-jarimah lain tidak ada kemiripan
yang memungkinkan keduanya untuk dapat dipersamakan. Pada
umumnya orang-orang yang melakukan jarimah hirabah terdiri
dari sejumlah orang yang mempunyai kekuatan dan tidak mudah
dilakukan penangkapan atas mereka. Oleh karena itu taubat dan
penyesalan bisa menghapuskan hukuman, apabila dinyatakan oleh
mereka sebelum tertangkap, sebagai pendorong kearah perbaikan
tingkah laku dan penghentian keonarannya. Akan tetapi pembuat
jarimah biasa pada umumnya terdiri orang-orang biasa yang tidak
sukar ditangkap yang karena tidak ada alasan untuk menghapuskan
hukuman karena taubatnya, bahkan hukuman itulah yang bisa
menahannya dari perbuatan-perbuatan jarimah yang lain.92
Kalau dengan taubat semata-mata hukuman dapat dihapus,
maka akibatnya ancaman hukuman tidak akan berguna, sebab
setiap pembuat jarimah tidak sukar mengatakan telah bertaubat.
Jadi menurut pendapat kedua tersebut penghentian pembuat
untuk meneruskan jarimahnya, meskipun karena dorongan
taubat dan kesadaran diri, tidak menghapuskan hukuman, apabila
perbuatannya telah cukup disebut ma’siat.

Pendapat ketiga.
Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Taimiah serta muridnya
yaitu Ibnul Qayyim, dan kedua-duanya termasuk aliran mahzab
Hambali. Menurut pendapat kedua ulama tersebut, hukuman
dapat mebersihkan ma’siat, dan taubat bisa menghapuskan
hukuman jarimah-jarimah yang berhubungan dengan hak Tuhan,
kecuali apabila pembuat sendiri menginginkan penyucian dirinya

92
Abd Qadir Awdah, at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami,I: 238.

| 50 | Hukum Pidana Islam


dengan jalan hukuman. Dalam keadaan menginginkan hukuman,
ia bisa dijatuhi hukuman meskipun bertaubat.
Menurut pendapat tersebut penghentian pembuat untuk
meneruskan perbuatannnya yang merugikan hak Tuhan, yakni
hak masyarakat, bisa menghapuskan hukuman. Akan tetapi
hapusnya hukuman tersebut tidak berlaku pada jarimah-jarimah
yang mengenai hak perseorangan.93

G. Percobaan Melakukan Jarimah Mustahil


Di kalangan fuqaha nampak adanya pembahasan tentang
percobaan melakukan “jarimah mustahil” yang terkenal
dikalangan sarjana-sarjana hukum positif dengan nama “oendeug
delijk poging” (percobaan tak terkenan = as-syuru’fi al Jarimah
al-mustahilah), yaitu suatu jarimah yang tidak mungkin terjadi
(mustahil) karena alat-alat yang dipakai untuk melakukannnya
tidak sesuai, seperti orang yang mengarahkan senjata kepada orang
lain dengan maksud untuk membunuh, tetapi ia sendiri tidak tahu
bahwa senjata itu tidak ada pelurunya atau ada kerusakan bagian-
bagiannya, sehingga orang lain tersebut tidak meninggal. Atau
boleh jadi karena barang perkara (voorwerp) yang menjadi obyek
perbuatannya tidak ada, seperti orang yang menembak orang lain
dengan maksud untuk membunuhnya, sedangkan sebenarnya
orang tersebut telah meninggal sebelumnya.
Bisaanya dibedakan antara “percobaan tak terkenan absolut”
dengan “percobaan tak terkenan relatif ” (absolut ondegudelijke
poging dengan relatief ondegudelijke poging). Apabila ada
seseorang yang hendak meracun orang lain bukan dengan bahan
racun atau dengan bahan racun tetapi sedikit sekali, sehingga tidak
mengakibatkan matinya korban. Atau pengguguran kandungan
dengan sengaja terhadap orang wanita yang sebenarnya tidak

�������������
A. Hanafi, Asas-asas..hlm.132.

Hukum Pidana Islam | 51 |


hamil. Dalam kedua contoh tersebut, perbuatan-perbuatan itu
“percobaan-tak-terkenan-absolut”. Akan tetapi kalau contoh
pertama disebut absolute (mustahil) dari segi alat yang dipakai
(midded) maka pada contoh kedua adalah absolut (mustahil) dari
segi perkara yang menjadi oyek (voorwerp).94
Apabila pada peracunan tersebut sebenarnya racun yang
diberikan sudah cukup mencapai dosisnya, akan tetapi orang yang
diracun kuat badannya sedemikian rupa, sehingga ia tidak mati,
maka perbuatan tersebut disebut “percobaan-tak-terkenan-relatif ”
dari segi alat. Atau seseorang mencoba meledakkan gudang alat
senjata dengan bom pembakar; akan tetapi kebetulan alat senjata
tersebut sedang basah. Perbuatan ini disebut :percobaan-tak-
terkenan-relatif ” dari segi perkara yang menjadi obyek jarimah.
Tidak selamanya mudah untuk mengadakan pemisahan yang
jelas antara kemustahilan relatif, dan sering-seringnya hanya
tergantung kepada cara memberikan alasan (redeneering).
Diantara sarjana-sarjana hukum positif ada yang
mempersamakan antara percobaan-tak-terkenan dengan apa yang
disebut “Mangel am Tatbestand” (on teoreikende Delictsinhoud-
kekurangan anasir delik), dan ada pula sarjana lain yang
memisahkannya, antar lain Karni, S.H. dalam bukunya “Ringkasan
Tentang Hukun Pidana”.
Jika seseorang telah menggunakan segala daya upaya yang
diperlukan untuk menggugurkan kandungannya, padahal ia tidak
hamil, maka perbuatan ini termasuk percobaan-tak-terkenan
karena tujuan pembuat tidak tercapai.
Akan tetapi jika seseorang lelaki melarikan seorang perempuan
yang ternyata kemudian telah cukup umur, maka dalam contoh
ini tujuan pembuat tercapai. Hanya saja bagi pembuat tidak ada
fasal yang bisa diterapkan, sebab fasal 332 KUHP Indonesia
ayat 1, hanya mengenai perempuan yang masih dibawah umur.

94
Ibid. hlm.132-134.

| 52 | Hukum Pidana Islam


Menurut Karni, S.H perbuatan tersebut termasuk “Mangel am
Tatbestand”.
Jarimah mustahil atau percobaan tak terkenan menjadi bahan
perdebatan di kalangan sarjana-sarjana hukum positif. Ada yang
berpendirian bahwa perbuatan tersebut bisa dijatuhi hukuman,
sedang menurut lainnya tidak. Menurut aliran obyektif, sudah
barang tentu tidak ada hukuman, sebab tidak ada kepentingan
(hak yang dilanggar). Akan tetapi pada masa sekarang teori tentang
kemustahilan jarimah (jarimah mustahil) tidak lagi dipertahankan,
dan aliran subyektif lebih banyak diikuti.
Aliran subyektif menekankan kepada tujuan yang dikandung
dalam diri pembuat dan bahaya yang ditimbulkannya. Apabila
perbuatan-perbuatan yang dilakukannya sudah cukup jelas
menunjukkan kepada niatan pembuatan, maka berarti ia telah
melakukan percobaan jarimah, dan oleh karenanya ia berhak
dijatuhi hukuman perbuatan percobaan .
Pendirian aliran subyektif dalam jarimah mustahil sama
dengan Syari’at Islam, sebab menurut Syari’at Islam tidak
menjadi soal, apakah kemustahilan sesuatu jarimah karena alat
yang dipakai atau karena perkara yang menjadi tujuannya.
Selama perbuatan pembuat berupa ma’siat maka pembuat harus
mempertanggungjawabkannya. Sudah barang tentu pelanggaran
(terhadap si korban itu sendiri merupakan perbuatan ma’siat,
tanpa mempertimbangkan, apakah bisa mewujudkan hasil yang
dicarinya atau tidak). Selama niatan salahnya sudah nampak dan
menjelma pada perbuatan-perbuatan nyata yang telah dilakukan
oleh pembuat, dengan maksud untuk melaksanakan jarimahnya,
maka artinya pembuat tersebut sudah berhak akan hukumannya.
Kalau perbuatannya tersebut tidak manimbulkan sesuatu derita
pada diri si korban atau jarimah yang dikehendaki itu mustahil
dilaksanakan, maka untuk menilai keadaan demikian, diserahkan
pada pertimbangan hakim, dan ia bisa menjatuhkan hukuman
dengan disesuaikan kepada keadaan pembuat dan perbuatannya.

Hukum Pidana Islam | 53 |


| 54 | Hukum Pidana Islam
BAB IV
BAB IV
TURUT SERTA BERBUATBERBUAT
TURUT SERTA JARIMAH FI AL-
JARIMAH (AL-ISTIRAK
(AL-ISTIRAK FI AL-JARIMAH)
JARIMAH)

A. Pengertian dan Bentuk Penyertaan


Pengertian turut serta berbuat jarimah sesungguhnya berbeda
A. Pengertian dan Bentuk Penyertaan
dengan berserikat dalam melakukan tindak pidana. Turut serta
Pengertian turut serta berbuat jarimah sesungguhnya berbeda
berbuat
denganjarimah dapat
berserikat dalamterjadi tanpa tindak
melakukan menghendaki ataupun
pidana. Turut sertabersama-
berbuat
jarimah
sama dapat terjadi
menghendaki hasil tanpa menghendaki
dari perbuatan tindakataupun bersama-sama
pidana atau perbuatan
menghendaki
yang dimaksud.hasil dari perbuatan
Sedangkan tindak dalam
berserikat pidana jarimah
atau perbuatan yang
ialah sama-
dimaksud. Sedangkan berserikat dalam jarimah
sama melakukan dan menghendaki, demikian juga hasil dari ialah sama-sama
melakukan
perbuatan dan menghendaki,
pidana juga sama-sama demikian juga hasil
dikehendaki. 1 dari turut
Dalam perbuatan
serta
pidana juga sama-sama dikehendaki. 95
Dalam turut serta
kita melihat adanya pelaku utama dan adanya pembantu, sedang pada kita melihat
adanya pelaku utama dan adanya pembantu, sedang pada berserikat
berserikat keduanya merupakan pelaku utama.
keduanya merupakan pelaku utama.
Adapun
Adapundasar
dasarturut
turutserta
serta dan
dan berserikat
berserikat dalam tindak pidana
dalam tindak pidana
adalah
adalah hadisriwayat
hadis riwayatDaruqutni
Daruqutniyang
yangdikutip
dikutip oleh
oleh Syaukani:
Syaukani:

96
2

Jika ada seseorang yang menahan orang dan ada orang lain yang
Jika ada seseorang yang menahan orang dan ada orang lain
membunuhnya, maka bunuh
yang membunuhnya, makaorang yang
bunuh membunuh
orang dan kurunglah
yang membunuh dan
orang yang menahan
kurunglah orang yang menahan

Suatu jarimah ada kalanya diperbuat oleh seorang diri dan ada
kalanya dilakukan oleh beberapa orang. Apabila diperbuat oleh
95
Haliman, Hukum Pidana Islam Menurut Adjaran Ahli Sunnah wal
beberapa orang, maka bentuk-bentuk kerjasama antara mereka dapat
Djamaah,Jakarta: Bulan Bintang, 1967, hlm.225.
dirumuskan
96
Asy-Syaukani, Nail al-Authar, (Mesir: Dar al-Bab al-Halabi wa
sebagai berikut:
Awladuhu), Juz. V: 169.

1
Haliman, Hukum Pidana Islam Menurut Adjaran Ahli Sunnah wal
| 55 hlm.225.
Djamaah,Jakarta: Bulan Bintang, 1967, |
2
Asy-Syaukani, Nail al-Authar, (Mesir: Dar al-Bab al-Halabi wa
Awladuhu), Juz. V: 169.
Suatu jarimah ada kalanya diperbuat oleh seorang diri dan ada
kalanya dilakukan oleh beberapa orang. Apabila diperbuat oleh
beberapa orang, maka bentuk-bentuk kerjasama antara mereka
dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Pembuat melakukan jarimah bersama-sama orang lain
(memberikan bagiannya dalam melaksanakan jarimah).
Artinya secara kebetulan melakukan bersama-sama.
2. Pembuat mengadakan persepakatan dengan orang lain
untuk melakukan jarimah.
3. Pembuat menghasut (menyuruh) orang lain untuk
memperbuat jarimah.
4. Memberi bantuan atau kesempatan untuk melakukannya
jarimah dengan berbagai-bagai cara tanpa turut
berbuat.97
Untuk membedakan antara turut berbuat langsung dengan
turut berbuat tidak langsung, maka dikalangan fuqaha diadakan
dua pengolongan yaitu:
1. Orang yang turut berbuat secara langsung dalam
melaksanakan jarimah disebut “Syarik mubasyir”, dan
perbuatannya disebut “ Isytirak mubasyir”.
2. Orng yang tidak turut berbuat secara lngsung dalam
melaksanakan jarimah disebut “Syarik mutasabbib”, dan
perbuatannnya disebut “isytirak ghairul mubasyir” atau
“Isytirak bit-tasabbubi”.98
Perbedan antara kedua orang tersebut ialah kalau orang
pertama menjadi kawan nyata dalam melaksanakan jarimah, sedang
orang kedua menjadi sebab adanya jarimah, baik karena janji-

97
Abd Qadir Awdah, at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami (Beirut: Dar al-Qalam
al-Arabi, t.t.), Juz I hlm. 487.
98
A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1967), hlm.136-137.

| 56 | Hukum Pidana Islam


janji atau menyuruh atau (menghasut) atau memberikan bantuan,
tetapi tidak ikut serta secara nyata, dalam melaksanakannnya.99
Pada KUHP di Indonesia pasal 55, kita dapati bentuk-bentuk
kerjasama dalam melaksanakan jarimah, yaitu: melakukan,
menyuruh melakukan, turut melakukan dan menghasut, yang
dijatuhi hukuman sebagai pembuat. Pada pasal 56, kita dapati
bentuk lain yang diancam sebagai pembantu melakukan jarimah,
yaitu: membantu waktu kejahatan dilakukan, dan memberi
kesempatan, ikhtiar dan keterangan untuk melakukan kejahatan.
Sering-sering orang yang tidak berbuat menjadi perencana (otak)
kejahatan (intellectuele dader). Disebut juga “Pembuat tidak
langsung” (middelijke dader) atau peminjam tangan. Orang yang
berbuat sendiri sering-sering hanya menjadi kaki tangan atau
alat (werktuig), disebut juga “ Pembuat-langsung”(on middelijke
dader).100
Pembagian tersebut nampaknya terlalu intelektualistis dan
formalistis. Dalam praktek tidak mudah untuk membedakan suatu
bentuk kerjasama dengan bentuk lainnya, sebab ada juga bentuk-
bentuk tengah (tusschenvormen). Tidak mengherankan kiranya
kalau timbul keinginan untuk menyederhanakan pembagian yaitu
pembuat jarimah (daders) di satu pihak dan di pihak lain mereka
yang dengan jalan apapun juga telah memberikan kerjasamanya
dalam mewujudkan sesuatu jarimah.

B. Pandangan Fuqaha tentang Turut Serta Berbuat Jarimah


Para fuqaha hanya membicarakan hukum “turut berbuat
langsung” (isytirak mubasyir), sedang hukum “turut-berbuat-
tidak-langsung” (isytirak ghairu mubasyir) boleh dikata tidak

99
Ibid.
100
Moeljatno, Asas-asas hukum Pidana,( Jakarta: Rineka Cipta, 1993),
hlm. 63; Mas’ad Ma’sum, Hukum Pidana, Yogyakarta, 1990, hlm. 84.

Hukum Pidana Islam | 57 |


disinggung-singgung. Boleh jadi hal ini disebabkan karena
menurut aturan Syari’at Islam, hukuman yang telah ditentukan
hanya dijatuhkan atas orang yang turut berbuat dengan langsung,
bukan atas orang yang turut berbuat tidak langsung dan aturan
tersebut diterapkan dengan teliti sekali oleh imam Abu Hanifah.
Akan tetap fuqaha selainnya mengecualikan jarimah
pembunuhan dan penganiayaan dan ketentuan aturan umum
tersebut yakni untuk kedua macam jarimah ini, baik pembuat
langsung ataupun pembuat tidak langsung dijatuhi hukuman.
Alasannya ialah karena kedua jarimah tersebut bisa dikerjakan
dengan langsung dan tidak langsung, sesuai dengan sifat-sifat
jarimah itu. Kalau kita berpegangan seluruhnya dengan aturan
tersebut maka akibatnya banyak pembuat tidak langsung yang
terhindar dari hukuman, sedang ia sebenarnya turut serta
melaksanakan jarimah tersebut seperti pembuat langsung juga.101
Jadi berdasarkan aturan tersebut diatas pembuat tidak langsung
(peminjam tangan atau orang yang menghasud umpamanya)
apabila turut melakukan jarimah yang diancamkan hukumam
tertentu (tidak ada batas terrendah atau batas tertinggi), maka
tidak dikenakan dengan hukuman itu sendiri, sebab hukuman
tersebut hanya diancamkan kepada pembuat langsung saja.
Dengan perkataan lain turut berbuat langsung termasuk jarimah
ta’zir, baik perbuatan yang dikerjakannya itu termasuk jarimah
hudud atau qisas atau diyat.
Dari sini kita dapat memahami mengapa para fuqaha tidak
membicarakan secara khusus terhadap soal “turut-berbuat-tidak-
langsung”, sebab perbuatan tersebut tidak termasuk jarimah
hudud-qisas, yaitu jarimah yang mendapat perhatian utama dari
mereka.

101
Abu Zahrah, al-Jarimah wa al-Uqubah fi al-Fiqh al-Islam,(Mesir: Dar
al-Bab al-Halabi wa Awladuhu, t.t.) I: 362-364.; A. Hanafi, Asas..hlm.138.

| 58 | Hukum Pidana Islam


Meskipun demikian, perbutan tersebut disinggung-singgung
juga oleh mereka ketika membicarakan jarimah pembunuhan dan
penganiayaan, sebab jarimah-jarimah ini bisa terjadi dengan jalan
berbuat langsung atau tidak langsung. Dari pembicaraan mereka
tersebut dapat diambil aturan-aturan tentang perbuatan ikut serta
dan pada umumnya aturan-aturan tersebut tidak kalah dengan
sistem terbaru pada hukum pidana positif.

C. Turut Berbuat Secara Langsung


Pada dasarnya turut berbuat langsung baru terdapat apabila
orang-orang yang memperbuat jarimah-jarimah dengan nyata
lebih dari seorang atau yang biasa disebut dikalangan sarjana-
sarjana hukum positif dengan nama “berbilangnya pembuat asli”
(mededaders).
Turut berbuat langsung dapat terjadi, manakala seorang
melakukan sesuatu perbuatan yang dipandang sebagai permulaan
pelaksanaan jarimah yang sudah cukup disifati sebagai ma’siat,
yang dimaksudkan untuk melaksanakan jarimah itu. Dengan
istilah sekarang ialah apabila ia telah melakukan percobaan, baik
jarimah yang diperbuatnya itu selesai atau tidak, karena selesai
atau tidaknya sesuatu jarimah tidak mempengaruhi kedudukannya
sebagai orang yang turut berbuat langsung. Pengaruhnya hanya
terbatas pada besarnya hukuman, yaitu apabila jarimah yang
diperbuatnya selesai, sedang jarimah itu berupa jarimah had,
maka pembuat dijatuhi hukuman had, dan kalau tidak selesai
maka hanya dijatuhi hukuman ta’zir.102
Akan tetapi para fuqaha mempersamakan hukuman beberapa
bentuk turut berjuang tidak langsung dengan turut berjuang

102
Abd Aziz Amir, at-Ta’zir fi Syari’ati al-Islamiyyah, Beirut: Dar al-Fikr,
1969), hlm. 122.

Hukum Pidana Islam | 59 |


langsung, meskipun pada bentuk pertama tersebut (tidak langsung)
pembuat tidak turut melakukan sendiri unsur materi jarimah.
Berdasarkan itu, maka kedua contoh berikut ini, pembuat dijatuhi
hukuman sebagai orang yang turut berbuat langsung.
Pertama: orang yang memperbuat jarimah sendirian atau
bersama-sama orang lain. Jika masing-masing dari tiga orang
mengarahkan tembakan kepada korban dan mati karena tembakan
itu, maka ketiga orang tersebut dianggap melakukan pembunuhan.
Demikian pula apabila mereka bersama-sama mengambil barang
orang lain, masing-masing dianggap pencuri.
Dalam pada itu, fuqaha mengadakan pemisahan apakah
kerjasama dalam mewujudka jarimah terjadi secara kebetulan,
atau memang sudah direncanakan bersama-sama sebelumnya.
Keadaan pertama disebut “tawafuq” dan keadaan kedua
disebut”tamalu”.103
Pada “tawafuq” niatan apa peserta dalam jarimah tertuju untuk
memperbuatnya, tanpa ada kesepakatan sebelumnya melainkan
masing-masing peserta berbuat karena dorongan pribadinya
dan fikirannya yang timbul seketika itu, seperti yang sering-
sering terjadi pada kerusuhan-kerusuhan dalam demonstrasi atau
perkelahian secara keroyokan.104
Pada “tamalu” pada peserta telah bersepakat untuk memperbuat
sesuatu jarimah itu dan menginginkan bersama terwujudnya hasil
jarimah itu, serta saling membantu dalam melaksanakannya.
Apabila ada dua orang bersepakat untuk membunuh orang ketiga,
kemudian kedua-duanya pergi, lantas yang satu mengikat korban
dan yang lain memukul kepala hingga mati, maka kedua-duanya
bertanggung jawab atas kematian tersebut.105

103
Ahmad Hanafi, Asas..hlm. 140.
104
Jaih Mubarak, Kaidah hlm. 24
105
Abd Qadir Awdah, at-Tasyri’ al-Jinai’ i , juz. I, hlm. 360.

| 60 | Hukum Pidana Islam


mengikat korban dan yang lain memukul kepala hingga mati,
kedua-duanya bertanggung jawab atas kematian tersebut.11
Menurut kebanyakan fuqaha ada perbuatan pertanggungan
peserta antara “tawafuq”
Menurut kebanyakandengan
fuqaha“tamalu”. Pada
ada perbuatan tawafuq,
pertanggungan
g-masing jawab pesertahanya
peserta antara “tawafuq” dengan jawab
bertanggung “tamalu”.atas
Pada tawafuq,
akibat
masing-masing peserta hanya bertanggung jawab atas akibat
atannnya saja, dan tidak bertanggung jawab atas perbuatan
perbuatannnya saja, dan tidak bertanggung jawab atas perbuatan
lain. Hal ini sesuai
orang dengan
lain. Hal qaidah:
ini sesuai dengan qaidah:


106
12

Setiap orang yang berbuat jarimah secara tawafuq dituntut


9 berdasarkan perbuatannya
Ahmad Hanafi, Asas..hlm. 140. masing-masing.
10 AkanKaidah
Jaih Mubarak, tetapi pada 24 para peserta harus mempertanggung­
hlm.tamalu,
11
Abd Qadir Awdah, at-Tasyri’ al-Jinai’ isebagai
jawabkan akibat perbuatannya keseluruhan.
, juz. I, hlm. 360. Jika
12
Ibid. korban mati maka masing-masing peserta dianggap sebagai
pembunuh.107
Menurut imam Abu Hanifah, antara tawafuq dengan tamalu’
sama saja hukumannya, yaitu masing-masing peserta hanya
bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Jadi dalam keadaan
tamalu’ seperti pada contoh diatas, yang satu dipersalahkan karena
mengikat dan yang lain dipersalahkan karena memukuli.
Pendirian Syari’at Islam dalam persoalan turut berbuat
langsung sama dengan pendirian mengenai soal “jarimah
percobaan”, yakni menghukum berdasarkan niatan si pembuat.
Pendirian tersebut sama dengan pendirian aliran subyektif yang
banyak dipakai pada hukum-hukum positif modern, di antaranya
ialah hukum pidana RPA.108
Yurisprudensi di Indonesia pada mulanya mengambil pendirian
aliran obyektif. Akan tetapi kemudian terjadi perubahan, dengan
timbulnya suatu macam teori campuran (gemengde theorie)

106
Ibid.
107
Jaih Mubarak, Kaidah, hlm.25. Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum
Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hlm.139-141.
108
A. Hanafi, Asas-..hlm.141.

Hukum Pidana Islam | 61 |


antara teori obyektif. Teori campuran melihat kepada macamnya
perbuatan yang diperbuat dan kepada perjanjian yang diadakan
antara peserta dalam jarimah. (Jongkers 109).
Kedua: Juga dipandang sebagai turut berbuat langsung
peserta yang menjadi sebab (tidak langsung), apabila pembuat
langsung hanya menjadi kaki tangannya semata-mata. Pendirian
ini disetujui oleh para fuqaha, akan tetapi dalam penerapannnya
kadang-kadang terdapat perbedaan pendapat.
Jika seseorang menyuruh anak di bawah umur atau orang yang
mempunyai i’tikad baik untuk membunuh orang lain, kemudian
suruhan itu dilaksanakannya, maka orang yang menyuruh itu
dipandang sebagai pembuat langsung. Menurut imam-imam
Malik, Syafi’i, dan Ahmad, meskipun itu tidak melaksanakan
sesuatu perbuatan namun dalam keadaan demikian, orang yang
disuruh hanya merupakan alat semata-mata.109
Akan tetapi menurut imam Abu Hanifah, orang yang
menyuruh tersebut tidak dianggap sebagai pembuat langsung,
kecuali apabila suruhannya itu merupakan paksaan bagi orang
yang melaksanakan. Kalau tidak sampai kepada tingkatan paksaan
(ikrah) maka perbuatannnya tersebut (suruhan) dianggap sebagai
turut berbuat tidak langsung (bittasabbubi = si pembantu) dan
hukumannya tidak sama dengan orang yang melaksanakannya
langsung.
Di kalangan hukum positif dan sarjana-sarjana hukum positif
belum ada kesepakatan tentang apakah kawan berbuat tidak
langsung dapat dianggap sebagai pembuat langsung (dader).
Aturan pidana RPA sebelum tahun 1904 mengikuti pendirian
tersebut dimana seorang kepala komplotan yang menyuruh anak
buahnya untuk membunuh orang lain dianggap sebagai pembuat
asli (dader), bukan lagi sebagai kawan berbuat (mede dader). Akan
tetapi sesudah tahun 1904, orang yang menyuruh tersebut hanya

109
Haliman, Hukum Pidana Islam, hlm. 228-229.

| 62 | Hukum Pidana Islam


dianggap sebagai kawan berbuat, meskipun praktek peradilan
RPA sekarang masih menganggap kawan berbuat tidak lngsung
sebagai pembuat langsung (orang yang melakukan). Hal tersebut
mungkin dikarenakan kuatnya aliran subyektif dan banyaknya
orang yang mempertahankan aliran tersebut. Dengan demikian
seolah-olah sistem peradilan RPA mengikuti pendirian fuqaha.110

D. Hukuman Para Peserta Langsung


Menurut Syari’at Islam banyaknya pembuat jarimah tidak
mempengaruhi besarnya hukuman yang dijatuhkan atasnya,
seperti halnya kalau masing-masing dari mereka melakukan
jarimah sendiri, meskipun masing-masingnya ketika bersama-sama
dengan lainnya tidak melakukan semua bagian-bagian perbuatan
yang telah menimbulkan akibat yang terjadi. Namun, masing-
masing peserta dalam jarimah bisa terpengaruh oleh keadaan
dirinya sendiri-sendiri, seperti cara terjadinya perbuatan, keadaan
pembuat dan niatnya. Boleh jadi perbuatan yang sama dianggap
sebagai penganiayaan bagi seseorang, sebagai pembelaan diri bagi
pembuat kedua, sebagai tindakan peringatan bagi pembuat ketiga
dan seterusnya.111
Atau mungkin salah seorang pembuat gila, yang lain sehat
fikirannya; lainnya sengaja berbuat, dan yang lain lagi berbuat
karena salah sangka (kekhilafan). Semua keadaan tersebut
mempengaruhi kepada berat ringannya hukuman, sebab orang
yang membela diri atau memberi peringatan tidak dapat dihukum,
asal tidak melebihi batas-batas yag diperlukan, dan orang yang
khilaf lebih ringan daripada orang yang sengaja berbuat.
Akan tetapi pengaruh keadaan-keadaan tersebut hanya
terbatas pada orang yang bersangkutan, artinya tidak menimbulkan

110
A. Hanafi, Asas, hlm. 141.
111
Ibid. hlm. 142. Abd Qadir Awdah, at-Tasyri’, I: 372.

Hukum Pidana Islam | 63 |


pengaruh pada pembuat yang lain (kawan berbuat) yang tidak
mengalami keadaan yang sama.
Kalau seseorang melukai orang lain dengan maksud untuk
membela diri, kemudian datang orang ketiga dengan sengaja
membunuh orang lain tersebut, kemudian orang itu mati, atas
perbuatannya, maka pembuat pertama tidak dijatuhi hukuman,
karena pembelaan diri memperbolehkan ia berbuat demikian,
sedangkan pembuat kedua dijatuhi hukuman pembunuhan sengaja,
karena perbuatannnya itu sesuatu kesalahan yang disengajakan,
dan hukumannya itu tidak dapat dipengaruhi oleh terbarengnya
dia dengan orang yang boleh bertindak terhadap korban.112
Begitulah aturan pokok yang telah disepakati oleh para
fuqaha. Nampaknya di kalangan fuqaha terdapat perbedaan
pendapat mengenai penerapan aturan tersebut atas jarimah-
jarimah hudud dan qisas. Akan tetapi apabila diteliti lebih lanjut
sebenarnya yang menjadi pangkal perbedaan pendapat tersebut
ialah penerapan aturan lain, yaitu aturan tentang “menghindari
hukuman had, karena ada syubhat”, dan perbedaan pendapat
tersebut hanya terbatas pada peristiwa yang boleh jadi perbuatan
salah seorang kawan berbuat itulah yang menimbulkan akibat
yang dapat dihukum, bukan perbuatan kawan berbuat lainnya,
seperti peristiwa kematian karena perbuatan dua orang yang satu
sengaja membunuh, sedang yang lain karena kekhilafan semata-
mata, atau yang satu sudah dewasa dan yang lain masih dibawah
umur, atau yang satu adalah penyerang (penganiaya) dan yang lain
adalah dokter. Dalam kasus ini kawan langsunglah yang paling
bertanggung jawab, yakni orang yang sengaja membunuhnya.113
Hal ini sesuai kaidah:

112
Haliman, Hukum Pidana Islam, hlm. 228
113
Jaih Mubarak, Kaidah, hlm.27

| 64 | Hukum Pidana Islam


nganiaya) dan yang lain adalah dokter. Dalam kasus ini kawan
gsunglah yang paling bertanggung jawab, yakni orang yang
ngaja membunuhnya.19 Hal ini sesuai kaidah:

114
20

Menurut sebagian fuqaha kegaduhan (kesamaran) yang


timbul, yaitu perbuatan siapa peristiwa kematian itu dipertalikan,
menimbulkan syubhat, yang karenanya kawan berbuat lainnya
18 tidak Hukum
Haliman, dikenakan hukuman
Pidana Islam,(jadi
hlm.seluruhnya).
228 Menurut fuqaha
lainnya pada peristiwa tersebut tidak ada kegaduhan (syubhat)
19
Jaih yang bisa Kaidah,
Mubarak, menghapuskan
hlm.27 hukuman had. Dan masing-masing
pembuat dijatuhi hukuman yang semestinya.115
20 Jadi perbedaan
Ibn Nujaim, al-Asybahpendapat tersebut tidak
wa-An-Nadzair ala terletak
Mazhabpada
Abiasas “tidak
Hanifah
adanya pengaruh keadaan seseorang atas
Nu’man, (Kairo: al-Muassasat ar-Risalah, 1968), hlm. 163. kawan berbuatnya”,
melainkan atas asas “menghindari hukuman karena ada syubhat”,
meskipun dalam hasil praktisnya bagi yang memakai asas terakhir
tersebut (syubhat), ialah bahwa kawan berbuatnya dalam jarimah
terpengaruh juga oleh keadaan kawannya, baik keadaan perbuatan
itu sendiri atau keadaan pembuat dan niatnya.
Asas “tidak adanya pengaruh keadaan seeorang atas kawan
berbuatnya” yang dikemukakan oleh Syari’at sesuai sekali dengan
sistem hukum pidana RPA sebagai sistem yang banyak dipakai pada
hukum-hukum positif sekarang. Fasal 39 KUHP RPA menyatakan
sebagai berikut: “Apabila terdapat keadaan-keadaan tertentu pada
salah satu pembuat yang mengharuskan adanya perubahan pada sifat
jarimah atau hukuman baginya, maka pengaruh keadaan tersebut
tidak berlaku pada orang lain dari pembuat-pembuat tersebut.
Demikian juga halnya, apabila mengharuskan adanya perubahan
pada niatan pembuat jarimah atau cara mengetahui jarimah itu.
Sistem yang sama juga dipakai dalam KUHP Indonesia
sebagaimana sistem yang tercantum dalam pasal 58; “Kedaan diri

114
Ibn Nujaim, al-Asybah wa-An-Nadzair ala Mazhab Abi Hanifah an-
Nu’man, (Kairo: al-Muassasat ar-Risalah, 1968), hlm. 163.
115
Mahmud Syaltut, Islam, Aqidah wa Syari’ah, (Kairo: Dar al-Arabi,
t.t.), hlm.381.

Hukum Pidana Islam | 65 |


yang menyebabkan orang tidak dapat dihukum, dikurangi atau
ditambahi hukumannnya, waktu melakukan undang-undang
pidana hanyalah boleh diperhatikan terhadap si pembuat atau si
pembantu yang ada dalam keadaan itu”.116

E. Turut Berbuat Tidak Langsung


Turut-berbuat-tidak-langsung ialah setiap orang yang
mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan sesuatu
perbuatan yang dapat dihukum, atau menyuruh (menghasut)
orang lain atau memberikan bantuan dalam perbuatan tersebut
dengan disertai kesengajaan dalam persepakatan dan menyuruh
serta memberi-bantuan.117
Dari keterangan tersebut kita mengetahui unsur-unsur turut
berbuat-tidak-langsung, yaitu: 1. Perbuatan yang dilakukan
dapat dihukum, artinya ada nas yang mengharamkan 2. Niatan
dari orang yang turut berbuat, 3. Cara mewujudkan perbuatan
tersebut yaitu mengadakan persepakatan, atau menghasut, atau
menyuruh, atau membantu.118 Masing-masing unsur tersebut akan
dijelaskan sebagai berikut:
Unsur Pertama, Perbuatan dimana kawan berbuat-tidak-
langsung memberi bagian dalam pelaksanaannya, tidak diperlukan
harus selesai dan juga tidak diperlukan bahwa pembuat-asli
(pembuat langsung) harus dihukum pula. Jadi pada jarimah
percobaan, kawan berbuat-tidak-langsung dapat pula dihukum.
Demikian pula, apabila pembuat asli tidak dapat dihukum,
misalnya karena masih dibawah umur, atau gila atau karena
mempunyai i’tikad baik.119

116
KUHP pasal 58.
117
Haliman, Hukum Pidana Islam, hlm. 227; A. Hanafi, Asas, hlm. 142.
118
Abd Qadir Awdah, at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami, juz. I hlm. 369.
119
A. Hanafi, Asas-asas, hlm. 144.

| 66 | Hukum Pidana Islam


Unsur Kedua, dengan persepakan atau hasutan atau bantuan,
dimaksudkan oleh kawan berbuat-tidak-langsung untuk terjadinya
sesuatu jarimah tertentu. Kalau tidak ada jarimah tertentu yang
dimaksudkan, maka ia dianggap turut berbuat pada setiap jarimah
yang terjadi, apabila dimungkinkan oleh niatnya. Kalau jarimah
yang terjadi bukan yang dimaksudkannya, maka tidak ada “turut-
berbuat”.
Unsur Ketiga, Turut berbuat-tidak-langsung bisa terjadi
dengan cara melihat bagaimana cara mewujudkannya, seperti
dengan jalan kesepakatan, hasutan atau memberi bantuan.

F. Bentuk Turut Serta Jarimah Tidak Langsung


Turut berbuat-tidak-langsung bisa terjadi dengan berbagai
cara, seperti dengan jalan kesepakatan, hasutan atau memberi
bantuan.

a. Persepakatan

Persepakatan bisa terjadi karena adanya saling memahami


dan karena kesamaan kehendak untuk memperbuat jarimah.
Kalau tidak ada persepakatan sebelumnya, maka tidak ada
“turut-berbuat”. Jadi tidak ada “turut-berbuat” kalau sudah ada
persepakakatan sebelumnya, tetapi bukan atas jarimah yang terjadi
dan dikerjakan bersama.
Jika seseorang bersepakat dengan orang lain untuk mencuri
kambing, kemudian pembuat-langsung memukul pemilik kambing
atau mencuri kambing bukan milik orang yang dituju, maka disini
tidak ada persepakatan atas jarimah yang terjadi. Akan tetap tidak
adanya “turut-berbuat” tidak berarti bahwa persepakatan itu
tidak dihukum, sebab persepakatan itu sendiri sudah merupakan

Hukum Pidana Islam | 67 |


perbuatan ma’siat. Baginya ada sanksi berupa hukuman ta’zir dan
diharamkan hukuman had.120
Untuk terjadinya “turut-berbuat”, sesuatu jarimah harus
merupakan akibat persepakatan. Jika seseorang bersepakat
dengan orang kedua untuk membunuh orang ketiga, kemudian
orang ketiga tersebut telah mengetahui apa yang akan diperbuat
terhadap dirinya dan oleh karena itu ia pergi ke tempat orang
kedua tersebut. Dan ia (orang ketiga) itu hendak membunuhnya
terlebih dahulu, akan tetapi orang kedua itu dapat membunuh
orang ketiga terlebih dahulu karena untuk membela diri, maka
kematian orang ketiga tersebut tidak dianggap sebagai akibat
persepakatan, melainkan karena akibat pembelaan diri dari orang
kedua, yaitu orang yang mestinya akan melakukan pembunuhan
sendiri terhadap orang ketiga.121
Meskipun terhadap orang kedua tidak dijatuhi hukuman
karena pembelaan diri tersebut namun ia dapat dihukum
karena persepakatan antara seseorang dengan orang lain, sebab
persepakatan jahat itu sendiri adalah suatu perbuatan ma’siat
yang dapat dihukum, baik dapat dilaksanakan atau tidak.
Perbuatan ma’siat dapat dihukum ta’zir dan hukuman itu harus
mempertimbangkan nilai kemaslahatan.122
Dalam hal “turut-berbuat-tidak-langsung”, imam Malik
mempunyai pendapat yang menyendiri sebagaimana dikutip
oleh Ahmad Hanafi, yaitu apabila terjadi persepakatan antara
seseorang dengan orang lain, dimana yang satu menjadi pembuat
yang langsung, sedang yang lain tidak berbuat, tetapi menyaksikan

120
Abdurahman al-Maliki, Nidzam al-Uqubah, (Beirut: Dar al-Amah,
1990), 248.
121
A. Hanafi, Asas-asas, hlm. 145-146.
122
Djazuli, Fiqh Jinayah: Upaya Menangulangi Kejahatan Dalam
Islam,(Jakarta: Rajawali Press,2000), 251.

| 68 | Hukum Pidana Islam


pelaksanaan jarimah, maka orang yang menyaksikan tersebut
dianggap sebagai “kawan-berbuat-langsung” (made dader).123

b. Menyuruh (menghasut: tahridl)

Yang dimaksud dengan menghasut ialah membujuk orang lain


untuk memperbuat jarimah, dan bujukan itu menjadi pendorong
untuk diperbuatnya jarimah, walaupun tidak ada hasutan
atau bujukan, maka bujukan tersebut tidak dikatakan sebagai
pendorongnya. Baik bujukan itu berpengaruh atau tidak terhadap
adanya jarimah, namun bujukan itu sendiri adalah suatu ma’siat
yang bisa dijatuhi hukuman.124
Kalau orang yang mengeluarkan perintah (bujukan) mempunyai
kekuasaan atas orang yang diperintah , seperti orang tua terhadap
anaknya atau guru terhadap muridnya, maka perintah tersebut
bisa dianggap sebagai paksaan. Kalau yang diperintah itu tidak di
bawah umur, tidak dungu atau gila, dan yang memerintah tidak
mempunyai kekuasaan atasnya, maka perintahnya itu dianggap
bujukan biasa, yang boleh jadi menimbulkan jarimah atau tidak.
Dengan demikian hukum qisas berlaku bagi orang yang
menyuruh berbuat sebagai ganti rugi orang yang melakukan atau
mubasyir. Oleh karena itu berdasarkan kenyataan ini orang yang
menyuruh dianggap pelaku tindak pidana mukalaf mubasyir,
walaupun dalam kenyataannya ia tidak turut ambil bagian atas
perbuatan yang disuruhnya secara fisik.125

c. Memberi Bantuan (I’anah)

Orang yang memberi bantuan kepada orang lain dalam


memperbuat jarimah dianggap sebagai kawan-berbuat-tidak-

123
A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, hlm. 146.
124
Ibid.Haliman; Hukum Pidana Islam, hlm. 232.
125
Haliman, Hukum Pidana Islam..hlm.232.

Hukum Pidana Islam | 69 |


langsung, meskipun tidak ada persepakatan untuk itu sebelumnya,
seperti mengamat-amati jalan untuk memudahkan pencurian bagi
orang lain. Perbedaan antara memberi bantuan dengan pembuat
asli ialah kalau pembuat-asli (mubasyir) adalah orang yang
memperbuat atau mencoba memperbuat pekerjaan yang dilarang:
maka pemberi bantuan tidak berbuat atau mencoba berbuat
melainkan hanya menolong pembuat asli dengan perbuatan-
perbuatan yang tidak ada sangkut-pautnya dengan perbuatan-
perbuatan yang dilarang ataupun sebagai pelaksanaan terhadap
perbuatan tersebut.126

G. Pertalian Pembuat Langsung Dan Tidak Langsung


(Mubasyarah Bisabab)
Pertalian antara kedua macam perbuatan tersebut apabila
kumpul keduanya akan menimbulkan beberapa kemungkinan
sebagai berikut:
1. Perbuatan-tidak-langsung lebih kuat daripada perbuatan
langsung, dan hal ini bisa terjadi apabila perbuatan
langsung bukan perbuatan yang berlawanan dengan
hukum (pelanggaran hak), seperti persaksian palsu yang
mengakibatkan adanya putusan hakim untuk menjatuhkan
hukuman mati atas diri tersangka. Persaksian palsu adalah
perbuatan tidak langsung.
2. Perbuatan langsung lebih kuat daripada perbuatan tidak
langsung. Hal ini terjadi apabila perbuatan langsung
dapat memutus daya kerja perbuatan tidak langsung, dan
perbuatan tidak langsung itu sendiri tidak mengharuskan
menimbulkan akibat yang terjadi. Seperti orang yang

126
Abu Zahrah, al-Jarimah wa al-Uqubah fi al-Fiqh al-Islami,(Beirut: Dar
al-fikr, t.t.) Juz. I. hlm. 361.

| 70 | Hukum Pidana Islam


menjatuhkan orang lain dalam jurang, kemudian datang
sebab kalau orang sekiranya
ketiga tidak ada pemaksa
untuk membunuh orang tentunya orang
yang ada dalam
jurang itu. tetapi juga kalau sekiranya tidak ada
kedua tidak berbuat,
3. Kedua perbuatan tersebut seimbang, yaitu apabila daya
orang kedua, belum tentu paksaan orang pertama akan
kerjanya sama kuatnya, seperti memaksa orang lain untuk
33
menimbulkanmelakukan
pembunuhan tersebut.
pembunuhan. Dalam soal ini, pemaksa itulah
Akan tetapi yang menggerakkan
dalam pembuat(pembedaan-pembedaan)
penerapan langsung melakukan jarimah,
sebab kalau sekiranya tidak ada pemaksa tentunya orang
but terdapat perbedaan dikalangan
kedua tidak fuqaha,
berbuat, tetapi seperti
juga kalau apabila
sekiranya ada
tidak ada
g menahan orangorang lain kedua,
(orangbelum
kedua)tentu paksaan
agar bisa orang
membunuhpertama orang
akan
menimbulkan pembunuhan tersebut. 127
a. Akan tetapi dalam penerapan (pembedaan-pembedaan)
Menuruttersebut
Imam terdapat perbedaan
Abu Hanifah dandikalangan fuqaha,pertama
Syafi,i orang seperti apabila
(yang
ada orang menahan orang lain (orang kedua) agar bisa membunuh
ahan) adalah peserta yang memberi bantuan, bukan pembuat asli
orang ketiga.
sung). AlasannyaMenurutialah
Imam bahwa orangdan
Abu Hanifah yang menahan
Syafi,i meskipun
orang pertama (yang
adi sebab menahan) adalah peserta
bagi kematian orangyang memberi
kedua, bantuan,
namun bukankedualah
orang pembuat
asli (langsung). Alasannya ialah bahwa orang yang menahan
melakukan pembunuhan
meskipun menjadi langsung, sedang perbuatan
sebab bagi kematian orang kedua, langsung
namun
kuat daripada perbuatan tidak langsung, apabila perbuatansedang
orang kedualah yang melakukan pembunuhan langsung, tidak
perbuatan langsung lebih kuat daripada perbuatan tidak langsung,
sung tdak megharuskan menimbulkan akibat. Alasan Abu
apabila perbuatan tidak langsung tdak megharuskan menimbulkan
fah adalahakibat.
hadisAlasan
Nabi:Abu Hanifah adalah hadis Nabi:

128
34

ada seseorang yang


Jika ada menahan
seseorang yang orang
menahandan adadan
orang orang lain yang
ada orang lain
bunuhnya,yang
makamembunuhnya,
bunuh orang maka bunuh
yang orang yang dan
membunuh membunuh dan
kurunglah
kurunglah orang yang menahan
g yang menahan
127
A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, hlm. 147-148.
Menurut fuqahaAsy-Syaukani,
128 lainnya,Nail
yaitu Imam
al-Authar, Malik
(Mesir: dan al-Halabi
Dar al-Bab beberapawa
Awladuhu), Juz. V: 169.
a mazhab Hambali, baik orang yang menahan maupun yang
bunuh langsung, kedua-duanya dianggap sebagai pembunuh
Hukum Pidana Islam | 71 |
sung. Alasannya adalah bahwa perbuatan –perbuatan lansung
tidak langsung pada contoh di atas sama-sama menimbulkan
Menurut fuqaha lainnya, yaitu Imam Malik dan beberapa
ulama mazhab Hambali, baik orang yang menahan maupun yang
membunuh langsung, kedua-duanya dianggap sebagai pembunuh
langsung. Alasannya adalah bahwa perbuatan –perbuatan lansung
dan tidak langsung pada contoh di atas sama-sama menimbulkan
akibat perbuatan jarimah yaitu kematian si korban. Kalau sekiranya
tidak ada salah satu dari kedua perbuatan itu tentunya tidak akan
terjadi kematian tersebut.129
Jadi letak perbedaan bukan kepada siapa pembantu dan
siapa pembuat asli (langsung), melainkan apakah perbuatan tidak
langsung pada contoh tersebut sama dengan perbuatan langsung
atau tidak.
Apabila kawan berbuat mengurungkan persepakatannya atau
hasutannya atau bantuannya, akan tetapi meskipun demikian
sesuatu jarimah terjadi juga dari pembuat langsung, maka kawan
berbuat tidak dihukum, karena apa yang telah diperbuatnya tidak
menjadi sebab bagi terjadinya jarimah.

H. Pertalian Antara Turut Berbuat dengan Jarimah


Turut berbuat jarimah baru dianggap ada, apabila benar-
benar ada pertalian sebab akibat dengan jarimah yang terjadi.
Kalau bentuk turut berbuat berupa persepakatan, maka jarimah
yang terjadi harus merupakan persepakatan tersebut begitupun
pada cara-cara berbuat lainnya.130
Jika seseorang karena tipu muslihatnya membawa orang lain
pergi kepada suatu tempat tertentu, agar di tempat itu orang
ketiga dapat membunuhnya. Akan tetapi orang ketiga tersebut
tidak muncul di tempat yang telah ditentukan itu, kemudian orang

129
A. Hanafi, Asas-asas, hlm. 148.
130
Abd Qadir Awdah, at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami, juz 1 hlm. 379.

| 72 | Hukum Pidana Islam


pertama membiarkan orang kedua pulang kerumahnya, setelah
orang ketiga mengetahui apa yang terjadi ia kemudian pergi
kerumah orang kedua dan di rumahnya ini orang kedua dibunuh,
oleh orang ketiga. Dalam contoh ini orang pertama tidak dianggap
sebagai kawan berbuat atau pemberi bantuan, karena tidak ada
pertalian sebab-akibat antara perbuatannya dengan jarimah yang
terjadi; meskipun dengan kualifikasi lain orang pertama tersebut
dapat dijatuhi hukuman. Akan tetapi dasar penjatuhan hukuman
bukan karena memberi bantuan tetapi karena ma’siat. Sedang
perbuatan ma’siat menurut Abdul Aziz Amir dapat dijatuhi
hukuman.131

I. Turut Berbuat Tidak Langsung dengan Jalan Tidak Berbuat


Bentuk-bentuk turut berbuat tersebut di atas, yaitu persepa­
katan dan hasutan adalah perbuatan-perbuatan nyata (positif). Akan
tetapi memberi bantuan tidak langsung memang pada hakekatnya
berupa sikap tidak berbuat seperti orang yang melihat segerombolan
penjahat yang membunuh orang lain, kemudian didiamkan olehnya
atau melihat orang membuang anak kecil di sungai besar tetapi ia
diam dan tidak menyelamatkan anak tersebut.132
Menurut kebanyakan fuqaha, berdiam diri pada contoh-
contoh tersebut tidak dianggap memberikan bantuan kepada
pembuat jarimah. Meskipun bisa dianggap bantuan atau perbuatan
tidak langsung kepada jarimah dari segi kepidanaan, sebab
pemberian bantuan yang dapat dihukum ialah yang berdasarkan
atas saling mengerti antara pemberi bantuan dengan pembuat
langsung, dan memang jarimah yang terjadi dikehendaki oleh
pemberi bantuan.

131
Abd Aziz Amir, at-Ta’zir fi Syari’ati al-Islamiyyah, Beirut: Dar al-Fikr,
1969), hlm. 122.
132
A. Hanafi, Asas-asas, hlm. 149.

Hukum Pidana Islam | 73 |


Diam diri pada contoh-contoh tersebut boleh jadi hanya
dikarenakan takut atau kurang perhatian, dan dengan diamnya itu
ia sama sekali tidak menghendaki jarimah-jarimah yang terjadi.
Akan tetapi fuqaha lain tidak berpendirian demikian, dan
mereka memperbedakan antara orang yang sanggup menahan
terjadinya jarimah atau menyelamatkan korban dengan orang
yang tidak sanggup. Bagi orang yang sanggup, maka ia bisa
dituntut dari segi kepidanaan karena diamnya, sebagai peserta
dan pembantu. Bagi orang yang tidak sanggup, maka ia tidak
dapat dipersalahkan, karena ia tidak bisa berbuat lain.133
Kawan berbuat harus mempertanggungjawabkan pula terhadap
jarimah yang diperbuat oleh pembuat asli, meskipun jarimah itu
lebih besar daripada yang dimaksud oleh kawan berbuat tersebut
selama jarimah itu dapat terjadi dari turut berbuatnya dan dari
pelaksanaan jarimah tersebut.134
Jika seseorang menyuruh orang lain untuk memukul orang
ketiga dengan pukulan biasa akan tetapi orang lain tersebut
memukulnya sedemikian kuatnya sehingga berakibat kematian,
maka orang pertama, sebagai kawan berbuat, tidak saja bertanggung
jawab atas pemukulan tersebut, tetapi juga atas kematian semi-
sengaja, karena kematian korban adalah suatu hal yang mungkin
bisa terjadi dalam melaksanakan jarimah pemukulan.

J. Hukuman Kawan Berbuat Tidak langsung


Syari’at Islam telah menentukan hukuman had dan qisas
dijatuhkan atas pembuat langsung jarimah, bukan atas kawan
berbuatnya (pembuat tidak langsung). Berdasarkan aturan
tersebut maka siapa yang turut berbuat dalam jarimah hudud atau

133
Ibid.
134
Ibid.

| 74 | Hukum Pidana Islam


qisas, tidak dijatuhi hukuman yang telah ditentukan jumlahnya,
bagaimanapun bentuk turut berbuatnya itu, melainkan dijatuhi
hukuman ta’zir. Hal ini berdasarkan prinsip-prinsip penjatuhan
pidana dalam Islam yaitu: a) Menhindari hukuman had pada
jarimah yang mengandung unsur syubaht, dan 2) seorang
hakim lebih baik salah memaafkan dari pada salah menjatuhkan
hukuman.135
Alasan pengkhususan aturan tersebut untuk jarimah-jarimah
hudud dan qisas ialah karena pada umumnya hukuman yang
telah ditentukan jumlahnya itu sangat berat, dan tidak berbuat
langsungnya kawan berbuat merupakan syubhat yang bisa
menghindarkan had. Juga kawan berbuat pada umumnya tidak
sama bahayanya sepeti pembuat langsung, dan oleh karena itu
tidak sama hukumannya.
Berbeda apa yang dikatakan Haliman, menurutnya meskipun
ada aturan tersebut namun kalau sekiranya perbuatan kawan
berbuat (pembuat tidak langsung) bisa dipandang sebagai
pembuat asli, karena pembuat asli hanya sebagai alat semata-mata
maka kawan berbuat tersebut dijatuhi hukuman had atau qisas.
Menurut imam Malik sendiri kawan berbuat tidak langsung,
bagaimanapun caranya, dianggap sebagai pembuat langsung,
apabila ia menyaksikan terjadinya jarimah, dan apabila pembuat
asli tidak sanggup melaksanakan, maka dia sendiri (kawan berbuat
tidak langsung) yang akan melaksanakan, atau bekerja sama
dengan orang lain. 136
Kalau bisa mempersamakan jarimah ta’zir atas jarimah hudud
dan qisas, maka hukuman perbuatan tidak langsung lebih ringan
daripada hukuman pembuat langsung, karena aturan yang berlaku

135
At-Turmudzi, Sunan at-Turmudzi,(Mesir: Dar al-Bab al-Halabi, 1963),
IV:33; bandingkan Ibn Nujaim, al-Asybah wa-an-Nadzair,..hlm. 127; asy-Suyuti,
al-Asybah wa an-Nadzair, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 84.
136
Haliman, Hukum Pidana Islam, hlm. 232.

Hukum Pidana Islam | 75 |


pada jarimah-jarimah hudud dan qisas pada galibnya juga berlaku
pada jarimah ta’zir.
Karena kita mengatakan bahwa aturan pembedaan tersebut
hanya berlaku untuk jarimah-jarimah hudud dan qisas, dan sebab
pembedaan tersebut ialah beratnya hukuman, maka pada jarimah
ta’zir, tidak ada perbedaan hukuman antara pembuat langsung
dengan pembuat tidak langsung, sebab perbuatan masing-masing
pembuat tersebut termasuk jarimah ta’zir dan hukumannya
juga ta’zir, sedangkan Syari’at tidak memisah-misahkan antara
satu jarimah ta’zir dengan jarimah ta’zir yang lain. karena
hakim mempunyai kebebasan untuk menentukan besar kecilnya
hukuman.

| 76 | Hukum Pidana Islam


BAB V
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

A. Pengertian dan Dasar Hukum


Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai bentuk
pembebanan kepada seseorang akibat perbuatan sesuatu yang
dilarang atau tidak berbuat sesuatu yang seharusnya dikerjakan
dengan kemauan sendiri dan ia tahu akan akibat-akibat dari
berbuat atau tidak berbuat.137
Berdasarkan pengertian di atas, maka pertanggungjawaban
pidana dapat ditegakkan karena adanya tiga hal:
a. Adanya perbuatan yang dilarang untuk dikerjakan atau adanya
perintah untuk dikerjakan.
b. Adanya sikap berbuat atau tidak berbuat dan atas kehendak
atau kemauan sendiri
c. Pelaku mengetaui akibat-akibat dari perbuatan yang
dilakukan.138
Dengan adanya syarat seperti tersebut di atas, dapat dipahami
bahwa yang dapat dibebani hukum adalah manusia sebagai subyek
hukum dan harus memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti dewasa,
berakal dan atas kehendak sendiri (bukan adanya paksaan).
Adapun syarat-syarat yang lain dan berkait adalah mengenai sifat
melawan hukum. Sifat melawan hukum merupakan unsur dari

137
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan
Bintang, 1967), hlm. 154.
138
Abd. Qadir Awdah, at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami, Beirut: Dar al-Kitab
al-Arabi, t.t), I: 380..

| 77 |
Unsurjarimah sebagai telahtidak
diuraikan pada bab unsur-unsur jarimah. 139
melawan hukum selamanya disinggung secara jelas
Unsur melawan hukum tidak selamanya disinggung
dalam ayat, adakalnya bersifat larangan yang tegas ada kalanya secara jelas
dalam ayat, adakalnya bersifat larangan yang tegas ada kalanya
bersifat pengecualian (terkecuali dengan hak) seperti dalam firman
bersifatUnsur melawan
pengecualian hukum tidak
(terkecualiselamanya
dengan disinggung secara
hak) seperti jelas
dalam
Allah:firmandalam
Allah:ayat, adakalnya bersifat larangan yang tegas ada kalanya
 
bersifat pengecualian (terkecuali dengan hak) seperti dalam firman
Allah:
Artinya:
Artinya: janganjangan
kamukamu membunuh
membunuh 
jiwa jiwa Allah
yangdiharamkan
yang diharamkan Allah

kecualikecuali ada alasan
ada alasan
Artinya:yang yang
hak…
jangan hak…
kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
Adapun ayat-ayat yang
kecuali ada lain
alasan yangbanyak
hak… sekali yang menggambarkan
Adapun ayat-ayat
Adapun yangyang
ayat-ayat lain lain
banyak sekali yang menggambarkan
bagimana sifat melawan hukum banyak sekali
seseorang yang menggambarkan
dapat dimintai
bagimana
bagimana sifat melawan hukum seseorang dapat dimintai
sifat melawan hukum seseorang dapat dimintai
pertanggungjawaban
pertanggungjawabanpidana.pidana.
pertanggungjawaban pidana.

 
 




 


 
 
 
 


  


  
Perempuan yang berzina
Perempuan dan laki-laki
yang berzina yang
dan laki-laki yangberzina,
berzina, Maka
Maka
deralah tiap-tiap
deralah
Perempuan yang seorang
tiap-tiap dari
seorang
berzina keduanya
dari
dan keduanyaseratus
laki-laki dali
dali dera,
seratusberzina,
yang dera, dan
dan
Maka
janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk
janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk
deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan
(menjalankan) agama
(menjalankan) agamaAllah,
Allah,jika
jikakamu berimankepada
kamu beriman kepada Allah,
Allah, dan
janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah
dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka
hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) kamu
hukuman untuk
mereka
(menjalankan)
disaksikan agama Allah,
oleh oleh
disaksikan sekumpulan jika orang-orang
sekumpulan kamu beriman
orang-orang yangkepada
yang beriman.
beriman. Allah, dan
Ayat ini
hari akhirat, menggambarkan
danAyathendaklah adanya pertanggungjawaban
ini menggambarkan
(pelaksanaan)adanya hukuman pidana
pertanggungjawaban
mereka
bagi pezina
pidana yakni
bagi dicambuk
pezina yakni100 kali,
dicambuk
disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. karena
100 sebelumnya
kali, adanya
karena sebelumnya
adanya peringatan tentang larangan zina, yakni ayat walataqrabuzina
Ayat139 ini ayat:
menggambarkan adanya pertanggungjawaban
Haliman,
(al-Isra Hukum Pidana Islam
32): janganlah kamuMenurut
sekalianAdjaran Ahli zina.
mendekati Sunnah Wal
Maka
pidanaJama’ah,
bagi ketika
pezina
Jakarta: yakni
Bulan dicambuk
Bintang, 1968), 100
hlm. kali,
111.. karena sebelumnya
ada larngan, kemudian terjadi perbuatan yang melanggar
adanya peringatan tentang larangan zina, yakni ayat walataqrabuzina
(al-Isra ayat: 32): janganlah kamu sekalian mendekati zina. Maka
ketika | ada
78 | Hukum
larngan,Pidana Islam terjadi perbuatan yang melanggar
kemudian
peringatan tentang larangan zina, yakni ayat walataqrabuzina (al-
Isra ayat: 32): janganlah kamu sekalian mendekati zina. Maka
ketika ada larngan, kemudian terjadi perbuatan yang melanggar
hukum sementara orang tersebut mengetahui akibat-akibatnya, di
sinilah letaksementara
hukum melawan orang
hukum sehingga
tersebut pelaku akibat-akibatnya,
mengetahui dapat dipidana. di
sinilah letak melawan hukum sehingga pelaku dapat dipidana.
Berikutnya kitakita
Berikutnya lihat surat
lihat suratal-Maidah ayat33:
al-Maidah ayat 33:





  

 
Artinya: Sesungguhnya
Artinya: Sesungguhnya pembalasan
pembalasan terhadap
terhadap orang-orang
orang-orang yangyang
memerangi Allah
memerangi dandan
Allah rasul-Nya
rasul-Nyadandanmembuat
membuat kerusakan
kerusakan didi muka
muka
bumi,bumi,
hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong
hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan
tangan
dandan
kaki kaki
merekamereka
dengan dengan
bertimbalbertimbal balik atau
balik atau bersilang ataubersilang
dibuang
atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian
dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu itu
(sebagai) suatu penghinaan
penghinaan untuk merekauntuk mereka
didunia, dan dididunia, dan diberoleh
akhirat mereka akhirat
mereka beroleh siksaan
siksaan yang besar. yang besar.
Ayat ini dapat diketahui adanya sifat melawan hukum dari
delik itu sendiri, yakni
Ayat ini dapatbagi siapa adanya
diketahui yang memerangi
sifat melawanhukum
hukum Allah
dari
dan Rasul-Nya, maka
delik itu sendiri, baginya
yakni adalah
bagi siapa yanghukum bunuh,
memerangi hukum disalib atau
Allah dan
dipotong tanganmaka
Rasul-Nya, dan kaki secara
baginya bersilang
adalah hukum atau diasingkan.
bunuh, disalib atau
dipotong tangan dan kaki secara bersilang atau diasingkan.

            

 

Hukum Pidana Islam | 79 |


bagi siapa
elik itu yang yakni
sendiri, memerangi hukum
bagi siapa Allah
yang dan
memerangi hukum Allah dan
inya adalah hukum bunuh, disalib atau
asul-Nya, maka baginya adalah hukum bunuh, Ayat ini dapat
disalib atau diketahui
kipotong
secaratangan
bersilang
danatau
kakidiasingkan.
secara bersilang ataudelik itu sendiri, yakni bagi siapa
diasingkan.
  
    
    
 
 
 

  
Rasul-Nya, maka baginya ada
dipotong tangan dan kaki secara b

     


    
Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang
mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Ayat di atas dapat diketahui adanya unsur melawan hukum
dari sifat delik itu sendiri. Seperti diungkapkan oleh Syarbini al-
Khatib, bahwa unsur pidana dalam delik pencurian dapat dilihat
dari sifat kezaliman seseorang yang mengambil harta orang lain.
Hal dilihat dari definisi beliau bahwa mencuri adalah mengambil
harta secara sembunyi-sembuni dengan cara aniaya atau zalim
dari tempat persembunyiannya dengan syarat tertentu.140

B. Macam-macam Maksud Melawan Hukum


Perbuatan melawan hukum adakalanya disengajakan
(direncankan), adakalanya karena keliru (kealfaan). Dengan
demikian maksud melawan hukum juga bertingkat-tingkat seperti
yang diuraikan di bawah ini:
1. Maksud melawan hukum umum dan khusus
Maksud melawan hukum secara umum ada, jika pembuat
dengan sengaja melakukan perbuatan yang dilarang oleh undang-
undang. Maksud melawan hukum secara umum biasanya dapat
terjadi pada kebanyakan tindak pidana (jarimah), seperti,
penganiyaan atau pelukaan. Tetapi adanya jarimah (tindak pidana)

140
Syarbini al-Khatib, Mughni al-Muhtaj, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.),
IV:158

| 80 | Hukum Pidana Islam


yang memang oleh syara tidak dicukupkan dengan maksud umum
tetapi harus ada syarat khusus, seperti pada delik pencurian atau
pembunuhan.
Pencurian harus disyaratkan adanya maksud khsusus, karena
si pelaku tidak terbatas punya maksud mengambil barang orang
lain secara diam-diam, tetapi ada maksud untuk memiliki barang
orang lain yang bukan haknya. Jika si pelaku tidak bermaksud
untuk memilik maka tidak ada delik pencurian.141
2. Maksud Melawan Hukum Tertentu dan Tidak Tertentu
Maksud melawan hukum tertentu adalah jika pembuat dengan
sengaja melakukan perbuatan tertentu kepada orang yang tertentu
pula. Contoh si Ali membawa senjata tajam dan akan membunuh
si Ahmad. Maka tindakan si Ali membawa senjata tajam adalah
perbuatan tertentu demikian juga sasaran si Ahmad juga tertentu.
Maka perbuatan Ali dapat dikatakan kasad tertentu.
Demikian juga dikataka kasad tertentu jika seoarng
mengarahkan tembakan kepada sekelompok orang tertentu dan
akhirnya mengenai pada salah seorang yang tidak dikenal dalam
gerombolan tersebut. Sebab dalam kasus ini gerombolan di mana
korban berada adalah tertentu pula. Seperti yang terjadi banyak
kasus akhir-akhir ini. Kasus Semanggi yang menjadi korban
adalah salah satu dari gerombolan mahasiswa. Kasus Alastelogo
Pasuruan yang menjadi sasaran tembak pasukan marinir. Hal ini
dikarenakan korban adalah salah satu dari gerombolan yang telah
tertentu.
Adapun yang dimaksud dengan kasad tidak tertentu adalah
jika seorang melakukan perbuatan yang tidak tertentu dan
mengenai orang yang tidak tentu. Contoh seseorang membuat
lobang di pekarangan tiba-tib ada orang jatuh terperosok di

141
Haliman, Hukum Pidana,..hlm.116; Ahmad Hanafi, Asas-asas
...hlm.163.

Hukum Pidana Islam | 81 |


dalamnya. Maka perbuatan ini dianggap kasad tidak tertentu,
sebab membuat lubang tujuan tidak tentu dan orang yang menjadi
korban juga tidak tentu.142
3. Maksud Langsung dan Tidak langsung
Maksud melawan hukum dikatakan langsung jika seoarng
melakukan perbuatan sedang ia mengetahui dan menghendaki
akan akibat-akibat yang akan terjadi. Adapun kasad tidak langsung,
jika seoarng melakukan suatu perbuatan terentu, kemudian dari
perbuatan tersebut timbul akibat-akibat yang tidak dikehendaki
sama sekali atau tidak diperkirakan akan terjadi.
Dalam hukum pidana Islam kasus kasad langsung dan tidak
langsung digambarkan pada kasus pembunuhan sengaja dan tidak
sengaja. Jika seoarang niat atau sengaja melukai seseorang tapi
berakibat kematian atau melukai, maka ia harus bertanggung
jawab atas semua akibat-akibat perbuatan yang disengajakan baik
dikehnedaki atau tidak Maka menurut Imam Malik perbuatan
orang tersebut masuk dalam kategori kasad langsung. Sebaliknya
jika terjadi perbuatan yang sama sekali tidak bermaksud
melakukan jarimah, seperti seorang yang naik atap rumah, tiba-
tiba genteng melorot dan jatuh mengenai orang yang lewat.
Maka dalam peristiwa ini disebut sebagai kasad tidak langsung.
Hal ini dikarenakan karena akibat dari perbuatan tersebut tidak
dikehendaki dan tidak diperkirakan akan terjadi.143
Sementara pendapat Imam Syafi’i membedakan antara
pembunuhan sengaja dan semi sengaja. Pembuat dianggap
melakukan pembunuhan sengaja jika ia sengaja mengadakan suatu
perbuatan dan menghendaki pula hilangnya nyawa si korban.
Sedangkan jika ia sengaja melakukan perbuatan dani tidak

142
Ibid. hlm.165
143
Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid Wa Nihayah al-Muqtasid, (Beirut;
Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 390. Syarbini al-Khatib, Mughni al-Muhtaj, IV:3

| 82 | Hukum Pidana Islam


menghendaki hilangnya nyawa sikorban tetapi berakibat hilangnya
nyawa si korban, maka perbuatan ini disebut pembunuhan semi
sengaja. Pada peristiwa ini menurut imam Syafi’i masuk dalam
kasad tidak langsung.

C. C. Hal-hal
Hal-hal yang Dapat yang Dapat Mempengaruhi
Mempengaruhi Hukuman
Hukuman
1. Menjalankan Ketentuan
1. Menjalankan Syari’atSyari’at
Ketentuan
DalamDalam surat an-Nisa
surat an-Nisaayat ayat 105 Allah
105 Allah C. berfirman:
berfirman: Hal-hal  yang Dapat Mem
       1.Menjalankan
  Ketentuan

                    
Sy
Dalam  surat an-Nisa
esungguhnya Kami telah turunkan kepadamu Kitab  
  dengan
(ini)       
membawa) kebenaran, supaya engkau menghukum diantara    
manusia dengan Sesungguhnya
(faham) Kami yang telahAllah
turunkan kepadamu
tunjukkan Sesungguhnya Kitab (ini)Kami
kepadamu, dengan
dan telah turun
(membawa) kebenaran, supaya engkau menghukum diantara
anganlah engkau jadi pembela bagiyang
orang-orang (membawa)
yang khianat.” kebenaran, supaya
manusia dengan (faham) Allah tunjukkan kepadamu, dan
Dalamjanganlah
menafsirkan engkaupengertian
jadi pembela“supaya manusia
bagi orang-orang engkauyang dengan khianat.”
menghukum (faham) yang
iantara manusia dengan (faham) yang Allah tunjukkan, janganlah engkau at-Thufijadi al- pembela ba
Dalam menafsirkan pengertian “supaya engkau Dalam menghukum
Hambali mengemukakan sebagaimana yang dikutip oleh menafsirkan
Rasyid penge
diantara manusia dengan (faham) yang Allah tunjukkan, at-Thufi
Ridha bahwaal-Hambaliyang dimaksudkan
mengemukakan ialah dengandiantara
sebagaimana apa dikutip
yang yangmanusia dinashkan
oleh Rasyiddengan (faham)
leh Allah Ridha bahwa yang
kepadamu dimaksudkan
di dalam kitab,ialah dandengan jugaapa
Hambali yang
pengertian dinashkan
mengemukakan itu sebaga
imaksudkanoleh Allah kepadamu di dalam kitab,Ridha
dengan apa Allah memperlihatkan dan juga bahwa
kitab pengertian
itu yang dengan itu
dimaksudkan
dimaksudkan dengan apa Allah memperlihatkan kitab itu dengan
erantaraan perantaraan
pandanganpandanganengkau dan ijtihad oleh Allah
engkau dalam kepadamu di dalam
engkau dan ijtihad engkau dalamhukum- hukum-
ukum yanghukum tersebut yangditersebut
dalamdikitab dalamdan dan dimaksudkan
kitabdalil-dalilnya,
dalil-dalilnya, dan dan dengan
dengan apa Allah
dengan
idasarkan kepada didasarkan kepada dalil-dalil
dalil-dalil ini, maka ini, maka sesungguhnya
perantaraan
sesungguhnya Rasulullah engkau d
pandangan
Rasulullah
adalah berijtihad dalam persoalan-persoalan yang tidak ada
dalah berijtihad hukum yang tersebut di dalam ki
nasnya.dalam persoalan-persoalan
Demikian halnya dalam persoalan-persoalan yang tidak adayang nasnya. baru,
Demikian halnya dalam persoalan-persoalan yang didasarkan baru, yang kepada pada dalil-dalil in
erkembangannya merupakan persoalan khilafiah adalah berijtihad di dalam dalam persoalan
embahasan ilmu ushul fiqh.8 Demikian halnya dalam persoala
Bila dilihat lebih jauh, seperti dijelaskan perkembangannya dalam al-Qur’an suratmerupakan
Hukum Pidana Islam | 83 |
n-Nisa ayat 58 menetapkan: pembahasan ilmu ushul fiqh.8
Bila dilihat lebih jauh, sepe
an-Nisa ayat 58 menetapkan:
yang pada perkembangannya merupakan persoalan khilafiah di
dalam pembahasan ilmu ushul fiqh.144
Bila dilihat lebih jauh, seperti dijelaskan dalam al-Qur’an
surat an-Nisa ayat 58 menetapkan:

  
   
 
  
                  
  
           
  
 
   
 
  
     
 
  
 
 
 
   
         
       
      
      
 
        
  
   
 
    
      
esungguhnya
Allah Sesungguhnya Allah memerintahkan
Allah memerintahkan
memerintahkan kamu menunaikan kamukamu menunaikanamanat
menunaikan
amanat amanat
epada kepada
berhak,yang berhak, dan (Ia apabila
perintahkan)
kamu apabila kamu
ak, danyang
(Iamenghukum
perintahkan) dan (Ia perintahkan)
apabila
diantara kamu supaya
manusia, menghukum menghukum
kamu menghukum dengan
iantara
a, supaya manusia,
adil.kamu supaya
Sesungguhnya
menghukum kamu
Allah menghukum
menasehati
dengan kamu Sesungguhnya
dengan
adil.dengan adil. Allah mem
sebaik-baik
esungguhnya perkara,
lah menasehati Allah karena
kamu sesungguhnya
menasehati
dengan kamuAllah
sebaik-baik dengan itu adalah maha mendengar
kepada
sebaik-baik
perkara, yang berhak, dan (I
perkara,
lagi maha melihat.”
arenaAllah
hnya sesungguhnya
itu adalahAllah mahaitu adalah maha
mendengar maha diantara
lagi mendengar lagi mahamanusia, supay
melihat.” Sesungguhnya Allah mena
Oleh karena ketentuan ayat al-Qur’an ini, maka seseorang
yang akan ditetapkan untuk menjadi hakim, mestinya karena memenuhi
sesungguhnya Allah
Oleh
na ketentuan karena ketentuan
ayat al-Qur’an ayat al-Qur’an
ini, maka ini,
seseorang maka seseorang
syarat-syarat keahlian tentang hukum, mampu berijtihad
melihat.” disamping
ang akan ditetapkan
pkan untuksyarat-syarat untuk menjadi
lainnya, dan
menjadi hakim, hakim,
apabila memenuhi
mestinya mestinya
syarat-syarat keahlianmemenuhi
tersebut
yarat-syarat
hlian tidak
tentang dipenuhi,
keahlian
hukum, maka pengangkatannya
tentang
mampu hukum,
berijtihad mampu hanyalah
disampingberijtihad bersifatOleh darurat,
disamping karena ketentu
yarat-syarat demikian pendapat
lainnya,syarat-syarat an-Nawawi.
dan apabila
145
syarat-syarat yang akan
keahlian ditetapkan untu
tersebut
nya, dan apabila keahlian tersebut
Ijma’ ulama menetapkan bahwa mendirikan suatu badan
dak dipenuhi,
maka maka pengangkatannya
peradilan adalah
pengangkatannya fardu yang
hanyalah hanyalah
harus ditegakkan
bersifat syarat-syarat
darurat,bersifat darurat,
dan sunah yang
keahlian tenta
9
atemikian harus
pendapat
an-Nawawi. an-Nawawi.Di samping menimbulkansyarat-syarat
9 dilaksanakan. rasa kasih sayang lainnya, dan
Ijma’ terhadap
ma menetapkan ulamabahwa korbannya,
menetapkan maka
mendirikan
hukuman
bahwa suatu
yang diterapkan
badan tidak
mendirikan suatu kepada maka pen
dipenuhi,
badan
dirinya tidak lain adalah merupakan salah satu cara menyatakan
eradilan
fardu adalah
yang harusfardu yang harus
ditegakkan dan ditegakkan
sunah yang dan
harus demikian
sunah yang pendapat
harus an-Naw
reaksi atau balasan dari masyarakat kepada para pelaku yang telah
ilaksanakan. Di sampingrasa
samping menimbulkan menimbulkan
kasih sayang rasa kasih sayang Ijma’
terhadap terhadap ulama menet
orbannya,
hukuman yang makaditerapkan
hukuman yang
kepada diterapkan kepada
dirinya(Beirut:
tidak lain peradilan
dirinya tidakadalah
lain fardu yan
Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar,
144
Dar al-Fikr, t.t.), V: 395, Lihat
juga Ibnu Kasir, Tafsir al-Qur’an al-Azim, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), I:balasan
dilaksanakan. 550. Di samping
ndalah
salahmerupakan
satu cara salah satu
menyatakan cara
reaksimenyatakan
atau reaksi
balasan atau
An-Nawawi, Syarah Sahih Muslim, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), IV: 375-
145

arikepada
masyarakat
377. kepada yang
para pelaku para telah pelaku melanggar
yang telah korbannya,melanggar maka hukuman
ehormatan dan
merupakan usaha merupakan
penenangan usaha padapenenangan
diri si korban. padaadalah
diri si merupakan
korban. salah sa
ujuan-tujuan
sebut | 84tersebut
dengan | Hukum
jelas dengan
Pidanadalam
terdapat jelas pernyataan
Islam terdapat dalam dari masyarakat
para pernyataan para kepada
uqaha dan dari jiwa
wa aturan-aturan aturan-aturan
syari’at Islam beserta syari’at Islam beserta
nas-nasnya. kehormatan
nas-nasnya. dan merupakan
ni dapatKondisi ini dapat dalam
digambarkan digambarkan
beberapadalam Tujuan-tujuan
kasus,beberapa kasus,tersebut den
melanggar kehormatan dan merupakan usaha penenangan pada
diri si korban. Tujuan-tujuan tersebut dengan jelas terdapat dalam
pernyataan para fuqaha dan dari jiwa aturan-aturan syari’at Islam
beserta nas-nasnya.
Kondisi ini dapat digambarkan dalam beberapa kasus, misalnya
hukum pidana Islam tidak memberi sanksi kepada orang yang
dipaksa. Hadis Bukhari yang diriwayatkan dari Shafiyah, anak
perempuan Abi ‘Ubaid adalah seorang budak milik Khalifah telah
menzinai anak perempuan dengan paksa, sehingga kehilangan
kegadisannya, maka Umar mendera dan membuangnya, dan ia
tidak mendera anak perempuan itu karena dipaksa.146 Demikian
juga dalam Sunan Baihaqi yang dikutip oleh Syarbini Khatib
bahwa ada seorang perempuan yang didatangkan kepada Umar.
Diceritakan bahwa pada suatu hari perempuan itu sangat kehausan
dan meminta air kepada seorang penggembala. Penggembala itu
enggan memberikan minum, kecuali perempuan itu memberikan
kehormatannya. Kemudian orang bermusyawarah untuk merajam
perempuan itu. Ali berkata, “Ini adalah darurat. Apakah kamu
tidak mempunyai jalan lain dari pada berbuat demikian?.147
Demikian pendapat Ibnu al-Qayim dalam Rasa’il al-Qada yang
dikutip oleh Hasbi ash-Shiediqy.148
Hakim adalah orang yang diangkat oleh uli al-amri yang
tidak dapat melaksanakan tugas secara langsung apa yang menjadi
wewenangnya, yaitu menyelesaikan sengketa diantara anggota
masyarakatnya. Dengan demikian hakim mempunyai kewajiban
dalam menyelesaikan sengketa, dan berkewajiban pula memeriksa
serta mengadili perkara yang diajukan kepadanya. Kaum muslimin
berkewajiban taat kepada keputusan hakim selaku uli al-amri.

146
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, XII: 270 – 271.
147
Syarbini al-Khatib, Mugni al-Muhtaj, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), IV: 145.
148
Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1970), hlm. 26.

Hukum Pidana Islam | 85 |


Dengan adanya ketentuan-ketentuan hukum syari’at tersebut,
elah menyebabkanhakim
maka tidak dapat
terputusnya tangandipersalahkan
orang lain. atas
Hakimperbuatannya
tersebut
sekalipun harus membunuh, memotong, memukul, dalam memberi
dak dapat dikenakan hukuman qisah,
keputusan-keputusannya yangyakni potongkepada
didasarkan tangan.ketentuan-
Hal ini
ikarenakan ketentuan hukum syariat.
hakim melakukan Seorangberdasar
tindakan hakim yang telah memutuskan
ketentuan syari’at
slam. berdasarkan ketentuan bahwa seseorang yang telah terbukti
melakukan tindak pidana pencurian dihukum potong tangan,
tidak dapat dipersalahkan telah menyebabkan terputusnya tangan
2. Karena Perintah
orang Jabatan
lain. Hakim tersebut tidak dapat dikenakan hukuman qisah,
yari’at Islam memberi batasan Hal
yakni potong tangan. ini dikarenakan
tentang hakim melakukan
ketaatan terhadap uli al-
tindakan berdasar ketentuan syari’at Islam.
mri, artinya bagaimana ketaatan seorang muslim diberikan kepada
emimpinnya2. secara
Karenamutlak
Perintahdan
Jabatan
dalam hal bagaimana ketaatan itu
dak diberikan. Syari’at Islam memberi batasan tentang ketaatan terhadap uli
al-amri, artinya bagaimana ketaatan seorang muslim diberikan
embatasan kepada pemimpinnya
ketaatan secara mutlak
yang ditetapkan dalam dan dalam sebagaimana
as-sunah hal bagaimana
iriwayatkanketaatan itu tidak diberikan.
oleh Imam Ahmad dalam bukunya Musnad dan Hakim
Pembatasan ketaatan yang ditetapkan dalam as-sunah
alam bukunya Mustadrak
sebagaimana yang dikutip
diriwayatkan oleh Ahmad
oleh Imam Jalaludin as-Suyuti
dalam bukunya
Musnad
ebagai berikut: dan Hakim dalam bukunya Mustadrak yang dikutip oleh
Jalaludin as-Suyuti sebagai berikut:

     


     
Tidak ada kepada
idak ada ketaatan ketaatan seorang
kepada seorang
makhlukmakhlukdalam dalam hal-halyang
hal-hal yang
maksiat kepada
13 Allah 149
maksiat kepada Allah
Abd al-Qadir Awdah memberikan ulasan bahwa sudah
Abdmenjadi ijma Awdah
al-Qadir tidak boleh taat kepada ulasan
memberikan uli al-amri kecualisudah
bahwa dalam
menjadi ijmabatas-batas yang telah ditentukan oleh Allah. 150
tidak boleh taat kepada uli al-amri kecuali dalam batas-
Bila melihat dari beberapa 14 keterangan dari hadis di atas,
atas yang telah ditentukan oleh Allah.
Bila melihatJalaludin
dari as-Suyuti,
149 beberapa keterangan
Al-Jami’ dari
al-Sagir, (Bairut: Dar hadis di II:
al-Fikr, t.t.), atas,
203.
maka perintah Abd
jabatan
150
al-Qadir
dengan Awdah,
berdasar Islam wa Auda’
ketentuan al-Qanuniyah,
al-Qur’an, alih
baik bahasa
itu
Firdaus A.N., Islam dan Perundang-udangan, (Jakarta: t.t.p, t.t.), hlm. 52.
erkenaan dengan penghukuman, maka tindakan orang yang
iperintah masuk dalam kategori orang yang dapat dikecualikan
| 86 | Hukum Pidana Islam

13
Jalaludin as-Suyuti, Al-Jami’ al-Sagir, (Bairut: Dar al-Fikr, t.t.), II:
maka perintah jabatan dengan berdasar ketentuan al-Qur’an, baik
itu berkenaan dengan penghukuman, maka tindakan orang yang
diperintah masuk dalam kategori orang yang dapat dikecualikan
dalam hukuman.151 Dalam hal perintah jabatan untuk suatu
maksiat maka kewajiban untuk mentaati menjadi lenyap dan
apabila hal itu dilakukan maka orang tersebut tidak dikecualikan
dari hukuman.
Perintah taat kepada uli al-amri seperti dalam surat an-Nisa
ayat 59 (taatilah Allah, Rasul, dan ulul amri kamu sekalian)
dijelaskan oleh hadis Nabi bahwa ketaatan itu hanya terbatas
pada berbuat yang ada ketentuannya dari al Qur’an bukan untuk
maksiat. Permasalahannya akan muncul bila jabatan memerintah
kepada seseorang untuk melakukan perbuatan maksiat. Sedangkan
orang yang diperintah tidak ada jalan untuk mentaatinya, Demi
keselamatan dirinya dan keluarganya, maka tindakan orang
tersebut dianggap sebagai perbuatan yang dikecualikan dalam
hukuman, hanya saja bukan karena perintah jabatan akan tetapi
karena keadaan terpaksa.
3. Keadaan Terpaksa
Paksaan adalah membawa manusia kepada sesuatu perkara
yang secara pasti perkara itu tidak dikehendakinya, demikian
yang diungkapkan oleh Alaudin.152 Ibrahim Halabi merumuskan
istilah paksaan adalah perbuatan yang terjadi atas seseorang oleh
orang lain sehingga orang tersebut lepas dari kerelaan dan tidak
ada kemauan bebas dalam menentukan pilihan.153
Dari pernyataan Ibrahim Halabi dapat disimpulkan, bahwa
unsur paksaan ada dua, yaitu pertama tidak ada kerelaan, artinya

151
Haliman S., Hukum Pidana Syari’at Islam Menurut Adjaran Ahlus
Sunnah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hlm. 172.
152
Alaudin, Burrul Mutaqa, (Mesir: Bab al-Ma’rifah, t.t.) II: 428.
153
Ibrahim Halabi, Matan Multaq al-Abhur pada Syarah Majamu’ al
Anhur, (Mesir: Dar al-Bab al-Halabi, t.t.), II: 428.

Hukum Pidana Islam | 87 |


ada kecenderungan untuk meninggalkan sesuatu perbuatan.
Kedua ketiadaan ikhtiar (kemauan bebas), artinya tidak adanya
kepuasan untuk berbuat sesuatu.
Menurut ulama Hanafiyah, ada empat syarat untuk dapat
dikatakan keadaan terpaksa:
a. Adanya kemampuan yang lebih dari orang yang memaksanya
atas apa yang diancamkan baik bersifat kekuasaan atau
kejahatannya.
b. Adanya ketakutan yang luar biasa dari orang yang dipaksa,
baik orang yang memaksa hadir secara langsung atau lewat
suruhannya.
c. Bagi orang yang dipaksa harus menentang perbuatan
sebelumnya, seperti orang tidak suka dan mengharamkan
minum khamr, maka bila ia dipaksa minum khamr, dengan
berbagai syarat bisa dikategorikan perbuatan yang dipaksa
dan bebas dari hukuman.
d. Orang yang dipaksa mempertahankan jiwa anggota badannya,
sehingga harus melakukan perbuatan yang tidak ada kerelaan
darinya.154
Adapun perbuatan dikatakan terpaksa menurut pendapat Abd
al-Qadir Awdah harus terpenuhi lima syarat:
a. Ancaman yang menyertai paksaan adalah berat, sehingga
dapat menghapuskan kerelaan, seperti membunuh, pukulan
berat dan sebagainya.
b. Apa yang diancam adalah seketika yang mesti (hampir) terjadi,
jika orang yang dipaksa tidak melaksanakan keinginan si
pemaksa.
c. Orang yang memaksa mempunyai kesanggupan (kemampuan)
untuk melaksanakan ancamannya, meskipun dia bukan
penguasa atau petugas tertentu, sebab yang menjadi ukuran
ialah kesanggupan nyata.

154
Ar-Rahman, Majma’ al Anhur ..., II: 430.

| 88 | Hukum Pidana Islam


bahwa apa yang diancamkan padanya benar-benar akan
terjadi, kalau ia tidak memenuhi tuntutannya.
e. Perkara yang diancamkan ialah perbuatan yang dilarang.19
Hukuman dalam hal paksaan tidak harus bebas sama sekali karena
d. Pada orang yang menghadapi paksaan timbul dugaan kuat
ada tanggung bahwajawab
apadari
yang orang yang memaksa.
diancamkan padanya Seperti seseorang
benar-benar akan
memaksa terjadi,
untuk kalau ia tidak memenuhi
membinasakan tuntutannya.
harta seorang muslim dengan
e. Perkara yang diancamkan ialah
ancaman menghilangkan jiwa atau pemotongan anggotaperbuatan yang dilarang. 155
badan.
Hukuman
Orang yang dalam
dipaksa hal paksaan
kemudian tidak harus
melakukan bebas sama
pengrusakan sekali karena
tersebut. Jika
ada tanggung jawab dari orang yang memaksa. Seperti seseorang
terjadi demikian, maka ganti rugi dibebankan kepada orang yang
memaksa untuk membinasakan harta seorang muslim dengan
memaksakan
ancaman karena orang yang
menghilangkan jiwadipaksa dalam pengrusakan
atau pemotongan anggota badan.itu
adalah Orang yang dipaksa
alat bagi kemudian dan
yang memaksa melakukan pengrusakan
bagi yang dipaksatersebut.
tidak
Jika terjadi demikian, maka
diwajibkan untuk membayar ganti rugi. ganti rugi dibebankan kepada orang
yang
Adapunmemaksakan karena
orang yang orang yang
dipaksa untukdipaksa dalam orang
membunuh pengrusakan
yang
itu adalah alat bagi yang memaksa dan bagi yang dipaksa tidak
memaksa, dan apabila tidak melakukannya maka dia akan dibunuh,
diwajibkan untuk membayar ganti rugi.
seperti perkataan, “Bunuh
Adapun orang yangsaya kalauuntuk
dipaksa tidakmembunuh
engkau yang orangakan
yang
memaksa, dan apabila tidak melakukannya maka dia akan
kubunuh”, maka terhadap persoalan ini tidak ada hukumannya bagi
dibunuh,
orang yang seperti perkataan,
membunuh. Demikian juga“Bunuh bagisaya
orangkalau
yangtidak engkau
memotong
anggotayang akan
badan kubunuh”,
karena maka terhadap
atas kehendak orang persoalan ini tidak
yang memaksa, makaada
hukumannya bagi orang yang membunuh. Demikian juga bagi
tidak ada qisas maupun diyat. Pendapat ini dipegangi oleh Imam
orang yang memotong anggota badan karena atas kehendak orang
Syafi’i,yang
dengan mendasarkan
memaksa, kepada
maka tidak adaNabi:
qisas maupun diyat. Pendapat ini
 dipegangi oleh Imam Syafi’i, dengan mendasarkan kepada Nabi:

      


   
   
 
    
Sesungguhnya Allah Allah
Sesungguhnya telahtelah
menanggalkan
menanggalkandaridari
umatku orang
umatku orangyang
yang
20
keliru,yang
keliru, orang oranglupa
yangdan
lupa dan
apa apadipaksakan
yang yang dipaksakan kepadanya.156
kepadanya.

Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa menurut


19
ketentuan hukum
Abd al-Qadir Islam,
Awdah, paksaan...,merupakan
At-Tasyri’ II: 274. unsur pengecualian
20seseorang dari hukuman. Dengan kata lain, seseorang yang
Syarbini al-Khatib, Mugni al-Muhtaj…, hlm. 249.

155
Abd al-Qadir Awdah, At-Tasyri’ ..., II: 274.
156
Syarbini al-Khatib, Mugni al-Muhtaj…, hlm. 249.

Hukum Pidana Islam | 89 |


ketentuan hukum Islam, paksaan merupakan unsur pengecualian
seseorang dari hukuman. Dengan kata lain, seseorang yang
melakukan tindak pidana karena paksaan atau dalam keadaan paksa,
dikecualikan dari hukuman.
melakukan tindak pidana karena paksaan atau dalam keadaan
paksa,
4. dikecualikan dari hukuman.
Pembelaan Diri
4. Pembelaan Dirihukum adanya pengecualian dalam hukuman
Sebagai dasar
Sebagai
bagi orang dasar
yang hukum
membela diriadanya
terdapatpengecualian dalam ini:
dalam hadis berikut hukuman
bagi orang
Orang syahidyang membela
itu ada diri terdapat
tujuh yang dalamorang
sama dengan hadisyang
berikut ini:
terbunuh
pada Orang syahidyakni
jalan Allah, itu ada
orangtujuh
matiyang sama
karena dengan
penyakit orangorang
wabah, yang
terbunuh pada jalan Allah, yakni orang mati karena
yang mati tenggelam, orang yang mati karena mengidap penyakit penyakit
wabah,
darah orang (ashabu
lambung yang matidzatatenggelam,
janb), orang orang
yang yang
mati mati
karenakarena
sakit
mengidap penyakit darah lambung (ashabu dzata janb),
perut, orang yang mati terbakar, orang yang mati karena (tertimpa) orang
yang mati karena sakit perut, orang yang mati terbakar, orang
runtuhan yang hebat, dan perempuan yang mati karena melahirkan.21
yang mati karena (tertimpa) runtuhan yang hebat, dan perempuan
Yang menarik perhatian dari hadis Abu Daud ini ialah
yang mati karena melahirkan.157
disamakannya kedudukan kematian syahid yang tujuh macam
Yang menarik perhatian dari hadis Abu Daud ini ialah
tersebut dengan mati
disamakannya syahid pada
kedudukan jalan Allah.
kematian syahid yang tujuh macam
Selanjutnya dalam hadis yang
tersebut dengan mati syahid pada jalan diriwayatkan
Allah. Imam Muslim,
Selanjutnya
Abu Hurairah telahdalam hadis yang diriwayatkan Imam Muslim,
berkata:
 Abu Hurairah telah berkata:
      
   
             
        
    
     
 
 
        
  
 
  
    
   
     
    
Telah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah dan berkata, “Ya
Telah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah dan berkata,
Rasulullah, bagaimana
“Ya Rasulullah, pendapat
bagaimana Anda jika
pendapat datang
Anda jikaseorang
datanglaki-laki
seorang
bermaksud mengambil harta saya?”. Rasulullah berkata,
laki-laki bermaksud mengambil harta saya?”. Rasulullah “Janganlah
berkata,
“Janganlah engkau beri dia hartamu”. Laki-laki itu berkata lagi,
“Bagaimana
21 pendapat
Abu Daud, Sunan Anda jika ia(Bairut:
Abu Dawud, menyerang saya?”.
Dar al-Fikr, t.t.),Rasulullah
II: 168.
menjawab, “Seranglah dia”. Laki-laki itu berkata, “Bagaimana
seandainya saya yang terbunuh?”. Rasulullah menjawab, “Engkau

157
Abu Daud, Sunan Abu Dawud, (Bairut: Dar al-Fikr, t.t.), II: 168.

| 90 | Hukum Pidana Islam


pendapat Anda jika ia menyerang saya?”. Rasulullah menjawab,
“Seranglah dia”. Laki-laki itu berkata, “Bagaimana seandainya saya
yang terbunuh?”. Rasulullah menjawab, “Engkau mati sahid”. Laki-
laki itumati sahid”.lagi,
berkata Laki-laki itu berkata
“Bagaimana kalaulagi,
dia“Bagaimana
kubunuh?”.kalau dia
Jawab
kubunuh?”. Jawab Rasulullah,
Rasulullah, “Dia masuk neraka”. 22 “Dia masuk neraka”. 158

Rasulullah juga berkata:


Rasulullah juga berkata:

          


       
BarangBarang
siapa siapa
yang yang terbunuh
terbunuh karena
karena hartanya,
hartanya, maka
maka dialahadalah
dialah adalah
23sahid.159
sahid.
Dari hadis yang dikemukakan di atas, dapatlah diambil
Dari hadis yang dikemukakan di atas, dapatlah diambil
kesimpulan, bahwabahwa
kesimpulan, orangorangyangyang membela
membeladirinya,
dirinya, hartanya,
hartanya,
keluarganya,
keluarganya, kehormatannya dari kejahatan yang dilakukanoleh
kehormatannya dari kejahatan yang dilakukan oleh
orang lain, maka orang itu bila mati dalam pembelaan
orang lain, maka orang itu bila mati dalam pembelaan itu dianggap itu dianggap
syahid,syahid, jika ditinjau
jika ditinjau dari dari
segi segi kematian
kematian orang
orang yangmembela
yang membeladiri.
diri.
Bila hal itu ditinjau dari segi kematian orang yang menyerang,
Bila hal itu ditinjau dari segi kematian orang yang menyerang, maka
maka orang itu termasuk yang dilaknat Allah dengan ditempatkan
orang itu termasuk yang dilaknat Allah dengan ditempatkan di
di neraka pada hari akhirat nanti.
neraka padaPembelaan
hari akhirat nanti.
diri sampai membunuh orang yang menyerang
sama dengan orang
Pembelaan yang membunuh
diri sampai membunuh di waktu
orangperang
yang dimenyerang
jalan Allah,
hal ini orang
sama dengan berdasarkan surat at-Taubah
yang membunuh ayat 111,
di waktu Allah
perang di berfirman
jalan Allah,:
hal ini berdasarkan
   surat at-Taubah  111, Allah berfirman
  ayat  : 
               
  
                 

         
     
     
                
        
           
Sesungguhnya
Sesungguhnya Allah telah membeli
Allah telah membeli daridari mukminin
mukminin jiwa-jiwajiwa-jiwa
mereka,
mereka, harta hartamereka dengan
mereka balasan
dengan bahwa
balasan baginya
bahwa adalah adalah
baginya surga,
yaitu
surga, hendaklah
yaitu hendaklah mereka berperang
mereka di jalan
berperang Allah
di jalan Allahlalu mereka
lalu mereka
membunuh dan terbunuh sebagai suatu perjanjian yang benar tentang
22
Imam Muslim, Sahih Muslim, (Bairut: Dar al-Fikr, t.t.), II. 163.
itu 158
(yang Imam Muslim, dalam
tersebut) Sahih Muslim, (Bairut:
Taurat, Injil,Dardan
al-Fikr, t.t.), II. 163.
al-Qur’an, karena
23
Ibid, II
159
Ibid,
: 83. II : 83.
bukannya tidak ada yang menyempurnakan janjinya lebih dari Allah.
Lantaran bergembiralah dengan perjanjian kamu yang kamu janjikan
kepada-Nya, karena yang demikian adalah Hukum Pidanayang
kebahagiaan Islam | 91 |
besar.
Berdasarkan argumentasi yang tertera dalam surat at-Taubat ayat
111, maka pembunuhan yang dilakukan karena membela harta,
membunuh dan terbunuh sebagai suatu perjanjian yang benar
tentang itu (yang tersebut) dalam Taurat, Injil, dan al-Qur’an,
karena bukannya tidak ada yang menyempurnakan janjinya
lebih dari Allah. Lantaran bergembiralah dengan perjanjian kamu
yang kamu janjikan kepada-Nya, karena yang demikian adalah
kebahagiaan yang besar.

Berdasarkan argumentasi yang tertera dalam surat at-Taubat


ayat 111, maka pembunuhan yang dilakukan karena membela
harta, kehormatan, jiwa, dan keluarganya dianggap pembunuhan
yang dihalalkan. Maka dari segi sanksi, pelaku pembunuhan
dikategorikan sebagai pengecualian dalam hukuman.

Adapun syarat-syarat pembelaan diri adalah sebagai berikut:


a. Adanya serangan atau tindakan melawan hukum, serangan
itu harus perbuatan jarimah dan pelakunya tidak perlu dapat
dimintai pertanggungjawaban pidana, demikian pendapat
Imam Malik, sedang Abu Hanifah, bahwa pelaku harus dapat
dimintai pertanggungjawaban pidana. Abu Yusuf berpendapat
bahwa perbuatan itu harus mengandung unsur jarimah tanpa
memperhatikan pelakunya.
b. Penyerangan harus terjadi seketika, sehingga tidak mungkin
dihindari kecuali harus dengan membalas.
c. Tidak ada jalan lain dalam pembelaan diri kecuali harus
menyerang.
d. Dalam pembelaan digunakan alat seperlunya, tidak berlebih-
lebihan.
Dalam hal pembelaan diri yang telah melampaui batas,
tentu saja hal itu tidak dapat dikecualikan dalam hukuman,
namun apabila hal itu dilakukan tanpa adanya kesadaran dapat
dikecualikan dalam hukuman.

| 92 | Hukum Pidana Islam


5. Subhat
Abd al-Qadir Audah mendefinisikan subhat adalah mã yusbihu
al-sabit wa laisa bi sabit yang artinya sesuatu yang pada dasarnya
tetap tetapi pada hakekatnya tidak tetap. Dalam kaitannya dengan
hukum pidana Islam, maka perbuatan itu dianggap secara formil
ada tetapi dari segi materiil tidak ada.160
Dasar daripada pengecualian hukuman oleh karena adanya
subhat, ialah hadist Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adda,
bahwa Rasulullah telah berkata: “Hindari hukuman-hukuman
had dalam keserupaan (syubhat).” Menurut Jalaludin as-Suyuti,
hadis ini berasal dari Ibnu Abbas, yang diriwayatkan oleh ahli-
ahli Mesir dan ahli-ahli Jazirah (maksudnya Arab, pen.) dan
bersifat hasan. ‘Alauddin juga mengutip hadis ini dalam bukunya
Durrul Muntaqa, yang berbunyi: “Kamu cegahlah had dalam
keserupaan (syubhat), apa-apa yang kuasa oleh kamu”, dengan
tidak menyebutkan sumbernya. Selanjutnya menurut hadis yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, Tarmidzi, hakim dan Baihaqi
yang bersumber dari Aisyah, Rasulullah telah berkata, “Kamu
cegahlah hukuman-hukuman had dari seorang muslim apa yang
kuasa oleh kamu, dan jika kamu menemukan seorang muslim apa
yang kuasa oleh kamu, dan jika kamu menemukan seorang muslim
pada jalan keluar, maka berilah ia jalan, oleh karena Imam, lebih
baik baginya keliru dalam memaafkan daripada ia keliru dalam
memberikan hukuman”. Menurut Jalaluddin as-Suyuti hadis ini
adalah sahih.
Selanjutnya, ketentuan mengenai subhat ini juga tidak berlaku
dalam tindak pidana menuduh seseorang berbuat zina (qadzaf).
Hal ini dikarenakan syarat dibebaskannya seseorang dari hukuman
had dalam tindak pidana ini ialah apabila ia dapat mendatangkan
empat orang saksi yang melihat sendiri perbuatan perzinaan

160
Abd al-Qadir Awdah, at-Tasyri ..., I: 243.

Hukum Pidana Islam | 93 |


dalam
dalam tindak
tindak pidana
pidana iniini ialah
ialah apabila
apabila ia ia dapat
dapat mendatangkan
mendatangkan empat empat
orang saksi yang melihat sendiri perbuatan
orang saksi yang melihat sendiri perbuatan perzinaan tersebut.perzinaan tersebut.
Dalam
Dalam hal
hal orang
orang yang
yang menuduh
menuduh tidaktidak dapat
dapat mendatang
mendatang empat empat orang
orang
saksi, maka orang
saksi, tersebut.
maka orang yang
yang dituduh
dituduh dibebaskan dari hukuman had
Dalam hal orang yangdibebaskan
menuduh tidak daridapat
hukuman
mendatang had
ataupun rajam,
ataupunempat dan
rajam,orang sebaliknya
dan saksi, orang
maka orang
sebaliknya yang
orang yang
menuduh
yang menuduh
dikenakan
dituduh dikenakan
dibebaskan
hukuman
hukuman had.
darihad. Dalam
hukuman
Dalamhad persoalan ini,
ataupunini,
persoalan tiga
rajam, orang
tiga dan
orang saksi
sebaliknya tidak
orangcukup
saksi tidak yang
cukup
untuk menuduh
membuktikan dikenakan
adanya hukuman
perzinaan. had.
OrangDalam persoalan
menuduh
untuk membuktikan adanya perzinaan. Orang menuduh berbuat zina berbuat ini, tiga
zina
oranghukuman
dikenakan saksi tidak hadcukup untuk
karena membuktikan
telah melakukan adanya
tindak perzinaan.
pidana
dikenakan
Orang
hukuman
menuduh
had karena
berbuat zina
telah melakukan
dikenakan hukuman
tindakhad
pidana
karena
menuduh
menuduh orang
orang lain
lain berbuat
berbuat zina
zina tanpa
tanpa bukti.
bukti. Oleh
Oleh karena
karena itu
itu unsur
unsur
telah melakukan tindak pidana menuduh orang lain berbuat zina
subhat dalam
subhat tanpa tindak pidana menuduh berbuat zina tidaklah
dalambukti. Oleh pidana
tindak karena itu unsur subhat
menuduh dalamzina
berbuat tindak pidana
tidaklah
merupakan
merupakan pengecualian
menuduh dari
dari hukuman.
berbuat zina
pengecualian Dari
Dari kenyataan
tidaklah merupakan
hukuman. ini
ini ternyata
pengecualian
kenyataan ternyatadari
bahwa hukuman.
subhat Dari
sebagai kenyataan
unsur ini ternyata
mengecualikan bahwa
bahwa subhat sebagai unsur mengecualikan hukuman tidaklah subhat
hukuman sebagai unsur
tidaklah
mengecualikan
mencakup hukuman tidaklah mencakup seluruh peristiwa
mencakup seluruh
seluruh peristiwa
peristiwa pidana,
pidana, tetapi
tetapi dalam
dalam hal-hal
hal-hal tertentu
tertentu
subhat pidana,
sebagai tetapi
unsur dalam
yang hal-hal tertentu
mengecualikan subhat
hukuman sebagai
tidak unsur
berlaku. yang
subhat mengecualikan
sebagai unsur yang mengecualikan
hukuman tidak berlaku. hukuman tidak berlaku.
Sumber adanya penghapusan hukuman karena adanya unsur
Sumber
Sumber adanyaadanya penghapusan
penghapusan hukuman
hukuman karenaadanya
karena adanyaunsurunsur
subhat dapat
subhat subhat dilihat dari
dapat dilihat
dapat dilihat hadis berikut
dari berikut
dari hadis ini:
hadis berikut
ini: ini:
  

 


   

 
  
    
 
 
    


       
   
Hindarilah

Hindarilah hukuman
hukuman had
Hindarilah
karena
hukuman
had adanya
karenahad karena
adanya unsur
unsur syubhat.
adanya unsur
syubhat.  syubhat.
  
       
      
               
 
Seorang
Seorang Imam
Seorang lebih
ImamImam baik
lebih lebih salah
baikbaik salahmemaafkan
salah memaafkandaripada
memaafkan daripada salah
daripada salah
salah
menjatuhkan
menjatuhkan hukuman.
hukuman.
menjatuhkan hukuman.
6. Unsur Pemaaf
6.
6. Unsur Pemaaf
Maaf
Unsur sebagai unsur pengecualian hukuman, hanyalah berlaku
Pemaaf
Maaf
Maaf sebagai unsur
sebagai
untuk tindak pidanapengecualian
unsur yang diancamhukuman,
pengecualian hanyalah
dengan hukuman
hukuman, berlaku
qisas,
hanyalah yakni
berlaku
untuk tindak pidana
untuk tindak pidanapembunuhan
pidana yang dengan
diancam
yang diancam sengaja
dengan
dengan dan pelukaan
hukuman
hukuman qisas, dengan
qisas, yakni
yakni
sengaja, ataupun tindak pidana pembunuhan atau pelukaan
oleh karena kesalahan. Mengenai tindak pidana lainnya, seperti
pencurian, perzinaan, tuduhan berbuat zina, pemberontakan,
tidak diketemukan maaf sebagai unsur yang mengecualikan
hukuman.

| 94 | Hukum Pidana Islam


karena kesalahan. Mengenai tindak pidana lainnya, seperti pencurian,
perzinaan,
perzinaan, tuduhan
tuduhan berbuat
berbuat zina,
zina, pemberontakan,
pemberontakan, tidak
tidak diketemukan
diketemukan
maaf sebagai unsur yang mengecualikan hukuman.
maaf sebagai unsur yang mengecualikan hukuman.
Dasar
Dasar daripada
daripada maaf
maaf sebagai
sebagai unsur
unsur pengecualian
pengecualian hukuman
hukuman qisas
qisas
terdapat Dasar
dalam daripada
ketentuan maaf sebagai
al-Qur’an suratunsur pengecualian
al-Baqarah ayat hukuman
178
terdapatqisas
dalam ketentuan
terdapat dalamal-Qur’an
ketentuansurat al-Baqarah
al-Qur’an surat ayat 178 pada
pada
al-Baqarah ayat
bagian yang
bagian 178 terakhir
yangpada yang berbunyi:
bagian yang terakhir yang berbunyi:
terakhir yang berbunyi:
     
   
  
     

   
…tetapi…tetapi
…tetapi barangbarang
barang siapa siapa
siapa yangyang
yang dimaafkan
dimaafkan
dimaafkan sesuatubaginya
sesuatu
sesuatu baginya dari
baginya dari
dari
saudaranya,
saudaranya, maka
saudaranya, maka (hendaklah)
maka (hendaklah)
(hendaklah) ia ia
ia balas balas
balas dengan dengan kebaikan.
dengan kebaikan.
kebaikan.

Ketentuan
Ketentuan ini
ini adalah
Ketentuan merupakan
ini adalah
adalah merupakan
merupakan ketentuan
ketentuankhusus
ketentuan khusus yang
khusus yang
yang
mengecualikan
mengecualikan
mengecualikan ketentuan
ketentuan
ketentuan al-Qur’an
al-Qur’an
al-Qur’an surat surat al-Baqarah
surat al-Baqarah
al-Baqarah ayat ayatpada
ayat 177
177 177
pada
bagian pada bagian
bagian pertama
pertama yangpertama
yang bersifatyang bersifat
bersifat umum
umum yang berbunyi:
umum yang
yang berbunyi: berbunyi:
    
  
       
 
       
 
   
“Hai “Hai orang-orang
“Hai orang-orang
orang-orang yang yang
yang beriman,
beriman,
beriman, diwajibkan
diwajibkan
diwajibkan ataskamu
atas
atas kamu(hukum)
kamu (hukum)
(hukum)
qisas qisas buat (membela) orang-orang yang mati dibunuh.”
qisas buat
buat (membela)
(membela) orang-orang
orang-orang yang
yang mati
mati dibunuh.”
dibunuh.”
Dalam
Dalam prakteknya
Dalam Rasulullah
prakteknya
prakteknya selaku
Rasulullah
Rasulullah Imam
Imam atau
selakuselaku Imamhakim
atau atau dalam
hakim hakim
dalam
suatu dalam
suatu peristiwa
peristiwa suatumemberikan
peristiwa memberikan
memberikan kesempatankesempatan
kesempatan kepada
kepada wali kepadauntuk
wali wali
untuk
untuk
memaafkan, memaafkan, pada kesempatan lain Rasulullah langsung
memaafkan, pada pada kesempatan
kesempatan lain lain Rasulullah
Rasulullah langsung
langsung
melaksanakan
melaksanakan hukumanhukuman
qishash qishash
tanpa tanpa
memberi memberi
kesempatan kesempatan
kepada
melaksanakan
kepada hukuman
wali untukqishash tanpa memberi
memaafkan dan pada kesempatan
kesempatan kepada
lain
wali
wali untuk
untuk memaafkan
memaafkan dan
dan pada
pada kesempatan
kesempatan
Rasulullah memberikan kesempatan kepada tertuduh untuk
lain
lain Rasulullah
Rasulullah
memberikan
membayar
memberikan kesempatan
ganti rugi.kepada
kesempatan kepada tertuduh
tertuduh untuk
untuk membayar
membayar ganti ganti
rugi.
rugi. Pembunuhan yang dilakukan secara keji dan direncanakan
kesempatan maaf
Pembunuhan
Pembunuhan yangtidak
yang diberikan,
dilakukan
dilakukan hal dapat
secara
secara keji kita
keji dan pegangi
dan dengan
direncanakan
direncanakan
mendasarkan
kesempatan maaf pada hadis yanghal diriwayatkan oleh Imam Malik
kesempatan maaf tidak
tidak diberikan,
diberikan, hal dapat
dapat kita
kita pegangi
dalam al Muwatta : bahwa Umar telah membunuh sekelompok
pegangi dengan
dengan
mendasarkan
mendasarkan pada hadis
padasana’
hadis yang diriwayatkan
yangmereka
diriwayatkan oleh
oleh Imam
Imam Malik
Malik dalam
dalam
penduduk karena telah membunuh seseorang secara
al Muwatta
al Muwatta :: bahwa
keji dan bahwa Umar telah
direncanakan.
Umar telah
161 membunuh sekelompok
membunuh sekelompok penduduk
penduduk

161
Imam Malik, Al-Muwatta,(Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hlm.173.

Hukum Pidana Islam | 95 |


| 96 | Hukum Pidana Islam
BAB VI
‘UQUBAH (HUKUMAN)

A. Pengertian dan Prinsip-prinsip ‘Uqubah


Hukuman dalam istilah Arab sering disebut ‘uqubah, yaitu
bentuk balasan bagi seseorang yang atas perbuatannya melanggar
ketentuan syara’ yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya untuk
kemaslahatan manusia.162 Tujuan dari hukuman dalam syari’at
Islam merupakan realisasi dari tujuan hukum Islam itu sendiri,
yakni sebagai pembalasan perbuatan jahat, pencegahan secara
umum dan pencegahan secara khusus serta perlindungan
terhadap hak-hak si korban. Pemidanaan dimaksudkan untuk
mendatangkan kemaslahatan umat dan mencegah kedaliman atau
kemadaratan.163 Menurut Abd al-Qadir Awdah hukuman adalah
suatu penderitaan yang dibebankan kepada seseorang akibat
perbuatannya melanggar aturan.164
Hukuman dalam Islam diterapkan setelah terpenuhi beberapa
unsur, baik yang bersifat umum maupun khusus.165 Ketentuan ini

162
A. Rahman Ritonga, dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1997), VI: 1871.
163
M. Hasbi ash-Shieddiqi, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1975), hlm. 177.
164
Abd al-Qadir Awdah, At-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami, (Bairut: Dar al-
Fikr, t.t), I: 214.
165
Unsur umum adalah unsur yang harus terpenuhi pada setiap jarimah
(delik), hal terdiri dari tiga, pertama ar-ruknu asy-syar’i, yaitu adanya nas yang
mengundangkannya, seperti firman Allah wamākunnā muadzibīna hattā nab’asa
rasūlā. Artinya Allah tidak menyiksa suatu kaum sebelum diutusnya seorang
Rasul. Kedua ar-rukn al-madzī, yaitu adanya perbuatan yang melanggar hukum.
Ketiga ar-rukn al-adzabi, yaitu orang yang berbuat pidana dapat dimintai

| 97 |
diberlakukan, karena hukuman dalam Islam dianggap sebagai suatu
tindakan ihktiyat, bahkan hakim dalam Islam harus menegakkan
dua prinsip:
1. Hindari hukuman hadd dalam perkara yang mengandung
hukum subhat
2. Seorang imam atau hakim lebih baik salah memaafkan
daripada salah menjatuhkan hukuman.166

Adapun prinsip dasar untuk mencapai tujuan oleh ulama fiqh


diberi beberapa kriteria:
1. Hukuman itu bersifat universal, yaitu dapat menghentikan
orang dari melakukan suatu tindak kejahatan, bisa
menyadarkan dan mendidik bagi pelaku jarimah.
2. Penerapan materi hukuman itu sejalan dengan kebutuhan dan
kemaslahatan masyarakat (maslahat).
3. Seluruh bentuk hukuman yang dapat menjamin dan mencapai
kemaslahatan pribadi dan masyarakat, adalah hukuman yang
disyari’atkan, karena harus dijalankan.
4. Hukuman dalam Islam bukan hal balas dendam, tetapi untuk
melakukan perbaikan terhadap pelaku tindak pidana.167
Khusus dalam masalah tindak pidana (criminal act), maka
ada dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan merupakan satu
mata rantai yang tidak akan pernah terputus, yaitu kejahatan dan
hukuman. Suatu bentuk perintah dan larangan saja tidak cukup
mendorong seseorang untuk meninggalkan suatu perbuatan atau
melaksanakannya, untuk itu diperlukan sanksi berupa hukuman
bagi siapa saja yang melanggarnya.168

pertanggung jawaban pidana. Baca Ibid., I: 111.


166
Ibid., I: 214-215.
167
A. Rahman Ritonga, Ensiklopedi…, hlm. 1872.
168
Abdul Salam, Fiqh Jinayat (Hukum Pidana Islam), (Yogyakarta: Ideal,
1987), hlm. 52.

| 98 | Hukum Pidana Islam


Ulama fiqh mengemukakan bahwa hukuman pada setiap
tindak Ulama
Ulamaharus
pidana fiqh mengemukakan
fiqhmemenuhi
mengemukakan bahwa hukuman
bahwasebagai
syarat-syarat hukuman pada
pada setiap
berikut: setiap
tindakUlama
pidana fiqh
harus mengemukakan
memenuhi bahwa
syarat-syarat hukuman
sebagai pada
berikut: setiap
tindak
1.
tindak pidana
Hukuman harus
pidanaitu memenuhi
disyari’atkan,
harus memenuhi syarat-syarat
yaitu sesuaisebagai
syarat-syarat dengan berikut:
sebagaisumber hukum
berikut:
1.
1. Hukuman itu disyari’atkan, yaitu sesuai dengan sumber hukum
1. Hukuman
yang telah itu
Hukuman disyari’atkan,
ditetapkan
itu yaituyaitu
dan diakui
disyari’atkan, sesuaisyari’at
oleh denganIslam.
sesuai sumber
dengan hukum
Perbuatan
sumber
yang telah ditetapkan dan diakui oleh syari’at Islam. Perbuatan
hukum
yang telahyang
dianggapp salah telah
jika ditetapkan
ditetapkan dan
dan diakuioleh
ditentukan diakui
olehnas. oleh
syari’at syari’at
Islam.
Prinsip ini Islam.
Perbuatan
yang dalam
dianggapp
Perbuatan
dianggapp
bahasa salah
salah
hukum jika
dianggapp
jika ditentukan
disebut salah
ditentukan
dengan oleh
oleh nas.
jikaistilah
nas. Prinsip
ditentukan ini yang dalam
oleh nas. Hukum
Prinsip ini yang
asas legalitas. Prinsip
dalam
bahasa
ini yang
bahasa
pidana hukum
hukum
Islam dalam disebut
bahasa
disebut
mengenal dengan
hukum
dengan
asas istilah
disebut
istilah
ini secara asas legalitas.
asasdengan
legalitas.
substansial Hukum
istilah
Hukum
sebagaimanaasas
pidana
pidana Islam
legalitas.
Islam
disebutkan mengenal
Hukum
mengenal
dalam beberapaasas
pidana
asas ini
ini
ayat secara
Islam
secara
sebagai substansial
mengenal
substansial
berikut: sebagaimana
asassebagaimana
ini secara
substansial
disebutkan
disebutkan
a. sebagaimana
dalam beberapa
dalamayat
Surat al-Isra’ beberapa disebutkan
ayat sebagai dalam
berikut:
15: ayat sebagai berikut: beberapa ayat
a.sebagai
a. Surat berikut:ayat
Surat al-Isra’
al-Isra’ ayat 15:
15:
a. Surat al-Isra’ ayat 15:      
         
  
   
     
   
 


 
   
  
 
 
      
    
...dan Kami tidak akan menyiksa
 
   sebelum    
 Kami     
...dan...danKami
...dan
mengutus Kami
Kami tidak
tidak
tidak
seorang akan
akanmenyiksa
akan
Rasul. menyiksasebelum
menyiksa sebelum
sebelumKamiKami
mengutus
Kami
seorang
mengutus
mengutus
b. Surat Rasul.
seorang
seorang
al-Qasas Rasul.
54: Rasul.
b. Surat al-Qasas54: 54:
al-Qasas 
b. Surat al-Qasas
b.  Surat  54:
                               
   
   
      
  akan    
 

 
   
   
    
 negeri
 
Dan  Allah tidak   
 menghancurkan   
 penduduk  
suatu  
DanDan
Dan Allah
Allah
Allah
sebelum tidak
tidak
tidak akanakan
akan
diutusnya menghancurkan
menghancurkan
menghancurkan
Rasul penduduk
penduduk
penduduk
di tengah-tengah suatu suatu
suatu negeri
mereka negeri
untuk
negeri sebelum
sebelum
sebelum diutusnya
diutusnya diutusnya
Rasul
Rasul diRasul
di di tengah-tengah
tengah-tengah
tengah-tengah merekamereka
mereka untuk
untuk
membacakan ayat-ayat kami…
untuk
membacakanmembacakan
ayat-ayat ayat-ayat
kami… kami…
membacakan ayat-ayat kami…
c.c. surat
surat al-Baqarah
al-Baqarah ayatayat 
286:286:
c. surat al-Baqarah ayat 286:
c. surat al-Baqarah ayat 286:
     

    
  

    
 

 
    

Allahtidak
Allah tidakmembebani
membebaniseseorang
seseorangkecuali    sesuai
kecuali    dengan
sesuai dengan
kemampuannya
Allah
Allah tidak
kemampuannya … …
tidak membebani
membebani seseorang
seseorang kecuali kecuali sesuai sesuai dengan dengan
kemampuannya
kemampuannya … …
Berdasarkan
Berdasarkanbeberapa
beberapa ketentuan
ketentuan yang yangterdapatterdapat dalam
dalam ayatayat
al-
al-Qur’an tersebut
Berdasarkan
Qur’anBerdasarkan di atas,
beberapa
beberapa
tersebut di atas, para ahli
ketentuan
ketentuan
para ahli hukum
hukumyang yang merumuskan
terdapat
terdapat dalam
merumuskan dalam kaidah-
ayat
ayat al-
kaidah-kaidah al-
kaidah
Qur’an
Qur’an
yang yang
tersebut
tersebut
diambil diambil
di atas, dari
para
daridisubstansi substansi
ahli hukum
atas, paraayat-ayat
ahli hukum ayat-ayat
merumuskan
merumuskan
tersebut tersebut
di atas, seperti di
kaidah-kaidah
kaidah-kaidah atas,
berikut
seperti
yang
yang
ini: berikut
diambil
diambil ini:
dari
dari substansi
substansi ayat-ayat
ayat-ayat tersebut
tersebut di
di atas,
atas, seperti
seperti berikut
berikut

  
   
     
 
 
ini: 169
ini:
Tidak ada
169 hukuman
Abd al-Qadir bagi perbuatan
Awdah, orang
At-Tasyri`…, berakal sebelum adanya
I: 115.
ketentuan nas.

 Pidana

Hukum     | 99|
Islam

Tidak ada tindak pidana dan tidak ada hukuman kecuali adanya nas.
 

  
 
  

  
        
      
 
Tidak ada
Tidak ada hukuman
hukuman bagi
bagi perbuatan
perbuatan orang
orang berakal
berakal sebelum
sebelum adanya
adanya
Tidak
Tidak ada hukuman
ada hukumanbagi
bagi perbuatan
perbuatanorang
orangberakal
berakal sebelum
sebelum adanya
adanya
nas.
ketentuan nas.
ketentuan
ketentuan
ketentuan 
nas.
nas.

170   
 
  


   
 
      
Tidak ada tindak
Tidak ada tindakpidana
pidana dan
dan tidak
tidak adaada hukuman
hukuman kecuali
kecuali adanya
adanya nas.
tindak pidana dan tidak ada hukuman kecuali adanya nas.
nas. ada tindak pidana dan tidak ada hukuman kecuali adanya nas.
Tidak
 
    

  
 
   
 

   
 
              
            
   
 

       
    

 
  
   
171                       
Suatu perbuatan atau sikap tidak berbuat tidak bisa dipandang
Suatu perbuatan atau sikap tidak berbuat tidak bisa dipandang
Suatu perbuatan atau sikap tidak berbuat tidak bisa dipandang
Suatu
sebagaiperbuatan
suatu jarimah atau sikap
jarimah sebelum
sebelum tidak berbuat
adanya
adanya nas tidak
nas yang bisa
yang tegasdipandang
tegas melarang
melarang
sebagai suatu jarimah sebelum adanya nas yang tegas melarang
sebagai
perbuatan suatu
atau jarimah
sikap tidak
sikap sebelum
tidak berbuat.
berbuat. adanya
Apabila
Apabila nastidak
yang
tidak tegas
ada
ada melarang
ketentuan
ketentuan nas
nas
perbuatan
perbuatan atau
atau sikap
sikap tidak
tidakberbuat.
berbuat. Apabila tidak
Apabila ada ada
tidak ketentuan
ketentuannas
mengaturnya maka
yang mengaturnya maka perbuatan
perbuatan seseorang
seseorang tidak
tidak bisa
bisa dimintai
dimintai
yang
nas mengaturnya
yang mengaturnya maka perbuatan
maka seseorangseseorang
perbuatan tidak bisatidak dimintai
bisa
pertanggungjawaban pidana dan tidak
pertanggungjawaban pidana dan tidak dapat dipidana. dapat dipidana.
dimintai pertanggungjawaban
pertanggungjawaban
2. Hukuman itu itu hanya
pidana dan tidak
hanya dikenakan pidana
dikenakan pada dan
dapat tidak
dipidana.
pada pelaku dapat
pelaku tindak dipidana.
tindak pidana,
pidana,
2.2. Hukuman
Hukuman ituitu hanya
hanya dikenakan
dikenakan padapada pelaku
pelaku tindak
tindak pidana,
pidana,
karena pertanggungjawaban
pertanggungjawaban tindak tindak pidana
pidana hanya
hanya didi pundak
pundak
karena
karena pertanggungjawaban
pertanggungjawaban tindak
tindak pidana
pidana hanya
hanya di pundak
di pundak
pelakunya, orangorang lainlain tidak
tidak boleh
boleh dilibatkan
dilibatkan dalamdalam tindak
tindak
pelakunya,
pelakunya, orang
orang lainlain tidak
tidak boleh
boleh dilibatkan
dilibatkan dalamdalam tindak
tindak
pidana yang dilakukan
dilakukan oleh oleh seseorang.
seseorang.
pidana yang dilakukan
pidana yang dilakukan oleh seseorang.oleh seseorang.
3. Hukuman
3. Hukuman ituitu
itu bersifat
bersifat
bersifat universal
universal
universal dan dan
dan berlaku
berlakuberlaku
bagi bagi seluruh
bagi seluruh
seluruh orang,
orang,
3. Hukuman itu bersifat
orang,pelaku
karena pelaku universal
tindak dan berlaku
kejahatan di bagi seluruh
muka hakim orang,
berlaku
karena pelaku tindak kejahatan di muka hakim berlaku sama
tindak kejahatan di muka hakim berlaku sama
karena pelaku
sama derajatnya, tindak kejahatan di mukaapakahhakim itu berlaku sama
derajatnya, tanpa membedakan apakah itu orang kaya kaya
tanpa tanpa
membedakan membedakanapakah itu orang orang
kaya atau
atau
atau miskin,
derajatnya, tanparakyat atau penguasa.
membedakan apakahSehingga
itu orang dalamkaya jarimah
atau
qisas, bila pelakunya sekalipun penguasa dikenakan hukuman
pula.172
88
Abd
Abd al-Qadir
al-Qadir Awdah,
Awdah, At-Tasyri`…,
At-Tasyri`…,I:I:115.
115.
8170
99 Ibid,
Abd hlm.
al-Qadir 116.
Awdah, At-Tasyri`…, I: 115.
171 Ibid,
Ibid, hlm.
hlm. 116.
Al-Amidi, Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), I:
116.
9
10Ibid,
130; Al-Ghazali,hlm. 116.
10 Al-Amidi, Al-Ihkammin
Al-Mustasfa Ilm al-Ushul, (Mesir: Dar al-Bab sal-Mustafa
Al-Amidi, Al-Ihkam fifi Usul
Usul al-Ahkam,
al-Ahkam,(Beirut:
(Beirut:Dar
Daral-Fikr,
al-Fikr,t.t.),
t.t.),I:I:
al-Halabi,
130;
10 t.t.), I: 63.
Al-Amidi,Al-Mustasfa
Al-Ihkam fi min Usul al-Ahkam, (Beirut: DarDar
al-Fikr, t.t.),sal-
I:
130; Al-Ghazali,
Al-Ghazali, Al-Mustasfa
Keuniversalan hukum min
ini
Ilm
Ilm
pernah
al-Ushul,
al-Ushul, (Mesir:
dipraktikan(Mesir: Dar
oleh para
al-Bab
al-Bab sal-
Darsahabat
al-Babseperti
172
130; Al-Ghazali,
Mustafa
Mustafa Al-Mustasfa
al-Halabi,
al-Halabi, t.t.),
t.t.), I:I: 63.
63. min Ilm al-Ushul, (Mesir: sal-
Ali menguji pada Abu Suraih sebagai hakim pada saat itu. Ali berperkara dengan
Mustafa al-Halabi, t.t.), I: 63.
orang Yahudi (non-Islam), oleh hakim Suraih diputus dengan dimenangkannya

| 100 | Hukum Pidana Islam


B. Klasifikasi Hukuman
Hukuman dalam Islam dapat dikelompokkan dalam beberapa
jenis, hal ini dapat diperinci sebagai berikut :
1. Hukuman dilihat dari pertalian hukuman yang satu dengan
yang lain ada empat macam :
a. Hukuman pokok, yaitu hukuman yang diterapkan secara
definitif, artinya hakim hanya menerapkan sesuai dengan
apa yang telah ditentukan oleh nas. Dalam fiqh jinayat
hukuman ini disebut sebagai jarimah hudud.173
b. Hukuman pengganti, yaitu hukuman yang dierapkan
sebagai pengganti, karena hukuman pokok tidak dapat
diterapkan dengan alasan yang syah. Seperti qisas diganti
dengan diyat, dan diyat diganti dengan dimaafkan.
c. Hukuman tambahan, yaitu suatu hukuman yang menyertai
hukuman pokok tanpa adanya keputusan hakim tersendiri,
misalnya bagi pelaku qazf, hak persaksian hilang, dan
bagi pembunuh, hak pewarisan hilang.
d. Hukuman pelengkap, yaitu tambahan hukuman pokok
dengan melalui keputusan hakim tersendiri, misalnya

orang Yahudi. Demikian pula pada saat pemerintahan Bani Abasiyah,


Khalifah Harun Ar-Rasyid menguji pada Abu Yusuf sebagai qodhi dengan
adanya perselisihan antara Khalifah dengan orang Majusi, dan ternyata yang
dimenangkan adalah orang Majusi dengan alasan-alasan yang nyata. Kejadian ini
dalam suatu riwayat hanya menguji sejauh mana keadilan hukum yang dipegang
pada waktu itu. Hasbi ash-Shieddiqi, Hukum Acara Peradilan Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1975), hlm. 38.
173
Hudud adalah jama’ dari had, yang artinya semulanya adalah batas,
pada perkembangannya hudud dirtikan sebagai hukuman yang telah ditentukan
dengan pasti oleh nas (al-Qur’an dan al-Sunah). Yang termasuk dalam jarimah
hudud adalah, zina, qazf, sariqah, syrub al-khamr, baghyu, hirabah, dan riddah.
Jazuli, Fiqh Jinayat Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam, (Jakarta:
Rajawali Press, 1997), hlm. 24, lihat pula Marsum, Hukum Pidana Islam,
(Yogyakarta: Fakultas Hukum UII, 1988), hlm.126.

Hukum Pidana Islam | 101 |


pencuri, selain dipotong tangan juga diberi tambahan
dengan dikalungkannya tangan di lehernya.174
2. Hukuman dilihat dari kewenangan hakim dalam memutuskan
perkara, maka ada dua macam yaitu :
a. Hukuman yang bersifat terbatas, yakni ketentuan pidana
yang ditetapkan secara pasti oleh nas, artinya tidak ada
batas tertinggi dan terendah. Contoh hukum dera bagi
pezina 100 kali atau hukuman dera bagi penuduh zina
delapan puluh kali.175
b. Hukuman yang memiliki alternatif untuk dipilih.
3. Hukuman dari segi obyeknya, hal ini dapat dibagi menjadi
tiga kelompok.
a. Hukuman jasmani, seperti potong tangan, rajam, jild.
b. Hukuman yang berkenaan dengan psikologis, ancaman
dan teguran.
c. Hukuman benda, ganti rugi, diyat dan penyitaan
harta.176

C. Gabungan Hukuman
Yang dimaksudkan dengan gabungan hukuman adalah
serangkaian sanksi yang diterapkan kepada seseorang apabila ia
telah nyata melakukan jarimah secara berulang-ulang dan antara
perbuatan jarimah yang satu dengan lainnya belum mendapatkan
putusan terakhir.177
Gabungan hukuman bagi pelaku jarimah pada intinya dapat
dibagi ke dalam dua sifat:
1. Gabungan anggapan (concurcus idealis) artinya adanya

174
Ibid.
175
Ibid, hlm. 186.
176
Ibid.
177
Abd al-Qadir Awdah, At-Tasyri’ …, I: 267.

| 102 | Hukum Pidana Islam


gabungan jarimah itu karenahanya bersifat anggapan, sedang
pelakunya sebenarnya hanya berbuat satu jarimah.
Contoh seseorang yang memukul petugas, dia dianggap
melakukan jarimah ganda walaupun pelakunya menganggap
berbuat jarimah tunggal, hal ini dikarenakan yang dipukul
adalah petugas sehingga oleh hukum dianggap berbuat jarimah
ganda, yatiu memukul seseorang dan melawan petugas.
2. Gabungan nyata (concurcus realis), yaitu seseorang melakukan
perbuatan jarimah ganda secara jelas, baik berkenaan dengan
jarimah sejenis atau berbeda.
Misal A melakukan penganiayaan terhadap B, sebelum
dijatuhi hukuman juga melakukan pembunuhan terhadap
C, (contoh jarimah ganda berbeda). Adapun jarimah ganda
sejenis adalah A mencuri, sebelum dihukum dia melakukan
pencurian lagi.178

Adapun yang menjadi pertimbangan fuqaha tentang eksistensi


gabungan hukuman adalah berdasar atas dua teori:
1. Teori saling memasuki atau melengkapi.
Dalam teori ini dimaksudkan bahwa pelaku jarimah dikenakan
satu hukuman, walaupun melakukan tindak kejahatan ganda,
karena perbuatan yang satu dengan yang lainnya dianggap
saling melengkapi atau saling memasuki. Teori ini didasarkan
atas dua pertimbangan pula:
a. Bila pelaku jarimah hanya melakukan tindakan kejahatan
sejenis sebelum diputuskan oleh hakim, maka hukumanya
dapat dijatuhkan satu macam saja.
Alasannya adalah bahwa hukuman itu dijatuhkan untuk
edukasi (pendidikan) dan preventif (pencegahan). Jika
satu hukuman dianggap cukup, maka tak perlu adanya

178
Ahmad Ali al-Jurjawi, Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu, (Kairo: al-
Maktabahal-Halabi, t.t.), II: 307.

Hukum Pidana Islam | 103 |


hukuman berulang, akan tetapi jika ia belum insaf
dan mengulangi perbuatan jahatnya, ia dapat dikenai
hukuman lagi.179
Contoh: seorang mencuri, sebelum dikenai hukuman ia
mencuri lagi.
b. Bila jarimah yang dilakukan oleh seseorang secara
berulang-ulang dan terdiri dari bermacam-macam
jarimah, maka pelakunyapun dapat dijatuhi satu
hukuman, dengan syarat bahwa penjatuhan hukuman itu
melindungi kepentingan bersama dan untuk mewujudkan
tujuan yang sama.
Contoh: seseorang makan daging babi, kemudian minum
khamr serta makan bangkai.
2. Teori Penyerapan
Yang dimaksud dengan teori penyerapan adalah penjatuhan
hukuman dengan menghilangkan hukuman yang lain karena
telah diserap oleh hukuman yang lebih berat.
Contoh: penjatuhan hukuman mati, otomatis hukuman yang
lain dianggap tidak ada, karena telah diserap oleh hukuman
mati.
Teori penyerapan ini dipegangi oleh Abu Hanifah, Malik dan
Ahmad. Sedangkan Imam Syafi’i menolak, beliau berpendapat
bahwa semua hukuman harus dijatuhkan. Adapun teknis
pelaksanaannya adalah mendahulukan bagi hak menusia
yang bukan hukuman mati, seperti hukuman diyat harus
didahulukan, kemudian baru hak Allah, seperti hukuman
potong tangan bagi pencuri, jilid bagi pezina.

Dalam beberapa kasus yang memunculkan opini dan polemik


yang masih dianggap aktual adalah tentang pelaksanaan hukuman

179
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1968), hlm. 168.

| 104 | Hukum Pidana Islam


(lebih-lebih hukuman mati). Bila kasus yang dibicarakan adalah
hukuman mati, maka dalam Islam penerapan hukuman tersebut
mempunyai hikmah yang besar, yakni jika pelaku hukuman tidak
dikenai hukuman mati maka akan membawa kobaran api bagi
keluarga.180
Sekalipun dalam Islam mengakui jarimah qisas diyat, tetapi
tidak sekaku yang dibayangkan. Islam justru dalam menerapkan
hukuman sangat memperhatikan kepentingan individu dan
masyarakat. Ditegakkannya hukuman dalam Islam pada prinsipnya
adalah demi kemaslahatan manusia. Kewajiban-kewajiban dalam
syari’ah menyangkut perlindungan maqasid syari’ah yang pada
bertujuan melindungi maslahat manusia.181 Perlindungan terhadap
kepentingan manusia yang paling pokok adalah dalam kategori
maslahah daruri yang terdiri dari lima bidang yaitu din (agama),
nafs (jiwa), nasl (keturunan), mal (harta) dan aql (akal).182 Kelima
unsur tersebut perlu adanya perlindungan, seperti ibadah untuk
melindungi agama, ibadah, sholat, zakat, haji untuk melindungi
jiwa dan harta, demikian juga masalah uqubah untuk melindungi
harta, jiwa dan kehormatan.
Adapun penerapan dan pelaksanaan hukuman, dalam
Islam terkenal adanya dua teori yaitu teori absolut dan relatif.
Standar keadilan dalam penerapan hukuman mutlak adalah
dengan menyesuaikan kehendak masyarakat dan sekaligus
mempertimbangkan bentuk, kualitas dan kuantitas kejahatan
yang dilakukan. Sedangkan pada hukum dalam arti behwa

180
Maslahah artinya apa yang menyangkut kepentingan manusia seperti
perolehan rizki, pemenuhan hak, dengan kata lain dapat diartikan sebagai
perlindungan kepentingan. Lihat asy-Syatibi, Al-Muwafaqat (Mesir: Dar al-Bab
al-Halabi, t.t.), II:25.
181
M. Khalid Mas’ud, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: Pustaka, 1996),
hlm. 245.
182
Murtandho Muthohhari, Keadilan Ilahi: Asas dan Pandangan Dunia
Islam, cet. 2 (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 53.

Hukum Pidana Islam | 105 |


dirinya merupakan suatu yang formal, maka dalam hal ini lebih
dititik beratkan pada fungsi ditetapkannya hukuman, artiny
bahwa penerapan hukuman mutlak diupayakan sebagai upaya
mewujudkan keadilan.
Menurut Murtandho Muthohari, bahwa yang ditekankan
pada penerapan hukuman relatif adalah masyarakat secara
keseluruhan dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan
individu. Karena apabila keadilan hanya ditumpukan kepada
masyarakat tampa melihat kepentingan individu, maka tujuan
hakiki dari hukuman itu tidak terealisir, mengapa hal ini terjadi,
bahwa individu adalah asal dari setiap masalah.183
Dalam hukum pidana Islam teori hukuman mutlak identik
dengan jarimah hudud (hukuman pasti) dan teori relatif identik
dengan jarimah tra’zir.184 Dalam praktek hampir semua sanksi
diterapkan untuk menjaga kepentingan manusia, baik secara
individu maupun kolektif. Bahkan tidak sedikit hukuman pokok
harus dihindari, karena adanya alasan yang sah, seperti zina tidak
dirajam, karena adanya unsur subhat, pencuri tidak dipotong
tangan, karena musim paceklik, pembunuh tidak diqisas karena
adanya unsur pemaaf. Penerapan ini sejalan dengan kaidah fiqh
yang menyatakan ditetapkannya tujuan hukuman adalah untuk
mencari titik kemanfaatan (utilitarianisme) dan menyatakan
kebaikan yang bersifat umum bagi seluruh manusia.
Adapun pelaksanaan hukuman dalam Islam dapat diperinci
dengan mengacu kepada pembagian jarimah menurut berat ringannya
hukuman, yaitu hudud, qisas diyat dan ta’zir. Dengan demikian
pelaksanaannyapun diklasifikasikan dalam tiga ketentuan:

183
Ta’zir artinya hukuman yang jenis pelanggaran dan ketentuan
hukumannya ditentukan oleh penguasa. Lihat Abd al-Qadir Awdah, At-Tasyri’
..., II: 185.
184
Jalaludin as-Suyuti, Al-Asybah wa al-Naza’ir, (Bairut: Dar al-Fikr, t.t.),
hlm. 179.

| 106 | Hukum Pidana Islam


1. Pelaksanaan hukuman jarimah hudud.
Di dalam literatur fiqh didapatkan kesepakatan fuqaha bahwa
yang berwenang menjalankan pelaksanan hudud yaitu imam
(kepala negara) atau wakilnya dalam hal ini bisa hakim atau
petugas yang diberi wewenang menjalankan pelaksanaan
hukuman hudud. Tiap pelaksanaan hukuman hudud ini harus
ada ijin imam, atau wakilnya yang ditunjuk (hakim atau
pelaksana yang diangkat oleh imam secara resmi).
2. Pelaksanaan hukuman jarimah qishas diyat.
Menurut prinsipnya pelaksanaan hukuman adalah wewenang
penguasa. Namun dalam jarimah qishas diyat, pelaksanaan
hukumannya dapat dilakukan oleh korban jarimah atau
wakilnya. Menurut pendapat fuqaha, wali dapat melaksanakan
hukuman qisas, tapi harus di bawah pengawasan penguasa atau
petugas negara, hal ini untuk menghindari kezaliman. Jika
wali korban tidak sanggup melaksanakan, maka pelaksanaan
hukuman diserahkan kepada petugas negara. Terhadap hukuman
qisas yang bukan hukuman mati menurut Abu Hanifah,
korban jarimah dapat diberi wewenang untuk melaksanakan
hukumannya, sedangkan menurut Malik Syafi’i dan Hambaliyah
berpendapat, bahwa korban jarimah tidak boleh melaksanakan
hukuman qisas sendiri, karena dikhawatirkan melebihi batas
dan untuk menghindari kezaliman.
3. Pelaksanaan hukuman jarimah ta’zir.
Adapun pelaksanaan hukuman ta’zir ini adalah mutlak menjadi
hak dan wewenang kepala negara (imam), seperti hakim dan
petugas hukum lainnya. Bila dilaksanakan orang lain yang
tidak mempunyai wewenang melaksanakannya, maka ia dapat
dikenakan sanksi. Alasannya setiap sanksi atau hukuman itu
diadakan bertujuan untuk melindungi masyarakat atau rakyat.
Oleh karena penguasa negara itu wakil rakyat, maka hanya
dia yang berwenang melaksanakan hukuman ta’zir ini.

Hukum Pidana Islam | 107 |


D. Tujuan Hukuman
Hukum pidana merupakan ilmu pengetahuan tentang hukum,
oleh karena itu peninjauan bahan-bahan mengenai hukum pidana,
terutama mengenai segi pertanggung jawaban manusia tentang
perbuatan yang yang dapat dihukum tidak bisa terlepas dari teori-
teori tentang hukuman atau sanksi.185
Dalam merealisir persoalan pelanggaran hukum, maka
perlu adanya sanksi, namun demikian para ahli hukum dalam
menentukan sanksi pemidanaan menuangkan beberapa teori yang
berbeda. Yang akhirnya berbeda pula dalam penerapannya.
Hukum pidana Islam, sebagai realisasi dari hukum Islam itu
sendiri, menerapkan hukuman dengan tujuan untuk menciptakan
ketentraman individu dan masyarakat serta mencegah perbuatan-
perbuatan yang bisa menimbulkan kerugian terhadap anggauta
masyarakat, baik yang berkenaan dengan jiwa, harta maupun
kehormatan.186 Tujuan pemberi hukuman dalam Islam sesuai
dengan konsep tujuan umum di syariatkan hukum, yaitu untuk
merealisasi kemaslahatan umat dan sekaligus akan ditegakkan
keadilan.187
Hukuman yang ditegakkan dalam syari’at Islam mempunyai
dua aspek, preventif (pencegahan) dan represif (pendidikan).
Dengan diterapkan kedua aspek tersebut akan dihasilkan satu
aspek kemaslahatan (positif), yaitu terbentuknya moral yang baik,
maka akan menjadikan masyarakat menjadi aman, tentram damai
dan penuh dengan keadilan, karena moral yang dilandasi agama
akan membawa perilaku manusia sesuai dengan tuntutan agama.

185
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cet.
Ke-5, (Jakarta: Balai Pustaka, 1983).
186
Ahmad Hanafi, Asas-asas …, hlm. 255.
187
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ususl al-Fiqh, (Kuwait: Dar al-Qalam,
1992), hlm. 198. Lihat pula M. Abu Zahrah, Usul al-Fiqh, (Kairo: Muktabah
Muhaimar, 1957), hlm. 351.

| 108 | Hukum Pidana Islam


Menurut Andi Hamzah dan A. Simanglipu, sepanjang
perjalanan sejarah, tujuan penjatuhan pidana dapat dihimpun
dalam empat bagian, yakni:
1. Pembalasan (revenge), seseorang yang telah menyebabkan
kerusakan dan malapetaka pada orang lain, menurut alasan
ini wajib menderita seperti yang ditimpakan kepada orang
lain.
2. Penghapusan dosa (ekspiation), konsep ini berasal dari
pemikiran yang bersifat religius yang bersumber dari Allah.
3. Menjerakan (detern).
4. Memperbaiki si pelaku tindak kejahatan (rehabilitation of
the criminal), pidana ini diterapakan sebagai usaha untuk
mengubah sikap dan prilaku jarimun agar tidak mengulangi
kejahatannya.188

Abdul Qadir Awdah, seorang ahli hukum pidana Islam dari


mesir, mengatakan bahwa prinsip hukuman dalam Islam dapat
disimpulkan dalam dua dasar pokok, yaitu menuntaskan segala
perbuatan pidana dengan mengabaikan pribadi terpidana dan
memprbaiki sikap terpidana sekaligus menuntaskan segala bentuk
tindak pidana. Mnunraskan segala bentuk tindak pidana bertujuan
untuk memelihara stabilitas masyarakat, sedangkan untuk pribadi
terpidana bertujuan untuk memperbaiki sikap dan perilakunya.
Oleh sebab itu, menurutnya, hukuman bagi segala bentuk tindak
pidana yang terjadi harus sesuai dengan kemaslahatan dan
ketentraman masyarakat yang menghendaki.
Dalam hukum pidana islam secara implisit ada tekanan tujuan
pemidanaan seperti diungkapkan dalam surat al-Maidah ayat 38
dan surat an-Nur ayat 2 berikut ini:

188
Andi Hamzah dan A. Simanglipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa
Lalu, Masa Kini dan Masa yang Akan Datang, cet. 2, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1985), hlm.15.

Hukum Pidana Islam | 109 |


pemidanaan seperti diungkapkan dalam surat al-Maidah ayat 38 dan
pemidanaan seperti diungkapkan dalam surat al-Maidah ayat 38 dan
surat an-Nur ayat 2 berikut ini:
surat an-Nur ayat 2 berikut ini:

          
 

    
                   
Laki-laki
Laki-laki
Laki-laki dandan
dan perempuan
perempuan
perempuan
yang yang
mencurimencuri
yang mencuri potonglah
potonglah
potonglah tangan
tangan keduanya
tangan keduanya
keduanya
sebagai sebagai pembalasan
pembalasan bagi apa
bagi apa yang yangkerjakan
mereka mereka kerjakan dan
dan sebagai
sebagai pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
sebagaidari
siksaan siksaan
Allah.dari
DanAllah. Dan Allah
Allah maha perkasamaha perkasa
lagi maha lagi maha
bijaksana.
siksaan dari Allah. Dan Allah maha perkasa lagi maha bijaksana.
bijaksana.
        
       
  
  
     
         
  
 
            
    
   
    
           
Pezina perempuan
Pezina perempuandan danlaki laki hendaklah
hendaklah dicambuk
dicambuk seratus
seratus kali
kali dan
Pezina
dan perempuan
janganlah dan belas
merasa laki hendaklah
kasihan dicambuk
kepada seratus sehingga
keduanya kali dan
janganlah merasa belas kasihan kepada keduanya sehingga
janganlah kamu
mencegah merasadalam
belas menjalankan
kasihan kepada
hukum keduanyahalsehingga
mencegah kamu dalam menjalankan hukum Allah,Allah,
hal ini jikainikamu
jika
kamu beriman
mencegah kepadamenjalankan
kamu dalam Allah dan hukum
hari akhir. Daninihendaklah
Allah, hal jika kamu
beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan hendaklah dalam
dalam
berimanmenjatuhkan
kepada Allah sanksidan(mencambuk)
hari akhir. mereka disaksikandalam
Dan hendaklah oleh
menjatuhkan sanksi (mencambuk) mereka disaksikan oleh
sekumpulan
menjatuhkan orang-orang yang beriman.mereka disaksikan oleh
sanksi (mencambuk)
sekumpulan orang-orang yang beriman.
sekumpulan orang-orang yang beriman.
Ayat tersebut
Ayat di atasdimenggambarkan
tersebut adanya balasan
atas menggambarkan adanya terhadap
balasan
Ayat tersebut di atas menggambarkan adanya balasan
sebuah kejahatan dan ketika membalas harus diumumkan
terhadap sebuah kejahatan dan ketika membalas harus diumumkan atau
terhadap sebuah
dilakukan di mukakejahatan
umum.dan ketikademikian
Dengan membalasdapat
harusdisimpulkan
diumumkan
bahwa berdasarkan tujuan pemidanaan adalah:
1. Pemidanaan dimaksudkan sebagai retribution (pembalasan),
artinya setiap perbuatan yang melanggar hukum harus
dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan nas. Jangka panjang
dari aspek ini adalah pemberian perlindungan terhdap
masyarakat luas (social defence). Contohnya dalam hal hukum
qisas yang merupakan bentuk keadilan tertinggi. Di dalamnya
termuat keseimbangan antara dosa dan hukuman.189
2. Pemidanaan dimaksudkan sebagai pencegahan kolektif

189
Makhrus Munajat,”Penegakkan Supremasi Hukum di Indonesia
dalam Perspektif Islam”, dalam Asy-Syir`ah, (Yogyakarta: Fakultas Syari`ah
IAIN Yogyakarta, 2001), hlm.66.

| 110 | Hukum Pidana Islam


(generale prevention), yang berarti pemidanaan bisa
memberikan pelajaran bagi orang lain untuk tidak melakukan
kejahatan serupa. Contohnya orang berzina harus didera di
muka umum sehingga orang yang melihat diharapkan tidak
melakukan perzinaan190.
3. Pemidanaan dimaksudkan sebagai speciale prevention
(pencegahan khusus), artinya seseorang yang melakukan
tindak pidana setelah diterapkan sanksi ia akan bertaubat dan
tidak mengulangi kejahatannya lagi, dalam aspek ini secara
terkandung nilai treatment. Sebab tercegahnya seseorang dari
berbuat jahat bisa melalui penderitaan akibat dipidana atau
timbul dari kesadaran pribadi selama menjalani pidana.

190
Ibid.

Hukum Pidana Islam | 111 |


| 112 | Hukum Pidana Islam
BAB VII
JARIMAH HUDUD

A. Refleksi Jarimah Hudud


Hukum pidana Islam sering mendapat tudingan sebagai
hukum yang out of date dan dehumanis. Tudingan itu terjadi
karena ketidaksanggupan mereka menangkap ruh syari’at Islam.
Padahal hukum pidana Islam sebagaimana yang tertera dalam nas
tidaklah absolut (letterlijk). Nabi tidak selalu memberlakukan
hukum sebagaimana bunyi teks tetapi sangat kondisional. Hukum
pidana Islam bukanlah bersifat ortodoks melainkan memberikan
ruang gerak bagi akal fikiran manusia untuk ijtihad. Ijtihad ini
diberikan dalam rangka menginterpretasikan teks-teks hukum
sehingga mampu merespon kebutuhan dan tuntutan masyarakat
secara dinamis. Oleh karena itu perlu diadakan reaktualisasi
pemikiran hukum pidana Islam terutama dari sisi klasifikasi tindak
pidana sampai kepada persoalan sanksi.
Sistem hukum pidana Islam sesungguhnya diawali dengan
koreksi terhadap sistem hukum jahiliyah yang diskriminatif.
Kabilah yang kuat di kala itu sangat berhak dalam persoalan
intervensi hukum, sementara suku yang lemah hanya sebagai
pelengkap penderita (tertindas) karena ketidakberdayaanya. Islam
datang dengan membawa panji menegakan hukum dengan prinsip
keseimbangan dan keadilan.
Reaktualisasi pemikiran ditawarkan sebagai upaya penyegaran
atau tindakan untuk menjadikan sesuatu itu baru di satu sisi dan
di sisi lain tetap tidak merubah nilai dasar dari sesuatu yang

| 113 |
diperbarui.191 Jika dikatakan reaktualisasi pemikiran, maka
aktualisasinya meliputi bidang pemikiran, sikap, mental, perilaku
atau tindakan manusia yang meliputi bidang ilmu, iman, dan
amal.192
Berkaitan dengan pemahaman hukum pidana Islam yang
berorientasi pada penegakan amar ma’ruf nahi munkar, maka
tegaknya al-maqasid asy-syari’ah merupakan sebuah keniscayaan.
Perlindungan terhadap agama, jiwa, keturunan, harta dan akal.
Hukum pidana Islam, ketika menerapkan sanksi mendasarkan
kepada kepentingan kolektif di atas kepentingan pribadi atau
golongan. Reaktualisasi pemikiran hukum Islam sebenarnya
bukan hal yang baru. Umar ibn al-Khattab pernah mengadakan
penyimpangan asas legalitas dalam hukum potong tangan yang
terjadi pada musim paceklik.193 Sikap Umar bukan mengkhianati
hukum Allah, melainkan semangat menangkap ruh syari’at Islam
dengan pemahaman yang kontekstual. Hal senada juga dilakukan
oleh Rasulullah jauh sebelum peristiwa tersebut, yakni ketika
Rasulullah tidak menghukum apa-apa bagi pencuri buah-buahan
yang dimakan di tempat.194
Pengaktualisasian pemidanaan di sini bukan berarti ingin
merubah nilai dasar, akan tetapi memahami kembali teks secara
konseptual dengan tidak merubah jiwa (ruh) syari’ah.

191
Rahman Ritonga, dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, ed. Abd Azizi
Dahlan, dkk., (Jakarta: Intermassa, 1997), hlm. 1488.
192
Umar Syihab, Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran, (Semarang:
Dina Utama, 1996), hlm. 14.
193
Ibn al-Qayyim, I’lam al-Muwaqi’in ar-Rab al-Alamin, (Beirut: Dar al-
Fikr, 1977), III: 22; Subhi Mahmasani, Falsafah at-Tasyri’ fi al-Islam, (Mesir:
Dar al-Qalam, 1945), hlm. 167.
194 Abu Yusuf, Ar-Rad ‘ala Siyar al-Auza’i, (Mesir: Dar al-Qalam, 1357
H.), hlm. 50.

| 114 | Hukum Pidana Islam


B. Redefinisi Jarimah Hudud
Jarimah hudud sering diartikan sebagai tindak pidana yang
macam dan sanksinya ditetapkan secara mutlak oleh Allah.195
Sehingga manusia tidak berhak untuk menetapkan hukuman lain
selain hukum yang ditetapkan berdasarkan kitab Allah. Ketetapan
ini sesungguhnya hasil kreasi ijtihad para ulama terdahulu dengan
berbagai pertimbangan. Alasan para fuqaha mengklasifikasikan
jarimah hudud sebagai hak Allah, pertama, karena perbuatan
yang disebut secara rinci oleh al-Qu`ran sangat mendatangkan
kemaslahatan baik perorangan maupun kolektif.196 Kedua, Jenis
pidana dan sanksinya secara definitif disebut secara langsung
oleh lafad yang ada di dalam al-Qur`an, sementara tindak pidana
lainnya tidak.
Kejahatan hudud adalah kejahatan yang paling serius dan
berat dalam hukum pidana Islam. Ia adalah kejahatan terhadap
kepentingan publik. Tetapi ini tidak berarti bahwa kejahatan
hudud tidak mempengaruhi kepentingan pribadi sama sekali,
namun terutama sekali berkaitan dengan apa yang disebut hak
Allah. Kejahatan dalam kategori ini dapat didefinisikan sebagai
kejahatan yang diancam dengan hukuman had, yaitu hukuman
yang ditentukan sebagai hak Allah. Dalam definisi ini, hukuman
yang ditentukan, berarti bahwa baik kuantitas maupun kualitasnya
ditentukan dan tidak mengenal tingkatan. Hasil ijtihad ini diikuti
oleh pemikir yang datang kemudian karena melihat urgensinya
ketika ada pembagian jarimah berdasarkan berat ringanya
hukuman, yaitu: hudud, qisas diyat dan ta’zir. Mengingat ini
adalah bentuk ijtihad, sehingga penggolonganyapun terjadi
perselihihan pendapat. Jumhur ulama merumuskan jarimah
hudud ada tujuh yaitu zina, qadzaf (tuduhan palsu zina), sariqah

195
Abd al-Qadir Awdah, At-Tasyri al-Jina’I al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr,
t.t.), I: 79
196
Ibid.

Hukum Pidana Islam | 115 |


(pencurian), hirabah (perampokan), riddah (murtad), al-baghy
(pemberontakan), dan syurb al-khamr (meminum khamr).197
Sementara mazhab Malikiyah hanya memasukkan jarimah
hudud dalam lima kategori yaitu zina, qadzaf (tuduhan palsu
zina), sariqah (pencurian), hirabah (perampokan) dan baghy
(pembrontakan).198
Sejarah telah mencatat, bahwa terjadi perbedaan ketika
menerapkan sanksi dalam kasus yang sama. Contoh, zina yang
dianggap sebagai jarimah hudud. Teori gradasi diberlakukan
dengan prinsip adanya tahapan-tahapan dalam menerapkan
hukum dengan melihat kondisi individu dan struktur masyarakat.
Awal sanksi zina adalah cercaan dan hinaan (surat an-Nisa ayat 16),
selanjutnya kurungan dalam rumah (surat an-Nisa ayat 15), tahap
berikutnya hukuman dera (surat an-Nur ayat 2). Sementara hukum
rajam yang sumbernya hadis Nabi diperdebatkan keautentikannya.
Terlebih jika hukum rajam dikaitkan dengan surat an-Nisa ayat
25 dan surat al-Ahzab ayat 30. Dengan demikian para fuqaha di
samping menerapkan teori gradasi juga merasionalisasikan prinsip
nasakh.
Pada kasus pencurian yang ditegaskan dalam al-Qur`an
dikenakan hukum potong tangan. Ternyata hukum tersebut bukan
harga mati dalam Islam. Umar ibn al-Khattab pernah mengadakan
penyimpangan asas legalitas dalam hukum potong tangan yang
terjadi pada musim paceklik (larang pangan).199 Sikap Umar bukan
mengkhianati hukum Allah, melainkan semangat menangkap ruh
syari’at Islam dengan pemahaman yang kontekstual. Hal senada
juga dilakukan oleh Rasulullah jauh sebelum peristiwa tersebut,
yakni ketika Rasulullah tidak menghukum apa-apa bagi pencuri

197
Abd al-Qadir Awdah, At-Tasyri’…, I: 79; As-Sayid Sabiq, Fiqh as-
Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), II: 302.
198
Marsum, Fiqh Jinayah, (Yogyakarta: Fakultas Hukum UII, 1986), hlm. 86.
199
Ibn al-Qayyim, I’lam…, III: 22; Subhi Mahmasani, Falsafah…, hlm. 167.

| 116 | Hukum Pidana Islam


buah-buahan yang dimakan di tempat.200 Ini bukti bahwa hukum
Islam tidak tertutup bagi ijtihad.
Persoalan konversi agama, yang jelas dilegalkan dalam al-
Qur`an, la ikraha fi ad-din (tidak ada paksaan dalam agama), dan
hadis Nabi yang mengatakan man badala dinahu faqtuluhu (siapa
menukar agama bunuhlah ia), ini jelas suatu yang sangat apriori
dalam pemikiran, karena sesungguhnya yang dibunuh bukan
karena riddah-nya tetapi sifat desersi (pengkhianatan negara yang
dibarengi dengan murtad).201
Demikian halnya dengan kasus minum-minuman keras,
pemberontakan dan qazf yang oleh jumhur dimasukkan dalam
jarimah hudud. Jadi pada hakikatnya ada kebebasan untuk
menetapkan hukuman, akan tetapi hukum Allah tetap dijadikan
sebagai rambu-rambu dalam menegakkan keadilan. Oleh karena
itu pemahaman jarimah hudud harus disikapi sebagai sebuah
ijtihad ulama terdahulu. Pada perkembangan hukum modern tidak
mustahil diinterpretasikan kembali sesuai dengan perkembangan
dan tuntutan zaman dengan tidak merubah nilai-nilai dasar yang
terkandung dalam syari’ah.

200
Abu Yusuf, Ar-Rad…, hlm. 50.
201
Haliman, Hukum Pidana Islam Menurut Adjaran Ahli Sunah wal
Jamaah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1968), hlm. 384.

Hukum Pidana Islam | 117 |


| 118 | Hukum Pidana Islam
/?MO;NOS;HANC>;E>;J;N>C=;J;CM?FOLOBHS;D;HA;H>CNCHAA;F
/?MO;NOS;HANC>;E>;J;N>C=;J;CM?FOLOBHS;D;HA;H>CNCHAA
/?MO;NOS;HANC>;E>;J;N>C=;J;CM?FOLOBHS;D;HA;H>CN
/?MO;NOS;HANC>;E>;J;N>C=;J;CM?FOLOBHS;D;HA;H>CNCHAA;FE;HM?
/?MO;NOS;HANC>;E>;J;N>C=;J;CM?FOLOBHS;D;HA;H>CNCHAA;FE;HM?FOLO
/?MO;NOS;HANC>;E>;J;N>C=;J;CM?FOLOBHS;D;HA;H>CNCHAA;FE
/?MO;NOS;HANC>;E>;J;N>C=;J;CM?FOLOBHS;D;HA;H>CNCHAA
/?MO;NOS;HANC>;E>;J;N>C=;J;CM?FOLOBHS;D;HA;H>CNCHAA;FE;HM?FOLOB
/?MO;NOS;HANC>;E>;J;N>C=;J;CM?FOLOBHS;D;HA;H>CNCHAA;FE;H
';C>;BCHCG?GJOHS;C;LNCDCE;BOEOGJC>;H;%MF;G<?FOG<CM;
';C>;BCHCG?GJOHS;C;LNCDCE;BOEOGJC>;H;%MF;G<?FOG<
';C>;BCHCG?GJOHS;C;LNCDCE;BOEOGJC>;H;%MF;G<?FO
';C>;BCHCG?GJOHS;C;LNCDCE;BOEOGJC>;H;%MF;G<?FOG<CM;>CN?L
';C>;BCHCG?GJOHS;C;LNCDCE;BOEOGJC>;H;%MF;G<?FOG<CM;>CN?L;JE
';C>;BCHCG?GJOHS;C;LNCDCE;BOEOGJC>;H;%MF;G<?FOG<
';C>;BCHCG?GJOHS;C;LNCDCE;BOEOGJC>;H;%MF;G<?FOG<CM;
';C>;BCHCG?GJOHS;C;LNCDCE;BOEOGJC>;H;%MF;G<?FOG<CM;>CN?L;JE;
';C>;BCHCG?GJOHS;C;LNCDCE;BOEOGJC>;H;%MF;G<?FOG<CM;>CN
E?M?FOLOB;H
E?M?FOLOB;H
E?M?FOLOB;H
E?M?FOLOB;H
M?<;A;CG;H;
M?<;A;CG;H;
E?M?FOLOB;H
E?M?FOLOB;H
E?M?FOLOB;H M?<;A;CG;H;
M?<;A;CG;H;
E?N?HNO;H
E?N?HNO;H
M?<;A;CG;H;
M?<;A;CG;H;
M?<;A;CG;H; E?N?HNO;H
>;F;G
E?N?HNO;H
>;F;G
E?N?HNO;H
E?N?HNO;HF
-OL;H 
E?N?HNO;HF
-OL;H 
>;F;G
>;F;G
>;F;G
>;F;GF
-OL;H 
>;F;G
<OE;H
F
-OL;H 
<OE;H
F
-OL;H 
<?L;LNC
F
-OL;H 
F
-OL;H <OE;H
<?L;LNC
<OE;H
<OE;H E?N?HNO;
<OE;H<?L;LN
<OE;H
E?N?
<?L;
<?L;LNC
<?L
BAB VIII
E?M?FOLOB;H
E?M?FOLOB;H
M?<;A;CG;H;
M?<;A;CG;H;
E?N?HNO;H
E?N?HNO;H
>;F;G F
-OL;H 
>;F;G F
-OL;H 
<OE;H <?L;LNC
<OE;H <?L;LNC
E?N?HNO;E?
%MF;G %MF;G
%MF;GN?HN;HA
%MF;G%MF;G
N?HN;HA
%MF;G N?HN;HA
%MF;G
N?HN;HA
JC>;H;
JC>;H;
N?HN;HA
N?HN;HA
TINDAK N?HN;HA
JC>;H;
JC>;H;
NC>;E
NC>;E
JC>;H;
JC>;H; JC>;H;
NC>;E
OM;B
OM;BNC>;E
NC>;E
PIDANA
BABNC>;E
VIII OM;B
NC>;E
OM;B
OM;B
OM;B >CN?L;JE;H 
>CN?L;JE;H  OM;B
>CN?L;JE;H >CN?L;JE;H 
E;H>CN?L;JE;H 
E;H
>CN?L;JE;H 
>CN?L;JE;H 
PERZINAAN E;H
E;H
N?N;JC
N?N;JC
E;H
E;H N?N;JC
E;H
N?N;JC
>CN?L;JE;H
N?N;JC >CN?L;JE
N?N;JC
N?N;JC >CN?L;
>CN?L;JE;H
>CN?L;JE;>
<?L>;M
<?
>CN?L;
%MF;G N?HN;HA TINDAK
%MF;G N?HN;HA
JC>;H; NC>;E PIDANA
JC>;H; OM;B PERZINAAN
NC>;E>CN?L;JE;H 
OM;B >CN?L;JE;H 
E;H N?N;JC
E;H >CN?L;JE;H
N?N;JC >CN?L;JE;H
<?L>;M;
E?G;GJO;H
E?G;GJO;H E?G;GJO;H
E?G;GJO;H
>C
E?G;GJO;HE?G;GJO;H
>C G;H;
E?G;GJO;H >C
>C
>C >C
G;H;
BOEOG
BOEOG G;H;
G;H;>CBOEOG
G;H;
BOEOG
JC>;H;
JC>;H;
BOEOG
BOEOG BOEOG
JC>;H;
JC>;H;
%MF;G
%MF;G
JC>;H;
JC>;H;JC>;H;
%MF;G
>;J;N %MF;G
>;J;N>CN?L;JE;H 
%MF;G
%MF;G>;J;N
%MF;G
>;J;N
>;J;N >CN?L;JE;H 
>;J;N>;J;N
>CN?L;JE;H 
>CN?L;JE;H  >CN?L;JE;H
GCM;FHS;
>CN?L;JE;H  GCM;FH
GCM;FHS;
>CN?L;JE;H  GCM
BOEOG
B
GCM;FH
GCM
E?G;GJO;H
E?G;GJO;H
>C G;H;
>CBOEOG
G;H; BOEOG JC>;H;
JC>;H; %MF;G >;J;N
%MF;G>CN?L;JE;H 
>;J;N >CN?L;JE;H 
GCM;FHS;
GCM;FHS;
BOEOG
%MF;G>C%H>IH?MC;B;HS;<;LO>;J;N>C;EIGI>CLN?HN;HA<?HNOEE?D
%MF;G>C%H>IH?MC;B;HS;<;LO>;J;N>C;EIGI>CLN?HN;HA<?HNOEE
%MF;G>C%H>IH?MC;B;HS;<;LO>;J;N>C;EIGI>CLN?HN;HA<?H
%MF;G>C%H>IH?MC;B;HS;<;LO>;J;N>C;EIGI>CLN?HN;HA<?HNOEE?D;B;N;
%MF;G>C%H>IH?MC;B;HS;<;LO>;J;N>C;EIGI>CLN?HN;HA<?HNOEE?D;B;N;HHS
%MF;G>C%H>IH?MC;B;HS;<;LO>;J;N>C;EIGI>CLN?HN;HA<?HNOEE?D;
%MF;G>C%H>IH?MC;B;HS;<;LO>;J;N>C;EIGI>CLN?HN;HA<?HNOE
A. Pengertian dan Sumber Hukum Delik Perzinaan
1.
A. Pengertian
PengertianPerzinaan
dan Sumber Hukum Delik Perzinaan
%MF;G>C%H>IH?MC;B;HS;<;LO>;J;N>C;EIGI>CLN?HN;HA<?HNOEE?D;B;N;HHS;
%MF;G>C%H>IH?MC;B;HS;<;LO>;J;N>C;EIGI>CLN?HN;HA<?HNOEE?D;B;
TCH;  TCH; 
TCH; 
TCH; G?H=OLC 
G?H=OLC 
TCH; 
TCH; 
Zina G?H=OLC 
TCH; 
G?H=OLC 
G?H=OLC G?H=OLC 
G?G<OHOB
G?G<OHOB
G?H=OLC 
secara G?G<OHOB
G?G<OHOB
G?G<OHOB
;>;F;B
;>;F;B
G?G<OHOB
G?G<OHOB
harfiah berarti ;>;F;B
;>;F;B
M?MO;NO
;>;F;B
;>;F;B
fa>hisyah, ;>;F;B
M?MO;NO M?MO;NO
M?MO;NO
S;HA
S;HA
M?MO;NOM?MO;NO
M?MO;NO
yaitu S;HA
S;HA
>CF;L;HA
S;HA
S;HA
perbuatan >CF;L;HA
S;HA
>CF;L;HA >CF;L;HA
>;F;G >CF;L;HA
>;F;G
>CF;L;HA >;F;G
>CF;L;HA
keji. >;F;
F
-OL;
F
-
>;F;G
>;F;
1. Pengertian Perzinaan
TCH; Zina
G?H=OLC 
TCH; 
dari G?H=OLC 
Zina G?G<OHOB
segi
secara G?G<OHOB
istilah ;>;F;B
diartikan
harfiah ;>;F;B
M?MO;NO
sebagai
berarti M?MO;NO
S;HA
hubungan
fāhisyah, >CF;L;HA
S;HA >CF;L;HA
kelamin
yaitu perbuatan >;F;G
keji. >;F;G
antara F
-OL;H
F
>CF;L;HAJOF;>;F;GBOEOG>C%H>IH?MC; >;HJ?F;EOHS;>CE?H;E;HM;
>CF;L;HAJOF;>;F;GBOEOG>C%H>IH?MC; >;HJ?F;EOHS;>CE?H;E;H
>CF;L;HAJOF;>;F;GBOEOG>C%H>IH?MC; >;HJ?F;EOHS;>CE?H
>CF;L;HAJOF;>;F;GBOEOG>C%H>IH?MC; >;HJ?F;EOHS;>CE?H;E;HM;HEMC
>CF;L;HAJOF;>;F;GBOEOG>C%H>IH?MC; >;HJ?F;EOHS;>CE?H;E;HM;HEMC
>CF;L;HAJOF;>;F;GBOEOG>C%H>IH?MC; >;HJ?F;EOHS;>CE?H;E;H
>CF;L;HAJOF;>;F;GBOEOG>C%H>IH?MC; >;HJ?F;EOHS;>CE?H;E;HM;H
Zina dari
seorang segi dengan
lelaki istilah diartikan sebagai hubungan
seorang perempuan yang satukelaminsama lain antara
dan
>CF;L;HAJOF;>;F;GBOEOG>C%H>IH?MC; >;HJ?F;EOHS;>CE?H;E;HM;HEMC
>CF;L;HAJOF;>;F;GBOEOG>C%H>IH?MC; >;HJ?F;EOHS;>CE?H;E;HM;HEM
seorang
tidak lelaki
terikat dalamdengan seorang
hubungan perempuan
perkawinan. Para yang
fuqaha satu sama
(ahli hukumlain
'?N?HNO;H
'?N?HNO;H '?N?HNO;H
'?N?HNO;H
BOEOG
BOEOG
'?N?HNO;H
'?N?HNO;H '?N?HNO;H
BOEOG
BOEOG
JC>;H;
JC>;H;
BOEOG
BOEOG BOEOG
JC>;H;
%MF;GJC>;H;
%MF;G
JC>;H;
JC>;H; JC>;H;
%MF;G
%MF;G
N?HN;HA
N?HN;HA
%MF;G
%MF;G %MF;G
N?HN;HA
N?HN;HA
>?FCE
>?FCE
N?HN;HA
N?HN;HA N?HN;HA
TCH;>?FCE
>?FCE
TCH;
>?FCE
>?FCE TCH;
F?<CB>?FCE
F?<CB
TCH; F?<CB
TCH;
D?F;M F?<
D?F;
>
F?<CB
TCH; F?<
dan tidak
Islam) terikat dalam
mengartikan zinahubungan
sebagaiperkawinan.
hubunganPara fuqaha yaitu
seksual, (ahli
'?N?HNO;H
hukum '?N?HNO;H
Islam) BOEOG BOEOG
mengartikan JC>;H;
zinaJC>;H;
%MF;G
sebagai %MF;G
N?HN;HA N?HN;HA
hubungan >?FCE TCH;
>?FCE
seksual, F?<CB
TCH; D?F;M
yaitu F?<CB >;D?
>C<;H>CHAE;HJ?G<;B;M;H>?FCEJ?GOE;B;HS;HA>C;NOL>;F;GBOEOG
memasukkan >C<;H>CHAE;HJ?G<;B;M;H>?FCEJ?GOE;B;HS;HA>C;NOL>;F;GBOE
>C<;H>CHAE;HJ?G<;B;M;H>?FCEJ?GOE;B;HS;HA>C;NOL>;F;G
>C<;H>CHAE;HJ?G<;B;M;H>?FCEJ?GOE;B;HS;HA>C;NOL>;F;GBOEOGJIM
>C<;H>CHAE;HJ?G<;B;M;H>?FCEJ?GOE;B;HS;HA>C;NOL>;F;GBOEOGJIMCNC@
>C<;H>CHAE;HJ?G<;B;M;H>?FCEJ?GOE;B;HS;HA>C;NOL>;F;GBO
>C<;H>CHAE;HJ?G<;B;M;H>?FCEJ?GOE;B;HS;HA>C;NOL>;F;GBOEOG
zakar (kelamin pria) ke dalam vagina wanita yang
memasukkan
dinyatakan zakarbukan
haram, (kelamin
karenapria) ke dalam
syubhat, dan vagina
atas dasar wanita yang
syahwat.
>C<;H>CHAE;HJ?G<;B;M;H>?FCEJ?GOE;B;HS;HA>C;NOL>;F;GBOEOGJIMCNC@ )
>C<;H>CHAE;HJ?G<;B;M;H>?FCEJ?GOE;B;HS;HA>C;NOL>;F;GBOEOGJ
dinyatakan haram, bukan karena syubhat, dan atas dasar syahwat.
Dalam J?H?FCNC TCH;
J?H?FCNC TCH;
J?H?FCNC TCH; J?H?FCNC TCH;
J?H?FCNC TCH;
J?H?FCNC TCH;
J?H?FCNC TCH;
Ensiklopedi <;AC;H>;LCNCH>;EJC>;H;S;HAE?N?HNO;HJC>;HS;>CM?<
<;AC;H>;LCNCH>;EJC>;H;S;HAE?N?HNO;HJC>;HS;>C
<;AC;H>;LCNCH>;EJC>;H;S;HAE?N?HNO;HJC>;HS
<;AC;H>;LCNCH>;EJC>;H;S;HAE?N?HNO;HJC>;HS;>CM?<ONM?
<;AC;H>;LCNCH>;EJC>;H;S;HAE?N?HNO;HJC>;HS;>CM?<ONM?=;L;
<;AC;H>;LCNCH>;EJC>;H;S;HAE?N?HNO;HJC>;HS;>C
<;AC;H>;LCNCH>;EJC>;H;S;HAE?N?HNO;HJC>;HS;>CM?<
Hukum Islam, zina didefinisikan dengan
Dalam Ensiklopedi Hukum
hubungan kelamin antara laki-laki Islam,dan zina didefinisikan
perempuan tanpa dengan
ikatan
J?H?FCNC TCH;
J?H?FCNC TCH;
hubungan <;AC;H>;LCNCH>;EJC>;H;S;HAE?N?HNO;HJC>;HS;>CM?<ONM?=;L;
kelamin <;AC;H>;LCNCH>;EJC>;H;S;HAE?N?HNO;HJC>;HS;>CM?<ON
antara laki-laki dan perempuan tanpa ikatan
IF?B
IF?B IF?B
IF?B
IF?BIF?B
F
-OL;H 
F
-OL;H  F
-OL;H 
IF?B
F
-OL;H 
F
-OL;H 
F
-OL;H F
-OL;H 
'IHM?EO?HMC
'IHM?EO?HMC 'IHM?EO?HMC
'IHM?EO?HMC
'IHM?EO?HMC'IHM?EO?HMC
BOEOGHS;
BOEOGHS;
'IHM?EO?HMC BOEOGHS;
BOEOGHS;
BOEOGHS;
BOEOGHS;
perkawinan sah yang dilakukan dengan sadar dan tanpa adanya unsurBOEOGHS;
N?LA;HNOHA
N?LA;HNOHA N?LA;HNOHA
N?LA;HNOHA
E;>;L
N?LA;HNOHA N?LA;HNOHA
E;>;L
N?LA;HNOHA E;>;L
E;>;L
E?D;B;N;HHS; 
E;>;L
E;>;LE?D;B;N;
E;>;L
E?D;B;
E?D;B;N;HHS;
E?D;B;N;H
E?D;BG;E
perkawinan sah yang 1 dilakukan dengan sadar dan tanpa adanya
IF?Bsyubhat
unsur
(keraguan).
F
-OL;H 
IF?B F
-OL;H 
syubhat 'IHM?EO?HMC
'IHM?EO?HMC
(keraguan). BOEOGHS;
202 BOEOGHS;
N?LA;HNOHA N?LA;HNOHA
E;>;L E?D;B;N;HHS; 
E;>;L E?D;B;N;HHS G;E
;>;J?LCH=C;HN?A;M>;F;G;NOL;HBOEOGM?<;A;CG;H;>;F;GJ;M;F
J
;>;J?LCH=C;HN?A;M>;F;G;NOL;HBOEOGM?<;A;CG;H;>;F;GJ;M;F
;>;J?LCH=C;HN?A;M>;F;G;NOL;HBOEOGM?<;A;CG;H;>;F;GJ
;>;J?LCH=C;HN?A;M>;F;G;NOL;HBOEOGM?<;A;CG;H;>;F;GJ;M;F
J;M;F>
;>;J?LCH=C;HN?A;M>;F;G;NOL;HBOEOGM?<;A;CG;H;>;F;GJ;M;F
J;M;F>;F;G
;>;J?LCH=C;HN?A;M>;F;G;NOL;HBOEOGM?<;A;CG;H;>;F;GJ;M;
;>;J?LCH=C;HN?A;M>;F;G;NOL;HBOEOGM?<;A;CG;H;>;F;GJ;M;F
J;
Zina merupakan pelanggaran yang terdiri dari hubungan
Zina merupakan pelanggaran yang terdiri dari hubungan
;>;J?LCH=C;HN?A;M>;F;G;NOL;HBOEOGM?<;A;CG;H;>;F;GJ;M;F
J;M;F>;F;G
;>;J?LCH=C;HN?A;M>;F;G;NOL;HBOEOGM?<;A;CG;H;>;F;GJ;M;F
J;M;
seksual
seksual antara
antara seorang
seorang laki-laki
laki-lakidandan wanita
wanitayang yangtidaktidak
menikah
menikah satu
$;HS; $;HS;
$;HS;
$;HS;J;M;F
J;M;F
J;M;F
J;M;F
$;HS;
$;HS; $;HS;
J;M;F
J;M;F
J;M;F
J;M;F
>C J;M;F
J;M;F
>C ;N;M 
;N;M 
J;M;F
J;M;F
J;M;F
J;M;F >C
>C
>C >C
;N;M 
;N;M 
;N;M 
;N;M >C
M?<;A;CG;H;
M?<;A;CG;H; M?<;A;CG;H;
;N;M 
M?<;A;CG;H;
M?<;A;CG;H;
NCH>;E
NCH>;E
M?<;A;CG;H;
M?<;A;CG;H; NCH>;E
JC>;H;NCH>;E
JC>;H;
NCH>;E
NCH>;E NCH>;E
JC>;H;
F;CH JC>;H;
F;CH
JC>;H;
JC>;H; JC>;H;
F;CH
>C;H=;G
>C;H=;G
F;CH >C;H=;
F;CH
>C;H
>?HA;
>C;H=;
F;CH >?
>C;
sama lain dan
satu sama lain hubungan
dan hubungan tersebut tidak masuk
tersebut tidak masukke dalam arti “wati
ke dalam arti
$;HS; $;HS;
“watiJ;M;F
J;M;F
2
J;M;F
J;M;F
syubhat”.
syubhat”. Zina >C Zina
203 ;N;M 
diartikan >CM?<;A;CG;H;
;N;M  M?<;A;CG;H;
diartikan
juga: juga: NCH>;E NCH>;E
JC>;H;JC>;H;
F;CH >C;H=;G
F;CH >C;H=;G
>?HA;H
J?HD;L;M?=;L;E?M?FOLOB;H
J?HD;L;M?=;L;E?M?FOLOB;H
J?HD;L;M?=;L;E?M?FOLOB;H
J?HD;L;M?=;L;E?M?FOLOB;H
J?HD;L;M?=;L;E?M?FOLOB;H
J?HD;L;M?=;L;E?M?FOLOB;H
J?HD;L;M?=;L;E?M?FOLOB;H
204 
J?HD;L;M?=;L;E?M?FOLOB;H
J?HD;L;M?=;L;E?M?FOLOB;H

 adalah   
Zina LME;F
LME;F persetubuhan
LME;F
/;FCG 
/;FCG  LME;F
LME;F
LME;F /;FCG 
LME;F
/;FCG 
,IFCNCE
,IFCNCE
/;FCG 
/;FCG  yang dilakukan
,IFCNCE
/;FCG 
$OEOG,IFCNCE
$OEOG
,IFCNCE
,IFCNCE ,IFCNCE
$OEOG
,C>;H;$OEOG
,C>;H;
$OEOG
$OEOG oleh
$OEOG
,C>;H;
%MF;G
,C>;H;
,C>;H;seorang
,C>;H;
%MF;G
>C>C %MF;G
,C>;H;
%MF;G
%H>IH?MC;
%MF;G
%MF;G mukalaf
>C%MF;G
%H>IH?MC;
>C >C
%H>IH?MC;
%H>IH?MC;
>C %H>IH?MC;
!EMCMN?HMC
%H>IH?MC;
>C !EMCMN?HMC
!EMCMN?HMC!EMCMN?
!
$CMNILCM 
$CMNI
!EMCMN?HMC
%H>IH?MC; !EMCMN?
"OHAMCIH;F>;H,LIMJ?E);M;
"OHAMCIH;F>;H,LIMJ?E);M;
"OHAMCIH;F>;H,LIMJ?E);M;
"OHAMCIH;F>;H,LIMJ?E);M;
"OHAMCIH;F>;H,LIMJ?E);M;
"OHAMCIH;F>;H,LIMJ?E);M;
terhadap ?J;H>;F;G
"OHAMCIH;F>;H,LIMJ?E);M;
202
Abdul
wanita Azizyang ?J;H>;F;G
Dahlanbukan Pidana
Pidana
?J;H>;F;G Islam
Islam
?J;H>;F;G
?J;H>;F;G
(ed), Ensikloped̄ Pidana
Pidana
?J;H>;F;G
?J;H>;F;G
miliknyai Hukum di
Pidana
di
Pidana Indonesia:
Islam
Pidana
IslamIslam
Indonesia:
Islam di
di
Islam, (Jakarta:
dan dilakukan Islam Peluang
Indonesia:
didi Indonesia:
Peluang di
Indonesia:
Indonesia:
dengan PT Prospek
Indonesia:
Peluang
Peluang
Prospek dan
Peluan
Peluang Pe
Pr
ProT
 
LME;F /;FCG 
LME;F ,IFCNCE
/;FCG 
2026. ,IFCNCE
$OEOG $OEOG
,C>;H; %MF;G
&;E;LN;,OMN;E;"CL>;OM   BFG 
Intermesa, &;E;LN;,OMN;E;"CL>;OM   BFG 
&;E;LN;,OMN;E;"CL>;OM   BFG 
&;E;LN;,OMN;E;"CL>;OM   BFG 
1997), ,C>;H;>C%MF;G
&;E;LN;,OMN;E;"CL>;OM   BFG 
&;E;LN;,OMN;E;"CL>;OM   BFG 
&;E;LN;,OMN;E;"CL>;OM   BFG 
hlm. %H>IH?MC;
>C %H>IH?MC;
!EMCMN?HMC!EMCMN?HMC
$CMNILCM $C'
sengaja.
"OHAMCIH;F>;H,LIMJ?E);M;
"OHAMCIH;F>;H,LIMJ?E);M;

  

  ?J;H>;F;G Pidana Islam
?J;H>;F;G Pidanadi Islam
Indonesia:
di Indonesia:
Peluang Peluang
Prospek Prosp
dan T
<>
<>Ala
203
;F
$U
;F
$U <>
;<>
GC
<>
ad-D ><>
n ;F
$U
al-Kasān
$U
$U
;F
$U
;F
$U<>
;F
$U
;;G
;;EC
EC GC
G Maba>
Maba>
,;>>;F
$U
GC GC $U
>;;;EC
Kitāb
$U
$U GC
$U
EC
Gi>d;G
dBadā’i i> ’Awwaliyyah:
’>EC $UAwwaliyyah:
GMaba>
Maba>
Maba> Maba>
;Kasān
EC Gddi> di>’’i>’Maba>
dAwwaliyyah:
Tart di>u’Us}
fAwwaliyyah:
i>’Awwaliyyah:
Awwaliyyah:
Us} ual-Fiqh
>l al-Fiqh
b>l Awwaliyyah:
asy-Syarā’I’, Us}uUs}
Us} uUs} >l>lwa
>l ual-Fiqh
>lwa ujuz
al-Fiqh
Us} u>lal-Qawa>
al-Fiqh
al-Qawa>
al-Fiqh al-Fiqh
wa
wa ’idwa
wa al-Q
al-Q ’id
al- a
&;E;LN;,OMN;E;"CL>;OM   BFG 
VII,&;E;LN;,OMN;E;"CL>;OM   BFG 
&;E;LN;
&;E;LN; (Beirut:
&;E;LN; Dār);EN;<;B
&;E;LN;
&;E;LN; al-Fikr,
&;E;LN;
);EN;<;B
);EN;<;B &;E;LN;
);EN;<;B
);EN;<;B 1996),
);EN;<;B
/;;>CSS;B
/;;>CSS;B );EN;<;B
/;;>CSS;B
/;;>CSS;Bhlm. N N  
/;;>CSS;B
,ONL;  49.
/;;>CSS;B
,ONL;  /;;>CSS;B
N N   ,ONL; 
,ONL;  ,ONL; 
BFG 
BFG 
,ONL;  N N  
 ,ONL; 
N N  
N N  N N  
  BFG 
BFG  N N  
BFG BFG 
D;TOFC
D;TOFC  
   BFG 
  Kaidah-kaidah
Kaidah-kaidah
D;TOFC
D;TOFC  
D;TOFC
D;TOFC Kaidah-kaidah
D;TOFC Fikih
Kaidah-kaidah
Fikih Kaidah-k
Kaidah-kaidah
Kaidah-kaidah &;E;LN Fi
&F
 204 
<> ;F
$U
Abd<>
;Qadir
GC>;F
$U
 $U
1)?>C;   BFG 
)?>C;   BFG  ;EC
GCG>  $U
Awdah,
)?>C;   BFG 
)?>C;   BFG  )?>C;   BFG 
)?>C;   BFG  <>OL;BV
<>OL;BV
)?>C;   BFG  Maba>
G G d i>’ Maba>
;;HMS
/U
at-TasyrEC
G<>OL;BV
<>OL;BV
;HMS
/U
<>OL;BV
<>OL;BV Awwaliyyah:
al-Jinā dG
<>OL;BV
OG
G Ni>VC;HMS
/U
O;HMS
/U
GSO SO
;HMS
/U ’ Nal-Islāmi,
;HMS
/U Awwaliyyah:
 G al-Asyba>
VCal-Asyba> Us}
;HMS
/U
OOSO
OSO
ONNVCSO
SO uN VCal-Asyba>
hVC juz >lwa al-Fiqh
 II, Us}
NVCuan-Naza>
al-Asyba>
an-Naza>
SO  >lhal-Asyba>
(Beirut:
NhVCal-Asyba>
Owa
 al-Asyba> hal-Fiqh
wah’hirDār
wa wa
wa al-Qawa>
an-Naza>
fi>
an-Naza> fi>wa
’iral-Furu
han-Naza>
an-Naza> ’ir
waal-Furual-Qaw
id
’an-Naza
’ir iral-F
fi>fi>
’’ir
 ?CL al-
fi>
fi

al-Fikr,
&;E;LN; Abdul
1976),
&;E;LN;
);EN;<;B Aziz
hlm.
);EN;<;B Dahlan
349.
/;;>CSS;B (ed), Ensiklopedi
/;;>CSS;B
,ONL;  N N  
,ONL;  BFG  N N    Hukum
BFG  D;TOFC Islam,
  (Jakarta:
Kaidah-kaidah
D;TOFC PT Fikih &;E;LN;
Kaidah-kaidah Fikih
"CEL N N  BFG 
"CEL N N  BFG "CEL N N  BFG 
"CEL N N  BFG  "CEL N N  BFG 
"CEL N N  BFG 
"CEL N N  BFG 
Intermesa,
)?>C;   BFG  1997), hlm.
)?>C;   BFG  2026. <>OL;BV
<>OL;BV G;HMS
/U G;HMS
/UOSONVC al-Asyba> OSONVC al-Asyba>
h wa an-Naza> h wa ’an-Naza>ir fi> al-Furu ’ir fi> ?CLO
al-Furu
2
Ala
"CEL N N  BFG  ad-Di>n
"CEL N N  BFG  al-Kasa>ni>, Kita>b Bada>'i Kasa>ni> fi> Tarti>b
asy-Syara>'I', juz VII, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1996), hlm. 49.
3  | 119 |

Abd Qadir Awdah, at-Tasyri>' al-Jina>i> al-Isla>mi, juz II,
(Beirut: Da>r al-Fikr, 1976), hlm. 349.
Zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh seorang mukalaf
terhadap wanita yang bukan miliknya dan dilakukan dengan
sengaja.
205


Zina adalah perbuatan keji, 
baik 

persetubuhan 
 
melaui qubul
Zina adalah perbuatan keji, baik persetubuhan melaui qubul atau
atau dubur.
dubur. ZinaZina adalah
adalah perbuatan
perbuatan keji,baik
keji, baikpersetubuhan
persetubuhanmelaui
melaui qubul
qubul
2. Sumber
atauatau Hukum
dubur.
dubur. Delik Perzinaan
2. Sumber
2. Sumber
2. Adapun
Sumber Hukum
dasar
Hukum
Hukum Delik
Delik
Delik Perzinaan
diharamkannya
Perzinaan
Perzinaan perbuatan zina adalah sebagai
Adapun
berikut:
Adapun dasar
Adapun dasardiharamkannya
dasar diharamkannyaperbuatan
diharamkannya zina
zina adalah
perbuatanzina
perbuatan sebagai
adalah sebagai
adalah sebagai

 
berikut:
berikut:
berikut:

 
 
 
 
  

Dan janganlah kamu mendekati zina, karena zina adalah
perbuatan
Dan
Dan janganlah
janganlah kamu
kamuyang
keji dankamu
jalan mendekati
mendekati zina, karena
zina,
sangat zina,
buruk. karena zina
32) adalah
zina
(al-Isra':zina adalah
Dan janganlah mendekati karena adalah
perbuatan kejidan
perbuatan keji dan jalan
jalan yang
yang sangat
sangat buruk.
buruk. (al-Isra’:
(al-Isra': 32) 32)
perbuatan keji dan jalan yang sangat buruk. (al-Isra': 32)
Adapun dasar hukum dera atau cambuk seratus kali adalah
Adapundasar
Adapun dasar hukum
hukum deradera
atauatau cambuk
cambuk seratus
seratus kali adalah
kali adalah
Adapun dasar dalam
hukumsurat firman
deraan-Nur
atau Allah dalam
cambuk seratus surat
kalian-Nur
adalah ayat 2:
firman Allah ayat 2:
firman Allah dalam surat an-Nur ayat 2:
  

  
 
   
firman Allah dalam surat an-Nur ayat 2:

         
     
      

          
  
    


       
Pezina perempuan dan laki-laki hendaklah dicambuk
Pezina
Pezina seratus
perempuan kali
perempuan dan
dandan janganlah
laki-laki
laki-laki merasa
hendaklah
hendaklah belas kasihan
dicambuk
dicambuk kepada
seratuskali
seratus kali dan
dan
janganlah
janganlah
Pezina perempuanmerasa
merasa belaskasihan
danbelas kasihan
laki-laki kepada
kepada
hendaklah keduanya
keduanya
dicambuk sehingga
seratussehingga
kali dan
mencegah205
mencegahAbdullāh
janganlah kamu kamu
merasa ibn
dalamMuḥammad
dalam ibn-Qudāmah,
menjalankan
menjalankan
belas hukum
kasihan hukum al-Mughnī,
Allah,
kepadaAllah, Juz
hal VIII,
ini jika
hal ini jika
keduanya (Mesir:
kamu
kamu
sehingga
Dārberiman
al-Manār, kepada
1938 H), Allah
hlm. 181.
beriman
mencegahkepada
kamu dalam dandanhari
Allahmenjalankan hariakhir.
akhir. Dan
hukum Dan hendaklah
Allah, hendaklah dalam
hal ini jikadalam
kamu
beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan hendaklah dalam
| 120 4|Abdulla>h
Hukum
4
Pidana
Abdulla>h
ibnibn Islam
Muh}ammad
Muh}ammad ibn-Quda>mah,al-Mughni>,
ibn-Quda>mah, al-Mughni>,Juz
Juz VIII,
VIII,
(Mesir: Da>r al-Mana>r, 1938 H), hlm. 181.
(Mesir:4Da>r al-Mana>r, 1938 H), hlm. 181.
Abdulla>h ibn Muh}ammad ibn-Quda>mah, al-Mughni>, Juz VIII,
(Mesir: Da>r al-Mana>r, 1938 H), hlm. 181.
keduanya sehingga mencegah kamu dalam menjalankan
hukum Allah,
menjatuhkan sanksi hal ini jika kamu
(mencambuk) beriman
mereka kepada Allah
disaksikan oleh
dan hari akhir. Dan hendaklah
sekumpulan dalam menjatuhkan
orang-orang
menjatuhkan sanksi (mencambuk) mereka disaksikan oleh yang sanksi
beriman.
(mencambuk)
menjatuhkan sanksi mereka disaksikanmereka
(mencambuk) oleh sekumpulan
disaksikan orang-
oleh
orang
yang
beriman.
 sekumpulan
  orang-orang
  beriman.
 
sekumpulan orang-orang yang beriman.
yang
      
      
        
        
        
5
       
5          
5
206

Dan (terhadap)    yang


wanita
para  mengerjakan
   perbuatan

Dan
Dan(terhadap)
keji, (terhadap)para
hendaklah ada wanita
paraempat yang
orang
wanita mengerjakan
saksi
yang perbuatan
di antara kamu
mengerjakan (yang
perbuatan
Dan
keji, (terhadap)
keji,hendaklah
menyaksikannya). para
ada
hendaklah ada wanita
empat
Kemudian
empat yang
orang
apabila
orang mengerjakan
saksi
saksimerekadi telah
di antara perbuatan
antara
kamu kamu
memberi
(yang
keji,
(yang hendaklah ada
menyaksikannya).
persaksian, maka empat orang
Kemudian
kurunglah saksi
mereka di antara
apabila kamu
mereka
(wanita-wanita
menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi (yang
telah
itu)
memberi
dalam persaksian,
menyaksikannya).
rumah
persaksian, maka kurunglah
Kemudian
sampaikurunglah
maka mereka apabila
menemui merekamereka
mereka ajalnya, atau(wanita-
telah memberi
(wanita-wanita sampai
itu)
wanita
Allah itu)
persaksian, dalam
memberimakarumah
jalan yang sampai
kurunglah
lain mereka
mereka
kepadanya. menemui
(wanita-wanita
.
dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai ajalnya,
itu)
atau sampai
dalam
Allah rumahAllah
memberi memberi
sampai
jalan yang lainjalan
mereka yang lain kepadanya..
menemui ajalnya,
kepadanya. . atau sampai
.
Allah memberi jalan yang lain kepadanya.
Al-Qur’an Surah An-Nur ayat 30—31:
Al-Qur’an Surah An-Nur ayat 30—31:
Al-Qur’an Surah An-Nur ayat 30—31:
Al-Qur’an Surah An-Nur ayat 30—31:
         
         
         
            
            
            
       
       
        

206
An-Nisa (4): 15.
5
An-Nisa (4): 15.
5
An-Nisa (4): 15. Hukum Pidana Islam | 121 |
5
An-Nisa (4): 15.
/?MO;NOS;HANC>;E>;J;N>C=;J;CM?FOLOBHS;D;HA;H>CNCHAA;FE;HM?FOLOBHS;
/?MO;NOS;HANC>;E>;J;N>C=;J;CM?FOLOBHS;D;HA;H>
/?MO;NOS;HANC>;E>;J;N>C=;J;CM?FOLOBHS;D;HA;H>CNCHAA;F
/?MO;NOS;HANC>;E>;J;N>C=;J;CM?FOLOBHS;D;HA;H>CNCHAA;FE;H

';C>;BCHCG?GJOHS;C;LNCDCE;BOEOGJC>;H;%MF;G<?FOG<CM;>CN?L;JE;HM?=
';C>;BCHCG?GJOHS;C;LNCDCE;BOEOGJC>;H;%MF;G<?
';C>;BCHCG?GJOHS;C;LNCDCE;BOEOGJC>;H;%MF;G<?FOG<CM;
';C>;BCHCG?GJOHS;C;LNCDCE;BOEOGJC>;H;%MF;G<?FOG<CM;>CN
Katakanlah kepada wanita yang beriman; “Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan memelihara
E?M?FOLOB;H M?<;A;CG;H;
E?M?FOLOB;HE?M?FOLOB;H
E?M?FOLOB;H E?N?HNO;H
dan M?<;A;CG;H;
M?<;A;CG;H;
M?<;A;CG;H;
kemaluannya, >;F;G F
-OL;H 
E?N?HNO;H
E?N?HNO;H
janganlah E?N?HNO;H
>;F;G<OE;H
>;F;G
mereka >;F;G
<?L;LNC
F
-OL;H 
F
-OL;H F
-OL;H 
E?N?HNO;H
<OE;H
menarnpakkan <OE;H <OE;
>;F
<?L;LNC
<?L;LNE?
perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak dari padanya.
%MF;G N?HN;HA
%MF;GJC>;H;
%MF;G NC>;E
%MF;G
N?HN;HA
N?HN;HA
Dan OM;B
N?HN;HA
JC>;H;
JC>;H;
hendaklah >CN?L;JE;H 
JC>;H;
NC>;E
NC>;E
mereka OM;B
OM;BNC>;E
E;H OM;B
N?N;JC
>CN?L;JE;H  >CN?L;JE;H 
>CN?L;JE;H 
menutupkan >CN?L;JE;H
E;H
kain E;H E;H
N?N;JC
kudung <?L>;M;L
N?N;JC
ke N?N;JC
E;
>CN?L;JE;H
>CN?L;JE
dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya,
E?G;GJO;H >C G;H;
E?G;GJO;H
E?G;GJO;H BOEOG
E?G;GJO;H
kecuali >C
>C JC>;H;
G;H;
kepada >C
%MF;G
BOEOG
BOEOG
suami G;H;
>;J;N
BOEOG
JC>;H;
JC>;H;
mereka, >CN?L;JE;H 
JC>;H;
%MF;G
atau%MF;G
>;J;N
ayah %MF;G
>;J;NGCM;FHS;
>;J;N
atau BOEOG
>CN?L;JE;H 
mereka, >CN?L;JE;H
>CN?L;JE;H  JC>;
GCM;FHS;
GCM;F
ayah suami inereka, atau putra-putra mereka, atau putra-
%MF;G>C%H>IH?MC;B;HS;<;LO>;J;N>C;EIGI>CLN?HN;HA<?HNOEE?D;B;N;HHS; M?J?
putra %MF;G>C%H>IH?MC;B;HS;<;LO>;J;N>C;EIGI>CLN?HN;HA<?
%MF;G>C%H>IH?MC;B;HS;<;LO>;J;N>C;EIGI>CLN?HN;HA<?HNOEE?
%MF;G>C%H>IH?MC;B;HS;<;LO>;J;N>C;EIGI>CLN?HN;HA<?HNOEE?D;B;
suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki
mereka,
mereka,atau
atausaudara-saudara laki-lakilaki-laki
putra-putra saudara mereka, atau putra-
mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka,mereka, atau
atau putra-
TCH;  G?H=OLC 
TCH;  G?G<OHOB
TCH; 
TCH; G?H=OLC  ;>;F;B
G?H=OLC 
G?H=OLC  G?G<OHOB
putra-putra G?G<OHOB M?MO;NO
G?G<OHOB
S;HA
;>;F;B >CF;L;HA
;>;F;B
;>;F;BM?MO;NO
M?MO;NO M?MO;NO
S;HA>;F;G
S;HA F
-OL;H 
S;HA>;F;G
>CF;L;HA
>CF;L;HA >CF;L;HA
>;F;GG;
F
saudara saudara
laki-laki perempuan mereka, atau wanita-
putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara
putra mereka, atau putra-putra saudara
wanita Islam,
perempuan mereka,atauatau
budak-budak
wanita-wanita yang mereka
Islam, miliki,
atau budak-
perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-
>CF;L;HAJOF;>;F;GBOEOG>C%H>IH?MC; >;HJ?F;EOHS;>CE?H;E;HM;HEMC
budak >CF;L;HAJOF;>;F;GBOEOG>C%H>IH?MC; >;HJ?F;EOHS;>CE?
>CF;L;HAJOF;>;F;GBOEOG>C%H>IH?MC; >;HJ?F;EOHS;>CE?H;E;HM;
>CF;L;HAJOF;>;F;GBOEOG>C%H>IH?MC; >;HJ?F;EOHS;>CE?H;E;HM;HEM
atau yang
pelayan-pelayan
mereka miliki, laki-laki yang tidak mempunyai
atau pelayan-pelayan laki-laki
budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki
yang tidak mempunyai keinginan (‘terhadap wanita,)belum
keinginan (‘terhadap wanita,) atau anak-anak yang atau
'?N?HNO;Hyang tidak JC>;H;
BOEOG
'?N?HNO;H
'?N?HNO;H
mengerti
anak-anak
mempunyai
'?N?HNO;H
BOEOG
BOEOG
tentang
yang belum
keinginan
%MF;G BOEOG
N?HN;HA
JC>;H;
JC>;H;
aurat wanita.
mengerti
(‘terhadap
JC>;H;
%MF;G>?FCE
%MF;G
Dan
tentang
wanita,)
TCH;
%MF;G
N?HN;HA
N?HN;HA
janganlah
aurat >?FCE
wanita.
atau
F?<CB
N?HN;HA
>?FCE
mereka
DanD?F;M
TCH; >?FCE
TCH;>;H
F?<CB TCH
N?
F?<CB
D?
anak-anak
memukulkan yang belum
kakinya mengerti
agar tentang
diketahui aurat wanita.
perhiasan Dan
yang
janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui
>C<;H>CHAE;HJ?G<;B;M;H>?FCEJ?GOE;B;HS;HA>C;NOL>;F;GBOEOGJIMCNC@ )?HO
mereka>C<;H>CHAE;HJ?G<;B;M;H>?FCEJ?GOE;B;HS;HA>C;NOL>;F;
>C<;H>CHAE;HJ?G<;B;M;H>?FCEJ?GOE;B;HS;HA>C;NOL>;F;GBOEO
>C<;H>CHAE;HJ?G<;B;M;H>?FCEJ?GOE;B;HS;HA>C;NOL>;F;GBOEOGJ
janganlah sembunyikan.
yang mereka Dan
mereka memukulkan bertaubatlah
kakinya agar
Dankamu sekalian
diketahui
perhiasan sembunyikan. bertaubatlah
kepada Allah,
perhiasan hai orang-orang
yang mereka sembunyikan. yangDan beriman supaya
bertaubatlah
kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman
J?H?FCNC TCH; <;AC;H>;LCNCH>;EJC>;H;S;HAE?N?HNO;HJC>;HS;>CM?<ONM?=;L;>?@CH
J?H?FCNC TCH;
J?H?FCNC TCH;
kamu J?H?FCNC TCH; <;AC;H>;LCNCH>;EJC>;H;S;HAE?N?HNO;HJC>;H
<;AC;H>;LCNCH>;EJC>;H;S;HAE?N?HNO;HJC>;HS;>CM?
<;AC;H>;LCNCH>;EJC>;H;S;HAE?N?HNO;HJC>;HS;>CM?<ON
kamusekalian
beruntung.
kepada Allah, hai orang-orang yang beriman
supaya kamu beruntung.
supaya kamu beruntung.
IF?B F
-OL;H 
IF?B
IF?B 'IHM?EO?HMC
IF?B
F
-OL;H 
F
-OL;H 
Sedangkan dasarF
-OL;H 
BOEOGHS;
'IHM?EO?HMC
'IHM?EO?HMC
penetapan 'IHM?EO?HMC
N?LA;HNOHA
BOEOGHS;
BOEOGHS;
hukum E;>;L
BOEOGHS;
E?D;B;N;HHS; 
N?LA;HNOHA
rajam N?LA;HNOHA
adalah N?LA;HNOHA
E;>;L
E;>;L
hadis G;E;
E;>;L
E?D;B;N;HHSB;
E?D;B;N;
Sedangkan dasar penetapan hukum rajam adalah hadis Nabi:
Nabi:
Sedangkan dasar penetapan hukum rajam adalah hadis Nabi:
        
;>;J?LCH=C;HN?A;M>;F;G;NOL;HBOEOGM?<;A;CG;H;>;F;GJ;M;F
J;M;F
   ;>;J?LCH=C;HN?A;M>;F;G;NOL;HBOEOGM?<;A;CG;H;>;F;G
;>;J?LCH=C;HN?A;M>;F;G;NOL;HBOEOGM?<;A;CG;H;>;F;GJ;M;F
J;M;F>;F;G'1$
;>;J?LCH=C;HN?A;M>;F;G;NOL;HBOEOGM?<;A;CG;H;>;F;GJ;M;F
J
          
         
      
           
    
>C

  JC>;H;
 
 NCH>;E
 NCH>;E
 F;CH
   JC>;H; F;CH
JC>;H;
$;HS; J;M;F
J;M;F
$;HS; >C ;N;M 
$;HS;J;M;F
J;M;F $;HS;
J;M;F
J;M;F M?<;A;CG;H;
J;M;F
J;M;F
>C
>C ;N;M  NCH>;E
;N;M M?<;A;CG;H;
207;N;M 
M?<;A;CG;H; M?<;A;CG;H;
      >C;H=;G   >?HA;H
NCH>;E JC>;H;
F;CH JC>;
F;C
>C;H=;G
>C;H=;
     
 
Ambillah dariku! Ambillah dariku! Sungguh Allah telah
J?HD;L;M?=;L;E?M?FOLOB;H
AmbillahJ?HD;L;M?=;L;E?M?FOLOB;H
J?HD;L;M?=;L;E?M?FOLOB;H
J?HD;L;M?=;L;E?M?FOLOB;H
dariku! Ambillah dariku! Sungguh Allah telah
memberi
Ambillahjalan
dariku! Ambillah
kepada mereka.dariku! Sungguh
Bujangan Allah
yang telah
berzina
memberi jalan kepada mereka. Bujangan yang berzina
memberi
dengan gadisjalan kepada
dijilid seratusmereka.
kali danBujangan
diasingkanyangselama berzina
satu
 dengan
dengan


LME;F /;FCG 
gadis
gadis
,IFCNCE
LME;F
LME;F
dijilid

$OEOG
seratus
dijilid
LME;F
,C>;H;
kali
seratus
/;FCG 
%MF;G
dan
kali
,IFCNCE
>C
diasingkan
dan
%H>IH?MC;
$OEOG
selama
diasingkan
,C>;H;
!EMCMN?HMC
satu
selama
%MF;G$CMNILCM 
>C %H>IH?MC;
'IHNLC<
tahun. Dan/;FCG 
/;FCG 
orang ,IFCNCE
,IFCNCE
yang $OEOG
$OEOG
telah ,C>;H;
,C>;H;
kawin %MF;G
yang %MF;G
>C
berzina>C
%H>IH?MC;
%H>IH?MC;
didera !EMCMN?HMC
!EMCMN?HM
$C
tahun. Dan
"OHAMCIH;F>;H,LIMJ?E);M; orang yang Pidana
telahIslam
"OHAMCIH;F>;H,LIMJ?E);M;
?J;H>;F;G
"OHAMCIH;F>;H,LIMJ?E);M;
"OHAMCIH;F>;H,LIMJ?E);M; diPidana
kawin
?J;H>;F;G
?J;H>;F;G Indonesia:
Pidana
yangIslam
?J;H>;F;G Peluang
IslamPidana
di
berzina Prospek
Islam Peluang
di Indonesia:
Indonesia:
didera di dan
Indonesia:
Tantang
Peluang PP
Prosp
seratus kali dan dirajam.
&;E;LN;,OMN;E;"CL>;OM   BFG 
&;E;LN;,OMN;E;"CL>;OM   BFG 
&;E;LN;,OMN;E;"CL>;OM   BFG 
&;E;LN;,OMN;E;"CL>;OM   BFG 
seratus kali dandirajam.
 207

<> ;F
$U ;GC ><>
 $Uan-Nawāw
<>
Imām ;EC Maba>
G ;GC
;F
$U
;F
$U ,>Ṣaḥ
<>d$Ui>;’;hEC
 $U Awwaliyyah:
;F
$U
EC
G G ; GC
Muslim Maba>
Maba> d;i>d’EC
>bi $U
Syarḥ GUs}
u>lMaba>
i>’Awwaliyyah:
Awwaliyyah:
an-Nawāw al-Fiqhdi>’, juz
Awwaliyyah:
wa
Us}
XI, >l al-Qawa>
uUs} ual-Fiqh
(Beirut: ’id
>l al-FiqhUs}
waual-Fiqhiyy
>l waal-Fiqh
al-Qaw al-Q
Dār al-Fikr,
&;E;LN; );EN;<;B
&;E;LN;
&;E;LN; t.t.), hlm.
/;;>CSS;B
);EN;<;B
);EN;<;B 180.
&;E;LN;
,ONL; 
);EN;<;B
N N  
/;;>CSS;B
/;;>CSS;B BFG  /;;>CSS;B
,ONL;   
,ONL; 
Zina adalah perbuatan tercela dan pelakunya dikenakan sanksi N N  D;TOFC
N N   ,ONL; 
BFG 
BFG  Kaidah-kaidah
  N N  
  BFG 
D;TOFC
D;TOFC Fikih
 Kaidah-kaidah
Kaidah-kaidah
D;TOFC
&;E;LN; Kaidah
Fikih
,L;H F
Zina adalah
)?>C;   BFG  <>OL;BV perbuatan
)?>C;   BFG 
)?>C;   BFG 
)?>C;   BFG  G;HMS
/U tercela
<>OL;BV
<>OL;BV OSOG NG  dan
VC;HMS
/Upelakunya
al-Asyba>
<>OL;BV
;HMS
/U Oh wa
G
SO
O SO
N C
V ;HMS
/U

 NC
V
 dikenakan
an-Naza> O’SO
al-Asyba>
al-Asyba> ir
h wa VC sanksi
Nfi>h al-Furu
al-Asyba>
wa
an-Naza> h
an-Naza>
’ir wa
fi>’ir
 ?CLON an-Na
fi>
al-Furual-
;L
sangat berat, baik itu hukum dera maupun rajam, karena alasan yang
"CEL N N  BFG  "CEL N N  BFG 
"CEL N N  BFG 
"CEL N N  BFG 
sangat berat, baik itu hukum dera maupun rajam, karena alasan yang
dapat
| 122 dipertanggungjawabkan
| Hukum Pidana Islam secara moral dan akal. Dalam Islam,
dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan akal. Dalam Islam,
pelaku zina dihukum dengan hukuman rajam (dilempari batu sampai
pelaku zina dihukum dengan hukuman rajam (dilempari batu sampai
meninggal dengan disaksikan orang banyak) jika ia muh}s}an. Jika ia
meninggal dengan disaksikan orang banyak) jika ia muh}s}an. Jika ia
ghairu muh}s}an, maka dihukum cambuk 100 kali. Adanya
/?MO;NOS;HANC>;E>;J;N>C=;J;CM?FOLOBHS;D;HA;H>CNCHAA;FE;HM?FOLO
/?MO;NOS;HANC>;E>;J;N>C=;J;CM?FOLOBHS;D;HA;H>CNCHAA;FE;HM
/?MO;NOS;HANC>;E>;J;N>C=;J;CM?FOLOBHS;D;HA;H>CNCHAA;FE;HM?FOL

';C>;BCHCG?GJOHS;C;LNCDCE;BOEOGJC>;H;%MF;G<?FOG<CM;>CN?L;JE;
';C>;BCHCG?GJOHS;C;LNCDCE;BOEOGJC>;H;%MF;G<?FOG<CM;>CN?
';C>;BCHCG?GJOHS;C;LNCDCE;BOEOGJC>;H;%MF;G<?FOG<CM;>CN?L;JE
satu tahun. Dan orang yang telah kawin yang berzina
didera seratus kali dan dirajam.
E?M?FOLOB;H
E?M?FOLOB;HM?<;A;CG;H;
E?M?FOLOB;H M?<;A;CG;H;E?N?HNO;H
M?<;A;CG;H; E?N?HNO;H
E?N?HNO;H>;F;G
>;F;GF
-OL;H 
>;F;GF
-OL;H <OE;H
F
-OL;H 
<OE;H<?L;LNC
<OE;H
<?L;LNCE?N?HNO;
<?L;LNC
E?N?HNO
E?N
Zina adalah perbuatan tercela dan pelakunya dikenakan sanksi
%MF;G
%MF;GN?HN;HA
N?HN;HA
N?HN;HA
sangat JC>;H;
berat,JC>;H;
JC>;H;NC>;E
NC>;E
baik itu OM;B
NC>;E
hukumOM;B>CN?L;JE;H 
OM;B>CN?L;JE;H 
dera E;H
>CN?L;JE;H E;HN?N;JC
E;H
maupun rajam, N?N;JC>CN?L;JE;H
N?N;JC
karena >CN?L;JE;H<?L>;M
>CN?L;JE;H
alasan <?L>;
<
yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan akal. Dalam
E?G;GJO;H
E?G;GJO;H
E?G;GJO;H >C
>CG;H;
>C
Islam, pelaku zina BOEOG
G;H; BOEOGJC>;H;
BOEOG
dihukumJC>;H;%MF;G
JC>;H;
dengan %MF;G>;J;N
%MF;G
>;J;N
hukuman >CN?L;JE;H 
>;J;N
>CN?L;JE;H GCM;FHS;
>CN?L;JE;H 
rajam GCM;FHS;
(dilempari BOEOG
GCM;FHS;
BOEOB
batu sampai meninggal dengan disaksikan orang banyak) jika ia
%MF;G>C%H>IH?MC;B;HS;<;LO>;J;N>C;EIGI>CLN?HN;HA<?HNOEE?D;B;N;HHS;
%MF;G>C%H>IH?MC;B;HS;<;LO>;J;N>C;EIGI>CLN?HN;HA<?HNOEE?D;B;N;
%MF;G>C%H>IH?MC;B;HS;<;LO>;J;N>C;EIGI>CLN?HN;HA<?HNOEE?D;B;N;HHS
muḥṣan. Jika ia ghairu muḥṣan, maka dihukum cambuk 100 kali.
Adanya perbedaan hukuman tersebut karena muḥṣan seharusnya
TCH; 
TCH; G?H=OLC 
bisaG?H=OLC 
G?H=OLC  G?G<OHOB
lebih menjaga diri ;>;F;B
G?G<OHOB
G?G<OHOB ;>;F;B
untuk M?MO;NO
;>;F;BM?MO;NOS;HA
M?MO;NO
melakukan S;HA>CF;L;HA
S;HA
>CF;L;HA>;F;G
>CF;L;HA
perbuatan >;F;G
tercela F
-OL;H
>;F;G
F
-OL;
F
-
masih dalam ikatan perkawinan yang berarti menyakiti dan
itu, apalagi kalau masih dalam ikatan perkawinan yang berarti
mencemarkan
menyakiti dannama baik keluarganya, sementara ghairu sementara
>CF;L;HAJOF;>;F;GBOEOG>C%H>IH?MC; >;HJ?F;EOHS;>CE?H;E;HM;HEMC
>CF;L;HAJOF;>;F;GBOEOG>C%H>IH?MC; >;HJ?F;EOHS;>CE?H;E;HM;HEMC muh}s}an
>CF;L;HAJOF;>;F;GBOEOG>C%H>IH?MC; >;HJ?F;EOHS;>CE?H;E;HM;HEMC
mencemarkan nama baik keluarganya,
belum pernah menikah sehingga nafsu syahwatnya
ghairu muḥṣan belum pernah menikah sehingga nafsu syahwatnya lebih besar
'?N?HNO;H
'?N?HNO;H
'?N?HNO;H
lebih
karena besar BOEOG
BOEOG
BOEOG
karena
didorong JC>;H;
JC>;H;
JC>;H;
rasa didorong %MF;G
%MF;G
%MF;G
rasa
keingintahuannya. N?HN;HA
N?HN;HA
N?HN;HA>?FCE
>?FCE
keingintahuannya.
Namun, TCH;
>?FCE
keduanyaTCH;F?<CB
TCH;
Namun,F?<CB
tetap D?F;M
F?<CB
D?F;M>;>
D?F;
keduanya
sangat tetap
dicela sangat
oleh Islamdicela
dan oleh
tidak Islam
bolehdan tidakbelas
diberi boleh diberi
kasihan,
>C<;H>CHAE;HJ?G<;B;M;H>?FCEJ?GOE;B;HS;HA>C;NOL>;F;GBOEOGJIMCNC@ )
>C<;H>CHAE;HJ?G<;B;M;H>?FCEJ?GOE;B;HS;HA>C;NOL>;F;GBOEOGJIM
>C<;H>CHAE;HJ?G<;B;M;H>?FCEJ?GOE;B;HS;HA>C;NOL>;F;GBOEOGJIMCNC@
belas kasihan,
sebagaimana sebagaimana
firman Allah: firman Allah:
       

J?H?FCNC TCH;       
J?H?FCNC TCH;<;AC;H>;LCNCH>;EJC>;H;S;HAE?N?HNO;HJC>;HS;>CM?<ONM?=;L;
J?H?FCNC TCH; <;AC;H>;LCNCH>;EJC>;H;S;HAE?N?HNO;HJC>;HS;>CM?<ONM?
<;AC;H>;LCNCH>;EJC>;H;S;HAE?N?HNO;HJC>;HS;>CM?<ONM?=;L;
Ancaman
Ancaman keras
keras bagi
bagi pelaku
pelaku zina
zina tersebut
tersebut karena dalam
karena dalam
IF?B
IF?BF
-OL;H 
F
-OL;H 
F
-OL;H 
pandangan
pandangan 'IHM?EO?HMC
'IHM?EO?HMC
'IHM?EO?HMC
Islam,
Islam, BOEOGHS;
BOEOGHS;
BOEOGHS;
zina merupakan
zina merupakan N?LA;HNOHA
N?LA;HNOHA
N?LA;HNOHA
perbuatan
perbuatan E;>;L
E;>;LE?D;B;N;HHS; 
E;>;L
tercela
tercela E?D;B;N;HHS; G;E
E?D;B;N;HHS;
yang
yang G;
menurunkan derajat dan harkat kemanusiaan secara
menurunkan derajat dan harkat kemanusiaan secara umum. Apabila umum.
;>;J?LCH=C;HN?A;M>;F;G;NOL;HBOEOGM?<;A;CG;H;>;F;GJ;M;F
J;M;F>;F;G
;>;J?LCH=C;HN?A;M>;F;G;NOL;HBOEOGM?<;A;CG;H;>;F;GJ;M;F
J;M;F>
;>;J?LCH=C;HN?A;M>;F;G;NOL;HBOEOGM?<;A;CG;H;>;F;GJ;M;F
J;M;F>;F;G
Apabila
zina tidakzina tidak diharamkan
diharamkan niscaya
niscaya martabat martabat
manusia akanmanusia akan
hilang karena
hilang karena tata aturan perkawinan dalam masyarakat
tata aturan perkawinan dalam masyarakat akan rusak. Di samping akan
$;HS;
$;HS;
$;HS; J;M;F
J;M;F
J;M;F
J;M;F
rusak.J;M;F
J;M;F
Di zina
samping>C
>C;N;M 
>C ;N;M 
itu, M?<;A;CG;H;
;N;M M?<;A;CG;H;
M?<;A;CG;H;
pelaku zina NCH>;E
NCH>;E
berarti JC>;H;
NCH>;EJC>;H;F;CH
JC>;H;
mengingkari F;CH>C;H=;G
F;CH
>C;H=;G
nikmat >?HA;H
>C;H=;G
>?HA;
>
itu, pelaku berarti mengingkari nikmat Allah tentang kebolehan
Allah tentang kebolehan dan anjuran Allah untuk menikah. 208
dan anjuran Allah untuk menikah.7
J?HD;L;M?=;L;E?M?FOLOB;H
J?HD;L;M?=;L;E?M?FOLOB;H
J?HD;L;M?=;L;E?M?FOLOB;H
Kecaman zina dijelaskan juga dalam hadis riwayat Bukari
Kecaman zina dijelaskan juga dalam hadis riwayat Bukari
dari Abu Hurairah:
dari Abu Hurairah:



LME;F
LME;F/;FCG 
LME;F /;FCG ,IFCNCE
/;FCG  ,IFCNCE
,IFCNCE $OEOG
$OEOG
$OEOG ,C>;H;
,C>;H;
,C>;H; %MF;G
%MF;G >C>C%H>IH?MC;
%MF;G >C
%H>IH?MC;
%H>IH?MC;!EMCMN?HMC
!EMCMN?HMC $CMNILCM 
!EMCMN?HMC $CMNILCM $CMN'
"OHAMCIH;F>;H,LIMJ?E);M;
"OHAMCIH;F>;H,LIMJ?E);M; ?J;H>;F;G
"OHAMCIH;F>;H,LIMJ?E);M; ?J;H>;F;G
?J;H>;F;G PidanaPidana
Pidana Islam
Islam didiIndonesia:
Islam di Indonesia:
Indonesia: Peluang
Peluang PeluangProspek Prospek
Prospek dan
danT
              
&;E;LN;,OMN;E;"CL>;OM   BFG 
&;E;LN;,OMN;E;"CL>;OM   BFG 
&;E;LN;,OMN;E;"CL>;OM   BFG 


 208
<>
<> ;F
$U;GC
<>Al-Jurjāw
;F
$U
;F
$U;GC Ḥikmah
>,>$U
;EC
$U
$U GG
;;EC
EC Maba>di>d’i>d’wa
Maba>
Maba>
G at-Tasyr Awwaliyyah:
Falsafatuhu,Us}
i>’Awwaliyyah:
Awwaliyyah: Us}u>luUs}
(Beirut: >l al-Fiqh
ual-Fiqh
>l Dār wa
al-Fiqh wa al-Qawa>
al-Fikr, wa al-Qawa> ’id’id al-F
al-Qawa> al’i
t.t.), hlm. 316-318. Kaidah-kaidah
Kaidah-kaidah
Kaidah-kaidah Fikih
Fikih Fikih
&;E;LN;
&;E;LN;
&;E;LN; );EN;<;B
);EN;<;B
);EN;<;B
)?>C;   BFG 
/;;>CSS;B
/;;>CSS;B,ONL; 
/;;>CSS;B
)?>C;   BFG  <>OL;BV
)?>C;   BFG  <>OL;BV
<>OL;BV GG
N N  
,ONL; 
,ONL; N N  
;HMS
/U
N N  
G;HMS
/U
;HMS
/U OSO
ON
BFG 
BFG 
8BFG 
OSO
 

 
VCN VC al-Asyba>
SO
D;TOFC
 
NVCal-Asyba>
D;TOFC
h hwa
 al-Asyba>
h
D;TOFC
wa

an-Naza>
wa
’ir’ir
an-Naza>
an-Naza> fi>fi>al-Furu
’iral-Furu
&;E;LN;
&;E;LN
fi> al-Furu
 ?CLO
&
 ?C

"CEL N N  BFG 
"CEL N N  BFG 
"CEL N N  BFG 
Tidaklah berzina seseorang pezina kalau waktu berzina ia
Hukum Pidana Islam | 123 |
dalam keadaan beriman, dan tidaklah seorang mabuk kalau
dalam keadaan mabuk dia beriman ,tidaklah sesorang pencuri
mencuri kalau dalam keadaan mencuri beriman.
dan anjuran Allah untuk menikah.
/?MO;NOS;HANC>;E>;J;N>C=;J;CM?FOLOBHS;D;HA;H>CNCHAA;FE;HM?FOLOBHS
/?MO;NOS;HANC>;E>;J;N>C=;J;CM?FOLOBHS;D;HA;H>CNCHAA;FE;
/?MO;NOS;HANC>;E>;J;N>C=;J;CM?FOLOBHS;D;HA;H>CNCHAA;F
/?MO;NOS;HANC>;E>;J;N>C=;J;CM?FOLOBHS;D;HA;H>CNCHAA;FE;H
Kecaman
Kecaman zina
zina dijelaskan
dijelaskan juga
juga dalam
dalam hadis
hadis riwayat
riwayat Bukari
Bukari
dari Abu Hurairah:
dari Abu Hurairah:
';C>;BCHCG?GJOHS;C;LNCDCE;BOEOGJC>;H;%MF;G<?FOG<CM;>CN?L;JE;HM
';C>;BCHCG?GJOHS;C;LNCDCE;BOEOGJC>;H;%MF;G<?FOG<CM;>
';C>;BCHCG?GJOHS;C;LNCDCE;BOEOGJC>;H;%MF;G<?FOG<CM;
';C>;BCHCG?GJOHS;C;LNCDCE;BOEOGJC>;H;%MF;G<?FOG<CM;>CN


E?M?FOLOB;H  
 
 
E?M?FOLOB;H
M?<;A;CG;H;
E?M?FOLOB;H
E?M?FOLOB;H  
 
M?<;A;CG;H;
E?N?HNO;H
M?<;A;CG;H;
M?<;A;CG;H; E?N?HNO;H
>;F;G


 
E?N?HNO;H
E?N?HNO;H 
 
F
-OL;H F
-OL;H 
>;F;G
>;F;G
>;F;G 
 
<?L;LNC
F
-OL;H 
<OE;H
F
-OL;H   
  <OE;H
<OE;H
<OE;H E?N?HNO;H
<?L;LNC
<?L;LN
<?L;LNC >E
E?

%MF;G N?HN;HA
%MF;G
JC>;H;
N?HN;HA
NC>;E
JC>;H;
OM;BNC>;E
>CN?L;JE;H 
OM;B 
209>CN?L;JE;H 
>CN?L;JE;H 
E;H E;H

N?N;JC N?N;JC
N?N;JC
>CN?L;JE;H
N?N;JC
88
 >CN?L;JE;H
>CN?L;JE;H
<?L>;M;L
%MF;G
%MF;GN?HN;HA
N?HN;HA JC>;H;
JC>;H; NC>;E
NC>;E OM;B
OM;B >CN?L;JE;H E;H
E;H >CN?L;JEE
Tidaklah
Tidaklah berzina
berzina seseorang
seseorang pezina
pezina kalau
kalau waktu
waktu berzina
berzina ia
ia
E?G;GJO;H
E?G;GJO;H
>CTidaklah
G;H;
E?G;GJO;H
E?G;GJO;H
dalam BOEOG
>C
>C
>C G;H;
G;H;JC>;H;
berzina BOEOG
BOEOG%MF;G
BOEOG JC>;H;
>;J;N
JC>;H;
seseorangJC>;H; %MF;G
>CN?L;JE;H 
%MF;G
pezina %MF;G >;J;N
>;J;N
kalau >;J;N
waktu >CN?L;JE;H 
GCM;FHS;
>CN?L;JE;H  BOEOG
GCM;FHS;
>CN?L;JE;H  JC
GCM;FHS;
GCM;FH
dalam keadaan
keadaan beriman,
beriman, dan
dan tidaklah
tidaklah seorang
seorang mabukberzina
mabuk kalau
kalau
ia dalam keadaan
dalam beriman, dan tidaklahsesorang
seorang mabuk
dalam keadaan
keadaan mabuk
mabuk dia
dia beriman
beriman ,tidaklah
,tidaklah sesorang pencuri
pencuri
%MF;G>C%H>IH?MC;B;HS;<;LO>;J;N>C;EIGI>CLN?HN;HA<?HNOEE?D;B;N;HHS; M?
%MF;G>C%H>IH?MC;B;HS;<;LO>;J;N>C;EIGI>CLN?HN;HA<?HNOEE?D;B
%MF;G>C%H>IH?MC;B;HS;<;LO>;J;N>C;EIGI>CLN?HN;HA<?HNOEE?D
%MF;G>C%H>IH?MC;B;HS;<;LO>;J;N>C;EIGI>CLN?HN;HA<?HNOEE?D;B;
kalaukalau
mencuri dalam keadaan
dalam keadaanmabuk
mencuridia beriman ,tidaklah
beriman.
mencuri kalau dalam keadaan mencuri beriman.
sesorang pencuri mencuri kalau dalam keadaan mencuri
TCH;  G?H=OLC 
TCH; G?H=OLC 
TCH; 
TCH;  G?G<OHOB
G?H=OLC G?G<OHOB
G?H=OLC 
beriman. G?G<OHOB
;>;F;B M?MO;NO
G?G<OHOB ;>;F;BS;HA
;>;F;B
;>;F;B M?MO;NO
>CF;L;HA
M?MO;NO
M?MO;NO S;HA
S;HA >;F;G
S;HA>CF;L;HA
F
-OL;H 
>CF;L;HA >;F;G
>CF;L;HA
>;F;G
>;F;G
F
B.
B. Konsep
Konsep dan
dan Kriteria
Kriteria Delik
Delik Perzinaan
Perzinaan
>CF;L;HAJOF;>;F;GBOEOG>C%H>IH?MC; >;HJ?F;EOHS;>CE?H;E;HM;HEMC
>CF;L;HAJOF;>;F;GBOEOG>C%H>IH?MC; >;HJ?F;EOHS;>CE?H;E;HM;HE
>CF;L;HAJOF;>;F;GBOEOG>C%H>IH?MC; >;HJ?F;EOHS;>CE?H;E;HM;
>CF;L;HAJOF;>;F;GBOEOG>C%H>IH?MC; >;HJ?F;EOHS;>CE?H;E;HM;HEM
B. Konsep
7 dan Kriteria Delik Perzinaan
7 Al-Jurja>wi>, H{ikmah at-Tasyri>’ wa Falsafatuhu, (Beirut: Da>r
Al-Jurja>wi>, H{ikmah at-Tasyri>’ wa Falsafatuhu, (Beirut: Da>r
1. Kriteria
'?N?HNO;H
al-Fikr,
al-Fikr, Delik
'?N?HNO;H
BOEOG
'?N?HNO;H
'?N?HNO;H
t.t.), hlm. Perzinaan
JC>;H;
BOEOG
BOEOG
BOEOG
316-318. dalam
%MF;G Hukum
JC>;H;
N?HN;HA
JC>;H;
JC>;H; %MF;GPidana
%MF;G
%MF;G>?FCE Islam
N?HN;HA
TCH;
N?HN;HA
N?HN;HA >?FCE
F?<CB
>?FCE TCH;
>?FCE D?F;M
TCH;
TCH;F?<CB
>;H
F?<CB D?D
F?<CB
8 t.t.), hlm. 316-318.
Hukum
Ima>mIslam dan hukum positifal-Bukha>ri>,
berbeda pandangan
8Ima>m al-Bukha>ri>, S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, juz IV, (Beirut:
al-Bukha>ri>, S{ah}i>h} dalam
juz IV, (Beirut:
Da>r al-Fikr, 1948), hlm. 86. Hadis Riwayat Bukhari dari Abu Hurairah.
mensikapi
Da>r al-Fikr, delik
1948), perzinaan.
hlm. 86. HadisHukum
Riwayat Islam
Bukhari memandang
dari Abu setiap
Hurairah.
>C<;H>CHAE;HJ?G<;B;M;H>?FCEJ?GOE;B;HS;HA>C;NOL>;F;GBOEOGJIMCNC@ )?
>C<;H>CHAE;HJ?G<;B;M;H>?FCEJ?GOE;B;HS;HA>C;NOL>;F;GBOEOGJ
>C<;H>CHAE;HJ?G<;B;M;H>?FCEJ?GOE;B;HS;HA>C;NOL>;F;GBOEOG
>C<;H>CHAE;HJ?G<;B;M;H>?FCEJ?GOE;B;HS;HA>C;NOL>;F;GBOEOGJ
hubungan kelamin di luar nikah sebagai zina dan diancam dengan
hukuman,
J?H?FCNC TCH; baik pelakunya
J?H?FCNC TCH; belum nikah atau terikat perkawinan
<;AC;H>;LCNCH>;EJC>;H;S;HAE?N?HNO;HJC>;HS;>CM?<ONM?=;L;>?@
J?H?FCNC TCH;
J?H?FCNC TCH; <;AC;H>;LCNCH>;EJC>;H;S;HAE?N?HNO;HJC>;HS;>CM?<ON
<;AC;H>;LCNCH>;EJC>;H;S;HAE?N?HNO;HJC>;HS;>CM?<
<;AC;H>;LCNCH>;EJC>;H;S;HAE?N?HNO;HJC>;HS;>CM?<ON
dengan orang lain. Sebaliknya, hukum positif berpandangan beda,
hubungan
IF?B F
-OL;H 
IF?B
IF?B
IF?B kelamin yang
F
-OL;H 
'IHM?EO?HMC
F
-OL;H 
F
-OL;H  dilakukan
'IHM?EO?HMC
'IHM?EO?HMC
'IHM?EO?HMC antara
BOEOGHS;BOEOGHS; laki-laki
BOEOGHS;
N?LA;HNOHA
BOEOGHS; dan perempuan
N?LA;HNOHA
E;>;L
N?LA;HNOHA
N?LA;HNOHAE?D;B;N;HHS; 
E;>;L
E;>;L
E;>;LE?D;B;N;HH
G;E;
E?D;B;N;HHS
E?D;B;N;
dan dilakukan di luar perkawinan (tanpa ikatan perkawinan)
tidak dipandang sebagai zina. Hukum positif menganggap adanya
;>;J?LCH=C;HN?A;M>;F;G;NOL;HBOEOGM?<;A;CG;H;>;F;GJ;M;F
J;M;F>;F;G'1
;>;J?LCH=C;HN?A;M>;F;G;NOL;HBOEOGM?<;A;CG;H;>;F;GJ;M;F
J;M;
;>;J?LCH=C;HN?A;M>;F;G;NOL;HBOEOGM?<;A;CG;H;>;F;GJ;M;F
J
;>;J?LCH=C;HN?A;M>;F;G;NOL;HBOEOGM?<;A;CG;H;>;F;GJ;M;F
J;M;F
perzinaan jika dilakukan oleh orang-orang yang terikat dengan
$;HS; tali perkawinan,
J;M;F
J;M;F
$;HS;
$;HS;
$;HS; selainM?<;A;CG;H;
J;M;F
J;M;F
>C ;N;M 
J;M;F
J;M;F
J;M;F
J;M;F itu
>C
>C tidak
>C;N;M 
;N;M  dianggap
NCH>;Ezina,
;N;M M?<;A;CG;H;
M?<;A;CG;H;
M?<;A;CG;H;
210
JC>;H;
NCH>;Ekecuali
NCH>;E
F;CH
NCH>;E dalam
JC>;H;
>C;H=;G
JC>;H;
JC>;H;F;CH
F;CH >?HA;H
>C;H=;G
F;CH
>C;H=;G
>C;H=; J
kasus hubungan kelamin di luar perkawinan tersebut melanggar
kehormatan atau adanya unsur perkosaaan.
J?HD;L;M?=;L;E?M?FOLOB;H
J?HD;L;M?=;L;E?M?FOLOB;H
J?HD;L;M?=;L;E?M?FOLOB;H
J?HD;L;M?=;L;E?M?FOLOB;H
Dalam hukum Islam, pelaku pelanggaran menikah secara
sah dan mempunyai pengalaman berhubungan seks di dalam
 

LME;F /;FCG 
pernikahan LME;F
,IFCNCE
LME;F
LME;F /;FCG 
$OEOG
/;FCG 
/;FCG 
tersebut, maka ,IFCNCE
,C>;H;
,IFCNCE
,IFCNCE $OEOG
%MF;G
$OEOG
pelaku$OEOG ,C>;H;
>C %H>IH?MC;
,C>;H;
,C>;H;
pelanggaran %MF;G
%MF;G >C>C
%MF;G
tersebut !EMCMN?HMC
>C%H>IH?MC;
disebut$CMNILCM 
%H>IH?MC; !EMCMN?HMC
%H>IH?MC; 'IHN
!EMCMN?HMC $C$
!EMCMN?HM
"OHAMCIH;F>;H,LIMJ?E);M;
"OHAMCIH;F>;H,LIMJ?E);M;
"OHAMCIH;F>;H,LIMJ?E);M;
"OHAMCIH;F>;H,LIMJ?E);M;?J;H>;F;G?J;H>;F;G Pidana
?J;H>;F;G
?J;H>;F;G IslamPidanaPidana
di Indonesia:
Pidana Islamdidi
Islam
Islam Peluang
diIndonesia:
Indonesia:
Indonesia: Prospek
Peluang danProspe
Peluang
Peluang Tanta
ProsP
&;E;LN;,OMN;E;"CL>;OM   BFG 
&;E;LN;,OMN;E;"CL>;OM   BFG 
&;E;LN;,OMN;E;"CL>;OM   BFG 
&;E;LN;,OMN;E;"CL>;OM   BFG 
 209
<> ;F
$U ;

GC
<>
<>> al-Bukhār
<>
Imām $U;;F
$U
ECG
;F
$U
;F
$U ,Maba>
; GC
;GC ;;dEC
>>S{ah}
$U
$U$U i>EC
’G
;ECGG
h} Awwaliyyah:
Maba>
Maba>
Maba>
al-Bukhār di>d’i>’,Awwaliyyah:
Awwaliyyah:
juzUs}IV u,>l (Beirut:
Awwaliyyah: al-Fiqh Us}
Us} wa
Dār>lu>lual-Fikr,
uUs} >lal-Fiqh
al-Qawa>
al-Fiqh
al-Fiqh wa ’wa
id wa al-Fiqh
al-Qaw
al-Qawa al-Q
&;E;LN;1948), hlm. 86.
);EN;<;B
&;E;LN;
&;E;LN;
&;E;LN; Hadis Riwayat
/;;>CSS;B
);EN;<;B
);EN;<;B
);EN;<;B ,ONL;  Bukhari
/;;>CSS;B
/;;>CSS;B
/;;>CSS;B dari Abu
N N  ,ONL; 
BFG 
,ONL; 
,ONL;    Hurairah.
N N  
N N  
N N   D;TOFC
BFG 
BFG 
BFG    Kaidah-kaidah
  D;TOFC
 D;TOFC
D;TOFC Kaidah-kaidah
Fikih &;E;LN;
Kaidah-kaidah
Kaidah-kaidah Fiki
Fikih F
,L
210
)?>C;   BFG  Ahmad<>OL;BV
Wardi Muslih,
)?>C;   BFG 
)?>C;   BFG 
)?>C;   BFG  G;HMS
/U Hukum
<>OL;BV
<>OL;BV
<>OL;BV OG SO
GG Pidana
N;HMS
/U
;HMS
/U
;HMS
/U Islam,
VC al-Asyba> NhVC(Jakarta:
OOSO
OSO SO N Nwa
VCVC al-Asyba> Sinar
 al-Asyba>
an-Naza>
h hwa
al-Asyba> ’ir Garfika,
hwa fi>
wa an-Naza>
al-Furu
an-Naza>
an-Naza> ’ir ’irfi>’fi> al-Fu
iral-Furu
 ?CLON fi> al-
1995), hlm. 3.
"CEL N N  BFG 
"CEL N N  BFG 
"CEL N N  BFG 
"CEL N N  BFG 

| 124 | Hukum Pidana Islam


,¢,š–, +!+w  j.+¨ +¬ ,¢,š–, +!u. ,¨ +¬ c+œ

/?MO;NOS;HANC>;E>;J;N>C=;J;CM?FOLOBHS;D;H
/?MO;NOS;HANC>;E>;J;N>C=;J;CM?FOLOB
;HANC>;E>;J;N>C=;J;CM?FOLOBHS;D;HA;H>CNCHAA;FE;HM?FOLOBHS;
muḥṣan, tetapi apabila seorang ';C>;BCHCG?GJOHS;C;LNCDCE;BOEOGJC>;H;%MF
';C>;BCHCG?GJOHS;C;LNCDCE;BOEOGJC>
pelaku pelanggaran tidak menikah,
G?GJOHS;C;LNCDCE;BOEOGJC>;H;%MF;G<?FOG<CM;>CN?L;JE;HM?=;L;
atau pernah menikah tetapi belum mengalami hubungan seks di
dalam pernikahan tersebut, E?M?FOLOB;H E?M?FOLOB;H
pelakuM?<;A;CG;H; M?<;A;CG;H;
pelanggaran E?N?HNO;H
tersebut E?N?HNO;H
>;F;G F
-OL;H
disebut >;F;G F

;A;CG;H; E?N?HNO;H >;F;G


“ghairu muḥṣan”. F
-OL;H  <OE;H <?L;LNC E?N?HNO;H >;F;G
Waṭi’ syubhāt211 merupakan %MF;G N?HN;HA
%MF;G N?HN;HA
hubunganJC>;H; JC>;H;
NC>;Eyang
seksual OM;B
NC>;E >CN?L;JE;H 
OM;B >CN?L;JE;H 
dilakukan E;H N
C>;H; NC>;Eoleh OM;Bseorang
>CN?L;JE;H  E;H N?N;JC >CN?L;JE;H
laki-laki dengan seorang wanita yang bukan istrinya <?L>;M;L E;>;L
dan hubungan tersebut E?G;GJO;H
terjadi E?G;GJO;H
pada>C G;H;
kondisi >C BOEOG
G;H;
yang BOEOG
JC>;H;JC>;H;
meragukan %MF;G >;J;N
yakni %MF;G>CN? >;J
G;H; BOEOGdia JC>;H; %MF;G >;J;N >CN?L;JE;H  GCM;FHS;
menganggap bahwa wanita tersebut adalah istrinya, padahal BOEOG JC>;H;
bukan. Waṭi’ syubhāt%MF;G>C%H>IH?MC;B;HS;<;LO>;J;N>C;EIGI>CLN?HN;
juga bisa %MF;G>C%H>IH?MC;B;HS;<;LO>;J;N>C;EIGI>
terjadi pada suatu kondisi di mana
C;B;HS;<;LO>;J;N>C;EIGI>CLN?HN;HA<?HNOEE?D;B;N;HHS; M?J?LNC
istrinya
seorang dari
laki-laki hasil pernikahan
melakukan yang seksual
hubungan menurutnya dengan sah, padahal
istrinya dari hasil pernikahan yang menurutnya sah, istrinya
padahal
dari hasil pernikahan
sebenarnya pernikahannya TCH; 
yangtidakG?H=OLC 
TCH; 
menurutnya
sah.G?H=OLC 
G?G<OHOB
sah, G?G<OHOB
padahal ;>;F;B ;>;F;B
M?MO;NOM?MO;NO
sebenarnya S;HA >C S;
G?G<OHOB ;>;F;B
sebenarnya
pernikahannya M?MO;NO
pernikahannya
Konsep delik S;HA
tidak sah.
perzinaan >CF;L;HA
tidak sah. >;F;G F
-OL;H  G;E;
ada dalam Islam jika terpenuhi unsur-
Konsep
Konsep delik
delik perzinaan ada dalamIslam Islamjika jikaterpenuhi
terpenuhi
>CF;L;HAJOF;>;F;GBOEOG>C%H>IH?MC; >;HJ?F;EOHS;
perzinaan >CF;L;HAJOF;>;F;GBOEOG>C%H>IH?MC; >;HJ?
ada dalam unsur-
unsur-
unsur berikut ini:
;GBOEOG>C%H>IH?MC; >;HJ?F;EOHS;>CE?H;E;HM;HEMC
unsur unsur berikut
berikut ini: ini:
Pertama, adanya persetubuhan yang
'?N?HNO;H diharamkan
'?N?HNO;HBOEOGBOEOG ( %MF;G
JC>;H;   )%MF;Gdan N?HN;H
Pertama,
Pertama, adanyaadanya persetubuhan
persetubuhan yangyang diharamkan
diharamkan ((  JC>;H;
) dan) danN?HN;HA >?FC
BOEOG JC>;H; %MF;G
kedua,adanya
kedua, adanyamelawanN?HN;HA
melawanhukum >?FCE TCH; F?<CB
hukum( (  ).). D?F;M >;H N?A;M
(  ).
kedua, adanya melawan >C<;H>CHAE;HJ?G<;B;M;H>?FCEJ?GOE;B;HS;HA>C;NO
hukum>C<;H>CHAE;HJ?G<;B;M;H>?FCEJ?GOE;B;HS;H
G<;B;M;H>?FCEJ?GOE;B;HS;HA>C;NOL>;F;GBOEOGJIMCNC@ )?HOLON
2.2.
Konsep
Konsep
dan Kriteria
dan Kriteria
Delik Perzinaan dalam Hukum Positif
2. Konsep dan Kriteria DelikDelik Perzinaan
Perzinaan dalam dalam
Hukum HukumPositif Positif
Zina pada
Zina pada hakekatnya J?H?FCNC TCH;
hakekatnya J?H?FCNC TCH;
adalah<;AC;H>;LCNCH>;EJC>;H;S;HAE?N?HNO;H
adalah melakukan
melakukan <;AC;H>;LCNCH>;EJC>;H;S;HAE?
hubungan
hubungan badan badan di
Zina pada hakekatnya adalah
AC;H>;LCNCH>;EJC>;H;S;HAE?N?HNO;HJC>;HS;>CM?<ONM?=;L;>?@CHCNC@ melakukan hubungan badan di
di luar
luar nikah.nikah. Sayangnya,dalam
Sayangnya, dalam Pasal Pasal 284 284KUHP KUHP yang yangberlaku berlaku
luarsekarang
nikah. Sayangnya,
definisi zina IF?Bdalam
mengalami
Pasal
F
-OL;H 
IF?B F
-OL;H  284 KUHP
'IHM?EO?HMC
penyempitan 'IHM?EO?HMC
makna
yang
BOEOGHS; berlaku
BOEOGHS;
menjadi N?LA;HNOHA N?LA;H E
sekarang definisi zina mengalami penyempitan makna menjadi
'IHM?EO?HMC
sekarang BOEOGHS;
hanya definisiN?LA;HNOHA
dilakukan zina
oleh orang E;>;L
mengalami yang E?D;B;N;HHS; 
salahpenyempitan
satunya G;E;
terikat makna B;LOM
perkawinanmenjadi
hanya dilakukan oleh orang yang salah satunya terikat perkawinan
hanya dengan orang oleh
dilakukan ;>;J?LCH=C;HN?A;M>;F;G;NOL;HBOEOGM?<;A;CG;H;
lain. Tetapi
orang ;>;J?LCH=C;HN?A;M>;F;G;NOL;HBOEOGM?<;A;
seperti
yang diketahui
salah satunya bahwa pasalperkawinan
terikat tersebut
A;M>;F;G;NOL;HBOEOGM?<;A;CG;H;>;F;GJ;M;F
J;M;F>;F;G'1$,
dengan orang lain. Tetapi seperti diketahui bahwa pasal tersebut
masih kurang pas dalam penerapannya di masyarakat Indonesia
dengan orang lain. Tetapi seperti diketahui bahwa pasal tersebut
masih
karena kurang
dalam pas
pasal dalam
$;HS;
tersebut penerapannya
$;HS;
J;M;F
J;M;F
masih >Cdi;N;M 
J;M;F
J;M;F
sangat masyarakat
>CM?<;A;CG;H;
sempit ;N;M  Indonesia
M?<;A;CG;H;
pengertian NCH>;ENCH>; JC>;H
masih
;F >C ;N;M  kurang
M?<;A;CG;H; pas dalam
NCH>;E penerapannya
JC>;H; F;CH >C;H=;G di masyarakat
>?HA;H JC>;H; Indonesia
dan pemahamannya
karena dalam pasal tersebut tentang zina. masihMenurutsangat hukum sempit yang pengertianhidup dan
karena dalam pasal tersebut masih sangat sempit pengertian dan
J?HD;L;M?=;L;E?M?FOLOB;H
J?HD;L;M?=;L;E?M?FOLOB;H
di masyarakat, zina
pemahamannya tentangadalah hubungan
zina. Menurut badan dil uaryang
hukum nikah,hidup baik di
M?FOLOB;H pemahamannya
yang salah satunyatentang terikatzina. tali Menurut
perkawinan hukum
atau yang hidup
keduanya belum di
masyarakat, zina adalah hubungan badan dil uar nikah, baik yang
terikat. zina adalah hubungan
masyarakat, 
badan dil uar nikah, baik yang
salah satunya terikat tali perkawinan LME;F/;FCG 
LME;F ,IFCNCE
/;FCG  ,IFCNCE
atau keduanya $OEOG
belum$OEOG
,C>;H;
terikat. %MF;G
,C>;H;>C%MF;G
%H>I
salah
CG  ,IFCNCE satunya
$OEOG terikat
,C>;H; %MF;Gtali>Cperkawinan
%H>IH?MC; atau keduanya
!EMCMN?HMC $CMNILCM  belum terikat.
'IHNLC<OMC
J?E);M; ?J;H>;F;G
Dalam pemikiran "OHAMCIH;F>;H,LIMJ?E);M;
"OHAMCIH;F>;H,LIMJ?E);M;
masyarakat
211 Pidana Islam &;E;LN;,OMN;E;"CL>;OM   BFG 
di Indonesia: Peluang
pada
Prospek
?J;H>;F;G
umumnya,
dan Tantangan,
zina yang Indo
Pidana
?J;H>;F;G Islam
Pidana di Islam
DalamSyubhat pemikiran adalah sesuatu &;E;LN;,OMN;E;"CL>;OM   BFG 
yang secara
masyarakat padaformilumumnya,
ada tindak pidana zinatetapi yang
diterangkan  
secara meterildalam
L>;OM   BFG  tidak ada KUHPtindakhanya <>menjerat
pidana., ;F
$U
Abd <>
;Qadir orang
GC>;F
$U
$U GCG>melakukan
;EC
Awdah, Maba>
 $U;ECGd i>’Maba>
at-Tasyr zina
al-Jinā di>’ jika
Awwaliyyah: Awwaliyyah
Us}u>l
;GC> $U;ECditerangkan
Maba>satunya
Gsalah
al-Islām dalam
di>’, juz
Awwaliyyah: KUHP Us}hanya
u l
> menjerat
al-Fiqh wa orang’id
al-Qawa> melakukan
terikat tali perkawinan, berarti jika orang yang   K
I, (Beirut: Dār al-Fikr,
&;E;LN; t.t.),
&;E;LN;hlm.
);EN;<;B 360.
);EN;<;B
/;;>CSS;B al-Fiqhiyyah
/;;>CSS;B
,ONL;  zina
N N  
,ONL;  jika
BFG 
N N  
 
BFG 
D;TOFC
/;;>CSS;B
salah ,ONL;  N N   BFG 
satunya   D;TOFC
terikat Kaidah-kaidah
)?>C;   BFG  Fikih
)?>C;   BFG 
tali perkawinan, &;E;LN;
<>OL;BV
berarti ,L;H;>;
<>OL;BV
G;HMS
/U
jika orang NVC al-Asyba>
G;HMS
/U
OSOyang OSONVC al-As
h wa
 <>OL;BV melakukan
G;HMS
/UOSO zina belum
NVC al-Asyba> hmemiliki
wa an-Naza>
"CEL N N  BFG  tali
’ir fi> perkawinan,
al-Furu ?CLON
"CEL N N  BFG  maka perbuatan
;L;F

melakukan zina belum memiliki tali perkawinan, maka perbuatan


tersebut tidak dapat dipidanakan. Di samping Hukum Pidana itu, PasalIslam 284| 125KUHP |
tersebut tidak dapat dipidanakan. Di samping itu, Pasal 284 KUHP
adalah delik aduan yang tidak memungkinkan perbuatan itu dipidana
adalah delik aduan yang tidak memungkinkan perbuatan itu dipidana
jika tidak ada yang mengadukan dari pihak yang dirugikan (suami
jika tidak ada yang mengadukan dari pihak yang dirugikan (suami
Dalam pemikiran masyarakat pada umumnya, zina yang
diterangkan dalam KUHP hanya menjerat orang melakukan
zina jika salah satunya terikat tali perkawinan, berarti jika orang
yang melakukan zina belum memiliki tali perkawinan, maka
perbuatan tersebut tidak dapat dipidanakan. Di samping itu,
Pasal 284 KUHP adalah delik aduan yang tidak memungkinkan
perbuatan itu dipidana jika tidak ada yang mengadukan dari pihak
yang dirugikan (suami atau istri yang dikhianati pasangannya).
Pandangan ini yang seharusnya diubah dalam kebijakan hukum
pidana dalam tindak pidana zina. Walaupun konsep KUHP belum
disahkan oleh badan legislatif, namun asas legalitas materiil yang
memungkinkan seorang hakim tidak hanya mendasarkan hukum
yang tertulis saja, tetapi juga hukum yang hidup di masyarakatpun
dapat digunakan menjadi dasar.
Delik perzinaan (overspel) diatur dalam Pasal 284 KUHP
yang dapat dikategorikan sebagai salah satu kejahatan terhadap
kesusilaan. Ketentuan-ketentuan pidana yang diatur KUHP
mengenai kejahatan-kejahatan terhadap kesusilaan ini sengaja
dibentuk oleh pembentuk undang-undang dengan maksud untuk
melindungi orang-orang dari tindakan-tindakan asusila baik
dengan ucapan maupun dengan perbuatan yang menyinggung
rasa susila karena bertentangan dengan pandangan orang tentang
kepatutan-kepatutan di bidang seksual, baik ditinjau dari segi
pandangan masyarakat setempat maupun dari segi kebiasaan
masyarakat dalam menjalankan kehidupan seksual mereka.212
Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Wiryono
Prodjodikoro, kesusilaan mengenal juga adat kebiasaan yang
baik, tetapi khusus yang sedikit banyak mengenai kelamin (sex)
seorang manusia. Dengan demikian, pidana mengenai delik

212
Lamintang, Delik-delik Khusus: Tindak Pidana-tindak pidana yang
Melanggar Norma-norma Kesusilaan dan Norma Kepatutan, (Bandung: Mandar
Maju, 1990), hlm. 1.

| 126 | Hukum Pidana Islam


kesusilaan semestinya hanya perbuatan-perbuatan yang melanggar
norma-norma kesusilaan seksual yang tergolong dalam kejahatan
terhadap kesusilaan.213 Namun demikian, menurut Roeslan Saleh,
pengertian kesusilaan hendaknya tidak dibatasi pada pengertian
kesusilaan dalam bidang seksual saja, tetapi juga meliputi hal-hal
lain yang termasuk dalam penguasaan norma-norma bertingkah
laku dalam pergaulan masyarakat.214
Pada zaman dahulu terdapat perbedaan pandangan mengenai
kejahatan perzinaan mengenai perlu atau tidaknya dipandang
sebagai suatu perbuatan yang terlarang dan dapat diancam dengan
pidana. Menurut hukum Romawi, pihak wanita sajalah yang
dapat dipersalahkan telah melakukan perzinaan. Jika terdapat
isteri melakukan hubungan kelamin dengan laki-laki lain yang
bukan suaminya, maka ia telah dipandang sebagai seorang istri
yang merugikan hak seorang suami untuk menuntut kesetiaan
dari isterinya dalam perkawinan. Perlakuan di depan hukum yang
tidak seimbang antara wanita denga pria itu kemudian berlanjut
pada Code Penal Perancis.
Berbeda dengan hukum Romawi yang memandang wanita
lebih rendah kedudukannya di depan hukum dibandingkan
dengan pria, ternyata hukum gereja Katolik telah menempatkan
kedudukan wanita itu sederajat dengan kedudukan pria di depan
hukum. Oleh karena itu, perzinaan dipandang sebagai perbuatan
dosa yang dapat dilakukan oleh pria maupun wanita, dan
dipandang sebagai inbreuk op de heilige band van het huwelijk
atau suatu penodaan terhadap ikatan suci dari perkawinan.
Pandangan gereja Katolik tentang kedudukan hukum yang
sederajat antara pria dengan wanita itu telah diikuti oleh pembentuk

213
Moch. Anwar (Dading), Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Bagian
II), (Bandung: Alumni, 1982), hlm. 210.
214
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1996), hlm. 292.

Hukum Pidana Islam | 127 |


undang-undang di negeri Belanda yang cara mereka dapat dilihat
dalam merumuskan ketentuan-ketentuan pidana dalam Pasal 340
sampai dengan Pasal 344 Criminal Wetboek voor het Koninklijk
Holland (KUHP Belanda) yang mengatur perzinaan sebagai sutau
perbuatan yang terlarang dan dapat diancam pidana.
Semula saat Wetboek van Strafrecht (KUHP) itu dibentuk,
perzinaan tidak dimasukkan ke KUHP sebagai sebuah delik
(kejahatan). Akan tetapi atas usul Mr. Modderman, perzinaan
dimasukkan sebagai salah satu perbuatan yang terlarang
dalam Wetboek van Strafrecht (WvS). Alasan yang dipakai Mr.
Modderman adalah apabila perzinaan itu tidak diatur dalam WvS
dikhawatirkan akan mendatangkan kerugian bagi kesusilaan.
Atas usul Modderman, perzinaan kemudian dicantumkan
sebagai salah satu delik kesusilaan di dalam WvS yang sedang
dibentuk. Dengan demikian, wanita diberi kedudukan yang sama
dengan pria, yaitu bukan hanya berkedudukan sebagai subyek dari
tindak pidana perzinaan, akan tetapi berkedudukan pula sebagai
pihak yang sama. Artinya, pihak wanita berhak pula mengajukan
pengaduan dan gugatan perceraian jika perbuatan itu dipandang
perlu baginya.215
Dari berbagai terjemahan WvS yang beredar, para pakar
hukum Indonesia berbeda pendapat mengenai penggunaan istilah
pengganti dari overspel. Hal ini dikarenakan bahasa asli yang
digunakan dalam KUHP adalah bahasa Belanda. Ada pendapat
yang menggunakan istilah zina, sedangkan pendapat lain
menggunakan kata atau istilah mukah atau gendak.
Pengertian overspel menurut Noyon-Langemayer adalah
overspel kan aller door een gehuwde gepleegd woorden; de
angehuwde met wie het gepleegd wordt is volgent de wet
medepleger. Artinya, perzinaan hanya dapat dilakukan oleh orang

215
Lamintang, Delik-delik Khusus…, hlm. 89-91.

| 128 | Hukum Pidana Islam


yang menikah; yang tersangkut dalam perbuatan itu adalah turut
serta (medepleger).216
Oleh karena itu, melihat ketentuan Pasal 284 sedemikian
rupa, maka overspel yang dapat dikenai sanksi pidana menurut
KUHP adalah:
a. persetubuhan dilakukan oleh mereka yang sudah menikah
saja. Apabila pasangan ini belum menikah kedua-keduanya,
maka persetubuhan mereka tidak dapat dikualifikasikan
sebagai overspel. Hal ini berbeda dengan pengertian berzina
yang menganggap persetubuhan antara pasangan yang belum
menikah juga termasuk di dalamnya.
b. partner yang disetubuhi yang belum menikah hanya dianggap
sebagai peserta pelaku (medepleger). Ini berarti apabila partner
yang disetubuhi telah menikah juga, yang bersangkutan
dianggap bukan sebagai peserta pelaku.
c. persetubuhan tidak direstui oleh suami atau pun isteri
yang bersangkutan. Secara a contrario dapat dikatakan
kalau persetubuhan itu direstui oleh suami atau isteri yang
bersangkutan maka itu bukan termasuk overspel.217

Adapun keputusan-keputusan pengadilan yang mengakui


perzinaan sebagai salah satu delik dengan mendasarkan pada
hukum yang hidup yang menentukan bahwa menurut adat
setempat seseorang patut dipidana karena perzinaan adalah
sebagai berikut :
a. Putusan Mahkamah Agung tanggal 19 Nopember 1977 No.
K/Kr/1976.
“Delik adat zina merupakan perbuatan terlarang mengenai

216
Topo Santosa, Seksualitas dan Hukum Pidana, (Jakarta: Ind-Hill,
1997), hlm. 92-93.
217
Sahetapy dan B. Mardjono Reksodiputro, Parados dalam Kriminologi,
(Jakarta: Rajawali, 1989), hlm. 60-61.

Hukum Pidana Islam | 129 |


hubungan kelamin antara pria dan wanita, terlepas dari
tempat umum atau tidak perbutan tersebut itu dilakukan
seperti disyaratkan oleh Pasal 281 KUHP, ataupun terlepas
dari persyaratan apakah salah satu pihak itu kawin atau tidak
seperti dimaksudkan oleh Pasal 284 KUHP”.
b. Putusan Mahkamah Agung No. 666 K/Pid/1984.
Putusan kasasi ini menyangkut seorang terdakwa pemuda
(30 tahun) yang menjalin hubungan badan dengan gadis
(24 tahun) dengan dalih akan dinikahi. Akan tetapi setelah
gadis tersebut hamil, pemuda tersebut menolak menikahi
gadis tersebut. Menurut masyarakat Luwuk, Sulawesi Tengah
tempat kejadian kasus ini, perbuatan itu termasuk delik
adat zina yang tidak ada bandingannya dalam KUHP. Atas
dasar Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-undang Darurat No. 1
Tahun 1951 terdakwa dijatuhi hukuman pidana penjara tiga
bulan.218

3. Konsep dan Kriteria Delik Perzinaan dalam RUU KUHP


Mengenai sifat delik perzinaan ini sebenarnya konsep KUHP
tahun 1977 sampai dengan konsep tahun 1991/1992 (sampai
dengan Desember 1992) masih berprinsip bahwa delik perzinaan
termasuk delik biasa atau bukan delik aduan lagi.219 Akan tetapi,
dengan memperhatikan rumusan yang ada dalam Pasal 385 ayat
(2). Konsep KUHP (sampai dengan 13 Maret 1993) kedudukan
delik perzinaan berubah menjadi delik aduan.
Selama ini masih ada perbedaan pendapat di antara para ahli
hukum mengenai sifat delik perzinaan, sehingga karena belum
adanya titik temu antara kedua belah pihak tersebut, maka di
dalam konsep KUHP disebutkan catatan bahwa ada pendapat

218
Muladi, Proyeksi Hukum..., hlm. 16.
219
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 317.

| 130 | Hukum Pidana Islam


delik perzinaan ini sebaiknya bukan delik aduan. Terhadap
masalah yang menimbulkan pro dan kontra mengenai sifat delik
perzinaan ini, Barda Nawawi Arief memberikan pertimbangan
sebagai berikut:
a. Konsep nilai dan kepentingan yang melatarbelakangi sifat
dan hakikat perzinaan.
Delik perzinaan merupakan salah satu delik kesusilaan yang
erat kaitannya dengan kesucian lembaga perkawinan. Dengan
demikian, masalah sentralnya terletak pada pandangan
masyarakat mengenai kesusilaan dan kesucian lembaga
perkawinan. Pandangan barat yang melatarbelakangi WvS
berbeda dengan pandangan masyarakat Indonesia mengenai
perzinaan dan perkawinan. Perkawinan dalam pandangan
masyarakat terkait pula dengan nilai-nilai dan kepentingan
masyarakat. Sehingga tidak bijaksana apabila delik perzinaan
tetap dijadikan delik aduan absolut.
b. Aspek tujuan dari kebijakan kriminal (criminal policy).
Ditetapkannya suatu delik sebagai delik aduan atau sebagai
delik biasa merupakan sarana untuk mencapai tujuan-tujuan
tertentu. Salah satu tujuannya adalah pencegahan (preventie).
Dengan ditetapkannya delik perzinaan sebagai delik aduan
absolut, prevensinya lemah karena memberi peluang dan dasar
legitimasi kepada seseorang untuk merasa bebas melakukan
perzinaan. Hal ini justru menjadi faktor kriminogen.
c. Aspek kesusilaan nasional.
Tujuan politik kriminal dengan dilarangnya perzinaan adalah
kesucian lembaga perkawinan dan pengaruh negatif lainnya,
antara lain mencegah tumbuh suburnya pelacuran dan
mencegah perbuatan main hakim sendiri.
d. Aspek kepentingan individu dan alternatif teknis perumusan
delik.
Adanya perbuatan zina mengakibatkan kerugian individu

Hukum Pidana Islam | 131 |


bagi pihak yang terkena skandal perzinaan. Namun, hal
inipun perlu dipertimbangkan dengan kepentingan umum
yang turut dirugikan, sehingga perlu dipertimbangkan secara
proporsional antara kepentingan individu dengan kepentingan
umum. Apabila ada dua kepentingan yang sama-sama kuat
dan mendasar, maka sepantasnya kedua kepentingan itu
diperhatikan. Jalan keluar dari permasalahan itu adalah
perumusan delik perzinaan ditetapkan sebagai delik aduan
relatif.220

Dalam delik perzinaan ditentukan bahwa penuntutan akan


dilakukan hanya jika ada pengaduan, sehingga dapat dikategorkan
sebagai delik aduan. Pihak-pihak yang dapat mengajukan
pengaduan tindak pidana ini ialah keluarga pembuat sampai
derajat ketiga:
a. kepala adat setempat;
b. kepala desa setempat.
Sebagaimana Pasal 385 Konsep KUHP, Pasal 386 inipun
termasuk pasal yang menjadi perdebatan di antara ahli hukum,
sehingga dalam Pasal 386 tersebut disebutkan pula catatan bahwa
ada yang berpendapat tindak pidana yang disebut dalam ayat (1)
itu dihapus. Selain itu, ada pula yang tidak setuju dengan adanya
rumusan bahwa delik ini dapat diadukan oleh kepala adat atau
kepala desa setempat.
Pasal 387 RUU KUHP tentang janji nikah merupakan
masukan dari berbagai kalangan yang melihat persetubuhan
dengan janji untuk menikahi dan setelah wanita hamil pria
yang menghamili mengingkari janjinya adalah perbuatan tercela
menurut masyarakat. Menurut KUHP, perbuatan tersebut bukan
merupakan tindak pidana.

220
Ibid., hlm. 279-285.

| 132 | Hukum Pidana Islam


Pasal 387 ayat (2) RUU KUHP menyebutkan bahwa salah satu
syarat bagi pria yang bersetubuh sehingga mengakibatkan hamilnya
perempuan itu, untuk dapat diberikan sanksi pidana adalah ia
tidak bersedia menikahi atau ada halangan untuk menikahi yang
diketahuinya menurut undang-undang perkawinan.
Menurut Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, halangan-halangan yang menyebabkan adanya
larangan untuk menikah disebutkan dalam Pasal 8, 9 dan 10 yang
juga disebut sebagai syarat-syarat materiel relatif perkawinan,
yaitu syarat-syarat bagi pihak yang hendak dikawini.221 Pasal 8
Undang-undang Perkawinan itu menyebutkan bahwa perkawinan
dilarang antara dua orang yang:
a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah
maupun ke atas;
b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping,
yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang
tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c. berhubungan dengan semenda, yaitu mertua, anak tiri,
menantu, dan ibu/bapak tiri;
d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan,
saudara susuan dan bibi/paman susuan;
e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau
kemenakan dari isteri dan hal seorang suami beristeri lebih
dari seorang;
f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan
lain yang berlaku, dilarang kawin;

Pasal 9 menyebutkan bahwa seorang yang masih terikat oleh


perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali
dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-

221
Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia, (Semarang: Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro, 1993), hlm. 18.

Hukum Pidana Islam | 133 |


undang Perkawinan ini. Pasal 10 menentukan bahwa apabila
suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi dengan yang lain dan
bercerai untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh
dilangsungkan perkawinan lagi sepanjang hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak
menentukan lain.
Menurut asas-asas yang berlaku dalam hukum pidana, unsur-
unsur tindak pidana merupakan syarat-syarat untuk menentukan
sampai di mana perbuatan seorang manusia dapat dikenakan
hukuman atau pidana. Unsur-unsur itu meliputi perbuatan
manusia yang memenuhi rumusan undang-undang dan bersifat
melawan hukum serta unsur orang atau pelakunya, yakni adanya
kesalahan pada diri pelaku.222
Tindak pidana perzinaan atau overspel yang dimaksud dalam
Pasal 284 KUHP ayat (1) KUHP itu merupakan suatu opzettleijk
delict atau merupakan tindak pidana yang harus dilakukan dengan
sengaja.223 Ini berarti bahwa unsur kesengajaan itu harus terbukti
pada si pelaku agar ia dapat terbukti sengaja dalam melakukan
salah satu tindak pidana perzinaan dari tindak pidana-tindak
pidana perzinaan yang diatur dalam Pasal 284 ayat (1) KUHP.
Mengenai kesengajaan ini, KUHP tidak memberikan definisi
secara jelas. Petunjuk untuk mengetahui arti kesengajaan dapat
diambil dari Memorie van Toelchting (MvT) yang mengartikan
kesengajaan (opzet) sebagai menghendaki dan mengetahui
(willens en wettens). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
kesengajaan berarti menghendaki dan mengetahui apa yang ia
lakukan.224 Apabila unsur kesengajaan dari pelaku zina ini tidak
dapat dibuktikan, maka pelaku tidak terbukti menghendaki atau

222
Lamintang, Delik-delik Khusus…, hlm. 92.
223
Ibid., hlm. 88.
224
Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro, 1990), hlm. 102.

| 134 | Hukum Pidana Islam


tidak terbukti mengetahui perzinaan yang dilakukan, sehingga
hakim harus memutuskan bebas dari tuntutan hukum (onslag van
rechtsvervolging) bagi pelaku.
Menurut Simons, untuk adanya suatu perzinaan menurut
Pasal 284 KUHP itu diperlukan adanya suatu vleeslijk gemeenschap
atau diperlukan adanya suatu hubungan antara alat kelamin yang
selesai dilakukan antara seorang pria dengan seorang wanita.225
Dengan demikian, apabila dilakukan oleh dua orang yang berjenis
kelamin sama bukan merupakan perzinaan yang dimaksud dalam
Pasal 284 KUHP
Syarat lain yang perlu diperhatikan agar perbuatan melakukan
hubungan kelamin antara seorang pria dengan seorang wanita yang
salah satu atau keduanya telah kawin dapat disebut sebagai delik
perzinaan menurut KUHP adalah bahwa tidak adanya persetujuan
di antara suami isteri itu. Artinya, jika ada persetujuan di antara
suami dan isteri, misalnya suami bekerja sebagai mucikari dan
isterinya menjadi pelacur bawahannya, maka perbuatan semacam
itu tidak termasuk perbuatan zina.
Alasan yang mendasari pemikiran bahwa delik perzinaan itu
merupakan delik yang digantungkan pada adanya pengaduan dari
pihak yang merasa dirinya telah dirugikan oleh para pelakunya
adalah laporan Tweede Kamer yang menjelaskan bahwa jika tidak
ditentukan demikian, maka hubungan-hubungan yang sifatnya
khusus dalam keluarga itu seringkali akan menjadi terganggu
tanpa guna. Selain itu, apabila pihak yang merasa dirugikan oleh
pelaku ternyata tidak mempunyai keinginan untuk mengajukan
gugatan perceraian atau gugatan perceraian dari meja makan dan
tempat tidur, maka tidak terdapat suatu dasar yang kuat untuk
memberikan wewenang kepada pihak tersebut yakni untuk
meminta kepada alat-alat negara agar terhadap pihak-pihak

225
Lamintang, Delik-delik Khusus …, hlm. 89.

Hukum Pidana Islam | 135 |


yang telah merugikan dirinya itu dilakukan penuntutan menurut
hukum pidana.

C. Sanksi Delik Perzinaan dalam Islam


Sejarah telah mencatat bahwa terjadi perbedaan ketika
menerapkan sanksi dalam kasus yang sama. Contoh, zina yang
dianggap sebagai jarīmah h}udūd. Teori graduasi diberlakukan
dengansamping
prinsipmenerapkan
adanya tahapan-tahapan
teori graduasi jugadalam menerapkanprinsip
merasionalisasikan
hukumnasakh.
denganJumhur
melihatulama
kondisi individu dan
menganggap tetapstruktur masyarakat.
eksisnya hukum rajam, 25
Awal sanksi zina golongan
sementara adalah cercaan dan hinaan
Khawarij, (suratdan
Mu’tazilah an-Nisa’ ayatfuqaha
sebagian
16), selanjutnya kurungan dalam rumah (surat an-Nisa’
Syi'ah menyatakan bahwa sanksi bagi pezina adalah hukum ayat 15), dera
tahap (cambuk).
berikutnya26 hukuman dera (surat an-Nur ayat 2). Sementara

hukum rajam Masih yangdalam


sumbernya hadisIzzudin
aliran ini, Nabi diperdebatkan
bin Abd as-Salam
keautentikannya. Terlebih jika hukum rajam dikaitkan dengan
sebagaimana dikutip oleh Fazlur Rahman, menyatakan bahwa hukum
surat an-Nisa’ ayat 25 dan surat al-Ahzab ayat 30. Dengan
rajam dengan argumentasi seluruh materi bersifat tradisional, di
demikian, para fuqaha di samping menerapkan teori graduasi juga
samping tidak ditegaskan dalam al-Qur`an juga warisan sejarah
merasionalisasikan prinsip27 nasakh. Jumhur ulama menganggap
tetap orang-orang
eksisnya hukum Yahudi.
rajam, 226 sementara golongan Khawarij,
Sementara
Mu’tazilah dan sebagianAnwar
fuqaha Haryono menyatakan bahwa
Syi’ah menyatakan bahwa hukum
sanksi rajam
bagi pezina adalah hukum dera (cambuk).
pertama kali diterapkan dalam sejarah227
Islam terhadap orang Yahudi

226
Alī as-Sāyis,
25 Tafsīr ĀyatTafsi>r
Ali> as-Sa>yis, al-Āḥkām, juzal-A<h}ka>m,
A<yat II, (Beirut: Dārjuz
al-Fikr, t.t.), Da>r
II, (Beirut:
hlm. 107.
al-Fikr, t.t.), hlm. 107.
227
Adapun
26 alasan alasan
Adapun merekamereka
yang menolak hukum rajam
yang menolak adalah:
hukum (1).adalah:
rajam
Hukum(1).Hukum
rajam dianggap paling berat di antara hukum yang ada dalam
rajam dianggap paling berat di antara hukum yang ada dalam
Islam, Islam,
namun namuntidak ditetapkan dalam dalam
tidak ditetapkan al-Qur`an. Seandainya
al-Qur`an. Allah Allah
Seandainya
melegalkan hukum rajam mestinya ditetapkan secara definitif
melegalkan hukum rajam mestinya ditetapkan secara definitif dalam nash. dalam
nash. (2.)Hukuman
(2.)Hukuman bagi bagihamba
hamba sahaya
sahaya separoh
separoh dari dari
orangorang merdeka,
merdeka, kalau hukum
kalau hukum rajam dianggap sebagai hukuman mati, apa ada
rajam dianggap sebagai hukuman mati, apa ada hukuman separoh mati. hukuman
separohDemikian
mati. Demikian juga ketentuan
juga ketentuan hukuman bagi hukuman bagiNabi
keluarga keluarga
denganNabisanksi dua
dengankalisanksi duaApakah
lipat. kali lipat.
adaApakah adahukuman
dua kali dua kali hukuman mati.
mati. Secara Secara
jelas ayat yang
jelas ayat yang menolak
menolak adalah
adalah surat suratayat
an-Nisa' an-Nisa’
25: ayat 25:
      
   
     
   
     
      

 

Demikian halnya dengan ketentuan surat al-Ahzab ayat 30
             
     
 
         
 
| 136 | Hukum Pidana
Ayat Islam
di atas menggambarkan bahwa hukum rajam tidak dapat
dilipatgandakan, yakni dua kali lipat. Jika diberlakukan hukum dera 100
kali, maka dua kali lipatnya adalah 200 kali. Hukum dera yang tertera
dalam surat an-Nur ayat 2 berlaku umum, yakni pezina muh}s}an dan
samping menerapkan teori graduasi juga merasionalisasikan prinsip
nasakh. Jumhur ulama menganggap tetap eksisnya hukum rajam, 25
sementara golongan Khawarij, Mu’tazilah dan sebagian fuqaha
Syi'ah menyatakan bahwa sanksi bagi pezina adalah hukum dera
Masih dalam
(cambuk). 26
aliran ini, Izzudin bin Abd as-Salam sebagaimana
dikutip olehMasihFazlur dalam
Rahman, menyatakan
aliran bahwa bin
ini, Izzudin hukum Abdrajamas-Salam
dengan argumentasi
sebagaimana seluruh
dikutip materi
oleh Fazlur bersifat
Rahman,tradisional,
menyatakan di samping
bahwa hukum
tidak rajam
ditegaskan
dengan dalam al-Qur`an
argumentasi juga materi
seluruh warisanbersifat
sejarahtradisional,
orang- di
orangsamping
Yahudi. tidak ditegaskan dalam al-Qur`an juga warisan sejarah
228

Sementara Anwar Haryono menyatakan bahwa hukum


orang-orang Yahudi.27
rajam pertama kali diterapkan dalam sejarah Islam terhadap
Sementara Anwar Haryono menyatakan bahwa hukum rajam
orang Yahudi dengan mendasarkan kitab mereka, yakni Taurat.
pertama kali diterapkan dalam sejarah Islam terhadap orang Yahudi
Kejadian itu kemudian menjadi rujukan hukum, artinya siapa
saja yang berzina dirajam.229 Demikian halnya dengan pendapat
Hasbi ash-Shiddieqy
25 yangTafsi>r
Ali> as-Sa>yis, menyatakan bahwa hukum
A<yat al-A<h}ka>m, rajam Da>r
juz II, (Beirut:
ada dan dipraktikkan
al-Fikr, dalam Islam, akan tetapi terjadi sebelum
t.t.), hlm. 107.
26
diturunkannya surat an-Nur
Adapun ayat (2).
alasan mereka Dengan
yang menolakdemikian,
hukum hukum
rajam adalah:
yang muḥkam sampai sekarang adalah hukum dera bagi pezina.ada
(1).Hukum rajam dianggap paling berat di antara hukum yang 230 dalam
Islam, namun tidak ditetapkan dalam al-Qur`an. Seandainya Allah
Alangkah bijaksananya
melegalkan jika mestinya
hukum rajam dikatakan bahwasecara
ditetapkan hukum ḥadddalam
definitif itu nash.
tidak boleh dilaksanakan, kecuali telah sempurna perbuatan
(2.)Hukuman bagi hamba sahaya separoh dari orang merdeka, kalau hukum dosa
seseorang,
rajam yakni
dianggap terpenuhinya
sebagai hukumansyarat, rukun
mati, danhukuman
apa ada tanpa adanya
separoh mati.
unsur Demikian
subhat. juga ketentuan hukuman bagi keluarga Nabi dengan sanksi dua
kali lipat. Apakah ada dua kali hukuman mati. Secara jelas ayat yang
menolak adalah surat an-Nisa' ayat 25:
      
   
     
   
     
      

 

Demikian halnya dengan
Demikian ketentuan
halnya dengan surat al-Ahzab
ketentuan ayat 30 ayat 30
surat al-Ahzab
             
     
 
         
 
Ayat diAyatatasdimenggambarkan
atas menggambarkan bahwabahwa hukumhukum
rajam tidak
rajam dapat
tidak dapat
dilipatgandakan, yakni dua kali lipat. Jika diberlakukan
dilipatgandakan, yakni dua kali lipat. Jika diberlakukan hukum dera hukum dera 100
100 kali, maka dua kali lipatnya adalah 200 kali. Hukum dera yang tertera
kali, maka dua kali lipatnya adalah 200 kali. Hukum dera yang
terteradalam
dalamsurat
suratan-Nur
an-Nurayatayat22 berlaku
berlaku umum,
umum, yakni
yakni pezina
pezina muh}s}an
muḥṣan dan
ghairu muh}s}an. Sementara hadis Nabi yang
dan ghairu muh}s}an. Sementara hadis Nabi yang menyatakan berlakunyamenyatakan berlakunya
hukum rajam adalah lemah. Abdurahman al-Jaziri, Kitāb al-Fiqh ‘alā Ma 'ala>
hukum rajam adalah lemah. Abdurahman al-Jaziri, Kita>b al-Fiqh
Maa>hib al-‘Arba’ah, juz IV, (Beirut: Da>r al-Fiqh, t.t.), hlm. 179.
27 juz IV, (Beirut: Dār al-Fiqh, t.t.), hlm. 179.
āhib al-‘Arba’ah,
228 Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas Transformasi Intelektual,
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas Transformasi Intelektual, alih
alih bahasa
bahasa Ahsin Muhammad,Ahsin Muhammad, (Bandung:
(Bandung: Pustaka, 1985),Pustaka, 1985), hlm. 35.
hlm. 35.
229 Anwar Haryono, Hukum Islam Keluasan dan Keadilannya, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1968), hlm. 178.
230 Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir..., hlm. 88.

Hukum Pidana Islam | 137 |


telah sempurna perbuatan dosa seseorang, yakni terpenuhinya syarat,
rukun dan tanpa adanya unsur subhat.
Ada/?MO;NOS;HANC>;E>;J;N>C=;J;CM?FOLOBHS;D;HA;H>CNCHAA;FE;HM?FOL
/?MO;NOS;HANC>;E>;J;N>C=;J;CM?FOLOBHS;D;HA;H>CNCHAA;FE;H
/?MO;NOS;HANC>;E>;J;N>C=;J;CM?FOLOBHS;D;HA;H>CNCHAA;FE;HM?FO
hikmah yang terkandung di dalam penerapan sanksi
perzinaan dengan hukuman badan sebagaimana diungkapkan oleh al-
Jurja>wi>,';C>;BCHCG?GJOHS;C;LNCDCE;BOEOGJC>;H;%MF;G<?FOG<CM;>CN?L;JE
';C>;BCHCG?GJOHS;C;LNCDCE;BOEOGJC>;H;%MF;G<?FOG<CM;>CN
';C>;BCHCG?GJOHS;C;LNCDCE;BOEOGJC>;H;%MF;G<?FOG<CM;>CN?L;J
Ada hikmahtegas
ia secara yangmenyatakan:
terkandung di dalam penerapan sanksi
perzinaan dengan hukuman badan sebagaimana diungkapkan
Perbuatan Zina sangat dicela oleh Islam dan pelakunya
E?M?FOLOB;H
E?M?FOLOB;H
E?M?FOLOB;H M?<;A;CG;H;
oleh al-Jurjāwī, ia secara E?N?HNO;H
M?<;A;CG;H;
M?<;A;CG;H; E?N?HNO;H
E?N?HNO;H
tegas >;F;G
>;F;G
>;F;G
menyatakan: F
-OL;H 
F
-OL;H 
F
-OL;H  <OE;H
<OE;H
<OE;H<?L;LNC
<?L;LNC E?N?HNO
<?L;LNC
E?N?HN
E?
dihukum
dengan hukuman rajam (dilempari
Perbuatan Zina sangat dicela oleh Islam dan pelakunya batu sampai
%MF;G
%MF;G
%MF;GN?HN;HA
N?HN;HA
N?HN;HA JC>;H;
dihukum
meninggal JC>;H;
JC>;H; NC>;E
NC>;E
NC>;E
dengan
dengan OM;B
OM;B
OM;B
hukuman
disaksikan >CN?L;JE;H 
>CN?L;JE;H 
>CN?L;JE;H  E;H
rajam (dilempari
orang banyak) E;HE;H N?N;JC
N?N;JC
batu
apabila N?N;JC>CN?L;JE;H
sampai>CN?L;JE;H
sudah>CN?L;JE;H<?L>;
<?L>
pernahmeninggal
menikah dengan
(muh}s}an) disaksikan orang hukuman
dan dengan banyak) apabila cambuk
E?G;GJO;H
E?G;GJO;H
E?G;GJO;H >C
>C
sudah
100 kali G;H;
>C G;H;
pernah
apabila BOEOG
BOEOG
BOEOG
menikah
belum JC>;H;
JC>;H;
JC>;H;%MF;G
%MF;G
(muh}s}an)
pernah menikah>;J;N
%MF;G >;J;N
dan >;J;N>CN?L;JE;H 
dengan
(gairu >CN?L;JE;H 
>CN?L;JE;H 
hukuman
muh}s}an). GCM;FHS;
GCM;FHS; BOEO
GCM;FHS;
BOE
cambuk 100 kali apabila belum pernah menikah (gairu
Adanya perbedaan hukuman tersebut karena muh}s}an
%MF;G>C%H>IH?MC;B;HS;<;LO>;J;N>C;EIGI>CLN?HN;HA<?HNOEE?D;B;N;HHS
%MF;G>C%H>IH?MC;B;HS;<;LO>;J;N>C;EIGI>CLN?HN;HA<?HNOEE?D;B;
%MF;G>C%H>IH?MC;B;HS;<;LO>;J;N>C;EIGI>CLN?HN;HA<?HNOEE?D;B;N;HH
muh}s}an). Adanya perbedaan hukuman tersebut
seharusnya bisa lebihseharusnya
karena muh}s}an menjaga bisadiri lebihuntukmenjaga melakukan diri
TCH; 
TCH;  G?H=OLC 
TCH; G?H=OLC 
G?H=OLC 
perbuatan G?G<OHOB
untuk G?G<OHOB
G?G<OHOB
tercela itu, ;>;F;B
;>;F;B
apalagi
melakukan perbuatan M?MO;NO
;>;F;BM?MO;NO
M?MO;NO
kalau S;HA
tercela S;HA
masih S;HA
itu, >CF;L;HA
>CF;L;HA
dalam
apalagi >CF;L;HA >;F;G
>;F;G
ikatan
kalau F
-OL
>;F;G
F
-OL
F
masih dalam
perkawinan ikatan perkawinan
yang berarti menyakiti dan yang berarti menyakiti
mencemarkan nama
>CF;L;HAJOF;>;F;GBOEOG>C%H>IH?MC; >;HJ?F;EOHS;>CE?H;E;HM;HEMC
>CF;L;HAJOF;>;F;GBOEOG>C%H>IH?MC; >;HJ?F;EOHS;>CE?H;E;HM;HEM
>CF;L;HAJOF;>;F;GBOEOG>C%H>IH?MC; >;HJ?F;EOHS;>CE?H;E;HM;HEMC
dan mencemarkan
baik keluarganya, sementaranamagairu
baik muh}s}an
keluarganya, belum sementara
pernah
gairu muh}s}an belum pernah
menikah sehingga nafsu syahwatnya lebih besar karena menikah sehingga
'?N?HNO;H
'?N?HNO;H
'?N?HNO;H BOEOG
BOEOGJC>;H;
BOEOG
nafsu syahwatnya lebih%MF;G
JC>;H;
JC>;H; %MF;G
%MF;G
besar N?HN;HA
N?HN;HA
N?HN;HA
karena >?FCE
>?FCE
didorong TCH;
>?FCE TCH; F?<CB
TCH;
rasaF?<CB D?F;M
F?<CB D?>
D?F;M
didorong rasa keingintahuannnya. Namun,
keingintahuannnya. Namun, keduanya tetap sangat
keduanya tetap
>C<;H>CHAE;HJ?G<;B;M;H>?FCEJ?GOE;B;HS;HA>C;NOL>;F;GBOEOGJIMCNC@
>C<;H>CHAE;HJ?G<;B;M;H>?FCEJ?GOE;B;HS;HA>C;NOL>;F;GBOEOGJI
>C<;H>CHAE;HJ?G<;B;M;H>?FCEJ?GOE;B;HS;HA>C;NOL>;F;GBOEOGJIMCNC
sangat dicelaoleh
dicela olehIslam
Islamdan dantidak
tidakboleh
bolehdiberi
diberibelas belaskasihan,
kasihan,
sebagaimana
sebagaimana firman Allah:      . .
firmanAllah:
J?H?FCNC TCH;
J?H?FCNC TCH;
J?H?FCNC TCH; <;AC;H>;LCNCH>;EJC>;H;S;HAE?N?HNO;HJC>;HS;>CM?<ONM?=;L
<;AC;H>;LCNCH>;EJC>;H;S;HAE?N?HNO;HJC>;HS;>CM?<ON
<;AC;H>;LCNCH>;EJC>;H;S;HAE?N?HNO;HJC>;HS;>CM?<ONM?=;
Ancaman keras bagi pelaku zina tersebut karena dalam
Ancaman keras bagi pelaku zina tersebut karena dalam
pandangan Islam zina merupakan perbuatan tercela yang
IF?B
IF?BF
-OL;H 
IF?B F
-OL;H 'IHM?EO?HMC
F
-OL;H  derajatBOEOGHS;
'IHM?EO?HMC
'IHM?EO?HMC
menurunkan BOEOGHS;
BOEOGHS;
dan harkat N?LA;HNOHA
N?LA;HNOHA
N?LA;HNOHAE;>;L
kemanusiaanE;>;LE?D;B;N;HHS; 
E;>;L
E?D;B;N;HHS; 
secara GG
E?D;B;N;HHS
28
Anwarumum. Apabila
Haryono, zina tidak
Hukum Islamdiharamkan
Keluasan dan niscaya martabat
Keadilannya,
;>;J?LCH=C;HN?A;M>;F;G;NOL;HBOEOGM?<;A;CG;H;>;F;GJ;M;F
J;M;F>;F;
;>;J?LCH=C;HN?A;M>;F;G;NOL;HBOEOGM?<;A;CG;H;>;F;GJ;M;F
J;M;F
;>;J?LCH=C;HN?A;M>;F;G;NOL;HBOEOGM?<;A;CG;H;>;F;GJ;M;F
J;M;F>;F
(Jakarta: Bulanmanusia akan hilang
Bintang, 1968), hlm. 178. karena tata aturan perkawinan
29
Hasbidalam masyarakat
ash-Shiddieqy, akanhlm.
Tafsir..., rusak.
88. Di samping itu, pelaku
$;HS;
$;HS;J;M;F
J;M;F
$;HS; J;M;F
J;M;F
J;M;F
J;M;F>C
>C
>C
zina berarti ;N;M 
;N;M 
;N;M M?<;A;CG;H;
M?<;A;CG;H;
M?<;A;CG;H;
mengingkari NCH>;E
NCH>;E
nikmat Allah JC>;H;
NCH>;EJC>;H;
tentang F;CH
JC>;H;
F;CH>C;H=;G
F;CH
kebolehan>C;H=;G>?HA;
>C;H=;G
>?HA
dan anjuran Allah untuk menikah.231
J?HD;L;M?=;L;E?M?FOLOB;H
J?HD;L;M?=;L;E?M?FOLOB;H
J?HD;L;M?=;L;E?M?FOLOB;H
Al-Qur’an secara tegas mengharamkan bentuk perzinaan,
bahkan


 mendekati zina diharamkan. Artinya, setiap bentuk
LME;F
LME;F/;FCG 
LME;F /;FCG ,IFCNCE
/;FCG  ,IFCNCE
,IFCNCE $OEOG
$OEOG
$OEOG,C>;H;
,C>;H;%MF;G
,C>;H;%MF;G >C
>C%H>IH?MC;
%MF;G >C !EMCMN?HMC
%H>IH?MC;
%H>IH?MC; $CMNILCM 
!EMCMN?HMC
!EMCMN?HMC
$CMNILCM
$CM
perbuatan yang akan mengarah
"OHAMCIH;F>;H,LIMJ?E);M;
"OHAMCIH;F>;H,LIMJ?E);M; ?J;H>;F;G
"OHAMCIH;F>;H,LIMJ?E);M;
kepada
?J;H>;F;GPidana
?J;H>;F;G Pidana
terjadinya
Islam
Pidana Islam
perzinaan
didiIndonesia:
Islam Peluang
di Indonesia:
Indonesia: Prospek
Peluang
Peluang dan
Prospe
Prospek da
&;E;LN;,OMN;E;"CL>;OM   BFG 
&;E;LN;,OMN;E;"CL>;OM   BFG 
&;E;LN;,OMN;E;"CL>;OM   BFG 



<>
<> ;F
$U
;;GC
<>Al-Jurjāw
231 ;F
$U
;F
$U GC Ḥikmah
>,>$U
;EC
$U
$U GG
;;EC
EC Maba>di>d’i>d’wa
Maba>
Maba>
G at-Tasyr Awwaliyyah:
i>’Awwaliyyah:
Awwaliyyah:
al-Falsafatuhu, Us}u(Beirut:
Us}>luUs}
>l al-Fiqh Dārwa
ual-Fiqh
>l al-Fiqhwaal- al-Qawa>
waal-Qawa> ’id’id al
al-Qawa
Fikr, t.t.),
&;E;LN;
&;E;LN;
&;E;LN; hlm. 296-298.
);EN;<;B
);EN;<;B
);EN;<;B /;;>CSS;B
/;;>CSS;B,ONL; 
/;;>CSS;B N N  
,ONL; 
,ONL; N N  
N N  BFG 
BFG 
BFG   
  D;TOFC
  D;TOFC
D;TOFC Kaidah-kaidah
Kaidah-kaidah
Kaidah-kaidah Fikih
Fikih Fikih
&;E;L
&;E;
)?>C;   BFG 
)?>C;   BFG  <>OL;BV
)?>C;   BFG  <>OL;BV
<>OL;BV GG;HMS
/U
G;HMS
/U
;HMS
/U OSO VCN VC al-Asyba>
ONSO
OSO NVCal-Asyba> hhwa
 al-Asyba> wah an-Naza>
wa ’ir’irfi>fi>al-Furu
an-Naza>
an-Naza> ’iral-Furu
fi> al-Furu
 ?C
 
"CEL N N  BFG 
"CEL N N  BFG 
"CEL N N  BFG 
| 138 | Hukum Pidana Islam
Al-Qur'an secara tegas mengharamkan bentuk perzinaan,
/?MO;NOS;HANC>;E>;J;N>C=;J;CM?FOLOBHS;D;HA;H>CNCHAA;FE;HM?FOL
bahkan /?MO;NOS;HANC>;E>;J;N>C=;J;CM?FOLOBHS;D;HA;H>CNC
mendekati /?MO;NOS;HANC>;E>;J;N>C=;J;CM?FOLOBHS;D;HA;H>CNCHAA
zina diharamkan. Artinya, setiap bentuk perbuatan
yang akan mengarah kepada terjadinya perzinaan dilarang dalam
';C>;BCHCG?GJOHS;C;LNCDCE;BOEOGJC>;H;%MF;G<?FOG<CM;>CN?L;JE
dilarang
Islam. dalam
Ketika ';C>;BCHCG?GJOHS;C;LNCDCE;BOEOGJC>;H;%MF;G<?FOG
';C>;BCHCG?GJOHS;C;LNCDCE;BOEOGJC>;H;%MF;G<?FOG<
Islam. Ketika
larangan larangan
itu dilanggar, itusangat
Islam dilanggar,
tegas,Islam
yakni sangat
pezina
tegas,
harusyakni
didera pezina harus didera
(dicambuk) (dicambuk)
dan harus disaksikandan harusumum
di muka disaksikan
pada
E?M?FOLOB;H
di saat
muka M?<;A;CG;H;
E?M?FOLOB;H
E?M?FOLOB;H
umum pada
eksekusi. 31
saat
Bahkan E?N?HNO;H
M?<;A;CG;H;
M?<;A;CG;H;
masyarakat >;F;G
eksekusi. E?N?HNO;H
232 F
-OL;H 
E?N?HNO;H
Bahkan
Mesir kuno,>;F;G
>;F;G
masyarakat<OE;H
Babilonia, <?L;LNC
F
-OL;H 
F
-OL;H 
Mesir
Persia E?N?HNO
<OE;H
<OE;H
<?L;<
kuno, Babilonia,
Lama, dan YunaniPersia Kuno
Lama, memandang
dan Yunani Kuno bahwamemandang
perzinaan bahwa
adalah
%MF;G N?HN;HA
perzinaan%MF;G
%MF;G
perbuatan JC>;H;
adalahN?HN;HA
yang NC>;E
N?HN;HA
perbuatan
sangat OM;B
JC>;H;
JC>;H;
tercelayang
dan >CN?L;JE;H 
NC>;E
NC>;E OM;B
sangatOM;B
pelakunya E;H
tercela
harus danN?N;JC
>CN?L;JE;H 
>CN?L;JE;H 
dihukum >CN?L;JE;H
E;H
E;H
pelakunya
mati. N?N;JC
32
<?L>;
N?N;JC
>CN?L;
>CN
harus dihukum
Sejarah mati. Sejarah
ini menunjukkan 233
bahwa ini menunjukkan
celaan bagi pezina bahwa celaan
bukan semata-
E?G;GJO;H
bagi pezina
mata dari>Cbukan
G;H;semata-mata
E?G;GJO;H
E?G;GJO;H
kalangan BOEOG
>C
>C
ajaran JC>;H;
G;H; BOEOG
BOEOG%MF;G
dariakan
Islam, kalangan>;J;N
JC>;H;
JC>;H;
tetapi >CN?L;JE;H 
%MF;G
%MF;G
ajaran
datang >;J;N
>;J;N
Islam,
dari GCM;FHS;
>CN?L;JE;H 
akan
semua BOEO
>CN?L;JE;H 
GCMG
tetapi datang
agama. dari semua agama.
%MF;G>C%H>IH?MC;B;HS;<;LO>;J;N>C;EIGI>CLN?HN;HA<?HNOEE?D;B;N;HHS
%MF;G>C%H>IH?MC;B;HS;<;LO>;J;N>C;EIGI>CLN?HN;HA<?HNO
%MF;G>C%H>IH?MC;B;HS;<;LO>;J;N>C;EIGI>CLN?HN;HA<?HNOEE
Kontekstualisasi
Kontekstualisasi penerapan
penerapan sanksisanksi
bagi bagi
pezinapezina
terjaditerjadi
pada pada
masa Nabi: masa Nabi:
TCH;  G?H=OLC 
 G?G<OHOB
 TCH; 
TCH;  G?H=OLC 
G?H=OLC  ;>;F;B M?MO;NO
 G?G<OHOB
G?G<OHOB S;HA
;>;F;B
;>;F;B >CF;L;HA
 M?MO;NO
M?MO;NO
 S;HA >;F;G
S;HA F
-OL;
>CF;L;HA
>CF;L;HA
>;F;>
   
               
   
    
   

                    
>CF;L;HAJOF;>;F;GBOEOG>C%H>IH?MC; >;HJ?F;EOHS;>CE?H;E;HM;HEMC
>CF;L;HAJOF;>;F;GBOEOG>C%H>IH?MC; >;HJ?F;EOHS;>CE?H;E
>CF;L;HAJOF;>;F;GBOEOG>C%H>IH?MC; >;HJ?F;EOHS;>CE?H;E;H

   
         
 
'?N?HNO;H
 
  BOEOG
  '?N?HNO;H
'?N?HNO;H
     BOEOG

 JC>;H;    
BOEOG  
%MF;G N?HN;HA
JC>;H;
JC>;H;      
%MF;G
%MF;G N?HN;HA
>?FCE  >?FCE
 TCH;
N?HN;HA F?<CB
>?FCE
D?F;M
TCH;
TCH;>
F?<

           


 >C<;H>CHAE;HJ?G<;B;M;H>?FCEJ?GOE;B;HS;HA>C;NOL>;F;GBOE
   
 >C<;H>CHAE;HJ?G<;B;M;H>?FCEJ?GOE;B;HS;HA>C;NOL>;F;G
>C<;H>CHAE;HJ?G<;B;M;H>?FCEJ?GOE;B;HS;HA>C;NOL>;F;GBOEOGJIMCNC@     
     
J?H?FCNC TCH;
30

      
Al-Jurja>wi>, H{ikmah at-Tasyri>' wa al-Falsafatuhu, (Beirut:
<;AC;H>;LCNCH>;EJC>;H;S;HAE?N?HNO;HJC>;HS;>CM?<ONM?=;L;
Da>r J?H?FCNC TCH;
J?H?FCNC TCH;
al-Fikr, <;AC;H>;LCNCH>;EJC>;H;S;HAE?N?HNO;HJC>;HS;
<;AC;H>;LCNCH>;EJC>;H;S;HAE?N?HNO;HJC>;HS;>C
t.t.), hlm. 296-298.
31
Di antara
Di antara rumah-rumah kami
Baca selengkap surat an-Nur ayat (2).ada laki-laki yang sangat
32 rumah-rumah kami ada laki-laki yang sangat lemah
IF?B F
-OL;H 
IF?B
Abu>
lemah 'IHM?EO?HMC
IF?BF
-OL;H 
F
-OL;H 
al-A’la>
karena BOEOGHS;
'IHM?EO?HMC
'IHM?EO?HMC
al-Maudu>di>,
dan ia memberi
Tafsi>r N?LA;HNOHA
BOEOGHS;
BOEOGHS;
Su>rah an-Nu>r,
isyarat E;>;L
N?LA;HNOHAE?D;B;N;HHS; 
N?LA;HNOHA
(Beirut: E;>;L
E;>;L
E?D;B; G;
E?D
karena dan ia
Da>r al-Fikr, memberi
1960), isyarat
hlm. 41-42. kepada jariyah itu.kepada
Lalu ia jariyah
itu. Lalu ia berbuat keji (zina) dengan wanita itu. Hal
berbuat keji (zina) dengan wanita itu. Hal itu disampaikan
;>;J?LCH=C;HN?A;M>;F;G;NOL;HBOEOGM?<;A;CG;H;>;F;GJ;M;F
J;M;F>;F;G
;>;J?LCH=C;HN?A;M>;F;G;NOL;HBOEOGM?<;A;CG;H;>;F;GJ;
;>;J?LCH=C;HN?A;M>;F;G;NOL;HBOEOGM?<;A;CG;H;>;F;GJ;M;F
itu disampaikan Sa’ad ibn Ubadah kepada sakit dan
Sa'ad ibn Ubadah kepada sakit dan tidak terurus hidupnya,
tidak terurus hidupnya, kemudian datang seorang
$;HS; J;M;F
J;M;F
$;HS;
kemudian $;HS;datang
jariyah >C seorang
;N;M  M?<;A;CG;H;
J;M;F
J;M;F
J;M;F
J;M;F
kepadanya >C
>C ;N;M 
;N;M 
jariyah
Rasulullah NCH>;E
M?<;A;CG;H;
M?<;A;CG;H;
kepadanya
s.a.w. sedang JC>;H;
NCH>;E
Rasulullah F;CHJC>;H;
NCH>;E
laki-laki >C;H=;G
JC>;H;
itu F;CH>?HA;
F;CH
>C;H>
s.a.w. adalah seorang muslim. Kemudian Rasulullah bersabda:
sedang laki-laki itu adalah seorang muslim. Kemudian
J?HD;L;M?=;L;E?M?FOLOB;H
J?HD;L;M?=;L;E?M?FOLOB;H
J?HD;L;M?=;L;E?M?FOLOB;H
“pukulah
Rasulullah bersabda:dia "pukulah
sebagai hukumanya”
dia sebagai hukumanya" Para sahabat Paraberkata:
sahabat“Ya Rasulullah
berkata: laki-laki itu
"Ya Rasulullah sangatitu
laki-laki lemah”
sangatSeandainya
lemah" aku
 memukulnya
Seandainya aku seratus kali pasti ia
 memukulnya seratus kali pasti ia akan mati.

LME;F /;FCG  ,IFCNCE $OEOG ,C>;H;
akan
%MF;G,C>;H;
>C
mati. Kemudian
%H>IH?MC;
LME;F
LME;F /;FCG 
/;FCG  ,IFCNCE
,IFCNCE $OEOG
$OEOG ,C>;H; %MF;G
%MF;G>C!EMCMN?HMC
>C
%H>IH?MC; $CMNILCM 
%H>IH?MC;!EMCMN?
!EM
"OHAMCIH;F>;H,LIMJ?E);M;
Kemudian ?J;H>;F;G
"OHAMCIH;F>;H,LIMJ?E);M;
"OHAMCIH;F>;H,LIMJ?E);M;
Rasulullah bersabda: Pidana Islam
?J;H>;F;G
?J;H>;F;G
"Ambilah pelapah di Indonesia:
Pidana
Pidanakurma Islam
Islam Peluang
di Indonesia: Prospek
di Indonesia: dan
Pelu
Peluang
&;E;LN;,OMN;E;"CL>;OM   BFG 
&;E;LN;,OMN;E;"CL>;OM   BFG 
232 &;E;LN;,OMN;E;"CL>;OM   BFG 
Baca selengkap surat an-Nur ayat (2).
yang
 233 di dalamnya
 ada seratus buah tangkai, kemudian
<>Abū ;
;F
$Ual-A’lā
GC> al-Maudūd
<>
<>$U;;F
$U Maba>
ECG; GC
;F
$U $Ud;;i>EC
,>Tafs
$U ’rECG
Awwaliyyah:
Sūrah Maba>
G Maba>
an-Nūr, Us}u>l al-Fiqh
di>d’i>’Awwaliyyah:
Awwaliyyah:
(Beirut: Dār
33
Us}wa
al-Fikr,>l ual-Qawa>
uUs} >l al-Fiqh
al-Fiqh ’id
wa alw
a
1960),);EN;<;B
&;E;LN; hlm. 41-42./;;>CSS;B
&;E;LN;
&;E;LN; );EN;<;B,ONL; 
);EN;<;B pukulah
N N   BFG 
/;;>CSS;B
/;;>CSS;B dia
,ONL; sekali
 
,ONL;  N N   pukulan."
D;TOFC
N N   BFG 
BFG  Kaidah-kaidah
 
 D;TOFC
D;TOFC Fikih
Kaidah-kai
Kaidah-kaidah
&;E;LN
 al-Asyba>
OhSO
Nwa  an-Naza>
h’irwa
)?>C;   BFG  <>OL;BVG;HMS
/U
)?>C;   BFG 
)?>C;   BFG 
"CEL N N  BFG 
"CEL N N  BFG 
"CEL N N  BFG 
OSO
<>OL;BV
<>OL;BV
GGN;HMS
/U
VC;HMS
/UOSO al-Asyba>
VC NVCal-Asyba>
hfi> wa
al-Furu
an-Naza>
an-Naza> ’ir fi>’i
 ?C

Hukum Pidana Islam | 139 |


        
 
     
          
     
    
 
 
      
                
 
Rasulullah/?MO;NOS;HANC>;E>;J;N>C=;J;CM?FOLOBHS;D;HA;H>CNCHA
Rasulullah /?MO;NOS;HANC>;E>;J;N>C=;J;CM?FOLOBHS;D;HA;H>CNCHAA;F
bersabda:
bersabda: "pukulah
"pukulah dia
dia sebagai
sebagai hukumanya"
hukumanya" Para
Para
sahabat
sahabat berkata:
berkata: "Ya
"Ya Rasulullah
Rasulullah laki-laki
laki-laki itu
itu sangat
sangat lemah"
lemah"
/?MO;NOS;HANC>;E>;J;N>C=;J;CM?FOLOBHS;D;HA;H>CNCHAA;FE;HM?FOLOBHS;
';C>;BCHCG?GJOHS;C;LNCDCE;BOEOGJC>;H;%MF;G<?FOG
Seandainya
Seandainya';C>;BCHCG?GJOHS;C;LNCDCE;BOEOGJC>;H;%MF;G<?FOG<CM
aku
aku memukulnya
memukulnya seratus
seratus kali
kali pasti
pasti ia
ia akan
akan mati.
mati.
Kemudian
Kemudian Rasulullah
Rasulullah bersabda:
bersabda: "Ambilah
"Ambilah pelapah
pelapah kurma
kurma
';C>;BCHCG?GJOHS;C;LNCDCE;BOEOGJC>;H;%MF;G<?FOG<CM;>CN?L;JE;HM?=;L;
yang
yang Rasulullah
E?M?FOLOB;H
E?M?FOLOB;H
di
di dalamnya
dalamnya bersabda:
M?<;A;CG;H;
M?<;A;CG;H;
ada “Ambilah
ada seratus
seratus buah pelapah
E?N?HNO;H
E?N?HNO;H
buah tangkai, >;F;G
tangkai, kurma
>;F;G yang di<OE;H
F
-OL;H 
F
-OL;H 
kemudian
kemudian <OE;H
<?L;LN
<?
dalamnya ada seratus pukulah
buah tangkai,
pukulah dia
dia sekali kemudian
sekali pukulan."
pukulan." 33pukulah
33

E?M?FOLOB;H M?<;A;CG;H; E?N?HNO;H


dia sekali
%MF;G
%MF;G N?HN;HA >;F;G
pukulan.”
N?HN;HA
234
JC>;H;
JC>;H; F
-OL;H 
NC>;E
NC>;EOM;B <OE;H <?L;LNC
OM;B>CN?L;JE;H 
>CN?L;JE;H E;H E?N?HNO;H
E;HN?N;JC
N?N;JC>;F;G
>CN?L;JE
>CN?L 
%MF;G N?HN;HA JC>;H;
E?G;GJO;H
E?G;GJO;H OM;B
NC>;E >C

                     
>CN?L;JE;H 

G;H;
>C  

BOEOG
BOEOG E;H
  N?N;JC


JC>;H;
JC>;H; %MF;G



%MF;G >;J;N
>CN?L;JE;H
>;J;N
 >CN?L;JE;H 
>CN?L;JE;H <?L>;M;L
 E;>;L
GCM;F
G      
  >CN?L;JE;H 
E?G;GJO;H >C
G;H;   BOEOG
%MF;G>C%H>IH?MC;B;HS;<;LO>;J;N>C;EIGI>CLN?HN;HA<?HNOEE?
  
 

%MF;G>C%H>IH?MC;B;HS;<;LO>;J;N>C;EIGI>CLN?HN;HA<?HNOE    

JC>;H;  %MF;G   >;J;N
   
       GCM;FHS;
     BOEOG
  JC>;H;


 TCH; 
 TCH;        

G?H=OLC  
%MF;G>C%H>IH?MC;B;HS;<;LO>;J;N>C;EIGI>CLN?HN;HA<?HNOEE?D;B;N;HHS; M?J?LN
G?H=OLC   
 G?G<OHOB
G?G<OHOB     


 ;>;F;B
;>;F;B
M?MO;NO
 
M?MO;NO
  
 
S;HA 
S;HA >CF;L;HA
>CF;L;HA
 >;F;G
>;F
 

235

TCH;  G?H=OLC  G?G<OHOB ;>;F;B M?MO;NO S;HA >CF;L;HA >;F;G F
-OL;H 
>CF;L;HAJOF;>;F;GBOEOG>C%H>IH?MC; >;HJ?F;EOHS;>CE?H;E; G;E;
>CF;L;HAJOF;>;F;GBOEOG>C%H>IH?MC; >;HJ?F;EOHS;>CE?H;E;HM;
Diriwayatkan dariAbuAbu Hurairah r.a. Aku
katanya: Aku
>CF;L;HAJOF;>;F;GBOEOG>C%H>IH?MC; >;HJ?F;EOHS;>CE?H;E;HM;HEMC
Diriwayatkan
Diriwayatkan
'?N?HNO;H dari
dari
'?N?HNO;H Abu
BOEOGHurairah
Hurairah
BOEOG r.a.
JC>;H;r.a. katanya:
JC>;H; katanya:
%MF;G
%MF;G Aku mendengar
mendengar
N?HN;HA
N?HN;HA>?FCE
>?FCE
TCH;
TCH;
F?<CB
F?
mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: “Apabila seorangRasulullah
Rasulullah s.a.w.
s.a.w. bersabda:
bersabda: "Apabila
"Apabila seorang
seorang hamba
hamba
hamba perempuan milik salah diseorang di antara kamu
'?N?HNO;H >C<;H>CHAE;HJ?G<;B;M;H>?FCEJ?GOE;B;HS;HA>C;NOL>;F;GB
BOEOG JC>;H;
perempuan
perempuan %MF;G
milik
milik salah N?HN;HA
salah seorang
seorang di>?FCE
antaraTCH;
antara kamuF?<CB
kamu D?F;M >;H N?A;M
melakukan
melakukan
>C<;H>CHAE;HJ?G<;B;M;H>?FCEJ?GOE;B;HS;HA>C;NOL>;F;GBOEO
melakukan perbuatan zina dan telah terbukti, maka
hukumlah
33
33 diaal-Ma>liki>,
dengan cambukan
an-Nia>m dan janganlah kamu
>C<;H>CHAE;HJ?G<;B;M;H>?FCEJ?GOE;B;HS;HA>C;NOL>;F;GBOEOGJIMCNC@ )?HOLON
Abdurah}man
Abdurah}man
J?H?FCNC TCH;
J?H?FCNC TCH;
al-Ma>liki>, an-Ni a>m al-'Uqu>ba>t,
al-'Uqu>ba>t,
<;AC;H>;LCNCH>;EJC>;H;S;HAE?N?HNO;HJC>;HS;>
alih
alih bahasa
<;AC;H>;LCNCH>;EJC>;H;S;HAE?N?HNO;HJC>;HS;>CM?
bahasa
memakinya.
Syamsuddin
Syamsuddin
34
34
Ramdlan,
Ramdlan, Jika ia
(Jakarta:
(Jakarta: mengulangi
Pustaka
Pustaka Thariku
Thariku lagi
Izzah,
Izzah, perbuatan
2002),
2002), hlm.
hlm. 40.
40.zina,
maka Ima>m
Ima>m Muslim,
Muslim, S{ah}i>h}
cambuklah S{ah}i>h}
ia dengan Muslim,
Muslim, Juz
Juz 3,
dan jangan 3, (Mesir:
(Mesir: Must}afa>
Jikaal-
Must}afa>
dimakinya. al-
ia
J?H?FCNC TCH; <;AC;H>;LCNCH>;EJC>;H;S;HAE?N?HNO;HJC>;HS;>CM?<ONM?=;L;>?@CHCNC@
IF?B
IF?B
mengulangi untuk yang ketiga kalinya dan terbukti, maka E;>;L
F
-OL;H 
F
-OL;H  'IHM?EO?HMC
'IHM?EO?HMC BOEOGHS;
BOEOGHS; N?LA;HNOHA
N?LA;HNOHA E;>;L E?D;B;N;
E?D;
Ba>b
Ba>b al-H{alibi>,
al-H{alibi>, t.t.),
t.t.), hlm.
hlm. 1328.
1328.

juallah dia walaupun dengan harga sehelai rambut.


IF?B F
-OL;H  'IHM?EO?HMC BOEOGHS; N?LA;HNOHA E;>;L E?D;B;N;HHS;  G;E; B;LOM
;>;J?LCH=C;HN?A;M>;F;G;NOL;HBOEOGM?<;A;CG;H;>;F;GJ;M
;>;J?LCH=C;HN?A;M>;F;G;NOL;HBOEOGM?<;A;CG;H;>;F;GJ;M;F
J
Ketentuan saksi di atas menunjukkan adanya putusan Nabi
;>;J?LCH=C;HN?A;M>;F;G;NOL;HBOEOGM?<;A;CG;H;>;F;GJ;M;F
J;M;F>;F;G'1$,
$;HS;
$;HS; J;M;F
J;M;F
J;M;F
J;M;F >C
>C ;N;M 
;N;M  M?<;A;CG;H;
M?<;A;CG;H;
terhadap orang yang berzina, yang pelakunya adalahNCH>;E
NCH>;E
hamba JC>;H;
JC>;H;
sahaya F;CH
F;CH
>C;H=
>C
dan diterapkan hukum yang berbeda dengan orang merdeka.
$;HS; J;M;F
J;M;F >C ;N;M  M?<;A;CG;H; NCH>;E JC>;H; F;CH >C;H=;G >?HA;H JC>;H;
J?HD;L;M?=;L;E?M?FOLOB;H
J?HD;L;M?=;L;E?M?FOLOB;H
Artinya Nabi merapkan hukum berdasarkan kasus serta kondisi
dari si pelaku, maka dapat dipahami bahwa Nabi selalu berijtihad
J?HD;L;M?=;L;E?M?FOLOB;H
dalam menetapkan

 suatu
LME;F
LME;F hukum
/;FCG 
/;FCG  bagi$OEOG
,IFCNCE
,IFCNCE pelaku,C>;H;
$OEOG tindak%MF;G
,C>;H; kejahatan.
%MF;G
>C>C
%H>IH?MC;
%H>IH?MC;
!EMCMN?HM
!EMCM
"OHAMCIH;F>;H,LIMJ?E);M;
"OHAMCIH;F>;H,LIMJ?E);M; ?J;H>;F;G ?J;H>;F;GPidana Pidana Islam
Islam di Indonesia:
di Indonesia: PeluaP
Peluang

&;E;LN;,OMN;E;"CL>;OM   BFG 
&;E;LN;,OMN;E;"CL>;OM   BFG 
LME;F /;FCG  ,IFCNCE $OEOG ,C>;H; %MF;G >C %H>IH?MC; !EMCMN?HMC $CMNILCM  'IHNLC<OM


234
"OHAMCIH;F>;H,LIMJ?E);M; <>
<>
Abduraḥman ;F
$U
;F
$U;GCPidana
al-Mālik
?J;H>;F;G ,>an-Ni
 $U ām
$U;;EC
EC
G Maba>
Maba> di>d’i>’Awwaliyyah:
G al-’Uqūbāt,
Islam di Indonesia: Awwaliyyah:
alih bahasa
Peluang Us}uUs}
>l ual-Fiqh
Syamsuddin
Prospek >ldan
al-Fiqh
wa wa
Tantangan al-
Ramdlan, (Jakarta:
&;E;LN;
&;E;LN; Pustaka Thariku
);EN;<;B
);EN;<;B
&;E;LN;,OMN;E;"CL>;OM   BFG  Izzah, 2002),
/;;>CSS;B
/;;>CSS;B ,ONL; hlm.
,ONL;  N N   40.
N N  BFG 
BFG     D;TOFC
D;TOFC Kaidah-kaida
Kaidah-kaidah F

<> ;F
$U;)?>C;   BFG 
)?>C;   BFG 
GC
235
>Imām G Maba>
 $U;ECMuslim, <>OL;BV
<>OL;BV
di>’ḥ Muslim,
Ṣaḥ JuzG
Awwaliyyah: G;HMS
/U
3, ;HMS
/U OSO
Us}u>l al-Fiqh
(Mesir: OSO
Musṭafā al-Asyba>
NVC NVCal-Asyba>
 al-Bāb
wa h wa
al-Qawa> h ’id
al-Ḥalib,wa an-Naza>
an-Naza> ’ir fi>’iralf
al-Fiqhiyyah
"CEL N N  BFG 
"CEL N N  BFG 
t.t.), hlm.
&;E;LN; );EN;<;B 1328. ,ONL;  N N   BFG    D;TOFC Kaidah-kaidah Fikih &;E;LN; ,L;H;>;
/;;>CSS;B
)?>C;   BFG  <>OL;BVG;HMS
/UOSONVC al-Asyba>h wa an-Naza>’ir fi> al-Furu ?CLON ;L;F
"CEL N N  BFG 
| 140 | Hukum Pidana Islam
Pada konteks kekinian, penerapan sanksi bagi pezina harus
mempertimbangkan realitas masyarakat. Ketika berbicara hukum
rajam seperti yang dijelaskan dalam as-Sunnah, sementara dalam
Al-Qur’an tidak dikenal. Hal ini menunjukkan bahwa hukum
rajam bukan hukum yang hidup dalam sistem negara Islam
manapun, kecuali Saudi Arabia. Realitas ini tentunya tidak lepas
dari adanya perubahan konstruksi masyarakat sekarang, dengan
konstruksi masyarakat muslim pada saat hukum rajam diterapkan.
Perubahan masyarakat pada gilirannya merubah rasa hukum
masyarakat, sehingga masyarakat enggan melaksanakan hukum
rajam, di sisi lain pezina harus dihukum berdasarkan ketentuan
Al-Qur`an. Perintah Rasul untuk menghukum rajam bagi pezina
harus diperhitungkan latar belakang historisnya:
1. Hukum rajam pertama kali diterapkan kepada orang Yahudi,
dasar hukumnya adalah kitab mereka yakni Taurat.
2. Diterapkannya hukum rajam pada masa Nabi adalah ketika
surat an-Nur ayat (2) belum diturunkan, sedangkan hukum
yang berlaku setelah diturunkannya surat an-Nur ayat (2)
adalah hukum cambuk (dera) 100 kali.
3. Rasululah menghukum rajam di kala itu bukan sebagai
hukuman ḥadd, melainkan hukuman ta’zīr.236

Dari berbagai bentuk sanksi delik perzinaan dapat ditarik


benang merah sebagaimana yang diungkapkan oleh Jalaludin
Rahmat, hukum rajam mempunyai fungsi sebagai penjera
yang dalam konteks masyarakat modern dapat diganti dengan
hukuman lain.237 Di sisi lain, hukum Islam harus diberlakukan
secara substansial dengan tidak meninggalkan ruh syari’ah.

236
Asghar Ali Engineer, Islam and Liberation Theology, (India: Starling
Publiser, 1990), hlm. 91.
237
Jalaludin Rahmat, “Pengantar” dalam Islam dan Tantangan Modernitas
(Bandung: Mizan, 1996), hlm. 16.

Hukum Pidana Islam | 141 |


';C>;BCHCG?GJOHS;C;LNCDCE;BOEOGJC>;H;%MF;G<?FOG<CM
';C>;BCHCG?GJOHS;C;LNCDCE;BOEOGJC>;H;%MF;G<?FOG<CM;>
%MF;G N?HN;HA JC>;H; NC>;E OM;B >CN?L;JE;H  E;H

E?M?FOLOB;H
E?M?FOLOB;HM?<;A;CG;H;
M?<;A;CG;H; E?N?HNO;H
E?N?HNO;H
E?G;GJO;H >;F;G
>;F;G
>C G;H; F
-OL;H 
F
-OL;H 
BOEOG <OE;H
<OE;H
JC>;H; %MF;G <?L;LNC
<?L;L
>;J;N >CNE
Senada dengan pernyataan di atas, menurutnya, ketika memahami
%MF;G
hukum%MF;G N?HN;HA
N?HN;HA
Islam, teoriJC>;H;
JC>;H; NC>;E
NC>;E OM;B
OM;B >CN?L;JE;H 
>CN?L;JE;H  E;H
E;H
%MF;G>C%H>IH?MC;B;HS;<;LO>;J;N>C;EIGI>CLN?HN
graduasi layak dipertimbangkan, N?N;JC
demikian N?N;JC
>CN?L;JE;H
>CN?L;J
halnya dengan prinsip nāsikh wa mansūkh, serta kondisi masyarakat
E?G;GJO;H
E?G;GJO;H
sebagai >C
syarat mutlak>C G;H;
TCH; 
dalamBOEOG
BOEOG JC>;H;
G?H=OLC JC>;H;
pemberlakuan %MF;G
%MF;G
sistem>;J;N
G?G<OHOB >;J;N>CN?L;JE;H 
;>;F;B
hukum. >CN?L;JE;H 
M?MO;NOGCM;FHS;
Yusuf GCM;>
S;HA
al-Qaradawi berkomentar bahwa sanksi perzinaan akan efektif
%MF;G>C%H>IH?MC;B;HS;<;LO>;J;N>C;EIGI>CLN?HN;HA<?HNOEE?
%MF;G>C%H>IH?MC;B;HS;<;LO>;J;N>C;EIGI>CLN?HN;HA<?HNOEE?D;B
diberlakukan sebagaimana>CF;L;HAJOF;>;F;GBOEOG>C%H>IH?MC; >;HJ?F;EOH
yang diinginkan oleh nash jika masyarakat
sempurna memahami agamanya. Sebaliknya, jika masyarakat lemah
TCH; 
TCH; G?H=OLC 
imannya, G?H=OLC 
lingkunganG?G<OHOB
G?G<OHOB
tidak '?N?HNO;H ;>;F;B
;>;F;B
mendukung, M?MO;NO
M?MO;NO
BOEOG
seperti S;HA
S;HA
JC>;H;
wanita >CF;L;HA
>CF;L;HA
%MF;G
banyak >;F;G
>;F;G
N?HN;HA 
>?
mempertontonkan kecantikannya, beredarnya film-film porno,
>CF;L;HAJOF;>;F;GBOEOG>C%H>IH?MC; >;HJ?F;EOHS;>CE?H;E;HM
>CF;L;HAJOF;>;F;GBOEOG>C%H>IH?MC; >;HJ?F;EOHS;>CE?H;E;HM;HE
adegan perzinaan terbuka >C<;H>CHAE;HJ?G<;B;M;H>?FCEJ?GOE;B;HS;HA>C;
lebar di mana-mana, maka kondisi seperti
ini tidak efektif untuk pemberlakuan hukum secara definitif.238
Hukum'?N?HNO;H
'?N?HNO;H
rajam atauBOEOG
BOEOG JC>;H;
J?H?FCNC TCH;
dera seratus JC>;H;
kali %MF;G
%MF;G
bagi N?HN;HA
pezina N?HN;HA
bukanlah>?FCE
>?FCE
suatuTCH;
<;AC;H>;LCNCH>;EJC>;H;S;HAE?N?HNO; TCH;
F?<CB
F?<CD
kemutlakan. Sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad Syahrur
>C<;H>CHAE;HJ?G<;B;M;H>?FCEJ?GOE;B;HS;HA>C;NOL>;F;GBOEO
>C<;H>CHAE;HJ?G<;B;M;H>?FCEJ?GOE;B;HS;HA>C;NOL>;F;GBOEOGJ
dengan teorinya ḥālahIF?B F
-OL;H 
al-ḥadd 'IHM?EO?HMC
al-a’lā, (batas maksimalBOEOGHS;
ketentuan N?LA;HNOHA
hukum Allah), bahwa hukum rajam bisa dipahami sebagai hukum
J?H?FCNC TCH;
J?H?FCNC TCH;
tertinggi dan adanya <;AC;H>;LCNCH>;EJC>;H;S;HAE?N?HNO;HJC>;HS;>CM?
<;AC;H>;LCNCH>;EJC>;H;S;HAE?N?HNO;HJC>;HS;>CM?<ON
;>;J?LCH=C;HN?A;M>;F;G;NOL;HBOEOGM?<;A;CG;H;
upaya untuk berijtihad dalam kasus tersebut
dapat dibenarkan. Demikian halnya pelaku yang tidak diketahui
239

IF?B
oleh IF?BF
-OL;H 
orangF
-OL;H 
lain, Islam 'IHM?EO?HMC
'IHM?EO?HMC
$;HS;
memberikan BOEOGHS;
BOEOGHS;
J;M;F
J;M;F
peluang N?LA;HNOHA
N?LA;HNOHA
>C ;N;M  E;>;L
M?<;A;CG;H;
terhadapnya E;>;L
untuk E?D;B;N;HH
E?D;B;N
NCH>;E JC>
bertobat. Sebagaimana Nabi menjadikan sarana dialog dalam
240

;>;J?LCH=C;HN?A;M>;F;G;NOL;HBOEOGM?<;A;CG;H;>;F;GJ;M;F

kasus;>;J?LCH=C;HN?A;M>;F;G;NOL;HBOEOGM?<;A;CG;H;>;F;GJ;M;F
J;M;
Ma’iz ibn Malik J?HD;L;M?=;L;E?M?FOLOB;H
yang mengaku berzina dan minta disucikan
kepada Nabi. Nabi berpaling dan bertanya berulang-ulang agar
$;HS;
$;HS;J;M;F
J;M;F
pengakuan J;M;F
J;M;F >C
>C ;N;M 
dicabut dan segera ;N;M  M?<;A;CG;H;
M?<;A;CG;H;NCH>;E
 bertaubat.
NCH>;EJC>;H;
JC>;H; F;CH
F;CH
>C;H=;G
>C;H=
LME;F /;FCG  ,IFCNCE $OEOG ,C>;H; %MF;G >C %H>
Tindak pidana yang terkait dengan tindakan?J;H>;F;G
"OHAMCIH;F>;H,LIMJ?E);M; asusila seperti
Pidana Islam di Ind
J?HD;L;M?=;L;E?M?FOLOB;H
J?HD;L;M?=;L;E?M?FOLOB;H
pelaku lesbian dan homoseks, kebanyakan ahli hukum
&;E;LN;,OMN;E;"CL>;OM   BFG  menyatakan
bahwa si pelaku tidak dihukum 
ḥadd;F
$U
<> melainkan dengan
;GC> $U;ECG Maba> di>’r.241
ta’z Awwaliyyah: Us}u>l


&;E;LN; );EN;<;B /;;>CSS;B ,ONL;  N N   BFG    D;TOFC
LME;F
LME;F /;FCG 
/;FCG  ,IFCNCE
,IFCNCE$OEOG
$OEOG,C>;H;
)?>C;   BFG  ,C>;H; %MF;G
<>OL;BV %MF;G
>C>C
%H>IH?MC;
G;HMS
/U%H>IH?MC;
OSONVC !EMCMN?HMC
!EMCMN?H
al-Asyba> h$ w
"OHAMCIH;F>;H,LIMJ?E);M;
"OHAMCIH;F>;H,LIMJ?E);M; ?J;H>;F;G
?J;H>;F;G
"CEL N N  BFG  Pidana
Pidana Islam
Islam di di Indonesia:
Indonesia: Peluang
Peluang Prosp P
&;E;LN;,OMN;E;"CL>;OM   BFG 
&;E;LN;,OMN;E;"CL>;OM   BFG 
238 

<>
<>
Yūsuf ;F
$U
;F
$U;GC,>Syari’at
al-Qaraḍāw  $U
$U;;EC
ECGG
Islam Maba>
Maba>di>d’i>’Awwaliyyah:
Ditantang Awwaliyyah:
Zaman, alihUs} uUs}
>l ual-Fiqh
bahasa >lAbu
al-Fiqh wa wa al-Qaw al-
Zaki, (Surabaya:
&;E;LN;
&;E;LN; Pustaka Progresif,
);EN;<;B
);EN;<;B /;;>CSS;B
/;;>CSS;B1983), hlm.N N  
,ONL; 
,ONL;  119-120.
N N  BFG 
BFG     D;TOFC
D;TOFC Kaidah-kaidah
Kaidah-kaidah Fikih
239
Muḥammad Syahrūr,<>OL;BV
)?>C;   BFG 
)?>C;   BFG  al-Kit b wa
<>OL;BV al-Qur’ān
GG;HMS
/U
;HMS
/U Qirā’ah
OSO Muāṣirah,
 al-Asyba>
NVC NVCal-Asyba>
OSO h wah(Mesir:
wa an-Naza>
an-Naza> ’ir fi>’iral-Fur
fi> a
Dār"CEL N N  BFG 
al-Insāniyyah al-Arabiyyah, 1990), hlm. 455.
"CEL N N  BFG 
240
Umar Syihab, Hukum Islam..., hlm. 14.
241
Ibid., hlm. 68.

| 142 | Hukum Pidana Islam


D. Transformasi Pemikiran Delik Perzinaan dalam konteks
keindonesiaan
Upaya penanggulangan kejahatan senantiasa menjadi
pembicaraan yang menarik bagi banyak kalangan, khususnya
ahli hukum pidana dan kriminologi. Dalam hukum pidana, ada
pembicaraan mengenai norma, yakni larangan atau suruhan, dan
ada sanksi atas pelanggaran norma-norma itu berupa ancaman
pidana. Dalam kriminologi, masalah penanggulangan kejahatan
manjadi bagian penting dengan kajian fenomenologinya yang
menaruh perhatian pada pengendalian kejahatan dengan sistem
sanksi pidana.
Kejahatan perlu mendapatkan kajian serius mengingat
kerugian yang ditimbulkannya. Kerugian tersebut dapat terjadi
pada negara, masyarakat maupun individu sehingga perlu diatasi.
Oleh sebab itu, negara memberikan reaksi berupa larangan
terhadap perbuatan itu serta memberikan sanksi bagi orang yang
melanggarnya.
Di samping itu, dalam kenyataan sosial, reaksi sebagai upaya
untuk menanggulangi kejahatan tidak hanya diberikan oleh negara.
Masyarakat dan individu yang merasa dirugikan rasa keadilannya
akan memberikan reaksi pula. Aturan pidana yang kurang layak
sering menjadi obyek ketidakpuasan masyarakat yang akhirnya
menumbuhkan reaksi sosial. Hal ini semakin jelas apabila
diperhatikan hasil penelitian yang diselenggarakan oleh Badan
Pembinaan Hukum Nasional mengenai Pengaruh Agama terhadap
Hukum Pidana. Baik masyarakat Bali, Aceh ataupun Manado
memandang bahwa KUHP sekarang belum dapat memenuhi rasa
keadilan masyarakat. Kondisi di atas sangat dimungkinkan terjadi
karena pengertian kejahatan menurut hukum pidana berbeda
dengan pengertian kejahatan menurut masyarakat.
Berkaitan dengan hal tersebut terjadi ketidakpuasan dari
sebagian masyarakat mengenai perilaku-perilaku menyimpang

Hukum Pidana Islam | 143 |


terutama dalam lingkup kesusilaan. Hal ini disebabkan perilaku-
perilaku yang menyimpang dari norma-norma masyarakat belum
mendapatkan tempat semestinya dalam hukum pidana. Sebagai
misal perbuatan zina yang menurut pengertian masyarakat berbeda
dengan pengertian zina dalam hukum pidana Indonesia (KUHP).
Namun demikian, Sudarto telah memberikan pijakan awal
bahwa apabila hukum pidana itu digunakan untuk mengatasi
permasalahan sosial, maka harus dipertimbangkan secara matang,
karena hukum pidana mempunyai fungsi subsidier. Artinya
baru digunakan apabila upaya-upaya lain diperkirakan kurang
memberikan hasil yang memuaskan. Jika hukum pidana tetap
dilibatkan untuk mengatasi permasalahan social, maka hendaknya
dilihat dalam hubungan keseluruhan politik kriminal.242
Para penegak hukum maupun ahli hukum banyak yang
menyetujui delik perzinaan tetap diatur sebagai salah satu delik,
baik dalam hukum pidana sekarang maupun untuk hukum
pidana masa yang akan dating. Meskipun demikian, pengertian
perzinaan menurut aturan hukum pidana sekarang tidak seluas
perzinaan menurut pandangan masyarakat, dengan mendasarkan
pada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengakui
keberadaan hukum tidak tertulis. (RUUKUHP Pasal 1 ayat 3).
Berdasarkan Pasal 284 KUHP, suatu perbuatan yang disebut
sebagai perzinaan adalah perbuatan bersetubuh yang dilakukan
oleh seorang pria dan seorang wanita yang keduanya atau salah
satu dari mereka telah menikah. Dengan demikian, apabila
perbuatan bersetubuh itu dilakukan oleh seorang pria dan seorang
wanita yang keduanya tidak diikat oleh perkawinan dengan orang
lain maka bukan termasuk perzinaan.
Batasan yang diberikan KUHP itu dirasa sangat sempit.
Namun, hal ini dimaklumi karena KUHP disusun oleh kolonial
Belanda yang mempunyai pandangan berbeda dengan pandangan

242
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, hlm. 104.

| 144 | Hukum Pidana Islam


masyarakat dalam memandang perbuatan zina. Menurut
pembentuk undang-undang, perzinaan hanya dapat terjadi
karena pelanggaran terhadap kesetiaan perkawinan, seperti yang
disebut dalam Van Dale’s Groat Woordenboek der Nederlanche
yang menyatakan bahwa perzinaan berarti pelanggaran terhadap
kesetiaan perkawinan.
Padahal menurut pandangan masyarakat Indonesia umumnya,
perbuatan zina dapat terjadi apabila ada persetubuhan antara
seorang laki-laki dengan seorang perempuan tanpa adanya ikatan
perkawinan yang sah. Pengertian seperti ini lebih luas dari pada
pengertian overspel dalam KUHP.
Menurut Sahetapy, perbuatan bersetubuh yang tidak sah
berarti persetubuhan yang bukan saja dilakukan oleh suami atau
isteri di luar lembaga perkawinan, tetapi juga persetubuhan yang
dilakukan oleh pria dan wanita di mana keduanya belum menikah,
kendatipun sudah bertunangan. Sah di sini harus ditafsirkan sah
dalam ruang lingkup lembaga perkawinan, sehingga zina meliputi
pula fornication yaitu persetubuhan yang dilakukan secara suka
rela antara seorang yang belum menikah dengan seseorang dari
sex yang berlawanan (yang belum menikah juga). Meskipun
persetubuhan itu bersifat volunter, atas dasar suka sama suka,
namun perbuatan bersetubuh itu tetap tidak sah. Menurut
anggota masyarakat, persetubuhan yang sah hanya dilakukan
dalam lembaga perkawinan. Dengan demikian, pengertian berzina
mencakup pengertian overspel, fornication dan prostitusi.243
Dengan demikian, menurut KUHP, seseorang melakukan
hubungan kelamin atau persetubuhan di luar perkawinan atas
dasar suka sama suka pada prinsipnya tidak dapat dipidana,
kecuali terbukti ada perzinaan. Persetubuhan yang dipidana
menurut KUHP hanya terjadi apabila persetubuhan itu dilakukan

243
Sahetapy dan B. Mardjono Reksodiputro, Paradok dalam Kriminologi,
(Jakarta: Rajawali, 1989). hlm. 62.

Hukum Pidana Islam | 145 |


secara paksa (Pasal 285 KUHP), persetubuhan dengan perempuan
dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya (Pasal 286 KUHP) dan
persetubuhan dengan perempuan yang belum cukup lima belas
tahun (Pasal 287 KUHP).
Mengenai makna persetubuhan yang secara spesifik bertalian
dengan perzinaan dalam Pasal 284, menurut Soesilo, adalah
perpaduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan
yang biasa dilakukan untuk mendapatkan anak, jadi anggota
laki-laki harus masuk ke dalam anggota perempuan sehingga
mengeluarkan air mani.244
Menanggapi pengertian yang dipaparkan oleh Soesilo,
Sahetapy berpendapat bahwa apabila berpangkal tolak dari
pembuktian perzinaan dan bukan berpangkal tolak dari
pembuktian kebapakan dari anak ini secara biologis, maka
penambahan kata-kata “…..sehingga mengeluarkan air mani”
adalah sangat berlebihan. Bahkan sangat sulit dibuktikan, karena
bukan merupakan kompetensi hukum pidana untuk menentukan
kebapakan dan keturunan, melainkan termasuk wewenang dan
ruang lingkup hukum perdata.245
Telah disebut di muka bahwa partner yang disetubuhi belum
menikah hanya dianggap sebagai peserta pelaku (medepleger).
Ini berarti jika partner yang disetubuhi sudah menikah juga,
maka yang bersangkutan dianggap bukan sebagai peserta pelaku.
Padahal ketentuan Pasal 284 KUHP mengancam dengan pidana
peserta pelaku dalam hal ini partner yang belum menikah.
Dengan kata lain, partner yang belum menikah yang terlibat atau
melibatkan diri dalam perzinaan tidak diancam dengan pidana
kecuali atas pengaduan dari isteri atau suami yang bersangkutan.

244
R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Bogor: Politea,
1956), hlm. 166.
245
Sahetapy, Parados…, hlm. 64.

| 146 | Hukum Pidana Islam


Ini merupakan konstruksi yuridis yang bukan saja deskriminatif
tetapi juga tidak masuk akal bagi pikiran yang sehat.246
Di samping itu, Pasal 284 KUHP mensyaratkan adanya
pemberlakuan Pasal 27 BW bagi pria yang menikah yang berbuat
zina. Banyak ahli yang tidak setuju dengan disebutkan hanya
Pasal 27 BW ini sebagai ukuran. Hal ini disebabkan warga negara
Indonesia yang takluk pada Pasal 27 BW adalah orang-orang
Eropa dan Cina. Yang tidak takluk adalah orang-orang Indonesia
asli, orang-orang Arab, India, Pakistan dan lain-lain orang yang
bukan orang Eropa, kecuali Cina.247
Permasalahan yang timbul akibat dipakainya ukuran Pasal 27
BW ini misalnya berkaitan dengan Pasal 284 ayat (1) angka 2
huruf b KUHP. Dalam pasal ini undang-undang telah mensyaratkan
adanya dua pengetahuan dari seorang wanita tidak menikah yang
telah berzina dengan seorang pria yang telah menikah yaitu:
1. pria tersebut terikat dengan perkawinan dengan wanita lain;
2. ketentuan Pasal 27 BW berlaku bagi pria tersebut.
Kiranya sudah cukup jelas bahwa karena pengetahuan yang
disyaratkan terakhir tidak akan pernah dibuktikan baik oleh
penuntut umum maupun hakim, maka dengan sendirinya wanita
yang telah menikah sebagaimana yang telah disebutkan di atas,
tidak akan pernah dapat dinyatakan melanggar larangan Pasal
284 ayat (1) angka 2 huruf b KUHP. Dengan kata lain, undang-
undang pidana yang berlaku saat ini tidak melarang dilakukannya
perzinaan oleh wanita yang tidak menikah dengan pria yang
menikah jika pria tersebut tidak menundukkan diri pada Pasal 27
BW.248

246
Ibid., hlm. 60.
247
Wiryono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia,
Bandung: Eresco, 1986), hlm. 116-117.
248
Lamintang, Delik-delik Khusus…, hlm. 97.

Hukum Pidana Islam | 147 |


Selain itu, permasalahan-permasalahan dari persetubuhan
yang tidak merupakan tindak pidana menurut KUHP, yaitu:
1. Dua orang yang belum kawin yang melakukan persetubuhan,
walaupun:
a. perbuatan itu dipandang bertentangan dengan atau
mengganggu perasaan moral masyarakat;
b. wanita itu mau melakukan persetubuhan karena tipu
muslihat atau janji akan menikahi, tetapi diingkari;
c. berakibat hamilnya wanita itu dan lai-laki yang
menghamilinya tidak bersedia menikahinya atau ada
halangan untuk nikah menurut undang-undang;
2. seorang laki-laki telah bersuami menghamili seorang gadis
(berarti telah melakukan perzinaan) tetapi istrinya tidak
membuat pengaduan untuk menuntut;
3. seorang melakukan hidup bersama dengan orang lain sebagai
suami isteri di luar perkawinan, padahal perbuatan itu tercela
dan bertentangan atau mengganggu perasaan kesusilaan/
moral.

Pasal-Pasal Perzinaan yang kontroversial dalam KUHP

Pasal 416
Seorang yang secara terang-terangan mempertunjukkan suatu
sarana untuk mencegah kehamilan atau tanpa diminta menawarkan,
atau secara terang-terangan atau dengan menyiarkan tulisan tanpa
diminta, menunjukkan untuk dapat diperoleh alat pencegah
kehamilan, dipidana dengan denda kategori I (Rp 150 ribu).
Pasal 419
Dipidana karena permukahan, dengan pidana penjara lima
tahun:

| 148 | Hukum Pidana Islam


a. Laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan
persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya.
b. Perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan
melakukan persetubuhan dengan laki-laki yang bukan
suaminya.
c. Laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan
persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui
bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan
perkawinan, atau perempuan yang tidak dalam ikatan
perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki,
padahal diketahui laki-laki tersebut berada dalam ikatan
perkawinan.
Pasal 420
Laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat
perkawinan yang sah melakukan persetubuhan, dan karenanya
mengganggu perasaan kesusilaan masyarakat setempat,dipidana
dengan penjara paling lama satu tahun atau denda dalamkategori
II (Rp 750 ribu).
Janji akan dikawini masuk dalam Pasal 421
1. ayat (1); Laki-laki yang bersetubuh dengan perempuan
tidak bersuami dengan persetujuan perempuan tersebut
karena janjiakan dikawini, kemudian mengingkari janji
tersebut, atau karena tipu muslihat yang lain, dipidana
dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau
denda dalam kategori IV (Rp 7,5 juta).
2. ayat (2) Laki-laki yang tidak beristri bersetubuh dengan
perempuan tidak bersuami dengan persetujuan perempuan
tersebut, yang mengakibatkan perempuan tersebut hamil
dan tidak bersedia mengawini atau ada halangan untuk
kawin, dipidana penjara lima tahun.

Hukum Pidana Islam | 149 |


Kumpul Kebo diatur dalam Pasal 422
Seorang yang melakukan hidup bersama sebagai suami-istri di luar
perkawinan yang sah karenanya mengganggu perasaan kesusilaan
masyarakat setempat dipidana penjara dua tahun.Tidak dilakukan
penuntutan kecuali atas pengaduan keluarga salah seorang sampai
derajat ketiga, kepala adat atau oleh kepala desa atau lurah
setempat.

Pemerkosaan, hanya ada tambahan pemerkosaan tanpa paksaan


(not forciblerape) pada Pasal 423 poin d; laki-laki yang melakukan
persetubuhan dengan perempuan dengan persetujuan perempuan
tersebut, karena perempuan tersebut percaya bahwa laki-laki
tersebut adalah suaminya yang sah.

Dianggap juga melakukan tindak pidana pemerkosaan jika


laki-laki memasukkan alat kelaminnya ke dalam anus atau
mulut perempuan atau laki-laki memasukkan suatu benda yang
bukan merupakan bagian tubuhnya ke dalam vagina atau anus
perempuan.

Hubungan seks sejenis, dalam Pasal 427; Setiap orang yang


melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang sama jenis
kelaminnya yang diketahui atau patut diduga belum berumur 18
tahun dipidana paling singkat satu tahun penjara dan paling lama
tujuh tahun.

Dianggap delik zina, dan pelakunya dapat dipidana:


a. laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan,
baik dalam ikatan perkawinan atau tidak.
b. Perempuan yang melakukan persetubuhan dengan laki-laki,
baik dalam ikatan perkawinan atau tidak.
c. laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan

| 150 | Hukum Pidana Islam


persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa
perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan;
d. perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan
persetubuhan dengan laki-laki, padahal diketahui bahwa laki-
laki tersebut berada dalam ikatan perkawinan; atau
e. laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat
dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan.

Pelaku zina dipidana jika dilakukan penuntutan oleh suami,


istri, atau pihak ketiga yang tercemar. (Peneliti setuju zina itu
delik aduan). Hal didasarkan adanya hukum nikah hamil yang
ada legalitasnya dalam Islam. Pengaduan dapat ditarik kembali
selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.

E. Transformasi Pemikiran Sanksi Delik Perzinaan dalam


konteks Keindonesiaan
Sanksi delik kesusilaan di Indonesia tidak lagi merujuk secara
tekstual kepada ketentuan hukum yang ada di dalam Islam, sebab
dalam Islam sendiri tidak ada ketentuan yang pasti tentang sanksi
serta penerapannya. Oleh karena itu, ketentuan yang diambil dari
Islam secara substansial hanyalah tentang pelanggarannya, yakni
zina adalah perbuatan tercela dan diaggap sebagai sebuah kejahatan
dan pelakunya dapat dipidana. Pemikiran ini secara nyata diakui
oleh penduduk Indonesia tanpa memandang agama, etnis, budaya,
suku bangsa dan adat istiadat. Kalau dibandingkan dengan model
penerapan hukum Islam dalam bidang perdata misalnya perkawinan,
rukun perkawinan di kalangan fuqaha terjadi perbedaan, ada yang
berpendapat wali nikah sebagai rukun ada yang tidak, tetapi hukum
perkawinan di Indonesia mengambil pendapat yang paling maslahat
bagi penduduk muslim Indonesia yang mayoritas Sunni, yakni wali
sebagai rukun dalam perkawinan. Itulah hukum perkawinan Islam
yang berlaku di Indonesia.

Hukum Pidana Islam | 151 |


bagi penduduk muslim Indonesia yang mayoritas Sunni, yakni wali
sebagai rukun dalam perkawinan. Itulah hukum perkawinan Islam
/?MO;NOS;HANC>;E>;J;N>C=;J;CM?FOLOBHS;D;HA;H>CNCHAA;FE;HM?FOLOBHS;
yang berlaku di Indonesia.
Di Indonesia, dengan adanya lembaga resmi yang membuat
';C>;BCHCG?GJOHS;C;LNCDCE;BOEOGJC>;H;%MF;G<?FOG<CM;>CN?L;JE;HM?=;
Di Indonesia,maka
dengan adanya lembaga resmi yang membuat
undang-undang, segala sesuatu yang berkaitan dengan
undang-undang, maka segala sesuatu yang berkaitan dengan
kebijakan harus diterapkan menurut mekanisme yang berlaku dan
E?M?FOLOB;H M?<;A;CG;H;
kebijakan harus E?N?HNO;H
diterapkan>;F;G
menurutF
-OL;H 
mekanisme<OE;H <?L;LNC
yang E?N?HNO;H >;F;
berlaku
hasilnya mengikat bagi semua warga negara dan tidak bisa diklaim
dan hasilnya mengikat bagi semua warga negara dan tidak bisa
sebagai
%MF;G N?HN;HA produk
JC>;H; perorangan
NC>;E atau kelompok.
OM;Bperorangan
>CN?L;JE;H  E;H Kesepakatan tersebut
N?N;JC >CN?L;JE;H
diklaim sebagai produk atau kelompok. Kesepakatan<?L>;M;L E;>
dalam konsep
tersebut dalam Islam
konsepdisebut
Islamijma'. Maka
disebut konsep
ijma’. Makadelik perzinaan
konsep delik
E?G;GJO;H perzinaan dalam RUU KUHP 2008 secara ruhiyyah sejalanBOEOG JC>;
>C
dalam G;H;
RUU BOEOG
KUHP JC>;H;
2008 %MF;G
secara >;J;N
ruhiyyah >CN?L;JE;H 
sejalan GCM;FHS;
dengan prinsip-
prinsip prinsip-prinsip
dengan aturan pidana dalam
aturanIslam. Faktor
pidana dalampenting
Islam.yang tidak
Faktor dapat
penting
%MF;G>C%H>IH?MC;B;HS;<;LO>;J;N>C;EIGI>CLN?HN;HA<?HNOEE?D;B;N;HHS; M?J?
yang tidak dapatadalah
dikesampingkan dikesampingkan
adanya asasadalah adanya
legalitas asaspenerapan
dalam legalitas
dalam
hukum.penerapan hukum. Secara
Secara substansial, hukum substansial,
pidana Islamhukum pidanaadanya
melegitimasi Islam
TCH;  G?H=OLC  G?G<OHOB
melegitimasi adanya
aturan tersebut. ;>;F;B
aturan
Misalnya M?MO;NO S;HA >CF;L;HA
tersebut. Misalnya kaidah:
kaidah: >;F;G F
-OL;H  G;
  
              
        
>CF;L;HAJOF;>;F;GBOEOG>C%H>IH?MC; >;HJ?F;EOHS;>CE?H;E;HM;HEMC
 
             
        
'?N?HNO;H BOEOG JC>;H; %MF;G N?HN;HA >?FCE TCH; F?<CB D?F;M >;H N?A
Suatu
Suatu perbuatan
perbuatan atau
atau sikap
sikap tidak
tidak berbuat
berbuat tidak
tidak bisa
bisa
dipandangsebagai
dipandang sebagaisuatu
suatu jarimah
jarimah sebelum
sebelum adanya
adanya nas
nas yang
>C<;H>CHAE;HJ?G<;B;M;H>?FCEJ?GOE;B;HS;HA>C;NOL>;F;GBOEOGJIMCNC@ )?HOL
yang melarang
tegas tegas melarang perbuatan
perbuatan atautidak
atau sikap sikap tidak berbuat.
berbuat. Apabila
Apabila tidak ada ketentuan nas yang mengaturnya
J?H?FCNC TCH; <;AC;H>;LCNCH>;EJC>;H;S;HAE?N?HNO;HJC>;HS;>CM?<ONM?=;L;>?@CHC
maka perbuatan seseorang tidak bisa dimintai
pertanggungjawaban
IF?B F
-OL;H  'IHM?EO?HMC BOEOGHS; pidana dan tidakE;>;L
N?LA;HNOHA dapatE?D;B;N;HHS; 
dipidana.249 G;E; B;L

Penerapan legalitas di Indonesia dapat dilihat Pasal 1 ayat


;>;J?LCH=C;HN?A;M>;F;G;NOL;HBOEOGM?<;A;CG;H;>;F;GJ;M;F
J;M;F>;F;G'1$
(1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi
“suatu perbuatan
$;HS; J;M;F
J;M;F tidak dapat NCH>;E
>C ;N;M  M?<;A;CG;H; dipidana kecuali
JC>;H; F;CHberdasarkan
>C;H=;G >?HA;H JC>;
kekuatan peraturan perundang-undangan pidana”. Konsekuensi
hukum dari asas legalitas adalah bahwa tidak pernah ada perbuatan
J?HD;L;M?=;L;E?M?FOLOB;H
zina kalau tidak ada ketentuanya dalam Undang-undang, maka
Undang-undang itulah sebagai alat yang mempunyai kekuatan

LME;F /;FCG  ,IFCNCE $OEOG ,C>;H; %MF;G >C %H>IH?MC; !EMCMN?HMC $CMNILCM  'IHNLC<
"OHAMCIH;F>;H,LIMJ?E);M; ?J;H>;F;G Pidana Islam di Indonesia: Peluang Prospek dan Tantang
&;E;LN;,OMN;E;"CL>;OM   BFG 

<> ;F
$U249
;GC > Ḥazm,
Ibn Maba>dfi>’Uṣūl
$U;ECGal-Iḥkām Awwaliyyah: Us}I,u>l(Beirut:
al-Aḥkām, juz al-FiqhDārwa al-Qawa>
al-Fikr, t.t.),’id al-Fiqhiyy
hlm. 52. /;;>CSS;B ,ONL;  N N   BFG    D;TOFC Kaidah-kaidah Fikih &;E;LN; ,L;H;
&;E;LN; );EN;<;B
)?>C;   BFG  <>OL;BVG;HMS
/UOSONVC al-Asyba>h wa an-Naza>’ir fi> al-Furu ?CLON ;L
"CEL N N  BFG 
| 152 | Hukum Pidana Islam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi “suatu
perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan
peraturan perundang-undangan pidana”. Konsekuensi hukum dari
asas legalitas adalah bahwa tidak pernah ada perbuatan zina kalau
tidak ada ketentuanya dalam Undang-undang, maka Undang-undang
mengikat itulah
untuksebagai
menghukum
alat yangorang yang kekuatan
mempunyai oleh undang-undang
mengikat untuk
dikatakan menghukum
perbuatan orang
zina. yang oleh undang-undang dikatakan perbuatan
Berdasarkan
zina. ketentuan Al-Qur’an surat an-Nur ayat 2, zina
tidak dibedakan antara
Berdasarkan muḥṣan
ketentuan dan surat
Al-Qur'an ghairu muḥṣan,
an-Nur ayat 2,juga
zina tidak
dikenal sebagai delik biasa atau aduan, yang jelas pezina
tidak dibedakan antara muh}s}an dan ghairu muh}s}an, jugaharus
tidak
dihukum cambuk 100 kali sebagai balasan melawan ketentuan
dikenal sebagai delik biasa atau aduan, yang jelas pezina harus
dihukum cambuk 100 kali sebagai balasan melawan ketentuan
hukum Al-Qur’an. Oleh karena itu, ketentuan hukum yang
hukum Al-Qur'an. Oleh karena itu, ketentuan hukum yang berlaku di
berlaku di Indonesia pezina harus diberikan sanksi sebagaimana
Indonesia pezina harus diberikan sanksi sebagaimana ketentuan Al-
ketentuan Qur'an
Al-Qur’an surat an-Nur ayat 2, yakni hukum dera 100
surat an-Nur ayat 2, yakni hukum dera 100 kali dan dilakukan
kali dan dilakukan di muka umum. di muka umum.

         

           

       


Pezina perempuan dan laki hendaklah dicambuk seratus
Pezina
kali dan48perempuan
janganlah merasa dan laki hendaklah
belas dicambuk
kasihan kepada seratus
keduanya
kali dan
sehingga janganlah
mencegah
Da>r al-Fikr,
merasa belas kasihan kepada
kamu dalam menjalankan hukum
t.t.), hlm. 52.
keduanya
Ibn H{azm, al-Ih}ka>m fi> Us}u>l al-Ah}ka>m, juz I, (Beirut:

sehingga mencegah kamu dalam menjalankan hukum


Allah, hal ini jika kamu beriman kepada Allah dan hari
Allah, hal ini jika kamu beriman kepada Allah dan
akhir. Dan hendaklah dalam menjatuhkan sanksi
hari akhir. Dan hendaklah dalam menjatuhkan sanksi
(mencambuk)
(mencambuk)mereka merekadisaksikan
disaksikanoleh
olehsekumpulan
sekumpulanorang-
orang-
orang yang beriman.
orang yang beriman.

Adapun lafaz 
Adapun lafaz                    pada
pada ayat
ayat
tersebut di atas menggambarkan adanya balasan terhadap sebuah
tersebut di atas
kejahatan menggambarkan
dan ketika membalas adanya harus diumumkan balasan terhadap sebuah
atau dilakukan
kejahatan dan ketika membalas harus
di muka umum. Di sini, ada dua aspek yang dicapai dalam diumumkan atau dilakukan di
pemidanaan,
muka umum. Diyakni:
sini, ada dua aspek yang dicapai dalam pemidanaan,
1. Pemidanaan dimaksudkan sebagai pencegahan kolektif
yakni:
(generale dimaksudkan
1. Pemidanaan prevention),sebagai yangpencegahan berarti kolektif pemidanaan bisa
(generale
prevention), yang berarti pemidanaan bisa memberikan pelajaran
bagi orang lain untuk tidak melakukan kejahatan serupa.
Hukum Pidana Islam | 153 |
Contohnya orang berzina harus didera di muka umum sehingga
orang yang melihat diharapkan tidak melakukan perzinaan.49
2. Pemidanaan dimaksudkan sebagai speciale prevention
memberikan pelajaran bagi orang lain untuk tidak melakukan
kejahatan serupa. Contohnya orang berzina harus didera di
muka umum sehingga orang yang melihat diharapkan tidak
melakukan perzinaan.250
2. Pemidanaan dimaksudkan sebagai speciale prevention
(pencegahan khusus), artinya seseorang yang melakukan
tindak pidana setelah diterapkan sanksi, ia akan bertaubat
dan tidak mengulangi kejahatannya lagi. Dalam aspek ini
terkandung nilai treatment, sebab tercegahnya seseorang dari
berbuat jahat bisa melalui penderitaan akibat dipidana atau
timbul dari kesadaran pribadi selama menjalani pidana.

RUU KUHP 2008 yang mengatur tentang delik perzinaan ada


dalam Bab XVI: tentang Tindak Pidana Kesusilaan, tepatnya pada
bagian keempat. Zina dan perbuatan cabul. Pasal 485:
(1) Dipidana karena zina, dengan pidana paling lama 5 (lima)
tahun:
a. laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan
persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya.
b. Perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan
melakukan persetubuhan dengan laki-laki yang bukan
suaminya.
c. laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan
persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui
bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan
perkawinan;
d. perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan
melakukan persetubuhan dengan laki-laki, padahal
diketahui bahwa laki-laki tersebut berada dalam ikatan
perkawinan; atau

250
Ibid.

| 154 | Hukum Pidana Islam


e. laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat
dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan.
(2) Tidak dipidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri,
atau pihak ketiga yang tercemar.
(3) Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud ayat (2) tidak
berlaku ketentuan pasal 25, pasal 26 dan pasal 28
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di
sidang pengadilan belum dimulai.

Hukuman dalam konsep KUHP tentang delik perzinaan


didominasi oleh hukum penjara. Mestinya kalau disepakati
bersama, hukuman cambuk lebih efektif dan efsien, di samping
aplikasi dari pidana badan (fisik) sesuai dengan ketentuan hukum
pidana Islam juga lebih efisen, karena tidak membeni negara.
Kuantitas cambukan sangat relatif, baik alat, kapasitas alat,
bentuk maupun model penerapan. Hukum rajam yang dipahami
sebagian kalangan tidak tepat dilaksanakan, mengingat zina adalah
kejahatan umum yang diakui semua agama, juga tidak disebut
dalam Al-Qur’an.
RUU KUHP (Konsep KUHP) mungkin akan membawa
perubahan besar. Hakim tidak harus selalu berpegang erat pada
undang-undang lagi. Hukum adat bisa diadopsi sebagai pidana
pokok dalam putusan. Walaupun dalam konsep KUHP masih
berpegang teguh pada asas legalitas yang tertuang pada Pasal
1 ayat 1 “Tiada seorangpun dapat dipidana atau dikenakan
tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan
sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan” tetapi dalam ayat 3
disebutkan “ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat
yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun

Hukum Pidana Islam | 155 |


perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-
undangan” yang kemudian diterangkan dalam ayat (4) sepanjang
tidak bertentangan dengan nilai-nilai pancasila dan atau prinsip-
prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat dunia.
Dari penjelasan di atas, dapat ditarik pernyataan bahwa
perbuatan yang tidak diatur dalam perundang-undangan, tapi
bertentangan dengan hukum yang hidup di masyarakat (nilai-
nilai yang ada dalam masyarakat) dapat saja dijerat pidana. Salah
satunya adalah berhubungan intim di luar ikatan perkawinan yang
sah atau zina.
Jika dibandingkan dengan RUU KUHP 2008, seperti kutipan
berikut ini:
Pasal 486
Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan anak-
anak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan
pidana denda paling sedikit Kategori IV dan paling
banyak Kategori VI
Pasal 487
Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai
suami istri di luar perkawinan yang sah, dipidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling
banyak Kategori IV.
Pasal 488
Setiap orang yang bergelandangan dan berkeliaran di jalan
atau di tempat umum dengan tujuan melacurkan diri,
dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I.
Pasal 489
(1) Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan seseorang
yang diketahuinya bahwa orang tersebut anggota keluarga

| 156 | Hukum Pidana Islam


sedarah dalam garis lurus atau ke samping sampai derajat
ketiga, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan yang belum
berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin, maka
pembuat tindak pidana dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun.
Pasal 490
Perkosaan
(1) Dipidana karena melakukan tindak pidana perkosaan, dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama
12 (dua belas) tahun:
a. laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan
perempuan di luar perkawinan, bertentangan dengan
kehendak perempuan tersebut;
b. laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan
perempuan di luar perkawinan, tanpa persetujuan
perempuan tersebut;
c. laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan
perempuan, dengan
persetujuan perempuan tersebut, tetapi persetujuan
tersebut dicapai melalui ancaman untuk dibunuh atau
dilukai;
d. laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan
perempuan, dengan persetujuan perempuan tersebut
karena perempuan tersebut percaya bahwa laki-laki
tersebut adalah suaminya yang sah;
e. laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan
yang berusia di bahwah 14 (empat belas) tahun, dengan
persetujuannya; atau

Hukum Pidana Islam | 157 |


f. laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan
perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut
dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.
(2) Dianggap juga melakukan tindak pidana perkosaan, jika
dalam keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. laki-laki memasukkan alat kelaminnya ke dalam anus
atau mulut perempuan; atau
b. laki-laki memasukkan suatu benda yang bukan merupakan
bagian tubuhnya ke dalam vagina atau anus perempuan.

Menurut peneliti, rancangan undang-undang tentang KUHP


merupakan ijtihad besar dan bersejarah dalam memperjuangkan
masuknya nilai-nilai hukum Islam dalam konteks perundang-
undangan di Indonesia. Pembentukan undang-undang selalu
dipengaruhi kultur, sosial, dan moralitas masyarakat yang
membentuknya. Di samping itu, jangan lupa bahwa KUHP sekarang
ini yang notabene ditransfer dari KUHP Belanda merupakan
cerminan dari kultur Barat yang individualis dan sekuler. Orang
Belanda waktu itu tidak memandang buruk persetubuhan
asalkan tidak terikat perkawinan. Hal ini tidak cocok dengan
nilai masyarakat Indonesia yang religius. Semua agama melarang
perzinaan khususnya Islam yang merupakan penduduk mayoritas
di Indonesia. Jadi nilai-nilai Islam yang universal seharusnya bisa
tertampung dalam perundang-undangan nasional, sepanjang tidak
merugikan umat beragama lain.
Dengan demikian, perlu adanya pemikiran yang bijaksana,
jika upaya mengintegrasikan hukum pidana Islam ke dalam
pembentukan hukum pidana nasional. Jika memungkinkan
dengan cara pengungkapan materi hukum Islam secara eksplisit
ke dalam Rancangan Undang-undang KUHP. Namun, jika tidak
memungkinkan diungkapkan prinsip-prinsip dan moralitasnya
saja. Misalnya bentuk hukuman zina tidak sama persis seperti

| 158 | Hukum Pidana Islam


hukum pidana nasional.NC>;EM;G;J?LMCMM?J?LNCS;HA>CM?<ON>;F;G
Jika memungkinkan dengan cara
pengungkapan materi hukum Islam secara eksplisit ke dalam
Rancangan Undang-undang KUHP. Namun, jika tidak
;>;F;B >C=;G<OE M?L;NOM E;FC  $;F >C>;M;LE;H
memungkinkan diungkapkan prinsip-prinsip dan moralitasnya saja.
yang disebut
Misalnyadalam
bentukAl-Qur’an,
hukuman zina yakni
tidakbahwa hukuman
sama persis sepertipezina
yang
adalahdisebut
dicambuk
dalamseratus kali. yakni
Al-Qur'an, Hal didasarkan pada firman
bahwa hukuman Allah
pezina adalah
dalam dicambuk
surat an-Nur
seratusayat
kali.2:
Hal didasarkan pada firman Allah dalam surat

D4V\2 =/= MX.P)\ !96  3\ 4K? N/Z&?


an-Nur ayat 2:

         


)? D4X=NJ N/ .N W,/W@B[6  <07( ; ? Y5C
           

       


,?TCH; J?L?GJO;H >;H F;EC B?H>;EF;B
Pezina perempuan
Pezina perempuan dan laki G?L;M;
dan laki hendaklah
hendaklah <?F;M E;MCB;H
dicambuk
dicambuk E?J;>; E?>O;
seratus
seratus kali
kali dan janganlah merasa belas
dan janganlah merasa belas G?HD;F;HE;H
kasihan kepada BOEOG
kasihan kepada
keduanya FF;B  B;F CHC DCE;
keduanya
sehingga
sehingga
mencegah mencegah kamu
kamu dalam ;EBCL 
dalam hukum
menjalankan ;H Allah,
B?H>;EF;B
menjalankan halhukum >;F;G G?HD;
ini jika
Allah, hal ini jika kamu >CM;EMCE;HIF?BM?EOGJOF;HIL;HA
IL;HA
kamu beriman kepada Allah beriman kepada Allah dan
dan hari akhir. Dan hendaklah
haridalam
akhir. Dan hendaklah
menjatuhkan dalam menjatuhkan
sanksi (mencambuk) sanksi
mereka disaksikan
(mencambuk) mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-
oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.
orang yang beriman. )?MNCHS; >;F;G E;MOM TCH; F?<CB ?@?E

Mestinya dalam kasus zinaJ?F;EM;H;;HS;


lebih efektif jika>CM?L;BE;H M?J?HOBHS; E?J;>
diterapkan hukum
cambuk dan pelaksanaanya diserahkan sepenuhnya kepada hakim.
kepada jari>
Substansi pidananya merujuk E?J;>; mah h}uudūd,
jarīmah du>d ;E;H
akan N?N;JCJ;>;J?F;EM
tetapi
pada pelaksanaanya diserahkan kepada hakim.
Akan tetapi yang terpenting adalah perbuatan itu dianggap
sebagai tindak pidana, karena zina adalah perbuatan yang tidak
sesuai dengan prinsip dan moralitas Islam.251 Proses ini menurut
peneliti merupakan upaya strategis legislasi hukum Islam yang

Arskal Salim, “Politik Hukum Pidana Islam di Indonesia: Eksistensi


251

Historis, Kontribusi Fungsional dan Prospek Masa Depan” dalam Pidana Islam
di Indonesia: Peluang Prospek dan Tantangan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001),
hlm. 259.

Hukum Pidana Islam | 159 |


i tindak pidana, /?MO;NOS;HANC>;E>;J;N>C=;J;CM?FOLOBHS;D;HA;H>CNCHAA;FE;HM?FO
/?MO;NOS;HANC>;E>;J;N>C=;J;CM?FOLOBHS;D;HA;H>CNCHAA;FE;H
/?MO;NOS;HANC>;E>;J;N>C=;J;CM?FOLOBHS;D;HA;H>CNCHAA;FE;HM?F
/?MO;NOS;HANC>;E>;J;N>C=;J;CM?FOLOBHS;D;HA;H>CNCHAA
/?MO;NOS;HANC>;E>;J;N>C=;J;CM?FOLOBHS;D;HA;H>CNCHAA;FE
karena zina adalah perbuatan yang tidak
dengan prinsip dan moralitas Islam.50 Proses ini menurut
';C>;BCHCG?GJOHS;C;LNCDCE;BOEOGJC>;H;%MF;G<?FOG<CM;>CN?L;J
';C>;BCHCG?GJOHS;C;LNCDCE;BOEOGJC>;H;%MF;G<?FOG<CM;>
';C>;BCHCG?GJOHS;C;LNCDCE;BOEOGJC>;H;%MF;G<?FOG<CM;>CN?L;
';C>;BCHCG?GJOHS;C;LNCDCE;BOEOGJC>;H;%MF;G<?FOG<
';C>;BCHCG?GJOHS;C;LNCDCE;BOEOGJC>;H;%MF;G<?FOG<CM;
/?MO;NOS;HANC>;E>;J;N>C=;J;CM?FOLOBHS;D;HA;H>CNCHAA;FE;HM?FOL
/?MO;NOS;HANC>;E>;J;N>C=;J;CM?FOLOBHS;D;HA;H>CNCHAA;FE;HM?FOLOBHS
/?MO;NOS;HANC>;E>;J;N>C=;J;CM?FOLOBHS;D;HA;H>CNCHAA;FE;HM?F
i merupakan upaya strategis legislasi hukum Islam yang
E?M?FOLOB;H
E?M?FOLOB;H
E?M?FOLOB;H M?<;A;CG;H;
danE?M?FOLOB;H
E?M?FOLOB;H
M?<;A;CG;H;
M?<;A;CG;H;  >;F;G
E?N?HNO;H
M?<;A;CG;H;
M?<;A;CG;H;
E?N?HNO;H
E?N?HNO;H
E?N?HNO;H
E?N?HNO;HF
-OL;H 
>;F;G
>;F;G
>;F;G <OE;H
F
-OL;H 
>;F;G
F
-OL;H 
F
-OL;H  <?L;LNC
F
-OL;H 
<OE;H
<OE;H
<OE;H
';C>;BCHCG?GJOHS;C;LNCDCE;BOEOGJC>;H;%MF;G<?FOG<CM;>CN?L;JE
t bertahap';C>;BCHCG?GJOHS;C;LNCDCE;BOEOGJC>;H;%MF;G<?FOG<CM;>CN?L;JE;HME?N?HN
<?L;LNC
<OE;H
<?L;LNC
<?L;LNC
';C>;BCHCG?GJOHS;C;LNCDCE;BOEOGJC>;H;%MF;G<?FOG<CM;>CN?L;
sejalan
bersifat dengan
bertahap kaidah:
dan sejalan dengan kaidah:
E?N?H
<?LE

OM;B
>;F;G >;F;G
F
-OL;H 
F
-OL;H 
>CN?L;JE;H 
 F
-OL;H 
E;H
E;H
E;H
  E;H
N?N;JC
>CN?L;JE;H
<?L;LNC
N?N;JC
252
%MF;G
%MF;G
E?M?FOLOB;H
E?M?FOLOB;HN?HN;HA
%MF;G
%MF;G
%MF;G
N?HN;HA
E?M?FOLOB;H JC>;H;
N?HN;HA
N?HN;HA
N?HN;HA
M?<;A;CG;H;
M?<;A;CG;H; NC>;E
JC>;H;
JC>;H;
JC>;H;
JC>;H;
M?<;A;CG;H; OM;B
NC>;E
NC>;E
E?N?HNO;HNC>;E
NC>;E
OM;B
E?N?HNO;HOM;B
E?N?HNO;H>CN?L;JE;H 
>;F;G >CN?L;JE;H 
>CN?L;JE;H 
OM;B
>CN?L;JE;H  E;H
N?N;JC
<OE;HN?N;JC
<OE;H
<OE;HN?N;JC
>CN?L;JE;H
<?L;LNC <?L;LNC <?L>
>CN?L;JE;H
>CN?L;JE;
>CN?L;
E?N?HNO;H<?L>
E?N?HNO
E?N?H

Sesuatu E?G;GJO;H
E?G;GJO;H
E?G;GJO;H
yang Sesuatu
E?G;GJO;H >C
E?G;GJO;H>C
tidak yang
G;H;
>C G;H;
>C
dapat tidakdicapai
BOEOG
>C G;H;
BOEOG
BOEOG dapat
JC>;H;
BOEOG
BOEOG %MF;G
JC>;H;dicapai
JC>;H;
JC>;H;
JC>;H;
%MF;G seluruhnya
>;J;N
%MF;G
%MF;G
>;J;N
seluruhnya jangan
>CN?L;JE;H 
%MF;G
>;J;N
>;J;N
>CN?L;JE;H 
>;J;N
>CN?L;JE;H 
jangan GCM;FHS;
>CN?L;JE;H 
>CN?L;JE;H  BOEO
GCM;FHS;
GCM;FHS;
GCM;FH
GCM
BO
%MF;G
%MF;GN?HN;HA
%MF;G
N?HN;HA
N?HN;HA
JC>;H;
JC>;H;JC>;H;
NC>;E
NC>;E NC>;E
OM;B
OM;B
ditinggalkan seluruhnya.
>CN?L;JE;H 
OM;B
>CN?L;JE;H 
>CN?L;JE;H 
E;H
E;HE;H
N?N;JC
N?N;JC
N?N;JC
>CN?L;JE;H
>CN?L;JE;H
>CN?L;JE;H
<?L>;M;L
<?L>;
<?L
ditinggalkan seluruhnya.
%MF;G>C%H>IH?MC;B;HS;<;LO>;J;N>C;EIGI>CLN?HN;HA<?HNOEE?D;B;N;HH
%MF;G>C%H>IH?MC;B;HS;<;LO>;J;N>C;EIGI>CLN?HN;HA<?HNOEE?D;B
%MF;G>C%H>IH?MC;B;HS;<;LO>;J;N>C;EIGI>CLN?HN;HA<?HNOEE?D;B;N;H
%MF;G>C%H>IH?MC;B;HS;<;LO>;J;N>C;EIGI>CLN?HN;HA<?HNOE
%MF;G>C%H>IH?MC;B;HS;<;LO>;J;N>C;EIGI>CLN?HN;HA<?HNOEE?D;
E?G;GJO;H
E?G;GJO;H
E?G;GJO;H
>C
>C G;H;
>C G;H;
BOEOG
BOEOGBOEOG
JC>;H;
JC>;H;
JC>;H;
%MF;G
%MF;G
%MF;G
>;J;N
>;J;N
>;J;N
>CN?L;JE;H 
>CN?L;JE;H 
>CN?L;JE;H 
GCM;FHS;
GCM;FHS;
GCM;FHS;
BOEOG
BOEO
BOE
J
Kaidah ini mempunyai arti jika hukum pidana Islam belum
bisa
TCH; 
TCH; 
TCH; diterapkan
G?H=OLC 
TCH; 
G?H=OLC 
TCH; 
G?H=OLC  secara
G?G<OHOB
G?H=OLC 
G?H=OLC  keseluruhan
G?G<OHOB
G?G<OHOB
G?G<OHOB;>;F;B
G?G<OHOB ;>;F;Bsebagaimana
;>;F;BM?MO;NO
;>;F;B
;>;F;B
M?MO;NO
M?MO;NO ketentuan
S;HA
M?MO;NO
M?MO;NO
S;HA
S;HA>CF;L;HA
S;HA dalam
>CF;L;HA
S;HA >;F;G
>CF;L;HA
>CF;L;HA
>CF;L;HA
>;F;G F
-OL
>;F;G
>;F;G
F
-
>;F;

%MF;G>C%H>IH?MC;B;HS;<;LO>;J;N>C;EIGI>CLN?HN;HA<?HNOEE?D;B;N;HHS
Kaidah %MF;G>C%H>IH?MC;B;HS;<;LO>;J;N>C;EIGI>CLN?HN;HA<?HNOEE?D;B;N;HHS; M
%MF;G>C%H>IH?MC;B;HS;<;LO>;J;N>C;EIGI>CLN?HN;HA<?HNOEE?D;B;N;H
ini mempunyai arti jika hukum pidana
Al-Qur’an, bukan berarti ketentuan dalam Islam tentang pidana
Islam belum
tidak>CF;L;HAJOF;>;F;GBOEOG>C%H>IH?MC; >;HJ?F;EOHS;>CE?H;E;H
usah diterapkan.sebagaimana
Akan tetapi diterapkan
ketentuanberdasar
terapkan>CF;L;HAJOF;>;F;GBOEOG>C%H>IH?MC; >;HJ?F;EOHS;>CE?H;E;HM;HEMC
secara keseluruhan dalamkadar Al-
TCH; >CF;L;HAJOF;>;F;GBOEOG>C%H>IH?MC; >;HJ?F;EOHS;>CE?H;E;HM;HE
TCH;  >CF;L;HAJOF;>;F;GBOEOG>C%H>IH?MC; >;HJ?F;EOHS;>CE?H;E;HM;HEMC
>CF;L;HAJOF;>;F;GBOEOG>C%H>IH?MC; >;HJ?F;EOHS;>CE?H;E;HM;H
G?H=OLC 
TCH; 
G?H=OLC 
G?H=OLC 
G?G<OHOB
G?G<OHOBG?G<OHOB ;>;F;B
;>;F;B ;>;F;B
M?MO;NO
M?MO;NO
kemampuan di mana hukum pidana Islam dapat diterapkan,
M?MO;NO
S;HA
S;HA S;HA
>CF;L;HA
>CF;L;HA
>CF;L;HA
>;F;G
>;F;G
>;F;G
F
-OL;H 
F
-OL
F
-O
, bukan berarti ketentuan dalam Islam tentang pidana tidak
misalnya hukum
'?N?HNO;H
'?N?HNO;H
'?N?HNO;H BOEOG
'?N?HNO;H
'?N?HNO;Hpidana
BOEOG
BOEOG Islam
JC>;H;
BOEOG
BOEOG
JC>;H;
JC>;H;di Indonesia
%MF;G
JC>;H;
JC>;H;
%MF;G
%MF;GN?HN;HA
%MF;G
%MF;Ghanya
N?HN;HA
N?HN;HA baru
>?FCE
N?HN;HA
N?HN;HA
>?FCE dapat
TCH;
>?FCE
>?FCE
TCH;F?<CB
>?FCE
TCH;
TCH;
F?<CBD?F;M
TCH;
F?<CB
F?<CB
D?F;M
F?<
D
>CF;L;HAJOF;>;F;GBOEOG>C%H>IH?MC; >;HJ?F;EOHS;>CE?H;E;HM;HEMC
>CF;L;HAJOF;>;F;GBOEOG>C%H>IH?MC; >;HJ?F;EOHS;>CE?H;E;HM;HEMC
iterapkan. >CF;L;HAJOF;>;F;GBOEOG>C%H>IH?MC; >;HJ?F;EOHS;>CE?H;E;HM;HEMC
Akan tetapi diterapkan berdasar kadar
diakomodir tentang bentuk kejahatannya, seperti zina, mencuri, kemampuan
na hukum membunuh adalahdapat sesuatuditerapkan,
yang dilarang dalam Al-Qur’an,
>C<;H>CHAE;HJ?G<;B;M;H>?FCEJ?GOE;B;HS;HA>C;NOL>;F;GBOEOGJIMCNC@
>C<;H>CHAE;HJ?G<;B;M;H>?FCEJ?GOE;B;HS;HA>C;NOL>;F;GBOEOGJ
>C<;H>CHAE;HJ?G<;B;M;H>?FCEJ?GOE;B;HS;HA>C;NOL>;F;GBOEOGJIMC
>C<;H>CHAE;HJ?G<;B;M;H>?FCEJ?GOE;B;HS;HA>C;NOL>;F;GBO
>C<;H>CHAE;HJ?G<;B;M;H>?FCEJ?GOE;B;HS;HA>C;NOL>;F;GBOEOG
pidana Islam misalnya hukum
'?N?HNO;H
'?N?HNO;H
'?N?HNO;H
BOEOG
BOEOG BOEOG
JC>;H;
JC>;H; JC>;H;
%MF;G
%MF;G%MF;G
N?HN;HA
N?HN;HA
maka dilarang pula dalam hukum di Indonesia, dan pelakunya
N?HN;HA
>?FCE
>?FCE >?FCE
TCH;TCH;
F?<CB
TCH;
F?<CB
F?<CB
D?F;M
D?F;M
D?F;M
>;H >
Islam di Indonesia
dikenakan
J?H?FCNC TCH;
J?H?FCNC TCH;
J?H?FCNC TCH;
hanya
sanksi. baru dapat diakomodir tentang
<;AC;H>;LCNCH>;EJC>;H;S;HAE?N?HNO;HJC>;HS;>CM?<ONM?=;L
J?H?FCNC TCH;
J?H?FCNC TCH;
<;AC;H>;LCNCH>;EJC>;H;S;HAE?N?HNO;HJC>;HS;>CM?<ON
<;AC;H>;LCNCH>;EJC>;H;S;HAE?N?HNO;HJC>;HS;>CM?<ONM?=
<;AC;H>;LCNCH>;EJC>;H;S;HAE?N?HNO;HJC>;HS;>C
<;AC;H>;LCNCH>;EJC>;H;S;HAE?N?HNO;HJC>;HS;>CM?<
>C<;H>CHAE;HJ?G<;B;M;H>?FCEJ?GOE;B;HS;HA>C;NOL>;F;GBOEOGJIMCNC@
>C<;H>CHAE;HJ?G<;B;M;H>?FCEJ?GOE;B;HS;HA>C;NOL>;F;GBOEOGJIMCNC@ )?
>C<;H>CHAE;HJ?G<;B;M;H>?FCEJ?GOE;B;HS;HA>C;NOL>;F;GBOEOGJIMCN
Ketentuan hukum pidana Islam tentang delik zina lebih jelas
kejahatannya, seperti zina, mencuri, membunuh adalah
dan
IF?B
IF?B F
-OL;H 
IF?Btegas
IF?B dibandingkan
F
-OL;H 
F
-OL;H 
IF?B 'IHM?EO?HMC
F
-OL;H 
F
-OL;H  pembahasan
'IHM?EO?HMC
'IHM?EO?HMC BOEOGHS;
'IHM?EO?HMC
'IHM?EO?HMC delik
BOEOGHS;
BOEOGHS; pemukahan
N?LA;HNOHA
BOEOGHS;
BOEOGHS;
N?LA;HNOHA
N?LA;HNOHA yang
E;>;L
N?LA;HNOHA
N?LA;HNOHA diatur
E;>;L E?D;B;N;HHS; 
E;>;L
E;>;L
E?D;B;N;HHS; 
E;>;L
E?D;B;N;HH
E?D;B;N;H
E?D;B G
u yang dilarang
J?H?FCNC TCH;
J?H?FCNC TCH; dalam
J?H?FCNC TCH; Al-Qur'an, maka dilarang
<;AC;H>;LCNCH>;EJC>;H;S;HAE?N?HNO;HJC>;HS;>CM?<ONM?=;L
<;AC;H>;LCNCH>;EJC>;H;S;HAE?N?HNO;HJC>;HS;>CM?<ONM?=;L;>?
<;AC;H>;LCNCH>;EJC>;H;S;HAE?N?HNO;HJC>;HS;>CM?<ONM?=
dalam hukum positif. Menurut peneliti, zina bagian dari tindak
pula dalam
di Indonesia,pidana dan pelakunya
yang ketentuan dikenakan
pidanya disebut sanksi.
secara definitif oleh Al-
;>;J?LCH=C;HN?A;M>;F;G;NOL;HBOEOGM?<;A;CG;H;>;F;GJ;M;F
J;M;F>;F;
;>;J?LCH=C;HN?A;M>;F;G;NOL;HBOEOGM?<;A;CG;H;>;F;GJ;M;F
J;M;
;>;J?LCH=C;HN?A;M>;F;G;NOL;HBOEOGM?<;A;CG;H;>;F;GJ;M;F
J;M;F>;
;>;J?LCH=C;HN?A;M>;F;G;NOL;HBOEOGM?<;A;CG;H;>;F;GJ;M;
;>;J?LCH=C;HN?A;M>;F;G;NOL;HBOEOGM?<;A;CG;H;>;F;GJ;M;F
J;
IF?B
IF?BF
-OL;H 
F
-OL;H 
IF?B F
-OL;H 
'IHM?EO?HMC
'IHM?EO?HMC
'IHM?EO?HMCBOEOGHS;
BOEOGHS;
BOEOGHS;
N?LA;HNOHA
N?LA;HNOHA
Qur’an. Konsekuensi hukumnya tergantung kadar kejahatannya,
N?LA;HNOHA
E;>;LE;>;LE;>;L
E?D;B;N;HHS; 
E?D;B;N;HHS; 
E?D;B;N;HHS; 
G;E; G
maka
$;HS;
$;HS;
$;HS; harus
J;M;F
J;M;F
$;HS;
$;HS; ada
J;M;F
J;M;F
J;M;F
J;M;Fperincian
>C>C
J;M;F
J;M;F
J;M;F
J;M;F;N;M 
>C tegas
;N;M  dalam
M?<;A;CG;H;
;N;M 
>C
>C ;N;M 
M?<;A;CG;H;
;N;M  aturan
M?<;A;CG;H; hukum
NCH>;E
M?<;A;CG;H;
M?<;A;CG;H;NCH>;E
NCH>;E sebagaimana
JC>;H;
NCH>;E
NCH>;E
JC>;H; F;CH
JC>;H;
JC>;H;>C;H=;G
F;CH
JC>;H;
F;CH
>C;H=;G
F;CH
>C;H=;G
F;CH >?HA
>C;H=;
>C;
>?H
0 ;>;J?LCH=C;HN?A;M>;F;G;NOL;HBOEOGM?<;A;CG;H;>;F;GJ;M;F
J;M;F>;F;
;>;J?LCH=C;HN?A;M>;F;G;NOL;HBOEOGM?<;A;CG;H;>;F;GJ;M;F
J;M;F>;F;G'
;>;J?LCH=C;HN?A;M>;F;G;NOL;HBOEOGM?<;A;CG;H;>;F;GJ;M;F
J;M;F>;
Arskal Salim,dalam pasal-pasal
"Politik Hukum dalam KUHP . Hanya
Pidana Islampasal-pasal
di Indonesia: di atas,
nsi Historis, sebagaimana tindak
J?HD;L;M?=;L;E?M?FOLOB;H
J?HD;L;M?=;L;E?M?FOLOB;H
J?HD;L;M?=;L;E?M?FOLOB;H pidanadan
J?HD;L;M?=;L;E?M?FOLOB;H
J?HD;L;M?=;L;E?M?FOLOB;H
Kontribusi Fungsional lainProspek
diancam Masa denganDepan" pidana dalampenjara
$;HS;
$;HS; $;HS;
J;M;F
J;M;F
J;M;F
J;M;F
J;M;F
J;M;F
>C
>C ;N;M 
;N;M 
>C M?<;A;CG;H;
;N;M 
M?<;A;CG;H;
M?<;A;CG;H;
NCH>;E
NCH>;E
NCH>;E
JC>;H;
JC>;H;JC>;H;
F;CHF;CH
>C;H=;G
F;CH
>C;H=;G
>C;H=;G
>?HA;H
>?HA>?H
J
Islam di secara
Indonesia:keseluruhan.
Peluang Prospek dan Tantangan, (Jakarta:
Firdaus, 2001), Bentuk hukuman alternatif di Indonesia seperti hukuman
hlm.
259.
J?HD;L;M?=;L;E?M?FOLOB;H
J?HD;L;M?=;L;E?M?FOLOB;H
J?HD;L;M?=;L;E?M?FOLOB;H



LME;F
penjara diLME;F
LME;F/;FCG 
LME;F
satu sisi,IFCNCE
LME;F
/;FCG 
/;FCG  /;FCG 
/;FCG 
,IFCNCE
,IFCNCE$OEOG
dapat,IFCNCE
,IFCNCE
$OEOG
$OEOG ,C>;H;
$OEOG
dijadikan$OEOG
,C>;H;%MF;G
,C>;H;,C>;H;
%MF;G
solusi, >C%MF;G
,C>;H;
%MF;G %H>IH?MC;
>C%MF;G
>C
mengingat%H>IH?MC; !EMCMN?HMC
%H>IH?MC;
>C>C
%H>IH?MC;
%H>IH?MC;
!EMCMN?HMC$CMNILCM
!EMCMN?HMC
!EMCMN?HMC
!EMCMN?
$CMNIL
$
1
Abd al-H{ami>d H{aki>m, Maba>di>'
"OHAMCIH;F>;H,LIMJ?E);M;
"OHAMCIH;F>;H,LIMJ?E);M;
"OHAMCIH;F>;H,LIMJ?E);M;?J;H>;F;G
"OHAMCIH;F>;H,LIMJ?E);M;
"OHAMCIH;F>;H,LIMJ?E);M;
?J;H>;F;GAwwaliyyah:
?J;H>;F;G Pidana
Pidana
?J;H>;F;G
?J;H>;F;G Pidana
Islam
Pidana Islam
Pidana
Islamdidi di
Islam
Indonesia:
Islam Us}u>ldalam
Indonesia:
diPeluang
Indonesia: Indonesia:
di Indonesia:
Peluang al-
Peluang Peluang
Prosp
Prospek
Peluang dan
Prospek
Pro
d
a al-Qawa>'id&;E;LN;,OMN;E;"CL>;OM   BFG 
&;E;LN;,OMN;E;"CL>;OM   BFG 
&;E;LN;,OMN;E;"CL>;OM   BFG 
&;E;LN;,OMN;E;"CL>;OM   BFG 
&;E;LN;,OMN;E;"CL>;OM   BFG 
al-Fiqhiyyah, (Jakarta; Maktabah Sa'adiyyah Putra,

 


LME;F
LME;F
m. 44. Djazuli, Kaidah-kaidah Ḥak
<>
<>
252
<>
LME;F
/;FCG 
Abd
 /;FCG 
/;FCG 
;F
$U ,IFCNCE
;F
$U
<>,IFCNCE
;
;F
$UGC
<>;
al-Ḥam >
GC
;F
$U
;F
$U
>
d ,IFCNCE
$U
 ;$OEOG
$OEOG
;$U
EC
$U;;G
GC > G
EC
EC
m, $OEOG
;,C>;H;
Maba>
G $U
$U
Fikih,(Jakarta: ,C>;H;
Maba>
;Maba>
EC
MabādECG
G i>d,C>;H;
%MF;G
’Maba>
d i> ’dMaba> %MF;G
di>d’>C
i>’Awwaliyyah:
Awwaliyyah:
Pranada i>%MF;G
Awwaliyyah:
Awwaliyyah: >C
%H>IH?MC;
%H>IH?MC;
’Awwaliyyah: >C
Awwaliyyah:
Us}Us}
Uṣūl
Media, u%H>IH?MC;
uUs} !EMCMN?HMC
>lal-Fiqh
>lal-Fiqh
Us} !EMCMN?HMC
ual-Fiqh>l !EMCMN?HMC
>l2006),
al-Fiqh
uUs}
wa uwa
>l wa
al-Fiqh
al- $CMNILCM 
al-Fiqh
wa
al-Qawa>$CMNILCM
al-Qawa> $CMNIL
waal-Qaw
wa
’id 'IH
al-Q’ida
"OHAMCIH;F>;H,LIMJ?E);M;
"OHAMCIH;F>;H,LIMJ?E);M;
"OHAMCIH;F>;H,LIMJ?E);M;
Qawā’id
&;E;LN;
&;E;LN;
&;E;LN; al-Fiqhiyyah,
);EN;<;B
&;E;LN;
&;E;LN;
);EN;<;B
);EN;<;B ?J;H>;F;G
?J;H>;F;G
(Jakarta;
/;;>CSS;B
);EN;<;B
);EN;<;B
/;;>CSS;B
/;;>CSS;B ?J;H>;F;G
Maktabah
,ONL; 
/;;>CSS;B
/;;>CSS;B
,ONL; 
,ONL;  Pidana
Pidana
N N  
,ONL; 
N N  
,ONL; BFG 
N N   Islam
Pidana
Islam
Sa’adiyyah
BFG   
N N  
BFG 
N N  di  di
Islam
BFG  Indonesia:
Indonesia:
Putra, di
D;TOFC
 
BFG  D;TOFC
  Indonesia:
Peluang
t.t.),
D;TOFC
  Peluang
hlm.
D;TOFC
D;TOFC Peluang
Prospek
Kaidah-kaidah
Kaidah-kaidah
Kaidah-kaidah
44. Prospek
Prospek
Kaidah-kaidah
Kaidah-kaidah dan &;E;
Fikih
Fikih Fikihdan
Tant Fid
&;E
. Abdurah}man Djazuli, Asy-S{uyu>t}i>,
&;E;LN;,OMN;E;"CL>;OM   BFG 
&;E;LN;,OMN;E;"CL>;OM   BFG 
&;E;LN;,OMN;E;"CL>;OM   BFG 
Kaidah-kaidah Fikih,(Jakarta:
)?>C;   BFG 
)?>C;   BFG 
)?>C;   BFG 
)?>C;   BFG 
)?>C;   BFG  <>OL;BV
<>OL;BV
<>OL;BV G al-Asyba>h
Pranada
;HMS
/U
<>OL;BV
<>OL;BV
GG;HMS
/U
;HMS
/U Media,
O;HMS
/U
SO
GG;HMS
/U wa
 NVCal-Asyba>
NOVCSO
OSO  N2006), an-Naza>'ir
Oal-Asyba>
VCal-Asyba>
O SO NVC Nhlm.
SO hal-Asyba>
h wa
VCal-Asyba> wahan-Naza>
98. wa
an-Naza>
h wa
Abdurah}fi>
an-Naza>
h wa
’ir ’irfi>an-Naza>
an-Naza> ’iral-Furu
’fi>
ir al-Fur
fi>al-Furu fi>’ ?
iral-Ffi
 

 
>', (Beirut: Da>r
<>
<>
man al-Fikr,
;F
$U
;F
$U
<>
Asy-Ṣuyūṭ ;GC;F
$U
"CEL N N  BFG 
"CEL N N  BFG  t.t.),
,>al-Asybāh
"CEL N N  BFG  $U
$U
;;GC
"CEL N N  BFG  ;EC
"CEL N N  BFG EC>G hlm.
G $U
wa;Maba>
Maba> di>dMaba>
G269; ’i>’Awwaliyyah:
ECan-Nazā’ir Awwaliyyah:
dfi>’ al-Furū’,
Awwaliyyah: Us} uUs}
>l ual-Fiqh
(Beirut: >lUs}al-Fiqh
Dār wa wa
u>l al-Fikr,
al-Fiqh t.t.),al-Qawa>
al-Qawa>
wa al-Qawa> ’id’ida
’id al-Fiqh
&;E;LN;
&;E;LN;hlm. 269;);EN;<;B
&;E;LN;
);EN;<;B
);EN;<;B /;;>CSS;B
/;;>CSS;B
/;;>CSS;B
,ONL; 
,ONL; N N  
,ONL; 
N N  BFG 
N N  
BFG    BFG 
 D;TOFC
 
D;TOFC Kaidah-kaidah
Kaidah-kaidah
D;TOFC FikihFikih
Kaidah-kaidah Fikih
&;E;LN;
&;E;L
&;E ,
)?>C;   BFG 
)?>C;   BFG 
)?>C;   BFG 
<>OL;BV
<>OL;BV
<>OL;BV
GG;HMS
/U
;HMS
/U
G;HMS
/U
OSO
OSO al-Asyba>
NVC NVCal-Asyba>
O SO h wa
NVC al-Asyba>
h wa h an-Naza>
’ir fi>’iral-Furu
an-Naza>
wa an-Naza> fi>’ir al-Furu
fi> al-Furu
?CLON
 ?
 
"CEL N N  BFG 
"CEL N N  BFG 
"CEL N N  BFG 
| 160 | Hukum Pidana Islam
hukum pidana Islam, pendekatan dalam pelaksanaan hukuman
ada dua macam, yaitu jawābir dan zawājir. Di sisi lain, hukuman
yang ditetapkan dalam Al-Qur’an perlu diakomodir dalam KUHP
secara terperinci, meskipun tidak sampai pada menghukum rajam
bagi pezina muh}s}an. Jika pendekatan jawābir menghendaki
pelaksanaan secara tekstual berdasarkan nash. Artinya hukum
harus dutegakkan dengan maksud menebus kesalahan dan
dosa si pelaku kejahatan, maka pendekatan ini akan berlaku
secara universal siapapun melanggar ketentuan Al-Qur’an akan
dikenakan hukuman berdasarkan hukum Al-Quran. Sebaliknya
zawājir lebih melihat bagaimana agar tujuan dari pemidanaan itu
tercapai, yaitu membuat jera pelaku dan menjadi pelajaran bagi
orang lain untuk tidak melakukan kejahatan serupa.253
Senada dengan pernyataan di atas, Sukardja sebagaimana
dikutip oleh Arskal Salim, menyatakan bahwa dalam rangka
pengitegrasian hukum pidana Islam ke dalam hukum pidana
nasional, pendekatan jawābir dan zawājir patut menjadi
pertimbangan. Artinya jika dengan pendekatan zawājir (hukum
minimal) tujuan penerapan sanksi dapat tercapai, maka pendekatan
jawābir (hukum maksimal) yang disebutkan secara eksplisit dalam
nash tidak pelu lagi diterapkan.

253
Makhrus Munajat,”Penegakkan Supremasi Hukum di Indonesia
dalam Perspektif Islam”, dalam Asy-Syir`ah, (Yogyakarta: Fakultas Syari`ah
IAIN Yogyakarta, 2001), hlm. 66.

Hukum Pidana Islam | 161 |


| 162 | Hukum Pidana Islam
BAB IX IX
BAB
TINDAK
TINDAK PIDANA
PIDANA PENUDUHAN
PENUDUHAN ZINA
ZINA

BAB IX
ngertian Penuduh TINDAK PIDANA PENUDUHAN ZINA
Palsu Zina (Qazf)
tian Penuduh Palsu Zina (Qazf)
ncemaran nama baik dalam kajian hukum pidana Islam
maran nama baik dalam kajian hukum pidana Islam
dalam jari>mah qaf. Qaf artinya ar-ramyu bi al-hajarah
m jari>mah qaf. Qaf artinya ar-ramyu bi1 al-hajarah
iha (melempar dengan batu atau sepadannya). 1 Qaf dalam
melemparA. dengan
Pengertianbatu
Penuduh Palsu
atau Zina (Qazf)
sepadannya). Qaf dalam
a hukum syara' ada dua macam, yaitu qa  f yang
Pencemaran nama baik dalam kajian hukum pidana Islam
diancam
kum syara' ada dua
dibahas dalam
hukuman h}add dan qa macam,
f yang
jarīmah
yaitu
qaźf. Qaźf
qa  f yang
artinya ar-ramyu
diancam diancam
dengan bihukuman
al-hajarah
man
Yangh}add aw dan
nahwiha
dimaksud qa f f yang
qa(melempar dengan
yangdiancam
diancam batu atau sepadannya).
dengan
dengan hukuman
hukum Qaźf
h}add
254

dalam pandanga hukum syara’ ada dua macam, yaitu qaźf yang
dimaksud qadengan
diancam f yanghukumandiancam dengan
ḥadd dan qaźf yanghukum
diancamh}add
dengan
hukuman ta’zīr. Yang dimaksud qaźf yang
2 diancam dengan hukum
h}add adalah:
  
Menuduh orang muhsan dengan255tuduhan
 zina
 atau

2

an orang muhsan
nasabnya.
duh Menuduh orang muhsan dengan tuduhan zina atau
dengan tuduhan zina atau
menafikan nasabnya.
sabnya. arti qaf yang diancam dengan hukum ta'zi>r
Sedangkan
Sedangkan arti qaźf yang diancam dengan hukum ta’zīr
qaf yang diancam dengan hukum ta'zi>r
ngkan artiadalah:
3
256   
3 Menuduh dengan tuduhan selain zina atau menghilangkan
nasabnya,
Menuduh dengan tuduhan
baik
selain

orang yangdituduh
zina  itumenghilangkan
atau  atau
muḥṣan bukan

nasabnya, baik orang
muḥṣan.yang dituduh itu muh}s}an atau bukan
duh dengan tuduhan selain zina atau menghilangkan
muh}s}an.
nya, baik orangAs-Sayid
yangSābiq,
254 dituduh itu muh}s}an atau bukan
Fiqh al-Sunnah, juz II, (Beirut: Dār al-Fikr, 1992),
hlm. 372.
as}an.
f jenis kedua ini Abdmencakup
255
perbuatan
Qadīr Awdah, at-Tasyrī’ mencaci
al-Jinā’ī maki
al-Islāmī, Juz orang
II, (Beirut: Dār
al-Kitāb al-’Arabī, t.t.), hlm. 455.
at dikenakan hukuman ta'zi>r. Adapun qaf yang terkait
256
Ibid.

nis kedua ininama


pencemaran mencakup perbuatan
baik yang diancam mencaci maki
dengan orang
hukuman
af yang dimaksud
kenakan hukumandengan
ta'zi>r. | 163 |
Adapun
pencemaran qaf baik
nama yangadalah:
terkait
emaran nama baik yang diancam dengan hukuman
Qaźf jenis kedua ini mencakup perbuatan mencaci maki orang
dan dapat dikenakan hukuman ta’zi>r. Adapun qaźf yang terkait
dengan pencemaran nama baik yang diancam dengan hukuman h}
add. Qaźf yang dimaksud dengan pencemaran nama baik adalah:

4
257
Qaźf
Qa adalah
f adalah ungkapan
ungkapan tentang
tentang penuduhan
penuduhan seseorangseseorang
kepada
kepada
orang lainorang
denganlain dengan
tuduhan zina,tuduhan zina,
baik dengan baik dengan
terang-terangan
terang-terangan
atau sindiran. atau sindiran.

Contoh
Contohtuduhan
tuduhanyang
yang jelas adalah
jelas anta anta
adalah zānī (engkau
za>ni> berzina),
(engkau
sedang tuduhan sindirian adalah menasabkan orang kepada selain
berzina), sedang tuduhan sindirian adalah menasabkan orang kepada
ayahnya. Qaźf dalam arti tindak pidana yang diancam dengan
selain ayahnya. Qaf dalam arti tindak pidana yang diancam dengan
hukuman h}add tidak diatur dalam hukum pidana di Indonesia.
hukuman h}add Indonesia
Hukum pidana tidak diaturhanyadalam hukum pidanatentang
membicarakan di Indonesia.
tindak
Hukum pidana Indonesia hanya membicarakan
pidana pencemaran nama baik pada umumnya, seperti disinggung tentang tindak
dalam Pasal
pidana 530. Misalnya:
pencemaran nama baik Orang
pada yang denganseperti
umumnya, lisan menyerang
disinggung
kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan
dalam Pasal 530. Misalnya: Orang yang dengan lisan menyerang
suatu hal, atau
kehormatan dengan
nama maksud
baik orangsupaya orang cara
lain dengan lainmenuduhkan
tercemar.
Mencemarkan
suatu hal, dengannama
maksudbaik
supayaseseorang
orang laindengan tulisan
tercemar. gambar,
Mencemarkan
tulisan atau poster yang disiarkan, ditempel atau dipertunjukkan.
nama baik seseorang dengan tulisan gambar, tulisan atau poster yang
Memfitnah
disiarkan, juga dianggap
ditempel melakukan tindak
atau dipertunjukkan. pidanajuga
Memfitnah pencemaran
dianggap
nama baik yakni, jika si penuduh tidak dapat
melakukan tindak pidana pencemaran nama baik yakni, jika si membuktikan
kebenaran apa yang dituduhkannya.
penuduh tidak dapat membuktikan kebenaran apa yang
dituduhkannya.
B. Dasar Hukum Delik Menuduh Zina
B. YangDasarmenjadi landasan
Hukum Delik Menuduhhukum Zinaadanya tindak pidana
pencemaran
Yang nama baiklandasan
menjadi dalam Islam adalah:
hukum adanya tindak pidana
pencemaran nama baik dalam Islam adalah:
257
Abduraḥman al-Jazīrī, Kitāb al-Fiqh ‘alā Mażāhib al-Arba’ah, juz V,
(Beirut: Dār al-Fikr, t.t.), hlm. 212.

| 164 | Hukum Pidana Islam

4
         

         



     
 
 

 
 
 
 


 
  
 
 
 
 




 

 
 


258

Dan orang yang menuduh wanita baik-baik berbuat zina dan


tidakorang
Dan dapatyang
mendatangkan
menuduhempat wanitaorang saksi, maka
baik-baik berbuatderalah
zina
mereka Dan
dengan orang yang
delapan menuduh
puluh wanita
kali baik-baik
deraan dan berbuat
jangan zina dan
terima
dan tidak dapat mendatangkan empat orang saksi,zina
Dan orang yang menuduh wanita baik-baik berbuat makadan
tidak
tidak dapat
dapat mendatangkan
mendatangkan empat
empat orang
orang saksi,
saksi, maka
maka deralah
deralah
deralah mereka
kesaksian mereka
mereka
dengan
untukdelapan puluh
selama-lamanya. kaliDan
deraan dan
mereka
mereka dengan
dengan delapan
delapan puluh
puluh kali
kali deraan
deraan dan
dan jangan
jangan terima
terima
jangan terima
termasuk kesaksian
orang-orang yangmereka
fasik. untuk selama-lamanya.
kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Dan mereka
kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Dan mereka

       


Dan mereka termasuk
termasuk
termasuk orang-orang
orang-orang
orang-orang yang fasik.yang fasik.
yang fasik.

  

 
  
  
  


259


 

Sesungguhnya
Sesungguhnya orang yang
orang
Sesungguhnya
Sesungguhnya yang menuduh
orang
orang menuduh
yang
yang menuduh
menuduhwanita
wanita
wanitabaik-baik,
wanitabaik-baik,
baik-baik,
baik-baik,
lengah lengah
lagi lagi
beriman beriman (berbuat
(berbuat zina) zina) mereka
mereka terkena
terkena laknat di
laknat di
lengah lagi beriman (berbuat zina) mereka terkenalaknat
lengah lagi beriman (berbuat zina) mereka terkena laknatdi
dunia
dunia dan
dan akhirat
akhirat dan
dan bagi
bagi mereka
mereka azab
azab yang
yang besar.
besar.
didunia dan
dunia akhirat
dan dan dan
akhirat bagi bagi
mereka azab yang
mereka azabbesar.
yang besar.
Hadis
Hadis Nabi:Nabi:
HadisHadis
Nabi: Nabi:



 









 
260













Dari Abu Hurairah
5 dari(4).
5Q.S an-Nu>r ayat:
Q.S an-Nu>r ayat: Nabi s.a.w. bersabda: Jauhilah
(4).
tujuh macam perbuatan yang merusak. “para sahabat
6
6Q.S an-Nu>r ayat: (23).
Q.S an-Nu>r ayat: (23).
5
bertanya”:
6
Q.S an-Nu>rWahai Rasulullah apakah yang tujuh perkara
ayat: (4).
Q.S an-Nu>r ayat: (23).
Q.S an-Nūr ayat: (4).
258

Q.S an-Nūr ayat: (23).


259

260
Imām al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Juz IV, (Beirut: Dār al-Fikr, 1981),
hlm: 33-34.

Hukum Pidana Islam | 165 |


itu? Nabi menjawab: Menyekutukan Allah, sihir,
membunuh jiwa tanpa alasan yang hak, memakan riba,
memakan harta anak yatim, lari pada waktu pertempuran
dan menuduh wanita baik-baik bariman dan lengah
berbuat zina.

Korban dari tuduhan palsu zina bisa perempuan dan bisa


laki-laki. Perempuan baik-baik dinyatakan secara jelas dalam ayat
sebagai contoh karena tuduhan palsu zina terhadap perempuan
lebih serius dan lebih jahat sifatnya ketimbang tuduhan palsu
terhadap laki-laki.261
Tuduhan berbuat zina dianggap tidak terbukti apabila satu atau
lebih dari empat saksi yang dipanggil untuk mendukung tuduhan
tersebut menolak bersaksi atau bersaksi tetapi kesaksian mereka
bertentangan dengan tuduhan tersebut; dan apabila terjadinya
seperti itu masing-masing dari saksi yang memberikan bukti
pendukung tuduhan tersebut harus dianggap telah melakukan
pelanggaran qażf.

C. Transformasi Pemikiran tentang Delik Menuduh Zina


(Qażf)
Qażf adalah suatu pelanggaran karena melakukan tuduhan
zina terhadap seorang muslim yang akil baligh dan dikenal suci
yang tidak dapat dibuktikan dengan empat orang saksi. Termasuk
pelanggaran qażf adalah setiap orang yang membuat pernyataan
secara tegas bahwa orang tertentu telah melakukan zina atau
secara tersirat mengatakan bahwa seseorang bukan orang tua
atau bukan keturunan dari individu atau orang tertentu. Sebuah
pernyataan dianggap qażf apabila dibuktikan oleh empat orang
saksi laki-laki; dan jika tidak terbukti maka orang yang membuat

261
Ibid., hlm. 68-69.

| 166 | Hukum Pidana Islam


pernyataan tersebut bersalah melakukan suatu pelanggaran qażf;
tetapi apabila pernyataan tersebut terbukti, orang yang kepada
siapa pernyataan ditujukan bersalah melakukan pelanggaran
zina.
Unsur tindak pidana dalam jarīmah qażf ini ada tiga, yaitu (1)
menuduh zina atau mengingkari nasab; (2) orang yang dituduh
itu muḥṣan, dan bukan pezina; 3) ada itikad jahat. Orang yang
menuduh zina itu harus membuktikan kebenaran tuduhannya.262
Tuduhan zina itu harus diucapkan dalam bahasa yang tegas
(eksplisit), seperti “hai pezina”, atau “Aku telah melihatmu
berzina”.263 Sementara itu, terhadap tuduhan yang berupa sindiran
harus ada bukti-bukti lain yang menunjukkan maksud qażf. Untuk
menuduh zina tidak disyaratkan menggunakan kata-kata tuduhan,
tapi cukup dengan membenarkan tuduhan. Contohnya, A berkata
kepada B, “Ibumu pezina”, kemudian C berkata, “Itu benar”,
maka A dan C sama-sama penuduh zina. Namun demikian, dalam
tuduhan disyaratkan sasarannya atau orang yang dituduh itu harus
jelas. Dalam tindak pidana ini juga disyaratkan adanya gugatan
(pengaduan) dari orang yang terkena tuduhan zina.264 Pembuktian
dalam tindak pidana ini dapat diperoleh baik melalui pengakuan
terdakwa maupun alat bukti dua orang saksi.265
Rincian dari perbuatan yang dapat dikategorikan menuduh
palsu zina adalah sebagai berikut:
1. Adanya tuduhan zina atau menghilangkan nasab.
Unsur dapat terpenuhi apabila pelaku menuduh korban
dengan tuduhan melakukan zina atau tuduhan menghilangkan
nasabnya, dan ia pelaku tidak mampu membuktikan apa yang

262
H. A. Djazuli, Fiqh Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam
Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1996), hlm. 66.
263
Ibid., hlm. 69.
264
H. A. Djazuli, Fiqh..., hlm. 66-67.
265
As-Sayid Sābiq, Fiqh..., juz II, hlm. 372-74.

Hukum Pidana Islam | 167 |


Rincian
Rincian daridari perbuatan
perbuatan yangyang dapat
dapat dikategorikan
dikategorikan menuduh
menuduh
palsu zina adalah
palsu zina adalah sebagai
sebagai berikut:
berikut:
1.
1. Adanya
Adanya tuduhan
tuduhan zina
zina atau
atau menghilangkan
menghilangkan nasab.
nasab.
Unsur dapat
Unsur dapat terpenuhi
terpenuhi apabila
apabila pelaku
pelaku menuduh
menuduh korban
korban dengan
dengan
dituduhkanya.
tuduhan melakukan zina atau tuduhan menghilangkan nasabnya,hadd
tuduhan Tuduhan
melakukan yang
zina atau pelakunya
tuduhan dikenai
menghilangkan hukuman
nasabnya, dan
dan
harus memenuhi
ia pelaku syarat-syarat
tidak mampu seperti
membuktikanberikutapa
ia pelaku tidak mampu membuktikan apa yang dituduhkanya. ini:
yang dituduhkanya.
a. Tuduhan
Kata-kata
Tuduhan yang tuduhan
yang pelakunya harus jelas
pelakunya dikenai
dikenai hukuman
hukuman danhadd
tegas,
hadd harus
harusyaitu tidak
memenuhi
memenuhi
mengandung
syarat-syarat seperti pengertian
berikut
syarat-syarat seperti berikut ini: ini: lain selain tuduhan zina.
Adapun
a. tuduhan
a. Kata-kata
Kata-kata yang bersifat
tuduhan
tuduhan harus jelas
harus kinayah
jelas dan hukumnya
dan yaitu masih
tegas, yaitu
tegas, tidak
tidak
diperselisihkan
mengandung oleh ulama.
pengertian lain selain tuduhan
mengandung pengertian lain selain tuduhan zina. Adapun zina. Adapun
b. Orang yang dituduh
tuduhan
tuduhan yang harus jelas,
yang bersifat
bersifat jika yang
kinayah
kinayah dituduh masih
hukumnya
hukumnya tidak
masih
jelas diperselisihkan
maka pelaku tidak
oleh dapat
ulama.
diperselisihkan oleh ulama. dikenakan hukuman h}
add.
b. Orang yang dituduh harus jelas, jika yang dituduh
b. Orang yang dituduh harus jelas, jika yang dituduh tidak jelas tidak jelas
2. Orang yang maka
maka dituduh
pelaku harus
pelaku tidak
tidak muḥṣan
dapat
dapat dikenakan hukuman
dikenakan hukuman h}add.
h}add.
Orang
2. Orang
2. Orangyang
yang
yang menjadi
dituduh obyekmuh}s}an
harus
dituduh harus dalam tindak pidana ini adalah
muh}s}an
muḥṣan artinya Orangorang
Orang yang yang terjaga
yang menjadi
menjadi obyek atau
obyek dalamorang
dalam tindakbaik-baik
tindak ini (iḥṣān)
pidana ini
pidana adalah
adalah
untuk muh}s}an
maqżūf artinya
muh}s}an (tertuduh).
artinya orang Dasar
yang
orang yang hukum
terjaga
terjaga atau untuk
orang
atau orang syarat(ih}s}a>n)
baik-baik
baik-baik di atas
(ih}s}a>n)
adalah:untuk maqu>f
untuk maq u>f (tertuduh).
(tertuduh). Dasar
Dasar hukum
hukum untuk
untuk syarat
syarat di
di atas
atas adalah:
adalah:


     
 
  
 
 
  


  


    
    
    
   
 

 



266
 
 
 


Dan Dan
orang
Dan orang
yang
orang yang menuduh
menuduh
yang wanita
wanita baik-baik
menuduh wanita berbuat
baik-baik
baik-baik zina
berbuat
berbuat dan
zinazina
dan
tidak dapat mendatangkan empat orang saksi, maka deralah
dan tidak dapatmendatangkan
tidak dapat mendatangkan empat
empat orangorang saksi,deralah
saksi, maka maka
mereka dengan delapan puluh kali deraan dan jangan terima
deralah mereka dengan delapan puluh kali deraan dan
mereka dengan delapan puluh kali deraan dan jangan terima
jangan terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya.
Dan 13
mereka
13Q.S termasuk
Q.S An-Nur
An-Nur ayat (4).orang-orang yang fasik.
ayat :: (4).

266
Q.S An-Nur ayat : (4).

| 168 | Hukum Pidana Islam


kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Dan mereka
termasuk orang-orang yang fasik.

       



Sesungguhnya
Sesungguhnyaorang-orang
orang-orangyang
yang menuduh wanita
menuduh wanita baik-
baik-baik
baik dan lengah lagi beriman (berbuat zina) mereka kena
dan lengah lagi beriman (berbuat zina) mereka kena laknat
laknat
di di dunia
dunia dan akhirat
dan akhirat dan bagidan bagiazab
mereka mereka azab yang
yang pedih.
pedih.
Dalam surat an-Nur ayat 4 yang dimaksud dengan ih}s}a>n
Dalam
adalahsurat an-Nur
al-'iffah minaayat 4 yang
al-zina> dimaksud
(bersih dengan
dari zina), iḥṣānlain
pendapat adalah
lafad
al-’iffahmuh}s}a>n
mina al-zinā (bersih
diartikan dari zina), pendapat
al-h}urriyyah (merdeka), lain
15
lafad muḥṣān
sedangkan dalam
diartikansuratal-ḥurriyyah
an-Nur ayat (merdeka), 267
sedangkan
23 arti muh}s}a>na>t dalam
adalah surat an-
al-gha>fila>t
Nur ayat 23 arti
(lengah) muḥṣānāt
diartikan adalah(bersih)
al-'afa>if al-ghāfilāt
dan (lengah)
diartikan diartikan
juga al-
al-’afāifmu'mina>t
(bersih) dan diartikan
(mukmin) juga al-mu’mināt
artinya muslimah. Dari (mukmin)
kedua ayatartinyaitu
bahwa syarat ihsan bagi maq 
muslimah. Dari kedua ayat itu disimpulkan bahwa syarat ihsan
disimpulkan u>f adalah iman (Islam)
16
bagi maqżūf
merdeka adalah iman
dan iffah (Islam) merdeka dan iffah (bersih)268
(bersih)
3. Adanya Niat Melawan Hukum (al-qas}d al-jina>'i>)
3. Adanya Niat
UnsurMelawan
melawanHukum (al-qaṣd
hukum dalam al-jinā’ī)
tindak pidana pencemaran
nama baik terpenuhi jika qa>
Unsur melawan hukum dalam tindak pidana pencemaran
if tahu bahwa perbuatan nama
itu dilarang
baik terpenuhi
dan jika jika qāżif tahu
dilakukan bahwa perbuatan
bertentangan itu dilarang
dengan hukum. dan jika
Ketentuan ini
dilakukan bertentangan dengan hukum. Ketentuan ini didasarkan
didasarkan kepada ucapan Rasulullah s.a.w. kepada Hilal ibn
kepadaUmayyah
ucapan Rasulullah s.a.w. kepada
ketika ia menuduh istrinyaHilal ibndengan
berzina Umayyah ketika
Syarik ibn
Sahma:istrinya berzina dengan Syarik ibn Sahma:
ia menuduh
14

Ahmad
 
Muslih, Hukum
 Pidana
Islam,
(Jakarta:
 Sinar

Q.S An-Nur ayat : (23).
15
Wardi
Grafika, 2005), hlm. 65.
16
Abd Qadi>r Awdah, at-Tasyri>'…, Juz II, hlm. 474.
…buktikan, jika…buktikan,
tidak jikahukuman
tidak hukumanhaddhadd akanakandiberikan
diberikan
kepadamu.
damu.
Maksud Ahmad Wardi Muslih,
267
melawan hukum Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinarbentuk
merupakan Grafika,
2005), hlm. 65.
nggungjawaban pidana Abd Qadīr seseorang,
268
artinya
Awdah, at-Tasyrī’…, bentuk
Juz II, hlm. 474. pembebanan

da seseorang akibat perbuatan melakukan sesuatu yang dilarang


tidak berbuat sesuatu yang seharusnyaHukum Pidana Islamdengan
dikerjakan | 169 |

auan sendiri dan ia tahu akan akibat-akibat dari berbuat atau


berbuat.17 maka pertanggungjawaban pidana dapat ditegakkan
ada seseorang akibat perbuatan melakukan sesuatu yang dilarang
u tidak berbuat sesuatu yang seharusnya dikerjakan dengan
mauan sendiri dan ia tahu akan akibat-akibat dari berbuat atau
ak berbuat.17 makaMaksud melawan
pertanggungjawaban hukum pidana merupakan bentuk
dapat ditegakkan
pertanggungjawaban
ena adanya tiga hal: pidana seseorang, artinya bentuk
pembebanan kepada seseorang akibat perbuatan melakukan
Adanya perbuatan
sesuatu yangyang dilarang
dilarang untuk
atau tidak dikerjakan
berbuat atauseharusnya
sesuatu yang adanya
dikerjakan
perintah untuk dengan kemauan sendiri dan ia tahu akan akibat-akibat
dikerjakan.
dari berbuat atau tidak berbuat.269 maka pertanggungjawaban
Adanya sikap berbuat atau tidak berbuat dan atas kehendak atau
pidana dapat ditegakkan karena adanya tiga hal:
kemauan sendiri
a. Adanya perbuatan yang dilarang untuk dikerjakan atau adanya
elaku mengetaui perintah untuk dikerjakan.
akibat-akibat dari perbuatan yang dilakukan.18
b. Adanya sikap berbuat atau tidak berbuat dan atas kehendak
Dengan adanya syarat seperti tersebut di atas, dapat dipahami
atau kemauan sendiri
wa yang dapat dibebani
c. Pelaku hukumakibat-akibat
mengetaui adalah manusia dari sebagai
perbuatansubyek
yang
um dan harusdilakukan.
270
memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti dewasa,
Dengan adanya syarat seperti tersebut di atas, dapat dipahami
akal dan atasbahwakehendak
yang dapatsendiri
dibebani(bukan adanyamanusia
hukum adalah paksaan).
sebagaiSyarat-
subyek
rat lain danhukum dan adalah
berkait harus memenuhi
mengenai syarat-syarat tertentu, hukum.
sifat melawan seperti dewasa,
Sifat
awan hukum berakalmerupakan
dan atas kehendak
unsur sendiri (bukan
dari adanya paksaan).
jarimah sebagai Syarat-
telah
syarat lain dan berkait adalah mengenai 19 sifat melawan hukum.
raikan padaSifatbabmelawan
unsur-unsur jari>mah.unsur
hukum merupakan Unsur melawan
dari jarimah hukum
sebagai telah
diuraikan pada bab unsur-unsur jarīmah.
ak selamanya disinggung secara jelas dalam ayat, adakalanya 271
Unsur melawan hukum
tidak selamanya disinggung secara jelas dalam ayat, adakalanya
sifat larangan yang tegas adakalanya bersifat pengecualian
bersifat larangan yang tegas adakalanya bersifat pengecualian
kecuali dengan hak)dengan
(terkecuali sepertihak)
dalam firman
seperti dalam Allah:
firman Allah:
 


Artinya: jangan kamu membunuh jiwa yang diharamkan
17
Ahmad Hanafi,Allah kecuali ada
Asas-Asas alasanPidana
Hukum yang hak…
Islam, (Jakarta: Bulan
tang, 1967), hlm. 154.
18
Abd. Qadi>r269Awdah, at-Tasyri>’…, juz I, hlm. 380.
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan
19
Haliman,
Bintang, 1967), hlm. 154.Islam Menurut Adjaran Ahli Sunnah Wal
Hukum Pidana
270
ma’ah, (Jakarta: Bulan Abd. Qadīr Awdah,
Bintang, at-Tasyrī’…,
1968), hlm. 111.juz I, hlm. 380.
271
Haliman, Hukum Pidana Islam Menurut Adjaran Ahli Sunnah Wal
Jama’ah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1968), hlm. 111.

| 170 | Hukum Pidana Islam


Artinya: jangan kamu membunuh jiwa yang diharamkan
Allah kecuali ada alasan yang hak…

Ayat lain
Ayatyang
lain menggambarkan
yang menggambarkan bagimana
bagimanasifat
sifat melawan
melawan
hukumhukum
seseorang dapat
seseorang dimintai
dapat dimintaipertanggungjawaban 
pidana.
pertanggungjawaban pidana.

 

 


Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina,
MakaPerempuan
deralah yang
tiap-tiap seorang
berzina dari yang
dan laki-laki keduanya
berzina,seratus
Maka
dali dera,
deralahdan janganlah
tiap-tiap seorangbelas kasihanseratus
dari keduanya kepadadalikeduanya
dera, dan
mencegah
janganlahkamu
belas untuk (menjalankan)
kasihan kepada agama Allah,
keduanya mencegah kamu
jika kamu
untuk beriman kepada
(menjalankan) Allah,
agama danjika
Allah, harikamu
akhirat, dan
beriman
hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan
kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan)
oleh hukuman
sekumpulan orang-orang
mereka yangsekumpulan
disaksikan oleh beriman. orang-orang
yang beriman.
Ayat ini menggambarkan adanya pertanggungjawaban pidana
bagi pezina Ayat
yakniinidicambuk 100 kali,
menggambarkan adanyakarena sebelumnya adanya
pertanggungjawaban pidana
peringatan tentang
bagi pezina larangan
yakni dicambukzina,
100 yakni ayat sebelumnya
kali, karena wa lā taqrabu>
adanya
al-zina> (al-Isratentang
peringatan ayat: larangan
32), maka zina,ketika
yakni ada
ayat larangan kemudian
wa la> taqrabu> al-
terjadizina>
perbuatan yang32),melanggar
(al-Isra ayat: maka ketika hokum,
ada larangansementara orang
kemudian terjadi
tersebut mengetahui
perbuatan yang akibat-akibatnya,
melanggar hokum, disementara
sinilah letak
orangmelawan
tersebut
hukummengetahui
sehingga pelaku dapat dipidana.
akibat-akibatnya, di sinilah letak melawan hukum
Berikutnya adalah
sehingga pelaku surat
dapat al-Maidah ayat 33:
dipidana.
Berikutnya adalah surat al-Maidah ayat 33:

Hukum Pidana Islam | 171 |






   
   
 
 
Sesungguhnya
Sesungguhnya pembalasan terhadaporang-orang
pembalasan terhadap orang-orangyang
yangmemerangi
memerangi AllahAllah
dan dan
rasul-Nyarasul-Nya
dan membuat
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yangdan membuat
kerusakan di
kerusakan
muka di muka
bumi,
memerangi bumi,
hanyalah
Allah hanyalah
mereka
dan rasul-Nya danmereka
dibunuh ataudibunuh
membuat disalib, atau
kerusakan atau
di
disalib, atau
dipotong dipotong
tangan dan tangan
kaki dan
mereka kaki
dengan mereka dengan
bertimbal
muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau balik
bertimbal
atau balik ataudan
bersilang
dipotong tangan bersilang
atau atau dengan
kakidibuang
mereka dibuang
dari dari (tempat
negeri
bertimbalnegeri
balik
(tempat kediamannya).
kediamannya). Yang Yang demikian
demikian ituitu
atau bersilang atau dibuang dari negeri (tempat (sebagai)
(sebagai) suatu
suatu
penghinaan untuk
penghinaan
kediamannya). mereka
untuk mereka
Yang didunia,
didunia,dan
demikian itudidi(sebagai)
dan akhirat
akhirat mereka
mereka
suatu
beroleh siksaan
beroleh yang
siksaan
penghinaan yang
untuk besar.
besar. didunia, dan di akhirat mereka
mereka
beroleh siksaan yang besar.
Dari ayatDariini dapat
ayat diketahui
ini dapat diketahuiadanya sifatmelawan
adanya sifat melawan hukum
hukum dari
dari delik itu
delik Darisendiri,
itu sendiri, yaknidiketahui
yakni bagi siapa
bagi
ayat ini dapat siapa yang yang
sifatmemerangi
memerangi
adanya hukum hukum
Allah
melawan hukum dan
dari
Allah dan
delikRasul-Nya,
Rasul-Nya, maka
itu sendiri, maka
yakni baginya
baginya
bagi siapa adalah
adalah
yanghukum hukum
memerangibunuh,bunuh, disalib
disalib
hukum Allah atau
dan
atau dipotong
dipotong
Rasul-Nya, tangan
maka dan
tangan dan kaki secara
kaki adalah bersilang
secara
baginya bersilang atau atau diasingkan.
diasingkan.
hukum bunuh, disalib atau


dipotong tangan dan kaki secara bersilang atau diasingkan.


 
 
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi
apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.
dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

| 172 | Hukum Pidana Islam


Dari ayat di atas dapat diketahui adanya unsur melawan
hukum dari sifat delik itu sendiri seperti diungkapkan oleh Syarbinī
al-Khaṭīb bahwa unsur pidana dalam delik pencurian dapat dilihat
dari sifat kezaliman seseorang yang mengambil harta orang lain.
Pengertian ini dilihat dari definisi yang dibuatnya bahwa mencuri
adalah mengambil harta secara sembunyi-sembuni dengan cara
aniaya atau zalim dari tempat persembunyiannya dengan syarat
tertentu.272
Di dalam Al-Qur’an, delik menuduh zina ditegaskan bahwa
fitnah dalam persoalan ini akan sangat mengganggu ketertiban
dalam masyarakat. Bahkan pada saat ayat yang berkaitan dengan
delik ini turun (an-Nur :4) kondisi umat Islam dalam keadaan
kacau, karena tidak jelasnya hukum apa yang akan diterapkan
sebelumnya. Bahkan hampir terjadi peperangan antara sahabat
golongan Aus dan sahabat golongan Khazraj, karena fitnah
tersebut.273 Oleh karena itu, di dalam penerapannya sangat
pantas diterapkan berlaku surut, artinya kejadian peristiwanya
lebih awal dibandingkan dengan nash yang mengaturnya.
Setalah adanya ketegasan dalam surat an-Nur ayat (4), akhirnya
Nabi memerintahkan mencambuk 80 kali terhadap sang qāżif
(pemfitnah).274 Persoalan ini tampaknya sepele, sehingga lontaran
atau tuduhan terhadap orang lain berbuat zina (keji) sudah hal
yang biasa di Indonesia. Bahkan dalam kasus perceraian dengan
alasan zina bukan hal yang tabu untuk dibeberkan di muka umum.
Hal ini dikarenakan tidak ada sanksi yang tegas baik dalam kasus
perzinaan atau tuduhan terhadap perzinaan.
Islam menghukum orang yang menuduh zina orang lain tanpa

272
Syarbinī al-Khaṭīb, Mughnī al-Muḥtāj, juz IV, (Beirut: Dār al-Fikr, t.t.),
hlm. 158
273
Hanafi, Asas-asas...hlm. 85.
274
Orang yang dicambuk adalah kaum munafik yang bernama Hizah,
Hilah. Demikian menurut pendapat yang dikutip as-Sayid Sābiq, Fiqh…, juz II,
hlm. 377.

Hukum Pidana Islam | 173 |


bukti yang kuat dengan 80 kali cambukan dan tidak menerima
persaksiannya sampai dia bertaubat. Pemberian hukuman ini tidak
hanya karena kebohongannya saja, tetapi juga karena pencemaran
nama baik orang yang dituduh di tengah-tengah masyarakat.
Hukuman bagi penuduh zina ini adalah hukuman fisik, yaitu 80
kali cambuk, dan juga hukuman non fisik dengan tidak menerima
persaksiannya. Hal ini menunjukkan supaya orang tidak semena-
mena dan gampang menuduh zina orang lain serta orang telah
melakukan supaya tidak mengulangi perbuatannya. Dihukum 80
kali cambukan karena memang dosa penuduh zina lebih kecil dari
pada pelaku zina, dan tidak diterima persaksiannya karena kalau ia
tidak bertaubat berarti dia dianggap sebagai seorang pembohong,
dan persaksian hanya dapat diterima dari orang yang jujur.275

D. Transformasi Pemikiran tentang Sanksi Delik Menuduh


Zina (Qażf)
Di Indonesia, bentuk hukuman apapun yang terkait dengan
tindak pidana menuduh palsu zina belum ditemukan. Demikian
juga dalam KUHP maupun konsep KUHP 2008 berdasarkan
pengamatan peneliti belum ada satupun ayat yang secara spesifik
mengatur tentang delik menuduh palsu zina. Adapun pasal yang
dimuat lebih bersifat umum, yakni menyerang kehormatan,
pencemaran nama baik. Menyerang kehormatan dan pencemaran
nama baik dapat terjadi pada berbagai kasus, seperti dituduh
korupsi, dituduh menyuap, dituduh menggelapkan barang.
Berikut peneliti kutip konsep KUHP tentang delik pencemaran
nama baik yang dimuat di beberapa pasal:
Pasal 530
(1) Setiap orang yang dengan lisan menyerang kehormatan atau
nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal,

275
al-Jurjāwī, Ḥikmah at-Tasyrī’…, hlm. 299-300.

| 174 | Hukum Pidana Islam


dengan maksud supaya orang lain tercemar dipidana (satu)
tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II.
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan,
dipertunjukkan, atau ditempelkan di tempat umum, pembuat
tindak pidana dipidana karena pencemaran tertulis, dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau dipidana denda
paling banyak Kategori III.
(3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika
perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
nyata-nyata dilakukan untuk kepentingan umum atau karena
terpaksa untuk membela diri.

Bagian Kedua
Pasal 531
(1) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 530 diberi kesempatan membuktikan kebenaran hal
yang dituduhkan tetapi tidak dapat membuktikannya, dan
tuduhan tersebut bertentangan dengan yang diketahuinya,
dipidana karena fitnah, dengan pidana penjara paling singkat
1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun atau pidana
denda paling sedikit Kategori III dan paling banyak Kategori
IV.
(2) Pembuktian kebenaran tuduhan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), hanya dapat dilakukan dalam hal:
a. hakim memandang perlu untuk memeriksa kebenaran
tuduhan tersebut guna mempertimbangkan keterangan
terdakwa bahwa terdakwa melakukan perbuatan tersebut
untuk kepentingan umum atau karena terpaksa membela
diri; atau
b. pegawai negeri dituduh melakukan suatu hal dalam
menjalankan tugas jabatannya.

Hukum Pidana Islam | 175 |


terdakwa melakukan perbuatan tersebut untuk kepentingan
umum atau karena terpaksa membela diri; atau
b. pegawai negeri dituduh melakukan suatu hal dalam
menjalankan tugas jabatannya.
(3) Pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat
dilakukan, jika hal
(3) Pembuktian yang dituduhkan
sebagaimana tersebut
dimaksud pada hanya
ayat (2) tidakdapat
dapat
dituntut atas pengaduan,
dilakukan, jika hal yangdan pengaduan
dituduhkan tidak
tersebut diajukan.
hanya dapat dituntut
atas pengaduan, dan pengaduan tidak diajukan.
Dengan demikian, perlu adanya pemikiran yang bijaksana dan
obyektif dalam rangka
Dengan mengintegrasikan
demikian, hukum yang
perlu adanya pemikiran pidana Islam dan
bijaksana ke
dalam pembentukan
obyektif dalam hukum pidana nasional.hukum
rangka mengintegrasikan Jika memungkinkan
pidana Islam ke
dengandalam
cara pembentukan
pengungkapan hukummateri hukum
pidana Islam
nasional. secara
Jika eksplisit
memungkinkan
ke dalam Rancangan
dengan Undang-undang
cara pengungkapan KUHPIslam
materi hukum . Namun, jika tidak
secara eksplisit ke
memungkinkan diungkapkan
dalam Rancangan prinsip-prinsip
Undang-undang KUHP. dan Namun,moralitasnya
jika tidak
saja. Misalnya bentuk
memungkinkan hukumanprinsip-prinsip
diungkapkan atas penuduh danzina tidak sama
moralitasnya saja.
persis Misalnya
seperti yang
bentukdisebut
hukumandalam Al-Qur’an,
atas penuduh yaknisamabahwa
zina tidak persis
hukuman bagi
seperti yangorang
disebutyang
dalammenuduh
Al-Qur'an, zina
yakni tapi
bahwa tidak
hukumanterbukti
bagi
(qaźf) adalah dicambuk
orang yang menuduhdelapan
zina tapipuluh cambukan
tidak terbukti (qaf)dan tidak
adalah boleh
dicambuk
menjadi saksi untuk selama-lamanya, kemudian orang tersebut
delapan puluh cambukan dan tidak boleh menjadi saksi untuk
diberi selama-lamanya,
gelar orang fasik. Hal ini
kemudian orangdidasarkan padagelar
tersebut diberi firman
orangAllah
fasik.
dalam surat an-Nur ayat 4:
Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam surat an-Nur ayat 4:

        

 


Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita baik-baik
(berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang
saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan
puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka
buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang
fasik.

| 176 | Hukum Pidana Islam


selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.

Mestinya dalam kasus qa>f lebih efektif jika diterapkan


hukum cambuk dan pelaksanaanya diserahkan sepenuhnya kepada
Mestinya dalam kasus qāźf lebih efektif jika diterapkan hukum
hakim. Substansi pidanya merujuk kepada jari>mah h}udu>d, akan
cambuk dan pelaksanaanya diserahkan sepenuhnya kepada hakim.
tetapiSubstansi
pada pelaksanaanya diserahkan
pidanya merujuk kepadakepada hakim.
jarīmah Setidaknya,
ḥudūd, ada
akan tetapi
materipada pelaksanaanya
khusus diserahkan
yang menyatakan bahwakepada hakim.wanita
menuduh Setidaknya, ada
baik-baik
materi
berbuat zina khusus yang menyatakan
atau menuduh laki-laki baikbahwa menuduh
berbuat wanita
zina adalah baik-
sesuatu
baik berbuat zina atau menuduh laki-laki baik berbuat
bertentangan dengan moral agama. Konsekuensi dari aturan tersebut zina adalah
sesuatu bertentangan dengan moral agama. Konsekuensi dari
pelaku dapat dikenakan sanksi. Dengan kata lain, perbuatan itu
aturan tersebut pelaku dapat dikenakan sanksi. Dengan kata lain,
dianggap sebagai
perbuatan tindak pidana,
itu dianggap sebagai karena menuduh
tindak pidana, zinamenuduh
karena adalah
24
perbuatan yang tidak
zina adalah sesuai yang
perbuatan dengan prinsip
tidak dandengan
sesuai moralitas Islam.
prinsip dan
Prosesmoralitas Proses peneliti
Islam.276hemat
ini menurut ini menurut hemat peneliti
merupakan upayamerupakan
strategis
upaya strategis legislasi hukum Islam yang bersifat
legislasi hukum Islam yang bersifat bertahap dan sejalan dengan bertahap dan
sejalan
kaidah:  dengan kaidah:

277      
Sesuatu
Sesuatu yangyang
tidaktidak dapatdicapai
dapat dicapai seluruhnya
seluruhnya jangan
jangan
ditinggalkan seluruhnya.
ditinggalkan seluruhnya.

Penerapan kaidah tersebut, jika dikaitkan dengan


Penerapan kaidah tersebut, jika dikaitkan dengan hukuman
hukuman cambuk bagi qāźf adalah delapan puluh kali cambukan.
cambuk bagi si
Namun qa>if adalah
demikian, delapan
jika ada puluhuntuk
hambatan kali cambukan. Namun
tidak menerapkan
hukuman sebagaimana ketentuan Al-Qur’an dengan berbagai
pertimbangan,
24
Arskal Salim,seperti sistem
"Politik hukumPidana
Hukum yang berlaku
Islam didi Indonesia:
Indonesia
dengan
Eksistensi memperhatikan
Historis, substansi,danstruktur
Kontribusi Fungsional Prospek dan
Masakultur
Depan"hukum
dalam
Pidanayang ada,
Islam di maka belumPeluang
Indonesia: diterima oleh semua
Prospek lapisan hukuman
dan Tantangan, (Jakarta:
cambuk
Pustaka sebanyak
Firdaus, 80 kali
2001), hlm. 259.bagi qāźf. Ketidaksempurnaan penerapan
25
Abd al-H{ami>d H{aki>m, Maba>di>' Awwaliyyah…, hlm. 44.
Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih, (Jakarta: Pranada Media, 2006), hlm. 98.
276
Arskal Salim, “Politik Hukum Pidana Islam di Indonesia: Eksistensi
Historis, Kontribusi Fungsional dan Prospek Masa Depan” dalam Pidana Islam
di Indonesia: Peluang Prospek dan Tantangan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001),
hlm. 259.
277
Abd al-Ḥamīd Ḥakīm, Mabādī’ Awwaliyyah…, hlm. 44. Djazuli,
Kaidah-kaidah Fikih, (Jakarta: Pranada Media, 2006), hlm. 98.

Hukum Pidana Islam | 177 |


belum
ali bagi qa> if. Ketidaksempurnaan
diterima oleh semua lapisan hukuman
penerapan cambuk sebanyak
hukuman 80
sesuai
bagi qa>Al-Qur'an
engankaliketentuan if. Ketidaksempurnaan
tidak berarti penerapan
hukuman hukuman
itu sesuai
harus
dengan ketentuan Al-Qur'an tidak berarti
tinggalkan sebagaimana orang yang akan mengerjakan sholat hukuman itu harus
hukuman
ditinggalkan sesuai dengan
sebagaimana orangketentuan
yang akan Al-Qur’an tidak berarti
mengerjakan sholat
elum bisa hukuman
membacaitusurat harus
al-Fatihah,
ditinggalkan
tetapi baru orang
sebagaimana
bisa membaca
yang akan
belum bisa membaca surat al-Fatihah, tetapi baru bisa membaca
asmalah, makamengerjakan
dia tidaksholat belum
wajib bisa membacasholat
mengerjakan surat al-Fatihah, tetapi
lantaran tidak
basmalah, maka dia tidak wajib mengerjakan sholat lantaran tidak
mpurna baru bisa
rukunnya. membaca
Secara basmalah,
hukum maka
(takli>f), dia tidak wajib
dia wajib mengerjakan
mengerjakan
sempurna rukunnya.
sholat Secara
lantaran tidak hukum rukunnya.
sempurna (takli>f), dia wajib
Secara mengerjakan
hukum (takli>f),
olat sholat
sesuaidiadengan kemampuan
wajibdengan
sesuai mengerjakan
yang ia
sholat sesuai
kemampuan miliki.
yang dengan Hal
Hal ini
kemampuan
ia miliki. ini sejalan
yang ia
sejalan
engandengan miliki.
kaidah: Hal ini sejalan dengan kaidah:
kaidah:

278

 
 
Sesuatu yang
Sesuatu
yang Sesuatu
mudah yangtidak
mudah
tidak mudah
gugur tidak
gugur gugur
dengan
dengan dengan
sesuatu
sesuatu sesuatu
yang
yang sulityang
sulit
sulit
Kaidah-kaidah di atas melegitimasi berlakunyahukum
hukum pidana
Kaidah-kaidah
Kaidah-kaidah di atas di atas melegitimasi
melegitimasi berlakunya hukumpidana
berlakunya pidana
Islam di Indonesia
Islam di berdasarkan kemampuan
Indonesia berdasarkan maksimal para mujtahid
lam di Indonesia berdasarkan kemampuankemampuan maksimal
maksimal para para
mujtahid
untuk mujtahid untuk mengimplementasikannya.
mengimplementasikannya. Prinsip ini dikukuhkan
Prinsip ini dikukuhkan oleh hadis
ntuk mengimplementasikannya. Prinsip ini dikukuhkan oleh hadis
Nabi: oleh hadis Nabi:
abi:   
       

   
 
279

              

Apabila Apabila aku memrintahkan
aku memrintahkan kamukamu sekaliandengan
sekalian dengan suatu
suatu
Apabila aku perintah,
perintah, maka maka kerjakanlah
memrintahkan
kerjakanlah kamu perintah
perintah sekalianitu semampu
itu semampu kalian.kalian.
dengan suatu
perintah, maka kerjakanlah perintah itu semampu kalian.
Menurut peneliti qażf bagian dari tindak pidana pencemaran
Menurut
nama baikpeneliti qafbisa
dan bahkan bagian
masukdari
padatindak
tindakpidana pencemaran
fitnah. Konsekuensi
hukumnya
nama baik
Menurut peneliti tergantung
qafbisa
dan bahkan bagiankadar
masuk kejahatannya,
pada
dari tindakpidana
tindak maka
fitnah. harus ada
Konsekuensi
pencemaran
perincian
hukumnya tegas dalam
tergantung aturan hukum maka
kadar kejahatannya, sebagaimana dalam
harus ada pasal-
perincian
ama baik dan bahkan
pasal diaturan
bisa
atas. Hanya
masuk pada
pasal-pasal
tindak fitnah.
di atas,dalam
sebagaimana
Konsekuensi
tindakdipidana
tegas dalam hukum sebagaimana pasal-pasal atas.
ukumnya tergantung
lain diancam kadar kejahatannya,
dengan pidana penjara. maka harus ada perincian
Bentuk hukuman
gas dalam 26aturan alternatif didalam
Indonesia, seperti hukuman
Djazuli, hukum sebagaimana
Kaidah-kaidah…, hlm. 98. pasal-pasal di atas.
penjara
27 dapat dijadikan
Hadis Riwayat solusi.
Baihaqi dari Hal ini mengingat dalam hukum
Ibn Abbas.
26
Djazuli, Kaidah-kaidah…, hlm. 98.
27
Hadis Riwayat
278
Djazuli,
BaihaqiKaidah-kaidah…, hlm. 98.
dari Ibn Abbas.
279
Hadis Riwayat Baihaqi dari Ibn Abbas.

| 178 | Hukum Pidana Islam


pidana Islam, pendekatan dalam pelaksanaan hukuman ada
dua macam, yaitu jawābir dan zawājir. Jika pendekatan jawābir
menghendaki pelaksanaan secara tekstual berdasarkan nash—
hukum harus ditegakkan dengan maksud menebus kesalahan dan
dosa si pelaku kejahatan—maka pendekatan ini akan berlaku
secara universal siapapun melanggar ketentuan Al-Qur’an akan
dikenakan hukuman berdasarkan hukum Al-Qur’an. Sebaliknya,
zawājir lebih melihat bagaimana agar tujuan dari pemidanaan
itu tercapai, yaitu membuat jera pelaku dan menjadi pelajaran
bagi orang lain untuk tidak melakukan kejahatan serupa.280
Pengintegrasian hukum pidana Islam ke dalam hukum pidana
nasional, pendekatan jawābir dan zawājir patut menjadi
pertimbangan. Artinya jika dengan pendekatan zawājir (hukum
minimal) tujuan penerapan sanksi dapat tercapai, maka pendekatan
jawābir (hukum maksimal) yang disebutkan secara eksplisit dalam
nash tidak pelu lagi diterapkan.281
Terkait masalah tuduhan zina secara umum yang menyangkut
hukum publik. Islam mengatur penuduh palsu zina yang terjadi
antara suami istri. Dalam Islam, disebut li’ān. Li’ān merupakan
tuduhan zina dengan sumpah yang dilakukan oleh seorang suami
terhadap istrinya, sedangkan istrinya dengan sumpah menolak
tuduhan tersebut. Baik tuduhan maupun penolakan tersebut dibuat
di hadapan hakim dengan mengucapkan kata-kata yang menurut
hukum syari’ah cukup untuk membuktikan li’ān. Suami yang
melakukan tuduhan harus mengulangi empat kali secara berturut-
turut ucapan yang berikut ini “Allah adalah saksi saya bahwasanya
saya berbicara benar bahwa istri saya….telah melakukan zina.

280
Makhrus Munajat,”Penegakkan Supremasi Hukum di Indonesia
dalam Perspektif Islam”, dalam Asy-Syir`ah, (Yogyakarta: Fakultas Syari`ah
IAIN Yogyakarta, 2001), hlm. 66.
281
Arskal Salim, “Politik Hukum…, hlm. 261.

Hukum Pidana Islam | 179 |


Ketika dia telah selesai mengulangi kata-kata tuduhan empat
kali, dia harus mengucapkan kalimat yang berbunyi: “Kutukan
Allah akan jatuh kepada saya jika saya berbohong”. Untuk
menolak tuduhan tersebut, si istri juga harus mengulangi empat
kali berturut-turut ucapan yang berikut ini: “Allah adalah saksi
saya bahwa suami saya….telah berbohong dalam melakukan
tuduhan terhadap saya.”
Apabila pasangan yang menikah menggunakan li’ān untuk
menyelesaikan suatu tuduhan zina di antara mereka, maka
suami tidak akan bersalah karena mengqażf istri dan keduanya
harus bebas dari hukuman untuk pelanggaran tersebut; tetapi
pernikahan tersebut akan bubar secara otomatis; dan hakim akan
memberikan perintah sesuai dengan hal tersebut; dan pasangan
tersebut selamanya tidak bisa menikah lagi satu sama lain; dan
apabila mereka setelah itu melakukan hubungan seksual, perbuatan
tersebut adalah tindakan zina.282

282
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam di Indonesia:
Peluang, Prospek dan Tantangan, (Jakarta: Rajawali Press, 1996), hlm. 243. Pasal
Rekomendasi.

| 180 | Hukum Pidana Islam


BAB X
TINDAK PIDANA PENCURIAN

A. Pengertian Delik Pencurian


Pencuri adalah orang yang mengambil benda dan atau barang
milik orang lain secara diam-diam untuk dimiliki. Di dalam
pengertian tersebut, ada beberapa perilaku manusia yang serupa
tetapi tidak sama dengan pencuri. Hal ini tidak ada salahnya
bila dikemukakan, misalnya menipu, korupsi, menyuap. Menipu
adalah mengambil hak orang lain secara licik sehingga orang lain
menderita kerugian. Korupsi adalah mengambil hak orang lain, baik
perorangan atau masyarakat, dengan menggunakan kewenangan
atas jabatan dan atau kekuasaannya, sehingga merugikan orang
lain. Menyuap, yaitu seseorang memberikan sesuatu baik dalam
bentuk barang dan atau uang maupun lainnya kepada orang lain
agar pemberi memperoleh keuntungan baik material atau moril;
sedangkan pemberiannya itu ada pihak lain yang dirugikan.
Sariqah (pencurian) didefinisikan sebagai perbuatan
mengambil harta orang lain secara diam-diam dengan maksud
untuk memiliki serta tidak adanya paksaan. Menurut Syarbīnī al-
Khaṭīb, yang disebut pencurian adalah mengambil barang secara
sembunyi-sembunyi di tempat penyimpanan dengan maksud untuk
memiliki yang dilakukan dengan sadar atau adanya pilihan serta
memenuhi syarat-syarat tertentu.283 Salim al-Uwa mengartikan
pencurian sebagai mengambil barang secara sembunyi-sembuyi

283
Syarbīnī al-Khaṭīb, Mughnīal-Muḥtāj, (Mesir: Dār al-Bāb al-Ḥalabī wa
Awladuhu, 1958), hlm. 158.

| 181 |
dengan niat untuk memiliki barang tersebut.284 Dengan demikian,
pencurian terdiri dari tindakan memindahkan harta bergerak
dengan niat untuk memiliki barang tersebut.2 Dengan demikian,
secara diam-diam dari penjagaan atau kepemilikan pemiliknya
pencurian terdiri dari tindakan memindahkan harta bergerak 285
secara
tanpa persetujuannya dengan maksud mengambil darinya.
diam-diam dari penjagaan atau kepemilikan pemiliknya tanpa
persetujuannya dengan Delik
B. Sumber Hukum maksud mengambil darinya.3
Pencurian
Yang Hukum
2. Sumber menjadiDelik
sumber hukum delik pencurian adalah firman
Pencurian
AllahYang
di dalam Al-Qur’an
menjadi Surahdelik
sumber hukum al-Maidah ayat
pencurian 38 sebagai
adalah firman
berikut:
Allah di dalam Al-Qur'an Surah al-Maidah ayat 38 sebagai berikut:
         
                 

Laki-laki
Laki-lakiyang
yang mencuri
mencuri dan
dan perempuan
perempuan yang yang mencuri,
mencuri,
potonglah
potonglah tantan
gangan keduanya
keduanya (sebagai)
(sebagai) pembalasan
pembalasan bagi bagi
apa
apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dan Allah.
yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dan Allah. Dan
DanMaha
Allah Allah Perkasa
Maha Perkasa lagiBijaksana.
lagi Maha Maha Bijaksana.
1) 1)

Diriwayatkan
Diriwayatkan daridari Sayyidatina Aisyah r.a.
Sayyidatina Aisyah r.a. ia ia berkata:
berkata:
Sesungguhnya kaum
Sesungguhnya kaum Quraisy
Quraisy merasa
merasa bingung
bingung dengan
dengan masalah
masalah
seorang wanita dan kabilah Makhzumiyyah yang
seorang wanita dan kabilah Makhzumiyyah yang telah mencuri.telah mencuri.
Mereka berkata:
Mereka berkata:Siapakah
Siapakah yang
yang akan
akan memberitahu
memberitahu masalahmasalah ini
ini
kepada Rasulullah s.a.w.? Dengan serentak mereka menjawab:
kepada Rasulullah s.a.w.? Dengan serentak mereka menjawab: Kami
Kami rasa hanya Usamah saja yang berani memberitahunya,
rasa hanya Usamah saja yang berani memberitahunya, karena dia
karena dia adalah kekasih Rasulullah s.a.w., maka Usamah pun
adalah kekasih
pergi untuk Rasulullah kepada
memberitahu s.a.w., Rasulullah
maka Usamah pun
s.a.w., lalupergi untuk
Rasulullah
memberitahu kepada Rasulullah s.a.w., lalu Rasulullah
s.a.w. bersabda: Jadi maksud kamu semua ialah untuk “Memohon s.a.w.
syafaat terhadap
bersabda: salahkamu
Jadi maksud satu dari hukum
semua ialah Allah? Kemudian baginda
untuk “Memohon syafaat
berdiri dan
terhadap salahmenjawab:
satu dari hukum Allah? Kemudian baginda berdiri dan
menjawab:

Sālim al-Uwā, Fī Uṣūl al-Nażamī al-Jināī al-Islāmī Dirāsah al-Muqaran,
284

(Kairo: Dār al-Ma’ārif, 1978), hlm. 160.


285
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Rajawali
Press, 2002), hlm. 132.
Sa>lim al-Uwa>, Fi> Us}u>l al-Naami> al-Jina>i> al-Isla>mi>
2

Dira>sah al-Muqaran, (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 1978), hlm. 160.


3
| 182 |Topo
Hukum Pidana Membumikan
Santoso, Islam Hukum Pidana Islam, (Jakarta:
Rajawali Press, 2002), hlm. 132.
 
  
                               
 
 
   
           
   
 
  
     
        
     
 

           
Wahai manusia! Sesungguhnya 
286
     
       yang
 
   menjadi

     penyebab
  
binasa
Wahai umat-umat sebelum dan kamuyang ialah, apabilapenyebab
mereka
Wahai manusia!
Wahai manusia! Sesungguhnya yang menjadi penyebab
manusia! Sesungguhnya menjadi
Sesungguhnya yang menjadi penyebab
mendapati ada
binasa umat-umat orang
binasa umat-umat
sebelum muia
sebelum
dan yang
kamu mencuri,
dan apabila
ialah, kamu ialah,
apabila mereka
mereka apabila
binasa umat-umat
memmbiarkannya. sebelum
Akan dan kamu ialah, mereka
mereka
mendapati orang tetapi
adamendapati ada apabila
muia orang mereka
yangmuia yangdapati
mencuri, orang
mencuri,
mereka mereka
mendapati ada orang muiayang yang mencuri, mereka
yang memmbiarkannya.
lemah .intara
memmbiarkannya. mereka
Akan Akan
tetapi tetapi
apabila apabila
mencuri,
mereka mereka
mereka
dapati akandapati
orang
memmbiarkannya. Akan tetapi apabila mereka dapati orang
oranghukuman
menjatuhkan
yang lemah yang lemah
.intara .intara
yangmereka
keatasnya.
mereka Demi
mencuri,yang
Allah,mencuri,akanmereka
sekiranya
mereka
yang lemah .intara mereka yang mencuri, mereka akan
akan
Sayyidatina
menjatuhkan menjatuhkan
Fatimah
hukuman hukuman
bintikeatasnya.
Muhammad keatasnya.
yang
Demi mencuri,
Allah, Demi
niscayaAllah,
sekiranya
menjatuhkan hukuman
sekiranya keatasnya.
Sayyidatina Demi
Fatimah Allah,
binti sekiranya
Muhammad
Sayyidatina Fatimah binti Muhammad aku akanyang
memotong niscaya yang
tangannya.
mencuri,
Sayyidatina Fatimah binti Muhammad
mencuri, niscaya aku aku akanakanyang
memotong mencuri,
memotong niscaya
tangannya.
tangannya.
aku akan memotong tangannya.
              
           
              

          
 
   
    
     
     
 

      


   
 

   
 

        
      
                
                
               
 
   
  
  

        
         
    r.a.  
  
   
Diriwayatkan
Diriwayatkan       dan
Diriwayatkan
dan Abu
  Abu
Hurairah    r.a.  
Hurairah
katanya.’   r.a.  katanya.’
Sesungguhnya   

dan Abu
Rasulullah s.a.w. pernah bersabda.’ Seorang pezina tidak akan Hurairah katanya.’ Sesungguhnya
Sesungguhnya
Diriwayatkan dan Rasulullah
Abu s.a.w.
Hurairah r.a.pernah bersabda.’
katanya.’ Seorang
Sesungguhnya
Rasulullah
berzina jika s.a.w.
dia pernah
mukmin. bersabda.’
Seseorang Seorang
tidak pezina
akan tidak
meminumakan
pezina s.a.w.
Rasulullah tidak pernah
akan berzina jikaSeorang
bersabda.’ dia mukmin.
pezina Seseorang
tidak akan
berzina
khamr jika dia mukmin. Seseorang tidak akan meminum
tidakjika
akanketika
meminumminum dia dalam
khamr keadaan
jika ketika minum mukmin
dia dalamdan
berzina
khamr
seseorangjika
jika dia mukmin.
ketika minum Seseorang
dia dalam tidak
keadaanakan meminum
mukmin dan
keadaantidak mukminakan dan
mencuri jika dia
seseorang berada
tidak akan dalam
mencurikeadaan
jika
khamr jika
seseorang ketika
tidak minum
akan dia
mencuri dalam
jika dia keadaan
berada mukmin
dalam dan
keadaan
dia berada
mukmin, yaitudalam
iman keadaan mukmin,
‘sempurna. Begitu yaitu iman ‘sempurna.
juga seorang peminum
mukmin,
seseorang yaitu
tidaktidak iman
akan ‘sempurna.
mencuri Begitu
jika dia juga
dia seorang
jika berada peminum
dalammcminum
dikeadaan
Begitu
arak juga
akanseorang
mcminumpeminum
arak arak tidak akan
berada dalam
arak
mukmin, tidak 5 akan
yaitu iman mcminum
‘sempurna.arak jika
Begitu
arak jika5 dia berada di dalam keimanan.
keimanan. dia
juga berada
seorang
287 di dalam
peminum
keimanan.
arak tidak akan mcminum arak jika dia berada di dalam
keimanan.5

4 Imām al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Juz IV, (Beirut: Dār al-Fikr, t.t.),
286
Ima>m al-Bukha>ri>, S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, Juz IV, (Beirut:
hlm. 48. 4
Ima>m
Da>r al-Fikr, t.t.), al-Bukha>ri>,
hlm. 48. S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, Juz IV, (Beirut:
2875
Hadis
Da>r4al-Fikr,
Hadis dikutip
t.t.), 48.dan
hlm. dan
dikutip CDCD
HolyHoly Qur‘an
Qur‘an & Al-Hadis:
& Al-Hadis: Kumpulan
Kumpulan Hadis
Ima>m
5 al-Bukha>ri>, S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, Juz IV, (Beirut:
Hadis Riwayat
Riwayat Hadis
Bukhary Bukhary
dikutip
& &
dan
Muslim, Muslim,
CD Holy
2002, 2002,
Qur‘an
hadis No. hadis
& No. 36.
Al-Hadis:
36. Kumpulan Hadis
Da>r al-Fikr,
Riwayat t.t.), hlm. 48.
5 Bukhary & Muslim, 2002, hadis No. 36.
Hadis dikutip dan CD Holy Qur‘an & Al-Hadis: Kumpulan Hadis
Riwayat Bukhary & Muslim, 2002, hadis No. 36.
Hukum Pidana Islam | 183 |
   
               
         
   
         
 
     
     
 


 
Diriwayatkan
Diriwayatkandandan
Diriwayatkan Sayyidatina
dan Aisyah
Aisyahr.a.
Sayyidatina
Sayyidatina katanya:
Aisyah
r.a. r.a.Rasulullah
katanya: katanya:
Rasulullah
s.a.w. memotong
Rasulullah
s.a.w. memotongtangan
s.a.w. seseorang
memotong
tangan yang mencuri
tangan
seseorang yang harta
harta yang
seseorang
mencuri yang
yang
senilaimencuri harta
seperempat
senilai yang
dinar
seperempat kesenilai
dinar atas.seperempat dinar ke atas.
atas.
ke
        
 
         
     
      
   
Diriwayatkan
Diriwayatkan
Diriwayatkan dan
dandan IbnuIbnu
IbnuUmarUmar
Umarra.ra. katanya:
ra.katanya: Sesungguhnya
katanya: Sesungguhnya
Sesungguhnya
Rasulullah
Rasulullah
Rasulullah s.a.w.s.a.w.
s.a.w.
pernahpernah
pernah memotong
memotong
memotong tangan
tangan
tangan seorang
seorang
seorang yang
yang
yang
mencuri
mencuri mencuri
sebuah
sebuah sebuah
perisai
perisai yangperisai
yang yang bernilai
bernilaisebanyak
bernilai sebanyaktigasebanyak
tigadirham.tiga
dirham. 66

dirham.288
Garis Garis
hukumhukum yang yang dapat
dapat dipahamidan
dipahami danayat
ayatAl-Qur'an
Al-Qur'an dan
dan al-
al-
Garis hukum yang dapat
Hadis di atas adalah sebagai berikut:. dipahami dan ayat Al-Qur’an dan
Hadis di atas adalah
al-Hadis sebagaisebagai
berikut:.
1. Sanksidihukumatas adalah
bagi laki-laki dan berikut:.
perempuan yang mencuri adalah
1. Sanksi
1. Sanksi hukum hukum
poiai tangan
bagi bagi pembalasan
laki-lakiperempuan
laki-laki
sebagai
dan danbagiperempuan yang mencuri
yang mencuri
apa yang mereka
adalah
kerjakan
poiaiadalah
tangan poiai tangan
sebagai sebagai pembalasan
pembalasan bagi apa yang bagi mereka
apa yangkerjakan
mereka
dan sebagai siksaan dari Allah.
dan kerjakan dan sebagai
sebagai siksaan siksaan dari Allah.
darikalau
Allah.
2. Umat-umat terdahulu ada orang mulia yang mencuri mereka
2. Umat-umat
2. Umat-umat terdahulu
terdahulu tetapi kalau
kalau apabila
ada ada mulia
orang orangyang mulia yang mencuri
mencuri
membiarkannya, mereka dapati orang yangmereka
lemah
mereka
membiarkannya, membiarkannya,
tetapi apabila tetapi
merekaapabila
dapatimereka
orang dapati
yang orang
lemah
di antara mereka yang mencuri, mereka akan menjatuhkan
yang lemah di antara mereka yang mencuri, mereka akan
di antara
hukuman mereka yangDemi
ke atasnya. mencuri, mereka Sayyidatina
akan menjatuhkan
menjatuhkan hukuman keAllah, sekiranya
atasnya. Fatimah
Demi Allah, sekiranya
hukuman
binti ke atasnya.
Muhammad Demi
yang Allah,
mencuri sekiranya
niscaya
Sayyidatina Fatimah binti Muhammad yang mencuri niscaya Sayyidatina
aku akan Fatimah
memotong
bintiaku Muhammad
akan memotong
tangannya. yang tangannya.
mencuri niscaya aku akan memotong
3.3. Seorang
Seorang pencuri
tangannya. pencuri tidak
tidak akan
akan mencuri
mencuri jika jika dia
dia berada
berada didi dalam
dalam
keimanan,
3. Seorangkeimanan,
pencuri yaitu
yaitu iman
iman
tidak yang
yang
akan sempurna.
sempurna.
mencuri jika dia berada di dalam
4.
keimanan, yaitu iman yang sempurna. seseorang
4. Rasulullah
Rasulullah s.a.w.
s.a.w. memotong
memotong tangan
tangan seseorang yangyang mencuri
mencuri harta
harta
senilaisenilai
4. Rasulullah s.a.w. satu perempat
satu perempat
memotong dinar kedinar
tangan atas. ke atas. yang mencuri harta
seseorang
5. Rasulullah
senilai s.a.w. pernah
satu perempat dinarmemotong
ke atas. tangan seorang yang mencuri
sebuah
288
Ibid.perisai yang bernilai sebanyak tiga dirham.
5. Rasulullah s.a.w. pernah memotong tangan seorang yang mencuri
sebuah6Ibid.perisai yang bernilai sebanyak tiga dirham.
| 184 | Hukum Pidana Islam
6
Ibid.
5. Rasulullah s.a.w. pernah memotong tangan seorang yang
mencuri sebuah perisai yang bernilai sebanyak tiga dirham.
6. Rasulullah s.a.w. bersabda: Allah melaknat seorang pencuri
yang mencuri telur sehingga dipotong tangannya, kemudian
dia mencuri tali lalu dipotong tangannya.
7. Diriwayatkan bahwa ada seorang lelaki berkata: Aku akan
memberikan sedekah pada seorang perempuan yang berzina,
yaitu pelacur, orang kaya, seorang pencuri. Boleh jadi perempuan
zina itu berhenti dan berzina karena sedekahmu. Orang kaya
itu pula dapat mengambil pengajaran dan mau membelanjakan
sebahagian dan harta yang telah dianugerahkan oleh Allah
kepadanya dan mungkin juga pencuri itu akan berhenti dan
mencuri karena sedekahmu itu.

C. Konsep dan Kriteria Delik Pencurian


Berdasarkan ayat Al-Qur’an dan Al-Hadis yang secara tegas
mengungkapkan bahwa sanksi hukum terhadap pelanggaran
pidana pencurian, yaitu potong tangan. Cara memperoleh harta
yang ditetapkan oleh syariat Islam berlandaskan atas prinsip suka
sama tidak merugikan sepihak, jujur, transparan. Konsekuensinya
mengambil hak orang lain berarti merugikan sepihak, maka pelaku
harus diberi sanksi. Ketentuan hukuman potong tangan bagi para
pencuri menunjukkan bahwa pencuri yang dikenai sanksi hukuman
adalah pencuri yang profesional, bukan pencuri iseng, atau bukan
keterpaksaan. Sanksi potong tangan atas hukuman bagi pencuri
bertujuan untuk pembalasan, penjeraan juga pendidikan.
Hukum pidan Islam membuat kriteria tindak pidana pencurian
yang dikenakan hukuman maksimal adalah:
(1) Nilai harta yang dicuri jumlahnya mencapai satu nishab, yaitu
kadar harta tertentu yang ditetapkan sesuai dengan undang-
undang.
(2) Barang curian itu dapat diperjualbelikan.

Hukum Pidana Islam | 185 |


buatan dilakukan
(3) Barang atas dan kehendaknya
atau uang yang dicuri bukan bukan atasmilik paksaan baitul mal. orang
n. (4) Pencuri usianya sudah dewasa.
(5) Perbuatan dilakukan atas kehendaknya bukan atas paksaan
ak dalam kondisi orangdilanda lain. krisis ekonomi.
(6) Tidak
ncuri melakukan dalam kondisi dilanda
perbuatannya bukan krisis untuk ekonomi.
kebutuhan pokok.
(7) Pencuri melakukan perbuatannya bukan untuk kebutuhan
rban pencurian pokok. bukan orang tua, dan bukan pula keluarga
katnya 8) Korban pencurian bukan orang tua, dan bukan pula keluarga
dekatnya
Al-Qur`an menyatakan, orang yang mencuri dikenakan hukum
tangan. Hukum Al-Qur`an potongmenyatakan, tangan sebagai orang sanksi yang mencuri bagi jari>mah dikenakan
hukum potong tangan. Hukum potong tangan sebagai sanksi
qah (delikbagipencurian)
jarīmah as-sariqah didasarkan (delik pencurian) pada firman didasarkan Allah padadalam firman
Allah
l-Maidah ayat 38: dalam surat al-Maidah ayat 38:

                    
     
Laki-laki dan perempuan yang mencuri potonglah tangan
Laki-laki dan perempuan yangpembalasan
keduanya sebagai mencuriterhadap
potonglah
apa yangtangan
mereka
kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah
keduanya sebagai pembalasan terhadap apa yang mereka s.w.t. Dan Allah
maha perkasa lagi maha bijaksana.
kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah s.w.t. Dan Allah maha
Hukum
perkasa lagi maha potong tangan diberlakukan dalam Islam dengan
bijaksana.
mempertimbangkan syarat dan rukun yang sangat ketat. Pertama,
syarat yang berkaitan dengan subyek yaitu pelakunya dewasa,
Hukum potong tangan
tidak terpaksa dan diberlakukan dalamituIslam
tahu bahwa perbuatan dilarang.dengan
Kedua,
syaratsyarat
ertimbangkan yang berkaitan
dan rukun dengan materi
yang curian,
sangat yaitu Pertama,
ketat. mengambil
harta secara diam-diam, mengambil barang tanpa sepengetahuan
yang berkaitan dengan
pemiliknya subyek
dan tanpa yaitu pelakunya
kerelaannya, dewasa,
seperti mengambil tidak
barang dari
rumah orang lain ketika penghuninya sedang tidur,
sa dan tahu bahwa perbuatan itu dilarang. Kedua, syarat yang barang yang
dicuri telah keluar dari tempat penyimanan, barang curian telah
an dengan materi curian, yaitu mengambil harta secara diam-
mengambil barang tanpa sepengetahuan pemiliknya dan tanpa
annya, seperti mengambil barang dari rumah orang lain ketika
| 186 | Hukum Pidana Islam
uninya sedang tidur, barang yang dicuri telah keluar dari
penyimanan, barang curian telah di tangan pencuri secara
7
di tangan pencuri secara penuh.289 Ketiga, syarat yang berkaitan
dengan obyek, yaitu barang yang dicuri berupa harta benda dan
bergerak, serta mencapai satu nilai minimum tertentu (nisab).
Imam Malik mengukur nisab sebesar ¼ dinar atau lebih, sedangkan
Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa nisab pencurian itu senilai
10 dirham atau 1 dinar.290
Menurut Imam Abu Hanifah, tidak wajib dikenai hukuman
potong tangan pada pencurian harta dalam keluarga yang inti
karena mereka diperbolehkan keluar masuk tanpa izin. Menurut
Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, seorang ayah tidak dikenai
hukuman potong tangan karena mencuri harta anaknya, cucunya,
dan seterusnya sampai ke bawah. Demikian pula sebaliknya, anak
tidak dapat dikenai sanksi potong tangan, karena mencuri harta
ayahnya, kakeknya, dan seterusnya ke atas. Menurut Imam Abu
Hanifah, tidak ada hukuman potong tangan pada kasus pencurian
antara suami istri.291
Sebagaimana tindak pidana lain, keharaman perbuatan
mencuri yang diberi sanksi di dunia karena ada pertimbangan
syara` yang membawa kemaslahatan masyarakat luas. Sebagaimana
diungkapkan oleh al-Jurjāwī bahwa pencurian dilarang oleh Islam
untuk memelihara keteraturan masyarakat dalam hak pemilikan
harta. Hukuman keras bagi pencuri, yaitu potong tangan, adalah
karena pencurian merupakan perbuatan yang melanggar hak
orang lain dan menimbulkan kerusakan di tengah masyarakat.
Pencurian itu diharamkan dalam Islam karena beberapa
alasan, antara lain 1) manusia mencari harta untuk hidup dengan
cara susah payah dan melelahkan, baik itu petani, pedagang,
pegawai ataupun pekerjaan-pekerjaan lainnya. Mereka menguras
tenaga, pikiran, dan banyak menghabiskan waktu untuk mencari

289
Ibid., hlm. 73.
290
Marsum, Fiqh..., hlm. 96; H.A. Djazuli, Fiqh Jinayah..., hlm. 77.
291
Ibid., hlm. 76.

Hukum Pidana Islam | 187 |


harta. Apabila kemudian harta yang telah dikumpulkan sedikit
demi sedikit itu dicuri, maka sangat menyakitkan. 2) Harta
yang diperoleh dari bekerja keras tersebut, mungkin saja untuk
persiapan makan dan hidup sehari-hari, atau untuk membantu
fakir miskin, anak yatim, orang-orang sakit, dan untuk kebutuhan
masyarakat lainnya. Apabila harta itu dicuri, maka hak orang
banyak akan hilang. 3) Pencuri merusak ketentraman masyarakat
yang seharusnya merasa aman di rumah dan daerahnya masing-
masing. Apalagi pencurian yang disertai kekerasan bahkan
pembunuhan, hal ini akan membawa kerugian baik fisik maupun
psikis bagi orang yang dicuri dan keluarganya. Dengan demikian,
pencuri merupakan anggota masyarakat yang merusak tata
kehidupan dan ketentraman masyarakat, sehingga perlu dihukum
supaya tidak dapat mencuri lagi.292
Dari pernyataan al-Jurjāwī tersebut diketahui betapa
bahayanya bagi masyarakat luas jika tindak pencurian merajalela
di mana-mana. Sementara hukum tidak mampu mencegah
kejahatan tersebut. Islam menegaskan ajarannya tentang “potong
tangan”. Permasalahannya adalah benarkah Islam secara letterlijk
memberlakukan sanksi potong tangan setiap terjadi tindak
pidana pencurian. Jawabnya tidak. Hukum potong tangan adalah
hukuman alternatif terakhir, jika tidak dapat dikenakan hukum
selain potong tangan.
Di muka telah disinggung bahwa hukum potong tangan
bisa diterapkan jika telah terpenuhi beberapa syarat, baik yang
berkenaan dengan subyek, obyek maupun materi curian. Hukum
potong tangan tidak berlaku bagi orang tua yang mencuri harta
anaknya, pembantu mencuri harta tuannya, pencurian di musim
larang pangan (paceklik). Umar membebaskan budak yang
mencuri dengan meminta tuannya untuk mengganti harga barang
yang dicuri dengan 2 kali lipat. Rasulullah tidak menghukum

292 al-Jurjāwī, H{ikmah..., hlm. 302-04.

| 188 | Hukum Pidana Islam


tangan kepada pencuri yang mencuri buah-buahan yang dimakan
di tempat.
Kasus yang pencurian yang ketentuan sanksinya ditetapakn
apkan hukuman sebagaimana
oleh Nabi sifatnya bunyi
fluktuatif dan lebih teks Al-Qur'an
mengedepankan nilai
keadilan di atas kepastian hukum. Mengambil harta orang lain
h ayat dapat
38, dikategorikan
yakni sebagai
hukuman potong
tindak pidana tangan.
pencurian, tetapi
tidak setiap
a, pemahaman pencurian
ayat yang ditetapkan
berkaitan hukuman
dengansebagaimana
hukuman bunyi
teks Al-Qur’an surat al-Maidah ayat 38, yakni hukuman potong
harus secara
tangan.kontekstual
Konsekuensinya,dan dikaitkan
pemahaman dengan
ayat yang berkaitan surat
dengan
hukuman potong tangan harus secara kontekstual dan dikaitkan
39: dengan surat al-Maidah ayat 39:
         
          
     
 

Barang siapa bertaubat atas perbuatan zalimnya dan
mau memperbaiki diri, maka Allah menerima taubatnya
dan sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
siapa bertaubat atas perbuatan zalimnya dan mau
Penyayang.
rbaiki diri, maka Allah menerima taubatnya dan
Ayat di atas menggambarkan adanya ampunan Allah kepada
guhnya para
AllahpencuriMaha
dengan caraPengampun
bertaubat. Namunlagi Maha
demikian, kasus
pencurian tetap akan diproses selagi sudah sampai di tangan hakim
ang. sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Hukum potong tangan
hanya diberlakukan kepada pencuri yang sudah profesional. Hasbi
ash-Shieddiqy berpendapat bahwa lafaz as-sariq menunjukkan
ma’rifah, artinya orang yang jelas sebagai pencuri, profesi yang
kerjaannya memang
atas menggambarkan berulang-ulang
adanya ampunan mencuri.
Allah293
Sementara
kepada
pencuri yang telah mengembalikan barang sebelum kasusnya ke
dengan tangan
cara hakim,
bertaubat. Namun
hanya berlaku demikian, kasus
hukum ta’zīr.

akan diproses selagi sudah sampai di tangan hakim


n hukum yang Hasbi berlaku. Hukum potong tangan hanya
ash-Shiddieqy, Fakta Keagungan Syari’at Islam, (Jakarta: Tinta
293

Mas, 1972), hlm. 13-14.


epada pencuri yang sudah profesional. Hasbi ash-
endapat bahwa lafaz as-sariq menunjukkan ma’rifah,
Hukum Pidana Islam | 189 |
yang jelas sebagai pencuri, profesi yang kerjaannya
ng-ulang mencuri.11 Sementara pencuri yang telah
D. Konsep Delik Pencurian dengan Kekerasan
Pencurian dengan kekerasan adalah merampas atau mengambil
harta milik orang lain dengan cara memaksa korbannya. Pada
umumnya, kata penodong lebih lazim dipakai terhadap tindak
pidana yang dilakukan di luar rumah. Jika perbuatan yang sama
dilakukan oleh pelaku di dalam rumah atau gedung disebut
dengan perampok. Dalam hukum Islam, perilaku kriminal yang
demikian, yaitu penodong dan atau perampok, diistilahkan dalam
kitab-kitab fiqh klasik dengan muḥārib. Secara harfiah, muḥārib
pada umumnya cenderung mendekati pengertian pencuri.
Perbedaannya adalah mencuri berarti mengambil barang orang
lain secara diam diam; sedangkan ḥirābah adalah mengambil
barang orang lain dengan cara anarkis, misalnya merampok,
mengancam atau menakut-nakuti orang.
Seseorang dapat disebut muḥārib bila tindak-tanduknya
mencerminkan perilaku sebagai berikut: apabila ia keluar
rumah dengan niat mengambil harta milik orang lain dengan
cara anarkis, sehingga membuat suasana menakutkan atau
mencekam, walaupun ia tidak berhasil mengambil harta dan atau
tidak membunuh pemilik harta. Apabila ia keluar rumah dengan
niat mengambil harta milik orang lain dengan cara anarkis dan
berhasil mengambil harta tetapi tidak membunuh pemiliknya,
atau ia keluar rumah dengan niat mengambil harta milik orang
lain dengan cara anarkis, tidak berhasil mengambil harta tetapi
membunuh pemiliknya. Apabila ia keluar rumah dengan niat
mengambil harta milik orang lain dengan cara anarkis dan berhasil
mengambil harta dan membunuh pemiliknya. Para fuqaha (ahli
hukum Islam) mengkategorikan penodongan atau perampokan
dengan pencurian besar. Namun, pengertian muḥārib saat ini di
Indonesia biasa disebut juga sebagau pelaku teroris. 294

294
al-Anshari, dkk, Pidana Terorisme, (Jakarta: Lembaga Kajian

| 190 | Hukum Pidana Islam


Pencurian dengan disertai kekerasan atau pengambilan
harta yang disertai dengan kekerasan dalam hukum pidana
islam disebut jarīmah ḥirābah, termasuk dalam tindak pidana
ini adalah perampokan, perompakan, pembajakan. Ḥirābah atau
perampokan merupakan suatu tindakan mengambil harta orang
lain dengan paksa atau ancaman menggunakan paksaan dengan
dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang yang bersenjata
atau alat yang dapat digunakan sebagai senjata.
Bentuk-bentuk pencurian dengan kekerasan dapat berupa
sikap dan perbuatan sebagai berikut:
- Keluar untuk mengambil harta secara kekerasan, kemudian
pelaku hanya melakukan intimidasi tanpa mengambil harta
tanpa membunuh.
- Keluar untuk mengambil harta secara kekerasan kemudian
pelaku hanya mengambil harta tanpa membunuh.
- Keluar untuk mengambil harta secara kekerasan kemudian ia
melakukan pembunuhan tanpa mengambil harta.
- Keluar untuk mengambil harta secara kekerasan kemudian ia
mengambil harta dan ia melakukan pembunuhan.295

Ḥirābah (qaṭ’u al-ṭarīq) atau di Indonesia sering disebut


perampokan merupakan kejahatan besar yang sangat
membahayakan serta mengganggu keamanan dan ketertiban
masyarakat, karena perampok biasanya sudah mempunyai
niat untuk melakukan tindakan pencurian dan pembunuhan
sekaligus dalam satu waktu. Dengan demikian, perampokan
merupakan tindak pidana yang lebih besar dari pada pencurian
dan pembunuhan. Perampokan lebih jahat dari pada pencurian
karena di samping merampas harta kekayaan dan rizki orang lain

Syariat, 2005), hlm. 17.


295
Ahmad Wardi Muslih, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Garfika,
2005), hlm. 95.

Hukum Pidana Islam | 191 |


yang didapatkan dengan susah payah, juga dilakukan dengan
kekuatan untuk melukai bahkan membunuh pemilik harta.
Dengan demikian, perampok pada dasarnya kufur terhadap
nikmat Allah, karena dia diberi kenikmatan yang besar, yaitu
kekuatan dan kesehatan, tetapi kemudian tidak disyukuri bahkan
digunakan tidak pada tempatnya. Karena bahaya perampokan
sangat besar, syari’ kemudian memberi hukuman yang berat dan
bertingkat-tingkat kepada perampok sesuai bentuk perampokan
yang dilakukannya.296
Kebijakan hukum yang perlu diambil adalah melegitimasi
norma-norma hukum sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-
Qur’an dengan memasukan ke dalam KUHP mendatang, yakni
dengan redaksi yang substansinya memuat kata-kata:
a. Barangsiapa melakukan tindak kejahatan pengambilan harta
orang lain disertai dengan pembunuhan atau pemerkosaan
dihukum dengan hukuman mati dan disalib.
b. Barangsiapa yang merampok harta orang, merompak,
membajak dihukum dengan hukuman potong tangan dan
kaki secara bersilang.
Sanksi bagi perampok menurut Imam Abu Hanifah,
Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad berbeda-beda sesuai dengan
perbuatannya. Mereka berargumentasi pada surat al-Maidah ayat
33 di atas dengan memfungsikan huruf ataf aw litanwi artinya
perincian.297 Bila hanya mengambil harta dan membunuh ia
dihukum salib, jika ia tidak mengambil harta, tetapi membunuh,
ia dihukum bunuh. Jika hanya mengambil harta dengan paksa
dan tidak membunuh, maka sanksinya adalah potong tangan dan
kaki secara bersilang. Bila hanya menakut-nakuti, maka dihukum
penjara.298 Menurut Imam Malik, sanksi ḥirābah ini diserahkan

296
Ibid., hlm. 312-314.
297
As-Sayid Sābiq, Fiqh…, juz II, hlm. 400.
298
Ibid., hlm. 401.

| 192 | Hukum Pidana Islam


kepada Imam untuk memilih salah satu hukuman yang tercantum
dalam ayat di atas sesuai dengan kemaslahatan. Bagi pelaku yang
mengambil harta dan membunuh maka hukumannya menurut
pendapat Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan Imam Zaidiyyah
adalah dihukum mati lalu disalib. Menurut Imam Abu Hanifah,
ulil Amri dapat memilih apakah dipotong tangan dan kakinya
dulu, baru dihukum mati dan disalib, atau dihukum mati saja
tanpa dipotong tangan dan kakinya dulu, atau disalib saja. Imam
Malik berpendapat bahwa aw dalam ayat di atas berfungsi sebagai
takhyīr (pilihan), maka Imam dapat memilih alternatif di antara
empat hukuman yang ditentukan dalam al-Qur`an, yaitu hukuman
mati, salib, potong tangan dan kaki secara bersilang atau hukuman
pengasingan. Namun, tidak boleh menggabungkan sanksi-sanksi
yang ditentukan dalam ayat di atas.299
Ketentuan jarīmah ḥirābah juga didasarkan pada dialog
antara Nabi dengan Malaikat Jibril. Rasulullah bertanya kepada
Jibril tentang hukuman orang yang melakukan ḥirābah. Jibril
menjawab, “Barang siapa yang mengambil harta dan mengacau
jalanan, maka potong tangan sebab ia mencuri dan potong
kakinya sebab ia mengacau, barang siapa membunuh bunuhlah
dan barang siapa membunuh dan mengacau perjalanan saliblah.300
Dan barang siapa yang membuat kekacauan tanpa mengambil
harta dan membunuh, maka buanglah atau penjarakanlah.”
Hikmah hukuman ḥadd bagi perampok mutlak untuk
ditegakkan, sebab perampokan merupakan kejahatan besar
yang sangat membahayakan serta mengganggu keamanan dan
ketertiban masyarakat. Perampok biasanya sudah mempunyai niat
untuk melakukan tindakan pencurian dan pembunuhan sekaligus
dalam satu waktu.

299
Ibid., hlm. 402.
300
Ibid.

Hukum Pidana Islam | 193 |


mpat yang Hukum
jauh yang
dari tegas sangat dituntut
keramaian tidak dalam tatanan dunia
mungkin si
modern, karena itu sebagai sarana terciptanya masyarakat yang
atkan pertolongan.
aman dan tentram.HalMengingat
ini didasarkan
kejahatan pada pada abadfirman modern
ini sangat terorganisir dengan baik, maka syarat ulama klasik
Maidah ayat 33 diketentuan
mengenai atas: jarīmah ḥirābah perlu revisi, terutama syarat
at yangyang berkaitan dengan tempat dan sasaran. Ḥirābah
  
    
 
   
    hanya
   bukan
 
jauh dari keramaian   tidak
    mungkin
terjadi di tempat yang jauh dari keramaian. Sebab ada indikasi
       si
anatas, ketika dilakukan
pertolongan. Haldi initempat yang jauh dari
didasarkan pada keramaian firman tidak
yang diperangi bukan Allah dan
mungkin si korban mendapatkan pertolongan. Hal ini didasarkan
Rasul-Nya,
dah ayat 33
ng yangpada di
menjadiatas:
firman Allah surat al-Maidah
kekasih Allah,ayatyakni 33 di atas: orang yang
menjadi korban akibat perbuatan       seperti
  seseorang,  
19
hotel, kafe,
as, yang tempat
Maksud ayat diibadah
diperangi atas, yangdan
bukan lain-lain.
diperangi
Allah bukan Allah dan Rasul-Nya,
dan Rasul-Nya,
tetapi orang-orang yang menjadi kekasih Allah, yakni orang yang
jarah,
yang sanksi
menjadi h}ira>bah
tidak berdosakekasih tidak
menjadi korban selamanya
akibat
Allah, diterapkan
perbuatanorang
yakni seseorang, seperti
yang
pengeboman di hotel, kafe, tempat
sebagaimana bunyi teks. Pengeculian diberlakukanibadah dan lain-lain. 301

njadi korban Dalamakibat


sejarah,perbuatan
sanksi ḥirābah seseorang,
tidak selamanya seperti
diterapkan
us ini, ketika dipahami
secara letterlijk, ayat
sebagaimana bunyiselanjutnya
teks. Pengeculian
19 surat al-
diberlakukan
el, kafe, juga
tempat
dalam ibadah dan lain-lain.
kasus ini, ketika dipahami ayat selanjutnya surat al-
Maidah ayat 34:
ah, sanksi h}ira>bah tidak selamanya diterapkan
                 
bagaimana bunyi teks. Pengeculian diberlakukan
yang Kecuali orang
taubat yang taubat
sebelum sebelum ditentukan
ditentukan hukumnya hukumnya bagi bagi
ini, ketika dipahami
mereka. ayat selanjutnya surat al-
Ayat di atas menurut Ibn Kaśīr menjelaskan diterimanya taubat
seseorang dari hukuman sebagaimana ditentukan dalam surat
atas menurut                  
al-Māidah
Ibnayat Kai>r
33 sebelummenjelaskan
perkaranya sampaiditerimanya
di pengadilan.302
Seperti peristiwa pembebasan Alī al-Asadī pada pemerintahan
g dari hukuman sebagaimana ditentukan dalam sXUDW
ng taubat sebelum ditentukan hukumnya bagi
\DW  VHEHOXP SHUNDUDQ\D VDPSDL GL
Fatwa MUI tentang Terorisme, tidak diterbitkan, hlm. 5.
301

Ibn Kaśīr, Tafsīr al-Qur’`ān al-Aẓīm, Juz II, (Mesir: Dār al-Bāb al-
302

Ḥalabī, t.t.), hlm. 52.


Seperti peristiwa pembebasan Ali> al-Asadi> pada
sBani
menurut
Umayah.
Ibn Kai>r menjelaskan diterimanya
| 194 | HukumIa
Pidanamembunuh,
Islam menakut-nakuti,
ari hukuman
, tetapi sebagaimana
ia bertobat setelah ditentukan
mendengardalam sXUDW
ayat illa al-
Wmin
qabluVHEHOXP
an taqdiru> SHUNDUDQ\D VDPSDL
alaihim. Ia masuk GL
masjid
Bani Umayah. Ia membunuh, menakut-nakuti, merampas harta,
tetapi ia bertobat setelah mendengar ayat illa al-lażīna tābu min
qablu an taqdirū alaihim. Ia masuk masjid untuk shalat subuh
dan mendekati Abu Hurairah. Ketika itu Marwan ibn al-Hakam
(wali kota Madinah) datang di masjid dan berkata, “Orang ini
telah datang kepadaku dan bertaubat, maka tidak ada hak bagi
siapapun untuk menangkap dan menghukumnya”.303

E. Transformasi Pemikiran tentang Sanksi Delik Pencurian di


Indonesia
Konsep dialektika Islam awal dan budaya Arab setidaknya
menampakkan tiga pola. Pertama, Islam mengambil sebagian
tradisi dan meninggalkan sebagian lainnya. Kedua, Islam
mengambil dan meninggalkan tradisi Arab secara setengah-
setengah dengan mengurangi atau menambahkan adat dan
praktik pra-Islam. Ketiga, Islam meminjam norma-norma tersebut
dalam bentuknya yang paling sempurna tanpa mancerna dan
mengubah namanya. Respons Al-Qur’an terhadap kehidupan
masyarakat jahiliyah yang ada saat itu dapat dibagi menjadi tiga
bagian. Pertama, ia mempertahankan suatu tradisi yang dimiliki
masyarakat jahiliah, misalnya hukum potong tangan bagi pencuri,
baik laki-laki maupun perempuan. Artinya, hukum potong tangan
bagi pencuri sudah dikenal di tengah masyarakat Arab pra-Islam
yang kemudian dipertahankan oleh Islam. Secara substansial dan
material, di situ tidak ada perbedaan antara hukum potong tangan
yang berlaku pada masyatakat Arab jahiliyah dan hukum potong
tangan yang ditetapkan oleh Islam. Kalaupun ada yang berbeda,
hanyalah sumbernya. Hukum potong tangan yang diberlakukan
masyarakat Arab pra-Islam bersumber dari tradisi masyarakat
yang sudah berjalan ratusan tahun. Ketika Islam turun, hukum

303
Ibid.

Hukum Pidana Islam | 195 |


tersebut dipertahankan dengan mengalihkan sumbernya dari
tradisi masyarakat Arab pada wahyu Allah s.w.t. (Al-Qur’an).
Kedua, Al-Qur’an mempertahankan sebagian dari tradisi pra-Islam
dan menolak sebagian lainnya, misalnya dalam hukum poligami.
Poligami bisa berarti poliandri (seorang perempuan bersuami
lebih dari satu) dan poligini (seorang laki-laki beristri lebih dari
satu). Poligami dalam arti pertama (poliandri) diharamkan oleh
Islam, sedangkan dalam arti yang kedua (poligami) diterima
dengan pembatasan. Jika sebelum dan di awal Islam seorang laki-
laki boleh memiliki isteri dalam jumlah yang tidak terbatas, Islam
membatasinya hanya empat orang. Ketiga, Al-Qur’an menghapus
suatu tradisi yang berlaku pada masyarakat Arab jahiliah, misalnya
riba. Seperti diketahui, perekonomian masyarakat Arab pra-
Islam berada di tangan para saudagar kaya yang bersikap sangat
zalim terhadap rakyat kecil dan kaum lemah dengan, misalnya
memberlakukan sistem riba. Melalui sistem ini golongan yang kaya
semakin kaya, yang miskin semakin miskin dan tertindas. Ketika
seorang miskin meminjam uang dengan sistem riba, seringkali dia
tidak dapat melunasi utangnya. Kalau sudah begitu, dia dirampas
dan dijadikan budak. Tidak jarang pula yang ditampas adalah istri
atau anak-anak perempuannya. Dengan demikian, perbudakan
pada masyarakat Arab pra-Islam terkait erat dengan sistem ekonomi
yang berlaku di tengah-tengah mereka. Islam mengharamkan riba
dan memberlakukan pinjam-meminjam dengan sistem muḍārabah
(bagi hasil), lalu mengatasi masalah perbudakan yang menjadi
akibat sistem riba dengan kewajiban membebaskan budak sebagai
hukuman atas pelanggaran-pelanggaran tertentu agama Islam,
misalnya tebusan untuk suatu pembunuhan atau denda bagi
orang yang melakukan hubungan seksual dengan suami atau
istri di siang hari bulan Ramadan.304 Karena sifatnya yang selalu

Khalīl Abdul Karīm, Syari’ah Sejarah, Perkelahian, Pemaknaan, terj.


304

Kamran As’ad dari judul asli al-Juzūr at-Tārīkhiyyah li asy-Syarī’ah al-

| 196 | Hukum Pidana Islam


berdialektika dengan realitas, tradisi keagamaan dapat berubah
sesuai dengan konteks sosial dan kultural suatu masyarakat. Dalam
konteks Indonesia, Islam yang baik adalah Islam yang memahami
kebutuhan-kebutuhan masyarakat Indonesia.
Ada sebagian orang mengatakan bahwa budaya bersumber
dari akar yang historis, sedangkan wahyu sumbernya non-historis
yaitu Allah s.w.t. Pandangan seperti itu meletakkan seolah-olah
antara
memang budaya dan wahyu
a-historis, tetapi ketika saling Allah
bertentangan. Sumber wahyu
hendak berbicara dengan
memang a-historis, tetapi ketika Allah hendak berbicara dengan
manusia melalui Rasul-Nya, Allah menggunakan peralatan yang
manusia melalui
historis untuk bisa Rasul-Nya,
menyampaikan Allah pesan
menggunakan peralatan
kepada manusia. yang
Artinya,
historis
wahyu untuk
dan firmanbisa menyampaikan
Tuhan mewujudkan pesandiri
kepada manusia.
melalui bahasaArtinya,
budaya
wahyu dan firman Tuhan mewujudkan
lokal. Itulah sebabnya, Al-Qur'an turun secara gradual, karena Allah diri melalui bahasa budaya
lokal.
tidak Itulah sebabnya, Al-Qur’an
bisa mengabaikan begitu saja turun secarahistoris
konteks gradual, karena
yang ada.
Allah tidak bisa mengabaikan begitu
Bagaimana mungkin Allah yang a-historis berbicara dengan manusia saja konteks historis yang
ada.
yangBagaimana
historis kalau mungkin Allah yang a-historis
tidak menggunakan berbicara
piranti-piranti dengan
kultural yang
manusia23yang historis kalau tidak menggunakan piranti-piranti
historis.
kultural yang historis.305
Delik pencurian, yang diartikan sebagai mengambil barang
Delik pencurian, yang diartikan sebagai mengambil barang
orang lain
orang lain dengan
dengancara cara sembunyi-sembunyi
sembunyi-sembunyi dengan syaratsyarat
dengan dan rukun
dan
tertentu dan pelakunya dikenakan
rukun tertentu dan pelakunya dikenakan hukuman potong tangan hukuman potong tangan
merupakan
merupakan balasan
balasan dari dari Allah Allah s.w.t. s.w.t. sebagaimana
sebagaimana dijelaskan
dijelaskan Al- Al-
Qur’an,   
Qur'an, “"            ”.".Tujuan
Tujuan hukuman
hukumanpotong
potongtangan
tangan
berdasarkan
berdasarkan makna makna tekstual tekstual dalam dalam Al-Qur’an
Al-Qur'an adalah
adalah disamping
disamping
sebagai
sebagai pembalasan dan penjeraan bagi diri pelaku juga sebagai
pembalasan dan penjeraan bagi diri pelaku juga sebagai
pendidikan bagi orang lain. Jika Islam sudah mencakup tujuan
pendidikan bagi orang lain. Jika Islam sudah mencakup tujuan
tersebut kenapa harus dipalingkan dengan tuduhan kejam dan
tersebut kenapa harus dipalingkan dengan tuduhan kejam dan tidak
tidak humanis, sehingga perhatian terhadap orang yang menjadi
humanis,
korban sehinggatidak
pencurian perhatian pernah terhadap orangmengumpulkan
ada. Orang yang menjadi korbanharta
pencurian tidak pernah ada. Orang
sedikit demi sedikit, setelah terkumpul diambil dengan cara keji. mengumpulkan harta sedikit demi
Sementara hukumterkumpul
sedikit, setelah hanya terbatas diambil pada hukum
dengan penjara
cara keji. yang tidak
Sementara
hukum hanya terbatas pada hukum penjara yang tidak pernah
Islāmiyyah,
membuat jera ( Yogyakarta:
pada pelaku. LKiS, 2003). Anehnya, hukum di negeri ini lebih
305
Ibid.
disenangi oleh para penjahat dibanding hukum yang diinginkan oleh
masyarakat. Mereka lebih senang diproses hukum dari pada diadili
masa. Hukum menjadi lemah, merosot dan Hukum
tidakPidana Islam |Kondisi
berwibawa. 197 |
yang sangat memprihatinkan ini akhirnya memaksa hukum
masyarakat lebih keras dan sadis dari ketentuan Al-Qur'an. Pencuri
dibakar hidup-hidup, dibunuh ramai-ramai. Kenapa ini dilakukan,
pernah membuat jera pada pelaku. Anehnya, hukum di negeri
ini lebih disenangi oleh para penjahat dibanding hukum yang
diinginkan oleh masyarakat. Mereka lebih senang diproses hukum
dari pada diadili masa. Hukum menjadi lemah, merosot dan tidak
berwibawa. Kondisi yang sangat memprihatinkan ini akhirnya
memaksa hukum masyarakat lebih keras dan sadis dari ketentuan
Al-Qur’an. Pencuri dibakar hidup-hidup, dibunuh ramai-ramai.
Kenapa ini dilakukan, jawabnya karena mereka benci dengan
kejahatan dan tidak percaya kepada hukum. Oleh karenanya,
pesan moral dari zat Yang Maha Tinggi harus diwujudkan demi
kemaslahatan, pencuri adalah bagian penyakit dari masyarakat.
Satu hal yang perlu diperhatikan ketentuan hukum Allah bukanlah
letterlijk. Artinya, hukum potong tangan bagi pencuri bukanlah
satu-satunya hukum, melainkan adanya kebenaran untuk
diijtihadi. Hukum penjara boleh, bahkan memaafkan pencuri
sangat dijunjung tinggi dalam Islam. Oleh karena penerapan
hukum sangat kasuistik, maka hukum potong tangan tetap harus
ditegakkan sebagai alternatif terakhir.
Pada kasus pencurian yang ditegaskan dalam Al-Qur`an
dikenakan hukum potong tangan. Ternyata hukum tersebut bukan
harga mati dalam Islam. Umar ibn al-Khaṭṭāb pernah mengadakan
penyimpangan asas legalitas dalam hukum potong tangan yang
terjadi pada musim paceklik (larang pangan).306 Sikap Umar bukan
mengkhianati hukum Allah, melainkan semangat menangkap ruh
syari’at Islam dengan pemahaman yang kontekstual. Hal senada
juga dilakukan oleh Rasulullah jauh sebelum peristiwa tersebut,
yakni ketika Rasulullah tidak menghukum apa-apa bagi pencuri
buah-buahan yang dimakan di tempat.307 Ini bukti bahwa hukum

306
Ibn al-Qayyim, I’lām…, juz III, hlm. 22; Subḥī Maḥmasanī, Falsafah…,
hlm. 167.
307
Abū Yūsuf, ar-Rad…, hlm. 50.

| 198 | Hukum Pidana Islam


ut, yakni tidak
asulullah ketikamenghukum
Rasulullah apa-apa
tidak menghukum apa-apa bagi
bagi Hal senada
25 25
juga dilakukan ol
rig buah-buahan yang dimakan di tempat.
dimakan di tempat. Ini bukti bahwa tersebut, yakni Ini bukti bahwa
ketika Rasulu
m Islam tidak tertutup bagi mujtahid untuk dijtihadi,
up bagi mujtahid untuk dijtihadi, sehingga pencuri buah-buahan yang d sehingga
Islam tidak tertutup bagi mujtahid untuk dijtihadi, sehingga hukum26
mngan
berperan sesuaiyakni
tujuannya, dengan tujuannya,
maslah}at yakni26maslah}at
ammah. ammah.
berperan sesuai dengan tujuannya, yaknihukum
maslaḥatIslam
ammah.tidak
308 tertutup b
Ada bahan
rlu direnungkanyang perlu
Ada bersama, direnungkan
bahan yang yakni bersama,
perkataanbersama,
perlu direnungkan yakni perkataan
hukum yakni perkataan
berperan sesuai dengan
Nabi:
Ada bahan yang perlu d



  Nabi: 
    
  

           
 
 
 


 
 


Bahwasanya yang menyebabkan kehancuran umat
24
sebelum kamu ialah karena apabila ada kaum bangsawan
Ibn al-Qayyim, I’la>m…,
>m…, juz III, hlm.mencuri juz Mah}masani>,
III, hlm.
dibiarkan,
22; Subh}i> tetapi22; Subh}i>jika
sebaliknya Mah}masani>,
yang mencuri
ah…, hlm. 167. adalah kaum lemah, maka hukum ditegakkan dengan
25 24
ad…,Abu> Yu>suf,
hlm. seadil-adilnya,
50. ar-Rad…, 50. bersumpah demi Allah seandainya I’la>m…
hlm. saya Ibn al-Qayyim,
26 Falsafah…, hlm. 167.
f,Abdul
'Ilm Us}u>l Fatimah
Wahabal-Fiqh,
Khalaf, 'Ilmputri
Us}u>l
(Kairo: Da>rMuhammad
al-Fiqh,
al-Qalam, mencuri
(Kairo: Da>rniscaya akan
al-Qalam,
25
hlm. 198. kupotong tangannya. 309 Abu> Yu>suf, ar-Rad…
26
Abdul Wahab Khalaf, 'Il
Prinsip keadilan dalam menegakkan1990),
hukumhlm.
yang198.
dilakukan
oleh Rasulullah semata-mata menjalankan keadilan Ilahi.
Rasulullah sebagai hakim pada saat itu hanya mengemban hukum
Allah sehingga setiap keputusannya selalu berpegang kepada
hukum Allah, yaitu Al-Qur’an. Sanksi yang tegas dan penegakannya
sangat didukung dalam menciptakan masyarakat yang berkeadilan.
Ada beberapa faktor yang selalu dipertimbangakan oleh seseorang
sebelum melakukan tindak kejahatannya. Carrol merumuskannya
sebagai berikut:

SU = ( P (S) X G ) - ( P (F) X L )

Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilm Uṣūl al-Fiqh, (Kairo: Dār al-Qalam, 1990),
308

hlm. 198.
309 Imām al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, juz IV, (Beirut: Dār al-Fikr, t.t.),
hlm. 48.

Hukum Pidana Islam | 199 |


SU = Subjectivity Utility, yaitu pertimbangan si pelaku
tindak kejahatan, apakah ia akan melaksanakan atau tidak tindak
kejahatan yang ia rencanakan. Secara garis besar, keputusan yang
ia buat hanya ada dua keputusan yaitu dilaksanakan atau tidak.
P(S) = Probability of success, yaitu pertimbangan pelaku
tentang sejauh mana perbuatan jahat yang direncanakan akan
berhasil atau sukses.
G = Gain, yaitu pertimbangan besar kecilnya keuntungan
yang akan diperoleh jika kejahatan yang direncanakan itu berhasil
atau sukses. Keuntungan ini bersifat materi seperti harta benda
dan barang-barang berharga lainnya dan pula berupa keuntungan
psikologis, seperti kepuasan jiwa yang diperoleh dari tindak
kejahatan.
P (F) = Probability of failure, yaitu pertimbangan si pelaku
tindak kejahatan tentang besar kecilnya kemungkinan gagal, atau
diketahui orang lain atau tertangkap di dalam melaksanakan
tindak kejahatan yang direncanakan.
L = Loss, yaitu besar kecilnya kerugian apa bila si pelaku
kejahatan tertangkap di dalam melakukan kejahatannya. Kerugian
dapat berupa lamanya hukuman yang dijalani, kehilangan nyawa
akibat hukuman mati, kerugian psikologis karena berpisah dengan
keluarga (istri, anak yang dicintai), kehilangan kemerdekaan dan
lain-lain.310
Banyak hal yang dapat mempengaruhi tindak kejahatan,
faktor P(S) dan P(F) sangat tergantung pada petugas keamanan
dan penegak hukum, yakni, keaktifan, kesungguhan hati dan sikap
pro aktif masyarakat dalam mencegah tindak kejahatan. Selain
itu sistem tata kota juga sangat berpengaruh pada besar kecilnya
tindak kejahatan. Faktor L sangat dipengaruhi oleh kepastian
hukum, semakin berat hukuman dan semakin pasti hukuman,

310
Jamaludin Ancok, “Efektivitas Hukum Pidana Islam” Makalah tidak
diterbitkan, (Yogyakarta: Fak Hukum UII, 1992), hlm. 5-6.

| 200 | Hukum Pidana Islam


maka semakin kecil keberanian orang untuk melakukan tindak
kejahatan. Oleh karena yang dibutuhkan adalah tidak sekedar
ancaman tetapi bukti.
Interaksi antara pertimbangan sukses dan gagal, antara
keuntungan yang diperoleh dengan kerugian yang akan didapat
sangat menentukan kemungkinan timbulnya kejahatan. Semakin
besar kemungkinan untuk gagal semakin kecil orang untuk
melakukan tindak kejahatan.311
Ancaman dalam hukum pidana Islam yang tegas dan dibarengi
dengan penegakan hukum yang nyata akan mengurangi dan
dapat menekan angka kriminalitas yang terjadi di mana hukum
itu ditegakkan. Berangkat dari pemahanan norma-norma hukum
pidana Islam, maka kriteria sanksi dalam Islam sangat layak untuk
dipertimbangkan. Namun, perlu dikaji ulang tentang pemahaman
sanksi yang harus diterapkan sebaimana bunyi teks.
Hukum potong tangan bisa diterapkan jika telah terpenuhi
beberapa syarat, baik yang berkenaan dengan subyek, obyek
maupun materi curian. Hukum potong tangan tidak berlaku bagi
orang tua yang mencuri harta anaknya, pembantu mencuri harta
tuannya, pencurian di musim larang pangan (paceklik). Umar
membebaskan budak yang mencuri dengan meminta tuannya
untuk mengganti harga barang yang dicuri dengan 2 kali lipat.
Rasulullah tidak menghukum tangan kepada pencuri yang mencuri
buah-buahan yang dimakan di tempat.
Selanjutnya Fazlurrahman mengatakan bahwa dalam kasus
pencurian perlu diterapkan teori graduasi. Artinya, pencuri yang
baru pertama kali mencuri tidak harus dipotong tangan, melainkan
hukum ta’zīr.312 Muḥammad Syahrūr memahami bahwa hukum
potong tangan dalam Al-Qur`an sebagai hukum yang tertinggi.

311
Ibid., hlm. 7.
312
Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif Neomodernisme dalam Islam,
(Bandung: Mizan, 1986), hlm. 60.

Hukum Pidana Islam | 201 |


Artinya diperbolehkan berijtihad mengurangi hukuman tersebut
tapi tidak boleh melebihi ketentuan hukum yang ada di dalam Al-
Qur`an. Dengan demikian, hukum potong tangan boleh diganti
dengan hukuman lain yang lebih rendah, tetapi tidak boleh diganti
dengan hukuman yang lebih tinggi.313 Jika ternyata kejahatannya
lebih tinggi dari kasus pencurian, maka hukuman yang diterapkan
adalah delik ḥirābah. Ia secara tegas menyatakan dalam teori ḥālah
al-ḥadd al-a’lā (batas maksimal):
                  
       
        
         

                    
  
               
Ayat di atas menjelaskan bahwa hukum potong tangan adalah
hukuman yang tertinggi dalam Islam.314 Artinya seorang pencuri
jika telah terbukti dengan terpenuhi syarat-syarat dan telah sampai
ke tangan hakim, maka hukuman yang diterapkan berdasarkan
al-Qur`an adalah hukum potong tangan. Hukum ini, menurut
Syahrūr adalah batas tertinggi dalam al-Qur`an. Artinya hakim
boleh meniadakan hukum potong tangan jika ada alasan yang
mengharuskan untuk menghindari hukum potong tangan.
Pengecualian hukum potong tangan (penyimpangan nash)
dapat dibenarkan selagi ada alasan-alasan yang menguatkan dan
mengharuskan diberlakukannya hukum selain potong tangan.
Seperti pencurian karena ada alasan darurat sebagaimana yang
ditegaskan dalam kaidah: 315

Muḥammad Syahrūr, al-Kitāb..., hlm. 455.


313

Ibid., hlm. 455.-456.


314

315
Asjmuni A. Rahman, Qaidah-qaidah Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang,
1968), hlm. 86.

| 202 | Hukum Pidana Islam


arena ada alasan darurat sebagaimana yang ditegaskan
h: 33
     
    
    
Kemadaratan dapatlarangan-larangan.
n dapat menghilangkan menghilangkan larangan-larangan.

suk alasan Termasuk alasan yang mengharuskan


yang mengharuskan untuk untuk menghindari
menghindari
hukum potong tangan adalah keadaan terpaksa dan dipaksa,
ong tangan adalahdipraktikkan
sebagaimana keadaanoleh terpaksa dan dipaksa,
Umar ibn al-Khaṭṭāb bahwa tidak
ada hukum potong tangan bagi pencuri di saat musim kelaparan
dipraktikkan oleh Umar ibn al-Khat}t}a>b bahwa tidak
(paceklik).316
potong tangan bagi pencuri di saat musim kelaparan
Peristiwa ini terjadi pada musim kemarau panjang, tanah
gersang bumi berubah menjadi abu, sehingga tahun ini terkenal
dengan istilah tahun abu (‘ām ar-ramaḍa). Peristiwa ini terjadi
menjelang tahun ke delapan belas hijriyah. Umar juga tidak
wa ini terjadi
memotongpadatanganmusim kemarau
seorang budak panjang,
yang mencuri tanah
seekor unta,
sebagai
mi berubah gantinya abu,
menjadi pemilik budak Ḥātib
sehingga ibn Abī
tahun iniBalṭa’ah harus
terkenal
mengganti dua kali harga unta.317
ah tahun abu (‘a>m ketentuan
Berdasarkan ar-ramad}a).
Al-Qur’anPeristiwa
dan praktikini terjadi
tindak pidana
pencurian dikenakan berbagai alternatif
ahun ke delapan belas hijriyah. Umar juga tidak hukuman:
1. Potong
angan seorang budak tangan
yang mencuri seekor unta, sebagai
Hukum potong tangan diterapkan, jika dipahami ayat Al-
pemilik budak Qur’anH{a>tib ibn Abi>
surat al-Maidah ayat 38 Balt}a’ah
secara hakiki. harus Pencuri
profesional,
ua kali harga unta. 35 mencuri untuk kekayaan, untuk berpoya-poya
bahkan melakukan kejahatan untuk modal melakukan
sarkan ketentuan
kejahatanAl-Qur'an dan mencuri
berikutnya, yakni praktikuntuk tindakmodalpidana
memberi
minum-minuman
kenakan berbagai alternatif keras,
hukuman: mabuk dan meresahkan dan
mengganggu ketentraman masyarakat. Mencuri sebagai
tangan modal untuk melacur, main perempuan, mencuri untuk
potong tangan diterapkan, jika dipahami ayat Al-Qur'an
Ibn al-Qayyim, I’lām al-Muwaqqi’īn..., juz III, hlm. 22.
316

-Maidah Barmadi, Ahamad


317
ayat (Bandung:
38 Hasan, Pintu
secara Ijtihad Sebelum
hakiki. Pencuri Tertutup, alih bahasa Agah
profesional,
Pustaka, 1985), hlm. 109.
untuk kekayaan, untuk berpoya-poya bahkan melakukan
n untuk modal melakukan kejahatan Hukum berikutnya,
Pidana Islam yakni
| 203 |

untuk modal memberi minum-minuman keras, mabuk


resahkan dan mengganggu ketentraman masyarakat.
modal berjudi. Pencuri pada tingkat ini biasanya tidak segan
melakukan kekerasan terhadap korbannya, sehingga masuk
pada kategori kejahatan ini adalah pembegal, perampas
(penjambret), perampok, perompak, pembajak), bisa
diberlakukan sanksi sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an surat
al-Maidah ayat 33 dan 38. Pertimbangan peneliti, kejahatan
semacam ini sangat merusak tatanan kehidupan manusia yang
paling prinsip, karena bertentangan dengan maqāṣid asy-
syarī’ah. Pencuri merusak perlindungan terhadap harta, jika
membunuh merusak perlindungan terhadap jiwa, jika berjudi
merusak perlindungan terhadap akal, jika melacur merusak
perlindungan terhadap nasab, bahkan tindakan yang demikian
akan merusak kepentingan umum bahkan lingkungan yang
itu semua bertentangan dengan ajaran apapun, termasuk ḥifz
al-’ammah. Ketentuan yang pasti tentang legitimasi hukum
potong tangan bagi pencuri harus dengan ijma’ ala Indonesia
(ijtihād jamāī). melalui lembaga Ahl al-Ḥall wa al-Aqdnya.
Yang terdiri dari berbagai unsur, semisal Hay’at al-Tasyrī’iyyah
adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan mujtahid-
mujtahid yang diambil dari perwakilan ormas Islam semisal
NU, Muhammadiyah, PERSIS, MMI, HTI, Al-Irsyad. Ahl al-
Ikhtiṣāṣ dalam konteks kekinian adalah Ikatan Cendikiawan
Muslim Indonesia (ICMI). Lebih lanjut Hay’at al-Siyāsah
(lembaga politik) dapat diterjemahkan menjadi Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dan Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR). Model ijtihād jamāī mutlak harus dilakukan,
karena lembaga tersebut merupakan tempat bangsa Indonesia
melahirkan undang-undang.
2. Penjara dan atau Ganti Rugi
Pencuri tidak harus dikenakan sanksi potong tangan. Sejarah telah
mencatat bagaimana praktik Nabi dan Umar ibn al-Khaṭṭāb yang
tidak selalu menghukum potong tangan bagi pencuri. Contoh

| 204 | Hukum Pidana Islam


Sejarah telah mencatat bagaimana praktik Nabi dan Umar ibn al-
Khat}t}a>b yang tidak selalu menghukum potong tangan bagi
pencuri. Contoh pencurian dilakukan dengan keadaan terpaksa,
hasilnya bukan untuk kekayaan, harta yang diambil sekedar yang
pencurian dilakukan dengan keadaan terpaksa, hasilnya bukan
dibutuhkan,untuk
makakekayaan, pada kondisi harta yangseperti diambil ini sekedar haram yang diterapkan dibutuhkan,
hukum potongmakatangan pada kondisi bagi seperti pencuri. ini haram Hukuman diterapkan yanghukum patutpotong pada
tangan bagi pencuri.
kasus pencurian macam ini cukup dengan hukuman penjara, atau Hukuman yang patut pada kasus pencurian
macam ini cukup dengan hukuman penjara, atau dikenakan
dikenakan ganti rugi. Pemahaman ini didasarkan kepada:
ganti rugi. Pemahaman ini didasarkan kepada:
a. Penilaiana.surat
Penilaian al-Maidah surat ayat al-Maidah 38: ayat 38:
     
          
  
   
   

       
  

Laki-laki danLaki-laki
perempuan dan    mencuri
 yang
 perempuan yang   potonglah
 mencuri   tangan
 potonglah         
tangan
keduanya sebagai pembalasan terhadap apa yang mereka
keduanya sebagai
kerjakanpembalasan
dan sebagai siksaan terhadap Allah
dari   yang
apa   dan
s.w.t. mereka       
Allah
kerjakan dan Maha
sebagaiPerkasasiksaan lagi Maha dari Allah Bijaksana. s.w.t. dan Allah Maha
Lafaz      diartikan secara majāzī, maka bukan

    
Perkasa lagi Maha Bijaksana.
potong tangan, melainkan potong kemampun. Tujuannya
Lafaz     adalah
   agar sesorangsecara
diartikan tidak bisa melakukanmaka
maja>zi>, tindak bukan
pidana
pencurian lagi. Dengan demikian, hukuman penjara bagi
potong tangan, pencuri melainkan
dibenarkan,potong
karena kemampun.
dengan penjara Tujuannya
seseorang
adalah agar tidak sesorang bisa melakukan
tidak bisakejahatannya
melakukanlagi. tindak pidana
b. Hukum potong tangan dalam Al-Qur’an adalah hukum
pencurian lagi. Dengan demikian, hukuman penjara bagi
tertinggi, konsekuensinya, hakim tidak boleh memberikan
pencuri dibenarkan, sanksi lebih karena
bertadengan penjara
dari hukum seseorang
potong tangan, tidak
tetapi
bisa melakukan boleh menentukanlagi.
kejahatannya hukuman lebih rendah dari hukum
potong tangan. Sebagaimana dijelaskan oleh Muḥammad
b. Hukum potong Syahrūr: tangan dalam Al-Qur'an adalah hukum
 
tertinggi, konsekuensinya,
  
  hakim
  
    
tidak boleh memberikan
           
  


sanksi lebih berta dari hukum potong tangan, tetapi boleh         
menentukan  hukuman
  lebih   dari
rendah 
 hukum tangan.
 potong   
  
Sebagaimana dijelaskan oleh 318     Syahru>r:
Muh}ammad      

 Muḥammad
318
 
Syaḥrūr, al-Kitāb..., hlm. 455.

Hukum Pidana Islam | 205 |


Di dalam surat al-Maidah ayat 38 dijelaskan bahwa
hukumam tertinggi bagi pencuri adalah hukuman potong
tangan, sehingga tidak boleh melakukan hukuman lebih
berat dari hukuman potong tangan, tetapi kemungkinan
diberlakukan hukuman yang lebih ringan dari hukuman
potong tangan.
Di Indonesia, bentuk penjara bagi tindak pidana
pencurian dapat dijadikan alternatif akan tetapi dilihat materi
tindak kejahatannya, seperti mencuri bukan profesi, nilainya
tidak sampai senisab, bukan untuk kekayaan, bahkan dalam
keadaan terpaksa dan tidak menghendaki perbuatan tersebut.
Mengingat dalam pelaksanaan hukuman ada dua macam
pendekatan, yaitu jawābir dan zawājir. Jika pendekatan
jawābir menghendaki pelaksanaan secara tekstual berdasarkan
nas. Artinya, hukum harus ditegakkan dengan maksud
menebus kesalahan dan dosa si pelaku kejahatan. Pendekatan
ini akan berlaku secara universal, siapapun yang mencuri
berarti melanggar ketentuan Al-Qur’an surat al-Maidah ayat
(38), pelaku dihukum potong tangan. Sebaliknya, zawājir
lebih melihat tujuan pemidanaan itu tercapai, yakni membuat
jera pelaku dan menjadi pelajaran bagi orang lain.319
Pengitegrasian hukum pidana Islam ke dalam hukum
pidana nasional, pendekatan jawābir dan zawājir patut menjadi
pertimbangan. Artinya, jika dengan pendekatan zawājir
(hukum minimal), hukuman penjara dan pelaku disuruh
mengembalikan barang curiannya dan tujuan penerapan
sanksi tersebut dapat tercapai, maka pendekatan jawābir

319
Makhrus Munajat,”Penegakkan Supremasi Hukum di Indonesia
dalam Perspektif Islam”, dalam Asy-Syir`ah, (Yogyakarta: Fakultas Syari`ah
IAIN Yogyakarta, 2001), hlm. 66.

| 206 | Hukum Pidana Islam


(hukum maksimal=hukum potong tangan) yang disebutkan
secara eksplisit dalam nas tidak pelu lagi diterapkan.320
Peneliti setuju dengan pendapat Muh}ammad Syaḥrūr yang
menyatakan bahwa pencuri dapat dikenakan hukum potong
tangan sebagai hukuman maksimal dalam Al-Qur’an. Jika pencuri
profesional dan melakukan pencurian berulang-ulang serta
dijadikan mata pencaharian dan untuk kekayaan pribadinya dan
hasilnya untuk hura-hura (maksiat kepada Allah), maka hukum
potong Sanksi
tangan layak
potongditegakkan.
tangan dalamBahkanarti jika dibarengi
maja>zi> dengan(potong
kekerasan, maka hakim berpaling dari surat
kemampuan) atau penjara dalam konteks Indonesia merupakan al-Maidah ayat 38 dan
merujuk kepada surat al-Maidah ayat 33. Artinya pencuri yang40
bentuk hukuman yang tidak bertentangan dengan syari’at Islam.
tidak terpaksa, hasilnya untuk berpoya-poya, dalam aksinya tidak
Hal ini didukung oleh fakta sejarah yang tidak selamanya
segan melukai si korban bahkan tega membunuh dan kejahatan
menghukum
sangat potongmasyarakat,
meresahkan tangan bagi maka pencuri,pelakujuga layak
adanyadikenakan
penafsiran
qat}’u al-yad
hukuman mati yang
sebagaiartinya
balasanpotong kemampuan
akibat perbuatannya.atau kekuasaan. Bisa
Sebaliknya,
terjadi jika pencurian
hukum penjara dibenarkandilakukan
syara’ jika karena
dinilaiada unsur
efektif dan
keterpaksaan, bukan untuk kekayaan dan tidak melebihi, maka
mampu membuat jera si pelaku sekaligus mendidik masyarakat
gugurlah
umum untuk hukuman tidakpotong
berbuattangan
jahat.danNamun
dapat digantikan
demikian, dengan
hukuman
hukuman
maksimalyangdalam lain termasuk
Islam hukuman
dalam penjarakasus atau cukup disuruh
pencurian perlu
mengganti harga barang yang dicuri 321
dipertimbangkan, malaupun dalam dataran aplikatif perlu
Sanksi potong
disistematisir dan tangan dalam arti majāzī
diobyektivikasikan (potongmelalui
oleh manusia kemampuan)
nalarnya
atau penjara dalam konteks Indonesia
dengan pertimbangan sosio-kulturalnya. merupakan
41 bentuk hukuman
yang tidak bertentangan dengan syari’at Islam.322 Hal ini didukung
Alasan campur tangan manusia dalam mengaplikasikan
syari'ah adalah karena memang fiqh seharusnya identik dengan
320
masyarakatArsekal Salim,
dan “Politikkarena
hokum, HukumilmuPidana Islam di Indonesia:
pengetahuan Eksistensi
tentang hukum
Historis, Kontribusi Fungsional dan Prospek Masa Depan” dalam Pidana Islam
diselalu bekerja
Indonesia: untuk
Peluang masyarakat
Prospek tertentu
dan Tantangan, dan Pustaka
(Jakarta: dalam waktu
Firdaus,tertentu.
2001),
hlm. 261.
Demikian halnya fiqh seharusnya terikat pada tempat dan masa
tertentuHal ini pernah
halnya dipraktikkan
dengan ilmu oleh Nabi 42 yang tidak menghukum
321
sama hukum. Ketentuan hukum yang
apa-apa pencuri buah-buahan dan dimakan di tempat, jika yang punya
rela atau tersangka membayar harga dari buah kurma yang dicurinya .
Lihat Abd Qadīr Awdah, at-Tasyrī’...., Juz I, hlm. 127.
32240
Sanksi
Sanksipenjara penjaradibenarkan dibenarkan selagi
selagiitu
ituhasil
hasilkonsesus
konsesusbangsa
bangsa
Indonesia,
Indonesia,          Sesuatuyang
     Sesuatu yang tidak
tidak bisabisa diambil
diambil semuasemua
jangan
ditinggalkan semuanya.
41
Amin Suma, dkk, Hukum Pidana Islam di Indonesia: Prospek,
Peluang dan Tantangan, (Jakarta: PustakaHukum Firdaus,Pidana
2001),Islam | 207
catatan |
Editor,
hlm. 1.
42
Masalah ini berhadapan dengan konsep pemikiran fiqh selama ini,
yakni fiqh hasil ijtihad para fuqaha masa lampau yang menganggapnya
sebagai sesuatu yang tidak dapat dirubah lagi atau ditinjau kembali. Padahal
oleh fakta sejarah yang tidak selamanya menghukum potong tangan
bagi pencuri, juga adanya penafsiran qaṭ’u al-yad yang artinya
potong kemampuan atau kekuasaan. Bisa terjadi hukum penjara
dibenarkan syara’ jika dinilai efektif dan mampu membuat jera si
pelaku sekaligus mendidik masyarakat umum untuk tidak berbuat
jahat. Namun demikian, hukuman maksimal dalam Islam dalam
kasus pencurian perlu dipertimbangkan, malaupun dalam dataran
aplikatif perlu disistematisir dan diobyektivikasikan oleh manusia
melalui nalarnya dengan pertimbangan sosio-kulturalnya.323
Alasan campur tangan manusia dalam mengaplikasikan
syari’ah adalah karena memang fiqh seharusnya identik dengan
masyarakat dan hokum, karena ilmu pengetahuan tentang hukum
selalu bekerja untuk masyarakat tertentu dan dalam waktu tertentu.
Demikian halnya fiqh seharusnya terikat pada tempat dan masa
tertentu sama halnya dengan ilmu hukum.324 Ketentuan hukum
yang ada dalam fiqh harus memperhatikan dan memperhitungkan
politik, sosial dan budaya masyarakat. Tanpa memperhatikan hal-
hal itu, apalagi bertentangan dengannya, aturan-aturan itu hanya
sekedar slogan atau basa basi.325 Kasus hukum potong tangan bagi

jangan ditinggalkan semuanya.


323
Amin Suma, dkk, Hukum Pidana Islam di Indonesia: Prospek, Peluang
dan Tantangan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), catatan Editor, hlm. 1.
324
Masalah ini berhadapan dengan konsep pemikiran fiqh selama ini,
yakni fiqh hasil ijtihad para fuqaha masa lampau yang menganggapnya sebagai
sesuatu yang tidak dapat dirubah lagi atau ditinjau kembali. Padahal ilmu fiqh
harus terikat oleh waktu dan tempat sama halnya dengan ilmu hukum. Karena
itu, tugas kajian fiqh sekarang harus merombak paradigma tersebut terlebih
dahulu. Karena tanpa perombakan cara fikir yang demikian, tidak mungkin
mengembangkan fiqh itu sendiri. Fiqh dan hukum merupakan dua entitas yang
tidak berpautan. Baca Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia Perspektif
Muhammadiyah dan NU, (Jakarta: Universitas Yarsi Jakarta, 1999), hlm. xiii-
xiv.
325
Satria Effendi, “Metodologi Hukum Islam” dalam Dimensi Hukum
Islam dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm.
126; Rifyal Ka’bah, Hukum Islam…, hlm. xv.

| 208 | Hukum Pidana Islam


pencuri yang didasarkan pada Al-Qur’an surat al-Maidah ayat 38
di Indonesia sulit diterapkan karena masyarakat tidak mengakui
hukum itu dalam dataran empirik. Bahkan dunia pesantren yang
biasanya selalu menyuarakan penerapan hukum Islam paling
lantang lebih senang memakai istilah ta’zīr ketimbang ḥudūd.
Artinya adanya kebebasan dalam menentukan sanksi ketimbang
memakai hukum Al-Qur’an. Kalau pesantren dalam komunitas
kecil saja berjalan tanpa ada hambatan, apalagi negara yang
mengatur sendi-sendi kehidupan yang kompleks, maka sangat
dibenarkan berijtihad secara jamā’ī untuk menentukan sanksi
bagi tindak pidana pencurian.
Hukuman ḥudūd untuk pencurian tidak boleh diberlakukan
pada kondisi yang berikut ini:
(a) apabila harta yang dicuri kurang dari nisab;
(b) adanya unsur syubhat;
(c) apabila pelanggar bukan seseorang yang mukallaf;
(d) apabila pemilik dari harta yang dicuri tidak melakukan
tindakan pencegahan yang memadai untuk melindunginya
terhadap pencurian, berkaitan dengan sifat dari harta dan
tempat di mana harta tersebut disimpan atau ditinggalkan;
(e) apabila pelaku pelanggaran belum sepenuhnya memiliki
harta yang dicuri, meskipun pemiliknya telah kehilangan atas
penjagaan dan kepemilikannya;
(f) apabila harta yang dicuri tidak terlalu bernilai dan banyak
ditemukan di tanah atau bersifat mudah hancur;
(g) apabila harta tersebut tidak bernilai menurut hukum syariah,
seperti minuman yang memabukkan atau alat yang digunakan
untuk hiburan;
(h) apabila pelanggaran dilakukan oleh pemberi utang berkaitan
dengan harta dari si penghutang, yang menolak membayar
utangnya; asalkan bahwa nilai dari harta yang dicuri tidak
melebihi jumlah utang tersebut atau nilai dari harta yang

Hukum Pidana Islam | 209 |


dicuri melebihi jumlah utang tetapi tidak melewati nisab;
(i) apabila pelanggaran tersebut dilakukan pada kondisi kesulitan
yang sangat, seperti peperangan, kelaparan, wabah penyakit,
dan bencana alam;
(j) apabila pelanggaran tersebut dilakukan di dalam keluarga,
seperti istri mencuri dari suaminya dan sebaliknya atau
seorang anak dari ayahnya dan sebaliknya;
(k) apabila pada kasus suatu pelanggaran yang dilakukan oleh
sekelompok orang, bagian dari masing-masing pelaku
pelanggaran setelah membagi harta yang dicuri atau hasil dari
pencurian tersebut kurang dari nisab;
(l) apabila pelanggar mengembalikan harta yang dicuri sebelum
eksekusi hukuman hudud;
(m) apabila pemilik dari harta yang dicuri mengingkari
pencurian tersebut meskipun adanya pengakuan dari pelaku
pelanggaran;
(n) apabila pelaku pelanggaran mengemukakan keberatan yang
diterima oleh hukum syariah terhadap kesaksian dan alat
bukti;
(o) apabila harta yang dicuri atau kondisi pelanggaran dilakukan
sedemikian rupa sehingga menurut hukum syariah tidak ada
hukuman ḥudūd.
Oleh karena itu, pada saat belum ada realisasi dari ketentuan
Al-Qur’an tentang sanksi hukum potong tangan di Indonesia,
sebagaimana bunyi teks, maka harus ada norma-norma hukum
yang mengakomodir kepentingan masyarakat dalam rangka
melindungi hartanya. Dengan demikian, prinsip syari’ah yang
menyatakan bahwa pencuri adalah bentuk kejahatan dan setiap
kejahatan harus diberikan sanksi sudah diterjemahkan dalam
bahasa undang-undang. Bentuk ijtihad jamā’ī ini sesuai dengan
prinsip-prinsip maqāṣid asy-syarī’ah dengan mendasarkan
qaidah:

| 210 | Hukum Pidana Islam


Islam sudah
sanksi mengajarkan agar dalam
diterjemahkan  manusia
semuabahasa    undang-undang.
 
44
 mentaati
 
    hukum-
 .1
Bentuk
ijtihad
mIslam jama>'i>
Allah, akan ini
mengajarkan sesuai
tetapi dengan
hukum
agar semua prinsip-prinsip
Allah manusia (syari'ah) mentaati maqa>s}id
banyak hukum- asy-
yang
syari>'ah
mat Allah, dengan
z}anni>.akan mendasarkan
Kewajiban
tetapi hukum qaidah:
ahli hukum
Allah untuk (syari'ah) merumuskan banyakhukum- yang
326   dan
 merumuskan
 diterapkan

  
   dan
 hukum-
pada
44
m
at yang z}anni>
z}anni>. tersebutahli
Kewajiban bisahukum
dipahami untuk  .1
nya dapat
Islam Islam mengajarkan
tercapai
mengajarkantujuanagar agar
syara'
semua semua
itu manusiayakni
sendiri,
manusia mentaati mentaati merealisir hukum-
hukum-
m yang z}anni> tersebut bisa dipahami dan diterapkan dan pada
hukum Allah, akan tetapi hukum Allah (syari’ah) banyak yang
hukum
slahatan
nya Allah,
dapat umat akan
dalam
tercapai
bersifat ẓannī.
tetapi
tujuan hukum
rangka
syara'
Kewajiban ahli
Allah
memenuhi
itu
hukum
(syari'ah)
sendiri,
untuk yaknibanyak
kebutuhannya,
merumuskan merealisir hukum-
yang
baik
bersifat z}anni>.
bersifat
slahatan hukum yang ẓannī
Kewajiban
d}aru>riyyah,
umat dalam rangkaahli
tersebut hukum
h}ajiyyah
memenuhi untuk
bisa dipahami
maupun merumuskan
dan diterapkan
kebutuhannya, tah}si>niyyah. hukum-
dan pada
baik
hukum yang akhirnya dapat
z}anni>hukum tercapai
tersebutpidanatujuan
bisa dipahamisyara’ itu sendiri, yakni merealisir
m rangka
bersifat integrasi
d}aru>riyyah,
kemaslahatan h}ajiyyah
umat dalam
Islammaupundidan
rangka memenuhi
diterapkan
Indonesia tah}si>niyyah.
kebutuhannya,
yang dantidak pada
baik
akhirnya dapat tercapaimakatujuancukup
syara'yang itu sendiri, yakni saja merealisir
anya bisa diterapkan,
yang bersifat ḍarūriyyah, ḥajiyyah bisa
maupun
m rangka integrasi hukum pidana Islam di Indonesia yang tidak diserap
taḥsīniyyah. yang
Dalam
kemaslahatan umat
rangka dalamhukum
integrasi rangka memenuhi
pidana di kebutuhannya,
Islampidana.Indonesia yang tidak baik
bil sebagaimana
anya bisa diterapkan,pengklasifikasian
maka cukup tindak
yang bisa diserap saja yang
yang bersifat semuanya bisa diterapkan,
d}aru>riyyah, maka cukup
h}ajiyyah maupun yang bisa diserap saja
45 tah}si>niyyah.
   
     .2
il sebagaimana
Dalam rangka pengklasifikasian
yangintegrasi
diambil sebagaimana
hukum pidana tindak
Islampidana.
pengklasifikasian tindak
di Indonesia   pidana.
    tidak
yang
Kaidah ini
semuanya bisamemberikan
diterapkan, makapemahaman
cukup yang bahwa
45
  dari
niat
bisa327 diserap  saja
   yang
perumus .2
ng-undang
diambil ini iniKaidah
Kaidahsebagaimana
memberikanini memberikan
pemahaman pemahaman
tidakpengklasifikasian
mengkhinati ruh
tindak
bahwa bahwa
syari'at
pidana. niatniat Islam,
dari dari perumus
perumus justru
undang-undang ini tidak mengkhinati ruh syari’at  Islam, justru
ksimal mungkin
g-undang ini tidak memperjuangkan
mengkhinati nilai-nilai
ruh syari'at
45
hukum  
 Islam, pidana
 .2
justru
semaksimal mungkin memperjuangkan nilai-nilai hukum pidana
ksimal Islam
dalamKaidah
aturan
mungkininidalam aturan perundang-undangan
perundang-undangan
memperjuangkan
memberikan pemahaman dinilai-nilai
bahwa di Indonesia.
Indonesia. niathukum dari perumus pidana
     justru
 Islam,   .3
46
undang-undang ini tidak mengkhinati
dalam aturan perundang-undangan ruh 328syari'at
di Indonesia.
Memperjuangkan
semaksimal mungkin syari’at Islam,
memperjuangkan 46 dalam hukum
 
nilai-nilai hal ini hukum
  pidana
  .3
pidana Islam secara legal formal adalah suatu pekerjaan yang
Islam dalam aturan perundang-undangan di Indonesia.
amat berat, maka ada kemudahan yang perlu diambil, yakni
   landasan
44
Jala>luddi>n as-Suyu>t}i>, al-Asyba>h wa 46an-Naz}a>ir
memperjuangkan secara substansial. Qa’idah ini
menjadi
 fi>
  al-
.3
>',44 (Mesir: Da>r al-Ba>b
dibenarkan
al-H{alabi>
melakukanal-Asyba>h
wa Awladuhu,
transformasi hukum
t.t.), hlm.
Islam dalam fi> konteks
218.
Jala>luddi>n as-Suyu>t}i>, wa an-Naz}a>ir al-
li, Kaidah-kaidah Fikih,
keindonesiaan. (Jakarta: Pranada Media, 2006), hlm. 98.
',45(Mesir: Da>r al-Ba>b al-H{alabi> wa Awladuhu, t.t.), hlm. 218.
Abd44Jala>luddi>n
al-H{ami>d as-Suyu>t}i>,
H{a>kim, Maba>di>' al-Asyba>h
Awwaliyyah
wa2006),
an-Naz}a>ir
Us}u>l fi> al-
al-
i, Kaidah-kaidah Fikih, (Jakarta: Pranada Media, hlm. 98.
wa45 al-Qawa>'id
Furu>', (Mesir: Da>r al-Fiqhiyyah,
Jalāluddīn
al-Ba>b
326 (Jakarta:
as-Suyūṭī, al-Asybāhwa
al-H{alabi> Maktabah
wa an-Naẓāir
Awladuhu, Sa'adiyyah
fī al-Furū’,
t.t.), Putra,
(Mesir:218.
hlm. Dār
Abd al-H{ami>d H{a>kim, Maba>di>' Awwaliyyah Us}u>l al-
lm.
Djazuli,44. Djazuli,
al-Bāb Kaidah-kaidah
al-Ḥalabī
Kaidah-kaidah wa Fikih,(Jakarta:
Awladuhu,
Fikih, (Jakarta: t.t.), hlm.
Pranada 218. Pranada
Djazuli,
Media, 2006), Media,
Kaidah-kaidah
hlm. 98. 2006), Fikih,
wa al-Qawa>'id al-Fiqhiyyah, (Jakarta:
(Jakarta: Pranada Media, 2006), hlm. 98.
Maktabah Sa'adiyyah Putra,
8. 45
Abd al-H{ami>d H{a>kim, Maba>di>' Awwaliyyah Us}u>l al-
m. 44. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih,(Jakarta:
Abd al-Ḥamīd Ḥākim,
327 PranadaUṣūl
Mabādī’ Awwaliyyah Media, al-Fiqh2006), wa al-
Fiqh
8. wa al-Qawa>'id al-Fiqhiyyah, (Jakarta: Maktabah Sa'adiyyah
Qawā’id al-Fiqhiyyah, (Jakarta: Maktabah Sa’adiyyah Putra, t.t.), hlm. 44. Putra,
.t.), hlm. 44.Djazuli,
Djazuli,Kaidah-kaidah Fikih,(Jakarta:
Kaidah-kaidah Pranada Media,
Fikih,(Jakarta: 2006), hlm.
Pranada 98. 2006),
Media,
hlm. 98.
328
Asjmuni A. Rahman, Qaidah-qaidah Fiqhiyah (Jakarta: Bulan Bintang,
1976), hlm. 24.

Hukum Pidana Islam | 211 |


ada kemudahan yang perlu diambil, yakni memperjuangkan
a substansial. Qa'idah ini menjadi landasan dibenarkan
ukan transformasi hukum Islam dalam konteks keindonesiaan.
47 
329 
         .4
         
i dengan Sesuai
konsep ta'zi>r,
dengan suatusuatu
konsep ta’zīr, sikap dankebijakan
sikap dan kebijakan yang
yang diambil
oleh pemerintah
bil oleh pemerintah demidemi menjaminkeamanan
menjamin keamanan dan danketentraman serta
ketentraman
kemaslahatan umat.
kemaslahatan Draft
umat.KUHP 2008 menurut hemat peneliti merupakan bentuk
Draft KUHPijtihad2008
umatmenurut
Islam di Indonesia dalam menerapkan
hemat peneliti merupakan bagian dari
bentuk
prinsip-prinsip syari’ah dalam bentuk kebijakan tentang tindak
d umat Islam di Indonesia dalam menerapkan bagian dari
pidana pencurian yang berdampak pada kepentingan warga negara
p-prinsip yang
syari'ah dalam bentuk
sangat kompleks kebijakan
kehidupannya, tentang
seperti terlihat dalamtindak
pasal-
a pencurianpasal bertikut
yang ini:
berdampak pada kepentingan warga negara
Pasal 594:kehidupannya, seperti terlihat dalam pasal-
sangat kompleks
Setiap orang yang mengambil suatu barang yang sebagian atau
bertikut ini:
seluruhnya milik orang lain, dengan maksud untuk memiliki
594: barang tersebut secara melawan hukum, dipidana karena
p orang yangpencurian dengan pidana
mengambil suatupenjara palingyang
barang lama 5sebagian
(lima) tahunatau
atau
pidana denda paling banyak Kategori IV.
uhnya milik orang lain, dengan maksud untuk memiliki barang
ut secara Pasal
melawan 596:
hukum, dipidana karena pencurian dengan
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
a penjara paling lama lama
dan paling 5 (lima) tahun
7 (tujuh) atau
tahun, pidana
setiap orangdenda paling
yang mencuri:
k Kategori IV.a. ternak atau barang yang merupakan sumber mata
pencaharian atau sumber nafkah utama seseorang;
b. pada waktu ada kebakaran, ledakan, bencana alam, kapal
596: karam, kapal terdampar, kecelakaan pesawat udara,
kecelakaan
ipidana dengan pidana kereta api,
penjara kecelakaan
paling singkatlalu 1
lintas jalan,tahun
(satu) huru-
hara, pemberontakan, atau kesengsaraan perang;
an paling lamac. 7 (tujuh) tahun,
pada waktu setiap
malam orang
dalam yang
suatu mencuri:
rumah atau dalam
. ternak atau pekarangan
barang tertutup
yang yang ada rumahnya,
merupakan yang dilakukan
sumber mata
pencaharian atau sumber nafkah utama seseorang;
329
Jalāluddīn as-Suyūṭī, al-Asybāh…, hlm. 316.

46
Asjmuni | A.
212 Rahman,
| Hukum Pidana Islam
Qaidah-qaidah Fiqhiyah (Jakarta: Bulan
g, 1976), hlm. 24.
47
Jala>luddi>n as-Suyu>t}i>, al-Asyba>h…, hlm. 316.
oleh orang yang adanya di situ tidak diketahui atau tidak
dikehendaki oleh yang berhak; atau
d. yang untuk masuk ke tempat melakukan tindak pidana
atau untuk dapat sampai pada barang yang akan diambil,
dilakukan dengan membongkar, memecah, memanjat,
memakai anak kunci palsu, perintah palsu, atau pakaian
jabatan palsu.

Adapun kejahatan terhadap harta kekayaan yang sangat berat


dan banyak mengakar di Indonesia adalah korupsi. Masalah
tersebut telah terjadi pada masa pemerintahan Umar ibn al-Khaṭṭāb
di mana Muim ibn Zaid memalsukan stempel pemerintahan,
lalu harta pajak dari Kufah datang kepadanya. Umar kemudian
meminta pendapat rakyat dalam hal tersebut. Salah seorang dari
mereka mengatakan “Potonglah tangannya.” Yang lainnya berkata,
“Gantung saja”.
Ali ibn Abi Thalib berkata “Orang yang berdusta besar,
maka hukumannya pada tubuhnya (di kulitnya)”. Maka, ia pun
dicambuk sampai babak belur dan dipenjarakan sampai ia sadar
dan insyaf. Lalu ia minta dikeluarkan dari penjara dan permintaan
itu diterima, sehingga dia dibebaskan.
Usulan memotong tangan tidak sesuai dengan keadaan, karena
syarat menerapkan hukuman tersebut belum terpenuhi dalam
tindakan kriminal itu, dan juga karena rakyat pada umumnya
mempunyai syubhat kepemilikan terhadap harta negara. Maka,
perkara ini termasuk dalam tindak pidana korupsi harta kekayaan
negara melalui penipuan dan dikenakan hukuman ta’zīr.
Usulan untuk melakukan hukum gantung sangat berlebihan,
karena tindak kriminal itu belum sampai kepada batas mendapat
hukuman gantung. Maka, keputusan Umar tentang hukuman

Hukum Pidana Islam | 213 |


terhadap mereka ini sudah tepat, yaitu dengan mencambuk dan
memenjarakannya.330
Dengan demikian, kejahatan terhadap harta, seperti pencurian,
yang tidak sempurna syaratnya, korupsi dan suap dalam Islam
masuk dalam wilayah ta’zīr. Artinya bentuk kejahatan yang materi
dan jenis saknsinya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa.
Sanksi ta’zīr pada prinsip ringan, akan tetapi ta’zīr mempunyai
beberapa alternatif hukuman dari yang terberat sampai kepada
hukuman yang teringan.

F. Sanksi Delik Pencurian dengan Kekerasan dalam konteks


Keindonesiaan
Ketentuan jarīmah ḥirābah dalam Islam dapat dikatakan
jelas dari segi sanksi yang ditentukan dalam Al-Qur’an, yakni
hukum mati, salib, potong tangan dan kaki secara bersilang serta
di asingkan. Ketentuan tindak pidananya tidak jelas, seperti
bentuknya, kriteria pelakunya, bahkan siapa yang menjadi korban.
Kalau dicermati surat al-Maidah ayat 33:

          

           

             

Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang


memerangi Allah dan Rasul-Nya, membuat kerusakan
di Sesungguhnya
muka bumi, hanyalah mereka
pembalasan dibunuh
terhadap atau disalibyang
orang-orang
memerangi Allah dan Rasul-Nya, membuat kerusakan di
330
Quṭb Ibrahim
muka Muḥammad,
bumi, hanyalahKebijakan
merekaEkonomi
dibunuhUmar
atauibndisalib
Khaṭṭāb,atau
hlm. 181. dipotong tangan dan kaki mereka secara bersilang atau
dibuang dari negeri (kediamannya). Yang demikian itu
| 214 | Hukum Pidana
sebagai Islam bagi mereka di dunia dan di akhirat mereka
balasan
mendapat siksaan yang besar.
atau dipotong tangan dan kaki mereka secara bersilang
atau dibuang dari negeri (kediamannya). Yang demikian
itu sebagai balasan bagi mereka di dunia dan di akhirat
mereka mendapat siksaan yang besar.

Ayat di atas jelas źannī dari segala dalālah (makna yang dikehendaki
oleh teks), maka kejahatan dalam ayat tersebut multi tafsir.331
Kejahatan yang masuk kategori ḥirābah, sekarang bisa terjadi
di tempat keramaian seperti di bank dan toko swalayan yang
dengan senjata otomatis penjahat leluasa melakukan aksinya dan
orang lain takut memberikan pertolongan. Sasaran tidak hanya
terbatas harta dan nyawa, tetapi gangguan keamanan, seperti
sabotase, terorisme, penipuan, korupsi, pemutusan aliran listrik,
pengrusakan jalan, saluran air minum, pengeboman, pemerkosaan
dan bentuk-bentuk kejahatan lain yang pada akhirnya memakan
korban, baik jiwa, harta maupun kehormatan.
Ketentuan hukum ini yang oleh az-Zarqa masuk dalam kategori
sifat hukum Islam yang qadā’ī (yuridis). Untuk menetapkan kriteria
kejahatan ini mutlak melalui kebijakan negara. Tanpa kebijakan itu
sulit implementasinya. RUU KUHP telah mengakomodir berbagai
kebijakan yang terkait dengan tindak pidana yang berkaitan
dengan jarīmah ḥirābah. Bentuk transformasinya yang paling
relevan adalah memahami lafdz aw dalam surat al-Maidah ayat
33 sebagai takhyīr (pilihan). Mestinya dalam KUHP mendatang
perlu adanya statemen:
a) Bila hanya mengambil harta dan membunuh ia dihukum
salib.
b) Jika ia tidak mengambil harta, tetapi membunuh, ia dihukum
bunuh.

331
Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007),
hlm. 69-72.

Hukum Pidana Islam | 215 |


c) Jika hanya mengambil harta dengan paksa dan tidak
membunuh, maka sanksinya adalah potong tangan dan kaki
secara bersilang.
d) Bila hanya menakut-nakuti, maka dihukum penjara.332

Mujtahid Indonesia setidaknya mempertimbangkan keempat


alternatif hukuman di atas, yakni tidak diambil sanksi teringan
yakni penjara, melainkan hukuman mati, sebagai pertimbangan
hukuman bunuh dan salib patut diakomodir. Misalnya pada
tindak pidana pengambilan harta dengan disertai kekerasan,
memperkosa dan membunuh si korban. Maka dalam kasus ini
hukum mati layak diterapkan sebagai hukuman alternatif demi
mengayomi masyarakat.
Bab dan pasal-pasal seperti diatur di atas dalam RUU KUHP
2008 telah memerinci sedemikian rupa bentuk-bentuk kejahatan
yang berangkat dari ketentuan surat al-Maidah ayat 33 yang
merupakan wujud dari maqāṣid al-syarī’ah al-ḍarūriyyah (tujuan
syara yang paling esensi). Tanpa kebijakan itu harta, jiwa tak
terlindungi, hal itu akan berdampak pada terganggunya keamanan,
ketertiban (lingkungan) dan berdampak pada ketidaknyamanan
beragama.
Draft KUHP 2008 dalam rangka pembaharuan hukum
pidana di Indonesia merupakan wujud nyata ijtihad yang
sungguh-sungguh oleh umat Islam Indonesia khususnya dan
bangsa Indonesia umumnya dalam memproduksi hukum yang
bermuatan nilai-nilai Islam. Ijtihad di atas dilakukan semata-mata
untuk alasan kemaslahatan umum. Dengan dalih kemaslahatan,
sebuah hukum dapat diubah. Selagi penetapan maslahat tidak
didasari keinginan individu atau hawa nafsu. Sebagaimana tujuan
dari penetapan syari’ah di samping mengekang hawa nafsu juga

332
Ibid., hlm. 401.

| 216 | Hukum Pidana Islam


kemaslahatan umum. Dengan dalih kemaslahatan, sebuah hukum
dapat diubah. Selagi penetapan maslahat tidak didasari keinginan
individu atau hawa nafsu. Sebagaimana tujuan dari penetapan
syari’ah di samping mengekang hawa nafsu juga merealisir
kemasalahatan
merealisir hamba.51 Maka,
kemasalahatan ijtihad
hamba. 333 dalam rangka menafsirkan dan
Maka, ijtihad dalam rangka
menjelaskan serta mentafsilkan bahasa
menafsirkan dan menjelaskan serta mentafsilkanAl-Qur'an tentang
bahasa tindak
Al-Qur’an
tentang tindak pidana,
pidana, misalnya, qaf, h}ira>bah,
sariqah,misalnya, sariqah,riddah
qażf, bugha>t,
52
ḥirābah, riddah
syurb
bughāt, 334
syurb al-khamr 335
ke dalam bahasa Undang-undang
51
Imran Ahsan Khan Nyazee, Theories of Islamic Law, (Islamabad:
International of Islamic Thought and Islamic Research Institut, 1994), hlm.
235. 333 Imran Ahsan Khan Nyazee, Theories of Islamic Law, (Islamabad:
International
52
Delikof pembrontakan Islamic Thought termasukand Islamic gerakan Research sparatis Institut,
yang1994), hlm.
ada dalam
235.
suatu wilayah. Masalah ini sangat erat kaitanya dengan kejahatan politik.
334
Oleh karena Delik itu,pembrontakan
perlu adanyatermasuk aturan khusus.gerakan Ketentuan sparatis yang ituada dalam
harus suatu
memuat
wilayah. Masalahpembrontak
sanksi bahwa ini sangat erat hukum kaitanya dengan
wajib untuk kejahatan diperangi politik. Olehmenjadi
serta karena
itu, perlu adanya
kewajiban wargaaturan negarakhusus. untukKetentuan ikut memerangi itu harus pembrontak. memuat sanksi bahwa
Perlunya
pembrontak hukum wajib untuk
kejahatan ini perlu diperinci karena besar pengaruhnya terhadap kestabilan diperangi serta menjadi kewajiban warga
negara untuk ikut memerangi pembrontak. Perlunya kejahatan ini perlu diperinci
suatu tatanan negara atau bangsa. Sebagaiman dijelaskan dalam pemikiran
karena besar pengaruhnya terhadap kestabilan suatu tatanan negara atau bangsa.
hukum Islam bahwa para pemberontak merupakan kelompok jahat karena
Sebagaiman dijelaskan dalam pemikiran hukum Islam bahwa para pemberontak
berupaya melakukan kerusakan di muka bumi. Mereka meresahkan
merupakan kelompok jahat karena berupaya melakukan kerusakan di muka bumi.
masyarakat,
Mereka meresahkan merusakmasyarakat, keamanan merusak dan ketentraman
keamanannegara, dan menimbulkan
dan ketentraman negara,
dan menimbulkan fitnah di tengah-tengah masyarakat. Islampemerintah
fitnah di tengah-tengah masyarakat. Islam memerintahkan yang
memerintahkan
sah untuk mengajak dan berunding
pemerintah yang sah untuk mengajak dan berunding supaya mereka kembali supaya mereka kembali bergabung
dengan mayoritas
bergabung dengan mayoritas orang Islam orang atau mayoritas
Islam atau mayoritas warga negara. Apabila
warga negara. tidak
Apabila
tidak bersedia
bersedia bergabung, bergabung, maka maka pemerintahpemerintah harusharusmemerangi memerangi mereka mereka sampai
sampai
merekasadar
mereka sadardan danbergabungbergabungdengan denganpemerintahan. pemerintahan.
       
        
    
ApabilaApabilaada perintah ada perintah daridari pemerintahuntuk
pemerintah untukikut ikut memerangi
memerangi kaumkaum
pemberontak,
pemberontak, maka makasetiap setiap muslim muslim yang yang
mampumampu wajib melaksanakan perintah
wajib melaksanakan
tersebut, karena taat
perintah tersebut, karena padataat pemerintah pada pemerintah pada hal-hal pada yang bukan
hal-hal yangmaksiat
bukan
hukumnya adalah wajib,
maksiat hukumnya adalah al-Jurjāwī,
wajib, al-Jurja>wi>, Ḥikmah at-Tasyrī’..., H{ikmah hlm. 317-319.
at-Tasyri>'..., hlm.
317-319. Delik yang terkait dengan minum-minuman keras, termasuk di
335

dalamnya adalah narkoba. Pemerintah harus berani menerapkan sanksi yang


berupa hukuman badan berupa hukum cambuk bagi pelaku. Islam sangat
memelihara kesehatan badan, jiwa dan kemanfaatan harta benda, karena itu Islam
mengharamkan khamr dan menghukum pemabuk dengan 40 kali cambukan,
bahkan ada yang berpendapat sampai 80 kali cambukan. Hal ini karena khamr
dan hal-hal yang memabukkan merupakan racun yang mematikan. Dengan
demikian, Islam mengharamkan khamr ini antara lain adalah demi memelihara
kesehatan dan menghindari penggunaan harta untuk membeli hal-hal yang
tidak bermanfaat apalagi membahayakan. Undang-undang harus tegas, barang
siapa yang mabuk harus dihukum cambuk paling banyak delapan puluh kali dan
sekurang-kurangnya empat puluh kali.

Hukum Pidana Islam | 217 |


merupakan nilai ibadah.336 Mengingat hukum yang digunakan
manusia di dunia ada dua macam, pertama hukum sekuler, yaitu
hukum yang sumbernya semata-mata dari pikiran manusia sebagai
akibat dari kebutuhan akan ketertiban, ketentaraman (law and
order), jaminan hak-hak dasarnya (fundamental human right) yang
pada dataran empirik banyak diilhami oleh Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia (The Universal Declaration of Human Right).
Kedua hukum agama, yaitu hukum yang nilai dasarnya bersumber
dari wahyu, kemudian pada tahap aplikasinya disistematisir dan di
obyektifkan oleh manusia sesusai dengan kondisi masyarakatnya.
Pertimbangan hukum yang diambil bagi siapapun yang
melakukan perampokan (muḥārib) berdasarkan ketentuan hukum
pidana Islam harus dihukum dengan hukuman pokok sebagai
berikut :
(a) hukuman mati (sebagai hukuman alternatif terakhir) bagi
perampok yang mengambil harta dan membunuh korbanya
serta kejahatan yang dilakukan sangat meresahkan dan
mengganggu ketentraman masyarakat. Adapun hukuman

336
Pendapat ini telah merangsang munculnya ijtihad-ijtihad spektakuler
yang tidak lagi memperdulikan nash. Ia tidak lagi dijadikan sebagai acuan dalam
ijtihad tetapi hanya berfungsi sebagai penjustifikasi maslahat. Orang-orang yang
mendukung pendapat ini mengemukakan suatu kaidah ushul fiqh di mana ada
maslahat, di situlah syariat Allah berada. Kaidah ini memberikan suatu pengertian
bahwa dasar pijakan ijtihad adalah maslahat, tanpa memperdulikan apakah
maslahat itu sesuai dengan nas atau tidak. Dalam sebuah diskursus ilmiah di
Al-Jazair, seorang peserta mengemukakan satu pendapat yang cukup menarik. Ia
mengatakan bahwa shalat Jum’at bagi umat Islam Amerika bisa dilakukan pada
hari Ahad demi tercapainya kemaslahatan (kebaikan bersama), karena jika shalat
Jum’at tetap dilaksanakan pada hari Jum’at, maka hanya sebagian kecil saja umat
Islam Amerika yang bisa melaksanakannya. Ini disebabkan karena hari Jum’at
adalah hari kerja bagi setiap warga Amerika (termasuk umat Islam). Seandainya
shalat Jum’at dilaksanakan pada hari Ahad, maka sudah barang tentu sebagian
besar umat Islam Amerika berkesempatan untuk melaksanakannya; Fahmi
Huwaedi, Tazyīf al-Wa’yi, cet II, (Kairo: Dār al- Syurūq, 1992), hlm. 79.

| 218 | Hukum Pidana Islam


Universal Declaration of Human Right). Kedua hukum agama, yaitu
hukumsalibyang
tidaknilai dasarnya
perlu bersumber
diterapkan dari wahyu,
di Indonesia, kemudian
karena hukumanpada
tahap aplikasinya
mati disistematisir
cukup mewakili tujuan dan
dari di obyektifkan337oleh manusia
pemidanaan.
(b) hukuman
sesusai ta’zīr bagi
dengan kondisi perampok yang tidak melakudikan
masyarakatnya.
kejahatan sebagaimana
Pertimbangan hukumhuruf yang(a)diambil
di atas.bagi siapapun yang
(c) pemenjaraan
melakukan selama(muh}a>rib)
perampokan jangka waktuberdasarkan
sebagaimana dianggap
ketentuan oleh
hukum
pengadilan
pidana Islam harus akan menyebabkan
dihukum pelaku pelanggaran
dengan hukuman pokok sebagaibertobat,
berikut
: jika ancaman hanya diucapkan tanpa mengambil harta atau
(a) menimbulkan
hukuman matiluka tubuh. hukuman alternatif terakhir) bagi
(sebagai
Ketiga
perampok alternatif hukumanharta
yang mengambil bagidantindak
membunuhpidana kejahatan
korbanya serta
terhadap harta yang dibarengi dengan kekarasan
kejahatan yang dilakukan sangat meresahkan dan mengganggu dianggap
telah mengakomodir kepentingan hukum di Indonesia secara
ketentraman masyarakat. Adapun hukuman salib tidak perlu
demokratis. Hal ini sesuai cita-cita dari tujuan pemidanaan itu
diterapkan di Indonesia, karena hukuman mati cukup mewakili
sendiri. Mengingat hukuman 55
yang ditegakkan dalam syari’at
Islamtujuan dari pemidanaan.
mempunyai dua aspek, preventif (pencegahan) dan edukatif
(b) hukuman Dengan
(pendidikan). ta'zi>r diterapkan
bagi perampok yang tersebut,
kedua aspek tidak melakudikan
maka akan
dihasilkan satusebagaimana
kejahatan aspek kemaslahatan (positif),
huruf (a) di atas. yaitu terbentuknya
moral yang baik, selama
(c) pemenjaraan sehingga akan waktu
jangka menjadikan masyarakat
sebagaimana menjadi
dianggap oleh
aman, tentram damai
pengadilan akan dan penuh dengan
menyebabkan pelakukeadilan, karena
pelanggaran moral
bertobat,
yang jika
dilandasi
ancaman agamahanyaakan membawa
diucapkan perilaku
tanpa manusia
mengambil hartasesuai
atau
dengan tuntutan agama.
menimbulkan luka tubuh.
Menurut Andi Hamzah
Ketiga alternatif hukuman danbagiA. tindak
Simanglipu,
pidana sepanjang
kejahatan
perjalanan
terhadap harta yang dibarengi dengan kekarasandapat
sejarah, tujuan penjatuhan pidana dihimpun
dianggap telah
dalam empat bagian, yakni:
mengakomodir kepentingan hukum di Indonesia secara demokratis.
1. Pembalasan (revenge), seseorang yang telah menyebabkan
Hal ini sesuai cita-cita dari tujuan pemidanaan itu sendiri. Mengingat
kerusakan dan malapetaka pada orang lain, menurut alasan
hukuman yang ditegakkan dalam syari’at Islam mempunyai dua
ini wajib menderita seperti yang ditimpakan kepada orang
aspek,
lain.preventif (pencegahan) dan edukatif (pendidikan). Dengan
55
DalamIslam
Dalam
337
Islam bisa
bisa dilihat
dilihat ada
ada kategori
kategori yang
yang dihalalkan
dihalalkan darahnya:
Pezinamuḥṣan,
Pezina muh}s}an, pembunuh
pembunuh dandan pengkhianat.
pengkhianat.

Tidaklah
Tidaklahhalal
halaldarah
darahseorang muslim
seorang kecuali
muslim salahsalah
kecuali satu dari
satutiga,
dariyaitu:
tiga, pezina
yaitu:
muḥṣan, membunuhmembunuh
pezina muh}s}an, orang tanpa hak tanpa
orang dan murtad
hak dan atau kafir atau
murtad setelah Iman
kafir dan
setelah
meninggalkan jamaah (desersi).
Iman dan meninggalkan jamaah (desersi).

Hukum Pidana Islam | 219 |


1. Pembalasan (revenge), seseorang yang telah menyebabkan
kerusakan dan malapetaka pada orang lain, menurut alasan ini
wajib menderita seperti yang ditimpakan kepada orang lain.
2. Penghapusan dosa (ekspiation), konsep ini berasal dari pemikiran
2. yang
Penghapusan dosayang
bersifat religius (ekspiation), konsep
bersumber dari Allah.ini berasal dari
pemikiran yang bersifat religius yang bersumber dari Allah.
3. Menjerakan (detern).
3. Menjerakan (detern).
4. Memperbaiki si pelaku tindak kejahatan (rehabilitation of the
4. Memperbaiki si pelaku tindak kejahatan (rehabilitation of
criminal), pidana pidana
the criminal), ini diterapkan sebagai usaha
ini diterapkan untuk
sebagai mengubah
usaha untuk
sikap dan sikap
mengubah perilaku kejahatan
dan perilaku agaragar
kejahatan tidak mengulangi
tidak mengulangi
56
kejahatannya.338
kejahatannya.
Dalam
Dalamhukum
hukum pidana
pidana Islam
Islam secara
secara implisit
implisit ada
ada penekanan
penekanan
tujuan pemidanaan
tujuan pemidanaanyang yangbersifat
bersifatpembalasan
pembalasan seperti
seperti dalam
dalam surat
surat al-
al-Maidah
Maidah ayatayat 33 38
33 dan danberikut
38 berikut
ini: ini:

            

            

Sesungguhnya pembalasan    orang-orang


terhadap     yang
memerangi
  
Allah dan Rasul-Nya,
Sesungguhnya membuat
pembalasan kerusakan
terhadap di muka yang
orang-orang bumi,memerangi
hanyalah
mereka dibunuh
Allah dan Rasul-Nya, atau disalib
membuat atau kerusakan
dipotong tangandi muka dan kaki hanyalah
bumi, mereka
mereka Andi
secara 56
dibunuh
bersilang atau
atau
Hamzah dandisalib
dibuang atau dipotong
dari
A. Simanglipu, negeri tangan
(kediamannya).
Pidana Mati danYang
di Indonesia kakidi
mereka secara bersilang atau dibuang dari negeri (kediamannya).
Masa Lalu,
demikian Masa
itu sebagai Kini dan Masa
balasan yang
bagi Akan
mereka Datang,
di cet.
dunia 2, (Jakarta:
dan di Ghalia
akhirat
Indonesia, 1985), hlm.15.
Yang demikian
mereka mendapat itu sebagai
siksaan yangbalasan
besar. bagi mereka di dunia dan di
akhirat mereka mendapat siksaan yang besar.
Lafaz""   ""pada
Lafaz pada ayat
ayat di
di atas
atas merupakan
merupakan tujuan tujuan konkritkonkritdaridari
pemidanaan
pemidanaan yang yang bersifat
bersifat pembalasan.
pembalasan. ContohnyaContohnya dalam hal dalamhukum hal
hukum qiṣās} yang merupakan bentuk keadilan tertinggi yang di
qis}a>s} yang merupakan bentuk keadilan tertinggi yang339di
dalamnya termuat keseimbangan antara dosa dan hukuman.
dalamnya termuat keseimbangan antara dosa dan hukuman.57
Demikian juga dalam surat al-Maidah ayat 33:
338
Andi Hamzah dan A. Simanglipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa
Lalu,   Kini
 Masa  dan
Masa
   Datang,
 Akan
yang    2,
cet. (Jakarta:
 Ghalia 
 Indonesia,
1985), hlm.15.
339
Makhrus Munajat,”Penegakkan Supremasi Hukum di Indonesia

 Syari`ah
dalam Perspektif Islam”, dalam Asy-Syir`ah, (Yogyakarta: Fakultas

Laki-laki dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya


| 220 | Hukum Pidana Islam
sebagai pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Lafaz"  " pada ayat di atas merupakan tujuan konkrit dari
pemidanaan yang bersifat pembalasan. Contohnya dalam hal hukum
qis}a>s} yang merupakan bentuk keadilan tertinggi yang di
dalamnya termuat keseimbangan antara dosa dan hukuman.57
Demikian juga dalam
Demikian juga dalamsurat
suratal-Maidah
al-Maidah ayat
ayat 33:33:

            

 

Laki-laki danperempuan
Laki-laki dan perempuan yangyang mencuri
mencuri potonglahpotonglah tangan
tangan keduanya
keduanya sebagai pembalasan
sebagai pembalasan bagi apa bagi
yangapa yang kerjakan
mereka mereka kerjakan dan
dan sebagai
sebagai siksaan
siksaan dari dari
Allah. DanAllah.
Allah Dan
MahaAllah Maha
Perkasa Perkasa
lagi Maha lagi Maha
Bijaksana.
Bijaksana.
Ayat lain yang mendukung adanya tujuan pemidanaan yang

             
Ayat zawa>jir
lain yangadalah
mendukung adanya
bersisfat surat an-Nur ayattujuan
(2): pemidanaan yang
bersisfat zawājir adalah surat an-Nur ayat (2):

  



    
  
  
   
 

           
  

Makhrus Munajat,”Penegakkan Supremasi Hukum 


57

di Indonesia
Pezina
dalam perempuan
Perspektif dan Islam”, lakidalam hendaklah Asy-Syir`ah, dicambuk seratus kali
(Yogyakarta: dan
Fakultas
Pezina
Syari`ahperempuan
IAIN Yogyakarta, dan
janganlah merasa belas kasihan kepada keduanya sehingga laki
2001), hendaklah
hlm.66. dicambuk seratus kali
dan janganlah
mencegah
Pezina kamu dalam
perempuan merasa danmenjalankan belashendaklah
laki kasihan hukum kepada keduanya
Allah,
dicambuk hal sehingga
ini jika
seratus kalikamu dan
mencegah
beriman
janganlahkepadakamu
merasaAllah dalam belas menjalankan
dan kasihan hari akhir. hukum
kepada Allah,
Dan keduanya hal ini
hendaklah sehingga
dalam jika
kamu beriman
menjatuhkan sanksi kepada Allah dan hari akhir.disaksikan
Dan hendaklah
mencegah kamu dalam (mencambuk) menjalankan hukum mereka
Allah, hal ini jika kamuoleh
dalam menjatuhkan sanksi (mencambuk) mereka disaksikan oleh
sekumpulan
beriman kepada orang-orang Allahyang danberiman. hari akhir. Dan hendaklah dalam
sekumpulan orang-orang yang beriman.
                   pada
menjatuhkan sanksi (mencambuk) pada mereka
ayat disaksikan oleh
Lafaz 
Lafaz ayat tersebut didi atas
tersebut atas
sekumpulan
digambarkan orang-orang
adanyabalasan yang
balasanterhadap beriman.
terhadapsebuah sebuahkejahatan
kejahatandan danketika
ketika
digambarkan adanya
membalas harus   diumumkan
  diumumkan
   atau dilakukan di muka umum. Di sini
membalas Lafaz
harus         atau    dilakukan
    pada ayat tersebut
di muka umum. Di di sini
atas
ada dua aspek yang dicapai dalam pemidanaan, yakni pencegahan
ada dua aspek yang dicapai
digambarkan dalam pemidanaan, yakni pencegahan
kepada diri adanya pelaku balasan agar tidak terhadap mengulangi sebuah kejahatan dan ketika
perbuatannya dan
kepada
membalas harus diumumkan atau dilakukan di muka umum. Didan
diri pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya sini
pendidikan
ada dua aspek kepada yangorang dicapai laindalam supaya tidak melakukan
pemidanaan, kejahatan
yakni pencegahan
IAIN Yogyakarta,
sebagaimana 2001), hlm.66.
kepada diriyang pelaku dilakukan agar oleh tidak terpidana.
mengulangi perbuatannya dan
pendidikan kepada orang lain supaya tidak melakukan kejahatan
sebagaimana yang dilakukan oleh terpidana. Hukum Pidana Islam | 221 |
pendidikan kepada orang lain supaya tidak melakukan kejahatan
sebagaimana yang dilakukan oleh terpidana.

| 222 | Hukum Pidana Islam


BABBAB
XII XI
JARIMAH RIDDAH
JARIMAH RIDDAH

A. Pengertian Riddah
Riddah secara bahasa berarti mana'ahu wa s}arafahu
1
(menolak A. dan Pengertian Riddah
memalingkannya). Riddah juga bisa berarti
mengembalikan Riddah secara bahasa
(arja’uhu) atau berarti wa ṣarafahu (menolak
mana’ahu(s}arafahu).
memalingkan Riddah
diartikan juga ar-ruju' 'an syaiin Riddah
dan memalingkannya). 340
juga bisa (kembali
ila> ghairihi 2 berarti mengembalikan
dari sesuatu
(arja’uhu) atau memalingkan (ṣarafahu). Riddah diartikan juga
ke sesuatu yang lain). Dengan demikian, riddah adalah kembalinya
ar-ruju’ ‘an syaiin ilā ghairihi341 (kembali dari sesuatu ke sesuatu
orang Islam yang Dengan
yang lain). berakaldemikian,
dan dewasa ke kekafiran
riddah adalah kembalinyadengan
orang
Islamsendiri
kehendaknya yang berakal
tanpadan dewasa dari
paksaan ke kekafiran dengan
orang lain, kehendaknya
baik laki-laki
sendiri
maupun perempuan. tanpa3 paksaan dari orang lain, baik laki-laki maupun
perempuan.342
Menurut istilah syara' sebagaimana yang diungkapkan oleh
Menurut istilah syara’ sebagaimana yang diungkapkan oleh
Wahbah Az-Zuhaili,
Wahbah Az-Zuhaili, riddah adalah:
riddah adalah:
343 4

Riddah
Riddah adalahadalah kembali
kembali daridari Islammenuju
Islam menujukekafiran
kekafiran baik
baik
dengan niat,
dengan niat,perbuatan, ucapanucapan
perbuatan, yang menyebabkan kekafiran.
yang menyebabkan
kekafiran.
Pengertian yang sama diungkapkan oleh Abd Qadir Awdah:

Pengertian yang sama diungkapkan oleh Abd Qadir Awdah:


340
Ibrahim Unais, al-Mu’jam al-Wasīṭ, Juz VI, (Mesir: al-Iḥyā’ at-Turāś
5
 
al-’Arabī, 1972), hlm. 3337; Wahbah az-Zuḥaili, al-Fiqh al-Islāmī wa Adilatuh,
Juz VI, (Damaskus: Dār al-Fikr, 1989), hlm. 183.
341
Wahbah az-Zuḥaili, al-Fiqh…, hlm. 183.
342
Sayyid Sābiq, Fiqh as-Sunah, Juz II, (Beirut: Dār al Fikr, 1990) , hlm.
381.
1 343
Ibrahim Unais,Wahbahal-Mu'jam
az-Zuḥaili, al-Fiqh…, hlm. 183.
al-Wasi>t}, Juz VI, (Mesir: al-Ih}ya>'
at-Tura> al-'Arabi>, 1972), hlm. 3337; Wahbah az-Zuh}aili, al-Fiqh al-
Isla>mi> wa Adilatuh, Juz VI, (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1989), hlm. 183.
2
Wahbah az-Zuh}aili, al-Fiqh…,|hlm.
223 |
183.
3
Sayyid Sa>biq, Fiqh as-Sunah, Juz II, (Beirut: Da>r al Fikr, 1990) ,
hlm. 381.
4
Wahbah az-Zuh}aili, al-Fiqh…, hlm. 183.
kekafiran.

Pengertian yang sama diungkapkan oleh Abd Qadir Awdah:


344 
5

Kebebasan beragama merupakan salah satu hak dasar yang


dimiliki oleh setiap manusia di dunia dalam rangka mencari
Tuhannya. Kebebasan beragama ini memiliki empat aspek, yaitu
1 (a) kebebasan
Ibrahim Unais, nurani
al-Mu'jam (freedom ofJuz
al-Wasi>t}, conscience), (b) al-Ih}ya>'
VI, (Mesir: kebebasan
mengekspresikan keyakinan agama (freedom
a> al-'Arabi>, 1972), hlm. 3337; Wahbah az-Zuh}aili, al-Fiqh of religious
al-
expression), (c) kebebasan melakukan perkumpulan keagamaan
mi> wa Adilatuh, Juz VI, (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1989), hlm. 183.
2 (freedom of religious association), dan (d) kebebasan melembagakan
Wahbah az-Zuh}aili, al-Fiqh…, hlm. 183.
3 keyakinan keagamaan (freedom of religious institution).345 Di
Sayyid Sa>biq, Fiqh as-Sunah, Juz II, (Beirut: Da>r al Fikr, 1990) ,
antara keempat aspek tersebut, aspek pertama yakni kebebasan
81. nurani (freedom of conscience) merupakan hak yang paling asli
4
Wahbah az-Zuh}aili, al-Fiqh…,
dan absolut serta meliputihlm. 183. untuk memilih dan tidak
kebebasan
5
Abd Qadi>r Awdah,
memilih agama at-Tasyri>' al-Jina>i>
tertentu. Menurut al-Isla>mi<,
konsep kebebasan diJuzatas,
II,
t: Da>r al-Kita>b al-'Arabi>,
maka kebenaran t.t), hlm.
pribadi harus706.
dianggap sebagai nilai yang yang
paling luhur (supreme value). Ia menghendaki komitmen serta
pertanggungjawaban pribadi yang mendalam. Komitmen serta
pertanggungjawaban pribadi ini harus berada di atas komitmen
terhadap agen-agen otoritatif lainnya seperti negara, pemerintah,
dan masyarakat. Dalam konteks demikianlah manusia dapat
dikatakan sebagai manusia yang utuh, dalam arti bahwa manusia
memiliki kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri berdasarkan
atas keyakinan keagamaan yang dianutnya. Permasalahan yang
muncul kemudian adalah apakah hukum (pidana) sebagai salah
satu pranata sosial harus tetap dilepaskan secara absolut ataukah
dilibatkan terhadap masalah ini mengingat salah satu tujuan

344
Abd Qadīr Awdah, at-Tasyrī’ al-Jināī al-Islāmī, Juz II, (Beirut: Dār al-
Kitāb al-’Arabī, t.t), hlm. 706.
345
Abu Hafsin, “Kebebasan Beragama dan Hak-hak Politik Minoritas
(Analisis Keagamaan terhadap Kebijakan Presiden Gus Dur)”, Makalah dalam
Seminar Gus Dur, Seorang Muslim dan Demokrat di Universitas Wahid Hasyim
Semarang 31 Agustus 2000, hlm. 5.

| 224 | Hukum Pidana Islam


hukum pidana
Dasar adalah
hukum mengaturjari>mah
ditetapkannya hidup kemasyarakatan atau
riddah secara khusus
menyelenggarakan
dan jelas disebutkantata dalam
dalam masyarakat.
Al-Qur'an dan Hadis Nabi. Ayat-ayat
yang mendasarinya adalah sebagai berikut:

 ditetapkannya    jari>mah    secara    
B. Sumber
Dasar hukum
Dasar Hukum
hukum Jarīmah Riddah
ditetapkannya jari>mah riddah riddah secara khusus khusus
dan Dasardisebutkan
dan jelas
jelas hukum ditetapkannya
disebutkan dalam Al-Qur'an
dalam Al-Qur'an jarīmah dan Hadis
dan riddah
Hadis Nabi.
Nabi. secara Ayat-ayat
Ayat-ayat khusus
dan mendasarinya
jelas disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadis Nabi. Ayat-ayat
   adalah sebagai
 berikut:
     
yang
yang mendasarinya adalah
adalah sebagai
sebagai berikut:
berikut:
yang mendasarinya

  
     
       
7
 

       
 
  
       
 
    
 

7
7346
 
  

Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu


Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya,
dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia
lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang
amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah
sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka
penghuni neraka, mereka
itulah penghuni neraka, kekal di dalamnya.
mereka kekal di(al-Baqarah
dalamnya.lalu ayat(al-
Barangsiapa
Barangsiapa yang murtad
yang murtad di antara
di antara kamu
kamu dari
dari agamanya,
agamanya, lalu
217) Baqarah ayat 217)
dia mati
dia mati dalam
dalam kekafiran,
kekafiran, maka maka mereka mereka itulah itulah yang yang sia-sia sia-sia
 di akhirat,
  mereka     
amalannya di
amalannya dunia347dan
di dunia dan8 di akhirat, dan dan mereka itulah itulah
penghuni neraka,
penghuni neraka, mereka mereka kekal kekal di di dalamnya.
dalamnya. (al-Baqarah (al-Baqarah ayat ayat
217)
217) Tidak ada paksaan dalam agama, sesungguhnya telah
Tidak ada paksaan dalam agama, sesungguhnya telah jelas
jelas yang benar daripada yang sesat.
 sesat.
          

     

yang benar daripada yang 88
     

Tidak ada
ada paksaan
paksaan dalam
dalam agama, agama, sesungguhnya
sesungguhnya telah telah jelas
jelas
yang
  
  
 
 
 
 
 
 
 
 
   
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
    
 
 
 
 
Tidak
benar daripada
yang benar daripada yang
yang sesat.sesat.

9
   
al-Baqarah (2): 217,
346

al-Baqarah (2):
347
Barangsiapa yang256.
kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia
7
al-Baqarah (2): 217,
8akan mendapatkan
al-Baqarah (2): 256. kemurkaan Allah), kecuali orang yang
dipaksa kafir padahal hatinya tetapHukum
tenang Pidana
dalam Islam
beriman (dia|
| 225
tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya
7
7 untuk kekafiran,
al-Baqarah 217,maka kemurkaan Allah akan menimpanya
(2): 217,
al-Baqarah
8
(2):
8 al-Baqarah (2): 256.
dan baginya
al-Baqarah (2):azab
256.yang besar. (an-Nahl ayat 106)
         
    

      9    
   
         
   
9

    kafir  kepada A


Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah 3489
Barangsiapa dia beriman yang (dia
akan mendapatkan kemurkaan Allah), akan kecuali Barangsiapaorang yangyang kafir kepa
Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah diaakan mendapatkan
beriman (dia kemurkaan
dipaksa kafir Barangsiapa
Barangsiapa
padahal yangyang
hatinya kafir
kafir tetap
kepada kepadatenang
Allah Allah sesudah
dalam
sesudah dia beriman
mendapatkan
beriman
dia beriman (dia
(dia kemurk
akan mendapatkan kemurkaan Allah), dipaksaorang
kecuali kafir padahal yang hatinya tet
tidak berdosa), (dia akan mendapatkan
akan tetapi kemurkaan
akan mendapatkan kemurkaan
orang yangAllah), Allah),
melapangkan kecuali kecuali
dipaksaorang kafir
dadanya orang padahal hatiny
yang
dipaksa kafir yang
padahal dipaksa
hatinya kafir padahal
tetap tenang tidaktetap
hatinya
dalam berdosa),
berimantenang akan
(diadalam tetapi orang
untuk kekafiran, dipaksa kafir maka padahal hatinya tetap
kemurkaan Allahtenang akan dalam
tidak beriman (diaakan tetapi
berdosa),
menimpanya
beriman (diaakan
tidak berdosa), akan
untuk tetapi orang
kekafiran, yang
maka kemurka
tidak berdosa), tidak
dan baginya melapangkan akan
berdosa),
azab yang besar.tetapi orang
tetapi yang
(an-Nahl
orangmelapangkan
yang
ayat
melapangkan
untuk
106) dadanya
kekafiran, dadanya
maka kem
dadanya untuk kekafiran,dan maka
baginya kemurkaan
azab yang besar. (an
untuk kekafiran, untuk maka kekafiran, maka kemurkaan
kemurkaan Allah Allah
akan akan
menimpanyamenimpanya
Allah akan menimpanya dan baginya dan azab yang besar.
baginya azab yang besar
Dasar hukum dari Hadisadalah:
 
         
Dasar hukum dari danHadisbaginya azab yang besar. (an-Nahl ayat
adalah: 106)
dan baginya azab (an-Nahl
yang besar. ayat 106)(an-Nahl ayat 106)
10
  Dasar hukum dari Hadis adalah: 10 Dasar hukum dari
 Hadis adalah:
sar hukum 10 Dasar
dari Hadis hukumadalah: dari Hadis adalah:  349 
 10

 Barang siapa Barang
menukar agama bunuhlah dia.
Barangsiapa siapamenukar
menukar agama bunuhlah
agama bunuhlah Barang dia. siapa menukar agama bun
dia.
Barang siapa menukar agam
11

Barang siapa11  
menukar  
  
agama 
bunuhlah   
dia.
11

 





 
 

11
350

11
Tidaklah
 halal

Tidaklah
Tidaklah darah halal

halal darah
seorang
seorang
darah 
muslim
seorang 
muslimkecuali
muslim kecuali
kecuali
Tidaklah 
salah 
salah
halal satu
satu
salah  dari
darahdari
satu seorang m
tiga, yaitu:tiga, daripezinatiga, yaitu:
yaitu: pezinapezina
muh}s}an, muh}s}an, muḥṣan,
membunuh membunuh
membunuh Tidaklah
orang orang orang
tanpatanpa tanpa
halal hak darah seora
hak
Tidaklah halal darah seorang muslim kecuali tiga, salah yaitu: pezina muh}s}an,
dan murtad danhakdan dan
murtad murtad dan meninggalkan
dan meninggalkan
meninggalkan jama'ah jama'ah jama’ahtiga,satu
(desersi).
(desersi). (desersi).
yaitu: daripezina muh}s
tiga, yaitu: pezina muh}s}an, membunuh orang dan murtad dan meninggalkan
Berdasarkan dalil-dalil inilah kemudian para fuqaha
dantanpa murtad hakdan meninggal
dan murtad dan meninggalkan jama'ah (desersi).
menetapkan
9
bahwa riddah termasuk dalam tindak pidana
an-Nahl (16): 106.
(jarīmah
10 ḥudūd) dan sanksinya berupa hukuman mati kecuali
9
an-Nahl Ima>m
(16): 106. al-Bukha>ri>, S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, Juz IV, (Beirut:
10
mazhab Hanafiyyah, sebagianhlm.
Da>r al-Fikr, t.t), kitab ar-Riddah, besar76;madzhab
9 fiqh(16):
an-Nahl
M. Ibn Ismail dalam hukum
106.
al-Kahlani, Subul
Ima>m al-Bukha>ri>,
Islam menyatakan S{ah}i>h}
bahwa riddah al-Bukha>ri>,
termasuk
10 9 Juz IV, (Beirut:
ke dalam
an-Nahl salah 106.
(16): satu
as-Sala>m, Juz III, (Mesir: Da>r al-Ba>b Ima>m
al-H{alabi> waal-Bukha>ri>,
Awladuhu, t.t.), S{ah}i>h}
Da>r9an-Nahl
al-Fikr,hlm.
t.t),265.
(16): kitab
106. ar-Riddah, hlm. 76; M. Ibn Ismail al-Kahlani,
10 Subul
10 11
Da>r al-Fikr, Ima>m t.t), kitabal-Bukha>ri>,
ar-Riddah, hlm. S{ah}
76;
as-Sala>m, Juz III,
Ima>m al-Bukha>ri>, (Mesir: Da>r
Ima>m al-Bukhri>, al-Ba>b
S{ah}i>h}S{ah}i>h}al-H{alabi> wa
al-Bukha>ri>,
al-Bukha>ri>,
Da>r Juz Awladuhu,
al-Fikr, Juzt.t),
IV, IV,kitab t.t.),
(Beirut:
(Beirut: ar-Riddah, hlm
as-Sala>m, Juz III, (Mesir: Da>r al-Ba>b
hlm.
>r al-Fikr, Da>r
265. t.t), kitab 348
an-Nahl
al-Fikr, t.t.),(16):
ar-Riddah, 106.
kitab ar-Riddah,
hlm. 76; M. hlm.
Ibn 81; Asy-Syauka>ni>,
Ismail al-Kahlani,
as-Sala>m, Juz III, Nail al-
Subul(Mesir: Da>r al-B
Imām al-Bukhārī,
hlm.
Ṣaḥīḥ al-Bukhārī,
265.
Juz11IV, (Beirut:
Juz Dār IV,al-Fikr, t.t),
11 Aut}a>r, 349 Juz III, (Mesir: Da>r al-Ba>b al-H{alabi> wa Awladuhu, t.t.),
Sala>m,Ima>m
Juzhlm.
III, al-Bukhri>,
kitab 146.
(Mesir: Da>r S{ah}i>h}
al-Ba>b al-Bukha>ri>,
al-H{alabi>
ar-Riddah, hlm. 76; M. Ibn Ismail al-Kahlani, hlm. wa265.
Ima>m Awladuhu,
Subul as-Salām,
(Beirut:
t.t.),
al-Bukhri>,Juz III, S{ah}i>h}
Da>r
m. 265.al-Fikr,(Mesir:
t.t.),Dār kitab ar-Riddah, hlm. 81;t.t.),
al-Bāb al-Ḥalabī wa Awladuhu,
Asy-Syauka>ni>,
11
hlm. 265.Ima>m
Nail al-
al-Bukhri>, S{ah}i
11
Da>r al-Fikr, t.t.), kitab ar-Riddah, hlm.
Aut}a>r, Juz al-Bukhri>,
Ima>m III, 350(Mesir: Da>r
Imām al-Bukhārī, al-Ba>b
S{ah}i>h} al-H{alabi>
Ṣaḥīḥ al-Bukha>ri>,
al-Bukhārī, Juz
Da>r wa
IV, (Beirut:
Juz Awladuhu,
al-Fikr, Dārt.t.),
IV, al-Fikr,
(Beirut: t.t.),
t.t.), ar-Riddah,
kitab
Aut}a>r, Juz III, (Mesir: Da>r al-Ba>b
hlm. kitab ar-Riddah,
146. t.t.),
>r al-Fikr, hlm. 81; Asy-Syaukānī,
kitab ar-Riddah, hlm. 81;Nail al-Auṭār, Juz III, (Mesir:
Asy-Syauka>ni>, NailDāral-
al-Bāb
Aut}a>r, Juz III, (Mesir: Da>r al-B
al-Ḥalabī wa Awladuhu, t.t.), hlm. 146. hlm. 146.
}a>r, Juz III, (Mesir: Da>r al-Ba>b al-H{alabi> hlm. wa146.Awladuhu, t.t.),
m. 146.
| 226 | Hukum Pidana Islam
jarīmah ḥudūd. Menurut ulama-ulama yang bermazhab Hanafi,
ḥudūd hanya dibagi menjadi lima, yaitu zina, sariqah, syurb al-
khamr, qaṭ’ al-ṭarīq, dan qażf. Menurut mereka, ḥudūd hanya
perbuatan-perbuatan yang ditetapkan dalam Al-Qur’an. Qiṣāṣ
tidak dimasukkan dalam ḥudūd karena merupakan hak seseorang.
Demikian pula ta’zīr tidak dimasukkan dalam ḥudūd karena
tidak ditentukan ukurannya.351 Riddah adalah setiap tindakan
kembalinya seseorang dari agama Islam kepada kekufuran. Irtidād
dilakukan oleh seorang muslim yang mukallaf, sebagai tindakan
atau ucapan yang menurut hukum syariah, mempengaruhi atau
yang bertentangan dengan ‘aqidah (kepercayaan) di dalam agama
Islam; apabila tindakan tersebut dilakukan atau ucapan tersebut
diucapkan secara sengaja, sukarela dan mengetahui tanpa paksaan
atau oleh kondisi apapun, maka baginya dihukum ta’zīr.

C. Konsep dan Kriteria Riddah dalam Islam


Tindakan yang mempengaruhi ‘aqidah (keyakinan) adalah
yang menyangkut atau berhubungan dengan aspek-aspek mendasar
dari agama Islam yang dianggap telah diketahui dan diyakini
setiap muslim sebagai bagian dari pengetahuan umumnya sebagai
seorang muslim, seperti hal-hal yang berhubungan dengan rukun
Islam, rukun Iman dan masalah halal (yang dibolehkan atau sah)
atau haram (yang dilarang atau tidak sah).
Riddah dalam Islam352 yang oleh sebagian ulama dianggap

351
Abdurraḥman al-Jazīrī, Kitāb al-Fiqh ‘alā al-Mażāhib al-‘Arba’ah,
(Beirut: Dār al Fikr, t.t.), hlm. 8-9.
352
Riddah sesungguhnya oleh sebagian pendapat ulama adalah masalah
keyakinan dalam beragama, sehingga pelakunya tidak dianggap tindak pidana,
karena kebebasan beragama sendiri ada legalitas hukumnya dalam Al-Qur’an (QS
(2) :256). Islam menganggap riddah sebagai kejahatan ketika dibarengi dengan
delik penodaan agama itu sendiri atau adanya muatan disersi. Maka riddah dalam
kaitannya dengan kejahatan dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori: 1) riddah
hanya ditujukan pada keyakinan diri sendiri, tanpa mempengaruhi orang lain

Hukum Pidana Islam | 227 |


sebagai tindak pidana merupakan pandangan yang tidak sejalan
dengan konstitusi negara Indonesia. Oleh karena itu, tak satu pun
pasal-pasal yang mengatur tentang delik agama dalam hukum
pidana positif Indonesia (KUHP) yang mengatur adanya larangan
untuk pindah agama (riddah). Riddah bukan persoalan yang urgen
untuk dimasukkan ke dalam hukum pidana nasional (KUHP) yang
sekarang berlaku. Undang-undang Nomor 1/Pnps/1965 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama, sebagai
salah satu usaha pembaharuan hukum pidana Indonesia, khususnya
di bidang delik agama, hanya menambah pasal baru (156a) tentang
larangan melakukan penyalahgunaan atau penodaan suatu agama
yang dianut di Indonesia serta larangan melakukan perbuatan agar
orang lain tidak menganut agama apa pun (ateis).
Hukum Islam ketika membicarakan riddah terdapat berbagai
persepsi, hal ini banyak paktor yang mempengaruhi, terutama
kebebasan berpikir atau yang dalam bahasa usul fiqh disebut
ijtihad. Ijtihad merupakan usaha sungguh-sungguh dari para
ahli hukum Islam secara maksimal untuk mencapai sesuatu.
Berdasarkan ketentuan dalam ilmu fiqh, ijtihad terbatas pada
hukum yang bersifat ẓannī (samar). Hal ini disebabkan ijtihad itu
sendiri baru dilaksanakan jika tidak ada ketentuan dalam nash.
Al-Qur’an maupun Hadis. Sementara itu, hukum Islam tentang
riddah menurut sebagian besar ahli hukum Islam didasarkan atas
beberapa nash Al-Qur’an dan Hadis. Hal inilah yang terkadang
menjadi kendala untuk berijtihad. Persoalan ini terjawab dengan
tiga argumentasi di bawah ini.

untuk murtad dan orang lain tidak terganggu dengan kemurtadannya tidak ada
sanksi. 2) riddah dibarengai dengan mengajak muslim lainnya serta menjelek-
jelekkan agama Islam, maka termasuk dalam jarīmah tasabub ‘alā dīn al-ghair
(mencaci maki agama lain). Pelakunya dapat dipidana beruapa hukuman penjara.
3) riddah dibarengi dengan desersi sedang negara dalam keadaan perang, maka
pelakunya dapat dikenakan hukuman mati dengan dasar hukuman ta’zīr bukan
ḥadd.

| 228 | Hukum Pidana Islam


Pertama, salah satu mazhab yang dikenal dalam fiqh, yaitu
mazhab Hanbali, tidak setuju jika riddah dimasukkan ke dalam
jarīmah ḥudūd, walaupun imam-imam yang lain memasukkannya.
Menurutnya, yang bisa dimasukkan ke dalam ḥudūd hanyalah
jarīmah yang sanksinya disebutkan secara pasti dalam Al-Qur’an.
Sementara Al-Qur’an tidak menyebutkan adanya sanksi jarīmah
riddah.
Hal ini juga dikemukakan oleh beberapa ahli hukum
Islam kontemporer menanggapi beberapa ayat Al-Qur’an yang
digunakan dasar dimasukkannya riddah sebagai tindak pidana.
Mereka menyatakan bahwa Al-Qur’an tidak secara eksplisit
menetapkan hukuman bagi pelaku riddah. Hukuman bagi pelaku
riddah diserahkan kepada Tuhan pada hari kiamat kelak, dan
bukan di dunia sekarang.
Abdullahi Ahmed An Na’im mengajukan dasar pemikiran
hukum Islam baru mengenai riddah. Pertama, ayat yang
menerangkan pembolehan melakukan kekerasan terhadap non-
muslim adalah ayat Madaniyyah, sedangkan ayat-ayat Makkiyah
merupakan pesan Islam yang abadi dan fundamental dan bersifat
universal egalitarian demokratik, yang menekankan martabat
yang inheren pada seluruh umat manusia, tanpa pembedaan
jenis kelamin (jender), keyakinan keagamaan, ras, dan lain-lain.
Pesan ini ditandai dengan persamaan laki-laki dan perempuan
dan kebebasan penuh untuk memilih agama dan keimanan. Oleh
karena itu, seperti gurunya, Mahmud Muhammad Taha, an-Na’im
menolak teori naskh yang tidak memberlakukan lagi ayat-ayat
Makkiyah mengenai kebebasan agama ini.353
Kedua, hadis yang digunakan sebagai dasar adanya pidana
bagi pelaku riddah juga tidak lepas dari kritik dan komentar.

353
Abdullahi Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, Wacana Kebebasan
Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam, (Yogyakarta:
LKiS, 1997), hlm. 103.

Hukum Pidana Islam | 229 |


Hadis Nabi yang membolehkan adanya pemberian hukuman
mati bagi pelaku riddah pun tidak lepas dari beberapa persoalan.
Menurut Imam Turmuzi, salah seorang perawi hadis terkenal,
seorang narator (rāwī) dari hadis tersebut adalah majhūl (tidak
dikenal).354 Oleh karena itu, hadis tersebut tidak dapat dimasukkan
ke dalam kategori hadis sahih. Padahal, salah satu syarat dapat
dipergunakannya hadits sebagai dasar dalam menetapkan hukum
adalah kesahihannya.
Dalam hadis riwayat Abu Dawud disebutkan dengan redaksi
rojulun kharaja muḥarriban bi al-Allāh wa rasūlih fainnahu
yuqtalu au yusallabu au yunfau min al-arḍ (lelaki yang keluar
untuk memerangi Allah dan Rasul-Nya maka dibunuh, disalib atau
diasingkan) sebagai pengganti dari at-tārik li dīnihi wa al-mufāriqu
li al-jamā’ah. Adanya keterangan inilah yang kemudian Ibn
Taimiyah menyatakan bahwa kejahatan yang ditunjukkan dalam
hadis tersebut adalah ḥirābah. Hadis tersebut tidak menyatakan
murtad secara sederhana, tetapi disertai dengan pembangkangan
kepada Tuhan dan Rasul-Nya.355
Mengenai hadis yang paling jelas menyatakan jenis sanksi
bagi tindakan riddah adalah yang diriwayatkan dari Ibn Abbas
bahwa Rasulullah bersabda: ”Barangsiapa mengganti agamanya,
maka bunuhlah ia”. Muhammad Ali menyatakan cakupan hadis
ini sangat luas, meliputi seluruh perpindahan dari suatu agama
ke agama lain, tidak hanya keluar dari Islam. Oleh karena itu,
hadis ini tidak dapat dipakai sebagai dasar pembenaran pidana
riddah.356
Ketiga, jika memang Al-Qur’an memang bermaksud

354
Mohamed S. El Awa, Punishment in Islamic Law, (Indianapolis:
American Thurst Publication, 1982), hlm. 33.
355
Ibid., hlm. 55.
356
Sisters in Islam, Do Not Legislate on Faith, http://www.Resources @
Sisters in Islam.htm. Diakses pada tanggal 21 Juni 2010.

| 230 | Hukum Pidana Islam


memberikan hukuman pidana bagi pelaku riddah, dan beberapa
hadis yang digunakan sebagai dasar dipidananya pelaku riddah
adalah sahih, maka ijtihad merupakan alternatif untuk menjawab
persoalan riddah di Indonesia ini. Ijtihad juga diperbolehkan
dalam bidang yang telah ada nash Al-Qur’an dan hadisnya. Sebagai
contoh Umar bin Khattab, sahabat Nabi yang kemudian menjadi
khalifah kedua, pernah melakukan ijtihad dalam beberapa masalah
hukum, walaupun nash Al-Qur’an dan Hadis telah menyebutkan
secara jelas, di antaranya mengenai tanah rampasan perang, dera
bagi minuman keras, dan hukuman bagi pencuri.357
Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa ijtihad merupakan
salah satu metode yang dapat digunakan guna menjawab
implementasi hukum Islam tentang riddah dalam pembaharuan
hukum Islam di Indonesia. Hal ini dilakukan agar kerukunan
antarumat beragama di Indonesia tetap terjamin dan ditinjau dari
segi hukum Islam juga dibenarkan. Metode ijtihad merupakan
metode yang dibenarkan dalam menghadapi situasi atau kondisi
yang mengharuskan ada pemikiran baru. Sebagaimana diakui
dalam hukum Islam.

D. Konversi Agama dalam Tata Hukum Indonesia


Negara Indonesia merupakan negara yang plural (majemuk).
Kemajemukan Indonesia ditandai dengan adanya berbagai agama
yang dianut oleh penduduk, suku bangsa, golongan, dan ras. Letak
geografis Indonesia yang berada di tengah-tengah dua benua,
menjadikan negara ini terdiri dari berbagai ras, suku bangsa, dan
agama.
Kemajemukan agama di Indonesia tidak terlepas dari
perjalanan sejarah kemunculan bangsa Indonesia. Hal tersebut

357
Atho’ Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan
Liberasi, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), hlm. 46-53.

Hukum Pidana Islam | 231 |


ditandai dengan berdirinya banyak kerajaan di Indonesia yang
menganut bermacam agama. Tidak diragukan lagi, perjalanan
panjang sejarah bangsa Indonesia mengakibatkan adanya
beberapa agama yang dianut oleh bangsa Indonesia pada masa-
masa selanjutnya.
Agama bagi bangsa Indonesia merupakan potensi yang besar.
Sebagai potensi, pada satu sisi agama dapat menjadi pendorong
dan pendukung arah pembangunan Indonesia. Pada sisi yang
lain, isu tentang agama dapat menjadi pemicu konflik antarumat
beragama. Oleh sebab itu, hubungan baik antarumat beragama
yang terwujud dalam tiga kerukunan hidup beragama diharapkan
selalu terwujud dalam perjalanan hidup bangsa.
Setiap agama mengajarkan kebenaran dan kebaikan. Setiap
penganut terpanggil untuk menanamkan dominasi kebenaran
dan keselamatan mutlak pada pihaknya serta kesesatan dan
kecelakaan fatal pada pihak yang lain. Interpretasi dan pemikiran
teologis yang berbeda mengenai konsep ini merupakan sumber
perselisihan antarumat beragama.
Adanya ketentuan dalam hukum Islam mengenai riddah
yang menghukum orang berpindah agama dapat dilihat sebagai
wujud adanya dominasi kebenaran dan keselamatan mutlak ini.
Oleh karena itu, ketentuan demikian bagi bangsa Indonesia yang
menganut berbagai agama merupakan ketentuan yang mustahil
untuk diwujudkan dalam hukum pidana. Konflik besar antara
umat Islam dan umat agama lain akan muncul jika ini dipaksakan.
Menurut Shaikh Abdur Rahman, hukuman mati seharusnya tidak
dijatuhkan bagi orang yang murtad dalam keadaan damai.358
Berdasarkan analisis historis politis, ketentuan pidana
mengenai riddah dalam hukum Islam hanya diterapkan pada
kondisi khusus yang tidak dapat disamakan begitu saja dengan
kondisi bangsa Indonesia. Sejarah Islam telah mencatat bahwa

358
Abdullahi Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi…, hlm. 166-168.

| 232 | Hukum Pidana Islam


setelah Nabi melakukan pengusiran terhadap orang-orang Yahudi
Madinah yang mengkhianati perjajian Madinah, musuh kaum
muslimin di Madinah tidak hanya orang-orang kafir Makkah
akan tetapi juga kelompok Yahudi. Oleh karenanya, Nabi harus
mengambil langkah-langkah politik maupun hukum untuk
memperkuat konsolidasi ke dalam.
Saat itu, Islam identik dengan negara atau pemerintahan
di Madinah. Pengkhianatan terhadap Islam sama halnya
pengkhianatan terhadap negara dan masyarakat Madinah. Dalam
suasana demikian, orang yang keluar dari Islam akan sangat
membahayakan kesatuan dan keutuhan pemerintahan Islam di
Madinah yang baru saja dibangun oleh Nabi. Oleh karena itu,
Nabi mendeklarasikan hukuman mati bagi orang yang keluar dari
Islam.359
Dugaan bahwa hadis Nabi yang terkait bernuansa politik
bukanlah tanpa dasar sama sekali. Setelah Nabi wafat muncul
gerakan riddah di Bahrain, Oman, Mahra, Hadhramaut, dan Yaman
yang kemudian berhasil ditumpas oleh Abu Bakar. Gerakan riddah
ini selalu dibarengi dengan pembangkangan membayar zakat.
Pada masa ini, pembangkangan membayar zakat adalah salah satu
tindakan pengkhianatan terhadap negara mengingat zakat adalah
salah satu sumber utama pendapatan negara. Namun, kebanyakan
ahli fiqh memaknai gerakan politik Abu Bakar dalam pengertian
literalnya, yaitu penumpasan gerakan riddah. Akibatnya, garis
batas antara persoalan politik dan persoalan agama dalam
kaitannya dengan proses pemaknaan murtad menjadi kabur.360
Menganalisis hukum Islam tentang riddah berdasarkan
hukum positif Indonesia tidak dapat mengabaikan sejarah awal

359
Ibid., hlm. 6.
360
David Little, et al, Kebebasan Agama dan Hak-hak Asasi Manusia :
Kajian Lintas Kultural Islam-Barat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm.
144-148.

Hukum Pidana Islam | 233 |


berdirinya negara ini. Pada saat itu para pendiri bangsa (founding
fathers) menetapkan bentuk negara, dasar negara, dan komponen
negara lainnya.
Walaupun dilihat dari segi pemeluknya, Indonesia merupakan
negara yang paling besar jumlah muslimnya, namun para pendiri
bangsa menetapkan bahwa negara Indonesia bukanlah negara
Islam, tetapi negara yang berdasarkan ideologi Pancasila.
Adanya ketentuan dalam Islam bahwa agama Islam lebih tinggi
daripada agama-agama lain tidak mungkin berlaku di Indonesia.
Hal ini bertalian erat dengan sejarah bangsa Indonesia bahwa
kemerdekaan Indonesia yang dikumandangkan pada tahun 1945
bukan merupakan hasil perjuangan dari satu kaum agama saja,
tetapi merupakan hasil perjuangan seluruh bangsa Indonesia.361
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hukum dasar negara
Indonesia dalam Pasal 27 ayat (1) menyebutkan secara jelas bahwa
segala warga negara berkedudukan sama di hadapan hukum dan
pemerintahan. Dalam pandangan hukum, warga negara Indonesia
yang satu dengan yang lain adalah sejajar, tanpa membedakan
suku, agama, atau kelompoknya (equality before the law). Hal
ini menjadi jaminan bagi negara Indonesia, terutama di bidang
hukum, untuk tidak akan bersikap diskriminatif terhadap warga
negaranya. Ini juga mengandung arti bahwa tidak ada warga
negara kelas kedua dalam negara Indonesia.
Menganalisis ketentuan hukum Islam tentang riddah dengan
tolok ukur Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 tersebut di atas semakin
mudah dapat dikatakan bahwa ketentuan yang ada dalam riddah
itu tidak sesuai dengan jiwa Pasal 27 (1) UUD 1945. Undang-
Undang Dasar 1945 juga menyatakan dalam Pasal 29 bahwa
negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini berarti
negara Indonesia bukan negara agama yang mendasarkan diri

361
Abdurrahman Wahid, Islam, Negara dan Demokrasi, (Jakarta: Jakarta,
1999), hlm. 132.

| 234 | Hukum Pidana Islam


pada satu agama tertentu, melainkan negara yang ber-Ketuhanan
Yang Maha Esa dan mengakui eksistensi agama-agama yang dianut
warga negaranya.362 Bahkan, dalam ayat kedua dari pasal tersebut
disebutkan negara menjamin kebebasan setiap penduduk untuk
melaksanakan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya
itu.
Dengan hanya memperhatikan konstitusi negara Indonesia
sudah dapat dinyatakan bahwa ketentuan yang ada dalam hukum
Islam tentang riddah tidak sejalan dengan hukum dasar tersebut.
Oleh karena itu, tak satu pun pasal-pasal yang mengatur tentang
delik agama dalam hukum pidana positif Indonesia (KUHP) yang
mengatur adanya larangan untuk pindah agama (riddah). Riddah
bukan persoalan yang urgen untuk dimasukkan ke dalam hukum
pidana nasional (KUHP) yang sekarang berlaku. Undang-undang
Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan
atau Penodaan Agama, sebagai salah satu usaha pembaharuan
hukum pidana Indonesia, khususnya di bidang delik agama, hanya
menambah pasal baru (156a) dalam KUHP tentang larangan
melakukan penyalahgunaan atau penodaan suatu agama yang
dianut di Indonesia serta larangan melakukan perbuatan agar
orang lain tidak menganut agama apa pun (ateis).
Sebagaimana diketahui bersama bahwa UU Nomor 1/
PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau
Penodaan Agama (selanjutnya hanya disebut UU Nomor 1/

362
Dalam perkembangan pembahasan amandemen UUD 1945, Pasal
29 ini merupakan pasal yang banyak diperdebatkan. Muncul berbagai macam
alternatif ayat (1), yaitu (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, (2)
Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan
syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, (3) Negara berdasar atas Ketuhanan
Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan ajaran agama bagi masing-
masing pemeluknya dan (4) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa,
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Hukum Pidana Islam | 235 |


PNPS/1965) diajukan judicial review oleh 11 orang atau kelompok
aktivis hak asasi manusia, yaitu Inisiatif Masyarakat Partisipasif
untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat (ELSAM), Perhimpunan Bantuan Hukum
dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Pusat Studi Hak Asasi Manusia
dan Demokrasi (Demos), Masyarakat Setara, Yayasan Desantara,
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), K.H.
Abdurrahman Wahid (alm), Prof. Dr. Musdah Mulia, Prof. M.
Dawam Rahardjo, dan K.H. Maman Imanul Haq. Mungkin
untuk memperkuat dan membackup permohonannya, mereka
didampingi oleh 57 advokat yang tergabung dalam Tim Advokasi
Kebebasan Beragama. Dalam petitumnya, mereka menyatakan
bahwa Pasal 1, 2 ayat (1), 2 ayat (2), 3, dan 4a UU Nomor 1/
PNPS/1965 bertentangan dengan Pasal 28D dan 28E UUD
1945.363
Walaupun diajukan oleh para aktivis HAM dan diback up oleh
57 advokat, ternyata dalam permohonan perkara yang diajukan
ke Mahkamah Konstitusi mengandung beberapa kelemahan
legal. Pertama, dalam penyebutan UU No. 1/PNPS/1965,
pemohon menyebut undang-undang tersebut dengan judul yang
berbeda-beda. Dalam judul, pemohon menyebutnya dengan UU
Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama, sedangkan dalam
isinya menyebutnya dengan UU Pencegahan Penyalahgunaan
dan atau Penodaan Agama. Sebenarnya, ini bisa dianggap sebagai
perkara yang sepele dan tidak berarti. Namun, jika kesalahan
legal ini dilakukan oleh sejumlah aktivis dan advokat sebanyak
itu, jelas merupakan keteledoran yang fatal. Hal ini menunjukkan
kekurangseriusan para pemohon dan kuasa hukumnya.
Kedua, lebih fatal lagi dalam permohonan perkara juga

363
Mahkamah Konstitusi, Ringkasan Permohonan Perkara Nomor 140/
PUU-VII/2009 tentang UU [Pencegahan?] Penyalahgunaan dan/atau Penodaan
Agama “Pembatasan atas Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan”, hlm. 1.

| 236 | Hukum Pidana Islam


disebutkan norma-norma yang diajukan untuk diuji. Salah satu
pasal yang digugat adalah “Pasal 4a”. Padahal, di dalam UU No.
1/PNPS/1965 sama sekali tidak menyebutkan adanya Pasal 4a,
yang ada hanyalah Pasal 4 yang menambahkan pasal baru dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu Pasal 156a.
Kesalahan ini, kemudian dipertanyakan oleh Hakim Mahkamah
Konstitusi, Harjono.364 Dua keteledoran tersebut menunjukkan
kekurangseriusan dan ketidakprofesionalan para kuasa hukumnya
dalam membuat permohonan. Jumlah kuasa hukum yang
sedemikian banyaknya mungkin dapat dibilang hanya sebagai
“unjuk kekuatan”, namun justru menjadi tanda kecerobohan dan
kelemahan mereka.
Dilihat dari segi teori dan substansi hukumnya, penolakan
terhadap pengujian undang-undang didasarkan atas beberapa
pertimbangan sebagai berikut:
1. Dilihat dari sisi fungsi hukum
Dalam teori hukum pidana dikenal bahwa fungsi khusus bagi
hukum pidana adalah melindungi kepentingan hukum terhadap
perbuatan yang hendak memperkosanya (rechtsguterschutz) dengan
sanksi berupa pidana yang sifatnya lebih tajam dibandingkan
dengan sanksi yang ada dalam hukum lainnya.365 Agama atau
keyakinan jelas merupakan kepentingan hukum yang dimiliki oleh
orang atau masyarakat yang wajib dilindungi oleh hukum pidana.
Bentuk perlindungan negara terhadap agama adalah sebagaimana
tercantum dalam Pasal 1 dan 4 (yang menambah Pasal 156a
KUHP) UU No. 1/PNPS/1965:

364
Mahkamah Konstitusi, Risalah Sidang Perkara Nomor 140/PUU-
VII/2009, hlm. 16.
365
Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro, 1990), hlm. 12.

Hukum Pidana Islam | 237 |


Pasal 1
Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum
menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan
umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang
dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan
yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu,
penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok
ajaran agama itu.
Pasal 156a
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun
barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan
perasaan atau melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan
atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di
Indonesia;
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama
apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.

Sangat jelas di sini bahwa negara hendak melindungi ajaran


agama dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang (dengan
syarat telah dilakukan di depan publik). Mengenai parameter
menyimpang atau tidak menyimpang, negara tidak campur tangan
karena diserahkan kepada masing-masing agama.

2. Hukum pidana sebagai hukum yang bersifat subsidier dan


dan harus dianggap sebagai ultimum remidium.
Dalam teori hukum pidana selanjutnya disebutkan bahwa
karena sanksi dalam hukum pidana dianggap lebih kejam daripada
sanksi dalam hukum lainnya, maka hukum pidana dipakai sebagai
alternatif terakhir.366 Untuk itu, muncul pertanyaan: apakah sanksi

366
Ibid, hlm. 13.

| 238 | Hukum Pidana Islam


pidana dalam UU No. 1/PNPS/1965 telah memenuhi persyaratan
ultimum remidium? Undang-undang tersebut memberikan
jawaban dalam Pasal 2 dan 3 bahwa jika terdapat seseorang
yang melanggar Pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965, maka dilakukan
upaya hukum administrasi negara dengan cara (1) dikeluarkan
SKB Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri
tentang surat perintah dan peringatan keras untuk menghentikan
perbuatannya, (2) dibubarkan oleh Presiden sebagai organisasi/
aliran terlarang, (3) dipidana maksimal 5 tahun penjara. Dari sisi
teori hukum pidana, dua alasan tersebut menjadi dasar bahwa UU
No. 1/PNPS/1965 tidak bertentangan dengan konsepsi hukum
pidana.

3. Dilihat dari segi substansi hukumnya, UU No. 1/PNPS/1965


tidak bertentangan dengan UUD 1945, namun lebih pada
pengaturan lebih lanjut dari hak warga negara demi terciptanya
perlindungan terhadap agama dan ketertiban.
Dalam permohonan judicial review dinyatakan bahwa Pasal
1 UU No. 1/PNPS/1965 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1)
[persamaan di depan hukum dan pemerintahan], Pasal 28D
ayat (1) [hak pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil], Pasal 28I ayat (2) [hak bebas dari perlakuan
diskriminatif] UUD 1945 dengan alasan adanya pembedaan dan
atau pengutamaan terhadap enam agama dibandingkan dengan
agama-agama atau aliran kepercayaan lainnya (Penjelasan Pasal
1 UU No. 1/PNPS/1965).367 Pernyataan ini jelas tidak benar dan
menyesatkan. Secara jelas dalam Penjelasan Pasal 1 UU No. 1/
PNPS/1965 menyebutkan:
Dengan kata-kata “Dimuka Umum” dimaksudkan apa yang

367
Mahkamah Konstitusi, “Ringkasan Permohonan Perkara Nomor 140/
PUU-VII/2009 tentang UU [Pencegahan] Penyalahgunaan dan/atau Penodaan
Agama “Pembatasan atas Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan”, hlm. 5.

Hukum Pidana Islam | 239 |


lazim diartikan dengan kata-kata itu dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana. Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk
di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan
khong Cu (Confusius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah
perkembangan Agama-agama di Indonesia. Karena 6 macam
Agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh
penduduk Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan
seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 Undang-undang
Dasar, juga mereka mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan
seperti yang diberikan oleh pasal ini. Ini tidak berarti bahwa
agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism
dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti
yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 [cetak tebal oleh penulis]
dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-
ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan
perundangan lain.

Dalam penjelasan ini, tidak ada satu pun pembedaan dan


atau pengutamaan enam agama daripada agama lain. Justru ada
pernyataan bahwa agama lain di Indonesia tidak dilarang dan
bahkan mendapatkan jaminan penuh sebagaimana dijamin dalam
Pasal 29 ayat (2).368

368
Dalam Acara Pemeriksaan II (2 Desember 2009) Pemohon akhirnya
meniadakan argumentasi tentang adanya diskriminasi terhadap agama selain
enam agama. Mahkamah Konstitusi, Risalah Sidang Perkara Nomor 140/PUU-
VII/2009, hlm. 7. Bagi penulis, ini menambah asumsi negatif bahwa mereka yang
mengaku sebagai aktivis HAM melakukan tindakan ceroboh, bersikap tidak adil
atau mungkin “latah” dalam upaya hukum ini. Menurut mereka hak kebebasan
beragama dianggap “hak yang tidak dapat dikurangi”. Hak-hak lain dalam
Pasal 28I ayat (1) yang disebut sebagai hak yang tidak dikurangi dalam keadaan
apapun di antaranya “hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku
surut”. Sementara itu, Pasal 43 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM memberlakukan surut undang-undang ini. Apakah mereka akan mau
melakukan judicial review terhadap pemberlakuan surut UU Nomor 26 Tahun

| 240 | Hukum Pidana Islam


Selanjutnya dalam permohonan dinyatakan pula bahwa, Pasal
4 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) [hak persamaan di muka
hukum], Pasal 28E ayat (2) [hak kebebasan beragama, meyakini
keyakinan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nurani],
Pasal 28I ayat (1) [hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk
tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan
hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apa pun], Pasal 29 ayat (2) [hak memeluk agama
dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya], dan Pasal
28I ayat (2) [hak bebas dari perlakuan diskriminatif] UUD 1945.
Istilah “hak” di sini seolah-olah menjadi sebuah harga mati dan
bersifat mutlak. Dalam teori hukum, hak selalu disandingkan
dengan adanya kewajiban. Jika hak yang selalu dikedepankan, pasti
negara atau orang lain akan dirugikan. Setiap warga negara akan
menuntut haknya, sedangkan kewajiban asasinya terbengkelai.
Oleh karena itu, hukum menuntut adanya keseimbangan antara
hak dan kewajiban. Satu sisi setiap orang berhak untuk hidup,
tetapi di sisi yang lain, dia berkewajiban untuk menjaga atau
melindungi hak hidup orang lain. Dalam konteks ini, orang berhak
atas keberagamaannya, namun dia juga wajib untuk menjaga
kemurnian agamanya. Kebebasan beragama harus diartikan
kebebasan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya,
dan tidak ada paksaan dalam beragama. Kebebasan beragama
tidak dapat diartikan kebebasan dalam menafsirkan ajaran pokok
agama. Oleh karena itu, dalam Pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965 ini

2000 sementara mereka berkepentingan terhadap kasus pelanggaran HAM masa


lalu (Talangsari, Tanjung Priuk, Semanggi, dan lain-lain)? Keambiguan sikap juga
pernah terjadi saat seorang pemimpin agama di Poso dieksekusi pidana mati,
beberapa orang yang mengaku sebagai aktivis HAM menolak adanya sanksi
pidana mati. Namun, saat pelaku Bom Bali I dieksekusi mati, mereka diam.

Hukum Pidana Islam | 241 |


pun hanya menyebut “penyimpangan dari pokok-pokok ajaran
agama”. Jelas di sini bukan penafsiran yang furū’.
Permohonan judicial review terhadap Pasal 4 UU No. 1/
PNPS/1965 ini juga menunjukkan sikap yang tidak jelas. Pasal
4 jelas-jelas menyatakan adanya penambahan Pasal 156a dalam
KUHP yang isinya ada 2 tindak pidana, yaitu:
a. tindakan permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan
terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
b. tindakan dengan maksud agar orang tidak menganut agama
apapun juga.
Dalam Acara Pemeriksaan II (2 Desember 2009), pemohon
mengkoreksi pasal yang digugat, yaitu hanya memohon pengujian
undang-undang Pasal 4 (156a) huruf a UU No. 1/PNPS/1965.
Dengan demikian, yang diajukan judicial review adalah Pasal 1, 2,
3, dan 4 (Pasal 156a) huruf a. Pasal 156a huruf b terkait dengan
tindak pidana mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan
dengan maksud agar orang tidak menganut agama apapun
tidak dimohonkan judicial review. Jika permohonan pemohon
dikabulkan, maka akan memunculkan persoalan baru terkait
dengan adanya pertentangan antara nama dan isi undang-undang
tersebut. UU tersebut akan berjudul Pencegahan Penyalahgunaan
dan atau Penodaan Agama akan tetapi isinya tindak pidana
mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan dengan
maksud agar orang tidak menganut agama apapun (atheis).

4. Pencabutan sebagian pasal dalam UU No. 1/PNPS/1965


dianggap akan membahayakan keamanan negara dan
ketertiban.
Sebagaimana pernah disampaikan oleh Menteri Agama,
pencabutan sebagian pasal dalam UU No. 1/PNPS/1965 justru akan
menimbulkan kerugian negara. Keamanan negara dan ketertiban
akan dikorbankan. Dalam bahasa mudahnya, “dengan adanya UU

| 242 | Hukum Pidana Islam


No. 1/PNPS/1965 ini saja banyak penodaan dalam agama, apalagi
jika tidak ada”. Dalam media massa telah banyak dipublikasikan
tentang beberapa orang atau kelompok yang melakukan kegiatan
ritual yang mengatasnamakan agama tertentu, namun sangat
menyimpang dengan ajaran-ajaran pokoknya, atau mengaku
sebagai tokoh suci dalam agama tertentu (nabi atau malaikat). Jika
ini dibiarkan, ketertiban dan keamanan Negara atau masyarakat
akan dikorbankan.
Untuk menjamin Hak-hak Asasi terhadap warga Negara dan
menjamin kemurnian nilai-nilai Pancasilan dan UUD 1945, maka
UU No. 1/PNPS/1965 merupakan perangkat hukum yang urgen
diterapkan di Indonesia. Oleh karena itu, pencabutan beberapa
pasal dalam undang-undang tersebut—dengan mempertimbangkan
beberapa alasan-alasan di atas— haruslah ditolak.
Bahkan sejak tahun 1948, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah
mengakui kebebasan agama dengan mencantumkannya dalam
Pasal 18 United Nations Declaration of Human Rights yang
dikeluarkan pada tanggal 10 Desember 1948 oleh Majelis Umum
PBB. Deklarasi internasional mengeni hak-hak asasi manusia
sedunia menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan
pikiran, hati nurani, dan agama; dalam hak ini termasuk kebebasan
berganti agama atau kepercayaan dan kebebasan untuk menyatakan
agama atau kepercayaannya dengan cara sendiri maupun bersama-
sama, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, dan
baik di tempat umum maupun yang tersendiri.
Pada tahun 1966 dengan Resolusi Majelis Umum PBB Nomor
200A (XXI) 16 Desember 1966 kembali menyetuji Konvenan
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Konvenan ini
merupakan penjabaran lebih lanjut dari Deklarasi Universal
tentang Hak-hak Asasi Manusia (Declaration of Human Rights)
yang telah dikeluarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun
1948.

Hukum Pidana Islam | 243 |


Dalam Pasal 18 disebutkan secara khusus mengenai kebebasan
berpikir, hati nurani, dan agama. Selengkapnya, Pasal 18 tersebut
menyatakan:
1. Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, hati nurani, dan
agama. Hak ini meliputi kebebasan untuk menganut atau
memeluk suatu agama atau kepercayaan pilihannya sendiri,
dan kebebasan untuk, baik sendirian maupun bersama-sama
dengan orang lain, dan baik di hadapan umum maupun di
tempat pribadi, mewujudkan agama kepercayaannya dengan
pemujaan, penataan peribadatan, pentaatan, pengamalan, dan
pengajaran.
2. Tidak seorang pun boleh dikenakan pemaksaan yang akan
mengganggu kebebasannya untuk menganut atau memeluk
suatu agama atau kepercayaan pilihannya sendiri.
3. Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan yang
hanya dapat dikenal pembatasan-pembatasan sebagaimana
diatur dengan undang-undang dan perlu untuk melindungi
keamanan, ketertiban, kesehatan atau kesusilaan umum atau
hak-hak asasi dan kebebasan orang lain.

Perserikatan Bangsa-Bangsa juga mengeluarkan kembali


deklarasi tentang Penghapusan Semua Bentuk Ketidakrukunan
dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Kepercayaan dengan
Resolusi Majelis Umum Nomor 36/55, 25 Nopember 1981. Dalam
aturan yang bersifat khusus ini, Majelis Umum PBB memprihatinkan
masih adanya berbagai manifestasi ketidakrukunan dan adanya
diskriminasi dalam persoalan-persoalan agama atau kepercayaan
di beberapa wilayah dunia.
Pasal 1 deklarasi tersebut yang tidak jauh berbeda dengan
pernyataan-pernyataan PBB mengenai kebebasan beragama dalam
deklarasi-deklarasi sebelumnya dinyatakan:
1. Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, hati nurani,

| 244 | Hukum Pidana Islam


dan beragama. Hak ini harus mencakup kebebasan untuk
menganut suatu agama atau kepercayaan apa pun pilihannya,
dan kebebasan, baik secara individu maupun dalam masyarakat
dengan orang-orang lain, dan di depan umum atau sendirian,
untuk mewujudkan agama atau kepercayaannya dalam
beribadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran.
2. Tidak seorang pun dapat dijadikan sasaran pemaksaan yang
akan mengurangi kebebasannya untuk menganut suatu agama
atau kepercayaan pilihannya.
3. Kebebasan untuk mewujudkan agama atau kepercayaan
seseorang hanya boleh tunduk pada pembatasan-pembatasan
seperti yang ditetapkan oleh undang-undang dan yang
diperlukan untuk melindungi keselamatan umum, ketertiban
umum, kesehatan masyarakat atau kesusilaan umum atau hak-
hak dan kebebasan-kebebasan orang lain.
Memperhatikan persoalan riddah dalam hukum Islam yang
dapat memberikan pidana bagi pelaku yang berpindah agama
(Islam) dengan menghubungkannya dengan aturan-aturan
internasional tampaknya bertentangan. Bahkan dalam Universal
Declaration of Human Rights disebutkan secara jelas bahwa
kebebasan beragama meliputi juga kebebasan berganti agama atau
kepercayaan.
Di samping itu, pemidanaan terhadap pelaku riddah tidak
selaras dengan pernyataan dalam ayat (2) yang menyebutkan
“tidak seorang pun dapat dijadikan sasaran pemaksaan yang
akan mengurangi kebebasannya untuk menganut suatu agama
atau kepercayaan pilihannya”. Hal ini dapat dikatakan bahwa
dipidananya pelaku riddah jelas akan mengurangi kebebasan
seseorang untuk menganut suatu agama.
Dengan adanya perbedaan pemahaman ini, maka pada
saat pembahasan Universal Declaration of Human Rights di
Perserikatan Bangsa-Bangsa, khususnya yang mengarah pada Pasal

Hukum Pidana Islam | 245 |


18 mengenai kebebasan agama menimbulkan diskusi yang hangat
di antara negara peserta. Perbedaan pandangan justru muncul di
antara negara-negara Islam, khususnya antara Arab Saudi yang
menuntut Pasal 18 dihapuskan dan Pakistan yang menganggap
Pasal 18 tetap diperlukan. Perbedaan pandangan ini disebabkan
adanya latar belakang sosio kultural dan politik yang berbeda dari
kedua negara itu.369
Memperhatikan wacana yang berkembang di dunia
internasional mengenai kebebasan beragama di atas, dengan jelas
menunjukkan bahwa riddah yang diancam pidana dalam perspektif
hukum Islam tidak sejalan dengan isi deklarasi internasional. Oleh
karena itu, tidak mungkin memasukkan hukum Islam tentang
riddah dalam pembaharuan hukum pidana nasional.
Hal ini disebabkan Indonesia telah merativikasi international
covenant on civil and political rights dengan UU No. 12 tahun
2005 tentang pengesahan covenan inetrnasional tentang hak-hak
sipil dan berpolitik. Bahkan ditetapkan dalam Pasal 18 mengenai
adanya hak setiap orang atas kebebasan berfikir, berkeyakinan
dan beragama serta perlindungan atas hak-hak tersebut.
Pertimbangan Indonesia untuk menjadi anggota pada
International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik) adalah karena
Indonesia merupakan negara hukum dan sejak kelahirannya
pada tahun 1945 menjunjung tinggi HAM. Sikap Indonesia
tersebut dapat dilihat dari kenyataan bahwa meskipun dibuat
sebelum diproklamasikannya DUHAM, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah memuat beberapa
ketentuan tentang penghormatan HAM yang sangat penting.
Hak-hak tersebut antara lain hak semua bangsa atas kemerdekaan
(alinea pertama Pembukaan); hak atas kewarganegaraan (Pasal 26);

369
Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights: Tradition ang Politics,
(London: Pinter Publisers, 1991), hlm. 163.

| 246 | Hukum Pidana Islam


persamaan kedudukan semua warga negara Indonesia di dalam
hukum dan pemerintahan (Pasal 27 ayat (1)); hak warga negara
Indonesia atas pekerjaan (Pasal 27 ayat (2)); hak setiap warga
negara Indonesia atas kehidupan yang layak bagi kemanusiaan
(Pasal 27 ayat (2)); hak berserikat dan berkumpul bagi setiap
warga negara (Pasal 28); kemerdekaan setiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agama dan kepercayaannya itu (Pasal 29 ayat (2)); dan hak setiap
warga negara Indonesia atas pendidikan (Pasal 31 ayat (1)).
Sikap Indonesia dalam memajukan dan melindungi HAM
terus berlanjut meskipun Indonesia mengalami perubahan
susunan negara dari negara kesatuan menjadi negara federal (27
Desember 1949 sampai dengan 15 Agustus 1950). Konstitusi
yang berlaku pada waktu itu, yaitu Konstitusi Republik Indonesia
Serikat (Konstitusi RIS), memuat sebagian besar pokok-pokok
HAM yang tercantum dalam DUHAM dan kewajiban Pemerintah
untuk melindunginya (Pasal 7 sampai dengan Pasal 33).
Indonesia yang kembali ke susunan negara kesatuan sejak
15 Agustus 1950 terus melanjutkan komitmen konstitusionalnya
untuk menjunjung tinggi HAM. Undang-Undang Dasar Sementara
Republik Indonesia (UUDS RI Tahun 1950) yang berlaku sejak
15 Agustus 1950 sampai dengan 5 Juli 1959, sebagaimana
Konstitusi RIS, juga memuat sebagian besar pokok-pokok HAM
yang tercantum dalam DUHAM dan kewajiban Pemerintah untuk
melindunginya (Pasal 7 sampai dengan Pasal 33), dan bahkan
sebagian sama bunyinya kata demi kata dengan ketentuan yang
bersangkutan yang tercantum dalam Konstitusi RIS. Di samping
komitmen nasional, pada masa berlakunya UUDS RI Tahun 1950,
Indonesia juga menegaskan komitmen internasionalnya dalam
pemajuan dan perlindungan HAM, sebagaimana yang ditunjukkan
dengan keputusan Pemerintah untuk tetap memberlakukan
beberapa konvensi perburuhan yang dihasilkan oleh International

Hukum Pidana Islam | 247 |


Labour Organization (Organisasi Perburuhan Internasional) yang
dibuat sebelum Perang Dunia II dan dinyatakan berlaku untuk
Hindia Belanda oleh Pemerintah Belanda, menjadi pihak pada
beberapa konvensi lain yang dibuat oleh Organisasi Perburuhan
Internasional setelah Perang Dunia II, dan mengesahkan sebuah
konvensi HAM yang dibuat oleh PBB, yakni Convention on the
Political Rights of Women 1952 (Konvensi tentang Hak-hak
Politik Perempuan 1952), melalui Undang-Undang Nomor 68
Tahun 1958.
Dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia, upaya pemajuan
dan perlindungan HAM telah mengalami pasang surut. Pada
suatu masa upaya tersebut berhasil diperjuangkan, tetapi pada
masa lain dikalahkan oleh kepentingan kekuasaan. Akhirnya,
disadari bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara yang tidak
mengindahkan pemajuan dan perlindungan HAM akan selalu
menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat luas dan tidak
memberikan landasan yang sehat bagi pembangunan ekonomi,
politik, sosial dan budaya untuk jangka panjang.370

E. Transformasi Pemikiran tentang Delik Riddah di Indonesia


Sejak Seminar Hukum Nasional I tahun 1963 dan dikuatkan
dengan laporan Penelitian Pengaruh Agama terhadap Hukum
Pidana Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) tahun 1973
telah digagas adanya pasal-pasal dalam hukum pidana nasional
yang memberikan perlindungan terhadap agama.
Akhirnya dalam Konsep KUHP (Bab VII) yang mengatur
tentang tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama
mengatur beberapa delik:

370
Penjelasan UU No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan international
covenant on civil and political (covenan inetrnasional tentang hak-hak sipil dan
berpolitik)

| 248 | Hukum Pidana Islam


a. penghinaan terhadap agama (Pasal 290);
b. merintangi dan sebagainya ibadah atau upacara/pertemuan
keagamaan (Pasal 291 ayat (1));
c. membuat gaduh dekat bangunan untuk ibadah (Pasal 291
ayat (2));
d. mengejek orang yang sedang beribadah atau petugas agama
(Pasal 292);
e. merusak, membakar, menodai bangunan, benda untuk
beribadah (Pasal 293);
f. menghasut untuk meniadakan keyakinan/kepercayaan
terhadap agama (Pasal 294);
g. menghina ke-Agungan Tuhan, firman dan sifat-Nya (Pasal
295);
h. mengejek, menodai atau merendahkan agama, rasul, nabi,
kitab suci, ajaran atau ibadah keagamaan (Pasal 296); dan
i. menyiarkan atau mempertunjukkan tindak pidana dalam
Pasal 290 atau Pasal 296 di atas (Pasal 297).
Berdasarkan keterangan di atas, semakin jelaslah bahwa
pindah dari suatu agama ke agama yang lain, khususnya pindah
dari agama Islam ke agama lain bukanlah termasuk delik menurut
Konsep KUHP. Hal ini tidak terlepas dari tinjauan tujuan hukum
pidana itu sendiri. Secara umum dan sederhana dapat disebutkan
bahwa tujuan hukum pidana adalah terciptanya keteraturan
dalam masyarakat. Dimasukkannya delik baru yang justru akan
menimbulkan ketidakdamaian dan ketidakteraturan masyarakat
adalah jelas tidak sesuai dengan tujuan hukum pidana.
Statemen di atas diperkuat oleh Mohamed S. El Awa, seorang
guru besar hukum Islam di Universty of Riyadh. Menurutnya,
ketika bicara riddah, tinjauan dari aspek tujuan hukum pidana
banyak dilupakan oleh beberapa ahli hukum Islam, baik yang
menganggap riddah sebagai tindak pidana maupun yang tidak.
Bagi pihak yang memasukkan riddah sebagai tindak pidana, aspek

Hukum Pidana Islam | 249 |


tujuan tidak mungkin dianalisis karena pidana ḥudūd tidak luas
dibicarakan. Mereka menangkap aturan itu sebagai nash yang
tidak perlu lagi diperdebatkan. Demikian pula yang menolak
riddah sebagai tindak pidana. Mereka terlalu menkonsentrasikan
pada bukti kebenaran pandangannya. Akhirnya, Mohamed S.
El Awa menyimpulkan bahwa riddah tidak termasuk ḥudūd,
melainkan termasuk ta’zīr yang berat ringannya ditentukan oleh
penguasa. Namun, hukuman ta’zīr ini diberikan hanya jika riddah
menyebabkan kerusakan dalam masyarakat. Hal ini berarti,
jika perbuatan riddah tidak menimbulkan kerusakan dalam
masyarakat, maka tidak perlu ada hukuman apapun.371
Namun demikian, ada pasal yang berkaitan dengan masalah
pindah agama, yaitu Pasal 294. Selengkapnya, bunyi Pasal 294
tersebut adalah:
Setiap orang yang di muka umum menghasut dalam
bentuk apa pun dengan maksud meniadakan keyakinan
terhadap agama yang dianut di Indonesia, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau
denda paling banyak Kategori IV.372

Ada beberapa permasalahan yang berkaitan dengan pindah


agama dalam Pasal 294 ini, yaitu:
1. Pasal 294 konsep KUHP tersebut menyebutkan adanya
larangan menghasut untuk meniadakan kepercayaan atau
keyakinan terhadap agama. Kata “agama” yang dipakai dalam
Pasal 294 menggunakan kata umum yang berarti meliputi
seluruh agama yang diakui di Indonesia. Hal ini berbeda

371
Mohamed S. El Awa, Punishment in Islamic Law: A Comparative
Study, (Indianapolis: American Trust Publications, 1982), hlm. 55.
372
Mengenai pidana denda dijelaskan dalam RUU KUHP 2008
pasal 80 ayat 3 butir d. Pidana denda kategori IV sebasar 75.000.000,-
00 (tujuh puluh lima juta rupiah).

| 250 | Hukum Pidana Islam


dengan hukum Islam tentang riddah yang hanya memberikan
hak istimewa kepada agama Islam.
2. Dalam pasal ini juga ditegaskan bahwa yang dilarang adalah
“menghasut” dalam bentuk apapun (garis miring dari penulis).
Istilah menghasut dalam bentuk apapun merupakan istilah
yang sangat luas, sehingga dapat dipermasalahkan apakah
penyiaran kepada orang lain yang sudah beragama, untuk
pindah agama lain, termasuk di dalamnya penyiaran yang
dimaksudkan agar orang lain pindah dari agamanya dapat
dikategorikan ke dalam ketentuan pasal ini. Oleh karena itu,
apabila memang penyiaran itu dimaksudkan agar orang lain
pindah dari agamanya, maka hal tersebut dapat dikategorikan
ke dalam Pasal 294. Hanya saja, dalam Pasal 294 disebutkan
adanya syarat penghasutan itu dilakukan di muka umum yang
tidak mudah diterapkan dalam kasus riddah di atas.
3. Selain itu, hal yang membedakan Pasal 294 konsep KUHP
dengan aturan riddah dalam hukum Islam adalah pelaku
tindak pidana penghasutannya, bukan pelaku yang tidak
yakin atau tidak percaya lagi pada agamanya. Menurut hukum
pidana Islam, orang yang berbuat riddah-lah yang dikenakan
pidana.
Akan tetapi jika dilihat penjelasan, maksud Pasal 294 ini
adalah adanya larangan untuk menghasut orang agar dia tidak
beragama. Selengkapnya penjelasan Pasal 294 tersebut berbunyi
sebagai berikut:
“Penghasutan dilakukan dalam bentuk apapun, dengan tujuan
agar pemeluk agama yang dianut di Indonesia menjadi tidak
beragama.”
Berdasarkan paparan mengenai tindak pidana terhadap agama
dan kehidupan beragama dalam konsep KUHP di atas, hukum
Islam tentang riddah tidak dimasukkan ke dalam konsep KUHP
sebagai salah satu tindak pidana yang dapat dikenakan pidana.

Hukum Pidana Islam | 251 |


Hal ini didasarkan pada pertimbangan politik kriminal Indonesia
yang melihat permasalahan riddah dari perspektif sosio kultural
Indonesia dan standar internasional mengenai hak asasi manusia.

F. Transformasi Pemikiran tentang Sanksi Delik Riddah di


Indonesia
Pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya mengandung
suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum
pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-
filosofik dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi
kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan
hukum di Indonesia.373
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang mayoritas
penduduknya beragama Islam. Kurang lebih 89% penduduknya
menganut agama ini. Dalam ajaran yang diyakininya, terdapat
sistem hukum Islam yang mengatur segala aspek kehidupan. Salah
satu cabang dari hukum pidana Islam (jināyah) adalah adanya
ketentuan riddah atau murtad, yaitu tindak pidana bagi seseorang
yang pindah agama dari agama Islam ke agama lain.
Dalam rangka ini, beberapa norma hukum yang dikenal
masyarakat Indonesia, termasuk di dalamnya norma hukum pidana
dalam Islam, diintegrasikan ke dalam hukum pidana nasional
yang akan datang. Namun demikian, persoalan muncul ketika
berhadapan dengan aturan mengenai riddah yang menurut jumhur
ulama termasuk ke dalam salah satu ḥudūd yang dapat dikenai
pidana ḥadd, selain dihadapkan pada tataran hukum Indonesia
yang menghargai pluralisme dan tidak memandang riddah sebagai
tindak pidana. Di samping itu, deklarasi Perserikatan Bangsa-

373
Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 325.

| 252 | Hukum Pidana Islam


bangsa mengenai kebebasan beragama merupakan salah satu hak
asasi manusia yang diakui oleh negara-negara di dunia ini.
Persoalan konversi agama yang jelas dilegalkan dalam Al-
Qur’`an, lā ikrāha fī ad-dīn (tidak ada paksaan dalam agama),
dan hadis Nabi yang mengatakan man badala dīnahu faqtulūhu
(siapa menukar agama bunuhlah ia), ini statemen apriori dalam
pemikiran, karena sesungguhnya yang dibunuh bukan karena
riddah-nya, tetapi sifat desersi (pengkhianatan negara yang
dibarengi dengan murtad).374
Penulis menganggap konversi agama (riddah)375 sebagai
persoalan hak asasi manusia. Dengan demikian, jika seseorang
berpindah agama, maka tidak ada sanksi baginya. Persoalan Islam
yang menyatakan siapa yang mengganti agama hendaklah dibunuh,
ini disebabkan tidak dibedakan riddah yang termasuk delik dan
riddah yang hak asasi manusia. Islam menghukum pelaku riddah
dengan hukuman mati disebabkan adanya unsur disersi.376 Bisa
terjadi untuk hukum di Indonesia, perbuatan riddah dianggap
tindak pidana, jika berbarengan dengan delik yang lain, seperti
menjelek-jelekan agama orang lain, atau membuat retaknya
kerukunan umat beragama, mengingat Indonesia adalah negara
multi agama. Tindakan ini dianggap sebagai riddah yang dikenakan
hukuman. Sementara itu, riddah yang tidak mempengaruhi orang
lain dan hanya untuk diri sendiri, baginya tidak ada hukuman.

374
Haliman, Hukum Pidana Islam Menurut Adjaran Ahli Sunah wal
Jamaah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1968), hlm. 384.
375
Riddah yang secara harfiyyah berasal dari radda yang berarti
mengembalikan (arja’uhu) atau memalingkan (ṣarafahu) adalah kembalinya
orang Islam yang berakal dan dewasa ke kekafiran dengan kehendaknya sendiri
tanpa paksaan dari orang lain, baik laki-laki maupun perempuan; As-Sayyid
Sābiq, Fiqh as-Sunah, Vol. II, (Beirut: Dār al Fikr, 1983), hlm. 381.
376
Haliman, Hukum Pidana Islam Menurut Adjaran ahli Sunah wal
Jamaah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1968), hlm. 384.

Hukum Pidana Islam | 253 |


Hadis yang paling jelas menyatakan jenis sanksi bagi tindakan
riddah adalah yang diriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa Rasulullah
bersabda: ”Barangsiapa mengganti agamanya, maka bunuhlah ia”.
kan sebagai Cakupan
dasarhadis ini sangat luas,
dipidananya meliputi
riddah seluruhsahih.
adalah perpindahan
Ijtihad dari
suatuuntuk
akan alternatif agama menjawab
ke agama lain, bahkan dibarengi
persoalan riddah kejahatan di Indonesia. lainnya.
Oleh karena itu, hadis ini tidak dapat dipakai sebagai dasar
Riddah39 disebut dalam
pembenaran pidana riddah. nash, yakni
377 Al-Qur’an surat al-
h ayat 217: Al-Qur’an memang bermaksud memberikan hukuman pidana
bagi pelaku riddah, tapi sifatnya ukhrawi dan beberapa hadis
 yang
digunakan
 sebagai
    dipidananya
dasar   riddah  adalah
 sahih.
 
Ijtihad merupakan alternatif untuk menjawab persoalan riddah di
Indonesia.
digunakan sebagai dasar dipidananya riddah adalah sahih. Ijtihad

Riddah
 Riddah disebut
  dalam
 39disebut    yakni
 Al-Qur’an
 surat
al-
al-

merupakan alternatif untuk menjawab persoalan riddah di Indonesia.
378
nash, yakni Al-Qur’an surat
dalam nash,
Baqarah ayat 217:
Baqarah ayat 217:

            

          


Barang siapa murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia
Barang siapa
mati dalam kekafiran, murtad
maka di antaraitulah
mereka kamu dari agamanya,
yang sia-sialalu
dia mati
malannya di dunia
Barangdan didalam
siapa murtadkekafiran,
akhirat maka
kamu mereka
dan mereka
di antara itulah yang
dariitulah penghuni
agamanya, sia-
lalu dia
sia amalannya di dunia dan di akhirat dan mereka
mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia itulah
neraka, mereka kekal di dalamnya.”
penghuni
amalannya di neraka, mereka
dunia dan kekal
di akhirat dimereka
dan dalamnya.”
itulah penghuni
neraka, mereka kekal di dalamnya.”
Dalam hadis diriwayatkan
Dalam hadis
Dalam
bahwa Rasulullah
hadisdiriwayatkan
bersabda:
bahwaRasulullah
diriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:
bersabda:
  40       
40
379

Barang siapa mengganti agamanya, maka bunuhlah ia.


Barang siapa mengganti agamanya, maka bunuhlah ia.
Sisters in Islam, Do Not Legislate on Faith, http://www.Resources @
377
Para ulama beragam dalam membuat batasan tentang
Sisters in Islam.htm. Diakses pada tanggal 21 Juni 2010.
perbuatan riddah. Riddah dapat dilakukan dengan perbuatan (atau
Para ulama beragam
378
meninggalkan
dalam
Riddah dari segi membuat
bahasa berarti
perbuatan),
batasan
ruju’ (kembali). tentang
Menurut istilah riddah
adalah orang yang kembali daridengan
agama ucapan, dan dengan
Islam, pelakunya disebuti`tikad.
murtad. Yang
Yakni
tan riddah.iadimaksud
Riddah
secara berani dapat
murtad dilakukan
menyatakan
dengan kafir setalahdengan
perbuatan beriman, perbuatan
adalah Syarbinī
melakukan al-Khaṭīb, (atau
Mughnī
perbuatan
al-Muḥtāj...,
yang haramhlm. 133. menganggapnya tidak haram atau meninggalkan
dengan
ggalkan perbuatan), 379
Imām dengan
Bukhārī,
perbuatan wajib dengan
ucapan,
Ṣaḥīḥ dan
al-Bukhārī, Juz IVdengan
menganggapnya , (Beirut: Dāri`tikad.
perbuatanal-Fikr, t.t.),Yang
tidak hlm. 87.
wajib,
ud murtadmisalnya
dengan perbuatan
sujud kepada matahariadalah atau melakukan
bulan atau melakukanperbuatan zina
dengan menganggap zina bukan suatu perbuatan haram. Murtad
| 254
aram dengan | Hukum Pidana Islam
menganggapnya tidak haram atau meninggalkan
39
Riddah dari segi bahasa berarti ruju’ (kembali). Menurut istilah
tan wajib riddah
dengan menganggapnya perbuatan tidak wajib,
adalah orang yang kembali dari agama Islam, pelakunya disebut
murtad. Yakni ia secara berani menyatakan kafir setalah beriman, Syarbini>
ya sujud kepada matahari atau bulan atau melakukan zina
al-Khat}i>b, Mughni> al-Muh}ta>j..., hlm. 133.
Barang siapa mengganti agamanya, maka bunuhlah ia.
Para ulama beragam dalam membuat batasan tentang
perbuatan riddah. Riddah dapat dilakukan dengan perbuatan (atau
meninggalkan perbuatan), dengan ucapan, dan dengan i`tikad.
Yang dimaksud murtad dengan perbuatan adalah melakukan
perbuatan yang haram dengan menganggapnya tidak haram atau
meninggalkan perbuatan wajib dengan menganggapnya perbuatan
tidak wajib, misalnya sujud kepada matahari atau bulan atau
melakukan zina dengan menganggap zina bukan suatu perbuatan
haram. Murtad dengan ucapan adalah ucapan yang menunjukkan
kekafiran, seperti menyatakan bahwa Allah punya anak dengan
anggapan bahwa ucapan tersebut tidak dilarang. Adapun murtad
dengan i`tikad adalah i`tikad langgengnya alam, Allah sama
dengan makhluk. Tetapi, i`tikad semata-mata tidak menyebabkan
seseorang menjadi kufur sebelum dibuktikan dalam bentuk ucapan
atau perbuatan.380
Ketentuan di antara para ahli hukum Islam bahwa tindak
pidana ini diancam dengan hukuman mati perlu dikaji ulang.
Karena pernyataan Nabi ketika orang yang mengganti agama
harus dihukum mati, hal itu terjadi pada musim perang, yakni ada
sebagian tentara Islam yang berjiwa munafik melakukan tindakan
desersi (pengkhianat negara), maka orang yang melakukan desersi
diperintahkan untuk dibunuh.381 Itupun diawali dengan upaya
untuk menyadarkan si pelaku agar ia kembali kepada Islam.382
Konseptualisasi perbuatan riddah yang ada di dalam Al-
Qur`’an dan as-Sunah dalam rangka tranformasi pemikiran
hukum pidana di Indonesia harus dipertemukan dengan
pendekatan komplementatif, bukan kontradiktif. Artinya, kalau
perbuatan riddah hanya ditujukan pada keyakinan diri sendiri,

380
Ibid., hlm. 114-115.
381
Haliman, Hukum Pidana..., hlm. 263.
382
Ibid.

Hukum Pidana Islam | 255 |


tanpa mempengaruhi dan mengajak orang lain untuk murtad,
kondisi negara sedang damai, serta orang lain tidak terganggu
dengan kemurtadan orang tersebut. Maka baginya tidak ada
sanksi di dunia, melainkan hanya ada sanksi yang bersifat
ukhrawi. Sementara jika murtad dibarengai dengan mengajak
muslim lainnya serta menjelek-jelekkan agama Islam, maka
dapat dikenakan hukuman ta’`zīr dan termasuk dalam jarīmah
sabb dīn al-ghair (mencaci maki agama lain).383 Termasuk tindak
pidana juga adalah mencaci maki agama orang lain (non-Islam).
Adapun jika pelaku murtad dibarengi dengan desersi sedang
negara dalam keadaan perang, maka pelakunya dapat dikenakan
hukuman mati dengan dasar hukuman ta’zīr bukan ḥadd. Syekh
Mahmud Syalṭūt menyatakan bahwa orang murtad itu sanksinya
diserahkan kepada Allah, tidak ada sanksi duniawi atasnya.
Alasannya karena firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 217
hanya menunjukkan kesia-siaan amal kebaikan orang murtad dan
sanksi akhirat, yaitu kekal dalam neraka. Alasan lainnya adalah
kekafiran sendiri tidak menyebabkan bolehnya orang dihukum
mati, sebab membolehkan hukuman mati bagi orang yang kafir
itu adalah karena memerangi dan memusuhi orang Islam.384
Hasbi ash-Shiddieqy mempertanyakan masalah hukuman ḥadd
bagi pelaku murtad, karena dalam Al-Qur’an tidak disebutkan
secara eksplisit tentang sanksinya. Oleh karena itu, pelaku tindak
pidana ini hanya dikenakan hukuman ta’zīr.
Konversi agama dalam konteks keindonesiaa dapat dijabarkan
dalam tiga kategori, yaitu:
1. Riddah hanya ditujukan pada keyakinan diri sendiri, tanpa
mempengaruhi orang lain untuk murtad dan orang lain tidak
terganggu dengan kemurtadannya tidak ada sanksi.
2. Murtad dibarengai dengan mengajak muslim lainnya serta

383
Marsum, Jarīmah Ta’`zīr..., hlm. 27.
384
H.A. Djazuli, Fiqh..., hlm. 118-119.

| 256 | Hukum Pidana Islam


menjelek-jelekkan agama Islam, maka termasuk dalam jarīmah
sabb dīn al-ghair (mencaci maki agama lain).385 Pelakunya
dapat dipidana berupa hukuman penjara.
3. Murtad dibarengi dengan desersi sedang negara dalam
keadaan perang, maka pelakunya dapat dikenakan hukuman
mati dengan dasar hukuman ta’zīr bukan ḥadd.

385
Marsum, Jarīmah Ta’`zīr..., hlm. 27.

Hukum Pidana Islam | 257 |


| 258 | Hukum Pidana Islam
BAB XII
JARIMAH QISHASH DIYAT

BAB XIII
JARIMAH QISHASH DIYAT

A.
A. Pengertian
Pengertian dan
dan Dasar
Dasar Hukum
Hukum
Qishash diyat adalah
Qishash diyat adalah suatu suatukejahatan
kejahatanterhadap
terhadapjiwajiwa
(menghilangkan nyawa) dan
(menghilangkan nyawa) dananggota
anggota badan
badan (pelukaan)
(pelukaan) yang
yang diancam
diancam dengan hukuman
dengan hukuman qishash (serupa=semisal)
qishash (serupa=semisal) atau hukumataudiyat
hukum (ganti
diyat
rugi (ganti
dari sirugi dari siatau
pelaku pelaku atau ahlinya
ahlinya kepada kepada si korban
si korban atau
atau walinya.
walinya. Kejahatan yang masuk golongan qishash-diyat
Kejahatan yang masuk golongan qishash-diyat ini dalam hukum ini dalam
hukum
pidana pidana baratdikenal
barat biasa biasa dikenal
sebagaisebagai
tindak tindak
pidana pidana
terhadap terhadap
tubuh dan
tubuh dan jiwa. Dalam hukum pidana Islam, yang termasuk
jiwa. Dalam hukum pidana Islam, yang termasuk dalam jarimah
dalam jarimah qisas-diyat ini adalah (1) pembunuhan dengan
qisas-diyat ini adalah (1) pembunuhan dengan sengaja; (2)
sengaja; (2) pembunuhan semi sengaja; (3) menyebabkan matinya
pembunuhan
orang semi sengaja;
karena kealpaan (3) menyebabkan
atau kesalahan; matinya orang
(4) penganiayaan karena
dengan
sengaja;
kealpaandan
atau(5)kesalahan;
menyebabkan orang luka karena
(4) penganiayaan dengankealpaan
sengaja; atau
dan (5)
kesalahan.
menyebabkanAyatorang
al-Qur’an yang berkaitan
luka karena kealpaandengan tindak pidana
atau kesalahan. Ayat al-
pembunuhan
Qur’an yang antara laindengan
berkaitan disebutkan
tindakdalam
pidanasurat Al-Baqarah
pembunuhan ayatlain
antara
178-179:
disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 178-179:
              
       
 
   
    
               
              
      

        
            
  
  
  
             
 
 
Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu qisas dalam
Hai orang-orang
pembunuhan, yang beriman
merdeka diwajibkanbudak
dengan merdeka, atas kamu qisas
dengan dalam
budak
pembunuhan, merdeka dengan merdeka, budak dengan budak dan
wanita dengan wanita, barang siapa dimaafkan atas qisas oleh
saudaranya, maka hendaklah | 259 |
ia mengikuti kebaikan dengan cara
membayar diyat dengan cara yang baik, yang demikian itu
keringanan dari Allah dan rahmat dan barang siapa yang melampaui
dan wanita dengan wanita, barang siapa dimaafkan atas qisas
p bagi orang yang berakal
oleh saudaranya, maka supaya
hendaklah ia mengikuti kebaikan dengan
cara membayar diyat dengan cara yang baik, yang demikian itu
keringanan dari Allah dan rahmat dan barang siapa yang melampaui
batas
qisas diyat, setelah itu, maka
sebagaimana siksa Allah amat pedih. Bagimu ada hukum
dijelaskan
qisas untuk kelangsungan hidup bagi orang yang berakal supaya
ngsungan menjadi
hidup orang
manusia di dunia,
yang bertaqwa.
Hikmah adanya
orang yang membunuh hukuman
orang qisas diyat, sebagaimana dijelaskan
lain.
oleh al-Jurjawi adalah keberlangsungan hidup manusia di dunia,
a sebagai karena
tindakan preventif supaya
itu Islam menghukum orang yang membunuh orang lain.
membunuh Hukuman
yang akantersebut
mengakibatkan
pada dasarnya sebagai tindakan preventif
ukuman bagi pembunuh dalamgampang
supaya manusia tidak Islam saling membunuh yang akan
mengakibatkan kekacauan dalam masyarakat. Hukuman bagi
mati) atau pembunuh
dengan diyat dalam(ganti rugi) dengan qisas (hukuman mati)
Islam adalah
mah adanyaatauqisas
dengan diyat (ganti
dengan rugi) yang berupa harta benda. Hikmah
hukuman
adanya qisas dengan hukuman mati adalah untuk menegakkan
kkan keadilan di tengah-tengah
keadilan di tengah-tengah masyarakat, sebagaimana firma Allah
a Allah  (jiwa dibalas
(jiwa dengan jiwa). Hukuman mati ini juga
dibalas
banyak dipraktekkan oleh umat dan masyarakat lain. Dengan
juga banyak dipraktekkan
adanya oleh umatkemarahan dan dendam keluarga
qisas juga menghindari
adanya orang
qisasyang terbunuh,
juga karena apabila tidak dilakukan qisas niscaya
menghindari
dendam tersebut akan berkelanjutan dan pada gilirannya akan
rga orangterjadi
yangsaling
terbunuh,
bunuh antar karena
keluarga.386
s niscaya dendamSementaratersebut
hikmah diyatakan(denda) dengan harta adalah untuk
kepentingan dua belah pihak. Dari pihak pembunuh, dengan
ya akan terjadi saling bunuh antar
membayar denda secara damai kepada keluarga terbunuh,
dia akan merasakan kehidupan baru yang aman, dan dia juga
akan bertaubat
(denda) dengan ke jalan untuk
harta adalah yang benar karena merasakan betapa
berharganya kehidupan. Sementara bagi keluarga terbunuh yang
. Dari pihak
menerimapembunuh,
denda dengan dengan
cara damai akan dapat memanfaatkan
kepada keluarga terbunuh, dia akan
aman, dan dia juga akanHikmah
Al-Jurjawi,
386 bertaubat
at-Tasyri’…, hlm. 346.
a merasakan betapa berharganya
arga terbunuh
| 260yang
| Hukummenerima denda
Pidana Islam
memanfaatkan harta tersebut untuk
n meringankan sedikit beban
harta tersebut untuk kelangsungan hidupnya dan meringankan
sedikit beban kesedihannya.387 Inilah makna firman Allah:
   
               
Bagimu
u ada hukum adauntuk
qisas hukumkelangsungan
qisas untuk kelangsungan hidup
hidup bagi bagiyang
orang orang
yang berakal supaya menjadi orang yang bertaqwa.
l supaya menjadi orang yang bertaqwa.
Dalam kasus pembunuhan baik sengaja atau tidak sengaja
berakibat kerugian bagi keluarga terbunuh dari dua sisi. Pertama,
Dalam kasus pembunuhan baik sengaja atau tidak sengaja
biasanya mereka kehilangan orang yang mencari nafkah bagi
bat kerugian bagi dan
keluarga, keluarga
kedua, terbunuh
hatinya sangatdarisedih
dua karena
sisi. Pertama,
kehilangan
ya mereka kehilangan orang yang mencari nafkah adanya
orang yang dicintainya. Karena itu Islam menetapkan bagi
diyat (denda) untuk meringankan beban nafkah keluarga dan
ga, dan kedua, hatinya
meringankan sangat
sedikit sedihhati
kesedihan karena
mereka.kehilangan orang
Adanyaitu
icintainya. Karena diyat ini juga
Islam dimaksudkanadanya
menetapkan agar pelaku pembunuhan
diyat (denda)
sadar atas kelalaiannya tersebut dan akan lebih berhati-hati. Dalam
meringankan beban nafkah keluarga dan meringankan sedikit
konteks masyarakat Arab ketika itu, bentuk denda itu berupa unta
han hati mereka.
atau memerdekakan budak, kemudian yang membayar, tidak
hanyaini
Adanya diyat pembunuh tetapi juga keluarganya.
juga dimaksudkan Unta dalam
agar pelaku masyarakat
pembunuhan
Arab memiliki nilai ekonomis yang tinggi, sehingga denda
atas kelalaiannya
berupa unta tersebut dan meringankan
akan dapat akan lebih beban berhati-hati.
ekonomi Dalam
keluarga
terbunuh, sementara tradisi perbudakan
s masyarakat Arab ketika itu, bentuk denda itu berupa unta di masyarakat Arab
dan masyarakat lainnya di dunia saat itu masih sangat kuat dan
memerdekakan budak, kemudian yang membayar, tidak hanya
Islam datang untuk menghilangkan tradisi perbudakan manusia
nuh tetapitersebut. Kemudian kewajiban
juga keluarganya. Untadendadalamtersebut tidak hanya
masyarakat pada
Arab
pembunuh tetapi juga pada keluarganya, karena ikatan suku dan
iki nilai ekonomis yang tinggi, sehingga denda berupa unta
kekeluargaan masyarakat Arab sangat kuat. Apabila anggota suku
dapat meringankan
atau keluarganyabeban ada yangekonomi
terbunuh, makakeluarga
anggota terbunuh,
keluarganya
tara tradisitidak hanya merasa
perbudakan di dendam terhadap
masyarakat pembunuhnya
Arab tetapi juga
dan masyarakat
keluarga yang membunuh tersebut. Karena itu supaya tidak ada
a di duniabalas
saatdendam
itu masih sangat
terhadap kuat dan
pembunuh maupunIslam datang
anggota untuk
keluarganya,
ilangkan tradisi perbudakan manusia tersebut. Kemudian
ban denda tersebut Ibid. tidak hanya pada pembunuh tetapi juga
387

keluarganya, karena ikatan suku dan kekeluargaan masyarakat


sangat kuat. Apabila anggota suku atau keluarganya Hukum Pidana Islam
ada |yang
261 |

uh, maka anggota keluarganya tidak hanya merasa dendam


ap pembunuhnya tetapi juga keluarga yang membunuh
maka kewajiban denda itu dibayarkan oleh pembunuh dan
keluarganya. Di samping itu, kalau pembunuhan tersebut tidak
sengaja, maka untuk meringankan pembunuh keluarganya juga
harus membantu. Berbeda dengan pembunuhan sengaja, di mana
denda hanya menjadi tanggungan pembunuh sebagai balasan bagi
kejahatannya
Di dalam surat al-Baqarah ayat 178-179 yang menjadi dasar
pemberian sanksi dalam hukum pidana Islam terkandung nilai-
nilai humanisme sebagai berikut:
1. Hukum qisas diyat merupakan bentuk koreksi terhadap
hukuman pada masa jahiliyah yang diskriminatif. Artinya
kabilah yang kuat di antara sekian kabilah yang ada di jazirah
Arab akan berpeluang dalam mendominasi keputusan hukum.
Suku yang lemah akan selalu tertindas oleh suku yang kuat
dan ketika diterapkan hukum qisas tidak ada keadilan hukum
antara kesalahan dengan hukuman yang harus diterima.
Ada kisah yang dikutip oleh Abd al-Qadir Awdah. Salah
seorang kabilah Gani membunuh Syas bin Zuhair. Datanglah
Zuhair, ayah Syas, untuk meminta balasan terhadap suku
Gani. Mereka bertanya, “Apa maksud dan kehendakmu atas
kematian anakmu Syas?” Ia menjawab, “Saya akan menuntut
tiga hal atas kematian anakku, 1) hidupkan kembali anakku
Syas, 2) isi surbanku dengan bintang-bintang yang kau ambil
dari langit dan 3) serahkan suku Gani dan akan saya bunuh
sebagai balasan atas kematian anakku Syas.”388 Tuntutan ini
akan semakin rawan jika yang menjadi korban adalah suku
terhormat atau kepala suku. Di sisi lain orang-orang Arab di
kala itu mempunyai tradisi balas dendam, bahkan terhadap
peristiwa yang telah silam.389 Kalau ada keluarga yang

388
Abd al-Qadir Awdah, At-Tasyri’…, I: 271. A. Hanafi, Asas..., hlm.
87-89.
389
Abdurrahman I Doi, Tindak Pidana dalam Islam, alih bahasa Wadi

| 262 | Hukum Pidana Islam


terbunuh, maka yang dibalas adalah keluarga lain yang tidak
ikut berdosa disamping pembunuh itu sendiri. Islam datang
melegitimasi hukum qisas dengan prinsip penegakan nilai-nilai
keadilan dan persamaan di muka hukum tanpa memandang
kabilah dan kehormatan.
2. Menegakkan nilai-nilai keadilan demi tegaknya supremasi
hukum, baik pada saat merevisi hukum jahiliyah maupun
kebutuhan hukum untuk sepanjang zaman.
3. Perlindungan bagi si korban atau walinya secara langsung.
Misalnya ada kasus pembunuhan semi sengaja atau karena
salah, maka wali si korban sangat menentukan hukuman apa
yang harus diterapkan.
Pembunuhan diartikan oleh para ulama sebagai perbuatan
manusia yang menyebabkan hilangnya nyawa. Mazhab Maliki
membagi pembunuhan menjadi dua macam, yakni pembunuhan
sengaja dan pembunuhan tidak sengaja. Sedangkan ulama
Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hambali membagi pembunuhan
menjadi tiga macam, yaitu (1) pembunuhan sengaja (qatl al-
’amd), yaitu suatu perbuatan penganiayaan terhadap seseorang
dengan maksud untuk menghilangkan nyawa, (2) pembunuhan
semi sengaja (qatl syibh al-‘amd), yaitu perbuatan penganiayaan
terhadap seseorang tidak dengan maksud untuk membunuhnya,
tetapi mengakibatkan kematian; dan (3) pembunuhan karena
kesalahan (qatl al-khata’), yaitu pembunuhan yang disebabkan
salah dalam perbuatan, salah dalam maksud, dan kelalaian.390
Unsur jarimah pembunuhan sengaja adalah sebagai berikut.
1). Pelaku adalah mukalaf, dan berakal. 2). Adanya niat dan
rencana untuk membunuh. 3) Korban adalah orang yang

Masturi, (Jakarta: Metro Putra, 1992), hlm. 24.


390
Bila si pelaku tidak bermaksud melakukan kejahatan, tetapi akibat
kelalaiannya menimbulkan kematian.

Hukum Pidana Islam | 263 |


dilindungi darahnya. 4) Alat yang digunakan pada umumnya
dapat mematikan.391
Pelaku pembunuhan sengaja dalam Islam dapat dikenakan
hukum qisas, jika si korban menghendaki. Karena hukum
qisas dianggap sebagai hukuman tertinggi dalam al-Qur`an
maka pada kondisi tertentu hukum qisas dapat diganti dengan
hukuman lain.
Adapun unsur pembunuhan semi sengaja adalah 1). pelaku
melakukan perbuatan yang mengakibatkan kematian, 2). ada
maksud penganiayaan atau permusuhan, 3). si korban darahnya
dilindungi, dan 4). yang digunakan untuk membunuh pada
umumnya tidak mematikan.392
Dalam kasus yang demikian haram bagi keluarga untuk
menghukum qisas, lantaran ketidaksengajaan seseorang untuk
membunuh atau menghilangkan nyawa orang. Oleh karena itu
alternatif hukumannya adalah hukum diyat (ganti rugi).
Sedang yang dimaksud pembunuhan karena kesalahan adalah
perbuatan yang dibolehkan oleh syara, akan tetapi berakibat
hilangnya nyawa orang lain. Contoh seseorang sedang memburu
binatang liar, namun ternyata peluru mengenai manusia, yang
berakibat adanya korban jiwa. Membuat lubang di tanah pekarangan
sendiri, namun ada orang lain terperosok dan menyebabkan
meninggalnya seseorang. Jadi dalam pembunuhan karena salah
ada sebab akibat dan tidak adanya unsur kesengajaan. Orang
mati karena jatuh dari lubang, jadi matinya seseorang disebabkan
adanya lubang. Namun lubang ada bukan untuk membunuh.
Oleh karena itu yang menjadi unsur delik pembunuhan karena
kesalahan adalah:
1. adanya perbuatan yang menyebabkan kematian;
2. terjadinya perbuatan itu karena kesalaan bukan kesengajaan;

391
As-Sayid Sabiq, Fiqh …., II: 435-436.
392
Ibid. hlm 438. H.A. Djazuli, Fiqh Jinayah..., hlm. 128.

| 264 | Hukum Pidana Islam


rban darahnya dilindungi.
Sanksi bagi 3. adanya
pembunuhan hubungan sengaja sebab akibat antarahukuman
adalah
4. korban perbuatan
darahnya kesalahan
pokok,
dilindungi.
dan kematian korban; dan
man pengganti, dan hukuman tambahan.Sanksi Hukuman bagi pokok pembunuhan se
4. korban darahnya dilindungi.
unuhan sengaja Sanksiadalah bagi qisas. pembunuhan Hukuman hukuman
sengaja ini diberlakukan
adalah pengganti,
hukuman pokok, jika
dan hukuma
nsur rencana hukuman dan pengganti,tipu daya dandan hukuman
tidak tambahan.
ada maaf
pembunuhan Hukuman dari pihak
sengaja pokok
adalah qisas.
pembunuhan sengaja adalah qisas. Hukuman ini diberlakukan
ga si korban. jika Bilaada unsur keluarga rencana korban memaafkan,
dan tipu ada
dayaunsur
dan tidak maka
rencana adahukumanmaaf dandaritipu daya
antinya adalah pihak keluarga
diyat. Jika si korban. sanksi Bila qisas
keluarga korban
atau
keluarga diyat memaafkan,
si korban. dimaafkan, Bila maka keluarga kor
hukuman penggantinya adalah diyat. Jika sanksi qisas atau diyat
hukuman penggantinya adalah ta’zir.penggantinya Hukuman tambahan adalah bagi diyat. Jika san
dimaafkan, maka hukuman penggantinya adalah ta’zir. 8Hukuman
ah ini adalah terhalangnya
tambahan bagi jarimah hakini atas warisan
adalah dan wasiat.
terhalangnya
maka hukuman hak penggantinya
atas warisan adalah
dan wasiat.
Adapun yang dimaksud dengan pembunuhan
393
jarimah ini adalah semi sengaja terhalangnya hak
Adapun yang dimaksud dengan pembunuhan semi sengaja
h perbuatanadalah yang berakibat
perbuatan yang menghilangkan
berakibat menghilangkan nyawa
Adapun nyawa orang
yang orang lain
dimaksud
lain den
n menggunakan dengan menggunakan
alat yang alat pada yang pada
ghalibnya
adalahghalibnya
tidaktidak
perbuatan mematikan,
mematikan, yang berakibat m
sebagaimana dijelaskan oleh Nabi dalam riwayat Nasai berikut
aimana dijelaskan ini:
oleh Nabi dalam riwayat denganNasai menggunakan berikut ini:alat yang pa
           
  sebagaimana
   dijelaskan   oleh
      
        Nabi da
9

        

3949
sesungguhnya pembunuhan karena salah yang   menyerupai
gajaan dengan
Ingat,alat cambuk pembunuhan
sesungguhnya dan tongkat (diyatnya)
Ingat,
karena sesungguhnya
salah yang adalah 100
pembunuhan
menyerupai
kesengajaan dengan
40 di antaranya sedang hamil. alat cambuk dan tongkat (diyatnya) adalah
kesengajaan dengan alat cambuk da
100 onta, 40 di antaranya sedang hamil.
onta,sengaja
40 di antaranya diyatsedang
dan hamil.

Sanksi bagiSanksi bagi pembunuhan
pembunuhan semi
semi sengaja adalahadalahdiyat dan
kaffarat, sedangkan hukuman penggantinya adalah puasa dan
ta’zir,hukuman
at, sedangkan dan hukuman tambahannyaadalah
penggantinya  puasa
Sanksi
adalah terhalangbagi pembunuhan s
menerima
dan ta’zir,
warisan dan wasiat.
ukuman tambahannya adalah terhalang menerima
kaffarat, warisanhukuman
sedangkan dan pengg
Sanksi pokok pembunuhan karena kesalahan adalah diyat
. dan kaffarat. Hukuman penggantinya dan hukuman tambahannya
adalah puasa dan ta’zir, adalah t
Sanksi pokok pembunuhan karena kesalahan wasiat. adalah diyat dan
at. Hukuman penggantinya
Abd al-Qadir Awdah,adalah
At-Tasyri...,puasa
393 dan pokok
Sanksi
I: 286. ta’zir,pembunuhan
dan ka
H.R. Nasai, hadis nomor 4711.
394

man tambahannya adalah hilangnya kaffarat.hak waris


Hukumandan penggantinya
hak
apat wasiat. hukuman tambahannya adalah hi
Hukum Pidana Islam | 265 |
mendapat wasiat.
shash Diyat dan Prinsip Keadilan
B. Qishash Diyat dan Prinsip Kead
dan hukuman tambahannya adalah hilangnya hak waris dan hak
mendapat wasiat.

B. Qishash Diyat dan Prinsip Keadilan


Hukum Islam ketika berbicara tentang delik qisas, kesan ngeri,
seram dan menakutkan. Apakah setiap pembunuh pasti dibunuh
sebagaimana ia membunuh? Jawabnya ya, jika Islam dipahami
secara tekstual. Ini berarti ia (hukum Islam) sama saja dengan
konsepsi primitif.395 Tentang hal ini Joseph Schacht mengatakan:
Hukum pidana Islam merupakan perpaduan dua unsur
secara berdampingan tanpa menjadikan satu kesatuan ilmu
yang universal. Unsur utama adalah ide-ide Arab kuno,
seperti konsepsi balas dendam, klasifikasi kejahatan serta
penerapan hukuman ala primitif, sehingga terasa sebagai
sebuah dogma yang menakutkan, kejam dan kolot. Unsur
pertama dimodifikasi dengan ajaran-ajaran Qur’ani. Sedang
unsur yang kedua adalah murni dari al-Qur`an.396
Hukum Islam ketika menerapakan hukum qisas, dan balas
dendam bukanlah pertimbangan semata, melainkan menjustifikasi
aturan konkrit tentang nilai-nilai keadilan. Dengan kata lain
tidak boleh memberikan hukuman melebihi kesalahan seseorang.
Spiritualitas hukum qisas diyat sangat memperhatikan aspek
korban kejahatan, dan yang terpenting tidak memanjakan pelaku
kejahatan.
Konsep qisas dalam surat al-Baqarah ayat 178-179 harus
dipahami sebagai balasan terhadap pelaku pembunuhan sengaja.
Oleh karenanya kita harus menafsirkan bahwa hukum yang

395
David De Santilana, Law and Society, (London: Oxford University
Press, 1952), hlm. 303; Anwar Harjono, Hukum Islam…., hlm. 151.
396
Joseph Scahacht, “The Law” dalam Unity and Variety in Muslim
Civilization, (Chicago: Chicago University Press, 1955), hlm. 67.

| 266 | Hukum Pidana Islam


terkandung dalam surat al-Baqarah mengenai qisas bersifat
umum. Sementara ketentuan hukum yang terkandung dalam
surat an-Nisa ayat 92 mengenai pembunuhan karena kesalahan
merupakan pengeculian dari pembunuhan sengaja sebagaimana
dalam surat al-Baqarah ayat 178. Dengan demikian, ayat tersebut
kandungan hukumnya masih mutlak belum muqayad, dan belum
bersifat mubayyan, yakni pembunuhan sengaja.397
As-Sayid Sabiq berkomentar, bahwa ayat-ayat al-Qur`an
yang berkaitan dengan hukum qisas diyat mengandung beberapa
pemikiran:
1. Hukum qisas merupakan bentuk koreksi hukum jahiliyah
yang diskriminatif.
2. Adanya hukum alternatif, yaitu qisas, diyat atau maaf.
3. Adanya keringanan dan kemudahan dari Allah tentang
penerapan hukum qisas
4. Adanya sistem rekonsiliasi dalam proses pemidanaan antar
para pihak yang bersangkutan (korban atau wali dan pelaku)
5. Dalam qisas akan terjamin kelangsungan hidup.398
Muhammad Syahrur dalam teorinya batas maksimal (halah al-
had al-a’la) mengatakan “hukum qisas dalam al-Qur`an merupakan
hukum yang tertinggi, sehingga hakim dalam kasus tertentu dapat
menentukan hukum yang lebih rendah atas persetujuan si korban
atau walinya”.399 Hukum diyat (ganti rugi), tazir berupa penjara
atau bahkan pembebasan (maaf) merupakan hal yang sangat
mungkin diterapkan dalam masalah pembunuhan. Kuncinya,
sanksi diterapkan secara kondisional. Apa jenis pembunuhannya,
siapa pelakunya, kenapa terjadi pembunuhan, hal ini menjadi
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan keputusan. Dalam kisah
dzu nis’ah (orang terikat) diceritakan:

397
Haliman, Hukum Pidana …., hlm. 201.
398
As-Sayid Sabiq, Fiqh…, II : 433-434.
399
Muhammad Syahrur, Al-Kitab…, hlm. 458.

Hukum Pidana Islam | 267 |


 
 
       

  
             
             
          
    
        
          
             

                 
    
  
 
    
 
     
     
    
 
 

    
  
 
      
        
     
 
 
   
     
  
 
 
 
  


    
 

     
    
  


   
 

  
   

     

  
  
  
   
  
       
        
  
   
   


 
 

  

 

  
 
 
 
 
 
   
 


  
   

 
  
  
 



 
 

  

 
 

 

  
 
     15  
 
  
     
          
 
  
            
     
    
   

    
400 
 15     
   15           
ini  dilaporkan terbunuh.
      Hal    
ini  dilaporkan
        ini          

   
unuh.
orang Hal laki-laki
masa Nabi ada seorang laki-laki terbunuh. Hal dilaporkan
bunuh
menyerahkan kepada
Pada masa pembunuhwaliNabi si ada kepada seorang wali laki-laki si Pada terbunuh. Hal ada ini dilapor
a Nabi. Pada Beliau masa menyerahkan Nabi adaPada seorang masa laki-laki
pembunuh Nabi terbunuh. ada seorang
kepada Halmasa ini dilaporkan wali laki-laki
Nabi si terbunuh seoran
lullah,"Wahai
rkata, Demi kepada kepada Allah Rasulullah, Nabi.
Nabi. saya Beliau Beliau Demi
kepada Rasulullah, menyerahkan Allah
menyerahkan
Nabi. Beliau sayapembunuh pembunuh kepada
menyerahkan wali kepada si pembun wali
uh. Pembunuh berkata, "Wahai kepada
Demi Allah Nabi.saya Beliau men
rsabda
nuhnya."terbunuh. kepada terbunuh.
Nabi bersabda wali Pembunuh
Pembunuh si berkata,
kepada berkata, “Wahai
wali "Wahai Rasulullah,
si terbunuh. Rasulullah, Demi Allah DemiRasululla Allah
sengaja saya membunuhnya." tidak sengaja membunuhnya.”
terbunuh. Nabi bersabda Pembunuh Nabi bersabda
berkata,
kepada kepada wali "Wahai
Pembunuh walisisi berkats
ang
ainyainiperkataan benar kemudian
tidak sengaja orang “Ingat, ini membunuhnya." benar kemudian Nabiinibersabda kepada wali
uh, "Ingat,terbunuh, seandainya seandainya
tidak
perkataan sengaja perkataan
orang membunuhnya." orang
initidak benar benar sengajakemudian kemudian Nabi membunuhn bersab
eraka."pasti
ngkau Akhirnya kamu
terbunuh, masuk membunuhnya, wali neraka."
"Ingat, si terbunuh, engkau pastiwali
Akhirnya
seandainya masuk
perkataan siseandainyaneraka.” orang Akhirnya ini wali benar kemud
membunuhnya, engkau pasti masuk "Ingat, neraka." terbunuh,
Akhirnya perkataan
"Ingat,
wali si seandainy orang
g padatersebut si
saat itu terbunuh terikat melepaskan orang tersebut yang pada saat itu terikat
orang kamu yang
membunuhnya, pada kamu saat engkau membunuhnya, itu talinya terikat
pasti iamasuk engkau neraka." Akhirnya wa
uh melepaskan dengan tali orang kulit. Sambil tersebut menarik yang pada kamu
keluar.
saat itu pasti
membunuhnya,
Abu Hurairah
terikat masukengka nerak
iail menarik keluar.terbunuh Abu
berkata, talinya Hurairah“Orang ia keluar.
melepaskan ituterbunuh sejakAbu peristiwa
orang Hurairah tersebut
tersebut dijuluki yang dzupada an-nis’ah saat yang ituoran ter
n tali kulit. (orang
Sambil yang
menarik
terikat).”
talinyamelepaskan ia keluar. terbunuh Abuorang Hurairah tersebut
melepaskan p
ut
ak peristiwadijuluki dengan dzu tersebut an-nis'ah
tali kulit. dijuluki dengan Sambil dzutali an-nis'ah
menarik kulit. talinya
Sambil iatali
menarik keluar. talinya Abu Huraia m k
a, "Orang ituKisah sejak di atas peristiwa dapat dipahami,
tersebut bahwa dijuluki dengan
hukum dzu qisas an-nis'ah bukanlah kulit. Sambil
berkata,hukum mutlak "Orang sebagaimana itu sejakbunyi
berkata, peristiwa
"Orang nas, melainkan ituberkata, tersebut
sejaksebagai peristiwa dijuluki
"Orang sebuah itu dzusejak
tersebut an-ni dip
g yang terikat)."
(orang hukum yang yang terikat)." dapat menjamin kebutuhan masyarakat akan
a hukum
pat dipahami, qisas bahwa bukanlah hukum (orang qisas yang bukanlah terikat)." (orang yangdari terikat)."
Kisah di atas dapat dipahami, keadilan. Memang hukum bahwa qisas (mati) hukum bila qisas ditinjau bukanlah segi
elainkan
mana bunyi historis,
sebagai nas, Kisah sosiologis
sebuah
melainkan di atas dan sebagai psikologis,
dapat dipahami, sebuah sesungguhnya bahwa sah hukum diterapkan qisas bukan
m mutlak sebagaimana bunyi nas, Kisah melainkan di atas dapat sebagai Kisah dipahami, sebuah didari atas bahwa dapat hud
asyarakat di
akan keadilan.dunia modern ini, hanya aplikasinya tidak harus dilihat
jamin kebutuhan hukum mutlak masyarakat sebagaimana
hukum akan mutlak keadilan. bunyi sebagaimana nas,
hukum melainkan bunyi sebagai
nas, melain seb
m yang dapat segi dan menjamin bentuk semata. kebutuhan Namun bagaimana
masyarakat substansi akanmutlak hukumkeadilan. qisas sebagaimana
jau (mati) darihukum dapat
bila segi menjadi ditinjau
yang historis, rumusan
dapat dari
hukum menjaminhukum segi yang yanghistoris, mampu
kebutuhan
dapat menjaminmenyerap masyarakat semangat
kebutuhan akan keadi
masya
ng hukum qisas (mati) bila ditinjau dari hukum segi yang historis, dapat menjami
sah sesungguhnya diterapkan keadilan, sehingga dapat diterima oleh semua golongan yang ada
gis, Memangdi hukum dunia
sah diterapkan Memang qisas (mati) di
hukum dunia bila qisas
Memang ditinjau (mati) dari bila segi ditinjau histo
ogis dan psikologis, dalam masyarakat. sesungguhnya 401
sah diterapkan dihukum dunia qisas (m
us
ikasinya dilihatsosiologis tidak dari harus segidan dan dilihat psikologis, dari segi sesungguhnya dan sah diterapkan disahdu
n ini, hanya aplikasinyasosiologis tidak harus dan dilihat psikologis, sosiologis dari sesungguhnya segi dandan psikologis,
nsi bagaimana hukum modern qisas
substansi ini,dapat hanya hukum
modern aplikasinya qisas ini, hanya dapat tidak aplikasinyaharus ini, dilihat tidakdari harus segid
k semata. Namun bagaimana substansi hukum modern qisas dapat hanya aplikasi
myerap yangsemangat mampu bentukmenyerap keadilan,H. R. Abu Dawud,
semata.
400
semangat
Namun
bentuk nomor keadilan,
hadis
bagaimana
semata. 3900, Namun dan substansi
bentukH. R. At-Tirmidzi, bagaimana semata. hukum Kitab substansi qisas ba d
di rumusanad-Diyat, hukum nomor yang hadismampu 1327 menyerap semangat keadilan,Namun
ongan
a oleh yang semuaadagolongan
menjadi rumusan
401
Jimly dalam ash-Shiddieqy, hukum
menjadi yang ada yang
Pembaharuan
rumusan dalam mampu Hukum
hukum menyerap Pidana
yang semangat
Indonesia,
mampu menyera keadi
gga dapat (Bandung: diterima Angkasa, oleh 1985), semua hlm. 195.golongan yang ada dalam
menjadi rumusan hukum yan
sehingga dapat sehingga diterima oleh dapat semua diterima sehingga golongan oleh dapat semua yang diterima ada da
golonga o
rakat.16 16
masyarakat. 16
| 268 | Hukum Pidana masyarakat. Islam masyarakat.16
C. Delik Pembunuhan dan Pelukaan Serta Sumber Hukumnya
1. Pengertian Delik Pembunuhan
Pembunuhan adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh
seseorang dan atau beberapa orang yang mengakibatkan
seseorang dan atau beberapa orang meninggal dunia. Apabila
diperhatikan sifat perbuatan seseorang dan atau beberapa orang
dalam melakukan pembunuhan, maka dapat diklasifikasi atau
dikelompokkan menjadi: 1) pembunuhan disengaja (‘amd), yaitu
pembunuhan yang dilakukan oleh seseorang dengan tujuan untuk
membunuh orang lain dengan menggunakan alat yang dipandang
layak untuk mematkan. 2). pembunuhan tidak disengaja (khaṭa’)
adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan tidak ada
unsur kesengajaan yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia.
Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa seseorang melakukan
penebangan pohon yang kemudian pohon yang ditebang itu tiba-
tiba tumbang dan menimpa orang yang lewat lalu meninggal dunia.
3) dan semi disengaja (syibhu al-’amd). Pembunuhan semi sengaja
adalah perbuatan yang sengaja dilakukan oleh seseorang kepada
orang lain dengan tujuan mendidik. Sebagai contoh, seorang guru
memukulkan penggaris kepada kaki seorang muridnya, tiba-tiba
muridnya yang dipukul meninggal dunia, maka perbuatan guru
tersebut dinyatakan sebagai pembunuhan semi sengaja (syibhu al-
’amd).
Pembunuhan diartikan oleh para ulama sebagai perbuatan
manusia yang menyebabkan hilangnya nyawa. Mazhab Maliki
membagi pembunuhan menjadi dua macam, yakni pembunuhan
sengaja dan pembunuhan tidak sengaja. Ulama Hanafiyah,
Syafi’iyah, dan Hambali membagi pembunuhan menjadi tiga
macam, yaitu (1) pembunuhan sengaja (qatl al-’amd), yaitu suatu
perbuatan penganiayaan terhadap seseorang dengan maksud
untuk menghilangkan nyawa, (2) pembunuhan semi sengaja (qatl
syibh al-‘amd), yaitu perbuatan penganiayaan terhadap seseorang

Hukum Pidana Islam | 269 |


tidak dengan maksud untuk membunuhnya, tetapi mengakibatkan
kematian; dan (3) pembunuhan karena kesalahan (qatl al-khaṭa’),
yaitu pembunuhan yang disebabkan salah dalam perbuatan, salah
dalam maksud, dan kelalaian.402
Delik pembunuhan dalam Islam dibahas dalam jarīmah qiṣāṣ
diyat. Qiṣāṣ ialah perbuatan yang diancam dengan hukum kisas
atau semisal dengan perbuatan yang dilakukan oleh terpidana.403
Adapun yang dimaksud dengan diyat ialah hukuman ganti rugi
dengan cara membayar sejumlah harta benda yang diberikan
terpidana kepada si korban atau walinya berdasarkan keputusan
hakim.404 Baik hukuman qiṣāṣ maupun diyat merupakan hukuman
yang telah ditentukan batasnya, tidak ada batas terendah dan
tertinggi, tetapi menjadi hak perorangan (si korban dan walinya),
berbeda dengan hukuman h}add yang menjadi hak Allah s.w.t.
semata.
Dalam hukuman qiṣāṣ-diyat,405 karena menjadi hak
perorangan, maka penerapannya ada beberapa kemungkinan,

402
Bila si pelaku tidak bermaksud melakukan kejahatan, tetapi akibat
kelalaiannya menimbulkan kematian.
403
al-Jurjānī at-Ta’`rīfat, (Beirut: Dār al-Fikr, t.t.), hlm. 173.
404
As-Sayyid Sābiq, Fiqh as-Sunah, Juz II, (Beirut: Dār al-Fikr, 1972),
hlm. 107.
405
Yang termasuk dalam kategori jarīmah qiṣāṣ diyat ada beberapa jenis,
yaitu (a) membunuh sengaja (al-qatl al-’amd), (b) membunuh semi sengaja (al-
qatl sibh al-’amd), (c) membunuh keliru (al-qatl al-khaṭa’), (d) penganiayaan
sengaja (al-jarḥ al-’amd), (e) penganiayaan salah (al-jarḥ al-khaṭa’). Qiṣāṣ diyat
adalah suatu kejahatan terhadap jiwa (menghilangkan nyawa) dan anggota badan
(pelukaan) yang diancam dengan hukuman serupa=semisal. atau hukum ganti
rugi dari si pelaku atau ahlinya kepada si korban atau walinya. Kejahatan yang
masuk golongan ini dalam hukum pidana Barat biasa dikenal sebagai tindak
pidana terhadap tubuh dan jiwa. Dalam hukum pidana Islam, yang termasuk
dalam jarīmah qiṣāṣ diyat ini adalah (1) pembunuhan dengan sengaja; (2)
pembunuhan semi sengaja; (3) menyebabkan matinya orang karena kealpaan
atau kesalahan; (4) penganiayaan dengan sengaja; dan (5) menyebabkan orang
luka karena kealpaan atau kesalahan. Abd Qadīr Awdah, at-Tasyrī’ al-Jinā’ī, ..,
Juz I, hlm. 149-153.

| 270 | Hukum Pidana Islam


seperti hukum qiṣāṣ bisa berubah menjadi diyat, hukuman diyat
menjadi dimaafkan dan apabila dimaafkan, maka hukuman
hukum qis}a>s} bisa berubah menjadi diyat, hukuman diyat menjadi
menjadi hapus.
dimaafkan dan apabila dimaafkan, maka hukuman menjadi hapus.

2. Sumber Hukum Delik Pembunuhan


2. Sumber Hukum Delik Pembunuhan
Ayat Al-Qur’an yang yang
Ayat Al-Qur’an berkaitan
berkaitandengan
dengan tindak
tindak pidana
pidana
pembunuhan antara lain disebutkan dalam surat al-Baqarah ayat
pembunuhan antara lain disebutkan dalam surat al-Baqarah ayat 178-
178-179:
179:

            

            

             

          

Hai orang-orang yangyang


Hai orang-orang beriman diwajibkan
beriman atasatas
diwajibkan kamu qiṣāṣ
kamu dalam
qis}a>s}
pembunuhan, merdeka dengan merdeka, budak dengan
dalam pembunuhan, merdeka dengan merdeka, budak dengan budak budak
dan wanita dengan
dan wanita denganwanita,
wanita,barang siapa dimaafkan
barang siapa dimaafkan atasatas qiṣāṣ
qis}a>s}
oleh saudaranya, maka hendaklah ia mengikuti kebaikan dengan
oleh saudaranya, maka hendaklah ia mengikuti kebaikan dengan cara
cara membayar diyat dengan
membayar diyat dengan cara
cara yang
yang baik,
baik, yang
yang demikian
demikian ituitu
keringanan dari Allah dan rahmat dan barang siapa yang melampaui
keringanan dari Allah dan rahmat dan barang siapa yang melampaui
batas setelah itu, maka
batas setelah siksa
itu, maka Allah
siksa amat
Allah amatpedih.
pedih.Bagimu
Bagimuadaada hukum
hukum
qiṣāṣ untuk kelangsungan hidup bagi orang yang berakal supaya
menjadi orang yang bertakwa.

pidana Islam, yang termasuk dalam jari>mah qis}a>s} diyat ini adalah (1)
pembunuhan dengan sengaja; (2) pembunuhan semi sengaja; (3)
menyebabkan matinya orang karena kealpaan atau kesalahan; (4)
penganiayaan dengan sengaja; dan (5) menyebabkan orang luka karena
kealpaan atau kesalahan. Abd Qadi>r Awdah, at-Tasyri>' al-Jina>'i>, ..,
Juz I, hlm. 149-153.

Hukum Pidana Islam | 271 |


qis}a>s} untuk kelangsungan hidup bagi orang yang berakal supaya
menjadi orang yang bertakwa.

         

          

            

Dan Dan
kami telah
kami telahtetapkan
tetapkan terhadap mereka
terhadap mereka di dalamnya
di dalamnya (At-
(At-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata
Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan
dengan
mata,mata,
hidunghidung
dengan dengan hidung,
hidung, telinga telinga
dengan dengan
telinga, gigi
telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada
dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qishashnya.
Barangsiapa
qishashnya. yang melepaskan
Barangsiapa (hak qis}a>s})(hak
yang melepaskan nya, qiṣāṣ)
maka
melepaskan hak itu (menjadi) penebus
nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa dosa baginya.
Barangsiapa
baginya. tidak memutuskan
Barangsiapa perkara perkara
tidak memutuskan menurut menurut
apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang
apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
zalim. (al-Maidah: 45)
orang-orang yang zalim. (al-Maidah: 45)

 
   


     

                                 

        
     

             
         
    
           
    
   


                                    


 
    
 
      
                   42      
  
Karena itu Kami tetapkan   (suatu hukum)   bagi    Bani     Israil  
bahwa barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan
Karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil
karena orang membunuh orang lain, atau bukan karena
bahwa barangsiapa yang membunuh seorang manusia,
membuat kerusakan muka bumi, maka seakan-akan dia telah
bukan karena orang membunuh orang lain, atau bukan
membunuh manusia seutuhnya. Dan barangsiapa yang
karena membuat kerusakan muka bumi, maka seakan-
memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah
akan dia telah membunuh manusia seutuhnya. Dan
dia telah memelihara kehidupan manusia manusianya. Dan
barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang
manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara
kehidupan manusia manusianya. Dan sesungguhnya telah
datang kepada mereka rasul Kami dengan (membawa,)
keterangan-keterangan yang jelas, demikian banyak di

| 272 | Hukum Pidana Islam


antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui
 batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.

 
 
      
         
           
    
Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang
selain Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan
Allah (membunuh) kecuali dengan (alasan) yang benar,
dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian
itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya). (al-
Furqanayat 68)
                        
                
       
                      

        
       
 Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan
atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu Jan ganlah kaniu
mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah
terhadap kedua orang ibu bapak, dan Janganlah kamu
membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan.
Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka;
dan Jan ganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan
yang keji, baik yang tampak di antaranya maupun yang
tersembunyi, dan Janganlah kamu membunuh Jiwa
yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan
dengan sesuatu (sebab) yang benar”. Demikian itti yang
diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu
memahami (nya). (al-An‘am, ayat 151)

Hukum Pidana Islam | 273 |


Dasar hukum yang mengatur sanksi hukum di dalam hadis
diungkapkan diantaranya sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Abdullah ibn Mas‘ud r.a. katanya: Rasulullah
s.a.w. bersabda: Setiap pembunuhan secara zalim, maka putra
Nabi Adam yang pertama itu akan mendapat bahagian darahnya,
(mendapat dosa) karena dialah orang yang pertama melakukan
pembunuhan.

Diriwayatkan dan al-Mughirah ibn Syu‘bah r.a. katanya: Seorang


wanita telah memukul madunya yang berada dalam keadaan
hamil dengan menggunakan tongkat, sehingga dia meninggal
dunia. Seorang daripadanya berasal dan kaum Lihyan. Maka
Rasulullah s.a.w. rnenjatuhkan hukuman diyat kepada wanita yang
melakukan pembunuhan ini kepada ahli waris yang terbunuh;
sedangkan janin yang berada dalarn perut harus ditebus dengan
seorang hamba lelaki atau perempuan. Kemudian salah seorang
ahli waris lelaki yang membunuh itu berkata: Apakah aku harus
membayar diyat anak yang belum dapat makan dan minum
dan belum menjerit. Itu jelas merupakan kecelakaan yang tidak
boleh ditanggung. Mendengar itu Rasulullah s.a.w. lalu bersabda:
Apakah seperti itu saja orang-orang Arab? Baginda bersabda lagi:
Diwajibkan ke atas mereka itu membayar diyat.406

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. katanya: Sesungguhnya


Rasululah s.a.w. bersabda: Hari Kiamat itu akan berlaku
setelah banyaknya peristiwa Hallaj. Mereka bertanya: Wahai
Rasulullah, apakah Hallaj itu? Baginda bersabda: Pembunuhan,
pembunuhan.407

Hadis Ibn Abbas r.a. Diriwayatkan dari Said ibn Jubair r.a.

406
Ibid., hadis No. 990.
407
Ibid., hadis No. 1678

| 274 | Hukum Pidana Islam


katanya: Ahli Kufah telah berselisih pendapat tentang ayat yang
bermaksud: Siapa yang membunuh seorang mukmin secara
sengaja, maka alasannya adalah neraka Jahanam. Lalu aku pergi
menemui Ibn ‘Abbas dan bertanya mengenai ayat tersebut. Ibn
Abbas memberitahu ayat tersebut merupakan ayat yang terakhir
diturunkan, oleh karena tidak ada yang menasakhkannya.408

Diriwayatkan dari Anas r.a. katanya: Sesungguhnya saudara


perempuan Rubai’, yaitu Ummu Haritsah telah melukai seseorang,
lalu keluarganya mengadukan hal itu kepada Nabi Muhammad
s.a.w., maka Rasulullah s.a.w. pun bersabda. Laksanakanlah
hukuman qiṣāṣ, laksanakanlah hukuman qiṣāṣ kemudian Ummu
Rubai’ berkata: Wahai Rasulullah, apakah perlu dijatuhkan
hukuman qiṣāṣ terhadap orang itu? Demi Allah, janganlah
dikenakan hukuman qiṣāṣ ke atasnya. Nabi s.a.w. bersabda: Maha
Suci Allah, wahai Ummu Rubai’ hukuman qiṣāṣ adalah ketetapan
dan Allah. Ummu Rubai’ berkata: Demi Allah jangan, jangan
kenakan hukuman qiṣāṣ ke atasnya buat selama-lamanya. Hal
itu terus berlaku hingga mereka menerima bayaran diyat. Maka
Rasulullah s.a.w. pun bersabda: Sesungguhnya di antara hamba-
hamba Allah itu terdapat orang yang bersumpah ke atas Allah,
dan dia akan berlaku jujur kepada-Nya.409

3. Delik Pelukaan dan Sumber Hukumnya


Pelukaan atau pencederaan adalah perbuatan yang dilakukan
oleh seseorang dengan sengaja atau tidak sengaja untuk melukai
atau mencederai orang lain. Allah berfirman di dalam Surah al-
Maidah ayat 45 sebagai berikut.

408
Ibid., hadisNo. 1378.
409
Hadis No. 1379

Hukum Pidana Islam | 275 |


Pelukaan atau pencederaan adalah perbuatan yang dilakukan
oleh seseorang dengan sengaja atau tidak sengaja untuk melukai atau
mencederai orang lain. Allah berfirman di dalam Surah al-Maidah
ayat 45 sebagai berikut.

         

          

            

Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (at-Taurat)


Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (at-Taurat)
bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung
bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung
dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka
dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka
(pun) ada qisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qisas) nya
(pun) ada qisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qisas) nya maka
maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya.
melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa
Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan
tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah,
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
Berdasarkan dalil hukum yang tercantum pada ayat Al-Qur’an
Berdasarkan dalil hukum yang tercantum pada ayat Al-Qur'an
di atas, dapat dipahami bahwa pidana pembunuhan yang parsial
di atas, dapat dipahami bahwa pidana pembunuhan yang parsial
dalamdalam
pengertian hanya melukai atau mencederai, maka sanksi
pengertian hanya melukai atau mencederai, maka sanksi
terhadap pelakunya, yaitu qiṣāṣ sebanding dengan perbuatannya.
terhadap pelakunya, yaitu qis}a>s} sebanding dengan perbuatannya.
Apabila seseorang
Apabila melakukan
seseorang melakukantindak kejahatanterhadap
tindak kejahatan terhadaporangorang
lain,
lain, misalnya
misalnya menusukkan badik atau parang ke bagian perut maka
menusukkan badik atau parang ke bagian perut maka
pelakunya dikenakan
pelakunya san san
dikenakan hukum,
hukum,yaitu ditusuk
yaitu ditusukperutnya
perutnya dengan
dengan
badik atau
badik atau parang yang membuat ia menderita. sebagaimana orang
parang yang membuat ia menderita. sebagaimana orang
lain menderita karena perbuatan yang ia lakukan. Selain itu,
lain menderita karena perbuatan yang ia lakukan. Selain itu, dapat dapat
juga tidak
juga dikenai hukuman
tidak dikenai hukumanbilabila
pihak korban
pihak korbanmemaafkan
memaafkan orang
orang
yang melukainya. DalilDalil
yang melukainya. hukum dimaksud
hukum dimaksud mengungkapkan
mengungkapkan bahwabahwa
mata dibalas dengan
mata dibalas mata,
dengan telinga
mata, dibalas
telinga dengan
dibalas dengantelinga,
telinga, hidung
hidung
dibalasdibalas
dengan hidung
dengan dandan
hidung seterusnya.
seterusnya.

D. Konsep dan Kriteria Delik Pembunuhan dan Pelukaan


Pembunuhan baik sengaja atau tidak sengaja berakibat
kerugian bagi keluarga terbunuh dari dua sisi. Pertama, biasanya
mereka kehilangan orang yang mencari nafkah bagi keluarga,

| 276 | Hukum Pidana Islam


dan kedua, hatinya sangat sedih karena kehilangan orang yang
dicintainya. Karena itu, Islam menetapkan adanya qiṣāṣ sebagai
balasan akibat perbuatanya merugikan orang lain dan hukuman
diyat (denda) untuk meringankan beban nafkah keluarga dan
meringankan sedikit kesedihan hati mereka.
Diyat dapat diartinya sejumlah harta yang diberikan sebagai
pengganti jiwa yang telah terbunuh.410 Diyat berarti ganti rugi
yang diserahkan kepada seorang pelaku tindak pidana terhadap
korban atau ahli warisnya dalam tindak pidana pembunuhan atau
kejahatan terhadap anggota badan orang lain.411
Padanan makna diyat dengan ganti rugi di atas pada dasarnya
bukan bentuk implikasi yang cenderung baku. Sementara ada
beberapa ulama yang mendefinisikan makna terminologi diyat
tersebut dengan makna-makna yang lain, misalnya pembayaran
atau tebusan. Identifkasi makna diyat dengan ganti rugi selanjutnya
ditemukan dalam ayat yang menjadi kerangka dasar di mana ayat
di sana menjadi hukuman pokok.

           

           

           

         

          

        

410
Luis Ma’lūf, Kamus al-Munjid fī al-Lughah, (Beirut: Dār al-Masyriq,
1977), hlm. 894.
411
Ensiklopedi Hukum Islam, cet. I, (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru van Houve,
1993), hlm. 311.

Hukum Pidana Islam | 277 |


Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin
(yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja) dan barangsiapa
membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta
membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh
itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia
(si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara
mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar
diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta
memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang
tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa
dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada
Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
(an-Nisa’: 92)

Dalam Al-Qur’an Surah an-Nisa’ ayat 93
         

       

Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan


sengaja, maka balasannya adalah Jahanam, kekal ia di dalamnya
dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan
azab yang besar baginya.

Makna diyat lebih spesifik dengan ganti rugi justru baru


diketemukan di dalam ayat yang berkenaan dengan kewajiban
membayar diyat pada ayat di atas. Isyarat ini barangkali wujud
pemaknaan dari pola pemahaman dalam kajian fiqh Islam di
mana posisi hukuman dalam kasus pembunuhan yang bermotif
sengaja menjadi berbeda dengan posisi hukuman dalam kasus

| 278 | Hukum Pidana Islam


pembunuhan yang dilakukan tidak sengaja.412
Betapapun intensitas perbedaan interpretasi dalam pemaknaan
tetap ada, diyat dengan makna generiknya bisa saja muncul masih
dalam makna semula dan tidak tertutup, muncul dengan makna
yang lain. Apalagi dengan pola pemaknaan yang demikian, makna
diyat jika dilihat dengan kepentingan korban tindak pidana sendiri
pada hakekatnya akan memiliki substansi yang sama. Dengan
begitu, pada akhirnya bisa dipahami bahwa diyat baik tetap dengan
makna ganti rugi, pembayaran atau tebusan sebenarnya mura>dif
(sinonim). Kalau masing-masing istilah tersebut berpijak kepada
dasar argumen ayat Al-Qur’an yang berbeda, pada kenyataannya
kedua dalil ayat tersebut masih dalam bingkai kasus yang sama,
hanya berbeda motif saja.
Diyat juga dimaksudkan agar pelaku pembunuhan sadar
atas kelalaiannya dan akan lebih berhati-hati. Dalam konteks
masyarakat Arab ketika itu, bentuk denda berupa unta atau
memerdekakan budak. Unta dalam masyarakat Arab memiliki nilai
ekonomis yang tinggi, sehingga denda berupa unta akan dapat
meringankan beban ekonomi keluarga terbunuh, sementara tradisi
perbudakan di masyarakat Arab dan masyarakat lainnya di dunia
saat itu masih sangat kuat dan Islam datang untuk menghilangkan
tradisi perbudakan manusia tersebut. Kemudian kewajiban
denda tersebut tidak hanya pada pembunuh, tetapi juga pada
keluarganya, karena ikatan suku dan kekeluargaan masyarakat
Arab sangat kuat. Apabila anggota suku atau keluarganya ada yang
terbunuh, maka anggota keluarganya tidak hanya merasa dendam
terhadap pembunuhnya tetapi juga keluarga yang membunuh
tersebut. Karena itu supaya tidak ada balas dendam terhadap
pembunuh maupun anggota keluarganya, maka kewajiban denda

412
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Proyek Pengadaan
Kitab Suci Al-Qur’an Departemen Agama RI Pelita IV / Tahun III / 1985 / 1986,
hlm. 43 dan 135.

Hukum Pidana Islam | 279 |


itu dibayarkan oleh pembunuh dan keluarganya. Di samping
itu, kalau pembunuhan tersebut tidak sengaja, maka untuk
meringankan pembunuh keluarganya juga harus membantu.
Dalam hukum pidana Islam, yang termasuk dalam jarīmah
qiṣāṣ-diyat ini adalah (1) pembunuhan dengan sengaja; (2)
pembunuhan semi sengaja; (3) menyebabkan matinya orang karena
kealpaan atau kesalahan; (4) penganiayaan dengan sengaja; dan
(5) menyebabkan orang luka karena kealpaan atau kesalahan.
Hukuman diyat dalam Islam selain dimaksudkan untuk
mencegah terjadinya suatu bentuk tindak pidana yang dapat
menimbulkan bahaya bagi keselamatan hidup seseorang, sekaligus
juga sebagai proteksi terhadap jiwa manusia agar tetap dihormati
dan dimuliakan.413 Karena setiap bentuk pembunuhan, baik
yang jelas memiliki motif tertentu (sengaja) ataupun sebaliknya,
bisa menimbulkan kesusahan (hidup) yang cukup berarti bagi
keluarga korban yang bersangkutan. Hal ini karena kemungkinan
munculnya perasaan sedih yang dalam akibat meniggalnya korban
yang telah menjadi bagian keluarganya ataupun menjadi tumpuan
hidup keluarganya.414
Melihat kenyataan ini sudah selayaknya ganti rugi diharuskan
dengan pembayaran yang memberatkan pelaku (keluarganya) yang
bersangkutan, dengan harapan bahwa mereka juga merasakan
beban kesempitan yang berat yang semuanya itu tidak akan bisa
dirasakan kecuali kalau mereka diberi beban yang berat dengan
memberikan ganti rugi yang bisa menyita sebagian ataupun
sepenuhnya harta pelaku dan keluarganya. Dengan demikian,
ganti rugi tersebut merupakan pembalasan yang mencakup
hukuman dan penggantian.415

413
Alī Aḥmad az-Jurjāwī, Ḥikmah at-Tasyrī’ wa Falsafatuh, jilid I, (Ttp. :
Dār al-Fikr, t.t.), hlm. 312.
414
Ibid., hlm. 312.
415
as-Sayyid Sābiq, Fiqh as-Sunah, jilid II, hlm. 552.

| 280 | Hukum Pidana Islam


ganti rugi yang bisa menyita sebagian ataupun sepenuhnya harta
pelaku dan keluarganya. Dengan demikian, ganti rugi tersebut
merupakan pembalasan yang mencakup hukuman dan penggantian.30
Hikmah adanya hukuman qis}a>s}-diyat, sebagaimana
Hikmah
dijelaskan olehadanya hukuman
al-Jurja>wi> qiṣāṣ-diyat,
adalah sebagaimana
keberlangsungan hidupdijelaskan
manusia
oleh al-Jurjāwī adalah keberlangsungan hidup
di dunia. Karena itu, Islam menghukum orang yang membunuh manusia di dunia.
Karenalain.
orang itu, Islam
Hukumanmenghukum
tersebut orang
pada yang membunuh
dasarnya sebagaiorang lain.
tindakan
Hukuman tersebut pada dasarnya sebagai tindakan preventif
preventif supaya manusia tidak gampang saling membunuh yang
supaya manusia tidak gampang saling membunuh yang akan
akan mengakibatkan kekacauan dalam masyarakat. Hukuman bagi
mengakibatkan kekacauan dalam masyarakat. Hukuman bagi
pembunuh dalam Islam adalah dengan qis}a>s} (hukuman semisal)
pembunuh dalam Islam adalah dengan qiṣāṣ (hukuman semisal)
atau
atau dengan
dengan diyatdiyat (ganti rugi) yang
(ganti rugi) yang berupa
berupa harta
harta benda.
benda. Hikmah
Hikmah
adanya
adanya qis}a>s}
qiṣāṣ dengan denganhukuman
hukuman mati mati bagi
bagi pembunuh
pembunuh sengaja
sengaja
adalah untuk
adalah untuk menegakkan keadilan di
menegakkan keadilan di tengah-tengah
tengah-tengah masyarakat,
masyarakat,
sebagaimana firman
sebagaimana firmanAllahAllah  (jiwa
(jiwa dibalas dengan jiwa).
dibalas dengan jiwa).
Hukuman mati ini juga banyak dipraktekkan
Hukuman mati ini juga banyak dipraktekkan oleh umat dan oleh umat dan
masyarakat lain. Dengan adanya qiṣāṣ juga menghindari kemarahan
masyarakat lain. Dengan adanya qis}a>s juga menghindari
dan dendam keluarga orang yang terbunuh, karena apabila tidak
kemarahan dan dendam keluarga orang yang terbunuh, karena
dilakukan kisas niscaya dendam tersebut akan berkelanjutan dan
apabila tidak dilakukan kisas niscaya dendam tersebut akan
pada gilirannya akan terjadi saling bunuh antar keluarga.416
berkelanjutan
Sementara danhikmah
pada gilirannya
diyat (gantiakanrugi)
terjadi salingharta
dengan bunuhadalah
antar
31
keluarga.
untuk kepentingan dua belah pihak. Dari pihak pembunuh,
dengan membayar
Sementara denda diyat
hikmah secara(ganti
damai rugi)
kepada keluarga
dengan terbunuh,
harta adalah
dia akan
untuk merasakan
kepentingan duakehidupan
belah pihak.baru Dariyang
pihakaman, dan dia
pembunuh, juga
dengan
akan bertaubat
membayar denda ke jalan
secara yangkepada
damai benar keluarga
karena merasakan
terbunuh, diabetapa
akan
berharganya kehidupan. Sementara bagi keluarga
merasakan kehidupan baru yang aman, dan dia juga akan bertaubat terbunuh yang
menerima denda benar
dengankarena
cara damai akan dapat
betapamemanfaatkan
gsungan ke harta
jalan yang
hidupnya
tersebut dan kelangsungan
untuk
merasakan
meringankan hidupnya sedikit
dan
berharganya
beban
meringankan
32
kehidupan. Sementara bagi keluarga terbunuh yang menerima denda
sedikit
Inilahbeban
ihannya. dengan makna
cara kesedihannya.
damai firman
akan dapat
417
Allah:Inilah makna firman
memanfaatkan Allah: untuk
harta tersebut
  
               
 
Bagimu ada hukum
Bagimuqis}a>s
ada hukumuntuk qiṣāṣ untuk kelangsungan
kelangsungan hidup hidup
bagi
30 bagi orang yang berakal supaya menjadi orang yang
orang yang berakal supaya
as-Sayyid Sa>biq, menjadi orang
Fiqh as-Sunah, yang
jilid II, bertakwa.
hlm. 552.
31 bertakwa. H{ikmah at-Tasyri>’…, hlm. 346.
al-Jurja>wi>,

416
al-Jurjāwī, Ḥikmah at-Tasyrī’…, hlm. 346.
417
Ibid.
sur-unsur Delik Pembunuhan dan Pelukaan
Unsur jari>mah pembunuhan sengaja adalah
Hukumsebagai berikut.
Pidana Islam | 281 |
laku adalah mukallaf dan berakal. 2). Adanya niat dan rencana
membunuh. 3) Korban adalah orang yang dilindungi darahnya.
33
E. Unsur-unsur Delik Pembunuhan dan Pelukaan
Unsur jarīmah pembunuhan sengaja adalah sebagai berikut.
1). Pelaku adalah mukallaf dan berakal. 2). Adanya niat dan
rencana untuk membunuh. 3) Korban adalah orang yang
dilindungi darahnya. 4) Alat yang digunakan pada umumnya
dapat mematikan.418
Pelaku pembunuhan sengaja dalam Islam dapat dikenakan
hukum qiṣāṣ, jika si korban menghendaki. Karena hukum
qiṣāṣ dianggap sebagai hukuman tertinggi dalam Al-Qur’`an,
maka pada kondisi tertentu hukum qiṣāṣ dapat diganti dengan
hukuman lain. Unsur pembunuhan semi sengaja adalah 1). pelaku
melakukan perbuatan yang mengakibatkan kematian, 2). ada
maksud penganiayaan atau permusuhan, 3). si korban darahnya
dilindungi, dan 4). yang digunakan untuk membunuh pada
umumnya tidak mematikan.419
Dalam kasus yang demikian, haram bagi keluarga untuk
menghukum qiṣāṣ karena ketidaksengajaan seseorang untuk
membunuh atau menghilangkan nyawa orang. Oleh karena itu,
alternatif hukumannya adalah hukum diyat (ganti rugi).
Yang dimaksud pembunuhan karena kesalahan adalah
perbuatan yang tidak melanggar ketentuan syara’, akan tetapi
berakibat hilangnya nyawa orang lain. Contoh seseorang sedang
memburu binatang liar, namun ternyata peluru mengenai
manusia yang berakibat adanya korban jiwa. Membuat lubang di
tanah pekarangan sendiri, namun ada orang lain terperosok dan
meninggal. Jadi dalam pembunuhan karena salah ada sebab akibat
dan tidak adanya unsur kesengajaan. Orang mati karena jatuh
dari lubang, jadi matinya seseorang disebabkan adanya lubang.
Namun, lubang ada bukan untuk membunuh. Oleh karena itu,
yang menjadi unsur delik pembunuhan karena kesalahan adalah:

418
As-Sayid Sābiq, Fiqh …., Juz II, hlm. 435-436.
419
Ibid., hlm 438. H.A. Djazuli, Fiqh Jinayah..., hlm. 128.

| 282 | Hukum Pidana Islam


1. adanya perbuatan yang menyebabkan kematian;
2. terjadinya perbuatan itu karena kesalaan bukan kesengajaan;
3. adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan kesalahan
dan kematian korban; dan
4. korban darahnya dilindungi.
Sanksi bagi pembunuhan sengaja adalah hukuman pokok,
hukuman pengganti, dan hukuman tambahan. Hukuman pokok
pembunuhan sengaja adalah qiṣāṣ. Hukuman ini diberlakukan
jika ada unsur rencana dan tipu daya dan tidak ada maaf dari
pihak keluarga si korban. Bila keluarga korban memaafkan, maka
hukuman penggantinya adalah diyat. Jika sanksi qiṣāṣ atau diyat
dimaafkan, maka hukuman penggantinya adalah ta’zīr. Hukuman
tambahan bagi jarīmah ini adalah terhalangnya hak atas warisan
dan wasiat.420
Yang dimaksud dengan pembunuhan semi sengaja adalah
perbuatan yang berakibat hilangnya nyawa orang lain dengan
menggunakan alat yang pada ghalibnya tidak mematikan,
sebagaimana dijelaskan oleh Nabi dalam riwayat Nasa’i berikut
ini:
                 
        
 
421   
      

Ingat, sesungguhnya pembunuhan karena salah yang
menyerupai kesengajaan dengan alat cambuk dan tongkat
(diyatnya) adalah 100 onta, 40 di antaranya sedang
hamil.
Dalam kerangka ini dapat dicatat bahwa di samping mengakui
sistem pembalasan sebagai prinsip dasar bagi perbaikan hak,
Islam juga mengatur kemurahan hati sebagai prinsip yang sesuai

420
Abd al-Qadīr Awdah, at-Tasyrī’..., Juz I, hlm. 286.
421
H.R. Nasāi, hadis nomor 4711.

Hukum Pidana Islam | 283 |


dengan perdamaian guna membatasi “tradisi” balas dendam di
dalam ruang gerak yang sangat sempit. Asumsi ini bertolak dari
pemikiran bahwa balas dendam tidak hanya merupakan hak
pribadi semata-mata, melainkan juga mencakup hak masyarakat,
sehingga kedudukan negara adalah sebagai pemegang kekuasaan
tertinggi. Masyarakat harus dapat mengontrol dan menentukan
syarat-syarat yang tepat dengan sebuah alasan demi menekan
semangat dendam yang sangat merugikan masyarakat. Pada
akhirnya, meskipun dalam teori hukum Islam mengakui sistem
pembalasan, namun senantiasa dibarengi dengan upaya perbaikan
untuk menghindari keragu-raguan dalam penjatuhan vonis.422

F. Ketentuan Sanksi Tindak Pidana Pembunuhan dan


Pelukaan
Berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis yang dijadikan
dasar hukum di atas, peneliti merumuskan garis hukum sebagai
berikut:
(1) Allah s.w.t. mewajibkan orang-orang beriman qiṣāṣ berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh, yaitu orang merdeka
dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita
dengan wanita.
(2) Barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya,
yang memaafkan mengikuti dengan cara yang baik, hendaklah
yang diberi maaf membayar diyat kepada yang memberi maaf
dengan cara yang baik (pula).
(3) Barangsiapa yang melampaui batas seperti di dalam poin 2,
maka baginya siksa yang sangat pedih.
(4) Dalam hukuman qiṣāṣ ada jaminan kelangsungan hidup bagi
manusia yang berakal supaya bertakwa kepada Allah s.w.t.

422
Muḥammad Masluḥuddīn, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis,
terj. Yudian W. Asmin, Cet. I, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), hlm. 88.

| 284 | Hukum Pidana Islam


(5) Tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang
mukmin yang lain, kecuali tidak sengaja.
(6) Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tidak
sengaja, maka hendaklah ia memerdekakan seorang hamba
sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan
kepada keluarga si terbunuh, kecuali jika keluarga terbunuh
bersedekah.
(7) Jika si terbunuh dan kaum yang memusuhimu, padahal ia
mukmin maka hendaklah si pembunuh memerdekakan hamba
sahaya yang mukmin.
(8) Jika si terbunuh dan kaum kafir yang ada perjanjian damai
antara mereka dengan kamu, maka si pembunuh membayar
diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta
memerdekakan hamba sahaya yang mukmin.
(9) Barangsiapa yang membunuh dan tidak mampu memerdekakan
hamba yang mukmin serta membayar diyat, maka wajib
berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai tata cara bertaubat
kepada Allah.
(10) Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan
sengaja, maka balasannya adalah masuk neraka jahannam dan
kekal di dalamnya.
(11) Allah s.w.t. telah menetapkan aturan di dalam kitab Taurat
bahwa jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung
dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan
luka-luka (pun) ada qiṣāṣnya.
(12) Barangsiapa yang melepaskan hak qiṣāṣnya, maka melepaskan
hak itu menjadi penebus dosa baginya.
(13) Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang
zalim.
(14) Allah s.w.t. menetapkan suatu hukum bagi Bani Israil,
bahwa barangsiapa yang membunuh seorang manusia bukan

Hukum Pidana Islam | 285 |


karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena
membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia
telah membunuh manusia seluruhnya.
(15) Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia,
maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia
seluruhnya.
(16) Orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta
Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) kecuali enggan (alasan) yang benar, dan
tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu,
niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya).
(17) Janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Allah
s.w.t., berbuat baiklah kepada kedua ibu bapak, dan janganlah
kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan.
(18) Allah s.w.t. akan memberi rezeki kepadamu dan kepada
anak-anak kamu dan janganlah kamu mendekati perbuatan-
perbuatan yang keji, baik yang tampak di antaranya maupun
yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang
diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu
(sebab) yang benar.
Sanksi atas delik pembunuhan dan pelukaan adalah sebagai
berikut:
1. Pelaku pembunuhan yang disengaja, pihak keluarga korban
dapat memutuskan salah satu dan tiga pilihan, yaitu (1) qiṣāṣ,
yaitu hukuman pembalasan setimpal dengan penderitaan
korbannya, (2) diyat yaitu pembunuh harus membayar denda
sejumlah 100 ekor unta, atau 200 ekor sapi atau 1.000 ekor
kambing, atau bentuk lain seperti uang senilai harganya.
Diyat tersebut diserahkan kepada pihak keluarga korban, (3)
pihak keluarga memaafkannya apakah harus dengan syarat
atau tanpa syarat.

| 286 | Hukum Pidana Islam


2. Pelaku pembunuhan yang tidak disengaja, atau semi sengaja
pihak keluarga diberikan pilihan, yaitu (1) pelaku membayar
diyat; (2) membayar kaffarah (memerdekakan budak
mukmin); (3) jika tidak mampu, maka pelaku pembunuhan
diberi hukuman moral, yaitu berpuasa selama dua bulan
berturut-turut.
3. Pelaku pencedera dalam bentuk menusukkan badik atau parang
ke bagian perut korban, maka pelakunya dikenakan sanksi
hukum, yaitu ditusuk perutnya dengan badik atau parang
sesuai perbuatannya yang membuat korban menderita.
Selain itu, dapat juga tidak dikenai hukuman bila pihak korban
memaafkan orang yang melukainya. Dalil hukum dalam hal ini
menyatakan bahwa mata dibalas dengan mata, telinga dibalas
dengan telinga, hidung dibalas dengan hidung, dan seterusnya.

Maksud dari syari’at qiṣāṣ diyat adalah untuk kemaslahatan


hidup manusia yang menyangkut kehidupan pribadi maupun
kehidupan bermasyarakat. Nyawa seseorang mahal, karena itu
harus dijaga dan dilindungi. Ketentuan qiṣāṣ mempunyai relevansi
kuat dalam upaya melindungi manusia, sehingga para pelaku
kriminal timbul kejeraan, lantaran harus menanggung beban akal
menimpa dirinya jika ia melakukannya. Selain itu, dapat dipetik
dari sanksi hukum pidana pembunuhan bahwa pihak si korban
diberikan hak otonomi sepenuhnya untuk memilih hukuman
yang dikenakan terhadap pelakunya. Hal ini mempunyai relevansi
kuat pertimbangan psikologi keluarga. Betapa penderitaan pihak
keluarga lantaran salah satu anggotanya meninggal, lebih-lebih
karena dibunuh oleh seseorang. Pihak keluarga korban sedikit
banyak mengetahui kepribadian keluarganya. Apabila mereka
mengetahui bahwa yang terbunuh adalah salah seorang anggota
keluarga yang akhlaknya kurang baik dan atau tidak terpuji, maka
mereka dapat memakluminya jika ia dibunuh oleh seseorang. Oleh

Hukum Pidana Islam | 287 |


karena itu, ia tidak akan dendam kepada pembunuhnya bahkan
kemungkinan
tidak akan dendam besar akanpembunuhnya
kepada memaafkan pelaku dari pembunuhan
bahkan kemungkinan besar
dimaksud.
akan memaafkan pelaku dari pembunuhan dimaksud.
D.Transformasi Pemikiran tentang Delik Pembunuhan dan
Pelukaan dalam Konteks Keindonesiaan
G. Transformasi Pemikiran tentang Delik Pembunuhan dan
Pelukaan dalam Konteks Keindonesiaan
Menurut syari'at Islam, tindak pidana pembunuhan itu menjadi
Menurut syari’at Islam, tindak pidana pembunuhan itu menjadi
hak
hak Allah
Allah dandanhakhakadami> bersama-sama, namun
adamī bersama-sama, namunhak hakadami> lebih
adamī lebih
38
besar. 423 Oleh sebab itu, jika terjadi pembunuhan dengan sengaja
besar. Oleh sebab itu, jika terjadi pembunuhan dengan sengaja
misalnya, maka
misalnya, maka wali
wali sisikorban
korban berhak
berhakmenuntut
menuntut dilaksanakannya
dilaksanakannya
hukumanqis}a>s},
hukuman qiṣāṣ, atau memaafkannya
atau memaafkannyadengandenganmeminta
meminta ganti
ganti rugi,
maaf sebagai
maaf sebagai unsur
unsur pengecualian
pengecualian hukuman
hukuman ini ini hanya
hanya berlaku
berlaku bagi
bagi
tindak pidana yang diancam dengan hukuman
tindak pidana yang diancam dengan hukuman qis}a>s}, tidak qiṣāṣ, tidak berlaku
bagi tindak
berlaku bagi pidana
tindak yang
pidanadiancam dengandengan
yang diancam hukuman ḥadd. Dalam
hukuman h}add.
hal ini Ibn Abbas menafsirkan maaf di atas berarti menerima
Dalam hal ini Ibn Abbas menafsirkan maaf di atas berarti menerima ganti
rugi, sedangkan
ganti rugi, sedangkanMuhammad
MuhammadAbduh menjelaskan
Abduh menjelaskanbahwa maaf
bahwa itu
maaf
datangnya dari wali, yaitu orang-orang yang berhak menuntut
itu datangnya dari wali, yaitu orang-orang yang berhak menuntut
qiṣāṣ. Sesuai dengan penafsiran tersebut, Imam Syafi’i kemudian
qis}a>s}. Sesuai dengan penafsiran tersebut, Imam Syafi’i kemudian
berpendapat bahwa apabila seseorang telah mati terbunuh,
berpendapat bahwa apabila seseorang telah mati terbunuh, maka wali
maka wali terbunuh melakukan pilihan, apakah ia menghendaki
terbunuh
menerimamelakukan
ganti rugipilihan,
denganapakah ia menghendaki
memberikan maaf ataumenerima ganti
menghendaki
rugi dengan memberikan
memaafkanya maaf424 atau
tanpa ganti rugi. menghendaki
Kekuasaan wali yangmemaafkanya
mempunyai
39
wewenang
tanpa ganti di atas itu
rugi. berdasarkan
Kekuasaan wali firman Allah suratwewenang
yang mempunyai al-Isra’ ayat
di
33:
atas itu berdasarkan firman Allah surat al-Isra' ayat 33:

             

          

423
Marsum, Jinayah, hlm. 126.
424
Marsum, Jinayah, hlm. 127.

38
Marsum, Jinayah, hlm. 126.
| 288 |39 Hukum
Marsum,Pidana Islam
Jinayah, hlm. 127.
Dalam makna yang lain, diyat sering juga disebut al-aql
(pengikat).425 Disebut demikian karena bilamana seseorang
membunuh orang lain, dia harus membayar diyat berupa unta,
kemudian unta tersebut diikat di halaman rumah wali si korban
untuk diserahkan kepada mereka sebagai tebusan.426
Peraturan diyat ini sudah sejak lama dilakukan oleh orang-
orang Arab pada masa jahiliyah kemudian ditetapkan oleh Islam
sesudahnya. Diyat telah diterapkan oleh Rasullah s.a.w., untuk
seorang lelaki merdeka dan muslim sebanyak seratus ekor unta
bagi pemilik unta, dua ratus ekor sapi bagi pemilik sapi, dua ribu
ekor domba bagi pemilik domba, seribu dinar untuk pemilik
emas, dua belas ribu dirham untuk pemilik perak dan dua ratus
stel pakaian untuk pemilik pakaian. Jenis apapun yang ditunaikan
oleh orang yang terkena diyat harus diterima oleh wali korban
sekalipun mereka bukan pemilik barang tersebut, sebab secara
prinsip pelaku kejahatan telah menunaikan kewajibannya.427
Di Mesir, Imam Syafi’i berpendapat bahwa untuk penduduk
Syam dan Mesir serta penduduk Irak tidaklah diambil dari
mereka kecuali hanya nilai harga unta berapapun harganya. Dari
sini kemudian as-Sayyid Sābiq mengomentari bahwa memang
dalil yang terkuat belum pernah ditetapkan oleh Rasulullah.
Munculnya pemikiran baru untuk menetapkan nilai diyat
selain unta harus diakui karena ada ‘illat baru yang muncul dan
memerlukan diterapkannya hal tersebut. hal ini merupakan hasil
pemikiran Umar r.a.
Merupakan suatu masalah yang telah disepakati oleh ulama
fiqih bahwa diyat diwajibkan terhadap pembunuhan kesalahan
dan serupa kesengajaan, dan dalam kondisi kesengajaan yang

425
A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Yogyakarta: Pustaka Progresif,
1984), hlm. 1027.
426
As-Sayyid Sābiq, Fiqih Sunnah, Juz II, hlm. 551.
427
Ibid., hlm. 552-553.

Hukum Pidana Islam | 289 |


dilakukan oleh orang yang kehilangan salah satu syarat taklīf,
seperti pembunuhan yang dilakukan oleh anak kecil dan orang gila.
Kemudian dalam kasus pembunuhan sengaja di mana kehormatan
orang yang terbunuh lebih rendah dari pada kehormatan
pembunuh, seperti orang merdeka dan hamba sahaya.428
Demikian pula diyat diwajibkan atas orang yang sedang dan
menindih orang lain sampai mati, juga terhadap orang yang jatuh
menimpa orang lain sampai mati. Demikian pula wajib membayar
diyat atas orang yang menggali lubang lalu ada orang yang
terperosok ke dalamnya sampai mati.429
Di kalangan para ulama muncul beberapa pendapat mengenai
kadar dan macam diyat, namun pada intinya pendapat mereka
berkisar pada masalah intensitas sekitar berat ringannya diyat.
As-Sayyid Sābiq misalnya, ia menyimpulkan bahwa diyat itu
adakalanya berat dan adakalanya ringan, adapun diyat yang ringan
dibebankan atas pembunuhan kesalahan dan diyat yang berat
dibebankan atas serupa kesengajaan adapun diyat pembunuhan
sengaja bilamana wali si korban memberi maaf. Imam Syafi’i dan
Hambali berpendapat bahwa dalam kondisi demikian, diyat wajib
diberatkan. Abu Hanifah berpendapat bahwa dalam kasus tersebut
tidak ada diyat, namun yang wajib ialah berdasarkan persetujuan
kedua belah pihak yang bersangkutan. Demikian pula Imam Syafi’i
dan yang lainnya berpendapat dalam kasus pembunuhan atau
pelukaan yang terjadi di tanah haram dan pada bulan suci juga
terhadap kerabat yang masih muhrim, diyat menjadi diberatkan,
hal ini karena syari’at menganggap agung hal-hal tersebut oleh
sebab itu menurut para ulama diyatnya pun diberatkan.430 Jumlah
diyat yang diberatkan adalah sebanyak seratus unta di mana yang
empat puluh di antaranya sedang mengandung tua.

428
Ibn Rusyd, Bidāyah al-Mujtahid, Juz II, hlm. 306.
429
As-Sayyid Sābiq, Fiqh as-Sunnah, Juz II, hlm. 553.
430
Ibid., 555.

| 290 | Hukum Pidana Islam


diberatkan adalah sebanyak seratus unta di mana yang empat puluh
di antaranya sedang mengandung tua.
Menyangkut orang yang diwajibkan membayar diyat, dalam
Menyangkut
hal ini tidak orang yang
ada perselisihan diwajibkan
di kalangan fuqahamembayar diyat,
bahwa diyat
dalam hal ini tidak ada perselisihan di kalangan
pembunuhan tersalah itu diwajibkan kepada keluarga si pembunuh fuqaha bahwa
diyat pembunuhan tersalah itu diwajibkan kepada keluarga si
(al-aqi>lah) dan dia bisa ditangguhkan sampai waktu tiga tahun.46
pembunuh (al-aqīlah) dan dia bisa ditangguhkan sampai waktu
Pembebanan kepada
tiga tahun. 431 aqi>lah kepada
Pembebanan tesebut
aqīlahmerupakan bentuk
tesebut merupakan
bentuk (ketentuan
pengecualian pengecualian (ketentuan
khusus) khusus) darifirman
dari keumuman keumuman
Allah firman
s.w.t.
Allah s.w.t.18:
surat al-Fa>t}ir: surat al-Fāṭir: 18:

     

Tentang
Tentang diyatdiyat pembunuhan
pembunuhan sengaja,
sengaja, baikRusyd,
baik Ibn Ibn Rusyd,
as-Sayidas-
Sayid Sābiq, maupun Wahbah Az-Zuḥailī berkomentar
Sa>biq, maupun Wahbah Az-Zuh}aili> berkomentar bahwa jumhur bahwa
jumhur fuqaha telah sepakat bahwa dalam kasus tesebut diyatnya
fuqahatidak
telah ditanggung
sepakat bahwa dalam kasus tesebut diyatnya tidak
oleh aqīlah, tetapi dibebankan pada harta
ditanggung oleh 432aqi>lah, tetapi dibebankan pada harta
pembunuhan.
47
pembunuhan. Tentang diyat kejahatan yang dilakukan oleh orang gila
dan anak-anak,
Tentang fuqaha berbeda
diyat kejahatan pendapat oleh
yang dilakukan siapakah
orangyang
gilaharus
dan
membayar diyat, dalam hal ini Imam Malik, Abu
anak-anak, fuqaha berbeda pendapat siapakah yang harus membayar Hanifah dan
segolongan fuqaha berpendapat bahwa seluruh diyatnya ditanggung
diyat, dalam hal ini Imam Malik, Abu Hanifah dan segolongan
oleh aqīlah. Imam Syafi’i berpendapat bahwa kesengajaan yang
fuqahadilakukan
berpendapat bahwa seluruh
oleh anak-anak, diyatnyadiyatnya ditanggung
adalah terhadap oleh
hartanya. 433

Silang
aqi>lah. Imampendapat
Syafi’idi berpendapat
antara mereka ini kesengajaan
bahwa berpangkal kepadayang
ketidakjelasan
dilakukan perbuatan
oleh anak-anak, anak-anak
diyatnya antara
adalah yang sengaja
terhadap hartanya. dan
48

Silang tersalah.
pendapat Fuqaha
di yang
antaramemandang
mereka segiini kemiripannya
berpangkal kepadadengan
tersalah lebih kuat, mewajibkan diyat atas aqīlah.
ketidakjelasan perbuatan anak-anak antara yang sengaja dan tersalah.
Kata al-aqīlah dalam bahasa Arab diambil dari kata al-aql
Fuqahayang
yangberarti
memandang
“darah segi kemiripannya
menjadi dengan
tertahan tidak tersalah
sampai lebih
dialirkan”.
Dari pengertian
kuat, mewajibkan diyatinilah
atas menurut
aqi>lah.as-Sayid Sābiq kata al-aql diambil,
Kata al-aqi>lah dalam bahasa Arab diambil dari kata al-aql
yang berarti “darah menjadi tertahan tidak sampai dialirkan”. Dari
431
Ibn Rusyd, Bida>yah al-Mujtahid, hlm. 309.
46
432
Ibid., hlm. 309.
Ibn Rusyd,
433
Ibid. Bida>yah al-Mujtahid, hlm. 309.
47
Ibid., hlm. 309.
48
Ibid.
Hukum Pidana Islam | 291 |
karena akal fungsinya manahan orang dari keterlibatan dalam
hal-hal yang buruk.434
Pengertian aqīlah menurut terminologi fiqh Islam adalah
sekelompok orang yang menanggung diyat.435 Menurut jumhur
fuqaha Hijaz, mereka berasal dari pihak ayah yaitu keluarga
“‘asabah”, bukan ahl dīwān (bukan penerimaan bantuan tetapi
dari negara). Pengertian aqīlah di zaman Nabi s.a.w. berarti
kabilah dari pelaku kejahatan. Keadaan ini terus berlangsung pada
masa pemerintahan Khalifah Umar r.a. di waktu ia mengadakan
regularisasi militer dan menetapkan dewan-dewan. Ia kemudian
menjadikan aqīlah sebagai orang-orang yang duduk di dewan,
berbeda dengan dahulu pada Rasulallah.436
Diyat yang diwajibkan kepada aqīlah bisa diantarkan sampai
pada masa tiga tahun, adapun diyat yang diwajibkan pada harta
si pembunuh, maka harta tersebut harus disegerakan menurut
pendapat imam Syafi’i, karena mengingat perpanjangan waktu itu
hanya berlaku bagi aqīlah saja guna memperingan mereka. Dengan
demikian, keringanan tidaklah diberikan kepada si pembunuh
yang dalam melakukan tindakannya itu bermotivasi sengaja.437
Ada catatan tersendiri bahwa Islam di waktu melibatkan
aqīlah dalam menanggung beban diyat, tiada lain bertujuan
untuk ikut berbela sungkawa terhadap pelaku pembunuhan,
untuk meringankan bebannya akibat dari perbuatannya yang
dilakukan tanpa sengaja. Secara tersurat kemudian hal ini seolah-
olah merupakan pengakuan terhadap sistem Arab yang menuntut
anggota-anggota kabilah bekerja sama, saling menolong dan
mendukung. Dalam hal ini, mayoritas ulama fiqih berpendapat
bahwa aqīlah tidak bertanggungjawab atas diyat pembunuhan

434
as-Sayyid Sābiq, Fiqih Sunnah, Juz II, hlm. 309.
435
Ibid.
436
Ibid., hlm.557
437
Ibn Rusyd, Bidāyah al-Mujtahid, hlm. 309.

| 292 | Hukum Pidana Islam


kesalahan, kecuali dalam nilai sepertiga ke atas, sedangkan di
bawah sepertiga lainnya diambil dari harta si pelaku kejahatan.
Kemudian dari segi orang yang membayar diyat didahulukan
kerabat yang dekat dari pada yang jauh (ahli waris cadangan).438
Imam Malik dan Ahmad berpendapat bahwa salah satu di
antara asabah tidak diwajibkan atasnya jumlah tertentu dari diyat.
Dalam hal ini, hakim berijtihad berapakah yang harus ditentukan
kepada setiap orang di antara mereka dengan syarat tidak
memberatkannya. Hakim mulai terlebih dahulu dari keluarga
terdekat kemudian dekat lainnya. Imam Syafi’i berpendapat
bahwa orang yang kaya membayar satu dinar dan orang yang
miskin membayar setengah dinar dan ditertibkan sesuai dengan
tingkatan kekerabatan. Bilamana pembunuh tidak mempunyai
asabah nasab dan juga wala’ (hamba yang dimerdekakan), maka
diyatnya ditanggung oleh baitul mal.439
Demikian pula halnya bilamana pembunuhan adalah
kebetulan secara ekonomis tidak mampu, begitupun aqīlahnya
tidak mampuh menanggung beban diyat, maka baitul mal lah yang
menanggung beban diyat. Selain itu, bilamana seorang muslim
dalam sebuah pertempuran terbunuh karena ia diduga kafir, maka
diyatnya ditanggung baitul mal. Dalam hal ini, Imam Syafi’i telah
meriwayatkan bahwa Rasulallah s.a.w. telah membayar diyatnya
al-Yaman (anaknya Khuzaifah) yang telah dibunuh oleh orang-
orang Islam karena mereka tidak mengetahuinya. Demikian pula
orang yang mati karena berdesakan, diyatnya dibebankan kepada
baitul mal. Musyadad meriwayatkan bahwa seorang pria mati
karena berdesakan pada hari Jum’at, kemudian Khalifah Ali r.a.
menunaikan diyatnya yang diambil dari baitul mal.440

438
as-Sayyid Sābiq, Fiqh Sunnah…, Juz II, hlm. 559.
439
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum…, hlm. 289.
440
as-Sayyid Sābiq, Fiqh Sunnah…, Juz II, hlm. 559.

Hukum Pidana Islam | 293 |


Sebagai uraian akhir dari masalah tersebut, para pengikut Abu
Hanifah berkesimpulan bahwa diyat pada masa itu dibebankan
kepada harta pelaku kejahatan. Selanjutnya dikatakan bahwa
sesungguhnya tolong menolong adalah inti dari bab diyat ini, oleh
karenanya jika tolong menolong ada, maka aqīlah pun ada begitu
juga sebaliknya. Bilamana tidak ada kabilah-kabilah dan tidak ada
prinsip tolong menolong, maka diyat ditanggung oleh baitul mal.
Bilamana baitul mal tidak ada atau masih belum teratur maka
diyat ditanggung oleh pelaku tindak pidana.441
Alasan yang dijadikan dasar pembenaran terhadap
pengecualian tersebut di atas adalah:
Pertama, alasan keadilan jika si pelaku orang miskin, maka jika
tidak diperkenkan adanya bantuan dari keluarga yang lain akan
kehilangan hak si korban atau walinya dari hak kebendaan, karena
faktor kemiskinan dari orang yang harus membayar diyat.
Kedua, Meskipun diyat itu berupa hukuman, namun ia
menjadi hak kebendaan bagi korban atau walinya, kalau pembuat
saja yang membayar, kebanyakan si korban atau walinya tidak
dapat menerimanya, karena pada umumnya orang yang membuat
kekayaannya lebih sedikit dari jumlah harta yang harus diberikan
untuk membayar diyat.
Ketiga, Kehidupan keluarga pada tabiatnya dasarnya adalah
tolong menolong dan kerja sama. Maka setiap kjali terajdi jarimah
yang semi sengaja atau tidak sengaja diperkenankan pelaku
berhubungan dengan anggota keluarga lainnya. Karena jarimah
tidak sengaja bias terjadi seaktu-waktu dan dapat menimpa kepada
siapa saja. Oleh karena itu sikap tolong menolong dalam kasus
inisangat dijunjung tinggi dalam Islam.
Keempat, Pemeliharaan terhadap jiwa sangat dijunjung tinggi
dalam Islam, jika si pembuat tidak dapat membayar diyat sementara

441
Ibid., hlm. 559.

| 294 | Hukum Pidana Islam


membantunya, maka hal ini sama dengan menyia-nyiakan nyawa s
korban.57
Konsep ini menurut syari’at Islam mengandung pesan aga
semua pihak merasa bertanggung jawab dan oleh karenanya harus
keluarga lain yang mampu tidak diperkenankan membantunya,
maka hal ini sama
berhati-hati agardengan
tidak menyia-nyiakan
mudah terjadi nyawa tindaksipidana
korban.yang
442 merugikan
Konsep ini menurut
pihak/kepentingan lain.syari’at
SelainIslam mengandung
itu konsep pesan
tersebut agarmenyiratkan
juga
semua pihak merasa bertanggung jawab dan oleh karenanya
suatu komitmen kuat dari Islam dalam menawarkan hukum
harus berhati-hati agar tidak mudah terjadi tindak pidana yang
hukumnyapihak/kepentingan
merugikan yang victim oriented. Karena
lain. Selain melalui
itu konsep konsep
tersebut juga structura
menyiratkan
responsibility suatu komitmen
tersebut kuat dari
korban Islam dalam
menjadi menawarkan
sangat diperhatikan hak
hukum-hukumnya
haknya oleh hukum. yang victim oriented. Karena melalui
konsep structural responsibility tersebut korban menjadi sangat
Selainhak-haknya
diperhatikan pembunuh olehdihukum
hukum. qis}a>s} sebagai hukuman pokok
atauSelain pembunuh
dihukum dihukumdiyat
membayar qiṣāṣ sebagai
sebagaihukuman
hukuman pokok atau
pengganti, pelaku
dihukum membayar diyat sebagai hukuman pengganti,
juga dibebani hukuman tambahan, yaitu pertama, pencabutan hak pelaku
juga dibebani hukuman tambahan, yaitu pertama, pencabutan
mewarisi, ketentuan ini berdasarkan sabda Nabi s.a.w. :
hak mewarisi, ketentuan ini berdasarkan sabda Nabi s.a.w. :
.58
443

Imam Malik dan Ahmad mengatakan bahwa pencabutan


Imam Malik dan Ahmad mengatakan bahwa pencabutan hak
hak mewarisi ini hanya diterapkan kepada pembunuhan sengaja,
sedangkan
mewarisi Abu ini Hanifah dan as-Syafi’ikepada
hanya diterapkan berpendapat bahwa
pembunuhan sengaja
semua macamAbu
sedangkan pembunuhan
Hanifah yang
dan dilakukan
as-Syafi’ioleh orang mukalaf
berpendapat bahwa semua
berakibat pencabutan hak mewarisi.444 Kedua, pencabutan hak
macam pembunuhan yang dilakukan oleh orang mukalaf berakiba
menerima wasiat, dalam hal ini59ulama sepakat bahwa bilamana
pencabutan itu
pembunuhan hak mewarisi.
tidak Kedua,
disengaja, maka pencabutan
tidak berakibat hak menerima
gugurnya
hak menerima
wasiat, dalam wasiat. Namun,sepakat
hal ini ulama terhadap pembunuhan
bahwa bilamanasengaja
pembunuhan itu
terdapat perbedaan pendapat. Abu Hanifah misalnya berpendapat
bahwa hak itu menjadi gugur meskipun mendapat persetujuan ahli
waris, sedangkan Abu Yusuf berpendapat bahwa hak itu menjadi
gugur 57meskipun mendapat persetujuan ahli waris. Sebagian
Ibid. Hlm 289-291.
ulama Syafi’iyyah
58 berpendapat bahwa hak menerima wasiat itu
Abu> Abdullah Muh}ammad Yazi>d Ibnu ar-Rabi al-Qazwini>
Sunan Ibnu Ma>jah, Hadis No. 2626, jilid II.
59
442 Marsum,
Ibid. Jinayah, hlm. 130.
Hlm 289-291.
443
Abū Abdullah Muḥammad Yazīd Ibnu ar-Rabi al-Qazwinī, Sunan Ibnu
Mājah, Hadis No. 2626, jilid II.
444
Marsum, Jinayah, hlm. 130.

Hukum Pidana Islam | 295 |


gugur meskipun mendapat persetujuan ahli waris, sedangkan Abu
Yusuf berpendapat bahwa hak itu menjadi gugur meskipun mendapat
persetujuan ahli waris. Sebagian ulama Syafi’iyyah berpendapat
bahwa hak menerima wasiat itu tidak gugur bagaimanapun bentuk
tidak gugur bagaimanapun
pembunuhan itu dan tanpa bentuk pembunuhan
tergantung itu dan
ahli waris.60 Ketiga, tanpa
membayar
tergantung ahli
kafarat, waris.
yaitu sebagaiKetiga,
445
membayar
pertanda bahwa ia kafarat, yaitu sebagai
telah bertaubat kepada
pertanda bahwa
Allah ia telah bertaubat
s.w.t. Kewajiban kepada
ini didasarkan padaAllah
firmans.w.t.
Allah Kewajiban
s.w.t. Surat
ini didasarkan pada firman Allah s.w.t. Surat an-Nisa’ (92).
an-Nisa' (92).

             

              

            

             

         

Dengan demikian, kafarat membebaskan seorang hamba


Dengan
mukmin demikian,
(merupakankafarat membebaskan
hukuman pokok). Kalau seorang
tidakhamba
bisa
mukmin (merupakan hukuman pokok). Kalau tidak
memperolehnya, maka ia diwajibkan berpuasa dua bulan berturut- bisa
memperolehnya, maka
turut. Dalam hal ia ulama
ini, para diwajibkan berpuasa
telah sepakat dua kafarat
bahwa wajib bulan
berturut-turut. Dalam hal ini, para ulama telah sepakat
ini dibebankan kepada pembunuhan tidak sengaja, sedangkan padabahwa
wajib kafarat ini dibebankan
pembunuhan kepada
sengaja terdapat pembunuhan
perselisihan, tidak misalnya
Imam Syafi’i sengaja,
sedangkan pada pembunuhan sengaja terdapat perselisihan, Imam
Syafi’i misalnya mewajibkannya, sedangkan Abu Hanifah tidak
mewajibkannya dan Imam Malik hanya mensunnahkannya.446
Selain 60diyat
Ibid. dikenakan kepada kasus tindak pidana
pembunuhan, diyat juga diwajibkan kepada pelukaan kepala
(syijāj) dan pemotongan anggota badan. Mengenai hukum-
hukum pelukaan kepala (syijāj), para fuqaha sepakat bahwa diyat
dikenakan pada pelukaan muḍīḥah yang dilakukan dengan sengaja,
sedangkan pelukaan yang kurang dari muḍīḥah dikategorikan

445
Ibid.
446
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum…, hlm. 296-297.

| 296 | Hukum Pidana Islam


kepada pelukaan yang tidak sengaja dan tidak dikenai diyat
melainkan ḥukūmah.447 Adapun mengenai diyat pada pemotongan
anggota badan (jurḥ), maka besarnya nilai diyat yang dikenakan
masing-masing setengah diyat apabila anggota badan yang terkena
jarīmah tersebut berpasangan, sedangkan memperoleh diyat
penuh apabila anggota badan tersebut tidak berpasangan.448
Selain diyat yang dikenakan pada pelukaan kepala (syijāj)
dan pemotongan anggota tubuh (jurḥ) seperti di atas, diyat juga
dikenakan pada jarīmah melenyapkan manfaat anggota badan, yaitu
akal, pendengaran, penciuman, kemampuan berbicara, perasaan,
rasa pengunyahan, kekuatan inzal, lenyapnya kemampuan
wanita untuk memiliki keturunan, lenyapnya kemampuan untuk
bersetubuh, rusaknya saluran sehingga air mani tidak sampai ke
rahim, lenyapnya daya gerak tangan sehingga lumpuh, demikian
pula lenyapnya daya berjalan. Seluruhnya masing-masing wajib
satu diyat, sedangkan lenyapnya daya pandang, maka pada setiap
mata dikenai setengah diyat.449
Demikian pula dalam Islam, diyat dikenakan kepada janin
yang mati dalam kandungan. Dalam rangka ini, Syarbinī al-
Khaṭīb berpendapat bahwa ada tiga kemungkinan terjadinya
pengguguran kandungan. Pertama, dengan menggertak atau
melakukan intimidasi. Kedua, dengan memukul atau memberikan
obat, dan Ketiga, dengan tidak memberikan konsumsi sehingga
berakibat gugurnya kandungan.450 Apabila pengguguran janin
tersebut kemudian sampai mengakibatkan meninggalnya si ibu,
maka diharuskan kepada pelaku membayar diyat.451

447
Ibn Rusyd, Bidāyah al-Mujtahid…, hlm. 314.
448
Marsum, Jinayah, hlm. 136-137.
449
Ibid., hlm.137.
450
Haliman, Hukum Pidana..., hlm. 364-365.
451
As-Sayyid Sābiq, Fiqh Sunnah, hlm. 566.

Hukum Pidana Islam | 297 |


Selanjutnya dalam ketentuan pembayaran diyat sebagaimana
dikemukakan di atas selalu digunakan pengertian dan istilah
ḥukūmah (arsy) sebagai pengganti diyat, yakni ganti rugi menurut
penetapan atau ijtihad hakim. Dalam hal ini ḥukūmah diwajibkan
di dalam masalah yang pada dasarnya tidak terdapat ketentuan
kadar mengenai diyat dan ia dinisbatkan kepada diyat jiwa dan
anggota badan yang terkena jarīmah.452
Adapun besar dan macam nilai diyat di dalam masalah diyat
jiwa sangat ditentukan oleh motif yang dilakukan oleh pelaku. Imam
Syafi’i misalnya dalam hal ini membaginya menjadi dua macam,
yaitu diyat ringan yang dikenakan kepada pembunuh tersalah dan
diyat berat yang dikenakan kepada pembunuh sengaja dan mirip
sengaja.453 Demikian pula terhadap pembunuhan dan perlukaan
yang dilakukan di tanah suci. Dalam kasus pembunuhan sengaja
bilamana pelaku dimaafkan, maka menurut jumhur fuqaha, diyat
tersebut dibebankan kepada harta pembunuh, bukan ditanggung
oleh keluarga. Adapun diyat tersalah, diyat tersebut diwajibkan
kepada keluarga terbunuh.454
Pada diyat selain jiwa (diyat perlukaan dan diyat anggota
badan), dalam hal ini terbagi menjadi dua macam, yaitu diyat
pelukaan kepala (syijāj) dan diyat pemotongan anggota badan
(jurḥ). Mengenai pelukaan kepala an-Nawāwī membaginya
menjadi: muḍīḥah (luka sampai tulang), apabila sampai
menimbulkan cacat, maka diyatnya dapat ditambah setengahnya,
hasyīmah (luka sampai pecah tulang), munaqqilah (luka sampai
melesakan tulang), ma’mūmah (luka sampai kulit tengkorak) dan
jā’ifah (pelukaan yang sampai ke bagian dalam).455

452
Haliman, Hukum Pidana..., hlm. 364-365.
453
Ibn Rusyd, Bidāyah al-Mujtahid…, Juz II, hlm. 304-305.
454
Ibid., hlm. 309.
455
Marsum, Jinayah (Hukum Pidana Syariat Islam), (Yogyakarta: Bagian
penerbitan Fak. Hukum UII, 1984), hlm. 136.

| 298 | Hukum Pidana Islam


Selain pelukaan yang dianggap luka berat sebagaimana tersebut
di atas, terdapat juga jenis-jenis pelukaan ringan seperti damī’ah
(luka berdarah), ḥarīsah (terkelupas kulit), badī’ah (tergores
daging), mutalaḥḥimmah (luka sampai daging) dan simḥāq (luka
sampai lapis tulang). Menyangkut semua pelukaan ini, para fuqaha
telah sepakat bahwa hukuman diyat dikenakan pada pelukaan
muḍīḥah yang dilakukan dengan sengaja, sedangkan pelukaan
yang kurang dari muḍīḥah dikategorikan sebagai pelukaan yang
tidak disengaja dan tidak dikenakan diyat, melainkan ḥukūmah
(arsy).456
Menyangkut pemotongan anggota badan, dalam hal ini
terbagi menjadi enam belas macam. Adapun besarnya nilai diyat
yang dikenakan, masing-masing setengah diyat apabila anggota
badan yang tekena jarīmah berpasangan. Anggota badan tersebut
di antaranya telinga, mata, kelopak mata, hidung, lidah, bibir,
tangan, kaki, putting susu, pelir, zakar, pinggul, kemaluan wanita,
kulit dan rahang.
Selanjutnya, dalam ketentuan pembayaran diyat sebagaimana
yang dikemukakan, selalu digunakan pengertian dan istilah
ḥukūmah (arsy) sebagai ganti diyat, yakni ganti rugi menurut yang
ditetapkan berdasarkan pertimbangan atau ijtihad hakim. Dalam
hal ini, ḥukūmah diwajibkan di dalam masalah yang pada dasarnya
tidak terdapat ketentuan kadar mengenai ganti rugi, dan ḥukūmah
(arsy) ini merupakan bentuk lain daripada diyat yang dinisbatkan
kepada diyat jiwa juga dinisbatkan kepada diyat anggota badan
yang terkena jarīmah.457
Dari uraian di atas, dapat dicatat bahwa (di dalam Islam)
seluruh bentuk tindak pidana yang pelakunya terkena beban
kewajiban membayar diyat adalah tindak pidana yang banyak
berkaitan dengan kepentingan jiwa dan anggota badan manusia,

456
Ibn Rusyd, Bidāyah al-Mujtahid…, hlm. 314.
457
Haliman, Hukum Pidana..., hlm. 364-365.

Hukum Pidana Islam | 299 |


yang modus operandinya sering dilakukan dengan sengaja
menampakan motif dan ciri-ciri tertentu (kekerasan).
Namun lebih dari itu, menurut Ahmad Hanafi,458 pada
dasarnya kedua macam bentuk tindak pidana tersebut adalah
satu model dan timbul dari satu motif pula, sebab di dalam kasus
tindak pidana pembunuhan pada umumnya dilakukan dengan
penganiayaan atau pelukaan. Hanya saja sebagian penganiyaan
lainnya dapat disembuhkan, dan yang terakhir ini lazim disebut
penganiyaan, sedangkan terhadap keadaan yang pertama disebut
pembunuhan.
Apabila bentuk tindak pidana tersebut sama, sudah tentu
hukumnya juga sama. Sebaliknya, jika akibat dari kedua macam
bentuk tindak pidana tersebut berbeda, maka besarnya hukuman
juga harus berbeda sesuai dengan besarnya tindak pidana dan
kerugian yang diderita korban.
Mengingat konsep di atas belum tampak dalam RUU KUHP
mendatang, maka ajaran Islam tersebut kirannya cukup signifikan
dan urgen untuk diakomodasikan. Terlebih lagi memperhatikan
perkembangan ilmu victimologi dewasa ini yang kenyataannya
telah menjadi sangat penting sebagai ilmu bantu dari hukum
pidana guna merumuskan kebijakan hukum yang ideal untuk
penanggulangan kejahatan di masa mendatang.

H. Transformasi Pemikiran Tentang Sanksi Tindak Pidana


Pembunuhan dan Pelukaan dalam Konteks Keindonesiaan
Masyarakat Indonesia pada umumnya, ketika berbicara tentang
delik qiṣāṣ, terkesan ngeri, seram dan menakutkan. Jika Islam
dipahami secara tekstual, ini berarti hukum Islam sama saja dengan
konsepsi primitif.459 Tentang hal ini Joseph Schacht mengatakan:

458
Ahamad Hanaf, Asas-Asas…, hlm. 306-307.
459
David De Santilana, Law and Society, (London: Oxford University

| 300 | Hukum Pidana Islam


Hukum pidana Islam merupakan perpaduan dua unsur
secara berdampingan tanpa menjadikan satu kesatuan ilmu yang
universal. Unsur utama adalah ide-ide Arab kuno, seperti konsepsi
balas dendam, klasifikasi kejahatan serta penerapan hukuman ala
primitif, sehingga terasa sebagai sebuah dogma yang menakutkan,
kejam dan kolot. Unsur pertama dimodifikasi dengan ajaran-ajaran
Qur’ani, sedang unsur yang kedua murni dari Al-Qur’`an.460
Hukum Islam ketika menerapakan hukum qiṣāṣ (balas
dendam) bukanlah pertimbangan pembalasan yang setimpal
semata, melainkan menjustifikasi aturan konkrit tentang nilai-
nilai keadilan. Dengan kata lain, tidak boleh memberikan
hukuman melebihi kesalahan seseorang. Spiritualitas hukum qiṣāṣ
diyat sangat memperhatikan aspek korban kejahatan, dan yang
terpenting tidak memanjakan pelaku kejahatan.
Konsep qiṣāṣ dalam surat al-Baqarah ayat 178-179 harus
dipahami sebagai balasan terhadap pelaku pembunuhan sengaja.
Oleh karenanya, harus ditafsirkan bahwa hukum yang terkandung
dalam surat al-Baqarah mengenai qiṣāṣ bersifat umum. Sementara
ketentuan hukum yang terkandung dalam surat an-Nisa’ ayat 92
mengenai pembunuhan karena kesalahan merupakan pengeculian
dari pembunuhan sengaja sebagaimana dalam surat al-Baqarah
ayat 178. Dengan demikian, ayat tersebut kandungan hukumnya
masih muṭlaq belum muqayyad, dan belum bersifat mubayyan,
yakni pembunuhan sengaja.461
As-Sayid Sābiq berkomentar bahwa ayat-ayat Al-Qur’`an
yang berkaitan dengan hukum qiṣāṣ diyat mengandung beberapa
pengertian:

Press, 1952), hlm. 303; Anwar Harjono, Hukum Islam…., hlm. 151.
460
Joseph Scahacht, “The Law” dalam Unity and Variety in Muslim
Civilization, (Chicago: Chicago University Press, 1955), hlm. 67.
461
Haliman, Hukum Pidana …., hlm. 201.

Hukum Pidana Islam | 301 |


1. Hukum qiṣāṣ merupakan bentuk koreksi hukum jahiliyah
yang diskriminatif.
2. Adanya hukum alternatif, yaitu qiṣāṣ, diyat atau maaf.
3. Adanya keringanan dan kemudahan dari Allah tentang
penerapan hukum qiṣāṣ
4. Adanya sistem rekonsiliasi dalam proses pemidanaan antar
para pihak yang bersangkutan (korban atau wali dan pelaku)
5. Dalam qiṣāṣ akan terjamin kelangsungan hidup.462
Muḥammad Syahrūr dalam teori batas maksimal (ḥālah al-
ḥadd al-a’lā) mengatakan bahwa hukum qiṣāṣ dalam Al-Qur’`an
merupakan hukum yang tertinggi, sehingga hakim dalam kasus
tertentu dapat menentukan hukum yang lebih rendah atas
persetujuan si korban atau walinya.463 Hukum diyat (ganti rugi),
ta’zīr berupa penjara atau bahkan pembebasan (maaf) merupakan
hal yang sangat mungkin diterapkan dalam masalah pembunuhan.
Kuncinya, sanksi diterapkan secara kondisional. Apa jenis
pembunuhannya, siapa pelakunya, kenapa terjadi pembunuhan,
hal ini menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
keputusan. Dalam kisah żū nis’ah (orang terikat) diceritakan:

                       
                        

        
             
                      
     
                 
464

462
As-Sayid Sābiq, Fiqh…, Juz II, hlm. 433-434.
463
Muh}ammad Syahrūr, al-Kitāb…, hlm. 458.
464
H. R. Abu Dawud, nomor hadis 3900, dan H. R. at-Tirmiżī, Kitāb
ad-Diyat, nomor hadis 1327

| 302 | Hukum Pidana Islam


Pada masa Nabi ada seorang laki-laki terbunuh. Hal ini
dilaporkan kepada Nabi. Beliau menyerahkan pembunuh
kepada wali si terbunuh. Pembunuh berkata, “Wahai
Rasulullah, demi Allah saya tidak sengaja membunuhnya.”
Nabi bersabda kepada wali si terbunuh, “Ingat,
seandainya perkataan orang ini benar kemudian kamu
membunuhnya, engkau pasti masuk neraka.” Akhirnya
wali si terbunuh melepaskan orang tersebut yang pada
saat itu terikat dengan tali kulit. Sambil menarik talinya ia
keluar. Abu Hurairah berkata, “Orang itu sejak peristiwa
tersebut dijuluki żū nis’ah (orang yang terikat).”
Kisah di atas dapat dipahami bahwa hukum qiṣāṣ bukanlah
hukum mutlak sebagaimana bunyi nash, melainkan sebagai
sebuah hukum yang dapat menjamin kebutuhan masyarakat akan
keadilan. Memang hukum qiṣāṣ (mati) bila ditinjau dari segi
historis, sosiologis dan psikologis, sesungguhnya sah diterapkan
di dunia modern ini, hanya aplikasinya tidak harus dilihat dari
segi dan bentuk semata. Namun bagaimana substansi hukum qiṣāṣ
dapat menjadi rumusan hukum yang mampu menyerap semangat
keadilan, sehingga dapat diterima oleh semua golongan yang ada
dalam masyarakat.465
Mengenai delik qiṣāṣ diyat, pada dataran ini kebijakan
RUU tentang KUHP sesungguhnya dapat dinilai sebagai cermin
kurangnya perhatian hukum pidana Indonesia mendatang
terhadap korban kejahatan khususnya yang bersifat langsung dan
individual. Hal ini karena konsep RUU hanya memposisikan kedua
jenis pidana tersebut dalam kedudukan yang implementasinya
cenderung bersifat sangat fakultatif. Artinya, dijatuhkan
tidaknya kedua pidana tersebut tergantung penuh kepada perlu
tidaknya menurut pertimbangan-pertimbangan hakim sebagai

465
Jimly ash-Shiddieqy, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia,
(Bandung: Angkasa, 1985), hlm. 195.

Hukum Pidana Islam | 303 |


Hal ini karena konsep RUU hanya memposisikan kedua jenis pidana
tersebut dalam kedudukan yang implementasinya cenderung bersifat
sangat fakultatif. Artinya, dijatuhkan tidaknya kedua pidana tersebut
tergantung penuh kepada perlu tidaknya menurut pertimbangan-
pertimbangan hakim sebagai pemilik hak atau kewenangan dari
pemilik hak atau kewenangan dari putusan pemidanaan. Bukan
putusan pemidanaan. Bukan menurut pertimbangan korban
menurut pertimbangan korban kejahatan, betapapun ia sangat
kejahatan, betapapun ia sangat menginginkannya.
menginginkannya.
Menurut Islam, kedua jenis pidana yang dikenal dengan
Menurut Islam, kedua jenis pidana yang dikenal dengan
pidana qis}a>s} dan pidana diyat di atas dikonsepkan sebagai pidana
pidana qiqiṣāṣ dan pidana diyat di atas dikonsepkan sebagai
pokok yang penjatuhannya diserahkan sepenuhnya kepada korban
pidana pokok yang penjatuhannya diserahkan sepenuhnya kepada
atau keluarga korban sebagai pemilik hak. Berdasarkan ini, maka
korbanterlihat
atau keluarga korban sebagai pemilik hak. Berdasarkan
dengan jelas bahwa konsep hukum pidana Islam dapat
ini, maka
dikatakan memiliki jelas
terlihat dengan bahwakuat
komitmen konsep hukum
dalam pidana
masalah Islam
perlunya
dapat dikatakan memiliki
perhatian hukum komitmen
terhadap korbankuat dalamsebagai
kejahatan masalahpihak
perlunya
yang
perhatian hukum terhadap korban kejahatan sebagai pihak
memang langsung, nyata dan pertama kali yang merasakan akibat yang
memang langsung,
suatu kejahatan.nyata dan pertama kali yang merasakan akibat
suatu kejahatan.
Adapun penerapan sanksi qis}a>s} diyat dalam Islam
Adapun penerapan
didasarkan sanksi qiqiṣāṣ diyat dalam Islam didasarkan
pada ayat:
pada ayat:
            

            

 80            
Jimly ash-Shiddieqy, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia,
(Bandung: Angkasa, 1985), hlm. 195.
          

Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu qiṣāṣ dalam


pembunuhan, merdeka
Hai orang-orang yangdengan merdeka, atas
beriman diwajibkan budak
kamudengan
qis}a>s}budak
dalam
dan wanita denganmerdeka
pembunuhan, wanita, dengan
barangmerdeka,
siapa dimaafkan atas qiṣāṣ
budak dengan budakoleh
dan
saudaranya, maka hendaklah ia mengikuti kebaikan dengan cara
wanita dengan wanita, barang siapa dimaafkan atas qis}a>s} oleh
membayar diyat maka
saudaranya, dengan cara yang
hendaklah baik, demikian
ia mengikuti kebaikanitu keringan
dengan cara
dari Allah dan rahmat dan barang siapa yang melampaui batas
membayar diyat dengan cara yang baik, demikian itu keringan dari
setelah itu, maka siksa Allah amat pedih. Bagimu ada hukum qiṣāṣ
Allah dan rahmat dan barang siapa yang melampaui batas setelah itu,
adalahmaka siksa Allah amat
melngsungkan pedih. Bagimu
kehidupan ada hukum
bagi orang qis}a>s}466adalah
yang81berakal.
melngsungkan kehidupan bagi orang yang berakal.

466
al-Baqarah (2): 178-79.
Di dalam ayat tersebut terkandung nilai-nilai humanisme
sebagai berikut:
| 304 |1.Hukum
Hukum Pidana Islam
qis}a>s} diyat merupakan bentuk koreksi hukuman pada
masa jahiliyah yang diskriminatif terhadap persoalan hukum.
Artinya, kabilah yang kuat di antara beberapa kabilah yang ada di
Jazirah Arab akan berpeluang dalam mendominasi keputusan
Di dalam ayat tersebut terkandung nilai-nilai humanisme
sebagai berikut:
1. Hukum qiṣāṣ diyat merupakan bentuk koreksi hukuman pada
masa jahiliyah yang diskriminatif terhadap persoalan hukum.
Artinya, kabilah yang kuat di antara beberapa kabilah yang
ada di Jazirah Arab akan berpeluang dalam mendominasi
keputusan hukum. Suku yang lemah akan selalu tertindas
oleh suku yang kuat dan ketika diterapkan hukum qiṣāṣ tidak
ada keseimbangan hukum antara pembuat kesalahan dan
hukuman yang harus diterima. Ada kisah yang dikutip oleh
Abd Qadīr Awdah sebagai berikut: Salah seorang kabilah Gani
membunuh Syas ibn Zuhair, maka datanglah Zuhair ayah
Syas untuk meminta balasan terhadap suku Gani. Mereka
bertanya: “apa maksud dan kehendakmu atas kematian
anakmu Syas”. Ia menjawab: “ saya akan menuntut tiga hal
atas kematian anakku”. 1) hidupkan kembali anaku Syas, 2)
isi surbanku dengan bintang-bintang yang kau ambil dari
langit dan 3) serahkan semua suku Gani dan akan saya bunuh
sebagai balasan atas kematian anakku Syas.467 Tuntutan ini
akan semakin rawan jika yang menjadi korban adalah suku
terhormat atau kepala suku. Di sisi lain, orang-orang Arab di
waktu itu mempunyai tradisi balas dendam, bahkan terhadap
peritiwa yang telah silam.468 Kalau ada keluarga yang
terbunuh, maka yang dibalas adalah keluarga lain yang tidak
ikut berdosa di samping pembunuh itu sendiri. Islam datang
dengan legitimasi hukum qiṣāṣ dengan prinsip penegakan
nilai-nilai keadilan dan persamaan di muka hukum tanpa
memandang kabilah dan kehormatan.

467
Abd. Qadīr Awdah, at-Tasyrī’…, Juz I, hlm. 271. A. Hanafi, Asas...,
hlm. 87-89.
468
Abd Rahman A. Doi, Tindak Pidana dalam Islam, alih bahasa wadi
Masturi, (Jakarta: Metro Putra, 1992), hlm. 24.

Hukum Pidana Islam | 305 |


2. Menegakkan nilia-nilai keadilan bagi tegaknya supremasi
hukum, baik pada saat merevisi hukum jahiliyah maupun
kebutuhan hukum untuk sepanjang zaman.
3. Perlindungan bagi si korban atau walinya secara langsung.
Misalnya ada kasus pembunuhan semi sengaja atau karena
salah.469
Oleh karena itu, jika hukum pidana Indonesia ke depan benar-
benar dikehendaki sebagai sosok hukum yang victim oriented
(memperhatikan secara proporsional terhadap korban kejahatan),
maka konsep Islam di atas patut dipertimbangkan sebagai bahan
untuk diakomodasikan dalam penyusunan RUU KUHP. Hal ini
mengingat prespektif victimologis dewasa ini memang sudah
menjadi kecenderungan internasional yang ikut mewarnai konsep-
konsep hukum pidana modern, sehingga pembaharuan KUHP
idealnya juga harus beradaptasi dengan kecenderungan hukum
internasional. Sekali lagi, alasan adaptif merupakan salah satu
back ground diadakannya pembaharuan KUHP Indonesia.
Konsep Islam berikutnya tentang pidana yang patut
diimplementasikan dalam pembaharuan KUHP mendatang ialah
yang berkait dengan pandangan mengenai masalah falsafah dan
tujuan pemidanaan. Konsep ini memiliki keterkaitan erat dengan
pemikiran tentang pedoman pemidanaan sebagai imbas atau
penjabaran gagasan.
Dalam masalah di atas, pandangan RUU tampaknya terlalu
berorientasi kepada konsep pemidanaan yang memberi perhatian
terhadap pelaku kejahatan. Akibatnya, perhatian yang seharusnya
diberikan terhadap korban kejahatan khususnya yang bersifat
individual justru menjadi kurang. Hal ini antara lain dapat dilihat
pada konsep tujuan pemidanaan, di mana apabila diperhatikan
merupakan rumusan-rumusan yang sangat “protektif ” dan terkesan
“memanjakan” terhadap terpidana sebagai pelaku kejahatan.

469
Ibid.

| 306 | Hukum Pidana Islam


Misalnya ketentuan yang menyatakan bahwa tujuan pemidanaan
harus dapat memasyarakatkan kembali si terpidana sehingga
menjadi orang yang baik dan berguna, tujuan pemidanaan harus
bisa membebaskan rasa bersalahnya dan tidak boleh menderitakan
dirinya.470 Begitu pula kebijakan mengenai pedoman pemidanaan
baik yang bersifat umum maupun pedoman untuk penerapan
tiap-tiap jenis sanksi pidana berserta konsep-konsep pasal tentang
individualisasi pidana.471 Semuanya itu secara sempurna sangat
mengesankan bangunan hukum pidana Indonesia mendatang yang
sesuai dengan teori reference effect dan rehabilitation offeder.
Dengan teori tersebut sejalan dengan ajaran Islam yang
menghendaki suatu pemidanaan yang dapat memancarkan efek
utilitas secara seimbang baik terhadap pelaku kejahatan, korban
kejahatan (individual) maupun masyarakat luas. Ajaran yang
dimaksud adalah sebagaimana tercermin dalam konsep tentang
fungsi pemidanaan baik yang bersifat jawābir dan zawājir.472
RUU KUHP 2008 sudah berupaya memerinci tentang tindak
pidana yang terkait dengan delik pembunuhan dan pelukaan yang
dalam Islam dihukum qiṣāṣ atau diyat bahkan dapat dimaafkan.

470
Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) RUU KUHP Rancangan Tahun 1999/2000
tentang Tujuan Pemidanaan.
471
Pasal 51-53 tentang Pedoman Pemidanaan secara umum. Perhatikan
pula ketentuan Pasal 64-93 tentang Pedoman Penerapan untuk tiap-tiap jenis
sanksi pidana.
472
Keterangan lebih mendalam tentang falsafah dan tujuan pemidanaan
Islam di atas antara lain dapat dilihat dalam tulisan Ibrahiem Hussein,
“Jenis-jenis Hukuman dalam Hukum Pidana Islam: Reinterpretasi terhadap
Pelaksanaan Aturan”, Artikel sumbangan dalam buku Wacana Baru Fiqih Sosial,
yang diterbitkan dalam rangka memperingati 70 tahun KH. Ali Yafie, (Bandung:
Mizan, 1997), hlm. 100.

Hukum Pidana Islam | 307 |


BAB XXII
TINDAK PIDANA TERHADAP NYAWA
Bagian Kesatu
Pembunuhan
Pasal 572
(1) Setiap orang yang merampas nyawa seorang lain, dipidana
karena pembunuhan dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan terhadap ibu, bapak, istri, suami, atau anaknya,
maka pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (satu per tiga).
(3) Pembunuhan yang diikuti, disertai, atau didahului oleh
suatu tindak pidana yang dilakukan dengan maksud untuk
mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, atau
untuk melepaskan diri sendiri atau peserta lainnya dari
pidana dalam hal tertangkap tangan, atau untuk memastikan
penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan
hukum, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama
20 (dua puluh) tahun.

Pasal 573
Setiap orang yang dengan rencana terlebih dahulu merampas
nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan berencana,
dipidana dengan pidana mati atau dipidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama
20 (dua puluh) tahun.

Pasal 574
(1) Seorang ibu yang merampas nyawa anaknya pada saat atau
tidak lama setelah dilahirkan, karena takut kelahiran anak
tersebut diketahui orang lain, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun.

| 308 | Hukum Pidana Islam


(2) Orang lain yang turut serta melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dipandang sebagai melakukan
pembunuhan.

BAB XXIII
TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN
Pasal 582
(1) Setiap orang yang melakukan penganiayaan, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama
7 (tujuh) tahun atau dipidana denda paling sedikit kategori III
dan paling banyak kategori IV.
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan luka berat, maka pembuat tindak pidana
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun
dan paling lama 9 (sembilan) tahun.
(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan matinya orang, maka pembuat tindak pidana
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun
dan paling lama 12 (dua belas) tahun.
(4) Percobaan melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II.

Memang dalam RUU KUHP tidak ada diktum yang berbunyi


bahwa pelaku pembunuhan dapat dikenakan hukum qiṣāṣ, akan
tetapi di Indonesia dikenal adanya hukuman mati sebagai alternatif
terakhir. Prinsip ini termasuk kolaborasi dengan doktrin maqāīd
al-syarī’ah. Sebagaimana dijelaskan as-Syāṭibī, doktrin maqāṣid
al-syarī’ah menjelaskan bahwa tujuan akhir dari hukum adalah
kemaslahatan atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia.473

473
Muhammad Khalid Mas’ud, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan
Sosial, terj. oleh Yudian W. Asmin, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1995), hlm.
225.

Hukum Pidana Islam | 309 |


| 310 | Hukum Pidana Islam
BAB XIII
JARIMAH TA’ZIR

A. Pengertian dan Dasar Hukum Jarimah Ta’zir


Menurut bahasa, lafaz ta’zir berasal dari kata : azzara yang
berarati man’u wa radda (mencegah dan menolak). Ta’zir
dapat berarti addaba (mendidik) atau azhamu wa waqra yang
artinya mengagungkan dan menghormat.474 Dari berbagai
pengertian, makna ta’zir yang paling relevan adalah al-man’u wa
arraddu (mencegah dan menolak), dan pengertian kedua ta’dib
(mendidik). Pengertian ini sesuai dengan apa yang dikemukakan
oleh Abdul Qadir Audah475 dan Wahbah Zuhaili. Ta’zir diartikan
mencegah dan menolak. Karena ia dapat mencegah pelaku agar
tidak mengulangi perbuatannya. Ta’zir diartikan mendidik karena
ta’zir dimaksudkan untuk mendidik dan memperbaiki pelaku agar
ia menyadari perbuatan jarimahnya kemudian meninggalkan dan
menghentikannya.
Menurut istilah, sebagaiamana yang diungkapkan oleh al-Mawardi
bahwa yang dimaksud dengan ta’zir adalah sebagai berikut:
Ta’zir adalah hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan
dosa (maksiat) yang hukumannya belum ditetapkan oleh
syara’.476

474
Ibrahim Unais, al-Mu’jam al-Wasith, Mesir: Dar at-Turas al-Arabi,
t.t.), hlm. 598.
475
Abd. Qadir Awdah, At-Tasyri’al-Jina’i al-Islami, (Beirut: Dar al-Kitab
al-Arabi, t.t.), I: 81.
476
Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyah, Beirut: Dar al-Fikr, 1966), hlm.
236.

| 311 |
Sementara Wahbah Zuhaili memberikan definisi yang mirip
dengan definisi Al-Mawardi :

Ta’zir menurut syara’ adalah hukuman yang ditetapkan atas


perbuatan maksiat atau jinayah yang tidak dikarenakan had
dan tidak pula kifarat.477

Jadi dengan demikian jarimah ta’zir suatu jarimah yang


hukumannya diserahkan kepada hakim atau penguasa. Hakim
dalam hal ini diberi kewenangan untuk menjatukan hukuman bagi
pelaku jarimah ta’zir.478Dari definisi-definisi yang dikemukakan
di atas, jelaslah bahwa ta’zir adalah suatu istilah untuk hukuman
atas jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh
syara’. Di kalangan fuqaha, jarimah-jarimah yang hukumnya
belum ditetapkan oleh syara’ dinamakan dengan jarimah ta’zir.
Jadi, istilah ta’zir bisa digunakan untuk hukuman dan bisa juga
untuk jarimah (tindak pidana).479
Dari definisi tersebut, juga dapat dipahami bahwa jarimah
ta’zir terdiri atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak
dikenakan had dan tidak pula kifarat, dengan demikian, inti dari
jarimah ta’zir adalah perbuatan maksiat. Adapun yang dimaksud
dengan maksiat adalah meninggalkan perbuatan yang diwajibkan
dan melakukan perbuatan yang diharamkan (dilarang).480 Para

477
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adilatuhu,Beirut: Dar al-
Fikr, 1989), VI: 197.
478
Marsum, Jarimah Ta’zir: Perbuatan Dosa Dalam Hukum Pidana
Islam,(Yogyakarta: Fak Hukum UII, 1988), hlm. 1.
479
Ahmad Wardih Muslih, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika,
2005), hlm. 24
480
Abd Aziz Amir, At-Ta’zir fi asy-Syari’ah al-Islamiyyah, Beirut: Dar al-
Fikr al-Arabi, 1979), hlm. 83.

| 312 | Hukum Pidana Islam


fuqaha memberikan contoh meninggalkan kewajiban seperti
menolak membayar zakat, meninggalkan salat fardhu, enggan
membayar utang padahal mampu, mengkhianati amanat, seperti
menggelapkan titipan, memanipulasi harta anak yatim,hasil waqaf
dan lain sebagainya. Sebagai contoh melakukan perbuatan yang
dilarang, seperti mencium perempuan lain bukan istri, sumpah
palsu. Penipuan dalam jual beli, melakukan riba, melindungi dan
menyembunyikan pelaku kejahatan, memakan barang-barang
yang diharamkan, seperti darah, bagkai, dan sebagainya. Contoh
di atas termasuk dalam kategori jarimah ta’zir.
Disamping itu juga hukuman ta’zir dapat dijatuhkan apabila
hal itu dikehendaki oleh kemaslahatan umum., meskipun
perbuatannya bukan maksiat, melainkan pada awalnya mubah.
Perbuatan-perbuatan yangtermasuk kelompok ini tidak bisa
ditentukan, karena perbuatan tersebut tidak diharamkan karena
zatnya, melainkan karena sifatnya.481 Apabila sifat tersebut ada
maka perbuatannya diharamkan, dan apabila sifat tersebut
tidak ada maka perbuatannya mubah. Sifa yang mejadi alasan
(illat) dikenakannya hukuman atas perbuatanya tersebut adalah
mambahayakan atau merugikan kepetingan umum. Apabila dalam
suatu perbuatan terdapat unsur merugikan kepentingan umum
maka perbuatan tersebut dianggap jarimah dan pelaku dikenakan
hukuman. Akan tetapi apabila dalam perbuatan tersebut bukan
jarimah dan pelaku tidak dikenakan hukuman.
Penjatuhan hukuman ta’zir untuk kepentingan umum ini
didasarkan kepada tindakan Rsasulullah saw, yang menahan
seorang laki-laki yang diduga mencuri unta. Setelah diketahui
ternayta ia tidak mencurinya. Rasullullah saw melepaskannya.
Analisis terhadap tindakan Rasulullah saw, tersebut adalah bahwa
penahanan merupakan hukuman ta’zir, sedangkan hukuman
hanya dapat dikenakan terhadap suatu jarimah yang telah dapat

481
Ibid. hlm. 250.

Hukum Pidana Islam | 313 |


dibuktikan. Apabila pada peristiwa tersebut tidak terdapat
unsure pidana maka artinya Rasullullah mengenakan hukuman
penahanan (penjara) hanya karena tuduhan semata-mata (tuhmah).
Hal ini mengandung arti bahwa Rasulullah saw membolehkan
penjatuhan hukuman terhadap seseorang yang berada dalam
posisi tersangka, meskipun ia tidak melakukan perbuatan yang
dilarang. Tindakan yang diambil oleh Rasululah saw tersebut
dibenarkan oleh kepentingan umum, sebab membiarkan si
tersangka hidup bebas sebelum dilakukan penyelidikan tentang
kebenaran tuduhan terhadap dirinya bias mengakibatkan ia lari,
dan bias juga menyebabkan dijatuhkannya vonis yang tidak benar
terhadap dirinya, atau menyebabkan tidak dapat dijalankannya
hukuman yang telah diputuskan.
Dari uraian tersebut, dapat diambil intisari bahwa jarimah
ta’zir dibagi kepada tiga bagian, yaitu :
a. Ta’zir karena melakukan perbuatan maksiat;
b. Ta’zir karena melakukan perbuatan yang membahayakan
kepentingan umum;
c. Ta’zir karena melakukan pelanggaran ( mukhalafah).
Disamping itu, dilihat dari segi hak yang dilanggarnya,
jarimah ta’zir dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu
1. Jarimah ta’zir yang menyinggung hak Alah;
2. JArimah ta’zir yang menyinggung hak perorangan
(individu).
Adapun yang dimaksud dengan jarimah ta’zir yang
menyinggung hak allah adalah semua perbuatan yang berkaitan
dengan kepentingan dan kemaslahatan umum, Misalnya membuat
kerusakan di muka bumi, pencurian yang tidak memenuhi syarat,
mencium wanita lain yang bukan istri, penimbunan bahan-bahan
pokok, penyelundupan, dan lain-lain. Sedangkan yang dimaksud
dengan jarimah ta’zir yang menyingung hak perorangan adalah
setiap perbuatan yang mengakibatkan kerugian kepada orang

| 314 | Hukum Pidana Islam


mengakibatkan kerugian kepada orang tertentu, bukan orang
banyak. Contohnya seperti penghinaan, penipuan, pemukulan,
saksi palsu, mencaci maki agama orang lain, menimbun
tertentu, bukanmakanan,
orang banyak. Contohnya
dan lain-lain. 9 seperti penghinaan,
penipuan, pemukulan, saksi palsu, mencaci maki agama orang
lain, menimbun makanan, dan lain-lain.482
B. Sumber Hukum Jarimah Ta’zir
Pada jarimah ta’zir al-Quran dan al-Hadis tidak menerapkan
B. Sumber Hukumsecara Jarimah Ta’zir
terperinci, baik dari segi bentuk jarimah maupun
Pada jarimah ta’zir al-Quran dan al-Hadis
hukum tidak menerapkansanksi bagi
10
hukumannya. Dasar disyariatkannya
secara terperinci, baik dari segi bentuk jarimah
pelaku jarimah ta’zir adalah at-ta’zir yaduru maupun
ma’a maslahah
483
Dasar hukum
hukumannya. artinya hukumdisyariatkannya sanksi bagi
ta’zir didasarkan pelaku
pada pertimbangan
jarimah ta’zir kemaslahatan
adalah at-ta’zir yaduru ma’a maslahah artinya
dengan tetap mengacu kepada prinsip keadilan
hukum ta’zir didasarkan pada
dalam masyarakat. pertimbangan
11 kemaslahatan dengan
tetap mengacu kepada prinsip keadilan dalam12masyarakat.
484

Menurut Syarbini al-Khatib , bahwa ayat al-Quran yang
Menurut Syarbini al-Khatib485, bahwa ayat al-Quran yang
dijadikan landasan
dijadikanadanya jarimah
landasan adanyata’zir adalahta’zir
jarimah Quran suratQuran
adalah al- surat al-
Fath ayat 8-9 :
Fath ayat 8-9 :

     

Sesungguhnya kami mengutus


Sesungguhnya kamu kamu
kami mengutus sebagai saksi, saksi,
sebagai pembawa
pembawa berita
berita gembira gembira
dan pemberi peringatan,
dan pemberi peringatan,
���
���



Supaya kamu
Supaya sekalian
kamu
9
Ahmad beriman
Wardi
sekalian kepada
Muslih,
beriman Allah dan
Hukum…hlm.
kepada AllahRasul-Nya,
251;
danMarsum, Jarimah
Rasul-Nya,
menguatkan
Supaya (agama)Nya,
Ta’zir, hlm. 3. sekalian
kamu membesarkan-Nya.
beriman kepadadan bertasbih
Allah dan Rasul-Nya,
menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya. dan bertasbih kepada-
kepada-Nya di10waktu
menguatkan pagi dan petang.
(agama)Nya, membesarkan-Nya. dan bertasbih kepada-
Nya di waktu pagiMubarak,
Jaih dan petang.
Kaidah-kaidah Fiqh Jinayah, (Bandung: Pustaka
Nya
Bani di waktu2004),
Quraisy, pagi dan petang.
hlm.47.
482
Ahmad Wardi Muslih, Hukum…hlm. 251; Marsum, Jarimah Ta’zir,
hlm. 3. Dari11terjemahan tersebutReaktualisasi
Makhrus Munajat, di atas A. Hasan menterjemahkan:
Pemikiran Hukum Pidana
JaihIslam,
483 DariKaidah-kaidah
Mubarak, terjemahan Fiqh
tersebut di (Bandung:
Jinayah, atas A. Hasan menterjemahkan:
Pustaka Bani
watu’aziruhu sebagaimana
Yogyakarta: Cakrawala, dikutop
2006), oleh14 Haliman
hlm. dengan: dan
Quraisy, 2004), hlm.47.
watu’aziruhu sebagaimana dikutop oleh Haliman dengan: dan
484 supaya kamu teguhkan (agamanya) dan untuk mencapai tujuan ini,
Makhrus Munajat, Reaktualisasi Pemikiran Hukum Pidana Islam,
supaya 12kamu teguhkan
Syarbini (agamanya)
al-Khatib, Mughni dan untuk mencapai tujuan ini,
al-Muhtaj,…hlm.191.
Yogyakarta: Cakrawala,
satu 2006), ialah
diantaranya hlm. 14dengan mencegah musuh-musuh Allah,
485 satu al-Khatib,
Syarbini diantaranya ialah
Mughni dengan mencegah musuh-musuh13 Allah,
al-Muhtaj,…hlm.191.
sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Syarbini al-Khatib. 13
sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Syarbini al-Khatib.
Adapun Hadis Yang dijadikan dasar adanya jarimah
Adapun Hadis Yang dijadikan dasar adanya jarimah
Hukum Pidana Islam | 315 |
ta’zir adalah sebagai berikut:
ta’zir adalah sebagai berikut:
1. Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Bahz ibn Hakim
1. Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Bahz ibn Hakim
Dari terjemahan tersebut di atas A. Hasan menterjemahkan:
watu’aziruhu sebagaimana dikutop oleh Haliman dengan: dan
supaya kamu teguhkan (agamanya) dan untuk mencapai tujuan
ini, satu diantaranya ialah dengan mencegah musuh-musuh Allah,
sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Syarbini al-Khatib.486
Adapun Hadis Yang dijadikan dasar adanya jarimah ta’zir
adalah sebagai berikut:
1. Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Bahz ibn Hakim

Dari Bahz ibn Hakim dari ayahnya dari kakeknya, bahwa


Nabi saw. Menahan seseorang karena disangka melakukan
kejahatan.487

2. Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abi Burdah

Dari Abi Burdah Al-Anshari ra. Bahwa ia mendengar Rasulullah


saw. Bersabda : “Tidak boleh dijilid di atas sepuluh cambuk
kecuali di dalam hukuman yang telah ditentukan oleh Allah
Ta’ala (Muttafaq alaih)488

486
Haliman, Hukum Pidana…hlm. 459.
487
Hadis diriwayatkan oleh Abu Dawud, Turmudzi, Nasa’i, dan
Baihaqi, serta dishahihkan oleh Hakim).lihat as-Sayid Sabiq, Fiqh as-
Sunnah,Beirut: Dar al-Fikr, 1990), II:497.
488
Al-Kahlani, Subul as-Salam, Mesir: Dar al-Maktabah al-Mustafa al-

| 316 | Hukum Pidana Islam


3. Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah

Dari Aisyah ra. Bahwa Nabi saw bersabda : “Ringankanlah


hukuman bagi orang-orang yang tidak pernah melakukan
kejahatan atas perbuatan mereka, kecuali dalam jarimah-
jarimah hudud.489

Secara umum ketiga hadis tersebut menjelaskan tentang eksistensi


ta’zir dalam syariat Islam. Hadis pertama menjelaskan tentang
tindakan Nabi yang menahan seseorang yang diduga melakukan
tindak pidana dengantujuan untuk memudahkan boleh lebih dari
sepuluh kali cambukan. Untuk membedakan dengan jarimah
hudud. Dengan batas hukuman ini dapatlah diketahui mana yang
termasuk jarimah hudud dan mana yang termasuk jarimah ta’zir.
Mnurut Al-Kahlani, para ulama sepakat bahwa yang termasuk
jarimah hudud adalah zina, pencurian, minum khamr, hirabah,
qadzaf, murtad, dan pembunuhan. Sealin dari jarimah-jarimah
tersebut, termasuk jarimah ta’zir meskipun ada juga beberapa
jarimah yang diperselisihkan oleh para fuqaha, seperti liwath
(homoseksual), lesbian, dan lain-lain. Sedang hadis ketiga engatur
tentang teknis pelaksanaan hukuman ta’zir yang bias berbeda
antara satu pelaku dengan pelaku lainnya, tergantung kepada
status mereka dan kondisi-kondisi lain yang menyertainya.

Halabi, 1960), hlm.37.


489
Al-Kahlani, Subul as-Salam, Mesir: Dar al-Maktabah al-
Mustafa al-Halabi, 1960), hlm.38. Hadis riwayat Ahmad, Abu Dawud,
Nasa’i dari Aisyah.

Hukum Pidana Islam | 317 |


Adapun tindakan sahabat yang dapat dijadikan dasar
hokum untuk jarimah dan hukuman ta’zir antara lain tindakan
Sayidina Umar ibn Khattab ketika ia melihat seseorang yang
menelentangkan seekorr kambing untuk disembelih, kemudian
ia mengasah pisaunya. Khalifah Umar memukul orang tersebut
dengan cemeti dan ia berkata : “Asah dulu pisau itu!”.

C. Perbedaan Antara Jarimah Hudud dan Ta’zir


Jarimah hudud adalah jarimah yang hukumannya telah
ditentukan secara definitif oleh syara baik jenis jarimah maupun
sanksinya.490 Sedangkan jarimah ta’zir adalah jarimah yang
hukumannya belum ditentukan oleh syara’ dan diserahkan kepada
pemerintah (ulil amri) untuk menetapkannya.491 Adapun jarimah
ta'zir dapat terjadi pada peristiwa-peristiwa sebagai berikut: a.
Perbuatan yang identik dengan jarimah hudud atau qisas tetapi
ada unsur syubhat. b. Tindak pidana yang dilarang oleh nas
tetapi tidak ditentukan hukumannya, dan c. Bentuk kejahatan
dan hukumannya tidak diditentukan oleh nas.492 Dari pengertian
ini jelaslah bahwa antara hudud dan ta’zir terdapat beberapa
perbedaan. Sayid Sahid mengemukakan perbedaan tersebut
sebagai berikut.
1. Hukuman hudud diberlakukan secara sama untuk semua
orang (pelaku), sedangkan hukumannya ta’zir pelaksanannya
dapat berbeda antara satu pelaku dengan pelaku lainnya,
tergantung keada perbedaan kondisi masing-masing pelaku.493
Apabila seseorang yang terhormat dan baik-baik, suatu katika

490
Abd Qadir Awdah, At-Tasyri al-Jina’i..I: 129; Makhrus Munajat,
Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Yogyakarta: Lougung Pustaka, 2005),
hlm.4
491
Ibid.
492
Abd Qadir Awdah, At-Tasyri al-Jina’i..I: 15
493
As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah,..II: 498.

| 318 | Hukum Pidana Islam


tergelincir melakukan tindak pidana ta’zir maka kondisinya
itu dapat dijadikan pertimbangan untuk membebaskannya
atau menjatuhkan hukuman lebih berat.494 Hal ini didasarkan
kepada hais Nabi :

Dari Aisyah ra. Bawa Nabi saw bersabda : “Ringankanlah


hukuman untuk orang yang baik-baik atas kesalahan mereka
kecuali dalam jarimah hudud495

2. Dalam jarimah hudud tidak berlaku pembelaan (syafa’at)


dan pengampunan apabila perkaranya sudah dibawa ke
pengadilan. Sedangkan untuk jarimah ta’zir kemungkinan
untuk memberikan pengampunan terbuka lebar, baik oleh
individu maupun ulil amri.
3. Orang yang mati karena dikenakan hukuman ta’zir, berhak
memperoleh ganti rugi. Sedangkan untuk jarimah hudud hal
ini tidak berlaku. Akan tetapi menurut Imam Malik dan Imam
Hanafi, kematian akibat hukuman ta’zir tidak mengakibatkan
ganti rugi apa pun, karena dalam hal ini ta’zir dan had itu
sama. Alasan pendapat pertama adalah tindakan Khalifah
Umar yang menggertak seorang wanita. Wanita itu kemudian
merasa perutnya mulas (sakit) dan janinnya gugur dalam
keadaan mati. Khalifah Umar menanggung dan membayar
diat janin tersebut.496

494
As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah…II: hlm. 498; Ahmad Wardi
Muslih,… Hukum Pidana Islam, hlm.254.
495 al-Kahlani, Subul as-Salam, hlm. 38. H.R. Imamm Ahmad, Abu
Dawud, Nasa’i dari Aisyah.
496
Ahmad Wardi Muslih, Hukum…254.

Hukum Pidana Islam | 319 |


Menurut H.A. Djazuli yang mengutip pendapat Ibn Abidin
di samping perbedaan yang telah disebutkan diatas masih ada
perbedaan lain, yaitu hukuman had tidak dapat dikenakan keapda
anak kecil, karena syarat untuk menjatuhkan hukuman had
adalah pelaku harus sudah balig, sedangkan ta’zir itu hukuman
yang bersifat pendidikan, dan mendidik anak kecil hukumannya
boleh. Dengan demikian mengecualikan hukuman had bagi anak
kecil adalah sesudah sesuai dengan prinsip peradilan Islam, yaitu
menghindari hukuman had karena adanya unsur syubhat dan
prinsip seoarang imam (hakim) lebih baik salah memaafkan dari
pada salah menjatuhkan hukuman.497

D. Jenis-jenis Jarimah Ta’zir


Jarimah ta’zir tidak dijelaskan tentang macam dan sanksinya
oleh nas, melainkan hak ulil amri dan hakim dalam setiap
ketetapannya. Maka jarimah ta’zir dapat berupa perbuatan
yang menyinggung hak Allah atau hak individu. Jarimah ta’zir
adakanya melakukan perbuatan maksiat dan pelanggaran yang
dapat membahayakan kepenetingan umum.
Adapun pembagian jarimah ta’zir menurut Abdul Qadir
Awdah ada tiga macam:
1. Jarimah ta’zir yang berasal dari jarimah-jarimah hudud atau
qishash, tetapi syarat-syaratnya tidak terpenuhi, atau ada
syubhat, seperti pencurian yang tidakmencapai nishab, atau
oleh keluarga sendiri.
2. JArimah ta’zir yang jenisnya disebutkan dalam nas syara’
tetapi hukumannya belum ditetapkan, seperti riba, suap, dan
mengurangi takaran dan timangan.
3. Jarimah ta’zir yang baik jenis mauun sanksinya belum ditentukan
oleh syara’. Jenis ketiga ini sepenuhnya diserahkan kepada ulil

497
Jaih Mubarak, Kaidah-Kaidah..hlm. 62.

| 320 | Hukum Pidana Islam


amri, seperti pelanggaran disiplin pegawai pemerintah.498
Abdul Aziz Amir membagi jarimah ta’zir secara rinci
kepada beberapa bagian, yaitu :
1) Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan pembunuhan;
2) Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan pelukaan;
3) Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan kejahatan terhadap
kehormatan dan kerusakan akhlak;
4) Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan harta;
5) Jrimah ta’zir yang berkaitan dengan kemaslahatan
individu;
6) Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan keamanan
umum.499

1. Jarimah Ta’zir yang Berkaitan dengan Pembunuhan


Pembunuhan diancam dengan hukuman mati. Apabila
hukuman mati (qishash) dimaafkan amaka hukumannya diganti
dengan diat. Apabila hukuman diat dimaafkan juga maka ulil amri
berhak menjatuhkan hukuman ta’zir apabila hal itu dipandang
lebih maslahat. Hal ini didasarkan pada ayat:

Abd Qadir Awdah, at-Tasyri al-Jina’I al-Islami, ..I: 15.


498

499
Abd Aziz Amir, at-Ta’zir fi asy-Syari’ati al-Islamiyyah, Mesir: Dar al-
Bab al-Halabi wa Awladuhu, t.t. hlm. 91.

Hukum Pidana Islam | 321 |


menjatuhkan hukuman ta’zir apabila hal itu dipandang lebih
maslahat. Hal ini didasarkan pada ayat:

          

           

           

          

    


Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka
qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh;
dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita
orang Maka
dengan wanita. merdekabarangsiapa
dengan orang yang merdeka,
mendapathamba suatu dengan
pema'afan hamba,
dari saudaranya,
dan wanita hendaklah
dengan wanita.(yang mema'afkan)
Maka barangsiapa yang
mengikuti mendapat
dengan cara
suatu yang baik,dari
pema'afan dan hendaklah
saudaranya, (yang (yang
hendaklah
diberi ma'af) membayar mengikuti
mema'afkan) (diat) kepada yang cara
dengan memberiyangma'af
baik, dan
dengan carahendaklah
yang baik(yang
(pula). yang demikian itu adalah suatu
diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang
keringananmemberi
dari Tuhan kamu
ma'af dengandancara
suatuyangrahmat. barangsiapa
baik (pula). yang demikian
yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang
itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu
sangat pedih
rahmat. barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu,
179. DanMaka dalam qishaash
baginya siksaitu adasangat
yang (jaminan
pedihkelangsungan)
hidup bagimu,
179. Hai
Danorang-orang yangituberakal,
dalam qishaash supaya kelangsungan)
ada (jaminan kamu
bertakwa. hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu
bertakwa.
Maksud ayat tersebut dalam kaitannya dengan hukum
ta’zir adalah, bahwa asal hukum qishaash ialah mengambil
pembalasanMaksud ayat tersebut
yang sama. qishaashdalam
itu kaitannya dengan hukum
tidak dilakukan, bila ta’zir
yang membunuh mendapat kema'afan dari ahli waris yang
adalah, bahwa asal hukum qishaash ialah mengambil
pembalasan yang sama. qishaash itu tidak dilakukan, bila

| 322 | Hukum Pidana Islam


terbunuh yaitu dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar.
pembayaran diat diminta dengan baik, umpamanya dengan
tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh
hendaklah membayarnya dengan baik, umpamanya tidak
menangguh-nangguhkannya. bila ahli waris si korban sesudah
Tuhan menjelaskan hukum-hukum ini, membunuh yang
bukan si pembunuh, atau membunuh si pembunuh setelah
menerima diat, Maka terhadapnya di dunia diambil qishaash
dan di akhirat dia mendapat siksa yang pedih.

Kasus lain yang berkaitan dengan pembunuhan yang diancam


dengan ta’zir adalah percobaan pembunuhan apabila
percobaan tersebut dapat dikategorikan kepada maksiat.
Seperti orang mau meracun orang lain tetapi ternyata orang
tersbut tidak mati akibat kekebalan pada tubuhnya. Maka
perbuatan orang tersebut tidak bisa dikenakan hukum qisas
melainkan hukum ta’zir. Karena sikap ini masuk pada kriteria
asy-syuru fi al-jarimah al-mustahilah.

2. Jarimah Ta’zir yang Berkaitan dengan Pelukaan


Menurut Imam Malik, hukuman ta’zir dapat digabungkan
dengan qishash dalam jarimah pelukaan, karena qishash
merupakan hak adami, sedangkan ta’zir sebagai imbalan atas hak
masyarakat. Di samping itu, ta’zir juga dapat dikenakan terhadap
jarimah pelukaan apabila qishashnya dimaafkan atau tidak bias
dilaksanakan karena suatu sebab yang dibenarkan oleh syara’.500
Hal didasarkan pada penjelasan surat al-Maidah ayat 45 oleh as-
Sayyid Sabiq;

500
A. Djazuli, Fiqh Jinayah: Upaya Penanggulangan Kejahatan berdasarkan
Syari’at Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1994), hlm. 27; Ahmad Wardi Muslih,
Hukum hlm. 256.

Hukum Pidana Islam | 323 |


dilaksanakan karena suatu sebab yang dibenarkan oleh syara’.27
Hal didasarkan pada penjelasan surat al-Maidah ayat 45 oleh as-
Sayyid Sabiq;

         

          

            

Dan
Dan kami
kami Telah
Telah tetapkan
tetapkan terhadap
terhadap merekamereka di dalamnya
di dalamnya (At
(At Taurat)
Taurat) bahwasanya
bahwasanya jiwa
jiwa (dibalas) (dibalas)
dengan jiwa,dengan jiwa, mata
mata dengan mata, dengan
hidung
mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga,
dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka gigi
dengan
luka (pun)gigi, dan lukabarangsiapa
ada kisasnya. luka (pun)yangada melepaskan
kisasnya. barangsiapa
(hak kisas)
yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan
nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. hak
itu (menjadi)
barangsiapa penebus dosa
tidak memutuskan perkarabaginya. barangsiapa
menurut apa tidak
yang diturunkan
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan
Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. Allah,
Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.

Ayat
Ayatiniiniadaadaindikasi bahwa
indikasi bahwasetiap manusia
setiap mempunyai
manusia hak hidup
mempunyai hak
dan tidakdan
hidup seorangpun yang bolehyang
tidak seorangpun mengganggu hak hidup orang
boleh mengganggu lain,
hak hidup
sehingga jika terjadi
orang lain, perbuatan
sehingga yangperbuatan
jika terjadi menyebabkan yanghilangnya nyawa
menyebabkan
orang lain, meskipun dilakukan dengan ketidak
hilangnya nyawa orang lain, meskipun dilakukan dengan sengajaan, maka
ketidak sengajaan,
pelakunya tidak dibiarkanmaka pelakunya
begitu tidak dibiarkan
saja melainkan begitu
suruh membayar
saja melainkan suruh membayar ganti rugi. Demikian
ganti rugi. Demikian halnya dalam hal pelukaan, jika pelaku halnya
dalam
dalam alfa
keadaan hal pelukaan, jikaada
(khatta) tetap pelaku
diyat dalam keadaan
atau ganti alfa (khatta)
rugi. Ganti rugi ini
tetap ada diyat
merupakan jenis atau ganti yang
hukuman rugi. Ganti
bersifatrugi ini merupakan
badaliyyah jenis
(pengganti)
hukuman yang bersifat badaliyyah (pengganti) yakni dari
yakni dari hukuman pokok qisas berubah menjadi hukuman diyat
hukuman
(ganti rugi).28pokok qisas berubah menjadi hukuman diyat (ganti
rugi).501
27
A. Djazuli, Fiqh Jinayah: Upaya Penanggulangan Kejahatan
3. Jarimah Ta’zir
berdasarkan Syari’atyang
Islam,Berkaitan dengan Press,
(Jakarta: Rajawali Kejahatan
1994), terhadap
hlm. 27;
Ahmad Wardi Muslih, Hukum hlm. 256.
Kehormatan dan Kerusakan Akhlak
Karimah ta’zir macam yang ketiga ini berkaitan dengan

501
As-Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, ..II: 432.

| 324 | Hukum Pidana Islam


syubhat dalam pelakunya, perbuatannya, atau tempat (objeknya).
Demikian pula kasus percobaan zina dan perbautan-peruatan prazina,
seperti meraba-raba, berpelukan dengan wanita yang bukan istrinya,
jarimah zina, menuduh zina, dan penghinaan. Di antara kasus
tidur bersama
perzinaantanpa
yanghubungan seksual,
diancam dengan danadalah
ta’zir sebagainya.
perzinaan yang
tidak memenuhi
Penuduhan zinasyarat
yangyangdikategorikan
dikenakan hukuman kepada had,ta’zir
atau adalah
terhdapat syubhat dalam pelakunya, perbuatannya, atau tempat
apabila (objeknya).
orang yang dituduh
Demikian itu bukan
pula kasus percobaan orang
zina dan muhshan.
perbautan-Kritesia
muhshan peruatan
menurut prazina,
paraseperti
ulama meraba-raba, berpelukan
adalah berakal, dengan
balig, wanita
Islam, dan iffah
yang bukan istrinya, tidur bersama tanpa hubungan seksual, dan
(bersih)sebagainya.
dari zina. Apabila seseorang tidak memiliki syarat-syarat
tersebt maka ia termasuk
Penuduhan zina yangghair muhshan.kepada
dikategorikan Termasuk juga kepada
ta’zir adalah
apabila orang yang
ta’zir,penuduhan dituduh sekelompok
terhadap itu bukan orang muhshan.
orang yang Kritesia sedang
muhshan menurut para ulama adalah berakal, balig, Islam, dan
berkumpul dengandari
iffah (bersih) tuduhan zina,seseorang
zina. Apabila tanpa tidak
menjelaskan
memiliki syarat- orang yang
syarat
dimaksud. tersebt maka
Demikian ia termasuk
pula tuduhanghairzinamuhshan.
dengan Termasukkinayah juga (sindiran),
kepada ta’zir,penuduhan terhadap sekelompok orang yang sedang
menurt berkumpul
pendapat dengan
Imam tuduhan
Abu Hanifah termasuk kepada ta’zir, bukan
zina, tanpa menjelaskan orang yang
hudud. dimaksud. Demikian pula tuduhan zina dengan kinayah (sindiran),
menurt
Dari segi pendapat Imam Abu
substansi dan Hanifah termasuk
eksistensi, ini kepada
adalah ta’zir,
suatu jenis
bukan hudud.
jarimah hudud yangsubstansi
Dari segi mengandung unsur ini
dan eksistensi, syubhat
adalah dan suatu dalam
jenis Islam
syubhatjarimah
harushudud yang mengandung
dihindari penerapan unsurhukumhad
syubhat dan dalam Islam ta’zir
melainkan
syubhat harus dihindari penerapan hukumhad melainkan ta’zir
sebagaimana hadis Nabi:
sebagaimana hadis Nabi:
502   
29

Hindari hukuman had jika ada unsur keraguan.


28
Adapun Sabiq,
As-Sayid tuduhan-tuduhan selain tuduhan
Fiqh as-Sunnah, zina digolongkan
..II: 432.
kepada penghinaan dan statusnya termasuk kepada ta’zir, seperti
tuduhan mencuri, mencaci maki, dan sebagainya. Panggilan-

502
At-Turmudzi, Sunan at-Tirmidzi, Mesir: Dar al-Bab al-Mustafa al-
Halabi, tt,), IV:33

Hukum Pidana Islam | 325 |


Hindari hukuman had jika ada unsur keraguan.
Adapun tuduhan-tuduhan selain tuduhan zina digolongkan kepada
penghinaan dan statusnya termasuk kepada ta’zir, seperti tuduhan
mencuri, mencaci maki, dan sebagainya. Panggilan-pangilan seperti
pangilan
wahaiseperti wahaimunafik,
kafir, wahai kafir, wahai
wahaifasik,
munafik, wahai fasik,
dan semacamnya dan
termasuk
semacamnya termasuk
penghinaan yang penghinaan yang dikenakan
dikenakan hukuman hukuman
ta’zir. Karena ta’zir.
panggilan
Karenatersebut
panggilan tersebut
termasuk termasuk
perbuatan perbuatan
yang dilarang olehyang
Allahdilarang oleh
sebagaimana
Allah sebagaimana
ditegaskan dalamditegaskan dalam
surat al-Hujurat surat
ayat al-Hujurat ayat 11-12
11-12

              

              

            

             

           

         

11. Hai11. orang-orang


Hai orang-orangyang beriman,janganlah
yang beriman, janganlah sekumpulan
sekumpulan orang
orang laki-laki
laki-lakimerendahkan
merendahkan kumpulan
kumpulan yang yang
lain, lain,
boleh boleh jadi
jadi yang
yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula
ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan
sekumpulan perempuan
perempuan merendahkan
merendahkan kumpulan kumpulan lainnya,
lainnya, boleh jadi boleh
yang
jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela
direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu
dirimusendiri[1409]
sendiri[1409] dandanjangan
jangan memanggil
memanggil dengan
dengan gelaran yang
gelaran yang
mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah
mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) (panggilan)
yang buruk sesudah iman[1410] dan barangsiapa yang tidak
bertobat, Maka 29
mereka Itulah orang-orang yang zalim.
At-Turmudzi, Sunan at-Tirmidzi, Mesir: Dar al-Bab al-Mustafa
al-Halabi, tt,), IV:33
12. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-
sangka (kecurigaan), Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa.
dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah
menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu
yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka

| 326 | Hukum Pidana Islam


tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang.

[1409] Jangan mencela dirimu sendiri maksudnya ialah mencela


antara sesama mukmin karana orang-orang mukmin seperti satu
tubuh.
[1410] panggilan yang buruk ialah gelar yang tidak disukai oleh
orang yang digelari, seperti panggilan kepada orang yang sudah
beriman, dengan panggilan seperti: Hai fasik, Hai kafir dan
sebagainya.

4. Jarimah Ta’zir yang Berkaitan dengan Harta


Jarimah yang berkaiatan dengan harta adalah jarimah
pencurian dan perampokan. Apabila kedua jarimah tersebut
syarat-syaratnya telah dipenuhi maka pelaku ddikenakan hukuman
had. Akan tetapi, apabila syarat untuk dikenakannya hukuman
had tidak terpenuhi maka pelaku tidak dikenakan hukuman
had, melainkan hukuman ta’zir. Jarimah yang termasuk jenis ini
antara lain seperti percobaan pencurian, pencopetan, pencurian
yang tidak mencapai batas nisbah, meng-ghasab, dan perjudian.
Termasuk juga ke dalam kelompok ta’zir, pencurian karena adanya
syubhat, seperti pencurian oleh keluarga dekat.503
Jarimah perampokan yang persyaratannya tidak lengkap,
juga termasuk ta’zir. Demikian pula apabila terdapat syubhat
baik dalam pelaku maupun perbuatanya. Contohnya seperti
perampokan di mana salah seorang pelakunya adalah anak yang
masih di bawah umur atau perempuan menurut Hanafiyah.

503
Ahmad Wardih Muslih, Hukum …hlm. 257.

Hukum Pidana Islam | 327 |


5. Jarimah Ta’zir yang Berkaitan dengan Kemaslahatan Individu
Jarimah ta’zir yang termasuk dalam kelompok ini, antara lain
seperti sanksi palsu, berbohong (tidak memberikan keterangan
yang benar) di depan siding pengadilan, menyakiti hewan,
melanggar hak privacy orang lain (misalnya masuk rumah orang
lain tanpa izin)

6. Jarimah Ta’zir yang Berkaitan dengan Kemaslahatan Umum


Jarimah ta’zir yang termasuk dalam kelompok ini adalah
a. Jarimah yang mengganggu keamanan Negara /
pemerintah, seperti spionase dan percobaan kudeta;
b. Suap;
c. Tindakan melampaui batas dari pegawai / pejabat atau
lali dalam menjalankan kewajiban. Contohnya seperti
penolakan hakim untuk mengadili suatu perkara, atau
kesewenang-wenangan hakim dalam memutuskan suatu
perkara;
d. Pelayanan yang buruk dari aparatur pemerintah terhadap
masyarakat;
e. Melawan petugas pemerintah dan membangkang terhadap
peraturan, seperti melawan petugas pajak, penghinaan
terhadap pengadilan dan menganiaya polisi;
f. Melepaskan narapidana dan menyembunyikan buronan
(penjahat);
g. Pemalsuan tanda tangan dan stempel;
h. Kejahatan yang berkaitan dengan ekonomi, seperti
penimbunan bahan-bahan pokok, mengurangi timbangan
dan takaran, dan menaikkan harga dengan semena-mena.504

504
Abd Aziz Amir, at-Ta’zir..hlm. 268.

| 328 | Hukum Pidana Islam


E. Hukuman terhadap Pelaku Jarimah Ta’zir
Dalam uraian yang lalu telah dikemukakan bahwa hukuman
ta’zir adalah hukuman yang belum ditetapan oleh syara’ dan
diserahkan kepada ulil amri untuk menetapkannya. Hukuman
ta’zir ini jenisnya beragam, namun secara garis besar dapat
diperincii sebagai berikut:
1. Hukuman mati
Dalam uraian yang lalu telah dijelaskan bahwa hukuman mati
ditetapkan sebagai hukuman qishash untuk pembunuhan sengaja
dan sebagai hukuman had untuk jariyah hirabah, zina muhshan,
riddah, dan jarimah pemberontakan. Untuk jarimah ta’zir,
hukuman mati ini ditetapkan oleh para fuqaha secara beragam.
Hanafiyah membolehkan kepada ulil amri untuk menerapkan
hukuman mati sebagai ta’zir dalam jarimah-jarimah yang jenisnya
diancam dengan hukuman mati apabila jarimah tersebut dilakukan
berulang-ulang. Contohnya pencurian yang berulang-ulang dan
menghina Nabi beberapa kali yang dilakukan oleh kafir dzimmi,
meskipu setelah itu ia masuk Islam. Hukuman bagi penghianat
(tindakan desersi) sebagaimana hadis petikan hadis Nabi: watariku
lidinihu walmufariku liljamaah. Petikan hadis ini dibolehkan
dihukum mati orang yang murtad dan meninggalkan pasukan
(jama’ah) dan ditafsirkan oleh penulis termasuk desersi.505
Malikiyah juga membolehkan hukuman mati sebagai
ta’zir untuk jarimah-jarimah ta’zir tertentu, seperti spionase
dan melakukan kerusakan di muka bumi. Pendapat ini juga
dikemukakan oleh sebagian fuqaha Hanabilah, seperti ibn Uqail.
Sebagian fuqaha syafi’iyah membolehkan hukuman mati
sebagai ta’zir dalam kasus penyebaran aliran-aliran sesat yang
menyimpang dari ajaran Al-Qur’an dan assunah. Demikian pula

505
Makhrus Munajat, Reaktualisasi Pemikiran Hukum Pidana Islam,
hlm. 128.

Hukum Pidana Islam | 329 |


hukuman mati bias diterapkan kepada pelaku homoseksual(liwath)
dengan tidak membedakan antara musan dang hair muhshan.
Alas an yang dikemukakan oleh Syafi’iyah adalah hadis yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw, bersabda. :

Barang siapa yang kamu dapati melakukan perbuatan kaum Nabi


Luth (homoseksual) maka bunuhlah pelaku dan objeknya.506

Selain hadis tersebut, para ulama yang membolehkan hukuman


mati sebagai ta’zir mengemukakan alasan lain, diantaranya hadis
yang memerintahkan hukuman mati bagi peminum khamr untuk
keempat kalinya. Hadis tersebut adalah :

Diriwayatkan oleh Imam ahmad dalam musnadnya dari Dailam


Al-Humairi, ia berkata : Saya bertanya keapda Rasulullah saw : “Ya
Rasulullah, kami berada di suatu daerah untuk melaksanakan suatu
pekerjaan yang berat, dan kami membuat minuman dari perasan
gandum untuk menambak kekuatan kami dalam melaksanakan
pekerjaan kami dan menahan rasa dingin negeri kami. Rasulullah

506
Asy-Syaukani, Nail al-Authar, Beirut: Dar al-Fikr, t.t), VII:286. Hadis
Riwayat Jama’ah kecuali an-Nasa’i.

| 330 | Hukum Pidana Islam


bertanya : “ Apakah minuman itu memabukkan?” saya menjawab
: “Benar” Nabi berkata : “Kalau demikian jauhilah!” saya
berkata :”orang-orang tidak mau meninggalkannya.” Rasullullah
berkata : “Apabila mereka tidak mau meninggalkannya bunuhlah
mereka.507

Dari uraian tersebut jelas bahwa hukuman mati untuk jarimah


ta’zir, hanya dilaksanakan dalam jarimah-jarimah yang sangat
berat dan berbahaya.
Adapun alat yang digunakan untuk melaksanakan hukuman
mati sebagai ta’zir tidak ada keterangan yang pasti. Ada yang
mengatakan boleh dengan pedang, dan ada pula yang mengatakan
boleh dengan alat yang lain, seperti kursi listrik. Namun
kebanyakan ulama memilih pedang sebagai alat eksekusi, karena
pedang mudah digunakan dan tidak menganiaya terhukum,
karenakematian terhukum dengan pedang lebih cepat.

2. Hukuman Cambuk
Hukuman dera (cambuk) adalah memukul dengan cambuk
atau semacamnya. Kalau di Indonesia dipilih dengan rotan
sebagaimana yang dijalankan di Nagro Aceh darussalam. Dasar
hukum cambuk adalah al-Quran surat an-Nisa ayat 34:
  
        

            

wanita-wanita yang
wanita-wanita kamukhawatirkan
yang kamu khawatirkan nusyuznya,
nusyuznya, maka
maka nasehatilah
nasehatilah
mereka mereka dan pisahkanlah
dan pisahkanlah mereka di mereka di tempat
tempat tidur mereka,tidur
dan
mereka, dan pukullah
pukullah mereka.mereka. Kemudian
Kemudian jika mereka
jika mereka mentaatimu,
mentaatimu, Maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.
507
HR. Imam Ahmad Ibn Hambal dalam Musnadnya.
Nusyuz: yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. nusyuz dari
pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya. Jika
Hukum Pidana Islam | 331 |
terjadi demikian untuk memberi peljaran kepada isteri yang
dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi
nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari
tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan
Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.

Nusyuz: yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. nusyuz


dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya.
Jika terjadi demikian untuk memberi peljaran kepada isteri yang
dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi
nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari
tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan
memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas.
bila cara pertama Telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara
yang lain dan seterusnya.
Alat yang digunakan untuk hukuman jilid ini adalah cambuk
yang pertengahan (sedang, tidak terlalu besar dan tidak terlalu
kecil) atau tongkat. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam
Ibn Taimiyah, dengan alasan karena sebaik-baiknya perkara
adalah pertengahan.508
Adapaun sifat atau cara pelaksanaan hukuman jilid masih
diperselisihkan oleh para fuqaha. Menurut Hanafiyah, jilid sebagai
ta’zir orang yang terhukum akan menjadi jera, di samping Karena
jumlahnya lebih sedikit daripada dalam had. Alas an yang lain
adalah bahwa semakin keras cambukan itu semakin menjerakan.
Akan tetapi, ulama selain Hanafiyah menyamakan sifat jilid dalam
ta’zir dengan sifat jilid dalam hudud.
Apabila orang yang dihukum ta’zir laki-laki maka baju yang
menghalangi sampainya cambuk ke kulit harus dibuka. Akan
tetapi apabila orang yang terhukum itu seorang permepuan maka
bajunya tidak boleh dibuka, karena jika demikian akan terbukalah
auratnya
Pukulan atau cambukan tidak boleh diarahkan ke muka, farji

508
Ibn Taimiyyah, as-Siyasah asy-Syar’iyyah, Kairo: Dar al-Bab al-
Maktabah, 1961), hlm.117.

| 332 | Hukum Pidana Islam


dan kepala, melainkan diarahkan ke bagian punggung. Imam Abu
Yusuf menambahkan tidak boleh mencambuk bagian dada dan
perut, karena pukulan ke bagian tersebut bias membahayakan
keselamatan orang yang terhukum. Larangan pencambukan
pada bagian kepala didasrkan kepada atsar sahabat Umar yang
mengatakan kepada eksekutor jilid.

Hindarilah untuk memukul kepala dan farji509

3. Hukuman Penjara
Dalam bahasa Arab ada dua istilah untuk hukuman penjara.
Pertama, al-habsu, kedua, as-sijn. Pengertian al-habsu menurut
bahasa adalah yang artinya mencegah atau menahan. Dengan
demikian al-habsu artinya tempat untuk menahan orang.510
Menurut Imam Ibn Qayyim al-Jauziyah, yang dimaksud dengan
al-habsu menurut syara’ bukanlah menahan pelaku di tempat yang
sempit, melainkan menahan seseorang dan mencegahnya agar ia
tidak melakukan perbuatan hokum, baik penahanan tersebut di
dalam rumah, atau masjid maupun di tempat lainnya. Penahanan
model itulah yang dilaksanakan pada masa Nabi dan Abu Bakar.
Artinya pada masa Nabi dan Abu Bakar tidak ada tempat yang
khsuus disediakan untuk menahan seorang pelaku. Akan tetapi
setelah umat Islam bertambah banyak dan wilayah kekuasaan
Islam bertambah luas, Khalifah Umar pada masa pemerintahan-nya
membeli rumah Shafwan ibn Umayyah dengan harga 4000 (empar
ribu) dirham untuk kemudian dijadikan sebagai panjara.511

509
Abd Aziz Amir, At-Ta’zir…hlm.349.
510
Ibrahim Unais, al-Mu’jam, hlm.152.
511
Ibn al-Qayim, at-Turuq al-Hukumiyah as-Siyasah asy-Syari’ah,(Kairo:

Hukum Pidana Islam | 333 |


setelah umat Islam bertambah banyak dan wilayah kekuasaan Islam
bertambah luas, Khalifah Umar pada masa pemerintahan-nya
membeli rumah Shafwan ibn Umayyah dengan harga 4000 (empar
ribu) dirham untuk kemudian dijadikan sebagai panjara.38
Atas
Atas dasar kebijakan
dasar kebijakan Khalifah
Khalifah Umar
Umar ini, ini, para
para ulama ulama
membolehkan
membolehkan kepada ulil amri (pemerintah) untuk membuat
kepada ulil amri (pemerintah) untuk membuat penjara. Meskipun
penjara. Meskipun
demikian demikian
para ulama yang para
lain ulama yangmembolehkan
tetap tidak lain tetap untuk
tidak
membolehkan untuk mengadakan penjara, karena hal itu tidak
mengadakan penjara, karena hal itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi
pernahmaupun
dilakukan oleh Nabi
Abu Bakar.39 maupun Abu Bakar.512
Dasar hukum untuk untuk
Dasar hukum dibolehkanya
dibolehkanyahukuman
hukuman penjara
penjara ini
ini
adalahadalah
SuratSurat
An-Nisa’ ayatayat
An-Nisa’ 1515
: :
          

           



Dan (terhadap) para


Dan (terhadap) parawanita yang mengerjakan
wanita yang mengerjakan perbuatan
perbuatan keji,
keji, hendaklah
hendaklah adaada empat
empat orang
orang saksi
saksi diantara
diantara kamu
kamu (yang
(yang
menyaksikannya). Kemudian
menyaksikannya). Kemudianapabila
apabila mereka
mereka Telah
Telah memberi
memberi
persaksian, MakaMaka
persaksian, kurunglah mereka
kurunglah (wanita-wanita
mereka (wanita-wanita itu)
itu) dalam
dalam
rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah
memberi jalan lain kepadanya

Di samping 38
Ibnitual-Qayim,
alas an lain untukal-Hukumiyah
at-Turuq dibolehkannya hukuman
as-Siyasah asy-
penjara sebagai ta’zir adalah tindakan Nabi saw, yang pernah
Syari’ah,(Kairo: al-Matba’ah al-Muhamadiyah, 1953), hlm. 102.
memenjarakan 39 beberapa orang di Madinah dalam tuntutan
Abdurahman al-Maliki, Nidzam al-Uqubah,(Beirut: Dar al-
pembunuhan.
Amah, 1990),Juga tindakan Khalifah Utsman yang pernah
hlm.258.
memenjarakan Dhabi’ Ibn al_Harits, salah satu pencuri dari Bani
Tamim, sampai ia mati di penjara. Demikian pula Khalifah Ali
pernah memenjarakan Abdullah ibn az-Zubair di mekah, ketika ia
menolak untuk membaiat Ali.513

al-Matba’ah al-Muhamadiyah, 1953), hlm. 102.


512
Abdurahman al-Maliki, Nidzam al-Uqubah,(Beirut: Dar al-Amah,
1990), hlm.258.
513
Abd Aziz Amir, at-Ta’zir..hlm. 362.

| 334 | Hukum Pidana Islam


Hukuman penajra dalam syariat Islam dibagi kepada dua
bagian, yaitu: Hukuman penjara yang terbatas waktunya dan
tidak terbatas.
1. Hukuman Penjara Terbatas
Hukuman Penjara terbatas adalah hukuman penajra yang
lama waktunya dibatasi sevara tegas. Hukuman penjara terbatas
ini diterapkan untuk jarimah penghinaan, penjual khamr, pemakai
riba, melanggar kehormatan bulan suci Ramadhan dengan
berbuka pada siang hari tanpa uzur, mmengairi lading dengan air
dari saluran tetangga tanpa izin, caci mencaci antara dua orang
yang beperkara di depan siding pengadilan, dan saksi palsu.
Adapun lamanya hukuman penajra tidak ada kesepakatan di
kalangan para ulama. Sebagian ulama, seperti dikemukakan oleh
Imam Az-Zaila’ yang dikutip oleh Abdul Aziz Amir, berpendapat
bahwa lamanya penjara bias dua bulan atau tiga bulan atau kurang
atau lebih. Sebagian lagi berpendapat bahwa penentuan tersebut
diserahkan kepada hakim. Menurut Imam. Al-Mawardi, hukuman
penjara dalm ta’zir berbeda-beda, tergantung kepada pelaku dan
jenis jarimahnya. Di antara pelaku ada yang dipenjara selama satu
hari dan ada pula yang lebih lama.
Batas tertinggi untuk hukuman penjara terbatas ini juga
tidak ada kesepakatan di klanagn fuqaha. Menurut Sya’fi’iyah
batas tertinggi untuk hukuman penjara terbatas ini adalah satu
tahun. Mereka mengqiyaskannya kepada hukuman pengasingan
dalam had zina yang lamanya haya satu tahun dan hukuman ta’zir
tidak boleh melebihi hukuman had. Akan tetapi, tidak semua
ulama Syafi’iyah menyepakati pendapat tersebut. Seperti yang
dikemukakan oleh Imam Al-Mawardi bahwa diantara para pelaku
ada yang dikenakan hukuman penjara selama satu hari,a da pula
yang lebih banyak sampai batas yang tidak ditentukan, tergantung
kepada perbedaan pelaku dan jarimahnya. Adapun pendapat
yang dinukil dari Abdullah Az-Zubair adalah ditetapkannya masa
hukuman penajra dua bulan atau tiga bulan atau bias kurang atau

Hukum Pidana Islam | 335 |


bahkan lebih lama lagi. Demikian pula Imam Ibn Al-Majasyun dari
ulama Malikiyah menetapkan lamanya hukuman bias setengah
bulan, dua bulan, atau empat bulan, tergantung kepada kadar
harta yang ditahannya.514
Dari uraian tersebut, jelaslah bahwa tidak ada batas tertinggi
yang pasti dan dijadikan pedoman umum untuk hukuman penjara
sebagai ta’zir, dan hal itu diserahkan kepada ijtihad hakim dengan
memperhatikan perbedaan kondisi jarimah, pelaku, tempat,
waktu dan situasi ketika jarimah itu terjadi.
Adapun batas terendah dari hukuman penjara sebagai ta’zir
juga tidak ada kesepakatan di kalangan ulama. Menurut sebagian
ulama, seperti Imam Al-Mawardi, batas terendah hukuman penajra
adalah satu hari. Akan tetapi menurut Ibn Qudamah, tidak ada
ketentuan yang pasti, melainkan diserahkan keapda ijtibad imam
(ulil amri). Menurut Ibn qudamah, apabila hukuman penajra (ta’zir)
ditentukan batasnya maka sama dengan had, dan itu berarti tidak
ada bedanya antara hukuman had dengan hukuman ta’zir.

2. Hukuman Penjara Tidak Terbatas


Hukuman penajra tidak terbatas tidak dibatasi waktunya,
melainkan berlangsung terus sampai orang yang terhukum mati,
atau sampai ia bertobat. Dalam istilah lain bias disebut hukuman
penjara seumur hidup.
Hukuman penjara seumur hidup dikenakan ppenjahat yang
sangat berbahaya, misalnya seseorang yang menahan orang
lain untuk dibunuh oleh orang ketiga, atau seperti orang yang
mengikuti orang lain, kemudian melemparkannya ke depan
seekor harimau.menurut Imam Abu Yusuf, apabila orang tersebut
mati dimakan hariamu maka pelaku dikenakan hukuman penjara
seumur hidup (sampai ia mati di penjara).515

514
Ibid.
515
Ibid

| 336 | Hukum Pidana Islam


Hukuman penjara tidak terbatas macam yang kedua (sampai
ia bertobat) dikenakan antara lain untuk orang yang dituduh
membunuh dan mencuri, melakukan homoseksual, atau penyihir,
mencuri untuk ketiga kalinya menurut Imam Abu Hanifah, atau
mencuri untuk kedua kalinya menurut Imam yang lain. Contoh
yang lain adalah seperti melakukan penghinaan berulang-ulang,
atau merayu istri atau anak perempuan orang lain, sehingga ia
keluar dari rumahnya dan hancurlah rumah tangganya.

4. Hukuman Pengasingan
Hukuman pengasingan
Hukuman pengasingantermasuk hukuman
termasuk hukuman had diterapkan
had yang yang
diterapkan untuk
untukpelaku
pelaku tindak
tindak pidana
pidana hirabah
hirabah (perampokan)
(perampokan) berdasarkan
berdasarkansurat
surat Al-Maidah
Al-Maidah ayatayat
33. 33.

          

           

             

Sesungguhnya pembalasan terhadap


Sesungguhnya pembalasanorang-orang
terhadap yang memerangi
orang-orang yang
Allah dan rasul-Nya dan dan
memerangi Allah membuat
rasul-Nyakerusakan
dan membuat di kerusakan
muka bumi, di muka
hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan
bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong
tangandengan
dan kaki mereka dan kaki mereka balik[414],
bertimbal dengan bertimbal balik[414],
atau dibuang dariatau
negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu itu
dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian
penghinaan (sebagai) suatu penghinaan
untuk mereka didunia, danuntukdimereka
akhiratdidunia,
mereka danberoleh
di akhirat
siksaan yangmereka
besar,beroleh siksaan yang besar,

Maksud lafad aw yunfau minalard adalah diasingkan dari daerah


Maksud lafad aw yunfau minalard adalah diasingkan dari
asal pelaku kejahatan.
daerah asal pelaku kejahatan.
Meskipun hukuman pengasingan itu merupakan hukuman had,
Meskipun hukuman pengasingan itu merupakan hukuman
namun dalam praktiknya hukuman tersebut diterapkan juga seabgai
had, namun dalam praktiknya hukuman tersebut diterapkan juga
hukuman ta’zir. Diantara jarimah ta’zir yang dikenakan hukuman
pengasingan (buang) adalah orang yang berperilaku mukhannats
(waria), yang pernah dilaksanakan oleh Nabi dengan
Hukum Pidana Islam | 337 |
mengasingkannya ke luar dari Madinah. Demikian pula tindakan
Khalifah Umar yang mengasingkan Nashr Ibn Hajjaj, karena banyak
wanita yang tergoda olehnya, walaupun sebenarnya ia tidak
melakukan jarimah. Demikian pula tindak pidana pemalsuan
seabgai hukuman ta’zir. Diantara jarimah ta’zir yang dikenakan
hukuman pengasingan (buang) adalah orang yang berperilaku
mukhannats (waria), yang pernah dilaksanakan oleh Nabi dengan
mengasingkannya ke luar dari Madinah. Demikian pula tindakan
Khalifah Umar yang mengasingkan Nashr Ibn Hajjaj, karena
banyak wanita yang tergoda olehnya, walaupun sebenarnya ia
tidak melakukan jarimah. Demikian pula tindak pidana pemalsuan
terhadap Al-Qur’an, pemalsuan stempel Baitul Mal, seerti yang
pernah dilakukan oleh Khalifah Umar ibn Al-Khattab terhadap
Mu’an ibn Zaidah. Khalifah Umar ibn Al-Khattab mengasingkannya
setelah sebelumnya dikenakan hukuman jilid.516
Hukuman pengasingan ini dijatuhkan kepada pelaku jarimah
yang dikhawatirkan berpengaruh kepada orang lain sehingga
pelakunya harus dibuang (diasingkan) untuk menghindarkan
pengaruh-pengaruh tersebut.
Adapun tempat pengasingan diperselisihkan oleh para
fuqaha. Menurut Imam Malik ibn anas, pengasingan itu artinya
menjauhkan (membuang) pelaku dari negeri Islam ke negeri
bukan Islam. Menurut Umar Ibn Abdul Aziz dan said Ibn Jubayyir,
pengasingan itu artinya dibuang dari satu kota ke kota yang lain.
Menurut Imam Abu Hanifah dan satu pendapat dari Imam Malik,
pengasingan itu artinya dipenjarakan.
Lamanya (masa) pengasingan juga tidak ada kesepakatan di
kalangan para fuqaha. Menurut Syafi’iyah dan Hanabilah, masa
pengasingan tidak boleh lebih dari satu tahun agar tidak melebihi
masa pengasingan dalam jarimah zina yang merupakan hukuman
had. Apabila pengasingan dalam ta’zir lebih dari satu tahun, ini
berarti bertentangan dengan hadis Nabi saw, yang diriwayatkan
oleh Imam Al-Baihaqi dari Nu’man Ibn Basyir bahwa Rasulullah
saw. Bersabda :

516
Ibid. hlm.370-371

| 338 | Hukum Pidana Islam


Barang siapa yang mencapai (melaksanakan) hukuman had bukan
dalam jarimah hudud maka ia termasuk orang yang melampaui
batas.

5. Merampas Harta
Para ulama berbeda pendapat tentang dibolehkannya hukuman
ta’zir dengan cara mengambil harta. Menurut Imam Abu Hanifah,
hukuman ta’zir dengan cara mengambil harta tidak dibolehkan.
Pendapat ini diikuti oleh muridnya, yaitu Muhammad Ibn Hasan,
tetapi muridnya yang lain, yaitu Imam Abu Yusuf membolehkannya
apabila dipandang membawa maslahat.

Hakim menahan sebagai harta si terhukum selama waktu tertentu,


sebagai pelajaran dan upaya pencegahan atas perbuatan yang
dilakukannya, kemudian mengembalikannya kepada pemiliknya
apabila ia telah jelas taubatnya.517

Dari pengertian tersebut, jelaslah bahwa hukuman ta’zir


dengan mengambil harta itu bukan berarti mengambil harta pelaku
untuk diri hakim atau untuk kas umum (Negara), melainkan hanya
menahanya untuk sementara waktu. Adapun apabila pelaku tidak
bias diharapkan untuk bertobat maka hakim dapat men-tasarufkan
harta tersebut untuk kepentingan yang mengandung maslahat.

517
Ibid. hlm. 398.

Hukum Pidana Islam | 339 |


Penghancuran terhadap barang sebagai hukuman ta’zir
berlaku dalam barang-barang dan perbuatan/sifat yang mungkar.
Contohnya seperti Penghancuran patung milik orang islam,
Penghancuran alat-alat musik/permainan yang mengandung
kemaksiatan.
Penghancuran alat dan tempat minum khamr. Khalifah Umar
pernah memutuskan membakar kios/warung tempat dijualnya
minuman keras (khamr) milik Ruwaisyid, dan Umar memangilnya
Fuwaisiq, bukan Ruwaisyid. Demikian pula Khalifah Ali pernah
memutuskan membakar kompleks/kampong yang di sama dijual
khamr. Pendapat ini merupakan pendapat yang masyhur dalam
mazhab Hanbali, Malik, dan lain-lainnya. Khalifah Umar pernah
menumpahkan susu yang bercampur dengan air untuk dijual,
karena apabila susu dicampur dengan air maka sulit mengetahui
kadar susu dari airnya.
Penghancuran barang ini tidak selamanya merupakan
kewajiban, melainkan dalam kondisi tertentu boleh dibiarkan
atau disedekahkan. Atas dasar pemikiran ini maka sekelompok
ulama seeprti Imam Malik dalam riwayat Ibn Al-Qasim, dengan
menggunakan istihsan membolehkan itlaf (penghancuran) atas
makanan yang dijual meallui penipuan dengan cara disedekahkan
kepada fakir miskin, seperti dalam susu yang dicampur dengan
air untuk dijual. Dengan demikian dua kepentingan, yaitu itlaf
(penghancuran) sebagai hukuman dan manfaat bagi orang miskin,
sekaligus dapat dicapai.

6. Mengubah Bentuk Barang


Adapun hukuman ta’zir yang berupa mengubah harta pelaku
antara lain seperti mengubah patung yang disembah oleh orang
muslim dengan cara memotong bagian kepalannya, sehingga
mirip dengan pohon.

| 340 | Hukum Pidana Islam


Hukuman ta’zir barupa pemilikan harta penjahat (pelaku),
antara lain seperti keputusan Rasulullah saw, melipatgandakan
denda bagi seorang yang mencari buah-buahan, disamping
hukuman jilid. Demikian pula keputusan Khalifah Umar yang
melipatgandakan denda bagi orang yang menggelapkan barang
temuan.518

7. Hukuman Denda
Hukuman denda bisa merupakan hukuman pokok yang berdiri
sendiri dan dapat pula digabungkan dengan hukuman pokok
lainya. Contoh yang pertama seperti penjatuhan hukuman denda
terhadap orang yang duduk di bar tempat minuman keras, atau
denda terhadap orang yang mencuri buah-buahan dari pohonnya,
atau mencuri kambing sebelum sampai di penggemblengannya.
Sedangkan contoh yang kedua seperti hukuman denda bersama-
sama dengan jilid bagi pelaku tindak pidana yang disebutkan di
atas.
Penjatuhan hukuman denda bersama-sama dengan hukuman
yang lain bukan meruapkan hal yang dilarang bagi seorang hakim
yang mengadili perkara jarimah ta’zir, karena hakim diberi
kebebasan yang penuh dalam masalah ini. Dalam hal ini hakim
dapat mempertimbangkan berbagai aspek, baik yang berkaiatan
dengan jarimah, pelaku, situasi, maupun kondisi oleh pelaku.519

8. Peringatan Keras
Peringatan keras dapat dilakukan diluar siding dengan
mengutus seorang kepercayaan hakim yang menyampaikannya
kepada pelaku. Isi peringatan ini misalnya berbunyi : “telah sampai

518
Ahmad Wardi Muslih, Hukum Pidana Islam, hlm. 267.
519
Ibid.

Hukum Pidana Islam | 341 |


kepadaku bahwa kamu melakukan kejahatan ….Oleh karena itu
jangan kau lakukan lagi hal it.”
Peringatan keras macam ini dianggap sebagai hukuman yang
lebih ringan dibandingkan jika pelaku dipanggil ke dalam siding
pengadilan. Hal itu dilakukan karena hakim memandang bahwa
perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tidak terlalu berbahaya.
Apabila pelaku membandel atau perbuatannya cukup
membahayakan maka pelaku dapat dipanggil ke hadapan siding
untuk diberi perinagtan keras. Isi peringatan itu misalnya sama
dengan yang dikemukakan di aas, etapi langsung diucapkan oleh
hakim, disertai dengan muka yang masam.
Pemanggilan pelaku kedepan siding pengadilan ditambah
denga perinagtan keras yang disampaikan secara langsung oleh
hakim, bagi orang tertent sudah cukup merupakan hukuman yang
efektif, karena sebagian orang ada yang merasa takut da gemetar
dalam menghadapi meja hijau. Tentu saja kedua macam hukuman
tersebut diterapkan oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana
ringan yang dilakukan pertama kali olehnya dengan pertimbangan-
pertimbangan tertentu. Adapun terhadap pelaku yang telah
berulang-ulang melakukan perbautan pidana atau jarimahnya
sangat berbahaya, hakim menerapkan hukuman tersebut,
melainkan hukuman lain yang sepadan dengan perbuatannya,
seperti jilid atau penjara.

9. Hukuman Berupa Nasihat


Hukuman nasihat ini didasarkan kepada Firman Allah dalam
Surah An-Nisa’ ayat 34 :

…. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya maka


nasihatilah mereka …. ( QS. An-Nisaa’ : 34)

| 342 | Hukum Pidana Islam


Nusyuz-nya istri dan tidak taatnya ia kepada suaminya
merupakan perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman
had dan tidak pula kifarat, oleh karenannya ia dikenakan ta’zir.
Dengan demikian maka nasihat yang diperintahkan dalam ayat di
atas termasuk kepada hukuman ta’zir.
Ibn Abidin yang dikutip oleh Abdul Aziz Amir mengemukakan
bahwa yang dimaksud dnegan nasihat adalah mengingatkan pelaku
apabila ia lupa, dan mengajarinya apabila ia tidak mengerti.

10. Celaan (Taubikh)


Dasar hokum untuk celaan sebagai hukuman ta’zir adalah
hadis Nabi saw. Diriwayatkan bahwa Abu Dzar pernah menghina
seseorang dengan menghina ibunya.520 Rasulullah saw. Kemudian
bersabda :

Hai Abu Dzar, apakah engkau menghinannya dengan menghina


ibunya? Sesungguhnya perbutanmu itu adalah perbuatan jahiliyah.
(HR. Muslim dari Abu Dzar).

Disamping itu, diriwayatkan pula bahwa seorang hamba sahaya


yang berkulit hitam mengadukan Abdurrahman ibn Auf marah
dan menghina hamba tersebut dengan kata-kata yang
artinya wahai anak yang hitam kelam! Mendengar kata-kata itu
Rasulullah saw, sangat marah dan mengangkat tangannya sambil
bersabda :

520
Abdurahman al-Maliki, Nidzam al-Uqubah, ..hlm.272.

Hukum Pidana Islam | 343 |


Tidak ada kekuasaan bagi orang kulit putih terhadap orang
kulit hitam kecuali dengan hak

Mendengar kata-kata Rasulullah itu Abdurrahman ibn Auf


merasa malu dan hina, lalu ia meletakkan kepalanya di atas tanah
kemudian ia berkata kepada hamba tadi : “Injaklah kepalaku
sampai kamu merasa puas!”
Khalifah Umar ibn Khattab juga pernah menjatuhkan
hukuman celaan ini kepada orang yang memakai pakaian sutra
asli. Sambil berpaling dan wajahnya berubah Umar mengatakan
: “Lepaskanlah pakaian ahli neraka itu!” Sikap Umar yang
memalingkan mukannya itu merupaka ta’zir (pelajaran) kepada
mereka, sekaligus juga meruapakan celaan terhadap mereka.
Demikian pula Umar pernah menta’zir Ubadah ibn Shamit, dengan
mengatakan : yang artinya wahai si Pandir! Tindakan
Umar ini bukanlah merupakan makian, apalagi Ubadah ibn Ash
Shamit adalah seorang sahabat, melainkan sebagai hukuman.521

11. Pengucilan
Adapun yang dimaksud dengan pengucilan adalah melarang
pelaku untuk berhubungan dengan orang lain dan sebaliknya
melarang masyarakat untuk berhubungan dengan pelaku. Dasar
hukum untuk hukuman pengucilan ini adalah firman Allah dalam
Surah An-Nisa’ ayat 34 :

521
Abd Aziz Amir, at-Ta’zir, hlm. 442

| 344 | Hukum Pidana Islam


….Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya maka
nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka
… (QS. An-Nisaa’: 34).

Selain dalam Al-Qur’an, hukuman pengucilan juga terdapat


dalam sunah Nabi. Rasululah saw, dan para sahabatnya pernah
melakukan pengucilan terhadap tiga orang yang tidak ikut Perang
Tabuk, yaitu Kaab ibn Malik, Mirarah ibn Rabi’ah Al-Amiri, dan
Hilal ibn Umayyah Al-Waqify. Mereka dikucilkan selama lima
puluh hari, tidak ada yang mengajak mereka bicara, tidak ada
yang menemui mereka, dan tidak ada yang mengucapkan salam
kepada mereka, sampai mereka tobat. Akhirnya turunlah Surah
At-Taubah ayat 118:

          

             

       

Dan
Dan terhadap
terhadap tiga
tiga orang[665]
orang[665] yang
yang ditangguhkan
ditangguhkan (penerimaan
(penerimaan
taubat) mereka, hingga apabila bumi Telah menjadi
taubat) mereka, hingga apabila bumi Telah menjadi sempit sempit bagi
bagi
mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun Telah
mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun Telah sempit sempit
(pula
(pula terasa)
terasa) oleh
oleh mereka,
mereka, serta
serta mereka
mereka Telah
Telah mengetahui
mengetahui bahwa
bahwa
tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya
tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja.
saja. Kemudian Allah menerima Taubat mereka agar mereka tetap
Kemudian Allah menerima Taubat mereka agar mereka tetap dalam
dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Penerima
taubatnya.
Taubat lagiSesungguhnya
Maha Penyayang Allah-lah yang Maha Penerima Taubat
lagi Maha Penyayang
Hukuman ta’zir berupa pengucilan ini diberlakukan apabila
membawa kemaslahatan
Hukuman sesuai
ta’zir berupa denganini kondisi
pengucilan dan apabila
diberlakukan situasi
masyarakat tertentu. Dalam
membawa kemaslahatan sistem
sesuai masyarakat
dengan kondisi yang
dan terbuka
situasi
masyarakat tertentu. Dalam sistem masyarakat yang terbuka
hukuman ini sulit sekali untuk dilaksanakan, sebab masing-masing
anggota masyarakat tidak acuh terhadap Hukumanggota
Pidana Islam | 345 |
masyarakat
lainnya. Akan tetapi, kalau pengucilan itu dalam bentuk tidak
diikutsertakan dalam kegiatan kemasyarakatan, mungkin bisa
dilaksanakan dengan efektif.
hukuman ini sulit sekali untuk dilaksanakan, sebab masing-masing
anggota masyarakat tidak acuh terhadap anggota masyarakat
lainnya. Akan tetapi, kalau pengucilan itu dalam bentuk tidak
diikutsertakan dalam kegiatan kemasyarakatan, mungkin bisa
dilaksanakan dengan efektif.

12. Pemecatan (Al-‘Azl)


Pengertian pemecatan (al-‘azl) adalah melarang seseorang dari
pekerjaannya dan diberhentikan dari pekerjaan itu. Hukuman ta’zir
berupa pemberhentian dari pekerjaan atau jabatan ini diterapkan
terhadap setiap pegawai yang melakukuan jarimah, baik yang
berhubungan dengan pekerjaan atau jabatannya maupun dengan
hal-hal lainnya.
Hukuman pemecatan dapat diterapkan dalam segala macam
kasus tindak pidana, baik sebagai hukuman pokok, hukuman
tambahan, maupun hukuman pelengkap. Dalam hal pelaku
dijatuhi pemecatan sebagai hukuman pokok, tidak ada hukuman
lain yang dijatuhkan kepadanya, karena pemecatan itulah
hukuman satu-satunya yang dijatuhkan kepadanya. Hal ini pernah
dilakukan oleh Nabi yag memecat seorang petugas dari kekuasaan/
jabatannya. Demikian juga para sahabat, seperti Khalifah Umar
pernah memecat seorang wakil (pegawainya) yang membaca puisi
yang isinya memuji-muji kenikmatan minuman keras (khamr).522
Apabila seorang pegawai melakukan jarimah hudud, atau
ta’zir tertentu seperti menerima suap maka di samping dikenakan
hukuman had sesuai dengan jenis jarimahnya atau hukuman
ta’zir, ia juga dikenakan hukuman tambahan secara otomatis
berupa pemecatan dari jabatan atau pekerjaannya. Ini merupakan
penapat shahih dari mazhab Hanafi, Syafi’I, dan Mu’tazilah.
Tetapi menurut sahirnya mazhab Hanafi, pemecatan tersebut

522
Abd Aziz Amir, at-Ta’zir, hlm. 454.

| 346 | Hukum Pidana Islam


tidak berlaku secara otomatis, melainkan perlu ada keputusan
hakim tentang pemecatan terhukum, di samping keputusan
hakim tentang hukum hudud atau ta’zir untuk jarimah yang
dilakukannya. Apabila hukuman pemecatan didasarkan atas
putusan hakim maka hukuman tersebut bukan hukuman tambahan
(taba’iayah), melainkan hukuman pelengkap (takmiliyah). Dan
uqubah takmiliyah ini rasanya putusan hakim yang menjadi dasar
untuk pelaksanaan pemecatan tersebut.

13. Publikasi (At-Tasyhir)


Dasar hukum untuk hukuman berupa pengumuman
kesalahan atau kejahatan pelaku secara terbuka adalah tindakan
Khalifah Umar terhadap seorang saksi palsu yang sesudah dijatuhi
hukuman jilid lalu ia diarak keliling kota, sambil diumumkan
kepada masyarakat bahwa ia adalah seorang saksi palsu.
Di samping itu, apabila diteliti lebih seksama dalam Surah
An-Nuur ayat 2 tentang hukuman zina, di sana disebutkan bahwa
pelaksanaan hukuman jilid itu harus disaksikan oleh sekelompok
orang-orang mukmin. Ini mengandung arti bahwa di dalamnya
terdapat unsure tasyhir atau maklumat (pengumuman) tentang
kesalahan pelaku zina. Selain daripada itu, dasar hokum yang
lain adalah keputusan Qadhi Syuraih, salah seorang sahabat yang
diangkat sebagai hakim pada masa khalifah Umar ibn Al-Khattab
dan Ali ibn Abi Thalib.
Atas dasar itu maka jumhur ulama sepakat untuk memasukkan
tasyhir (pengumuman kesalahan secara terbuka) sebagai salah satu
jenis hukuman ta’zir.523
Cara pelaksanaan hukuman tasyhir ini antara lain seperti
dicontohkan oleh Qadhi Syuraih. Ia membawa saksi palsu
setelah divonis kepada kaumnya, setelah selesai salat Ashar saat

523
Ibid.

Hukum Pidana Islam | 347 |


masyarakat sedang berkumpul, sambil diumumkan kepada mereka
: “Kami telah mendapatkan orang ini sebagai saksi palsu, karena
itu waspadalah dan beritahukan kepada semua orang supayw
mereka juga waspada.”
Dalam buku As-Sindi dari Jami’ Al-‘Itabi yang dikutip oleh
Abdul Aziz Amir, tasyhir dilakukan dengan mengarak terhukum
ke seluruh negeri dan setiap tempat selalu dikumandangkan :
“Inilah orang yang suka menjadi saksi palsu maka jangalah kamu
menjadikannya sebagai saksi.” Untuk pencuri maka tashyir-nya
adalah dengan membawanya berkeliling pasar dengan disertai
pengumuman bahwa ia adalah seorang pencuri dengan maksud
supaya masyarakat waspada terhadapnya dan sekaligus sebagai
shock terapi bagi diri terhukum.
Dari uraian tersebut, dapat dipahami bahwa tujuan
diadakannya hukuman tashyir (pengumuman kejahatan) adalah
agar orang yang bersangkutan (pelaku) menjadi jera, dan agar
orang lain tidak melakukan perbuatan serupa. Jadi, sanksi ini
memiliki daya represif dan preventif.
Apabila tujuan sanksi tashyir itu demikian maka cara-cara
lain yang mengandung makna pengumuman bahwa hukuman
telah dilaksanakan juga bias digunakan seperti diumumkan
melalui media massa, baik media cetak maupun media elektronik,
antara lain seperti penayangan gambar/wajah penjahat di layar
televisi.524

524
Ahmad Wardi Muslih, Hukum Pidana Islam, hlm. 274-275.

| 348 | Hukum Pidana Islam


DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, 1986.


Abd Qadir Awdah, At-Tasyri’ al-Jinai al-Islami Beirut: Dar al-Fikr,
1963
Ahmad Mansoer Nor, Peranan Moral dalam Membina Kesadaran
Hukum, Jakarta Binbagais Depag RI,
Abd. Kholiq, “Reformasi Hukum Pidana Nasional”, Yogyakarta:
Fak. Hukum UII, 2002.
Abd Halim, Theologi Islam Rasional, Jakarta: Ciputat Pers, 2001.
Abd Salam Arief, Fiqh Jinayah, Yogyakarta: Ideal, 1987.
Abu A’la al-Maududi, Tafsir Surah an-Nur, Beirut: Dar al-Fikr,
1960.
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Beirut: Dar al-Fikr, 1963.
Abd Rahman A. Doi, Tindak Pidana dalam Islam, alih bahasa
Wadi Masturi, Jakarta: Metro Putra, 1992.
Abu Yusuf, ar-Rad ‘Ala Siyar al-Auza’i , Mesir: Dar al-Qalam,
1357 H.
Abu Zahrah, Al-Jarimah wa al-Uqubah fi al-Fiqh al-Islam, Beirut:
Dar al-Fikr, t.t
Ahmad an-Naim, Dekonstruksi Syari’ah, alih bahasa Ahmad Suedi,
Yogyakarta: LKIS, 2001.
Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, alih bahasa Agah
Barmadi, Bandung: Pustaka, 1985.
Ali as-Sayyis, Tafsir Ayat al-Ahkam, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Alaudin, Burul Mutaqa, Mesir: Dar al-Bab al-Ma’rifah, t.t.
Amidi, al-, al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Anwar Haryono, Hukum Islam Keluasan dan Keadialannya,
Jakarta; Bulan Bintang, 1968.

| 349 |
Andi Faisal Bakri, “Kontribusi Islam dalam Integrasi Nasional di
Indonesia” dalam Islam Berbagai Prespektif, didedikasikan
dalam 70 tahun Prof Munawir Sjadzali, Yogyakarta: LPMI,
1995.
Andi Hamzah, dan A. Simanglipu, Pidana Mati di Indonesia di
Masa Lalu, Kini dan Masa Yang Akan datang, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1985.
Abdurahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh Ala Mazahib al-‘Arba’ah,
Beirut: Dar al-Fiqh, t.t.
Amiur Nurudin, Ijtihad Umar bin Khattab,Studi Perubahan
Hukum dalam Islam, Jakarta: Rajawali Press, 1987.
Asjmuni A. Rahman, Qaidah-qaidah Fiqhiyah, Jakarta: Bulan
Bintang, 1968.
Bagir Manan, “Peranan Peradilan Agama dalam Pembangunan
Hukum Nasional” dalam Hukum Islam di Indonesia.
Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994.
Brian A. Carner, A Dictionary of Modern Legal, London: Oxford
University Press, 1987.
Busthanul Arifin, “Kata Pengantar” pada Munawir Sjadzali, Ijtihad
kemanusiaan, Jakarta: Penerbit Paramadina, 1997.
Coulson, N.J. A. History of Islamic Law, Endin Burg: Endinburg
University Press, 1971.
Duncen B, Mac Donald, Development of Muslim Theology
Jurisprudence and Constitutional Theory, London: Publisher
Limited, 1958.
DJamaludin Ancok, “Efektivitas Hukum Pidana Islam dalam
Menurunkan Kriminalitas” Makalah tidak diterbitkan.
Friedman L. 1969. Legal Culture and Social Development, in Law
and Society Review. Vol 4. No. 1
Friedman L. 1969. The Legal System: A Social Science Perspective.
New York: Russel Sage Foundation.
Fahrudin ibn Umar al-Husein ar-Razi, al-Mabsut fi Ilmu al-Ushul,
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1994.

| 350 | Hukum Pidana Islam


Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas Transformasi Intelektual,
alih bahasa Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 1985.
Ghazali, al-, al-Mustasfa min ilmi al-Ushul, Mesir: Dar al-Bab al-
Halabi wa Awladuhu, 1963.
Hasaballah, ‘Ali, Usul at-Tashri’ al-Islami, Mesir: Dar al-Ma’arif,
1971.
Haliman, Hukum Pidana Islam Menurut Adjaran Ahli Sunah wal
Jamaah, Jakarta: Bulan Bintang, 1968.
Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1970.
Harun Nasution, “Ijtihad Sumber Hukum Ketiga Ajaran Islam”
dalam Haidar Baqir, Ijtihad dalam Sorotan, Bandung: Mizan,
1988.
Hasan Mu’arif Ambary, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis
dan Historis Islam Indonesia, Jakarta: Logos 1999.
Hasbi ash-Shidiqy, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1968),
Hasbi ash-Shiddieqy, Hukum Acara Peradilan dalam Islam,
Jakarta: Bulan Bintang, 1968,
------------, 2002 Mutiara Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
------------, Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1976
Henry Pratt Pairchild, Dictionary of Sociology, New Jersy:
Litlefield Adams and CO, 1997.
Hasbi ash-Shidiqy, Sejarah Peradilan Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1968
Hendardi, “Sinisnya Masyarakat terhadap Dunia Hukum” dalam
Suara Merdeka 5 November 1993, kol. 4.
Hudit Wahyudi, “Supremasi Hukum” dalam Manggalam Naya
Wiwarottama, hlm. 32.
Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, Beirut: Dar al-Fikr, 1963.
Ibrahim Hosein, “Jenis-jenis Hukum dalam Hukum Pidana Islam”
dalam 20 tahun KH. Ali Yafie, Bandung : Mizan, 1997.

Hukum Pidana Islam | 351 |


Ibn al-Qayyim, I’lam al-Muwaqi’in ar Rab al-Alamin, Beirut: Dar
al_fikr, 1977.
Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, Beirut:
Dar al-Fikr, 1968.
Ibn Hazm, al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Ibrahim Halabi, Matan Mutlaq al-Abhur Syahr Majmu’ al-Anhur,
Mesir: Dar al-Bab al-Halabi wa Awladuhu, 1963.
Imdadun Rahmat, “Jalan Alternatif Syari’at Islam” dalam Taswirul
Afkar, edisi No. 12 tahun 2002.
Imam an-Nawawi, Sahih Muslim bi Syarh an-Nawawi, Beirut:
Dar al-Fikr, t.t.
Imam Malik, al-Muwatta, , Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Imam Muslim, Sahih Muslim, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Imam al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.),
IV:48.
Jawahir Tanthowi “Membangun Budaya Hukum di
Indonesia”Makalah disampaikan pada kuliah perdana Program
Magister Ilmu Hukum UII di Hotel Garuda Yogyakarta.
Jawahir Tanthowi “Membangun Budaya Hukum di Indonesia”
Makalah disampaikan pada kuliah perdana Program Magister
Ilmu Hukum UII di Hotel Garuda Yogyakarta, hlm. 14.
Jurjani, al-, at-Ta’rifat, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.,
Jurjawi, al, Hikmah at-Tasyri’ wa Falsafatuhu Beirut: Dar al-Fikr,
t.t.
Jamaludin Ancok, “Efektivitas Hukum Pidana Islam” Makalah
tidak diterbitkan, Yogyakarta: Fak Hukum UII, 1992.
Jazuli, Fiqh Jinayah Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam,
Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,
Jakarta: balai Pustaka, 1989.
Khalaf, Abd al-Wahab, Ilmu Ushul al-Fiqh, Kairo: Dar al-Qalam,
1990.

| 352 | Hukum Pidana Islam


Kholid Mas’ud, Filsafat Hukum Islam, Bandung: Pustaka, 1996.
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, cet. 2, Bandung:
Mizan, 1997.
------------, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, Bandung:
Mizan, 1991.
------------, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, Yogyakarta:
Salahudin Press, 1985.
------------, “Dari Integrasi Nasional ke Sistemasi Nasional” dalam
Transformasi Masyarakat Indonesia, Jakarta: Kelompok Studi
Proklamasi, 1986.
Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana di Indonesia, Bandung:
Sinar Baru 1984.
Lili Rasidi, Apakah Hukum Itu, Bandung: Remaja Karya, 1985.
Lili Rasyidi dan Arief Sidarata, Mazhab dan Refleksinya, Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 1994.
Makhrus Munajat, “Penegakkan Supreamsi Hukum dalam Islam”
dalam jurnal asy-Syir’ah, Yogyakarta, 2001
-----------, “Reaktualisasi Pemikiran Jarimah Hudud dan Qisas,
dalam Tesis, Yogyakarta, UII, 1999.
----------, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Yogyakarta: Lougung
Pustaka, 2004.
----------, Reaktualisasi Pemikiran Hukum Pidana Islam: Upaya
ke Arah Obyektivikasi Hukum Pidana Islam dalam Sistem
Hukum Nasional, Yogyakarta: Cakrawala, 2005
______, Fiqh Jinayah: Norma-Norma Hukum Pidana Islam,
Yogyakarta: Syari’ah Press, 2008.
Mahfudz MD, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Yogyakarta:
Gema Media, 1999.
Marsum, Fiqh Jinayah: Hukum Pidana Islam, Yogyakarta: Fak
Hukum UII, 1988.
----------, Jarimah Ta’zir, Yogyakarta: Fak Hukum UII, 1994.
Marcel, a Boisard, L. Humanisme de l.Islam, Paris, t.tp.t.t.

Hukum Pidana Islam | 353 |


Mac Donald, Development of Muslim Theology Jurisprudence and
Constitutional Theory, London: Publisher Limited, 1985.
Mas’ad Ma’sum, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Yogyakarta,
t.t.p. 1987.
Mawardi, al-, al-Ahkam as-Sultaniyah, Mesir: Dar al-Bab al-
Halabi wa Awladuhu, 1963.
Muhamad Salim al-Awa, “The Basic of Islamic Penal Legalisme”
dalam M.Charief Basioni, The Islamic Criminal Justice
syesten, London: Oceana Publication, 1982.
------------, Punishment in Islamic Law, Indianapolis: American
Thurst Publication, 1982.
Mudzakkir, “Integrasi Hukum Islam dalam Hukum Nasional:
Upaya Restrukturisasi Perundang-Undangan Nasional” dalam
jurnal Mazhabuna, No. 2 Tahun II/2003.
Muldjatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1987.
Murtandha Muthahari, Keadilan Ilahi: Asas dan Paradigma Dunia
Islam, Bandung: Mizan, 1992.
Nurcholis Madjid, Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan,
Bandung: Mizan, 1987.
Petter L. Berer, Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial (The
Sacred canopy), alih bahasa Hartono, Jakarta: LP3ES, 1991.
Purwodarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 1986.
Rahman Ritonga, dkk. Ensiklopedi Hukum Islam, ed. Abd Azizi
Dahlan, dkk., Jakarta: PT: Intermassa, 1997.
Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
RUU KUHP, Departemen Kehakiman dan HAM RI, 2000.
Ruben Levy, The Social Structure of Islam, Cambridge: University
Press, 1975.
Sarbini al-Khatib, Mughni al-Muhtaj, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Shatibi, Abu Ishaq ash-, al-Muwafaqat fi Usul al-Ahkam, edisi al-
Hudair Husain, Beirut.: Dar al-Fikr, t.t., II: 2-3.

| 354 | Hukum Pidana Islam


Sabuni, as-, Rawa’i al-Bayan:Tafsir Ayat al-Ahkam, Beirut.: Dar
al-Fikr, t.t.
Santoso, Topo, Menggagas Hukum Pidana Islam, Penerapan
Syari’at Islam dalam Konteks Modernisasi, Bandung : Mizan,
2000.
-----------, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syari’at
Islam dalam Wacana dan Agenda, Jakarta: Gema Insani Press,
2003.
Sayid al-Jamili, as-, Asbab an-Nuzul, Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi,
1968,
Siti Nadrah, Wacana Keagamaan dan Politik Nurcholis Madjid,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.
Soleman B. Toneko, Pokok-pokok Studi Hukum dalam Masyarakat,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993.
Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdillah, Sosiologi Hukum dalam
Masyarakat, Jakarta: Rajawali Press, 1987.
Suroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
Syahrur, Muhammad, al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mua’sirah,
Damaskus: al-Ahali li at-Taba’ah wa an-Nashr wa at-Tawzi’,
1990.
Subhi Mahmasani, Falsafah at-Tasyri’ fi al-Islam, Mesir: Dar al-
Qalam, 1945.
Subekti dan Tjitrosudibyo, Kamus Hukum, Jakarta: Pradnya
Paramita, 1969.
Sudjono Dirdjosisworo, Sosiologi Hukum, Jakarta: CV. Rajawali,
1984.
Suyuti, Jalaludin as-. al-Asybah wa an-Nazair, Beirut: Dar al-Fikr,
1969.
------------, al-Jami’ ash-Shaghir, Beirut: Dar al-Fikr, 1963.
Syafi’i Anwar, “Negara dan Cendekiawan Muslim Indonesia
Orde Baru” dalam Pembangunan dan Kebangkitan Islam di
Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES, 1993.

Hukum Pidana Islam | 355 |


Tahir Azhari, M. Negara Hukum, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Taufiq Abdullah, Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma
Mutakhir Islam Indonesia, Bandung: Mizan, 1998.
Tirmizi, at-, Sunan at-Tirmizi, Mesir: Dar al-Bab al-Halabi wa
Awladuhu, 1963
Thoha Husein, asy-Syaikhan, Dua Tokoh Besar dalam Sejarah
Islam Abu Bakar dan Umar. alih bahasa Ali Audah, Jakarta:
Pustaka Jaya, 1986.
Umar Syihab, Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran,
Semarang: Dina Utama, 1996.
Wali Allah al-Dihlawi, Hujjat Allah al-Balighah, Kairo: Dar at-
Turas, 1185 H.
Waell B. Hallaq, A. History of Islamic Legal Theories, Chambirdge:
University Press, 1997.
Yusuf al-Qardawi, Syari’ah al-Islamiyah Khuladuhu wa Salahiha
li Tatbiqi li Kulli Zamani wa Makani, alih bahasa Abu Zaki,
Surabaya: Pustaka Progresif, 1993.
Yahya Harahap, Sosialisasi Kompilasi Hukum Islam, Yogyakarta:
UII Press, 1992.
Zahrah, Abu, al-Jarimah wa al-Uqubah fi al-Fiqh al-Islam, Beirut:
Dar al-Fikr, 1963.
------------, Ushul al-Fiqh, Mesir: Dar al-Bab al-Halabi wa
Awladuhu, 1957.
Zaeni Dahlan, Ijtihad: Suatu Kontroversi, Yogyakarta: Titihan
Ilahi Press, 1997.

| 356 | Hukum Pidana Islam


DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS

Prof. Dr. Drs. H. Makhrus Munajat, SH., M.Hum, Lahir di


Pemalang, 2 Pebruari 1968 adalah Guru Besar Ilmu Hukum pada
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. Pendidikan
ditempuh pada jenjang S1 pada Fakultas Syari’ah IAIN Yogyakarta,
lulus 1992 pada jenjang yang sama menempuh program S1 pada
Program Studi Ilmu Fakultas Hukum UCY lulus tahun 2014,
Kemudian program Magister pada Ilmu Hukum UII lulus 1999
dan jenjang S3 pada program Doktor Ilmu Hukum UII lulus. 2011.
Riwayat Pekerjaan dimulai Dosen tetap pada Fakultas Syari’ah
dan Hukum 1993 s/d sekarang; Dosen Pascasarjana UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta Kajur Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah 2002
s/d 2010; Ketua Program Akselarasi Jurusan PMH 2010 s/d 2012
Dosen Luar Biasa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam 2012 s/d
2015; Dosen Luas Biasa Fakultas Teknologi Pertanian UGM 2001
sd Sekarang; Kepala Pusat Audit dan Pengendalian Mutu UIN
Sunan Kalijaga 2013 s/d 2015 , Wakil Dekan Bidang Administrasi
Umum, Kepegawaian dan Keuangan pada Fakultas Syari’ah dan
Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Sekretaris Komisi Fatwa
dan Hukum MUI DIY, tahun 2000 – Sekaran Auditor Halal
pada Lembaga Pengkajian Pangan, minuman, obat-obatan dan
kosmetik LPPOM DIY Tahun 2000 –Sekararng. Adapun Karya
Ilmiah yang diterbitkan: Dekonstruksi Hukum Pidana Islam,
Yogyakarta: Lougung Pustaka, 2004, Reaktulisasi Pemikiran
Hukum Pidana Islam:Upaya ke Arah Obyektivikasi Hukum
Pidana Islam dalam Sistem Hukum Pidana Nasional, Yogyakarta:
Cakrawala, 2005, Fiqh Jinayah: Norma-norma Hukum Pidana
Islam, Yogyakarta: Fakultas Syari’ah UIN Yogyakarta, 2007.

| 357 |
Hukum Pidana Islam , Yogyakarta, Nawesea Pres, 2010, Hukum
Pidana Islam di Indonesia, Penerbit Teras Yogyakarta, 2011,
Reaktualisasi Hukum Pidana dalamMazhab Yogya Tulisan bersama,
diterbitkan Yogyakarta: ar-Ruz, 2007, Pancasila dan Pendidikan
Kewargaan, Yogyakarta:Suka Press Pokja Akademik UIN, 2006,
Hukum Pidana Islam Kontemporer, Yogyakarta : Suka Press Pokja
Akademik UIN, 2007, Studi Islam di Perguruan Tinggi Umum,
Yogyakarta: Nawesea Press, 2008. Stud Islam: Studi Penelsusuran
Sejarah Perkembangan Pemikiran, Yogyakarta, Cakrawala, 2011.
Politik Hukum Islam d Indonesia,Yogyakarta, Fakultas Syari’ah
Pres, 2009, Transformasi Hukum Pidana Islam dalam Konteks
KeIndonesiaan,Yogyakarta: Penerbit Ujung Pena 2011, Sistem
Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Sebuah Pendekatan Diversi
dan Restoratif Justice,Yogyakarta: Penerbit Q. Media, 2013.
Perlindungan Hukum Terhadap Anak yang Berhadapan dengan
Hukum, Yogykarta, Q.Media, 2014. Fiqh dan HAM, Yogyakarta,
Fakultas Syari’ah Press. 2014. Pendidikan Kader Ulama, Yogyakarta,
Penerbit Q.Media, 2014. Penulis Editor, Buku Panduan Pendidikan
Kader Ulama, Yogyakarta, Q. Media 2014 Hukum Pidana Islam,
Yogyakarta, Pesantren Nawesea Press, 2010.

| 358 | Hukum Pidana Islam

Anda mungkin juga menyukai