11
1. Pengertian Hukum Perdata..........11
2. Hukum Perdata di Indonesia........12
3. Dasar Hukum Berlakunya Hukum
Perdata Eropa..................................16
4. Sejarah Terbentuknya Hukum
Perdata (BW)...................................19
5. Kedudukan BW pada Waktu
Sekarang.........................................26
6. Bidang-bidang Hukum Perdata dan
Sistimatiknya...................................34
7. Bagian-bagian BW yang Tidak
Berlaku Lagi.....................................37
8. Hukum Perdata yang Bersifat
Pelengkap dan Bersikap Memaksa. .41
BAB 2..................................................45
Hukum Orang (Personenrecht)...........45
1. Manusia Sebagai Subyek Hukum 45
A. Manusia....................................45
B. Ketidakcakapan........................47
C. Pendewasaan...........................48
D. Nama.......................................49
E. Tempat Tinggal........................50
F. Keadaan Tidak Hadir................51
2. Badan Hukum Sebagai Subyek
Hukum.............................................53
A. Pengertian Badan Hukum........53
B. Teori-teori Badan Hukum.........54
C. Pembagian Badan-badan Hukum
.....................................................55
D. Peraturan Tentang Badan Hukum
(Rechtspersoon)...........................57
E. Syarat-syarat Badan Hukum....58
F. Perbuatan Badan Hukum..........60
BAB 3..................................................61
Hukum Keluarga (Familierecht)..........61
1. Perkawinan..................................62
A. Pengertian Perkawinan............62
B. Syarat-syarat Perkawinan........64
C. Pencatatan dan Tatacara
Perkawinan...................................74
D. Keabsahan Perkawinan............77
E. Pencegahan Perkawinan..........82
F. Pembatalan Perkawinan...........84
2. Akibat Hukum Perkawinan...........86
A. Hak dan Kewajiban Suami Isteri
.....................................................86
B. Harta Benda dalam Perkawinan
.....................................................87
C. Kedudukan Anak......................88
D. Hak dan Kewajiban antara Orang
Tua dan Anak...............................89
E. Perwalian..................................90
3. Putusnya Perkawinan..................92
A. Sebab-sebab Putusnya
Perkawinan...................................92
B. Akibat Putusnya Perkawinan....98
BAB 4................................................100
Hukum Benda (Zakenrecht).............100
Pengertian Benda..........................100
2. Pembedaan Macam-Macam Benda
......................................................100
A. Benda tidak bergerak dan benda
bergerak.....................................104
B. Benda yang musnah dan benda
yang tetap ada...........................106
C. Benda yang dapat diganti dan
benda yang tidak dapat diganti. 107
D. Benda yang dapat dibagi dan
benda yang tidak dapat
dibagi.........................................107
E. Benda yang diperdagangkan dan
benda yang tidak
diperdagangkan.........................108
F. Benda yang terdaftar dan benda
yang tidak terdaftar...................108
3. Perbedaan Sistem Hukum Benda
Dan Sistem Hukum Perikatan........109
4. Pembedaan Hak Kebendaan.....111
5. Hak Kebendaan Yang Bersifat
Memberi Kenikmatan ...................112
A. Bezit.......................................112
B. Hak Milik (Hak Eigendom)......119
C. Hak Memungut Hasil
(Vruchtgebruik)..........................128
D. Hak Pakai dan Hak Mendiami 130
6. Hak Kebendaan Yang Bersifat
Memberi Jaminan...........................131
A. Hak Gadai (Pandrecht)...........131
B. Jaminan Fidusia......................137
C. Hak Tanggungan...................145
D. Hypotheek.............................160
E. Privilege (Piutang-piutang yang
Diistimewakan)...........................171
BAB 5................................................174
Hukum Perikatan..............................174
1. Istilah Dan Pengertian Perikatan
......................................................174
2. Pengaturan Hukum Perikatan....178
3. Sumber Sumber Perikatan.........179
4. Syarat-Syarat Perjanjian............182
5. Macam-Macam Perikatan..........189
6. Wanprestasi dan Akibat-akibatnya
......................................................193
7. Penggantian Kerugian...............196
8, Pembatalan Perjanjian...............201
9. Overmacht (Keadaan Memaksa)
......................................................204
10. Exceptio Non Adempleti
Contractus dan Rech&s-verwerking
......................................................212
A. Exceptio Non Adempleti
Contractus..................................212
B. Rechtsverwerking..................213
11. Pelaksanaan Perjanjian............214
A. Arti melaksanakan perjanjian. 214
B. Penafsiran perjanjian.............215
C. Itikad baik dalam melaksanakan
perjanjian...................................216
D. Hakim berkuasa menyimpangi isi
perjanjian...................................218
12. Perikatan yang Bersumber dari
Undang-undang.............................221
A. Zaakwaarneming...................221
B, Pembayaran yang tidak
diwajibkan..................................224
C. Natuurlijke verbintenis...........225
D. Perbuatan melanggar hukum
(Onrechtmatige daad)................227
13. Hapusnya Perikatan................233
BAB 6................................................248
Bunga Rampai Hukum Perdata.........248
1. Kedudukan Hukum Perdata
Warisan Kolonial Satu Demi Satu
Ikatannya Harus Dilepaskan Hakim*)
......................................................248
2. Pengaruh Politik Hukum Belanda
terhadap Dunia Bisnis*).................253
3. Mendambakan Hukum Ekonomi
yang Baik*)....................................256
4. Hukum Jaminan Nasional*)........259
5. Hukum Pertanihan sebagai Sarana
Pembangunan*).............................263
6. Pembebasan Tanah Tanpa
Kericuhan*)....................................266
7. Perbaikan Pembebasan Tanah*)7
......................................................270
8. Perbuatan Melanggar Hukum oleh
Penguasa*)....................................274
9. Risiko Perubahan Nilai Mata Uang*)
......................................................276
10. Ganti Kerugian karena
Pencemaran*)................................278
Daftar Pustaka..................................282
Hak cipta yang dilindungi undang-
undang pada: Pengarang
Hak Penerbit
Penerbitan P.T. Alumni
pada P.T. Alumni
Percetakan TIM ALUMNI
Perancang
Kulit
EDISI PERTAMA
Cetakan Kesatu Tahun 1985
EDISI KEDUA
Cetakan Kesatu : Tahun
2004
EDISI KETIGA
Cetakan Kesatu : Tahun
2006
(dengan
tambahan)
Sebagian atau seluruh isi buku ini
dilarang digunakan atau diperbanyak
dengan tujuan komersial dalam
bentuk apa pun
tanpa izin tertulis dari Penerbit
Alumni, kecuali dalam hal pengutipan
untuk keperluan penulisan artikel atau
karangan ilmiah dengan menyebutkan
buku ini sebagai sumber.
Anggota IKAPI
PENERBIT P.T. A L U M N I
Jl. Bukit Pakar
Timur 11/109 Tel.
(022) 2501251,
2503038, 2503039
Fax. (022) 2503044 -
Bandung - 40197
Website :
www.alumni.co.id E-
mail :
penerbit@alumni.co.id
Oleh karena itu, secara umum dapat kita simpulkan bahwa yang
dimaksud dengan hukum perdata ialah hukum yang mengatur
hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain
di dalam masyarakat yang menitik-beratkan kepada kepentingan
perseorangan (pribadi).
Kendatipun hukum perdata mengatur kepentingan perse-
orangan, tidak berarti semua hukum perdata tersebut secara mumi
mengatur kepentingan perseorangan, melainkan karena perkem-
bangan masyarakat banyak bidang-bidang hukum perdata yang
telah diwarnai sedemikian rupa oleh hukum publik, misalnya
bidang perkawinan, perburuhan, dan sebagainya.
Selanjutnya, hukum perdata ini ada yang tertulis dan ada yang
tidak terulis. Hukum perdata yang tertulis ialah hukum perdata
yang termuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Sedangkan hukum perdata yang tidak tertulis ialah Hukum Adat.
Yang dibicarakan dalam buku ini adalah hukum perdata yang
tertulis sebagaimana termuat dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata maupun dalam peraturan perundang-undangan lainnya.
1 Ibid.
2 Peraturan yang berlaku sekarang tentang hak cipta ini adalah Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
108)3), Woeker ordonansi (Stb. 1938 No. 523), dan ordonansi
tentang Pengangkutan di Udara (Stb. 1938 No. 100).
Selanjutnya, orang-orang bukan golongan Eropa dapat dengan
sukarela menundukkan diri kepada hukum perdata Eropa yang
diatur dalam peraturan yang termuat dalam Stb. 1917 No. 17, yang
diberi nama dengan "Regeling nopens de Vrijwillige Onderwerping
aan het Europeesch Privaatrecht" (Peraturan mengenai
penundukan diri dengan suka rela kepada hukum perdata Eropa).
Peraturan ini mengenal empat macam penundukan diri, yaitu
penundukan kepada seluruh hukum perdata Eropa (yang diatur
dalam Pasal 1 - 17), penundukan kepada sebagian hukum perdata
Eropa (yang diatur dalam Pasal 18 - 25), penundukan diri pada
perbuatan hukum tertentu (yang diatur dalam Pasal 29).
Penundukan diri yang terakhir inilah yang paling banyak terjadi
dalam praktek. Pasal 29 peraturan penundukan diri tersebut
menentukan, jika seseorang bangsa Indonesia asli melakukan suatu
perbuatan hukum yang tidak dikenal atau tidak ada diatur dalam
hukumnya sendiri, ia dianggap secara diam-diam menundukkan
dirinya pada hukum perdata Eropa. Misalnya, menandatangani
aksep (surat kesanggupan untuk membayar sejumlah uang),
menandatangani wesel, menandatangani perjanjian asuransi, dan
sebagainya.
Lembaga penundukan diri yang diatur dalam Stb. 1917 No. 12
ini sebenarnya lebih ditujukan bagi golongan Bumiputra,
sedangkan bagi golongan Timur Asing sudah hampir tidak relevan
lagi dengan adanya peraturan yang termuat dalam Stb. 1855 No. 79
tanggal 8 Desember 1855 yang kemudian diubah dan ditambah
dengan Stb. 1924 No. 556 tanggal 9 Desember 1925 yang mulai
berlaku pada tanggal 1 Maret 1925 (yang akan diterangkan di
bawah ini).
Diadakannya lembaga penundukan diri kepada hukum perdata
Eropa ini, sedikit banyak untuk kepentingan orang-orang golongan
Eropa sendiri. Sebab, seperti dinyatakan Mr. C. J. Scholten Van
Oud-Haarlem, Ketua Hooggerechtshof yang ketika itu menjabat
sebagai Ketua Lembaga Penundukan dalam notanya tahun 1840,
bahwa penundukan sukarela akan memberi keamanan besar (grole
veiliheid) dan keuntungan kepada orang Eropa, sebab kalau mereka
membuat perjanjian atau perikatan dengan orang-orang yang tidak
tergolong ke dalam orang Eropa, dengan memperlakukan hukum
Eropa atas perjanjian yang dibuatnya itu.
Dengan demikian, kepentingan orang Eropa dapat diamankan
karena hukum Eropa merupakan hukum tertulis yang akan lebih
3 Peraturan yang berlaku sekarang tentang koperasi ini adalah Undang-undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
banyak memberikan kepastian hukum daripada hukum adat yang
tidak tertulis.11)
Lembaga penundukan diri secara sukarela tidak mungkin
terjadi sebaliknya, artinya lembaga ini hanya mungkin dilakukan
oleh orang Indonesia ash dan Timur Asing terhadap hukum perdata
Eropa, dan tidak mungkin terjadi penundukan diri secara suka rela
dari orang Eropa atau Timur Asing terhadap hukum adat.12)
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa lembaga
penundukan diri kepada hukum perdata Eropa bagi golongan Timur
Asing sudah hampir tidak relevan lagi dengan adanya peraturan
yang termuat dalam Stb. 1855 No. 79. Sebab, dengan peraturan
yang termuat dalam Stb. 1855 No. 79 tersebut, hukum perdata
Eropa (Burgerlijk Wetboek dan Wetboek van Koophandel)
dinyatakan berlaku terhadap orang golongan Timur Asing, kecuali
hukum keluarga dan hukum waris.
Kemudian pada tahun 1917 mulai diadakan pembedaan antara
golongan Timur Asing Tionghoa dan Timur Asing bukan
Tionghoa, karena untuk golongan Timur Asing Tionghoa dianggap
bahwa hukum Eropa yang sudah berlaku bagi mereka dapat
diperluas lagi. Lalu diadakan peraturan tersendiri mengenai hukum
perdata ini bagi mereka, yaitu peraturan yang termuat dalam Stb.
1917 No. 129 (yang baru berlaku untuk seluruh Indonesia sejak
tanggal 1 September 1925). Menurut peraturan ini seluruh hukum
perdata Eropa berlaku bagi mereka, kecuali pasal-pasal mengenai
Burgerlijk Stand yang termuat dalam bagian 2 dan 3 titel 4 buku 1
BW, dimana bagi orang-orang golongan Timur Asing Tinghoa
diadakan Burgerlijk Stand tersendiri, serta peraturan tersendiri
tentang pengangkatan anak (adopsi) yaitu dalam bagian orang
golongan Timur Asing bukan Tionghoa (Arab, India, Pakistan dll.),
berdasarkan peraturan yang termuat dalam Stb. 1855 No. 79 yang
kemudian diubah dan ditambah terakhir dengan Stb. 1924 No. 446
11) Asis Safioedin, S.H., Beberapa Hal tentang Burgerlijk
Wetboek, Alumni, Bandung, cet. III, 1977, p. 28.
12) Ibid.
langgal 9 Desember 1924 dan mulai berlaku tanggal 1 Maret 1925,
hukum perdata Eropa berlaku bagi mereka, kecuali mengenai
hukum keluarga dan hukum waris, dimana untuk kedua bidang
hukum ini tetap berlaku hukum adat mereka sendiri. Akan tetapi,
mengenai pembuatan wasiat (testament) hukum perdata Eropa
berlaku juga bagi mereka.13)
3. Dasar Hukum Berlakunya Hukum
Perdata Eropa
Dalam Undang-undang Dasar 1945, konstitusi RIS dan
Undang-undang Dasar Sementara 1950 ada dimuat aturan
peralihan. Salah satu maksud diadakannya aturan peralihan ini ialah
untuk menjadi dasar berlakunya terus peraturan perundang-
undangan yang ada pada saat undang-undang dasar tersebut
diberlakukan. Dengan demikian, kevacuman hukum dalam
masyarakat dapat dilundari.
Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945
menentukan:
"Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung
berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-
undang Dasar ini".
Kemudian Pasal IV Aturan Peralihan Undang-undang Dasar
1945 juga menentukan:
"Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk
menurut Undang-undang Dasar ini, segala kekuasaan
dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite
Nasional Pusat".
Berdasarkan Aturan Peralihan dalam Undang-undang Dasar
1945 itu, pada tanggal 10 Oktober 1945 Presiden mengadakan dan
mengumumkan Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1945, yang
bunyinya sebagai berikut:
13) Prof. R. Subekti, S.H. op.cit. p. 12, 13; Asos Safioedin. S.H., op.cil.. p. 31.
"KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, untuk ketertiban
masyarakat, bersandar atas Aturan Peralihan Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Pasal I I berhubung dengan
Pasal IV menetapkan peraturan sebagai berikut:
Pasal 1
"Segala Badan-badan Negara dan peraturan yang ada sampai
berdirinya Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus
1945, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-
undang Dasar masih berlaku asal saja tidak bertentangan
dengan Undang-undang Dasar tersebut".
Pasal 2
"Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1945".
Dalam penjelasan Peraturan pemerintah No. 2 Tahun 1945 ini
disebutkan bahwa, diadakannya Peraturan Pemerintah tersebut
adalah untuk lebih menegaskan berlakunya Pasal II Aturan
Peralihan Undang-undang Dasar 1945.
Jadi, berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang
Dasar 1945 dan Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 1945, maka
keadaan hukum perdata pada tanggal 17 Agustus 1945 diteruskan
berlakunya di Indonesia. Bagaimana keadaan hukum perdata pada
tanggal 17 Agustus 1945 itu?
Sebagaimana diketahui negara Indonesia pada waktu itu dijajah
oleh Jepang, sehingga sebelum tanggal 17 Agustus 1945 berlaku
peraturan-peraturan Pemerintah Balatentara Jepang. Untuk daerah
Jawa dan Madura, Pemerintah Balatentara Jepang telah
mengeluarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1942 tanggal 7 Maret
1942, dimana dalam Pasal 3 dinyatakan:
"Semua badan-badan Pemerintah dan kekuasaannya, hukum
dan undang-undang dari Pemerintah yang dahulu, tetap diakui
sah buat sementara waktu, asal saja tidak bertentangan dengan
aturan Pemerintah Militer".
Sedangkan untuk daerah-daerah luar Jawa dan Madura ada
badan-badan dan kekuasaan lain dari Balatentara Jepang yang
tindakan-tindakannya dalam hal ini boleh dikatakan sama.14)
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pada zaman Jepangpun
tetap dilanjutkan berlakunya peraturan perundang-undangan dari
zaman Hindia Belanda, yang sebenarnya tidak hanya mengenai
hukum perdata, tetapi juga hukum-hukum bidang lain, seperti
hukum pidana, hukum acara pidana, hukum acara perdata, dan
sebagainya.
Dengan adanya a uran-aturan peralihan tersebut di atas, maka
segala peraturan hukum peninggalan Pemerintah Hindia Belanda
dahulu (seperti IS, BW, WvK, dan sebagainya) dinyatakan tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang
Dasar 1945.
Persoalannya sekarang adalah apakah Pasal-pasal 163 dan 131
IS sampai sekarang masih bisa dipertahankan berlakunya? Apakah
jiwa pasal-pasal itu tidak bertentangan dengan Undang-undang
Dasar 1945 dan semangat serta suasana kemerdekaan Indonesia?
Yurisprudensi, praktek perundang-undangan dan doktrin,
semuanya berkesimpulan dan sependapat bahwa pada tanggal 17
Agustus 19445, IS (indische Staatsregeling) sebagai kodifikasi
hukum pokok ketatanegaraan sudah tidak berlaku lagi. Aturan-
aturannya satu persatu dinilai, apakah sesuai atau bertentangan
dengan semangat dan suasana kemerdekaan.15)
Jadi, yang dipertahankan oleh aturan peralihan bukan IS
sebagai kodifikasi, tetapi hanyalah aturan-aturannya yang lepas dari
ikatannya sebagai kodifikasi, sepanjang aturan-aturan itu tidak
bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945.
18) Ibi
d.
d. Hukum Intermediare yakni hukum yang ditetapkan di Perancis
sejak permulaan Revolusi Perancis hingga Code Civil
terbentuk.
Kodifikasi hukum perdata Perancis baru selesai dibentuk
Tahun 1804 dengan nama Code Civil des Francais. Code Civil
Perancis ini mulai berlaku sejak tanggal 21 Maret 1804. Setelah
diadakan perubahan sedikit di sana-sini, pada tahun 1807
diundangkan dengan nama Code Napoleon, tetapi kemudian
disebut lagi dengan Code Civil Perancis. Sejak tahun 1811 sampai
tahun 1838 Code Civil Perancis ini setelah disesuaikan dengan
keadaan di negeri Belanda berlaku sebagai kitab undang-undang
yang resmi di negeri Belanda, karena pada waktu itu negeri
Belanda berada di bawah jajahan Perancis.20)
Di negeri Belanda setelah berakhir pendudukan Perancis tahun
1813, maka berdasarkan Undang-undang Dasar (Grond Wet) negeri
Belanda tahun 1814 (Pasal 100) dibentuk suatu panitia yang
bertugas membuat rencana kodifikasi hukum perdata. Panitia ini
diketuai Mr. J.M. Kemper.
Tahun 1816 oleh Kemper disampaikan kepada raja suatu
rancangan kodifikasi hukum perdata, tetapi rancangan ini tidak
diterima oleh para ahli hukum Bangsa Belgia (pada waktu itu
negeri Belanda dan negeri Belgia merupakan satu negara) karena
20) Ibid.
rencana tersebut disusun Kemper berdasarkan hukum Belanda
kuno. Sedangkan para ahli hukum bangsa Belgia menghendaki agar
rancangan ini disusun menurut Code Civil Perancis. Setelah
mendapat sedikit perubahan, maka rancangan itu disampaikan
kepada Perwakilan Rakyat Belanda (Tweede Kamer) pada tanggal
22 November 1820. Rencana ini terkenal dengan nama "ontwerp
Kemper" (Rencana Kemper). Dalam perdebatan di Perwakilan
Rakyat Belanda, rencana Kemper ini mendapat tantangan yang
hebat dari anggota-anggota Bangsa Belgia (wakil-wakil Nederland
21) Ibi
akhirnya mengakibatkan pemisahan antara negeri Belanda dan
negeri Belgia (1830 - 1939). Kemudian dalam bulan Januari 1831
23) Ibid.
.24) Mr. R. Tresna, Komentar HIR, Pradnya Paramita,
masih belum selesai dikerjakan. ) Rencana peraturan yang telah
dihasilkan adalah:26)
1. Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Nederlandsch Indie
(Ketentuan umum perundang-undangan di Indonesia);
2. Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-undang Hukum Perdata):
3. Wetboek van Koopli indel (K.U.H. Dagang);
4. Reglement op de Rechteiiijke Organisatie en het Beleid der
justitie (RO - Peraturan susunan pengadilan dan pengurusan
justisi);
5. Enige Bepalingen betreffende Misdrijven begaan ter
gelegenheid van faillissement en bij Kennelijk Overmogen,
mitsgaders bij Surseance van Betaling (Beberapa ketentuan
mengenai kejahatan yang dilakukan dalam keadaan pailit dan
dalam keadaan nyata tidak mampu membayar).
Sebagai hasil kerja Mr. Wichers dan Mr. Scholten van Out
Haarlem, maka dikeluarkan Firman Raja tanggal 16 Mei 1846 No.
1, dan beberapa hari kemudian berangkatlan Mr. Wichers ke
Hindia Belanda membawa kitab-kitab hukum yang telah selesai
dikerjakannya serta telah ditandatangani oleh Raja untuk
diberlakukan di Hindia belanda.27)
Firman Raja Belanda tanggal 16 Mei 1846 No. 1 itu semuanya
terdiri dari 9 pasal dan isinya diumumkan seluruhnya di Hindia
Belanda dengan Stb. 1847 No. 23. Dalam Pasal 1-nya antara lain
dinyatakan bahwa peraturan-peraturan hukum yang dibuat untuk
Hindia Belanda adalah:
(1) Ketentuan umum perundang-undangan di Indonesia;
(2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata;
(3) Kitab Undang-undang Hukum Dagang;
(4) Peraturan susunan pengadilan dan pengurusan justisi, dan
25) Ibid., p. 6.
261 Mr. Drs. E. Utrecht,
op.cit., p. 181. 27) Mr.
R/I'resna. loc.cit.
il
(5) Beberapa ketentuan mengenai kejahatan yang dilakukan dalam
keadaan pailit dan dalam keadaan nyata tidak mampu
membayar.
Kemudian dalam Pasal 2 Firman Raja itu ditentukan, bahwa
Gubernur Jenderal Hindia Belanda akan mengatur tindakan-
tindakan yang diperlukan untuk mengumumkan peraturan-
peraturan tersebut di atas di dalam bentuk yang lazim digunakan di
Hindia Belanda, sebelum atau pada tanggal 1 Mei 1847 serta untuk
memberlakukannya sebelum atau pada tanggal 1 Januari 1848.28)
Dalam sejarah tercatat, perjalanan kapal yang membawa kitab-
kitab hukum itu ternyata terlambat tiba di Hindia Belanda,
sehingga menimbulkan terhambatnya segala persiapan untuk
memberlakukan perundang-undangan yang baru itu. Oleh karena
itu, dengan Firman Raja tanggal 10 Februari 1847 No. 60 diberikan
kuasa kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk
mengundurkan penetapan saat berlakunya peraturan-peraturan
hukum tersebut.29)
Persiapan memberlakukan peraturan-peraturan hukum tersebut
dikerjakan oleh Mr. Wichers yang di Hindia Belanda menjabat
sebagai anggota Raad van State Belanda yang diperbantukan pada
Gubernur Jenderal. Tugas Gubernur Jenderal adalah member-
lakukan peraturan-peraturan hukum tersebut (Pasal 2 Firman Raja
tanggal 16 Mei 1846 No. 1). Dalam hubungan ini Mr. Wichers
telah membuat beberapa rancangan peraturan antara lain
"Reglement op de Uitoefening van de Politie, de Burgerlijke
Rechtspleging en de Strafvordering onder de Indonesiers (golongan
hukum Indonesia Asli) en de Vreemde Oosterlingen (golongan
hukum Timur Asing) op Java en Madoera" (Stb. 1848 No. 16 jo
57), yang sekarang sebagai Reglemen Indonesia Baru (RIB). 30)
31) Ibi
d.
kebutuhan hukum dan rasa keadilan masyarakat Indonesia yang
kini sudah berada di dalam alam kemerdekaan dan masa
pembangunan?
38) Prof. R. Subekti, S.H., op.cit., p. 16: Prof. Dr. Ny. Sri
Soedewi Masjhoen Sofwan. S.H., op.cit., p. 2
39) Prof. R. Subekti, S.H., loc.cit.
7. Bagian-bagian BW yang Tidak Berlaku
Lagi
Pada waktu sekarang BW bukan lagi sebagai Kitab Undang-
undang Hukum Perdata yang berlaku secara menyeluruh seperti
mulai diberlakukan pada tanggal 1 Mei 1848, tetapi beberapa
bagian ketentuan yang terdapal di dalamnya sudah tidak berlaku
lagi, baik karena adanya peraturan perundang-undangan nasional di
lapangan perdata yang menggantikannya, maupun karena
dikesampingkan dan mati oleh putusan-putusan hakim yang
merupakan yurisprudensi karena ketentuan-ketentuan BW itu
sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat dan
kemajuan zaman sekarang.
Undang-undang nasional di lapangan perdata yang pertama
kali secara radikal menyatakan tidak berlakunya lagi beberapa
ketentuan dalam B W adalah Undang-undang No. 5 Tahun i960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang lebih dikenal
dengan nama singkatan resminya Undang-undang Pokok Agraria
(U UP A). Dengan lahirnya UUPA ini tanggal 24 September 1960,
maka bagian Buku II BW tentang benda, sepanjang mengenai
bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali
ketentuan-ketentuan mengenai hipotik yang masih berlaku pada
mulai berlakunya undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku
lagi.
Dengan berlakunya UUPA itu, maka berlakunya pasal-pasal
BW Buku II sesuai dengan Surat Departemen Agraria tanggal 26
Februari 1964 No. Unda 10/3/29 dapat dirinci atas 3 macam:
a. Ada pasal-pasal yang masih berlaku penuh karena tidak
mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya.
b. Ada pasal-pasal yang menjadi tidak berlaku lagi, yaitu pasal-
pasal yang melulu mengatur tentang bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya.
c. Ada pasal-pasal yang masih berlaku tetapi tidak penuh, dalam
arti bahwa ketentuan-ketentuannya tidak berlaku lagi
sepanjang mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dan masih tetap berlaku sepanjang
mengenai benda-benda lainnya.40)
Pasal-pasal mana dari buku II BW yang masih berlaku penuh,
pasal-pasal mana yang tidak berlaku dan pasal-pasal mana yang
masih berlaku tetapi tidak penuh, Prof. Dr. Ny. Sri Soedewi
Masjhoen Sofwan, S.H dalam bukunya Hukum Benda merinci
secara garis besar sebagai berikut:41)
4Boedi Harsono, S.H.. Undang-undang Pokok Agraria. Djambatan. Jakarta, cet. II, 1970, p. 127-131: Prof. Dr. Ny. Sri Soedewi Masjhoen
Sofwan. S.H., op.cit., p. 6. 7: catatan: Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1961 sekarang diganti dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah.
yang berumur 18 tahun sudah dianggap dewasa, sehingga terhadap
dirinya tidak perlu lagi dilakukan pendewasaan.
Kemudian dengan lahirnya Undang-undang No. 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang
Berkaitan dengan Tanah, maka ketentuan-ketentuan tentang
Hipotik dalam Buku II BW titel XXI Pasal 1162 s.d. 1232
sepanjang mengenai tanah tidak berlaku lagi. Namun, ketentuan-
ketentuan tentang hipotik itu masih berlaku bagi kapal laut yang
berukuran 20m3 ke atas.
Demikianlah antara lain beberapa bagian BW yang tidak
berlaku lagi karena lahirnya peraturan perundang-undangan
nasional di lapangan perdata yang menggantikannya. Pada masa
yang akan datang, bagian-bagian BW yang tidak berlaku lagi ini
akan semakin banyak, sebab pembangunan hukum di negara kita
juga menginginkan terbentuknya hukum perdata nasional yang
akan menggantikan ketentuan-ketentuan dalam BW itu. Mudah-
mudahan dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi negara kita
sudah mempunyai hukum perikatan dan hukum benda nasional dan
bidang-bidang hukum perdata lainnya.
Sedangkan bagian-bagian dan pasal-pasal BW yang tidak
berlaku lagi karena dikesampingkan dan mati karena putusan-
putusan hakim yang merupakan yurisprudensi-yurisprudensi,
agaknya tidak mungkin disebutkan satu-persatu di sini. Akan
tetapi, untuk menyebutkan sebagai contoh pasal-pasal atau
ketentuan-ketentuan BW yang tidak berlaku lagi karena mati oleh
yurisprudensi adalah pasal-pasal yang disebut dalam Surat Edaran
Mahkamah Agung No. 3/1963 yaitu Pasal-pasal 108, 110, 284 ayat
(3), 1682, 1579, 1238, 1460, dan 1603 x ayat (1) dan (2). Dengan
adanya Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3/1963 lersebut para
hakim tidak merasa takut lagi untuk mengesam-
40
45^ Ibid p. 19, 20.
BAB 2
A. Manusia
O Manusia adalah pengertian biologis ialah gejala dalam
alam, gejala biologika yaitu makhluk hidup yang mempunyai
pancaindera dan mempunyai budaya. Sedangkan orang adalah
pengertian yuridis ialah gejala dalam hidup bermasyarakat. Dalam
hukum yang menjadi pusat perhatian adalah orang atau person.L )
Menurut hukum modern,2) seperti hukum yang berlaku seka-
rang di Indonesia, setiap manusia diakui sebagai manusia pribadi.
Artinya diakui sebagai orang atau persoon. Karena itu, setiap
manusia diakui sebagai subyek hukum (rechtspersoonlijkheid)
yaitu pendukung hak dan kewajiban.
Hak dan kewajiban perdata tidak bergantung kepada agama,
golongan, kelamin, umur, waganegara ataupun orang asing.
Demikian pula hak dan kewajiban perdata tidak bergantung pula
kepada kaya atau miskin, kedudukan tinggi atau rendah dalam
masyarakat, penguasa (pejabat) ataupun rakyat biasa, semuanya
sama.
4) Ibid. p.
80.
2. Tempat tinggal; misalnya dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah
No. 24 Tahun 1960 dan Pasal I Peraturan Pemerintah No. 41
Tahun 1964 (Tambahan Pasal 3a s.d. 3e) jo Pasal 10 ayat (2)
UUPA disebutkan larangan pemilikan tanah pertanian oleh
orang yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak
tanahnya.
3. Kedudukan atau jabatan; misalnya hakim dan pejabat hukum
lainnya tidak boleh memperoleh barang-barang yang masih
dalam perkara.
4. Tingkahlaku atau perbuatan; misalnya dalam Pasal 49 dan 53
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 disebutkan, bahwa
kekuasaan orang tua dan wali dapat dicabut dengan keputusan
pengadilan dalam hal ia sangat melalaikan kewajibannya
sebagai orang tua/wali atau berkelakuan buruk sekali.
B. Ketidakcakapan
Selanjutnya meskipun setiap orang tiada terkecuali sebagai
pendukung hak dan kewajiban atau subyek hukum
(rechtspersoonlijkheid), tetapi tidak semuanya cakap untuk
melakukan perbuatan hukum (rechtsbekwaamheid). Orang-orang
yang menurut undang-undang dinyatakan tidak cakap untuk
melakukan perbuatan hukum adalah:
6) Pasal 330 BW yang menentukan "belum dewasa" dengan
"belum mencapai umur 21 tahun" tidak berlaku lagi
dengan adanya UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 47 jo
Keputusan Mahkamah Agung tanggal 2 Desember 1976
No. 477 K/Sip/76. Lihat Prof. Subekti, S.H., Bunga
perkawinan (Pasal 1330 B W jo Pasal 47 UU No. 1 Tahun
1974);6)
2. Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan, yaitu
orang-orang dewasa tapi dalam keadaan dungu, gila, mata
gelap, dan pemboros (Pasal 1330 BW jo Pasal 433 BW);
C. Pendewasaan
Dalam sistem hukum perdata (BW), mereka yang belum
dewasa tetapi harus melakukan perbuatan-perbuatan hukum
seorang dewasa, terdapat lembaga hukum pendewasaan
(handlichting), - yang diatur pada Pasal-pasal 419 s.d. 432.
Pendewasaan merupakan suatu cara untuk meniadakan keadaan
belum dewasa terhadap orang-orang yang belum mencapai umur
21 tahun. Jadi, maksudnya adalah memberikan kedudukan hukum
(penuh atau terbatas) sebagai orang dewasa kepada orang-orang
yang belum dewasa. Pendewasaan penuh hanya diberikan kepada
orang-orang yang telah mencapai umur 18 tahun, yang diberikan
dengan Keputusan Pengadilan Negeri.
Akan tetapi, lembaga pendewasaan (handlichting) ini sekarang
tidak relevan lagi dengan adanya Undang-undang No. 1 Tahun
1974 (Pasal 47 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (2) yang menentukan
bahwa seseorang yang telah mencapai umur 18 tahun adalah
dewasa. Ketentuan Undang-undang Perkawinan yang menetapkan
umur seorang dewasa 18 tahun itu dikuatkan oleh Mahkamah
Agung dalam putusannya tanggal 2 Desember 1976 No. 477
K/Sip/76 dalam perkara perdata antara Masul Susano alias Tan
Kim Tjiang vs Nyonya Tjiang Kim Ho.7)
Dalam pergaulan hidup di masyarakat yang terdiri dari orang-
orang yang sedemikian banyaknya, maka sudah tentu diperlukan
adanya tanda untuk membedakan orang yang satu dengan orang
yang lain, selanjutnya untuk mengetahui apa yang merupakan hak-
haknya dan apa pula yang merupakan kewajiban-kewajibannya.
Tanda yang diperlukan ialah nama.
D. Nama
Bagi golngan Eropa dan mereka yang dipersamakan, soal
nama mereka ini diatur dalam Buku I titel II bagian kedua (Pasal
5a s.d 12) yang menentukan tentang nama-nama, perubahan nama-
nama, dan perubahan nama-nama depan. Akan tetapi, dengan
adanya Undang-undang No. 4 tahun 1961 yang mengatur tentang
penggantian nama, maka pasal-pasal BW tentang nama yang telah
diatur dalam undang-undang ini tidak berlaku lagi.
Masalah nama bagi orang-orang golongan Eropa dan mereka
yang dipersamakan, merupakan hal yang cukup penting, karena
nama itu merupakan identifikasi seseorang sebagai subyek hukum.
Bahkan, dari nama itu sudah dapat diketahui keturunan siapa
seorang yang bersangkutan. Hal mana sangat penting dalam urusan
pembagian warisan serta soal-soal lain yang berhubungan dengan
kekeluargaan.8)
7) Ibid.
17) Ibid. p. U .
20) Prof. Dr. Ny. Sri Soedewi M. Sofwan, S.H., op.cit., p. 30.
23) Ibid.
BAB 3
A. Pengertian Perkawinan
□ Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Rumusan perkawinan di atas ini merupakan rumusan Undang-
undang Nt>. 1 Tahun 1974 yang dituangkan dalam Pasal 1. Dalam
penjelasannya disebutkan:
"Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, dimana Sila
yang pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka
perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan
agama/ kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja
mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur bathinJrohani
juga mempunyai peranan yang penting..."
Rumusan perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun
1974 di atas ini pada dasarnya mengandung inti dan tujuan yang
sama dengan rumusan-rumusan perkawinan dari para ahli/para
sarjana.1)
B. Syarat-syarat Perkawinan
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa yang menjadi tujuan
perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 adalah
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Justru untuk lebih
menjamin tercapainya tujuan perkawinan tersebut, maka orang
6) Ibid. p. 16.
yang akan melangsungkan perkawinan menurut Undang-undang
No. 1 Tahun 1974, harus memenuhi syarat-syarat tertentu dan
melalui prosedur tertentu pula.
Ad.2. Adanya izin kedua orang tua/wali bagi calon mempelai yang
belum berusia 21 tahun 9 )
Syarat perkawinan ini disebutkan dengan jelas dalam Pasal 6
ayat (2), (3), (4), (5) dan (6) Undang-undang No. 1 Tahun 1974
yang berbunyi sebagai berikut:
5 Bandingkan
16) Prof.
dengan Dr. Wirjono
Pasal 31 Prodjodikoro,
BW dan Pasal 5 dan 6 HOCI. S.H., Hukum Perkawinan
Idonesia, Sumur bandung,
6 Bandingkan dengan Pasal 31 BW dan Pasal 5 dan 6 HOCI.
larangan-larangan kawin menurut hukum agama atau peraturan
lain terebut. Dipandang dari segi agama Islam misalnya, ternyata
masih ada larangan kawin yang belum tercantum dalam Pasal 8
Ad. 6. Bagi suami isteri yang telah bercerai lalu kawin lagi satu
sama lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, agama
dan kepercayaan mereka tidak melarang mereka kawin
kembali untuk ketiga kalinya24)
Syarat perkawinan yang keenam ini disebutkan dalam Undang-
undang No. 1 Tahun 1974 pada Pasal 10 yang menyatakan sebagai
berikut: "Apabila suami dan isteri yang telah bercerai kawin lagi
satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka
di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi,
sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu dari
yang bersangkutan tidak menentukan lain".
Dalam penjelasan Pasal 10 undang-undang ini disebutkan:
Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan
isteri dapat membentuk keluarga yang kekal, maka suatu
tindakan yang mengakibatkan putusnya suatu perkawinan
23) Bagi pegawai negeri sipil pria yang ingin melakukan
polygami dan pegawai negeri sipil wanita yang ingin
menjadi isteri kedua/ketiga/keempat, selain harus
mengindahkan ketentuan umum seperti diatur dalam
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 ini, juga harus
mengindahkan ketentuan khusus yang termuat dalam
Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 tentang Izin
Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil
yang diundangkan tanggal 21 April 1983 dalam Lembaran
Negara RI Tahun 1983 Nomor 13. Ketentuan-ketentuan
harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan dipikirkan
masak-masak. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah
tindakan kawin cerai berulang kali, sehingga suami maupun
isteri benar-benar saling menghargai satu sama lain.
Dalam Islam, suami isteri yang telah bercerai dua kali, masih
diperbolehkan untuk kawin ketiga kalinya. Akan tetapi, bilamana
mereka bercerai lagi untuk ketiga kalinya, maka mereka tidak
boleh kawin lagi, kecuali bekas isteri yang telah bercerai tiga kali
tersebut kawin dengan lelaki lain dan kemudian bercerai, maka dia
boleh melakukan perkawinan kembali dengan bekas suaminya
yang pernah bercerai ti£a kali.25)
D. Keabsahan Perkawinan
Perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tidak
hanya sekadar sebagai suatu perbuatan hukum yang menimbulkan
akibat-akibat hukum, tetapi juga merupakan perbuatan keagamaan,
sehingga sah tidaknya suatu perkawinan ditentukan menurut
hukum agama dan kepercayaan masing-masing orang yang
melangsungkan perkawinan. Hal ini berbeda sekali dengan
konsepsi perkawinan menurut Hukum Perdata Barat yang
memandang perkawinan hanya sebagai perbuatan keperdataan
belaka sebagaimana terlihat dalam Pasal 26 Burgerlijk Wetboek
yang menyatakan: "Undang-undang memandang soal perkawinan
hanya dalam hubungan-hubungan perdatanya".
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dalam Pasal 2 ayat (1)
menyatakan:
Akan tetapi, para ahli dan sarjana hukum serta golongan yang
selama ini tunduk dan melaksanakan perkawinan berdasarkan
ketentuan-ketentuan dalam BW dan HOCI, dimana perkawinan
hanya dapat dibuktikan dengan akta perkawinan mempunyai
pendapat lain yang menyatakan bahwa pencatatan perkawinan
menentukan sah tidaknya perkawinan. Menurut pendapat ini,
kedua ayat dari Pasal 2 Undang-undang No. 1 Tahun 1974
tersebut33) harus dibaca sebagai satu ketentuan. Artinya,
perkawinan yang dilangsungkan menurut agama dan kepercayaan
itu segera disusul dengan pencatatan, karena sebagaimana
ditentukan Pasal 100 BW dan Pasal 34 HOCI, akta perkawinan
adalah bukti satu-satunya suatu perkawinan. Pendapat ini juga
mengemukakan, bilamana Pasal 2 Undang-undang No. 1 Tahun
1974 tersebut dikaitkan dengan Bab III (Pasal 13 s.d. 21) dan Bab
IV (Pasal 22 s.d. 28) mengenai pencegahan dan pembatalan
perkawinan, maka pencegahan maupun pembatalan suatu
perkawinan hanyalah mungkin dilakukan bila prosedur
pencatatannya ditempuh menurut ketentuan dalam peraturan
pemerintah No. 9 Tahun 1975. Sehingga bilamana perkawinan
dianggap sah tanpa pencatatan, maka kedua Bab mengenai
pencegahan dan pembatalan perkawinan tersebut hampir tidak
berguna. Dikemukakan pula seandainya pencatatan perkawinan
dianggap tidak menentukan sahnya suatu perkawinan, maka
banyaklah di antara perbaikan-perbaikan yang diinginkan
masyarakat yang hendak dicapai dengan Undang-undang No. i
32)Drs. H. Saidus Syahar, S.H., op.cit., p. 16.
33)Pasal 2 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 menyatakan (1)
"Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu", (2) "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
tahun 1974 ini yang tidak dilaksanakan misalnya pengawasan
polygami, pencegahan perkawinan anak-anak dan sebagainya.34)
Kalau pendapat yang kedua ini diikuti secara konsekuen, dari
segi teknis pelaksanaannya saja sudah menimbulkan banyak
problem yang sukar dipecahkan, mengingat sarana dan prasarana
untuk melaksanakan pencatatan perawinan ini keadaannya di
negara kita masih jauh daripada memadai. Instansi pencatat
perkawinan saja misalnya, bagi daerah-daerah luar pulau Jawa,
pada tiap-tiap kecam,': tan belum tentu ada. Belum lagi bila jarak
antara desa dengan kecamatan kadang-kadang berpuluh-puluh
kilometer jauhnya, sedang perhubungan sedemikian sukarnya.
Oleh karena itu, bila keabsahan perkawinan digantungkan pula
dengan pencatatannya, maka ini akan menimbulkan beban yang
terlalu berat bagi masyarakat di luar kesalahan mereka.35)
Kalau kita lihat sejarah penetapan Undang-undang No. 1
Tahun 1974, maka dapat diketahui bahwa fungsi pencatatan
perkawinan semula dikehendaki oleh perancang undang-undang
adalah sebagai syarat untuk sahnya suatu perkawinan. Karena itu,
mengenai pencatatan perkawinan ini pengaturannya diformulering
oleh perancang undang-undang dalam Pasal 2 sebagai berikut:36)
C. Kedudukan Anak
Meskipun menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974
memperoleh anak (keturunan) tidak dijadikan tujuan perkawinan,
tetapi tentang anak tetap dipandang sebagai hal yang cukup
penting, satu dan lain hal karena ini mempunyai kaitan erat dengan
perwarisan, sehingga tentang anak ini diatur secara khusus dalam
Pasal 42 s.d. 44 dan Pasal 55.
Disebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan
dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (Pasal 42). Hal ini
berarti bahwa anak yang lahir di luar perkawinan yang sah
bukanlah anak yang sah. Ini membawa konsekuensi dalam bidang
perwarisan. Sebab anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya
(Pasal 43).
Dengan demikian, anak yang lahir di luar perkawinan itu
hanya dapat mewarisi harta benda yang ditinggalkan ibunya dan
keluarga ibunya, tetapi tidak dapat mewarisi harta benda yang
ditinggalkan ayahnya dan keluarga ayahnya. Dengan kata lain,
anak yang lahir di luar perkawinan tersebut hanyalah menjadi ahli
waris ibunya dan keluarga ibunya, tetapi tidak menjadi ahli waris
ayahnya dan keluarga ayahnya.
Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan
isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah
berbuat zina dan anak itu akibat daripada perzinaan tersebut.
Pengadilan memberikan keputusan tentang sah tidaknya anak atas
permintaan pihak yang berkepentingan dengan lebih dahulu mewa-
jibkan yang berkepentingan mengucapkan sumpah (Pasal 44).
Selanjutnya mengenai asal usul anak Pasal 55 Undang-undang
Perkawinan menentukan:
(1) Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan
akta kelahiran vang autentik, yang dikeluarkan oleh
Pejabat yang berwenang.
(2) Bila akta kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak
ada, maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan
tentang asal usul seorang anak setelah diadakan
pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang
memenuhi syarat.
(3 j Atas dasar ketentuan pengadilan tersebut ayat (2) pasal
ini, maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam
daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan
mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang
bersangkutan.
E. Perwalian
Perwalian dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 diatur
pada Pasal 50 s.d. 54. Akan tetapi, juga mempunyai kaitan yang
erat dengan Pasal 48 dan 49 yang mengatur tentang kekuasaan
orang tua dan pembatasannya.
Pada Pasal 49 ditentukan bahwa kekuasaan salah seorang dari
orang tua dapat dicabut dengan keputusan pengadilan atas
permintaan orang tua yang lain. Dari ketentuan Pasal 49 ini dapat
ditafsirkan, bahwa menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974
kekuasaan orang tua terhadap anak dapat dijalankan hanya oleh
seorang dari kedua orang tua si anak. Perwalian hanyalah ada
bilamana terhadap seorang atau beberapa orang anak tidak berada
di bawah kekuasaan orang tuanya sama sekali. Hal ini sesuai
dengan ketentuan dalam Pasal 50 ayat (1) yang menyatakan:
"Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun
atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak
berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah
kekuasaan wali".
Dengan demikian, maka putusnya per,-awinan antara kedua
orang tua, meninggalnya salah seorang dari kedua orang tua dan
dicabutnya kekuasaan salah seorang dari kedua orang tua, tidak
dengan sendirinya mengakibatkan anak berada di bawah
kekuasaan wali. Kecuali apabila dalam putusnya perkawinan,
kedua orang tua telah menyerahkan anaknya di bawah kekuasaan
wali. Atau kedua orang tua meninggal dunia atau kedua orang tua
dicabut kekuasaannya terhadap anaknya, maka dengan sendirinya
anak berada di bawah kekuasaan wali.
Perwalian itu tidak hanya mengenai diri pribadi anak yang
bersangkutan, tetapi juga mengenai harta bendanya.
Wah dapat ditunjuk oleh salah seorang dari kedua orang tua
yang menjalankan kekuasaan orang tua sebelum ia meninggal, baik
dengan surat wasiat maupun dengan lisan di hadapan 2 orang
saksi. Wali sedapat mungkin diambil dari keluarga anak tersebut
atau oran lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil jujur dan
berkelakuan baik (Pasal 51) ayat (1) dan (2). Ketentuan ini sudah
sewajarnya karena wali memikul kewajiban-kewajiban tertentu
seperti tersebut di bawah ini, yang kiranya hanya dapat
dilaksanakan oleh orang yang penuh tanggung jawab
1. Wali wajib mengurus anak yang di bawah penguasaannya dan
harta bendanya sebaik-baiknya dengan menghormati agama
dan kepercayaan anak itu;
2. Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada di
bawah kekuasannya pada waktu memulai jabatannya dan
mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau
anak-anak itu;
3. Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada
di bawah perwalianrya serta kerugian yang ditimbulkan karena
kesalahan atau kelalaiannya;
4. Wali tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan
barang-barang tetap yang dimiliki anak yang berada di bawah
perwaliannya, kecuali apabila kepentingan anak itu
menghendakinya
Wali yang telah menyebabkan kerugian terhadap harta benda
anak yang berada di bawah kekuasaannya, atas tuntutan anak
tersebut atau keluarganya melalui Pengadilan, dapat dihukum
untuk mengganti kerugian tersebut.
Seperti halnya kekuasaan orang tua terhadap anaknya dapat
dicabut dengan keputusan Pengadilan, maka kekuasaan wali
terhadap anak di bawah perwaliannya juga dapat dicabut dengan
keputusan Pengadilan, baik atas permintaan orang tuanya (kalau
masih hidup) maupun keluarga dalam garis lurus ke atas dan
saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang;
karena melalaikan kewajibannya sebagai wali atau berkelakuan
buruk sekali (Pasal 53 jo 49).
Apabila seorang wali dicabut kekuasaannya sebagai wali,
maka Pengadilan menunjuk oran lain sebagai penggantinya.
Orang tua yang dicabut kekuasaannya terhadap anaknya
membawa akibat yang berbeda dengan wali yang telah dicabut
kekuasannya sebagai wali. Orang tua kendatipun dicabut kekua-
saannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberikan
biaya pemeliharaan anaknya. Sedangkah wali yang dicabut
kekuasaannya sebagai wali, tidak lagi bertanggung jawab terhadap
pemeliharaan dan pendidikan anak yang berada di bawah
kekuasaannya.
Selain berakhirnya perwalian karena dicabut oleh Pengadilan,
perwalian juga berakhir bilamana anak yang berada di bawah
perwalian tersebut telah dewasa (berumur 18 tahun) atau
melangsungkan perkawinan.
3. Putusnya Perkawinan
ad.l. Kematian
Putusnya perkawinan karena kematian adalah putusnya
perkawinan karena matinya salah satu pihak (suami atau isteri).
Sejak saat matinya salah satu pihak itulah putusnya perkawinan
terjadi yakni terjadi dengan sendirinya. Agaknya hal ini tidak
memerlukan penjelasan lagi karena memang sudah jelas. Akan
tetapi, yang menjadi persoalan di sini adalah instansi apakah yang
berwenang untuk membuat dan memberikan surat keterangan
matinya seseorang?
Untuk kepastian hukum surat keterangan tentang matinya
seseorang ini agaknya sangat penting bagi seseorang yang telah
kematian suami atau isteri, sebagai bukti otentik untuk
melangsungkan perkawinan lagi misalnya.
Mungkin surat keterangan matinya seseorang yang mati di
tempat tidur di rumah/di rumah sakit atau di jalan raya karena
kecelakaan dapat dibuat dan diberikan atau disahkan dengan
mudah begitu saja oleh ketua RT, Kepala Desa/Kampung dan
Camat tanpa ada kesulitan dan keraguan sedikit pun karena
masyarakat umum mengetahui dan menyaksikannya. Akan tetapi,
bagaimana masalahnya jika saja terjadi suatu kejadian yang luar
biasa sifatnya.' Apakah surat keterangan matinya seseorang dapat
dibuat dengan seenaknya? Jelas tidak! Dalam keadaan demikian
surat keterangan matinya seseorang harus dibuat dan diberikan
atau disahkan oleh instansi yang benar-benar berwenang
menanganinya. Bagi orang-orang yang berada di bawah
lingkungan kuasa hukum perdata Barat adalah Pengadilan Negeri
(Buku I titel XVIII Pasal 463 s.d. 495 BW). Sedargkan bagi orang-
orang Indonesia asli yang bukan tunduk pada BW agaknya masih
belum jelas, baik instansi yang berwenang menanganinya maupun
peraturan hukum yang mengaturnya. Karena itu, suatu ketika
bukan tidak mungkin banyak timbul kesukaran-kesukaran
umpamanya dalam menetapkan atau menentukar mati tidaknya
penumpang-penumpang kapal yang hilang atau tenggelam, tentara
yang tidak kunjung datang dari medan perang, dan lain
sebagainya.41)
ad. 2. Perceraian
Putusnya perkawinan karena perceraian adalah putusnya
perkawinan karena dinyatakan talak oleh seorang suami terhadap
isterinya yang perkawinannya dilakukan menurut agama Islam.
Putusnya perkawinan karena perceraian ini dapat juga disebut
cerai talak.
Lembaga cerai talak ini hanya diperuntukkan bagi suami yang
beragama Islam yang perkawinannya dilakukan menurut agama
Islam yang ingin mencerai isterinya (Penjelasan Pasal 14 PP No.
9/1975).
Perceraian ini hanya dapat dilakukan di depan sidang
Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan
tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Untuk dapat
melakukan perceraian ini harus ada alasan yang dapat dibenarkan
(Pasal 39).
hal
Pemanggilan
Pemanggilan terhadap para pihak atau kuasanya dilakukan
setiap kali akan diadakan persidangan. Yang melakukan pemang-
gilan ialah Jurusita pada Pengadilan Negeri dan petugas yang
ditunjuk pada Pengadilan Agama. Pemanggilan harus disampaikan
kepada pribadi yang bersangkutan, tetapi bila tidak dijumpai
pemanggilan disampaikan melalui Lurah atau yang dipersamakan
dengan itu.
Pemanggilan tersebut harus sudah dilakukan dan disampaikan
secara patut dan sudah diterima oleh penggugat maupun tergugat-
atau kuasa mereka selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum
sidang dibuka. Panggilan kepada tergugat harus dilampiri dengan
salinan surat gugatan.
Apabila tergugat tidak mempunyai kediaman yang tetap atau
tidak jelas, maka panggilan dilakukan dengan cara menempelkan
gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan dan mengumum-
kannya melalui satu atau beberapa surat kabar atau mass media
lain yang ditetapkan Pengadilan, yang dilakukan sebanyak dua kali
dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama
dan kedua. Tenggang waktu antara panggilan kedua dengan
persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 bulan.
Dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar negeri,
panggilannya disampaikan oleh Pengadilan melalui Perwakilan
Republik Indonesia setempat.
Persidangan
Persidangan untuk memeriksa gugatan perceraian harus
dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
setelah diterimanya surat gugatan perceraian. Dalam menetapkan
hari persidangan ini perlu sekali diperhatikan tenggang waktu
pemanggilan dengan diterimanya panggilan tersebut oleh peng-
gugat maupun tei gugat atau kuasa mereka. Khusus bagi gugatan
yang tergugatnya berada di luar negeri, persidangan ditetapkan
sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak dimasukkan-
nya gugatan perceraian di kepaniteraan pengadilan.
Para pihak yang berperkara yakni suami isteri dapat meng-
hadiri sendiri atau didampingi kuasanya atau sama sekali menye-
rahkan kepada kuasanya dengan membawa surat-surat keterangan
(seperti surat kuasa, kutipan akta perkawinan dan lain-lain).
Apabila telah dilakukan pemanggilan sepatutnya, tetapi
tergugat atau kuasa tidak hadir, maka gugatan itu dapat diterima
tanpa hadirnya tergugat, kecuali gugatan tersebut tanpa hak atau
tidak beralasan.
Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam persidangan
tertutup.
Perdamaian:
Sebelum dan selama gugatan perceraian belum diputuskan,
hakim yang memeriksa itu harus berusaha untuk mendamaikan
kedua belah pihak yang berperkara. Perdamaian antara suami isteri
yang bersengketa ingin bercerai merupakan sasaran pertama yang
harus dicapai oleh hakim.
Apabila tercapai perdamaian maka tidak dapat lagi diajukan
gugatan perceraian baru berdasarkan alasan atau alasan-alasan
yang ada sebelum perdamaian dan setelah diketahui penggugat
pada waktu tercapainya perdamaian. Dalam mendamaikan suami
isteri ingin bercerai ini, Pengadilan (hakim) dapat meminta
bantuan kepada orang atau badan lain yang dianggap perlu. Dalam
hubungan ini Dirjen Bimas Islam Departemen Agama di seluruh
Indonesia, untuk menggerakkan dan mendayagunakan fungsi BP4
dengan memperhatikan efisiensi dan efektivitas kerja dalam rangka
lebih memperlancar penanganan masalah Nikah, Talak, Cerai dan
Rujuk (NTCR).45)
Putusan:
Walaupun pemeriksaan perkara perceraian dilakukan dalam
sidang tertutup, tetapi pengucapan keputusannya harus dilakukan
dalam sidang terbuka. Hal ini sesuai dengan asas pengadilan di
Indonesia, dimana semua keputusan Pengadilan hanya sah dan
mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang
terbuka untuk umum (Pasal 18 UU Pokok kekuasaan kehakiman).
Putusan mungkin saja dijatuhkan tanpa kehadiran tergugat atau
kuasanya, tetapi ketidakhadiran tergugat atau kuasanya itu tidak
dapat merupakan alasan untuk dikabulkannya gugatan penggugat,
apabila gugatan tersebut tidak berdasarkan pada alasan yang telah
ditentukan.
Sebelum putusan dijatuhkan, selama berlangsungnya gugatan
perceraian, atas permohonan pihak penggugat atau tergugat,
Pengadilan dapat mengizinkan suami isteri tersebut untuk berpisah
berlainan rumah, juga" dapat menentukan nafkah yang harus
ditanggung oleh suaminya dan hal-hal yang perlu untuk menjamin
pemeliharaan dan pendidikan anak, barang-barang yang menjadi
hak bersama serta hak masing-masing.
Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibatnya
terhitung sejak saat Pencatatan oleh Pegawai Pencatat, kecuali bagi
mereka yang beragama Islam terhitung sejak saat jatuhnya putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Panitera Pengadilan atau Pejabat Pengadilan yang ditunjuk
berkewajiban mengirimkan salinan putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap (yang telah dikukuhkan) tanpa
materai kepada Pegawai Pencatat dimana perceraian terjadi,
Pegawai Pencatat dimana perkawinan dilangsungkan, dan bagi
perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri, salinan putusan
tersebut disampaikan kepada Pegawai Pencatat di Jakarta. Dengan
45) Instruksi No. INST/D/194.a tanggal 30 November 1978.
1. Pengertian Be *da
□ Pengertian benda (zaak) secara yuridis adalah segala
sesuatu yang dapat dihaki atau yang dapat menjadi obyek hak
milikKetentuan
46) (Pasal 499
iniBW).
dimaksudkan untuk menjamin agar anak-anak
tidak menjadi korban perceraian kedua orang tuanya.
Menurut terminologi
Selanjutnya lihat Pasal benda di 10/1983
8 pp No. atas ini,untuk
benda berarti obyek
Pegawai
sebagai lawanNegeri
dari Sipil.
subyek dalam hukum yaitu orang dan badan
hukum.
Oleh karena yang dimaksud dengan benda menurut undang-
undang hanyalah segala sesuatu yang dapat dihaki atau yang dapat
dimiliki orang, maka segala sesuatu yang tidak dapat dimiliki
orang bukanlah termasuk pengertian benda menurut BW (Buku
II), seperti bulan, bintang, laut, udara dan lain sebagainya.
Dalam sistem hukum perdata Barat (BW) pengertian zaak
(benda) sebagai obyek hukum tidak hanya meliputi benda yang
berwujud - yang dapat ditangkap dengan pancaindera -, tetapi juga
benda yang tidak berwujud yakni hak-hak atas benda yang
berwujud.
Dalam sistem hukum Adat tidak dikenal pengertian benda
yang tidak berwujud (onlichamelijke zaak). Meskipun apa yang
disebut BW dengan onlichmelijke zaak, bukannya tidak ada
samasekaii dalam Hukum Adat. Perbedaannya ialt>. bahwa dalam
pandangan Hukum Adat hak atas suatu benda tidak dibayangkan
terlepas dari benda yang berwujud; sedangkan dalam pandangan
BAB 4
Hukum Benda
(Zakenrecht)
Pengertian Benda
Barat hak atas suatu benda seolah-olah terlepas dari bendanya,
seolah-olah merupakan benda tersendiri.1)
Perbedaan pandangan ini kata Prof. Dr. R. Wirjono
Prodjodikoro, S.H., disebabkan karena perbedaan cara berpikir
orang-orang Indonesia asli dengan orang-orang Barat. Cara
berpikir orang-orang Indonesia ash cenderung pada kenyataan
belaka (conkreet denken), sedangkan cara berpikir orang-orang
Barat cenderung pada hal yang hanya berada dalam pikiran belaka
(abstract denken).2)
Meskipun pengertian zaak dalam BW tidak hanya meliputi
benda yang berwujud saja, juga benda yang tidak berwujud, -yang
oleh sementara sarjana disebut zaak dalam arti bagian dari harta
kekayaan-3). Namun, sebagian terbesar dari pasal-pasal Buku II
BW adalah mengatur mengenai benda dalam arti benda yang
berwujud.4)
Selanjutnya, istilah zaak dalam BW tidak selalu berarti benda,
tetapi juga dipakai dalam arti yang lain. Dalam Pasal 1792 B W
zaak mempunyai arti perbuatan hukum; dalam Pasal 1354 BW
zaak berarti kepentingan; dan pada Pasal 1263 BW zaak berarti
kenyataan hukum.5)
C. Benda yang dapat diganti dan benda yang tidak dapat diganti
Perbedaan antara benda yang dapat diganti dan benda yang
tidak dapat diganti ini tidak disebut secara tegas dalam BW, tetapi
perbedaan itu ada dalam BW, misalnya dalam pasal yang mengatur
perjanjian penitipan barang.
Menurut Pasal 1694 B W pengembalian benda oleh yang
dititipi harus in natura artinya tidak boleh diganti dengan benda
yang lain. Oleh karena itu, perjanjian penitipan barang pada
umumnya hanya mengenai benda yang tidak akan musnah.
Bilamana benda yang dititipkan berupa uang, menurut Pasal
714 BW, jumlah uang yang hams dikembalikan harus dalam mata
uang yang sama seperti yang dititipkan, baik mata uang itu telah
naik atau telah turun nilainya. Lain halnya jika uang tersebut tidak
dititipkan, tetapi dipinjam-menggantikan, yang meminjam hanya
diwajibkan mengembalikannya sejumlah uang saja, sekalipun
dengan mata uang yang berbeda daripada waktu perjanjian pinjam-
mengganti diadakan.
8) Ibid.
9) Prof. R. Subekti, S.H., Hukum Perjanjian, Intermasa,
Antara hak kebendan yang diatur dalam Buku II BW dan hak
perseorangan yang diatur dalam Buku III BW mempunyai
perbedaan-perbedaan pokok yang dapat disimpulkan sebagai
berikut di bawah ini.
a. Hak kebendaan bersifat mutlak (absolut) sedangkan hak
perseorangan bersifat relatif (nisbi). Oleh karena itu, hak
kebendaan berlaku terhadap setiap orang sedangkan hak
perseorangan hanya berlaku terhadap orang-orang tertentu saja.
b. Hak kebendaan umumnya berlangsung lama, sebaliknya hak
perseorangan umumnya ditujukan untuk pemenuhan prestasi
dalam waktu yang tidak terlalu lama yaitu dengan dipenuhinya
prestasi tersebut hak perseorangan pun lenyap.
c. Jumlah hak kebendaan terbatas pada apa yang hanya
ditentukan undang-undang. Sebaliknya, hak perseorangan
jumlahnya tidak terbatas pada apa yang telah ditentukan dalam
undang-undang, karena hak perseorangan timbul dari berbagai
macam perjanjian yang disebut sepanjang tidak bertentangan
dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
Oleh karena itu, sering dikatakan bahwa Buku II B W yang
mengatur hak-hak kebendaan menganut sistem tertutup,
sedangkan Buku III BW yang mengatur hak-hak perseorangan
menganut sistem terbuka.
A. Bezit
10) Achmad Ichsan, S.H., Hukum Perdata IA, Pembimbing Masa, Jakarta. 1969, p.
dianggap bahwa kemauan untuk memiliki benda yang dikuasainya
itu tidak a d a n )
Mr. Suyling dalam buku Zakenrecht sebagaimana dikutip oleh
Prof. Dr. R. Worjono Prodjodikoro, S.H., dalam buku Hukum
Perdata Tentang Hak-hak Atas Benda berpendapat bahwa
perantara seperti penyewa harus tetap dianggap sebagai beziter.
Namun, Mr. Asser dan Mr. Scholten sebagaimana dikutip pula oleh
Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H, dalam buku yang sama
berpendapat lain, bahwa perantara seperti penyewa bukanlah
bezitter, sehingga tidak dapat mempergunakan pasal-pasal BW
yang memberi perlindungan kepada bezitter,12)
Bilamana bezit berada pada pemilik benda itu sendiri, orang
itu dinamakan bezitter-eigenaar.
Bezit mempunyai 2 macam fungsi yaitu: (a) fungsi polisionil,
dan (b) fungsi zakenrechtelijk.
a. Fungsi polisionil bezit maksudnya adalah bahwa bezit itu
mendapat perlindungan hukum, tanpa mempersoalkan siapa
sebenarnya pemilik sejati benda itu. Siapapun yang membezit
sesuatu benda, meskipun dia pencuri, ia mendapat perlin-
dungan hukum, sampai terbukti di muka Pengadilan bahwa ia
sebenarnya tidak berhak. Barangsiapa yang merasa haknya
dilanggar, ia harus minta penyelesaian lebih dahulu kepada
polisi atau Pengadilan. Inilah yang dimaksud fungsi polisionil
dari bezit dan fungsi polisionil ini ada pada setiap bezit.13)
b. Fungsi zakenrechtelijk bezit maksudnya adalah bahwa setelah
bezit itu berjalan beberapa waktu tanpa adanya protes, bezit itu
berubah menjadi eigendom, yaitu dengan melalui lembaga
verjaring. Inilah yang dimaksud fungsi zakenrechtelijk bezit.
Fungsi zakenrechtelijk ini tidak ada pada setiap bezit, tetapi
Pengertian Gadai
Gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu
benda bergerak, yang diberikan kepadanya oleh debitur atau orang
lain atas debitur sebagai jaminan pembayaran dan memberikan hak
kepada kreditur untuk mendapat pembayaran lebih dahulu daripada
laeditur-kreditur lainnya atas hasil penjualan benda jaminan (Pasal
1150BW).
Dari pengertian gadai di atas ini ternyata hak gadai adalah
tambahan saja atau buntut (bersifat accesoir) dari perjanjian
pokok yaitu perjanjian pinjaman uang. Maksudnya adalah untuk
menjaga jangan sampai debitur lalai membayar kembali uang
pinjaman dan bunganya.
Dimasukkannya hak gadai ini ke dalam pengertian hak
kebendaan (zekelijk recht), karena dapat dikatakan bahwa hak
gadai senantiasa melekat atau • mengikuti benda-benda yang
dijaminkan dan akan tetap ada meskipun milik benda itu kemudian
jatuh ke tangan orang lain, misalnya kepada ahli waris. Dan kalau
seorang pemegang gadai (pandnemer) kehilangan benda gadai itu,
ia berhak meminta kembali benda tersebut dari tangan siapapun
benda tersebut berada selama 3 tahun. Hak untuk meminta kembali
ini menurut Pasal 1977 ayat (2) BW diberikan kepada pemilik
benda bergerak, maka dengan Pasal 1152 ayat (2) B W seolah-olah
hak gadai dalam hal ini disamakan dengan hak milik.
Unsur terpenting dari hak gadai ialah bahwa benda yang
dijaminkan harus berada dalam kekuasaan pemegang gadai. Hak
gadai tidak mungkin ada kalau benda yang dijaminkan masih
berada dalam kekuasaan debitur atau orang yang memberikan
gadai (pandgever), atau dikembalikan kepadanya atas kemauan
pemegang gadai (Pasal 1152 BW). Namun, penguasaan benda oleh
pemegang gadai bukan untuk menikmati, memakai dan memungut
hasil, melainkan hanya untuk menjadi jaminan pembayaran hutang
debitur kepada kreditur pemegang gadai.
C. Hak Tanggungan
Pengertian Hipotik
Pengertian hipotik dirumuskan dalam Pasal 1162 BW yang
menyebutkan hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda-
benda tidak bergerak untuk mengambil penggantian daripadanya
bagi pelunasan suatu perikatan.
Memperhatikan pengertian hipotik di atas, maka jelaslah
hipotik adalah hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan
kepada kreditur bahwa piutangnya akan dilunasi oleh debitur tepat
pada waktu yang dijanjikan. Apabila tidak, benda yang dibebani
hipotik dapat dijual lelang dan uang hasil pelelangan dipergunakan
untuk membayar piutang kreditur pemegang hipotik lebih dahulu
(diprioritaskan) daripada piutang kreditur-kreditur lainnya.
Dengan demikian, hipotik tidak mengandung hak untuk
menguasai atau memiliki benda yang dibebani hipotik. Namun,
sifat kebendaan pada hak hipotik tetap ada, karena hipotik tetap
melekat pada bendanya meskipun benda tersebut dipindah
tangankan kepada orang lain, sehingga tidak lagi dimiliki debitur
atau pemberi hipotik.
Karena hipotik hanyalah merupakan hak kebendaan yang
bersifat memberi jaminan pelunasan (pembayaran) utang debitur
kepada kreditur, perjanjian pembebanannya merupakan perjanjian
tambahan (accessoir) dari perjanjian pokok berupa perjanjian utang
piutang (perjanjian kredit) antara kreditur dengan debitur.
Subyek Hipotik
Subyek hipotik adalah pihak-pihak yang membuat perjanjian
pembebanan hipotik, yaitu pemberi hipotik (hypotheek geyer) dan
penerima hipotik (hypotheek nemer).
Pembebanan Hpotik
Perjanjian utang-piutang atau perjanjian kredit sebagai
perjanjian pokok antara kreditur dan debitur, merupakan perjanjian
yang tidak terikat bentuknya, artinya dapat dibuat secara lisan,
tertulis dengan akta di bawah tangan atau tertulis dengan akta
otentik Akan tetapi, dalam dunia perbankan, perjanjian kredit
selalu dibuat tertulis bahkan dalam bentuk baku.
Namun, perjanjian pembebanan hipotik mutlak dengan akta
otentik yang dibuat dihadapan pejabat pendaftaran dan pencatatan
balik nama kapal pada Syahbandar atau Direktorat Jenderal
Perhubungan Laut. Oleh pejabat pendaftaran dan pencatatan balik
nama kapal tersebut, akta pembebanan hipotik tersebut diberi irah-
irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa",
kemudian didaftarkan dengan mencatatnya di dalam suatu daftar
khusus untuk hipotik-hipotik. Kepada kreditur diberikan grosse
akta hipotik yang mempunyai kekuatan eksekutorial yang dapat
dilaksanakan seperti putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap. Dalam pelaksanaan pembebanan hipotik di
hadapan pejabat pendaftaran dan pencatatan balik nama kapal di
kantor Syahbandar, pihak yang menjaminkan kapal dan kreditur
tidak mutlak hadir, tetapi bisa diwakili oleh kuasanya. Namun,
dalam hal itu harus dipenuhi ketentuan dalam Pasal 1171 ayat (2)
BW yang menyatakan, bahwa kuasa untuk memberikan hipotik
harus dibuat dengan akta otentik.
Tingkatan Hipotik
Atas sebuah kapal dapat dibebani beberapa hipotik. Bilamana
hal ini terjadi, untuk menentukan tingkatan hipotik pertama,
hipotik kedua dan seterusnya didasarkan atas tanggal pen-
daftarannya. Jika hipotik-hipotik tersebut didaftarkan pada
hari/tanggal yang sama, hipotik itu mempunyai tingkat yang sama
(Pasal 315 WvK).
Tingkatan-tingkatan hipotik atas sebuah kapal yang sama,
penting artinya untuk menentukan piutang kreditur mana yang
harus didahulukan pembayarannya. Sesuai dengan asasnya,
kreditur pemegang hipotik yang lebih tinggi akan didahulukan
pembayarannya daripada kreditur pemegang hipotik yang lebih
rendah.
Jadi, kalau kapal yang dibebani beberapa hipotik itu dijual,
kreditur-kreditur pemegang hipotik dibayar dengan uang hasil
penjualan kapal tersebut sesuai dengan tingkatan-tingkatannya.
Jika hasil penjualan itu cukup untuk membayar semua utang
debitur kepada para kreditur pemegang hipotik, tingkatan-
tingkatan hipotik tersebut tidak menjadi persoalan. Akan tetapi,
bilamana hasil penjualan tidak cukup untuk membayar semua
utang debitur, yang lebih dahulu dibayar adalah utang kepada
kreditur pemegang hipotik pertama. Kalau masih ada sisanya, baru
dibayarkan kepada pemegang hipotik kedua ketiga dan seterusnya
sesuai dengan tingkatannya.
Jika untuk suatu piutang dibayar bunga, hipotik itu juga
berlaku sebagai jaminan pembayaran bunga daripada uang
pokoknya selama tahun yang sedang berjalan, beserta dua tahun
sebelumnya (Pasal 315a WvK).
Kreditur yang piutangnya dijamin dengan hipotik dapat
melaksanakan haknya atas kapal atau andil dalam kapal itu, di
dalam tangan siapapuri kapal itu berada (Pasal 315b WvK).
Kendatipun kapal itu bukan lagi kapal Indonesia, kreditur
pemegang hipotik tetap dapat mengambil pelunasan dari kapal
tersebut, dengan tetap didahulukan daripada piutang-piutang yang
Umbul kemudian dan biarpun didaftarkan di luar wilayah
Indonesia (315d WvK). Demikian, kalaupun kapal yang telah'
dibebani hipotik itu disita dan dilelang di luar negeri, hipotik masih
tetap melekat pada kapal tersebut, kecuali kreditur pemegang
hipotik telah dipanggil sendiri untuk melaksanakan hak mereka
atas penjualan kapal itu, dan nyata-nyata telah dibelikan
kesempatan kepadanya Untuk itu (Pasal 315e WvK).
Peralihan hipotik
Hipotik merupakan hak atas harta kekayaan yang dapat
dialihkan. Namun, sebagai hak accessoir peralihannya tidak
mungkin terjadi terlepas dari piutang pokoknya. Sedangkan
peralihan piutang pokok yang dijamin dengan hipotik yang
berwujud penjualan, penyerahan dan pemberian suatu hipotik,
menurut Pasal 1172 BW, hanya dapat dilakukan dengan akta
notaris. Peralihan piutang yang dijamin dengan hipotik tersebut
harus diberitahukan kepada pegawai pendaftaran dan balik nama
kapal untuk dilakukan pencatatan.
Dengan adanya peralihan hipotik tidak berarti hapusnya utang
debitur, karena yang terjadi hanyalah perubahan pemegang hipotik.
Misalnya, A (kreditur) memberikan pinjaman sejumlah uang
kepada B (debitur) dengan jaminan hipotik Kemudian A meng-
alihkan piutangnya itu kepada C, disini C selain menerima piutang,
juga menerima peralihan hipotik sebagai suatu hak accessoir.
Hapusnya hipotik
Dalam Pasal 1209 BW disebutkan hal-hal yang menyebabkan
hapusnya hipotik yaitu:
1. Karena hapusnya perikatan pokok;
2. Karena pelepasan hipotiknya oleh kreditur; dan
3. Karena penetapan tingkat oleh hakim.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa perjanjian utang
piutang atau perjanjian kredit merupakan perjanjian pokok antara
kreditur dengan debitur. Sedangkan perjanjian pembebanan hipotik
hanyalah sebagai perjanjian yang bersifat tambahan/ikutan
{accessoir). Oleh karena itu, dengan hapusnya perjanjian pokok
dengan sendirinya mengakibatkan hapusnya hipotik. Akan tetapi,
hapusnya hipotik tidak dengan sendirinya mengakibatkan
hapusnya utang-piutang.
Kemudian, hipotik adalah hak kebendaan yang bersifat
memberi jaminan kepada kreditur bahwa piutangnya akan dibayar
lunas oleh debitur tepat pada waktu yang ditentukan. Jadi hipotik
adalah hak kebendaan yang ada pada kreditur sebagai jaminan
pelunasan utang debitur. Karena hipotik itu ada pada kreditur,
maka kreditur mempunyai hak sepenuhnya untuk melepaskan-nya,
dan jika hal ini terjadi, hapuslah hipotik yang bersangkutan.
Hapusnya hipotik karena penetapan tingkat oleh hakim
maksudnya adalah dengan perantaraan hakim diadakan pembagian
uang hasil pelelangan benda jaminan diantara pemegang-
pemegang hipotik.
Terakhir, jika hipotik telah hapus, hal itu harus diberitahukan/
disampaikan kepada pejabat pendaftaran dan pencatat balik nama
kapal di kantor Syahbandar (Dirjen Perhubungan Laut), untuk
dilakukan pencoretan (roya) pada daftar umum hipotik kapal yang
bersangkutan.
E. Privilege (Piutang-piutang yang Diistimewakan)
Dilihat dari sistematika Buku II BW sebelum aturan tentang
gadai dan hipotik, dalam titel XIX Pasal 1131 s.d. 1149 diatur
tentang piutang-piutang yang diistimewakan yang pembayarannya
harus didahulukan daripada piutang-piutang yang lain.
Titel XIX Buku II B W tersebut mulai dengan Pasal 1131
yang menyatakan bahwa semua benda kepunyaan seseorang
(debitur), baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak baik
yang sudah ada maupun yang baru akan ada kemudian hari,
menjadi tanggungan untuk semua hutang-hutangnya.
Kemudian dalam Pasal 1132 B W dinyatakan bahwa semua
benda kepunyaan debitur tersebut menjadi jaminan semua orang
yang mempunyai piutang kepadanya, dan pendapatan penjualan
benda-benda itu harus dibagi di antara semua orang yang
mempunyai piutang menurut perimbangan jumlah piutang masing-
masing, kecuali apabila di antara mereka yang mempunyai piutang
itu ada yang oleh undang-undang telah diberikan hak untuk
didahulukan daripada yang lainnya.
Menurut Pasal 1133 BW mereka yang telah diberikan hak
untuk didahulukan itu adalah para kreditor yang mempunyai hak-
hak yang timbul dari privilege, pand dan hypotheek.
Apa yang dimaksud dengan privilege diterangkan dalam Pasal
1134 yaitu suatu kedudukan istimewa yang diberikan undang-
undang kepada orang-orang yang berpiutang sehingga tingkatan-
nya lebih tinggi dari orang yang berpiutang lainnya, semata-mata
berdasarkan sifat piutangnya. Piutang-piutang semacam ini
dinamakan bevoorrechte schulden. Jadi, berbeda dengan hak-hak
pand dan hypotheek dimana keduanya berdasarkan atas
persetujuan antara orang yang berutang (debitur) dengan orang
yang berpiutang (kreditur).
Pand dan hypotheek mempunyai kedudukan lebih tinggi
daripada privilege, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.
Sedangkan pand dan hypotheek tidak mempunyai kedudukan yang
lebih tinggi satu sama lain dan tidak pernah bertentangan, karena
benda yang menjadi obyeknya berbeda. Pand hanya dapat
diberikan atas benda-benda bergerak saja, sedangkan hypotheek
hanya mungkin terhadap benda-benda tidak bergerak.
Meskipun privilege mempunyai sifat-sifat yang menyerupai
pand dan hypotheek, tetapi masih belum dapat dikatakan sebagai
hak kebendaan, karena privilege tidak memberikan suatu
kekuasaan terhadap sesuatu benda.
Menurut undang-undang ada dua macam privilege yaitu yang
diberikan terhadap benda-benda tertentu dan yang diberikan
terhadap semua kekayaan orang yang berhutang. Privilege yang
pertama mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada
privilege yang kedua.
Hukum Perikatan
Perjanjia Undang-
n undang
1313 1352 B
BW W
Undang-undang Undang-
saja undang karena
perbuatan
manusia
1353 BW
10) Ibid.
11) Ibid. p. 22.
12) Prof. Dr. N y. Mariam Darus
Badrulzaman. S.H.. op.cil., p. 10.
(perjanjian) yang berisi dan macam apapun asal tidak bertentangan
dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.1')
Asas kebebasan berkontrak itu dituangkan oleh pembentuk
undang-undang dalam Pasal 1338 ayat (1) BW. Dalam hukum
perdata asas kebebasan berkontrak yang dianut Buku III BW ini
merupakan sistem (materiil) terbuka sebagai lawan sistem
(materiil) tertutup yang dianut Buku II BW (Hukum Benda).14)
Bahwa dengan kebebasan membuat perjanjian tersebut berarti
orang dapat menciptakan hak-hak perseorangan yang tidak diatur
dalam Buku III BW, tetapi diatur sendiri dalam perjanjian, sebab
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 ayat (1) BW). Namun,
kebebasan berkontrak bukan berarti boleh membuat kontrak
(perjanjian) secara bebas, tetapi kontrak (perjanjian) harus tetap
dibuat dengan mengindahkan syarat-syarat untuk sahnya
perjanjian, baik syarat umum sebagaimana disebut Pasal 1320 BW
maupun syarat khusus untuk perjanjian-perjanjian tertentu.
Dengan adanya kebebasan berkontrak kedudukan rangkaian
pasal-pasal Buku III BW khususnya pasal-pasal pada titel V s.d.
XVIII banyak yang hanya bersifat sebagai hukum pelengkap
(aanvullens recht) saja. Artinya, pasal-pasal tersebut boleh
dikesampingkan sekiranya para pihak pembuat perjanjian
menghendakinya, dan pihak pembuat perjanjian diperbolehkan
menciptakan ketentuan sendiri untuk mengatur kepentingan
mereka sesuai dengan apa yang mereka kehendaki. Pasal-pasal
tersebut baru mengikat terhadap mereka, jika mereka tidak
mengatur sendiri kepentingannya atau mengaturnya dalam
perjanjian, tetapi tidak lengkap sehingga soal-soal yang tidak
diatur tersendiri itu diberlakukan pasal-pasal hukum perikatan.
Selanjutnya, dengan adasiya asas kebebasan berkontrak itu,
perjanjian-perjanjian dengan sebutan perjanjian-perjanjian
bernama itu hanyalah sebagai contoh belaka. Karena itu, orang
boleh membuat perjanjian yang lain daripada contoh tersebut atau
13) Prof. R. Suberti, S.H., Hukum Perjanjian, Intermasa,
Jakarta, cet. VI, 1979, p. 13.
membuatnya secara sama dengan salah satu daripadanya sesuai
dengan kebutuhan untuk apa perjanjian termaksud dibuat.
4. Syarat-Syarat Perjanjian
Seperti telah dikemukakan bahwa sumber perikatan yang
terpentng adalah perjanjian, sebab dengan melalui perjanjian
pihak-pihak dapat membuat segala macam perikatan, sesuai
dengan asas kebebasan berkontrak yang terkandung dalam Buku
III BW, tetapi seperti juga telah dikemukakan kebebasan
berkontrak tersebut bukan berarti boleh membuat perjanjian secara
bebas, melainkan harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk
sahnya suatu perjanjian. Maksud kebebasan berkontrak adalah
bebas untuk menentukan atau menetapkan isi dan macamnya
perjanjian, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan dan ketertiban umum (Pasal 1338 dan 1337 BW).
Dengan kata lain, para pihak pembuat perjanjian tersebut dalam
keadaan bebas, tetapi bebas dalam arti tetap selalu berada dalam
ruang gerak yang dibenarkan atau sesuai dengan ketentuan hukum
yang berlaku.
Syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian disebutkan dalam
Pasal 1320 B W yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian;
3. Suatu hal tertentu; dan
4. Suatu sebab yang halal.
Berikut akan diuraikan secara garis besar satu-persatu keempat
syarat sahnya perjanjian itu.
5. Macam-Macam Perikatan
d. Perikatan fakultatif
Perikatan fakultatif adalah perikatan yang hanya mempunyai
satu obyek prestasi, dimana debitur mempunyai hak untuk
mengganti dengan prestasi yang lain, bilamana debitur tidak
mungkin memenuhi prestasi yang telah ditentukan semula.
Misalnya debitur diwajibkan untuk menyerahkan sejumlah
beras, bilamana tidak mungkin menyerahkan sejumlah beras
diganti dengan sejumlah uang. Dengan demikian, penyerahan
uang merupakan pengganti dari sejumlah beras, berarti debitur
telah memenuhi prestasi dengan sempurna.
8, Pembatalan Perjanjian
Pengertian pembatalan di sini bukanlah pembatalan karena
tidak memenuhi syarat subyektif dalam perjanjian, tetapi karena
debitur telah melakukan wanprestasi. Jadi, pembatalan yang
dimaksudkan adalah pembatalan sebagai salah satu kemungkinan
yang dapat dituntut kreditur terhadap debitur yang telah
melakukan wanprestasi. Selain dapat mengajukan tuntutan
pembatalan, kreditur dapat pula mengajukan tuntutan yang lain
yaitu pembatalan perjanjian dan ganti kerugian, ganti kerugian
saja, pemenuhan perikatan atau pemenuhan perikatan dan ganti
kerugian. Namun, perlu juga di kemukakan di sini bahwa
sementara ahli ada yang menyebut dengan istilah pemutusan
perjanjian untuk maksud yang sama dengan pembatalan
perjanjian. 6 )
Dalam perjanjian timbal balik (bilateral) selalu hak dan
kewajiban di sau pihak saling berhadapan dengan hak dan
kewajiban di pihak lain. Dalam hukum Romawi dikenal asas yang
menyatakan bahwa apabila salah satu pihak dalam perjanjian
timbal balik tidak memenuhi kewajibannya atau tidak berprestasi,
pihak lainpun tidak perlu memenuhi kewajibannya. Dalam
perkembangannya asas ini dituangkan dalam berbagai bentuk. Dan
BW sendiri yang mengikuti Code Civil Perancis memilih sebagai
asas syarat batal seperti tercantum dalam Pasal 1266, 37) yang
berbunyi sebagai berikut:
(1) Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam
perjanjian-perjanjian yang bertimbal-balik, manakala
salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.
(2) Dalam hal yang demikian perjanjian tidak batal demi
hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada
hakim.
(3) Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat
batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan
di dalam perjanjian.
(4) Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian,
hakim adalah leluasa untuk menurut keadaan, atas
permintaan si tergugat, memberikan suatu jangka waktu
untuk masih juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu
mana, namun itu tidak boleh lebih dari satu bulan.
Perumusan Pasal 1266 B W di atas ini ternyata mengandung
berbagai macam kontradiktif dan menimbulkan kesan sedemikian
rupa, seakan-akan perjanjian batal dengan sendirinya karena
hukum begitu debitur melakukan wanprestasi (ayat 1), padahal
pembatalan perjanjian tersebut harus dimintakan kepada hakim
(ayat 2). Selain itu, juga menimbulkan kesan seakan-akan debitur
juga berhak menuntut pembatalan perjanjian, padahal menurut
Pasal 1245 BW
"Tidaklah biaya rugi dan bunga harus digantinya, apabila
lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tidak
disengaja, siberutang berhalangan memberikan atau berbuat
sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama
telah melakukan perbuatan yang terlarang " .
Pasal 1444 BW
"Jika barang tertentu yang menjadi bahan persetujuan
musnah, tidak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang,
sedemikian hingga samasekali tidak diketahui apakah barang
itu masih ada, hapuslah perikatannya, asal barang itu
musnah atau hilang di luar salahnya si berutang, dan sebelum
ia lalai menyerahkannya " .
Bahkan, meskipun sibrutang lalai menyerahkan sesuatu
barang sedangkan ia tidak telah menanggung terhadap
kejadian-kejadian yang tidak terduga, perikatan hapus jika
barangnya akan musnah seca ~a yang sama di tangannya
siberpiutang, seandainya sudah diserahkan kepadanya.
Siberutang diwaj bkan membuktikan kejadian yang tidak
terduga, yang dimajukan itu.
Dengan cara bagaimana sesuatu barang, yang telah dicuri,
musnah atau hilang, hilangnya barang ini tidak sekali-kali
membebaskan orang yang mencuri barang dari kewajibannya
untuk mengganti harganya.
Dari ketiga pasal BW terjemahan Prof. R. Subekti, S.H. dan
R. Tjitrosudibio, S.H. di atas ini ternyata penamaan atau penye-
butan keadaan memaksa berbeda-beda. Dalam Pasal 1244 BW
keadaan memaksa dinamakan vreemde oorzaak, die hemniet
kanworden toegerekend, yang diterjemahkan oleh Prof. R.
Subekti, S.H., dan R. Tjitrosudibio, S.H., dengan suatu hal yang
tidak terduga, pun tidak dapat dipertanggungjawabkan,^) sedang
Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H., menerjemahkannya dengan
sebab asing yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, 41) dan
Achmad Ichsan, S.H., menerjemahkan dengan alasan dari luar
yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.42)
Dalam Pasal 1243 BW keadaan memaksa dinamakan over-
macht of toevel yang diterjemahkan oleh Prof R. Subekti, S.H.,
dan R. Tjitrosudibio, S.H., dengan keadaan memaksa atau
lantaran suatu kejadian yang tidak disengaja, 43) sedangkan Prof.
40) Prof. R. Subekti, S.H., dan Tjitrosudibio, S.H., Kitab
Undang-undang Hukum Perdata terjemahan Burgerlijk
Wetboek, Pradnyaparamita, cet. VI, Jakarta, p. 292.
41) Wirjono Projodikoro, S.H., op.cit., p. 56.
42) Achmad Ichsan, S.H.. op.cit., p. 41.
Dr, Wirjono Prodjodikoro, S.H., menerjemahkan dengan keadaan
memaksa atau hal kebetulan, 44) dan Achmad Ichsan, S.H.,
menerjemahkan dengan tidak berkesempatan melakukan
kewajibannya.4 i )
Kemudian dalam Pasal 1444 BW keadaan memaksa dinama-
kan onvoorzjene toevel yang diterjemahkan Prof. R. Subekti, S.H.,
dan Tjitrosudibio, S.H., dengan kejadian tidak terduga,46) tetapi
diterjemahkan dengan hal kebetulan yang tidak dikira-kira oleh
Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H.41) Sedangkan Achmad
Ichsan, S.H., menerjemahkan dengan hal-hal yang kebetulan
terjadi sebelumnya tidak dikira-kirakan.4 S )
Menurut para penulis meskipun Pasal 1244, 1245 dan 1444
BW tersebut mempergunakan istilah yang berbeda-beda dalam
menyebutkan keadaan memaksa dan diterjemahkan berbeda-beda
pula oleh para sarjana, tetapi tidaklah berbeda maksudnya.
Apakah yang dimaksud overmacht (keadaan memaksa) itu?
Undang-undang tidak ada merumuskannya. Pasal-pasal BW yang
telah dikutip di atas hanyalah menerangkan, bahwa apabila
seseorang tidak dapat memenuhi suatu perikatan atau melakukan
pelanggaran hukum karena keadaan memaksa (overmacht), ia
tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya.
Walaupun pengertian overmacht tidak dirumuskan dalam
pasal undang-undang, tetapi dengan memahami makna yang
terkandung dalam pasal-pasal BW yang mengatur overmacht
tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa overmacht adalah suatu
keadaan sedemikian rupa, karena keadaan mana suatu perikatan
terpaksa tidak dapat dipenuhi dan peraturan hukum terpaksa tidak
diindahkan sebagaimana mestinya.
Risiko
Siapakah yang harus menanggung kerugian yang timbul
akibat overmacht? Misalnya, rumah yang disewakan habis
terbakar, barang yang diangkut dengan kapal tenggelam di laut
karena topan, runtuhnya gedung karena gempa bumi yang hebat
menimpa seseorang sehingga luka berat dan lain sebagainya.
Persoalan di atas inilah yang dinamakan risiko yakni kewa-
jiban menanggung kerugian akibat overmacht. Dengan demikian,
risiko merupakan kelanjutan dari overmacht.
Pengaturan risiko yang berkenaan dengan pelaksanaan
perjanjian dalam BW termuat dalam Pasal 1237, 1264 dan 1444
yang menentukan secara tersirat, dimana kita dapat mengetahui
ketentuan itu secara menyimpulkan perkataan-perkataan yang
dipakai di dalamnya.
B. Rechtsverwerking
Seorang debitur yang dituduh melakukan wanprestaasi, selain
dapat membela dirinya dengan mengajukan alasan overmacht dan
exceptio non adempleti contractus, juga dapat mengajukan
rechtverwerking (pelepasan hak).
Rechtvenverking (pelepasan hak) adalah sikap dari pihak
kreditur baik berupa pernyataan secara tegas maupun secara diam-
diam bahwa ia tidak menuntut lagi terhadap debitur apa-apa yang
merupakan haknya.
Yang menjadi permasalahan di sini adalah, sikap kreditur yang
bagaimanakah yang boleh disimpulkan debitur, bahwa kreditur
benar-benar telah melepaskan haknya? Kemudian sampai sejauh
manakah kesimpulan-kesimpulan yang ditarik debitur itu dapat
dibenarkan? Sudah barang tentu permasalahan ini harus ditentukan
secara kasuistis, setelah melihat proses pembuktian di depan
sidang pengadilan yang memeriksa perkara yang bersangkutan.
Apabila debitur dapat membuktikan bahwa kreditur benar-benar
telah melepaskan haknya, tuntutan ganti kerugian dan tuntutan-
tuntutan lainnya yang diajukan kepadanya harus ditolak oleh
hakim.
Sama halnya dengan exceptio non adempleti contractus,
rechtsverwerking pun bukan bersumber dari salah satu pasal
undang-undang, tetapi bersumber dari yurisprudensi, sebagaimana
telah dituangkan oleh Mahkamah Agung RI dalam keputusannya
tanggal 9 Juni 1955 No. 147 K/Sip/1955 berikut dalam keputusan-
nya tanggal 30 November 1955 No. 14 K/Sip/1955.52)
B. Penafsiran perjanjian
Sebelum suatu perjanjian dilaksanakan, sudah tentu pihak-
pihak yang akan melaksanakan telah mengetahui dan menyadari
sepenuhnya apa yang menjadi kewajibannya di samping apa yang
menjadi haknya.
Dalam praktek masyarakat seringkah dalam membuat
perjanjian hanya mengatur hal-hal yang pokok dan yang penting
saja, tidak mengatur hak-hak dan kewajiban mereka secara detail.
Oleh karena itu, tidak heran bila hal ini seringkah mengakibatkan
adanya kata-kata dalam perjanjian tidak jelas, maksudnya dapat
diberi berbagai macam tafsiran, dapat diberi berbagai macam
pengertian yang menimbulkan keraguan akan maksud yang
sesungguhnya. Apabila hal ini terjadi, perjanjian yang akan
dilaksanakan itu harus ditafsirkan terlebih dahulu, supaya apa
yang menjadi maksud para pihak sesungguhnya diketahui dengan
sejelas-jelasnya.
Perihal bagaimana suatu perjajian harus ditafsirkan, peng-
aturannya termuat dalam rangkaian Pasal-pasal 1342 s.d. 1352
BW, yang isinya dapat disimpulkan sebagai berkut:
a. Apabila kata-kata suatu perjanjian sudah jelas, kata-kata itu
tidak boleh disimpangi dengan jalan menafsirkannya (Pasal
1342).
b. Jika kata-kata suatu perjanjian dapat diberikan berbagai
penafsiran, kata-kata dalam perjanjian tersebut harus
ditafsirkan dengan jalan menyelidiki maksud kedua belah
pihak yang membuat perjanjian sewaktu perjanjian itu dibuat
(Pasal 1343 dan 1350).
c. Bilamana suatu perjanjian mengandung dua macam
pengertian,
harus dipilih pengertian yang memungkinkan perjanjian itu d-
laksanakan (Pasal 1344).
d. Seandainya dalam suatu perjanjian terdapat kata-kata yang
mengandung dua macam pengertian, harus dipilih pengertian
yang paling Selaras dengan sifat perjanjian (Pasal 1345).
e. Sekiranya dalam suatu perjanjian terciapat suatu hal yang
meragukan, hal itu harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi
kebiasaan dalam suatu daerah dimana perjanjian itu dibuat
(Pasal 1346), dan perjanjian tersebut harus ditafsirkan atas
kerugian pihak kreditur dan untuk keuntungan pihak aebitur
(Pasal .1349).
f. Segala sesuatu yang menurut kebiasaan selamanya diper-
janjikan, dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam
perjanjian, meskipun tidak dinyatakan dengan -egas dalam
perjanjian yang bersangkutan (Pasal 1347).
g. Semua janji-janji yang dibuat dalam perjanjian haru:, diartikan
dalam hubungan satu sama lain dan harus ditafsirkan dalam
rangka perjanjian seluruhnya (Pasal 1348).
Dengan mempergunakan cara-cara penafsiran tersebut, suatu
perjanjian yang semula isinya kurang lengkap dan kurang jelas,
akan dapat ditafsirkan menjadi jelas. Namun, hal ini belumlah
menjamin suatu perjanjian dapat dilaksanakan dengan sebaik-
baiknya. Bahkan, perjanjian yang sudah dirumuskan dengan syarat
baku sekalipun, belum menjamin perjanjian itu pasti dapat
dilaksanakan sebagaimana mestinya, kecuali perjanjian itu
dilaksanakan dengan itikad baik ( t e goeder trouw).
A. Zaakwaarneming
Zaakwaameming adalah suatu perbuatan dimana seseorang
dengan sukarela dan tanpa mendapat perintah, mengurus
kepentingan (urusan) orang lain, dengan atau tanpa sepengetahuan
orang ini.
63) R. Setiawan, S.H.. of.cit., p. 67.
Misalnya, A dan B tinggal serumah. Kemudian secara
mendadak B pergi ke luar negeri karena sesuatu tugas. Lalu A
dengan sukarela dan tanpa mendapat perintah, melakukan
pengurusan (memelihara) harta kekayaan B yang ditinggalkannya.
Perbuatan A mengurus harta kekayaan B ini dinamakan
zaakwaarneming. Karena perbuatannya itu A - menurut undang-
undang (Pasal 1354 BW) - secara diam-diam mengikatkan diri
untuk meneruskan pengurusan harta kekayaan B itu dengan
sebaik-baiknya, sampai B datang kembali di tanah air dan dapat
mengerjakan sendiri pengurusan harta kekayaan itu.
Dalam istilah ilmu hukum A yang melakukan pengurusan
kepentingan B tersebut dinamakan zaakwaarnemer atau gestor
sedangkan B yang mempunyai kepentingan dinamakan dominus.
Zaakwaarneming tidak selalu menimbulkan hak dan
kewajiban sebagaimana yang dimaksud undang undang, kecuali
jika menimbulkan akibat-akibat dalam lapangan harta-kekayaan,
sehingga Pasal 1354 B W dan seterusnya dapat diberlakukan.64)
Untuk menentukan apakah suatu perbuatan seseorang
merupakan zaakwaarneming atau tidak, perlu dilihat apa yang
terdapat di dalam perbuatan itu. Syarat-syarat adanya
zaakwaarneming adalah sebagai berikut:
(1) Yang diurus (diwakili) oleh zaakwaarnemer adalah kepen-
tingan orang lain, bukan kepentingan dirinya sendiri.
(2) Perbuatan pengurusan kepentingan orang lain itu harus
dilakukan zaakwaarnemer dengan sukarela, artinya karena
kesadaran sendiri tanpa mengharapkan imbalan/upah apapun,
dan bukan karena kewajiban yang Umbul dari undang-undang
maupun perjanjian.
(3) Perbuatan pengurusan kepentingan orang lain itu harus
dilakukan oleh zaakwaarnemer tanpa adanya perintah (kuasa)
melainkan atas inisiatif sendiri.
C. Natuurlijke verbintenis
Istilah natuurlijke verbintenis diterjemahkan secara berbeda-
beda oleh para ahli hukum Indonesia. Ada yang mengartikannya
dengan perulangan wajar, ada pula yang mengartikannya dengan
perikatan bebas, dan ada juga yang mengartikannya dengan
perikatan alam dan lain-lainnya, tetapi semuanya dengan maksud
yang sama.
Apakah yang dimaksud dengan natuurlijke verbintenis?
Dalam BW tidak ada diuraikan apa yang dimaksud dengan
perikatan semacam itu. Bahkan, satu-satunya pasal yang memakai
perkataan tersebut ialah Pasal 1359 ayat (2) hanyalah
menerangkan bahwa terhadap natuurlijke verbintenis yang secara
sukarela dipenuhi tidak dapat dilakukan penuntutan kembali. Jadi,
apa yang telah dibayar tetap menjadi hak orang yang
menerimanya, karena pembayaran itu dianggap sah.
Prof. R. Subekti, S.H., dalam buku Pokok-pokok Hukum
Perdata menyatakan bahwa natuurlijke verbintenis adalah suatu
perikatan yang berada di tengah-tengah antara perikatan moral
atau kepatutan dan perikatan hukum, sehingga natuurlijke
verbintenis dapat juga dikatakan sebagai suatu perikatan hukum
yang sempurna. Suatu perikatan hukum yang sempurna, kata Prof
R. Subekti, S.H., selalu dapat ditagih dan dituntut pelaksanaannya
di muka hakim. Tidak demikian halnya dengan natuurlijke
verbintenis dimana utang dianggap ada, tetapi hak untuk menuntut
pembayaran tidak ada. Jadi, bergantung kepada debitur apakah ia
ingin memenuhinya atau tidak.67)
Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, S.H., dalam bukunya
KUHPerdata Buku III, Hukum Perikatan dengan Penjelasan
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan natuurlijke verbintenis
67) Prof. R. Subekti, S.H.. Pokok-pokok Hukum Perdata, op.cit, p 104
adalah perikatan dimana kreditur tidak mempunyai hak untuk
menuntut pelaksanaan prestasi walaupun dengan bantuan hakim.
Pengertian
Perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) yang
tercantum dalam Pasar 1365 BW (yang sama dengan Pasal 1401
BW Belanda) merupakan hal yang sangat penting dan terkenal
sekali dalam lapangan hukum perdata. Di kalangan ahli hukum
bangsa Belanda sempat terjadi perdebatan yang hebat yang
berlangsung bertahun-tahun lamanya mengenai onrechtmatige
daad ini, dan baru pada tahun 1919 perdebatan itu berakhir,
setelah adanya standard arrest 31 Januari 1919 yang
menyelesaikan persoalannya.
Pasal 1365 BW (= 1401 BW Belanda) yang menjadi pangkal
perdebatan itu menyatakan:
Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian
kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena
salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian
tersebut.
Sebelum tahun 1919 perbuatan melanggar hukum itu Hoge
Raad hanyalah diartikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar
hak subyektif orang lain atau yang bertentangan dengan
kewajiban hukum pelaku perbuatan, dan dalam hal ini harus
mengindahkan hak dan kewajiban hukum legal. Pendapat Hoge
Raad mengenai pengertian perbuatan melanggar hukum demikian
itu terlihat pada beberapa buah putusannya antara lain pada
tanggal 6 Januari 1905 perkara Singernaaimachine Mij dan
tanggal 10 Juni 1910 perkara Zutphense Juffrouw.
70) Prof. R. Subekti, S.H., Pokok-pokok Hukum Perdata, op.cit., p. 105.
Perkara Zutphense
Di negeri Belanda umumnya rumah kediaman penduduk
dibuat bertingkat. Di kota Zutphen pada suatu hari di musim
dingin pernah kejadian pipa air leiding dari ruangan tingkat atas
yang dihuni seorang nona karena dinginnya musim pecah dan
airnya mengalir ke ruangan di tingkat bawah yang dipergunakan
untuk menyimpan barang-barang yang terbuat dari kulit. Kran
yang dapat menghentikan masuknya air dari luar ke dalam rumah
itu berada di bagian atas yang dihuni nona itu.
Penghuni di bagian bawah memberitahukan hal itu kepada
nona penghuni bagian atas dan minta agar kran tersebut ditutup,
tetapi tidak dihiraukannya. Kran baru ditutup setelah penghuni
bagian bawah meminta bantuan polisi. Namun, air sudah demikian
banyak mengalir ke ruangan bagian bawah, sehingga barang-
barang dari kulit kepunyaan milik penghuni bagian bawah menjadi
rusak.
Karena kejadian itu penghuni rumah bagian bawah menderita
banyak kerugian, lalu menggugat penghuni rumah bagian atas di
muka pengadilan berdasarkan onrechtmatige daad sebagaimana
dimaksud Pasal 1401 BW Belanda. Namun, gugatannya ditolak
pengadilan dengan alasan tidak ada pasal tertentu dari undang-
undang yang menentukan penghuni rumah bagian atas untuk
menutup kran air leiding itu.
Jadi, sebelum tahun 1919 yang dimaksud perbuatan melanggar
hukum harus melanggar hak subyektif orang lain yang diatur
dalam undang-undang atau bertentangan dengan kewajiban hukum
pelaku perbuatan. Sehingga perbuatan melanggar hukum sama
dengan perbuatan melanggar undang-undang.
Pandangan yang demikian disebabkan oleh pengaruh aliran
legisme yang begitu hebat di negeri Belanda yang menganggap
tidak ada hukum selain dimuat dalam undang-undang, sehingga
perbuatan melanggar hukum tidak ditafsirkan lain daripada
perbuatan melanggar undang-undang. Teranglah penafsiran yang
sempit ini sangat merugikan orang banyak, sebab tidak semua
kepentingan orang dalam masyarakat diatur dan dilindungi
undang-undang.71)
Akhirnya, di Negeri Belanda aliran legisme mendapat
tantangan yang keras dari Hamaker, Meijers, Anema, H., Krabbe
dan lain-lain, Namun, Molengraaff merupakan orang yang
pertama-tama menyatakan bahwa penafsiran onrechtmatige daad
yang sempit tidak lagi dapat dipertahankan. Dalam karangan yang
dimuat di majalah Rechtgeleerd Magazin tahun 1887 oleh
Molengraaff dikemukakan bahwa pengertian onrechtmatige daad
seperti tersebut dalam Pasal 1401 B W Belanda (= Pasal 1365 B
W) tidak hanya meliputi perbuatan yang bertentangan dengan
segala sesuatu yang ada di luar undang-undang, yang memuat
kaidah sosial lainnya.
71) R.M. Suryodiningrat. S.H., op.cit., p. 26; R. Setiawan, S.H., op.cit., p. 74).
Namun, Hoge Raad selama beberapa tahun tetap memper-
tahankan pendiriannya yang sempit. Alasan yang dikemukakan
oleh pengikut penafsiran yang sempit antara lain adalah bahwa
apabila perbuatan melanggar hukum dilepaskan dari undang-
undang, berarti memberikan tugas yang terlampau berat kepada
hakim, dimana hakim tidak ada pedoman kecuali pendapat sendiri
tentang apakah suatu perbuatan merupakan perbuatan melanggar
hukum atau tidak, dengan akibat tidak ada kepastian hukum.
Baru tahun 1919 Hoge Raad meninggalkan penafsiran yang
sempit atas pengertian perbuatan melanggar hukum, yaitu ketika
memberikan putusan pada tingkat kasasi terhadap perkara
Lindenbaum vs Cohen, tanggal 31 Januari 1919 yang dikenal
dengan nama arrest drukker. Ceritanya adalah sebagai berikut:
Pada waktu itu di kota Amsterdam terdapat dua pengusaha
percetakan buku-buku, satu milik seorang yang bernama Cohen
dan satunya milik seorang yang bernama Lindenbaum. Dua
pengusaha ini bersaing hebat satu sama lain.
Pada suatu hari seorang pegawai Lindenbaum dibujuk Cohen
dengan macam-macam pemberian hadiah, supaya
memberitahukan kepada Cohen segala sesuatu tentang perusahaan
percetakan Lindenbaum, seperti turunan dari penawaran,
langganan-langganan yang melakukan pesanan, daftar harga dan
lain sebagainya. Keterangan yang diberikan pegawai Lindenbaum
lalu dipergunakan Cohen untuk menyusun siasat perusahaannya
supaya khalayak lebih suka berhubungan dengan perusahaannya.
Kenyataannya, memang perusahaan Cohen setelah itu tambah
maju, sedangkan perusahaan Lindenbaum mengalami kerugian-
kerugian terus, karena apa yang diproduksi oleh Lindenbaum tidak
banyak yang bisa terjual sebab barang-barang yang sama hasil
produksi perusahaan Cohen lebih dahulu telah beredar. Cohen
dapat melakukan hal ini karena ia mengetahui barang-barang apa
yang akan diproduksi Lindenbaum dari pegawai Lindenbaum yang
telah disogok Cohen.
Namun, pada akhirnya perbuatan Cohen yang curang tersebut
diketahui oleh Lindenbaum. Karena merasa sangat dirugikan oleh
perbuatan Cohen itu, Lindenbaum mengajukan gugatan terhadap
Cohen di muka pengadilan yaitu Arrondisement Rechtbank di
Amsterdam. Lindenbaum menamakan perbuatan Cohen itu
sebagai perbuatan melanggar hukum sebagaimana disebut Pasal
1401 BW Belanda (= 1365 B W Indonesia) dan menuntut ganti
kerugian.
Pada tingkat pertama Cohen dikalahkan, tetapi pada tingkat
banding oleh Gerechtshof di Amsterdam, Lindenbaum dikalahkan
berdasarkan yurisprudensi yang dulu diikuti, yaitu bahwa per-
buatan Cohen tidak dapat dianggap sebagai perbuatan melanggar
hukum, karena tidak ada satu pasalpun dari undang-undang yang
telah dilanggar Cohen. Terhadap putusan tingkat banding ini
Lindenbaum kemudian mengajukan permohonan kasasi, dan Hoge
Raad dalam putusannya tanggal 31 Januari 1919 memenangkan
Lindenbaum.
Dalam putusannya ini Hoge Raad berpendapat bahwa yang
dimaksud perbuatan melanggar hukum tidak hanya perbuatan
yang bertentangan dengan undang-undang saja, tetapi juga
perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain atau
bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat sendiri atau
bertentangan dengan kesusilaan atau dengan kepatutan di dalam
masyarakat baik terhadap diri maupun barang orang lain.
Keputusan Hoge Raad tanggal 31 Januari 1919 itu kemudian
menjadi standard arrest yang diikuti oleh hakim-hakim pada
pengadilan-pengadilan rendahan di Negeri Belanda. Dan arrest itu
juga diikuti di Indonesia.
Perlu dikemukakan di sini bahwa meskipun Pasal 1365 BW
hanya berlaku bagi orang-orang golongan Eropa Timur Asing
Tinghoa dan Timur Asing lainnya, dan tidak berlaku bagi orang-
orang Indonesia asli, tetapi Hukum Adat yang berlaku bagi orang-
orang Indonesia asli bukan tidak mengenal hakikat hukum yang
sama seperti tercantum dalam Pasal 1365 BW itu, yaitu bahwa
orang yang secara bersalah melakukan perbuatan melanggar
hukum dan menimbulkan kerugian orang lain wajib mengganti
kerugian. Meskipun Hukum Adat tidak mengenal susunan kata-
kata yang terpaku dalam suatu peraturan tertulis.72)
Kesalahan
Untuk dapat dipertanggungjawabkannya orang yang melaku-
kan perbuatan melangg.j hukum, Pasal 1365 B W mensyaratkan
adanya kesalahan.
Namun, Pasal 136 j BW tidak membedakan antara kesalahan
dalam bentuk kesengajaan (opzet-dolus) dan kesalahan dalam
bentuk kurang hati-hati (culpa). Jadi, berbeda dengan Hukum
Pidana yang membedakan antara kesengajaan dan kurang hati-
hati.73)
Oleh karena itu, hakimlah yang harus menilai dan mempertim-
bangkan berat ringannya kesalahan orang yang melakukan
perbuatan melanggar hukum itu, sehingga dapat ditentukan ganti
kerugian yang seadil-adilnya.
Menurut arrest Hoge Raad tanggal 4 Februari 1916, jika orang
yang dirugikan juga mempunyai kesalahan atas timbulnya
kerugian, sebagian daripada kerugian tersebut dibebankan
kepadanya kecuali jika perbuatan melanggar hukum itu dilakukan
dengan sengaja. Seseorang yang menuntut sejumlah ganti
kerugian kepada Perusahaan Kereta Api karena ditabrak kereta api
di persilangan rel dengan jalan umum lantaran kesalahan personil
perusahaan, tidak seluruhnya dikabulkan oleh Hoge Raad karena
ia juga ada kesalahan, yaitu tidak hati-hati, tidak cukup waspada,
padahal ia dapat melihat kereta api berjalan mendekatinya dan
dapat menghindarinya.
Dalam kasus yang lain Hoge Raad berpendapat bahwa jika
kerugian yang terjadi adalah karena kesalahan yang dilakukan
beberapa orang, setiap orang yang bertanggung jawab atas
terjadinya kerugian tersebut dapat dituntut untuk membayar ganti
72) Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H., Perbuatan
Melanggar Hukum, Sumur Bandung, Bandung, cel. V,
1967, p. 16.
73) /Wrf., p. 27. 74
kerugian seluruhnya. )
Kerugian
Kerugian yang disebabkan oleh perbuatan melanggar hukum
dapat berupa kerugian materiil dan dapat berupa kerugian
immateriil (idiil).
Kerugian materiil dapat terdiri dari kerugian yang nyata
diderita dan hilangnya keuntungan yang diharapkan. Menurut
yurisprudensi ketentuan ganti kerugian karena wanprestasi pada
Pasal 1243 s.d. 1248 BW diterapkan secara analogis untuk ganti
kerugian karena perbuatan melanggar hukum.
Dalam buku Perbuatan Melanggar Hukum, Prof. Dr. Wirjono
Prodjodikoro, S.H. menyatakan, kalau dilihat bunyi Pasal 57 ayat
(7) Reglement Burgerlijk Rechtvordering (Hukum Acara Perdata
yang berlaku pada waktu dulu bagi Raad van Justitie) yang juga
memakai istilah kosten schaden en interessen untuk menyebut
74) R.M. Suryodiningrat, S.H., op.cit., p. 42, 43; R. Setiawan,
S.H., op.cit., p. 82
75) Misalnya A dan B bertetangga. Ranting tanaman di
halaman rumah A sedemikian rimbunnya sehingga
sebagian memasuki halaman rumah A. A minta agar
ranting-ranting yang memasuki halaman rumahnya itu
dipotong, tetapi B tidak menghiraukannya. A mempunyai
kerugian sebagai akibat perbuatan melanggar hukum, sehingga
dapat dianggap bahwa pembuat BW sebetulnya tidak
membedakan antara kerugian yang disebabkan perbuatan
melanggar hukum dengan kerugian yang disebabkan tidak
dilaksanakannya suatu perjanjian.76)
Hubungan causal
Untuk dapat menuntut ganti kerugian terhadap orang yang
melakukan perbuatan melanggar hukum, selain harus adanya
kesalahan, Pasal 1365 BW juga mensyaratkan adanya hubungan
causal artinya hubungan sebab-akibat antara perbuatan melanggar
hukum dan kerugian. Jadi, kerugian itu harus timbul sebagai
akibat perbuatan orang yang merupakan perbuatan melanggar
hukum tersebut.
Dalam hubungannya dengan causaliteit ini ada dikenal 2
macam teori yaitu teori conditio sine qua non dan teori adequate
veroorzaking.
Menurut teori conditio sine qua non dari Von Buri, suatu hal
adalah sebab dari suatu akibat, akibat itu tidak akan terjadi jika
sebab itu tidak ada. Jadi, teori ini mengenal banyak sebab dari
suatu akibat.
Sedangkan menurut teori adequate veroorzaking yang
dikemukakan oleh Von Kries, suatu hal baru dapat dinamakan
sebab dari suatu akibat, apabila menurut pengalaman masyarakat
dapat diduga, bahwa sebab itu akan diikuti oleh akibat tersebut.
ad.l. Pembayaran
Yang dimaksud dengan pembayaran dalam hukum perikatan
adalah setiap pemenuhan prestasi secara sukarela. Dengan
dipenuhinya prestasi itu perikatan menjadi hapus. Pembayaran
merupakan pelaksanaan perikatan dalam arti yang sebenarnya,
77) Ibid. p. 21.