Anda di halaman 1dari 231

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT karena atas rahmat, ridho dan hidayah Nya
buku ini dapat selesai disusun oleh penulis, setelah melalui berbagai halangan dan
hambatan baik yang datang dari internal maupun eksternal diri penulis.
Buku Pengantar Ilmu Hukum ini merupakan buku awal yang penulis
susun, karena buku ini adalah dasar bagi seseorang yang ingin mempelajari
hukum khususnya mahasiswa fakultas hukum baik diperguruan tinggi negeri
maupun swasta. Pengantar Ilmu Hukum atau disingkat dengan PIH adalah
pondasi untuk seseorang menjadi sarjana hukum, seperti bangunan apabila
pondasinya baik maka bangunannya menjadi kokoh dan tidak mudah roboh.
Begitu pula dengan sarjana hukum yang memahami PIH, maka dia akan
menjadi sarjana hukum yang tangguh dan dapat dipertanggungjawabkan
keilmuannya. Oleh karena itu sangat diperlukan buku Pengantar Ilmu Hukum
yang mengikuti perkembangan zaman, lengkap, sistematis, mudah dibaca serta
dipahami oleh mahasiswa.
Buku Pengantar Ilmu Hukum ini tidak mungkin selesai penulis susun
tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dinas Pendidikan Provinsi Banten yang telah mencetak buku ini;
2. Dukungan Suami dan anak-anakku tercinta yang selalu memberi motivasi;
3. Arief Ainul Yaqin, mahasiswa Fakultas Hukum Untirta yang telah
berkontribusi banyak untuk menumpahkan pemikirannya dan berdiskusi
dalam penulisan buku ini;
4. Dan berbagai pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.
Harapan dari penulis semoga buku ini dapat memberikan motivasi agar
penulis dapat berkarya lebih baik lagi dan juga semoga buku ini dapat bermanfaat
untuk yang membacanya.

Serang, Desember 2011


Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar………........................................................................... i
Daftar Isi……........................................................................................ ii

Bab I PERISTILAHAN DAN PENGERTIAN PIH


A. Peristilahan dan Pengertian PIH………………………..…….. 1
B. Manfaat Mempelajari PIH……………………………….….… 5
C. Hubungan dan Perbedaan antara PIH dengan PHI……….….. 7
D. Hubungan PIH dengan Ilmu Pengetahuan Hukum Lainnya…. 9
E. Sejarah Singkat PIH…………………………………………... 11

Bab II MENGENAL HUKUM


A. Definisi Hukum……………………………………………….. 13
B. Fungsi Hukum………………………………………………… 25
C. Tujuan Hukum………………………………………………… 30
D. Unsur, Ciri dan Sifat Hukum………………………………….. 35
E. Asas Hukum………………………………………………….... 36

Bab III HUKUM SEBAGAI NORMA/KAIDAH SOSIAL


A. Pengertian Norma/Kaidah Sosial……………………………… 45
B. Macam-Macam Norma/Kaidah Sosial………………………… 47
C. Perbedaan diantara Norma/Kaidah Sosial…………………….. 56
D. Macam-Macam Norma Hukum……………………………….. 59

Bab IV SUMBER-SUMBER HUKUM


A. Pengertian Sumber Hukum…………………………………… 62
B. Sumber Hukum Materiil……………………………………… 66
C. Sumber Hukum Formil……………………………………….. 70

ii
Bab V KODIFIKASI HUKUM DAN ALIRAN-ALIRAN
YANG MUNCUL SETELAHNYA
A. Kodifikasi Hukum……………………………………….…… 115
B. Aliran Legisme……………………………………………….. 123
C. Aliran Freie Rechtslehre……………………………………… 125
D. Aliran Rechtsvinding…………………………………………. 126
E. Aliran yang dianut di Indonesia…………………..………….. 129

Bab VI PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM


A. Penafsiran Hukum…………………………………………… 137
B. Konstruksi Hukum…………………………………………... 145

Bab VII SUBJEK DAN OBJEK HUKUM


A. Subjek Hukum……………………………………………….. 152

B. Objek Hukum……………………………………………...… 162


C. Hak dan Kewajiban………………………………………….. 163
D. Hukum Objektif dan Hukum Subjektif……………………… 170

Bab VIII PERISTIWA HUKUM DAN HUBUNGAN HUKUM


A. Peristiwa Hukum…………………………………………….. 173
B. Hubungan Hukum…………………………………………… 183
C. Akibat Hukum……………………………………………….. 185

Bab IX SISTEM HUKUM DAN PENGGOLONGAN HUKUM


A. Pengertian Sistem Hukum….................................................... 190
B. Macam-Macam Sistem Hukum Dunia………......................... 194
C. Penggolongan Hukum………………...................................... 200

Daftar Pustaka………………................................................................ 211


Glosarium……………………................................................................ 215
Indeks……………………….................................................................. 220

iii
BAB I
PERISTILAHAN DAN PENGERTIAN
PENGANTAR ILMU HUKUM

A. Peristilahan dan Pengertian Pengantar Ilmu Hukum

1. Peristilahan Pengantar Ilmu Hukum

Istilah Pengantar Ilmu Hukum atau disingkat dengan PIH


merupakan salah satu istilah yang sering didengar pada awal
pembelajaran oleh setiap mahasiswa fakultas hukum atau masyarakat
umum yang akan mempelajari hukum. PIH adalah mata kuliah pengantar
untuk memahami cakrawala hukum yang begitu luas dan hampir tidak
terbatas. PIH adalah mata kuliah dasar (basis leervak) dan merupakan
salah satu cabang ilmu hukum yang bersifat fundamental, yang dipelajari
pada semester satu di fakultas hukum, baik negeri maupun swasta di
Indonesia atau fakultas hukum di Negara lain dengan menggunakan
istilah yang berbeda.
PIH adalah pembuka jalan bagi setiap orang yang akan belajar ilmu
hukum. Setiap orang yang akan belajar hukum harus terlebih dahulu
mempelajari PIH, karena dalam pengantar ilmu hukum itulah akan
diperkenalkan mengenai bahasan-bahasan atau studi dalam ilmu hukum
secara keseluruhan dalam garis-garis besarnya. Sehingga mengetahui dan
memahami PIH adalah penting, sebab apabila mata kuliah dasar sudah
dikuasai maka untuk memahami jenjang pembelajaran hukum pada
tingkat-tingkat selanjutnya tidak akan sulit. Sebaliknya, jika PIH tidak
dikuasai maka akan sulit untuk memahami jenjang-jenjang pembelajaran
hukum selanjutnya.
Istilah Pengantar Ilmu Hukum atau PIH merupakan terjemahan
langsung dari istilah Belanda “Inleiding tot de rechtswetenschap”. Istilah

1
2

Inleiding tot de rechtswetenschap merupakan adopsi dari Jerman dengan


istilah “Einfuhrung in die rechtswissenschaft”.

2. Pengertian Pengantar Ilmu Hukum

Bidang kajian ilmu hukum sangat luas sehingga diperlukan


pemahaman yang mendasar sejak awal belajar ilmu hukum. Dengan kata
lain, dibutuhkan suatu cabang ilmu hukum yang berfungsi
memperkenalkan/mengantarkan kepada setiap orang yang akan
mempelajari ilmu hukum tentang hukum secara komprehensif dalam
garis-garis besarnya. Cabang ilmu hukum yang dimaksud adalah PIH.
Mengenai Pengertian ilmu hukum ini ada dua pendapat. Pendapat
pertama: tidak mungkin didapat suatu definisi ilmu hukum yang lengkap
dan memuaskan, karena hukum itu abstrak, banyak seginya dan luas
sekali cakrawalanya. Para ahli hukum/juris yang berpendirian seperti itu
antara lain: Imanuel Kant, Lemaire, Gustav Radbruch, Walter
Burckhardt. Pendapat kedua: walaupun tidak lengkap dan memuaskan,
definisi hukum tetap harus di berikan karena bagi pemula yang
mempelajari hukum tetap ada manfaatnya, paling tidak sebagai pegangan
sementara untuk memahami apa itu hukum. Para ahli hukum/juris yang
berpendirian seperti itu antara lain: Aristoteles, Hugo de Groot/Grotius,
Thomas Hobbes, van Vollen Hoven, Bellefroid, Hans Kelsen, dan
Utrecht.
Sampai saat ini hukum tidak dapat didefinisikan dalam satu
definisi yang sama/seragam, karena memandang hukum itu tidak dapat
dilihat dari satu sudut atau satu segi saja, tetapi memandang hukum itu
harus dari berbagai sudut, segi dan bidang. Namun demikian, definisi
tentang hukum tetap dibutuhkan, minimal sebagai pegangan sementara.
Maka dari itu, memberikan pengertian PIH adalah wajar atau bahkan
sangat diperlukan, agar mahasiswa hukum tidak kebingungan dalam
mempelajari PIH.
Untuk mengetahui arti dari PIH maka istilah PIH dapat dipecah
menjadi kata “Pengantar” dan “Ilmu Hukum”. Pemenggalan/pemecahan
ini kiranya akan lebih memudahkan untuk mengetahui apa arti PIH.
Pengantar menurut R. Soeroso adalah membawa ke tempat yang
dituju. Dalam bahasa Belanda disebut “Inleiding” dan dalam bahasa
Inggris disebut “Introduction” yang berarti memperkenalkan atau
mengenalkan.1 Sedangkan pengertian ilmu hukum banyak diberikan oleh
para sarjana seperti dibawah ini:
a. Cross
Mengatakan bahwa ilmu hukum adalah segala pengetahuan hukum
yang mempelajari hukum dalam segala bentuk dan manifestasinya.2

b. Curzon
Berpendapat bahwa ilmu hukum adalah suatu ilmu pengetahuan yang
mencakup dan membicarakan segala hal yang berhubungan dengan
hukum.3

c. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono


Soekanto Menguraikan cakupan ilmu
hukum :
(1) Ilmu tentang kaedah atau ”Normwissenschaft” atau
“Sollenwissenchaft” yaitu ilmu yang menelaah hukum sebagai
kaedah atau sistem kaedah–kaedah dengan dogmatik hukum dan
sistematika hukum.
(2) Ilmu pengertian, yakni ilmu tentang pengertian–pengertian pokok
dalam hukum seperti misalnya subyek hukum, hak dan kewajiban,
peristiwa hukum, hubungan hukum, dan obyek hukum.
(3) Ilmu tentang kenyataan atau “Tatsachenwissenschaft” atau
“Seinwissenschaft” yang memandang hukum sebagai sikap tindak

1
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. Kesembilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm.3.
2
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1982, hlm.12.
3
Ibid., hlm.3.
yang mencakup: sosiologi hukum, antropologi hukum, psikologi
hukum, perbandingan hukum, dan sejarah hukum.4

d. Kepustakaan Hukum
Ilmu hukum dalam kepustakaan hukum dikenal dengan istilah
”Jurisprudence.” Jusrisprudence berasal dari kata ”Jus” atau “Juris”
yang artinya hukum atau hak. ”Prudence” berarti melihat kedepan,
atau mempunyai keahlian. Jadi secara harfiah dan singkat,
Jurisprudence adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari hukum.

Dari berbagai definisi yang telah dikemukakan oleh para pakar diatas
maka dapat disimpulkan bahwa ilmu hukum adalah ilmu pengetahuan yang
mempelajari hukum dengan segala bagian-bagiannya, yang karena terlalu
luasnya ruang lingkup ilmu hukum itu maka diadakan cabang-cabang ilmu
hukum yang akan mempelajari hukum secara lebih spesifik dan mendalam.
Dengan demikian, jika kata “pengantar” dan “ilmu hukum” digabung
menjadi pengantar ilmu hukum, maka pengantar ilmu hukum adalah ilmu
dasar/pengantar bagi setiap orang yag akan mempelajari ilmu hukum secara
keseluruhan dalam garis-garis besarnya (pokok-pokoknya). Seperti sejarah
timbul dan berkembangnya hukum, pengertian hukum, asas-asas hukum,
tujuan hukum, sumber-sumber hukum, sistem hukum, dan lain sebagainya.
Semua itu dikaji dengan maksud untuk mendapatkan pengetahuan tentang
arti, maksud, tujuan, dan bagian-bagian penting tentang hukum.
Pengantar ilmu hukum membahas elemen-elemen penting dalam
hukum secara garis besarnya saja atau pokok-pokoknya saja, karena
pembahasan lebih lanjut akan didapat pada cabang-cabang ilmu hukum yang
bersangkutan. Contoh: pembahasan sistem hukum, sistem hukum
digambarkan dan dibahas sedemikian rupa secara keseluruhan, namun dalam
garis-garis besarnya saja, sedangkan pembahasan lebih lanjut akan didapat
dalam mata kuliah hukum perdata, hukum tata negara, dan lain-lain. Dengan

4
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaidah Hukum, Alumni, Bandung,
1982. hlm.10.
demikian, PIH mempelajari permukaan luar yang nampak, sedangkan bagian
dalamnya akan dipelajari oleh cabang ilmu hukum lainnya.

B. Manfaat Mempelajari Pengantar Ilmu Hukum

Pengantar ilmu hukum adalah studi awal mengenai ilmu pengetahuan


hukum. Sebagai pengantar ia berusaha mengantarkan orang yang ingin
belajar hukum kepada bagian-bagian dari hukum yang sedemikian rupa,
sehingga yang bersangkutan mampu mempelajari hukum secara lebih
mendalam. Umpamanya seorang bertugas sebagai pengantar yang baik, ia
akan mengantar orang yang ingin mengenal sebuah kota tertentu, maka si
pengantar ini akan menjelaskan secara garis besar, namun meliputi semua
bagian penting dari kota tersebut, sehingga yang diantar menjadi mengerti
akan keadaan kota tersebut, dan memberinya bahan untuk dapat mempelajari
lebih mendalam lagi tentang kota itu.
Karena sifatnya yang mengantarkan secara sabar dan jelas seperti
sebuah ensiklopedia yang berbicara banyak namun tidak terlalu terperinci
dan mendalam, maka pengantar ilmu hukum acapkali dinamakan sebagai
Ensiklopedia Hukum. Hal ini pernah dikemukakan oleh Soedjono
Dirdjosisworo, ia mengatakan bahwa PIH kerapkali oleh dunia hukum
dinamakan “Encyclopedie Hukum” yang merupakan pengantar (introduction
atau inleiding) untuk ilmu pengetahuan hukum. Ilmu pengetahuan ini
berusaha menjelaskan tentang keadaan, inti, maksud dan tujuan dari bagian-
bagian penting hukum, serta pertalian antara bagian-bagian tersebut dengan
ilmu pengetahuan hukum.5
Pengantar ilmu hukum atau ilmu pengetahuan hukum adalah termasuk
ilmu pengetahuan. Sebagai ilmu pengetahuan, ilmu hukum harus memiliki
perwatakan. Ilmu pengetahuan adalah karya manusia yang berusaha mencari
kebenaran tentang sesuatu, karena kebenaran yang dicari itu harus digali,
maka untuk penggaliannya ini diperlukan berbagai upaya, yang kemudian

5
Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 1991, hlm.1.
dikenal sebagai syarat-syarat atau ciri-ciri ilmu pengetahuan yaitu :
sistematik, logis, metodik, empirik, umum, dan akumulatif. Tanpa
pemenuhan syarat-syarat itu suatu pengetahuan tidak bisa disebut sebagai
ilmu pengetahuan.
Pengantar ilmu hukum dapat dikatakan sebagai karya manusia yang
berusaha mencari kebenaran tentang hukum sebagai sesuatu bagian penting
dan melekat dalam kehidupan manusia yang hidup bersama. Kebenaran itu
tersusun secara sistematis (sehingga mudah dipelajari), logis (bahan yang
dipelajari masuk akal), metodis (dengan cara atau upaya ilmiah), empiris
(pengkajian berdasarkan pengalaman), sifatnya dipahami dan untuk umum,
serta akhirnya berkembang secara akumulatif (perkembangan ilmu hukum
dewasa ini tidak dapat terlepas dari keadaan ilmu pada masa yang lampau).6
Jadi manfaat mempelajari pengantar ilmu hukum adalah sebagai
berikut:
1 Memberikan pengenalan tentang segala masalah yang berkaitan dengan
hukum.
2 Menjelaskan tentang keadaan, inti, maksud dan tujuan dari bagian-bagian
3 yang penting dalam ilmu hukum.
4 Memberikan gambaran tentang ilmu hukum secara keseluruhan dalam
garis-garis besarnya.
5 Merupakan dasar dalam studi ilmu hukum; apabila mata kuliah dasar
sudah dikuasai maka untuk memahami jenjang pembelajaran hukum pada
tingkat selanjutnya tidak akan sulit. Sebaliknya, Jika PIH tidak dikuasai
maka akan sulit untuk memahami jenjang-jenjang pembelajaran hukum
yang selanjutnya.
6 Mengkualifikasi mata pelajaran, pendahuluan, pembukaan kearah
pengetahuan hukum pada tingkat persiapan7.
7 Menunjang/menunjukan kepada setiap orang yang akan mempelajari
cabang ilmu hukum lain.

6
Ibid., hlm.210.
7
R. Soeroso, Op. Cit., hlm.9.
C. Hubungan Dan Perbedaan Antara Pengantar Ilmu Hukum (PIH)
Dengan Pengantar Hukum Indonesia (PHI)

1. Hubungan Antara PIH Dengan PHI

Adalah uatu kenyataan (sein) bahwa terdapat hubungan yang erat


antara PIH dengan PHI. Hubungan erat itu terjadi karena dua variabel
berikut ini:
1) Baik PIH maupun PHI, kedua-duanya adalah mata kuliah dasar
keahlian dalam pendidikan tinggi hukum.
2) PIH menunjang dan mendukung kepada setiap orang yang akan
mempelajari PHI, karena asas-asas, inti, dan pokok-pokok
pengetahuan tentang hukum mula-mula dipelajari dalam PIH. Dengan
demikian pengetahuan dasar itu berguna sebagai bekal untuk
mempelajari PHI.
Dengan demikian, PIH perlu dipelajari terlebih dahulu sebelum
mempelajari PHI karena pokok-pokok pengetahuan tentang hukum
dipelajari di dalam PIH. Sedangkan pengetahuan yang seperti itu berguna
sebagai bekal dalam mempelajari dan memahami PHI. Sebaliknya, apa
yang dipelajari di dalam PHI merupakan kenyataan (das sein) dari apa
yang dibahas dalam PIH, karena PHI mempelajari hukum sebagai
kenyataan atau dengan kata lain; recht in concreto. Sedangkan PIH
mempelajari hukum sebagai ilmu pengetahuan atau dengan perkataan
lain; recht in abstracto.

2. Perbedaan Antara PIH Dengan PHI

Walaupun PIH dan PHI saling berhubungan erat satu sama lain
namun diantara keduanya terdapat perbedaan. PIH, seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, adalah mata kuliah dasar keahlian dalam
pendidikan tinggi hukum yang mempelajari ilmu hukum secara
keseluruhan dalam garis-garis besarnya. Sifatnya umum, tidak terbatas
pada hukum yang berlaku disuatu negara tertentu (ius constitutum).
Fungsi PIH sendiri ialah mendasari dan mengantarkan setiap orang yang
akan mempelajari ilmu hukum.
Sedangkan PHI adalah mata kuliah dasar keahlian yang
mempelajari hukum secara terbatas, terbatas dalam arti objek kajiannya
dibatasi hanya seputar tata hukum yang berlaku di Indonesia (ius
constitutum). Sifatnya khusus, yaitu khusus mempelajari hukum positif
Indonesia. Fungsi PHI sendiri ialah mengantar setiap orang yang akan
mempelajai hukum positif Indonesia.
Dengan demikian sudah nampaklah letak perbedaan antara PIH
dengan PHI. Perbedaan tersebut terletak pada objek dan fungsi masing-
masing. Objek PIH adalah ilmu hukum secara keseluruhan dan tidak
terbatas pada hukum positif suatu negara. Fungsi PIH ialah mendasari
dan mengantarkan setiap orang yang akan mempelajari ilmu hukum.
Sedangkan objek PHI adalah hukum positif Indonesia (ius constitutum)
dan fungsinya untuk mengantarkan setiap orang yang akan mempelajari
hukum positif Indonesia.
Dengan diberikannya pembahasan mengenai hubungan dan
perbedaan antara PIH dengan PHI, diharapkan mahasiswa dapat terhindar
dari kesalahan dalam memahami PIH dan PHI. Kesalahan pemahaman
tersebut masih sering terjadi dikalangan mahasiswa atau bahkan sarjana
hukum.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada skema mengenai hubungan
dan perbedaan antara PIH dengan PHI berikut ini.
Skema Perbedaan PIH dengan PHI

Mata Kuliah Dasar Keahlian Hukum

PIH PHI

Objek Fungsi Objek Fungsi


Ilmu
Hukum secara keseluruhan dan tidak terbatas pada hukum positif

Mengantarkan setiaporang Hukum Positif Indonesia


yangakan mempelajari hukum

Mengantarkan setiap orang yang akan mempelajari hukum positif Indonesia

D. Hubungan PIH dengan Ilmu Pengetahuan Hukum lainnya

Pelbagai lmu tentang kenyataan (seinwissenschaft), yaitu yang


menyoroti hukum sebagai perilaku atau sikap tindak, seperti Sosiologi
Hukum, Antropologi Hukum, Psikologi Hukum, Sejarah Hukum dan
Perbandingan Hukum, kesemuanya itu memiliki hubungan dengan PIH.
Untuk lebih jelasnya simaklah pembahasan dibawah ini :
1. Sosiologi Hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara
empiris dan analitis mempelajari hubungan timbal balik antara hukum
sebagai gejala sosial, dengan gejala-gejala sosial lain. Sosiologi hukum
bertujuan untuk memberi penjelasan terhadap praktek-praktek hukum,
misalnya dalam pembuatan undang-undang, praktek peradilan, advokat,
dan lain sebagainya. Obyek studi yang penting dalam sosiologi hukum
adalah hal-hal yang berhubungan dengan Pengorganisasian Sosial dari
hukum.8

2. Antropologi Hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang


mempelajari pola-pola sengketa dan penyelesaiannya pada masyarakat
sederhana, maupun masyarakat yang sedang mengalami proses
perkembangan dalam pembangunan. Antropologi tidak hanya
mempelajari mengenai jenis-jenis/tipe-tipe manusia, tetapi juga semua
aspek dari pengalaman manusia. Studi antropologi hukum nampaknya
terletak pada sifat pengamatan dan penyelidikan secara menyeluruh
terhadap kehidupan manusia. Dengan demikian ia melihat hukum tidak
secara statis, melainkan dinamis.9

3. Psikologi Hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang


mempelajari hukum sebagai suatu perwujudan dari perkembangan jiwa
manusia. Psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang perilaku manusia,
dalam kaitannya dengan studi hukum, ia melihat hukum sebagai salah
satu dari pencerminan perilaku manusia. Salah satu yang ada pada hukum
itu mengenai penggunaan secara sadar sebagai alat untuk mencapai
tujuan yang dikehendaki. Misalnya dalam hukum pidana, bidang hukum
yang berkaitan dengan psikologi ialah seperti peranan sanksi pidana
terhadap kriminalitas dan sebagainya.10

4. Sejarah Hukum adalah salah satu bidang studi hukum yang mempelajari
perkembangan dan asal usul sistem hukum dalam suatu masyarakat
tertentu, dan memperbandingkan antara hukum yang berbeda karena
dibatasi oleh perbedaan waktu. Dalam studi sejarah hukum ditekankan
bahwa hukum suatu bangsa merupakan suatu ekspresi jiwa (volkgeist)
dari bangsa yang bersangkutan dan oleh karenanya sistem hukum yang

8
Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, CV Rajawali, Jakarta, 1984, hlm. 53.
9
Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum, CV Pustaka Setia, Bandung, 1999, hlm. 76.
10
Ibid, hlm 77.
satu berbeda dengan sistem hukum yang lainnya. Perbedaan ini terletak
pada ciri khas pertumbuhan yang dialami oleh masing-masing sistem
hukum. Menyelidiki sistem-sistem hukum yang pernah berlaku dan
berkembang pada masa lalu, sehingga dapat mengerti sistem hukum yang
berlaku sekarang dibentuk oleh proses-proses yang berlangsung pada
sistem hukum yang berlaku pada masa lampau.11

5. Perbandingan Hukum adalah suatu metode studi hukum, yang


mempelajari perbedaan sistem hukum antara negara yang satu dengan
yang lain dengan cara memperbandingkan sistem hukum positifnya.
Perbandingan hukum meyelidiki persamaan dan perbedaan unsur-unsur
dari dua atau lebih sistem hukum, baik sistem hukum yang berlaku dalam
dua waktu yang berbeda atau pun dua tempat yang berbeda. Menurut
Sudarto, bahwa perbandingan hukum bukanlah suatu perangkat dan asas-
asas hukum, bukan suatu cabang hukum, melainkan suatu cara
menggarap unsur hukum asing yang aktual dalam suatu masalah hukum.

E. Sejarah Singkat Pengantar Ilmu Hukum

Istilah Pengantar Ilmu Hukum pertama kali digunakan di Jerman


pada akhir abad 19 dan permulaan abad ke 20 dengan istilah “Einfuhrung in
die rechtswissenschaft”, yang kemudian istilah Pengantar Ilmu Hukum
digunakan di Belanda dengan istilah ”Inleiding tot de rechtswetenschap.”
Istilah ini pertama kali digunakan di negeri Belanda pada Tahun 1920, yaitu
termuat dalam Hoger Onder Wijs Wet atau dalam bahasa Indonesianya:
Undang-Undang Perguruan Tinggi.
Istilah Inleiding tot de rechtswetenschap ini sebetulnya pengganti dari
istilah ”Encyclopedie der Rechtswetenschap” yaitu suatu istilah yang
digunakan di Belanda sebelum Tahun 1920. Di Indonesia sendiri, istilah
Inleiding tot de rechtswetenschap telah dikenal dan dipelajari sejak tahun
1924 dengan didirikannya Rechts Hoge School (Sekolah Tinggi Hukum) di

11
Loc Cit.
Batavia (Jakarta), di mana mata kuliah Inleiding tot de rechtswetenschap ini
dimasukan dalam kurikulumnya.
Sedangkan istilah Pengantar Ilmu Hukum atau PIH sebagai
terjemahan dari Inleiding tot de rechtswetenschap, dipergunakan untuk
pertama kalinya di Universitas Gajah Mada yang berdiri pada Tanggal 3
Maret 1946. Dan sampai sekarang PIH dijadikan mata kuliah dasar keahlian
hukum di setiap perguruan tinggi di seluruh Indonesia.12

12
R. Suroso, Op.Cit., hlm.8.
BAB II
MENGENAL HUKUM

A. Definisi Hukum

Buku PIH adalah buku pelajaran yang paling sulit penulisannya. 13


Begitulah ungkapan yang pernah dikemukakan Oleh Prof. Subekti. Masing-
masing ahli memberikan definisi tentang hukum yang semuanya saling
berlainan, walaupun masih tetap memiliki inti persamaan yang asasi
mengenai pengertian apa itu hukum. Bahkan ada istilah yang
mengungkapkan bahwa apabila kita bertanya mengenai definisi hukum
kepada 10 ahli hukum maka kita akan mendapatkan 11 jawaban.
Secara umum kita dapat melihat bahwa hukum merupakan
keseluruhan aturan tingkah laku berupa norma/kaidah, baik tertulis maupun
tidak tertulis yang dapat mengatur dan menciptakan tata tertib dalam
masyarakat yang harus ditaati oleh setiap anggota masyarakat berdasarkan
keyakinan dan kekuasaan hukum itu sendiri. Pengertian tersebut didasarkan
pada terminologi hukum dalam arti materiil. Sedangkan dalam arti formal,
hukum adalah kehendak atau ciptaan manusia berupa norma-norma yang
berisikan petunjuk-petunjuk tingkah laku, tentang apa yang boleh dilakukan
dan tidak boleh dilakukan. Oleh karena itu, hukum mengandung nilai-nilai
keadilan, kegunaan, dan kepastian bagi masyarakat dimana itu hukum
diciptakan.14
Menurut Prof. Mr. Dr. L.J. van Apeldoorn dalam bukunya yang
berjudul “Inleiding tot de Studie van het Nederlandse Recht” (terjemahan
Oetarid Sadino, S.H. dengan nama: “Pengantar Ilmu Hukum”), definisi
memang berharga, apalagi definisi itu adalah buah pikiran dan hasil
penyelidikan sendiri. Jadi definisi tersebut sebaiknya terdapat di akhir bukan

13
Subekti dalam R. Soeroso, Op. Cit., hlm.6.
14
Chainur Arrasjid, “Dasar-Dasar Ilmu Hukum”, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 21.

13
14

di awal pelajaran. Definisi mempunyai manfaat, sebagai sekadar memberikan


pengertian mengenai apa itu hukum bagi orang yang baru mulai belajar
hukum. Sebaliknya, definisi hukum pun memiliki kelemahan karena mereka
yang memulai belajar hukum dihadapkan pada kesalahpahaman, sebab tidak
mungkin memberikan suatu definisi hukum yang benar-benar memadai.15
Menurut Van Apeldoorn, adalah tidak mungkin memberikan suatu
definisi tentang apakah yang disebut hukum itu. Definisi tentang hukum,
adalah sangat sulit untuk dibuat, karena tidak mungkin untuk mengadakannya
yang sesuai dengan kenyataan. Tahun 1800 M silam, Immanuel Kant pernah
menulis sebagai berikut: “Noch suchen die juristen eine definition zu ihrem
begriffe von recht” (Tidak ada satu pun ahli hukum yang mampu membuat
definisi hukum yang lengkap dan memuaskan). Sesungguhnya ucapan Kant
tersebut hingga kini masih berlaku, sebab sejak ribuan tahun yang lalu telah
banyak ahli hukum mencari suatu batasan tentang hukum, namun setiap
pembatasan tentang hukum yang diperoleh belum pernah ada yang
memuaskan.16
Namun demikian, Utrecht mempunyai pandangan yang berlainan
dengan Van Apeldoorn. Dalam bukunya “Pengantar dalam Hukum
Indonesia” ia menyatakan bahwa definisi hukum diperlukan, setidak-tidaknya
sebagai pedoman/pegangan tentang apa itu hukum.
Mengenai kesulitan merumuskan definisi hukum yang memadai,
penulis memandang bahwa ada beberapa faktor yang membuat hukum itu
sulit untuk didefinisikan secara memadai dan memuaskan. Faktor-faktor
tersebut adalah:
1. Hukum bersifat abstrak; adalah suatu kenyataan bahwa hukum bersifat
abstrak, hukum bukanlah benda kongkret yang dapat diraba dan
digambarkan wujudnya. Oleh sebab itu hukum sulit ditransformasikan
dalam sebuah definisi.

15
Van Apeldoorn, Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlandse Recht (Terjemahan oleh
Oetarid Sadino: Pengantar Ilmu Hukum), Pradnya Paramita, Jakarta, 1990, hlm.1.
16
Van Apeldoorn, Loc. Cit.
2. Ruang lingkup hukum yang sangat luas dan hampir tidak terbatas; hukum
mengatur hampir seluruh kehidupan manusia, ruang lingkupnya sangat
luas. Bahkan Van Apeldoorn menyatakan bahwa jika dipikirkan akan
terasalah hukum itu tidak terbatas, melainkan terdapat dimana-mana.
Dengan ruang lingkup yang begitu luas dan tak terbatas, sulit untuk
menyatukannya dalam satu rumusan (definisi).
3. Hukum bersifat dinamis, berubah-ubah dan bergerak mengikuti
perkembangan masyarakat. Hukum tidak statis melainkan dinamis.
Hukum bergerak dan berubah mengikuti peradaban manusia yang juga
bergerak dan berubah. Sehingga dapatlah diterima apabila perumusan
hukum dalam satu definisi sulit mencapai kesempurnaan, karena hukum
itu sendiri bergerak.
4. Hukum didefinisikan sesuai latar belakang keahlian para pakar. Misal,
ahli sosiologi hukum mendefinsikan hukum dari sudut pandang sosiologi
hukum, ahli sejarah hukum mendefinisikan hukum dari sudut pandang
sejarah hukum, begitupun juga dengan bidang keahlian lain, masing-
masing merumuskan definisi hukum yang berlainan.
Dengan memperhatikan uraian diatas, penulis lebih cenderung pada
pandangan Utrecht dengan tidak mengabaikan begitu saja kegelisahan Van
Apeldoorn mengenai sulitnya merumuskan definisi hukum yang memuaskan.
Definisi mengenai apa itu hukum memang sangat perlu diberikan di awal-
awal pelajaran karena akan berguna sebagai pedoman/pegangan untuk
memahami hukum. Kendati pun definisi itu tidak sempurna dan tidak
memuaskan, mengingat luasnya ruang lingkup hukum , namun definisi
hukum dapat berfungsi sebagai pembuka pemahaman sementara dalam
rangka mempelajari ilmu hukum.
Oleh karena itu penulis akan tetap memberikan pembahasan
mengenai definisi Hukum. Agar diperoleh suatu pemahaman yang baik
mengenai apa itu hukum, maka penulis akan menguraikan pembahasan
definisi hukum menjadi 3 bagian yaitu definisi hukum secara etimologis,
definisi hukum menurut para ahli sesuai dengan aliran/mazhabnya dan
definisi hukum dalam berbagai arti. Untuk lebih jelasnya akan dipaparkan
sebagai berikut :

1. Definisi Hukum Secara Etimologis

1) Hukum
Kata Hukum berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata kerja
“hakama” yang berarti menghukum, memutus, menetapkan. Dari kata
hakama muncul kata “al-hikmatu” yang semakna dengan kata “al-
adlu”, “al-ilmu”, “al-hilmu” yang berarti keadilan, kearifan,
kebijaksanaan. Jadi dalam kata hakama terkandung makna hukum.
Disamping itu, kata hakama juga mengandung makna keadilan.
Sedangkan di dalam kata hukum itu sendiri terkandung pengertian
yang bertalian erat dengan pengertian “dapat melakukan paksaan.”17

2) Recht
Recht berasal dari bahasa Latin “Rectum” berarti bimbingan
atau tuntutan, pimpinan, atau pemerintahan. Bertalian dengan kata
Rectum dikenal kata “Rex” yang artinya pemimpin atau orang yang
pekerjaannya memberikan bimbingan atau memerintah. Kata Rectum
dapat juga dihubungkan dengan kata “Directum” yang artinya orang
yang mempunyai pekerjaan membimbing atau mengarahkan. Dari
kata Recht atau pimpinan atau pemerintahan, tersimpul unsur
kewibawaan. Dari kata Recht tersebut muncul juga istilah
“Gerechtigheid” (bahasa Belanda) atau “Gerechtigkeit” (bahasa
Jerman) yang berarti keadilan. Sehingga hukum juga mempunyai
hubungan yang erat dengan keadilan. Jadi dengan demikian, Recht
dapat diartikan hukum yang mempunyai dua unsur penting yaitu
“kewibawaan dan keadilan”.18

17
Suparman Usman, Hukum Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2001, hlm.75.
18
R. Soeroso, Op. Cit., hlm.25.
3) Ius
Kata Ius berarti hukum. Kata ius berasal dari bahasa latin
“Iubere” artinya mengatur atau memerintah. Selanjutnya istilah ius
bertalian dengan “Iustitia” atau keadilan. Pada zaman dahulu,
menurut mitologi Yunani, iustitia adalah dewi keadilan yang
dilambangkan sebagai seorang wanita dengan kedua matanya yang
tertutup dan tangan kirinya memegang neraca serta tangan kanannya
memegang pedang.19

4) Lex
Kata Lex berasal dari bahasa latin yaitu “Lesere”. Lesere
artinya ialah mengumpulkan orang-orang untuk diberi perintah. Jadi
di sini terkandung pula makna kewibawaaan atau otoritas, sehingga
kata Lex yang berarti hukum sangat erat hubungannya dengan
perintah dan wibawa.20

Dengan melihat uraian pengertian hukum secara etimologis, maka


dapat disimpulkan bahwa hukum mengandung dua unsur penting, yaitu:
keadilan dan kewibawaan.

2. Definisi Hukum Menurut Para Ahli Sesuai Dengan


Aliran/Mazhabnya

a. Mazhab Hukum Alam

1) Aristoteles
Dalam bukunya “Rhetorica” ia mengatakan bahwa hukum adalah
sesuatu yang berbeda daripada sekedar mengatur dan
mengekspresikan bentuk dari konstitusi dan hukum berfungsi
untuk mengatur tingkah laku para hakim dan putusannya di
pengadilan untuk menjatuhkan hukuman terhadap pelanggar.

19
Loc. Cit.
20
R. Soeroso, Op.Cit., hlm.26.
2) Immanuel Kant
Hukum ialah keseluruhan syarat–syarat yang dengan ini kehendak
bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan
kehendak bebas dari orang lain. Menurut peraturan hukum tentang
kemerdekaan.

b. Mazhab Historis
Menurut Carl Von Savigny, hukum ialah aturan yang terbentuk
melalui kebiasaan dan perasaan kerakyatan, yaitu melalui
pengoperasian kekuasaan secara diam-diam. Hukum berakar pada
sejarah manusia, dimana akarnya dihidupkan oleh kesadaran,
keyakinan, dan kebiasaan warga masyarakat.

c. Mazhab Positivisme

1) Paul Scholten
Hukum adalah suatu petunjuk tentang apa yang layak dilakukan
dan apa yang tidak layak dilakukan yang bersifat perintah.

2) Prof. Dr. Van Kan


Dalam bukunya (Inleiding tot de Rechtswetenschap), ia
mendefiniskan hukum sebagai keseluruhan peraturan hidup yang
bersifat memaksa untuk melindungi kepentingan manusia di
dalam masyarakat.

3) Prof. Dr. Borst


Hukum adalah keseluruhan peraturan bagi kelakuan atau
perbuatan manusia di dalam masyarakat, yang pelaksanaannya
dapat dipaksakan dan bertujuan mendapatkan tata atau keadilan.
4) Prof. E.K Meyers
Hukum ialah semua aturan yang mengandung pertimbangan,
kesusilaan, ditujukan kepada tingkah laku manusia dalam
masyarakat, dan menjadi pedoman bagi penguasa – penguasa
negara dalam melakukan tugasnya.

5) Goodhart
Ahli Hukum Afrika Selatan ini mengemukakan pandangannya
mengenai hukum. Menurutnya, hukum adalah aturan-aturan
tingkah laku, dimana eksistensi masyarakat itu digantungkan
kepadanya, karena perkosaan atau pelanggaran terhadap aturan-
aturan tingkah laku itu pada dasarnya menghapuskan eksistensi
itu.

d. Mazhab Sosiologis

1) Roscoe Pond
Hukum adalah sekumpulan penuntun yang berwibawa atau dasar–
dasar ketetapan yang dikembangkan dan ditetapkan oleh suatu
teknik yang berwenang atas latar belakang cita–cita tentang
ketertiban masyarakat dan hukum yang sudah diterima.

2) Bellefroid
Hukum adalah kaidah hukum yang berlaku di suatu masayarakat
yang mengatur tata tertib masyarakat dan didasarkan atas
kekuasaan yang ada didalam masyarakat itu.

3) Zinscheimer
Dalam bukunya yang berjudul “Rechtsociologis” ia memberikan
definisi hukum dengan membedakan hukum menjadi tiga:
I. Hukum Normatif
Hukum normatif adalah hukum yang nampak dalam peraturan
perundang-undangan serta hukum yang tidak tertulis dalam
peraturan perundang-undangan tetapi toh diindahkan/ditaati
oleh masyarakat karena keyakinan. Peraturan hidup itu sudah
sewajarnya ditaati.

II. Hukum Ideal


Hukum ideal adalah hukum yang dicita-citakan. Hukum ini
pada hakikatnya berakar pada perasaan murni manusia dari
segala bangsa. Hukum inilah yang dapat memenuhi perasaan
keadilan semua bangsa di dunia. Hukum inilah yang benar-
benar objektif.

III. Hukum Wajar


Hukum wajar adalah hukum seperti yang nampak sehari-hari.
Tidak jarang hukum yang nampak sehari-hari itu menyimpang
dari hukum normatif (peraturan perundang-undangan) karena
tidak diambil oleh alat-alat kekuasaan pemerintah, maka
pelanggaran tersebut oleh masyarakat yang bersangkutan
lambat laun dianggap biasa.

4) Kontorowich
Di dalam bukunya yang berjudul “The Definition of Law”
Kantorowich menyatakan bahwa “Law is a body of social rule
prescribing external conduct and considered justisiable”. Artinya:
“Hukum adalah keseluruhan peraturan-peraturan sosial yang
mewajibkan perbuatan lahir yang mempunyai sifat keadilan serta
dapat dibenarkan”.

e. Mazhab Realis

1) Holmes (Hakim Amerika Serikat)


Hukum adalah apa yang dikerjakan dan diputuskan oleh
pengadilan.
2) Llewellyn
Hukum adalah apa yang diputuskan oleh seorang hakim tentang
suatu persengketaan hukum itu sendiri.

3) Salmond
Hukum ialah kumpulan asas-asas yang diakui dan diterapkan oleh
negara di dalam pengadilan

f. Pakar Hukum Indonesia

1) Utrecht
Dalam bukunya (Pengantar dalam Hukum Indonesia) ia
mengemukakan bahwa hukum adalah himpunan petunjuk hidup
(perintah atau larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu
masyarakat yang seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat dan
jika dilanggar dapat menimbulkan tindakan dari pihak pemerintah
dari masyarakat itu.

2) Prof. Dr. Satjipto Rahardjo


Dalam bukunya “Ilmu Hukum”, Prof. Dr. Satjipto Rahardjo
mengemukakan bahwa hukum adalah karya manusia berupa
norma-norma yang berisikan petunjuk-petunjuk tingkah laku.
Hukum merupakan pencerminan dari kehendak manusia tentang
bagaimana seharusnya masyarakat di bina dan kemana harus
diarahkan. Oleh karena itu pertama-tama, hukum mengandung
rekaman dari ide-ide yang dipilih oleh masyarakat tempat hukum
diciptakan. Ide-ide tersebut berupa ide mengenai keadilan.

3) R. Soeroso
Dalam bukunya “Pengantar Ilmu Hukum”, ia menyatakan bahwa
hukum adalah himpunan-himpunan peraturan yang dibuat oleh
yang berwenang, dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan
bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang
serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi
hukuman bagi mereka yang melanggarnya.

4) Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo


Dalam bukunya “Mengenal Hukum” ia mengemukakan bahwa
kaidah hukum merupakan ketentuan atau pedoman tentang apa
yang seyogianya atau seharusnya dilakukan. Pada hakikatnya
kaidah hukum merupakan perumusan pendapat atau pandangan
tentang bagaimana seharusnya atau seyogianya seseorang
bertingkah laku. Sebagai pedoman kaidah hukum bersifat umum
dan pasif.

5) S.K. Amin
Hukum ialah kumpulan–kumpulan peraturan–peraturan yang
terdiri dari norma dan sanksi–sanksi itu di sebut hukum dan tujuan
hukum itu adalah mengadakan ketatatertiban dalam hukum
pergaulan manusia, sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara.

6) Prof. Dr. Achmad Ali


Hukum adalah seperangkat kaidah atau ukuran yang tersusun
dalam suatu sistem yang menentukan apa yang boleh dan tidak
boleh dilakukan oleh manusia sebagai warga dalam kehidupan
bermasyarakatnya. Hukum tersebut bersumber baik dari
masyarakat sendiri maupun dari sumber lain yang diakui
berlakunya oleh otoritas tertinggi dalam masyarakat tersebut, serta
benar-benar diberlakukan oleh warga masyarakat (sebagai satu
keseluruhan) dalam kehidupannya. Jika kaidah tersebut dilanggar,
akan memberikan kewenangan bagi otoritas tertinggi untuk
menjatuhkan sanksi yang sifatnya eksternal.
g. Definisi Hukum Dalam Berbagai Arti

Untuk melengkapi pembahasan mengenai definisi hukum ini


ada baiknya menyertakan juga definisi dalam berbagai arti seperti
yang dikemukakan oleh R. Soeroso dalam bukunya “Pengantar Ilmu
Hukum.” Yaitu :

1) Hukum sebagai keputusan penguasa


Sebagai keputusan penguasa hukum merupakan
serangkaian peraturan-peraturan tertulis, seperti Undang-Undang
Dasar, Undang-Undang, Keputusan Presiden, Peraturan
Pemerintah, Keputusan Menteri, Peraturan Daerah. Peraturan
tersebut dibuat oleh yang berwenang, dalam hal ini badan
legislatif. Misalnya Undang-Undang dibuat oleh Presiden bersama
DPR, Peraturan Daerah Tingkat Provinsi dibuat oleh DPRD
bersama Gubernur. Putusan Hakim termasuk hukum sebagai
manifestasi atau perwujudan di dalam masyarakat.

2) Hukum dalam arti petugas


Di sini yang dianggap hukum adalah para petugas penegak
hukum. Mereka terutama ialah orang awam yang dalam
istilahnya Apeldoorn disebut “Men in the street.” Mereka melihat
para polisi, jaksa, hakim, sebagai hukum karena dalam
kenyataannya para petugas penegak hukum tersebutlah yang
memang menghukum orang yang bersalah.

3) Hukum dalam arti sikap tindak


Yang diartikan sebagai sikap tindak adalah tidak seperti
bekerjanya penegak hukum yang mengatur dan memaksa
masyarakat. Bekerjanya sikap tindak ini tidak terasa. Hubungan
antara anggota masyarakat berjalan biasa, dirasakan wajar serta
rasional. Seperti seorang pembeli yang membayar harga barang
dan si pembeli merupakan orang yang berkesadaran hukum.

4) Hukum dalam arti gejala sosial


Filsuf Yunani, Aristoteles mengatakan bahwa manusia
adalah “Zoon Politicon” yaitu makhluk sosial yang hidup
bermasyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat itu manusia
saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Kebutuhan dapat
sama dapat lain, bahkan kadang-kadang berlawanan/bertentangan,
seperti kepentingan penjual dengan kepentingan pembeli.
Ketentuan-ketentuan tersebut merupakan petunjuk hidup yang
merupakan hukum yang berkembang bersama-sama masyarakat
atau dengan perkataan lain, hukum berarti gejala sosial.

5) Hukum dalam arti kaidah


Sebagai kaidah/norma, hukum itu dapat dirumuskan
sebagai berikut; Ilmu hukum adalah himpunan petunjuk hidup
(perintah-perintah) dan larangan-larangan yang mengatur tata
tertib dalam sesuatu masyarakat dan seharusnyalah ditaati oleh
anggota masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu
pelanggaran petunjuk tersebut dapat menimbulkan tindakan dari
pihak pemerintah terhadap masyarakat itu.

6) Hukum dalam arti disiplin


Suatu disiplin adalah sistem mengenai kenyataan atau
gejala-gejala yang dihadapi. Dalam hal ini, hukum dalam arti
disiplin melihat hukum sebagai gejala kenyataan yang ada di
tengah-tengah masyarakat.

7) Hukum dalam arti ilmu hukum


Hukum dalam arti ilmu hukum berarti ilmu tentang kaidah
atau normwissenschaft atau sollenwissenschaft, yaitu ilmu yang
menelaah hukum sebagai kaidah, atau sistem kaidah-kaidah,
dengan ajaran hukum dan sistematika hukum.

8) Hukum dalam arti tata hukum


Hukum dalam arti tata hukum adalah hukum yang sedang
berlaku di suatu negara. Tata hukum biasanya juga disebut hukum
positif atau Ius Constitutum. Hukum ini di wujudkan dengan
peraturan-peraturan yang saling berhubungan dan saling
menguntungkan. Tata hukum meliputi perbuatan apa yang boleh
dilakukan dan perbuatan apa yang tidak boleh dilakukan. Juga
mengenai apakah yang dimaksud mengenai hak, kewajiban, dan
wewenang.

Sebagaimana yang telah dipaparkan melalui pelbagai pandangan


mengenai hukum/definisi hukum diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
hukum adalah himpunan peraturan-peraturan tingkah laku yang diakui
kebenarannya dan dibuat oleh badan yang berwenang. Peraturan mana berisi
perintah dan larangan yang bersifat memaksa dan mengancam, serta
mejatuhkan hukuman yang nyata bagi yang melanggarnya.
Kiranya definisi hukum diatas sudah cukup untuk membuka gerbang
cakrawala ilmu hukum sebelum memasukinya lebih jauh. Pada tahap ini
mahasiswa atau masyarakat yang baru mulai mengenal hukum telah
diberikan suatu batasan/rumusan pengertian tentang hukum.

B. Fungsi Hukum

Sebenarnya fungsi hukum itu beraneka ragam dan luas, seluas ilmu
hukum dan tujuan hukum itu sendiri. Namun demikian tetap perlu diberikan
suatu perumusan tentang fungsi hukum agar dapat diketahui apa sebenarnya
fungsi hukum itu. Sama halnya dengan definisi hukum yang begitu banyak,
sebanyak yang mendefinisikannya. Fungsi hukum pun hampir serupa seperti
itu, masing-masing ahli merumuskan fungsi hukum.
Hukum sebagai suatu ilmu pengetahuan dan sebagai kaidah sosial
tentu memiliki fungsi dan tujuan. Antara fungsi dan tujuan memang saling
berkaitan erat. Bahkan fungsi hukum menurut Prof. Achmad Ali tergantung
dari tujuan hukumnya.21 Lain tujuan yang hendak dicapai maka lain pula
fungsinya. Tujuan hukum dicapai dengan memfungsikan hukum, yaitu
dengan cara mengarahkan fungsi hukum kepada tujuan hukum yang hendak
dicapai.
Masih banyak orang yang seringkali keliru dalam menilai fungsi
hukum. Hukum dianggap baru berfungsi ketika sudah terjadi pelanggaran
terhadapnya. Persepsi yang demikian itu adalah keliru dan harus diluruskan.
Hukum tidak hanya berfungsi manakala sudah terjadi pelanggaran, tetapi
juga berfungsi sebelum terjadinya pelanggaran. Dalam hal yang demikian
hukum berfungsi sebagai petunjuk dan pedoman bersikap tindak. Contoh:
Bank melakukan kegiatan usaha sebagaimana yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan dibidang perbankan. Tanpa harus ada pelanggaran
terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut hukum ternyata
memberi pedoman kepada bank tentang bagaimana ia melakukan kegiatan
usahanya. Sebaliknya, tanpa adanya pengaturan oleh hukum maka dapat
dibayangkan betapa kacaunya sistem perbankan tersebut. Ini salah satu buki
bahwa hukum berfungsi/bekerja kendati pun tidak ada pelanggaran.
Nampaknya benar sinyalemen para sosiolog hukum bahwa hukum
pada hakikatnya barulah merupakan janji-janji atau rencana yang tidak lebih
dari sekedar cita hukum (rechtsidee). Ia akan menjadi hukum apabila
difungsikan atau dijalankan dalam kehidupan nyata.22
Rusli Effendi mengemukakan bahwa hukum akan memiliki daya kerja
yang baik apabila dua fungsi hukum betul-betul membumi dalam kehidupan
masyarakat. Dua fungsi hukum itu ialah:
1. Fungsi pasif; hukum berfungsi sebagai penjaga status qou. Fungsi ini
disebut “sarana kontrol sosial” atau “law is tool of social control.”

21
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Edisi Kedua, Ghalia Indonesia, Bogor, 2008, hlm.70.
22
Marwan Mas, Pengantar Ilmu hukum, Cet. Kedua, Bogor, Ghalia Indonesia, 2011, hlm. 89.
2. Fungsi aktif; hukum berfungi merombak tatanan yang telah ada menuju
suatu keadaan yang dicita-citakan. Fungsi ini dikenal sebagai fungsi “law
is tool of social engineering” (fungsi hukum sebagai alat perekayasa
sosial).23
Berdasarkan uraian diatas, maka pada bagian ini akan dipaparkan
fungsi hukum yang sudah lazim ditemui dalam kepustakaan ilmu hukum.
Fungsi hukum tersebut antara lain:

1. Sebagai Alat Pengatur Ketertiban Dan Ketentraman Masyarakat

Seperti dalam banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli,


bahwa hukum adalah himpunan peraturan untuk mengatur ketertiban dan
ketentraman masyarakat. Artinya, dalam definisi hukum itu sendiri
sebenarnya telah terkandung fungsi hukum, yaitu sebagai alat pengatur
ketertiban dan ketentraman masyarakat. Dalam hal ini, kaidah hukum
memberikan seperangkat aturan mengenai tata perilaku atau petunjuk
hidup (levensvoorschriften) agar tercipta kehidupan yang tertib dan
tentram.
Dalam fungsinya sebagai alat pengatur ketertiban dan ketentraman
masyarakat ini penulis juga menyertakan konsep “law is tool of social
control” atau dalam bahasa Indonesianya “hukum sebagai alat
pengawas/pengatur sosial”. Konsep “law is tool of social control” oleh
banyak ahli seperti Prof. Achmad Ali diberikan tempat tersendiri sebagai
salah satu fungsi hukum. Namun paham yang demikian tidak penulis anut
sebab konsep “law is tool of social control” tidak memiliki perbedaan
asasi dengan fungsi hukum sebagai alat pengatur ketertiban dan
ketentraman masyarakat. Jadi tidak perlu memisahkan antara fungsi
hukum sebagai alat pengatur ketertiban dan ketentraman masyarakat
dengan fungsi hukum sebagai tool of social control, karena kedua-duanya

23
Rusli Effendi dalam Marwan Mas, Loc. Cit.
berbicara mengenai fungsi hukum dalam menciptakan ketertiban dan
ketentraman.

2. Sebagai Sarana Untuk Mewujudkan Keadilan

Hukum dalam fungsinya sebagai sarana untuk mewujudkan


keadilan berarti hukum berisi himpunan peraturan yang difungsikan
sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan.

3. Sebagai Sarana Penggerak Kemajuan Pembangunan

Dalam fungsinya sebagai sarana penggerak kemajuan


pembangunan, hukum dijadikan sarana untuk membawa masyarakat
kearah kemajuan. Dalam doktrin, yakni hukum sebagai kaidah sosial
maupun dalam kenyataan, tidak dapat dipungkiri bahwa hukum berfungsi
sebagai alat penggerak kemajuan pembangunan. Karena peraturan-
peraturan hukum pada intinya bertujuan untuk mencapai masyarakat yang
adil, makmur, dan sejahtera.
Peraturan-peraturan hukum menyediakan norma-norma yang
bersifat memaksa yang berisi amanat dan cara untuk mencapai kemajuan
pembangunan. Sebaliknya, tanpa peraturan hukum, tidaklah mungkin
suatu masyarakat akan mencapai kemajuan pembangunan. Jangankan
mencapai kemajuan pembangunan, ketertiban dan pergaulan hidup yang
harmonis pun tidak mungkin tercapai tanpa hukum. Jadi jelaslah bahwa
salah satu fungsi hukum adalah untuk membawa masyarakat kearah
kemajuan pembangunan.

4. Fungsi Kritis Hukum

Sebagai imbangan dan reaksi terhadap persepsi yang beranggapan


bahwa hukum hanya mengatur dan mendesak masyarakat sedangkan
aparatur penegak hukum lepas dari kontrol hukum, dipaparkan fungsi
kritis daripada hukum. Dr. Soedjono Dirdjosisworo mengatakan “Dewasa
ini berkembang suatu pandangan bahwa hukum mempunyai fungsi kritis,
yaitu daya kerja hukum tidak semata-mata melakukan pengawasan pada
aparatur pemerintah (petugas) saja melainkan aparatur penegak hukum
termasuk di dalamnya.”24

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan secara seksama terkait


fungsi hukum, yaitu syarat-syarat agar fungsi hukum dapat bekerja/berjalan
dengan baik. Syarat-syarat tersebut sesuai dengan gagasan pemikiran
Lawrence Friedman yang menegaskan bahwa sistem hukum terdiri atas 3
komponen: substansi hukum (materi hukum; peraturan hukum), struktur
hukum (lembaga penegak hukum), dan kultur hukum (budaya hukum).25
Dari gagasan Lawrence Friedman tersebut, penulis pun
menyimpulkan bahwa agar fungsi hukum dapat berjalan/bekerja dengan baik
maka harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Hukum yang berlaku harus sesuai dengan aspirasi masyarakat; substansi
hukumnya harus mencerminkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat akan
sebuah peraturan. Tidak boleh berlaku suatu hukum yang berlainan
dengan jiwa masyarakat dimana hukum itu diberlakukan. Dengan begitu
maka hukum akan mudah difungsikan sesuai tujuan yang hendak dicapai.
Fungsi hukum akan bekerja/berjalan dengan baik manakala hukum yang
berlaku adalah sesuai dengan aspirasi masyarakat.
2. Aparatur penegak hukum yang bermental tanggul dan memiliki integritas
moral; apalah arti hukum yang baik dan ideal tanpa ditunjang oleh aparat
penegak hukum yang baik. Untuk berjalan/bekerjanya fungsi hukum
dengan baik maka tidak bisa tidak, aparat penegak hukumnya harus baik
pula.
3. Adanya kultur masyarakat yang mendukung terlaksananya fungsi hukum;
dengan hukum yang baik, penegak hukum yang baik, budaya hukum dan
kesadaran hukum masyarakat yang baik pula, maka terlaksananya fungsi

24
Seodjono Dirdjosisworo, Op. Cit., hlm.155.
25
Lawrence Friedman, American Law, W.W Norton & Company, London, 1984, hlm.6.
hukum dengan baik adalah suatu keniscayaan. Sebaliknya, hukum yang
baik, penegak hukum yang baik, tanpa ditunjang oleh budaya hukum
masyarakat, maka fungsi hukum tidak akan terlaksana dengan baik. Akan
terjadi ketimpangan ketika budaya/kesadaran masyarakatnya tidak
mendukung.

C. Tujuan Hukum

Untuk mengatakan secara pasti apakah yang menjadi tujuan hukum


itu adalah hal yang sulit, hampir sama halnya dengan mencari suatu definisi
hukum. Hal itu sekurang-kurangnya disebabkan karena luasnya ilmu hukum,
sehingga dapat dikatakan bahwa tujuannya pun pastilah luas. Setiap sarjana
hukum mempunyai rumusan masing-masing mengenai apakah tujuan hukum
itu. Ada yang berpendapat tujuan hukum itu adalah ketertiban, ketentraman,
kedamaian, keadilan, kemanfaatan, atau kepastian hukum. Semua rumusan
tentang tujuan hukum tersebut tidak bisa dikatakan salah, sebab memang
demikianlah keadaannya, hukum memang memiliki tujuan-tujuan tertentu.
Jadi rumusan tentang apakah tujuan hukum itu tergantung daripada yang
hendak merumuskannya.
Oleh karena masing-masing juris mempunyai rumusan tersendiri
tentang tujuan hukum maka akibatnya begitu banyak ajaran sarjana hukum
(doktrin) yang menguraikan tentang tujuan hukum. Keadaan ini memiliki
kemiripan dengan persoalan definisi hukum, dimana masing-masing juris
mempunyai definisi tentang hukum yang semuanya berlainan. Namun
demikian ada juga perbedaannya, untuk tujuan hukum, para juris masih ada
yang memiliki kesamaan dalam merumuskan tujuan hukum. Contoh, yang
mengemukakan bahwa tujuan hukum adalah kemanfaatan hukum (teori
utilitas) diantaranya adalah Jeremy Bentham, James Mill, John Stuart, dan
Prof. Subekti. Jadi tidak hanya satu ahli yang mengemukakannya.
Pada bagian ini akan diuraikan beberapa rumusan tentang tujuan
hukum yang lazim dikenal dalam literatur ilmu hukum. Tujuan hukum
tersebut akan diuraikan dari pelbagai pandangan/ajaran, antara lain tujuan
hukum menurut para ahli, tujuan hukum menurut ajaran konvensional dan
tujuan hukum menurut ajaran modern. Untuk lebih jelasnya akan dipaparkan
sebagai berikut :

a. Tujuan Hukum Menurut Para Ahli

1) Van Apeldoorn
Dalam bukunya yang masyhur “Inleiding tot de Studie van het
Nederlandse Recht”, juris asal Belanda ini mengatakan bahwa tujuan
hukum adalah untuk mengatur pergaulan hidup manusia secara
damai. Hukum menghendaki perdamaian.

2) Wirjono Prodjodikoro
Dalam bukunya “Perbuatan Melanggar Hukum” ia menyebutkan
bahwa tujuan hukum adalah mengadakan keselamatan, kebahagiaan,
dan tata tertib dalam masyarakat. Ia mengatakan bahwa masing–
masing anggota masyarakat mempunyai kepentingan yang beraneka
ragam.

3) Algra
Mengatakan bahwa tujuan pokok hukum adalah menciptakan
tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban, dan
keseimbangan. Dengan tercapainya ketertiban dalam masyarakat
diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi.

4) Aristoteles
Filsuf Yunani Kuno ini berpendapat bahwa tujuan hukum adalah
menghendaki keadilan semata–mata dan isi daripada hukum
ditentukan oleh kesadaran etis mengenai apa yang dikatakan adil dan
apa yang tidak adil. Menurut teori ini, hukum mempunyai tugas suci
dan luhur, yakni keadilan, dengan memberikan pada tiap–tiap orang
apa yang patut ia terima, yang memerlukan peraturan tersendiri bagi
tiap–tiap kasus. Apabila ini dilaksanakan maka tidak akan ada habis–
habisnya. Oleh karena itu hukum harus membuat apa yang dinamakan
”Algemeene Regeis” (peraturan/ketentuan–ketentuan umum).

5) Jeremy Bentham
Dalam bukunya “Intruduction to the Moral and Legislation” ia
mengemukakan bahwa hukum bertujuan untuk mewujudkan semata–
mata apa yang berfaedah bagi orang. Pandangannya ini kemudian
dikenal dalam dunia hukum sebagai utility theory (teori utilitas) atau
dalam bahasa Indonesia disebut teori kemanfaatan/kefaedahan
hukum.

6) Prof. Mr. J. Van Kan


Ia mengatakan bahwa hukum bertujuan menjaga kepentingan
tiap–tiap manusia supaya kepentingan–kepentingan itu tidak dapat
diganggu. Disini hukum mempunyai tujuan untuk menjaga kepastian
hukum. Oleh karena pandangannya ini, ia digolongkan sebagai juris
yang beraliran normatif dogmatik.

7) J.H.P Bellefroid
Dalam bukunya “Inleiding tot de Rechtwetenschap in
Nederland” ia mengemukakan suatu pandangan yang berbeda dari
sarjana lain yang bermazhab etis, utilitas, atau normatif dogmatik. Ia
memandang bahwa isi hukum harus ditentukan menurut dua asas,
yaitu asas keadilan dan faedah/kemanfaatan. Pandangan tentang
tujuan hukum yang dikemukakannnya menjadikannya sebagai salah
satu pelopor aliran tujuan hukum campuran/gabungan.

b. Tujuan Hukum Menurut Ajaran Konvensional

1) Teori Etis
Menurut teori etis, tujuan hukum adalah semata-mata untuk
keadilan. Disebut teori etis karena teori ini mendasarkan doktrinnya
bahwa isi daripada hukum ditentukan oleh keyakinan etis mengenai
apa yang adil dan apa yang tidak adil. Pelopor dari teori ini adalah
Aristoteles. Aristoteles membagi keadilan ke dalam dua macam,
yaitu:
a. Justitia Distributiva atau Keadilan Distributif; ialah keadilan yang
memberikan kepada setiap orang sesuai dengan jasa-jasanya.
Keadilan dalam konteks ini bukan menghendaki/mengejar
persamaan, melainkan pembagian secara proporsional sesuai jasa-
jasa seseorang.
b. Justitia Commutativa atau Keadilan Komutatif; ialah keadilan
yang memberikan kepada setiap orang tanpa melihat jasa-jasanya.
Keadilan dalam konteks ini menghendaki adanya persamaan
keadilan bagi setiap orang tanpa memperhitungkan jasa-jasa yang
telah diperbuat.

2) Teori Utilitas
Menurut teori utilitas, tujuan hukum adalah semata-mata
menciptakan kemanfaatan atau kefaedahan bagi masyarakat. Teori ini
mengajarkan bahwa pada hakekatnya hukum bertujuan untuk
menciptakan/mewujudkan kebahagian/kemanfaatan yang sebanyak-
banyaknya kepada masyarakat (the greatest happiness principle).
Pelopor dari teori ini adalah Jeremy Bentham (ahli hukum Inggris),
yang kemudian diikuti/dianut oleh James Mill, John Stuart Mill, dll.

3) Teori Normatif Dogmatik


Menurut teori normatif dogmatik, tujuan hukum adalah semata-
mata untuk kepastian hukum. Teori ini bertolak dari paham
positifis/legisme yang memandang bahwa hukum hendaknya dibentuk
secara tertulis dan sumber hukum yang tertinggi adalah hukum
tertulis. Hukum tertulis menurut paham positifis lebih menjamin
kepastian hukum karena wujudnya yang tertulis. Oleh karena itu
hukum adalah bertujuan untuk kepastian hukum. Pendukung dari teori
ini antara lain adalah Prof. Mr. J. Van Kan.

4) Teori Campuran/Gabungan
Menurut teori ini, tujuan hukum bukanlah semata-mata hanya
untuk keadilan atau untuk kemanfaatan, tetapi tujuan hukum adalah
untuk mencapai kedua-duanya, keadilan dan kemanfaatan (justice et
utilities).26 Pendukung teori ini antara lain J. Schrasset dan Bellefroid.

c. Tujuan Hukum Menurut Ajaran Modern

1) Ajaran Prioritas Baku


Adalah juris kenamaan asal Jerman, Gustav Radbruch dalam
bukunya “Einfuhrung in die Rechtwissenschaft” yang mencetuskan
ajaran/teori ini. Ia mengemukakan bahwa tujuan hukum adalah:
1. Keadilan
2. Kemanfaatan
3. Kepastian Hukum
Olehnya diutarakan bahwa memang idealnya tujuan hukum
yang tiga itu diwujudkan secara simultan (serentak/bersamaan). Baik
keadilan, kemanfaatan, maupun kepastian hukum, seyogianya (das
sollen) diwujudkan secara bersamaan. Namun dalam praktek (das
sein) justru seringkali terjadi benturan mengenai tujuan mana yang
hendak dicapai/didahulukan pencapaiannya. Terkadang antara
keadilan dan kemanfaatan atau antara keadilan dan kepastian hukum,
keduanya saling berbenturan dan saling mendesak untuk diwujudkan,
maka disinilah letak solusi yang diberikan melalui ajaran prioritas
baku ini.
Ajaran prioritas baku ini menghendaki adanya prioritas dalam
mewujudkan tujuan hukum. Prioritas yang pertama adalah keadilan,
setelah itu kemanfaatan, dan yang terakhir adalah kepastian hukum.

26
Pipin Syarifin, Op Cit, hlm.53.
2) Ajaran Prioritas Kasuistik
Ajaran ini merupakan suatu pembaharuan yang realistis
mengenai persoalan tujuan hukum yang mulai dianut menjelang akhir
abad ke 20. Ajaran ini lahir sebagai reaksi terhadap ajaran prioritas
baku Gustav Radbruch. Pada mulanya, ajaran prioritas baku dianggap
supel dan lebih baik daripada ajaran tentang tujuan hukum yang
ekstrem, seperti teori etis, utilitas, dan normatif dogmatik. Namun
berkembangnya zaman yang melahirkan kompleksitas kehidupan
yang semakin tinggi, membuat ajaran proritas baku mulai lekang oleh
waktu.
Kadang-kadang ajaran prioritas baku justru bertentangan dengan
kebutuhan hukum dalam kasus-kasus tertentu. Sebab adakalanya
untuk kasus tertentu, kemanfaatan harus diutamakan daripada
keadilan, atau kepastian hukum harus didahulukan daripada keadilan.
Sedangkan ajaran prioritas baku mengharuskan pencapaian tujuan
hukum secara berurut dan baku, mulai dari keadilan, kemanfaaatan,
dan kepastian hukum.27
Oleh karena itu munculah ajaran baru yang mengajarkan bahwa
ketiga tujuan hukum itu harus diprioritaskan sesuai dengan kasus
yang dihadapi. Misalnya pada kasus tertentu yang diprioritaskan
adalah keadilan. Namun pada kasus yang lain yang diprioritaskan
adalah kemanfaatan. Jadi untuk memilih tujuan mana yang hendak
dicapai, disesuaikan dengan kasus yang dihadapi (kasuistik).

D. Unsur, Ciri dan Sifat Hukum

1. Unsur-Unsur Hukum
Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan tingkah laku yang
diakui kebenarannya dan dibuat oleh badan yang berwenang. Peraturan
mana berisi perintah dan larangan yang mempunyai sifat memaksa dan

27
Achmad Ali, Op. Cit., hlm.68.
mengancam serta menjatuhkan hukuman yang nyata bagi yang
melanggarnya.
Dari penjelasan-penjelasan yang telah diberikan sebelumnya
tentang hukum dan sesuai dengan definisi hukum menurut penulis, maka
dapat dirumuskan beberapa unsur-unsur hukum.
Unsur-Unsur Hukum tersebut antara lain:
a) Peraturan-peraturan tingkah laku manusia
b) Peraturan-peraturan itu dibuat oleh badan resmi yang berwenang
c) Peraturan-peraturan itu diakui kebenarannya
d) Peraturan-peraturan itu bersifat memaksa
e) Sanksi yang tegas dan nyata

2. Ciri-Ciri Hukum
Dengan merujuk kepada pembahasan-pembahsan sebelumnya
tentang hukum maka dapat disebutkan ciri-ciri hukum. Ciri-ciri hukum
berarti tanda atau pengenal untuk mengetahui apakah itu hukum atau
bukan.
Dalam ilmu hukum dikenal adanya beberapa ciri hukum, yaitu:
1) Adanya larangan dan perintah
2) Larangan dan perintah itu dipatuhi
3) Ancaman sanksi yang nyata dan tegas

3. Sifat-Sifat Hukum
Hukum itu mempunyai sifat mengatur dan memaksa, karena hukum
adalah peraturan hidup di masyarakat yang memaksa setiap orang untuk
mematuhinya dan bagi yang melanggar akan dikenai sanksi.

E. Asas Hukum

Pembahasan mengenai asas hukum adalah salah satu pembahasan


yang menarik dalam ilmu hukum, karena asas hukum inilah yang merupakan
jantung/jiwa yang mendasari norma hukum (peraturan hukum). Pada asasnya,
norma hukum adalah seperangkat pedoman dan petunjuk mengenai apa yang
seyogianya dilakukan dan apa yang seyogianya tidak dilakukan.
Dari kalimat pembuka diatas sudah mulai tergambar adanya
perbedaan antara asas hukum yang bersifat abstrak dengan norma hukum
yang bersifat kongkret. Oleh karenanya, pada bagian ini akan diuraikan
secara lugas mengenai asas hukum. Pemahaman akan asas hukum ini
penting, karena dari asas-asas hukum inilah norma (peraturan) hukum lahir.
Oleh sebab itu tidak mengherankan apabila Prof. Sudikno
Mertokusumo mengatakan bahwa “Asas hukum merupakan sebagian dari
hidup kejiwaan kita.”28 Dalam kalimat yang singkat itu tersimpul makna
penting asas hukum dalam ilmu hukum, ia merupakan bagian dari kejiwaan
masyarakat, lahir dari kesadaran dan nilai-nilai hukum masyarakat
(wirkelijkheid), kemudian darinyalah norma hukum (peraturan hukum)
dilahirkan.
Berikut ini akan dijelaskan mengenai asas hukum dalam
pengertiannya secara gramatikal dan menurut para ahli, secara jelas akan
dipaparkan sebagai berikut :

a. Pengertian asas hukum secara gramatikal


Istilah Asas dalam bahasa Inggris disebut “Principle”. Pengertian
asas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah:
1) Dasar (sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir/berpendapat)
2) Dasar Cita-Cita
3) Hukum Dasar
Jadi secara singkat, asas hukum menurut tata bahasa dapat
diartikan sebagai suatu dasar yang menjadi tumpuan dari ketentuan–
ketentuan norma hukum.

28
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, Yogyakarta, 2010, hlm.44.
b. Pengertian asas hukum menurut para ahli

1) C.W Paton
Mengatakan bahwa asas adalah “The principles is the broad
reason, which lies at the base of a rule of law” artinya, asas adalah
suatu alam pikiran yang dirumuskan secara luas dan mendasari
adanya sesuatu norma hukum. Apabila diringkas maka akan tersimpul
unsur-unsur daripada asas, yaitu:
a. Alam pikiran
b. Rumusan luas
c. Dasar bagi pembentukan norma hukum

2) Van Eikema Hommes


Mengatakan bahwa asas hukum tidak boleh dianggap sebagai
norma hukum yang kongkret, tetapi perlu dipandang sebagai dasar
umum atau petunjuk bagi hukum yang berlaku.

3) Prof. Sudikno Mertokusumo


Asas hukum bukanlah kaidah hukum yang kongkret melainkan
merupakan latar belakang peraturan yang kongkret dan bersifat
umum/abstrak.

4) Prof. Satjipto Rahardjo


Dalam bukunya “Ilmu Hukum”, asas hukum adalah unsur yang
penting dan pokok dari peraturan hukum. Asas hukum adalah
jantungnya hukum karena ia merupakan landasan yang paling luas
bagi lahirnya peraturan hukum atau ia adalah sebagai ratio legis-nya
peraturan hukum.

5) J.B Daliyo
Dalam bukunya “Pengantar Ilmu Hukum”, ia menegaskan
bahwa asas hukum bukan norma hukum kongkret, tetapi ia adalah
latar belakang dari peraturan kongkret, karena ia merupakan dasar
pemikiran yang umum dan abstrak dan mendasari lahirnya setiap
peraturan hukum.

Mencermati pengertian asas hukum diatas, baik dari segi tata bahasa
maupun pandangan para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa asas hukum
adalah dasar pemikiran yang melatarbelakangi suatu peraturan hukum, ia
bersifat abstrak dan menjadi landasan dalam pembentukan peraturan hukum.
Dengan demikian maka sudah dapat dibedakan antara asas hukum dengan
norma hukum (peraturan hukum).
Asas hukum adalah dasar pemikiran/rumusan ide yang
melatarbelakangi suatu peraturan hukum, ia bersifat abstrak. Sedangkan
peraturan hukum adalah manifestasi (perwujudan) atau konkretisasi dari
rumusan ide yang abstrak tersebut (asas), oleh karenanya peraturan hukum
bersifat kongkret. Jika asas hukum telah dirumuskan dalam bentuk yang
kongkret berupa perturan hukum, yakni peraturan perundang-undangan,
maka ia sudah dapat diterapkan pada peristiwa hukum. Sebaliknya, apabila
belum dimanifestasikan dalam ketentuan peraturan hukum maka ia belum
bisa diterapkan pada peristiwa hukum (non terapan).
Ketika suatu asas hukum telah diresapi dan dimuat dalam ketentuan-
ketentuan peraturan hukum, maka ia dapat berfungsi untuk mengatasi
pertentangan diantara peraturan hukum. Misal pertentangan antara undang-
undang B dengan undang-undang C. Maka asas hukum Lex specialist
derogat legi generalis (hukum yang lebih khusus mengesampingkan hukum
yang umum) dan asas hukum Lex posteriori derogat legi priori (hukum yang
baru mengesampingkan hukum yang terdahulu) dapat menengahi dan
memberi solusi atas pertentangan tersebut. Jadi walaupun sifatnya abstrak
dan idiil (dasar), asas hukum mempunyai peran dan fungsi yang signifikan.
Oleh karena itu, menjaga ketaatan terhadap asas hukum akan
membuat sistem hukum dan sistem peradilan bekerja sesuai fungsinya dan
tidak keluar daripada jalur yang seharusnya.29 Banyak asas hukum yang

29
Marwan Mas. Op.Cit., hlm.109.
dituangkan/dimuat di dalam peraturan hukum yang kongkret, seperti asas
hukum “Equality before the law” (persamaan dihadapan hukum) yang
dituangkan dalam pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: “Segala
warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan
dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya.”
Selain itu, ada juga asas “Presumption of innocence” (asas praduga
tak bersalah) yang dituangkan dalam pasal 8 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi: “Setiap orang yang
disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan
wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang
menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Selain asas-asas tersebut diatas, masih banyak lagi asas hukum yang
telah dimuat di dalam peraturan hukum yang konkret dan telah menjadi
bagian integral dari hukum positif Indonesia. Namun demikian, tidak semua
asas hukum sudah terjewantahkan (menjelma) di dalam peraturan hukum
yang berlaku di Indonesia dan menjadi bagian integral dalam hukum positif
Indonesia. Sebab pengejawantahan suatu asas dalam peraturan hukum yang
kongkret tentu disesuaikan dengan jiwa bangsa dimana peraturan hukum itu
berlaku.
Seperti yang dikemukakan oleh Carl Von Savigny bahwa hukum
tidak lain adalah cerminan karakter, kepribadian dan sejarah suatu bangsa.
Hukum lahir, tumbuh, dan berkembang dalam ruang dan waktu, tidak
terlepas dari sejarah, kepribadian, dan kesadaran hukum masyarakatnya. Oleh
karena itu, adalah sesuatu yang wajar apabila ada asas-asas hukum tertentu
yang tidak diejawantahkan dalam peraturan hukum yang kongkret. Contoh,
asas “The binding force of precedent” (hakim diwajibkan mengikuti putusan
hakim yang terdahulu dalam memutus perkara yang sejenis), asas ini tidak
digunakan di Indonesia karena para hakim Indonesia tidak wajib mengikuti
putusan hakim terdahulu dalam perkara yang sama. Umumnya asas tersebut
diterapkan di negara-negara Anglo Saxon.
Selanjutnya menurut Prof. Sudikno Mertokusumo, asas hukum dapat
dibagi menjadi dua:
1. Asas hukum umum: yaitu asas hukum yang berlaku untuk semua
bidang/cabang ilmu hukum. Contohnya asas restitutio in integrum
(hukum mengembalikan masyarakat yang berkonflik kepada keadaan
semua), asas Lex posteriori derogat legi priori (hukum/peraturan
perundang-undangan yang baru mengesampingkan hukum/peraturan
perundang-undangan yang lama/terdahulu).
2. Asas hukum khusus: yaitu asas hukum yang hanya berlaku untuk
bidang/cabang ilmu hukum tertentu. Contohnya asas pacta sunt servanda
(para pihak yang mengadakan perjanjian terikat dengan perjanjian yang
dibuatnya/perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak
yang membuatnya) hanya berlaku dibidang perdata.30
Dari penjelasan-penjelasan diatas dapatlah ditarik suatu kesimpulan
bahwa antara asas hukum dan norma (peraturan hukum) adalah sesuatu yang
berbeda namun berkaitan. Dikatakan berkaitan karena asas hukumlah yang
merupakan jantungnya hukum, ia adalah dasar yang melatarbelakangi
lahirnya norma hukum (peraturan hukum). Sedangkan perbedaannya dapat
dilihat dibawah ini:
1. Asas hukum merupakan dasar pemikiran yang umum dan bersifat abstrak.
Sedangkan peraturan hukum adalah aturan yang kongkret.
2. Asas hukum merupakan rumusan ide dasar atau konsepsi dasar.
Sedangkan peraturan hukum adalah manifestasi/penjabaran dari ide dasar
tersebut.
3. Asas hukum tidak memiliki sanksi. Sedangkan peraturan hukum memiliki
sanksi. Oleh karena itu pelanggaran terhadap suatu asas, selama asas itu
tidak dijabarkan dalam peraturan hukum, maka asas tersebut tidak
memiliki kekuatan mengikat dan tidak akan ada sanksi.
4. Asas hukum adalah bagian dari ilmu hukum yang bersifat non terapan
(tidak dapat langsung diterapkan pada peristiwa hukumnya). Sedangkan

30
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hlm.45.
peraturan hukum bersifat terapan (dapat langsung diterapkan pada
peristiwa hukumnya).
Sebagai bahan pengayaan wawasan, berikut akan dijelaskan beberapa
asas hukum yang lazim digunakan dalam kepustakaan hukum, antara lain :
1. Nullum delictum noella poena sine praevia lege poenale : (asas legalitas)
tidak ada suatu perbuatan yang dapat dihukum kecuali berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum
perbuatan dilakukan.
2. Iedereen wordht geacht de wet te kennen atau disebut juga asas fictie
(fiksi): setiap orang dianggap mengetahui hukum. Oleh karena itu tidak
ada alasan bagi pelanggar hukum bahwa ia tidak mengetahui hukumnya.
3. Lex superior derogat legi inferior: hukum (peraturan perundang-
undangan) yang lebih tinggi mengesampingkan hukum (peraturan
perundang-undangan) yang lebih rendah derajatnya.
4. Lex specialist derogat legi generalis : hukum (peraturan perundang-
undangan) yang lebih khusus mengesampingkan hukum (peraturan
perundang-undangan) yang umum.
5. Lex posteriori derogat legi priori: Hukum (peraturan perundang-
undangan) yang baru mengesampingkan hukum (peraturan perundang-
undangan) yang lama/terdahulu.
6. Lex dura sed tamen scripta: Hukum dirasa kejam namun memang
demikianlah keadaannya.
7. Lex neminem cogit ad impossobilia, yaitu peraturan perundang-undangan
tidak memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin
dilakukan atau sering disebut dengan asas kepatutan (bilijkheid).
8. Lex perfecta, yaitu peraturan perundang-undangan tidak saja melarang
suatu tindakan tetapi juga menyatakan bahwa tindakan terlarang itu batal.
9. Summum ius summa iniura: kepastian hukum yang tertinggi adalah
ketidakadilan yang tertinggi.
10. Ius curia novit: hakim dianggap mengetahui/memahami hukum. Artinya
hakim tidak boleh menolak untuk mengadili perkara yang diajukan
kepadanya dengan alasan tidak ada hukumnya atau hukumnya tidak jelas
karena ia dianggap mengetahui hukum.
11. Presumption of innocence: (asas praduga tak bersalah) setiap orang wajib
dianggap tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap yang menyatakan kesalahannya.
12. Res judicata proveri tate habetur: setiap putusan hakim/pengadilan
adalah sah kecuali dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi.
13. Unus testis nullus testis: satu bukti bukan bukti/satu saksi bukan
merupakan alat bukti yang dapat diterima. Artinya hakim dalam memutus
suatu perkara harus didasarkan minimal pada dua alat bukti.
14. Geen straft zonder schuld: tiada suatu hukuman tanpa kesalahan.
15. Similia similibus: putusan yang sama terhadap kasus yang sama (sejenis).
16. Non retro aktif: (asas hukum tidak berlaku surut) hukum tidak dapt
menjangkau perbuatan yang telah dilakukan lebih dulu sebelum
hukumnya berlaku.
17. Affirmanti incumbit probato: barangsiapa yang mendalilkan sesuatu maka
ia harus membuktikan dalilnya tersebut.
18. Judex non ultra petita: hakim tidak boleh memutus hal yang tidak
diminta atau melebihi apa yang diminta oleh para pihak (asas ini berlaku
pada perdilan perdata)
19. Equality before the law: (asas persamaan di hadapan hukum) setiap orang
harus diperlakukan sama dihadapan hukum.
20. The binding force of precedent: (asas preseden) hakim wajib mengikuti
putusan hakim yang terdahulu dalam memutus perkara yang sejenis (asas
ini tidak digunakan dalam sistem hukum di Indonesia).
21. Cogatitionis poenam nemo patitur: tidak seorang pun dapat dihukum
karena apa yang dipikirkannya di dalam hati. Artinya hukum hanya
mengatur perbuatan lahiriah.
22. Restitutio in integrum: hukum berfungsi mengembalikan masyarakat
yang berkonflik kepada keadaan semula
23. In dubio pro reo: apabila hakim ragu didalam menjatuhkan putusannya
maka ia harus menjatuhkan hukuman yang paling menguntungkan bagi
terdakwa
24. Erga omnes: putusan pengadilan/hakim tidak hanya mengikat para pihak
yang bersengketa/berperkara tetapi juga mengikat umum. D di Indonesia,
asas ini berlaku pada putusan Peradilan Tata Usaha Negara dan
Mahkamah Konstitusi.
BAB III
HUKUM SEBAGAI NORMA/KAIDAH SOSIAL

A. Pengertian Norma/Kaidah Sosial

Sudah menjadi kodrat manusia bahwa manusia selalu membutuhkan


manusia yang lain. Kodrat manusia yang demikian itu membuat manusia
harus hidup berdampingan dengan manusia lainnya. Pada tahap ini mulailah
terbentuk kelompok-kelompok manusia yang hidup bersama-sama dan
berhubungan satu sama lain.
Kelompok manusia itu lama-kelamaan berubah dan meningkat
menjadi masyarakat, yaitu sekumpulan orang yang merasa terikat oleh suatu
identitas bersama, hidup secara bersama-sama dalam suatu wilayah.
Berkenaan dengan kodrat manusia yang selalu membutuhkan manusia lain,
Aristoteles menyatakannya dengan ungkapan bahwa manusia adalah “Zoon
Politicon” atau dalam ungkapan lain disebut “de mens is een sociaal wezen”
artinya, manusia adalah makhluk sosial.
Mengapa manusia selalu membutuhkan manusia lain atau mengapa
manusia harus hidup berdampingan dengan manusia lain ? pertanyaan
tersebut dijawab oleh Elwood. Menurutnya, yang menyebabkan manusia
membutuhkan manusia lain atau yang menyebabkan manusia selalu hidup
berkelompok ialah karena dorongan kesatuan biologis yang terdapat dalam
kodrat manusia itu sendiri, dalam hal ini adalah:
1. Hasrat untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum
2. Hasrat untuk membela diri
3. Hasrat untuk mengadakan keturunan31
Sebagai makhluk sosial, manusia mempunyai kepentingan-
kepentingan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kepentingan diantara

31
Elwood dalam Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum, Op.Cit., hlm. 40.

45
46

anggota masyarakat itu kadang sama dan berjalan harmonis, namun


adakalanya juga saling bertentangan satu dengan yang lainnya. Bila terjadi
pertentangan seperti itu, konflik atau instabilitas dapat saja terjadi.
Untuk menghadapi kepentingan manusia yang beraneka ragam dan
kompleks itu dibutuhkan suatu perangkat/tatanan (orde/ordnung).
Perangkat/tatanan itu berisi petunjuk hidup yang menjadi ukuran dan
membatasi sikap tindak warga masyarakat dalam mengejar kepentingannya.
Perangkat/tatanan yang berisi petunjuk hidup itulah yang disebut sebagai
kaidah sosial.
Norma adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam
hubungannya dengan sesamanya ataupun dengan lingkungannya. Istilah
norma berasal dari bahasa latin yang juga bermakna ukuran, istilah kaidah
secara etimologis berasal dari bahasa Arab yang bermakna ukuran. Kaidah
juga sering disebut “norma”, sedangkan dalam bahasa Indonesia sering juga
disebut dengan pedoman, patokan, atau aturan. Jadi kaidah/norma adalah
seperangkat aturan tingkah laku yang merupakan petunjuk/pedoman hidup
bagi masyarakat mengenai apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang
seharusnya tidak dilakukan dalam pergaulan hidupnya.
Sampai saat ini, baik pengertian kaidah maupun norma dipakai secara
bersamaan oleh para sarjana di Indonesia. Menurut Purnadi Purbacaraka dan
Soerjono Soekanto dalam bukunya Perihal Kaidah Hukum, kaedah adalah
patokan atau ukuran ataupun pedoman untuk berperilaku atau bersikap tindak
dalam hidup. Apabila ditinjau bentuk hakekatnya, maka kaedah merupakan
perumusan suatu pandangan (oordeel) mengenai perikelakuan atau sikap
tindak.
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto membagi kaidah sosial
sebagai berikut:
a. Tata kaidah aspek hidup pribadi
1. Kaidah-kaidah kepercayaan
2. Kaidah-kaidah kesusilaan
b. Tata kaidah aspek hidup antar pribadi
1. Kaidah-kaidah sopan santun
2. Kaidah-kaidah hukum32
Mengenai macam-macam norma/kaidah sosial, penulis membaginya
secara linear, yaitu sebagai berikut:
a. Norma/Kaidah Agama
b. Norma/Kaidah kesusilaan
c. Norma/Kaidah kesopanan
d. Norma/Kaidah hukum

B. Macam-Macam Norma/Kaidah Sosial

1. Norma/Kaidah Agama

Norma/Kaidah agama adalah seperangkat aturan yang berisi


perintah, larangan, dan anjuran-anjuran, yang diyakini oleh penganutnya
(umat) berasal dari Tuhan. Kaidah keagamaan ini dapat dilihat/ditemukan
dari sumber hukum masing-masing agama, misalnya dari kitab sucinya.
Contoh kaidah/norma agama antara lain:
a. Jangan berzina. Larangan berzina dalam Agama Islam termaktub
dalam kitab suci Al-Qur’an. Berikut adalah bunyinya “Dan janganlah
kamu mendekati zina, zina itu sesungguhnya suatu perbuatan keji dan
suatu jalan yang buruk.” (Al-Isra ayat 32).
b. Jangan membunuh. Larangan membunuh dalam Agama Islam
termaktub dalam Surat Al-Isra ayat 33. Berikut adalah bunyinya “Dan
janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah, kecuali
dengan suatu alasan yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara
zalim, maka sungguh kami telah memberi kekuasaan kepada walinya,
tetapi janganlah walinya itu melampaui batas dalam pembunuhan.
Sesungguhnya dia adalah orang yang mendapat pertolongan.”

32
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Op.Cit., hlm.6.
c. Dan masih banyak lagi contoh lainnya yang kesemuanya bersumber
dari Tuhan.
Norma/Kaidah agama ini sering disimpulkan sebagai kaidah yang
hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Namun jika
dicermati dengan lebih seksama, khususnya dalam Agama Islam, maka
akan didapatlah kesimpulan bahwa agama tidak hanya mengatur
hubungan antara mansusia dengan Tuhannya (ibadah), tetapi juga
mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia (muamalah), dan
manusia dengan lingkungannya.
Norma/Kaidah agama juga sering disimpulkan hanya ditujukan
pada sikap batin manusia. Namun jika kembali dicermati, kaidah Agama
Islam tidak hanya ditujukan pada sikap batin manusia, melainkan sikap
lahirnya juga. Agama memperhitungkan kedua aspek sikap itu, baik sikap
batin maupun sikap lahirnya. Inilah yang membedakan antara kaidah
agama dengan kaidah sosial lainnya. Jika kaidah sosial lainnya hanya
ditujukan pada sikap batin atau sikap lahirnya saja, maka kaidah agama
mengatur keduanya; manusia harus senantiasa memiliki sikap batin/hati
yang baik dan juga sikap lahir (perbuatan) yang baik pula. Manusia yang
berniat jahat, berpikiran buruk, berhati dengki, dan sikap batin lainnya
yang tercela diancam sanksi oleh kaidah agama. Begitupun manusia yang
berbuat jahat seperti mencuri, membunuh, berkata dusta, dapat dikenakan
sanksi agama. Jadi jelaslah bahwa kaidah agama mengatur aspek lahir
dan batin manusia.
Tujuan daripada norma/kaidah agama adalah untuk
penyempurnaan manusia, baik sikap batinnya maupun sikap lahirnya.
Jika sikap batinnya sudah baik maka kemungkinan besar sikap lahirnya
juga akan baik. Sebaliknya, jika sikap batinnya buruk/selalu mengajak
kepada perbuatan tercela maka sikap lahirnya pun kemungkinan besar
akan tercela, karena apa yang dilakukan seseorang dalam bentuk
perbuatan, tidak lain merupakan hasil pertimbangan hati dan pikirannya.
Oleh karena itu kaidah agama mengatur kedua aspek sikap tersebut.
Norma/Kaidah agama berisi perintah, larangan, dan anjuran-
anjuran yang kesemuanya itu menitikberatkan kepada kewajiban-
kewajiban bagi manusia. Artinya, kaidah agama membebani manusia
dengan kewajiban-kewajiban sebagaimana yang diajarkan/diperintahkan
oleh agama tersebut.
Bagi yang melanggar kaidah agama diancam dengan sanksi yang
diyakini pengikutnya berasal dari Tuhan, karena pelanggaran atas kaidah
agama merupakan pelanggaran terhadap titah Tuhan. Jadi sanksinya
bersifat heteronom (datang dari kekuasaan lain di luar diri si pelanggar).
Sanksi atas pelanggaran norma/kaidah agama yaitu berupa dosa.
Setiap dosa akan diperhitungkan diakhirat kelak dan akan mendapat
hukuman/siksaan kelak diakhirat. Namun ada juga kaidah agama yang
memiliki sanksi/hukuman yang dapat dijatuhkan di dunia, misalnya
ajaran Agama Islam; pezina akan dihukum rajam (dilempari dengan batu
hingga meninggal), pembunuh akan mendapat hukuman qishas yaitu
dihukum mati misalnya dengan cara dipancung. Kedua hukuman itu
dijatuhkan/dieksukusi langsung di dunia.
Yang menarik dari norma/kaidah agama ini adalah adakalanya
kaidah agama dalam bidang-bidang tertentu dilembagakan menjadi
hukum positif. Contoh, Kaidah Agama Islam dibidang perkawinan
dilembagakan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Kaidah Agama Islam dibidang Perkawinan, Kewarisan, dan
Perwakafan, dilembagakan dalam Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam. Kompilasi Hukum Islam tersebut
berfungsi sebagai sumber hukum formil bagi hakim di lingkungan
Peradilan Agama dalam mengadili perkara yang terkait dengan
perkawinan, kewarisan, dan perwakafan.
2. Norma/Kaidah Kesusilaan

Norma/Kaidah kesusilaan adalah seperangkat aturan yang


bersumber pada pertimbangan hati nurani manusia yang berisi tentang
perbuatan mana yang seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan, serta
perbuatan mana yang pantas dilakukan dan tidak pantas dilakukan.
Contoh dari norma/kaidah kesusilaan ini antara lain:
a. Jangan mencuri
b. Jangan membunuh
c. Hormatilah orang tua dan orang yang lebih dewasa
Norma/Kaidah kesusilaan ditujukan kepada sikap batin manusia
agar manusia tersebut dapat menjadi insan yang mulia (Insan Kamil).
Tetapi perlu diingat bahwa kendati pun kaidah kesusilaan ini mengatur
sikap batin, namun pada akhirnya juga akan menentukan sikap lahir
(perbuatan) seseorang. Intuisi (bisikan hati nurani) pada akhirnya akan
mengarahkan seseorang untuk memilih dan menentukan sikapnya
(perbuatannya). Oleh sebab itu kaidah kesusilaan digolongkan menjadi
salah satu dari empat kaidah sosial, karena apa yang ada di dalam hati
seseorang pada akhirnya akan diwujudkan dalam perbuatan di dalam
pergaulan hidupnya di masyarakat.
Tujuan daripada norma/kaidah kesusilaan adalah untuk
menyempurnakan manusia (diri sendiri) berdasarkan
pertimbangan/bisikan hati nurani tentang bagaimana seharusnya bersikap
dalam pergaulan hidup masyarakat. Isi kaidah kesusilaan ini hanya
berupa kewajiban-kewajiban bagi manusia melalui bisikan hati
nuraninya.
Sanksi atas pelanggaran norma/kaidah kesusilaan adalah berupa
perasaan menyesal, perasaan bersalah, gelisah, dan gejolak
kejiwaan/kebatinan lainnya yang bersifat negatif. Karena sumber dari
norma/kaidah kesusilaan adalah hati nurani manusia maka pelanggaran
atas kaidah kesusilaan tidak lain adalah pelanggaran terhadap diri sendiri
atau perasannya sendiri. Jadi barangsiapa yang melanggar kaidah
kesusilaan berarti ia telah melanggar perasannya sendiri. Inilah salah satu
ciri khusus dari kaidah kesusilaan yang membedakannya dengan kaidah-
kaidah sosial lainnya, yaitu sanksinya yang bersifat otonom, artinya, yang
memberi sanksi manakala terjadi pelanggaran adalah dirinya sendiri,
bukan kekuasaan lain dari luar.

3. Norma/Kaidah Kesopanan

Norma/Kaidah kesopanan adalah seperangkat aturan yang timbul


dari pergaulan hidup masyarakat dan berlaku pada masyarakat tersebut
yang bertujuan untuk mengatur tata tertib kehidupan bermasyarakat.
Contoh norma/kaidah kesopanan ini antara lain:
a. Jangan membunuh
b. Jangan mencuri milik orang lain
c. Dahulukan wanita, anak-anak, dan orang tua untuk mendapat fasilitas
umum
d. Berpakaian yang sopan
e. Meminta izin apabila hendak masuk rumah orang lain
Norma/Kaidah kesopanan tidak timbul begitu saja melainkan
timbul sebagai akibat adanya pergaulan hidup masyarakat yang
berkesinambungan. Perangkat aturan/norma kesopanan ini dasarnya dalah
kepatutan, kelaziman, kepantasan, yang kesemuanya itu merupakan
serangkaian produk yang dihasilkan dari pergaulan hidup masyarakat.
Jadi, masyarakat melalui pergaulan hidupnya yang berkesinambungan
itulah yang merupakan sumber dari kaidah kesopanan ini.
Norma/Kaidah kesopanan ditujukan pada sikap lahir (perbuatan)
manusia demi terciptanya ketertiban dan ketentraman dalam kehidupan
bermasyarakat. Keadaan-keadaan yang demikian itu sangat perlu karena
dengan suasana yang tertib dan tentramlah masyarakat dapat melakukan
aktifitasnya secara damai dan harmonis. Jadi dilihat dari sumber dan
tujuannya, dapatlah dikatakan bahwa kaidah kesopanan adalah kaidah
yang bersumber dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat.
Berlakunya norma/kaidah kesopanan ini terbatas pada
ruang/wilayah dimana masyarakat itu berada. Hal ini dapat diterima
mengingat bahwa kaidah ini timbul/lahir dalam suatu masyarakat
tertentu.
Oleh karena itu berlakunya kaidah ini juga terbatas pada wilayah dimana
kaidah ini dilahirkan.
Norma/Kaidah kesopanan hanya berisi kewajiban-kewajiban bagi
anggota masyarakat. Dalam situasi yang nyata dapatlah dicontohkan
bahwa seseorang yang menegur orang lain sebagai bentuk tata krama
dalam bergaul tidaklah mungkin menimbulkan hak baginya untuk
mendapat balasan teguran dari orang yang ditegurnya.
Oleh karena yang melahirkan kaidah/norma ini adalah masyarakat,
maka yang memberi sanksi atas pelanggarannya pun adalah masyarakat
itu sendiri. Jadi sanksinya bersifat heteronom, datang dari masyarakat
secara tidak terorganisir. Sanksinya dapat berupa teguran, celaan,
gunjingan, dan atau dikucilkan dari pergaulan masyarakat.

4. Norma/Kaidah Hukum

Norma/Kaidah agama, kaidah kesusilaan, dan kaidah kesopanan


adalah kaidah sosial yang pada hakekatnya dimaksudkan untuk mengatur
tata tertib dalam masyarakat. Namun ketiga kaidah sosial diatas masih
juga belum cukup untuk mengatur manusia/masyarakat. Hal itu setidak-
tidaknya disebabkan karena:
1. Ketiga kaidah sosial tersebut tidak dilengkapi dengan sanksi/hukuman
yang tegas dan nyata yang dipaksakan oleh kekuasaan dari luar
2. Masih banyak kepentingan/hal-hal yang belum diatur oleh ketiga
kaidah sosial tersebut. Contoh, ketentuan mengenai kewajiban
pelaporan gratifikasi33 oleh setiap pegawai negeri/aparat pemerintah
kepada KPK sebagai upaya pencegahan tindak pidana korupsi, tidak
diatur oleh ketiga kaidah sosial lainnya, melainkan diatur dalam
undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi.
Dengan melihat uraian diatas maka dibutuhkan seperangkat aturan
yang berisi perintah dan larangan untuk mengatur kehidupan masyarakat
secara paksa melalui kekuasaan yang berwenang untuk itu. Perangkat
aturan yang bersifat memaksa itulah yang disebut sebagai kaidah
hukum/norma hukum. Norma hukum itu dapat dibentuk secara tertulis
maupun tidak tertulis oleh lembaga-lembaga yang berwenang
membentuknya.
Norma/Kaidah hukum adalah aturan tingkah laku yang dibentuk
oleh badan/lembaga masyarakat yang berwenang, yang berisi perintah
dan larangan, yang bersifat memaksa serta dilengkapi dengan sanksi yang
tegas dan nyata bagi pelanggarnya. Sifat memaksa dan sanksi yang tegas
merupakan keistimewaan dari kaidah hukum dibandingkan dengan
kaidah sosial lainnya. Sifat memaksa dan sanksi yang tegas ini diperlukan
untuk menjamin berlaku dan ditatinya norma hukum.
Perkataan diatas bukan dimaksudkan untuk mereduksi
paham/kenyataan tentang diataatinya hukum atas dasar kesadaran
masyarakat. Namun sifat memaksa dan sanksi yang tegas dari kaidah
hukum ini dimaksudkan untuk menjamin eksistensi kaidah hukum
tersebut dari gangguan orang yang melanggarnya/berniat melanggarnya.
Karena hukum bersifat memaksa dan disertai sanksi yang tegas, maka
orang akan berpikir untuk melanggarnya, sebab apabila dilanggar,
sanksi/hukuman yang tegas akan menimpanya.

33
Berdasarkan penjelasan pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Gratifikasi
adalah pemberian dalam arti luas, meliputi pemberian uang, barang, rabat ( discount), komisi,
pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasililtas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan
cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Mengenai sifat memaksa dari kaidah hukum ini, Prof. Achmad Ali
mengutarakan pendapatnya mengenai dua sifat alternatif (kemungkinan)
hukum, yaitu:
1. Ada kemungkinan bersifat imperatif, yaitu secara apiori wajib ditaati.
Kaidah ini tidak dapat dikesampingkan hanya karena para pihak
membuat perjanjian.
2. Ada kemungkinan bersifat fakultatif, yaitu tidak secara apriori
mengikat atau wajib ditaati. Jadi, kaidah yang bersifat fakultatif
merupakan kaidah hukum yang di dalam keadaan konkrit dapat
dikesampinkan oleh perjanjian yang dibuat oleh para pihak.34
Norma hukum ditujukan pada sikap lahir/perbuatan konkrit
manusia. Hukum tidak mempersoalkan apa yang ada di dalam hati/apa
yang dipikirkan manusia. Baik atau buruk, jahat atau tidak jahat sikap
batin manusia, kaidah hukum tidak dapat menjangkaunya untuk
kemudian ditetapkan hukumnya. Jadi selama sikap batin/pikiran manusia
itu tidak diwujudkan dalam perbuatan, maka kaidah hukum tidak dapat
memberi sanksi. Misalnya, seseorang berkhayal akan mencuri sebuah
mobil, orang yang berkhayal tersebut tidak dapat dijerat dengan pasal
pencurian karena pada kenyataannya ia belum melakukan pencurian dan
tidak ada mobil yang hilang karena ia curi.
Berkenaan dengan sasaran norma/kaidah hukum yang ditujukan
kepada sikap lahir manusia, berlaku sebuah asas “Cogatitionis poenam
nemo patitur” artinya, tidak ada seorang pun yang dapat dihukum karena
apa yang ada dalam batinnya/karena apa yang dipikirkannya. Sekalipun
banyak pendapat yang mengemukakan mengenai apa itu tujuan hukum,
namun pada hakekatnya tujuan kaidah hukum itu sama dengan tujuan
kaidah sosial lainnya, yaitu untuk menciptakan ketertiban dalam
pergaulan hidup manusia.
Berbeda dari norma/kaidah sosial lainnya, isi daripada kaidah
hukum ialah hak dan kewajiban. Kaidah hukum menetapkan agar antara

34
Achmad Ali, Op.Cit., hlm.36.
hak dan kewajiban dapat berjalan secara seimbang dan harmonis. Lebih-
lebih dibidang perikatan/perjanjian, setiap perikatan pasti menimbulkan
hak dan kewajiban.
Norma/Kaidah hukum bersumber dari kekuasaan diluar manusia
sebagai individu (heteronom). Kaidah hukum berasal dari kekuasaan luar
yang memaksakannya kepada setiap orang (individu). Dapat dikatakan
bahwa masyarakat secaara terorganisir/resmilah yang menciptakan
norma/kaidah hukum. Oleh karena itu setiap pelanggaran atas kaidah
hukum diberikan sanksi oleh kekuasaan yang berwenang untuk itu, yaitu
negara melalui pengadilannya.
Sanksi atas pelanggaran norma/kaidah hukum ini tegas dan nyata.
Sanksi kaidah hukum yang tegas dan nayata inilah yang menjadi ciri
prinsip, yang memebedakan kaidah hukum dengan kaidah-kaidah sosial
lainnya. Kaidah hukum dilengkapi dengan sanksi/hukuman yang tegas
dan nyata seperti hukuman pidana (nestapa, penderitaan fisik) yaitu
pidana penjara, denda, kurungan, bahkan sampai pidana mati. Hukuman
perdata, misalnya ganti kerugian. Hukuman secara administratif, seperti
peringatan, teguran tertulis, pencabutan izin usaha, pemberhentian dari
jabatan, dan lain sebagainya.
Adakalanya suatu perbuatan diatur oleh keempat kaidah sosial
diatas dengan sama. Dalam hal yang seperti itu masing-masing kaidah
sosial saling mendukung dan memberi pengaruh positif satu sama
lainnya. Misalnya perbuatan mencuri, baik kaidah agama, kaidah
kesusilaan, kaidah kesopanan, dan kaidah hukum sama-sama melarang
pencurian. Dalam keadaan yang seperti itu, antara kaidah yang satu
dengan kaidah lainnya saling menguatkan.
Namun adakalanya juga kaidah sosial yang satu dengan kaidah
sosial yang lainnya saling bertentangan dalam memberikan
batasan/pedoman bagi masyarakat. Contoh, perzinaan (overspeel). Dalam
konsep hukum positif Indoneisia yang tertuang dalam pasal 286 KUHP,
perzinaan adalah persetubuhan luar kawin yang dilakukan oleh dua orang
yang salah satu atau kedua-duanya terikat tali perkawinan dengan orang
lain. Jadi yang dapat dihukum berdasarkan pasal 286 KUHP hanyalah
mereka yang melakukan persetubuhan luar kawin, sementara salah satu
atau keduanya masih terikat tali perkawinan dengan orang lain.
Sebaliknya, jika yang melakukan persetubuhan luar kawin itu sama-sama
belum terikat perkawinan dengan orang lain maka perbuatan tersebut
bukan merupakan perzinaan dan tidak dapat dihukum berdasarkan pasal
286 KUHP.
Konsep perzinaan menurut kaidah hukum itu berlainan dengan
konsep perzinaan menurut Kaidah Agama Islam. Dalam kaidah Agama
Islam, perzinaan adalah persetubuhan yang dilakukan tanpa adanya tali
perkawinan yang sah, baik salah satu atau keduanya terikat tali
perkawinan dengan orang lain maupun tidak, hubungan persetubunhan itu
tetap dikatakan sebagai perzinaan. Demikian itulah salah satu contoh
bahwa tidak selamanya antara kaidah sosial yang satu dengan yang
lainnya dapat berjalan seiring dan serasi.

C. Perbedaan diantara Norma/Kaidah Sosial

Norma/Kaidah sosial dibagi menjadi empat macam norma/ kaidah,


yaitu norma/kaidah agama, norma/kaidah kesusilaan, norma/kaidah
kesopanan, dan norma/kaidah hukum. Diantara keempat norma/kaidah sosial
itu terdapat perbedaan-perbedaan satu sama lain sehingga kita dapat
membedakan mana norma/kaidah agama, mana norma/kaidah kesusilaan,
mana norma/kaidah kesopanan, dan mana norma/kaidah hukum.
Untuk lebih jelasnya, berikut ini adalah perbedaan diantara
norma/kaidah-kaidah sosial tersebut:
1. Norma/Kaidah Agama

a. Sumber: berasal/bersumber dari Tuhan


b. Sasaran: ditujukan kepada sikap batin (kecuali kaidah Agama Islam
yang juga mengatur sikap lahir manusia)
c. Tujuan: untuk penyempurnaan manusia
d. Isi: kewajiban-kewajiban
e. Sanksi: sanksinya adalah dosa yang akan diperhitungkan dan dibalas
kelak di akhirat (kecuali kaidah Agama Islam yang juga mengatur
penjatuhan sanksi di dunia). Sedangkan yang memberikan sanksi
adalah Tuhan.

2. Norma/Kaidah Kesusilaan

a. Sumber: pertimbangan-pertimbangan/bisikan hati mengenai baik-


buruknya suatu perbuatan
b. Sasaran: ditujukan kepada sikap batin
c. Tujuan: untuk penyempurnaan manusia agar menjadi manusia mulia
(insan kamil)
d. Isi: kewajiban-kewajiban
e. Sanksi: sanksinya adalah perasaan menyesal, perasaan bersalah,
gelisah, dan gelojak kejiwaan/kebatinan lainnya yang bersifat negatif.
Yang memberi sanksi adalah diri sendiri melalui hati dan perasaannya

3. Norma/Kaidah Kesopanan

a. Sumber: masyarakat melalui pergaulan hidupnya yang


berkesinambungan
b. Sasaran: ditujukan kepada sikap lahir
c. Tujuan: untuk menciptakan ketertiban masyarakat
d. Isi: kewajiban-kewajiban
e. Sanksi: sanksinya berupa teguran, celaan, gunjingan, atau pengucilan
dari pergaulan masyarakat. Yang memberi sanksi adalah masyarakat
secara tidak terorganisir

4. Norma/Kaidah Hukum

a. Sumber: badan/lembaga masyarakat yang berwenang membentuk


kaidah hukum
b. Sasaran: ditujukan kepada sikap lahir
c. Tujuan: untuk menciptakan ketertiban masyarakat
d. Isi: kewajiban dan hak
e. Sanksi: sanksi/hukumannya ada yang bersifat pidana, seperti pidana
denda, pidana kurungan, pidana penjara, pidana mati. Ada yang
bersifat perdata, seperti ganti rugi. Ada juga hukuman yang sifatnya
administratif, seperti peringatan, teguran tertulis, pencabutan izin
usaha, pemberhentian dari jabatan, dan lain sebagainya.

Perbedaan antara kaidah hukum dengan kaidah sosial lainnya dapat


digambarkan dalam bagan seperti ini :

Kaidah Kaidah Kaidah Kaidah Hukum


Agama Kesusilaan Kesopanan
Tujuan - Umat manusia - Pelaku yang konkret
- Penyempurnaan manusia - Ketertiban masyarakat
Mencegah manusia menjadi Menghindari jatuhnya korban
jahat
Sasaran Aturan yang ditujukan kepada Aturan yang ditujukan kepada
sikap batin perbuatan konkret (lahiriah)
Asal usul Dari Tuhan Dari diri Kekuasaan Negara
sendiri luar yang
memaksa
(masyarakat)
Sanksi Dari Tuhan Dari Dari Dari
(dosa) masyarakat masyarakat masyarakat
(dicela) (dikucilkan) secara resmi
(pidana)
Isi Memberi Memberi Memberi Memberi
kewajiban kewajiban kewajiban kewajiban : hak
Pelaksanaan Sukarela Sukarela Sukarela Paksaan
D. Macam-Macam Norma Hukum

Di dalam bukunya yang berjudul ‘General Theory of Law and State’,


Hans Kelsen mengemukakan adanya dua sistem norma, yaitu sistem norma
yang statik (nomostatics) dan sistem norma yang dinamik (nomodynamics).
Sistem norma yang statik (nomostatics) adalah sistem yang melihat
pada ‘isi’ norma. Menurut sistem norma yang statik, suatu norma umum
dapat ditarik menjadi norma-norma khusus, atau norma-norma khusus itu
dapat ditarik dari suatu norma yang umum. Penarikan norma-norma khusus
dari suatu norma umum tersebut diartikan bahwa, dari norma umum itu
dirinci menjadi norma-norma yang khusus dari segi ‘isi’ nya.35
Sistem norma yang dinamik (nomodynamics) adalah sistem norma
yang melihat pada berlakunya suatu norma atau dari cara ‘pembentukannya’
atau ‘penghapusannya’. Menurut Hans Kelsen, norma itu berjenjang-jenjang
dan berlapis-lapis dalam suatu susunan hierarki. Norma yang dibawah
berlaku, bersumber dan berdasarkan pada norma yang lebih tinggi, norma
yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasarkan pada norma yang lebih
tinggi lagi, demikian seterusnya sampai akhirnya ‘regressus’ ini berhenti
pada suatu norma yang tertinggi yang disebut dengan norma dasar
(Grundnorm) yang tidak dapat ditelusuri lagi siapa pembentuknya atau dari
mana asalnya.36
Macam-macam norma hukum menurut Maria Farida Indrati Soeprapti
dalam bukunya Ilmu Perundang-undangan 1 antara lain :

1. Norma hukum umum dan norma hukum individual

Norma hukum umum adalah suatu norma hukum yang ditujukan


untuk orang banyak (addressatnya) umum dan tidak tentu. Norma hukum
ini sering dirumuskan dengan rumusan sebagai berikut : Barangsiapa…
dst
35
Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan Jenis, Fungsi dan Materi Muatan,
Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hlm. 20.
36
Ibid., hlm. 21-22.
Setiap orang…dst
Setiap warganegara…dst
Norma hukum individual adalah norma hukum yang ditujukan atau
dialamatkan (addressatnya) pada seseorang, beberapa orang atau banyak
orang yang telah tertentu, sehingga biasanya dirumuskan sebagai berikut :
a. Syafei bin Muhammad Sukri yang bertempat tinggal di Jl.
Flamboyant No. 10 Jakarta…dst.
b. Para pengemudi bis kota Mayasari Bakti jurusan Blok M –
Rawamangun yang beroperasi dari jam 7.00 sampai dengan 8.00
pagi pada tanggal 1 Oktober 2006…dst.

2. Norma hukum abstrak dan norma hukum konkret

Norma hukum abstrak adalah suatu norma hukum yang melihat


pada perbuatan seseorang yang tidak ada batasnya dalam arti tidak
konkret. Norma hukum abstrak ini merumuskan suatu perbuatan itu
secara abstrak, misalnya :
….mencuri….dst
….membunuh…dst
Norma hukum konkret adalah suatu norma hukum yang melihat
perbuatan seseorang itu secara lebih nyata (konkret). Perumusan norma
hukum konkret ini biasanya sebagai berikut :
...mencuri mobil merk Datsun berwarna merah yang diparkir di depan
toko Sarinah…dst

3. Norma hukum yang terus menerus dan norma hukum yang sekali
selesai

Norma hukum yang berlaku terus menerus (dauerhaftig) adalah


norma hukum yang berlakunya tidak dibatasi oleh waktu, jadi dapat
berlaku kapan saja secara terus-menerus, sampai peraturan itu dicabut
atau diganti dengan peraturan yang baru. Contoh : peraturan perundang-
undangan.
Norma hukum yang berlaku sekali selesai (einmahlig) adalah
norma hukum yang berlakunya hanya satu kali saja dan setelah itu
selesai, jadi sifatnya hanya menetapkan saja, sehingga dengan adanya
penetapan itu norma hukum tersebut selesai. Contoh : keputusan
mengenai penetapan seseorang sebagai Pegawai Negeri Sipil.

4. Norma hukum tunggal dan norma hukum berpasangan

Norma hukum tunggal adalah suatu norma hukum yang berdiri


sendiri dan tidak diikuti oleh suatu norma hukum lainnya, jadi isinya
hanya merupakan suatu suruhan (das Sollen) tentang bagaimana
seseorang hendaknya bertindak atau bertingkah laku. Contoh : hendaknya
engkau berperikemanusiaan.
Norma hukum berpasangan adalah norma hukum yang terdiri atas
dua norma hukum, yaitu norma hukum primer dan norma hukum
sekunder. Norma hukum primer adalah norma hukum yang berisi
aturan/patokan bagaimana cara seseorang harus berperilaku di dalam
masyarakat. Norma hukum primer ini juga merupakan ‘das Sollen’ dan
biasanya dirumuskan dengan kalimat sebagai berikut : Hendaknya
engkau tidak mencuri, hendaknya engaku tidak menganiaya orang lain.
Norma hukum sekunder adalah norma hukum yang berisi tata cara
penanggulangan apabila norma hukum primer itu tidak dipenuhi, atau
tidak dipatuhi. Norma hukum sekunder ini merupakan juga ‘das Sollen’
yang biasanya dirumuskan dengan kalimat sebagai berikut :
…hendaknya engkau yang mencuri dihukum.
…hendaknya engkau yang menganiaya orang lain dihukum paling lama
5 tahun penjara.
BAB IV
SUMBER-SUMBER HUKUM

A. Pengertian Sumber Hukum

Sumber hukum adalah segala sesuatu yang menyebabkan timbulnya


aturan-aturan yang mempunyai kekuatan mengikat dan bersifat memaksa,
yang apabila dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata.
Berikut ini akan diketengahkan beberapa pandangan para ahli mengenai
sumber hukum:

1. Prof. Sudikno Mertokusumo

Menurutnya, sumber hukum adalah tempat dimana kita dapat


menemukan atau menggali hukumnya. Selanjutnya ia juga memberikan
rumusan mengenai beberapa arti sumber hukum, yaitu:
a. Sebagai asas hukum, yaitu sesuatu yang merupakan permulaan
hukum, misalnya kehendak tuhan, akal manusia, jiwa bangsa, dan
sebagainya.
b. Menunjukkan sumber hukum terdahulu yang memberi bahan kepada
hukum yang sekarang berlaku, misalnya hukum Romawi, hukum
Perancis.
c. Sebagai sumber berlakunya, yang memberi kekuatan berlaku secara
formal kepada peraturan hukum, misalnya penguasa, masyarakat.
d. Sebagai sumber darimana hukum itu dapat diketahui, misalnya
dokumen-dokumen, undang-undang, batu bertulis, lontar, dan
sebagainya.
e. Sebagai sumber terjadinya hukum atau sumber yang menimbulkan
hukum.37

37
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hlm.107-108.

62
63

2. R. Soeroso

Sumber hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan aturan-


aturan yang mengikat dan memaksa, sehingga apabila aturan-aturan itu
dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata bagi
pelanggarnya.38

3. Algra

Ia membagi sumber hukum menjadi sumber hukum materiil dan


sumber hukum formil. Sumber hukum materiil ialah tempat dari mana
meteri hukum itu diambil. Sumber hukum ini merupakan faktor yang
membantu pembentukan hukum, misalnya hubungan sosial, hubungan
kekuatan politik, situasi sosial ekonomi, tradisi (pandangan keagamaan
dan kesusilaan), hasil penelitian ilmiah, perkembangan internasional, dan
keadaan geografis.
Sumber hukum formil merupakan tempat atau sumber dari mana
suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Ini berkaitan dengan
bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum itu berlaku secara
formal. Menurut Algra, yang diakui sebagai sumber hukum formil antara
lain adalah undang-undang, perjanjian antar negara, yurisprudensi, dan
kebiasaan.39
Suatu pandangan yang berbeda dengan Algra dikemukakan oleh
Van Apeldoorn. menurutnya traktat, yurisprudensi, doktrin, adalah bukan
sumber hukum, melainkan hanya sebagai faktor-faktor yang membantu
pembentukan hukum. Disamping Van Apeldoorn ada juga sarjana lain
yang sehaluan dengan Van Apeldoorn, ia adalah Lemaire. Menurutnya
yurisprudensi, kesadaran hukum, dan doktrin/ilmu hukum bukan sumber
hukum, melainkan hanya faktor penentu dalam pembentukan hukum.

38
R. Soeroso, Op. Cit., hlm.117.
39
Algra dalam R. Soeroso, Ibid., hlm.118.
Sepintas lalu pendapat Lemaire tersebut mirip dengan pandangan
Van Apeldoorn, namun jika diteliti sesungguhnya berbeda. Lemaire satu
tingkat lebih tegas dengan mengatakan bahwa yurisprudensi, kesadaran
hukum, dan doktrin adalah faktor penentu (determinan). Tentu kita tahu
antara membantu dan menentukan itu adalah dua frasa yang berlainan
maknanya.
Menurut penulis, apa yang dikemukakan oleh Van Apeldoorn dan
Lemaire diatas mengandung kontradiksi atau dengan kata lain; sesuatu
yang paradoksal. Di satu sisi, kedua sarjana itu mengatakan bahwa
yurisprudensi, doktrin, dan traktat bukan merupakan sumber hukum.
Namun disisi lain, kedua sarjana itu menggunakan kata “sebagai faktor
pembantu/penentu dalam pembentukan hukum” untuk menggambarkan
kedudukan yurisprudensi, traktat, dan doktrin. Kata-kata tersebut
sebenarnya juga mengandung arti sumber hukum, yaitu sumber hukum
materiil. Seperti yang dikemukakan oleh Algra diatas bahwa sumber
hukum materiil merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum.

Dalam kepustakaan ilmu hukum, sumber hukum lazimnya dibagi


menjadi dua, yaitu sumber hukum materiil dan sumber hukum formil. penulis
pun sependapat dengan pembagian/penggolongan tersebut. Oleh karena itu,
pada pembahasan selanjutnya akan dijelaskan mengenai dua sumber hukum
seperti tersebut diatas, sumber hukum materiil dan sumber hukum formil.
Namun demikian perlu diingat bahwa ilmu hukum itu sangat luas
khazanahnya. Tidak semua pakar membagi/menggolongkan sumber hukum
menjadi sumber hukum materiil dan sumber hukum formil. Ada beberapa
pakar yang tercatat memiliki pandangan yang berbeda di dalam
membagi/menggolongkan sumber hukum ini. Oleh karena itu sebelum
beranjak kepada pembahasan selanjutnya, ada baiknya dikemukakan
pandangan para ahli yang mempunyai pandangan yang berbeda dalam
membagi sumber hukum.
a. Van Apeldoorn

Dalam bukunya “Inleiding tot de studie van het Nederlandse Recht”


ia mengutarakan pandangan mengenai sumber-sumber hukum. Ia
membagi sumber hukum menjadi empat macam, yaitu:
1) Sumber hukum dalam arti historis, yaitu tempat kita dapat menemukan
hukumnya dalam sejarah atau dari segi historis. Sumber hukum ini
kemudian dibagi lagi menjadi dua:
a. Sumber hukum yang merupakan tempat ditemukannya atau
dikenalnya hukum secara historis.
b. Sumber hukum yang merupakan tempat dimana pembentuk
undang-undang mengambil bahannya (materinya).
2) Sumber hukum dalam arti sosiologis, yaitu faktor-faktor yang
menentukan isi hukum positif. Seperti nilai-nilai agama.
3) Sumber hukum dalam arti filosofis (sumber isi hukum dan sumber
kekuatan mengikat dari hukum).
4) Sumber hukum dalam arti formil, yaitu sumber hukum dilihat dari cara
terjadinya hukum positif merupakan fakta yang menimbulkan hukum
yang berlaku yang mengikat hakim dan penduduk.

b. G. W Keeton

Sumber hukum terbagi atas dua kelompok, yaitu sebagai berikut:


1) Binding sources, yang terdiri atas:
a. Custom (kebiasaan)
b. Legislation (undang-undang)
c. Judicial precedent (yurisprudensi)
2) Persuasive source, yang terdiri atas:
a. Principles of morality or equity (prinsip/nilai-nilai moral atau
keadilan)
b. Profesional opinion (pendapat para ahli/doktrin)40

Sesuai dengan yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa penulis


menganut aliran yang membagi sumber hukum menjadi sumber hukum
materiil dan sumber hukum formil, maka dibawah ini akan dibahas mengenai
sumber hukum materiil dan sumber hukum formil.

B. Sumber Hukum Materiil

Sumber hukum materiil adalah sumber dari mana hukum berasal atau
sumber tempat materi hukum diambil. Sumber hukum materiil merupakan
sumber hukum yang dilihat dari segi isinya dan sumber hukum inilah yang
merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum. Bahkan ada
sementara pendapat yang mengatakan bahwa sumber hukum materiil
merupakan faktor determinan dalam pembentukan hukum. Artinya, isi
daripada hukum yang berlaku, ditentukan oleh sumber materiilnya.
Sumber hukum materiil ini sulit untuk dirumuskan secara tegas dan
baku, mengingat ruang lingkup pengertiannya yang sangat luas; yakni
meliputi segala apa saja yang mempengaruhi isi hukum atau segala apa saja
yang membantu pembentukan hukum.
Dengan luasnya pengertian sumber hukum materiil tersebut, ada
beberapa sumber hukum materiil yang populer dan lazim dikenal dalam ilmu
hukum. Sumber hukum materiil tersebut antara lain:

1. Dasar atau pandangan hidup suatu bangsa (philosophy grondslag)

Dasar atau pandangan hidup suatu bangsa merupakan salah satu


sumber hukum materiil terpenting. Pandangan hidup suatu bangsa yang
kemudian menjelma menjadi jiwa/semangat suatu bangsa (volksgeist)
mempengaruhi corak hukum yang berlaku di dalam masyarakat bangsa
tersebut. Dapat dikatakan bahwa hukum tidak lain adalah rumusan nilai,

40
G. W. Keeton dalam Achmad Ali, Op. Cit., hlm.84.
norma, kehendak, dan jiwa suatu bangsa. Jadi secara materiil, pandangan
hidup suatu bangsa memberi bahan kepada hukum yang berlaku. Dalam
hal ini perlu dikemukakan aliran Historische Rechtsschule yang
dipelopori Carl Von Savigny. Pada pokoknya, menurut aliran ini hukum
adalah hasil perumusan dari karakter, kepribadian, dan sejarah suatu
bangsa. Sedangkan tiap bangsa memiliki pandangan hidup (dasar
filosofis) yang berbeda-beda satu sama lain.
Contoh: bagi masyarakat Indonesia, Pancasila adalah dasar negara,
pandangan hidup, dan ideologi negara. Menurut pasal 2 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum
negara. Pancasila memang bukan sumber hukum formil di mana kita bisa
menemukan/mengenal hukumnya. Namun Pancasila sebagai pandangan
hidup bangsa Indonesia dijadikan sumber dari segala sumber hukum.
Artinya, tidak boleh berlaku suatu hukum (peraturan perundang-
undangan) yang bertentangan dengan Pancasila. Setiap hukum yang
berlaku hendaknya mengandung semangat dan jiwa Pancasila yang tidak
lain merupakan kristalisasi jiwa bangsa Indonesia. Inilah alasan mengapa
penulis menyebut bahwa pandangan hidup suatu bangsa adalah salah satu
sumber hukum materiil yang terpenting, karena pada asasnya pandangan
hidup bangsa ini memberi bahan bagi pembentukan hukum dan salah satu
faktor penentu dalam pembentukan hukum.

2. Kesadaran hukum masyarakat

Antara kesadaran hukum masyarakat dengan pandangan hidup


suatu masyarakat/bangsa memiliki hubungan yang erat. Hubungan yang
erat ini dapat di deskripsikan melalui pendapat Prof. Sudikno
Mertokusumo yang disitir oleh Prof. Achmad Ali dalam bukunya
“Menguak Tabir Hukum”. Prof. Sudikno Mertokusumo mengatakan
bahwa kesadaran hukum merupakan pandangan yang hidup dalam
masyarakat tentang apa itu hukum. Dari pendapat Prof. Sudikno diatas
tersimpul pengertian bahwa kesadaran hukum masyarakat tiada lain
adalah pandangan hidup masyarakat tersebut.
Kesadaran hukum adalah salah satu faktor yang membantu
pembentukan hukum. Bahkan aliran Historische Rechtsschule
menyatakan bahwa kesadaran hukum adalah satu-satunya sumber hukum.
Kesadaran hukum suatu masyarakat mempengaruhi isi hukum yang
kemudian berlaku. Suatu masyarakat dengan kesadaran hukum yang
sudah mencapai taraf yang baik/patuh tentu berpengaruh pada corak/isi
hukum yang berlaku. Bahkan dapat dikatakan bahwa kesadaran hukum
adalah salah satu faktor penentu dalam pembentukan hukum.
Contoh: bagi masyarakat yang sudah memiliki
pandangan/kesadaran akan pentingnya pengawalan dan penafsiran
terhadap konstitusi/UUD, maka adanya sebuah lembaga pengawal
konstitusi (the guardian of constitution) dirasa sebagai kebutuhan dan
untuk itu perlu dibentuk. Di Indonesia kesadaran akan hal tersebut telah
ada dan untuk itu dibentuklah Mahkamah Konstitusi pada Tahun 2003
melalui Undang-Undang No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi. Sedangkan di Afrika Selatan, kesadaran dan kebutuhan akan
sebuah Mahkamah Konstitusi lebih dulu muncul daripada di Indonesia,
yaitu dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan pada
Tahun 1994. Contoh diatas membuktikan bahwa kesadaran hukum suatu
masyarakat adalah salah satu sumber hukum materiil yang penting.

3. Kekuatan-kekuatan politik

Kekuatan-kekuatan politik yang berpengaruh pada saat peraturan


hukum dirumuskan merupakan salah satu sumber hukum materiil bagi
peraturan hukum tersebut. Kekuatan politik, konstelasi politik, dan
konfigurasi politik tentu akan mempengaruhi materi suatu undang-
undang. Antara undang-undang dan politik itu mempunyai kaitan yang
sangat erat, karena pada dasarnya hukum adalah produk politik.
Contoh: pembentukan undang-undang; kekuasaan membentuk
undang-undang (legislative power) berada ditangan DPR, bersama-sama
dengan Presiden. Sedangkan DPR adalah lembaga yang di dalamnya
berisikan orang-orang politik. Maka dari itulah dikatakan bahwa hukum
adalah produk politik karena memang diciptakan oleh orang-orang politik
sehingga kekuatan politik mempunyai pengaruh dalam pembentukan
hukum. Oleh sebab itu jelaslah bahwa kekuatan politik merupakan salah
satu sumber hukum materiil.

4. Keadaan ekonomi

Keadaan ekonomi suatu masyarakat/bangsa memiliki afiliasi


terhadap hukum yang berlaku pada masyarakat tersebut. Bagi ahli
ekonomi atau penganut aliran ekonomi hukum, sumber hukum yang
membantu dan mempengaruhi pembentukan suatu peraturan hukum
adalah apa yang nampak dalam lapangan ekonomi.

5. Nilai-nilai religius/agama

Nilai-nilai religius atau ajaran agama merupakan salah satu sumber


hukum materiil. Ajaran agama/hukum agama sebagai sumber hukum
materiil berlaku di negara-negara yang tidak menggunakan hukum agama
sebagai hukum positifnya. Sedangkan bagi negara yang menggunakan
hukum agama sebagai hukum positifnya (hukum nasional) maka hukum
agama adalah sumber hukum formil.
Contoh: Arab Saudi, Arab Saudi menggunakan hukum Islam
sebagai hukum positifnya, sehingga hukum Islam dapat langsung
diterapkan pada peristiwa hukumnya. Artinya, manakala seorang
melanggar hukum, misalnya membunuh, maka sanksi/hukuman yang
dijatuhkan adalah hukuman menurut hukum Islam, yaitu misalnya
dihukum pancung.
Bagi negara-negara yang tidak menggunakan hukum agama
sebagai hukum positifnya, maka hukum agama/nilai-nilai agama tetap
mempunyai kedudukan yang penting, yaitu sebagai sumber hukum
materiil. Hukum agama memang tidak diberlakukan secara nasional
sehingga tidak mempunyai kekuatan mengikat dan tidak menimbulkan
sanksi dari negara, tetapi hukum agama memberi bahan kepada hukum
nasional. Oleh karena itu nilai-nilai agama/ajaran agama/hukum agama
digolongkan sebagai sumber hukum materiil, karena walaupun tidak
berlaku secara mengikat namun hukum agama memberi bahan dalam
pembentukan hukum positif. Apabila hukum agama tersebut telah
diresepsi dan dikonstantir (ditetapkan) sebagai bagian integral dari hukum
positif maka ia menjadi sumber hukum formal. Contoh, nilai-nilai Agama
Islam/Hukum Islam di bidang perkawinan yang dimuat dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 telah menjadi sumber hukum formal
karena nilai-nilai agama tersebut diresepsi dan tercantum dalam undang-
undang.

C. Sumber Hukum Formil

Sumber hukum formil adalah sumber yang dilihat dari segi bentuk
dan cara pembentukannya. Disebut sumber hukum formil karena yang
dilihat/diperhatikan adalah bentuk dan cara pembentukannya dengan tidak
lagi memperhatikan materi peraturan tersebut.
Dalam ilmu hukum, sumber hukum formil lazimnya dibagi menjadi
lima jenis, yaitu:
1. Undang-undang
2. Kebiasaan
3. Yurisprudensi
4. Traktat
5. Doktrin
Berikut penjelasan lebih lanjut dari sumber hukum formil adalah:
1. Undang-Undang

Masih banyak orang yang menganggap hukum adalah undang-


undang. Persepsi yang demikian mengingatkan kita pada tulisan Van
Apeldoorn dalam bukunya “Inleiding tot de studie van het Nederlandsce
Recht” (terjemahan Oetarid Sadino: Pengantar Ilmu Hukum).
Van Apeldoorn menggambarkan golongan orang dalam
memandang hukum. Salah satu golongan itu disebutnya dengan istilah
“De Ontwikkelde Leek” yang berarti orang terpelajar tetapi awam. Bagi
ontwikkelde leek, hukum dilihat dari rentetan pasal-pasal yang tidak ada
habisnya, seperti yang tercantum dalam undang-undang. Golongan
ontwikkelde leek melihat hukum dari undang-undang. Oleh karenya
ontwikkelde leek itu menyamaratakan pengertian hukum dengan undang-
undang. Bagi mereka, hukum adalah undang-undang, karena di dalam
undang-undanglah mereka menemukan hukum.
Kiranya pandangan yang seperti itu sudah sepatutnya ditinggalkan,
karena merupakan kekeliruan persepsi. Menyamakan hukum dengan
undang-undang berarti mempersempit ruang lingkup/makna hukum itu
sendiri karena hukum tidak hanya terdiri dari undang-undang, melainkan
lebih luas dari undang-undang. Undang-undang itu sendiri adalah bagian
dari hukum, yaitu bagian dari sumber hukum formil dan merupakan
bagian dari peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011, yang dimaksud Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-
undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan
persetujuan bersama Presiden.
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai undang-undang maka
akan dibahas secara jelas dibawah ini.
Undang-undang menurut Prof. Buys dapat dibedakan ke dalam dua
pengertian, yaitu undang-undang dalam arti materiil (wet in materiele zin)
dan undang-undang dalam arti formil (wet in formele zin).
a. Undang-undang dalam arti materiil :

Adalah setiap keputusan pemerintah/penguasa yang menurut


isinya mengikat setiap orang secara umum. Undang-undang dalam
arti materiil ditinjau dari segi isinya, yaitu isinya mengikat setiap
orang secara umum. Pengertian/rumusan undang-undang dalam arti
materiil lebih luas dari pengertian/rumusan undang-undang dalam arti
formil. Karena undang-undang dalam arti materiil hanya dilihat dari
segi isinya yang mengikat secara umum, maka semua aturan hukum
yang dikeluarkan oleh pemerintah/penguasa yang menurut isinya
mengikat secara umum, dapat disebut sebagai undang-undang.
Dalam arti materiil, peraturan pemerintah, peraturan presiden,
peraturan daerah, peraturan menteri dan peraturan-peraturan lain yang
dikeluarkan oleh pemerintah dapat disebut sebagai undang-undang.
Berbeda dengan undang-undang dalam arti formil yang memberikan
sebutan undang-undang hanya pada peraturan yang dibuat oleh DPR
bersama-sama dengan Presiden (pemerintah).41

b. Undang-undang dalam arti formil:

Adalah setiap keputusan pemerintah/penguasa yang


berdasarkan bentuk dan cara pembentukannya disebut sebagai
undang-undang. Jadi undang-undang dalam arti formil tidak lain
adalah keputusan pemerintah/penguasa yang memperoleh sebutan
undang-undang karena bentuk dan cara pembentukannya.
Pada umumnya ketika orang menyebut atau menggunakan kata
“undang-undang” maka yang dimaksud adalah undang-undang dalam
arti formil. Lantas peraturan yang mana yang disebut undang-undang
dalam arti formil? Peraturan yang disebut sebagai undang-undang

41
Lihat pasal 20 jo pasal 5 ayat (1) UUD 1945. Produk hukum yang dihasilkan melalui
prosedur seperti yang diatur dalam kedua pasal UUD 1945 itulah yang disebut sebagai undang-
undang dalam arti formil.
dalam arti formil adalah peraturan yang memiliki bentuk dan cara
pembentukannya yang tersendiri.
Di setiap negara, berbeda-beda cara pembentukannya. Di
Belanda, yang disebut sebagai undang-undang dalam arti formil
adalah peraturan hukum yang dibuat oleh Raja bersama Staten
General (Parlemen) berdasarkan pasal 112 Grondwet (UUD) Negeri
Belanda. Di Amerika Serikat, yang disebut sebagai undang-undang
dalam arti formil adalah peraturan hukum yang dibuat oleh Congress
(Parlemen) AS. Di Indonesia, yang disebut sebagai undang-undang
adalah peraturan hukum yang dibuat oleh DPR bersama Presiden
berdasarkan pasal 20 jo pasal 5 ayat (1) UUD 1945 yang teknis
proseduralnya diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Undang-undang lahir/muncul karena dibentuk oleh badan resmi
yang berwenang. Badan yang berwenang membentuk undang-undang
di suatu negara berbeda dengan negara lain. Umumnya, mengenai
kekuasaan membentuk undang-undang (legislative power) diatur di
dalam konstitusi/UUD suatu negara. Sedangkan konstitusi/UUD di
setiap negara pastilah berbeda-beda. Oleh sebab itu pembentukan
undang-undang disetiap negara berbeda dengan negara lain, andaikata
ada persamaan paling hanya dalam beberapa segi, misalnya dari segi
badan yang berwenang membentuknya. Contoh, kekuasaan
membentuk undang-undang di Indonesia dan Puerto Rico adalah
sama, yaitu Parlemen (DPR) bersama dengan Presiden.
Namun masih tetap ada perbedaan dalam pembentukannya, di
Indonesia dikenal dan digunakan sistem Prolegnas (Program Legislasi
Nasional) sedangkan di Puerto Rico tidak dikenal sistem Prolegnas
seperti yang diterapkan di Indonesia.42 Melihat uraian diatas, maka
pembahasan mengenai pembentukan undang-undang pada bagian ini

42
Moh. Mahfud M.D., Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm.XV.
akan ditinjau dari segi badan yang berwenang membentuknya.
Berikut ini adalah beberapa cara pembentukan undang-undang
ditinjau dari badan yang berwenang membentuknya dibeberapa
negara, antara lain :
1. Belanda
Di Negeri Belanda, badan yang berwenang membentuk
undang-undang adalah Raja (Kroon) bersama dengan Staten
General (Parlemen) berdasarkan pasal 112 Grondwet (UUD)
Belanda.

2. Amerika Serikat
Di Amerika Serikat, badan yang diserahi kewenangan
membentuk undang-undang hanya badan legislatif, yaitu Kongres.
Kongres sendiri merupakan badan legislatif Amerika Serikat yang
terdiri dari dua majelis (bikameral), yaitu Senate dan House of
Representative.
Presiden tidak berwenang membentuk undang-undang,
namun presiden dapat memveto (menolak menandatangani) suatu
undang-undang yang telah diterima baik oleh Kongres. Jika veto
Presiden diterima oleh Kongres maka undang-undang tersebut
tidak diberlakukan. Sebaliknya, Kongres dapat menolak veto
Presiden dengan mengirimkan undang-undang yang di veto kepada
sidang Kongres. Jika undang-undang itu diterima/disetujui untuk
berlaku dengan kuorum 2/3 dari setiap majelis (Senat dan House of
Representative) maka veto presiden dianggap batal dan undang-
undang yang bersangkutan tetap diberlakukan.43

3. Indonesia
Di Indonesia, badan yang berwenang membentuk undang-
undang adalah Dewan Perwakilan Rakyat bersama dengan

43
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmi Politik, Edisi Revisi, Cet. Pertama, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2008, hlm. 304.
Presiden. Kekuasaan membentuk undang-undang menurut pasal
20 ayat (1) UUD 1945 sebenarnya berada ditangan DPR. Namun
pada ayat-ayat selanjutnya (ayat 2, 3, 4, dan 5) dalam pasal yang
sama (pasal 20 UUD 1945) disebutkan bahwa DPR menjalankan
kekuasaan membentuk undang-undang bersama dengan Presiden.
Jadi berbeda dengan di Amerika yang pembentukan undang-
undangnya di monopoli oleh Kongres (legislatif). Di Indonesia,
Presiden (eksekutif) masih juga dilibatkan dalam pembentukan
undang-undang. Pada pasal 5 ayat (1) disebutkan bahwa presiden
berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR.
Dari pasal-pasal UUD 1945 yang mengatur soal kekuasaan
membentuk undang-undang, dapatlah disimpulkan bahwa badan
yang berwenang membentuk undang-undang adalah DPR bersama
dengan Presiden. Undang-undang yang dibahas oleh DPR
bersama Presiden (eksekutif) harus mendapatkan persetujuan
bersama.44 Jika tidak mendapat persetujuan bersama maka RUU
tersebut tidak dapat dimajukan dalam persidangan DPR masa
(periode) itu.
Namun apabila Presiden menolak untuk mensahkan atau
menandatangani RUU yang sudah dibahas dalam rapat paripurna
DPR, maka dalam waktu 30 (tigapuluh) hari, RUU tersebut harus
dimasukan dalam lembaran negara dan berlaku efektif sama
seperti dengan undang-undang lainnya. Bunyi dari pasal tersebut
menunjukan bahwa walaupun pembahasan RUU secara bersama-
sama dengan Presiden, tetapi kewenangan membentuk tetap
berada di DPR karena DPR yang memiliki fungsi legislasi.

44
Dalam prakteknya (teknis pelaksanaannya), Presiden menunjuk menteri yang
membidangi masalah yang diatur dalam RUU untuk membahasnya bersama DPR. Jadi bukan
Presiden yang langsung mengikuti rapat-rapat pembahasan RUU di DPR.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam membentuk suatu
undang-undang adalah :

a. Materi Muatan Undang-Undang

Membahas undang-undang sebagai sumber hukum formil,


termasuk pembahasan mengenai materi muatan sebuah undang-
undang, pastilah tidak akan terlepas dari hukum positif yang mengatur
tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Di Indonesia,
kaidah hukum yang mengatur pertama kali tentang materi muatan
undang-undang adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2004, tidak
ada undang-undang yang secara eksplisit dan tegas yang mengatur
tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Namun kini,
undang-undang tersebut telah dicabut dan diganti dengan UU No.12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Keadaan sebelum adanya undang-undang yang mengatur soal
pembentukan peraturan perundang-undangan rupanya mengundang
kegelisahan Prof. Sunaryati Hartono, Beliau mengatakan bahwa
“Sampai dengan saat ini, kita belum mempunyai undang-undang yang
memuat politik pembuatan peraturan perundang-undangan. Oleh
karena itu, secara hukum belum dapat diketahui dengan persis
bagaimana kemauan politik perundang-undangan kita.”
Dampak yang dirasakan dari keadaan tersebut adalah masih
jarangnya literatur tentang PIH yang mengakomodir perkembangan
hukum dibidang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Akibatnya, mahasiswa seringkali menghadapi kendala dalam
memahami bab/bagian tentang sumber-sumber hukum. Masalah
tersebut setidak-tidaknya disebabkan karena masih jarangnya literatur
yang mengakomodir perkembangan di bidang hukum pembentukan
peraturan perundang-undangan.
b. Pengundangan

Pengundangan menurut penulis sendiri adalah penempatan


undang-undang pada Lembaran Negara dan memuat penjelasannya
dalam Tambahan Lembaran Negara dengan maksud agar orang/umum
dapat mengetahui undang-undang tersebut. pengundangan merupakan
dasar berlaku dan mengikatnya suatu undang-undang.
Lembaran Negara (LN) adalah tempat dimana undang-undang
ditempatkan atau dengan kata lain, tempat pengundangan undang-
undang. Sedangkan Tambahan Lembaran Negara (TLN) adalah
tempat memuat penjelasan undang-undang. Istilah lembaran negara
pada zaman Hindia Belanda disebut dengan “staatsblad”.
Selain Lembaran Negara, ada juga Berita Negara. Menurut CST
Kansil, Berita Negara ialah suatu penerbitan resmi Departemen
Kehakiman (Sekretariat Negara) yang memuat hal-hal yang
berhubungan dengan peraturan-peraturan Negara dan pemerintah dan
memuat surat-surat yang dianggap perlun seperti akta pendirian PT,
Firma, Koperasi, nama-nama orang dinaturalisasi menjadi warga
Negara Indonesia. Istilah Berita Negara pada zaman Hindia Belanda
disebut “De Javasche Courant.”
Pengundangan dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM.
Lembaran negara ditandatangani oleh Presiden dan Menteri Hukum
dan HAM selaku pejabat yang mengundangkannya. Undang-
undang yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara diberi
nomor dan tahun terbit. Pemberian nomor itu dilakukan secara berurut
dimulai dari nomor 1 (satu) setiap tahunnya. Contoh, undang-undang
pertama yang terbit Tahun 1974 adalah undang-undang tentang
Perkawinan. Maka undang-undang tersebut diberi nama “Undang-
Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.”
Setiap tahun nomor urutnya kembali ke nomor 1 (satu). Jadi
untuk undang-undang yang pertama terbit pada Tahun 1975 diberi
nama “Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1975 tentang ...” Jika tidak
ditentukan lain maka setiap undang-undang mulai berlaku dan
mempunyai kekuatan mengikat sejak tanggal diundangkanya.45
Maksud daripada pengundangan ini adalah agar setiap orang
mengetahui ihwal berlakunya suatu undang-undang karena setelah
diundangkan dalam Lembaran Negara, suatu undang-undang akan
berlaku dan mengikat setiap orang. Setelah diundangkan dalam
Lembaran Negara, orang dianggap tahu akan suatu undang-undang
walaupun pada kenyataannya tidaklah mungkin seseorang selalu
mengetahui setiap undang-undang yang berlaku, apalagi mengetahui
isinya. Oleh karena itu anggapan bahwa setiap orang tahu akan
undang-undang disebut sebagai fiksi hukum (asas fiksi). Asas ini
berbunyi “Iedereen wordht geacht tot de wet te kennen” artinya setiap
orang dianggap tahu akan suatu undang-undang.
Setelah suatu undang-undang diundangkan dalam lembaran
negara, berlakulah asas “Ignorantia legis excusat niminem” yang
artinya, ketidaktahuan akan undang-undang bukan merupakan alasan
pembenar (alasan yang dapat menghapuskan hukuman). Oleh karena
itu seseorang yang dituntut dan didakwa karena telah melakukan
suatu kesalahan, tidak dapat mengelak dari hukuman dengan alasan ia
tidak mengetahui bahwa perbuatannya tersebut tidak dibenarkan oleh
undang-undang.

c. Hierarki Peraturan Perundang-undangan

Hierarki secara harfiah berari tata urutan, tingkatan, jenjang,


atau derajat. Jadi hierarki peraturan perundang-undangan dapat
diartikan sebagai tata urutan mengenai derajat/tingkatan suatu
peraturan perundang-undangan. Semakin tinggi badan yang

45
Lihat pasal 87 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
membuatnya dan semakin penting masalah yang diaturnya, maka
semakin tinggi pula derajat suatu peraturan.
Pengertian lain tentang hierarki peraturan perundang-undangan
diberikan oleh R. Soeroso. Menurutnya, yang dimaksud dengan
hierarki peraturan perundang-undangan adalah urut-urutan mengenai
tingkat dan derajat daripada undang-undang yang bersangkutan,
dengan mengingat badan yang berwenang yang membuatnya dan
masalah-masalah yang diaturnya.46
Peraturan perundang-undangan harus dibedakan dengan
undang-undang. Peraturan perundang-undangan lebih luas daripada
undang-undang karena undang-undang hanya salah satu dari sekian
banyak jenis peraturan perundang-undangan. Dengan demikian
undang-undang adalah bagian daripada peraturan perundang-
undangan. Kalau dianaolgikan dengan benda, bolehlah peraturan
perundang-undangan diumpakan sebagai kendaraan. Sedangkan
undang-undang diumpakan sebagai mobil. Artinya, pengertian
kendaraan lebih luas daripada mobil karena mobil hanya salah satu
dari berbagai jenis kendaraan, sedangkan selain mobil masih ada
kendaraan lain seperti bus, motor, kereta, pesawat, kapal laut.
Berikut ini akan diuraikan beberapa hierarki peraturan
perundang-undangan.
1. Hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Belanda :
1) Grondwet (Undang-Undang Dasar)
2) Wet (Undang-Undang)
3) Algemene Maatregelen van Bestuur (AMVB)
4) Provinciale Verordeningen (Perda tingkat I)
5) Gemeente Verordeningen ( Perda tingkat II)

46
R. Soeroso, Op.Cit., hlm.131.
2. Hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia

a. Zaman Kolonial Belanda :


1) Wet (Undang-Undang)
2) Koninklijk Belsuit (K.B)
Dibuat oleh Raja Belanda dengan dibantu oleh Menteri
Jajahan dengan mendengarkan Raad van State
3) Ordonantie
Dibuat oleh Gubernur Jenderal bersama dengan Volksraad
(Parlemen Negara Jajahan; dewan rakyat)
4) Regeringsverordening
Dibuat oleh Gubernur Jenderal dengan Raad van Nederlans
Indie (Dewan Hindia Belanda) sebagai peraturan pelaksana
dari wet, koninklijk belsuit, dan ordonantie.47

b. Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan berdasarkan Tap


MPRS Nomor XX/MPRS/1966 :
1) Undang-Undang Dasar 1945
2) Tap MPR
3) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (Perpu)
4) Peraturan Pemerintah (PP)
5) Keputusan Presiden (Keppres)
6) Peraturan-Peraturan Pelaksanaan lainnya, seperti peraturan
menteri, instruksi menteri, dan lain-lain.

c. Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan berdasarkan Tap


MPR Nomor III/MPR/2000 :
1) Undang-Undang Dasar 1945
2) Tap MPR
3) Undang-Undang
47
R. Soeroso, Op.Cit., hlm.134.
4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
5) Peraturan Pemerintah (PP)
6) Keputuan Presiden (Keppres)
7) Peraturan Daerah

d. Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan berdasarkan


Undang-U ndang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan :
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945
2) Undang-Undang /Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (Perpu)
3) Peraturan Pemerintah
4) Peraturan Presiden
5) Peraturan Daerah

e. Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan berdasarkan pasal 7


ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan :
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945
2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
3) Undang-Undang /Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (Perpu)
4) Peraturan Pemerintah
5) Peraturan Presiden
6) Peraturan Daerah Provinsi
7) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Pada dasarnya penetapan hierarki/tata urutan peraturan


perundang-undangan dimaksudkan agar jangan sampai peraturan
perundang-undangan yang derjatnya lebih rendah bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang derajatnya lebih tinggi.
Dalam hierarki peraturan perundang-undangan berlaku beberapa asas,
yaitu:

a. Lex Superior derogat legi inferior: Peraturan perundang-undangan


yang lebih tinggi derajatnya/tingkatannya mengesampingkan
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah
derajat/tingkatannya. Dalam hal terjadi pertentangan antara
peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi dengan yang
lebih rendah derajatnya maka peraturan yang lebih tinggi
derajatnya mengalahkan/mengesampingkan peraturan yang lebih
rendah.

b. Lex Specialist derogat legi generalis: Peraturan perundang-


undangan yang lebih khusus mengesampingkan peraturan
perundang-undangan yang umum. Asas ini berlaku untuk peraturan
perundang-udangan yang sama derajatnya dan sama pula materi
yang diaturnya. Misal, ketentuan pidana terhadap delik suap diatur
oleh dua undang-undang; KUHP pasal 209 jo pasal 210 dan pasal 5
jo pasal 6 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Maka yang
diterapkan/digunakan adalah ketentuan pasal 5 dan pasal 6
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 karena UU tersebut bersifat
khusus, hanya mengatur soal tindak pidana korupsi (termasuk
suap), sedangkan KUHP mengatur pidana secara umum.

c. Lex posteriori derogat legi priori: Peraturan perundang-undangan


yang baru mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang
lama/terdahulu. Asas ini berlaku untuk peraturan perundang-
udangan yang sama derajatnya dan mengatur hal yang sama.
d. Non Retro Aktif : Hukum tidak berlaku surut. Artinya, hukum tidak
dapat menjangkau/menghukum perbuatan yang lebih dulu
dilakukan sebelum peraturan hukumnya berlaku. Asas ini dikenal
dalam sistem hukum Indonesia, termaktub dalam pasal 28 I UUD
1945 yang berbunyi “... Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum
yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun.” Asas ini juga termaktub dalam
pasal 1 KUHP (asas legalitas) “Tidak ada suatu perbuatan yang
dapat di pidana kecuali berdasarkan kekuatan peraturan perundang-
undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.”

d. Kekuatan Berlakunya Undang-Undang

Mengenai kekuatan berlakunya undang-undang, ada tiga


macam kekuatan berlakunya suatu undang-undang yaitu :
1. Kekuatan berlaku yuridis (Juristische Geltung)
Suatu undang-undang dikatakan mempunyai kekuatan
berlaku secara yuridis manakala syarat formal pembentukannya
telah terpenuhi.

2. Kekuatan berlaku sosiologis (Soziologische Geltung)


Kekuatan berlaku sosiologis mencerminkan penerimaan
terhadap berlakunya suatu undang-undang oleh masyarakat.
Dalam hal ini tidak penting lagi apakah undang-undang itu telah
dibuat sesuai dengan syarat-syarat formal pembentukannya atau
tidak. Jadi disini berlakunya undang-undang merupakan
kenyataan dalam masyarakat (werkelijkheid), yaitu bahwa
masyarakat telah menerimanya sebagai aturan dalam berperilaku.
Kemudian lebih lanjut, kekuatan berlakunya undang-undang
secara sosiologis dibedakan menjadi dua macam:
1) Kekuatan berlaku menurut teori kekuasaan (machtstheorie)
Teori yang memandang bahwa undang-undang mempunyai
kekuatan berlaku secara sosiologis karena dipaksakan oleh
penguasa, terlepas apakah diterima atau tidak oleh
masyarakat. Jadi bukan kesadaran hukum dan kehendak
masyarakat yang menyebabkan berlakunya undang-undang,
melainkan karena paksaan penguasa.
2) Kekuatan berlaku menurut teori pengakuan
Teori yang memandang bahwa undang-undang mempunyai
kekuatan berlaku secara sosiologis karena diakui dan diterima
oleh masyarakat. Jadi berlakunya undang-undang karena
memang adanya kesadaran hukum dan pengakuan
masyarakat terhadap undang-undang tersebut.

3. Kekuatan berlaku filosofis (Filosofische Geltung)


Undang-undang mempunyai kekuatan berlaku filosofis
manakala kaidah hukum tersebut sesuai/sejalan dengan cita-cita
hukum masyarakat (rechtsidee).

e. Kapan Dimulai dan Berakhirnya Undang-Undang

a. Mulai berlakunya undang-undang:


1) Pada tanggal diundangkannya undang-undang yang
bersangkutan
2) Pada tanggal tertentu. Berlakunya/dilaksanakannya undang-
undang dilihat dari ketentuan dalam undang-undang tersebut.
Misal Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mulai
dilaksanakan Tanggal 1 November 2004 (disebutkan dalam
ketentuan penutup pasal 58)
3) Ditentukan kemudian dengan peraturan lain
4) Ditentukan berlaku surut
b. Berakhirnya undang-undang:
1) Ditentukan dalam undang-undang itu sendiri
2) Dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh undang-undang lain
yang terbit kemudian. Misal, Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku oleh Undang-Undang Nomor48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman.
3) Timbulnya hukum kebiasaan yang bertentangan dengan
undang-undang dan kemudian dalam prakteknya
mengesampingkan undang-undang (derogatoir gewoonte recht)
dan menyebabkan undang-undang menjadi tidak berlaku.

f. Asas-asas mengenai ruang ringkup berlakunya undang-undang

a. Asas Teritorial

Asas yang menetapkan bahwa undang-undang berlaku


terhadap setiap orang yang melakukan tindak pidana dalam
wilayah Negara Republik Indonesia. Asas ini bertumpu pada
wilayah kedaulatan suatu negara. undang-undang berlaku terhadap
setiap orang yang berada di wilayah tersebut tanpa melihat
kewarganegaraannya.
Di Indonesia, berlakunya asas ini dapat dilihat pada pasal 2
KUHP. Pasal tersebut menyatakan bahwa KUHP berlaku bagi
setiap orang yang melakukan tindak pidana di dalam wilayah
Negara Republik Indonesia. Jadi, baik WNI maupun WNA yang
melakukan tindak pidana di wilayah Indonesia maka baginya
berlaku ketentuan dalam KUHP.
Selain pasal 2, ada juga pasal 3 KUHP yang memperluas
pengertian yurisdiksi (wilayah kedaulatan) Indonesia dengan
mengatur bahwa KUHP berlaku bagi setiap orang yang diluar
wilayah Indoensia, melakukan tindak pidana di dalam kapal atau
pesawat Indonesia. Asas teritorial ini masih ada pengecualiannya.
Ada asas yang dapat men-derogat (mengesampingkan/tidak
memberlakukan) asas teritorial, asas tersebut adalah asas
ekstrateritorial/hak ekstrateritorial.
Hukum Internasional memberikan hak ekstrateritorial atau
sering juga disebut dengan kekebalan diplomatik atau hak
imunitas (hak untuk tidak dituntut) terhadap warga negara asing
tertentu. Apabila orang-orang yang mendapat hak ekstrateritorial
tersebut melakukan tindak pidana/melanggar undang-undang
suatu negara maka langkah yang bisa ditempuh adalah persona
non-grata (orang yang tidak disukai), yaitu dengan
mengusir/memulangkan orang tersebut ke negara asalnya, dengan
tidak menutup kemungkinan bahwa negara yang dirugikan/yang
udang-undangnya dilanggar, untuk mengajukan permohonan
kepada negara asal orang tersebut agar menuntutnya di muka
pengadilan. Jadi hak ekstrateritorial mengecualikan berlakunya
asas teritorial.
Warganegara asing yang diberi hak ekstrateritorial adalah
sebagai berikut:
1) Kepala Negara dan keluarganya yang sedang berada di negara
lain dalam rangka kunjungan kenegaraan.
2) Duta Besar beserta keluarganya yang sedang bertugas mewakili
negaranya (negara pengirim) di negara penerima.
3) Awak kapal perang negara asing yang sedang
berlayar/berlabuh/berkunjung di negara lain, kendati pun awak
tersebut berada diluar kapalnya. Karena menurut Hukum
Internasional, kapal perang adalah perluasan yurisdiksi dari
negara pemiliknya. Bagi awak kapal perang tersebut berlaku
hukum positif negaranya, dimanapun ia berada.
4) Tentara negara asing yang berada di negara lain dan
keberadaannya adalah berdasarkan suatu persetujuan/legal.48

b. Asas Nasional Aktif

Asas yang menetapkan bahwa undang-undang berlaku


terhadap setiap Warga Negara Indonesia yang melakukan tindak
pidana di luar wilayah Negara Republik Indonesia. Asas ini
bertumpu pada orang yang melakukan perbuatan. Oleh karena itu
asas ini sering juga disebut “asas personal”. Berlakunya suatu
undang-undang mengikuti orangnya, tidak terbatas pada wilayah
teritorial suatu negara. Selama orang itu adalah Warga Negara
Indonesia maka selama itu pula Undang-Undang Negara
Republik Indonesia berlaku baginya, dimanapun ia berada.
Berlakunya asas ini dapat di lihat dalam pasal 5 dan pasal 7
KUHP.

c. Asas Nasional Pasif

Asas yang menetapkan bahwa undang-undang berlaku


terhadap setiap orang, baik WNI maupun WNA, yang melakukan
tindak pidana di luar wilayah Negara Republik Indenesia dengan
maksud melindungi kepentingan nasional dari ancaman
kejahatan tertentu. Berlakunya asas ini dapat dilihat dalam pasal
4 ayat (1), (2), dan (3) KUHP.

d. Asas Universal
Asas yang menetapkan bahwa undang-undang berlaku
terhadap setiap orang, baik WNI maupun WNA, yang melakukan
tindak pidana di luar wilayah Negara Republik Indonesia dengan
maksud melindungi kepentingan dan keamanan Internasional. Jadi

48
Marwan Mas, Op. Cit., hlm.68.
asas ini betolak dari tanggung jawab Negara Republik Indonesia
untuk ikut serta dalam menjaga ketertiban, dan keamanan dunia.
Undang-Undang Negara Republik Indonesia dapat diberlakukan
terhadap kejahatan yang bertujuan merugikan atau menggangu
keamanan Internasional yang locus delicti-nya berada di luar
wilayah Indonesia. Berlakunya asas ini dapat dilihat dalam pasal 4
ayat (4) KUHP, yaiu kejahatan pembajakan.

g. Penyusunan Undang-Undang

Berdasasrkan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 12 Tahun


2011, Rancangan Undang-Undang dapat berasal dari DPR atau
Presiden. Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR dapat
berasal dari DPD. Rancangan Undang-Undang yang berasal dari
DPR, Presiden, atau DPD harus disertai Naskah Akademik. Kecuali
bagi 3 (tiga) Rancangan Undang-Undang tidak menggunakan naskah
akademik yaitu mengenai:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b. Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
menjadi Undang-Undang; atau
c. Pencabutan Undang-Undang atau pencabutan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
Namun ketiga Rancangan Undang-Undang tersebut disertai
dengan keterangan yang memuat pokok pikiran dan materi muatan
yang diatur. Rancangan Undang-Undang, baik yang berasal dari DPR
maupun Presiden serta Rancangan Undang-Undang yang diajukan
DPD kepada DPR disusun berdasarkan Prolegnas. Rancangan
Undang-Undang yang diajukan oleh DPD adalah Rancangan Undang-
Undang yang berkaitan dengan:
a. Otonomi daerah;
b. Hubungan pusat dan daerah;
c. Pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah;
d. Pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya; dan
e. Perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Rancangan Undang-Undang dari DPR diajukan oleh anggota
DPR, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPR yang
khusus menangani bidang legislasi atau DPD. Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara mempersiapkan Rancangan Undang-Undang
sebagaimana dimaksud diatur dengan Peraturan DPR.
Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden
disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah
nonkementerian sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya.
Dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang, menteri atau
pimpinan lembaga pemerintah non kementerian terkait membentuk
panitia antar kementerian dan/atau antar non kementerian.
Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi
Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Presiden
dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum.Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara mempersiapkan Rancangan Undang-Undang oleh Presiden diatur
dengan Peraturan Presiden.
Rancangan Undang-Undang dari DPD disampaikan secara
tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan harus disertai
Naskah Akademik. Usul Rancangan Undang-Undang sebagaimana
dimaksud disampaikan oleh pimpinan DPR kepada alat kelengkapan
DPR yang khusus menangani bidang legislasi untuk dilakukan
pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi
Rancangan Undang-Undang.
2. Kebiasaan

Kebiasaan atau tradisi adalah sumber hukum tertua di dunia,


sumber hukum dimana dikenal/dapat digali sebagian dari hukum diluar
undang-undang, tempat kita dapat menemukan atau mengenali
hukumnya.49 Sumber hukum kebiasaan merupakan sumber hukum yang
tidak tertulis. Namun walaupun bentuknya tidak tertulis (non scripta),
kebiasaan tetap memiliki daya mengikat dan ditaati oleh masyarakat.
Kebiasaan merupakan tatanan norma yang dekat dengan
kenyataan masyarakat (werkelikjheid) karena timbul dari pergaulan hidup
yang dilakukan secara berulang-ulang dan berkesinambungan.
Sebelum lebih lanjut membahas mengenai kebiasaan maka ada baiknya
mengetahui lebih dulu pengertian kebiasaan menurut para ahli antara lain :
1. C.S.T. Kansil
Kebisaaan adalah perbuatan manusia yang tetap dilakukan
berulang-ulang dalam hal yang sama. Apabila suatu kebiasaan tertentu
di terima oleh masyarakat dan kebiasaan itu selalu berulang-ulang
dilakukan sedemikian rupa sehingga tindakan yang berlawanan dengan
dengan kebiasaan itu dirasakan sebagai pelanggaran perasaan hukum
maka dengan demikian timbulah suatu kebiasaan hukum, yang oleh
pergaulan hidup dipandang sebagai hukum.

2. Sudikno Mertokusumo
Kebiasaan merupakan tindakan menurut pola tingkah laku yang
tetap, ajeg, lazim, normal atau adat dalam masyarakat atau pergaulan
hidup tertentu. Perilaku yang tetap atau ajeg berarti merupakan
perilaku manusia yang diulang. Perilaku yang diulang itu mempunyai
kekuataan normatif, mempunyai kekuatan mengikat. Karena diulang
oleh orang banyak maka mengikat orang-orang lain untuk melakukan

49
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hlm.137.
hal yang sama, karena menimbulkan keyakinan dan kesadaran bahwa
hal itu memang patut dilakukan (die normatieve kraft des faktischen).

3. R. Soeroso
Kebiasaan adalah perbuatan manusia yang dilakukan berulang-
ulang mengenai hal tingkah laku kebiasaan yang diterima oleh suatu
masyarakat yang selalu dilakukan orang lain sedemikian rupa,
sehingga masyarakat beranggapan bahwa memang harus berlaku
demikian . Jika tidak berbuat demikian merasa berlawanan dengan
kebiasaan dan merasa melakukan pelannggaran terhadap hukum.
Masyarakat yakin bahwa kebiasaan yang mereka lakukan itu
mengandung hukum, maka jika anggota masyarakat itu tidak
mentaatinya, dia merasa melakukan pelanggaran perasaan hukum yang
hidup ditengah-tengah masyarakat.

Dari beberapa pengertian kebiasaan yang diberikan oleh para ahli


diatas sebenarnya masing-masing pengertian itu memiliki unsur-unsur
persamaan. Dari berbagai pengertian kebiasaan diatas dapat diketahui
unsur-unsur kebiasaan. Agar lebih mudah memahami pengertian
kebiasaan, ada baiknya diuraikan unsur-unsur kebiasaan yang terkandung
dalam pengertian kebiasaan tersebut. unsur-unsurnya antara lain:
1. Perbuatan/tingkah laku yang dilakukan secara berulang-ulang
2. Kebiasaan itu diyakini sebagai pola/tata cara berperilaku yang harus
diikuti
3. Adanya keyakinan dan kesadaran masyarakat untuk mengikuti
kebiasaan
4. Perbuatan yang berlawanan dengan kebiasaan dirasakan sebagai
pelanggaran perasaan hukum

Dari uraian mengenai pengertian dan unsur-unsur kebiasaan diatas


maka dapat disimpulkan bahwa kebiasaan adalah pola perilaku yang
dilakukan secara berulang-ulang dan diterima sebagai kelaziman dalam
pergaulan hidup masyarakat. Karena kebiasaan itu sudah menjadi pola
yang ajeg/dilakukan secara berulang-ulang maka timbulah keyakinan dan
kesadaran dari masyarakat bahwa memang demikianlah seharusnya
mereka berperilaku. Sebaliknya, perilaku yang bertentangan dengan
kebiasaan dirasakan sebagai pelanggaran perasaan hukum.
Yang terakhir ini, kebiasaan telah memiliki kekuatan normatif
karena dilakukan berulang-ulang (die normatieve kraft des faktischen)
artinya, perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang memiliki
kekuatan normatif untuk diikuti pula oleh orang lain. Menurut Van
Apeldoorn, suatu kebiasaan dirasakan sebagai kelaziman dan kepatutan
berdasarkan pendapat masyarakat, bukan pendapat seseorang.50
Karena kebiasaan adalah pola perilaku yang dilakukan secara
berulang-ulang yang merupakan aturan tidak tertulis pada suatu
masyarakat maka kebiasaan itu berbeda diantara satu tempat dengan
tempat yang lainnya. Sumber kebiasaan adalah masyarakat itu sendiri,
kebiasaan lahir dari masyarakat, bukan diterapkan secara paksa oleh
penguasa. Oleh karena itu telah dikemukakan sejak awal bahwa kendati
pun kebiasaan itu tidak tertulis namun kebiasaan tetap ditaati oleh
masyarakat. Apa yang menuntun masyarakat untuk mengikuti pola yang
telah ada dan dilakukan secara berulang-ulang adalah keyakinan dan
kesadaran mereka sendiri bahwa memang demikianlah seharusnya mereka
berperilaku.

a. Syarat-syarat timbulnya hukum kebiasaan

Kebiasaan adalah pola perilaku yang dilakukan secara berulang-


ulang dan diterima sebagai kelaziman dalam pergaulan hidup
masyarakat. Karena kebiasaan itu sudah menjadi pola yang
ajeg/dilakukan secara berulang-ulang maka timbulah keyakinan dan
kesadaran dari masyarakat bahwa memang demikianlah seharusnya

50
Van Apeldoorn, Op.Cit., hlm.113.
mereka berperilaku. Sebaliknya, perilaku yang bertentangan dengan
kebiasaan dirasakan sebagai pelanggaran perasaan hukum.
Kebiasaan merupakan pedoman/penuntun masyarakat tentang
bagaimana seharusnya masyarakat berperilaku dalam pergaulan
hidupnya. Dalam keadaan yang demikian, kebiasaan masih sebatas
norma/kaidah. Sedangkan apabila kebiasaan itu diikuti dengan sanksi
hukum bagi yang melanggarnya/menyimpanginya maka kebiasaan
telah berubah menjadi hukum kebiasaan.
Dalam kepustakaan ilmu hukum, ada beberapa syarat timbulnya
hukum kebiasaan, syarat-syarat tersebut yaitu:
1. Syarat materiil: adanya perbuatan/perilaku yang dilakukan secara
berulang-ulang (longa et invetarata consuetindo)
2. Syarat intelektual: adanya kesadaran dan keyakinan hukum (opinio
necessitatis) masyarakat bahwa memang demikianlah seharusnya
mereka berperilaku/bersikap
3. Syarat yuridis: adanya akibat hukum (sanksi hukum) apabila
kebiasaan itu dilanggar. Syarat yuridis ini mengingatkan kita
kepada adagium “ubi ius ibi poenale” artinya dimana ada hukum
maka disitu ada sanksi. Jadi, syarat menjadi hukum kebiasaan tidak
bisa tidak adalah harus memenuhi syarat yuridis ini; adanya akibat
hukum (sanksi hukum) bagi yang melanggarnya

b. Kebiasaan sebagai sumber hukum

Ada beberapa ketentuan-ketentuan dalam beberapa Undang-


Undang Negara Republik Indonesia yang memuat/mengatur perihal
kebiasaan. Kebiasaan adalah salah satu sumber hukum disamping
undang-undang. Kedudukan kebiasaan bisa bersifat sebagai
komplementer, yaitu melengkapi undang-undang sebagai sumber
dimana orang (khususnya hakim) dapat menemukan hukumnya.
Biasanya kebiasaan menjadi pelengkap manakala undang-undang telah
mengaturnya namun dalam praktek masih dirasa kurang memuaskan,
maka hukum kebiasaan seringkali diadopsi dan digunakan untuk
mengatasi masalah tersebut.
Namun terkadang kebiasaan dapat juga bisa bersifat derogatoir,
yaitu mengesampingkan ketentuan-ketentuan undang-undang,
kebiasaan yang seperti ini disebut juga sebagai “derogatoir
gewoonterecht”.
Kebiasaan dapat mengesampingkan undang-undang manakala
undang-undang tersebut sudah tertinggal dari peristiwanya (het recht
hinkt achter de feiten aan). Sedangkan permasalahan hukum harus
segera dicari jalan penyelesaiannya. Kontradiksi dua keadaan diatas
itulah yang mengakibatkan kebiasaan dapat mengesampingkan
undang-undang.
Pada tahun 1992, Prof. Sunaryati Hartono pernah
mengemukakan bahwa “Dari sejumlah 157 buah peraturan berupa
undang-undang yang dibuat dalam kurun waktu empat puluh tahun, 25
diantaranya memberikan tempat kepada hukum kebiasaan (15,92%).
Tanpa melihat penyeberannnya ke dalam masing-masing peraturan,
jumlah tersebut relatif bisa mengatakan bahwa pembuat undang-
undang kita memang sudah memberikan perhatian terhadap peraturan
hukum kebiasaan dalam sistem hukum nasional. Khususnya sistem
hukum perundang-undangannya.”51
Kedudukan kebiasaan dalam peraturan perundang-undangan
yang pernah dan sedang berlaku di Indonesia antara lain :

a. Pasal 15 AB (Algemeene Bepalingen van Wetgeving


voor Nederlandsch Indie)

“Selain pengecualian-pengecualian yang ditetapkan mengenai


orang-orang Indonesia dan orang-orang yang dipersamakan, maka

5151
Sunaryati Hartono dalam Achmad Ali, Op.Cit., hlm.96-97.
kebiasaan tidak merupakan hukum kecuali apabila undang-undang
menetapkan demikian.”
Pasal 15 AB ini memberi penjelasan bahwa kebiasaan
bukanlah hukum kecuali undang-undang telah menunjuknya
demikian. Jadi berlakunya kebiasaan sebagai sumber hukum formil
menurut pasal 15 AB ini tergantung pada ketentuan undang-undang,
apakah undang-undang menyebut suatu kebiasaan sebagai hukum
atau tidak.

b. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang


Kekuasaan Kehakiman

“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan


memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.”
Hukum kebiasaan mempunyai arti penting karena nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat itu dapat
ditemukan dalam hukum kebiasaan.

c. Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang


Kekuasaan Kehakiman

“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili,


dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya.”
Pasal ini menunjukan bahwa seorang hakim tidak boleh
menolak mengadili suatu perkara dengan alasan hukumnya tidak
ada atau kurang jelas. Namun di lain sisi, hakim seringkali
dihadapkan pada perkara yang belum jelas pengaturannya dalam
undang-undang, sedangkan ia harus tetap mengadilinya. Pada
kondisi yang seperti itulah peran hukum kebiasaan dirasa penting,
hukum kebiasaan yang berupa nilai-nilai keadilan dan persaaan
hukum yang hidup ditengah-tengah masyarakat dapat dikonstantir
oleh hakim sebagai dasar putusannya.

d. Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor48 Tahun 2009 tentang


Kekuasaan Kehakiman

“Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar


putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang
dijadikan dasar untuk mengadili.” Pasal ini memberi ruang bagi
hakim untuk memuat hukum kebiasaan sebagai sumber hukum yang
tidak tertulis namun berlaku ditengah-tengah masyarakat sebagai
alasan/dasar putusannya.

e. Pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

“Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan


tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang
menurut sifat perjanjiannnya diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan,
atau undang-undang.” Pasal ini menunjukan bahwa kebiasaan harus
senantiasa diperhatikan dalam membuat perjanjian .

f. Pasal 1346 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

“Apa yang meragu-ragukan harus ditafsirkan menurut apa


yang menjadi kebiasaan dalam negeri atau ditempat, dimana
perjanjian telah dibuat.” Pasal ini menunjukan bahwa ketika dalam
suatu perjanjin terdapat keragu-raguan atau perjanjian itu bersifat
sumir (kurang jelas) maka perjanjian tersebut harus ditafsirkan
menurut kebiasaan setempat.
g. Pasal 1347 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

“Hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan,


dianggap secara diam-diam dimasukan dalam persetujuan,
meskipun tidak dengan tegas dinyatakan.” Pasal ini memberi arti
bahwa kebiasaan berlaku dalam suatu perjanjian biarpun tidak
secara tegas dituangkan dalam perjanjian tersebut.

Setelah melihat uraian pembahasan mengenai kebiasaan sebagai


sumber hukum, maka dapat ditegaskan bahwa kebiasaan adalah
termasuk sumber hukum formil dan mempunyai kekuatan berlaku
secara formil manakala undang-undang meresepsinya/menunjuknya,
seperti yang terdapat pada pasal-pasal diatas. Selain itu, kebiasaan
dapat menjadi sumber hukum formil manakala kebiasaan itu
dikonstantir dan menjelma dalam putusan hakim. Dengan demikian
kebiasaan adalah sumber hukum disamping undang-undang.

c. Kelemahan hukum kebiasaan


1. Hukum kebiasaan mempunyai kelemahan karena bentuknya yang
tidak tertulis dan oleh karenanya sulit dirumuskan secara jelas
2. Karena bentuknya yang tidak tertulis, kebiasaan kurang menjamin
kepastian hukum dan sering menyulitkan dalam proses beracara
karena kebiasaan itu beraneka ragam

d. Persamaan dan perbedaan antara hukum kebiasaan dengan


undang-undang

Persamaan:
1. Baik hukum kebiasaan maupun undang-undang, keduanya adalah
penegasan pandangan hukum suatu masyarakat dimana hukum
kebiasaan atau undang-undang itu berlaku
2. Baik hukum kebiasaan maupun undang-undang, keduanya adalah
hasil perumusan kesadaran hukum dan keyakinan hukum
masyarakat (opinio necissitatis)

Perbedaan:
1. Hukum kebisaan adalah sumber hukum yang tidak tertulis
sedangkan undang-undang adalah sumber hukum yang tertulis
2. Karena bentuknya yang tertulis, undang-undang lebih menjamin
kepastian hukum daripada hukum kebiasaan
3. Berlakunya undang-undang karena secara sengaja dibentuk oleh
badan resmi yang berwenang/penguasa. Sedangkan hukum
kebiasaan lahir dari pergaulan hidup masyarakat berupa pola
perilaku yang dilakukan secara berulang-ulang.

e. Hubungan hukum kebiasaan dengan hukum adat

Pengertian hukum Kebiasaan adalah pola perilaku yang


dilakukan secara berulang-ulang dan diterima sebagai kelaziman
dalam pergaulan hidup masyarakat. Karena kebiasaan itu sudah
menjadi pola yang ajeg/dilakukan secara berulang-ulang maka
timbulah keyakinan dan kesadaran dari masyarakat bahwa memang
demikianlah seharusnya mereka berperilaku. Sebaliknya, perilaku
yang bertentangan dengan kebiasaan dirasakan sebagai pelanggaran
perasaan hukum.
Pengertian adat secara etimologis berasal dari bahasa Arab,
yaitu “adat” yang maksudnya adalah kebiasaan. Jadi sebenarnya
pengertian adat sama dengan kebiasaan. Sedangkan hukum adat
adalah adat yang memiliki sanksi hukum bagi yang melanggarnya.
Pengertian itu semakna dengan hukum kebiasaan, yakni kebiasaan
yang memiliki sanksi hukum bagi yang melanggarnya.
Jadi dapat penulis artikan bahwa hukum adat adalah
keseluruhan kaidah yang berisi aturan tingkah laku positif pada
masyarakat tradisional yang disatu sisi mempunyai sanksi hukum bagi
yang melanggarnya dan disisi lain dalam keadaan tidak tertulis.
Mengenai hubungan antara hukum kebiasaan dan hukum adat,
Prof. Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa termasuk hukum
kebiasaan adalah hukum adat. Jadi menurutnya hukum adat adalah
termasuk kedalam hukum kebiasaan (sama).
Mengenai perbedaan antara adat dengan kebiasaan dapatlah
dikatakan bahwa adat bersumber pada aturan tingkah laku yang
bersifat suci/sakral yang berhubungan dengan tradisi yang telah
diwariskan secara turun temurun. Sedangkan kebiasaan bersumber
pada pola perilaku masyarakat yang dilakukan secara berulang-ulang
dalam pergaulan hidupnya. Jadi kebiasaan lebih kearah hubungan
sosial sedangkan adat lebih kearah hubungan ruhiah/batiniah/spritual.

3. Yurisprudensi

Yurisprudensi berasal dari bahasa latin “Jurisprudentia” yang


berarti pengetahuan hukum/ilmu hukum. Kata ilmu hukum itu sendiri
semakna dengan kata ”Jurisprudence.” Jusrisprudence berasal dari kata
”Jus” atau “Juris” yang artinya hukum atau hak. ”Prudence” berarti
melihat kedepan, atau mempunyai keahlian. Jadi secara harfiah dan
singkat, Jurisprudence adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari
hukum.
Biasanya para ahli mengemukakan definisi suatu istilah/kata
dengan bertolak dari kajian etimologis. Dengan memperhatikan pengertian
yurisprudensi secara etimologis seperti diuraikan diatas, para ahli mencoba
memberikan batasan pengertian/definisi mengenai apa yang dimaksud
dengan yurisprudensi.
C.S.T Kansil dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Indonesia mencoba memberikan definisi tentang yurisprudensi.
Menurutnya, yurisprudensi adalah keputusan hakim terdahulu yang sering
diikuti dan dijadikan dasar keputusan oleh hakim kemudian mengenai
masalah yang sama.
Sementara itu, R. Soeroso dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum
mengatakan bahwa yurisprudensi adalah keputusan hakim yang selalu
dijadikan pedoman hakim lain dalam memutuskan kasus yang sama.
Dengan melihat berbagai definisi yurisprudensi diatas, dapat
dirumuskan bahwa yurisprudensi adalah keputusan hakim terdahulu yang
diikuti/digunakan oleh hakim lain sebagai dasar dalam menjatuhkan
putusan terhadap perkara yang sejenis. Pemaparan terkait Yurisprudensi
dapat kita lihat sebagai berikut:

a. Yurisprudensi dalam sistem anglo saxon dan sistem eropa


kontinental

1. Yurisprudensi dalam Sistem Anglo Saxon

Yurisprudensi dalam sistem anglo saxon yang dianut oleh


Negara Inggris beserta negara persemakmurannya (bekas
jajahannya) dan Negara Amerika Serikat, mempunyai kedudukan
terpenting sebagai sumber hukum yang paling utama. Dalam sistem
anglo saxon, tujuan hukum yang utama adalah untuk mencapai
keadilan.
Dalam hal ini kepastian hukum dengan selalu mengedepankan
aturan hukum yang tertulis yaitu undang-undang bukanlah tujuan
hukum yang utama. Sebaliknya untuk mencapai keadilan maka
harus diterapkan aturan hukum yang paling dekat dengan cita
hukum masyarakat dan nilai-nilai keadilan yang hidup ditengah-
tengah masyarakat. Keadaan yang demikian menyebabkan
kebutuhan akan sumber hukum selain undang-undang adalah urgen
sifatnya. Karena di negara-negara anglo saxon berkembang baik
anggapan yang menilai bahwa undang-undang sering tertinggal oleh
peristiwa yang seharusnya diatur olehnya (het recht hinkt achter de
feiten aan), maka yurisprudensi sebagai hukum yang lahir melalui
proses peradilan mempunyai peran yang penting.
Yurisprudensi diharapkan mampu mengatasi kelemahan yang
ada pada undang-undang sehingga jalannya peradilan tidak
terganggu oleh masalah tersebut. Oleh karena itu, di negara-negara
anglo saxon berlaku asas preseden “The binding force of
precedent”. Artinya hakim terikat dan wajib mengikuti putusan
hakim terdahulu yang mengatur masalah yang sama. Lebih-lebih
jika yurisprudensi itu berasal dari pengadilan tertinggi negara (MA),
tentu akan mempunyai kedudukan tersendiri bagi hakim bawahan.
Oleh sebab itu R. Soeroso menyebutkan bahwa di negara anglo
saxon, mempelajari yurisprudensi adalah primer. Sedangkan
mengetahui undang-undang adalah sekunder.52

2. Yurisprudensi dalam Sistem Eropa Kontinental

Yurisprudensi di negara-negara eropa kontinental (eropa


daratan) serta negara jajahan yang menerima pengaruhnya,
mempunyai kedudukan yang penting sebagai sumber hukum setelah
undang-undang. Umumnya Yurisprudensi digunakan dalam
peradilan/hakim manakala undang-undang tidak mengatur/tidak
secara jelas mengatur masalah yang dihadapi oleh hakim. Jadi
selama undang-undang mengatur masalah yang dihadapai/diadili
oleh hakim undang-undang itulah yang lebih diutamakan.

b. Yurisprudensi sebagai sumber hukum formil

Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009


tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi: “Pengadilan dilarang
menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara
yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,

52
R. Soeroso, Op.Cit., hlm.167.
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Namun di lain
sisi, undang-undang dengan bentuknya yang tertulis seringkali
tertinggal oleh perkembangan masyarakat atau sering juga undang-
undang tidak mengatur suatu persoalan secara jelas.
Mengenai sejumlah kelemahan undang-undang ini, Bagir
Manan menyebutkan bahwa hukum tertulis (undang-undang) tidak lain
sebagai “moment opname” dari kekuatan/kondisi politik, ekonomi,
sosial-budaya, hankam dan lain-lain. Oleh karena itu undang-undang
seringkali aus (out of date) dan tertinggal dari perkembangan
masyarakat yang cepat atau dipercepat.53
Kebutuhan akan penerapan hukum di pengadilan dan sifat
undang-undang yang banyak memiliki kelemahan seperti yang
diterangkan oleh Bagir Manan diatas, akhirnya membuka jalan bagi
hakim untuk menggunakan yurisprudensi guna mengatasi kekurangan
dan ketidaklengkapan undang-undang. Sudikno Mertokusumo
mengutarakan pendapatnya mengenai sejumlah permasalahan yang
terdapat dalam undang-undang. Menurutnya, makin tua usia undang-
undang makin banyaklah timbul yurisprudensi yang berkaitan dengan
undang-undang tersebut karena undang-undang yang sudah tua itu
perlu ditafsirkan untuk disesuaikan dengan keadaan baru dengan
putusan pengadilan.54
Kewajiban hakim untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
suatu perkara yang dihadapkan pada ketidaksempurnaan undang-
undang inilah yang membuat yurisprudensi memiliki peran dan
kedudukan yang penting sebagai salah satu sumber hukum formil
disamping undang-undang. Pada tahap ini yurisprudensi memberi
sumbangan berarti dalam sistem peradilan dimana hakim dapat
mengkonstantir/menggunakan yurisprudensi sebagai dasar dalam
memutus suatu perkara.
53
Bagir Manan dalam Ridwan H.R, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta,
2006, hlm.63.
54
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hlm148.
Berlakunya yurisprudensi sebagai sumber hukum berbeda
dengan undang-undang. Undang-undang mengikat setiap orang secara
umum, sedangkan yurisprudensi hanya mengikat pihak-pihak dalam
perkara yang bersangkutan saja. Di luar perkara tersebut yurisprudensi
tidak mempunyai kekuatan mengikat.
Perbedaan lain antara yurisprudensi dengan undang-undang
adalah bahwa yurisprudensi merupakan produk yudikatif yang
melakukan penerapan hukum dari yang semula masih bersifat abstrak
berubah menjadi putusan pengadilan yang bersifat konkret. Putusan
pengadilan hanya mengikat orang-orang tertentu saja dan tidak
mengikat setiap orang secara umum seperti undang-undang.55
Mengenai sifat putusan pengadilan yang hanya
mengikat/berlaku bagi para pihak yang berperkara, perlu
diketengahkan pasal 21 AB yang pada intinya melarang hakim
membuat putusan yang sifatnya mengatur umum.
Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa yurisprudensi adalah
sumber hukum formil. Disebut sumber hukum formil karena
yurisprudensi memiliki bentuk tertentu yaitu berupa putusan hakim
dan dibentuk dengan cara tertentu pula, yaitu dibentuk oleh hakim
dalam persidangan pengadilan.

c. Alasan-alasan hakim mengikuti/menggunakan putusan hakim lain

1. Alasan psikologis

Hakim mengikuti/menggunakan putusan hakim lain karena


keputusan hakim tersebut mempunyai kekuatan/kekuasaan hukum.
Lebih-lebih jika putusan itu adalah putusan pengadilan/hakim
tertinggi negara (MA/Hakim MA) maka putusannya mempunyai
kedudukan yang terhormat di lingkungan peradilan. Hakim lain
segan untuk menyimpanginya.

55
Ibid., hlm.146.
2. Alasan Praktis

Hakim mengikuti/menggunakan putusan hakim lain karena


pada perkara yang sama sudah pernah dijatuhkan putusan oleh
hakim terdahulu. Apalagi putusan itu adalah putusan pengadilan
tertinggi negara (MA) atau telah dibenarkan/diperkuat olah
pengadilan tertinggi negara. Jadi alasannya adalah alasan praktis,
dengan mengikuti putusan yang telah ada. Untuk apa hakim susah
payah membuat putusan yang berlainan dengan putusan yang telah
ada apalagi jika putusan itu telah dibernarkan/diperkuat oleh
pengadilan tingkat atas.
Alasan praktis ini juga berfungsi untuk menjaga konsisteni
putusan pengadilan. Jangan sampai terjadi bahwa terhadap perkara
yang sama diputus dengan putusan yang berlainan atau
bertentangan. Dalam hal ini dikenal asas “similia similibus” yang
berarti terhadap perkara yang sama diputuskan dengan putusan yang
sama pula.

3. Alasan kesamaan pendapat

Hakim mengkuti putusan hakim lain karena hakim tersebut


merasa sependapat terhadap putusan hakim yang telah
ada/terdahulu.

d. Macam-macam yurisprudensi

1. Yurisprudensi tetap: adalah keputusan hakim yang


diikuti/digunakan secara berulang-ulang oleh hakim lainnya
terhadap perkara yang sejenis. Jadi suatu yurisprudensi dapat
dikatakan sebagai yurisprudensi tetap apabila putusan hakim
tersebut telah diikuti/digunakan serta dijadikan patokan oleh hakim-
hakim lain dalam memutus perkara yang sama (standard arresten).
Dapat dikatakan bahwa yurisprudensi tetap ini telah mempunyai
kekuatan normatif bagi hakim lainnya. Jadi yurisprudensi memiliki
kekuatan normatif bagi hakim lainnya dalam memutus perkara yang
sejenis. Hakim lainnya segan untuk tidak mengikuti yurisprudensi
tersebut atau bahkan hakim cenderung mengikuti yurisprudensi
tersebut.
2. Yurisprudensi tidak tetap: adalah keputusan hakim yang belum
menjadi yurisprudensi tetap/belum diikuti secara berulang/ulang
oleh hakim lainnya dalam memutus perkara yang sejenis.

e. Asas-asas yurisprudensi

1. Asas Preseden: Asas ini dalam istilah Inggris disebut “The binding
force of precedent.” Yaitu suatu asas yang menetapkan bahwa
hakim terikat dan harus mengikuti keputusan hakim terdahulu
selama mengatur masalah yang sama. Asas ini berlaku di negara-
negara anglo saxon.
2. Asas bebas: asas ini tidak mengharuskan hakim untuk
mengikuti/menggunakan keputusan hakim terdahulu. Asas ini
dianut di negara eropa kontinental.

4. Traktat

Beberapa definisi mengenai perjanjian internasional atau disebut


dengan Traktat antara lain :
1. Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional (Pasal 2)
Perjanjian Internasional adalah suatu persetujuan yang dibuat antara
negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional,
apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih instrumen yang
berkaitan dan apapun nama yang diberikannya.
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional
Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama
tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara
tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.

3. Oppenheim
Perjanjian Internasional adalah suatu pesetujuan antar negara yang
menimbulkan hak dan kewajiban di antara pihak yang
mengadakannya.

Dalam banyak literatur, masih banyak para ahli yang memberikan


definisi traktat/perjanjian internasional hanya sebatas perjanjian antar
negara. Pandangan/definisi yang demikian sudah tidak relevan lagi dengan
zaman dan dinamika Internasional dewasa ini, sebab terlalu sempit ruang
lingkupnya; hanya negara-dengan negara atau goverment to goverment (G
to G). Padahal jika merujuk kepada buku hukum internasional karya para
ahli hukum internasional maupun dinamika internasional yang terjadi
secara faktual, perjanjian internasional tidak hanya sebatas perjanjian
antara dengan negara saja, melainkan juga dapat melibatkan subjek hukum
internasional lainnya seperti Organisasi Internasional, Perusahaan
mutinasional (multi national coorporation), Palang Merah Internasional,
Tahta Suci Vatikan, Pemberontak (belligerent), atau pun Gerakan
Pembebasan Nasional misalnya PLO (Palestine Liberation Organization).
Bertolak dari pandangan diatas maka penulis merumuskan
pengertian perjanjian internasional dengan tidak hanya mengartikan
perjanjian internasional sebagai perjanjian antar negara. Kesimpulannya,
traktat/perjanjian internasional adalah perjanjian antara negara dengan
negara atau negara dengan subjek hukum internasional lainnya yang
melahirkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.
a. Landasan Hukum Mengenai Traktat

Landasan hukum yang dapat dikemukakan sebagai dasar hukum


dalam pembuatan traktat yang pertama-tama adalah pasal 11 UUD 1945
dan kemudian diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Berikut bunyi pasal 11 UUD 1945:
ayat (1): Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian
dengan negara lain.
ayat (2): Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya
yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi
kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan
negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau
pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat.
ayat (3): Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur
dengan undang-undang.
Sedangkan peraturan yang melaksanakan lebih lanjut ketentuan
pasal 11 UUD 1945 tersebut adalah Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2000 tentang Perjanjian Internasional. Menurut undang-undang
tersebut, perjanjian internasional secara garis besarnya meliputi:
a. Pembuatan perjanjian internasional
b. Pengesahan perjanjian internasional
c. Pemberlakuan perjanjian internasional
d. Penyimpanan perjanjian internasional
e. Pengakhiran perjanjian internasional
Dalam banyak literatur tentang Pengantar Ilmu Hukum ternyata
masih sangat jarang sekali yang menyajikan pembahasan pada bagian
traktat dengan mengetengahkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2000 tentang Perjanjian Internasional. Landasan hukum yang disajikan
dalam sub bab traktat masih mengacu pada Surat Presiden
No.2826/HK/60 tertanggal 22 Agustus 1960. Padahal undang-undang
yang mengatur perjanjian internasional sudah terbit sejak tahun 2000,
yaitu Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional. Sedangkan dalam ilmu hukum berlaku asas “lex superior
derogat legi inferior” dan “lex posteriori derogat legi priori”.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional memang tidak mencabut atau menyatakan bahwa Surat
Presiden No.2826/HK/60 tidak berlaku. Namun berdasarkan kedua asas
diatas tentu dapat diterima bahwa sesungguhnya Surat Presiden
No.2826/HK/60 tidak berlaku lagi/dikesampingkan oleh Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2000 karena kedudukan Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2000 lebih tinggi dari Surat Presiden tersebut.
Dengan memperhatikan perkembangan hukum positif di bidang
perjanjian internasional tersebut maka pembahasan pada sub bab traktat
ini akan merujuk/mengacu pada Pasal 11 UUD 1945 dan Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

b. Macam-Macam Traktat

Dalam kepustakaan ilmu hukum, dikenal beberapa macam traktat.


Traktat dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:
1. Traktat bilateral: adalah perjanjian antara dua negara atau antara
negara dengan subjek hukum internasional bukan negara. Contoh,
Perjanjian antara dua negara; Perjanjian RI-Singapura tentang
Penetapan Garis Batas Laut Wilayah yang diratifikasi dengan
Undang-Undang Nomor7 Tahun 1973. Sedangkan contoh perjanjian
antara negara dengan subjek hukum internasional adalah Agreement
between the Government of the Republic of Indonesia and the
ASEAN Relating to the Privileges and Immunities of the ASEAN
Secretariat (Persetujuan antara Pemerintah Repubik Indonesia
dengan ASEAN tentang Hak Istimewa dan Hak Imunitas
Sekretariat ASEAN) 20 Januari 1979.
2. Traktat mutilateral: adalah perjanjian yang dibuat oleh lebih dari
dua negara atau subjek hukum internasional bukan negara. Contoh,
Perjanjian antara 5 Negara; Indonesia, Malaysia, Singapura,
Thailand, dan Philipina tentang Kerjasama Regional (ASEAN) yang
diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor6 Tahun 1976.
3. Traktat kolektif/terbuka: adalah traktat yang dibuat oleh banyak
negara dan memungkinkan negara lain yang semula tidak ikut
dalam perjanjian untuk masuk menjadi anggota/pihak dalam
perjanjian tersebut. Contoh: Piagam PBB (United Nations Charter).

c. Jenis-Jenis Kaidah Hukum Yang Terkandung Dalam Traktat

1. Treaty Contract: Perjanjian Internasional yang hanya mengadung


kaidah hukum berupa hak dan kewajiban serta akibat hukum bagi
pihak yang mengadakan perjanjian. Contoh, perjanjian
keewarganegaraan antara dua negara, perjanjian penetapan batas
wilayah antara dua negara, dan perjanjian-perjanjian internasional
lain yang hanya menimbulkan akibat hukum bagi para pihak dalam
perjanjian.
2. Law Making Contract: Perjanjian Internasional yang
menghasilkan/meletakan kaidah-kaidah hukum yang berlaku secara
umum bagi masyarakat internasional secara keseluruhan. Contoh,
Piagam PBB 1945, Konvensi Wina Tahun 1969 yang mengatur
mengenai Perjanjian Internasional, Konvensi Hukum Laut
Internasional Tahun 1982, dan perjanjian-perjanjian internasional
lainnya yang menghasilkan kaidah-kaidah hukum yang berlaku
umum bagi masyarakat internasional.
d. Cara Mengikatkan Diri Pada Perjanjian Internasional

Berdasarkan pasal 3 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000


tentang Perjanjian Internasional, ada beberapa cara yang dapat
dilakukan Pemerintah RI untuk mengikatkan diri pada perjanjian
internasional, yaitu:
1. Penandatanganan;
2. Pengesahan;
3. Pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik;
4. Cara-cara lain sebagaimana disepakati para pihak dalam perjanjian
internasional.

e. Pejabat Yang Berwenang Mewakili Pemerintah RI Dalam


Penandatanganan/Pengikatan Diri Pada Perjanjian Internasional

Menurut pasal 7 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang


Perjanjian Internasional, ada dua golongan pejabat yang dapat mewakili
Pemerintah Republik Indonesia (Negara Republik Indonesia) dalam
penerimaan/penandatanganan/pengikatan diri pada Perjanjian
Internasional, yaitu:
a. Presiden, dan
b. Menteri.
Apabila ada pejabat lain yang akan mewakili Pemerintah RI
dalam penerimaan/penandatanganan/pengikatan diri pada perjanjian
internasional selain dua pejabat diatas maka pejabat tersebut
memerlukan surat kuasa.

f. Pengesahan Perjanjian Internasional

Merujuk pada pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000


tentang Perjanjian Internasional, maka tedapat dua macam cara
pengesahan perjanjian internasional:
1. Pengesahan Perjanjian Internasional yang dilakukan dengan
melibatkan DPR yang kemudian diratifikasi dengan undang-
undang. Pengesahan dengan cara ini dilakukan terhadap perjanjian
internasional yang berkenaan dengan:
a. Masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
b. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara
Republik Indonesia;
c. Kedaulatan atau hak berdaulat negara;
d. Hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
e. Pembentukan kaidah hukum baru;
f. Pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
2. Pengesahan perjanjian internasional yang dilakukan oleh Presiden
dengan Keppres. Pengesahan dengan cara ini dilakukan terhadap
Perjanjian Internasional yang materinya tidak termasuk dalam
materi sebagaimana dimaksud pada angka (1) diatas. Hal ini
dimaksudkan agar eksekutif sebagai penyelenggara pemerintahan
dapat leluasa dalam menjalankan tugasnya. Tidak semua perjanjian
internasional mengharuskan persetujuan DPR dan disahkan dalam
bentuk undang-undang karena apabila terjadi praktek yang
semacam itu tentu akan menghambat pekerjaan eksekutif.

g. Berakhirnya Suatu Perjanjian Internasional

Mengenai berakhirnya suatu perjanjian internasional ini diatur


dalam pasal 18 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional. Menurut pasal tersebut, perjanjian
internasional berakhir apabila:
a. Terdapat kesepakatan para pihak melalui prosedur yang ditetapkan
dalam perjanjian;
b. Tujuan perjanjian tersebut telah tercapai;
c. Terdapat perubahan mendasar yang mempengaruhi pelaksanaan
perjanjian;
d. Salah satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar ketentuan
perjanjian;
e. Dibuat suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama;
f. Muncul norma-norma baru dalam hukum internasional;
g. Objek perjanjian hilang;
h. Terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional.
Dengan mencermati dan membaca secara seksama penjelasan-
penjelasan mengenai traktat maka dapat disimpulkan bahwa traktat
adalah sumber hukum formil. disebut sumber hukum formil sebab
traktat dapat dikenali karena memiliki bentuk tertentu dan traktat
dibentuk dengan syarat-syarat tertentu pula. Selain itu traktat juga berisi
kaidah-kaidah hukum berupa hak dan kewajiban serta akibat hukum
yang dapat menjadi sumber hukum bagi negara yang bersangkutan.

5. Doktrin

Undang-undang, Kebiasaan, Yurisprudensi, dan Traktat adalah


sumber hukum formil. Sumber yang menunjukan dimana kita dapat
menemukan hukumnya atau sumber darimana kita dapat mengenal
hukumnya. Namun bukan hal yang tidak mungkin keempat sumber hukum
formil diatas masih juga belum dapat memberikan jawaban mengenai
hukumnya. Dalam hal yang demikian doktrin mempunyai kedudukan yang
penting sebagai sumber hukum, yaitu untuk mengatasi masalah seperti
yang dikemukakan diatas. Hakim dapat menemukan hukumnya atau hakim
dapat berpegang pada doktrin dalam memutus suatu perkara.
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai doktrin, ada baiknya
kita mengetahui lebih dulu apa yang dimaksud dengan doktrin.
Doktrin secara etimologis berasal dari bahasa latin “doctor” yang berarti
guru atau “doctrina” yang berarti apa yang telah diajarkan guru atas dasar
ilmu. Di Romawi kuno, doctrina disebut juga dengan istilah
Jusprodentibus constitutum. “jus” berarti hukum, “prudentes” berarti
orang cerdik pandai, dan “constitum” memiliki arti diciptakan. Jadi dari
pengertian secara etimologis itu doktrin dapat diartikan sebagai hukum
yang diciptakan oleh orang cerdik pandai/ahli.56
Sedangkan doktrin menurut penulis adalah ajaran atau pendapat
para ahli hukum yang telah diakui kepakarannya dan besar pengaruhnya
dalam dunia hukum. Namun ajaran para ahli atau ilmu hukum bukan
merupakan hukum karena tidak memiliki kekuatan mengikat (binding
force). Seorang ahli hukum dapat dikatakan mengeluarkan doktrin apabila
pendapat ahli hukum tersebut dijadikan dasar pertimbangan oleh hakim
dalam memutus perkara.
Doktrin selain berwibawa juga bersifat objektif, sama halnya
dengan pengadilan yang harus berlaku objektif. Oleh karenanya doktrin
seringkali digunakan oleh hakim sebagai dasar pertimbangan dalam
putusannya. Lebih-lebih jika doktrin itu mengatur secara eksplisit
mengenai perkara yang sedang diperiksa dan diadili hakim, tentu akan
mempunyai kedudukan yang tersendiri dalam peradilan.
Doktrin sebagai sumber hukum formil berarti doktrin menjadi
tempat bagi hakim dalam mencari dan menemukan hukumnya. Kemudian
doktrin itu digunakan hakim sebagai dasar putusannya. Kalimat diatas
memberikan pengertian bahwa doktrin yang menjadi sumber hukum formil
adalah doktrin yang telah digunakan oleh hakim sebagai dasar putusannya,
atau dengan kata lain doktrin yang telah menjelma menjadi putusan hakim.
Sedangkan doktrin yang hanya sekedar ajaran atau ilmu pengetahuan dan
belum digunakan oleh hakim dalam putusannyam bukan merupakan
sumber hukum formil.
Doktrin dalam sumber hukum formil nampak jelas terlihat pada
pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional (Statute of International
Court of Justice) tentang sumber-sumber Hukum Internasional. Pasal
tersebut menyebutkan sumber-sumber hukum internasional, yaitu sebagai
berikut:
1. Perjanjian Internasional (treaty)

56
Chainur Arrasjid, Op. Cit., hlm.80-81.
2. Kebiasaan Internasional (international customary)
3. Prinsip-prinsip umum hukum (the general principles of law) yang
diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab
4. Keputusan pengadilan (judicial decision) dan pendapat para ahli yang
telah diakui kepakarannya (teaching of the most highly qualified
publicist)
BAB V
KODIFIKASI HUKUM DAN ALIRAN-ALIRAN
YANG MUNCUL SETELAHNYA

A. Kodifikasi Hukum

1. Pengertian Kodifikasi Hukum

Kodifikasi hukum adalah pembukuan jenis-jenis hukum tertentu


secara sistematis dalam suatu himpunan undang-undang. Hasil dari
kodifikasi hukum ini biasanya berbentuk sebuah kitab undang-undang
atau himpunan undang-undang. Contoh, Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (merupakan himpunan ketentuan-ketentuan di bidang hukum
pidana), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (merupakan himpunan
ketentuan-ketentuan di bidang hukum perdata), dan Kitab Undang-
Undang Hukum Dagang (merupakan himpunan ketentuan-ketentuan di
bidang perdagangan), dan lain sebagainya.

2. Sejarah Lahirnya Kodifikasi

Dapat dikatakan bahwa kodifikasi nasional yang pertama adalah


Code Civil (kitab undang-undang hukum perdata) Perancis, atau disebut
juga Code Napoleon. Dinamai Code Napoleon karena Napoleon-lah yang
memerintahkan penyusunan kodifikasi di bidang hukum sipil/perdata
tersebut. Kodifikasi tersebut dilakukan setelah pecahnya Revolusi
Perancis yang sangat terkenal yang terjadi pada tahun 1989. Revolusi
tersebut berhasil menjatuhkan Raja Louis ke XVI dan mengubah tatanan
kehidupan negara Perancis, baik politik, hukum, maupun sosial budaya.
Setelah revolusi tersebut, bentuk pemerintahan Perancis berubah dari
monarki absolut menjadi monarki konstitusional. Peristiwa besar itulah

115
116

yang memberikan jalan bagi pembaharuan hukum di Perancis, termasuk


kodifikasi hukum Perancis.
Kodifikasi hukum di Perancis di latarbelakangi oleh keadaan
hukum dan sistem peradilan yang tidak tertib. Hukum yang berlaku ketika
itu adalah hukum kebiasaan, masing-masing daerah memiliki hukum
kebiasaannya sendiri yang berlainan satu sama lain, sehingga dalam satu
negara nasional Perancis terdapat berbagai macam hukum yang berlaku.
Akibatnya tidak ada kesatuan hukum (rechtsseenheid) dan kepastian
hukum (rechts zerkerheid) di Perancis kala itu. Suatu perkara yang sama
bisa diputus berlainan oleh dua pengadilan di Perancis. Bahkan terhadap
suatu tindak pidana bisa dijatuhkan hukuman mati pada pengadilan yang
satu namun bisa juga diputus bebas oleh pengadilan yang lain.
Disamping permasalahan diatas, hukum dan sistem peradilan
masih juga carut marut/kacau. Tidak ada supremasi hukum, yang ada
adalah supremasi raja. Raja dapat mengintervensi setiap proses
hukum/permasalahan hukum. Kekuasaan raja bersifat mutlak dan
berpenetrasi pada setiap bidang kehidupan, termasuk bidang hukum.
Bahkan ada satu perkataan yang sangat terkenal dari Raja Perancis, Louis
XIV. Ia mengatakan “L’etat C’est moi” artinya aku adalah negara atau
negara adalah aku. Suatu perkataan sederhana yang menggambarkan
absolutisme raja di Perancis.
Hal-hal lain yang menyebabkan tidak adanya keseatuan hukum dan
kepastian hukum adalah pendapat para ahli hukum yang berbeda-beda.
Hal ini jugalah yang mendorong diadakannya kodifikasi hukum.57
Keadaan-keadaan seperti diatas kemudian menyebabkan
munculnya keinginan rakyat Perancis akan suatu kesatuan hukum
(unifikasi hukum) dan kepastian hukum. Kesatuan hukum hanya mungkin
diwujudkan oleh kekuasaan/otoritas tertinggi dalam sebuah negara
nasional dengan membentuk hukum yang berlaku secara nasional dan

57
R. Soeroso, Op.Cit., hlm.77-78.
dapat dipaksakan kepada golongan-golongan atau masyarakat yang ada
dibawahnya.
Sebelum diadakannya kodifikasi, sumber hukum bagi peradilan
adalah kebiasaan (hukum yang tidak tertulis), sedangkan hukum
kebiasaan tersebut berbeda-beda di setiap wilayah. Oleh karena itu
setelah monarki absolut berhasil ditumbangkan oleh rakyat Perancis,
Napoleon yang ketika itu menjadi Kaisar Perancis (1804-1814) segera
memerintahkan kodifikasi hukum agar tercipta kesatuan hukum dan
kepastian hukum. Hasil daripada kodifikasi itu akan dimumkan dan
diberlakukan secara nasional
Setelah mendapat perintah dari Napoleon; Portalis, Trochet, Bigot
de Preaumeneu, dan Mallaville segera menyusun rancangan undang-
undang hukum perdata (code civil). Dalam penyusunannya, kodifikasi
hukum yang dilakukan di Perancis merujuk/bersumber pada hukum
Romawi, hukum Jerman, dan hukum Perancis yang telah ada ketika itu.
Rancangan undang-undang itu berisi 2000 pasal dan diumumkan pada
tanggal 21 Maret 1804. Berselang tiga tahun kemudian, yaitu tahun 1907,
Code Civil resmi diundangkan dan berlaku di seluruh wilayah Negara
Perancis.58
Sejak saat itulah Perancis memiliki kitab undang-undang dibidang
hukum sipil/perdata yang berlaku secara nasional, yaitu Code Civil/Code
Napoleon. Dengan demikian terwujudlah rechtsidee (cita hukum) rakyat
Perancis yang menginginkan adanya kesatuan hukum dan kepastian
hukum. Bahkan kemudian, selain melakukan kodifikasi hukum perdata,
Perancis juga berhasil melakukan kodifikasi hukum pidana yang diberi
nama Code Penal dan kodifikasi hukum dagang yang diberi nama Code
du Commerce.

58
Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta, 1983, hlm.476.
3. Tujuan Kodifikasi Hukum

Tujuan kodifikasi hukum sebenarnya dapat diketahui dari latar


belakang lahirnya kodifikasi hukum itu sendiri. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, kodifikasi hukum lahir karena tidak adanya
kesatuan hukum dan kepastian hukum di tengah-tengah kehidupan
masyarakat sebagai suatu negara nasional. Oleh karena itu kodifikasi
hukum bertujuan untuk mewujudkan keduanya itu, yaitu kesatuan hukum
dan kepastian hukum.
Kesatuan hukum dapat terwujud melalui pembentukan hukum
secara nasional oleh otoritas tertinggi yang berwenang di negara tersebut.
Sedangkan kepastian hukum dapat diwujudkan dengan pembentukan
hukum yang tertulis.
Kodifikasi yang merupakan pembukuan jenis-jenis hukum tertentu
secara sistematis dalam suatu himpunan undang-undang, dapat
mewujudkan kesatuan hukum dan kepastian hukum. Karena
pembentukan dan pemberlakuanya secara nasional, maka tidak ada lagi
keberagaman/pluralisme hukum yang dapat memunculkan ambiguitas di
dalam masyarakat dan peradilan. Dengan demikian dapatlah terwujud
kesatuan/unifikasi hukum.
Kodifikasi juga ditujukan untuk menciptakan kepastian hukum.
Dengan bentuknya yang tertulis dan terhimpun secara sistematis dalam
suatu himpunan undang-undang/kitab undang-undang, maka hakim
mudah untuk mencari, menemukan, dan menetapkan hukumnya. Dengan
demikian dapatlah terwujud kepastian hukum. Hakim tidak dapat lagi
menjatuhkan putusan yang sewenang-wenang, melainkan harus selalu
mendasarkan serta merujuk putusannya pada hukum yang tertulis.

4. Keadaan di Indonesia

Keadaan hukum di Indonesia sebelum merdeka dan semasa


Perancis dibawah monarki absolut (sebelum diadakan kodifikasi)
memiliki kesamaan, yaitu ketiadaan kesatuan hukum dan kepastian
hukum. Namun perbedaannya dengan Perancis, Indonesia ketika itu
belum menjadi negara nasional yang merdeka layaknya perancis. Jadi
sangat wajar apabila tidak ada kesatuan hukum ketika itu.
Indonesia terdiri dari kesatuan wilayah (nusantara) yang sangat
luas, dari sabang hingga merauke. Luasnya wilayah menyebabkan
Indonesia memiliki heterogenitas adat dan budaya masyarakat. Indonesia
terdiri dari berbagai wilayah adat, masing-masing wilayah adat
mempunyai hukumnya sendiri-sendiri yang disebut dengan “hukum
adat”. Van Vallenhoven, seorang ahli hukum adat, dalam bukunya “Het
Adatrechts van Nederlands Indie” mengemukakan bahwa Indonesia
terdiri dari 19 wilayah hukum adat.
Bercermin dari pernyataan Van Vallenhoven saja sudah dapat
tergambar tentang heterogenitas/pluralisme hukum adat yang berlaku di
Indonesia. Setiap wilayah adat mempunyai hukum adatnya masing-
masing dan hukum ada tersebut tidak tertulis.
Melihat keadaan seperti yang telah dikemukakan diatas dapat
disimpulkan bahwa tidak ada kesatuan hukum dan kepastian hukum
ketika itu. Mengenai pluralisme hukum adat, dapat dikemukakan
contoh sebagai berikut. Masyarakat Batak di Sumatera Utara menganut
garis keturunan patrilineal (dari ayah). Masyarakat Minangkabau di
Sumetara Barat menganut garis keturunan matrilineal (dari ibu).
Sedangkan masyarakat Jawa menganut garis keturunan parental (dari
ayah dan ibu). Kesemua asas mengenai garis keturunan diatas akan
menentukan pembagian/perolehan warisan (hukum kewarisan).
Jadi kesimpulan dari contoh diatas adalah, di bidang hukum
kewarisan saja sudah terdapat bermacam-macam ketentuan hukum adat
yang semuanya saling berbeda satu sama lain.
5. Perkembangan Kodifikasi Hukum

Kodifikasi hukum yang berhasil disusun di Perancis dengan


menghasilkan himpunan undang-undang dibidang hukum perdata (code
civil), hukum pidana (code penal), dan hukum dagang (code du
commerce), menimbulkan anggapan bahwa himpunan undang-undang
tersebut telah sempurna dan lengkap. Code/kitab undang-undang tersebut
dianggap sudah mengatur semua permasalahan. Oleh sebab itu banyak
negara-negara lain yang terpengaruh, mengikuti, dan mengambil hasil
kodifikasi hukum Perancis melalui asas konkordansi (menyamakan
hukum di suatu negara dengan hukum yang berlaku negara lain) dan asas
resepsi (menerima hukum negara lain untuk diterapkan di negara yang
bersangkutan). Negara-negara tersebut antara lain adalah Belgia, Jerman,
Swis, dan Italia.
Code civil, Code Penal, dan Code du Commerce Perancis
kemudian menjadi populer dan menjiwai banyak sistem hukum negara
lain, khususnya negara-negara eropa. Bahkan ada pula negara yang
meresepsinya secara bulat-bulat/utuh. Hal itu disebabkan karena Perancis
dibawah kekaiasaran Napoleon Bonaparte (1804-1814) sedang gencar-
gencarnya melakukan ekspansi. Wilayah kekuasaan Perancis dibawah
kekaisaran Napoleon sangat luas, meliputi hampir seluruh eropa,
sebagaian asia (termasuk Indonesa yang ketika itu sedang dijajah Belanda
dan Belanda sendiri sedang dijajah Perancis), dan Mesir.
Dengan wilayah kekuasaan yang sangat luas, hukum Perancis yang
terhimpun dalam code/kitab-undang-undanya banyak ditiru oleh negara-
negara lain. Salah satu bukti pengaruh hukum Perancis yang telah
terkodifikasi itu dapat dilihat di negeri Belanda ketika Belanda dijajah
Perancis (1811-1812). Ketika menjajah Belanda, Perancis membawa
hukumnya untuk diberlakukan di negeri jajahannya itu. Hukum Perancis
tersebut diberlakukan dengan asas konkordansi, yaitu menyamakan
hukum yang berlaku di Perancis untuk diterapkan juga di negeri Belanda.
Akibatnya, hukum yang sudah terkodifikasi dalam bentuk code, yaitu
Code Civil, Code Penal, dan Code du Commerce berlaku di negeri
Belanda.
Keadaan itu berlangsung bahkan sampai 26 tahun setelah Perancis
tidak lagi menjajah Belanda. Baru pada tahun 1938 Belanda mempunyai
kitab undang-undangnya sendiri, yaitu Burgerlijk Wetboek (kitab undang-
undang hukum perdata), Wetboek van Straftrechts (kitab undang-undang
hukum pidana), dan Wetboek van Koophandel (kitab undang-undang
hukum dagang). Ketiga kitab undang-undang tersebut menggantikan
Code Civil, Code Penal, dan Code du Commerce Perancis yang berlaku
sejak Tahun 1811.
Kendati pun Belanda telah memiliki kitab undang-undangnya
sendiri, namun kitab undang-undang tersebut tetap menggunakan hukum
Perancis sebagai rujukan/sumber hukum materiilnya. Seperti halnya
Perancis yang menjajah Belanda dan membawa hukumnya untuk
diberlakukan di negara jajahannya itu, Belanda yang sedang menjajah
Indonesia pun membawa hukumnya dan memberlakukannya di
Indonesia. Burgerlijk Wetboek, Wetboek van Straftrechts, Wetboek van
Koophandel berlaku di Indonesia sejak 1 Mei 1848.
Disamping ketiga kitab undang-undang produk Belanda diatas,
masih ada juga hasil kodifikasi hukum Belanda yang berlaku di
Indonesia, seperti IR (Inlandsce Reglement) staatsblad 1848 No.16.
Kemudian IR tersebut dicabut dan diganti dengan HIR (Herzeine
Indonesische Reglement) staatsblad 1941 No.44. HIR berisi hukum acara
pidana dan perdata. Namun saat ini HIR yang berisi himpunan undang-
undang di bidang hukum acara pidana sudah tidak berlaku lagi karena
sudah ada Undang-Undang Nomor8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana yang merupakan produk asli bangsa
Indonesia. Jadi yang masih berlaku dari HIR hanya bagian hukum acara
perdatanya saja, itu pun ada beberapa pasalnya yang telah
dihapus/dicabut.
Bagaimana status produk hukum Belanda yang tertuang dalam
kitab undang-undang tersebut setelah Indonesia merdeka ? jawabannya,
hasil kodifikasi Belanda tersebut masih berlaku hingga kini karena belum
ada undang-undang yang baru yang menggantikannya.
Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 dan PPKI menetapkan
berlakunya UUD 1945 pada sidang pertamanya tanggal 18 Agustus 1945.
Artinya, ketika itu Indonesia baru memiliki UUD 1945 dan belum
memiliki peraturan perundang-undangan lainnya. Hal tersebut jelas
adalah suatu permasalahan karena akan menimbulkan kekosongan hukum
(rechts vacuum). Oleh sebab itu dicarilah jalan keluarnya dengan
mengadakan hukum peralihan (transitoir rechts) untuk mengisi
kekosongan hukum tersebut.
Pengisian kekosongan hukum tersebut dilembagakan melalui pasal
II Aturan Peralihan UUD 1945 (sebelum amandemen) yang berbunyi:
“Segala badan kenegaraan dan peraturan yang ada masih langsung
berlaku sebelum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar
ini.” Artinya segala peraturan warisan kolonial Belanda yang masih ada
tetap berlaku sebelum ada peraturan lain yang menggantikannya.
Kodifikasi hukum merupakan suatu kemajuan dibidang hukum.
Hukum yang semula tercecer dalam beberapa peraturan menjadi lebih
sistematis dan terstruktur dengan adanya kodifikasi. Kodifikasi kemudian
memunculkan anggapan bahwa undang-undang yang terhimpun dalam
kitab undang-undang sudah lengkap dan sempurna. Kitab undang-undang
disusun dengan begitu banyak rentetan pasal-pasal sehingga orang
menganggap undang-undang tersebut telah mengatur seluruh persoalan
manusia.
Pada perkembangan selanjutnya muncul berbagai aliran hukum
dalam menilai undang-undang/hasil kodifikasi. Ada aliran yang
menganggap hasil kodifikasi berupa kitab undang-undang itu sudah
lengkap dan sempurna sehingga tidak perlu lagi ada penemuan dan
penafsiran hukum oleh hakim. Ada juga aliran yang beranggapan
sebaliknya, bahwa undang-undang tidak lengkap dan tidak dapat
menjawab kebutuhan hukum masyarkat dan oleh karenanya hukum dapat
ditemukan diluar undang-undang. Menanggapi dua aliran yang ekstrem
dalam memandang undang-undang diatas, kemudian muncul aliran yang
menganggap bahwa hukum dapat ditemukan baik dalam undang-undang
maupun diluar undang-undang. Aliran yang terakhir ini mencoba
memberi jalan keluar atas kontradiksi pada dua aliran ektrem
sebelumnya.
Bagaimana aliran-aliran tersebut muncul dan seperti apa
pandangannya ? untuk menjawab pertanyaan tersebut akan dibahas
mengenai aliran-aliran hukum yang muncul setelah kodifikasi dibawah
ini.

B. Aliran Legisme

Aliran ini disebut juga aliran Wettelijk Potivism. Aliran ini muncul
dan berkembang setelah adanya kodifikasi di Perancis. Pelopor yang
mendasari cikal bakal lahirnya aliran ini adalah Montesquieu dengan Trias
Politica-nya yang termuat dalam bukunya yang terkenal L’esprit Des Lois
dan Jean Jacques Rousseau dengan bukunya Du Contract Social. Keduanya
memang ahli yang hidup semasa Perancis berada dibawah absolutisme raja.
Kedua ahli tersebut memberikan sumbangan yang besar dalam ilmu
pengetahuan dibidang kenegaraan sebagai bentuk reaksi atas kondisi Perancis
saat itu.
Adalah pendapat Prof. Achmad Ali yang menyimpulkan bahwa
sebenarnya legisme bersumber dari Trias Politica-nya Montesquieu yang
secara tegas memisahkan antara kewenangan eksekutif, legislatif, dan
yudikatif. Kewenangan pengadilan semata-mata hanya penerapan undang-
undang belaka.59

59
Prof. Achmad Ali, Op.Cit., hlm.106.
Aliran ini muncul karena undang-undang yang terhimpun dalam kitab
undang-undang/code dianggap sudah lengkap dan sempurna. Semua
permasalahan hukum dianggap sudah diatur dalam undang-undang. Oleh
karena itu tidak ada hukum di luar undang-undang. dengan kata lain aliran ini
sangat percaya akan kemampuan undang-undang. Bahkan kepercayaan itu
berlebihan dengan menganggap undang-undang telah sempurna.
Pada awalnya aliran ini dianggap baik dan dapat menjawab
problematika hukum, karena sebelum adanya kodifikasi, kesatuan dan
kepastian hukum tidak tercipta. Namun setelah aliran ini muncul,
problematika hukum seperti diatas dapat diatasi dengan penerapan undang-
undang secara ketat dan terikat. Undang-undang tidak dapat ditafsirkan
sekehendak hati hakim, apalagi dikesampingkan. Pada perkembangan
selanjutnya aliran ini mendapat sambutan baik dan diikuti oleh negara-negara
lain, khususnya di eropa, seperti Jerman, Swiss, Belgia, Italia, dan Belanda.
Setelah dianut oleh banyak negara dan seiring berjalannya waktu,
masyarakat dan peradabannya terus bergerak maju. Sedangkan aliran ini
sangat kaku didalam menerapkan undang-undang, padahal karena bentuknya
yang tertulis, undang-undang selalu tertinggal dari peristiwa yang diaturnya
(het recht hinkt achter de feiten een). Hal ini dapat diterima mengingat
pembentukan dan perubahan undang-undang memerlukan prosedur yang
telah ditetapkan sehingga undang-undang tidak dapat setiap saat
dibentuk/dirubah untuk mengimbangai perkembangan masyarakat.
Dengan demikian mulailah terlihat kekurangan-kekurangan daripada
aliran legisme ini. Undang-undang tidak dapat mengikuti perkembangan
masyarakat setiap saat, padahal kehidupan masyarakat semakin kompleks dan
membutuhkan pengaturan agar tetap berjalan secara tertib. Keadaan ini
semakin tidak menentu ketika undang-undang yang memiliki kekurangan itu
tidak boleh ditafsirkan atau dikonstruksi oleh hakim untuk mengisi
kekosongan hukum. Hakim sangat terbatas dalam menjalankan tugasnya,
hakim hanya seperti mulut undang-undang (bouche de la loi).
C. Aliran Freie Rechtslehre

Aliran ini disebut juga aliran bebas. Aliran ini muncul pada Tahun
1840 di Eropa yang dipelopori oleh Herman Kantorowicz. Pandangan
Kantorowicz tentang aliran Freie Rechtslehre dapat dilihat dalam bukunya
“Der Kampf Um Die Rechtswissenschaft.” Selain Kantorowicz, ada juga
juris lain yang tercatat sebagai pelopor aliran Freie Rechtslehre, mereka
adalah Eugen Erlich dengan bukunya “Freie Rechtsvindung und Freie
Rechtswissenschaft, serta Oscar Bullow dalam bukunya “Gesetz und
Rechtseramst.”
Aliran ini muncul sebagai reaksi dan jawaban atas aliran legisme yang
ternyata banyak memiliki kelemahan. Aliran hukum bebas ini bertolak
belakang dengan aliran legisme. Kalau di analogikan sebagai sebuah proses
dialektika maka legisme adalah tesisnya dan freie rechtslehre adalah anti
tesisnya.
Aliran ini berpandangan bahwa sumber hukum bukan hanya undang-
undang saja. Ada sumber hukum lain disamping undang-undang yang justru
mempunyai peran dan kedudukan yang lebih penting, seperti hukum
kebiasaan, yurisprudensi, traktat, dan doktrin. Aliran freie rechtslehre ini
memandang bahwa undang-undang tidak lengkap dan memiliki kelemahan
karena bentuknya yang tertulis dan statis. Oleh karena itu dibutuhkan sumber
hukum lain diluar undang-undang.
Menyadari kelemahan undang-undang tersebut, aliran ini memberikan
kebebasan bagi hakim untuk menemukan hukum atau bahkan menciptakan
hukum melalui pengadilan. Yang dicari dalam aliran ini adalah kegunaan
sosial (social doelmatigheid). Hakim harus menyelaraskan antara hukum dan
kegunaan sosial atau dalam kata lain hukum harus mampu memberikan
kegunaan sosial bagi masyarakat.
Hakim tidak lagi terikat pada undang-undang, hakim bukan lagi
sebagai mulut daripada undang-undang (bouche de la loi). Peran hakim
dalam ajaran ini sangat penting karena hakim memiliki keleluasaan dalam
melaksanakan tugasnya untuk mengadili. Bagi para hakim pada aliran ini,
menguasai yurisprudensi adalah yang utama/primer, sedangkan menguasai
undang-undang adalah sekunder/pelengkap saja. Hakim boleh menggunakan
undang-undang atau tidak.
Jika dicermati, peran hakim yang begitu leluasa pada aliran ini
mengingatkan kita pada keadaan sebelum diadakannya kodifikasi di Perancis,
keadaan mana hakim dapat berbuat sekehendak hatinya dalam mengadili
suatu perkara. Menurut aliran ini, kepastian hukum bukanlah tujuan utama
daripada hukum. Tujuan yang lebih utama adalah kegunaan/kemanfaatan
hukum. Oleh sebab itulah hakim diberikan kebebasan dengan maksud
supaya hakim tersebut dapat memberi putusan yang dapat menjawab dan
memenuhi kebutuhan masyarakat, yaitu pututsan yang memiliki kegunaan
sosial.

D. Aliran Rechtsvinding

Aliran rechtsvinding ini disebut juga aliran penemuan hukum. Aliran


ini muncul sebagai reaksi dan jawaban atas kelemahan-kelemahan dua aliran
sebelumnya, aliran legisme dan aliran freie rechtslehre. Dua aliran terdahulu
itu memandang undang-undang secara ekstrem dan saling bertentangan satu
sama lain. Pada perkembangan selanjutnya, baik aliran legisme maupu aliran
freie rechtslehre, sama-sama memiliki kelemahan karena memandang suatu
persoalan/fenomena hanya dari satu sisi saja. Seiring dengan kemajuan
zaman dan perkembangan masyarakat, kedua aliran tersebut tidak dapat lagi
dipertahankan.
Pembedaan dan pemisahan secara tegas antara undang-undang
sebagai sumber hukum dengan hukum lain diluar undang-undang tidak dapat
dipertahankan lagi. Sebaliknya, baik undang-undang maupun hukum lain
diluar undang-undang, semuanya saling mendukung dan melengkapi.
Undang-undang membutuhkan hukum lain manakala undang-undang tidak
dapat memberi jawaban atas permasalahan hukum. Begitulah dasar-dasar
pandangan aliran rechtsvinding ini.
Kalau dianalogikan sebagai sebuah proses dialektika maka aliran
legisme adalah tesisnya, aliran freie rechtslehre sebagai anti tesisnya, dan
aliran rechtsvinding sebagai sintesisnya. Jika aliran legisme bertumpu pada
undang-undang dan aliran freie rechtslehre bertumpu pada hukum diluar
undang-undang, maka aliran rechtsvinding adalah aliran yang
mempertemukan keduanya; undang-undang dan hukum diluar undang-
undang sama-sama dianggap penting. Undang-undang dan hukum diluar
undang-undang seperti hukum kebiasaan, yurisprudensi, traktat, dan doktrin
adalah sumber hukum formil, sumber dimana hakim dapat menemukan
hukum dalam mengadili suatu perkara.
Mula-mula hakim berpegang pada undang-undang. Namun apabila
undang-undang tidak dapat memberi jawaban tentang hukumnya maka hakim
dapat mengadakan penafsiran hukum. Apabila setelah diupayakan penafsiran
hukum namun undang-undang tidak juga memberi jawaban/penyelesaian,
maka hakim dapat mengsisi kekosongan hukum melalui metode rekonstruksi
hukum, recthvervijning, atau argumentum a contrario. Apabila usaha mengisi
kekosongan hukum dengan maksud agar undang-undang bisa diterapkan
pada perstiwanya tidak juga memberi jawaban/penyelesaian maka hakim
dapat merujuk/berpegang pada sumber hukum selain undang-undang,
misalnya hukum kebiasaan atau yurisprudensi.
Menurut aliran ini, hukum terbentuk melalui beberapa cara yang
kemudian menjadikannya sebagai sumber hukum karena dilihat dari bentuk
dan cara pembuatannya. Sumber hukum dimana hakim dapat menemukan
hukumnya. Cara terbentuknya itu antara lain:
1. Karena dibentuk oleh pembentuk undang-undang (undang-undang)
2. Terbentuk karena kebiasaan (hukum kebiasaan)
3. Terbentuk melalui pengadilan (yurisprudensi)
4. Terbentuk melalui perjanjian antar negara (traktat)
5. Terbentuk melalui ajaran para ahli yang dikonstantir/telah menjelma
dalam putusan hakim
Aliran rechtvinding tetap mengutamakan undang-undang sebagai
sarana mewujudkan kepastian hukum. Tetapi aliran rechtsvinding juga tetap
mengakui hukum diluar undang-undang, karena aliran ini menyadari bahwa
bagaimanapun undang-undang adalah buatan manusia dan manusia adalah
tidak sempurna. Oleh karenanya undang-undang hasil buatan manusia juga
tidak sempurna. Maka dari itu masih dibutuhkan hukum diluar undang-
undang manakala undang-undang tidak dapat mengatasi suatu permasalahan.
Aliran rechtsvinding memang berpegang pada undang-undang, namun
tidak kaku dan mutlak seperti pada aliran legisme. Aliran rechtsvinding juga
memberikan kebebasan bagi hakim dalam mengadili dan memutus suatu
perkara, namun tidak bebas sebebas pada aliran freie rechtslehre. Oleh
karena itulah aliran ini disebut-sebut sebagai aliran diantara dua aliran
terdahulu (legisme dan freie rechtslehre) atau aliran tengah. Dalam
berpegang pada undang-undang, hakim memiliki keterikatan yang bebas
(vrije gebondenheid) dan kebebasan yang terikat (gebonden vrijeheid).60
Dalam menjalankan wewenang/kebebasannya dalam menemukan
hukum pada sumber hukum diluar undang-undang, hakim masih dibatasi oleh
rambu-rambu. Hal ini diperlukan untuk menghindari kesewenang-wenangan
hakim/pengadilan (judicial coruption). Rambu-rambu yang harus
diperhatikan oleh hakim tersebut yaitu bahwa hakim harus senantiasa
mencari dan menemukan hukum dengan menggunakan metode penafsiran
hukum dan pengisian kekosongan hukum. Penafsiran mana yang paling dekat
dengan kehendak pembuat undang-undang (legal intent), karena menurut
Logemann, penafsiran yang tepat hanya penafsiran yang sesuai dengan
kehendak pembuat undang-undang. Jadi ada meteode dan cara-cara tertentu.
Tidak sembarang menafsirkan dan mengkonsruksikan hukum (mengenai
bagian ini akan dijelaskan pada bab selanjutnya).

60
R. Soeroso.Op.Cit., hlm.91.
E. Aliran Yang Dianut Di Indonesia

Setelah melihat dan membaca secara seksama mengenai aliran-aliran


hukum yang muncul setelah diadakannya kodifikasi maka timbul pertanyaan
“Aliran yang mana yang dianut di Indonesia” ? Dengan mencermati
pembahasan pada bagian sebelumnya tentang aliran-aliran hukum maka
dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut aliran Rechtsvinding
(penemuan hukum).
Indonesia bukan negara yang mengagungkan undang-undang sebagai
satu-satunya sumber hukum formil seperti halnya pandangan aliran Legisme.
Sumber hukum dimana hakim dapat mencari dan menemukan hukum untuk
kemudian diterapkan dalam putusannya. Indonesia juga tidak membiarkan
sistem peradilannya berjalan sebebas-bebasnya tanpa dasar hukum yang
melandasinya seperti halnya pandangan aliran Freie Rechtslehre.
Jadi Indonesia tidak menganut aliran Legisme ataupun Freie
Rechtslehre, tetapi Indonesia menganut aliran Rechtsvinding. Suatu aliran
yang pada prinsipnya mengakui undang-undang dan sumber hukum diluar
undang-undang, seperti hukum kebiasaan, yurispurdensi, traktat, dan doktrin
sebagai sumber hukum formil.
Di Indonesia hakim tidak hanya berfungsi sebagai mulut/corong
daripada undang-undang (bouche de la loi), melainkan juga diberikan
kesempatan untuk berperan aktif dalam melaksanakan tugasnya sebagai
pelaksana kekuasaan kehakiman. Peran aktif itu dapat berupa penafsiran
hukum terhadap ketentuan-ketentuan (pasal-pasal) undang-undang yang tidak
jelas, atau pengisian kekosongan hukum terhadap perkara yang tidak diatur
secara tegas dalam undang-undang dengan cara konstruksi hukum,
rechtsvervijning, dan argumentum a contrario.
Disamping keleluasaan hakim tersebut, hakim masih tetap dibatasi
oleh undang-undang. Hakim tidak boleh sekali-kali bertindak tanpa landasan
hukum yang pasti atau diluar undang-undang.
Untuk mengetahui darimana dapat disimpulkan bahwa Indonesia
menganut aliran Rechtsvinding, berikut ini ada beberapa pasal dari peraturan
perundang-undangan yang dapat membuktikan bahwa Indonesia menganut
aliran Rechtsvinding:
1. Pasal 1 KUHP
“Suatu perbuatan tidak dapat di pidana, kecuali berdasarkan
kekuatan ketentuan-ketentuan perundang-undangan pidana yang telah
ada.”
Pasal ini disebut dengan asas legalitas. Pasal yang memberi arti
bahwa undang-undang menjadi acuan utama dalam menilai suatu
perbuatan, apakah termasuk tindak pidana atau bukan. Artinya, undang-
undang menjadi dasar justifikasi bagi setiap perbuatan.

2. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang


Kekuasaan Kehakiman
“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-
bedakan orang.”
Pasal ini kembali menegaskan arti penting undang-undang. Undang-
undang adalah dasar bagi pengadilan untuk mengadili seseorang. Apakah
seseorang itu dapat diadili atau tidak, jawabannya ditemukan dalam
undang-undang. Jika seseorang diduga melakukan tindak pidana dan
diancam pidana berdasarkan suatu ketentuan dalam undang-undang maka
orang tersebut dapat diadili. Sebaliknya, tanpa ada bunyi undang-undang
yang diancamkan terhadap perbuatan seseorang maka orang tersebut
tidak dapat diadili.

3. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang


Kekuasaan Kehakiman
“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.”
Pasal ini menegaskan arti penting hukum lain diluar undang-
undang. Berdasarkan pasal ini, hukum diluar undang-undang, yaitu
hukum yang hidup dalam kenyataan di masyarakat (rechtswerkelijkheid),
juga mempunyai kontribusi dalam sistem peradilan di Indonesia. Jadi
sumber hukum tidak hanya undang-undang, melainkan juga hukum diluar
undang-undang, seperti hukum kebiasaan, yurisprudensi, traktat, dan
doktrin.

4. Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang


Kekuasaan Kehakiman
“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak
ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya.”
Bunyi pasal ini sama dengan bunyi pasal 22 AB. Pasal ini penting
untuk dipahami karena pasal ini nyata-nyata memberikan penegasan
bahwa hakim tidak boleh mengelak dari kewajibannya untuk mengadili
dengan dalih tidak ada hukumnya atau hukumnya kurang jelas. Lalu
bagaimana jika hukumnya tidak ada atau kurang jelas ? disinilah letak
penting hukum lain selain undang-undang. Manakala undang-undang
bungkam mengenai permasalahan yang sedang diperiksa oleh hakim,
sedang hakim itu harus tetap memeriksa dan memutusnya, maka hakim
dapat menemukan hukumnya pada sumber hukum selain undang-undang,
misalnya hukum kebiasaan, yurisprudensi, traktat, atau doktrin.

Dari beberapa pasal yang telah disebut dan dijelaskan diatas dapatlah
disimpulkan dan dipertegas lagi bahwa Indonesia menganut aliran
Rechtsvinding. Indonesia mengakui undnag-undang sebagai sumber hukum
yang utama, namun juga mengakui hukum lain diluar undang-undang sebagai
sumber hukum disamping undang-undang.
Ketika hakim dihadapkan pada perkara yang telah diatur dalam
undang-undang maka ia mengadili menurut undang-undang tersebut. Apabila
undang-undang yang mengaturnya itu kurang jelas/sumir maka hakim dapat
melakukan penafsiran hukum. Sedangkan apabila hukumnya bungkam
sehingga ada ruang kosong maka hakim dapat melakukan pengisian
kekosongan hukum tersebut dengan metode konstruksi hukum,
rechtsvervijning, atau argumentum a conrtrario. Namun jika setelah
dilakukan upaya penafsiran dan pengsisian hukum, masih juga belum
ditemukan hukumnya maka hakim dapat mempergunakan/merujuk hukum
kebiasaan, yurisprudensi, traktat, dan doktrin sebagai dasar baginya untuk
memutuskan suatu perkara. Ini sesuai dengan pasal 10 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
BAB VI
PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM

Pengadilan adalah tempat bagi masyarakat pencari keadilan (yustisiabelen)


untuk mencari keadilan. Bahkan ada sementara pendapat yang mengatakan bahwa
pengadilan adalah jalan terakhir/obat terakhir bagi para yustisiabelen untuk
mencari keadilan atau disebut juga dengan istilah “ultimum remedium.”
Peraturan perundang-undangan memberikan kepercayaan penuh kepada
pengadilan untuk menjalankan kekuasaan yudikatif (mengadili). Berdasarkan
pasal 22 AB dan pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, pengadilan dilarang menolak perkara yang diajukan
kepadanya dengan alasan hukumnya tidak ada atau hukumnya kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksanya. Dengan begitu, hakim sebagai pelaksana
kekuasaan kehakiman wajib mengadili perkara yang diajukan padanya, sekalipun
hukumnya tidak jelas, atau bahkan belum ada hukumnya.
Jika demikian adanya lalu bagaimana hakim dapat megadili dan memutus
suatu perkara, sedangkan peraturan hukumnya tidak ada/tidak jelas, bukankah
yang demikian itu adalah kekosongan hukum (leemten) ? Jawabannya adalah
hakim harus mengatasi persoalan tersebut dengan jalan penemuan hukum. Lalu
timbul pertanyaan, apakah itu penemuan hukum ? bagaimana hakim dapat
menemukan hukum ? Untuk mengetahui jawabannya simaklah pembahasan
berikut ini.
Sudikno Mertokusumo memberikan pengertian penemuan hukum dengan
memisahkan antara pengertian penemuan hukum dalam arti luas dan dalam arti
sempit. Dalam arti luas, pada dasarnya setiap orang melakukan penemuan hukum.
Setiap orang selalu berhubungan dengan orang lain, hubungan mana diatur oleh
hukum dan setiap orang akan berusaha menemukan hukumnya untuk dirinya

133
134

sendiri, yaitu kewajiban dan wewenang apakah yang dibebankan oleh hukum
padanya.61
Dalam arti sempit, penemuan hukum menurut Prof. Sudikno Mertokusumo
adalah penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim dalam memeriksa dan
memutus suatu perkara. Penemuan hukum oleh hakim ini dianggap mempunyai
wibawa. Ilmuwan hukum pun mengadakan penemuan hukum. Hanya kalau hasil
penemuan hukum oleh hakim itu adalah hukum, maka hasil penemuan hukum
oleh ilmuwan hukum bukanlah hukum, melainkan ilmu atau doktrin. Sekalipun
yang dihasilkan itu bukanlah hukum, namun disini digunakan istilah penemuan
hukum juga, oleh karena doktrin ini kalau diikuti dan diambil alih oleh hakim
dalam putusannya, menjadi hukum. Doktrin bukanlah hukum melainkan sumber
hukum62
Pengertian lain tentang penemuan hukum diberikan oleh Paul Scholten.
Penemuan hukum menurutnya adalah sesuatu yang lain daripada hanya penerapan
peraturan-peraturan pada peristiwanya. Kadang-kadang bahkan sangat sering
terjadi bahwa peraturannya harus ditemukan, baik dengan jalan interpretasi
maupun dengan jalan analogi ataupun rechtsvinding.63
Dari beberapa pandangan ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa penemuan
hukum oleh hakim adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh hakim untuk
mencari dan menemukan hukum dari sumber-sumber hukum yang tersedia.
Sumber hukum yang terutama untuk digali dan ditemukan hukumnya adalah
undang-undang. Penemuan hukum tersebut dilakukan, baik dengan jalan
penafsiran hukum maupun konstruksi hukum. Hasil penemuan hukum tersebut
adalah untuk diterapkan pada peristiwa konkrit yang sedang diperiksa oleh hakim.
Dengan demikian berarti hakim tidak hanya berfungsi sebagai corong daripada
undang-undang (bouche de la loi) yang menerapkan undang-undang secara
mekanis pada peristiwanya. Dalam penemuan hukum, hakim bertindak aktif
untuk mencari dan menemukan hukumnya, keadaan mana hakim dihadapkan pada
kenyataan bahwa undang-undang yang merupakan tempatnya berpegang,
61
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hlm.210-211.
62
Sudikno Mertokusumo, Loc. Cit.
63
Paul Scholten dalam Achmad Ali, Op.Cit., hlm.106-107.
tidaklah lengkap dan sempurna. Ketidaklengkapan dan ketidaksempurnaan hukum
pada gilirannya menimbulkan celah-celah/segi-segi yang belum diatur oleh
hukum, atau dengan kata lain mengakibatkan kekosongan hukum.
Kekosongan hukum menimbulkan tuntutan bagi hakim untuk berpikir
guna menemukan hukumnya, sehingga tidak menimbulkan kekacauan dalam lalu
lintas pergaulan masyarakat. Dalam hal ini benarlah kiranya apa yang dikatakan
oleh Carbonnier “Les choses out toujours du se passer ainsi, depuis, des
millenaires guily desjuges et gui pensent.” Artinya, demikianlah senantiasa telah
terjadi bahwa selama ribuan tahun , dituntut adanya para hakim yang berpikir.
Membahas penemuan hukum oleh hakim pastilah tidak akan terlepas dari
kontribusi Paul Scholten dengan “Open System van het Recht”-nya. Menurutnya,
hukum bukanlah suatu sistem yang tertutup yang tidak boleh diubah sebelum
diubah oleh pembentuknya (legislatif). Hukum dapat diubah maknanya, walaupun
secara tekstual, redaksinya tidak berubah. Artinya, penemuan hukum dapat
dilakukan oleh hakim bilamana ia menganggapnya perlu untuk mengatasi
ketidaklengkapan hukum (undang-undang).
Penemuan hukum dilakukan dengan menggunakan dua metode, yaitu
penafsiran hukum dan konstruksi hukum. Kemudian timbul pertanyaan, kapan
penemuan hukum dilakukan oleh hakim ?
Penemuan hukum oleh hakim dilakukan dalam hal-hal atau keadaan-
keadaan sebagai berikut:
1. Peristiwa yang diperiksa oleh hakim sudah ada hukumnya, tetapi hukumnya
tidak jelas atau kondisi yang diatur dalam peraturan tersebut sudah tidak
sesuai dengan kondisi masyarakat yang sekarang. Dalam hal yang demikian
penemuan hukum dilakukan dengan jalan panafsiran hukum.
2. Peristiwa yang diperiksa oleh hakim tidak ada hukumnya/tidak ada
pengaturannya. Dalam hal yang demikian penemuan hukum dilakukan dengan
jalan konstruksi hukum.
Istilah penemuan hukum atau pembentukan hukum masih sering
diperdebatkan di kalangan para juris. Ada yang lebih memilih menggunakan
istilah penemuan hukum dan ada pula yang menggunakan istilah pembentukan
hukum.
Juris yang lebih setuju menggunakan istilah pembentukan hukum
diantaranya adalah Algra. Ia mengemukakan bahwa istilah pembentukan hukum
lebih cocok karena menggambarkan kegiatan pembentukan hukum oleh hakim
melalui peradilan. Sedangkan istilah penemuan hukum menggambarkan seolah-
olah hukumnya sudah ada.64
Penulis lebih sependapat dengan sitilah penemuan hukum karena hakim
memang melakukan penemuan hukum, baik dengan metode penafsiran hukum
maupun dengan konstruksi hukum. Sedangkan pembentukan hukum memberikan
sugesti bahwa seakan-akan hakim yang membentuk hukum. Pandangan yang
demikian tidak dapat di terima di Indonesia. Kekuasaan yang membentuk undang-
undang adalah legislatif (DPR bersama Presiden). Sedangkan pengadilan/hakim
hanya mengadili pelanggaran terhadap produk legislatif tersebut dengan cara
menerapkan dan mengekan hukum.65
Hakim tidak dibenarkan membentuk hukum. Pengertian hukum sendiri
adalah himpunan peraturan-peraturan yang bersifat memaksa dan mengikat
umum. Sedangkan hakim tidak diperbolehkan membuat putusan yang isinya
adalah pengaturan yang bersifat umum (pasal 21 AB). Disamping itu perlu juga
diketengahkan pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Pasal tersebut berisi tentang asas penyelanggaraan
kekuasaan kehakiman yang berbunyi “Peradilan negara menerapkan dan
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. Jadi jelaslah bahwa
hakim tidak dibenarkan membentuk/menciptakan hukum.
Setelah membahas penemuan hukum sebagiamana dijelaskan diatas maka
pada bagian selanjutnya akan dibahas mengenai metode penemuan hukum, yaitu
penafsiran hukum dan konstruksi hukum.

64
Algra dalam Marwan Mas, Op.Cit., hlm.160.
65
Lihat pasal 20 dan pasal 5 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945.
A. Penafsiran Hukum

Penafsiran hukum semakna dengan interpretasi hukum. Kata


penafsiran berasal dari bahasa Latin “Interpretatio” yang berarti penjelasan
atau keterangan. Jadi secara etimologis, interpretasi/penafsiran adalah
penjelasan atau keterangan yang lebih mendalam dari sekedar pengertiannya
secara sepintas lalu.
Penafsiran hukum dalam terminologi hukum adalah metode
penemuan hukum dengan cara mencari dan menetapkan kejelasan makna atas
suatu teks/ketentuan undang-undang yang tidak jelas atau kurang jelas
dengan tetap berpegang pada bunyi teks/ketentuan undang-undang tersebut.
Penafsiran hukum ini kemudian terbagi dalam beberapa metode,
yaitu:

1. Penafsiran Gramatikal

Penafsiran gramatikal adalah penafsiran menurut tata bahasa atas


suatu teks/ketentuan undang-undang yang belum jelas/kurang jelas untuk
didapatkan pengertian atau maknanya sebagaimana yang dikehendaki
oleh pembuat undang-undang. Penafsiran inilah yang umumnya
digunakan oleh hakim, karena dengan penafsiran kata-kata atau tata
bahasa inilah hakim dapat mengetahui makna suatu undang-undang
sebagaimana yang dikehendaki/dimaksud oleh pembuatnya.
Contoh: Pasal 1140 BW mengatur bahwa orang yang menyewakan
sesuatu benda mempunyai hak istimewa atas benda yang disewakannya
itu apabila si penyewa tidak membayar uang sewa/melakukan
wanprestasi (wanprestasi). Pihak yang menyewakan bendanya itu
mempunyai hak pertama (privilege) untuk menjual atau memanfaatkan
benda-benda yang melekat pada benda miliknya tanpa mempedulikan
apakah benda itu milik si penyewa atau bukan.
Yang ditafsirkan secara gramatikal disini ialah kata-kata “dengan
tidak mempedulikan”. Hasil penafsiran kemudian menetapkan bahwa
kata-kata “dengan tidak mempedulikan” berarti bahwa orang yang
menyewakan dapat menggunakan hak istimewanya (privilege) untuk
menjual barang-barang yang melekat pada benda miliknya meskipun
sebelumnya ia mengetahui bahwa benda itu bukan milik si penyewa.
Kemudian hasil penjualan itu dipergunakan untuk membayar sewa yang
belum dibayarkan.

2. Penafsiran Historis

Penafsiran historis adalah penafsiran atas suatu teks/ketentuan


undang-undang dengan merujuk pada sejarahnya, karena dengan menilik
sejarahnyalah hakim dapat mengetahui dan memahami maksud
pembuatnya. Penafsiran historis ini kemudian terbagi lagi menjadi dua,
yaitu:

1) Penafsiran menurut sejarah pembentukan undang-undang


(Wet historische interpretatie)

Adalah penafsiran terhadap teks/ketentuan undang-undang


untuk mencari kejelasan maknanya dengan meninjau sejarah
pembentukannya. Saat ini telah berkembang gagasan dan praktek
pembentukan naskah akademik sebagai bahan penjabaran tentang
latar belakang dibentuknya undang-undang. Jadi ketika hakim
membutuhkan kejelasan makna suatu undang-undang dari segi sejarah
pembentukannya, hakim dapat melihat naskah akademik tersebut.
Cara lain yang bisa ditempuh hakim dalam rangka melakukan
penafsiran hukum menurut sejarah undang-undang adalah dengan
melihat dan mempelajari risalah-risalah sidang di DPR ketika suatu
RUU sedang dibahas untuk disahkan menjadi undang-undang, surat
menyurat antara DPR dan Pemerintah perihal pembahasan suatu
RUU.
2) Penafsiran menurut sejarah hukum (Rechts historische interpretatie)

Adalah penafsiran terhadap teks/ketentuan undang-undang


untuk mencari kejelasan maknanya dengan cara meninjau sejarah
hukum secara keseluruhan. Penafsiran ini lebih luas dari penafsiran
menurut sejarah pembentukan undang-undang, karena penafsiran ini
mencakup juga sejarah pembentukan undang-undang.
Contoh: penafsiran terhadap sejarah pasal tertentu dari
Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Yang ditinjau tidak hanya sejarah pembentukan
undang-undang tersebut, melainkan juga sejarah korupsi secara
umum, apa itu korupsi, bagaimana korupsi bisa terjadi, bagaimana
cara menangani korupsi. Semua pertanyaan itu dicari jawabannya
dalam sejarah hukum korupsi secara universal, tidak hanya sejarah
hukum korupsi di Indonesia.

3. Penafsiran Sistematis

Menafsirkan ketentuan undang-undang dengan menggunakan


metode penafsiran sistematis berarti melihat suatu undang-undang
sebagai satu kesatuan sistem hukum. Penafsiran sistematis adalah
penafsiran terhadap suatu teks/ketentuan undang-undang dengan cara
menghubungkannya dengan teks/ketentuan undang-undang yang lain
sebagai satu kesatuan sistem hukum.
Contoh: pasal 1320 BW menyebutkan syarat-syarat sahnya suatu
perjanjian, yaitu:
a. Kesepakatan diantara para pihak
b. Cakap hukum
c. Mengenai suatu hal tertentu
d. Suatu kausa (sebab) yang halal
Kemudian dalam prakteknya hakim menumukan masalah, siapa
yang tergolong kedalam golongan orang-orang yang tidak cakap hukum ?
Pertanyaan/masalah tersebut dapat dijawab dengan menghubungkan pasal
1320 BW dengan pasal 1330 BW. Dalam pasal 1330 BW disebutkan
golongan orang-orang yang tidak cakap hukum, yaitu:
a. Orang-orang yang belum dewasa
b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
c. Orang-orang perempuan yang telah bersuami (menikah)66
d. Dan kepada siapa undang-undang telah melarangnya membuat
perjanjian tertentu
Jadi setiap orang yang diluar dari golongan orang-orang yang
disebut dalam pasal 1330 BW, dikatakan cakap hukum dan dapat
membuat perjanjian. Namun kemudian timbul lagi permasalahan, berapa
usia seseorang sehingga dikatakan belum dewasa ?
Pertanyaan/permasalahan tersebut dijawab dengan
menghubungkan pasal 1330 BW dengan pasal 330 BW. Pasal 330 BW
menegaskan bahwa orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum
mencapai umur 21 Tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.
Jadi antara pasal 1320, 1330, dan 330 BW semuanya saling
berkaitan dan saling menjelaskan satu sama lain.

4. Penafsiran Sosiologis/Teleologis

Penafsiran sosiologis/teleologis adalah penafsiran yang mencari


dan menetapkan makna atas suatu ketentuan undang-undang berdasarkan
kenyataan sosial/kondisi sosial kemasyarakatan. Jadi penafsiran dengan
metode ini berusaha menyelaraskan antara ketentuan undang-undang
dengan kenyataan di masyarakat. Bahkan menurut Utrecht, setiap
penafsiran undang-undang harus diakhiri dengan penafsiran sosiologis

66
Melalui pasal 31 Undang-Undang Nomor1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, seorang isteri
disamakan harkat dan kedudukannya dengan suami dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga
isteri tidak lagi termasuk golongan orang-orang yang tidak cakap membuat perjanjian.
agar keputusan hakim dibuat secara sungguh-sungguh sesuai dengan
keadaan yang ada dalam masyarakat.67
Contoh: Penafsiran terhadap pasal 362 KUHP tentang pencurian.
Pada saat KUHP dibuat, belum terpikirkan akan adanya pencurian listrik.
Namun seiring berkembangnya zaman dan masyarakat, kebutuhan listrik
menjadi salah satu kebutuhan penting bagi masyarakat. Oleh sebab itu
kemudian timbul persoalan yang cukup rumit mengenai
pengambilan/penyadapan listrik secara tidak sah. Di satu sisi hal tersebut
adalah perbuatan yang ilegal karena mengambil sesuatu tanpa hak.
Sedangkan disi lain hakim kesulitan untuk menghukum perbuatan
tersebut karena tidak ada pengaturan yang melarangnya secara tegas.
Pada tanggal 23 Mei 1921, Hoge Raad mengeluarkan arrest-nya.
Putusan itu menyatakan bahwa listrik termasuk kedalam pengertian benda
menurut pasal 362 KUHP dengan pertimbangan antara lain karena listrik
mempunyai nilai ekonomis. Oleh sebab itu, perbuatan menyadap/mencuri
listrik termasuk kedalam rumusan pasal 362 KUHP dan bagi yang
melakukannya dipidana berdasarkan pasal tersebut.
Jadi perkembangan mesyarakat yang telah maju dan mengenal
listrik menuntut hakim melakukan penemuan hukum dengan
memperhatikan kenyataan masyarakat tersebut. Penafsiran sosiologis ini
begitu penting karena penafsiran ini tidak semata-mata menafsirkan
ketentuan undang-undang secara tekstual, melainkan dengan
memperhatikan keadaan riil yang ada di tengah-tengah masyarakat.
Paul Scholten menyatakan bahwa mengetahui maksud dan
kehendak pembuat undang-undang saja belum cukup bagi hakim, sebab
hakim harus menerapkan peraturan-peraturan itu sesuai dengan asas
keadilan masyarakat. Hukum itu dinamis, selalu berubah-ubah mengikuti

67
Utrecht dalam Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajawali Pers,
Jakarta, 2009, hlm.226.
perkembangan masyarakat. Dengan demikian arti perundang-undangan
positif belum tentu cocok dengan kenyataan (werkelijkheid).68
Penafsiran sosiologis ini sangat berguna manakala keadaan
sosial/masyarakat sudah berubah, tidak sama lagi dengan keadaan sosial
pada waktu undang-undang dibentuk. Oleh karena itu penafsiran yang
semata-mata ditujukan untuk mencari kejelasan makna atas ketentuan
undang-undang sesuai kehendak pembuatnya saja tidak cukup, karena
sekalipun ditemukan kejelasan maknanya, namum apabila hasil
penemuan itu sudah tidak sesuai dengan keadaan masyarakat maka hal itu
akan sia-sia belaka.
Mengenai sifat hukum yang selalu tertinggal dibelakang
perkembangan masyarakat, Bagir Manan pernah mengungkapkan
pendapatnya. Menurutnya hukum yang tertulis (undang-undang) itu
mempunyai jangkauan yang terbatas, hanya sekedar “momen opname”
dari unsur-unsur politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hankam yang
paling berpengaruh pada saat pembentukannya, karena itu hukum tertulis
(undang-undang) mudah sekali aus (out of date) bila dibandingkan
dengan perubahan masyarakat.69

5. Penafsiran Komparatif

Penafsiran komparatif adalah penafsiran terhadap teks/ketentuan


undang-undang dengan cara membandingkannya dengan ketentuan
undang-undang/peraturan lain, baik intra sistem hukum maupun antar
sistem hukum.

6. Penafsiran Futuristis

Penafsiran terhadap suatu teks/ketentuan undang-undang dengan


mencari dan menetapkan maknanya dengan berpedoman pada hukum

68
Paul Scholten dalam Achmad Ali, Op.Cit., hlm.102.
69
Bagir Manan dalam Ridwan H.R., Op. Cit., hlm.63.
yang belum mempunyai kekuatan mengikat/hukum yang akan berlaku
kemudian (ius constituendum).
Contoh: menafsirkan bunyi pasal suatu undang-undang dengan
berpedoman pada bunyi pasal RUU, dimana RUU tersebut sudah
disepakati/disetujui bersama antara DPR dan Presiden dan hanya tinggal
menuggu pengesahan dan penempatannya dalam lembaran negara.

7. Penafsiran Restriktif

Penafsiran terhadap suatu teks/ketentuan undang-undang dengan


cara membatasi arti kata-kata dari teks/ketentuan undang-undang
tersebut. Contoh: kerugian pada pasal 1365 BW terlalu abstrak dan luas
rumusannya sehingga kerugian pada pasal tersebut ditafsirkan hanya
berupa kerugian materiil (berwujud dan dapat dinilai).

8. Penafsiran ekstensif

Penafsiran dengan cara memperluas arti kata suatu ketentuan


undang-undang sehingga suatu peristiwa yang sebelumnya tidak diatur
dalam ketentuan tersebut menjadi masuk dalam rumusan ketentuan
undang-undang tersebut. penafsiran ini boleh dikatakan sebagai kebalikan
dari penafsiran restriktif. Penafsiran restriktif sifatnya membatasi
rumusan suatu ketentuan undang-undang. Sedangkan penafsiran ekstentif
sifatnya memperluas rumusan ketentuan undang-undang, dengan
meluasnya rumusan ketentuan undang-undang tersebut, meluas pula
cakupan peristiwa yang diatur didalamnya.
Contoh: aliran listrik ditafsirkan dengan memperluas kata “benda”
pada pasal 362 KUHP sehingga “benda” dalam pasal tersebut meliputi
juga listrik. Jadi apabila terjadi pencurian listrik maka berlaku ketentuan
pasal 362 KUHP karena rumusan dan lingkup peristiwa yang diatur
didalamnya sudah diperluas, yaitu meliputi juga pencurian listrik.
8. Penafsiran Autentik

Selain metode penafsiran hukum yang telah diuraikan diatas,


dikenal pula adanya penafsiran autentik. Penafsiran autentik adalah
penafsiran atas suatu kata/pasal/bagian undang-undang yang sengaja
dibuat dan dilampirkan oleh pembuatnya. Penafsiran ini mengikat umum
dan merupakan bagian dari undang-undang yang bersangkutan.
Penafsiran ini tidak dimasukan kedalam metode-metode penafsiran
hukum oleh hakim seperti diatas sebab penafsiran ini bukanlah hasil
pencarian dan penemuan hukum oleh hakim, melainkan hasil pembuat
undang-undang.
Penafsiran autentik ini terdapat dalam undang-undang yang
bersangkutan berupa penjelasan arti kata-kata atau dapat juga termuat
dalam tempat yang khusus untuk itu, yaitu penjelasan undang-undang
yang ditempatkan dalam tambahan lembaran negara. Setelah
menguraikan penjelasan perihal metode-metode penafsiran hukum diatas,
kemudian timbul pertanyaan, metode manakah yang diusahakan pertama
kali dan metode manakah yang diusahakan setelahnya ? apakah ada
ketentuan yang menetapkan urut-urutan/hierarki metode penafsiran
hukum ?
Pada mulanya, setelah pengadilan negara lepas dari belenggu aliran
legisme, penafsiran yang sering digunakan adalah penafsiran gramatikal.
Setelah itu barulah pengadilan mengenal dan mempraktekan penafsiran
historis dan penafsiran sistematis. Sesudah pengadilan benar-benar lepas
dari belenggu aliran legisme, barulah pengadilan mulai berani
menggunakan penafsiran sosiologis/teleologis; suatu penafsiran yang
bertumpu pada kondisi sosial kemasyarakat.
Namun demikian pada alam modern saat ini, tidak dikenal adanya
tata urutan/hierarki metode penafsiran hukum secara baku. Hakim bebas
memilih penafsiran mana yang akan digunakannya. Artinya, penggunaan
metode penafsiran hukum ini bersifat kasuistik; sesuai dengan kasus dan
kondisi yang dihadapi hakim.
Tidak jarang suatu pasal/ketentuan undang-undang ditafsirkan
dengan menggunakan beberapa metode penafsiran hukum. Contoh,
penafsiran terhadap pasal 362 KUHP untuk mencari kejelasan apakah
listrik termasuk “benda” sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal
tersebut, dapat ditafsirkan dengan penafsiran sosiologis dan penafsiran
ekstensif.

B. Konstruksi Hukum

Konstruksi hukum adalah metode penemuan hukum dengan


menggunakan penalaran logis guna menarik suatu peristiwa konkrit yang
belum ada hukumnya untuk dicocokan dan dimasukan dalam rumusan
ketentuan undang-undang yang sudah ada, sehingga ketentuan undang-
undang tersebut berlaku pada peristiwa konkrit yang semula tidak ada
hukumnya itu.
Perbedaan antara kosntruksi hukum dengan penafsiran hukum adalah,
dalam penafsiran, peraturannya sudah ada, namun kurang jelas atau sudah
tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat. Sedangkan konstruksi
hukum dilakukan oleh hakim manakala suatu peristiwa konkrit yang
diperiksanya belum ada pengaturannya/tidak ada hukumnya. Hal ini
kemudian menimbulkan kekosongan hukum (leemten). Oleh karena itulah
hakim harus mengisi kekosongan hukum itu sesuai asas yang berbunyi “ius
curia novit”, artinya hakim dianggap mengetahui hukum.
Jadi menurut asas “ius curia novit” hakim tidak boleh menolak
mengadili dengan alasan hukumnya tidak ada atau kurang jelas, melainkan ia
harus tetap mengadilinya dengan jalan penemuan hukum lalu menerapkannya
pada peristiwa in concreto (peristiwa konkrit). Asas tersebut sama dengan
bunyi pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 22 AB.
Bagaimanakah hakim mengisi ruang-ruang kosong yang tidak ada
peraturan hukumnya itu ? Jawabannya; hakim dapat melakukan konstruksi
hukum (pengisian kekosongan hukum) untuk menemukan hukumnya dengan
metode-metode berikut ini:

1. Argumentum Per Analogiam (Analogi)

Analogi adalah suatu metode penemuan hukum dengan cara


memperluas pengertian atau rumusan suatu ketentuan undang-undang
dengan mencari dan menemukan esensi dari suatu peristiwa yang diatur
dalam undang-undang dan peristiwa yang tidak diatur dalam undang-
undang (tidak ada hukumnya) guna menemukan kesamaan esensi diantara
keduanya. Karena memiliki kesamaan esensi, peristiwa yang tidak ada
hukumnya itu dianalogikan/diibaratkan sama dengan peristiwa yang telah
diatur, sehingga peraturan tersebut juga diterapkan pada peristiwa yang
tidak ada hukumnya itu.
Contoh: pasal 1576 BW berbunyi “Dengan dijualnya barang yang
disewa, suatu persewaan yang dibuat sebelumnya tidaklah putus kecuali
apabila telah diperjanjikan pada waktu menyewakan barang.”
Pada pokoknya, pasal 1576 BW hanya mengatur bahwa jual beli
yang dilakukan atas suatu barang yang telah disewakan tidak
memutuskan hubungan persewaan tersebut. Namun dalam praktek, hakim
menghadapi persoalan dimana bukan hanya jual beli yang dilakukan atas
barang yang telah di sewa, melainkan hibah atau waris, atau wasiat.
Secara tekstual, hibah, waris, dan wasiat tidak termasuk dalam
rumusan pasal 1576 BW. Pasal tersebut hanya mengatur perihal jual beli,
bukan hibah, waris, atau wasiat. Dengan begitu, maka ada ruang-ruang
kosong dimana suatu peristiwa lepas dari peraturan hukum/tidak diatur
oleh hukum. Hakim menghadapi kasus yang tidak ada pengaturannya
dalam undang-undang. Sedangkan ia tidak boleh menolak untuk
mengadili suatu perkara.
Dalam hal yang demikian itulah berlaku asas “ius curia novit”,
hakim dianggap tahu akan hukum. Menghadapi kekosongan hukum
seperti itu, hakim menggunakan metode analogi dengan mencari esensi
dari perbuatan jual beli. Kemudian ditemukan bahwa esensinya adalah
pengalihan hak. selanjutnya hakim mencari esensi hibah, waris, wasiat.
Kemudian ditemukan pula bahwa esensinya dalah pengalihan hak.
Dengan demikian, hibah, waris, atau wasiat dapat dianalogikan
sebagai perbuatan jual beli karena memiliki kesamaan esensi, yaitu sama-
sama bertujuan dan menyebabkan beralihnya hak seseorang atas suatu
benda. Setelah dianalogikan, hibah, waris, atau wasiat termasuk kedalam
rumusan pasal 1576 BW. Artinya hibah, waris, atau gadai atau bentuk-
bentuk pengalihan hak lainnya tidak memutuskan hubungan persewaan
yang telah ada sebelumnya.
Paton memandang bahwa kekuatan kesimpulan yang ditarik
tergantung dari kepentingan relatif dari persamaan-persamaan dan tidak
pentingnya perbedaan diantara keduannya. Jadi menurut Paton,
hasil/simpulan dari metode analogi itu tergantung pada kepentingan dan
dalam keadaan yang bagaimana analogi itu dilakukan. Metode analogi
bukan metode penemuan hukum yang dapat menghasilkan ketentuan
yang bersifat mutlak/tidak mamungkinkan menghasilkan kesimpulan
yang lain. Sebaliknya, analogi terhadap pasal yang sama bisa saja
didapati hasil penemuan hukum yang berlainan.70
Setelah upaya pengisian kekosongan hukum melalui metode
analogi dilakukan namun tetap tidak ditemukan hukumnya, bagaimana
hakim harus bertindak ? Persoalan diatas dijawab oleh Paton, ia
mengemukakan bahwa “If analogy fails, the judge may turn for help to
any source”. Artinya, jika analogi tidak berhasil menemukan hukumnya,
hakim dapat mencari bantuan dari sumber hukum yang lain.71

70
Paton dalam Achmad Ali, Op.Cit., hlm.142.
71
Ibid., hlm.143.
Penulis sependapat dengan pernyataan Paton diatas. Telah
dijelaskan pada bagian terdahulu bahwa jika hakim dalam upayanya
melakukan penemuan hukum, baik melalui penafsiran maupun melalui
konstruksi hukum, tetap tidak menemukan hukumnya, maka ia dapat
mencari hukumnya dari sumber hukum yang lain seperti hukm kebiasaan,
yurisprudensi, traktat, dan doktrin.
Sementara itu, ada pendapat yang menyatakan bahwa penafsiran
ekstentif dan analogi adalah sama. Dikatakan sama karena cara
bekerjanya sama-sama memperluas pengertian/rumusan ketentuan
undang-undang sehingga peraturan tersebut dapat mencakup peristiwa
yang semula tidak diaturnya.
Terhadap pendapat/pandangan yang demikian, penulis tidak
sependapat. Menurut penulis, penafsiran ekstentif dan analogi adalah dua
metode penemuan hukum yang berbeda. Penafsiran ekstentif ialah sutau
metode penemuan hukum dengan cara penafsiran, yang berarti hukumnya
sudah ada, namun tidak jelas/kurang jelas. Jadi dalam proses penemuan
hukumnya, hakim masih berpegang pada bunyi ketentuan undang-undang
tersebut. Sedangkan analogi ialah suatu metode penemuan hukum dengan
konstruksi hukum (pengisian kekosongan hukum) yang berarti hukumnya
tidak ada, sehingga hakim dalam penemuan hukumnya tidak berpegang
pada bunyi suatu undang-undang, melainkan menggunakan penalaran
logis.
Contoh, penafsiran ekstentif terhadap pasal 362 KUHP. Yang
ditafsirkan dan diperluas maknanya adalah kata “benda” dalam pasal
tersebut. Kata “benda” diperluas maknanya tidak hanya sebatas benda
yang terlihat (materiil) melainkan juga meliputi aliran listrik. Jadi setelah
ditafsirkan secara ekstentif, aliran listrik termasuk dalam rumusan pasal
362 KUHP karena makna “benda” telah diperluas meliputi juga aliran
listrik. Dalam penafsiran ekstentif terlihat bahwa hakim masih berpegang
pada bunyi pasal 362 KUHP, yaitu “benda”. Hal diatas berlainan dengan
analogi. Contoh, analogi dengan mengibaratkan antara jual beli dengan
hibah, waris, dan pengalihan hak lainnya. Perbuatan-perbuatan hukum
diatas merupakan perbuatan hukum yang berlainan, hanya esensinya saja
yang sama, yaitu pengalihan hak.

2. Argementum A Contrario

Argumentum a contrario adalah metode penemuan hukum dengan


memberlakukan suatu ketentuan undang-undang hanya pada peristiwa
yang diatur didalamnya. Sedangkan terhadap peristiwa lain yang tidak
diatur dan merupakan kebalikan dari peristiwa yang diatur dalam
ketentuan undang-undang tersebut, berlaku kebalikannya.
Jika pada analogi yang dicari adalah kesamaan esensial dari suatu
perbuatan konkrit yang diatur dalam ketentuan undang-undang dan
perbuatan yang tidak diatur dalam undang-undang, maka argumentum
a contrario justru mencari kebalikannya/perbedaanya. Hal yang
demikian, oleh Prof. Sudikno Mertokusumo disebut sebagai segi negatif
dari undang-undang.
Pada argumentum a contrario titik beratnya diletakan pada
ketidaksamaan peristiwanya. Disini diberlakukan segi negatifnya undang-
undang.72 Contoh: Pasal 39 Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975
menetapkan masa iddah (waktu tunggu) bagi seorang janda untuk dapat
menikah lagi dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan
130 (seratus tiga puluh) hari;
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang
masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-
kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak berdatang
bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari;
c. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan
hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.

72
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hlm.232.
d. Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena
perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya
belum pernah terjadi hubungan kelamin.

Peraturan diatas hanya mengatur masa idah bagi seorang janda.


Lalu bagaimana hukumnya bagi seorang duda ? apakah masa idah itu
berlaku juga bagi seorang duda ?
Pertanyaan diatas dapat dijawab dengan menggunakan metode
argumentum a contrario. Duda adalah kebalikan dari janda. Masa idah
bagi janda diatur dalam pasal 39 PP No.9 Tahun 1975. Sedangkan bagi
duda tidak ada pengaturan perihal masa idah baginya. Oleh karena itu,
melalui metode argumentum a contrario, ditemukan hukumnya bahwa
tidak ada masa idah bagi seorang duda karena ketentuan masa idah dalam
pasal 39 PP No.9 Tahun 1975 hanya berlaku bagi janda, bukan duda.

3. Rechtsvervijning

Sudah merupakan hakekatnya bahwa hukum itu bersifat umum dan


luas ruang lingkupnya. Namun tidak sedikit juga peraturan perundang-
undangan yang terlalu abstrak dan luas lingkup pengertiannya. Jika
peraturan itu terlalu abstrak dan luas ruang lingkupnya, peraturan itu
justru akan menimbulkan masalah karena tidak pasti dan tidak menentu.
Oleh sebab itu, peraturan yang terlalu abstrak dan luas itu perlu
dipertegas dan dipersempit rumusan/pengertiannya.
Metode untuk mempersempit dan mempertegas rumusan undang-
undang itu disebut dengan rechtsvervijning. Metode rechtsvervijning
merupakan kebalikan dari analogi. Reschtsvervijning adalah
mempersempit rumusan ketentuan undang-undang agar diperoleh
kejelasan dan ketegasan maknanya sehingga dapat diterapkan pada
peristiwa inconcreto. Sedangkan analogi dilakukan dengan cara
memperluas rumusan suatu ketentuan undang-undang agar dapat
mencakup peristiwa yang tidak ada hukumnya/belum diatur sebelumnya.
Contoh: Pasal 1365 BW tentang perbuatan melawan hukum “Tiap
perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian pada pihak lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menimbulkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut.”
Makna melawan hukum pada pasal 1365 BW terlalu luas dan
abstrak. Jika tidak dipertegas/dipersempit maka akan timbul persoalan
yang rumit karena undang-undang tersebut tidak memberikan penjelasan
apa itu perbuatan melawan hukum.
Oleh karena itu Hoge Raad pada Tanggal 19 Januari 1919 dalam
putusannya atas kasus Lindenbauw vs Cohen
mempertegas/mempersempit arti kata “melawan hukum.” Hoge Raad
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum
menurut pasal 1365 BW adalah:
a. Melanggar hak orang lain
b. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku
c. Bertentangan dengan kepatutan-kepatutan yang seyogianya
diindahkan dalam kehidupan bersama

Jadi dengan rechtsvervijning, rumusan suatu ketentuan undang-


undang yang semula bersifat abstrak dan terlalu luas cakupannya menjadi
dipertegas. Dengan demikian suatu ketentuan undang-undang dapat
diterapkan tanpa menimbulkan kerancuan karena peraturannya mengatur
dengan tegas.
BAB VII
SUBJEK HUKUM DAN OBJEK HUKUM

A. Subjek Hukum

Subjek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban. Dalam hukum,


perkataan orang (persoon) berarti subjek dalam hukum. Orang/manusia
memiliki hak-hak yang menuntut untuk dipenuhi dan kewajiban-kewajiban
yang menuntut untuk dilaksanakan. Singkatnya, manusia memiliki hak dan
kewajiban. Oleh sebab itu manusia adalah subek hukum.
Dewasa ini subjek hukum tidak hanya terdiri dari manusia pribadi
(natuurlijk persoon), melainkan juga terdiri dari badan hukum
(rechtspersoon). Badan hukum/kumpulan manusia diberi status sebagai
subjek hukum karena pada prinsipnya badan hukum tersebut adalah
pendukung hak dan kewajiban, layaknya manusia pribadi (natuurlijk
persoon). Oleh sebab itu, disamping manusia, ada pula badan hukum yang
diakui sebagai subjek hukum.
Pembahasan subjek hukum selanjutnya akan dibagi sesuai
pembagiannya diatas, yaitu manusia sebagai subjek hukum dan badan hukum
sebagai subejk hukum.

1. Manusia Sebagai Subjek Hukum

Manusia adalah pendukung hak dan kewajiban. Manusia terlibat


dalam lalu lintas hukum dengan berbagai perbuatan dan hubungan hukum
yang dilakukannya. Oleh karena itu manusia diakui sebagai subjek
hukum.
Pada dasarnya setiap manusia, baik warganegara maupun orang
asing, dengan tidak memandang ras, suku, agama, semuanya diakui
sebagai subjek hukum. Hal itu tercermin dari pasal 1 BW (Burgerlijk

152
153

Wetboek: KUH Perdata) yang berbunyi “Menikmati hak perdata tidaklah


tergantung dari hak kenegaraan.”
Pasal 1 BW tersebut mencerminkan asas yang berlaku universal,
bahwa setiap orang dapat menikmati hak keperdataan , baik warganegara
maupun orang asing, semuanya dapat menikmati hak keperdataan. Pada
perkembangannya, pasal 1 BW mengalami pergeseran, tidak dapat lagi
dipertahankan secara murni dan konsekuen. Saat ini dikenal adanya
beberapa pembatasan hak keperdataan seseorang karena dilihat dari
kewarganegaraannya. Contoh, hak milik atas tanah hanya dapat dinikmati
oleh wargenegara Indonesia, sedangkan orang asing tidak dapat
mempunyai hak tersebut.73
Manusia sebagai subjek hukum berarti manusia memiliki sejumlah
hak dan kewajiban untuk melakukan dan tidak melakukan suatu
perbuatan hukum. Dalam hal yang demikian, manusia dapat mengadakan
perjanjian, menikah, bercerai, bekerja, dan perbuatan hukum lainnya.
Dalam perbuatannya yang demikian itulah terkandung hak dan
kewajiban.
Meskipun dewasa ini manusia adalah subjek hukum yang berarti
pendukung hak dan kewajiban, namun sejarah pernah mencatat dimana
manusia berkedudukan sebagai objek hukum. Pada waktu yang lampau
manusia pernah mengenal adanya perbudakan diantara sesamanya.
Budak-budak tersebut hanya berkedudukan sebagai objek hukum karena
memang dapat dihaki/dimiliki dan dijadikan objek dalam hubungan
hukum. Budak-budak itu hanya memiliki kewajiban-kewajiban,
sedangkan haknya tidak ada. Budak tersebut dapat diperjualbelikan
layaknya benda, bukan sebagai manusia yang bermartabat dan memiliki
hak yang asasi.
Bagaimana keadaannya sekarang ? dapat dikatakan bahwa
perbudakan pada saat ini sudah tidak ada. Keadaan yang menyebabkan

73
Vide pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria
(UUPA).
manusia sama sekali tidak memiliki hak tidak dapat dibenarkan lagi saat
ini. Perbudakan/perhambaan tidak sesuai dengan hak asasi manusia dan
merupakan penistaan terhadap hak asasi manusia itu sendiri. Masyarakat
internasional memiliki pandangan dan sikap yang sama mengenai
perbudakan, yaitu menghapuskan sistem perbudakan yang telah menodai
sejarah manusia dengan kekejaman dan sikap tidak manusiawi tehadap
sesamanya.
Perbudakan ditinjau dalam dimensi dan sudut pandang manapun
adalah suatu pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Hak asasi manusia
sesungguhnya diberikan oleh Tuhan kepada setiap manusia untuk
menjadi kodratnya yang harus dihormati. Larangan perbudakan ini dapat
ditem ukan dalam banyak peraturan hukum, baik hukum internasional,
hukum nasional suatu negara (ius constitutum), maupun hukum agama.
Norma hukum internasional yang melarang perbudakan dan
menuntut penghormatan terhadap hak asasi manusia, diantaranya adalah
Universal Declaration of Human Right Tahun 1948 dan International
Covenant an Civil and Political Right (ICCPR).74 Sedangkan contoh
norma hukum nasional yang melarang perbudakan di Indonesia adalah
Bab X A UUD 1945 tentang Hak Asasi Manusia yang terdiri dari pasal
28 A hingga pasal 28 J dan Undang-Undang Nomor39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia.75
Perbudakan berarti kematian hak keperdataan/hak sipil. Kematian
hak keperdataan sudah tidak dapat dibenarkan lagi menurut pasal 3 BW.
Pasal tersebut berbunyi “Tiada suatu hukuman pun yang dapat
mengakibatkan kematian perdata atau kehilangan segala hak kewargaan.”
Pasal ini mengandung maksud bahwa tidak ada satu hukuman pun yang
dapat melenyapkan seluruh hak keperdataan/hak sipil sesorang.

74
ICCPR ini telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005
tentang Pengesahan International Covenant an Civil and Political Right (Kovenan tentang Hak-hak
Sipil dan Politik).
75
Vide Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 “.....hak untuk tidak diperbudak adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”
Namun demikian, hukuman yang mengakibatkan pencabutan suatu
hak tertentu secara terbatas, masih diperkenankan, itu pun sifatnya
sementara. Contoh, larangan bagi seorang yang dinyatakan pailit untuk
mengadakan perjanjian atas harta pailitnya, pencabutan kekuasaan orang
tua atas anak/anak-anaknya (ouderlijk macht), dan hukuman keperdataan
lainnya. Hukuman itu menimbulkan konsekuensi hilangnya suatu hak
perdata seseorang, sedangkan hak-hak perdata yang lainnya masih tetap
dimiliki oleh subjek hukum yang bersangkutan. Jadi jelaslah bahwa
dewasa ini tidak ada suatu hukuman pun yang dapat mencabut seluruh
hak perdata seseorang.
Dengan demikian, pada zaman yang modern ini, manusia adalah
subjek hukum. Tidak ada kecualinya. Berlakunya predikat subjek hukum
pada manusia dimulai saat ia lahir menjadi manusia dan berakhir saat ia
meninggal. Bahkan menurut pasal 2 BW, berlakunya manusia sebagai
subjek hukum dapat dihitung surut sejak ia berada dalam kandungan
ibunya. Berikut adalah bunyi pasal 2 BW “Anak yang ada dalam
kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan
bilamana juga kepentingan si anak mengendakinya. Mati sewaktu
dilahirkan, dianggaplah ia tak pernah telah ada.” Jadi menurut ketentuan
tersebut, anak yang masih dalam kandungan dapat menjadi subjek
hukum.
Berlakunya pasal 2 BW tersebut sangat penting dan dirasa lebih
adil demi kepentingan perdata si anak. Misalkan dalam bidang pewarisan,
ditetapkannya anak yang masih berada dalam kandungan sebagai subjek
hukum akan memberikan kepada si anak tersebut hak untuk turut
mewarisi harta warisan orang tuanya apabila orang tuanya meninggal.
Hal itu dirasa lebih adil daripada anak tersebut lahir dalam keadaan tidak
mendapat warisan.
Dari penjelasan diatas jelaslah bahwa sejak berada dalam
kandungan, manusia adalah pendukung hak (subjek hukum). Subjek
hukum (manusia) dapat melakukan perbuatan hukum dalam menjalankan
hak dan kewajibannya. Namun demikian masih terdapat pengecualian
bagi manusia dalam melakukan perbuatan hukum.
Dalam hukum dikenal adanya pengecualian bagi subjek hukum
tertentu dalam melakukan perbuatan hukum. Hukum menentukan bahwa
ada beberapa golongan orang-orang yang tidak diperkanankan untuk
melakukan perbuatan hukum secara mandiri (sendiri). Orang-orang yang
dimaksud adalah orang-orang yang oleh hukum dinyatakan sebagai
orang yang tidak cakap hukum (handelings bekwaam)
Orang yang tidak cakap hukum (handelings bekwaam) tidak
diperkenankan bertindak sendiri dalam melakukan perbuatan hukum
dengan beberapa pertimbangan, antara lain; belum cukup umur sehingga
dianggap belum mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya atau
akalnya tidak sehat/terganggu. Bagi orang yang tidak cakap hukum, ia
harus didampingi/diwakili oleh orang tua/wali atau pengampunya
(curator) dalam melakukan perbuatan hukum.
Dalam lapangan perikatan, ketentuan mengenai orang-orang yang
termasuk dalam golongan orang yang tidak cakap hukum diatur dalam
pasal 1330 BW. Menurut pasal 1330 BW, orang yang tidak cakap hukum
untuk mengadakan perjanjian adalah:
1) Orang yang belum dewasa
2) Orang yang ditaruh dibawah pengampuan (pemabuk, pemboros,
penjudi)
3) Orang-orang perempuan yang menikah (isteri) dan orang-orang yang
oleh undang-undang dilarang untuk mengadakan perjanjian. Contoh:
orang yang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Mengenai batas usia dewasa (batas usia untuk dapat disebut telah
dewasa), berbeda-beda ketentuannya antara undang-undang yang satu
dengan undang-undang yang lain. contoh: batas usia dewasa menurut
pasal 330 BW adalah 21 Tahun atau telah lebih dulu kawin, Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 menetapkan batas usia untuk dapat
menikah yaitu serendah-rendahnya 19 Tahun bagi laki-laki dan 16 Tahun
bagi perempuan, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menetapkan usia dewasa adalah usia yang telah
mencapai 18 Tahun, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menetapkan syarat usia dewasa yaitu 17
Tahun.
Jadi dapat disimpulkan bahwa setiap manusia adalah subjek
hukum, tidak ada kecualinya. Bahkan bayi yang masih dalam kandungan
ibunya dapat dianggap sebagai subjek hukum. Meski demikian, tidak
semua subjek hukum adalah cakap hukum untuk melakukan perbuatan
hukum. Ada ketentuan-ketentuan yang mengatur perihal ketidakcakapan
hukum bagi beberapa golongan orang. Bilamana seseorang termasuk di
dalamnya maka ia diwakili/di dampingi oleh orang tua/wali, atau
pengampu dalam melakukan perbuatan hukumnya.
Jadi pada hekekatnya, hak dan kewajiban tetap berjalan. Tidak
cakap hukum bukan berarti tidak memiliki hak dan kewajiban. Hak dan
kewajiban tetap ia miliki dan melekat pada dirinya (orang yang tidak
cakap hukum), hanya saja dalam pelaksanaannya harus
diwakili/didampingi oleh orang yang berhak untuk itu (orang tua/wali
atau pengampu).

2. Badan Hukum Sebagai Subjek Hukum

Subjek hukum terdiri atas manusia pribadi (natuurlijk persoon) dan


badan hukum (rechtspersoon). Jadi disamping manusia, ada pula subjek
hukum lain, yaitu badan hukum yang merupakan pendukung hak dan
kewajiban dalam lalu lintas hukum.
Sebelum lebih lanjut membahas badan hukum sebagai subjek
hukum, perlu diketahui lebih dulu apa itu badan hukum. Pengertian
badan hukum diberikan oleh dua ahli dibawah ini, yaitu:
1) Prof. Subekti
Badan hukum adalah orang yang diciptakan oleh hukum
(rechtspersoon).76

2) R. Soeroso
Badan hukum adalah suatu perkumpulan orang-orang yang
mengadakan kerjasama dan atas dasar ini merupakan suatu kesatuan
yang telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh
hukum.77

Dari dua pengertian badan hukum yang dikemukakan oleh kedua


ahli diatas maka dapat disimpulkan bahwa badan hukum adalah badan
yang dibentuk berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku oleh sejumlah
orang yang bekerjasama untuk tujuan tertentu dan dengan demikian
badan itu memiliki hak dan kewajiban.
Badan hukum disebut sebagai subjek hukum karena memiliki hak-
hak dan kewajiban-kewajiban tertentu. Hak dan kewajiban itu timbul dari
hubungan hukum yang dilakukan oleh badan hukum tersebut. Badan
hukum juga memiliki kekayaan tersendiri yang terpisah dari kekayaan
anggotanya, turut serta dalam lalu lintas hukum, serta dapat digugat dan
menggugat di muka pengadilan.
Badan hukum sebagai subjek hukum layaknya manusia, dapat
melakukan perbuatan hukum seperti mengdakan perjanjian,
manggabungkan diri dengan perusahaan lain (merger), melakukan jual
beli, dan lain sebagainya. Dengan demikian badan hukum diakui
keberadaannya sebagai pendukung hak dan kewajiban (subjek hukum)
karena turut serta dalam lalu lintas hukum.
Badan hukum tidak lain adalah badan yang diciptakan oleh
manusia dan tidak berjiwa. Oleh sebab itu dalam melaksanakan perbuatan
hukumnya, badan hukum diwakili oleh pengurus atau anggotanya.

76
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. Ke 32, Intermasa, Jakarta, 2005, hlm.21.
77
R. Soeroso, Op.Cit., hlm.238.
Untuk dapat ikut serta dalam lalu lintas hukum dan diakui sebagai
subjek hukum, ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi oleh badan
hukum. Syarat-syarat tersebut adalah:
1) Dibentuk dan didirikan secara resmi sesuai dengan ketentuan hukum
yang mengatur perihal pembentukan/pendirian badan hukum. Syarat
pembentukan badan hukum ini sesuai dengan bentuk/jenis badan
hukum yang akan didirikan. Syarat pembentukan badan hukum ini
berbeda antara satu bentuk/jenis badan hukum dengan bentuk/jenis
badan hukum yang lain. Contoh: syarat/cara pembentukan badan
hukum partai politik berbeda dengan syarat/cara pembentukan badan
hukum perseroan terbatas (PT). Syarat/cara pembentukan kedua jenis
badan hukum itu diatur dalam undang-undang yang berbeda dan
dengan prosedur yang berbeda pula.
2) Memiliki harta kekayaan yang terpisah dari harta kekayaan
anggotanya.
3) Hak dan kewajiban hukum yang terpisah dari hak dan kewajiban
anggotanya.
Dalam hukum dikenal adanya dua macam badan hukum, yaitu:
1) Badan hukum publik: yaitu badan hukum yang didirikan berdasarkan
hukum publik dan bergerak di bidang publik/yang menyangkut
kepentingan umum. Badan hukum ini merupakan badan negara yang
dibentuk oleh yang berkuasa berdasarkan peraturan perundang-
undangan, yang dijalankan oleh pemerintah atau badan yang ditugasi
untuk itu.78 Contoh:
a. Negara Indonesia, dasarnya adalah Pancasila dan UUD 1945
b. Daerah Provinsi dan daerah Kabupaten/Kota, dasarnya adalah
Pasal 18, 18 A, dan 18 B UUD 1945 dan kemudian dielaborasi
dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

78
R.Soeroso, Op.Cit., hlm.239-240.
Pemerintahan Daerah (UU Pemda ini telah dirubah sebanyak dua
kali)79
c. Badan Usaha Milik Negara yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor19 Tahun 2003
d. Pertamina, didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor8 Tahun
1971

2) Badan Hukum Privat; yaitu badan hukum yang didirkan berdasarkan


hukum perdata dan beregrak di bidang privat/yang menyangkut
kepentingan orang perorang. Badan hukum ini merupakan badan
swasta yang didirikan oleh sejumlah orang untuk tujuan tertentu,
seperti mencari laba, sosial/kemasyarakatan, politik, ilmu
pengetahuan dan teknologi, dan lain sebagainya. Contoh:
a. Perseroan terbatas (PT), pendiriannya diatur dalam Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
b. Koperasi, pendiriannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1992 tentang Koperasi
c. Partai Politik, pendiriannya diatur dalam Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2008 tentang Perpol jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2008.

Berkenaan dengan badan hukum, terdapat beberapa teori yang


dikemukakan para ahli tentang badan hukum, yaitu:
1) Teori fiksi
Badan hukum di anggap buatan negara saja, sebenarmya badan
hukum itu tidak ada, hanya orang menghidupkan bayangannya

79
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 telah dirubah sebanyak dua kali yaitu dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang pemerintahan Dareah dan kemudian dirubah lagi dengan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
sebagai subjek hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum
seperti manusia. Teori ini di kemukakan F. Carl Von Savigny.

2) Teori harta kekayaan bertujuan (Doel vermogenstheorie)


Hanya manusia saja yang dapat menjadi subjek hukum. Adanya
badan hukum di beri kedudukan sebagai orang disebabkan badan ini
mempunyai hak dan kewajiban, yaitu hak atas harta kekayaan dan
dengannya itu memenuhi kewajiban-kewajiban kepada pihak ke tiga.
Penganut teori ini ialah Brinz dan Van der Heijden dari Belanda.

3) Teori organ (Organnen theory)


Badan hukum ialah sesuatu yang sungguh-sungguh ada dalam
pergaulan yang mewujudkan kehendaknya dengan perantaraan alat-
alatnya (organ) yang ada padanya (pengurusnya). Jadi bukanlah
sesuatu fiksi tapi merupakan makhluk yang sungguh-sungguh ada
secara abstrak dari konstruksi yuridis. Teori ini dikemukakan oleh
Otto von Gierke dan Z. E. Polano.

4) Teori milik bersama (Propriete collectif theory)


Hak dan kewajiban pada badan hukum pada hakikatnya adalah hak
dan kewajiban para anggota secara bersama-sama. Kekayaan badan
hukum adalah kepunyaan bersama para anggota. Pengikut teori ini
adalah Star Busmann dan Kranenburg.

5) Teori kenyataan yuridis (Juridische realiteitsleer)


Badan hukum merupakan suatu realitet, konkret, riil, walaupun tidak
bisa di raba, bukan khayal, tetapi kenyataan yuridis. Teori ini di
kemukakan oleh Mejers.80

80
Hartono Hadisoeprapto, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hlm.19.
B. Objek Hukum

Objek hukum adalah segala sesuatu yang berguna dan bernilai bagi
subjek hukum, yang menjadi objek dari hubungan hukum serta dapat dikuasai
oleh subjek hukum. Contoh: A dan B melakukan jual beli mobil, A penjual
dan B pembeli. Hubungan antara A dan B dalam jual beli mobil tersebut
adalah hubungan hukum dan mobil itulah objek hukumnya. Mobil berguna
bagi manusia sebagai alat transportasi, bernilai ekonomis karena diperlukan
pengorbanan ekonomis untuk mendapatkannya, mobil itu adalah objek/pokok
dari hubungan hukum antara A dan B. Hubungan jual beli antara A dan B
tidak akan terjadi tanpa adanya mobil (objek). Selain itu mobil dapat dimiliki
dengan kepemilikan yang sah, salah satunya dengan melalui jual-beli.
Begitulah gambaran sederhana tentang objek hukum.
Perlu ditegaskan bahwa yang termasuk objek hukum hanyalah benda
yang cara perolehannya diatur oleh hukum. Diatur oleh hukum karena benda
tersebut memiliki kegunaan dan bernilai ekonomis sehingga hukum perlu
mengaturnya. Untuk mendapatkan benda tersebut dibutuhkan pengorbanan.
Sedangkan untuk benda yang dapat diperoleh secara bebas dari alam (non
ekonomis) seperti udara, cahaya matahari, cahaya bulan, yang cara
perolehannya tidak diatur oleh hukum, maka benda semacam itu bukanlah
termasuk objek hukum.81
Biasanya objek hukum adalah benda (zaak). Pengertian benda
menurut pasal 499 BW adalah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat
dimiliki oleh subjek hukum. Semua yang melekat dan segala sesuatu yang
dihasilkan dari benda, baik karena alam maupun karena manusia, merupakan
bagian dari benda tersebut.
Menurut BW, benda dapat dibedakan menjadi:
1. Benda yang berwujud dan tidak berwujud

81
Chainur Arrasjid, Op.Cit., hlm.132.
a. Benda yang berwujud: adalah benda yang dapat ditangkap/diraba oleh
pancaindera (benda material). Contoh: mobil, rumah, motor, buku,
dan lain sebagainya.
b. Benda yang tidak berwujud: adalah benda yang tidak dapat
ditangkap/diraba oleh pancaindera (benda imaterial). Contoh: hak
cipta, hak paten, hak merek, dan lain sebagainya.
2. Benda yang bergerak dan yang tidak bergerak
a. Benda yang bergerak: adalah segala yang dapat berpindah atau
dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain, termasuk hak-hak atas
benda yang bergerak. Contoh: mobil, motor, meja, buku, piutang atas
penjualan mobil.
Benda yang bergerak dibagi lagi menjadi:
i. Benda yang dapat dihabiskan; benda yang apabila
dipakai/digunakan menjadi habis. Contoh: parfum, roti, minuman.
ii. Benda yang tidak dapat dihabiskan; benda yang meskipun
dipakai/digunakan namun tidak habis wujudnya. Contoh: sepatu,
buku, lemari.
b. Benda yang tidak bergerak: adalah segala benda yang sifatnya tetap
dan tidak dapat dipindahkan, termasuk hak-hak atas benda yang tidak
bergerak. Contoh: tanah, rumah, pohon, hak milik atas tanah, hak
guna usaha atas tanah, hak guna bangunan atas tanah.

C. Hak dan Kewajiban

1. Hak

Istilah hak dalam bahasa latin disebut dengan “Ius” dan dalam
bahasa Inggris disebut dengan “right”. Berkenaan dengan hak, Van
Apeldoorn mencoba memberikan pengertian tentang hak dalam bukunya
“Inleiding tot de Studie van het Nederlandse Recht.” Menurutnya, hak
adalah hukum yang dihubungkan dengan seorang manusia atau subjek
hukum tertentu dan dengan demikian menjelma menjadi suatu
kekuasaan.”
Dari uraian diatas dapat dikemukakan bahwa hak adalah
kewenangan/kekuasaan yang diberikan oleh hukum kepada subjek hukum
dalam rangka mempertahankan dan melaksanakan kepentingan serta
kehendaknya. Achmad Ali menyebutkan bahwa hak terdiri dari tiga
unsur, yaitu:
1) Unsur perlindungan
2) Unsur pengakuan
3) Unsur kehendak82
Selain Achmad Ali, Paton pun mencoba mengemukakan
pandangannya mengenai unsur-unsur yang ada dalam suatu hak. Ia
menyatakan bahwa hak tidak hanya mengandung unsur perlindungan dan
kepentingan, melainkan juga kehendak.83 Contoh, A memiliki Mobil.
Mobil milik A tidak hanya dilindungi karena mobil tersebut adalah
kepunyaan (hak) A, tetapi hukum juga memberikan wewenang/kuasa
kepada A untuk melaksanakan kehendaknya atas mobil miliknya tersebut,
ia bisa menjual atau mewariskan atau menghibahkan mobil itu sesuai
kehendaknya. Dengan demikian tepatlah kiranya menyatakan bahwa
kehendak merupakan salah satu unsur dari hak.
Jadi dapat disimpulkan bahwa suatu hak mengandung unsur-unsur:
1) Pengakuan
2) Perlindungan
3) Kepentingan, dan;
4) Kehendak
Mula-mula suatu hak/kewenangan yang ada pada seseorang itu
diakui oleh hukum bahwa memang sudah sepatutnyalah hak itu melekat
pada subjek hukum tertentu. Kemudian setelah diakui, hak yang melekat
pada subjek hukum itu diberi perlindungan oleh hukum agar tidak

82
Achmad Ali, Op.Cit., hlm.181.
83
Paton dalam Satjipto Rahardjo, Op.Cit., hlm.54.
diperkosa/dilanggar oleh orang lain. Selanjutnya sudah menjadi
kenyataan bahwa didalam hak itu terdapat kepentingan, oleh karenanya
perlindungan yang diberikan oleh hukum itu pada dasarnya adalah untuk
melindungi kepentingan pemegang hak.
Namun pengakuan, perlindungan, dan kepentingan saja belum
cukup untuk merumuskan dan mengkonstruksikan adanya sebuah hak,
masih dibutuhkan unsur yang lain, yaitu kehendak. Setiap hak pastilah
mengandung kehendak, kehendak mana diperkenankan oleh hukum
kepada pemegang hak untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu atas
haknya tersebut.
Contoh: A memiliki piutang pada B yang sudah dapat ditagih
karena telah jatuh tempo pembayarannya, namun A tidak memiliki
kehendak untuk menagihnya dan membiarkan haknya itu. Dari contoh
tersebut dapat dikemukakan adanya unsur kehendak dalam suatu hak.
Suatu hak dapat saja tidak menuntut untuk dipenuhi manakala si
pemegang hak menghendakinya.
Fitzgerald memberikan ciri-ciri yang melekat pada hak menurut
hukum. Ciri-ciri tersebut adalah:
1) Hak itu dilekatkan kepada seseorang yang disebut sebagai pemilik
atau subjek dari hak itu. Ia juga disebut sebagai orang yang
mempunyai titel atas barang yang menjadi objek daripada hak.
2) Hak itu tertuju pada orang lain, yaitu yang menjadi pemegang
kewajiban. Antara hak dan kewajiban terdapat hubungan korelatif.
3) Hak yang ada pada seseorang ini mewajibkan pihak lain untuk
melakukan sesuatu (commission) atau tidak melakukan sesuatu
perbuatan (ommission).
4) Commission dan ommission ini menyangkut sesuatu yang bisa
disebut sebagai objek dari hak.
5) Setiap hak menurut hukum itu mempunyai titel, yaitu suatu peristiwa
tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada pemiliknya.84

Selanjutnya, hak dapat dibagi kedalam dua macam, yaitu:

1) Hak Mutlak (Absolute Rechten)

Hak mutlak/hak absolut adalah hak yang dapat dipertahankan


kepada siapapun dan sebaliknya, setiap orang harus menghormati dan
tidak boleh melanggar hak mutlak tersebut. Hak mutlak ini kemudian
dapat dibagi lagi menjadi 3 macam, yakni:
a. Hak asasi manusia: adalah seperangkat hak kodrati yang melekat
pada setiap manusia yang diberikan oleh Tuhan dan harus
dihormati serta dilindungi karena merupakan anugerah dari
Tuhan. Contoh: hak untuk hidup, hak untuk memluk agama, hak
untuk tidak diperbudak.
b. Hak publik mutlak: adalah hak mutlak dan memaksa yang dimiliki
oleh otoritas publik yang tertinggi dalam suatu wilayah. Contoh:
hak negara untuk memungut pajak (dasarnya adalah pasal 23 A
UUD 1945), hak negara untuk menjatuhkan hukuman/pidana bagi
penjahat.
c. Hak keperdataan: adalah hak yang timbul dalam lapangan
keperdataan/privat. Contoh: hak/kekuasaan orang tua terhadap
anaknya (ouderlijk macht), hak perwalian, hak pengampuan.

2) Hak Relatif (Relative Rechten)

Hak relatif adalah hak yang diberikan oleh hukum objektif


kepada subjek hukum tertentu untuk menuntut subjek hukum lainnya
agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Hak ini hanya dapat
dipertahankan/dituntut pemenuhannya pada pihak tertentu saja.

84
Fitzgerald dalam Satjipto Rahardjo, Ibid., hlm.55.
Contoh: A dan B melakukan perjanjian sewa menyewa rumah.
A sebagai pemilik rumah dan B sebagai penyewa. Dalam perjanjian
disepakati bahwa B harus membayar uang sewa kepada A setiap
bulannya. Dengan demikian, A mempunyai hak menuntut
pembayaran sewa atas rumahnya yang disewakan kepada B.
Jadi jelaslah bahwa hak relatif ini berlakunya hanya untuk
orang-orang tertentu dan umumnya berlaku dalam lapangan perikatan.
Setelah menyimak pembahasan mengenai hak, kemudian timbul
pertanyaan: kapan suatu hak itu lahir dan hapus ? Pertanyaan tersebut
akan dijawab dibawah ini.
Hak dapat lahir atau timbul karena sebab-sebab sebagai
berikut:
1) Karena adanya subjek hukum baru, baik manusia (natuurlijk
persoon) maupun badan hukum (rechtspersoon).
2) Karena adanya ketentuan perundang-undangan yang secara tegas
memberikan suatu hak kepada subjek hukum. Contoh, Undang-
Undang Kekuasaan Kehakiman memberikan suatu hak ingkar
bagi seorang yang diadili dimuka pengadilan.85
3) Karena adanya perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak
dalam perjanjian tersebut.
4) Karena adanya kerugian yang diderita oleh seseorang sebagai
sebagai akibat kesalahan orang lain.
5) Karena telah dipenuhinya kewajiban yang menjadi syarat untuk
memperoleh hak.
6) Karena kadaluarsa yang menimbulkan/mendatangkan hak bagi
seseorang (acqusitief verjaring).

85
Vide pasal 17 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Yang dimaksud dengan hak ingkar adalah hak seseorang yang diadili untuk mengajukan
keberatan yang disertai dengan alasan terhadap seorang hakim yang mengadili perkaranya.
Misalnya karena hakim tersebut memiliki hubungan darah dengan jaksa atau dengan pensehat
hukum atau dengan pihak-pihak lain dalam persidangan yang dapat menimbulkan kekhawatiran
bahwa hakim tidak objektif dan imparsial.
Hak dapat hapus/lenyap karena sebab-sebab sebagai berikut:
1) Karena pemegang hak meninggal dunia dan tidak ada pengganti
atau ahli waris yang meneruskan hak tersebut.
2) Karena adanya ketentuan perundang-undangan yang menyatakan
bahwa suatu perbuatan/keadaan dapat menghapuskan hak.
Contoh: hak untuk memilih dalam Pemilu (hak pilih)
hapus/lenyap manakala seseorang menjadi anggota TNI karena
undang-undang tidak memberikan hak pilih kepada anggota
militer (TNI).
3) Masa berlakunya hak telah habis dan tidak dapat diperpanjang.
Contoh, hak seorang penyewa rumah atas rumah yang disewanya
habis manakala batas waktu sewa rumah tersebut telah habis dan
tidak diperpanjang.
4) Telah diterimanya suatu benda yang menjadi hak seseorang atau
telah dipenuhinya hak seseorang.
5) Kewajiban yang merupakan syarat untuk mendapatkan hak sudah
dipenuhi.
6) Karena kadaluarsa yang menghapuskan hak (exctintief verjaring).

2. Kewajiban

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa subjek


hukum adalah pendukung hak dan kewajiban. Subjek hukum tersebut
kemudian melakukan hubungan hukum satu sama lain. Dalam hubungan
hukum, khsusunya dalam lapangan perikatan, pasti selalu terdapat dua
segi/sisi didalamnya. Satu sisi ada hak dan kewajiban yang melekat pada
satu pihak dan di sisi lain ada hak dan kewajiban yang melakat pada
pihak yang lain. Singkatnya dalam hubungan hukum terdapat hak dan
kewajiban.
Pengertian hak sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Lalu
sekarang timbul pertanyaan: apa itu kewajiban ? Kewajiban adalah
beban yang diberikan oleh hukum kepada subjek hukum. Contoh,
kewajiban membayar pajak bagi wajib pajak, kewajiban bagi saksi untuk
datang dipersidangan guna memberikan kesaksiannya.
Suatu kewajiban dapat lahir/timbul karena sebab-sebab sebagai
berikut:
1) Karena diterimanya suatu hak dengan syarat harus memenuhi
kewajiban tertentu.
2) Karena ketentuan perundang-undangan tertentu yang secara tegas
meletakan kewajiban kepada subjek hukum. Contoh, kewajiban bela
negara bagi setiap warganegara yang ditegaskan melalui pasal 27 ayat
(3) jo pasal 30 ayat (1) UUD 1945.
3) Karena adanya perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak.
4) Karena adanya kesalahan seseorang yang menimbulkan kerugian
pada orang lain, sehingga orang yang karena salahnya menyebabkan
kerugian pada orang lain itu, wajib mengganti kerugian tersebut.
5) Karena telah menerima suatu hak tertentu yang harus diimbangi
dengan kewajiban terentu pula.
6) Karena kadaluarsa/lewat waktu yang menimbulkan kewajiban baru.
Contoh, kewajiban membayar denda atas keterlambatan pembayaran
pajak kendaraan bermotor.

Suatu kewajiban juga dapat hapus atau lenyap karena sebab-sebab


sebagai berikut:
1) Karena meninggalnya orang yang memiliki kewajiban dan tidak ada
pengganti atau ahli waris yang melanjutkan pelaksanaan/pemenuhan
kewajiban tersebut.
2) Karena masa berlakunya kewajiban telah habis dan tidak
diperpanjang lagi. Contoh. Kewajiban untuk mengadili suatu perkara
bagi seorang hakim hapus/lenyap manakala hakim tersebut telah
pensiun atau tidak lagi menjadi hakim.
3) Kewajiban yang dibebankan pada seseorang telah dipenuhi.
4) Karena kewajiban yang ada pada seseorang telah
dialihkan/dipindahkan kepada orang lain.
5) Karena adanya wanprestasi atau pelanggaran atas ketentuan dalam
suatu perjanjian sehingga pihak lain yang dirugikan akibat tindakan
tersebut dibebaskan dari tuntutan kewajiban yang harus dipenuhinya.
6) Kadaluarsa yang menyebabkan hapusnya kewajiban seseorang.
Contoh, hapusnya kewajiban seorang debitur (yang berhutang) untuk
membayar hutang setelah lewatnya waktu 30 tahun setelah ia
meminjam uang, sedang si kreditur (yang menghutangkan), selama
waktu tersebut tidak menghiraukan atau menagih piutangnya. Jadi
hak kreditur untuk mendapat pembayaran atas piutangnya menjadi
hapus dan kewajiban debitur untuk membayar hutangnya juga hapus
karena kadaluwarsa.

D. Hukum Objektif dan Hukum Subjektif

1. Hukum Objektif

Hukum objektif adalah peraturan yang mengatur hubungan antar


anggota masyarakat, masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain,
dan masyarakat dengan negara. Hubungan yang terjadi dalam pergaulan
hidup masyarakat seperti diatas kemudian diatur oleh hukum agar tidak
terjadi kekacauan. Hubungan yang diatur oleh hukum itulah yang
kemudian disebut sebagai hubungan hukum. Disebut hukum objektif
karena peraturan hukum tersebut merupakan peraturan yang berlaku
umum, tidak terbatas pada subjek hukum tertentu.

2. Hukum Subjektif

Pada asasnya, pengertian hukum subjektif dan hak adalah sama.


Kedua-duanya merupakan suatu wewenang yang diberikan oleh hukum
objektif kepada subjek hukum tertentu. Permisahan istilah hukum
subjektif dan hak sebenarnya dipengaruhi oleh suatu keadaan yang terjadi
di negeri Belanda.
Di Belanda, hukum dan hak disebut dalam satu kata/istilah, yaitu
“Recht”.86 Dalam praktek, penyebutan istilah “recht” yang mengandung
dua makna itu menimbulkan kerancuan atau ambiguitas. Ketika orang
menyebut istilah “recht” maka muncul dua makna yang berbeda, hukum
atau hak. Oleh sebab itu munculah suatu usaha untuk membedakan
penyebutan antara hukum dan hak. Kata “recht” kemudian hanya
dimaknai hukum, bahkan disebut pula dengan istilah “objectief recht”
(hukum objektif). Sedangkan untuk menyebut hak, dipergunakan istilah
lain, yaitu “subjectief recht” (hukum subjektif).
Untuk mempertegas pengertian hukum subjektif maka hukum
subjektif harus dirumuskan dalam sebuah definisi. Hukum subjektif
adalah hak/kewenangan yang timbul karena adanya hubungan hukum
yang diatur oleh hukum objektif. Dengan perkataan lain, hukum subjektif
adalah hak yang diperoleh subjek hukum berdasarkan hukum objektif.
Disebut hukum subjektif karena hanya memberikan hak pada subjek
hukum tertentu dalam hubungannya dengan subjek hukum lain.
Antara hukum objektif dan hukum subjektif terdapat hubungan
yang erat. Keduanya dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan.
Hukum objektif adalah peraturan yang mengatur hubungan diantara
subjek hukum, sedangkan hukum subjektif adalah sesuatu hak yang
timbul dari adanya hubungan yang diatur oleh hukum objektif.
Contoh: A dan B mengadakan perjanjian sewa menyewa rumah. A
Sebagai pemilik rumah dan B sebagai penyewa. Kemudian tercapailah
kesepakatan diantara keduanya. Dengan begitu, berlakulah perjanjian
sewa menyewa rumah tersebut. Perjanjian tersebut kemudian
menimbulkan hak bagi A untuk menerima uang sewa dari B, sedangkan
B berkewajiban untuk membayar uang sewa kepada A. Sebaliknya, A
berkewajiban untuk memberikan rumahnya guna digunakan/ditempati

86
C.S.T. Kansil, Op.Cit.,hlm.120.
oleh B selama waktu tertentu sesuai perjanjian, sedangkan B mempunyai
hak untuk menempati rumah milik A selama waktu tertentu sesuai
perjanjian.
Dari contoh diatas dapat disimpulkan bahwa hukum yang mengatur
perjanjian sewa menyewa rumah antara A dan B adalah hukum objektif.
Sedangkan hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian tersebut adalah
hukum subjektif.
BAB VIII
PERISTIWA HUKUM DAN HUBUNGAN HUKUM

A. Peristiwa Hukum

Manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon). Oleh karena itu


manusia selalu membutuhkan manusia yang lain dalam kehidupannya. Dalam
hal yang demikian maka terciptalah suatu himpunan manusia yang disebut
masyarakat.
Dalam kehidupan bermayarakat, setiap anggota masyarakat bergaul
dan berhubungan satu sama lain. Singkatnya, masyarakat selalu mengadakan
hubungan diantara sesamanya. Hubungan itu kemudian menjadi sebuah
sistem pergaulan yang menghasilkan berbagai peristiwa. Peristiwa-peristiwa
yang timbul dari pergaulan masyarakat tersebut diantaranya adalah peristiwa
hukum, yaitu peristiwa yang oleh hukum diberi akibat-akibat.
Tidak semua peristiwa yang terjadi dalam masyarakat adalah
peristiwa hukum. Peristiwa hukum hanyalah peristiwa yang oleh hukum
diberikan akibat-akibat tertentu. Jadi peristiwa yang akibatnya tidak diatur
oleh hukum bukanlah peristiwa hukum.
Contoh, A mengambil mangga dari pohon miliknya. Contoh tersebut
mendeskripsikan akan adanya suatu peristiwa, namun bukan peristiwa
hukum, karena A mengambil suatu hasil dari kepunyaannya (mangga dari
pohon miliknya). Lain halnya apabila A mengambil tanpa izin sebuah
mangga dari pohon milik orang lain. Peristiwa yang demikian merupakan
peristiwa hukum karena akibat pengambilan tanpa izin itu diatur oleh hukum
dimana A bisa didituntut karena melakukan pencurian mangga milik orang
lain.
Mengenai definisi atau pengertian peristiwa hukum, ada beberapa ahli
yang memberikan definisi mengenai peristiwa hukum, diantaranya:
1. Van Apeldoorn

173
174

Peristiwa hukum adalah peristiwa yang berdasarkan hukum


menimbulkan/menghapuskan hak.

2. Bellefroid
Peristiwa hukum adalah peristiwa sosial yang tidak secara otomatis dapat
menimbulkan hukum, suatu peristiwa dapat menjadi peristiwa hukum
apabila peristiwa itu oleh peraturan hukum dijadikan peristiwa hukum.

3. R.Soeroso
Peristiwa hukum adalah suatu kejadian biasa dalam kehidupan sehari-hari
yang akibatnya diatur oleh hukum.

4. C.S.T Kansil
Peristiwa hukum adalah peristiwa-peristiwa kemasyarakatan yang oleh
hukum diberikan akibat-akibat.

5. Chainur Arrasjid
Peristiwa hukum adalah suatu kejadian dalam masyarakat yang dapat
menimbulkan akibat hukum atau yang dapat menggerakan peraturan
tertentu sehingga peraturan yang tercantum di dalamnya dapat berlaku
konkret.

Dari beberapa pengertian peristiwa hukum yang diberikan oleh para


ahli diatas, maka dapatlah diperoleh suatu kesimpulan bahwa peristiwa
hukum adalah setiap peristiwa yang timbul dalam pergaulan masyarakat yang
akibatnya diatur oleh hukum. Dalam hukum, peristiwa hukum ini kemudian
dibagi/digolongkan menjadi dua macam, yaitu peristiwa hukum karena
perbuatan subjek hukum dan peristiwa hukum yang bukan perbuatan subjek
hukum. Mengenai macam-macam peristiwa hukum diatas akan dijelaskan
dibawah ini:
1. Peristiwa Hukum Karena Perbuatan Subjek Hukum

Peristiwa hukum karena perbuatan subjek hukum adalah setiap


peristiwa hukum yang lahir karena adanya perbuatan/tindakan dari subjek
hukum. Peristiwa hukum karena perbuatan subjek hukum ini dapat dibagi
lagi menjadi dua, yaitu:

1) Perbuatan hukum
Adalah setiap perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum dan
akibat itu dikehendaki oleh yang melakukannya. Perbuatan hukum ini
dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni:

a. Perbuatan hukum bersegi satu (eenzigdig)


Ialah setiap perbuatan yang akibat hukumnya ditimbulkan oleh
kehendak satu subjek hukum/satu pihak saja. Contoh: pembuatan
surat wasiat (diatur dalam pasal 875 BW) dan hibah (diatur
dalam pasal 1666 BW).87

b. Perbuatan hukum bersegi dua (tweezigdig)


Ialah setiap perbuatan hukum yang akibatnya ditimbulkan oleh
kehendak dua atau lebih subjek hukum/pihak-pihak dalam suatu
perikatan. Contoh: perjanjian jual beli, perjanian sewa menyewa,
dan bentuk-bentuk perjanjian lainnya.

Perbuatan hukum bersegi dua adalah setiap perikatan


(perjanjian), karena dalam suatu perikatan (perjanjian) memang
selalu terdapat dua pihak atau lebih yang saling mengikatkan diri
satu dengan yang lainnya. Menurut pasal 1313 BW, perjanjian

87
Pasal 875 BW berbunyi “Ada pun yang dinakaman surat wasiat atau testamen ialah suatu
akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah
ia meninggal dunia, dan yang olehnya dapat dicabut kembali.” Pasal 1666 BW yang berisi tentang
pengertian hibah berbunyi “Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu
hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu
benda guna keperluan si peneriman hibah yang menerima penyerahan itu.”
adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Jadi dengan terdapatnya dua pihak atau lebih dalam suatu
perjanjian maka peristiwa hukum yang timbul dari perjanjian
tersebut merupakan kehendak/kesepakatan bersama, bukan
kehendak/kesepakatan sepihak.

2) Bukan perbuatan hukum


Adalah setiap perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum
namun akibat tersebut tidak dikehendaki oleh yang melakukannya.
Peristiwa hukum yang bukan perbuatan hukum ini dapat dibagi
menjadi dua macam, yaitu:
a. Zaakwaarneming

Zaakwaarneming merupakan suatu perbuatan yang tidak


dilarang oleh hukum atau dengan kata lain, perbuatan yang
diperbolehkan oleh hukum. Kendati pun perbuatan itu tidak
dilarang oleh hukum, namun akibat yang ditimbulkan dari
perbuatan itu tidak selalu dikehendaki oleh pelakunya.
Zaakwaarneming adalah perbuatan
memperhatikan/mengurus kepentingan orang lain tanpa diminta
atau disuruh oleh orang yang kepentingannya diperhatikan itu.
Perbuatan ini diatur dalam pasal 1354 BW yang berbunyi
“Jika seorang dengan sukarela, dengan tidak mendapat perintah
untuk itu, mewakili urusan orang lain dengan atau tanpa
pengatahuan orang ini, maka ia secara diam-diam mengikatkan
dirinya untuk meneruskan serta menyelesaikan urusan tersebut,
hingga orang yang diwakili kepentingannya itu dapat
mengerjakan sendiri urusan itu.”
Contoh : A sedang sakit sehingga ia tidak dapat
memperhatikan/mengurus kepentingannya sendiri. Lalu datang B
yang tanpa permintaan/perintah dari A, memperhatikan
kepentingan A. Dengan perbuaannya tersebut maka B wajib
meneruskan perhatiannya terhadap kepentingan A sampai A
sembuh dan dapat mengurus kepentingannya sendiri.

b. Onrechtmatigedaad

Onrechtmatigedaad merupakan perbuatan yang


bertentangan dengan hukum atau dengan kata lain; perbuatan
melawan hukum. Perbuatan melawan hukum ini termasuk
peristiwa hukum karena akibatnya diatur oleh hukum, walaupun
akibat hukumnya tidak dikehendaki oleh pelakunya.
Mengenai perbuatan melawan hukum, undang-undang telah
mengaturnya, yaitu termuat dalam pasal 1365 BW. Pasal tersebut
berbunyi “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa
kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Contoh: A sedang mengendarai mobil, lalu menabrak B
yang juga sedang mengendarai mobil di sebuah perempatan jalan
yang dilengkapi dengan lampu merah. Tabrakan itu terjadi karena
A tidak mematuhi rambu-rambu lalu lintas, padahal seharusnya A
menghentikan laju mobilnya ketika lampu yang menyala pada
lampu merah adalah lampu yang berwarna merah.
Dari contoh diatas dapat disimpulkan bahwa A telah
melanggar peraturan lalu lintas dan akibat perbuatannya tersebut
B menderita kerugian karena mobilnya rusak. Oleh karena
perbuatannya tersebut, maka berdasarkan pasal 1365 BW, A wajib
mengganti kerugian yang diderita B.
Pada mulanya ketika aliran legisme memiliki pengaruh yang
kuat, kata “melanggar” pada pasal 1365 BW hanya diartikan
sebagai melanggar hukum (undang-undang). Pengertian yang
demikian itu terlalu sempit. Namun hal itu dapat diterima
mengingat aliran legisme menganggap bahwa tidak ada hukum
diluar undang-undang. Jadi pada waktu itu kata “melanggar” pada
pasal 1365 BW dibatasi hanya pada perbuatan melanggar undang-
undang.
Pada Tanggal 31 Januari 1919, Hoge Raad dalam
putusannya terhadap kasus Lindenbaum vs Cohen memperluas
pengertian kata “melanggar” pada pasal 1365 BW. Hoge Raad
memperluas pengertian “melanggar”, yaitu tidak hanya berupa
pelanggaran terhadap undang-undang, melainkan juga meliputi
setiap perbuatan atau kelalaian untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu yang:
(1) Melanggar hak orang lain.
(2) Bertentangan dengan kewajiban hukum dari yang melakukan
perbuatan itu.
(3) Bertentangan dengan kesusilaan dan asas-asas pergaulan
kemasyarakatan mengenai kehormatan/barang orang lain.
Putusan Hoge Raad Tanggal 31 Januari 1919 yang
memperluas rumusan pasal 1365 BW tersebut kemudian menjadi
standaard arresten (putusan pengadilan tertinggi yang menjadi
dasar bagi pengadilan dalam mengambil putusan; yurisprudensi
MA) bagi pengadilan-pengadilan di negeri Belanda. Bahkan suatu
kenyataan pula bahwa putusan Hoge Raad tersebut telah diterima
menjadi yurisprudensi di Indonesia.

2. Peristiwa Hukum Yang Bukan Perbuatan Subjek Hukum

Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa


peristiwa hukum terbagi menjadi dua macam, yaitu peristiwa hukum
karena perbuatan subjek hukum dan peristiwa hukum yang bukan
perbuatan subjek hukum. Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai
peristiwa hukum yang bukan perbuatan subjek hukum.
Beberapa contoh dari peristiwa hukum yang bukan perbuatan
subjek hukum antara lain adalah kelahiran, kematian, dan kadaluwarsa.
Untuk pembahasan selanjutnya, simaklah penjelasan berikut ini:

1) Kelahiran
Kelahiran menimbulkan sejumlah akibat-akibat yang diatur
oleh hukum, oleh karenanya kelahiran adalah contoh dari peristiwa
hukum yang bukan perbuatan subjek hukum. Dikatakan peristiwa
hukum yang bukan perbuatan subjek hukum karena kelahiran bukan
merupakan perbuatan hukum dari subjek hukum, melainkan suatu
yang berada diluar kekuasaan manusia. Namun demikian akibat-
akibat yang timbul dari kelahiran tetap diatur oleh hukum.
Akibat-akibat hukum yang timbul dari kelahiran diantaranya
adalah hak bagi anak yang dilahirkan untuk mendapat pemeliharaan
dan perawatan dari orang tuanya. Sebaliknya, orang tua wajib
memelihara dan mendidik anaknya sekalipun mereka kehilangan
kekuasaan orang tua (ouderlijk macht).88

2) Kematian
Kematian seseorang merupakan peristiwa hukum karena
menimbulkan akibat-akibat hukum tertentu, diantaranya adalah
mengenai warisan. Hak dan kewajiban orang yang telah meninggal
beralih kepada ahli warisnya. Haknya ialah segala harta kekayaan
termasuk juga piutangnya. Sedangkan kewajibannya antara lain
adalah hutang-hutang yang telah diperbuatanya. Hak dan kewajiban
yang tersebut diatas itulah yang kemudian beralih kepada ahli
warisnya.
Mengenai pewarisan sebagai akibat hukum yang timbul dari
kematian seseroang, pengaturan pokoknya terdapat dalam pasal 830
dan 833 BW. Pasal 830 BW berbunyi “Pewarisan hanya berlangsung

88
Vide pasal 298 ayat (2) BW (KUH Perdata).
karena kematian.” Selanjutnya pasal 833 BW menetapkan bahwa
“Sekalian ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh
hak milik atas segala barang, segala hak, dan segala piutang si yang
meninggal.”
Jadi dari pembahasan diatas jelaslah bahwa kematian
menimbulkan akibat-akibat hukum.

3) Kadaluwarsa
Kadaluwarsa atau lewat waktu dalam bahasa Belanda disebut
dengan istilah “verjaring.” Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(BW) mengatur tentang kadaluwarsa dalam buku ke IV tentang
pembuktian dan daluwarsa (van bewijs and verjaring).
Disamping KUH Perdata, KUHP pun mengatur mengenai
ketentuan tentang kadaluwarsa, yaitu terdapat dalam Buku ke I bab
VIII (Pasal 76-85 KUHP). Pengertian kadaluwarsa/daluwarsa dapat
dilihat dari rumusan pasal 1946 BW. Menurut pasal 1946 BW,
daluwarsa adalah suatu alat untuk memeroleh sesuatu atau untuk
dibebaskan dari sesuatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu
tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.
Pasal 1946-1962 BW mengatur tentang daluwarsa pada
umumnya (ketentuan-ketentuan pokok tentang daluwarsa). Pasal
1963-1966 BW mengatur tentang daluwarsa sebagai alat untuk
memperoleh sesuatu. Kemudian pasal 1967-1977 BW mengatur
perihal daluwarsa sebagai suatu alasan untuk dibebaskan dari suatu
kewajiban.
Melihat uraian diatas maka kadaluwarsa dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu:
a. Kadaluwarsa akuisitif: adalah kadaluwarsa yang menyebabkan
seseorang memperoleh sesuatu.
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai kadaluwarsa
akuisitif, berikut ketentuannya dalam pasal 1963 BW:
Ayat (1): “Siapa yang dengan itikad baik dan berdasarkan suatu
alas hak yang sah, memperoleh suatu benda tak
bergerak, suatu bunga, atau suatu piutang lain yang
tidak harus dibayar atas tunjuk, memperoleh hak milik
atasnya, dengan jalan daluwarsa, dengan suatu
penguasaan selama dua puluh tahun.”
Ayat (2): “Siapa yang dengan itikad baik menguasainya selama
tiga puluh tahun, memperoleh hak milik, dengan tidak
dapat dipaksa untuk mempertunjukan alas haknya.”
Berdasarkan pasal 1963 BW tersebut, seorang yang
beritikad baik dapat memperoleh suatu benda yang telah
dikuasainya selama 20 Tahun. Bahkan setelah lewatnya waktu 30
Tahun sejak penguasaannya atas benda tersebut, orang itu
memperoleh hak milik atas benda yang dikuasainya itu tanpa
harus menunjukan alas haknya (bukti kepemilikannya).
Contoh: A menguasai sebidang tanah dan telah
menggarapnya selama 20 Tahun, maka A memperoleh hak atas
tanah tersebut. Apabila penguasaan itu terus berlangsung sampai
30 Tahun lamanya maka A memperoleh hak milik atas sebidang
tanah tersebut.

b. Kadaluwarsa ekstintif: adalah kadaluwarsa yang menyebabkan


hapus/lenyapnya kewajiban seseorang.
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai kadaluwarsa
ekstintif ini, berikut ketentuannya dalam pasal 1967 BW: “Segala
tuntutan hukum, baik yang bersifat perbendaan maupun yang
bersifat perseorangan, hapus karena daluwarsa dengan lewatnya
waktu tiga puluh tahun, sedangkan siapa yang menunjukan adanya
daluwarsa itu tidak usah mempertunjukan suatu alas hak, lagi pula
tak dapatlah dimajukan terhadapnya sesuatu tangkisan yang
didadasarkan kepada itikadnya yang buruk.
Contoh: A berhutang kepada B sebesar Rp.10.000.000.
Namun selama 30 Tahun sejak hari peminjaman, B tidak
menghiraukan piutangnya pada A. Maka dengan lewatnya waktu
30 tahun tersebut, A dibebaskan dari kewajibannya untuk
membayar hutang pada B.
Kadaluwarsa sebagai peristiwa hukum yang menimbulkan
akibat-akibat hukum tidak hanya terdapat dan berlaku pada
hukum perdata (privat), melainkan terdapat juga dalam hukum
pidana (publik). Ketentuan mengenai kadaluwarsa dalam hukum
pidana tercantum diantaranya dalam pasal 78 dan pasal 84 KUHP.
Pasal 78 KUHP berbunyi:
Ayat (1): “Kewenangan menuntut pidana hapus karena
daluwarsa:
1) Mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang
dilakukan dengan percetakan sesudah satu tahun;
2) Mengenai kejahatan yang diancam pidana denda,
pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama
tiga tahun sesudah enam tahun;
3) Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana
penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas
tahun;
4) Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah
delapan belas tahun.”
Ayat (2): “Bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan,
umurnya belum delapan belas tahun, masing-masing
tenggang daluwarsa dikurangi menjadi sepertiga.”

Pasal 84 KUHP berbunyi:


Ayat (1): “Kewenangan menjalankan pidana hapus karena
daluwarsa.”
Ayat (2): “Tenggang waktu daluwarsa mengenai semua
pelanggaran lamanya dua tahun, mengenai kejahatan
yang dilakukan dengan sarana percetakan lamanya
lima tahun, dan mengenai kejahatan-kejahatan lainnya
lamanya sama dengan tenggang daluwarsa bagi
penuntutan pidana, ditambah sepertiga.”
Ayat (3): “Bagaimanapun juga, tenggang waktu daluwarsa tidak
boleh kurang dari lamanya pidana yang dijatuhkan.”
Ayat (4): “Wewenang menjalankan pidana mati tidak
daluwarsa.”

B. Hubungan Hukum

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian terdahulu bahwa


manusia sebagai makhluk sosial senantiasa mengadakan hubungan diantara
sesamanya. Hubungan-hubungan yang dilakukan dalam pergaulan hidup
masyarakat itu diantaranya adalah hubungan hukum, yaitu Hubungan yang
mengandung hak dan kewajiban. Dari hubungan hukum itulah peristiwa
hukum terjadi.
Hubungan hukum adalah hubungan antara dua subjek hukum atau
lebih, dimana hak dan kewajiban pada satu pihak berhadapan dengan hak dan
kewajiban pada pihak yang lain.
Contoh, perjanjian sewa menyewa yang diatur dalam pasal 1548 BW.
Pasal 1548 BW berbunyi “Sewa menyewa ialah suatu perjanjian dengan
mana pihak yang satu mengikatkan dirinya unuk memberikan kepada pihak
yang lainnya kenikmatan dari sesuatu barang, selama waktu tertentu dan
dengan pembayaran sesuatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu
disanggupi pembayarannya. Misal: A melakukan perjanjian sewa menyewa
rumah dengan B. A sebagai pemilik dan B sebagai penyewa. Perjanjian
tersebut menimbulkan hubungan hukum antara A dan B. Dengan begitu
timbul hak bagi A untuk mendapat pembayaran dari B dan ia pun mempunyai
kewajiban untuk menyerahkan rumahnya pada B untuk ditempati selama
waktu tertentu. Sebaliknya, B berhak menempati rumah A selama waktu
tertentu dan ia pun mempunyai kewajiban untuk membayar sewa rumah
tersebut kepada A.
Dari uraian diatas dapatlah ditarik sebuah kesimpulan bahwa terdapat
dua segi dalam suatu hubungan hukum, yaitu hak (bevoegdheid) dan
kewajiban (plicht). Berkenaan dengan pembahasan tentang hubungan hukum
ini, Logemann mengemukakan pendapatnya bahwa dalam suatu hubungan
hukum terdapat pihak yang berwenang meminta prestasi (prestatie subject)
dan terdapat pula pihak yang wajib memenuhi prestasi (plicht subject)
Dapat dikatakan bahwa hubungan hukum memiliki tiga unsur, yaitu:
1. Adanya hubungan hukum antara pemilik hak dan pemikul kewajiban.
Contoh: A sebagai pemilik rumah mengadakan hubungan sewa menyewa
dengan B sebagai penyewa.
2. Adanya pihak-pihak yang hak dan kewajibannya saling berhadapan.
Contoh: A menyewakan rumahnya kepada B. Hubungan hukum tersebut
menimbulkan akibat:
A: - berkewajiban menyerahkan rumahnya kepada B
- berhak menerima pembayaran dari B
B: - berkewajiban membayar harga sewa kepada A
- berhak menempati rumah milik A
3. Adanya objek yang menjadi inti/pokok dari suatu hubungan hukum.
Contoh: A menjual mobil kepada B. Objek daripada hubungan hukum
antara A dan B tersebut adalah mobil.

Disamping memiliki unsur-unsur tertentu, hubungan hukum pun


memiliki syarat-syarat tertentu. Syarat mana menentukan ada atau tidaknya
suatu hubungan hukum. Syarat-syarat tersebut adalah:
1. Adanya dasar hukum, yaitu peraturan hukum yang mendasari/mengatur
suatu hubungan hukum.
2. Adanya peristiwa hukum, yaitu terjadinya peristiwa yang akibatnya diatur
oleh hukum.
Contoh: Terjadi perjanjian sewa menyewa rumah antara A dan B.
Perjanjian sewa menyewa rumah tersebut diatur dalam bab ketujuh buku
ketiga BW (pasal 1548-1600 BW).

Jadi dari contoh diatas dapat ditegaskan bahwa bab ketujuh buku
ketiga BW (pasal 1548-1600 BW) merupakan dasar hukum dari hubungan
hukum antara A dan B. Sedangkan perjanjian sewa menyewa yang terjadi
antara A dan B merupakan peristiwa hukumnya.

C. Akibat Hukum

Akibat hukum adalah hasil atau akibat yang timbul dari suatu
peristiwa hukum. Sedangkan sebagaimana yang telah diketahui bahwa
peristiwa hukum terbagi/terjadi karena dua hal, yaitu karena perbuatan subjek
hukum dan karena peristiwa hukum yang bukan perbuatan subjek hukum.
Oleh sebab itulah akibat hukum pun tidak hanya timbul karena perbuatan
subjek hukum, melainkan juga dapat timbul karena peristiwa hukum yang
bukan perbuatan subjek hukum.
Contoh akibat hukum yang timbul karena perbuatan subjek hukum
antara lain:
1. Dipidananya seseorang karena telah melakukan pembunuhan.
2. Hilangnya kekuasaan orang tua (ouderlijk macht) karena orang tua
tersebut lalai menjalankan kewajibannya sebagai orang tua atau bersikap
buruk terhadap anaknya.
Pada contoh diatas, dipidananya seorang pembunuh dan hilangnya
kekuasaan orang tua (ouderlijk macht) merupakan akibat hukum dari
perbuatan yang dilakukan oleh subjek hukum. Contoh akibat hukum yang
timbul karena peristiwa lain yang bukan perbuatan subjek hukum diantaranya
adalah kecakapan hukum bagi seseorang yang telah mencapai usia 21 tahun.
Dalam hal ini, tanpa perbuatan hukum apa pun yang dilakukan oleh subjek
hukum, subjek hukum tersebut memperoleh kecakapan hukum manakala ia
telah mencapai usia 21 tahun.
Jadi berdasarkan penjelasan diatas, penulis menepis anggapan yang
menyatakan bahwa akibat hukum adalah akibat yang timbul dari perbuatan
hukum. Lain daripada itu, lebih tepat kiranya menggunakan sitilah “peristiwa
hukum” daripada “perbuatan hukum”. Peristiwa hukum dapat terjadi, baik
karena perbuatan subjek hukum maupun karena persitiwa hukum lain yang
bukan perbuatan subjek hukum. Buktinya telah dikemukakan diatas bahwa
akibat hukum tidak hanya ditimbulkan/disebabkan karena perbuatan subjk
hukum. Sebaliknya, tanpa perbuatan subjek hukum pun akibat hukum dapat
saja timbul, sebagaimana yang telah dicontohkan diatas.
Akibat hukum merupakan sumber dari lahirnya hak dan kewajiban
bagi para pihak yang bersangkutan.89 Akibat hukum yang timbul karena
perbuatan subjek hukum bermula dari adanya suatu hubungan hukum antara
dua subjek hukum atau lebih. Hubungan hukum tersebut kemudian
diwujudkan/dikonkretisir menjadi sebuah perbuatan hukum (peristiwa hukum
karena perbuatan subjek hukum). Perbuatan hukum yang dilakukan oleh
subjek hukum itulah yang pada akhirnya melahirkan hak dan kewajiban bagi
yang bersangkutan.90
Contoh, A dan B melakukan perjanjian jual beli mobil. A sebagai
pemilik mobil dan B sebagai pembeli. Hubungan hukum itu menjadi
perbuatan hukum manakala perjanjian jual beli mobil disepakati dan berlaku
bagi para pihak. Akibat perjanjian jual beli itu maka lahirlah hak dan
kewajiban diantara A dan B. A berhak mendapat pembayaran dari B dan ia
pun mempunyai kewajiban untuk menyerahkan mobilnya pada B.
Sebaliknya, B berhak mendapatkan mobil dari A dan ia pun mempunyai
kewajiban untuk membayar harga mobil kepada A.
Untuk lebih mudahnya, penjelasan diatas dapat digambarkan dengan
skema sebagai berikut:

89
Pipin Syarifin, Op.Cit., hlm.71.
90
Lihat syarat-syarat hubungan hukum pada Sub Bab C hlm.143. Syarat-syarat hubungan
hukum diantaranya adalah adanya peristiwa hukum.
Skema Akibat Hukum Merupakan Sumber Lahirnya Hak dan Kewajiban

hubungan hukum peristiwa/perbuatan hukum hak dan kewajiban

Dalam hukum, akibat hukum itu dapat berupa :

1. Lahir, berubah, atau lenyapnya suatu keadaan hukum.


Contoh:
a. Seorang yang telah mencapai usia 21 tahun dianggap telah dewasa
dan oleh karenanya juga telah cakap hukum. Keadaan hukum menjadi
berubah karena sebelum mencapai usia 21 tahun seorang subjek
hukum belum memiliki kecakapan hukum.
b. Dicabutnya kekuasaan orang tua (ouderlijk macht) terhadap anaknya
sehingga keadaan hukum berubah. Sebelum pencabutan kekuasaan
orang tua, orang tua tersebut mewakili kepentingan hukum anaknya,
namun setelah pencabutan kekuasaan orang tua, ia tidak dapat lagi
mewakili kepentingan hukum anaknya.

2. Lahir, berubah, atau lenyapnya suatu hubungan hukum.


Contoh: A dan B melakukan perjanjian jual beli motor. A sebagai pemilik
motor dan B sebagai pembeli. Kemudian lahirlah hubungan hukum antara
A dan B. Hubungan itu kemudian dituangkan menjadi perbuatan hukum
dengan disepakati dan berlakunya perjanjian tersebut. Setelah mobil
diterima oleh B dan A telah menerima pembayaran dari B maka
lenyaplah hubungan hukum itu karena hak dan kewajiban yang terdapat
di dalamnya telah ditunaikan/dipenuhi.

3. Lahirnya sanksi apabila dilakukan suatu perbuatan yang melawan hukum.


Contoh: A membunuh B. Membunuh merupakan perbuatan yang
melawan hukum/bertentangan dengan hukum karena dilarang dan
diancam dengan pasal 338 KUHP. Oleh sebab itu timbullah akibat hukum
bagi A, yaitu pemidanaan (dihukum) berdasarkan undang-undang yang
mengaturnya (pasal 338 KUHP).

Proses Penentuan Peristiwa Hukum91

Terjadi suatu peistiwa

Pertanyaan :
Apakah itu suatu peristiwa hukum?

Diukur dengan peraturan hukum.


Ya

Bukan Menggerakkan hukum : menimbulkan kelanjutan

91
Satjipto Raharjo, Op Cit, hlm 38
Skema Peristiwa Hukum

Perbuatan Hukum Bersegi Satu

Perbuatan Hukum
Perbuatan Hukum Bersegi Dua
Perbuatan Subjek Hukum

Perbuatan
Perbuatan tidak dilarang Zaakwaarneming
yang Onrechtmatigedaad
Bukan Perbuatan Hukum dilarang
Onverschuldigde betaling
Peristiwa Hukum

Kadaluarsa ectientief
Perbuatan Oleh Hukum
Kepailitan
Keadaan nyata aquisitief

Kejadian Lain Kematian


Perkembangan fisik manusia
Kelahiran

Dewasa
BAB IX
SISTEM HUKUM DAN PENGGOLONGAN HUKUM

A. Pengertian Sistem Hukum

Secara etimologis kata sistem berasal dari bahasa Yunani, yaitu


“sustem” yang berarti suatu keseluruhan yang terdiri atas komponen-
komponen yang fungsional satu sama lain, atau keseluruhan dari satuan-
satuan yang bergabung, bekerja, dan bergerak secara interpedenpen dan
harmonis. Pengertian diatas ialah pengertian sistem secara etimologis dan
umum. Namun begitu, pengertian diatas ada manfaatnya juga, yaitu untuk
memperoleh gambaran tentang apa itu sistem, sebagai bekal untuk
memahami pembahasan selanjutnya.
Pengertian sistem hukum banyak dikemukakan oleh para pakar
hukum. Berikut ini pengertian sistem hukum menurut para ahli antara lain :

a. Prof. Sudikno Mertokusumo


Sistem hukum merupakan satu kesatuan yang utuh yang terdiri dari
bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan satu sama lain92

b. Prof. Sunaryati Hartono


Sistem hukum adalah sesuatu yang terdiri dari sejumlah unsur atau
komponen yang selalu pengaruh mempengaruhi dan terkait satu sama
lain.93

Penulis sendiri mendefinisikan sistem hukum sebagai satu kesatuan


yang bulat dan utuh yang tersusun secara sistematis dan terdiri dari unsur-
unsur atau bagian-bagian (subsistem) yang saling berinteraksi dan berkaitan

92
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hlm.159.
93
Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Cet ke 1., Alumni,
Bandung, 1991, hlm.56.

190
191

secara interdependen satu sama lain. Dari definisi diatas maka dapatlah
diuraikan unsur-unsur yang terdapat dalam pengertian sistem hukum. Unsur-
unsur tersebut antara lain:
1. Satu kesatuan yang bulat dan utuh
2. Tersusun secara sistematis
3. Satu kesatuan yang bulat dan utuh itu terdiri dari unsur-unsur atau bagian-
bagian (subsistem)
4. Unsur-unsur atau bagian-bagian (subsistem) itu saling berinteraksi dan
berkaitan secara interdependen satu sama lain
Sistem hukum merupakan satu kesatuan yang terdiri dari komponen-
komponen atau unsur-unsur yang saling berinteraksi dan berkaitan secara
interdependen (saling tergantung) satu sam lain. Jadi sistem hukum bukan
hanya sekedar himpunan atau kumpulan hukum yang masing-masing berdiri
sendiri dan terpisah satu dengan yang lainnya, melainkan adalah suatu
kesatuan yang saling berkaitan yang membentuk suatu tatanan hukum.
Dalam konteks sistem hukum, arti penting suatu peraturan hukum
justru terletak pada keterkaitannya dengan peraturan hukum yang lain.
Sebaliknya, peraturan hukum yang berdiri sendiri dan tidak mempunyai
afiliasi dengan peraturan hukum lain, bukanlah merupakan bagian dari suatu
sistem hukum.
Pada hakekatnya sistem hukum diciptakan untuk mecapai suatu
tujuan tertentu, tujuan mana ialah merupakan cita-cita hukum (rechtsidee)
dari suatu masyarakat dimana sistem hukum itu berlaku. Untuk mencapai
tujuan itu maka disusunlah bagian demi bagian sistem hukum secara
sistematis dan korelatif sehingga membentuk suatu pola interaksi yang teratur
dan ajeg.
Pola interaksi yang teratur dan ajeg dari bagian-bagian (subsistem)
sistem hukum itulah yang kemudian menjadi satu kesatuan tatanan hukum
yang bulat dan utuh. Tatanan mana pada akhirnya dapat memberi pedoman
kepada masyarakat untuk bersikap tindak sesuai dengan norma yang
terkandung di dalamnya. Selain itu tatanan tersebut juga memberi jalan
penyelesaian terhadap setiap kontradiksi/konflik yang terjadi diantara bagian-
bagian dalam sistem hukum itu sendiri.
Sistem hukum menghendaki adanya harmonisasi diantara bagian-
bagian atau unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. Sebaliknya, sistem
hukum tidak menghendaki adanya kontradiksi/konflik diantara bagian-bagian
atau unsur-unsurnya. Jika pun terjadi konflik, maka sistem hukum memberi
jalan penyelesaian agar konflik tersebut tidak berlarut-larut.
Sistem hukum terdiri dari unsur-unsur atau bagian-bagian yang saling
berinteraksi dan berkaitan secara interdependen satu sama lain. Unsur-unsur
atau bagian-bagian itu disebut juga sebagai subsistem. Jadi dengan perkataan
lain, sistem hukum merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh yang terdiri
atas sub-subsistem. Dalam hal ini dapatlah dicontohkan bahwa sistem hukum
Indonesia terdiri atas sub-subsistem seperti sistem hukum pidana, sistem
hukum perdata, sistem hukum tata negara, dan lain sebagainya. Sedangkan
sistem hukum pidana yang merupakan subsistem dari sistem hukum nasional
masih juga memiliki subsistem, seperti subsistem pidana umum dan
subsistem pidana khusus.
Setelah pembahasan yang cukup panjang mengenai pengertian sistem
hukum ini, kemudian timbul pertanyaan; terdiri dari apa sajakah sistem
hukum itu atau apa unsur-unsur daripada sistem hukum itu ? Untuk
menjawab pertanyaan diatas maka perlulah kiranya mengemukakan
pandangan Lawrence Friedman. Menurutnya, sistem hukum itu terdiri dari
tiga unsur/komponen, yakni:
1. Legal substance atau substansi hukum, ialah kaidah-kaidah hukum atau
peraturan-peraturan hukum (isi daripada hukum).
2. Legal structure atau struktur hukum, ialah lembaga-lembaga penegak
hukum seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan.
3. Legal culture atau budaya hukum, ialah segala hal yang berkaitan dengan
pandangan atau keyakinan masyarakat dalam memandang dan
menempatkan hukum dalam keseharian/budayanya. Seperti kesadaran
hukum masyarakat, nilai-nilai hukum yang hidup ditengah-tengah
masyarakat, sikap tindak masyarakat dalam melaksanakan aturan hukum,
dan lain sebagainya.
Adalah suatu kenyataan bahwa sistem hukum merupakan sistem yang
abstrak (konseptual) dan terbuka. Dikatakan abstrak (konseptual) karena
sistem hukum merupakan satu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur atau
bagian-bagian yang tidak dapat dilihat atau diraba layaknya benda konkrit.
Sedangkan disebut sebagai sistem yang terbuka karena memang sistem
hukum berhubungan secara timbal balik dan saling mempengaruhi dengan
unsur-unsur diluarnya. Sistem hukum merupakan sistem yang membuka diri
untuk berhubungan dan menerima pengaruh dari unsur-unsur diluarnya.
Berkenaan dengan pembahasan mengenai sifat hukum yang terbuka
ini, tidak akan terlepas dari pandangan Paul Scholten dengan teorinya “open
system van het recht.” Menurutnya, hukum adalah suatu sistem yang terbuka
karena hukum itu tidak pernah lengkap dan sempurna. Oleh karena itu hukum
terbuka untuk ditafsirkan guna menyelaraskannya dengan perkembangan
masyarakat, sebab telah menjadi suatu asas bahwa “het recht hinkt achter de
feiten aan” (hukum selalu tertinggal dari peristiwanya).
Bagaimana hukum dapat di justifikasi/dianggap sebagai suatu sistem?
Pertanyaan tersebut dijawab oleh Fuller dalam teorinya “Principles of
legality.” Dalam teorinya itu, Fuller menjelaskan bahwa hukum sebagai suatu
sistem dapat diukur dengan menggunakan delapan asas berikut ini:
1. Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan (bukan
hanya keputusan ad hoc)
2. Peraturan yang sudah dibuat harus diumumkan
3. Peraturan tidak boleh ada yang berlaku surut
4. Peraturan-peraturan harus dirumuskan dengan susunan kata-kata yang
dapat dimengerti
5. Suatu sistem hukum tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang
bertentangan satu sama lain
6. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung ketentuan yang melibihi apa
yang dapat dilakukan
7. Tidak boleh sering merubah peraturan sehingga menyebabkan orang
kehilangan orientasi
8. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan
pelaksanaannya

B. Macam-Macam Sistem Hukum Dunia

Pengertian dan konsepsi dasar mengenai sistem hukum telah


dijelaskan pada bagian sebelumnya, dan untuk selanjutnya akan dibahas
mengenai macam-macam sistem hukum. Secara umum dapat dikatakan
bahwa sistem hukum yang ada di dunia ini terdiri dari dua sistem hukum
besar, yaitu sistem hukum eropa kontinental dan sistem hukum anglo saxon.
Sesuai dengan pembagian diatas maka masing-masing sistem hukum
tersebut akan diuraikan dibawah ini:

1. Sistem Hukum Eropa Kontinental

Sistem hukum eropa kontinental sering disebut juga dengan istilah


“Civil Law”. Dinamai sistem hukum eropa kontinental karena sistem
hukum ini lahir dan tumbuh pertama kali di daratan eropa. Sistem hukum
ini mulai berkembang setelah diadakannya kodifikasi hukum di Perancis.
Kodifikasi di Perancis itu kemudian menghasilkan beberapa pembukuan
jenis-jenis hukum tertentu yang tertuang dalam bentuk kitab undang-
undang , yaitu code civil, code penal, dan code du commerce. Oleh sebab
itulah ada sementara pendapat yang mengatakan bahwa Perancis adalah
tempat lahirnya sistem hukum eropa kontinental ini.
Berkenaan dengan pendapat diatas perlu juga untuk diketahui
bahwa kitab undang-undang hukum Perancis yang tersebut diatas
merupakan hasil karya yang banyak dipengaruhi atau bersumber pada
hukum romawi dan hukum Jerman. Jadi hasil kodifikasi hukum Perancis
yang berbentuk kitab undang-undang tersebut tidak terlepas dari peranan
hukum eropa lainnya disamping hukum asli Perancis.
Dianutnya Sistem hukum eropa kontinental oleh banyak negara
sehingga menjadi salah satu sistem hukum dunia, tidak terlepas dari
sejarah kelam peradaban manusia, dimana negara-negara eropa ketika itu
melakukan penjajahan atau kolonialisasi terhadap negara-negara lain.
Melalui penjajahanlah sistem hukum ini disebarkan dan diterapkan di
negara-negara lain. Cara yang sering digunakan untuk itu ialah melalui
asas konkordansi (menyamakan hukum di negara jajahan dengan hukum
yang berlaku di negara penjajah).
Negara-negara eropa yang telah menjalankan/menganut sistem
hukum ini kemudian membawa serta sistem hukumnya ke negara-negara
jajahannya. Negara-negara eropa yang tercatat sebagai penjajah dan turut
membawa serta hukumnya untuk diterapkan di negara jajahannya antara
lain: Perancis, Spanyol, Belanda, Portugis. Dengan begitu, sistem hukum
ini menyebar dan dianut oleh negara-negara lain diluar eropa, khususnya
di kawasan Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
Negara-negara bekas jajahan negara eropa daratan seperti yang
tersebut diatas, terbukti hingga kini masih menjalankan/menganut sistem
hukum eropa kontinental yang dibawa oleh negara eropa daratan yang
menjajahnya. Salah satu contoh yang nyata adalah negara Indonesia yang
merupakan bekas jajahan Belanda, hingga kini sistem hukum eropa
kontinental masih dijalankan/diikuti dan masih menjiwai sistem hukum
nasional, kendati pun tidak sepenuhnya (mutlak) diikuti.
Selain karena penjajahan, ada juga faktor lain yang menyebabkan
sistem hukum eropa kontinental ini dijalankan/dianut oleh suatu negara.
Misalnya karena luasnya pengaruh sistem hukum ini, sehingga
mempengaruhi corak kehidupan suatu negara. Dalam hal ini dapat dilihat
sistem hukum yang dianut oleh Negara Jepang dan Thailand. Kedua
negara tersebut tidak pernah dijajah oleh negara eropa daratan, namun
ternyata kedua negara itu menjalankan/menganut sistem hukum eropa
kontinental. Hal itu disebabkan karena memang pengaruh sistem hukum
eropa kontinental begitu kuat dikawasan asia, sehingga walaupun tidak
mengalami penjajahan, dua negara tersebut terkena imbas dari sistem
hukum eropa kontinental yang berkembang disekitarnya.
Ciri atau sendi utama dari sistem hukum eropa kontinental terletak
pada sumber hukum utamanya. Sumber hukum utama pada sistem hukum
ini adalah hukum tertulis yang berbentuk peraturan perundang-undangan.
Hal tersebut ditujukan agar hukum dapat memberikan kepastian hukum
(recht zerkerheid) karena kepastian hukum-lah yang menjadi tujuan
utama dari sistem hukum ini. Dengan bentuknya yang tertulis orang akan
mudah melihat dasar/sumber hukumnya, sehingga orang akan sulit
mengelak dari ancaman hukum apabila ia melakukan perbuatan yang
melanggar hukum. Dengan demikian kepastian hukum dapat terwujud
karena setiap peristiwa hukum mempunyai sumber hukumnya yang
dapat dilihat dan dibaca (tertulis).
Dalam sistem peradilan di negara-negara yang
menjalankan/menganut sistem hukum eropa kontinental, hakim harus
mendasarkan setiap keputusannya pada sumber hukum tertulis (peraturan
perundang-undangan). Sumber hukum yang utama dan primer adalah
peraturan perundang-undangan. Sedangkan sumber hukum yang lain
seperti kebiasaan atau yurisprudensi baru mendapat tempat apabila
undang-undangnya bungkam atau tidak dapat menjawab serta mengatasi
persoalan yang dihadapi hakim.
Hakim tidak diperkenankan menciptakan/membentuk hukum.
Hakim hanya sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang tugasnya
menerapkan hukum pada peristiwanya, bukan sebagai legislatif
(pembentuk undang-undang), sehingga tidak dibenarkan apabila hakim
membentuk hukum. Yang mungkin dilakukan oleh hakim hanyalah
menafsirkan atau mengkonstruksikan peraturan hukum yang sudah ada
saja, bukan menciptakan peraturan hukum yang baru.
Negara hukum pada sistem hukum eropa kontinental disebut
dengan “Rechtstaat”. Penggunaan istilah “Rechtstaat” dipelopori oleh
dua ahli hukum Jerman yang terkemuka; Immanuel Kant dan Friedrich
Julius stahl. Friedrich Julius Stahl mengemukakan bahwa rechstaat
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan negara
2) Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan
3) Adanya jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia
4) Peradilan administrasi dalam perselisihan yang melibatkan aparatur
negara/pemerintahan

2. Sistem Hukum Anglo Saxon

Sistem hukum anglo asxon disebut juga dengan istilah common


law. Sistem hukum anglo saxon tumbuh/berasal dari Inggris, disebarkan
dan kemudian dianut oleh banyak negara di dunia karena
penajahan/kolonialisasi yang dilakukan oleh Inggris.
Berbeda dengan sistem hukum eropa kontinental yang disebarkan
melalui penjajahan oleh negara-negara eropa seperti Perancis, Belanda,
Spanyol, dan Portugis, sistem hukum anglo saxon disebarkan ke berbagai
negara diseluruh penjuru dunia hanya oleh Inggris.
Sistem hukum anglo saxon menjadi salah sistem hukum dunia
disamping sistem hukum eropa kontinental karena daerah jajahan Inggris
yang begitu luas. Inggris mengusai dan menjajah kurang lebih sekitar dua
pertiga dari seluruh luas bumi. Daerah jajahan atau koloninya terbentang
dari Asia, Afrika, hingga Amerika Utara.
Dengan wilayah kekuasaan Inggris yang begitu luas, sistem hukum
anglo saxon menyebar dan menjiwai setiap wilayah jajahannya. Dengan
demikian tergambarlah pengetahuan bagaimana sistem hukum ini
tersebar dan akhirnya dianut oleh banyak negara di dunia ini. Bahkan ada
sebuah adagium yang cukup terkenal yang menggambarkan luasnya
kekuasaan Inggris “British rules the wave” artinya, Inggris
mengontrol/menguasai lautan.
Sejak penyebarannya hingga kini, sistem hukum anglo saxon
masih dijalankan/dianut oleh negara-negara bekas jajahan Inggris.
Negara-negara bekas jajahan Inggris ini kemudian bergabung dalam
sebuah ikatan persemakmuran/dominion yang disebut dengan “The
British Common Wealth of Nations.” Negara-negara tersebut antara lain
Australia, New Zealand, Papua Nugini, Malaysia, Singapura, Brunei
Darussalam, Kanada, dan lain-lain. selain negara-negara tersebut,
Amerika Serikat adalah salah satu negara bekas jajahan Inggris yang kini
menjadi sekutu Inggris yang juga menjalankan/menganut sistem hukum
anglo saxon.
Berlainan dengan sistem hukum eropa kontinental, ciri atau sendi
utama dari sistem hukum anglo saxon justru terletak pada hukum tidak
tertulisnya. Sumber hukum utama dan primernya adalah yurisprudensi,
hukum yang lahir dari proses pengadilan yang berbentuk putusan hakim.
Sumber hukum utama inilah yang menjadi perbedaan mendasar
antara sistem hukum eropa kontinental dan sistem hukum anglo saxon.
Sistem hukum eropa kontinental bersumber/bertumpu pada hukum
tertulis, yaitu peraturan perundang-undangan. Sedangkan sistem hukum
anglo saxon bersumber/bertumpu pada hukum tidak tertulis/kebiasaan
didalam peradilan, yaitu yurisprudensi.
Tujuan utama daripada sistem hukum anglo saxon adalah untuk
menciptakan keadilan (Gerechtigheid). Untuk mencapai tujuan itu maka
dibutuhkan putusan hakim yang benar-benar sesuai dengan dengan rasa
keadilan dan kenyataan yang ada ditengah-tengah masyarakat.
Hukum harus benar-benar seiring sejalan dengan perasaan hukum
masyarakat, namun di sisi lain hukum itu sendiri sering tertinggal dari
perkembangan masyarakat. Oleh sebab itulah dalam sistem hukum anglo
saxon, hakim harus mampu mengatasi ambivalensi (pertentangan antara
dua hal) tersebut. Hakim di tuntut untuk dapat mewujudkan keadilan
dengan memberikan putusan yang seadil-adilnya sesuai dengan kasus
yang dihadapinya. Karena itulah sistem hukum ini sering diistilahkan
dengan sebutan “case law”, maksudnya ialah sistem hukum yang
bertumpu pada peristiwanya/kasusnya.
Yurisprudensi menjadi amat penting dalam sistem hukum ini
karena kedudukannya sebagai sendi utama/sumber hukum yang utama.
Bahkan ada yang berpendapat bahwa mempelajari dan memahami
yurisprudensi bagi hakim di negara-negara anglo saxon adalah primer,
sedangkan mempelajari dan memahami undang-undang adalah sekunder.
Begitu strategisnya kedudukan yurisprudensi dalam sistem hukum
anglo saxon, maka berlakulah asas preseden bagi setiap hakim di negara-
negara yang menganut sistem hukum ini. Suatu asas yang mengharuskan
hakim untuk mengikuti putusan hakim lain dalam perkara yang sejenis.
Berlakunya asas preseden ini juga dilatarbelakangi oleh suatu asas
yang menyatakan bahwa terhadap perkara yang sama harus diputus
dengan putusan yang sama pula (similia similibus). Keharusan bagi
hakim untuk mengikuti putusan hakim yang telah ada lebih dulu
(preseden) tidak dikenal dalam sistem hukum eropa kontinental. Hakim di
negara-negara yang menganut sistem hukum eropa kontinental
bebas/tidak terikat pada putusan hakim yang terdahulu.
Dalam persidangan di pengadilan di negara-negara anglo saxon,
dikenal adanya juri disamping hakim. Juri bertugas untuk memeriksa
fakta kasusnya dan kemudian menetapkan kesalahannya. Sedangkan
hakim bertugas untuk menerapkan hukum dan menjatuhkan putusan. Juri
terebut terdiri dari tokoh masyarakat yang bukan sarjana hukum. Sebelum
bertugas menjadi juri, terlebih dahulu diambil sumpahnya dan dipastikan
bahwa ia akan berlaku objektif dan imparsial. Umumnya dalam setiap
persidangan, baik untuk perkara perdata maupun pidana, terdapat 8 atau
12 juri. Sistem juri ini tidak ditemukan dalam sistem peradilan di negara-
negara yang menganut sistem hukum eropa kontinental.94
Negara hukum pada sistem hukum anglo saxon/common law
disebut dengan “The rule of law”. Suatu istilah yang dipopulerkan oleh
sarjana hukum terkemuka asal Inggris, Albert Venn Dicey. Dikemukakan
olehnya bahwa the rule of law memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

94
Marwan Mas, Op.Cit., hlm.126-128.
1) Supremasi hukum (supremacy of law)
2) Persamaan atau kesetaraan dihadapan hukum (equality before the
law)
3) Jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia
(protection warranties of human rights)

C. Penggolongan Hukum

Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan tingkah laku yang


diakui kebenarannya dan dibuat oleh badan yang berwenang. Peraturan mana
berisi perintah dan larangan yang bersifat memaksa dan mengancam serta
mejatuhkan hukuman yang nyata bagi yang melanggarnya.
Sebagaimana yang telah dikemukakan pada bagian-bagian
sebelumnya bahwa hukum itu luas sekali ruang lingkupnya. Hukum
mengatur hampir setiap segi kehidupan manusia dalam pergaulan hidupnya.
Bahkan Van Apeldoorn mengatakan bahwa “Setiap saat hidup kita dikuasai
oleh hukum, hukum mencampuri segala urusan manusia sebelum ia lahir
(dalam kandungan) sampai ia meninggal. Ikatan hukum jumlahnya tak
terhingga, menghubungkan manusia yang satu dengan manusia yang
lainnya.95 Demikian itulah gambaran betapa luasnya hukum itu, atau dengan
kata lain hukum itu banyak seginya.
Oleh karena itulah hukum dapat digolongkan/diklasifikasikan ke
dalam pelbagai golongan hukum sesuai kriteria yang digunakan untuk
membedakan satu dengan yang lainnya. Tujuan daripada penggolongan
hukum adalah untuk membedakan bagian hukum yang satu dengan bagian
hukum yang lain sesuai kriteria/klasifikasinya. Misalnya hukum memaksa
dan hukum mengatur dapat dibedakan/dipisahkan satu sama lain dengan
melihat sifat atau kekuatan berlakunya hukum. Hal tersebut penting agar
jangan sampai terjadi kekeliruan dalam memahami banyaknya segi hukum.

95
Van Apeldoorn, Op.Cit., hlm.6.
Berikut ini akan diuraikan mengenai penggolongan hukum
berdasarkan kriteria tertentu.
1. Berdasarkan sumber formalnya, hukum dapat digolongkan menjadi:
a. Hukum undang-undang (statute law, wetten recht), ialah hukum yang
dibentuk oleh badan resmi yang berwenang dan dituangkan dalam
bentuk peraturan perundang-undangan.
b. Hukum kebiasaan (gewoonto recht), ialah hukum yang timbul dari
pergaulan hidup masyarakat yang kemudian menjadi kebiasaan/adat.
Kebiasaan/adat itu dilakukan secara berulang-ulang sehingga pada
akhirnya dianggap sebagai hukum oleh masyarakat. Pelanggaran
terhadap kebiasaan/adat itu kemudian dijatuhi sanksi. Kebiasaan/adat
yang bersanksi itulah yang dimaksud dengan hukum
kebiasaan/hukum adat.
c. Hukum yurisprudensi (jurisprudentie recht), ialah hukum yang
terbentuk melalui peradilan berupa putusan hakim.
d. Hukum traktat (tractat recht), ialah hukum yang lahir dari/karena
adanya perjanjian internasional. Sedangkan pengertian
traktat/perjanjian internasional adalah perjanjian antara negara dengan
negara atau negara dengan subjek hukum internasional lainnya yang
melahirkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.
e. Hukum ilmu (wetenschap), ialah hukum yang berupa pendapat/ajaran
ahli hukum yang telah diakui kepakarannya dan besar pengaruhnya
dalam dunia hukum.

2. Berdasarkan isinya, hukum dapat digolongkan menjadi:


a. Hukum publik, ialah hukum yang mengatur hubungan antara negara
dengan warganegara (individu), atau dengan kata lain hukum yang
mengatur kepentingan publik. Contoh: hukum pidana, hukum hukum
administrasi negara, hukum tata negara, hukum internasional.
b. Hukum privat, ialah hukum yang mengatur hubungan antara orang
yang satu dengan orang yang lainnya, atau dengan kata lain hukum
yang mengatur kepentingan orang perorang. Contoh: hukum perdata,
hukum dagang.

Mengenai pembedaan antara hukum publik dan hukum privat ini


masih juga terdapat perbedaan pendapat diantara para juris hingga saat
ini. Belum ada kesepakatan diantara para juris mengenai kriteria yang
dapat digunakan untuk membedakan/memisahkan antara hukum publik
dan hukum privat. Akibatnya, hingga kini belum ada batas yang tegas dan
tajam yang memisahkan keduanya.
Van Apeldoorn pernah mengemukakan pendapatnya tentang kriteria
yang dapat digunakan untuk memisahkan antara hukum publik dan hukum
perdata. Ia memisahkan hukum publik dan hukum perdata berdasarkan
kriteria kepentingan yang diatur. Jika yang diatur adalah kepentingan
publik maka itulah hukum publik, sedangkan jika yang diatur adalah
kepentingan perorangan maka itulah hukum perdata.
Pada mulanya pendapat van Apeldoorn diatas banyak diikuti oleh
sarjana lain. Namun belakangan, muncul ketidakpuasan terhadap kriteria
yang digunakan Van Apeldoorn dalam membedakan antara hukum publik
dengan hukum privat. Alasan yang utama yaitu karena pada dasarnya, baik
hukum publik dan hukum privat, keduanya sama-sama bertujuan untuk
mengatur dan melindungi kepentingan umum/publik. Selain alasan diatas
ada juga alasan lain, yaitu kriteria yang digunakan oleh Van Apeldoorn
tersebut tidak juga memberikan batasan yang tegas untuk memisahkan
hukum publik dan hukum privat.
Setelah kriteria yang dikemukakan Van Apeldoorn mulai
ditinggalkan, muncul kriteria lain untuk membedakan antara hukum publik
dan hukum privat. Pendapat yang belakangan ini menyatakan bahwa
hukum publik dan hukum privat dapat dibedakan dengan melihat
hubungan hukumnya. Hukum publik mengatur hubungan antara negara
dengan warganya, sedangkan hukum privat mengatur hubungan antar
warga (orang perorang).
Seperti halnya pendapat Van Apeldoorn, mula-mula pembedaan
hukum publik dan hukum privat berdasarkan kriteria hubungan hukumnya
dapat diterima dan diikuti banyak juris. Namun kemudian muncul
keberatan-keberatan terhadap pandangan tersebut. Dalam era yang sudah
maju seperti sekarang ini, hubungan hukum yang timbul dalam pergaulan
hidup masyarakat sulit dibedakan secara tegas mana yang merupakan
hubungan publik dan mana yang merupakan hubungan privat.
Hal tersebut diatas disebabkan oleh semakin besarnya pengaruh dan
peran negara dalam mengatur kehidupan warganya, sehingga hukum
privat yang notabene adalah hukum yang mengatur hubungan
perseorangan pun tidak lepas dari campur tangan negara.
Negara melalui organ-organnya mengatur hampir setiap segi
kehidupan warganya, termasuk segi privat. Contoh, hukum
ketenagakerjaan/perburuhan pada mulanya dianggap sebagai salah satu
bidang/cabang dari hukum privat karena mengatur hubungan antara
pengusaha dan buruh. Namun dewasa ini, hukum ketenagakerjaan tidak
lagi murni sebagai hukum privat karena ada campur tangan pemerintah
disana. Dalam hal yang demikian, hukum ketenagakerjaan pun mengatur
hubungan publik; yaitu hubungan pemerintah dengan para pihak dalam
hukum ketenagakerjaan.
Lain daripada kedua pandagan diatas, Prof. Sudikno Mertokusumo
memberikan kriteria yang dapat digunakan untuk membedakan antara
hukum publik dan hukum privat. Menurutnya, hukum publik dan hukum
privat dapat dibedakan dengan melihat pihak dalam hubungan hukum dan
sifat hukumnya.
Dalam hukum publik, salah satu pihaknya adalah penguasa
(negara), sedangkan dalam hukum perdata kedua belah pihak adalah
perseorangan tanpa menutup kemungkinan bahwa dalam hukum perdata
pun penguasa dapat pula menjadi pihak. Peraturan hukum publik sifatnya
memaksa, sedangkan peraturan hukum perdata pada umumnya
melengkapi, meskipun ada juga yang bersifat memaksa.96

3. Berdasarkan luas berlakunya, hukum dapat digolongkan menjadi:


a. Hukum Umum (Lex generalis), ialah hukum yang berlaku bagi setiap
orang secara umum, atau hukum yang berisi norma/peraturan yang
mengatur sesuatu bidang tertentu secara umum. Contoh: hukum
pidana, hukum perdata.
b. Hukum khusus (Lex specialist), ialah hukum yang berlaku hanya
untuk segolongan orang tertentu saja, atau hukum yang berisi
norma/peraturan yang mengatur suatu bidang tertentu yang telah
diatur dalam hukum umum secara lebih spesifik dan rinci. Contoh:
hukum pidana militer (berlaku hanya untuk anggota militer), hukum
acara peradilan agama yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama (hanya berlaku bagi umat Islam yang
berperkara di Pengadilan Agama), hukum asuransi yang tertuang
dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian (merupakan hukum khusus dari hukum asuransi yang
telah diatur oleh hukum umum, yaitu KUHD).

Berkenaan dengan penggolongan hukum berdasarkan luas


berlakunya ini, tentu tidak terklepas dari asas hukum yang berbunyi “Lex
specialist derogat legi generalis.” Menurut asas tersebut, hukum yang
umum dapat dikesampingkan oleh hukum yang khusus. Artinya, apabila
suatu perbuatan diatur oleh hukum umum dan hukum khusus maka yang
berlaku adalah hukum khusus.

96
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hlm.169.
4. Berdasarkan fungsinya, hukum dapat digolongkan menjadi:
a. Hukum materiil, ialah hukum yang mengatur hubungan antar sesama
anggota masyarakat, masyarakat yang satu dengan masyarakat yang
lain, dan masyarakat dengan negara. Hukum materiil menetapkan hak
dan kewajiban yang timbul akibat adanya suatu hubungan hukum
serta berisi larangan dan perintah. Contoh: hukum pidana, hukum
perdata, hukum administrasi negara/hukum tata usaha negara.
b. Hukum formil, ialah hukum yang mengatur bagaimana cara
menegakan dan mempertahankan hukum materiil.
Keberadaan hukum materiil dan hukum formil saling menunjang
dan mendukung satu sama lain. Hukum materiil tanpa hukum formil akan
sia-sia belaka, sebab hukum formillah yang akan bergerak/menentukan
cara untuk mempertahankan dan mengganjar setiap pelanggaran terhadap
hukum materiil. Sebaliknya, hukum formil tanpa hukum materiil adalah
angan-angan belaka, sebab apa yang hendak dipertahankan dan ditegakan
apabila hukum meteriilnya saja tidak ada. Singkatnya, hukum formil
mengatur tata cara berperkara di muka pengadilan. Oleh karena itu
hukum formil disebut juga hukum acara. Contoh: hukum acara pidana,
hukum acara perdata, hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara, hukum
acara Peradilan Agama, hukum acara Mahkamah Konstitusi.

5. Berdasarkan sifat atau kekuatan berlakunya, hukum dapat digolongkan


menjadi:
a. Hukum memaksa (dwingend recht) atau disebut juga hukum
imperatif, ialah hukum yang dalam peristiwanya (keadaan konkrit)
tidak dapat dikesampingkan oleh perjanjian yang dibuat para pihak
yang berkepentingan. Dengan perkataan lain, hukum memaksa ini
tidak boleh tidak, harus dilaksanakan dan dipatuhi. Pada umumnya
hukum pidana adalah hukum memaksa karena sifatnya yang memaksa
dan tidak dapat dikesampingkan oleh perjanjian para pihak.
b. Hukum mengatur (regelend recht) atau disebut juga hukum fakultatif,
ialah hukum yang dalam peristiwanya (keadaan konkrit) dapat
dikesampingkan oleh perjanjian yang dibuat para pihak yang
berkepentingan. Hukum mengatur ini hanya memberikan rambu-
rambu atau pedoman saja, sedangkan apabila para pihak yang
berkepentingan berkehendak lain maka hukum tersebut dapat
dikesampingkan.

Pada umumnya hukum perdata adalah hukum yang mengatur


(fakultatif), tetapi ada juga beberapa pasal dalam BW (KUH Perdata)
yang secara normatif bersifat memaksa. Contoh: pasal 1241, 1334, 1365
BW. Meskipun demikian, menurut penulis, sifat memaksa yang
terkandung dalam pasal-pasal BW diatas dalam peristiwa konkritnya
tetap saja dapat dikesampingkan oleh para pihak yang berkepentingan
bilamana para pihak sepakat untuk mencari dan menggunakan cara lain
diluar dari ketentuan pasal-pasal BW tersebut.
Misal, A melakukan perbuatan melanggar hukum. Akibat
perbuatannya tersebut, B menderita kerugian. Menurut pasal 1365 BW, A
wajib mengganti kerugian yang diderita oleh B. Secara normatif bunyi
pasal 1365 BW tersebut bersifat memaksa “..... mewajibkan orang yang
karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut.”
Namun dalam peristiwa konkritnya bisa saja ketentuan pasal 1365 BW
tersebut dikesampingkan oleh A dan B, dimana A tidak usah mengganti
kerugian yang dialami oleh B karena B telah memaklumi dan
memaafkan, serta tidak menuntut A untuk mengganti kerugian yang
dideritanya.
Adalah suatu asas dalam hukum acara perdata bahwa inisiatif
berperkara pada pengadilan perdata ada pada pihak-pihak yang
berkepentingan, bukan inisiatif negara melalui alat-alatnya. Negara tidak
dapat memaksakan kekuasaannya untuk menuntut pelanggaran terhadap
BW ke muka pengadilan, sekalipun pasal itu secara normatif bersifat
memaksa/berisi paksaan. Jadi jelaslah bahwa pada dasarnya hukum
perdata itu bersifat mengatur.

6. Berdasarkan bentuknya, hukum dapat digolongkan menjadi:


a. Hukum tertulis (ius scripta, statute law, written law), ialah hukum
yang tertuang/termaktub dalam peraturan perundang-undangan.
Hukum tertulis ini dibagi lagi menjadi dua macam, yaitu:
1) Hukum tertulis yang dikodifikasikan. Contoh: KUHP, KUH
Perdata (BW), KUHD, KUHAP, HIR, Kompilasi Hukum Islam
(KHI).97
2) Hukum tertulis yang tidak dikodifikasikan, ialah setiap peraturan
perundang-undangan yang tidak dibukukan/dihimpun dalam suatu
kitab undang-undang atau bentuk-bentuk kodifikasi lainnya
seperti kompilasi. Contoh: Undang-undang hak cipta (Undang-
Undang Nomor19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta), undang-
undang hak paten (Undang-Undang Nomor14 Tahun 2001 tentang
Hak Paten), undang-undang hak merek (Undang-Undang
Nomor15 Tahun 2001 tentang Hak Merek), dan peraturan
perundang-undangan lainnya yang tidak dikodifikasikan.

b. Hukum tidak tertulis (ius non scripta, unstatutery law, unwritten law),
ialah hukum yang tidak tertulis dalam suatu bentuk dokumentasi apa
pun tetapi hukum itu diyakini dan ditaati berlakunya oleh masyarakat
yang bersangkutan. Hukum tidak tertulis ini lazimnya disebut hukum
kebiasaan.

97
Kompilasi Hukum Islam merupakan hukum materiil berupa himpunan hukum Islam
dibidang Perkawinan, Kewarisan, dan Perwakafan yang dimaksudkan untuk menjadi sumber
hukum bagi para hakim dilingkungan Peradilan Agama, dimana hakim dapat merujuk hukum yang
terdapat dalam KHI untuk diterapkan guna menyelesaikan/memutus perkara. Dasar hukumnya
adalah Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 yang berisi instruksi Presiden kepada Menteri Agama
untuk menyebarluaskan KHI, Keputusan Menteri Agama No.154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan
Inpres No.1 Tahun 1991.
7. Berdasarkan tempat berlakunya, hukum dapat digolongkan menjadi:
a. Hukum nasional, ialah hukum yang berlaku di suatu negara tertentu
b. Hukum internasional, ialah hukum yang mengatur hubungan atau
persoalan yang melintasi batas negara antara:
1) Negara dengan negara;
2) Negara dengan subjek hukum lain yang bukan negara atau subjek
hukum bukan negara satu sama lain.98
c. Hukum asing, ialah hukum yang berlaku di negara lain/negara asing

8. Berdasarkan waktu berlakunya, hukum dapat digolongkan menjadi:


a. Hukum positif (ius constitutum), ialah hukum yang sedang berlaku di
suatu negara tertentu
b. Ius constituendum, ialah hukum yang dicita-citakan atau hukum yang
akan berlaku dimasa mendatang

Bagan Penggolongan/Klasifikasi Hukum


Menurut Prof. Dr. Achmad Sanusi, SH

Hukum undang-undang

Hukum persetujuan

Hukum traktat
Klasifikasi menurut Sumber berlaku & bentuknya & peraturan
– peraturan itu
Hukum kebiasaan & adat

Hukum yurisprudensi

Hukum ilmu

Hukum revolusi

98
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Cet. Ke 1,
Edisi kedua, Alumni, Bandung, 2003, hlm.4.
Hukum perdata

Hukum Privat Hukum dagang

Klasifikasi menurut Kepentingan yang diatur Hukum privat internasional

Hukum negara

Hukum Tata Usaha Negara

Hukum Publik
Hukum antar Negara

Hukum pidana

perdata
Hukum acara
pidana

Tata Usaha Negara

Hukum antar waktu

Hukum antar tempat

Klasifikasi menurut Hubungan antar hukum


Hukum antar golongan

Hukum antar agama

Hukum privat internasional


ius constitutum

ius constituendum
Klasifikasi menurut ukuran Pertalian hubungan hukum

hukum obyektif

hukum subyektif

Hukum kaidah (normenrecht)

Hukum sanksi (sanctienrecht)

Klasifikasi menurut Kerja dan sanksi

Hukum memaksa (dwingendrecht)

Hukum mengatur (regelendrecht)


DAFTAR PUSTAKA

Ali, Ahmad. Menguak Tabir Hukum. Edisi Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia, 2008.

Arrasjid, Chainur. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2009.

. Teori dan Penafsiran Hukum Tata Negara. Cet.1. Jakarta:


Ind Hill Co., 1997.

Daliyo, J.B. Pengantar Ilmu Hukum; Buku Panduan Mahasiswa. Jakarta:


Prenhallindo, 2001.

Dirdjosisworo, Soedjono. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Rajawali Pers, 1991.

Djokosoetono. Ilmu Negara. Himpunan oleh Harun Alrasid. Jakarta: Ind Hill Co,
2006.

Friedman, Lawrence. Hukum Amerika Sebuah Pengantar (American Law: an


Introduction). Diterjemahkan oleh Wishnu Basuki. Jakarta: Tatanusa, 2001.

Soeprapto, Marida Farida Indrati. Ilmu Perundang-undangan 1. Yogyakarta:


Kanisius, 2007.

Hartono, Sunaryati. Apakah Rule of Law Itu?. Bandung: Alumni, 1976.

. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional.


Bandung: Alumni, 1991.
Hay, Marhaenis Abdul. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita,
1986.

Kamil, Ahmad dan M. Fauzan. Kaidah-Kaidah Yurisprudensi. Jakarta: Prenada


Media, 2004.

Kansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Cet.8. Jakarta:
Balai Pustaka, 1989.

Kelsen, Hans. General Theory of Law and State. New York: Russe and Russe,
1973.

Kusumaatmadja, Mochtar dan Etty R. Agoes. Pengantar Hukum Internasional.


Bandung: Alumni, 2003.

. Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan. Bandung:


Alumni, 2002.

Mahadi. Sumber-Sumber Hukum. Jakarta: Soeroengan, 1985.

Mahfud, M.D. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi.


Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010.

Manan, Bagir. Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia. Bandung: Fakultas


Hukum Universitas Padjajaran, 1992.

Mas, Marwan. Pengantar Ilmu Hukum. Cet.2. Bogor: Ghalia Indonesia, 2011.

Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar. Yogyakarta:


Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2010.

. Bab-Bab tentang Penemuan Hukum. Yogyakarta: PT.


Citra Aditya Bakti, 1993.

Nasution, Adnan Buyung. Bantuan Hukum Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1988.


Pound, Roscoe. Pengantar Filsafat Hukum. Jakarta: Bhratara, 1972.

Purbacaraka, Purnadi dan Soerjono Soekanto. Perundang-Undangan


dan Yurisprudensi. Bandung: Alumni, 1979.

. Perihal Kaidah Hukum. Bandung: Alumni, 1982.

. Aneka Cara Pembedaan Hukum. Bandung: PT. Citra


Aditya Bakti, 1982.

Radbruch, Gustav. Einfuhrung in die Rechtswissenschaft. Stuttgart: K.F Kohler,


1961.

Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Cet. Ke 5. Semarang: PT. Citra Aditya Bakti,
2000.

Raz, Joseph. The Authority of Law. Oxford: Clarendon Pers, 1983.

Rousseau, Jean Jacques. Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip Hukum-Politik (Du
Contract Social ou Droit Politique). Diterjemahkan oleh Rahayu Surtiati
dan Ida Sundari Husen. Cet.2. Jakarta: Dian Rakyat, 2010.

Sanusi, Achmad. Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia.
Bandung: Tarsito, 1977.

Simorangkir, J.C.T dan Woerjono Sastropranoto. Pelajaran Hukum Indonesia.


Jakarta: Gunung Agung, 1980.

Siregar, Bismar. Renungan Hukum dan Iman. Jakarta: Grafikatimajaya, 1992.

Soekanto, Soerjono. Kesadaran dan Kepatuhan Hukum. Jakarta: Rajawali Pers,


1982.
Soemitro, Ronny Hanitijo dan Satjipto Rahardjo. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta:
Karunika, 1985.

Soenardi, Dedi. Sumber-Sumber Hukum Positif. Bandung: Jakarta, 1982.

Soepomo. Sistem Hukum di Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita,1981.

Soeroso, R. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2007.

Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Cet.32. Jakarta: Intermasa, 2005.

Sudarsono. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Rineka Cipta, 1991.

Syarifin, Pipin. Pengantar Ilmu Hukum. Bandung: Pustaka Setia, 1999.

Utrecht. Pengantar dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Ichtiar, 1961.

Van Apeldoorn, L.J. Pengantar Ilmu Hukum (Inleiding Tot De Studie Van Het
Nederlandse Recht). Diterjemahkan oleh Oetarid Sadino. Cet. 24. Jakarta:
Pradnya Paramita, 1990.

Wignjodipoero, Soerojo. Pengantar Ilmu Hukum. Haji Mas Agung, 1988.


222

INDEKS

A
Anglo Saxon, 40, 100, 101, 105, 194,
197, 198, 199
Argumentum a contrario, 127, 129, 149,
150

B
Badan Hukum, 152, 157, 158, 159, 160,
161, 167
Bagir Manan, 102, 142
Basis Leervak, 1
Bikameral, 74
Budaya Hukum, 29, 30, 192
Burgerlijk Wetboek, 121, 153

C
Carl Von Savigny, 18, 40, 67, 161
Case law, 198
Code Civil, 115, 117, 120, 121, 194
Code du Commerce, 117, 120, 121, 194
Code Napoleon, 115, 117
Code Penal, 117, 120, 121, 194
Cogatitionis poenam nemo patitur, 43, 54
Common law, 197, 199
Civil law, 194
D
Die normatieve kraft des faktischen, 91, 92
Determinan, 64, 66
Du Contract Social, 123

E
Einfuhrung in die rechtswissenschaft, 2, 11
Ejawantah, 40
Ekstrateritorial, 86
Encyclopedie hukum, 5
Equality before the law, 40, 43, 200
Erga omnes, 44
Eropa kontinental, 101, 105, 194, 195, 196, 197, 198

F
Fakultatif, 54, 206
Filosofische geltung, 84
Freie rechtslehre, 125, 126, 127, 128, 129

G
Gratifikasi, 53
Geen straft zonder schuld, 43
Gerechtigheid, 16, 198

H
Hak asasi manusia, 83, 111, 154, 166, 197, 200
Hak imunitas, 86, 109
Hak ingkar, 167
Hak mutlak, 166
Hak relatif, 166
Heteronom, 49, 52, 55
Het recht hinkt achter de feiten aan, 193
Hukum privat, 160, 201, 202, 203, 209
Hukum publik, 106, 159, 201, 203, 209

I
Ibadah, 48
Iedereen wordht geacht tot de wet te kennen, 78
Ignorantia legis excusat niminem, 78
Imperatif, 54, 265
In dubio pro reo, 44
Introduction, 3, 5
Ius constituendum, 143, 208, 210
Ius constitutum, 8, 125, 154, 208, 210
Ius curia novit, 42, 145, 147

J
Judex non ultra petita, 43
Juristische geltung, 83
Jurisprudence, 4, 99
Juris, 2, 4, 14, 30, 31, 32, 34, 83, 99, 125, 135, 136, 201
Justitia commutativa, 33

K
Kadaluwarsa akuisitif, 180
Kadaluwarsa ekstintif, 181
Kepastian hukum, 30, 32, 33, 34, 35, 42, 92, 98, 100, 116, 117, 118, 119, 124,
126, 128, 196
Kesatuan hukum, 116, 117, 118, 119
Kompilasi Hukum Islam, 49, 207
Konkordansi, 120, 195
Konvensi Wina, 105, 109
Koperasi, 77, 160

L
L’esprit des lois, 123
L’etat c’est moi, 116
Law making contract, 109
Lawrence Friedman, 29, 192
Legisme, 33, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 144, 177
Levensvoorschriften, 27

M
Manifestasi, 3, 23, 39, 41
Matrilineal, 119
Mazhab, 15, 17, 18, 19, 20, 32
Muamalah, 48

N
Normwissenschaft, 3, 24
Nullum delictum noella poena sine praevia lege poenale, 42

O
Open system van het recht, 135, 193
Orde/Ordnung, 46
Ouderlijk macht, 155, 166, 179, 185, 187
P
Paradoksal, 64
Parental, 119
Patrilineal, 119
Piagam Mahkamah Internasional, 113
Presumption of innocence, 40, 43
Prolegnas, 73, 88

Q
Qishas, 49

R
Rajam, 49
Ratio legis, 38
Rechtsidee, 26, 84, 117, 191
Rechtstaat, 196
Rechtvinding, 128
Resepsi, 70, 97, 120
Revolusi Perancis, 115

S
Seinwissenschaft, 3, 9
Similia similibus, 43, 104, 199
Sollenwissenschaft, 24
Soziologische geltung, 83
Staatsblad, 77, 121
Standaard arresten, 178
Staten General, 73, 74
Supremasi hukum, 116, 200
T
The binding force of precedent, 40, 43, 101, 105
The rule of law, 199
Tidak cakap hukum, 140, 156, 157
Transitoir recht, 122
Treaty contract, 109
Trias politica, 123
Tweezigdig, 175

U
Ultimum remedium, 133

V
Volksraad, 80

W
Werkelijkheid, 83, 131, 142
Wetboek van koophandel, 121
Wetboek van Straftrechts, 121

Y
Yurisprudensi, 63, 64, 65, 70, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 112, 125, 126,
127, 131, 132, 148, 178, 196, 198, 199, 201, 208

Z
Zaakwaarneming, 176, 189
Zoon politicon, 24, 45, 173
215

GLOSARIUM

A
Algemeene Bepalingen van Wetgeving voor Nederlandsch Indie: Ketentuan
umum tentang peraturan perundang-undangan untuk Hindia Belanda
Argumentum a contrario: Pengungkapan secara terbalik
Arrest: Putusan pengadilan
Ambiguitas: Ketidakjelasan, ketidaktentuan, bermakna ganda
Ad hoc: Sesuatu yang dibentuk/diadakan hanya untuk sementara waktu dan guna
mencapai tujuan tertentu (khusus)
Apriori: Beranggapan, menduga, menjustifikasi sebelum mengetahui atau
menyelediki kebenarannya

B
Basis Leervak: Mata kuliah dasar
Bikameral: Parlemen yang terdiri dari dua kamar
Bouche de la loi: Mulut/corong undang-undang
Burgerlijk Wetboek: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

C
Cakrawala: Jangkauan pandangan, khazanah
Commission: Keharusan untuk melakukan sesuatu perbuatan
Cogatitionis poenam nemo patitur: Tidak ada seorang pun yang dapat dihukum
karena apa yang ada dalam batinnya/apa yang
dipikirkannya
Code Civil: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Perancis
Code Penal: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Perancis
Code du Commerce: Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Perancis
D
Definisi: Kata atau frasa atau kalimat yang mengungkapkan makna/arti atau
keterangan mengenai sesuatu hal
Das Sollen: Teori, apa yang seyogianya
Das Sein: Kenyataan, senyatanya
Determinan: Faktor yang menentukan
De ontwikkelde leek: Orang yang terpelajar tetapi awam (istilah ini dikemukakan
oleh Van Apeldoorn)
Dominion: Negara bekas jajahan yang telah merdeka dan berdaulat tetapi terikat
dalam suatu persemakmuran/konfederasi dengan negara induknya.
Contoh: negara-negara bekas jajahan Inggris yang tergabung dalam
“The British Commonwealth of Nations”

E
Einfuhrung in die rechtswissenschaft: Pengantar ilmu hukum (bahasa Jerman)
Encyclopedie: Ensiklopedia, serangkaian tulisan atau buku yang memuat
keterangan/uraian tentang berbagai hal dalam satu bidang ilmu
Empirik/empiris: berdasarkan pengalaman/kenyataan
Ejawantah: Menjelma
Ekspansi: Perluasan wilayah

G
Gratifikasi: Pemberian dalam ati luas meliputi pemberian uang, barang, rabat
(discount), pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas
penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas
lainnya.
H
Hoger onderwijs wet: Undang-undang perguruan tinggi
Hak imunitas: Hak untuk tidak dituntut (kekebalan terhadap hukum)
Heteronom: Kekuasaan dari luar (berasal dari luar)
Heterogenitas: Keanekaragaman, kemajemukan
Hoge Raad: Pengadilan tertinggi di Belanda (Mahlamah Agung kalau di
Indonesia)

I
Inleiding tot de rechtswetenschap: Pengantar ilmu hukum (bahasa Belanda)
Introduction: Perkenalan/mengenalkan
Ibadah: Perbuatan menjalankan perintah Tuhan
Insan kamil: Manusia yang mulia
Intuisi: Bisikan hati, ajakan hati
Ius constitutum: Hukum yang sedang berlaku disuatu negara/hukum positif
Ius constituendum: Hukum yang dicita-citakan/hukum yang akan berlaku di masa
yang akan datang
Ius curia novit: Hakim dianggap mengetahui hukum
In concreto: Dalam kenyataannya
Interdependensi: Saling tergantung

J
Jurisprudence: Ilmu hukum dalam istilah anglo saxon
Juris: Sarjana hukum, ahli hukum/pakar hukum

K
Komprehensif: Luas, lengkap, menyeluruh
Konstantir: Ditetapkan
Konkordansi: Menyamakan hukum yang berlaku disuatu negara dengan hukum
dari negara lain (contoh: KUH Perdata, KUHP, dan KUHD
merupakan hasil konkordansi dari hukum Belanda)
Kolonialisasi: Penguasaan atau penjajahan suatu wilayah/negara oleh negara lain

L
Locus delicti: Tempat kejadian perkara, tempat kejadian tindak pidana
Legal intent: Maksud/kehendak pembuat undang-undang

M
Manifestasi: Perwujudan, bentuk dari yang tidak kelihatan
Muamalah: Hubungan sosial antar manusia
Matrilineal: Hubungan keturunan dari garis ibu
Mazhab: Golongan pemikir/ahli yang sepaham dalam suatu teori, ajaran, atau
aliran tertentu

N
Nomrwissenschaft: Ilmu pengetahuan tentang norma/kaidah

O
Opinio neccesitatis: Keyakinan hukum masyarakat
Orde/ordnung: Tatanan/rangka, kedamaian
Ommission: Keharusan untuk tidak melakukan suatu perbuatan
Ouderlijk macht: Kekuasaan orang tua
Onrechtmatigedaad: Perbuatan yang dilarang oleh hukum/perbuatan melawan
hukum
P
Paradoksal: Seolah-olah bertentangan dengan pendapat umum/kebenaran
Philosophy grondslag: Dasar negara, pandangan hidup suatu bangsa
Prolegnas: Program legislasi nasional; instrumen perencanaan program
pembentukan undang-undang yang disusun secara berencana, terpadu,
dan sistematis
Persona non grata: Orang yang tidak disukai (digunakan dalam hukum
internasional)
Pengampu: Orang yang diberi kekuasaan wali/mengawasi orang-orang yang
ditaruh dibawah pengampuannya oleh pengadilan
Penetrasi: Masuk, menerobos
Pluralisme: Keadaan masyarakat yang majemuk
Patrilineal: Hubungan keturunan dari garis ayah
Parental: Hubungan keturunan dari garis ayah dan ibu
Persemakmuran: Suatu kumpulan atau himpunan negara-negara dalam suatu
ikatan tertentu

Q
Qishas: Pembalasan dalam hukum Islam, hukuman balasan

R
Rechtsidee: Cita-cita hukum
Rajam: Salah satu jenis hukuman dalam hukum Islam bagi pezina dengan cara
dilempari dengan batu sampai meninggal
Resepsi: Diterima
Rechtseenheid: Kesatuan hukum (unifikasi hukum)
Rechts zerkerheid: Kepastian hukum
Recht vacuum: Kekosongan hukum
Rechtsvervijning: Salah satu metode konstruksi hukum dengan mempersempit
dan mempertegas makna suatu teks atau ketentuan undang-
undang

S
Sollenwissenschaft: Ilmu kaidah
Seinwissenschaft: Ilmu kenyataan
Staatsblad: Lembaran negara (istilah ini digunakan pada masa kolonial Belanda
dahulu)
Supremasi hukum: Menempatkan hukum sebagai kekuasaan tertinggi yang harus
ditegakan
Social doelmatigheid: Kegunaan/kemanfaatan sosial

T
Tatsachenwissenschaft: Ilmu kenyataan
Transitoir recht: Hukum peralihan
Titel: Suatu peristiwa yang menjadi dasar/alasan melekatnya suatu hak pada
subjek hukum tertentu, baik melalui bezit (penguasaan) maupun melalui
eigendom (kepemilikan)

U
Ultimum Remedium: Obat terakhir

V
Volksgeist: Semangat bangsa, jiwa bangsa (istilah ini dipopulerkan oleh Mazhab
Historis yang dipelopori oleh Carl Von Savigny)
Volksraad: Perlemen negara jajahan (semacam DPR kalau saat ini)
W
Werkelijkheid: Kenyataan sosial dalam masyarakat

Y
Yustisiabelen: Masyarakat pencari keadilan

Z
Zoon politicon: Makhluk sosial

Anda mungkin juga menyukai