Segala puji bagi Allah SWT karena atas rahmat, ridho dan hidayah Nya
buku ini dapat selesai disusun oleh penulis, setelah melalui berbagai halangan dan
hambatan baik yang datang dari internal maupun eksternal diri penulis.
Buku Pengantar Ilmu Hukum ini merupakan buku awal yang penulis
susun, karena buku ini adalah dasar bagi seseorang yang ingin mempelajari
hukum khususnya mahasiswa fakultas hukum baik diperguruan tinggi negeri
maupun swasta. Pengantar Ilmu Hukum atau disingkat dengan PIH adalah
pondasi untuk seseorang menjadi sarjana hukum, seperti bangunan apabila
pondasinya baik maka bangunannya menjadi kokoh dan tidak mudah roboh.
Begitu pula dengan sarjana hukum yang memahami PIH, maka dia akan
menjadi sarjana hukum yang tangguh dan dapat dipertanggungjawabkan
keilmuannya. Oleh karena itu sangat diperlukan buku Pengantar Ilmu Hukum
yang mengikuti perkembangan zaman, lengkap, sistematis, mudah dibaca serta
dipahami oleh mahasiswa.
Buku Pengantar Ilmu Hukum ini tidak mungkin selesai penulis susun
tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dinas Pendidikan Provinsi Banten yang telah mencetak buku ini;
2. Dukungan Suami dan anak-anakku tercinta yang selalu memberi motivasi;
3. Arief Ainul Yaqin, mahasiswa Fakultas Hukum Untirta yang telah
berkontribusi banyak untuk menumpahkan pemikirannya dan berdiskusi
dalam penulisan buku ini;
4. Dan berbagai pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.
Harapan dari penulis semoga buku ini dapat memberikan motivasi agar
penulis dapat berkarya lebih baik lagi dan juga semoga buku ini dapat bermanfaat
untuk yang membacanya.
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar………........................................................................... i
Daftar Isi……........................................................................................ ii
ii
Bab V KODIFIKASI HUKUM DAN ALIRAN-ALIRAN
YANG MUNCUL SETELAHNYA
A. Kodifikasi Hukum……………………………………….…… 115
B. Aliran Legisme……………………………………………….. 123
C. Aliran Freie Rechtslehre……………………………………… 125
D. Aliran Rechtsvinding…………………………………………. 126
E. Aliran yang dianut di Indonesia…………………..………….. 129
iii
BAB I
PERISTILAHAN DAN PENGERTIAN
PENGANTAR ILMU HUKUM
1
2
b. Curzon
Berpendapat bahwa ilmu hukum adalah suatu ilmu pengetahuan yang
mencakup dan membicarakan segala hal yang berhubungan dengan
hukum.3
1
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. Kesembilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm.3.
2
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1982, hlm.12.
3
Ibid., hlm.3.
yang mencakup: sosiologi hukum, antropologi hukum, psikologi
hukum, perbandingan hukum, dan sejarah hukum.4
d. Kepustakaan Hukum
Ilmu hukum dalam kepustakaan hukum dikenal dengan istilah
”Jurisprudence.” Jusrisprudence berasal dari kata ”Jus” atau “Juris”
yang artinya hukum atau hak. ”Prudence” berarti melihat kedepan,
atau mempunyai keahlian. Jadi secara harfiah dan singkat,
Jurisprudence adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari hukum.
Dari berbagai definisi yang telah dikemukakan oleh para pakar diatas
maka dapat disimpulkan bahwa ilmu hukum adalah ilmu pengetahuan yang
mempelajari hukum dengan segala bagian-bagiannya, yang karena terlalu
luasnya ruang lingkup ilmu hukum itu maka diadakan cabang-cabang ilmu
hukum yang akan mempelajari hukum secara lebih spesifik dan mendalam.
Dengan demikian, jika kata “pengantar” dan “ilmu hukum” digabung
menjadi pengantar ilmu hukum, maka pengantar ilmu hukum adalah ilmu
dasar/pengantar bagi setiap orang yag akan mempelajari ilmu hukum secara
keseluruhan dalam garis-garis besarnya (pokok-pokoknya). Seperti sejarah
timbul dan berkembangnya hukum, pengertian hukum, asas-asas hukum,
tujuan hukum, sumber-sumber hukum, sistem hukum, dan lain sebagainya.
Semua itu dikaji dengan maksud untuk mendapatkan pengetahuan tentang
arti, maksud, tujuan, dan bagian-bagian penting tentang hukum.
Pengantar ilmu hukum membahas elemen-elemen penting dalam
hukum secara garis besarnya saja atau pokok-pokoknya saja, karena
pembahasan lebih lanjut akan didapat pada cabang-cabang ilmu hukum yang
bersangkutan. Contoh: pembahasan sistem hukum, sistem hukum
digambarkan dan dibahas sedemikian rupa secara keseluruhan, namun dalam
garis-garis besarnya saja, sedangkan pembahasan lebih lanjut akan didapat
dalam mata kuliah hukum perdata, hukum tata negara, dan lain-lain. Dengan
4
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaidah Hukum, Alumni, Bandung,
1982. hlm.10.
demikian, PIH mempelajari permukaan luar yang nampak, sedangkan bagian
dalamnya akan dipelajari oleh cabang ilmu hukum lainnya.
5
Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 1991, hlm.1.
dikenal sebagai syarat-syarat atau ciri-ciri ilmu pengetahuan yaitu :
sistematik, logis, metodik, empirik, umum, dan akumulatif. Tanpa
pemenuhan syarat-syarat itu suatu pengetahuan tidak bisa disebut sebagai
ilmu pengetahuan.
Pengantar ilmu hukum dapat dikatakan sebagai karya manusia yang
berusaha mencari kebenaran tentang hukum sebagai sesuatu bagian penting
dan melekat dalam kehidupan manusia yang hidup bersama. Kebenaran itu
tersusun secara sistematis (sehingga mudah dipelajari), logis (bahan yang
dipelajari masuk akal), metodis (dengan cara atau upaya ilmiah), empiris
(pengkajian berdasarkan pengalaman), sifatnya dipahami dan untuk umum,
serta akhirnya berkembang secara akumulatif (perkembangan ilmu hukum
dewasa ini tidak dapat terlepas dari keadaan ilmu pada masa yang lampau).6
Jadi manfaat mempelajari pengantar ilmu hukum adalah sebagai
berikut:
1 Memberikan pengenalan tentang segala masalah yang berkaitan dengan
hukum.
2 Menjelaskan tentang keadaan, inti, maksud dan tujuan dari bagian-bagian
3 yang penting dalam ilmu hukum.
4 Memberikan gambaran tentang ilmu hukum secara keseluruhan dalam
garis-garis besarnya.
5 Merupakan dasar dalam studi ilmu hukum; apabila mata kuliah dasar
sudah dikuasai maka untuk memahami jenjang pembelajaran hukum pada
tingkat selanjutnya tidak akan sulit. Sebaliknya, Jika PIH tidak dikuasai
maka akan sulit untuk memahami jenjang-jenjang pembelajaran hukum
yang selanjutnya.
6 Mengkualifikasi mata pelajaran, pendahuluan, pembukaan kearah
pengetahuan hukum pada tingkat persiapan7.
7 Menunjang/menunjukan kepada setiap orang yang akan mempelajari
cabang ilmu hukum lain.
6
Ibid., hlm.210.
7
R. Soeroso, Op. Cit., hlm.9.
C. Hubungan Dan Perbedaan Antara Pengantar Ilmu Hukum (PIH)
Dengan Pengantar Hukum Indonesia (PHI)
Walaupun PIH dan PHI saling berhubungan erat satu sama lain
namun diantara keduanya terdapat perbedaan. PIH, seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, adalah mata kuliah dasar keahlian dalam
pendidikan tinggi hukum yang mempelajari ilmu hukum secara
keseluruhan dalam garis-garis besarnya. Sifatnya umum, tidak terbatas
pada hukum yang berlaku disuatu negara tertentu (ius constitutum).
Fungsi PIH sendiri ialah mendasari dan mengantarkan setiap orang yang
akan mempelajari ilmu hukum.
Sedangkan PHI adalah mata kuliah dasar keahlian yang
mempelajari hukum secara terbatas, terbatas dalam arti objek kajiannya
dibatasi hanya seputar tata hukum yang berlaku di Indonesia (ius
constitutum). Sifatnya khusus, yaitu khusus mempelajari hukum positif
Indonesia. Fungsi PHI sendiri ialah mengantar setiap orang yang akan
mempelajai hukum positif Indonesia.
Dengan demikian sudah nampaklah letak perbedaan antara PIH
dengan PHI. Perbedaan tersebut terletak pada objek dan fungsi masing-
masing. Objek PIH adalah ilmu hukum secara keseluruhan dan tidak
terbatas pada hukum positif suatu negara. Fungsi PIH ialah mendasari
dan mengantarkan setiap orang yang akan mempelajari ilmu hukum.
Sedangkan objek PHI adalah hukum positif Indonesia (ius constitutum)
dan fungsinya untuk mengantarkan setiap orang yang akan mempelajari
hukum positif Indonesia.
Dengan diberikannya pembahasan mengenai hubungan dan
perbedaan antara PIH dengan PHI, diharapkan mahasiswa dapat terhindar
dari kesalahan dalam memahami PIH dan PHI. Kesalahan pemahaman
tersebut masih sering terjadi dikalangan mahasiswa atau bahkan sarjana
hukum.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada skema mengenai hubungan
dan perbedaan antara PIH dengan PHI berikut ini.
Skema Perbedaan PIH dengan PHI
PIH PHI
4. Sejarah Hukum adalah salah satu bidang studi hukum yang mempelajari
perkembangan dan asal usul sistem hukum dalam suatu masyarakat
tertentu, dan memperbandingkan antara hukum yang berbeda karena
dibatasi oleh perbedaan waktu. Dalam studi sejarah hukum ditekankan
bahwa hukum suatu bangsa merupakan suatu ekspresi jiwa (volkgeist)
dari bangsa yang bersangkutan dan oleh karenanya sistem hukum yang
8
Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, CV Rajawali, Jakarta, 1984, hlm. 53.
9
Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum, CV Pustaka Setia, Bandung, 1999, hlm. 76.
10
Ibid, hlm 77.
satu berbeda dengan sistem hukum yang lainnya. Perbedaan ini terletak
pada ciri khas pertumbuhan yang dialami oleh masing-masing sistem
hukum. Menyelidiki sistem-sistem hukum yang pernah berlaku dan
berkembang pada masa lalu, sehingga dapat mengerti sistem hukum yang
berlaku sekarang dibentuk oleh proses-proses yang berlangsung pada
sistem hukum yang berlaku pada masa lampau.11
11
Loc Cit.
Batavia (Jakarta), di mana mata kuliah Inleiding tot de rechtswetenschap ini
dimasukan dalam kurikulumnya.
Sedangkan istilah Pengantar Ilmu Hukum atau PIH sebagai
terjemahan dari Inleiding tot de rechtswetenschap, dipergunakan untuk
pertama kalinya di Universitas Gajah Mada yang berdiri pada Tanggal 3
Maret 1946. Dan sampai sekarang PIH dijadikan mata kuliah dasar keahlian
hukum di setiap perguruan tinggi di seluruh Indonesia.12
12
R. Suroso, Op.Cit., hlm.8.
BAB II
MENGENAL HUKUM
A. Definisi Hukum
13
Subekti dalam R. Soeroso, Op. Cit., hlm.6.
14
Chainur Arrasjid, “Dasar-Dasar Ilmu Hukum”, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 21.
13
14
15
Van Apeldoorn, Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlandse Recht (Terjemahan oleh
Oetarid Sadino: Pengantar Ilmu Hukum), Pradnya Paramita, Jakarta, 1990, hlm.1.
16
Van Apeldoorn, Loc. Cit.
2. Ruang lingkup hukum yang sangat luas dan hampir tidak terbatas; hukum
mengatur hampir seluruh kehidupan manusia, ruang lingkupnya sangat
luas. Bahkan Van Apeldoorn menyatakan bahwa jika dipikirkan akan
terasalah hukum itu tidak terbatas, melainkan terdapat dimana-mana.
Dengan ruang lingkup yang begitu luas dan tak terbatas, sulit untuk
menyatukannya dalam satu rumusan (definisi).
3. Hukum bersifat dinamis, berubah-ubah dan bergerak mengikuti
perkembangan masyarakat. Hukum tidak statis melainkan dinamis.
Hukum bergerak dan berubah mengikuti peradaban manusia yang juga
bergerak dan berubah. Sehingga dapatlah diterima apabila perumusan
hukum dalam satu definisi sulit mencapai kesempurnaan, karena hukum
itu sendiri bergerak.
4. Hukum didefinisikan sesuai latar belakang keahlian para pakar. Misal,
ahli sosiologi hukum mendefinsikan hukum dari sudut pandang sosiologi
hukum, ahli sejarah hukum mendefinisikan hukum dari sudut pandang
sejarah hukum, begitupun juga dengan bidang keahlian lain, masing-
masing merumuskan definisi hukum yang berlainan.
Dengan memperhatikan uraian diatas, penulis lebih cenderung pada
pandangan Utrecht dengan tidak mengabaikan begitu saja kegelisahan Van
Apeldoorn mengenai sulitnya merumuskan definisi hukum yang memuaskan.
Definisi mengenai apa itu hukum memang sangat perlu diberikan di awal-
awal pelajaran karena akan berguna sebagai pedoman/pegangan untuk
memahami hukum. Kendati pun definisi itu tidak sempurna dan tidak
memuaskan, mengingat luasnya ruang lingkup hukum , namun definisi
hukum dapat berfungsi sebagai pembuka pemahaman sementara dalam
rangka mempelajari ilmu hukum.
Oleh karena itu penulis akan tetap memberikan pembahasan
mengenai definisi Hukum. Agar diperoleh suatu pemahaman yang baik
mengenai apa itu hukum, maka penulis akan menguraikan pembahasan
definisi hukum menjadi 3 bagian yaitu definisi hukum secara etimologis,
definisi hukum menurut para ahli sesuai dengan aliran/mazhabnya dan
definisi hukum dalam berbagai arti. Untuk lebih jelasnya akan dipaparkan
sebagai berikut :
1) Hukum
Kata Hukum berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata kerja
“hakama” yang berarti menghukum, memutus, menetapkan. Dari kata
hakama muncul kata “al-hikmatu” yang semakna dengan kata “al-
adlu”, “al-ilmu”, “al-hilmu” yang berarti keadilan, kearifan,
kebijaksanaan. Jadi dalam kata hakama terkandung makna hukum.
Disamping itu, kata hakama juga mengandung makna keadilan.
Sedangkan di dalam kata hukum itu sendiri terkandung pengertian
yang bertalian erat dengan pengertian “dapat melakukan paksaan.”17
2) Recht
Recht berasal dari bahasa Latin “Rectum” berarti bimbingan
atau tuntutan, pimpinan, atau pemerintahan. Bertalian dengan kata
Rectum dikenal kata “Rex” yang artinya pemimpin atau orang yang
pekerjaannya memberikan bimbingan atau memerintah. Kata Rectum
dapat juga dihubungkan dengan kata “Directum” yang artinya orang
yang mempunyai pekerjaan membimbing atau mengarahkan. Dari
kata Recht atau pimpinan atau pemerintahan, tersimpul unsur
kewibawaan. Dari kata Recht tersebut muncul juga istilah
“Gerechtigheid” (bahasa Belanda) atau “Gerechtigkeit” (bahasa
Jerman) yang berarti keadilan. Sehingga hukum juga mempunyai
hubungan yang erat dengan keadilan. Jadi dengan demikian, Recht
dapat diartikan hukum yang mempunyai dua unsur penting yaitu
“kewibawaan dan keadilan”.18
17
Suparman Usman, Hukum Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2001, hlm.75.
18
R. Soeroso, Op. Cit., hlm.25.
3) Ius
Kata Ius berarti hukum. Kata ius berasal dari bahasa latin
“Iubere” artinya mengatur atau memerintah. Selanjutnya istilah ius
bertalian dengan “Iustitia” atau keadilan. Pada zaman dahulu,
menurut mitologi Yunani, iustitia adalah dewi keadilan yang
dilambangkan sebagai seorang wanita dengan kedua matanya yang
tertutup dan tangan kirinya memegang neraca serta tangan kanannya
memegang pedang.19
4) Lex
Kata Lex berasal dari bahasa latin yaitu “Lesere”. Lesere
artinya ialah mengumpulkan orang-orang untuk diberi perintah. Jadi
di sini terkandung pula makna kewibawaaan atau otoritas, sehingga
kata Lex yang berarti hukum sangat erat hubungannya dengan
perintah dan wibawa.20
1) Aristoteles
Dalam bukunya “Rhetorica” ia mengatakan bahwa hukum adalah
sesuatu yang berbeda daripada sekedar mengatur dan
mengekspresikan bentuk dari konstitusi dan hukum berfungsi
untuk mengatur tingkah laku para hakim dan putusannya di
pengadilan untuk menjatuhkan hukuman terhadap pelanggar.
19
Loc. Cit.
20
R. Soeroso, Op.Cit., hlm.26.
2) Immanuel Kant
Hukum ialah keseluruhan syarat–syarat yang dengan ini kehendak
bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan
kehendak bebas dari orang lain. Menurut peraturan hukum tentang
kemerdekaan.
b. Mazhab Historis
Menurut Carl Von Savigny, hukum ialah aturan yang terbentuk
melalui kebiasaan dan perasaan kerakyatan, yaitu melalui
pengoperasian kekuasaan secara diam-diam. Hukum berakar pada
sejarah manusia, dimana akarnya dihidupkan oleh kesadaran,
keyakinan, dan kebiasaan warga masyarakat.
c. Mazhab Positivisme
1) Paul Scholten
Hukum adalah suatu petunjuk tentang apa yang layak dilakukan
dan apa yang tidak layak dilakukan yang bersifat perintah.
5) Goodhart
Ahli Hukum Afrika Selatan ini mengemukakan pandangannya
mengenai hukum. Menurutnya, hukum adalah aturan-aturan
tingkah laku, dimana eksistensi masyarakat itu digantungkan
kepadanya, karena perkosaan atau pelanggaran terhadap aturan-
aturan tingkah laku itu pada dasarnya menghapuskan eksistensi
itu.
d. Mazhab Sosiologis
1) Roscoe Pond
Hukum adalah sekumpulan penuntun yang berwibawa atau dasar–
dasar ketetapan yang dikembangkan dan ditetapkan oleh suatu
teknik yang berwenang atas latar belakang cita–cita tentang
ketertiban masyarakat dan hukum yang sudah diterima.
2) Bellefroid
Hukum adalah kaidah hukum yang berlaku di suatu masayarakat
yang mengatur tata tertib masyarakat dan didasarkan atas
kekuasaan yang ada didalam masyarakat itu.
3) Zinscheimer
Dalam bukunya yang berjudul “Rechtsociologis” ia memberikan
definisi hukum dengan membedakan hukum menjadi tiga:
I. Hukum Normatif
Hukum normatif adalah hukum yang nampak dalam peraturan
perundang-undangan serta hukum yang tidak tertulis dalam
peraturan perundang-undangan tetapi toh diindahkan/ditaati
oleh masyarakat karena keyakinan. Peraturan hidup itu sudah
sewajarnya ditaati.
4) Kontorowich
Di dalam bukunya yang berjudul “The Definition of Law”
Kantorowich menyatakan bahwa “Law is a body of social rule
prescribing external conduct and considered justisiable”. Artinya:
“Hukum adalah keseluruhan peraturan-peraturan sosial yang
mewajibkan perbuatan lahir yang mempunyai sifat keadilan serta
dapat dibenarkan”.
e. Mazhab Realis
3) Salmond
Hukum ialah kumpulan asas-asas yang diakui dan diterapkan oleh
negara di dalam pengadilan
1) Utrecht
Dalam bukunya (Pengantar dalam Hukum Indonesia) ia
mengemukakan bahwa hukum adalah himpunan petunjuk hidup
(perintah atau larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu
masyarakat yang seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat dan
jika dilanggar dapat menimbulkan tindakan dari pihak pemerintah
dari masyarakat itu.
3) R. Soeroso
Dalam bukunya “Pengantar Ilmu Hukum”, ia menyatakan bahwa
hukum adalah himpunan-himpunan peraturan yang dibuat oleh
yang berwenang, dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan
bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang
serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi
hukuman bagi mereka yang melanggarnya.
5) S.K. Amin
Hukum ialah kumpulan–kumpulan peraturan–peraturan yang
terdiri dari norma dan sanksi–sanksi itu di sebut hukum dan tujuan
hukum itu adalah mengadakan ketatatertiban dalam hukum
pergaulan manusia, sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara.
B. Fungsi Hukum
Sebenarnya fungsi hukum itu beraneka ragam dan luas, seluas ilmu
hukum dan tujuan hukum itu sendiri. Namun demikian tetap perlu diberikan
suatu perumusan tentang fungsi hukum agar dapat diketahui apa sebenarnya
fungsi hukum itu. Sama halnya dengan definisi hukum yang begitu banyak,
sebanyak yang mendefinisikannya. Fungsi hukum pun hampir serupa seperti
itu, masing-masing ahli merumuskan fungsi hukum.
Hukum sebagai suatu ilmu pengetahuan dan sebagai kaidah sosial
tentu memiliki fungsi dan tujuan. Antara fungsi dan tujuan memang saling
berkaitan erat. Bahkan fungsi hukum menurut Prof. Achmad Ali tergantung
dari tujuan hukumnya.21 Lain tujuan yang hendak dicapai maka lain pula
fungsinya. Tujuan hukum dicapai dengan memfungsikan hukum, yaitu
dengan cara mengarahkan fungsi hukum kepada tujuan hukum yang hendak
dicapai.
Masih banyak orang yang seringkali keliru dalam menilai fungsi
hukum. Hukum dianggap baru berfungsi ketika sudah terjadi pelanggaran
terhadapnya. Persepsi yang demikian itu adalah keliru dan harus diluruskan.
Hukum tidak hanya berfungsi manakala sudah terjadi pelanggaran, tetapi
juga berfungsi sebelum terjadinya pelanggaran. Dalam hal yang demikian
hukum berfungsi sebagai petunjuk dan pedoman bersikap tindak. Contoh:
Bank melakukan kegiatan usaha sebagaimana yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan dibidang perbankan. Tanpa harus ada pelanggaran
terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut hukum ternyata
memberi pedoman kepada bank tentang bagaimana ia melakukan kegiatan
usahanya. Sebaliknya, tanpa adanya pengaturan oleh hukum maka dapat
dibayangkan betapa kacaunya sistem perbankan tersebut. Ini salah satu buki
bahwa hukum berfungsi/bekerja kendati pun tidak ada pelanggaran.
Nampaknya benar sinyalemen para sosiolog hukum bahwa hukum
pada hakikatnya barulah merupakan janji-janji atau rencana yang tidak lebih
dari sekedar cita hukum (rechtsidee). Ia akan menjadi hukum apabila
difungsikan atau dijalankan dalam kehidupan nyata.22
Rusli Effendi mengemukakan bahwa hukum akan memiliki daya kerja
yang baik apabila dua fungsi hukum betul-betul membumi dalam kehidupan
masyarakat. Dua fungsi hukum itu ialah:
1. Fungsi pasif; hukum berfungsi sebagai penjaga status qou. Fungsi ini
disebut “sarana kontrol sosial” atau “law is tool of social control.”
21
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Edisi Kedua, Ghalia Indonesia, Bogor, 2008, hlm.70.
22
Marwan Mas, Pengantar Ilmu hukum, Cet. Kedua, Bogor, Ghalia Indonesia, 2011, hlm. 89.
2. Fungsi aktif; hukum berfungi merombak tatanan yang telah ada menuju
suatu keadaan yang dicita-citakan. Fungsi ini dikenal sebagai fungsi “law
is tool of social engineering” (fungsi hukum sebagai alat perekayasa
sosial).23
Berdasarkan uraian diatas, maka pada bagian ini akan dipaparkan
fungsi hukum yang sudah lazim ditemui dalam kepustakaan ilmu hukum.
Fungsi hukum tersebut antara lain:
23
Rusli Effendi dalam Marwan Mas, Loc. Cit.
berbicara mengenai fungsi hukum dalam menciptakan ketertiban dan
ketentraman.
24
Seodjono Dirdjosisworo, Op. Cit., hlm.155.
25
Lawrence Friedman, American Law, W.W Norton & Company, London, 1984, hlm.6.
hukum dengan baik adalah suatu keniscayaan. Sebaliknya, hukum yang
baik, penegak hukum yang baik, tanpa ditunjang oleh budaya hukum
masyarakat, maka fungsi hukum tidak akan terlaksana dengan baik. Akan
terjadi ketimpangan ketika budaya/kesadaran masyarakatnya tidak
mendukung.
C. Tujuan Hukum
1) Van Apeldoorn
Dalam bukunya yang masyhur “Inleiding tot de Studie van het
Nederlandse Recht”, juris asal Belanda ini mengatakan bahwa tujuan
hukum adalah untuk mengatur pergaulan hidup manusia secara
damai. Hukum menghendaki perdamaian.
2) Wirjono Prodjodikoro
Dalam bukunya “Perbuatan Melanggar Hukum” ia menyebutkan
bahwa tujuan hukum adalah mengadakan keselamatan, kebahagiaan,
dan tata tertib dalam masyarakat. Ia mengatakan bahwa masing–
masing anggota masyarakat mempunyai kepentingan yang beraneka
ragam.
3) Algra
Mengatakan bahwa tujuan pokok hukum adalah menciptakan
tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban, dan
keseimbangan. Dengan tercapainya ketertiban dalam masyarakat
diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi.
4) Aristoteles
Filsuf Yunani Kuno ini berpendapat bahwa tujuan hukum adalah
menghendaki keadilan semata–mata dan isi daripada hukum
ditentukan oleh kesadaran etis mengenai apa yang dikatakan adil dan
apa yang tidak adil. Menurut teori ini, hukum mempunyai tugas suci
dan luhur, yakni keadilan, dengan memberikan pada tiap–tiap orang
apa yang patut ia terima, yang memerlukan peraturan tersendiri bagi
tiap–tiap kasus. Apabila ini dilaksanakan maka tidak akan ada habis–
habisnya. Oleh karena itu hukum harus membuat apa yang dinamakan
”Algemeene Regeis” (peraturan/ketentuan–ketentuan umum).
5) Jeremy Bentham
Dalam bukunya “Intruduction to the Moral and Legislation” ia
mengemukakan bahwa hukum bertujuan untuk mewujudkan semata–
mata apa yang berfaedah bagi orang. Pandangannya ini kemudian
dikenal dalam dunia hukum sebagai utility theory (teori utilitas) atau
dalam bahasa Indonesia disebut teori kemanfaatan/kefaedahan
hukum.
7) J.H.P Bellefroid
Dalam bukunya “Inleiding tot de Rechtwetenschap in
Nederland” ia mengemukakan suatu pandangan yang berbeda dari
sarjana lain yang bermazhab etis, utilitas, atau normatif dogmatik. Ia
memandang bahwa isi hukum harus ditentukan menurut dua asas,
yaitu asas keadilan dan faedah/kemanfaatan. Pandangan tentang
tujuan hukum yang dikemukakannnya menjadikannya sebagai salah
satu pelopor aliran tujuan hukum campuran/gabungan.
1) Teori Etis
Menurut teori etis, tujuan hukum adalah semata-mata untuk
keadilan. Disebut teori etis karena teori ini mendasarkan doktrinnya
bahwa isi daripada hukum ditentukan oleh keyakinan etis mengenai
apa yang adil dan apa yang tidak adil. Pelopor dari teori ini adalah
Aristoteles. Aristoteles membagi keadilan ke dalam dua macam,
yaitu:
a. Justitia Distributiva atau Keadilan Distributif; ialah keadilan yang
memberikan kepada setiap orang sesuai dengan jasa-jasanya.
Keadilan dalam konteks ini bukan menghendaki/mengejar
persamaan, melainkan pembagian secara proporsional sesuai jasa-
jasa seseorang.
b. Justitia Commutativa atau Keadilan Komutatif; ialah keadilan
yang memberikan kepada setiap orang tanpa melihat jasa-jasanya.
Keadilan dalam konteks ini menghendaki adanya persamaan
keadilan bagi setiap orang tanpa memperhitungkan jasa-jasa yang
telah diperbuat.
2) Teori Utilitas
Menurut teori utilitas, tujuan hukum adalah semata-mata
menciptakan kemanfaatan atau kefaedahan bagi masyarakat. Teori ini
mengajarkan bahwa pada hakekatnya hukum bertujuan untuk
menciptakan/mewujudkan kebahagian/kemanfaatan yang sebanyak-
banyaknya kepada masyarakat (the greatest happiness principle).
Pelopor dari teori ini adalah Jeremy Bentham (ahli hukum Inggris),
yang kemudian diikuti/dianut oleh James Mill, John Stuart Mill, dll.
4) Teori Campuran/Gabungan
Menurut teori ini, tujuan hukum bukanlah semata-mata hanya
untuk keadilan atau untuk kemanfaatan, tetapi tujuan hukum adalah
untuk mencapai kedua-duanya, keadilan dan kemanfaatan (justice et
utilities).26 Pendukung teori ini antara lain J. Schrasset dan Bellefroid.
26
Pipin Syarifin, Op Cit, hlm.53.
2) Ajaran Prioritas Kasuistik
Ajaran ini merupakan suatu pembaharuan yang realistis
mengenai persoalan tujuan hukum yang mulai dianut menjelang akhir
abad ke 20. Ajaran ini lahir sebagai reaksi terhadap ajaran prioritas
baku Gustav Radbruch. Pada mulanya, ajaran prioritas baku dianggap
supel dan lebih baik daripada ajaran tentang tujuan hukum yang
ekstrem, seperti teori etis, utilitas, dan normatif dogmatik. Namun
berkembangnya zaman yang melahirkan kompleksitas kehidupan
yang semakin tinggi, membuat ajaran proritas baku mulai lekang oleh
waktu.
Kadang-kadang ajaran prioritas baku justru bertentangan dengan
kebutuhan hukum dalam kasus-kasus tertentu. Sebab adakalanya
untuk kasus tertentu, kemanfaatan harus diutamakan daripada
keadilan, atau kepastian hukum harus didahulukan daripada keadilan.
Sedangkan ajaran prioritas baku mengharuskan pencapaian tujuan
hukum secara berurut dan baku, mulai dari keadilan, kemanfaaatan,
dan kepastian hukum.27
Oleh karena itu munculah ajaran baru yang mengajarkan bahwa
ketiga tujuan hukum itu harus diprioritaskan sesuai dengan kasus
yang dihadapi. Misalnya pada kasus tertentu yang diprioritaskan
adalah keadilan. Namun pada kasus yang lain yang diprioritaskan
adalah kemanfaatan. Jadi untuk memilih tujuan mana yang hendak
dicapai, disesuaikan dengan kasus yang dihadapi (kasuistik).
1. Unsur-Unsur Hukum
Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan tingkah laku yang
diakui kebenarannya dan dibuat oleh badan yang berwenang. Peraturan
mana berisi perintah dan larangan yang mempunyai sifat memaksa dan
27
Achmad Ali, Op. Cit., hlm.68.
mengancam serta menjatuhkan hukuman yang nyata bagi yang
melanggarnya.
Dari penjelasan-penjelasan yang telah diberikan sebelumnya
tentang hukum dan sesuai dengan definisi hukum menurut penulis, maka
dapat dirumuskan beberapa unsur-unsur hukum.
Unsur-Unsur Hukum tersebut antara lain:
a) Peraturan-peraturan tingkah laku manusia
b) Peraturan-peraturan itu dibuat oleh badan resmi yang berwenang
c) Peraturan-peraturan itu diakui kebenarannya
d) Peraturan-peraturan itu bersifat memaksa
e) Sanksi yang tegas dan nyata
2. Ciri-Ciri Hukum
Dengan merujuk kepada pembahasan-pembahsan sebelumnya
tentang hukum maka dapat disebutkan ciri-ciri hukum. Ciri-ciri hukum
berarti tanda atau pengenal untuk mengetahui apakah itu hukum atau
bukan.
Dalam ilmu hukum dikenal adanya beberapa ciri hukum, yaitu:
1) Adanya larangan dan perintah
2) Larangan dan perintah itu dipatuhi
3) Ancaman sanksi yang nyata dan tegas
3. Sifat-Sifat Hukum
Hukum itu mempunyai sifat mengatur dan memaksa, karena hukum
adalah peraturan hidup di masyarakat yang memaksa setiap orang untuk
mematuhinya dan bagi yang melanggar akan dikenai sanksi.
E. Asas Hukum
28
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, Yogyakarta, 2010, hlm.44.
b. Pengertian asas hukum menurut para ahli
1) C.W Paton
Mengatakan bahwa asas adalah “The principles is the broad
reason, which lies at the base of a rule of law” artinya, asas adalah
suatu alam pikiran yang dirumuskan secara luas dan mendasari
adanya sesuatu norma hukum. Apabila diringkas maka akan tersimpul
unsur-unsur daripada asas, yaitu:
a. Alam pikiran
b. Rumusan luas
c. Dasar bagi pembentukan norma hukum
5) J.B Daliyo
Dalam bukunya “Pengantar Ilmu Hukum”, ia menegaskan
bahwa asas hukum bukan norma hukum kongkret, tetapi ia adalah
latar belakang dari peraturan kongkret, karena ia merupakan dasar
pemikiran yang umum dan abstrak dan mendasari lahirnya setiap
peraturan hukum.
Mencermati pengertian asas hukum diatas, baik dari segi tata bahasa
maupun pandangan para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa asas hukum
adalah dasar pemikiran yang melatarbelakangi suatu peraturan hukum, ia
bersifat abstrak dan menjadi landasan dalam pembentukan peraturan hukum.
Dengan demikian maka sudah dapat dibedakan antara asas hukum dengan
norma hukum (peraturan hukum).
Asas hukum adalah dasar pemikiran/rumusan ide yang
melatarbelakangi suatu peraturan hukum, ia bersifat abstrak. Sedangkan
peraturan hukum adalah manifestasi (perwujudan) atau konkretisasi dari
rumusan ide yang abstrak tersebut (asas), oleh karenanya peraturan hukum
bersifat kongkret. Jika asas hukum telah dirumuskan dalam bentuk yang
kongkret berupa perturan hukum, yakni peraturan perundang-undangan,
maka ia sudah dapat diterapkan pada peristiwa hukum. Sebaliknya, apabila
belum dimanifestasikan dalam ketentuan peraturan hukum maka ia belum
bisa diterapkan pada peristiwa hukum (non terapan).
Ketika suatu asas hukum telah diresapi dan dimuat dalam ketentuan-
ketentuan peraturan hukum, maka ia dapat berfungsi untuk mengatasi
pertentangan diantara peraturan hukum. Misal pertentangan antara undang-
undang B dengan undang-undang C. Maka asas hukum Lex specialist
derogat legi generalis (hukum yang lebih khusus mengesampingkan hukum
yang umum) dan asas hukum Lex posteriori derogat legi priori (hukum yang
baru mengesampingkan hukum yang terdahulu) dapat menengahi dan
memberi solusi atas pertentangan tersebut. Jadi walaupun sifatnya abstrak
dan idiil (dasar), asas hukum mempunyai peran dan fungsi yang signifikan.
Oleh karena itu, menjaga ketaatan terhadap asas hukum akan
membuat sistem hukum dan sistem peradilan bekerja sesuai fungsinya dan
tidak keluar daripada jalur yang seharusnya.29 Banyak asas hukum yang
29
Marwan Mas. Op.Cit., hlm.109.
dituangkan/dimuat di dalam peraturan hukum yang kongkret, seperti asas
hukum “Equality before the law” (persamaan dihadapan hukum) yang
dituangkan dalam pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: “Segala
warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan
dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya.”
Selain itu, ada juga asas “Presumption of innocence” (asas praduga
tak bersalah) yang dituangkan dalam pasal 8 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi: “Setiap orang yang
disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan
wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang
menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Selain asas-asas tersebut diatas, masih banyak lagi asas hukum yang
telah dimuat di dalam peraturan hukum yang konkret dan telah menjadi
bagian integral dari hukum positif Indonesia. Namun demikian, tidak semua
asas hukum sudah terjewantahkan (menjelma) di dalam peraturan hukum
yang berlaku di Indonesia dan menjadi bagian integral dalam hukum positif
Indonesia. Sebab pengejawantahan suatu asas dalam peraturan hukum yang
kongkret tentu disesuaikan dengan jiwa bangsa dimana peraturan hukum itu
berlaku.
Seperti yang dikemukakan oleh Carl Von Savigny bahwa hukum
tidak lain adalah cerminan karakter, kepribadian dan sejarah suatu bangsa.
Hukum lahir, tumbuh, dan berkembang dalam ruang dan waktu, tidak
terlepas dari sejarah, kepribadian, dan kesadaran hukum masyarakatnya. Oleh
karena itu, adalah sesuatu yang wajar apabila ada asas-asas hukum tertentu
yang tidak diejawantahkan dalam peraturan hukum yang kongkret. Contoh,
asas “The binding force of precedent” (hakim diwajibkan mengikuti putusan
hakim yang terdahulu dalam memutus perkara yang sejenis), asas ini tidak
digunakan di Indonesia karena para hakim Indonesia tidak wajib mengikuti
putusan hakim terdahulu dalam perkara yang sama. Umumnya asas tersebut
diterapkan di negara-negara Anglo Saxon.
Selanjutnya menurut Prof. Sudikno Mertokusumo, asas hukum dapat
dibagi menjadi dua:
1. Asas hukum umum: yaitu asas hukum yang berlaku untuk semua
bidang/cabang ilmu hukum. Contohnya asas restitutio in integrum
(hukum mengembalikan masyarakat yang berkonflik kepada keadaan
semua), asas Lex posteriori derogat legi priori (hukum/peraturan
perundang-undangan yang baru mengesampingkan hukum/peraturan
perundang-undangan yang lama/terdahulu).
2. Asas hukum khusus: yaitu asas hukum yang hanya berlaku untuk
bidang/cabang ilmu hukum tertentu. Contohnya asas pacta sunt servanda
(para pihak yang mengadakan perjanjian terikat dengan perjanjian yang
dibuatnya/perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak
yang membuatnya) hanya berlaku dibidang perdata.30
Dari penjelasan-penjelasan diatas dapatlah ditarik suatu kesimpulan
bahwa antara asas hukum dan norma (peraturan hukum) adalah sesuatu yang
berbeda namun berkaitan. Dikatakan berkaitan karena asas hukumlah yang
merupakan jantungnya hukum, ia adalah dasar yang melatarbelakangi
lahirnya norma hukum (peraturan hukum). Sedangkan perbedaannya dapat
dilihat dibawah ini:
1. Asas hukum merupakan dasar pemikiran yang umum dan bersifat abstrak.
Sedangkan peraturan hukum adalah aturan yang kongkret.
2. Asas hukum merupakan rumusan ide dasar atau konsepsi dasar.
Sedangkan peraturan hukum adalah manifestasi/penjabaran dari ide dasar
tersebut.
3. Asas hukum tidak memiliki sanksi. Sedangkan peraturan hukum memiliki
sanksi. Oleh karena itu pelanggaran terhadap suatu asas, selama asas itu
tidak dijabarkan dalam peraturan hukum, maka asas tersebut tidak
memiliki kekuatan mengikat dan tidak akan ada sanksi.
4. Asas hukum adalah bagian dari ilmu hukum yang bersifat non terapan
(tidak dapat langsung diterapkan pada peristiwa hukumnya). Sedangkan
30
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hlm.45.
peraturan hukum bersifat terapan (dapat langsung diterapkan pada
peristiwa hukumnya).
Sebagai bahan pengayaan wawasan, berikut akan dijelaskan beberapa
asas hukum yang lazim digunakan dalam kepustakaan hukum, antara lain :
1. Nullum delictum noella poena sine praevia lege poenale : (asas legalitas)
tidak ada suatu perbuatan yang dapat dihukum kecuali berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum
perbuatan dilakukan.
2. Iedereen wordht geacht de wet te kennen atau disebut juga asas fictie
(fiksi): setiap orang dianggap mengetahui hukum. Oleh karena itu tidak
ada alasan bagi pelanggar hukum bahwa ia tidak mengetahui hukumnya.
3. Lex superior derogat legi inferior: hukum (peraturan perundang-
undangan) yang lebih tinggi mengesampingkan hukum (peraturan
perundang-undangan) yang lebih rendah derajatnya.
4. Lex specialist derogat legi generalis : hukum (peraturan perundang-
undangan) yang lebih khusus mengesampingkan hukum (peraturan
perundang-undangan) yang umum.
5. Lex posteriori derogat legi priori: Hukum (peraturan perundang-
undangan) yang baru mengesampingkan hukum (peraturan perundang-
undangan) yang lama/terdahulu.
6. Lex dura sed tamen scripta: Hukum dirasa kejam namun memang
demikianlah keadaannya.
7. Lex neminem cogit ad impossobilia, yaitu peraturan perundang-undangan
tidak memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin
dilakukan atau sering disebut dengan asas kepatutan (bilijkheid).
8. Lex perfecta, yaitu peraturan perundang-undangan tidak saja melarang
suatu tindakan tetapi juga menyatakan bahwa tindakan terlarang itu batal.
9. Summum ius summa iniura: kepastian hukum yang tertinggi adalah
ketidakadilan yang tertinggi.
10. Ius curia novit: hakim dianggap mengetahui/memahami hukum. Artinya
hakim tidak boleh menolak untuk mengadili perkara yang diajukan
kepadanya dengan alasan tidak ada hukumnya atau hukumnya tidak jelas
karena ia dianggap mengetahui hukum.
11. Presumption of innocence: (asas praduga tak bersalah) setiap orang wajib
dianggap tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap yang menyatakan kesalahannya.
12. Res judicata proveri tate habetur: setiap putusan hakim/pengadilan
adalah sah kecuali dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi.
13. Unus testis nullus testis: satu bukti bukan bukti/satu saksi bukan
merupakan alat bukti yang dapat diterima. Artinya hakim dalam memutus
suatu perkara harus didasarkan minimal pada dua alat bukti.
14. Geen straft zonder schuld: tiada suatu hukuman tanpa kesalahan.
15. Similia similibus: putusan yang sama terhadap kasus yang sama (sejenis).
16. Non retro aktif: (asas hukum tidak berlaku surut) hukum tidak dapt
menjangkau perbuatan yang telah dilakukan lebih dulu sebelum
hukumnya berlaku.
17. Affirmanti incumbit probato: barangsiapa yang mendalilkan sesuatu maka
ia harus membuktikan dalilnya tersebut.
18. Judex non ultra petita: hakim tidak boleh memutus hal yang tidak
diminta atau melebihi apa yang diminta oleh para pihak (asas ini berlaku
pada perdilan perdata)
19. Equality before the law: (asas persamaan di hadapan hukum) setiap orang
harus diperlakukan sama dihadapan hukum.
20. The binding force of precedent: (asas preseden) hakim wajib mengikuti
putusan hakim yang terdahulu dalam memutus perkara yang sejenis (asas
ini tidak digunakan dalam sistem hukum di Indonesia).
21. Cogatitionis poenam nemo patitur: tidak seorang pun dapat dihukum
karena apa yang dipikirkannya di dalam hati. Artinya hukum hanya
mengatur perbuatan lahiriah.
22. Restitutio in integrum: hukum berfungsi mengembalikan masyarakat
yang berkonflik kepada keadaan semula
23. In dubio pro reo: apabila hakim ragu didalam menjatuhkan putusannya
maka ia harus menjatuhkan hukuman yang paling menguntungkan bagi
terdakwa
24. Erga omnes: putusan pengadilan/hakim tidak hanya mengikat para pihak
yang bersengketa/berperkara tetapi juga mengikat umum. D di Indonesia,
asas ini berlaku pada putusan Peradilan Tata Usaha Negara dan
Mahkamah Konstitusi.
BAB III
HUKUM SEBAGAI NORMA/KAIDAH SOSIAL
31
Elwood dalam Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum, Op.Cit., hlm. 40.
45
46
1. Norma/Kaidah Agama
32
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Op.Cit., hlm.6.
c. Dan masih banyak lagi contoh lainnya yang kesemuanya bersumber
dari Tuhan.
Norma/Kaidah agama ini sering disimpulkan sebagai kaidah yang
hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Namun jika
dicermati dengan lebih seksama, khususnya dalam Agama Islam, maka
akan didapatlah kesimpulan bahwa agama tidak hanya mengatur
hubungan antara mansusia dengan Tuhannya (ibadah), tetapi juga
mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia (muamalah), dan
manusia dengan lingkungannya.
Norma/Kaidah agama juga sering disimpulkan hanya ditujukan
pada sikap batin manusia. Namun jika kembali dicermati, kaidah Agama
Islam tidak hanya ditujukan pada sikap batin manusia, melainkan sikap
lahirnya juga. Agama memperhitungkan kedua aspek sikap itu, baik sikap
batin maupun sikap lahirnya. Inilah yang membedakan antara kaidah
agama dengan kaidah sosial lainnya. Jika kaidah sosial lainnya hanya
ditujukan pada sikap batin atau sikap lahirnya saja, maka kaidah agama
mengatur keduanya; manusia harus senantiasa memiliki sikap batin/hati
yang baik dan juga sikap lahir (perbuatan) yang baik pula. Manusia yang
berniat jahat, berpikiran buruk, berhati dengki, dan sikap batin lainnya
yang tercela diancam sanksi oleh kaidah agama. Begitupun manusia yang
berbuat jahat seperti mencuri, membunuh, berkata dusta, dapat dikenakan
sanksi agama. Jadi jelaslah bahwa kaidah agama mengatur aspek lahir
dan batin manusia.
Tujuan daripada norma/kaidah agama adalah untuk
penyempurnaan manusia, baik sikap batinnya maupun sikap lahirnya.
Jika sikap batinnya sudah baik maka kemungkinan besar sikap lahirnya
juga akan baik. Sebaliknya, jika sikap batinnya buruk/selalu mengajak
kepada perbuatan tercela maka sikap lahirnya pun kemungkinan besar
akan tercela, karena apa yang dilakukan seseorang dalam bentuk
perbuatan, tidak lain merupakan hasil pertimbangan hati dan pikirannya.
Oleh karena itu kaidah agama mengatur kedua aspek sikap tersebut.
Norma/Kaidah agama berisi perintah, larangan, dan anjuran-
anjuran yang kesemuanya itu menitikberatkan kepada kewajiban-
kewajiban bagi manusia. Artinya, kaidah agama membebani manusia
dengan kewajiban-kewajiban sebagaimana yang diajarkan/diperintahkan
oleh agama tersebut.
Bagi yang melanggar kaidah agama diancam dengan sanksi yang
diyakini pengikutnya berasal dari Tuhan, karena pelanggaran atas kaidah
agama merupakan pelanggaran terhadap titah Tuhan. Jadi sanksinya
bersifat heteronom (datang dari kekuasaan lain di luar diri si pelanggar).
Sanksi atas pelanggaran norma/kaidah agama yaitu berupa dosa.
Setiap dosa akan diperhitungkan diakhirat kelak dan akan mendapat
hukuman/siksaan kelak diakhirat. Namun ada juga kaidah agama yang
memiliki sanksi/hukuman yang dapat dijatuhkan di dunia, misalnya
ajaran Agama Islam; pezina akan dihukum rajam (dilempari dengan batu
hingga meninggal), pembunuh akan mendapat hukuman qishas yaitu
dihukum mati misalnya dengan cara dipancung. Kedua hukuman itu
dijatuhkan/dieksukusi langsung di dunia.
Yang menarik dari norma/kaidah agama ini adalah adakalanya
kaidah agama dalam bidang-bidang tertentu dilembagakan menjadi
hukum positif. Contoh, Kaidah Agama Islam dibidang perkawinan
dilembagakan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Kaidah Agama Islam dibidang Perkawinan, Kewarisan, dan
Perwakafan, dilembagakan dalam Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam. Kompilasi Hukum Islam tersebut
berfungsi sebagai sumber hukum formil bagi hakim di lingkungan
Peradilan Agama dalam mengadili perkara yang terkait dengan
perkawinan, kewarisan, dan perwakafan.
2. Norma/Kaidah Kesusilaan
3. Norma/Kaidah Kesopanan
4. Norma/Kaidah Hukum
33
Berdasarkan penjelasan pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Gratifikasi
adalah pemberian dalam arti luas, meliputi pemberian uang, barang, rabat ( discount), komisi,
pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasililtas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan
cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Mengenai sifat memaksa dari kaidah hukum ini, Prof. Achmad Ali
mengutarakan pendapatnya mengenai dua sifat alternatif (kemungkinan)
hukum, yaitu:
1. Ada kemungkinan bersifat imperatif, yaitu secara apiori wajib ditaati.
Kaidah ini tidak dapat dikesampingkan hanya karena para pihak
membuat perjanjian.
2. Ada kemungkinan bersifat fakultatif, yaitu tidak secara apriori
mengikat atau wajib ditaati. Jadi, kaidah yang bersifat fakultatif
merupakan kaidah hukum yang di dalam keadaan konkrit dapat
dikesampinkan oleh perjanjian yang dibuat oleh para pihak.34
Norma hukum ditujukan pada sikap lahir/perbuatan konkrit
manusia. Hukum tidak mempersoalkan apa yang ada di dalam hati/apa
yang dipikirkan manusia. Baik atau buruk, jahat atau tidak jahat sikap
batin manusia, kaidah hukum tidak dapat menjangkaunya untuk
kemudian ditetapkan hukumnya. Jadi selama sikap batin/pikiran manusia
itu tidak diwujudkan dalam perbuatan, maka kaidah hukum tidak dapat
memberi sanksi. Misalnya, seseorang berkhayal akan mencuri sebuah
mobil, orang yang berkhayal tersebut tidak dapat dijerat dengan pasal
pencurian karena pada kenyataannya ia belum melakukan pencurian dan
tidak ada mobil yang hilang karena ia curi.
Berkenaan dengan sasaran norma/kaidah hukum yang ditujukan
kepada sikap lahir manusia, berlaku sebuah asas “Cogatitionis poenam
nemo patitur” artinya, tidak ada seorang pun yang dapat dihukum karena
apa yang ada dalam batinnya/karena apa yang dipikirkannya. Sekalipun
banyak pendapat yang mengemukakan mengenai apa itu tujuan hukum,
namun pada hakekatnya tujuan kaidah hukum itu sama dengan tujuan
kaidah sosial lainnya, yaitu untuk menciptakan ketertiban dalam
pergaulan hidup manusia.
Berbeda dari norma/kaidah sosial lainnya, isi daripada kaidah
hukum ialah hak dan kewajiban. Kaidah hukum menetapkan agar antara
34
Achmad Ali, Op.Cit., hlm.36.
hak dan kewajiban dapat berjalan secara seimbang dan harmonis. Lebih-
lebih dibidang perikatan/perjanjian, setiap perikatan pasti menimbulkan
hak dan kewajiban.
Norma/Kaidah hukum bersumber dari kekuasaan diluar manusia
sebagai individu (heteronom). Kaidah hukum berasal dari kekuasaan luar
yang memaksakannya kepada setiap orang (individu). Dapat dikatakan
bahwa masyarakat secaara terorganisir/resmilah yang menciptakan
norma/kaidah hukum. Oleh karena itu setiap pelanggaran atas kaidah
hukum diberikan sanksi oleh kekuasaan yang berwenang untuk itu, yaitu
negara melalui pengadilannya.
Sanksi atas pelanggaran norma/kaidah hukum ini tegas dan nyata.
Sanksi kaidah hukum yang tegas dan nayata inilah yang menjadi ciri
prinsip, yang memebedakan kaidah hukum dengan kaidah-kaidah sosial
lainnya. Kaidah hukum dilengkapi dengan sanksi/hukuman yang tegas
dan nyata seperti hukuman pidana (nestapa, penderitaan fisik) yaitu
pidana penjara, denda, kurungan, bahkan sampai pidana mati. Hukuman
perdata, misalnya ganti kerugian. Hukuman secara administratif, seperti
peringatan, teguran tertulis, pencabutan izin usaha, pemberhentian dari
jabatan, dan lain sebagainya.
Adakalanya suatu perbuatan diatur oleh keempat kaidah sosial
diatas dengan sama. Dalam hal yang seperti itu masing-masing kaidah
sosial saling mendukung dan memberi pengaruh positif satu sama
lainnya. Misalnya perbuatan mencuri, baik kaidah agama, kaidah
kesusilaan, kaidah kesopanan, dan kaidah hukum sama-sama melarang
pencurian. Dalam keadaan yang seperti itu, antara kaidah yang satu
dengan kaidah lainnya saling menguatkan.
Namun adakalanya juga kaidah sosial yang satu dengan kaidah
sosial yang lainnya saling bertentangan dalam memberikan
batasan/pedoman bagi masyarakat. Contoh, perzinaan (overspeel). Dalam
konsep hukum positif Indoneisia yang tertuang dalam pasal 286 KUHP,
perzinaan adalah persetubuhan luar kawin yang dilakukan oleh dua orang
yang salah satu atau kedua-duanya terikat tali perkawinan dengan orang
lain. Jadi yang dapat dihukum berdasarkan pasal 286 KUHP hanyalah
mereka yang melakukan persetubuhan luar kawin, sementara salah satu
atau keduanya masih terikat tali perkawinan dengan orang lain.
Sebaliknya, jika yang melakukan persetubuhan luar kawin itu sama-sama
belum terikat perkawinan dengan orang lain maka perbuatan tersebut
bukan merupakan perzinaan dan tidak dapat dihukum berdasarkan pasal
286 KUHP.
Konsep perzinaan menurut kaidah hukum itu berlainan dengan
konsep perzinaan menurut Kaidah Agama Islam. Dalam kaidah Agama
Islam, perzinaan adalah persetubuhan yang dilakukan tanpa adanya tali
perkawinan yang sah, baik salah satu atau keduanya terikat tali
perkawinan dengan orang lain maupun tidak, hubungan persetubunhan itu
tetap dikatakan sebagai perzinaan. Demikian itulah salah satu contoh
bahwa tidak selamanya antara kaidah sosial yang satu dengan yang
lainnya dapat berjalan seiring dan serasi.
2. Norma/Kaidah Kesusilaan
3. Norma/Kaidah Kesopanan
4. Norma/Kaidah Hukum
3. Norma hukum yang terus menerus dan norma hukum yang sekali
selesai
37
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hlm.107-108.
62
63
2. R. Soeroso
3. Algra
38
R. Soeroso, Op. Cit., hlm.117.
39
Algra dalam R. Soeroso, Ibid., hlm.118.
Sepintas lalu pendapat Lemaire tersebut mirip dengan pandangan
Van Apeldoorn, namun jika diteliti sesungguhnya berbeda. Lemaire satu
tingkat lebih tegas dengan mengatakan bahwa yurisprudensi, kesadaran
hukum, dan doktrin adalah faktor penentu (determinan). Tentu kita tahu
antara membantu dan menentukan itu adalah dua frasa yang berlainan
maknanya.
Menurut penulis, apa yang dikemukakan oleh Van Apeldoorn dan
Lemaire diatas mengandung kontradiksi atau dengan kata lain; sesuatu
yang paradoksal. Di satu sisi, kedua sarjana itu mengatakan bahwa
yurisprudensi, doktrin, dan traktat bukan merupakan sumber hukum.
Namun disisi lain, kedua sarjana itu menggunakan kata “sebagai faktor
pembantu/penentu dalam pembentukan hukum” untuk menggambarkan
kedudukan yurisprudensi, traktat, dan doktrin. Kata-kata tersebut
sebenarnya juga mengandung arti sumber hukum, yaitu sumber hukum
materiil. Seperti yang dikemukakan oleh Algra diatas bahwa sumber
hukum materiil merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum.
b. G. W Keeton
Sumber hukum materiil adalah sumber dari mana hukum berasal atau
sumber tempat materi hukum diambil. Sumber hukum materiil merupakan
sumber hukum yang dilihat dari segi isinya dan sumber hukum inilah yang
merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum. Bahkan ada
sementara pendapat yang mengatakan bahwa sumber hukum materiil
merupakan faktor determinan dalam pembentukan hukum. Artinya, isi
daripada hukum yang berlaku, ditentukan oleh sumber materiilnya.
Sumber hukum materiil ini sulit untuk dirumuskan secara tegas dan
baku, mengingat ruang lingkup pengertiannya yang sangat luas; yakni
meliputi segala apa saja yang mempengaruhi isi hukum atau segala apa saja
yang membantu pembentukan hukum.
Dengan luasnya pengertian sumber hukum materiil tersebut, ada
beberapa sumber hukum materiil yang populer dan lazim dikenal dalam ilmu
hukum. Sumber hukum materiil tersebut antara lain:
40
G. W. Keeton dalam Achmad Ali, Op. Cit., hlm.84.
norma, kehendak, dan jiwa suatu bangsa. Jadi secara materiil, pandangan
hidup suatu bangsa memberi bahan kepada hukum yang berlaku. Dalam
hal ini perlu dikemukakan aliran Historische Rechtsschule yang
dipelopori Carl Von Savigny. Pada pokoknya, menurut aliran ini hukum
adalah hasil perumusan dari karakter, kepribadian, dan sejarah suatu
bangsa. Sedangkan tiap bangsa memiliki pandangan hidup (dasar
filosofis) yang berbeda-beda satu sama lain.
Contoh: bagi masyarakat Indonesia, Pancasila adalah dasar negara,
pandangan hidup, dan ideologi negara. Menurut pasal 2 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum
negara. Pancasila memang bukan sumber hukum formil di mana kita bisa
menemukan/mengenal hukumnya. Namun Pancasila sebagai pandangan
hidup bangsa Indonesia dijadikan sumber dari segala sumber hukum.
Artinya, tidak boleh berlaku suatu hukum (peraturan perundang-
undangan) yang bertentangan dengan Pancasila. Setiap hukum yang
berlaku hendaknya mengandung semangat dan jiwa Pancasila yang tidak
lain merupakan kristalisasi jiwa bangsa Indonesia. Inilah alasan mengapa
penulis menyebut bahwa pandangan hidup suatu bangsa adalah salah satu
sumber hukum materiil yang terpenting, karena pada asasnya pandangan
hidup bangsa ini memberi bahan bagi pembentukan hukum dan salah satu
faktor penentu dalam pembentukan hukum.
3. Kekuatan-kekuatan politik
4. Keadaan ekonomi
5. Nilai-nilai religius/agama
Sumber hukum formil adalah sumber yang dilihat dari segi bentuk
dan cara pembentukannya. Disebut sumber hukum formil karena yang
dilihat/diperhatikan adalah bentuk dan cara pembentukannya dengan tidak
lagi memperhatikan materi peraturan tersebut.
Dalam ilmu hukum, sumber hukum formil lazimnya dibagi menjadi
lima jenis, yaitu:
1. Undang-undang
2. Kebiasaan
3. Yurisprudensi
4. Traktat
5. Doktrin
Berikut penjelasan lebih lanjut dari sumber hukum formil adalah:
1. Undang-Undang
41
Lihat pasal 20 jo pasal 5 ayat (1) UUD 1945. Produk hukum yang dihasilkan melalui
prosedur seperti yang diatur dalam kedua pasal UUD 1945 itulah yang disebut sebagai undang-
undang dalam arti formil.
dalam arti formil adalah peraturan yang memiliki bentuk dan cara
pembentukannya yang tersendiri.
Di setiap negara, berbeda-beda cara pembentukannya. Di
Belanda, yang disebut sebagai undang-undang dalam arti formil
adalah peraturan hukum yang dibuat oleh Raja bersama Staten
General (Parlemen) berdasarkan pasal 112 Grondwet (UUD) Negeri
Belanda. Di Amerika Serikat, yang disebut sebagai undang-undang
dalam arti formil adalah peraturan hukum yang dibuat oleh Congress
(Parlemen) AS. Di Indonesia, yang disebut sebagai undang-undang
adalah peraturan hukum yang dibuat oleh DPR bersama Presiden
berdasarkan pasal 20 jo pasal 5 ayat (1) UUD 1945 yang teknis
proseduralnya diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Undang-undang lahir/muncul karena dibentuk oleh badan resmi
yang berwenang. Badan yang berwenang membentuk undang-undang
di suatu negara berbeda dengan negara lain. Umumnya, mengenai
kekuasaan membentuk undang-undang (legislative power) diatur di
dalam konstitusi/UUD suatu negara. Sedangkan konstitusi/UUD di
setiap negara pastilah berbeda-beda. Oleh sebab itu pembentukan
undang-undang disetiap negara berbeda dengan negara lain, andaikata
ada persamaan paling hanya dalam beberapa segi, misalnya dari segi
badan yang berwenang membentuknya. Contoh, kekuasaan
membentuk undang-undang di Indonesia dan Puerto Rico adalah
sama, yaitu Parlemen (DPR) bersama dengan Presiden.
Namun masih tetap ada perbedaan dalam pembentukannya, di
Indonesia dikenal dan digunakan sistem Prolegnas (Program Legislasi
Nasional) sedangkan di Puerto Rico tidak dikenal sistem Prolegnas
seperti yang diterapkan di Indonesia.42 Melihat uraian diatas, maka
pembahasan mengenai pembentukan undang-undang pada bagian ini
42
Moh. Mahfud M.D., Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm.XV.
akan ditinjau dari segi badan yang berwenang membentuknya.
Berikut ini adalah beberapa cara pembentukan undang-undang
ditinjau dari badan yang berwenang membentuknya dibeberapa
negara, antara lain :
1. Belanda
Di Negeri Belanda, badan yang berwenang membentuk
undang-undang adalah Raja (Kroon) bersama dengan Staten
General (Parlemen) berdasarkan pasal 112 Grondwet (UUD)
Belanda.
2. Amerika Serikat
Di Amerika Serikat, badan yang diserahi kewenangan
membentuk undang-undang hanya badan legislatif, yaitu Kongres.
Kongres sendiri merupakan badan legislatif Amerika Serikat yang
terdiri dari dua majelis (bikameral), yaitu Senate dan House of
Representative.
Presiden tidak berwenang membentuk undang-undang,
namun presiden dapat memveto (menolak menandatangani) suatu
undang-undang yang telah diterima baik oleh Kongres. Jika veto
Presiden diterima oleh Kongres maka undang-undang tersebut
tidak diberlakukan. Sebaliknya, Kongres dapat menolak veto
Presiden dengan mengirimkan undang-undang yang di veto kepada
sidang Kongres. Jika undang-undang itu diterima/disetujui untuk
berlaku dengan kuorum 2/3 dari setiap majelis (Senat dan House of
Representative) maka veto presiden dianggap batal dan undang-
undang yang bersangkutan tetap diberlakukan.43
3. Indonesia
Di Indonesia, badan yang berwenang membentuk undang-
undang adalah Dewan Perwakilan Rakyat bersama dengan
43
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmi Politik, Edisi Revisi, Cet. Pertama, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2008, hlm. 304.
Presiden. Kekuasaan membentuk undang-undang menurut pasal
20 ayat (1) UUD 1945 sebenarnya berada ditangan DPR. Namun
pada ayat-ayat selanjutnya (ayat 2, 3, 4, dan 5) dalam pasal yang
sama (pasal 20 UUD 1945) disebutkan bahwa DPR menjalankan
kekuasaan membentuk undang-undang bersama dengan Presiden.
Jadi berbeda dengan di Amerika yang pembentukan undang-
undangnya di monopoli oleh Kongres (legislatif). Di Indonesia,
Presiden (eksekutif) masih juga dilibatkan dalam pembentukan
undang-undang. Pada pasal 5 ayat (1) disebutkan bahwa presiden
berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR.
Dari pasal-pasal UUD 1945 yang mengatur soal kekuasaan
membentuk undang-undang, dapatlah disimpulkan bahwa badan
yang berwenang membentuk undang-undang adalah DPR bersama
dengan Presiden. Undang-undang yang dibahas oleh DPR
bersama Presiden (eksekutif) harus mendapatkan persetujuan
bersama.44 Jika tidak mendapat persetujuan bersama maka RUU
tersebut tidak dapat dimajukan dalam persidangan DPR masa
(periode) itu.
Namun apabila Presiden menolak untuk mensahkan atau
menandatangani RUU yang sudah dibahas dalam rapat paripurna
DPR, maka dalam waktu 30 (tigapuluh) hari, RUU tersebut harus
dimasukan dalam lembaran negara dan berlaku efektif sama
seperti dengan undang-undang lainnya. Bunyi dari pasal tersebut
menunjukan bahwa walaupun pembahasan RUU secara bersama-
sama dengan Presiden, tetapi kewenangan membentuk tetap
berada di DPR karena DPR yang memiliki fungsi legislasi.
44
Dalam prakteknya (teknis pelaksanaannya), Presiden menunjuk menteri yang
membidangi masalah yang diatur dalam RUU untuk membahasnya bersama DPR. Jadi bukan
Presiden yang langsung mengikuti rapat-rapat pembahasan RUU di DPR.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam membentuk suatu
undang-undang adalah :
45
Lihat pasal 87 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
membuatnya dan semakin penting masalah yang diaturnya, maka
semakin tinggi pula derajat suatu peraturan.
Pengertian lain tentang hierarki peraturan perundang-undangan
diberikan oleh R. Soeroso. Menurutnya, yang dimaksud dengan
hierarki peraturan perundang-undangan adalah urut-urutan mengenai
tingkat dan derajat daripada undang-undang yang bersangkutan,
dengan mengingat badan yang berwenang yang membuatnya dan
masalah-masalah yang diaturnya.46
Peraturan perundang-undangan harus dibedakan dengan
undang-undang. Peraturan perundang-undangan lebih luas daripada
undang-undang karena undang-undang hanya salah satu dari sekian
banyak jenis peraturan perundang-undangan. Dengan demikian
undang-undang adalah bagian daripada peraturan perundang-
undangan. Kalau dianaolgikan dengan benda, bolehlah peraturan
perundang-undangan diumpakan sebagai kendaraan. Sedangkan
undang-undang diumpakan sebagai mobil. Artinya, pengertian
kendaraan lebih luas daripada mobil karena mobil hanya salah satu
dari berbagai jenis kendaraan, sedangkan selain mobil masih ada
kendaraan lain seperti bus, motor, kereta, pesawat, kapal laut.
Berikut ini akan diuraikan beberapa hierarki peraturan
perundang-undangan.
1. Hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Belanda :
1) Grondwet (Undang-Undang Dasar)
2) Wet (Undang-Undang)
3) Algemene Maatregelen van Bestuur (AMVB)
4) Provinciale Verordeningen (Perda tingkat I)
5) Gemeente Verordeningen ( Perda tingkat II)
46
R. Soeroso, Op.Cit., hlm.131.
2. Hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia
a. Asas Teritorial
d. Asas Universal
Asas yang menetapkan bahwa undang-undang berlaku
terhadap setiap orang, baik WNI maupun WNA, yang melakukan
tindak pidana di luar wilayah Negara Republik Indonesia dengan
maksud melindungi kepentingan dan keamanan Internasional. Jadi
48
Marwan Mas, Op. Cit., hlm.68.
asas ini betolak dari tanggung jawab Negara Republik Indonesia
untuk ikut serta dalam menjaga ketertiban, dan keamanan dunia.
Undang-Undang Negara Republik Indonesia dapat diberlakukan
terhadap kejahatan yang bertujuan merugikan atau menggangu
keamanan Internasional yang locus delicti-nya berada di luar
wilayah Indonesia. Berlakunya asas ini dapat dilihat dalam pasal 4
ayat (4) KUHP, yaiu kejahatan pembajakan.
g. Penyusunan Undang-Undang
2. Sudikno Mertokusumo
Kebiasaan merupakan tindakan menurut pola tingkah laku yang
tetap, ajeg, lazim, normal atau adat dalam masyarakat atau pergaulan
hidup tertentu. Perilaku yang tetap atau ajeg berarti merupakan
perilaku manusia yang diulang. Perilaku yang diulang itu mempunyai
kekuataan normatif, mempunyai kekuatan mengikat. Karena diulang
oleh orang banyak maka mengikat orang-orang lain untuk melakukan
49
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hlm.137.
hal yang sama, karena menimbulkan keyakinan dan kesadaran bahwa
hal itu memang patut dilakukan (die normatieve kraft des faktischen).
3. R. Soeroso
Kebiasaan adalah perbuatan manusia yang dilakukan berulang-
ulang mengenai hal tingkah laku kebiasaan yang diterima oleh suatu
masyarakat yang selalu dilakukan orang lain sedemikian rupa,
sehingga masyarakat beranggapan bahwa memang harus berlaku
demikian . Jika tidak berbuat demikian merasa berlawanan dengan
kebiasaan dan merasa melakukan pelannggaran terhadap hukum.
Masyarakat yakin bahwa kebiasaan yang mereka lakukan itu
mengandung hukum, maka jika anggota masyarakat itu tidak
mentaatinya, dia merasa melakukan pelanggaran perasaan hukum yang
hidup ditengah-tengah masyarakat.
50
Van Apeldoorn, Op.Cit., hlm.113.
mereka berperilaku. Sebaliknya, perilaku yang bertentangan dengan
kebiasaan dirasakan sebagai pelanggaran perasaan hukum.
Kebiasaan merupakan pedoman/penuntun masyarakat tentang
bagaimana seharusnya masyarakat berperilaku dalam pergaulan
hidupnya. Dalam keadaan yang demikian, kebiasaan masih sebatas
norma/kaidah. Sedangkan apabila kebiasaan itu diikuti dengan sanksi
hukum bagi yang melanggarnya/menyimpanginya maka kebiasaan
telah berubah menjadi hukum kebiasaan.
Dalam kepustakaan ilmu hukum, ada beberapa syarat timbulnya
hukum kebiasaan, syarat-syarat tersebut yaitu:
1. Syarat materiil: adanya perbuatan/perilaku yang dilakukan secara
berulang-ulang (longa et invetarata consuetindo)
2. Syarat intelektual: adanya kesadaran dan keyakinan hukum (opinio
necessitatis) masyarakat bahwa memang demikianlah seharusnya
mereka berperilaku/bersikap
3. Syarat yuridis: adanya akibat hukum (sanksi hukum) apabila
kebiasaan itu dilanggar. Syarat yuridis ini mengingatkan kita
kepada adagium “ubi ius ibi poenale” artinya dimana ada hukum
maka disitu ada sanksi. Jadi, syarat menjadi hukum kebiasaan tidak
bisa tidak adalah harus memenuhi syarat yuridis ini; adanya akibat
hukum (sanksi hukum) bagi yang melanggarnya
5151
Sunaryati Hartono dalam Achmad Ali, Op.Cit., hlm.96-97.
kebiasaan tidak merupakan hukum kecuali apabila undang-undang
menetapkan demikian.”
Pasal 15 AB ini memberi penjelasan bahwa kebiasaan
bukanlah hukum kecuali undang-undang telah menunjuknya
demikian. Jadi berlakunya kebiasaan sebagai sumber hukum formil
menurut pasal 15 AB ini tergantung pada ketentuan undang-undang,
apakah undang-undang menyebut suatu kebiasaan sebagai hukum
atau tidak.
Persamaan:
1. Baik hukum kebiasaan maupun undang-undang, keduanya adalah
penegasan pandangan hukum suatu masyarakat dimana hukum
kebiasaan atau undang-undang itu berlaku
2. Baik hukum kebiasaan maupun undang-undang, keduanya adalah
hasil perumusan kesadaran hukum dan keyakinan hukum
masyarakat (opinio necissitatis)
Perbedaan:
1. Hukum kebisaan adalah sumber hukum yang tidak tertulis
sedangkan undang-undang adalah sumber hukum yang tertulis
2. Karena bentuknya yang tertulis, undang-undang lebih menjamin
kepastian hukum daripada hukum kebiasaan
3. Berlakunya undang-undang karena secara sengaja dibentuk oleh
badan resmi yang berwenang/penguasa. Sedangkan hukum
kebiasaan lahir dari pergaulan hidup masyarakat berupa pola
perilaku yang dilakukan secara berulang-ulang.
3. Yurisprudensi
52
R. Soeroso, Op.Cit., hlm.167.
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Namun di lain
sisi, undang-undang dengan bentuknya yang tertulis seringkali
tertinggal oleh perkembangan masyarakat atau sering juga undang-
undang tidak mengatur suatu persoalan secara jelas.
Mengenai sejumlah kelemahan undang-undang ini, Bagir
Manan menyebutkan bahwa hukum tertulis (undang-undang) tidak lain
sebagai “moment opname” dari kekuatan/kondisi politik, ekonomi,
sosial-budaya, hankam dan lain-lain. Oleh karena itu undang-undang
seringkali aus (out of date) dan tertinggal dari perkembangan
masyarakat yang cepat atau dipercepat.53
Kebutuhan akan penerapan hukum di pengadilan dan sifat
undang-undang yang banyak memiliki kelemahan seperti yang
diterangkan oleh Bagir Manan diatas, akhirnya membuka jalan bagi
hakim untuk menggunakan yurisprudensi guna mengatasi kekurangan
dan ketidaklengkapan undang-undang. Sudikno Mertokusumo
mengutarakan pendapatnya mengenai sejumlah permasalahan yang
terdapat dalam undang-undang. Menurutnya, makin tua usia undang-
undang makin banyaklah timbul yurisprudensi yang berkaitan dengan
undang-undang tersebut karena undang-undang yang sudah tua itu
perlu ditafsirkan untuk disesuaikan dengan keadaan baru dengan
putusan pengadilan.54
Kewajiban hakim untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
suatu perkara yang dihadapkan pada ketidaksempurnaan undang-
undang inilah yang membuat yurisprudensi memiliki peran dan
kedudukan yang penting sebagai salah satu sumber hukum formil
disamping undang-undang. Pada tahap ini yurisprudensi memberi
sumbangan berarti dalam sistem peradilan dimana hakim dapat
mengkonstantir/menggunakan yurisprudensi sebagai dasar dalam
memutus suatu perkara.
53
Bagir Manan dalam Ridwan H.R, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta,
2006, hlm.63.
54
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hlm148.
Berlakunya yurisprudensi sebagai sumber hukum berbeda
dengan undang-undang. Undang-undang mengikat setiap orang secara
umum, sedangkan yurisprudensi hanya mengikat pihak-pihak dalam
perkara yang bersangkutan saja. Di luar perkara tersebut yurisprudensi
tidak mempunyai kekuatan mengikat.
Perbedaan lain antara yurisprudensi dengan undang-undang
adalah bahwa yurisprudensi merupakan produk yudikatif yang
melakukan penerapan hukum dari yang semula masih bersifat abstrak
berubah menjadi putusan pengadilan yang bersifat konkret. Putusan
pengadilan hanya mengikat orang-orang tertentu saja dan tidak
mengikat setiap orang secara umum seperti undang-undang.55
Mengenai sifat putusan pengadilan yang hanya
mengikat/berlaku bagi para pihak yang berperkara, perlu
diketengahkan pasal 21 AB yang pada intinya melarang hakim
membuat putusan yang sifatnya mengatur umum.
Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa yurisprudensi adalah
sumber hukum formil. Disebut sumber hukum formil karena
yurisprudensi memiliki bentuk tertentu yaitu berupa putusan hakim
dan dibentuk dengan cara tertentu pula, yaitu dibentuk oleh hakim
dalam persidangan pengadilan.
1. Alasan psikologis
55
Ibid., hlm.146.
2. Alasan Praktis
d. Macam-macam yurisprudensi
e. Asas-asas yurisprudensi
1. Asas Preseden: Asas ini dalam istilah Inggris disebut “The binding
force of precedent.” Yaitu suatu asas yang menetapkan bahwa
hakim terikat dan harus mengikuti keputusan hakim terdahulu
selama mengatur masalah yang sama. Asas ini berlaku di negara-
negara anglo saxon.
2. Asas bebas: asas ini tidak mengharuskan hakim untuk
mengikuti/menggunakan keputusan hakim terdahulu. Asas ini
dianut di negara eropa kontinental.
4. Traktat
3. Oppenheim
Perjanjian Internasional adalah suatu pesetujuan antar negara yang
menimbulkan hak dan kewajiban di antara pihak yang
mengadakannya.
b. Macam-Macam Traktat
5. Doktrin
56
Chainur Arrasjid, Op. Cit., hlm.80-81.
2. Kebiasaan Internasional (international customary)
3. Prinsip-prinsip umum hukum (the general principles of law) yang
diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab
4. Keputusan pengadilan (judicial decision) dan pendapat para ahli yang
telah diakui kepakarannya (teaching of the most highly qualified
publicist)
BAB V
KODIFIKASI HUKUM DAN ALIRAN-ALIRAN
YANG MUNCUL SETELAHNYA
A. Kodifikasi Hukum
115
116
57
R. Soeroso, Op.Cit., hlm.77-78.
dapat dipaksakan kepada golongan-golongan atau masyarakat yang ada
dibawahnya.
Sebelum diadakannya kodifikasi, sumber hukum bagi peradilan
adalah kebiasaan (hukum yang tidak tertulis), sedangkan hukum
kebiasaan tersebut berbeda-beda di setiap wilayah. Oleh karena itu
setelah monarki absolut berhasil ditumbangkan oleh rakyat Perancis,
Napoleon yang ketika itu menjadi Kaisar Perancis (1804-1814) segera
memerintahkan kodifikasi hukum agar tercipta kesatuan hukum dan
kepastian hukum. Hasil daripada kodifikasi itu akan dimumkan dan
diberlakukan secara nasional
Setelah mendapat perintah dari Napoleon; Portalis, Trochet, Bigot
de Preaumeneu, dan Mallaville segera menyusun rancangan undang-
undang hukum perdata (code civil). Dalam penyusunannya, kodifikasi
hukum yang dilakukan di Perancis merujuk/bersumber pada hukum
Romawi, hukum Jerman, dan hukum Perancis yang telah ada ketika itu.
Rancangan undang-undang itu berisi 2000 pasal dan diumumkan pada
tanggal 21 Maret 1804. Berselang tiga tahun kemudian, yaitu tahun 1907,
Code Civil resmi diundangkan dan berlaku di seluruh wilayah Negara
Perancis.58
Sejak saat itulah Perancis memiliki kitab undang-undang dibidang
hukum sipil/perdata yang berlaku secara nasional, yaitu Code Civil/Code
Napoleon. Dengan demikian terwujudlah rechtsidee (cita hukum) rakyat
Perancis yang menginginkan adanya kesatuan hukum dan kepastian
hukum. Bahkan kemudian, selain melakukan kodifikasi hukum perdata,
Perancis juga berhasil melakukan kodifikasi hukum pidana yang diberi
nama Code Penal dan kodifikasi hukum dagang yang diberi nama Code
du Commerce.
58
Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta, 1983, hlm.476.
3. Tujuan Kodifikasi Hukum
4. Keadaan di Indonesia
B. Aliran Legisme
Aliran ini disebut juga aliran Wettelijk Potivism. Aliran ini muncul
dan berkembang setelah adanya kodifikasi di Perancis. Pelopor yang
mendasari cikal bakal lahirnya aliran ini adalah Montesquieu dengan Trias
Politica-nya yang termuat dalam bukunya yang terkenal L’esprit Des Lois
dan Jean Jacques Rousseau dengan bukunya Du Contract Social. Keduanya
memang ahli yang hidup semasa Perancis berada dibawah absolutisme raja.
Kedua ahli tersebut memberikan sumbangan yang besar dalam ilmu
pengetahuan dibidang kenegaraan sebagai bentuk reaksi atas kondisi Perancis
saat itu.
Adalah pendapat Prof. Achmad Ali yang menyimpulkan bahwa
sebenarnya legisme bersumber dari Trias Politica-nya Montesquieu yang
secara tegas memisahkan antara kewenangan eksekutif, legislatif, dan
yudikatif. Kewenangan pengadilan semata-mata hanya penerapan undang-
undang belaka.59
59
Prof. Achmad Ali, Op.Cit., hlm.106.
Aliran ini muncul karena undang-undang yang terhimpun dalam kitab
undang-undang/code dianggap sudah lengkap dan sempurna. Semua
permasalahan hukum dianggap sudah diatur dalam undang-undang. Oleh
karena itu tidak ada hukum di luar undang-undang. dengan kata lain aliran ini
sangat percaya akan kemampuan undang-undang. Bahkan kepercayaan itu
berlebihan dengan menganggap undang-undang telah sempurna.
Pada awalnya aliran ini dianggap baik dan dapat menjawab
problematika hukum, karena sebelum adanya kodifikasi, kesatuan dan
kepastian hukum tidak tercipta. Namun setelah aliran ini muncul,
problematika hukum seperti diatas dapat diatasi dengan penerapan undang-
undang secara ketat dan terikat. Undang-undang tidak dapat ditafsirkan
sekehendak hati hakim, apalagi dikesampingkan. Pada perkembangan
selanjutnya aliran ini mendapat sambutan baik dan diikuti oleh negara-negara
lain, khususnya di eropa, seperti Jerman, Swiss, Belgia, Italia, dan Belanda.
Setelah dianut oleh banyak negara dan seiring berjalannya waktu,
masyarakat dan peradabannya terus bergerak maju. Sedangkan aliran ini
sangat kaku didalam menerapkan undang-undang, padahal karena bentuknya
yang tertulis, undang-undang selalu tertinggal dari peristiwa yang diaturnya
(het recht hinkt achter de feiten een). Hal ini dapat diterima mengingat
pembentukan dan perubahan undang-undang memerlukan prosedur yang
telah ditetapkan sehingga undang-undang tidak dapat setiap saat
dibentuk/dirubah untuk mengimbangai perkembangan masyarakat.
Dengan demikian mulailah terlihat kekurangan-kekurangan daripada
aliran legisme ini. Undang-undang tidak dapat mengikuti perkembangan
masyarakat setiap saat, padahal kehidupan masyarakat semakin kompleks dan
membutuhkan pengaturan agar tetap berjalan secara tertib. Keadaan ini
semakin tidak menentu ketika undang-undang yang memiliki kekurangan itu
tidak boleh ditafsirkan atau dikonstruksi oleh hakim untuk mengisi
kekosongan hukum. Hakim sangat terbatas dalam menjalankan tugasnya,
hakim hanya seperti mulut undang-undang (bouche de la loi).
C. Aliran Freie Rechtslehre
Aliran ini disebut juga aliran bebas. Aliran ini muncul pada Tahun
1840 di Eropa yang dipelopori oleh Herman Kantorowicz. Pandangan
Kantorowicz tentang aliran Freie Rechtslehre dapat dilihat dalam bukunya
“Der Kampf Um Die Rechtswissenschaft.” Selain Kantorowicz, ada juga
juris lain yang tercatat sebagai pelopor aliran Freie Rechtslehre, mereka
adalah Eugen Erlich dengan bukunya “Freie Rechtsvindung und Freie
Rechtswissenschaft, serta Oscar Bullow dalam bukunya “Gesetz und
Rechtseramst.”
Aliran ini muncul sebagai reaksi dan jawaban atas aliran legisme yang
ternyata banyak memiliki kelemahan. Aliran hukum bebas ini bertolak
belakang dengan aliran legisme. Kalau di analogikan sebagai sebuah proses
dialektika maka legisme adalah tesisnya dan freie rechtslehre adalah anti
tesisnya.
Aliran ini berpandangan bahwa sumber hukum bukan hanya undang-
undang saja. Ada sumber hukum lain disamping undang-undang yang justru
mempunyai peran dan kedudukan yang lebih penting, seperti hukum
kebiasaan, yurisprudensi, traktat, dan doktrin. Aliran freie rechtslehre ini
memandang bahwa undang-undang tidak lengkap dan memiliki kelemahan
karena bentuknya yang tertulis dan statis. Oleh karena itu dibutuhkan sumber
hukum lain diluar undang-undang.
Menyadari kelemahan undang-undang tersebut, aliran ini memberikan
kebebasan bagi hakim untuk menemukan hukum atau bahkan menciptakan
hukum melalui pengadilan. Yang dicari dalam aliran ini adalah kegunaan
sosial (social doelmatigheid). Hakim harus menyelaraskan antara hukum dan
kegunaan sosial atau dalam kata lain hukum harus mampu memberikan
kegunaan sosial bagi masyarakat.
Hakim tidak lagi terikat pada undang-undang, hakim bukan lagi
sebagai mulut daripada undang-undang (bouche de la loi). Peran hakim
dalam ajaran ini sangat penting karena hakim memiliki keleluasaan dalam
melaksanakan tugasnya untuk mengadili. Bagi para hakim pada aliran ini,
menguasai yurisprudensi adalah yang utama/primer, sedangkan menguasai
undang-undang adalah sekunder/pelengkap saja. Hakim boleh menggunakan
undang-undang atau tidak.
Jika dicermati, peran hakim yang begitu leluasa pada aliran ini
mengingatkan kita pada keadaan sebelum diadakannya kodifikasi di Perancis,
keadaan mana hakim dapat berbuat sekehendak hatinya dalam mengadili
suatu perkara. Menurut aliran ini, kepastian hukum bukanlah tujuan utama
daripada hukum. Tujuan yang lebih utama adalah kegunaan/kemanfaatan
hukum. Oleh sebab itulah hakim diberikan kebebasan dengan maksud
supaya hakim tersebut dapat memberi putusan yang dapat menjawab dan
memenuhi kebutuhan masyarakat, yaitu pututsan yang memiliki kegunaan
sosial.
D. Aliran Rechtsvinding
60
R. Soeroso.Op.Cit., hlm.91.
E. Aliran Yang Dianut Di Indonesia
Dari beberapa pasal yang telah disebut dan dijelaskan diatas dapatlah
disimpulkan dan dipertegas lagi bahwa Indonesia menganut aliran
Rechtsvinding. Indonesia mengakui undnag-undang sebagai sumber hukum
yang utama, namun juga mengakui hukum lain diluar undang-undang sebagai
sumber hukum disamping undang-undang.
Ketika hakim dihadapkan pada perkara yang telah diatur dalam
undang-undang maka ia mengadili menurut undang-undang tersebut. Apabila
undang-undang yang mengaturnya itu kurang jelas/sumir maka hakim dapat
melakukan penafsiran hukum. Sedangkan apabila hukumnya bungkam
sehingga ada ruang kosong maka hakim dapat melakukan pengisian
kekosongan hukum tersebut dengan metode konstruksi hukum,
rechtsvervijning, atau argumentum a conrtrario. Namun jika setelah
dilakukan upaya penafsiran dan pengsisian hukum, masih juga belum
ditemukan hukumnya maka hakim dapat mempergunakan/merujuk hukum
kebiasaan, yurisprudensi, traktat, dan doktrin sebagai dasar baginya untuk
memutuskan suatu perkara. Ini sesuai dengan pasal 10 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
BAB VI
PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM
133
134
sendiri, yaitu kewajiban dan wewenang apakah yang dibebankan oleh hukum
padanya.61
Dalam arti sempit, penemuan hukum menurut Prof. Sudikno Mertokusumo
adalah penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim dalam memeriksa dan
memutus suatu perkara. Penemuan hukum oleh hakim ini dianggap mempunyai
wibawa. Ilmuwan hukum pun mengadakan penemuan hukum. Hanya kalau hasil
penemuan hukum oleh hakim itu adalah hukum, maka hasil penemuan hukum
oleh ilmuwan hukum bukanlah hukum, melainkan ilmu atau doktrin. Sekalipun
yang dihasilkan itu bukanlah hukum, namun disini digunakan istilah penemuan
hukum juga, oleh karena doktrin ini kalau diikuti dan diambil alih oleh hakim
dalam putusannya, menjadi hukum. Doktrin bukanlah hukum melainkan sumber
hukum62
Pengertian lain tentang penemuan hukum diberikan oleh Paul Scholten.
Penemuan hukum menurutnya adalah sesuatu yang lain daripada hanya penerapan
peraturan-peraturan pada peristiwanya. Kadang-kadang bahkan sangat sering
terjadi bahwa peraturannya harus ditemukan, baik dengan jalan interpretasi
maupun dengan jalan analogi ataupun rechtsvinding.63
Dari beberapa pandangan ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa penemuan
hukum oleh hakim adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh hakim untuk
mencari dan menemukan hukum dari sumber-sumber hukum yang tersedia.
Sumber hukum yang terutama untuk digali dan ditemukan hukumnya adalah
undang-undang. Penemuan hukum tersebut dilakukan, baik dengan jalan
penafsiran hukum maupun konstruksi hukum. Hasil penemuan hukum tersebut
adalah untuk diterapkan pada peristiwa konkrit yang sedang diperiksa oleh hakim.
Dengan demikian berarti hakim tidak hanya berfungsi sebagai corong daripada
undang-undang (bouche de la loi) yang menerapkan undang-undang secara
mekanis pada peristiwanya. Dalam penemuan hukum, hakim bertindak aktif
untuk mencari dan menemukan hukumnya, keadaan mana hakim dihadapkan pada
kenyataan bahwa undang-undang yang merupakan tempatnya berpegang,
61
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hlm.210-211.
62
Sudikno Mertokusumo, Loc. Cit.
63
Paul Scholten dalam Achmad Ali, Op.Cit., hlm.106-107.
tidaklah lengkap dan sempurna. Ketidaklengkapan dan ketidaksempurnaan hukum
pada gilirannya menimbulkan celah-celah/segi-segi yang belum diatur oleh
hukum, atau dengan kata lain mengakibatkan kekosongan hukum.
Kekosongan hukum menimbulkan tuntutan bagi hakim untuk berpikir
guna menemukan hukumnya, sehingga tidak menimbulkan kekacauan dalam lalu
lintas pergaulan masyarakat. Dalam hal ini benarlah kiranya apa yang dikatakan
oleh Carbonnier “Les choses out toujours du se passer ainsi, depuis, des
millenaires guily desjuges et gui pensent.” Artinya, demikianlah senantiasa telah
terjadi bahwa selama ribuan tahun , dituntut adanya para hakim yang berpikir.
Membahas penemuan hukum oleh hakim pastilah tidak akan terlepas dari
kontribusi Paul Scholten dengan “Open System van het Recht”-nya. Menurutnya,
hukum bukanlah suatu sistem yang tertutup yang tidak boleh diubah sebelum
diubah oleh pembentuknya (legislatif). Hukum dapat diubah maknanya, walaupun
secara tekstual, redaksinya tidak berubah. Artinya, penemuan hukum dapat
dilakukan oleh hakim bilamana ia menganggapnya perlu untuk mengatasi
ketidaklengkapan hukum (undang-undang).
Penemuan hukum dilakukan dengan menggunakan dua metode, yaitu
penafsiran hukum dan konstruksi hukum. Kemudian timbul pertanyaan, kapan
penemuan hukum dilakukan oleh hakim ?
Penemuan hukum oleh hakim dilakukan dalam hal-hal atau keadaan-
keadaan sebagai berikut:
1. Peristiwa yang diperiksa oleh hakim sudah ada hukumnya, tetapi hukumnya
tidak jelas atau kondisi yang diatur dalam peraturan tersebut sudah tidak
sesuai dengan kondisi masyarakat yang sekarang. Dalam hal yang demikian
penemuan hukum dilakukan dengan jalan panafsiran hukum.
2. Peristiwa yang diperiksa oleh hakim tidak ada hukumnya/tidak ada
pengaturannya. Dalam hal yang demikian penemuan hukum dilakukan dengan
jalan konstruksi hukum.
Istilah penemuan hukum atau pembentukan hukum masih sering
diperdebatkan di kalangan para juris. Ada yang lebih memilih menggunakan
istilah penemuan hukum dan ada pula yang menggunakan istilah pembentukan
hukum.
Juris yang lebih setuju menggunakan istilah pembentukan hukum
diantaranya adalah Algra. Ia mengemukakan bahwa istilah pembentukan hukum
lebih cocok karena menggambarkan kegiatan pembentukan hukum oleh hakim
melalui peradilan. Sedangkan istilah penemuan hukum menggambarkan seolah-
olah hukumnya sudah ada.64
Penulis lebih sependapat dengan sitilah penemuan hukum karena hakim
memang melakukan penemuan hukum, baik dengan metode penafsiran hukum
maupun dengan konstruksi hukum. Sedangkan pembentukan hukum memberikan
sugesti bahwa seakan-akan hakim yang membentuk hukum. Pandangan yang
demikian tidak dapat di terima di Indonesia. Kekuasaan yang membentuk undang-
undang adalah legislatif (DPR bersama Presiden). Sedangkan pengadilan/hakim
hanya mengadili pelanggaran terhadap produk legislatif tersebut dengan cara
menerapkan dan mengekan hukum.65
Hakim tidak dibenarkan membentuk hukum. Pengertian hukum sendiri
adalah himpunan peraturan-peraturan yang bersifat memaksa dan mengikat
umum. Sedangkan hakim tidak diperbolehkan membuat putusan yang isinya
adalah pengaturan yang bersifat umum (pasal 21 AB). Disamping itu perlu juga
diketengahkan pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Pasal tersebut berisi tentang asas penyelanggaraan
kekuasaan kehakiman yang berbunyi “Peradilan negara menerapkan dan
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. Jadi jelaslah bahwa
hakim tidak dibenarkan membentuk/menciptakan hukum.
Setelah membahas penemuan hukum sebagiamana dijelaskan diatas maka
pada bagian selanjutnya akan dibahas mengenai metode penemuan hukum, yaitu
penafsiran hukum dan konstruksi hukum.
64
Algra dalam Marwan Mas, Op.Cit., hlm.160.
65
Lihat pasal 20 dan pasal 5 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945.
A. Penafsiran Hukum
1. Penafsiran Gramatikal
2. Penafsiran Historis
3. Penafsiran Sistematis
4. Penafsiran Sosiologis/Teleologis
66
Melalui pasal 31 Undang-Undang Nomor1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, seorang isteri
disamakan harkat dan kedudukannya dengan suami dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga
isteri tidak lagi termasuk golongan orang-orang yang tidak cakap membuat perjanjian.
agar keputusan hakim dibuat secara sungguh-sungguh sesuai dengan
keadaan yang ada dalam masyarakat.67
Contoh: Penafsiran terhadap pasal 362 KUHP tentang pencurian.
Pada saat KUHP dibuat, belum terpikirkan akan adanya pencurian listrik.
Namun seiring berkembangnya zaman dan masyarakat, kebutuhan listrik
menjadi salah satu kebutuhan penting bagi masyarakat. Oleh sebab itu
kemudian timbul persoalan yang cukup rumit mengenai
pengambilan/penyadapan listrik secara tidak sah. Di satu sisi hal tersebut
adalah perbuatan yang ilegal karena mengambil sesuatu tanpa hak.
Sedangkan disi lain hakim kesulitan untuk menghukum perbuatan
tersebut karena tidak ada pengaturan yang melarangnya secara tegas.
Pada tanggal 23 Mei 1921, Hoge Raad mengeluarkan arrest-nya.
Putusan itu menyatakan bahwa listrik termasuk kedalam pengertian benda
menurut pasal 362 KUHP dengan pertimbangan antara lain karena listrik
mempunyai nilai ekonomis. Oleh sebab itu, perbuatan menyadap/mencuri
listrik termasuk kedalam rumusan pasal 362 KUHP dan bagi yang
melakukannya dipidana berdasarkan pasal tersebut.
Jadi perkembangan mesyarakat yang telah maju dan mengenal
listrik menuntut hakim melakukan penemuan hukum dengan
memperhatikan kenyataan masyarakat tersebut. Penafsiran sosiologis ini
begitu penting karena penafsiran ini tidak semata-mata menafsirkan
ketentuan undang-undang secara tekstual, melainkan dengan
memperhatikan keadaan riil yang ada di tengah-tengah masyarakat.
Paul Scholten menyatakan bahwa mengetahui maksud dan
kehendak pembuat undang-undang saja belum cukup bagi hakim, sebab
hakim harus menerapkan peraturan-peraturan itu sesuai dengan asas
keadilan masyarakat. Hukum itu dinamis, selalu berubah-ubah mengikuti
67
Utrecht dalam Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajawali Pers,
Jakarta, 2009, hlm.226.
perkembangan masyarakat. Dengan demikian arti perundang-undangan
positif belum tentu cocok dengan kenyataan (werkelijkheid).68
Penafsiran sosiologis ini sangat berguna manakala keadaan
sosial/masyarakat sudah berubah, tidak sama lagi dengan keadaan sosial
pada waktu undang-undang dibentuk. Oleh karena itu penafsiran yang
semata-mata ditujukan untuk mencari kejelasan makna atas ketentuan
undang-undang sesuai kehendak pembuatnya saja tidak cukup, karena
sekalipun ditemukan kejelasan maknanya, namum apabila hasil
penemuan itu sudah tidak sesuai dengan keadaan masyarakat maka hal itu
akan sia-sia belaka.
Mengenai sifat hukum yang selalu tertinggal dibelakang
perkembangan masyarakat, Bagir Manan pernah mengungkapkan
pendapatnya. Menurutnya hukum yang tertulis (undang-undang) itu
mempunyai jangkauan yang terbatas, hanya sekedar “momen opname”
dari unsur-unsur politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hankam yang
paling berpengaruh pada saat pembentukannya, karena itu hukum tertulis
(undang-undang) mudah sekali aus (out of date) bila dibandingkan
dengan perubahan masyarakat.69
5. Penafsiran Komparatif
6. Penafsiran Futuristis
68
Paul Scholten dalam Achmad Ali, Op.Cit., hlm.102.
69
Bagir Manan dalam Ridwan H.R., Op. Cit., hlm.63.
yang belum mempunyai kekuatan mengikat/hukum yang akan berlaku
kemudian (ius constituendum).
Contoh: menafsirkan bunyi pasal suatu undang-undang dengan
berpedoman pada bunyi pasal RUU, dimana RUU tersebut sudah
disepakati/disetujui bersama antara DPR dan Presiden dan hanya tinggal
menuggu pengesahan dan penempatannya dalam lembaran negara.
7. Penafsiran Restriktif
8. Penafsiran ekstensif
B. Konstruksi Hukum
70
Paton dalam Achmad Ali, Op.Cit., hlm.142.
71
Ibid., hlm.143.
Penulis sependapat dengan pernyataan Paton diatas. Telah
dijelaskan pada bagian terdahulu bahwa jika hakim dalam upayanya
melakukan penemuan hukum, baik melalui penafsiran maupun melalui
konstruksi hukum, tetap tidak menemukan hukumnya, maka ia dapat
mencari hukumnya dari sumber hukum yang lain seperti hukm kebiasaan,
yurisprudensi, traktat, dan doktrin.
Sementara itu, ada pendapat yang menyatakan bahwa penafsiran
ekstentif dan analogi adalah sama. Dikatakan sama karena cara
bekerjanya sama-sama memperluas pengertian/rumusan ketentuan
undang-undang sehingga peraturan tersebut dapat mencakup peristiwa
yang semula tidak diaturnya.
Terhadap pendapat/pandangan yang demikian, penulis tidak
sependapat. Menurut penulis, penafsiran ekstentif dan analogi adalah dua
metode penemuan hukum yang berbeda. Penafsiran ekstentif ialah sutau
metode penemuan hukum dengan cara penafsiran, yang berarti hukumnya
sudah ada, namun tidak jelas/kurang jelas. Jadi dalam proses penemuan
hukumnya, hakim masih berpegang pada bunyi ketentuan undang-undang
tersebut. Sedangkan analogi ialah suatu metode penemuan hukum dengan
konstruksi hukum (pengisian kekosongan hukum) yang berarti hukumnya
tidak ada, sehingga hakim dalam penemuan hukumnya tidak berpegang
pada bunyi suatu undang-undang, melainkan menggunakan penalaran
logis.
Contoh, penafsiran ekstentif terhadap pasal 362 KUHP. Yang
ditafsirkan dan diperluas maknanya adalah kata “benda” dalam pasal
tersebut. Kata “benda” diperluas maknanya tidak hanya sebatas benda
yang terlihat (materiil) melainkan juga meliputi aliran listrik. Jadi setelah
ditafsirkan secara ekstentif, aliran listrik termasuk dalam rumusan pasal
362 KUHP karena makna “benda” telah diperluas meliputi juga aliran
listrik. Dalam penafsiran ekstentif terlihat bahwa hakim masih berpegang
pada bunyi pasal 362 KUHP, yaitu “benda”. Hal diatas berlainan dengan
analogi. Contoh, analogi dengan mengibaratkan antara jual beli dengan
hibah, waris, dan pengalihan hak lainnya. Perbuatan-perbuatan hukum
diatas merupakan perbuatan hukum yang berlainan, hanya esensinya saja
yang sama, yaitu pengalihan hak.
2. Argementum A Contrario
72
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hlm.232.
d. Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena
perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya
belum pernah terjadi hubungan kelamin.
3. Rechtsvervijning
A. Subjek Hukum
152
153
73
Vide pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria
(UUPA).
manusia sama sekali tidak memiliki hak tidak dapat dibenarkan lagi saat
ini. Perbudakan/perhambaan tidak sesuai dengan hak asasi manusia dan
merupakan penistaan terhadap hak asasi manusia itu sendiri. Masyarakat
internasional memiliki pandangan dan sikap yang sama mengenai
perbudakan, yaitu menghapuskan sistem perbudakan yang telah menodai
sejarah manusia dengan kekejaman dan sikap tidak manusiawi tehadap
sesamanya.
Perbudakan ditinjau dalam dimensi dan sudut pandang manapun
adalah suatu pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Hak asasi manusia
sesungguhnya diberikan oleh Tuhan kepada setiap manusia untuk
menjadi kodratnya yang harus dihormati. Larangan perbudakan ini dapat
ditem ukan dalam banyak peraturan hukum, baik hukum internasional,
hukum nasional suatu negara (ius constitutum), maupun hukum agama.
Norma hukum internasional yang melarang perbudakan dan
menuntut penghormatan terhadap hak asasi manusia, diantaranya adalah
Universal Declaration of Human Right Tahun 1948 dan International
Covenant an Civil and Political Right (ICCPR).74 Sedangkan contoh
norma hukum nasional yang melarang perbudakan di Indonesia adalah
Bab X A UUD 1945 tentang Hak Asasi Manusia yang terdiri dari pasal
28 A hingga pasal 28 J dan Undang-Undang Nomor39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia.75
Perbudakan berarti kematian hak keperdataan/hak sipil. Kematian
hak keperdataan sudah tidak dapat dibenarkan lagi menurut pasal 3 BW.
Pasal tersebut berbunyi “Tiada suatu hukuman pun yang dapat
mengakibatkan kematian perdata atau kehilangan segala hak kewargaan.”
Pasal ini mengandung maksud bahwa tidak ada satu hukuman pun yang
dapat melenyapkan seluruh hak keperdataan/hak sipil sesorang.
74
ICCPR ini telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005
tentang Pengesahan International Covenant an Civil and Political Right (Kovenan tentang Hak-hak
Sipil dan Politik).
75
Vide Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 “.....hak untuk tidak diperbudak adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”
Namun demikian, hukuman yang mengakibatkan pencabutan suatu
hak tertentu secara terbatas, masih diperkenankan, itu pun sifatnya
sementara. Contoh, larangan bagi seorang yang dinyatakan pailit untuk
mengadakan perjanjian atas harta pailitnya, pencabutan kekuasaan orang
tua atas anak/anak-anaknya (ouderlijk macht), dan hukuman keperdataan
lainnya. Hukuman itu menimbulkan konsekuensi hilangnya suatu hak
perdata seseorang, sedangkan hak-hak perdata yang lainnya masih tetap
dimiliki oleh subjek hukum yang bersangkutan. Jadi jelaslah bahwa
dewasa ini tidak ada suatu hukuman pun yang dapat mencabut seluruh
hak perdata seseorang.
Dengan demikian, pada zaman yang modern ini, manusia adalah
subjek hukum. Tidak ada kecualinya. Berlakunya predikat subjek hukum
pada manusia dimulai saat ia lahir menjadi manusia dan berakhir saat ia
meninggal. Bahkan menurut pasal 2 BW, berlakunya manusia sebagai
subjek hukum dapat dihitung surut sejak ia berada dalam kandungan
ibunya. Berikut adalah bunyi pasal 2 BW “Anak yang ada dalam
kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan
bilamana juga kepentingan si anak mengendakinya. Mati sewaktu
dilahirkan, dianggaplah ia tak pernah telah ada.” Jadi menurut ketentuan
tersebut, anak yang masih dalam kandungan dapat menjadi subjek
hukum.
Berlakunya pasal 2 BW tersebut sangat penting dan dirasa lebih
adil demi kepentingan perdata si anak. Misalkan dalam bidang pewarisan,
ditetapkannya anak yang masih berada dalam kandungan sebagai subjek
hukum akan memberikan kepada si anak tersebut hak untuk turut
mewarisi harta warisan orang tuanya apabila orang tuanya meninggal.
Hal itu dirasa lebih adil daripada anak tersebut lahir dalam keadaan tidak
mendapat warisan.
Dari penjelasan diatas jelaslah bahwa sejak berada dalam
kandungan, manusia adalah pendukung hak (subjek hukum). Subjek
hukum (manusia) dapat melakukan perbuatan hukum dalam menjalankan
hak dan kewajibannya. Namun demikian masih terdapat pengecualian
bagi manusia dalam melakukan perbuatan hukum.
Dalam hukum dikenal adanya pengecualian bagi subjek hukum
tertentu dalam melakukan perbuatan hukum. Hukum menentukan bahwa
ada beberapa golongan orang-orang yang tidak diperkanankan untuk
melakukan perbuatan hukum secara mandiri (sendiri). Orang-orang yang
dimaksud adalah orang-orang yang oleh hukum dinyatakan sebagai
orang yang tidak cakap hukum (handelings bekwaam)
Orang yang tidak cakap hukum (handelings bekwaam) tidak
diperkenankan bertindak sendiri dalam melakukan perbuatan hukum
dengan beberapa pertimbangan, antara lain; belum cukup umur sehingga
dianggap belum mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya atau
akalnya tidak sehat/terganggu. Bagi orang yang tidak cakap hukum, ia
harus didampingi/diwakili oleh orang tua/wali atau pengampunya
(curator) dalam melakukan perbuatan hukum.
Dalam lapangan perikatan, ketentuan mengenai orang-orang yang
termasuk dalam golongan orang yang tidak cakap hukum diatur dalam
pasal 1330 BW. Menurut pasal 1330 BW, orang yang tidak cakap hukum
untuk mengadakan perjanjian adalah:
1) Orang yang belum dewasa
2) Orang yang ditaruh dibawah pengampuan (pemabuk, pemboros,
penjudi)
3) Orang-orang perempuan yang menikah (isteri) dan orang-orang yang
oleh undang-undang dilarang untuk mengadakan perjanjian. Contoh:
orang yang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Mengenai batas usia dewasa (batas usia untuk dapat disebut telah
dewasa), berbeda-beda ketentuannya antara undang-undang yang satu
dengan undang-undang yang lain. contoh: batas usia dewasa menurut
pasal 330 BW adalah 21 Tahun atau telah lebih dulu kawin, Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 menetapkan batas usia untuk dapat
menikah yaitu serendah-rendahnya 19 Tahun bagi laki-laki dan 16 Tahun
bagi perempuan, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menetapkan usia dewasa adalah usia yang telah
mencapai 18 Tahun, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menetapkan syarat usia dewasa yaitu 17
Tahun.
Jadi dapat disimpulkan bahwa setiap manusia adalah subjek
hukum, tidak ada kecualinya. Bahkan bayi yang masih dalam kandungan
ibunya dapat dianggap sebagai subjek hukum. Meski demikian, tidak
semua subjek hukum adalah cakap hukum untuk melakukan perbuatan
hukum. Ada ketentuan-ketentuan yang mengatur perihal ketidakcakapan
hukum bagi beberapa golongan orang. Bilamana seseorang termasuk di
dalamnya maka ia diwakili/di dampingi oleh orang tua/wali, atau
pengampu dalam melakukan perbuatan hukumnya.
Jadi pada hekekatnya, hak dan kewajiban tetap berjalan. Tidak
cakap hukum bukan berarti tidak memiliki hak dan kewajiban. Hak dan
kewajiban tetap ia miliki dan melekat pada dirinya (orang yang tidak
cakap hukum), hanya saja dalam pelaksanaannya harus
diwakili/didampingi oleh orang yang berhak untuk itu (orang tua/wali
atau pengampu).
2) R. Soeroso
Badan hukum adalah suatu perkumpulan orang-orang yang
mengadakan kerjasama dan atas dasar ini merupakan suatu kesatuan
yang telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh
hukum.77
76
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. Ke 32, Intermasa, Jakarta, 2005, hlm.21.
77
R. Soeroso, Op.Cit., hlm.238.
Untuk dapat ikut serta dalam lalu lintas hukum dan diakui sebagai
subjek hukum, ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi oleh badan
hukum. Syarat-syarat tersebut adalah:
1) Dibentuk dan didirikan secara resmi sesuai dengan ketentuan hukum
yang mengatur perihal pembentukan/pendirian badan hukum. Syarat
pembentukan badan hukum ini sesuai dengan bentuk/jenis badan
hukum yang akan didirikan. Syarat pembentukan badan hukum ini
berbeda antara satu bentuk/jenis badan hukum dengan bentuk/jenis
badan hukum yang lain. Contoh: syarat/cara pembentukan badan
hukum partai politik berbeda dengan syarat/cara pembentukan badan
hukum perseroan terbatas (PT). Syarat/cara pembentukan kedua jenis
badan hukum itu diatur dalam undang-undang yang berbeda dan
dengan prosedur yang berbeda pula.
2) Memiliki harta kekayaan yang terpisah dari harta kekayaan
anggotanya.
3) Hak dan kewajiban hukum yang terpisah dari hak dan kewajiban
anggotanya.
Dalam hukum dikenal adanya dua macam badan hukum, yaitu:
1) Badan hukum publik: yaitu badan hukum yang didirikan berdasarkan
hukum publik dan bergerak di bidang publik/yang menyangkut
kepentingan umum. Badan hukum ini merupakan badan negara yang
dibentuk oleh yang berkuasa berdasarkan peraturan perundang-
undangan, yang dijalankan oleh pemerintah atau badan yang ditugasi
untuk itu.78 Contoh:
a. Negara Indonesia, dasarnya adalah Pancasila dan UUD 1945
b. Daerah Provinsi dan daerah Kabupaten/Kota, dasarnya adalah
Pasal 18, 18 A, dan 18 B UUD 1945 dan kemudian dielaborasi
dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
78
R.Soeroso, Op.Cit., hlm.239-240.
Pemerintahan Daerah (UU Pemda ini telah dirubah sebanyak dua
kali)79
c. Badan Usaha Milik Negara yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor19 Tahun 2003
d. Pertamina, didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor8 Tahun
1971
79
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 telah dirubah sebanyak dua kali yaitu dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang pemerintahan Dareah dan kemudian dirubah lagi dengan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
sebagai subjek hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum
seperti manusia. Teori ini di kemukakan F. Carl Von Savigny.
80
Hartono Hadisoeprapto, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hlm.19.
B. Objek Hukum
Objek hukum adalah segala sesuatu yang berguna dan bernilai bagi
subjek hukum, yang menjadi objek dari hubungan hukum serta dapat dikuasai
oleh subjek hukum. Contoh: A dan B melakukan jual beli mobil, A penjual
dan B pembeli. Hubungan antara A dan B dalam jual beli mobil tersebut
adalah hubungan hukum dan mobil itulah objek hukumnya. Mobil berguna
bagi manusia sebagai alat transportasi, bernilai ekonomis karena diperlukan
pengorbanan ekonomis untuk mendapatkannya, mobil itu adalah objek/pokok
dari hubungan hukum antara A dan B. Hubungan jual beli antara A dan B
tidak akan terjadi tanpa adanya mobil (objek). Selain itu mobil dapat dimiliki
dengan kepemilikan yang sah, salah satunya dengan melalui jual-beli.
Begitulah gambaran sederhana tentang objek hukum.
Perlu ditegaskan bahwa yang termasuk objek hukum hanyalah benda
yang cara perolehannya diatur oleh hukum. Diatur oleh hukum karena benda
tersebut memiliki kegunaan dan bernilai ekonomis sehingga hukum perlu
mengaturnya. Untuk mendapatkan benda tersebut dibutuhkan pengorbanan.
Sedangkan untuk benda yang dapat diperoleh secara bebas dari alam (non
ekonomis) seperti udara, cahaya matahari, cahaya bulan, yang cara
perolehannya tidak diatur oleh hukum, maka benda semacam itu bukanlah
termasuk objek hukum.81
Biasanya objek hukum adalah benda (zaak). Pengertian benda
menurut pasal 499 BW adalah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat
dimiliki oleh subjek hukum. Semua yang melekat dan segala sesuatu yang
dihasilkan dari benda, baik karena alam maupun karena manusia, merupakan
bagian dari benda tersebut.
Menurut BW, benda dapat dibedakan menjadi:
1. Benda yang berwujud dan tidak berwujud
81
Chainur Arrasjid, Op.Cit., hlm.132.
a. Benda yang berwujud: adalah benda yang dapat ditangkap/diraba oleh
pancaindera (benda material). Contoh: mobil, rumah, motor, buku,
dan lain sebagainya.
b. Benda yang tidak berwujud: adalah benda yang tidak dapat
ditangkap/diraba oleh pancaindera (benda imaterial). Contoh: hak
cipta, hak paten, hak merek, dan lain sebagainya.
2. Benda yang bergerak dan yang tidak bergerak
a. Benda yang bergerak: adalah segala yang dapat berpindah atau
dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain, termasuk hak-hak atas
benda yang bergerak. Contoh: mobil, motor, meja, buku, piutang atas
penjualan mobil.
Benda yang bergerak dibagi lagi menjadi:
i. Benda yang dapat dihabiskan; benda yang apabila
dipakai/digunakan menjadi habis. Contoh: parfum, roti, minuman.
ii. Benda yang tidak dapat dihabiskan; benda yang meskipun
dipakai/digunakan namun tidak habis wujudnya. Contoh: sepatu,
buku, lemari.
b. Benda yang tidak bergerak: adalah segala benda yang sifatnya tetap
dan tidak dapat dipindahkan, termasuk hak-hak atas benda yang tidak
bergerak. Contoh: tanah, rumah, pohon, hak milik atas tanah, hak
guna usaha atas tanah, hak guna bangunan atas tanah.
1. Hak
Istilah hak dalam bahasa latin disebut dengan “Ius” dan dalam
bahasa Inggris disebut dengan “right”. Berkenaan dengan hak, Van
Apeldoorn mencoba memberikan pengertian tentang hak dalam bukunya
“Inleiding tot de Studie van het Nederlandse Recht.” Menurutnya, hak
adalah hukum yang dihubungkan dengan seorang manusia atau subjek
hukum tertentu dan dengan demikian menjelma menjadi suatu
kekuasaan.”
Dari uraian diatas dapat dikemukakan bahwa hak adalah
kewenangan/kekuasaan yang diberikan oleh hukum kepada subjek hukum
dalam rangka mempertahankan dan melaksanakan kepentingan serta
kehendaknya. Achmad Ali menyebutkan bahwa hak terdiri dari tiga
unsur, yaitu:
1) Unsur perlindungan
2) Unsur pengakuan
3) Unsur kehendak82
Selain Achmad Ali, Paton pun mencoba mengemukakan
pandangannya mengenai unsur-unsur yang ada dalam suatu hak. Ia
menyatakan bahwa hak tidak hanya mengandung unsur perlindungan dan
kepentingan, melainkan juga kehendak.83 Contoh, A memiliki Mobil.
Mobil milik A tidak hanya dilindungi karena mobil tersebut adalah
kepunyaan (hak) A, tetapi hukum juga memberikan wewenang/kuasa
kepada A untuk melaksanakan kehendaknya atas mobil miliknya tersebut,
ia bisa menjual atau mewariskan atau menghibahkan mobil itu sesuai
kehendaknya. Dengan demikian tepatlah kiranya menyatakan bahwa
kehendak merupakan salah satu unsur dari hak.
Jadi dapat disimpulkan bahwa suatu hak mengandung unsur-unsur:
1) Pengakuan
2) Perlindungan
3) Kepentingan, dan;
4) Kehendak
Mula-mula suatu hak/kewenangan yang ada pada seseorang itu
diakui oleh hukum bahwa memang sudah sepatutnyalah hak itu melekat
pada subjek hukum tertentu. Kemudian setelah diakui, hak yang melekat
pada subjek hukum itu diberi perlindungan oleh hukum agar tidak
82
Achmad Ali, Op.Cit., hlm.181.
83
Paton dalam Satjipto Rahardjo, Op.Cit., hlm.54.
diperkosa/dilanggar oleh orang lain. Selanjutnya sudah menjadi
kenyataan bahwa didalam hak itu terdapat kepentingan, oleh karenanya
perlindungan yang diberikan oleh hukum itu pada dasarnya adalah untuk
melindungi kepentingan pemegang hak.
Namun pengakuan, perlindungan, dan kepentingan saja belum
cukup untuk merumuskan dan mengkonstruksikan adanya sebuah hak,
masih dibutuhkan unsur yang lain, yaitu kehendak. Setiap hak pastilah
mengandung kehendak, kehendak mana diperkenankan oleh hukum
kepada pemegang hak untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu atas
haknya tersebut.
Contoh: A memiliki piutang pada B yang sudah dapat ditagih
karena telah jatuh tempo pembayarannya, namun A tidak memiliki
kehendak untuk menagihnya dan membiarkan haknya itu. Dari contoh
tersebut dapat dikemukakan adanya unsur kehendak dalam suatu hak.
Suatu hak dapat saja tidak menuntut untuk dipenuhi manakala si
pemegang hak menghendakinya.
Fitzgerald memberikan ciri-ciri yang melekat pada hak menurut
hukum. Ciri-ciri tersebut adalah:
1) Hak itu dilekatkan kepada seseorang yang disebut sebagai pemilik
atau subjek dari hak itu. Ia juga disebut sebagai orang yang
mempunyai titel atas barang yang menjadi objek daripada hak.
2) Hak itu tertuju pada orang lain, yaitu yang menjadi pemegang
kewajiban. Antara hak dan kewajiban terdapat hubungan korelatif.
3) Hak yang ada pada seseorang ini mewajibkan pihak lain untuk
melakukan sesuatu (commission) atau tidak melakukan sesuatu
perbuatan (ommission).
4) Commission dan ommission ini menyangkut sesuatu yang bisa
disebut sebagai objek dari hak.
5) Setiap hak menurut hukum itu mempunyai titel, yaitu suatu peristiwa
tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada pemiliknya.84
84
Fitzgerald dalam Satjipto Rahardjo, Ibid., hlm.55.
Contoh: A dan B melakukan perjanjian sewa menyewa rumah.
A sebagai pemilik rumah dan B sebagai penyewa. Dalam perjanjian
disepakati bahwa B harus membayar uang sewa kepada A setiap
bulannya. Dengan demikian, A mempunyai hak menuntut
pembayaran sewa atas rumahnya yang disewakan kepada B.
Jadi jelaslah bahwa hak relatif ini berlakunya hanya untuk
orang-orang tertentu dan umumnya berlaku dalam lapangan perikatan.
Setelah menyimak pembahasan mengenai hak, kemudian timbul
pertanyaan: kapan suatu hak itu lahir dan hapus ? Pertanyaan tersebut
akan dijawab dibawah ini.
Hak dapat lahir atau timbul karena sebab-sebab sebagai
berikut:
1) Karena adanya subjek hukum baru, baik manusia (natuurlijk
persoon) maupun badan hukum (rechtspersoon).
2) Karena adanya ketentuan perundang-undangan yang secara tegas
memberikan suatu hak kepada subjek hukum. Contoh, Undang-
Undang Kekuasaan Kehakiman memberikan suatu hak ingkar
bagi seorang yang diadili dimuka pengadilan.85
3) Karena adanya perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak
dalam perjanjian tersebut.
4) Karena adanya kerugian yang diderita oleh seseorang sebagai
sebagai akibat kesalahan orang lain.
5) Karena telah dipenuhinya kewajiban yang menjadi syarat untuk
memperoleh hak.
6) Karena kadaluarsa yang menimbulkan/mendatangkan hak bagi
seseorang (acqusitief verjaring).
85
Vide pasal 17 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Yang dimaksud dengan hak ingkar adalah hak seseorang yang diadili untuk mengajukan
keberatan yang disertai dengan alasan terhadap seorang hakim yang mengadili perkaranya.
Misalnya karena hakim tersebut memiliki hubungan darah dengan jaksa atau dengan pensehat
hukum atau dengan pihak-pihak lain dalam persidangan yang dapat menimbulkan kekhawatiran
bahwa hakim tidak objektif dan imparsial.
Hak dapat hapus/lenyap karena sebab-sebab sebagai berikut:
1) Karena pemegang hak meninggal dunia dan tidak ada pengganti
atau ahli waris yang meneruskan hak tersebut.
2) Karena adanya ketentuan perundang-undangan yang menyatakan
bahwa suatu perbuatan/keadaan dapat menghapuskan hak.
Contoh: hak untuk memilih dalam Pemilu (hak pilih)
hapus/lenyap manakala seseorang menjadi anggota TNI karena
undang-undang tidak memberikan hak pilih kepada anggota
militer (TNI).
3) Masa berlakunya hak telah habis dan tidak dapat diperpanjang.
Contoh, hak seorang penyewa rumah atas rumah yang disewanya
habis manakala batas waktu sewa rumah tersebut telah habis dan
tidak diperpanjang.
4) Telah diterimanya suatu benda yang menjadi hak seseorang atau
telah dipenuhinya hak seseorang.
5) Kewajiban yang merupakan syarat untuk mendapatkan hak sudah
dipenuhi.
6) Karena kadaluarsa yang menghapuskan hak (exctintief verjaring).
2. Kewajiban
1. Hukum Objektif
2. Hukum Subjektif
86
C.S.T. Kansil, Op.Cit.,hlm.120.
oleh B selama waktu tertentu sesuai perjanjian, sedangkan B mempunyai
hak untuk menempati rumah milik A selama waktu tertentu sesuai
perjanjian.
Dari contoh diatas dapat disimpulkan bahwa hukum yang mengatur
perjanjian sewa menyewa rumah antara A dan B adalah hukum objektif.
Sedangkan hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian tersebut adalah
hukum subjektif.
BAB VIII
PERISTIWA HUKUM DAN HUBUNGAN HUKUM
A. Peristiwa Hukum
173
174
2. Bellefroid
Peristiwa hukum adalah peristiwa sosial yang tidak secara otomatis dapat
menimbulkan hukum, suatu peristiwa dapat menjadi peristiwa hukum
apabila peristiwa itu oleh peraturan hukum dijadikan peristiwa hukum.
3. R.Soeroso
Peristiwa hukum adalah suatu kejadian biasa dalam kehidupan sehari-hari
yang akibatnya diatur oleh hukum.
4. C.S.T Kansil
Peristiwa hukum adalah peristiwa-peristiwa kemasyarakatan yang oleh
hukum diberikan akibat-akibat.
5. Chainur Arrasjid
Peristiwa hukum adalah suatu kejadian dalam masyarakat yang dapat
menimbulkan akibat hukum atau yang dapat menggerakan peraturan
tertentu sehingga peraturan yang tercantum di dalamnya dapat berlaku
konkret.
1) Perbuatan hukum
Adalah setiap perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum dan
akibat itu dikehendaki oleh yang melakukannya. Perbuatan hukum ini
dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni:
87
Pasal 875 BW berbunyi “Ada pun yang dinakaman surat wasiat atau testamen ialah suatu
akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah
ia meninggal dunia, dan yang olehnya dapat dicabut kembali.” Pasal 1666 BW yang berisi tentang
pengertian hibah berbunyi “Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu
hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu
benda guna keperluan si peneriman hibah yang menerima penyerahan itu.”
adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Jadi dengan terdapatnya dua pihak atau lebih dalam suatu
perjanjian maka peristiwa hukum yang timbul dari perjanjian
tersebut merupakan kehendak/kesepakatan bersama, bukan
kehendak/kesepakatan sepihak.
b. Onrechtmatigedaad
1) Kelahiran
Kelahiran menimbulkan sejumlah akibat-akibat yang diatur
oleh hukum, oleh karenanya kelahiran adalah contoh dari peristiwa
hukum yang bukan perbuatan subjek hukum. Dikatakan peristiwa
hukum yang bukan perbuatan subjek hukum karena kelahiran bukan
merupakan perbuatan hukum dari subjek hukum, melainkan suatu
yang berada diluar kekuasaan manusia. Namun demikian akibat-
akibat yang timbul dari kelahiran tetap diatur oleh hukum.
Akibat-akibat hukum yang timbul dari kelahiran diantaranya
adalah hak bagi anak yang dilahirkan untuk mendapat pemeliharaan
dan perawatan dari orang tuanya. Sebaliknya, orang tua wajib
memelihara dan mendidik anaknya sekalipun mereka kehilangan
kekuasaan orang tua (ouderlijk macht).88
2) Kematian
Kematian seseorang merupakan peristiwa hukum karena
menimbulkan akibat-akibat hukum tertentu, diantaranya adalah
mengenai warisan. Hak dan kewajiban orang yang telah meninggal
beralih kepada ahli warisnya. Haknya ialah segala harta kekayaan
termasuk juga piutangnya. Sedangkan kewajibannya antara lain
adalah hutang-hutang yang telah diperbuatanya. Hak dan kewajiban
yang tersebut diatas itulah yang kemudian beralih kepada ahli
warisnya.
Mengenai pewarisan sebagai akibat hukum yang timbul dari
kematian seseroang, pengaturan pokoknya terdapat dalam pasal 830
dan 833 BW. Pasal 830 BW berbunyi “Pewarisan hanya berlangsung
88
Vide pasal 298 ayat (2) BW (KUH Perdata).
karena kematian.” Selanjutnya pasal 833 BW menetapkan bahwa
“Sekalian ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh
hak milik atas segala barang, segala hak, dan segala piutang si yang
meninggal.”
Jadi dari pembahasan diatas jelaslah bahwa kematian
menimbulkan akibat-akibat hukum.
3) Kadaluwarsa
Kadaluwarsa atau lewat waktu dalam bahasa Belanda disebut
dengan istilah “verjaring.” Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(BW) mengatur tentang kadaluwarsa dalam buku ke IV tentang
pembuktian dan daluwarsa (van bewijs and verjaring).
Disamping KUH Perdata, KUHP pun mengatur mengenai
ketentuan tentang kadaluwarsa, yaitu terdapat dalam Buku ke I bab
VIII (Pasal 76-85 KUHP). Pengertian kadaluwarsa/daluwarsa dapat
dilihat dari rumusan pasal 1946 BW. Menurut pasal 1946 BW,
daluwarsa adalah suatu alat untuk memeroleh sesuatu atau untuk
dibebaskan dari sesuatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu
tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.
Pasal 1946-1962 BW mengatur tentang daluwarsa pada
umumnya (ketentuan-ketentuan pokok tentang daluwarsa). Pasal
1963-1966 BW mengatur tentang daluwarsa sebagai alat untuk
memperoleh sesuatu. Kemudian pasal 1967-1977 BW mengatur
perihal daluwarsa sebagai suatu alasan untuk dibebaskan dari suatu
kewajiban.
Melihat uraian diatas maka kadaluwarsa dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu:
a. Kadaluwarsa akuisitif: adalah kadaluwarsa yang menyebabkan
seseorang memperoleh sesuatu.
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai kadaluwarsa
akuisitif, berikut ketentuannya dalam pasal 1963 BW:
Ayat (1): “Siapa yang dengan itikad baik dan berdasarkan suatu
alas hak yang sah, memperoleh suatu benda tak
bergerak, suatu bunga, atau suatu piutang lain yang
tidak harus dibayar atas tunjuk, memperoleh hak milik
atasnya, dengan jalan daluwarsa, dengan suatu
penguasaan selama dua puluh tahun.”
Ayat (2): “Siapa yang dengan itikad baik menguasainya selama
tiga puluh tahun, memperoleh hak milik, dengan tidak
dapat dipaksa untuk mempertunjukan alas haknya.”
Berdasarkan pasal 1963 BW tersebut, seorang yang
beritikad baik dapat memperoleh suatu benda yang telah
dikuasainya selama 20 Tahun. Bahkan setelah lewatnya waktu 30
Tahun sejak penguasaannya atas benda tersebut, orang itu
memperoleh hak milik atas benda yang dikuasainya itu tanpa
harus menunjukan alas haknya (bukti kepemilikannya).
Contoh: A menguasai sebidang tanah dan telah
menggarapnya selama 20 Tahun, maka A memperoleh hak atas
tanah tersebut. Apabila penguasaan itu terus berlangsung sampai
30 Tahun lamanya maka A memperoleh hak milik atas sebidang
tanah tersebut.
B. Hubungan Hukum
Jadi dari contoh diatas dapat ditegaskan bahwa bab ketujuh buku
ketiga BW (pasal 1548-1600 BW) merupakan dasar hukum dari hubungan
hukum antara A dan B. Sedangkan perjanjian sewa menyewa yang terjadi
antara A dan B merupakan peristiwa hukumnya.
C. Akibat Hukum
Akibat hukum adalah hasil atau akibat yang timbul dari suatu
peristiwa hukum. Sedangkan sebagaimana yang telah diketahui bahwa
peristiwa hukum terbagi/terjadi karena dua hal, yaitu karena perbuatan subjek
hukum dan karena peristiwa hukum yang bukan perbuatan subjek hukum.
Oleh sebab itulah akibat hukum pun tidak hanya timbul karena perbuatan
subjek hukum, melainkan juga dapat timbul karena peristiwa hukum yang
bukan perbuatan subjek hukum.
Contoh akibat hukum yang timbul karena perbuatan subjek hukum
antara lain:
1. Dipidananya seseorang karena telah melakukan pembunuhan.
2. Hilangnya kekuasaan orang tua (ouderlijk macht) karena orang tua
tersebut lalai menjalankan kewajibannya sebagai orang tua atau bersikap
buruk terhadap anaknya.
Pada contoh diatas, dipidananya seorang pembunuh dan hilangnya
kekuasaan orang tua (ouderlijk macht) merupakan akibat hukum dari
perbuatan yang dilakukan oleh subjek hukum. Contoh akibat hukum yang
timbul karena peristiwa lain yang bukan perbuatan subjek hukum diantaranya
adalah kecakapan hukum bagi seseorang yang telah mencapai usia 21 tahun.
Dalam hal ini, tanpa perbuatan hukum apa pun yang dilakukan oleh subjek
hukum, subjek hukum tersebut memperoleh kecakapan hukum manakala ia
telah mencapai usia 21 tahun.
Jadi berdasarkan penjelasan diatas, penulis menepis anggapan yang
menyatakan bahwa akibat hukum adalah akibat yang timbul dari perbuatan
hukum. Lain daripada itu, lebih tepat kiranya menggunakan sitilah “peristiwa
hukum” daripada “perbuatan hukum”. Peristiwa hukum dapat terjadi, baik
karena perbuatan subjek hukum maupun karena persitiwa hukum lain yang
bukan perbuatan subjek hukum. Buktinya telah dikemukakan diatas bahwa
akibat hukum tidak hanya ditimbulkan/disebabkan karena perbuatan subjk
hukum. Sebaliknya, tanpa perbuatan subjek hukum pun akibat hukum dapat
saja timbul, sebagaimana yang telah dicontohkan diatas.
Akibat hukum merupakan sumber dari lahirnya hak dan kewajiban
bagi para pihak yang bersangkutan.89 Akibat hukum yang timbul karena
perbuatan subjek hukum bermula dari adanya suatu hubungan hukum antara
dua subjek hukum atau lebih. Hubungan hukum tersebut kemudian
diwujudkan/dikonkretisir menjadi sebuah perbuatan hukum (peristiwa hukum
karena perbuatan subjek hukum). Perbuatan hukum yang dilakukan oleh
subjek hukum itulah yang pada akhirnya melahirkan hak dan kewajiban bagi
yang bersangkutan.90
Contoh, A dan B melakukan perjanjian jual beli mobil. A sebagai
pemilik mobil dan B sebagai pembeli. Hubungan hukum itu menjadi
perbuatan hukum manakala perjanjian jual beli mobil disepakati dan berlaku
bagi para pihak. Akibat perjanjian jual beli itu maka lahirlah hak dan
kewajiban diantara A dan B. A berhak mendapat pembayaran dari B dan ia
pun mempunyai kewajiban untuk menyerahkan mobilnya pada B.
Sebaliknya, B berhak mendapatkan mobil dari A dan ia pun mempunyai
kewajiban untuk membayar harga mobil kepada A.
Untuk lebih mudahnya, penjelasan diatas dapat digambarkan dengan
skema sebagai berikut:
89
Pipin Syarifin, Op.Cit., hlm.71.
90
Lihat syarat-syarat hubungan hukum pada Sub Bab C hlm.143. Syarat-syarat hubungan
hukum diantaranya adalah adanya peristiwa hukum.
Skema Akibat Hukum Merupakan Sumber Lahirnya Hak dan Kewajiban
Pertanyaan :
Apakah itu suatu peristiwa hukum?
91
Satjipto Raharjo, Op Cit, hlm 38
Skema Peristiwa Hukum
Perbuatan Hukum
Perbuatan Hukum Bersegi Dua
Perbuatan Subjek Hukum
Perbuatan
Perbuatan tidak dilarang Zaakwaarneming
yang Onrechtmatigedaad
Bukan Perbuatan Hukum dilarang
Onverschuldigde betaling
Peristiwa Hukum
Kadaluarsa ectientief
Perbuatan Oleh Hukum
Kepailitan
Keadaan nyata aquisitief
Dewasa
BAB IX
SISTEM HUKUM DAN PENGGOLONGAN HUKUM
92
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hlm.159.
93
Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Cet ke 1., Alumni,
Bandung, 1991, hlm.56.
190
191
secara interdependen satu sama lain. Dari definisi diatas maka dapatlah
diuraikan unsur-unsur yang terdapat dalam pengertian sistem hukum. Unsur-
unsur tersebut antara lain:
1. Satu kesatuan yang bulat dan utuh
2. Tersusun secara sistematis
3. Satu kesatuan yang bulat dan utuh itu terdiri dari unsur-unsur atau bagian-
bagian (subsistem)
4. Unsur-unsur atau bagian-bagian (subsistem) itu saling berinteraksi dan
berkaitan secara interdependen satu sama lain
Sistem hukum merupakan satu kesatuan yang terdiri dari komponen-
komponen atau unsur-unsur yang saling berinteraksi dan berkaitan secara
interdependen (saling tergantung) satu sam lain. Jadi sistem hukum bukan
hanya sekedar himpunan atau kumpulan hukum yang masing-masing berdiri
sendiri dan terpisah satu dengan yang lainnya, melainkan adalah suatu
kesatuan yang saling berkaitan yang membentuk suatu tatanan hukum.
Dalam konteks sistem hukum, arti penting suatu peraturan hukum
justru terletak pada keterkaitannya dengan peraturan hukum yang lain.
Sebaliknya, peraturan hukum yang berdiri sendiri dan tidak mempunyai
afiliasi dengan peraturan hukum lain, bukanlah merupakan bagian dari suatu
sistem hukum.
Pada hakekatnya sistem hukum diciptakan untuk mecapai suatu
tujuan tertentu, tujuan mana ialah merupakan cita-cita hukum (rechtsidee)
dari suatu masyarakat dimana sistem hukum itu berlaku. Untuk mencapai
tujuan itu maka disusunlah bagian demi bagian sistem hukum secara
sistematis dan korelatif sehingga membentuk suatu pola interaksi yang teratur
dan ajeg.
Pola interaksi yang teratur dan ajeg dari bagian-bagian (subsistem)
sistem hukum itulah yang kemudian menjadi satu kesatuan tatanan hukum
yang bulat dan utuh. Tatanan mana pada akhirnya dapat memberi pedoman
kepada masyarakat untuk bersikap tindak sesuai dengan norma yang
terkandung di dalamnya. Selain itu tatanan tersebut juga memberi jalan
penyelesaian terhadap setiap kontradiksi/konflik yang terjadi diantara bagian-
bagian dalam sistem hukum itu sendiri.
Sistem hukum menghendaki adanya harmonisasi diantara bagian-
bagian atau unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. Sebaliknya, sistem
hukum tidak menghendaki adanya kontradiksi/konflik diantara bagian-bagian
atau unsur-unsurnya. Jika pun terjadi konflik, maka sistem hukum memberi
jalan penyelesaian agar konflik tersebut tidak berlarut-larut.
Sistem hukum terdiri dari unsur-unsur atau bagian-bagian yang saling
berinteraksi dan berkaitan secara interdependen satu sama lain. Unsur-unsur
atau bagian-bagian itu disebut juga sebagai subsistem. Jadi dengan perkataan
lain, sistem hukum merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh yang terdiri
atas sub-subsistem. Dalam hal ini dapatlah dicontohkan bahwa sistem hukum
Indonesia terdiri atas sub-subsistem seperti sistem hukum pidana, sistem
hukum perdata, sistem hukum tata negara, dan lain sebagainya. Sedangkan
sistem hukum pidana yang merupakan subsistem dari sistem hukum nasional
masih juga memiliki subsistem, seperti subsistem pidana umum dan
subsistem pidana khusus.
Setelah pembahasan yang cukup panjang mengenai pengertian sistem
hukum ini, kemudian timbul pertanyaan; terdiri dari apa sajakah sistem
hukum itu atau apa unsur-unsur daripada sistem hukum itu ? Untuk
menjawab pertanyaan diatas maka perlulah kiranya mengemukakan
pandangan Lawrence Friedman. Menurutnya, sistem hukum itu terdiri dari
tiga unsur/komponen, yakni:
1. Legal substance atau substansi hukum, ialah kaidah-kaidah hukum atau
peraturan-peraturan hukum (isi daripada hukum).
2. Legal structure atau struktur hukum, ialah lembaga-lembaga penegak
hukum seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan.
3. Legal culture atau budaya hukum, ialah segala hal yang berkaitan dengan
pandangan atau keyakinan masyarakat dalam memandang dan
menempatkan hukum dalam keseharian/budayanya. Seperti kesadaran
hukum masyarakat, nilai-nilai hukum yang hidup ditengah-tengah
masyarakat, sikap tindak masyarakat dalam melaksanakan aturan hukum,
dan lain sebagainya.
Adalah suatu kenyataan bahwa sistem hukum merupakan sistem yang
abstrak (konseptual) dan terbuka. Dikatakan abstrak (konseptual) karena
sistem hukum merupakan satu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur atau
bagian-bagian yang tidak dapat dilihat atau diraba layaknya benda konkrit.
Sedangkan disebut sebagai sistem yang terbuka karena memang sistem
hukum berhubungan secara timbal balik dan saling mempengaruhi dengan
unsur-unsur diluarnya. Sistem hukum merupakan sistem yang membuka diri
untuk berhubungan dan menerima pengaruh dari unsur-unsur diluarnya.
Berkenaan dengan pembahasan mengenai sifat hukum yang terbuka
ini, tidak akan terlepas dari pandangan Paul Scholten dengan teorinya “open
system van het recht.” Menurutnya, hukum adalah suatu sistem yang terbuka
karena hukum itu tidak pernah lengkap dan sempurna. Oleh karena itu hukum
terbuka untuk ditafsirkan guna menyelaraskannya dengan perkembangan
masyarakat, sebab telah menjadi suatu asas bahwa “het recht hinkt achter de
feiten aan” (hukum selalu tertinggal dari peristiwanya).
Bagaimana hukum dapat di justifikasi/dianggap sebagai suatu sistem?
Pertanyaan tersebut dijawab oleh Fuller dalam teorinya “Principles of
legality.” Dalam teorinya itu, Fuller menjelaskan bahwa hukum sebagai suatu
sistem dapat diukur dengan menggunakan delapan asas berikut ini:
1. Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan (bukan
hanya keputusan ad hoc)
2. Peraturan yang sudah dibuat harus diumumkan
3. Peraturan tidak boleh ada yang berlaku surut
4. Peraturan-peraturan harus dirumuskan dengan susunan kata-kata yang
dapat dimengerti
5. Suatu sistem hukum tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang
bertentangan satu sama lain
6. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung ketentuan yang melibihi apa
yang dapat dilakukan
7. Tidak boleh sering merubah peraturan sehingga menyebabkan orang
kehilangan orientasi
8. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan
pelaksanaannya
94
Marwan Mas, Op.Cit., hlm.126-128.
1) Supremasi hukum (supremacy of law)
2) Persamaan atau kesetaraan dihadapan hukum (equality before the
law)
3) Jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia
(protection warranties of human rights)
C. Penggolongan Hukum
95
Van Apeldoorn, Op.Cit., hlm.6.
Berikut ini akan diuraikan mengenai penggolongan hukum
berdasarkan kriteria tertentu.
1. Berdasarkan sumber formalnya, hukum dapat digolongkan menjadi:
a. Hukum undang-undang (statute law, wetten recht), ialah hukum yang
dibentuk oleh badan resmi yang berwenang dan dituangkan dalam
bentuk peraturan perundang-undangan.
b. Hukum kebiasaan (gewoonto recht), ialah hukum yang timbul dari
pergaulan hidup masyarakat yang kemudian menjadi kebiasaan/adat.
Kebiasaan/adat itu dilakukan secara berulang-ulang sehingga pada
akhirnya dianggap sebagai hukum oleh masyarakat. Pelanggaran
terhadap kebiasaan/adat itu kemudian dijatuhi sanksi. Kebiasaan/adat
yang bersanksi itulah yang dimaksud dengan hukum
kebiasaan/hukum adat.
c. Hukum yurisprudensi (jurisprudentie recht), ialah hukum yang
terbentuk melalui peradilan berupa putusan hakim.
d. Hukum traktat (tractat recht), ialah hukum yang lahir dari/karena
adanya perjanjian internasional. Sedangkan pengertian
traktat/perjanjian internasional adalah perjanjian antara negara dengan
negara atau negara dengan subjek hukum internasional lainnya yang
melahirkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.
e. Hukum ilmu (wetenschap), ialah hukum yang berupa pendapat/ajaran
ahli hukum yang telah diakui kepakarannya dan besar pengaruhnya
dalam dunia hukum.
96
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hlm.169.
4. Berdasarkan fungsinya, hukum dapat digolongkan menjadi:
a. Hukum materiil, ialah hukum yang mengatur hubungan antar sesama
anggota masyarakat, masyarakat yang satu dengan masyarakat yang
lain, dan masyarakat dengan negara. Hukum materiil menetapkan hak
dan kewajiban yang timbul akibat adanya suatu hubungan hukum
serta berisi larangan dan perintah. Contoh: hukum pidana, hukum
perdata, hukum administrasi negara/hukum tata usaha negara.
b. Hukum formil, ialah hukum yang mengatur bagaimana cara
menegakan dan mempertahankan hukum materiil.
Keberadaan hukum materiil dan hukum formil saling menunjang
dan mendukung satu sama lain. Hukum materiil tanpa hukum formil akan
sia-sia belaka, sebab hukum formillah yang akan bergerak/menentukan
cara untuk mempertahankan dan mengganjar setiap pelanggaran terhadap
hukum materiil. Sebaliknya, hukum formil tanpa hukum materiil adalah
angan-angan belaka, sebab apa yang hendak dipertahankan dan ditegakan
apabila hukum meteriilnya saja tidak ada. Singkatnya, hukum formil
mengatur tata cara berperkara di muka pengadilan. Oleh karena itu
hukum formil disebut juga hukum acara. Contoh: hukum acara pidana,
hukum acara perdata, hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara, hukum
acara Peradilan Agama, hukum acara Mahkamah Konstitusi.
b. Hukum tidak tertulis (ius non scripta, unstatutery law, unwritten law),
ialah hukum yang tidak tertulis dalam suatu bentuk dokumentasi apa
pun tetapi hukum itu diyakini dan ditaati berlakunya oleh masyarakat
yang bersangkutan. Hukum tidak tertulis ini lazimnya disebut hukum
kebiasaan.
97
Kompilasi Hukum Islam merupakan hukum materiil berupa himpunan hukum Islam
dibidang Perkawinan, Kewarisan, dan Perwakafan yang dimaksudkan untuk menjadi sumber
hukum bagi para hakim dilingkungan Peradilan Agama, dimana hakim dapat merujuk hukum yang
terdapat dalam KHI untuk diterapkan guna menyelesaikan/memutus perkara. Dasar hukumnya
adalah Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 yang berisi instruksi Presiden kepada Menteri Agama
untuk menyebarluaskan KHI, Keputusan Menteri Agama No.154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan
Inpres No.1 Tahun 1991.
7. Berdasarkan tempat berlakunya, hukum dapat digolongkan menjadi:
a. Hukum nasional, ialah hukum yang berlaku di suatu negara tertentu
b. Hukum internasional, ialah hukum yang mengatur hubungan atau
persoalan yang melintasi batas negara antara:
1) Negara dengan negara;
2) Negara dengan subjek hukum lain yang bukan negara atau subjek
hukum bukan negara satu sama lain.98
c. Hukum asing, ialah hukum yang berlaku di negara lain/negara asing
Hukum undang-undang
Hukum persetujuan
Hukum traktat
Klasifikasi menurut Sumber berlaku & bentuknya & peraturan
– peraturan itu
Hukum kebiasaan & adat
Hukum yurisprudensi
Hukum ilmu
Hukum revolusi
98
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Cet. Ke 1,
Edisi kedua, Alumni, Bandung, 2003, hlm.4.
Hukum perdata
Hukum negara
Hukum Publik
Hukum antar Negara
Hukum pidana
perdata
Hukum acara
pidana
ius constituendum
Klasifikasi menurut ukuran Pertalian hubungan hukum
hukum obyektif
hukum subyektif
Ali, Ahmad. Menguak Tabir Hukum. Edisi Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia, 2008.
Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2009.
Djokosoetono. Ilmu Negara. Himpunan oleh Harun Alrasid. Jakarta: Ind Hill Co,
2006.
Kansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Cet.8. Jakarta:
Balai Pustaka, 1989.
Kelsen, Hans. General Theory of Law and State. New York: Russe and Russe,
1973.
Mas, Marwan. Pengantar Ilmu Hukum. Cet.2. Bogor: Ghalia Indonesia, 2011.
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Cet. Ke 5. Semarang: PT. Citra Aditya Bakti,
2000.
Rousseau, Jean Jacques. Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip Hukum-Politik (Du
Contract Social ou Droit Politique). Diterjemahkan oleh Rahayu Surtiati
dan Ida Sundari Husen. Cet.2. Jakarta: Dian Rakyat, 2010.
Sanusi, Achmad. Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia.
Bandung: Tarsito, 1977.
Van Apeldoorn, L.J. Pengantar Ilmu Hukum (Inleiding Tot De Studie Van Het
Nederlandse Recht). Diterjemahkan oleh Oetarid Sadino. Cet. 24. Jakarta:
Pradnya Paramita, 1990.
INDEKS
A
Anglo Saxon, 40, 100, 101, 105, 194,
197, 198, 199
Argumentum a contrario, 127, 129, 149,
150
B
Badan Hukum, 152, 157, 158, 159, 160,
161, 167
Bagir Manan, 102, 142
Basis Leervak, 1
Bikameral, 74
Budaya Hukum, 29, 30, 192
Burgerlijk Wetboek, 121, 153
C
Carl Von Savigny, 18, 40, 67, 161
Case law, 198
Code Civil, 115, 117, 120, 121, 194
Code du Commerce, 117, 120, 121, 194
Code Napoleon, 115, 117
Code Penal, 117, 120, 121, 194
Cogatitionis poenam nemo patitur, 43, 54
Common law, 197, 199
Civil law, 194
D
Die normatieve kraft des faktischen, 91, 92
Determinan, 64, 66
Du Contract Social, 123
E
Einfuhrung in die rechtswissenschaft, 2, 11
Ejawantah, 40
Ekstrateritorial, 86
Encyclopedie hukum, 5
Equality before the law, 40, 43, 200
Erga omnes, 44
Eropa kontinental, 101, 105, 194, 195, 196, 197, 198
F
Fakultatif, 54, 206
Filosofische geltung, 84
Freie rechtslehre, 125, 126, 127, 128, 129
G
Gratifikasi, 53
Geen straft zonder schuld, 43
Gerechtigheid, 16, 198
H
Hak asasi manusia, 83, 111, 154, 166, 197, 200
Hak imunitas, 86, 109
Hak ingkar, 167
Hak mutlak, 166
Hak relatif, 166
Heteronom, 49, 52, 55
Het recht hinkt achter de feiten aan, 193
Hukum privat, 160, 201, 202, 203, 209
Hukum publik, 106, 159, 201, 203, 209
I
Ibadah, 48
Iedereen wordht geacht tot de wet te kennen, 78
Ignorantia legis excusat niminem, 78
Imperatif, 54, 265
In dubio pro reo, 44
Introduction, 3, 5
Ius constituendum, 143, 208, 210
Ius constitutum, 8, 125, 154, 208, 210
Ius curia novit, 42, 145, 147
J
Judex non ultra petita, 43
Juristische geltung, 83
Jurisprudence, 4, 99
Juris, 2, 4, 14, 30, 31, 32, 34, 83, 99, 125, 135, 136, 201
Justitia commutativa, 33
K
Kadaluwarsa akuisitif, 180
Kadaluwarsa ekstintif, 181
Kepastian hukum, 30, 32, 33, 34, 35, 42, 92, 98, 100, 116, 117, 118, 119, 124,
126, 128, 196
Kesatuan hukum, 116, 117, 118, 119
Kompilasi Hukum Islam, 49, 207
Konkordansi, 120, 195
Konvensi Wina, 105, 109
Koperasi, 77, 160
L
L’esprit des lois, 123
L’etat c’est moi, 116
Law making contract, 109
Lawrence Friedman, 29, 192
Legisme, 33, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 144, 177
Levensvoorschriften, 27
M
Manifestasi, 3, 23, 39, 41
Matrilineal, 119
Mazhab, 15, 17, 18, 19, 20, 32
Muamalah, 48
N
Normwissenschaft, 3, 24
Nullum delictum noella poena sine praevia lege poenale, 42
O
Open system van het recht, 135, 193
Orde/Ordnung, 46
Ouderlijk macht, 155, 166, 179, 185, 187
P
Paradoksal, 64
Parental, 119
Patrilineal, 119
Piagam Mahkamah Internasional, 113
Presumption of innocence, 40, 43
Prolegnas, 73, 88
Q
Qishas, 49
R
Rajam, 49
Ratio legis, 38
Rechtsidee, 26, 84, 117, 191
Rechtstaat, 196
Rechtvinding, 128
Resepsi, 70, 97, 120
Revolusi Perancis, 115
S
Seinwissenschaft, 3, 9
Similia similibus, 43, 104, 199
Sollenwissenschaft, 24
Soziologische geltung, 83
Staatsblad, 77, 121
Standaard arresten, 178
Staten General, 73, 74
Supremasi hukum, 116, 200
T
The binding force of precedent, 40, 43, 101, 105
The rule of law, 199
Tidak cakap hukum, 140, 156, 157
Transitoir recht, 122
Treaty contract, 109
Trias politica, 123
Tweezigdig, 175
U
Ultimum remedium, 133
V
Volksraad, 80
W
Werkelijkheid, 83, 131, 142
Wetboek van koophandel, 121
Wetboek van Straftrechts, 121
Y
Yurisprudensi, 63, 64, 65, 70, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 112, 125, 126,
127, 131, 132, 148, 178, 196, 198, 199, 201, 208
Z
Zaakwaarneming, 176, 189
Zoon politicon, 24, 45, 173
215
GLOSARIUM
A
Algemeene Bepalingen van Wetgeving voor Nederlandsch Indie: Ketentuan
umum tentang peraturan perundang-undangan untuk Hindia Belanda
Argumentum a contrario: Pengungkapan secara terbalik
Arrest: Putusan pengadilan
Ambiguitas: Ketidakjelasan, ketidaktentuan, bermakna ganda
Ad hoc: Sesuatu yang dibentuk/diadakan hanya untuk sementara waktu dan guna
mencapai tujuan tertentu (khusus)
Apriori: Beranggapan, menduga, menjustifikasi sebelum mengetahui atau
menyelediki kebenarannya
B
Basis Leervak: Mata kuliah dasar
Bikameral: Parlemen yang terdiri dari dua kamar
Bouche de la loi: Mulut/corong undang-undang
Burgerlijk Wetboek: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
C
Cakrawala: Jangkauan pandangan, khazanah
Commission: Keharusan untuk melakukan sesuatu perbuatan
Cogatitionis poenam nemo patitur: Tidak ada seorang pun yang dapat dihukum
karena apa yang ada dalam batinnya/apa yang
dipikirkannya
Code Civil: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Perancis
Code Penal: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Perancis
Code du Commerce: Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Perancis
D
Definisi: Kata atau frasa atau kalimat yang mengungkapkan makna/arti atau
keterangan mengenai sesuatu hal
Das Sollen: Teori, apa yang seyogianya
Das Sein: Kenyataan, senyatanya
Determinan: Faktor yang menentukan
De ontwikkelde leek: Orang yang terpelajar tetapi awam (istilah ini dikemukakan
oleh Van Apeldoorn)
Dominion: Negara bekas jajahan yang telah merdeka dan berdaulat tetapi terikat
dalam suatu persemakmuran/konfederasi dengan negara induknya.
Contoh: negara-negara bekas jajahan Inggris yang tergabung dalam
“The British Commonwealth of Nations”
E
Einfuhrung in die rechtswissenschaft: Pengantar ilmu hukum (bahasa Jerman)
Encyclopedie: Ensiklopedia, serangkaian tulisan atau buku yang memuat
keterangan/uraian tentang berbagai hal dalam satu bidang ilmu
Empirik/empiris: berdasarkan pengalaman/kenyataan
Ejawantah: Menjelma
Ekspansi: Perluasan wilayah
G
Gratifikasi: Pemberian dalam ati luas meliputi pemberian uang, barang, rabat
(discount), pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas
penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas
lainnya.
H
Hoger onderwijs wet: Undang-undang perguruan tinggi
Hak imunitas: Hak untuk tidak dituntut (kekebalan terhadap hukum)
Heteronom: Kekuasaan dari luar (berasal dari luar)
Heterogenitas: Keanekaragaman, kemajemukan
Hoge Raad: Pengadilan tertinggi di Belanda (Mahlamah Agung kalau di
Indonesia)
I
Inleiding tot de rechtswetenschap: Pengantar ilmu hukum (bahasa Belanda)
Introduction: Perkenalan/mengenalkan
Ibadah: Perbuatan menjalankan perintah Tuhan
Insan kamil: Manusia yang mulia
Intuisi: Bisikan hati, ajakan hati
Ius constitutum: Hukum yang sedang berlaku disuatu negara/hukum positif
Ius constituendum: Hukum yang dicita-citakan/hukum yang akan berlaku di masa
yang akan datang
Ius curia novit: Hakim dianggap mengetahui hukum
In concreto: Dalam kenyataannya
Interdependensi: Saling tergantung
J
Jurisprudence: Ilmu hukum dalam istilah anglo saxon
Juris: Sarjana hukum, ahli hukum/pakar hukum
K
Komprehensif: Luas, lengkap, menyeluruh
Konstantir: Ditetapkan
Konkordansi: Menyamakan hukum yang berlaku disuatu negara dengan hukum
dari negara lain (contoh: KUH Perdata, KUHP, dan KUHD
merupakan hasil konkordansi dari hukum Belanda)
Kolonialisasi: Penguasaan atau penjajahan suatu wilayah/negara oleh negara lain
L
Locus delicti: Tempat kejadian perkara, tempat kejadian tindak pidana
Legal intent: Maksud/kehendak pembuat undang-undang
M
Manifestasi: Perwujudan, bentuk dari yang tidak kelihatan
Muamalah: Hubungan sosial antar manusia
Matrilineal: Hubungan keturunan dari garis ibu
Mazhab: Golongan pemikir/ahli yang sepaham dalam suatu teori, ajaran, atau
aliran tertentu
N
Nomrwissenschaft: Ilmu pengetahuan tentang norma/kaidah
O
Opinio neccesitatis: Keyakinan hukum masyarakat
Orde/ordnung: Tatanan/rangka, kedamaian
Ommission: Keharusan untuk tidak melakukan suatu perbuatan
Ouderlijk macht: Kekuasaan orang tua
Onrechtmatigedaad: Perbuatan yang dilarang oleh hukum/perbuatan melawan
hukum
P
Paradoksal: Seolah-olah bertentangan dengan pendapat umum/kebenaran
Philosophy grondslag: Dasar negara, pandangan hidup suatu bangsa
Prolegnas: Program legislasi nasional; instrumen perencanaan program
pembentukan undang-undang yang disusun secara berencana, terpadu,
dan sistematis
Persona non grata: Orang yang tidak disukai (digunakan dalam hukum
internasional)
Pengampu: Orang yang diberi kekuasaan wali/mengawasi orang-orang yang
ditaruh dibawah pengampuannya oleh pengadilan
Penetrasi: Masuk, menerobos
Pluralisme: Keadaan masyarakat yang majemuk
Patrilineal: Hubungan keturunan dari garis ayah
Parental: Hubungan keturunan dari garis ayah dan ibu
Persemakmuran: Suatu kumpulan atau himpunan negara-negara dalam suatu
ikatan tertentu
Q
Qishas: Pembalasan dalam hukum Islam, hukuman balasan
R
Rechtsidee: Cita-cita hukum
Rajam: Salah satu jenis hukuman dalam hukum Islam bagi pezina dengan cara
dilempari dengan batu sampai meninggal
Resepsi: Diterima
Rechtseenheid: Kesatuan hukum (unifikasi hukum)
Rechts zerkerheid: Kepastian hukum
Recht vacuum: Kekosongan hukum
Rechtsvervijning: Salah satu metode konstruksi hukum dengan mempersempit
dan mempertegas makna suatu teks atau ketentuan undang-
undang
S
Sollenwissenschaft: Ilmu kaidah
Seinwissenschaft: Ilmu kenyataan
Staatsblad: Lembaran negara (istilah ini digunakan pada masa kolonial Belanda
dahulu)
Supremasi hukum: Menempatkan hukum sebagai kekuasaan tertinggi yang harus
ditegakan
Social doelmatigheid: Kegunaan/kemanfaatan sosial
T
Tatsachenwissenschaft: Ilmu kenyataan
Transitoir recht: Hukum peralihan
Titel: Suatu peristiwa yang menjadi dasar/alasan melekatnya suatu hak pada
subjek hukum tertentu, baik melalui bezit (penguasaan) maupun melalui
eigendom (kepemilikan)
U
Ultimum Remedium: Obat terakhir
V
Volksgeist: Semangat bangsa, jiwa bangsa (istilah ini dipopulerkan oleh Mazhab
Historis yang dipelopori oleh Carl Von Savigny)
Volksraad: Perlemen negara jajahan (semacam DPR kalau saat ini)
W
Werkelijkheid: Kenyataan sosial dalam masyarakat
Y
Yustisiabelen: Masyarakat pencari keadilan
Z
Zoon politicon: Makhluk sosial