Anda di halaman 1dari 73

BAHAN AJAR

MATA KULIAH

HUKUM DAN MASYARAKAT

Oleh :

Ubaidillah Kamal, S.Pd. M.H.


NIP. 197505041999031001

Dosen pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan
berkat dan karunia-Nya penulisan buku ajar ”Hukum dan Masyarakat” ini telah dapat
terselesaikan.
Paparan kuliah ini ditulis dalam rangka memenuhi kebutuhan akan bahan ajar yang dapat
dijadikan sebagai pengarah bagi mahasiswa yang sedang menempuh matakuliah yang
bersangkutan. Dengan paparan kuliah ini diharapkan dapat menjadi acuan minimal bagi
mahasiswa untuk dikembangkan lebih lanjut dengan mambaca buku-buku referensi yang
disarankan.
Penulis menyadari bahwa terwujudnya paparan kuliah ini di samping hasil kerja penulis
juga berkat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis merasa perlu menyampaikan
terima kasih kepada pihak-pihak lain yang sulit untuk penulis sebutkan satu per satu, yang telah
memberikan bantuan dalam segala bentuknya sehingga terwujud paparan kuliah ini.
Akhirnya penulis menyadari bahwa paparan kuliah ini masih banyak kekurangan. Untuk
itu maka kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan demi perbaikan karya-karya
selanjutnya. Penulis berharap kiranya paparan kuliah ini dapat membawa manfaat sebesar-
besarnya bagi pembaca. Terima kasih

Semarang, Februari 2022

Penulis
VERIFIKASI BAHAN AJAR

Pada hari ini Senin tanggal 26 bulan Februari tahun 2021 Bahan Ajar Mata Kuliah Hukum
Kehutanan Program Studi Ilmu Hukum telah diverifikasi oleh Ketua Bagian Hukum
Perdata, Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang

Semarang, 26 Februari 2022

Ketua Bagian Perdata Penulis

Aprilla Niravita, SH., MKn.. TIM DOSEN


DAFTAR ISI

Halaman Judul……………………………………………………………............ i
Kata Pengantar…………………………………………………………………… ii
Tinjauan Mata kuliah…………………………………………………………….. iii
Daftar Isi…………………………………………………………………………. iv
BAB I Pengantar Hukum dan Masyarakat .............................................. 1
A. Pendahuluan.............................................................................. 1
B. Penyajian................................................................................... 1
1. Pengertian Hukum............................................................. 1
2. Pengertian Masyarakat....................................................... 2
3. Stratifikasi sosial...................... .......................................... 5
4. Keanekaragaman Masyarakat ........................................... 6
C. Penutup……………………………………………………….... 9

BAB II Beberapa Pemikiran Tentang Studi Hukum dan Masyarakat...


10
A. Pendahuluan.............................................................................. 10
B. Penyajian................................................................................... 10
1. Beberapa Konsepsi dan Prespektif tentang Hukum.............. 10
2. Hukum dan Ilmu-Ilmu Sosial .............................................. 12
C. Penutup.................................................................................. 15

BAB III Hukum dan Basis Sosialnya....................................................... 16


A. Pendahuluan............................................................................ 16
B. Penyajian................................................................................. 16
C. Penutup................................................................................... 18

BAB IV Budaya Hukum……...…………………………………………. 19


A. Pendahuluan………………………………………………… 19
B. Penyajian…………………………………………………….. 19
1. Budaya Hukum…………………… ……………………. 19
2. Budaya Hukum dan Perolehan Keadilan..………………. 21
C. Penutup.................................................................................... 25

BAB V Hukum dan Perubahan Sosial .................................................... 26


A. Pendahuluan............................................................................. 26
B. Penyajian.................................................................................. 27
1. Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Perubahan sosial 27
2. Proses Perubahan Sosial dan Hukum............................... 28
3. Hubungan antara Hukum dan Perubahan Sosial.............. 31
C. Penutup.................................................................................. 31

BAB VI Beberapa Teori Tentang Hukum dan Perubahan Sosial....... 37

4
A. Pendahuluan........................................................................... 37
B. Penyajian................................................................................ 37
1. Teori-Teori .................................................................... 37
2. Hubungan antara Perubahan-Perubahan Sosial
dan Hukum ............................................................. 40
C. Penutup................................................................................... 41
BAB VII Penggunaan Hukum Sebagai Sarana Untuk
Melakukan Rekayasa Sosial...................................................... 42
A. Pendahuluan............................................................................ 42
B. Penyajian................................................................................. 43
1. Hubungan Timbal Balik Antara Hukum dan
Perubahan Sosial..................... ...................................... 43
2. Perubahan Sosial Sebagai Sebab Perubahan Hukum......... 46
3. Hukum Sebagai Instrumen Perubahan Sosial................... 49
4. Keuntungan Hukum dalam Membuat Perubahan Sosial .. 55
5. Kekurangan Hukum dalam Membuat Perubahan Sosial... 64
6. Resistensi Terhadap Perubahan ........................................ 68
C. Penutup.................................................................................. 81

PENILAIAN...................................................................................................... 83
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 84

5
BAB I
PENGANTAR HUKUM DAN MASYARAKAT

A. Pendahuluan
Bab ini memberikan beberapa pengertian mendasar mengenai hukum dan
masyarakat. Sehingga dalam bab ini dibahas mengenai pengertian hukum
menurut beberapa pakar dan pengertian atau definsisi mengenai masyarakat,
karakteristik dan beberapa mengenai stratifikasi sosial.
Dengan dasar bangunan definisi mengenai hukum di satu sisi dan
masyarakat sebagai hal tersendiri diharapkan akan membangun konsep-konsep
mengenai hukum dan masyarakat dan bangunan awal untuk membuat keterkaitan
antara hukum dan masyarakat.

B. Penyajian
1. Pengertian Hukum
Kata “hukum” mengandung makna yang luas meliputi semua peraturan
atau ketentuan tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur kehidupan
masyarakat dan menyediakan sanksi terhadap pelanggarnya. Para ahli sarjana
hukum memberikan pengertian hukum dengan melihat dari berbagai sudut yang
berlainan dan titik beratnya. Berbeda-beda antara ahli yang satu dengan yang
lain, karena itu tidak ada kesatuan atau keseragaman tentang definisi hukum,
antara lain di bawah ini:
a. Menurut Van Kan
Hukum merupakan keseluruhan peraturan hidup yang bersifat memaksa
untuk melindungi kepentingan manusia di dalam masyarakat.
b. Menurut Utrecht
Hukum merupakan himpunan peraturan (baik berupa perintah maupun
larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dan seharusnya
ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu
pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan dari pihak
pemerintah.
c. Menurut Wiryono Kusumo
Hukum adalah merupakan keseluruhan peraturan baik yang tertulis maupun
tidak tertulis yang mengatur tata tertib di dalam masyarakat dan terhadap
pelanggarnya umumnya dikenakan sanksi.
Dari pendapat para ahli hukum belum terdapat satu kesatuan mengenai
pengertian hukum, namun dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa hukum memiliki
beberapa unsur yaitu :
a. Adanya peraturan/ketentuan yang memaksa
b. Berbentuk tertulis maupun tidak tertulis
c. Mengatur kehidupan masyarakat
d. Mempunyai sanksi.
Peraturan yang mengatur kehidupan masyarakat mempunyai dua bentuk
yaitu tertulis dan tidak tertulis. Peraturan yang tertulis sering disebut perundang-

6
undangan tertulis atau hukum tertulis dan kebiasan-kebiasaan yang terpelihara
dalam kehidupan masyarakat. Sedang Peraturan yang tidak tertulis sering disebut
hokum kebiasaan atau hukum adat.
Tujuan dari hukum adalah untuk mencapai keadilan dan kepastian hukum.
Di samping dua tujuan utama tersebut terdapat juga tujuan lainnya ynag
dikemukakan para sarjana hukum, seperti kedamaian, ketertiban, kesejahteraan,
kemakmuran, dan sebagainya. Menurut Prof Sri Redjeki Hartono, batasan
hukum ialah hukum harus mampu menjaga dan mengatur harkat dan martabat
manusia. Hukum juga harus mampu mengatur kehidupan manusia dengan
mengatur keseimbangan kepentingan semua pihak demi kesejahteraan nilai-
nilai kemanusiaan

2. Pengertian Masyarakat
Dalam bahasa Inggris, masyarakat disebut society, asal katanya socius
yang berisikawan. Adapun kata “masyarakat” berasal dari bahasa Arab, yaitu
syirik yang artinya bergaul. Adanya saling bergaulini tentu karena ada bentuk-
bentuk aturan hidup yang bukan disebabkan oleh manusia sebagai perseorangan,
melainkan oleh unsur-unsur kekuatan lain dalam lingkungan sosial yang
merupakan satu kesatuan. Selanjutnya para ahli sosiologi seperti Mac Iver, J.L.
Gillin danJ.P.Gillin sepakat bahwa adanya saling bergaul dan interaksi karena
adanya nilai-nilai, norma-norma, cara-cara dan prosedur yang merupakan
kebutuhan bersama sehingga masyarakat merupakan kesatuan hidup manusia
yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu, yang bersifat
kontinyu dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama.
Beberapa ahli yang lain juga telah mencoba untuk memberikan definisi
masyarakat (society) seperti berikut :
1. Mac Iver dan Page yang menyatakan bahwa : “Masyarakat ialah suatu sistem
dari kebiasaan dan tata cara, dari wewenang dan kerja sama antara berbagai
kelompok dan penggolongan, dan pengawasan tingkah laku serta kebebasan-
kebebasan manusia, masyarakat merupakan jalinan hubungan sosial, dan
masyarakat selalu berubah.
2. Ralph Linton berpendapat : “Masyarakat merupakan setiap kelompok
manusia yang telah hidup dan bekerja bersama cukup lama sehingga mereka
dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu
kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas.
3. Selo Sumarjan mendefinisikan masyarakat adalah orang-orang yang hidup
bersama yang menghasilkan kebudayaan.
4. Hasan Shadily dalam bukunya “Sosiologi untuk masyarakat Indonesia”
menyatakan bahwa : masyarakat adalah golongan besar atau kecil terdiri dari
beberapa manusia yang dengan atau karena sendirinya bertalian secara
golongan dan pengaruh mempengaruhi satu sama lain. Dari pengertian-
pengertian tentang masyarakat diatas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat
adalah sekelompok manusia yang saling berinteraksi, yang memiliki

7
prasarana untuk kegiatan tersebut dan adanya keterikatan untuk mencapai
tujuan bersama.

a. Unsur-unsur Masyarakat
Dari beberapa definisi yang telah diungkapkan oleh beberapa ahli diatas
berlainan, pada dasarnya mempunyai kesamaan isi, yakni bahwa masyarakat
mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :
1. Manusia yang hidup bersama. Dalam ilmu sosial tidak ada ukuran mutlak
ataupun angka pasti untuk menentukan beberapa jumlah manusia yang harus
ada. Akan tetapi secara teoritis angka minimalnya adalah dua orang yang
hidup bersama.
2. Bercampur untuk waktu yang cukup lama. Kumpulan dari manusia tidaklah
sama dengan kumpulan benda-benda mati seperti kursi, meja dan sebagainya.
Oleh karena itu dengan berkumpulnya manusia akan timbul manusia baru.
Selain itu sebagai akibat dari hidup bersama itu, timbullah sistem komunikasi
dan timbullah peraturan -peraturan yang mengatur hubungan antara manusia
dalam kelompok tersebut.
3. Mereka sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan. Dalam arti yang
lebih khusus masyarakat disebut pula kesatuan sosial, mempunyai ikatan-
ikatan kasih sayang yang erat. Selanjutnya, kesatuan sosial mempunyai
kehidupan jiwa seperti adanya ungkapan-ungkapan jiwa rakyat, kehendak
rakyat, kesadaran masyarakat, dan sebagainya. Jiwa masyarakat ini
merupakan polusi yang berasal dari unsur masyarakat, meliputi pranata,
status, dan peranan sosial.
4. Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama. Sistem kehidupan bersama
menimbulkan kebudayaan, oleh karena setiap anggota kelompok merasa
dirinya terikat satu dengan yang lainnya. Dalam hal ini manusia senantiasa
mempunyai naluri yang kuat untuk hidup bersama dengan sesamanya.
Apabila dibandingkan dengan makhluk hidup lain seperti hewan. Manusia
tidak mungkin hidup sendiri, suatu misal manusia yang dikurung sendirian di
dalam suatu ruangan tertutup, pasti akan mengalami gangguan pada
perkembangan pribadinya, sehingga lama kelamaan dia akan mati.
Kemantapan unsur-unsur masyarakat mempengaruhi struktur sosial. Dalam
hal ini struktur sosial digambarkan sebagai adanya molekul dalam susunan
yang membentuk zat, yang terdiri dari bermacam- macam susunan hubungan
antar individu dalam masyarakat. Maka terjadi integrasi masyarakat dimana
tindakan individu dikendalikan, dan hanya akan nampak bila diabstrakkan
secara induksi dari kenyataan hidup masyarakat yang kongkrit.

b. Proses Terbentuknya Masyarakat


Proses terbentuknya suatu masyarakat biasanya berlangsung tanpa disadari
yang diikuti oleh hampir sebagian besar anggota masyarakat. Dorongan manusia
untuk bermasyarakat antara lain :

8
1. Pemenuhan kebutuhan dasar biologis, seperti papan (tempat tinggal),
sandang, dan pangan yang penyelenggaraannya akan lebih mudah
dilaksanakan dengan kerja sama dari pada usaha perorangan.
2. Kemungkinan untuk bersatu dengan manusia lain (bermasyarakat).
3. Keinginan untuk bersatu dengan lingkungan hidupnya.
4. Dengan memasyarakat kemungkinan untuk mempertahankan diri dalam
menghadapi kekuatan alam, binatang dan kelompok lain lebih besar.
5. Secara naluriah manusia mengembangkan keturunan melalui keluarga yang
merupakan kesatuan masyarakat yang terkecil.
6. Manusia mempunyai kecenderungan sosial, yaitu seluruh tingkah laku yang
berkembang akibat interaksi sosial atau hubungan antar manusia. Dalam
hidup bermasyarakat, kebutuhan dasar kejiwaan ingin tahu, meniru, dihargai,
menyatakan rasa haru dan keindahan, serta memuja tertampung dalam
hubungan antar manusia, baik antar individu maupun kelompok.34

3. Statifikasi Sosial
a. Pengertian Stratifikasi Sosial
Perbedaan tingkat sosio kultural suatu kelompok dan perbedaan tingkat
kemajuan dan perkembangan potensi individu menyebabkan adanya kenyataan
stratifikasi sosial dalam masyarakat. Stratifikasi sosial dalam masyarakat merupakan
ciri dari masyararakat yang teratur. Menurut Pitirin A. Soprokin, stratifikasi sosial
adalah pembedaan individu-individu atau kelompok masyarakat kedalam kelas-kelas
secara bertingkat, sehingga ada kelas tinggi dan ada kelas rendah. Stratifikasi sosial
muncul karena adanya suatu yang lebih dihargai di satu sisi dan tidak dihargai di sisi
lain, karena kepandaian, kekayaan, kekuasaan dan lain-lain.

b. Proses Terbentuknya Stratifikasi Sosial


Dalam suatu kelompok sosial yang paling sederhanapun kita mengenal
adanya stratifikasi masyarakat. Bentuk yang paling sederhana diwujudkan dengan
adanya orang-orang tertentu yang dianggap tua dan disegani dalam suatu kelompok.
Stratifikasi sosial merupakan salah satu hasil interaksi antar individu dalam satu
kelompok maupun antar suatu kelompok lainnya. Hal ini akan menimbulkan rasa
Interdependesi antar individu dalam masyarakat dan antar individu dengan
masyarakat. Seseorang yang memiliki kemampuan dalam bidang tertentu yang
mampu diaktualisasikan dan mendapatkan pengakuan dari masyarakat akan
menempatkan individu tersebut pada posisi tertentu. Demikian pula dengan orang
yang berasal dari keturunan tertentu, usia tertentu, tingkat perekonomian tertentu dan
sebagainya. Dari uraian tersebut maka dapat dikatakan bahwa suatu stratifikasi sosial
pada prinsipnya ditimbulkan oleh masyarakat itu sendiri yang disusun berdasarkan
evaluasi moral dengan menggunakan tata nilai dan norma secara objektif oleh
masyarakat pendukung suatu kebudayaan tertentu. Dari penjelasan diatas dapat
diketahui bahwa terjadinya proses stratifikasi sosial melalui dua cara :
1. Tanpa direncanakan atau diperjuangkan seperti jenis kelamin dan tingkat
kecerdasan.

9
2. Direncanakan atau diperjuangkan seperti pangk at dan jabatan.
Proses terjadinya stratifikasi sosial cenderung mengikuti pola atau sistem
yang ada pada masyarakat tersebut. Pada masyarakat tertutup, stratifikasi sosial akan
sangat dibatasi oleh kemungkinan pindahnya kelompok individu ke status lain secara
vertikal. Sedangkan pada masyarakat terbuka stratifikasi sosial memberikan
kesempatan kepada setiap kelompok apapun untuk berjuang meraih stratifikasi yang
lebih tinggi. Dari apa yang telah dikemukakan diatas dapat diketahui bahwa
stratifikasi sosial dalam masyarakat dapat dirasakan dalam kenyataan struktural
sebagai berikut :
1. Masyarakat terbagi dalam kelompok dan sosial yang memiliki strata tertentu.
2. Strata itu terbentuk berdasarkan latar belakang kemajuan kebudayaan yang
diaktualisasikan dalam bentuk kualitas individu dan kelompok.
3. Karena adanya strata itu maka lahirlah kelompok-kelompok yang dipandang
sebagai kelompok “interior” dan kelompok “superior” berdasarkan suatu
sistem aktual kedudukan dalam kerangka evaluasi moral.
4. Adanya kekuasaan dan wewenang yang dimiliki oleh kelompok superior
sangat jelas dalam suatu sistem sosial, yang diikuti dengan adanya lembaga-
lembaga sosial dan birokrasi.

4. Keanekaragaman Masyarakat
a. Pengertian Keanekaragaman Masyarakat
Masyarakat merupakan suatu tempat terjadinya interaksi sosial antar individu
dengan individu. Individu dengan kelompok, kelompok dengan kelompok lainnya
yang membentuk suatu masyarakat yang lebih luas dan komplek keberagaman
masyarakat tercipta karena adanya perbedaan suku bangsa atau etnik,
keanekaragaman ras,
keanekaragaman agama, perbedaan jenis kelamin dan keanekaragaman profesi.
Keanekaragaman masyarakat adalah merupakan suatu keragaman dalam berbagai
aktifitas sosial di masyarakat dalam bidang agama, jenis kelamin, profesi, etnis, suku
yang tid ak mempersoalkan tinggi dan rendahnya yang berkuasa dan yang dikuasai,
dan lain-lain.

b. Bentuk Keanekaragaman Masyarakat


Adapun bentuk-bentuk keanekaragaman masyarakat dapat diklasifikasikan
antara lain sebagai berikut :
1. Keanekaragaman Suku Bangsa
Adanya suku bangsa terutama ditentukan oleh kesadaran kelompok dan
pengakuan akan kesatuan kebudayaan dan persamaan asal usul.42 Sedangkan
Antropologi N. Narol menentukan kriteria suku bangsa sebagai suatu kesatuan
masyarakat yang dibatasi satu kawasan tertentu, memiliki satu logat bahasa,
dibatasi secara politis administratif, batasannya ditentukan oleh rasa identitas
penduduknya sendiri ditentukan oleh kesatuan, ekologis, mengalami sejarah yang
sama.
2. Keanekaragaman Ras

10
Sebagai kelompok individu yang mempunyai ciri biologis yang berbeda
dari kelompok lain, ras-ras banyak macamnya didunia ini. Setiap ras menempati
kawasan tertentu. Ada ras kaokasoid, mengoloid, negroid dan lain sebagainya.
Kemurnian ras sulit bertahan sebab percampuran antar ras semakin intensif dan
tidak ada ras yang mampu mengisolasi diri dari ras lain.
3. Keanekaragaman Agama
Keanekaragaman agama dikarenakan adanya perbedaan cara penerimaan
wahyu pada manusia satu sama lain. Hampir disemua negara ada lebih dari satu
agama yang dipeluk. Antar pemeluk agama mempunyai ciri khas adat dan ritus
yang berbeda-beda. Perbedaan ini tidak memicu perpecahan asal saja ada sikap
toleran antar pemeluk.
4. Keanekaragaman Jenis Kelamin
Perbedaan jenis kelamin ternyata membawa perbedaan nasib,
keberuntungan, hak dan kewajiban tertentu, sekalipun digembor-gemborkan
persamaan derajat, emansipasi, kemitraan lelaki dan perempuan, sebenarnya hal itu
perlu dipertanyakan. Sosiolog Arief Bodiman, mempopulerkan istilah pembagian
kerja secara seksual (the sexual divisionof labour). Istilah ini tak sekedar
menggambarkan perbedaan jenis pekerjaan, tetapi secara implisit juga
menunjukkan bahwa perempuan adalah pihak yang “terkalahkan”, terkuasai,
terdominasi oleh struktur masyarakat yang dikuasai lelaki, selama berabad-abad,
sampai-sampai perempuanlah merasa kalau didominasi. Bahkan mereka menerima
hal itu sebagai sesuatu hal yang wajar.
5. Keanekaragaman Sosial Profesi
Di masyarakat tradisional jenis pekerjaan homogen, kebanyakan petani.
Sebaliknya, di masyarakat modern jenis pekerjaan (profesi) masih beragam, sebab
tingkat dan jenis kemampuan serta pendidikan individu jauh lebih beragam
ketimbang masyarakat tradisional.
c. Masyarakat Desa
1. Pengertian Masyarakat Desa
Masyarakat desa adalah sekelompok manusia yang tinggal di suatu tempat
tertentu, dengan sistem ketetanggaan dan gotong royong yang kuat, mata
pencahariannya bertani atau agraris dan masih terikat kuat dengan tradisi yang
melingkupi serta mempunyai tujuan tertentu.
2. Ciri-ciri Masyarakat Desa
Tabel I
Ciri-ciri Masyarakat Desa
No Unsur-unsur Pembeda Desa
1 Mata pencaharian Agraris homogen
2 Ruang kerja Lapangan terbuka
3 Musim atau cuaca Penting dan menentukan
4 Keahlian atau ketrampilan Umum dan tersebar
5 Rumah dan tempat kerja Dekat
6 Kepadatan penduduk Tidak padat

11
7 Kontak social Frekuensi kecil
8 Lembaga-lembaga Terbatas dan sederhana
9 Stratifikasi social Sederhana dan sedikit
10 kontrol social Adat atau tradisi
11 Sifat kelompok Gotong royong akrab
12 Mobilitas Rendah
13 Status sosial Stabil

Ciri-ciri masyarakat desa diatas tidak mutlak benar, karena gejala umum masyarakat
desa saat ini sedang mengalamiperkembangan struktural yang tersusun dan
peningkatan integrasi masyarakat yang lebih luas sebagai akibat intensifnya
hubungan
kota dengan desa dan derasnya program pembangunan, sehinggamenimbulkan
perubahan-perubahan.

C. Penutup
Setelah mempelajari dan memabahas bab ini mahasiswa diberikan tugas untuk:
1. Menyusun pengertian sendiri mengenai hukum.
2. Menyusun penegertian sendiri mengenai masyarakat.
3. Membuat analisis keterkaitan antara hukum dengan masyarakat.

12
BAB II
BEBERAPA PEMIKIRAN TENTANG
STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT

A. Pendahuluan
Pada bab ini, akan dibahas tentang Beberapa Konsepsi dan Prespektif
Tentang Hukum, Hukum dan Ilmu-Ilmu Sosial. Melalui bahasan ini, mahasiswa
diharapkan mampu menguasai beberapa prespektif hukum serta secara khusus
perspektif sosial hukum serta kaitan antara hukum dan ilmu ilmu sosial.

B. Penyajian
1. Beberapa Konsepsi dan Prespektif Tentang Hukum
Untuk menjawab pertanyaan konsepsi hukum yang bagaimana dan dalam
perspektif yang bagaimana, kita perlu memahami beberapa konsepsi mengenai
hukum dan beberapa perspektif tentang hukum yang berkembang selama ini.
Hukum merupakan sebuah konsep dan menurut soetandyo tidak ada konsep
yang tunggal mengenai apa yang disebut hukum itu. Dalam mempelajari hukum
hendaknya dipahami sekurang-kurangnya tiga konsep mengenai hukum yaitu:
a. Hukum sebagai asas moralitas atau asas keadilan yang bernilai universal, dan
menjadi bagian inheren sistem hukum alam
b. Hukum sebagai kaidah-kaidah dan positif yang berlaku pada suatu waktu dan
tempat tertentu, dan terbit sebagai produk eksplisit suatu sumber kekuasaan
politik tertentu yang berlegitimasi
c. Hukum sebagai institusi sosial yang riil dan fungsional di dalam sistem
kehidupan masyarakat, baik dalam proses-proses pemulihan ketertiban dan
penyelesaian sengketa maupun dalam proses pengarahan dan pembentukan
pola perilaku yang baru
Konsep-konsep mengenai hukum sebagai ide, cita-cita, nilai, moral dan
keadilan merupakan konsep-konsep hukum yang idiologis, filospfis dan
moralistis. Konsep-konsep mengenai hukum sebagai norma kaidah undang-
undang dan peraturan merupakan konsep-konsep hukum yang bersifat
positivistis, dogmatis, normatif, legislatif (John Sustri, Hans Kelsen)
Konsep-konsep yang mengidentifikasikan hukum sebagai institusi sosial
yang riil dan fungsional dalam sistem kehidupan bermasyarakat merupakan
konsep-konsep hukum yang sosiologis, empiris, antropologis yang kemudian
mewujdukan studi-studi sosiologi hukum, antropologi hukum dan studi hukum
dan masyarakat.
Selain itu beberapa konsepsi hukum seperti di atas juga dikemukakan
oleh:
a. Prof. Mochtar kusumaatmadja, yang mengemukakan konsepsi hukum dalam
arti luas, hukum itu tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-
kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat tetapi meliputi
pula lembaga (institution) dan proses-proses yang mewujdukan berlakunya

13
kaidah-kaidah dan asas-asas itu dalam kenyataan. Konsep ini dapat dinilai
sebagai konsep yang kompromistis.
b. Prof. Djojodigoeno, mengajukan suatu konsepsi yang tidak memandang
hukum sebagai rangkaian ugeran lagi, tetapi sebagai rangkaian pengugeran
(normering) tingkag laku dan perbuatan orang. Dan pengugeran ini ukurannya
adalah ”unsur-unsur yang menentukan cita-cita keadilan yang hidup dalam
masyarakat” harus langsung dipergantungkan pada perikatan-perikatan yang
menentukan pergaan masyarakat dan nilai-nilai yang dijunjung rakyat dalam
hubungan timbal balik dan saling menentukan.
c. Prof AAG Peters, mengajukan pendapat yang dinamakan pandangan hukum
kritis. Ajaran hukum yang memandang hukum sebagai bagian dari
masyarakat, hukum dalam masyarakat. Ia melihat di dalam hukum itu di satu
pihak endapan dari perbandingan kekuatan yang nyata dan kepentingan-
kepentingan yang dominan, sedang dilain pihak juga aspirasi untuk keadilan
dan legitimistis. Ia hendak mengetahui apakah atau sejauh mana di belakang
bentuk yuridis yang universal tersembunyi isi yang khas, yang ditentukan oleh
perbandingan kekuatan (power relationship) dan struktur kepentingan. Watak
hukum yang sesungguhnya dapat dipahami dari aspirasi-aspirasi menuju ke
hukum yang optimal, yang melekat pada asas-asas hukum, yang tertuju
mengurangi kesewenang-wenangan penguasa dan melindungi hak-hal asasi
manusia.
Antonie A.G. Peters mengemukakan ada tiga perspektif, yaitu:
a. Perspektif kontrol sosial dari hukum. Tinjauan demikian dapat disebut
sebagai tinjauan dari sudut pandang seorang polisi terhadap hukum (the
policemen view of the law).
b. Perspektif kedua dari fungsi hukum di dalam masyarakat adalah perspektif
social engineering yang merupakan tinjaun yang digunakan oleh para pejabat
(the officials perspetive of the law) dan oleh karena pusat perhatiannya adalah
apa yang diperbuat oleh pejabat penguasa dengan hukum, maka tinjauan ini
kerap kali disebut juga (the tecnocrat’s view of law). Yang dipelajari di sini
adalah sumber-sumber kukuasaan yang dapat dimobilisasikan dengan
menggunakan hukum sebagai mekanisme. Untuk memahami hukum dalam
perspektif ini diajukan teori Max Weber mengenai hukum dan perubahan
masyarakat.
c. Perspektif ketiga adalah perspektif emansipasi masyarakat daripada hukum.
Perspektif ini merupakan tinjauan dari bawah terhadap hukum (the bottom’s
up view of the law). Dengan perspektif ini ditinjuan kemungkinan-
kemungkinan dan kemapuan hukum sebagai sarana untuk menampung
aspirasi masyarakat. Untuk memahami perspektif ini ditunjuk konsepsi yang
dikemukakan oleh Philie Nonet dan Philip Selznick mengenai hukum
responsive.
Lawrence Rosen melihat adanya tiga dimensi penting pendayagunaan
pranata-pranata hukum di dalam masyarakat yang sedang berkembang, yakni:

14
1. Hukum sebagai pencerminan dan wahana bagi konsep-konsep yang berbeda
mengenani tertib dan kesejahteraan social yang berkaitan dengan pernyataan
dan perlindungan kepentingan masyarakat.
2. Hukum dalam peranannya sebagai pranata otonom dapat pula merupakan
pembatas kekuasaan sewenang-wenang, sungguhpun pendayagunaan hukum
tergantung kepada kekuasaan-kekuasaan lain di luarnya.
3. Hukum dapat didayakan sebagai sarana untuk mendukung dan mendorong
perubahan social ekonomi. Walaupun di sini tidak ada tergambat
kemungkinan

2. Hukum dan Ilmu-Ilmu Sosial


Ilmu hukum dapat dibagi dalam dua cabang studi, yaitu studi mengenai
law in books dan studi mengenai law in action. Studi mengenai law in action
menyangkut masalah hubungan timbale balik antara hukum dan lembaga social
yang lain sehingga merupakan studi social yang bersifat empiris dan bukan
merupakan studi yang normative.
Dalam studi social mengenai hukum, hukum tidak didefinisikan sebagai
suatu gejala normative yang mandiri, tetapi sebagai suatu lembaga social yang
secara nyata berkaitan dengan variable-variabel yang lain.
Hukum sebagai gejala social yang bersifat empiris di satu pihak dapat
dipelajari sebagai suatu variable penyebab (variable bebas/independent variable)
yang menimbulkan pengaruh dan akibat-akibat pada berbagai segi kehidupan
masyarakat, sedangkan di lain pihak hukum dapat diperlajari sebagai variable
akibat (variable tergantung/dependent variable) yang timbul sebagai hasil
(resultante) dari berbagai kekuatan social.
Studi terhadap hukum sebagai variable akibat disebut: sosiologi hukum,
sedangkan studi terhadap hukum sebagai variable penyebab disebut Hukum dan
Masyarakat
Pada hampir setiap bidang kehidupan sekarang ini kita jumpai peraturan-
peraturan hukum. Satjipto Rahardjo mengemukakan, bahwa melalui penormaan
terhadap tingkah laku manusia ini hukum menjelajahi hampir semua bidang
kehidupan manusia. Ditinjau dari sudut perspektif perkembanagn masyarakat dan
Negara, dapat dikatakan kejadian masuknya hukum ke dalam bidang-bidang
kehidupan masyarakat menjadi semakin meningkat bersamaan dengan semakin
meningkatnya peranan yang dimainkan oleh Negara di dalam masyarakat.
Campur tangan hukum yang semakin luas ke dalam bidang-bidang
kehidupan masyarakat menyebabkan bahwa perkaitannya dengan masalah-
masalah social menjadi semakin intensif. Kondisi menyebabkn bahwa studi
terhadap hukum harus memperhatikan pula hubungan antara tertib hukum dengan
tertib social yang lebih luas.
Di satu pihak hukum berkepentingan dengan hasil yang akan
diperolehnya melalui pengaturan itu dan oleh karenanya ia harus paham tentang
seluk beluk masalah yang diaturnya, sedangkan di lain pihak ia juga harus

15
menyadari, bahwa factor-faktor dan kekuatan-kekuatan di luar hukum akan
memberikan beban pengaruhnya pula terhdap hukum serta proses bekerjanya
Masuknya hokum makin dalam dan makin luas ke dalam masyarakat
menimbulkan oleh hokum dan akibat-akibat yang ditimbulkannya pada tingkah
laku manusia dan pada lembaga-lembaga di dalam masyarakat.
Pengaturan oleh hokum yang membatasi kekuatan-kekuatan dan
kepentingan-kepentingan di dalam masyarakat akan berhadapan dengan
kekuatan-kekuatan dan kepenitngan-kepentingan yang terdapat di dalam
masyarakat itu sendiri. Hukum berkepentingan atas hasil yang akan diperolehnya
dengan cara mengatur dengan peraturan hokum, oleh karena itu hokum harus
memahami seluk beluk masalah yang diaturnya. Maksudnya juga harus
menyadari bahwa kekuatan-kekuatan di luar hokum akan memberikan pengaruh
pada hokum dan proses bekerjanya hokum.
Untuk memhami hubungan timbale balik demikian diperlukan suau
pendekatan terhadap hokum yang tidak sepihak saja yaitu yang hanya
memperlajari hokum sebagai suatu sustem susunan peraturan-peratauran yang
terpadu, logis dan konsisten dengan rumusan-rumusan yang pasti tentang istilah-
istilah dan pengertian-pengertian yang dipergunakan yang merupakan studi
mengenai system, aturan hokum positif dan lazimnya disebut pengetahuan
hokum yang analitis, positivistis, tetapi diperlukan suatu pendekatan yang lebih
luas terhadap hokum yaitu dengena menggunakan pendekatan-pendekatan ilmu-
ilmu social.
Di luar ilmu hokum, ilmu-ilmu social juga mengarahkan perhatiannya pada
hokum sebagai objek penyelidikan. Para ahli sosiologi, menangkap kejadian-
kejadian yang dihadapinya, berusaha menganalisis dan mencari sebab-sebabnya.
Para ahli sosiologi tidak memberikan penyelesaian atau jalan keluar pada
persoalan-persoalan itu menurut preskripsi-preskripsi tertentu, tetapi hanya
membuat deskripsi mengenai apa yang mereka hadapi itu dan beusaha untuk
memahaminya. Cara pendekatan demikin juga diterapkan oleh para ahli sosiologi
terhadap hukum.
Pada abad ke XX ini ilmu hukum yang sosiologis mengarahkan pehatian
pada pengaruh-pemgaruh sosial ekonomi psikologi dan faktor-faktor lain di luar
hukum terhadap isi peraturan hukum.
Kerjasama antara ilmu hukum dengan ilmu-ilmu sosial dilakukan dengan
cara memanfaatkan hasil-hasil ilmu sosial oleh ilmu hukum.
Menurut T. Vanderbilt, oleh karena sekarang ini hukum modern sudah
menjadi sangat luas dan rumit (kompleks) maka hukum hanya akan dapat
bertahan dengan isi yang hidup, mampu beroperasi secara efisien dan
menentukan tujuan-tujuannya dengan tepat, bilamana hukum meninjau
kebenaran-kebenaran yang diungkapkan oleh ilmu-ilmu sosial, politik, ekonomi
dan filsafat.
Philip Selznick mengemukakan bahwa studi hukum yang soisiologis di
Amerika Serikat menempuh tahap-tahap sebagai berikut:
1. Tahap penyebaran gagasan (primitive or missionary stage)

16
2. Tahap keterampilan sosiologis
3. Tahap yang mencerminkan otonomi dan kematangan intelektual.
Tahap-tahap ini merupakan gejala universal yang terjadi pada
perkembangan, ilmu-ilmu sosial pada umumnya. Dalam tahap penyebaran
gagasan diajukan suatu perspektif baru dalam studi hukum. Hukum yang
sebelumnya diperlakukan sebagai wilayah yang terasing, ditembus dengan
memberikan perspektif sosiologis. Perspektif sosiolois ini dilakukan dengan
mengajukan kebenaran-kebenaran sosiologis yang bersifat umum dan mendasar
ke dalam studi hukum.
Tahap keterampilan sosiologis , tidak hanya dikemukakan gagasan-gagasan
dan teori-teori tetapi dilakukan penjajagan dan penyelidikan secara mendalam
dengan mendasarkan pada teknik-teknik dan metode-metode sosiologis yang
sebenarnya.
Dalam tahap kemandirian dan kematangan intelektual, timbul kembali teori-
teori yang tingkatnya sudah lebih tinggi dibandingkan teori-teori yang
dikemukakan pada tahap pertama.

C. Penutup
Setelah mempelajari dan membahas bab ini jawablah pertanyaan-
pertanyaan berikut ini:
1. Jelaskan apa yang dimaksud hukum sebagai sebuah konsep menurut Sutandyo!.
2. Uraikan bagaimana Antonie A.G. Peters mengemukakan tiga perspektif
mengenai hukum!.
3. Lawrence Rosen melihat adanya tiga dimensi penting pendayagunaan pranata-
pranata hukum di dalam masyarakat yang sedang berkembang. Jelaskan.
4. Jelaskan bagaimana kaitan antara hukum dan ilmu-ilmu sosial.

17
BAB III
HUKUM DAN BASIS SOSIALNYA

A. Pendahuluan
Dalam bab ini akan dibahas menganai hukum dan basis sosialnya.
Diharapkan mahasiswa akan dapat mengetahui bagaimana hukum yang berlaku di
dalam masyarakat itu dapat sesuai dan dapat terjalin dengan baik ke dalam jaringan
interaksi sosial; apakah hukum merupakan sarana pengatur masyarakat yang telah
berfungsi dengan baik atau apakah masyarakat mencari sarana, pengatur lain yang
diperlukan diluar hukum; bagaimana hukum ini berkembang dan faktor-faktor apa
yang memungkinkan hukum itu berkembang.

B. Penyajian
Untuk memahami perkaitan sistematis antara hukum dengan struktur sosial
yang mendukung hukum itu, perlu dipahami mengenai basis sosial dari hukum.
Struktur sosial diartikan sebagai bentuk pengorganisasian suatu kehidupan sosial,
yaitu bagaimana ia menentukan hubungan antara lembaga-lembaga di dalam
masyarakat, bagaimana ia menyusun pelapisan sosialnya, menyusun kaedah-kaedah
dan sebagainya. Setiap struktur sosial seharusnya memperkembangkan sistem
hukumnya sendiri yang sesusai. Dalam hubungan ini suatu struktur sosial itu boleh
disebut sebagai sarana untuk dapat menjalankan sistem hukumnya itu.
Masalah yang menjadi perhatian adalah: bagaimana hukum yang berlaku di
dalam masyarakat itu dapat sesuai dan dapat terjalin dengan baik ke dalam jaringan
interaksi sosial; apakah hukum merupakan sarana pengatur masyarakat yang telah
berfungsi dengan baik atau apakah masyarakat mencari sarana, pengatur lain yang
diperlukan diluar hukum; bagaimana hukum ini berkembang dan faktor-faktor apa
yang memungkinkan hukum itu berkembang.
Dari segi asal usul hukum, timbulnya hukum sebagai tingkah laku anggota-
angota masyarakat adalah karena di dorong oleh motif-motif untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Menurut Paul Vinogadroff, hukum tumbuh dari praktek-
praktek yang dijalankan oleh anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan
anatara yang satu dengan yang lainnya.
Praktek-praktek itu tidak berpedoman pada norma-norma dari suatu sistem
hukum tertentu, tetapi didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan memberi dan
menerima dalam hubungan yang diukur dengan pertimbangan kepatutan
(kepantasan): based on a give and take consideration in a reasonable social
intercourse.
Menurut Vinogradoff tidak ada lembaga hukum yang timbulnya disebabkan
karena dimulai dengan pengaturan oleh hukum atau karena terjadinya konflik.
Lembaga kewarisan timbul dari kebutuhan untuk mengatur kehidupan rumah tangga
sesudah kepala rumah tangga meninggal, hak milik bersumber pada pendudukan
(okupasi: penguasaan atas barang milik orang lain), penguasaan atas suatu barang
bersal dari detensi, kontrak berasal dari kebiasaan tukar menukar.

18
Menurut Vinogradoff hukum tidak timbul karena terjadinya konflik mengenai
hak-hak orang untuk diselesaikan oleh suatu lembaga perwasiatan tetapi timbul dari
praktek-praktek yang serta merta (spontan) berdasarkan pertimbangan sosial dan
individual tentang bagaimana sebaiknya suatu hal itu dilakukan.
Paul Bohanan seorang ahli antropologi juga mempersoalkan perkaitan
fungsional antara hukum dengan basis sosialnya. Bohanan memulai dengan
memperhatikan perkaitan antara hukum dengan kebiasaan. Bohanan membedakan
secara tajam anatara norma dan kebiasaan. Menurut aturan baik yang diungkapkan
dengan jelas maupun tidak yang menyatakan mengenai apa seharusnya dilakukan
dalam hubungan antara masnusia dengan manusia. Kebiasaan adalah seperangkat
norma-norma sebagaimana tersebut di atas, yang secara nyata dilakukan dalam
praktek sehari-hari. Tiap lembaga di dalam masyarakat didukung oleh kebiasaan.
Menurut bohanan ciri-ciri yang terdapat dalam definisi tentang hukum dapat
dijumpai semuanya pada kebiasaan. Bedanya hanya kebiasaan itu tetap berada dalam
keadaan seperti semula, sedangkan hukum diciptakan kembali secara khusus oleh
badan di dalam masyarakat ke dalam bentuk yang lebih khusus dan lebih sempit serta
lebih jelas. Dalam bentuknya yang demikian ini , kebiasaan lalu dikatakan memiliki
ciri hukum (legal character) sehingga menurut Bohanan hukum merupakan suatu
perkembangan kembali (reinstitutionalization) dari kebiasaan. Hukum adalah
kebiasaan yang menjalani pelembagaan kembali untuk memenuhi tujuan yang lebih
terarah dalam kerangka yang disebut hukum. Melalui pelembagaan kembali itu
kebiasaan diolah secara khusus, sehingga memperoleh bentuk yang dapat dikelola
secara hukum.
Di dalam masyarakat Hukum Adat, apa yang merupakan hukum dapat
diucpakan begitu saja melalui kepala-kepala persekutuan hidup setempat. Atau
penafsiran yang lebih luas lagi mengatakan, bahwa hukum di situ lahir melalui
keputusan-keputusan yang dilakukan oleh para warga masyarakat sendiri.
Bagaimanapun juga kompetensi total seperti ini hanya dimungkinkan, apabila di
dalam masyarakat itu terdapat tingkat keterpaduan nilai-nilai yang tinggi. Apabila
kita memerinci lebih lanjut mengenai unsur-unsur yang mendukung kompetensi total
tersebut, maka ia dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Terdapat kesepakatan yang tinggi mengenai norma-norma yang berlaku di
dalam masyarakat.
2. Terdapat jangkauan luas pengalaman yang hampir sama diantara para anggota
masyarakat.
3. Terdapat hubungan yang dekat diantara para anggota masyarakat.
4. Perubahan-perubahan yang berjalan secara perlahan-lahan
Pengaturan oleh hukum dalam masyarakat akan memperlihatkan karakteristiknya
sebagai berikut:
1. Kemudahan untuk menentukan pilihan-pilihan
2. Kesederhanaan dalam organisasi dan prosedur penetapan norma-norma
3. Kurangya beban permintaan /tuntutan yang terorganisasi maupun tidak dari
anggota-anggota masyarakat terhadap pembuat hukum

19
4. Kemudahan untuk menyusun norma-norma yang berlaku umum dan yang
diikuti dengan efektivitas yang tingg pula.

C. Penutup
Setelah mempelajari bab ini kerjakanlah pertanyaan ini:
Menurut Paul Vinogadroff, hukum tumbuh dari praktek-praktek yang dijalankan oleh
anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan anatara yang satu dengan yang
lainnya. Uraikanlah maksud penyataan Vinogadroff tersebut dan bagaimana
pendapat anda?

20
BAB IV
BUDAYA HUKUM

A. Pendahuluan
Bab ini akan membahas mengenai Budaya hukum dan hubungan antara
budaya hukum dan keadilan. Diharapkan dalam bab ini mahasiswa akan mampu
mengetahui konsep budaya dan budaya hukum serta kaitanya dengan keadilan.
Peningkatan ketaatan warga masyarakat terhadap aturan hukum tidaklah selalu harus
dengan ancaman sanksi (pidana, perdata atau administratif), tapi besar juga
pengaruhnya oleh suatu penciptaan kondisi yang lebih baik terhadap penghargaan
aturan hukum karena adanya sikap tindak panutan pemimpin masyarakat atau tokoh
masyarakat, pejabat publik ataupun para penegak hukum itu sendiri. wibawa hukum
besar sekali pengaruhnya terhadap implementasinya di lapangan, tanpa adanya
peranan yang besar dari para tokoh masyarakat atau pun pejabat publik serta aparatur
penegak hukum dalam memberikan penghargaan yang tinggi terhadap aturan hukum,
mustahil kiranya aturan hukum itu dapat membuahkan keadilan dalam setiap
persoalan atau konflik sosial yang terjadi.
Penciptaan aturan hukum sesuai dengan hukum yang hidup di dalam
masyarakat atau sesuai tingkat kesadaran hukum masyarakat (the living law : hukum
yg baik adalah hukum yang hidup dalam masyarakat- karena tingkat adaptasi dan
penerimaan yang besar dari masyrakat memudahkan penegakannya di lapangan) dan
peningkatan sikap tindak panutan dari para tokoh masyarakat serta aparatur penegak
hukum kiranya berpengaruh besar dan positif dalam penegakan hukum serta
peningkatan pemberdayaan budaya hukum dalam masyarakat.
"aturan hukum hanya seonggok kertas lusuh tanpa dilaksanakan dengan konsisten
dan integritas oleh pelaksananya... hukum tidak netral, tetapi efektifitasnya
terpengaruh sekali oleh persepsi aparatur pelaksananya serta konsistensinya..

B. Penyajian
1. Budaya Hukum
Menurut Lawrence M. Friedman, untuk kepentingan analisis, system hokum
yang beroperasi dapat dianggap sebagai sesuatu yang berisi tiga komponen.
Komponen pertama adalah komponen struktural, yaitu bagian-bagian yang
bergerak dalam suatu mekanisme. Struktur pengadilan yang berupa hakim yang
bersidang dengan jurisdiksi tertentu , badan pembuat undang-undang dan juga
konstitusi tertulis merupakan contoh-contoh mengenai apa yang dimaksud
komponen struktural dari hukum.
Komponen kedua adalah substansi, yaitu hasil sebenarnya yang dikeluarkan
oleh sistem hukum. Setiap keputusan yang merupakan produk substantif dari
suatu sistem hukum umpamanya keputusan yang dibuat oleh pengadilan juga
setiap keputusan yang diundangkan oleh pembuat undang-undang serta setiap
ketentuan yang diterapkan oleh badan-badan pemerintah merupakan substansi.
Struktur dan substansi sebenarnya merupakan apa pang pada umumnya
disebut sistem hukum.

21
Komponen yang ketiga berupa sikap dan nilai-nilai yang menjadi pegangan
masyarakat yang akan menentukan apakah pengadilan akan dimanfaatkan atau
tidak, apabila menghadapi suatu masalah hukum. Dalam beberapa kebudayaan
maksud untuk berperkara di muka pengadilan dianggap sebagai upaya terakhir,
sedangkan pada kebudayaan lain berperkara di muka pengadilan merupakan
kegiatan yang biasa dilakukan sehari-hari.
Selanjutnya Friedman merumuskan budaya hukum sebagai sikapsikap dan
nilai-nilai yang ada hubungan dengan hukum dan sistem hukum, berikut sikap-
sikap dan nilai-nilai yang memberikan pengaruh baik positif maupun negatif
kepada tingkah laku yang berkaitan dengan hukum. Demikian juga kesenangan
atau ketidak senangan untuk berperkara adalah bagian dari budaya hukum. Oleh
karena itu, apa yang disebut dengan budaya hukum itu tidak lain dari keseluruhan
faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempatnya yang
logis dalam kerangka budaya milik masyarakat umum. Maka secara singkat dapat
dikatakan bahwa yang disebut budaya hukum adalah keseluruhan sikap dari
warga masyarakat dan sistem nilai yang ada dalam masyarakat yang akan
menentukan bagaimana seharusnya hukum itu berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan.
Di korea dianggap tidak pantas apabila orang memaksakan hak hukumnya
atau menggugat orang lain ke muka pengadilan, karena hal ini berarti secara
terang-terangan mengajak bersengketa. Seorang Korea yang menggunakan
sarana hukum untuk melindungi hak miliknya dianggap tidak mempunyai
perasaan.
Sebaliknya di Birma kegemaran berperkara merupakan hal yang umum. Di
Ranggun merupakan hal yang biasa saja bahwa pengusaha mewujudkan
kelebihan dana setiap tahun untuk mencari-cari perkara yang kioranya dapat
dibawa ke muka pengadilan untuk mencari keuntungan. Dengan demikian yang
disebut budaya hukum adalah keseluruhan faktor-faktor yang menentukan
bagaimana sistem hukum memperoleh tempat yang sesuai dan dapat diterima di
dalam kerangka budaya masyarakat.
Menurut ahli anthropologi, budaya tidak sekedar berati kumpulan bentuk
tingkah laku dan pemikiran yang saling terlepas akan tetapi budaya diartikan
sebagai kategori sisa sehingga di dalamnya termasuk keseluruhan nilai sosial
yang berhubungan dengan hukum, berikut sikap-sikap yang mempengaruhi
bekerjanya hukum tetapi yang bukan merupakan hasil deduksi dari substansi dan
struktur. Sehingga termasuk di dalamnya rasa hormat atau tidak hormat kepada
hukum, kesediaan orang untuk menggunakan pengadilan karena memilih cara-
cara informal untuk menyelesaikan suatu sengketa. Termasuk pula ke dalam
budaya hukum adalah sikap-sikap dan tuntutan-tuntutan terhadap hukum yang
diajukan oleh kelompok-kelompok etnis, ras, agama, lapangan pekerjaan dan
kelas-kelas sosial yang berbeda (lawrence M. Friedman, 1969)

2. Budaya Hukum dan Perolehan Keadilan

22
Eman Suparman, membicarakan mengenai perilaku hukum dan budaya
hukum tentu tidak dapat menghidarkan diri dari pembicaraan tentang sistem
hukum, karena perilaku dan budaya hukum keduanya merupakan unsur dari
sistem hukum. Di samping kedua unsur tersebut, Kees Schuit 16 menguraikan
unsur-unsur yang termasuk dalam suatu sistem hukum, yaitu:
a. Unsur idiil. Unsur ini terbentuk oleh sistem makna dari hukum, yang terdiri
atas aturan-aturan, kaidah-kaidah, dan asas-asas. Unsur inilah yang oleh para
yuris disebut “sistem hukum.”
b. Unsur operasional. Unsur ini terdiri atas keseluruhan organisasiorganisasi dan
lembaga-lembaga, yang didirikan dalam status sistem hukum. Yang termasuk
ke dalamnya adalah juga para pengemban jabatan (ambtsdrager), yang
berfungsi dalam kerangka suatu organisasi atau lembaga.
c. Unsur aktual. Unsur ini adalah keseluruhan putusan-putusan dan perbuatan-
perbuatan konkret yang berkaitan dengan sistem makna dari hukum, baik dari
para pengemban jabatan maupun dari para warga masyarakat, yang di
dalamnya terdapat sistem hukum itu.
Sementara itu L.M. Friedman mengungkapkan tiga komponen dari sistem
hukum. Ketiga komponen dimaksud adalah: (1) struktur, (2) substansi, dan (3)
kultur atau budaya. Pertama, sistem hukum mempunyai struktur,18 yaitu
kerangka bentuk yang permanen dari sistem hukum yang menjaga proses tetap
berada di dalam batas-batasnya. Struktur terdiri atas: jumlah serta ukuran
pengadilan, jurisdiksinya (jenis perkara yang diperiksa serta hukum acara yang
digunakan), termasuk di dalam struktur ini juga mengenai penataan badan
legislatif. Kedua, substansi, yaitu aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia
yang berada dalam sistem itu. Termasuk ke dalam pengertian substansi ini juga
“produk” yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu–
keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Ketiga,
adalah kultur, atau budaya hukum, yaitu sikap manusia terhadap hukum dan
sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Budaya hukum
ini pun dimaknai sebagai suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang
menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan.
Friedman juga membedakan budaya hukum menjadi external and internal
legal culture. Esmi Warassih Pujirahayu mengelaborasi hal ini lebih lanjut yaitu
bahwa, budaya hukum seorang hakim (internal legal culture) akan berbeda
dengan budaya hukum masyarakat (external legal culture). Bahkan perbedaan
pendidikan, jenis kelamin, suku, kebangsaan, pendapatan, dan lain-lain dapat
merupakan faktor yang mempengaruhi budaya hukum seseorang. Budaya hukum
merupakan kunci untuk memahami perbedaan-perbedaan yang terdapat di dalam
sistem hukum yang lain. Selanjutnya dikemukakan bahwa, “penerapan suatu
sistem hukum yang tidak berasal atau ditumbuhkan dari kandungan masyarakat
merupakan masalah, khususnya di negara-negara yang sedang berubah karena
terjadi ketidakcocokan antara nilai-nilai yang menjadi pendukung sistem hukum
dari negara lain dengan nilai yang dihayati oleh anggota masyarakat itu sendiri.

23
Mengacu pada pendapat tersebut, tidak ada keraguan kalau penggunaan
lembaga pengadilan sebagai tempat menyelesaikan sengketa sesungguhnya tidak
cocok dengan nilai-nilai yang hidup dan dihayati masyarakat pribumi Indonesia.
Masalahnya, seperti telah diungkapkan di muka dilihat dari optik sosio kultural,
hukum modern yang digunakan dewasa ini merupakan hasil transplantasi 25 sistem
hukum asing (Eropa) ke tengah tata hukum (legal order) masyarakat pribumi
Indonesia, sehingga sangat wajar apabila lembaga pengadilan yang merupakan
bagian sekaligus penyangga dari sistem hukum modern itu meski telah
dintroduksikan ke dalam sistem hukum Indonesia selama enam dekade sejak
tahun 1942, namun tetap saja merupakan semacam “benda asing dalam tubuh
kita.”
Bertolak dari serangkaian fakta di muka, tentu harus diakui sebab
bagaimana pun seluruh alur perkembangan sistem hukum di Indonesia telah
banyak terbangun dan terstruktur secara pasti berdasarkan konfigurasi asasasas
yang telah digariskan sejak lama sebelum kekuasaan kolonial tumbang.
Sementara itu budaya hukum para yuris yang mendukung beban
kewajiban
membangun hukum nasional amat sulit untuk menemukan pemikiranpemikiran
yang lateral dan menerobos. Di lain pihak Soetandyo Wignjosoebroto
menyatakan: “Berguru kepada guru-guru Belanda dalam situasi kolonial,
pemikiran para yuris nasional ini pun mau tak mau telah diprakondisi oleh dotrin-
doktrin yang telah ada. Para perencana dan para pembina hukum nasional juga
sekalipun mereka itu mengaku bersitegak sebagai eksponen hukum adat dan
hukum Islam – adalah sesungguhnya pakar-pakar yang terlanjur terdidik dalam
tradisi hukum Belanda, dan sedikit banyak akan ikut dicondongkan untuk
berpikir dan bertindak menurut alur-alur-alur tradisi ini, dan bergerak dengan
modal sistem hukum positif peninggalan hukum Hindia Belanda (yang tetap
dinyatakan berlaku berdasarkan berbagai aturan peralihan).” Padahal hukum
yang dibutuhkan oleh dan untuk negeri berkembang yang tengah berubah lewat
upaya-upaya pembangunan seperti Indonesia ini adalah hukum yang dapat
berfungsi sebagai pembaharu, dan bukan sekadar sebagai pengakomodasi
perubahan seperti yang diimplisitkan dalam ajaran the sociological jurisprudence
Roscoe Pound. Ditengarai oleh Robert Seidman bahwa pengalaman hukum yang
melahirkan institusi-institusi hukum modern itu sesungguhnya cultural bound
dalam konteks tradisi hukum Barat.
Hukum yang dibingkai oleh tradisi dan konfigurasi kultural Barat ini
nyata-nyata tidak mudah untuk dengan begitu saja dipakai dalam
rangkamengatasi permasalahan hukum dan permasalahan pembangunan pada
umumnya di negeri-negeri berkembang non-Barat yang memiliki aset-aset sosio-
kultural yang berbeda. Inilah kenyataan yang ditengarai oleh Robert Seidman
sebagai the Law of the Nontransferability of law. Melengkapi uraian di muka,
Esmi Warassih Pujirahayu juga mengemukakan, “Secara umum dapat dikatakan
bahwa lapisan pengambil keputusan umumnya menjatuhkan pilihannya kepada
sistem hukum yang modern rasional, sementara hal tersebut tidak selalu sejalan

24
dengan kesiapan masyarakat di dalam menerima sistem tersebut.” Oleh karena
itu, dapat dipahami jika penggunaan hukum modern beserta segenap institusi-
institusi hukumnya kemudian menimbulkan persoalan yang cukup krusial di
dalam masyarakat. Apalagi ketika lembaga pengadilan sebagai pranata dan
penyangga sistem hukum modern terbukti tidak mampu menjawab tantangan
perubahan yang tengah berlangsung di negara ini terutama dalam tugasnya
menegakkan dan mendistribusikan keadilan kepada masyarakat. Pengalaman
sesudah kemerdekaan, para pengusaha merasakan betapa pengadilan tidak
bersimpati terhadap masalah dan kebutuhan para pengusaha. Menurut Daniel S.
Lev perubahan sosial dan ekonomi yang cukup luas juga menyebabkan
perubahan dalam budaya hukum masyarakat. Prosedur peradilan menjerakan para
pengusaha untuk menggunakan pengadilan. Berkaitan dengan hal itu, dikutipnya
secara lengkap komentar seorang advokat yang termasuk angkatan tua dari
Bandung, yang mengatakan: “...Para hakim dewasa ini kurang memahami hukum
dan kurang menaruh perhatian. Saya menulis alasan-alasan yang lengkap untuk
perkara-perkara saya, tetapi para hakim muda sering marah karena alasan
tersebut terlalu panjang untuk dibaca. ...Maka terlepas dari tidak adanya rasa
senang saya di pengadilan, tidak ada pentingnya bagi perusahaan yang saya
wakili untuk mengajukan perkaranya ke pengadilan kecuali kalau hal itu mutlak
perlu. Tidak hanya pengadilan yang sulit, tetapi keseluruhan prosesnya pun
berliku-liku. Kita harus memberi uang tidak resmi kepada panitera untuk
memperoleh dokumen eksekusi bila putusan pada akhirnya sudah dijatuhkan.
Terlalu banyak saluran yang harus dilalui agar segala sesuatunya dikerjakan, dan
kesemuanya itu perlu biaya. Dalam semua kontrak yang saya tulis untuk
perusahaan klien saya, saya masukkan klausula arbitrase sehingga terhindar dari
urusan dengan pengadilan.”
Komentar di atas betapa pun menjukkan bahwa penghindaran
penyelesaian peselisihan melalui pengadilan di kalangan pelaku bisnis
tampaknya mempunyai sumber dukungan lain di samping kecenderungan
budaya. Arbitrase dan mediasi menjadi forum alternatif yang menjad pilihan dan
tumpuan yang dipercaya oleh para pelaku bisnis untuk menyelesaikan sengketa
mereka di luar pengadilan, karena para pelaku bisnis terutama yang berasal dari
negara-negara maju meyakini bahwa arbitrase dan mediasi mempunyai
karakteristik yang sesuai dengan budaya bisnis. Seperti dikemukakan oleh Robert
Coulson: “Business executives are losing patience with judicial solutions that
take years to achive results and that leave both parties exhausted by delays and
legal expenses. Many people like what alternative dispute resolution can offer.
They are finding that commercial arbitration and mediation are sensible ways to
resolve business dispute.”
Pada dasarnya tidak ada pelaku bisnis yang hendak kehilangan peluang
berbisnis hanya karena menghadapi penyelesaian sengketa dengan mitranya yang
berlarut-larut di pengadilan. Oleh karena itu, walaupun arbitrase sesungguhnya
merupakan institusi penyelesaian sengketa yang menggunakan pendekatan
pertentangan (adversarial) dengan hasil win-lose seperti juga pengadilan,34 akan

25
tetapi arbitrase tetap dianggap berbeda dengan pengadilan. Yang dianggap
sebagai perbedaan cukup penting oleh para pelaku bisnis antara arbitrase dengan
pengadilan adalah, dalam arbitrase mereka mempunyai kedaulatan untuk
menetapkan arbiter yang terdiri atas pakar-pakar yang ahli di bidangnya untuk
memeriksa dan memutus sengketa mereka. Sedangkan kedaulatan para pihak
semacam itu sama sekali tidak mungkin diekspresikan di depan badan peradilan
umum

C. Penutup
Setelah mempelajari bab ini, jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini:
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan budaya hukum?
2. Bagaimana prespektif Friedman mengenai budaya hukum?
3. Jelaskan kaitan antara budaya hukum dan perolehan keadilan!.

26
BAB V
HUKUM DAN PERUBAHAN SOSIAL

A. Pendahuluan

Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat di sini adalah dalam arti
bahwa hukum mungkin dipergunakan sebagai suatu alat oleh agent of change
(pelopor perubahan). Yang dimaksud dengan agent of change ini adalah seorang atau
sekelompok orang yang mendapat kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin
satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan. Untuk mempengaruhi masyarakat
dalam mengubah sistim sosial, teratur dan direncanakan terlebih dahulu yang
dinamakan dengan social engineering atau social planning.

Perubahan-perubahan yang direncanakan dan dikehendaki oleh warga


masyarakat sebagai pelopornya merupakan tindakan-tindakan yang penting dan
mempunyai dasar hukum yang sah. Akan tetapi hasil yang positif tergantung pada
kemampuan pelopor perubahan untuk membatasi kemungkinan-kemungkinan
terjadinya disorganisasi sebagai akibat dari perubahan yang terjadi untuk
memudahkan proses reorganisasi. Kemampuan membatasi terjadinya reorganisasi
tergantung pada suksesnya proses pelembagaan dari unsur-unsur baru yang
menyebabkan terjadinya perubahan tersebut.

Proses terjadinya perubahan-perubahan pada masyarakat di dunia pada


dewasa ini merupakan suatu gejala yang normal yang pengaruhnya menjalar dengan
cepat kebagian-bagian lain dari dunia, antara lain berkat adanya komunikasi modern
dengan taraf teknologi yang berkembang dengan pesatnya. Penemuan-penemuan
baru di bidang teknologi, terjadi suatu revolusi, modernisasi pendidikan dan lain-lain
kejadian yang di suatu tempat dengan cepat dapat diketahui oleh masyarakat-
masyarakat lain yang bertempat tinggal jauh dari pusta terjadinya peristiwa tersebut
di atas. Perubahan-perubahan dalam masyarakat dapat mengenai nilai-nilai, kaidah-
kaidah, pola-pola perilaku, organisasi, struktur lembaga-lembaga sosial, stratifikasi
sosial, kekuasaan, interaksi sosial dan lain sebagainya. Oleh karena luasnya bidang di
mana mungkin terjadi perubahan-perubahan tersebut, maka peruabahan-perubahan
tadi sebagai proses hanya akan dapat diketemukan oleh seseorang yang sempat
meneliti dari kehidupan suatu masyarakat pada suatu waktu tertentu dan kemudian
membandingkannya dengan susunan serta kehidupan masyarakat tersebut pada
waktu yang lampau. Seseorang yang tidak sempat untuk menelaah susunan dan
kehidupan masyarakat desa di Indonesia, misalnya, akan berpendapat bahwa
masyarakat desa tersebut tidak maju dan bahkan tidak berubah sama sekali.
Pernyataan tersebut di atas biasanya didasarkan atas suatu pandangan sepintas lalu
yang kurang teliti serta kurang mendalam, oleh karena tidak ada suatu
masyarakatpun yang berhenti pada suatu titik tertentu di dalam perkembangannya
sepanjang masa. Sulit untuk menyatakan bahwa masih banyak masyarakat-
masyarakat desa di Indonesia yang masih terpencil. Para sarjana sosiologi pernah

27
mengadakan suatu klasifikasi antara masyarakat yang statis dengan masyarakat yang
dinamis. Masyarakat yang statis dimaksudkan sebagai suatu masyarakat dimana
terjadinya perubahan-perubahan secara relatif sedikit sekali, sedangkan perubahan-
perubahan tadi berjalan dengan lambat.

Masyarakat yang dinamis merupakan masyarakat yang mengalami pelbagai


perubahan-perubahan yang cepat. Memang, setiap masyarakat pada suatu masa dapat
dianggap sebagai masyarakat yang statis, sedangkan pada masa lainnya dianggap
sebagai masyarakat yang dinamis. Perubahan-perubahan bukanlah semata-mata
berarti suatu kemajuan belaka, akan tetapi dapat pula berarti suatu kemunduran dari
masyarakat yang berangkutan yang menyangkut bidang-bidang tertentu.

B. Penyajian

1. Faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan sosial.

Apabila ditelaah dengan lebih mendalam perihal yang menjadi sebab


terjadinya suatu perubahan dalam masyarakat, maka pada umumnya dapatlah
dikatakan bahwa faktor yang dirubah mungkin secara sadar, mungkin pula tidak ~
merupakan faktor yang dianggap sudah tidak memuaskan lagi. Adapun sebabnya
masyarakat merasa tidak puas lagi terhadap suatu faktor tertentu adalah mungkin
karena ada faktor baru yang lebih memuaskan, sebagai pengganti faktor yang lama.
Mungkin juga bahwa perubahan diadakan oleh karena terpaksa diadakan
penyesuaian diri terhadap faktor-faktor lain yang telah mengalami perubahan-
perubahan terlebih dahulu.

Pada umumnya dapatlah dikatakan bahwa sebab-sebab terjadinya perubahan-


perubahan sosial dapat bersumber pada masyarakat-masyarakat itu sendiri, dan ada
yang letaknya di luar masyarakat tersebut, yaitu yang datangnya sebagai pengaruh
dari masyarakat lain, atau dari alam sekelilingnya. Sebab-sebab yang bersumber dari
pada masyarakat itu sendiri adalah antara lain, bertambah atau berkurangnya
penduduk, penemuan-penemuan baru, pertentangan dan terjadi revolusi. Suatu
perubahan sosial dapat pula bersumber pada sebab-sebab yang berasal dari luar
masyarakat tersebut misalnya sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam,
peperangan, pengaruh kebudayaan masyarakat lain, dan sebagainya.

Di samping faktor-faktor yang menjadi sebab terjadinya perubahan-


perubahan sosial tersebut di atas, kiranya perlu juga disinggung faktor-faktor yang
mempengaruhi jalannya proses perubahan sosial, yaitu faktor-faktor yang mendorong
serta yang menghambat. Diantara faktor-faktor yang mendorong dapatlah disebutkan
kontak dengan kebudayaan lain, sistem pendidikan yang maju, toleransi terhadap
pola-pola perikelakuan yang menyimpang, sistem stratifikasi sosial yang terbuka,
penduduk yang heterogin, dan ketidakpuasan terhadap bidang-bidang kehidupan
tertentu. Daya pendorong tersebut dapat berkurang karena adanya faktor-faktor yang

28
mengahambat, seperti kurangnya hubungan dengan masyarakat-masyarakat lain,
perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat, sikap masyarakat yang
tradisionalistis, adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam kuat sekali,
rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan, prasangka terhadap
hal-hal yang baru atau asing, hambatan-hambatan yang bersifat ideologis, dan
mungkin juga adat istiadat.

2. Proses Perubahan Sosial dan Hukum

a. Proses perubahan-perubahan sosial

Keseimbangan dalam masyarakat dapat merupakan suatu keadaan yang


diidam-idamkan oleh setiap warga masyarakat. Dengan keseimbangan di dalam
masyarakat dimaksudkan sebagai suatu keadaan di mana lembaga-lembaga
kemasyarakatan yang pokok berfungsi dalam masyarakat dan saling mengisi. Di
dalam keadaan demikian para warga masyarakat merasa akan adanya suatu
ketentraman, oleh karena tak adanya pertentangan pada kaedah-kaedah serta
nilai-nilai yang berlaku. Setiap kali terjadi gangguan terhadap keadaan
keseimbangan tersebut, maka masyarakat dapat menolaknya atau merubah
susunan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada dengan maksud untuk
menerima suatu unsur yang baru. Akan tetapi kadang-kadang suatu masyarakat
tidak dapat menolaknya, oleh karena unsur yang baru tersebut dipaksakan
masuknya oleh suatu kekuatan. Apabila masuknya unsur baru tersebut tidak
menimbulkan kegoncangan, maka pengaruhnya tetap ada, akan tetapi sifatnya
dangkal dan hanya terbatas pada bentuk luarnya, kaedah-kaedah dan nilai-nilai
dalam masyarakat tidak akan terpengaruhi olehnya.

Adakalanya unsur-unsur baru dan lama yang bertentangan, secara


bersamaan mempengaruhi kaedah-kaedah dan nilai-nilai, yang kemudian
berpengaruh pula terhadap para warga masyarakat. Hal ini dapat merupakan
gangguan yang kontinu terhadap keseimbangan dalam masyarakat. Keadaan
tersebut berarti bahwa ketegangan-ketegangan serta kekecewaan-kekecewaan di
antara para warga masyarakat tidak mempunyai saluran yang menuju kearah
suatu pemecahan. Apabila ketidak seimbangan tadi dapat dipulihkan kembali
melalui suatu perubahan, maka keadaan tersebut dinamakan penyesuaian
(adjustment); apabila terjadi keadaan yang sebaliknya, maka terjadi suatu ketidak
sesuaian (maladjustment).

Suatu perbedaan dapat diadakan antara penyesuaian diri lembaga-


lembaga kemasyarakatan, dan penyesuaian diri para warga masyarakat secara
individual. Yang pertama menunjuk pada suatu keadaan dimana masyarakat
berhasil menyesuaikan lembaga-lembaga kemasyarakatan pada kondisi yang
tengah mengalami perubahan-perubahan, sedangkan yang kedua menunjuk pada
orang-orang secara individual yang berusaha untuk menyesuaikan dirinya pada

29
lembaga-lembaga kemasyarakatan yang telah diubah atau diganti, agar supaya
yang bersangkutan terhindar disorganisasi kejiwaan.

Di dalam proses perubahan-perubahan sosial dikenal pula saluran-


salurannya yang merupakan jalan yang dilalui oleh suatu perubahan, yang pada
umumnya merupakan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang pokok dalam
masyarakat. Lembaga-lembaga kemasyarakatan mana yang merupakan lembaga
terpokok, tergantung pada fokus sosial masyarakat dan pemuka-pemukanya pada
suatu masa tertentu. Lembaga-lembaga kemasyarakatan yang pada suatu waktu
mendapat penilaian tertinggi dari masyarakat, cenderung untuk menjadi sumber
atau saluran utama dari perubahan-perubahan sosial. Perubahan-perubahan pada
lembaga-lembaga kemasyarakatan tersebut akan membawa akibat pada lembaga-
lembaga kemasyarakatan lainnya, oleh karena lembaga-lembaga tersebut
merupakan suatu sistem yang terintegrasi yang merupakan suatu konstruksi
dengan pola-pola tertentu serta keseimbangan yang tertentu pula. Apabila
hubungan antara lembaga-lembaga kemasyarakatan tadi ditinjau dari sudut
aktivitasnya, maka kita akan berurusan dengan fungsinya. Sebenarnya fungsi
tersebut lebih penting oleh karena hubungan antara unsur-unsur masyarakat dan
kebudayaan merupakan suatu hubungan fugsional.

b. Proses perubahan-perubahan hukum

Suatu pertentangan antara mereka yang menganggap bahwa hukum harus


mengikuti perubahan-perubahan sosial lainnya dan mereka yang berpendapat
bahwa hukum merupakan alat untuk merubah masyarakat, telah berlangsung
sejak lama dan merupakan masalah yang penting dalam sejarah perkembangan
hukum. Kedua faham tersebut bolehlah dikatakan masing-masing diwakili oleh
Von Savigny dan Bentham. Bagi Von Savigny yang dengan gigihnya
membendung datangnya hukum Romawi, maka hukum tidaklah dibentuk akan
tetapi harus diketemukan. Apabila adat istiadat telah berlaku secara mantap,
maka barulah pejabat-pejabat hukum mensyahkannya sebagai hukum.

Sebaliknya, Bentham adalah seorang penganut dari faham yang


menyatakan bahwa mempergunakan hukum yang telah dikonstruksikan secara
rasionil, akan dapat diadakan perubahan-perubahan dalam masyarakat.

Suatu teori yang sejalan dengan pendapat Von Savigny, penah


dikembangkanoleh seorang yuris Austria yang bernama Eugen Ehrlich. Ehrlich
membedakan antara hukum yang hidup yang didasarkan pada perikelakuan
sosial, dengan hukum memaksa yang berasal dari negara. Dia menekankan
bahwa hukum yang hidup lebih penting daripada hukum negara yang ruang
lingkupnya terbatas pada tugas-tugas negara. Padahal hukum yang hidup
mempunyai ruang lingkup yang hampir mengatur semua aspek kehidupan
bersama dari masyarakat. Dari penjelasannnya di atas jelas terlihat bahwa Ehrlich

30
pun menganut faham bahwa perubahan-perubahan hukum selalu mengikuti
perubahan-perubahan sosial lainnya.

Di dalam suatu proses perubahan hukum, maka pada umumnya dikenal


adanya tiga badan yang dapat merubah hukum, yaitu badan-badan pembentuk
hukm, badan-badan penegak hukum dan badan-badan pelaksana hukum. Adanya
badan-badan pembentuk hukum yang khusus, adanya badan-badan peradilan
yang menegakkan hukum serta adanya badan-badan yang menjalankan hukum,
merupakan ciri-ciri yang terutama terdapat pada negara-negara modern. Pada
masyarakat sederhana mungkin hanya ada satu badan yang melaksanakan ketiga
fungsi tersebut. Akan tetapi baik pada masyarakat modern ataupun sederhana,
ketiga fungsi tersebut dijalankan dan merupakan saluran-saluran melalui mana
hukum mengalami perubahan-perubahan

3. Hubungan Antara Hukum Dengan Perubahan-Perubahan Sosial.

Masyarakat pada hakekatnya terdiri dari berbagai lembaga


kemasyarakatan yang saling pengaruh-mempengaruhi, dan susunan lembaga-
lembaga kemasyarakatan tadi didasarkan pada suatu pola tertentu. Suatu
perubahan sosial biasanya dimulai pada suatu lembaga kemasyarakatan tertentu
dan perubahan tersebut akan menjalar ke lembaga-lembaga kemasyarakatan
lainnya.

S.F. Kechekyan (1956) menguraikan suatu gambaran yang cukup


lengkap tentang fungsi hukum di Soviet Rusia, di satu fihak ia mengakui bahwa
hukum dibentuk oleh negara dimana hukum tersebut merupakan ekspressi
keinginan-keinginan elit politik dan ekonomi. Oleh karena itu hukum terikat oleh
kondisi-kondisi sistem ekonomi yang berlaku dalam masyarakat, sehingga
perubahan-perubahan dalam hukum banyak tergantung pada perkembangan-
perkembangan dalam produksi dan hubungan antar kelas dalam masyarakat, akan
tetapi di lain pihak dia pun mengakui beberapa peranan hukum yang kreatif,
namun sudah barang tentu tidak semua usaha-usaha penggunaan hukum untuk
sosial engineering berakhir dengan hasil-hasil yang diingini. Berkenaan dengan
di atas Arnold M. Rose berasumsi bahwa efektivitas penggunaan hukum sebagai
alat untuk merubah masyarakat masih terbatas.

Para pakar teori-teori hukum dan masyarakat pikirannya telah dipenuhi


dengan usaha-usaha untuk menerangkan hubungan antara perubahan hukum
(legal change) dan perubahan sosial (social change) dalam konteks sejarah
pengembangan lembaga-lembaga hukum. Para pakar teori ini memandang
hukum sebagai peubah bebas dan peubah tak bebas (independent and dependent
variables) dalam masyarakat, dan menekankan keterkaitan antara system hukum
dan system-sistem lainnya dalam masyarakat. Mengingat kembali teori-teori
yang telah dibahas akan membahas kaitan (interplay) antara hukum dan

31
perubahan sosial. Sekali lagi, hukum akan dipandang sebagai peubah bebas dan
peubah tak bebas, yaitu, sebagai sebab dan akibat dari perubahan social. Bab ini
juga akan membahas keuntungan dan kelemahan hukum sebagai instrumen
perubahan sosial, dan akan membahas serangkaian faktor-faktor sosial,
psikologis, budaya, dan ekonomi yang mempunyai pengaruh terhadap efikasi
hukum sebagai agen perubahan.

Perhatian pertama dalam pengertian hubungan antara hukum dan


perubahan sosial adalah pada masalah definisi. Apa perubahan sosial itu ? Istilah
“perubahan” (change) dalam pengertian sehari-hari, sering diartikan dengan
longgar sebagai sesuatu yang ada tetapi sebelumnya tidak ada, atau hilangnya
atau terhapusnya sesuatu walaupun sebelumnya ada. Namun tidak semua
perubahan adalah perubahan sosial. Banyak perubahan dalam kehidupan yang
cukup kecil dan dianggap tak berarti (trivial), walaupun kadang-kadang hal-hal
yang kecil tersebut bila dikumpulkan akan menjadi hal yang besar dan berarti
(substantial). Dalam pengertiannya yang paling konkret, perubahan sosial berarti
kebanyakan orang terlibat dalam kegiatan-kegiatan kelompok dan hubungan-
hubungan kelompok yang berbeda dengan apa yang telah mereka lakukan atau
apa yang telah orangtuanya lakukan sebelumnya. Masyarakat adalah suatu
jaringan kompleks dari pola-pola hubungan dimana semua orang berpartisipasi
dengan derajat keterkaitannya masing-masing. Hubungan-hubungan ini berubah
dan perilaku juga berubah pada saat yang sama. Individu-individu dihadapkan
dengan situasi baru yang harus mereka respons. Situasi-situasi ini merefleksikan
faktor-faktor tertentu seperti teknologi, cara baru untuk mencari penghasilan,
perubahan tempat domisili, dan inovasi baru, ide baru, serta nilai-nilai baru.
Sehingga, perubahan sosial adalah perubahan bagaimana orang bekerja,
membesarkan anak-anaknya, mendidik anak-anaknya, menata dirinya sendiri,
dan mencari arti yang lebih dari kehidupannya. Perubahan sosial juga bisa
berarti suatu restrukturisasi dalam cara-cara dasar dimana orang di dalam
masyarakat terlibat satu dengan lainnya mengenai pemerintahan, ekonomi,
pendidikan, agama, kehidupan keluarga, rekreasi, bahasa, dan aktivitas-aktivitas
lainnya.

Tema definisi yang berulang dalam literature sosiologi terhadap


perubahan sosial menekankan perubahan (alterations) dalam struktur dan fungsi
dari masyarakat dan perubahan dalam hubungan sosial dari waktu ke waktu.
Tanpa penjelasan selanjutnya, hal ini bukan konsep yang bisa membantu usaha
untuk mencoba mengerti apa yang dimaksud dengan perubahan. Selain itu,
ketika kita membahas tentang hubungan antara hukum dan perubahan sosial, dan
memandang hukum sebagai instrumen dari perubahan sosial, maka akan sangat
membantu bila kita bisa menspesifikasikan identitas dari perubahan, di tingkatan
yang sedang terjadi di masyarakat, arahnya, besarannya, dan laju kecepatannya
(Vago, 1980: 8-10).

32
Identitas perubahan (identity of change) adalah fenomena sosial
tertentu yang sedang mengalami transformasi, seperti praktek, perilaku, sikap,
pola interaksi, struktur kewenangan, laju produktivitas, pola pemungutan suara,
prestise, atau system stratifikasi tertentu. Sekali identitas dari apa yang berubah
telah ditentukan, perhatian selanjutnya adalah pada level dimana perubahan itu
sedang terjadi. Walaupun konsep dari perubahan sosial adalah termasuk ke
dalam fenomena sosial, akan merupakan hal yang sulit untuk meneliti perubahan
tanpa tahu dimana perubahan itu terjadi. Sehingga, level perubahan akan
mengubah (delineates) lokasi dalam sistem sosial dimana perubahan sosial
tertentu sedang terjadi. Ada beberapa level perubahan sosial yang dapat
ditemukan, yaitu pada level individu, kelompok, organisasi, institusi, dan
masyarakat. Sebagai contoh, perubahan dalam level individual akan meliputi
perubahan-perubahan dalam sikap, kepercayaan, aspirasi, dan motivasi. Pada
level kelompok, akan mungkin terjadi perubahan dalam pola interaksi,
komunikasi, metode-metode penyelesaian konflik, kohesi / keterikatan, kesatuan,
kompetisi, serta pola-pola penerimaan dan penolakan. Pada level organisasi,
ruang lingkup perubahan akan meliputi perubahan dalam struktur dan fungsi dari
organisasi, perubahan dalam hirarki, komunikasi, hubungan peranan,
produktivitas, rekrutmen, pengakhiran / terminasi, dan pola-pola sosialisasi.
Pada level institusi, perubahan dapat terjadi pada perubahan pola perkawinan dan
keluarga, pendidikan, dan praktek-praktek keagamaan. Pada level masyarakat,
perubahan dipandang sebagai modifikasi dari sistem stratifikasi, sistem ekonomi,
dan sistem politik.

Arah perubahan (direction of change) dimaksudkan sebagai posisi di


masa depan dari suatu entitas dalam hubungannya dengan posisi awalnya. Hal
tersebut dapat dipandang secara kuantitatif dalam hal fluktuasi, volume, ukuran,
atau angka-angka belaka. Hal itu juga dapat dilihat dari besaran (axis) nilai-nilai,
menggunakan konsep-konsep seperti kemajuan (progress), perkembangan
(improvement), penurunan (decline), atau perbaikan (betterment). Hal itu juga
dapat dipandang dalam istilah-istilah umum, sebagai “lebih tinggi”, “lebih
rendah”, “ke belakang”, atau “ke depan”, mengikuti skala tertentu. Ketiga
pendekatan ini saling terpisah (mutually exclusive), dan ada kebutuhan untuk
menspesifikasikan tipe perubahan sebelum mendiskusikan arahnya. Sebagai
contoh, laju pendaftaran universitas dari orang-orang kulit hitam (black) dan
orang-orang keturunan Spanyol (Hispanic) masing-masing naik 5 dan 6 persen,
antara tahun 1970 dan 1977 (National Center for Education Statistics, 1979: 91).
Secara kuantitatif, arah perubahan dinyatakan dalam persentase. Pada besaran
nilai (value axis), perubahan dalam partisipasi golongan minoritas ini (yang
berkaitan dengan kulit hitam dan keturunan Spanyol) bisa disebut “kemajuan”.
Dalam istilah umumnya, laju pendaftaran universitas “lebih tinggi” di tahun 1977
daripada di tahun 1970.

33
Besaran perubahan (magnitude of change) dapat dipandang dalam hal
perubahan yang inkremental, marjinal, komprehensif, dan revolusioner.
Perubahan yang inkremental atau marjinal adalah perubahan yang menaikkan,
mengurangi, atau memodifikasi kontur dari norma atau perilaku tertentu tanpa
mengubah atau menghilangkan (repudiating) zat atau struktur aslinya (misalnya,
birokratisasi gradual dari lembaga-lembaga pendidikan tinggi). Ada suatu
kesepakatan dalam literatur perubahan sosial bahwa perubahan inkremental
adalah yang paling biasa terjadi dan pola perubahan “normal” di Amerika
Serikat. Perubahan komprehensif mungkin menggambarkan kulminasi dari
perubahan inkremental yang terkait, atau menurut kata-kata Robert A. Dahl
(1967: 264) “inovasi yang menyapu atau pembalikan yang keras” (“sweeping
innovations or decisive reversals of established”) dari norma-norma pola perilaku
(misalnya, desegregasi sekolah atau tidak memisahkan lagi antara sekolah untuk
murid kulit putih dengan sekolah untuk murid kulit berwarna). Perubahan-
perubahan yang ukurannya revolusioner akan mencakup substitusi keseluruhan
dari satu tipe norma atau perilaku ke norma atau perilaku lainnya, dan penolakan
keras (decisive rejection) dari perilaku asli atau norma-norma asli (misalnya,
abolisi atau penghapusan perbudakan atau penggantian dari sistem politik yang
satu ke sistem politik yang lainnya).

Laju perubahan (rate of change) adalah dimensi temporal dari


perubahan. Pada laju seberapa perubahan tertentu terjadi ? Laju ini dapat
didasarkan kepada sembarang skala waktu, misalnya cepat (fast) atau lambat
(slow), atau yang dapat diukur dalam ukuran hari, minggu, bulan, atau tahun.
Sebagai contoh, dalam konteks partisipasi golongan minoritas (yang
didefinisikan sebagai “golongan minoritas” di Amerika Serikat adalah :
perempuan, kulit berwarna, atau orang cacat) di pendidikan tinggi, laju
perubahan dapat digambarkan sebagai “lambat”.

Dimensi dari komponen-komponen perubahan sosial adalah sembarang,


dan dapat dipandang (construed) secara lain oleh orang yang mengalaminya atau
mencoba-cobanya. Utilitas teorikal dan empirikal dari komponen perubahan ini
menjadi bukti (evident) ketika ia dikenali bahwa hukum dapat mempengaruhi
perubahan dalam banyak cara. Ketika arti yang khusus diberikan ke komponen-
komponen ini dalam konteks hukum tertentu atau serangkaian hukum-hukum
tertentu, hal ini akan dapat menjadi titik awal (special point of departure) dari
penelitian tentang peranan hukum dalam perubahan sosial.

Perubahan sosial dalam masyarakat adalah suatu produk dengan


berbagai faktor, dan dalam banyak hal, hubungan antar faktor-faktor tersebut.
Selain faktor hukum, ada beberapa mekanisme perubahan lainnya, seperti faktor-
faktor teknologi, ideologi, kompetisi, konflik, ekonomi, dan politik, serta masalah
struktural (structural strains). Semua mekanisme tersebut dalam kebanyakan hal
saling berhubungan. Kita harus berhati-hati untuk tidak mengecilkan arti dan

34
mengisolasikan salah satu dari faktor-faktor “penyebab” (“causes”) perubahan
sosial ini. Harus diakui bahwa, sangat menggoda dan sangat nyaman untuk
memilih salah satu saja (single out) “penggerak utama” (“prime mover”), satu
faktor, satu sebab, satu penjelasan, dan menggunakannya di berbagai situasi. Hal
itu juga terjadi dalam perubahan hukum : adalah sangat sulit, bahkan tidak
mungkin, untuk menggambarkan hubungan sebab-dan-akibat (cause-and-effect
relationship) dalam pembuatan hukum-hukum baru, yang akan dibahas dalam
bab ini, yaitu kita harus bersikap tak acuh / skeptis (skeptical) dan berhati-hati
(cautious) mengenai penjelasan tentang satu faktor penyebab secara umum, dan
khususnya perubahan sosial berskala besar.

35
BAB VI
BEBERAPA TEORI TENTANG HUKUM DAN PERUBAHAN SOSIAL

A. Pendahuluan
Bab ini membahas mengenai teori-teori yang membahas mengenai hukum
dan perubahan sosial yang dikemukakan oleh beberapa pakar. Dan juga membahas
pengantar mengenai hubungan antara hukum dan perubahan sosial.

B. Penyajian
1. Teori-Teori
a. Max Weber
Ia mengatakan bahwa “perkembangan hukum materil dan hukum acara,
mengikuti tahap-tahap perkembangan tertentu, mulai dari bentuk sederhana yang
didasarkan pada kharisma sampai pada tahap termaju dmana hukum disusun secara
sistimatis, serta dijalankan oleh orang-orang yang telah mendapatkan pendidikan dan
latihan-latihan dibidang hukum”. Tahap-tahap perkembangan hukum ini oleh Max
Weber lebih banyak merupakan bentuk-bentuk yang dicita-citakan dan menonjolkan
kekuatan-kekuatan sosial manakah yang berpengaruh dalam pembentukan hukum
pada tahap-tahap yang bersangkutan. Hal yang sama juga ditafsirkan terhadap
teorinya tentang nilai-nilai ideal dari sistem hukum, yaitu rasional dan irrasional.

b. Emile Durkheim
Pada pokoknya teori dari Durkheim ini menyatakan hukum merupakan
refleksi dari pada solidaritas sosial dalam masyarakat. Menurutnya didalam
masyarakat terdapat dua macam solidaritas, yaitu yang bersifat mekanis (mechanical
solidarity), dan yang bersifat organis (organic solidarity). Solidaritas yang mekanis
terdapat pada masyarakat-masyarakat yang sederhana dan homogen, dimana ikatan
pada warganya didasarkan pada hubungan-hubungan pribadi serta tujuan yang sama.
Sedangkan solidaritas yang organis terdapat pada masyarakat-masyarakat yang
heterogen dimana terdapat pembagian kerja yang kompleks.
Dengan meningkatnya diferensiasi dalam masyarakat, reaksi yang kolektif
terhadap pelanggaran-pelanggaran kaidah-kaidah hukum yang bersifat refresif
berubah menjadi hukum yang bersifat resitutif. Dimana tekanan diletakkan pada
orang yang menjadi korban atau yang dirugikan, yaitu bahwa segala sesuatu harus
dikembalikan pada keadaaan sebelum kaidah-kaidah tersebut dilanggar. Akan tetapi
teori dari Durkheim agak sulit untuk dibuktikan. Richard Schartz dan James C.
Miller dalam suatu penelitian ternyata bertentangan dengan teori Durkheim tentang
perkembangan dari hukum represif ke hukum restitutif. Namun demikian bukanlah
berarti bahwa teorinya sama sekali tidak berguna, karena ada hal-hal tertentu yang
berguna untuk menelaah sistim-sistim hukum dewasa ini, misalnya apa yang
dikemukakannya tentang hukum yang bersifat represif berguna untuk memahami
pentingnya hukuman.

c. Sir Henry Maine

36
Ia mengatakan bahwa perkembangan hukum dari status ke kontrak adalah
sesuai dengan perkembangan dari masyarakat yang sederhana dan homogen ke
masyarakat yang telah kompleks susunannya dan bersifat heterogen dimana
hubungan antara manusia lebih ditekankan pada unsur pamrih.
Selanjutnya Maine menekankan bahwa didalam melakukan tindakan-
tindakan hukum ditentukan oleh kedudukan (khususnya pada para ibu dan anak-anak
didalam keluarga). Sedangkan pada masyarakat-masyarakat yang sudah kompleks,
seseorang mempunyai beberapa kebebasan tertentu. Yang kemudian mengikatnya
adalah ketentuan-ketentuan di dalam kontrak tersebut.

d. Pitirin Sorokin
Teori yang dikemukakan oleh Sorokin adalah teori tentang perkembangan
hukum dan gejala-gejala sosial lainnya yang disesuaikannya dengan tahapan-tahapan
tertentu yang dilalui oleh masyarakat. Masyarakat berkembang sesuai dengan nilai-
nilai tertentu yang sedang menonjol di dalam masyarakat yang bersangkutan. Nilai-
nilai tersebut adalah ideational (yaitu kebenaran absolut sebagaimana diwahyukan
oleh Tuhan Yang Maha Kuasa), sensate (yaitu nilai-nilai yang didasarkan pada
pengalaman) dan yang idealistic (yang merupakan kategori campuran) hukum dan
gejala-gejala sosial lainnya terbentuk sesuai dengan bentuk nilai-nilai yang sedang
berlaku didalam masyarakat.

e. Arnold M. Rose
Dikemukakan oleh Arnold Rose bahwa ada 3 prihal penyebab terjadinya
perubahan sosial yang dihubungkannya dengan hukum, yaitu:
1. Kumulasi yang progresif dari pada penemuan-penemuan dibidang teknologi;
2. Kontak atau konflik antara kebudayaan; dan
3. Gerakan sosial (social movement).
Menurut ketiga teori diatas, hukum lebih merupakan akibat dari pada faktor
penyebab terjadinya perubahan-perubahan sosial. Dikemukakan oleh William F.
Ogburn bahwa penemuan-penemuan baru dibidang teknologi merupakan faktor
utama yang menjadi penyebab utama terjadinya perubahan-perubahan sosial oleh
karena penemuan-penemuan tersebut mempunyai daya berkembang yang kuat.
Kemudian faktor kedua adalah organisasi ekonomi oleh karena manusia pertama-
tama bermotivasi pada keuntungan ekonomis yang dimungkinkan oleh karena
adanya perubahan-perubahan dibidang teknologi. Hukum hanya merupakan refleksi
dari dasar-dasar teknologi dan ekonomi masyarakat. Dalam bentuk yang lebih politis
sifatnya, Karl Marx mengemukakan pula teori tersebut menyangkal adanya sebab-
sebab yang bersumber pada hukum maupun ideologi.
Teori lainnya yang menyangkut kebudayaan dikemukakan oleh banyak
antropolog dan sosiolog, yang menyatakan bahwa proses pembaruan (=perubahan)
terjadi apabila dua kebudayaan atau lebih berhubungan. Akan tetapi teori tersebut
kurang memuaskan oleh karena dewasa ini memungkinkan adanya hubungan atau
kontak yang tetap antara dua kebudayaan atau lebih, atau konflik antara kebudayaan-
kebudayaan tersebut.

37
Selain dari pada teori tersebut di atas ada pula teori gerakan sosial yang
menyatakan bahwa adanya ketidakpuasan terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu
menimbulkan keadaan yang tidak tenteram yang menyebabkan terjadinya gerakan-
gerakan untuk mengadakan perubahan-perubahan, yang seringkali perubahan-
perubahan terebut adalah terwujudnya suatu hukum baru. Namun teori tersebut tidak
berhasil mengemukakan faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya
ketidakpuasan dan bagaimana selanjutnya hukum dapat menyebabkan terjadinya
perubahan-perubahan lebih lanjut.
Teori lainnya lagi yang menghubungkan hukum dengan perubahan-
perubahan sosial adalah pendapat Hazairin tentang hukum adat. Dikatakannya bahwa
baik secara langsung maupun tidak langsung seluruh lapangan hukum mempunyai
hubungan dengan kesusilaan (khususnya dalam hukum adat) yang akhirnya
meningkat menjadi hubungan tara hukum dengan adat. Adat merupakan resapan
(endapan) kesusilaan di dalam masyarakat, yaitu bahwa kaidah-kaidah adat
merupakan kaidah-kaidah kesusilaan yang sebenarnya telah mendapat pengakuan
secara umum dalam masyarakat tertentu.

2. Hubungan Antara Perubahan-perubahan Sosial dengan Hukum


Pada dasarnya perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat
disebabkan oleh dua faktor saja, yaitu faktor interen antara lain pertambahan
penduduk atau berkurangnya penduduk; penemuan-penemuan baru; pertentangan
(konflik); atau juga karena terjadinya suatu revolusi. Sedangkan ekstern meliputi
sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam fisik, pengaruh kebudayaan
masyarakat lain, peperangan dan sebagainya. Hal-hal yang mempermudah atau
memperlancar terjadinya perubahan sosial antara lain adalah apabila suatu
masyarakat sering mengadakan kontak dengan masyarakat-masyarakat lain, sistim
lapisan sosial yang terbuka, penduduk yang heterogen maupun ketidak puasan
masyarakat terhadap kehidupan tertentu dan lain sebagainya.
Sedangan faktor-faktor yang memperlambat terjadinya perubahan sosial antara
lain sikap masyarakat yang mengagung-agungkan masa lampau (teradisionalisme),
adanya kepentingan-kepentingan yang tertanam dengan kuat (vested-interest),
prasangka terhadap hal-hal yang baru atau asing dan sebagainya.
Sebaliknya dalam perubahan hukum (terutama yang tertulis) pada umumnya
dikenal adanya tiga badan yang dapat mengubah hukum, yaitu badan-badan
pembentuk hukum, badan-badan penegak hukum, dan badan-badang pelaksana
hukum.
Perubahan-perubahan sosial dan perubahan-perubahan hukum atau sebaliknya
tidak selalu berlangsung bersama-sama. Dan jika hal semacam ini terjadi maka
terjadilah suatu “social lag” yaitu suatu keadaan dimana terjadi ketidak seimbangan
dalam perkembangan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang mengakibatkan
terjadinya kepincangan-kepincangan.
Tertinggalnya perkembangan hukum oleh unsur-unsur sosialnya atau
sebaliknya, terjadi oleh karena pada hakekatnya merupakan suatu gejala wajar
didalam masyarakat bahwa terjadi perbedaan antara pola-pola perilakuan yang

38
diharapkan oleh kaidah-kaidah sosial lainnya. Hal ini terjadi oleh karena hukum pada
hakekatnya disusun atau disahkan oleh bagian kecil dari masyarakat yang pada suatu
ketika mempunyai kekuasaan dan wewenang. Tertinggalnya hukum pada bidang-
bidang lainnya baru terjadi apabila hukum tidak dapat memenuhi kebutuhan-
kebutuhan masyarakat pada suatu ketika tertentu. Suatu contoh dari adanya lag dari
hukum terhadap bidang-bidang lainnya adalah hukum perdata (barat) yang sekarang
berlaku di Indonesia.
Tertinggalnya hukum oleh perkembangan bidang-bidang lainnya seringkali
menimbulkan hambatan-hambatan terhadap bidang-bidang tersebut. Misalnya dalam
KUHP (psl 534) tentang pelanggaran kesusilaan dapat menghambat pelaksanaan-
pelaksanaan program Keluarga Berencana di Indonesia. Selain itu, tertinggalnya
kaidah-kaidah hukum juga dapat mengakibatkan terjadinya anomie, yaitu suau
keadaan yang kacau, oleh karena tidak ada pegangan bagi para warga masyarakat
untuk mengukur kegiatannya. Misalnya saja tidak ada hukum perkawinan yang
mengatur hubungan perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan.
Sebaliknya pengaruh hukum terhadap lembaga-lembaga kemasyarakatan
lainnya adalah sangat luar biasa, misalnya hukum waris. Hukum mempunyai
pengaruh yang tidak langsung dalam mendorong terjadinya perubahan-perubahan
sosial dengan membentuk lembaga-lembaga kemasyarakatan tertentu yang
berpengaruh langsung terhadap masyarakat. Dan apabila hukum membentuk atau
mengubah basic institutions dalam masyarakat, maka terjadi pengaruh yang
langsung.

C. Penutup
Setelah mempelajari bab ini jawablah kerjakanlah soal-soal dibawah ini:
1. Buatlah analisis perbandingan teori-teori yang dikemukakan mengenai
hukum dan perubahan sosial
2. Jelaskn apa keterkaitan antara hukum dan perubahan sosial

39
BAB VII
PENGGUNAAN HUKUM SEBAGAI SARANA UNTUK MELAKUKAN
REKAYASA SOSIAL

A. Pendahuluan
Pendapat di dalam ilmu pengetahuan hukum yang sekarang lazim dianut
yaitu suatu pendapat yang berasal dari aliran ”legal realism” yang berkembang di
Amerika Serikat adalah pendapat bahwa: di dalam mempelajari hukum pemahaman
mengenai ”Law in action” sama pentingnya dengan pengetahuan mengenai: ”law in
books”. Pada saat ini di kalangan yang luas antara para sarjana hukum telah diterima
anggapan bahwa terlebih dahulu haruslah dilakukan penyeledikan yang sistematis
terhdap law in action sebelum dapat dipahami benar-benar mengenai hukum dalam
segala kompleksitasnya.
Sebagian besar bahan perkuliahan yang diberikan di fakultas-fakultas
hukum masih tetap menganggap bahwa dalam ketentuan-ketentuan konstitusi,
hukum adat dan hukum perundang-undangan benar-benar merupakan gambaran yang
sebenarnya dari hal-hal yang sungguh-sungguh terjadi. Akibat dari pengajran hukum
yang demikian ini adalah tersebar luasnya anggapan yang keliru tersebut.
Anggapan utama yang menjadi pegangan di mana-mana adalah bahwa
struktur normatif hukum perundang-undangan merupakan pencerminan dari
bagaimana hukum sebenarnya beroperasi. Anggapan ini di dasarkan pada asumsi
bahwa para pejabat kurang kreatif di dalam menciptkan hukum dan dalam
menerapkan hukum para pejabat hanya menyatakan bahwa pemerintahan dijalankan
dengan hukum bukan oleh orang-orang: ”Ours is a goverment of lawa, not of men”.
Disamping anggapan ini terdapat anggapan bahwa negara dengan diwakili oleh
pengadilan, polisi dan aparatur-aparatur negara yang lain membentuk suatu kerangka
peraturan-peraturan yang tidak memihak di dalam masyarakat di mana kelompok-
kelompok kepentingan melakukan perjuangan mereka. Lembaga legislatif bukanlah
badan yang tidak memihak, hanya cara-cara penyelesaian yang dilakukannya saja
yang dianggap tidak memihak. Itulah sebabnya lembaga legislatif dianggap
merupakan kancah di mana kelompok-kelompok yang mencerminkan kekuatan di
dalam masyarakat dapat menyelesaiakan pertentangan mereka secara damai. Polisi di
lihat sebagai melaksanakan hukum yang diciptakan oleh badan legislatif,pengadilan
memutuskan hal yang sebenarnya dan setelah itu secara adil dan tidak memihak
pengadilan menerapkan hukum yang berlaku dan menjatuhkan sanksi yang telah
ditentukan oleh hukum itu sendiri.
Anggapan mengenai beroperasinya hukum ini tidak sesuai dengan keadaan
yang sebenarnya terjadi. Semua orang tahu bahwa di Amerika misalnya hakim-
hakim memiliki wewenang untuk memutuskan sesuatu sesuai dengan penilainya
sendiri (discretion) dan dalam kenyataannya membuat kebijakan seperti yang yang
dilakukan oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat mengenai kasus-kasus pemisahan
warna kulit di sekolah-sekolah. Akan tetapi toh anggapan bahwa hukum beroperasi
sesuai dengan apa yang tercantum di dalam perundang-undangan tetap menjadi
pegangan.

40
Anggapan mengenai beroperasinya hukum dalam kenyataan sebagaimana
diuraikan di atas bukan saja tidak benar akan tetapi memamng tidak dapat dielakkan
lagi disebabkan karena sistem normatif yang ada tidak sempurna. Untuk mendukung
pendapat tersebut di atas diajukan metodologi yang dalam tahun 1881 diajukan oleh
Oliver Wendell Holmes yang pada hakekatnya merupakan suatu falsafah hukum
yang lengkap, dengan hanya satu kalimat saja yaitu: the life of the law has not been
logic but experiences. Bagaimana

B. Penyajian
1. Hubungan Timbal Balik antara Hukum dan Perubahan Sosial
Pertanyaan apakah hukum dapat dan harus memimpin, atau apakah hukum
tidak boleh melakukan sesuatu kecuali mengikuti perubahan-perubahan di dalam
masyarakat secara berhati-hati, telah dan selalu menjadi issue kontroversial.
Pendekatan yang berlawanan dari pakar reformasi sosial Inggris Jeremy Bentham
dan pakar Jerman Friedrich Karl Von Savigny telah memberikan paradigma yang
saling bertolak belakang tentang hal (proposition) ini. Pada permulaan era
industrialisasi dan urbanisasi di Eropa, Bentham mengharapkan agar reformasi
hukum dapat merespons dengan cepat kebutuhan-kebutuhan sosial dan untuk
merestrukturisasi masyarakat. Dia dengan gratis memberi saran kepada pemimpin-
pemimpin Revolusi Perancis, karena ia percaya bahwa negara-negara dengan tahap
perkembangan ekonomi yang sama memerlukan “obat” (remedies) yang sama untuk
masalah ekonomi mereka. Pada kenyataannya, adalah filosofi Bentham dan semua
pengikutnya, yang mengubah Parlemen Inggris – dan parlemen di negara-negara
lainnya – ke dalam instrumen-instrumen legislatif aktif untuk membawa reformasi
sosial sebagian untuk merespons dan sebagian sebagai stimulan untuk kebutuhan-
kebutuhan sosial yang dirasakan. Juga menulis pada waktu yang sama, Savigny ,
menghujat reformasi hukum yang menyapu (the sweeping legal reforms) yang
dibawa oleh Revolusi Perancis yang mengancam untuk menginvasi Eropa Barat. Ia
percaya bahwa adat populer yang dikembangkan secara penuh, dapat membentuk
dasar dari perubahan hukum. Karena adat tumbuh dari kebiasaan dan kepercayaan
dari orang-orang tertentu, dan bukan karena pernyataan humanitas abstrak, maka
perubahan hukum adalah kodifikasi dari adat dan hal itu adalah perubahan berskala
nasional, dan bukan universal (He believed that only fully developed popular customs
could form the basis of legal change. Since customs grow out of the habits and
beliefs of specific people, rather that expressing those of an abstract humanity, legal
changes are codifications of customs and they can only be national, never
universal).
Satu abad kemudian, hubungan antara hukum dan perubahan sosial tetap
controversial. “Tetap ada 2 pendapat yang bertolak belakang tentang hubungan
antara kaidah-kaidah hukum (legal precepts) dan sikap-sikap dan perilaku
masyakarat. Menurut pendapat yang satu, hukum ditentukan oleh perasaan keadilan
(sense of justice) dan sentimen moral dari populasi, dan legislasi hanya dapat
mencapai hasil bila tetap berada dekat secara relatif dengan norma-norma sosial yang
berlaku (prevailing social norms). Menurut pendapat yang lain, hukum, khususnya

41
legislasi, adalah wahana (vehicle) melalui mana evolusi sosial yang terprogram dapat
dilakukan” (Aubert, 1969: 69). Pada satu sisi ekstrim, terdapat pandangan bahwa
hukum adalah peubah tak bebas (dependent variable), yang ditentukan dan dibentuk
oleh pamali-pamali yang ada (current mores) dan opini-opini dari masyarakat.
Menurut pendapat / posisi ini, perubahan hukum adalah tidak mungkin kecuali
didahului oleh perubahan sosial; reformasi hukum tidak dapat melakukan apa-apa
kecuali mengkodifikasi hukum. Jelas hal ini tidak benar, dan mengabaikan fakta
bahwa sepanjang sejarah institusi-institusi hukum telah ditemukan untuk
“mempunyai peranan yang jelas, dan bukan pengertian yang meraba-raba, sebagai
suatu instrumen yang mengatur (set off), memonitor, atau meregulasi fakta atau
kecepatan dari perubahan sosial” (Friedman, 1969: 29). Pendapat ekstrim lainnya
diberikan oleh pakar hukum Soviet, seperti P.P. Gureyev dan P.I. Sedugin (1977),
yang melihat hukum sebagai instrumen untuk melakukan rekayasa sosial (social
engineering). Pendapat mereka adalah, “selama periode transisi dari kapitalisme ke
sosialisme, Negara Soviet telah menggunakan legislasi secara luas untuk
mengarahkan masyarakat, memulai dan mengembangkan bentuk-bentuk sosial
ekonomi, menghapuskan setiap bentuk eksploitasi, dan meregulasi berdasarkan
tenaga kerja dan konsumsi dari produk-produk tenaga kerja sosial (products of social
labour). Ia menggunakan legislasi untuk membuat dan meningkatkan lembaga-
lembaga sosialis demokratis, untuk membuat hukum dan ketertiban yang keras (firm
law and order), melindungi sistem sosial dan keamanan Negara, dan
mengembangkan sosialisme” (Gureyev dan Sedugin, 1977: 12).
Pandangan-pandangan ini menggambarkan 2 ekstrim dari pendapat
(continuum) yang berkaitan dengan hubungan antara hukum dan perubahan sosial.
Masalah keterkaitan (interplay) antara hukum dan perubahan sosial jelas bukanlah
masalah yang sederhana. Jelasnya, pertanyaannya adalah : Apakah hukum
mengubah masyarakat ? atau Apakah perubahan sosial mengubah hukum ? Kedua
pendapat ini kemungkinan benar. Namun, akan lebih tepat untuk menanyakan, di
bawah kondisi-kondisi apakah hukum dapat menyebabkan perubahan sosial, pada
level apakah, dan sejauh mana ? Begitu pula, persyaratan agar perubahan sosial dapat
mengubah hukum juga harus dijelaskan lebih jauh.
Pada umumnya, di masyarakat yang sangat urban dan sangat
terindustrialisasi seperti Amerika Serikat, hukum telah memainkan peran yang besar
dalam perubahan sosial, dan sebaliknya, atau sekurangnya lebih besar daripada pada
kasus masyarakat tradisional atau dalam pemikiran sosiologi tradisional (Nagel,
1970: 10). Ada beberapa cara untuk menggambarkan hubungan timbal balik ini.
Sebagai contoh, dalam domain hubungan antar keluarga, urbanisasi dengan
apartemen-apartemen yang kecil, telah mengurangi keinginan untuk tinggalnya
keluarga dari tiga generasi di dalam satu rumah tangga. Perubahan sosial ini telah
menyebabkan adanya hukum-hukum keamanan jaring sosial (social security laws)
yang pada gilirannya telah membantu perubahan dalam tenaga kerja dan institusi
sosial bagi orang yang berusia lanjut. Perubahan dalam hubungan induk semang-
penyewa (landlord-tenant relationship) telah mengubah hukum tata bangunan
(housing codes), yang menyebabkan perubahan dalam hubungan perinduksemangan.

42
Sebagai akibat dari perubahan teknologi, hubungan antara pemilik properti dengan
individu-individu lainnya telah menjadi “kurang pribadi” (more impersonal) dan
kemungkinan besar telah mengarah ke kerugian (injury), dan sebagai hasilnya, telah
menyebabkan perubahan definisi hukum tentang “uang simpanan” (fault), yang pada
gilirannya telah mengubah sistem asuransi Amerika. Akhirnya, dalam konteks
hubungan antara majikan dengan pegawai (employer-employee relations), dalam
sejarah Amerika sebelum tahun 1930an (masa depresi besar Amerika – penerjemah)
telah mengaktifkan aturan dan statuta (precedents and statutes) yang menjamin hak
buruh untuk membentuk serikat buruh, dan ketika Undang-Undang Wagner telah
diundangkan, persentase jumlah buruh dalam serikat buruh telah meningkat,
walaupun juga telah mencapai titik kejenuhan (Nagel, 1970:1).
Walaupun ada gambaran yang jelas tentang adanya hubungan timbal balik
antara hukum dan perubahan sosial, untuk tujuan analisis, saya akan memandang hal
ini sebagai hal yang mandiri (unilateral). Di sini, di seksi selanjutnya saya akan
membahas kondisi-kondisi dimana perubahan sosial telah menyebabkan peubahan
hukum; kemudian, dalam seksi berikutnya, saya akan membahas hukum sebagai
instrumen perubahan sosial.

2. Perubahan Sosial sebagai Sebab Perubahan Hukum

Secara historis, perubahan sosial terlalu sangat lambat untuk menjadi


kebiasaan sebagai sumber utama dari hukum. Hukum dapat merespons perubahan
sosial setelah puluhan tahun atau setelah berabad-abad. Bahkan di masa awal
revolusi industri, perubahan-perubahan yang terjadi karena ditemukannya mesin uap
atau ditemukannya listrik hanya secara gradual telah mempengaruhi respons hukum
yang sah selama satu generasi. “Namun saat ini tempo dari perubahan sosial telah
sedemikian cepat pada suatu titik dimana asumsi-asumsi yang ada pada saat ini tidak
akan sah lagi bahkan dalam beberapa tahun ke depan” (Friedman, 1972: 13). Dalam
kata-kata Alvin Toffler (1970:11), “Perubahan telah menyapu melalui negara-negara
industri maju dengan gelombang-gelombang dankecepatan yang amat sangat tinggi
serta berdampak yang amat sangat tidak terduga”. Dalam arti, orang dalam
masyarakat modern terperangkap ke dalam gelombang (maelstrom) perubahan
soaial, hidup dalam serangkaian revolusi yang kontras dan saling terkait dalam
demografi, urbanisasi, birokratisasi, industrialisasi, sains, transportasi, pertanian,
komunikasi, riset biomedis, pendidikan, dan hak asasi manusia. Setiap revolusi ini
telah membawa perubahan yang spektakuler dalam serangkaian akibat, dan telah
mentransformasi nilai-nilai masyarakat, sikap, perilaku, dan institusi.
Perubahan-perubahan ini selanjutnya mentransformasikan tata sosial dan
tata ekonomi dari masyarakat. Masyarakat kontemporer dicirikan dengan pembagian
kerja yang jelas dan spesialisasi dalam fungsi. Dalam masyarakat modern,
“hubungan antar pribadi telah berubah, institusi-institusi sosial termasuk keluarga,
telah jauh berubah; kontrol sosial yang sebelumnya kebanyakan informal telah
menjadi formal; birokrasi dalam organisasi skala besar telah menyebar ke sektor-
sektor public dan swasta; dan risiko-risiko yang dihadapi individu-individu telah

43
muncul termasuk risiko terganggunya mata penghasilan karena pengangguran,
karena kecelakaan kerja, dan eksploitasi consumer; dan sakit kronis dan cacat fisik
telah menyertai semakin panjangnya kehidupan” (Hauser, 1976:23-24).
Munculnya risiko-risiko baru terhadap individual sebagai hasil dari
penguatan berbagai fungsi keluarga, termasuk fungsi perlindungan, telah menuju
kepada pembuatan inovasi-inovasi hukum untuk melindungi individual dalam
masyarakat modern. Gambaran dari inovasi seperti itu misalnya adalah persyaratan
kompensasi pekerja (gaji – penerjemah), asuransi pengangguran, asuransi hari tua,
asuransi kesehatan (medicare), dan berbagai bentuk kategori dan persyaratan generik
dari “kesejahteraan sosial” (Hauser, 1976: 24).
Banyak pakar sosiologi dan pakar hukum menyatakan bahwa teknologi
adalah salah satu dari kekuatan pengubah besar (great moving forces) untuk
perubahan hukum (Miller, 1979: 10-14). Hukum telah dipengaruhi oleh teknologi
dalam sekurangnya tiga cara, “Yang paling jelas….adalah kontribusi teknologi
kepada perbaikan teknik hukum dengan memberikan instrumen yang harus
digunakan dalam menerapkan hukum (misalnya, melalui sidik jari atau penguji
kebohongan). Yang kedua, yang tidak kurang signifikan adalah, efek teknologi
dalam proses formulasi dan penerapan hukum sebagai akibat dan perubahan-
perubahan yang diakibatkan oleh teknologi dalam iklim sosial dan intelektual dimana
proses hukum dieksekusi (misalnya, dengar pendapat melalui televisi). Yang
terakhir, teknologi mempengaruhi substansi dari hukum dengan menghasilkan
masalah baru dan persyaratan baru yang harus diurus oleh hukum” (Stoner, seperti
dikutip oleh Miller, 1979:14). Gambaran dari perubahan teknologi yang mengarah
kepada perubahan hukum telah sangat banyak ditemui (Loth dan Ernst, 1972).
Timbulnya transportasi dengan mobil dan pesawat terbang telah membawa pula
regulasi-regulasi baru. Peralatan baru dalam uji kebohongan (sidik jari dan
penciuman elektronik, dua di antaranya) telah menghasilkan perubahan di dalam
hukum, seperti bukti-bukti (evidence) yang diperbolehkan di depan pengadilan.
Komputer telah memungkinkan keberadaan kita dalam kredit, perdagangan / merk
(merchandising), manufaktur, transportasi, riset, pendidikan, diseminasi / penyebaran
informasi, pemerintahan, dan politik. Komputer juga telah menginspirasi legislasi di
level federal maupun level negara bagian untuk melindungi privasi, untuk
melindungi penyalahgunaan informasi kredit, dan untuk mensyaratkan perusahaan
(employer) untuk memberitahu seorang pelamar kerja yang ditolak tentang sumber
dan sifat dari laporan negatif (adverse report) tentang catatan kredit masa lalunya
yang menyebabkan penolakan tersebut.
Perubahan hukum dapat dimulai oleh perubahan gradual dalam nilai-nilai
dan sikap-sikap masyakarat. Masyarakat akan berpikir bahwa kemiskinan adalah hal
yang buruk dan hukum harus dibuat untuk menguranginya dengan satu atau berbagai
cara. Masyarakat dapat menghujat penggunaan hukum karena lebih lanjut telah
menambah praktek-praktek diskriminasi rasial di dalam pemilihan suara (sebelum
1963, masyarakat kulit hitam dan keturunan Spanyol tidak boleh memilih di Amerika
Serikat – penerjemah), perumahan, lapangan kerja, pendidikan, dan semacamnya,
dan akan mendukung perubahan-perubahan yang melarang penggunaan hukum

44
untuk maksud-maksud ini. Masyarakat akan berpikir bahwa pebisnis tidak akan
begitu bebas untuk menjual semua jenis makanan ke pasar tanpa adanya inspeksi
pemerintah yang memadai, atau terbang dengan pesawat yang belum memenuhi
standar keselamatan pemerintah, atau mempertontonkan apa saja di televisi semau
yang punya stasiun televisi. Sehingga hukum harus diundangkan semestinya, dan
lembaga-lembaga regulatori harus berfungsi seperti seharusnya. Dan masyarakat
akan berpikir bahwa praktek aborsi adalah tidak jahat, atau praktek kontrasepsi
adalah diinginkan, atau bahwa perceraian adalah tidak amoral. Oleh karena itu,
hukum dalam topik-topik ini harus ditinjau kembali atau direvisi.
Perubahan-perubahan dalam kondisi social, teknologi, pengetahuan, nilai-
nilai, dan sikap, oleh karena itu, dapat mengarah kepada perubahan hukum. Dalam
hal ini, hukum bersifat reaktif dan mengikuti perubahan sosial. Namun perlu dicatat,
bahwa perubahan hukum adalah salah satu dari banyak respons terhadap perubahan
sosial. Namun perubahan hukum sangatlah penting, karena hukum
merepresentasikan kewenangan negara dan kekuasaan pemberian sanksinya. Hukum
baru sebagai respons terhadap masalah sosial atau masalah teknologi baru mungkin
dapat memperbesar masalah tersebut – atau mungkin dapat menyelesaikan masalah
dan membantu menyelesaikan masalah tersebut. Seringkali, respons hukum terhadap
perubahan sosial, yang sudah pasti melalui suatu tenggang waktu (time lag), akan
menyebabkan perubahan sosial baru. Sebagai contoh, hukum yang dibuat sebagai
respons terhadap adanya polusi udara dan air yang dikarenakan perubahan teknologi
akan berakibat adanya pengangguran di area-area tertentu, dimana perusahaan yang
menyebabkan polusi tidak mau atau tidak bisa untuk memasang alat pencegah
polusi. Pada gilirannya, pengangguran dapat berakibat ke perpindahan penduduk
(relocation), dapat mempengaruhi tingkat kriminalitas di dalam masyarakat, atau
dapat berakibat adanya tekanan penekan dari pihak yang terkena. Korelasi dan
reaksi berantai ini dapat diperluas lagi menjadi tak terhingga. Oleh karena itu,
hukum dapat dipandang sebagai faktor reaktif (yang menolak) dan proaktif (yang
setuju) dalam perubahan sosial. Pada seksi berikutnya, akan dibahas tentang aspek
proaktif dari hukum sebagai pemulai perubahan sosial.

3. Hukum Sebagai Instrumen Perubahan Sosial

Ada banyak ilustrasi historis dimana pengundangan dan implementasi


hukum telah digunakan untuk memulai perubahan sosial besar di dalam masyarakat.
Dengan bantuan para ahli hukum Romawi, pernyataan bahwa hukum sebagai
instrumen perubahan sosial telah menjadi jelas secara konseptual. “Konversi
Romawi dari republik menjadi kekaisaran tidak dapat dilakukan kecuali melalui
cara-cara dekrit hukum eksplisit yang ditekankan oleh doktrin kedaulatan
kekaisaran“ (Nisbet, 1975: 173). Sejak jaman Romawi, perubahan sosial yang besar
dan mobilitas sosial hampir selalu melibatkan penggunaan hukum dan litigasi. Ada
beberapa ilustrasi tentang ide hukum, jauh dari hanya sekedar refleksi dari realitas
sosial, tapi juga merupakan alat yang canggih (powerful) untuk “menghasilkan“
(accomplishing) realitas, yaitu, dengan memodelkannya atau membuatnya terjadi.

45
Secara umum telah diakui, di samping ide-ide Marx, Engels, dan Lenin, bahwa
hukum adalah suatu fenomena besar dari masyarakat kelas borjuis yang hilang
bersama datangnya revolusi, Uni Soviet telah sukses dalam membuat perubahan-
perubahan besar di dalam masyarakat melalui penggunaan hukum (Dror, 1968).
Baru-baru ini, usaha-usaha dari Nazi Jerman dan kemudian oleh negara-negara Eropa
Timur untuk membuat perubahan sosial besar melalui manipulasi hukum adalah
ilustrasi dari keefektivan hukum untuk memulai perubahan sosial (Eorsi dan
Harmanthy, 1971).

Pengakuan (recognition) peranan hukum sebagai suatu instrumen dari


perubahan sosial telah semakin menguat di masyarakat kontemporer. “Hukum –
melalui respons legislatif dan administratif terhadap kondisi-kondisi sosial dan ide-
ide baru, selain melalui interpretasi kembali dari konstitusi, statuta atau preseden –
secara meningkat tidak hanya mengartikulasikan / mengambil peranan penting tetapi
juga menentukan arah dari perubahan-perubahan sosial besar“ (Friedman, 1972:
513). Sehingga, “Perubahan sosial yang dicoba, melalui hukum, adalah suatu jejak
(trait) dasar dari dunia modern“ (Friedman, 1975: 277). Dalam hal yang sama,
Yehezkel Dror (1968: 673) menyatakan bahwa, “penggunaan yang meningkat dari
hukum sebagai alat dari tindakan sosial yang terorganisir yang ditujukan kepada
pencapaian perubahan sosial kelihatannya merupakan salah satu ciri dari dunia
modern….“. Banyak pengarang, seperti Joel B. Grossman dan Mary H. Grossman
(1971:2), memandang hukum sebagai suatu alat yang dibutuhkan, diperlukan, dan
sangat efisien untuk melakukan perubahan, yang lebih disukai daripada instrumen
perubahan yang lainnya.

Dalam masyarakat modern, peranan hukum dalam perubahan sosial lebih


daripada hanya interest teoritis saja. Dalam banyak bidang kehidupan sosial, seperti
pendidikan, hubungan rasial, perumahan, transportasi, penggunaan energi, dan
perlindungan lingkungan, hukum telah disandari sebagai instrumen perubahan yang
penting. Di Amerika Serikat, hukum telah digunakan sebagai mekanisme utama
untuk meningkatkan posisi politik dan sosial kaum kulit hitam (blacks). Sejak tahun
1960s, pengadilan dan Kongres telah membatalkan sistem kasta rasial yang
termaktub (embedded) di dalam hukum dan yang telah dipraktekkan selama beberapa
generasi. Orde lama telah disapu bersih oleh legislasi, termasuk Undang-Undang
Persamaan Hak tahun 1964 (Civil Rights Act of 1964) dan Undang-Undang Hak
Pemilihan tahun 1965 (Voting Rights Act of 1965), diikuti dengan komitmen
milyaran dollar untuk program kesejahteraan sosial. Dalam waktu yang relatif
singkat, kebijakan ini telah menghasilkan perubahan-perubahan yang besar. Sebagai
contoh, usaha-usaha untuk memperluas peluang pendidikan telah memperkecil
secara drastis jurang level pendidikan antara kulit hitam dan kulit putih. Pendaftaran
mahasiswa kulit hitam, sebagai contoh, telah meningkat 4 kali lipat sejak tahun 1965,
dan 1 juta orang mahasiswa kulit hitam saat ini mewakili 11 persen dari jumlah
seluruh mahasiswa di negara ini, dibandingkan dengan 4,8 persen di tahun 1965
(National Center for Educational Statistics, 1979: 115). Selama generasi yang lalu,

46
partisipasi politik dari warga kulit hitam telah meningkat tajam. Saat ini terdapat
4.500 orang kulit hitam terpilih dalam jabatan publik (hold elected offices) dari
anggota Kongres sampai Walikota, atau naik 45 kali lipat sejak tahun 1954 (U.S.
News & World Report, 1979:59). Namun, sangat salah untuk mengasumsikan
bahwa perubahan yang sama telah terjadi di bidang (domain) lainnya. Sebagai
contoh, sejak tahun 1964, median penghasilan keluarga kulit hitam hanyalah antara
54 – 62 persen daripada kulit putih.

Begitu pula di negara-negara Eropa Timur, hukum telah menjadi instrumen


penting untuk mentransformasikan masyarakat sejak Perang Dunia II dari
masyarakat borjuis ke masyarakat sosialis. Perundangan hukum telah memulai dan
meligitimasi pengaturan ulang dalam hal properti (hak rumah, tanah) dan hubungan
kekuasaan, mentransformasikan institusi sosial dasar seperti pendidikan dan
pelayanan kesehatan, dan membuka jalan raya baru untuk mobilitas sosial bagi
segmen besar dari populasi. Legislasi telah mengarahkan pengaturan kembali
produksi pertanian dari kepemilikan pribadi ke pertanian kolektif, pembuatan kota-
kota baru, dan pengembangan ala sosialis dari ekonomi produksi, distribusi, dan
konsumsi. Perubahan-perubahan ini, pada gilirannya akan mempengaruhi nilai-nilai,
kepercayaan, pola sosialisasi, dan struktur hubungan sosial.

Ada beberapa cara untuk mempertimbangkan peranan hukum dalam


perubahan sosial. Dalam suatu artikelnya yang sangat berpengaruh, “Hukum dan
Perubahan Sosial“, Dror (1968) membedakan antara aspek tak langsung dan aspek
langsung dari hukum dalam perubahan sosial. Dror (1968: 673) mengatakan bahwa,
“Hukum memainkan peranan tak langsung dalam perubahan sosial dengan
membentuk berbagai institusi sosial, yang pada gilirannya mempunyai dampak
langsung terhadap masyarakat“. Ia menggunakan ilustrasi sistem wajib belajar yang
memainkan peranan penting tidak langsung dalam perubahan dengan memperkuat
operasi institusi-institusi pendidikan, yang pada gilirannya akan memainkan peranan
langsung dalam perubahan sosial. Ia menekankan bahwa hukum berinteraksi secara
langsung dalam banyak kasus dengan institusi-institusi sosial, membentuk adanya
hubungan langsung antara hukum dan perubahan sosial. Sebagai contoh, hukum
yang diundangkan untuk melarang poligami mempunyai pengaruh besar langsung
terhadap perubahan sosial, dengan tujuan utamanya perubahan dalam pola-pola
perilaku yang penting. Namun ia mewanti-wanti, bahwa “perbedaannya tidaklah
absolut tapi relatif: pada banyak kasus penekanannya lebih kepada dampak langsung
dan kurang pada dampak tidak langsung terhadap perubahan sosial, yang dalam
kasus lainnya hal kebalikannya yang berlaku“ (Dror, 1968: 674).

Dror berargumen bahwa hukum berfungsi sebagai pengaruh tidak langsung


terhadap perubahan sosial pada umumnya dengan mempengaruhi kemungkinan-
kemungkinan perubahan dalam berbagai institusi sosial. Sebagai contoh, adanya
hukum patent yang melindungi hak-hak dari penemu (inventors) untuk mendukung

47
penemuan (inventions), dan perubahan lebih lanjut dalam lembaga-lembaga
teknologi, yang pada gilirannya akan membawa sejenis perubahan sosial.

1) Efikasi Hukum sebagai Instrumen Perubahan Sosial

Sebagai suatu instrumen perubahan sosial, hukum membawa 2 proses-


proses yang saling berhubungan, yaitu pengenalan“ (institutionalization) dan
“pelembagaan“ (internalization) pola-pola perilaku. Pengenalan
(institutionalization) dari pola perilaku merujuk pada pembuatan suatu norma dengan
persyaratan penegakannya (misalnya, desegregasi / penghapusan segregasi dari
sekolah-sekolah negeri), dan pelembagaan (internalization) dari suatu pola perilaku
berarti bahwa pencakupan (incorporation) nilai atau nilai-nilai secara implisit di
dalam hukum (misalnya, sekolah negeri yang terintegrasi adalah “baik“).
“Hukum…..dapat mempengaruhi perilaku secara langsung hanya melalui proses
pengenalan; namun jika proses pengenalan ini sukses, pada gilirannya akan
memfasilitasi pelembagaan sikap atau kepercayaan“ (Evan, 1965: 287).

Dalam banyak hal hukum adalah suatu mekanisme efektif dalam


peningkatan atau penguatan perubahan sosial. Namun, sejauh mana hukum dapat
memberikan suatu dorongan (impetus) efektif untuk perubahan sosial bervariasi
menurut kondisi-kondisi yang ada dalam situasi tertentu. William M. Evan (1965:
288-291) menyarankan bahwa hukum akan sukses untuk melakukan perubahan jika
memenuhi 7 kondisi sebagai berikut : 1. Hukum harus muncul (emanate) dari sumber
yang berwenang dan prestisius; 2. Hukum harus mengenalkan alasannya dalam hal
mana yang dapat dimengerti dan cocok dengan nilai-nilai yang ada; 3. Advokasi
perubahan harus merujuk kepada masyarakat lain atau negara lain dimana populasi
mengidentifikasi diri dan dimana hukum telah berlaku; 4. Penegakan hukum harus
ditujukan kepada pembuatan perubahan dalam waktu yang relatif cepat; 5. Pihak
yang menegakkan hukum harus dengan sendirinya sangat komit terhadap perubahan
yang dimaksud oleh hukum; 6. Implementasi hukum harus mencakup sanksi-sanksi
positif dan negatif; dan 7. Penegakan hukum harus masuk akal, tidak hanya dalam
hal sanksi yang digunakan, tetapi juga perlindungan hak-hak pihak yang akan kalah
dalam masalah pelanggaran hukum.

Sebagai agan perubahan sosial, hukum mempunyai kekuatan dan


kelemahan. Efikasi hukum, yaitu kemampuan hukum untuk menghasilkan
perubahan, ditentukan sebagian besar oleh penerimaan publik. Dalam suatu
masyarakat demokratis pluralistik, dimana orang cenderung untuk terkait dengan
banyak kelompok dan publik – perubahan melalui hukum umumnya dipenuhi dengan
berbagai reaksi: beberapa berlawanan, beberapa mendukung, namun sebagain besar
acuh tak acuh atau hanya sangar sedikit (mildly hostile). Jika mayoritas pemimpin
opini ada di belakang perubahan, maka oposisi akan tetap menjadi minoritas dan
secara pelan-pelan sebagian besar masyarakat akan dapat menerima perubahan (Rose
dan Rose, 1969: 537).

48
Efikasi hukum sebagai suatu instrumen perubahan sosial dipersyaratkan
oleh sejumlah faktor. Salah satunya adalah jumlah informasi yang tersedia mengenai
suatu legislasi (legislation), keputusan (decision), atau penetapan (ruling). Ketika
terdapat tidak cukup transmisi informasi tentang hal-hal ini, hukum tidak akan
menghasilkan efek yang diinginkan. Ketidakpedulian (ignorance) terhadap hukum
tidak dianggap sebagai satu alasan untuk ketidakpatuhan (disobedience), namun
ketidakpedulian membatasi efektivitas hukum. Dalam kasus yang sama, hukum
terbatas sejauh dimana aturan-aturan (rules) itu tidak dituliskan secara pasti, dan
bukan karena orang tidak yakin dengan apa yang dimaksud oleh aturan-aturan
tersebut. Aturan-aturan yang sumir (vague rules) membolehkan persepsi yang
bermacam-macam dan interpretasi (apa maksud pernyataan “semua kecepatan yang
ada“ [“all deliberate speed“] ?). Sebagai akibatnya, bahasa hukum harus bebas dari
keambiguan, dan kehati-hatian perlu dilakukan untuk menghindari berbagai
interpretasi dan “lubang penafsiran“ (loopholes) (Carter, 1979: 27-37).

Regulasi-regulasi hukum dan perilaku masyarakat yang diinginkan kepada


siapa hukum ditujukan harus secara jelas diketahui, dan sanksi-sanksi terhadap
ketidakpatuhan (noncompliance) perlu dihitung secara tepat (precisely enumerated).
Efektivitas hukum berhubungan langsung dengan jangkauan (extent) dan sifat
(nature) dari persepsi aturan-aturan sanksi resmi (officially sanctioned rules).
Persepsi terhadap aturan-aturan, pada gilirannya beragam menurut sumbernya.
Aturan-aturan kemunginan besar akan diterima bila sumbernya dipandang sah
(legitimate). Namun perlu dicatat, bahwa kontras antara “legitimasi“ dengan
“legalitas“ kadang-kadang tetap membingungkan. Seperti yang diamati oleh Carl J.
Friedrich (1958: 202), “Hukum tidak harus dilihat hanya beroperasi di satu dimensi
dari keadaan, namun dalam banyak dimensi dari masyarakat jika kita mengartikan
legitimasi sebagai pola tujuan. Legitimasi dikaitkan dengan hak dan keadilan; tanpa
suatu klarifikasi tentang apa yang harus dimengerti oleh “kebaikan“ (rightness) dan
keadilan dari hukum, legitimasi tidak dapat dimengerti juga. Aturan Hitler adalah
legal namun tidak legitimate. Ia mempunyai dasar di dalam hukum namun tidak
dalam hal kebenaran dan keadilan“.

Kecepatan respons (responsiveness) dari lembaga-lembaga penegak hukum


terhadap hukum juga mempunyai dampak terhadap efektivitas hukum. Agen
penegak hukum tidak hanya mengkomunikasikan aturan-aturan, mereka juga
menunjukkan bahwa aturan-aturan harus dianggap serius dan hukuman terhadap para
pelanggar sudah menunggu. Namun agar hukum dapat ditegakkan (enforcable),
perilaku yang harus diubah harus juga diamati (observable). Sebagai contoh, lebih
sulit untuk menegakkan hukum terhadap perilaku homoseksual daripada hukum
terhadap diskriminasi rasial dalam perumahan publik. Selain itu, agen penegak
hukum perlu sepenuhnya komit untuk menegakkan suatu hukum baru. Salah satu
alasan gagalnya larangan (prohibition), sebagai contoh, adalah karena ketidakmauan
dari agen penegak hukum untuk mengimplementasikan hukum. Penegakan hukum
yang selektif juga akan juga akan mengurangi (hinders) keefektivannya. Semakin

49
tinggi status individual yang ditahan dan dihukum, semakin besar kemungkinan
suatu hukum tertentu akan mencapai tujuan yang diinginkannya (Zimring dan
Hawkins, 1975: 337-338). Hukum yang secara reguler dan secara seragam
ditegakkan di berbagai kelas masyarakat dan kelompok masyarakat cenderung
dipersepsikan sebagai lebih mengikat (more binding) daripada hukum yang jarang
atau yang ditegakkan secara selektif saja, karena penegakan menetapkan norma-
norma perilaku, dan pada suatu waktu, menurut E. Adamson Hoebel (1954: 15) :
“Norma berlaku pada kualitas dari yang normatif. Apa yang dilakukan oleh
kebanyakan orang, orang-orang lainnya akan melakukannya juga“.

Sebagai suatu strategi perubahan sosial, hukum mempunyai keuntungan


dan kelemahan khas tertentu dibandingkan dengan agen-agen perubahan lainnya.
Walaupun keuntungan dan kekurangan ini sama-sama hadir (go hand in hand) dan
merepresentasikan dua sisi yang berbeda dari sekeping uang yang sama, untuk tujuan
analisis saya akan membahasnya secara terpisah. Pembahasan berikut akan fokus
pada alasan-alasan yang lebih nyata mengapa hukum dapat memfasilitasi perubahan
di dalam masyarakat.

4. Keuntungan Hukum dalam Membuat Perubahan Sosial

Seperti telah saya tekankan sebelumnya, mengidentifikasi bidang perubahan


(perimeters of change) dan mengkaitkan perubahan (attributing change) terhadap
variabel penyebab tertentu atau satu set variabel harus ditangani dengan kehati-
hatian. Dalam banyak hal, kemajuan perubahan sosial (the state of the art of social
change endeavors) tidak cukup canggih secara metodologis untuk membedakan
dengan jelas antara sebab, keharusan, kecukupan, atau kondisi-kondisi kontributif
untuk menghasilkan efek-efek yang diinginkan di dalam masyarakat. Perubahan
sosial adalah fenomena yang kompleks dan bermuka banyak (multifacet) yang
dibawa oleh kekuatan sosial tertentu. Kadang-kadang, perubahan sangatlah lambat,
tidak imbang dan dapat dikondisikan oleh faktor-faktor yang berlainan dengan
derajat yang berbeda-beda. Dari faktor-faktor ini, yang paling drastis adalah
revolusi, yang ditujukan kepada perubahan fundamental dalam hubungan kekuasaan
antar kelas di dalam masyarakat. Faktor-faktor lainnya mencakup pemberontakan,
kerusuhan (riot), coup d’etat, berbagai bentuk gerakan protes, duduk-duduk (sit-ins),
boikot, pemogokan, demonstrasi, gerakan sosial, pendidikan, media massa, inovasi
teknologi, ideologi, dan berbagai bentuk usaha-usaha perubahan sosial yang
terencana namun nonlegal yang berhubungan dengan berbagai perilaku dan praktek
pada berbagai level di dalam masyarakat.

Dibandingkan dengan daftar tidak lengkap dari kekuatan-kekuatan yang


menghasilkan perubahan, hukum mempunyai keuntungan-keuntungan tertentu.
Usaha-usaha perubahan melalui hukum cenderung untuk lebih fokus dan spesifik.
Perubahan melalui hukum bersifat detail (deliberate), rasional, dan usaha-usaha yang
disadari untuk mengubah perilaku atau praktek tertentu. Maksud dari norma-norma

50
hukum telah dinyatakan dengan jelas dengan garis besar yang jelas tentang cara-cara
implementasi dan penegakan serta sanksi-sanksi yang ada. Pada dasarnya, perubahan
melalui hukum ditujukan untuk memperkuat, meningkatkan, menambah
(ameliorating), atau mengontrol perilaku dan praktek dalam situasi sosial yang
didefinisikan dengan jelas – seperti yang telah diungkapkan oleh pihak yang pro
(proponents) dengan suatu perubahan tertentu. Keuntungan hukum sebagai suatu
instrumen perubahan sosial disebabkan oleh fakta bahwa hukum di dalam
masyarakat dipandang sebagai legitimate, kurang lebih rasional, berwenang
(authoritative), terlembagakan (institutionalized), umumnya tidak mengganggu
(generallly not disruptive), dan didukung oleh mekanisme-mekanisme penegakan
dan sanksi-sanksi.

1) Otoritas yang Legitimate

Salah satu keuntungan hukum sebagai salah satu instrumen perubahan


sosial adalah perasaan umum di dalam masyarakat bahwa perintah atau larangan
hukum akan dipatuhi bahkan oleh para pihak yang kritis dan mempertanyakan
hukum. Dalam hal ini, perasaan kewajiban ini tergantung kepada penghargaan
terhadap otoritas yang legitimate (Andenaes, 1977: 52).

Konsep otoritas yang legitimate berhubungan erat dengan konsep


kekuasaan. Kekuasaan pada dasarnya adalah kapasitas untuk mempengaruhi
perilaku dari anggota-anggota lainnya di dalam masyarakat. Namun otoritas tidak
hanya mengenai kekuasaan saja, karena tergantung kepada pengakuan (recognition)
dari anggota-anggota “kelas bawah“ (subordinate members) dalam masyarakat
sehingga seseorang yang mempunyai otoritas dapat secara legitimate memberikan
resep (prescribe) tentang pola-pola perilaku yang harus diikuti oleh individu-individu
di dalam masyarakat. Kekuasaan sosial secara umum terletak pada lebih dari satu
dasar. John R.F. French dan Bertram Raven (1960) membedakan atas beberapa
dasar: 1) Kekuasaan memberikan hadiah (reward power) didasarkan kepada persepsi
individual bahwa orang-orang lainnya di dalam kelompok mempunyai kemampuan
untuk memberikan hadiah atas perilaku seseorang; 2) Kekuasaan penekan (coercive
power) didasarkan kepada persepsi bahwa orang-orang lainnya dapat menghukum
perilaku seseorang; 3) Kekuasaan legitimasi (legitimate power) didasarkan kepada
persepsi bahwa orang-orang lainnya mempunyai suatu hak untuk mengarahkan
perilaku seseorang; 4) Kekuasaan rujukan (referent power) didasarkan kepada
indentifikasi individu terhadap yang lainnya; 5) Kekuasaan pakar (expert power)
didasarkan kepada pengakuan terhadap suatu pengetahuan atau kepakaran khusus.
Jadi, otoritas sebagai sala satu bentuk dari kekuasaan sosial berhubungan langsung
dengan pelaksanaan kekuasaan legitimate, namun penting untuk mengapresiasi
bahwa hubungan otoritatif dapat terkontaminasi oleh bentuk-bentuk kekuasaan
lainnya.

51
French dan Raven mengajukan beberapa hipotesis tentang dasar-dasar
kekuasaan sosial. Untuk semua tipe kekuasaan sosial, semakin kuat dasar kekuasaan,
semakin besar kekuasaannya. Dasar kekuasaan terletak pada persepsi individu-
individu bahwa sumber otoritas mempunyai kualitas ini atau itu. Pada umumnya,
setiap usaha untuk menggunakan kekuasaan sosial di luar jangkauannya cenderung
untuk mereduksi efektivitas dari kekuasaan tersebut. Dasar-dasar kekuasaan hadiah,
tekanan, dan legitimate memberi fasilitas penerimaan terhadap hukum. Hadiah
memperkuat kepatuhan dan kemungkinan penekanan seringkali memperlunak
resistensi.

Perlakuan klasik terhadap otoritas legitimate disampaikan oleh Max Weber


(1947). Weber mendefinisikan, “koordinasi keharusan“ (imperative coordination)
sebagai probabilitas bahwa perintah tertentu dari suatu sumber tertentu akan dipatuhi
oleh kelompok atau perorangan tertentu. Kepatuhan terhadap perintah dapat terletak
pada berbagai pertimbangan, dari pesona sederhana (simple habituation) sampai
kalkulasi keuntungan yang benar-benar rasional. Namun ada suatu penyerahan tanpa
syarat minimun yang berdasarkan kepada interest dalam kepatuhan. Kepatuhan
terhadap otoritas / pihak yang berwenang dapat didasarkan kepada adat (custom),
ikatan-ikatan ketertarikan (affectual ties), atau kepada interest material yang
kompleks, atau oleh yang disebut Weber sebagai “motif-motif ideal“. Interest yang
sepenuhnya material ini akan menghasilkan situasi yang tidak stabil, dan oleh karena
itu harus diimbangi (must be supplemented) dengan elemen-elemen lainnya, baik
yang afektual / ketertarikan sementara ataupun yang ideal. Namun bahkan motif
yang sangat kompleks ini tidak membentuk suatu dasar yang cukup handal untuk
sistem kerjasama imperatif, sehingga elemen penting lainnya harus ditambahkan,
yaitu kepercayaan terhadap legitimasi.

Mengikuti Max Weber, ada 3 tipe ototitas legitimate, yaitu : tradisional,


karismatik, dan rasional-legal. Otoritas tradisional mendasarkan klaimnya atas
legitimasi terhadap kepercayaan yang ada terhadap kesucian tradisi dan legitimasi
terhadap status dari orang yang melaksanakan otoritas. Kewajiban kepatuhan tidak
melulu hanya penerimaan terhadap legalitas dari suatu perintah impersonal, namun
lebih kepada masalah kesetiaan personal. “Aturan-aturan yang dituakan“ (rules of
elders) adalah gambaran dari otoritas tradisional. Otoritas karismatik (charismatic
authority) mendasarkan klaimnya tentang legitimasi pada penyerahan diri terhadap
kesucian yang spesifik dan luar biasa, heroisme, atau karakter khusus (exemplary
character) dari seorang individu dan pola-pola normatif yang dikatakan atau diakui
(revealed or ordained). Pemimpin karismatik dipatuhi oleh kebaikan dari
kepercayaan pribadinya (virtue of personal trust) dan terhadap pengakuannya (his or
her revelation), atau terhadap kualitasnya yang luar biasa (his or her exemplary
qualities). Gambaran dari individual dengan otoritas karismatik termasuk Nabi
Musa, Nabi Isa, Nabi Muhammad, atau Mahatma Ghandi.

52
Otoritas rasional-legal (rational-legal authority) mendasarkan klaimnya
kepada legitimasi atau kepercayaan terhadap legalitas aturan-aturan normatif dan
kepada hak-hak orang yang diangkat sebagai otoritas untuk mengeluarkan perintah di
bawah aturan-aturan tertentu. Dalam otoritas seperti itu, kepatuhan (obedience)
ditujukan kepada perintah impersonal yang dilegalkan. Individu-individu yang
melaksanakan otoritas dari suatu jabatan ditunjukkan kepatuhan hanya melalui
perintahnya yang legal-formal, dan di dalam ruang lingkup otoritas jabatannya.
Otoritas legal tidak secara konsep berbeda dengan otoritas tradisional, walaupun
perbedaannya sudah pasti ada. Dalam masyarakat modern, “legalitas“ merupakan
komponen rasionalitas yang tidak dipunyai oleh otoritas tradisional. Namun, dalam
transisi menuju modernitas, khususnya pada abad ke-16 dan ke-17, otoritas semakin
cenderung kepada rasionalisasi dari istilah-istilah legalistik dan kesukarelaan
(voluntaristic). Orang “rasional“ “secara sukarela“ membuat suatu “kontrak“, yang
membuat perintah legal impersonal (impersonal legal order).

2) Kekuatan Mengikat dari Hukum

Ada beberapa alasan mengapa hukum itu mengikat. Dari suatu pernyataan
bahwa hukum diambil dari alam untuk dipercayai bahwa hukum dihasilkan dari
konsensus dari subjek-subjeknya yang mengikat. Jawaban yang segera dan sederhana
adalah bahwa hukum itu mengikat karena kebanyakan orang di dalam masyarakat
memandangnya demikian. Kemengertian dan kesadaran terhadap hukum (the
awareness and consciousness of law) oleh kebanyakan orang berfungsi sebagai dasar
bagi eksistensinya. Orang biasanya menyerahkan perilakunya kepada regulasi-
regulasi, walaupun mereka mempunyai banyak alasan yang berbeda mengapa
mereka demikian. Beberapa orang mungkin percaya bahwa dengan mematuhi
hukum, mereka mematuhi otoritas tertinggi dari hukum, yaitu : Tuhan, alam, atau
kemauan masyarakat (Negley, 1965).

Orang lainnya mengakui bahwa isi dari hukum adalah memerintahkan


kepatuhan, yang pada gilirannya, dipandang sebagai suatu kewajiban (Ladd, 1970).
Hukum mencapai klaim terhadap kepatuhannya, dan sekurangnya sebagian dari
kekuasaan kewajiban moralnya, dari suatu pengakuan sederhana yang diterimanya
dari hukum, atau dari sebagian besar orang, kepada siapa hukum dimaksudkan untuk
diterapkan. Pengakuan ini datang sebagai hasil dari kombinasi faktor-faktor, yang
tidak mungkin untuk disebutkan secara tepat. Dapat dibantah bahwa selain
kepatuhan yang meluas dan adanya lembaga-lembaga yang menyarankan kepatuhan
itu, selain untuk mendefinisikan dan menerapkan hukum, hal-hal lainnya (other
ingredients) biasanya ada dan penting. Antara lain, termasuk kepercayaan bahwa
hukum tertentu adalah benar, atau bahwa rejim yang mendukungnya adalah baik dan
harus didukung. Ada yang hampir yakin untuk memasukkan juga pengetahuan
bahwa sebagian besar orang mematuhi hukum dan mengakuinya karena mempunyai
klaim yang benar secara moral tentang perilaku mereka, atau sekurang-kurangnya,
bahwa mereka berperilaku seolah-olah mereka merasa harus berperilaku seperti itu.

53
Bahkan ketika hukum bertentangan dengan moralitas yang diterima, mereka
seringkali dipatuhi. Pemusnahan lebih daripada 6 juta orang Yahudi di masa Nazi
Jerman, adalah contoh yang paling ekstrim dari tindakan amoral yang diakui legal,
yang dilaksanakan oleh ribuan orang atas nama kepatuhan terhadap hukum. Stanley
Milgram (1975: xii) mengatakan bahwa esensi kepatuhan terletak pada fakta bahwa
individu-individu merasa diri mereka sendiri penting untuk mengimplementasikan
keinginan orang-orang lainnya, dan mereka tidak lagi memandang diri mereka
sendiri bertanggung jawab terhadap tindakannya. Dalam banyak kejadian,
penerimaan terhadap otoritas akan menghasilkan kepatuhan. Sebagai contoh,
Milgram, yang tertarik dengan fenomena kepatuhan dan otoritas, telah menunjukkan
bahwa orang-orang dari latar belakang yang sangat berbeda akan melakukan hal-hal
yang dilarang oleh moral kepada orang-orang lainnya jika mereka diperintah oleh
otoritas yang berwenang. Di bawah penyamaran pelaksanaan percobaan tentang
“efek-efek hukuman terhadap memori“, ia menemukan bahwa sekitar 2/3 dari subjek
laboratoriumnya akan berperilaku dengan sukarela dengan cara yang mereka percaya
akan menyakitkan atau merugikan orang lainnya. Walaupun “korban“ menjerit
kesakitan, terkena sakit jantung, dan mengemis untuk penghentian percobaan,
kebanyakan orang akan terus mematuhi otoritas dan memberikan apa yang mereka
percayai sebagai kejutan listrik bertenaga besar (Milgram, 1975). Penelitian ini,
selain menunjukkan bahwa kebanyakan orang di bawah kondisi tertentu akan
melakukan apa saja walaupun melanggar norma-norma moralnya sendiri dan
menyebabkan kesakitan terhadap orang yang lainnya, menggarisbawahi bahwa
kebanyakan orang akan menyerahkan diri kepada otoritas, dan begitu pula kepada
hukum.

Salah satu alasan untuk kekuatan pengikat dari hukum adalah karena orang
lebih suka keteraturan (order) daripada ketidakteraturan (disorder). Individu-
individu adalah makhluk kebiasaan karena cara hidup kebiasaannya memerlukan
usaha yang kurang pribadi daripada yang lainnya dan memenuhi perasaan akan
keamanan. Kepatuhan terhadap hukum menjamin hal itu. Ada gunanya juga untuk
mematuhi hukum, karena menghemat usaha dan resiko, suatu motivasi yang cukup
untuk menghasilkan kepatuhan. Kepatuhan terhadap hukum juga berkaitan dengan
proses sosialisasi. Orang pada umumnya dilahirkan untuk mematuhi hukum. Cara
hidup yang legal menjadi cara kebiasaan dari hidup. Dari masa kanak-kanak,
seorang anak memperoleh pemahaman arti dari perintah dan aturan dari orangtua dan
menjadi terbiasa karenanya. Proses ini berulang di sekolah-sekolah dan di dalam
masyarakat. Semua itu akan memberikan – atau harus memberikan – partisipasi dari
manusia yang dewasa. Individu, katakanlah demikian, membentuk regulasi-regulasi
ini dan membuatnya untuk diri mereka sendiri. Dalam prosesnya, disiplin telah
diganti dengan disiplin terhadap diri sendiri.

3) Sanksi-Sanksi

54
Sanksi-sanksi untuk ketidakpatuhan terhadap hukum adalah salah satu dari
alasan mengapa hukum mempunyai kekuatan mengikat. “Hukum mempunyai gigi,
gigi yang dapat menggigit jika diperlukan, walaupun tidak perlu harus tajam“ (“The
law has teeth, teeth that can bite if need be, although they need not necessarily be
bared“) (Hoebel, 1954: 26). Sanksi-sanksi adalah berhubungan dengan efikasi
hukum yang diberikan agar menjamin pengamatan dan eksekusi dari mandat-mandat
hukum, untuk menegakkan perilaku. Sanksi-sanksi yang diakui dan digunakan oleh
sistem hukum biasanya mempunyai ciri yang berbeda. Dalam masyarakat primitif,
sanksi bisa berbentuk hukuman yang kejam atau pemasungan sosial (social
ostracism). Di dalam sistem hukum yang sudah maju, administrasi dari sanksi-
sanksi, sebagai aturan umum, dipercayakan kepada organ-organ pemerintahan
politik. Di antara cara untuk menetapkan penegakan hukum pemaksaan (coercive
law enforcement) adalah hukuman denda atau pemenjaraan, hukuman pembayaran
kerugian (imposition of damage awards) dapat dimasukkan ke dalam eksekusi
properti dari si pengutang (judgement-debtor), perintah dari pengadilan tentang
tindakan-tindakan tertentu atau penanggungan (forbearances) pada adanya ancaman
hukuman, serta pencabutan (impeachment) dan pencopotan (removal) dari jabatan
publik untuk penyimpangan kewajiban. Seperti yang dicatat oleh Hans Kelsen (1967:
35), ciri-ciri sanksi dalam sistem hukum modern telah di luar pelaksanaan melulu
tekanan psikologis, dan mengotorisasi pelaksanaan tindakan-tindakan pemaksaan
yang tidak menguntungkan, misalnya “pemaksaan pemasungan kehidupan,
kebebasan, nilai-nilai ekonomis dan nilai-nilai lainnya sebagai konsekuensi dari
kondisi-kondisi tertentu“.

Robert B. Seidman (1978: 100) menggarisbawahi bahwa “hukum kurang


lebih konsisten dengan aturan sosial yang ada yaitu tidak perlu tergantung kepada
ancaman sanksi hukum untuk mengatur (to induce) perilaku“. Namun, tidak semua
hukum konsisten dengan aturan sosial yang ada, dan salah satu keuntungan hukum,
sebagai agen perubahan sosial adalah, bahwa pelanggaran hukum potensial
seringkali dicegah oleh risiko yang aktual ataupun yang dibayangkan dan oleh
kekerasan sanksi-sanksi yang diterapkan kepada si pelanggar aturan
(noncompliance). Bahkan ancaman sanksi dapat mencegah orang dari
ketidakpatuhan. Barangkali sanksi-sanksi sebagian juga bertindak dengan
mengharuskan sikap moralistik menuju kepatuhan (Schwartz dan Orleans, 1970).

Tipe sanksi-sanksi yang digunakan jelas beragam sesuai dengan maksud dan
tujuan dari kebijakan hukum. Perbedaan dasarnya adalah apakah maksud utama dari
hukum adalah untuk mencegah individu-individu untuk melakukan hal-hal yang
dilarang oleh orang-orang lainnya di dalam masyarakat karena bersifat merugikan
(harmful) atau amoral, atau apakah maksud hukum adalah untuk menciptakan tipe
baru dari hubungan-hubungan antar kelompok atau antar individu – jelas menjadi
perbedaan utama dari kebijakan proskriptif dan positif (proscriptive and positive
policy) (Grossman dan Grossman, 1971: 70). Perbedaan ini tidak selalu sempurna.
Pembuatan kebijakan positif (positive policy-making) seringkali melibatkan sanksi-

55
sanksi negatif dan juga hadiah positif, walaupun pembuatan kebijakan proskriptif
(proscriptive policy-making) biasanya melibatkan sanksi-sanksi negatif. Hadiah
seperti kontrak federal atau subsidi seringkali merupakan bagian dari statuta
regulatori yang berusaha untuk mengubah pola-pola yang sudah ada dari perilaku
ekonomi, dan telah digunakan secara luas untuk insentif bagi yang patuh dengan
Undang-Undang Desegregasi (undang-undang yang tidak membedakan lagi antara
orang kulit putih dan orang kulit hitam pada tahun 1964 dan 1965 – penerjemah).
Mereka yang melanggar hukum tidak hanya kehilangan kesempatan untuk
memperoleh hadiah namun juga bisa dijatuhi denda atau hukuman pidana. “Hukum
atau statuta yang mencari perubahan sosial positif sebagian besar harus bergantung
kepada pendidikan dan pembujukan (persuasion) dibandingkan dengan sanksi-sanksi
negatif. Agar pendekatan wortel dan pentungan (the carrot and stick approach) ini
sukses, yang terakhir (yaitu pentungan) harus mudah dilihat dan jarang digunakan“
(Grossman dan Grossman, 1971: 70).

Situasinya sangat berbeda bilamana perubahan yang dicari melalui hukum


adalah pengurangan atau penghapusan perilaku yang menyimpang (deviant
behaviors). Dalam hal ini, hukum tidak memberikan hadiah atau insentif untuk
membujuk (dissuade) individu-individu agar tidak melakukan tindakan menyimpang
– hanya kemungkinan, jika tidak keyakinan, dari pendeteksian dan penghukuman.
Dalam hal seperti itu, penekannya adalah pada pencegahan (deterence),
penghukuman, dan pembalasan (vengeance), dan tujuannya adalah penghapusan atau
pengurangan tipe-tipe perilaku tertentu yang dipandang sebagai merugikan.

Tentu saja ada keuntungan yang terlihat (discernible advantages) tambahan


dari hukum dalam menciptakan perubahan sosial. Sebagai contoh, hukum sebagai
instrumen perubahan dapat secara efektif dilibatkan seperti dalam konteks yang
dicatat oleh John Stuart Mills tentang hukum sebagai berikut :

(i) untuk mencapai tujuan yang sama yang tidak dapat ditinggalkan kepada kekuatan
permintaan dan penawaran – seperti pendidikan; (ii) untuk melindungi orang yang
tidak dewasa dan tidak dapat dibantu; (iii) untuk mengontrol kekuasaan untuk
membentuk asosiasi, yang dikelola tidak hanya oleh orang-orang yang secara
langsung tertarik tetapi juga melalui lembaga yang didelegasikan; (iv) untuk
melindungi individual yang bertindak sesuai dengan kasus-kasus dimana tindakan
seperti itu tidak bisa efektif tanpa adanya sanksi-sanksi hukum; (v) untuk mencapai
objek-objek yang penting di dalam masyarakat, saat ini dan di masa datang, yang
berada di luar kekuasan individu-individu atau perkumpulan sukarela atau dimana,
jika dibawah kekuasaan mereka, tidak akan dilakukan secara normal oleh mereka
(Ginsberg, 1965: 230).

Daftar dari keuntungan yang dapat dipikirkan dari hukum sebagai instrumen
perubahan sosial tidak akan lengkap. Apa yang telah dikatakan di sini sejauh ini
adalah untuk mendemonstrasikan bahwa hukum mempunyai posisi yang khusus

56
(peculiar) dan tidak sama (unparalleled) di antara agen-agen perubahan sosial. Pada
saat yang sama, mempunyai keterbatasan tertentu. Suatu pengetahuan dan kesadaran
tentang keterbatasan ini akan membantu untuk mengerti dengan sungguh-sungguh
tentang peranan hukum dalam perubahan sosial, dan mereka harus diperhitungkan
untuk digunakan oleh hukum dalam usahanya untuk mengubah.

5. Kekurangan Hukum dalam Membuat Perubahan Sosial

Dalam suatu periode dimana perubahan (alienation) dari hampir semua


institusi sosial berjalan begitu cepat, ketika orang menderita “krisis kepercayaan“,
kelihatannnya agak absurd untuk mengajukan ide bahwa hukum adalah suatu
pernyataan keinginan dari masyarakat (an expression of the will of the people).
Untuk sebagian besar individu-individu, hukum berasal dari luar mereka, dan
diterapkan terhadap mereka dalam suatu cara yang dapat disebut pemaksaan
(coercive). Dalam realitasnya, hanya sedikit individu yang benar-benar
berpartisipasi dalam pembentukan hukum dan legislasi baru. Sebagai akibatnya,
salah satu kelemahan hukum sebagai salah satu instrumen perubahan sosial adalah
kemungkinan adanya konflik kepentingan yang cenderung menentukan hukum mana
yang akan digunakan dan alternatif-alternatif mana yang akan ditolak. Salah satu
kelemahan yang ada dari efikasi hukum sebagai suatu instrumen untuk perubahan
sosial termasuk pandangan yang beragam mengenai hukum sebagai alat untuk
mengarahkan perubahan sosial dan penegakan moralitas dan nilai-nilai. Dalam
halaman-halaman berikut, saya akan membahas kelemahan ini secara terpisah, dan
kemudian memeriksa sejumlah kondisi yang kondusif untuk resistensi perubahan
dari sudut pandang sosiologis, psikologis, budaya, dan ekonomi.

Themis, “dewi keadilan yang ditutup matanya yang membawa timbangan


untuk menimbang hal yang dipersengketakan dan sebuah pedang untuk menegakkan
dekritnya“ (Besignore, et.al., 1974: 32) dihadapkan kepada suatu dilema, karena :

…kita semua menginginkan bumi. Kita semua mempunyai banyak keinginan dan
permintaan yang ingin kita puaskan. Ada banyak dari kita namun hanya ada satu
bumi. Keinginan dari yang satu secara terus-menerus bertentangan dengan atau
bertabrakan dengan keinginan tetangganya. Oleh karena itu, ada tugas besar dari
rekayasa sosial. Ada suatu tugas untuk membuat adanya barang-barang, alat-alat
untuk memuaskan orang-orang yang hidup bersama di dalam suatu masyarakat yang
terorganisir secara politis, jika mereka tidak dapat memuaskan semua keinginannya,
sekurangnya terpenuhi sejauh mungkin (Pound, 1968: 64-65).

Menurut Roscoe Pound, “sistem hukum dirancang untuk menentukan mana


dari klaim yang saling bertentangan terhadap kekayaan materi dan ruang hidup yang
akan diakui dan diamankan dan mana yang harus ditolak“ (Bonsignore, et.al.,1974:
32). Keinginan yang saling bertentangan muncul karena adanya kelangkaan. Akses
terhadap sumber daya yang terbatas dan objek yang sangat diminati, sangat terbatas

57
di setiap masyarakat. Dalam suatu perjuangan untuk mencapainya, beberapa
individu dan kelompok menang, dan selainnya kalah. Beberapa dekade yang lalu,
Max Weber telah mengenali, seperti juga Karl Marx sebelumnya, bahwa banyak
hukum dibuat untuk memenuhi interest ekonomi tertentu. Individu-individu yang
mengontrol kepemilikan benda material umumnya diuntungkan oleh hukum karena
“….interest ekonomi adalah di antara faktor pengaruh yang paling kuat dalam
penciptaan hukum“ (Weber, 1968: 334). Weber selanjutnya mengenali interest
khusus lainnya, selain faktor ekonomi, yang mempengaruhi penciptaan hukum.
“Hukum menjamin tidak hanya interest ekonomi, tetapi juga interest-interest lainnya
dari yang paling mendasar seperti perlindungan keamanan pribadi sampai barang
yang paling ideal seperti kehormatan pribadi atau kehormatan dari kekuasaan yang
tertinggi. Di atas semuanya itu, hukum menjamin posisi politik, kekhususan
(ecclesiastical), keluarga dan posisi-posisi lainnya dari otoritas, begitu pula posisi
kehormatan sosial (social preeminence) dan sejenisnya….“ (Weber,1968:333).

Ada 2 pandangan penting yang termaktub dalam point yang diberikan oleh
Weber. Pertama, bahwa konflik kepentingan memberikan suatu kerangka dimana
hukum diberi kerangka dan perubahan dijalankan. Sebagai akibatnya, stratifikasi
sosial di dalam masyarakat akan menentukan sejauh mana bagian dari hukum yang
akan bermain dalam membawa perubahan didasarkan kepada pemilihan dan
preferensi yang dilakukan oleh orang-orang atau kelompok-kelompok yang memulai
(promulgate) perubahan-perubahan itu. Kedua, berkaitan dengan signifikansi
penggunaan kekuasaan untuk mendukung perubahan-perubahan ini. Penelitian
tentang proses-proses legislatif, judisial, dan adminstratif dalam suatu masyarakat
dapat belajar dengan cepat terhadap suatu penemuan tentang siapa yang
menginginkan kekuasaan dalam masyarakat, tetapi juga interest apa yang signifikan
dan berpengaruh di dalam kelompok tersebut. Jadi, hukum sebagai instrumen
perubahan dapat dipandang dalam konteks organisasi kekuasaan dan proses-proses
dimana interest diciptakan dalam kehidupan sosial sehari-hari; sehingga perubahan-
perubahan yang dihasilkan dapat dievaluasi dalam istilah-istilah ini.

Pada dasarnya sudahlah jelas, dapat dimengerti, dan bahkan tautologi


(terbukti) bahwa orang atau kelompok yang berkuasa membuat dan menjalankan
hukum di dalam masyarakat. Jika sesuatu selesai dijalankan, hal itu karena ada
seseorang yang mempunyai kekuasaan untuk menjalankannya. Pada saat yang sama,
siapa yang berkuasa dan berpengaruh cenderung untuk menggunakan hukum untuk
melindungi posisinya yang menguntungkan di dalam masyarakat dan bagi mereka
“….hukum yang sedang dijalankan menstrukturkan hubungan kekuasaan (atasan-
bawahan) dalam suatu masyarakat; yang memelihara status quo dan melindungi
berbagai strata terhadap ancaman yang lainnya“ (Hertzler, 1961: 421).

Banyak pengundangan legislatif, penetapan administratif, dan keputusan


judisial merefleksikan konfigurasi kekuasaan di dalam masyarakat. Beberapa
kelompok dan asosiasi lebih berkuasa daripada yang lainnya, dan dengan merasa ada

58
pada tengah-tengah kekuasaan mereka lebih mampu untuk melaksanakan interestnya
daripada mereka yang ada di luar lingkup kekuasaan. Bahkan anggota-anggota dari
profesi hukum dipandang sebagai “profesional antara“ (“professional go-between“)
bagi kelompok kepentingan politik, perusahaan, dan kelompok kepentingan yang
lainnya, dan oleh karena itu berfungsi untuk “menyatukan elit kekuasaan“ (Mills,
1957: 289). Selain itu, seperti telah saya bahas di Bab 3, banyak orang terlalu apatis
atau tidak sadar adanya suatu issue, bahkan ketika mereka berubah menjadi perhatian
terhadap issue tersebut, mereka seringkali tidak mampu untuk mengorganisasikan
dan memaksakan pengaruhnya kepada legislator (orang atau lembaga yang membuat
hukum). Menurut penulis-penulis Marxist, hal itu akan berakibat dalam perasaan
terpinggirkan dan ketidakberdayaan (a sense of alienation and powerlessness)
disertai dengan perasaan tertekan dan dimanfaatkan (oppression and exploitation)
(lihat, misalnya, Szymanski dan Goertzel, 1979).

1) Hukum sebagai Instrumen Kebijakan

Aliran pemikiran lainnya mengenai keterbatasan hukum sebagai suatu


instrumen perubahan sosial dikemukakan oleh Yehezkel Dror. Ia mengatakan bahwa
“hukum itu sendiri hanyalah salah satu dari komponen dari sejumlah besar instrumen
kebijakan dan biasanya tidak dapat dan tidak digunakan oleh dirinya sendiri. Oleh
karena itu, memfokuskan perhatian terhadap hukum sebagai suatu alat untuk
perubahan sosial adalah seperti kasus melihat di ujung terowongan yang panjang,
yang mempunyai kekurangan dalam perspektif minimum yang diperlukan untuk
memberi arti dari fenomena yang diamati“ (Dror, 1970: 554). Ia menyarankan
perlunya diredefinisikan subjek dari “hukum sebagai alat untuk perubahan sosial
yang terarah“ dan untuk mempertimbangkannya sebagai bagian dari instrumen-
instrumen kebijakan sosial yang lainnya, karena hukum adalah salah satu dari
instrumen kebijakan yang harus digunakan berupa kombinasi dengan instrumen
lainnya. Dalam konteks masalah sosial seperti hubungan-hubungan rasial, keamanan
publik, penyalahgunaan narkoba, polusi, dan semacamnya, “keharusan untuk
menggunakan hukum sebagai suatu instrumen kebijakan yang digabungkan dengan
instrumen kebijakan sosial lainnya yang dipertimbangkan secara hati-hati, adalah
cukup meyakinkan“ (Dror, 1970: 555). Pandangan ini tentulah mempunyai
keuntungan. Kadang-kadang, perubahan melalui hukum dapat dan haruslah
dipandang sebagai suatu bahan dasar bagi kebijakan yang lebih besar. Sebagai
contoh, pengundangan Undang-Undang Peluang Ekonomi (the Economic
Opportunity Act) mengambil tempat dalam konteks kebijakan yang lebih luas yang
ditujukan untuk menghilangkan kemiskinan di Amerika Serikat.

Namun, hukum sering digunakan sebagai suatu instrumen perubahan di luar


konteks kerangka pembuatan kebijakan yang lebih luas. Hal ini adalah situasi umum
di dalam litigasi yang berorientasi reformasi dimana tujuannya adalah mengubah
praktek kelembagaan tertentu. Sebagai contoh, keputusan Mahkamah Agung (the
Supreme Court) untuk membatalkan (to overrule) statuta aborsi di negara bagian

59
tidak dijalankan menurut pertimbangan kebijakan tertentu, namun secara jelas
mempunyai dampak besar terhadap perempuan-perempuan yang mencari cara untuk
mengakhiri kehamilannya secara legal. Walaupun keputusan judisial umumnya tidak
dipandang sebagai suatu instrumen kebijakan, mengingat sifat kesulitan dari litigasi,
reformasi legislatif dan administratif yang berurusan dengan issue-issue sosial yang
lebih besar harus terjadi di dalam kerangka pembuatan kebijakan sosial yang lebih
luas. Pendekatan seperti itu akan memperkuat secara nyata efikasi hukum sebagai
suatu instrumen perubahan. Pada akhirnya, Dror menyarankan adanya ahli hukum
dari berbagai disiplin, para pakar ilmu sosial, dan analis kebijakan untuk terlibat di
dalam penelitian-penelitian yang relevan dan mempersiapkan rekomendasi
kebijakan.

Literatur sosiologi mengakui, seperti yang dicatat oleh James P. Levine


(1970: 592), bahwa kemampuan hukum untuk menghasilkan perubahan sosial adalah
bersifat untung-untungan (probabilistic), darurat (contingent), dan terurut
(sequential). Jika sebuah hukum diundangkan, atau suatu keputusan pengadilan
dijatuhkan, adalah hampir mungkin bahwa perubahan-perubahan tertentu akan
mengikuti, namun derajat perubahannya bersifat darurat terhadap keadaan-keadaan
tertentu. Hukum bersifat sekuensial / terurut kepada suatu derajat bahwa ia harus
mendahului perubahan-perubahan yang diinginkan tertentu, namun karena sejumlah
besar faktor mempengaruhi perubahan, jeda waktunya (the time lag) tidak terlalu
jelas. Selain itu, sejumlah faktor selain hukum mungkin mempunyai efek terhadap
perubahan di bidang tertentu, yang berarti bahwa hubungan sebab akibat antara
hukum dan perubahan sangatlah sulit untuk ditentukan. Beberapa faktor ini
berhubungan dengan jatuhnya moralitas dan nilai-nilai dalam masyarakat.

Patrick Devlin (1965) berargumen bahwa suatu masyarakat berhutang tentang


eksistensinya kurang kepada institusi-institusi namun lebih kepada moralitas bersama
yang mengikat mereka bersama. Walaupun thesis ini hanya sebagian saja benar,
moralitas dan nilai-nilai mempengaruhi efikasi hukum di dalam perubahan sosial.
Jelas bahwa, masyarakat tidak dapat eksis tanpa menerima nilai-nilai dasar, prinsip-
prinsip, dan standar-standar tertentu. Pada issue-issue tertentu, seperti kekerasan,
kebenaran, kebebasan individu, dan kehormatan manusia, moralitas bersama
sangatlah penting. Namun hal ini tidak berarti bahwa, semua nilai-nilai dalam
moralitas bersama kita adalah mendasar dan penting, atau turunnya satu nilai akan
menyebabkan turunnya nilai-nilai yang lainnya. Selain itu, tidak semua nilai-nilai
kita adalah penting. Aturan-aturan tentang properti, sebagai contoh, tidak penting :
beberapa prinsip tentang properti adalah penting, namun tidak ada masyarakat yang
perlu mempunyai prinsip tentang properti tersebut yang menjadi ciri dari prinsip-
prinsip kepemilikan pribadi di Amerika Serikat, sebagai contohnya. Suatu
masyarakat dapat mempunyai semua properti yang sama tanpa hilang
perhitungannya sebagai suatu masyarakat.

6. Resistensi terhadap Perubahan

60
Sebagai tambahan dari keterbatasan hukum sebagai suatu instrumen
perubahan sosial yang didiskusikan dalam seksi sebelumnya, efikasi hukum (begitu
pula mekanisme perubahan lainnya) selanjutnya akan terhambat oleh berbagai
kekuatan. Dalam dunia modern, situasi resisten terhadap perubahan lebih banyak
terjadi daripada situasi menerima perubahan. Seringkali perubahan dihambat karena
perubahan bertentangan dengan nilai-nilai dan kepercayaan tradisional, atau
perubahan tertentu menyebabkan biaya besar, dan kadang-kadang orang bertahan
terhadap perubahan karena hal itu bertentangan dengan kebiasaannya atau
membuatnya merasa ketakutan atau terancam. Walaupun hukum mempunyai
keuntungan tertentu dibandingkan dengan agen perubahan lainnya, untuk
mengapresiasi peranan hukum di dalam perubahan, adalah sangat membantu untuk
mengidentifikasi beberapa kondisi umum dari resistensi terhadap hal –hal yang
berkenaan dengan hukum. Kesadaran terhadap kondisi-kondisi ini adalah suatu
prasyarat bagi penggunaan hukum yang lebih efisien sebagai metode rekayasa
sosial.

Literatur sosiologi mengenai berbagai tendensi untuk menghambat


perubahan yang secara langsung ataupun tidak langsung mempunyai efek terhadap
hukum sebagai suatu instrumen perubahan. Maksud dari seksi ini adalah untuk
mendiskusikan secara singkat, daripada untuk menganalisis secara mendalam,
serangkaian kekuatan yang bertindak sebagai penghambat perubahan. Demi untuk
memperjelas, saya akan mempertimbangkan resistensi terhadap perubahan melalui
hukum di dalam konteks faktor-faktor sosial, psikologi, budaya, dan ekonomi.
Kategori-kategori ini hanyalah ilustrasi belaka, dan perbedaan ini hanyalah untuk
maksud analisis belaka, karena banyak faktor ini beroperasi dalam berbagai
kombinasi dan intensitas yang berbeda-beda, tergantung kepada besaran dan ruang
lingkup dari usaha perubahan tertentu. Jelas bahwa, ada sejumlah tumpang tindih di
antara faktor-faktor ini. Mereka itu tidak saling terpisah, dan banyak di antaranya,
tergantung kepada tujuannya, dapat ditentukan sebagai kategori yang berlainan.

1) Faktor-Faktor Sosial

Ada sejumlah faktor-faktor sosial yang dapat digolongkan sebagai hambatan


potensial bagi perubahan. Yaitu kelompok kepentingan (vested interest), kelas
sosial, resistensi ideologi, sentimen moral, dan oposisi terorganisasi. Kelompok
kepentingan (vested interest). Perubahan akan dihambat oleh individu-individu atau
kelompok-kelompok yang ketakutan akan kehilangan kekuasaannya, prestisenya,
ataupun kekayaannya, bila ada proposal / usulan baru yang diterima. Terdapat
banyak tipe kelompok kepentingan kepada siapa status quo dapat diuntungkan dan
dapat disukai. Mahasiswa yang kuliah di universitas negeri mempunyai kelompok
kepentingan dalam pendidikan tinggi yang dibayari oleh pajak. Pengacara perceraian
(divorce lawyers) membentuk suatu kelompok kepentingan, dan sejak lama telah
berusaha keras untuk mereformasi hukum-hukum perceraian. Dokter-dokter yang
tidak setuju dengan berbagai macam “obat yang tersosialisasi“ (socialized medicine)

61
membentuk suatu kelompok kepentingan. Warga dari suatu lokasi tempat tinggal
(neighborhood) mengembangkan kelompok kepentingan di dalam lokasi tempat
tinggalnya. Mereka seringkali mengorganisasi diri untuk menghambat perubahan-
perubahan zoning, jalan raya antar negara bagian (interstate highways), konstruksi
fasilitas-fasilitas koreksi / lembaga pemasyarakatan, atau penetapan bis untuk anak-
anak mereka. Pada kenyataannya hampir semua orang mempunyai kelompok
kepentingan – dari orang-orang kaya yang dengan lembar pengecualian pajak sampai
orang-orang miskin dengan check kesejahteraannya.

Penerimaan terhadap hampir semua perubahan melalui hukum akan secara


drastis mempengaruhi status dari beberapa individu-individu atau kelompok-
kelompok di dalam masyarakat, dan pada suatu derajat dimana orang-orang yang
statusnya terancam akan dengan sadar akan bahaya bila mereka melawan perubahan.
Sebagai contoh, Gregory Massell (1973) melaporkan bahwa usaha-usaha Soviet pada
awal tahun 1920an di Asia Tengah untuk membujuk wanita muslim agar menyatakan
kebebasannya terhadap dominasi pria dianggap oleh para pria sebagai mengamcam
interest status tradisional mereka. Para pria bereaksi dengan membentuk kelompok
kontra revolusioner dan membunuh beberapa wanita yang patuh terhadap hukum-
hukum baru itu.

Kelas sosial (social class). Kelas yang rigid / kaku dan pola-pola kasta pada
umumnya cenderung untuk menghambat penerimaan perubahan. Di masyarakat
yang sangat terstratifikasi, orang-orang diharapkan untuk mematuhi dan mengambil
aturan-aturan (take orders) dari mereka yang ada pada posisi otoritas atau kekuasaan
di atas. Hak-hak prerogatif dari strata atas dijaga dengan irihati (jealously guarded)
dan usaha-usaha untuk menerapkannya terhadap anggota kelompok sosial ekonomi
rendah sering dihambat dan disingkirkan. (resented and repulsed). Sebagai contoh,
di bawah sistem kasta yang kaku di India dan Pakistan, anggota-anggota dari kasta
lainnya tidak boleh mengambil air dari sumur yang sama, pergi ke sekolah yang
sama, makan bersama, atau bergaul secara bercampur (mingle). Pada hampir semua
kasus, untuk kelas atas ada kecenderungan untuk mengagung-agungkan (cherish)
cara-cara lama dalam melakukan sesuatu dan bersandar (adhere) kepada status quo.

Di Amerika Serikat, mereka yang mengidentifikasi diri mereka sebagai kelas


pekerja cenderung untuk cepat menyetujui bahwa intervensi hukum diperlukan untuk
memperkuat kondisi-kondisi sosial yang lebih baik (deleterious) seperti menjamin
kemungkinan pekerjaan dan pemberian pelayanan kesehatan yang memadai
(Beeghley, 1978: 114). Kontras sekali dengan orang-orang kelas menengah atas
yang cenderung untuk melawan intervensi pemerintah pada masalah ini. Untuk
program-program pemerintah lainnya (seperti bantuan pendidikan), perbedaan kelas
cenderung untuk ditiadakan.

Resistensi ideologi. Resistensi perubahan melalui hukum berdasarkan


ideologi sangatlah nyata. Contoh bagus untuk kasus ini adalah perlawanan Gereja

62
Katolik untuk legislasi dan keputusan pengadilan yang berkenaan dengan
penghilangan beberapa pembatasan terhadap keluarga berencana dan aborsi.
Ilustrasi lainnya tentang resistensi ideologi (yang seiring sejalan dengan kelompok
kepentingan) adalah oleh para profesional kedokteran tentang sesuatu yang
menyarankan “obat tersosialisasi“ / obat generik, termasuk pengundangan Undang-
Undang Pelayanan Medis tahun 1965 (the Medicare Law of 1965) (Allen, 1971:
278-279). Secara umum, asumsi dan interpretasi intelektual dan religius dasar
mengenai kekuasaan, moralitas, kesejahteraan, dan keamanan yang ada cenderung
agak konsisten dan secara aklamasi usulan perubahan agar dibuang jauh-jauh (Vago,
1980: 229).

Sentimen moral. Ketakutan dan kecemasan (fear and apprehension)


seringkali berhubungan dengan konsekuensi moral tentang penerimaan sesuatu yang
bagus (accepting something novel). “Di sini resistensi umumnya mempunyai alasan
untuk mengklaim bahwa yang baru melanggar dan begitu mengobrak-abrik prinsip
atau resep moral, yang dipandang penting untuk tetap hidupnya sistem sosial atau
kemanusiaan pada umumnya“ (La Piere, 1965: 179). Sebagai contoh, hukum-hukum
yang membuat kontrasepsi tersedia, dilawan di beberapa kelompok karena mereka
melanggar kesucian hidup. Resistensi terhadap perubahan berdasarkan moral
didasarkan fakta bahwa di setiap masyarakat, individu-individu kurang lebih telah
tersosialisasi secara efektif ke dalam pertimbangan bahwa bentuk-bentuk perilaku
(conduct) yang ada , khususnya yang bersifat organisasional, adalah satu-satunya
yang benar dan tepat. Dalam hal ini, ide-ide tentang benar dan tepat dimasukkan
secara emosional ke dalam kepribadian (personality). Perubahan yang akan
menghasilkan kekacauan emosional akan dihambat.

Oposisi terorganisasi. Kadang-kadang, resistensi individu-individu yang


menyebar terhadap perubahan mungkin dapat dimobilisasikan ke dalam oposisi
terorganisasi yang dapat berbentuk struktur organisasi formal. Sebagai contoh,
Asosiasi Menembak Amerika (the American Riffle Association) melawan
dikontrolnya penggunaan senjata, atau mungkin disalurkan lewat suatu gerakan
sosial, sebagai contoh, aktivitas-aktivitas “pro-life“ akhir-akhir ini (pro-life,
kelompok yang tidak setuju dengan tindakan aborsi – penerjemah). Dalam
masyarakat modern, dengan banyaknya organisasi informal dan formal yang
bertentangan satu dengan yang lainnya, berbagai organisasi baru telah
mengakibatkan ancaman tertentu bagi status quo. Misalnya, anggota-anggota John
Birch Society memperjuangkan berbagai macam perubahan sosial dari integrasi rasial
sampai penerimaan dan perlindungan hukum terhadap pornografi. Sejalan dengan
John Birch Society, munculnya kembali Ku Klux Klan didasarkan kepada adanya
perlawanan publik terhadap perubahan sosial, namun terutama fokus kepada
perubahan hubungan-hubungan rasial. Organisasi-organisasi ini dan juga organisasi
sejenis telah melawan perubahan yang sedang terjadi, dan walaupun kebanyakan dari
mereka telah melawan namun kalah, efek penundaannya sering diperhitungkan.
Namun kadang-kadang ketika oposisi terorganisasi tentang perubahan melalui

63
hukum tidak juga terjadi, akibatnya bisa sangat merusak. Sebagai contoh, lebih
daripada 6 juta orang Yahudi telah dibunuh di dalam kamp konsentrasi selama
Perang Dunia II sebagian karena mereka tidak mengorganisasikan perlawanan
terhadap perubahan-perubahan pada awal tahun 1930an di masa rezim Jerman Nazi.

2) Faktor-Faktor Psikologis

Goodwin Watson (1969: 488) berpendapat bahwa “semua kekuatan yang


berkontribusi terhadap stabilitas dalam personalitas atau di dalam sistem sosial dapat
dianggap sebagai menghambat perubahan“. Diskusi mendetail tentang kekuatan-
kekuatan ini jelas ada di luar ruang lingkup dari buku ini. Untuk maksud di dalam
buku ini saya hanya akan membahas mengenai : kebiasaan, motivasi, keacuhan,
persepsi selektif, dan pengembangan moral.

Kebiasaan (habit). Dari sudut pandang psikologi, suatu asal muasal dari
perubahan adalah masalah kebiasaan saja. Ketika suatu kebiasaan telah terbentuk,
operasinya seringkali memuaskan bagi individu-individu. Orang akan menjadi
terbiasa berperilaku atau bertindak dalam tatakrama tertentu dan mereka akan merasa
nyaman dengan semua itu. Sekali suatu bentuk perilaku tertentu menjadi rutin dan
terbiasa, hal itu akan memberi perlawanan terhadap perubahan. Meyer F. Nimkoff
(1957: 62) berpendapat bahwa adat (customs) dari suatu masyarakat adalah
kebiasaan kolektif; khususnya ketika sentimen melebihi adat, yaitu adat terlalu
lambat ketika ada perlawanan terhadap suatu ide atau praktek tertentu. Untuk
menggambarkan satu contoh, usaha untuk mengenalkan „sistem metriks“ telah
menemui perlawanan sengit di Amerika Serikat (sistem metriks adalah pengukuran
berat dalam “kg“, panjang dalam “m“, dan volume dalam “liter“; yang berlawanan
dengan kebiasaan-kebiasaan yang sudah ada di Amerika Serikat sebelumnya yaitu
berat dalam “pound“ (lbs), panjang dalam“yard“, dan volume dalam “quart“ –
penerjemah). Kita telah terbiasa dengan “miles“ dan merasa tidak nyaman dengan
“kilometer“; kita lebih suka mengukur dengan satu “quart“ dari sesuatu daripada satu
“liter“. Ketika hukum digunakan sebagai satu instrumen perubahan sosial untuk
mengubah adat yang telah ada, adalah sangat mungkin untuk mencapai laju
kepatuhan yang dapat diterima akan memerlukan suatu reorientasi aktif terhadap
nilai-nilai dan perilaku-perilaku dari sebagian besar populasi yang menjadi target
(Zimring dan Hawkins, 1975: 331).

Motivasi. Penerimaan perubahan melalui hukum juga dipersyaratkan oleh


kekuatan motivasi. Beberapa motivasi adalah berbentuk budaya, dalam arti
kehadirannya atau ketidakhadirannya menjadi ciri dari suatu kebudayaan. Misalnya,
kepercayaan agama di beberapa kebudayaan memberikan motivasi-motivasi untuk
sejenis perubahan tertentu, sementara di kebudayaan yang lainnya movitasi ini
terpusat kepada status quo. Jenis-jenis motivasi lainnya lebih bersifat universal, atau
hampir universal, karena melintas antar masyarakat dan antar kebudayaan (Foster,
1973: 152). Contoh-contoh dari motivasi ini termasuk keinginan untuk prestise atau

64
untuk pencapaian ekonomi dan niat untuk patuh dengan kewajiban pertemanan
(friendship obligation). Perubahan-perubahan yang mungkin mengancam keinginan
untuk pencapaian ekonomi atau ketertarikan akan prestise dan status tinggi pada
umumnya akan dipandang sebagai sesuatu yang mengancam dan kemungkinan besar
akan dilawan.

Keacuhan (ignorance). Keacuhan adalah faktor psikologis lainnya yang


berhubungan dengan penghambatan perubahan. Kadang-kadang, keacuhan muncul
bersamaan dengan ketakutan akan datangnya hal-hal baru. Hal ini seringkali benar
dalam kasus adanya makanan-makanan baru. Beberapa tahun yang lalu, banyak
orang beranggapan bahwa buah sitrus / jeruk membawa sejenis asam dalam organ
pencernaan. Ketika terbukti tidak benar, resistensi berdasarkan masalah asam ini
hilang dengan sendirinya. Keacuhan bisa menjadi salah satu faktor ketidakpatuhan
(noncompliance) terhadap hukum yang dirancang untuk mengurangi praktek-praktek
diskriminasi. Sebagai contoh, perusahaan-perusahaan (employers) seringkali
mengamati orang-orang non kulit putih sebagai kelompok relatif terhadap orang kulit
putih dan kemudian berdasarkan pengamatan tersebut segan untuk merekrut individu
yang non kulit putih (Beeghley, 1978: 242). Keacuhan tidak diragukan lagi sebagai
faktor yang penting dalam prasangka (prejudice) ketika perilaku yang ada terlalu
kuat dan tidak lentur (inflexible) yang secara serius merusak persepsi dan
pertimbangan.

Persepsi. Hukum, menurut rancangan dan maksudnya, cenderung untuk


universal. Namun persepsi tentang maksud adanya hukum (intent of the law), adalah
selektif menurut variabel-variabel ekonomi, budaya, dan demografis. Pola unik dari
kebutuhan, sikap, kebiasaan, dan nilai-nilai orang diturunkan melalui sosialisasi
menentukan apa yang mereka akan perhatikan secara selektif, apa yang mereka akan
terjemahkan secara selektif, dan apa yang akan mereka lakukan secara selektif. Pada
umumnya orang akan lebih bisa menerima ide-ide baru jika itu berhubungan dengan
interestnya, konsisten dengan sikapnya, sejalan dengan kepercayaannya, dan
mendukung nilai-nilainya. Persepsi yang berlainan dengan maksud hukum dapat
menghambat perubahan. Sebagai contoh, di India berkat hukum distribusi tentang
informasi dan pasokan barang-barang keluarga berencana dapat dilakukan. Namun
penggunaan kontrasepsi masih banyak ditentang oleh orang-orang di pedesaan India
karena mereka berpikir hukum bermaksud untuk menghentikan sama sekali kelahiran
bayi-bayi baru. Di Amerika Serikat, pemberian “fluor“ (zat pemutih – penerjemah)
di dalam air PAM dianggap perbuatan “konspirasi komunis“ dan oleh karena itu
banyak ditentang di banyak masyarakat pada waktu itu.

Bagaimana cara hukum ditulis, seperti telah saya bahas sebelumnya, juga
mempengaruhi persepsi orang. Sebagai contoh, dalam tahap awalnya banyak hukum
tentang hak persamaan rasial (civil rights laws) yang ambigu dan lemah. Keputusan
Brown adalah contohnya. Menyebut usaha “desegregasi“ (tidak memisahkan antara
kulit putih dan kulit hitam di sekolah-sekolah – penerjemah) “dengan kecepatan yang

65
setinggi-tingginya“ (“with all deliberate speed“) adalah terlalu tidak jelas (too
vague), terlalu tidak tegas (too indifinite) untuk membuat perubahan yang berarti,
“Keambiguan selalu tergantung kepada persepsi individu“ (Rodgers dan Bullock,
1972: 199), dan individu-individu akan menginterpretasikan dan menerjemahkan arti
dari hukum sesuai dengan keuntungan yang akan diterimanya.

Pengembangan moral. Pada dasarnya, kepatuhan (obedience) terhadap


hukum berasal dari suatu perasaan kewajiban moral (a sense of moral obligation),
sebagai produk dari sosialisasi. Namun hanya di akhir-akhir ini saja, ada semacam
kesadaran terhadap aturan-aturan moral yang tidak harus dikaitkan dengan standar
konvensional eksternal tentang perilaku baik dan buruk, namun secara internal
menggambarkan prinsip-prinsip konsisten dimana orang mengatur kehidupannya.

Barangkali peneliti yang telah bekerja keras meneliti tentang pengembangan


moral adalah Lawrence Kohlberg (1964: 1967). Ia menggarisbawahi tentang 6 tahap
pengembangan moral. Tahap pertama, digambarkan sebagai arahan “kepatuhan dan
hukuman“ (“obedience and punishment“ orientation). Tahap ini mencakup
“kepedulian terhadap kekuatan atau prestise atasan / pemimpin“ dan tentang suatu
arahan untuk menghindari masalah. Tahap kedua, “relativisme instrumental“
dicirikan oleh pendapat berlawanan yang naif (naive notion od reciprocity). Dengan
arahan ini, orang akan berusaha untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dengan
negosiasi sederhana dengan orang-orang lainnya atau dengan bentuk primitif dari
persamaan derajat (equalitarianism). Ia menyebut kedua tahap ini sebagai
“premoral“. Tahap ketiga, disebut “persetujuan pribadi“ (“personal concodance“),
adalah suatu arahan yang didasarkan kepada persetujuan dan pemuasan pihak-pihak
lainnya (based on approval and pleasing others). Hal itu dicirikan dengan kepatuhan
(conformity) terhadap kepercayaan mayoritas. Orang seperti ini patuh terhadap
norma-norma yang dianut banyak orang (such people adhere to what they consider
to be prevailing norms). Tahap keempat adalah tahap “hukum dan keteraturan“
(“law and order“ stage). Orang dengan arahan seperti ini bertekad (committed) untuk
“melakukan tugasnya“ (doing their duty), dan menghargai orang yang mempunyai
wewenang. Tahap ketiga dan keempat bila digabung memberntuk arahan moral
konvensional.

Tahap kelima dan keenam menunjukkan arahan prinsip internalisasi (the


internalized-principle orientation). Kohlberg menyebut tahap kelima sebagai tahap
“kontrak sosial“ (“social contract“ stage); yang mencakup arahan legalistik.
Komitmen dipandang sebagai istilah-istilah kontrak, dan orang di dalam tahap ini
akan menghindari usaha-usaha untuk menggagalkan persetujuan implisit dan
eksplisit. Tahap terakhir dan tertinggi dari pengembangan moral adalah “prinsip-
prinsip individu“ (“individual principle“). Tahap ini menekankan kesadaran
(conscience), kepercayaan bersama (mutual trust), dan penghargaan (respect)
sebagai pemandu prinsip-prinsip perilaku.

66
Jika teori pengembangan yang diajukan oleh Kohlberg benar, hukum kurang
lebih terbatas tergantung kepada tahap pengembangan moral dari anggota-anggota
suatu masyarakat. Dalam konteks ini, David J. Danelski (1974: 14-15) menyarankan
bahwa pertimbangan kuantitatif dan kualitatif adalah sama pentingnya. Kita ingin
tahu tahap modal (modal stage) dari pengembangan moral dari kaum elit,
warganegara rata-rata, dan kelompok-kelompok terpinggirkan. Jika kebanyakan
anggota masyarakat berada pada tahap pertama dan kedua dari tahap pengembangan
moral, penegakan institusional sangatlah penting untuk memelihara keteraturan dan
keamanan. Hukum akan sedikit terbatasi jika kebanyakan anggota masyarakat
berada pada tahap ketiga dan keempat dari tahap pengembangan moral. Hukum pada
tahap kelima dan keenam mungkin lebih terbatas daripada pada tahap ketiga dan
keempat, “namun akan menjadi kebalikannya jika dipandang disetujui secara
demokratis dan konsisten dengan prinsip-prinsip individu tentang kesadaran. Jika
tidak, kemungkinan hukum akan lebih terbatas“ (Danelski, 1974: 15). Dengan kata
lain, batasan-batasan hukum adalah tidak linear (curvilinear) dengan istilah-istilah
pengembangan moral.

3) Faktor-Faktor Budaya

Ketika perilaku atau kebiasaan yang sudah lama dilakukan terancam,


resistensi terhadap perubahan biasanya sangat kuat, seringkali berdasarkan
kepercayaan dan nilai-nilai tradisional. Status quo dilindungi tapi perubahan
dihambat. Sebagai contoh, pada orang Mormon, berdasarkan kepercayaan relijius
tradisionalnya, menolak hukum yang mengancam perkawinan poligami mereka.
Begitu pula di India, ketika kelaparan adalah suatu masalah besar, lebih dari 3 juta
sapi yang disucikan oleh orang Hindu tidak hanya diampuni untuk disembelih untuk
dijadikan makanan namun juga diperbolehkan untuk berjalan-jalan di desa dan
tanah-tanah pertanian, seringkali menyebabkan kerusakan tanaman pangan yang
parah. Makan daging sapi akan bertentangan dengan kepercayaan tradisional
mereka, dan sebagai hasilnya adalah tidak mungkin untuk memelihara sapi untuk
dijadikan daging untuk makanan di India. Faktor-faktor budaya lainnya juga
bertindak seringkali sebagai penghambat perubahan, termasuk fatalisme,
etnosentrisme, pendapat ketidakcocokan, dan superstisi / tabu.

Fatalisme. “Di kebanyakan bagian dunia ini kita menemui budaya-budaya


yang mendukung kepercayaan bahwa orang tidak mempunyai sebab akibat dari masa
depannya atau masa depan dari tanahnya; Tuhan, bukan orang, dapat meningkatkan
nasib orang….Sulit untuk membujuk orang seperti ini untuk menggunakan pupuk,
atau untuk menyimpan benih terbaik untuk ditanam, karena orang hanya bertanggung
jawab untuk kinerja / kerja saja, dan adalah tanggung jawab Tuhan (the divine) untuk
suksesnya sebuah tindakan“ (Mead, 1953: 201). Pada dasarnya, fatalisme adalah
suatu perasaan tentang kurangnya penguasaan terhadap alam. Orang tidak
mempunyai kontrol terhadap kehidupannya sendiri dan semua hal yang terjadi pada
mereka karena Tuhan atau karena makhluk jahat. Pandangan fatalistik seperti itu

67
tentu saja menghambat perubahan, karena perubahan dianggap sebagai disebabkan
oleh manusia (human-initiated) dan bukan berasal dari Tuhan (having a divine
origin).

Etnosentrisme. Banyak sub kelompok di masyarakat memandang mereka


sendiri sebagai “superior“, satu-satunya yang memiliki hak tentang cara berpikir
tentang dunia dan cara memperlakukan lingkungan. Perasaan superioritas terhadap
suatu kelompok akan membuat orang untuk tidak bisa menerima (unreceptive) ide-
ide dan metode-metode yang digunakan di kelompok-kelompok lainnya. Sebagai
hasilnya, etnosentrisme seringkali menyebabkan orang (a bulwark) tidak setuju
dengan perubahan. Sebagai contoh, perasaan superioritas seperti itu oleh orang-
orang kulit putih telah menghambat usaha-usaha integrasi dalam hal perumahan,
pekerjaan, dan pendidikan.

Ketidakcocokan (incompatibility). Ketidaksetujuan terhadap perubahan


sering dikarenakan karena di kelompok target terdapat material dan sistem yang, atau
dipandang sebagai, tidak dapat diubah (irreconcilable) dengan usulan yang baru.
Ketika ketidakcocokan tersebut ada pada suatu kebudayaan, perubahan akan
menemui kesulitan. Sebagai contoh, kontras antara kepercayaan monotheis
(berTuhan satu) dan polytheis (berTuhan banyak). Orang monotheis dapat menerima
suatu nabi baru (a new deity) hanya dengan menolak yang telah ada sebelumnya (the
previous incumbent), yang akan meminta banyak pengorbanan dari mereka. Untuk
menggambarkan hal ini, orang Indian Navajo telah tidak setuju terhadap Kristianiti
karena kepercayaan agama mereka tidak cocok dengan yang ditawarkan oleh bentuk
yang lainnya (Foster, 1973: 94). Salah satu contoh konkret adalah hukum umur
perkawinan (marriage age law) yang diundangkan di Israel dalam suatu usaha untuk
memulai perubahan di dalam populasi imigran melalui hukum. Hukum tersebut
menyebutkan umur 17 tahun sebagai umur minimum untuk perkawinan kecuali
adanya kehamilan, dan memberikan sanksi pidana bagi seseorang yang mengawini
seorang gadis di bawah umur 17 tahun tanpa persetujuan pengadilan negeri. Dengan
menset umur minimum 17 tahun, hukum berusaha untuk memberlakukan suatu
aturan perilaku yang tidak cocok dengan adat dan kebiasaan dari beberapa seksi dari
populasi orang Yahudi Israel yang datang dari negara-negara Arab dan negara-
negara Timur (Rusia, Polandia, dsb – penerjemah), dimana perkawinan biasanya
dilaksanakan sebelum umur 17 tahun. Tindakan itu hanya mempunyai efek terbatas,
dari masyarakat yang sebelumnya membolehkan perkawinan dari perempuan yang
belum berumur 17 tahun (Dror, 1968: 678).

Superstisi / tabu. Supestisi didefinisikan sebagai suatu penerimaan tidak kritis


dari suatu kepercayaan yang tidak didukung oleh fakta-fakta. Kadang-kadang,
supestisi bertindak sebagai penghambat perubahan. Sebagai contoh, di suatu situasi
di Rhodesia, usaha-usaha pendidikan nutrisi terhambat karena fakta bahwa banyak
perempuan yang tidak makan telur. Menurut kepercayaan mereka yang meluas, telur
menyebabkan ketidaksuburan / infertilitas, membuat bayi botak, dan membuat

68
wanita menjadi sulit hamil (promiscuous). Begitu pula, di Filipina, ada suatu
kepercayaan bahwa jeruk (squash) yang dimakan dengan ayam akan menyebabkan
penyakit lepra. Di beberapa tempat, wanita hamil tidak diberi makan telur karena
bayinya akan membesar yang mempersulit kelahirannya, dan di tempat lainnya lagi,
seorang bayi tidak akan diberi air untuk beberapa bulan setelah kelahiran karena
kualitas “dingin“ dari air akan merusak perimbangan panas si bayi. Di beberapa
bagian dari Ghana, anak-anak tidak boleh makan daging atau ikan karena dipercaya
daging dan ikan akan menyebabkan cacing perut (Foster, 1973: 103-104). Jelas
bahwa, jika ada kepercayaan superstisi, usaha-usaha perubahan melalui hukum atau
agen-agen lainnya akan menemui hambatan.

4) Faktor-Faktor Ekonomi

Walaupun di masyarakat yang kaya raya (affluent society), sumberdaya


ekonomi yang terbatas berfungsi sebagai hambatan terhadap perubahan yang
mestinya telah diadopsi. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, hampir setiap orang
akan menerima kesiapan untuk adanya kontrol yang efektif terhadap polusi, sistem
transportasi publik yang lebih murah dan lebih nyaman, program kesejahteraan yang
efektif, dan pelayanan kesehatan yang cukup bagi semua. Fakta bahwa perubahan
dalam bidang ini sangatlah lambat tidak hanya karena masalah prioritas, namun juga
masalah biaya. Biaya dan sumberdaya ekonomi yang terbatas di dalam masyarakat
berakibat memberikan sumber hambatan terhadap perubahan.

Ada suatu kebenaran (truism) seperti yang terjadi pada hal-hal lainnya, yaitu
perubahan melalui hukum mempunyai biayanya sendiri. Dalam banyak hal,
interpretasi legislasi, putusan administratif, atau penetapan pengadilan, membawa
harganya sendiri-sendiri. Sebagai contoh, dampak ekonomis dari regulasi federal
tentang institusi pendidikan tinggi sangatlah signifikan. Berbagai program tindakan
afirmative (affirmative action program, yaitu program yang tidak membeda-bedakan
orang berdasarkan ras, golongan, jenis kelamin, dan agama – penerjemah),
mempunyai sanksi dipotongnya semua bantuan dana dari pemerintah federal
terhadap institusi-institusi yang tidak patuh terhadap hukum anti pembedaan (the
anti-bias law). Pada gilirannya, kepatuhan akan menyebabkan meningkatnya biaya
administratif pada institusi-institusi pendidikan tinggi (karena banyak orang kulit
hitam berasal dari keluarga tidak mampu sehingga ada subsidi silang dalam biaya
operasional sekolah – penerjemah). Philip Boffey (1975) membahas suatu penelitian
terhadap 6 institusi untuk menentukan dampak ekonomis dari regulasi federal
terhadap anggaran operasi institusi. Penelitian tersebut memperhatikan dampak dan
biaya finansial dari syarat-syarat peluang pemekerjaan yang sama (equal employment
opportunity) yang disebutkan di Undang-Undang Persamaan Hak (the Civil Rights
Act), Undang-Undang Persamaan Gaji (the Equal Pay Act), Program Tindakan
Persamaan (the Affirmative Action Program) berdasarkan perintah eksekutif
(semacam Perpres – penerjemah) tahun 1965, diskriminasi umur dalam pekerjaan,
Undang-Undang Keamanan dan Kesehatan Pekerja (the Occupational Safety and

69
Health Act) tahun 1970, undang-undang upah minimum, asuransi pengangguran /
jaring pengaman sosial, dan Undang-Undang Perlindungan Lingkungan (the
Environment Protection Law) terhadap pengeluaran operasional universitas.
Walaupun dampak dari beberapa regulasi ini dan beberapa regulasi yang terkait akan
minimal pada universitas, namun secara kolektif dampaknya cukup terasa. Dari 6
kolege dan universitas yang diteliti, kenaikan total anggaran operasional selama satu
dekade dari tahun 1965 sampai 1975 terkait dengan regulasi federal bervariasi dari 1
sampai 4 persen. Biaya ini relatif kecil dibandingkan dengan total anggaran
operasional institusi, namun relatif cukup besar terhadap defisit operasional yang
dialami oleh beberapa institusi dalam tahun-tahun terakhir ini, dan lebih besar
daripada anggaran dari beberapa departemen akademis yang akan sangat langka
melalui perpindahan (shifts) dalam prioritas anggaran institusi. Selama periode 10
tahun penelitian, biaya yang ditimbulkan oleh kepatuhan terhadap regulasi federal
adalah 20 kali lebih besar (Boffey, 1975: 445). Peningkatan biaya ekonomi terkait
dengan kepatuhan banyak ditentang dalam beberapa lingkungan akademis, dan telah
mengakibatkan adanya permintaan agar berbagai hukum yang mempengaruhi
pendidikan tinggi diubah.

Selain adanya biaya langsung terhadap usaha perubahan tertentu, bagaimana


biaya dan manfaat didistribusikan juga mempengaruhi resistensi. Sebagai contoh,
ketika biaya dan manfaat didistribusikan secara meluas seperti dalam Jaring
Pengaman Sosial (Social Security), maka resistensi terhadap program akan minimal.
Biaya untuk setiap pembayar pajak akan relatif kecil, sedangkan keuntungannya akan
disebarkan secara meluas “sehingga mereka hampir seperti barang kolektif; yang
berhak akan menikmati keuntungannya, namun hanya membutuhkan sedikit
kontribusi terhadap retensi / batasan pertumbuhannya“ (Handler, 1978: 15).
Resistensi akan ada pada situasi dimana keuntungan didistribusikan sementara biaya
dikonsentrasikan. Sebagai contoh, pabrik mobil melawan walaupun tidak sukses,
terhadap usaha hukum untuk mewajibkan adanya alat pengendali polusi pada mobil.

Walaupun suatu perubahan tertentu melalui hukum mungkin diinginkan,


seperti rencana asuransi kesehatan di Amerika Serikat yang efektif dan
komprehensif, terbatasnya sumberdaya ekonomi seringkali bertindak sebagai
penghambat dari usaha-usaha perubahan sosial. Dari empat sumber resistensi
terhadap perubahan, faktor ekonomi adalah faktor yang paling menentukan (the most
decisive). Tidak peduli keinginan untuk berubah, kecocokannya dengan nilai-nilai
dan kepercayaan dari penerima keuntungan dan banyak pertimbangan lainnya, hal itu
akan menimbulkan resistensi jika pengorbanan ekonomi terlalu besar. Dengan kata
lain, tidak peduli seberapa banyak orang dalam masyarakat ingin sesuatu, jika
mereka tidak bisa membayarnya, kemungkinan besar mereka tidak akan dapat
menerimanya. Sesuai dengan yang disarankan oleh George M. Foster (1973: 78) :
“Hambatan-hambatan budaya, sosial, dan psikologi dan rangsangan terhadap
perubahan ada di suatu seting ekonomi… (dan) faktor-faktor
ekonomi….kelihatannya telah menset batasan absolut untuk perubahan…“..

70
C. Penutup
Setelah membahas bab ini maka kerjakanlah soal-asola berikut ini:
1. Uraikan apa yang dimaksud dengan perubahan sosial?
2. Jelaskan maksud dari pernyataan bahwa hukum merupakan sarana
untuk rekayasa sosial.
3. Menurut anda apakah hukum dan menyebabkan masyarakat berubah
atau perubahan masyarakatlah yang menyebabkan perubahan terhadap
hukum. Jelaskan dengan memberikan contoh.

71
PENILAIAN
1. Komponen Penilaian
Komponen penilaian selama perkuliahan adalah berupa:
a. Review atas suatu masalah
b. Tugas individual : setiap mahasiswa wajib membuat tugas individu berupa
resume/ mencari artikel di internet.
c. Tugas kelompok : setiap kelompok membuat makalah dengan tema yang
telah ditentukan dosen dan masing-masing kelompok mempresentasikan pada
setiap pertemuan perkuliahan.
2. Kriteria Penilaian
Penilaian diberikan kepada mahasiswa sebagai hasil mengikuti proses
perkuliahan dengan kriteria:
a. Pokok
1. Nilai Tugas (individu dan Kelompok)
2. Nilai Ujian Tengah Semester
3. Ujian Akhir Semester (nilai portofolio)
b. Penunjang
1. Keaktifan di kelas/forum
2. Kualitas presensi/kehadiran
3. Sikap

Hasil penilaian akhir akan diperoleh dengan menggunakan rumus :

(Tugas + 2 x UTS + 3 x UAS )


6

72
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, 1987, Tebaran Pikiran Tentang Studi Hukum dan Masyarakat, PT.
Media Sarana Press: Jakarta.

Blau, Peter M dan Marshall W.Meyer. 1987. Birokrasi dalam Masyarakat Modern:
Edisi Kedua. Jakarta:UI Press.

M. Munandar Soelaeman, 1998, Ilmu Sosial Dasar : Teori dan Konsep Ilmu Sosial
Refika: Bandung

Rahardjo Satjipto, 2006, Ilmu Hukum (Cetakan 2006).PT Citra Aditiya Bhakti:
Bandung.

----------------------, 1976, Hukum, Masyarakat dan Pembangunan, Alumni:Bandung

Soekanto Soerjono, 1985, Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, CV


Rajawali: Jakarta.

-----------------------, 1999, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada:


Jakarta.

Soemitro Ronny H, 1985, Studi Hukum dan Masyarakat. Alumni: Bandung.

----------------------, 1986, Prespektif Sosial Dalam Pemahaman Masalah-Masalah


Hukum, Agung Press: Semarang.

Warassih, Esmi. 2005. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis.


Semarang:Suryandaru Utama.

----------------------. Pemberdayaan Masyarakat dalam Mewujudkan Tujuan Hukum


(Proses Penegakan Hukum dan Persoalan Keadilan). Pidato Pengukuhan
Guru Besar Madya Dalam Ilmu Hukum UNDIP Semarang 14 April 2001.
),

73

Anda mungkin juga menyukai