MATA KULIAH
Oleh :
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan
berkat dan karunia-Nya penulisan buku ajar ”Hukum dan Masyarakat” ini telah dapat
terselesaikan.
Paparan kuliah ini ditulis dalam rangka memenuhi kebutuhan akan bahan ajar yang dapat
dijadikan sebagai pengarah bagi mahasiswa yang sedang menempuh matakuliah yang
bersangkutan. Dengan paparan kuliah ini diharapkan dapat menjadi acuan minimal bagi
mahasiswa untuk dikembangkan lebih lanjut dengan mambaca buku-buku referensi yang
disarankan.
Penulis menyadari bahwa terwujudnya paparan kuliah ini di samping hasil kerja penulis
juga berkat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis merasa perlu menyampaikan
terima kasih kepada pihak-pihak lain yang sulit untuk penulis sebutkan satu per satu, yang telah
memberikan bantuan dalam segala bentuknya sehingga terwujud paparan kuliah ini.
Akhirnya penulis menyadari bahwa paparan kuliah ini masih banyak kekurangan. Untuk
itu maka kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan demi perbaikan karya-karya
selanjutnya. Penulis berharap kiranya paparan kuliah ini dapat membawa manfaat sebesar-
besarnya bagi pembaca. Terima kasih
Penulis
VERIFIKASI BAHAN AJAR
Pada hari ini Senin tanggal 26 bulan Februari tahun 2021 Bahan Ajar Mata Kuliah Hukum
Kehutanan Program Studi Ilmu Hukum telah diverifikasi oleh Ketua Bagian Hukum
Perdata, Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang
Halaman Judul……………………………………………………………............ i
Kata Pengantar…………………………………………………………………… ii
Tinjauan Mata kuliah…………………………………………………………….. iii
Daftar Isi…………………………………………………………………………. iv
BAB I Pengantar Hukum dan Masyarakat .............................................. 1
A. Pendahuluan.............................................................................. 1
B. Penyajian................................................................................... 1
1. Pengertian Hukum............................................................. 1
2. Pengertian Masyarakat....................................................... 2
3. Stratifikasi sosial...................... .......................................... 5
4. Keanekaragaman Masyarakat ........................................... 6
C. Penutup……………………………………………………….... 9
4
A. Pendahuluan........................................................................... 37
B. Penyajian................................................................................ 37
1. Teori-Teori .................................................................... 37
2. Hubungan antara Perubahan-Perubahan Sosial
dan Hukum ............................................................. 40
C. Penutup................................................................................... 41
BAB VII Penggunaan Hukum Sebagai Sarana Untuk
Melakukan Rekayasa Sosial...................................................... 42
A. Pendahuluan............................................................................ 42
B. Penyajian................................................................................. 43
1. Hubungan Timbal Balik Antara Hukum dan
Perubahan Sosial..................... ...................................... 43
2. Perubahan Sosial Sebagai Sebab Perubahan Hukum......... 46
3. Hukum Sebagai Instrumen Perubahan Sosial................... 49
4. Keuntungan Hukum dalam Membuat Perubahan Sosial .. 55
5. Kekurangan Hukum dalam Membuat Perubahan Sosial... 64
6. Resistensi Terhadap Perubahan ........................................ 68
C. Penutup.................................................................................. 81
PENILAIAN...................................................................................................... 83
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 84
5
BAB I
PENGANTAR HUKUM DAN MASYARAKAT
A. Pendahuluan
Bab ini memberikan beberapa pengertian mendasar mengenai hukum dan
masyarakat. Sehingga dalam bab ini dibahas mengenai pengertian hukum
menurut beberapa pakar dan pengertian atau definsisi mengenai masyarakat,
karakteristik dan beberapa mengenai stratifikasi sosial.
Dengan dasar bangunan definisi mengenai hukum di satu sisi dan
masyarakat sebagai hal tersendiri diharapkan akan membangun konsep-konsep
mengenai hukum dan masyarakat dan bangunan awal untuk membuat keterkaitan
antara hukum dan masyarakat.
B. Penyajian
1. Pengertian Hukum
Kata “hukum” mengandung makna yang luas meliputi semua peraturan
atau ketentuan tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur kehidupan
masyarakat dan menyediakan sanksi terhadap pelanggarnya. Para ahli sarjana
hukum memberikan pengertian hukum dengan melihat dari berbagai sudut yang
berlainan dan titik beratnya. Berbeda-beda antara ahli yang satu dengan yang
lain, karena itu tidak ada kesatuan atau keseragaman tentang definisi hukum,
antara lain di bawah ini:
a. Menurut Van Kan
Hukum merupakan keseluruhan peraturan hidup yang bersifat memaksa
untuk melindungi kepentingan manusia di dalam masyarakat.
b. Menurut Utrecht
Hukum merupakan himpunan peraturan (baik berupa perintah maupun
larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dan seharusnya
ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu
pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan dari pihak
pemerintah.
c. Menurut Wiryono Kusumo
Hukum adalah merupakan keseluruhan peraturan baik yang tertulis maupun
tidak tertulis yang mengatur tata tertib di dalam masyarakat dan terhadap
pelanggarnya umumnya dikenakan sanksi.
Dari pendapat para ahli hukum belum terdapat satu kesatuan mengenai
pengertian hukum, namun dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa hukum memiliki
beberapa unsur yaitu :
a. Adanya peraturan/ketentuan yang memaksa
b. Berbentuk tertulis maupun tidak tertulis
c. Mengatur kehidupan masyarakat
d. Mempunyai sanksi.
Peraturan yang mengatur kehidupan masyarakat mempunyai dua bentuk
yaitu tertulis dan tidak tertulis. Peraturan yang tertulis sering disebut perundang-
6
undangan tertulis atau hukum tertulis dan kebiasan-kebiasaan yang terpelihara
dalam kehidupan masyarakat. Sedang Peraturan yang tidak tertulis sering disebut
hokum kebiasaan atau hukum adat.
Tujuan dari hukum adalah untuk mencapai keadilan dan kepastian hukum.
Di samping dua tujuan utama tersebut terdapat juga tujuan lainnya ynag
dikemukakan para sarjana hukum, seperti kedamaian, ketertiban, kesejahteraan,
kemakmuran, dan sebagainya. Menurut Prof Sri Redjeki Hartono, batasan
hukum ialah hukum harus mampu menjaga dan mengatur harkat dan martabat
manusia. Hukum juga harus mampu mengatur kehidupan manusia dengan
mengatur keseimbangan kepentingan semua pihak demi kesejahteraan nilai-
nilai kemanusiaan
2. Pengertian Masyarakat
Dalam bahasa Inggris, masyarakat disebut society, asal katanya socius
yang berisikawan. Adapun kata “masyarakat” berasal dari bahasa Arab, yaitu
syirik yang artinya bergaul. Adanya saling bergaulini tentu karena ada bentuk-
bentuk aturan hidup yang bukan disebabkan oleh manusia sebagai perseorangan,
melainkan oleh unsur-unsur kekuatan lain dalam lingkungan sosial yang
merupakan satu kesatuan. Selanjutnya para ahli sosiologi seperti Mac Iver, J.L.
Gillin danJ.P.Gillin sepakat bahwa adanya saling bergaul dan interaksi karena
adanya nilai-nilai, norma-norma, cara-cara dan prosedur yang merupakan
kebutuhan bersama sehingga masyarakat merupakan kesatuan hidup manusia
yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu, yang bersifat
kontinyu dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama.
Beberapa ahli yang lain juga telah mencoba untuk memberikan definisi
masyarakat (society) seperti berikut :
1. Mac Iver dan Page yang menyatakan bahwa : “Masyarakat ialah suatu sistem
dari kebiasaan dan tata cara, dari wewenang dan kerja sama antara berbagai
kelompok dan penggolongan, dan pengawasan tingkah laku serta kebebasan-
kebebasan manusia, masyarakat merupakan jalinan hubungan sosial, dan
masyarakat selalu berubah.
2. Ralph Linton berpendapat : “Masyarakat merupakan setiap kelompok
manusia yang telah hidup dan bekerja bersama cukup lama sehingga mereka
dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu
kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas.
3. Selo Sumarjan mendefinisikan masyarakat adalah orang-orang yang hidup
bersama yang menghasilkan kebudayaan.
4. Hasan Shadily dalam bukunya “Sosiologi untuk masyarakat Indonesia”
menyatakan bahwa : masyarakat adalah golongan besar atau kecil terdiri dari
beberapa manusia yang dengan atau karena sendirinya bertalian secara
golongan dan pengaruh mempengaruhi satu sama lain. Dari pengertian-
pengertian tentang masyarakat diatas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat
adalah sekelompok manusia yang saling berinteraksi, yang memiliki
7
prasarana untuk kegiatan tersebut dan adanya keterikatan untuk mencapai
tujuan bersama.
a. Unsur-unsur Masyarakat
Dari beberapa definisi yang telah diungkapkan oleh beberapa ahli diatas
berlainan, pada dasarnya mempunyai kesamaan isi, yakni bahwa masyarakat
mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :
1. Manusia yang hidup bersama. Dalam ilmu sosial tidak ada ukuran mutlak
ataupun angka pasti untuk menentukan beberapa jumlah manusia yang harus
ada. Akan tetapi secara teoritis angka minimalnya adalah dua orang yang
hidup bersama.
2. Bercampur untuk waktu yang cukup lama. Kumpulan dari manusia tidaklah
sama dengan kumpulan benda-benda mati seperti kursi, meja dan sebagainya.
Oleh karena itu dengan berkumpulnya manusia akan timbul manusia baru.
Selain itu sebagai akibat dari hidup bersama itu, timbullah sistem komunikasi
dan timbullah peraturan -peraturan yang mengatur hubungan antara manusia
dalam kelompok tersebut.
3. Mereka sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan. Dalam arti yang
lebih khusus masyarakat disebut pula kesatuan sosial, mempunyai ikatan-
ikatan kasih sayang yang erat. Selanjutnya, kesatuan sosial mempunyai
kehidupan jiwa seperti adanya ungkapan-ungkapan jiwa rakyat, kehendak
rakyat, kesadaran masyarakat, dan sebagainya. Jiwa masyarakat ini
merupakan polusi yang berasal dari unsur masyarakat, meliputi pranata,
status, dan peranan sosial.
4. Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama. Sistem kehidupan bersama
menimbulkan kebudayaan, oleh karena setiap anggota kelompok merasa
dirinya terikat satu dengan yang lainnya. Dalam hal ini manusia senantiasa
mempunyai naluri yang kuat untuk hidup bersama dengan sesamanya.
Apabila dibandingkan dengan makhluk hidup lain seperti hewan. Manusia
tidak mungkin hidup sendiri, suatu misal manusia yang dikurung sendirian di
dalam suatu ruangan tertutup, pasti akan mengalami gangguan pada
perkembangan pribadinya, sehingga lama kelamaan dia akan mati.
Kemantapan unsur-unsur masyarakat mempengaruhi struktur sosial. Dalam
hal ini struktur sosial digambarkan sebagai adanya molekul dalam susunan
yang membentuk zat, yang terdiri dari bermacam- macam susunan hubungan
antar individu dalam masyarakat. Maka terjadi integrasi masyarakat dimana
tindakan individu dikendalikan, dan hanya akan nampak bila diabstrakkan
secara induksi dari kenyataan hidup masyarakat yang kongkrit.
8
1. Pemenuhan kebutuhan dasar biologis, seperti papan (tempat tinggal),
sandang, dan pangan yang penyelenggaraannya akan lebih mudah
dilaksanakan dengan kerja sama dari pada usaha perorangan.
2. Kemungkinan untuk bersatu dengan manusia lain (bermasyarakat).
3. Keinginan untuk bersatu dengan lingkungan hidupnya.
4. Dengan memasyarakat kemungkinan untuk mempertahankan diri dalam
menghadapi kekuatan alam, binatang dan kelompok lain lebih besar.
5. Secara naluriah manusia mengembangkan keturunan melalui keluarga yang
merupakan kesatuan masyarakat yang terkecil.
6. Manusia mempunyai kecenderungan sosial, yaitu seluruh tingkah laku yang
berkembang akibat interaksi sosial atau hubungan antar manusia. Dalam
hidup bermasyarakat, kebutuhan dasar kejiwaan ingin tahu, meniru, dihargai,
menyatakan rasa haru dan keindahan, serta memuja tertampung dalam
hubungan antar manusia, baik antar individu maupun kelompok.34
3. Statifikasi Sosial
a. Pengertian Stratifikasi Sosial
Perbedaan tingkat sosio kultural suatu kelompok dan perbedaan tingkat
kemajuan dan perkembangan potensi individu menyebabkan adanya kenyataan
stratifikasi sosial dalam masyarakat. Stratifikasi sosial dalam masyarakat merupakan
ciri dari masyararakat yang teratur. Menurut Pitirin A. Soprokin, stratifikasi sosial
adalah pembedaan individu-individu atau kelompok masyarakat kedalam kelas-kelas
secara bertingkat, sehingga ada kelas tinggi dan ada kelas rendah. Stratifikasi sosial
muncul karena adanya suatu yang lebih dihargai di satu sisi dan tidak dihargai di sisi
lain, karena kepandaian, kekayaan, kekuasaan dan lain-lain.
9
2. Direncanakan atau diperjuangkan seperti pangk at dan jabatan.
Proses terjadinya stratifikasi sosial cenderung mengikuti pola atau sistem
yang ada pada masyarakat tersebut. Pada masyarakat tertutup, stratifikasi sosial akan
sangat dibatasi oleh kemungkinan pindahnya kelompok individu ke status lain secara
vertikal. Sedangkan pada masyarakat terbuka stratifikasi sosial memberikan
kesempatan kepada setiap kelompok apapun untuk berjuang meraih stratifikasi yang
lebih tinggi. Dari apa yang telah dikemukakan diatas dapat diketahui bahwa
stratifikasi sosial dalam masyarakat dapat dirasakan dalam kenyataan struktural
sebagai berikut :
1. Masyarakat terbagi dalam kelompok dan sosial yang memiliki strata tertentu.
2. Strata itu terbentuk berdasarkan latar belakang kemajuan kebudayaan yang
diaktualisasikan dalam bentuk kualitas individu dan kelompok.
3. Karena adanya strata itu maka lahirlah kelompok-kelompok yang dipandang
sebagai kelompok “interior” dan kelompok “superior” berdasarkan suatu
sistem aktual kedudukan dalam kerangka evaluasi moral.
4. Adanya kekuasaan dan wewenang yang dimiliki oleh kelompok superior
sangat jelas dalam suatu sistem sosial, yang diikuti dengan adanya lembaga-
lembaga sosial dan birokrasi.
4. Keanekaragaman Masyarakat
a. Pengertian Keanekaragaman Masyarakat
Masyarakat merupakan suatu tempat terjadinya interaksi sosial antar individu
dengan individu. Individu dengan kelompok, kelompok dengan kelompok lainnya
yang membentuk suatu masyarakat yang lebih luas dan komplek keberagaman
masyarakat tercipta karena adanya perbedaan suku bangsa atau etnik,
keanekaragaman ras,
keanekaragaman agama, perbedaan jenis kelamin dan keanekaragaman profesi.
Keanekaragaman masyarakat adalah merupakan suatu keragaman dalam berbagai
aktifitas sosial di masyarakat dalam bidang agama, jenis kelamin, profesi, etnis, suku
yang tid ak mempersoalkan tinggi dan rendahnya yang berkuasa dan yang dikuasai,
dan lain-lain.
10
Sebagai kelompok individu yang mempunyai ciri biologis yang berbeda
dari kelompok lain, ras-ras banyak macamnya didunia ini. Setiap ras menempati
kawasan tertentu. Ada ras kaokasoid, mengoloid, negroid dan lain sebagainya.
Kemurnian ras sulit bertahan sebab percampuran antar ras semakin intensif dan
tidak ada ras yang mampu mengisolasi diri dari ras lain.
3. Keanekaragaman Agama
Keanekaragaman agama dikarenakan adanya perbedaan cara penerimaan
wahyu pada manusia satu sama lain. Hampir disemua negara ada lebih dari satu
agama yang dipeluk. Antar pemeluk agama mempunyai ciri khas adat dan ritus
yang berbeda-beda. Perbedaan ini tidak memicu perpecahan asal saja ada sikap
toleran antar pemeluk.
4. Keanekaragaman Jenis Kelamin
Perbedaan jenis kelamin ternyata membawa perbedaan nasib,
keberuntungan, hak dan kewajiban tertentu, sekalipun digembor-gemborkan
persamaan derajat, emansipasi, kemitraan lelaki dan perempuan, sebenarnya hal itu
perlu dipertanyakan. Sosiolog Arief Bodiman, mempopulerkan istilah pembagian
kerja secara seksual (the sexual divisionof labour). Istilah ini tak sekedar
menggambarkan perbedaan jenis pekerjaan, tetapi secara implisit juga
menunjukkan bahwa perempuan adalah pihak yang “terkalahkan”, terkuasai,
terdominasi oleh struktur masyarakat yang dikuasai lelaki, selama berabad-abad,
sampai-sampai perempuanlah merasa kalau didominasi. Bahkan mereka menerima
hal itu sebagai sesuatu hal yang wajar.
5. Keanekaragaman Sosial Profesi
Di masyarakat tradisional jenis pekerjaan homogen, kebanyakan petani.
Sebaliknya, di masyarakat modern jenis pekerjaan (profesi) masih beragam, sebab
tingkat dan jenis kemampuan serta pendidikan individu jauh lebih beragam
ketimbang masyarakat tradisional.
c. Masyarakat Desa
1. Pengertian Masyarakat Desa
Masyarakat desa adalah sekelompok manusia yang tinggal di suatu tempat
tertentu, dengan sistem ketetanggaan dan gotong royong yang kuat, mata
pencahariannya bertani atau agraris dan masih terikat kuat dengan tradisi yang
melingkupi serta mempunyai tujuan tertentu.
2. Ciri-ciri Masyarakat Desa
Tabel I
Ciri-ciri Masyarakat Desa
No Unsur-unsur Pembeda Desa
1 Mata pencaharian Agraris homogen
2 Ruang kerja Lapangan terbuka
3 Musim atau cuaca Penting dan menentukan
4 Keahlian atau ketrampilan Umum dan tersebar
5 Rumah dan tempat kerja Dekat
6 Kepadatan penduduk Tidak padat
11
7 Kontak social Frekuensi kecil
8 Lembaga-lembaga Terbatas dan sederhana
9 Stratifikasi social Sederhana dan sedikit
10 kontrol social Adat atau tradisi
11 Sifat kelompok Gotong royong akrab
12 Mobilitas Rendah
13 Status sosial Stabil
Ciri-ciri masyarakat desa diatas tidak mutlak benar, karena gejala umum masyarakat
desa saat ini sedang mengalamiperkembangan struktural yang tersusun dan
peningkatan integrasi masyarakat yang lebih luas sebagai akibat intensifnya
hubungan
kota dengan desa dan derasnya program pembangunan, sehinggamenimbulkan
perubahan-perubahan.
C. Penutup
Setelah mempelajari dan memabahas bab ini mahasiswa diberikan tugas untuk:
1. Menyusun pengertian sendiri mengenai hukum.
2. Menyusun penegertian sendiri mengenai masyarakat.
3. Membuat analisis keterkaitan antara hukum dengan masyarakat.
12
BAB II
BEBERAPA PEMIKIRAN TENTANG
STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
A. Pendahuluan
Pada bab ini, akan dibahas tentang Beberapa Konsepsi dan Prespektif
Tentang Hukum, Hukum dan Ilmu-Ilmu Sosial. Melalui bahasan ini, mahasiswa
diharapkan mampu menguasai beberapa prespektif hukum serta secara khusus
perspektif sosial hukum serta kaitan antara hukum dan ilmu ilmu sosial.
B. Penyajian
1. Beberapa Konsepsi dan Prespektif Tentang Hukum
Untuk menjawab pertanyaan konsepsi hukum yang bagaimana dan dalam
perspektif yang bagaimana, kita perlu memahami beberapa konsepsi mengenai
hukum dan beberapa perspektif tentang hukum yang berkembang selama ini.
Hukum merupakan sebuah konsep dan menurut soetandyo tidak ada konsep
yang tunggal mengenai apa yang disebut hukum itu. Dalam mempelajari hukum
hendaknya dipahami sekurang-kurangnya tiga konsep mengenai hukum yaitu:
a. Hukum sebagai asas moralitas atau asas keadilan yang bernilai universal, dan
menjadi bagian inheren sistem hukum alam
b. Hukum sebagai kaidah-kaidah dan positif yang berlaku pada suatu waktu dan
tempat tertentu, dan terbit sebagai produk eksplisit suatu sumber kekuasaan
politik tertentu yang berlegitimasi
c. Hukum sebagai institusi sosial yang riil dan fungsional di dalam sistem
kehidupan masyarakat, baik dalam proses-proses pemulihan ketertiban dan
penyelesaian sengketa maupun dalam proses pengarahan dan pembentukan
pola perilaku yang baru
Konsep-konsep mengenai hukum sebagai ide, cita-cita, nilai, moral dan
keadilan merupakan konsep-konsep hukum yang idiologis, filospfis dan
moralistis. Konsep-konsep mengenai hukum sebagai norma kaidah undang-
undang dan peraturan merupakan konsep-konsep hukum yang bersifat
positivistis, dogmatis, normatif, legislatif (John Sustri, Hans Kelsen)
Konsep-konsep yang mengidentifikasikan hukum sebagai institusi sosial
yang riil dan fungsional dalam sistem kehidupan bermasyarakat merupakan
konsep-konsep hukum yang sosiologis, empiris, antropologis yang kemudian
mewujdukan studi-studi sosiologi hukum, antropologi hukum dan studi hukum
dan masyarakat.
Selain itu beberapa konsepsi hukum seperti di atas juga dikemukakan
oleh:
a. Prof. Mochtar kusumaatmadja, yang mengemukakan konsepsi hukum dalam
arti luas, hukum itu tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-
kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat tetapi meliputi
pula lembaga (institution) dan proses-proses yang mewujdukan berlakunya
13
kaidah-kaidah dan asas-asas itu dalam kenyataan. Konsep ini dapat dinilai
sebagai konsep yang kompromistis.
b. Prof. Djojodigoeno, mengajukan suatu konsepsi yang tidak memandang
hukum sebagai rangkaian ugeran lagi, tetapi sebagai rangkaian pengugeran
(normering) tingkag laku dan perbuatan orang. Dan pengugeran ini ukurannya
adalah ”unsur-unsur yang menentukan cita-cita keadilan yang hidup dalam
masyarakat” harus langsung dipergantungkan pada perikatan-perikatan yang
menentukan pergaan masyarakat dan nilai-nilai yang dijunjung rakyat dalam
hubungan timbal balik dan saling menentukan.
c. Prof AAG Peters, mengajukan pendapat yang dinamakan pandangan hukum
kritis. Ajaran hukum yang memandang hukum sebagai bagian dari
masyarakat, hukum dalam masyarakat. Ia melihat di dalam hukum itu di satu
pihak endapan dari perbandingan kekuatan yang nyata dan kepentingan-
kepentingan yang dominan, sedang dilain pihak juga aspirasi untuk keadilan
dan legitimistis. Ia hendak mengetahui apakah atau sejauh mana di belakang
bentuk yuridis yang universal tersembunyi isi yang khas, yang ditentukan oleh
perbandingan kekuatan (power relationship) dan struktur kepentingan. Watak
hukum yang sesungguhnya dapat dipahami dari aspirasi-aspirasi menuju ke
hukum yang optimal, yang melekat pada asas-asas hukum, yang tertuju
mengurangi kesewenang-wenangan penguasa dan melindungi hak-hal asasi
manusia.
Antonie A.G. Peters mengemukakan ada tiga perspektif, yaitu:
a. Perspektif kontrol sosial dari hukum. Tinjauan demikian dapat disebut
sebagai tinjauan dari sudut pandang seorang polisi terhadap hukum (the
policemen view of the law).
b. Perspektif kedua dari fungsi hukum di dalam masyarakat adalah perspektif
social engineering yang merupakan tinjaun yang digunakan oleh para pejabat
(the officials perspetive of the law) dan oleh karena pusat perhatiannya adalah
apa yang diperbuat oleh pejabat penguasa dengan hukum, maka tinjauan ini
kerap kali disebut juga (the tecnocrat’s view of law). Yang dipelajari di sini
adalah sumber-sumber kukuasaan yang dapat dimobilisasikan dengan
menggunakan hukum sebagai mekanisme. Untuk memahami hukum dalam
perspektif ini diajukan teori Max Weber mengenai hukum dan perubahan
masyarakat.
c. Perspektif ketiga adalah perspektif emansipasi masyarakat daripada hukum.
Perspektif ini merupakan tinjauan dari bawah terhadap hukum (the bottom’s
up view of the law). Dengan perspektif ini ditinjuan kemungkinan-
kemungkinan dan kemapuan hukum sebagai sarana untuk menampung
aspirasi masyarakat. Untuk memahami perspektif ini ditunjuk konsepsi yang
dikemukakan oleh Philie Nonet dan Philip Selznick mengenai hukum
responsive.
Lawrence Rosen melihat adanya tiga dimensi penting pendayagunaan
pranata-pranata hukum di dalam masyarakat yang sedang berkembang, yakni:
14
1. Hukum sebagai pencerminan dan wahana bagi konsep-konsep yang berbeda
mengenani tertib dan kesejahteraan social yang berkaitan dengan pernyataan
dan perlindungan kepentingan masyarakat.
2. Hukum dalam peranannya sebagai pranata otonom dapat pula merupakan
pembatas kekuasaan sewenang-wenang, sungguhpun pendayagunaan hukum
tergantung kepada kekuasaan-kekuasaan lain di luarnya.
3. Hukum dapat didayakan sebagai sarana untuk mendukung dan mendorong
perubahan social ekonomi. Walaupun di sini tidak ada tergambat
kemungkinan
15
menyadari, bahwa factor-faktor dan kekuatan-kekuatan di luar hukum akan
memberikan beban pengaruhnya pula terhdap hukum serta proses bekerjanya
Masuknya hokum makin dalam dan makin luas ke dalam masyarakat
menimbulkan oleh hokum dan akibat-akibat yang ditimbulkannya pada tingkah
laku manusia dan pada lembaga-lembaga di dalam masyarakat.
Pengaturan oleh hokum yang membatasi kekuatan-kekuatan dan
kepentingan-kepentingan di dalam masyarakat akan berhadapan dengan
kekuatan-kekuatan dan kepenitngan-kepentingan yang terdapat di dalam
masyarakat itu sendiri. Hukum berkepentingan atas hasil yang akan diperolehnya
dengan cara mengatur dengan peraturan hokum, oleh karena itu hokum harus
memahami seluk beluk masalah yang diaturnya. Maksudnya juga harus
menyadari bahwa kekuatan-kekuatan di luar hokum akan memberikan pengaruh
pada hokum dan proses bekerjanya hokum.
Untuk memhami hubungan timbale balik demikian diperlukan suau
pendekatan terhadap hokum yang tidak sepihak saja yaitu yang hanya
memperlajari hokum sebagai suatu sustem susunan peraturan-peratauran yang
terpadu, logis dan konsisten dengan rumusan-rumusan yang pasti tentang istilah-
istilah dan pengertian-pengertian yang dipergunakan yang merupakan studi
mengenai system, aturan hokum positif dan lazimnya disebut pengetahuan
hokum yang analitis, positivistis, tetapi diperlukan suatu pendekatan yang lebih
luas terhadap hokum yaitu dengena menggunakan pendekatan-pendekatan ilmu-
ilmu social.
Di luar ilmu hokum, ilmu-ilmu social juga mengarahkan perhatiannya pada
hokum sebagai objek penyelidikan. Para ahli sosiologi, menangkap kejadian-
kejadian yang dihadapinya, berusaha menganalisis dan mencari sebab-sebabnya.
Para ahli sosiologi tidak memberikan penyelesaian atau jalan keluar pada
persoalan-persoalan itu menurut preskripsi-preskripsi tertentu, tetapi hanya
membuat deskripsi mengenai apa yang mereka hadapi itu dan beusaha untuk
memahaminya. Cara pendekatan demikin juga diterapkan oleh para ahli sosiologi
terhadap hukum.
Pada abad ke XX ini ilmu hukum yang sosiologis mengarahkan pehatian
pada pengaruh-pemgaruh sosial ekonomi psikologi dan faktor-faktor lain di luar
hukum terhadap isi peraturan hukum.
Kerjasama antara ilmu hukum dengan ilmu-ilmu sosial dilakukan dengan
cara memanfaatkan hasil-hasil ilmu sosial oleh ilmu hukum.
Menurut T. Vanderbilt, oleh karena sekarang ini hukum modern sudah
menjadi sangat luas dan rumit (kompleks) maka hukum hanya akan dapat
bertahan dengan isi yang hidup, mampu beroperasi secara efisien dan
menentukan tujuan-tujuannya dengan tepat, bilamana hukum meninjau
kebenaran-kebenaran yang diungkapkan oleh ilmu-ilmu sosial, politik, ekonomi
dan filsafat.
Philip Selznick mengemukakan bahwa studi hukum yang soisiologis di
Amerika Serikat menempuh tahap-tahap sebagai berikut:
1. Tahap penyebaran gagasan (primitive or missionary stage)
16
2. Tahap keterampilan sosiologis
3. Tahap yang mencerminkan otonomi dan kematangan intelektual.
Tahap-tahap ini merupakan gejala universal yang terjadi pada
perkembangan, ilmu-ilmu sosial pada umumnya. Dalam tahap penyebaran
gagasan diajukan suatu perspektif baru dalam studi hukum. Hukum yang
sebelumnya diperlakukan sebagai wilayah yang terasing, ditembus dengan
memberikan perspektif sosiologis. Perspektif sosiolois ini dilakukan dengan
mengajukan kebenaran-kebenaran sosiologis yang bersifat umum dan mendasar
ke dalam studi hukum.
Tahap keterampilan sosiologis , tidak hanya dikemukakan gagasan-gagasan
dan teori-teori tetapi dilakukan penjajagan dan penyelidikan secara mendalam
dengan mendasarkan pada teknik-teknik dan metode-metode sosiologis yang
sebenarnya.
Dalam tahap kemandirian dan kematangan intelektual, timbul kembali teori-
teori yang tingkatnya sudah lebih tinggi dibandingkan teori-teori yang
dikemukakan pada tahap pertama.
C. Penutup
Setelah mempelajari dan membahas bab ini jawablah pertanyaan-
pertanyaan berikut ini:
1. Jelaskan apa yang dimaksud hukum sebagai sebuah konsep menurut Sutandyo!.
2. Uraikan bagaimana Antonie A.G. Peters mengemukakan tiga perspektif
mengenai hukum!.
3. Lawrence Rosen melihat adanya tiga dimensi penting pendayagunaan pranata-
pranata hukum di dalam masyarakat yang sedang berkembang. Jelaskan.
4. Jelaskan bagaimana kaitan antara hukum dan ilmu-ilmu sosial.
17
BAB III
HUKUM DAN BASIS SOSIALNYA
A. Pendahuluan
Dalam bab ini akan dibahas menganai hukum dan basis sosialnya.
Diharapkan mahasiswa akan dapat mengetahui bagaimana hukum yang berlaku di
dalam masyarakat itu dapat sesuai dan dapat terjalin dengan baik ke dalam jaringan
interaksi sosial; apakah hukum merupakan sarana pengatur masyarakat yang telah
berfungsi dengan baik atau apakah masyarakat mencari sarana, pengatur lain yang
diperlukan diluar hukum; bagaimana hukum ini berkembang dan faktor-faktor apa
yang memungkinkan hukum itu berkembang.
B. Penyajian
Untuk memahami perkaitan sistematis antara hukum dengan struktur sosial
yang mendukung hukum itu, perlu dipahami mengenai basis sosial dari hukum.
Struktur sosial diartikan sebagai bentuk pengorganisasian suatu kehidupan sosial,
yaitu bagaimana ia menentukan hubungan antara lembaga-lembaga di dalam
masyarakat, bagaimana ia menyusun pelapisan sosialnya, menyusun kaedah-kaedah
dan sebagainya. Setiap struktur sosial seharusnya memperkembangkan sistem
hukumnya sendiri yang sesusai. Dalam hubungan ini suatu struktur sosial itu boleh
disebut sebagai sarana untuk dapat menjalankan sistem hukumnya itu.
Masalah yang menjadi perhatian adalah: bagaimana hukum yang berlaku di
dalam masyarakat itu dapat sesuai dan dapat terjalin dengan baik ke dalam jaringan
interaksi sosial; apakah hukum merupakan sarana pengatur masyarakat yang telah
berfungsi dengan baik atau apakah masyarakat mencari sarana, pengatur lain yang
diperlukan diluar hukum; bagaimana hukum ini berkembang dan faktor-faktor apa
yang memungkinkan hukum itu berkembang.
Dari segi asal usul hukum, timbulnya hukum sebagai tingkah laku anggota-
angota masyarakat adalah karena di dorong oleh motif-motif untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Menurut Paul Vinogadroff, hukum tumbuh dari praktek-
praktek yang dijalankan oleh anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan
anatara yang satu dengan yang lainnya.
Praktek-praktek itu tidak berpedoman pada norma-norma dari suatu sistem
hukum tertentu, tetapi didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan memberi dan
menerima dalam hubungan yang diukur dengan pertimbangan kepatutan
(kepantasan): based on a give and take consideration in a reasonable social
intercourse.
Menurut Vinogradoff tidak ada lembaga hukum yang timbulnya disebabkan
karena dimulai dengan pengaturan oleh hukum atau karena terjadinya konflik.
Lembaga kewarisan timbul dari kebutuhan untuk mengatur kehidupan rumah tangga
sesudah kepala rumah tangga meninggal, hak milik bersumber pada pendudukan
(okupasi: penguasaan atas barang milik orang lain), penguasaan atas suatu barang
bersal dari detensi, kontrak berasal dari kebiasaan tukar menukar.
18
Menurut Vinogradoff hukum tidak timbul karena terjadinya konflik mengenai
hak-hak orang untuk diselesaikan oleh suatu lembaga perwasiatan tetapi timbul dari
praktek-praktek yang serta merta (spontan) berdasarkan pertimbangan sosial dan
individual tentang bagaimana sebaiknya suatu hal itu dilakukan.
Paul Bohanan seorang ahli antropologi juga mempersoalkan perkaitan
fungsional antara hukum dengan basis sosialnya. Bohanan memulai dengan
memperhatikan perkaitan antara hukum dengan kebiasaan. Bohanan membedakan
secara tajam anatara norma dan kebiasaan. Menurut aturan baik yang diungkapkan
dengan jelas maupun tidak yang menyatakan mengenai apa seharusnya dilakukan
dalam hubungan antara masnusia dengan manusia. Kebiasaan adalah seperangkat
norma-norma sebagaimana tersebut di atas, yang secara nyata dilakukan dalam
praktek sehari-hari. Tiap lembaga di dalam masyarakat didukung oleh kebiasaan.
Menurut bohanan ciri-ciri yang terdapat dalam definisi tentang hukum dapat
dijumpai semuanya pada kebiasaan. Bedanya hanya kebiasaan itu tetap berada dalam
keadaan seperti semula, sedangkan hukum diciptakan kembali secara khusus oleh
badan di dalam masyarakat ke dalam bentuk yang lebih khusus dan lebih sempit serta
lebih jelas. Dalam bentuknya yang demikian ini , kebiasaan lalu dikatakan memiliki
ciri hukum (legal character) sehingga menurut Bohanan hukum merupakan suatu
perkembangan kembali (reinstitutionalization) dari kebiasaan. Hukum adalah
kebiasaan yang menjalani pelembagaan kembali untuk memenuhi tujuan yang lebih
terarah dalam kerangka yang disebut hukum. Melalui pelembagaan kembali itu
kebiasaan diolah secara khusus, sehingga memperoleh bentuk yang dapat dikelola
secara hukum.
Di dalam masyarakat Hukum Adat, apa yang merupakan hukum dapat
diucpakan begitu saja melalui kepala-kepala persekutuan hidup setempat. Atau
penafsiran yang lebih luas lagi mengatakan, bahwa hukum di situ lahir melalui
keputusan-keputusan yang dilakukan oleh para warga masyarakat sendiri.
Bagaimanapun juga kompetensi total seperti ini hanya dimungkinkan, apabila di
dalam masyarakat itu terdapat tingkat keterpaduan nilai-nilai yang tinggi. Apabila
kita memerinci lebih lanjut mengenai unsur-unsur yang mendukung kompetensi total
tersebut, maka ia dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Terdapat kesepakatan yang tinggi mengenai norma-norma yang berlaku di
dalam masyarakat.
2. Terdapat jangkauan luas pengalaman yang hampir sama diantara para anggota
masyarakat.
3. Terdapat hubungan yang dekat diantara para anggota masyarakat.
4. Perubahan-perubahan yang berjalan secara perlahan-lahan
Pengaturan oleh hukum dalam masyarakat akan memperlihatkan karakteristiknya
sebagai berikut:
1. Kemudahan untuk menentukan pilihan-pilihan
2. Kesederhanaan dalam organisasi dan prosedur penetapan norma-norma
3. Kurangya beban permintaan /tuntutan yang terorganisasi maupun tidak dari
anggota-anggota masyarakat terhadap pembuat hukum
19
4. Kemudahan untuk menyusun norma-norma yang berlaku umum dan yang
diikuti dengan efektivitas yang tingg pula.
C. Penutup
Setelah mempelajari bab ini kerjakanlah pertanyaan ini:
Menurut Paul Vinogadroff, hukum tumbuh dari praktek-praktek yang dijalankan oleh
anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan anatara yang satu dengan yang
lainnya. Uraikanlah maksud penyataan Vinogadroff tersebut dan bagaimana
pendapat anda?
20
BAB IV
BUDAYA HUKUM
A. Pendahuluan
Bab ini akan membahas mengenai Budaya hukum dan hubungan antara
budaya hukum dan keadilan. Diharapkan dalam bab ini mahasiswa akan mampu
mengetahui konsep budaya dan budaya hukum serta kaitanya dengan keadilan.
Peningkatan ketaatan warga masyarakat terhadap aturan hukum tidaklah selalu harus
dengan ancaman sanksi (pidana, perdata atau administratif), tapi besar juga
pengaruhnya oleh suatu penciptaan kondisi yang lebih baik terhadap penghargaan
aturan hukum karena adanya sikap tindak panutan pemimpin masyarakat atau tokoh
masyarakat, pejabat publik ataupun para penegak hukum itu sendiri. wibawa hukum
besar sekali pengaruhnya terhadap implementasinya di lapangan, tanpa adanya
peranan yang besar dari para tokoh masyarakat atau pun pejabat publik serta aparatur
penegak hukum dalam memberikan penghargaan yang tinggi terhadap aturan hukum,
mustahil kiranya aturan hukum itu dapat membuahkan keadilan dalam setiap
persoalan atau konflik sosial yang terjadi.
Penciptaan aturan hukum sesuai dengan hukum yang hidup di dalam
masyarakat atau sesuai tingkat kesadaran hukum masyarakat (the living law : hukum
yg baik adalah hukum yang hidup dalam masyarakat- karena tingkat adaptasi dan
penerimaan yang besar dari masyrakat memudahkan penegakannya di lapangan) dan
peningkatan sikap tindak panutan dari para tokoh masyarakat serta aparatur penegak
hukum kiranya berpengaruh besar dan positif dalam penegakan hukum serta
peningkatan pemberdayaan budaya hukum dalam masyarakat.
"aturan hukum hanya seonggok kertas lusuh tanpa dilaksanakan dengan konsisten
dan integritas oleh pelaksananya... hukum tidak netral, tetapi efektifitasnya
terpengaruh sekali oleh persepsi aparatur pelaksananya serta konsistensinya..
B. Penyajian
1. Budaya Hukum
Menurut Lawrence M. Friedman, untuk kepentingan analisis, system hokum
yang beroperasi dapat dianggap sebagai sesuatu yang berisi tiga komponen.
Komponen pertama adalah komponen struktural, yaitu bagian-bagian yang
bergerak dalam suatu mekanisme. Struktur pengadilan yang berupa hakim yang
bersidang dengan jurisdiksi tertentu , badan pembuat undang-undang dan juga
konstitusi tertulis merupakan contoh-contoh mengenai apa yang dimaksud
komponen struktural dari hukum.
Komponen kedua adalah substansi, yaitu hasil sebenarnya yang dikeluarkan
oleh sistem hukum. Setiap keputusan yang merupakan produk substantif dari
suatu sistem hukum umpamanya keputusan yang dibuat oleh pengadilan juga
setiap keputusan yang diundangkan oleh pembuat undang-undang serta setiap
ketentuan yang diterapkan oleh badan-badan pemerintah merupakan substansi.
Struktur dan substansi sebenarnya merupakan apa pang pada umumnya
disebut sistem hukum.
21
Komponen yang ketiga berupa sikap dan nilai-nilai yang menjadi pegangan
masyarakat yang akan menentukan apakah pengadilan akan dimanfaatkan atau
tidak, apabila menghadapi suatu masalah hukum. Dalam beberapa kebudayaan
maksud untuk berperkara di muka pengadilan dianggap sebagai upaya terakhir,
sedangkan pada kebudayaan lain berperkara di muka pengadilan merupakan
kegiatan yang biasa dilakukan sehari-hari.
Selanjutnya Friedman merumuskan budaya hukum sebagai sikapsikap dan
nilai-nilai yang ada hubungan dengan hukum dan sistem hukum, berikut sikap-
sikap dan nilai-nilai yang memberikan pengaruh baik positif maupun negatif
kepada tingkah laku yang berkaitan dengan hukum. Demikian juga kesenangan
atau ketidak senangan untuk berperkara adalah bagian dari budaya hukum. Oleh
karena itu, apa yang disebut dengan budaya hukum itu tidak lain dari keseluruhan
faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempatnya yang
logis dalam kerangka budaya milik masyarakat umum. Maka secara singkat dapat
dikatakan bahwa yang disebut budaya hukum adalah keseluruhan sikap dari
warga masyarakat dan sistem nilai yang ada dalam masyarakat yang akan
menentukan bagaimana seharusnya hukum itu berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan.
Di korea dianggap tidak pantas apabila orang memaksakan hak hukumnya
atau menggugat orang lain ke muka pengadilan, karena hal ini berarti secara
terang-terangan mengajak bersengketa. Seorang Korea yang menggunakan
sarana hukum untuk melindungi hak miliknya dianggap tidak mempunyai
perasaan.
Sebaliknya di Birma kegemaran berperkara merupakan hal yang umum. Di
Ranggun merupakan hal yang biasa saja bahwa pengusaha mewujudkan
kelebihan dana setiap tahun untuk mencari-cari perkara yang kioranya dapat
dibawa ke muka pengadilan untuk mencari keuntungan. Dengan demikian yang
disebut budaya hukum adalah keseluruhan faktor-faktor yang menentukan
bagaimana sistem hukum memperoleh tempat yang sesuai dan dapat diterima di
dalam kerangka budaya masyarakat.
Menurut ahli anthropologi, budaya tidak sekedar berati kumpulan bentuk
tingkah laku dan pemikiran yang saling terlepas akan tetapi budaya diartikan
sebagai kategori sisa sehingga di dalamnya termasuk keseluruhan nilai sosial
yang berhubungan dengan hukum, berikut sikap-sikap yang mempengaruhi
bekerjanya hukum tetapi yang bukan merupakan hasil deduksi dari substansi dan
struktur. Sehingga termasuk di dalamnya rasa hormat atau tidak hormat kepada
hukum, kesediaan orang untuk menggunakan pengadilan karena memilih cara-
cara informal untuk menyelesaikan suatu sengketa. Termasuk pula ke dalam
budaya hukum adalah sikap-sikap dan tuntutan-tuntutan terhadap hukum yang
diajukan oleh kelompok-kelompok etnis, ras, agama, lapangan pekerjaan dan
kelas-kelas sosial yang berbeda (lawrence M. Friedman, 1969)
22
Eman Suparman, membicarakan mengenai perilaku hukum dan budaya
hukum tentu tidak dapat menghidarkan diri dari pembicaraan tentang sistem
hukum, karena perilaku dan budaya hukum keduanya merupakan unsur dari
sistem hukum. Di samping kedua unsur tersebut, Kees Schuit 16 menguraikan
unsur-unsur yang termasuk dalam suatu sistem hukum, yaitu:
a. Unsur idiil. Unsur ini terbentuk oleh sistem makna dari hukum, yang terdiri
atas aturan-aturan, kaidah-kaidah, dan asas-asas. Unsur inilah yang oleh para
yuris disebut “sistem hukum.”
b. Unsur operasional. Unsur ini terdiri atas keseluruhan organisasiorganisasi dan
lembaga-lembaga, yang didirikan dalam status sistem hukum. Yang termasuk
ke dalamnya adalah juga para pengemban jabatan (ambtsdrager), yang
berfungsi dalam kerangka suatu organisasi atau lembaga.
c. Unsur aktual. Unsur ini adalah keseluruhan putusan-putusan dan perbuatan-
perbuatan konkret yang berkaitan dengan sistem makna dari hukum, baik dari
para pengemban jabatan maupun dari para warga masyarakat, yang di
dalamnya terdapat sistem hukum itu.
Sementara itu L.M. Friedman mengungkapkan tiga komponen dari sistem
hukum. Ketiga komponen dimaksud adalah: (1) struktur, (2) substansi, dan (3)
kultur atau budaya. Pertama, sistem hukum mempunyai struktur,18 yaitu
kerangka bentuk yang permanen dari sistem hukum yang menjaga proses tetap
berada di dalam batas-batasnya. Struktur terdiri atas: jumlah serta ukuran
pengadilan, jurisdiksinya (jenis perkara yang diperiksa serta hukum acara yang
digunakan), termasuk di dalam struktur ini juga mengenai penataan badan
legislatif. Kedua, substansi, yaitu aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia
yang berada dalam sistem itu. Termasuk ke dalam pengertian substansi ini juga
“produk” yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu–
keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Ketiga,
adalah kultur, atau budaya hukum, yaitu sikap manusia terhadap hukum dan
sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Budaya hukum
ini pun dimaknai sebagai suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang
menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan.
Friedman juga membedakan budaya hukum menjadi external and internal
legal culture. Esmi Warassih Pujirahayu mengelaborasi hal ini lebih lanjut yaitu
bahwa, budaya hukum seorang hakim (internal legal culture) akan berbeda
dengan budaya hukum masyarakat (external legal culture). Bahkan perbedaan
pendidikan, jenis kelamin, suku, kebangsaan, pendapatan, dan lain-lain dapat
merupakan faktor yang mempengaruhi budaya hukum seseorang. Budaya hukum
merupakan kunci untuk memahami perbedaan-perbedaan yang terdapat di dalam
sistem hukum yang lain. Selanjutnya dikemukakan bahwa, “penerapan suatu
sistem hukum yang tidak berasal atau ditumbuhkan dari kandungan masyarakat
merupakan masalah, khususnya di negara-negara yang sedang berubah karena
terjadi ketidakcocokan antara nilai-nilai yang menjadi pendukung sistem hukum
dari negara lain dengan nilai yang dihayati oleh anggota masyarakat itu sendiri.
23
Mengacu pada pendapat tersebut, tidak ada keraguan kalau penggunaan
lembaga pengadilan sebagai tempat menyelesaikan sengketa sesungguhnya tidak
cocok dengan nilai-nilai yang hidup dan dihayati masyarakat pribumi Indonesia.
Masalahnya, seperti telah diungkapkan di muka dilihat dari optik sosio kultural,
hukum modern yang digunakan dewasa ini merupakan hasil transplantasi 25 sistem
hukum asing (Eropa) ke tengah tata hukum (legal order) masyarakat pribumi
Indonesia, sehingga sangat wajar apabila lembaga pengadilan yang merupakan
bagian sekaligus penyangga dari sistem hukum modern itu meski telah
dintroduksikan ke dalam sistem hukum Indonesia selama enam dekade sejak
tahun 1942, namun tetap saja merupakan semacam “benda asing dalam tubuh
kita.”
Bertolak dari serangkaian fakta di muka, tentu harus diakui sebab
bagaimana pun seluruh alur perkembangan sistem hukum di Indonesia telah
banyak terbangun dan terstruktur secara pasti berdasarkan konfigurasi asasasas
yang telah digariskan sejak lama sebelum kekuasaan kolonial tumbang.
Sementara itu budaya hukum para yuris yang mendukung beban
kewajiban
membangun hukum nasional amat sulit untuk menemukan pemikiranpemikiran
yang lateral dan menerobos. Di lain pihak Soetandyo Wignjosoebroto
menyatakan: “Berguru kepada guru-guru Belanda dalam situasi kolonial,
pemikiran para yuris nasional ini pun mau tak mau telah diprakondisi oleh dotrin-
doktrin yang telah ada. Para perencana dan para pembina hukum nasional juga
sekalipun mereka itu mengaku bersitegak sebagai eksponen hukum adat dan
hukum Islam – adalah sesungguhnya pakar-pakar yang terlanjur terdidik dalam
tradisi hukum Belanda, dan sedikit banyak akan ikut dicondongkan untuk
berpikir dan bertindak menurut alur-alur-alur tradisi ini, dan bergerak dengan
modal sistem hukum positif peninggalan hukum Hindia Belanda (yang tetap
dinyatakan berlaku berdasarkan berbagai aturan peralihan).” Padahal hukum
yang dibutuhkan oleh dan untuk negeri berkembang yang tengah berubah lewat
upaya-upaya pembangunan seperti Indonesia ini adalah hukum yang dapat
berfungsi sebagai pembaharu, dan bukan sekadar sebagai pengakomodasi
perubahan seperti yang diimplisitkan dalam ajaran the sociological jurisprudence
Roscoe Pound. Ditengarai oleh Robert Seidman bahwa pengalaman hukum yang
melahirkan institusi-institusi hukum modern itu sesungguhnya cultural bound
dalam konteks tradisi hukum Barat.
Hukum yang dibingkai oleh tradisi dan konfigurasi kultural Barat ini
nyata-nyata tidak mudah untuk dengan begitu saja dipakai dalam
rangkamengatasi permasalahan hukum dan permasalahan pembangunan pada
umumnya di negeri-negeri berkembang non-Barat yang memiliki aset-aset sosio-
kultural yang berbeda. Inilah kenyataan yang ditengarai oleh Robert Seidman
sebagai the Law of the Nontransferability of law. Melengkapi uraian di muka,
Esmi Warassih Pujirahayu juga mengemukakan, “Secara umum dapat dikatakan
bahwa lapisan pengambil keputusan umumnya menjatuhkan pilihannya kepada
sistem hukum yang modern rasional, sementara hal tersebut tidak selalu sejalan
24
dengan kesiapan masyarakat di dalam menerima sistem tersebut.” Oleh karena
itu, dapat dipahami jika penggunaan hukum modern beserta segenap institusi-
institusi hukumnya kemudian menimbulkan persoalan yang cukup krusial di
dalam masyarakat. Apalagi ketika lembaga pengadilan sebagai pranata dan
penyangga sistem hukum modern terbukti tidak mampu menjawab tantangan
perubahan yang tengah berlangsung di negara ini terutama dalam tugasnya
menegakkan dan mendistribusikan keadilan kepada masyarakat. Pengalaman
sesudah kemerdekaan, para pengusaha merasakan betapa pengadilan tidak
bersimpati terhadap masalah dan kebutuhan para pengusaha. Menurut Daniel S.
Lev perubahan sosial dan ekonomi yang cukup luas juga menyebabkan
perubahan dalam budaya hukum masyarakat. Prosedur peradilan menjerakan para
pengusaha untuk menggunakan pengadilan. Berkaitan dengan hal itu, dikutipnya
secara lengkap komentar seorang advokat yang termasuk angkatan tua dari
Bandung, yang mengatakan: “...Para hakim dewasa ini kurang memahami hukum
dan kurang menaruh perhatian. Saya menulis alasan-alasan yang lengkap untuk
perkara-perkara saya, tetapi para hakim muda sering marah karena alasan
tersebut terlalu panjang untuk dibaca. ...Maka terlepas dari tidak adanya rasa
senang saya di pengadilan, tidak ada pentingnya bagi perusahaan yang saya
wakili untuk mengajukan perkaranya ke pengadilan kecuali kalau hal itu mutlak
perlu. Tidak hanya pengadilan yang sulit, tetapi keseluruhan prosesnya pun
berliku-liku. Kita harus memberi uang tidak resmi kepada panitera untuk
memperoleh dokumen eksekusi bila putusan pada akhirnya sudah dijatuhkan.
Terlalu banyak saluran yang harus dilalui agar segala sesuatunya dikerjakan, dan
kesemuanya itu perlu biaya. Dalam semua kontrak yang saya tulis untuk
perusahaan klien saya, saya masukkan klausula arbitrase sehingga terhindar dari
urusan dengan pengadilan.”
Komentar di atas betapa pun menjukkan bahwa penghindaran
penyelesaian peselisihan melalui pengadilan di kalangan pelaku bisnis
tampaknya mempunyai sumber dukungan lain di samping kecenderungan
budaya. Arbitrase dan mediasi menjadi forum alternatif yang menjad pilihan dan
tumpuan yang dipercaya oleh para pelaku bisnis untuk menyelesaikan sengketa
mereka di luar pengadilan, karena para pelaku bisnis terutama yang berasal dari
negara-negara maju meyakini bahwa arbitrase dan mediasi mempunyai
karakteristik yang sesuai dengan budaya bisnis. Seperti dikemukakan oleh Robert
Coulson: “Business executives are losing patience with judicial solutions that
take years to achive results and that leave both parties exhausted by delays and
legal expenses. Many people like what alternative dispute resolution can offer.
They are finding that commercial arbitration and mediation are sensible ways to
resolve business dispute.”
Pada dasarnya tidak ada pelaku bisnis yang hendak kehilangan peluang
berbisnis hanya karena menghadapi penyelesaian sengketa dengan mitranya yang
berlarut-larut di pengadilan. Oleh karena itu, walaupun arbitrase sesungguhnya
merupakan institusi penyelesaian sengketa yang menggunakan pendekatan
pertentangan (adversarial) dengan hasil win-lose seperti juga pengadilan,34 akan
25
tetapi arbitrase tetap dianggap berbeda dengan pengadilan. Yang dianggap
sebagai perbedaan cukup penting oleh para pelaku bisnis antara arbitrase dengan
pengadilan adalah, dalam arbitrase mereka mempunyai kedaulatan untuk
menetapkan arbiter yang terdiri atas pakar-pakar yang ahli di bidangnya untuk
memeriksa dan memutus sengketa mereka. Sedangkan kedaulatan para pihak
semacam itu sama sekali tidak mungkin diekspresikan di depan badan peradilan
umum
C. Penutup
Setelah mempelajari bab ini, jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini:
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan budaya hukum?
2. Bagaimana prespektif Friedman mengenai budaya hukum?
3. Jelaskan kaitan antara budaya hukum dan perolehan keadilan!.
26
BAB V
HUKUM DAN PERUBAHAN SOSIAL
A. Pendahuluan
Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat di sini adalah dalam arti
bahwa hukum mungkin dipergunakan sebagai suatu alat oleh agent of change
(pelopor perubahan). Yang dimaksud dengan agent of change ini adalah seorang atau
sekelompok orang yang mendapat kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin
satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan. Untuk mempengaruhi masyarakat
dalam mengubah sistim sosial, teratur dan direncanakan terlebih dahulu yang
dinamakan dengan social engineering atau social planning.
27
mengadakan suatu klasifikasi antara masyarakat yang statis dengan masyarakat yang
dinamis. Masyarakat yang statis dimaksudkan sebagai suatu masyarakat dimana
terjadinya perubahan-perubahan secara relatif sedikit sekali, sedangkan perubahan-
perubahan tadi berjalan dengan lambat.
B. Penyajian
28
mengahambat, seperti kurangnya hubungan dengan masyarakat-masyarakat lain,
perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat, sikap masyarakat yang
tradisionalistis, adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam kuat sekali,
rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan, prasangka terhadap
hal-hal yang baru atau asing, hambatan-hambatan yang bersifat ideologis, dan
mungkin juga adat istiadat.
29
lembaga-lembaga kemasyarakatan yang telah diubah atau diganti, agar supaya
yang bersangkutan terhindar disorganisasi kejiwaan.
30
pun menganut faham bahwa perubahan-perubahan hukum selalu mengikuti
perubahan-perubahan sosial lainnya.
31
perubahan sosial. Sekali lagi, hukum akan dipandang sebagai peubah bebas dan
peubah tak bebas, yaitu, sebagai sebab dan akibat dari perubahan social. Bab ini
juga akan membahas keuntungan dan kelemahan hukum sebagai instrumen
perubahan sosial, dan akan membahas serangkaian faktor-faktor sosial,
psikologis, budaya, dan ekonomi yang mempunyai pengaruh terhadap efikasi
hukum sebagai agen perubahan.
32
Identitas perubahan (identity of change) adalah fenomena sosial
tertentu yang sedang mengalami transformasi, seperti praktek, perilaku, sikap,
pola interaksi, struktur kewenangan, laju produktivitas, pola pemungutan suara,
prestise, atau system stratifikasi tertentu. Sekali identitas dari apa yang berubah
telah ditentukan, perhatian selanjutnya adalah pada level dimana perubahan itu
sedang terjadi. Walaupun konsep dari perubahan sosial adalah termasuk ke
dalam fenomena sosial, akan merupakan hal yang sulit untuk meneliti perubahan
tanpa tahu dimana perubahan itu terjadi. Sehingga, level perubahan akan
mengubah (delineates) lokasi dalam sistem sosial dimana perubahan sosial
tertentu sedang terjadi. Ada beberapa level perubahan sosial yang dapat
ditemukan, yaitu pada level individu, kelompok, organisasi, institusi, dan
masyarakat. Sebagai contoh, perubahan dalam level individual akan meliputi
perubahan-perubahan dalam sikap, kepercayaan, aspirasi, dan motivasi. Pada
level kelompok, akan mungkin terjadi perubahan dalam pola interaksi,
komunikasi, metode-metode penyelesaian konflik, kohesi / keterikatan, kesatuan,
kompetisi, serta pola-pola penerimaan dan penolakan. Pada level organisasi,
ruang lingkup perubahan akan meliputi perubahan dalam struktur dan fungsi dari
organisasi, perubahan dalam hirarki, komunikasi, hubungan peranan,
produktivitas, rekrutmen, pengakhiran / terminasi, dan pola-pola sosialisasi.
Pada level institusi, perubahan dapat terjadi pada perubahan pola perkawinan dan
keluarga, pendidikan, dan praktek-praktek keagamaan. Pada level masyarakat,
perubahan dipandang sebagai modifikasi dari sistem stratifikasi, sistem ekonomi,
dan sistem politik.
33
Besaran perubahan (magnitude of change) dapat dipandang dalam hal
perubahan yang inkremental, marjinal, komprehensif, dan revolusioner.
Perubahan yang inkremental atau marjinal adalah perubahan yang menaikkan,
mengurangi, atau memodifikasi kontur dari norma atau perilaku tertentu tanpa
mengubah atau menghilangkan (repudiating) zat atau struktur aslinya (misalnya,
birokratisasi gradual dari lembaga-lembaga pendidikan tinggi). Ada suatu
kesepakatan dalam literatur perubahan sosial bahwa perubahan inkremental
adalah yang paling biasa terjadi dan pola perubahan “normal” di Amerika
Serikat. Perubahan komprehensif mungkin menggambarkan kulminasi dari
perubahan inkremental yang terkait, atau menurut kata-kata Robert A. Dahl
(1967: 264) “inovasi yang menyapu atau pembalikan yang keras” (“sweeping
innovations or decisive reversals of established”) dari norma-norma pola perilaku
(misalnya, desegregasi sekolah atau tidak memisahkan lagi antara sekolah untuk
murid kulit putih dengan sekolah untuk murid kulit berwarna). Perubahan-
perubahan yang ukurannya revolusioner akan mencakup substitusi keseluruhan
dari satu tipe norma atau perilaku ke norma atau perilaku lainnya, dan penolakan
keras (decisive rejection) dari perilaku asli atau norma-norma asli (misalnya,
abolisi atau penghapusan perbudakan atau penggantian dari sistem politik yang
satu ke sistem politik yang lainnya).
34
mengisolasikan salah satu dari faktor-faktor “penyebab” (“causes”) perubahan
sosial ini. Harus diakui bahwa, sangat menggoda dan sangat nyaman untuk
memilih salah satu saja (single out) “penggerak utama” (“prime mover”), satu
faktor, satu sebab, satu penjelasan, dan menggunakannya di berbagai situasi. Hal
itu juga terjadi dalam perubahan hukum : adalah sangat sulit, bahkan tidak
mungkin, untuk menggambarkan hubungan sebab-dan-akibat (cause-and-effect
relationship) dalam pembuatan hukum-hukum baru, yang akan dibahas dalam
bab ini, yaitu kita harus bersikap tak acuh / skeptis (skeptical) dan berhati-hati
(cautious) mengenai penjelasan tentang satu faktor penyebab secara umum, dan
khususnya perubahan sosial berskala besar.
35
BAB VI
BEBERAPA TEORI TENTANG HUKUM DAN PERUBAHAN SOSIAL
A. Pendahuluan
Bab ini membahas mengenai teori-teori yang membahas mengenai hukum
dan perubahan sosial yang dikemukakan oleh beberapa pakar. Dan juga membahas
pengantar mengenai hubungan antara hukum dan perubahan sosial.
B. Penyajian
1. Teori-Teori
a. Max Weber
Ia mengatakan bahwa “perkembangan hukum materil dan hukum acara,
mengikuti tahap-tahap perkembangan tertentu, mulai dari bentuk sederhana yang
didasarkan pada kharisma sampai pada tahap termaju dmana hukum disusun secara
sistimatis, serta dijalankan oleh orang-orang yang telah mendapatkan pendidikan dan
latihan-latihan dibidang hukum”. Tahap-tahap perkembangan hukum ini oleh Max
Weber lebih banyak merupakan bentuk-bentuk yang dicita-citakan dan menonjolkan
kekuatan-kekuatan sosial manakah yang berpengaruh dalam pembentukan hukum
pada tahap-tahap yang bersangkutan. Hal yang sama juga ditafsirkan terhadap
teorinya tentang nilai-nilai ideal dari sistem hukum, yaitu rasional dan irrasional.
b. Emile Durkheim
Pada pokoknya teori dari Durkheim ini menyatakan hukum merupakan
refleksi dari pada solidaritas sosial dalam masyarakat. Menurutnya didalam
masyarakat terdapat dua macam solidaritas, yaitu yang bersifat mekanis (mechanical
solidarity), dan yang bersifat organis (organic solidarity). Solidaritas yang mekanis
terdapat pada masyarakat-masyarakat yang sederhana dan homogen, dimana ikatan
pada warganya didasarkan pada hubungan-hubungan pribadi serta tujuan yang sama.
Sedangkan solidaritas yang organis terdapat pada masyarakat-masyarakat yang
heterogen dimana terdapat pembagian kerja yang kompleks.
Dengan meningkatnya diferensiasi dalam masyarakat, reaksi yang kolektif
terhadap pelanggaran-pelanggaran kaidah-kaidah hukum yang bersifat refresif
berubah menjadi hukum yang bersifat resitutif. Dimana tekanan diletakkan pada
orang yang menjadi korban atau yang dirugikan, yaitu bahwa segala sesuatu harus
dikembalikan pada keadaaan sebelum kaidah-kaidah tersebut dilanggar. Akan tetapi
teori dari Durkheim agak sulit untuk dibuktikan. Richard Schartz dan James C.
Miller dalam suatu penelitian ternyata bertentangan dengan teori Durkheim tentang
perkembangan dari hukum represif ke hukum restitutif. Namun demikian bukanlah
berarti bahwa teorinya sama sekali tidak berguna, karena ada hal-hal tertentu yang
berguna untuk menelaah sistim-sistim hukum dewasa ini, misalnya apa yang
dikemukakannya tentang hukum yang bersifat represif berguna untuk memahami
pentingnya hukuman.
36
Ia mengatakan bahwa perkembangan hukum dari status ke kontrak adalah
sesuai dengan perkembangan dari masyarakat yang sederhana dan homogen ke
masyarakat yang telah kompleks susunannya dan bersifat heterogen dimana
hubungan antara manusia lebih ditekankan pada unsur pamrih.
Selanjutnya Maine menekankan bahwa didalam melakukan tindakan-
tindakan hukum ditentukan oleh kedudukan (khususnya pada para ibu dan anak-anak
didalam keluarga). Sedangkan pada masyarakat-masyarakat yang sudah kompleks,
seseorang mempunyai beberapa kebebasan tertentu. Yang kemudian mengikatnya
adalah ketentuan-ketentuan di dalam kontrak tersebut.
d. Pitirin Sorokin
Teori yang dikemukakan oleh Sorokin adalah teori tentang perkembangan
hukum dan gejala-gejala sosial lainnya yang disesuaikannya dengan tahapan-tahapan
tertentu yang dilalui oleh masyarakat. Masyarakat berkembang sesuai dengan nilai-
nilai tertentu yang sedang menonjol di dalam masyarakat yang bersangkutan. Nilai-
nilai tersebut adalah ideational (yaitu kebenaran absolut sebagaimana diwahyukan
oleh Tuhan Yang Maha Kuasa), sensate (yaitu nilai-nilai yang didasarkan pada
pengalaman) dan yang idealistic (yang merupakan kategori campuran) hukum dan
gejala-gejala sosial lainnya terbentuk sesuai dengan bentuk nilai-nilai yang sedang
berlaku didalam masyarakat.
e. Arnold M. Rose
Dikemukakan oleh Arnold Rose bahwa ada 3 prihal penyebab terjadinya
perubahan sosial yang dihubungkannya dengan hukum, yaitu:
1. Kumulasi yang progresif dari pada penemuan-penemuan dibidang teknologi;
2. Kontak atau konflik antara kebudayaan; dan
3. Gerakan sosial (social movement).
Menurut ketiga teori diatas, hukum lebih merupakan akibat dari pada faktor
penyebab terjadinya perubahan-perubahan sosial. Dikemukakan oleh William F.
Ogburn bahwa penemuan-penemuan baru dibidang teknologi merupakan faktor
utama yang menjadi penyebab utama terjadinya perubahan-perubahan sosial oleh
karena penemuan-penemuan tersebut mempunyai daya berkembang yang kuat.
Kemudian faktor kedua adalah organisasi ekonomi oleh karena manusia pertama-
tama bermotivasi pada keuntungan ekonomis yang dimungkinkan oleh karena
adanya perubahan-perubahan dibidang teknologi. Hukum hanya merupakan refleksi
dari dasar-dasar teknologi dan ekonomi masyarakat. Dalam bentuk yang lebih politis
sifatnya, Karl Marx mengemukakan pula teori tersebut menyangkal adanya sebab-
sebab yang bersumber pada hukum maupun ideologi.
Teori lainnya yang menyangkut kebudayaan dikemukakan oleh banyak
antropolog dan sosiolog, yang menyatakan bahwa proses pembaruan (=perubahan)
terjadi apabila dua kebudayaan atau lebih berhubungan. Akan tetapi teori tersebut
kurang memuaskan oleh karena dewasa ini memungkinkan adanya hubungan atau
kontak yang tetap antara dua kebudayaan atau lebih, atau konflik antara kebudayaan-
kebudayaan tersebut.
37
Selain dari pada teori tersebut di atas ada pula teori gerakan sosial yang
menyatakan bahwa adanya ketidakpuasan terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu
menimbulkan keadaan yang tidak tenteram yang menyebabkan terjadinya gerakan-
gerakan untuk mengadakan perubahan-perubahan, yang seringkali perubahan-
perubahan terebut adalah terwujudnya suatu hukum baru. Namun teori tersebut tidak
berhasil mengemukakan faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya
ketidakpuasan dan bagaimana selanjutnya hukum dapat menyebabkan terjadinya
perubahan-perubahan lebih lanjut.
Teori lainnya lagi yang menghubungkan hukum dengan perubahan-
perubahan sosial adalah pendapat Hazairin tentang hukum adat. Dikatakannya bahwa
baik secara langsung maupun tidak langsung seluruh lapangan hukum mempunyai
hubungan dengan kesusilaan (khususnya dalam hukum adat) yang akhirnya
meningkat menjadi hubungan tara hukum dengan adat. Adat merupakan resapan
(endapan) kesusilaan di dalam masyarakat, yaitu bahwa kaidah-kaidah adat
merupakan kaidah-kaidah kesusilaan yang sebenarnya telah mendapat pengakuan
secara umum dalam masyarakat tertentu.
38
diharapkan oleh kaidah-kaidah sosial lainnya. Hal ini terjadi oleh karena hukum pada
hakekatnya disusun atau disahkan oleh bagian kecil dari masyarakat yang pada suatu
ketika mempunyai kekuasaan dan wewenang. Tertinggalnya hukum pada bidang-
bidang lainnya baru terjadi apabila hukum tidak dapat memenuhi kebutuhan-
kebutuhan masyarakat pada suatu ketika tertentu. Suatu contoh dari adanya lag dari
hukum terhadap bidang-bidang lainnya adalah hukum perdata (barat) yang sekarang
berlaku di Indonesia.
Tertinggalnya hukum oleh perkembangan bidang-bidang lainnya seringkali
menimbulkan hambatan-hambatan terhadap bidang-bidang tersebut. Misalnya dalam
KUHP (psl 534) tentang pelanggaran kesusilaan dapat menghambat pelaksanaan-
pelaksanaan program Keluarga Berencana di Indonesia. Selain itu, tertinggalnya
kaidah-kaidah hukum juga dapat mengakibatkan terjadinya anomie, yaitu suau
keadaan yang kacau, oleh karena tidak ada pegangan bagi para warga masyarakat
untuk mengukur kegiatannya. Misalnya saja tidak ada hukum perkawinan yang
mengatur hubungan perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan.
Sebaliknya pengaruh hukum terhadap lembaga-lembaga kemasyarakatan
lainnya adalah sangat luar biasa, misalnya hukum waris. Hukum mempunyai
pengaruh yang tidak langsung dalam mendorong terjadinya perubahan-perubahan
sosial dengan membentuk lembaga-lembaga kemasyarakatan tertentu yang
berpengaruh langsung terhadap masyarakat. Dan apabila hukum membentuk atau
mengubah basic institutions dalam masyarakat, maka terjadi pengaruh yang
langsung.
C. Penutup
Setelah mempelajari bab ini jawablah kerjakanlah soal-soal dibawah ini:
1. Buatlah analisis perbandingan teori-teori yang dikemukakan mengenai
hukum dan perubahan sosial
2. Jelaskn apa keterkaitan antara hukum dan perubahan sosial
39
BAB VII
PENGGUNAAN HUKUM SEBAGAI SARANA UNTUK MELAKUKAN
REKAYASA SOSIAL
A. Pendahuluan
Pendapat di dalam ilmu pengetahuan hukum yang sekarang lazim dianut
yaitu suatu pendapat yang berasal dari aliran ”legal realism” yang berkembang di
Amerika Serikat adalah pendapat bahwa: di dalam mempelajari hukum pemahaman
mengenai ”Law in action” sama pentingnya dengan pengetahuan mengenai: ”law in
books”. Pada saat ini di kalangan yang luas antara para sarjana hukum telah diterima
anggapan bahwa terlebih dahulu haruslah dilakukan penyeledikan yang sistematis
terhdap law in action sebelum dapat dipahami benar-benar mengenai hukum dalam
segala kompleksitasnya.
Sebagian besar bahan perkuliahan yang diberikan di fakultas-fakultas
hukum masih tetap menganggap bahwa dalam ketentuan-ketentuan konstitusi,
hukum adat dan hukum perundang-undangan benar-benar merupakan gambaran yang
sebenarnya dari hal-hal yang sungguh-sungguh terjadi. Akibat dari pengajran hukum
yang demikian ini adalah tersebar luasnya anggapan yang keliru tersebut.
Anggapan utama yang menjadi pegangan di mana-mana adalah bahwa
struktur normatif hukum perundang-undangan merupakan pencerminan dari
bagaimana hukum sebenarnya beroperasi. Anggapan ini di dasarkan pada asumsi
bahwa para pejabat kurang kreatif di dalam menciptkan hukum dan dalam
menerapkan hukum para pejabat hanya menyatakan bahwa pemerintahan dijalankan
dengan hukum bukan oleh orang-orang: ”Ours is a goverment of lawa, not of men”.
Disamping anggapan ini terdapat anggapan bahwa negara dengan diwakili oleh
pengadilan, polisi dan aparatur-aparatur negara yang lain membentuk suatu kerangka
peraturan-peraturan yang tidak memihak di dalam masyarakat di mana kelompok-
kelompok kepentingan melakukan perjuangan mereka. Lembaga legislatif bukanlah
badan yang tidak memihak, hanya cara-cara penyelesaian yang dilakukannya saja
yang dianggap tidak memihak. Itulah sebabnya lembaga legislatif dianggap
merupakan kancah di mana kelompok-kelompok yang mencerminkan kekuatan di
dalam masyarakat dapat menyelesaiakan pertentangan mereka secara damai. Polisi di
lihat sebagai melaksanakan hukum yang diciptakan oleh badan legislatif,pengadilan
memutuskan hal yang sebenarnya dan setelah itu secara adil dan tidak memihak
pengadilan menerapkan hukum yang berlaku dan menjatuhkan sanksi yang telah
ditentukan oleh hukum itu sendiri.
Anggapan mengenai beroperasinya hukum ini tidak sesuai dengan keadaan
yang sebenarnya terjadi. Semua orang tahu bahwa di Amerika misalnya hakim-
hakim memiliki wewenang untuk memutuskan sesuatu sesuai dengan penilainya
sendiri (discretion) dan dalam kenyataannya membuat kebijakan seperti yang yang
dilakukan oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat mengenai kasus-kasus pemisahan
warna kulit di sekolah-sekolah. Akan tetapi toh anggapan bahwa hukum beroperasi
sesuai dengan apa yang tercantum di dalam perundang-undangan tetap menjadi
pegangan.
40
Anggapan mengenai beroperasinya hukum dalam kenyataan sebagaimana
diuraikan di atas bukan saja tidak benar akan tetapi memamng tidak dapat dielakkan
lagi disebabkan karena sistem normatif yang ada tidak sempurna. Untuk mendukung
pendapat tersebut di atas diajukan metodologi yang dalam tahun 1881 diajukan oleh
Oliver Wendell Holmes yang pada hakekatnya merupakan suatu falsafah hukum
yang lengkap, dengan hanya satu kalimat saja yaitu: the life of the law has not been
logic but experiences. Bagaimana
B. Penyajian
1. Hubungan Timbal Balik antara Hukum dan Perubahan Sosial
Pertanyaan apakah hukum dapat dan harus memimpin, atau apakah hukum
tidak boleh melakukan sesuatu kecuali mengikuti perubahan-perubahan di dalam
masyarakat secara berhati-hati, telah dan selalu menjadi issue kontroversial.
Pendekatan yang berlawanan dari pakar reformasi sosial Inggris Jeremy Bentham
dan pakar Jerman Friedrich Karl Von Savigny telah memberikan paradigma yang
saling bertolak belakang tentang hal (proposition) ini. Pada permulaan era
industrialisasi dan urbanisasi di Eropa, Bentham mengharapkan agar reformasi
hukum dapat merespons dengan cepat kebutuhan-kebutuhan sosial dan untuk
merestrukturisasi masyarakat. Dia dengan gratis memberi saran kepada pemimpin-
pemimpin Revolusi Perancis, karena ia percaya bahwa negara-negara dengan tahap
perkembangan ekonomi yang sama memerlukan “obat” (remedies) yang sama untuk
masalah ekonomi mereka. Pada kenyataannya, adalah filosofi Bentham dan semua
pengikutnya, yang mengubah Parlemen Inggris – dan parlemen di negara-negara
lainnya – ke dalam instrumen-instrumen legislatif aktif untuk membawa reformasi
sosial sebagian untuk merespons dan sebagian sebagai stimulan untuk kebutuhan-
kebutuhan sosial yang dirasakan. Juga menulis pada waktu yang sama, Savigny ,
menghujat reformasi hukum yang menyapu (the sweeping legal reforms) yang
dibawa oleh Revolusi Perancis yang mengancam untuk menginvasi Eropa Barat. Ia
percaya bahwa adat populer yang dikembangkan secara penuh, dapat membentuk
dasar dari perubahan hukum. Karena adat tumbuh dari kebiasaan dan kepercayaan
dari orang-orang tertentu, dan bukan karena pernyataan humanitas abstrak, maka
perubahan hukum adalah kodifikasi dari adat dan hal itu adalah perubahan berskala
nasional, dan bukan universal (He believed that only fully developed popular customs
could form the basis of legal change. Since customs grow out of the habits and
beliefs of specific people, rather that expressing those of an abstract humanity, legal
changes are codifications of customs and they can only be national, never
universal).
Satu abad kemudian, hubungan antara hukum dan perubahan sosial tetap
controversial. “Tetap ada 2 pendapat yang bertolak belakang tentang hubungan
antara kaidah-kaidah hukum (legal precepts) dan sikap-sikap dan perilaku
masyakarat. Menurut pendapat yang satu, hukum ditentukan oleh perasaan keadilan
(sense of justice) dan sentimen moral dari populasi, dan legislasi hanya dapat
mencapai hasil bila tetap berada dekat secara relatif dengan norma-norma sosial yang
berlaku (prevailing social norms). Menurut pendapat yang lain, hukum, khususnya
41
legislasi, adalah wahana (vehicle) melalui mana evolusi sosial yang terprogram dapat
dilakukan” (Aubert, 1969: 69). Pada satu sisi ekstrim, terdapat pandangan bahwa
hukum adalah peubah tak bebas (dependent variable), yang ditentukan dan dibentuk
oleh pamali-pamali yang ada (current mores) dan opini-opini dari masyarakat.
Menurut pendapat / posisi ini, perubahan hukum adalah tidak mungkin kecuali
didahului oleh perubahan sosial; reformasi hukum tidak dapat melakukan apa-apa
kecuali mengkodifikasi hukum. Jelas hal ini tidak benar, dan mengabaikan fakta
bahwa sepanjang sejarah institusi-institusi hukum telah ditemukan untuk
“mempunyai peranan yang jelas, dan bukan pengertian yang meraba-raba, sebagai
suatu instrumen yang mengatur (set off), memonitor, atau meregulasi fakta atau
kecepatan dari perubahan sosial” (Friedman, 1969: 29). Pendapat ekstrim lainnya
diberikan oleh pakar hukum Soviet, seperti P.P. Gureyev dan P.I. Sedugin (1977),
yang melihat hukum sebagai instrumen untuk melakukan rekayasa sosial (social
engineering). Pendapat mereka adalah, “selama periode transisi dari kapitalisme ke
sosialisme, Negara Soviet telah menggunakan legislasi secara luas untuk
mengarahkan masyarakat, memulai dan mengembangkan bentuk-bentuk sosial
ekonomi, menghapuskan setiap bentuk eksploitasi, dan meregulasi berdasarkan
tenaga kerja dan konsumsi dari produk-produk tenaga kerja sosial (products of social
labour). Ia menggunakan legislasi untuk membuat dan meningkatkan lembaga-
lembaga sosialis demokratis, untuk membuat hukum dan ketertiban yang keras (firm
law and order), melindungi sistem sosial dan keamanan Negara, dan
mengembangkan sosialisme” (Gureyev dan Sedugin, 1977: 12).
Pandangan-pandangan ini menggambarkan 2 ekstrim dari pendapat
(continuum) yang berkaitan dengan hubungan antara hukum dan perubahan sosial.
Masalah keterkaitan (interplay) antara hukum dan perubahan sosial jelas bukanlah
masalah yang sederhana. Jelasnya, pertanyaannya adalah : Apakah hukum
mengubah masyarakat ? atau Apakah perubahan sosial mengubah hukum ? Kedua
pendapat ini kemungkinan benar. Namun, akan lebih tepat untuk menanyakan, di
bawah kondisi-kondisi apakah hukum dapat menyebabkan perubahan sosial, pada
level apakah, dan sejauh mana ? Begitu pula, persyaratan agar perubahan sosial dapat
mengubah hukum juga harus dijelaskan lebih jauh.
Pada umumnya, di masyarakat yang sangat urban dan sangat
terindustrialisasi seperti Amerika Serikat, hukum telah memainkan peran yang besar
dalam perubahan sosial, dan sebaliknya, atau sekurangnya lebih besar daripada pada
kasus masyarakat tradisional atau dalam pemikiran sosiologi tradisional (Nagel,
1970: 10). Ada beberapa cara untuk menggambarkan hubungan timbal balik ini.
Sebagai contoh, dalam domain hubungan antar keluarga, urbanisasi dengan
apartemen-apartemen yang kecil, telah mengurangi keinginan untuk tinggalnya
keluarga dari tiga generasi di dalam satu rumah tangga. Perubahan sosial ini telah
menyebabkan adanya hukum-hukum keamanan jaring sosial (social security laws)
yang pada gilirannya telah membantu perubahan dalam tenaga kerja dan institusi
sosial bagi orang yang berusia lanjut. Perubahan dalam hubungan induk semang-
penyewa (landlord-tenant relationship) telah mengubah hukum tata bangunan
(housing codes), yang menyebabkan perubahan dalam hubungan perinduksemangan.
42
Sebagai akibat dari perubahan teknologi, hubungan antara pemilik properti dengan
individu-individu lainnya telah menjadi “kurang pribadi” (more impersonal) dan
kemungkinan besar telah mengarah ke kerugian (injury), dan sebagai hasilnya, telah
menyebabkan perubahan definisi hukum tentang “uang simpanan” (fault), yang pada
gilirannya telah mengubah sistem asuransi Amerika. Akhirnya, dalam konteks
hubungan antara majikan dengan pegawai (employer-employee relations), dalam
sejarah Amerika sebelum tahun 1930an (masa depresi besar Amerika – penerjemah)
telah mengaktifkan aturan dan statuta (precedents and statutes) yang menjamin hak
buruh untuk membentuk serikat buruh, dan ketika Undang-Undang Wagner telah
diundangkan, persentase jumlah buruh dalam serikat buruh telah meningkat,
walaupun juga telah mencapai titik kejenuhan (Nagel, 1970:1).
Walaupun ada gambaran yang jelas tentang adanya hubungan timbal balik
antara hukum dan perubahan sosial, untuk tujuan analisis, saya akan memandang hal
ini sebagai hal yang mandiri (unilateral). Di sini, di seksi selanjutnya saya akan
membahas kondisi-kondisi dimana perubahan sosial telah menyebabkan peubahan
hukum; kemudian, dalam seksi berikutnya, saya akan membahas hukum sebagai
instrumen perubahan sosial.
43
muncul termasuk risiko terganggunya mata penghasilan karena pengangguran,
karena kecelakaan kerja, dan eksploitasi consumer; dan sakit kronis dan cacat fisik
telah menyertai semakin panjangnya kehidupan” (Hauser, 1976:23-24).
Munculnya risiko-risiko baru terhadap individual sebagai hasil dari
penguatan berbagai fungsi keluarga, termasuk fungsi perlindungan, telah menuju
kepada pembuatan inovasi-inovasi hukum untuk melindungi individual dalam
masyarakat modern. Gambaran dari inovasi seperti itu misalnya adalah persyaratan
kompensasi pekerja (gaji – penerjemah), asuransi pengangguran, asuransi hari tua,
asuransi kesehatan (medicare), dan berbagai bentuk kategori dan persyaratan generik
dari “kesejahteraan sosial” (Hauser, 1976: 24).
Banyak pakar sosiologi dan pakar hukum menyatakan bahwa teknologi
adalah salah satu dari kekuatan pengubah besar (great moving forces) untuk
perubahan hukum (Miller, 1979: 10-14). Hukum telah dipengaruhi oleh teknologi
dalam sekurangnya tiga cara, “Yang paling jelas….adalah kontribusi teknologi
kepada perbaikan teknik hukum dengan memberikan instrumen yang harus
digunakan dalam menerapkan hukum (misalnya, melalui sidik jari atau penguji
kebohongan). Yang kedua, yang tidak kurang signifikan adalah, efek teknologi
dalam proses formulasi dan penerapan hukum sebagai akibat dan perubahan-
perubahan yang diakibatkan oleh teknologi dalam iklim sosial dan intelektual dimana
proses hukum dieksekusi (misalnya, dengar pendapat melalui televisi). Yang
terakhir, teknologi mempengaruhi substansi dari hukum dengan menghasilkan
masalah baru dan persyaratan baru yang harus diurus oleh hukum” (Stoner, seperti
dikutip oleh Miller, 1979:14). Gambaran dari perubahan teknologi yang mengarah
kepada perubahan hukum telah sangat banyak ditemui (Loth dan Ernst, 1972).
Timbulnya transportasi dengan mobil dan pesawat terbang telah membawa pula
regulasi-regulasi baru. Peralatan baru dalam uji kebohongan (sidik jari dan
penciuman elektronik, dua di antaranya) telah menghasilkan perubahan di dalam
hukum, seperti bukti-bukti (evidence) yang diperbolehkan di depan pengadilan.
Komputer telah memungkinkan keberadaan kita dalam kredit, perdagangan / merk
(merchandising), manufaktur, transportasi, riset, pendidikan, diseminasi / penyebaran
informasi, pemerintahan, dan politik. Komputer juga telah menginspirasi legislasi di
level federal maupun level negara bagian untuk melindungi privasi, untuk
melindungi penyalahgunaan informasi kredit, dan untuk mensyaratkan perusahaan
(employer) untuk memberitahu seorang pelamar kerja yang ditolak tentang sumber
dan sifat dari laporan negatif (adverse report) tentang catatan kredit masa lalunya
yang menyebabkan penolakan tersebut.
Perubahan hukum dapat dimulai oleh perubahan gradual dalam nilai-nilai
dan sikap-sikap masyakarat. Masyarakat akan berpikir bahwa kemiskinan adalah hal
yang buruk dan hukum harus dibuat untuk menguranginya dengan satu atau berbagai
cara. Masyarakat dapat menghujat penggunaan hukum karena lebih lanjut telah
menambah praktek-praktek diskriminasi rasial di dalam pemilihan suara (sebelum
1963, masyarakat kulit hitam dan keturunan Spanyol tidak boleh memilih di Amerika
Serikat – penerjemah), perumahan, lapangan kerja, pendidikan, dan semacamnya,
dan akan mendukung perubahan-perubahan yang melarang penggunaan hukum
44
untuk maksud-maksud ini. Masyarakat akan berpikir bahwa pebisnis tidak akan
begitu bebas untuk menjual semua jenis makanan ke pasar tanpa adanya inspeksi
pemerintah yang memadai, atau terbang dengan pesawat yang belum memenuhi
standar keselamatan pemerintah, atau mempertontonkan apa saja di televisi semau
yang punya stasiun televisi. Sehingga hukum harus diundangkan semestinya, dan
lembaga-lembaga regulatori harus berfungsi seperti seharusnya. Dan masyarakat
akan berpikir bahwa praktek aborsi adalah tidak jahat, atau praktek kontrasepsi
adalah diinginkan, atau bahwa perceraian adalah tidak amoral. Oleh karena itu,
hukum dalam topik-topik ini harus ditinjau kembali atau direvisi.
Perubahan-perubahan dalam kondisi social, teknologi, pengetahuan, nilai-
nilai, dan sikap, oleh karena itu, dapat mengarah kepada perubahan hukum. Dalam
hal ini, hukum bersifat reaktif dan mengikuti perubahan sosial. Namun perlu dicatat,
bahwa perubahan hukum adalah salah satu dari banyak respons terhadap perubahan
sosial. Namun perubahan hukum sangatlah penting, karena hukum
merepresentasikan kewenangan negara dan kekuasaan pemberian sanksinya. Hukum
baru sebagai respons terhadap masalah sosial atau masalah teknologi baru mungkin
dapat memperbesar masalah tersebut – atau mungkin dapat menyelesaikan masalah
dan membantu menyelesaikan masalah tersebut. Seringkali, respons hukum terhadap
perubahan sosial, yang sudah pasti melalui suatu tenggang waktu (time lag), akan
menyebabkan perubahan sosial baru. Sebagai contoh, hukum yang dibuat sebagai
respons terhadap adanya polusi udara dan air yang dikarenakan perubahan teknologi
akan berakibat adanya pengangguran di area-area tertentu, dimana perusahaan yang
menyebabkan polusi tidak mau atau tidak bisa untuk memasang alat pencegah
polusi. Pada gilirannya, pengangguran dapat berakibat ke perpindahan penduduk
(relocation), dapat mempengaruhi tingkat kriminalitas di dalam masyarakat, atau
dapat berakibat adanya tekanan penekan dari pihak yang terkena. Korelasi dan
reaksi berantai ini dapat diperluas lagi menjadi tak terhingga. Oleh karena itu,
hukum dapat dipandang sebagai faktor reaktif (yang menolak) dan proaktif (yang
setuju) dalam perubahan sosial. Pada seksi berikutnya, akan dibahas tentang aspek
proaktif dari hukum sebagai pemulai perubahan sosial.
45
Secara umum telah diakui, di samping ide-ide Marx, Engels, dan Lenin, bahwa
hukum adalah suatu fenomena besar dari masyarakat kelas borjuis yang hilang
bersama datangnya revolusi, Uni Soviet telah sukses dalam membuat perubahan-
perubahan besar di dalam masyarakat melalui penggunaan hukum (Dror, 1968).
Baru-baru ini, usaha-usaha dari Nazi Jerman dan kemudian oleh negara-negara Eropa
Timur untuk membuat perubahan sosial besar melalui manipulasi hukum adalah
ilustrasi dari keefektivan hukum untuk memulai perubahan sosial (Eorsi dan
Harmanthy, 1971).
46
partisipasi politik dari warga kulit hitam telah meningkat tajam. Saat ini terdapat
4.500 orang kulit hitam terpilih dalam jabatan publik (hold elected offices) dari
anggota Kongres sampai Walikota, atau naik 45 kali lipat sejak tahun 1954 (U.S.
News & World Report, 1979:59). Namun, sangat salah untuk mengasumsikan
bahwa perubahan yang sama telah terjadi di bidang (domain) lainnya. Sebagai
contoh, sejak tahun 1964, median penghasilan keluarga kulit hitam hanyalah antara
54 – 62 persen daripada kulit putih.
47
penemuan (inventions), dan perubahan lebih lanjut dalam lembaga-lembaga
teknologi, yang pada gilirannya akan membawa sejenis perubahan sosial.
48
Efikasi hukum sebagai suatu instrumen perubahan sosial dipersyaratkan
oleh sejumlah faktor. Salah satunya adalah jumlah informasi yang tersedia mengenai
suatu legislasi (legislation), keputusan (decision), atau penetapan (ruling). Ketika
terdapat tidak cukup transmisi informasi tentang hal-hal ini, hukum tidak akan
menghasilkan efek yang diinginkan. Ketidakpedulian (ignorance) terhadap hukum
tidak dianggap sebagai satu alasan untuk ketidakpatuhan (disobedience), namun
ketidakpedulian membatasi efektivitas hukum. Dalam kasus yang sama, hukum
terbatas sejauh dimana aturan-aturan (rules) itu tidak dituliskan secara pasti, dan
bukan karena orang tidak yakin dengan apa yang dimaksud oleh aturan-aturan
tersebut. Aturan-aturan yang sumir (vague rules) membolehkan persepsi yang
bermacam-macam dan interpretasi (apa maksud pernyataan “semua kecepatan yang
ada“ [“all deliberate speed“] ?). Sebagai akibatnya, bahasa hukum harus bebas dari
keambiguan, dan kehati-hatian perlu dilakukan untuk menghindari berbagai
interpretasi dan “lubang penafsiran“ (loopholes) (Carter, 1979: 27-37).
49
tinggi status individual yang ditahan dan dihukum, semakin besar kemungkinan
suatu hukum tertentu akan mencapai tujuan yang diinginkannya (Zimring dan
Hawkins, 1975: 337-338). Hukum yang secara reguler dan secara seragam
ditegakkan di berbagai kelas masyarakat dan kelompok masyarakat cenderung
dipersepsikan sebagai lebih mengikat (more binding) daripada hukum yang jarang
atau yang ditegakkan secara selektif saja, karena penegakan menetapkan norma-
norma perilaku, dan pada suatu waktu, menurut E. Adamson Hoebel (1954: 15) :
“Norma berlaku pada kualitas dari yang normatif. Apa yang dilakukan oleh
kebanyakan orang, orang-orang lainnya akan melakukannya juga“.
50
hukum telah dinyatakan dengan jelas dengan garis besar yang jelas tentang cara-cara
implementasi dan penegakan serta sanksi-sanksi yang ada. Pada dasarnya, perubahan
melalui hukum ditujukan untuk memperkuat, meningkatkan, menambah
(ameliorating), atau mengontrol perilaku dan praktek dalam situasi sosial yang
didefinisikan dengan jelas – seperti yang telah diungkapkan oleh pihak yang pro
(proponents) dengan suatu perubahan tertentu. Keuntungan hukum sebagai suatu
instrumen perubahan sosial disebabkan oleh fakta bahwa hukum di dalam
masyarakat dipandang sebagai legitimate, kurang lebih rasional, berwenang
(authoritative), terlembagakan (institutionalized), umumnya tidak mengganggu
(generallly not disruptive), dan didukung oleh mekanisme-mekanisme penegakan
dan sanksi-sanksi.
51
French dan Raven mengajukan beberapa hipotesis tentang dasar-dasar
kekuasaan sosial. Untuk semua tipe kekuasaan sosial, semakin kuat dasar kekuasaan,
semakin besar kekuasaannya. Dasar kekuasaan terletak pada persepsi individu-
individu bahwa sumber otoritas mempunyai kualitas ini atau itu. Pada umumnya,
setiap usaha untuk menggunakan kekuasaan sosial di luar jangkauannya cenderung
untuk mereduksi efektivitas dari kekuasaan tersebut. Dasar-dasar kekuasaan hadiah,
tekanan, dan legitimate memberi fasilitas penerimaan terhadap hukum. Hadiah
memperkuat kepatuhan dan kemungkinan penekanan seringkali memperlunak
resistensi.
52
Otoritas rasional-legal (rational-legal authority) mendasarkan klaimnya
kepada legitimasi atau kepercayaan terhadap legalitas aturan-aturan normatif dan
kepada hak-hak orang yang diangkat sebagai otoritas untuk mengeluarkan perintah di
bawah aturan-aturan tertentu. Dalam otoritas seperti itu, kepatuhan (obedience)
ditujukan kepada perintah impersonal yang dilegalkan. Individu-individu yang
melaksanakan otoritas dari suatu jabatan ditunjukkan kepatuhan hanya melalui
perintahnya yang legal-formal, dan di dalam ruang lingkup otoritas jabatannya.
Otoritas legal tidak secara konsep berbeda dengan otoritas tradisional, walaupun
perbedaannya sudah pasti ada. Dalam masyarakat modern, “legalitas“ merupakan
komponen rasionalitas yang tidak dipunyai oleh otoritas tradisional. Namun, dalam
transisi menuju modernitas, khususnya pada abad ke-16 dan ke-17, otoritas semakin
cenderung kepada rasionalisasi dari istilah-istilah legalistik dan kesukarelaan
(voluntaristic). Orang “rasional“ “secara sukarela“ membuat suatu “kontrak“, yang
membuat perintah legal impersonal (impersonal legal order).
Ada beberapa alasan mengapa hukum itu mengikat. Dari suatu pernyataan
bahwa hukum diambil dari alam untuk dipercayai bahwa hukum dihasilkan dari
konsensus dari subjek-subjeknya yang mengikat. Jawaban yang segera dan sederhana
adalah bahwa hukum itu mengikat karena kebanyakan orang di dalam masyarakat
memandangnya demikian. Kemengertian dan kesadaran terhadap hukum (the
awareness and consciousness of law) oleh kebanyakan orang berfungsi sebagai dasar
bagi eksistensinya. Orang biasanya menyerahkan perilakunya kepada regulasi-
regulasi, walaupun mereka mempunyai banyak alasan yang berbeda mengapa
mereka demikian. Beberapa orang mungkin percaya bahwa dengan mematuhi
hukum, mereka mematuhi otoritas tertinggi dari hukum, yaitu : Tuhan, alam, atau
kemauan masyarakat (Negley, 1965).
53
Bahkan ketika hukum bertentangan dengan moralitas yang diterima, mereka
seringkali dipatuhi. Pemusnahan lebih daripada 6 juta orang Yahudi di masa Nazi
Jerman, adalah contoh yang paling ekstrim dari tindakan amoral yang diakui legal,
yang dilaksanakan oleh ribuan orang atas nama kepatuhan terhadap hukum. Stanley
Milgram (1975: xii) mengatakan bahwa esensi kepatuhan terletak pada fakta bahwa
individu-individu merasa diri mereka sendiri penting untuk mengimplementasikan
keinginan orang-orang lainnya, dan mereka tidak lagi memandang diri mereka
sendiri bertanggung jawab terhadap tindakannya. Dalam banyak kejadian,
penerimaan terhadap otoritas akan menghasilkan kepatuhan. Sebagai contoh,
Milgram, yang tertarik dengan fenomena kepatuhan dan otoritas, telah menunjukkan
bahwa orang-orang dari latar belakang yang sangat berbeda akan melakukan hal-hal
yang dilarang oleh moral kepada orang-orang lainnya jika mereka diperintah oleh
otoritas yang berwenang. Di bawah penyamaran pelaksanaan percobaan tentang
“efek-efek hukuman terhadap memori“, ia menemukan bahwa sekitar 2/3 dari subjek
laboratoriumnya akan berperilaku dengan sukarela dengan cara yang mereka percaya
akan menyakitkan atau merugikan orang lainnya. Walaupun “korban“ menjerit
kesakitan, terkena sakit jantung, dan mengemis untuk penghentian percobaan,
kebanyakan orang akan terus mematuhi otoritas dan memberikan apa yang mereka
percayai sebagai kejutan listrik bertenaga besar (Milgram, 1975). Penelitian ini,
selain menunjukkan bahwa kebanyakan orang di bawah kondisi tertentu akan
melakukan apa saja walaupun melanggar norma-norma moralnya sendiri dan
menyebabkan kesakitan terhadap orang yang lainnya, menggarisbawahi bahwa
kebanyakan orang akan menyerahkan diri kepada otoritas, dan begitu pula kepada
hukum.
Salah satu alasan untuk kekuatan pengikat dari hukum adalah karena orang
lebih suka keteraturan (order) daripada ketidakteraturan (disorder). Individu-
individu adalah makhluk kebiasaan karena cara hidup kebiasaannya memerlukan
usaha yang kurang pribadi daripada yang lainnya dan memenuhi perasaan akan
keamanan. Kepatuhan terhadap hukum menjamin hal itu. Ada gunanya juga untuk
mematuhi hukum, karena menghemat usaha dan resiko, suatu motivasi yang cukup
untuk menghasilkan kepatuhan. Kepatuhan terhadap hukum juga berkaitan dengan
proses sosialisasi. Orang pada umumnya dilahirkan untuk mematuhi hukum. Cara
hidup yang legal menjadi cara kebiasaan dari hidup. Dari masa kanak-kanak,
seorang anak memperoleh pemahaman arti dari perintah dan aturan dari orangtua dan
menjadi terbiasa karenanya. Proses ini berulang di sekolah-sekolah dan di dalam
masyarakat. Semua itu akan memberikan – atau harus memberikan – partisipasi dari
manusia yang dewasa. Individu, katakanlah demikian, membentuk regulasi-regulasi
ini dan membuatnya untuk diri mereka sendiri. Dalam prosesnya, disiplin telah
diganti dengan disiplin terhadap diri sendiri.
3) Sanksi-Sanksi
54
Sanksi-sanksi untuk ketidakpatuhan terhadap hukum adalah salah satu dari
alasan mengapa hukum mempunyai kekuatan mengikat. “Hukum mempunyai gigi,
gigi yang dapat menggigit jika diperlukan, walaupun tidak perlu harus tajam“ (“The
law has teeth, teeth that can bite if need be, although they need not necessarily be
bared“) (Hoebel, 1954: 26). Sanksi-sanksi adalah berhubungan dengan efikasi
hukum yang diberikan agar menjamin pengamatan dan eksekusi dari mandat-mandat
hukum, untuk menegakkan perilaku. Sanksi-sanksi yang diakui dan digunakan oleh
sistem hukum biasanya mempunyai ciri yang berbeda. Dalam masyarakat primitif,
sanksi bisa berbentuk hukuman yang kejam atau pemasungan sosial (social
ostracism). Di dalam sistem hukum yang sudah maju, administrasi dari sanksi-
sanksi, sebagai aturan umum, dipercayakan kepada organ-organ pemerintahan
politik. Di antara cara untuk menetapkan penegakan hukum pemaksaan (coercive
law enforcement) adalah hukuman denda atau pemenjaraan, hukuman pembayaran
kerugian (imposition of damage awards) dapat dimasukkan ke dalam eksekusi
properti dari si pengutang (judgement-debtor), perintah dari pengadilan tentang
tindakan-tindakan tertentu atau penanggungan (forbearances) pada adanya ancaman
hukuman, serta pencabutan (impeachment) dan pencopotan (removal) dari jabatan
publik untuk penyimpangan kewajiban. Seperti yang dicatat oleh Hans Kelsen (1967:
35), ciri-ciri sanksi dalam sistem hukum modern telah di luar pelaksanaan melulu
tekanan psikologis, dan mengotorisasi pelaksanaan tindakan-tindakan pemaksaan
yang tidak menguntungkan, misalnya “pemaksaan pemasungan kehidupan,
kebebasan, nilai-nilai ekonomis dan nilai-nilai lainnya sebagai konsekuensi dari
kondisi-kondisi tertentu“.
Tipe sanksi-sanksi yang digunakan jelas beragam sesuai dengan maksud dan
tujuan dari kebijakan hukum. Perbedaan dasarnya adalah apakah maksud utama dari
hukum adalah untuk mencegah individu-individu untuk melakukan hal-hal yang
dilarang oleh orang-orang lainnya di dalam masyarakat karena bersifat merugikan
(harmful) atau amoral, atau apakah maksud hukum adalah untuk menciptakan tipe
baru dari hubungan-hubungan antar kelompok atau antar individu – jelas menjadi
perbedaan utama dari kebijakan proskriptif dan positif (proscriptive and positive
policy) (Grossman dan Grossman, 1971: 70). Perbedaan ini tidak selalu sempurna.
Pembuatan kebijakan positif (positive policy-making) seringkali melibatkan sanksi-
55
sanksi negatif dan juga hadiah positif, walaupun pembuatan kebijakan proskriptif
(proscriptive policy-making) biasanya melibatkan sanksi-sanksi negatif. Hadiah
seperti kontrak federal atau subsidi seringkali merupakan bagian dari statuta
regulatori yang berusaha untuk mengubah pola-pola yang sudah ada dari perilaku
ekonomi, dan telah digunakan secara luas untuk insentif bagi yang patuh dengan
Undang-Undang Desegregasi (undang-undang yang tidak membedakan lagi antara
orang kulit putih dan orang kulit hitam pada tahun 1964 dan 1965 – penerjemah).
Mereka yang melanggar hukum tidak hanya kehilangan kesempatan untuk
memperoleh hadiah namun juga bisa dijatuhi denda atau hukuman pidana. “Hukum
atau statuta yang mencari perubahan sosial positif sebagian besar harus bergantung
kepada pendidikan dan pembujukan (persuasion) dibandingkan dengan sanksi-sanksi
negatif. Agar pendekatan wortel dan pentungan (the carrot and stick approach) ini
sukses, yang terakhir (yaitu pentungan) harus mudah dilihat dan jarang digunakan“
(Grossman dan Grossman, 1971: 70).
(i) untuk mencapai tujuan yang sama yang tidak dapat ditinggalkan kepada kekuatan
permintaan dan penawaran – seperti pendidikan; (ii) untuk melindungi orang yang
tidak dewasa dan tidak dapat dibantu; (iii) untuk mengontrol kekuasaan untuk
membentuk asosiasi, yang dikelola tidak hanya oleh orang-orang yang secara
langsung tertarik tetapi juga melalui lembaga yang didelegasikan; (iv) untuk
melindungi individual yang bertindak sesuai dengan kasus-kasus dimana tindakan
seperti itu tidak bisa efektif tanpa adanya sanksi-sanksi hukum; (v) untuk mencapai
objek-objek yang penting di dalam masyarakat, saat ini dan di masa datang, yang
berada di luar kekuasan individu-individu atau perkumpulan sukarela atau dimana,
jika dibawah kekuasaan mereka, tidak akan dilakukan secara normal oleh mereka
(Ginsberg, 1965: 230).
Daftar dari keuntungan yang dapat dipikirkan dari hukum sebagai instrumen
perubahan sosial tidak akan lengkap. Apa yang telah dikatakan di sini sejauh ini
adalah untuk mendemonstrasikan bahwa hukum mempunyai posisi yang khusus
56
(peculiar) dan tidak sama (unparalleled) di antara agen-agen perubahan sosial. Pada
saat yang sama, mempunyai keterbatasan tertentu. Suatu pengetahuan dan kesadaran
tentang keterbatasan ini akan membantu untuk mengerti dengan sungguh-sungguh
tentang peranan hukum dalam perubahan sosial, dan mereka harus diperhitungkan
untuk digunakan oleh hukum dalam usahanya untuk mengubah.
…kita semua menginginkan bumi. Kita semua mempunyai banyak keinginan dan
permintaan yang ingin kita puaskan. Ada banyak dari kita namun hanya ada satu
bumi. Keinginan dari yang satu secara terus-menerus bertentangan dengan atau
bertabrakan dengan keinginan tetangganya. Oleh karena itu, ada tugas besar dari
rekayasa sosial. Ada suatu tugas untuk membuat adanya barang-barang, alat-alat
untuk memuaskan orang-orang yang hidup bersama di dalam suatu masyarakat yang
terorganisir secara politis, jika mereka tidak dapat memuaskan semua keinginannya,
sekurangnya terpenuhi sejauh mungkin (Pound, 1968: 64-65).
57
di setiap masyarakat. Dalam suatu perjuangan untuk mencapainya, beberapa
individu dan kelompok menang, dan selainnya kalah. Beberapa dekade yang lalu,
Max Weber telah mengenali, seperti juga Karl Marx sebelumnya, bahwa banyak
hukum dibuat untuk memenuhi interest ekonomi tertentu. Individu-individu yang
mengontrol kepemilikan benda material umumnya diuntungkan oleh hukum karena
“….interest ekonomi adalah di antara faktor pengaruh yang paling kuat dalam
penciptaan hukum“ (Weber, 1968: 334). Weber selanjutnya mengenali interest
khusus lainnya, selain faktor ekonomi, yang mempengaruhi penciptaan hukum.
“Hukum menjamin tidak hanya interest ekonomi, tetapi juga interest-interest lainnya
dari yang paling mendasar seperti perlindungan keamanan pribadi sampai barang
yang paling ideal seperti kehormatan pribadi atau kehormatan dari kekuasaan yang
tertinggi. Di atas semuanya itu, hukum menjamin posisi politik, kekhususan
(ecclesiastical), keluarga dan posisi-posisi lainnya dari otoritas, begitu pula posisi
kehormatan sosial (social preeminence) dan sejenisnya….“ (Weber,1968:333).
Ada 2 pandangan penting yang termaktub dalam point yang diberikan oleh
Weber. Pertama, bahwa konflik kepentingan memberikan suatu kerangka dimana
hukum diberi kerangka dan perubahan dijalankan. Sebagai akibatnya, stratifikasi
sosial di dalam masyarakat akan menentukan sejauh mana bagian dari hukum yang
akan bermain dalam membawa perubahan didasarkan kepada pemilihan dan
preferensi yang dilakukan oleh orang-orang atau kelompok-kelompok yang memulai
(promulgate) perubahan-perubahan itu. Kedua, berkaitan dengan signifikansi
penggunaan kekuasaan untuk mendukung perubahan-perubahan ini. Penelitian
tentang proses-proses legislatif, judisial, dan adminstratif dalam suatu masyarakat
dapat belajar dengan cepat terhadap suatu penemuan tentang siapa yang
menginginkan kekuasaan dalam masyarakat, tetapi juga interest apa yang signifikan
dan berpengaruh di dalam kelompok tersebut. Jadi, hukum sebagai instrumen
perubahan dapat dipandang dalam konteks organisasi kekuasaan dan proses-proses
dimana interest diciptakan dalam kehidupan sosial sehari-hari; sehingga perubahan-
perubahan yang dihasilkan dapat dievaluasi dalam istilah-istilah ini.
58
pada tengah-tengah kekuasaan mereka lebih mampu untuk melaksanakan interestnya
daripada mereka yang ada di luar lingkup kekuasaan. Bahkan anggota-anggota dari
profesi hukum dipandang sebagai “profesional antara“ (“professional go-between“)
bagi kelompok kepentingan politik, perusahaan, dan kelompok kepentingan yang
lainnya, dan oleh karena itu berfungsi untuk “menyatukan elit kekuasaan“ (Mills,
1957: 289). Selain itu, seperti telah saya bahas di Bab 3, banyak orang terlalu apatis
atau tidak sadar adanya suatu issue, bahkan ketika mereka berubah menjadi perhatian
terhadap issue tersebut, mereka seringkali tidak mampu untuk mengorganisasikan
dan memaksakan pengaruhnya kepada legislator (orang atau lembaga yang membuat
hukum). Menurut penulis-penulis Marxist, hal itu akan berakibat dalam perasaan
terpinggirkan dan ketidakberdayaan (a sense of alienation and powerlessness)
disertai dengan perasaan tertekan dan dimanfaatkan (oppression and exploitation)
(lihat, misalnya, Szymanski dan Goertzel, 1979).
59
tidak dijalankan menurut pertimbangan kebijakan tertentu, namun secara jelas
mempunyai dampak besar terhadap perempuan-perempuan yang mencari cara untuk
mengakhiri kehamilannya secara legal. Walaupun keputusan judisial umumnya tidak
dipandang sebagai suatu instrumen kebijakan, mengingat sifat kesulitan dari litigasi,
reformasi legislatif dan administratif yang berurusan dengan issue-issue sosial yang
lebih besar harus terjadi di dalam kerangka pembuatan kebijakan sosial yang lebih
luas. Pendekatan seperti itu akan memperkuat secara nyata efikasi hukum sebagai
suatu instrumen perubahan. Pada akhirnya, Dror menyarankan adanya ahli hukum
dari berbagai disiplin, para pakar ilmu sosial, dan analis kebijakan untuk terlibat di
dalam penelitian-penelitian yang relevan dan mempersiapkan rekomendasi
kebijakan.
60
Sebagai tambahan dari keterbatasan hukum sebagai suatu instrumen
perubahan sosial yang didiskusikan dalam seksi sebelumnya, efikasi hukum (begitu
pula mekanisme perubahan lainnya) selanjutnya akan terhambat oleh berbagai
kekuatan. Dalam dunia modern, situasi resisten terhadap perubahan lebih banyak
terjadi daripada situasi menerima perubahan. Seringkali perubahan dihambat karena
perubahan bertentangan dengan nilai-nilai dan kepercayaan tradisional, atau
perubahan tertentu menyebabkan biaya besar, dan kadang-kadang orang bertahan
terhadap perubahan karena hal itu bertentangan dengan kebiasaannya atau
membuatnya merasa ketakutan atau terancam. Walaupun hukum mempunyai
keuntungan tertentu dibandingkan dengan agen perubahan lainnya, untuk
mengapresiasi peranan hukum di dalam perubahan, adalah sangat membantu untuk
mengidentifikasi beberapa kondisi umum dari resistensi terhadap hal –hal yang
berkenaan dengan hukum. Kesadaran terhadap kondisi-kondisi ini adalah suatu
prasyarat bagi penggunaan hukum yang lebih efisien sebagai metode rekayasa
sosial.
1) Faktor-Faktor Sosial
61
membentuk suatu kelompok kepentingan. Warga dari suatu lokasi tempat tinggal
(neighborhood) mengembangkan kelompok kepentingan di dalam lokasi tempat
tinggalnya. Mereka seringkali mengorganisasi diri untuk menghambat perubahan-
perubahan zoning, jalan raya antar negara bagian (interstate highways), konstruksi
fasilitas-fasilitas koreksi / lembaga pemasyarakatan, atau penetapan bis untuk anak-
anak mereka. Pada kenyataannya hampir semua orang mempunyai kelompok
kepentingan – dari orang-orang kaya yang dengan lembar pengecualian pajak sampai
orang-orang miskin dengan check kesejahteraannya.
Kelas sosial (social class). Kelas yang rigid / kaku dan pola-pola kasta pada
umumnya cenderung untuk menghambat penerimaan perubahan. Di masyarakat
yang sangat terstratifikasi, orang-orang diharapkan untuk mematuhi dan mengambil
aturan-aturan (take orders) dari mereka yang ada pada posisi otoritas atau kekuasaan
di atas. Hak-hak prerogatif dari strata atas dijaga dengan irihati (jealously guarded)
dan usaha-usaha untuk menerapkannya terhadap anggota kelompok sosial ekonomi
rendah sering dihambat dan disingkirkan. (resented and repulsed). Sebagai contoh,
di bawah sistem kasta yang kaku di India dan Pakistan, anggota-anggota dari kasta
lainnya tidak boleh mengambil air dari sumur yang sama, pergi ke sekolah yang
sama, makan bersama, atau bergaul secara bercampur (mingle). Pada hampir semua
kasus, untuk kelas atas ada kecenderungan untuk mengagung-agungkan (cherish)
cara-cara lama dalam melakukan sesuatu dan bersandar (adhere) kepada status quo.
62
Katolik untuk legislasi dan keputusan pengadilan yang berkenaan dengan
penghilangan beberapa pembatasan terhadap keluarga berencana dan aborsi.
Ilustrasi lainnya tentang resistensi ideologi (yang seiring sejalan dengan kelompok
kepentingan) adalah oleh para profesional kedokteran tentang sesuatu yang
menyarankan “obat tersosialisasi“ / obat generik, termasuk pengundangan Undang-
Undang Pelayanan Medis tahun 1965 (the Medicare Law of 1965) (Allen, 1971:
278-279). Secara umum, asumsi dan interpretasi intelektual dan religius dasar
mengenai kekuasaan, moralitas, kesejahteraan, dan keamanan yang ada cenderung
agak konsisten dan secara aklamasi usulan perubahan agar dibuang jauh-jauh (Vago,
1980: 229).
63
hukum tidak juga terjadi, akibatnya bisa sangat merusak. Sebagai contoh, lebih
daripada 6 juta orang Yahudi telah dibunuh di dalam kamp konsentrasi selama
Perang Dunia II sebagian karena mereka tidak mengorganisasikan perlawanan
terhadap perubahan-perubahan pada awal tahun 1930an di masa rezim Jerman Nazi.
2) Faktor-Faktor Psikologis
Kebiasaan (habit). Dari sudut pandang psikologi, suatu asal muasal dari
perubahan adalah masalah kebiasaan saja. Ketika suatu kebiasaan telah terbentuk,
operasinya seringkali memuaskan bagi individu-individu. Orang akan menjadi
terbiasa berperilaku atau bertindak dalam tatakrama tertentu dan mereka akan merasa
nyaman dengan semua itu. Sekali suatu bentuk perilaku tertentu menjadi rutin dan
terbiasa, hal itu akan memberi perlawanan terhadap perubahan. Meyer F. Nimkoff
(1957: 62) berpendapat bahwa adat (customs) dari suatu masyarakat adalah
kebiasaan kolektif; khususnya ketika sentimen melebihi adat, yaitu adat terlalu
lambat ketika ada perlawanan terhadap suatu ide atau praktek tertentu. Untuk
menggambarkan satu contoh, usaha untuk mengenalkan „sistem metriks“ telah
menemui perlawanan sengit di Amerika Serikat (sistem metriks adalah pengukuran
berat dalam “kg“, panjang dalam “m“, dan volume dalam “liter“; yang berlawanan
dengan kebiasaan-kebiasaan yang sudah ada di Amerika Serikat sebelumnya yaitu
berat dalam “pound“ (lbs), panjang dalam“yard“, dan volume dalam “quart“ –
penerjemah). Kita telah terbiasa dengan “miles“ dan merasa tidak nyaman dengan
“kilometer“; kita lebih suka mengukur dengan satu “quart“ dari sesuatu daripada satu
“liter“. Ketika hukum digunakan sebagai satu instrumen perubahan sosial untuk
mengubah adat yang telah ada, adalah sangat mungkin untuk mencapai laju
kepatuhan yang dapat diterima akan memerlukan suatu reorientasi aktif terhadap
nilai-nilai dan perilaku-perilaku dari sebagian besar populasi yang menjadi target
(Zimring dan Hawkins, 1975: 331).
64
untuk pencapaian ekonomi dan niat untuk patuh dengan kewajiban pertemanan
(friendship obligation). Perubahan-perubahan yang mungkin mengancam keinginan
untuk pencapaian ekonomi atau ketertarikan akan prestise dan status tinggi pada
umumnya akan dipandang sebagai sesuatu yang mengancam dan kemungkinan besar
akan dilawan.
Bagaimana cara hukum ditulis, seperti telah saya bahas sebelumnya, juga
mempengaruhi persepsi orang. Sebagai contoh, dalam tahap awalnya banyak hukum
tentang hak persamaan rasial (civil rights laws) yang ambigu dan lemah. Keputusan
Brown adalah contohnya. Menyebut usaha “desegregasi“ (tidak memisahkan antara
kulit putih dan kulit hitam di sekolah-sekolah – penerjemah) “dengan kecepatan yang
65
setinggi-tingginya“ (“with all deliberate speed“) adalah terlalu tidak jelas (too
vague), terlalu tidak tegas (too indifinite) untuk membuat perubahan yang berarti,
“Keambiguan selalu tergantung kepada persepsi individu“ (Rodgers dan Bullock,
1972: 199), dan individu-individu akan menginterpretasikan dan menerjemahkan arti
dari hukum sesuai dengan keuntungan yang akan diterimanya.
66
Jika teori pengembangan yang diajukan oleh Kohlberg benar, hukum kurang
lebih terbatas tergantung kepada tahap pengembangan moral dari anggota-anggota
suatu masyarakat. Dalam konteks ini, David J. Danelski (1974: 14-15) menyarankan
bahwa pertimbangan kuantitatif dan kualitatif adalah sama pentingnya. Kita ingin
tahu tahap modal (modal stage) dari pengembangan moral dari kaum elit,
warganegara rata-rata, dan kelompok-kelompok terpinggirkan. Jika kebanyakan
anggota masyarakat berada pada tahap pertama dan kedua dari tahap pengembangan
moral, penegakan institusional sangatlah penting untuk memelihara keteraturan dan
keamanan. Hukum akan sedikit terbatasi jika kebanyakan anggota masyarakat
berada pada tahap ketiga dan keempat dari tahap pengembangan moral. Hukum pada
tahap kelima dan keenam mungkin lebih terbatas daripada pada tahap ketiga dan
keempat, “namun akan menjadi kebalikannya jika dipandang disetujui secara
demokratis dan konsisten dengan prinsip-prinsip individu tentang kesadaran. Jika
tidak, kemungkinan hukum akan lebih terbatas“ (Danelski, 1974: 15). Dengan kata
lain, batasan-batasan hukum adalah tidak linear (curvilinear) dengan istilah-istilah
pengembangan moral.
3) Faktor-Faktor Budaya
67
tentu saja menghambat perubahan, karena perubahan dianggap sebagai disebabkan
oleh manusia (human-initiated) dan bukan berasal dari Tuhan (having a divine
origin).
68
wanita menjadi sulit hamil (promiscuous). Begitu pula, di Filipina, ada suatu
kepercayaan bahwa jeruk (squash) yang dimakan dengan ayam akan menyebabkan
penyakit lepra. Di beberapa tempat, wanita hamil tidak diberi makan telur karena
bayinya akan membesar yang mempersulit kelahirannya, dan di tempat lainnya lagi,
seorang bayi tidak akan diberi air untuk beberapa bulan setelah kelahiran karena
kualitas “dingin“ dari air akan merusak perimbangan panas si bayi. Di beberapa
bagian dari Ghana, anak-anak tidak boleh makan daging atau ikan karena dipercaya
daging dan ikan akan menyebabkan cacing perut (Foster, 1973: 103-104). Jelas
bahwa, jika ada kepercayaan superstisi, usaha-usaha perubahan melalui hukum atau
agen-agen lainnya akan menemui hambatan.
4) Faktor-Faktor Ekonomi
Ada suatu kebenaran (truism) seperti yang terjadi pada hal-hal lainnya, yaitu
perubahan melalui hukum mempunyai biayanya sendiri. Dalam banyak hal,
interpretasi legislasi, putusan administratif, atau penetapan pengadilan, membawa
harganya sendiri-sendiri. Sebagai contoh, dampak ekonomis dari regulasi federal
tentang institusi pendidikan tinggi sangatlah signifikan. Berbagai program tindakan
afirmative (affirmative action program, yaitu program yang tidak membeda-bedakan
orang berdasarkan ras, golongan, jenis kelamin, dan agama – penerjemah),
mempunyai sanksi dipotongnya semua bantuan dana dari pemerintah federal
terhadap institusi-institusi yang tidak patuh terhadap hukum anti pembedaan (the
anti-bias law). Pada gilirannya, kepatuhan akan menyebabkan meningkatnya biaya
administratif pada institusi-institusi pendidikan tinggi (karena banyak orang kulit
hitam berasal dari keluarga tidak mampu sehingga ada subsidi silang dalam biaya
operasional sekolah – penerjemah). Philip Boffey (1975) membahas suatu penelitian
terhadap 6 institusi untuk menentukan dampak ekonomis dari regulasi federal
terhadap anggaran operasi institusi. Penelitian tersebut memperhatikan dampak dan
biaya finansial dari syarat-syarat peluang pemekerjaan yang sama (equal employment
opportunity) yang disebutkan di Undang-Undang Persamaan Hak (the Civil Rights
Act), Undang-Undang Persamaan Gaji (the Equal Pay Act), Program Tindakan
Persamaan (the Affirmative Action Program) berdasarkan perintah eksekutif
(semacam Perpres – penerjemah) tahun 1965, diskriminasi umur dalam pekerjaan,
Undang-Undang Keamanan dan Kesehatan Pekerja (the Occupational Safety and
69
Health Act) tahun 1970, undang-undang upah minimum, asuransi pengangguran /
jaring pengaman sosial, dan Undang-Undang Perlindungan Lingkungan (the
Environment Protection Law) terhadap pengeluaran operasional universitas.
Walaupun dampak dari beberapa regulasi ini dan beberapa regulasi yang terkait akan
minimal pada universitas, namun secara kolektif dampaknya cukup terasa. Dari 6
kolege dan universitas yang diteliti, kenaikan total anggaran operasional selama satu
dekade dari tahun 1965 sampai 1975 terkait dengan regulasi federal bervariasi dari 1
sampai 4 persen. Biaya ini relatif kecil dibandingkan dengan total anggaran
operasional institusi, namun relatif cukup besar terhadap defisit operasional yang
dialami oleh beberapa institusi dalam tahun-tahun terakhir ini, dan lebih besar
daripada anggaran dari beberapa departemen akademis yang akan sangat langka
melalui perpindahan (shifts) dalam prioritas anggaran institusi. Selama periode 10
tahun penelitian, biaya yang ditimbulkan oleh kepatuhan terhadap regulasi federal
adalah 20 kali lebih besar (Boffey, 1975: 445). Peningkatan biaya ekonomi terkait
dengan kepatuhan banyak ditentang dalam beberapa lingkungan akademis, dan telah
mengakibatkan adanya permintaan agar berbagai hukum yang mempengaruhi
pendidikan tinggi diubah.
70
C. Penutup
Setelah membahas bab ini maka kerjakanlah soal-asola berikut ini:
1. Uraikan apa yang dimaksud dengan perubahan sosial?
2. Jelaskan maksud dari pernyataan bahwa hukum merupakan sarana
untuk rekayasa sosial.
3. Menurut anda apakah hukum dan menyebabkan masyarakat berubah
atau perubahan masyarakatlah yang menyebabkan perubahan terhadap
hukum. Jelaskan dengan memberikan contoh.
71
PENILAIAN
1. Komponen Penilaian
Komponen penilaian selama perkuliahan adalah berupa:
a. Review atas suatu masalah
b. Tugas individual : setiap mahasiswa wajib membuat tugas individu berupa
resume/ mencari artikel di internet.
c. Tugas kelompok : setiap kelompok membuat makalah dengan tema yang
telah ditentukan dosen dan masing-masing kelompok mempresentasikan pada
setiap pertemuan perkuliahan.
2. Kriteria Penilaian
Penilaian diberikan kepada mahasiswa sebagai hasil mengikuti proses
perkuliahan dengan kriteria:
a. Pokok
1. Nilai Tugas (individu dan Kelompok)
2. Nilai Ujian Tengah Semester
3. Ujian Akhir Semester (nilai portofolio)
b. Penunjang
1. Keaktifan di kelas/forum
2. Kualitas presensi/kehadiran
3. Sikap
72
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, 1987, Tebaran Pikiran Tentang Studi Hukum dan Masyarakat, PT.
Media Sarana Press: Jakarta.
Blau, Peter M dan Marshall W.Meyer. 1987. Birokrasi dalam Masyarakat Modern:
Edisi Kedua. Jakarta:UI Press.
M. Munandar Soelaeman, 1998, Ilmu Sosial Dasar : Teori dan Konsep Ilmu Sosial
Refika: Bandung
Rahardjo Satjipto, 2006, Ilmu Hukum (Cetakan 2006).PT Citra Aditiya Bhakti:
Bandung.
73