Anda di halaman 1dari 128

CATATAN AKHIR TAHUN

cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


LBH JAKARTA 2013

KETIKA
HUKUM
DIJADIKAN
ALAT
PELANGGARAN
HAM

1
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

CATAHU LBH JAKARTA


2013

Catatan Akhir Tahun 2013 ini diterbitkan oleh LBH Jakarta


sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas kepada masyarakat
2
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. PELANGGARAN HAM YANG DILEGITIMASI............................................. 7
B. GAMBARAN UMUM PENGADUAN KE LBH JAKARTA.
1. Jumlah dan Profil Pencari Keadilan..................................................... 10
2. Kasus-kasus yang diadukan................................................................. 11
a. Kasus Perburuhan................................................................................ 11
b. Kasus Sipil dan Politik.............................................. . ......................... 12
c. Kasus Perkotaan dan Masyarakat Urban............................................. 13
d. Kasus Perempuan dan Anak................................................................ 14
e. Kasus Keluarga..................................................................................... 15
f. Kasus Non Struktural............................................................................ 16
BAB II POLA PELANGGARAN HUKUM DAN HAM
1. Hak Atas Pekerjaan............................................................................... 17
2. Hak Atas Tanah dan Tempat Tinggal ................................................... 19
3. Atas Ekonomi....................................................................................... 21
4. Hak Atas Kesehatan.............................................................................. 23
5.Hak Atas Peradilan yang Bersih, Adil, dan Jujur.................................. 25
DAFTAR ISI

6..Hak Atas Kemerdekaan Berpikir, Berkeyakinan dan Beragama.......... 27


7. Hak Atas Kemerdekaan Berkumpul, Berpendapat, dan Berekspresi. 32
8. Hak Atas Kemerdekaan Berserikat...................................................... 34
9.Hak Atas Perlindungan Pekerja Migran................................................ 36
10.Hak Atas Perlindungan Perempuan.................................................... 38
11.Hak Anak yang Berhadapan dengan Hukum....................................... 40
12.Hak Atas Pelayanan Publik.................................................................. 42
13.Perlindungan Pengungsi dan Pencari Suaka...................................... 46

BAB III ADVOKASI KEBIJAKAN


1.Uji Materi UU Koperasi.......................................................................... 49
2. Uji Materi UU Pendidikan Tinggi........................................................... 51
3..Revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).............. 53
4..Revisi Undang-undang Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri................................................. 55
5. Peraturan Daerah Bantuan Hukum...................................................... 56
6. Melawan Politik Upah Murah................................................................ 60
7. UU Ormas.............................................................................................. 62
8. Desk Pidana Perburuhan...................................................................... 64
9..Citizen Law Suit Menggugat Swastanisasi Air Jakarta......................... 66

BAB IV PROGRAM DAN KEGIATAN


1. Penelitian Legal Aid Costing................................................................. 69
2. Paralegal dan Bantuan Hukum............................................................ 70
3. Penerimaan Pengacara Pembela Pidana............................................. 71

3
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

4. Rembuk Warga...................................................................................... 73
5. Memperkuat Sistem HAM di ASEAN.................................................... 74
6. Laporan Berita LBH Jakarta................................................................. 76
7. Laporan Penerbitan Buku Saku Bantuan Hukum................................ 76
8. Guru dan Keragaman............................................................................ 77
9. Program ABAROLI................................................................................ 78
10.Program FK.......................................................................................... 78
11. Program Sasakawa............................................................................. 79
12. Tim Advokasi Buruh Mogok Nasional................................................. 80
13. Gerakan Bersama Buruh BUMN........................................................ 81
14. POSKO THR......................................................................................... 83
15. Penelitian Perselisihan Hubungan Industrial.................................... 84

BAB V PENANGANAN KASUS SECARA LITIGASI DAN


LAPORAN LBH JAKARTA ATAS KINERJA LEMBAGA NEGARA
1. PENANGANAN KASUS LITIGASI............................................................... 86
1. Pidana . ................................................................................................. 87
2. Perdata.................................................................................................. 87
3. Peradilan Tata Usaha Negara............................................................... 88
4. Peradilan Hubungan Industrial............................................................ 88
5..Judicial Review di Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung........ 89
2. KESUKSESAN KASUS LITIGASI LBH JAKARTA........................................ 89
3. LAPORAN LBH JAKARTA ATAS KINERJA LEMBAGA NEGARA................ 91

BAB VI PENINGKATAN KAPASITAS MASYARAKAT


DALAM MEMBELA HAKNYA.............................................................. 96

BAB VII LAPORAN KELEMBAGAAN


A. REGENERASI PEKERJA BANTUAN HUKUM............................................ 104
1. Karya Latihan Bantuan Hukum............................................................ 104
2. Penerimaan Asisten Pengacara Publik................................................ 104
3. Penerimaan Pengacara Publik............................................................. 104
4. Pengacara Publik Berdiaspora............................................................. 105

B. PENGEMBANGAN KAPASITAS................................................................. 105


C. PUSAT DOKUMENTASI DAN BANTUAN HUKUM..................................... 107
D. DIVISI FUNDRISING LBH JAKARTA.......................................................... 111
E. PERSONIL LBH JAKARTA......................................................................... 112

BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI.............................................. 114

LAMPIRAN LAPORAN KEUANGAN.............................................................. 122

4
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
REDAKSI

EDITOR:
Eny Rofiatul Ngazizah, S.H.

PENYUSUN:
Febi Yonesta, S.H.
Restaria Hutabarat, S.H., M.A.
Muhamad Isnur, S.H.
Tommy A. Tobing, S.H.
Maruli Tua Rajagukguk, S.H.
Pratiwi Febry, S.H.
Yunita, S.H.
Arif Maulana, S.H., M.H.
Handika Febrian, S.H.
Sudiyanti, S.H.
Ahmad Biky, S.H.
Atika Yuanita P., S.H., M.H.
Eny Rofiatul N., S.H.
Johanes Gea, S.H.
Nelson N. Simamora, S.H.
Rachmawati Putri, S.H.
Tigor Gempita Hutapea, S.H.

ASISTEN PENYUSUN:
M. Adzkar Arifian Nugroho
Akhmad Zaenudin, S.H.
Jane Aileen T., S.H.

5
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

KATA PENGANTAR
Di setiap penghujung tahun, LBH Jakarta senantiasa
KATA PENGANTAR menghadirkan Catatan Akhir Tahun (CATAHU), bukan
hanya sebagai bentuk pertanggungjawaban kerja-kerja
bantuan hukum kepada publik, akan tetapi juga sebagai
refleksi kami terhadap kondisi hukum dan hak asasi ma-
nusia sepanjang tahun.
Dari berbagai kasus dan permasalahan hukum yang di-
tangani selama tahun 2013, LBH Jakarta melihat adanya
legitimasi terhadap berbagai pelanggaran hak asasi ma-
nusia. Legitimasi itu diwujudkan baik melalui hukum dan
kebijakan, perilaku aparat pemerintahan, putusan penga-
dilan, maupun kultur masyarakat. Sehingga tidak heran
jika pelanggaran hak asasi manusia tidak pernah tuntas
teratasi, dan bahkan terus berulang.
Berbagai peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan standar hak
asasi manusia masih kerap diberlakukan, perilaku diskriminatif aparat pemerintahan
masih selalu terjadi, putusan pengadilan yang memberikan impunitas kepada para
pelaku atau justru mengkriminalisasi korban masih saja ada, dan kecenderungan afir-
masi publik terhadap tindak pelanggaran hak asasi tertentu masih sering ditemukan.
Adanya berbagai bentuk legitimasi ini tentu saja tidak bisa kita lepaskan dari komit-
men Pemerintah Republik Indonesia untuk sungguh-sungguh menegakan hak asasi
manusia. Minimnya kemauan politik Pemerintah untuk merealisasikan komitmen pen-
egakan hak asasi manusia, menjadi faktor utama yang memungkinkan legitimasi ini
terus hadir dan mendorong terjadinya berbagai pelanggaran hak asasi. Padahal, Pe-
merintah memiliki kewajiban internasional untuk melakukan segala upaya yang perlu,
baik di bidang legislasi, administrasi, maupun yudisial, untuk memastikan penghor-
matan, pemenuhan, dan perlindungan hak asasi manusia. Dengan demikian, jaminan
normatif hak asasi, sebagaimana diatur dalam konstitusi, perjanjian internasional yang
telah diadopsi, dan berbagai peraturan perundang-undangan domestik lainnya, dapat
dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia, dan semua orang yang berada dalam
yurisdiksi nasional.
Melalui CATAHU 2013 ini, atas nama seluruh staf dan Pengabdi Bantuan Hukum LBH
Jakarta, saya ingin menyampaikan permohonan maaf yang sedalam-dalamnya, atas
kekurangsempurnaan kami melakukan kerja-kerja bantuan hukum, dan berharap dapat
memperbaikinya di tahun-tahun selanjutnya. Saya ingin pula mengucapkan syukur dan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah mendukung LBH
Jakarta dalam melaksanakan kerja-kerja kami, sehingga misi kami untuk menciptakan
akses keadilan bagi masyarakat yang termarjinalkan dapat terus dilakukan.
Terakhir, saya ingin memberikan apresiasi yang tulus kepada seluruh Pengabdi Ban-
tuan Hukum dan staf umum LBH Jakarta, atas kerja keras dan kerjasama yang solid
untuk memastikan terlaksananya layanan bantuan hukum dan program-program ad-
vokasi hak asasi manusia, termasuk untuk menghadirkan CATAHU 2013 ini ke tengah-
tengah masyarakat. Tanpa semangat dan ketulusan, misi bantuan hukum yang kita ru-
muskan bersama, sangat sulit untuk diwujudkan.

Yogyakarta, 17 Desember 2013


Direktur LBH Jakarta

Febi Yonesta

6
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
BAB I
PENDAHULUAN

PENDAHULUAN

A. PELANGGARAN
HAK ASASI MANUSIA
YANG DILEGITIMASI

S
epanjang tahun 2013, LBH Jakarta telah melakukan kerja-kerja bantuan hukum,
sebagai respon dari berbagai permasalahan hukum dan hak asasi manusia di Indo-
nesia, khususnya di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Tercatat, sebanyak 1001 Ka-
sus ditangani oleh LBH Jakarta, mulai dari memberikan konsultasi hukum, sampai
dengan pendampingan hukum secara penuh. Berbagai pelanggaran hak asasi ditemukan
dalam kasus-kasus yang diterima. Pelanggaran hak tersebut meliputi hak atas pekerjaan
Kasus, hak atas perumahan, hak atas kemerdekaan beragama, hak atas peradilan yang adil,
hak untuk bebas dari penyiksaan, hak anak, dan hak asasi lainnya.
Dari penanganan berbagai kasus pelanggaran hak tersebut, LBH Jakarta menemukan
adanya legitimasi atas pelanggaran hak yang terjadi. Baik legitimasi dari sisi hukum dan ke-
bijakan, perilaku aparat pemerintahan dan penegak hukum, putusan pengadilan, maupun
yang seolah-olah dilegitimasi oleh (publik.)

7
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

Legitimasi Hukum dan Kebijakan


Pelanggaran hak yang dilegitimasi oleh hukum dan kebijakan dapat ditemukan dalam kasus yang
terkait dengan hak memiliki tempat ibadah. Meskipun telah mendapat jaminan Konstitusi dan pera-
turan perundang-undangan mengenai hak asasi manusia, Jemaat Ahmadiyah Kota Bekasi terpaksa
kehilangan haknya untuk beribadah di Masjidnya sendiri. Melalui Surat Keputusannya, Walikota
Bekasi memerintahkan untuk melakukan penggembokan Masjid Ahmadiyah, sehingga tidak dapat
digunakan untuk melakukan ibadah dan kegiatan keagamaan lainnya. Surat Keputusan tersebut
memperoleh legitimasi dari Keputusan Gubernur, Surat Keputusan Bersama tiga menteri, dan Un-
dang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan/ Penodaan Agama.
Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
juga memberikan legitimasi hukum pelanggaran hak berekspresi. Bukan hanya karena ketentuan
tersebut menerapkan pidana bagi ekspresi yang dinilai mencemarkan nama baik, akan tetapi juga
karena ketentuan tersebut tidak diformulasikan secara jelas (ambigu) dan berpotensi menjadi
pasal karet. Kasus yang menimpa Benny Handoko alias @benhan, menunjukan bahwa ketentuan
Undang-Undang ITE dimaksud dapat menjerat persepsinya atas keterlibatan Misbakhun di dalam
skandal Bank Century, yang ia nyatakan melalui akun Twitter-nya.
Praktik penyiksaan yang dilakukan selama proses penyelidikan/penyidikan kepada para Ter-
sangka perbuatan pidana diberikan legitimasinya oleh KUHAP. Dalam kasus Pembunuhan Cipulir,
meskipun para Terdakwa sudah mencabut keterangannya di dalam BAP, disebabkan keterangan
tersebut diberikan dibawah tekanan dan penyiksaan. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Se-
latan tetap memutus bersalah para Terdakwa yang rata-rata masih di bawah umur, karena sampai
saat ini KUHAP belum mengatur status alat bukti yang diperoleh secara melawan hukum, termasuk
melalui penyiksaan.
Pemenuhan pendidikan yang berkualitas dan aksesibel di segala jenjang pendidikan bagi seluruh
rakyat Indonesia menjadi hal penting untuk terus menerus ditingkatkan. Sesuai dengan amanah
Pasal 28C dan Pasal 31 UUD 1945, bahwa setiap orang berhak mendapatkan pendidikan. Dalam hal
kebijakan Pendidikan Tinggi, Negara pun melepaskan tanggung jawabnya dengan membuat UU
No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Dengan Undang-undang ini, negara justru berupaya
mengalihkan kewajiban serta tanggung jawabnya dalam pemenuhan hak atas pendidikan kepada
pihak lain, diantaranya ialah kepada mahasiswa/orang tua mahasiswa (Pasal 85) yang salah satun-
nya melalui soft loan (pinjaman lunak); kepada institusi pendidikan melalui otonomi pengelolaan
yang membuka keran bisnis di lingkungan institusi pendidikan tinggi (swastanisasi pendidikan
tinggi), yang diatur dalam Pasal 65 ayat (3). Hampir keseluruhan pengaturan yang dimuat pada UU
Dikti memang berbicara tentang pengelolaan institusi pendidikan tinggi dan bukan mengenai pen-
didikan tinggi itu sendiri.
Dalam hal kebijakan perkoperasian, negara pun melakukan pelanggaran dengan UU No 17 Tahun
2012 tentang Perkoperasian. Kegagalan kebijakan perkoperasian ini ditandai dengan adanya mod-
al penyertaan dari luar anggota yang akan dijadikan instrumen oleh Pemerintah dan atau pemilik
modal besar masuk dalam koperasi. Secara umum, UU Perkoperasian yang baru ini merusak oto-
nomi dan juga mengganggu berjalannya demokrasi koperasi yang merupakan jati diri dari koperasi
Indonesia yang merupakan organisasi perkumpulan orang (people base association) dan bukan per-
kumpulan modal (capital base association).
Begitu pula dalam kasus-kasus Pengungsi. Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 Tentang Keimigra-
sian memberikan legitimasi untuk mangabaikan hak asasi para pencari suaka dan pengungsi yang
transit di Indonesia untuk mencari perlindungan atas persekusi yang dialami di Negaranya. Para
Pengungsi Rohingya, yang terpaksa meninggalkan Myanmar, akibat adanya pemusnahan etnis di
sana, akan tetap dipandang sebagai imigran gelap menurut Undang-Undang Keimigrasian, dan da-
pat ditahan di Rumah Detensi Imigrasi sampai dengan 10 tahun, tanpa proses hukum apapun.

8
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
Legitimasi Perilaku Aparat Pemerintah
Pelanggaran hak asasi manusia, juga terlihat dilegitimasi oleh perilaku aparat pemerintahan, ter-
masuk kepolisian.
Legitimasi Pemerintah yang gamblang terhadap pelanggaran hak asasi, dapat ditemukan di da-
lam kasus Penangguhan Upah terhadap .. perusahaan yang dilakukan oleh Pemerintah Propinsi
DKI Jakarta, melalui sebuah Surat Keputusan Gubernur. Tanpa melalui prosedur verifikasi lapangan
dan komunikasi dengan pekerja, Gubernur DKI Jakarta menerbitkan Surat Keputusan Penangguhan
Upah kepada perusahaan-perusahaan yang sebenarnya tidak memenuhi syarat penangguhan.
Legitimasi kasat mata lainnya ditemukan dalam kasus penggusuran pedagang stasiun kereta api
di wilayah Jabodetabek. PT. KAI atau PT. KAI Commuter Jabodetabek melakukan penggusuran ter-
hadap kios-kios pedagang di 16 stasiun, dan mengakibatkan sebanyak 6532 orang harus kehilangan
mata pencarian utamanya. Pelanggaran hak para pedagang ini dilegitimasi oleh aparat Kepolisian
dan Tentara yang tampak melakukan pengamanan terhadap aksi penggusuran. Tidak ada kompen-
sasi dalam bentuk apapun terhadap para pedagang yang selama ini menggantungkan hidupnya dari
berjualan di stasiun.
Praktik penyiksaan di dalam proses pemeriksaan pidana, kerap terjadi dan menjadi tradisi yang
seolah lazim dilakukan dalam upaya kepolisian mengungkap kejahatan. Kasus Pembunuhan Cipu-
lir membuktikan bahwa praktek penyiksaan masih menjadi cara utama untuk memaksa pengakuan
dari para Tersangka, meskipun para Tersangka bukan pelaku sesungguhnya.
Praktik diskriminasi dan intoleransi pun masih kunjung terjadi terhadap kelompok keagamaan
minoritas, termasuk Jemaat Ahmadiyah. Kasus pengembokan Masjid seperti yang dialami Jemaat
Ahmadiyah di Jatibening Bekasi, menunjukan adanya legitimasi Pemerintah Kota Bekasi atas prak-
tik diskriminasi dan intoleransi berbasiskan agama. Terlepas bahwa Konstitusi dan peraturan perun-
dang-undangan telah menjamin hak beragama, termasuk hak atas tempat ibadah, Pemerintah Kota
Bekasi tetap mengabaikan jaminan tersebut dan lebih memilih mendukung praktik diskriminasi dan
intoleransi yang semakin meluas di kalangan masyarakat Bekasi.

Legitimasi Putusan Pengadilan


Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memidanakan empat orang terdakwa di bawah
umur memberikan legitimasi terhadap praktik penyiksaan, penahanan sewenang-wenang, dan pera-
dilan yang tidak adil. Putusan ini bahkan mengesampingkan fakta bahwa para terdakwa bukanlah
pelaku yang sesungguhnya.
Hal yang serupa terjadi dalam kasus penggembokan Masjid Ahmadiyah di Jatibening Bekasi.
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negeri di Bandung telah memberikan legitimasi kepada Walikota
Bekasi untuk melakukan pelanggaran terhadap hak atas kemerdekaan beragama, berkeyakinan, dan
beribadah, Jemaah Ahmadiyah di Bekasi.

Legitimasi Publik
Salah satu faktor terus terjadinya pelanggaran hak asasi manusia, adalah minimnya dukungan
publik terhadap para korban. Para pelaku, seolah memperoleh legitimasi untuk terus melakukan
pelanggaran tersebut. Minimnya pemahaman tentang hak asasi manusia, ditambah informasi yang
sesat mengenai peristiwa pelanggaran, mendorong antipati publik dan stigma terhadap para kor-
ban.
Dalam diskusi Guru, Keragaman, dan Pendidikan Agama Yang Lapang yang diselengarakan atas
kerjasama antara LBH Jakarta, Yayasan Cahaya Guru (YCG), dan Indonesia Conference on Religion
and Peace (ICRP), di Bekasi, tampak bahwa guru-guru Agama di sekolah Negeri masih memiliki ang-
gapan bahwa faktor penyebab berbagai peristiwa pelanggaran hak beragama dan beribadah, adalah
perbedaan atau kesalahan yang dilakukan korban sendiri.

9
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

A. GAMBARAN UMUM
PENGADUAN KE
LBH JAKARTA
A. Jumlah dan Profil Pencari Keadilan

Tabel 1: Tabel Perbandingan Kasus 5 Tahun Terakhir

Data di atas memperlihatkan jumlah pengaduan masyarakat ke LBH Jakarta selama lima tahun tera-
khir. Jika ditotal, sejak 2009 hingga 2013 LBH Jakarta menerima 5.088 pengaduan. Pengaduan terban-
yak diterima pada 2010, dengan 1.151 pengaduan. Sementara 2012 menjadi tahun terendah, dengan
959 pengaduan. Untuk 2013, LBH Jakarta menerima 1.001 pengaduan dengan 28.528 pencari keadilan,
jika dibandingkan tahun sebelumnya jumlah pengaduan mengalami kenaikan sebanyak 84 pengaduan.
Jika dirata-rata, selama lima tahun terakhir, pengaduan yang diterima LBH Jakarta adalah 1.018 pen-
gaduan.
Selain menerima pengaduan secara langsung, LBH Jakarta juga menyediakan mekanisme konsultasi
online. Berikut ini adalah tabel pengaduan online yang dilakukan LBH Jakarta:

Tabel 2: Jumlah Pengaduan Online

10
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
Untuk pengaduan online, kasus perburuhan menerima 41 (empat puluh satu) pengaduan, Perkotaan
dan Maysarakat Urban 13 (tiga belas) pengaduan, Kasus Sipil dan Politik sebanyak 7 (tujuh) pengaduan,
Kasus Keluarga sebanyak 15 (lima belas) pengaduan, Kasus Perempuan dan Anak sebanyak 4 (empat)
pengaduan, dan kasus non-struktural sebanyak 46 (empat puluh enam) pengaduan.

A. Kasus - kasus yang Diadukan


Dalam mengelompokkan data-data pengaduan, LBH Jakarta melakukan pengelompokan kasus
dalam beberapa klasifikasi, yaitu Perburuhan, Perkotaan dan Masyarakat Urban (PMU), Kemerde-
kaan Beragama dan Berkeyakinan (KBB), Perempuan dan Anak, Keluarga, dan Kasus Non Struk-
tural. Deskripsi lengkap kasus-kasus berikut ada dalam penjelasan di bawah ini:

1. Kasus Perburuhan

Tabel 3: Jumlah dan Jenis Kasus Perburuhan

Kasus Perburuhan yang masuk ke LBH Jakarta, permasalahan yang diadukan meliputi persoalan
buruh migran sebanyak 8 (delapan) pengaduan, hak normatif sebanyak 80 (delapan puluh) pengad-
uan, hubungan kerja sebanyak 99 (sembilan puluh sembilan) pengaduan, kepegawaian sebanyak
7 (tujuh) pegawaian, kriminalisasi buruh sebanyak 5 (lima) pengaduan, dan serikat pekerja seban-
yak 6 (enam) pengaduan. Dari seluruh pengaduan yang masuk, untuk sub-klasifikasi hak normatif,
hubungan kerja, kepegawaian, dan kriminalisasi buruh, sebagian besar pencari keadilannya berjenis
kelamin perempuan.
Kasus Perburuhan yang diadukan ke LBH Jakarta, berasal dari wilayah Bekasi, Bogor, Depok,
Jawa Barat, Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Utara, Jawa Tengah
dan Daerah Istimewa Jogjakarta, Jawa Timur, Sumatera, Tangerang dan Banten, lain-lain dan tidak
diisi. Angka pengaduan cukup tinggi berasal dari buruh yang berdomisili di Bekasi, sebanyak 20 (dua
puluh) pengaduan, kemudian Jakarta Pusat sebanyak 22 (dua puluh dua) pengaduan, Jakarta Sela-
tan sebanyak 26 (dua puluh enam) pengaduan, dan Jakarta Timur sebanyak 42 (empat puluh dua)
pengaduan.
Dari seluruh kasus buruh yang masuk ke LBH Jakarta, sebanyak 84 (delapan puluh empat) pen-
gaduan dilakukan oleh pengadu yang berpendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA). Kemudian
buruh yang berpendidikan Diploma sebanyak 14 (empat belas) pengaduan, S1 sebanyak 30 (tiga
puluh) pengaduan, S2 sebanyak 9 (sembilan) pengaduan, Sekolah Dasar (SD) sebanyak 11 (sebelas)
pengaduan, lain-lain sebanyak 29 (dua puluh sembilan) pengaduan, tidak diisi sebanyak 17 (tujuh
belas) pengaduan, dan tidak sekolah sebanyak 1 pengaduan.
Sebanyak 162 pengaduan kasus perburuhan dilakukan oleh pengadu berusia dewasa (18-50 ta-
hun), 33 (tiga puluh tiga) pengaduan dilakukan oleh lansia (>50 tahun), dan 9 (sembilan) pengadu
tidak menyebutkan usianya.
LBH Jakarta juga mengklasifikasikan besaran penghasilan pengadu dalam kasus perburuhan.
Sebanyak 41 (empat puluh satu) pengaduan buruh dilakukan oleh mereka yang berpenghasilan
2.020.000-3.500.000. Selanjutnya pengaduan yang dilakukan buruh yang berpenghasilan 1.010.000-
2.000.000 sebanyak 24 (dua puluh empat), lalu 18 (delapan belas) pengaduan dilakukan oleh mereka

11
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

yang berpenghasilan 3.510.000-5.000.000. Kemudian 10 (sepuluh) pengaduan dilakukan oleh buruh


yang berpenghasilan 5.500.000-10.000.000. Selanjutnya 8 (delapan) pengaduan dilakukan oleh Bu-
ruh yang berpenghasilan 10.000.000 ke atas. Sebanyak 6 (enam)pengaduan dilakukan oleh mer-
eka yang berpenghasilan 501.000-1.000.000. Pengadu yang memilih isian penghasilan tidak jelas
sebanyak 1 (satu) pengaduan, yang mengisi tidak tetap sebanyak 3 (tiga) orang, dan pengadu yang
tidak mengisi isian penghasilan sebanyak 90 (sembilan puluh) pengadu.

2. Kasus Hak Sipil dan Politik


JUMLAH
JUMLAH
SUB KLASIFIKASI KASUS
PENCARI
KEADILAN

Hak Bebas dari Siksaan & Perlakuan Tidak Manusiawi 5 5


Hak Atas Pengadilan yang Jujur 35 37
Hak Atas Perlindungan Dari Kesewenangan Hukum
Kriminal 3 3

Hak Pengakuan yang Sama Dihadapan Hukum 2 401

Hak Atas Kebebasan Untuk Berpendapat dan Berekspresi 1 8

Hak Atas Kebebas Berpikir, Berkeyakinan & Beragama 2 101

Hak Atas Kebebasan untuk berpendapat & Berekspresi 2 11


Hak untuk Berkumpul & Berserikat
Hak Atas Kepemilikan Yang Tidak Boleh Diambil Alih
1 1
Secara Sewenang-Wenang Oleh Siapapun
Hak Kebebasan Bagi WNA 5 30
Hak Untuk Berkumpul 1 3000

Kesamaan Dimuka Umum Tanpa Diskriminasi 2 2


TOTAL 59 3599

Tabel 4: Jumlah dan Jenis Kasus Sipil dan Politik

LBH Jakarta menerima 59 (lima puluh sembilan) pengaduan dengan 3.599 pencari keadilan untuk
kasus Hak Atas Sipil dan Politik. Hak Sipol dan Politik terbagi dalam beberapa kategori, diantaranya
Fair Trial, Hak Atas Kebebasan Pribadi (Privasi), Hak Atas Kebebasan untuk Berpendapat dan Ber-
ekspresi, Hak Atas Kebebasan Berpikir Berkeyakinan, dan Beragama; Hak Atas Kepemilikan yang
Tidak Boleh Diambil Alih Secara Sewenang-wenang oleh siapapun, Hak Bagi Kaum Minoritas, Hak
Bebas dari Siksaan dan Perlakuan Tidak Manusiawi, Hak Kebebasan bagi Warga Negara Asing, Hak
Untuk Berkumpul dan Berserikat, Hak untuk Menikah dan Berkeluarga, dan lain-lain.
Dari 59 (lima puluh Sembilan) kasus yang diadukan ke LBH Jakarta, 38 (tiga puluh delapan) pen-
gaduan dilakukan oleh pengadu yang berjenis kelamin perempuan, 12 (dua belas) pengaduan di-
lakukan oleh laki-laki, dan 6 (enam) pengaduan yang tidak mengisikan jenis kelaminnya. Fair Trial
yang merupakan subklasifikasi Hak Sipil dan Politik, diadukan ke LBH Jakarta sebanyak 35 (tiga
puluh lima) kasus, 24 (dua puluh empat), diantaranya diadukan oleh pengadu berjenis kelamin
perempuan, 10 pengaduan dilakukan oleh laki-laki, dan 1 (satu) orang tidak mengisi informasi jenis
kelaminnya.
Persebaran wilayah klien terjadi di wilayah Bekasi, Bogor, Depok, Jawa Barat, Jakarta Barat, Ja-
karta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Utara, Jawa Tengah dan DIY, Jawa Timur, Su-
matera, dan Tangerang dan Banten.
Profil pendidikan pengadu, sebanyak 21 (dua puluh satu) pengadu berpendidikan SMA, 5 (lima)
pengadu berpendidikan S1, 2 (dua) pengadu tidak menuliskan informasi isian pendidikan, 9 (sem-
bilan) pengadu berpendidikan SD, dan 2 (dua) pengadu berpendidikan SMP, sebanyak 8 (delapan)
pengadu berpendidikan Diploma, dan 9 (sembilan) pengadu menuliskan lain-lain di informasi pen-
didikannya.

12
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
Kemudian dari data usia, sebanyak 24 (dua puluh empat) pengadu berusia dewasa (18-50 tahun),
pengadu berusian anak (< 18 tahun) sebanyak 14 (empat belas) tahun, pengadu berusia lansia (> 50
tahun) sebanyak 3 (tiga) pengaduan, dan 1 pengadu tidak memberikan informasi usianya.
Dari data penghasilan, sebanyak 1 (satu) pengadu berpenghasilan 1000-100.000, 7 (tujuh) pen-
gaduan diadukan oleh pengadu yang berpenghasilan 501.000-1.000.000, kemudian 2 (dua) orang
pengadu berpenghasilan 1.010.000-2.000.000, 4 (empat) orang pengadu berpenghasilan 2.020.000-
3.500.000, 6 orang pengadu berpenghasilan 3.510.000-5.000.000, 1 (satu) orang pengadu berpeng-
hasilan 5.500.00-10.000.000, 1 (satu) pengadu berpenghasilan tidak tetap dan 34 (tiga puluh em-
pat) pengadu tidak mengisi isian jumlah penghasilan.

3. Kasus Perkotaan dan Masyarakat Urban

Tabel 5: Jumlah dan Jenis Kasus Perkotaan dan Masyarakat Urban

Tabel 5: Jumlah dan Jenis Kasus Perkotaan dan Masyarakat Urban


Kasus Perkotaan dan Masyarakat Urban yang diterima LBH Jakarta tahun 2013 sebanyak 90
(Sembilan puluh) pengaduan dengan pencari keadilan sebanyak 6.695 orang. Kategori PMU terdiri
dari Hak Atas Tanah dan Tempat Tinggal, Hak Usaha dan Ekonomi, Hak Pendidikan, Hak Keseha-
tan, Hak Lingkungan, Hak Penanggulangan Bencana, Hak Atas Identitas, dan Hak Atas Pelayanan
Publik.
Pengadu yang datang ke LBH Jakarta berasal dari berbagai wilayah, diantaranya Bekasi 7 (tujuh)
pengaduan, Bogor 5 (lima) pengaduan, Depok 5 (lima) pengaduan, Jawa Barat 1 (satu) pengaduan,
Jakarta Barat 14 (empat belas) pengaduan, Jakarta Pusat 12 (dua belas) pengaduan, Jakarta Sela-
tan 11 (sebelas) pengaduan, Jakarta Timur 13 (tiga belas) pengaduan, Jakarta Utara 7 (tujuh) pen-
gaduan), Jawa Tengah dan DIY 1 (satu) pengaduan, Sumatera 1 (satu) pengaduan), Tangerang dan
Banten 11 (sebelas) pengaduan, dan 2 (dua) pengadu tidak mengisikan informasi lokasinya.
Dari 90 (Sembilan puluh)pengaduan yang datang ke LBH Jakarta, 34 (tiga puluh empat) diadu-
kan oleh pengadu yang berjenis kelamin perempuan, 19 (sembilan belas) pengaduan dilakukan
oleh pengadu laki-laki, dan sebanyak 37 (tiga puluh tujuh) orang tidak mengisi isian jenis kelamin.
Hak Atas Tanah dan Tempat Tinggal yang merupakan bagian dari PMU diadukan sebanyak 39
(tiga puluh sembilan)kali, Hak Atas Kesehatan diadukan oleh 18 (delapan belas) pengadu, Hak Atas
Usaha/ Ekonomi diadukan oleh 15 (lima belas) pengadu, Hak Atas Lingkungan diadukan oleh 6
(enam) pengadu, Hak Atas Identitas diadukan oleh 5 (lima) pengadu, Hak Atas Pendidikan diadu-
kan oleh 4 (empat)pengadu, dan Pelayanan Publik diadukan oleh 3 (tiga) pengadu.
Pendidikan pengadu PMU yang didata LBH Jakarta adalah SMA 31 (tiga puluh satu) pengadu,
S1 13 (tiga belas) pengadu, S2 1 (satu) pengadu, lain-lain 12 (dua belas) pengadu, SD 9 (Sembilan)
pengadu, SMP 8 (delapan) pengadu), Diploma 5 (lima) pengadu, dan 11 (sebelas) pengadu tidak

13
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

mengisi isian jenis pendidikan yang telah disediakan.


Berdasarkan usia pengadu, pengaduan yang datang ke LBH Jakarta untuk kasus PMU adalah de-
wasa (18-50 tahun) sebanyak 44 (empat publuh empat) pengaduan, lansia (>50 tahun) sebanyak 36
pengaduan, anak (dibawah 18 tahun) sebanyak 3 (tiga) orang, dan sebanyak 7 (tujuh) orang tidak
mengisi isian usia yang disediakan di formulir.
Dari data penghasilan, sebanyak 2 (dua) pengadu berpenghasilan 1000-100.000, 1 (satu) pengad-
uan diadukan oleh pengadu yang berpenghasilan 101.000-500.000, kemudian 7 (tujuh) orang pen-
gadu berpenghasilan 501.000-1.000.000, 9 (sembilan) orang pengadu berpenghasilan 1.010.000-2
.000.000, 7 (tujuh) orang pengadu berpenghasilan 2.020.000-3.500.000, 4 (empat) orang pengadu
berpenghasilan 3.510.000-5.000.000, 2 (dua) orang pengadu berpenghasilan 5.500.00-10.000.000,
berpenghasilan di atas 10.000.000 sebanyak 1 (satu) orang, 1 (satu) pengadu berpenghasilan tidak
tetap dan 56 (lima puluh enam) pengadu tidak mengisi isian jumlah penghasilan.

4. Kasus Perempuan dan Anak

Tabel 6: Jumlah dan Jenis Kasus Perempuan dan Anak

Kasus Perempuan dan Anak yang ditangani LBH Jakarta berjumlah 42 (empat puluh dua) pen-
gaduan dengan 49 (empat puluh sembilan) pencari keadilan. Dari 35 (tiga puluh lima) pengaduan
kasus perlindungan anak, 16 (enam belas) pengaduan diadukan oleh perempuan, 17 (tujuh belas)
pengaduan dilakukan oleh laki-laki, dan 2 (dua) pengaduan tidak menyebutkan jenis kelamin pen-
gadunya. Untuk kasus perlindungan perempuan, 4 (empat) pengaduan dilakukan oleh perempuan
dan 3 (tiga) pengaduan dilakukan oleh laki-laki.
Pengadu untuk klasifikasi kasus ini berasal dari Bekasi (5 pengaduan), Depok 3 (tiga) pengaduan,
Jakarta Barat 4 (empat) pengaduan, Jakarta Pusat 2 (dua) pengaduan, Jakarta Selatan 6 (enam) pen-
gaduan, Jakarta Timur 9 (Sembilan) pengaduan, Jakarta Utara 6 (enam) pengaduan, Jawa Timur 1
(satu) pengaduan, Sumatera 1 (satu) pengaduan, Tangerang dan Banten 4 (empat) pengaduan, dan
1 (satu) pengadu tidak mengisi isian wilayah di formulir pengaduan.
Pendidikan pengadu berasal dari S1 sebanyak 3 pengaduan, S2 sebanyak 3 (tiga) pengaduan, SD
sebanyak 5 (lima) pengaduan, SMA sebanyak 17 (tujuh belas) pengaduan, SMP sebanyak 6 (enam)
pengaduan, 2 (dua) pengadu tidak mengisi, dan 1 (satu) pengadu mengisi tidak sekolah.
Usia pengadu kasus Perempuan dan Anak terbagi dalam 3 (tiga) kategori, yaitu pertama pengadu
yang berusia anak (<18 tahun) sebanyak 14 (empat belas) pengaduan, kedua pengadu yang berusia
dewasa (18-50 tahun) sebanyak 24 (dua puluh empat) pengaduan, dan ketiga adalah pengadu lansia
(> 50 tahun) sebanyak 3 (tiga) pengaduan.
Kasus Perempuan dan Anak diadukan oleh pengadu yang berpenghasilan 1000-100.000 sebanyak
2 (dua) pengaduan, berpenghasilan 101.000-500.000 sebanyak 1 (satu) pengaduan, berpenghasilan
505.000-1.000.000 sebanyak 4 (empat) pengaduan, berpenghasilan 1.010.000-2.000.000 sebanyak
5 (lima) pengaduan, berpenghasilan 2.020.000-3.500.000 sebanyak 4 (empat) pengaduan, berpeng-
hasilan 3.510.000-5.000.000 sebanyak 7 (tujuh) pengaduan, 1 (satu) orang pengadu berpenghasilan
tidak tetap, dan 18 (delapan belas) pengadu tidak mengisi isian penghasilan yang disediakan.

14
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
5. Kasus Keluarga

Tabel 7: Jumlah dan Jenis Kasus Keluarga

Kasus Keluarga yang ditangani LBH Jakarta berjumlah 172 (seratus tujuh puluh dua) pengaduan
dengan 173 (seratus tujuh puluh tiga) pencari keadilan. Dari 172 (seratus tujuh puluh dua) pengad-
uan kasus, terbagi atas kasus KDRT sebanyak 22 (dua puluh dua) pengaduan, perceraian sebanyak
69 (enam puluh sembilan) pengaduan, pernikahan sebanyak 11 ( sebelas) pengaduan, dan waris
sebanyak 70 (tujuh puluh)pengaduan. Dari kasus KDRT, 19 (sembilan belas) diadukan oleh perem-
puan dan 3 (tiga) diadukan oleh laki-laki. Kasus perceraian diadukan oleh perempuan sejumlah 44
(empat puluh empat) pengaduan dan diadukan oleh laki-laki sebanyak 25 (dua puluh lima) pengadu.
Kasus pernikahan diadukan oleh 6 (enam) pengadu laki-laki dan 5 (lima) pengadu perempuan. Se-
dangkan perkara waris diadukan oleh 36 (tiga puluh enam) pengadu laki-laki, 33 (tiga puluh tiga)
pengadu perempuan dan satu kelompok.
Pengadu untuk klasifikasi kasus ini berasal dari Bekasi 15 (lima belas) pengaduan, Bogor 5 (lima)
pengaduan, Depok 7 (tujuh) pengaduan, Jakarta Barat 8 (delapan) pengaduan, Jakarta Barat 19
(sembilan belas) pengaduan, Jakarta Pusat 28 (dua puluh delapan) pengaduan, Jakarta Selatan 28
(dua puluh delapan) pengaduan, Jakarta Timur 24 (dua puluh empat) pengaduan, Jakarta Utara 8
(delapan) pengaduan, Jawa Timur 5 (lima) pengaduan, Sumatera 1 (satu) pengaduan, Tangerang
dan Banten 22 (dua puluh dua pengaduan, 1 (satu) pengadu mengisi lain-lain, dan dan 1 (satu) pen-
gadu tidak mengisi isian wilayah di formulir pengaduan.
Pendidikan pengadu berasal dari S1 sebanyak 30 (tiga puluh) pengaduan, S2 sebanyak 3 (tiga)
pengaduan, SD sebanyak 8 (delapan) pengaduan, SMA sebanyak 36 (tiga puluh enam) pengaduan,
SMP sebanyak 14 (empat belas) pengaduan, 9 (sembilan) pengadu tidak mengisi, 15 (lima belas )
pengadu mengisi pendidikan diploma, dan 17 (tujuh belas) pengadu mengisi lain-lain di kolom isian
pendidikan.
Usia pengadu kasus Keluarga terbagi dalam 3 (tiga) kategori, yaitu pertama pengadu yang beru-
sia anak (<18 tahun) sebanyak 1 (satu) pengaduan, kedua pengadu yang berusia dewasa (18-50 ta-
hun) sebanyak 118 (seratus delapan belas) pengaduan, ketiga adalah pengadu lansia (> 50 tahun)
sebanyak 47 (empat puluh tujuh) pengaduan, dan terakhir sebanyak 6 (enam) pengadu tidak me-
nyebutkan berapa usianya.
Kasus Keluarga diadukan oleh pengadu yang berpenghasilan 1000-100.000 sebanyak 1 (satu) pen-
gaduan, berpenghasilan 101.000-500.000 sebanyak 5 (lima) pengaduan, berpenghasilan 501.000-
1.000.000 sebanyak 13 (tiga belas) pengaduan, berpenghasilan 1.010.000-2.000.000 sebanyak 33
(tiga puluh tiga) pengaduan, berpenghasilan 2.020.000-3.500.000 sebanyak 36 (tiga puluh enam)
pengaduan, berpenghasilan 3.510.000-5.000.000 sebanyak 13 (tiga belas) pengaduan, berpenghasi-
lan 5.500.000-10.000.000 sebanyak 6 (enam) pengadu, berpenghasilan diatas 10.000.000 sebanyak
7 (tujuh) pengaduan, 1 (satu) pengadu tidak kelas penghasilannya, 3 (tiga) pengadu berpenghasilan
tidak tetap, dan 54 (lima puluh empat) pengadu tidak mengisi isian penghasilan yang disediakan.

15
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

6. Kasus Non Struktural

Tabel 8: Jumlah dan Jenis Kasus Non Struktural

Selain menangani permasalahan struktural, LBH Jakarta juga menerima konsultasi umum yang diadu-
kan oleh masyarakat. Permasalahan-permasalahan tersebut dikategorikan dalam kategori khusus/ non-
struktural. Kasus Non Struktural yang diterima LBH Jakarta terbagi dalam subklasifikasi Pidana Umum,
Pidana Khusus, Perdata, Lain-lain/ Non, dan Khusus.
Untuk subklasifikasi Pidana Umum, jumlah pengaduan 214 dengan pencari keadilan sebanyak 1831
orang; Pidana Khusus, jumlah pengaduan sebanyak 29 (dua puluh sembilan) dengan pencari keadilan se-
banyak 37 (tiga puluh tujuh) orang; Perdata, jumlah pengaduan sebanyak 187 dengan pencari keadilan
sebanyak 409 (empat ratus sembilan) orang; Lain-lain/ Non Struktural, jumlah pengaduan 1 (satu) dengan
pencari keadilan sebanyak 1 (satu) orang; dan klasifikasi Khusus, jumlah pengaduan sebanyak 2 (dua) den-
gan pencari keadilan sebanyak 2 (dua) orang.
Dari keseluruhan kasus non-struktural yang diadukan ke LBH Jakarta, 261 pengaduan diadukan oleh
perempuan, 159 pengaduan dilakukan oleh laki-laki, dan 13 (tiga belas) orang pengadu tidak mengisikan
informasi jenis kelaminnya. Pengadu perempuan di kasus non-struktural lebih banyak dari pada pengadu
laki-laki, di kasus perdata pengadu perempuan berjumlah 117 (seratus tujuh belas) dan pengadu laki-laki
berjumlah 67 (enam puluh tujuh); di kasus pidana khusus jumlah pengadu perempuan 19 (sembilan belas)
dan jumlah pengadu laki-laki 9 (sembilan); di kasus pidana umum jumlah pengadu perempuan berjumlah
123 dan jumlah pengadu laki-laki sebanyak 82 (delapan puluh dua).
Pengadu untuk klasifikasi kasus non struktural ini berasal dari Bekasi 43 (empat puluh tiga) pengaduan,
Bogor 16 (enam belas pengaduan, Depok 22 (dua puluh dua) pengaduan, Jawa Barat 9 (sembilan) pengad-
uan, Jakarta Barat 47 (empat puluh tujuh) pengaduan, Jakarta Barat 47 (empat puluh tujuh) pengaduan,
Jakarta Pusat 72 (tujuh puluh dua) pengaduan, Jakarta Selatan 59 (lima puluh Sembilan) pengaduan, Ja-
karta Timur 80 (delapan puluh) pengaduan, Jakarta Utara 23 (dua puluh tiga) pengaduan, Jawa Tengah dan
DIY 4 (empat) pengaduan, Sumatera 2 (dua) pengaduan, Tangerang dan Banten 49 (empat puluh sembi-
lan) pengaduan dan 6 (enam) pengadu tidak mengisi isian wilayah di formulir pengaduan.
Pendidikan pengadu berasal dari S1 sebanyak 70 (tujuh puluh) pengaduan, S2 sebanyak 13 (tiga belas)
pengaduan, SD sebanyak 27 pengaduan, SMA sebanyak 181 pengaduan, SMP sebanyak 36 pengaduan,
16 (enam belas) pengadu tidak mengisi, 44 (empat puluh empat) pengadu mengisi pendidikan diploma,
43 (empat puluh tiga) pengadu mengisi lain-lain di kolom isian pendidikan, dan 3 (tiga) pengadu tidak
bersekolah.
Usia pengadu kasus Non struktural terbagi dalam 3 (tiga) kategori, yaitu pertama pengadu yang beru-
sia anak (<18 tahun) sebanyak 5 (lima) pengaduan, kedua pengadu yang berusia dewasa (18-50 tahun) se-
banyak 278 pengaduan, ketiga adalah pengadu lansia (>50 tahun) sebanyak 137 pengaduan, dan terakhir
sebanyak 13 pengadu tidak menyebutkan berapa usianya.
Kasus Non Struktural diadukan oleh pengadu yang berpenghasilan 1000-100.000 sebanyak 3 (tiga)
pengaduan, berpenghasilan 101.000-500.000 sebanyak 15 (lima belas) pengaduan, berpenghasilan
501.000-1.000.000 sebanyak 33 (tiga puluh tiga) pengaduan, berpenghasilan 1.010.000-2.000.000 seban-
yak 76 (tujuh puluh enam) pengaduan, berpenghasilan 2.020.000-3.500.000 sebanyak 62 (enam puluh
dua) pengaduan, berpenghasilan 3.510.000-5.000.000 sebanyak 40 (empat puluh) pengaduan, berpeng-
hasilan 5.500.000-10.000.000 sebanyak 22 (dua puluh dua) pengaduan, berpenghasilan di atas 10.000.000
sebanyak 12 (dua belas) pengaduan, 1 (satu) pengadu tidak jelas penghasilannya, 9 (sembilan) pengadu
berpenghasilan tidak tetap, dan 160 (seratus enam puluh) pengadu tidak mengisi isian penghasilan yang
disediakan.

16
BAB. II

cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


POLA PELANGGARAN HUKUM DAN HAM
POLA PELANGGARAN HUKUM & HAM

Hak Atas Pekerjaan


Merupakan
Pengadilan Batalkan
SK Gubernur tentang
Izin Penangguhan
Pembayaran UMP

Hak Asasi Manusia Gubernur DKI


Jakarta mengeluarkan
SK tentang izin penang-
Latar Belakang guhan pembayaran
UMP, padahal 6 dari
Kasus perburuhan yang terjadi di Indonesia kerap kali dimaknai sebagai hak untuk 7 perusahaan tersebut
bekerja, padahal menurut Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 menjelaskan Tiap-tiap warga nega- adalah perusahaan yang
ra berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Kemudian da- termasuk dalam kater-
gori sektor usaha ung-
lam Pasal 28 D ayat 2 UUD 1945 menjelaskan Setiap orang berhak untuk bekerja serta
gulan sehingga harus
mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. membayar upah sesuai
Penjelasan Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 28 D ayat 2 UUD 1945 memaknai hak atas peker- ketentuan UMSP bukan
jaan mencakup hak atas jaminan sosial, hak atas upah layak, hak untuk berorganisasi, UMP. Yang anehnya
lagi ketika perusahaan
hak untuk tidak dipecat sewenang-wenang, hak untuk mendapatkan pensiun, hak untuk
tersebut masuk dalam
mendapatkan kepastian hukum dan hak lainnya yang melekat. Selain itu hak atas peker- kategori UMSP meminta
jaan harus memenuhi pendekatan hak asasi manusia, yaitu untuk dapat hidup layak bagi penangguhan UMP
kemanusiaan, harus adil dan layak dalam hubungan kerja. kemudian dikabulkan
oleh Gubernur.
Namun pemerintah melihat permasalahan perburuhan dengan pendekatan investasi
Mekanisme yang
semata. Hal tersebut terlaihat dari 3 paket UU Perburuhan yaitu UU No. 21 Tahun 2000 ditempuh oleh perusa-
tentang Serikat Pekerja/Buruh, UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU haan juga bermasalah
No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Ketiga UU karena tidak melalui
perundingan dengan
ini mengakibtakan seluruh bangunan hukum perburuhan di Indonesia menguntungkan
serikat buruh dalam
para pemodal. Konsekuesinya atas bangunan hukum yang berpihak kepada pemodal hal ini SPN melainkan
yaitu penyelesaian permasalahan perburuhan diserahkan kepada pasar, yaitu antara bu- menggunakan form isian
ruh dengan pengusaha sedangkan pemerintah hanya berfungsi sebagai wasit. yang ditanda-tangani
langsung oleh buruh dan
diklaim oleh pengusaha
Pola dan Trend Pelanggaran Hak Atas Pekerjaan sebagai persetujuan
LBH Jakarta di tahun 2013 menerima pengaduan pelanggaran hak atas pekerjaan langsung dari buruh.
Kesepakatan langsung
sebanyak 23 (dua puluh tiga) pengaduan, dan kasus berjalan sebanyak 15 (lima belas) dengan buruh ditempuh
pengaduan yang masuk sebelum tahun 2013. Pola pelanggaran hak atas pekerjaan di ketika SPN selaku serikat
tahun 2013 yaitu; melakukan pemutusan hubungan kerja, penipuan mengenai informasi pekerja tidak mencapai
lowongan kerja, di PHK karena melakukan mogok kerja, pemenjaraan terhadap buruh kesepakatan dengan
perusahaan dan atas re-
yang kritis, upah dibawah UMP (Upah Minimum Provinsi)/ UMSK (Upah Minimum Sek- komendasi dewan pen-
toral Kabupaten), PHK tanpa penetapan pengadilan, jaminan pensiun yang tidak layak, gupahan kesepakatan
PHK karena alasan merugi, tidak memberikan hak atas tunjangan hari raya, PHK tanpa dibuat langsung dengan
pesangon, penundaan pembayaran upah, dimutasi karena kritis, kepastian dan jaminan buruh. Penerapan pen-
angguhan UMP ini juga
kerja yang layak, pembangkangan putusan pengadilan yang sudah tetap, digugat karena diberlakukan secara
mogok kerja, diskriminasi dalam hubungan kerja, dipaksa mengundurkan dengan alasan umum padahal UMP
perusahaan merugi, PHK karena ingin mendirikan Serikat Buruh/Pekerja, dimutasi kar- atau UMSP hany berlaku
ena anggota serikat pekerja, PHK karena membongkar korupsi di perusahaan. untuk pekerja/buruh
yang masa kerjanya 0
sampai 1 tahun saja.
Trend pelanggaran hak atas pekerjaan di tahun 2013 yaitu;
- Pemutusan hubungan kerja karena mogok kerja, alasan merugi, PHK tanpa penetapan
dari pengadilan sebanyak 21 (dua puluh satu) kasus;
- Upah dibawah UMP/UMSK sebanyak 8 (delapan) kasus;
- Hak atas manfaat pensiun sebanyak 3 (tiga) kasus;
- Pembangkangan putusan pengadilan yang sudah tetap sebanyak 2 (dua) kasus;

17
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

- Penipuan atas informasi pekerjaan sebanyak 2 (dua) kasus;


- Pelanggaran sistem kerja outsourcing sebanyak 2 (dua) kasus;
- Mutasi karena kritis dan mendirikan serikat pekerja sebanyak 2 (dua) kasus;
- Kriminalisasi yang berujuang kepada PHK sebanyak 1 (satu) kasus.

Strategi Penanganan Kasus dan Capaian


Penanganan kasus perburuhan yang dilakukan oleh LBH Jakarta dengan menggunakan mekanisme
hukum yang disediakan oleh Negara, seperti mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan In-
dustrial sebagai upaya terakhir dalam kasus PT. Hotel Indonesia Natour dan PT. Surya Pacific Sejahtera;
mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara untuk pembatalan penangguhan upah yang
penuh dengan kecurangan dalam kasus SPN vs Gubernur DKI Jakarta; bipartit dengan pengusaha da-
lam kasus Migrant Care; mediasi dalam kasus Buruh Koperasi Bakrie Microfinance Indonesia; menyurati
perusahaan dan pengaduan ke Kemenakertrans dalam kasus pengaduan Tunjangan Hari Raya (THR);
melakukan pendampingan di kepolisian di Kasus PT. Mega Indotex Raya; melakukan pendampingan di
pengadilan dalam Kasus PT. Pertamina dan PT. Doosan yang mana perusahaan menggugat para serikat
pekerja/buruh; menggugat Meneg BUMN karena tidak menjalankan putusan pengadilan; melakukan
pelaporan kepada kepolisian karena pembubaran mogok kerja di kasus PT. Kalbe Farma dan PHK kar-
ena menjalankan kegiatan serikat pekerja di PT. ASDP.
Penggunaan mekanisme hukum yang disediakan oleh Negara dilakukan sebagai bentuk pelibatan
Negara sebagai pengemban kewajiban dalam penegakan HAM. Disamping itu juga LBH Jakarta juga
melakukan upaya-upaya non legal dalam penanganan kasus perburuhan. Upaya ini dilakukan sebagai
desakan menuntut pertanggungjawaban Perusahaan sebagai pelaku pelanggaran HAM dan mendor-
ong Negara untuk melakukan tanggungjawabnya mengawasi ketaatan Perusahaan pada ketentuan
hukum. Seperti dalam kasus BOD PT. Lembanindo Tirta Anugrah, pengorganisiran buruh untuk mela-
wan kriminalisasi yang terjadi PT. Mega Indotex Raya.
Dalam penanganan kasus yang dilakukan oleh LBH Jakarta, yang menjadi capaiannya sebagai beri-
kut;
- Tiga gugatan yang diajukan oleh LBH Jakarta melalui pengadilan hubungan industrial dikabulkan
oleh majelis hakim, dalam kasus di PT. Hotel Indonesia Notour (HIN) sebanyak dua gugatan dan di
PT. Surya Pacific Sejahtera sebanyak 1 kasus.
- Dua gugatan yang diajukan oleh LBH Jakarta bersama Tim Advokasi Buruh untuk Upah Layak (TABUL)
dengan tergugat Gubernur DKI Jakarta mengenai penolakan penangguhan upah, sebanyak dua gu-
gatan dikabulkan oleh majelis hakim di Pengadilan Tata Usaha Negara DKI Jakarta.
- Posko THR dibuka oleh LBH Jakarta sejak tanggal 24 Juli 2013 dan ditutup pada 15 Agustus 2013.
Dimana sebanyak 1795 (seribu tujuh ratus sembilan puluh lima) buruh terancam tidak mendapatkan
THR. Setelah LBH Jakarta mendesak perusahaan untuk bayar pekerja/buruh melalui telpon dan su-
rat, dimana sebanyak 1261 buruh berhasil mendapatkan dan Sebanyak 524 buruh dari 15 perusahaan
tidak kunjung mendapatkan THR yang saat ini diadukan ke Kemenakertrans.

Rekomendasi
Berdasarkan pola pelanggaran hak atas pekerjaan seluruh kasus yang diadukan di LBH Jakarta ber-
nuansa tuntutan normatif yang berbuntut pada PHK, maka LBH Jakarta merekomendasikan sebagai
berikut;
1. Pemerintah harus menjamin dan melakukan penegakan hukum bahwa tidak boleh ada PHK sebelum
ada putusan dari Pengadilan Hubungan Industrial, maka seluruh pihak pekerja/buruh dan pengusaha
harus melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing serta melakukan penegakan hukum atas pe-
langgaran hak normatif yang dilakukan oleh perusahaan.
2. Membangun adanya mekanisme komplain atas ketidakpuasan publik dan buruh terhadap kinerja
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta melakukan penindakan terhadap pegawai dinas tenaga
kerja yang tidak menjalankan kewajibannya dengan baik.
3. Perlu dicari cara penyelesaian kasus perburuhan diluar mekanisme Pengadilan Hubungan Industrial.

18
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
Hak Atas TANAH & Tempat Tinggal

Paradoks
Penggusuran dan
Pembangunan
Akhirnya Selalu Penggusuran

Tahun 2012-2013, LBH Jakarta masih menerima beberapa kasus terkait hak atas tanah dan
hak atas tempat tinggal. Daya Tarik kota sebagai pusat kegiatan ekonomi, perdagangan, dan jasa
masih saja menyingkirkan hak atas perumahan kaum miskin. Masyarakat berpendapatan rendah
masih mengeluh tentang penggusuran yang tidak menghormati hak asasi manusia. Rakyat miskin
masih meratapi rumah mereka yang tergusur meskipun telah dirawat dan dikelola selama berta-
hun-tahun. Di sisi lain pihak pemodal, entah itu dengan entitas pengusaha maupun pemerintah
yakin bahwa penggusuran harus dilakukan demi kepentingan umum. Fenomena yang sama telah
berulang dari tahun ke tahun.
Pemukiman kumuh masih menjadi sasaran tembak utama setiap penggusuran. Sesungguhnya
pemukiman kumuh adalah bentuk kegagalan kebijakan, pemerintah yang buruk, korupsi, pera-
turan yang tidak tepat, pasar lahan yang tidak berfungsi, sistem pembiayaan yang tidak respon-
sif dan kekurangan kemauan politik yang mendasar. Setiap kegagalan ini menambah beban pada
masyarakat yang sudah terbebani kemiskinan dan menghambat potensi pembangunan manusia
yang dapat ditawarkan oleh kehidupan kota .
Pertanyaan yang mendasar seharusnya dijawab terlebih dahulu, apakah penggusuran diperbo-
lehkan? Apakah benar pembangunan dan penggusuran seperti mata koin yang memiliki dua sisi
yang berbeda. Dimana adanya pembangunan, disitu ada penggusuran. Penggusuran seharusnya
menjadi jalan terakhir. Penggusuran sejatinya dapat dibenarkan ketika memang ditujukan untuk
kepentingan umum atau alasan lain yang sangat baik. Penggusuran seharusnya baru dapat dilak-
sanakan ketika semua kemungkinan lain untuk menghindari penggusuran tidak berlaku. Penggu-
suran harus dihindari mengingat dampaknya pada kemanusiaan2.
Bagi masyarakat terutama miskin, penggusuran adalah bencana yang akan merebut seluruh
hidup mereka. Penggusuran jelas akan mengakibatkan rumah mereka hancur. Sang Bapak tidak
dapat bekerja karena harus melindungi keluarganya yang tak memiliki atap untuk berlindung. Pen-
didikan sang anak ikut pula terlanggar. Belum lagi jika memikirkan minimnya perlindungan keseha-
tan bagi warga yang tergusur. Kaum manula yang terseok-seok di jalan mencari tempat berteduh.

Dalam kasus-kasus yang dihadapi LBH Jakarta, pihak pemodal tidak memberikan alternatif selain
penggusuran. Sebagai contoh kasus Tanah Merah di Bekasi. 400 KK tergusur meskipun sebagian
besar warga tidak pernah menerima ganti kerugian. Warga sempat mendapat harapan karena BPN
mau mengirimkan surat rekomendasi agar HGU milik pengusaha tidak diperpanjang kemudian tanah
dikembalikan kepada warga. Namun pada akhirnya penggusuran tetap terjadi. Penggusuran bahkan
terjadi saat warga sedang melakukan upaya hukum di Pengadilan Negeri. Seluruh prosedur dilanggar.
Walikota tutup mata berdalih tidak tahu apapun.
Fenomena menarik terjadi di DKI Jakarta akhir-akhir ini. Pemerintah berubah. Jokowi menimbulkan
harapan baru. Dalam berbagai kasus seperti penggusuran Waduk Pluit, Waduk Rio-Rio, Tanah Merde-
ka, warga calon gusuran diajak musyawarah untuk mencari jalan tengah. Penawaran Pemda menarik,
digusur tapi bisa sewa rumah susun dengan fasilitas kipas angin gratis. Pemda bahkan tidak segan-
segan memberikan fasilitas-fasilitas lain yang juga gratis. Strategi jitu, warga membongkar rumahnya
sendiri. Mereka berbondong-bondong pindah ke rumah susun. Tidak semua warga mau memang.
Bagi kelompok ini, lebih baik terima uang Rp. 500.000 sampai Rp. 4 juta. Selanjutnya tinggal cari tanah
terlantar lainnya atau pulang kampung.

http:/web.mit.edu/urbanupgrading
1

Cohre; telah disarikan sebagaimana dalam presentasi: Hak atas Perumahn yang Layak dalam
2

Hukum Hak Asasi Manusia Internasional; www. Cohre org

19
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

Penggusuran akan mengakibatkan seluruh hak asasi mereka terancam.


LBH Jakarta mengapresiasi langkah yang dilakukan Jokowi di DKI Jakarta, karena seluruh prose-
dur untuk melakukan penggusuran ditaati. Namun jika diperhatikan, pada akhirnya PENGGU-
SURAN TETAP DILAKUKAN. Meskipun agak pahit fenomena di atas membuktikan penggusuran
adalah konsekuensi logis dari pembangunan. Kami berharap tesis ini akan ada bantahannya.

Kota yang ramah untuk si Miskin


Dalam Konvenan Internasional Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, negara berjanji untuk mengakui
hak setiap orang untuk mendapatkan standar hidup yang layak3 bagi dirinya maupun keluarganya,
termasuk makanan, pakaian, serta perumahan yang layak, dan peningkatan tarif hidup yang berke-
sinambungan4.
Contoh yang baik telah dimulai tahun ini. Jokowi menyediakan proyek rumah susun untuk warga
yang digusur di daerah DKI Jakarta. Namun bagi kami contoh yang baik tersebut harus ditindaklan-
juti dengan praktek-praktek lainnya. Hal-hal yang kami rekomendasikan adalah sebagai berikut:
1. Merubah paradigma pembangunan anggaran daerah. Saat ini dalam APBD DKI Jakarta terda-
pat pos anggaran yang cukup besar yang ditujukan untuk Penggusuran dan Penertiban. Angga-
ran seharusnya digunakan untuk memecahkan permasalahn jaminan kepemilikan tanah antara
masyarakat miskin perkotaan dan kurangnya infrastruktur dalam kota
2. Fokus pada akusisi tanah untuk masyarakat miskin dan peningkatan kualitas tempat tinggal
masyarakat miskin kota. Kemudian dilanjutkan dengan pemberian kepemilikan lahan secara
kolektif kepada masyarakat untuk mencegah gentrifikasi 5.
3. Membentuk peraturan gubernur tentang kebijakan bahwa warga miskin tidak dapat digusur pak-
sa. Hal ini untuk mengantisipasi agar meskipun pimpinan daerah berganti, tidak akan terjadi lagi
penggusuran paksa.
4. Pembangunan yang melibatkan masyarakat miskin kota itu sendiri. Kami melihat saat ini solusi
penggusuran muncul satu arah dari pemerintah. Upaya yang paling baik justru ketika solusi terse-
but muncul dan mengakomodir masyarakat miskin itu sendiri. Intinya masyarakat sebagai per-
encana.
Bagi kami harapan selalu ada, solusi pasti ada. Penggusuran sesungguhnya dapat dihindari den-
gan alternative lain misalnya perbaikan kampung. Penggusuran juga logis menjadi jalan terakhir
mengingat hasil penelitian dari UN Habitat dan UNESCAP pada hak atas perumahan mengatakan
seharusnya hanya 20 % dari luas kota yang digunakan untuk keperluan pembangunan publik. Sisa
80 % nya dapat digunakan untuk permukiman informal6.
Hal ini berarti membiarkan masyarakat menempati lahan daripada menggusur untuk memban-
gun pusat perbelanjaan, cabang restoran cepat saji atau kondominium kelas atas lebih menjadikan
lahan umum berfungsi dengan tepat. Akhir dari tulisan ini kami mengajak seluruh elemen untuk
bekerja sama membangun hak atas perumahan bagi seluruh unsur masyarakat kota. Wujudkan kota
yang ramah untuk si Miskin.

3
Kata layak setidaknya memenuhi 7 unsur yaitu, jaminan hukum kepemilikan; ketersediaan pelayan-
an, fasilitas dan infrastruktur; keterjangkauan; layak huni; aksesibilitas; lokasi; dan kecukupan budaya.
Hal yang telah diadopsi pada Komentar Umum no. 4 Konvenan Ekosob Hak atas Perumahan yang layak
yang diadopsi pada tanggal 12 Desember 1991, Komite Hak Atas Ekonomi Sosial dan Budaya;
4
Konvenan Internasional Ekonomi social dan Budaya pasal 11 ayat (1);

Gentrifikasi adalah imigrasi penduduk kelas ekonomi menengah ke wilayah kota yg buruk keadaan-
5

nya atau yg baru saja diperbaharui dan dipermodern. Gentrifikasi menandakan perubahan sosial bu-
daya di wilayah yang tercipta akibat penduduk kaya membeli properti perumahan di permukiman yang
kurang makmur.[1]Akibat gentrifikasi, pendapatan rata-rata meningkat dan ukuran keluarga rata-rata
berkurang di masyarakat yang dapat mengakibatkan pengusiran ekonomi secara tidak resmi terhadap
penduduk berpendapatan rendah karena harga sewa, rumah, dan pajak properti meningkat. Jenis pe-
rubahan penduduk ini mengurangi penggunaan lahan industri karena dipakai untuk pembangunan
komersial dan perumahan. Selain itu, bisnis baru yang melayani basis konsumen kaya akan pindah ke
kawasan yang dulunya makmur, sehingga meningkatkan kemungkinan perpindahan penduduk kaya
dan mengurangi aksesibilitas terhadap warga asli yang kurang makmur.
6
UN Habitat, UNESCAP, Panduan ringkas untuk pembuatan Kebijakan 2 , Perumahan utnuk MBR.
Hal 14

20
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
Hak Atas Ekonomi

Penggusuran terhadap Ekonomi:


Penggusuran Kios Stasiun dan
Penertiban PKL
A. Pendahuluan
Hak ekonomi khususnya hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak masuk dalam ruang ling-
kup Hak Ekonomi Sosial Budaya yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang Nomor
11 tahun 2005. Dampak ratifikasi konvenan ini negara seharusnya menghormati, melindungi dan me-
menuhi hak tersebut. Negara dituntut untuk berperan positif yang memiliki kewajiban untuk mengam-
bil langkah-langkah pemenuhan dengan cara yang paling efektif menurut peraturan negara tersebut,
baik secara legislasi maupun implementasi untuk pemenuhannya1.
Dalam konvenan Hak Ekosob disebutkan dalam Pasal 6 ayat 1 bahwa Negara-negara Pihak pada
Kovenan ini mengakui hak atas pekerjaan, yang mencakup hak setiap orang atas kesempatan untuk
mencari nafkah melalui pekerjaan yang dipilih atau diterimanya secara bebas dan akan mengambil
langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi hak tersebut.
Pemenuhan hak dalam pekerjaan tidak hanya dalam ruang lingkup pekerjaan formil akan tetapi
masuk juga dalam pekerjaan non formil. Pekerjaan non formil diartikan negara belum mampu untuk
memenuhi dan kurangnya jaminan lapangan pekerjaan dalam sektor formil, ditambah pula dengan
tingginya angka pengangguran yang mendorong terjadinya pekerjaan non formil. Dalam suatu ekono-
mi informal hal tersebut dilakukan untuk memenuhi kebutuhan bertahan hidup, dan bukannya kar-
ena pilihan mereka. Selanjutnya dalam pemenuhan hak atas pekerjaan negara mempunyai kewajiban
untuk mengurangi sebanyak mungkin jumlah pekerja yang bekerja diluar sektor formal, dimana pada
situasi tersebut seorang pekerja tidak akan memperoleh perlindungan2.
Pekerja dalam sektor informal sebenarnya sangat rentan mengalami ketidakadilan struktural dan hi-
langnya Hak Asasi Manusia mereka, karena hukum biasanya didasarkan pada ketertiban, kenyamanan,
keteraturan, penataan, dan keindahan. Hal itu disebabkan lemahnya kepastian hukum bagi sektor kerja
informal ini, yang meliputi tempat berjualan yang biasanya di lahan yang bukan dikhususkan untuk ber-
jualan, di tempat yang disediakan oleh otoritas akan tetapi bersifat sementara, tempat yang disedia-
kan oleh otoritas secara permanen tetapi adanya monopoli penempatan dan kesewenang-wenangan
baik sewa ataupun milik. Hal ini mengakibatkan semakin terhimpitnya pekerja sektor informal ini untuk
mencari nafkah untuk kehidupan sehari-harinya, lagi-lagi disebabkan abainya negara untuk memenuhi
hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.

1
Lihat Komentar Umum No.03. Sifat-Sifat kewajiban Negara Anggota, Pasal 2 Ayat 1 Konvenan Hak Ekonomi Sosial Bu-
daya (Poin 1-6)

2
Lihat Komentar Umum No.18. Hak Atas Pekerjaan Pasal 6 (Poin 10)

21
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

B. Dikalahkannya si Kecil oleh Si Besar atas nama Revitalisasi dan Pembangunan


Sepanjang tahun 2013 LBH Jakarta menangani beberapa kasus yang berhubungan dengan hak atas
ekonomi dalam pekerjaan non formil dengan variasi korban dan aktor pelaku pelanggar HAM yang
berbeda. Selain kasus yang ditangani secara langsung LBH Jakarta juga memotret penertiban hak atas
pekerjaan di sektor non formil yang sering dilakukan seperti Program penataan PKL yang dilakukan
oleh Pemprov DKI Jakarta di Pasar Minggu, Kebayoran Lama, Kawasan Wisata Kota Tua, PKL Tanah
Abang yang dipindahkan ke blok G, dan terakhir PKL Pasar Gembrong.
Kasus yang cukup besar dan menyita perhatian masyarakat luas adalah Penggusuran Pedagang
Kios di area Stasiun se-Jabodetabek. Penggusuran yang terjadi dari Desember 2012 sampai Agustus
2013 bermula ketika PT. KAI (Persero) secara sepihak menyatakan akan memakai lahan di sekitar sta-
siun untuk perluasan peron dan kepentingan sarana dan prasarana stasiun guna menambah kapasi-
tas penumpang. Sebagai gambaran awal dari jumlah total 80 stasiun sejabodetabek sebagian besar di
masing-masing stasiun ada Pedagang Kios yang berjualan untuk mencari nafkah mencukupi kehidupan
sehari-harinya. Status dari kepemilikan kios tersebut juga beragam ada yang memiliki kios dengan cara
membangun sendiri, membeli dari Kepala Stasiun, alih kepemilikan dari pemilik pertama serta sewa
dari Kepala Stasiun. Untuk tanah pemilik kios tetap menyewa kepada PT. KAI (Persero). Capaian korban
berdasarkan catatan LBH Jakarta dari 16 Stasiun, total terdampak akibat penggusuran tersebut seban-
yak 6532 orang yang kehilangan hak ekonominya.
Dalam kasus Penggusuran Kios di wilayah stasiun, PT. KAI (Persero) menjadi aktor yang dominan
melakukan pelanggaran Hak Atas Ekonomi terhadap pedagang, disamping ada beberapa aktor dari
aparat pemerintah yang turut serta melakukan pelanggaran hak tersebut. Dalam posisi pelanggaran
para Aktor tersebut melakukan tindakan (by Commision) secara aktif melakukan tindakan dan pembi-
aran (by ommision) yang menyebabkan terjadinya pelanggaran Hak Asasi manusia.
PT. KAI (Persero) adalah perusahaan BUMN yang menyediakan transportasi publik berkualitas bagi
rakyat yang mana hal tersebut adalah pemenuhan juga terhadap Hak Asasi Manusia. Dengan anggapan
hanya menyediakan sarana dan prasarana transportasi publik yaitu kereta api, PT. KAI (Persero) mem-
punyai legitimasi untuk membersihkan (menggusur paksa) area stasiun dari Pedagang Kios yang hal
tersebut terbebas dari tanggung jawabnya untuk menghormati, melindungi dan memenuhi Hak Asasi
Manusia dan tidak bertanggung jawab atas penghilangan hak atas ekonomi pedagang.
Kasus selanjutnya adalah hilangnya mata pencaharian 446 PKL yang berjualan di Taman Fatahillah
Kota Tua disebabkan program penataan Pemda DKI Jakarta. Tujuan dari penataan tersebut adanya pro-
gram revitalisasi Kota Tua yang dicanangkan oleh Pemda DKI Jakarta dan PKL dianggap mengganggu
rutinitas pengunjung yang datang. Sejak agustus 2013 jumlah pedagang yang berjualan di data oleh
Dinas Koperasi dan UMKM DKI Jakarta dan dibatasi jumlahnya dari 1200 hanya menjadi 260 pedagang
dengan pembagian wilayah 4 cluster tempat berdagang, dimana dalam penataan PKL dilakukan terh-
adap pedagang yang berjualan setiap hari pada Pkl.17.00 02.00 WIB. Penataan tersebut menimbulkan
masalah baru karena tidak transparannya program dan pendataan yang tidak melibatkan pedagang,
membuat PKL dibatasi hak atas ekonominya dan dilarang berjualan.
Munculnya masalah ketika tidak dilibatkannya pedagang secara langsung dan tidak adanya trans-
paransi dari pihak Walikota Jakarta Barat terkait pendataan dan perubahan data pedagang yang. Adan-
ya perubahan data PKL yang diserahkan oleh pedagang dan pemerintah memicu protes dari PKL yang
sudah berdagang lama di kawasan wisata tersebut. Padahal Jokowi selaku Gubernur DKI Jakarta per-
nah menyatakan pendataan dilakukan langsung oleh pedagang dan pemerintah kota terkait.
Penataan yang dilakukan Pemkot Jakarta Barat tersebut sampai saat ini masih menyisakan banyak
permasalahan. Penataan yang dijanjikan oleh Pemkot untuk merapihkan dan menata pedagang dalam
4 cluster di kawasan wisata kota tua tidak melibatkan PKL yang sudah lama berjualan di kawasan wisa-
ta tersebut. Bahkan saat ini jumlah pedagang lama yang berjualan pasca penataan hanya berjumlah 70
orang dari total seluruh pedagang. Permasalahan lain adalah dibentuknya Koperasi Pedagang Taman
Fatahillah dimana pengurusnya bukan dari pedagang dan adanya penetapan lokasi sementara PKL se-
lama satu tahun di Kawasan Wisata Taman Fatahillah Kota Tua yang terindikasi setelah satu tahun ke
depan pedagang akan digusur dan dilarang berjualan disana.

C. Mengembalikan Kedaulatan Hak Atas Ekonomi Marjinal


Kasus-kasus terkait hak ekonomi dari segi Pekerjaan non-formal punya dimensi yang sama dalam
hal korban, pelaku serta kesengajaan pelaku yang berangkat dari tidak adanya perspektif untuk pe-
menuhan Hak Asasi Manusia.

22
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
Dikatakan diatas bahwa hak atas pekerjaan adalah hak yang dilindungi dalam konstitusi negara kita
yang juga tercantum dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Ratifika-
si Konvenan Hak Ekonomi Sosial Budaya dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005. Selanjutnya
perlindungan terhadap warga negara di dalam Pasal 28H ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945, bahwa
setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih se-
cara sewenangwenang oleh siapa pun.
Solusi yang bisa diambil, pertama dikembalikan kedaulatan mereka sebagai subjek yaitu diikutser-
takan dalam proses pengambilan kebijakan, dikarenakan kebijakan yang dibuat pemerintah berakibat
ke masyarakat. Kebijakan yang dibuat juga harus berlaku efektif dan mengakomodir kepentingan ter-
baik pekerja informil. Penataan dan penertiban PKL dan pedagang yang dilakukan juga menyentuh inti
persoalan dan memberikan solusi menyeluruh dimana hasil penataan tersebut tidak menghilangkan
hak atas pekerjaan masyarakat yg sudah secara mandiri mencari nafkah sebelumnya. Yang terpenting
adanya kepastian hukum bagi pedagang yang notabene saat ini menjadi golongan masyarakat rent-
an.
Kedua, seharusnya watak dari pejabat pemerintah dari struktur paling atas sampai paling bawah
memahami dan mengimplementasikan Hak Asasi Manusia sehingga tindakan yang dilakukan tidak
bertentangan dengan hak asasi yang menimbulkan kerugian dan hilangnya pekerjaan bahkan dalam
sektor informil.

Hak Atas KESEHATAN

KALAU MISKIN KENAPA SAKIT?


Latar Belakang
Tahun ini, LBH Jakarta menerima 19 (sembilan belas) belas pengaduan terkait Hak atas Kesehatan.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 4 (empat) masih dalam penanganan hingga saat ini, dan tambahan 1
(satu) kasus yang diterima sejak tahun 2010 belum selesai. Untuk bahan perbandingan, tahun 2012
LBH Jakarta menerima 9 (sembilan) pengaduan dan 5 (lima) ditangani. Sedangkan tahun 2011 tercatat
11 (sebelas) pengaduan dengan 3 (tiga) kasus ditangani.
Dari 19 (sembilan belas) pengaduan di atas, 5 (lima) kasus terkait malpraktik, dan 14 (empat belas)
sisanya terkait hak atas pelayanan kesehatan. Meskipun hak atas kesehatan tercantum dalam berbagai
peraturan perundangan di Indonesia seperti Pasal 28H UUD 1945, Konvensi Hak Sipil dan Politik seba-
gaimana diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan, dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, tetapi pen-
gaduan masyarakat miskin ke LBH Jakarta masih didominasi pelayanan kesehatan yang buruk, baik
oleh Rumah Sakit maupun Dokter.

Pelayanan Kesehatan yang Buruk


Masyarakat miskin acapkali menjadi korban pelayanan kesehatan yang buruk. Karena status sosial-
nya yang berada pada srata terbawah, tergambar dari penampilannya yang terlihat dekil dan lusuh,
hanya bermodalkan KTP dan ingin masuk sebagai pasien miskin menjadikan mereka rawan terlanggar
haknya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Sebaliknya, jika yang datang adalah pasien biasa
dengan identitas lengkap, tanpa embel-embel Jamkesmas, maka Rumah Sakit menerima mereka
dengan tangan terbuka.
Seharusnya kasus di atas tidak perlu terjadi seandainya setiap warga negara tidak dibeda-bedakan
dalam mendapatkan pelayanan kesehatan. Harus ada pemisahan antara kondisi sosial-ekonomi pasien

Kotak Kasus 1: Ibu W


Ibu W memeriksakan kandungannya yang berusia 7 (tujuh) bulan ke RS Bersalin di kawasan Kebon Jeruk.
Dokter yang memeriksa tanpa tes Ultransonografi kemudian menyatakan bahwa Ibu W harus dioperasi caesar
karena kandungannya berada dalam posisi sungsang. Ibu W kemudian dioperasi setelah mengantri terlebih
dahulu. Pascaoperasi, Ibu W menderita pendarahan hebat yang mengakibatkan rahimnya harus diangkat.
Pendarahan tidak berhenti hingga Ibu W harus dirujuk ke RS lain. Ibu W kembali dioperasi untuk menghentikan
pendarahan. Pendarahan sempat berhenti tapi luka bekas operasi masih basah dan Ibu W tidak bisa berjalan
normal dan harus digotong. Pindah RS untuk kedua kalinya, Ibu W kemudian diperiksa lebih lanjut di bagian pe-
rut. Setelah melalui CT Scan, diketahui bahwa ada benda asing di perut Ibu W. Setelah dioperasi untuk keempat
kalinya, ditemukan kain kasa sepanjang 1,5 meter di perut Ibu W.

23
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

dan pelayanan kesehatan karena masalah pelayanan kesehatan menyangkut hidup mati seseorang.
Perlu dilakukan reorientasi pelayanan kesehatan di RS yang sekarang ini menitikberatkan pada pen-
carian laba semata1. Tidak bisa dipungkiri bahwa RS sekarang ini sudah berubah menjadi entitas bisnis
sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 756/Kepmenkes/SK/-VI/2004 tentang Per-
siapan Liberalisasi Perdagangan dan Jasa di Bidang Kesehatan. Di dalam konstitusi jelas disebutkan bahwa
perlindungan terhadap warga miskin adalah tanggungjawab negara. Sangat tidak demokratis dan juga
melawan akal sehat jika tanggungjawab itu digagalkan oleh perjanjian-perjanjian dagang di Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO).
Peningkatan anggaran kesehatan juga diperlukan baik dalam APBN maupun APBD. Untuk tahun 2013
ini, pemerintah pusat memberikan jatah di bidang kesehatan sebesar Rp. 34,58 Triliun2. Sedangkan
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menganggarkan sebesar Rp. 3,9 Triliun. Melalui peningkatan anggaran
kesehatan ini diharapkan sarana maupun prasarana kesehatan akan semakin bertambah kualitas mau-
pun kuantitasnya. Lebih dari itu, harus ada semacam keseragaman pandangan diantara tenaga kesehatan
bahwa pelayanan adalah hal yang paling utama. Soal pembayaran urusan selanjutnya.

Impunitas terhadap Malpraktik?


Malpraktik sebetulnya merupakan bagian dari pelayanan kesehatan yang buruk. Kejadian Malpraktik
tidak memandang kondisi sosial-ekonomi pasien, apakah kaya maupun miskin. Dalam kasus yang diteri-
ma oleh LBH Jakarta, para pengadu menyatakan bahwa sebelum dirawat anggota keluarga mereka sehat
walafiat. Begitu dirawat, timbullah kegelisahan melihat kondisi anggota keluarga mereka yang diluar dug-
aan, mulai dari kondisi yang memburuk, keganjilan dalam diagnosa maupun pemberian obat-obatan, dan
lain-lain.
Dari kasus di atas, terlihat bahwa pasien kadang harus menunggu untuk menjalani operasi. Dari sini
diketahui bahwa jumlah dokter terlalu sedikit jika dibandingkan dengan jumlah pasien. Menurut standar
WHO, minimal harus ada 40 (empat puluh) dokter per 100.000 penduduk. Yang ada di Indonesia adalah 33
dibanding 100 ribu penduduk dan menjadikan rasio Dokter-Pasien di Indonesia sebagai yang terburuk di
Asia Tenggara.
Selain itu, tidak ada standar prosedur operasional bagi dokter dalam menjalankan prakteknya3. Harus
ada perlakuan yang layak dari dokter terhadap pasien, termasuk keterbukaan atau komunikasi antara dok-
ter dan pasien dalam setiap tindakan medik yang diambil.
Hal yang memalukan kita lihat tanggapan dari aparat penegak hukum terhadap kasus malpraktik. Ka-
sus SC yang bergulir sejak tahun 2010 dihentikan penyidikannya oleh penyidik Polda Metro Jaya. Padahal,
sebelumnya penyidik membujuk SC untuk berdamai saja. Tanggapan yang kurang lebih sama disajikan oleh
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Dokter yang menangani SC hanya diberikan
peringatan tertulis saja. Dokter yang tidak profesional harus dibuang oleh MKDKI, bukan justru mem-
berikan vonis yang terkesan melindungi dengan jangka waktu penanganan yang sampai bertahun-tahun.
Atas hal-hal tersebut di atas, LBH Jakarta merekomendasikan:
1. Menambah anggaran kesehatan, baik dalam APBD maupun APBN;
2. Menghentikan liberalisasi sektor kesehatan;
3. Memberikan pelayanan kesehatan gratis untuk setiap warga negara;
4. Merumuskan standar prosedur operasional dalam tindakan medik;
5. Memberikan pelatihan kepada penyidik terkait hukum kesehatan.

Kotak Kasus 2: Bayi Hikmah


Bayi Hikmah menderita gizi buruk dan sakit paru-paru. Pada saat pertama kali masuk ke Rumah Sakit Pemer-
intah di kawasan Salemba, bayi berumur 1 tahun 3 bulan ini harus digendong dulu selama 5 (lima) jam karena
ayahnya tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) DKI Jakarta. Setelah menandatangani surat jaminan, baru
Hikmah dirawat. Perawatan yang diberikan juga terkesan setengah hati. Bayi Hikmah hanya diberikan oksigen 2
liter saja, padahal kebutuhannya 8 liter per menit. Beberapa hari dirawat, Bayi Hikmah kritis dan RS meminta agar
Bayi Hikmah dipindahkan ke Neonatal Intensive Care Unit (NICU) di RS lain karena NICU di RS tersebut penuh.
Baru menunggu konfirmasi dari RS lain tetapi Bayi Hikmah sudah terlanjur meninggal dunia karena gagal nafas. (
NICU Kurang Bayi Gizi Buruk Meninggal di RSCM, <http://news.detik.com/read/2013/02/26/175111/2180382/10
/1/nicu-kurang-hikmah-bayi-gizi-buruk-meninggal-di-rscm>, diakses tanggal 20 November 2013).
1
Dalam kasus lain yang diterima oleh LBH Jakarta, Mantan Direktur suatu RS di kawasan Ciputat yang ber-
bentuk Yayasan menyatakan bahwa besaran laba menjadi salah satu parameter dalam penentuan berhasil atau
tidaknya manajemen suatu rumah sakit.
2
Angka ini jauh di bawah mandat Pasal 171 UU No. 36 Tahun 2009, yaitu sebesar 5 % dari APBN dan di luar gaji.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan sebesar 15% dari APBN.
3
Pasal 51 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyatakan dalam melaksanakan
praktik kedokteran seorang dokter harus memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien.

24
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
Hak Atas PERADILAN YANG JUJUR

Peradilan Jujur (fair trial) vs


Peradilan Tidak Jujur (unfair trial)
I. Pengantar dan Latar Belakang
Berkembang dan majunya suatu negara sangat ditentukan oleh sistem hukum dan peradilan yang
menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Hak atas Peradilan yang bersih dan Jujur (fair trial) merupakan
bagian dari Hak Asasi Manusia. Instrumen hukum Internasional maupun Nasional telah mengatur men-
genai hak setiap orang atas peradilan yang bersih dan jujur. Instrumen HAM Internasional yang meng-
atur hak tersebut yaitu: International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi
menjadi hukum Instrumen HAM Nasional melalui Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005; Convention
Against Torture and other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (CAT) yang telah dirati-
fikasi menjadi instrument HAM Nasional melalui UU No. 5 Tahun 1998. Adapun instrumen HAM Nasion-
al yang mengatur mengenai hak atas peradilan yang jujur yaitu dalam UUD Negara Republik Indonesia
tahun 1945 pada bagian Hak Asasi Manusia; UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusial; Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dari sekian banyak nya bentuk perlindungan terhadap hak atas peradilan yang jujur diatas, tulisan ini
akan memberikan sorotan terhadap beberapa hak atas peradilan yang bersih dan jujur yaitu: Hak untuk
tidak ditangkap secara sewenang-wenang; hak untuk bebas dari penyiksaan; akses terhadap penase-
hat hukum sejak awal pemeriksaan; fasilitas maupun kesempatan yang sama bagi Tersangka/terdakwa
untuk melakukan pembelaan; maupun vonis hakim yang tidak berdasarkan hukum.

II. Aktor, Pola dan Relasi Kepentingan terkait Pelanggaran Hak


Atas Peradilan yang Bersih dan Jujur.
Pada tahun 2013, LBH Jakarta menangani 9 Kasus pelanggaran terhadap hak atas peradilan yang
bersih dan jujur. Aktor yang menjadi pelaku pelanggaran yaitu 5 Kasus yang dilakukan oleh Kepolisian
Republik Indonesia, 3 Kasus dilakukan oleh Kejaksaan Republik Indonesia dan 4 kasus yang dilakukan
oleh Pengadilan. Adapun pola-pola pelanggaran hak yang sering terjadi pada kasus pelanggaran hak
atas peradilan yang bersih dan jujur yaitu:

a. Penyiksaan Untuk Menutupi Salah Tangkap


Kasus penyiksaan yang ditangani oleh LBH Jakarta tahun 2013 mengalami penurunan jika diband-
ingkan dengan tahun 2012. Kasus penyiksaan yang ditangani hanya ada 1 kasus yaitu kasus penyiksaan
terhadap Pengamen Jalanan Cipulir. Penurunan kasus penyiksaan yang ditangani LBH Jakarta tidak
dapat secara mutlak mengambarkan bahwa tingkat penyiksaan yang terjadi dalam sistem peradilan
pidana di Indonesia telah menurun. Sebab nyatanya Praktek klasik dalam mencari alat bukti maupun
barang bukti melalui penyiksaan masih dilakukan oleh Polisi. Publik cukup dikejutkan oleh dugaan pe-
nyiksaan yang telah dilakukan oleh Polda Metro Jaya dalam kasus pembunuhan cipulir. 6 Terdakwa be-

Pengacara Publik LBH Jakarta saat sidang salah tangkap pengamen Cipulir

25
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

serta 4 saksi mata menerangkan secara tegas bahwa Polisi telah melakukan penyiksaan sejak tahap
penangkapan. Penyiksan tersebut dilakukan dengan cara memukul, menendang, menginjak, bahkan
sampai memberikan sengatan listrik terhadap Para Terdakwa. Hal tersebut dilakukan agar 6 Terdakwa
mauun saksi mengakui bahwa mereka lah pelaku pembunuhan tersebut.
Penyiksaan selalu berhubungan erat dengan adanya dugaan salah tangkap. Hal ini juga terjadi pada
kasus pembunuhan cipulir. Tidak ada bukti yang menerangkan secara kuat bahwa 6 pengamen ini ada-
lah pelakunya, bukti satu-satunya yang digunakan oleh Polisi hanyalah Pengakuan. Polisi bahkan tidak
melakukan metode ilmiah untuk membuktikan apakah ada Sidik jari/DNA darah pelaku di barang bukti
maupun di tubuh korban. diujung proses persidangan, salah satu pelaku sebenarnya. Namun seba-
liknya, ada saksi mata yang merupakan saksi kunci sekaligus salah satu pelaku pembunuhan telah ber-
sedia mendatangi polisi untuk mempertanggungjawabkan tindaknnya, namun Polda menolak untuk
memproses orang tersebut.

b. Kriminalisasi Korban
Protes keras atas pembangunan pagar oleh Cikini Gold Center yang menghalangi akses warga Cikini
Ampiun ke permukiman berhujung kepada penangkapan dan penahanan 10 warga. Kejadian serupa
juga dialami oleh SBJ, seorang pemimpin serikat pekerja di PT. Afix Kogyo Sukabumi yang vokal mem-
bela anggotanya menuntut pertanggungjawaban dana dari Ketua Koperasi berhujung pada penang-
kapan dan penahanan oleh polisi dan Hakim pengadilan Negeri Cibadak juga memutus bersalah. Yang
berperan menjadi pelaku kriminalisasi dalam kasus Sahrudin bukan hanya Polisi tetapi Kejaksaan Neg-
eri yang memaksakan kasus ini tetap disidangkan maupun Majelis Hakim yang memberikan hukuman
tanpa ada dasar hukum yang kuat. Selain itu, kriminalisasi juga terjadi terhadap 25 pensiunan Angkasa
Pura yang dilaporkan oleh PT. Angkasa Pura kepada Polres Jakarta Pusat dengan tuduhan menempa-
tai rumah dinas tanpa hak. Terhadap kasus-kasus ini, Jaksa juga mengambil peran sebagai pelakunya,
sebab dalam Proses P-21 Jaksa tidak menggunakan kewenangannya secara baik dan benar dalam me-
nentukan apakah kasus tersebut layak diberikan label P-21 (layak masuk pengadilan) atau tidak.

c. Undue Delay dan Tindakan Diskriminatif.


Tindakan diskriminatif berkaitan dengan undue delay (penundaan) yang dilakukan oleh Polisi. Pros-
es pelaporan oleh Koko terhadap terlapor yang atas dugaan sumpah palsu yang menyebabkan Koko
dituduh sebagai pencuri, hampir setahun tidak ada perkembangan kasusnya; begitu juga dengan pe-
nundaan penanganan pelaporan ke Polsek Karawaci Kota Tangerang yang dilakukan oleh RY dan ZS
dikarenkan tindakan penganiayaan yang dilakukan oleh Security Lippo Supermall. Sedangkan pelapo-
ran yang dilakukan oleh Pejabat seperti PT. Angkasa Pura dalam kasus kriminalisasi pensiun penghuni
rumah negara maupun dalam pelaporan yang dilakukan oleh PT. Magnatra dalam kasus sengketa pa-
gar Cikini Ampiun, di proses dengan sangat cepat tanpa ada penundaan. Tindakan diskrimintatif yang
dilakukan oleh kepolisian masih tergambar jelas dalam kasus ini.
Selain Polisi, Jaksa maupun Hakim juga melakukan tindakan yang diskriminatif. Pada kasus Purwadi
yang meninggal ditabrak oleh Tetangganya sendiri, Jaksa hanya menggunakan Pasal UU Lalu lintas
yang menunut penjara Terdakwa selama 1 tahun dan Hakim juga menjatuhkan hukuman sesuai dengan
tuntutan jaksa, seharusnya Hakim maupu Jaksa dapat menghukum terdakwa lebih berat lagi dan sebab
kelalaiannya telah mengakibatkan Purwadi meninggal.

d. Putusan Hakim Tidak Mencerminkan Peradilan yang Jujur dan Bersih.


Pada kasus 4 pengamen Cipulir yang masih berusian dibawah umur dan dituduh melakukan pem-
bunuhan, hakim telah memberikan putusan pemenjaraan antara 3-4 Tahun. Ironisnya, putusan penghu-
kuman tersebut diberikan hanya berpegangan pada pengakuan Para Terdakwa dan saksi dalam Berita
Acara Pemeriksaan, padahal dalam persidangan terungkap pengakuan dalam BAP tersebut dilatarbe-
lakangi oleh tindakan penyiksaan oleh kepolisian. Dan semua terdakwa maupun saksi telah mencabut
keterangan di BAP dihadapan persidangan. Selain itu, banyak hukum acara pidana yang tidak ditegak-
kan oleh Majelis Hakim seperti lebih mempertimbangkan saksi testimonium de auditu (bukan saksi
mata) dan saksi verbalisant (penyidik) yang tidak netral dibandingkan dengan saksi fakta yang men-
egaskan bahwa 4 Pengamen tersebut bukan pelaku pembunuhan tersebut. Seringkali Hakim hanya
berpegangan pada BAP dan menyimpangkan fakta yang terungkap di persidangan, hal ini juga terjadi
pada kasus Sahrudin bin Jarkasih yang berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan dia bukanlah
pelaku penganiayaan terhadap korban, tetapi Hakim tetap memberikan hukuman kepadanya.

26
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
III. Kesimpulan dan Rekomendasi
Berdasarkan uraian mengenai penegakan hak atas peradilan yang jujur dan bersih diatas, maka
diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Jaminan pemenuhan hak atas peradilan yang bersih dan jujur masih sebatas ratipikasi konvensi HAM
internasional maupun sebatas aturan di UUD 1945 maupun dalam Undang-Undang. Implementasi
Instrument terebut masih jauh dari yang diharapkan;
2. Negara melalui Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan masih menjadi pelaku utama pelanggaran ter-
hadap hak atas peradilan yang jujur dan bersih;
3. Diskresi yang besar pada aparat penegak hukum terutama Kepolisian merupakan salah satu pe-
nyebab terjadinya kesewenang-wenangan yang mengakibatkan luasnya pelanggaran terhadap hak
atas peradilan yang bersih dan jujur.
Maka dari 3 hal tersebut diatas dapat diberikan suatu langkah konkrit sebagai berikut ini:
1. DPR Percepat proses pengesahan RUU KUHAP;
2. Pemerintah Republik Indonesia segera meratifikasi optional protocol konvensi anti penyiksaan;
3. Mendesak adanya peraturan khusus terkait anti penyiksaan
4. Mendesak Kapolri segerah membuat aturan internal terkait mekanisme penyelesaian dugaan pe-
nyiksaan yang dilakukan oleh anggotanya.
5. Mendesak Komisi Kejaksaan maupun Komisi Yudisial memberikan sanksi yang tegas terhadap
Jaksa maupun Hakim yang melanggar kode etik;
6. Mendesak Jaksa Agug Muda bidang Pengawasan maupun Badan Pengawasa MA secara tegas
memberikan sanksi terhadap Jaksa mauun hakim yang tidak professional.

Ad dkk (6 orang) pengamen Cipulir, dijadikan tersangka oleh Polda Metro Jaya atas dugaan pembunuhan.
Tidak ada bukti ataupun saksi yang menerangkan mereka pelakunya. Polisi mengejar pengakuan Para Ter-
dakwa dengan memukul, menginjak, menendang bahkan memberikan sengatan listrik ke tubuh mereka, hingga
akhirnya mereka mengakui di BAP. 4 diantara pengamen masih anak-anak. Dalam persidangan, saksi maupun
terdakwa mengungkap adanya penyiksaan sebelum dibuatkan BAP, dan di persidangan mereka mencabut
pengakuan dalam BAP. Selain itu di persidangan terungkap bahwa pelaku sebenarnya telah mengakui kalau dia
bersama 2 teman nya yang membunuh si Korban, bukan Para Terdakwa. Namun, dengan berpegangan pada
BAP bukan dengan fakta yang terungkap dipersidangan, hakim tetap memberikan hukuman penjara 3-4 tahun
kepada anak-anak tersebut.

6. Hak atas Kemerdekaan Berpikir


Berkeyakinan dan Beragama

KASUS PELANGGARAN KEBEBASAN


BERAGAMA ATAU BERKEYAKINAN
Indonesia memiliki dasar hukum yang kuat sebagai landasan pengakuan, perlindungan penghor-
matan dan pemajuan hak asasi manusia, termasuk didalamnya Hak untuk beragama atau berkeyaki-
nan1. Namun, perlindungan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan terus terjadi. Dokumentasi
pendampingan dan kerja-kerja bantuan hukum yang dilakukan LBH Jakarta menunjukkan kasus-
kasus pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan terus meningkat jumlah dan
intensitas pelanggarannya dalam beberapa tahun terakhir.

3.1. Diskriminasi dan Ancaman terhadap Jemaat Ahmadiyah


Potret yang cukup mendominasi kasus Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan yang didampingi
LBH Jakarta adalah kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap Ahmadiyah, pendampingan oleh LBH
Jakarta terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia dilakukan terus menerus sejak tahun 2005. Catatan
1
Lihat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Pasal 29 ayat (2) dan Pasal 28E menegaskan pengakuan
kebebasan setiap orang untuk memeluk agama dan beribadat menurut agama atau keyakinannya itu. Konstitusi
memasukkan hak kebebasan beragama atau berkeyakinan sebagai Hak Asasi Manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun (non derogable rights). Selain itu, UU 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dalam
Pasal 4, Pasal 22, dan Pasal 55. UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan
Politik juga menjelaskan hak-hak yang dimiliki setiap orang dalam Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan, dan
secara jelas tertera kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan Negara, khususnya Pemerintah.

27
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

Jemaat Ahmadiyah melakukan ibadah sholat di masjid mereka yang bekas dibakar

kekerasan merentang begitu banyak mulai dari Peristiwa Penutupan Kampus Mubarak di Parung;
Penyerangan dan Perusakan Masjid dan Kampung di Cisalada dan Ciaruten, Bogor; Penyerangan,
perusakan dan penutupan Masjid-masjid di Depok, Jakarta, dan Sukabumi; Hingga penyerbuan dan
pembunuhan kepada anggota Jemaat Ahmadiyah di Cikeusik Banten.
Di Tahun 2013 ini, setidaknya ada 2 (dua) wilayah dimana terjadi intimidasi, ancaman kekerasan,
dan diskriminasi terhadap Jemaat Ahmadiyah yaitu peristiwa Penggembokan dan Penutupan Masjid
Al-Misbah di Jatibening Bekasi yang terjadi pada Bulan Maret tahun 2013, serta intimidasi dan anca-
man terhadap Jemaat Ahmadiyah di Bukit Duri, Jakarta Selatan.
Masjid Al-Misbah, Jatibening yang sudah dipergunakan sejak tahun 1993 dan memiliki izin mendi-
rikan bangunan yang sah ini pun di gembok oleh Pemerintah Kota Bekasi atas desakan sekelompok
kecil masyarakat yang mengatasnamakan umat Islam, dengan mengunakan jubah FPI. Penggem-
bokan dilakukan oleh Satpol PP Kota Bekasi tanpa dasar hukum yang kuat, ini jelas bertentangan
dengan landasan yuridis yang dimiili oleh Indonesia sebagaimana dijelaskan dalam pengantar, bukan
hanya itu pelibatan TNI dalam penanganan kegiatan JAI jelas melanggar UU 34 Tahun 2004 Tentang
TNI. Penggembokan dan pengesengan pun dilakukan tanpa melalui musyawarah yang layak terlebih
dahulu. Terlebih penggembokan dan penutupan seng dilakukan dengan masih adanya penghuni yang
berdiam di masjid tersebut, setidaknya selama 2 bulan 14 anggota Jemaat memilih dan bertahan dan
tidak bisa keluar. Atas dasar ini Jemaat Ahmadiyah bersama LBH Jakarta, YLBHI dan LBH Bandung
mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung, dalam putusannya Majelis Hakim
PTUN Bandung membuat putusan yang berbeda satu sama lain.
Dalam putusannya, untuk sengketa pemagaran dengan seng Masjid Al-Misbah melalui Surat
Perintah Tugas Nomor: 800/60-Kesbangpolinmas/IV/2013 yang ditandatangani oleh Plh. Sekretaris
Daerah Kota Bekasi, Majelis Hakim mengabulkan gugatan dari Penggugat yaitu Abdul Basit selaku
Amir Jemaat Ahmadiyah Indonesia untuk seluruhnya dengan pertimbangan bahwa Plh atau Pelaksana
Harian Sekretaris Daerah Kota Bekasi yaitu Asisten Pemerintahan Kota Bekasi tidak memiliki ke-
wenangan untuk mengeluarkan Surat Perintah Tugas Nomor: 800/60-Kesbangpolinmas/IV/2013 untuk
melakukan pemagaran dengan seng Masjid Al-Misbah Jemaat Ahmadiyah Indonesia Jatibening Bekasi
sehingga dalam amar putusannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa Surat Perintah Tugas yang dike-
luarkan oleh Plh. Sekretaris Daerah Kota Bekasi tidak sah.
Namun, Majelis Hakim yang sama dalam satu Pengadilan memutuskan hal yang sangat bertolak
belakang pada perkara penggembokan, justru dalam Putusannya menolak gugatan Penggugat den-
gan pertimbangan bahwa Tergugat yaitu Walikota Bekasi dalam mengeluarkan Surat Perintah Tugas
Nomor: 800/422-Kesbangpolinmas/III/2013 untuk melakukan penggembokan pagar Masjd Al-Misbah
Jatibening Bekasi sudah sesuai dengan prosedur yang diatur dalam peraturan perundang-undangan,
namun Majelis Hakim tidak mempertimbangkan lagi apakah keputusan yang dikeluarkan ini melang-

28
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
gar AUPB (Asas Umum Pemerintahan yang Baik) atau tidak serta tidak mempertimbangkan keteran-
gan ahli yang diajukan oleh Penggugat baik ahli Hak Asasi Manusia maupun ahli Penanganan Konflik
Sosial.
Intimidasi juga dialami oleh Jemaat Ahmadiyah di Bukit Duri, Jakarta Selatan. Sekelompok massa
mendesak Jemaat Ahmadiyah untuk menghentikan seluruh kegiatan Jemaat dan mengusir jemaat
agar dari bukit duri. LBH Jakarta berupaya mendampingi mediasi yang dilakukan oleh Kelurahan set-
empat, namun pihak Kelurahan justru melegitimasi intimidasi dan pengusiran tersebut.

3.2. Kasus Pelarangan Gereja HKBP Taman Sari, Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi
Setelah melalui proses yang panjang mengajukan izin kepada pemerintah untuk mendirikan rumah
ibadah. Gereja HKBP Tamansari di Kecamatan Setu Kabupaten Bekasi pada Tanggal 21 Maret 2013 di-
bongkar oleh Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Bekasi dengan dikawal aparat kepolisian dan TNI
dengan alasan tidak memiliki izin mendirikan pendirian bangunan dan mendapatkan penolakan dari
warga. Protes yang dilayangkan oleh LBH Jakarta bersama elemen masyarakat lainnya tidak dihirau-
kan, hingga akhirnya gereja tersebut dibongkar dengan diiringi tangisan histeris dari jemaat gereja.
Pada awalnya Jemaat memutuskan untuk menempuh upaya hukum bersama LBH Jakarta, namun,
dalam perjalanan advokasi, jemaat membatalkan niat tersebut.

3.3. Pendampingan Jemaat Gereja St. Stanislaus Kostka - Kranggan,


Jemaat GKI Taman Yasmin Bogor dan HKBP FIladelfia
Setelah melalui perjalanan panjang dalam memperoleh dukungan dan izin pembangunan gereja,
serta mendapatkan penolakan dan tekanan dari FPI dan FUI Jatisampurna. Pembangunan Gereja
St. Stanislaus Kostka pun mendapatkan Surat Izin Pelaksanaan Mendirikan Bangunan (SIPMB) dari
Walikota Bekasi tertanggal 17 Desember 2012, tetapi SIPMB tersebut dipermasalahkan oleh beberapa
warga yang menolak pembangunan gereja. Sebanyak 13 (tiga belas) orang, di mana 4 (empat) di
antaranya yang pernah menandatangani dukungan terhadap pembangunan gereja, dengan memberi-
kan kuasa kepada Lembaga Bantuan Hukum Muslim Indonesia (LBHMI) melakukan gugatan kepada
Walikota Bekasi. Gugatan ini direspon oleh perwakilan gereja, Pastor Kepala dan Ketua DP / PGDP St.
Servatius Kampung Sawah Bapak Yakobus Rudiyanto, SJ dengan memberikan kuasa kepada LBH Ja-
karta, bersama YLBHI dan LBH Bandung untuk menjadi Tergugat II Intervensi. Saat laporan ini dibuat,
gugatan masih dalam proses pembuktian.
Sementara itu, Pendampingan terhadap jemaat GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia yang dilarang
beribadah di tempat ibadahnya, sampai saat ini mereka masih belum selesai. Pemerintah daerah da-
lam hal ini Walikota Bogor dan Bupati Bekasi belum menaati putusan pengadilan. Selain upaya-upaya
hukum baik litigasi dan non litigasi dilakukan, sampai dengan menggunakan mekanisme Internasion-
al, dan mendapatkan catatan dan rekomendasi dari Komite HAM PBB. Jemaat secara konsisten terus
mempertahankan haknya untuk beribadah dengan melakukan ibadah di depan istana negara setiap
dua minggu sekali.
Kasus penyerangan HKBP Filadelfia terjadi pada Malam Natal 24 Desember 2012. Penyerangan
dilakukan terhadap Pdt. Palti Panjaitan dan Jemaat HKBP Filadelfia yang dilakukan oleh sekitar
500 orang massa intoleran yang dipimpin Sdr. Abdul Azis. Penyerangan dilakukan saat pendeta dan
jemaat berjalan menuju lokasi ibadah dengan melempar telur busuk, melempar kotoran hewan, me-
lempar air jengkol yang sudah direndam, melempar batu, melempar tanah, menyiram air comberan
kea rah jemaat. Aparat kepolisian yang ada di lokasi penyerangan membiarkan penyerangan terjadi.
Terhadap hal tersebut, Polisi membiarkan terjadinya aksi kekerasan tersebut. Pendeta Palti yang ada
saat itu melakukan pembelaan diri. Namun atas tindakan tersebut Pendekat Palti justru dijadikan Ter-
sangka pada Laporan Polisi Nomor: LP/1395/K/XII/2012/SPK/Restra Bekasi, tanggal 24 Desember 2012
atas nama Pelapor Sdr. Abdul Azis, dengan tuduhan tindak pidana penganiayaan dan perbuatan tidak
menyenangkan (Pasal 352 Jo 335 KUHP.)
Setelah Pdt. Palti Panjaitan, STh. ditetapkan sebagai Tersangka oleh Penyidik Polres Kota Bekasi,
kemudian Penyidik Polres Kota Bekasi melimpahkan berkas Pdt. Palti Panjaitan ke Kejaksaan Negeri
Cikarang dan sudah memasuki tahap Pemenuhan Petunjuk Jaksa Penuntut Umum (JPU) atau dikenal
dengan istilah P-19. Beberapa kali pihak Kejaksaan mengembalikan berkas perkara Pdt. Palti Pan-
jaitan tersebut kepada pihak Penyidik Polres Kota Bekasi. Hingga akhirnya pada 26 juli 2013 berkas
penuntutan dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Bekasi guna diproses sebagai Tindak Pidana Ringan
dengan Acara Pemeriksaan Cepat sebagaimana diatur pada Pasal 205 Pasal 210 KUHAP. Hingga
tulisan ini dibuat, sidang belum dapat dilanjutkan karena Pdt. Palti mengalami gangguan kesehatan
akibat tekanan psikologis. Sedangkan terhadap pelaku penyerangan, dilakukan proses persidangan

29
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

Perkara Nomor: 642/PID/B2013/PN.BKS di Pengadilan Negeri Bekasi, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.

3.4. Penyelesaian Gereja Damai Kristus, Kampung Duri ala Jokowi


Dalam advokasi Gereja Damai Kristus Paroki Kampung Duri - Jakarta Barat, LBH Jakarta aktif
melakukan pemantauan dan memberikan dukungan kepada jemaat. Dalam kasus ini, Gubernur DKI
Jakarta Joko Widodo, langsung turun tangan mengatasi, melakukan resolusi konflik dan melakukan
musyawarah dengan kedua belah pihak. Setelah upaya cepat ini, intimidasi dan ancaman secara
terbuka berkurang . Bahkan Pemprov DKI Jakarta mengeluarkan Surat Izin Prinsip Ibadah. Kasus ini
membuktikan bahwa tindakan aktif Pemerintah untuk menyelesaian masalah kebebasan beragama
berdampak terhadap perlindungan langsung terhadap jemaat sebagai kelompok minoritas. Tindakan
Pemprov DKI Jakarta merupakan wujud pelaksanaan kewajiban negara untuk menghormati dan me-
lindungi hak atas kebebasan beragama dan beribadah.

3.5. Pola Pelanggaran: Hate Speech, Mobilisasi Massa Intoleran dan


Legitimasi Pelanggaran oleh Pemerintah
Adanya kesamaan pelanggaran hak kebebasan beragama dan berkeyakinan baik dalam hal per-
istiwa, aktor maupun respon pemerintah, sehingga membentuk pola pelanggaran tertentu. Pelang-
garan kebebasan beragama diawali dengan langkah-langkah pra kondisi seperti isu kristenisasi, fatwa
sesat, larangan aktifitas dari pemerintah, isu pemalsuan tanda tangan dukungan rumah ibadah, dan
lain sebagainya. Hal ini terjadi pada Kasus Jemaat Ahmadiyah di Bekasi, dimana Penggembokan dan
pengesengan didahului oleh fatwa sesat oleh MUI dan pelarangan kegiatan Ahmadiyah melalui Pera-
turan Gubernur Jawa Barat No. 12 Tahun 2011, Tertanggal 4 Maret 2011 Tentang Larangan Kegiatan
Jemaat Ahmadiyah Indonesia Di Jawa Barat; Surat Edaran Gubernur Jawa barat No. 188.3/15-Kes-
bangpol, tertanggal 14 Maret 2011, kepada Seluruh Walikota/Bupati di Provinsi Jawa Barat, tentang
Tindak Lanjut Peraturan Gubernur Jawa Barat No. 12 Tahun 2011; serta Peraturan Walikota Bekasi No.
40 Tahun 2011, Tentang Larangan Aktifitas Ahmadiyah di Kota Bekasi, tertanggal 13 Oktober 2011.
Selain itu, pelanggaran juga menggunakan cara hate speech2 (pernyataan kebencian) dengan cara
sosialisasi larangan, isu atau fatwa terhadap kegiatan jemaat minoritas dengan cara yang provokatf
kepada masyarakat melalui ceramah, selebaran, dan lain-lain dengan disertai ajakan atau hasutan
untuk melakukan penutupan rumah ibadah atau pembubaran kegiatan komunitas.
Setelah penyebaran isu dan kebencian dilakukan, pelaku melakukan mobilisasi massa untuk
mendesak pemerintah lokal untuk melakukan penutupan atau pelarangan. Ini disertai juga dengan
intimidasi dan ancaman kepada komunitas korban untuk menghentikan kegiatan ibadah. Hal terse-
but terjadi dalam semua kasus, dimana mobilisasi tekanan terhadap pemerintah lokal dan intimidasi
atau ancaman terhadap korban. merupakan sebuah pola yang sama. Suara massa tersebut kemudian
dijadikan dasar bagi pemerintah local untuk membuat kebijakan pelarangan kegiatan atau penutupan
tempat ibadah, sebagaimana terjadi dalam Kasus Penggembokan Masjid Al Misbah, dan Pembong-
karan Gereja HKBP Taman Sari.
Dalam beberapa kejadian kekerasan, nampak Kepolisian setempat kurang mengantisipasi terjadin-
ya aksi kekerasan dan tidak melakukan perlindungan. Kepolisian justru terlibat dalam upaya Intimidasi
dan Kriminalisasi Korban, sebagaimana terjadi dalam peristiwa penyerangan terhadap Jemaat Gereja
HKBP Filadelfia pada tanggal 24 Desember 2012. Selain itu Aparat Hukum kurang melakukan tinda-
kan yang serius terhadap pelaku kekerasan. Proses Peradilan hanya dilakuan terhadap pelaku lapan-
gan tanpa menyasar pada aktor utama yang mengatur penyerangan.
Terdapat kesamaan profil pelaku kekerasan atau diskriminasi terhadap kelompok minoritas.
Biasanya pelaku merupakan tokoh atau pimpinan sebuah kelompok keagamaan, atau organisasi
paramiliter yang mengatasnamakan agama dengan melibatkan masyarakat awam yang terprovokasi.
Dalam aksinya, tindakan pelaku didukung oleh sikap diskriminatif aparat birokrasi dan aparat hukum.
Dalam kasus Gereja Gereja St. Stanislaus Kostka, Kranggan Bekasi pimpinan gereja justru dikrimi-
nalisasi melalui pelaporan ke kepolisian di Polres Bekasi Kota. Berbagai motif yang melatarbelakangi
kekerasan tidak sepenuhnya berkaitan dengan ideologis atau religiusitas. Tindakan kekerasan lebih
banyak dipengaruhi kombinasi antara motif ekonomi, kekuasaan, dan motif politik di tingkat lokal dan
nasional
Dari pola pelanggaran tersebut tergambar bahwa tindakan penyerangan tidak muncul tiba-tiba,
namun melalui proses akselerasi kebencian yang tidak segera ditangani oleh negara. Dimulai dari
pernyataan kebencian, kemudian meningkat menjadi mobilisasi massa dan legalisasi melalui kebi-
jakan hingga akhirnya berujung pada penyerangan secara fisik terhadap kelompok minoritas. Situasi

2
Pernyataan kebencian terhadap kelompok lain, baik itu agama, kepercayaan, etnis, ras dan sebagainya oleh
kelompok atau individu.

30
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
demikian terjadi karena sikap negara yang pasif dan bahkan cenderung memfasilitasi terjadinya
kekerasan.
Hate speech merupakan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 156 KUHP dan termasuk dalam kat-
egori kejahatan terhadap ketertiban umum. Namun ketentuan pasal ini tidak ditegakan oleh aparat
penegak hukum.
Dalam beberapa kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, pihak pemerintah
dalam hal ini Menteri Agama Suryadharma Ali justru mengeluarkan pernyataan yang melegitimasi
perilaku kekerasan terhadap kelompok minoritas di dalam negara, dan sangat bertentangan den-
gan Konstitusi. Misalnya dalam pernyataannya saat ceramah di Pondok Pesantren Daarut Tauhid
Sampang, Rabu 24 Juli 2013, Suryadharma Ali mengajak para ulama Madura untuk tetap bersabar
merangkul dan mengajak dakwah pertaubatan kepada pengikut Syiah Sampang3. Selain itu, dalam
sebuah dialog antar umat beragama di Jawa Tengah pada 11 November 2011 yang lalu, Suryadharma
Ali mengeluarkan pernyataan inkonstitusional dengan mengatakan bahwa kerukunan antar-umat
beragama di Indonesia kerap ternodai oleh kehadiran agama lain yang menyerupai agama yang sudah
mapan di Indonesia.
Menurutnya untuk mewujudkan kerukunan antar-umat beragama di Indonesia dapat dilakukan
dengan pemberangusan Jemaat Ahmadiyah atau deklarasi Ahmadiyah sebagai agama baru4. Bahkan
pada tanggal 20 Mei 2013, bertempat di di Masjid Agung Kabupaten Tasikmalaya, Suryadharma Ali
menyaksikan langsung Ikrar keluar dari Ahmadiyah oleh jemaat Ahmadiyah melalui proses pemba-
caan dua kalimat syahadat dan penandatanganan sumpah janji warga Ahmadiyah asal Kecamatan
Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Kehadiran Suryadharma Ali menunjukkan intensi atau niat serius
Suryadharma Ali untuk meminta Jemaat Ahmadiyah untuk berpindah atau mengubah keyakinan yang
membahayakan dan mengancam disintegrasi bangsa. Tindakan-tindakan dan ucapan-ucapan yang di-
lakukan oleh Suryadharmai Ali sebagai menteri (pejabat negara) merupakan sebuah tindakan Koersi5.
Apalagi dilakukan secara terstruktur, sistematis dan meluas. Maka dampaknya akan sangat berbahaya
bagi kerukunan dan jaminan perlindungan Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan.

3.6. Advokasi Memperjuangkan Kebebasan Beragama: Pendampingan Korban,


Pendidikan Paralegal, Perubahan Kebijakan dan Pendokumentasian Kasus

Sejak tahun 2012 hingga 2013, LBH Jakarta memiliki program mempromosikan pluralisme dan
kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia melalui pengajuan Rancangan Undang-Undang
Kemerdekaan Beragama/Berkeyakinan dan Pengembangan Paralegal serta Perluasan Dukungan
Masyarakat. Program ini memiliki 4 (empat) agenda. Pertama, advokasi Rancangan Undang-Undang
Kebebasan Beragama versi masyarakat sipil. Sebelumnya beredar draft Rancangan Undang-undang
Kerukunan Umat Beragama yang kami dapatkan dari DPR. Tapi justru draft tersebut secara substansi
berbahaya bagi kerukunan umat beragama karena jelas berpotensi mengsegregasi dan semakin
mengkotak-kotakkan kelompok-kelompok agama. Kedua, memperluas jaringan advokasi Kebebasan
Beragama dan Berkeyakinan berbasis komunitas dan organisasi kemasyarakatan keagamaan di
Jabodetabek, dengan mengadakan pelatihan-pelatihan paralegal yang khusus memiliki pengeta-
huan, persfektif dan keterampilan advokasi Kebebasan beragama. Ketiga, pendampingan korban
dalam kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, baik yang datang langsung
ke LBH Jakarta, atau sebaliknya LBH Jakarta yang mendatangi korban bersama dengan Jaringan
masyarakat sipil lainnya. Keempat, melakukan kampanye Kreatif dengan tema kebebasan beragama
dan berkeyakinan di kalangan muda. Program ini dilaksanakan melalui lomba pembuatan kaos yang
mengkampanyekan kebebasan beragama dan berkeyakinan dan juga mengadakan Panggung Kebe-
basan Beragama yang melibatkan komunitas-komunitas dan tokoh-tokoh yang peduli akan hak atas
kebebasan beragama dan berkeyakinan.

3
Jadi jalan yang tetap harus dikedepankan adalah merangkul para pengungsi Syiah Sampang
oleh para ulama agar mereka mau taubatan nashuha, ujar Menag dalam Silaturahim bersama para
Ulama Madura yang tergabung dalam Badan Silaturahmi Ulama se-Madura (Bassra) (http://www.
islampos.com/ulama-madura-diminta-rangkul-pengikut-syiah-agar-taubat-70707/)
http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/11/09/1/193450/Suryadharma-Ali-Sebut-
Pemberangusan-Ahmadiyah-sebagai-Solusi-Paling-Efektif
5
Koersi adalah praktik memaksa pihak lain untuk berperilaku secara spontan (baik melalui tinda-
kan atau tidak bertindak) dengan menggunakan ancaman, imbalan, atau intimidasiatau bentuk lain
dari tekanan atau kekuatan. Lihat dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Paksaan.

31
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

7. Hak Atas Kebebasan Bependapat dan Berekspresi


Dalam Sistem Hukum Indonesia

Ilusi Kebebasan Bependapat dan


Berekspresi Dalam Sistem
Hukum Indonesia
Kebebasan berekspresi adalah cara untuk pencarian kebenaran, Kebebebasan berekspresi ditempat-
kan untuk mencari, menyebarluaskan dan menerima informasi serta kemudian memperbincangkannya,
apakah mendukung atau mengkritiknya sebagai sebuah proses untuk menghapsus miskonsepsi kita atas
fakta dan nilai.
(John Locke)

Kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan suatu hak yang fundamental yang penting un-
tuk dijamin dalam sebuah negara hukum yang demokratis dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip hak
asasi manusia. Jika suatu negara tidak memberikan jaminan yang pasti terhadap kebebasan berpenda-
pat dan berekspresi maka dapat dipastikan akan terjadi hambatan lalu lintas pertukaran ide dan ga-
gasan, tertutupnya akses informasi untuk masyarakat serta kosong dialektika.

Konsep Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi dalam UUD 1945


Dalam hukum positif Indonesia, kebebasan berpendapat dan berekspresi dijamin dalam UUD 1945
khususnya pada Pasal 28 E dan Pasal 28 F, namun demikian pembatasan terhadap kebebasan ini telah
terbangun dalam tradisi yang panjang melalui beragam putusan pengadilan dan produk legislasi lainya
termasuk dalam UUD 1945 itu sendiri. Pasal 28 J UUD 1945 menjadi dasar untuk membatasi kebebasan
yang diakui dalam UUD 1945. Artinya masih terdapat pertentangan atas jaminan kebebasan berpenda-
pat dan berekspresi dalam UUD 1945. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah seperti apa pem-
batasannya? Apakah sekedar pembatasan untuk melindungi Hak Asasi Manusia warga negara lainnya
atau justru pembatasan yang sengaja dibuat untuk membungkam dan menghancurkan demokrasi.

Undang-Undang: Menjerat Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi


Pembatasan Kebebasan berpendapat dan berekspresi yang biasa disebut dengan hukum penghi-
naan secara garis besar dapat dikelompokan kedalam 2 stelsel hukum yakni Pidana dan Perdata. Da-
lam hukum pidana ketentuan mengenai penghinaan bisa ditemukan dalam KUHP dan UU lainnya yang
mengatur juga tentang penghinaan. Beberapa tahun terakhir memang terdapat perubahan dengan
tidak diberlakukannya lagi Pasal 134, 136 bis dan 137 KUHP karena dinyatakan bertentangan dengan
UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi. Bukan berarti menjadikan KUHP undang-undang yang bersih

32
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
dari ketentuan mengenai penghinaan, karena ruh ketentuan penghinaan Pasal 310 KUHP tentang
pencemaran nama baik dan Pasal 311 KUHP tentang fitnah masih tetap berdiri tegak dalam KUHP.
Selain itu masih banyak peraturan perundang-undangan lain yang mengatur masalah penghinaan
sebagai perbuatan pidana yakni Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran, Undang-Un-
dang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang No. 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden serta Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum. Dari segi hukum
perdata ketentuan penghinaan di dalam KUHPerdata secara umum ditujukan untuk meminta ganti
kerugian karena dianggap merupakan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal
1365 KUHPerdata dan secara khusus ketentuan penghinaan diatur dalam Pasal 1372 sampai dengan
1380 KUHPerata. Dengan adanya pembatasan kebebasan berpendapat dan berekspresi melalui hukum
penghinaan baik secara pidana dan perdata membuat orang yang menggunakan hak atas kebebasan
berpendapat dan berekspresi dapat dituntut 2 (dua) kali secara pidana dan perdata atas 1 (satu) per-
buatan seperti yang terjadi pada kasus yang menimpa Sdri. Prita Mulyasari.
Sepanjang tahun 2013 LBH Jakarta setidaknya menerima 4 (empat) pengaduan terkait hukum
penghinaan, dari 4 (empat) kasus yang masuk ke LBH Jakarta tersebut terlihat adanya stratifikasi sosial
yang timpang dimana orang atau badan yang mempunyai kedudukan stratifikasi sosial yang lebih ting-
gi merasa nama baiknya dicemarkan atau dinistakan oleh orang yang kedudukan stratifikasi sosialnya
lebih rendah. Salah satu contoh kasus hukum penghinaan dapat terlihat dalam box kasus di bawah ini.

Kasus yang Ditangani LBH Jakarta

BH dilaporkan oleh M karena kicauannya di sosial media atas dasar Pasal 27 ayat (3) UU No. 11
Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik karena telah mencemarkan nama baik M.
Dalam kicauannya BH pada intinya menyatakan bahwa M adalah perampok salah satu bank
swasta di Indonesia karena telah di vonis bersalah oleh Pengadilan Negeri, pengadilan tinggi
bahkan sampai MA namun ketika di pemeriksaan Peninjauan Kembali M di vonis bebas murni. Atas
dasar itu BH dilaporkan ke pihak kepolisian karena kicauannya di sosial media.
Kicauan BH di sosial media pada dasarnya merupakan persepsi BH sendiri yang didasarkan dari
berbagai pemberitaan di media masa yang pada pokoknya menyebutkan bahwa terdapat dugaan
suap kepada 2 hakim agung yang memeriksa dan memutus perkara peninjauan kembali M. Atas
dasar itulah BH berpendapat dan berpresepsi M merupakan perampok bank swasta tersebut,
meskipun disisi lain terdapat putusan peninjauan kembali Mahkamah Agung yang menyatakan M
bebas murni.

Kesimpulan
Kebebasan berpendapat dan berekspresi juga telah dijamin dalam Pasal 23 Undang-Undang No. 39
Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan : setiap orang bebas mempunyai, menge-
luarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya secara lisan atau tulisan melalui media
cetak maupun media elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, ke-
pentingan umum dan keutuhan bangsa. Ketentuan ini jika dilihat sekilas telah memberikan jaminan
dan perlindungan warga negara terkait Hak Atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi, namun jika
dicermati lebih dalam seperti yang telah diuraikan diatas jaminan Kebebasan Berpendapat dan Berek-
spresi hanya sebuah ilusi dalam sistem hukum Indonesia.

Rekomendasi
Negara harus mewujudkan jaminan kebebasan berpendapat dan berekspresi dalam kehidupan ber-
demokrasi, salah satu caranya dengan melakukan dekriminalisasi terhadap hukum penghinaan sesuai
dengan seruan Pelapor Khusus PBB dan lembaga hak asasi manusia lainnya terkait kebebasan ber-
pendapat dan berekspresi agar melakukan dekriminalisasi terhadap delik pencamaran nama baik atau
penghinaan1.
Kasus-kasus terkait dengan permasalahan pencemaran nama baik sebaiknya diselesaikan dengan
mekanisme hukum perdata dengan kompensasi ganti kerugian yang disebabkan dari akibat perbuatan
penghinaan tersebut.

Lihat LaRule Report paragraf 21, http://daccessddsny.un.org/doc/UNDOC/GEN/G11/132/01PDF/


1

G1113201.pdf

33
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

8. Hak Atas Kebebasan berserikat

Kebebasan Berserikat
Hanya Diatas Kertas
Kemajuan Perlindungan Hak Kebebasan Berserikat
Pada tahun 1998 pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi ILO No. 87 tentang kebebasan berser-
ikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi, yang menjamin kebebasan buruh/pekerja untuk ber-
serikat. Hal ini merupakan suatu lompatan besar ke depan dan telah memicu banyak perkembangan
baru dalam gerakan serikat pekerja/serikat buruh.
Setelah meratifikasi Konvensi ILO No. 87, tanggal 4 Agustus 2000 Indonesia mengesahkan UU No. 21
tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. UU No. 21 tahun 2000 dibuat dalam rangka mewu-
judkan kemerdekaan berserikat. Dalam UU ini, pekerja/buruh berhak membentuk dan mengembang-
kan serikat pekerja/serikat buruh yang bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggung jawab.
Tujuan dari UU ini adalah agar Serikat Pekerja/Serikat Buruh menjadi sarana untuk memperjuangkan,
melindungi, dan membela kepentingan dan kesejahteraan pekerja/buruh beserta keluarganya serta
mewujudkan hubungan industrial hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan.

Implementasi di Lapangan: Jauh dari Ideal


Meskipun secara hukum nasional dan internasional buruh mempunyai hak untuk berserikat, namun
nyatanya kebebasan tersebut belum dirasakan oleh kaum buruh. Dimana banyak para buruh ketika
menjalankan haknya untuk berserikat, di PHK secara sewenang-wenang oleh perusahaan dengan ber-
bagai alasan. Namun Negara tidak mampu melakukan penegakkan hukum terhadap pengusaha yang
melakukan pelanggaran hak buruh dalam berserikat. Sehingga ketika terjadi pelanggaran hak atas ke-
bebasan berserikat yang dilakukan oleh pengusaha, negara absen. Dalam hal ini Pengawas Ketenagak-
erjaan dan Aparat Kepolisian membiarkan, yang seolah-olah para pengusaha tersebut kebal hukum
dan tidak tersentuh hukum.
Impunitas para pengusaha yang melakukan pelanggaran kebebasan berserikat, terkonfirmasi dari
pengaduan yang diterima oleh LBH Jakarta di tahun 2013 sebanyak 2 (dua) kasus dan kasus berlanjut
sebanyak 3 (tiga) kasus yang pengaduannya sebelum tahun 2013.

Pola dan Trend Pelanggaran


Pola pelanggaran kebebasan berserikat di tahun 2013 ini hampir sama dengan tahun 2012 dengan
cara melakukan PHK, mutasi, tidak diberi pekerjaan, dianggap mangkir karena mogok kerja, upah tidak
dibayar, tidak adanya pengakuan terhadap serikat pekerja, kriminalisasi, skorsing menuju PHK.
Kecenderungan (trend) pola pelanggaran kebebasan berserikat berdasarkan pengaduan yang diteri-
ma oleh LBH Jakarta di tahun 2013 ini yaitu; PHK karena melakukan mogok kerja, Mutasi terhadap ang-
gota Serikat Pekerja, PHK karena menyelamatkan perusahaan dari tindak pidana korupsi, perusahaan
tidak mau berunding dengan serikat pekerja membahas perjanjian kerja bersama (PKB), Pekerja di PHK
dan digugat oleh Pengusaha karena melakukan mogok kerja.
Tindakan yang dilakukan oleh LBH Jakarta atas pelanggaran kebebasan berserikat diatas diantaran-
ya; melakukan korespondensi; melakukan pendampingan di pengadilan; melaporkan dan melakukan
pendampingan terhadap buruh yang menjadi korban pelanggaran kebebasan berserikat kepada pihak
kepolisian dan pengawas ketenagakerjaan; serta melakukan konsolidasi dengan serikat buruh.

Kisah Pahit Kesuksesan


Dari berbagai pengaduan kasus pelanggaran kebebasan berserikat yang diterima oleh LBH Jakarta
dan selama UU No. 21 Tahun 2000 diberlakukan, hanya satu kasus tindak pidana anti serikat pekerja/
buruh yang pelakunya dihukum, yaitu dalam kasus PT. King Jim di Pasuruan. Selebihnya menemui jalan
buntu tanpa tindak lanjut yang berhenti di meja kepolisian atau pengawas ketenagakerjaan. Dengan
demikian kebebasan berserikat di Indonesia hanya sebatas diatas kertas, yaitu hanya berhenti dalam
tahap ratifikasi dan peraturan perundang-undangan tanpa adanya penegakan hukum bagi para pelaku
yang melakukan pelanggaran kebebasan berserikat.

34
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
Mogok Kerja, Dibalas Dengan Tindakan PHK dan Gugatan
MH merupakan Ketua Dewan Pimpinan Cabang Serikat Pekerja Nasional Kota Jakarta Utara dan UF se-
laku Ketua PSP PT. Doosan CBJ melakukan mogok kerja pada tanggal 7-8 Maret 2013, karena terjadinya
berbagai pelanggaran hak normatif diantaranya; upah dibawah KHL dan tunjang jabatan dihilangkan, uang
makan ditiadakan , berjalannya scoring, dan premi hadir dihapus.
Sebelumnnya serikat pekerja telah mengingatkan perusahaan namun perusahaan tidak menggubrisnya
bahkan sudah dilaporkan ke Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jakarta Utara, namun perusahaan
juga tidak menggubris tuntutan para buruh.
Karena para buruh melakukan mogok kerja maka perusahaan melakukan PHK terhadap UF, Ketua PSP PT.
Doosan CBJ dan perusahaan menggugat para buruh ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara karena perusahaan
mengklaim dirugikan. Dimana Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara mengeluarkan putusan sela
atas gugatan yang diajukan oleh pengusaha yang menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Utara
tidak berwenang mengadili gugatan yang diajukan oleh para pengusaha tersebut.

Rekomendasi
Banyak pelanggaran kebebasan berserikat terjadi, namun para pelakunya tidak tersentuh oleh hu-
kum saat buruh berusaha memperjuangkan hak-haknya. Namun, pengusaha dapat dengan mudah
mengkriminalkan buruh dengan alasan yang mudah. Oleh karenanya, LBH Jakarta memandang perlu-
nya beberapa hal diantaranya;
1. Dibentuknya Unit Khusus perburuhan di Kepolisian, diharapakan dengan adanya unit khusus terse-
but para penyidik di kepolisian akan fokus membongkar kasus-kasus pelanggaran kebebasan ber-
serikat.
2. Perlu memberikan pelatihan khusus yang berperspektif hukum perburuhan kepada penyidik, dian-
taranya mengenai cara membongkar kasus-kasus pelanggaran kebebasan berserikat. Dengan de-
mikian penyidik memiliki pemahaman yang mendalam dalam membongkar kejahatan tindak pidana
perburuhan dan anti serikat pekerja secara profesional, cepat, cermat dan tepat.
3. Pengawas ketenagakerjaan dan aparat kepolisian harus membangun akuntabiltas dan kepastian
waktu dalam menindaklanjuti pengaduan mengenai kejahatan anti serikat, sehingga tidak ada lapo-
ran yang berlarut-larut (undue delay) yang penanganannya tidak jelas.

35
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

9. Hak atas Perlindungan Pekerja Migran

Efektifitas Perlindungan
Pekerja Migran Mensyaratkan
Sebuah Kepastian Hukum
(KTKLN: Kartu Identitas yang Membuka Ruang Eksploitasi)

Seminggu setelah merayakan Idul Fitri 1434 H lalu di Indonesia, sukacita dan kebahagiaan hampir
puluhan Pekerja Migran Indonesia (PMI) [Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan
dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri masih menggunakan terminologi Tenaga
Kerja Indonesia/ TKI] yang bekerja di Hongkong, Malaysia, dan beberapa negara lainnya dirusak oleh
oknum-oknum petugas imigrasi dan maskapai penerbangan di bandara Soekarno Hatta yang mence-
gah keberangkatan kembali para PMI ke negara tujuannya. Hal ini dikarenakan para PMI memiliki per-
masalahan dengan KTKLN.
Kartu Tanda Kerja Luar Negeri (KTKLN) adalah kartu identitas bagi TKI yang memenuhi persyaratan
dan prosedur untuk bekerja di luar negeri. KTKLN berdasarkan pengaturan UU No. 39 Tahun 2004 (UU
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, selanjutnya disebut UU PPT-
KILN) wajib dimiliki oleh para PMI yang akan berangkat ke negara tujuan dan dikeluarkan oleh pemer-
intah dalam hal ini BNP2TKI. Meskipun UU No. 39 Tahun 2004 menyatakan bahwa KTKLN berfungsi
sebagai kartu identitas bagi para PMI di negara tujuan, namun pada kenyataannya kartu ini total tidak
berfungsi setelah para PMI melewati bagian imigrasi di bandara Indonesia, apalagi di negara tujuan.

Persyaratan Pembuatan KTKLN


Syarat pembuatan KTKLN ada 3 hal yaitu kelengkapan dokumen penempatan PMI, telah mengikuti
pembekalan akhir pemberangkatan dan ikut serta dalan program asuransi (Pasal 63 UU PPTKILN). Tera-
khir pembuatan KTKLN hanya mengacu pada Surat Keputusan Deputi Bidang Penempatan BNP2TKI
Nomor : KEP.117/PEN/X/2012 Tanggal 29 Oktober 2012 tentang Standar Operasional Prosedur (SOP)
Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia. Seharusnya pengaturan terhadap KTKLN dilakukan
dengan menggunakan Peraturan Menteri. Dan sama sekali tidak dipungut biaya alias gratis!

Praktik Pembuatan KTKLN


Berdasarkan Surat Keputusan BNP2TKI di atas, para PMI yang bekerja sebagai Pekerja Rumah Tang-
ga (PRT) tidak diperbolehkan untuk melakukan pengurusan KTKLN di Bandara dan harus melakukan
pengurusan ke BNP2TKI di Ciracas, Jakarta Timur. Perlu diketahui bahwa dibutuhkan waktu kurang
lebih 2 (dua) jam dari bandara Soekarno-Hatta, Tangerang menuju Ciracas, Jakarta Timur. Selain itu di
Ciracas para PMI masih dimintai biaya asuransi serta medical check up sebagai syarat untuk dikeluar-
kannya KTKLN. Pembuatan KTKLN nya memang gratis, namun prasyarat sebelum dikeluarkan KTKLN
menelan biaya yang relatif mahal dan dimanfaatkan oleh calo-calo yang indekos di dalam institusi
pemerintah yang memberikan layanan KTKLN tersebut.
Pengaturan dan praktik pembuatan KTKLN bagi PMI sektor domestik di atas jelas merupakan ben-
tuk pembedaan perlakuan yang menempatkan para PMI yang berkerja sebagai PRT pada kondisi rawan
eksploitasi. Apabila dikaji secara pengaturan pada UU PPTKILN, PMI yang bekerja di sektor domestik
bukanlah PMI yang bekerja secara perorangan. Mereka berangkat melalui Pelaksana Penempatan TKI
Swasta (PPTKIS) yang biasa dikenal dengan PJTKI. PPTKIS inilah yang seharusnya bertanggung jawab
dalam melakukan pengurusan keseluruhan kelengkapan dokumen bagi para PMI sektor domestik. De-
mikian halnya dalam pengurusan KTKLN seharusnya PPTKIS lah yang berkewajiban melakukan pen-
gurusannya (Pasal 64). Bahkan bagi PPTIKS yang memberangkatkan PMI yang belum memiliki KTKLN
dikenai sanksi pidana. Jadi bukan PMI yang seharusnya menanggung akibat tersebut melainkan PPT-
KIS.
Terdapat perbedaan pengaturan antara UU No. 39 Tahun 2004 dengan Surat Keputusan Deputi Bi-
dang Penempatan BNP2TKI Nomor : KEP.117/PEN/X/2012.

Advokasi yang dilakukan LBH Jakarta


LBH Jakarta pada saat melakukan advokasi terhadap sejumlah PMI yang terkena masalah KTKLN
di libur lebaran ini, berkesempatan mendampingi para PMI untuk bertemu langsung dengan Kepala

36
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
BNP2TKI dan beberapa stafnya. Kepala BNP2TKI menyatakan bahwa untuk PMI yang pulang untuk
libur lebaran, seharusnya tidak perlu melakukan medical check-up serta membayar biaya asuransi. Se-
lain itu mereka juga diperbolehkan untuk melakukan pengurusan KTKLN di Bandara.
Praktik percaloan di tempat layanan pembuatan KTKLN juga menjadi hal yang laporkan saat audi-
ensi. Sayangnya pemerintah malah melegitimasi keberadaan para calo, dengan dalih menolong pemer-
intah dalam berkomunikasi dengan bahasa asing sesuai negara tujuan PMI. Respon tersebut menjadi
sebuah keanehan, bukan kah pemerintah memiliki kapasitas untuk merekrut penerjemah guna mem-
perlancar proses? Akhirnya sejumlah PMI sektor domestik yang LBH Jakarta dampingi dapat mengurus
KTKLN langsung di Kantor Pusat BNP2TKI dan berangkat ke negara tujuan.

Korupsi Birokrasi Pembuatan KTKLN yang Tersistematis


Namun bagaikan fenomena puncak gunung es, masih banyak PMI sektor domestik yang pulang ke
Indonesia untuk libur lebaran mengalami permasalahan yang sama di bandara. Mereka dicegah untuk
berangkat ke luar negeri oleh petugas imigrasi dan bahkan petugas maskapai karena KTKLN. Pada-
hal pihak-pihak tersebut sesungguhnya tidak berwenang untuk melakukan pencegahan dengan alasan
tidak adanya KTKLN, sebab KTKLN bukanlah dokumen imigrasi (Surat Kepala Kantor Imigrasi Kelas I
Yogyakarta Nomor: W14.IMI.1.UM-01.01-1214 tertanggal 13 Mei 2013), maupun tiket pesawat. Bahkan
berdasarkan UU Keimigrasian No. 6 Tahun 2011, pencegahan WNI ke luar negeri hanya dapat dilakukan
oleh pejabat negara tertentu dalam hal ini Menteri Tenaga Kerja.
Para PMI bukannya tidak mau mengurus KTKLN, namun praktik diskriminatif dalam pengaturan dan
implementasi, layanan yang tidak aksesibel serta informasi yang tidak memadai menjadi batu sandun-
gan bagi para PMI. Ditambah birokrasi yang korup, kapasitas dan kapabilitas yang tidak berstandard
serta memadai di kalangan pegawai pemerintahan, masih minimnya kordinasi antar lembaga dan insti-
tusi pemerintahan serta kompromi dengan berbagai praktik percaloan, keseluruhan faktor tersebut lah
yang memperburuk perlindungan terhadap PMI.
Tujuan KTKLN guna membangun sistem pendataan yang bertujuan memberikan perlindungan bagi
para PMI akhirnya tidak tercapai karena tidak adanya kepastian hukum dan faktor penting lainnya.
Kondisi ini justru membuka ruang bagi praktik eksploitatif dan koruptif. Praktik intimidatif yang dilaku-
kan aparat di lapangan terhadap PMI pun semakin meningkat.

Rekomendasi
Berdasarkan uraian di atas, maka LBH Jakarta merekomendasikan Pemerintah terkait agar:
1. Deputi Bidang Penempatan BNP2TKI segera mencabut Surat Keputusan Deputi Bidang Penempa-
tan BNP2TKI Nomor : KEP.117/PEN/X/2012 Tanggal 29 Oktober 2012 tentang Standar Operasional
Prosedur Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia dan membuka layanan pengurusan KTKLN
di Bandara bagi seluruh Pekerja Migran Indonesia tanpa terkecuali;
2. Kementerian terkait, Imigrasi, BNP2TKI dan seluruh aparaturnya mempermudah serta memperlan-
car pengurusan (perpanjangan maupun pembuatan baru) KTKLN bagi seluruh Pekerja Migran Indo-
nesia serta meninjau ulang segala peraturan terkait pendataan dan segera membentuk sistem pen-
dataan PMI yang terintegrasi antar kementerian dan institusi negara.
3. Pemerintah harus menolak segala praktik percaloan dan menindaktegas oknum-oknum yang terlibat
dalam praktik percaloan.
4. Pemerintah dan DPR RI segera menyelesaikan Revisi Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang
Penempatan dan Perlindungan tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKILN) mengacu pada
Konvensi PBB Tahun 1990 tentang Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya. Yang men-
jamin hak-hak sebagai berikut namun tidak terbatas pada:
a. Hak atas informasi yang benar
b. Hak atas pelayanan dan perlakuan yang sama dalam penempatan kerja di luar negeri
c. Hak untuk mendapatkan keadilan, rehabilitasi, restitusi, dan kompensasi bagi Pekerja Migran yang
mengalami pelanggaran hak
d. Hak bebas menentukan asuransi secara pribadi dan menikmati manfaatnya
Dengan memenuhi prinsip-prinsip namun tidak terbatas pada :
a. Non diskriminasi
b. Pengakuan atas martabat dan hak asasi manusia
c. Kesetaraan dan keadilan gender
d. Demokrasi dan representasi
e. Pemberdayaan Pekerja Migran dan keluarganya
f. Peningkatan kesejahteraan
g. Keadilan
h. Penempatan Pekerja Migran bukan tujuan utama mengatasi pengangguran dan kemiskinan

37
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

10. Hak atas Perlindungan Perempuan

Enggan Mensahkan
UU Perlindungan PRT = Reviktimisasi
Perempuan Desa
Beban Ganda dan Reviktimisasi Perempuan Korban
Indonesia memiliki banyak instrumen hukum yang melindungi perempuan dan hak-haknya dari pelangga-
ran HAM maupun kejahatan lainnya. Meski demikian LBH Jakarta masih menemukan kebanyakan dari instru-
men tersebut masih minim dan belum efektif dalam menindak kejahatan dan pelanggaran HAM yang terjadi
terhadap perempuan. Di saat yang bersamaan arah pembangunan dan kebijakan juga semakin memarginal-
kan perempuan dengan minimnya upaya pembedaan positif (affirmative action) yang memberi akses yang
sama bagi perempuan dalam segala bidang. Minimnya jumlah aparat pemerintah yang sensitif gender pun
semakin memperkokoh pola reviktimisasi perempuan korban.
Beberapa jenis kasus dan instrumen hukum yang dimaksud diantaranya ialah kasus kekerasan dan pelece-
han seksual terhadap pekerja rumah tangga (PRT), kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan Undang-
Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Pelecehan
seksual, perkosaan serta kekerasan terhadap perempuan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Instrumen-instrumen tersebut
tidak berjalan optimal karena belum di dukung oleh pengetahuan, kapasitas serta kapabilitas pemerintah, leg-
islator dan aparat penegak hukum yang memadai. Kondisi ini menambah kian buruknya perlindungan bagi
perempuan korban.
Bagi sebagian besar perempuan terutama perempuan desa, tantangan budaya patriarki yang mendiskrimi-
nasi perempuan dalam kerja-kerja domestik dan membuat mereka mengalami domestifikasi (diidentikan den-
gan kerja-kerja domestik/rumah tangga). Dihambat aksesnya untuk menikmati pendidikan. Trend industrial-
isasi yang menutup lahan-lahan pertanian serta menggantikannya menjadi pabrik, membuat perempuan desa
juga dituntut tanggung jawab yang sama dengan suami untuk menafkahi keluarga. Jumlah lapangan kerja
bagi perempuan di pedesaan pun sangat minim. Kondisi yang demikian menggambarkan adanya reviktimisasi
terhadap perempuan, dimulai dari korban budaya, korban hak atas pendidikan, korban industrialisasi, korban
tidak dipenuhinya hak atas pekerjaan.
Beban ganda yang ditaruhkan pada pundak perempuan korban sebagaimana telah diurai di atas, mendor-
ong sebagian besar dari mereka menceburkan diri ke dalam sektor pekerjaan di lingkungan domestik sebagai
pekerja informal yakni Pekerja Rumah Tangga atau biasa kita kenal dengan PRT, baik PRT di dalam negeri mau-
pun luar negeri (migran). Bekerja sebagai PRT merupakan pilihan dalam keterpaksaan bagi perempuan korban
(secara khusus dalam hal ini perempuan desa).
Pilihan dalam keterpaksaan yang mereka ambil dengan bekerja sebagai PRT sesungguhnya menempat-
kan mereka pada posisi yang semakin rentan tanpa adanya perlindungan hukum. Tidak ada jaminan atas pe-
menuhan hak-hak normatif setelah mereka melakukan pekerjaannya. Tidak ada akses publik maupun negara
untuk memantau kondisi kerja mereka yang sangat tertutup di lingkungan rumah tangga/domestik, sehingga
rentan terjadi kekerasan, pelecehan seksual dan kejahatan lainnya. Untuk kesekian kalinya perempuan yang

38
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
bekerja sebagai PRT ditempatkan pada kondisi yang berpotensi menjadikan mereka sebagai korban (korban
pelanggaran hak kerja/hak normatif, pelecehan seksual, perkosaan, penganiayaan, dlsb.)
Di tengah kegagalan pemerintah dalam memenuhi hak atas pendidikan dan hak atas pekerjaan perempuan
korban, Pemerintah ternyata juga enggan menyediakan kebijakan yang memberikan perlindungan hukum bagi
hak-hak Pekerja Rumah Tangga (PRT). Untuk kesekian kalinya perempuan yang bekerja sebagai PRT menjadi
korban. Pemerintah dengan sengaja dan secara sadar memperpanjang siklus reviktimisasi yang mereka alami.

Advokasi RUU Perlindungan PRT


Instrumen hukum Indonesia yang menjamin perlindungan PRT secara spesifik hanyalah Undang-Undang
No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Undang-Undang ini
melindungi PRT karena PRT masuk dalam lingkup rumah tangga sebagaimana diatur dalam pasal 2, sebagai
orang yang bekerja di lingkup rumah tangga. UU PKDRT menjamin PRT memperoleh perlindungan hukum
terkait 4 macam kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana tercantum dalam Pasal 5: kekerasan fisik, kek-
erasan psikis, kekerasan seksual dan penelantaran rumah tangga.
Menjadi sebuah pertanyaan penting, apabila UU PKDRT mengakui bahwa PRT adalah orang yang bekerja
/ pekerja di lingkup rumah tangga, instrumen hukum apa yang melindungi mereka apabila terjadi pelanggaran
atas hak-hak kerja/hak-hak normatif mereka? Belum ada instrumen hukum yang dapat melindungi PRT apabila
gaji mereka tidak dibayarkan oleh majikan. Mereka harus siap siaga selama 24 (dua puluh empat) jam setiap
harinya untuk menunggu perintah dari majikan, tidak memiliki pembatasan waktu kerja. Para PRT diperlaku-
kan seperti mesin yang selalu on kapan pun majikan membutuhkan tenaga mereka. PRT bekerja 7 hari dalam
seminggu. Tidak ada jaminan kesehatan bagi mereka. Untuk memasak, mencuci, mengurus anak, menyapu,
mengepel, menyeterika, menjaga rumah, dan lain sebagainya, mereka dibayar dengan upah yang tidak layak
dan tidak imbang dengan tenaga yang sudah mereka keluarkan. Perlindungan hukum bagi PRT sebagai pekerja
nihil.
Menyadari urgensi perlindungan hukum bagi PRT, sebagai pencegahan reviktimisasi bagi PRT dan sebagai
desakan bagi pemenuhan tanggung jawab perlindungan, pemenuhan dan penghormatan HAM bagi warga
negara oleh negara, maka LBH Jakarta bergabung bersama dengan beberapa organisasi dari berbagai wilayah
di dalam Jaringan Nasional Advokasi PRT atau disebut sebagai JALA PRT.
Strategi yang dilakukan LBH Jakarta sebagai bagian dari JALA PRT ialah advokasi kebijakan di tingkat na-
sional dan internasional. Pada tingkat nasional bersama-sama JALA PRT, LBH Jakarta mendorong disahkannya
Rancangan Undang-Undang Perlindungan PRT yang telah dikerjakan sejak tahun 2004 sampai saat ini. Mem-
buat kajian, mengajukan draft Rancangan Undang-Undang Perlindungan PRT kepada DPR, membuat bahan
lobi, membuat daftar inventaris masalah (DIM), audiensi dengan lembaga-lembaga pemerintah/kementerian
lembaga terkait, aksi, diskusi dan sosialisasi merupakan beberapa kegiatan yang dilakukan dalam mengadvoka-
si RUU PPRT.
Sedangkan di tingkat nasional JALA PRT bersama dengan Jaringan Revisi Undang-Undang Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (JARI PPTKILN) mengadvokasi diratifikasinya Konvensi PBB
Tahun 1990 tentang Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya yang telah diratifikasi oleh Indonesia
April 2012 lalu. Selain itu JALA PRT juga mendorong diratifikasinya Konvensi ILO No. 189 tentang Kerja Layak
bagi Pekerja Rumah Tangga.
Memperluas jaringan bersama dengan Serikat Buruh / Serikat Pekerja (SP/SB) dengan membentuk KAPPRT-
BM (Komite Aksi untuk Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan Buruh Migran) juga merupakan sebuah keber-
hasilan dalam mengajak para pekerja/buruh untuk bersama memperjuangkan perlindungan bagi PRT sebagai
bagian dari pekerja.
Kebijakan yang bertujuan melindungi PRT migran dan migran secara umum sudah dituangkan dalam UU
No. 39 Tahun 2004, meskipun masih jauh dari semangat perlindungan. Perlindungan bagi PRT di dalam negeri
pun tak kalah pentingnya, oleh karenanya penting seluruh pihak terkait untuk semakin maksimal mengerjakan
bagiannya guna mempercepat disahkannya RUU PPRT.
Bagi organisasi masyarakat sipil penting untuk meningkatkan sosialisasi serta konsolidasi melalui penya-
daran atas pentingnya perlindungan PRT di berbagai macam kelompok masyarakat sipil. Sedangkan pemer-
intah sebagai pengemban utama pemenuhan, penghormatan dan perlindungan Hak Asasi Manusia harus se-
makin kritis dan aktif mendorong legislator dalam mensahkan RUU PPRT. Di sisi lain legislator dalam hal ini DPR
RI sebagai wakil rakyat seharusnya dapat bertindak profesional dengan tidak memposisikan diri sebagai pihak
yang berkepentingan yakni majikan pada saat membahas RUU PPRT sehingga lebih mementingkan kepentin-
gan perlindungan bagi majikan dibandingkan perlindungan bagi PRT. DPR RI seharusnya dapat menjadi garda
terdepan dalam menyediakan payung hukum yang melindungi PRT terutama perempuan desa sebagai korban
yang bekerja sebagai PRT.
Sikap abai dan keengganan pemerintah dan legislator yang lamban dalam mensahkan Undang-Undang
Perlindungan PRT merupakan tindakan yang secara sadar dalam melakukan reviktimisasi perempuan korban
terutama perempuan desa yang menjadi korban.

39
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

11. Hak Anak yang berhadapan dengan hukum

Sebuah Refleksi terhadap


Perlindungan dan Pemenuhan Hak
Anak Berhadapan dengan Hukum
I. Pengantar
Berdasarkan Instrumen hukum Nasional maupun Internasional, bentuk perlindungan hak anak yang
berhadapan dengan hukum yaitu: bebas dari penyiksaan; didampingi oleh penasehat hukum sebelum
dilakukan pemeriksaan oleh Polisi; identitas yang terhasaikan dan tidak dipublikasikan; pidana penjara
seumur hidup maupun pidana mati tidak dapat dijatuhkan kepada anak; anak sebagai saksi maupun
pelaku dan korban harus diperiksa di unit/ruang khusus anak; anak tidak boleh disatukan dengan tah-
anan dewasa; harus ada upaya maksimal agar anak tidak diproses lewat sistem peradilan pidana, tetapi
diselesaikan diluar pengadilan sehingga pengadilan menjadi last resort (solusi terakhir), BAPAS me-
dampingi dan membuat laporan khusus anak; akses yang luas bagi orang tua untuk berhubungan den-
gan anak nya disetiap tingkatan pemeriksaan; diupayakan anak tidak ditahan (penahanan tidak perlu).
Anak berhadapan dengan hukum terutama anak sebagai pelaku tindak pidana sebaiknya dilihat
bukan sebagai seorang penjahat yang memang menjadi jahat dari dirinya sendiri, sebaliknya mereka
walaupun pelaku tindak pidana tetapi sekaligus mereka adalah korban. Mereka merupakan korban
sistem hukum yang tidak adil; kebijakan hukum yang tidak adil; didikan orang tua/keluarga yang buruk;
lingkungan sosial dan pergaulan yang membawa dampak buruk; pendidikan budi pekerti yang kurang
baik disekolah bahkan stigma/label yang disematkan kepada si anak mempengaruhi mereka menjadi
semakin jahat. Oleh karena itu, baik pemerintah, penegak hukum dan masyarakat harus memandang
mereka sebagai korban, bukan hanya terbawa emosi oleh karena tindak pidana yang dilakukannya.

II. Aktor, Pola dan Relasi Kepentingan terkait Pelanggaran Hak Anak
Berhadapan dengan Hukum
Tahun 2013 LBH Jakarta menangani 5 (lima) kasus anak berhadapan dengan hukum dengan jumlah
anak yang didampingi yaitu 15 (lima belas) orang. Pelaku pelanggaran hak anak yaitu 4 (empat) kasus
dilakukan oleh Kepolisian; 3 (tiga) kasus oleh Kejaksaan; 2 (dua) kasus oleh Hakim pada Pengadilan
Negeri; 1 (satu) kasus oleh KPAI. Adapun pola pelanggaran hak anak berhapan dengan hukum yang
dilakukan yaitu:

1. Penyiksaan Demi Memperoleh Pengakuan


LBH Jakarta tahun 2013 menangani kasus 4 (empat) pengamen yang masih dibawah umur. Mereka
dituduh melakukan pembunuhan terhadap pengamen lain di Kolong Jembatan Cipulir. Sejak saat
penangkapan kekerasan dilakukan oleh polisi seperti memukul; menendang dan menutup kepala si

40
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
anak dengan plastik hitam. Sebelum dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan, ke 4 (empat) anak ini di-
ancam, diintimidasi, ditelanjangi dan dipukul sehingga ketika BAP dibuat, mereka semua mengakui
telah membunuh si Korban. Hal serupa juga perna terjadi pada Kasus Koko (2009) yang mengalami
penyiksaan oleh Polisi dan tahun 2013 ini Koko menggugat Polisi tersebut, ternyata Pengadilan tidak
memiliki perspektif anak sehingga menolak gugatan tersebut padahal fakta dipersidangan mem-
buktikan telah terjadi penyiksaan terhadap Koko.

2. Anak Berhadapan Hukum Tidak Didampingi Penasehat Hukum Sejak Awal Pemeriksaan
Beberapa Polisi dari Polda pernah menyatakan dihadapan persidangan bahwa anak berhadapan
hukum yang statusnya hanya sebagai saksi tidak perlu didampingi oleh Penasehat Hukum, dan
hal itu sudah biasa dilakukan oleh mereka. Menilai pernyataan tersebut, maka tidak heran sejak
tahap awal pemeriksaan anak sebagai saksi banyak terjadi rekayasa, pemaksaan pengakuan mau-
pun pertanyaan yang bersifat mengarahkan. Seyogiyanya seorang anak tidak boleh diajukan per-
tanyaan ataupun dinterogasi sebelum anak tersebut didampingi oleh Penasehat hukum dan mini-
mal ada pendampingan dari orang tua. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 27 ayat (2) huruf a
Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM yang berbu-
nyi: dalam melakukan pemeriksaan terhadap saksi, tersangka atau terperiksa petugas dilarang
memeriksa sebelum saksi, tersangka atau terperiksa didampingi oleh Penasehat Hukumnya, kec-
uali atas persetujuan yang diperiksa. Pada kasus 4 (empat) anak pengamen Cipulir yang dituduh
membunuh, ketika ditangkap polisi langsung melakukan intergoasi di tempat, pada saat malam hari
disekitar TKP. Interogasi tersebut dilakukan tanpa ada pendampingan dari Penasehat Hukum nya.
Tidak adanya penasehat hukum sejak awal pemeriksaan oleh Polisi menimbulkan kesempatan yang
besar bagi penyidik untuk merekayasa dan memaksakan isi BAP sesuai dengan cerita kasus versi
penyidik. Hal ini sangat kentara terlihat dalam kasus 4 (empat) pegamen Cipulir, kasus Sa; Kasus
Koko; dan Kasus Fe dkk (4 orang).

3. Kurangnya Akses Orang Tua dan Keluarga untuk Mendampingi Tersangka atau Saksi Anak.
Pada kasus Koko, 4 (empat) pengamen Cipulir; kasus Sa; Kasus Fe dkk (4 orang), penyidik sengaja
tidak memberitahukan kepada keluarga maupun orang tua terkait penangkapan yagn dilakukan.
Setelah selesai dilakukan pemeriskaan dan BAP barulah orang tua diberitahukan oleh Penyidik
tersebut. Hal ini tentunya mempersempit akes orang tua untuk melakukan pembelaan terhadap
anaknya, menyediakan penasehat hukum dan memastikan apakah anak nya mengalami penyiksaan
atau tidak. Orang tua dan keluarga seringkali dianggap penyidik sebagai pihak yang berusaha men-
galang-halangi proses penyidikan yang dilakukan, tentunya tindakan ini merupakan prilaku yang
tidak terpuji.

4. Anak tidak Ditahan Maupun Diperiksa di ruang Khusus Anak


Penahanan anak dilakukan oleh Penyidik yang pada umumnya bukan penyidik anak menjadi keg-
emaran dari penyidik itu sendiri. Mereka tidak mengiraukan apa dampak psikologi dan sosial nya
jikala setiap anak yang menjadi tersangka ditahan. Walapun kantor polisi tersebut memiliki ruang
khusus untuk anak diperiksa maupun ditahan, namun seringkali penyidik tidak memeriksa maupun
menempatakan anak tersebut dalam tahanan anak, tetapi digabugkan dengan tahanan dewasa.
Pada kasus 4 (empat) anak pengamen dan Fe dkk (4 orang) yang ditangani oleh LBH Jakarta, pe-
meriksaan dilakukan oleh Polisi di ruang pemeriksaan biasa, padahal Polda maupun Polres memiliki
ruang khusus/unit pemeriksan anak. Penahanan juga dilakukan dengan mengabungkan penahanan
tersebut dengan orang dewasa.

III. Tidak Adanya Kesiapan Penegak Hukum Maupun Lembaga Pemerintah


dalam Menyongsong UU No. 11 Tahun 2012
Dikawatirkan undang-udang ini hanya sekedar lips service nya pemerintah Indonesia dimata inter-
nasional. Sebab setelah 1 lebih UU ini diumumkan, tidak persiapan yang serius dari Pemerintah maupu
penegak hukum untuk menegakkan aturan ini. Dalam Pasal 107 ditegaskan bahwa dalam waktu 1 ta-
hun sejak UU ini berlaku maka sudah ada Peraturan Pelaksananya. Namun faktanya sampai saat ini be-
lum ada peraturan pelaksananya. Hal tersebut masih dari sisi kebijakan, jika dibaca dari sisi budayanya,
masih banyak aparat penegak hukum yang belum mengerti dan paham mengenai Undang-Undang
ini.
Dalam menyongsong berlakunya Undang-Undang ini, LBH Jakarta telah mendorongnya dengan
cara mengajukan adanya upaya diversi pada kasus yang ditangani. Namun kami mendapatkan penola-

41
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

kan dari Polisi maupun Jaksa dikarenakan mereka lebih memiliki diskresi yang besar untuk menentukan
bahwa kasus tersebut tidak perlu didiversi. Hal ini dapat menjadi kekhawtiran kedepannya ketika UU
ini sudah dapat berlaku maksimal, maka akan banyak lack of implementation/ lemahnya implementasi
UU ini sebab masih banyak aparat hukum yang belum mengerti dan memiliki keberpihakan terhadap
pemenuhan hak anak berhadapan dengan Hukum.

IV. Kesimpulan dan Rekomendasi


Dari kasus-kasus yang ditangani oleh LBH Jakarta terkait anak berhadapan dengan hukum, maka
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Pelanggaran terhadap hak anak berhadapan dengan hukum masih kerap terjadi dan aktor adalah
Kepolisian, kejaksaan dan Pengadilan;
2. Peraturan mengenai Pengadilan Anak selama ini tidak efektif dan masih banyak dilanggar;
3. UU No. 11 Tahun 2012 berpotensi besar lack of implementation;

Rekomendasi:
1. Pemerintah segerah membentuk satuan khusus untuk mendorong dan memantau persiapan setiap
lembaga negara terkait anak berhadapan dengan hukum sekaligus memastikan tidak terjadi lack of
implementation UU No. 11 Tahun 2012;
2. Kapolri, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung mengadakan pendidikan dan sosilaisasi secara in-
tens terhadap jajarannya agar memahami dan menguasai UU No. 11 Tahun 2012;
3. Diberlakukannya sanksi yang tegas bagi Polisi, Jaksa maupun Hakim yang melanggar Hak anak yang
berhadapan dengan hukum.

Fk cs (4 orang) adalah Anak yang berhadapan dengan hukum, mereka bekerja sebagai pengamen
dan sering nongkrong atau tidur dibawah kolong jembatan Cipulir. Minggu 30 Juni 2013 mereka
dituduh melakukan tindakan pembunuhan atau pengeroyokan mengakibatkan maut terhadap ses-
eorang yang diduga pengamen. Berdasarkan bukti yang terungkap di persidangan, mereka bukanlah
pembunuh si korban, namun hanya menemukan korban ditempat tongkrongan sudah dalam keadaan
sekarat lalu kemudian meninggal. Polisi memukul, menendang, menelanjangi, dan mengancam 4 (em-
pat) anak tersebut agar mengakui pembunuhan tersebut. Sejak penangkapan hingga pembuatan BAP,
tidak pernah mereka didampingi oleh Penasehat Hukum. Hakim pengadilan Negeri Jakarta Selatan
menghukum penjara 3-4 tahun bukan berdasarkan fakta yang terungkap dipersidangan, namun ber-
dasarkan pengakuan yang dibuat oleh mereka di BAP.

12. Hak Atas Pelayanan Publik

Pelayanan Publik
DALAM KONDISI KRITIS
Hak Atas Pelayanan Publik
Pelayanan publik yang baik merupakan hak seluruh masyarakat demi tercapainya kesejahteraan
rakyat. Salah satu indikator kesejahteraan adalah pemberian pelayanan publik yang baik oleh penye-
lenggara negara kepada masyarakat. UU No. 25 Tahun 2011 diterbitkan utuk memberikan payung hu-
kum terhadap jaminan pelayanan publik bagi masyarakat. Empat tahun sudah Undang-Undang ber-
laku, apakah ada perbaikan sistematis dalam layanan publik di Indonesia khususnya di Jakarta, terlebih
setelah satu tahun pemerintahan Jokowi - Ahok yang mengusung Visi Jakarta Baru dan berorientasi
pada pelayanan publik memimpin pemerintah provinsi DKI Jakarta1.

1
Visi Pemerintahan Jokowi-Ahok adalah Jakarta Baru, kota modern yang tertata rapi, menjadi tempat hunian
yang layak dan manusiawi, memiliki masyarakat yang berkebudayaan, dan dengan pemerintahan yang berorien-
tasi pada pelayanan public. Lihat di http://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/13/03/05/
mj6kue-inilah-visimisi-jokowi-untuk-kota-jakarta
2
http://www.antaranews.com/berita/349325/ombudsman-ri-terima-2024-laporan

42
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
Statistik
Berdasarkan Laporan tahunan Ombudsman RI, sepanjang 2012, Lembaga Ombudsman Republik In-
donesia menerima 2.024 laporan terkait keluhan atas pelayan publik oleh penyelenggara negara, jum-
lah tersebut meningkat 8,41 persen dibanding pada 2011 yang hanya 1.867 laporan. Ada lima peringkat
instansi tertinggi yang dilaporkan yaitu pemerintah daerah (pemda), kepolisian, kementerian, Badan
Pertanahan Nasional dan lembaga peradilan, Untuk Pemerintah Daerah. Jumlah laporan terbanyak
kepada Ombudsman ditujukan kepada Pemda DKI Jakarta yaitu 294 laporan (14,53 persen)2. Dari data
tersebut diatas dapat digambarkan situasi pelayanan public di DKI Jakarta pada tahun 2012 yang masih
menjadi problem serius, pengaduan terkait persoalan layanan public di Pemda DKI Jakarta menjadi
yang terbanyak.
Tahun 2012 - 2013 ini LBH Jakarta menangani 3 (tiga) pengaduan kasus pelayanan publik. Masing-
masing satu kasus terkait dengan buruknya layanan transportasi publik (kasus penumpang kereta api),
pembangunan yang berdampak pada fasilitas jalan umum, dan layanan masyarakat. Selain kasus terse-
but terdapat beberapa kasus lain, diantaranya kasus kesehatan dan satu kasus publik terkait jaminan
pemenuhan hak atas air untuk masyarakat di DKI Jakarta. Meskipun secara kuantitas tidak banyak pen-
gaduan kasus yang masuk di LBH Jakarta, namun secara kualitas beberapa pengaduan yang masuk di
LBH menunjukkan bagian penting dari masalah krusial pelayanan publik di DKI Jakarta.

Transportasi Publik: Masalah Kronis Ibu Kota


Kemacetan parah di DKI Jakarta tidak lepas dari buruknya layanan publik di sektor Transportasi.
Layanan Transportasi Publik seperti kereta api, transjakarta dan angkutan dalam kota masih belum
sanggup memenuhi kebutuhan mobilitas warga ibukota dan sekitarnya untuk setiap harinya. Ter-
batasnya layanan transportasi yang murah, nyaman, aman dan berkualitas membuat warga memilih
menggunakan transportasi pribadi. Akibatnya jalan penuh sesak dengan kendaran bermotor. Untuk
memperbaiki situasi, sudah seharusnya pemerintah mengambil kebijakan untuk meningkatkan kuali-
tas layanan transportasi publik untuk masyarakat.
Namun anehnya, per April 2013 PT. KAI justru berinisiatif untuk menghapus layanan kereta ekonomi

3
http://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/13/03/27/mkb7rn-hapus-krl-
ekonomi-pt-kai-langgar-pasal-perkeretaapian

43
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

murah yang selama ini mengangkut banyak pengguna. PT. KAI berdalih kereta api dengan layanan
kelas tiga berbandrol 1000-2000 rupiah tersebut sudah tidak layak dan hendak diganti dengan
layanan kereta kelas 1, Commuter Line seharga Rp. 8.000,00 rupiah. Rencana Penghapusan Kereta
yang dimulai dari trayek Bekasi-Jakarta dan Serpong Jakarta tersebut menuai banyak kritikan, bah-
kan dinilai menentang semangat mengatasi kemacetan di Ibu Kota karena masyarakat tentu akan
kesulitan jika harus memilih KRL Commuter Line yang bertarif mahal.
Persatuan Penumpang dan Pengguna Jasa Angkutan KRL Ekonomi Jalur Lintas Bekasi-Jakarta
didampingi LBH Jakarta melakukan aksi menolak rencana penghapusan KRL Ekonomi. Penolakan
tersebut didasarkan alasan peningkatan biaya transportasi penumpang jika KRL Ekonomi di hapus.
Penghapusan KRL ekonomi dinilai telah melanggar Pasal 153 ayat 1 UU No 23 Tahun 2007 tentang
Perkeretaapian. Melalui kebijakan tersebut PT KAI dinilai berupaya melepas tanggung jawabnya
memberikan tarif yang dapat dijangkau warga menengah ke bawah. LBH mendesak PT KAI untuk
melakukan koordinasi dengan pemerintah sebelum penghapusan KRL ekonomi dilakukan. Jika hal
tersebut tidak dilakukan3, masyarakat mengancam melakukan pemblokiran rel di berbagai stasiun.
Desakan tersebut tidak membuat PT. KAI bergeming. Akhirnya, aksi blokir rel sebagai bentuk pe-
nolakan atas kebijakan benar dilakukan dibeberapa stasiun diantaranya di Stasiun Bekasi. Dikasus
lain, Pemerintahan Jakarta baru yang sedang berupaya untuk mengurai kemacetan di Jakarta justru
dilawan dengan kebijakan mobil murah oleh Pemerintah Pusat. Kebijakan yang tidak selaras antara
pemerintah pusat dan daerah.

Pelayanan Kesehatan: Diskriminatif dan Beresiko


Situasi buruk terus terlanggarnya hak atas kesehatan warga Negara yang tergambar pada bu-
ruknya layanan kesehatan (masyarakat miskin) dan maraknya kasus malpraktek. Tahun ini, LBH Ja-
karta menerima 19 (sembilan belas) belas pengaduan terkait Hak atas Kesehatan. Dari 19 (sembilan
belas) pengaduan di atas, 5 (lima) kasus terkait malpraktik, dan 14 (empat belas) sisanya terkait hak
atas pelayanan kesehatan. Dari pengaduan kasus dugaan malpraktek terdapat tiga kasus, satu kasus
disebabkan salah diagonsa yang dialami (MA) dan dua kasus operasi persalinan yang mengakibatkan
pasien menderita kecacatan dan meninggal dunia yang dialami Bapak (W) dan Ibu W.
Program layanan kesehatan untuk masyarakat tidak mampu pun masih belum optimal. Seperti
yang dialami FD meskipun termasuk golongan keluarga tidak mampu dan telah mengikuti program
KJS. FD terkejut karena ditagih biaya pengobatan pada saat FD sakit pada tahun 2007 yang tidak
mampu ditanggungnya.
Rumah sakit dan tenaga medis (dokter) menjadi aktor penting dalam kasus ini. Pelayanan keseha-
tan RS yang menitikberatkan pada pencarian laba semata menjadikan rumah sakit diskriminatif
terhadap masyarakat miskin dan tidak lagi berorientasi pada pelayanan terbaik untuk publik. Tidak
adanya standard dan prosedur pelayanan kesehatan yang jelas tidak menjamin hak atas kesehatan
pasien. Dalam kasus Bapak W, pasien meninggal pada saat operasi namun sebelumnya keluarga
tidak diberikan informasi (informed concent). Hal ini mengakibatkan keluarga menuduh dokter
melakukan malpraktek. Namun tuduhan itu sulit dibuktikan, karena tidak ada kemampuan korban
untuk membuktikan. Dunia medik masih tertutup dari budaya transparansi dan akuntabilitas. Masih

http://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/13/03/27/mkb7rn-hapus-krl-
3

ekonomi-pt-kai-langgar-pasal-perkeretaapian
4
Bumi Air dan Kekayaan Alam di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 33 ayat (3) UUD 1945), Negara menjamin hak setiap orang untuk
mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupannnya yang sehat,
bersih, dan produktif; Sumber Daya Air dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat (Pasal 5 dan 6 UU Sumber Daya Air), Pasal 5 Perda No. 13 tahun 1992 tentang PAM
Jaya, dll.

44
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
gelap bagi pasien dan keluarganya. Impunitas terhadap kasus malpraktek menjadi persoalan yang
mengemuka. Akhirnya masyarakat yang menjadi korban.

Pelayanan Air: Mahal, Buruk dan Diskriminatif


Abainya Negara terhadap hak atas air warga Negara diakibatkan adanya kebijakan negara yang
salah dimasa lalu. Ironisnya, bukan dihentikan namun dilanggengkan. Tahun 1997 negara menyerah-
kan begitu saja kewenangan pemenuhan layanan publik untuk pemenuhan air warga Negara kepada
swasta. Akibatnya, sejak saat itu orientasi pengelolaan air berbalik 180 %, dari sebelumnya berorien-
tasi Layanan publik berubah menjadi kepentingan meraup keuntungan. Air menjadi komoditas baru
bagi Perusahaan Asing asal Inggris dan Perancis, PT. Aetra dan PT. Palyja yang mengambil alih peran
dan kewenangan Badan Usaha Milik Daerah, PAM Jaya yang dibentuk khusus melalui Perda Nomor
13 tahun 1992 tentang Perusahan Daerah Air Minum DKI Jakarta untuk mengelola dan mendistibusi-
kan air kepada masyarakat Jakarta. Kini dampak swastanisasi terasa Negara dan masyarakat terus
merugi sementara swasta terus menggapai keuntungan menjulang.
Audit Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia dan Badan Pemeriksa Keuangan Pemerintah
tahun 2009 merilis temuan-temuan penting terkait dengan praktek kebijakan swastanisasi air jakarta
diantaranya: (1). Perjanjian kerjasama swastanisasi air memuat klausul-klausul yang mengandung
Pelanggaran dan Pengabaian ketentuan Perundang-Undangan Nasional Indonesia4 ; (2). Dalam im-
plementasi ditemukan berbagai indikasi KKN Pengelolaan Air oleh Swasta; (3). Perjanjian kerjasama
membuat negara kehilangan kemampuannya untuk memberikan jaminan, pemenuhan perlindungan
hak atas air warga negara. Akibat PKS tersebut, PAM Jaya yang diberikan mandat oleh Peraturan
Daerah No. 13 Tahun 1992 harus kehilangan kemampuan dan kewenangannya untuk mencapai tujuan
dibentuknya, yakni: pemenuhan air minum utuk kebutuhan masyarakat dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan rakyat, meningkatkan pendapatan asli daerah, serta turut melaksanakan pengemban-
gan perekonomian daerah.

Menanti Perbaikan Pelayanan Publik


Tidak dipungkiri ada dampak yang dirasakan sejak diterbitkannya UU tentang Pelayanan Publik.
Namun dampak itu belum signifikan dirasakan oleh masyarakat karena masih lambatnya implemen-
tasi UU a quo. Khususnya DKI Jakarta, kepemimpinan baru yang membawa semangat pelayanan
publik mulai memberikan dirasakan masyarakat diantaranya adalah beberapa sektor kesehatan, pen-
didikan, penataan Kota dan PKL, transportasi umum, serta upaya mengatasi banjir. Pemerintahan
Jokowi-Ahok mengusung Sembilan program kerja diantaranya : pengembangan angkutan umum
massal, pengendalian banjir, perumahan rakyat dan penataan kampung, pengembangan ruang ter-
buka hijau, penataan PKL, pengembangan pendidikan, kesehatan, budaya, serta pelayanan publik.
Program kerja tersebut bukanlah barang baru. Jokowi hanya meneruskan kebijakan gubernur-guber-
nur sebelumnya. Seperti upaya penanganan banjir dengan normalisasi sungai, pembangunan pol-
der, revitalisasi situ, serta pengembangan kapasitas sungai dan drainase. Namun, program-program
tersebut tidak pernah dituntaskan pelaksanaannya pada pemerintahan sebelumnya. Lebih banyak
berakhir dengan produk hukum tanpa eksekusi yang jelas. Kemampuan dan keberanian Jokowi untuk
merealisasikan dengan cepat sebagian dari program-program itulah yang mendapat apresiasi positif
dari masyarakat Jakarta5. Baru setahun kepemimpinan Jakarta baru berjalan, masih butuh waktu un-
tuk menantikan hasil kerja perbaikan layanan publik di Jakarta.

Membumikan Semangat Pelayanan Publik


Situasi pelayanan publik tahun 2013 diatas menunjukkan bahwa pelayanan public belum menjadi
orientasi dari pemerintah dan seluruh pemangku kebijakan di negeri ini. Beberapa rekomendasi dis-
ampaikan untuk memperbaiki hal tersebut : (1). Semangat Pelayanan Publik harus konsisten di di-
gelorakan dan dilaksanakan tidak hanya oleh sosok pimpinan namun juga melalui kebijakan pemer-
intah baik didaerah maupun dipusat dengan mengawal implementasinya. 2). Layanan transportasi
masal yang murah, nyaman, aman dan berkualitas adalah jawaban terhadap permasalahan kemac-
5
http://lipsus.kompas.com/gebrakan-jokowi basuki/read/xml/2013/10/ 14/0859030/Embusan.Jakarta. Baru. Mulai. Terasa

45
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

foto : istimewa

13. Perlindungan Pengungsi dan Pencari Suaka

Terbatasnya Perlindungan Bagi


Pencari Suaka di Indonesia dan
Ketidakpastian Proses Mendapat-
kan Status Pengungsi
Perlindungan Bagi Pencari Suaka dan Pengungsi
Konvensi PBB tahun 1951 (Convention Relating to the Status of Refugee) dan protokolnya tahun
1967 merupakan perangkat hukum internasional utama mengenai pengungsi. Indonesia hingga saat
ini belum menjadi negara pihak dari konvensi tersebut, walaupun sudah direncanakan untuk menjadi
negara pihak di RANHAM periode 2004-2009. Namun karena belum terlaksana maka terdapat juga
pada periode 2009-2014. Sekalipun belum juga meratifikasi, bukan berarti Indonesia tidak memiliki
tanggung jawab apapun atas pengungsi yang ada saat ini.
Hanya ada satu undang-undang di Indonesia yang mengatur mengenai pencari suaka, yaitu di UU
Hubungan Luar Negeri. Peraturan ini kebanyakan berbicara mengenai tindakan teknis yang tidak ber-
hubungan dengan muatan konvensi pengungsi termasuk hak atas pendidikan, kesehatan, agama,
akses untuk bergerak dan mendapatkan kewarganegaraan. Pada prinsipnya Pemerintah masih enggan
membicarakan isu pencari suaka dan pengungsi, yang agak terbuka untuk membicarakan isu tersebut
adalah dari Kementerian Luar Negeri. Pemerintah menganggap pengungsi sebagai ancaman tradis-
ional dan imigran gelap.
Indonesia hanya memiliki perangkat perlindungan hukum dan dukungan yang terbatas bagi para
pencari suaka. Kerangka kerja yang memadai diperlukan di Indonesia untuk menyediakan perlidun-
gan dan kepastian hukum bagi pencari suaka dan pengungsi yang dalam banyak kasus telah ditahan
di rumah detensi imigrasi. Rumah-rumah detensi imigrasi di Indonesia tidak memiliki pengawasan dan
prosedur operasional standar yang memadai sehingga sering terjadi pelanggaran hak-hak asasi manu-
sia.

Proses Mendapatkan Status Pengungsi


Saat ini, beberapa pengaduan diterima oleh LBH Jakarta terkait pencari suaka yang ingin berkonsul-
tasi bahkan meminta bantuan kepada LBH Jakarta dalam proses hukum penentuan status pengungsin-
ya. Mereka tidak mengetahui proses apa yang akan mereka lalui untuk mendapatkan status pengungsi,

46
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
mereka hanya tahu dalam pengajuan prosesnya melalui UNHCR (United Nations High Commissioner
for Refugees). Tidak ada kepastian terkait waktu berproses di UNHCR. Hal tersebut akan berdampak
pada kehidupannya di negara suaka, salah satunya Indonesia.
Pencari suaka dibatasi dalam pemenuhan haknya di Indonesia. Mereka tidak bisa bekerja formal,
tidak mendapatkan hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, hak atas tempat tinggal. Apabila proses
penentuan statusnya tidak jelasmaka akan tidak jelas pula pemenuhan kehidupan mereka yang tidak
mendapatkan sokongan dana dari IOM (International Organization of Migration), salah satu pihak yang
dapat memberikan bantuan dan IOM bekerja sama dengan Dirjen Imigrasi pada Kementerian Hukum
dan HAM.

Memasyarakatkan Pencari Suaka dan Pengungsi


Banyak masyarakat di Indonesia masih menganggap bahwa pencari suaka adalah imigran ilegal
yang harus ditempatkan di rumah detensi dan masih menganggap keberadaan mereka tidak bisa di-
terima di lingkungan masyarakat bahkan dianggap sebagai masalah. Pencari suaka dan pengungsi bu-
kanlah masalah; berbagai macam konflik dan pengabaian atas hak asasi manusia mereka di negara
asal, transit maupun tujuan. Orang-orang yang menyebut dirinya sebagai pencari suaka, mengungsi
karena mereka membutuhkan perlindungan internasional sebagai akibat dari persekusi (tindakan kes-
ewenang-wenangan dan diskriminasi secara terus menerus) dan beberapa pelanggaran hak asasi ma-
nusia lainnya seperti penyiksaan dan ancaman kematian di negara mereka sendiri.
Keberadaan para pengungsi di Indonesia yang masih dipandang sebatas sebagai imigran ilegal
membuat mereka tidak dapat memiliki akses atas kehidupan yang layak. Hak untuk mencari dan
mendapatkan kerja serta akses untuk pendidikan dapat dianggap menjadi permasalahan utama mer-
eka di Indonesia. Dengan tidak adanya mata pencaharian, kelangsungan hidup dalam pemenuhan
kebutuhan pokok menjadi kekhawatiran mereka setiap hari selama berada di Indonesia. Begitu juga
pendidikan terutama bagi anak-anak di usia sekolah.
Salah satu kasus yang diterima oleh LBH Jakarta adalah 18 pencari suaka Rohingya yang saat ini
berada di Gedung YLBHI. Permasalahan yang dihadapi ke-18 orang etnis Rohingya, juga merupakan
permasalahan yang dihadapi ribuan pengungsi lainnya di Indonesia. Cukup besarnya angka pengungsi
yang ada di Indonesia tidak diimbangi dengan perangkat hukum yang spesifik untuk mengatur penan-
ganan, perlindungan serta hak dan kewajiban mereka. Beberapa peraturan perundang-undangan men-
foto : tribun news

47
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

18 Pencari Suaka Rohingya


Mereka terdiri dari 4 orang laki-laki dewasa, 6 orang perempuan dewasa, 8 orang anak-anak (2
orang laki-laki dan 6 orang perempuan), sebelumnya sudah tinggal di Malaysia selama + 30 tahun.
Sekitar bulan Januari 2013 mereka pergi dari Ampang ke Kuala Selangor dengan mobil, lalu
berlanjut ke Medan. Kemudian mereka bertemu dengan orang yang bisa mengantar ke Malaysia
dengan biaya 424.000 ringgit Malaysia. Setelah 2 bulan di Medan, mereka diantarkan ke Jakarta,
kemudian berlanjut ke Bogor. Setelah itu mereka diantarkan ke Bandara Soekarno Hatta, yang
ternyata adalah Wisma Alam. Disana mereka hidup dengan minim air minum, air untuk mandi,
diberi makan seadanya, hingga 2 (dua) bulan lebih.
Mereka dimintai uang berkali-kali oleh orang dari Wisma Alam, bahkan Muh Qasyim dipukul se-
banyak 4-5 kali di bagian wajah dan kepala. Setelah dipukul, ada tukang sapu jalan menanyakan ke-
napa Muh. Qasyim dipukul. Lalu diinformasikan bahwa Keluarga Rohingya ingin keluar dari Wisma
Alam dan ke gedung PBB. Tukang sapu tersebut membantu Keluarga Rohingnya menuju UNHCR dan
kemudian mereka mendaftarkan disi sebagai pencari suaka.
Setelah didata oleh pihak UNHCR, mereka meninggalkan UNHCR menuju masjid yang berada di
belakang gedung UNHCR. Saat berada di masjid tersebut, mereka bertemu dengan seorang penjual
perlengkapan sembahyang dan ia mengajak mereka ke Masjid Sunda Kelapa, Menteng. Para pen-
cari suaka berada di masjid Sunda Kelapa selama 2 malam. Saat berada di masjid tersebut yaitu
pada tanggal 5 Juli 2013, salah seorang jurnalis memberitahukan ke LBH Jakarta bahwa terdapat
keluarga Rohingya di masjid tersebut dan membutuhkan pertolongan. Pada malam hari, 5 Juli 2013,
dua orang Pengacara Publik LBH Jakarta, menemui para pencari suaka dan mengetahui bahwa
mereka sudah tidak dapat menginap di masjid Sunda Kelapa. Pada tanggal 6 Juli 2013, mereka
membawa para pencari suaka tersebut menuju gedung YLBHI.

gatur mengenai imigran ilegal atau penyelundupan manusia, namun sudut pandang ini tidak tepat,
mengingat pada hakikatnya mereka adalah korban dari pelanggaran hak asasi manusia.
Menariknya, terhadap kasus tersebut banyak mendapat perhatian dari negara, organisasi, maupun
masyarakat yang bersimpati bahkan memberikan bantuan kepada ke-18 Pencari Suaka Rohingya. LBH
Jakarta melakukan Mengadakan konferensi pers dan mengadakan rapat jaringan, dimana ada keterliba-
tan Aksi Cepat Tanggap, Rumah Zakat, Dompet Dhuafa, dan beberapa individu dari berbagai kalangan.
Pertemuan juga telah diadakan dengan pihak UNHCR, dimana UNHCR Indonesia perwakilan Jakarta
terbuka untuk mendengar pendapat dan berdiskusi terkait pencari suaka dan pengungsi di Indonesia
secara umum. Dalam hal ini, diskusi juga telah dibuka oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dengan
mengundang Kementerian Luar Negeri, Kementerian Sosial, bahkan Dirjen Imigrasi, yang sayangnya
tidak dapat hadir, dan mengundang beberapa organisasi yang telah membantu.
Dari kasus tersebut dapat terlihat bahwa masyarakat juga dapat dan telah membantu dengan berb-
agai cara, mulai dari bantuan logistik bahkan sampai bantuan terkait pendidikan dan keterampilan para
pencari suaka tersebut. Apabila hal tersbut dapat digalakan maka akan terbentuk masyarakat yang
tidak enggan lagi berada bersama pencari suaka bahkan berkegiatan bersama.
Rekomendasi
Walaupun telah banyak usaha yang dapat kita lakukan terkait isu pencari suaka dan pengungsi,
masih terdapat banyak pekerjaan rumah yang harus kita kerjakan bersama, yaitu:
a. Ratifikasi Konvensi Tentang Status Pengungsi Tahun 1951 dan mekanisme hukum yang jelas terkait
Pencari Suaka dan Pengungsi di Indonesia sangat penting. Membuat kerangka hukum yang spesifik
dan jelas untuk melindungi mereka serta mengatur hak dan kewajiban mereka selama berada di
Indonesia;
b. Pemberdayaan terhadap Pencari Suaka dan Pengungsi harus terus dilakukan agar mereka dapat
mandiri dan bersosialisasi dengan masyarakat Indonesia. Masyarakat juga dapat terlibat langsung
untuk mengawal pemenuhan hak-hak asasi Pencari Suaka atau Pengungsi di Indonesia;
c. Tidak lagi menggunakan istilah migran ilegal (Illegal migrant), melainkan pencari suaka atau pen-
gungsi. Perlu disosialisasikan ke masyarakat bahwa antara migran ilegal dan pengungsi memiliki
pengertian yang jauh berbeda. Hal ini penting untuk menghindari penolakan dari masyarakat atas
kedatangan pencari suaka ke Indonesia;
d. Tidak menahan mereka di dalam rumah detensi imigrasi. Harus ada alternatif lain untuk memantau
mereka.

48
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
BAB. III
Advokasi Kebijakan

Advokasi Kebijakan
Koperasi bukan Korporasi :
Stop Intervensi Modal
dalam Sistem Koperasi
di Indonesia
.Perekonomian sebagai usaha bersama dengan berdasar kekeluargaan adalah kooperasi!.
Karena koperasilah yang menyatakan kerjasama antara mereka yang berusaha sebagai suatu
keluarga. Disini tak ada pertentangan antara majikan dan buruh, antara pemimpin dan pekerja.
Segala yang bekerja adalah anggota daripada koperasinya itu.Sebagaimana orang sekeluarga
bertanggungjawab atas keselamatan rumah tangganya, demikian pula para anggota kooperasi
sama-sama bertanggungjawab atas koperasi mereka. Makmur kooperasi, makmurlah hidup
mereka bersama. Rusak kooperasi, rusaklah hidup mereka bersama (Mohamad Hatta dalam
Pidato Hari Koperasi 12 Juli 1951).

Latar Belakang
LBH Jakarta bersama Yayasan Bina Desa Sadajiwa, Koperasi Karya Insani, Yayasan Pem-
berdayaan Perempuan Kepala Keluarga Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (AS-
PPUK), Asosiasi Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW), Lembaga Pengkajian
dan Pengembangan Koperasi (LePPek), dan Para Penggiat Koperasi mengajukan uji materi
Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian ke Mahkamah Konstitusi, saat ini
prosesnya tinggal menunggu putusan dari Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Hal ini dilaku-
kan dalam rangka mewujudkan dan menjaga terselenggaranya sistem demokrasi ekonomi
khususnya melalui koperasi. Koperasi adalah suatu sistem ekonomi yang bermuatan sosial.
Idealitas ekonominya dijalankan dengan menggunakan perusahaan yang diterjemahkan se-
bagai semata-mata alat untuk mencapai tujuan ideal orang-orang yang berinteraksi secara
personal dalam keanggotaanya.

Koperasi: Sogo Guru Ekonomi Indonesia


Koperasi bercita-cita tinggi untuk mempertinggi nilai kerjasama dari orang-orang yang
berarti juga membangun perdamaian dan bebas menentukan nasibnya sendiri atau otonom,
menjunjung persamaan, dan meneggakkan keadilan, memajukan kesejahteraan masyarakat
setidaknya bagi anggota-anggotanya. Cita-cita yang selaras dengan didirikanya Republik ini.

49
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

Dasar alasan adanya (raison dEtre) koperasi adalah terletak pada anggotanya. Koperasi ada karena ang-
gotanya sebagai orang yang memiliki perusahaan koperasi dimana di dalam prinsip keanggotaanya terbuka
bagi siapapun tanpa bentuk diskriminasi. Watak yang dibawa sejak kelahiran koperasi adalah memanusia-
kan manusia dan mengangkat martabat manusia lebih tinggi di atas perusahaan atau badan hukum. Kop-
erasi adalah suatu sistem ekonomi yang bermuatan sosial. Idealitas ekonomi koperasi dijalankan dengan
menggunakan perusahaan yang diterjemahkan sebagai semata-mata alat untuk mencapai tujuan ideal
orang-orang yang berinteraksi secara personal dalam keanggotaanya.

Carut Marut Pengelolaan dan Pengaturan Koperasi


Kegagalan kebijakan perkoperasian kita di masa lalu adalah karena begitu kuatnya intervensi politik dan
birokrasi pemerintah. Hanya sayangnya kegagalan tersebut ternyata bukan dijadikan sebagai bahan pem-
belajaran bagaimana cara menghargai koperasi sebagai perkumpulan orang yang otonom, namun justru
semakin diperkukuh dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian. Modal penyertaan
dari luar anggota yang akan dijadikan instrumen oleh Pemerintah dan atau pemilik modal besar akan kem-
bali disuntikkan pada koperasi. Secara umum, UU Perkoperasian yang baru ini kami anggap telah merusak
otonomi dan juga mengganggu berjalannya demokrasi koperasi yang merupakan jati diri dari koperasi In-
donesia yang merupakan organisasi perkumpulan orang (people base association) dan bukan perkumpulan
modal (capital base association).

Pasal Bermasalah yang diujikan ke Mahkamah Konstitusi


Beberapa ketentuan yang dimohonkan kepada Mahkamah Konstitusi agar dibatalakan dan dinyatakan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat antara lain: Pertama, frasa koperasi adalah badan hukum
bertentangan dengan tujuan negara untuk memajukan kesejahteraan umum, jaminan kepastian hukum,
asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi. Kedua, modal penyertaan menimbulkan ketidakpastian hukum
sehingga bertentangan dengan demokrasi ekonomi asas-asas dan nilai-nilai koperasi menurut UUD 1945.
Ketiga, kewenangan pengawas dan pengurus dari non anggota koperasi mengakibatkan ketidakpastian hu-
kum sehingga bertentangan prinsip kekeluargaan, dan demokrasi ekonomi. Keempat, keberadaan dewan
koperasi indonesia mengancam kebebasan berserikat dan berkumpul serta menutup ruang bagi munculnya
kumpulan-kumpulan atau serikat-serikat koperasi dan melanggar hak asasi manusia menurut UUD 1945.
Pendefinisian koperasi yang menempatkan frasa ....koperasi adalahbadan hukum... telah mengaki-
batkan koperasi kehilangan makna filosofinya secara mendasar karena koperasi diterjemahkan sebagai
rechtspersoon atau badan hukum yang merupakan persona ficta atau orang yang diciptakan oleh hukum
sebagai persona atau sebagai bentuk dari badan hukum privat semata dan asal memenuhi persyaratan-
persyaratan administrasi sudah bisa disebut sebagai organisasi koperasi. Hal ini akan berakibat pada ko-
rporatisasi Koperasi, yakni munculnya perusahaan yang mengaku sebagai koperasi yang berstatus badan
hukum koperasi, namun tidak memiliki jati diri koperasi dan tidak melakukan prinsip-prinsip koperasi dan
hanya melakukan urusan bisnis semata. Dengan demikian koperasi akan bekerja tidak lagi sesuai dengan
jati dirinya, koperasi akan sama dengan perusahaan-perusahaan lain pada umumnya yang berbentuk Per-
seroran Terbatas (PT).
Pakar hukum koperasi, Profesor Hans-H. Munkner (Masa Depan Koperasi, Dewan Koperasi Indonesia,
1995 Hal : 8) menyatakan koperasi selalu dikaitkan dengan upaya manusia untuk keluar dari kebodohan,
pemerasan, dominasi dan persaingan bebas. Kemudian menempatkan perusahaan sebagai badan hukum
atau modal hanyalah sebagai alat dan bukan sebagai subyek. Modal atau perusahaan atau badan hukum
hanyalah pembantu dan bukan sebagai penentu. Untuk itu kami mengajukan gugatan Uji Materil (Judicial
Review) Undang-Uundang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian terkait dengan Pasal-Pasal yang
berhubungan dengan Koperasi adalah Badan Hukum, Modal Penyertaan, Pengawas dan Non Anggota
serta Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) di MK agar Pasal-Pasal tersebut tidak mepunyai kekuatan hukum
mengikat dan men-stop terjadinya korporatisasi koperasi.

Kesimpulan
Secara garis besar Undang-undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian akan mengerdilkan ger-
akan koperasi karena gerakan koperasi yang hanya semata-mata menjadi alat untuk mengumpulkan uang
semata. Pasal-Pasal baik tentang prisnip-prinsip koperasi yang ada dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun
2012 Tentang Perkoperasian justru ditentang juga dalam Pasal-Pasal yang lainnya dalam Undang-Undang
yang sama.

Rekomendasi
Batalkan Pasal-Pasal yang bertentangan dengan UUD 1945 dan Jatidiri Koperasi. Atau menerapkan ada-
gium koperasi yakni, bilamana UU koperasi di satu negara itu buruk, akan lebih baik bila mana tidak punya
UU. Akankah kita biarkan UU ini menjegal koperasi

50
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
2. Uji Materi UU Pendidikan Tinggi

Pendidikan Tinggi Mahal Menghancurkan


Bangsa -Kedaulatan Rakyat
(Uji Materi Undang-Undang No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi)

Frasa mencerdaskan kehidupan bangsa dan berkedaulatan rakyat merupakan dua frasa penting yang
dimuat pada alinea ke-empat pembukaan UUD 1945. Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah salah satu
tujuan dibentuknya Negara Republik Indonesia (het doel van de staat), tentunya hal ini bertujuan untuk
memperkokoh idea tentang negara yang berkedaulatan rakyat.
Mengapa mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi sedemikian pentingnya sehingga dijadikan salah
satu tujuan bernegara? Apabila diijinkan untuk menafsir secara bebas makna dari alinea ke-empat pembu-
kaan UUD 1945, maka jawabannya secara eksplisit dapat kita temukan, yaitu karena kedaulatan bangsa
ini berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar (Pasal 1 ayat (2) UUD 1945).
Rakyat dalam hal ini menjadi orientasi utama penyelenggaraan negara. Dari, Oleh dan Kepada Rakyat (DOK
Rakyat). Itulah makna berkedaulatan rakyat. Hendak dibawa kemana dan seperti apa Indonesia, idealnya
hal tersebut akan sangat bergantung pada rakyatnya. Rakyat yang cerdas niscaya akan bijak menggunakan
kedaulatannya, membangun negeri ini mencapai kemakmuran dan kesejahteraan serta berkontribusi pada
ketertiban dunia.
Penjelasan di atas merupakanrasionalisasi mengapapendidikan menjadi hak setiap orangyang pemenu-
hannya merupakan kewajiban negara, dan ketentuan tersebut dijamin oleh konstitusi. Untuk menghasilkan
negara yang kokoh dibutuhkan masyarakat cerdas yang dihasilkan dari pemenuhan hak atas pendidikan
dasar, menengah dan tinggi yang berkualitas serta aksesibel.
Pemenuhan, pendidikan yang berkualitas dan aksesibel di segala jenjang pendidikan bagi seluruh rakyat
Indonesia menjadi hal penting untuk terus menerus ditingkatkan. Semangat ini sejalan dengan pengaturan
yang termuat di dalam Pasal 13 Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang telah Indonesia ratifikasi
melalui UU No. 11 Tahun 2005.

Pasal 13
1. Negara-negara Pihak pada Kovenan ini mengakui haksetiap orangatas pendidikan. Mereka menyetujui bah-
wa pendidikan harus diarahkan pada perkembangan kepribadian manusia seutuhnya dan kesadaran akan
harga dirinya, dan memperkuat penghormatan atas hak-hak asasi dan kebebasan manusia yang mendasar.
Mereka selanjutnya setuju bahwa pendidikan harus memungkinkan semua orang untuk berpartisipasi secara
efektif dalam suatu masyarakat yang bebas, meningkatkan rasa pengertian, toleransi serta persahabatan
antar semua bangsa dan semua kelompok, ras, etnis atau agama, dan lebih memajukan kegiatan-kegiatan
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memelihara perdamaian.
2. Negara Pihak dalam Kovenan ini mengakui bahwa untuk mengupayakan hak tersebutsecara penuh:
(c) Pendidikan tinggi juga harus tersedia bagi semua orang secara merata atas dasar kemampuan, dengan
segala cara yang layak, khususnya melalui pengadaan pendidikan cuma-cuma secara bertahap;
Dariketentuan kovenan internasional di atas, jelaslah bahwa Pendidikan merupakan hak asasi manusia,
yang pelaksanaannya merupakan kewajiban dari Negara. Secara lebih spesifik, untuk perguruan tinggi da-

51
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

pat kita lihat dari Kovenan Ekosob pasal13 ayat(2) huruf e dimana jelas dicantumkan perguruan tinggi harus
dijamin ketersediaan dan keterjangkauannya untuk semua orang, dengan pengadaan pendidikan tinggi
yang cuma-cuma secara bertahap.
Selain itu konstitusi sendiri pun telah menjamin hak atas pendidikan sebagai berikut:
Pasal 28C
(1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pen-
didikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkat-
kan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia)
Pasal 28D
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum
Pasal 28E
(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengaja-
ran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan mening-
galkannya, serta berhak kembali.
Pasal 31 UUD 1945 :
(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan;
(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai nilai agama dan
persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Dengan demikian, kewajiban Negara terhadap penyediaan hak atas pendidikan tidak hanya berhenti
pada pendidikan dasar atau menengah, namun juga sampai pada pendidikan tinggi. Meskipun dalam im-
plementasi pemenuhannya dikenal sistemprogressive realisation yangmerupakan kompromi terhadap ke-
mampuan Negara, sehingga penyediaan pendidikan tinggi secara cuma-cuma dapat dilaksanakan secara
bertahap, namun kewajiban bagi Negara untuk mengusahakan pendidikan tinggi yang gratis itu tetap harus
dilaksanakan. Dengan kata lain, kebijakan pendidikan yang dibuat oleh pemerintah sama sekali tidak boleh
menegasikan kewajibannya dalam pemenuhan pendidikan tinggi secara gratis, apalagi mengalihkan tang-
gung jawab pendanaan pendidikan tinggi kembali kepada warga negara.
Namun fakta berbicara lain, dengan diundangkannya UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
(UU Dikti), Negara justru berupaya mengalihkan kewajiban serta tanggung jawabnya dalam pemenuhan
hak atas pendidikan kepada pihak lain, diantaranya ialah kepada mahasiswa/orang tua mahasiswa (Pasal
85) yang salah satunnya melalui soft loan (pinjaman lunak) dan kepada institusi pendidikan melalui otonomi
pengelolaan yang membuka keran bisnis di lingkungan institusi pendidikan tinggi (swastanisasi pendidikan
tinggi), ketentuan terakhir ini diatur dalam Pasal 65 ayat (3).Hampir keseluruhan pengaturan yang dimuat
pada UU Dikti memang berbicara tentang pengelolaan institusi pendidikan tinggi dan bukan mengenai pen-
didikan tinggi itu sendiri.
UU Dikti bukanlah upaya pertama yang negara lakukan untuk lepas tangan atas pemenuhan hak atas
pendidikan melalui legislasi. Sebelumnya usaha tersebut dimunculkan melalui lahirnya Undang-Undang No.
9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang pada 31 Maret 2010 telahdibatalkan keselu-
ruhan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) RI.
Melalui pertimbangannya dalam pembatalan UU BHP Mahkamah Konstisuti menegaskan peran Negara
dalam pemenuhan hak atas pendidikan warga Negara Indonesia serta penolakan terhadap bentuk swastan-
isasi pendidikan (dimuat pada putusan Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009) antara lain sebagai beri-
kut KewenanganInstitusiPendidikanuntukmencaridanasendiri (secaraotonom),berpotensimelanggarhakat
aspendidikanpesertadidik.
Ironisnya, setelah UU BHP dibatalkan, DPR RI pada 17 Juli 2012 kembali mengesahkanUU Dikti. UU Dik-
tibagaikan UU BHP yang bergantibaju.Semangatdanjiwadarikeduaundang-undanginisama, keduanyaber-
implikasipada biaya pendidikan tinggi yang mahal, karena salah satu tujuan penyelenggaraan pendidikan
tinggi adalah untuk mencari untung (dana). Mahasiswa akan dijadikan sasaran utama untuk mencapai
tujuan tersebut. Hanya orang-orang kaya saja yang dapat menikmati pendidikan tinggi yang berkualitas.
Dengan demikianpelanggaranhakasasimanusia (HAM) -hakataspendidikan dan diskriminasi dalam institusi
pendidikan-menjadisebuahkeniscayaan.
Sadar akan bahaya tersebut, ancaman terlanggarnya hak atas pendidikan disikapi oleh sejumlah organ-
isasi (organisasi mahasiswa, organisasi guru, organisasi dosen, lembaga bantuan hukum dan lain sebagainya)
dan orang perorangan yang tergabung dalam Komite Nasional Pendidikan atau biasa disebut KNP. Empat
orang Pemohon yang terdiri dari (1) dua (2) orang mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum PTN
BH (UGM dan UI), (2) orang tua yang memiliki lima orang anak dan (3) pengurus organisasi mahasiswa ting-
kat nasional (Front Mahasiswa Nasional/FMN), dengan didampingi Tim Kuasa Hukum dari KNP mengajukan
Permohonan Uji Materi UU Dikti ke Mahkamah Konstitusi. Uji Materi difokuskan pada pasal-pasal tertentu

52
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
yaitu Pasal 64 dan 65 UU Dikti.Pada kedua pasal ini lah secara implisit komersialisasi roh- pendidikan tinggi
diatur.
Pasal 64 UU Dikti menyatakan Otonomi Pengelolaan Perguruan Tinggi terdiri atas bidang akademik dan
non-akademik. Namun pada pasal 65 kedua macam otonomi tersebut justru dikerdilkan ke dalam sebuah
bentuk Pola Pengelolaan Keuangan/Tata Kelola. Dengan kata lain UU Dikti menempatkan otonomi tata kel-
ola pendidikan tinggi lebih utama dibandingkan dengan otonomi/ kebebasan akademik.
Pengaturan lainnya ialah, UU Dikti memungkinkan PerguruanTinggiberbentukBadanHukummemilikike-
kayaansendirisehinggamelepaskankewajiban Negara memenuhiHakAtasPendidikan. Denganlepasnyake-
wajibannegaramembiayaipenyelenggaraanpendidikantinggi, makaBadanHukumPerguruanTinggimemi-
likitugas yang sangatberat, yaitukemandiriankeuangan.
SesuaidenganputusanMahkamahKonstitusi pada pembatalan UU BHP, Dalamkeadaantidakadan-
yakepastiansumberdana yang bisadidapatolehsebuah BHP makasasaran yang paling rentanadalahpeser-
tadidikyaitudengancaramenciptakanpungutandengannama lain di luarbiayasekolahataukuliah yang akh-
irnyasecaralangsungatautidaklangsungmembebanipesertadidik.
Praktik menjadikan peserta didik sebagai sumber utama pendanaan bukan lagi merupakan sebuah
kekhawatiran semata, namun telah terbukti terjadi di salah satu Perguruan Tinggi Negeri ternama di Indo-
nesia. Berdasarkan keterangan saksi Alldo Fellix Januardy di MK, padatahun 2008, sumber pendanaan dari
mahasiswamenempatiporsisebesar 48 % dari total penerimaanPTN-BH. Tahun 2009 sebesar 42 %, Tahun
2010 meningkat menjadi 44 %, Tahun 2011 kembali meningkat menjadi 46 %, danakhirnya mengalamipen-
ingkatan yang signifikanpadatahun 2012 yaitusebesar 57 %.
Dari paparan di atas, jelas terlihat bahwa UU Dikti memuat pengaturan yang inkonstitusional. Memati-
kan bangsa, karena menjauhkan rakyatnya dari sarana pendidikan tinggi berkualitas guna mencerdaskan
kehidupan bangsa. Oleh karenanya UU Dikti harus dibatalkan. Sebagai gantinya, penting bagi Pemerintah
untuk segera membuat Peraturan Pemerintah yang mengatur khusus tentang Pembiayaan Pendidikan
Tinggi yang di dalamnya memuat ketentuan mengenai alokasi dana dari Negara bagi Pengelolaan dan Pe-
nyelenggaraan Pendidikan Tinggi dengan disesuaikan pada keunikan tata kelola institusi pendidikan tinggi
yang tidak seharusnya terlalu birokratis sebagaimana institusi negara lainnya. Dengan demikian, peserta
didik tidak dikorbankan dan pendidik dapat melakukan pengembangan ilmu pengetahuan dengan melaku-
kan penelitian-penelitian tanpa hambatan pendanaan.
Kedaulatan rakyat harus terus diperkokoh dengan adanya anak-anak bangsa yang cerdas secara keil-
muan dan juga karakter, dan salah satu sarananya ialah melalui penyediaan akses atas pendidikan tinggi
yang berkualitas tanpa adanya diskriminasi. Jangan malah mengahancurkan bangsa dengan penyelengga-
raan pendidikan tinggi yang mahal.

3. Revisi KUHAP

ADVOKASI RUU KUHAP


Latar Belakang
Di antara asas-asas yang penting dalam negara hukum adalah asas perlindungan terhadap hak-hak
asasi manusia dan asas peradilan bebas dan merdeka yang mampu melakukan kontrol terhadap pri-
laku kekuasaan negara. Kedua asas negara hukum ini dianut dan dikembangkan dalam suatu negara
hukum yang dapat melindungi hak-hak asasi manusia dari kemungkinan ancaman atau pelanggaran
oleh penguasa. Namun pada sisi lain asas tersebut penting untuk mencegah atau melakukan kontrol
terhadap pemegang kekuasaan negara yang melanggar hak-hak asasi manusia tersebut.
Dalam upaya untuk melindungi hak-hak asasi manusia dari kemungkinan ancaman dan pelang-
garan oleh penguasa, DUHAM PBB menekankan tentang pentingnya kelembagaan peradilan yang
bebas dan merdeka. Lembaga peradilan yang bebas itu diharapkan mampu melakukan pemeriksaan
dan penilaian yang obyektif atas kasus-kasus sengketa hak yang dihadapkan kepadanya. Bahkan
dalam kasus pidana, Pasal 10 DUHAM menyatakan: Setiap orang berhak, dalam persamaan yang
sepenuhnya didengarkan suaranya di muka umum dan secara adil oleh pengadilan yang merdeka dan
tak memihak, dalam hal menetapkan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya dan dalam setiap tuntu-
tan pidana yang ditujukan terhadapnya. Dan secara khusus hak-hak tersangka ini terdapat dalam
Pasal 9 15 Konvensi Hak Sipil dan Politik yang menjadi prinsip-prinsip pelaksanaan Fair Trial (peradi-
lan yang adil dan tidak memihak) 1.
1
Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, dalam Lembar Fakta HAM, Komnas HAM, Jakarta, 2005 ;

53
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

Prinsip Fair Trial dalam Peradilan


Hak atas fair trial adalah sebuah norma dalam hukum HAM internasional yang dirancang untuk melind-
ungi individu dari pembatasan yang tidak sah dan sewenang-wenang atau perampasan atas hak-hak dasar
dan kebebasan-kebebasan lainnya. Dalam pemenuhan hak ini perlu diperhatikan bahwa sistem peradilan
yang dimaksud tidak hanya melihat dan menilai, bagaimana proses pemeriksaan atas suatu kasus di muka
persidangan saja, tapi juga harus dilihat bagaimana proses awal yang mendahului suatu peradilan atau pra
persidangan dan juga paska persidangan. Dengan demikian, juga harus dilihat bagaimana proses penang-
kapan, penahanan atau bentuk-bentuk upaya paksa lainnya terhadap seorang Tersangka atau saksi, serta
proses pemeriksaan dan pembuatan berita acara pemeriksaan di tingkat penyidikan.

Kondisi KUHAP Saat Ini


UU No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dinilai sebagai
karya agung Bangsa Indonesia dan diakui mengandung asas-asas yang inovatif, bahkan pengaturannya
paralel dengan instrumen hukum internasional. Hal ini bisa kita temui dalam prinsip-prinsip KUHAP yaitu
seperti asas legalitas,asas keseimbangan, asas praduga tak bersalah, prinsip pembatasan penahanan, asas
ganti rugi dan rehabilitasi, penggabungan pidana dengan tuntutan ganti rugi,asas unifikasi, prinsip diferensiasi
fungsional, prinsip saling koordinasi, asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan dan prinsip peradilan
terbuka untuk umum2. Namun demikian, KUHAP saat ini sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman.
Oleh karenanya diperlukan peninjauan ulang atas nilai-nilai dan standard fair trial yang ada didalamnya. Hal
ini tidak terlepas dari tuntutan global yang menuntut proses penegakan hukum yang cepat (speedy trial),
penegakan asas imparsialitas sesuai dengan prinsip presumption of inocence dan melemparkan jauh-jauh
sikap dan citra penegakan hukum yang bercorak prejudice, penerapan advsersarial sistem sesuai asas
beyond reasonable doubt, dan menjadikan nilai-nilai Hak Asasi Manusia sebagai ideologi universal dalam
penegakan hukum3 . Pentingnya peninjauan ini dinyatakan secara tegas dalam penjelasan Penjelasan RUU
KUHAP kendati UU KUHAP No. 8 Tahun 1981 merupakan karya agung namun pada kenyataannya harus-
lah senantiasa disesuaikan agar tetap kompatibel dan memenuhi kebutuhan hukum di dalam masyarakat
dengan tetap mengacu pada asas-asas yang telah terkandung sebelumnya.

Komite untuk Pembaharuan Hukum Acara Pidana (KuHAP)


LBH Jakarta bersama dengan Komite untuk Pembaharuan Hukum Acara Pidana (KuHAP), yang terdiri
dari LBH Jakarta, LBH Masyarakat, LBH Mawar Saron, LBH Pers, LBH APIK Jakarta, LBH Semarang, PBHI,
HRWG, ILRC, Arus Pelangi, Huma, MAPPI, LeiP, Imparsial, PSHK, ELSAM, CDS, ICJR, mendorong terben-
tuknya KUHAP yang berperspektif HAM dan berkeadilan jender untuk terjaminnya prinsip fair trial dalam
proses peradilan,
Harapan KuHAP adalah:
l Rancangan KUHAP harus mampu meletakkan dasar-dasar pembaharuan hukum acara pidana di Indone-
sia secara menyeluruh sehingga masyarakat akan percaya kepada proses peradilan;
l Rancangan KUHAP harus menjamin adanya suatu perbaikan mendasar atas praktek dan kelemahan-
kelemahan UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP didasarkan pada pengalaman-pengalaman berbagai
komponen masyarakat;
l Rancangan KUHAP harus menjamin pemenuhan prinsip-prinsip HAM dan perlindungan terhadap Hak
Asasi Manusia;
l Harus ada suatu sosialisasi dan pelibatan masyarakat secara luas dalam proses penyusunan Rancangan
KUHAP;

Perkembangan Terakhir RUU KUHAP di DPR


RUU KUHAP telah diajukan oleh pemerintah, pada akhir Desember 2012 dan mulai dibahas di DPR RI
dengan membentuk Panja di Komisi III DPR RI. Namun hingga menjelang akhir tahun 2013 ini belum ada
hasil signifikan untuk disepakati. Pembahasan masih membahas seputar studi banding penggalian masu-
kan dari para ahli dan silang pendapat di media Hasil pemantauan yang dilakukan Koalisi untuk Pembaha-
ruan Hukum Acara Pidana (KuHAP) untuk masa sidang 2 menemukan hal-hal sebagai berikut : (1) Wacana
mengenai substansi RUU KUHAP lebih disuarakan melalui media masa dari pada merumuskan nya dalam
proses pembahasan dengan pemerintah; (2) Kisruh penggantian ketua Komisi III telah banyak menguras
waktu dan tenaga sehingga fungsi legislasi anggota dewan khususnya komisi III menjadi terbengkalai
selama lebih dari 3 minggu akibatnya pembahasan RUU KUHAP berjalan ditempat; (3) Proses pembahasan
yang dilakukan baru sebatas pada penyerahan DIM ( daftar invetarisasi masalah ) terdiri dari 1.174 No DIM
yang sebagian besar belum berisi dari masing-masing fraksi.
2
KUHAP
3
Yahya Harahap; Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, edisi kedua,
Sinar Grafika, Jakarta, 2003.

54
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
4. Revisi UU Penempatan dan Perlindungan
TKI di luar negeri

Revisi Undang-Undang No 39 Tahun 2004


Latar Belakang
Undang-undang Dasar 1945 memandatkan negara bertanggungjawab atas perlindungan, pemajuan,
penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis.
Mandat ini tertuang secara nyata dalam Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) Amandemen Kedua UUD 1945.
Menilik ketentuan konstitusi di atas, tentunya perlu merefleksi kembali mekanisme perlindungan,
pemajuan dan penegakan hak asasi manusia khususnya dalam kacamata perlindungan buruh migran
Indonesia di setiap tahapan atau proses bekerja di luar negeri. Tidak dapat dipungkiri bahwa rentetan
kasus-kasus kekerasan yang dialami oleh para buruh migran Indonesia tidak terlepas dari lemahnya
mekanisme pengawasan di dalam negeri, baik ketika masih tahap persiapan atau sebelum berangkat,
kemudian pada tahap bekerja di luar negeri, sampai pada tahap kepulangan ke dalam negeri. Sistem
perlindungan yang ada selama ini telah melahirkan rantai panjang persoalan TKI, di mana 80 persen
dari mata rantai itu berada di dalam negeri. Tidak efektifnya sistem perlindungan ini berakar pada sub-
stansi dari Undang-Undang Nomor 39 tahun 2004 tentang PPTKILN yang de facto lebih banyak meng-
atur soal bisnis penempatan TKI daripada mengatur tentang perlindungan substansial bagi TKI.

Pentingnya Revisi UU No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga


Kerja Indonesia di Luar Negeri
Pekerja Migran Indonesia (PMI) dari hari ke hari semakin meningkat dan nyata. Permasalahan di-
jumpai pada keseluruhan tahapan migrasi pra keberangkatan, keberangkatan dan kepulangan- setiap
harinya. Sebagai warga negara, PMI berhak dilindungi oleh negara. Sebaliknya negara berkewajiban
melindungi seluruh PMI dimana pun mereka berada.
Tanggal 5 Juli 2010 Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar
Negeri (RUU PPILN) disetujui menjadi rancangan undang-undang inisiatif DPR, yang akan menggan-
tikan UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar
Negeri. Permasalahan-permasalahan yang muncul dalam pelaksanaan migrasi buruh migran ke luar
negeri antara lain di bidang:
(1) Perekrutan Dan Penempatan
(2) Pendidikan/Pelatihan TKI
(3) Sistem Pembiayaan Penempatan TKI
(4) Sistem Asuransi Dan Jaminan Sosial
(5) Sistem Penanganan Kasus Dan Bantuan Hukum
(6) Kelembagaan Pelayanan Migrasi TKI Ke Luar Negeri
(7) Sistem Penanganan Kasus Dan Bantuan Hukum:
(8) Sistem Pendataan Dan Pengawasan Perlindungan TKI.
(9) Peran Serta Masyarakat
(10) Sistem Dan Pelayanan Pemulangan TKI
(11) Peran Swasta Dalam Penempatan TKI

55
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

Jaringan advokasi Revisi UU PPTKILN (JARI PPTKILN)


LBH Jakarta tergabung dalam jaringan yang sejak Februari 2010 terus konsisten dalam mengawal
revisi UU PPTKILN, JARI PPTKILN (Jaringan advokasi Revisi UU PPTKILN) akan terus konsisiten dalam
memastikan agar Revisi UU PPTKILN dapat benar-benar melindungi Buruh Migran. JARI PPTKILN juga
ikut memberikan draft RUU sandingan yang menjamin pelaksanaan perlindungan buruh migran, bukan
semata-mata menyalurkan buruh migran yang berorientasi binis.
Perkembangan Terakhir Pembahasan di DPR
Memasuki agenda 2014, perkembangan pembahasan di DPR belum mengalami kemajuan. Kondisi
riil pembahasan di DPR antara lain:
1. Pembahasan RUU selama ini masih 1 DIM padahal pembahasan RUU PPILN hanya menyisakan dua
kali masa sidang yaitu: Pada masa sidang ke-1 : 16 Agustus 2013-25 Oktober 2013 (sisa 49 hari kerja)
dan pada masa sidang ke-2: 18 November 2013-20 Desember 2013 (sisa 25 hari kerja);
2. Sisa masa sidang sangat pendek sehinggak tidak mungkin untuk menghasilkan Undang-Undang
yang berperspektif perlindungan terhadap pekerja migran, sedangkan daftar inventarisasi masalah
(DIM) masih 1 yang terbahas dan menyisakan 906 DIM;
Oleh karena itu, JARI PPTKILN mendesak pemerintah agar menghentikan pembahasan RUU PPILN
karena riskan dengan kepentingan Pemilu 2014, karena Undang-undang ini rentan dipergunakan untuk
kepentingan kerja-kerja politik sangat butuh biaya sehingga mengkhawatirkan untuk dijadikan obyek
politik transaksional.

5. Peraturan Daerah Bantuan Hukum DKI Jakarta

MENGAWAL KEBIJAKAN BANTUAN HUKUM


1. Mengawal Kebijakan Bantuan Hukum
Hak Atas Bantuan hukum menjadi indikator penting dalam pemenuhan hak mendapatkan keadilan
dan peradilan yang adil bagi setiap setiap warga negara. Hak atas bantuan hukum di Indonesa tidak
secara tegas dinyatakan dalam konstitusi. Namun, bahwa Indonesia adalah negara hukum dan meme-
gang prinsip persamaan di hadapan hukum, menjadikan hak bantuan hukum sebagai hak konstitusion-
al. Untuk mendorong Negara memenuhi tanggung jawab pemenuhan hak atas bantuan hukum sejak
tahun 2006 LBH Jakarta bersama dengan jaringan masyarakat sipil mendorong pemerintah mener-
bitkan Undang-Undang tentang Bantuan Hukum.
Inisiatif masyarakat tersebut direspon pemerintah, 5 (lima) tahun berselang tepatnya tangggal 2 No-
vember 2011, UU No.16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum disahkan menjadi payung hukum bagi
berbagai kebijakan bantuan hukum. Diterbitkannya UU a quo memberikan kabar yang cukup memba-
hagiakan bagi masyarakat khususnya masyarakat miskin secara ekonomi. Melalui UU Bantuan Hukum
Negara mengikrarkan diri untuk menjamin kewajiban pemenuhan hak atas bantuan hukum bagi warga
negaranya (legal aid).
Apresiasi layak disampaikan, Namun, LBH Jakarta juga memberikan catatan kritis terhadap terh-
adap penerbitan dan langkah implementasi UU Bantuan Hukum yang mengandung berbagai kelema-
han. Untuk mengoreksi kekurangan tersebut, beberapa langkah advokasi dilakukan LBH Jakarta agar
Undang-Undang Bantuan Hukum dapat memberikan manfaat yang luas bagi masyarakat.

Peluncuran Buku Hasil Penelitian Dana Bantuan Hukum

56
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
Ikuti Verifikasi dan Akreditasi: LBH Jakarta terakrediatasi A
Meskipun telah berlaku sejak 2011. UU Bantuan Hukum baru efektif dilaksanakan pada tahun 2013.
Undang-Undang memerintahkan adanya proses Verifikasi dan Akreditasi Organisasi Bantuan Hukum
sebagai syarat wajib bagi organisasi bantuan hukum untuk dapat menjadi pemberi Layanan Bantuan
Hukum. Sebagai inisiator kebijakan, LBH Jakarta berkomitmen untuk mengikuti proses verifikasi dan
akreditasi Organisasi Bantuan Hukum. Lembaga Jakarta sendiri berharap mampu menjadi role model
organisasi bantuan hukum di Indonesia.
LBH Jakarta telah mengikuti proses verifikasi dan akreditasi yang dilaksanakan oleh Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Berdasarkan Keputusan Menkumham No. M.HH-02.
HN.0303 Tahun 2013, LBH Jakarta bersama 9 (sembilan) OBH lainnya lolos dengan akreditasi A. Indika-
tor hasil tersebut mengacu pada, jumlah kasus yang ditangani paling sedikit 1 (satu) tahun sebanyak
60 (enampuluh) kasus, jumlah program bantuan hukum nonlitigasi paling sedikit 7 (tujuh) program dan
jumlah advokat paling sedikit 10 (sepuluh) orang dan paralegal yang dimiliki paling sedikit 10 (sepuluh)
orang.
Selama mengikuti dan mengamati proses verfiikasi dan akreditasi organisasi bantuan hukum, LBH
Jakarta menilai bahwa proses yang dilaksanakan pemerintah bermasalah. Masalah tersebut dian-
taranya menyangkut hal-hal berikut (1). Ketentuan verfikasi dan akreditasi yang disamaratakan bagi
Organisasi Bantuan Hukum maupun Organisasi Bantuan Hukum di Kampus maupun di seluruh wilayah
Indonesia, (3). Pelaksanaan Verifikasi dan Akreditasi dilakukan secara mendadak dan tidak sistematis;
(4). Tidak menyediakan mekanisme komplain bagi peserta. Permasalahan yang muncul ditengarai aki-
bat pelaksanaan verifikasi dilaksanakan dengan tidak partisipatif dan responsif terhadap situasi riil di
lapangan.

FGD Advokasi UU Bantuan Hukum


Untuk memetakan persoalan kebijakan bantuan hukum dan mendorong advokasi yang meluas di
berbagai wilayah indonesia, LBH Jakarta bersama LBH Papua, LBH Makasar, LBH Surabaya, LBH Pa-
dang bersama Jaringan advokasi bantuan hukum (FOKUS) yang konsen di isu bantuan hukum seperti
ILRC, PBHI, LKBH menyelenggarakan kegiatan FGD. Kegiatan ini menghasilkan beberapa pemetaan
masalah mengenai kebijakan bantuan hukum dan pelaksanaannya, diantaranya: (1). Belum ada har-
monisasi peraturan perundang-undangan terkait anggaran, tata cara penyelenggaraan bantuan Hu-
kum, (2) Meskipun terdapat UU Bantuan Hukum masih diperlukan kebijakan di daerah (Perda Bantu-
an Hukum) yang responsif mengatur perluasan definisi miskin, perbaikan pengaturan verifikasi dan
akreditasi untuk perluasan OBH yang dapat memberikan layanan bantuan hukum, dan pendanaan dari
APBD; (3) Diperlukannya monitoring dan Evaluasi pelaksanaan UU Bantuan Hukum melalui penga-
wasan eksternal dan kontrol masyarakat; (4). Diperlukan sosialisasi kritis UU Bantuan Hukum kepada
masyarakat untuk mendorong partisipasi; (5). Reformasi peradilan (Menghapuskan pugli, tranparasi
dan akuntabilitas biaya perkara di Pengadilan, memangkas jangka waktu proses hukum, mekanisme
komplain yang efektif) (6) Diperlukan SPM (Standar Pelayanan Minimal) dan peningkatan kualitas
dan kuantitas organisasi pemberian bantuan hukum berikut persebarannya. (7). Diperlukan otonomi
dan Konsolidasi Organisasi Bantuan Hukum untuk menerbitkan Kode Etik Organisasi pemberi bantuan
hukum (8) Diperlukan akuntabilitas Paralegal (8). Diperlukan penguatan perspektif hak asasi manusia
bagi Aparat Penegak Hukum untuk mendorong efektifitas dan kualitas layanan bantuan hukum.
FGD tersebut menghasilkan kesepahaman bahwa permasalahan tersebut harus diselesaikan secara
kolektif untuk mendorong bantuan hukum yang efektif dan berkualitas bagi masyarakat miskin di Indo-
nesia. Langkah-langkah advokasi di lingkup nasional pun di susun untuk menjawab permasalahan.
Penelitian Skema dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum (Legal Aid Costing)
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum membawa harapan baru bagi pen-
egakan hak asasi manusia di Indonesia, khususnya membuka akses keadilan bagi masyarakat miskin.
LBH Jakarta sangat mengapresiasi dan menyambut baik komitmen Negara melalui sistim Bantuan Hu-
kum ini. Namun demikian, sistim ini bukan tanpa kelemahan. Alokasi anggaran yang kurang responsif
terhadap kebutuhan faktual bantuan hukum, merupakan salah satu bentuk kelemahan dari sistim ini.
Kelemahan ini ditengarai akibat dari penyusunan kebijakan yang kurang partisipatif dan minimnya ba-
sis penelitian lapangan.
Oleh karena itu, LBH Jakarta berusaha untuk melengkapi kelemahan sistim ini dengan melakukan
penelitian tentang Skema Penganggaran dan Mekanisme Panyaluran Dana Bantuan Hukum di lima
wilayah di Indonesia, meliputi Padang, Jakarta, Surabaya, Makassar, dan Jayapura. Penelitian dilakukan
bekerjasama dengan LBH Jakarta, LBH Padang, LBH Surabaya, LBH Makassar, dan LBH Papua.
Sejak Mei hingga September 2013 Tim LBH melakukan penelitian terhadap skema penggaran dana
bantuan hukum dikaitkan dengan kondisi faktual yang terjadi. Hasil penelitian kemudian dituangkan

57
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

dalam buku setebal 213 halaman yang diberi judul Neraca Timpang Bagi Si Miskin, Penelitian Skema
dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum di Lima Wilayah di Indonesia, yang dipublikasikan pada 10 Ok-
tober 2013.
Dari penelitian ini, kami menemukan variasi jumlah biaya yang dibutuhkan dalam pemberian bantu-
an hukum, yang diantaranya dipengaruhi oleh waktu dan kondisi geografis wilayah dalam penanganan
suatu perkara. Variasi jumlah pembiayaan ini tidak dapat serta merta dipukul rata sebagaimana diatur
di dalam peraturan perundang-undangan tentang bantuan hukum.
Penggunaan dana bantuan hukum di berbagai instansi Pemerintah secara tidak semestinya pun
menjadi bagian dari temuan para peneliti yang menarik untuk dicermati dan dikontrol secara seksama.
Dana bantuan hukum yang idealnya dialokasikan bagi masyarakat tidak mampu, pada faktanya justru
dinikmati dan digunakan untuk pembelaan para pejabat pemerintahan atau untuk pengamanan asset.
Di bagian akhir buku tersebut, tim peneliti memberi enam rekomendasi kepada para pembuat ke-
bijakan, diantaranya; (1). Menyatukan konsep bantuan hukum sesuai dengan UU Bantuan Hukum seh-
ingga program bantuan hukum terintegrasi sesuai dengan undang-undang bantuan hukum, termasuk
dalam hal anggaran dan peruntukan program yaitu hanya untuk rakyat miskin. (2). Mengingat ban-
tuan hukum juga merupakan pelayanan publik maka perlu ada standar pelayanan minimal pemberian
bantuan hukum untuk meningkatkan kualitas layanan bantuan hukum, (3). termasuk kode etik bagi
para pekerja bantuan hukum. Namun, hal tersebut dapat efektif jika OBH di seluruh Indonesia menin-
gkat kapasitasnya sehingga penetapan standar pelayanan benar-benar berdampak pada peningkatan
layanan bukan justru melemahkan OBH dan menghambat akses masyarakat terhadap keadilan. (4).
Membangun mekanisme pengawasan terhadap anggaran dan pelaksanaan bantuan hukum. Sehingga
ke depan bantuan hukum diselenggarakan secara akuntabel. (5). Mengingat kebijakan bantuan hukum
masih dalam proses pengembangan, maka dalam penyusunannya harus responsif dengan mengako-
modir situasi di lapangan sebagaimana disajikan dalam penelitian ini ataupun berdasarkan penelitian
pada aspek lainnya. (6). Perlu juga dibangun inisiatif di wilayah-wilayah di Indonesia untuk membuat
peraturan daerah bantuan hukum untuk melengkapi kebijakan nasional dan memperluas distribusi
sumber daya untuk mendukung pemberian bantuan hukum.

Memperluas Akses Informasi Melalui Buku Saku dan Berita LBH Jakarta
Salah satu persoalan kebijakan bantuan hukum adalah minimnya sosialisasi. Untuk mengikis ham-
batan akses informasi mengenai kebijakan bantuan hukum kepada masyarakat luas, LBH Jakarta beru-
paya untuk mensosialisasikan program Bantuan hukum untuk masyarakat miskin melalui penerbitan
buku saku Bantuan Hukum dan Berita LBH edisi Agustus-November 2013 yang mengusung Tema Ban-
tuan Hukum Bagi Si Miskin. Harapannya, melalui dua terbitan tersebut, masyarakat dapat mengetahui
informasi penting terkait kebijakan bantuan hukum yang mulai berlaku tahun ini. Dalam Buku saku LBH
Jakarta disajikan informasi mengenai syarat dan tata cara mendapatkan bantuan hukum cuma-cuma,
besaran anggaran yang dialokasikan per kasus, siapa saja yang berhak mengakses dana bantuan hu-
kum, siapa saja lembaga yang dapat membantu serta informasi penting lainnya, seperti besaran ang-
garan negara yang dialokasikan, juga informasi mengenai OBH yang telah lulus proses verifikasi dan
nantinya dapat mengakses dana bantuan hukum di wilayah DKI Jakarta. Sementara itu, di Berita LBH
Jakarta dikupas secara mendalam isu kebijakan bantuan hukum bagi masyarakat miskin dari berbagai
sudut pandang. Berbekal informasi yang diperoleh diharapkan masyarakat dapat lebih memahami ke-
bijakan bantuan hukum dan memperoleh akses bantuan hukum dengan mudah.
Advokasi Perda Bantuan Hukum di DKI Jakarta
Bantuan hukum dari pemerintah saat ini diatur secara khusus dalam Undang-Undang No. 16 Tahun
2011 tentang Bantuan Hukum. Secara filosofis, bentuk bantuan hukum ini diberikan sebagai perwuju-
dan tanggung jawab dan kewajiban negara dalam pemenuhan, penghormatan dan perlindungan hak
asasi manusia dan hak konstitusional warga negaranya secara khusus hak bersamaan kedudukannya di
dalam hukum (equality before the law) yang diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.
Persamaan kedudukan di dalam hukum mensyaratkan kesamaan akses atas keadilan bagi seluruh
masyarakat, oleh karenanya bagi mereka yang tidak mampu atau miskin negara menyediakan layanan
bantuan hukum secara cuma-cuma. Keseluruhannya ini tercantum dalam bagian menimbang UU No.
16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Dengan demikian menjadi jelas terdapat perbedaan antara
bantuan hukum yang diberikan oleh negara (legal aid) dengan bantuan hukum yang menjadi konsekue-
nsi logis profesi advokat (pro bono publico).
Untuk melengkapi dan menopang penyelenggaraan bantuan hukum yang diselenggarakan oleh Pe-
merintah Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Bantuan Hukum memberikan ruang pada tiap daerah untuk
membentuk Peraturan Daerah (Perda).
(1) Daerah dapat mengalokasikan anggaran penyelenggaraan Bantuan Hukum dalam Anggaran Penda-

58
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
patan dan Belanja Daerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Daerah.
Konstruksi dari ketentuan Pasal 19 di atas ternyata menimbulkan ketidakjelasan bagi Pemerintah
Daerah. Apakah UU Bantuan Hukum memandatkan Pemerintah Daerah untuk membentuk Peraturan
daerah yang mengatur sebatas mengenai alokasi anggaran Bantuan Hukum dalam Anggaran Penda-
patan dan Belanja Daerah ataukah Pemerintah daerah dapat membentuk Peraturan Daerah yang
mengatur mengenai penyelenggaraan Bantuan Hukum secara luas sesuai dengan keunikan kondisi
daerah masing-masing?
Apabila hanya mengatur terkait alokasi anggaran Bantuan Hukum dalam APBD, hal ini sungguh dis-
ayangkan. Bantuan Hukum dalam UU Bantuan Hukum saat ini masih sangat terbatas secara cakupan,
dengan membatasi peraturan daerah hanya mengatur sebatas anggaran akan menutup peluang bagi
perluasan cakupan akses bantuan hukum itu sendiri. Sangat dimungkinkan adanya sebuah pengaturan
dalam bentuk peraturan daerah yang idealnya isinya melengkapi pengaturan terkait penyelenggaraan
bantuan hukum yang ada pada UU Bantuan Hukum dan bukan malah saling bertentangan. Peraturan
Daerah yang mengatur penyelenggaraan bantuan hukum secara luas dapat mempertajam pengaturan
yang dimuat pada UU Bantuan Hukum terutama dapat memperluas pemenuhan tanggung jawab neg-
ara dalam pemberian akses bantuan hukum kepada lebih banyak warga negara Indonesia.
Saat ini LBH Jakarta mendorong Pemda DKI Jakarta untuk segera membentuk Perda Bantuan Hu-
kum agar akses masyarakat miskin terhadap bantuan hukum di wilayah DKI Jakarta kian terbuka lebar.
Tentunya LBH Jakarta mendorong agar Pemda DKI Jakarta tidak hanya membentuk Perda yang men-
gatur terkait alokasi anggaran namun juga mengatur terkait perluasan penyelenggaraan bantuan hu-
kum dari UU Bantuan Hukum.
Setelah mendorong agar dibentuknya Perda Bantuan Hukum, kemudian Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta mengundang LBH Jakarta untuk menjadi bagian dalam Tim Penyusunan Rancangan Perda Ban-
tuan Hukum. Tim Penyusun terdiri dari berbagai unsur, diantaranya adalah Biro Hukum Pemprov DKI
Jakarta, Biro Hukum dari lima (5) wilayah kota di DKI Jakarta, Kemenkumham, dan lainnya
Tetapi sayangnya sejak awal pertemuan sudah beredar draft yang dibuat oleh staf ahli biro hukum
Pemda. LBH Jakarta memberikan catatan bahwa penyusunan Rancangan Perda Bantuan Hukum tidak
boleh asal-asalan dalam artian harus sesuai dengan prosedur yang ada, sebagaimana diatur dalam Per-
aturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk
Hukum Daerah dan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 112 Tahun 2012, secara khusus yang
mensyaratkan adanya sebuah Naskah Akademik. Dengan demikian dapat menjamin bahwa Perda
tersebut dibentuk sesuai dengan memiliki: (a) latar belakang dan tujuan penyusunan; (b) sasaran yang
akan diwujudkan; (c) pokok pikiran, ruang lingkup, atau objek yang akan diatur; dan (d) jangkauan dan
arah pengaturan. Selain itu naskah akademik pun akan memberikan kejelasan mengenai kajian teoritis
dan praktik empiris serta landasan filosofis, sosiologis dan yuridis dari sebuah peraturan daerah.
Selain itu pembentukan Perda yang baik juga harus berdasarkan pada asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang dimuat dalam ketentuan Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pem-
bentukan Peraturan Perundang-Undangan dalam hal ini Peraturan Daerah-, yaitu sebagai berikut:
a. kejelasan tujuan, yaitu bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempu-
nyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, yaitu setiap jenis peraturan perundang-undangan

59
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang dan
dapat dibatalkan atau batal demi hukum bila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.
c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan, yaitu dalam pembentukan peraturan perundang-undan-
gan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perun-
dang-undangan.
d. dapat dilaksanakan, yaitu bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mem-
perhatikan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara
filosofis, yuridis maupun sosiologis.
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan, yaitu setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena me-
mang benarbenar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasayarakat, ber-
bangsa dan bernegara.
f. kejelasan rumusan, yaitu setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis
penyusunan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah
dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
g. keterbukaan, yaitu dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perenca-
naan, persiapan, penyusunan dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka.
Tidak dipenuhinya asas pembentukan peraturan daerah dan proses prosedural pembentukan per-
aturan daerah sebagaimana dipaparkan di atas akan berdampak pada ketidakberdayagunaan Perda
itu sendiri pada akhirnya. Pembuatan Perda hanya akan menjadi bisnis di lingkungan Pemerintahan
Daerah, karena akan menghabiskan anggaran belanja daerah yang notabene adalah uang rakyat untuk
sesuatu yang sia-sia dan tidak berdaya guna bagi masyarakat Jakarta. LBH Jakarta jelas menolak pem-
bentukan Perda Bantuan Hukum yang cacat prosedural seperti ini.
LBH Jakarta mendorong agar ada Naskah Akademik terlebih dahulu dan harus pula melalui uji kon-
sultasi publik. Pelibatan seluruh dan seluas-luasnya pemangku kepentingan di Kota Jakarta seperti
pegawai/pejabat daerah yang khusus mengerjakan bantuan hukum di tingkatan provinsi, Organisasi
Bantuan Hukum, Organisasi Masyarakat Sipil, para akademisi, dan lain sebagainya juga merupakan hal
penting untuk dijamin dalam proses pembentukan Perda Bantuan Hukum Provinsi DKI Jakarta.
Kepatuhan dan ketaatan pembentukan Perda Bantuan Hukum Provinsi DKI Jakarta pada prosedur
yang sudah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan, niscaya merupakan langkah awal bagi
pemenuhan hak warga kota Jakarta yang substansial yakni akses atas bantuan hukum.

6. Melawan Politik Upah Murah

MELAWAN POLITIK UPAH MURAH:


MOGOK NASIONAL SAMPAI KE RUANG
PERSIDANGAN
Pasal 27 ayat 2 UUD 1945;
Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan
dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan

Latar Belakang
Kebijakan Upah Minimum telah menjadi isu yang penting dalam masalah ketenagakerjaan di be-
berapa negara baik maju maupun berkembang. Sasaran dari kebijakan upah minimum ini adalah untuk
menutupi kebutuhan hidup minimum dari pekerja dan keluarganya. Dengan demikian, kebijakan upah
minimum adalah untuk (a) menjamin penghasilan pekerja sehingga tidak lebih rendah dari suatu ting-
kat tertentu, (b) meningkatkan produktivitas pekerja, (c) mengembangkan dan meningkatkan perusa-
haan dengan cara-cara produksi yang lebih efisien (Sumarsono, 2003).
Kebijakan upah minimum di Indonesia sendiri pertama kali diterapkan pada awal tahun 1970an.
Meskipun demikian, pelaksanaannya tidak efektif pada tahun-tahun tersebut (Suryahadi dkk, 2003).
Pemerintah Indonesia baru mulai memberikan perhatian lebih terhadap pelaksanaan kebijakan upah
minimum pada akhir tahun 1980an. Hal ini terutama disebabkan adanya tekanan dari dunia interna-
sional sehubungan dengan isu-isu tentang pelanggaran standar ketenagakerjaan.
Pada awalnya kebijakan upah minimum ditetapkan berdasarkan besaran biaya Kebutuhan Fisik
Minimum (KFM), kemudian dalam perkembangannya berdasarkan komponen dan pencapian kebutuha
hidup layak.

60
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
Foto Istimewa
Melawan Upah Murah Dengan Mogok Nasional
Upah murah merupakan monster bagi kalangan buruh, Karena menyebabkan kaum buruh hidup
dalam kubangan kemiskinan. Perlawanan kaum buruh/pekerja terhadap Politik Upah murah tergolong
cukup besar dan massif. Dimana kaum buruh/pekerja melakukan aksi mogok nasional dan perlawanan
secara besar-besaran untuk menuntut adanya perbaikan upah dan kondisi kerja yang layak. Alhasil,
Pemerintah melakukan perubahan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 17 Tahun 2005
dengan Peraturan Menteri Tanaga Kerja dan Transmigrasi No. 13 tahun 2012 tentang Komponen dan
Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak, yang awalnya komponen Kebutuhan Hidup
Layak (KHL) sebanyak 46 Komponen menjadi 60 Komponen serta rata-rata kenaikan upah minimum
untuk tahun 2013 sebesar Rp 500.00 hingga Rp 800.000,-..
Untuk melestarikan upah murah para pengusaha melakukan serangan balik dengan mengancam
Pemerintah akan menutup usahanya dan memindahkan bisnisnya keluar dari Indonesia. Namun yang
dilakukan Pemerintah menghamba kepada Pengusaha dengan mempermudah proses penangguhan
upah minimum yang penuh dengan kecurangan.
Padahal berdasarkan penelitian AKATIGA (2009) rata rata pengeluaran riil buruh per kabupaten se-
lalu lebih tinggi bagi buruh dengan atau tanpa tanggungan dibandingkan dengan upah riil dan upah
minimum kabupaten/Kotamadya (UMK) dan rata-rata upah total hanya mampu membayar 74,3% rata
rata pengeluaran riil buruh dan UMK hanya mampu membayar 62,4% rata-rata pengeluaran buruh per
bulannya. Sehinga upah minimum tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup layak buruh. Maka dampak
dari Politik Upah Murah tersebut melestarikan dan memperpanjang rantai kemiskinan bagi para kaum
buruh/pekerja.

Perlawanan Pengusaha Mempertahankan Upah Murah


Setelah Pemerintah menetapkan upah minimum, para pengusaha mengajukan penangguhan upah
yang penuh dengan kecurangan dengan melanggar UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan
Kepmenakertrans No. 231/Men/2003 tentang tata cara penangguhan pelaksanaan upah minimum.
Pola-pola kecurangan yang dilakukan oleh pengusaha berdasarkan temuan LBH Jakarta dan Ser-
ikat buruh diantaranya; Pertama, Penangguhan Upah, dipukul rata untuk semua pekerja, tanpa ada
klasifikasi pekerja lajang, sudah menikah dan masa kerja 1 tahun atau lebih, Kedua, Serikat Pekerja
tidak dilibatkan perusahaan. Ketiga, Perusahaan melakukan intimidasi kepada pekerja/buruhnya untuk
menandatangani Kesepakatan penangguhan upah dengan cara akan di PHK jika menolak untuk me-
nandatangani, melanggar prinsip prinsip perundingan yang mendalam, jujur dan terbuka. Keempat,
Pengusaha menggunakan intimidasi kepada pekerja/buruh untuk menandatangani Kesepakatan pen-
angguhan upah dengan cara pekerja/ buruhnya dipanggil satu-satu oleh manajemen perusahaan untuk
menandatangani kesepakatan tersebut. Kelima Adanya pengerahan preman, untuk menakut-nakuti
para buruh, agar para buruh menandatangani kesepakatan penangguhan upah. Kelima, Perusahaan
tidak dalam keadaan kondisi yang merugi selama dua tahun terakhir. Kelima, Perusahaan tidak trans-
paran kepada para buruh mengenai persyaratan tata cara penangguhan upah. Keenam, Tidak adanya
audit perusahaan yang menyatakan bahwa perusahaan telah merugi 2 tahun berturut-turut. Ketujuh
Tidak adanya laporan perkembangan produksi dan pemasaran selama 2 (dua) tahun terakhir serta ren-
cana produksi dan pemasaran untuk 2 (dua) tahun yang akan datang.

61
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

Ruang Persidangan Menjadi Alternatif Melawan Upah Murah


Untuk melawan penangguhan upah minimum yang penuh kecurangan, maka LBH Jakarta bersama
Serikat Buruh yang tergabung dalam Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI), FBLP, SPN membentuk
Tim Advokasi untuk Upah Layak (TAB-UL) untuk menggugat penangguhan upah karena penuh den-
gan kecurangan melalui pengadilan tata usaha negara dengan menggugat 3 (tiga) Gubernur yakni; Gu-
bernur Jawa Barat, Gubernur Provinsi Banten dan Gubernur Provinsi DKI Jakarta untuk membatalkan
Keputusan Gubernur Tentang Persetujuan Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum Tahun 2013.
Alhasil, Gugatan yang diajukan oleh para buruh melalui kuasa hukum di TABUL, dimana dua gugatan
yang diajukan oleh serikat buruh di Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta dikabulkan dan satu gugatan
diajukan tidak dapat diterima oleh PTUN di Provinsi Banten.
Dalam putusan majelis hakim PTUN Provinsi Bandung terungkap bahwa perusahaan yang mengaju-
kan penangguhan upah sebanyak 259 perusahaan, PTUN membatalkan izin penangguhan upah kepada
209 perusahaan karena melanggar Kepmenakertrans No. 231/Men/2003 tentang tata cara penanggu-
han pelaksanaan upah minimum, begitu juga terjadi di Provinsi DKI Jakarta, penangguhan upah penuh
dengan kecurangan, dimana Serikat Buruh menggugat delapan (8) SK Gubernur DKI Jakarta tentang
izin penangguhan upah minimum tahun 2013 di DKI Jakarta, dimana keseluruhan SK Gubernur DKI Ja-
karta tersebut dibatalkan oleh majelis hakim PTUN DKI Jakarta.

Rekomendasi
Dari uraian diatas, maka direkomendasikan beberapa hal diantaranya;
1. Seluruh Gubernur di Indonesia membuka posko pengaduan untuk menerima pengaduan penang-
guhan upah minimum yang penuh dengan kecurangan yang langsung dibawah Gubernur dengan
menggandeng Ombudsman Republik Indonesia dengan melakukan langka cepat dan tepat dalam
menindaklanjuti pengaduan penangguhan upah penuh dengan kecurangan.
2. Seluruh Gubernur di Indonesia harus melakukan check, recheck dan cross check dalam menindaklan-
juti pengajuan penangguhan upah minimum yang diajukan oleh perusahaan.
3. Seluruh Gubernur di Indonesia bersama Ombudsman RI harus menindak dengan tegas para oknum
pejabat Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang menjadi mafia upah murah yang merekomendasi-
kan pengusaha yang melakukan penangguhan upah yang penuh dengan kecurangan.

7. Menolak UU Ormas

Membungkam Kebebasan Berorganisasi


dan Berserikat Melalui UU Ormas
Latar belakang
Rancangan Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan (RUU Ormas) merupakan usul inisi-
atif DPR, yang disiapkan untuk menggantikan UU Ormas yang lama, yaitu UU No. 8 Tahun 1985. Saat ini,
RUU Ormas masih dibahas oleh DPR, melalui sebuah Panitia Khusus (Pansus), bersama dengan Pemerin-
tah (yang diwakili oleh Kementerian Dalam Negeri).
Pembahasan RUU Ormas telah berjalan sejak Oktober 2011. Pada 12 April 2013, DPR dan Pemerintah

62
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
sempat memutuskan untuk menunda pengesahan RUU Ormas karena begitu banyak penolakan. Akh-
irnya, DPR dan Pemerintah menyepakati naskah terakhir RUU Ormas per 11 April 2013.
Pada 20 Mei 2013, DPR dan Pemerintah melanjutkan kembali pembahasan RUU Ormas. Yang kemudi-
an disahkan pada tanggal 2 Juli tahun 2013 dengan Undang-undang No. 17 tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan (UU Ormas).

Alasan UU Ormas Ditolak


Persoalan penolakan UU Ormas bukan terletak pada pasal-pasalnya, tapi pada konsep dasar peng-
aturannya. Dimana UU Ormas tersebut mengalami kesalahan fundamental, telah salah kaprah dan salah
arah, karena menimbulkan kekacauan mendasar dengan menempatkan UU Ormas sebagai UU payung
yang akan menambah panjang birokrasi, perijinan, dan mekanisme yang rumit yang pada ujungnya akan
menciderai ruang gerak kemerdekaan berorganisasi di Indonesia. Undang Undang Dasar 1945 telah me-
mayungi undang undang dan memberikan jaminan kebebasan berserikat dan berkumpul.
Disamping itu pula UU Ormas ini mencampuradukkan badan hukum Yayasan (dan juga perkumpu-
lan) ke dalam kategori Ormas. Ribuan yayasan yang sudah ada selama ini (yang bergerak di bidang kea-
gamaan, pendidikan, sosial, kesehatan, seni budaya, dll) akan terseret ke ranah politik di bawah kendali
pengawasan Pemerintah (Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik, Kementerian Dalam Negeri)/
Dinas Kesatuan Bangsa dan Politik. Konsekuensinya, Yayasan dapat dibekukan hingga dibubarkan, bukan
hanya melalui instrumen UU Yayasan, tapi juga ditambah dengan UU Ormas yang baru.
Maka tujuan dibentuknya UU Ormas, tersebut bukanlah untuk memperkuat dan memberikan perlind-
ungan terhadap masyarakat sipil dan buruh untuk berorganisasi dan berserikat, tetapi untuk melakukan
kooptasi dan mengawasi sektor masyarakat sipil dan buruh karena dianggap membahayakan negara,
yang sesungguhnya negara lah, yang harus diawasi sektor masyarakat sipil dan buruh, dimana menurut
Lord Acton : Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.
Secara kerangka hukum, sesungguhnya pengaturan organisasi di Indonesia terbagi menjadi 2 (dua)
yaitu: 1) Non-Membership Organisation (organisasi tanpa anggota), hukum Indonesia menyediakan jenis
badan hukum Yayasan yang diatur melalui UU Yayasan; dan 2) Membership Based Organisation (organ-
isasi berdasarkan keanggotaan), hukum Indonesia menyediakan jenis badan hukum Perkumpulan yang
masih diatur dalam peraturan warisan Belanda (Staatsblad 1870-64 tentang Perkumpulan-Perkumpulan
Berbadan Hukum).
Oleh karenanya, UU Ormas harus ditolak dan dicabut karena UU Ormas tersebut tidak dibutuhkan. dan
alasan perlunya UU Ormas sebagai instrumen pencegah kekerasan hingga upaya mewujudkan transpar-
ansi dan akuntabilitas ormas sudah dijawab oleh berbagai peraturan terkait seperti KUHP/KUHPerdata,
UU Serikat Buruh/Pekerja, UU Yayasan, UU Keterbukaan Informasi Publik, UU Tindak Pidana Korupsi, UU
Pencucian Uang hingga UU Anti Terorisme dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.

Masyarakat Sipil Menolak UU Ormas


Sejak RUU Ormas dibahas di DPR RI, masyarakat sipil melakukan penolakan, namun DPR RI melawan
keinginan publik, padahal yang menjadi dampak UU Ormas tersebut adalah masyarakat sipil.
Perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat sipil dalam penolakan UU Ormas tersebut dengan
melakukan berbagai tindakan diantaranya, masyarakat sipil melakukan konsolidasi dengan membentuk
wadah yang bernama Koalisi Kebebasan Berserikat, kemudian para buruh dan masyarakat sipil memben-
tuk membentuk koalisi Perjuang Hak Sipil dan Buruh (KAPAS), selain melakukan konsolidasi, masyarakat
sipil juga membuat kajian alasan penolakan terhadap UU Ormas, kemudian melakukan aksi-aksi di DPR
RI dan di daerah-daerah. Namun DPR RI sebagai perwakilan rakyat menjadi tuli, tidak mendengarkan
aspirasi dari rakyat yang telah memilih mereka sebagai wakil di DPR RI.
Meskipun RUU Ormas tersebut disahkan oleh DPR RI menjadi UU No. 17 tahun 2013 tentang Organ-
isasi Kemasyarakatan, masyarakat tetap menolak UU Ormas tersebut dengan melakukan berbagai cara
yaitu melakukan pembangkangan terhadap UU Ormas tersebut, dimana seluruh masyarakat sipil yang
tergabung dalam KKB dan KAPAS tidak akan menaati UU Ormas karena tidak diperlukan dan membung-
kam kebebasan berserikat dan berorganisasi.

Rekomendasi
Dari uraian diatas, maka direkomendasikan untuk dilakukan kedepan yaitu;
1. Untuk seluruh masyarakat sipil untuk tidak mematuhi dan menaati UU Ormas tersebut karena tidak
diperlukan dan membungkam serta memberangus kebebasan berserikat dan berorganisasi.
2. Seluruh masyarakat sipil diharapakan dapat melakukan pemantauan atas implementasi UU Ormas
tersebut di berbagai daerah untuk mengukur kerugian yang dialami oleh masyarakat sipil akibat pem-
berlakuan UU Ormas tersebut.

63
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

Audensi dengan Bareskrim Mabes Polri terkait Advokasi DESK PIDANA Perburuhan

8. Desk Pidana Perburuhan

Desk Pidana Perburuhan


Latar Belakang
Dalam berbagai Undang-undang telah diatur ketentuan perlindungan bagi buruh, beberapa ketentuan tersebut
disertai dengan ancaman sanksi pidana bagi pengusaha yang melanggar. Aturan-aturan ini tersebar diantaranya
dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 Tentang
Jamsostek, UU No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Ten-
tang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI), Undang-Undang No. 1 tahun 1970 Tentang Keselama-
tan Kerja, dan Undang-Undang No. 7 Tahun 1981 Tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan Di Perusahaan.

Permasalahan
Namun faktanya, penegakan pidana perburuhan mengalami permasalahan di tahap penyidikan, padahal tahap
tersebut merupakan tahap krusial untuk proses selanjutnya dalam sistem peradilan pidana. Sejumlah mekanisme
hukum yang tersedia berupa pengawasan, berdasarkan pengalaman buruh, terbukti tidak efektif untuk menja-
min perlindungan hak buruh dan memberikan kepastian hukum bagi buruh. Sementara, mekanisme penyelesaian
perselisihan hubungan industrial justru menjadi kendala terbesar bagi perlindungan hak buruh karena dianggap
memperlemah peran negara dalam perlindungan hak buruh dan menggantinya menjadi proses peradilan perdata
yang formal, kompromistis, berbelit-beli dan putusan yang tidak dapat dieksekusi1. Di tengah keterbatasan dalam
sistem hukum, buruh menganggap bahwa salah satu peluang yang masih tersedia ada pada pengoptimalisasian
wewenang penyidikan oleh polri yang merupakan bagian dari sistem peradilan pidana. Dalam kertas posisi ini akan
diuraikan lebih jauh bagaimana peluang tersebut dapat dimanfaatkan dengan basis pemikiran yang tepat dan re-
komendasi langkah-langkah strategis untuk mewujudkannya.
LBH Jakarta bersama Serikat Buruh kerap menemukan praktek-praktek pelanggaran hak buruh yang termasuk
dalam kategori tindak pidana, baik berupa pelanggaran maupun kejahatan yang diatur dalam berbagai undang-
undang. Pelanggaran hak buruh tersebut terjadi secara meluas dan sistemik. Meluas dalam arti bahwa pelangga-
ran tersebut terjadi terhadap buruh di segala sektor usaha seperti, media, transportasi, retail, garmen, perbankan,
asuransi bahkan juga terjadi di perusahaan-perusahaan milik negara (BUMN). LBH Jakarta menerima 26 kasus
pidana perburuhan sepanjang tahun 2012-2013.
Dari laporan-laporan tersebut, tidak ada perkara yang berlanjut ke proses persidangan, sehingga tidak ada
pengusaha yang benar-benar disidangkan karena melanggar hak buruh apalagi sampai dijatuhkan sanksi pidana.
Padahal sejumlah tindak pidana tersebut berkaitan dengan hak dasar buruh seperti hak atas upah, hak atas kebe-
basan berserikat, atau hak untuk dilindungi dalam program jaminan sosial tenaga kerja.

Pola Impunitas terhadap Pelaku Pelanggaran Hak Buruh:


a. Privatisasi Kasus Pidana
Kasus-kasus pidana perburuhan yang diperiksa secara perdata di PHI. Sebagai contoh, kasus contohnya kasus
PHK yang diadukan oleh kurang lebih 1.300 buruh PT. Panarub Dwikarya, yang merupakan anggota dari Gabun-
gan Serikat Buruh Independen (GSBI). Kasus ini bermula dari pelanggaran hak normatif (tunggakan pembayaran
rapelan upah) yang dilakukan oleh Pengusaha, berlanjut dengan dilakukannya PHK sepihak dan pemberangusan
serikat serta kriminalisasi buruh. Meskipun dalam kasus ini PHK sepihak dan kriminalisasi buruh merupakan up-
1
Lihat Riset TURC tentang PHI

64
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
aya-upaya Pengusaha dalam melakukan pemberangusan serikat, yang masuk dalam ketentuan Pidana, proses
penyidikan di kepolisian berjalan mandek.
Kasus Gatot yang merupakan Ketua Serikat di Dok & Kodja Bahari (DKB) Group. PT. DKB adalah BUMN. Ga-
tot juga adalah Direktur Utama PT. Kodja Terramarin (anak perusahaan PT. DKB). Karena ke vokalannya, Gatot
dimutasi menjadi staff ahli Dirut PT. DKB, Gatot menolaknya dan mengajukan gugatan ke PTUN, PTTUN me-
menangkan gugatan Gatot, sedangkan MA masih memeriksa kasasi. Kemudian pengusaha mengajukan guga-
tan PHK ke PHI Jakarta. Gugatan Pengusaha dinyatakan tidak diterima oleh PHI. Gatot telah melaporkan Dirut ke
Polda terkait dengan tindakan anti serikat. Selain itu Gatot juga dilaporkan Dirut DKB ke Polda dengan tuduhan
310, 311, 335 KUHP.
b. Perdamaian
Polisi seringkali menawarkan perdamaian dengan mengkriminalisasi buruh yang memperjuangkan hak-
haknya. Dengan mengkriminalisasi, buruh dipaksa menerima kesepakatan yang sudah dibuat secara sepihak oleh
Pengusaha.
c. Kriminalisasi Buruh v Kriminalisasi Pengusaha
Buruh Pabrik Adidas Omih yang disidang dengan UU Terorisme karena mengajak teman-temannya mogok
kerja. Selain itu, ada pula PT. FP yang mem-PHK karena buruh menuntut kenaikan upah berkala. PHK dilakukan
pertama-tama terhadap para pengurus serikat, selain itu pengusaha juga melakukan kriminalisasi terhadap salah
satu pengurus hingga vonis hakim menyatakan pengurus Serikat bersalah. Ketua FSPM Hotel GM dituduh meng-
gelapkan dana Serikat Pekerja oleh Manajemen Hotel GM, LBH Jakarta mendampingi sampai proses pemeriksaan
di Kepolisian.
d. Undue Delay Dalam Laporan Tindak Pidana Perburuhan
Dalam menangani laporan-laporan yang masuk, ada berbagai pola yang dilakukan:
1. Penerimaan yang sangat sulit dalam membuat laporan;
2. Ketidaktahuan aparat/penyidik tentang tindak pidana perburuhan. Hal ini dibuktikan dengan minimnya pers-
pektif pidana perburuhan di kepolisian. Banyak kasus buruh terhenti karena keerbatasan kemampuan peny-
idik;
3. Penanganan oleh unit/desk yang tidak nyambung dengan karakteristik pidana perburuhan;
4. Keraguan dan keengganan aparat dalam menindak pelaku-pelaku yang jelas melakukan Pidana Perburuhan;
5. Pengawasan tidak berjalan efektif;
6. Tidak paham dengan peraturan Perundang-undangan sehingga tindakan Penyidik tidak memenuhi rasa keadi-
lan substantif;
7. Tidak ada unit khusus yang menangani Perburuhan sehingga kasus buruh direspon represif oleh Kepolisian;

Urgensi Pembentukan Desk Pidana Perburuhan di Kepolisian


1. Kasus yang sama sebelumnya, Kepolisian gamang dan enggan menindak dan menyidik Pidana Kekerasan Da-
lam Rumah Tangga. Tetapi setelah ada Unit Pelayanan Perempuan dan Anak, Kepolisian tegas menindak kasus
Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Pidana Anak. Oleh karena itu penting untuk adanya Desk/Unit Perburu-
han dalam Badan Reserse dan Kriminal di Kepolisian RI, agar nanti ke depan Kasus Pidana Perburuhan tidak
masuk ke Unit Kriminal Khusus sehingga penyelidikan dan penyidikannya tidak menggunakan metode yang
sesuai dengan ciri khas pidana perburuhan. Selain itu, penempatan pidana perburuhan ke dalam Unit Kriminal
Khusus menyebabkan Polisi menggunakan cara-cara represif untuk menekan aksi buruh saat menyampaikan
pendapat dan aspirasinya;
2. Seringkali permasalahan pidana yang dihadapi buruh masuk dalam analisa hakim saat kasus berada di tingkat
PHI (perdata). Namun tidak adanya unit khusus perburuhan di Kepolisian Republik Indonesia menyebabkan tin-
dak lanjut kasus berunsur pidana mandul di tengah jalan.
3. Maraknya kriminalisasi buruh yang melaksanakan hak-haknya sesuai dengan Undang-undang. Seperti hak un-
tuk berserikat dan meminta perbaikan gaji dengan melakukan aksi, buruh akan dituduh melakukan penghasu-
tan dan dilaporkan ke Polisi oleh Pengusaha;
4. Adanya Desk/Unit Pidana yang khusus menangani Pidana Perburuhan bisa mendorong dan menjawab berba-
gai permasalahan yang LBH Jakarta temukan di lapangan. Tentu dengan pelatihan-pelatihan dan pengemban-
gan kapasitas aparat penyidiknya;
Langkah-langkah yang sudah diambil:
1. Melakukan FGD dengan Serikat Buruh dan Jaringan;
2. Melakukan FGD dengan ahli, yaitu Bu Surastini dari UI dan Bu Iko dari Universitas Trisakti;
3. Melakukan FGD dengan ahli, Bapak Dadang Tri Sasongko;
4. Melakukan Audiensi ke Komisi Kepolisian Nasional;
5. Melakukan Audiensi ke Kabareskrim;
Rencana Tindak Lanjut
1. Melakukan audiensi dengan ILO dan meminta ILO melakukan support politik untuk merealisasikan terben-
tuknya Desk Pidana Perburuhan;

65
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

9. CLS Menggugat Swastanisasi Air Jakarta

Menggugat Swastanisasi Air Jakarta:


Berjuang Untuk Hak Atas Air
(Arif Maulana)

Jika pada peperangan di abad 21 terjadi karena (memperebutkan) minyak,


maka peperangan di abad berikutnya terjadi karena (memperebutkan) air
Ismail Serageldin, mantan Vice President World Bank.

Sidang
penyerahan
bukti surat CLS
Swastanisasi Air
Jakarta di PN
Jakarta Pusat

Kutipan tersebut bukan prediksi untuk waktu yang jauh kedepan. Bertahun-tahun yang lalu genderang perang
itu sudah ditabuh. Privatisasi menjadi strategi perang untuk memperebutkan keuntungan dari barang pub-
lik yang bernama air. Kasus Jakarta, Indonesia, air telah berhasil dikuasai dua perusahaan asing melalui strategi
kerjasama privatisasi sejak puluhan tahun lalu, dan kini menuai gugatan dari masyarakat. Tak hanya di Jakarta,
diberbagai negara di belahan dunia, privatisasi menjadi strategi ampuh untuk menguasai air sebuah negara. Sejak
dekade 1990-an privatisasi air dihembuskan dengan mitos efektifitas dan efisiensi pengelolaan air. Faktanya air
hanya menjadi komoditas baru, ladang meraup keuntungan bagi perusahaan multinasional. Sementara Negara
dan masyarakat dirugikan. Cerita perlawanan tak hanya dari Jakarta, berbagai negara seperti Bolivia, Filipina, Ar-
gentina telah melaluinya. Bahkan kini, dua negara seperti Belanda dan Uruguay telah tegas mengilegalkan priva-
tisasi air1.

Alasan Menggugat Swastanisasi Air


Kasus Gugatan Warga Negara (Citizen Law Suit) terhadap Swastanisasi (privatisasi) Air Jakarta adalah Gugatan
yang diajukan oleh 12 orang warga Negara Indonesia2 bersama beberapa Organisasi Masyarakat Sipil seperti
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Indonesian Corruption Watch, KRUHA, KIARA,KAU, Solidaritas Perempuan
dan jaringan masyarakat sipil lainnya yang tergabung dalam jaringan kerja yang bernama Koalisi Masyarakat
Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) kepada Negara cq. Pemerintah dengan menggunakan mekanisme
Gugatan Warga Negara (Citizen Law Suit). Gugatan ini lahir dari sikap masyarakat akibat persoalan air jakarta
khususnya terlanggarnya hak atas air masyarakat di DKI Jakarta karena buruknya pengelolaan layanan air un-
tuk masyakarat khususnya masyarakat miskin dan marginal di Jakarta. Air sebagai hak asasi manusia seharusnya
dinikmati semua warga Negara namun di Jakarta, air hanya dinikmati mereka yang berpunya.
Gugatan yang didaftarkan tanggal 22 November 2012 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ini bertujuan untuk
menuntut pemerintah mereformasi kebijakan swastanisasi tata kelola layanan air di Jakarta yang mengakibatkan
warga masyarakat tidak memperoleh jaminan, perlindungan dan pemenuhan hak atas air dari negara dengan
baik. Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, Menteri Keuangan, Menteri Pekerjaan Umum, Gubernur
DKI Jakarta, DPRD Provinsi DKI Jakarta, PT. Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya menjadi tergugat dan PT. Palyja

David Hall. Air sebagai Layanan Publik. Jakarta: Kruha. Hal 15-16.
1

Nur hidayah, Suhendi Nur, Achmad Djiddan, Aguswandi Tanjung, Hamong Santono, Ecih Kusumawati, Wahi-
2

dah, Abdul Rosid, Risma Umar, Beka Ulung Hapsara, Edi Saidi, Ubaidillah,.

66
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
dan PT. Aetra ditarik sebagai turut tergugat. Petitum Gugatan meminta kepada Pengadilan untuk memerintah-
kan kepada Pemerintah mengubah kebijakan privatisasi air dengan membatalkan Perjanjian Kerjasama karena
PKS Swastanisasi Air cacat hukum, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan ketertiban umum.
Oleh karena itu, sudah seharusnya dinyatakan batal demi hukum. Selanjutnya Penggugat menuntut pemerintah
untuk kembali menguasai pengelolaan air Jakarta melalui PAM Jaya dengan didahului audit secara transparan dan
akuntabel dan juga pembenahan kelembagaan dengan membuka ruang partisipasi masyarakat.
Kasus bermula dari kebijakan pemerintahan rezim Orde Baru untuk menswastanisasikan pengelolaan air Ja-
karta melalui Perjanjian Kerjasama yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Badan Usaha Milik
Daerah yakni PAM Jaya dengan Perusahaan Swasta Asing yakni PT. Palyja (berasal dari Perancis) dan PT. Aetra
(Perusahaan dari Inggris) pada tahun 1997. Perjanjian Kerjasama tersebut berlaku 25 tahun yakni sejak tahun 1997
sampai dengan 2023. Tercapainya kesepakatan Perjanjian Kerjasama swstanisasi pengelolaan air Jakarta ini tidak
lepas dari pengaruh Rezim Otoriter Orde baru yang berkuasa dan tekanan dari World Bank sebagai syarat hutang
luar negeri untuk Indonesia di saat krisis moneter 1997.
Dalam perkembangannya, pengelolaan air oleh swasta justru mengakibatkan kualitas pelayanan air Jakarta
kepada masyarakat semakin memburuk. Tingginya harga air namun dengan kualitas air yang buruk3 dan tidak
terlayaninya masyarakat miskin untuk pemenuhan kebutuhan air menjadi persoalan yang mengemuka. Air
hanya dapat dinikmati segelintir warga Negara, dengan jangkauan yang terbatas. Sementara, setiap tahunnya,
swasta terus meraup keuntungan, Negara mencatat defisit keuangan yang mengagetkan, 18,2 Triliun hutang
Negara yang harus dibayar ke swasta, jika perjanjian masih dilanjutkan sampai dengan 2023. Ironisnya, mengeta-
hui situasi buruk tersebut Pemerinta justru diam dan tidak melakukan tindakan apapun. Pemerintah melakukan
pembiaran terhadap situasi terlanggarnya hak atas air warga Negara yang terjadi akibat kebijakan swastanisasi
air yang diterapkan. Berkaca pada situasi diatas, amanat konstitusi yang menegaskan bahwa Bumi, Air, dan Keka-
yaan Alam yang ada didalamnya dikelola oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat nampaknya
masih sebatas ilusi karena faktanya kini, air Indonesia khusunya di Jakarta dikelola swasta untuk sebesar-besarnya
keuntungan Asing.
Aib Terbongkar Warga Menguggat
Tahun 2011 PAM Jaya mempublikasikan bahwa Perjanjian Kerjasama yang tidak seimbang dan merugikan
ternyata menjadi akar dari persoalan buruknya pemenuhan hak atas air kepada masyarakat di Jakarta. Publikasi
ini mengungkap keburukan yang selama ini rapat tersembunyi dari kebijakan swastanisasi air Jakarta yang luput
dari perhatian masyarakat. Memang selama ini pengelolaan air Jakarta minim transparasi dan akuntabilitas4.
Tidak ada yang tahu bagaimana air Jakarta dikelola.Tidak ada ruang partisipasi dan keterbukaan bagi masyarakat
yang ingin mengakses informasi terkait air. Bahkan masyarakat harus bertarung melalui komisi informasi untuk
mendapatkan informasi mengenai perjanjian kerjasama5.
Audit Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia dan Badan Pemeriksa Keuangan Pemerintah tahun
2009 merilis temuan-temuan penting terkait dengan praktek kebijakan swastanisasi air jakarta diantaranya: (1).
Perjanjian kerjasama swastanisasi air memuat klausul-klausul yang mengandung Pelanggaran dan Pengabaian
ketentuan Perundang-Undangan Nasional Indonesia6 ; (2). Dalam implementasi ditemukan berbagai indikasi
KKN Pengelolaan Air oleh Swasta; (3). Perjanjian kerjasama membuat negara kehilangan kemampuannya untuk
memberikan jaminan, pemenuhan perlindungan hak atas air warga negara. Akibat PKS tersebut, PAM Jaya yang
diberikan mandat oleh Peraturan Daerah No. 13 Tahun 1992 tentang Perusahan Daerah Air Minum DKI Jakarta,
harus kehilangan kemampuan dan kewenangannya untuk mencapai tujuan dibentuknya, yakni: pemenuhan air
minum utuk kebutuhan masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, meningkatkan pendapa-
tan asli daerah, serta turut melaksanakan pengembangan perekonomian daerah.
Fakta tersebut mendorong masyarakat sipil untuk bersikap. 2011, Muncul inisiatif untuk membentuk Koalisi
Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) dibentuk untuk mengadvokasi terlanggarnya hak atas

3
Tarif air minum rata-rata per m3 di DKI Jakarta setara USD 0.7, sedangkan Negara lainnya Singapura : USD
.0.35 (kualitas siap minum), Filipina :USD 0.35, Malaysia: USD 0.22, dan Thailand: USD 0.29. Menurut lapo-
ran Badan Regulator, pada saat ini, tarif rata-rata PAM Jakarta lebih tinggi disbanding kota-kota besar di Asia
Tenggara, di antaranya Bangkok, Manila, Kuala Lumpur Johor Baru, dan Singapura. Dibanding kota-kota lain di
Indonesia, tarif Jakarta adalah yang tertinggi.
4
Moh, Mova Al Afghani dkk. 2011. Transparansi Regulasi Penyediaan Air Minum di DKI Jakarta. Jakarta: Eco-
tas. Hal 72-72.
5
Putusan Komisi Informasi Pusat memenangkan warga untuk mendapat informasi mengenai Perjanjian ker-
jasama antara PAM Jaya dengan PT. Palyja dan PT. Aetra (Salinan Putusan KIP RI No.391/XII/KIP-PS-M-A/2011).
6
Bumi Air dan Kekayaan Alam di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat (Pasal 33 ayat (3) UUD 1945), Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air
bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupannnya yang sehat, bersih, dan produktif;
Sumber Daya Air dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 5
dan 6 UU Sumber Daya Air), Pasal 5 Perda No. 13 tahun 1992 tentang PAM Jaya, dll.

67
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

air masyarakat akibat kebijakan swastanisasi air yang diterapkan sejak 1997. Koalisi terbuka ini terdiri dari individu
masyarakat dan beberapa NGO diantaranya : Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Indonesian Corruption Watch,
KRUHA, KIARA,KAU, Solidaritas Perempuan, Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK).
Berbagai langkah advokasi ditempuh. Salah Gugatan terhadap pemerintah melalui mekanisme Gugatan War-
ga Negara (Citizen Law Suit) menjadi salah satu pilihan.

Berlarutnya Proses Persidangan


Meskipun hampir satu tahun, kasus ini memasuki persidangan, proses persidangan baru memasuki tahap pem-
buktian7. Nampak bahwa tegaknya asas peradilan cepat, sederhana, biaya murah masih menjadi mimpi di neg-
eri ini. Persidangan berjalan sangat lama, bulan November 2012 sampai dengan Maret 2013 waktu habis untuk
menghadirkan para tergugat ke persidangan dan menempuh upaya mediasi. 17 April 2013 gugatan warga Negara
di bacakan di muka persidangan. Mekanisme Gugatan Warga Negara sempat dipersoalkan oleh Para Tergugat,
gugatan dinilai tidak memiliki dasar hukum dan tidak dikenal di Indonesia, namun kemudian melalui tanggapan
eksepsi penggugat mampu mematahkan dalil eksepsi kompetensi absolute yang diajukan para tergugat. Dalam
putusan selanya hakim memutuskan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang mengadili gugatan
warga Negara.
Banyaknya pihak yang ditarik sebagai penggugat menjadi tantangan tersendiri dalam advokasi kasus ini.
Selain itu, pilihan mekanisme gugatan warga Negara yang dipilih membuat hakim nampa berhati-hati dalam
memimpin proses persidangan. Lamanya proses gugatan warga negara yang berlangsung dari tahun 2012 sam-
pai dengan saat ini, Konsistensi konsolidasi dan gerakan warga dan Koalisi untuk menghadapi lamanya proses
advokasi menjadi tantangan yang harus dihadapi.
Saat ini, persidangan telah memasuki tahap yang menentukan yakni pembuktian. Dalam kesempatan pem-
buktian surat pihak penggugat telah menyerahkan 94 alat bukti surat. Berbagai dokumen surat terkait fakta ter-
langgarnya hak atas air warga Negara diserahkan penggugat. Selanjutnya, persidangan masih akan berlanjut
dalam agenda pembuktian surat untuk para tergugat.
Provisi : Dilarang mengalihkan Hak Kepemilikan maupun Aset
Beberapa persoalan muncul paska gugatan warga Negara ini diajukan. PT. Palyja sebagai pihak turut tergugat
mencoba melarikan diri dengan menjual seluruh sahamnya kepada perusahaan air Filipina, Manila Water disaat
proses persidangan masih berlangsung. Tindakan tersebut menuai reaksi dari para tergugat. Dalam gugatannya
penggugat mengajukan permohonan provisi yang berisi tuntutan agar hakim memerintahkan para tergugat dan
turut tergugat tidak melakukan perbuatan hukum untuk mengalihkan kepemilikan maupun asset selama belum
ada putusan yang berkekuatan hukum tetap. Akhirnya rencana penjualan saham tersebut kandas karena tidak
dipenuhinya syarat persetujuan gubernur.
Tak berselang lama, Pemprov DKI Jakarta menyulut kontroversi. Gagalnya pembelian saham Palyja oleh Pe-
rusahaan Filipina, Manila Water, justru mendorong Pemprov DKI Jakarta merencanakan pembelian saham Pa-
lyja. Anehnya, tiba-tiba saja DPRD DKI Jakarta menyetujui Perda Penyertaan Modal senilai 600 Milyar kepada
Pemprov DKI Jakarta untuk membeli saham Palyja melalui PT. Jakpro, Badan Usaha Milik Daerah yang bergelut
dibidang Properti. Belum lagi, Gubernur pernah menyatakan akan menunggu proses peradilan baru kemudian
mengambil kebijakan8.
Upaya ini jelas bertentangan dengan gugatan warga Negara yang mengharapkan pemerintah dapat mengam-
bil kembali kendali PAM Jaya tanpa membayarkan dana sepeser pun dan selanjutnya membenahi kebijakan pe-
layanan hak atas air warga Negara melalui tata kelola air Jakarta baru. Tak jelas, apa rencana pemprov dibalik
pembelian saham Palyja.Yang pasti, Pemprov DKI jakarta bertindak sendiri dengan mengabaikan proses hukum
yang sedang berjalan di PN Jakarta Pusat dan tidak membuka ruang partisipasi masyarakat dalam pengambilan
keputusan terkait tata kelola air Jakarta.

Kesimpulan
Swastanisasi air Jakarta adalah satu dari berbagai kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang salah
oleh negara yang anehnya tetap dilestarikan. Masyarakat harus menuntut agar Pemerintah berubah. Gugatan
masyarakat melalui mekanisme gugatan warga Negara (Citizen Law Suit) yang saat ini sedang ditempuh adalah
upaya masyarakat untuk mengingatkan Negara agar mengkoreksi kebijakannya dan tidak abai terhadap kewa-
jiban perlindungan dan pemenuhan hak atas air warga negara. Perlu dicatat bahwa advokasi kebijakan memper-
juangkan hak membutuhkan tidak hanya waktu yang panjang namun juga semangat untuk menjaga tenaga dan
pikiran agar tetap konsisten untuk berjuang. Konsolidasi yang baik dari masyarakat menjadi kunci untuk terus
menjaga dan memperkuat perjuangan.
7
Gugatan Warga Negara Menolak Swastanisasi Air Jakarta didaftarkan pada tanggal 21 November 2012
dengna Nomor Perkara : 527/PDT.G/2012/PN.JKT.PST.
8
Lihat dalam pers release LBH Jakarta pasca audiensi dengan Gubernur DKI Jakarta, 27 Maret 2013.

68
BAB. IV

cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


Program dan Kegiatan

Program dan Kegiatan

Penelitian Skema Penganggaran dan Tatacara


Penyaluran Dana Bantuan Hukum yang Ideal
Untuk Menjamin Pemenuhan Hak Atas Bantuan
Hukum bagi Masyrakat Miskin di Indonesia
Indonesia telah mengesahkan UU No.16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum pada tang-
gal 31 Oktober 2011, sebagai bentuk jaminan hak konstitusional setiap orang mendapatkan
perlakuan yang sama di hadapan hukum, dan sebagai bentuk tanggung jawab Negara untuk
memberikan bantuan hukum bagi orang miskin. Kajian mekanisme penyaluran dana bantu-
an hukum menjadi penting karena melalui kucuran dana yang disalurkan pemerintah melalui
pemberi bantuan hukum inilah, dana akan di wujudkan dalam bentuk bantuan hukum bagi
masyarakat miskin untuk penyelesaian perkara hukum yang dihadapi. Permasalahan yang
kemudian muncul adalah berapa jumlah besaran dana yang dibutuhkan untuk pelaksanaan
bantuan hukum diberbagai daerah di Indonesia agar pelaksanaannya benar-benar dapat
mendekatkan masyarakat pada keadilan. Komponen pembiayaan apa saja yang diperlukan
dalam pelaksanaan pemberian dana bantuan hukum. Kegiatan atau tindakan apa saja yang
membutuhkan pembiayaan untuk pemberian bantuan hukum dan dapat di masukkan dalam
skema penganggaran dalam pendanaan bantuan hukum.
Sejak bulan Mei sampai September 2013 LBH Jakarta bersama dengan LBH Papua, LBH
Makassar, LBH Surabaya dan LBH Padang dengan dukungan Australian Indonesian Part-
nership for Justice (AIPJ) telah merampungkan rangkaian kegiatan penelitian terkait skema
dan mekanisme penganggaran dalam bantuan hukum. Kegiatan penelitian ini bermaksud
menggali berbagai informasi dan data di lapangan (Masyarakat, Insititusi Pemerintah, dan
Organisasi Bantuan Hukum) terkait dana yang disalurkan oleh pemerintah kepada intitusi
atau organisasi bantuan hukum dan melihat komponen pembiayaan dalam pemberian ban-
tuan hukum.
Penelitian ini pada prinsipnya bertujuan untuk mendapatkan informasi yang utuh menge-
nai skema penganggaran dan tata cara penyaluran dana bantuan hukum, baik dalam pera-
turan perundang-undangan di Indonesia dan praktek penerapannya. Selain itu, penelitian ini
bertujuan mengetahui jumlah biaya yang dikeluarkan oleh OBH dalam penanganan kasus
(per kasus) baik litigasi maupun non litigasi di berbagai daerah di Indonesia, serta sejauh mana
OBH menerima anggaran negara untuk pelayanan bantuan hukum bagi masyarakat miskin.
Dengan tujuan awal tersebut, peneliti kemudian berhasil mengungkapkan lebih banyak
informasi salah satunya adalah potensi anggaran yang sangat besar di balik program bantuan
hukum. Namun jauh panggang dari api, potensi tersebut justru banyak disimpangi justru oleh
pejabat negara sendiri, dengan cara menggunakan dana bantuan hukum untuk kepentingan
lembaga dan pribadinya sendiri, bukan untuk masyarakat miskin sebagaimana pemahaman
konsep bantuan hukum. Semua hasil penelitian tersebut telah dituangkan dalam bentuk
buku yang Berjudul Neraca Timpang bagi Si Miskin , dan telah diluncurkan pada tanggal 10
Oktober 2013.

69
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

2. Paralegal dan Bantuan Hukum

Peran Paralegal dalam


Memberikan Bantuan Hukum
Hak atas Bantuan Hukum telah diterima secara universal yang dijamin dalam Kovenan Internasional
tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)). Pasal 16
dan Pasal 26 ICCPR menjamin semua orang berhak memperoleh perlindungan hukum serta harus di-
hindarkan dari segala bentuk diskriminasi. Pasal 14 ayat (3) ICCPR memberikan syarat terkait Bantuan
Hukum dilakukan atas kepentingan-kepentingan keadilan dan ketidakmapuan membayar Advokat.
Pemerintah melalui Undang-undang nomor 16 tahun 2011 tentang bantuan hukum dan peraturan pe-
merintah Nomor 42 Tahun 2013 tentang syarat dan tatacara pemberian bantuan hukum dan penyaluran
dana bantuan hukum telah memberikan tempat bagi Paralegal untuk memberikan bantuan hukum.
Paralegal adalah seseorang yang bukan advokat namun memiliki pengetahuan dan keterampilan di
bidang hukum. Kehadiran Paralegal didasari atas maraknya pelanggaran hukum dan hak asasi manu-
sia yang mengakibatkan masyarakat menjadi miskin dan rentan. Atas fenomena tersebut dilakukanlah
penyadaran hak-hak masyarakat melakui pendidikan kepada perwakilan masyarakat atau komunitas.
Perwakilan masyarakat atau komunitas inilah yang disebut dengan paralegal dengan tugas utama
melakukan penyadaran hak-hak dimasyarakat. Tujuannya ialah agar masyarakat sadar dan memper-
juangkan perwujudan hak-haknya.
Dalam perkembangan saat ini paralegal dapat melakukan aktivitas bantuan hukum lainnya seperti
pendampingan hukum, penelitian, membuat dokumen hukum, investigasi dll. Sehingga perannya tidak
lagi melakukan penyadaran namun turut secara langsung membantu masyarakat pencari keadilan.
Perlulah memberikan apresiasi kepada pemerintah yang mengakui peran paralegal dalam mem-
berikan bantuan hukum melalui UU Nomor 16 Tahun 2011 dan PP Nomor Nomor 42 Tahun 2013. Ber-
dasarkan UU Nomor 16 Tahun 2011, bantuan hukum adalah jasa yang diberikan oleh pemberi bantuan
hukum secara Cuma-Cuma kepada penerima bantuan hukum. Pemberian bantuan hukum meliputi
masalah hukum keperdaataan, masalah hukum pidana, masalah hukum tata usaha negara baik secara
litigasi maupun non litigasi. Adapun jasa diberikan meliputi konsultasi hukum, membuat pendapat hu-
kum, mendampingi atau menjalankan kuasa dari tingkat penyidikan hingga pengadilan, mendampingi
atau menjalankan kuasa di tingkat pengadilan pada kasus perdata atau PTUN, melakukan negosiasi,
mendampingi proses mediasi, mengajukan banding, kasasi, dan peninjauan kembali, penelitian hukum
dan penyuluhan hukum.
Catatan dari UU Bantuan hukum terhadap peran paralegal adalah pertama Undang-undang ini
membatasi pemberian bantuan hukum kepada masyarakat miskin berdasarkan ukuran ekonomis per-
tanyaannya bagaimana dengan masyarakat yang rentan dan marjinal. Kedua Undang-undang ini mem-
batasi pemberian bantuan hukum pada masalah pidana, perdata dan Tata Usaha Negara, pertanyaan-
nya bagaimana dengan kasus-kasus hak asasi manusia.
Pada hakikatnya kehadiran paralegal adalah untuk melakukan penyadaran dan advokasi hak-hak
asasi manusia, sehingga perlulah menempatkan peran utama paralegal dalam memberikan bantuan
hukum kepada fungsi melakukan penyadaran hak asasi manusia bagi masyarakat miskin dan rentan.
Fungsi litigasi dan non litigasi tetap melekat sebagai penunjang bagi paralegal dalam melakukan
penyadaran hak asasi manusia masyarakat. Karena dengan kesadaran masyarakat akan hak-haknya

70
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
masyarakat akan mendorong perubahan dalam tatanan hukum.
Pada akhir tahun 2012 sejumlah Advokat mengajukan permohonan Uji Materi Undang-Undang No-
mor 16 Tahun 2011 Tentang bantuan hukum ke Mahkamah Konstitusi. Dalam permohonan tersebut
pemohon mempermasalahkan fungsi dari paralegal yang dapat memberikan Bantuan Hukum kepada
masyarakat, yang menurut pemohon merebut kewenangan pemohon sebagai advokat dalam mem-
berikan bantuan hukum. Pemohon menilai paralegal tidak layak diberi wewenang memberikan bantuan
hukum, apalagi sampai beracara di pengadilan sebab advokat sudah diberikan wewenang memberikan
bantuan hukum secara cuma-cuma kepada masyarakat miskin. Hingga saat ini Mahkamah Konstitusi
belum memutus permohonan ini.
Minimnya tenaga advokat yang memberikan pelayanan bantuan hukum kepada masyarakat mis-
kin dan terpinggirkan mengakibatkan masyarakat sulit mengakses hak atas bantuan hukum karena
terkendala mahalnya jasa advokat, terbatasnya jumlah advokat, serta tidak meratanya penyebaran ad-
vokat. Hal ini dapat dijembatani dengan hadirnya paralegal di komunitas masyarakat dalam memberi-
kan bantuan hukum. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menolak permohonan uji materi yang
dilakukan sejumlah advokat karena mengancam keberadaan paralegal yang menjembatani bantuan
hukum bagi masyarakat miskin dan rentan. Bantuan hukum adalah hak konstitusional sehingga negara
berkewajiban memastikan bahwa setiap warganya dapat menikmati hak itu tanpa kecuali.
LBH Jakarta memiliki 124 orang paralegal yang berperan aktif dalam memberikan bantuan hukum.
Terdiri dari paralegal perburuhan, paralegal hak tempat tinggal, paralegal anak, paralegal LGBT, para-
legal kebebasan berkeyakinan dan beragama. Angka tersebut diluar dari ratusan perwakilan komunitas
yang telah dilatih oleh LBH Jakarta yang turut serta memberikan bantuan hukum. Tersebar dalam be-
berapa wilayah yakni Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Kerawang, Serang. Fungsi dari parale-
gal dan perwakilan komunitas telah memberi dampak yang besar dalam penyadaran hak dan bantuan
hukum.
Peran paralegal diatas menunjukan bahwa paralegal tidak lah merebut peran advokat dalam mem-
berikan bantuan hukum namun membantu advokat dalam mewujudkan hak bantuan hukum bagi
setiap orang. Masalah lain yang muncul bagi paralegal dalam memberikan bantuan hukum kepada
masyarakat adalah penegak hukum yang tidak mengetahui tentang paralegal dan fungsinya, sehingga
sering kali paralegal dibatasi/dihalang-halangi dalam memberikan bantuan hukum. Hal ini perlu dibe-
nahi dengan cara mensosialisasikan paralegal kepada penegak hukum.
Dalam rangka mewujudkan bantuan hukum kepada masyarakat melalui paralegal maka Rekomen-
dasi LBH Jakarta ;
1. Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Ham harus mensosialisasikan keberadaan paralegal
dan fungsinya dalam memberikan bantuan hukum kepada aparat penegak hukum (kepolisian, ke-
jaksaan, hakim, dll);
2. Pemerintah memperkuat peran paralegal dalam melakukan penyadaran hak-hak manusia kepada
masyarakat;
3. Mendesak Mahkamah Konstitusi untuk menolak Permohonan Uji Materi yang dilakukan Advokat.

3. Penerimaan Pengacara Pembela Pidana

Criminal Defense Lawyer


(Pengacara Pembela Pidana)
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta
Latar Belakang Program
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta sudah sejak tahun 1970 memberikan bantuan hukum
struktural bagi masyarakat miskin tertindas, dan korban pelanggaran Hak Asasi Manusia. Sebagai
gambaran, LBH Jakarta menerima sekitar 1000 kasus pengaduan setiap tahunnya, dan dari rata-rata
pengaduan tersebut misalnya pada tahun 2012 saja LBH Jakarta menerima 254 pengaduan kasus
pidana yang melibatkan 626 pencari keadilan, atau sekitar 25,4% dari rata-rata total pengaduan setiap
tahun.
Dari jumlah pengaduan kasus pidana yang diterima, tidak seluruh pengaduan tersebut ditangani
secara litigasi. Sebagian besar pengaduan tersebut dilayani di tahap konsultasi. Karena keterbatasan
sumber daya pengacara yang kami miliki, kami membatasi penanganan litigasi pidana hanya terh-
adap kasus-kasus pidana yang berdimensi struktural atau pelanggaran Hak Asasi Manusia. Antara lain,
kasus-kasus kriminalisasi (salah tangkap atau rekayasa kasus) yang terkait dengan isu perburuhan,

71
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

hak atas tanah atau perumahan, hak atas kemerdekaan beragama, dan lain sebagainya. Kasus-kasus
pidana di mana terdapat indikasi penyiksaan atau unfair trial, juga menjadi perhatian khusus LBH
Jakarta.
Sebagai respon dari kebutuhan para pencari keadilan dalam sistem peradilan pidana, saat ini LBH
Jakarta memiliki tambahan sumber daya manusia berupa Pengacara dan Asisten Pengacara Pem-
bela Pidana (Criminal Defense Lawyer) yang akan mendampingi para pencari keadilan dalam sistem
peradilan pidana terkhusus melindungi Hak Asasi Manusia mereka sehingga tidak terlanggar dalam
prosesnya.

Tujuan Program
Tujuan Umum :
Mewujudkan akses keadilan bagi masyarakat marginal yang berhadapan dengan hukum dalam
kasus-kasus pidana
Tujuan Spesifik :
1. Menyediakan sumber daya pengacara yang memadai bagi masyarakat marginal pencari keadilan
di kasus-kasus pidana
2. Memastikan proses hukum yang adil dalam kasus-kasus pidana
3. Memberikan pembelaan yang professional terhadap pencari keadilan dalam kasus-kasus pidana
4. Menciptakan sumber daya pengacara masa depan yang memiliki jiwa bantuan hukum sekaligus
keahlian praktis dalam penanganan kasus-kasus pidana
Kegiatan yang dilakukan

No. Kegiatan Waktu Keterangan


1. Rekrutmen : 30 Rekrutmen dilakukan secara terbuka terhadap mereka yang
x 1 (satu) orang September memenuhi persyaratan
mentor 11 Oktober
x 8 (delapan) 2013
orang pengacara
x 8 (delapan)
orang asisten
pengacara
x 2 (dua) staf
pendukung
2. Pembekalan 6-8 Para Pengacara dan Asisten Pengacara yang telah berhasil
Pengacara, Asisten November direkrut diikutsertakan dalam program pembekalan
Pengacara, dan Staf 2013
Pendukung
3. Pengadaan September
Infrastruktur, Oktober 2013
Peralatan dan
Pendukung Kerja
Bantuan Hukum
PIdana
4. Penanganan Kasus- November Para Pengacara dan Asisten Pengacara dalam program ini
Kasus Pidana 2013 Mei melayani penanganan kasus-kasus pidana, mulai dari tahap
2014 pengaduan sampai dengan pendampingan secara litigasi.
Penangangan kasus dapat berasal dari pengaduan yang
masuk ke LBH Jakarta, maupun terhadap kasus-kasus yang
ditemui di lapangan (Kepolisian, Kejaksaan, atau
Pengadilan)
5 Perekrutan Tahap II Pendaftaran ke 2 : 5 - 15 November 2013
Pengacara Pembela Psikotes : Jumat, 29 November 2013
Pidana Wawancara : Jumat, 22 November 2013
Pelantikan : Jumat, 6 Desember 2013

72
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
Daftar Pengacara dan Asisten Pembela Pidana
PENGACARA PEMBELA PIDANA ASISTEN PENGACARA
1. Romy Leo Rinaldo, S.H. 1. Annisa Rizky, S.H.
2. Hendra Supriatna, S.H. 2. Beren Merary, S.H.
3. Lana Teresa Siahaan, S.H. 3. D.R. Golda Meir, S.H.
4. Novalia Matondang, S.H. 4. Eko Haridani Sembiring, S.H.
5. Ahmad Hardi Firman, S.H. 5. Muhammad Al Mizaan, S.H.
6. Ruhut Marlinang, S.H.
Staf Program: 7. Ariyono, S.H.
Sayid Muh. Faldi, S.H. 8. Iwan Budi Arta, S.H.

4. Rembuk Warga

REMBUK WARGA JAKARTA


UNTUK JAKARTA YANG BERPRIKEMANUSIAAN
Seribu Harapan Untuk Jakarta Baru
REMBUK WARGA JAKARTA merupakan serangkaian kegiatan untuk mengidentifikasi dan mengin-
ventarisir permasalahan-permasalahan Jakarta yang dihadapi warga Jakarta. Acara ini didasari keya-
kinan bahwa semua orang telah mengetahui masalah-masalah akut di Jakarta. Acara ini dilaksanakan
pada bulan Desember 2012, 25 Maret 8 April 2013

Tujuan
Rembuk warga merupakan wadah konsolidasi korban dan masyarakat sipil yang selama ini berjuang
sendiri-sendiri memperjuangkan hak-haknya. Para korban bersatu demi penyelesaian kota Jakarta
yang holistik. Ego sektoral sebisa mungkin diminimalisir. Semua sepakat bahwa perjuangan HAM tidak
bisa dipisah-pisahkan (indivisibility) dan saling ketergantungan (interdependence).

Bentuk Kegiatan
Adapun serangkaian kegiatan yang telah dilaksanakan oleh Panitia Rembuk Warga Jakarta adalah
sebagai berikut:
a. Launching Rembuk Warga Jakarta
b. Mimbar Bebas Warga Jakarta
c. Turun Kampung, Rembuk Komunitas
d. Thematic Workshop: Partisipasi public, Transportasi Publik, Tata Kota, Perburuhan, Pendidikan dan
Tata Kelola Air
e. Karnaval dan Panggung Warga

Hambatan dan Tantangan


Pada saat pelaksanaan, konsolidasi jaringan menjadi kendala terbesar. Kendala tersebut mengaki-
batkan konsep acara sempat berubah-ubah. Namun kendala tersebut dapat diatasi. Acara berjalan
dengan baik meskipun terdapat sejumlah penyesuaian konsep.
Pada akhir acara ini, warga mengelurkan rekomendasi berisi prinsip-prinsip bagaimana solusi dari
masyarakat itu dijalankan oleh Pemda DKI Jakarta. Diharapkan rekomendasi tersebut dapat mendor-
ong Pemda DKI lebih partisipatif, akuntabel, non diskriminatif, dan tidak melanggar hak-hak masyarakat
dan keadilan.
Rembuk Jakarta menghasilkan kompilasi permasalahan dan solusi permasalahan Jakarta versi warga
Jakarta dengan judul Agenda Kerja DKI Jakarta 2013-2014. Sebuah capaian yang bisa dibilang langka
sekaligus bukti warga DKI telah berperan secara aktif membangun DKI Jakarta.

73
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

5. Memperkuat Sistem HAM di ASEAN

Program Memperkuat Sistem HAM ASEAN


melalui Advokasi Hukum
Selama tahun 2013, LBH Jakarta bekerja sama dengan ABA-ROLI (American Bar Association - Rule of Law Ini-
tiative) melanjutkan program Memperkuat Sistem HAM ASEAN melalui Advokasi Hukum yang dimulai sejak akhir
2011. Program ini bertujuan untuk memperkuat sistem HAM ASEAN dengan cara memberikan pengetahuan ke-
pada pengacara-pengacara mengenai HAM ASEAN dan regional, mendorong partisipasi penguatan sistem HAM
ASEAN, dan memperkuat jaringan pengacara di ASEAN. Kegiatan utama dari Program ini adalah penyelengga-
raan Pelatihan Advokasi Hukum Asia Tenggara. Selama tahun 2013, diadakan 2 pelatihan regional Asia Tenggara
di Filipina, Thailand, dan 1 kali pelatihan nasional di Yogyakarta.

Pelatihan Advokasi Hukum Asia Tenggara Ketiga, Manila


Pada tanggal 28 Februari 2 Maret 2013, Pelatihan Regional yang Ketiga diadakan di Manila, Filipina. Pelatihan
di Manila ini berhasil mengumpulkan 20 peserta dari Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia,
Singapura, Filipina, Thailand, Vietnam.
Pelatihan di Manila menghadirkan narasumber Perwakilan Filipina untuk Komisi HAM ASEAN (ASEAN Inter-
governmental Commission on Human Rights/AICHR), Rosario G. Manalo; Boedhi Widjarjo, Alumni YLBHI; Chris-
tina Cerna, Ahli mengenai Sistem HAM Inter-Amerika. Pelatihan juga menghadirkan perwakilan dari masyarakat
sipil yang berpengalaman dalam advokasi ASEAN, yaitu Ray Paolo J. Santiago, Working Group on ASEAN Human
Rights Mechanisms; Emerlynne Gill dari International Commission of Jurists (ICJ); dan Boedhi Widjarjo, alumni
YLBHI untuk berbagi pengalaman mengenai bagaimana pengacara berperan dalam advokasi kebijakan di tingkat
nasional.

Pelatihan Advokasi Hukum Asia Tenggara Keempat, Bangkok


Pelatihan regional Keempat dilaksanakan di Bangkok, Thailand pada tanggal 16-18 Mei 2013. Dalam pelatihan
regional yang terakhir ini, LBH Jakarta dan ABA-ROLI berhasil mengumpulkan 23 peserta dari 10 negara anggota
ASEAN yaitu Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Singapura, Filipina, Thailand,
Vietnam.
Di Bangkok, pelatihan ini dihadiri oleh Perwakilan Thailand untuk Komisi HAM ASEAN, Dr. Seree Nonthasoot
yang memberikan pidato pembukaan. Selain itu, Pelatihan juga menghadirkan narasumber Perwakilan Thailand
untuk Komisi Hak Perempuan dan Anak ASEAN (ASEAN Commission for the Promotion and Protection of the
Rights of Women and Children/ ACWC), Kanda Vajrabhaya; David J. Padilla, ahli yang juga akademisi dan mantan
praktisi dalam sistem HAM Inter Amerika; Boedhi Widjarjo, sebagai praktisi untuk berbagi mengenai peran pen-
gacara dalam gerakan reformasi di Indonesia.

74
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
Pelatihan Advokasi Hukum Asia Tenggara Kelima, Yogyakarta
Pelatihan Advokasi Hukum Asia Tenggara yang Kelima diadakan di Yogyakarta pada tanggal 15-17
Juli 2013. Pelatihan diikuti oleh 25 peserta dari Indonesia wilayah Timur hingga Barat. Pelatihan di ting-
kat nasional ini diadakan khusus berdasarkan pertimbangan cakupan wilayah yang luas dan adanya ke-
butuhan agar pengacara di Indonesia memahami dan dapat terlibat aktif dalam advokasi HAM ASEAN.
Dalam pelatihan ini narasumber yang dihadirkan adalah Rafendi Djamin, Perwakilan Indonesia untuk
AICHR; Christina Cerna; Boedhi Widjarjo; dan Atnike Sigiro, Program Manajer Forum Asia.

Advokasi kasus ke ASEAN


Selain mengadakan pelatihan, program ini juga menyediakan pendanaan kecil bagi alumni yang
ingin mengadakan pelatihan atau advokasi mengenai sistem HAM ASEAN. Pendanaan kecil telah
diberikan kepada Mekong Legal Network (Thailand), Women Legal Bureau (Filipina), LBH Pers, LBH
Makassar, dan Solidaritas Perempuan. Disamping itu, LBH Jakarta turut membantu LBH Makassar yang
mengangkat isu kebebasan beragama, dan juga LBH Pers yang mengangkat kasus Udin Bernas, agar
menjadi perhatian AICHR.

Pelatihan Resume Kasus
Pada tanggal 31 Oktober 2 November 2013, LBH Jakarta dan ABA-ROLI menyelenggarakan pelati-
han resume kasus sebagai tindak lanjut lima pelatihan advokasi hukum Asia Tenggara. Pelatihan ini di-
adakan 2 kali, dan yang berikutnya akan diadakan di Thailand. Pelatihan bertujuan untuk meningkatkan
kapasitas pengacara untuk membuat teori kasus, meringkas kasus Hak Asasi Manusia, dan menyusun
tuntutan hukum dengan menggunakan mekanisme HAM Nasional, Regional, dan Internasional. Pelati-
han ini diikuti oleh 19 peserta dan menghadirkan Matthew A. Rooney dari Kantor Hukum Mayor Brown
LLP, Chicago, Amerika Serikat sebagai narasumber.

6. Laporan Berita LBH 2013


Laporan Berita LBH 2013
Tujuan diterbitkannya Berita LBH Jakarta antara lain; (1). Sebagai sarana komunikasi antara LBH
Jakarta dengan Jaringan, Klien ataupun orang-orang yang terlibat dalam kerja-kerja bantuan hukum
baik secara langsung ataupun tidak; (2). Memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat terkait
dengan permasalahan hukum di DKI Jakarta ; (3). Mengenalkan publik dengan LBH Jakarta, mulai dari
kerja-kerja yang dilakukan ataupun segala hal yang terkait dengan LBH Jakarta: (3). Alat penggalangan
dana publik untuk mendukung kerja bantuan hukum LBH Jakarta
Tahun ini LBH Jakarta menerbitkan dua edisi Berita LBH Jakarta yakni edisi Juni Agustus dan Edisi
September November. Kedua edisi tersebut diterbitkan sejumlah 1.000 eksemplar. Dalam Edisi Juni
Agustus tema mengenai Kota dan Penggusuran diangkat. Tema ini dipilih dilatarbelakangi oleh terpil-
ihnya pasangan pengusung konsep Jakarta Baru, Jokowi-Ahok menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur
DKI Jakarta untuk periode 2012-2017. Terpilihnya dua pasangan tersebut menumbuhkan harapan baru
bagi warga Jakarta. Setidaknya, di pundak mereka harapan terselesaikannya berbagai permasalahan
carut marutnya tata kelola kota Jakarta disertai permasalahan turunannya. Beberapa permasalahan
urgent seperti Penggusuran, perubahan ruang terbuka hijau yang tidak aspiratif, kebijakan yang berori-
entasi pada kepentingan swasta, pembangunan yang tidak sesuai dengan perijinan, tumpang tindihnya
kebijakan pembangunan kota dan tidak adanya keterbukaan informasi publik adalah masalah yang
mesti segera dicari solusinya. Berikut ini adalah konten Berita edisi Juni Agustus:

KOLOM JUDUL BERITA

Fokus Publik Rembug Warga Jakarta: Suara Warga Untuk Pemimpin Baru

Opini Publik Kota dan Penggusuran (wawancara dengan Dr. Karlina Supelli)

Kasus Publik Penggusuran dan Pemblokiran rel kereta

Jejak Agenda 1. Pelatihan Paralegal KBB


2. Kalabahu 2013 angkatan ke-34

Liputan Khusus Putusan Ringan Angelina Sondakh

Inspirasi Jeruji Besipun Luluh karena Semangatnya (Maya Agung Dewandaru)

Penutup Lomba Desain Kaos untuk Tingkat SMA dan Umum

75
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

Terdapat beberapa hamba tan dan evaluasi yang dicatat selama penyusunan edisi Juni- Agustus
antara lain: (1). Editing masih banyak kekurangan (2). Desiain kurang kreatif, baik cover maupun tata
letak konten; (3). Hasil cetak kurang memuaskan karena dicetak dalam bentuk BW saja.
Evaluasi dalam edisi Juni- Agustus mendorong kualitas penerbitan yang lebih baik pada berita LBH
edisi September- November. Perbaikan konten , design dan cetak menjadi perhatian. Hasilnya, tampi-
lan dan design baru dapat disajikan untuk masyarakat. Sekarang berita LBH memiliki ukuran lebih kecil
dengan tampilan warna dan sajian berita yang lebih beragam. Edisi Berita LBH September-November
mengangkat tema mengenai Bantuan Hukum Bagi Si Miskin.
Dimulainya Penerapan kebijakan bantuan hukum bagi masyarakat miskin pada tahun 2013 ini men-
jadi latar belakang diangkatnya isu ini. Diterbitnya Undang-Undang Bantuan Hukum tentunya men-
jadi kabar yang cukup membahagiakan bagi masyarakat di Indonesia khususnya bagi mereka yang
tidak mampu secara ekonomi. Sejak saat itu, bantuan hukum memilki payung hukum yang pasti dan
Negara mengikrarkan diri untuk menjamin kewajiban pemenuhan hak atak atas bantuan hukum bagi
masyarakat miskin yang selama ini diabaikan. Meskipun telah diundangkan dua tahun yang lalu, yakni
sejak 2 November 2011, UU ini baru efektif dilaksanakan tahun 2013 ini. Juni 2013, masyarakat dapat
mulai menikmati layanan bantuan hukum dari Negara yang disalurkan melalui organisasi bantuan hu-
kum yang telah terverifikasi dan terakreditasi. Persamaan dimuka hukum harapannya tidak lagi men-
jadi mimpi khususnya bagi mereka yang tidak punya . Berikut ini adalah bagan konten berita LBH edisi
September- November:

KOLOM JUDUL BERITA

Liputan Kkusus Jokowi Kunjungi LBH Jakarta, LBH Jakarta terakreditasi A

Jejak Agenda - Memperkuat system HAM ASEAN


- Pendidikan Paralegal dari LBH untuk Masyarakat
- Mimbar Seribu Harapan
- LBH Buka Pelayanan Khusus Kasus Pidana
- LBH Jakarta Lantik Asisten dan Pengacara Publik Baru
- LBH Jakarta Buka Posko Pengaduan THR dan PHK
- Peluncuran Buku, Neraca TImpang Bagi Si Miskin
Fokus Publik Lembaran Baru Bantuan Hukum bagi si Miskin

Suara Publik Bantuan Hukum dan Jakarta Baru

Lensa LBH Foto aktifitas kerja bantuan hukum LBH Jakarta

Opini Publik Bantuan Hukum (belum) untuk semua

Inspirasi Mengenang Sosok Dosen Pejuang HAM

Resensi Buku - Kesinambungan Serta Perubahan Hukum dan Politik Indonesia


- 40 Tahun Pasang Surut Memperjuangkan HAM
- Neraca Timpang Bagi Si Miskin
Kasus Publik - Menggugat Swastanisasi Air Jakarta: Berjuang untuk Hak Atas Air
- Pendidikan Tinggi dan Mahasiswa: Mesin Pencetak Tenaga Kerja dan Sumber
Dana
Brosur dan Formulir Donasi Bantuan Hukum untuk 1000 pencari Keadilan

7. Laporan Buku Saku Bantuan Hukum

BUKU SAKU BANTUAN HUKUM


Latar Belakang
Diundangkannya UU No 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum melegitimasi peran negara me-
nyediakan akses sama rata kepada masyarakat miskin untuk mendapatkan keadilan. Langkah terse-
but semakin konkret dengan verifikasi yang dilakukan oleh BPHN kepada Organisasi Bantuan Hukum
di seluruh Indonesia. LBH Jakarta merupakan salah satu OBH yang lolos verifikasi dan mendapatkan
dana bantuan hukum untuk disalurkan ke masyarakat miskin.

Penerbitan Buku Saku Bantuan Hukum


Buku saku bantuan hukum adalah panduan yang diberikan kepada masyarakat luas tentang pe-

76
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
nyelenggaraan Bantuan Hukum di Indonesia. Di dalamnya termuat
informasi tentang apa itu bantuan hukum, persyaratan, kasus apa
saja yang dapat didampingi, dimana saja bisa mengajukan bantuan
hukum, dll. LBH Jakarta akan mencetak buku saku tersebut seban-
yak 1000 eks yang selanjutnya akan didistribusikan ke masyarakat,
jaringan, dan kantor pemerintahan agar bisa diakses oleh si miskin.

Waktu dan Panitia yang terlibat


Penyusunan buku saku ini dilakukan oleh Tim Litbang LBH Ja-
karta sejak Juli 2013-September 2013. Panitia yang terlibat adalah
seluruh Pengacara Publik dan Asisten Pengacara Publik yang bertu-
gas di bidang Litbang LBH Jakarta, diantaranya:
- Restaria Hutabarat, S.H., M.A.
- Arif Maulana, S,H., M.H.
- Eny Rofiatul N, S.H.
- Veronica Koman, S.H.
- M Arifian Nugroho
- Jane Aileen T., S.H.
- Akhmad Zaenudin, S.H.

8. Guru dan Keragaman

Guru dan Keragaman


Salah satu penyebab meningkatnya intoleransi dan diskriminasi berbasiskan agama adalah min-
imnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat akan pentingnya toleransi dan keragaman dalam
kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Pendidikan keagamaan dewasa ini lebih berorientasi
pada favoritisme golongan, ketimbang penghormatan antara agama atau keyakinan yang berbeda.
Pendidikan kebangsaan dan keragaman, tidak tampak dalam kebijakan pendidikan di sekolah-sekolah
Negeri. Justru, syiar kebencian terhadap kelompok minoritas keagamaan lah yang tersebar luas ke
masyarakat. Dalam berbagai peristiwa kekerasan atas nama agama, tampak anak-anak usia sekolah
terlibat aktif melakukan kekerasan.
Berangkat dari situasi tersebut, LBH Jakarta bekerjasama dengan Yayasan Cahaya Guru (YCG)
menyelenggarakan seri lokakarya yang bertajuk Guru, Kebangsaan dan Keragaman. Kegiatan
yang menyasar kepada para guru ini ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman
para guru se-Jabodetabek akan nilai-nilai keragaman, hak asasi manusia, dan praktik intoleransi dan
diskriminasi berbasiskan agama. Lokakarya yang melibatkan 25 orang guru sebagai peserta tetap ini
telah diselenggarakan sebanyak 4 kali bertempat di LBH Jakarta. Lokakarya serupa telah diduplikasi
dan diterapkan kepada guru-guru di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Inti dari Lokakarya ini adalah
berbagi pengetahuan dan keterampilan mengajar dalam tema keragaman dan toleransi beragama.
Inisiatif peningkatan pemahaman dan kapasitas guru di isu toleransi dan keragaman ini, mendor-
ong Indonesia Conference on Religion and Peace (ICRP) untuk turut bergabung dan mengembangkan
inisiatif ini ke guru-guru agama Islam di 4 wilayah Jabodetabek, yakni Cileungsi, Bekasi, Ciawi-Bogor,
dan Jakarta. Meskipun guru-guru memperlihatkan antusiasmenya akan materi dan metode lokakarya,
namun selalu muncul resistensi dari beberapa peserta atas materi yang diberikan, yang menunjukan
bahwa isu keragaman dan toleransi beragama masih perlu terus didiskusikan lebih lanjut di kalangan
guru. Demi pendidikan yang lebih toleran, demi masa depan bangsa yang mampu menerima perbe-
daan.

77
Ahamad Biky (Pengacara Publik LBH Jakarta ) saat konferensi Pers mendampingi para guru
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

9. Program ABAROLI

Memperkuat Sistem Hak Asasi Manusia Asean


Melalui Advokasi Hukum
Saat ini kita telah melakukan pelatihan advokasi hukum dan sistem hak asasi manusia di Asean.
Pelatihan tersebut diikuti sekitar 90 organisasi masyarakat sipil dari Indonesia, Malaysia, Thailand, Mi-
anmar, Kamboja, Vietnam, Brunei, Philipina, Laos dan Singapura dengan jumlah total peserta pelati-
han 122 pengacara. Pelatihan ini menjadi sarana untuk meningkatkan pengetahuan peserta mengenai
sistem hak asasi manusia ASEAN dan sistem hak asasi manusia regional lainnya, berbagi pelajaran-
pelajaran berharga dari upaya-upaya advokasi hukum, dan berkolaborasi dalam advokasi hukum yang
dilakukan oleh jaringan pengacara publik se-ASEAN. dan terakhir pelatihan ini dilanjutkan dengan
pelatihan pembuatan teori kasus dan ringkasan kasus.
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan peserta mengenai sistem hak asasi
manusia ASEAN dan sistem hak asasi manusia regional lainnya, berbagi tentang praktik-praktik terbaik
dan pelajaran-pelajaran berharga dari upaya-upaya advokasi hukum di Indonesia, Untuk berkontribusi
dan berkolaborasi dalam inisiatif-inisiatif advokasi hukum yang dilakukan oleh jaringan pengacara pub-
lik se-ASEAN telah terbentuk dalam rangka memperkuatsistem hak asasi manusia regional ASEAN dan
untuk pelatihan teori kasus dan ringkasan kasus bertujuan untuk memperkenalkan proses pengemban-
gan Teori Kasus, Membangun keterampilan pengacara untuk mempersiapkan ringkasan kasus yang
dapat digunakan untuk advokasi Hak Asasi Manusia dan pembelajaran, mengembangkan template
umum yang dapat digunakan oleh organisasi yang berbeda untuk mendokumentasikan kasus HAM;
dan mengeksplorasi penggunaan ringkasan kasus untuk membuat pengaduan dengan mekanisme
HAM nasional, internasional dan ASEAN. Kegiatan ini bekerja sama dengan American Bar Association
Rule of Law Innitiative (ABA ROLI).

10. Program FK

Masyarakat Bantuan Hukum ASEAN:


memperkuat kapasitas dan jaringan ASEAN CSOs hukum
dengan pertukaran pengacara dan sumber daya hukum
di seluruh Asia Tenggara.
Saat ini kita telah melakukan pelatihan advokasi hukum dan sistem hak asasi manusia di Asean.
Pelatihan tersebut diikuti sekitar 90 organisasi masyarakat sipil dari Indonesia, Malaysia, Thailand, Mi-
anmar, Kamboja, Vietnam, Brunei, Philipina, Laos dan Singapura dengan jumlah total peserta pelati-
han 122 pengacara. Pelatihan ini menjadi sarana untuk meningkatkan pengetahuan peserta mengenai
sistem hak asasi manusia ASEAN dan sistem hak asasi manusia regional lainnya, berbagi pelajaran-
pelajaran berharga dari upaya-upaya advokasi hukum, dan berkolaborasi dalam advokasi hukum yang
dilakukan oleh jaringan pengacara publik se-ASEAN. dan terakhir pelatihan ini dilanjutkan dengan
pelatihan pembuatan teori kasus dan ringkasan kasus.

78
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan peserta mengenai sistem hak asasi
manusia ASEAN dan sistem hak asasi manusia regional lainnya, berbagi tentang praktik-praktik terbaik
dan pelajaran-pelajaran berharga dari upaya-upaya advokasi hukum di Indonesia, Untuk berkontribusi
dan berkolaborasi dalam inisiatif-inisiatif advokasi hukum yang dilakukan oleh jaringan pengacara pub-
lik se-ASEAN telah terbentuk dalam rangka memperkuatsistem hak asasi manusia regional ASEAN dan
untuk pelatihan teori kasus dan ringkasan kasus bertujuan untuk memperkenalkan proses pengemban-
gan Teori Kasus, Membangun keterampilan pengacara untuk mempersiapkan ringkasan kasus yang
dapat digunakan untuk advokasi Hak Asasi Manusia dan pembelajaran, mengembangkan template
umum yang dapat digunakan oleh organisasi yang berbeda untuk mendokumentasikan kasus HAM;
dan mengeksplorasi penggunaan ringkasan kasus untuk membuat pengaduan dengan mekanisme
HAM nasional, internasional dan ASEAN. Kegiatan ini bekerja sama dengan American Bar Association
Rule of Law Innitiative (ABA ROLI).

11. Program Sasakawa

Empowering Civil Society in Southern Thai-


land through Regional Partnership
Patani (Pattani, Narathiwat, Yala, dan Songkhla) merupakan wilayah di Selatan Thailand yang
sedang menghadapi konflik yang belum berhenti hingga saat ini. Sebagian besar penduduk Selatan
Thailand (80%) beragama Islam dan berbahasa melayu, konflikpun bermula ketika penduduk Patani
tersebut merasa didiskriminasi dan budaya melayu mulai dihilangkan. Selain itu masyarakat Patani
hidup dalam kondisi yang miskin dengan pendapatan per capita sepertiga pendapatan per capita
wilayah utara Thailand. Masyarakat Patani kemudian menuntut kemerdekaannya, baik melalui cara
damai maupun dengan jalan kekerasan. Akibatnya Patani dijadikan daerah operasi militer dan muncul
banyak kekerasan. Amnesty International mencatat antara Januari 2004 Juni 2011, terdapat 10.890
kekerasan terjadi, yang mengakibatkan 4.766 kematian dan 7.808 kerugian. Sebanyak 85% dari kasus
pembunuhan yang terjadi, pemerintah tidak mengetahui siapa pelakunya, yang menunjukkan bahwa
pemerintah telah gagal menemukan pelaku. Bahkan baru-baru ini pada bulan agustus 2013 telah
terjadi pembunuhan kepada orang-orang Patani padahal sebelumnya Pemerintah Thai dan BRN telah
bersepakat tidak akan ada pembunuhan dalam bulan Ramadhan.
Meskipun sedang terjadi dialog perdamaian yang difasilitasi oleh pemerintah Malaysia, kekerasan
tidak mereda, banyak penembakan dan pembunuhan terjadi justru dimasa kekerasan seharusnya
dihentikan oleh pihak-pihak yang bertikai. Sejak awal, banyak pihak pesimis dialog perdamaian terse-
but akan berhasil, bahkan terdapat informasi bahwa BRN sebenarnya tidak mau melakukan dialog
perdamaian melainkan dipaksa oleh pemerintah Malaysia yang memiliki kesepakatan dengan mantan
Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra dan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak. Situasipun
sepertinya semakin sulit karena pihak BRN berencana akan mengganti tim perunding. Kekerasan di
Thailand Selatan berpotensi akan semakin meningkat karena gagalnya dialog perdamaian.
Berdasarkan kondisi tersebut di atas kelompok masyarakat sipil harus mampu mengambil peran
untuk mewujudkan perdamaian. Aktivis hak asasi manusia merupakan salah satu aktor penting dalam
mewujudkan perdamaian. Aktivis hak asasi manusia juga mengambil peran dalam perdamaian, baik
melakukan langkah hukum maupun langkah di luar jalur hukum. Bahkan Pekerja bantuan hukum atau
aktivis hak asasi manusia dapat mengkonsolidasikan masyarakat sipil untuk membuat peta perdama-
ian yang sangat penting dalam proses perdamaian.
Guna memperkuat kapasitas, keterampilan dan pengetahuan para aktivis masyarakat sipil di
Thailand Selatan dalam mewujudkan perdamaian, LBH Jakarta bekerjasama dengan Sasakawa Peace
Foundation mengadakan rangkaian pelatihan dan magang dengan tujuan membangun kapasitas ak-
tivis Thailand Selatan dalam mempromosikan resolusi konflik dan hak asasi manusia dengan cara-cara
damai, mendukung komunitas sosial dalam perdamaian dan hak asasi di tingkat lokal, memfasilitasi
konsolidasi antara komunitas sosial agar mereka dapat memiliki pandangan yang sama dalam proses
perdamaian dan membangun jaringan nasional dan internasional dalam rangka mendorong pergera-
kan dan advokasi masyarakat sipil di Patani.

79
12. Tim Advokasi Buruh Mogok Nasional
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

Menggapai Keberpihakan Perlindungan


Hak Buruh
Oktober 2013, terjadi kebuntuan antara buruh dan pihak pengusaha terkait besaran UMP. Buruh
tetap bersikukuh dengan pendapatnya begitu juga pihak pengusaha. Upaya advokasi selanjutnya telah
ditetapkan, buruh akan Mogok Nasional Oktober- November 2013. Seluruh prosedur administrasi telah
ditempuh. Surat pemberitahuan adanya mogok dilayangkan. Buruh bertekad menggunakan haknya
yang telah dijamin dalam Undang-Undang 13 Tahun 2003, hak mogok.
Meskipun dijamin dalam undang-undang, tidak berarti tidak ada tantangan untuk mogok. Serbuan
tekanan dilancarkan untuk menggagalkan mogok nasional. Meskipun begitu mogok nasional adalah
harga mati. Mogok nasional harus tetap dijalankan
LBH Jakarta mendukung dilaksanakannya hak mogok bagi para buruh. Kami membentuk tim ad-
vokasi Buruh Mogok Nasional ( TABUH MONAS). Tim advokasi merupakan gabungan dari beberapa
lembaga seperti TURC, KontraS dan LBH FSPMI. Seluruh tim disebar ke berbagai penjuru Jabodetabek.
Kami semua sepakat, mogok harus dijalankan dengan tertib
Tidak disangka, bentrokan terjadi di kawasan East Jakarta Industrial Park Cikarang, Bekasi. Iring-
iringan ribuan buruh PT Abacus Kencana dihadang sekelompok orang berseragam loreng hitam oranye
khas Pemuda Pancasila . Bentrokan buruh kemudian meluas ke sejumlah pabrik. Buruh juga dipukuli
oleh orang-orang yang mengaku dari Ikatan Putra-Putri Daerah (Ikapud). Belum lagi massa dari Asosia-
si Limbah (Aspelindo) di Bekasi ikut memanas. Terang-terang pimpinan mereka, Budiyanto yang juga
anggota DPRD Bekasi mengancam buruh dengan sejumlah spanduk dengan tulisan Anda sweeping,
kami bantai.
Setidaknya menurut catatan KSPI, ada 32 buruh terluka ringan sampai berat. TABUH MONAS
bertekad untuk mengusut perkara ini sampai tuntas. Tabuh Monas menuntut Kapolda Metro Jaya untuk
mengusut dalang dan actor intelektual dalam kekerasan yang terjadi saat buruh mogok nasional. Upaya
advokasi kemudian dilakukan. Tabuh Monas mendata bukti, baik itu foto maupun video kemudian me-
nyerahkannya kepada pihak pihak terkait. Tabuh Monas mendatangi Kompolnas, Polda, Bareskrim,
Polres, Ombudsman, Komnas Ham, DPR, bahkan advokasi internasional dengan melaporkan kejadian
ini kepada ILO juga dijalankan.
Sampai tulisan ini dibuat, kasus masih diusut. Bukti-bukti mengarahkan pada dugaan keterlibatan
Kapolres Bekasi dalam hal memfasilitasi ormas untuk melakukan kekerasan terhadap buruh. Pemerik-
saan berjalan lambat. Namun Tabuh Monas tetap semangat untuk menyelesaikan advokasi ini. Target-
nya jelas para actor yang terlibat dalam kekerasan ini harus dihukum setimpal. Kami berharap kasus ini
dapat menjadi preseden bahwa Negara wajib melindungi hak bruruh untuk mogok.

Foto Istimewa

80
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
13. Gerakan Bersama Buruh BUMN

Penghapusan Sistem Kerja


Outsourcing Melalui Geber BUMN
Latar Belakang
Bahwa kondisi buruh saat ini sangat memprihatinkan, ditenggelamkan dalam lubang kemiskinan
yang semakin dalam dan bukan rahasia lagi bahwa kekuatan para pemodal dan penguasa bersatu un-
tuk mengeksploitasi dan menyamakan buruh dengan barang dan memperlakukan buruh secara tidak
manusiawi. Hal ini semakin terlihat semakin dilegalkannya tenaga kerja outsourcing dengan alasan
investasi semata, terjadinya pemberangusan serikat pekerja serta pelanggaran hak normatif buruh/
pekerja oleh pegusaha namun Negara tidak melakukan penegakan hukum secara cepat dan tegas.
Kondisi buruh yang memprihatinkan tersebut terjadi di perusahaan BUMN khususnya buruh out-
sourcing di BUMN. Dimana negara menjadi pelaku yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia
para buruh yang telah berkontribusi besar terhadap bangsa dan negara. Dimana para buruh/pekerja
yang bekerja diperusahaan negara (BUMN) terjadi pelestarian outsourcing menyebabkan nasib para
buruh tanpa ada kepastian dan jaminan, terjadi pelanggaran kebebasan berserikat serta pelanggaran
hak-hak normatif. Apa yang dilakukan oleh negara ini telah melarang buruh untuk sejahtera.
Dilatarbelakangi oleh penderitaan yang dialami oleh para pekerja/buruh diperusahaan BUMN, maka
para pekerja/buruh mengkonsolidasikan diri dalam suatu wadah, dalam satu tujuan perjuangan, Kemu-
dian para serikat buruh mendeklarasikan Gerakan Bersama Buruh/Pekerja BUMN (Geber BUMN) pada
tanggal 4 Maret 2013.

Maksud dan Tujuan Dibentuknya Geber BUMN;


Adapun maksud dan tujuan dibentuknya Geber BUMN yaitu;
1. Penghapusan Outsourcing khususnya di perusahaan BUMN.
2. Jaminan Kebebasan Berserikat bagi para buruh/pekerja.
3. Pemenuhan hak-hak normatif para pekerja seperti hak atas pensiunan, upah dibawah UMP.

Sistem Kerja Outsourcing, Bentuk Pemiskinan Struktural Bagi Kaum Buruh


Dengan adanya sistem kerja Outsourcing tersebut, kerugian langsung yang dialami oleh para peker-
ja diantaranya; (1) Mendapatkan upah sangat rendah, karena perusahaan jasa penyedia melakukan pe-
motongan terhadap upah pekerja/buruh dari perusahaan pengguna; (2) Tidak kepastian kerja karena
dikontrak terus menerus; (3) Menimbulkan diskriminasi dengan pekerja tetap, karena perbedaan gaji;
(4) Pekerja Outsourcing sangata rentan mengalami Pelanggaran hak-hak normatif, berupa; Jamsostek,
pensiun dan cuti tidak diberikan; (5) Pekerja Outsourcing dapat di PHK sewenang, sehingga kebebasan
berserikat bagi pekerja outsourcing akan terlanggar.
Sistem kerja Outsourcing diatur dalam Pasal 64-66 UU Ketenagakerjaan dan Permenakertrans No.
19 Tahun 2012 tentang syarat-syarat penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan
lain dengan demikian negara semakin melegalkan sistem kerja Outsourcing yang membawa kerugian
bagi para pekerja/buruh dan serikat buruh/pekerja.
Dengan demikian, telah nyata bahwa Sistem Kerja Outsourcing haruslah dihapuskan dengan mem-
batalkan Pasal 64-66 UU Ketenagakerjaan, karena merupakan bentuk perbudakan karena perusahaan
penyedia jasa pada dasarnya menjual manusia kepada perusahaan pengguna (user), ini juga jelas ber-
tentangan dengan prinsip perlidnungan yang diatur dalam Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 yang menyebut-
kan : Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Tindakan dan Capaian Geber BUMN Dalam Melawan Sistem Kerja Outsourcing

Untuk mencapai tujuan yang sudah dirumuskan oleh Geber BUMN khususnya dalam penghapusan
sistem kerja outsourcing di perusahaan, Geber BUMN melakukan berbagai tindakan diantaranya;
1. Melakukan Konsolidasi dan perluasan Geber BUMN di berbagai daerah di Indonesia.
2. Melakukan aksi-aksi strategis.
3. Melakukan audiensi dengan Presiden Republik yang diwakili oleh Sekkab RI Dipo Alim dan Staf Khusus
Kepresidenan dibidang ekonomi terkait permasalahan ketenagakerjaan di perusahaan BUMN.
4 Melakukan seminar dan workshop mengenai permasalahan ketenagakerjaan di perusahaan BUMN.
5. Melakukan audiensi dengan fraksi-fraksi partai politik di DPR RI mengenai permasalahan ketenagak-
erjaan di perusahaan BUMN untuk mendorong penghapusan sistem kerja outsourcing di perusahaan

81
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

BUMN.
6. Melakukan audiensi dengan Komisi IX DPR RI untuk mendorong pembentukan panja outsourcing
yang dimaksudkan untuk bekerja mencari akar permasalahan ketenagakerjaan khususnya sistem
kerja outsourcing di perusahaan BUMN.
7. Menyurati seluruh Direksi Perusahaan BUMN yang melakukan pelanggaran hak-hak para pekerja me-
minta seluruh Direksi Perusahaan BUMN tersebut untuk menghormati hak-hak para pekerja/buruh.

Atas seluruh tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Geber BUMN, adapun yang menjadi capaian
Geber BUMN diantaranya;
1. Perusahaan BUMN memberikan hak-hak pekerja, khususnya di perusahaan kimia farma, perusahan
Merpati, awalnya perusahaan melakukan PHK dan tidak memberikan upah pekerja/buruh, namun
setelah Geber BUMN mendesak melalui surat dan aksi perusahaan BUMN tersebut memberikan
hak-hak pekerja/buruh.
2. Komisi IX DPR RI bersama dengan Menakertrans dan Meneg BUMN membentuk Panja Outsourc-
ing di perusahaan BUMN atas terjadinya pelanggaran ketenagakerjaan di perusahaan BUMN, yang
hasilnya Panja Outsourcing mengeluarkan 12 butir rekomendasi. Rekomendasi Panja Outsourcing
tersebut pada pokoknya; mengangkat seluruh pekerja/buruh outsourcing di perusahaan BUMN
menjadi karyawan tetap, dan bila Direksi perusahaan BUMN tidak dapat menjalankan rekomendasi
Panja Outsourcing tersebut, untuk dilakukan pemecatan.
3. Dahlan Iskan Meneg BUMN menyatakan akan tunduk kepada putusan Panja Outsourcing dan men-
geluarkan surat edaran yang ditujukan kepada seluruh Direksi perusahaan BUMN, meskipun surat
edaran yang dikeluarkan oleh Meneg BUMN tersebut tidak memperkuat rekomendasi Panja Out-
sourcing.

Hambatan dan Kendala Geber BUMN Untuk Mencapai Tujuan


Untuk mencapai tujuan yang sudah dirumuskan oleh Geber BUMN, banyak hambatan dan kendala
yang dialami oleh Geber BUMN, diantaranya;
1. Tidak adanya niat yang tulus dari Anggota DPR dan Pemerintah untuk menyelesaikan masalah
ketenagakerjaan di perusahaan BUMN, sehingga membutuhkan kekuatan yang besar untuk memas-
tikan DPR dan Pemerintah bekerja dalam menuntaskan permasalahan ketenagakerjaan di perusa-
haan BUMN.
2. Tidak mudahnya melakukan konsolidasi dengan para buruh di perusahaan BUMN, serta perluasan
Geber BUMN di daerah disebabkan berbagai faktor seperti perusahaan melakukan intimidasi kepada
pekerja/buruh bila berorganisasi, masih adanya keraguan dan pesimisme para buruh berjuang untuk
mencapai tujuan.

Rekomendasi
Dari uraian diatas, maka direkomendasikan beberapa hal diantaranya;
1. Melakukan percepatan perluasan Geber BUMN di berbagai daerah di Indonesia untuk membangun
gerakan buruh yang massif dan kuat.
2. Mengawal pelaksanaan rekomendasi Panja Outsourcing yang ditujukan kepada perusahaan BUMN
untuk menyelesaikan permasalahan ketenagakerjaan diperusahaan BUMN khususnya penghapu-
san sistem kerja outsourcing di perusahaan BUMN.
3. Membentuk satuan tugas yang terdiri dari anggota Panja Outsourcing, Menakertrans dan Meneg
BUMN untuk mempercepat pelaksanaan rekomendasi panja outsourcing dengan cepat dan te-
pat.

82
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
14. Tulisan Posko THR 2013

POSKO THR: PENGUSAHANYA NAKAL,


PEMERINTAHNYA CUEK
Saat-saat Idul Fitri bagi sebagian orang adalah saat yang membahagiakan karena saatnya bertemu
dengan keluarga yang dicintai dengan mudik di kampung halaman, atau bagi anak-anak saatnya
memakai baju baru yang diberikan oleh orang tuanya seperti lirik lagu terkenal: Baju baru alhamdulil-
lah, tuk dipakai di hari raya... Sumber pendanaan untuk momen berharga tersebut bagi para buruh/
pekerja berasal dari Tunjangan Hari Raya (THR) yang diterima setiap menjelang hari raya. Tapi ba-
gaimana jika tidak ada THR? Dari mana uang untuk membeli baju baru atau minimal mudik tersebut?
Posko Pengaduan THR merupakan agenda tahunan yang dibuat oleh LBH Jakarta dalam rangka
mengantisipasi ulah para Pengusaha Nakal yang enggan membayarkan THR kepada buruh/pekerjan-
ya. Untuk tahun ini, LBH Jakarta bersama dengan Gerakan Buruh Korban PHK (Gebuk PHK) membuka
Posko THR pada tanggal 28 Juli 2013.

1784 Orang Pengadu, Naik 400%


Walaupun setiap orang sudah mudik, LBH Jakarta masih tetap beroperasi untuk menerima pengad-
uan posko THR. Total, sebanyak 1784 orang buruh/pekerja terancam tidak mendapat THR menjelang
Lebaran tahun ini, dengan jumlah perusahaan yang diadukan sebanyak 25 perusahaan. Yang menarik,
pengaduan berasal dari berbagai daerah seperti Serang, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, hingga
Papua. Perusahaan yang diadukan juga berbagai macam, mulai dari franchise luar negeri, sekolah, pe-
rusahaan PMA, alih daya BUMN, dan milik konglomerat kenamaan. Dari segi jumlah pengadu, tahun
ini terjadi lonjakan jumlah orang yang tidak mendapatkan THR sebanyak 400% dari tahun lalu.
Berbagai modus dilakukan oleh perusahaan ini untuk tidak membayarkan THR, antara lain dengan
cara melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap buruh/pekerja menjelang Hari Raya,
tidak ada perjanjian kerja, menggantikan THR dengan Bonus di akhir tahun, sampai menyatakan
bahwa buruh/pekerja yang berstatus alih daya (outsourcing) tidak berhak atas THR. Akibatnya, ban-
yak buruh/pekerja yang sudah bertahun-tahun tidak mendapatkan THR, maupun hanya mendapatkan
THR sebesar Rp. 50.000,-.
Penyimpangan-penyimpangan ini ditanggapi oleh LBH Jakarta dengan cara mengontak langsung
manajemen perusahaan maupun mengirimkan somasi hingga akhirnya 2 minggu setelah Lebaran
ketika Posko Pengaduan THR ditutup pada 15 Agustus 2013, tercatat 1151 orang berhasil diadvokasi
oleh LBH Jakarta untuk mendapatkan THR, dan jumlah buruh yang tidak mendapatkan THR sebanyak
664 orang sampai H+7 pasca Lebaran.

Wajib tapi Tanpa Sanksi


Pengaturan tentang THR diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 4 Tahun 1994 tentang
THR Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan di mana THR ini wajib dibayarkan oleh Pengusaha kepada
pekerja, dengan masa kerja buruh/pekerja 3 bulan secara terus menerus tetapi kurang dari 12 bulan

83
diberikan secara proporsional. Dan bila diatas dua belas bulan maka Pekerja/buruh berhak atas THR
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

satu bulan upah. Jika perusahaan tidak memberikan THR, Peraturan Menteri tersebut memberikan
sanksi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Keten-
tuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja, yaitu hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan.
Yang menjadi masalahnya, peraturan lebih tinggi yang digunakan sebagai dasar untuk memberikan
sanksi tersebut sudah dicabut dengan pemberlakuan Pasal 198 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997
tentang Ketenagakerjaan dan Pasal 192 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagaker-
jaan sehingga otomatis sudah tidak ada lagi dasar hukum untuk memberikan sanksi kepada pengu-
saha nakal ini. Kemenakertrans menanggapi ketiadaan aturan ini dengan mengeluarkan Surat Edaran
setiap tahun, termasuk membuka Posko THR dengan tujuan yang sama. Idealnya memang tentang
THR diatur dalam Undang-Undang. Jalan keluarnya adalah dengan melakukan revisi terhadap
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan atau bahkan mengganti undang-un-
dang ini. Namun, kekhawatiran baru muncul jika ada rencana revisi atau penggantian karena dikha-
watirkan akan membuka kotak pandora di mana aturan yang baru merugikan buruh/pekerja.
Pelimpahan Tiada Hasil
Sebanyak 664 buruh/pekerja yang tidak mendapatkan THR tersebut LBH Jakarta serahkan ke-
pada Kemenakertrans melalui Direktorat Jenderal Pengawasan Hubungan Industrial dan Direktorat
Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial. LBH Jakarta meminta agar penanganannya dapat disele-
saikan sebelum bulan Syawal berakhir dan perkembangannya diberitahukan secara tertulis namun
sampai saat ini tidak ada laporan tentang perkembangan penanganan tersebut. Padahal saat itu pihak
Kemenakertrans menjanjikan akan membentuk tim kecil untuk menangani masalah ini. Seharusnya
Kemenakertrans dapat melakukan peninjauan langsung ke lapangan dan dengan mudahnya member-
ikan laporan bahwa telah mencabut izin-izin yang berhubungan dengan ketenagakerjaan terhadap
perusahaan yang tidak membayarkan THR buruh/pekerja namun hal ini tidak dilakukan.
Ada sedikit kabar gembira, akhirnya pada bulan November lalu, ada tambahan 150 buruh yang diu-
sahakan oleh LBH Jakarta akhirnya mendapatkan THRnya setelah berbulan-bulan menanti sehingga
total tinggal 514 buruh/pekerja yang belum mendapatkan THR. Namun, sebagaimana esensi dari
Idul Fitri yaitu memaafkan kesalahan baik lahir maupun batin, haruskah kita memaafkan kejadian ini
setiap tahunnya tanpa ada usaha membuatnya tidak terulang kembali?

15. Penelitian Perselisihan Hubungan Industrial

Advokasi Berbasis Penelitian


Untuk Isu Perburuhan
Penelitian Putusan Perselisihan Hubungan Industrial
Indonesia telah meratifikasi setidaknya 18 Konvensi ILO. Namun demikian, hanya sedikit kemajuan
yang diperoleh Negara Indonesia dalam upaya memenuhi kewajibannya tersebut. Hal ini dapat dilihat
dari banyaknya Peraturan Perundang-undangan yang justru menghambat penghormatan, perlindun-
gan, dan pemenuhan hak asasi manusia. Peraturan Perburuhan yang selama ini menjadi permasalahan
adalah UU No 21 Tahun 2000 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, dimana UU ini
mengharuskan buruh berhadapan langsung dengan pengusaha saat terjadi perselisihan. Dalam UU
No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan pun membatasi perselisihan menjadi 4, yaitu perselisihan
hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat
pekerja/ serikat buruh.
Selama ini LBH Jakarta memiliki hipotesis bahwa penyelesaian perkara secara PHI merugikan buruh,
karena buruh yang tidak memiliki latar belakang pendidikan hukum harus berhadapan dengan pengu-
saha dengan menggunakan tata cara perdata yang kaku. Akibatnya banyak perkara buruh yang ditolak
sehingga menghambat keadilan bagi buruh. Oleh karena itu untuk membuktikan hipotesis tersebut,
LBH Jakarta menyelenggarakan penelitian putusan-putusan hubungan industrial yang berada di tahap
Mahkamah Agung (kasasi maupun peninjauan kembali). Penelitian ini dilakukan dengan melakukan in-
deksasi atas putusan MA yang berada di tingkat kasasi dan peninjauan kembali. Dalam mengambil data
indeks, LBH Jakarta bekerja sama dengan Masyarakat Pemantau Peradilan (MaPPI FHUI) yang sudah
berpengalaman melakukan penelitian serupa di jenis kasus lain. Sampai sejauh ini, penelitian tersebut
masih berjalan dalam tahap indeksasi putusan MA yang kurang lebih berjumlah 3066 putusan.

84
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
Tujuan dan Dampak Penelitian
Tujuan
1. Menyediakan bahan referensi berupa analisa putusan yang dapat dimanfaatkan oleh advokat ban-
tuan hukum/lembaga-lembaga advokasi dalam melaksanakan advokasi Menyediakan bahan analisa
atas putusan-putusan pengadilan yang berkenaan dengan isu-isu strategis yang merupakan fokus
kerja-kerja bantuan hukum.
2. Menganalisa dan mengambil intisari dari kasus-kasus kunci guna mendapatkan pembelajaran yang
dapat mendukung kerja advokasi perbaikan system peradilan di Indonesia
3. Melakukan advokasi lanjutan terhadap hasil penelitian kepada pemangku kepentingan yang dapat
mempengaruhi perbaikan system peradilan di Indonesia
Dampak (outcome) yang diharapkan dari Program ini adalah:
1. Meningkatnya kualitas relevansi advokasi melalui tersedianya data hasil penelitian yang menjadi lan-
dasan kegiatan advokasi
2. Menguatnya hubungan kerjasama advokasi antara CSO dengan Akademisi.
3. Terjadinya proses diskusi dan doalog antara para peneliti dan para pemangku kepentingan yang rel-
evan, tentang hal-hal yang perlu diperbaiki dalam system peradilan di Indonesia. Khususnya yang
berkenaan dengan isu-isu strategis yang merupakan fokus kerja-kerja bantuan hukum.

85
BAB. V
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

Program dan Kegiatan


Program dan Kegiatan

PENANGANAN KASUS SECARA LITIGASI


LITIGASI
Seluruh kasus yang masuk ke LBH Jakarta sepanjang tahun 2013 tidak serta merta
ditindaklanjuti LBH melalui strategi litigasi karena beberapa alasan:
1. Bukan sesuai kriteria kasus struktural yang ditangani LBH Jakarta;
2. Minimnya Sumber Daya Manusia yang dimiliki LBH dan tidak sebanding dengan
kebutuhan pengacara publik;
3. Kasus tersebut dapat diselesaikan secara mediasi atau cara lain di luar mekanisme
litigasi;
Seperti yang tergambar dalam Bab Pertama, bahwa jumlah kasus LBH Jakarta di
tahun 2013 sebanyak 1.001 pengaduan dengan 28.528 pencari keadilan. Dalam menyele-
saikan kasus-kasus tersebut, LBH Jakarta selalu mengupayakan penyelesaian non litigasi
sebagai langkah awal dan upaya litigasi sebagai upaya terakhir. Penanganan kasus LBH
Jakarta yang dilakukan secara litigasi tergambar dalam tabel berikut ini:

PROSES LITIGASI Kasus Masuk Kasus Masuk Jumlah


Tahun 2013 Sebelum Tahun 2013 Kasus
Pidana 1 25
24

Perdata 4 3 7

PTUN 8 - 8

PHI 7 6 13

Uji Materi di Mahkamah Konstitusi 3 - 3

Uji Materi di Mahkamah Agung - - -

TOTAL 46 10 56

Penanganan Litigasi
Dari tabel di atas dapat kita lihat, penanganan litigasi yang dilakukan LBH Jakarta selama
tahun 2013 sebanyak 56 kasus/perkara. Untuk kasus pidana jumlah kasus yang ditangani ada
25 kasus, perdata sebanyak 7 kasus, Peradilan Tata Usaha Negara sebanyak 8 kasus, Penyele-
saian Hubungan Industrial 13 kasus, Uji Materi di Mahkamah Konstitusi sebanyak 3 kasus.

86
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
Kasus Masuk
Proses Pidana Total Kasus Masuk Tahun Sebelum Tahun
2013 2013
PIDANA 25 24 1

Korban 9 9 -

Tersangka 29 29 1

Pra Peradilan - - -

Pendampingan BAP 17 17 -

Sidang Pengadilan Negeri 3 3 -

Banding 2 1 1

Kasasi 1 - 1

Peninjauan Kembali - - -

Pidana
Kasus Pidana yang ditangani LBH Jakarta sepanjang tahun 2013 adalah 25 kasus yang terdiri dari
kasus yang berjalan sebelumnya 1 kasus dan sisanya kasus yang ditangani pada tahun 2013. Dari kasus
tersebut, jumlah tersangka yang didampingi LBH Jakarta sebanyak 29 dan korban yang didampingi
berjumlah 9. LBH Jakarta mendampingi BAP sejumlah 17 kali, sidang di pengadilan negeri sebanyak 3
kali, banding 2kali, dan kasasi 1 kali.

Proses Perdata Kasus Masuk Tahun Kasus Masuk Sebelum


Total
2013 Tahun 2013

PERDATA 7 4 3

Mediasi (Alternative Dispute 3 2 1


Resolution)

Sidang Pengadilan Negeri 9 8 1

Banding - - -

Kasasi - - -

Peninjauan Kembali - - -

Eksekusi - - -

Perdata
Kasus Perdata yang ditangani LBH Jakarta sepanjang tahun 2013 adalah 7 kasus yang terdiri dari
kasus yang berjalan sebelumnya 3 kasus dan kasus yang ditangani pada tahun 2013 sebanyak 4 kasus.
Dari kasus tersebut, LBH Jakarta menempuh upaya mediasi sebanyak 3 kali dan sidang di pengadilan
negeri sebanyak 9 kali.

87
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

Kasus Masuk Tahun Kasus Masuk


Proses PTUN Total
2013 Sebelum Tahun 2013

-
PTUN 8 8
-
Pemeriksaan Pendahuluan 7 7
-
Pendampingan Sidang di PTUN 7 7
- - -
Banding di PT TUN
- - -
Kasasi di MA
- - -
Peninjauan Kembali
- - -
Eksekusi

Peradilan Tata Usaha Negara


Kasus Peradilan Tata Usaha Negara yang ditangani LBH Jakarta sepanjang tahun 2013 adalah 8
kasus. Dari kasus tersebut, LBH Jakarta mendampingi proses pemeriksaan pendahuluan sebanyak 7
kali dan pendampingan di sidang PTUN 7 kali.

Kasus Masuk
Kasus Masuk Tahun
Proses PHI Total Sebelum Tahun
2013
2013
13 7 6
JUMLAH KASUS
9 5 4
Musyawarah/Bipartit
1 - 1
Mediasi (Dinas Tenaga Kerja)
3 2 1
Persidangan di PHI
3 2 1
Kasasi
- - -
Peninjauan Kembali
- - -
Eksekusi

Peradilan Hubungan Industrial


Kasus Peradilan Hubungan Industrial yang ditangani LBH Jakarta sepanjang tahun 2013 adalah
13 kasus. Terdiri atas 7 kasus yang masuk tahun 2013 dan 6 kasus yang masuk sebelum tahun 2013.
Dari kasus tersebut, LBH Jakarta mendampingi proses musyawarah/ bipartit sebanyak 9 kali, mediasi
sebanyak 1 kali, persidangann di Peradilan Hubungan Industrial sebanyak 3 kali, lalu kasasi sebanyak 3
kali.

88
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
Kasus Masuk Tahun Kasus Masuk
PROSES JR Total 2013 Sebelum Tahun
2013

Uji Materi ke Mahkamah Konstitusi 3 3 -

Judicial Review di Mahkamah Konstitusi


Selain litigasi melalui pengadilan, LBH Jakarta juga melakukan advokasi kebijakan dengan menga-
jukan uji materi ka Mahkamah Konstitusi. Sepanjang tahun 2013, LBH Jakarta melakukan uji materi 3
kali, yaitu atas UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, UU No 23 Tahun 2006 tentang Admin-
istrasi Kependudukan, UU No 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian.

2. Kesuksesan Kasus Litigasi LBH Jakarta

KESUKSESAN KASUS LITIGASI


LBH JAKARTA
Advokasi yang dilakukan LBH Jakarta tahun 2013 membuahkan kemenangan yang berdampak pada-
perjuangan Hak Asasi Manusia, diantaranya sebagai berikut kasus-kasusnya:

1. Buruh Digugat 2 M
Pada tanggal 16 Mei 2013 Buruh digugat 2 Milyar oleh PT Doosan Cipta Busana Jaya. Dua orang
tergugat dalam kasus ini adalah Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Serikat Pekerja Nasional (SPN)
Jakarta Utara Moch Halili (44) dan Ketua PSP SPN Umar Faruq (31). Mereka berdua digugat oleh PT
Doosan Cipta Busana Jaya karena buruh melakukan mogok kerja selama dua hari pada 7-8 Maret 2013.
Majelis Hakim perkara gugatan tersebut menjatuhkan putusan sela dan menyatakan gugatan tidak
dapat diterima karena kompetensi absolut, yaitu PN tidak berwenang mengadili. Seharusnya gugatan
ini diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial karena obyek gugatannya berkaitan dengan hubungan
perburuhan.
Saat hak mogok buruh dibalas dengan gugatan kerugian, tentu hal ini akan mencederai substansi
hak mogok itu sendiri. Selama ini hak mogok sering dipersamakan dengan hak menyatakan pendapat
dan berekspresi. Putusan hakim memperkuat kedudukan buruh untuk mempergunakan haknya sesuai
dengan undang-undang perburuhan.

2. Penangguhan Upah DPD dan DPC SPN


Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta pada Kamis 7 November 2013 membatalkan
tujuh surat keputusan Gubernur DKI tentang izin bagi perusahaan garmen dan wig di Kawasan Berikat
Nusantara untuk menangguhkan pembayaran upah minimum provinsi 2013. Hakim memutuskan agar

89
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

tergugat, Gubernur DKI Joko Widodo, untuk mencabut ketujuh surat keputusan itu.
Gugatan terhadap 7 SK Gubernur DKI telah diajukan buruh ke PTUN sejak April 2013. Dalam gugatan
disebutkan, tujuh SK itu masing-masing diberikan untuk PT Kaho Indah Citra Garmen, PT Misung Indo-
nesia (garmen), PT Myungsung Indonesia (wig), PT Kyeungseng Trading Indonesia (garmen), PT Star
Camtex (garmen), PT Good Guys Indonesia (garmen), dan PT Yeon Heung Mega Sari (garmen).
Buruh yang terdampak atas SK penangguhan ini berjumlah 11.000. Selain membatalkan 7 SK Guber-
nur, Ketua Majelis Hakim Husban menyatakan, menghukum para tergugat (Gubernur DKI dan tujuh
perusahaan penerima SK) membayar biaya perkara sebesar Rp 442.000 secara tanggung renteng. Hal
yang sangat menarik dan baru dari putusan ini adalah diterimanya Serikat Pekerja sebagai Subyek Hu-
kum yang dapat mengajukan gugatan Tata Usaha Negara. Sebuah langkah progresif yang mengakui
keberadaan Serikat Pekerja bukan semata-mata mengurus permasalahan internal perusahaan.

3. Penangguhan Upah Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP)


Pada hari Kamis, 7 November 2013, Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta juga mengabulkan guga-
tan penangguhan upah yang diajukan oleh Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP). Gugatan ini ditujukan
atas SK Penangguhan upah yang diterbitkan Gubernur DKI Jakarta kepada PT. Hansoll Indonesia. Buruh
terdampak akibat putusan ini sekitar 6000 buruh.
4. 36 Buruh Perempuan PT. SPS Menangkan Gugatan PHI 1 Milyar
dan Dinyatakan Bekerja Kembali
Siang itu 21 Oktober 2013, matahari terik menyinari halaman Pengadilan Hubungan Industrial Pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sebanyak 36 buruh perempuan PT. SPS mengenakan baju serikat pro-
gresif berwarna merah telah memenuhi lapangan parkir PHI. Mereka telah siap untuk menyampaikan
aspirasi dalam rangka menyambut putusan majelis hakim atas gugatan sejak Mei 2013. Barisan aksipun
siap mengumandangkan lantang suara perlawanan terhadapan penindasan yang telah dilakukan oleh
PT. Surya Pasific Sejahter (PT. SPS). Panas teriknya matahari tidak mengurungkan niat mereka menyu-
arakan suara nurani nya.
Agenda sidang pembacaan putusanpun dimulai, seluruh buruh berbondong-bondong memasuki
ruangan sidang sehingga sekejap ruangan persidangan dipenuhi dengan buruh perempuan berpaka-
ian merah. Majelis hakim memulai pembacaan putusannya. Detik-detik menegangkan dimulai. Setiap
buruh mendengarkan setiap perkataan Hakim dengan seksama. Seketika itu juga ruang sidang menjadi
hening, hanya suara majelis hakim yang masih berkumandang membacakan pertimbangan demi per-
timbangan dalam putusannya.
Pertimbangan demi pertimbangan hukum dibacakan oleh majelis hakim. Adapun bunyi pertimban-
gan tersebut pada pokoknya menyatakan: Tindakan pemaksaan pengunduran diri oleh Perusahaan
kepada 36 buruh merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum sebab pada hakikatnya
pengunduran diri dilakukan haruslah tanpa adanya paksaan. Hakim juga mempertimbangan bahwa
pemanggilan untuk bekerja kembali melalui media koran kompas dihalaman belakang, kemudian me-
nempel pemanggilan kerja di pagar merupakan bentuk pemanggilan yang tidak patut. Pemanggilan
yang patut menurut Pasal 168 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu pemang-
gilan harus dilakukan ke alamat masing-masing. Berdasarkan pertimbangan tersebut majelis hakim
menyatakan bahwa PHK yang telah dilakukan oleh PT. SPS tidak sah, dan Pekerja tidak dapat dianggap
mangkir sebab panggilan bekerja kembali yang dilakukan oleh PT. SPS adalah panggilan yang tidak
patut.
Senyum manis mulai menghiasi bibir setiap buruh ketika mendengar pertimbangan hakim tersebut,
ingin rasanya mereka berteriak dan menyorakkan kemenangan, tetapi mereka harus menahan diri, se-
bab hakim belum menyelesaikan putusannya. Kemudian pada bagian mengadili hakim menyatakan:
Mengabulkan Gugatan Para Penggugat; Menyatakan bahwa PHK tidak sah; Memerintahkan PT. SPS
segera memanggil bekerja kembali para Penggugat dalam waktu 12 hari sejak putusan dibacakan; Me-
merintahkan PT. SPS membayar Upah Proses sejak Pertengahan Pebruari 2012 sampai berkekuatan
hukum tetap, serta membayar THR kepada para Pekerja. Upah proses serta THR yang diterima tiap
penggugat yaitu sebesar Rp. 28. 550. 000 jika dikalikan 36 orang maka total yang harus dibayarkan oleh
PT. SPS yaitu sebesar: Rp. 1.027.800.000 ( satu milyar dua puluh tujuh juta delapan ratus ribu rupiah).
Mendengar putusan ini, 36 buruh sontak bangkit dan menerikan hidup buruh. Air mata kebahagiaan
pun menghiasi pipi, pelukan demi pelukan kemenangan melegakan satu sama lain, perjuangan hampir
2 tahun menjadi tidak sia-sia. Namun tunggu dulu, mari menunggu 14 hari apakah PT. SPS menyam-
paikan kasasi atau tidak. Namun jikalaupun kasasi terjadi, 36 Buruh akan tetap siap melakukan perla-
wanannya. Hidup Buruh!!!

90
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
3. Laporan LBH Jakarta atas
Kinerja Lembaga Negara

Laporan LBH Jakarta atas


Kinerja Lembaga Negara
1. Kepolisian
Sampai dengan bulan juni 2013, pendampingan hukum yang dilakukan LBH Jakarta yang ber-
singgungan dengan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) sebanyak 30 kasus (tiga puluh kasus).
Dari beberapa kasus yang bersinggungan denga kepolisian ditemukan beberapa permasalahan
yang selalu berulang atau sama dengan tahun 2012 yang lalu, diantaranya berbagai permasalah-
an dalam proses penyelesaian di kepolisian antara lain, laporan yang tidak ditanggapi dan ditindak
lanjuti, pemeriksaan kasus yang lambat, permohonan surat perkembangan penyidikan yang tidak
ditanggapi, sampai dengan proses pemeriksaan yang dilakukan dengan cara penyiksaan.
Sampai dengan bulan Juli 2013 tercatat sudah 30 surat dikirimkan langsung kepada kepolisian,
dari ke-30 surat itu berisi berbagai macam permohonan serta pengaduan. Namun banyak dari su-
rat tersebut yang kemudian tidak dibalas oleh pihak kepolisian, surat tersebut mulai dari pengad-
uan penganiayaan yang dilakukan kepolisian, protes pemaksaan penyidikan kasus, permohonan
perlindungan hukum bahkan sampai permohonan salinan putusan kode etik. Respon yang lam-
bat yang ditemukan adalah ternyata kepolisian tidak membalas surat tersebut dan bahkan hanya
menelpon pihak dari LBH untuk bertanya menganai surat yang dikirimkan, namun juga tidak ada
tindak lanjut setelahnya.
Dari 30 kasus yang bersinggungan dengan kepolisian, terdapat 5 surat yang dikirimkan kepada
pihak Kepolisian untuk meminta Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan Perkara
(SP2HP). Hal ini sangat penting untuk transparansi penyidikan dan juga untuk mengetahui kepas-
tian hukum. Hal ini terus berulang setiap tahunnya, disini membuktikan bahwa selama hampir 1
(satu) tahun kinerja kepolisian tidak ada perbaikan pelayanan bagi para pencari keadilan.
Pada tahun 2013 ini LBH Jakarta masih menemukan adanya kasus dimana aparat masih
melakukan rekayasa dan penyiksaan dalam menggali informasi kepada tersangka. Kasus terse-
but adalah kasus pembunuhan di Cipulir dimana 6 saksi yang terdiri dari 4 anak-anak dan 2 de-
wasa dipaksa mengaku melakukan pembunuhan. Pemaksaan pengakuan oleh kepolisian dilaku-
kan dengan cara menyiksa agar ke 6 saksi tersebut terpaksa mengaku sebagai pelaku. Sampai
akhirnya salah satu pelaku sebenarnya tertangkap, namun ke-6 saksi tersebut sudah merasakan
penyiksaan dari pihak kepolisian.
Pada tahun 2013 ini kasus yang marak terjadi salah satunya adalah penggusuran pedagang
stasiun yang dilakukan oleh PT KAI dengan memerintahkan masing-masing kepala stasiun dan
dibantu oleh pihak kepolisian. Tercatat adanya laporan ke kepolisian terkait oknumnya yang me-
langgar kode etik saat bertugas mengamankan penggusuran, termasuk didalamnya permohonan
penarikan pasukan karena sedang dilakukan proses mediasi. Hal tersebut kemudian lambat di-
jalankan bahkan terkesan tidak dilakukan oleh kepolisian.

2. Kejaksaan
Jaksa sebagai Penuntut Umum adalah dominus litis, dalam sebuah perkara seharusnya memi-
liki peran yang sangat vital. Jaksalah yang menentukan bagaimana seharusnya sebuah perkara

91
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

dikonstruksikan serta menentukan apakah sebuah perkara bisa lanjut atau tidak. Namun dalam praktinya Ke-
jaksaan seolah seperti langkah berikutnya saja setelah penyidikan dan bertugas untuk melakukan penuntutan
dan meneruskan ke Pengadilan. Dari perkara Pidana yang ditangani LBH Jakarta terlihat ada perkara dimana
Jaksa hanya meneruskan konstruksi Pemeriksaan di kepolisian tanpa melakukan pendalaman. Seperti kasus
pembunuhan di Cipulir yang akhirnya hakim memutuskan 4 orang bersalah dan masuk bui sedangkan untuk 2
orang lagi sampai saat ini masih berjalannya persidangannya.
Perkara-perkara tersebut adalah perkara dimana klien LBH Jakarta yang miskin buta hukum dan tertindas
dan termarginalkan menjadi tersangka, maka prosesnya menjadi cepat dan segera masuk ke pengadilan serta
segera disidangkan.
Sampai dengan bulan Juni tahun 2013, tidak kurang dari 4 surat ditujukan langsung ke kejaksaan dan surat
ditembuskan ke berbagai level pejabat di Kejaksaan mulai dari Kejaksaan Negeri hingga Kejaksaan Agung. Di-
mana surat tersebut adalah permohonan turun surat pelimpahan perkara, permohonan turunan Berita Acara
Pemeriksaan serta permohonan tindak lanjut perkara pidana. Tetapi tidak ada satupun surat balasan atau tang-
gapan yang menjawab surat-surat protes tersebut.

3. Pengadilan Negeri
Pada tahun 2012, berdasarkan data LBH Jakarta mengungkapkan ditemukannya kasus penyerangan ke
pengadilan yang tengah mengadili kasus Ust. Tajul Muluk dalam kasus kebebasan beragama. Ditahun 2013
ini terdapat pengadilan yang mengadili kasus kebebasan beragama, perbedaannya persidangan dalam kasus
penggembokan dan pengesengan rumah ibadah jemaat Ahmadiyah tidak terjadi kekerasan di dalam persidan-
gan, hanya kerumunan massa yang datang dan menghadiri persidangan namun suasana kondusif dan tidak
terjadi kejadian yang merugikan para pihak yang sedang bersidang.
Di tahun 2013 ini juga terdapat persidangan mengenai Citizen Law Suit air dan hakim di persidangan ber-
sikap terbuka dan memberikan kesempatan kepada LBH Jakarta Sebagai penggugat untuk memberikan bukti
berupa video bahkan diputar dalam ruang siding.
Namun untuk kasus pidana (dalam kasus Cipulir) hakim terkesan terburu-buru dalam mengambil kesimpu-
lan dan menjatuhkan hukuman, hakim juga bersikap parsial dalam memimpin jalannya persidangan bahkan
menolak saksi dengan alasan saksi tersebut tidak memiliki kartu identitas, sedangkan yang diatur dalam KU-
HAP adalah keterangan tentang data diri dan bukan mengenai identitas.
Sampai dengan bulan Juli 2013 ini tercatat sudah ada 7 surat yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri
dimana surat tersebut berisi tentang permohonan salinan putusan mendesak persidangan kasus KDRT yang
dilakukan oleh salah seorang wakil walikota, untuk surat yang terakhir ini LBH Jakarta sudah mengirimkan se-
banyak 2 (dua) surat karena tidak ada jawaban dari pengadilan negeri tersebut.

4. Pengadilan Hubungan Industrial (PHI)


LBH Jakarta Mengirimkan surat sebanyak 2 kali terkait dengan persidangan yang sedang berjalan. Namun
dari surat yang dikirimkan oleh LBH ke PHI tersebut tidak satu pun yang direspon, padahal konten dari surat
tersebut sangat berkaitan untuk kelancaran persidangan yang sedang berjalan. Surat pertama terkait dengan
permohonan informasi perkembangan perkara terhadap kasus Windu Wahyudi, surat kedua juga berisi permo-
honan informasi perkembangan perkara terkait kasus AhmadYusuf.

5. Mahkamah Agung (MA)


Undang-Undang No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman menyatakan bahwa lingkungan peradi-
lan umum dilakukan oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan berpuncak pada Mahkamah Agung. Mah-
kamah Agung tidak memeriksa kembali/memeriksa ulang perkara yang telah diputus di Pengadilan Negeri
dan/atau Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung hanya memeriksa mengenai penerapan hukum saja (apakah
sudah lengkap atau belum) ini disebut judex juris. Mahkamah Agung dalah Pengadilan Negara Tertinggi.
Sepanjang tahun 2013 ini tercatat sudah 6 (enam) surat yang dikirimkan oleh LBH Jakarta ke MA, surat per-
tama terkait dengan permohonan untuk menjadikan kasus penggusuran yang menimpa warga Budi Dharma
menjadi prioritas. Sekalipun MA tidak membalas surat yang dikirimkan ini, namun LBH selaku kuasa hukum
dari warga Budi Dharma dan beberapa perwakilan warga diterima oleh pihak Hubungan Masyarakat dari Mah-
kamah Agung.
Surat kedua yang dikirimkan terkait dengan pembangunan jalan tol JORR W2N yang menimpa warga di
wilayah Petukangan Jakarta Selatan yang telah diputus perkaranya dan LBH meminta untuk mendapatkan
salinan putusannya. Surat ini mendapatkan respon dengan dikirimkannya surat balasan berikut salinan putu-
san seperti yang dimintakan oleh LBH.
Surat-surat lainnya yang dikirimkan oleh LBH Jakarta juga terkait surat permohonan salinan putusan, ban-
yak yang mendapatkan respon dari Mahkamah agung ataupun bagian pengawasan dari Mahkamah Agung.
Respon dilakukan dengan mengirimkan kembali apa yang dimohonkan oleh LBH Jakarta. Namun ada bebera-
pa surat yang tidak mendapatkan respon, seperti surat permohonan informasi perkembangan perkara terkait
kasus Windu Wahyudi dan AhmadYusuf.

92
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
6. Presiden Republik Indonesia
Banyaknya kasus pembatasan atas hak kebebasan beragama dan berkeyakinan seperti yang dihadapi oleh
jemaat Filadelfia yang dipimpin oleh Pendeta Palti membuat LBH Jakarta melayangkan surat ke Presiden Re-
publik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono. Terlebih lagi ketika Polisi Resort (Polres) Kota Bekasi memaksa-
kan penyidikan terhadap Pendeta Palti, namun surat ini pun tidak ditanggapi oleh Presiden.
Surat kedua yang dikirimkan oleh LBH Jakarta dan ditujukan kepada Presiden RI adalah pengaduan terkait
penggusuran paksa terhadap kios-kios pedagang yang berada di seluruh stasiun yang berada di wilayah Jabo-
detabek oleh PT KAI. Namun lagi-lagi surat ini pun tidak mendapat respon dari Presiden, padahal rakyat yang
tergusur dan tidak jelas lagi penghasilan kedepannya itu sangat menantikan perana dari presiden.
7. Kementrian Perekonomian dan Kesejahteraan Rakyat (Kemenkoskesra)
Maraknya penggusuran paksa kios pedagang yang dilakukan oleh PT KAI membuat LBH Jakarta mengirim-
kan surat ke lembaga-lembaga terkait untuk meminta audiensi maupun mediasa terkait konflik yang terjadi.
Salah satunya adalah surat yang ditujukan untuk Kemenkokesra, namun surat ini tidak direspon oleh lembaga
terkait sampai penggusuran yang dilakukan oleh PT KAI selesai dilakukan. Surat kedua dikirimkan untuk me-
minta klarifikasi dan dialog terkait penggusuran yang juga dilakukan oleh PT KAI , namun lagi-lagi surat ini juga
tidak direspon oleh Kemenkokesra.

8. Kementrian Sosial (KEMENSOS)


Tercatat sudah 2 (dua) surat yang dikirimkan LBH Jakarta ke kementrian ini, yang pertama surat terkait
maraknya penggusuran paksa yang dilakukan oleh PT KAI. Namun surat ini tidak mendapatkan jawaban mau-
pun respon dari Kementrian Sosial. Surat kedua dikirimkan terkait penggusuran yang menimpa warga Tanah
Merah Bekasi. Surat tersebut meminta audiensi dan penyelesaian bersama kasus penggusuran warga tanah
merah ini, namun tidak ada respon terkait surat yang dikirimkan tersebut.
9. Komisi Kepolisian Nasional (KOMPOLNAS)
Lembaga ini dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 17 Tahun tentang Komisi Kepolisian
Nasional. Lembaga ini bertugas untuk membantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan Kepolisian Neg-
ara Republik Indonesia dan memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan dan pember-
hentian Kapolri. Dalam menjalankan tugasnya salah satu kewenangan Kompolnas adalah menerima saran dan
keluhan dari masyarakat mengenai kinerja kepolisian dan menyampaikannya kepada Presiden. Melihat dari
kewenanngannya tersebut maka LBH Jakarta melayangkan 3 (dua) surat kepada Kompolnas, surat pertama
berisi protes keras terhadap tindakan Polres Kota Bekasi yang tetap memaksakan penyidikan kasus Pendeta
Palti terkait kasus HKBP Filadelfia. Surat ini tidak mendapat respon dari Kompolnas.
Surat kedua yang dikirimkan oleh LBH Jakarta berisi permohonan pemantauan dan penilaian kinerja peny-
idik terkait kasus pemalsuan surat atas nama Harojendro. Surat ini mendapatkan balasan dari pihak Kompol-
nas dan Kompolnas langsung memerintahkan Polda untuk memeriksanya.
Surat ketiga dilayangkan LBH Jakarta kepada Kompolnas untuk meminta audiensi pembentukan desk pi-
dana perburuhan di kepolisian. Pembentukan desk pidana perburuhan di kepolisian ini sangat penting karena
banyaknya kriminalisasi buruh yang dilakukan oleh pengusaha. Kompolnas menerima permohonan audiensi
dan berjanji akan menindaklanjuti usulan dari masyarakat. Namun hingga laporan akhir tahun ini dibuat, Kom-
polnas belum memberikan konfirmasi sama sekali.
10. Tentara Nasional Indonesia (TNI)
Tercatat 2 (dua) surat sudah dilayangkan LBH Jakarta ke TNI selama tahun 2013, surat pertama berisi permo-
honan pemberian kompensasi atas meninggalnya Purn. Djoenani. Surat ini dilayangkan karena ada pengad-
uan oleh keluarga Purn. Djoenani yang tidak mendapatkan kompensasi setelah sang purnawirawan meninggal
dunia. Surat ini tidak dibalas oleh TNI sehingga LBH Jakarta tidak mengetahui apakah keluarga Purnawirawan
tersebut mendapatkan haknya atau tidak.
Surat kedua dilayangkan oleh LBH Jakarta terkait penggusuran yang dilakukan oleh PT KAI, penggusuran
tersebut dilakukan oleh pihak keamanan dalam (PKD) dari PT KAI yang dibantu oleh pihak kepolisian. Dalam
penggusuran ini TNI juga terlihat mengerahkan pasukannya untuk melancarkan penggusuran, hal ini sangat
tidak berhubungan dengan tugas dari TNI jika dilihat dari peraturan perundang-undangan yang ada.
LBH Jakarta kemudian mengirimkan surat kepada TNI yang isinya permohonan agar TNI menarik mundur
pasukannya dalam penggusuran yang dilakukan oleh PT KAI karena penggusuran tersebut masih diupayakan
audiensi. Namun surat ini tidak ditanggapi oleh pihak TNI, terlihat dengan masih berjaganya anggota TNI da-
lam aksi penggusuran yang dilakukan oleh PT KAI sampai penggusuran tersebut selesai dilakukan.

11. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)


LBH Jakarta mengirimkan 2 (dua) surat ke DPR selama tahun 2013 ini, surat pertama mengenai permohonan
risalah rapat pembentukan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian. Surat ini ditanggapi
oleh DPR dengan cara mengirimkan surat balasan dan merespon kembali dengan mengirimkan risalah rapat
yang diminta oleh LBH Jakarta tersebut.

93
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

Surat kedua yang ditujukan ke DPR terkait dengan permohonan untuk audiensi dengan Ketua Komisi III
DPR yang memiliki ruang lingkup kerja ranah Hukum, Hak Asasi Manusia (HAM), dan Keamanan. Surat permo-
honan audiensi tersebut terkait dengan penggusuran paksa pedagang stasiun yang sedang gencar dilakukan
oleh PT KAI di seluruh stasiun di wilayah Jabodetabek. Surat ini tidak mendapatkan balasan dari DPR, seh-
ingga tidak ada audiensi yang dilakukan oleh LBH Jakarta dengan komisi III DPR. Padahal penggusuran yang
dilakukan oleh PT KAI sangat erat kaitannya dengan pelanggaran HAM yaitu terlanggarnya Hak atas Pekerjaan
dan Hak atas Ekonomi yang menjadi turunan dari HAM dimana hal tersebut menjadi ranah kerja dari komisi III
DPR.

12. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta


Terkait dengan adanya gugatan privatisasi air yang diajukan oleh warga DKI Jakarta yang didampingi oleh
LBH Jakarta, maka LBH Jakarta mengirimkan surat ke DPRD Jakarta untuk permohonan audiensi terkait gu-
gatan yang sedang berjalan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut. Namun surat tersebut tidak menda-
patkan respon apapun dari pihak DPRD, padahal apabila melihat tugas dari DPRD maka sudah seharusnya
para anggota dewan mau mendengarkan keluhan masyarakat yang mengalami kesulitan untuk mendapatkan
akses ke air bersih karena pengelolaan air diserahkan kepada asing.

13. Gubernur DKI Jakarta


Jakarta merupakan kota metropolitan yang juga menjadi ibukota Negara ini juga menjadi pusat pemerin-
tahan dan perekonomian. Hal itu yang menjadikan Jakarta juga menjadi salah satu kota yang memiliki tingkat
permasalahan tinggi dibandingkan dengan kota-kota lainnya. LBH Jakarta yang juga Fokus pada isu Perkotaan
dan masyarakat Urban tercatat sudah mengirimkan 8 (delapan) surat yang ditujukan ke Gubernur DKI Jakarta.
Surat pertama terkait dengan permohonan audiensi kasus penggusuran yang terjadi di wilayah Budi Dharma
Jakarta Pusat. Surat ini tidak dibalas oleh pihak gubernur, namun LBH Jakarta yang menjadi kuasa hukum war-
ga Budi Dharma dapat bertemu dengan staff advokasi Gubernur bersama dengan perwakilan warga.
Surat kedua yang dikirimkan oleh LBH Jakarta terkait dengan permasalahan pembangunan Jalan tol Jakarta
Outer Ring Road West 2 (JORR W2N) petukangan. LBH Jakarta yang menjadi kuasa hukum warga petukangan
sudah mengirimkan 2 kali surat yang berhubungan dengan pembangunan TOL yang berdampak akan tergu-
surnya warga petukangan ini. Surat pertama yang dikirimkan merupakan surat pemberitahuan perkemban-
gan proses pembebasan lahann untuk kepentingan umum terkait pembangunan JORR W2N ini. Surat ini tidak
mendapatkan respon dari Gubernur, oleh karena itu LBH Jakarta kembali mengirimkan surat yang berisi pem-
beritahuan revisi data warga yang terkena pembangunan jalan Tol JORR W2N terkait dengan pendataan dan
pengukuran lahan yang telah dilakukan. Namun lagi-lagi Gubernur tidak merespon surat ini.
Surat ketiga yang dikirimkan oleh LBH Jakarta terkait dengan pengaduan dan permohonan untuk menin-
dak lanjuti kasus penggusuran yang menimpa pedagang di Rumah sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Surat
ini tidak mendapatkan balasan dari pihak Gubernur, namun pedagang akhirnya bisa melakukan mediasi den-
gan pihak RSCM dengan hasil akhir pedagang memilih untuk meminta ganti kerugian.
LBH Kembali mengirimkan surat ke Gubernur DKI Jakarta terkait laporan pembangkangan hukum oleh
aparatur Pemerinta Daerah (Pemda) Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DKI Jakarta terkait kasus Itop
Reptianto, mantan pegawai PT ASKES. Surat ini juga tidak ditanggapi oleh pihak Gubernur. Sampai saat ini
kasus ini masih berjalan dan belum ada kejelasan mengenai status dari pegawai PT ASKES Itop Reptianto ini.
LBH Jakarta menerima pengaduan terkait kasus Cikini Gold Center (CGC) yang berhadapan dengan PD
Pasar Jaya, LBH kemudian mengirimkan surat untuk permohon penyelesaian masalah ini, namun tidak ada
respon dari pihak Gubernur.
LBH Jakarta menjadi kuasa hukum terkait penggusuran paksa yang dilakukan oleh PT KAI terhadap para
pedagang stasiun, sebagai kuasa hukum LBH kemudia mengirimkan surat ke Gubernur untuk permohonan
audiensi terkait penggusuran tersebut. Surat ini tidak mendapatkan respon dari pihak Gubernur, namun para
pedagang yang berasal dari Stasiun Duri Jakarta Barat dapat melakukan audiensi dan bertemu langsung den-
gan Gubernur, dimana pedagang dijanjikan oleh Gubernur akan direlokasi di pasar yang lokasinya tidak jauh
dari stasiun namun harus menggu terlebih dahulu karena pasar yang dikelola oleh PD Pasar jaya tersebut masih
dalam tahap pembangunan. Untuk pedagang dari stasiun lain tidak mendapatkan relokasi seperti yang didap-
atkan oleh pedagang Stasiun Duri.
Pada penghujung 2013 ini Pemda DKI melakukan penataan di wilayah Kota Tua, dampaknya banyak peda-
gang yang semula berjualan di sekitar Kota Tua tidak dapat lagi berjulan ditempat semula. Mereka kemudian
melakukan pengaduan ke LBH Jakarta. Tindakan yang dilakukan oleh LBH adalah mengirimkan surat informa-
si bahwa jumlah pedagang yang berjualan di kota tua sebanyak lebih dari 500 pedagang, tidak sesuai dengan
jumlah pedagang yang ditata oleh pemda DKI yang hanya berjumlah 200 pedagang. Namun surat ini tidak
mendapatkan respon dari pihak Gubernur.

14. Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) DKI Jakarta
LBH Jakarta mengirimkan 1 (satu) surat ke suku dinas ini terkait dengan pengawasan dan penertiban ban-
gunan yang ada di DKI Jakarta, terkait dengan permohonan untuk member sanksi administrative atas pem-

94
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
bangunan apartemen. Surat ini tidak mendapatkan respon dari Suku Dinas DKI Jakarta, sehingga sampai saat
ini LBH Jakarta tidak mengetahui apakah pembangunan apartemen yang menyalahi ketertiban bangunan di
wilayah DKI Jakarta mendapatkan sanksi atau tidak.

15. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi


Mahasiswsa dari Universitas Jendral Soedirman (UNSOED) purwokerto mendatangi LBH Jakarta untuk men-
gadukan mahalnya biaya yang harus dikeluarkan untuk mengenyam pendidikan tinggi akibat pemberlakuan
Uang Kuliah Tunggal (UKT). Direktorat pendidikan tinggi telah mengeluarkan surat edaran yang dijadikan dalih
pemberlakuan Uang Kuliah Tunggal (UKT), yaitu Surat Edaran Dirjen Dikti No. 305/E/T/2012 tertanggal 21 Feb
2012 tentang Larangan Menaikkan Tarif Uang Kuliah, Surat Edaran Dirjen Dikti nomor 488/E/T/2012 tanggal 21
Maret 2012 tentang Tarif Uang Kuliah SPP di Perguruan Tinggi, Surat Edaran Dirjen Dikti 274/E/T/2012 bertang-
gal 16 Februari 2012 tentang Uang Kuliah Tunggal, Surat Edaran Dirjen Dikti No. 21/E/T/2012 tanggal 4 Januari
2012 tentang Uang Kuliah Tunggal.
Terakhir, Dikti mengeluarkan Surat Edaran No. 97/E/KU/2013 tentang Uang Kuliah Tunggal yang berisi Per-
mintaan Dirjen Dikti kepada Pimpinan PTN untuk menghapus uang pangkal dan melaksanakan Uang Kuliah
Tunggal (UKT) bagi mahasiswa baru program S1 reguler mulai tahun akademik 2013/2014. Akibat dari pem-
berlakuan UKT, biaya kuliah mahasiswa baru menjadi lebih mahal den mengancam hak atas pendidikan ma-
hasiswa. LBH Jakarta kemudian melayangkan surat permohonan audiensi ke Dikti untuk memohon audiensi
terkait UKT, surat ini tidak respon oleh DIKTI namun DIKTI menerima perwakilan mahasiswa dari Unsoed untuk
melakukan audiensi.

15. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil


Simanjuntak Benyamin Kaaro mendatangi LBH Jakarta dan mengadukan bahwa Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil mengganti pekerjaan di kolom Kartu Tanda Penduduk (KTP) tanpa sepengetahuan yang bersang-
kutan. Simanjuntak Benyamin Kaaro sebenarnya seorang Penginjil, namun dengan tidak melakukan pemberi-
tahuan sebelumnya Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil mengganti pekerjaannya menjadi pendeta. LBH
Jakarta kemudian melayangkan surat yang isinya meminta klarifikasi atas tindakan Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil.

17. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans)


Terkait dengan banyaknya pekerja outsourcing yang bekerja dibawah perusahaan penyedia jasa pekerja
yang menjadi korban di perusahaan penyedia pekerja, LBH Jakarta mengirimkan surat ke disnakertrans un-
tuk meminta daftar perusahaan penyedia jasa pekerja. Karena ternyata banyak buruh yang berada dibawah
bendera perusahaan yang tidak terdaftar di Disnakertrans tidak mendapatkan kehidupan yang layak. Namun
sampai saat ini disnakertrans belum memberikan list daftar nama perusahaan penyedia jasa pekerja yang ter-
daftar di disanakertrans.

18. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)


Sepanjang tahun 2013 LBH Jakarta tercatat mengirimkan surat ke KPAI sebanyak 2 surat. Surat pertama
dilayangkan saat ada seseorang yang datang ke LBH Jakarta dan mengadukan mengenai perwalian anak. LBH
Jakarta menindak lanjuti dengan mengirimkan surat ke KPAI untuk melakukan mediasi terkait kasus perwalian
anak tersebut, namun samapi saat ini KPAI tidak memberikan respon apapuan atas surat tersebut.
Surat kedua dilayangkan terkait persidangan kasus pembunuhan, dimana 4 (empat) orang anak yang dijadi-
kan tersangka oleh kepolisian akan memulai menjalani sidang pertamanya. Surat ini juga tidak mendapatkan
respon dari KPAI, padalah KPAI merupakan lembaga independen yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam rangka meningkatkan efektifitas penyelenggaraan
perlindungan anak.

19. Panitia Urusan Penghapusan Hutang


Ditahun 2013 ini LBH Jakarta mengirimkan surat satu kali terkait permohonan penghapusan hutang terkait
kasus Frans Diego, surat yang dilayangkan oleh LBH Jakarta tersebut ditanggapi oleh lembaga ini dengan men-
girimkan surat balasan. Surat balasan tersebut pada intinya memberitahukan bahwa apabila menginginkan
penghapusan hutang maka harus mengikuti prosedur-prosedur yang berlaku.

20. PT Kereta Api Indonesia (KAI)


Tercatat 2 kali LBH Jakarta mengirimkan surat sepanjang tahun 2013 ini, dari kedua surat tersebut 1 surat
tidak direspon oleh pihak PT KAI. Isi surat tersebut adalah permohonan kepada PT KAI untuk menghentikan
penggusuran paksa kios pedagang yang berada di seluruh stasiun di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang,
Bekasi (JABODETABEK). PT KAI sudah terlebih dahulu melakukan penggusuran tanpa memberikan respon
atau balasan surat dari LBH Jakarta.
Surat kedua yang dikirim oleh LBH Jakarta berisi permohonan informasi publik terhadap neraca keuangan,
AD/ART dan laporan tahunan PT KAI, serta neraca keuangan, akta pendirian dan perjanjian sewa-menyewa
dari Commuter Line. Surat ini dibalas oleh pihak PT KAI dengan mengirimkan data yang diminta oleh LBH Ja-
karta, namun sayangnya tidak memberikan secara penuh informasi publik yang diminta oleh LBH Jakarta. 95
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

BAB. VI

Program dan Kegiatan


Peningkatan Kapasitas Masyarakat
Dalam Membela Haknya

LAPORAN BIDANG PENGEMBANGAN


SUMBER DAYA HUKUM MASYARAKAT
1. Strengthening ASEAN Human Rights System through Legal Advocacy Efforts
Program ini bekerja sama dengan American BAR Association Rule of Law Initiative (ABA ROLI)
Indonesia. Program ini bertujuan memperkuat sistem HAM ASEAN dengan cara memberikan
pengetahuan kepada pengacara-pengacara mengenai HAM ASEAN dan regional, mendorong
partisipasi penguatan sistem HAM ASEAN, dan memperkuat jaringan pengacara di ASEAN.
Kegiatan yang dilakukan:
1. Pelatihan Regional Advokasi HAM ASEAN ke-3. Diadakan pada tanggal 28 Februari 2013 sampai
2 Maret 2013 di Manila. Pelatihan ini bekerja sama dengan Gender Justice, lembaga Filipina.
2. Workshop Mengenai Akses Bantuan Hukum untuk Buruh Migran Indonesia. Workshop ini di-
adakan di Bogor pada tanggal 22-23 Maret 2013 bekerjasama dengan Jaringan Advokasi Revisi
UU Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (JARI PPTKILN), ABA
ROLI, dan juga dengan dukungan dari Yayasan.
3. Pelatihan Regional Advokasi HAM ASEAN Ke-4 pada tanggal 16-18 Mei 2013 di Holiday Inn,
Bangkok.
4. Pemberian small grant kepada:
a. Women Legal Bureau (WLB)
b. LBH Makassar
c. LBH Pers
d. Solidaritas Perempuan
5. Pelatihan Regional Advokasi HAM ASEAN Ke-5 di Yogyakarta. Diadakan pada
tanggal 15-17 Juli 2013 di Yogyakarta. Bekerja sama dengan LBH Yogyakarta.
6. Penguatan jaringan Southeast Asia Lawyers (SEALawyers). Pertemuan alumni pada 3 Oktober
2013 di LBH Jakarta

2. Empowering Civil Society in Southern Thailand Through Regional Partnership


Program ini bertujuan untuk menguatkan kapasitas masyarakat sipil di Thailand Selatan dalam
pembangunan proses perdamaian.
Kegiatan yang dilakukan:
1. Penelitian. Dilakukan pada tanggal 1-5 Mei 2013 di Patani.
2. Key Actors Meeting. Diadakan pada tanggal 19 22 Juni 2013 di Lembang, Jawa Barat yang
diikuti oleh 11 peserta dari 8 organisasi di Thailand Selatan.

96
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
3. Pelatihan Advokasi dengan Peoples College. Diadakan pada tanggal 31 Agustus s/d 2 Sepetember 2013 in
Songkhla, Thailand.
4. Mendukung Program Masyarakat Sipil Thailand Selatan.
5. Pertemuan dengan Mahasiswa Patani di Jakarta
6. Pelatihan Bantuan Hukum dalam Situasi Konflik. Diadakan pada tanggal 26-28 Oktober 2013 di Sonkhla,
Thailand Selatan. Pelatihan ini ditujukan kepada pengacara Muslim Attorney Center dan Southern Para-
legal Advocacy Network

3. Pertukaran Pengacara ASEAN


Tujuan dari untuk menguatkan kapasitas pengacara dan menguatkan jaringan pengacara di ASEAN. Saat
ini LBH Jakarta menerima dua orang pengacara untuk magang selama 1 (satu) tahun di LBH Jakarta. Satu
orang berasal dari Myanmar dan satu orang berasal dari Thailand.

4. Pelatihan Musyawarah untuk Warga Petukangan


Pelatihan ini diberikan kepada warga Petukangan yang sedang mengalami sengketa tanah. Warga
Petukangan membutuhkan kemampuan musyawarah agar dapat mendapatkan keputusan yang terbaik
bagi komunitasnya dan mampu mandiri menghadapi Panitia Pengadaan Tanah dan Pemprov DKI dalam
musyawarah mengenai sengketa tanah di Petukangan.
Pelatihan dilakukan pada tanggal 11 Mei 2013 kepada 20 orang warga Petukangan dengan berbagai
macam materi seperti struktur kelas, hak atas tanah dan hak atas perumahan, menjaring aspirasi, nilai-nilai
dan metode serta tahapan musyawarah.

5. Kampanye dan Konsolidasi Korban Penggusuran


Tujuan dari kegiatan ini adalah melakukan kampanye mengenai akibat dari penggusuran paksa, mem-
berikan pengetahuan tentang hal-hal yang dapat mendukung keberhasilan advokasi, serta melakukan kon-
solidasi dari korban penggusuran untuk mendorong agar terjadinya perubahan kebijakan mengenai hak
atas perumahan, hak atas tanah, dan hak atas pekerjaan.
Kegiatan ini dilakukan 3(Tiga) kali, yaitu.
1. Konsolidasi korban penggusuran akibat dari berbagai hukum .
2. Melakukan rapat-rapat konsolidasi pedagang korban penggusuran PT. KAI di setiap stasiun: stasiun UI,
Tebet, Duri, Pancasila dan para pedagang dari stasiun yang terkena penggusuran
3. Mendampingi berbagai aksi protes korban penggusuran PT. KAI di DPR dan Balai Kota.

6. Laporan Mengenai Penggusuran Paksa kepada Pelapor Khusus PBB


Mengenai Hak Atas Perumahan.
Tujuannya adalah agar pelapor khusus PBB mendapatkan informasi yang riil mengenai penggusuran
paksa yang terjadi di Jakarta harapannya pelapor khusus PBB ini dapat mendorong perubahan kebijakan
terkait penggusuran paksa.
Ada beberapa tahapan sebelum membuat laporan ini, yaitu.
1. Membuat laporan mengenai penggusuran paksa di DKI Jakarta. Isinya antara lain mengenai kasus peng-
gusuran paksa di DKI Jakarta, pola penggusuran, hukum penggusuran, penyebab terjadinya penggu-
suran, dan kebijakan/peraturan yang menjadi dasar penggusuran paksa.
2. Menghadiri FGD dan laporan langsung kepada pelapor khusus PBB mengenai Hak Atas Perumahan.

7. Penyuluhan Mengenai LBH Jakarta dan Bantuan Hukum


Memberikan pengetahuan mengenai LBH Jakarta dan bantuan hukum struktu ral yang menjadi ideologi
LBH kepada organisasi Persatuan Kristen Antar Universitas (Perkantas). Penyuluhan ini diberikan kepada 10
orang perwakilan Perkantas dari berbagai daerah. Namun terdapat kekurangan dari pelatihan ini, yaitu pe-
serta yang hadir dalam pelatihan ini bukan merupakan mahasiswa hukum.

8. Kerjasama dengan Klinik Hukum FHUI


Program ini bertujuan untuk menyebarkan nilai bantuan hukum struktural ke mahasiswa hukum. Ker-
jasama ini membuahkan 3 (tiga) macam pelaksanaan, yaitu.
1. Magang Full Time (Mei Juli 2013),
Tiga orang peserta magang berhasil menyelesaikan magang dengan cukup memuaskan. Masing-masing
peserta juga menyelesaikan 3 (tiga) tulisan, yaitu mengenai Bantuan Hukum Struktural, Pengembangan
Sumber Daya Hukum Masyarakat, dan Kode Etik Pekerja Bantuan Hukum.
2. Magang Mahasiswa Klinik Hukum UI (Oktober Desember 2013)
Hingga laporan ini dibuat, 4 (empat) orang mahasiswa klinik hukum UI masih menjalankan program
magang untuk kasus pidana di LBH Jakarta.

97
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

3. Mengajar di Klinik Hukum UI (Materi Investigasi) pada tanggal 20 September 2013.


Mahasiswa klinik hukum UI mendapatkan pengetahuan mengenai investigasi dan participatory action re-
search (PAR).

9. Sekolah Kepemimpinan dan Pengabdian FHUI 2013


LBH Jakarta diminta oleh BEM FHUI untuk memberikan pelatihan kemimpinan kepada mahasiswa FHUI
angkatan 2013. Tujuannya agar mahasiswa memiliki sensitifitas terhadap permasalahan masyarakat. Pelati-
han diberikan kepada 70 mahasiswa FHUI angkatan 2013 pada tanggal 3 Oktober 2013. Adapun materinya
adalah mengenai Mahasiswa dan Pengabdian Masyarakat yang dibawakan oleh Arsa Mufti, Participatory
Action Researh (PAR) yang dibawakan oleh Chronica Rambo, dan Advokasi oleh Alghiffari Aqsa.

10. Pengembangan Kapasitas dalam Pembuatan Press Release


Tujuannya agar personel LBH Jakarta dapat lebih maksimal dalam hal melakukan kampanye mengguna-
kan media cetak dan/atau elektronik. Program ini merupakan tindak lanjut dari pelatihan kampanye yang
sebelumnya diadakan di LBH Jakarta. Adapun kegiatan yang dilaksanakan adalah melakukan pertemuan
dan meminta masukan dari jurnalis dan pihak di luar LBH Jakarta dengan menunjukkan beberapa press re-
lease yang telah dibuat oleh personil LBH Jakarta.

11 Gerakan Bersama Buruh/Pekerja BUMN (Geber BUMN)


Geber BUMN adalah gerakan yang dibentuk pada tanggal 10 Maret 2013 atas dasar hasil pertemuan be-
berapa serikat pekerja yg berada di lingkup perusahaan-perusahaan BUMN yang memiliki masalah ketena-
gakerjaan yang sama, yang diinisiasi oleh LBH Jakarta bersama serikat buruh.
Serikat Buruh yang tergabung dalam GEBER BUMN yaitu KASBI, OPSI, ASPEK INDONESIA, BUMN BER-
SATU, BUMN Strategis, FSP LEM-SPSI, FSPMI, SP PLN, SKASI-Askes, Pensiunan Perum Peruri, Forum Pe-
gawai Merpati, Serikat Karyawan Jasa Marga, SEKAR-ACS, SPKAJ, PPMI, SEJAGAD-TELKOM, Serikat Kary-
awan Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta, SP Indonesia Ferry, SP Indonesia Power, SP Antara, SP PNRI, SP BP, SP
YANTEK-PPMI, SP PGN, SP JAMSOSTEK, Pensiunan Perum Damri. Ada 3 fokus utama Geber BUMN yaitu;
hapuskan outsourcing, Kedua; Jaminan Kebebasan Berserikat bagi para buruh/pekerja; Ketiga; Pemenuhan
hak-hak normatif para pekerja.
Banyak hal yang telah dilakukan oleh Geber BUMN, diantaranya:
a. 10 Maret 2013 Deklarasi pembentukan Geber BUMN.
b. 11 Maret 2013 Konferensi Pers tentang Permasalahan Buruh di BUMN di press room DPR RI.
c. 13 Maret 2013 melakukan rapat konsolidasi dengan seluruh anggota Geber BUMN.
d. 20 Maret 2013 Geber BUMN Konferensi pers dengan Ketua Komisi IX DPR RI untuk jemput paksa Meneg
BUMN disertai dengan aksi di DPR RI.
e. 19 April 2013 Pengaduan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atas kriminalisasi yang dialami
oleh Widodo Ketua SP Indonesia Ferry.
f. 26 April 2013 Pembentukan Panja Outsourcing dan Ketenagakerjaan.
g. 25 April 2013 Seminar tentang Jaminan Kepastian kerja dan upaya pemenuhan hak pekerja di perusahaan
BUMN di Wisma Antara.
h. 15 Mei 2013 Audiensi dengan staf khusus presiden bidang ekonomi atas nama Prof. Firmansyah di Bina
Graha pada.
i. 20 Mei 2013 Audiensi dengan Fraksi PPP tentang Penghapusan Outsourcing di perusahaan BUMN, union
busting dan hak-hak normatif para pekerja.
j. 22 Mei 2013 Audiensi dengan fraksi Partai Gerindra tentang Penghapusan Outsourcing di perusahaan
BUMN, union busting dan hak-hak normatif para pekerja.
k. 22 Mei 2013Audiensi dengan Sekkab Dipo Alam tentang Penghapusan Outsourcing di perusahaan BUMN,
union busting dan hak-hak normatif para pekerja.
l. 24 Mei 2013 Aksi di Kemeneg BUMN dan KPK menuntut penghapusan Outsourcing dan membongkar
korupsi di balik bisnis Outsourcing.
m 24 Mei 2013 Konferensi Pers tentang korupsi dibalik proyek outsourcing perusahaan BUMN.
n 2-3 Juni 2013 Silaturahmi Nasional Geber BUMN untuk perluasan Geber BUMN.
o. 7Juni 2013 Konferensi Pers tentang Tolak Kenaikan BBM.
p. 12 Juni 2013 Audiensi dengan Fraksi Partai Demokrat tentang Penghapusan Outsourcing di BUMN
q. 13 Juni 2013 Diskusi Publik tentang Menggugat Kenaikan harga BBM.
r. 9 September 2013 Pemantauan Rapat Dengar Pendapat antara Panja Outsourcing dan Ketenagakerjaan
di BUMN dengan Menakertrans, Meneg BUMN dan Direksi perusahaan BUMN tentang penyelesaian per-
masalahan outsourcing dan ketenagakerjaan.
s. 22 September 2013 Konferensi Pers tentang Launching data-data pelanggaran ketenagakerjaan di BUMN
dan persiapan mogok kerja di BUMN

98
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
T. PT 23 September 2013Geber BUMN melakukan aksi, tuntutan mendekas Panja Outsourcing menyelesai-
kan permaslahan Outsourcing dan ketenagakerjaan di perusahaan BUMN.
u. 24 September 2013 Konferensi Pers tentang Kecelakaan kerja di perusahaan BUMN.

12. Gebuk PHK


Dewasa ini, posisi tawar buruh Indonesia sangat lemah di hadapan pengusaha atau pemodal. Lemahnya
posisi tawar buruh salah satunya bisa dilihat dari mudahnya pengusaha melakukan PHK terhadap buruhnya
secara tidak sah, tanpa alasan yang jelas. Berbagai alasan yang biasa dijadikan pengusaha untuk mem PHK
buruh di antaranya seperti selesainya PKWT atau masa kontrak kerja, kesalahan berat oleh buruh, pelang-
garan Peraturan Perusahaan, mutasi dan lain sebagainya. Kenyataannya, alasan-alasan diatas biasanya di-
gunakan untuk menyingkirkan buruh yang berani, kritis dan sedang membangun serikat. Di sisi lain, sulitnya
mencari pekerjaan yang membuat buruh semakin tidak berkutik di hadapan pengusaha atau pemodal, oleh
karenanya diperlukan suatu wadah bagi buruh untuk konsolidasi melawan penindasan yang dialami oleh
para buruh, maka pada tanggal 8 Juli 2013, dibentuk aliansi yang dinamakan dengan Gebuk PHK. Aliansi ini
melakukan banyak kegiatan yang intinya untuk advokasi terhadap buruh, kegiatan itu adalah.
a. 28 Juli 2013 Launching pembukaan posko Pengaduan THR 2013 dan PHK.
b. 30 Juli 2013Rapat Gebuk PHK konsolidasi korban PHK.
c. 20 Agustus 2013Aksi di Kemenakertrans dan pengaduan perusahaan yang tidak memberikan THR kepada
buruh sesuai dengan aturan ketenagakerjaan.
d. 15 agustus 2013 Konferensi Pers tentang Penutupan Posko Pengaduan THR.
e. 1 September 2013 Konferensi Pers tentang Penolakan Inpres Upah.
f. 8 September 2013 Gebuk PHK konferensi pers tentang memberikan dukungan kepada buruh di PT Doosan
yang digugat perusahaan sebesar Rp 2 Milyar.
g. 11 September 2013 Aksi dukungan dari Gebuk PHK terhada buruh yang digugat sebesar Rp 2 Milyar.

13. Koalisi Pemantau Peradilan (KPP)


KPP merupakan koalisi beberapa Non Government organization (NGO) yang bergerak di isu-isu seputar
isu peradilan dan anti-korupsi. Koalisi ini dibentuk sekitar tahun 2000-2001. Sifat koalisi KPP pada dasarnya
cair dan terbuka, anggota bisa ikut hanya untuk satu isu tertentu sementara untuk isu/moment yang lain
mengundurkan diri. Anggota KPP terdiri dari ICW, LeIP, PSHK, KRHN, LBH Jakarta, YLBHI, ILRC, MaPPI FH
UI, ELSAM, TII, MTI. Koalisi ini telah melakukan berbagai kegiatan diantaranya.
a. 9 Juli 2013 Konferensi pers penyikapan kriminalisasi terhadap aktivis anti korupsi di ICW karena merilis
anggota DPR yang dianggap menghalangi pemberantasan korupsi.
b. 20 September 2013 Konferensi Pers menyikapi percaloan seleksi calon hakim agung di Komisi III DPR RI.

14. Koalisi Perjuangan Hak Sipil dan Buruh (KAPAS)


KAPAS dideklarasikan pada tanggal 12 februari 2013, dilatarbelakangi meningkatnya kekerasan dan kon-
trol negara terhadap berbagai bentuk gerakan perjuangan masyarakat sipil untuk pemenuhan hak-hak kon-
stitusional sebagai warga Negara yang berdaulat. Organisasi yang tergabung dalam KAPAS yaitu; buruh
- Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI), KontraS, Imparsial, YLBHI, LBH Jakarta, TURC.
Koalisi ini telah melakukan berbagai kegiatan, yaitu.
a. 12 Februari 2013 Melakukan deklarasi dengan mengadakan konferensi pers tentang pembentukan KA-
PAS.
b. 7 - 8 Maret 2013 Melakukan Workshop untuk menentukan agenda kerja KAPAS.
c. 19 Februari 2013 Melakukan aksi unjuk rasa di depan gedung DPR RI untuk menolak disahkannya RUU
Ormas dan RUU Kamnas.
d. 2 Juli 2013 Melakukan aksi unjuk rasa lanjutan untuk menolak RUU Ormas di Depan Gedung DPR RI.
e. 18 Juli 2013 Kapas bersama masyarakat sipil melakukan konferensi pers untuk deklarasi untuk melakukan
pembangkangan sipil dan tidak menaati UU Ormas.

15. Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB)


Sejumlah lembaga yang berhimpun dalam Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB) memberikan perhatian
dan penyebarluasan informasi tentang tata kelola organisasi masyarakat sipil serta advokasi terhadap regu-
lasi sektor organisasi kemasyarakatan. Organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam KKB yaitu Yap-
pika, PSHK, Kontras, YLBHI, ICW, LBH Jakarta, GreenPeace, Walhi, Imparsial, Arus Pelangi. Kegiatan dari
soalisi ini antara lain.
a. Konferensi Pers tentang Penyikapan RUU Ormas tertanggal 20 Juni 2013.
b. Audiensi dengan Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN) tentang penolakan RUU Ormas, tertanggal 1 Juli
2013.
c. Aksi Penolakan RUU Ormas tertanggal 2 Juli.

99
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

d. Konferensi pers tentang Pembangkangan masyarakat sipil terhadap UU Ormas 18 Juli 2013.

16. Koalisi untuk Pembaharuan Hukum Acara Pidana (KuHAP)


KuHAP dibentuk untuk mengawal revisi KUHAP. Adapun organisasi yang tergabung dalam koalisi ini
adalah Arus Pelangi, HuMA, HRWG, LBH Apik, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, LBH Jakarta, LBH Pers, ILRC,
Imparsial, Leip, Mappi, PSHK, ICJR, ELSAM, PBHI, ILR.
Banyak hal yang telah dilakukan koalisi ini untuk mengawal revisi KUHAP, kegiatan itu adalah.
a. 3-6 Juli 2013 Konsiyering dalam penyusunan Daftar Inventarisir Masalah (DIM) RKUHAP.
b. 27 Juni 2013 Audiensi dengan Jakarta Post meminta untuk melakukan pemantauan.
c. 18 Juni 2013 Diskusi dengan Ahli untuk minta masukan dalam RKUHAP.
d. 14 Maret 2013 Audiensi dengan Komnas Perempuan untuk dapat bersinergi dengan KuHAP dalam ad-
vokasi RKUHAP.
e. 9 Juni 2013 Konferensi Pers tentang Penyikapan Vonis Penjara terhadap anak yang berusia 11 tahun.
f. 26 Juni 2013 Konferensi Pers memperigati hari anti penyiksaan.
g. 15-17 September 2013 Pertemuan Tim Kecil Penyusunan daftar interis masalah (DIM).
h. 4 September 2013 Audiensi dengan Fraksi Partai Hanura tentang mendorong substansi RKUHAP sesuai
dengan prinsip-prinsip hukum dan HAM.
i. 5 September 2013 Audiensi dengan Fraksi Partai Golkar mendorong substansi RKUHAP sesuai dengan
prinsip-prinsip hukum dan HAM.
j. 21 Mei 2013 Audiensi dengan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan mendorong substansi RKUHAP sesuai
dengan prinsip-prinsip hukum dan HAM.
k. 10 September 2013 Media Briefing untuk mengajak kawan-kawan Jurnalis/Wartawan turut mengawal dan
berpartisipasi dalam pembaruan hukum acara pidana yang berspektif HAM dan berkeadilan Jender ter-
tanggal.
l. 26 September 2013 kembali melakukan rapat lanjutan untuk pembahasan DIM .

18. Data Base Paralegal


Database sangat penting untuk dalam menunjang pengelolaan orang yang terlibat dalam suatu aktivitas
bersama. Kebutuhan akan database paralegal kembali di kembangkan melalui microsoft ascees yang cukup
mumpuni sebagai program database. Tujuan dari data base adalah :
a. Tersedianya data paralegal LBH jakarta
b. mengetahui profiel dari setiap paralegal, kemampuan, keterampilan dan pengalaman paralegal.
c. pengacara publik dapat bekerja secara efektif dalam advokasi bersama paralegal.
Kegiatan yang dilakukan dalam program ini adalah.
a. Juli Sekarang Membuat data base dari Microsoft access.
b. Juli- agustus Melakukan Pendataan seluruh paralegal LBH Jakarta.
c. Agustus Membuat data paralegal berdasarakan Wilayah.

18. Pelantikan Paralegal


Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang bantuan hukum telah mengakui secara formal Paralegal.
Paralegal berada di bawah Organisasi Bantuan Hukum dan memberikan bantuan hukum berdasarkan pen-
gawasan organisasi bantuan hukum (OBH) oleh karena itu untuk memaksimalkan kerja-kerja paralegal dan
melakukan advokasi memberikan bantuan hukum dilakukan pelantikan paralegal LBH Jakarta.
Kegiatan ini terdiri atas 2 tahap, yaitu
a. Agustus Verifikasi paralegal berdasarkan syarat-syarat yang ada di LBH untuk dilantik menjadi
paralegal dan diberikan kartu paralegal, dan;
b. 07 September 2013 Pelantikan Paralegal

20. Pertemuan Wilayah Paralegal


Tujuan Memperkuat Konsolidasi paralegal di wilayah, melakukan Pemetaan masalah / isu paralegal di
wilayah, Pendataaan kebutuhan paralegal di wilayah, Penyampaian Program Kerja LBH Jakarta tentang
Paralegal.
Mengingat dari pentingnya konsolidasi paralegal sebagai upaya pemetaan permasalahan dan sebagainya
maka kegiatan ini dilakukan dengan mendatangi posko paralegal yaitu pada Tanggal 26 Juli di Posko Parela-
gal Aliansi masyarakat peduli hukum di Cibinong dan Tanggal 16 Agustus 2013 di Bekasi.

20. Pendirian Posko Paralegal


Paralegal LBH Jakarta tersebat di beberapa wilayah jabodetabek. Untuk memperkuat solidaritas antara
paralegal diperlukan pusat aktivitas paralegal diwilayah. Posko berfungsi sebagai wadah sharing antar para-
legal, paralegal dan pengacara publik, konsultasi kasus, pertemuan-pertemuan membahas kasus. Sampai

100
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
saat ini LBH Jakarta sudah mendirikan 1 posko paralegal dengan tahapan
a. Bulan Oktober Pembuatan spanduk posko
b. Bulan September Pendirian posko paralegal di jakarta dan bogor.

21. Diskusi Paralegal di Komunitas


Tujuan dari program ini adalah untuk Membahas strategi advokasi/kasus di komunitas. Selama ini telah
berjalan 3 (tiga) kali diskusi dengan paralegal LBH jakarta, yaitu pada.
a. 18 Agustus 2013 Turun Komunitas dengan warga cileungsi
b. 25 Agustus 2013 Turun Komunitas dengan warga rumpin
c. 13 September 2013 Turun komunitas dengan serikat Perempuan Mandiri (PM) Pekerja Rumah Tangga
(PRT).

22. Pelatihan Paralegal Disabilitas


Kebanyakan dalam pandangan masyarakat Indonesia penyandang disabilitas merupakan orang-orang
yang perlu dikasihani. Penyadang disabilitas memiliki hak yang sama dengan dengan masyarakat yang lain-
nya, namun sering kali penyandang disabilitas diperlakukan sangat berbeda. Pelatihan ini bertujuan mem-
bangun kapasitas paralegal penyandang disabilitas untuk memungkinkan mereka melakukan advokasi hu-
kum untuk memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas.
Pelatihan untuk paralegal disabilitas ini dilakukan dengan berbagai tahapan untuk mempersiapkannya,
yaitu
a. 17 September 2013 FGD Modul
b. Bulan November melakukan Focus Group Discussion (FGD) develop Modul
c. Penulisan modul paralegal Hingga bulan Desember
d. Mencetak Modul paralegal bulan januari
e. Pelatihan Paralegal akan dilakukan pada bulan maret mendatang.

23. Pelatihan Paralegal Penegakan Hukum Pemilu


Tantangan terbesar dalam penyelanggaraan pemilu adalah proses pelanggaran terhadap hukum pemilu.
Pelanggaran hukum pemilu membawa ancaman bagi keberlangsungan demokrasi. Berkaca pada pemilu
2009 banyak terjadi pelanggaran pemilu yang tidak di tindaklajuti oleh penegak hukum pemilu. Perludem
bekerja sama dengan LBH Jakarta mengadakan pelatihan paralegal penegak hukum pemilu yang akan bek-
erja melakukan pemantauan dan pendampingan pelanggaran hukum pemilu.
Kegiatan yang dilakukan sejauh ini baru sampai pembuatan modul untuk pelatihan ini, namun rencana
untuk pelatihan ini sudah dibuat yaitu
a. 29-31 Agustus Workshop penulisan Modul
b. 25 Agustsu 2013 FGD Modul
c. Diskusi Komunitas dilakukan setelah bulan november
d. Analisis Media setiap bulannya hingga mei 2014
e. Pelantihan Paralegal bulan november 2013

24. Tracking Capres dan Cawapres


Pemilu 2014 akan dilaksanakan pada bulan mei 2014, namun proses sosialisasi capres semakin gencar.
Tokoh Capres tidak banyak mengalami perubahan dari pemuilu 2009. Terhadap tokoh capres tersebut LBH
melakukan tracking pelanggaran-pelanggaran HAM yang pernah dilakukan capres atau pernyataan capres
yang tidak memihak pada penegakan HAM.
Sejauh ini yang sudah dilakukan adalah.
a. Agustus september 2013 Analisis Media
b. Agustus- September 2013 Membuat tracking Pelanggaran HAM Capres dan pernyataaan capres yang
tidak memihak penegakan HAM

25. Pendidikan Buruh


Pada tahun 2013 terjadi tarik menarik kepentingan antara buruh dan pengusaha. Kekuatan buruh se-
makin tekonsolidasi menuntut kesejahtraan. Sementara pengusaha didukung pemerintah mengeluarkan
kebijakan-kebijakan yang tidak pro buruh. Untuk itu penting adanya pengembangan kapasitas pengeta-
huan buruh dengan pendidikan buruh. Hal ini dilakukan LBH Jakarta bekerja sama dengan Federasi Serikat
Pekerja Pulp dan Kertas Indonesia (FSP2KI) melakukan serangkaian kegiatan pelatihan.
Kegiatan ini sudah melakukan.
a. 24 Agustus 2013 Pendidikan Hukum Buruh Federasi Serikat Pekerja Pulp dan Kertas Indonesia (FSP2KI)
b. 05 Oktober 2013 Pendidikan Hukum Perburuhan II Federasi Serikat Pekerja Pulp dan Kertas Indonesia
(FSP2KI)

101
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

26. Diskusi Komunitas Hak Atas Tempat Tinggal


Hak Tempat Tinggal adalah hak utama setiap warganegara. Berbagai kasus penggusuran terus terjadi di
jakarta walapun ada pergantian pemimpin daerah. Bedanya pemerintah jakarta terlebih mengunakan cara-
cara yang lebih ramah dengan pendekatan kepada warga. Melihat fenomena ini maka LBH penting untuk
melakukan pendidikan hak atas tempat tinggal kepada warga untuk dapat mengadvokasi diri dalam meng-
hadapi penggusuran yang akan terjadi. Tujuan : memberikan pengatahuan hak atas tempat tinggal, strategi
advokasi warga, teknik negosiasi dll.
Program ini sudah melakukan.
a. 26 Juli 2013 Diskusi Komunitas tolak Penggusuran
b. 20 September 2013 Diskusi Hak Atas Tempat Tinggal bersama Komunitas JRMK
c. 27 September 2013 Diskusi Hak Atas Tempat Tinggal Bersama Komunitas Gema Pelangi.
28. Pengembangan Media Sosial Untuk Paralegal

Pengembangan Media Paralegal ditujukan untuk


a. Sarana belajar Paralegal LBH Jakarta
b. Sarana Interaksi dan komunikasi Paralegal LBH Jakarta
c. Sarana Informasi aktivitas paralegal dan komunitas kepada masyarakat

Dari program ini sudah melakukan.


a. Agustus sekarang Pembuatan Blog
b. Juli Pembuat email
c. Juli Pembuatan milis
d. Oktober Hot line kontak

28. Konsultasi, Evaluasi dan Laporan Paralegal


Paralegal merupakan bagian LBH dalam memberikan bantuan hukum kepada masyarakat. Dalam mem-
berikan bantuan hukum tersebut diperlukan konsultasi, evaluasi dan laporan paralegal dalam memberikan
bantuan hukum oleh karenanya dilakukan pendampingan terhadap paralegal.
Yang sudah dilakukan dari program ini adalah melakukan konsultasi, dari eberapa konsultasi yang pernah
dilakukan
a. Konsultasi paralegalmulyono yang menangani kasus anak berhadapan dengan hukum
b. Konsultasi paralegal Haris Saifuddin yang menangangi kasus 300 buruh yang tidak berikan upah.
c. Konsultasi paralegal Nenek Dela dalam kasus penggusuran 200 KK di bekasi
d. Konsultasi paralegal Waidah dalam kasus penggusuran pedagang muara baru
e. Konsultasi paralegal bu neneng dalam kasus penggusuran warga rumpin di desa rumpin VS TNI AU.

29. Pembuatan Profiel Paralegal


LBH jakarta memiliki 127 Paralegal yang terdaftar, hal ini adalah potensi besar apabila di maksimalkan
dengan baik. Diperlukan sosialisasi paralegal agar masyarakat mengetahui fungsi dan kerja-kerja paralegal.
Salah satu yang dikerjakan adalah membuat profiel paralegal melalui video dan profiel tulisan yang akan di
share ke media sosial.
Yang sudah dilakukan dari program ini.
a. Oktober 2013 Penulisan profiel Paralegal (data diri, pengalaman pelantihan, kasus yang ditangani)
b. Oktober 2013 Pembuatan Video profiel paralegal

30. Pelatihan Paralegal


Banyak perwakilan komunitas dan masyarakat untuk menjadi paralagal. Hal ini perlu direspon sebagai
perluasan gerakan bantuan hukum. Untuk Itu LBH akan mengadakan pelatihan paralegal di bulan Novem-
ber hingga Desember.
Yang sudah dilakukan dari pelatihan paralegal ini adalah.
a. Pelatihan Paralegal untuk Buruh SPN Serang. Dilakukan pada tanggal 14-16 Juni 2013.
b. Pelatihan Paralegal untuk Komunitas LGBT pada tanggal 2 s/d 6 Juni 2013.
Kerjasama dengan YIM.
c. Pelatihan dasar Paralegal
1) Oktober November Persiapan pelatihan
2) Oktober November Persiapan modul
3) November Desember Pelatihan paralegal

102
103
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
BAB. VII
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

Laporan Kelembagaan Laporan Kelembagaan


REGENERASI PENGABDI
BANTUAN HUKUM
1. Karya Latihan Bantuan Hukum
Karya Latihan Bantuan Hukum (KALABAHU) Angkatan ke 34 yang diselenggarakan
pada 1 April 2013 s.d 10 mei 2013 telah selesai di helat. Sebanyak 45 (empat puluh lima)
peserta Mahasiswa/i- Sarjana Hukum dan Non-Hukum dari berbagai kampus di selu-
ruh Indonesia menjadi bagian dari proses pendidikan calon pengabdi bantuan hukum.
Melalui pelatihan ini, LBH Jakarta membagi dan menyebarluaskan semangat Gerakan
Bantuan Hukum Struktural kepada generasi selanjutnya.

2. Penerimaan Asisten Pengacara Publik


Selepas Karya Latihan Bantuan Hukum usai beberapa nama berhasil lulus dalam
seleksi penerimaan Asisten pengacara Publik LBH Jakarta periode 2013-2014. Mereka
adalah Agung Sugiarto, M Adzkar Arifian Nugroho (Univ. Sebelas Maret), Akhmad
Zaenuddin (Univ. Bung Karno), Arsa Mufti, Hardiono Iskandar Setiawan, Ichsan Zikry
(Univ.Indonesia), Azrina Darwis (Univ. Hasanudin Makasar), Eka Saputra (Univ.Trisakti),
Jane Aileen Tedjaseputra (Univ. Atmajaya Jakarta), Rambo Cronika Tampubolon (Univ.
Tamajagakarsa), Revan Timbul H Tambunan (Univ. Negeri Lampung), Verawati BR Tom-
pul (Univ. Krisnadwipayana), Veronika Koman (Univ. Pelita Harapan), Wirdan Fauzi (Univ.
Pancasila). Rekruitmen Asisten Pengacara publik adalah mekanisme regenerasi pengabdi
bantuan hukum di LBH Jakarta yang rutin di laksanakan setiap tahunnya. Selanjutnya,
Asisten Pengacara Publik baru akan menjalani proses pemagangan selama satu tahun.
Masing-masing APP akan melaksanakan kerja-kerja bantuan hukum di bidang Penan-
ganan Kasus, Penelitian, dan Pendidikan Sumber Daya Hukum Masyarakat yang meru-
pakan divisi kerja LBH Jakarta.

3. Penerimaan Pengacara Publik


Tak hanya merekrut Asisten Pengacara Publik, pada tanggal 26 Juni 2013, LBH Jakarta
juga melantik 4 (enam) orang Pengacara Publik baru yaitu Atika Yuanita P., S.H., M.H.
(menyelesaikan pendidikan S-2 di Universitas Indonesia), Eny Rofiatul, S.H., Johanes
Gea, S.H. (Univ.Indonesia), dan Tigor Gempita Hutapea, S.H. (Universitas Kristen Indo-
nesia). Disusul Kemudian pada tanggal 11 Juli 2013 dilantik pula Rahmawati Putri, S.H.

104
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
(Univ.Indonesia) dan Nelson Nikodemus Simamora, S.H. (Univ. Sumatra Utara) sebagai Pengacara
Publik LBH Jakarta. Seluruh PP baru ditempatkan di Bidang Penanganan Kasus, kecuali Eny dan Tigor
yang ditempatkan di bidang Litbang dan PSDHM. Mereka semua adalah mantan Asisten Pengacara
Publik yang berhasil lolos dalam seleksi penerimaan pengacara publik LBH Jakarta tahun 2013. Enam
pengacara publik baru tersebut menambah jumlah pengacara publik LBH Jakarta menjadi 17 orang.
Harapannya dengan bertambahnya Pengacara Publik, kualitas dan performa pelayanan bantuan
hukum LBH Jakarta kepada masyarakat meningkat.

4. Pengacara Publik Berdiaspora


Selain memperkenalkan asisten pengacara dan pengacara publik baru diatas, LBH Jakarta juga me-
lepaskan beberapa pengacara public LBH Jakarta. Akhir Agustus, dua orang Pengacara Publik, Tommy
Albert Tobing, S.H. dan Yunita Purnama, S.H., untuk sementara akan meninggalkan pengabdian
mereka di LBH Jakarta. Tommy Albert Tobing harus menjalani proses magang (internship) di Pattani,
Thailand selama 1 tahun dalam kerangka program Fredskorpset Norwegia. Sementara itu, Yunita Pur-
nama melanjutkan studi ke Amerika Serikat untuk memperdalam pendidikan hokum klinis (Clinical
Legal Education) di Washington University. Disamping melepas sementara dua pengacara public, LBH
Jakarta juga harus melepaskan Sidik, S.H.I, dan Sudiyanti, S.H., yang mengundurkan diri. LBH Jakarta
berharap perspektif HAM, ilmu dan pengalaman yang mereka dapatkan selama di LBH Jakarta dapat
tetap menjadi prinsip pemandu dalam kelanjutan karir mereka di masa mendatang.

B. PENGEMBANGAN KAPASITAS

PENGEMBANGAN KAPASITAS
a. Pengacara Publik

Eny Rofiatul Ngazizah, S.H.

Pengacara Publik LBH Jakarta yang bergabung sejak Agustus 2013 ini telah mengikuti beberapa
kegiatan pengembangan kapasitas sepanjang tahun 2013, diantaranya: (1). Training on International
Refugee Law and UNHCRs Mandate for Civil Society Organization in Indonesia pada 13-14 Septem-
ber 2013. Training ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman terhadap isu pencari suaka dan
pengungsi, serta prinsip perlindungan internasional kepada CSO agar mereka mempunyai kontribusi
dalam mengadvokasi kasus pengungsi yang diselenggarakan oleh UNHCR, LBH Jakarta dan HRWG.
(2) Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang diselenggarakan PBHI pada 16-27 September
2013. (3). Workshop Nasional Jaringan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan diselenggarakan pada
11 September 2013. (4). Jakarta Conference on Regional Cooperation on International Migration,
Mobility and Best Practices on Migration and Development in South East Asia yang diselenggarakan
pada 29 Agustus 2013. (5). Training Pembuatan Video Dokumenter untuk Kampanye Advokasi yang
diselenggarakan pada tanggal 30,31 Agustus dan 2 September 2013 di Perpustakaan Daniel S. Lev.

Ahmad Biky, S.H.


Selama tahun 2013 mengikuti satu kali kegiatan pengembangan kapasitas yakni SAKTI (Sekolah
Anti Korupsi) yang diselenggarakan oleh ICW (Indonesia Corruption Watch) pada tanggal 24 Juni4
Juli 2013. SAKTI bertujuan agar para peserta mengetahui instrumen anti korupsi dan praktik korupsi
diberbagai sektor, mampu menggunakan instrumen anti korupsi dan keahlian khusus dalam melaku-
kan kegiatan pemberantasan korupsi, serta mampu melakukan investigasi dan advokasi pemberan-
tasan korupsi. Singkatnya, para peserta SAKTI disiapkan agar menjadi agen-agen baru antikorupsi.

Arif Maulana, S.H., M.H.


Pengacara Publik LBH Jakarta yang bergabung sejak Februari 2012 ini telah mengikuti beberapa
kegiatan pengembangan kapasitas sepanjang tahun 2013, diantaranya: (1). Pelatihan Case Summary
Training: Mengembangkan Analisis Kasus dan Ringkasan Advokasi Kasus HAM di Dalam dan Luar

105
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

Pengadilan. Pelatihan yang dihelat oleh LBH Jakarta dengan dukungan ABA ROLI ini diseleng-
garakan di Wisma PGI pada tanggal 30 Oktober 1 November 2013: (2). Pelatihan Pengungsi
Internasional dan Mandat UNHCR untuk Komunitas Masyarakat Sipil di Indonesia. Pelatihan
yang dihelat pada tanggal 13-14 September 2013 dan bertempat di Hotel Grand Cemara
Menteng Jakarta Pusat ini diselenggarakan oleh LBH Jakarta dan HRWG bekerjasama dengan
UNHCR. Pelatihan ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman dasar
kepada anggota komunitas/ organisasi masyarakat sipil pegiat hak asasi manusia mengenai
perlindungan pengungsi serta mekanisme terkini dalam perlindungan pengungsi di Indone-
sia; (3) Menghadiri Mekong Legal Networking (MLN) Meeting, Chiang Mai, Thailand, 8-10
November 2013. Kegiatan ini adalah pertemuan rutin pengacara di wilayah Negara yang dialiri
sungai Mekong diantaranya Thailand, Myanmar, Laos, Kamboja, Vietnam dan China, yang
tergabung di dalam sebuah jaringan pengacara Mekong Legal Networking. Kegiatan yang
diselenggarakan di Resort Chiang Mai Thailand pada tanggal 8-10 November 2013 dengan
dukungan EartRight Internasional (ERI) (Lembaga Lingkungan Internasional) ini didesain se-
bagai sebuah pertemuan jaringan pengacara Mekong, sebagai sarana untuk sharing pengala-
man dan pengetahuan dalam penangan kasus lingkungan, khususnya kasus lingkungan lintas
negara yang berkaitan dengan pencemaran sungai mekong. LBH Jakarta diundang sebagai
narasumber untuk berbagi pengalaman mengenai advokasi mekanisme HAM ASEAN dan pe-
luang penggunaan mekanisme tersebut untuk advokasi Hak Asasi Manusia di regional ASEAN.

Atika Yuanita Paraswati, S.H., M.H.


Pengacara Publik yang bergabung di LBH Jakarta awal tahun 2013 ini, dalam proses
pengembangan kapasitas telah mengikuti training: Capacity Building Workshop: ATD Projects
and Case Management Systems pada 29 30 Agustus 2013, yang diselenggarakan oleh The
International Detention Coalition (IDC) and the Asia Pacific Refugee Rights Network (APRRN).
Pelatihan ini membahas perlunya alternatif selain detensi imigrasi untuk menempatkan pen-
cari suaka dan/atau pengungsi, memberikan gambaran mengenai keadaan detensi di beber-
apa negara, seperti Australia, Indonesia, Malaysia, dan Penyampaian mengenai peran lawyer
dalam menangani kasus refugee.

b.Staff Umum

Wulan Purnama Sari dan T Sri Haryanti


Wulan dan Yanti mengikuti Pelatihan Manajemen Arsip program Kegiatan/Proyek bagi
LSM yang diselenggarakan oleh Ruang Pustaka bekerjasama dengan Jurusan Manajemen
Informasi dan Dokumentasi Vokasi UI. Pelatihan ini dikhususkan untuk Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) yang kegiatannya berdasarkan program. Arsip yang tercatat dan terdoku-
mentasi tersebut digunakan sebagai memori kolektif dan sejarah organisasi.

c. Asisten Pengacara Publik

Revan T. Hamonangan Tambunan, S.H.


Selama menjadi asisten pengacara publik di LBH Jakarta, Revan mengikuti pelatihan Train-
ing on International Refugee Law and UNHCRs Mandate for Civil Society Organization in
Indonesia yang diselenggarakan oleh UNHCR, berkolaborasi dengan LBH Jakarta dan HRWG.

Hardiono Iskandar Setiawan, S.H.


Pengembangan kapasitas yang telah dijalani oleh Hardi selama menjadi asisten pengacara
publik di LBH Jakarta, diantaranya adalah: (1). Pendidikan Advokasi dan Hukum Perburuhan
Federasi Serikat Pekerja Pulp dan Kertas Indonesia (FSP2KI) pada 24 Agustus 2013. Pelatihan
ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman buruh atas hak-haknya. (2). Pelatihan HAM
dan Resolusi Konflik Densus 88 pada 27-29 Agustus 2013. Pelatihan bertujuan untuk menin-
gkatkan pemahaman anggota Detasemen Khusus 88 mengenai HAM agar tidak melanggar
HAM dalam tugasnya.

Wirdan Fauzi, S.H.


Selama menjadi Asisten Pengacara Publik, Wirdan berkesempatan mengikuti Pendidikan
Khusus Profesi Advokat (PKPA) PERADI-YLBHI-AIPJ pada 01-11 Oktober 2013.

106
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
Rambo Cronika Tampubolon, S.H.
Selama menjadi Asisten Pengacara Publik, Rambo berkesempatan untuk mengikuti dua
kegiatan pengembangan kapasitas diantaranya : (1). Training on International Refugee Law
and UNHCRs Mandate for Civil Society Organization in Indonesia pada 13-14 September
2013. Pelatihan ini terselenggaran atas kerja sama UNHCR, LBH Jakarta dan HRWG; (2) Dis-
kusi Pengembangan Participatory Action Reseacrh (PAR) pada 7 Oktober 2013.

Veronica Koman, S.H.


Selama menjadi asisten pengacara publik di LBH Jakarta, Vero mengikuti dua kali kegia-
tan pengembangan kapasitas, diantaranya: (1). Training on International Refugee Law and
UNHCRs Mandate for Civil Society Organization in Indonesia yang diselenggarakan oleh UN-
HCR, berkolaborasi dengan LBH Jakarta dan HRWG. (2). Pendidikan Khusus Profesi Advokat
(PKPA) PBHI yang dilaksanakan pada 16-27 September 2013.

Jane Aileen Tedjaseputra, S.H.


Selama menjadi asisten pengacara publik di LBH Jakarta, Vero mengikuti dua kali kegiatan
pengembangan kapasitas, diantaranya: Pelatihan Advokasi Hukum Asia Tenggara pada 15-17
Juli 2013. Pelatihan ini membahas mengenai sistem HAM ASEAN, dan HAM internasional
yang bertujuan untuk mengajak peserta aktif terlibat dalam advokasi HAM ASEAN dan juga
membentuk jaringan pengacara di Asia Tenggara. (2). Pendidikan Khusus Profesi Advokat
(PKPA) PBHI-PERADI yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak
Asasi Manusia Indonesia (PBHI) dan PERADI

C. Pusat Dokumentasi Bantuan Hukum

Menyelamatkan Memori Kolektif,


Memperkuat Gerakan Bantuan Hukum
I.Pendahuluan
Pusat Dokumentasi Bantuan Hukum (PDBH) LBH Jakarta awalnya bernama Perpustakaan Lem-
baga Bantuan Hukum Jakarta yang mempunyai fungsi sebagai supporting system internal organisasi
dalam memberikan layanan bantuan hukum bagi masyarakat, khususnya di wilayah Jabodetabek.
Seiring dengan perkembangannya, Pusat Dokumentasi Bantuan Hukum (PDBH) LBH Jakarta
kemudian membuka akses kepada publik agar dapat memanfaatkan sumber-sumber informasi yang
ada, khususnya tentang bantuan hukum. Hal ini mengingat semakin meningkatnya permintaan publik
atas dokumen kasus hukum yang ditangani oleh LBH Jakarta yang beberapa diantaranya kemudian

107
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

menjadi sumber rujukan bagi perkembangan hukum di Indonesia, baik oleh lembaga lain, praktisi
hukum, peneliti, akademisi, mahasiswa, maupun masyarakat umum.
Pusat Dokumentasi Bantuan Hukum (PDBH) LBH Jakarta saat ini lebih memfokuskan diri pada
data-data yang mengangkat isu prioritas lembaga seperti, bantuan hukum, Perburuhan, Masyarakat
Urban, dan pelanggaran hak sipil dan politik.

II. Perpustakaan Sebagai Sumber Pembelajaran


Perpustakaan menjadi bagian integral yang mendukung proses kegiatan layanan bantuan hukum.
Keberadaan perpustakaan yang melekat dalam organisasi induknya menjadi sumber belajar bagi
pengacara publik, asisten pengacara publik dan seluruh staf LBH Jakarta khususnya dan masyarakat
pada umumnya.
Ketika mengunjungi perpustakaan dengan sendirinya budaya minat baca akan tumbuh dan dengan
demikian, pengunjung baik staf internal LBH Jakarta maupun publik telah mampu memanfaatkan
perpustakaan sebagai sumber informasi, tempat belajar untuk menambah wawasan dan pengeta-
huan, mengenal sejarah serta berbagai macam informasi bagi kepentingan pembelaan, penelitian,
kepentingan advokasi bahkan kepentingan pendidikan.
Sebagai contoh, klien yang awam hukum datang ke perpustakaan LBH Jakarta mencari informasi,
baik peraturan perundangan maupun referensi lain yang berhubungan dengan kasus yang sedang
dihadapinya, maka klien tersebut telah memanfaatkan perpustakaan sebagai sumber belajar, sumber
informasi dan menambah pengetahuan tentang satu masalah. Jika kesadaran ini muncul pada setiap
masyarakat, tentu saja cita-cita masyarakat sebagai masyarakat belajar (learning society) dapat ter-
bentuk.

a. Pengolahan Koleksi
Sejak tahun 2012, perpustakaan lebih memfokuskan diri pada isu bantuan hukum mengingat
lingkup kerja LBH Jakarta dalam pelayanan bantuan hukum bagi masyarakat miskin, buta hukum dan
tertindas.
Koleksi yang dimiliki oleh perpustakaan saat ini terdata dalam katalog sebanyak 4420 koleksi yang
sudah diolah. Data ini mengalami pengurangan, karena ditahun sebelumnya jumlah koleksi lebih dari
5000 eksemplar. Pengurangan ini terjadi karena adanya penyiangan/penyusutan koleksi yang sudah
tidak up to date untuk digunakan dan disimpan.
Adapun jenis koleksi yang terdapat di Perpustakaan ada 2 kategori, yaitu koleksi pustaka dan
koleksi non pustaka.
1. Koleksi Pustaka
Meliputi buku, laporan penelitian, makalah, karya akademik, dan terbitan berseri. Koleksi pustaka
terdiri dari koleksi referensi atau biasa disebut juga bahan rujukan, dan koleksi umum.
2. Koleksi Non-Pustaka
Meliputi kliping, foto, dan audio visual yang sebagian besar di dokumentasikan dari hasil kegiatan
yang dilakukan oleh LBH Jakarta.

Dalam hal pengadaan koleksi, perpustakaan melakukan penambahan dengan pembelian, permint-

108
aan dan sumbangan dari lembaga lain. Pembelian buku tahun ini terfokus pada buku ilmu hukum dan
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
bantuan hukum, sesuai dengan rencana kerja tahun tahun 2012.
Pengadaan terbitan berseri tahun 2013 hanya ada 1 (satu), yaitu majalah Tempo yang dilanggan
per-tahun. Sedangkan majalah Time yang dilanggan tahun sebelumnya dihentikan karena mengacu
pada kebutuhan informasi LBH Jakarta ditingkat lokal dan nasional.

b. Pemanfaatan Teknologi
Pengolahan koleksi perpustakaan semakin dimudahkan dengan adanya perkembangan teknologi
informasi. Mulai awal tahun 2008 sistem database perpustakaan LBH Jakarta beralih menggunakan
Senayan Library Information Management system (SliMS), perangkat lunak sistem manajemen per-
pustakaan (library management system) sumber terbuka (open source).
Aplikasi ini mendukung pengolahan perpustakaan baik dalam pembuatan label dan barcode secara
otomatis. Pelayanan temu kembali koleksi semakin mudah, didukung dengan sistem keanggotaan
dan pelayanan peminjaman secara otomatis disertai remainder yang terhubung dengan email.
Online Public Access Catalog (OPAC) selain terdapat di jaringan lokal juga dapat dibuka melalui
media online dengan alamat http://perpustakaan.bantuanhukum.or.id/. Dengan demikian layanan pe-
manfaatan beberapa koleksi perpustakaan, khususnya terbitan LBH Jakarta yang sudah di alih media
dalam bentuk elektronik file mampu dilakukan dari jarak jauh.
Sedangkan untuk pengolahan koleksi dokumen foto, kliping, audio visual, dan surat, beberapa
dokumen kantor lainnya menggunakan software Alfresco sebagai pangkalan data. Alfresco digunakan
sebagai Document Management System (DMS), yang memungkinkan lembaga memiliki data internal
terpusat, dapat diakses secara offline menggunakan level user dengan biaya minimal. Seperti halnya
SliMS, Alfresco yang digunakan saat ini bersumber terbuka (open source).

III. Revitalisasi Arsip: Menyelamatkan Memori Kolektif Organisasi


Selain informasi yang terdapat di perpustakaan, LBH Jakarta sebagai lembaga pemberi bantuan
hukum tertua dan pertama kali di Indonesia telah melakukan kerja-kerja advokasi bantuan hukum
kepada masyarakat dengan +1000 kasus per-tahun.
Beberapa kasus yang ditangani LBH Jakarta seringkali mencuat menjadi kasus penting dan berse-
jarah yang digunakan sebagai rujukan oleh pihak lain. Hal Ini menjadi bukti bahwa LBH Jakarta sangat
berperan dalam menyediakan sumber-sumber informasi bantuan hukum, misalnya Penggusuran Ta-
man Mini, penggusuran becak, Kasus PRD, peristiwa 27 juli 1997, Ujian Nasional, dll.
Selain dokumen yang mengandung nilai sejarah dalam perkembangan kota Jakarta, Pusat Doku-
mentasi Bantuan Hukum juga menyimpan dokumen gugatan citizen lawsuit Nunukan yang pertama
kali dilakukan oleh LBH Jakarta. Gugatan ini kemudian menjadi terobosan hukum mengingat mekan-
isme citizen lawsuit belum ada dalam aturan hukum tertulis di Indonesia, sehingga ini menjadi tong-
gak diterimanya mekanisme gugatan CLS.
Menyadari pentingnya dokumentasi kasus yang dimiliki oleh LBH Jakarta, maka Pusat Dokumenta-
si Bantuan Hukum berusaha turut berperan serta dalam penyebaran gerakan bantuan hukum struk-
tural dengan melakukan pembenahan pendokumentasian kasus yang dimiliki.
Tahun 2013 ini merupakan momen terbaik bagi Pusat Dokumentasi Bantuan Hukum dalam melaku-
kan revitalisasi dokumen kasus bantuan hukum yang dimiliki sejak tahun 1970-an. Mengingat fisik
arsip kasus yang mulai termakan usia, maka Pusat Dokumentasi Bantuan Hukum mulai melakukan
beberapa kegiatan untuk menyelamatkan informasi dan sejarah yang terkandung didalamnya. Keg-
iatan tersebut antara lain re-organisasi dokumen, alih media atau digitalisasi dan membangun Sistem
Informasi Kasus Terintegrasi.

a. Re-organisasi Dokumen
Meningkatnya jumlah pengaduan yang diterima oleh LBH Jakarta setiap tahun berakibat pada se-
makin banyaknya jumlah dokumen kasus yang masuk ke Pusat Dokumentasi Bantuan Hukum. Hal ini
belum diimbangi dengan sistem pengelolaan, ruang dan fasilitas penyimpanan yang memadai, yang
berakibat pada sulitnya penemukan kembali dokumen, ketidaklengkapan dokumen, rusak karena usia
atau dimakan rayap dan.
Dengan permasalahan tersebut maka mulai bulan Agustus 2013 LBH Jakarta mulai membuat ke-
bijakan tentang record management system (RMS) yaitu sistem manajemen pencatatan, khususnya
untuk dokumen kasus. Sistem tersebut kemudian menjadi panduan dalam melakukan re-organisasi
dokumen kasus.
Re-organisasi dokumen meliputi proses pendataan kasus/inventarisasi, seleksi kasus bersejarah
dan penataan kembali berkas. Re-organisasi dokumen dilakukan dengan mengelompokan berkas
kasus berdasarkan tahun tercipta berkas, subyek kasus, dan nama klien dan kasusnya.
Pendataan dokumen kasus dilakukan dalam database Sistem Informasi Kasus (SIK) yang dibangun

109
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

dan terintegrasi dengan penerimaan pengaduan, konsultasi dan penanganan hukumnya. Saat ini
proses re-organisasi dokumen masih berlangsung, diharapkan pada bulan ketiga tahun 2014 kegiatan
ini telah selesai dilakukan. Kegiatan ini terselenggara berkat bekerjasama LBH Jakarta dengan AIPJ
(Australia Indonesia Partnership for Justice) dan TAF (The Asia Foundation).

b. Alih Media/Digitalisasi
Ruang penyimpanan yang semakin penuh menyebabkan dokumen kasus terus menumpuk, se-
dangkan dokumen yang berusia diatas 30 tahun kondisi fisiknya semakin rapuh dan beberapa telah
dimakan rayap. Hal ini menjadi permasalahan cukup serius bagi LBH Jakarta untuk segera melakukan
penyelamatan terhadap informasi yang terkandung dalam dokumen kasus khususnya yang bernilai
sejarah tinggi.
Kegiatan alih media dilakukan dengan mengandeng pihak kedua karena pertimbangan jumlah
sumber daya manusia yang minim di Pusat Dokumentasi Bantuan Hukum. Alih media dilakukan
dengan memprioritaskan jenis kasus, dan kasus yang telah terdokumentasikan dengan lengkap. Ke-
bijakan pemindaian (capture) alih media menggunakan standar arsip Nasional, yaitu 300 dpi (dot per
inchi). Sedangkan hasil pemindaian sementara ini masih tersimpan sesuai nama file, misalnya guga-
tan, replik, duplik, putusan, kasasi, dan lainnya yang terdapat dalam folder nama kasus.
Pada tahap awal alih media ini, Pusat Dokumentasi Bantuan Hukum telah memiliki 143 ribu lembar
dokumen kasus dalam bentuk digital, yang tersusun dalam 1437 forlder. Sebanyak 247 folder berisi
dokumen yang masih harus disimpan (keep), dan 1190 folder adalah dokumen yang sudah memasuki
masa retensi sesuai dengan Jadwal Retensi Arsip (JRA) dokumen hukum yaitu 30 tahun.
Hasil alih media tersebut nantinya akan dimasukkan dalam database penyimpanan yang terdapat
dalam Sistem Informasi Kasus (SIK). Alih media tahap selanjutnya akan dilakukan oleh Pusat Doku-
mentasi Bantuan Hukum sendiri.

c. Sistem Informasi Kasus (SIK) Terintegrasi


Sejalan dengan kegiatan re-organisasi dan digitalisasi dokumen, tidak kalah penting ketika dalam
sebuah manajemen dokumen kasus diperlukan pangkalan data yang mampu terintegrasi dalam setiap
kegiatannya. Manajemen dokumen terintegrasi ini dimasksudkan sebagai sebuah proses yang ber-
sinambungan (continoum model) yang meliputi pembuatan arsip dinamis (records,) hingga menjadi
arsip statis (archives).
Model tersebut memandang perlunya mengelola dokumen dari perspektif aktifitas yang direkam.
Model bersinambungan (continoum) memandang pengelolaan dokumen dalam pandangan semacam
pertanyaan, dokumen apakah yang perlu diperoleh untuk menunjukkan bukti sebuah aktifitas, sistem
dan peraturan apakah yang diperlukan untuk memperoleh dan mengatur dokumen, berapa lama
dokumen harus dipelihara untuk membantu kegiatan organisasi dan keperluan lain, bagaimana cara
menyimpannya, dan siapa yang berhak mengaksesnya.
Berdasarkan keperluan diatas, LBH Jakarta sebagai organisasi yang menghasilkan ribuan doku-
men kasus setiap tahun perlu membangun sebuah pangkalan data sesuai dengan kebutuhan tersebut.
Sebelumnya LBH Jakarta telah mempunyai pangkalan data kasus, namun karena kendala teknis pang-
kalan data tersebut tidak dapat digunakan kembali. Perlu dipertimbangkan soal manajemen resiko
untuk meminimalisir kejadian sebelumnya.
Pembangunan aplikasi Sistem Informasi Kasus (SIK) tersebut mengintegrasi dalam kegiatan peneri-
maan pengaduan/pendaftaran, yaitu dari pengisian formulir pengaduan yang dapat dilakukan oleh
resepsionis LBH Jakarta maupun yang dilakukan sendiri oleh klien pengadu.
Hasil isian formulir akan yang telah disetujui oleh pengadu akan mendapatkan nomor registrasi
oleh petugas penerima pendaftaran. Setelah formulir diterima oleh pengacara piket, kemudian dilaku-
kan distribusi kepada pengacara dan asisten pengacara untuk dipelajari untuk kemudian dilakukan
proses konsultasi.
Dalam konsultasi tersebut, pengacara dapat langsung membuka identitas dan permasalahan yang
dihadapi oleh pengadu di ruang konsultasi yang sudah disediakan seperangkat komputer di setiap
meja. Pengacara langsung dapat menuliskan saran dan tindakan apa yang dianjurkan kepada pen-
gadu.
Hasil dari kegiatan penerimaan pendaftaran, dan konsultasi tersebut langsung tersimpan dalam
database Sistem Informasi Kasus (SIK) yang berada di Pusat Dokumentasi Batuan Hukum, untuk
selanjutnya dilengkapi dengan dokumen-dokumen pendukung yang di alih media/file digital.
Dengan terbangunnya sistem terintegrasi seperti diatas, harapannya tahun 2014 LBH Jakarta
sudah dapat menggunakan sistem Informasi Kasus (SIK) dalam kegiatan operasional penanganan ka-
sus. Demikian pula sistem ini akan menjawab kebutuhan Pusat Dokumentasi Bantuan Hukum dalam
melakukan manajemen dokumen kasus dan lebih optimal digunakan oleh publik untuk mendukung
gerakan bantuan hukum yang meluas.

110
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
D. Laporan Fundraising LBH Jakarta

Laporan Fundraising LBH Jakarta

D
i tahun 2013, LBH Jakarta memiliki divisi baru di bawah Bidang Pengembangan
Sumber Daya Hukum Masyarakat, yaitu divisi fundrising. Divisi ini dibentuk,
diawali dengan niat LBH menjadi organisasi yang mandiri dalam mendanai
kerja-kerjanya. Ke depan divisi ini akan fokus pada pemanfaatan dana publik
agar dapat disalurkan untuk mendanai kerja bantuan hukum. Pada bulan Januari tahun
2013, telah dilakukan dua hal mengenai Fundraising. Hal yang pertama adalah perumu-
san program kerja fundraising dan yang kedua adalah pra renstra dan re-engagement
SIMPUL (Solidaritas Masyarakat Peduli Keadilan). Dalam kegiatan ini, rencana tindak
lanjutnya adalah menerapkan program kerja yang telah disusun pada sesuai dengan apa
yang telah dirumuskan. Dalam kesempatan ini, materi dan metode dalam melakukan
fundraising dan kampanye telah didapatkan untuk pengembangan SIMPUL LBH Jakarta.
Tetapi dalam melakukan dua hal ini, LBH Jakarta mengalami kendala karena kurangnya
SDM untuk melakukan hal ini.
Memasuki bulan Maret sampai April, LBH Jakarta mengikuti Training di Dompet Dhua-
fa sehingga memperoleh materi dan metdo fundraising dan kampaye untuk pengemban-
gan SIMPUL LBH Jakarta. Setelah mengikuti training, LBH Jakarta pada bulan Mei hing-
ga JUni melakukan perbaikan system database melalui directmail, pembuatan tools dan
memulai proses perekrutan staf fundraising. Pada kesempatan ini, sebagaian database
SIMPUL perlahan mulai tersusun dengan baik. Setelah itu kembali dilakukan perbaikan
system database melaui directmail, pembuatan tools dan proses perekrutan staf pada
bulan Juli dengan metode direct fundraising yang hasilnya adalah LBH Jakarta memper-
oleh donasi sebesar Rp. 5.920.000,00 (lima juta sembilan ratus dua puluh ribu rupiah) dan
19 donatur SIMPUL.
Sebagai bahan evaluasi, maka perbaikan system database melalui directmail, pembua-
tan tools, dan penyusunan SOP (standard operational procedure) dengan metode direct
fundraising pada bulan agustus. Hal ini menghasilkan donasi sebesar Rp. 6.443.900,00
(enam juta empat ratus empat puluh tiga ribu Sembilan ratus rupiah) dan 16 orang dona-
tor SIMPUL. Pada bulan ini sudah bergabung bersama LBH Jakarta 5 (lima) orang staf
fundraising yang baru. Ini menjadi jawaban atas tantangan terhadap kurangnya sumber
daya manusia dalam melakukan penggalangan dana publik ini.
Setelah LBH Jakarta mendapatkan tenaga baru, mulailah LBH Jakarta melakukan un-
juk gigi untuk menggalang perhatian publik terhadap LBH Jakarta melalui acara UI Re-
search Day pada 26 September 2013 dan tanggal 30 September 2013 mengikuti acara
pemutaran film documenter The Act of Killing. Melalui metode direct fundraising and
social business ini, fundraising berhasil memperoleh Rp. 485.000,00 (empat ratus lima
puluh ribu rupiah( dari hasil penjualan merchandise dan Rp. 3.700.000,00 dari donator
SIMPUL serta mendapatkan 14 orang donator SIMPUL yang baru. Kendala yang dihadapi
oleh teman-teman fundraiser adalah kurangnya calon yang bisa diprospek. Setelah keg-
iatan ini, database SIMPUL kembali dirapikan.
Hampir memasuki akhir tahun, pada bulan Oktober LBH Jakarta mengiuti beberapa
kegiatan diantara adalah mengikuti acara pemutaran film dokumenter dengan judul
40 Years of Silent tanggal 1 Oktober 2013, mengikuti Q Film Festival di SAE Institute,
mengikuti Launching Buku LBH Jakarta tanggal 10 Oktober 2013, mengikuti Q Film Fes-
tival di Taman Ismail Marzuki, Legal Expo Kemenkumham tanggal 28-29 Oktober 2013,
Soultyfest di Binus University tangagl 29 Oktober-2 November 2013, dan melakukan ker-
jasama dengan Dompet Dhuafa pada tanggal 26 Oktober 2013 melalui metode Partner-
ship. Kegiatan-kegiatan ini telah menghasilkan Rp. 820.000,00 dari hasil penjualan mer-
chandise dan Rp. 5.550.000,00 dari donator SIMPUL dan mendapatkan 18 orang donator
SIMPUL. Namun, apa yang telah dicapai ini tidak lepas dari kendala dan hambatan yaitu
belum terbentuknya sistem dengan baik sehingga diperlukan membuat detail sistem
yang baik agar kerja-kerja fundraising dalam penggalangan dana publik dilakukan den-
gan lebih maksimal lagi.

111
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

E. PERSONIL LBH JAKARTA

STRUKTUR ORGANISASI LBH JAKARTA


STRUKTUR ORGANISASI PENGACARA PUBLIK:

Febi Yonesta, S.H.,


(Direktur)
Restaria F Hutabarat, S.H., M.A.,
(Wakil Direktur dan Kabid. Penelitian dan Pengembangan)
Muhamad Isnur, S.H.I.
(Kabid. Penanganan Kasus)
Alghiffari Aqsa , S.H.
(Kabid. Pengembangan Sumber Daya Hukum Masyarakat)
Tommy A.M. Tobing, S.H.
Maruli Tua Rajagukguk, S.H.,
Pratiwi Febry, S.H.,
Yunita, S.H.,
Arif Maulana, S.H.,M.H.
Handika Febrian, S.H.,
Ahmad Biky, S.H.,
Atika Yuanita Paraswati, S.H., M.H.
Eny Rofiatul Ngazizah, S.H.
Tigor G Hutapea, S.H.
Johanes Gea, S.H.
Nelson N Simamora, S.H.
Rachmawati Putri, S.H.

ASISTEN PENGACARA PUBLIK:

Agung Sugiarto, S.H.


Akhmad Zaenuddin, S.H.
Arsa Mufti Yogyandi, S.H.
Azrina Darwis, S.H.
Eka Saputra, S.H.
Hardiono Iskandar, S.H.
Ichsan Zikry, S.H.
Jane Aileen Tedjaseputra, S.H.
M. Adzkar Arifian Nugroho
Rambo Cronica Tampubolon, S.H.
Revan Timbul Hamonangan Tambunan S.H.
Veronica Koman, S.H.
Wirdan Fauzi, S.H.

112
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
STAF UMUM
STRUKTUR ORGANISASI

Uni Illian Marcianty, S.H. : Kepala Kantor


Ratman : Driver
Sagino : Pekerja Umum
Abdul Rosyid : Resepsionis
Tunggul Sri Haryanti : Kepala Pusat Dokumentasi Bantuan Hukum
Santi Sudarwanti : Kasir
Yulia Delena Raseuki Siregar : Bendahara
Wulan Purnama Sari : Arsiparis

STAF PROGRAM

Ade Wahyudin, S.H.I.


Sayid Muh. Faldi, S.H.
Adi Wibowo

PENGACARA PEMBELA PIDANA:

Romy Leo R. S.H.


Hendra Supriatna, S.H.
Lana Teresa Siahaan, S.H.
Novalia Matondang, S.H.
Ahmad Hardi Firman, S.H.

ASISTEN PENGACARA PEMBELA PIDANA

Annisa Rizky, S.H.


Beren Merary, S.H.
D.R. Golda Meir, S.H.
Eko Haridani Sembiring, S.H.
Muhammad Al Mizaan, S.H.
Ruhut Marlinang, S.H.
Ariyono, S.H.
Iwan Budi Arta, S.H.

STAF KAMPANYE DAN FUNDRISING


Kristian Feran, S.H.
Arifiana Arifin
Benny Malatua Hasibuan
Khaerul Anwar
M. Arif Maulana
Widya Rastika
Zainal Abidin

113
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

Laporan Kelembagaan

BAB. VIII
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. KESIMPULAN

1. Para Pencari Keadilan


Tahun 2013 kasus yang ditangani LBH cenderung mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2012.
Tahun 2012, LBH Jakarta menerima 917 pengaduan langsung dengan jumlah pencari keadilan sebanyak
28.693 orang sementara tahun ini, LBH Jakarta menerima 84 kasus lebih banyak dari tahun 2012. Tahun 2013
terdapat 1.001 pengaduan dengan 28.528 pencari keadilan. Rata-rata besaran jumlah pengadu dan jumlah
pencari keadilan setiap tahunnya menunjukkan bahwa pelanggaran hukum dan HAM masih terus berulang.
Besarnya angka pencari keadilan menunjukkan bahwa pelanggaran hak dalam satu kasus berdampak pada
jumlah korban yang tidak sedikit.
Berdasarkan berbagai pengaduan pelanggaran Hak yang ada tergambar bahwa Kasus yang diadukan ta-
hun 2013 ini, didominasi oleh kasus pelanggaran hak ekonomi sosial dan budaya yakni kasus ketenagakerjaan
disusul dengan kasus Perkotaan dan Masyarakat Urban dan kasus hak sipil Politik yang berkenaan dengan hak
atas peradilan yang jujur dan adil (fair trial). Disamping kasus diatas, LBH Jakarta menerima pengaduan Kasus
Perempuan dan Anak, Kasus Keluarga juga konsultasi umum yang diadukan oleh masyarakat terkait Pidana
Umum, Pidana Khusus, Perdata, Lain-lain/ Non, dan Khusus.

2. Pelanggaran Hak : Terus Berulang dan di Legitimasi


Advokasi kasus yang ditangani LBH Jakarta selama 2013 menunjukkan gambaran umum terus membu-
ruknya situasi penegakan hukum dan HAM di Indonesia. Tak kunjung tegaknya hukum dan hak asasi manusia
karena pembiaran dan gagalnya peran negara untuk aktif dalam pemajuan, perlindungan dan pemenuhan
HAM mengakibatkan pelanggaran hukum dan HAM terus saja berulang dari tahun ke tahun. Bahkan parah-
nya, dalam trend kasus tahun 2013 ini, negara melalui aparatusnya berperan aktif dalam menguatkan pelang-
garan HAM melalui kebijakan dan putusan pengadilan yang justru mengakibatkan pelanggaran Hak Warga
Negara terlegitimasi. Hal ini tergambar jelas dalam berbagai pelanggaran hak yang terjadi dalam kasus-kasus
yang ditangani LBH Jakarta sepanjang tahun 2013.

114
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
a. Hak Atas pekerjaan
Pelanggaran hak buruh masih terus berulang seperti pada tahun-tahun sebelumnya yaitu berkisar pada pe-
langgaran kebebasan berserikat, pelanggaran hak normatif dalam hubungan kerja seperti hak atas manfaat
pensiun, upah dibawah UMP. Selain itu, PHK secara tidak sah, Pelanggaran sistem kerja outsourcing dan pe-
langgaran hak tunjangan hari raya (THR) serta kasus yang menonjol tahun yakni kasus penangguhan upah
adalah deretan kasus hak atas pekerjaan yang terjadi sepanjang tahun 2013. Praktek pelanggaran hukum da-
lam kasus hak atas pekerjaan tanpa Penegakan Hukum khususnya untuk pelaku mengakibatkan pengusaha
seperti memiliki impunitas, dan oleh karenya terus mengulangi pelanggaran. Dalam kasus upah, pemerintah
justru melegitimasi rezim upah murah dengan pemberian ijin penangguhan upah kepada perusahaan yang
tidak memenuhi syarat. Namun kemudian legitimasi upah murah tersebut dilawan buruh dan dibatalkan oleh
pengadilan.

b. Hak Atas kebebasan Berserikat


Dewan Perwakilan Rakyat telah mengesahkan UU Ormas dan menempatkan UU a quo sebagai UU
payung yang akan menambah panjang birokrasi, perijinan, dan mekanisme yang rumit yang pada ujungnya
akan menciderai ruang gerak kemerdekaan berorganisasi di Indonesia. Tujuan dibentuknya UU Ormas, terse-
but bukanlah untuk memperkuat dan memberikan perlindungan terhadap masyarakat sipil dan buruh untuk
berorganisasi dan berserikat, tetapi untuk melakukan kooptasi dan mengawasi sektor masyarakat sipil dan bu-
ruh karena dianggap membahayakan negara. Sejak RUU Ormas dibahas di DPR RI, masyarakat sipil melaku-
kan penolakan, namun DPR RI melawan keinginan publik, padahal yang menjadi dampak UU Ormas tersebut
adalah masyarakat sipil.
Dalam kasus buruh, banyak pelanggaran kebebasan berserikat terjadi, namun para pelakunya tidak tersen-
tuh oleh hukum, saat buruh berusaha memperjuangkan hak-haknya. Namun, pengusaha dapat dengan mu-
dah mengkriminalkan buruh dengan alasan yang mudah. Dalam hal ini Pengawas Ketenagakerjaan dan Aparat
Kepolisian membiarkan, yang seolah-olah para pengusaha tersebut kebal hukum dan tidak tersentuh hukum.
Lemahnya pemahaman yang mendalam dalam membongkar kejahatan tindak pidana perburuhan dan anti
serikat pekerja ditengarai menjadi sebab.

c. Hak Atas Pelayanan Publik


Meskipun secara kuantitas tidak banyak pengaduan kasus yang masuk di LBH Jakarta, namun secara kuali-
tas beberapa pengaduan yang masuk di LBH menunjukkan masalah penting dan krusial pelayanan publik di-
antanya disektor Transportasi Publik, Kesehatan, Layanan Air. Fasilitas umum dan layanan masyarakat. Belum
tersedianya layanan transportasi massal yang dapat memenuhi kebutuhan mobilitas warga negara, Program
layanan kesehatan untuk masyarakat masih buruk dan akibatnya beresiko malpraktek, Layanan Air yang
buruk, mahal dan diskriminatif menjadi kutukan untuk masyarakat. Secara umum meskipun terdapat upaya
perbaikan di daerah Jakarta, nampak bahwa pelayanan public belum (tidak) menjadi orientasi bersama dari
pemerintah dan seluruh pemangku kebijakan di negeri ini.
Terkait advokasi kebijakan, Swastanisasi air Jakarta adalah satu dari berbagai kebijakan pengelolaan sumber
daya alam yang salah oleh negara yang anehnya tetap dilestarikan. Masyarakat harus menuntut agar Pemerin-
tah berubah. Gugatan masyarakat melalui mekanisme gugatan warga Negara (Citizen Law Suit) yang saat ini
sedang ditempuh adalah upaya masyarakat untuk mengingatkan Negara agar mengkoreksi kebijakannya dan
tidak abai terhadap kewajiban perlindungan dan pemenuhan hak atas air warga negara.

d. Hak Atas Tanah dan Tempat Tinggal,


Dalam kasus pelanggaran hak atas tanah dan tempat tinggal Pemerintah dan Perusahaan (Korporasi) men-
jadi aktor pelaku. Penggusuran lahan dan tempat tinggal masyarakat dilakukan dengan alasan untuk kepentin-
gan umum dan untuk tujuan investasi bisnis. Trend tersebut ditunjukkan dalam beberapa kasus yang ditangani
LBH Jakarta. Pola pelanggaran yang terjadi, masyarakat yang telah lama mendiami tanah sendiri atau lahan
pemerintah yang terlantar digusur paksa dengan alasan tanah hak milik mereka diperlukan pemerintah untuk
pembangunan sarana umum seperti tol. Alasan lain yang menjadi dasar penggusuran juga terkait dengan sta-
tus hak atas tanah, di mana perusahaan memiliki HGU atas tanah yang ditempati warga. Saat tanah tersebut
hendak dipergunakan maka warga digusur tanpa ada pertimbangan mengenai fakta bahwa warga telah men-
empati dan mengurus lahan tersebut dalam waktu yang lama.

e. Hak Atas Usaha dan Ekonomi


Pelanggaran Hak Atas Usaha dan Ekonomi ditandai dengan kasus penggusuran terhadap pedagang sektor
informal diberbagai wilayah di Jabodetabek. Penggusuran dilakukan dengan mengatasnamakan kepentingan
umum (revitalisasi, sterilisasi stasiun untuk kenyamanan penumpang) dengan mengabaikan hukum dan hak
asasi manusia. Kasus Penggusuran Pedagang Kios Stasiun Se- Jabodetabek oleh PT. KAI sepanjang tahun 2013
merepresentasikan situasi tersebut. Pendekatan kekerasan dan intimadasi melalui aparat kepolisian dan ten-
tara dipilih dibandingkan dengan pembicaraan solutif dan komunikasi yang tulus dengan para pedagang. Tidak
ada pemberian kompensasi meskipun para pedagang memperoleh kios dengan cara menyewa dan membeli

115
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

dari PT. KAI selaku pengelola stasiun. Sementara itu, penggusuran pedagang kaki lima di Jakarta diubah den-
gan konsep penataan yang lebih humanis dan solutif. Penataan PKL dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta di
Pasar Minggu, Kebayoran Lama, Kawasan Wisata Kota Tua, PKL Tanah Abang yang dipindahkan ke blok G, dan
terakhir PKL Pasar Gembrong. Namun, Penataan tersebut menimbulkan masalah baru karena tidak transpar-
annya program dan pendataan yang tidak melibatkan pedagang.
Disektor kebijakan, advokasi LBH Jakarta terhadap UU Undang-undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang
Perkoperasian menunjukkan bahwa secara garis besar Undang-undang a quo akan mengerdilkan gerakan ko-
perasi karena gerakan koperasi yang hanya semata-mata menjadi alat untuk mengumpulkan uang semata.
Pasal-Pasal baik tentang prinsip-prinsip koperasi yang ada dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2012 Ten-
tang Perkoperasian justru dinegasikan dengan pasal-pasal yang lain dalam Undang-Undang yang sama.

f. Hak Atas Kebebasan beragama dan berkeyakinan


Terus terjadinya pelanggaran hak Atas Kebebasan beragama dan berkeyakinan dengan kecenderungan
pola pelanggaran yang berulang seperti isu kristenisasi, fatwa sesat, larangan aktifitas dari pemerintah, isu
pemalsuan tanda tangan dukungan rumah ibadah, intimidasi, Penyerangan, pernyataan kebencian (hate
speech), legalisasi diskiminasi penganut agama dan keyakinan minoritas sepanjang tahun 2013 ini. Dalam be-
berapa kasus menunjukkan bahwa dalam kasus pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyaki-
nan, negara tidak hanya gagal untuk memberikan jaminan perlindungan dan pemenuhan HAM bagi minoritas
keagamaan di Indonesia, namun juga ikut terlibat aktif sebagai pelaku pelanggaran terhadap hak-hak warga
negara. Keterlibatan aktif negara diantaranya ditunjukkan dalam koersi yang dilakukan oleh Menteri Agama,
kasus Penerbitan Surat Perintah Penggembokan Masjid Al Misbah di Jati Bening Bekasi oleh Pemerintah Kota
Bekasi dan Putusan Pengadilan Negeri yang memberikan pembenaran terhadap tindakan Walikota Bekasi un-
tuk melakukan penggembokan.

g. Hak Atas Peradilan yang Jujur dan Adil (Fair Trial)


Jaminan pemenuhan hak atas peradilan yang bersih dan jujur masih diatas kertas. Implementasi Instrument
Ratifikasi konvensi HAM internasional, Konstitusi maupun peraturan perundang-undangan terebut masih jauh
dari yang diharapkan; Kasus Fair Trail yang diadukan ke LBH juga menunjukkan fakta situasi buruk pengulan-
gan pelanggaran hak justru semakin sistematis dan melembaga. Pelanggaran hak atas peradilan yang adil dan
jujur (fair trial) masih berkisar kasus-kasus penyiksaan, penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang,
kriminalisasi korban, Undue Delay terhadap Laporan korban, serta pelanggaran hak atas bantuan hukum.
Berulangnya kasus-kasus pelanggaran hak atas peradilan yang jujur dan adil bahkan disempurnakan dengan
putusan pengadilan yang melegitimasi pelanggaran hak atas peradilan jujur dan adil.
Negara melalui Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan masih menjadi pelaku utama pelanggaran terhadap
hak atas peradilan yang jujur dan bersih; diskresi yang besar pada aparat penegak hukum terutama Kepolisian
merupakan salah satu penyebab terjadinya kesewenang-wenangan yang mengakibatkan luasnya pelangga-
ran terhadap hak atas peradilan yang bersih dan jujur.

h. Hak Atas Kesehatan


Perlindungan hak atas kesehatan untuk masyarakat masih buruk. Pemerintah, Rumah sakit dan tenaga
medis (dokter) menjadi aktor penting dalam kasus ini. Pelayanan kesehatan RS yang berorientasi pada pencar-
ian keuntungan menjadikan rumah sakit diskriminatif terhadap masyarakat miskin dan tidak lagi berorientasi
pada pelayanan terbaik untuk publik. Tidak adanya standard dan prosedur pelayanan kesehatan yang jelas un-
tuk menjamin hak atas kesehatan pasien menjadi faktor penyebab malpraktek. Minimnya transparansi dan
akuntabilitas dunia kesehatan membuat kasus-kasus malpraktek sulit terungkap.

i. Hak Atas Pendidikan


Advokasi LBH jakarta terkait hak atas pendidikan terus berlanjut setelah diterbitkannya UU Pendidikan
Tinggi sebagai pengganti UU Badan Hukum Pendidikan yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Kembali pemerintah bermain dengan kebijakan pendidikan. UU Dikti memuat pengaturan yang serupa den-
gan UU BHP, inkonstitusional, mematikan kemajuan bangsa, karena menjauhkan rakyatnya dari sarana pen-
didikan tinggi berkualitas guna mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karenanya, UU Dikti harus dibatalkan.
Kedaulatan rakyat harus terus diperkokoh dengan penyediaan akses atas pendidikan tinggi yang berkualitas
untuk mencerdaskan rakyat tanpa adanya diskriminasi. Jangan malah menghancurkan bangsa dengan penye-
lenggaraan pendidikan tinggi yang mahal dan tidak terjangkau oleh rakyat. Pendidikan bukan komoditas.

j. Hak Perlindungan terhadap Perempuan


Indonesia memiliki banyak instrumen hukum yang melindungi perempuan dan hak-haknya dari pelangga-
ran HAM maupun kejahatan lainnya. Meski demikian kebanyakan dari instrumen tersebut masih minim dan
belum efektif dalam menindak kejahatan dan pelanggaran HAM yang terjadi terhadap perempuan. Di saat
yang bersamaan arah pembangunan dan kebijakan juga semakin memarginalkan perempuan dengan min-
imnya upaya pembedaan positif (affirmative action) yang memberi akses yang sama bagi perempuan dalam
segala bidang. Minimnya jumlah aparat pemerintah yang sensitif gender pun semakin memperkokoh pola re-

116
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
viktimisasi perempuan korban. Di tengah kegagalan pemerintah dalam memenuhi hak atas pendidikan dan
hak atas pekerjaan perempuan korban, Pemerintah ternyata juga enggan menyediakan kebijakan yang mem-
berikan perlindungan hukum bagi hak-hak Pekerja Rumah Tangga (PRT).

k. Hak Anak Berhadapan dengan Hukum


Fakta jumlah kasus anak berhadapan dengan hukum yang ditangani LBH sepanjang tahun 2013 menunjuk-
kan bahwa pelanggaran terhadap hak anak berhadapan dengan hukum masih kerap terjadi dan aktor pelaku-
nya adalah aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian, kejaksaan sampai dengan Pengadilan bahkan juga
Komisi Perlindungan Anak; belum dipahami dan dipedomaninya Peraturan mengenai Pengadilan Anak selama
ini mengakibatkan implementasinya tidak efektif dan berpotensi untuk terus dilanggar.

l. Hak Atas Kebebasan Berekspresi


Meskipun kebebasan berpendapat dan berekspresi telah dijamin dalam peraturan perundang-undangan
namun dalam implementasinya kebebasan Berpendapat dan Berekspresi masih menjadi ilusi dalam sistem
hukum Indonesia. Beberapa kasus hak atas kebebasan berekspresi yang ditangani LBH bermula dari pengad-
uan terkait hukum penghinaan. Pelaporan terkait penghinaan muncul dari stratifikasi sosial yang timpang di-
mana orang atau badan yang mempunyai kedudukan stratifikasi sosial yang lebih tinggi merasa nama baiknya
dicemarkan atau dinistakan oleh orang yang kedudukan stratifikasi sosialnya lebih rendah. Sumirnya makna
pencemaran nama baik masih lentur digunakan untuk pasal kriminalisasi untuk menjerat pengguna hak ke-
bebasan berekspresi .

m. Perlindungan Pekerja Migran


Permasalahan singkronisasi pengaturan terkait Kartu Tanda Kerja Luar Negeri (KTKLN) berakibat pada ga-
galnya perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Minimnya kordinasi antar lembaga dan institusi pemerintahan
serta kompromi dengan berbagai praktik percaloan semakin memperburuk upaya perlindungan terhadap
Pekerja Migran Indonesia;

n. Perlindungan Terhadap Pencari Suaka dan Pengungsi


Indonesia tidak memiliki undang-undang khusus mengenai pencari suaka, Pengaturan terkait pencari suaka
hanya ada dalam UU Hubungan Luar Negeri. Peraturan ini tidak berhubungan dengan muatan konvensi pen-
gungsi termasuk hak atas pendidikan, kesehatan, agama, akses untuk bergerak dan mendapatkan kewargane-
garaan bagi para pencari suaka dan pengungsi. Pemerintah masih enggan membicarakan isu pencari suaka
dan pengungsi. Disisi lain, pemerintah di Indonesia masih menganggap bahwa pencari suaka adalah imigran
ilegal yang harus ditempatkan di rumah detensi dan masih menganggap keberadaan mereka tidak bisa di-
terima di lingkungan masyarakat bahkan dianggap sebagai masalah Keberadaan para pengungsi di Indonesia
yang masih dipandang sebatas sebagai imigran ilegal membuat mereka tidak dapat memiliki akses atas ke-
hidupan yang layak.

B. REKOMENDASI
Berdasarkan situasi pelanggaran hukum dan HAM yang tergambar dari berbagai kasus pelanggaran hak
yang ditangani LBH Jakarta sepanjang tahun 2013, kami merekomendasikan perlu adanya sejumlah peruba-
han sistematik di level kebijakan dan penerapan kebijakan pada berbagai institusi di bawah ini:

1.PEMERINTAH
a. Presiden
Mendesak Presiden RI untuk merombak kabinet (reshuffle), seperti Menteri Agama Suryadharma Ali yang
justru melakukan tindakan koersi. Suryadharma meminta Jemaat Ahmadiyah berpindah atau mengubah
keyakinan yang membahayakan jaminan hak kemerdekaan beragama dan berkeyakinan serta mengancam
disintegrasi bangsa.
b. Lintas Kementerian
1. Aparat Birokrasi pemerintah dari struktur paling atas sampai paling bawah harus memahami dan
mengimplementasikan Hak Asasi Manusia yang telah dijamin dalam konstitusi dan berbagai peraturan
perundang-undangan Indonesia. Hal ini diperlukan agar kebijakan dan tindakan yang dilakukan tidak
bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia yang mengakibatkan masyarakat dikorbankan.

c. Kementerian Hukum dan HAM


1. Agar Pemerintah tidak lagi menggunakan istilah migran ilegal (Illegal migrant), melainkan pencari suaka
atau pengungsi. Perlu disosialisasikan ke masyarakat bahwa antara migran ilegal dan pengungsi memiliki
pengertian yang berbeda. Hal ini penting untuk menghindari penolakan dari masyarakat atas kedatangan
pencari suaka ke Indonesia;
2. Pemerintah harus meratifikasi Konvensi Tentang Status Pengungsi Tahun 1951 dan mekanisme hukum
yang jelas terkait Pencari Suaka dan Pengungsi di Indonesia sangat penting. Membuat kerangka hukum
yang spesifik dan jelas untuk melindungi mereka serta mengatur hak dan kewajiban mereka selama be-

117
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

rada di Indonesia;
3. Agar Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jendral Imigrasi untuk tidak menahan pencari suaka dan pen-
gungsi di dalam rumah detensi imigrasi. Harus ada alternatif lain untuk memantau mereka namun bukan
dengan mekanisme penahanan.
4. Mendorong pemerintah agar melakukan pemberdayaan terhadap Pencari Suaka dan Pengungsi harus
terus dilakukan agar mereka dapat mandiri dan bersosialisasi dengan masyarakat Indonesia.
5. Pemerintah Republik Indonesia segera meratifikasi optional protokol konvensi anti penyiksaan;
6. Mendesak pemerintah untuk menerbitkan peraturan khusus terkait anti penyiksaan;
7. Negara harus mewujudkan jaminan kebebasan berpendapat dan berekspresi dalam kehidupan ber-
demokrasi, salah satu caranya dengan melakukan dekriminalisasi terhadap hukum penghinaan revisi
terhadap delik pencamaran nama baik atau penghinaan dalam peraturan perundang-undangan;
8. Pemerintah segera menyelesaikan Revisi Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan
Perlindungan tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKILN) mengacu pada Konvensi PBB Tahun
1990 tentang Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya;
9. Meminta Menteri Hukum dan HAM (bersama dengan DPR RI dalam hal Undang-Undang) untuk me-
nyelaraskan peraturan-peraturan yang berlaku dengan mengadopsi prinsip-prinsip HAM dan Kosti-
tusi. Memperbarui perundang-undangan yang masih melanggar HAM (Diantaranya adalah UU No. 1
PNPS/1965 termasuk Pasal 156 KUHP);
10. Pemerintah sebagai pengemban utama pemenuhan, penghormatan dan perlindungan Hak Asasi Ma-
nusia harus semakin kritis dan aktif mendorong legislator dalam mensahkan RUU Perlindungan Pekerja
Rumah Tangga;
11. Pemerintah harus melakukan harmonisasi kebijakan bantuan hukum di berbagai peraturan perundang-
undangan agar sesuai dengan UU Bantuan Hukum, sehingga program bantuan hukum terintegrasi sesuai
dengan Undang-Undang Bantuan hukum, termasuk dalam hal anggaran dan peruntukan program yaitu
hanya untuk rakyat miskin;
12. Mendorong pemerintah untuk terus membenahi kelemahan kebijakan bantuan hukum yang masih da-
lam proses pengembangan, dengan responsif mengakomodir masukan dan situasi faktual masyarakat;
13. Diperlukan penguatan perspektif hak asasi manusia khususnya hak atas bantuan hukum bagi Aparat
Penegak Hukum dan reformasi sistem peradilan (Menghapuskan pugli, transparansi dan akuntabilitas
biaya perkara, memangkas jangka waktu proses hukum, mekanisme komplain yang efektif) untuk men-
dorong efektifitas dan kualitas layanan bantuan hukum untuk masyarakat;
14. Pemerintah memberikan dukungan kepada Organisasi Bantuan Hukum di seluruh Indonesia untuk men-
ingkatkan kapasitas dan kualitasnya sehingga penetapan standar pelayanan benar-benar berdampak
pada peningkatan layanan bukan justru melemahkan OBH dan menghambat akses masyarakat terhadap
keadilan;

d. Kemenakertrans, Dinas, Suku Dinas, dan Pengawas Ketenagakerjaan


1. Deputi Bidang Penempatan BNP2TKI segera mencabut Surat Keputusan Deputi Bidang Penempatan
BNP2TKI Nomor: KEP.117/PEN/X/2012 Tanggal 29 Oktober 2012 tentang Standar Operasional Prosedur
Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia dan membuka layanan pengurusan KTKLN di Bandara
bagi seluruh Pekerja Migran Indonesia tanpa terkecuali;
2. Kementerian terkait, Imigrasi, BNP2TKI dan seluruh aparaturnya mempermudah serta memperlancar
pengurusan (perpanjangan maupun pembuatan baru) KTKLN bagi seluruh Pekerja Migran Indonesia
serta meninjau ulang segala peraturan terkait pendataan dan segera membentuk sistem pendataan PMI
yang terintegrasi antar kementerian dan institusi negara.
3. Pemerintah harus menolak segala praktik percaloan dan menindaktegas oknum-oknum yang terlibat da-
lam praktik percaloan dokumen KTKLN Pekerja Migran Indonesia;
4. Pemerintah harus melakukan penegakan hukum dengan menindak tegas perusahaan yang melakukan
pelanggaran hak normatif yang dilakukan oleh perusahaan;
5. Pemerintah melakukan penegakan hukum terhadap pengusaha yang melakukan PHK sebelum ada pu-
tusan dari pengadilan hubungan industrial, selama proses hukum seluruh pihak termasuk buruh dan pen-
gusaha harus melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing;
6. Pemerintah membangun adanya mekanisme komplain atas ketidakpuasan publik dan buruh terhadap
kinerja Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta melakukan penindakan terhadap pegawai dinas tenaga
kerja yang tidak menjalankan kewajibannya dengan baik.

e. Kementerian Kesehatan
1. Pemerintah harus menghentikan liberalisasi sektor kesehatan (maupun sektor publik lainnya) dan ber-
tanggung jawab untuk menjamin pemenuhan hak atas kesehatan masayarakat melalui alokasi anggaran
kesehatan yang memadai baik melalui APBD maupun APBN;
2. Pemerintah khususnya Kementrian Kesehatan harus membuat regulasi bagi penyelenggara layanan kes-
ehatan, seperti Rumah Sakit, untuk merumuskan standar operasional tindakan medik serta membangun
budaya transparansi dan akuntablitias dalam layanan kesehatan.

118
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
3. Merumuskan standar operasional tindakan medik serta transparansi dan akuntablitias untuk menjamin
layanan kesehatan yang berkualitas dan bertanggung jawab kepada masyarakat.

f. Kementrian Agama
Mendesak Pemerintah untuk aktif menjalankan kewajiban hukumnya dalam pemenuhan hak atas ke-
merdekaan beragama dan berkeyakinan dengan mendorong penyelesaian kasus kasus pelanggaran kebe-
basan beragama dan berkeyakinan bukan justru menjadi pelaku pelanggaran hak kebebasan beragama dan
berkeyakinan;

g. Kementerian Dalam Negeri


Mendesak kepada Menteri Dalam Negeri untuk mereview dan membatalkan Perda-perda yang diskrimi-
natif dan inkonstitusional;

h. Kementerian Pendidikan
Penting bagi Pemerintah untuk segera membuat peraturan perundangan yang mengatur khusus tentang
Pembiayaan Pendidikan Tinggi yang di dalamnya memuat ketentuan mengenai alokasi dana dari Negara bagi
Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dengan disesuaikan pada keunikan tata kelola institusi
pendidikan tinggi.

i. Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak


Pemerintah segera membentuk satuan khusus untuk mendorong dan memantau persiapan setiap lembaga
negara terkait anak berhadapan dengan hukum sekaligus memastikan tidak terjadi lack of implementation UU
No. 11 Tahun 2012;

2. PEMERINTAH DAERAH
1. Seharusnya watak dari pejabat pemerintah dari struktur paling atas sampai paling bawah memahami dan
mengimplementasikan Hak Asasi Manusia sehingga tindakan yang dilakukan tidak bertentangan dengan
hak asasi yang menimbulkan kerugian dan hilangnya pekerjaan bahkan dalam sektor informal;
2. Memberikan prioritas terhadap anggaran kesehatan, baik dalam APBD maupun APBN; Pemerintah harus
menghentikan swastanisasi air Jakarta dan mengambil alih pengelolaan air untuk menjamin pemenuhan
hak atas air warga Negara;
3. Pemerintah Pusat maupun Daerah secara khusus harus membuat regulasi tentang larangan penggusuran
paksa dan model penataan pemukiman atau pedagang kaki lima yang partisipatif dan solutif dengan men-
gadopsi standar internasional yang diatur dalam Komentar Umum Konvensi Hak Ekonomi Sosial dan Bu-
daya terkait penggusuran. Hal ini untuk mengantisipasi agar meskipun pimpinan daerah berganti, tidak akan
terjadi lagi penggusuran paksa yang berakibat pada pelanggaran HAM;
4. Pemerintah harus memperhatikan partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan yang berakibat
langsung ke masyarakat seperti halnya pekerja sektor informal. Sehingga kebijakan tersebut dapat berlaku
efektif dan mengakomodir kepentingan terbaik pekerja informal.
5. Penataan dan penertiban PKL dan pedagang harus dilakukan dengan menyentuh inti persoalan dan mem-
berikan solusi menyeluruh. Penataan seharusnya tidak menghilangkan hak atas pekerjaan masyarakat yang
sudah secara mandiri mencari nafkah sebelumnya.
6. Semangat Pelayanan Publik harus konsisten di digelorakan dan dilaksanakan tidak hanya oleh sosok pimpi-
nan namun juga melalui kebijakan pemerintah baik didaerah maupun dipusat dengan mengawal implemen-
tasinya.
7. Mendorong kebijakan pelayanan kesehatan gratis untuk setiap warga negara;
8. Pemerintah Daerah harus mengubah paradigma pembangunan dan anggaran daerah. Saat ini dalam APBD
DKI Jakarta terdapat pos anggaran yang cukup besar yang ditujukan untuk Penggusuran dan Penertiban.
Anggaran seharusnya digunakan untuk memecahkan permasalahan jaminan kepemilikan tanah antara
masyarakat miskin perkotaan dan kurangnya infrastruktur dalam kota;
9. Pemerintah pusat harus mendukung dan mendorong pemerintah daerah untuk menyediakan Layanan
transportasi masal yang murah, nyaman, aman dan berkualitas adalah jawaban terhadap permasalahan
kemacetan dan tingginya kebutuhan masyarakat akan sarana transportasi.
10. Mendesak Pemerintah daerah untuk menghormati hukum dan konstitusi , khususnya Walikota Bogor dan
Bupati Bekasi untuk menghentikan pembangkangan terhadap putusan pengadilan dan selanjutnya meng-
hormati dan menaati putusan pengadilan;
11. Mendorong masing-masing Pemerintah Daerah di berbagai wilayah di Indonesia untuk mengisiasi pera-
turan daerah bantuan hukum yang melengkapi kebijakan nasional dan memperluas distribusi sumber daya
untuk mendukung pemberian bantuan hukum;

3. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT (DPR)


1. Dewan Perwakilan Rakyat perlu mempercepat proses pembahasan RUU KUHAP khususnya mengurangi
kewenangan kepolisian untuk menahan seseorang tanpa ijin pengadilan;

119
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

2. Mendesak DPR untuk menerbitkan peraturan khusus terkait anti penyiksaan;


3. Negara harus mewujudkan jaminan kebebasan berpendapat dan berekspresi dalam kehidupan berdemokra-
si, salah satu caranya dengan melakukan dekriminalisasi terhadap hukum penghinaan revisi terhadap delik
pencamaran nama baik atau penghinaan;
4 DPR RI segera menyelesaikan Revisi Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlind-
ungan tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKILN) mengacu pada Konvensi PBB Tahun 1990 ten-
tang Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya;
5 DPR RI sebagai wakil rakyat seharusnya dapat bertindak profesional dengan tidak memposisikan diri sebagai
pihak yang berkepentingan yakni majikan pada saat membahas RUU PPRT sehingga lebih mementingkan
kepentingan perlindungan bagi majikan dibandingkan perlindungan bagi Pekerja Rumah Tangga (PRT).
6. DPR RI seharusnya dapat menjadi garda terdepan dalam menyediakan payung hukum yang melindungi
Pekerja Rumah Tangga (PRT) terutama perempuan desa sebagai korban yang bekerja sebagai PRT.

4. APARAT PENEGAK HUKUM


A. Kepolisian
1. Mendesak Kapolri segera membuat aturan internal terkait mekanisme penyelesaian dugaan penyiksaan
yang dilakukan oleh anggotanya;
2. Dibentuknya Unit Khusus perburuhan di Kepolisian, diharapakan dengan adanya unit khusus tersebut
para penyidik di kepolisian akan fokus membongkar kasus-kasus perburuhan diantaranya kasus pelang-
garan kebebasan berserikat;
3. Pengawas ketenagakerjaan dan aparat kepolisian harus membangun akuntabiltas dan kepastian waktu
dalam menindaklanjuti pengaduan mengenai kejahatan anti serikat, sehingga tidak ada laporan yang
berlarut-larut (undue delay) yang penanganannya tidak jelas;
4. Perlu memberikan pelatihan khusus yang berperspektif hukum perburuhan kepada penyidik, diantaranya
mengenai cara membongkar kasus-kasus pelanggaran kebebasan berserikat. Dengan demikian penyidik
memiliki pemahaman yang mendalam dalam membongkar kejahatan tindak pidana perburuhan dan
anti serikat pekerja secara profesional, cepat, cermat dan tepat;
5. Kapolri mengadakan pendidikan dan sosilaisasi secara intens terhadap jajarannya agar memahami dan
menguasai UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak;
6. Diberlakukannya sanksi yang tegas bagi Polisi yang melanggar Hak anak yang berhadapan dengan hu-
kum;
7. Kepolisian harus tegas dalam penegakan hukum kasus-kasus pelanggaran hak kesehatan pasien karena
tindakan malpraktek. Memberikan pelatihan kepada penyidik terkait hukum kesehatan;
8. Meminta kepada Kepolisian untuk memberikan perlindungan kepada korban tindakan intoleransi dan
menghentikan segala upaya kriminalisasi terhadap korban-korban tindakan intoleransi atau kepada
aktor-aktor yang menjalankan hak kebebasan beragama dan berkeyakinannya secara sah dan konstitu-
sional ;
9. Penegak Hukum harus berani tegas untuk menindak pelaku aksi kekerasan dengan mengatasnamakan
agama dan kampanye kebencian (Hate speech) yang merupakan tindak pidana yang diatur dalam Pasal
156 KUHP dan termasuk dalam kategori kejahatan terhadap ketertiban umum yang selama ini dibiarkan
dan mengakibatkan akselerasi kebencian yang kemudian meningkat menjadi mobilisasi massa dan le-
galisasi melalui kebijakan hingga akhirnya berujung pada penyerangan secara fisik terhadap kelompok
minoritas.

B. Advokat
Mendorong advokat (organisasi advokat) untuk melaksanakan kewajiban pro bono untuk mendampingi
tersangka yang tidak mampu;

C. Kejaksaan
1. Mendesak Jaksa Agug Muda bidang Pengawasan maupun Badan Pengawasa MA secara tegas memberi-
kan sanksi terhadap Jaksa maupun hakim yang tidak profesional;
2. Kejaksaan Agung mengadakan pendidikan dan sosilaisasi secara intens terhadap jajarannya agar mema-
hami dan menguasai UU No. 11 Tahun 2012;
3. Diberlakukannya sanksi yang tegas bagi Jaksa yang melanggar Hak anak yang berhadapan dengan hu-
kum;
4. Kejaksaan harus tegas dalam penegakan hukum kasus-kasus pelanggaran hak kesehatan pasien karena
tindakan malpraktek;
5. Jaksa Agung Muda bidang Pengawasan secara tegas memberikan sanksi terhadap yang melakukan pe-
langgaran hak-hak tersangka dan melarang penggunaan dokumen yang diperoleh dari penyiksaan.

D. Mahkamah Agung
1. Mahkamah Agung mengadakan pendidikan dan sosilaisasi secara intens terhadap jajarannya agar mema-
hami dan menguasai UU No. 11 Tahun 2012;

120
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
2. Diberlakukannya sanksi yang tegas bagi Hakim yang melanggar Hak anak yang berhadapan dengan hu-
kum;
3. Institusi peradilan di bawah Mahkamah Agung harus tegas dalam penegakan hukum kasus-kasus pelang-
garan hak kesehatan pasien karena tindakan malpraktek;
4. Mahkamah Agung (MA) perlu mengeluarkan peraturan kepada Hakim untuk tidak menggunakan alat
bukti yang diperoleh dari penyiksaan;
5. Badan Pengawasan MA secara tegas memberikan sanksi terhadap hakim yang melakukan pelanggaran
hak-hak tersangka dan melarang penggunaan dokumen yang diperoleh dari penyiksaan;
6. Pengadilan menerima gugatan Citizen Law Suit terhadap praktek swastanisasi air Jakarta yang mengaki-
batkan terlanggarnya hak atas air warga negara.

E. Mahkamah Konstitusi
1. Untuk menerima permohonan pembatalan UU Pendidikan Tinggi yang diajukan oleh Komite Nasional
Pendidikan;
2. Untuk menerima permohonan pembatalkan pasal-pasal UU Koperasi yang bertentangan dengan UUD
1945 dan Jatidiri Koperasi.

5. KOMISI NEGARA

A. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia


Meminta Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan atas dugaan terjadinya persekusi kepada Jamaah
Ahmadiyah Indonesia yang diduga memenuhi unsur pelanggaran HAM berat berupa kejahatan terhadap ke-
manusiaan;

B. Komisi Kejaksaan
1. Mendesak Komisi Kejaksaan memberikan sanksi yang tegas terhadap Jaksa yang melanggar kode etik;
2. Kejaksaan Agung, mengadakan pendidikan dan sosilaisasi secara intens terhadap jajarannya agar mema-
hami dan menguasai UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak;
3. Mendorong diberlakukannya sanksi yang tegas bagi Jaksa yang melanggar Hak anak yang berhadapan
dengan hukum.

C. Komisi Yudisial
Mendesak Komisi Yudisial memberikan sanksi yang tegas terhadap Hakim yang melanggar kode etik;

D. MKDKI
Harus lebih tegas transparan dan akuntabel dalam melakukan penegakan kode etik;

E. Organisasi Bantuan Hukum


1. Organisasi Bantuan Hukum seharusnya menyusun dan menerapkan standar pelayanan minimal pembe-
rian bantuan hukum untuk meningkatkan kualitas layanan bantuan hukum, mengingat bantuan hukum
juga merupakan pelayanan publik;
2. Organisasi bantuan hukum secara mandiri harus merumuskan kode etik bagi para pekerja bantuan hu-
kum dan juga paralegal.

F. Masyarakat dan Civil Society


1. Kasus-kasus terkait dengan permasalahan pencemaran nama baik sebaiknya diselesaikan dengan me-
kanisme hukum perdata dengan kompensasi ganti kerugian yang disebabkan dari akibat perbuatan
penghinaan tersebut;
2. Bagi organisasi masyarakat sipil penting untuk meningkatkan sosialisasi serta konsolidasi melalui pe-
nyadaran atas pentingnya perlindungan PRT (Perkerja Rumah Tangga ) di berbagai macam kelompok
masyarakat sipil;
3. Mendorong pemberdayaan terhadap Pencari Suaka dan Pengungsi agar mereka dapat mandiri dan ber-
sosialisasi dengan masyarakat Indonesia. Masyarakat dapat terlibat langsung untuk mengawal pemenu-
han hak-hak asasi Pencari Suaka atau Pengungsi di Indonesia;
4. Untuk seluruh masyarakat sipil untuk tidak mematuhi dan menaati UU Ormas tersebut karena tidak
diperlukan dan membungkam serta memberangus kebebasan berserikat dan berorganisasi;
5. Seluruh masyarakat sipil diharapakan dapat melakukan pemantauan atas implementasi UU Ormas
tersebut di berbagai daerah untuk mengukur kerugian yang dialami oleh masyarakat sipil akibat pem-
berlakuan UU Ormas tersebut;
6. Mendorong masyarakat untuk membangun mekanisme pengawasan terhadap anggaran dan pelaksan-
aan bantuan hukum. Sehingga ke depan bantuan hukum diselenggarakan secara transparan dan akunta-
bel.

121
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

Laporan Keuangan LBH Jakarta

Laporan Keuangan
Laporan Keuangan
PENERIMAAN PER OKTOBER 2013
LEMBAGA BANTUAN HUKUM JAKARTA

ADMINISTRASI KLIEN
0%
2% 0% PEMASUKAN DONASI KLIEN
4%
0% 0%
0% DONASI PUBLIK
2%
3% PENJUALAN MERCHANDISE
5%
18% LEMBAGA DONOR TAF (CORE
FUNDING)
LEMBAGA DONOR ABA ROLI
5%
LEMBAGA DONOR AIPJ CDL

7% LEMBAGA DONOR AIPJ LAC


16%
LEMBAGA DONOR SASAKAWA

12% LEMBAGA DONOR AIPJ DISABILITAS

APBD DKI JAKARTA


14%
12% TAF - E2J

LEMBAGA DONOR FK

NO KETERANGAN JUMLAH
1 ADMINISTRASI KLIEN 16,360,000
2 DONASI KLIEN 15,723,000
3 DONASI PUBLIK 26,236,090
4 PENJUALAN MERCHANDISE 4,149,000
5 LEMBAGA DONOR TAF (CORE FUNDING) 1,068,410,000
6 LEMBAGA DONOR ABA ROLI 944,646,500
7 LEMBAGA DONOR AIPJ CDL 809,600,000
8 LEMBAGA DONOR AIPJ LAC 693,816,750
9 LEMBAGA DONOR SASAKAWA 688,000,000
10 LEMBAGA DONOR AIPJ DISABILITAS 423,300,000
11 APBD DKI JAKARTA 300,000,000
12 TAF - E2J 277,463,200
13 LEMBAGA DONOR FK 199,109,700
14 LEMBAGA DONOR TIFA 146,145,000
15 LEMBAGA DONOR LAINNYA 222,551,930
16 SUMBANGAN STAF 60 % HONOR 11,800,300
17 LAINNYA 99,210,680

TOTAL 5,946,522,150

PENGELUARAN PER OKTOBER 2013


LEMBAGA BANTUAN HUKUM JAKARTA

122
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
PENGELUARAN
Laporan Keuangan

BIAYA PROGRAM BIAYA PENANGANAN KASUS


BIAYA OVERHEAD BIAYA LAINNYA
0%

34%

58%

8%

NO KETERANGAN JUMLAH
1 BIAYA PROGRAM 2,107,808,750
2 BIAYA PENANGANAN KASUS 300,000,000
3 BIAYA OVERHEAD 1,215,723,450
4 BIAYA LAINNYA 6,579,360

TOTAL 3,630,111,560

123
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

LEMBAGA BANTUAN HUKUM (LBH) JAKARTA


Laporan Posisi Keuangan
Tanggal 31 Desember 2012 dan 2011
(Disajikan dalam Rupiah kecuali dinyatakan lain)

Catatan 2012 2011


ASET

ASET LANCAR
Kas dan setara kas 2c, 3 1.543.438.920 1.065.086.280
Piutang usaha 4 - 5.698.570
Piutang lain 5 22.326.330 15.456.200
Uang muka dan biaya dibayar dimuka 6 - 59.770.330

Total Aset Lancar 1.565.765.250 1.146.011.380

ASET TIDAK LANCAR


Aset tetap - bersih 2g, 7 83.241.887 129.831.015

Total aset tidak lancar 83.241.887 129.831.015

TOTAL ASET 1.649.007.137 1.275.842.395

LIABILITAS

LIABILITAS JANGKA PENDEK

Hutang lain 8 - 133.944.940


Pendapatan diterima dimuka 9 542.976.830 -
Hutang pajak 10 - 13.973.180
Hutang sewa guna usaha 11
Jatuh tempo dalam satu tahun - 41.281.824
Biaya masih harus dibayar 12 1.955.200 -

Total liabilitas lancar 544.932.030 189.199.944

LIABILITAS JANGKA PANJANG

Hutang sewa guna usaha


Jatuh tempo lebih dari satu tahun 11 - 11.083.031

Liabilitas pajak tangguhan - 14.885.687

Total hutang jangka panjang - 25.968.718

JUMLAH LIABILITAS 544.932.030 215.168.662

ASET BERSIH

Tidak terikat 13a 1.088.639.357 (578.486.415)


Terikat temporer 13b 15.435.750 1.639.160.148

TOTAL ASET BERSIH 1.104.075.107 1.060.673.733

TOTAL LIABILITAS DAN ASET BERSIH 1.649.007.137 1.275.842.395

Lihat catatan atas laporan keuangan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari laporan keuangan secara keseluruhan

LEMBAGA BANTUAN HUKUM (LBH) JAKARTA


Laporan Pendapatan, Beban dan Perubahan Aset Bersih Tidak Terikat
Untuk tahun-tahun yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2012 dan 2011
Disajikan dalam Rupiah kecuali dinyatakan lain

Catatan 2012 2011


PENDAPATAN TIDAK TERIKAT
Sumbangan 13a - 20.829.500
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia 2.325.000 11.825.000
Donasi publik 49.602.240 371.028.300
PIN LBH 100.000 1.916.000
Kaos 4.970.000 6.562.050
Block note 60.000 425.000
Payung - 225.000
Kegiatan kantor 1.522.249.010 780.503.600
Pendapatan jasa giro (30.860.180) 3.462.433

JUMLAH 1.548.446.070 1.196.776.883

BEBAN TIDAK TERIKAT


Beban sumbangan dan kegiatan kantor 13a 35.094.800 76.441.050
Beban umum dan administrasi 14
Gaji karyawan 482.115.920 405.316.800
Tunjangan karyawan 324.858.740 286.688.980
Listrik dan komunikasi 3.728.500 12.827.600
Cetakan dan ATK 26.162.800 60.863.150
Pemeliharaan 52.225.430 29.391.000
Transportasi dan akomodasi 113.390.820 49.764.440
Keperluan umum 18.110.050 13.134.000
Penyusutan dan amortisasi 52.623.928 55.255.222
Lain-lain 434.558.162 23.985.740

1.507.774.350 937.226.932

JUMLAH 1.542.869.150 1.013.667.982

KENAIKAN ASET BERSIH TIDAK TERIKAT 5.576.920 183.108.901

124
Lihat catatan atas laporan keuangan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari laporan keuangan secara keseluruhan
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
LEMBAGA BANTUAN HUKUM (LBH) JAKARTA
Laporan Perubahan Asset Bersih
Untuk tahun-tahun yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2012 dan 2011
Disajikan dalam Rupiah kecuali dinyatakan lain

2012 2011
ASET BERSIH TERIKAT TEMPORER

Pendapatan terikat temporer 13b 2.149.281.900 1.593.582.070

Biaya terikat temporer 13b 2.149.281.900 1.025.569.340

KENAIKAN ASET BERSIH - 568.012.730

KENAIKAN/(PENURUNAN) ASET BERSIH


Tidak terikat 5.576.920 183.108.901
Terikat temporer - 568.012.730

JUMLAH KENAIKAN ASET BERSIH 5.576.920 751.121.631

ASET BERSIH AWAL TAHUN


Tidak terikat 1.083.062.437 (756.509.414)
Terikat temporer 15.435.750 1.071.147.418

JUMLAH 1.098.498.186 314.638.004

JUMLAH ASET BERSIH AKHIR TAHUN


Tidak terikat 1.088.639.357 (573.400.513,0)
Terikat temporer 15.435.750 1.639.160.148
Koreksi atas aset bersih tidak terikat - periode lalu - 7.503.017

JUMLAH 1.104.075.107 1.073.262.652

Lihat catatan atas laporan keuangan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari laporan keuangan secara keseluruhan

LEMBAGA BANTUAN HUKUM (LBH) JAKARTA


Laporan Arus Kas
Untuk tahun-tahun yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2012 dan 2011
Disajikan dalam Rupiah kecuali dinyatakan lain

2012 2011
AKTIVITAS OPERASI
Penerimaan dari kegiatan terikat temporer 2.065.928.630 1.593.582.070
Penerimaan dari kegiatan tidak terikat 1.602.607.570 1.204.487.860
Penerimaan(Pembayaran) kepada pinjaman pengurus dan titipan karyawan (133.944.940) 29.232.770
Pengeluaran untuk pinjaman karyawan (6.870.130) (769.000)
Pengeluaran untuk beban program (1.577.445.150) (1.025.569.340)
Pengeluaran untuk beban tidak terikat (1.413.532.685) (959.291.532)

KAS BERSIH YANG DITERIMA UNTUK AKTIVITAS OPERASI 536.743.295 841.672.828

AKTIVITAS INVESTASI
Pembelian asset tetap (6.034.800) (64.822.400)

KAS BERSIH YANG DIGUNAKAN DARI AKTIVITAS INVESTASI (6.034.800) (64.822.400)

ARUS KAS DARI AKTIVITAS PENDANAAN


Pembayaran hutang sewa guna usaha (52.364.855) (36.791.857)

KAS BERSIH YANG DIGUNAKAN UNTUK AKTIVITAS PENDANAAN (52.364.855) (101.614.257)

KENAIKAN BERSIH KAS DAN SETARA KAS 478.343.640 740.058.571

KAS DAN SETARA KAS PADA AWAL TAHUN 1.065.086.280 325.027.709

KAS DAN SETARA KAS PADA AKHIR TAHUN 1.543.429.920 1.065.086.280

Lihat catatan atas laporan keuangan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari laporan keuangan secara keseluruhan

125
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

Laporan Auditor Independen

Nomor : 12/047/01/NR.02/13

Direksi dan Pengurus


Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta

Kami telah mengaudit laporan posisi keuangan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta tanggal 31
Desember 2012, serta laporan pendapatan, beban dan perubahan aset bersih tidak terikat, laporan
perubahan aset bersih, dan laporan arus kas untuk tahun yang berakhir pada tanggal tersebut. Laporan
Keuangan adalah tanggung jawab manajemen perusahaan. Tanggung jawab kami terletak pada pernyataan
pendapat atas laporan keuangan berdasarkan audit kami. Laporan keuangan untuk tahun yang berakhir
pada tanggal 31 Desember 2011 diaudit oleh auditor independen lain yang laporannya tertanggal 23 Juli
2012 menyatakan pendapat wajar dengan pengecualian.

Kami melaksanakan audit berdasarkan standar auditing yang ditetapkan Institut Akuntan Publik Indonesia.
Standar tersebut mengharuskan kami merencanakan dan melaksanakan audit agar memperoleh keyakinan
memadai bahwa laporan keuangan bebas dari salah saji material. Suatu audit meliputi pemeriksaan atas
dasar pengujian, bukti-bukti yang mendukung jumlah-jumlah dan pengungkapan dalam laporan keuangan.
Audit juga meliputi penilaian atas kebijakan akuntansi yang digunakan dan estimasi signifikan yang
dibuat oleh manajemen, serta penilaian terhadap penyajian laporan keuangan secara keseluruhan. Kami
yakin bahwa audit kami memberikan dasar memadai untuk menyatakan pendapat.

Menurut pendapat kami, laporan keuangan yang kami sebut diatas menyajikan secara wajar, dalam
semua hal yang material, posisi keuangan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta tanggal 31 Desember
2012, pendapatan, beban dan perubahan aset bersih tidak terikat serta arus kas untuk tahun yang berakhir
pada tanggal tersebut sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan di Indonesia.

Kantor Akuntan Publik


Nugroho & Rekan
Nomor : KEP - 364/KM I/2006

Drs. Dedy Saefudin, Ak., CPA


NIAP : AP.0045

27 Nopember2013

126
127
cATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013
CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

LBH JAKARTA
Jl. Diponegoro No. 74, Menteng Jakarta Pusat
Telpon: (021) 3145518 Fax: (021) 3912377
Website: www.bantuanhukum.or.id
Email: lbhjakarta@bantuanhukum.or.id
: masyarakat bantuan hukum
: @lbh_jakarta
128

Anda mungkin juga menyukai