Anda di halaman 1dari 12

NILAI KEADILAN DALAM PUTUSAN HAKIM

Unsur Filosofi diartikan sebagai pertimbangan atau ulasan yang


menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan
hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah
bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Rpublik Indonesia Tahun 1945.

Cita hukum merupakan gagasan, karsa, cipta dan pikiran berkenaan


dengan hukum atau persepsi tentang makna hukum, yang terdiri atas tiga unsur:
keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Hal tersebut dikaitkan dengan teori
penegakan hukum sebagaimana disampaikan oleh Gustav Radbruch dalam idee des
recht yaitu penegakan hukum harus memenuhi ketiga nilai identitas tersebut,yaitu :

1. Asas kepastian hukum (rechtmatigheid), Asas ini meninjau dari sudut yuridis;
2. Asas keadilan hukum (gerectigheit), Asas ini meninjau dari sudut filosofis,
dimana keadilan adalah kesamaan hak untuk semua orang di depan
pengadilan;
3. Asas kemanfaatan hukum (zwech matigheid atau doelmatigheid atau utility).

Menurut I Made Pria Dharsana, mengenai yang dikatakan dalam rangka


dibentuknya hukum atau peraturan perundang-undangan, ketiga hal tersebut diatas
sulit untuk dituju sebagai tujuan hukum secara bersamaan. Karena untuk menegakkan
yang satu, harus mengalahkan atau mengorbankan yang lainnya. Artinya, jika hukum
dibuat dengan lebih mengedepankan keadilan maka tujuan untuk
kegunaan/kemanfaatan serta kepastian dari pada hukum akan terabaikan. Jika hukum
itu dibuat dengan lebih mengedepankan kegunaan/kemanfaatannya maka tujuan
hukum untuk menciptakan keadilan dan kepastian tidak akan dapat terumuskan
dengan baik. Apabila kemudian hukum dibuat dengan lebih mengedepankan
kepastian, maka keadilan dan kemanfaatannya tidak akan dapat tercapai sebagaimana
tujuan itu sendiri.

Di samping tujuan hukum, keadilan dapat juga dilihat sebagai suatu nilai
(value). Bagi suatu kehidupan manusia yang baik, ada empat nilai yang merupakan
fondasi pentingnya, yaitu: Keadilan, Kebenaran, Hukum dan Moral. Akan tetapi dari
keempat nilai tersebut, menurut filosof besar bangsa Yunani, yaitu Plato, keadilan
merupakan nilai kebajikan yang tertinggi. Menurut Plato : ì Justice is the supreme
virtue which harmonize all other virtuesî
Teori Keadilan

Teori-teori hukum alam sejak Socretes hingga Francois Geny, tetap mempertahankan
keadilan sebagai mahkota hukum. Teori Hukum Alam mengutamakan “the search for
justice”.

a) Teori Keadilan Plato


Plato adalah seorang pemikir idealis abstrak yang mengakui kekuatan-
kekuatan diluar kemampuan manusia sehingga pemikiran irasional masuk
dalam filsafatnya. Demikian pula halnya dengan masalah keadilan, Plato
berpendapat bahwa keadilan adalah diluar kemampuan manusia biasa. Sumber
ketidakadilan adalah adanya perubahan dalam masyarakat. Untuk
mewujudkan keadilan masyarakat harus dikembalikan pada struktur aslinya,
domba menjadi domba, penggembala menjadi penggembala. Tugas ini adalah
tugas negara untuk menghentikan perubahan. Dengan demikian keadilan
bukan mengenai hubungan antara individu melainkan hubungan individu dan
negara serta bagaimana individu melayani negara. Keadilan juga dipahami
secara metafisis keberadaannya sebagai kualitas atau fungsi makhluk super
manusia, yang sifatnya tidak dapat diamati oleh manusia. Konsekuensinya
ialah, bahwa realisasi keadilan digeser ke dunia lain, di luar pengalaman
manusia; dan akal manusia yang esensial bagi keadilan tunduk pada cara-cara
Tuhan yang tidak dapat diubah atau keputusan-keputusan Tuhan yang tidak
dapat diduga. Oleh karena inilah Plato mengungkapkan bahwa yang
memimpin negara seharusnya manusia super, yaitu the king of philosopher.

b) Teori Keadilan Aristoteles


Pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa didapatkan dalam karyanya
nicomachean ethics, politics, dan rethoric. Spesifik dilihat dalam buku
nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan,yang
berdasarkan filsafat hukum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari
filsafat hukumnya, “karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya
dengan keadilan.”
Pada pokoknya pandangan keadilan ini sebagai suatu pemberian hak
persamaan tapi bukan persamarataan. Aristoteles membedakan hak
persamaannya sesuai dengan hak proposional. Kesamaan hak dipandangan
manusia sebagai suatu unit atau wadah yang sama. Inilah yang dapat dipahami
bahwa semua orang atau setiap warga negara dihadapan hukum sama.
Kesamaan proposional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai
dengan kemampuan dan prestasi yang telah dilakukannya.
Lebih lanjut, keadilan menurut pandangan Aristoteles dibagi kedalam dua
macam keadilan, yaitu keadilan “distributief” dan keadilan “commutatief”.
Keadilan distributief adalah keadilan yang memberikan kepada tiap orang
porsi menurut prestasinya. Keadilan commutatief memberikan sama
banyaknya kepada setiap orang tanpa membeda-bedakan prestasinya dalam
hal ini berkaitan dengan peranan tukar menukar barang dan jasa. Dari
pembagian macam keadilan ini Aristoteles mendapatkan banyak kontroversi
dan perdebatan. Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada
distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa
didapatkan dalam masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian”
matematis, jelaslah bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi
kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan
warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai
dengan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat.

c) Teori Keadilan John Rawls


Rawls berpendapat bahwa yang menyebabkan ketidakadilan adalah situsi
sosial sehingga perlu diperiksa kembali mana prinsip-prinsip keadilan yang
dapat digunakan untuk membentuk situasi masyarakat yang baik. Koreksi atas
ketidakadilan dilakukan dengan mengembalikan (call for redress) masyarakat
pada posisi asli (people on original position). Dalam posisi dasar inilah
kemudian dibuat persetujuan asli antar (original agreement) anggota
masyarakat secara sederajat.
Ada tiga syarat supaya manusia dapat sampai pada posisi asli, yaitu:
1. Diandaikan bahwa tidak diketahui, manakah posisi yang akan diraih
seorang pribadi tertentu di kemudian hari. Tidak diketahui manakah
bakatnya, intelegensinya, kesehatannya, kekayaannya, dan aspek sosial
yang lain.
2. Diandaikan bahwa prinsip-prinsip keadilan dipilih secara konsisten
untuk memegang pilihannya tersebut.
3. Diandaikan bahwa tiap-tiap orang suka mengejar kepentingan individu
dan baru kemudian kepentingan umum. Ini adalah kecenderungan
alami manusia yang harus diperhatikan dalam menemukan prinsip-
prinsip keadilan.

Dalam menciptakan keadilan, prinsip utama yang digunakan adalah:

1. Kebebasan yang sama sebesar-besarnya, asalkan tetap menguntungkan


semua pihak;
2. Prinsip ketidaksamaan yang digunakan untuk keuntungan bagi yang
paling lemah.

Prinsip ini merupakan gabungan dari prinsip perbedaan dan persamaan yang
adil atas kesempatan.
Secara keseluruhan berarti ada tiga prinsip untuk mencari keadilan, yaitu:
1. Kebebasan yang sebesar-besarnya sebagai prioriotas.
2. Perbedaan
3. Persamaan yang adil atas kesempatan.

Asumsi pertama yang digunakan adalah hasrat alami manusia untuk mencapai
kepentingannya terlebih dahulu baru kemudian kepentingan umum. Hasrat ini
adalah untuk mencapai kebahagiaan yang juga merupakan ukuran pencapaian
keadilan. Maka harus ada kebebasan untuk memenuhi kepentingan ini. Namun
realitas masyarakat menunjukan bahwa kebebasan tidak dapat sepenuhnya
terwujud karena adanya perbedaan kondisi dalam masyarakat. Perbedaan ini
menjadi dasar untuk memberikan keuntungan bagi mereka yang lemah.
Apabila sudah ada persamaan derajat, maka semua harus memperoleh
kesempatan yang sama untuk memenuhi kepentingannya. Walaupun nantinya
memunculkan perbedaan, bukan suatu masalah asalkan dicapai berdasarkan
kesepakatan dan titik berangkat yang sama.

d) Teori Keadilan Gustav Radbruch


“Summum ius summa inuiria”, bahwa keadilan teringgi itu adalah hati nurani.
Orang yang terlalu mematuhi hukum secara apa adanya seringkali justru akan
merugikan keadilan

Kekuasaan Kehakiman yang indenpenden sebagai Perwujudan Nilai-Nilai


Keadilan

Keadilan berasal dari kata adil, menurut Kamus Bahasa Indonesia adil adalah
tidak sewenang-wenang, tidak memihak, tidak berat sebelah. Adil terutama
mengandung arti bahwa suatu keputusan dan tindakan didasarkan atas norma-norma
objektif. Keadilan pada dasarnya adalah suatu konsep yang relatif, setiap orang tidak
sama, adil menurut yang satu belum tentu adil bagi yang lainnya, ketika seseorang
menegaskan bahwa ia melakukan suatu keadilan, hal itu tentunya harus relevan
dengan ketertiban umum dimana suatu skala keadilan diakui. Skala keadilan sangat
bervariasi dari satu tempat ke tempat lain, setiap skala didefinisikan dan sepenuhnya
ditentukan oleh masyarakat sesuai dengan ketertiban umum dari masyarakat tersebut. 1
Sehingga yang bisa memberikan atau menilai keadilan yaitu hakim.

Dalam konsep atau prinsip negara hukum ialah adanya kekuasaan kehakiman
yang independen dan imparsial, yang kemudian independensi dan imparsialitas

1
M. Agus Santoso, Hukum,Moral & Keadilan Sebuah Kajian Filsafat Hukum, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm.
85.
tersebut diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 kepada badan peradilan sebagai penyelenggara dan pribadi hakim sebagai
pelaksana kekuasaan kehakiman. Sehingga hakim dalam memutuskan suatu putusan
tidak ada intervensi dari pihak manapun, Independensi dan imparsialitas tersebut
diperlukan semata-mata karena fungsinya dalam menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.

Dalam pandangan Bagir Manan ada beberapa tujuan yang ingin dicapai
dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka ini2;

1. Sebagai bagian dari sistem pemisahan atau pembagian kekuasaan diantara


badan-badan penyelenggara negara, kekuasaan kehakiman diperlukan untuk
menjamin dan melindungi kebebasan individu;
2. Kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan untuk mencegah
penyelenggara pemerintahan bertindak sewenang-wenang dan menindas;
3. Kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan untuk menilai keabsahan
suatu peraturan perundang-undangan sehingga sistem hukum dapat dijalankan
dan ditegakkan dengan baik.

Kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagaimana pernyataan Bagir Manan di


atas bukan hanya dimaksudkan untuk melindungi kebebasan individu, membatasi
tindakan pemerintah agar tidak melampaui undang-undang dan menciptakan
kebebasan dan kemandirian penyeleggara kekuasaan kehakiman semata, akan tetapi
hal itu juga merupakan pelaksanaan dari ketentuan UUD yang lain, yang menjamin
kebebasan individu, dan pencegahan tindakan pemerintah yang sewenang-wenang
dengan mendasarkan pada Negara Hukum. Dengan demikian pelaksanaan kebebasan
kekuasaan kehakiman yang merdeka tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dari
pelaksanaan sistem yang terkandung dalam UUD 1945 dan juga sesuai dengan nilai-
nilai yang tubuh dari masyarakat dengan harapan adanya keadilan.

A. Kekuasaan kehakiman menurut undang-undnag


1. Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
pasal 24 yaitu pertama kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah

2
Achmad Edi Subiyanto, “Mendesain Kewenangan Kekuasaan Kehakiman Setelah Perubahan UUD 1945”.
Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 4, Desember 2012.
mahkamah agung dan lain lain badan kehakiman menurut undang undang,
kedua sususan dan kekuasaan badan badan kehakiman itu dengan undang
undang.
2. Menurut amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 pasal 24 yaitu pertama kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
yang menegakkan hukum dan keadilan, kedua kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah mahkamah agung dan badan peradilan yang berada
dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
3. Menurut amandemen keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 pasal 24 yaitu badan badan lain yang fungsinya
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang.

Sedangkan menurut Undang-undang No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan


Kehakiman Pasal 1 menjelaskan pengertian dari kekuasaan kehakiman:

“Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk


menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia”

Sehingga yang dimaksud dengan Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan


negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 demi terselenggaranya Negara
Hukum.

B. Implementasi nilai-nilai keadilan

Di Indonesia keadilan digambarkan dalam Pancasila sebagai dasar negara,


yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam sila lima tersebut
terkandung nilai-nilai yang merupakan tujuan dalam hidup bersama. Adapun keadilan
tersebut didasari dan dijiwai oleh hakikat keadilan kemanusiaan yaitu keadilan dalam
hubungannya manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia lainnya,
walaupun demikian apabila hakim dihadapkan pada pilihan antara ketentuan hukum
tertulis (hukum positif) dengan hukum tidak tertulis, maka hakim atau siapapun juga
yang menerapkan hukum, harus mengutamakan atau mendahulukan ketentuan hukum
tertulis, akan tetapi penerapan hukum tertulis ini harus mempertimbangkan hal-hal
sebagai berikut yakni:

1. Mengutamakan atau mendahulukan hukum tertulis apabila diketahui atau


secara wajar dan rasional dipahami bahwa ketentuan hukum tertulis (hukum
positif) merupakan pembaharuan terhadap hukum tidak tertulis atau terjadi
transformasi ketentuan hukum tidak tertulis menjadi hukum tertulis (hukum
positif);
2. Mengutamakan atau mendahulukan hukum tidak tertulis, apabila ketentuan
hukum tidak tertulis merupakan suatu yang tumbuh dan kemudian menjadi
suatu koreksi atau penafsiran terhadap suatu ketentuan aturan hukum tertulis.
Koreksi ini merupakan kenyataan hukum yang hidup dalam masyarakat dan
dapat terjadi karena hukum tertulis yang telah usang atau ada kekosongan
tertentu dalam ketentuan hukum tertulis, atau jika aturan hukum tertulis
(hukum positif) tersebut memunculkan ketidak adilan, melanggar kepatutan,
kepentingan umum dan ketertiban umum.3

Sedangkan menurut Teori Rule of Law dari Dicey megemukakan bahwa untuk
melindungi hak asasi manusia perlunya penegakan Rule Of Law (pemerintah oleh
hukum, bukan oleh Manusia) yang harus memenuhi tiga unsur yaitu Supermasi
hukum (Supremacy of Law), Kesederajatan didepan hukum (Equality Before The
Law) dan penyelesaian perkara menurut hukum,tidak sewenang-wenang (Due Process
of Law).4

Ketiga unsur ini harus dipertimbangkan hakim dan diterapkan secara proporsional,
sehingga pada gilirannya dapat dihasilkan putusan yang berkualitas dan memenuhi
harapan pencari keadilan. Namun dalam implementasinya terkadang tidaklah mudah
untuk mensinergikan ketiga unsur tersebut, terutama antara unsur keadilan dengan

3
Edi Rosadi, Putusan Hakim Yang Berkeadilan Badamai Law Journal, Vol. 1, Issues 1, April 2016 hlm. 385 Edi
Rosadi, Putusan Hakim Yang Berkeadilan, Op.cit. hlm. 385.
4
Danny H. Kusumapradja Dkk, Hukum Beracara di Pengadilan dan Hak Asasi Manusia, (Bandung:
Puripustaka, 2010), hlm. 256.
kepastian hukum yang bisa saja saling bertentangan, namun demikian hakim dalam
hal ini haruslah berpegang teguh kepada asas yang mendasar dalam sebuah putusan
yakni “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, jadi hakim dalam
putusannya haruslah mengedepankan keadilan karena putusannya tersebut
dipertanggung jawabkannya kepada Tuhan Yang Maha Esa.5

Putusan hakim yang menggambarkan benturan antara aspek keadilan dengan


kepastian hukum, tentunya seorang hakim akan lebih memilih aspek keadilan
sehingga akhirnya hakim akan menyimpangi aspek kepastian hukum dalam hal ini
hukum tertulis (hukum positif), guna hal tersebut hakim haruslah memantapkan
dirinya menjadi profesionalisme dalam mewujudkan putusan yang berkualitas,
dengan menghasilkan putusan-putusan yang eksekutable yang berisikan integritas
tinggi, memuat pertimbangan yuridis yang utama, berintikan rasa keadilan dan
kebenaran, sesuai dengan tata nilai budaya yang berlaku dalam masyarakat, dapat
diterima akal sehat. Sehingga Putusan hakim yang baik adalah putusan hakim yang
mampu memberikan keadilan sebagaimana pada asas dasar sebuah putusan yakni
“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Putusan Hakim Yang
Berkekuatan Hukum Tetap Yang menerobos Hukum Positif.

Putusan- Putusan Hakim Agung Artidjo Alkostar terhadap Kasus Pidana


Korupsi

Penanganan hukum terhadap kasus korupsi yang masih menggunakan pasal


yang „minimalis‟ dan rendahnya vonis yang dijatuhkan untuk pelaku korupsi,
menjadi bukti lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Tetapi, dalam 3 tahun
terakhir ini (tahun 2013-2015), muncul putusan-putusan yang membuat perhatian
publik sejenak berpaling ke Mahkamah Agung. Perhatian terutama diberikan kepada
Hakim Agung Artidjo Alkostar yang putusan hukumannya dinilai mampu
menggoyahkan penilaian publik terhadap lemahnya hukuman di Indonesia.6 Vonis
yang Hakim Agung Artidjo Alkostar berikan dalam kasus-kasus tindak pidana korupsi
yang Artidjo tangani selalu lebih berat dan bahkan ada yang bekali-kali lipat
dibandingkan vonis pengadilan di tingkat pertama dan kedua. Tercacat ada 6 kasus
besar yang di bawahkan ke mahkamah agung dan menangani kasus tersebut adalah

5
Edi Rosadi, Putusan Hakim Yang Berkeadilan, Op.cit. hlm. 385.
6
Palu Godam Artidjo Alkostar, https://www.youtube.com/watch?v=2wCbTYouIgg, diakses pada tanggal 6 April
2015 pada pukul 09.16 WIB
hakim agung artidjo alkostar, dalam 6 kasus korupsi tersebut hukuman yang diberikan
bertambah berat dan bahkan menghilangkan hak untuk di pilih sebagai pejabat publik.

Contoh Kasus Tindak Pidana Korupsi yang Diputus Mahkamah Agung dengan Ketua
Majelis Hakim Agung Artidjo Alkostar Tahun 2013 – 2015
Tingkat banding Tingkat kasasi
Majelis terpidana Pasal Vonis hukuman Pasal Vonis hukuman
hakim yang di yang
langgar dilangga
r
1. Artidjo Angelina Pasal 11 - Pidana penjara Pasal 12 - Pidana penjara
Alkostar Patricia selama 4 tahun dan huruf a selama 12 Tahun
2. Mohama Pingkan 6 bulan. jo pasal - Pidana denda
d Askin Sondakh - Pidana denda 18 sebesarRp500.000.000
3. M.S. sebesar - Membayar uang
Lumme Rp250.000.000, pengganti sebesar
Rp12.580.000.000,-
dan US 2.350.000,-

1. Artidjo Tommy Pasal 5 -Pidana penjara Pasal 12 - Pidana penjara


Alkostar Hindrato ayat (2) selama 3 tahun 6 huruf b selama 10 Tahun
2. Mohamd bulan - Pidana denda
Askin - Pidana denda sebesar
3. M.S. sebesar Rp500.000.000,00
Lumme Rp100.000.000, - Membayar uang
pengganti sebesar
Rp280.000.000,00

1. Artidjo Rahudan Membebaskan Pasal 2 Pidana penjara selama


Alkostar Harahap Terdakwa oleh ayat (1) 5 tahun - Pidana denda
2. Mohamd karena itu dari jo Pasal sebesarRp200.000.000
Askin semua dakwaan 18 ,- Membayar uang
3. M.S. tersebut pengganti sebesar -
Lumme - Memulihkan hak Rp480.495.500,-
terdakwa dalam
kemampuan.

1. Artidjo Luthfi - Pasal Pidana penjara - Pasal - Pidana penjara


Alkostar Hasan 12 huruf selama 16 tahun - 12 huruf selama 18 tahun
2. Mohamd Ishaaq a (UU Pidana denda a (UU - Pidana denda
Askin Tipikor) sebesar Tipikor) sebesarRp1.000.000.0
3. M.S. - Pasal 3 Rp1.000.000.000 - Pasal 3 00,
Lumme Ayat (1) Ayat (1) - Pidana tambahan
huruf a, huruf a, berupa pencabutan hak
Dari tabel yang disajikan di atas bahwasanya putusan-putusan yang diberikan
oleh artidjo alkostar sangat sesuai dengan keadilan yang diagung-agungkan oleh
masyarakat indonesia. karena yang kita ketahui bahwa kasus kasus korupsi sendiri lah
yang membuat hilangnya kepercayaan masyarakat indonesia terhadap keadilan yang
di cita-citakan oleh hukum. Lebih tepatnya slogan hukum tumpul ke atas dan tajam ke
bawah sudah menjadi slogan yang sering di pakai di masyarakat kita.
Jika di liat dari penelitian yang dilakukan ICW sendiri, dalam waktu 3 tahun
yaitu 2013-2015 indonesia sebagai negara yang dominan memberikan hukuman
ringan terhadap koruptor. Padahal kejahatan ini termasuk kejahatan luar biasa (extra
ordinary crime) kejahatan yang mempunyai dampak negatif terhadap kehidupan
manusia khususnya masyarkat indonesia, terhadap program pembangunan, bahkan
kualitas pembangunan menjadi renda, mutu pendidikan jatuh, serta kemiskinan tidak
tertangani. Dampak dari kejahatan ini bahkan bisa menimbulkan kejahatan baru yang
timbul dimasyarakat, entah itu pencurian, pembegalan, dan lain-lain.
Akan tetapi kejahatan yang dampaknya begitu serius ini, seolah-olah di
anggap biasa saja oleh para hakim yang menangani dan memberikan putusan terhadap
kasus kasus tersebut tidak memikirkan dampak-dampaknya. Selalu hukuman yang
begitu rendah yang diberikan terhadap para koruptor. ICW menilai bahwa vonis
penjara untuk koruptor tidak mengalami perubahan dan masih didominasi pada
hukuman ringan untuk pelaku korupsi. Pada tahun 2014 tercatat sedikitnya terdapat
480 terdakwa yang diadili di Pengadilan Tipikor. Dari jumlah tersebut ada 437
terdakwa yang divonis bersalah oleh pengadilan. Jika dicermati lebih jauh, dari
jumlah tersebut vonis ringan masih menjadi vonis yang paling banyak
diberikan/dijatuhkan oleh hakim tipikor. Sebanyak 371 terdakwa divonis ringan (>1 -
4 Tahun) 60 terdakwa divonis sedang (>4 – 10 Tahun) dan sisanya sebanyak 5 orang
dihukum berat (>10 tahun).
begitu tragis melihat pututsan hakim terhadap para pelaku kuruptor, apalagi
jika bandingkan dengan kasus-kasus reme yang notabenin mereka melakukan nya
agar tetap bertahan hidup, betapa banyak kasus pencurian yang dilakukan oleh orang
yang tidak mempunyai apa-apa seperti jabatan, kehormatan, bahkan ekonomi di
perlakukan dengan sangat dskriminatif, pasal-pasal yang berkaitan dengan pencurian
dijadikan patokan untuk memutus perkara, mereka memgang dalil agar terciptanya
kepastian hukum. Seperti nenek asyani asal situbondo yang divonis 1 tahun 3 bulan
penjara dan denda 500 juta, padahal pohon jati tersebut di ambil sendiri di halaman
rumahnya oleh almarhum sumainya. Kemudian ada pelajar yang inigin membela diri
dari pelaku begal kemudian tidak sengaja membunuh begal terancam di hukum
penjara seumur hidup dan masih banyak lagi kasus-kasus yang serupa dan mirip dan
membuat kita miris melihatnya, dan bahkan menimbulkan pertanyaan apakah masih
ada keadilan di pengadilan?
Dari paparan di atas bahwasanya kita membutuhkan seorang hakim yang
mementiingkan keadilan di atas segala-galanya dan harus menyampingkan kepastian
hukum itu sendiri. Sosok artidjo alkostar harus menajdi panutan bagi hakim-hakim di
indonesia dalam hal mengambil keputusan terhadap putusan yang diberikan kepada
para pelaku kejahatan, dimana beliau sangat sangat tegas kemudian rasional dalam
melihat kasus dan mengedepankan keadilan diatas kepastian hukum.

KESIMPULAN

Anda mungkin juga menyukai