Anda di halaman 1dari 2

TUGAS 1

HUKUM KETENAGAKERJAAN

Nama : Siti Yulaikah


NIM : 030395719
UT-UPBJJ : Surabaya

Soal

1. Bila diteliti lebih jauh, penetapan UMR dan UMD ternyata tidak serta merta
menghilangkan problem gaji dan upah. Berikan analisis anda, mengapa penetapan
UMR dan UMD ternyata tidak serta merta menghilangkan problem gaji/upah ini ?
2. Uraikan disertai analisis anda apakah tindakan PHK terhadap Angel dibenarkan
secara Hukum ?
3. Uraikan dan jelaskan apakah langkah-langkah yang dilakukan PT. Mundur Selalu
sudah tepat, dan berikan analisis hukumnya ?

Jawaban

1. Salah satu problem yang langsung menyentuh kaum buruh adalah rendahnya atau
tidak sesuainya pendapatan (gaji) yang diperoleh dengan tuntutan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya beserta tanggungannya. Faktor ini, yakni kebutuhan hidup
semakin meningkat, sementara gaji yang diterima relatif tetap, menjadi salah satu
pendorong gerak protes kaum buruh. Adapun dalam sistem ekonomi Kapitalis,
rendahnya gaji buruh justru menjadi penarik bagi para investor asing. Termasuk
pemerintah, untuk kepentingan peningkatan pendapatan pemerintah (bukan rakyat),
justru memelihara kondisi seperti ini. Kondisi ini menyebabkan pihak pemerintah
lebih sering memihak ‘sang investor’ , dibanding dengan buruh (yang merupakan
rakyatnya sendiri) ketika terjadi krisis perburuhan. Rendahnya gaji juga berhubungan
dengan rendahnya kualitas SDM. Persoalannya bagaimana, SDM bisa meningkat
kalau biaya pendidikan mahal. Untuk membantu mengatasi problem gaji, pemerintah
biasanya membuat “batas minimal gaji” yang harus dibayarkan oleh perusahaan
kepada pekerjanya, yang kemudian dikenal dengan istilah Upah Minimum Regional
(UMR) atau Upah Minimum Daerah (UMD) atau Upah Minimum Kota (UMK) yang
mengacu pada UU Otonomi Daerah No. 22 Tahun 1999. Intervensi pemerintah dalam
hal ini ditujukan menghilangkan kesan eksploitasi pemilik usaha kepada buruh karena
membayar di bawah standar hidupnya. Nilai UMR, UMD, dan UMK ini biasanya
dihitung bersama berbagai pihak yang merujuk kepada Kebutuhan Fisik Minimum
Keluarga (KFM), Kebutuhan Hidup Minimum (KHM), atau kondisi lain di daerah
yang bersangkutan. Penetapan UMR sendiri sebenarnya ‘sangat bermasalah’ dilihat
dari realitas terbentuknya kesepakatan upah dari pihak pengusaha dan buruh. Dalam
kondisi normal dan dalam sudut pandang keadilan ekonomi, seharusnya nilai upah
sebanding dengan besarnya peran jasa buruh dalam mewujudkan hasil usaha dari
perusahaan yang bersangkutan. Penetapan UMR dan UMD di satu sisi dimanfaatkan
buruh-buruh ‘malas’ untuk memaksa pengusaha memberi gaji maksimal, meski
perannya dalam kerja perusahaan sangat sedikit (meskipun ini sangat jarang terjadi) .
2. Sebelumnya, perlu diketahui bahwa Pasal 150 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) mengatur sebagai berikut :
“Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini meliputi
pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau
tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik
milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain
yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah
atau imbalan dalam bentuk lain.”
Dengan demikian, maka ketentuan ketenagakerjaan, khususnya terkait pemutusan
hubungan kerja (“PHK”) sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan yang
beberapa ketentuannya telah diubah, dihapus, atau dimuat pengaturan baru oleh
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”)
berlaku bagi pemberi kerja dan pekerja sebagaimana disebutkan di atas. Bolehkah
Perusahaan Mewajibkan Karyawan Resign karena Hamil? pada prinsipnya,
perusahaan tidak dapat mewajibkan Anda untuk mengundurkan diri atau resign
karena Anda hamil. Hal ini didasarkan pada Pasal 81 angka 40 UU Cipta Kerja yang
mengubah Pasal 153 ayat (1) huruf e UU Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa
pengusaha dilarang melakukan PHK dengan alasan pekerja hamil, melahirkan, gugur
kandungan, atau menyusui bayinya. PHK yang dilakukan atas alasan di atas batal
demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja yang
bersangkutan.
3. Bahwa perubahan perjanjian kerja, dari PKWT menjadi PKWTT, bisa saja dan ada
kemungkinan terjadi sepanjang memenuhi syarat dan ketentuan, khususnya di
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh -yang melakukan pekerjaan jasa penunjang
yang bukan bagian dari proses produksi- memang dimungkinkan melakukan
hubungan kerja dengan karywannya melalui PKWT (vide penjelasan Pasal 59 ayat (2)
UU Ketenagakerjaan).
Ketentuannya, sesuai dengan Pasal 59 ayat (7) UU Ketenagakerjaan, bahwa PKWT
yang tidak memenuhi syarat/ketentuan dalam Pasal 59 ayat (1), ayat (2), ayat (4),
ayat (5) dan ayat (6) mengenai :
 Jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan yang dapat diperjanjikan melalui
PKWT (ayat 1)
 larangan memperjanjikan pekerjaan yang bersifat tetap melalui PKWT (ayat
2)
 jangka waktu perpanjangan PKWT (ayat 4)
 Space –jangka waktu- memperpanjang PKWT (ayat 5)
 Adanya masa jeda untuk pembaruan PKWT (ayat 6) maka demi hukum
berubah menjadi PKWTT.

Karyawan outsourcing adalah pekerja kontrak yang direkrut oleh perusahaan penyedia jasa
tenaga kerja untuk dipekerjakan oleh perusahaan pengguna jasa (user). Pekerja diupah oleh
perusahaan alih daya, sementara perusahaan user membayar perusahaan outsourcing sesuai
dengan kontrak kerja yang disepakati. Keuntungan dari sistem alih daya ini adalah
perusahaan user tidak perlu repot memikirkan biaya perekrutan karyawan serta
menyediakan fasilitas, tunjangan, dan asuransi BPJS Kesehatan. Semuanya merupakan
tanggung jawab perusahaan outsourcing. Secara hukum, pekerja outsourcing tidak memiliki
hubungan kerja dengan perusahaan user.

Anda mungkin juga menyukai