Kasus sengketa mengenai Penghimpunan Dana yakni kasus pemblokiran rekening tanpa
pemberitahuan yang dilakukan Bank terhadap rekening seorang nasabah yang disebabkan oleh
adanya transfer dana dari rekening nasabah lain yang diketahui telah kehilangan token
sebelumnya. Terkait kasus tersebut dapat diambil pelajaran bahwa nasabah harus berhati-hati
dalam meminjamkan nomor rekening kepada siapapun. PIN dan User ID adalah rahasia, maka dari
itu nasabah harus berhati-hati dan diharapkan tidak mencatatnya pada kertas yang mungkin saja
dapat berpindah tangan. Selain itu nasabah harus segera menghubungi bank jika terjadi transaksi
yang mencurigakan. Dari pihak Bank, seharusnya melakukan CDD (Customer Due Diligence)
yakni tindakan verifikasi terhadap profil nasabah baik pengirim maupun penerima.
Sumber:https://pascasarjanahukum.uii.ac.id/2017/02/18/penyelesaian-sengketa-di-sektor
jasakeuangan-kuliah-umum/
Pertanyaan:
1. Untuk memenuhi tujuan dari Undang-undang Perlindungan Konsumen sebagaimana dimaksud
dalam pasal 3 UUPK No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, perlu dilakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap terselenggarakannya perlindungan terhadap konsumen
secara memadai. Dalam hal pembinaan dan pengawasan ini ada beberapa lembaga yang juga
diatur dalam UUPK yang berperan penting, diantaranya adalah BPKN, bpsk, LPKSM,
selanjutnya terkait dengan konsumen jasa keuangan yang diatur di dalam UU OJK sendiri ada
OJK dan LAPS. Berdasarkan kasus diatas, Menurut analisa anda dari ke 5 lembaga
penyelenggara perlindungan konsumen yaitu BPKN, LPKSM, BPSK, OJK, dan LAPS.
Lembaga mana yang berhak dalam upaya mengembangkan perlindungan bagi konsumen?
Jawab :
Lembaga yang berhak dalam upaya mengembangkan perlindungan bagi konsumen yaitu
BPKN Fungsi dan Tugas BPKN dalam Perlindungan Konsumen Dalam UU 8/1999, dua belas
pasalnya mengatur Badan Perlindungan Konsumen Nasional Republik Indonesia (”BPKN”).
Peran BPKN menurut Pasal 31 UU 8/1999 yaitu mengembangkan upaya perlindungan
konsumen. Selanjutnya, fungsi BPKN menurut Pasal 33 UU 8/1999 adalah memberikan saran
dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen.
Untuk menjalankan fungsi tersebut, tugas BPKN adalah:
a. memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam penyusunan kebijaksanan
perlindungan konsumen;
b. melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang
berlaku di bidang perlindungan konsumen;
c. melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan
konsumen;
d. mendorong berkembangnya Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat
(“LPKSM”);
e. menyebarluaskan informasi melalui media tentang perlindungan konsumen dan
memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen;
f. menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, LPKSM, atau
pelaku usaha;
g. melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.
Apabila terdapat aduan yang masuk ke BPKN, baik dari masyarakat, LPKSM maupun pelaku
usaha, selanjutnya, BPKN akan menyelesaikan pengaduan tersebut dengan memberikan saran
untuk menyelesaikan sengketa. Dalam hal ini, tugas menerima pengaduan oleh BPKN
merupakan upaya memenuhi fungsinya untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada
pemerintah dalam mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia. Menurut Yusuf
Shofie dalam Sinopsis dan Komentar Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen: Panduan bagi Konsumen dan Pelaku Usaha, praktik pelaksanaan
perlindungan konsumen seyogyanya selalu dikritisi oleh BPKN agar tetap berpihak pada
perlindungan konsumen sesuai UU 8/1999 (hal. 61–68). Dapat disimpulkan bahwa, bentuk
tindak lanjut pengaduan sengketa konsumen ke BPKN berupa saran untuk menyelesaikan
sengketa, maupun saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam menyusun kebijakan
perlindungan konsumen.
2. Undang-undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) sebagai dasar
hukum pengaturan kegiatan di sektor jasa keuangan tidak memberikan pengertian mengenai
apa yang dimaksud dengan sengketa konsumen. Pengertian sengketa di sektor jasa keuangan
ditemukan dalam peraturan otoritas jasa keuangan No. 1/POJK.07/2014 tahun 2014 tentang
lembaga alternatif penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan (POJK LAPS). Berikan
analisa hukum anda berdasarkan kasus diatas, bagaimana bentuk penyelesaian sengketa
konsumen melalui LAPS-SJK dan apakah hasil dari putusan LAPS-SJK mempunyai kekuatan
hukum tetap?
Jawab :
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan (LAPS SJK) merupakan
lembaga yang dibentuk oleh industri jasa keuangan yang dikoordinasikan oleh asosiasi sektor
jasa keuangan dan Self-Regulatory Organization/SRO (BEI, KSEI, dan KPEI) sebagai
lembaga penyelesaian sengketa di sektor keuangan. Mulai beroperasi pada 1 Januari 2021,
pembentukan LAPS SJK sendiri didorong OJK, demi mengoptimalkan perlindungan
konsumen di sektor jasa keuangan, khususnya efisiensi dan efektivitas penyelesaian sengketa
(standarisasi mekanisme dan biaya).
Pertanyaan:
Apakah dengan adanya regulasi dan kebijakan pemerintah di bidang jasa keuangan dapat
memberikan perlindungan bagi konsumen sektor jasa keuangan ? berikan analisis hukum anda!
Jawab :
Kondisi tersebut pada satu pihak sangat bermanfaat bagi kepentingan konsumen karena
kebutuhan yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk
memilih aneka jenis kualitas sektor jasa keuangan yang ditawarkan. Di sisi lain, fenomena dan
keadaan tersebut dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha jasa keuangan (PUJK) dan
konsumen menjadi tidak seimbang. Dimana konsumen hanya dijadikan objek aktivitas bisnis
dari PUJK untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya melalui kiat iklan, promosi, cara
penjualan, serta penerapan perjanjian baku (perjanjian standar) yang merugikan konsumen.
Konsumen dengan kesadaran akan hak dan kewajibannya yang rendah karena kurangnya
pendidikan konsumen, menjadi titik masuk dari perangkap yang ditebarkan PUJK. Dalam
situasi dan kondisi yang demikian dapat diketahui bahwa penggunaan perjanjian standar dalam
transaksi bisnis dapat menimbulkan ketidakseimbangan antara PUJK dan konsumen, sehingga
diperlukan landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan masyarakat untuk melakukan
upaya perlindungan dan pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan
konsumen. Dengan adanya regulasi dan kebijakan pemerintah di bidang jasa keuangan dapat
memberikan perlindungan bagi konsumen sektor jasa keuangan. Berdasarkan kondisi tersebut
diperlukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembentukan peraturan perundang-
undangan yang dapat melindungi kepentingan konsumen secara integratif dan komprehensif
serta dapat diterapkan secara efektif di masyarakat. Dalam rangka perlindungan konsumen
sektor jasa keuangan, saat ini telah terbit UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan, dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
1/POJK.07/2014 sebagaimana telah diganti dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
61/POJK.07/2020 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan.
Adanya berbagai peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen yang
diharapkan terjalinnya hubungan yang lebih harmonis antara konsumen dan PUJK, serta
adanya berbagai cara penyelesaian sengketa konsumen, seharusnya sudah dapat memberikan
perlindungan hukum bagi konsumen secara berkeadilan hukum (das sollen), tetapi dalam
kenyataannya posisi tawar (bargaining position) konsumen sangatlah lemah dibanding dengan
PUJK, sehingga masih ada konsumen sektor jasa keuangan yang dirugikan oleh PUJK (das
sein).