Anda di halaman 1dari 18

BUKU JAWABAN UJIAN (BJU)

UAS TAKE HOME EXAM (THE)


SEMESTER 2020/21.1 (2020.2)

Nama Mahasiswa : Yayan Nugraha

Nomor Induk Mahasiswa/NIM : 020504214

Tanggal Lahir : 20 Juli 1992

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4309/Tindak Pidana Khusus

Kode/Nama Program Studi : Ilmu Hukum S-1

Kode/Nama UPBJJ : 15/Pangkalpinang

Hari/Tanggal UAS THE : Minggu/20 Desember 2020

Tanda Tangan Peserta Ujian

Petunjuk

1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
Surat Pernyataan
Mahasiswa
Kejujuran Akademik

Yang bertanda tangan di


bawah ini:

Nama Mahasiswa : Yayan Nugraha

NIM : 020504214

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4309/Tindak Pidana Khusus

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Program Studi : Ilmu Hukum

UPBJJ-UT : 15/Pangkalpinang

1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE pada
laman https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan soal
ujian UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai
pekerjaan saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai dengan
aturan akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan
tidak melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media
apapun, serta tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik
Universitas Terbuka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat
pelanggaran atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi akademik
yang ditetapkan oleh Universitas Terbuka.

Pangkalpinang, 20 Desember 2020

Yang Membuat Pernyataan

Yayan Nugraha
1) A. Istilah Aborsi disebut juga dengan istilah Abortus Provocatus. Abortus provocatus
adalah pengguguran kandungan yang disengaja, terjadi karena adanya perbuatan
manusia yang berusaha menggugurkan kandungan yang tidak diinginkan, meliputi
abortus provocatus medicinalis dan abortus provocatus criminalis. Abortus
provocatus medicinalis yaitu pengguguran kandungan yang dilakukan berdasarkan
alasan/pertimbangan medis. Sedangkan abortus provocatus criminalis yaitu
penguguran kandungan yang dilakukan dengan sengaja dengan melanggar ketentuan
hukum yang berlaku.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, aborsi adalah pengguguran kandungan.
Pada dasarnya, setiap orang dilarang melakukan aborsi berdasarkan Pasal 75 ayat
(1) UU No. 36Tahun 2009 tentang Kesehatan ("UU Kesehatan").
Pengecualian terhadap larangan melakukan aborsi diberikan HANYA dalam 2
kondisi berikut:
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang
mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat
dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga
menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi
korban perkosaan.
Selain itu, aborsi hanya dapat dilakukan:
a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid
terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;
b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang
memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh
Menteri.
Jadi, praktik aborsi yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
sebagaimana disebut di atas merupakan aborsi ilegal. Sanksi pidana bagi pelaku
aborsi ilegal diatur dalam Pasal 194 UU Kesehatan yang berbunyi;
 "setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar." 
Pasal 194 UU Kesehatan tersebut dapat menjerat pihak dokter dan/atau tenaga
kesehatan yang dengan sengaja melakukan aborsi ilegal, maupun pihak perempuan
yang dengan sengaja melakukannya. Selain itu, sanksi pidana bagi pelaku aborsi
ilegal juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ("KUHP").
Ketentuannya antara lain sebagai berikut:
Pasal 299
1. Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh
supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan bahwa karena
pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling
lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat puluh lima ribu rupiah.
2. Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau
menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia
seorang tabib, bidan atau juru-obat, pidananya dapat ditambah sepertiga.
3. Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan
pencarian, maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian itu.
Pasal 346
Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau
menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat
tahun.
Pasal 347
1. Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan
seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama
dua belas tahun.
Pasal 348
1. Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang
wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun enam bulan.
 
Pasal 349
Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan
berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu
kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan
dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk
menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.
Pada praktiknya, bila ada dokter yang melakukan aborsi, maka masyarakat dapat
melaporkan dokter tersebut ke kepolisian untuk diselidiki. Selanjutnya, bila memang
ada bukti yang cukup dokter tersebut dengan sengaja telah melakukan aborsi ilegal
terhadap pasien(-pasien)nya, maka proses pidana akan dilanjutkan oleh penyidik dan
jaksa sebelum melalui proses di pengadilan.
Perkara / Kasus pidana khusus adalah merupakan jenis perkara-perkara pidana yang
pengaturan hukumnya berada di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
yang merupakan KItab Undang – undnag yang terkodifikasi, yang mempunyai
karakteristik dan penanganan perkara yang khusus dan spesific, baik dari aturan
hukum yang diberlakukan, hukum acaranya, penegak hukumnya maupun dari
lawyer yang menanganinya.
Hukum pidana khusus juga hanya berlaku terhadap subjek hukum tertentu, artinya
tidak semua warga negara indonesia dapat diberlakukan hukum pidana khusus,
walaupun semua warga negara mempunyai potensi sebagai subjek dari hukum
pidana khusus tersebut.

Berdasarkan kasus di atas tindakan yang dilakukan oleh si dokter itu termasuk tindak
pidana khusus, karena tidak diatur di dalam KUHP mengenai Aborsi yang dilakukan
oleh seorang dokter, yang diatur di dalam KUHP itu hanya mengatur aborsi secara
umum, sedangkan aborsi dalam UU Kesehatan diaatur aborsi secara khusus.
B. Aturan hukum yang mengatur tentang aborsi, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,
sebagaimana diatur dalam Pasal-Pasal sebagai berikut:
a) Pasal 346 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau
menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama
empat tahun.
Subjeknya adalah seorang wanita yang hamil atau yang sedang mengandung.
Tidak dipersoalkan apakah seorang wanita itu mempunyai suami yang sah atau
tidak. Dari judul Bab XIX kejahatan terhadap jiwa, berarti bahwa yang didalam
kandungan itu adalah yang sudah mempunyai jiwa atau lebih tepat adalah masih
hidup. Wanita pelaku dari kejahatan ini dapat berupa pelaku tunggal dan dapat
juga sebagai pelaku dalam rangka penyertaan sebagaiman ditafsirkan dari
perumusan : atau menyuruh orang lain dalam hal ini wanita tersebut dapat
berupa penyuruh, pelaku-peserta, pelaku-penggerak atau pelaku utama dimana
yang lain berturut-turut berupa : yang disuruh, pelaku peserta yang digerakkan
atau pembantu. Apabila terhadap wanita itu diterapkan Pasal 346, maka kepada
yang disuruh itu (kecuali jika sama sekali tiada kesalahan padanya) diterapkan
Pasal 348. Dengan demikian, menggugurkan kandungan harus dibaca dengan
menggugurkan kandungan yang masih hidup. Menggugurkan disini adalah
mengeluarkan dengan paksa apabila kandungan itu dipaksa keluar dan pada saat
keluar itu masih hidup, sedangkan yang dimaksud dengan mematikan kandungan
ialah kandungan itu kandungan itu dimatikan ketika masih dalam tubuh wanita.
Mengeluarkan kandungan yang sudah mati bukan suatu kejahatan, bahkan demi
keselamatan wanita tersebut kandungan yang sudah mati harus dikeluarkan.
b. Pasal 348 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) :
1. Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan
seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun enam bulan.
2. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan
pidana penjara paling lama tujuh tahun. wanita itu sendiri. Dalam rangka
penerapan Pasal 348 perlu diperhatikan, bahwa jika wanita itu memberikan
persetujuannya sama saja dengan bahwa wanita tersebut telah melakukan
Pasal 346, Pasal 349 KUHP.
Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan
berdasarkan Pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu
kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan
dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk
menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan Subjeknya adalah dokter,
bidan atau tukang obat. Mereka ini adalah subjek khusus, tindakan yang dilakukan
adalah :
1) Membantu kejahatan tersebut Pasal 346 ; membantu disini adalah dalam arti
Pasal 56. Namum kepada mereka ini bukannya diancamkan maksimum empat
tahun dikurangi dengan sepertiganya, melainkan empat tahun ditambah
sepertiganya.
2) Melakukan kejahatan tersebut Pasal 347 atau 348. Dalam hal ini maksimum
ancaman pidananya ditambah dengan sepertiganya dari Pasal 347 atau 348.
KUHP telah menegaskan bahwa tindakan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang
terlibat dalam tindakan aborsi dapat dikenai sanksi pidana. Ada pertanggungjawaban
pidana bagi pelaku-pelakunya. Berdasarkan ketentuan Pasal 346, Pasal 347, Pasal
348, dan Pasal 349 tindakan aborsi secara tegas dilarang tanpa pengecualian,
sehingga tidak ada perlindungan terhadap pelaku aborsi. Jika KUHP melarang aborsi
tanpa pengecualian, maka Undangundang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
memberikan pengecualian sebagaimana diatur dalam Pasal 75, Pasal 76 dan Pasal
77.
C. Masalah aborsi saat ini sudah bukan merupakan rahasia lagi untuk dibicarakan,
karena aborsi sudah menjadi hal yang aktual dan peristiwanya sudah terjadi dimana-
mana dan dilakukan oleh siapa saja, misalnya saja dilakukan oleh remaja yang
terlibat pergaulan bebas yang awalnya berpacaran biasa, tetapi setelah lama
berpacaran mereka melakukan hubungan suami isteri, karena malu dan takut
ketahuan, maka mereka menggugurkan kandungannya, dan dapat juga dilakukan
oleh seorang isteri yang sudah menikah yang tidak mau dibebani tanggung jawab
dengan lahirnya seorang anak, maka digugurkanlah anak dalam kandungannya
tersebut
Aborsi atau lazim disebut dengan pengguguran kandungan masuk ke peradaban
manusia disebabkan karena manusia tidak menghendaki kehamilan tersebut. Sejak
berabad-abad yang silam berbagai bangsa telah mengenal dam memakai beberapa
jenis tumbuhan yang berkhasiat untuk memacu kontraksi Rahim guna merontokkan
atau menjatuhkan janin. Aborsi itu sendiri dapat terjadi baik akibat perbuatan
manusia (abortus provocatus) maupun karena sebab-sebab alamiah, yakni terjadi
dengan sendirinya, dalam artian bukan karena perbuatan manusia (abortus
spontatus). Aborsi yang terjadi karena perbuatan manusia dapat terjadi baik karena
didorong oleh alasan medis, misalnya karena wanita yang hamil menderita suatu
penyakit dan untuk menyelamatkan nyawa wanita tersebut maka kandungannya
harus digugurkan (abortus therapeuticus). Disamping itu karena alasanalasan lain
yang tidak dibenarkan oleh hukum (abortus criminalis). Metode penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normative dengan pertimbangan
bahwa titik tolak penelitian analisis terhadap peraturan perundangan KUHP,
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan Undang-undang Nomor 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan yang dikaitkan dengan pembaharuan tindak pidana aborsi
Tindakan kasus aborsi diatas, tergolong Abortus Provocatus Criminalis, Abortus
provocatus criminalis, aborsi yang terjadi oleh karena tindakan-tindakan yang tidak
legal atau tidak berdasarkan indikaasi medis, sebagai contoh aborsi yang dilakukan
dalam rangka meleyapkan janin sebagai akibat hubungan seksual di luar
perkawinan. Secara yuridis, abortus provocatus criminalis setiap pnghentian
kehamilan sebelum hasil konsepsi dilahirkan tanpa memperhitungkan umur bayi
dalam kandungan dan janin dilahirkan dalam keadaan mati atau hidup.
Kehamilan yang tidak direncanakan dapat juga terjadi akibat perkosaan. Perempuan
yang mengalami kehamilan akibat perkosaan akan menghadapi dampak yang lebih
berat dan luas, antara lain dampak psikologis berupa depresi berat, dampak sosial
berkaitan dengan status anak yang dilahirkan, status ibu dari anak tersebut dalam
pergaulan hidup bersama masyarakat dan masih banyak dampak lainnya yang harus
dipikul seorang perempuan yang hamil akibat perkosaan, misalnya, rentan terhadap
penyakit kelamin, HIV dan sebagainya.
2) A. Terorisme adalah tema yang sangat unik dan menarik untuk diteliti dan dikaji.
Terorisme sebagai sebutan bagi fenomena sosial, selalu dalam perdebatan yang
terus-menerus dan tidak kunjung usai. Terorisme sebagai obyek penelitian, telah
banyak melahirkan karya-karya ilmiah dan menelorkan kajian-kajian yang
mendalam. Di kalangan peneliti, banyak sekali yang mengangkat tema-tema
Terorisme dan mencetuskan pelbagai teori-teori baru. Hal ini mengindikasikan
bahwa terorisme itu adalah tema yang memiliki daya tarik yang sangat tinggi dan
merupakan tema yang tidak akan pernah kering. Semua ini membuktikan bahwa
kepedulian peneliti terhadap tematema terorisme, ternyata masih cukup tinggi. Dan
begitu pula, hasil penelitian tentang terorisme yang sangat bervariasi itu
menandakan bahwa masih ada aspek-aspek menarik yang masih perlu
Aksi tindak pidana terorisme kerap terjadi dari tahun ke tahun. Berulangnya aksi
terorisme melalui kelompok jaringan pelaku menjadi bagian eksistensi masing-
masing kelompok. Letak geografis dan pegunungan wilayah Indonesia yang subur
justru dijadikan lahan pelatihan militer oleh kelompok terorisme. Untuk itu,
pemerintah mesti mencari akar permasalahan yang menyebabkan tumbuh suburnya
jaringan terorisme di Indonesia.
Pertama, faktor domestik. Misalnya, kemiskinan yang terus membayangi masyarakat
menjadi bagian pemicu terjadinya gerakan aksi terorisme. Begitu pula dengan
pendidikan yang rendah. Alhasil, mereka yang dapat dibujuk menjadi pelaku bom
bunuh diri relatif memiliki pendidikan dan pengetahuan agama yang minim. Tak
kalah penting, perlakuan hukum yang tidak adil dari rezim pemerintahan yang
berkuasa.
Kedua, faktor internasional. jaringan terorisme tak lepas dari keterlibatan pihak luar.
Jaringan terorisme internasional memang cukup kuat dalam memberikan dukungan
logistik. Misalnya, pasokan persenjataan. Tak hanya itu, jaringan internasional pun
memberikan dana. Bahkan, ada ikatan emosional yang kuat antara jaringan lokal
dengan internasional.
Ketiga, faktor kultural. masih banyak ditemukan orang memiliki pemahaman yang
sempit dalam menterjemahkan nilai-nilai agama yang berkembang di tengah
masyarakat. Akibatnya, pelaku dapat dipengaruhi mengikuti pemberi pengaruh
untuk melakukan teror kepada masyarakat.
B. Terorisme merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang membutuhkan
penanganan cara-cara luar biasa. Terorisme telah menjadi fenomena global yang
telah merambah hampir ke semua negara di dunia termasuk Indonesia. Sebagaimana
di kawasan lainnya, terorisme di Indonesia juga memiliki dasar teologi dan ideologi
serta jejaring sehingga memiliki daya tahan yang kuat. Sampai saat ini, tindak
pidana terorisme menjadi salah satu ancaman serius terhadap ketahanan nasional.
Kebijakan legislatif dalam penanggulangan terorisme yaitu dengan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003. Tindak pidana yang berkaitan dengan Tindak Pidana
Terorisme seperti melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap penegak
hukum yang menangani tindak pidana terorisme, memberikan kesaksian palsu,
memberikan alat bukti dan barang bukti palsu, mencegah, merintangi, atau
menggagalkan secara langsung atau tidak langsung proses penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme.
Kebijakan aplikatif dalam penanggulangan terorisme dalam pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2003 terdapat hambatanhambatan, akan tetapi hambatan
tersebut yang paling nyata pada saat terjadi kasus Bom Bali tanggal 12 Oktober
2002, karena pada saat itu belum ada peraturan khusus terorisme.
Sedangkan hambatan lain yang terjadi di lapangan adalah terbatasnya alatalat
teknologi yang dimiliki kepolisian sehingga dengan kerja sama dengan pihak asing
dapat menimbulkan anggapan adanya campur tangan negara asing. Pihak penyidik
juga mengalami hambatan karena ternyata untuk mengungkap saksi-saksi dan
jaringan terorisme memerlukan banyak waktu sehingga jangka waktu penahanan
yang diatur undang-undang masih kurang memadai; Kebijakan legislatif dalam
penanggulangan terorisme di masa yang akan datang di dalam rancangan
undangundang yang akan menyempurnakan Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2003, terdapat penambahan tindak pidana baru dan perubahan terhadap beberapa
pasal. Di dalam Konsep Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Tahun 2008, Tindak Pidana Terorisme diatur dalam Buku II, Bab I, bagian
keempat, khususnya termuat dalam Pasal 242 sampai dengan Pasal 251.
C. Terorisme telah menjadi kejahatan internasional dan lintas batas negara yang
memiliki ciri atau kekhasan tersendiri yang membedakannya dengan kejahatan biasa
sehingga terorisme digolongkan sebagai Extraordinary crimes karena dilakukan
dengan tindak kekerasan, menggunakan cara cara yang sifatnya menakut-nakuti,
membahayakan dan bahkan mengakibatkan kematian bagi orang orang sipil,
menargetkan fasilitas umum maupun pemerintah, dilakukan dan direncanakan oleh
kelompok yang terorganisir, dengan tujuan untuk mewujudkan hal hal yang bersifat
agama, politik dan ideology.
Sebagian besar faktor-faktor yang menyebabkan terorisme yaitu radikalisme dan
fundamentalisme agama serta ketidakadilan sosial yang dirasakan oleh kelompok-
kelompok tertentu yang ingin mewujudkan tujuan-tujuan yang bersifat keagamaan,
politik maupun ideologi sehingga teror dijadikan alat untuk mencapai tujuannya
tersebut dengan menargetkan sasaran sipil maupun negara yang mana ironisnya
radikalisme dan fundamentalisme ini muncul akibat perlawanan terhadap
kapitalisme negara-negara Barat.
Penegakan hukum terhadap terorisme sebagai Extraordinary crimes telah
diwujudkan melalui berbagai konvensi internasional yang mengatur tentang
terorisme yang menjadi payung hukum bagi negaranegara di dunia di dalam
menyusun peraturan perundang-undangan tentang tindak pidana terorisme di
negaranya.
Peristiwa teror bom Bali pada hakekatnya telah memenuhi unsur-unsur sebagai
Extraordinary crime sehingga asas retroaktif seharusnya dapat diberlakukan terhadap
kelompok teroris Imam Samudera cs dalam mengadili kejahatan terorisme karena
perbatan kelompok tersebut sesungguhnya telah mengingkari dan melanggar nilai-
nilai keadilan sosial (Social Justice) sebagai tujuan utama dari pelaksanaan hukum di
Indonesia.
3) A. Ketika bulan April 2010 mencuat kasus Gayus Tambunan pelaku skandal mafia dan
korupsi pajak, para politisi, ilmuwan dan masyarakat umum sontak bertanya,
mengapa ia dapat melakukan tindak pidana ekonomi luar biasa seperti itu? Mafia
dan korupsi pajak yang dilakukan Gayus telah merugikan keuangan negara dan
masyarakat sampai triliunan rupiah. Total korupsi Gayus melalui mafia pajak yang
dilakukan telah merugikan keuangan negara mencapai Rp 1,7 triliun,1 tentu ini suatu
jumlah yang sangat pantastis. Namun demikian, ternyata vonis hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan hanya menjatuhkan kepada Gayus hukuman 7 (tujuh) tahun
penjara dan denda Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Selanjutnya, dalam
putusan hakim pengadilan banding yang diajukan oleh jaksa, putusan tersebut
diubah menjadi menjadi 10 tahun penjara dan denda dengan jumlah yang sama.
Tindak Pidana Perpajakan adalah dalam perspektif hukum pidana materiel
membicarakan 3 (tiga) masalah pokok, yaitu rumusan tindak pidana perpajakan,
pertanggungjawaban pidana perpajakan dan solusi pidana perpajakan. Kebijakan
formulasi mengenai tindak pidana pajak dirumuskan dalam Pasal 38, 39, 39A, 40,
41, 41A, 41B, 41C, 43 dan Pasal 43A. dari rumusan pasal-pasal tersebut jenis tindak
pidana perpajakan dalam bentuk pelanggaran (culpa) sebagai perbuatan yang tidak
sengaja dan tindak pidana pajak dalam bentuk kejahatan (dolus) sebagai perbuatan
yang dilakukan dengan sengaja. Subjek tindak pidana pajak adalah manusia dan
korporasi (badan hukum). Tanggung jawab pidana perpajakan yang dilakukan
manusia berbasis pada culvabilitas (kesalahan), untuk korporasi sebagai pelaku
tindak pidana perpajakan maka asas pertanggungjawaban perpajakannya
berdasarkan teori identifikasi, vicarious liability, dan strict liability. Sanksi pidana
terhadap pelaku tindak pidana perpajakan, hanya menggunakan sanksi pidana
penjara dan kurungan. Demi menjaga pendapatan negara, maka rumusan pidana
denda terhadap pelaku tindak pidana perpajakan oleh wajib pajak menjadi sanksi
utama (premum remedium), sedangkan pidana penjara dirumuskan sebagai sanksi
bersifat ultimum remedium (senjata pamungkas).
Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2017 tentang Petunjuk
Teknis Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun
2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan, di pasal 30
ayat (3) dan (4) disebutkan:
3. Setiap pejabat, baik petugas pajak maupun pihak yang melakukan tugas di
bidang perpajakan, dan tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak
untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, dilarang membocorkan, menyebarluaskan, dan/atau memberitahukan
informasi keuangan dan/atau informasi dan/atau bukti atau keterangan
sebagaimana dimaksud pada ayat kepada pihak yang tidak berwenang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
4. Setiap pejabat, baik petugas pajak maupun pihak yang melakukan tugas di
bidang perpajakan, dan tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak
untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan yang tidak memenuhi kewajiban merahasiakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dipidana sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 41
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (KUP).
Sementara itu, merujuk UU KUP Nomor 6 Tahun 1983, pasal 41 ayat (1) berbunyi
pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal
sebagaimana dimaksud dalam pasal 34, dipidana dengan pidana kurungan selama-
lamanya 6 bulan atau denda paling banyak Rp 1 juta.
Pasal 34 yang dimaksud adalah setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada
pihak lain yang tidak berhak segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan
kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk
menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Kemudian di ayat (2) pasal 41 tertulis, pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi
kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhi kewajiban pejabat
sebagaimana dimaksud pasal 34 dipidana penjara paling lama 1 tahun dan denda
paling banyak Rp 2 juta. Ayat (3) menyebut penuntutan terhadap tindak pidana di
ayat (1) dan (2) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya
dilanggar.
B. Penegakan hukum peran serta pelaku pidana dibidang perpajakan adalah tindakan
yang dilakukan oleh pejabat terkait untuk menjamin supaya wajib pajak dan calon
wajib pajak memenuhi ketentuan undang-undang perpajakan. Seperti dalam hal
menyampaikan SPT, pembukuan, dan informasi lain yang relevan, serta membayar
pajak pada waktunya. Sarana melakukan penegakan hukum dapat meliputi sanksi
atas kelalaian menyampaikan SPT, bunga yang dikenakan atas keterlambatan
pembayaran, dan dakwaan pidana dalam hal terjadi penyelundupan pajak.
Tindak pidana pajak sudah jelas dilarang oleh undang-undang. Setiap perbuatan
yang dianggap sebagai tindak pidana perpajakan dirumuskan dalam undang-undang.
Perumusan tindak pidana perpajakan ini secara jelas terdapat dalam undang-undang
yang mengatur hukum pajak formal yaitu Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada Pasal 38, 39, 39A, 41,
41A, 41B, 41C,43A, 44 dan 44B.
Ancaman sanksi pidana terhadap tindak pidana perpajakan sebenarnya cukup berat
dan jelas pada Undang- undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan.
C. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang
dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan
bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta
menemukan tersangkanya
Penyidik adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat
Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dapat dilakukan oleh Pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi
wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan. (diatur
Pasal 44 ayat (1) UU KUP).
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang
diangkat sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan oleh pejabat yang
berwenang adalah penyidik tindak pidana di bidang perpajakan. Penyidikan tindak
pidana di bidang perpajakan dilaksanakan menurut ketentuan yang diatur dalam
Undang Undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
penyidikan terhadap pelanggaran pajak ada beberapa tahapan yang akan
dilaksanakan yaitu Tahap Pengamatan, Tahap Pemeriksaan Bukti Permulaan, dan
Tahap Penyidikan termasuk pembuatan Berita Acara dan Pemberkasan. Penyidik
Pajak dalam melakukan Penyidikan melakukan tindakan-tindakan hukum berupa
Pemanggilan Tersangka dan Saksi,
Penggeledahan dan Penyitaan. Dalam melakukan tindakan penyidikan, Penyidik
Pajak tetap memperhatikan dan berpedoman pada Ketentuan Hukum Acara Pidana
yang berlaku yaitu KUHAP. Dalam hal Penghentian penyidikan terhadap
pelanggaran pajak, setiap tindakan penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Pajak
dapat dihentikan dalam hal-hal tidak terdapat bukti yang cukup, atau Peristiwa
bukan merupakan peristiwa tindak pidana di bidang perpajakan, atau Tersangka
meninggal dunia, atau Peristiwanya telah kadaluarsa, atau Untuk kepentingan
penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat
menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
4) A. Pencemaran adalah perubahan yang tak dikehendaki dari lingkungan yang sebagian
besar akibat dari kegiatan manusia (Darmono, 1995). Perubahan ekosistem atau
habitat dapat berupa perubahan fisik, kimia, atau perilaku biologis yang akan
mengganggu kehidupan manusia, spesies, biota bermanfaat, proses- proses industri,
kondisi kehidupan, dan aset kultural. Selain itu perubahan ekosistem akibat kegiatan
manusia yang merusak atau menghamburkan secara sia-sia sumberdaya yang ada di
alam.
Pencemaran lingkungan hidup menurut undang-undang No.23 tahun 1997, yaitu
masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat energi, dan atau komponen lain
ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitas lingkungan
menurun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat
berfungsi sesuai dengan peruntukannya (Anonim, 1997). Sumber pencemaran adalah
setiap kegiatan yang membuang bahan pencemar. Bahan pencemar tersebut dapat
berbentuk padat, cair, gas atau partikel tersuspensi dalam kadar tertentu ke dalam
lingkungan, baik melalui udara, air maupun daratan pada akhirnya akan sampai pada
manusia. Daur pencemaran lingkungan akan memudahkan di dalam melakukan
penelitian dan pengambilan contoh lingkungan serta analisis contoh lingkungan.
Pasal 1 angka 12 UUPLH maka unsur-unsur dari perbuatan pencemaran lingkungan
hidup tersebut adalah sebagai berikut : a. masuknya atau dimasukkannya makhluk
hidup, zat, energi, dan/atau komponen lainnya ke dalam lingkungan hidup; b.
dilakukan oleh kegiatan manusia; c. menimbulkan penurunan “kualitas lingkungan”
samapai pada tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat
berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.
Sedangkan Berdasarkan Pasal 1 angka 14 UUPLH maka unsur-unsur dari perbuatan
perusakan lingkungan hidup tersebut (Hamdan, 2000 : 40) adalah sebagai berikut: a.
adanya tindakan; b. yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak terhadap sifat
fisik dan/atau hayati lingkungan; c. yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak
berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan.
Kriteria pencemaran dan perusakan lingkungan menurut UU No. 32 Tahun 2009
bertentangan atau tidak sinkron dengan kriteria berdasarkan teori lingkungan hidup
atau kriteria secara ekologis.
B. Tindak pidana lingkungan hidup akibat dari berbagai kegiatan pembangunan
(pertambangan, kehutanan, perkebunan, perindustrian, perikanan dan lainnya),
kegiatankegiatan illegal dibidang pertambangan, industri, kehutanan, dan
perkebunan serta tindak pidana pelanggaran tata ruang yang dilakukan oleh badan
usaha atau korporasi, diatur dalam UU PPLH, UU sektoral dan UU Tata Ruang.
Sebagai contoh tindak pidana lingkungan hidup yang dilakukan oleh badan usaha
atau korporasi yang diatur dalam Pasal 116 dan 118 UU PPLH sebagai berikut :
(1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama
badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada: a. Badan usaha
(Pasal 116 UU PPLH); dan/atau Badan usaha terdiri dari: 1) Badan usaha yang
berbadan hukum (PT, Yayasan, Koperasi, BUMN, dan bentuk usahan lain yang AD-
nya disahkan oleh menteri dan diumumkan dalam BNRI). Pemimpin badan usaha
dibuktikan dengan peran mereka sebagai pemimpin atau yang memerintahkan
terjadinya tindak pidana (memiliki kewenangan/power, mendorong, dan melakukan
pembiaran/ acceptance), 2) Badan usaha yang non Badan Hukum (UD, PD, Firma,
CV, Persekutuan Perdata) Untuk badan usaha yang tidak berbadan hukum
pemiliknya yang bertanggung jawab. b. Orang yang memberikan perintah (Pasal 116
UU PPLH) Yang Memberikan Perintah atau memimpin Tindak Pidana bila
dilakukan oleh Badan Usaha yang berbadan hukum dengan pembuktian sebagai
berikut : 1) Jabatan yang sesuai dengan jenjangnya, mulai dari direksi sampai
dengan operator yang didukung alat bukti SK Jabatan; 2) Pengurus/direksi
dibuktikan dengan Anggaran Dasar dan keterkaitan dengan tindak pidana yang
didukung alat bukti. c. Pemimpin badan usaha (Pasal 118 UU PPLH dan
penjelasannya). Pembelaan atas pertanggung-jawaban pidana antara lain : 1. Direksi
menerima laporan bahwa pengelolaan lingkungan hidup sudah sesuai dengan
peraturan atau izin; 2. Direksi tidak menerima laporan dari operator mengenai
kegiatan yang terkait dengan tindak pidana; 3. Direksi membuktikan telah
melakukan tindakantindakan sesuai dengan SOP tetapi diabaikan oleh bawahannya;
4. Operator dapat membuktikan bahwa dia sudah melaporkan kepada atasan dan
diteruskan kepada direksi dan tidak ditanggapi.
C. Tindak pidana pajak yang dilakukan oleh wajib pajak (WP), dan atau petugas pajak
(fiskus); maka penanganan perkara/sengketa pidana di bidang pajak, hal ini melalui
peradilan yang terdapat di peradilan umum, dikarenakan pengadilan pajak hanya
terbatas menangani perkara/sengketa di bidang pajak berkaitan dengan banding
maupun gugatan yang diajukan oleh wajib pajak atau fiskus berdasarkan Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, jo Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2007 tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Undang-Undang
perpajakan diatur adanya 2 (dua) macam sanksi yang dapat diterapkan kepada Wajib
Pajak apabila Wajib Pajak melanggar undang-undang pajak yaitu sanksi administrasi
dan sanksi pidana
Dalam Proses penyelesaiaanya diatur Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), dalam Pasal
1 Butir 25 (UUPPLH) mengatur bahwa:
“sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang
timbul dari kegiatan yang berpotensi dan atau telah berdampak pada lingkungan
hidup.”
Lebih lanjut dalam Pasal 84 UUPPLH mengatur:
1. Penyelesaian  sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan
atau di luar pengadilan.
2. Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara sukarela
oleh para pihak yang bersengketa.
3. Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya
penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak
berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.

Dari ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa penyelesaian lingkungan hidup


bersifat sukarela dan lebih menenkankan penyelesaian diluar pengadilan, artinya
para pihak yang bersengketa dapat memilih forum penyelesaian sengketa lingkungan
hidup apakah melalui pengadilan atau di luar pengadilan dan proses penyelesaian
melalui pengadilan hanya dapat dilakukan jika proses penyelesaian sengketa diluar
pengadilan (mediasi) telah dilakukan dan tidak bisa berhasil menyelesaikan
permasalahan.
Adapun tujuan dari Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan
dilakukan untuk mencapai kesepakatan  sebagaimana diatur dalam pasal 85
UUPPLH, yaitu berupa:
1. Bentuk dan besarnya ganti rugi;
2. Tindakan pemulihan akibat pencemaran dan/atau perusakan;
3. Tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya pencemaran
dan/atau perusaka; dan/atau
4. Tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan
hidup

Upaya yang ditempuh melalui penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini dapat
meminta bantuan pihak lain untuk membantu menyelesaikan permasalahan,
misalnya dapat menggunakan jasa mediator dan/atau arbiter (baik arbiter adhoc atau
melalui lembaga penyelesaian Badan Arbitrase Nasional Indonesai).
Sementara itu, penyelesaian sengketa melalui pengadilan atau litigasi dapat
dilakukan melalui tiga jalur, yaitu gugatan perdata dan tuntutan pidana di pengadilan
umum, maupun gugatan tata usaha negara di Pengadilan Tata Usaha Negara
(PTUN).
Pemilihan tiga jalur penyelesaian sengketa lingkungan melalui jalur litigasi
ditentukan berdasarkan unsur-unsur perbuatan melanggar hukum yang terkandung
dalam sengketa lingkungan tersebut. Gugatan perdata diajukan di pengadilan umum,
jika perbuatan melanggar hukum yang terkandung dalam sengketa lingkungan
tersebut menimbulkan kerugian pada orang lain atau kerugian pada lingkungan
hidup  atau perbuatan melanggar hukum tidak bersifat kejahatan atau perbuatan
melanggar hukum tersebut tidak termasuk pada ketentuan Bab XV tentang
Ketentuan Pidana UUPPLH.
Sementara untuk penyelesaian sengketa melalui tuntutan pidana di pengadilan
umum terjadi jika segi perbuatan masuk dalam kategori tindakan kejahatan
sebagaimana termuat dalam Bab XV tentang Ketentuan Pidana UUPPLH.
Sedangkan untuk gugatan tata usaha sifanya terkait dengan masalah administratif
mengenai keputusan dibidang lingkungan yang dikeluarkan pejabat. Gugatan tata
usaha negara dapat diajukan apabila:
1. Badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan kepada
usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal tetapi tidak dilengkapi dengan
dokumen amdal;
2. Badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan kepada
kegiatan yang wajib UKL-UPL, tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen
UKLUPL; dan/atau;
3. Badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin usaha dan/atau
kegiatan yang tidak dilengkapi dengan izin lingkungan.

Jadi, apabila terdapat izin-izin yang berkaitan dengan lingkungan hidup diterbitkan
oleh pemerintah yang tidak memenuhi persyaratan dalam penerbitannya dapat
mengajukan permohonan pembatalan izin tersebut melalui gugatan tata usaha
negara.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka ketika korporasi berhadapan dengan sengketa
lingkungan hidup, maka perlu memahami bagaimana proses penyelesaian masalah
yang ditempuh, apakah diselesaikan melalui penyelesaian diluar pengadilan, atau
litigasi, dan apakah permaslahannya terkait dengan pidana, perdata atau tata usaha
negara Hal ini perlu dilihat oleh korporasi secara jeli agar tidak salah menentukan
cara penyelesaian sengketa lingkungan.

Anda mungkin juga menyukai