Anda di halaman 1dari 15

BUKU JAWABAN UJIAN (BJU)

UAS TAKE HOME EXAM (THE)


SEMESTER 2020/21.2 (2021.1)

Nama Mahasiswa : M. Irfan Syah Fahri

Nomor Induk Mahasiswa/NIM : 041635361

Tanggal Lahir : 28 Juni 1999

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4103/Filsafat Hukum dan Etika Profesi

Kode/Nama Program Studi : Ilmu Hukum S1

Kode/Nama UPBJJ : Bandar Lampung

Hari/Tanggal UAS THE : Sabtu/3 Juli 2021

Tanda Tangan Peserta Ujian

Petunjuk

1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
Surat Pernyataan
Mahasiswa
Kejujuran Akademik

Yang bertanda tangan di


bawah ini:

Nama Mahasiswa : M. Irfan Syah Fahri

NIM : 041635361

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4103/Filsafat Hukum dan Etika Profesi

Fakultas : Fakultas Hukum, Ilmu Sosial, dan Ilmu Politik

Program Studi : Ilmu Hukum S1

UPBJJ-UT : Bandar Lampung

1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE pada
laman https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan soal
ujian UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai
pekerjaan saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai dengan
aturan akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan
tidak melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media
apapun, serta tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik
Universitas Terbuka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat
pelanggaran atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi akademik
yang ditetapkan oleh Universitas Terbuka.

Bandarlampung, 3 Juli 2021

Yang Membuat Pernyataan

M. Irfan Syah Fahri


1. a) Filsafat Ilmu memiliki tiga landasan pendekatan yaitu sebagai berikut:
- Epistemology
Epistemology berasal dari bahasa Yunani yang berarti teori ilmu pengetahuan, merupakan gabungan
dua kata Episteme: pengetahuan; dan logos, theory. Epistemologi merupakan cabang ilmu filsafat
yang menengarai masalah-masalah filosofi hal yang mengitari teori ilmu pengetahuan. Sebagai bagian
dari filsafat yang meneliti asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat dan bagaimana memperoleh pengetahuan
menjadi penentu penting dalam menentukan sebuah model filsafat. Jadi epistemologi menentukan
karakter pengetahuan bahkan menentukan “kebenaran” macam apa yang dianggap patut diterima
dan apa yang patut ditolak. Apabila kumpulan pengetahuan yang benar/episteme/diklasifikasi,
disusun sistematis dengan metode yang benar dapat menjadi epistemologi. Aspek epistemologi
adalah kebenaran fakta/kenyataan dari sudut pandang mengapa dan bagaimana fakta itu benar yang
dapat diverifikasi atau dibuktikan kembali kebenarannya. Dengan memperhatikan definisi
epistemologi bisa dikatakan bahwa tema dan pokok pengkajian epistemologi ialah ilmu, makrifat dan
pengetahuan. Epistemologi adalah suatu cabang dari filsafat yang mengkaji dan membahas tentang
batasan, dasar, dan pondasi, alat, tolok ukur, keabsahan, validitas dan kebenaran ilmu, makrifat, dan
pengetahuan manusia.
- Ontologi/ Metafisis
Pendekatan metafisis membicarakan hakikat apa yang dikaji ilmu pengetahuan. Ontologi membahas
tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu, membahas tentang yang ada
universial, menampilkan pemikiran semesta universial, berupaya mencari inti yang termuat dalam
setiap kenyataan. Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitatif,
realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, kajiannya akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil
menjadi aliran-aliran materialisme, idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme. Lauorens Bagus
memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan
abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu obyek; sedangkan
abstraksi bentuk mendiskripsikan sifat umum yang menjadi ciri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi
metaphisik mengetengahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang
dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik. Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi
oleh Laurens Bagus dibedakan menjadi dua yaitu pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori.
Dengan demikian Ontologi Ilmu (dimensi ontologi ilmu) adalah Ilmu yang mengkaji wujud (being)
dalam perspektif ilmu – ontologi ilmu dapat dimaknai sebagai teori tentang wujud dalam perspektif
objek materil ke-ilmuan, konsep-konsep penting yang diasumsikan oleh ilmu ditelaah secara kritis
dalam ontologi ilmu. Ontologi adalah hakikat yang “Ada” (being,sein) yang merupakan asumsi dasar
bagi apa yang disebut sebagai kenyataan dan kebenaran.
- Aksiologi
Aksiologi adalah ilmu yang mengkaji tentang nilai-nilai. Disebut teori tentang nilai sebagai filsafat yang
membahas apa kegunaan ilmu pengetahuan manusia. Aksiologi menjawab, untuk apa pengetahuan
itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral?
Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan
antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma
moral.

Kalau dicermati lebih dalam, hukum merupakan salah satu norma sosial yang memuat asas-asas dan
nilainilai. Apa yang tertuang dalam peraturan hukum hakikatnya adalah nilainilai yang diyakini
kebenarannya oleh masyarakat. Sementara itu, nilai adalah kajian utama dari aksiologi, yang antara
lain berkaitan dengan baik buruk (etika). Dengan melihat sistematika ini, dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa filsafat hukum adalah bagian dari etika karena mengatur perilaku manusia, etika
adalah cabang dari aksiologi, aksilogi adalah bagian dari filsafat. Oleh karena itu, filsafat hukum ada
pada rezim ilmu filsafat, bukan rezim dalam ilmu hukum. Apabila dikaitkan dengan tiga lapisan dalam
ilmu hukum, seolah-olah filsafat hukum adalah bagian ilmu hukum. Namun, dengan melihatnya secara
lebih jernih, hal tersebut bukan bagian ilmu hukum. Ilmu hukum lebih tepatnya adalah mengkaji
peraturan hukum (dogmatika hukum) dan teori hukum.
b) Epistemologi mempunyai kedudukan yang tinggi jika berbicara tentang cara memperoleh pengetahuan
filsafat. Banyak orang yang melupakan akan hal ini. Karena kebanyakan orang hanya memfikirkan hasil
tanpa memperdulikan bagaimana pengetahuan itu didapatkan. Ini adalah suatu hal sangat keliru. Karena
pada dasarnya proses itu jauh lebih penting dari sebuah hasil.

Dengan kita belajar tentang epistemologi kita akan lebih menghargai tentang proses dan proses. Dan
pastinya semua orang akan lebih menghargai tentang ilmu. Ketika seseorang berproses dengan baik maka
ia akan memperoleh hasil yang baik sesuai dengan seberapa besar dan sungguh-sungguhnya dalam
berproses. Ini pula yang membuat orang-orang hormat kepada para filosof, karena mereka memiliki
tingkat ketelitian yang tinggi dalam mencari pengetahuan. Bahkan mereka juga akan membicarakan
terlebih dahulu cara memperoleh pengetahuan tersebut. epistemologi merupakan landasan bagi manusia
untuk bertindak dalam kehidupan sehari-hari; sebagai dasar untuk mengembangkan kearifan dalam
berpengetahua; dan juga sebagai sarana untuk mengetahui tentang variasi kebenaran pengetahuan. Jika
dilihat dari sudut pandang objek yang dikaji dalam berfilsafat maka kita dapat memperoleh pengetahuan
melalui 3 objek, yakni dengan objek empiris (nyata) dimana objek ini dapat ditangkap baik oleh indra lahir
dan batin. Dan yang kedua kita dapat memperoleh dengan objek ideal. Dimana pada objek ideal ini pada
dasarnya tiada dan menjadi ada berkat kegiatan akal. Dan yang ketiga adalah dengan objek transender
yakni, objek yang pada dasarnya ada, tetapi berada diluar jangkauan pikiran dan pengalaman manusia.

Oleh karena itu dapat disimpulkan, bahwasanya ketika kita mempunyai keinginan untuk mengetahui
suatu pengetahuan. Maka kita harus benar-benar memahami bagaimana cara memperoleh pengetahuan
tersebut dengan baik. Bukan hanya sekedar mengetahui tetapi juga memahami bagaimana pengetahuan
itu ada sehingga disitu kita harus benar-benar berfikir tentang pengetahuan yang ingin kita ketahui.
Meskipun akal mempunyai kelemahan , namun akal lah yang telah menghasilkan apa yang disebut filsafat.
2. a) Pada tahun 1977 di kota Madison, negara bagian Wisconsin, Amerika Serikat diadakan “Conference on
Critical Legal Studies”. Penyelenggara konferensi tersebut adalah para akademisi hukum yang terlibat
dalam gerakan hak-hak sipil dan kampanye anti perang Vietnam. Mereka menganggap formalisme hukum
tidak dapat menjawab berbagai bentuk diskriminasi di masyarakat Amerika dan juga Perang Vietnam. Jadi,
konferensi ini mencari cara baru dalam menafsirkan hukum dan lahirlah Critical Legal Studies. Tokoh
dibalik Critical Legal Studies ini adalah Dunkan Kennedy, Karl Klare, Mark Kelman, Mark Tushnet, Morton
Horwitz, Jack Balkin dan Roberto M. Unger. Ideologi keilmuan para tokoh hukum ini beragam. Dunkan
Kennedy adalah seorang Marxis, sementara Roberto M. Unger adalah seorang liberal- radikal. Walau
ideologi keilmuan mereka beragam, tapi mereka disatukan oleh anggapan, bahwa hukum tidak
terpisahkan dari politik. Gagasan tersebut antara lain mendapat inspirasi dari realisme hukum yang
pragmatis itu dan yang muncul di Amerika Serikat pada tahun 1920-an dengan tokoh seperti Oliver
Wendel Holmes dan Jerome Franks. Filsafat pragmatisme ini mendorong orang untuk lebih
memperhatikan cara hakim mempraktekan hukum daripada asas-asas dan teori-teori hukum. Menurut
mereka banyak faktor non-hukum―seperti pandangan hidup pribadi, situasi politik dan kepentingan
sosial―yang mempengaruhi hakim saat memeriksa dan memutus kasus hukum. Dengan demikian Critical
Legal Studies menolak anggapan tentang hukum yang netral, obyektif dan otonom. Sebab―menurut
Roberto M. Unger―setiap metode hukum tertentu akan menghasilkan pilihan hukum tertentu. Dengan
kata lain pilihan praktisi hukum terhadap metode hukum tertentu akan menghasilkan keputusan hukum
yang tertentu pula. Selain itu setiap sistem pembuat hukum dengan sendirinya juga mencerminkan nilai-
nilai sosial-politik tertentu. Tentang hal ini Unger menulis sebagai berikut:
“First, procedure is inseperable from outcome: every method makes certain legislative choices more likely
than others. Second, each lawmaking system itself embodies certain values; it incorporates a view of how
power ought to be distributed in the society and how conflict should be resolved.”
Itu sebabnya Unger mengatakan, bahwa hukum tak terpisahkan dari politik dan berbagai norma non-
hukum lainnya. Hukum dibentuk oleh berbagai faktor non- hukum seperti kepentingan ekonomi, ras,
gender, atau politik. Pembentukan hukum senantiasa mengandaikan interaksi dan negosiasi antar
berbagai kelompok masyarakat. Akibatnya analisa hukum doktrinal hanya akan mengisolasi hukum dari
konteks sosial-politiknya, dan membuat hukum tidak bisa mengatasi berbagai masalah sosial politik:
diskriminasi ras, gender, agama, atau kelas.
Dalam perkembangannya Critical Legal Studies makin menunjukkan identitasnya sebagai sebuah mazab
yang menampung berbagai aliran hukum penentang formalisme hukum atau positivisme hukum. Dengan
kata lain Critical Legal Studies adalah nama generik untuk menyebut realisme hukum, teori hukum marxis,
teori hukum feminis, ataupun teori hukum postmodern. Bukan hanya itu pada masing-masing negara
Critical Legal Studies hadir dengan watak yang berbeda. Critical Legal Studies di Kanada lebih didominasi
oleh filsafat hukum Marxis. Sementara di Amerika Serikat oleh postmodernisme.
Critical Legal Studies―yang menganggap hukum tidak terpisah dari politik ―barang tentu juga
menampung gerakan pluralisme hukum. Sebab gerakan pluralisme hukum memungkinkan berbagai
norma dan aturan yang secara “tradisional” tidak dikategorikan sebagai “hukum negara” ambil bagian
dalam penyelesaian kasus. Bahkan berbagai norma dan aturan non-hukum tersebut turut mengubah
“norma hukum”.
b) Penggunaan GSHK untuk menganalisis hukum di Indonesia paling mudah dilakukan terhadap
pembangunan hukum pada masa orde baru. Pada masa inilah dapat dilihat secara jelas kepentingan-
kepentingan ekonomi dan politik dominan yang menghuni ide tata hukum. Kepentingan atas
pertumbuhan ekonomi memaksa kebijakan kemudahan usaha dengan jalan pemberian kredit yang
disertai dengan deregulasi dan debirokratisasi. Kepentingan pembangunan ekonomi mensyaratkan
stabilitas politik yang dilakukan dengan cara mengurangi hak sipil dan politik rakyat.

Pemikiran hukum di Indonesia hingga saat ini masih didominasi oleh dua aliran besar, yaitu positivis dan
sociological jurisprudence. Aliran positivis terutama dipegang oleh kalangan aparat penegak hukum,
akademisi dan birokrasi, sehingga seringkali menjadi penghalang perkembangan hukum serta mengalami
kebuntuan ketika menghadapi kasus-kasus baru.
Sedangkan aliran sociological jurispurudence banyak tergambar dari perilaku dan aktivitas politisi
terutama lembaga pembuat undang-undang (legislatif). Aliran ini awal mulanya diterapkan pada masa
orde baru untuk mendukung program-program pembangunan orde baru dan melanggengkan kekuasaan
dengan menjaga stabilitas politik. Saat ini yang tersisa adalah menjadikan hukum sebagai ajang legiitimasi
dalam memperoleh dan melanggengkan kekuasaan.
GSHK sendiri masih sangat baru bagi kalangan hukum di Indonesia. Perkembangan awal GSHK digunakan
oleh kalangan aktivis LSM untuk memahami kebijakan dan struktur hukum yang menindas. Hal ini sesuai
dengan mainstream utama pemikiran LSM yang cenderung kritis dengan menggunakan pemikiran-
pemikiran marxian dan mazhab kritis.
Saat ini Indonesia berada dalam masa transisi yang ditandai oleh pergulatan kekuatan-kekuatan yang
mencoba untuk mendominasi baik dari dalam negeri maupun kekuatan kapitalis internasional. Maka
sudah saatnya pemikiran-pemikiran GSHK juga digunakan untuk memahami, mengkritik, membangun, dan
menerapkan hukum di Indonesia.

c) Para penganut teori hukum tradisional berkeyakinan bahwa hukum haruslah netral dan dapat
diterapkan kepada siapa saja secara adil, tanpa memandang kekayaan, ras, gender atau harta. Meskipun
mereka tidak satu pendapat mengenai apakah dasar yang terbaik bagi prinsip-prinsip hukum, yakni
apakah dasarnya adalah wahyu Tuhan, etika sekuler, pengalaman masyarakat, atau kehendak mayoritas.
Akan tetapi, umumnya mereka setuju terhadap kemungkinan terpisahnya antara hukum dan politik,
hukum tersebut menurut mereka akan diterapkan oleh pengadilan secara adil.
Para teoritisi postmodern percaya, pada prinsipnya hukum tidak mempunyai dasar yang objektif dan tidak
ada yang namanya kebenaran sebagai tempat berpijak dari hukum. Dengan kata lain, hukum tidak
mempunyai dasar berpijak, yang ada hanya kekuasaan. Akhir-akhir ini, mereka yang disebut juga dengan
golongan antifoundationalistis, telah mendominasi pikiran-pikiran tentang teori hukum dan merupakan
pembela gerakan Critical Legal Studies.Yang menjadi ukuran bagi hukum bukanlah benar atau salah,
bermoral atau tidak bermoral melainkan hukum merupakan apa saja yang diputuskan dan dijalankan oleh
kelompok masyarakat yang paling berkuasa.
Fokus sentral pendekatan critical legal studies adalah untuk mendalami dan menganalisis keberadaan
doktrin-doktrin hukum, pendidikan hukum dan praktek institusi hukum yang menopang dan mendukung
sistem hubungan-hubungan yang oppressive dan tidak egaliter. Teori kritis bekerja untuk
mengembangkan alternatif lain yang radikal, dan untuk menjajagi peran hukum dalam menciptakan
hubungan politik, ekonomi dan dan sosial yang dapat mendorong terciptanya emansipasi kemanusiaan.
Dalam perkembangan lebih lanjut, pendekatan critical legal studies telah melahirkan generasi kedua yang
lebih menitikberatkan pemikiran dan perjuangannya dengan menggunakan hukum untuk merekontruksi
kembali realitas sosial yang baru.
3. a) Adapun yang dimaksud dengan instrumen umum HAM terdiri dari DUHAM dan Kovenan Internasional
tentang hak ekosob, serta Kovenan Internasional tentang hak sipol. Instrumen umum ini dikenal dengan
the Bill of Human Rights International.
- DUHAM
Tidak dapat disangkal bahwa PBB mempunyai kontribusi yang sangat penting dalam pemajuan dan
perlindungan HAM di seluruh dunia. Tiga tahun setelah PBB berdiri, Majelis Umum mencanangkan
Pernyataan Umum tentang HAM (Universal Declaration of Human Rights) pada 10 Desember 1948.
Dapat dikatakan bahwa deklarasi tersebut merupakan tonggak sejarah bagi pengembangan HAM,
sebagai standar umum untuk mencapai keberhasilan bagi semua rakyat dan semua bangsa. Saat
sidang umum, 48 negara menyatakan persetujuannya, sementara 8 negara menyatakan abstain atau
tidak menolak dan tidak menerima. Deklarasi tersebut terdiri dari 30 Pasal yang mengumandangkan
seruan agar rakyat menggalakkan dan menjamin pengakuan yang efektif dan penghormatan HAM dan
kebebasan yang telah ditetapkan dalam deklarasi. Hak- hak yang diuraikan dalam deklarasi tersebut
dapat dikatakan sebagai sintesis antara konsepsi liberal yang disusun berdasarkan prinsip-prinsip
kebebasan dan persaudaraan yang berasal dari revolusi Prancis, dan konsepsi sosialis berupa hak
ekonomi, sosial dan budaya secara kolektif. Meskipun bila dilihat rumusan pasal- pasalnya, deklarasi
lebih mengakomodasi hak individual, karena hampir semua pasal dimulai dengan kata “setiap orang”
berhak atau mempunyai hak.
Pasal 1 dan 2 DUHAM menegaskan bahwa semua orang dilahirkan dengan martabat dan hak-hak yang
sama dan berhak atas semua hak dan kebebasan sebagaimana yang ditetapkan oleh deklarasi tanpa
membeda bedakan baik dari segi ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik, maupun
yang lain, asal usul kebangsaan atau sosial, hak milik, kelahiran, atau kedudukan yang lain.
Selanjutnya, kebebasan fundamental hak-hak sipil diatur pada Pasal 3- 19, hak hak politik terdapat
dalam Pasal 20–21, sedangkan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya terdapat dalam Pasal 22-28.
- Kovenan
Kovenan Internasional berkaitan dengan HAM sebagai the bill of rights Internasional membutuhkan
waktu 18 tahun untuk dapat disahkan dan diadopsi Majelis Umum PBB pada 16 Desember 1966.
Dengan suara bulat negara-negara menyetujui 2 kovenan Internasional, yakni kovenan tentang hak
sipol, serta kovenan tentang hak ekosob. Sementara untuk protokol opsional kovenan ini, dalam
Sidang Majelis Umum PBB, 66 negara menyatakan persetujuannya, hanya 2 negara yang menolak
(Nigeria dan Togo). Sedangkan 38 perwakilan negara dari Eropa Timur dan Afro-Asia tidak
memberikan suara (abstain) terhadap ketentuan tambahan mengenai hak individu untuk
menyampaikan pengaduan (complaint).
Kedua kovenan tersebut, selanjutnya membutuhkan 10 tahun untuk dapat diberlakukan. Kovenan hak
ekosob berlaku sejak 3 Januari 1976. Sementara kovenan hak sipol termasuk protokol opsionalnya
dimulai 23 Maret 1976. Perkembangan selanjutnya pada 15 Desember 1989, Majelis Umum PBB
mengadopsi protokol opsional ke-2 untuk kovenan hak sipol.
Kovenan Internasional tentang hak ekosob terdiri dari Mukadimah dan 5 bab dengan 31 Pasal yang
memuat jaminan perlindungan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Hak-hak tersebut, mulai dari hak
untuk bekerja dan mendapatkan pekerjaan hingga hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya.
Sampai Januari 2006, telah 152 negara meratifikasi kovenan ini. Kovenan Internasional tentang hak
sipol terdiri dari Mukadimah dan 6 bab dengann 53 Pasal. Pada ketentuan umumnya dimuat rumusan
yang memberikan obligasi (kewajiban) negara berupa: untuk menghormati dan memastikan
pemenuhan hak asasi tanpa pembedaan (diskriminasi) berdasarkan apapun, mengupayakan
persamaaan hak antara laki laki dan perempuan dalam menikmati jaminan hak sipol, bahwa
pengecualian tentang penundaan pemenuhan hak sipol dalam situasi darurat yang mengancam
kehidupan dan eksisitensi bangsa, hanya bisa dilakukan dengan memenuhi asas proporsional dan non
diskriminasi berdasarkan aturan hukum yang jelas. Konvenan Internasional ini telah diratifikasi oleh
155 negara per Januari 2006.
Adapun protokol opsional kovenan hak sipol pertama, memuat ketentuan kewenangan Komite HAM
sebagai lembaga pengawas, dan memeriksa laporan pelaksanaan hak sipol. Sampai dengan Januari
2006 telah diratifikasi oleh 105 negara. Sedangkan protokol opsional ke dua kovenan hak sipol, yang
yang memuat larangan atau penghapusan hukum mati, sampai dengan Januari 2006 baru 105 negara
yang meratifikasi.1
b) Instrumen HAM internasional merupakan alat yang berupa standar – standar pembatasan pelaksanaan
dan mekanisme kontrol terhadap kesepakatan – kesepakatan antar negara tentang jaminan HAM yang
berupa undang – undang internasional HAM (International Bill of Rights). Undang – undang internasional
HAM tersebut bentuknya berupa kovenan (perjanjian) dan protokol . Kovenan , yaitu perjanjian yang
mengikat bagi negara – negara yang menandatanganinya. Istilah covenant (kovenan) digunakan
bersamaan dengan treaty (kesepakatan) dan convention (konvensi/perjanjian). Sedangkan protokol
merupakan kesepakatan dari negara – negara penandatangannya yang memiliki fungsi untuk lebih lanjut
mencapai tujuan – tujuan suatu kovenan. Ketika Majlis Umum PBB mengadopsi atau menyetujui sebuah
konvensi atau protokol, maka terciptalah standar internasional , dan negara – negara yang meratifikasi
konvensi itu berjanji untuk menegakkannya. Ada sekitar 30 kovenan yang telah diratifikasi sejak DUHAM
dideklarasikan 50 tahun yang lalu. Pemerintah yang melanggar standar yang telah ditentukan konvensi
kemudian dapat digugat oleh PBB. Berbagai instrumen HAM yang berlaku secara internasional,
diantaranya:
a. Kovenan International tentang Hak – hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (The International Covenant on
Economic, Social and Culture Rights). Kovenan ini lahir pada tahun 1966, diadopsi pada 16 Desember
1975, dan berlaku pada 3 Januari 1976. Kovenan ini mengakui bahwa setiap manusia memiliki hak
ekonomi, sosial dan budaya. Hak ekonomi, sosial dan budaya mencakup:
1) hak atas pekerjaan,
2) hak untuk membentuk serikat kerja,
3) hak atas pensiun,hak atas tingkat kehidupan yang layak bagi dirinya dan keluarganya, termasuk
makanan, pakaian dan perumahan yang layak,
4) hak atas pendidikan.
b. Kovenan Internasional tentang Hak – hak Sipil dan Politik (The International Covenant on Civil and
Political Rights/ICCPR). Kovenan ini lahir tahun 1966, diadopsi pada 16 Desember 1975 dan berlaku pada
23 Maret pada 1976. Hak – hak sipil dan politik yang dijamin dalam kovenan ini yaitu :
1) hak atas hidup,
2) hak atas kebebasan dan keamanan diri,
3) hak atas keamanan di muka badan – badan peradilan,
4) hak atas kebebasan berpikir, mempunyai keyakinan, beragama, hak berpendapat tanpa mengalami
gangguan,
5) hak atas kebebasan berkumpul secara damai,
6) hak untuk berserikat.
c. Protokol Opsional pada Kovenan Internasional Hak – Hak Sipil dan Politik.
Protokol opsional ini, diadopsi pada 16 Desember 1975, dan berlaku pada 23 Maret 1976. Protokol
Opsional/pilihan berisikan pemberian tugas pada Komisi Hak –Hak Asasi Manusia untuk menerima dan
mempertimbangkan pengaduan dari individu – individu warga dalam wilayah kekuasaan negara peserta
Kovenan yang menjadi peserta Protokol, yang mengaku telah menjadi korban pelanggaran terhadap salah
satu hak yang dikemukakan dalam Kovenan Hak –hak Sipil dan Politik. Pengaduan itu dapat diajukan
secara tertulis kepada Komisi Hak – Hak Asasi Manusia.setelah semua upaya domistik (dalam negara
warga yang bersangkutan) yang tersedia telah di tempuhnya, tetapi tidak menampakan hasil.
d. Protokol Opsional Kedua terhadap Kovenan Internasional tentang Hak – hak Sipil dan Politik dengan
tujuan Penghapusan Hukuman Mati. Protokol ini diadopsi pada 15 Desember 1989, dan berlaku pada 11
Juli 1991.
e. Konvensi Internasional Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on
the Elimination of All Forms of Discrimination Agains Women/CEDAW ). Konvensi ini mulai berlaku tahun
1981. Dokumen ini merupakan alat hukum yang paling lengkap (komprhensif) berkenaan dengan hak –
hak asasi wanita, dan mencakup peranan dan status mereka. Dengan demikian dokumen ini merupakan
dasar untuk menjamin persamaan wanita di negara – negara yang meratifikasinya.
f. Konvensi Internasional Penghapusan terhadap Semua Bentuk Diskriminasi Rasial (International
Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination).
g. Konvensi Hak – hak Anak (Convention on the Rights of the Child). Konvensi ini disepakati Majlis Umum
PBB dalam sidangnya ke 44 pada Desember 1989. Menurut konvensi ini, pengertian anak yakni setiap
orang yang masih berumur di bawah 18 tahun. Kecuali jika berdasarkan hukum yang berlaku bagi anak
menentukan batas umur yang lebih rendah dari 18 tahun. Konvensi ini dicetuskan karena ternyata di
berbagai belahan dunia meskipun telah di deklarasikan DUHAM yang juga melindungi harkat anak – anak
sebagai manusia, ternyata belum dilaksanakan dengan baik. Banyak anak dipekerjakan di bawah umur, di
kirim ke medan perang, diperkosa, dll. Perlakuan anak sebagai manusia sepenuhnya masih diabaikan.
Misalnya, anak – anak tidak pernah didengar suara dan pandangan mereka, ketika menetapkan suatu
kebijakan publik maupun kebijakan yang menyangkut anak sendiri. Padahal mereka akan terkena akibat
atau akan merasakan dari setiap kebijakan publik yang diambil.
Dengan demikian instrumen HAM internasional dapat disimpulkan :
- Wujud instrumen HAM internasional berupa Undang – undang Internasional HAM (Internasional Bill
of Rights) yang bentuknya berupa, kovenan, atau konvensi atau perjanjian (treaty) dan protokol.
- Konvensi maupun protokol akan berlaku dan mengikat secara hukum terhadap negara – negara yang
telah menandatanganinya. Negara – negara lainnya (yang tidak ikut menandatangani dalam konvensi)
dapat meratifikasi pada waktu selanjutnya.
- Ketika Majlis Umum PBB telah mengadopsi suatu kovenan atau protokol, maka terciptalah standar
internasional.
- Konvensi maupun protokol akan berlaku dalam suatu negara yang bersifat nasional (secara domistik)
jika negara yang bersangkutan telah meratifiksinyfa

c) - Kejahatan Genosida (Genocide)


Pada pasal 6 Statuta Roma genosida didefinisikan dengan istilah yang sama yang dipakai pada Konvensi Genosida
tahun 1948. Unsur penting yang harus dibuktikan adalah adanya tujuan menghancurkan sebagian maupun
seluruhnya dari suatu negara, kelompok etnis, kelompok ras atau agama atau kelompok semacamnya.
Terdapat lima tindakan yang termasuk dalam kategori menghancurkan dalam definisi genosida yaitu membunuh
anggota kelompok, menyebabkan cacat tubuh atau mental yang serius terhadap anggota kelompok, secara
sengaja dan terencana mengkondisikan hidup kelompok ke arah kehancuran fisik secara keseluruhan atau
sebagian, memaksakan langkah-langkah yang ditujukan untuk mencegah kelahiran di dalam kelompok tersebut
dan dengan paksa memindahkan anak-anak kelompok tersebut ke kelompok lain.

2. Kejahatan terhadap kemanusiaan (Crime Against Humanity)


Dalam Statuta Roma pasal 7 ayat 1, definisi Kejahatan terhadap Kemanusiaan melingkupi aksi yang sebagian besar
adalah kejahatan yang menimbulkan penderitaan besar dan tak perlu terjadi, yaitu pembunuhan, penyiksaan,
pemerkosaan dan bentuk lain dari pelecehan seksual, perbudakan, penyiksaan dan pengasingan.
Penekanan dari kejahatan ini adalah dilakukan secara sengaja dan sistematis dengan mengikuti kebijakan yang
disusun dan ditujukan secara langsung pada penduduk sipil baik oleh aparat negara (kepolisian atau tentara)
maupun suatu entitas organisasi, dan bukan kejahatn yang secara spontan yang merupakan sebuah kriminal biasa.

3. Kejahatan Perang (War crimes)


Pada Statuta Roma Pasal 8 definisi tentang kejahatan perang yaitu bahwa kejahatan dikategorikan sebagai
kejahatan perang apabila dilakukan sebagai bagian dari suatu rencana atau kebijakan, atau bagian dari skala besar
perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut.
Tindakan yang termasuk kejahatan perang adalah pelanggaran terhadap hukum atau kebiasaan-kebiasaan perang
seperti pembunuhan, perlakuan kejam terhadap penduduk sipil dengan mengasingkan mereka, mempekerjakan
mereka secara paksa, atau di wilayah pendudukan memperlakukan tawanan-tawanan dengan kejam, membunuh
mereka, atau memperlakukan orang di laut secara demikian, merampas milik Negara atau perorangan,
menghancurkan kota atau desa dengan cara berlebihan atau semaunya

4. Kejahatan Agresi (Aggression)


Sebelumnya, kejahatan agresi belum memiliki kejelasan mengenai definisi yang tepat untuk menggambarkan
kejahatannya. Menjelang akhir tahun 2010, mahkamah melakukan upaya amandemen terhadap statuta termasuk
definisi kejahatan agresi.
Kejahatan agresi atau kejahatan terhadap perdamaian adalah perencanaan, persiapan, inisiasi atau pelaksanaan,
oleh seseorang dalam posisi secara efektif untuk menjalankan kendali atas atau mengarahkan tindakan politik
atau militer dari suatu Negara, dari tindakan agresi yang, dengan karakter, gravitasi dan skala, merupakan
pelanggaran nyata dari Piagam PBB.
Dalam hal ini, negara tidak boleh melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan Piagam PBB yaitu ketika suatu
negara menggunakan kekuatan bersenjata terhadap kedaulatan, integritas teritorial atau kemerdekaan politik
negara lain.
4. a) Tiga ciri moralitas yang tinggi itu adalah :
- Berani berbuat dengan bertekad untuk bertindak sesuai dengan tuntutan profesi.
- Sadar akan kewajibannya, dan
- Memiliki idealisme yang tinggi.
b) Profesional hukum tersebut harus memiliki tiga elemen pokok berikut ini: kecakapan teknis yuridis, sifat yang
terpuji, serta kebijaksanaan yang membumi (phronesis). Dilihat dari karakter-karakter tersebut, profesional
hukum yang ideal di mata Kronman, tak lain dari profesional hukum yang lahir di tengah budaya hukum ‘klasik’.
Memang itu yang dimaksudkan Kronman, yaitu nostalgia pada figur phronimos atau ‘sang bijak’ ala Aristoteles.
Masalahnya, saat ini kita telah mulai menuju ke arah pembentukan budaya hukum ‘modern’. Bukankah ini
merupakan pengingkaran dari proses perubahan masyarakat itu sendiri? Akibatnya apa? Seperti kritik William
Twining dalam Law In Context, Enlarging a Discipline (1997), konsep tersebut akan membawa profesi hukum
kembali pada paternalisme dan elitisme. Bukankah akibat dari adanya modernisasi profesional hukum justru
dituntut untuk mampu membuktikan bahwa dirinya patut dipercaya? Di sisi lain, bukankah artinya kepercayaan ini
tidak bisa begitu saja diberikan, hanya karena dan oleh karena, profesional hukum tersebut adalah ‘sang bijak’ itu
tadi? Jika memang hakim sudah pasti bijaksana, tentu tidak akan ada keraguan yang mempertanyakan integritas
para hakim agung seperti yang telah terjadi di Indonesia saat ini. Bukankah hakim agung adalah seorang hakim
yang merunut arti katanya adalah ‘sang bijak’ itu tadi?

Selanjutnya, di kutub sebaliknya, Richard A. Posner justru menyambut proses pergeseran budaya hukum ‘klasik’
ke budaya hukum ‘modern’ ini dengan positif. Proses perubahan tersebut bukanlah sebuah kemunduran budaya,
namun justru dasar bagi berkembangnya suatu budaya hukum baru. Menurut Posner, profesi hukum tak lain dari
sebuah kartel atau sindikat yang berusaha melindungi anggotanya dari pengaruh eksternal, yaitu pengaruh pasar
dan regulasi pemerintah, serta pengaruh internal, yaitu persaingan antar sesama mereka. Seorang profesional
hukum yang ideal adalah seorang sociaal engineer. Dia harus lebih terorientasi pada penelitian empiris,
sebagaimana ilmuwan-ilmuwan pada umumnya, serta harus lepas dari kemampuan yuridis ‘klasik’ yang
menitikberatkan pada interpretasi teks dan argumentasi praktis. Hukum di mata Posner adalah suatu bidang ilmu
yang otonom. Masalahnya, hal tersebut juga membawa konsekuensi bahwa hukum harus memiliki satu landasan
baru, karena dia akan lepas dari asas-asas serta doktrin-doktrin moral yang menjadi penyangganya. Untuk hal ini,
Posner kemudian meletakkan ekonomi sebagai dasar baru bagi hukum. Baik tidaknya suatu tindakan, akan
dianalisa dengan prinsip ekonomi, dengan kata lain, nilai kebaikan hanya diukur dengan pendekatan material.
Pandangan tersebut tentu saja kontroversial, mengingat dengan begitu Posner telah menegasikan muatan politik
dan moral yang terkandung di dalam hukum. Bukankah hukum juga merupakan sarana untuk menjembatani
proses perubahan dari satu masyarakat ke masyarakat yang lain? Hukum harus melek sejarah, dalam arti tidak
bisa mengesampingkan interpretasi teks dan sejarah lahirnya teks, serta tidak akan hanya bisa didasarkan pada
instrumen-instrumen rasionalitas belaka. Kritik tersebut di antaranya datang dari ahli-ahli teori hukum Belanda,
A.M. Hol dan M.A. Loth, dalam sebuah artikel mereka yang berjudul Iudex mediator; naar een herwardering van
de juridische professie (2001). Pendeknya, menurut Hol dan Loth konsep Posner ini miskin nilai-nilai moral dan
hanya akan membawa kita pada pragmatisme.

Setelah melihat dua konsep ideal tersebut, tentu kita berpikir bahwa modernisasi telah membawa kita pada satu
kondisi yang dilematis. Ibarat makan buah simalakama, apabila kita ikuti konsep nostalgia Kronman, telah terbukti
bahwa ‘sang bijak’ belum tentu bijak, sedang apabila kita ikuti konsep teknokrasi Posner kita akan jatuh ke dalam
pragmatisme yang bukan tidak mungkin membuat hukum rimba kembali berlaku (mungkin bukan lagi berupa
kekuatan okol atau kekuasaan, namun berupa kekuatan kapital). Tentu ini bukan pilihan mudah. Untungnya, di
samping mengkritik, Hol dan Loth juga memberikan konsep jalan tengah. Menurut hemat penulis konsep ini
merupakan konsep jalan ke tiga atau konsep ‘postmodernisme’.
c) Profesi luhur merupakan profesi yang menekankan pada pengabdian kepada masyarakat sehingga merupakan
suatu pelayanan pada manusia atau masyarakat dengan motivasi utama bukan untuk memperoleh nafkah dari
pekerjaannya.
Profesi pada umumnya terdapat dua hal yang harus ditegakkan yaitu, menjalankan profesinya dengan
bertanggung jawab baik terhdap pekerjaan maupun hasil dari pekerjaan, serta tanggung jawab terhadap dampak
pekerjaan yang dilakukan tidak sampai merusak lingkungan hidup (berkaitan dengan prinsip kedua, hormat
terhadap hak-hak orang lain.

Terdapat pula dua kategori untuk profesi luhur yaitu, mendahulukan orang yang dibantu, serta mengabdi pada
tuntutan luhur profesi.

Pelaksanaan profesi luhur yang baik menurut Magnis Suseno harus didukung dengan moralitas yang tinggi.
Berkaitan dengan moralitas tinggi magnis menyatakan terdapat tiga ciri :
1) berani berbuat dengan bertekad untuk brtindak sesuai dengan tuntutan profesi;
2) sadar akan kewajibannya, dan
3) memiliki idealisme yang tinggi.

Profesi luhur tidak hanya menjadi pendapat para ahli akan tetapi telah diterapkan dalam peraturan perundangan,
seperti Undang-undang nomor: 18 tahun 2003, tentang Advokat. Catur wangsa penegak hukum seperti
Polisi,Jaksa,Hakim,Advokat.

Anda mungkin juga menyukai