Petunjuk
1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.
Surat Pernyataan
Mahasiswa Kejujuran
Akademik
1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE
pada laman https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan
soal ujian UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai
pekerjaan saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai
dengan aturan akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan tidak
melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media
apapun, serta tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik
Universitas Terbuka.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat
pelanggaran atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi akademik
yang ditetapkan oleh Universitas Terbuka.
Pohuwato, 20 Desember 2021
IRMAN JAYA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS
TERBUKA
1. 1). a. hakim konstitusi secara administratif diangkat dan diberhentikan dengan Keputusan Presiden.
Sembilan orang hakim konstitusi diisi oleh calon yang dipilih oleh 3 lembaga, yaitu 3 (tiga) orang oleh
Dewan Perwakilan Rakyat, 3 (tiga) orang oleh Presiden, dan 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung4.
Jika terdapat lowongan jabatan, maka lembaga yang akan mengisi lowongan tersebut adalah lembaga
darimana pencalonan hakim sebelumnya berasal. Dengan kata lain, dalam rekruitmen hakim konstitusi,
Mahkamah Konstitusi berhubungan erat dengan 3 (tiga) lembaga negara yang sederajat, yaitu :
Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Mahkamah Agung. Sedangkan untuk Rekrutmen hakim
agung yang dilaksanakan oleh Komisi Yudisial merupakan amanah dari Pasal 24B Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dimana pelaksanaanya diwujudkan melalui Peraturan
Komisi Yudisial Nomor 2 Tahun 2016 tentang Seleksi Calon Hakim Agung dan Pasal 13 Huruf a
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2004 Tentang Komisi Yudisial, Pasal tersebut semakin memperjelas kewenangan Komisi Yudisial,
bahwa yang dimaksud dengan mengusulkan pengangkatan hakim agung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24A ayat (3) UUD Tahun 1945, yaitu terkait dengan calon hakim agung. Sementara itu,
kewenangan penentuan pengangkatan hakim agung merupakan kewenangan DPR yang selanjutnya
diajukan kepada Presiden untuk ditetapkan dalam Keputusan Presiden. Oleh karenanya seleksi hakim
yang dilakukan oleh Komisi Yudisial untuk memperkuat independensi dan imparsialitas dalam
penegakkan hukum dan keadilan.
1). b. Wewenang Komisi Yudisial untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim. Salah satunya dengan melakukan pengawasan perilaku hakim baik di dalam
maupun di luar persidangan. Lain dari pada itu bahwa hakim Mahkamah Konstitusi tidak bisa diawasi
oleh Komisi Yudisial karena Komisi Yudisial lahir lebih dulu dari Mahkamah Konstitusi itu bisa benar
dari perspektif tertentu sebab tidak mungkin sesuatu yang dipikirkan dan lahir kemudian sudah dicakup
untuk diawasi oleh lembaga yang ada lebih dulu. Tetapi jika konsep hakim dilihat dri teori tentang tugas-
tugas untuk mengadili, siapa pun yang melakukan dan kapan pun dibentuk, maka hakim konstitusi pun
harus dipandang sebagai hakim yang juga harus diawasi oleh KY. Jadi tampak jelas bahwa ini tinggal
pilihan paradigma dan perpektif teorinya, serta tergantung pada siapa, dan apa yang dimainkan hakim-
hakim yang memeriksa dan memutus.
2). Konstitusi menyangkut semua ketentuan, peraturan ataupun perundang-undangan yang di dalamnya
termasuk Undang-Undang. Sementara Undang-Undang adalah ketentuan atau peraturan yang menjadi
dasar dari konstitusi disebuah Negara. Konstitusi digunakan dalam artian sebagai tindakan atau metode
yang menyusun komposisi sesuatu, sementara Undang-Undang digunakan dalam artian proses
pembuatan hukum. Sebuah kontitusi tidak akan sah apabila tidak mengacu kepada Undang-Undang.
2. 1). Sesuai amanat pasal 18B UUD NRI 1945 bahwa keberadaan masyarakat hukum adat diakui dengan
pra-syarat yaitu sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat. Pengakuan
bersyarat oleh UUD NRI 1945 menunjukkan bahwa oleh hukum nasional Indonesia keberadaan
masyarakat hukum adat diakui dan dilindungi. Secara filosofis pengakuan dan penghormatan Negara
terhadap masyarakat hukum adat mencakup 3 (tiga) hal yaitu: keberadaan masyarakat hukum adat,
keberadaan lembaga/institusi yang ada dalam masyarakat hukum adat dan keberadaan aturan/norma
hukum adat dalam kehidupan masyarakat hukum adat. Bentuk pengakuan dan penghormatan Negara
terhadap masyarakat hukum adat di indonesia dapat ditelusuri dari ketentuan-ketentuan yang ada
dalam UUD 1945, Ketetapan MPR, Undang-Undang, dan Peraturan Pemerintah. Secara filosofis,
pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat juga mengandung makna bahwa
Negara juga harus mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat hukum adat. Hukum adat yang
ada, hidup, tumbuh, dan berkembang di Indonesia bersifat luwes, fleksibel dan sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila. Pembukaan UUD 1945 memuat pokok-pokok pikiran yang menjiwai sistem hukum nasional
yang terdiri atas unsur hukum tertulis, hukum tidak tertulis (hukum adat) danhukum agama. Hukum adat
sebagai wujud kebudayaan rakyat Indonesia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dan hidup di
kalangan rakyat dan mencerminkan kepribadian masyarakat dan bangsa Indonesia.
2). Amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun
1945) dapat dikatakan sebagai tonggak awal perubahan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Pasal 24
Ayat (2) UUD Tahun 1945 menegaskan “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.” Sebagai cabang kekuasaan kehakiman yang melaksanakan fungsi
penegakan hukum terhadap pelaksnaan konstitusi dan aspek kehidupan kenegaraan, peranan
Mahkamah Konstitusi menempati posisi yang cukup signifikan dalam sistem peradilan Indonesia.
Selanjutnya dalam Pasal 24C UUD Tahun 1945 diatur mengenai kewenangan dari Mahkamah
Konstitusi yaitu mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji Undang-Undang (UU) terhadap Undang-Undang Dasar (UUD), memutus sengketa kewenagan
lembaga negara yang kewenangnnya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran
partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum serta memberikan putusan atas
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Sebagai langkah penguatan kelembagaan Mahkamah
Konstitusi kemudian dibentuklah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK).
3. 1). Dewan Perwakilan Rakyat adalah lembaga yang merupakan perwakilan rakyat dan memegang
kekuasaan dalam membentuk undangundang. Dewan Perwakilan Rakyat juga memiliki 3 fungsi yaitu
sebagai fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Membentuk undangundang telebih dahulu dibahas
dengan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. DPD adalah lembaga baru dalam system
ketatanegaraan Indonesia. Berdasarkan perubahan ketiga UUD 1945, gagasan pembentukan DPD
dalam rangka restrukturisasi perlemen diindonesia menjadi dua kamar yang diadopsi. Perbedaan DPD
dan DPR terletak pada hakikat kepentingan yang diwakili masing-masing. DPR dimaksudkan untuk
mewakili rakyat, sedangkan DPD dimaksudkan untuk mewakili daerah-daerah. DPD adalah lembaga
negara dalam system ketatanegaraan Republik Indonesia yang merupakan wakil-wakil daerah provinsi
dan dipilih melalui pemilihan umum.
2). (Terlampir).
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS
TERBUKA
2). (Terlampir).
4. a. Pengujian formil adalah pengujian terhadap proses pembentukan undang-undang yang tidak sejalan
dengan konstitusi. Pengujian formil UU umumnya diajukan apabila dalam proses pembentukan dinilai
terdapat cacat prosedural karena tidak sesuai dengan asas dan tata cara pembentukan peraturan
perundang-undangan.
b. Dasar konstitusional pembentukan Perppu ada dalam Pasal 22 UUD NRI 1945. Menurut para ahli,
presiden dalam mengeluarkan Perppu merupakan kewenangan yang luar biasa. Dikatakan luar biasa
karena, seharusnya melibatkan DPR, mengingat Perppu memiliki derajad yang sama dengan UU.
Pasal 22 UUD NRI 1945 berbunyi dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak
menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
c. Apabila ditinjau dari pembagian secara tersebut jelas bahwa lembaga atau fungsi pembentukan
peraturan perundang-undangan hanya ada pada satu fungsi yaitu fungsi legislatif. Fungsi ini biasanya
dilaksanakan oleh sebuah lembaga yang merupakan perwakilan rakyat sebagai sebuah pelaksanaan
demokrasi dan kedaulatan rakyat. Selain itu, dalam pembahasan mengenai kekuasaan eksekutif,
fungsi legislasi Presiden bukan hanya pada pembentukan undang-undang yang dilakukan bersama-
sama dengan DPR saja, melainkan juga fungsi pembentukan peraturan perundang-undangan lain
yang diperlukan untuk menjalankan UUD dan undang-undang. Dalam hal ini Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa), Peraturan Pemerintah,
dan Peraturan Presiden. Bahkan Pemerintah Daerah bersama DPRD sebagai penyelenggara
kekuasaan eksekutif di tingkat lokal dapat membentuk Peraturan Daerah. Atas dasar prinsip
pemisahan ataupun pembagian kekuasaan, wewenang eksekutif membentuk peraturan perundang-
undangan hanya dapat dilakukan berdasarkan UU atau UUD (Bagir Manan dan Kuntana Magnar:
1987). Dari prinsip tersebut, dapat dikatakan bahwa wewenang lembaga negara lain untuk
membentuk peraturan perundang-undangan harus dilandaskan pada ketentuan yang sudah dibentuk
oleh lembaga legislatif atau harus berdasarkan UU atau UUD. Terlebih untuk lembaga yang
pembentukannya atas perintah UU atau UUD. Sejalan dengan itu, sebagaimana dikemukakan Hamid
Attamimi di atas, sumber kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan berasal dari
atribusi dan delegasi.
Pohuwato, 20 Desember 2021
Dengan hormat,
Perkenankanlah kami :
Kami adalah Advokat dan Pembela Hukum Publik, yang tergabung dalam Tim
Advokasi Anti Mafia Hutan, memilih domisili hukum di Kantor Public Interest Lawyer
Network [PIL-Net], Desa Balayo Kecamatan Patilanggio aKabupaten Pohuwato,
berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 30 November 2021, dalam hal ini
bertindak bersama-sama ataupun sendiri-sendiri untuk dan atas nama:
1|Ti m Ad vo k a si A n t i Maf i a Hu t an
Banten
A. PENDAHULUAN
UU PPPH tampaknya menjadi contoh tepat untuk menunjukkan produk legislasi buruk
yang cacat formil, dibuat secara tidak partisipatif dan tidak transparan, sehingga
secara material menciptakan masalah baru, menimbulkan ketidakpastian hukum serta
potensial mencederai hak-hak Konstitusional warga negara yang justru seharusnya
menjadi pertimbangan utama dalam pembentukan sebuah UU.
UU PPPH bukan sebuah solusi atas masalah yang hendak diaturnya, yakni
mencegah perusakan hutan yang masif, transnasional dan menggunakan modus
operandi canggih yang telah mengancam kelangsungan kehidupan masyarakat
sebagaimana ditegaskan dalam pertimbangan kelahiran (Konsiderans) UU ini karena
sejumlah kecacatannya, baik formil maupun materiil.
Menurut data Kementerian Kehutanan dan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2009
2|Ti m Ad vo k a si A n t i Maf i a Hu t an
terdapat 31.957 desa yang bersinggungan langsung, berada di dalam dan sekitar
kawasan hutan. Lebih dari 70% desa-desa tersebut mayoritas penduduknya
menggantungkan hidupnya terhadap hutan dan hasil hutan. Mereka inilah yang akan
menjadi korban pertama pelaksanaan UU PPPH. Kriminalisasi terhadap masyarakat
hukum adat, masyarakat lokal dan penduduk desa yang bersinggungan dengan
kawasan hutan makin meningkat.
Rezim hukum represif digambarkan oleh Philippe Nonnet dan Philip Selznick dalam
bukunya yang berjudul Law and Society in Transition: Toward Responsive Law antara
lain sebagai (1) hukum yang lebih menekankan ketertiban bukan keadilan substantif,
(2) aturannya keras dan rinci namun lemah terhadap pembuat hukum, (3) luasnya
diskresi yang diberikan kepada penegak hukum, (4) hukum diletakkan di bawah
subordinat politik kekuasaan, (5) hukum yang mengandaikan ketaatan tanpa syarat,
serta (6) hukum yang tidak disertai partisipasi masyarakat dalam pembentukannya.
Kesemua ciri hukum represif menurut Nonnet dan Selznick tersebut ada dalam UU
PPPH. Misalnya saja, pengertian hutan dan kawasan hutan sebagaimana diatur
dalam UU PPPH dengan mengacu pada UU Kehutanan masih sangat Pemerintah-
sentris (government-centered). Tampak sangat kuat bahwa UU PPPH
melanggengkan tafsir hutan dan kawasan hutan sebagai domain kekuasaan negara
(state-domain) yang direduksi menjadi domain-pemerintah (government-domain)
dengan mendefinisikan hutan sebagai arena yang dimilikinya secara absolut.
Penguasaan hutan demikian ini disebut oleh Nancy Peluso dalam tulisannya
Genealogies of The Political Forest and Customary Rights in Indonesia, Malaysia and
Thailand sebagai political forest (Bukti P-4).
Tak hanya itu, UU PPPH lahir dalam proses yang tidak partisipatif, dibahas secara
tertutup, secara diam-diam oleh pembentuk UU. Setiap perkembangan dan jadwal
pembahasan ketika masih berupa RUU tidak pernah disosialisasikan kepada publik
dan media. Publik tidak dapat terlibat dalam proses pemantauan dan memberi
masukan, sehingga partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan, seperti dijamin dalam Pasal 96 UU No. 12 tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak terwujud.
Dalam penelusuran lebih lanjut, Para Pemohon menemukan fakta bahwa UU PPPH
menduplikasi Naskah Akademik dari RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Pembalakan Liar tahun 2008 (Bukti P-5) sebelum berganti judul menjadi RUU
tentang Pemberantasan Perusakan Hutan (RUU P2H) yang mulai intens dibahas
Komisi Kehutanan DPR pada 2011.
3|Ti m Ad vo k a si A n t i Maf i a Hu t an
hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut
dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi,
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, sebagai solusi terhadap
permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.
4|Ti m Ad vo k a si A n t i Maf i a Hu t an
5. Bahwa sebagai pelindung konstitusi, Mahkamah Konstitusi juga berhak
memberikan penafsiran terhadap sebuah ketentuan pasal-pasal yang ada di
undang-undang agar berkesesuaian dengan nilai-nilai konstitusi. Tafsir Mahkamah
Konstiusi terhadap konstitusionalitas pasal-pasal dari undang-undang tersebut
merupakan tafsir satu-satunya (the sole interpreter of constitution) yang memiliki
kekuatan hukum. Sehingga terhadap pasal-pasal yang memiliki makna ambigu,
tidak jelas, dan/atau multitafsir dapat pula dimintakan penafsirannya kepada
Mahkamah Konstitusi;-----------------------------------------
5|Ti m Ad vo k a si A n t i Maf i a Hu t an
3. Bahwa Para Pemohon terdiri dari masyarakat hukum adat, individu dan badan
hukum privat, yang merupakan pihak yang memiliki sumber penghidupan di
dalam dan sekitar hutan, peduli terhadap pelestarian hutan dan pemenuhan hak
warga negara Indonesia atas lingkungan hidup yang baik dan berkualitas, serta
merupakan lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang selama ini melakukan
upaya-upaya pelestarian hutan dan pembelaan terhadap hak-hak masyarakat
adat berdasarkan nilai-nilai konstitusionalisme UUD 1945. Sehingga pengujian
UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
Hutan dan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 harus dipandang sebagai
perwujudan upaya warga negara dalam membangun dan mencerdaskan
kehidupan bangsa melalui penegakan nilai-nilai konstitusionalisme; -------------------
------------------------------
4. Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
menyatakan: “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
(a) perorangan WNI, (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara
kesatuan RI yang diatur dalam undang-undang, (c) badan hukum publik dan
privat, atau (d) lembaga negara”;------------------------
7. Bahwa sebagaimana dikemukakan oleh Ter Haar Bzn dalam bukunya yang
berjudul Beginselen en Stelsel van het Adatrecht yang dikutip oleh Soerjono
Soekanto dalam bukunya Hukum Adat Indonesia, dan telah pula dijadikan
sebagai Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 31/PUU-
6|Ti m Ad vo k a si A n t i Maf i a Hu t an
V/2007, disebutkan bahwa ciri-ciri dari kesatuan masyarakat hukum adat sebagai
berikut: -------------------------------------------
a. Adanya kelompok-kelompok teratur;
b. Menetap di suatu daerah tertentu;
c. Mempunyai pemerintahan sendiri;
d. Memiliki benda-benda materil maupun immateril.
9. Bahwa bukti keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat ini dapat pula dilihat
dari bukti-bukti sejarah yang berhubungan dengan leluhur mereka pada masa
lalu seperti kuburan tua, bekas kampung, bangunan dengan arsitek tua dan
cerita-cerita rakyat setempat, serta hutan tua bekas ladang yang menunjukkan
bahwa kesatuan masyarakat hukum adat ini telah ada sejak ratusan tahun yang
lalu; ------------------------------------------
10.
11. Bahwa dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, sebagai pilar hak
konstitusional Pemohon I, hutan ulayat sebagai salah satu bagian dari wilayah
adat merupakan sarana terpenting untuk mengembangkan diri dan keluarganya,
mempertahankan serta meningkatkan kualitas hidup dan kehidupannya demi
kesejahteraan diri serta keluarganya;
7|Ti m Ad vo k a si A n t i Maf i a Hu t an
D. ALASAN-ALASAN PERMOHONAN
Ruang Lingkup Pasal yang Diuji
Bahwa norma-norma yang menurut Para Pemohon berpotensi menimbulkan
ketidakpastian hukum serta mengkriminalisasi masyarakat adat dan masyarakat lokal
adalah sebagai berikut:
Tabel 4.
Ruang Lingkup Pasal UU PPPH yang Menjadi Objek Pengujian
8|Ti m Ad vo k a si A n t i Maf i a Hu t an
kebun dari perkebunan yang berasal dari kegiatan
perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin.
5. Pasal 26 Setiap orang dilarang merusak, memindahkan, atau
menghilangkan pal batas luar kawasan hutan, batas fungsi
kawasan hutan, atau batas kawasan hutan yang berimpit
dengan batas negara yang mengakibatkan perubahan
bentuk dan/atau luasan kawasan hutan.
6. Pasal 46 ayat (3) (3) Dalam hal barang bukti kebun dimanfaatkan
dan ayat (4) sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dapat
memberikan penugasan kepada badan usaha milik
negara yang bergerak di bidang perkebunan.
(4) Barang bukti berupa tambang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat diberikan izin sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
7. Pasal 52 ayat (1) Perkara perusakan hutan wajib diperiksa dan diputus oleh
pengadilan negeri dalam jangka waktu paling lama 45
(empat puluh lima) hari kerja terhitung sejak tanggal
penerimaan pelimpahan perkara dari penuntut umum.
8. Pasal 82 ayat (1) (1) Orang perseorangan yang dengan sengaja:
dan ayat (2) a. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan
yang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a;
b. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan
tanpa memiliki izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang
berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
huruf b; dan/atau
c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan
secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
huruf c dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta pidana
denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua
miliar lima ratus juta rupiah).
9|Ti m Ad vo k a si A n t i Maf i a Hu t an
1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta
pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00
(dua miliar lima ratus juta rupiah).
10 | T i m A d v o k a s i A n t i M a f i a H u t a n
singkat 3 (tiga) bulan serta paling lama 2 (dua) tahun
dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 500.000,00
(lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
11. Pasal 87 ayat (1) (1) Orang perseorangan yang dengan sengaja:
huruf b, huruf c; b. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil hutan
ayat (2) huruf b, kayu yang berasal dari kawasan hutan yang diambil atau
huruf c; dan ayat (3) dipungut secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 huruf l; dan/atau
c. menerima, menjual, menerima tukar, menerima titipan,
menyimpan, dan/atau memiliki hasil hutan kayu yang
berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut
secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
huruf m
11 | T i m A d v o k a s i A n t i M a f i a H u t a n
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta pidana denda
paling sedikit Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp 2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus
juta rupiah).
13. Pasal 92 ayat (1) Orang perseorangan yang dengan sengaja:
a. melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin Menteri di
dalam kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (2) huruf b; dan/atau
b. membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang
lazim atau patut diduga akan digunakan untuk
melakukan kegiatan perkebunan dan/atau mengangkut
hasil kebun di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a
12 | T i m A d v o k a s i A n t i M a f i a H u t a n
Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, berlaku
ketentuan dalam Undang-Undang ini.
16. Pasal 112 Pada saat undang-undang ini mulai berlaku:
a. Ketentuan Pasal 50 ayat (1) dan ayat (3) huruf a, huruf f,
huruf g, huruf h, huruf j, serta huruf k; dan
b. Ketentuan Pasal 78 ayat (1) mengenai ketentuan pidana
terhadap Pasal 50 ayat (1) serta ayat (2) mengenai
ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat (3) huruf a dan
huruf b, ayat (6), ayat (7), ayat (9), dan ayat (10)
Tabel 5.
Ruang Lingkup Pasal UU Kehutanan yang Menjadi Objek Pengujian
13 | T i m A d v o k a s i A n t i M a f i a H u t a n
ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh
pejabat yang
berwenang;
k. membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk
menebang,
memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan
hutan
tanpa izin pejabat yang berwenang.
4. Pasal 81 Kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau ditetapkan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
sebelum berlakunya undang-undang ini dinyatakan tetap
berlaku berdasarkan undang-undang ini.
PENGUJIAN UU PPPH
I. Definisi dan Dasar Hukum dalam Undang-Undang Tidak Pasti
I.1. Pasal 1 angka 3 UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan Bertentangan dengan Prinsip-prinsip
Negara Hukum yang Ditegaskan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, serta Melanggar
Kepastian Hukum yang Dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945
2. Bahwa Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak
atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum”; -----------------------------------------------
------------------
3. Bahwa pernyataan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, menurut Jimly Ashiddiqie
mengandung pengertian adanya pengakuan terhadap supremasi hukum dan
konstitusi, dianutnya prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan menurut
sistem konstitusional yang diatur dalam Undang-Undang Dasar, adanya
jaminan hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar, adanya prinsip
peradilan yang bebas dan tidak memihak yang menjamin persamaan setiap
warga negara dalam hukum, serta menjamin keadilan bagi setiap orang
termasuk terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang berkuasa; ---
--------------------------------------------------------------------
14 | T i m A d v o k a s i A n t i M a f i a H u t a n
Modern, Jakarta: Gramedia, hal 295); ----------------------------------------------------
-----
6. Bahwa dalam suatu Negara Hukum, salah satu pilar terpentingnya adalah
perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Perlindungan
terhadap hak asasi manusia tersebut dimasyarakatkan secara luas dalam
rangka mempromosikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi
manusia sebagai ciri yang penting suatu Negara Hukum yang demokratis.
Setiap manusia sejak kelahirannya menyandang hak-hak dan kewajiban-
kewajiban yang bersifat bebas dan asasi. Terbentuknya negara, dan demikian
pula penyelenggaraan kekuasaan suatu negara, tidak boleh mengurangi arti
atau makna kebebasan dan hak asasi kemanusiaan itu. Bahkan A.V. Dicey
menekankan prinsip bahwa isi konstitusi suatu negara yang menganut
Negara Hukum—the rule of law, harus mengikuti perumusan hak-hak dasar
(constitution based on human rights). Selain prinsip the supremacy of law,
dan equality before the law; ------------------------------------------------------------------
--------
7. Bahwa Moh. Mahfud MD, memberikan pendapat yang senada dengan J.T.
Simorangkir. Bahwa penggunaan istilah rechtsstaat dalam UUD 1945 sangat
berorientasi pada konsepsi Negara Hukum Eropa Kontinental, namun
demikian, bilamana melihat materi muatan UUD 1945, justru yang terlihat
kental adalah materi-materi yang bernuansakan Anglo Saxon, khususnya
ketentuan yang mengatur tentang jaminan perlindungan hak asasi manusia; --
---------------------------------------------------
15 | T i m A d v o k a s i A n t i M a f i a H u t a n
oleh hukum, atau melakukan perbuatan melawan hukum. Kewenangan
penguasa dan organ-organ negara sangat dibatasi kewenangan
perseorangan dalam negara, yang berupa hak asasi manusia. Pendapat
tersebut menegaskan bahwa hak asasi manusia merupakan unsur penting
dalam sebuah Negara Hukum; -----------------------------------
9. Bahwa perlindungan hak asasi manusia sebagai bagian penting dari konsep
Negara Hukum yang dianut di Indonesia telah dinyatakan dalam Bab XA
(Pasal 28 A sampai 28 J) UUD 1945 tentang Hak Asasi Manusia. Secara
khusus penegasan mengenai jaminan hak asasi manusia dalam Negara
Hukum yang demokratis tertuang dalam Pasal 28 I ayat (5) UUD 1945 yang
menyatakan bahwa, “untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia
sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan
hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan”; --------------------------------------------------------------
11. Bahwa the rule of law dapat dimaknai sebagai “a legal system in which rules
are clear, well-understood, and fairly enforced”—sebuah sistem hukum yang
jelas (kecil kemungkinan untuk disalahgunakan), mudah dipahami, dan
menjaga tegaknya keadilan. Kepastian hukum menjadi salah ciri the rule of
law, yang di dalamnya mengandung asas legalitas, prediktibilitas, dan
transparansi; -------------------------------
16 | T i m A d v o k a s i A n t i M a f i a H u t a n
14. Bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU PPPH, seseorang dapat dikenakan
sanksi, dikarenakan melakukan perbuatan yang dilarang dalam UU PPPH,
meski di wilayah atau kawasan yang baru ditunjuk atau dalam proses
penetapan sebagai kawasan hutan;
15. Bahwa jika mengacu pada ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU Kehutanan,
penunjukan kawasan hutan adalah salah satu tahap dalam proses
pengukuhan kawasan hutan. Proses penetapan suatu wilayah sebagai
kawasan hutan, tidak berarti bahwa wilayah tersebut sudah final sebagai
kawasan hutan; --------------------------------------------------
16. Bahwa dengan adanya frasa ”kawasan yang telah ditunjuk, ataupun yang
sedang diproses penetapannya oleh Pemerintah” sebagaimana tercantum
dalam Pasal 1 angka 3 UU PPPH, maka terjadi ketidakpastian hukum, di
mana pasal tersebut mempersamakan kedudukan hukum antara kawasan
hutan yang telah ditetapkan dengan kawasan hutan yang baru ditunjuk serta
kawasan hutan yang sedang dalam proses penetapannya.
17. Bahwa berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UU Kehutanan, kawasan hutan baru
mempunyai kepastian hukum ketika sudah melalui proses pengukuhan
sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (1) UU Kehutanan; ----------------------
-----------------------------------------
19. Bahwa dengan memasukkan kawasan yang baru ditunjuk atau masih
diproses untuk ditetapkan sebagai kawasan hutan, Pasal 1 angka 3 UU
PPPH telah menyalahi asas kepastian hukum yang menjadi salah satu ciri
Negara Hukum. Selain itu, ketentuan tersebut, memiliki potensi besar
disalahgunakan secara sewenang-wenang oleh penegak hukum; ----------------
-------------------------------------------------------------------
17 | T i m A d v o k a s i A n t i M a f i a H u t a n
Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”; ---------
--
21. Bahwa dalam Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan yang menjadi rujukan definisi
penggunaan kawasan hutan dalam Pasal 1 angka 3 UU PPPH, tidak ada
satu frasa pun yang menyebutkan bahwa kawasan hutan dipersamakan
dengan hutan negara; ---------
22. Bahwa dalam Pasal 5 UU Kehutanan, klasifikasi hutan berdasar status hutan
terbagi menjadi hutan negara dan hutan hak, dan Pasal 6 UU Kehutanan
membagi hutan berdasar fungsi menjadi hutan konservasi, hutan lindung dan
hutan produksi. Sehingga pengaturan definisi kawasan hutan patut dianggap
secara status terdiri dari hutan negara dan hutan hak, serta secara fungsi
terdiri dari konservasi, lindung dan produksi; --------------------------------------------
-----------------------------------------------
24. Bahwa cara-cara otoriter yang dimaksud di atas salah satunya adalah tidak
adanya inventarisasi dan penetapan kawasan hutan hak, termasuk hutan
adat di dalamnya yang telah dijamin legalitasnya dalam Putusan MK Nomor
35/PUU-X/2012. Sehingga dengan diaturnya perbuatan pidana yang terkait
dengan kawasan hutan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3, Pasal 92,
Pasal 94 UU PPPH sangat potensial merugikan hak-hak Para Pemohon; ------
------------------------------------------------------
25. Bahwa melihat pada UU PPPH sendiri, sebenarnya kawasan hutan yang
dilingkupi Pasal 1 angka 3 UU a quo telah bertentangan dengan Pasal 1
angka 2 UU a quo, yang sebenarnya telah sesuai dengan Putusan MK Nomor
45/PUU-IX/2011; -----------------
18 | T i m A d v o k a s i A n t i M a f i a H u t a n
telah diperbaiki Mahkamah Konstitusi melalui putusannya Nomor 45/PUU-
IX/2011; --------------------
30. Bahwa dengan demikian inkonsistensi yang ada di Pasal 1 angka 3 UU PPPH
tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil sebagaimana
dimaksud Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menentukan, “Setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Serta pelanggaran atas
prinsip Negara Hukum sebagaimana dijamin Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang
menyatakan, “Negara Indonesia Adalah Negara Hukum”. ---------------------------
-----------------------------------------------------------------
19 | T i m A d v o k a s i A n t i M a f i a H u t a n
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang
sama dihadapan hukum.”; -------------------------------------------------
E. KESIMPULAN
F. PETITUM
Berdasarkan alasan-alasan yang telah diuraikan di atas dan bukti-bukti terlampir,
maka para Pemohon memohonkan kepada Majelis Hakim Konstitusi yang Terhormat
pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk memeriksa dan memutus Uji
Materil sebagai berikut:----
20 | T i m A d v o k a s i A n t i M a f i a H u t a n
3. Menyatakan Pasal 1 angka 3; Pasal 6 ayat (1) huruf d; Pasal 11 ayat (4); Pasal
17 ayat (1) dan ayat (2) huruf b; Pasal 26; Pasal 46 ayat (2), ayat (3) dan Pasal
46 ayat (4); Pasal 52 ayat (1), Pasal 82 ayat (1) dan ayat (2); Pasal 83 ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3); Pasal 84 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3); Pasal 87 ayat (1)
huruf b dan huruf c, ayat (2) huruf b dan huruf c, dan ayat (3); Pasal 88 ayat (1)
huruf a; Pasal 92 ayat (1); Pasal 94 ayat (1); Pasal 110 huruf b; UU No. 18 Tahun
2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan bertentangan
dengan UUD 1945, oleh karenanya ketentuan Pasal 1 angka 3; Pasal 6 ayat (1),
huruf d; Pasal 11 ayat (4); Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) huruf b; Pasal 26; Pasal
46 ayat (3); Pasal 46 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4); Pasal 52 ayat (1); Pasal 82
ayat (1) dan ayat (2); Pasal 83 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3); Pasal 84 ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3); Pasal 87 ayat (1) huruf b dan huruf c, ayat (2) huruf b dan
huruf c, dan ayat (3); Pasal 88 ayat (1) huruf a; Pasal 92 ayat (1); Pasal 94 ayat
(1); Pasal 110 huruf b; UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat; -------
--------------------------------------------------------------------
4. Menyatakan Pasal 50 ayat (3) huruf a., b., e., i., dan k. UU No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945, oleh karenanya ketentuan
Pasal 50 ayat (3) huruf a., b., e., i., dan k. UU No. 41 Tahun 1999 tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat; ------------------------------------------------------------------------
------------------------
6. Menyatakan Pasal 15 ayat (1) huruf d UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), sepanjang dimaknai bahwa
“d. penetapan kawasan hutan dilakukan paling lambat 5 tahun sejak dilakukan
penunjukan kawasan hutan”; ----------------------------------------------------------------------
------------------
21 | T i m A d v o k a s i A n t i M a f i a H u t a n
Bilamana Majelis Hakim pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mempunyai
keputusan lain, mohon putusan yang seadil-adilnya—ex aequo et bono.-------------------
---------
Hormat kami,
Kuasa Hukum Para Pemohon
Ttd
22 | T i m A d v o k a s i A n t i M a f i a H u t a n