Anda di halaman 1dari 30

BUKU JAWABAN UJIAN (BJU)

UAS TAKE HOME EXAM (THE)


SEMESTER 2020/21.2 (2020.1)

Nama Mahasiswa : Yayan Nugraha

Nomor Induk Mahasiswa/NIM : 020504214

Tanggal Lahir : 20 Juli 1992

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4208 / Hukum dan Hak Asasi manusia

Kode/Nama Program Studi : Ilmu Hukum S-1

Kode/Nama UPBJJ : 15/Pangkalpinang

Hari/Tanggal UAS THE : Senin / 12 Juli 2021

Tanda Tangan Peserta Ujian

Petunjuk

1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
Surat Pernyataan
Mahasiswa
Kejujuran Akademik

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama Mahasiswa : Yayan Nugraha

NIM : 020504214

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4208 / Hukum dan Hak Asasi manusia

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Program Studi : Ilmu Hukum

UPBJJ-UT : 15/Pangkalpinang

1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE pada
laman https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan
soal ujian UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai
pekerjaan saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai
dengan aturan akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik
dengan tidak melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE
melalui media apapun, serta tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan
peraturan akademik Universitas Terbuka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari
terdapat pelanggaran atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung
sanksi akademik yang ditetapkan oleh Universitas Terbuka.

Pangkalpinang, 12 Juli 2021


Yang Membuat Pernyataan

Yayan Nugraha
1) A. Suatu perangkat hukum akan dapat dikatakan efektif apabila ia dapat
diimplementasikan dan sanksinya dapat ditegakkan apabila ada yang melanggarnya.
Untuk dapat ditegakkan maka didalam perangkat hukum itu perlu ada suatu
mekanisme yang mengatur dan menetapkan bagaimana norma-norma itu dapat
ditegakkan. Mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam
ketentuan-ketentuan hukum itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh melalui
pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang, baik yang bersifat ad hoc
maupun yang permanen. Makamah kejahatan perang tersebut memang merupakan
bentuk proses pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalam Konvensi-
Konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara juga dapat dikenakan kewajiban
membayar ganti rugi atau kompensasi seperti dikenal dalam sistem hukum
internasional umumnya.
1. Mekanisme Menurut Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol tambahan 1977
Sebagaimana diketahui bahwa Pasal 1 Konvensi Jenewa memberikan kewajiban
bagi Pihak Peserta Agung untuk menghormati dan menjamin penghormatan (… to
respect and to ensure the respect …) terhadap Konvensi. Ketentuan ini kemudian
diperkuat dengan Pasal yang mengatur tentang penghukuman bagi mereka yang
melakukan pelanggaran berat hukum humaniter, yaitu pasal-pasal yang terdapat
pada Pasal 49 ayat (1) Konvensi I, Pasal 50 (1) Konvensi II, Pasal 129 (1)
Konvensi III dan Pasal 146 (1) Konvensi IV, yang merupakan ketentuan yang
bersamaan. Berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut di atas maka negara yang
telah meratifikasi Konvensi Jenewa diwajibkan untuk menerbitkan suatu undang-
undang nasional yang memberikan sanksi pidana efektif kepada setiap orang yang
melakukan atau memerintahkan untuk melakukan pelanggaran berat terhadap
Konvensi. Mekanisme yang terdapat pada ketentuan ini adalah suatu mekanisme
di mana penegakan hukum humaniter yang dilaksanakan berdasarkan suatu proses
peradilan nasional. Artinya, apabila terjadi kasus pelanggaran hukum humaniter
maka si pelaku akan dituntut dan dihukum berdasarkan peraturan perundangan
nasional dan dengan menggunakan mekanisme peradilan nasional yang
bersangkutan. Apabila mekanisme internal atau nasional ini tidak berfungsi atau
tidak difungsikan dengan baik, maka pada tahapan berikutnya kasus yang
berasangkutan dapat diambil alih oleh suatu mekanisme internasional (baik
melalui pengadilan yang bersifat ad hoc atau yang permanen).
Salah satu perkembangan baru yang terdapat dalam Protokol 1977 antara lain
mengenai mekanisme. Yang dimaksud disini adalah mekanisme yang dilakukan
melalui Komisi Internasional Pencari Fakta (International Fact Finding
Commission). Komisi Pencari Fakta merupakan penyempurnaan atas ketentuan
yang terdapat di dalam Pasal 52 Konvensi I; Pasal 53 Konvensi II; Pasal 132
Konvensi II dan Pasal 149 Konvensi IV yang mengatur mengenai prosedur
penyelidikan terhadap pelanggaran yang terjadi terhadap hukum humaniter atau
terhadap ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa.
2. Mahkamah Ad Hoc Kejahatan Perang
Dalam sejarah dikenal ada dua mahkamah yang mengadili penjahat perang dunia
II, yaitu Mahkamah Tokyo dan Mahkamah Nuremberg. Mahkamah Tokyo
dibentuk untuk mengadili para penjahat Jepang, sedangkan Mahkamah
Nuremberg dibentuk untuk mengadili para penjahat perang Nazi, Jerman.
Mahkamah Nuremberg dibentuk berdasarkan Piagam Nuremberg atau biasa juga
disebut dengan nama Piagam London. Sejak terbentuknya Mahkamah ini telah
menjatuhkan hukumannya kepada dua puluh empat tersangka. Ada tiga kategori
pelanggaran atau kejahatan yang menjadi yurisdiksi dari Mahkamah Nuremberg
yaitu: kejahatan terhadap perdamaian (crimes againts peace), kejahatan perang
(war crimes), dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts humanity).
Mahkamah penjahat perang Tokyo dibentuk pada tanggal 19 Januari 1946. Nama
resmi dari Mahkamah ini adalah International Military Tribunal for The Far East.
Berbeda dengan Mahkamah Nuremberg yang dibentuk Treaty yang disusun oleh
beberapa negara. Tokyo Tribunal dibentuk berdasarkan suatu pernyataan atau
proklamasi Komandan Tertinggi Pasukan Sekutu di Timur Jauh, Jenderal Douglas
Mac Arthur. Kemudian oleh Amerika Serikat disusun Piagam untuk Mahkamah
ini yang pada dasarnya mengacu kepada Piagam Mahkamah Nuremberg.
3. Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC)
Pada bulan Juli 1998 masyarakat internasional mencatat suatu perkembangan
penting, yakni ketika disepakatinya. Statuta mahkamah pidana internasional
(International Criminal Court selanjutnya ICC). Berbeda dengan Mahkamah ad
hoc yang telah dibentuk sebelumnya (misalnya Mahkamah Nuremberg, Tokyo,
ICTY, dan ICTR), maka ICC ini merupakan suatu mahkamah yang bersifat
permanen Mahkamah ini dibentuk untuk mengadili orang-orang yang melakukan
kejahatan-kejahatan yang oleh masyarakat internasional dikategorikan sebagai
kejahatan serius sebagaimana ditetapkan dalam Statuta ICC, Mahkamah ini juga
dibentuk sebagai pelengkap (complementarity) dari mahkamah pidana nasional.
Mengenai complementarity tersebut merupakan hal yang penting. Maksudnya
adalah bahwa ICC baru menjalankan fungsinya apabila mahkamah nasional tidak
dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Sehubungan dengan hal ini dalam
Statuta dikatakan bahwa ICC akan bekerja bila mahkamah nasional tidak mau
(unwilling) dan tidak mampu (unable) untuk mengadili pelaku kejahatan-
kejahatan yang dimaksud. Dengan cara ini berarti bila terjadi suatu kejahatan yang
termasuk dalam yurisdiksi ICC, maka si pelaku harus diadili dahulu oleh
mahkamah nasionalnya. Bila mahkamah nasional tidak mau dan atau tidak
mampu mengadili si pelaku, maka barulah ICC akan menjalankan fungsinya
untuk mengadili si pelaku kejahatan yang bersangkutan.
Kejahatan-kejahatan yang dapat dikategorikan sebagai crimes againts humanity
dirumuskan secara lengkap dan rinci pada Pasal 7 Statuta ICC. Selanjutnya pasal
8 Statuta ICC menjelaskan apa yang dimaksud dengan war crimes, yaitu
mencakup pelanggaran berat sebagaimana yang dimaksud dalam Konvensi
Jenewa dan pelanggaran-pelanggaran serius lainnya terhadap hukum dan
kebiasaan perang yang diberlakukan pada sengketa bersenjata yang bersifat
internasional dan non internasional. Daftar dari kejahatan-kejahatan yang
dimaksud secara lengkap diuraikan pada ketentuan Pasal 8 Statuta ICC.
Mengenai crime of aggression belum dirumuskan secara lengkap di dalam Statuta.
Hanya pada pasal 5 ayat (2) dikatakan bahwa pelaksanaan yurisdiksi Mahkamah
terhadap kejahatan agresi ini akan dilaksanakan setelah diterimanya suatu
ketentuan atau pasal yang menentukan apa yang dimaksud dengan kejahatan
tersebut serta syarat-syarat apa yang diperlukan agar Mahkamah dapat
melaksanakan yurisdiksinya atas kejahatan agresi yang dimaksud. Agar
Mahkamah dapat melaksanakan yurisdiksinya maka negara yang meratifikasi
Statuta ICC menerima yurisdiksi Mahkamah. Ini berarti tindakan meratifikasi
Statuta ICC oleh suatu negara belum berarti bahwa Mahkamah dapat
melaksanakan yurisdiksinya di negara tersebut. Untuk itu masih diperlukan suatu
tindakan dari negara yang bersangkutan yang menyatakan bahwa negara tersebut
menerima yurisdiksi Mahkamah.
Hal yang perlu digarisbawahi sekali lagi disini bahwa ICC bersifat
complementarity atau pelengkap terhadap sistem hukum nasional. Oleh karena itu
yurisdiksi ICC hanya bisa dilaksanakan apabila telah dilalui suatu mekanisme
nasional. Dalam hal ini yurisdiksi ICC hanya bisa dilaksanakan apabila ternyata
suatu Negara tidak mau dan tidak mampu (unwilling and unable) untuk mengadili
kejahatankejahatan yang termasuk dalam ruang lingkup kompetensi ICC.
B. Hukum Humaniter sebagai keseluruhan asas, kaidah, dan ketentuan internasional,
baik tertulis maupun tidak tertulis, yang mencakup hukum perang dan hukum HAM
bertujuan untuk menjamin penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia.
Indonesia meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 melalui Undang-undang Nomor 59
Tahun 1958 tentang Keikutsertaan dalam empat Konvensi Jenewa 1949. Konvensi ini
memberi kewajiban bagi negara peserta konvensi untuk membuat undang-undang
yang diperlukan bagi pemberi sanksi pidana yang efektif terhadap mereka yang
melakukan atau memerintahkan pelanggaran berat terhadap hukum humaniter.
Sumber hukum internasional di antaranya adalah Konvensi Den Haag yang mengatur
mengenai cara dan alat berperang, Konvensi Jenewa 1949 yang bertujuan melindungi
korban dalam situasi konflik bersenjata, Protokol Tambahan 1977, dan doktrin.
Hukum perang atau yang sering disebut dengan Hukum Humaniter internasional
(HHI), atau hukum sengketa bersenjata memiliki sejarah yang sama tuanya dengan
peradaban manusia, atau sama tuanya dengan perang itu sendiri. Mochtar
Kusumaatmadja mengatakan, bahwa adalah suatu kenyataan yang menyedihkan
bahwa selama 3400 tahun sejarah yang tertulis, umat manusia hanya mengenal 250
tahun perdamaian. Naluri untuk mempertahankan diri kemudian membawa
keinsyarafan bahwa cara berperang yang tidak mengenal batas itu sangat merugikan
umat manusia, sehingga kemudian mulailah orang mengadakan pembatasan-
pembatasan, menetapkan ketentuanketentuan yang mengatur perang antara bangsa-
bangsa.
Seiring dengan berkembangnya komunitas internasional, sejumlah negara di seluruh
dunia telah memberikan sumbangan atas perkembangan HHI. Dewasa ini, HHI diakui
sebagai suatu sistem hukum yang benar-benar universal. Pada umumnya aturan
tentang perang itu termuat dalam aturan tingkah laku, moral dan agama. Hukum
untuk perlindungan bagi kelompok orang tertentu selama sengketa bersenjata dapat
ditelusuri kembali melalui sejarah di hampir semua negara atau peradaban di dunia.
Dalam peradaban bangsa Romawi dikenal konsep perang yang adil (just war).
Kelompok orang tertentu itu meliputi penduduk sipil, anak-anak, perempuan,
kombatan yang meletakkan senjata dan tawanan perang.
Hampir tidak mungkin menemukan bukti okumenter kapan dan dimana aturanaturan
Hukum Humaniter itu timbul. Namun, untuk sampai kepada bentuknya yang
sekarang, HHI telah mengalami perkembangan yang sangat panjang dan dalam
rentang waktu yang sangat panjang tersebut telah banyak upaya-upaya yang
dilakukan untuk memanusiawikan perang. Selama masa tersebut terdapat usaha-usaha
untuk memberikan perlindungan kepada orang-orang dari kekejaman perang dan
perlakuan yang semenamena dari pihakpihak yang terlibat dalam adu kekuatan
tersebut.
Hukum Humaniter sebagai keseluruhan asas, kaidah, dan ketentuan internasional,
baik tertulis maupun tidak tertulis, yang mencakup hukum perang dan hukum HAM
bertujuan untuk menjamin penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia.
Lahirnya hukum humaniter internasional dimulai pertama kali oleh Henry Dunant
yang kemudian mendapat dukungan dari teman-temannya, yang kemudian
membentuk International Committee for Aid to the Wounded - yang kemudian diberi
nama International Committee of the Red Cross (ICRC) atau Komite Palang Merah
Internasional.
Terdapat beberapa instrument dalam hukum humaniter internasional yaitu :
1) Konvensi Den Haag Konvensi-konvensi Den Haag merupakan ketentuan hukum
humaniter yang mengatur mengenai cara dan alat berperang. Konvensi-konvensi
Den Haag ini merupakan konvensi-konvensi yang dihasilkan dari
Konferensikonferensi Den Haag I dan II yang diadakan pada tahun 1899 dan
1907.
a. Konvensi Den Haag 1899 Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1899
merupakan hasil Konferensi Perdamaian I yang diselenggarakan pada tanggal
18 Mei-29 Juli 1899, menghasilkan tiga konvensi dan tiga deklarasi pada
tanggal 29 Juli 1899. Ketiga Konvensi yang dihasilkan adalah :
A. Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional;
B. Konvensi II tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat;
C. Konvensi III tentang Adaptasi Asas-Asas Konvensi Jenewa tanggal 22
Agustus 1864 tentang Hukum Perang di Laut.
Sedangkan tiga deklarasi yang dihasilkan adalah sebagai berikut :
A. Melarang penggunaan peluru-peluru dum-dum (peluru-peluru yang
bungkusnya tidak sempurna menutup bagian dalam, sehingga dapat pecah
dan membesar dalam tubuh manusia).
B. Peluncuran proyektil-proyektil dan bahan-bahan peledak dari balon selama
jangka lima tahun yang terakhir di tahun 1905 juga dilarang.
C. Penggunaan proyektil-proyektil yang menyebabkan gas-gas cekik dan
beracun juga dilarang.
b. Konvensi Den Haag 1907 Konvensi Den Haag menetapkan hak dan kewajiban
para pihak yang berperang dalam menyelenggarakan operasi militer dan
membatasi cara-cara yang mengakibatkan kerusakan pada lawan. Terdapat
tiga golongan konvensi:
A. Konvensi yang bertujuan untuk sejauh mungkin menghindari perang, atau
setidaknya menetapkan persyaratan yang ketat;
B. Konvensi yang secara khusus melindungi korban perang; 3. Konvensi
yang menetapkan peraturan dasar bagi penyelenggara perang.
Konvensi-konvensi tahun 1907 ini merupakan kelanjutan dari Konferensi
Perdamaian I tahun 1809 di Den Haag. Konvensi-konvensi yang dihasilkan
dari Konvensi Den Haag II adalah sebagai berikut :
a. Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional.
b. Konvensi II tentang Pembatasan Kekerasan Senjata dalam Menuntut
Pembayaran Hutang yang Berasal dari Perjanjian Perdata;
c. Konvensi III tentang Cara Memulai Peperangan;
d. Konvensi IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat dilengkapi
dengan Peraturan Den Haag;
e. Konvensi V tentang Hak dan Kewajiban Negara dan Warga Negara Netral
dalam Perang di Darat;
f. Konvensi VI tentang Status Kapal Dagang Musuh Pada Saat Permulaan
Perang;
g. Konvensi VII tentang Status Kapal Dagang menjadi Kapal Perang;
h. Konvensi VIII tentang Penempatan Ranjau Otomatis di dalam Laut;
i. Konvensi IX tentang Pemboman oleh Angkatan Laut di Waktu Perang;
j. Konvensi X tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tentang Perang
di Laut;
k. Konvensi XI tentang Pembatasan Tertentu terhadap Penggunaan Hak
Penangkapan dalam Perang Angkatan Laut;
l. Konvensi XII tentang Mahkamah Barang-barang Sitaan;
m. Konvensi XIII tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang di
Laut.
Hal-hal penting yang terdapat dalam Konvensi Den Haag tahun 1907 antara
lain adalah:
1. Konvensi III Den Haag 1907 mengenai Cara Memulai Peperangan Suatu
perang dapat dimulai dengan :
a. Suatu pernyataan perang, disertai dengan alasannya.
b. Suatu ultimatum yang disertai dengan pernyataan perang yang
bersyarat.
Apabila penerima ultimatum tidak memberi jawaban yang tegas/
memuaskan pihak yang mengirim ultimatum dalam waktu yang
ditentukan, sehingga pihak pengirim ultimatum akan berada dalam
keadaan perang dengan penerima ultimatum.
2. Konvensi Den Haag IV 1907 mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di
Darat Konvensi ini merupakan penyempurnaan terhadap Konvensi Den
Haag II 1899 tentang Kebiasaan Perang di Darat. Hal penting yang diatur
dalam Konvensi Den Haag IV 1907 adalah mengenai apa yang disebut
sebagai “Klausula si Omnes”, yaitu bahwa konvensi hanya berlaku apabila
kedua belah pihak yang bertikai adalah pihak dalam konvensi, apabila
salah satu pihak bukan peserta konvensi, maka konvensi tidak berlaku.
3. Konvensi V Den Haag 1907 mengenai Negara dan Orang Netral dalam
Perang di Darat Konvensi ini lengkapnya berjudul “Neutral Powers and
Persons in Land Warfare”. Dengan demikian, dalam konvensi ini terdapat
dua pengertian yang harus diperhatikan, yaitu mengenai Negara Netral
(Neutral Powers) dan Orang Netral (Neutral Persons). Negara netral
adalah suatu negara yang menyatakan akan bersikap netral dalam suatu
peperangan yang sedang berlangsung. Sebagai negara netral, maka
kedaulatan Negara tersebut dalam suatu peperangan, tidak boleh diganggu
dan dilanggar (Pasal 1 Konvensi V). Sedangkan yang dimaksud dengan
orang netral (Neutral Persons) adalah warga negara dari suatu negara yang
tidak terlibat dalam suatu peperangan. Orang netral ini tidak boleh
mengambil keuntungan dari statusnya sebagai orang netral, misalnya
dengan menjadi relawan dari suatu angkatan bersenjata salah satu pihak
yang bersengketa (Pasal 17).
4. Konvensi XIII Den Haag mengenai Hak dan Kewajiban Negara Netral
dalam Perang di Laut (Neutral Rights and Duties in Maritime Wars)
Secara garis besar mengatur tentang hak dan kewajiban negara-negara
netral dalam perang di laut. Konvensi ini menegaskan bahwa kedaulatan
Negara netral tidak hanya berlaku di wilayah teritorialnya saja, namun
juga berlaku bagi wilayah perairan negara netral.
2) Konvensi Jenewa 1949
Konvensi Jenewa 1949 bertujuan melindungi korban dalam situasi konflik
bersenjata, baik anggota angkatan bersenjata yang tidak lagi terlibat akibat luka,
sakit, kapal karam, atau menjadi tawanan perang, serta penduduk sipil. Konvensi
ini ditetapkan pada 12 Agustus 1949, dan diaksesi oleh Indonesia melalui
Undang-Undang Nomor 58 Tahun 1959. Konvesi ini terdiri atas 4 konvensi,
yaitu:
a. Konvensi I tentang Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang
Luka dan Sakit di Medan Pertempuran Darat;
b. Konvensi II tentang Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang
Luka, Sakit, dan Korban Karam;
c. Konvensi III tentang Perlakuan Terhadap Tawanan Perang;
d. Konvensi IV tentang Perlindungan Penduduk Sipil di Waktu Perang
3) Protokol Tambahan 1977 Konvensi Jenewa 1949 kemudian diperluas dan
ditambah dengan disahkannya Protokol Tambahan pada tanggal 10 Juni 1977 dan
tanggal 31 Maret 1967. Protokol tersebut adalah sebagai berikut:
a. Protokol Tambahan I Perlindungan Korban-Korban Pertikaian Bersenjata
Internasional;
b. Protokol Tambahan II Perlindungan Korban-Korban Pertikaian Bersenjata
Noninternasional.
4) Doktrin Salah satu doktrin atau ajaran/pendapat sarjana terkenal yang berkaitan
dengan hukum humaniter adalah Klausula Martens.521 Klausula Martens mula-
mula terdapat dalam Pembukaan Konvensi Den Haag ke-II tahun 1899522
mengenai hukum dan kebiasaan perang di darat. Adapun isi klausula tersebut,
secara lengkap, adalah sebagai berikut : “Until a more complete code of laws of
war is issued, the High Contracting Parties think it right to declare than in cases
not included in the Regulations adopted by them, populations and belligerents
remain under the protection and empire of the principles of international law, as
they result from the usages established between civilized nations, from the laws of
humanity and the requirement of the public conscience.”
Secara ringkas, klausula ini menentukan bahwa apabila hukum humaniter belum
mengatur suatu ketentuan hukum mengenai masalahmasalah tertentu, maka ketentuan
yang dipergunakan harus mengacu kepada prinsip-prinsip hukum internasional yang
terjadi dari kebiasaan yang terbentuk diantara negara-negara yang beradab; dari
hukum kemanusiaan; serta dari hati nurani masyarakat (dictated of public
conscience).
2) A. Hak untuk hidup adalah hak asasi yang paling mendasar bagi diri setiap manusia.
Sifat keberadaan hak ini tidak dapat ditawar lagi (non derogable rights). Hak untuk
hidup mungkin merupakan hak yang memiliki nilai paling mendasar dari peradaban
modern. Dalam analisis yang bersifat final, jika tidak ada hak untuk hidup maka tidak
akan ada pokok persoalan dalam hak asasi manusia lainnya.
Dalam sejarah umat manusia, dikatakan bahwa belum ada suatu penerimaan umum
mengenai konsep hak untuk hidup sebagai bawaan setiap individu. Evolusi hak asasi
manusia sebagai suatu konsep berlangsung perlahan dalam sejumlah bidang melalui
berbagai cara. Hak untuk hidup tidak terkecuali dalam tren tersebut, dan utamanya
sepanjang milenium terakhir telah dihasilkan banyak kumpulan dokumen legal skala
nasional maupun internasional (contohnya Magna Carta dan Deklarasi PBB tentang
Hak-Hak Asasi Manusia) yang mengodifikasikan paradigma umum ini ke dalam
prinsip-prinsip yang dibahasakan secara khusus.
Hak untuk hidup adalah suatu prinsip moral yang didasarkan pada keyakinan bahwa
seorang manusia memiliki hak untuk hidup dan, terutama, tidak seharusnya dibunuh
oleh manusia lainnya. Konsep mengenai hak untuk hidup timbul dalam pembahasan
tentang isu-isu hukuman mati, perang, aborsi, eutanasia, pembunuhan yang dapat
dibenarkan, dan meluas hingga sarana perawatan kesehatan publik.
Perkembangan instrumen Internasional HAM, megalami kemajuan yang sangat pesat
di bawah perjuangan PBB. Intsrumen ini meliputi perjanjian Internasional, baik
berupa kovenan, konvensi dan statuta, serta standar Internasional lainnya. Selain itu,
instrumen Internasional HAM ini juga tidak terbatas pada deklarasi, proklamasi, kode
etik, aturan bertindak (code of conduct), prinsip-prinsip dasar, dan rekomendasi.
Adapun yang dimaksud dengan instrumen umum HAM terdiri dari DUHAM dan
Kovenan Internasional tentang hak ekosob, serta Kovenan Internasional tentang hak
sipol. Instrumen umum ini dikenal dengan the Bill of Human Rights International.
Hak Untuk Hidup dalam Instrumen Internasional yaitu :
Pasal 3 DUHAM (Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia) PBB
merumuskan bahwa setiap orang mempunyai hak atas kehidupan, kemerdekaan dan
keselamatannya. Ketentuan ini sangat jelas memberikan jaminan atas hak untuk
hidup.
Instrumen Internasional lain yang memberikan rumusan yang tegas tentang hak untuk
hidup ini adalah Pasal 6 ICCPR (International Covenan Civil and Political Rights).
Pasal 6 ayat (1) ICCPR tersebut menyatakan bahwa: Setiap manusia memiliki
melekat hak untuk hidup. Hak ini harus dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun
insan manusia yang secara gegabah boleh dirampas hak kehidupannya.
Dalam ketentuan yang lainnya, hak untuk hidup juga dilindungi dalam Pasal 6
Konvensi Hak-Hak Anak yang menayatakan bahwa Para Negara Peserta Konvensi
mengakui bahwa tiap-tiap anak mempunyai hak yang melekat atas kehidupannya.
Sehingga setiap anak dimuka bumi dapat menyatakan bahwa, “aku harus tetap hidup
dan berkembang sebagai manusia."
Perkembangan hak asasi manusia tidak dapat dilepaskan dari faktor politik dan sosial
pada masa kekuasaan Soeharto. Pada bab sebelumnya telah dijelaskan evolusi
perkembangan hak asasi manusia di Indonesia sejak masa-masa kemerdekaan hingga
proses pelembagaannya dengan TAP MPR dan Undang-Undang setelah masa
reformasi tahun 1998. Pelembagaan instrumen hak asasi manusia kemudian
meningkat bahkan masuk ke dalam substansi Undang-Undang Dasar hasil
amandemen. Selain diatur di dalam Konstitusi, hak asasi manusia juga melembaga di
berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Di Indonesia, perumusan mengenai hak untuk hidup itu tertuang dalam beberapa
peraturan perundangundangan, salah satunya Undang-Undang Dasar 1945 (UUD’45)
Amandemen UUD’45 melalui beberapa Pasal merumuskan mengenai Hak Untuk
Hidup sebagai berikut:
a. Pasal 28 A: Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk mempertahankan
hidup dan kehidupannya.
b. Pasal 28 B ayat (2): Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup tumbuh dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
c. Pasal 28 H ayat (1): Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan bathin,
bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan.
d. Pasal 28 I ayat (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk
diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun.
Instrumen nasional lainnya yang berkaitan dengan Hak Untuk Hidup adalah Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU
RI No.39 Th.1999 ttg HAM). Melalui beberapa pasal dalam UU tersebut dirumuskan
dengan Hak Untuk Hidup, antara lain:
a. Pasal 4: Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran
dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui
sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut
atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.
b. Pasal 9: (1) Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan
meningkatkan taraf kehidupannya. (2) Setiap orang berhak untuk hidup tenteram,
aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan bathin. (3) Setiap orang berhak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat. Pasal 53 ayat (1): Setiap anak sejak dalam
kandungan, berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf
hidup
B. "Hak untuk hidup", sejauh itu ada, tergantung pada kondisi-kondisi selain afiliasi
spesies manusia. Filsuf ateis Peter Singer adalah seorang pendukung utama argumen
tersebut. Bagi Singer, hak untuk hidup didasarkan pada kemampuan untuk
merencanakan dan mengantisipasi masa depan seseorang. Hal ini memperluas konsep
tersebut hingga semua hewan non-insani seperti kera, namun karena manusia yang
tidak terlahirkan, bayi, dan orang yang cacat parah tidak memiliki kemampuan itu, ia
menganggap bahwa aborsi, infantisida (pembunuhan bayi) yang tidak menimbulkan
rasa sakit, dan eutanasia "dapat dibenarkan" (meski tidak wajib) dalam keadaan-
keadaan khusus tertentu, misalnya pada kasus seorang bayi cacat yang hidupnya akan
menderita atau jika orang tuanya tidak ingin membesarkannya dan tidak ada orang
yang ingin mengadopsinya.[18] Para bioetikawan yang terkait dengan komunitas Hak
Disabilitas dan Studi Disabilitas berpendapat bahwa epistemologi Singer berdasar
pada konsepsi-konsepsi prasangka sosial dan diskriminasi mengenai disabilitas atau
kecacatan.
Perkembangan hak asasi manusia tidak dapat dipisahkan dengan negara hukum,
karena salah satu indikasi untuk disebut sebagai negara hukum, antara lain
ditegakkannya hak asasi manusia, karenanya negara hukum tanpa mengakui,
menghormati sampai melaksanakan sendi-sendi hak asasi manusia tidak dapat disebut
sebagai negara hukum. Sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi
manusia Indonesia mengatur hak asasi manusia didalam konstitusinya yaitu
undangundang dasar 1945, sebagaimana halnya juga konstitusi negara-negara didunia
Berbagai upaya untuk mewujudkan HAM dalam kehidupan nyata sejak dahulu hingga
saat sekarang ini tercermin dari perjuangan manusia dalam mempertahankan harkat
dan martabatnya dari tindakan sewenang-wenang penguasa yang tiran. Timbulnya
kesadaran manusia akan hakhaknya sebagai manusia merupakan salah satu faktor
penting yang melatarbelakangi dan melahirkan gagasan yang kemudian dikenal
sebagai HAM.
Hak-hak asasi manusia berpandangan bahwa kewenangan mencabut hak untuk hidup
dapat digolongkan sebagai pelanggaran hakhak asasi manusia yang berat (gross
violation of human rights). Karena merenggut salah satu hak yang tak boleh
ditangguhkan pemenuhan. Tindakan ini menebas hidup yang hanya dalam diri
seseorang yang tak pernah bias tersembuhkan atau tergantikan. Hukuman mati persis
menunjukkan adanya kewenangan mencabut hak untuk hidup. Pidana mati dianggap
sebagai hukuman yang kejam, tak berperikemanusiaan serta menghina martabat
manusia. Hukuman ini jelas melanggar hak untuk hidup. Eksekusi mati memang
pelanggaran serius oleh negara betapa pun seriusnya perbuatan pidana yang dilakukan
seseorang.
Jika UUD dan UU HAM melindungi hak untuk hidup bagi setiap orang, seharusnya
UU lainnya mematuhi perintah yang terdapat di dalamnya. Tapi persoalannya justru
masih banyak ketentuan pidana yang tidak konsisten atau bertentangan dengan UUD
dan UU HAM tersebut. Bahkan ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak
Sipil dan Politik sama tak konsistennya dengan ketentuan pidana mati.
Dalam sistem peradilan pidana, penerapan hukuman mati dapat berbuah kegagalan
yang tak mungkin diperbaiki. Kekhawatiran ini ditambah lagi dengan masalah "mafia
peradilan" dan kelemahan lainnya yang masih melekat dalam sistem peradilan di
Indonesia. Ini berarti kegagalannya dalam memenuhi standar internasional sebagai
peradilan yang jujur dan independen.
Sejumlah kasus dalam peradilan pidana, persoalan yang dihadapi terdakwa adalah
akses pada pengacara. Bagi warga asing, menghadapi kesulitan akses untuk
mendapatkan penerjemah. Selain itu, telah menjadi kebiasaan dan praktek penyiksaan
atas tersangka dan terdakwa yang bertentangan dengan UU No 5/1998 Ratifikasi
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Hukuman atau Perlakuan yang Kejam, Tidak
Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia. Dengan menyimak masih adanya
ketentuan pidana mati dan kelemahan sitem peradilan, setiap orang yang dijatuhi
hukuman mati perlu mengajukan grasi kepada presiden. Ketika grasi diajukan sudah
seharusnya aparat yang berwenang menunda eksekusi sampai presiden memutuskan
apakah memberikan grasi atau tidak.
Sejalan dengan pandangan konstitusionalisme Indonesia tentang HAM sebagaimana
telah diuraikan di atas, ketika kemudian dikeluarkan Ketetapan MPR Nomor
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang kemudian dijabarkan lebih lanjut
dalam UU HAM, kedua produk hukum ini tampak sebagai kelanjutan sekaligus
penegasan bahwa pandangan konstitusionalisme Indonesia tidaklah berubah karena
ternyata keduanya juga memuat pembatasan terhadap hak asasi manusia. Sebagai
contoh yaitu adanya pembatasan mengenai hak untuk hidup (right to life):
1. Tap MPR Nomor XVII/MPR/1998 memuat “Pandangan dan Sikap Bangsa
Terhadap Hak Asasi Manusia” yang bersumber dari ajaran agama, nilai moral
universal, dan nilai luhur budaya bangsa, serta berdasarkan pada Pancasila dan
UUD 1945. Dalam Pasal 1 Piagam Hak Asasi Manusia dimuat ketentuan tentang
hak untuk hidup yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk hidup,
mempertahankan hidup dan kehidupannya”, namun dalam Pasal 36-nya juga
dimuat pembatasan terhadap hak asasi manusia termasuk hak untuk hidup sebagai
berikut, “Di dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang
dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan
atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil
sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis”;
2. UU HAM dalam Pasal 9 ayat (1) dimuat ketentuan tentang hak untuk hidup dan
dalam Pasal 4 ditentukan bahwa hak untuk hidup termasuk hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun. Namun,
Penjelasan Pasal 9 UU HAM menyatakan bahwa hak untuk hidup dapat dibatasi
dalam dua hal, yaitu dalam hal aborsi untuk kepentingan hidup ibunya dan dalam
hal pidana mati berdasarkan putusan pengadilan. Selain itu, Pasal 73 UU HAM
juga memuat ketentuan mengenai pembatasan terhadap hak asasi manusia sebagai
berikut, “Hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya dapat
dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, sematamata untuk menjamin
pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar
orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa”.
Selain itu, putusan Mahkamah yang dapat kita jadikan rujukan mengenai pembatasan
terhadap HAM di Indonesia yaitu Putusan Nomor 065/PUU-II/2004 mengenai
pengujian terhadap diterapkannya ketentuan hukum yang berlaku surut dalam
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang
diajukan oleh Pemohon Abilio Jose Osorio Soares.
Sebagaimana dipahami, dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, terdapat sejumlah hak
yang secara harfiah dirumuskan sebagai “hak yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apa pun”, termasuk di dalamnya hak untuk hidup dan hak untuk tidak
dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut. Dalam konteks ini, Mahkamah
menafsirkan bahwa Pasal 28I ayat (1) haruslah dibaca bersama-sama dengan Pasal
28J ayat (2), sehingga hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut
tidaklah bersifat mutlak.
Oleh karena hak-hak yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yaitu yang
termasuk dalam rumusan “hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa
pun” dapat dibatasi, maka secara prima facie berbagai ketentuan hak asasi manusia di
luar dari Pasal tersebut, seperti misalnya kebebasan beragama (Pasal 28E), hak untuk
berkomunikasi (Pasal 28F), ataupun hak atas harta benda (Pasal 28G) sudah pasti
dapat pula dibatasi, dengan catatan sepanjang hal tersebut sesuai dengan pembatasan-
pembatasan yang telah ditetapkan oleh Undang-undang.

3) A. Kemungkinan dalam kasus pada soal terdapat pelanggaran HAM yang dilanggar,
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) adalah dasar dari sistem
internasional untuk perlindungan hak asasi manusia. Deklarasi tersebut diadopsi oleh
Sidang Umum PBB pada 10 Desember 1948, untuk melarang kengerian Perang Dunia
II agar tidak berlanjut. Pasal UDHR menetapkan hak sipil, politik, sosial, ekonomi
dan budaya semua orang. Ini adalah visi martabat manusia yang melampaui batas dan
otoritas politik dan membuat pemerintah berkomitmen untuk menghormati hak-hak
dasar setiap orang. UDHR adalah pedoman di seluruh pekerjaan Amnesty
International.
Dua nilai kunci menjadi dasar konsep hak asasi manusia. Yang pertama adalah
“martabat manusia” dan yang kedua adalah “persamaan”. Hak asasi manusia
sebenarnya adalah definisi (percobaan) dari standar dasar yang diperlukan untuk
kehidupan yang bermartabat. Universalitas mereka berasal dari keyakinan bahwa
orang harus diperlakukan sama. Kedua nilai kunci ini hampir tidak kontroversial.
Itulah sebabnya hak asasi manusia didukung oleh hampir semua budaya dan agama di
dunia. Orang-orang pada umumnya setuju bahwa kekuasaan negara atau sekelompok
individu tertentu tidak boleh tidak terbatas atau sewenang-wenang. Tujuannya harus
menjadi yurisdiksi yang menjunjung tinggi martabat kemanusiaan semua individu
dalam suatu negara.
Secara konseptual, hak asasi manusia dapat dilandaskan pada keyakinan bahwa hak
tersebut "dianugerahkan secara alamiah" oleh alam semesta, Tuhan, atau nalar.
Sementara itu, mereka yang menolak penggunaan unsur alamiah meyakini bahwa hak
asasi manusia merupakan pengejawantahan nilai-nilai yang disepakati oleh
masyarakat. Ada pula yang menganggap HAM sebagai perwakilan dari klaim-klaim
kaum yang tertindas, dan pada saat yang sama juga terdapat kelompok yang
meragukan keberadaan HAM sama sekali dan menyatakan bahwa hak asasi manusia
hanya ada karena manusia mencetuskan dan membicarakan konsep tersebut. Dari
sudut pandang hukum internasional, hak asasi manusia sendiri dapat dibatasi atau
dikurangi dengan syarat-syarat tertentu. Pembatasan biasanya harus ditentukan oleh
hukum, memiliki tujuan yang sah, dan diperlukan dalam suatu masyarakat
demokratis. Sementara itu, pengurangan hanya dapat dilakukan dalam keadaan
darurat yang mengancam "kehidupan bangsa", dan pecahnya perang pun belum
mencukupi syarat ini. Selama perang, hukum kemanusiaan internasional berlaku
sebagai lex specialis. Walaupun begitu, sejumlah hak tetap tidak boleh
dikesampingkan dalam keadaan apapun, seperti hak untuk bebas dari perbudakan
maupun penyiksaan.
B. Perkembangan hak asasi manusia tidak dapat dipisahkan dengan negara hukum,
karena salah satu indikasi untuk disebut sebagai negara hukum, antara lain
ditegakkannya hak asasi manusia, karenanya negara hukum tanpa mengakui,
menghormati sampai melaksanakan sendi-sendi hak asasi manusia tidak dapat disebut
sebagai negara hukum. Sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi
manusia Indonesia mengatur hak asasi manusia didalam konstitusinya yaitu
undangundang dasar 1945, sebagaimana halnya juga konstitusi negara-negara didunia
Berbagai upaya untuk mewujudkan HAM dalam kehidupan nyata sejak dahulu hingga
saat sekarang ini tercermin dari perjuangan manusia dalam mempertahankan harkat
dan martabatnya dari tindakan sewenang-wenang penguasa yang tiran. Timbulnya
kesadaran manusia akan hakhaknya sebagai manusia merupakan salah satu faktor
penting yang melatarbelakangi dan melahirkan gagasan yang kemudian dikenal
sebagai HAM.
Dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai Norma Fundamental Negara Republik
Indonesia yang berisikan Pancasila, dan pasal-pasal dalam Batang Tubuh yang
merupakan Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara, memberikan konsep yang
jelas mengenai hak atas kebebasan beragama dan beribadah. Dalam Sila Pertama
Pancasila diakui Tuhan YME, yang bermakna kewajiban setiap manusia di Indonesia
untuk menghormati agama dan kepercayaan orang lain, karena merupakan hak setiap
orang untuk memilih, memeluk, dan mengamalkan ajaran-ajaran agamanya secara
bebas tanpa mengalami gangguan dan juga tanpa mengganggu pihak lain. Hal
tersebut berarti tidak hanya larangan proselytism yang dilakukan dengan tidak etis,
tetapi juga larangan melakukan penodaan dan penyalahgunaan agama di dalam negara
RI karena akan menyebabkan perpecahan dan berujung pada kekacauan dalam
masyarakat. Hal yang diatur dalam Sila Pertama Pancasila tersebut menjiwai pasal-
pasal dalam batang tubuh, yang kemudian diatur lebih lanjut dalam berbagai
peraturan perundang-undangan, antara lain UU Nomor 39 Tahun 1999 dan UU
Nomor 1/PNPS/1965.
Mahkamah Konstitusi telah melakukan pengujian UU Nomor 1/PNPS/1965 teradap
UUD 1945, dimana Pasal 1 UU tersebut dimohonkan untuk dibatalkan karena
bertentangan dengan bertentangan dengan Pasal 28E ayat (1) dan (2), Pasal 28I ayat
(1), dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Dalam amar putusannya, Mahkamah Konstitusi
menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut sudah tepat mengingat apa yang diatur dalam Pasal 1
UU Nomor 1/PNPS/1965 adalah dijiwai Pembukaan UUD 1945 –khususnya Sila
Pertama “ke-Tuhanan YME”- dan Pasal Pasal 28E ayat (1) Perubahan Kedua UUD
1945 dan Pasal 29 UUD 1945.
Pembatasan terhadap kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau keyakinan
seseorang menurut Pasal 18 ayat (3) ICCPR hanya dapat dibatasi oleh ketentuan
berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban,
kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain;
dan pengaturan dalam Pasal 1 UU Nomor 1/PNPS/1965 memenuhi kriteria
pemberlakuan pembatasan terhadap kebebasan menjalankan dan menentukan agama
atau keyakinan seseorang, dimana yang dibatasi adalah dalam pelaksanaan ajaran
bukan dalam berkeyakinannya, berdasarkan hukum (bahkan berdasarkan Norma
Fundamental Negara RI), serta untuk melindungi keamanan dan ketertiban
masyarakat agar tidak terjadi kerusuhan dalam masyarakat.
Tindakan atau perbuatan yang mengganggu kebebasan beragama seseorang atau
sekelompok orang adalah suatu tindakan perbuatan yang merupakan bentuk
pelanggaran hak asasi manusia. Hal itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Bab 1 Pasal 1 angka 6 yang tertulis
“Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok
orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian,
membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang
yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan
tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan
mekanisme hukum yang berlaku.” Oleh karenanya negara atau pemerintah melalui
perangkatnya tidak boleh mengabaikan jika mengetahui adanya peristiwa yang
berkaitan dengan peristiwa intoleransi yang terjadi.
Dalam bagian Penjelasan Penetapan Presiden RI Nomor 1 Tahun 1965 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pasal 1 tertulis “Dengan
kata-kata “Di Muka Umum” dimaksudkan apa yang diartikan dengan kata itu dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk
Indonesia ialah: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khong Hu Cu
(Confusius)”. Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia Pasal 22 ayat (1) yang tertulis “Setiap orang bebas memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Lalu ayat (2) tertulis “Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk
agamanya dan kepercayaannya itu”. Tentunya dalam hal ini, Negara Republik
Indonesia sampai saat ini masih mengakui hal – hal kerukunan beragama di atas,
kemerdekaan setiap orang dalam memeluk agamanya, dan tentunya melakukan
ibadah sesuai dengan agama yang diakui di Indonesia. Tidak ada lagi istilah bahwa
yang boleh melakukan kegiatan ibadah dengan merdeka adalah agama tertentu
misalnya, atau ada beberapa pandangan yang menyatakan bahwa agama mayoritas
adalah agama yang mutlak diikuti oleh penganut agama lain, melalui beberapa
tindakan intimidasi misalnya yang menimbulkan kekhawatiran pemeluk agama lain
untuk melaksanakan kegiatan ibadah.
Perangkat atau instansi/lembaga pemerintah yang memiliki tugas dan fungsi berkaitan
dengan hak asasi manusia dan juga penegakan hukum terdiri dari beberapa
instansi/lembaga. Yang pertama adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM). Hal tersebut tertulis dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia Bab I Pasal 1 angka 7 yang tertulis “Komisi Nasional
HakAsasi Manusia yang selanjutnya disebut Komnas HAM adalah lembaga mandiri
yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi
melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak asasi
manusia”.
Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia dijelaskan tentang peran Komnas HAM, yaitu dalam Pasal 18 ayat (1) yang
tertulis “Penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan
oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia”. Terkait tugas dan fungsi penyelidikan
tersebut, terdapat beberapa wewenang yang dapat dilakukan dan telah diatur dalam
Pasal 19 ayat (1) huruf a “melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap
peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut
diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia yang berat”, huruf b “menerima
laporan atau pengaduan dari seseorang atau kelompok orang tentang terjadinya
pelanggaran hak asasi manusia yang berat, serta mencari keterangan dan barang
bukti”.
Instansi/lembaga pemerintah selanjutnya yang memiliki tugas dan fungsi berkaitan
dengan hak asasi manusia adalah Pengadilan Hak Asasi Manusia. Hal tersebut tertulis
dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia Pasal 1 angka 3 yang tertulis “Pengadilan Hak Asasi Manusia yang
selanjutnya disebut Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran
hak asasi manusia yang berat”. Lalu pasal 2 tertulis “Pengadilan HAM merupakan
pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum”. Apakah
permasalahan hak asasi manusia juga ada kaitannya dengan hal urusan agama? Dan
apakah merupakan bagian dari pelanggaran hak asasi manusia yang berat?
Jawabannya adalah “Ya”. Hal tersebut diterangkan dalam Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Pasal 9 huruf h yang tertulis
“penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari
persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau
alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut
hukum internasional”.
Maka dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa hak yang dilanggar yaitu hak
untuk kebebasan beragama dan beribadah.
C. Dalam konstitusi Indonesia ditegaskan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan
beragama atau berkepercayaan. Konsekwensinya tidak seorang pun boleh dikenakan
pemaksaan yang akan mengganggu kebebasannya untuk menganut atau memeluk
suatu agama atau kepercayaan pilihannya sendiri. Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama/ kepercayaannya. Namun, negara (cq.
Pemerintah) wajib mengatur kebebasan di dalam melaksanakan/ menjalankan agama
atau kepercayaan agar pemerintah dapat menghormati, melindungi, menegakkan dan
memajukan HAM dan demi terpeliharanya keamanan, ketertiban, kesehatan atau
kesusilaan umum.
Hak Atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan dalam konteks Hak Asasi Manusia
serta batasan-batasannya pada kerangka keindonesiaan. Dengan kemajemukan dari
segi suku, agama, ras dan antargolongan, bahkan sejarah kehidupan/peradaban kuno
leluhur jauh sebelum Indonesia merdeka. Tentu penerapan Hak Atas Kebebasan
Beragama dan Berkeyakinan harus diukur apakah telah sesuai dengan komitmen
negara, dan benar-benar mencerminkan perlindungan atau bahkan terjadi
pelanggaran. Mengingat secara normatif, Indonesia terikat pada hak asasi manusia
yang telah diintegrasikan ke dalam konstitusi Undang-Undang Dasar 1945. Dalam
konteks HAM, keberadaan agama di Indonesia seharusnya diberikan kebebasan
kepada setiap individu dalam menjalankan hubungan khususnya dengan Sang
Pencipta, karena merupakan urusan privasi individu. Kepercayaan seseorang terhadap
agama lokal/leluhur juga termasuk dalam forum internum yang memberikan
perlindungan terhadap keberadaan spiritual seseorang melalui kebebasan memeluk
agama dan kepercayaannya. Pembatasan kebebasan beragama dapat dilakukan oleh
Negara apabila termasuk dalam forum externum, yaitu seseorang yang melakukan
manifestasi agama atau keyakinannya termasuk dalam menyebarkan ajaran agamanya
yang harus dilakukan tanpa adanya paksaan dan kekerasan, mendirikan rumah ibadah
dan lain-lain.
Pada dasarnya setiap hak asasi manusia wajib dilindungi (protect), dipenuhi (fulfill)
dan ditegakan (enforced) oleh negara. Hanya saja dalam perkembangannya, tidak
semua hak harus dipenuhi secara mutlak, ada pula hak-hak yang dapat dibatasi
pemenuhannya dan ada hak-hak yang tidak dapat dibatasi pemenuhannya meskipun
dalam keadaan darurat. Hak-hak yang boleh dibatasi pemenuhannya dalam keadaan
darurat yaitu hak yang disebut sebagai derogable rights, yang terdiri dari hak untuk
menyatakan pendapat, hak untuk bergerak, hak untuk berkumpul, dan hak untuk
berbicara. Akan tetapi yang harus mendapatkan perhatian ialah sekalipun negara
dalam keadaan bagaimanapun ada hak yang tidak bisa dibatasi dalam segala keadaan
hak itu disebut non derogable rights (hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh
dikurangi pemenuhannya oleh negara-negara pihak, walaupun dalam keadaan darurat
sekalipun) yang pada prinsipnya meliputi adalah hak untuk hidup, kebebasan dari
tindakan penyiksaan, bebas dari tindakan yang tidak manusiawi dan merendahkan
martabat, kebebasan dari perbudakan dan penghambaan, kebebasan dari undang-
undang berlaku surut, serta kebebasan berpikir, berhati nurani dan beragama. Hak
asasi yang penulis sebutkan diatas disebut dengan intisari (hardcore) HAM, Artinya
itulah hak asasi manusia yang utama yang tidak boleh hilang dalam diri manusia dan
hak inilah yang selalu dipertahankan dari diri manusia.
Peristiwa atau kasus yang berkaitan dengan kebebasan beragama masih saja terjadi di
beberapa tempat di Indonesia. Hal itu tentunya membuat dunia prihatin akan iklim
demokrasi di Indonesia, iklim bernegara dan bermasyarakat di Indonesia. Bahkan
beberapa hasil riset juga memperlihatkan adanya kecenderungan intoleransi dan
diskriminasi yang muncul di lingkungan masyarakat, yang secara langsung maupun
tidak langsung diketahui oleh pihak Pemerintah Daerah. Lingkungan sekolah pun
tidak luput dari indikasi perilaku intolerasi diskriminatif, yang juga diketahui oleh
kalangan guru/pengajar. Lagi-lagi, hal tersebut tentunya sangat memprihatinkan, dan
tentunya akan memperburuk citra Indonesia di mata dunia. Akan ada anggapan
bahwa, pemerintah tidak mampu menjalankan roda kehidupan berbangsa bernegara
dengan baik, berlandaskan hukum dan hak asasi manusia. Atau anggapan lainnya
yang akan muncul adalah, adanya kecenderungan perilaku “pembiaran” oleh
pemerintah terhadap peristiwa kasus yang ada kaitannya dengan kebebasan beragama.
Keberadaan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HakAsasi Manusia
merupakan barometer akan kemampuan pemerintah dalam menyelenggarakan roda
berbangsa bernegara yang berlandaskan hak asasi manusia. Masih di dalam Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pada bagian menimbang
huruf d tertulis, “bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-
Bangsa mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan
melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrumen internasional lainnya mengenai
hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia”. Beberapa hal
tersebut merupakan bentuk keseriusan lainnya dari pemerintah Indonesia, bahwa hak
asasi manusia hadir dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Namun
tentunya tidak akan cukup sampai di tataran peraturan saja, tanpa implementasi
konkret di lapangan.
Kebebasan beragama adalah bagian dari hak asasi manusia. Hal tersebut sudah
dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia Pasal 22 ayat (1) yang tertulis, “Setiap orang bebas memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Lalu ayat (2) tertulis, “Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk
agamanya dan kepercayaannya itu”. Kedepannya, pemerintah melalui perangkat/
instansi pemerintah terkait seperti Kementerian Agama dan Kementerian Dalam
Negeri bersama Komnas HAM perlu melakukan sosialisasi ke seluruh aparatur
penegak hukum dan aparatur pemerintah daerah agar mengetahui dan memahami
bahwa kebebasan beragama itu bagian dari hak asasi manusia. Aparatur penegak
hukum dan pemerintah daerah wajib menjaga kebebasan beragama dalam
berkehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara di Indonesia. Kebijakan atau
peraturan yang lahir, harus berlandasakan hak asasi manusia. Tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang di atasnya.
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga perlumemberikan
sosialisasi secara menyeluruh untuk tenaga pendidik atau guru, agar juga wajib
mengetahui bahwa kebebasan beragama adalah bagian dari hak asasi manusia.
Tentang bahan sosialisasi pengetahuan tentang hak asasi manusia di sekolah, bisa di
dapatkan dari buku panduan HAM yang telah disusun oleh Komnas HAM.
Kebijakan-kebijakan yang timbul dari lingkungan sekolah harus berupa kebijakan
yang berlandaskan hak asasi manusia dikarenakan hal tersebut telah tertuang dalam
undang-undang.
4) Dalam konteks akademik, HAM biasa dikelompokkan ke dalam dua bidang, yaitu
HAM Sipil dan Politik (Sipol) dan HAM Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ekosob).
Dalam pembagian HAM tersebut, Hak Atas Pendidikan atau yang disingkat dengan
HAP merupakan bagian dari kelompok HAM Ekosob. Namun demikian, pembagian
HAM tersebut hanya bersifat teoretis semata-mata, karena di dalam pelaksanaannya
kedua aspek HAM tersebut akan berkaitan dan berhubungan satu sama lain.
Pendidikan sebagai suatu bagian dari hak asasi manusia jelas tercantum dalam
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Perkembangan selanjutnya dari
perlindungan hak atas pendidikan dapat ditemui dalam Millennium Development
Goals. Millennium Development Goals dibentuk pada September 2000 dengan
perwakilan dari 189 negara dunia yang menandatangani sebuah deklarasi yang
disebut sebagai Millennium Declaration (Deklarasi Milenium). Deklarasi Milenium
merupakan sebuah bentuk komitmen dari negara-negara anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pembangunan dan
pengentasan kemiskinan.2 Deklarasi Milenium ini memuat 8 poin tujuan yang harus
dicapai oleh negara-negara sebelum tahun 2015. Delapan poin ini tergabung dalam
suatu tujuan yang di Indonesia diartikan sebagai Tujuan Pembangunan Milenium.
Adapun delapan poin yang menjadi bagian dari Millennium Development Goals
yaitu: 1) Memberantas kemiskinan dan kelaparan ekstrem. 2) Mewujudkan
pendidikan dasar untuk semua. 3) Mendorong kesetaraan gender dan perempuan. 4)
Menurunkan angka kematian anak. 5) Meningkatkan kesehatan ibu. 6) Memerangi
HIV dan AIDS, malaria dan penyakit lainnya. 7) Memastikan kelestarian lingkungan
8) Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.
Penegakan terhadap hak asasi anak dalam bidang pendidikan (pendidikan dasar) tidak
dapat dilepaskan dari peran pemerintah sebagai penanggungjawab pelayanan
penyelenggaraan hak-hak publik. Dalam berbargai teori HAM dan doktrin hukum
publik menunjukkan bahwa penyelenggara pendidikan dalam suatu Negara
dibebankan kepada Negara yang dilaksanakan sepenuhnya oleh suatu pemerintahan.
Konsep dan teori serta konvensi internasional secara tegas menunjukkan bahwa
masalah penegakan hak-hak asasi anak, termasuk dalam bidang pendidikan dasar
menjadi tanggung jawab pemerintah. Oleh karena itu, penegakan dan perlindungan
hak asasi anak dalam bindang pendidikan secara normatif dibebankan kepada
pemerintah selaku pemegang amanah konstitusi Negara.
Peletakan kewajiban pemerintah dalam hal dimaksud merupakan bagian dari upaya
penegakan hak-hak yang berkaitan dengan hak ekonomi, sosial semata akan tetapi
ditekankan sama dengan pengekan hak-hak sipil dan hakhak politik. Artinya, setiap
orang (anak) berhak mendapatkan hak asasinya dalam bidang pendidikan sehingga
melalui pendidikan disetiap jenjangnya anak akan terbina sebagai bagian dari
penghormatan terhadap hak asasi manusia universal20. Akan tetapi selama hal itu
belum terlaksana oleh pemerintah dapat dipandang telah melakukan pelanggaran
terhadap hak asasi manusia, khususya hak asasi anak yang mengakibatkan
kemerosotan dalam kualitas pendidikan anak bangsa sebagai amanat konstitusi
Negara. Pelanggaran terhadap hak-hak asasi anak, termasuk hak asasi anak
seharusnya sudah dapat dipertanggung jawabkan oleh pemerintah bukan hanya secara
politis, moral akan tetapi dapat dipertanggungjawab yuridis. Adapun landasan teoretik
yang dapat digunakan merekonstruksi dapat dipertanggungjawabkannya pemerintah
terhadap pelanggaran hak asasi anak dalam bidang pendidikan.
Dalam realitasnya, keberadaan anak dengan segala bentuk dan peranannya menurut
penulis sudah merupakan tindakan pengabaian oleh pemerintah dan termasuk kategori
violence by omission yang dapat dipertanggung jawabkan secara yuridis kepada
pemerintah. Sebab, melakukan pembiaran bagi mereka berkeliaran di jalanan secara
otomatis meninggalkan hak-haknya untuk mendapatkan pendidikakan. Padahal,
alokasi waktu bagi mereka sudah ditentukan untuk mengikuti pendidikan pada
jenjangnya yang penyelenggaraannya diharapkan memperoleh hak-hak asasinya
dalam bidang pendidikan. Terabaikannya hak-hak tersebut seharusnya sudah menjadi
tugas dan kewajiban pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah berkewajiban untuk
menertibkan mereka dan mengembalikannya kesekolah atau menempatkannya dalam
sembuah lembaga panti sosial yang memungkikan mereka mendapat hak-hanya
dalam bidang pendidikan.
Pemenuhan terhadap hak-hak dasar bagi anak merupakan salah satu faktor pendorong
bagi terwujudnya kebahagiaan setiap anak manusia yang sekaligus mempererat
hubungan keluarga dalam kehidupan masyarakat yang tergolong tindak mampu.
Sedangkan bagi suatu bangsa, sosok anak sangatlah penting terutama sebagai generasi
yang nantinya bakal melanjutkan kepemimpinan bangsa di masa depan. Oleh sebab
itu, pembinaan anak dengan hak-hak asasinya dalam bidang pendidikan harus diberi
perhatian dan perlakuan istimewa, mengingat merekalah yang kelak akan memberi
cerminan bagaimana corak dan eksistensi kehidupan suatu bangsa dimasa depan.
Terkait dengan eksistensi anak tersebut sesungguhnya banyak persoalan yang
dihadapi oleh bangsa baik menyangkut masalah ke jiwaan anak itu sendiri, masalah
yang terjadi dalam hubungan sosial budaya serta ekonomi dalam lingkungan
keluarganya yang pada hakikatnya persoalan hak asasi anak bukan saja masalah
pendidikan tetapi berkaitan erat dengan masalah ekonomi keluarga. Banyaknya anak-
anak menjadi anak umumnya didorong oleh faktor ekonomi, broken home, hilangnya
perhatian dan kasih saying orang tuanya dan pengaruh lingkungan sosialnya.
Dalam rangka pencapaian tujuan Negara tersebut, maka pendidikan menjadi sasaran
utama pemerintahan, karenanya melalui pendidikan setiap warga masyarakat
diberikan hak-haknya untuk dinikmati secara adil oleh seluruh warga negara secara
berkeadilan. Mencermati pentingnya perlindunga dan penegakan hak asasi anak
dalam bidang pendidikan, maka permasalahan hak-hak anak anak dimasukkan dalam
kegiatan Unicef (United Nations for Children, Eduction Fund). Mereka
dikelompokkan sebagai kelompok rentan terhadap pengaruh krisis global dunia.
Dalam penjelasan Pasal 5 ayat (3) UU No.39/1999 disebutkan bahwa meraka
termasuk kelompok yang rentan terhadap krisis global dan karena itu ia menjadi
sasaran konvensi meraka. Mereka yang termasuk yang dianggap rentan menurut
konvensi yaitu, mereka yang tergolong lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita
hamil, dan penyandang cacat.
Upaya mempersiapkan masa depan anak-anak bangsa dilakukan pada tingkat
nasional, regional maupun internasional. Dalam kaitan itulah Indonesia turut
meratifikasi konvensi hak anak (KHA) yang berisi pengaturan perlindungan anak.
Oleh karena itu, setiap Negara peserta (parties) termasuk Indonesia, berkewajiban
melaksanakan isi kesepakatan-kesepakatan konvensi internasional melalui hukum
nasional masing-masing Negara guna menjamin perlindungan terhadap hak asasi pada
anak.
dua konvensi mengenai perlindungan hak anak yaitu hak anak berkaitan dengan
keterlibatan anak dalam konflik bersenjata (optional protocol to the convention of the
rights of the child on the involvement of children in armed conflict) yang dibuat di
New York pada tahun 2000 dan hak anak mengenai penjualan anak, prostitusi anak
dan pornografi anak (optional protocol to the convention on the rights of the child on
the sale of children, child prostitution, and child pornography) yang juga dibuat di
New York tahun 2000. Selanjutnya, konvesi lainnya yangberkaitan dengan
penghentian pembiayaan terorisme (international convention for the suppresion of the
financing of terrorism) dibuat di New York pada desember tahun 1999 Konvensi
tersebut pada hakikatnya dimaksudkan untuk melindungi kepentingan masa depan
anak sebagai bagian tak terpisahkan dari pembangunan bangsa dan Negara di masa
depan.
Dalam Konvensi Hak Anak (KHA) tahun 1989 dinyatakan bahwa hakhak anak
melekat dalam diri anak dan merupakan hak asasi manusia yang dijamian oleh
konvensi. Menurut konvensi ini yang dianggap sebagai anak adalah semua manusia
yang berusia usia 18 tahun kebawah (Pasal 1), termasuk mereka yang menderita
penyakit mental atau kejiwaan, serta mereka yang secara fishik mengalami
keterbatasan. Mereka hendaknya mendapat perlakuan yang sama demi mendapatkan
dorongan dalam menggunakan fasilitas-fasilitas yang disediakan bagai masyarakat
luas (Pasal 23 ayat 1). Konvensi ini pula menentukan bahwa pihak pihak yang
dianggap memunyai keterkaitan dalam penyediaan hak pada anak untuk tidak
mengesampingkan ketentuan yang berada dalam konvensi ini, sehingga negara
dianggap tidak boleh melepaskan diri dari tanggung jawab terhadap masalah
penyediaan hak pada anak tersebut.
Penguatan terhadap perlunya penegakan hak asasi anak, termasuk anak sebagai sarana
peningkatan kualitas pendidikan dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam
ketentuan dimaksud. Bahkan ketentuan ini mengharuskan semua pihak peserta
konvensi untuk bekerjasama dalam penyediakan akses pendidikan demi terciptanya
pendidikan yang mandiri. Demikian pula masyarakat di suatu tempat harus mampu
berinisiatif dan berkorban untuk bekerjasama mendirikan sekolah-sekolah atau
kegiatankegiatan pendidikan baik formal maupun nonformal. Dalam kaitan itu,
kuatnya kepedulian masyarakat internasional terhadap pemenuhan hak atas
pendidikan disikapi oleh negara peserta/penandatangan konvensi melalui pertemuan/
kesepakatan.
UNESCO dalam pertemuan itu menegaskan kembali bahwa pada tahun 2015 semua
anak memiliki akses terhadap pendidikan dasar yang berkualitas. Dalam suatu
simposium internasional, 500 peserta dari 30 negara merekomendasikan bahwa untuk
lebih meningkatkan kualitas sistem pendidikan di Asia dan benua-benua lainnya yaitu
setiap anak, termasuk anak yang berasal dari suku manapun seharusnya mendapat
perlindungan oleh pemerintah dan jika tidak dapat dikualifikasin terlah melalaikan
kewajiban hukumnya dan dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis.

Anda mungkin juga menyukai