Anda di halaman 1dari 16

BUKU JAWABAN UJIAN (BJU)

UAS TAKE HOME EXAM (THE)


SEMESTER 2020/21.2 (2020.1)

Nama Mahasiswa : Yayan Nugraha

Nomor Induk Mahasiswa/NIM : 020504214

Tanggal Lahir : 20 Juli 1992

Kode/Nama Mata Kuliah : Hukum Agraria / HKUM4211

Kode/Nama Program Studi : Ilmu Hukum S-1

Kode/Nama UPBJJ : 15/Pangkalpinang

Hari/Tanggal UAS THE : Sabtu / 03 Juli 2021

Tanda Tangan Peserta Ujian

Petunjuk

1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
Surat Pernyataan
Mahasiswa
Kejujuran Akademik

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama Mahasiswa : Yayan Nugraha

NIM : 020504214

Kode/Nama Mata Kuliah : Hukum Agraria / HKUM4211

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Program Studi : Ilmu Hukum

UPBJJ-UT : 15/Pangkalpinang

1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE pada
laman https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan soal
ujian UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai
pekerjaan saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai dengan
aturan akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan
tidak melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media
apapun, serta tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik
Universitas Terbuka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat
pelanggaran atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi akademik
yang ditetapkan oleh Universitas Terbuka.

Pangkalpinang, 03 Juli 2021

Yang Membuat Pernyataan

Yayan Nugraha
1) A. Tanah mempunyai peranan yang penting dan strategis bagi kehidupan manusia. Tanah
dimaknai sebagai sumber kehidupan bagi manusia karena disinilah manusia hidup,
melanjutkan keturunannya, serta melakukan berbagai aktivitas di atas tanah sehingga
setiap saat manusia selalu berhubungan dengan tanah. Selain itu jika ditinjau dari segi
ekonomis, tanah menjadi komoditi yang mempunyai nilai ekonomis yang sangat tinggi
karena tanah mempunyai sifat tetap dan dapat dipergunakan pada masa yang akan
dating.
Pelaksanaan pendaftaran peralihan hak milik atas tanah dengan cara jual beli diatur
dalam Undang- Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 yaitu setiap peralihan hak
milik atas tanah wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan setempat. Pendaftaran
pemindahan atau peralihan hak tersebut bertujuan agar pihak ketiga mengetahui bahwa
sebidang tanah tersebut telah dilakukannya jual beli.
Dalam Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah ditegaskan bahwa “Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah
susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan
perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang
hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang
berwenang menurut ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.”
Berdasarkan penjelasan di atas maka pihak yang bertanggungjawab dalam memberikan
pelayanan yang baik dan cepat untuk kepengurusan balik nama atas hak milik yang
pertama adalah PPAT atau Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Dalam pelaksanaan balik nama sertifikat hak milik atas tanah tentunya memiliki Standar
Operasional Proser (SOP) yang dapat dilihat pada Perkaban Nomor 1 Tahun 2010.
Mengenai pajak atau biaya dalam pelaksanaan balik nama tercantum dalam UU No. 20
tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU No. 21 tahun 1997 tentang BPHTB ( Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan) menegaskan bahwa “Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan atau Bangunan dikenakan terhadap orang atau badan yang memperoleh hak
atas tanah dan atau bangunan. Perolehan atas suatu hak atas tanah dan atau bangunan ini
bisa diartikan bahwa orang atau badan tersebut mempunya nilai lebih atas tambahan
atau perolehan hak tersebut.Dimana tidak semua orang mempunyai kemampuan lebih
untuk mendapatkan tanah dan atau bangunan”. Dari penjelasan di atas penjelasan di atas
maka pihak selanjutnya yang bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan yang
baik dan cepat untuk kepengurusan balik nama atas hak milik yang pertama adalah
Kantor Pelayanan Pajak.
Setiap hak atas tanah termasuk perubahan dan juga peralihan serta pembebanannya
harus didaftar. Pendaftaran bukan hanya dilakukan terhadap tanah-tanah yang belum
pernah didaftar (belum ada sertifikatnya) akan tetaoi juga dilakukan terhadap tanah-
tanah yang sudah pernah didaftar (bersertifikat) akan tetapi terjadi perubahan baik
perubahan mengenai tanahnya maupun terhadap pemiliknya. Perubahan tanah ini ada
bermacam-macam, bisa karena peralihan hak, bisa karena dibebani dengan suatu hak
bahkan apabila tanahnya hilangbatau musnah juga harus didaftarkan. Salah satu dasar
hukum dari pendaftaran peralihan hak atas tanah yaitu Pasal 23 Ayat (1) UUPA yang
menyebutkan bahwa “hak milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan
pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan
yang dimaksud dalam Pasal 19 UUPA.” Maka dari itu setiap pemegang hak atas tanah
wajib untuk mendaftarkan tanahnya sebagaimana diatur dalam UUPA. Sesuai dengan
bunyi Pasal 19 Ayat 1 UUPA No.5 Tahun 1960 bahwa “untuk menjamin kepastian
hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik
Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemetintah.”
Proses pendaftaran dilakukan di Kantor Pertanahan, sehingga pihak selanjutnya yang
bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan yang baik dan cepat untuk
kepengurusan balik nama atas hak milik yang pertama adalah Kementrian Agraria dan
Tata Ruang Badan Pertanahan Nasional.
B. Tidak ada peraturan secara spesifik memperbolehkan adanya makelar dalam
mempercepat proses balik nama atas hak milik. Akan tetapi dalam Pasal Pasal 64 Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (“KUHD”) menjelaskan sebagai berikut:
“Pekerjaan makelar terdiri dari mengadakan pembelian dan penjualan untuk majikannya
atas barang-barang dagangan, kapal-kapal, saham-saham dalam dana umum dan efek
lainnya dan obligasi, surat-surat wesel, surat-surat order dan surat-surat dagang lainnya,
menyelenggarakan diskonto, asuransi, perkreditan dengan jaminan kapal dan pemuatan
kapal, perutangan uang dan lain sebagainya.”
Sehingga dalam hal proses balik nama adanya makelar untuk bertindak berdasarkan
pemberian kuasa dari penjual untuk menjual atau mencari pembeli barang. Mereka
menyelenggarakan perusahaan mereka dengan melakukan pekerjaan seperti yang
dimaksud dalam pasal 64 dengan mendapat upah atau provisi tertentu, atas amanat dan
atas nama orang-orang lain yang dengan mereka tidak terdapat hubungan kerja tetap.
Perjanjian tersebut harus mengacu pada Pasal 1320 dan Pasal 1338 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”).
Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa makelar dalam proses proses
balik nama atas hak milik dimungkinkan.
2) A. Diberikannya hak atas tanah, maka antara orang atau badan hukum itu telah terjalin
suatu hubungan hukum. Dengan adanya hubungan hukum itu, dapatlah dilakukan
perbuatan hukum oleh orang yang mempunyai hak itu terhadap tanah kepada pihak lain.
Untuk hal-hal tersebut, contohnya adalah dapat melakukan perbuatan hukum berupa
jual-beli, tukar-menukar, dan lain-lain.
Pemberian sertifikat hak atas tanah merupakan perwujudan dari salah satu tujuan pokok
dari UUPA yaitu untuk memberikan jaminan kepastian hukum mengenai hak-hak atas
tanah bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Pasal 19 ayat 1
UUPA Tentang Pendaftaran Tanah yang menyatakan bahwa untuk menjamin kepastian
hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik
Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah.
Akan tetapi dalam praktik di lapangan masih sangat minim kesadaran masyarakat untuk
mendaftarkan tanahya, sehingga seharusnya yang dilakukan oleh pemerintah jika
masyarakat enggan untuk mendaftarkan tanahnya yaitu
1) Melakukan penambahan jumlah pegawai di Kantor Pertanahan agar lebih efektif
dalam meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat di bidang pertanahan, serta
menambah wawasan masyarakat dengan melakukan sosialisasi atau penyuluhan-
penyuluhan langsung mengenai pentingnya pendaftaran tanah.
2) Peningkatan rasa disiplin pada setiap pegawai yang ada di Kantor Pertanahan.
Hal ini bertujuan untuk menghindarkan adanya pungutan liar atau penerimaan
biaya yang tidak resmi dalam pengurusan hal-hal yang berkaitan dengan tanah.
Hal ini untuk mengurangi presepsi masyarakat akan banyaknya biaya yang tidak
resmi dalam melakukan pendaftaran tanah.
3) Memberikan peringatan terhadap Camat, Kepala Desa, Lurah atau aparat Desa
lainnya yang tidak mau mensukseskan program pendaftaran tanah di wilayahnya.
4) Memberikan sanksi yang tegas dan denda yang besar kepada para pemilik tanah
yang belum mendaftarkan kembali tanah.
5) Meningkatkan program pendaftaran tanah secara gratis bagi masyarakat yang
kurang mampu atau perekonomiannya menengah kebawah.
B. Bagi Bangsa Indonesia, tanah merupakan unsur vital dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Hubungan bangsa Indonesia dengan tanah adalah hubungan yang bersifat
abadi, dalam penjelasan Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar-Dasar Pokok Agraria (untuk selanjutnya disebut UUPA) artinya bahwa
selama rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia masih ada dan selama
bumi, air serta ruang angkasa Indonesia itu masih ada pula, dalam keadaan yang
bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan yang akan dapat memutuskan atau
meniadakan hubungan tersebut.
Tanah merupakan perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai
kesatuan tanah air dari keseluruhan Bangsa Indonesia maka tanah perlu dikelola dan
diatur untuk menjaga keberlanjutan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam
kerangka ini, pengaturan tanah tertuang dalam kebijakan pertanahan yang diarahkan
untuk mewujudkan tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Mengingat semakin meningkatnya kebutuhan akan tanah bagi kepentingan rakyat,
sedangkan tanah yang ada tidak bertambah, maka perlu dilakukan pengaturan untuk
menjamin kepastian dan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah. Oleh
karena itu Pemerintah mengeluarkan UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
1961 tentang Pendaftaran Tanah yang kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (untuk selanjutnya disebut PP No. 24
Tahun 1997), untuk pelaksanaan bagi pemberian jaminan kepastian hukum dan
perlindungan hukum bagi rakyat sebagai pemegang hak atas tanah.
Pendaftaran tanah di Indonesia memakai asas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir
dan terbuka yang semua itu dalam rangka untuk mencapai tujuan dari
diselenggarakannya pendaftaran tanah yaitu untuk memberikan jaminan kepastian
hukum hak atas tanah, kepastian tentang subjeknya dan kepastian tentang objeknya
meliputi apa haknya, siapa subjeknya, letaknya dimana, batas-batasnya apa, luasnya
berapa dan ada tidak beban-beban hak lain diatasnya.
Dalam era informasi saat ini peranan dan pemanfaatan teknologi informasi dan
komunikasi semakin strategis dan mulai menguasai tata kehidupan masyarakat, baik
secara individu maupun organisasi. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi
telah pula menyebabkan dunia menjadi seolah tanpa batas (borderless) dan
menyebabkan perubahan sosial, ekonomi, dan budaya secara signifikan dan berlangsung
demikian cepat
Penggunaan teknologi dalam pendaftaran tanah pada kantor pertanahan dapat membantu
memberikan layanan yang baik, layanan prima kepada masyarakat berbagai inovasi
seperti komputerisasi kantor pertanahan (KKP) dan BPN telah melakukan perubahan
pola kepada masyarakat dari pelayanan manual menjadi berbasis online. Sebagai
institusi pelayanan publik, Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia senantiasa
berupaya meningkatkan kualitas pelayanannya Salah satu upayanya adalah dengan
melakukan perubahan pola pelayanan kepada masyarakat, dari pelayanan manual
menjadi pelayanan yang berbasis komputerisasi yang dimulai sejak tahun 1997. Pada
awalnya kegiatan yang dibiayai melalui pinjaman Pemerintah Spanyol ini dikenal
dengan Land Office Computerization (LOC) atau Komputerisasi Kantor Pertanahan
(KKP), dengan tujuan untuk menciptakan tertib administrasi pertanahan, meningkatkan
dan mempercepat pelayanan dibidang pertanahan, meningkatkan kualitas informasi
pertanahan BPN, untuk mempermudah pemeliharaan data pertanahan, menghemat space
/ storage untuk penyimpanan data-data pertanahan dalam bentuk digital (paperless),
meningkatkan kemampuan SDM pegawai BPN dibidang teknologi informatika /
komputer, melakukan standarisasi data dan sistem informasi dalam rangka
mempermudah pertukaran informasi pertanahan serta menciptakan suatu sistem
informasi pertanahan yang handal. Untuk mencapai tujuan tersebut, dilaksanakan 6
kegiatan utama yang meliputi instalasi perangkat keras, perangkat lunak sistem operasi
dan aplikasi serta jaringan (Local Area Network), pelatihan bagi system administrator,
operator, manajemen dan kepala kantor selaku pimpinan tertinggi, sosialisasi bagi
kepala kantor dan staf pelaksana, pendampingan pada masa implementasi, konversi data
tekstual dan spasial dari bentuk hardcopy menjadi digital.
Teknologi Informasi adalah perangkat dan sistem yang membantu kinerja dan
mempermudah pekerjaan untuk mempercepat pekerjaan. Sedangkan penggunaan
teknologi dalam pekerjaan, yaitu bekerja menggunakan sistim komputeriasai kantor
pertanahan (KKP) yang bertujuan untuk menciptakan tertib administrasi pertanahan,
meningkatkan, dan mempercepat pelayanan, dibidang pertanahan dan meningkatkan
kualitas informasi BPN dengan baik. Sehingga dapat memudahkan masyarakat dalam
melakukan pendaftaran tanah.
3) A. Pasal 19 UUPA menentukan bahwa untuk menjamin kepastian hukum hak atas tanah
oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah dahulu disebut
“kadaster” yang berasal dari bahasa latin “Conpistarium” yang berarti suatu daftar
umum mengenai nilai serta sifat dari benda-benda tetap. Pendaftaran tanah merupakan
suatu proses administrasi yang dilakukan oleh Pemerintah dalam hal ini Badan
Pertanahan Nasional dengan pelaksana teknisnya Kantor Pertanahan kabupaten/Kota.
Untuk melaksanakan Pasal 19 UUPA tersebut terbit berbagai peraturan pelaksana yang
mengatur lebih lanjut tentang penyelenggaraan pendaftaran tanah antara lain Peraturan
Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah terutama Pasal 4 ayat (2),
31 ayat (1), 34 ayat (2), 35 ayat (5) dan (6); Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah terutama Pasal
184 ayat (1), (2), (3) dan Pasal 186 ayat (1), (2); dan Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar
Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan terutama Pasal 5 yakni dalam standar pelayanan
pertanahan terdiri dari pelayanan pendaftaran tanah pertama kali, pemeliharaan data
pendaftaran pertanahan, pencatatan dan informasi pertanahan, pengukuran bidang tanah,
pengaturan dan penataan pertanahan dan pengelolaan pengaduan. Dalam peraturan
tersebut di atas terdapat aturan yang melandasi penggunaan Teknologi Digital dalam
Dokumentasi Pertanahan.
Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997, mengatur pelaksanaan
pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali dan
pemeliharaan data pendaftaran tanah. Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali
meliputi kegiatan, yaitu kegiatan pengumpulan dan pengolahan data fisik, pengumpulan
dan pengolahan data yuridis serta pembukuan haknya, penerbitan sertipikat, penyajian
data fisik dan data yuridis, dan penyimpanan daftar umum dan dokumen. Sedangkan
kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah antara lain pemeliharaan data karena
pemindahan hak yang tidak melalui lelang, pemeliharaan data karena pemindahan hak
melalui lelang, pemeliharaan data disebabkan peralihan hak karena pewarisan,
pemeliharaan data karena peralihan hak karena penggabungan atau peleburan perseroan
atau koperasi, pemeliharaan data karena pembebanan hak, pemeliharaan data karena
perpanjangan waktu hak atas tanah.
Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik berarti sudah ada payung hukum dari tatacara dalam pemanfaatan
teknologi informasi. Penggunaan teknologi informasi ini menyebabkan dunia menjadi
seolah tanpa batas (borderless) mengingat kegiatannya tidak lagi bisa dibatasi oleh
territorial suatu negara karena aksesnya dengan mudah dapat dilakukan dari belahan
dunia manapun. Teknologi Informasi saat ini menjadi pedang bermata dua karena selain
memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban
manusia, sekaligus menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum.
Mengingat pentingnya hal tersebut maka dalam undang-undang ini mengatur hal yang
berkaitan dengan masalah kepastian hukum yang merupakan faktor yang sangat penting,
karena mengingat data elektronik dalam kenyataannya sangat rentan untuk diubah,
disadap, dipalsukan dan dikirim ke berbagai penjuru dunia dalam waktu hitungan detik.
Perlindungan hukum terhadap perbuatan hukum mengenai pemanfaatan teknologi
informasi telah diatur dalam undang-undang ini.
Pemanfaatan teknologi informasi dalam suatu sistem elektronik adalah penggunaan
sistem komputer secara luas yang mencakup perangkat keras, perangkat lunak, jaringan
komunikasi, serta data elektronik. Sistem ini adalah suatu sistem yang terpadu antara
manusia dan mesin yang mencakup perangkat keras, perangkat lunak, prosedur standar,
sumber daya manusia, dan substansi informasi yang mencakup fungsi input, proses,
output, penyimpanan dan komunikasi.
Pelaksanaan pendaftaran tanah dengan menggunakan teknologi informasi merupakan
sesuatu yang mutlak harus dilakukan. Hal ini berkaitan dengan 11 agenda kebijakan
Badan Pertanahan Nasional dalam menjalankan fungsinya serta karakteristik data
pertanahan itu sendiri yang bersifat multidimensi yang terkait dengan masalah ekonomi,
politik, pertahanan dan keamaman, serta sosial budaya. Pendaftaran tanah itu sendiri
harus terintegrasi dalam suatu Sistem Informasi Pertanahan Nasional yang mengalirkan
informasi antar seluruh unit organisasi baik di Badan Pertanahan Nasional Pusat, Badan
Pertanahan Nasional Propinsi, dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Di samping sifat
data pertanahan yang bersifat multidimensi tersebut, juga pendaftaran tanah secara
elektronik ini juga untuk memenuhi tuntutan masyarakat yang semakin meningkat guna
mewujudkan good governance yang akhirnya akan berkaitan dengan keterbukaan
informasi untuk masyarakat dan pertukaran informasi antar instansi pemerintah.
Badan Pertanahan Nasional cq. Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota sebagai institusi
pelaksana pendaftaran tanah berkaitan pemanfaatan data elektonik mempunyai
permasalahan hukum terkait dengan pembuktian, informasi apa saja yang boleh diakses
oleh masyarakat serta bagaimana menjamin keamanan data elektronik.
Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik serta Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan
Infomasi Publik berarti sudah ada payung hukum mengenai pendaftaran tanah secara
digital dan juga memberikan arah yang jelas bagi Badan Pertanahan Nasional dalam
pemanfaatan, penggunaan serta pengembangan teknologi informasi dan komunikasi
dalam meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik dan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi nasional untuk mewujudkan kesejahteraan bangsa. Berdasarkan
hal tersebut Badan Pertanahan Nasional membentuk Pusat Data dan Informasi
Pertanahan (PUSDATIN). PUSDATIN ini bertugas untuk mengelola data pertanahan
dalam suatu Sistem Informasi dan Manajemen Pertanahan Nasional (SIMTANAS) dari
Badan Pertanahan Nasional Pusat, Badan Pertanahan Nasional Propinsi, dan Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik serta
peraturan pelaksanaannya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2010 menjadi
dasar hukum tatacara penyampaian keterbukaan informasi kepada publik dalam hal ini
masyarakat sebagai pengguna serta pemohon informasi publik. Hak untuk memperoleh
informasi merupakan hak asasi manusia dan keterbukaan informasi merupakan ciri
negara demokratis sebagai sarana pengawasan terhadap penyelenggaraan negara.
Di BPN dibentuklah Pusat Data dan Informasi Pertanahan (PUSDATIN) yang
membangun dan mengembangkan Sistem Informasi Pertanahan dan Manajemen
Pertanahan Nasional (SIMTANAS). Yang bertujuan untuk layanan online yang telah
dikembangkan antara lain peta online informasi status berkas permohonan. Bertujuan
untuk menyediakan layanan data dan informasi untuk keperluan internal dan ekternal.
Keperluan internal bagi BPN dan keperluan eksternal bagi masyarakat. Selain itu ada
beberapa layanan yang dikembangkan di antaranya adalah layanan PPAT untuk
pengecekan sertipikat dan untuk pendaftaran pelayanan secara online. Selain itu sedang
disiapkan pula layanan online untuk masyarakat yaitu dengan menyiapkan layanan e-
form sebagai sarana pengisian form pendaftaran pertanahan secara online. Di samping
itu, telah dikembangkan pula data centre di BPN Pusat untuk membangun database
pertanahan secara nasional dan sebagai backup data untuk semua Kantor Pertanahan.
Layanan online yang dimaksudkan adalah layanan online antara masing-masing Kantor
Pertanahan dengan Kantor BPN Pusat, antara Kantor Pertanahan dengan Publik
(masyarakat dan PPAT), dan antara Kantor Pertanahan dengan instansi lain (Dirjen
Pajak dan Tata Kota). Pelayanan yang telah dilakukan serta dikembangkan oleh
PUSDATIN tersebut hanya berlaku untuk Kantor BPN Pusat. Hal ini masih jauh dari
asas dalam pendaftaran tanah yakni asas terbuka yang menuntut dipeliharanya data
pertanahan secara terus menerus dan berkesinambungan sehingga data pertanahan sesuai
dengan keadaan nyata di lapangan dan masyarakat dapat memperoleh keterangan
mengenai data yang benar setiap saat.
Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat dapat dengan mudah
mengakses status hak kepemilikan tanah jika dikaitkan dengan asas keterbukaan public.
B. Sertipikat Hak Atas Tanah menurut ketentuan Pasal 19 Ayat (2) UUPA, sertipikat
adalah surat tanda bukti hak atas tanah yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Menurut ketentuan PP No. 10 Tahun 1961, bahwa sertipikat terdiri atas salinan buku
tanah yang memuat data yuridis dan surat ukur yang memuat fisik hak yang
bersangkutan, yang dijilid menjadi satu dalam suatu sampul dokumen. Menurut
ketentuan PP No. 24 Tahun 1997, sertipikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 Ayat (2), huruf c Undang-Undang Pokok Agraria untuk Hak
Atas Tanah, Hak Pengelolaan, Tanah Wakaf, Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, dan
Hak Tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang
bersangkutan.
Kepastian Hukum Sertipikat Hak Atas Tanah, meliputi: Kepastian hukum status hak atas
tanah yang didaftar, Kepastian hukum subyek hak atas tanah, Kepastian hukum obyek
hak atas tanah. Kepastian Hukum Sertipikat Hak Atas Tanah yang diterbitkan PP No. 24
Tahun 1997 yang menganut sistem publikasi negatif bertendensi positif: Bahwa
sertipikat hak atas tanah merupakan surat tanda bukti hak yang kuat tetapi tidak mutlak.
Hal tersebut dapat dilihat dalam penjabaran ketentuan Pasal 19 Ayat (2) huruf c, Pasal
23 Ayat (2), Pasal 32 Ayat (2), dan Pasal 38 Ayat (2) UUPA, bahwa “sistem publikasi
pendaftaran tanah yang dianut adalah sitem publikasi negatif, yaitu sertipikat hanya
merupakan surat tanda bukti hak yang bersifat kuat dan bukan merupakan surat tanda
bukti hak yang bersifat mutlak”. Walaupun ketentuan Pasal 32 Ayat (1) PP No. 24
Tahun 1997 menyebutkan: “Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku
sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di
dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada
dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.
Kelemahan PP No. 24 Tahun 1997 yang menganut sistem publikasi negatif bertendensi
positif, antara lain: 1) “Negara tidak menjamin kebenaran data fisik dan data yuridis
yang disajikan dan tidak adanya jaminan bagi pemilik sertipikat dikarenakan sewaktu-
waktu akan mendapatkan gugatan dari pihak lain yang merasa dirugikan atas
diterbitkannya sertipikat”.15 2) Dalam sistem publikasi negatif, sertipikat hak atas tanah
bukan satu- satunya alat bukti kepemilikan tanah yang diterima oleh pengadilan, apabila
terjadi gugatan dengan membuktikan dengan alat bukti lain maka “pengadilanlah yang
berwe- nang memutuskan alat bukti mana yang benar dan apabila terbukti sertipikat
tersebut tidak benar, maka diadakan perubahan dan pembetulan sebagaimana mestinya”.
Kelemahan tersebut, telah ditutupi dengan ketentuan Pasal 32 Ayat (2) PP No. 24 Tahun
1997, yaitu : ”Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah
atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik
dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas
tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5
(lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara
tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan
ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau
penerbitan sertipikat tersebut.
Mencermati isi ketentuan Pasal 32 Ayat (2), bahwa sertipikat hak atas tanah dapat
berubah menjadi surat tanda bukti hak yang bersifat mutlak apabila memenuhi
persyaratan-persyaratan atau unsur-unsur secara komulatif, yaitu: a. Sertipikat
diterbitkan secara sah atas nama orang atau badan hukum; b. Tanah diperoleh dengan
itikat baik; c. Tanah dikuasai secara nyata; d. Dalam waktu 5 (lima) tahun sejak
diterbitkannya sertipikat itu tidak ada yang mengajukan keberatan secara tertulis kepada
pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat ataupun
tidak mengajukan gugatan ke pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan
sertipikat.
Ketentuan mengenai batas lampaunya waktu 5 (lima) tahun sebagaimana tersebut dalam
Pasal 32 Ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997, bertentangan dengan: a. Sifat pembuktian
sertipikat hak atas tanah yang hanya merupakan surat tanda bukti hak yang kuat tetapi
tidak mutlak sebagaimana tersebut dalam ketentuan Pasal 32 Ayat (1) PP 24 Tahun
1997; b. Sistem publikasi pendaftaran tanah yang dianut oleh UUPA maupun PP 24
Tahun 1997, yaitu sistem publikasi negatif, walau dalam pelaksanaannya mengandung
unsur positif (bertendensi positif).
4) A. Salah satu prinsip dasar yang diletakkan oleh pemerintah dalam rangka pemamfaatan
tanah adalah untuk kemakmuran rakyat yang dengan cara meletakkan kepentingan
nasional diatas kepentingan individu sekalipun ini tidak berarti kepentingan individu
atau golongan tertentu dapat dikorbankan begitu saja untuk kepentingan umum. Hal ini
terlihat secara tegas dalam berbagai ketentuan dari Undang-Undang Pokok Agraria
antara lain yaitu :
1) Pasal 6; Bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Dalam
pemakaian sesuatu hak atas tanah harus memperhatikan kepentingan masyarakat
seperti juga dalam pasal 33 UUD 1945 ; Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara,dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya bagi kemakmuran rakyat. Sungguhpun dalam UUD 1945 pasal 33 ayat
3 tidak mencantumkan dengan tegas katakata fungsi sosial, namun harus di
tafsirkan bahwa fungsi sosial dari hak rnilik prirnair diartikan hak rnilik itu tidak
boleh rnerugikan kepentingan masyarakat. Dengan dernikian pengertian fungsi
sosial dari pada tanah adalah jalan kornprorni atau hak rnutlak dari tanah seperti
tersebut dalarn rnernori penjelasan Undang-Undang Pokok Agraria.Bahwa
keperluan tanah tidak Baja diperkenankan semata-rnata.untuk kepentingan
pribadi, kegunaannya harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat dari
haknya sehingga bermamfaat, baik untuk kesejahteraan dan kebahagiaan yang
mempunyai tanah juga berrnanfaat untuk rnasyarakat dan kepentingan
perorangan harus saling imbang mengimbangi sebagai dwi tunggal. Noto Negoro
menyatakan bahwa : "Hak untuk mempunyai fungsi sosial itu sebenarnya
rnendasarkan yang individualistis, ditempelkan padanya sifat yang sosialis,
sedangkan kalau berdasarkan Pancasila.Hukum kita tidak berdasarkan atas corak
individualisrne tetapi corak dwi tunggal ".
Jadi rnaksud dwi tunggal adalah bahwa setiap indfvfdualistis mempunyai fungsi
sosial sesuai dengan Pancasila bahwa dalam individu tersebut rnelekat
kepentingan sosial, misalnya hak milik dapat dicabut derni kepentingan sosial.
Berarti semua hak atas tanah dalarn pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria
berarti bukan saja hak milik tetapi sernua hak atas tanah dalam arti hak milik,
hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai mempunyai fungsi sosial,
dengan ini berati semua hak atas tanah dapat mengisi kepentingan nasional dari
rakyat untuk kemakmuran rakyat
2) Pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria yang membatasi berlakunya hukum adat
dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan
bangsa. Dari redaksi pasal UUPA pengertian hukum adat mempunyai arti yang
tersendiri, dimana pasal 5 itu memberi batasan-batasan terhadap hukum adat
tersebut yaitu :
a. Hukum adat tidak boleh bertentangan dengan sosialisme Indonesia.
b. Hukum adat tidak boleh bertentangan dengan negara dan kepentingan
nasional yang berdasarkan persatuan bangsa.
c. Hukum adat tidak boleh bertentangan dengan kesatuan (perundang-undangan
lainnya).
d. Hukum adat harus mengindahkan unsur-unsur yang berdasarkan pada agama.
Sedemikian ketatnya pembatasan hukum adat terhadap walaupun di dalam pasal
3 UUPA membuat suatu pengakuan yang tegas terhadap hak ulayat dan hak-hak
yang serupa yang tunduk pada hukum adat.namun demikian pengakuan tersebut
bila ditinjau dari segi juridis formal adalah merupakan suatu kemajuan tentang
kedudukan hak ulayat dalam UUPA, jadi dengan adanya pengakuan terhadap
hak ulayat secara formal ini akan dapat mengisi pembangunan nasional disatu
pihak dan kepentingan umum secara bersama dilain pihak. Dengan demikian
pemecahan permasaIahan hak ulayat untuk turut serta dalam pembangunan
dengan serius dan menyeluruh dapat diselesaikan dimensi juridis dengan
memperhatikan aspek-aspek sosial,politis, ekonomi dan kultural agar supaya hal
yang demikian tidak akan berkembang menjadi suatu keresahan yang dapat
menggangu stabilitas masyarakat.
3) ada pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria yaitu: Dimana dalam pasal ini
memungkinkan negara untuk mencabut hak atas tanah untuk kepentingan
sosial.Ketentuan pencabutan hak ini adalah merupakan ketentuan, yang
memungkinkan negara untuk melaksanakan politik dan strategi pertahanan
keamanan. Dalam pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum
sebagaimana yang kemudian diatur dalam Undang-Undang nomor 20 tahun
1961, maka pencabutan hak dimaksud hanya kemungkinkan bilamana ada suatu
kepentingan umum yang benarbenar menghendakinya.Kepentingan ini misalnya
untuk pembuatan jalan raya, Pelabuhan, bangunan untuk industri pertambangan,
perumahan dan kesehatan masyarakat serta lainnya dalam rangka pelaksanaan
pembangunan masional.

Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa encabutan dan pembebasan hak
atas tanah oleh pemerintah kepada masyarakat tidak termasuk ke dalam hubungan
keperdataan.
B. Paradigma ganti rugi cenderung bermakna bahwa pemegang hak atas tanah itu sudah
mengalami kerugian sebelum pelepasan tanahnya untuk kepentingan umum. Hal ini
berbeda dengan kompensasi. Dalam paradigma kompensasi, proyek pengadaan tanah
menjamin kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya, bukan proses pemiskinan
masyarakat. Dengan demikian istilah yang tepat untuk digunakan adalah kompensasi.
Ganti rugi itu identik dengan korban. Di sisi lain, dalam pengadaan tanah tidak perlu ada
korban. Jika demikian, berarti pembuat undang-undang pada saat membuat undang-
undang telah mengasumsikan bahwa akan ada yang menjadi korban pada saat
pengadaan tanah untuk kepentingan umum, padahal itu tidak seharusnya terjadi.
Keppres Nomor 55 Tahun 1993, Perpres Nomor 36 Tahun 2005 dan Perpres Nomor 65
Tahun 2006 mengandung banyak kelemahan dan bersifat represif yang merugikan
pemilik hak atas tanah. Ada beberapa ketentuan yang menunjukkan semangat represif
tersebut :
1) Perhitungan Ganti Rugi. Tidak adanya ketentuan bahwa pemberian ganti rugi itu
menjamin kehidupan rakyat yang kehilangan hak atas tanahnya jadi lebih baik.
Bentuk ganti rugi yang diatur hanya materiil, bahkan standar nilai ganti rugi tanah
hanya berdasarkan NJOP, bukan berdasarkan harga pasar.
2) Proses Pengadaan Tanah. Jika waktu musyawarah yang ditentukan melewati batas
maka pemegang hak atas tanah tidak memiliki pilihan lain, kecuali dipaksa
menerima ganti rugi yang ditetapkan. Bahkan, hak pemilik tanah atas tanah dapat
dicabut.
3) Panitia Pengadaan Tanah (P2T). P2T yang dibentuk hanya mewakili pemerintah.
Panitia pengadaan tanah ini dipastikan tak akan netral dan obyektif dalam
bernegosiasi untuk pembebasan lahan. Tak ada jaminan bahwa oknum dalam panitia
pengadaan tanah ini bermain mata dengan invenstor yang menyediakan modal untuk
pembebasan lahan.
4) Pencabutan Hak atas Tanah. Rakyat makin dilemahkan dengan kehadiran peraturan
yang memberi kewenangan kepada pemerintah untuk mencabut hak rakyat atas
tanah. Ketentuan ini sangat represif karena memaksa rakyat menyerahkan tanahnya
dengan dalih untuk tidak menghambat pembangunan untuk kepentingan umum.
Nilai ganti kerugian yang dinilai oleh Penilai, merupakan nilai pada saat pengumuman
penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum. Besarnya nilai ganti
kerugian berdasarkan hasil penilaian Penilai, disampaikan kepada Lembaga Pertanahan
dengan berita acara. Nilai ganti kerugian berdasarkan hasil Penilai, menjadi dasar
musyawarah penetap kerugian. Dalam hal bidang tanah tertentu yang terkena Pengadaan
Tanah terdapat sisa yang tidak lagi dapat difungsikan sesuai dengan peruntukan dan
penggunaannya, Pihak yang berhak dapat meminta penggantian secara utuh atas bidang
tanahnya. Yang dimaksud dengan tidak lagi dapat difungsikan adalah bidang tanah yang
tidak lagi dapat dipergunakan sesuai dengan peruntukan dan penggunaan semula,
misalnya rumah hunian yang terbagi sehingga sebagian lagi tidak dapat digunakan
sebagai rumah hunian. Sehubungan dengan hal tersebut, pihak yang menguasai/memiliki
tanah dapat meminta ganti kerugian atas seluruh tanahnya..
Pemberian Ganti Kerugian dapat diberikan dalam bentuk: (1) Uang; (2) Tanah
pengganti; (3) Permukiman kembali; (4) Kepemilikan saham; atau (5) Bentuk lain yang
disetujui oleh kedua belah pihak. Yang dimaksud dengan permukiman kembali adalah
proses kegiatan penyediaan tanah pengganti kepada pihak yang berhak ke lokasi lain
sesuai dengan kesepakatan dalam proses pengadaan tanah. Sementara itu yang dimaksud
dengan bentuk ganti kerugian melalui kepemilikan saham adalah penyertaan saham
dalam kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum terkait dan/atau pengelolaannya
yang didasari kesepakatan antar pihak. Bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah
pihak misalnya gabungan dari 2 (dua) atau lebih bentuk ganti kerugian.
Jadi, dari penjelasan di atas maka tanah yang dibebaskan haknya oleh pemerintah dapat
diganti kerugian berupa kendaraan bermotor asal harga tanah yang dibebaskan seimbang
dengan harga kendaraan bermotor tersebut. Tetapi umumnya yang terjadi di masyarakat
bentuk ganti ruginya adalah uang.

Anda mungkin juga menyukai