0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
73 tayangan6 halaman
Tugas ini membahas hak waris istri kedua dan anak-anaknya atas harta suami yang telah meninggal. Istri kedua dan anak-anaknya dari perkawinan kedua memiliki hak waris atas bagian harta bawaan suami, namun tidak atas harta istri pertama yang meninggal. Pewarisan harta diatur oleh KUH Perdata, di mana hanya keluarga darah yang berhak mewarisi.
Deskripsi Asli:
JAWABAN TUGAS MATA KULIAH TUGAS 2 HKUM4202 Hukum Perdata
Judul Asli
BUKU JAWABAN TUGAS MATA KULIAH TUGAS 2 HKUM4202 Hukum Perdata
Tugas ini membahas hak waris istri kedua dan anak-anaknya atas harta suami yang telah meninggal. Istri kedua dan anak-anaknya dari perkawinan kedua memiliki hak waris atas bagian harta bawaan suami, namun tidak atas harta istri pertama yang meninggal. Pewarisan harta diatur oleh KUH Perdata, di mana hanya keluarga darah yang berhak mewarisi.
Tugas ini membahas hak waris istri kedua dan anak-anaknya atas harta suami yang telah meninggal. Istri kedua dan anak-anaknya dari perkawinan kedua memiliki hak waris atas bagian harta bawaan suami, namun tidak atas harta istri pertama yang meninggal. Pewarisan harta diatur oleh KUH Perdata, di mana hanya keluarga darah yang berhak mewarisi.
KEBUDAYAAN UNIVERSITAS TERBUKA 1. Ketentuan mengenai waris dalam KUH Perdata diatur dalam Bab XII Buku II KUH Perdata. Pasal 832 KUH Perdata menyatakan: “Menurut undang-undang, yang berhak menjadi ahli waris ialah keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun yang di luar perkawinan, dan suami atau isteri yang hidup terlama, menurut peraturan-peraturan berikut ini. Bila keluarga sedarah dan suami atau isteri yang hidup terlama tidak ada, maka semua harta peninggalan menjadi milik negara, yang wajib melunasi utang-utang orang yang meninggal tersebut, sejauh harga harta peninggalan mencukupi untuk itu”. Dengan demikian jika suami meninggal, maka anak, baik itu dari perkawinan pertama maupun kedua, serta istri yang hidup terlama berhak atas harta peninggalan suami. Pun demikian sebaliknya, jika istri meninggal terlebih dahulu. Mereka termasuk ke dalam ahli waris golongan pertama sehingga keberadaan mereka akan menutup ahli waris golongan lain. Adapun golongan ahli waris menurut KUH Perdata adalah sebagai berikut: a. Golongan I (anak-anak dan keturunanya, suami/istri yang hidup terlama); b. Golongan II (orangtua, saudara laki-laki, saudara perempuan, keturunan saudara laki- laki dan perempuan tersebut); c. Golongan III (keluarga sedarah dalam garis lurus keatas sesudah orangtua); d. Golongan IV (paman dan bibi pewaris baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu, keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung dari pewaris, saudara dari kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai derajat keenam dihitung dari pewaris). Lebih lanjut menurut Pasal 852 KUH Perdata: “Anak-anak atau keturunan-keturunan, sekalipun dilahirkan dan berbagai perkawinan, mewarisi harta peninggalan para orangtua mereka, kakek dan nenek mereka, atau keluarga- keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus ke atas, tanpa membedakan jenis kelamin atau kelahiran yang lebih dulu. Mereka mewarisi bagian-bagian yang sama besarnya kepala demi kepala, bila dengan yang meninggal mereka semua bertalian keluarga dalam derajat pertama dan masing-masing berhak karena dirinya sendiri; mereka mewarisi pancang demi pancang, bila mereka semua atas sebagian mewarisi sebagai pengganti”. Begitu pun dengan istri yang hidup terlama, yang menurut Pasal 852a KUH Perdata, disamakan besarannya dengan anak. Namun ada keadaan-keadaan tertentu istri yang hidup terlama haknya tidak sama dengan anak, karena istri/suami yang hidup terlama tidak berhak atas legitieme portie. Legitieme portie atau bagian warisan menurut undang-undang ialah bagian dan harta benda yang harus diberikan kepada para ahli waris dalam garis lurus menurut undang-undang, yang terhadapnya orang yang meninggal dunia tidak boleh menetapkan sesuatu, baik sebagai hibah antara orang-orang yang masih hidup, maupun sebagai wasiat (Pasal 913 KUH Perdata). Mengenai besarnya bagian mutlak, dapat dilihat dalam Pasal 914 – Pasal 916 KUH Perdata. Selain itu, sebagaimana ketentuan Pasal 838 KUH Perdata mengatur bahwa: Orang yang dianggap tidak pantas untuk menjadi ahli waris, dan dengan demikian tidak mungkin mendapat warisan, ialah: a. dia yang telah dijatuhi hukuman karena membunuh atau mencoba membunuh orang yang meninggal itu; b. dia yang dengan putusan Hakim pernah dipersalahkan karena dengan fitnah telah mengajukan tuduhan terhadap pewaris, bahwa pewaris pernah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat lagi; c. dia yang telah menghalangi orang yang telah meninggal itu dengan kekerasan atau perbuatan nyata untuk membuat atau menarik kembali wasiatnya; d. dia yang telah menggelapkan. memusnahkan atau memalsukan wasiat orang yang meninggal itu. Dengan demikian, harta warisan hanya akan dibagikan kepada ahli waris yang dianggap patut menerima waris. Jadi, anak-anak dari istri kedua memiliki hak menjadi ahli waris terhadap suaminya yang telah meninggal dunia. 2. Sebagaiman dijelaskan pada jawaban nomor 1 maka kesepakatan pemberian bagian tertentu dari harta warisan Vano terhadap istri kedua dan anak-anaknya sah dan diakui oleh hukum, dengan ketentuan sebagai berikut : Terkait pembagian harta warisan dari perkawinan yang kedua, terlepas dari ada atau tidaknya perjanjian pisah harta, istri kedua tidak mendapat bagian harta bersama dari tanah objek waris tersebut karena tanah tersebut merupakan harta bawaan suami (diperoleh suami sebelum pernikahannya yang kedua). Bagian suami atas tanah tersebut diperoleh sang suami dari warisan mendiang istri pertama. Apabila sang suami meninggal lebih dahulu dari istri kedua, sehingga dalam hal ini istri kedua sempat menjadi ahli waris dari suami. Dengan meninggalnya suami, maka suami mewariskan 6/10 bagian tanah tersebut kepada istri kedua, 4 orang anak dari perkawinannya yang pertama, dan 2 orang anak dari perkawinannya yang kedua. Dengan demikian, jumlah ahli waris pada peristiwa hukum ini adalah tujuh orang. Masing-masing ahli waris mendapat bagian yang sama besar dan tidak ada bagian harta bersama (karena 6/10 bagian tanah tersebut merupakan harta bawaan suami). Bagian masing-masing ahli waris pada peristiwa hukum ini adalah 6/70 bagian. Pewarisan kembali terjadi dengan meninggalnya istri kedua. Dalam hal ini, keturunan dari istri kedua, yaitu 2 orang anaknya berhak atas bagian tanah objek waris (6/70 bagian) yang ditinggalkan oleh ibunya. Bagian tanah tersebut akan dibagi rata antara kedua anaknya sehingga masing-masing anak memperoleh 6/140 bagian (atau sama dengan 3/70 bagian). Jadi, dengan terjadinya peristiwa-peristiwa hukum sebagaimana kasus di atas, pihak-pihak yang berhak mewaris adalah 4 orang anak dari perkawinan yang pertama dan 2 orang anak dari perkawinan yang kedua. Bagian yang berhak diterima oleh masing-masing ahli waris adalah: a. Bagian masing-masing anak dari perkawinan pertama: 13/70 bagian. (1/10 bagian dari warisan ibu mereka [istri pertama] ditambah 6/70 bagian dari warisan ayah mereka [sang suami]); b. Bagian masing-masing anak dari perkawinan kedua: 9/70 bagian. (6/70 bagian dari warisan dari ayah mereka [sang suami] ditambah 6/140 bagian dari warisan ibu mereka [istri kedua]). 3. Dalam penerapan hukum waris, apabila seorang pewaris yang beragama selain Islam meninggal dunia, maka yang digunakan adalah sistem pewarisan berdasarkan Hukum Waris sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”). Menurut KUHPerdata, prinsip dari pewarisan adalah: a. Harta Waris baru terbuka (dapat diwariskan kepada pihak lain) apabila terjadinya suatu kematian. (Pasal 830 KUHPerdata); b. Adanya hubungan darah di antara pewaris dan ahli waris, kecuali untuk suami atau isteri dari pewaris. (Pasal 832 KUHPerdata), dengan ketentuan mereka masih terikat dalam perkawinan ketika pewaris meninggal dunia. Artinya, kalau mereka sudah bercerai pada saat pewaris meninggal dunia, maka suami/isteri tersebut bukan merupakan ahli waris dari pewaris. Berdasarkan prinsip tersebut, maka yang berhak mewaris hanyalah orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris. Baik itu berupa keturunan langsung maupun orang tua, saudara, nenek/kakek atau keturunannya dari saudara-saudaranya. Sehingga, apabila dimasukkan dalam kategori, maka yang berhak mewaris ada empat golongan besar, yaitu: a. Golongan I: suami/isteri yang hidup terlama dan anak/keturunannya (Pasal 852 KUHPerdata). b. Golongan II: orang tua dan saudara kandung Pewaris c. Golongan III: Keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu pewaris d. Golongan IV: Paman dan bibi pewaris baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu, keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung dari pewaris, saudara dari kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai derajat keenam dihitung dari pewaris. Golongan ahli waris ini menunjukkan siapa ahli waris yang lebih didahulukan berdasarkan urutannya. Artinya, ahli waris golongan II tidak bisa mewarisi harta peninggalan pewaris dalam hal ahli waris golongan I masih ada. menurut Pasal 852 KUH Perdata: Anak-anak atau keturunan-keturunan, sekalipun dilahirkan dan berbagai perkawinan, mewarisi harta peninggalan para orangtua mereka, kakek dan nenek mereka, atau keluarga- keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus ke atas, tanpa membedakan jenis kelamin atau kelahiran yang lebih dulu. Mereka mewarisi bagian-bagian yang sama besarnya kepala demi kepala, bila dengan yang meninggal mereka semua bertalian keluarga dalam derajat pertama dan masing-masing berhak karena dirinya sendiri; mereka mewarisi pancang demi pancang, bila mereka semua atas sebagian mewarisi sebagai pengganti. Begitu pun dengan istri yang hidup terlama, yang menurut Pasal 852a KUH Perdata, disamakan besarannya dengan anak. Namun ada keadaan-keadaan tertentu istri yang hidup terlama haknya tidak sama dengan anak, karena istri/suami yang hidup terlama tidak berhak atas legitieme portie. Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa anak-anak dari istri kedua Vano yang notabene merupakan anak tiri tidak memiliki hak waris atas harta peninggalan dari istri pertamanya, karena anak tiri tidak memiliki hubungan darah dengan istri pertama. Akan tetapi anak tiri bias mendapat bagian dengan adanya wasiat dari istri pertama.