Anda di halaman 1dari 17

TUGAS 2

INTERPRETASI DAN PENALARAN HUKUM

Oleh :
SUHENDI
NIM : 031192224
Program Studi : Ilmu Hukum S1

UPBJJ SERANG

FAKULTAS HUKUM ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS TERBUKA
TAHUN 2020.2
Tugas.2
Skor Sumber Tugas
No Tugas Tutorial
Maksimal Tutorial
1 Sebutkan jenis-jenis interpretasi purposive 25 Modul 6
kemudian jelaskan secara singkat!
2 Jelaskan tahapan dalam interpretasi kontekstual 25 Modul 6
3 Jelaskan pengertian hermeneutika hukum besera 25 Modul 5
urgensinya!
4 Sebutkan enam langkah utama hermeneutika 25 Modul 5
hukum?

Jawaban 1

Ada 6 jenis intepretasi konstitusi yang diperkenalkan oleh Hobbit dimana


menurut Albert H.Y Chen adalah termasuk dalam ruang lingkup interpretasi
purposive, diantaranya ada :

Penafsiran Etikal, yang merupakan metode penafsiran konstitusi dengan


pendekatan filsafati, moral atau aspirasi. Contohnya yang sering dilakukan
oleh Hakim Frank Caprio dalam channel videonya :
Hakim Frank Caprio
Hakim Frank sering mengatasnamakan norma konstitusi negaranya dengan
mendekatkan kepentingan pelanggar lalu lintas yang sedang mengalami
kesulitan financial, kegawatdaruratan, bahkan secara psikologis terganggu
karena sedang menjalani persidangan perceraian misalnya;

Penafsiran structural, adalah metode penafsiran suatu undang-undang


dengan konstitusi yang derajat normanya lebih luas. Tekstual dalam UU tidak
serta merta diterapkan secara langsung, akan tetapi mempertimbangkan nilai
yang ada dalam konstitusi. Misalnya, dalam kasus Ustad Baasyir yang
dimungkinkan untuk mendapatkan pembebasan bersyarat dengan alasan
pertimbangan Presiden yang mendalih kan perlakuan khusus bagi lansia yang
terdapat dalam konstitusi dan kewenangan atribusi Presiden memungkinkan
untuk melakukan putusan atau kebijaksanaan. Akan tetapi kasus ini tidak
diteruskan oleh sebab Ustad Baasyir menolak untuk menandatangani
dokumen setia kepada Pancasila.
Penafsiran hitoris, adalah metode penafsiran original intent yang didasarkan
pada sejarah pembahasan dan pembentukan konstitusi atau undang-undang.
Contoh adalah kasus Jones Vs Menara Boot Co. yang kasusnya oleh
pengadilan tingkat kota ditafsirkan berbeda oleh Hakim Pengadilan Banding.
Para hakim menggunakan pendakatan purposive dengan memeriksa
peristiwa hukum ini adalah terkait dengan konteks perselisihan dalam
pekerjaan bukan semata delik kekerasan fisik yang dialami oleh warga kulit
hitam. Hakim mempertimbangkan bahwa sewaktu UU tentang
Ketenagakerjaan dibuat memang dilatarbelakangi sejarah diskriminasi
terhadap pekerja kulit hitam.
KRITIK DAN CONTOH PENAFSIRAN LITERAL
Penafsiran Literal adalah metode menafsirkan hukum berdasarkan tekstual
yang tertulis dalam undang-undang. Oleh Sartjipto Raharjo, metode literal ini
adalah bagian dari semangat yang mengharuskan idealnya setiap kalimat
pasal dalam undang-undang sudah jelas (scripta).

Kritik terberat untuk metode literal adalah karena pembuat undang-undang


dalam menyusun norma pasal tidak mempertimbangkan bagaimana nantinya
para hakim memeriksa dan mengadili perkara hukum yang timbul karena
adanya Undang-undang itu. Sebagian menyatakan metode literal jika
dipaksakan dapat menjadikan kebebasan hakim dalam memeriksa dan
melakukan pertimbangan dapat menjadi terbatas, atau telah dibatasi oleh
pembuat Undang-undang.

Jawaban 2

Metodologi Interpretasi Kontekstual Abdullah Saeed

Seiring dengan denyut nadi perkembangan zaman yang terus berubah, pada kenyataannya
ilmu pengetahuan mengalami perkembangan dan pergeseran teori dalam penggal waktu tertentu.
Sebab kontsruksi teoritis ilmu pengetahun yang merupakan produk zaman tertentu tidak secara
universal berlaku dan cocok untuk zaman berikutnya yang notabene memiliki karakteristik
kesejarahan yang berbeda dengan waktu dan tempat di mana konstruksi itu pertama kali dibangun.
Inilah yang dimaksudkan oleh Thomas S. Kuhn dengan Shifting Paradigm dalam wilayah science.[1]

Kajian terhadap al-Qur’an dewasa ini juga mengalami apa yang disebut Kuhn sebagai
pergeseran paradigma. Dalam buku Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an, Abdul Mustaqim
menggambarkan perkembangan dan pergeseran paradigma, teori, dan pendekatan yang digunakan
dalam memahami al-Qur’an sejak era klasik sampai era modern. Lebih jauh, Mustaqim membagi
sejarah penafsiran ke dalam tiga periode: mażāhib al-tafsīr periode klasik (abad I-II H/ 6-7
M), mażāhib al-tafsīr periode pertengahan (abad III-IX H/ 9-15 M), dan mażāhib al-tafsīr periode
modern-kontemporer (abad XII-XIV H/ 18-21 M) yang masing-masing periode memiliki karakteristik
dan keunikan yang berbeda.

Mustaqim kemudian lebih jauh menyatakan bahwa tidak seperti karakteristik tafsir periode
sebelumnya yang cenderung bersifat ideologis, repititif, dan parsial, karakteristik penafsiran
modern-kontemporer lebih bernuansa hermenutis, ilmiah, kritis, non-sektarian, kontekstual, dan
berorientasi pada spirit al-Qur’an. Mengungkapkan makna kontekstual dan berorientasi pada
semangat al-Qur’an, sebut Mustaqim, merupakan karakteristik yang menonjol di era modern-
kontemporer ini.[2]
Abdullah Saeed menyebutkan bahwa munculnya karakteristik penafsiran kontemporer yang
cenderung berbeda dengan masa sebelumnya merupakan respon terhadap perkembangan global
dalam banyak sektor, seperti perpolitikan, lingkungan, dan etika, yang mendesak umat Muslim untuk
mencari keseimbangan antara kehidupan mereka dengan nilai-nilai modernitas.

Model Interpretasi Kontekstual Abdullah Saeed

Secara etimologi, kata kontekstual berasal dari kata benda bahasa Inggris yaitu context yang
menjadi istilah dalam bahasa Indonesia dengan kata ‘konteks’ yang dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia kata ini setidaknya memiliki dua arti, 1) Bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat
mendukung atau menambah kejelasan makna, 2) Situasi yang ada hubungannya dengan suatu
kejadian.[3]

Para kontekstualis, sebagaimana dijelaskan Saeed, adalah para sarjana muslim yang percaya
bahwa ajaran-ajaran yang tertuang dalam al-Qur’an harus diaplikasikan dalam cara yang berbeda
sesuai dengan konteks yang mengitarinya. Mereka cenderung memandang al-Qur’an sebagai
sumber pedoman praktis yang harus diimplentasikan secara berbeda dalam kondisi dan situasi yang
berbeda pula, bukan seperangkat hukum yang kaku. Sarjana muslim yang menggunakan pendekatan
kontekstual ini berargumen bahwa seorang penafsir harus mengetahui konteks sosial, politik, dan
budaya saat wahyu al-Qur’an diturunkan dan juga konteks yang terjadi saat ini.[4]

Berbeda dengan kelompok tekstualis yang mendasarkan penafsiran mereka dengan analisis
bahasa semata[5], kelompok kontekstualis melakukan eksplorasi yang lebih jauh lagi dengan
merangkul disiplin keilmuan modern, seperti hermeneutika dan teori sastra, serta disiplin ilmu yang
lain. Salah seorang tokoh kontekstualis – walaupun tidak menyebut dirinya secara eksplisit sebagai
kontekstualis – adalah Fazlur Rahman.[6] Saeed sendiri terlihat sangat mengagumi sosok Rahman, ini
dapat dilihat dari pujian Saeed terhadap pemikiran Fazlur Raman dalam buku Interpreting the
Qur’an Towards a Contemporary Approach.

Bagi Saeed, Rahman merupakan salah seorang tokoh muslim modern yang sangat berjasa
dalam mengembangkan pendekatan kontemporer atas al-Qur’an. Teori double movement Rahman
telah banyak memberikan warna baru dalam pemikiran Saeed yang kemudian ia kembangkan
sendiri. Double movement adalah proses penafsiran yang melihat realitas yang terjadi sekarang lalu
melihat masa pewahyuan al-Qur’an untuk mengambil pesan-pesannya, kemudian menerapkan
pesan tersebut dalam kehidupan sekarang (from the present situation to Qur’anic times, then back
to the present).[7]

Saeed yang cenderung mengikuti pola penafsiran Rahman yang mempertimbangkan konteks
dulu dan sekarang tidak hanya meniru pendekatan tersebut, tetapi mengembangkannya. Dengan
ilmu yang diperoleh dari Rahman melalui berbagai karyanya akan pentingnya menyelidiki konteks
masa pewahyuan, Saeed merumuskan langkah penafsiran kontekstualnya sebagai berikut:[8]
Model Penafsiran

Teks

Tingkatan I

Perjumpaan dengan dunia teks

Tingkatan II

Analisis Kritis

Linguistik

Konteks Sastra

Bentuk Sastra

Teks-Teks yang Paralel

Preseden

Tingkatan III

Makna untuk para penerima Pertama

Konteks sosio-historis

Pandangan dunia

Sifat pesan: legal, teologi, etika

Pesan: Kontekstual versus universal

Hubungan antara pesan tersebut dengan pesan al-Qur’an secara keseluruhan

Tingkatan IV

Makna untuk saat ini

Analisa konteks sekarang

Konteks saat ini versus konteks sosio-historis

Makna dari penerima pertama sampai saat ini

Pesan: Kontekstual versus universal


Aplikasi untuk saat ini

Tahap pertama, perjumpaan dengan dunia teks (encounter with the world of the text). Yang
penulis pahami dari tahap pertama ini adalah menentukan ayat dan tema yang akan ditafsirkan.

Tahap kedua adalah tahap memahami kandungan ayat dengan analisa kritis (critical analysis).
Fokus untuk tahap kedua ini adalah untuk mengetahui bagaimana susunan dan bunyi linguistik al-
Qur’an dengan cara menegasikan terlebih dahulu hubungan ayat dengan konteks, baik masa lalu
maupun masa sekarang.[9] Penekanannya terletak pada analisa kebahasaan dengan memperhatikan
beberapa aspek, yaitu aspek linguistik, konteks sastra (literary context), bentuk sastra (literary form),
teks-teks yang berkaitan (parallel texts), dan aspek preseden (precedents).

Maksud dari analisa linguistik adalah analisa yang berhubungan dengan bahasa teks, arti kata
ayat dan frasanya, dan analisa sintaksis ayat maupun beberapa ayat sesuai dengan ayat yang sedang
diteliti. Secara umum, yang diteliti adalah semua aspek bahasa dan gramatikal teks, termasuk ragam
bacaan (qiraat).[10]

Konteks sastra berkaitan dengan fungsi teks yang sedang diteliti dalam lingkup yang lebih luas,
seperti, contoh sederhananya, bagaimana hubungan suatu ayat dengan ayat sebelum dan
sesudahnya.[11] Adapun bentuk sastra dimaksudkan untuk mengidentifikasi bentuk teks, apakah
tentang historis, ibadah, hukum, atau matsal.

Mengenai aspek teks-teks yang berkaitan (parallel texts) dan aspek preseden, sejauh
pemahaman penulis adalah ayat-ayat lain dalam al-Qur’an secara keseluruhan yang masih setema
dan memiliki keterkaitan dengan ayat yang sedang diteliti. Bedanya, parallel texts  mencari
persamaan dan perbedaan antar ayat, sedangkan aspek preseden mengidentifikasi kronologi waktu
pewahyuan antar ayat dan menyusunnya sesuai dengan tahapan wahyu diturunkan.

Tahap ketiga adalah mulai memahami teks sebagaimana dipahami oleh komunitas Muslim
penerima wahyu pertama dan sejalan dengan konteks pada masa itu. Menurut Saeed, ada lima
aspek yang perlu dilakukan dalam tahap ini.[12] Pertama, analisa konteks ayat yang berisi informasi
sosial historis yang lebih memerinci maksud teks, termasuk di dalamnya analisa kultur masyarakat,
sudut pandang, nilai dan norma, serta kepada siapa ayat tersebut ditujukan secara spesifik.

Kedua, menentukan hakikat pesan, apakah bersifat teologis, hukum atau etis. Aspek ini
merupakan kelanjutan dari aspek analisa bentuk sastra pada tahap sebelumnya. Setelah menilai dari
segi bentuk kata dan kalimat, pada aspek menetukan hakikat pesan, telaah yang dilakukan lebih
mendalam bagaimana ayat dipahami oleh komunitas Muslim pertama.

Ketiga, mengeksplorasi pesan pokok dan spesifikasinya, apakah bersifat temporal spesifik atau
universal. Yang hendak dicari pada tahap ini adalah apakah ayat yang dikaji termasuk ayat yang
memiliki nilai implementasional atau ayat yang memiliki nilai instruksional. Apabila termasuk yang
implementasional, maka bisa diaplikasikan nilai yang terkandung di dalamnya. Namun, apabila
menyangkut ayat temporal, maka ayat ini dipahami sebagai ayat historis.

Keempat, mencari keterkaitan ayat dengan tujuan utama al-Qur’an (relationship of the
message to the overall message of the Qur’an). Kelima, meninjau ulang penafsiran audiens pertama
bagaimana mereka memahami dan mengamalkannya (evaluating how the text was received by the
first community and how they interpreted, understood, and applied it).

Tahap terakhir adalah mengaitkan teks (ayat al-Qur’an) dengan konteks sekarang. Ada enam
hal yang harus dilakukan pada tahap ini.[13] Pertama, menentukan permasalahan dan kebutuhan
saat ini yang tampak relevan dengan pesan teks yang sedang ditafsirkan. Kedua dan ketiga,
mengetahui konteks sosial, politik, ekonomi, hukum, budaya, serta mengetahui nilai, norma, dan
institusi tertentu pada saat ini. Keempat, membandingkan kondisi masa awal penerimaan wahyu
dengan kondisi saat ini. Kelima, menghubungkan keduanya untuk dipahami dan diamalkan. Keenam,
mengevaluasi aspek spesifik dan universal ayat yang ditafsirkan dengan tujuan al-Qur’an secara lebih
luas.[14]

Poin-poin di atas akan mengantarkan penafsir kepada aplikasi pesan teks yang
dipertimbangkan dengan konteks masa kini dan memungkinkan untuk tingkat pengaplikasian yang
lebih luas lagi terhadap lingkungan kontemporer.[15]

Daftar Pustaka

Kuhn, Thomas.1970. the Structure of Scientific Revolutions. Chicago: The University of Chicago Press, 1970.

Muhammad, Wildan Imaduddin. 2015. “Penafsiran Ayat Jizyah dengan Metodologi Tafsir Kontekstual”,
skripsi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

Mustaqim, Abdul. 2014. Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an. Yogyakarta: Adab Press.

Rahman, Fazlur. 1982. Islam and Modernity Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: The


University of Chicago Press,

https://media.neliti.com/media/publications/152438-ID-metodologi-penafsiran-kontekstual-
analis.pdf

https://ejournal.iainpalopo.ac.id/index.php/alasas/article/download/933/702

jawaban 3

Hermeneutika hukum adalah penafsiran yang digunakan untuk mebebaskan kajian-kajian


hukum dari otoritarianisme para yuris positif. Urgensi penggunaan hermeneutika pada
prinsipnya adalah sebagai upaya menemukan dan menyajikan makna yang sebenarnya dari
tanda-tanda apapun yang digunakan untuk menyampaikan ide-ide. Urgensi lain dari
hermeneutika untuk mengkaji dan menggali maupu meneliti makna-makna teks baik dari
perspektif pengguna atau pembaca. Sementara itu, apabila dikaitkan dengan keilmuan hukum
adalah urgensi hermeneutika adalah agar para pengkaji hukum dapat menggali dan meneliti
makna-makna hukum baik dari perspektif pembaca maupun dari pencari keadilan. Untuk
mengkaji, meneliti dan menggali makna-makna yang terkandung dalam teks hukum maka
digunakan metode interpretasi yang dalam keilmuan filsafat dikenal dengan hermeneutika
hukum.

Secara etimologis, hermeneutika merupakan padanan kata dari bahasa inggris yaitu
“hermeneutics” dan dari bahasa yunani “hermeneuein” yang berarti menerjemahkan atau
bertindak sebagai penafsir. Dalam konteks menerjemahkan sebuah teks berbahasa asing ke
dalam bahasa sendiri, maka perlu dipahami terlebih dahulu teks tersebut, selanjutnya
mencoba untuk memahami artikulasi melalui pemilihan kata-kata dan rangkaan terjemahan.
Kegiatan penerjemahkan bukankan sekedar menukar kata-kata asing ke dalam kata-kata kita,
melainkan memberi penafsiran. Dengan demikian hermeneutika diartikan sebagai kegiatan
untuk menyingkap makna sebuah teks. Selanjutnya teks yang dimaksud adalah bukan hanya
dalam bentuk tulisan kata-kata saja melainkan teks adalah prilaku, tindakan, norma, mimik,
tata nilai, isi pikiran, percakapan, bendabenda kebudayaan, objek-objek sejarah, dan
sebagainya atau dapat dikatakan bahwa apapun yang dapat dimaknai oleh manusia maka itu
juga dapat disebut teks sehingga memerlukan hermeneutika untuk memahami semua itu.

Di sisi lain, dalam kaitannya dengan problem, khususnya problem hukum, hermeneutika juga
memiliki peran penting. Istilah problem berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat
diartikan masalah atau permasalahan. Dengan demikian problem hukum dapat diartikan
permasalahan-permasalahan yang ada dalam hukum. Memahami arti kata problem tersebut
maka dalam penggunaan hermeneutika dapat digunakan sebagai cara atau metode dalam
penyelesaian suatu permasalahan yang ada pada hukum. Jazim Hamidi menegaskan bahwa
hermeneutika mempunyai peran penting bagi pembentuk undang-undang dan peraturan
kebijakan yang pada tahap pembentukan sarat dengan kegiatan penafsiran. Peraturan
kebijakan yang sarat dengan kegiatan penafsiran juga termasuk didalamnya Peraturan Daerah
(Perda). Hal ini menandakan bahwa dalam konteks pembentukan Perda sarat dengan kegiatan
hermeneutika hukum atau penafsiran hukum.

Dalam memahami problem yang ada dalam hukum dapat dikatagorikan berbagai problem
yang melingkupi teks hukum. Problem tersebut dapat berupa problem filosofis, problem
sosilogis, problem yuridis, problem teoritik dan problem fungsi dan prolem politik hukum
serta banyak lagi problem-problem hukum yang lain. Yang dimaksud dengan problem
filosofis dalam konteks ini adalah adanya ketidakadilan dalam hukum, problem sosiologis
dapat dipahami bahwa adanya pengabaian hukum terhadap masyarakat, problem yuridis
adalah adanya permasalahan yang melingkupi teks hukum, problem teoritik adalah adanya
permasalahan dalam tataran teoritik, problem fungsi adalah adanya permaalahan yang
melingkupi fungsi dan problem politik hukum adalah ada permasalahan dalam keberadaan
hukum yang sekarang yang berakibat pada perlunya pembentukan hukum baru. Dengan
memahami problem-problem yang terkait dengan hukum maka tampak jelas pentingnya
memahami hermeneutika hukum khususnya dalam konteks memahami problem hukum. Oleh
karena itu, penting untuk dikaji lebih lanjut urgensi hermeneutika hukum dalam memahami
problem, khususnya problem hukum dalam pembentukan Peraturan Daerah.
http://pa-bengkulukota.go.id/foto/Hermeneutika%20Hukum%20Sebagai%20Metode
%20Penemuan%20Hukum.pdf

https://jurnalkonstitusi.mkri.id/index.php/jk/article/download/1315/214

jawaban 4

Pengertian Hermeneutik
Secara etimologis, kata “hermeneutik” berasal dari bahasa Yunani hermeneunien yang berarti
“menafsirkan”. Maka, kata  benda hermeneunien secara harfiah dapat diartikan sebagai
“penafsiran” atau interpretasi. Istilah Yunani ini mengingatkan kita pada tokoh mitologis
yang bernama Hermes, yaitu seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan
Yupiter kepada Manusia. Hermes digambarkan seseorang yang mempunyai kaki bersayap
dan lebih bayak dikenal dengan sebutan Mercurius dalam bahasa latin. Tugas Hermes adalah
menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di Gunung Olympus ke dalam bahasa yang
dimengerti manausia. Oleh karena itu, fungsi Hermes adalah penting sebab bila terjadi
kesalah pahaman tentang pesan dewa-dewa, akibatnya akan fatal bagi seluruh umat manusia
hermes harus mampu mengintrepretasikan atau menyadur sebuah pesan ke dalam bahasa
yang di pergunakan oleh pendengarannya. Sejak saat itu Hermes menjadi simbol seorang
duta yang dibebani dengan sebuah misi tertentu. Berhasil tidaknya misi itu sepenuhnya
tergantung tata cara bagaimana pesan itu disampaikan[4].
Sebagai turunan dari simbol dewa, hermeneutika berarti suatu ilmu yang mencoba
menggambarkan bagaimana sebuah kata atau suatu kejadian pada waktu dan budaya yang
lalu dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi sekarang.
Dengan kata lain, hermeneutika merupakan teori pengoprasian pemahaman dalam
hubungannya dengan interpretasi terhadap sebuah teks. Karena kajian objek utamanya adalah
pemahaman maka pesan yang terkandung dalam teks dengan variabelnya, maka tugas utama
hermeneutika adalah mencari dinamika internal yang mengatur struktur kerja suatu teks
untuk memproyeksikan diri keluar dan kemungkinan makna itu muncul[5].
Menurut istilah, hermeneutika biasa dipahami sebagai: “the art and science of interpreting
especially authoritative writings; mainly in application to sacred scripture, and equivalent to
exegesis” (seni dan ilmu menafsirkan khususnya tulisan-tulisan berkewenangan, terutama
berkenaan dengan kitab suci dan sama sebanding dengan tafsir). Ada juga yang memahami
bahwa hermeneutika merupakan sebuah filsafat yang memusatkan bidang kajiannya pada
persoalan “understanding of understanding (pemahaman pada pemahaman)” terhadap teks,
terutama teks Kitab Suci, yang datang dari kurun, waktu, tempat, serta situasi sosial yang
asing bagi para pembacanya[6].
Tentang makna hermeneutika,Zygmunt Bauman seperti yang dikutip oleh Komaruddin
Hidayat, mengatakan bahwa hermeneutika adalah upaya menjelaskan dan menelusuri pesan
dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang
dan kontradiksi sehingga menimbulkan keraguan dan kebingungan bagi pendengar atau
pembaca.

Hermeneutika merupakan satu disiplin yang perhatian utamanya dicurahkan pada aturan-
aturan penafsiran terhadap teks[7].Ada yang megidentikkan hermeneutika dengan seni atau
sains penafsiraan, ada yang mengartikannya sebagai metode penafsiran. Hermeneutik
merupakan teori untuk mengoperasionalkan pemahaman dalam hubungannya dengan
penafsiran terhadap teks[8]. Hermeneutik sebagai cara membaca yang sensitif terhadap hal
yang dianggap penting untuk memahami inti dari tradisi penafsiran. Untuk itu ia berkaitan
dengan bahasa.
Menurut Nasr, dalam memahami makna teks harus dilihat adanya tiga faktor, yaitu penulis
teks (al mu’allif) , teks itu sendiri (al nas), serta pembaca (al naqid)[9].Sedangkan Khalid
Abou al-Fadl mengungkapkan tentang karakteristik dinamika antara pengarang, teks, dan
pembaca. Pertanyaan yang muncul adalah: apa/siapa yang harus menentukan makna dalam
sebuah penafsiran? Setidaknya ada tiga kemungkinan jawaban.
Kemungkinan pertama adalah bahwa makna ditentukan oleh pengarang atau setidakya oleh
upaya pemahaman terhadap maksud pengarang. Pengarang sebuah teks tampaknya telah
memformulasikan maksudnya ketika ia membentuk sebuah teks, dan pembaca berusaha
memahami maksud pengarang atau harus berusaha memahaminya. Gagasan tentang
menyusun maksud pengarang dalam menyusun makna dipandang sebagai hal yang kompleks
dan problematis. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa maksud pengarang dipandang tidak
penting dalam menentukan sebuah makna.

Kemungkinan kedua berpusat pada peranan teks dalam menentukan makna, dan pengakuan
atas tingkat otonomi teks dalam menentukan makna. Teks, yang mempunyai sistem makna
bahasa yang rumit, dipandang sebagai satu-satunya sarana yang mengklaim kewenangan
menentukan makna. Teks dipandang sebagai entitas komplek yang maknanya tergantung
pada sejarah dan konteksnya.

Kemungkinan ketiga adalah memberikan penetapan makna kepada pembaca. Semua pembaca
membawa serta subyektivitas mereka ke dalam proses pembacaan. Pembaca
memproyeksikan subyetivitasnya kepada kehendak pengarang dan teks[10].
Tokoh-Tokoh Hermeneutika
D. E. Scehleiermacher
Scehleiermacher menawarkan sebuah rumusan positif dalam bidang seni dan interpretasi,
yaitu rekontruksi historis, obyektif dan subyektif terhadap sebuah pernyataan. Dengan
rekontruksi obyektif-historis terhadap sebuah pernyataan. Dengan rekontruksi obyektif
historis, ia bermaksud membahas sebuah pernyataan dalam hubungan dengan bahasa sebagai
keseluruhan. Dengan rekontruksi subyektif-historis ia membahas awal mulanaya sebuah
pernyataan masuk dalam pikiran seseorang. Scehleiermacher sendiri menyatakan bahwa
tugas hermeneutik adalah memahami teks sebaik atau lebih baik dari pengalamannya sendiri
dan memahami pengarang teks lebih baik daripada pengarangnya sendiri dan memahami
pengarang teks lebih baik daripada memahami diri sendiri[11].
Hans-George Gadamer
Gadamer boleh kita sebut sebagai hermeneut sejati. Gadamer secara mendasar menegaskan
bahwa persoalan hermeneutik bukanlah persoalan tentang metode tidak mengajarkan tentang
metode yang digunakan untuk Geisteswissenschaften. Hermeneutik lebih merupakan usaha
memahami dan menginterprestasi sebuah teks. Hermeneutik merupakan bagian dari
keseluruhan pengalaman mengenai dunia. Hermeneutik berhubungan dengan suatu teknis
atau techne tertentu, dan berusaha kembali kesusunan tata bahasa, karena techne 
atau kunstlehre ( ilmu tentang seni ) inilah maka hermeneutik menjadi sebuah ‘filsafat
praktis’, yang juga berarti sebuah ilmu pengetahuan tentang segala hal yang universal yang
mungkin untuk diajarkan Pemahaman pada dasarnya berkaitan dengan hubungan antar makna
dalam sebuah teks, serta pemahaman tentang realitas yang kita perbincangkan. Dan inilah
yang dimaksudkan denagan ‘dinamika perpaduan berbagai macam factor’ dalam sebuah
bahasa. Namun hermeneutik bukan nerupakan kemampuan teknis.
Empat faktor yang terdapat di dalam interprestasi adalah:
 Bildung: juga disebut pembentukan jalan pikiran, ini menggambarkan cara utama manusia
dalam memperkembangkan bakat-bakatnya.
 Sensus communis atau pertimbangan praktis yang baik: istilah ini mempunyai komonitas.
Karena sensus communis inilah maka kita dapat mengetahui hampir-hampir secara
interpretasi.
 Pertimbangan: menggolongan-golongkan hal-hal yang khusus atas dasar pandangan tentang
yang universal, atau mengenali sesuatusebagai contoh perwujudan hukum. Dalam hal ini, kita
terutama memahami pertimbangan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan apa yang harus
dilakukan, sesuatu yang tidak dapat dipelajari ataupun diajarkan, tetapi hanya dapat
dilaksanakan dari satu kasus ke kassus yang lainnya.
 Selera: adalah keseimbangan antara insting pancaindra dengan kebebasan intelektual. Seler
dapat diperlihatkan dan membuat kita mundur dari hal-hal yang kita sukai, serta meyakinkan
kita dalam membuat pertimbangan.
Dari semuanya itu, konsep tentang pengalaman termasuk didalamnya. Sifat pengalaman
adalah personal dan individu, jadi hanya akan valid jika diyakinkan dan diulangi oleh
individu lain. Pengalaman yang benar hanyalah yang secara histories dimiliki oleh seseorang.
Orang yang berpengalaman mengetahui keterbatssan semua prediksi dan ketidak tentuan
semua rencana. Seorang yang berpengalaman perlu selalu bersikap terbuka terhadap
pengalaman baru, menjauhkan diri dari hal-hal yang bersifat statis dan dogmatik, mencri
fleksibilitas dan transparansi yang memungkinkannya untuk menerima kebenaran yang
berasal dari dunia eksternal dalam arah yang memusat. Pengalaman mengajarkan kepada kita
kemmpuan mengenali realitas, termasuk juga realitas tentang “engkau” atau ‘yang lain’
dalam teks atau peristiwa sejarah. Pengalaman yang datang dan pergi antara “Aku dan
Engkau” besifat dialetik dan menurut semacam keterbukaan tanpa prsangka atau ketrebukaan
yang tulus[12].
Jurgen Habermas
Pendekatan hermeneutik mengandaikan adanya aturan – aturan linguistic transcendental pada
tindakan komunikakatif, sebab akal pikiran atau penalaran sifatnya melebihi bahasa.
Pemahaman hermeneutic mempunyai tiga momentum, yaitu[13]:
 Pengetahuan praktis yang reflektif mengarahkan kita kepada pengetahuan tentang diri sendiri,
sebab dengan meliahat dimensi social kita melihat diri kita sendiri. Untuk itu kita harus
mampu membaurkan diri ke dalam masyarakat.
 Pemahaman hermeneutic memerlukan penghayatan dan bila dihubungkan dengan ‘kerja’ akan
membawa kita ke tindakan nyata atau praxis atau perpaduan antara pengetahuan dan
bentuknya.
 Pemahaman hermeneutic siatnya global, yaitu mengandaikan adanya tujuan khusus dan
pemahaman ini dapat ditentukan secara independent atau bebas dengan maksud untuk
mencapai perealisasinya. Melalui tindakan komunikatif, pemahaman hermeneutic mempunyai
bentuknya yang hidup, kehidupan social.
Jaques Derrida
Keseluruhan gagasan tentang hermeneutic cenderung berhubungan dengan pengertian tentang
‘yang merangkai’ dan ‘yang dirangkaikan’ menurut kerangka waktu pengarang teks tau
pembacanya. Jadi dalam hal ini, interpreter harus dapat menerapkan pesan teks ked lam
kerangka waktunya sendiri. Istilah ‘kelayakan’ dipergunakan untuk menggambrkan cara
pembaca dan kritik menghayati pandangan dunia si pengarang. Kemudian istilah “permanan”
dipergunakan oleh Gademer untuk menunjukan bahwa hermeneutic hanyalah sekedar
permainan di mana inter preter adalah ahlinya.

Di dalam La Dissemimanation, Derrida membicarakan tentang “obat” buatan plato. Ia


mengatakan bahwa air, tinta, cat ataupun parfum adalah obat-obat yang meresap dalam
bentuk bentuk cairan. Barang – barang cair itu diminum, dihisap, masuk kedalam tubuh kita.
Menurut Derrida, sebuah istilah menggandakan dirinya melalui ‘pembelahan diri’, atau
berkembang melalui ‘pencakokan diri’. Jadi istilah bagaikan sebuah benih, dan bukan sebagai
istilah yang bersifat mutlak. Sebagaimana sebuah benih, istilah mempunyai keterbatasannya
sendiri yang berasal dari dalam, bukan dri luar dirinya. Atas dasr inilah Derrida menolak
polisemi dan sebagai gantinya ia menganjurkan diseminasi atau penguraian (yang fatal.

Oleh karena itu, memahami sebuah istilah pada dasarnya adalah lebih dari pada sekedar
mengetahui makna atau tanda kata-kata yang dipergunakan dalam ucapan. Ideaalnya,
pendengar atau pembaca harus ambil bagian dalam kehidupan pengarang atau pembicara
sehingga ia dapt memahaminya. Inilah yang dimaksudkan istilah ‘kelayakan’ atau
‘kepatuhan’. Namun, interprestasi tidak pernah dapat terterlaksana jika dilakukan dalam rasio
satu lawan satu antara interpreter dengan teks. Orang harus menempatkan dirinya pada
interprestasi subjektif, baik itu terjadi di dalam filsafat atau kesusastraan.

Dari pembahasan di atas itu, tampak bahwa Derrida tidak dapat disebut sebagai pemikir
relatif-empiris ataupun skeptis. Bahkan juga bukan anti kebenaran. Ia sendiri mengatakan
bahwa kebenaran itu sifatnya imperatif. Apakah seseorang menggunakan metode
fenomenologis, strukturalis, ataupun hermeneutik, ia pasti akan mencapai kebenaran. Jika
kebenaran itu meragukan, pasti bukan karena interprestasiyang lemah atau interpreternya
lemah, melainkan karena keterbatasan bahasa, atau karena keterbatasan dan ketidak
sempurnaan manusia sendiri[14].
Menimbang Hermeneutika Sebagai Mitra Tafsir
Sebagai sintesis terhadap dua corak pembacaan Mushaf Usmani yakni takwil dan tafsir, kini
di dunia islam disemarakkan oleh pendekatan luar yang pada umunya berasal dari para filsuf
Prancis kotemporer, yakni hermeneutika, kendati dalam tradisi pemikiran islam, pendekatan
ini bukan sesuatu yang baru[15].
Ada tiga kelompok pemikir dalam menyikapi penggunaan hermenetutika dalam studi Al-
Qur’an: kelompok yang menolak; kelompok yang menerima tanpa reserver; dan kelompok
yang menerima dengan catatan.

Kelompok pertama menolak penggunaan hermeneutika dalam studi Mushaf Usmani dengan
alasan hermeneutika berasal dari tradisi Yunani yang kemudian diadopsi oleh kristen.
Pandangan dunia yang melahirkan hermeneutika berbeda dengan pandangan dunia islam.
Andaikata ia digunakan dalam studi Mushaf Usmani, justru akan menghilangkan dimensi
ilahiah Mushaf Usmani itu sendiri[16].
Kelompok kedua menerima secara mentah-mentah dan bahkan mengizinkan penggunaan
hermeneutika apa saja ke dalam studi Mushaf Usmani tanpa memilah-milah model
hermeneutika yang membawa manfaat maupun tidak memeberikan manfaat. Mereka
berkeyakinan, dari manapun datangnya sesuatu, selama dia membawa manfaat bagi umat
islam, harus diambil.  Lebih-lebih teori tafsir yang selama ini menguasai pentas penafsiran
Mushaf Usmani tidak lagi mampu menawarkan pemahaman baru terhadap Mushaf Usmani
yang mampu menjawab berbagai tantanganmodernitas[17].
Kelompok ketiga muncul mengambil jalan tengah sebagai alternatif dari sikap ekstrem di
atas. Kelompok ini mengambil teori hermeneutika tertentu guna mendukung upaya menguap
pesan Ilahi tanpa mengesampingkan keilahian Mushaf Usmani. Kelompok ini sejalan dengan
hadis Nabi “ hikmah itu milik orang-orang beriman . di manapun ia ditemui, maka mereka
lebih berhak terhadap hikmah itu”. Sikap kelompok ketiga ini juga sejalan dengan kaidah
NU, memelihara yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik. Kendati
pada saat yang sama, para pengguna kaidah ini juga ada  kelompok yang menolak
hermeneutika.
Perbedaan penyikapan terhadap penggunaan hermeneutika disebabkan tiga hal: wahyu Tuhan
masih dipahami dalam bingkai klasik, istilah hermeneutika sebagai nama baru berasal dari
luar tradisi islam, dan kurangnya memahami teori-teori hermeneutika. Disemangati untuk
menetralisir kesalahpahaman terhadap hermeneutika dan penggunaanyadalam studi Mushaf
Usmani, maka sudah seharusnya kita memahami secara benardan objektif teori hermeneutika
berikut model-modelnya, serta contoh penggunaan dalam studi Mushaf Usmani[18].
Mekanisme Kerja Hermeneutika
Persoalan utama hermeneutika terletak pada pencarian makna teks, apakah makna objektif
atau makna subjektif. Karena itu, ada tiga bentuk hubungan hermeneutika: hubungan
penggagas dengan teks; hubungan pembaca dengan penggagas; dan hubungan pembaca
dengan teks. Namun bentuk hubungan kedua dan ketiga biasanya menjadi satu bentuk
hubungan yakni hubungan pembaca dengan penggagas dan teks[19].
Hubungan Penggagas dengan Teks
Yang dimaksud hubungan penggagas dengan teks adalah dalam arti, apakah teks itu menjadi
media penyampaian pesan penggagas kepada audiens, dan karena itu teks itu masih terkait
dengan penggagas, atau teks itu mempunyai eksistensinya sendiri yang terpisah dan terlepas
dari penggagas. Persoalan yang profan ini menjadi perdebatan panjang dikalangan ahli
bahasa, lelbi-lebih menyangkut sesuatu yang bersifat sakra, seperti hubungan Al-Qur’an
(teks) dengan Tuhan (penggagas). Menyangkut hubungan penggagas dengan teks profan pada
umumnya, paling tidak terdapat tiga bentuk hubungan[20].
Pertama, empirisme-positivisme. Model ini mengandaikan teks (bahasa) menjadi wahana
penyampaian pesan penggagas kepada audiens, tetapi ia mempunyai dunia sendiri yang
terpisah dari penggagas. Karena itu, kebenaran pemahaman atas teks tidak bergantung pada
hubungan teks itu dengan penggagas, melaikan logika internal bahasa itu sendiri, melalui
stuktur internal bahasa yang digunakan, baik aspek sintaksi maupun semantik.
Kedua, fenomenolis. Berbeda dengan yang pertama, model kedua mengandaikan teks sebagai
media penyampaian pesan subjek kepada audiens. Ia menjadi konkretisasi maksud
tersembunyi dari subjek yang menyatakanya.teks dalam konteks ini bertujuan menciptakan
makna, yakni, tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri sang pembicara.
Karena itu, untuk mengetahui maksud yang bertuang dalam teks ini harus dikaitkan dengan
penggagasnya, selain stuktur internal bahasa itu sendiri.
Ketiga, pascastrukturalis atau posmodernis. Model ini mengandaikan bahasa bukan semata-
mata sebagai media penyampaian maksud subjek secara jujur, melaikan sebagai media
dominasi. Ia mencurigai adanya “konstelasi kekuatan yang ada dalam proses pembendukan
dan produksi teks”, di samping posisi subjek sebagai subjek. Teks menjadi media dominasi
dan kuasa. Kuasa di balik proses produksi teks itulah yang menjadi fokus analisis dalam
memahami teks.
Sementara itu, jika teori di atas dikaitkan dengan mushaf Mushaf Usmani, maka pertanyaan
yang diajukan menyangkut: apakah Tuhan sebagai pembuat bahasa Al-Qur’an tau Mushaf
Usmani, atau sebagai pengguna, sementara bahasa Al-Qur’an barasal dari masyarakat
Arab[21]. Jika yang pertama yang dipilih, maka itu berarti, lafadz dan makna Al-qur’an
berasal dari tuhan. Al-Qur’an dari segi lafadz dan maknanya bersifat suci dan sakral.
Membaca dalam bentuk tartil pundinilai sebagai membaca wahyu Tuhan dan karena itu,
pembacanya akan mendapatkan pahala. Sebaliknya jika yang kedua yang dipilih, maka yang
sakral hanyalah maknanya, sementara lafazdnya tidak dalam posisi sakral. Namun demikian,
lafazdnya sebagai wadah pesan Tuhan tetap harus dihormati. Karena itu, yang dianjurkan
membaca di sini adalah dalam arti mengungkap pesan itu, bukan tartilnya. Karena pesan itu
terdapat dalam bahasa yang profan, maka diperlukan alat apa saja yang secara metodologis
absah digunakan dalam sebuah kajian ilmiah, termasuk hermeneutika.
Hubungan Pembaca dengan Teks dan Penggagas
Bentuk hubungan penggagas dengan teks sangat menentukan hubungan pembaca dengan
penggagas atau teks.Terutama dalam konteks pembacaan, apakah pembacaan terhadap teks
bertujuan menetukan maksud penggagas, maksud teks atau maksud pembaca. Perbedaan
penekanan pencarian makna pada ketiga unsur hermeneutika: penggagas,teks, dan pembaca,
menjadi titik beda masing-0masinghermeneutika. Titk beda itu dapat dikelompokkan menjadi
tiga kategori hermeneutika: teoritis,filosofis, dan kritis[22].
Pertama, hermeneutika teoretis. Bentuk hermeneutika ini menitikberatkan kajiannya pada
problem “pemahaman”, yakni bagaimana memahami dengan benar[23]. Sedang makna yang
menjadi tujuan pencarian dalam hermeneutika ini adalah makna yang dikehendaki penggagas
teks. Oleh karena tujuannya memahami secara objektif maksud penggagas, maka
hermeneutika model ini dianggap juga sebagai hermeneutika romantis yang bertujuan untuk
“merekonstrusi makna”.
Dalam rangka merekonstruksi makna, Scheleirmacher, sebagai pencetus hermeneutika
teoritis, menawarkan dua pendekatan; pertama, pendekatan linguistik yang mengarah pada
analisis teks secara langsung; kedua, pendekatan psikologis yang mengarah pada unsur
psikologis-subjektif sang penggagas sendiri[24]. Dua unsur pendekatan ini dalam
hermeneutika teoritis, dipandang sebagai dua hal yang tidak boleh dipisah. Memisah salah
satunya akan menyebabkan sebuah pemahaman terhadap pemikiran seseorang menjadi tidak
objektik. Sebab, teks menurut hermeneutika teoritis sebagai media penyampaian gagasan
penggagas kepada audiens. Agar pembaca memahami makan yang dikehendaki penggagas
dalam teks, hermeneutika teoritis mengasumsikan seseorang pembaca harus menyamakan
posisi dan pengalamanya dengan penggagas teks[25].
Selanjutnya, dengan mengambil penekanan yang sedikit berbeda dengan hermeneutika
teoritis Schleiermacher yang menekankan pada pencarian makna objektif yang dikehendaki
penggagas, Dilthey menganggap makna objektif yang perlu dipahami dari ilmu humaniora
adalah makna teks dalam konteks sejarahnya. Sehingga, hermeneutika menurut Dilthey
bertujuan untuk memahami teks sebagai ekspresi sejarah, bukan ekspresi mental penggagas.
Karena itu, yang perlu direkonstruksi dari teksmenurut Dithley, adalah makna dari peristiwa
sejarah yang mendorong lahirnya teks[26]. Karena itu berbeda dengan Scheleiemacher, untuk
merekonstruksi makna teks, tidak haruus menyelam ke dalam pengalaman pengagas.
Betti termasuk tokoh hermeneut yang menganut hermeneutika teoritis yang mencoba
memadukan antara teore Scheleiemacherdan Dilthey. Sebagaimana pendahulunya,
hermeneutika menurut Betti bertujuan untuk menemukan makna objektif[27]. Betti
menawarkan empat momen gerakan alam menemukan makna objektif: pertama, penafsiran
melakukan investigasi fenomema linguistik teks; kedua, penafsiran harus mengosongkan
dirinya dari segala bentuk kepentingan; tiga, penafsir harus menempatkan dirinya dalam
posisi seorang penggagas melalui kerja imajinasi dan wawasan; dan empat, melakukan
rekonstruksi untuk memasukkan situasi dan kondisi untuk memperoleh hasil yang ingin
dicapai dari ungkapan teks[28].
Kedua, hermeneutika filosofis. Problem utama hermeneutika ini bukanlah bagaimana
memahami teks dengan benar dan objektif sebagaiman hermeneutika teoritis. Prolem
utamanya adalah bagaimana “tindakan memahami” itu sendiri. Sebagai penggagas
hermeneutika filosofis, hermeneutika, menurut Gadamer, berbicara tentang watak
interpretasi, bukan teori interpretasi.Gadamer menganggap hermeneutikanya sebagai risalah
ontologi, bukan metodelogi[29].
Dalam rumusan hermeneutikanya, Gadamer menolak anggapan hermeneutika teoretis yang
menganggap hermeneutika bertujuan menemukan makna objektif. Alasanya adalah karena
orang tidak bisa berharap menempatkan dirinya dalam posisi pengarang asli teks untuk
mengetahui makna aslinya serta memahami bkanlah komuni misterius jiwa-jiwa dimana
penafsir menggenggam makna teks yang subjektif. Memahami menurutnya adalah sebuah
fusi horizon-horizon: horizon penafsir dan horizon teks.

Singkat kata, Gadamer merumuskan hermeneutika filosofisnyadengan bertolak pada empat


kunci hermeneutics. Pertama, kesadaran terhadap “ situasi hermeneutika”. Pembaca perlu
menyadari bahwa situasi ini membatasi kemampuan melihat seseorang dalam membaca teks.
Kedua, situasi hermeneutik ini kemudian membentuk “ pra-pemahaman” pada diri pembaca
yang tentu mempengaruhi pembaca dalam mendialogkan teksdengan konteks. Ketiga, setelah
itu pembaca harus menggabungkan antara dua horizon, horizon pembaca dan horizon teks.
Keduanya harus dikomunikasikan agar ketegangan antara dua horizon yang mungkin berbeda
bisa dibatasi. Interaksi kedua horizon inilah yang oleh Gadamer disebut “lingkaran
hermeneutika”. Keempat, menerapkan “makna yang berarti” dari teks, bukan makna objektif
teks. Makna itu mempunyai nilai bagi kehidupan pembaca, bukan bagi kehidupan
penggagas[30].
Ketiga, Hermeneutika kritis. Hermeneutika ini bertujuan untuk mengungkap
kepentingan[31] di balik teks, dengan tokohnya Habermas. Kendati memeberikan penilaian
positif atas gagasan Gadamer yang mempertahankan dimensi sejarah hidup pembaca,
Habermas sebagai penggagas hermeneutika kritis menempatkan sesuatu yang berada di luar
teks sebagai problem hermeneutiknya yang oleh dua model hermeneutika sebelumnya justru
diabaikan[32].sesuatu yang dimaksud adalah dimensi ideologis penafsir dan teks, sehingga
dia mengandaikan teks bukan sebagai medium pemahaman sebagaimana dipahami dua model
hermenutika sebelumnya, melaikan sebagai medium dominasidan kekuasaan. Di dalam teks
tersimpan kepentingan pengguna teks. Karena itu, selain horizon penafsir, teks harus
ditempatkan dalam ranah yang harus dicurigai.
Cara dan Contoh Penggunaan Hermeneutika dalam Studi Islam
Langkah-Langkah Pendekatan Hermeneutika. Dibandingkan dengan metode fenomenologi
yang mencoba mengungkapkan dan mendiskripsikan hakekat agama, maka metode
hermeneutika mencoba memahami kebudayaan melalui interpretasi. Karena pada mulanya
metode ini diterapkan untuk menginterpretasikan teks-teks keagamaan, maka tidak heran jika
tradisi tekstualitas masih tetap melekat, dalam arti masih mendudukan teks sebagai perhatian
sentral. Sehingga langkah-langkah yang perlu diikuti dalam melakukan penelitian dengan
pendekatan hermeneutik adalah sebagai berikut:

1. Telaah Atas Hakekat Teks


Di dalam hermeneutika, teks diperlakukan sebagai sesuatu yang mandiri, dilepaskan dari
pengarangnya, waktu penciptanya, dan konteks kebudayaan pengarang maupun kebudayaan
yang berkembang dalam ruang dan waktu ketika teks itu di ciptakan. Karena wujud teks
adalah tulisan dan yang ditulis adalah bahasa, maka yang menjadi pusat perhatiannya adalah
hakekat bahasa. Sebagaimana diketahui, bahasa merupakan alat komunikasi, alat
menyempaikan sesuatu. Sebagai akibatnya, terdapat hubungan antara ‘alat penyampaian’ dan
‘apa yang disampaikan’. Tujuan dari metode ini adalah mengerti tentang apa yang
disampaikan dengan cara menginterpretasikan alat penyampaiannya, yaitu teks atau bahasa
tulis.

Dengan demikian, kemandirian teks yang dimaksud sebelumnya adalah kemandirian dalam
semantik, yaitu interpretasi yang dilakukan harus melalui pendekatan sematik untuk mengerti
pesan yang disampaikan oleh teks. Selain semantik, semiotik juga sering menjadi metode
pendukung dalam hermeneutika; yaitu melihat teks sebagai sebuah tanda yang harus
dimaknai.
Proses Apresiasi.

Proses ini, sesungguhnya adalah bentuk ketidakpuasan atas kebenaran tekstual. Karena itu,
proses ini mencoba mengapresiasikan secara historis penulis atau pengarang teks. Menurut
Dilthey, sebuah teks mesti diproyeksikan kebelakang dengan melihat tiga hal: a). Memahami
sudut pandang atau gagasan para pelaku sejarah yang berkaitan dengan teks. b). Memahami
makna aktivitas mereka pada hal yang berkaitan langsung dengan teks. c). Menilai peristiwa
tersebut berdasarkan gagasan yang berlaku pada saat teks tercipta[33].
Dengan demikian, seorang pembaca atau peneliti tidak dibiarkan tenggelam dalam lautan
teks, tetapi juga harus menyelam ke dunia di mana teks diciptakan. Maka hingga di sini,
pembaca akan memahami teks secara berbeda, karena wawasan masing-masing-masing
berbeda pula. Jika pembaca memiliki wawasan yang luas maka mungkin kebenaran yang
akan diperoleh akan menjadi luas pula demikian juga sebaliknya.

Proses Interpretasi

Inilah bentuk terakhir dari proses pengkajian dengan pendekatan hermeneutika. Ketika
berhadapan dengan teks maka pembaca dinyatakan dalam situasi hermeneutika, yaitu berada
pada posisi antara masa lalu dan masa kini, atau antara yang asing dan yang tak asing. Masa
lalu dan asing karena tidak mengetahui masa lalu teks dan masa kini dan tak asing karena
mengetahui teks yang sedang dihadapi.

Sebagai seorang yang menempati posisi antara, maka ia harus menjembatani masa lalu dan
masa kini melalui interpretasi. Pembaca atau peneliti harus mampu menghadirkan kembali
makna-makna yang dimaksudkan ketika teks dicipta di tengah-tengah situasi yang berbeda.
Agar benar-benar memperoleh interpretasi yang benar (sesuai dengan pencipta teks), maka
pembaca atau peneliti juga dituntut memiliki kesadaran sejarah, karena salah dalam
memahami sejarah maka proses hermeneutika akan menjadi keliru[34].
Ketiga proses di atas tidak dapat dipisahkan dalam tradisi hermenautika, karena hanya akan
menimbulkan kebenaran a priori.  Polemik semacam inilah yang menjadi problem tersendiri
dalam dunia hermeneutika jika mengabaikan proses-proses di atas. Maka sekali lagi, teks,
baik tulisan maupun simbol-simbol alam yang hadir di hadapan kita bukanlah satu-satunya
pusat perhatian terbatas, tapi harus melampaui teks tersebut menjangkau esensi dan konteks
kelahiran teks. Dengan kata lain, pembaca harus mampu berdialog dengan teks dengan segala
hal yang dapat membantu pemahaman yang paling dekat kepada kebenaran.

Sedangkan salah satu contoh pendekatan hermeneutika adalah Teori Limit atau Hudud oleh
Muhammad Syahrur. Contoh hasil penafsiran al-Qur’an yang dilakukan Syahrur dengan
pendekatan hermeneutik adalah munculnya teori limit atau hudud. Teori limit atau hudud
adalah sebuah metode memahami ayat-ayat hukum (muhkamat) sesuai dengan konteks sosio-
historis masyarakat kontemporer agar ajaran al-Qur’an tetap relevan dan kontekstual
sepanjang masih berada dalam wilayah batas hukum Allah. Buah dari penelitian yang
diakuinya tersebut, lahirlah sebuah teori yang aplikatif, yakni nazhariyyah al-hudud (limit
theory/teori batas). Teori batasnya terdiri dari batas bawah (al-hadd al-adna/minimal) dan
batas atas (al-hadd al-a’la/maksimal).

Syahrur mendasarkan konsepnya dalam menyusun teori batas pada al-Qur’an surat an-Nisa’
ayat 13-14 :
“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat
kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam surga yang mengalir
didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang
besar.  dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-
ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di
dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.”
 

Syahrur mencermati penggalan ayat ”tilka hudud Allaah” yang menegaskan bahwa pihak
yang memiliki otoritas untuk menetapkan batasan-batasan hukum (haqq at-tasyri’) hanyalah
Allah semata. Sedangkan Muhammad saw. meskipun beridentitas sebagai Nabi dan Rasul,
pada hakekatnya otoritas yang dimiliki Muhammad tidak penuh dan ia sebagai pelopor ijtihad
dalam Islam. Hukum yang ditetapkan Nabi lebih bersifat temporal-kondisional sesuai dengan
derajat pemahaman, nalar zaman, dan peradaban masyarakat pada waktu itu, artinya
ketetapan hukum tersebut tidak bersifat mengikat hingga akhir zaman. Maka, di sinilah kita
mempunyai ruang untuk melihat al-Qur’an dan berijtihad dengan situasi dan kondisi yang
dilatar belakangi ilmu pengetahuan pada masa sekarang[35].
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas terkait dengan pendekatan hermeneutika, maka dapat ditarik
beberapa kesimpulan:

1. Secara etimologis, kata “hermeneutik” berasal dari bahasa Yunani hermeneunien yang berarti


“menafsirkan”. Sedangkan secara istilah hermeneutika dapat diartikan sebagai seni dan ilmu
menafsirkan khususnya tulisan-tulisan berkewenangan, terutama berkenaan dengan kitab suci
dan sama sebanding dengan tafsir.
2. Banyak tokoh-tokoh yang berjasa dalam pengembangan hermeneutika diantaranya D. E.
Scehleiermacher, Hans-George Gadamer, Jurgen Habermas, dan Jaques Derrida
3. Ada tiga kelompok pemikir dalam menyikapi penggunaan hermenetutika dalam studi Al-
Qur’an: kelompok yang menolak; kelompok yang menerima tanpa reserver; dan kelompok
yang menerima dengan catatan.
4. Persoalan utama hermeneutika terletak pada pencarian makna teks, apakah makna objektif
atau makna subjektif ada tiga bentuk hubungan hermeneutika: hubungan penggagas dengan
teks; hubungan pembaca dengan penggagas; dan hubungan pembaca dengan teks. Namun
bentuk hubungan kedua dan ketiga biasanya menjadi satu bentuk hubungan yakni hubungan
pembaca dengan penggagas dan teks.
5. Langkah-langkah yang perlu diikuti dalam melakukan penelitian dengan pendekatan
hermeneutik adalah Telaah Atas Hakekat Teks, Proses Apresiasi, dan Proses Interpretasi

Anda mungkin juga menyukai