Oleh :
SUHENDI
NIM : 031192224
Program Studi : Ilmu Hukum S1
UPBJJ SERANG
UNIVERSITAS TERBUKA
TAHUN 2020.2
Tugas 1
No Tugas Tutorial Skor Maksimal
1 Berikan analisa anda mengenai generasi perkembangan hak 30
asasi manusia, apa yang membedakan antara 3 generasi
perkembangan HAM! Bagaimana karakteristiknya, apa latar
belakangnya dan apa contohnya!
2 Hak untuk berkumpul dan menyatakan pendapat di
muka umum termasuk dalam derogable rights.
JAWABAN 1
Generasi pertama, hak sipil politik muncul pada abad 17 hingga 18 melalui teori-teori kaum
reformist yang berkaitan erat dengan revolusi-revolusi di Inggris, Amerika dan Perancis.
Dimulai dengan filosofi politik tentang kebebasan individu dan hubungan ekonomi serta
doktrin sosial “laissez-faire” (sebuah doktrin yang menentang campur tangan pemerintah
dalam masalah ekonomi selain kepentingan untuk memperbaiki perdamaian dan hak
kepemilikan). Generasi pertama ini lebih menempatkan hak asasi manusia dalam terminologi
negatif (freedoms from) daripada sesuatu yang positif (rights to). Hak- hak di bidang sipil dan
politik di antaranya:
1. Hak hidup
2. Kebutuhan jasmani
3. Hak suaka dari penindasan
4. Penyelenggaraan peradilan
5. Privasi
6. Perlindungan terhadap hak milik
7. Kebebasan beragama
8. Berkumpul dengan damai dan berserikat
9. Partisipasi politik
10. Persamaan dimuka hukum
11. Perlindungan yang efektif terhadap diskriminasi
Jiga di dalamnya adalah hak untuk memiliki kekayaan hak milik. Hak dasar inilah yang di
perjuangkan pada saat revolusi Amerika dan Perancis dan yang mengilhami kebangkitan
kapitalisme. Namun akan salah bila kita menyatakan hak-hak tersebut dan hak generasi
pertama lainnya merupakan ide “negative” semata seperti dipertentangkan dengan hak
“positive”. Hak merasa aman, untuk mendapatkan pengadilan yang adil, untuk mendapatkan
suaka atau perlindungan karena penyiksaan dan pemilihan yang bebas.
Generasi kedua, hak ekonomi, sosial, dan budaya berasal dari tradisi sosialis, yang telah
dibayangkan oleh para penganut paham pergerakan Saint-Simonian di Prancis pada awal
abad 19 dan di promosikan dengan cara yang berbeda-beda melalui perjuangan-perjuangan
revolusioner dan pergerakan kesejahteraan yang telah terjadi sejak saat itu. Hal ini, sebagian
besar, merupakan suatu respons terhadap penyalahgunaan perkembangan kapitalis dan
konsepnya yang tidak kritis secara esensi mengenai kebebasan individu yang mentolerin dan
bahkan melegitimasi eksploitasi kelas pekerja. Sejarah memperlihatkan bahwa hal ini
merupakan ”counterpoint” terhadap generasi pertama akan hak sipil dan politik di mana
mereka memandang hak asasi manusia lebih pada terminologi yang positif (hak untuk) dari
pada terminologi negatif (bebas dari) dan mengharuskan lebih banyak intervensi negara
untuk menjamin produksi yang adil dan distribusi nilai-nilai atau kemampuan yang ada.). Jadi
untuk memenuhi hak-hak yang dikelompokkan ke dalam generasi kedua ini, negara
diwajibkan untuk menyusun dan menjalankan program-program bagi pemenuhan hak-hak
terebut.
Oleh sebab itu, dengan cara yang sama kita tidak bisa mengatakan bahwa semua hak yang
diangkat oleh masyarakat generasi pertama dalam hak sipil dan hak politik tidak dapat di
dipandang sebagai “hak-hak negatif” dan sebaliknya semua hak yang dianut generasi kedua
dalam hak ekonomi, sosial dan budaya tidak bisa dilabel “hak-hak positif.”
Meskipun demikian, sebagian besar hak generasi kedua mengharuskan intervensi negara
sebab hak tersebut menyangkut harapan akan materi dari pada barang-barang yang bersifat
tidak tampak (non materi). Secara fundamental hak generasi kedua diklaim sebagai
kesetaraan sosial. Akan tetapi, karena keterlambatan munculnya, socialist-komunist dan
pengaruh “Dunia Ketiga” yang sesuai dengan masalah-masalah internasional,
penginternasionalisasikan hak-hak ini relatif lambat muncul. Dan dengan kekuatan
kapitalisme pasar bebas yang menggunakan ”bendera” globalisasi pada awal abad 21, maka
belum terlihat hak-hak keadilan tersebut akan muncul dengan segera pada waktu ini.
Sebaliknya, dengan semakin jelas ketidakadilan sosial yang diciptakan oleh kapitalisme
nasional dan transnasional yang bebas dan tidak ada pertanggung jawaban melalui
penjelasan-penjelasan gender atau ras, maka mungkin harapan untuk hak-hak generasi kedua
akan bertumbuh dan menjadi matang.
Generasi ketiga, yang mengusung hak solidaritas, dengan menarik inti dari dan
menkonseptualkan kembali harapan-harapan dari dua generasi hak sebelumnya, perlu
dimengerti sebagai suatu produk yang muncul dari kebangkitan dan kemunduran nation-
state dalam pertengahan abad 20 terakhir.. Melalui tuntutan atas hak solidaritas itu, negara-
negara berkembang menginginkan terciptanya suatu tatanan ekonomi dan hukum
internasional yang kondusif bagi terjaminnya hak-hak berikut:
Semua hak ini cenderung dianggap sebagai hak kolektif yaitu menghendaki usaha-usaha
bersama dan intensif dari semua kekuatan sosial. Akan tetapi, masing-masing dari ini juga
mencerminkan dimensi individu. Maksudnya adalah meskipun dikatakan bahwa hak tersebut
merupakan hak kolektif semua bangsa dan masyarakat (khususnya Negara-negara
berkembang dan masyarakat yang masih bergantung) untuk menjamin sebuah tatanan
ekonomi internasional baru yang akan menghilangkan halangan-halangan bagi pembangunan
ekonomi dan sosial mereka, ini juga bisa dikatakan merupakan hak individu setiap orang
yang turut merasakan manfaat dari kebijakan pembangunan yang didasarkan pada kepuasan
materi dan kebutuhan non materi lainya. Penting juga dikatakan bahwa mayoritas dari hak
solidaritas ini adalah lebih bersifat aspiratif dan statusnya sebagai norma hak asasi manusia
secara internasional masih tidak ambigu.
Dengan demikian, dalam berbagai tahap sejarah modern, isi dari hak asasi manusia telah di
definisikan secara luas dengan harapan bahwa hak yang dianut oleh setiap generasi perlu
saling mengisi bukan dibuang dan digantikan yang lain. Isi dari sejarah hak manusia
mencerminkan suatu persepsi yang berkembang dari suatu tatanan nilai-nilai telah dipupuk
yang mengharapkan adanya suatu keberlanjutan demi kestabilan manusia.
JAWABAN 2
1. Non-derogable rights adalah hak asasi manusia (HAM) yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun. Non-derogable rights demikian dirumuskan dalam Perubahan
UUD 1945 Pasal 28 I ayat (1) yang berbunyi “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa,
hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,
hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun”.
Selanjutnya Pasal 4 UU No. 29 Tahun 1999 tentang HAM juga menyebutkan, “Hak
untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani,
hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan
persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun dan oleh siapapun”.
Sesuai dengan Pasal 28 I, ICCPR menyatakan hak-hak yang sama sekali tidak boleh
dikurangi karena sangat mendasar yaitu:
Salah satu contoh dari derogable seperti misalkan warga negara dalam menyampaikan
pendapat di muka umum yang di atur dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 Tentang
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum. Bahwa kemudian setiap warga
negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berkewajiban dan bertanggung
jawab menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain, menghormati aturan-aturan moral
yang diakui umum, menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum, menjaga keutuhan
persatuan dan kesatuan bangsa, (bunyi pasal 6 UU nomor 9 tahun 1998 tentang
kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum). Oleh karena itu, walaupun
menyampaikan pendapat di muka umum di jamin konstitusi. Akan tetapi agar itu
berjalan dengan baik dan tidak mengganggu hal-hal yang dapat menimbulkan kerugian
lain, maka perlu pemberlakuan pembatasan dalam pemenuhannya.
JAWABAN 3
1. Faktor tingginya angka pernikahan di usia di Indonesia sangat kompleks mulai dari
faktor ekonomi, faktor budaya, dan tradisi juga menjadi sebab sehingga milenial di usia
produktif harus naik pelaminan untuk melangsungkan ikatan janji suci. Faktor lain yang
turut serta mendongkrak terjadinya pernikahan di usia yang sangat dini yakni pergaulan
yang tak terkendali atau kontrol oleh keluarga. Tidak sedikit milenial terjerumus dalam
pergaulan bebas, yang kemudian berdampak pada pernikahan dini.
Menurut Arskal Salim, Direktur Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Kementerian
Agama, yang di lansir di https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20180425133623-
282-293415/persoalan-di-balik-tingginya-angka-perkawinan-anak-indonesia dipengaruhi
oleh sejumlah faktor, dari mulai latar belakang pendidikan, ekonomi, sosiokultural, dan
agama.
Berikut beberapa faktor tingginya angka pernikahan dini:
Faktor pendidikan
Menurut Arskal Salim, orang tua anak yang memiliki latar belakang pendidikan yang
rendah memiliki peluang lebih besar untuk menikahkan anak sebelum usia 18 tahun.
Kurangnya pendidikan terhadap kesehatan organ reproduksi atau kurangnya pendidikan
seksual juga menyebabkan perkawinan anak. Lebih jauh, pendidikan yang kurang
membuat remaja rentan terhadap kehamilan sebelum menikah.
Faktor ekonomi
Pendapatan atau ekonomi yang rendah membuat angka perkawinan anak meningkat.
Orang tua dengan pendapatan yang rendah cenderung akan menikahkan anaknya karena
dianggap akan meringankan beban ekonomi. Menurut Ir. Dina Nurdiawati M Sc peneliti
dari IPB, bahwa banyak orang tua yang merasa, dengan menikahkan anaknya mereka
menjadi terbantu secara ekonomi. Hal itu dikarenakan sudah ada yang memberi nafkahi
anaknya, jadi bukan tanggung jawab mereka lagi sebagai orang tua.
Faktor sosiokultural
Faktor agama
Pernikahan anak yang marak juga dipengaruhi oleh faktor agama. Beberapa kelompok
agama tertentu beranggapan menikah di usia muda menjadi hal yang wajar. Pernikahan
tersebut juga dilakukan untuk menghindari zina. Anak yang telah beranjak remaja kerap
menjalin hubungan dengan lawan jenis. Agar tidak dianggap zina maka sebaiknya segera
menikah. Selain itu, hal tersebut juga dilakukan untuk mengurangi kekhawatiran
kehamilan di luar nikah. Sementara, di luar itu, Indonesia memiliki peraturan hukum
yang mengatur mengenai perkawinan. Menurut Undang-undang perkawinan tahun 1974
usia seseorang untuk menikah minimal 21 tahun. Namun juga ada dispensasi, jika
menikah dengan seizin orang tua anak perempuan boleh menikah ketika berumur di atas
16 tahun dan anak laki-laki di atas 19 tahun. Perkawinan di Indonesia ini juga masih bisa
dilakukan tanpa batas usia minimum jika dengan permohonan dispensasi atau
pengecualian.
2. Menurut saya dengan terpenuhinya hak-hak itu angka pernikahan dini bisa berkurang,
karena persoalan ekonomi merupakan bagian dari faktor terjadinya pernikahan dini di
Indonesia. Masyarakat Indonesia terkadang untuk mengurangi beban keluarganya lebih
baik memilih menikahkan anaknya, dalam hal ini perempuan. Apalagi dengan tidak
merasakan dunia pendidikan mudah sekali untuk tergiur dengan jaminan setelah menikah
dan mudah terpengaruhi pergaulan bebas yang dapat terjadinya hamil di luar nikah itu.
Oleh karenanya, negara harus hadir untuk menjamin dan memberikan perlindungan atas
pemenuhan hak pendidikan dan kesejahteraan, sebab kedua faktor ini sangat berpengaruh
untuk mendobrak angka pernikahan dini.
Referensi:
https://referensi.elsam.or.id/wp-content/uploads/2015/01/Perkembangan-Pemikiran-
HAM.pdf (di akses hari Senin, 19 Oktober 2020. Jam 10:00 WIB)