Anda di halaman 1dari 3

HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

Nama : Alvin Alfandi


NIM : 041516929
Email : alvinalfandi20@gmail.com

TUGAS 2
1. Terjemahkan/kualifikasikan fakta-fakta hukum HPI yang terdapat dalam kasus tersebut!
2. Hukum negara manakah yang digunakan dalam kasus perceraian Made dan Firda
berdasarkan Teori Renvoi? Uraikan jenis dan alur penunjukannya!
3. Apakah pernikahan beda agama antara Made dan Firda di Jerman dapat di akui di
Indonesia? Jelaskan dengan menggunakan teori HPI!

JAWABAN:
1. Fakta HPI Kasus Made dan Firda:
Merupakan peristiwa HPI karena Made dan Firda memiliki kewarganegaraan
Indonesia namun melaksanakan perbuatan hukum yaitu Pernikahan dan Perceraian di luar
Negara Indonesia, dalam kasus tersebut mereka menikah di Jerman dan mengajukan
Permohonan Cerai di Swiss. Made dan Firda merupakan Warga Negara Indonesia namun
berdomisili di Swiss. Hukum perkawinan Swiss menganut asas tempat dilaksanakannya
perkawinan, sedangkan hukum perkawinan Jerman dan Indonesia menganut asas
nasionalitas.
Menurut hukum Indonesia yakni Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan Pasal 2 ayat 1 yang berbunyi, “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.” Beberapa agama
melarang pernikahan beda agama. Sehingga, pernikahan beda agama bisa tidak disahkan
karena tidak mengikuti hukum agama yang bersangkutan. Untuk mencapai tujuan agar
dapat menikah keduanya melangsungkan pernikahan di Jerman dengan mengabaikan
Hukum Indonesia. Perbuatan yang dilakukan oleh Made dan Firda merupakan
Penyelundupan Hukum.

2. Renvoi timbul, apabila hukum asing yang ditunjuk oleh lex fori, menunjuk
kembali kearah lex fori itu, atau kepada sistem hukum asing lain. Pada Kasus Made dan
Firda Pengajuan Permohonan Perceraian diajukan ke Pengadilan Swiss sebagai tempat
domisili mereka berdua.
Pengadilan Swiss pertama-tama menggunakan kaidah HPI lex fori untuk
menetukan hukum yang seharusnya berlaku. Pengadilan Swiss menganut asas HPI; Lex
Loci Celebrationis, yaitu hukum yang berlaku bagi sebuah perkawinan adalah sesuai
dengan hukum tempat perkawinan itu dilangsungkan. Kaidah HPI Swiss Menunjuk
Hukum Jerman sebagai kaidah HPI Penyelesaian perkara Made dan Firda. Penunjukkan
ini merupakan Gesamtverweisung.
Sebagaimana diketahui ketentuan HPI Jerman tentang perkawinan menganut asas
Nasionalitas. Dengan demikian Kaidah Hukum HPI Jerman tidak bisa digunakan
dikarenakan Made dan Firda bukan Warga Negara Jerman. Kemudian Pengadilan
Jerman melakukan Renvoi kepada sistem hukum lain, Jenis Renvoi yang dilakukan
merupakan Tarnsmission (penunjukan lebih lanjut) Yaitu proses renvoi oleh kaidah
HPI asing ke arah suatu sistem hukum asing lain. Dalam hal ini penunjukan pertama
berlangsung dari kaidah HPI forum ke arah kaidah HPI asing (gasantverweisung) yang
sebelumnya telah diketahui akan menunjukan lebih lanjut ke arah sistem hukum ke tiga.
karena hakim memang berniat memberlakukan aturan intern dari hukum ke tiga itu, maka
penunjukan kedua akan di anggap sebagai sachnormverweisung.
Kaidah HPI Jerman menunjuk ke arah Hukum Kaidah HPI Indonesia disebabkan
Made dan Firda berkewarganegaraan Indonesia, Namun Pernikahan beda agama yang
dilakukan Made dan Firda tidak diakui oleh Hukum Indonesia, apalagi jika pernikahan
tersebut sama sekali tidak pernah didaftarkan. Hukum di Indonesia tidak melegalkan
pernikahan beda agama, dikarenakan tidak diakui menyebabkan pernikahan Made dan
Firda tidak dapat diselesaikan menggunakan Kaidah HPI Indonesia. Dengan demikian
diketahui bahwa Made dan Firda telah melakukan Penyelundupan Hukum.
Dengan Demikian Penyelesaian Masalah Kasus Made dan Firda dilakukan oleh
Pengadilan Swiss dengan cara mengesampingkan Hukum Asing. Hukum asing itu dapat
dikesampingkan antara lain apabila: 1. bertentangan dengan "ketertiban umum" ; 2.
karena diterimanya "renvoi"; 3. dilakukannya kwalifikasi berdasarkan "lex fori"; 4. bila
pemakaian hukum asing itu merupakan "penyelundupan hukum"; 5. bila hukum
asing tidak dapat dibuktikan; 6 .pemakaian asas "lex rei sitae".
Penyelundupan hukum ini mempunyai hubungan yang erat dengan ketertiban
umum. Kedua-duanya bertujuan agar supaya hukum nasional sang hakim (Lex fori) yang
dipakai dengan mengesampingkan hukum asing, Kedua-duanya hendak mempertahankan
dipakainya lex fori terhadap kaidah-kaidah hukum asing.
Dengan dikesampingkannya Hukum Asing oleh Pengadilan Swiss dikarenakan
Made dan Firda melakukan Penyelundupan Hukum dengan berusaha menghindari
pemakaian hukum yang seharusnya menyebabkan kaidah HPI yang digunakan
merupakan Hukum Nasional sang Hakim (Lex Fori). Hal ini antara lain disebabkan
karena persoalan-persoalan HPI itu termasuk dalam sistem hukum suatu negara tertentu .
Dengan demikian bahasa hukum nasional itu adalah bahasa/istilah hukum dari hakim
sendiri. Sehingga kaidah HPI Hukum Swiss yang digunakan dalam kasus perceraian
Made dan Firda.

3. Made dan Firda memiliki kewarganegaraan Indonesia, walaupun berdomisili di


Swiss, Indonesia menganut asas Nasionalitas sehingga dengan Teori HPI mengakibatkan
Made dan Firda tunduk kepada Hukum Indonesia. Kedudukan perkawinan beda agama
dalam sistem hukum di Indonesia adalah tidak sah. Undang-Undang Perkawinan Nomor
1 Tahun 1974 dalam Pasal 2 ayat 1 mengungkapkan perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Berarti
perkawinan hanya dapat dilangsungkan bila para pihak (calon suami dan istri) menganut
agama yang sama, dikarenakan Beberapa agama melarang pernikahan beda agama.
Sehingga, pernikahan beda agama bisa tidak disahkan karena tidak mengikuti hukum
agama yang bersangkutan.
Beberapa negara di dunia membolehkan adanya perkawinan beda agama.
Perkawinan beda agama yang dilangsungkan di luar negeri itu sah jika dilakukan
berdasarkan hukum yang berlaku di negara tempat perkawinan itu dilangsungkan. Akan
tetapi, ada keharusan bagi pasangan yang menikah untuk melaporkan perkawinan
tersebut di kantor catatan sipil Indonesia sebagaimana yang diatur dalam Pasal 56 ayat
(2) UU Perkawinan:

“Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, surat
bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat
tinggal mereka.”
Dari Kasus Made dan Firda yang setelah menikah kemudian berdomisili di Swiss
sehingga saya ambil kesimpulan bahwa pernikahan Made dan Firda di Jerman tidak
didaftarkan di Indonesia, sehingga mengakibatkan Pernikahan tersebut tidak dapat diakui
oleh Hukum Indonesia.

Pelaksanaan perkawinan beda agama di luar negeri, seperti di negara Jerman


secara formil sah menurut ketentuan-ketentuan hukum Jerman. Namun untuk negara
Indonesia perkawinan tersebut tetap tidak sah, meskipun ada kewajiban untuk
mencatatkan peristiwa perkawinan mereka. Pencatatan perkawinan ini hanya berupa
pemenuhan syarat administrasi untuk memberikan status sosial kepada masyarakat bahwa
pasangan yang menikah adalah benar merupakan suami istri.

Sumber Bacaan/Kutipan/Referensi:

 BMP HKUM4304 Hukum Perdata Internasional

 Materi Inisiasi dan diskusi Tutorial Online Mata Kuliah HPI

Anda mungkin juga menyukai