Anda di halaman 1dari 3

NASKAH TUGAS MATA KULIAH

UNIVERSITAS TERBUKA
SEMESTER: 2023/2024 Ganjil (2023.2)

Fakultas : FHISIP/Fakultas Hukum, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik


Kode/Nama MK : HKUM4304/Hukum Perdata International
Tugas : 1

JAWABAN

1. Kasus Bima yang dapat dikategorikan sebagai kasus HPI (Hukum Perkawinan
Internasional) adalah pernikahan beda agama antara Bima dan Mia yang berlangsung
di Australia. HPI adalah sebuah istilah hukum yang digunakan untuk merujuk pada
pernikahan antara dua orang yang berasal dari negara yang berbeda dan memiliki
perbedaan hukum perkawinan yang signifikan. Dalam kasus ini, Bima adalah warga
negara Indonesia dan Mia adalah warga negara New Zaeland. Ketika mereka
memutuskan untuk menikah di Australia, yang bukan merupakan negara asal mereka,
mereka menghadapi perbedaan hukum dalam hal perkawinan karena mereka berdua
memiliki agama yang berbeda. Pernikahan beda agama ini menjadi kasus HPI karena
peraturan dan aturan hukum yang berbeda antara Indonesia dan New Zaeland dalam
hal perkawinan beda agama. Selain itu, setelah bercerai, kasus Bima yang melaporkan
kehilangan barang bawaannya kepada maskapai penerbangan Australia juga dapat
dikategorikan sebagai kasus HPI karena melibatkan warga negara dari negara yang
berbeda dalam masalah hukum yang mungkin melibatkan proses di negara lain.
Dalam kasus ini, Bima yang merupakan warga negara Indonesia melaporkan
hilangnya barang bawaannya kepada maskapai penerbangan Australia. Hal ini
menunjukkan perlunya penyelesaian kasus melalui hukum internasional, karena
melibatkan pihak-pihak dari negara yang berbeda. Dalam kasus HPI, biasanya
diperlukan pengetahuan dan pemahaman tentang peraturan dan hukum yang berlaku
di negara-negara yang terlibat, serta adanya upaya kolaboratif antara sistem hukum di
negara masing-masing untuk menyelesaikan kasus tersebut dengan adil dan dengan
memperhatikan hak-hak semua pihak yang terlibat.
2. Dari contoh kasus di atas yang merupakan HPI adalah Kasus nomor 2. Hukum
Perdata Internasional sebenarnya adalah hukum perdata nasional yang memiliki unsur
asing. Hubungan , hubungannya yang bersifat internasional sumbernya tetaplah
semata - mata hukum perdata nasional belaka . Tak ada konflik, yang ada hanya
masalah pilihan hukum (choise of laws) , memilih hukum mana yang berlaku apabila
terdapat pertemuan antara dua stelsel hukum yang berlaku pada suatu ketika. Dapat
disimpulkan pula bahwa kasus yang termasuk ke dalam HPI adalah kasus 2 karena
peristiwa Hukum Perdata melibatkan dua orang yang berkewarganegaraan yang
berbeda dalam pernikahan dan perceraian. Terdapat pula unsur asing melekat
melaksanakan pernikahan di suatu negara lalu menetap di negara lainnya. Kasus
perkawinan campuran yang berakhir dengan perceraian dan istri meminta harta benda
yang diperoleh selama perkawinan ke pada sang suami. Sementara itu , titik pertalian
primer dari kasus kedua adalah kewarganegaraan. Kewarganegaraan mengandung
pengertian bahwa yang mengatur status personal dari seseorang ditentukan dan diatur
oleh hukum dari negara tempat ia menjadi warga negara. Adanya perbedaan
kewarganegaraan antara para pihak dalam suatu peristiwa hukum tertentu melahirkan
HPI. Hal ini , sebab perbedaan kewarganegaraan antara para pihak dalam hubungan
hukum tersebut menunjukkan adanya pertautan stelsel hukum tempat para pihak dari
negara -negara tempat para pihak

3. Perkawinan tentunya tidaklah asing jika kita dengar karena sebagian besar dari kita
pasti pernah menyaksikan peristiwa tersebut dimana seorang pria dan seorang wanita
mengucapkan janji di depan pemuka agama sehingga mereka menjadi satu. Menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Perkawinan ialah suatu
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan
Yang Maha Esa. Suatu perkawinan tentunya dapat dilangsungkan di segala tempat
dan tidak menentu karena setiap pasangan pasti mempunyai rencana dan impiannya
tersendiri salah satunya perkawinan di luar negara Indonesia. Tidak sedikit dari
Warga Negara Indonesia yang melangsungkan perkawinannya di luar negeri. Salah
satu alasan pasangan melangsungkan perkawinan di luar negeri adalah karena adanya
perbedaan kepercayaan, namun hal ini tentu memunculkan banyak pertanyaan bagi
Warga Negara Indonesia “Apakah perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri sah
menurut hukum Indonesia?” Menurut Pasal 56 UUP: “(1) Perkawinan yang
dilangsungkan diluar Indonesia antara dua orang warga negara Indonesia atau
seorang warganegara Indonesia dengan warganegara Asing adalah sah bilamana
dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu
dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan-
ketentuan Undang-undang ini. (2) Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu
kembali diwilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di
Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.” Maka berdasarkan ketentuan
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan
untuk WNI tidak melanggar ketentuan UUP. Kemudian dalam waktu 1 (satu) tahun
setelah pasangan suami isteri kembali ke Indonesia, mereka harus mendaftarkan
perkawinan tersebut di Indonesia untuk yang beragama muslim maka dicatat di
Kantor Urusan Agama dan untuk non muslim dicatat di Kantor Catatan Sipil.

Anda mungkin juga menyukai