Anda di halaman 1dari 20

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI MEKANISME PEMBAGIAN HARTA BERSAMA

DALAM PERKAWINAN CAMPURAN DI INDONESIA

A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Sudah menjadi hal yang lumrah untuk mengatakan bahwa sebuah keluarga telah
berubah dan menjadi semakin beragam akibat adanya industrialisasi, globalisasi,
kesetaraan gender, dan individualisasi, dan beberapa peneyabab lainnya. Keanekaragaman
yang tumbuh ini ditandai dengan munculnya keluarga yang tidak didasarkan pada
keturunan biologis tetapi adopsi, fenomena child free, pernikahan alternatif, dan
perkawinan antara dua kewarganegaraan yang berbeda atau pernikahan campuran juga
merupakan bagian dari tren demografis global saat ini. Keanekaragaman yang terjadi
akibat pernikahan campuran ini secara bertahap memperoleh permatasan lintas negara dan
akibatnya menjadi sangat kompleks tentunya melibatkan berbagai parameter perbedaan.1
Indonesia merupakan negara dengan banyaknya keberagaman dan latar belakang
sejarah sebagai negara yang pernah di jajah pastinya memandang sebuah perkawinan
campuran menjadi sebuah fenomena lama yang tidak asing lagi. Dalam sejarah pendiri
bangsa, perkawinan campuran ini sudah berlangsung lama di Indonesia. Berawal dari misi
dagang, hingga akhirnya melahirkan beragam keturunan yang dikenal dengan etnis Indo
Tionghoa, Indo Arab, Indo Belanda. Sehingga dapat diketahui bawha hampir sebagian
besar masyarakat Indonesia kini tidak murni pribumi melainkan sudah bercampur dengan
berbagai etnis dari negara lain.
Regulasi mengenai perkawinan campuran dalam hukum indonesia telah ditapkan
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Dalam Pasal 57
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa:
“Pengertian perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang ada di
Indonesia dan tunduk pada hukum yang berbeda, karena perbedaan kewarganegaraan dan
salah satu pihak Kewarganegaraan Indonesia"
Sedangkan unsur – unsur yang terkandung dalam perkawinan campuran yaitu:
1
Asuncion Frenoza, Divorce In Transnational Families: Norms, Networks, And Intersecting Categories, Journal Des Sciences
Sociales, Vol.2 Issue.1, 2022
1) Perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang berjenis kelamin
sama;
2) Perkawinan yang dilakukan di wilayah hukum Indonesia;
3) Masing-masing tunduk pada hukum yang berbeda karena berkewarganegaraan
yang berbeda dan salah satu pihak adalah warga negara Indonesia.”
“Dengan demikian, perkawinan campuran yang diakui dalam konteks negara hukum di
Indonesia hanya sebatas perbedaan kewarganegaraan yang tunduk pada aturan hukum
yang berbeda daripada agama seperti yang lazim terjadi di kalangan selebritis saat ini.”
Adanya perkawinan campuran antara warga negara Indonesia dengan warga negara
asing, selama hampir setengah abad pengaturan kewarganegaraan mengacu pada Undang-
Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan (selanjutnya disebut Undang-
Undang Kewarganegaraan 1958). Persoalannya, UU Kewarganegaraan 1958 sudah tidak
mampu lagi mengakomodir kepentingan para pihak dalam perkawinan campuran,
terutama perlindungan terhadap istri dan anak. Pada tanggal 11 Juli 2006 DPR
mengesahkan UU Kewarganegaraan yang baru, UU No. 12 Tahun 2006 (selanjutnya
disebut UU Kewarganegaraan 2006).
Lahirnya UU Kewarganegaraan tahun 2006 memberikan harapan baru bagi mereka
yang menikah dengan warga negara asing, walaupun masih timbul pro dan kontra, namun
secara umum UU Kewarganegaraan tahun 2006 memungkinkan pemilihan
kewarganegaraan bagi perempuan Indonesia dengan harapan dapat memberikan
pencerahan baru dalam mengatasi persoalan status kewarganegaraan istri hasil
perkawinan campuran.2
Pada ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Kewarganegaraan tahun 2006,
dengan jelas disebutkan bahwa seorang istri tidak serta merta harus tunduk pada hukum
yang berlaku bagi suaminya. Sebaliknya, seorang wanita asing yang menikah dengan laki-
laki warga negara Indonesia tidak serta merta memperoleh kewarganegaraan Indonesia,
kecuali jika dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun setelah perkawinannya, dengan
menyebutkan keterangan untuk itu.1 Walaupun UU Kewarganegaraan tahun 2006 telah

2
Luh Suryanti, “Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia Dalam Melindungi
Hak Perempuan Dan Anak (Perspektif: Perkawinan Antara Warga Negara Indonesia Dan Warga Negara Asing)”, Jurnal Ilmiah
Hukum Dirgantara, Vol.10 No., 2020
membuat terobosan baru dalam hal status perkawinan suami istri dalam perkawinan
campuran.
Namun permasalahan yang timbul dalam perkawinan campuran adalah terkait dengan
harta yang diperoleh selama perkawinan campuran, jika dikaitkan dengan perjanjian
dalam perkawinan. beberapa masalah akibat terjadinya perkawinan, yaitu berkaitan
dengan akibat hukum perkawinan antara lain akibat perkawinan suami istri, akibat
perkawinan terhadap harta benda, dan akibat perkawinan terhadap anak. Pengaturan harta
yang diperoleh selama perkawinan diatur dalam ketentuan hukum yang berbeda
(pluralitas) yaitu Hukum Perdata khusus bagi warga negara non muslim dan bagi warga
negara yang beragama Islam ketentuan Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 Inpres
Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam dalam selain menerapkan syariat
Islam itu sendiri.
“Atas hasil perkawinan campuran teradap harta, dinaikkan harta bawaan dan harta
bersama. Harta bawaan adalah harta yang dikuasai oleh pemiliknya masing-masing, yaitu
suami atau istri. Dan masing-masing suami istri berhak penuh untuk melakukan perbuatan
hukum terhadap harta bendanya. Ini adalah sebagaimana diatur dalam pasal 36 ayat 2
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sedangkan harta bersama
adalah harta yang dikuasai oleh suami istri, suami atau istri dapat bertindak atas harta
bersama dengan persetujuan kedua belah pihak. Dalam Pasal 36 ayat 1 UndangUndang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diatur mengenai hal tersebut. Harta bersama
suami istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama.”
Selanjutnya ditegaskan kembali dalam Pasal 35 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi
“Ayat (1) Harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
(Ayat 2) Harta warisan masing-masing suami istri dan harta benda yang diperoleh
masing-masing sebagai hibah atau warisan berada dalam penguasaannya masing-masing
sepanjang para pihak tidak menentukan lain.”
Warga negara Indonesia tetap harus menerapkan aturan yang tertuang dalam Pasal 21 ayat
tersebut (1) yaitu “hanya warga negara Indonesia yang berhak atas hak milik”. Dalam
Pasal 21 ayat (1) UU tersebut di atas, jelas bahwa setiap warga negara Indonesia tanpa
kecuali berhak atas tanah dengan status hak milik. Namun pada kenyataannya hak atas
tanah dengan hak milik bagi warga negara Indonesia dalam perkawinan campuran sangat
dipengaruhi oleh adanya suatu perjanjian perkawinan.
Dalam Pasal 21 ayat (3) UUPA disebutkan bahwa: “Orang asing yang setelah
diundangkannya undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat
atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga negara Indonesia yang
mempunyai hak milik dan sesudah itu Undang-undang diundangkan kehilangan
kewarganegaraan mereka wajib melepaskan hak tersebut dalam jangka waktu 1 (satu)
tahun setelah hak diperoleh atau kewarganegaraan telah hilang.Jika dalam waktu yang
lalu hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak itu hapus karena hukum dan tanah jatuh ke
tangan negara, dengan syarat hak pihak lain itu tetap memaksakannya.”
Titik permasalahan saat terjadinya perceraian adalah harta bersama. UU
Perkawinan pada Pasal 37 hanya menyebutkan bahwa jika perkawinan putus karena
perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Dalam penjelasan
asal-usul negara yang dimaksud dengan “hukum” masing-masing berarti hukum agama,
hukum adat, dan hukum – hukum lainnya. Jika dilihat dari sistem hukum sebagaimana
tersebut di atas, penyelesaian harta bersama ini dapat ditentukan sebagai berikut: Bagi
yang menikah menurut Islam, maka harus dibagikan menurut hukum Islam yang mengacu
pada kompilasi hukum Islam.
Jika mengacu pada dasar hukum tersebut maka akibat hukum perkawinan
campuran berdasarkan kronologis kasus di bawah ini, maka bagi warga negara Indonesia
yang menikah dengan warga negara asing, Karena pasangan dalam perkawinan campuran
merasa dirugikan dengan sejumlah ketentuan dalam UUPA dan UU Perkawinan. Warga
negara asing yang menikah dengan orang Indonesia tidak dapat memiliki hak atas tanah,
apalagi berbagi aset setelah putusnya perkawinan. Akibatnya, pasangan perkawinan
campuran merasa dirugikan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Pokok Agraria (UUPA) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(UUP).3

3
Rahmia Rachman, Tinjauan Yuridis Terhadap Kepemilikan Hak Atas Tanah Dalam Perkawinan Campuran, Jurnal Jambura Law
Review, Vol.3 No.1, 2021
Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (1) UUPA memiliki arti yang berbeda dengan
apa yang dicita-citakan oleh UUD 1945. Masalahnya, frasa “WNI” dimaknai sebagai
“WNI yang belum menikah atau WNI yang menikah dengan WNI lain”. , faktanya
banyak Warga negara Indonesia menikah dengan orang asing, tetapi tetap
mempertahankan kewarganegaraan Indonesia dan tinggal tetap di Indonesia. Warga
negara Indonesia yang menikah dengan orang asing tidak kehilangan
kewarganegaraannya, mereka tetap sebagai warga negara Indonesia yang memiliki hak
yang sama dengan warga negara Indonesia lainnya. Tidak ada satupun undang-undang
yang menyatakan adanya perbedaan status kewarganegaraan antara warga negara
Indonesia yang kawin dengan orang asing sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU
No.Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.
2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana tinjauan sistem hukum di Indonesia terhadap perjanjian pernikahan
harta bersama dalam perkawinan campuran
b. Bagaimana Pengaturan pembagian harta bersama dalam perkawinan campuran
3. Tujuan Penelitian
a. Menganalisa tinjauan sistem hukum di Indonesia terhadap perjanjian pernikahan
harta bersama dalam perkawinan campuran
b. Menganalisa mengenai Pengaturan pembagian harta bersama dalam perkawinan
campuran

B. Hasil dan Pembahasan


1. Perjanjian Pernikahan Harta Bersama Dalam Perkawinan Pasangan Campuran
1.1 Pernikahan campur menurut sistem hukum di Indonesia
“Perkawinan campuran di Indonesia diatur dalam tiga ketentuan hukum yang berlaku,
yaitu KUHPerdata bagi non-Muslim, dan bagi yang beragama Islam diatur dengan
Perkawinan dan Hukum Islam yang diadaptasi dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Sebelum diundangkannya UU Perkawinan tahun 1974, perkawinan campuran diatur
dengan Koninklijk Besluit tanggal 29 Desember 1896 No. 23. Peraturan ini disebut
Regeling op de Gemengde Huwelijk yang lebih dikenal dengan Gemengde Huwelijk
Regeling, dengan singkatan GHR yang biasa disebut dengan Peraturan Perkawinan
Campuran. Pengertian perkawinan campuran menurut Pasal 1 GHR adalah perkawinan
antara “orang-orang” yang “berada” di Indonesia yang tunduk pada hukum yang berbeda.
Pengertian ini sangat luas cakupannya, tidak membatasi pengertian perkawinan
campuran dalam perkawinan antara warga negara Indonesia atau antara perkawinan
Indonesia dengan perkawinan yang berlangsung di Indonesia, dengan ketentuan pihak-
pihak yang melangsungkan perkawinan di Indonesia tunduk pada hukum yang berbeda-
beda yang merupakan perkawinan campuran. pernikahan.4”
Dalam pengertian ketentuan Pasal 1 GHR, termasuk perkawinan antara dua orang
yang berkewarganegaraan Indonesia yang berada di Indonesia tunduk pada dua aturan
hukum yang berbeda yang melangsungkan perkawinan di luar Indonesia atau juga antara
warga negara Indonesia dengan warga negara asing juga termasuk perkawinan campuran.
Kecuali apabila para pihak atau pihak-pihak yang sebelumnya tunduk pada seluruh atau
sebagian hukum perkawinan BW, maka perkawinan mereka berlaku ketentuan Pasal 83
KUH Perdata. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 GHR dan Pasal 83 KUH Perdata, yang
termasuk dalam pengertian perkawinan campuran antara lain:
1) antara dua warga negara Indonesia, yang satu golongan Eropa dan yang lain
golongan Cina Timur;
2) antara dua warga negara Indonesia, yang satu golongan asing Tionghoa Timur dan
yang lain golongan Timur Timur non-Tionghoa;
3) antara dua warga negara Indonesia termasuk satu orang asing Eropa atau Cina
Timur dan seorang warga negara asing.
Selain itu, menurut ketentuan Pasal 1 GHR, perkawinan antara dua orang di Indonesia
yang termasuk golongan yang sama, tetapi tunduk pada hukum yang berbeda, juga
termasuk perkawinan campuran. Misalnya,Bumiputera (penduduk asli), orang-orang
yang beragama Kristen danBumiputeraorang yang beragama Islam. Begitu pula dengan
dua orang Timur selain Tionghoa, yang satu berkewarganegaraan Indonesia dan yang
lainnya berkewarganegaraan asing.5
4
Titik Triwulan Tutik, Marriage Agreement For The Joint Assets In Mixed Couple Marriage According In Indonesia Book Of
Civil Law Number 1 Of 1974 Post Decision Of The Court Of Constitution Number 69/Puu-Xiii/2015, Journal Granthaalayah,
Vol.8 No.1, 2021
5
Ibid.,
UU Perkawinan memberikan definisi yang sedikit berbeda dengan definisi
ketentuan GHR. Makna perkawinan campuran yang diatur dalam Pasal 57 UU
Perkawinan adalah: Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-
Undang ini adalah perkawinan antara dua orang yang tunduk pada hukum yang berbeda
di Indonesia, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Pasal 57
membatasi perkawinan campuran hanya pada perkawinan antara warga negara Indonesia
dengan orang yang bukan warga negara Indonesia, sehingga termasuk perkawinan antara
sesama warga negara yang berbeda hukum dan antara bukan warga negara Indonesia.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, maka ketentuan-ketentuan
yang diatur dalam GHR sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan
dinyatakan tidak berlaku. Karena Pasal 57 UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
menekankan perbedaan kewarganegaraan dan atau tunduk pada hukum yang berbeda,
maka ketentuan GHR tetap berlaku selama yang melakukan perkawinan campuran
adalah orang sebagaimana diatur dalam Pasal 57 UU Perkawinan. Nomor 1 Tahun 1974.
“Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo memberikan pengertian perkawinan
internasional sebagai berikut: Perkawinan internasional adalah perkawinan yang
mengandung unsur-unsurmenggunakan. ItumenggunakanUnsur tersebut dapat berupa
mempelai wanita yang berbeda kewarganegaraan dengan mempelai wanita lainnya, atau
kedua mempelai memiliki kewarganegaraan yang sama tetapi perkawinannya
dilangsungkan di negara lain atau gabungan keduanya.6”
Adanya perbedaan hukum tersebut menyebabkan terjadinya beberapa macam
perkawinan campuran, yaitu:
1) Perkawinan Antarbangsa menjelaskan hukum mana atau hukum apa yang berlaku,
jika perkawinan timbul antara 2 (dua) orang, masing-masing berkewarganegaraan
yang sama atau berbeda, yang tunduk pada peraturan hukum yang berbeda.
Misalnya, warga negara Indonesia dari Eropa menikah dengan orang Indonesia asli.

6
Adhitya Dimas Pratama, Kedudukan Kepemilikan Hak Atas Tanah Dalam Perkawinan Campuran Tanpa Adanya Perjanjian
Pisah Harta, Jurnal Panorama Hukum, Vol.3 No.2, 2018
2) Perkawinan campuran antardaerah mengatur hubungan-hubungan hukum
(perkawinan) antara penduduk asli Indonesia dari lingkungan adat masing-masing.
Misalnya, orang Minang menikah dengan orang Jawa.
3) Perkawinan Campur Antaragama (antaragama) Mengatur hubungan hukum
(perkawinan) antara 2 (dua) orang yang masing-masing tunduk pada peraturan
hukum agama yang berbeda. Misalnya, Muslim dengan Kristen.7
Dalam Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 telah ditentukan bahwa legalitas
perkawinan di Indonesia didasarkan pada masing masing agama dan kepercayaan. Oleh
karena itu mengenai perkawinan campuran yang diselenggarakan di Indonesia harus
berdasarkan Hukum Perkawinan Indonesia maka perkawinan perkawinan harus
berdasarkan hukum agama dan harus diperhatikan jika kedua belah pihak, calon suami
istri menganut agama yang sama tidak akan menimbulkan masalah, tetapi jika berbeda
agama maka akan timbul masalah hukum antar agama.
Masalah tidak akan menjadi rumit jika salah satu pihak menggabungkan/mengikuti
agama pihak lain dengan kerelaan, namun kesulitan ini muncul jika kedua belah pihak
tetap ingin mempertahankan keyakinannya. Apalagi karena Kantor Catatan Sipil
(sekarang Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil) berdasarkan Keputusan Presiden
Nomor 12 Tahun 1983, tidak lagi berfungsi untuk mengawinkan. Namun pada
kenyataannya sering terjadi pasangan yang menikah dengan mudah berdasarkan agama
salah satu pihak, kemudian setelah pernikahan mereka disahkan, mereka kembali pada
keyakinan masing-masing. Di Indonesia perkawinan beda agama masih menjadi masalah
yang masih perlu diselesaikan dengan sebaik-baiknya bagi warga negaranya.
“Mengenai keabsahan perkawinan campuran, tidak ada pengaturan khusus,
sehingga dalam praktiknya sering terjadi kewarganegaraan dan untuk memudahkan
pasangan menikah berdasarkan agama salah satu pihak, namun kemudian setelah
perkawinan disahkan, mereka kembali ke keyakinan masing-masing. Selain itu, ada juga
pasangan yang menikah di luar negeri, baru kemudian didaftarkan di Indonesia.
Berdasarkan hal tersebut, karena masalah perkawinan campuran tidak mungkin

7
Ibid.,
dihilangkan, maka demi adanya kepastian hukum sebagai warga negara dilakukan
pengaturan tentang sahnya perkawinan campuran.”
1.2. Perjanjian Pernikahan Harta Bersama Dalam Perkawinan Campuran
Perkawinan campuran sebenarnya membawa akibat hukum yang cukup rumit,
yaitu berkaitan dengan kedudukan suami/istri, kedudukan anak, dan kedudukan harta
benda. Pasal 2 GHR mengatur bahwa seorang wanita (istri) yang melakukan perkawinan
campuran, selama perkawinan itu belum putus, tunduk pada hukum yang berlaku terhadap
suaminya, baik hukum umum maupun hukum privat. Intinya istri mengikuti status hukum
suami. Dari ketentuan ini jelas bahwa bagi istri tidak ada pilihan lain selain tunduk pada
hukum suami. Selain itu, ketentuan ini juga tidak memberikan kebebasan bagi istri untuk
menentukan pilihan hukum mana yang berlaku baginya setelah melakukan perkawinan
campuran. Didudukkannya kedudukan hukum publik suami oleh istrinya tidak berarti
bahwa istri berdasarkan ketentuan Pasal 2 GHR memperoleh kewarganegaraan suami.8
“Apakah istri memperoleh kewarganegaraan dan/atau kehilangan
kewarganegaraannya sendiri, tergantung pada hukum kewarganegaraan dari negara suami
dan istri tersebut. Menurut UU Kewarganegaraan Indonesia dan UU Kewarganegaraan di
banyak negara lain, istri tidak secara otomatis memperoleh kewarganegaraan suami dan
kehilangan kewarganegaraannya sendiri. Istri tidak boleh kehilangan
kewarganegaraannya sendiri dan tidak memperoleh kewarganegaraan suami. Karena hak
dan kewajiban masyarakat (hak memilih dan dipilih, hak memperoleh pendidikan, wajib
militer, wajib pajak orang asing, dll) pada umumnya terkait dengan kewarganegaraan,
sedangkan kewarganegaraan ditentukan oleh undang-undang kewarganegaraan. Maka
GHR untuk kedudukan hukum publik istri dapat dikatakan tidak ada artinya.”
Pasal 11 GHR mengatur bahwa anak yang lahir dari perkawinan campuran yang
telah dilakukan sebelum berlakunya GHR, memperoleh kedudukan hukum publik dan
hukum privat dari ayahnya. Sedangkan menurut Pasal 12 GHR, kedudukan anak-anak
yang dimaksud dalam Pasal 11 GHR sebagai anak sah dari ayah dan ibu tidak dapat
dipersengketakan, karena dalam akta perkawinan terdapat cacat atau karena tidak ada akta
perkawinan, jika anak diperlakukan sebagai anak sah dan ayah ibu hidup secara terbuka
8
Ai Pitri Nurpadilah, Akibat Perkawinan Campuran Terhadap Anak Dan Harta Benda Yang Diperoleh Sebelum Dan Sesudah
Perkawinan, Jurnal Rechten: Riset Hukum Dan Hak Asasi Manusia, V O L . 1 N O . 2, 2 0 1 9
sebagai suami istri. UU Perkawinan 1974 Pasal 62 menyatakan, bahwa dalam perkawinan
campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat (1) yang berbunyi,
“Kewarganegaraan yang diperoleh karena perkawinan atau putusnya perkawinan
menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum dan hukum perdata.”
Mengenai status kewarganegaraan anak yang lahir dari perkawinan campuran
diatur dalam Pasal 4 huruf b sampai dengan huruf f UU Kewarganegaraan yang pada
pokoknya ditentukan, bahwa setiap anak yang lahir kedua dan/atau salah satu orang
tuanya (ayah dan/atau ibunya) adalah warga negara Indonesia maka dia diklasifikasikan
sebagai warga negara Indonesia. Pengecualian bagi anak yang orang tuanya
berkewarganegaraan asing yang mengakibatkan anak berkewarganegaraan ganda, setelah
berumur 18 (delapan belas) tahun atau menikah, harus menyatakan pilihan
kewarganegaraannya.
Berdasarkan ketentuan tersebut, pada dasarnya status kewarganegaraan anak yang
lahir dari perkawinan campuran yang salah satu orang tuanya berkewarganegaraan
Indonesia diakui sebagai warga negara Indonesia sampai dengan yang bersangkutan
berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah sehingga mereka memiliki hak
untuk memilih kewarganegaraan mereka. Bahkan hilangnya kewarganegaraan Indonesia
pada salah satu orang tua dari anak yang lahir dari perkawinan campuran tidak serta merta
berlaku kewarganegaraannya sampai mereka berusia 18 (delapan belas) tahun atau
menikah, kecuali akibat dari menjadikan anak tersebut dwikewarganegaraan - sehingga
mereka harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya.
Dalam konteks hukum yang berlaku di Indonesia, pengaturan harta yang diperoleh
selama perkawinan diatur dalam ketentuan hukum yang berbeda (pluralitas) yaitu Hukum
Perdata khusus bagi warga negara non muslim dan bagi warga negara Islam ketentuan UU
Perkawinan 1974 Inpres Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
(selanjutnya disebut KHI) disamping penerapan Hukum Islam itu sendiri. Menurut
ketentuan KUH Perdata, bahwa pada dasarnya harta yang diperoleh selama perkawinan
menjadi satu, menjadi milik bersama. Dalam Pasal 119 KUH Perdata. Mengenai harta
benda dalam perkawinan, diatur dalam Pasal 35 UU Perkawinan tahun 1974 yang
berbunyi sebagai berikut:
1) Harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2) Harta warisan masing-masing suami istri dan harta yang diperoleh masing-masing
sebagai hibah atau warisan berada di bawah pengawasan masing-masing sepanjang
para pihak tidak menentukan lain.
“Berdasarkan ketentuan Pasal 35 UU Perkawinan Tahun 1974, bahwa harta
kekayaan yang diperoleh karena warisan atau pemberian tidak dapat dikategorikan
sebagai harta bersama. Ketentuan ini sejalan dengan firman Allah dalam surat al-Nisa
ayat 32 yang pada dasarnya menegaskan bahwa setiap laki-laki dan perempuan memiliki
bagian dari apa yang mereka usahakan sendiri.”
2. Pengaturan pembagian harta bersama dalam perkawinan campuran
Setelah membuka hubungan dengan dunia luar, kini banyak orang asing yang
tinggal di Indonesia. Mereka umumnya menetap karena bekerja, berbisnis, atau tinggal
sementara sebagai turis untuk menghabiskan liburannya atau seperti yang kadang-kadang
sengaja didatangkan oleh Negara yang akan dijadikan sebagai aset negara, hal ini sering
terjadi juga, seperti yang diketahui kebanyakan orang. dalam dunia olahraga khususnya
sepak bola. bola yang sering disebut orang sebagai transfer player. Oleh karena itu, sudah
lumrah jika terjadi perkawinan antara mereka dengan warga negara Indonesia. Mungkin
tidak mengapa perkawinan mereka dapat berjalan tetap sesuai dengan tujuan perkawinan
sebagaimana yang dimaksud dalam UU Perkawinan yaitu terbentuknya keluarga/rumah
tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
“Namun, akan menjadi masalah bagi para pihak jika terjadi perceraian, terutama
mengenai kedudukan anak dan pembagian harta perkawinan. Perkawinan antara warga
negara Indonesia dengan orang asing dalam hukum Indonesia disebut perkawinan
campuran, yaitu perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum
yang berbeda karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satunya berkewarganegaraan
Indonesia (Pasal 57 UUP). Perkawinan ini dilakukan di Indonesia, maka dalam
perkawinan campuran ini salah satu pihak dapat memperoleh kewarganegaraan
suami/istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya menurut cara-cara yang
diatur dalam Undang-Undang Kewarganegaraan Indonesia yang berlaku yaitu
perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berbeda karena
perbedaan kewarganegaraan dan salah satunya berkewarganegaraan Indonesia (Pasal 57
UUP).9”
“Perkawinan ini dilakukan di Indonesia, maka dalam perkawinan campuran ini
salah satu pihak dapat memperoleh kewarganegaraan suami/istrinya dan dapat pula
kehilangan kewarganegaraannya menurut cara-cara yang diatur dalam Undang-Undang
Kewarganegaraan Indonesia yang berlaku. yaitu perkawinan antara dua orang yang di
Indonesia tunduk pada hukum yang berbeda karena perbedaan kewarganegaraan dan
salah satunya berkewarganegaraan Indonesia (Pasal 57 UUP). Perkawinan ini dilakukan
di Indonesia, maka dalam perkawinan campuran ini salah satu pihak dapat memperoleh
kewarganegaraan suami/istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya menurut
cara-cara yang diatur dalam Undang-Undang Kewarganegaraan Indonesia yang
berlaku.10””.
Perkawinan campuran menurut UU No. 1 Tahun 1974 yang dimaksud dengan
perkawinan campuran dalam Undang-Undang ini adalah perkawinan antara dua orang
yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berbeda, karena perbedaan kewarganegaraan
dan salah satu pihak adalah warga negara asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan
asing. warga negara Indonesia. sebuah.
“ Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menjelaskan bahwa perkawinan
dapat putus karena:
a. Kematian, kematian seseorang merupakan gejala kodrat sebagaimana kodrat
makhluk hidup karena kematian tidak dapat dihindari dan merupakan sesuatu
yang menyebabkan putusnya perkawinan suami istri yang bersangkutan.
b. Perceraian Pasal 14 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 menjelaskan bahwa
putusnya perkawinan karena cerai adalah putusnya perkawinan karena dinyatakan
thalaq oleh suami dalam perkawinan yang diselenggarakan menurut Islam. Dalam
hal ini, perceraian dipandang sebagai akhir dari perkawinan yang tidak stabil
dimana suami istri kemudian hidup terpisah dan diakui secara resmi oleh hukum
yang berlaku.

9
Siti Alafisyahrin Lasori, Mechanism For Collective Property Sharing In Mixed Marriage, Jurnal Hukum Volkgeist, Vol.5
Issue.1, 2020
10
Ibid.,
c. Atas Putusan Pengadilan, yaitu pemutusan perkawinan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Berdasarkan UU Kewarganegaraan Indonesia saat ini yaitu UU No. 12 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (“UU Kewarganegaraan”). Mengenai
status kewarganegaraan dalam perkawinan campuran diatur dalam
“Pasal 26 UU Kewarganegaraan yaitu:
a. Perempuan Indonesia yang kawin dengan laki-laki yang berkewarganegaraan
asing kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia apabila menurut
hukum negara asal suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti
kewarganegaraan suami akibat perkawinan tersebut.
b. Laki-laki Warga Negara Indonesia yang kawin dengan Orang Asing
kehilangan Kewarganegaraan Indonesia apabila menurut hukum negara
asalnya, kewarganegaraan suami mengikuti kewarganegaraan istrinya akibat
perkawinan itu.
c. Perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau laki-laki sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), apabila ingin tetap menjadi warga negara Indonesia,
dapat menyampaikan surat pernyataan mengenai keinginannya tersebut
kepada Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia yang wilayahnya meliputi
tempat tinggal perempuan atau laki-laki. kecuali permohonan tersebut
menghasilkan kewarganegaraan ganda.
d. Surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat disampaikan
oleh perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau oleh laki-laki
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak
tanggal perkawinan terjadi.”
Jadi jika kita melihat ketentuan Pasal 26 ayat (1) dan ayat (3) UU
Kewarganegaraan, terlihat bahwa jika hukum negara asal suami memberikan
“Kewarganegaraan kepada pasangannya karena perkawinan campuran, istri yang
berkewarganegaraan Indonesia dapat kehilangan kewarganegaraan Indonesia, kecuali ia
mengajukan pernyataan tetap menjadi warga negara Indonesia dan juga status
kewarganegaraan suami asing jika pasangan nikah campuran tersebut bertempat tinggal di
Indonesia. Dalam ketentuan Undang Undang Kewarganegaraan tidak ditentukan bahwa
orang asing yang menikah dengan warga negara Indonesia secara otomatis menjadi warga
negara Indonesia, termasuk jika ia bertempat tinggal di Indonesia.”
“Pengaturan pelarangan pemilikan hak atas tanah oleh orang asing tidak dapat
diwujudkan dalam aktualisasinya, selalu terdapat celah dalam pengaturan hukum
pertanahan yang dapat dengan mudah dilakukan melalui praktek penyelundupan hukum.
Hukum penyelundupan adalah aturan hukum asing yang terkadang dikesampingkan
dengan menggunakan hukum nasional atau sebaliknya untuk keuntungan atau tujuan
tertentu. Misalnya praktek jual beli tanah oleh pihak asing dengan cara meminjam nama
seolaholah pembeli tanah tersebut adalah warga negara Indonesia, jika pemilik dananya
adalah orang asing, atau melalui lembaga perkawinan dengan konsep perkawinan
campuran.”
“Hal yang perlu diperhatikan oleh orang asing selama tinggal di Indonesia adalah
harus memiliki izin tinggal, Kajian harta bersama dalam hukum Islam tidak terlepas dari
pembahasan konsep syirkah dalam perkawinan. Banyak ulama yang berpendapat bahwa
harta bersama termasuk dalam konsep syirkah, mengingat konsep harta bersama tidak
terdapat dalam referensi teks Al-Quran dan Hadits, maka sebenarnya kita bisa
melakukannya. qiyas (perbandingan) dengan konsep fikih yang ada, yaitu tentang syirkah
itu sendiri. Jadi, tidak bisa dikatakan karena persoalan harta bersama tidak disebutkan
dalam al-Qur'an, maka pembahasan harta bersama menjadi muluk-muluk.”
Menurut Yahya Harahap bahwa pandangan Hukum Islam tentang Harta Bersama
sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Ismail Muhammad Syah dalam disertasinya
bahwa pencarian dengan suami istri seharusnya masuk dalam rub'u mu'amalah , namun
pada kenyataannya itu tidak dibahas secara khusus tentang hal ini. Hal ini mungkin
disebabkan karena pada umumnya penulis kitab fiqh adalah orang Arab yang tidak
mengenal adanya adat-istiadat mengenai pencarian suami istri. Akan tetapi mereka
membicarakan tentang kongsi yang dalam bahasa arab dikenal dengan istilah syirkah,
dengan untuk mencari masalah dengan jodoh termasuk kongsi, maka untuk menentukan
hukumnya perlu dibahas terlebih dahulu macam-macam kongsi sebagaimana telah
dibahas oleh Ahli Fiqh dalam kitab-kitabnya.11
Menurut Amir Syarifuddin hukum Islam mengatur bahwa akad nikah harus dibuat
pada saat akad nikah dilakukan atau sesudahnya dan harus dilakukan dengan akad khusus
berupa syirkah, jika kedua unsur tersebut tidak diterapkan, maka Harta pribadi milik
masing-masing suami istri tidak dapat dikategorikan sebagai harta bersama. dan
tetapmenjadi harta pribadi masing-masing, syirkah adalah akad antara orang-orang yang
bersatu dalam hal modal dan keuntungan.12
“Dalam hukum Islam tidak boleh mencampurkan harta pribadi ke dalam bentuk
harta bersama tetapi dianjurkan adanya saling pengertian antara suami dan istri dalam
mengelola harta pribadi tersebut, jangan sampai pengurusan ini mengakibatkan rusaknya
hubungan yang mengakibatkan perceraian, sehingga dalam hal ini hukum Islam
memperbolehkan adanya perjanjian perkawinan sebelumnya pernikahan itu dilaksanakan.
Perjanjian tersebut dapat berupa penggabungan harta pribadi perseorangan menjadi harta
bersama, dapat juga ditentukan tidak adanya penggabungan harta pribadi menjadi harta
bersama, apabila perjanjian itu dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan, maka
perjanjian itu sah dan harus ditegakkan.”
“Hukum Islam mengatur sistem pemisahan antara harta suami dan harta istri
sepanjang yang bersangkutan tidak menentukan lain (tidak diatur dalam perjanjian
perkawinan). Hukum Islam juga memberikan kelonggaran bagi keduanya untuk membuat
akad nikah sesuai dengan keinginannya, dan akad tersebut akhirnya mengikat mereka
secara hukum. Pandangan hukum Islam yang memisahkan harta suami istri sebenarnya
mempermudah pemisahan yang meliputi harta suami dan mana yang meliputi harta istri,
dimana harta bawaan suami dan dimana harta bawaan istri sebelum menikah, dimana
harta yang diperoleh suami dan harta yang diperoleh istri secara pribadi selama
perkawinan. , serta harta bersama mana yang diperoleh secara bersama-sama selama
perkawinan. Pemisahan ini akan sangat bermanfaat dalam memisahkan harta suami dan

11
Andi Syamsul Bahri, Analisis Kedudukan Harta Bersama Dalam Hukum Islam Dan Kompilasi Hukum Islam, Jurnal Al-Risalah
Volume 3 Nomor 1 Tahun 2022
12
Ibid.,
harta istri jika terjadi perceraian dalam perkawinan mereka. Ketentuan hukum Islam tetap
berlaku sampai berakhirnya perkawinan atau salah satu dari keduanya meninggal dunia.”
“Perkawinan antara warga negara Indonesia dengan orang asing dalam hukum
Indonesia disebut perkawinan campuran, yaitu perkawinan antara dua orang yang di
Indonesia tunduk pada hukum yang berbeda karena perbedaan kewarganegaraan dan
salah satunya berkewarganegaraan Indonesia (Pasal 57 UUP). Karena perkawinan ini
dilakukan di Indonesia, maka dalam perkawinan campuran salah satu pihak dapat
memperoleh kewarganegaraan suami/istrinya dan dapat pula kehilangan
kewarganegaraannya menurut cara-cara yang ditentukan dalam Undang-undang
Kewarganegaraan Indonesia yang berlaku. Titik permasalahan terjadinya perceraian
adalah harta bersama. UU Perkawinan (Pasal 37) hanya menyebutkan bahwa jika
perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-
masing.”
Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
“hukum” adalah hukum agama, hukum adat, dan hukum lainnya. Jika kita melihat sistem
hukum sebagaimana tersebut di atas, maka penyelesaian harta bersama dapat ditentukan
sebagai berikut: Bagi yang menikah menurut Islam, harus dibagikan berdasarkan
kompilasi hukum Islam, sedangkan hukum Islam tidak mengenal harta bersama. properti
serta hukum positif Indonesia. dalam Pasal 21 ayat (1) UUPA hanya warga negara
Indonesia (WNI) yang boleh memiliki.
“Maka jika mengacu pada dasar hukum tersebut maka akibat hukum perkawinan
yang terjadi di atas dapat dikatakan bahwa perkawinan campuran akan membawa akibat
hukum bagi pihak yang melakukannya, begitu juga dengan perkawinan campuran.
Adapun akibat hukum Perkawinan Campuran yang berkaitan dengan kewarganegaraan
pasangan, kewarganegaraan anak, dan harta benda dalam perkawinan, khususnya
pemilikan harta tak bergerak berupa tanah, karena menurut Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Agraria Prinsip tersebut menyatakan bahwa, hanya warga negara
Indonesia yang dapat memiliki hak milik atas tanah. Bagi warga negara Indonesia yang
menikah dengan warga negara asing akan kesulitan untuk memiliki tanah atau bangunan
dengan status Hak Milik.”
“Hal ini karena UU Perkawinan Indonesia mengatur bahwa harta yang diperoleh
selama perkawinan menjadi harta bersama, dimana kedua belah pihak mempunyai hak
yang sama atas harta tersebut. Sementara itu, UU Pokok Agraria menyatakan bahwa
warga negara asing tidak dapat memiliki tanah dengan status hak milik. Masalah yang
sering timbul adalah ketika terjadi perceraian, baik cerai maupun cerai dalam perkawinan
campuran, dan salah satu pihak menuntut pembagian harta gono gini. Jadi istri
diperlakukan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UUPA, dia disamakan dengan orang
asing, yaitu dia tidak dapat memiliki hak milik, jika dia mendapat hadiah atau wasiat
selama perkawinan, maka dia harus melepaskan haknya. atau menurunkan status
tanahnya menjadi Hak Pakai. Untuk mengatasinya, Sebaiknya Perjanjian Nikah dibuat
pada saat atau sebelum perkawinan dilangsungkan, untuk menghindari percampuran
harta kekayaan antara harta istri dan harta suami. Perjanjian Perkawinan harus dibuat
dihadapan Notaris dan tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang.”13
“Hukum perdata BW Indonesia mengakui pembagian harta bersama dalam hal
terjadi perceraian. Harta bersama ini dibagi dua dan masing-masing mendapat setengah
dari harta tersebut. Sedangkan bagi mereka yang tunduk pada KUH Perdata, dalam hal
terjadi perceraian, harta bersama dibagi menjadi dua antara berkas suami dan bekas istri.
Dalam perkawinan campuran, sekali lagi harus dilihat hukum mana yang mereka
sepakati untuk digunakan dengan melihat bagaimana perkawinan itu dilaksanakan.
Karena terkait dengan orang asing yang berbeda sistem hukumnya, maka dalam
perkawinan campuran sebaiknya dilakukan melalui prosedur hukum yang benar sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan sedapat mungkin disertai
dengan perjanjian perkawinan tentang status harta dalam perkawinan nanti.”
Melihat penjelasan di atas, tentunya harta tersebut berdiri sendiri meskipun dalam
perceraian seperti harta suami adalah milik suami dan harta istri adalah milik istri ketika
mereka bercerai, tetapi ketika mereka tidak bercerai, hukum Indonesia tidak
memperbolehkan aset bersama. bagi pelaku perkawinan campuran ini tentunya membuat
sebagian orang menggangap diskriminasi terhadap orang asing dengan hukum di
Indonesia.
13
Upik Hamidah, “Separation Of Assets (Land And Buildings) Between Indonesian Citizens And Foreign Citizens Conducting
Mixed Marriages”, International Journal Of Innovative Science And Research Technology , Volume 6, Issue 3, 2021
C. Penutup
1. Kesimpulan
Dalam Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 telah ditentukan bahwa legalitas
perkawinan di Indonesia didasarkan pada masing masing agama dan kepercayaan. Oleh
karena itu mengenai perkawinan campuran yang diselenggarakan di Indonesia harus
berdasarkan Hukum Perkawinan Indonesia dan berdasarkan hukum agama yang harus
diperhatikan jika kedua belah pihak. Calon suami istri menganut agama yang sama tidak
akan menimbulkan masalah, tetapi jika berbeda agama maka akan timbul masalah hukum
antar agama. pengaturan harta yang diperoleh selama perkawinan diatur dalam ketentuan
hukum yang berbeda (pluralitas) yaitu Hukum Perdata khusus bagi warga negara non
muslim dan bagi warga negara Islam ketentuan UU Perkawinan 1974 Inpres Presiden
Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI)
disamping penerapan Hukum Islam itu sendiri. Menurut ketentuan KUH Perdata, bahwa
pada dasarnya harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi satu, menjadi milik
bersama. Dalam Pasal 119 KUH Perdata. Mengenai harta benda dalam perkawinan diatur
dalam Pasal 35 UU Perkawinan tahun 1974. Pengaturan tentang pembagian harta
bersama dalam perkawinan campuran menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Pokok-Pokok Agraria menyatakan bahwa hanya warga negara Indonesia yang
dapat memiliki hak milik atas tanah. Bagi warga negara Indonesia yang menikah dengan
warga negara asing, akan sulit untuk memiliki tanah atau bangunan dengan Hak milik
status. ini berhubungan dengan kewarganegaraan suami istri, kewarganegaraan anak, dan
harta kekayaan dalam perkawinan, khususnya kepemilikan harta tidak bergerak berupa
tanah.
2. Saran
Perkawinan campuran membuka peluang yang besar bagi orang asing untuk
memiliki hak atas tanah di Indonesia, karena menurut Pasal 35 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, apabila suami atau istri membeli barang tidak
bergerak selama perkawinan itu menjadi milik bersama. Termasuk apabila perkawinan
campuran dilakukan tanpa membuat perjanjian perkawinan tersendiri, maka secara hukum
harta yang dibeli oleh suami atau istri warga negara Indonesia dengan sendirinya menjadi
milik suami atau istri yang juga berkewarganegaraan asing tersebut. Oleh karena itu,
dalam setiap perkawinan campuran agar harta benda tidak berpindah, misalnya tanah
dan/atau bangunan yang diperoleh selama perkawinan itu tidak menjadi harta bersama,
maka sebelum perkawinan campuran itu dilangsungkan suatu perkawinan. harus dibuat
perjanjian untuk memisahkan harta terlebih dahulu, karena jika tidak ada perjanjian
perkawinan, maka harta dipisahkan sebelum perkawinan. , maka suami atau istri yang
berkewarganegaraan Indonesia dianggap sama dengan warga negara asing yang tidak
boleh menjadi subyek hak milik (Pasal 21 Ayat 1) dan subyek hak guna (Pasal 36 Ayat 1)
UUPA atau tidak dapat mempunyai hak atas tanah dan bangunan di Indonesia meskipun
masih berstatus warga negara Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Asuncion Frenoza, Divorce In Transnational Families: Norms, Networks, And Intersecting
Categories, Journal Des Sciences Sociales, Vol.2 Issue.1, 2022
Luh Suryanti, “Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia Dalam Melindungi Hak Perempuan Dan Anak (Perspektif: Perkawinan Antara
Warga Negara Indonesia Dan Warga Negara Asing)”, Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara,
Vol.10 No., 2020
Rahmia Rachman, Tinjauan Yuridis Terhadap Kepemilikan Hak Atas Tanah Dalam Perkawinan
Campuran, Jurnal Jambura Law Review, Vol.3 No.1, 2021
Titik Triwulan Tutik, Marriage Agreement For The Joint Assets In Mixed Couple Marriage
According In Indonesia Book Of Civil Law Number 1 Of 1974 Post Decision Of The Court
Of Constitution Number 69/Puu-Xiii/2015, Journal Granthaalayah, Vol.8 No.1, 2021
Adhitya Dimas Pratama, Kedudukan Kepemilikan Hak Atas Tanah Dalam Perkawinan Campuran
Tanpa Adanya Perjanjian Pisah Harta, Jurnal Panorama Hukum, Vol.3 No.2, 2018
Ai Pitri Nurpadilah, Akibat Perkawinan Campuran Terhadap Anak Dan Harta Benda Yang
Diperoleh Sebelum Dan Sesudah Perkawinan, Jurnal Rechten: Riset Hukum Dan Hak Asasi
Manusia, Vol 2. No.1 , 2 0 1 9
Siti Alafisyahrin Lasori, Mechanism For Collective Property Sharing In Mixed Marriage, Jurnal
Hukum Volkgeist, Vol.5 Issue.1, 2020
Andi Syamsul Bahri, Analisis Kedudukan Harta Bersama Dalam Hukum Islam Dan Kompilasi
Hukum Islam, Jurnal Al-Risalah Volume 3 Nomor 1 Tahun 2022
Upik Hamidah, “Separation Of Assets (Land And Buildings) Between Indonesian Citizens And
Foreign Citizens Conducting Mixed Marriages”, International Journal Of Innovative Science
And Research Technology, Volume 6, Issue 3, 2021

Peraturan perundang-undangan:
Undang – Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Anda mungkin juga menyukai