net/publication/333976428
CITATIONS READS
0 388
1 author:
Setiawan Wicaksono
Brawijaya University
8 PUBLICATIONS 0 CITATIONS
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Setiawan Wicaksono on 13 October 2020.
Setiawan Wicaksono
ABSTRACT
Goals of this article which based on research are to find out inheritage rigthts of childrens
born in an inter-religion (between non-muslim) after the judicial review about inter-religion
marriage was decline by Indonesia Constitutional Court. Research method used in this article
is normative legal studies. Approaches use in this research are conceptual approach and
analytical approache. The results are inter-religion (between non-muslim) still possible to do
because Counstitutional Court didn’t set up new definition about marriage in Indonesia.
Legality of marriage still in according to religion law on its own member. Children born in an
relationship (outside marriage) and in an marriage still have inheritge rights.
Keywords: Marriage, Legality, Inheritage Rights
ABSTRAK
Tujuan tulisan yang berdasarkan hasil penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah
perkawinan campuran (beda agama) dapat dilakukan di Indonesia pasca putusan Mahkamah
Konstitusi yang menolak permohonan uji materiil Pasal 2 (1) Undang-undang No 1/1974.
Selain itu, apakah perkawinan yang dilakukan pasangan berbeda agama akan memiliki dampak
terhadap hak mewaris anak. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan
pendekatan konseptual dan pendekatan analitis. Hasil yang diperoleh adalah perkawinan beda
agama masih mungkin untuk dilakukan karena putusan Mahkamah Konstitusi tidak
menegaskan larangan perkawinan beda agama. Anak hasil hubungan antara orang yang
melakukan perkawinan beda agama tetap memiliki hak waris sebagai anak.
Kata kunci: Perkawinan, Keabsahan, Hak Waris
16
Setiawan Wicaksono, Hak Waris Anak dalam Perkawinan Campuran 17
administrasi maupun hukumnya. Lain halnya seorang wanita sebagai suami isteri dengan
dengan perkawinan beda agama. Perbedaan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
agama dalam melangsungkan perkawinan yang bahagia dan kekal berdasarkan
ternyata membawa permasalahan sendiri Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan
yang pada akhirnya Pemerintah Hindia Pasal 1 tersebut dapat dirumuskan unsur
Belanda melalui Staatsblaad 1898 No. 158 perkawinan, yaitu:
tentang Ordonansi Perkawinan mengatur 1. Perkawinan merupakan ikatan lahir batin
tentang perkawinan beda agama yang antara seorang pria dan seorang wanita.
disamakan dengan perkawinan campuran. 2. Perkawinan bertujuan untuk membentuk
Pasal 1 Ordonansi Perkawinan keluarga (rumah tangga) yang kekal dan
menyebutkan bahwa “Yang dinamakan bahagia.
perkawinan campuran adalah ialah 3. Perkawinan berdasarkan Ketuhanan
perkawinan antara orang – orang di Indonesia Yang Maha Esa.
yang tunduk pada hukum yang berlainan”. Keabsahan perkawinan diatur dalam
Pasal 7 Ordonansi Perkawinan menyatakan Pasal 2 Undang undang No. 1 Tahun 1974
“Perbedaan agama, suku, bangsa atau yang berbunyi:
keturunan, sama sekali bukanlah menjadi (1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan
halangan untuk perkawinan”. Dengan menurut hukum masing-masing
demikian berdasarkan Staatsblaad 1898 No. agamanya dan kepercayaannya itu
158 perkawinan beda agama di Indonesia (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
adalah sah dan dapat dilakukan. peraturan perundang-undangan yang
Seiring dengan perkembangan zaman berlaku.
dan pasca kemerdekaan Indonesia, melalui Pasal ini bermakna bahwa perkawinan
pembentukan peraturan tentang perkawinan adalah sah jika dilaksanakan menurut agama
dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun masing-masing dicatatkan menurut undang-
1974, pengaturan perkawinan di Indonesia undang yang berlaku dalam hal ini
memiliki cerita yang berbeda. Undang- berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 9
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
perkawinan diundangkan pada tanggal 2 undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Januari 1974 dan berlaku secara efektif pada Perkawinan. Adanya UU No. 1/1974 dan PP
1 Oktober 1975. No. 9/1975. Lahirnya Undang-undang
Pasal 1 Undang undang No. 1 Tahun Perkawinan ini menghapus Staatsblaad 1898
1974, memberikan pengertian perkawinan No. 158 yang sebelumnya berlaku di
ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan Indonesia.
18 Yurispruden Volume 2, Nomor 1, Januari 2019, Halaman 16-36
1
http://nasional.kompas.com/read/2014/09/06/09352001/UU.Perkawinan.Mendiskriminasi.Pasangan.Beda.
Agama, diakses pada tanggal 17 September 2017 pukul 17.00.
2
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl290/gimana-caranya, diakses pada tanggal 17 September 2017
pukul 17.00
3
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol6268/uu-perkawinan-tidak-melarang-perkawinan-beda-
agama, diakses pada tanggal 17 September 2017 pukul 17.00 WIB.
4
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/2014.
5
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/2014.
20 Yurispruden Volume 2, Nomor 1, Januari 2019, Halaman 16-36
bahwa pernikahan itu harus sesuai dengan memperjuangkan supaya anak hasil
tuntutan syariat Islam (bagi orang Islam). pernikahan siri mendapatkan hubungan
Selain itu, ada aturan lain yang mengatur perdata dengan ayahnya melalui uji materiil
bahwa pernikahan itu harus tercatat di Kantor dan dimenangkan berdasarkan Putusan
Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-
Pencacatan perkawinan pada prinsipnya VII/2010. Hal ini membuktikan bahwa
merupakan hak dan kewajiban dalam kepastian hukum dan perlindungan waris
keluarga. Selain itu merupakan upaya merupakan hal yang penting dalam sebuah
perlindungan terhadap isteri maupun anak keluarga.
dalam memperoleh hak-hak keluarga seperti Namun, berdasarkan keputusan hakim,
hak waris dan lain-lain.6 anak hasil perkawinan beda agama yang sah
Sebagaimana telah dijelaskan Ahmad (telah dicatatkan di Catatan Sipil dan sebelum
Nuryani, bahwa perkwainan merupakan putusan MK 68/PUU-XII/2014). Hingga
upaya perlindungan terhadap segala sesuatu kini, anak hasil perkawinan beda agama
yang terjadi di dalam keluarga, salah satunya antara pasangan beragama Islam dengan Non-
adalah warisan terhadap anak. Jika Islam, tidak dapat mendapatkan warisan dari
perkawinan dilakukan sebelum keluarnya pewaris. Putusan Mahkamah Agung Nomor :
putusan Mahkamah Konstitusi tersebut 1578 /Pdt . G/2010 /PA.JT. dalam gugatan
seharusnya anak dapat mewarisi harta warisan antara ahli waris yang beragama
pewaris, namun hal ini perlu dilihat secara Katolik dengan pewaris yang beragama
kasuistis, artinya melihat dari agama yang ada Islam, diputuskan tidak berhak mendapatkan
dalam perkawinan beda agama tersebut. warisan sesuai dengan Kompilasi Hukum
Perkawinan beda agama dapat terjadi antara Islam bahwa pewaris muslim tidak boleh
Islam dengan Non-Islam atau keduanya sama- mewaris pada ahli waris non-muslim
sama Non-Islam walaupun penggugat adalah anak kandung.
Perkawinan beda agama yang telah ada di Begitu juga dengan putusan Mahkamah Agung
Indonesia sebelum keluarnya putusan tersebut Nomor:4/Pdt.P/2013/PA.Bdg yang menyatakan
tetap sah selama telah dicatatkan di Catatan bahwa ahli waris non-muslim tidak berhak
Sipil dan seharusnya berhak untuk mewaris dari pewaris muslim.
mendapatkan warisan dari pewaris. Machicha Hingga saat ini, juga telah banyak
Mochtar adalah salah satu ibu yang penelitian yang meneliti tentang hak mewaris
6
Ahmad Nuryani, Dasar Hukum Pencatatan Pernikahan di Indonesia, Bandung: Kantor Urusan Agama
Kecamatan Gedebage, 2010.
Setiawan Wicaksono, Hak Waris Anak dalam Perkawinan Campuran 21
dari ahli waris dalam perkawinan beda agama XII/2014 tidak memberikan penjelasan terkait
antara Muslim dengan non-Muslim, dan fungsi pencatatan dalam perkawinan
semuanya menyatakan bahwa ahli waris Non- campuran antara sesama non-muslim.
Muslim tidak berhak mewaris dari pewaris Ketidakjelasan ini perlu dibahas supaya
Muslim berdasarkan Kompilasi Hukum ditemukan suatu jawaban apakah perkawinan
Islam. Namun, perkawinan beda agama tidak campuran antara sesama non-muslim sah atau
selalu antara Muslim dengan Non-Muslim, tidak terutama setelah adanya putusan MK
namun bisa juga terjadi antara sesama Non- tersebut. Hal ini akan berpengaruh terhadap
Muslim. Perkawinan antara Kristen dan status anak dalam perkawinan campuran
Katolik contohnya, masih dimungkinkan tersebut.
dengan beberapa syarat tertentu dari Gereja Perkawinan beda agama yang melibatkan
tempat dilangsungkannya perkawinan7, Muslim sebagai salah satu pihaknya,
pemenuhan syarat tertentu perlu dilakukan menyebabkan Kompilasi Hukum Islam dapat
sebelum dilangsungkan perkawinan beda berlaku di dalamnya, perkawinan beda agama
agama8. antara sesama Non-Muslim tidak dapat
Perkawinan yang dilakukan oleh sesama diselesaikan menurut agama karena hukum
muslim diadakan dihadapan dan di Kantor agama tidak berlaku di Indonesia melainkan
Urusan Agama sebagai salah satu persyaratan menggunakan hukum positif Indonesia.
keabsahannya. Kantor Urusan Agama hanya Hingga saat ini, penulis belum
memiliki kewenangan untuk mensahkan menemukan penelitian dan analisis
perkawinan antara sesama muslim, sehingga bagaimana kedudukan anak dan hak mewaris
bagi perkawinan beda agama antara sesama bagi anak hasil perkawinan beda agama
non-muslim pencatatan perkawinannya antara sesama Non-Muslim, padahal
dilakukan di Kantor Catatan Sipil. Namun, perkawinan antara sesama Non-Muslim juga
hingga kini masih diperlukan kajian lebih merupakan perkawinan beda agama sehingga
mendalam apakah pencatatan yang dilakukan perlu dikaji lebih lanjut bagaimana
di catatan sipil merupakan syarat sahnya kedudukan dan hak mewaris anak tersebut.
perkawinan bagi perkawinan campuran antara Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
sesama non-muslim atau hanya syarat Perkawinan tidak mengatur hak mewaris dari
administrasi saja. Putusan MK No. 68/PUU- pasangan perkawinan beda agama antara
7
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5423d8219fb45/ini-pandangan-pendeta-hkbp-seputar-nikah-
beda-agama, diakses pada tanggal 17 September 2017 pukul. 18.00 WIB
8
http://www.stmaria.info/read/berita-rohani/mixed-marriage-with-somebody-not-the-same-religion-
perkawinan-beda-agama-menurut-gereja-katolik#.Wb81iYglHIU, diakses pada tanggal 17 September 2017
pukul 18.00 WIB.
22 Yurispruden Volume 2, Nomor 1, Januari 2019, Halaman 16-36
sesama Non-Muslim dan hukum agama sahnya perkawinan baru terjadi saat pasangan
masing-masing pasangan tidak mengatur tersebut memiliki agama yang sama.
mengenai hal tersebut. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
hanya menafsirkan perkawinan campuran
PEMBAHASAN
hanya perkawinan yang melibatkan antara
Perkawinan Campuran Pasca Putusan
dua orang yang berbeda kewarganegaraan,
Mahkamah Konsititusi
bukan untuk perkawinan yang melibatkan dua
Perkawinan di Indonesia dan
agama yang berbeda, walaupun bisa saja
pencatatannya di Indonesia diatur dalam dua
terjadi dalam perkawinan yang melibatkan
peraturan, yaitu Undang-undang Nomor 1
kewarganegaraan yang berbeda, perbedaan
Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
agama juga terjadi di dalamnya.
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
Perkawinan campuran antara yang
tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor
melibatkan dua agama, dimana salah satu
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
pasangannya beragama Islam, sudah pasti
Sahnya perkawinan diatur dalam Pasal 2
tidak sah karena dalam Islam memang sudah
ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun
menyebutkan bahwa perkawinan tidak dapat
1974 yang menyatakan: “Perkawinan adalah
dilakukan antara Islam dengan non-Islam.
sah, apabila dilakukan menurut hukum
Walaupun Pasal 2 ayat (1) UU Nomor Tahun
masing-masing agamanya dan
1974 ditafsirkan dengan berbagai macam
kepercayaannya itu.”
interpretasi tetap saja kesimpulannya
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
perkawinan antara seseorang yang beragama
tidak memberikan penjelasan terkait apa yang
Islam dengan non-Islam tidak dapat
dimaksud sah apabila dilakukan menurut
dilakukan.
hukum masing-masing agamanya dan
Namun demikian, bagi agama lainnya,
kepercayaannya itu. Ketiadaan penjelasan
masih terdapat pengaturan yang berbeda.
untuk pasal ini menyebabkan terdapat
Kristen dan Katolik misalnya, beberapa
multitafsir dalam kehidupan sehari-hari.
gereja masih mengijinkan perkawinan
Multitafsir yang muncul adalah, yaitu
campuran yang berbeda agama selama syarat-
yang pertama bahwa perkawinan campuran
syarat tertentu dapat dipenuhi.
antara yang berbeda agama adalah sah
Sejak lama di Indonesia, perkawinan
sepanjang hukum agama masing-masing
campuran juga telah diatur dalam Staatsblad
individu tentang sahnya perkawinan telah
1898 Nomor 158 yang memperbolehkan
terpenuhi. Kedua, kalangan yang berpendapat
perkawinan campuran, bahkan beberapa kali
bahwa perkawinan campuran tidak sah karena
Setiawan Wicaksono, Hak Waris Anak dalam Perkawinan Campuran 23
Mahkamah Agung memerintahkan Kantor penafsiran termasuk dalam hal sah atau
Catatan Sipil untuk mencatatkan perkawinan tidaknya perkawinan campuran antara sesama
campuran tersebut. non Muslim sehingga perlu dikaji lebih lanjut
Pada tahun 2014, beberapa orang apakah perkawinan campuran antara sesama
mengajukan uji materiil terhadap Pasal 2 ayat non Muslim tetap dapat dilakukan dan sah
(1) UU Nomor 1 Tahun 1974 ke Mahkamah setelah keluarnya putusan tersebut.
Konstitusi yang pada intinya adalah Kondisi ini sangat berbeda sekali dengan
memohon untuk memaknai Pasal 2 ayat (1) penafsiran makna “dikuasai Negara” dalam
UU Nomor 1 Tahun 1974 menjadi: Pasal 33 UUD 1945 dalam judicial review
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001
menurut hukum masing-masing agamanya tentang Minyak dan Gas Bumi (putusan
dan kepercayannya itu, sepanjang penafsiran Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-
mengenai hukum agamanya dan X/2012 dan dalam judicial review Undang-
kepercayaannya itu diserahkan kepada undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber
masing-masing calon mempelai” Daya Air (putusan Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi memutuskan Nomor 85/PUU-XI/2013). Kedua putusan
dalam putusan No. 68/PUU-XII/2014, Mahkamah Konstitusi tersebut memberikan
permohonan pemohon ditolak seluruhnya. batasan dan definisi yang jelas terhadap frasa
Pemaknaan “….sepanjang penafsiran “dikuasai Negara” dalam Pasal 33 UUD 1945.
mengenai hukum agamanya dan Oleh karena itu, siapapun tidak lagi dapat
kepercayaannya itu diserahkan kepada menafsirkan makna “dikuasai Negara” selain
masing-masing calon mempelai” yang dari yang disebutkan Mahkamah Konstitusi.
dimohonkan ditolak dan dengan demikian Meneliti apakah perkawinan campuran
bunyi Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun dapat dilakukan dan sah pasca putusan
1974 tetap seperti semula. Mahkamah Konstitusi tersebut, maka ada tiga
Mahkamah Konstitusi dalam putusan hal yang perlu dikaji, yaitu:
tersebut juga tidak memberikan pengertian Sahnya Perkawinan di Indonesia
dan penafsiran yang pasti terhadap Pasal 2 Perkawinan campuran telah diatur sejak
ayat (1) tersebut, sehingga walaupun zaman dahulu melalui Stb. 1898 Nomor 158
Mahkamah Konstitusi telah menolak tentang Perkawinan Campuran. Aturan ini
permohonan pemohon, hingga saat ini tetap menjadi payung hukum perkawinan
belum ada penafsiran yang baku terhadap campuran sebelum lahirnya Undang-undang
Pasal 2 ayat (2) tersebut. Ketiadaan penafsiran Nomor 1 Tahun 1974. Ruang lingkup Stb.
ini, tetap dapat menimbulkan perbedaan 1898 Nomor 158 dapat dibedakan menjadi
24 Yurispruden Volume 2, Nomor 1, Januari 2019, Halaman 16-36
dua, yaitu menurut aliran luas dan aliran Perkawinan dalam pelaksanannya,
sempit. Menurut aliran luas, ruang lingkup melibatkan para pihak yang akan menikah,
Stb. 1898 Nomor 158 mencakup perkawinan pemuka agama, dan pegawai pencatat
antar golongan, perkawinan antar agama, dan perkawinan. Ketiga pihak tersebut semuanya
perkawinan antar tempat. Bagi aliran sempit, terikat pada Pasal 2 ayat (1) UU. No. 1 Tahun
Stb. 1898 Nomor 158 hanya meliputi 1974 dalam melaksanakan perkawinan,
perkawinan antar golongan saja. Berdasarkan sehingga dapat muncul setidak-tidaknya 3
Stb. 1898 Nomor 158 ini, perkawinan macam penafsiran yang berbeda-beda.
campuran di Indonesia adalah sah. Ketiadaan kejelasan penfasiran terhadap
Tahun 1974, lahir Undang-undang pasal tersebut dapat menyebabkan
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pemahaman dan pengertian yang berbeda-
yang mengatur tentang sahnya perkawinan beda sehingga perkawinan yang seharusnya
adalah apabila dilakukan menurut hukum dapat dijalankan menjadi terhambat atau
masing-masing agama dan kepercayaannya bahkan batal karena kekhawatiran akan
itu. Pasal ini menimbulkan multitafsir dalam melanggar pasal tersebut.
perkembangannya karena dapat terjadi Setidak-tidaknya, menurut penafsiran
penafsiran sebagai berikut: pertama, dengan penulis, Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun
tidak diaturnya perkawinan antar agama, 1974 dapat memunculkan penafsiran sebagai
dengan demikian perkawinan antar agama berikut: pertama, perkawinan beda agama dan
tidak dilarang sepanjang hukum agama tidak kepercayaan boleh dan sah untuk dilakukan,
melarangnya. Kedua, perkawinan antar kedua perkawinan beda agama dan
agama dilarang karena ada ajaran yang kepercayaan boleh dilakukan namun tidak
menyebutkan perkawinan antar agama tidak sah, perkawinan beda agama dan kepercayaan
diperbolehkan. tidak boleh dan tidak sah dilakukan.
Ketiadaan penjelasan yang pasti untuk Berdasarkan beberapa putusan
Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 Mahkamah Agung sebelum keluarnya
menyebabkan adanya celah penafsiran dan putusan MK ini, memperbolehkan bahkan
interpretasi mengenai siapa yang berhak memerintahkan Kantor Catatan Sipil untuk
untuk melakukan penafsiran terhadap Pasal mencatatkan perkawinan beda agama. Alasan
ini dan bagaimana menafsirkan hukum agama diperbolehkannya perkawinan beda agama ini
dan kepercayaan dalam bidang perkawinan karena UU Nomor 1 Tahun 1974 tidak
dan bagaimana perkawinan dianggap sah. mengatur bahwa perkawinan beda agama dan
Setiawan Wicaksono, Hak Waris Anak dalam Perkawinan Campuran 25
5) Pencatatan perkawinan (Pasal 11 PP. No. terjadi. Akibat dari tidak adanya pencatatan
9/1975). pasangan adalah tidak ada perlindungan yang
Hambatan yang terkadang dialami oleh diberikan kepada pasangan yang
pasangan perkawinan campuran adalah melangsungkan perkawinan beda agama dan
pegawai pencatat perkawinan (dalam hal ini kepercayaan.
Kantor Catatan Sipil) menolak untuk UU No. 24/2013 Pasal 35 huruf a
mencatatkan perkawinan campuran tersebut menyebutkan bahwa pencatatan perkawinan
dengan alasan adanya perbedaan agama berlaku juga bagi perkawinan yang ditetapkan
antara pasangan tersebut. Hal ini oleh Pengadilan. Penjelasan Pasal 35 huruf a
mengakibatkan jaminan hukum oleh Negara menjelaskan yang dimaksud ditetapkan oleh
terkait hak-hak pasangan tidak dapat Pengadilan adalah perkawinan yang
terpenuhi dengan baik, karena perkawinan dilakukan oleh antar umat yang berbeda
campuran dianggap tidak ada karena tidak agama.
tercatat. Kesimpulan Pasal 34 dan Pasal 35 huruf
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2013 a adalah pencatatan perkawinan merupakan
tentang Administrasi Kependudukan ( UU suatu kewajiban yang dilakukan oleh
No. 24/2013) menyatakan bahwa perkawinan pasangan yang telah menikah baik antara
yang sah berdasarkan ketentuan peraturan yang memiliki agama sama maupun bagi
perundang-undangan wajib dicatatkan paling yang berbeda agama. Bagi pasangan yang
lambat 60 hari sejak tanggal perkawinan berbeda agama, maka pencatatan perkawinan
(Pasal 34 ayat (1)). Seharusnya pasangan dilakukan tidak hanya berdasarkan sahnya
perkawinan campuran yang telah perkawinan menurut hukum agama namun
melangsungkan perkawinan sah berdasarkan juga berdasarkan putusan pengadilan.
hukum agama, dapat mencatatkan Pemerintah dalam pembelaannya dalam
perkawinannya tanpa ada permasalahan. perkara uji materiil No. 68/PUU-XII/2014
Maria Farida Indrati dalam concurring menegaskan bahwa sah atau tidaknya sebuah
opinion Putusan Mahkamah Konstitusi Nomo perkawinan ditentukan oleh masing-masing
46/PUU-VIII/2010 menyatakan bahwa ketika agama yang diakui di Indonesia bukan oleh
perkawinan dilangsungkan tanpa mengikuti Negara. Sepanjang agama-agama yang diakui
hukum agama dan kepercayaan sehingga di Indonesia menyatakan bahwa sebuah
perkawinannya dianggap tidak sah, maka perkawinan adalah sah, maka Negara hanya
perkawinan menjadi tidak bisa dicatatkan
karena perkawinannya dianggap tidak pernah
Setiawan Wicaksono, Hak Waris Anak dalam Perkawinan Campuran 27
9
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/2014 terkait uji materiil terhadap Pasal 2 ayat (1) UU. No.
1/1974, hlm. 91.
28 Yurispruden Volume 2, Nomor 1, Januari 2019, Halaman 16-36
b. Katolik c. Budha
Gereja memberi adanya kemungkinan Menurut Sangha Agung Indonesia
adanya perkawinan beda agama dan sebagaimana dikutip oleh Q.S. Eoh
kepercayaan, yang menurut Kanon 1086 perkawinan beda agama dan kepercayaan
adalah perkawinan antara 1 (satu) orang diperbolehkan, seperti yang melibatkan
yang telah dibaptis dalam Gereja Katolik penganut agama Buddha dan penganut
dan yang tidak dibaptis (orang yang non-Buddha. Asal pengesahannya
beragama selain Katolik/Kristen termasuk dilakukan menurut tata cara agama
aliran kepercayaan). Perkawinan beda Buddha. Calon mempelai yang bukan
agama dan kepercayaan ini pada dasarnya Buddha tidak diharuskan untuk masuk
dilarang, namun sesuai Kanon 1086 Buddha terlebih dahulu. Akan tetapi,
dimungkinkan adanya dispensasi apabila dalam upacara ritual perkawinan, kedua
dapat memenuhi syarat-syarat dalam mempelai diwajibkan mengucapkan “atas
Kanon 1125, yaitu: nama Sang Buddha”, “Dharma dan
1) pihak Katolik menyatakan bersedia Sangka”, yang merupakan dewa-dewa
menjauhkan bahaya meninggalkan umat Buddha.
iman serta memberikan janji jujur Dalam pandangan Bhiksu Prajnavitra
bahwa ia akan berbuat segala sesuatu Mahasthavira, sesuai dengan ajaran
dengan sekuat tenaga, agar semua Buddha yang universal. Perkawinan
anaknya dibaptis dan dididik dalam adalah sebuah dharma. Hal yang paling
Gereja Katolik; diutamakan adalah perkawinan tidak lepas
2) mengenai janji-janji yang harus dibuat dari ajaran moral. Dengan demikian
oleh pihak Katolik itu, pihak yang lain pemberkatan untuk kedua mempelai
hendaknya diberitahu pada waktunya, dilakukan. Karena pemberkatan sangat
sedemikian sehingga jelas bahwa ia diperlukan, maka yang diutamakan adalah
sungguh sadar akan janji dan kewajiban agama kedua mempelai yang sama.
pihak Katolik; dan Namun demikian, banyak terjadi kasus
3) kedua pihak hendaknya diajar perkawinan beda agama dan kepercayaan
mengenai tujuan-tujuan dan ciri-ciri yang melibatkan penganut agama Buddha.
hakiki perkawinan, yang tidak boleh Bhiksu Prajnavira melihat hal ini sebagai
dikecualikan oleh seorangpun dari sesuatu yang fleksibel, asal tidak
keduanya. melanggar dharma, dan tidak menyimpang
dari norma moral. “Jadi tidak tertutup rapat
ketika masing-masing keluarga sudah
30 Yurispruden Volume 2, Nomor 1, Januari 2019, Halaman 16-36
saling sepakat dan menyetujui.” Posisi 2) Surat keterangan dari penjuru Banjar
Biku atau Bhiksu hanyalah memberkati. (Kelihan Adat) atau mengusulkan
Sementara yang meresmikan perkawinan kepada Parisada Hindu Dharma
tersebut adalah keluarga masing- masing Indonesia atau Bimas Hindu setempat
yang diwakilkan kepada seorang untuk diminta pengesahannya berupa
Dharmaduta, yakni orang yang diangkat piagam.
oleh Biku atau Bhiksu untuk meresmikan Berdasarkan uraian di atas, dapat
perkawinan. disimpulkan bahwa agama Hindu tidak
d. Hindu mengena ladanya perkawinan antar agama
Menurut hukum agama Hindu, (beda agama) karena terhadap pasangan
perkawinan itu sah apabila dilakukan di yang salah satunya tidak beragama Hindu
hadapan pendeta. Bila ada salah satunya harus terlebih dahulu dilakukan upacara
bukan beragama Hindu, maka ia keagamaan mengalihkan agamanya
diwajibkan menjadi penganut agama menjadi Hindu.
Hindu. Sebelum hari perkawinan harus e. Konghucu
dibuatkan upacara sudhiwadani yang Dalam aliran kepercayaan Konghucu
mengandung pengertian menyucikan tidak terdapat aturan khusus yang
ucapan atau mengubah tatanan, baik dari membolehkan atau melarang perkawinan 2
sudut perilaku, ucapan, dan pikiran tentang (dua) insan yang berbeda keyakinan.
keyakinan serta kepercayaan ke hadapan Sebuah perkawinan dinyatakan sah apabila
Tuhan, harus sesuai dengan tatanan terjadi antara laki- laki dan perempuan
pelaksanaan agama Hindu. dewasa, tidak ada unsur paksaan, disetujui
Adapun persyaratan untuk melakukan atau atas kemauan kedua belah pihak,
upacara suhdiwadhani, yaitu: mendapat restu kedua orang tua atau yang
1) Pernyataan diri dari salah satu dituakan, diteguhkan dalam sebuah
mempelai akan mengalihkan agama upacara keagamaan, meski untuk salah
menjadi agama Hindu, kecuali umurnya satu tidak diharuskan berpindah keyakinan
di bawah 25 (dua puluh lima) tahun, terlebih dahulu. Pandangan tokoh dan ahli
diperlukan surat pernyataan persetujuan aliran kepercayaan Konghucu juga tidak
dari orang tuanya bahwa akan melarang adanya perkawinan antara 2
mengalihkan agama menjadi agama (dua) insan yang berbeda keyakinan.
Hindu; dan Berdasarkan penjelasan di atas maka
dapat disimpulkan bahwa sahnya suatu
Setiawan Wicaksono, Hak Waris Anak dalam Perkawinan Campuran 31
10
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/2014 terkait uji materiil terhadap Pasal 2 ayat (1) UU.
No. 1/1974, hlm. 67.
32 Yurispruden Volume 2, Nomor 1, Januari 2019, Halaman 16-36
atau tidak, tidak mempengaruhi hak mewaris Namun demikian, tampaknya hal ini
anak. hanya berlaku bagi pasangan yang telah
Berdasarkan ketentuan Pasal 832 mencatatkan perkawinannya walaupun
KUHPerdata, sudah jelas bahwa secara sebenarnya perkawinan tersebut telah sah
hukum,baik perkawinan tersebut tercatat atau secara agama. Hal ini dapat dilihat dalam uji
tidak tercatat selama ada hubungan antara materiil yang diajukan oleh H. Aisyah
anak dengan orang tua, maka anak tetap Mochtar dalam perkawinan ya ng
menjadi ahli waris. dilangsungkannya dengan Drs. Moerdiono,
UU No. 1/1974 tentang Perkawinan dimana perkawinan tersebut telah sah secara
Kedudukan anak dalam UU No. 1/1974 agama dan telah memperoleh penetapan
diatur dalam Pasal 42 dan Pasal 43 yang pengadilan Nomor 46/Pdt.P/2008/PA.Tgrs.
masing-masing berbunyi: Permasalahan muncul ketika pada saat
a) Pasal 42: perceraiaran, H. Aisyah Mochtar menuntut
Anak yang sah adalah anak yang harta gono gini namun ditolak oleh Drs
dilahirkan dalam atau sebagai akibat Moerdiono karena menganggap perkawinan
perkawinan yang sah. yang telah dilakukan tidak sah karena tidak
b) Pasal 43 ayat (1): tercatat.
Anak yang dilahirkan di luar perkawinan Walaupun dalam hal ini, antara H.
hanya mempunyai hubungan perdata Asiyah dan Drs. Moerdiono beragama Islam,
dengan ibunya dan keluarga ibunya. namun penulis menggunakan putusan
Melihat ketentuan di atas dihubungkan tersebut dengan alasan bahwa perkawinan
dengan perkawinan yang sah, maka tersebut tidak tercatat. Hal yang sama juga
seharusnya bagi perkawinan yang sah, anak dapat terjadi pada perkawinan campuran yang
memiliki hak waris seutuhnya. Bagi tidak dicatatkan atau ditolak oleh pengadilan
perkawinan campuran yang telah sah secara sehingga hasilnya adalah tidak adanya akta
agama dan dicatatkan maka bagi pihak suami, perkawinan yang dikeluarkan oleh Kantor
istri dan anak semuanya mendapatkan Catatan Sipil.
perlindungan dari Negara sebagaimana telah H. Aisyah Mochtar pun dalam uji
disebutkan bahwa pencatatan merupakan materiilnya juga mengungkapkan bahwa
syarat administratif yang menimbulkan tugas dirinya dirugikan dengan adanya Pasal 2 UU
Negara dalam melindungi pihak-pihak yang No. 1/1974 karena dengan adanya pasal ini,
ada dalam sebuah lembaga perkawinan perkawinan yang telah dilakukan seakan-akan
termasuk anak. Sehingga dalam hal ini, anak tidak sah di hadapan Negara. Mahkamah
memiliki hak waris. Konstitusi dalam hal ini berpendapat lain dan
34 Yurispruden Volume 2, Nomor 1, Januari 2019, Halaman 16-36
11
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, hlm. 35.
12
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, hlm. 39.
Setiawan Wicaksono, Hak Waris Anak dalam Perkawinan Campuran 35