Anda di halaman 1dari 9

Perkawinan Beda Agama, Hukum dan Keabsahannya

PENDAHULUAN

Perkawinan merupakan hal yang sangat penting dan sakral karena merupakan suatu penghubung
ikatan yang sangat dalam diantara para pihak yang terlibat di dalamnya, yaitu suami dan istri dalam
membentuk keluarga dan rumah tangganya, oleh karena itu tak heran apabila perkawinan
merupakan suatu tradisi yang sangat penting di belahan bumi manapun, bahkan saking pentingnya
masalah perkawinanpun banyak di atur dalam berbagai aspek penghidupan, baik dari sisi agama,
tradisi kemasyarakatan, dan institusi negara sekalipun.

Pada kenyataannya pengaturan mengenai masalah perkawinan terdapat banyak perbedaan diantara
satusama lainnya dan tidak memiliki suatu keseragaman, misalnya pada tradisi masyarakat yang satu
dengan yang lain, antar negara yang satu dengan yang lain, antar agama yang satu dengan yang
lainnya, bahkan dalam satu agamapun dapat terjadi perbedaan pengaturan perkawianan disebabkan
adanya cara berfikir yang berlainan karena menganut mazhab atau aliran yang berbeda.

Keadaan dan kondisi di suatu daerah misalkan akan turut mempengaruhi pengaturan hukum
(perkawinan) di daerah tersebut. Misalnya di negara Indonesia, bangsa yang plural dan heterogen.
Indonesia adalah bangsa yang multikultural dan multiagama. Pluralitas di bidang agama terwujud
dalam banyaknya agama yang diakui sah di Indonesia, selain Islam ada agama Hindu, Budha, Kristen,
Katolik, dan lain-lain. Sensus penduduk tahun 1980 menunjukkan bahwa Islam dipeluk oleh sebagian
besar bangsa Indonesia (88,2 % dari 145 juta penduduk), disusul Protestan (5,8 %), Katolik (3 %),
Hindu (2,1 %), dan Budha (0,9 %). Keragaman pemeluk agama di Indonesia ternyata telah ikut
membentuk pola hubungan antar agama di Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan sosial
kemasyarakatan. Salah satu bentuk pola hubungan tersebut tercermin dalam hukum keluarga di
Indonesia khususnya dalam bidang perkawinan sejak diundangkannya Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 tahun 1974 dan disahkannya Kompilasi Hukum Islam di Indonesia melalui Instruksi Presiden
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991. Demikianlah ternyata keadaan di
suatu negara telah mempengaruhi bagi terbentuknya suatu hukum/aturan di negara tersebut.

Landasan hukum agama dalam melaksanakan sebuah perkawinan merupakan hal yang sangat
penting dalam UU No. 1 Tahun 1974, sehingga penentuan boleh tidaknya perkawinan tergantung
pada ketentuan agama. Hal ini berarti juga bahwa hukum agama menyatakan perkawinan tidak
boleh, maka tidak boleh pula menurut hukum negara. Jadi dalam perkawinan berbeda agama yang
menjadi boleh tidaknya tergantung pada ketentuan agama.

Perkawinan beda agama bagi masing-masing pihak menyangkut akidah dan hukum yang sangat
penting bagi seseorang. Hal ini berarti menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan
mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya
masing-masing.

Kenyataan dalam kehidupan masyarakat bahwa perkawinan berbeda agama itu terjadi sebagai
realitas yang tidak dipungkiri. Berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku secara
positif di Indonesia, telah jelas dan tegas menyatakan bahwa sebenarnya perkawinan antar agama
tidak diinginkan, karena bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Tetapi ternyata
perkawinan antar agama masih saja terjadi dan akan terus terjadi sebagai akibat interaksi sosial
diantara seluruh warga negara Indonesia yang pluralis agamanya. Banyak kasus-kasus yang terjadi
didalam masyarakat, seperti perkawinan antara artis Jamal Mirdad dengan Lydia Kandau, Katon
Bagaskara dengan Ira Wibowo, Yuni Shara dengan Henri Siahaan, Adi Subono dengan Chrisye, Ari
Sihasale dengan Nia Zulkarnaen, Dedi Kobusher dengan Kalina, Frans dengan Amara, Sonny Lauwany
dengan Cornelia Agatha, dan masih banyak lagi.

Dari kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat terhadap perkawinan berbeda agama, menurut
aturan perundang-undangan itu sebenarnya tidak dikehendaki. Berangkat dari permasalahan
tersebut, maka penulis mencoba memberikan pendapat tentang Perkawinan Berbeda Agama.

PEMBAHASAN

A. Abstrak

Menurut pasal 1 UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud perkawinan ialah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sedangkan di dalam ketentuan pasal-pasal KUHPerdata, tidak memberikan pengertian perkawinan


itu. Oleh karena itu untuk memahami arti perkawinan dapat dilihat pada ilmu pengetahuan atau
pendapat para sarjana. Ali Afandi mengatakan bahwa “perkawinan adalah suatu persetujuan
kekeluargaan”.1 Dan menurut Scholten perkawinan adalah ”hubungan hukum antara seorang pria
dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh negara”. 2

Jadi Kitab Undang-undang Hukum Perdata memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-
hubungan perdata. 3 Hal ini berarti bahwa undang-undang hanya mengakui perkawinan perdata
sebagai perkawinan yang sah, berarti perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sedang syarat-syarat serta peraturan agama tidak
diperhatikan atau dikesampingkan.

Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 2 bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah
pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhzan  untuk mentaati perintah Allah
dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Jadi perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang

pria dengan seorang wanita untuk membentuk suatu keluarga yang kekal.

Sedangkan yang dimaksud dengan Hukum Perkawinan adalah hukum yang mengatur mengenai
syarat-syarat dan caranya melangsungkan perkawinan, beserta akibat-akibat hukum bagi pihak-
pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut.

B.  Dasar Hukum Perkawinan di Indonesia


Dengan diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1974 berarti undang-undang ini merupakan Undang-
undang Perkawinan Nasional karena menampung prinsip-prinsip perkawinan yang sudah ada
sebelumnya dan diberlakukan bagi seluruh warga negara Indonesia.

Dalam pasal 66 UU No 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan
perkawinan yang diatur dalam KUHPerdata, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan
perkawinan campuran, dinyatakan tidak berlaku sepanjang telah diatur dalam Undang-Undang
Perkawinan Nasional ini.

Dengan demikian dasar hukum perkawinan di Indonesia yang berlaku sekarang ini antara lain
adalah :

a. Buku I KUH Perdata

b. UU No. 1/1974 tentang Perkawinan

c. UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama

d. PP No. 9/1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 1/1974

e. Instruksi Presiden Np. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di

Indonesia
C. Perkawinan Beda Agama

Pembahasan dalam bagian ini mencoba menelaah peraturan mengenai perkawinan beda agama
dalam peraturan-peraturan produk pemerintah di Indonesia. Terkait dengan hal tersebut maka
tulisan ini akan mencoba menelusurinya dalam Peraturan Perkawinan Campuran/Regeling op de
Gemengde Huwelijken, Staatsblad 1898 Nomor 158 (GHR), Undang-undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974, dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.

Untuk mengetahui secara lebih mendetail tentang pengaturan perkawinan beda agama di Indonesia,
dalam uraian berikut akan dipaparkan peraturan-peraturan yang terkait dengan pengaturan
perkawinan beda agama di Indonesia

Dalam Peraturan Perkawinan Campuran/Regeling op de Gemengde Huwelijken, Staatsblad 1898


Nomor 158 (GHR), beberapa ketentuan tentang perkawinan beda agama adalah sebagai berikut:

Pasal 1 :

Pelangsungan perkawinan antara orang-orang, yang di Hindia Belanda tunduk pada hukum yang
berbeda, disebut perkawinan campuran.

Pasal 6 ayat (1) :

Perkawinan campuran dilangsungkan menurut hukum yang berlaku atas

suaminya, kecuali izin para calon mitrakawin yang selalu disyaratkan.

Pasal 7 ayat (2) :

Perbedaan agama, golongan penduduk atau asal usul tidak dapat merupakan halangan
pelangsungan perkawinan.

Beberapa pasal di atas secara tegas mengatur tentang perkawinan beda agama bahkan disebutkan
bahwa perbedaan agama tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah terjadinya perkawinan.
Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal yang dijadikan sebagai landasan perkawinan beda
agama adalah pasal 2 ayat (1), pasal 8 huruf f dan pasal 57.

Pasal 2 ayat (1) berbunyi :

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.

Sedangkan pasal 8 huruf f berbunyi:

Perkawinan dilarang antara dua orang yang:

 f.  mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 berbunyi :

Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara
dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia”.

Terhadap ketiga pasal di atas muncul beberapa penafsiran yang berbeda yang mengakibatkan
terjadinya perbedaan pemahaman tentang perkawinan beda agama di Indonesia sebagaimana akan
dijelaskan pada uraian di bawah.

Kompilasi Hukum Islam pasal 40 huruf c dan pasal 44 secara eksplisit mengatur tentang larangan
perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita non-muslim dan wanita muslim dengan laki-laki
non-muslim. Pasal 40 huruf c Kompilasi Hukum islam menyatakan sebagai berikut:

Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan
tertentu;

a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain;

b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;

c. seorang wanita yang tidak beragama Islam.

Pasal 40 huruf c di atas secara eksplisit melarang terjadinya perkawinan antara laki-laki (muslim)
dengan wanita non-muslim (baik Ahl al-Kitab  maupun non Ahl al-Kitab). Jadi pasal ini memberikan
penjelasan bahwa wanita non-muslim apapun agama yang dianutnya tidak boleh dinikahi oleh laki-
laki yang beragama Islam. Sedangkan pasal 44 menyatakan sebagai berikut:

Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak
beragama Islam.

Pasal ini secara tegas melarang terjadinya perkawinan antara wanita muslim dengan pria non-
muslim baik termasuk kategori Ahl al-Kitab  maupun tidak termasuk kategori Ahl al-Kitab.

Terakhir pasal 60 Kompilasi Hukum Islam menyatakan sebagai berikut:


(1) Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yangdilarang hukum
Islam dan Peraturan Perundang-Undangan.

(2) Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon isteri yang akan
melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan
menurut hukum Islam dan Peraturan Perundangundangan.

Pasal ini secara tegas memberikan penjelasan tentang pencegahan perkawinan terhadap calon
mempelai yang tidak memenuhi syarat yang ditetapkan oleh hukum Islam maupun peraturan
perundang-undangan. Pasal ini menguatkan pelarangan perkawinan beda agama.

Berdasarkan UU No. 1/1974 pasal 66, maka semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan
sejauh telah diatur dalam UU No. 1/1974, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur
dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan
peraturan perkawinan campuran. Secara a contrario, dapat diartikan bahwa beberapa ketentuan
tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No. 1/1974.

Mengenai perkawinan beda agama yang dilakukan oleh pasangan calon suami isteri dapat dilihat
dalam UU No.1/1974 tentang perkawinan pada pasal 2 ayat 1, bahwa Perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pada pasal 10 PP
No.9/1975 dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan pegawai pencatat dan
dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing
Agamanya dan kepercayaannya.

Dalam memahami perkawinan beda agama menurut undang-undang Perkawinan ada tiga
penafsiaran yang berbeda. Pertama, penafsiran yang berpendapat bahwa perkawinan beda agama
merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f. Pendapat kedua, bahwa
perkawinan antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam
perkawinan campuran, dengan argumentasi pada pasal 57 tentang perkawinan campuran yang
menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, yang berarti
pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua
orang yang berbeda agama. Pendapat ketiga  bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak
diatur dalam UU No. 1/1974, oleh karena itu berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974 maka persoalan
perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur
dalam undang-undang perkawinan.4

D. Perbedaan Pandangan Terhadap Perkawinan Beda Agama

Pendapat yang menyatakan perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap UU No.
1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f, maka instansi baik KUA dan Kantor Catatan Sipil dapat menolak
permohonan perkawinan beda agama berdasarkan pada pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f UU No. 1/1974
yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, jika dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam penjelasan UU ditegaskan bahwa dengan perumusan
pasal 2 ayat 1, maka tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu. Ketentuan pasal tersebut berarti bahwa perkawinan harus dilakukan menurut
hukum agamanya, dan ketentuan yang dilarang oleh agama berarti dilarang juga oleh undang-
undang perkawinan.5 Selaras dengan itu, Prof. Dr. Hazairin S.H., menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta
penjelasanya bahwa bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk menikah dengan melanggar
hukum agamanya., demikian juga bagi mereka yang beragama Kristen, Hindu, Budha. 6

Pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan,
karena telah tercakup dalam perkawinan campuran, dengan argumentasi pada pasal 57 tentang
perkawinan campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum
yang berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda
kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda agama.

Pada pasal 1 Peraturan Perkawinan campuran menyatakan bahwa

perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum
yang berlainan. Akibat kurang jelasnya perumusan pasal tersebut, yaitu tunduk pada hukum yang
berlainan,ada

beberapa penafsiran dikalangan ahli hukum.

Pendapat pertama menyatakan bahwa perkawinan campuran hanya

terjadi antara orang-orang yang tunduk pada hukum yang berlainan karena berbeda golongan
penduduknya. Pendapat kedua menyatakan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara
orang-orang yang berlainan agamanya. Pendapat ketiga bahwa perkawinan campuran adalah
perkawinan antara orang-orang yang berlainan asal daerahnya. 7

Pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur dalam UU No.
1/1974, oleh karena itu berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974 maka persoalan perkawinan beda
agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur dalam
undangundang perkawinan. Berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974, maka semua peraturan yang
mengatur tentang perkawinan sepanjang telah diatur dalam UU No. 1/1974, dinyatakan tidak
berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata / BW,
Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Artinya beberapa
ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No.1/1974.

E. Pendapat Hukum Terhadap Perkawinan Beda Agama

Merujuk pada Undang-undang No. 1/1974 pada pasal 57 yang menyatakan bahwa perkawinan
campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

Berdasarkan pada pasal 57 UU No. 1/1974, maka perkawinan beda

agama di Indonesia bukanlah merupakan perkawinan campuran. Sehingga semestinya pengajuan


permohonan perkawinan beda agama baik di KUA dan Kantor Catatan Sipil dapat ditolak. 8

Menurut Purwoto S. Gandasubrata bahwa perkawinan campuran atau perkawinan beda agama
belum diatur dalam undang-undang secara tuntas dan tegas. Oleh karenanya, ada Kantor Catatan
Sipil yang tidak mau mencatatkan perkawinan beda agama dengan alasan perkawinan tersebut
bertentangan dengan pasal 2 UU No.1/1974. Dan ada pula Kantor Catatan Sipil yang mau
mencatatkan berdasarkan GHR, bahwa perkawinan dilakukan menurut hukum suami, sehingga isteri
mengikuti status hukum suami.9
Ketidakjelasan dan ketidaktegasan Undang-undang Perkawinan tentang perkawinan antar agama
dalam pasal 2 adalah pernyataan “menurut hukum masing-masing agama atau kepercayaannya”.
Artinya jika perkawinan kedua calon suami-isteri adalah sama, tidak ada kesulitan. Tapi jika hukum
agama atau kepercayaannya berbeda, maka dalam hal adanya perbedaan kedua hukum agama atau
kepercayaan itu harus dipenuhi semua, berarti satu kali menurut hukum agama atau kepercayaan
calon dan satu kali lagi menurut hukum agama atau kepercayaan dari calon yang lainnya. 10

Dalam praktek perkawinan antar agama dapat dilaksanakan dengan

menganut salah satu cara baik dari hukum agama atau kepercayaan si suami atau si calon isteri.
Artinya salah calon yang lain mengikuti atau menundukkan diri kepada salah satu hukum agama atau
kepercayaan pasangannya.11

Dalam mengisi kekosongan hukum karena dalam UU No. 1/1974 tidak secara tegas mengatur
tentang perkawinan antar agama. Mahkamah Agung sudah pernah memberikan putusan tentang
perkawinan antar agama pada tanggal 20 Januari 1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986. 12

Dalam pertimbangan MA adalah dalam UU No. 1/1974 tidak memuat suatu ketentuan tentang
perbedaan agama antara calon suami dan calon isteri merupakan larangan perkawinan. Dan hal ini
sejalan dengan UUD 1945 pasal 27 yang menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum, tercakup di dalamnya kesamaan hak asasi untuk kawin dengan
sesama warga negara sekalipun berlainan agama dan selama oleh undang-undang tidak ditentukan
bahwa

perbedaan agama merupakan larangan untuk perkawinan, maka asas itu adalah sejalan dengan jiwa
pasal 29 UUD 1945 tentang dijaminnya oleh negara kemerdekaan bagi setiap warga negara untuk
memeluk agama masing-masing.

Dengan tidak diaturnya perkawinan antar agama di UU No. 1/1974 dan dalam GHR dan HOCI tidak
dapat dipakai karena terdapat perbedaan prinsip maupun falsafah yang sangat lebar antara UU No.
1/1974 dengan kedua ordonansi tersebut. Sehingga dalam perkawinan antar agama terjadi
kekosongan hukum.13

Di samping kekosongan hukum juga dalam kenyataan hidup di Indonesia yang masyarakatnya
bersifat pluralistik, sehingga tidak sedikit terjadi perkawinan antar agama. Maka MA berpendat
bahwa tidak dapat dibenarkan terjadinya kekosongan hukum tersebut, sehingga perkawinan antar
agama jika dibiarkan dan tidak diberiakan solusi secara hukum, akan menimbulkan dampak negatif
dari segi kehidupan bermasyarakat maupun beragama berupa penyelundupan-penyelundupan nilai-
nilai sosial maupun agama serta hukum positif, maka MA harus dapat menentukan status
hukumnya.14

Mahkamah Agung dalam memberikan solusi hukum bagi perkawinan antar agama adalah bahwa
perkawinan antar agama dapat diterima permohonannya di Kantor Catatan Sipil sebagai satu-
satunya instansi yang berwenang untuk melangsungkan permohonan yang kedua calon suami isteri
tidak beragama Islam untuk wajib menerima permohonan perkawinan antar agama. 15

Dari putusan MA tentang perkawinan antar agama sangat kontroversi, namun putusan tersebut
merupakan pemecahan hukum untuk mengisi kekosongan hukum karena tidak secara tegas
dinyatakan dalam UU No. 1/1974.
Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 1400 K/Pdt/1986 dapat dijadikan sebagai yurisprudensi,
sehingga dalam menyelesaikan perkara perkawinan antar agama dapat menggunakan putusan
tersebut sebagai salah satu dari sumber-sumber hukum yang berlaku di Indonesia.

Dalam proses perkawinan antar agama maka permohonan untuk melangsungkan perkawinan antar
agama dapat diajukan kepada Kantor Catatan Sipil. Dan bagi orang Islam ditafsirkan atas dirinya
sebagai salah satu pasangan tersebut berkehendak untuk melangsungkan perkawinan tidak secara
Islam. Dan dengan demikian pula ditafsirkan bahwa dengan mengajukan permohonan tersebut
pemohon sudah tidak lagi menghiraukan status agamanya. Sehingga pasal 8 point f UU No. 1/1974
tidak lagi merupakan halangan untuk dilangsungkan perkawinan, dengan anggapan bahwa kedua
calon suami isteri tidak lagi beragama Islam. Dengan demikian Kantor Catatan Sipil berkewajiban
untuk menerima permohonan tersebut bukan karena kedua calon pasangan dalam kapasitas sebagai
mereka yang berbeda agama, tetapi dalam status hukum agama atau kepercayaan salah satu calon
pasangannya.

Bentuk lain untuk melakukan perkawinan antar agama dapat dilakukan dengan cara melakukan
perkawinan bagi pasangan yang berbeda agama tersebut di luar negeri. Berdasarkan pada pasal 56
UU No.

1/1974 yang mengatur perkawinan di luar negeri, dapat dilakukan oleh sesama warga negara
Indonesia, dan perkawinan antar pasangan yang berbeda agama tersebut adalah sah bila dilakukan
menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu berlangsung.

Setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, paling tidak dalam jangka waktu satu tahun
surat bukti perkawinan dapat didaftarkan di kantor pencatatan perkawinan tempat tinggal
mereka. Artinya perkawinan antar agama yang dilakukan oleh pasangan suami isteri yang berbeda
agama tersebut adalah sah karena dapat diberikan akta perkawinan.

PENUTUP

A.   Kesimpulan

1. Undang-Undang No.1/1974 tentang Ketentuan Pokok Perkawinan, tidak mengatur tentang


perkawinan beda agama. Oleh karena itu perkawinan antar agama tidak dapat dilakukan
berdasarkan pada pasal 2 ayat 1 UU No.1/1974, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Dan pada pasal 10 PP No.9/1975
dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri dua
orang saksi. Dan tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing Agamanya dan
kepercayaannya.

2. Dalam mengisi kekosongan hukum karena dalam UU No. 1/1974 tidak secara tegas mengatur
tentang perkawinan antar agama, Mahkamah Agung dalam yurisprudensinya tanggal 20 Januari
1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986, memberikan solusi hukum bagi perkawinan antar agama adalah
bahwa perkawinan antar agama dapat diterima permohonannya di Kantor Catatan Sipil sebagai
satu-satunya instansi yang berwenang untuk melangsungkan permohonan yang kedua calon suami
isteri tidak beragama Islam untuk wajib menerima permohonan perkawinan antar agama.
3. Dalam proses perkawinan antar agama maka permohonan untuk melangsungkan perkawinan
antar agama dapat diajukan kepada Kantor Catatan Sipil. Dan bagi orang Islam ditafsirkan atas
dirinya sebagai salah satu pasangan tersebut berkehendak untuk melangsungkan perkawinan tidak
secara Islam. Dan dengan demikian pula ditafsirkan bahwa dengan mengajukan permohonan
tersebut pemohon sudah tidak lagi menghiraukan status agamanya. Sehingga pasal 8 point f UU No.
1/1974 tidak lagi merupakan halangan untuk dilangsungkan perkawian, dengan anggapan bahwa
kedua calon suami isteri tidak lagi beragama Islam. Dengan demikian Kantor Catatan Sipil
berkewajiban untuk menerima permohonan tersebut bukan karena kedua calon pasangan dalam
kapasitas sebagai mereka yang berbeda agama, tetapi dalam status hukum agama atau kepercayaan
salah satu calon pasangannya.

4. Perkawinan antar agama dapat juga dilakukan oleh sesama warga negara Indonesia yang berbeda
agama dengan cara melakukan perkawinan tersebut di luar negeri.

B.   Saran

Bahwa dengan ketidaktegasan pemerintah dalam mengatur perkawinan beda agama sebagaimana
tidak adanya aturan tersebut pada UU No.1/1974, maka bersama ini saya sarankan bahwa :

a. Perlu rumusan ulang atau revisi tentang perkawinan antar agama, karena dalam UU No. 1/1974
Tentang Hukum Perkawinan belum jelas dan tuntas dalam mengatur perkawinan antar agama.

b. Dalam revisi terhadap Undang-undang Perkawinan perlu kejelasan tentang status hukum bagi
mereka yang ingin melakukan perkawinan antar agama.

Anda mungkin juga menyukai