Oleh
Abstrak
Perkawinan merupakanmikatan lahir batin antara seorang laki-lakihdenganhseorang
perempuan sebagaihsuami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yanggbahagia dan sejahtera berdasarkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
PenjelasanmPasalm2 ayat (1) Undang-UndangmNomorm1hTahunh1974htentang
Perkawinanhmenyatakan bahwakberdasarkan UUDh1945, perkawinan tidakhadajdi
luarhhukumhsetiapkagamagdangkepercayaan. Pendataan perkawinan berfungsi untuk
memenuhi kebutuhanhadministrasi. Bagaimanahkedudukan
perkawinanhbedagagamagyanghdilangsungkanhdihluarinegeri dalamgsistem hukum di
indonesia. Penelitianbinihmenggunakan studignormative, mengamati peraturanhperundang-
undangangyang berlaku danhditerapkan pada permasalahanhyang terkait. Metodeiyang
dilakukan dalam penelitian ini ialahymetode Study Literatur. Kedudukanmperkawinanmbeda
agama dalamjsistem hukumkdi Indonesiahialahgtidakhsah. Undang-Undang Perkawinan
Nomorp1 Tahun 1974 dalam Pasal 2 ayat 1 mengungkapkan perkawinankadalah sah apabila
dilakukan menurutphukum masing-masingmagama danhkepercayaannya.Adanya pelaksanaan
perkawinan beda agama di luar negara, sepertigdi negara Malaysia secaramformilmsah
menurutmketentuan-ketentuan hukum Malaysia. Namun untuk negara
Indonesiapperkawinanktersebut tetaphtidak sah,gmeskipungadagkewajiban
untukkmencatatkangperistiwagperkawinanhmereka.
Kata Kunci : perkawinan, agama, luar negeri
Abstract
Marriagehisian innerhanduouterhbondebetweenuaiman andiarwomangas husbandiand
wife with thehaimiofyforming a happy and prosperous family (household) based on faith in God
Almighty. The elucidation of Article 2 paragraph (1) of Law Number 1 of 1974 concerning
Marriage states that based on the 1945 Constitution, marriage does not exist outside the law of
every religion and belief. The recording of the crossing is simply to fill the need. What is the
position of interfaith marriages held abroad in the legal system in Indonesia. This study uses
normative studies, examines the applicable laws and regulations and is applied to related
problems. Thenmethoduused in thistresearch is thegLiteraturejStudyumethod. The position of
marriage between religions in the legal system in Indonesia is not valid. The
MarriageiLawyNumber 1 of 1974ainbArticle 2 paragraph 1 states thatymarriage is valid if it is
carried outaaccording to the laws of each religion and belief. There is the implementation of
interfaith marriages abroad, such as in Malaysia in a formal manner accordingitoethenprovisions
of Malaysianjlaw. However, for the Indonesian state, child marriage is still illegal, even though
there is an obligation to record their marriage events.
Keyword : marriage, religion, foreign
Pendahuluan
Perkawinanebedaaagama adalah pernikahanhantara seorang pria dan seorang wanita.
Keduanya memiliki agama atau kepercayaan yang berbeda satu sama lain. Perkawinan beda
agama dapat terjadi antara warga negara Indonesia, yaitu pria Indonesia dan wanita Indonesia
yang berbeda agama/keyakinan (Halim & Ardhani, 2016). Perkawinan adalah sebuah
lembagaikeluarga yangisangatupentingudalam hidupamanusia. Oleh karena itu, setiap manusia
normal dan dewasa pasti ingin melangsungkan perkawinan. Namun, untuk melakukan
perkawinan tidak bisa dilakukan secara sembarangan, itu semua ditentukan oleh undang-undang,
baik dalam hukum islam dan hukum positif (Wicaksana, 2016). Perkawinan beda agama
diadakan di luar negeri bagi warga negara Indonesia terjadi karena UU Perkawinan saat ini
belum mengatur masalah perkawinan beda agama dan tidak ada arahan yang lengkap untuk
menyelesaikan masalah perkawinan beda agama. Bahkan, ini menimbulkan masalah di bidang
hukum perdata internasional (A.T, 2009). Perkawinan merupakan bagian dari status keperdataan
yang diatur oleh Pasal 16 AB KUHPerdata Internasional Indonesia, sehingga warga negara
Indonesia tunduk pada hukum Indonesia di mana pun tempat tinggalnya. Artinya perkawinan
antara warga negara Indonesia yang dikontrak di luar negerihtetap tundukhpada
ketentuanihukumhIndonesia.(Surahman, 2022)
Secara hukum,hperkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1
Tahun 1974, dan persiapannya meliputi unsur agama. Isu yang timbul dari Ordonansi ini adalah
redaksional yang menyatakan bahwa perkawinan dianggap batal jika batal atau dilarang secara
agama berdasarkan Pasal 8 dianggap sebagai bentuk diskriminasi karena ada dasar hukum dalam
agama-agama tertentu yang melarang perbedaan agama. pernikahan, yang dipandang memiliki
konsekuensi jangka panjang untuk pernikahan.(Kamilah, 2018)
Praktik calon pasangan warga negara Indonesia yang berbeda agama menikah di luar
negeri telah digambarkan sebagai penyelundupan hukum, yaitu cara yang digunakan untuk
memperoleh akibat, tetapi dengankmelanggar ketentuanmhukum dalam negeri, dalam hal ini
aturan Pasal 2 Ayat 1 UU Nomorp1pTahunp1974 tentang KeabsahanmPerkawinan. Akibat
penyelundupan hukum perkawinanutersebuthberakibatabahwaysikaputindakihukumitersebut
batal demiuhukumgyang dikenal dengan asas “frausyomniaicorrumpit”. Saat ini, adanya
pasangan dalam masyarakat yang menikah dengan pemeluk agama yang berbeda menyebabkan
masalah pencatatan karena tidak adanya peraturan tentang perkawinan beda agama, sehingga
dapat terjadi ketidak jelasan tata cara perkawinan beda agama.(B.H. Soebandi, 2020)
Atas dasar itu, penulis kiranya perlu mengemukakan pertanyaan terkait bagaimana
keabsahan perkawinan Warga Negara Indonesia beda agama yang dilangsungkan di luar negeri?
MetodehPenelitian
Penelitianhini menggunakan studi normative, menganalisis peraturaniperundang-
undangan yang berlaku dan diterapkan pada permasalahan yang terkait. Metode yang dilakukan
dalam penelitian ini adalah metode Study Literatur. Sumber penelitian ini yaitu melalui Buku,
Jurnal dan Internet dari berbagai website yang berhubungan dengan topic penelitian ini. Untuk
mendeskripsikan dari hasil penelitian menggunakan metode deskriptif analitis.
Hasil dan Pembahasan
A. KeabsahanhPerkawinanuBedagAgamahyangddilangsungkan diluarhnegeri Menurut
Undang-Undang Perkawinanj1974
Perkawinan ialah sesuatu hal yang sakral bagi masyarakat Indonesia, tidak hanya
hubungan keperdataannya saja, namun nilai keagamaannya juga harus dilibatkan dalam
setiap aspek. Jelas dari ketentuan Pasal 1 UU Perkawinan 1974 bahwa perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.(Negara & Indonesia, 2019) Sedangkan prosedur perkawinan yang dilangsungkan
diluar negeri belum tentu sama dengan prosedur perkawinan yang dilangsungkan di
Indonesia yang menekankan aspek kesamaan keyakinan, salah satu contohnya ialah adanya
Ijab Kabul yang dilakukan dihadapan penghulu berwenang bagi seorang yang beragama
Islam, atau mengucapkan janji setia bagi yang beragama Kristen dihadapan pendeta serta
keyakinan lainnya sesuai ketentuan masing masing agamanya. Disisi lain perkawinan harus
melakukan Pencatatan Perkawinan di Kantor Catatan Sipil setempat sekalipun perkawinan
yang dilangsungkan diluar negeri.(Gautama, 1998)
Keanekaragaman yang bersifat kompleks terkait Agama, Suku, Ras dan budaya yang ada
di Indonesia sangat mungkin jika adanya perkawinan beda agama antara dua warga negara
Indonesia. Mengenai hal ini dalam bidang hukum utamanya dalam hukum perkawinan
menimbulkan sebuah permasalahan atau persoalan perkawinan beda agama seringkali terjadi
dalam masyarakat Indonesia karena agama yang beragam.(Khomsah, 2018) UU Perkawinan
menganut asas perkawinan sesuai ketuhanan yang maha esa, jadi perkawinan yang tidak
melibatkan agama apapun tidak diperbolehkan.(Mamahit, n.d.) Dimana tercantum dalam
pasal 1 serta pasal 2 butir (1). Jelas terdapat dalam ketentuan Pasal 1 serta pasal 2 butir (1).
Maka dari itu tidak ada perkawinan diluar aturan keyakinan kedua pihak yang akan
melangsungkan perkawinan. Selain itu, Pasal 3 UU Perkawinan menegaskan bahwa menurut
landasan filosofis Pancasila dan UUD 1945, peraturan ini di satu sisi harus melaksanakan
asas yang tercantum dalam Pancasila dan UUD 1945, sementara itu dilain sisi harus bisa juga
mewadahi seluruh fakta yang tumbuh dalam masyarakat dewasa ini, UUP ini telah mewadahi
didalamnya elemen dan ketentuan-ketentuan aturan keyakinan itu dari yang bersangkutan.
Jika meninjau dari uraian diatas, bahwa perkawinan berbeda keyakinan yang
dilangsungkan di luar negeri termasuk sebagai sebuah “penyelundupan hukum” karena
berlawanan dengan peraturan dalam UUP, yang utamanya mempunyai keyakinan yang sama
sebelum melangsungkan pernikahan. Menurut Purnadi Purbacaraka, terjadinya
penyelundupan hukum dimana ada seseorang atau pihak-pihak yang menggunakan cara-cara
yang tidak benar dengan tujuan untuk menghindari berlakunya hukum nasional.(Purbacaraka,
1989)
Mengenai perkawinan yang dilangsungkan dengan adanya aspek penyelundupan hukum,
akibatnya perkawinan yang dilangsungkan tidak mempunyai kekuatan hukum serta tidak
mempunyai akibat hukum apapun. Hal tersebut berdasarkan adagium “fraus omnia
corrumpit” yang berarti penyelundupan hukum dapat mengakibatkan tidak berlakunya
keseluruhanan perbuatan hukum tersebut. Pengaturan perkawinan beda keyakinan tidak
dijelaskan secara tegas didalam Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 (UUP) . Akan tetapi jika
dicermati secara baik pasal-pasal dalam UU Perkawinan, maka ada beberapa ketentuan yang
bisa menjadi patokan bahwa pada dasarnya UU Perkawinan tidak mengenal adanya
perkawinan beda keyakinan, hal tersebut tercantum dalam Pasal 2 butir (1) dan Pasal 8 sub f
UU Perkawinan.
Adapun ketentuan yang haruspdipenuhi dalam melaksanakan perkawinanpcampuran
tertuang dalam Pasal 57-62pUndang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 57
UU Perkawinan menjelaskan bahwasanya perkawinan campuran merupakanpperkawinan
antara dua orang yang dipIndonesia taat pada hukum yang berbeda, karena adanya perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Sesuai peraturan
padapundang-undang perkawinan, tidak mengenal perkawinan beda keyakinan, sehingga
pembahasan kerangka konsep demikian akan terhenti. Namun, apabila kejadian perkawinan
beda keyakinan yang dilakukan di luar negeri dihubungkan dengan kerangka Hukum Perdata
Internasionalpmaka akan banyak hal yang dapat dipahami.
Ada dua pendapat mengenai Keabsahan atau Sah nya Perkawinan Beda Agama yang
dilangsungkan diluar Negeri
1. Pendapat pertama ialah perkawinan tersebut sah. Dengan Syarat, seorang yang telah
melangsungkan perkawinan tersebut harus ke Kantor Catatan Sipil untuk mencatatkan
perkawinannya dengan jangka waktu paling lambat satu tahun setelah kembali ke
Indonesia. Hal ini tercantum dalam pasal 56 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Konsorsium Catatan Sipil yang mempunyai pandangan yaitu Perkawinanan tidak boleh
ada dilarang karena suatu perbedaan ras, agama, asal usul atau keturunan.
2. Adapun Pendapat yang beranggapan bahwa Perkawinan tersebut Tidak Sah, karena
syarat yang tidak terpenuhi sesuai dengan pasal 2 Undang-undangan Nomor 1 Tahun
1974. Namun sekalipun menurut hukum Indonesia tidak sah, Pencatatan perkawinan
tetap diterima oleh Kantor Catatan Sipil. Dalam hal pencatatan disini hanya sekedar
pelaporan administratif saja tidak ada kaitannya dengan sah atau tidaknya suatu
perkawinan.
Perkawinan beda agama yangpdilangsungkan dipluar negeripapabila dilihat dari sudut
pandanghhukum memilikihduapaspek. Pertama perkawinan tersebut dilaksanakan oleh dua
orang yang berbeda. Keduapperkawinan tersebut dilakukan di luar negeri atau luar daerah
Indonesia, sehingga berlakuhhukumhIndonesia maupun hukumhtempatpdimana perkawinan
tersebut dilangsungkanp(lexilocipcelebrationis). Perkawinan adalahpsah jika dilakukan
menurutjhukum yanghberlaku di negara dimana perkawinan tersebut dilangsungkan dan bagi
warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan dalam UUpPerkawinan. Dengan
demikian,papabila adapwarga negarapIndonesia beragama kristen menikahpdengan
wargapnegara Indonesiaykristen di luar negeri ialahhsahpapabila dilangsungkan menurut tata
carapagama kristen dan tidapbertentangan dengan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan.
Sebaliknya, perkawinanpitu menjadiptidak sahpapabilauperkawinan di luar negeri
tersebutphanyapdilakukan melaluipkantor catatan sipil (dihadapanuhakimydan atau
pencatatan sipil), tanpapmelakukanppemberkatanpdi gereja, masjid atau lembagakagama
lainnya. Perkawinanhtersebuthtidakglebihuhanyafsebagaighidupfbersamah(samenlaven)
yang tercatat.(Hartini, 2004)
Diskusi
Setiap WNI yang akan meangsungkan perkawinan sudah semestinya mengikuti ajaran
kepercayaannya masing-masing serta taan pada ketentuan perkawinan agamanya. Diterangkan
pada pasal 2 angka (1) UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan, bahwa tidak ada
pernikahan di luar hukum masing-masing keyakinan dan kepercayaannya itu, berdasarkan
Undang-Undang Dasar 1945. Sesuai dengan hal itu menyimpulkan secara tegas, bahwa
Perkawinan mutlak wajib dilangsungkan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya tanpa terkecuali. Karena jika tidak taat kepada ketentuan tsb, maka dari itu
perkawinan tidak sah.( Wantjik K Shaleh ,1982)
Perkawinan merupakan suatu cara yang melegalkan hubungan antara duagorangfyang
berlainanhjenis kelaminhuntuk menjadi suami istri. Perkawinan padajumumnya secara alamiah
memerlukan akomodasi dari kedua belah pihak yang bersatu dan membentuk satu kesatuan
dalam kesatuan terkecil masyarakat,hsehingga dapat tercipta kehidupan keluarga yang stabil,
utuh, harmonis, bahagia lahir dan batin,sehingga latar belakangpkehidupan keduapbelah pihak
menjadi penting,pdanhsalahpsatu latar belakang kehidupanpituuadalah agamakhal iniotentunya
selaras denganubunyi Pasal 1 UU No 1/1974jtentang Perkawinan yang berbunyi:
“PerkawinanuialahoIkatanglahir batinpantara seoranghpria dengan seorangpwanita
sebagaihsuamiBistri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yangobahagiakdan kekal berdasarkanpKetuhananpYang Maha Esa.”
Landasan dari syaratpsahnya suatu perkawinanpyang tercantum di dalampPasal 2 (ayat 1)
UU No.1/1974ptentang Perkawinanpyangoberbunyi:
“PerkawinanHadalahGsah, apabilapdilakukan menurut hukummasing-masing
agamanya danHkepercayaan itu.”
Pasal tersebut sarat dengan suasanahkebatinangdalam norma agama dan kepercayaan
yang memberikanoruang bagihpemukaiagama yangpada di Indonesia untuk melegalkan
perkawinan menurutpagamapyangpdianut masing-masing warga negaranya.
Berdasarkan analisa penulis darihUndang-UndangpPerkawinan apabila adaiWarga
Negara yang ingin melangsungkanppernikahan dan berbeda agama di wilayah Indonesia maka
salah satu pasangan tersebutpwajib untukpmenundukkan diri dan
memilihppadapsalahpsatukhukumpagama yanghberlaku dalam rangkahpemenuhanhsyarat-
syaratppernikahangyangstelah dipilihdagar dapat dilegalkan danidicatatkanioleh negara. Apabila
pasangan yang akan melakukan pernikahan tersebut masih tetap berkeinginan melakukan
pernikahanpsesuaikdenganokeyakinannyakmasing-masing atau Perkawinan berbeda agama hal
tersebut tentu tidak dapat diakomodir didalam Undang-undang Perkawinan
inigsehinggalberpotensi terhadap kerugianwakibat perkawinan karena tidak didasarkan pada UU
No 1/1974, khususnya bagipwanita (istri) dan anak nantinya sangat beragam, tetapipsebenarnya
yang terpenting adalahyapakah kerugian tersebut dapat dipulihkan atau tidak. Di sinilahktitik
permasalahannya dalam konteks sistem hukum perkawinan. Negara harus memberikan
perlindungan bagi pihak pihak dalam perkawinan
Praktik yang sering terjadi dilakukan olehppasangan yang ingin mempertahankan
perkawinangbedagagama dan mempunyai kecukupanksecara ekonomi ialah menikah di luar
wilayahJkedaulatan Indonesia, tunduk padahhukum perkawinan negara lain. Perkawinan ialah
sahdjika dilakukanfberdasarkan hukum yang berlakuhdissuatuhnegara tertentu. Artinyagjika
pasangan akan menikahhditMalaysia, Anda harusTmengikutikketentuan hukumktata cara
pernikahanldi negara tersebut. Setelah menikah di Malaysia, pernikahan tersebut harus
didaftarkan di kantorkcatatan sipilkIndonesia.
Hal tersebut sebagaimana telah diatur dalamHPasalH56 ayatH(2) UUHPerkawinan:
"Dalampwaktu 1 (satu)htahun setelah suami isteri ituhkembali di wilayah Indonesia,
surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan
tempat tinggal mereka".
Dengan disahkannya peraturan Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 Tentang
Administrasi Kependudukan, yang mana dalam pasal 35 (a) menerangkan perkawinan yang
dalam proses pencatatan perkawinan tersebut harus sudah melewati penetapan Pengadilan,
sehingga perkawinan tersebut bisa dicatatkan pada lembaga Pelaksana. Hal ini sudah dijelaskan
dalam Pasal 35 (a) UU Adminduk yang menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Perkawinan
yang ditetapkan oleh Pengadilan adalah perkawinan yang dilangsungkan oleh orang yang
mempunyai agama berbeda.
Dengan demikian dengan disahkannya UU tentang Administrasi Kependudukan
membuka peluang untuk para pasangan yang mempunyai perbedaan keyakinan untuk
dicatatkannya perkawinan tersebut.
Kesimpulan
Perkawinan ialah sesuatu hal yang sakral bagi masyarakat Indonesia, tidak hanya
hubungan keperdataannya saja, namun nilai keagamaannya juga harus dilibatkan dalam setiap
aspek. Pencatatan perkawinan sebagaimana dalam pasal 35 (a) ialah maksud dari “perkawinan
yang ditetapkan oleh pengadilan” yaitu perkawinan yang dilangsungkan oleh seseorang yang
berbeda keyakinan, penetapan pengadilan tersebut yang menjadi dasar pencatatan perkawinan.
Adanya perkawinan beda agama yang dilangsungkan di luar negeri, contonya dinegara
Australia secara formil sah menurut peraturan hukum negara tersebut. Tetapi sampai saat ini di
Indonesia masih menganut UU Perkawinan 1974 yang menegaskan bahwa perkawinan yang
dilangsungkan dengan perbedaan keyakinan tetap Tidak Sah, kendatipun adanya keharusan
untuk melakukan pencatatan perkawinan tersebut. Pencatatan perkawinan inighanyajuntuk
pemenuhan syarat administrasi yang bertujuan untuk memberikan status sosial kepada
masyarakat bahwa pasangan yang menikah adalah benar merupakan suami istri.
Dilihat dari Aspek Hukum Perdata Internasional, Perkawinan campuran yang diatur pada
UU Perkawinan ialah perkawinan yang terjadi diantara WNI dengan orang asing karena
perbedaan kewarganegaraan, misalnya, sementara itu sebab domisili contohnya pada
permasalahan perkawinan yang dilakukan oleh sesama WNI di luar Indonesia
Daftar Pustaka
A.T, G. (2009). Aspek hukum perkawinan WNI beda agama yang dilangsung kan di luar. Jurnal
Hukum Prioris.
Arliman, L. (2017). Perkawinan Antar Negara Di Indonesia Berdasarkan Hukum Perdata
Internasional. Kertha Patrika:Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Udayana, 181.
B.H. Soebandi. (2020). Perkawinan Beda Agama Yang Dilakukan Di Luar Negeri Berdasarka n
Hukum Positif Di Indonesia. Raad Kertha.
Fatahullah, Israfil, S. H. (2020). Problematika Keabsahan Perkawinan Beda Agama Yang
Dilakukan Di Luar Wilayah Hukum Indonesia. Jurnal Kompilasi Hukum, 5(1), 41–55.
Gautama, S. (1998). Hukum Perdata Internasional Indonesia. In jilid III Bagian I, Buku Ke-7 (p.
189).
Halim, A., & Ardhani, C. R. (2016). Keabsahan Perkawinan Beda Agama di Luar negeri dalam
Tinjauan Yuridis. Jurnal Moral Kemasyarakatan, 1(1), 67–75.
https://ejournal.unikama.ac.id/index.php/JMK/article/view/1187/933
Hartini. (2004). Implementasi Perkawinan Berdeda Agama di Luar Negeri. Fakultas Hukum
UGM, 19.
Hikmah, M. (2012). Penolakan Putusan Arbitrase Internasional Dalam Kasus Astro All Asia
Network PLC (Kajian Putusan Nomor 05/Pdt/ARB-INT/2009/PNJP). Jurnal Yudisial, 70.
Ilham, M. (2019). Kajian Yuridis Penyelesaian Sengketa Kontrak Dagang Dalam Perspektif
Hukum Perdata Internasional (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Jambi Nomor:
09/Pdt.G/2006/PN.JBI). Jurnal Restitusi, 72.
Insarullah, Rachman, R., & Ardiansyah, E. (2022). Perspektif Hukum Perdata Internasional
terhadap Perkawinan Beda Agama Bagi Warga Negara Indonesia. Wajah Hukum, 6(2),
269–274. https://doi.org/10.33087/wjh.v6i2.932
Kamilah, A. (2018). Keabsahan Perkawinan Beda Agama Yang Dilaksanak an Di Luar Negeri.
TAHKIM, Jurnal Peradaban Dan Hukum Islam.
Khomsah, N. (2018). Pencatatan Perkawinan Beda Agama yang Dilakukan Diluar Negeri.
82(3), 1–13.
Lubis, yukran Y. (2021). Buku Ajar Hukum Perdata Internasional (p. 55). Umsu Press.
Mamahit, L. (n.d.). Mamahit, Laurensius. Hak Dan Kewajiban Suami Isteri Akibat Perkawinan
Campuran. https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexprivatum/article/view/1011
Muhtar, L. O. (2022). No Title. Pengantar Hukum Indonesia, 245.
Negara, U. D., & Indonesia, R. (2019). LEMBARAN NEGARA. Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974, 186.
Purbacaraka, P. dan A. B. (1989). sendi-sendi hukum Perdata internasional (p. 63). Rajawali
Persada.
Rahayu, D. P. (2018). Hukum Perdata Internasional Indonesia Bidang Hukum Keluarga Dalam
Menjawab Kebutuhan Global. Jurnal Hukum Progresif.
Rayes, A. Z. (1974). PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG DILAKUKAN DI LUAR
NEGERI BERDASARKAN HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM. Fakultas Hukum
Universitas Islam Malang.
Seto, B. (2004). Dasar-Dasar hukum Perdata Internasional (p. 11). PT Citra Aditya Bakti,.
Surahman, S. (2022). Perkawinan Beda Agama itu Boleh? Jurnal Multidisiplin Madani.
Tanjung, A. (2019). Legalitas Penyelundupan Hukum Pada Perkawinan Beda Agama
Berdasarkan Hukum Positif dan Receptio A Contrario. National Journal of Law, 52.
Undang-undang RI Nomor 24 Tahun 2013. (2013). Administrasi Kependudukan.
Wahyuni, S. (2016). Nikah Beda Agama Kenapa Keluar Negeri? 239.
Wicaksana, A. (2016). 済無 No Title No Title No Title. Https://Medium.Com/, VI(9), 76–83.
https://medium.com/@arifwicaksanaa/pengertian-use-case-a7e576e1b6bf
Wantjik K Shaleh, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982