Anda di halaman 1dari 10

1

Perkawinan Dan Perceraian Menurut Hukum Gereja Bala


Keselamatan Bala Keselamatan Dihubungkan
Dengan Hukum Positif Indonesia
(ditinjau dari Doktrin, Perintah dan Aturan, serta Kebijakan
Bala Keselamatan)
Youla Diana Rimbing
STAK WILLIAM BOOTH JAKARTA
Youladiana99@gmail.com

Abstract
Marriage and divorce hold profound significance within the social and legal
framework of Indonesia. This article provides an overview of the concepts of
marriage and divorce within the framework of positive law in Indonesia. The
positive law approach highlights the officially enforced legal framework by the
state, applicable to Indonesian citizens. This research explores key aspects of
marriage, including legal requirements, the marriage process, rights and
obligations of spouses, and the legal consequences of marriage. Additionally, the
article also highlights the mechanisms of divorce regulated by positive law in
Indonesia, including grounds and procedures involved in terminating marital
bonds. In-depth analysis of positive law in Indonesia within the context of
marriage and divorce also includes a review of the efforts made by the state to
protect individual rights, particularly those related to women and children's
rights in the context of divorce. In conclusion, this article illustrates the
complexity of positive law in Indonesia governing marriage and divorce, while
highlighting challenges and issues associated with the application and
enforcement of such laws in practice.
Keywords : Marriage, divorce, positive law, individual rights, law enforcement
2

Abstrak
Perkawinan dan perceraian memiliki signifikansi yang mendalam dalam struktur
sosial dan hukum Indonesia. Artikel ini menyajikan tinjauan tentang konsep
perkawinan dan perceraian dalam kerangka hukum positif Indonesia. Pendekatan
hukum positif menyoroti kerangka hukum yang diberlakukan secara resmi oleh
negara dan berlaku bagi warga negara Indonesia. Penelitian ini mengeksplorasi
aspek-aspek kunci perkawinan, termasuk persyaratan legal, proses pernikahan,
hak dan kewajiban suami istri, serta konsekuensi hukum dari pernikahan tersebut.
Selain itu, artikel ini juga menyoroti mekanisme perceraian yang diatur oleh
hukum positif Indonesia, termasuk alasan dan prosedur yang terlibat dalam
mengakhiri ikatan perkawinan. Analisis mendalam tentang hukum positif
Indonesia dalam konteks perkawinan dan perceraian juga mencakup tinjauan
tentang upaya-upaya yang dilakukan oleh negara untuk melindungi hak-hak
individu, terutama terkait dengan hak-hak perempuan dan anak-anak dalam
konteks perceraian. Kesimpulannya, artikel ini mengilustrasikan kompleksitas
hukum positif Indonesia yang mengatur perkawinan dan perceraian, serta
menyoroti tantangan dan isu-isu yang terkait dengan penerapan dan penegakan
hukum tersebut dalam prakteknya
Kata Kunci : perkawinan, perceraian, hukum positif , hak individu, penegakan
hukum
3

PENDAHULUAN

Pernikahan memiliki arti sebagai sebuah perjanjian antara laki-laki dan


perempuan untuk bersuami istri dengan resmi sedangkan perkawinan artinya
ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga. Pernikahan dan perkawinan menjadi berbeda
karena pernikahan lebih pada aspek legal dan transedental serta bersifat sakral
sedangkan perkawinan lebih pada dimensi praksis dan juga yuridisformal karena
itu dibuatlah undang-undang perkawinan.
Pernikahan memiliki tujuan untuk membangun, membina dan memelihara
hubungan kekerabatan yang rukun dan damai. Laki-laki dan perempuan yang
dipersatukan dalam pernikahan adalah dua orang manusia dengan perbedaan
mereka, sehingga dari perbedaan itu mereka dapat bertumbuh menjadi kesatuan
satu daging. Kesatuan manusia yang seimbang dinyatakan dalam hidup bersama
sebagai sebuah keluarga karena itu, maka hidup berkeluarga dianggap sebagai
kehidupan etis dan religius. Pernikahan juga adalah persekutuan hidup secara lahir
batin antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami-istri yang sah, untuk
mencapai kesejahteraan hidup berdasarkan agama dan kepercayaannya di mana
pernikahan bukan hanya merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia
secara individu, tetapi juga dalam kehidupan agama dan budaya masyarakat.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa pernikahan tidak akan selamanya berjalan
mulus, sehingga tercipta suatu keadaan yang membuat mereka berpisah. Hal
tersebut dinamakan perceraian.
Dengan memperhatikan hukum Gereja Bala Keselamatan yang ada, tidak
ada satupun Gereja Bala Keselamatan yang mengijinkan dan mengatur tentang
perceraian termasuk salah satunya adalah Gereja Bala Keselamatan Bala
Keselamatan. Banyak kasus perceraian yang terjadi di kalangan jemaat Gereja
Bala Keselamatan Bala Keselamatan yakni antara lain mereka melakukan
perceraian sepihak tanpa melalui proses hukum di pengadilan, sehingga para opsir
4

pendeta kesusahan untuk melegalkan perkawinan salah satu pihak dengan status
cerai hidup, karena status tersebut diperoleh secara tidak sah yakni tidak melalui
proses hukum yang berlaku di Indonesia dan tanpa adanya dokumen resmi
perceraian.

PEMBAHASAN

A. Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
Sebelum Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
dinyatakan berlaku secara efektif, hukum perkawinan di Indonesia
diatur dalam berbagai aturan hukum yang berlaku untuk berbagai
golongan warga negara dan daerah di antaranya yaitu hukum adat
yang berlaku bagi orang Indonesia asli, hukum Islam yang berlaku
bagi orang Indonesia asli yang beragama Islam, Kitab Undang-
Undang Perdata (Borgerlijk Wetboek atau BW) yang berlaku bagi
orang keturunan Eropa dan Cina dengan beberapa pengecualian,
dan Ordonasi Perkawinan Indonesia Kristen (Ordonnantie
Christen Indonesia atau HOCI) yang berlaku bagi orang Indonesia
asli yang beragama Kristen.1
a. Perkawinan Menurut Hukum Adat
Menurut hukum adat, perkawinan adalah ikatan yang tidak
hanya dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersangkutan
(sebagai suami istri), melainkan juga adanya ikatan antara
keluarga besar dan masyarakat dari kedua belah pihak yang
bersangkutan. Sehingga dalam ini yang dilibatkan dalam
perkawinan tidak hanya suami dan istri namun segenap
keluarga dan masyarakat juga mempunyai kepentingan.2
b. Perkawinan Menurut Kitab Undang-Undang Perdata (Borgerlijk
1
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Cet.8, (Bandung: Sumur, 1984), hal. 14-
15
2
Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Mat, Cet. 12, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1989), 55.
5

Wetboek
atau BW)
Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang lelaki
dan seorang perempuan untuk waktu yang lama, di mana dalam
hal ini Undang-Undang hanya memandang perkawinan dari
hubungan keperdataan saja (Pasal 26 BW). Dalam hal ini, BW
melarang melakukan upacara perkawinan menurut hukum
agama, sebelum diadakan perkawinan menurut Undang-Undang.3

Harapan setiap orang tidak ada yang ketika memasuki kehidupan


perkawinannya, menghadapi situasi bercerai dengan pasangan yang bakal
dinikahinya, pada umumnya setiap orang mengharapkan sebuah perkawinan yang
diwarnai dengan cinta kasih dan kesetiaan sampai maut memisahkan.
Idealisme semacam ini sering harus berhadapan dan bahkan berbenturan
dengan kenyataan tragis bahwa perkawinan mereka harus mengalami perceraian,
berhadapan dengan benturan antara idealisme dan realisme khususnya pada
perkawinan kristiani ini, diperlukan sebuah sikap yang sekaligus teologis dan etis.
Secara hukum negara, perceraian bagi pemeluk agama Kristen tersebut, jika
gugatan perceraiannya sudah diputus oleh hakim adalah sah secara hukum negara,
namun perceraian secara hukum Gereja Bala Keselamatan yang tidak mengatur
bahkan menolak perceraian akan terjadi ketidakpastian.
Pada Kitab Matius 19:6, ”Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan
satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan oleh
manusia.” Pernikahan adalah rencana indah dan ketetapan dari Allah (Kejadian
2:18) dan perceraian dalam Kristen bukanlah rencana dan ketetatapan Tuhan.
maka tentunya harapan kepada para hakim, advokat dan pembuat/penyusun
peraturan perundang-undangan hendaknya memberikan dorongan dan
menguatkan pasangan suami-istri yang menghadapi konflik rumah-tangga yang
mengarah kepada perceraian untuk kembali ke arah perdamaian.
3
Taufiqurrohman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan Indonesia:Pro-kontra
Pembentukannya Hingga Putusan Mahkamah Konstitusi Edisi Pertama, (Jakarta: Kenacan, 2013),
72
6

Allah yang telah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya,


memberikan perintah supaya manusia melalui pernikahan dapat beranak cucu dan
bertambah banyak memenuhi bumi dan menaklukkannya (Kejadian 1:28).
Pernikahan Kristen di dalam kasih Kristus sang Juru Selamat Penebus dosa
manusia adalah satu kesatuan dan pengikatan kasih yang kudus dan berlangsung
terus sampai maut memisahkan.
Bagi Gereja Bala Keselamatan-Gereja Bala Keselamatan yang tidak
mengatur dan tidak mengakui adanya perceraian tersebut, maka akan timbul
ketidakpastian secara hukum Gereja Bala Keselamatan mengenai status pasangan
yang telah bercerai, di Buku Induk Gereja Bala Keselamatan mereka tetap tercatat
sebagai suami-isteri, karena tidak ada catatan buku perceraian, sehingga akan
timbul kesulitan jika pasangan tersebut akan menikah kembali, bagaimana Gereja
Bala Keselamatan akan memberkati pernikahan yang kedua kali, jika perceraian
mereka tidak diakui dan tidak dicatat. Perbedaan prinsip antara hukum nasional
dan hukum Gereja Bala Keselamatan tersebut, maka Penulis menggunakan teori
yang mengacu pada teori kepastian hukum, yaitu dimana hukum terlaksana sesuai
dengan substansi hukum yang telah disepakati oleh masyarakat dimana hukum
tersebut berlaku.
Berdasarkan teori kepastian hukum, maka perceraian bagi pernikahan
Kristen di Indonesia adalah sah, asalkan perkawinannya memenuhi syarat
perkawinan dan perceraiannya memenuhi syarat perceraian yang diatur dalam
hukum Nasional yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dan berdasarkan Kitab Roma 13:1-7 dikatakan: ³Tiap-tiap orang harus takluk
kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang tidak
berasal dari Allah; dan pemerintahpemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah
Sebab itu barangsiapa melawan pemerintah, ia melawan ketetapan Allah dan siapa
yang melakukannya, akan mendatangkan hukuman atas dirinya.Sebab jika
seorang berbuat baik, ia tidak usah takut kepada pemerintah, hanya jika ia berbuat
jahat.
Gereja Bala Keselamatan Kristen Protestan akan tetap menghormati
keputusan Pengadilan Negeri, dalam hal ini Gereja Bala Keselamatan memiliki
7

keyakinan dimana Gereja Bala Keselamatan juga tunduk oleh peraturan


pemerintah, sebab pemerintah juga adalah wakil dari Allah, tunduk kepada
pemerintah juga terdapat dalam kitab Roma 13: 1-2, dalam agama Kristen
Protestan, perceraian suatu hal yang dilarang dan tidak dikehendaki Allah, tetapi
dasar dari mengajukan perceraian dikarenakan kehidupan semakin memburuk,
dimana mantan suaminya tidak pernah mengurusi keluarganya. Gereja Bala
Keselamatan tetap mau menerima dia dan mengakui adanya putus hubungan
perkawinan dengan mantan suaminya, bahwa Gereja Bala Keselamatan
memahami bahwa perceraian memang dapat terjadi, tetapi Gereja Bala
Keselamatan tidak pernah menganjurkan perceraian dikarenakan perceraian
adalah suatu larangan dan tindakan dosa.
Beberapa Gereja Bala Keselamatan Kristen Protestan dan Pendeta sudah
mulai terbuka dimana dapat menerima keputusan pengadilan dalam hal
perceraian, dengan melihat kondisi kondisi realita yang dialami oleh para pihak
yang bercerai dan dalam menanggapi putusan pengadilan tentang perceraian sebab
beberapa Gereja Kristen Protestan tersebut sudah dapat memahami bahwa
perceraian dapat terjadi, dan mengakui keabsahan perceraian yang telah mendapat
putusan dari pengadilan, tetapi dalam hal ini Gereja tetap memiliki prinsip tidak
pernah menganjurkan perceraian, sehingga ketika Perceraian tetap dianggap suatu
dosa Gereja dalam memahami perceraian dikarenakan Gereja memiliki harapan
untuk kehidupan yang lebih baik dari pihak yang melakukan perceraian
Konsekuensi dari Gereja memahami serta menghormati putusan pengadilan
mengenai perceraian adalah Gereja mengakui keabsahan adanya putus hubungan
ikatan perkawinan, sehingga para pihak tersebut dapat menikah kembali.
Norma hukum dan norma agama yang ada di Indonesia ada dan tercipta
untuk mengatur kehidupan bernegara dan bermasyarakat supaya berjalan dengan
baik dan seimbang, terdapat pedoman-pedoman dan sanksi-sanksi yang berlaku
untuk mengatur kehidupan masyarakat. Apa yang tidak diatur pada norma yang
satu, bisa dilengkapi oleh norma yang lain. Norma hukum dapat melengkapi
norma agama, dalam hal perceraian, hukum negara dalam Undang±undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, diatur dalam BAB VIII: Putusnya
8

perkawinan serta akibatnya dari pasal 38 sampai 41 dan dalam Peraturan


Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 diatur dalam BAB V Tata Perceraian pasal 14 sampai 36, sedangkan
alasan±alasan perceraian dalam Undang± undang Nomor 1 Tahun 1974 diatur
dalam pasal 19.
Pada prinsipnya, tidak menutup kemungkinan Gereja melakukan
kesalahan, sama seperti akan selalu ada kemungkinan kesalahan untuk menolak
perceraian, maupun untuk tidak melakukan pemberkatan dan peneguhan bagi
pernikahan kembali. Namun, jika pun Gereja melakukan kesalahan, maka ia
seharusnya melakukan kesalahan karena berada di pihak anugerah, bukan di pihak
penghakiman4.

KESIMPULAN

Putusnya perkawinan karena perceraian berdasarkan hukum Gereja Bala


Keselamatan bagi perkawinan Kristen di Indonesia adalah sah, meskipun pada
prinsipnya ajaran Kristen Protestan melarang perceraian dan masih ada beberapa
Gereja Bala Keselamatan yang masih belum mengatur mengenai perceraian, tetapi
beberapa Gereja Bala Keselamatan sudah mengatur mengenai perceraian di dalam
tata Gereja Bala Keselamatannya dengan beberapa pertimbangan, antara lain :
Dalam Alkitab terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa umat Kristen harus
tunduk pada pemerintah, Pengecualian larangan perceraian dari Rasul Paulus, bagi
perceraian pasangan yang berbeda iman/keyakinan, dan apabila syarat sahnya
perceraian menurut hukum nasional terpenuhi dan dengan memperhatikan teori
kepastian hukum dan teori Keadilan.

4
Craig S. Keener And Marries Another, Divorce and Remarriage in the Teaching of the New
Testament (Peabody, MA: Hendrickson, 1991), hlm.66.
9

DAFTAR PUSTAKA

Alkitab
J. L. Ch. Abineno. (1994). Garis-Garis Besar Hukum Gereja. Jakarta: BPK.
Gunung Mulia.
Craig S. Keener And Marries Another, Divorce and Remarriage in the Teaching
of the New Testament (Peabody, MA: Hendrickson, 1991)
Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Mat, Cet. 12, (Jakarta: Pradnya Paramita,
1989), 55.
Taufiqurrohman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan Indonesia:Pro-kontra
Pembentukannya Hingga Putusan Mahkamah Konstitusi Edisi Pertama,
(Jakarta: Kenacan, 2013), 72
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Cet.8, (Bandung:
Sumur, 1984)
KPT Bala Keselamatan. (2002-2016). Kebijakan dan Prosedur Bala Keselamatan
Teritory Indonesia. Bandung.
10

Anda mungkin juga menyukai