Anda di halaman 1dari 21

HUKUM

PERKAWINAN

DiSusun Oleh
Maulana Fahrul Hidayat ( 202010115062 )

UNIVERSITAS UBHARA JAYA JAKARTA RAYA


FAKULTAS HUKUM
2022

KATA PENGANTAR

1
Puji syukur khadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dan teman-teman sekalian dapat menyelesaikan tugas E-book ini yang
berjudul “ Hukum Perkawinan“ ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari tugas ini adalah untuk memenuhi tugas dari dosen
Otih Handayani, S.E.,S.H., M.H. pada bidang studi “ Hukum Perkawinan “ selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Hukum Perkawinan sebagai
bentuk kehidupan bersama manusia bagi pembaca dan juga bagi penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Ibu Otih Handayani, S.E.,S.H., M.H selaku
dosen “ Hukum Perkawinan “ yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan Tugas E-book ini. Saya
menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karna itu, kritik
dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan tugas E-book ini.

Bekasi, 28 Maret 2022

Penyusun

2
DAFTAR ISI

1. Pengertian, Landasan Hukum, dan asas Perkawinan..........................4

2. Syarat-Syarat Perkawinan .....................................................................................6

3. Pencegahan dan larangan Perkawinan...................................................................7

4. Pembatalan Perkawinan.........................................................................................9

5. Perjanjian perkawinan.........................................................................................10

6. Hak dan kewajiban suami dan istri......................................................................11

7. Harta benda dalam perkawinan...........................................................................12

8. Putusnya perkawinan...........................................................................................13

9. Kedudukan anak..................................................................................................14

10. Perwalian ............................................................................................................15

11. Pernikahan beda agama.......................................................................................17

12. Kekerasan dalam rumah tangga...........................................................................18

3
HUKUM PERKAWINAN DAN KEKELUARGAAN
A. Pengertian, Landasan Hukum, dan asas Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
Istilah kawin sebenarnya berasal dari bahasa arab, disebut dengan katah nikah.
Al-nikah yang berarti al- wathi dan al-dammu wa al-tadakhul. Ada kalanya juga di
sebut dengan al-dammu wa al-jam’mu atau ibarat ‘an al-wath wa al-aqd yang
bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad, secara etimologis kawin atau nikah dalam
bahasa arab di sebut juga “ziwaaj” sehingga perkataan nikah mempunyai dua
pengertian yakni dalam arti sebenarnya atau hakikatnya dan dalam arti kiasan, dalam
pengertian sebenarnya nikah di sebut degan dhm yang berarti menghimpit, menindih
atau berkumpul sedangkan dalam pengertian kiasannya disebut dengan istilah
“wathaa” yang berarti setubuh,
Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa perkawinan adalah hidup bersama
diri seseorang laki-laki dengan seseorang perempuan yang memenuhi syarat tertentu,
dan jika dicermati lebih jauh lagi pada dasarnya perkawinan merupakan sebuah
perjanjian yang mengikat lahir dan batin dengan dasar keimanan, sedangkan menurut
R. Subekti mengatakan bahwa perkawinan adalah pertalian yang sah antara seseorang
laki laki dan seseorang perempuan untuk waktu yang lama,
Perjanjian perkawinan juga merupakan perjanjian yang di atur dalam buku II
KUHPerdata, Perkawinan merupakan perjanjian yang memiliki tujuan untuk
mewujudkan kebahagiaan di antara kedua belah pihak pasangan suami dan istri, dan
tidak di batasi oleh jangka waktu tertentu, idris Ramulyo juga mengatakan bahwa
bukan perkawinan jika ikatan lahir dan batin tersebut tidak bahagia atau
perkawinannya tidak kekal dalam arti tidak berlangsung lama dan tidak berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa, maka dari itu perkawinan mempunyai hubungan erat
dengan agama dan kepercayaan sehingga perkawinan tidak hanya mempunyai unsur
jasmani saja melainkan unsur batin dan rohani.
Perkawinan yang terjadi antara seseorang laki-laki dan seseorang perempuan
akan menimbulkan hukum bagi
 Suami dan istri
 Orang tua dan anak-anak mereka
 Dengan harta kekayaan
Hal ini lah yang dinamakan hukum keluarga yang tidak terlepas dari persolan
perkawinan setelah terjadinya perkawinan maka terbentuklah hubungan hukum antara
suami dan istri, termasuk pula hubungan yang terkait dengan harta dalam perkawinan,
selanjutnya jika di dalam perkawinan tersebut melahirkan anak maka terbentuklah
hubungan antara orang tua dan anak-anaknya, maka dari itu hukum keluarga
merupakan hukum yang mengatur hubungan antara suami dan istri, hubungan antara
orang tua dan anak, serta hubungan yang terkait dengan harta benda yang di ciptakan
setelah terjadinya perkawinan,
2. Landasan Hukum

4
Peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur hukum
Perkawinan di Indonesia termaktub dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang
perkawinan, peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 (PP No. 9 Tahun 1975) tentang
pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974 dan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang
kompilasi hukum islam (KHI) yang terdiri dari buku I tentang perkawinan, Buku II
tentang kewarisan, dan Buku III tentang Hukum Perwakafan, secara garis besarnya
bahwa UU Perkawinan mengatur tentang
 Dasar perkawinan
 Syarat-syarat perkawinan
 Pencegahan perkawinan
 Batalnya perkawinan
 Perjanjian perkawianan
 Hak dan kewajiban suami dan istri
 Harta benda dalam perkawinan
 Putusanya perkawinan seta akibatnya
 Kedudukan anak
 Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak
 Perwalian
 Pembuktian asal usul anak
 Perkawinan di luar Indonesia dan perkawinan campuran
3. Asas-asas dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Perkawinan menurut UU peerkawinan pada dasarnya di dasarkan pada unsur agama
yang sebagai mana dalam pasal 1 di maksud :
“ perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang peria dan wanita
sebagi suami dan istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa”
Sehingga dapat di simpulkan bahwa dalam UU perkawinan terdapat Asas-asas
sebagai berikut :
 Ikatan lahir dan batin
Ikatan batin adalah ikatan yang dapat di lihat dengan menggunkapkan
adanya hubungan antara seorang pria dan seorang perempuan selayaknya
suami dan istri dan hidup bersama dan hal tersebut adalah hal formal.
Sedangkan ikatan batin merupakan hubungan yang tidak formal dan tak
nampak hanya bisa dirasakan oleh pihak-pihak yang bersangkutan, dan
hal ini merupakan dasar ikatan lahir, ikatan lahir dan batin dijadikan
fondasi dasar dalam membentuk dan membina rumah tangga yang bahagia
sehingga ikatan suami dan istri suci sebagaimana di ajakan oleh agama.

 Asas Monogami
Seseorang pria hanya terikat dengan seseorang perempuan, demikian
sebaliknya dalam perkawinannya
 Aasas Tujuan Perkawinan

5
Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
sebagaimana di maksud dalam undang-undang
 suatu perkawinan diangga sah bilamana dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya
 prinsip calon mempelai pria harus sudah masak jiwa dan raganya untuk
dapat melangsungkan perkawinan
 undang-undang menganut prinsip mempersulit terjadinya perceraian
 hak dan kedudukan istri adalah seimbang, dengan hak dan kedudukan
suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan
masyarakat.

B. Syarat-Syarat Perkawinan

Syarat nikah menjadi salah satu proses yang harus di lalui oleh para calon
pengantin sebelum melangsungkan perkawinan secara resmi atau legal, di Indonesia
ada beberapa syarat nikah yang harus di lengkapi oleh para calon mempelai baik
perempuan atau pun laki-laki, syarat nikah pada dasarnya cukup banyak sehingga ada
baiknya di persiapkan dari jauh-jauh hari agar lebih memudahkan persiapan dan tidak
megganggu persiapan pernikahan lainya,
Perlu di pahami bahwa proses melengkapi syarat pernikahan dapat berbeda
tergantung dengan agama yang di anut oleh para calon, status kenegaraan, rumah
ibadah atau lokasi pernikahan dilaksanakan dan ketentuan dari kantor kelurahan di
manna di langsungkan pernikahan, berikut syarat-syarat pernikahan sebagai berikut :

 Surat keterangan untuk nikah ( model N1) surat keterangan asal usul
(model N2)
 Surat persetujuan mempelai (model N3) surat keterangan tentang orang tua
(model N4)
 Surat pemberitahuan hendak menikah (model N7) apabila calon pengantin
berhalangan, pemberitahuan nikah dapat dilakukan oleh wali atu di
wakilkan
 Bukti imunisasi TT1, calon pengantin perempan kartu imunisasi dan
imunisasi TT2 dari puskesmas setempat
 Membayar biaya pencatatan nikah sebesar Rp. 30.000
 Surat izin pengadilan apabila tidak ada izin dari orang tua
 Pas Foto ukuran 3x2 sebanyak 3 lembar
 Dispensasi dari pengadilan bagi calon suami yang belum berumur 19 tahun
dan bagi calon istri yang belum berumur 16 tahun
 Bagi anggota TNI/POLRI membawa surat izin dari atasan masing-masing
 Surat izin pengadilan bagi suami yang hendak beristr dari seorang
 Akta cerai atau kutipan buku pendaftaran talak/baku pendaftaran cerai bagi
mereka yang perceraiannya terjadi sebelum berlakunya undang-undang
No. 7 Tahun 1989

6
 Surat keterangan kematian suami/istri yang di tanda tangani oleh kepala
desa/lurah atau pejabat berwenang yang menjadi dasar pengisian model
N6 bagi janda/duda yang akan menikah

Jika perkawinan yang di lakukan berada di luar wilayah Indonesia maka sah-sah saja
bilamana perkawinan yang di langungkan atau seseorang warganegara Indonesia
dengan warga negara asing dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana
perkawinan itu di langsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak melangar
ketentuan undang-undang, namun dalam waktu 1 tahun lamanya setelah suami istri itu
menikah dan kembali wilayah Indonesia wajib mendaftarkan pernikahan itu di
pencatatan sipil, maka dalam hal ini perkawinan ini disebut dengan perkawinan
campuran yang di atur dalam pasal 57-62 undang-undang perkawinan,
Perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang di Indonesia yang tunduk
pada hukum yang berlainan, karena perbedaan warganegara Indonesia, adapun
mengenai dengan akibat perkawinan campuran ini seseorang dapat memperoleh
kewarganegaraan dari suami/istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraan
menurut cara-cara yang di tentukan oleh undang-undang kewarganegaraan Indonesia
yang berlaku.

C. Pencegahan dan larangan Perkawinan


Dalam kompilasi hukum Islam (KHI) pencegahan perkawinan di atur dalam
bab X pasal 60 sampai dengan 69, di dalam kitab-kitab fikih di jelaskan bahwa
pencegahan di sebut i’tiradlun, artinya intervensi, penolakan atau pencegahan,
sedangkan menurut Dinda raihan dan dkk, pencegahan adalah suatu usaha yang di
lakukan atau di gunakan untuk mencegah atau menghindari terjadinya perkawinan
yang bertentangan dengan ketentuan undang-undang, adapun berkaitan dengan
tujuan adalah untuk menghindari suatu perkawinan yang di larang dalam hukum
Islam dan Peraturan perundang-undangan sebagaimana di maksud pasal 60 KHI
 Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari perkawinan yang di
larang hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan
 Pencegahan perkawinan dapat di lakukan bilamana calon istri yang akan
melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat melangsungkan
perkawinan menurut HUKUM Islam dan Undang-undang (pasal 13 UU
No. 1 tahun 1974

Ada dua syarat utama apabila tidak dipenuhi suatu perkawinan dapat di cegah
yakni adalah syarat materil yang berkaitan dengan pencacatan perkawinan akta nikah
dan yang berkaitan dengan larangan perkawinan baik larangan perkawinan selama-
lamanya ataupun larangan perkawinan sementara waktu ( Pasal 5 jo. pasal 2 ayat 2

7
UU No. 1 tahun 1974, Jo. pasal 2 PP No.9/75 jo pasal 2 PMA No.20/90), Yang kedua
adalah syarat administratif, yakni yang melekat pada setiap rukun perkawinan atau
persyaratan yang di tentukan oleh hukum agama contohnya adanya mempelai laki-
laki dan perempuan, akad, ijab dan qobul, adanya saksi dan wali.
Adapun dalam hal siapa saja yang berhak mengajukan pencegahan
perkawinan, dapat di lihat dalam pasal 62 KHI yakni adalah
 Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga garis turunan lurus
ke atas dan ke bawah ( saudara, wali nikah, wali pengampu, dan pihak-
pihak yang bersangkutan
 Ayah kandng yang tidak pernah melaksanakan fungsinya sebagai kepala
keluarga tidak gugur hak perwalianya untuk mencegah perkawinan untuk
mencegah yang akan di laksnakan oleh wali nikah yang lainya
 Suami atau istri yang masih terikat dengan salah satu dari kedua belah
pihak yang akan melangsungkan perkawinan untuk mencegah perkawinan
yang baru
Selain itu Pegawai Pencatat Nikah juga mempunyai tugas untuk mengawasi
apakah terdapat larangan perkawinan antara calon mempelai atau tidak, jika terdapat
larangan menurut undang-undang maka petugas pencatat nikah akan menolak untuk
melangsungkan pernikahan dengan memberikan surat penolakan dan memberikan
alasan-alasan penolakannya, namun atas penolakan tersebut pihak yang akan
melangsungkan pernikahan dapat mengajukan keberatan melalui pengadilan agama
yang mewilayahi tempat tinggalnya, pengadilan akan memeriksa secara singkat
(sumir) dan mengeluarkan putusan yang berisi penguatan penolakan atau
memerintahkan melangsungkan pernikahan
Adapun perihal perkawinan yang di larang antara dua orang dikarenakan
hubungan darah menurut undang-undang :
 Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas
 Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara
saudara, antara seseorang dengan saudara orang tua dan antara seseorang
dengan saudara neneknya
 Berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri:
 Berhubungan susuan yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan
dan bibi/paman susuan
 Berhubungan darah dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari
istri, dalam hal seseorang suami beristri lebih dari seorang
 Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peratura lainya yang
berlaku dilarang kawin

D. Pembatalan Perkawinan

8
Arti pembatalan perkawinan adalah merupakan suatu tindakan pengadilan
yang berupa putusan yang menyatakan perkawinan yang di lakukan itu dinyatakan
tidak sah (No. legal foce ordeclared void), sehingga perkawinan tersebut dianggap
tidak pernah ada, sehingga dapat di simpulkan bahwa :
 Perkawinan di anggap tidak sah
 Dengan sendirinya dianggap tidak pernah ada
 Laki-laki dan perempuan yang di batalkan perkawinannya tersebut
dianggap tidak pernah kawin
Dengan demikian pembatalan perkawinan berbeda dengan pencegahan perkawinan
dan perceraian, pencegahan perkawinan merupakan tindakan agar perkawinan tidak
terlaksana, sedangkan perceraian merupakan pembubaran perkawinan yang sah dan
telah ada, baik atas persetujuan bersama atau atas permintaan salah satu pihak, maka
dalam pembatalan perkawinan, perkawinan tersebut mengandung cacat formil dan
materil sehingga perkawinan itu dapat di batalkan
Syarat materil :
 Monogami, bahwa seseorang laki-laki hanya dapat kawin dengan
seseorang perempuan saja, dan seseorang perempuan hanya dapat kawin
dengan seorang laki-laki (pasal 27 KUH Perdata)namun di dalam KHI
seseorang yang beragama Islam seseorang laki-laki di bolehkan untuk
berpoligami namun harus ada persetujuan izin dari pihak istri atau
pengadilan dan harus dapat menjelaskan alasan-alasannya
 Persetujuan dari calon suami dan istri
 Orang yang hendak kawin harus memenuhi batas umur minimal
 Masa tunggu 300 hari bagi janda yang hendak melangsungkan perkawinan
 Izin dari orang tua atau wali
Syarat Formil, adalah syarat yang berkaitan dengan ketentuan-ketentuan formalitas
atau prosedure yang bersifat administratif, dalam hal ini dapat di bedakan antara hal-
hal yang harus dipenuhi sebelum di langsungkan perkawinan, dan hal-hal yang harus
di penuhi pada saat proses perkawinan berlangsung
Hal-hal harus di penuhi sebelum perkawinan ;
 Pemberitahuan tentang maksud perkawinan (pasal 50 -51) yakni calon
pengantin memberitahukan maksudnya kepada pegawai pencacatan sipil di
tempat tinggalnya untuk di buatkan akta untuk kawin
Sedangkan hal-hal yang harus di penuhi berbarengan pada saat proses perkawinan
berlangsung :
 Akta kelahiran
 Akta yang memuat izin untuk perkawinan, dari pihak-pihak yang
berwenang mengeluarkan izin tersebut

9
 Jika perkawinan tersebut untuk yang kedua kalinya maka harus
menunjukkan akta cerai atau akta kematian
 Bukti telah di lakukan pengumuman tentang maksud kawin dan tidak
adanya pencegahan perkawinan
 Dispensasi perkawinan jika di perlukan
Sehingga dapat di simpulkan bahwa syarat-syarat tersebut di atas baik syarat-syarat materil
maupun syarat-syarat formil harus di penuhi dalam rangkaina pristiwa perkawinan, karena
tidak terpenuhinya salah satau atau sebagian syarat-syarat tersebut mengakibatkan
perkawinan yang di langsungkan dapat dimintakan pembatalan kepada hakim pengadilan.

E. PERJANJIAN PERKAWINAN
Perjanjian perkawinan pada dasarnya di buat semata-mata hanya untuk menjaga
kepentingan masing-masing pihak, jika di lihat dalam pengertianya perjanjian perkawinan
adalah salah satu bentuk dari perjanjian yang di buat antara satu pihak dengan pihak lainya
sebelium mengadakan upacara pernikahan, hal ini di perbolehkan selama tidak bertentangan
dengan undang-undang dan hukum Islam, dasar hukum dari perjanjian perkawinan dapat di
lihat dalam KUH perdata pasal 119 yang menyebutkan bahwa “ perkawinan pada hakikatnya
menyebabkan percampuran dan persatuan harta pasangan yang melangsungkan pernikahan,
kecuali apabila pasangan menikah terseut membuat sebuah perjanjian perkawinan yang
mengatur mengenai pemisahan harta,
Dalam pasal 35 undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan bahwa dengan
pembuatan perjanjian perkawinan calon suami istri dapat menyimpang dari peraturan
perundang-undangan mengenai ketentuan harta benda bersama aslkan ketentuan tersebut
tidak bertentangan dengan asas kesusilaan atau tata tertib umum, adapun berkaitan dengan
manfaat dengan di buatnya perjanjian perkawinan adalah sebagai berikut :
 Memisahkan harta kekayaan antara pihak suami dengan istri sehingga
harta mereka tidak bercampur
 Hutang yang dimiliki suami atau istri menjadi tanggung jawab masing-
masing
 Apabila salah satu bermaksud menjual harta kekayaan maka tidak perlu
meminta persetujuan pasangganya
 Dalam hal suami atau istri akan mengajukan fasilitas kredit tidak perlu
meminta persetujuan pasangannya untuk menjaminkan harga kekayaanya
 Menjamin berlangsungnya harta peninggalan keluarga
 Melindungi kepentingan pihak istri apabila pihak suami melakukan
poligami
 Menghindari motivasi perkawinan yang tidak sehat
Sedangkan hal-hal yang di atur dalam perjanjian perkawinan
 Harta bawaan dalam perkawinan, bak dalam perjanjian perkawinan
maupun dari hibah ataupun warisan

10
 Semua hutang piutang yang di bawa oleh suami atau istri dalam
perkawinan mereka, sehingga akan tetap menjadi tanggung jawab masing-
masing
 Hak istri untuk mengurus harga pribadnya baik bergerak maupun yang
tidak bergerak dengan tugas menikmati hasil serta pendapatan dari
pekerjaan sendiri atau sumber lain
 Kewenangan istri dalam mengurus harta bendanya, agar tidak memerlukan
bantuan atau pengalihan kuasa dari suami
 Pencabutan wasiat, serta ketentuan lain yang dapat melindungi kekayaan
maupun kelanjytan bisnis masing-masing pihak (dalam hal salah satu atau
keduanya merupakan pendiri usah, pemimpin perusahaan atau pemilik
bisnis.
Perjanjian pernikahan boleh saja di lakukan setelah pernikahan berlangsung hal ini sesuai
dengan putusan mahkamah konstitusi No. 69/PUU-XII/2015, yang menyebutkan bahwa
“pada waktu, sebelum perkawinan dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan,
kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan
oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga
sepanjang [ihak ketiga tersangkut:,

F. HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI DAN ISTRI


Dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) hak dan kewajiban suami istri diatur dalam
bab XII pasal 77-84, dalam UU No. 1 Tahun1974 tentang perkawinan diatur dalam Pasal 30-
34, suami dan istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang
sakinah, mawadah dan marohmah yang menjadi sendi dasar dan susunan masyarakat, suami
istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka baik megenai
pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya, suami istri
wajib memelihara kehormatannya, jika suami istri melalaikan kewajibanya, maka masing-
masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan agama.
Dalam pasal 32 UU No. 1 Tahun 1974, suami adalah kepala keluarga dan istri ibu
rumah tangga hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami
dalam kehidupan rumah tangganya maupun pergaulan hidup dalam masyarakat, sehingga
masing-masing pihak berhak atas melakukan perbuatan hukum, (QS An-Nisa/4:32)
1. Kewajiban suami (pasal 80)
 Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetapi
mengenai hal-hal urusan rumah tangganya yang penting-penting
diputuskan bersama
 Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuanya
 Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada istrinya dan
memberikan kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan
bermanfaat bagi agama nusa, dan bangsa

11
 Suami dengan penghasilannya menangung nafkah kiswah dan tempat
kediaman bagi istri, dan biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya
pengobatan bagi istri dan anak serta biaya pendidikan anaknya
 Kewajiban suami terhadap istri seperti pada yang di atas mulai berlaku
sesudah ada taskim sempurna dari istrinya
 Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya
sebagaimana di sebutkan di atas
 Kewajiban suami gugur apaila istri Nusyuz
Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anaknya atau bekas istri yang
masih dalam talak atau idah wafat, tempat tinggal di sediakan untuk melindungi istri dan
anak-anaknya dari gangguan dari pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan nyaman,
tempat tinggal juga di gunakan sebagai tempat menyimpan harta kekayaan, dan sebagai
tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga, suami wajib melengkapi tempat
kediamanya sesuai dengan kemampuannya

2. Kewajiban istri (pasal 83-84)


Kewajiban utama seorang istri terhadap suaminya adalah berbakti lahir dan batin di dalam
yang di benarkan oleh hukum Islam, istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah
tangganya dengan sebaik-baiknya ( pasal 84)
 Istri dianggap nuyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban
sebagaimana dalam pasal 84 kecuali dengan alasan yang sah
 Selama istri nuyuz, kewajiban suami terhadap istri tersebut pada pasal 80
ayat 4 tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anak-anaknya
 Kewajiban suami tersebut pada ayat 2 akan berlaku kembali sesudah istri
tidak nuyuz
 Ketentuan tentang ada atau tidaknya nyuz dari istri harus di dasarkan atas
bukti yang sah
Adapun tindakan-tindakan istri yang dapat di kategorikan nuyuz antara lain adalah istri
membangkang terhadap suami, tidak mematuhi ajakan atu perintah suami, menolak
berhubungan suami istri tanpa alasan yang jelas dan sah, istri keluar rumah, meninggalkan
rumah tanpa seizin sua

G. HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN


Harta benda dalam perkawinan sudah di atur di dalam undang-undang No. 1 tahun
1974 tentang perkawinan yang secara eksplisit di bedakan menjadi dua yakni, harta bersama
dan harta bawaan, harta bersama adalah harta yang diperoleh selama masa perkawinan, baik
harta bergerak maupun harta tidak bergerak, harta bersama sering di sebut dengan Istilah
harta gono-gini, adapun mengenai kedudukan dari harta bersama yakni suami dan istri dapat
bertindak atau melakukan perbuatan atas persetujuan kedua belah pihak, namun dalam hal

12
terjadinya perceraian antara keduanya maka harta bersama di atur menurut hukumnya salah
satu contohnya hukum agama, hukum adat
Sedangkan harta bawaan adalah harta yang diperoleh masing-masing pihak baik
suami ataupun istri sebelum terjadinya perkawinan dimana harta tersebut dapat berasal dari
hibah/hadiah atau warisaan yang di bawa dalam ikatan perkawinan, mengenai kedudukanya
harta bawaan masing-masing pihak suami ataupun istri berhak sepenuhnya untuk melakukan
perbuatan hukum tanpa adanya persetujuan kedua belah pihak sepanjang tidak ada
kesepakatan lain antara keduanya.
H. PUTUSNYA PERKAWINAN
Putusnya perkawinan diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam bab XVI
pasal 113-162, sedangkan dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
diatur dalam pasal 38-41 yang menjelaskan bahwa perkawinan dapat putus karena
 Kematian
 Perceraian
 Putusnya pengadilan
Putusnya perkawinan akibat perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
pengadilan agama setelah diajukannya gugatan perceraian, adapun mengenai alasan-alasan
terjadinya perceraian seperti di dalam pasal 116 yakni adalah
 Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi
 Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut
tanpa alasan yang jelas
 Salah satu pihak mendapatkan penjara lebih dari 5 tahun atau hukuman
yang lebih berat lagi
 Salah satu pihak melakukan penganiyayaan atau kekejaman yang
membahayakan pihak lain
 Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri
 Antara suami dan istri terus terjadi perselisian dan pertrngkaran dan tidak
ada harapan akan hidup rukun
 Suami melanggar taklik talak
 Salah satu pihak pindah keyakinan
Istilah dalam putusnya perceraian, talak adalah ikrar suami di hadapan sidang pengadilan
agama yang menjadi salah satu sebab utusnya perkawinan, adapun macam-macam talak
yakni:
 Talak raj’ji adalah talak kesatu atau kedua dimana suami berhak rujuk
dalam masa idah (pasal 118)
 Talak ba’in sughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad
nkah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam idah

13
Perceraian mempunyai akibat hukum yakni akibat pokoknya adalah bahwa suami dan istri
kemudian hidup sendiri-sendiri secara terpisah
Janda atau bekas istri tidak dapat langsung kawin dengan peria lain kecuali bekas
suaminya sebelum masa tunggu selama 3 bulan suci (iddah) yakni sekurang-kurangnya 90
hari setelah bercerai, namun apabila janda itu sedang hamil maka waktu tunggu itu di
tetapkan sampai ia melahirkan,
Sedangkan duda atau bekas suami tidak memiliki masa waktu tunggu, jadi bekas
suami dapat langsung melagsungkan perkawinan dengan perempuan lainya

I. KEDUDUKAN ANAK
Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pada dasarnya tidak mengatur
secara mendetail berkaitan dengan kedudukan anak, pengaturan dalam undang-undang yang
berkaitan dengan kedudukan anak hanya terdiri dari 3 pasal yakni pasal 42-43 dalam hal ini
kedudukan anak di bagi menjadi dua yakni :
 Anak yang sah adalah anak yang di lahirkan dalam suau akibat dari
perkawinan yang sah
 Anak yang di lahirkan diluar perkawinan dalam pasal 43 ayat 1
menentukan bahwa anak yang di lahirkan di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya
Dalam pasal 44 undang-undang perkawinan memberikan hak kepada suami untuk
menyangkal sah anak yang di lahirkan oleh istrinya apabila si suami dapat membuktikan
bahwa istrinya melakukan pezinahan dan anak tersebut merupakan akibat dari perzinahan it,
atas penangkalanya itu pengadilan akan memberikan putusan mengenai sah atau tidaknya
anak tersebut,
Dalam hal berkaitan dengan anak orang tua memiliki kekuasaan menjalankan dan
memenuhi kewajibanya terhadap anak, yakni kewajiban untuk memelihara dan mendidik
anak-anaknya sebaik mungkin, kekuasaan ini di berikan hanya untuk kepentingan si anak,
orang tua juga di berikan hak untuk menghukum dan mengoreksi terhadap anak-anaknya jika
anak mereka berkelakuan tidak baik, hukuman yang di berikan kepada anak dapat berupa
hukuman fisik namun bukan bersifat penganiayaan, maka dari itu anak harus tunduk dan
patuh terhadap orang tuanya dan anak-anak harus berdisiplin
Selain itu orang tua juga memiliki hak untuk membatasi kebebasan anaknya kapan
waktunya bermain dan kapan waktunya belajar, kekuasaan orang tua lahir ketika sejak anak
lahir dari perkawinan yang sah dan anak tersebut tumbuh dewasa, berakhirnya kekuasaan
orang tua kepada anaknya dapat berakhir bila mana di cabut atau di bebaskan oleh hakim,
perkawinan orang tuanya putus atau bercerai dan matinya seorang anak maka kekuasan orang
tua berakhir

14
J. PERWALIAN
Perwalian berasal dari kata wali yang mempunyai arti orang tua lain selaku pengganti
orang tua yang menurut hukum di wajibkan untuk mengawasi dan mewakili si anak yang
belum dewasa atau belum berumur 18 tahun, sehingga perwalian dapat di artikan sebagai
orang tua pengganti terhadap anak yang belum cakap dalam melakukan perbuatan hukum.
Adapun perwalian menurut pasal 50 ayat 1 dan 2 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang
perkawinan menyebutkan bahwa (1) “anak yang belum mencapai 18 tahun belum pernah
melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tuanya, dan di
bawah kekuasaan wali. (2) perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun
harta bendanya
Pada dasarnya di dalam perwalian itu hanya ada seorang wali saja, kecuali apabila
wali-ibu melakukan atau melangsungkan perkawinan lagi, dalam hal mana suaminya menjadi
wali jika salah satu dari orang tua tersebut meninggal, maka menurut undang-undang orang
tua yang lain dengan sendirinya menjadi wali bagi anak-anaknya (Pasal 331, 351 dan 361
KUHperdata)
Dalam hal macam-macam perwalian menurut KHU perdata ada 3 macam perwalian
yakni adalah:
 Perwalian oleh suami atau istri yang hidup lebih lama Pasal 345-354 KUH
perdata menyatakan bahwa “ apabila salah satu dari kedua orang tua
meninggal dunia maka perwalian terhadap anak-anak kawin yang belum
dewasa demi hukum di pangku oleh orang tua yang hidup terlama, sekedar
ini tidak boleh di bebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tuanya”
namun dalam pasal ini tidak dibuat pengecualian bagi suami-istri yang
hidup pisah karena perceraian, jadi bila si ayah menjadi wali maka dengan
meninggalnya si ayah maka si-ibu dengan sendirinya menjadi wali atas
anak-anak tersebut
 Perwalian yang di tunjuk oleh bapak/ibu dengan surat wasiat atau akta
(pasal 355 ayat 1 )
 Perwalian yang di angkat oleh hakim pengadilan (pasal 359)
Dalam hal pengangkatan perwalian di atur dalam pasal 51 ayat 1 UU Perkawinan
yakni “ wali dapat ditunjuk oleh suatu orang tua yang menjalankan suatu kekuasaan orang tua
sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan dua orang saksi,
maka dalam hal ini penunjukan wali terdapat 3 macam yakni : melalui lisah di hadapan kedua
orang saksi, secara wasiat, dengan cara tertulis melalui penetapan hakim dalam hal
pencabutan
Penunjukan wali mempunyai tujuan untuk melindungi hak dan memenuhi kebutuhan
dasar anak serta mengelola harta anak agar dapat menjamin tumbuh kembangnya, dalam
penunjukan wali di utamakan dari kalangan keluarga anak tersebut, namun bilamana tidak

15
terdapat keluarganya maka dapat di tunjuk orang lain untuk menjadi wali atau badan hukum,
dalam hal ini adal persyaratan wali yang harus di penuhi antara lain :
 Warga negara Indonesia
 Berumur paling rendah 21 tahun
 Sehat fisik dan mental
 Berkelakuan baik
 Mampu secara ekonomi
 Beragama yang sama dengan si anak
 Mendapat persetujuan tertulis dari suami atau istri bagi yang sudah
menikah
 Bersedia menjadi wali
 Membuat surat pernyataaan tertulis berkelakuan baik dan tidak melakukan
kekerasan
Adapun berkaitan dengan berakhirnya perwalian di atur dalam pasal 16 PP No. 29
Tahun 2019 tentang syarat dan tata cara penunjukan wali :
 Anak telah berumur 18 tahun
 Anak meninggal dunia
 Wali meninggal dunia
 Wali yang badan hukum bubar atau pailit
Selain itu berakhirnya perwalian dapat juga karena kekuasaan wali di cabut berdasarkan
penetapan pengadilan
 Melalaikan kewajiban sebagai wali
 Tidak cakap melakukan perbuatan hukum
 Menyalah gunakan kewenangan wali
 Melakukan tindakan kekerasan terhadap anak
 Orang tua diangap tidak mampu melaksanakan kewajiban
Kewajiban wali terhadap anaknya
 Melakukan kuasa asuh orang tua
 Melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab sepert, mengasuh,
memelihara, mendidik dan melindungi anak
 Membimbing anak dalam pemahaman dan pengalaman hidup beragama
dengan baik
 Mengelola harta milik anak untuk keperluan akan dan mewakili anak
dalam melakukan perbuatan hukum.

K. PERKAWINAN BEDA AGAMA


Dalam agama Islam Perkawinan merupakan sunnatullah yang berlaku secara umum
dan perilaku makhluk ciptaan Tuhan, agar dengan perkawinan kehidupan di dunia ini bisa
berkembang, namun berkaitan dengan perkawinan dimana ada fenomena perkawinan beda

16
agama, dalam pengertiannya perkawinan beda agama adalah pernikahan antara pemeluk
agama yang berbeda, nemun tetap memeluk agama masing-masing,
Pada dasarnya perkawinan sudah di atur dalam peraturan perundang-undangan yakni
pasal 1 ayat 1 tahun 1974 yang menyatakan bahwa :
a. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing dan
kepercayaan itu.
b. Perkawinan wajib di catatkan menurut undang-undang yang berlaku
Sedangkan dalam kompilasi hukum Islam (KHI) menyatakan bahwa
a. Dalam pasal 2 menyatakan bahwa : “perkawinan adalah akad yang sangat kuat atau
Mistssaqan ghalidzan untuk menaati perintah ALLAH dan melaksanakannya
merupakan ibadah.
b. Dalam pasal 3 menyatakan bahwa : perkawinan mewujudkan kehidupan rumah
tangga yang sakinnah mawadah, warohmah
c. Pasal 4 menyatakan bahwa : perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum islam
seduai pasal 2 yat 1 UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan
d. Pasal 40 huruf c KHI menyatakan bahwa : 1) dilarang melangsungkan perkawinan
antara seorang peria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu, karena wanita
yang bersangkutan masih terikat perkawinan dengan peria lain, 2) seorang wanita
yang masih berada dalam masa iddah dengan pera lain, 3) Seorang wanita yang tidak
beragama Islam
e. Dalam pasal 44 menyatakan bahwa : seorang wanita Islam dilarang melangsungkan
perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam
Sehingga di dalam KHI dan berdasarkan Undang-undang perkawinan menyatakan bahwa,
setiap orang yang ingin melangsungkan pernikahan harus menganut agama yang sama, jika
terjadi perihal pernikahan beda agama maka perkawinan itu di anggap tidak ada atau tidak
sah.
Perkawinan beda agama menurut ulama Fiqih sepakat bahwa perkawinan seseorang
perempuan muslimah dengan pria non muslim baik ahli kitab atau musyrik hukumnya adalah
haram dan tidak sah, hal ini jika terjadi akan ada pelanggaran-pelanggaran etika aqidah
a. Mahzab Haanafi
Imam haanafi berpendapat bahwa perkawinan beda agama terdiri dari dua hal yakni : 1).
perkawinan antara pria muslim dengan wanita non muslim hukumnya haram, 2).
Perkawinan antara pria muslim dengan wanita ahli kitab (Yahudi/nasrani) hukumnya
mubah atau boleh, menurut mahzhab Haanafi yang di maksud dengan ahli kitab adalah
siapa saja yang mempercayai seorang nabi dan kitab yang pernah di turunkan Allah SWT,
namun keberadaan ahli kitab pada saat ini sudah tidak ada lagi hanya berlaku pada zaman
nabi
b. Mahzab maliki

17
Imam Maliki berpendapat bahwa perkawinan beda agama terdapat dua unsur yakni, 1)
menikah dengan kitabiyah hukumnya makruh, baik dzimmiyah ( wanita-wanita non
muslim yang berada di wilayah atau negeri yang tunduk pada hukum islam) maupun
harbiyah namun makruh menikahi wanita harbiyah lebih besar, akan tetapi jika
dikhawatirkan bahwa si istri yang kitabiyah iniakan mempengaruhi anak-anaknya dan
meninggalkan agama bapaknya maka hukumnya haram, 2) menikah dengan kitabiyah
hukumnya boleh karena ayat tersebut tidak melarang secara mutlak,
c. Mahzab Syafi’i
Imam Syafi’i berpendapat bahwa pernikahan beda agama adalah boleh yakni menikahi
wanita ahli-kitab, akan tetapi termasuk golongan wanita ahli kitabmenurut mahzab syafi’i
adalah wanita-wanita Yahudi dan nasrani atau keturunan bangsa Israel dan tidak termasuk
bangsa lainya sekalipun termasuk penganut Yahudi dan nasrani alasanya adalah
 Karena nabi musa dan nabi isa di utus untuk bangsa Israel dan bukan
bangsa lainya
 Pada surat Al-Maidah ayat 5 lafal “min qoblikum” menunjukkan kepada
dua kelompok golongan Yahudi dan nasrani

d. Mahzab hambali
Imim hambali berpendapat bahwa perkawinan beda agama hukumnya haram apabila
seorang peria muslim menikahi wanita musyrik, namun di bolehkan menikahi wanita
Yahudi dan Nasrani seperti halnya mahzab Syafi’i

L. KEKERASAN DALAM RUMAH TANGA


Pada dasarnya kekerasan dalam rumah tangga sudah di atur dalam undang-undang No. 23
tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam rumah tangga yang menyatakan bahwa
“setiap perbuatan seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, seksual psikologis dan atau penelantaran rumah tangga
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan
secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”
BENTUK-BENTUK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

1. KEKERASAN FISIK
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat

A. Kekerasan Fisik Berat, berupa penganiayaan berat seperti menendang; memukul,


menyundut; melakukan percobaan pembunuhan atau pembunuhan dan semua perbuatan lain
yang dapat mengakibatkan :
a. Cedera berat
b. Tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari
c. Pingsan
d. Luka berat pada tubuh korban dan atau luka yang sulit disembuhkan atau yang

18
menimbulkan bahaya mati
e. Kehilangan salah satu panca indera.
f. Mendapat cacat.
g. Menderita sakit lumpuh.
h. Terganggunya daya pikir selama 4 minggu lebih
i. Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan
j. Kematian korban.

B. Kekerasan Fisik Ringan, berupa menampar, menjambak, mendorong, dan perbuatan


lainnya yang mengakibatkan:
a. Cedera ringan
b. Rasa sakit dan luka fisik yang tidak masuk dalam kategori berat

C. Melakukan repitisi kekerasan fisik ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis kekerasan
berat.

2. KEKERASAN PSIKIS:
Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya
diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis
berat pada seseorang.

A. Kekerasan Psikis Berat, berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi,


kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan dan isolasi
sosial; tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina; penguntitan; kekerasan
dan atau ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis; yang masing-masingnya bisa
mengakibatkan penderitaan psikis berat berupa salah satu atau beberapa hal berikut:
a. Gangguan tidur atau gangguan makan atau ketergantungan obat atau disfungsi seksual
yang salah satu atau kesemuanya berat dan atau menahun.
b. Gangguan stress pasca trauma.
c. Gangguan fungsi tubuh berat (seperti tiba-tiba lumpuh atau buta tanpa indikasi medis)
d. Depresi berat atau destruksi diri
e. Gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak dengan realitas seperti skizofrenia dan atau
bentuk psikotik lainnya
f. Bunuh diri

B. Kekerasan Psikis Ringan, berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi,


kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan, dan
isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina; penguntitan;
ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis;yang masing-masingnya bisa mengakibatkan
penderitaan psikis ringan, berupa salah satu atau beberapa hal di bawah ini:
a. Ketakutan dan perasaan terteror
b. Rasa tidak berdaya, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak
c. Gangguan tidur atau gangguan makan atau disfungsi seksual
d. Gangguan fungsi tubuh ringan (misalnya, sakit kepala, gangguan pencernaan tanpa
indikasi medis)
e. Fobia atau depresi temporer

3. KEKERASAN SEKSUAL:
Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual,
pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan

19
hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

A. Kekerasan Seksual Berat, berupa:


a. Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ seksual, mencium
secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa muak/jijik, terteror,
terhina dan merasa dikendalikan.
b. Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat korban tidak
menghendaki.
c. Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan atau
menyakitkan.
d. Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran dan atau tujuan
tertentu.
e. Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi ketergantungan korban
yang seharusnya dilindungi.
f. Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat yang
menimbulkan sakit, luka,atau cedera.

B. Kekerasan Seksual Ringan, berupa pelecehan seksual secara verbal seperti komentar
verbal, gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan atau secara non verbal, seperti ekspresi
wajah, gerakan tubuh atau pun perbuatan lainnya yang meminta perhatian seksual yang tidak
dikehendaki korban bersifat melecehkan dan atau menghina korban.

C. Melakukan repitisi kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis kekerasan
seksual berat.

4. KEKERASAN EKONOMI:

A. Kekerasan Ekonomi Berat, yakni tindakan eksploitasi, manipulasi dan pengendalian lewat
sarana ekonomi berupa:
a. Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif termasuk pelacuran.
b. Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya.
c. Mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban, merampas dan atau
memanipulasi harta benda korban.

B. Kekerasan Ekonomi Ringan, berupa melakukan upaya-upaya sengaja yang menjadikan


korban tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan
dasarnya.

M. HARTA GONO DAN GINI


Di dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia, Gono-gini atau harta bersama
adalah harta yang diperoleh pasangan suami istri secara bersama sama selama masa dalam
ikatan perkawinan. gono-gini atau herta bersama diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang No.
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 119 KHUPerdata, dan Pasal 85 dan 86 Kompilasi
Hukum Islam (KHI). Pengaturan harta gonogini ini diakui secara hukum, termasuk dalam
pengurusan, penggunaan, dan pembagiannya. Ketentuan tentang harta gono-gini juga diatur
dalam hukum Islam meskipun hanya bersifat umum dan tidak diakuinya percampuran harta
kekayaan suami istri, namun ternyata setelah dicermati dan dianalisis yang tidak bisa

20
dicampur adalah harta bawaan dan harta perolehan. Hal ini sama dengan ketentuan yang
berlaku dalam hukum positif, bahwa kedua macam harta itu (harta bawaan dan harta peroleh)
harus terpisah dari harta gono-gini itu sendiri.
Dalam Pasal 37 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 96
dan Pasal 97 Kompilasi Hukum dinyatakan bahwa apabila perkawinan putus baik karena
perceraian maupun karena kamatian, maka masing-masing suami istri mendapatkan separoh
dari harta harta bersama yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Ketentuan tersebut,
sejalan dengan Yurisprodensi Mahkamah Agung RI No. 424.K/Sip.1959 bertanggal 9
Desember 1959 yang mengandung abstraksi hukum bahwa apabila terjadi perceraian, maka
masing-masing pihak (suami istri) mendapat setengah bagian dari harta bersama (gono-gini)
mereka. Apabila pasangan suami istri yang bercerai, kemudian masalah gono-gini atau harta
bersamanya dilakukan dengan cara musyawarah atau pedmaian, maka pembagiaannya bisa
ditentukan berdasarkan kesepakatan atau kerelaan di antara mereka berdua. Cara ini sah saja,
bahkan ini yang terbaik. Dengan demikian, pembagian harta gono-gini atau harta bersama
dapat ditempu melalui putusan pengadilan agama atau melalui musyawarah. Dalam
penyelesaian pembagian harta bersama melalui jalan musyawarah ini, boleh saja mereka
sepakat bahwa mantan suami mendapat sepertiga dari harta bersama, sedangkan mantan istri
mendapat dua pertiga. Atau sebaliknya, mantan istri mendapat sepertiga, sedangkan mantan
suami mendapat dua pertiga. Yang penting, prosentase bagian masing-masing itu, dihasilkan
atas dasar muyawarah mufakat dan perdamaian serta tidak ada unsur pemaksaan. Nabi
Muhammad SAW bersabda : “Perdamaian adalah boleh dilakukan di antara kaum Muslimin,
kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” (HR.
AlHakim, Abu Daud, Ibnu Hibban, dan At. Tirmidzi).

21

Anda mungkin juga menyukai