Anda di halaman 1dari 18

HUKUM PERKAWINAN ISLAM II

Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah : Hukum Perdata


Islam di Indonesia
Dosen Pengampu : M. Kholidul Adib, SHI, MSI

Disusun Oleh :
ASHABIL FIRDAUS
2002046030

PROGRAM STUDI ILMU FALAK


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Hukum
Perkawinan Islam II. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini
adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perdata
Islam di Indonesia. Selain itu makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi
penyusun.
Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak
Mohammad Kholidul Adib selaku dosen mata kuliah Hukum
Perdata Islam di Indonesia yang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai
dengan bidang studi yang kami tekuni. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari, bahwa makalah
yang kami susun ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami
nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Rabu, 01 September 2021

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang Masalah

Perkawinan merupakan salah satu hal penting dalam


kehidupan manusia, baik perseorangan maupun kelompok.
Melalui perkawinan yang dilakukan menurut aturan hukum
yang mengatur mengenai perkawinan ataupun menurut hukum
agama masing-masing sehingga suatu perkawinan dapat
dikatakan sah, maka pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi
secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai mahluk
yang berkehormatan. Dengan terciptanya suatu perkawinan
yang sah antara laki-laki dan perempuan, diharapkan dapat
menciptakan pergaulan hidup rumah tangga yang damai,
tentram, dapat memenuhi hak dan kewajiban sebagai suami
istri serta mewujudkan rasa kasih sayang diantara suami istri.
Suatu kehidupan rumah tangga yang tercipta dari adanya
perkawinan akan terasa menjadi lebih sempurna dengan
hadirnya buah hati atau anak keturunan dari hasil perkawinan
yang sah. pada dasarnya ketentuan-ketentuan mengenai
perkawinan yang terkandung dalam Undang-Undang
Perkawinan tersebut adalah mendasarkan pada ajaran-ajaran
agama. Sehingga sah atau tidaknya perkawinan, ditentukan
menurut hukum masing-masing agamanya.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Pencegahan perkwinan
1.2.2 Batalnya perkawinan
1.2.3 Hak dan kewajiban suami istri
1.2.4 Harta kekayaan dalam perkawinan
1.2.5 Pemeliharaan anak
1.2.6 Perwalian
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Mengetahui arti pencegahan
perkawinan
1.3.2 Mengetahui pengertian dan hal-hal
yang membatalkan perkawinan
1.3.3 Mengetahui pengertian dan sebab
timbulnya hak dan kewajiban suami
istri
1.3.4 Mengetahui pembagian harta
kekayaan dalam perkawinan
1.3.5 Mengetahui pengertian, rukun, dan
syarat pemeliharaan anak
1.3.6 Mengetahui definisi dari perwalian
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pencegahan Perkawinan

Pencegahan atau stuiting adalah suatu usaha yang


digunakan untuk menghindari terjadinya perkawinan yang
bertentangan dengan ketentuan undang-undang.1 Mengenai
pencegahan perkawinan diatur dalam Pasal 13 – Pasal 21 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU
Perkawinan).

Suatu perkawinan dapat dicegah apabila ada pihak yang


tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Ada dua syarat pencegahan perkawinan dapat dilaksanakan
Pertama, syarat materiil adalah syarat yang berkaitan dengan
pencatatan perkawinan, akta nikah, dan larangan perkawinan.
Kedua, syarat administratif adalah syarat perkawinan yang melekat
pada setiap rukun perkawinan, yang meliputi calon mempelai laki-
laki dan wanita, saksi, wali, dan pelaksanaan akad nikahnya.

2. Pembatalan Perkawinan

Pembatalan perkawinan, berarti menganggap perkawinan

1
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang
dan Keluarga (Personen en Familie-Recht), Surabaya: Airlangga
University Press, 1991, Hlm. 26.
yang telah dilakukan sebagai peristiwa yang tidak sah atau
dianggap tidak pernah ada. Menurut Undang-Undang Perkawinan,
pengaturan secara menyeluruh mengenai pembatalan perkawinan
terdapat dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 28.

Pengertian pembatalan perkawinan menurut Bakri


A.Rahman dan Ahmad Sukardja adalah Pembatalan perkawinan
ialah suatu perkawinan yang sudah terjadi dapat dibatalkan, apabila
pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan
perkawinan, dan pembatalan suatu perkawinan tersebut hanya
dapat diputuskan oleh pengadilan.2 Dari pengertian pembatalan
perkawinan tersebut, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1.
Bahwa dalam pembatalan perkawinan, suatu perkawinan tersebut
sudah terjadi; 2. Perkawinan tersebut dilakukan dengan tidak
memenuhi syarat-syarat perkawinan; 3. Pembatalan perkawinan
hanya dapat dilakukan oleh pengadilan.

Menurut Pasal 71 Kompilasi Hukum Islam, perkawinan


dapat dibatalkan apabila :

1. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan


Agama;

2. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui

2
Bakri A.Rahman dan Ahmad Sukardja., Hukum menurut Islam, UUP
dan Hukum Perdata/BW, PT. Hidakarya Agung, Jakarta, 1981
masih menjadi isteri pria lain yang mafqud (hilang);

3. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam masa


iddah dari suami lain;

4. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan


sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974;

5. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan


oleh wali yang tidak berhak;

6. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan;

Adapun pihak-pihak yang berhak untuk mengajukan


pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 23, 24, 25, 26, dan 27
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu:

1. Para keluarga dalam garis lurus ke atas dari suami atau dari
istri;

2. Suami atau istri itu;

3. Pejabat yang berwenang;

4. Pejabat yang ditunjuk;

5. Jaksa;
6. Suami atau istri yang melangsungkan perkawinan;

7. Setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara


langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya
setelah perkawinan itu putus3

3. Hak dan Kewajiban Suami Istri

Hak adalah kekuasaan seseorang untuk melakukan sesuatu


sedangkan kewajiban sesuatu yang harus di kerjakan. Kewajiban
suami istri adalah sesuatu yang harus suami laksanakan dan penuhi
untuk istrinya. Sedangkan kewajiban istri adalah sesuatu yang
harus istri laksanakan dan lakukan untuk suaminya. Begitu juga
dengan pengertian hak suami adalah sesuatu yang harus diterima
suami dari istrinya. Sedangkan hak isteri adalah sesuatu yang harus
di terima isteri dari suaminya. Dengan demikian kewajiban yang
dilakukan oleh suami merupakan upaya untuk memenuhi hak
isteri. Demikain juga kewajiban yang dilakukan istri merupakan
upaya untuk memenuhi hak suami, sebagaimana yang di jelaskan
Rasulullah SAW:
‫اﻻ إن ﻟﮝﻢ ﻋﻠﻰ ﻧﺴﺎﺋﮝﻢ ﺣﻗﺎ ﻮﻟﻨﺴﺎﺋﮝﻢﻋﻠﻴﮑﻢ ﺣﻗﺎ‬

Artinya : “ketahuilah, sesungguhnya kalian mempunyai


hak yang harus (wajib) ditunaikan oleh isteri kalian dan
kalianpun memiliki hak yang harus (wajib) kalian

3
Mulyadi., Hukum Perkawinan Indonesia, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang, 2008.
tunaikan” (HR; Shahil ibnu Majh no.1501, Tirmidzi II 315
no.1173 den Ibnu Majah I 594 no.1815).

Macam- Macam Hak Suami Dan Isteri


Hak-hak dalam perkawinan itu dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
hak bersama, hak isteri yang menjadi kewajiban suaminya dan
hak suami yang menjadi kewajiban isteri.

1. Hak bersama-sama
Hak bersama-sama antara suami dan isteri adalah sebagai berikut:

a. Halal bergaul antara suami isteri dan masing masing dapat


bersenang-senang antara satu sama lain.

b. Terjadi mahram semenda : isteri menjadi mahram ayah suami,


kakeknya, dan seterunya ke atas, demikian pula suami
menjadi mahram ibu isteri, neneknya, dan seterusnya ke atas.

c. Terjadi hubungan waris-mewaris antara suami dan isteri sejak


akad nikah di laksanakan. Isteri berhak menerima waris atas
peninggalan suami. Demikian pula, suami berhak waris atas
peninggalan isteri, meskipun mereka belum pernah
melakukan pergaulan suami isteri.

d. Anak yang lahir dari isteri bernasab pada suaminya (apabila


pembuahan terjadi sebagai hasil hubungan setelah menikah).

e. Bergaul dengan baik antara suami dan isteri sehingga tercipta


kehidupan yang harmonis dan damai.
Mengenai hak dan kewajiban bersama suami isteri, Undang-
Undang Perkawinan menyabutkan dalam Pasal 33 sebagai berikut,
“Suami isteri wajib cinta-mencintai, hormat-menghormati, setia
dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain”

2. Hak-hak isteri
Hak- hak isteri yang menjadi kewajiban suami dapat di bagi
menjadi dua, yatu: hak- hak kebendaan, yaitu mahar (maskawin)
serta nafkah, dan hak-hak bukan bendaan, misalnya berbuat adil di
antara para isteri (dalam perkawanan poligami), tidak berbuat hal-
hal yang merugikan isteri dan sebagianya.

3. Hak-hak suami
Hak-hak suami yang wajib dipenuhi isteri hanya merupakan hak-
hak bukan kebendaan sebab menurut hukum Islam isteri tidak
dibebani kewajiban kebendaan yang diperlukan untuk
mencukupkan kebutuhan hidup keluarga.

a. Hak ditaati
Q.S. An-Nisa : 34 mengajarkan bahwa kaum laki-laki (suami)
berkewajiban memimpin kaum perempuan (isteri) karena laki-laki
mempunyai kelebihan atas kaum perempuan (dari segi kodrat
kejadiannya), dan adanya kewajiban laki-laki memberi nafkah
untuk keperluan keluarganya.
Dari bagian pertama ayat 34 Q.S. : An-Nisa tersebut dapat
diperoleh ketentuan bahwa kewajiban suami memimpin isteri itu
tidak akan terselenggara dengan baik apabila isteri tidak taat
kepada pimpinan suami. Isi dari pengertian taat adalah :

1. Isteri supaya bertempat tinggal bersama suami di rumah


yang telah disediakan

2. Taat kepada perintah-perintah suami, kecuali apabila


melanggar larangannya

3. Berdiam di rumah, tidak keluar kecuali dengan izin suami

4. Tidak menerima masuknya seseorang tanpa izin suami.

b. Hak memberi pelajaran


Bagian kedua dari ayat 34 Q.S. An-Nisa mengajarkan, apabila
terjadi kekhwatiran suami bahwa isterinya bersikap membangkang
(nusyus), hendaklah nasihat secara baik-baik. Apabila dengan
nasihat, pihak isteri belum juga mau taat, hendaklah suami berpisah
tidur dengan isteri. Apabila masih belum juga kembali taat, suami
dibenarkan member pelajaran dengan jalan memukul (yang tidak
melukai dan tidak pada bagian muka).

4. Harta Kekayaan dalam Perkawinan


Harta kekayaan adalah benda milik seseorang yang
mempunyai nilai ekonomi. Dalam literatur hukum, benda adalah
terjemahan dari istilah bahasa Belanda zaak, barang adalah
terjemahan dari good, dan hak adalah terjemahan dari recht.
Menurut Pasal 499 KUH Perdata, pengertian benda meliputi
barang dan hak. Barang adalah benda berwujud, sedangkan hak
adalah benda tak berwujud4
Pada dasarnya menurut hukum Islam harta suami isteri itu
terpisah, jadi masing-masing mempunyai hak untuk menggunakan
atau membelanjakan hartanya dengan sepenuhnya, tanpa diganggu
oleh pihak lain. Harta benda yang menjadi hak sepenuhnya masing-
masing pihak ialah harta bawaan masing-masing sebelum
terjadinya perkawinan ataupun harta yang diperoleh masing-
masing pihak dalam masa perkawinan yang bukan merupakan
usaha bersama, misalnya menerima warisan, hibah, hadiah dan lain
sebagainya.
Apabila dilihat dari asalnya, harta kekayaan dalam
perkawinan itu dapat digolongkan menjadi tiga golongan 5:

1. Harta masing-masing suami isteri yang telah dimilikinya


sebelum kawin, baik diperolehnya karena mendapat
warisan atau usaha-usaha lainnya, dalam hal ini disebut
harta bawaan.

2. Harta masing-masing suami isteri yang diperolehnya


selama berada dalam hubungan perkawinan, tetapi
diperoleh bukan karena usaha mereka bersama-sama

4
Abdulkadir Muhammad, 1994, Hukum Harta Kekayaan,Citra Aditya
Bakti, Bandung, h.10.
5
Wasmandan Wardah Nuroniyah, 2011, Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia, Teras Yogyakarta, h.213.
maupun sendiri-sendiri, tetapi karena diperoleh seperti
hibah, warisan ataupun wasiat untuk masing-masing.

3. Harta yang diperoleh setelah mereka berada dalam


hubungan perkawinan atas usaha mereka berdua atau salah
satu pihak dari mereka, dalam hal ini disebut harta
pencaharian.

5. Pemeliharaan Anak
Berdasarkan Pasal 1 huruf g KHI, pemeliharaan anak yang
biasanya disebut hadanah merupakan kegiatan mengasuh,
memelihara, dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu
berdiri sendiri6. Menurut Pasal 98 ayat 1 KHI, batas usia anak yang
mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun7.
Menurut para ulama fiqh, pemeliharaan anak adalah
melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-
laki maupun perempuan atau yang sudah besar tetapi belum
mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya,
menjaganya dari sesuatu yang menyakitinyaan merusaknya,
mendidik jasmani, rohani, dan akalnya agar mampu berdiri sendiri
menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya8.
Rukun pemeliharaan atau pengasuhan anak adalah orang

6
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam (Bandung:
Nuansa Aulia, 2008),h. 2
7
Ibid., h. 31.
8
Slamet Abidin, Fiqih Munakahat 2 (Bandung: Pustaka Setia, 1991), h.
171.
yang mengasuh ( hadin ) dan anak yang diasuh ( mahdun )9.
Sedangkan syarat anak yang akan diasuh ( mahdun ) adalah masih
dalam usia kanak-kanak atau belum dapat berdiri sendiri dalam
mengurus hidupnya sendri dan dalam keadaan tidak sempurna
akalnya meskipun sudah dewasa. 10 Syarat pengasuh ( hadin ):11

a. Berakal sehat

b. Dewasa

c. Mampu mendidik

d. Amanah dan berbudi

e. Islam

f. Ibunya belum menikah lagi

g. Merdeka

6. Perwalian
Sementara makna perwalian dalam konteks hukum dan
kajian perkawinan adalah perwalian sebagaimana terdapat dalam
Pasal 1 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang menyatakan
bahwa perwalian adalah “Perwalian adalah kewenangan yang
diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan
hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang

9
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam ..., h. 328.
10
Ibid., h. 329.
11
Slamet Abidin, Fiqih Munakahat ..., h. 175-181.
tidak mempunyai kedua orang tua, orang tua yang masih hidup,
tidak cakap melakukan perbuatan hukum.” 12
Dari definisi tersebut tedapat beberapa unsur yang harus
diperhatikan, yaitu : kewenangan, bertindak sebagai wakil,
kepentingan anak, tidak mempunyai orang tua, orang tua tidak
cakap melakukan perbuatan hukum. Yang dimaksud dengan
kewenagan dalam definisi tersebut adalah kewenagan yang
diberikan kepada seseorang untuk melakukan perwalian
berdasarkan penetapan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap. Kemudian dalam definisi tersebut ada kata bertindak
sebagai wakil, artinya wali tersebut merupakan sebagai pengganti
dari orang sebenarnya, yaitu kedua orang tuanya dalam melakukan
perbuatan hukum untuk kepentingan anak. Lalu dalam definisi
terdapat kata “Tidak mempunyai orang tua atau tidak cakap
melakukan perbuatan hukum” berarti kedua orang tuanya
meninggal dunia atau hilang dan boleh jadi pergi tanpa kabar
apapun kepada anaknya, sehingga dapat menelantarkan anak. Yang
dimaksud dengan tidak cakap hukum adalah orang tidak berhak
dalam melakukan perbuatan hukum. Orang yang tidak cakap
hukum antara lain : orang gila, anak-anak dan orang dibawah
pengampuan.
Dalam fikih Islam Perwalian terbagi 3 macam, yakni sebagai

12
Ahmad Rofiq,Hukum Perdata Islam di Indonesia,Raja Grafindo
Persada,2013:Jakarta,hal 205
berikut:

a. Perwalian jiwa (diri pribadi)

b. Perwalian harta

c. Perwalian jiwa dan harta

BAB III
A. KESIMPULAN
1. Ada dua syarat pencegahan perkawinan dapat dilaksanakan
Pertama, syarat materiil adalah syarat yang berkaitan dengan
pencatatan perkawinan, akta nikah, dan larangan perkawinan.
Kedua, syarat administratif adalah syarat perkawinan yang
melekat pada setiap rukun perkawinan, yang meliputi calon
mempelai laki-laki dan wanita, saksi, wali, dan pelaksanaan
akad nikahnya.
2. Pembatalan perkawinan ialah suatu perkawinan yang sudah
terjadi dapat dibatalkan, apabila pihak tidak memenuhi syarat-
syarat untuk melangsungkan perkawinan, dan pembatalan
suatu perkawinan tersebut hanya dapat diputuskan oleh
pengadilan.
3. Hak-hak dalam perkawinan itu dapat dibagi menjadi tiga,
yaitu: hak bersama, hak isteri yang menjadi kewajiban
suaminya dan hak suami yang menjadi kewajiban isteri
4. pemeliharaan anak adalah melakukan pemeliharaan
anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun
perempuan atau yang sudah besar tetapi belum
mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan
kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang
menyakitinyaan merusaknya, mendidik jasmani, rohani,
dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi
hidup dan memikul tanggung jawabnya
5. Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada
seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum
sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak
yang tidak mempunyai kedua orang tua, orang tua yang
masih hidup, tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
B. DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir Muhammad, 1994, Hukum Harta Kekayaan,Citra
Aditya Bakti, Bandung
Ahmad Rofiq,Hukum Perdata Islam di Indonesia,Raja Grafindo
Persada,2013:Jakarta

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam


Mulyadi., Hukum Perkawinan Indonesia, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang, 2008
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum
Orang dan Keluarga (Personen en Familie-Recht), Surabaya:
Airlangga University Press, 1991
Slamet Abidin, Fiqih Munakahat
Slamet Abidin, Fiqih Munakahat 2 (Bandung: Pustaka Setia,
1991),
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam (Bandung:
Nuansa Aulia, 2008

Wasmandan Wardah Nuroniyah, 2011, Hukum Perkawinan Islam


di Indonesia, Teras Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai