Anda di halaman 1dari 18

AKIBAT HUKUM BERAKHIRNYA PERKAWINAN TERHADAP

PEMBAGIAN HARTA BENDA BERSAMA

Untuk memenuhi tugas Hukum Keluarga dan Harta Perkawinan

Dosen pengampu: Dr. Husni Syawali S.H. M.H

Nama: Suci Setiawati


Npm: 20040122010

PROGRAM STUDI PASCA SARJANA


MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan merupakan hal yang sangat sakral dan merupakan bagian dalam ibadah

dalam agama islam, Menurut Hukum Islam Nikah adalah Suatu Akad yaitu akad yang

menghalalkan suatu pergaulan (Hubungan Suami Istri) dan membatasi Hak dan Kewajiban

serta tolong menolong antara laki-laki dan perempuan yang dua-duanya bukan muhrim.

Artinya bila seorang Pria dan perempuan bersepakat diantara mereka untuk membentuk suatu

Rumah Tangga, maka hendaknya kedua calon suami istri tersebut terlebih dahulu melakukan

Akad Nikah.1

Dalam agama Islam perkawinan diartikan pernikahan atau akad yang sangat kuat atau

mitsaqah galidzan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah dan

perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaadah

dan rahmah (tenteram, damai, cinta dan kasih sayang). 2

Tujuan umum dari perkawinan itu sendiri, yakni : (1) Memperoleh ketenangan hidup

(Sakinah), Yang penuh cinta (Mawaddah), dan kasih sayang (Rahmah), Sebagai tujuan pokok

dan utama, (2) Tujuan reproduksi/regenerasi, (3) Pemenuhan kebutuhan biologis, (4) Menjaga

kehormatan, dan (5) Ibadah. Semua tujuan perkawinan tersebut adalah tujuan yang menyatu

1
Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan Menurut Hukum Islam,Undang-undang Perkawinan
dan Hukum Perdata/BW, Hidakarya Agung, Jakarta, 1981,hal.27.

2
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia,hlm 60, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995
dan terpadu (Integral dan induktif). Artinya, semua tujuan tersebut harus di letakan menjadi

suatu kesatuan yang utuh dan saling berkaitan.3

Perkawinan merupakan suatu proses menyatukan dua sifat manusia yang berbeda. Jika

terdapat perbedaan dari dua sifat manusia tersebut maka dapat menyebabkan konflik dan

mengakibatkan terjadinya perceraian. Apabila terjadi perceraian, maka terdapat pembagian

harta benda bersama dalam pernikahan tersebut.

Putusnya perkawinan karena kehendak suami atau istri atau kehendak keduanya, karena

adanya ketidakrukunan, disebut dengan istilah “perceraian”, yang bersumber dari tidak

dilaksanakannya hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai suami atau istri sebagaimana

seharusnya menurut hukum perkawinan yang berlaku. Konkretnya, ketidakrukunan antara

suami dan istri yang menimbulkan kehendak untuk memutuskan hubungan perkawinan

dengan cara perceraian, antara lain pergaulan antara suami dan istri yang tidak saling

menghormati, tidak saling menjaga rahasia masing-masing, keadaan rumah tangga yang tidak

aman dan tenteram, serta terjadi silang sengketa atau pertentangan pendapat yang sangat

prinsip. 4

Suatu perceraian akan membawa berbagai akibat hukum, salah satunya adalah berkaitan

dengan harta bersama dalam perkawinan. Yang diatur oleh hukum positif di Indonesia.

Harta benda bersama merupakan harta yang didapatkan selama masa perkawinan. Meski

yang bekerja hanya salah satu pihak. Kecuali harta bawaan dari istri atau dari suami. Juga

harta yang diperoleh dari pemberian. Berupa hadiah, atau harta warisan tidak termasuk harta

bersama.

3
Khoiruddin Nasution, Islam Tentang Relasi Suami Istri, Hukum perkawinan I,Cet ke-I, Academia dan Tazzafa,
Yogyakarta, 2004, hal. 47.
4
Muhammad Syaifuddin,,Hukum Perceraian,Hlm 6 Sinar Grafika, Jakarta, 2012,
Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, mendorong penulis untuk menulis

makalah mengenai AKIBAT HUKUM BERAKHIRNYA PERKAWINAN TERHADAP

PEMBAGIAN HARTA BENDA BERSAMA .


BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Perkawinan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975,

pelaksanaan perkawinan merupakan momentum yang penting dan harus dilestarikan, maka

selain perkawinan harus dilaksanakan sesuai dengan masing- masing agama dan

kepercayaannya, perkawinan hendaklah dicatatkan, sebagaimana ditetapkan dalam pasal 2

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ayat : “ (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan

menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu.” (2) “ Tiap-Tiap perkawinan

dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku.”

Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 1, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara

seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa.

Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 2, perkawinan adalah

pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau untuk mentaati perintah Allah dan

melaksanakannya merupakan ibadah.

Perkawinan adalah suatu peristiwa, dimana sepasang mempelai atau sepasang calon

suami atau isteri dipertemukan secara formal dihadapan penghulu atau kepala agama tertentu,
para saksi dan sejumlah hadlirin, untuk kemudian disyahkan secara resmi sebagai suami-

isteri, dengan upacara dan ritus-ritus tertentu.

Adanya ikatan lahir dan batin dalam perkawinan, berarti bahwa sebuah perkawinan itu

perlu adanya kedua ikatan tersebut. Ikatan lahir adalah merupakan ikatan yang tampak,

ikatan formal sesuai dengan peraturan-peraturan yanga ada. Ikatan formal ini adalah nyata,

baik yang mengikat dirinya, yaitu suami dan istri, maupun bagi orang lain, yaitu masyarakat

luas. Oleh karena itu perkawinan pada umumnya diinformasikan kepada masyarakat luas

agar masyarakat dapat mengetahuinya.

Maka dapat disimpulkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang

pria dan wanita dalam balutan perjanjian suci dengan Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai

pembuktian janjinya ini, maka pasangan yang menikah berkewajiban untuk saling mencintai

dan menyayangi, hormat-menghormati, beker- jasama, saling membantu, serta membina

hubungan yang baik dengan keluarga besarnya guna mewujudkan rumah tangga yang

bahagia dan sejahtera.5

B. Definisi Harta

Harta dalam pandangan Syariah memiliki makna yang berbeda dengan harta dalam

pandangan konvensional. Secara umum, hal yang membedakan antara keduanya adalah

terletak pada posisi harta, dalam pandangan konvensional harta sebagai alat pemuas,

sementara dalam pandangan syar’i posisi harta adalah sebagai wasilah/perantara untuk

5
Sri hariati, Kawin Kontrak Menurut Agama Islam, Hukum dan Realita dalam Masyarakat, Jurnal Hukum
JATISWARA | [ Fakultas Hukum Universitas Mataram]
melakukan penghambaan kepada Allah. Perbedaan pandangan ini berimplikasi pada definisi

tentang harta, fungsi harta, dan bahkan eksistensi harta.6

Menurut Mustafa Zarqa, para fuqaha’ memfokuskan harta pada dua faktar yang terdiri dua

unsur: ‘ayniyah dan ‘urf (jasa). ‘Ayniyah maksudnya adalah harta yang berwujud meteri

konkret, sedangkan ‘urf ialah berbagai hal yang dalam pandangan semua orang atau

sebagiannya saja bernilai, karena itu dapat dibarterkan dan yang lain. Demikian itu, dari sudut

pandang ekonomi, jelas bernilai ekonomi. Sebab itu jelas bisa diuangkan. Dari realitas ini,

Mustafa Zarqa dalam mendefinisikan harta adalah wujud materi konkret yang bernilai uang.

Definisi demikian jelas mengeluarkan bebrbagai hal yang bersifat haq, dari kategori harta dan

masuknya ke kategori kepemilikan. 7

Pengaturan harta dalam perkawinan diatur dalam Pasal 35 Ayat 1 dan Ayat 2 Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang berbunyi “(1) Harta benda yang

diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama (2) Harta bawaan dari masing-masing

suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing–masing sebagai hadiah atau warisan,

adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain”.

Berdasarkan Pasal 35 UU Perkawinan, dapat diketahui bahwa harta dalam perkawinan dibagi

menjadi 2 jenis yaitu harta bersama dan harta bawaan. Namun istilah harta bersama tidak

mengikat dalam perkawinan apabila antara suami dan istri telah membuat perjanjian pra nikah

sebelum perkawinan atau sesudah berlangsungnya perkawinan.8

Status harta di tangan manusia adalah:

b. Sebagai perhiasan hidup

6
Ibid
7
Faruq an-nabahan, Sistem Ekonomi Islam: Pilhan Setelah Kegagalan Sistem Kapitalis dan Sosialis, ter. Muhadi
Zainudin dan A. bahaudin Norsalim (Yogyakarta: UII Press Yogyakarta,2003), 28
8
https://pdb-lawfirm.id/perjanjian-pra-nikah-terhadap-perolehan-harta-benda-bersama-sebelum-terjadinya-
perkawinan/
Manusia mempunyai kecenderungan untuk memiliki, menguasai, dan menikmati

harta, sebagai perhiasan hidup harta sering menyebabkan keangkuhan,

kesombongan, serta kebanggaan.

b. Sebagai ujian keimanan

Bagaimana harta itu diperoleh dan untuk apa penggunaannya. Hal ini terutama

menyangkut soal cara mendapatkan dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan

ajaran islam atau tidak.

b. Sebagai bekal ibadah

Harta sebagai bekal ibadah yakni untuk melaksanakan perintahnya dan

melaksanakan muamalah di antara sesama manusia melalui kegiatan zakat, infak,

dan shadaqah.

b. Sebagai amanah

Harta-harta tersebut berstatus sebagai amanah (titipan) dari Allah dan manusia

hanyalah sebagai pemegang amanah tersebut. Setiap amanah yang diemban

manusia harus ada pertanggungjawabannya di hari akhir, dari mana hart aitu di

dapat dan bagaimana harta itu dihabiskan. 9

C. Definisi Harta benda bersama

9
Abdul Ghafur Anshari, Hukum dan Pemberdayaan Zakat: Upaya Sinergis Wajib dan Pajak di Indonesia
(Yogyakarta: Pilar Media, 2006), hlm 3
Harta bersama adalah harta yang diperoleh sepanjang perkawinan berlangsung sejak

perkawinan dilangsungkan hingga perkawinan berakhir atau putusnya perkawinan akibat

perceraian, kematian maupun putusan Pengadilan.10

Harta bersama meliputi:

a) Harta yang diperoleh sepanjang perkawinan berlangsung;

b) Harta yang diperoleh sebagai hadiah, pemberian atau warisan apabila tidak

ditentukan demikian;

c) Utang-utang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang

merupakan harta pribadi masing-masing suami istri.

Menurut Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa, harta

bersama suami-istri hanyalah meliputi .ta-harta yang diperoleh suami-istri sepanjang

perkawinan, ingga yang termasuk harta bersama adalah hasil dan pendapatan suami, hasil

dan pendapatan istri.

a. Harta Benda Bersama Menurut Hukum Adat

Hukum Adat menyatakan bahwa tidak semua harta benda yang dimiliki suami dan

isteri merupakan kesatuan harta kekayaan atau gono- gini. Yang termasuk dalam harta

gono-gini hanya harta benda yang diperoleh secara bersama sejak terjadinya ikatan

perkawinan. Harta benda yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan dan harta

warisan yang diperoleh selama masa perkawinan dimiliki masing-masing suami dan

isteri.11

10
Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum perkawinan dan Keluarga Di Indonesia,Hlm 96 Badan
Penerbit fakultas Hukum Universitas, Jakarta, 2004.

11
Sonny D.Judiasih, 2015. Harta Benda Perkawinan.Hlm 5, Bandung: PT. Refika Aditama.
Secara umum, hukum adat tentang harta gono-gini hampir sama di seluruh

daerah. Yang dapat dianggap sama adalah perihal atasnya harta kekayaan yang menjadi

harta bersama (harta satuan), sedangkan mengenai hal-hal lainnya, terutama agenai

kelanjutan dari harta kesatuan itu sendiri pada kenyataanya memang berbeda di masing-

masing daerah. 12

Hukum Adat mengatur harta kekayaan suami dan isteri menjadi 2 kelompok harta

yang dapat dirinci sebagai berikut, yaitu:16

1. Harta asal

Harta asal ialah harta yang dibawa ke dalam perkawinan oleh masing- masing

suami dan isteri. Harta ini adakalanya berasal dari harta warisan atau hadiah dari orang

tua atau kerabat dan nenek moyang masing-masing pihak. Kemungkinan lain bahwa

barang asal itu merupakan hasil dari usaha sendiri sebelum perkawinan berlangsung.

Barang-barang ini disetiap daerah disebut dengan istilah yang berbeda-beda, seperti

Pimbit (Dayak Ngaju), Sisila (Bugis Makasar), Babakan (Bali), Gono atau Gawang

(Jawa).

2. Harta bersama

Harta bersama ialah harta yang diperoleh dalam perkawinan. Harta semacam ini

disebut Harta Suarang (Minangkabau), Barang Perpantangan (Kalimantan), Gono-gini

(Jawa Tengah dan Jawa Timur), Guna Kaya atau Campur Kaya (Jawa Barat).13

b. Harta Benda Bersama Menurut Hukum Islam

12
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 17 No. 4 , Desember 2017
13
Ibid
Harta perkawinan dalam hukum Islam disebut syirkah, yaitu cara penyatuan atau

penggabungan harta kekayaan seseorang dengan harta orang lain. Al Qur’an dan hadis

tidak membicarakan harta bersama secara tegas, akan tetapi dalam kitab-kitab fikih ada

pembahasan yang dapat diartikan sebagai pembahasan harta bersama, yaitu yang disebut

syirkah atau syarikah. 14

Pasal 1 KHI menyebutkan bahwa harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah

adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama-sama suami-isteri selama

dalam ikatan perkawinan berlangsung, dan selanjutnya disebut harta bersama tanpa

mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.

Dalam Pasal 85 – Pasal 97 KHI, disebut bahwa harta perkawinan dapat dibagi atas:

a) Harta bawaan suami, yaitu harta yang dibawa suami sejak sebelum perkawinan;

b) Harta bawaan istri, yaitu harta yang dibawanya sejak sebelum perkawinan;

c) Harta bersama suami istri, yaitu harta benda yang diperoleh selama perkawinan

yang menjadi harta bersama suami istri;

d) Harta hasil dari hadiah, hibah, waris, dan shadaqah suami, yaitu harta yang

diperolehnya sebagai hadiah atau warisan;

e) Harta hasil hadiah, hibah, waris, dan shadaqah istri, yaitu harta yang diperolehnya

sebagai hadiah atau warisan.

c. Harta Benda Bersama Menurut KUHPerdata

14
Ibid
Menurut pasal 119 KUH Perdata menyatakan bahwa pada saat terjadinya

perkawinan, demi hukum berlakulah persatuan antara harta kekayaan suami dan isteri.

Dengan demikian, suatu perkawinan menyebakan pencampuran harta suami dan isteri

sebagai persatuan harta kekayaan bersama.

Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Masing-

masing suami-istri terhadap harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau

warisan adalah di bawah pengawasan masing- masing sepanjang para pihak tidak

menentukan lain. Tentang harta bersama ini, suami atau istri dapat bertindak untuk

berbuat sesuatu atas harta bersama itu atas persetujuan kedua belch pihak. Dinyatakan

pula bahwa suami atau istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan

hukum mengenai harta bersama tersebut apabila perkawinan putus karena perceraian,

maka harta bersama tersebut diatur menurut hukum masing-masing.

D. Pembagian Harta Benda Bersama Setelah Berakhirnya Perkawinan

a. Pembagian Harta Bersama menurut Hukum Adat

Menurut Djojodigoeno peristiwa perceraian menurut hukum adat adalah merupakan

peristiwa yang luar biasa, merupakan problem sosial dan yuridis yang penting dalam kebanyakan

daerah di Indonesia Menurut hukum adat yang dimaksud harta perkawinan adalah, semua harta

yang dikuasai suami istri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta kerabat yang

dikuasai, maupun harta perorangan yang berasal dari harta warisan, harta hibah, harta penghasilan

sendiri, harta pencaharian hasil bersama suami istri, dan barang-barang hadiah. Kesemuanya itu

dipengaruhi oleh prinsip kekerabatan yang dianut setempat dan bentuk perkawinan yang berlaku

terhadap suami istri yang bersangkutan.


Di berbagai daerah pembagian harta benda bersama berbeda-beda di Jawa Tengah memiliki

kebiasaan yaitu suami mendapatkan duapertiga dan istri mendapat sepertiga. Azas pembagian

tersebut di Jawa Tengah disebut azas sakgendong sakpikul. Tata cara pembagian seperti ini juga

dikenal di pulau Bali berdasarkan azas sasuhun- sarembat. Demikian pula di Kepulauan Banggai,

terdapat azas dua-pertiga dan sepertiga tersebut. Akan tetapi, dalam perkembangannya, azas

sakgendong sakpikul, atau sasuhun-sarembat, dalam pembagian harta bersama makin lama makin

lenyap. Jika salah satu pihak meninggal dunia, maka lazimnya semua harta bersama tetap berada

di bawah kekuasaan pihak yang masih hidup dan dia berhak untuk menggunakan harta bersama

tersebut untuk keperluan hidupnya. 15

Tetapi, dalam hal sudah tersedia secara pantas sejumlah harta yang diambilkan dari harta

bersama tersebut untuk keperluan hidupnya, maka kelebihannya dapat dibagi oleh para ahli waris

Kalau terdapat anak, maka anak itulah yang menerima bagiannya sebagai baran asal. Sedangkan

kalau tidak ada anak, maka sesudah kematian suami atau istri yang hidup lebih lama, harta

bersama tersebut harus dibagi antara kerabat suami dan kerabat istri menurut ukuran pembagian

yang sama dengan ukuran pembagian yang digunakan suami istri seandainya mereka masih hidup

serta membagi harta bersama tersebut.

b. Pembagian Harta Bersama Menurut Hukum Islam

Macam-macam perkongsian atau syarikah menurut para ulama dijelaskan sebagai

berikut:

1. Mazhab Hanafi

Syarikah dibagi dua bagian, yaitu syarikah milik dan syarikah uqud. Syarikah milik

adalah perkongsian antara dua orang atau lebih terhadap sesuatu tanpa adanya akad
15
Besse Sugiswati, KONSEPSI HARTA BERSAMA DARI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM, KITAB UNDANG-
UNDANG HUKUM PERDATA DAN HUKUM ADAT Fakultas Hukum Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
atau perjanjian. Syarikah uqud adalah perkongsian modal, tenaga, dan perkongsian

modal tetapi sama-sama mendapat kepercayaan orang.

2. Mazhab Maliki

Syarikah dibagi dalam enam bagian, yaitu syarikah mufawadhah (perkongsian tak

terbatas), syarikah inaan (perkongsian terbatas), syarikah amal (perkongsian tenaga),

syarikah dziman (perkongsian kepercayaan), syarikah jabar (perkongsian karena turut

hadir), dan syarikah mudharabah (perkongsian berdua laba).

3. Mazhab Syafi’i

Membagi syarikah dalam empat bagian, yaitu syarikah inaan (perkongsian terbatas),

syarikah abdaan (perkongsian tenaga), syarikah mufawadhah (perkongsian tak

terbatas) dan syarikah wujuuh (perkongsian kepercayaan).

4. Mazhab Hambali

Syarikah dibagi dua, yaitu syarikah fil mall (perkongsian kekayaan) dan syarikah fil

uqud (perkongsian berdasarkan perjanjian).

Menurut Pasal 97 Kompilasi Hukum dinyatakan bahwa apabila perkawinan putus

baik karena perceraian maupun karena kamatian, maka masing-masing suami istri

mendapatkan separoh dari harta bersama yang diperoleh selama perkawinan berlangsung.

Apabila pasangan suami istri yang bercerai, kemudian masalah gono-gini atau harta

bersamanya dilakukan dengan cara musyawarah atau pedamaian, maka pembagiaannya

bisa ditentukan berdasarkan kesepakatan atau kerelaan di antara mereka berdua.


c. Pembagian Harta Bersama menurut KUHPerdata

Menurut KUHPerdata pembagian harta dapat dilakukan atas bukti-bukti yang

diajukan oleh penggugat dan tergugat. Pengajuan bukti yang kuat dimiliki oleh penggugat

sehingga penggugat memperoleh bagin ¾ bagian dan tergugat memperoleh ¼ bagian.

Menurut pasal 128 KUHPerdata setelah bubarnya harta bersama, kekayaan bersama

dibagi dua antara suami dan isteri, tetapi dapat terjadi perubahan pembagian sesuai bukti-

bukti secara hukum dalam prose peradilan

BAB II

KESIMPULAN

A. Simpulan

Pembagian harta benda bersama setelah berakhirnya perkawinan berbeda-beda, dalam

hukum adat perbedaan antara adat satu dan yang lainnya juga berbeda. Mengenai
pembagian harta bersama secara Adat, beberapa daerah di Jawa Tengah memiliki

kebiasaan yaitu suami mendapatkan duapertiga dan istri mendapat sepertiga. Azas

pembagian tersebut di Jawa Tengah disebut azas sakgendong sakpikul. Tata cara

pembagian seperti ini juga dikenal di Pulau Bali berdasarkan azas sasuhun-sarembat.

Demikian pula di Kepulauan Banggai, terdapat azas duapertiga dan sepertiga tersebut.

Kemudian menurut hukum islam cara pembagian harta bersama berdasarkan musyawarah

dan mufakat juga bisa ditentukan berdasarkan kesepakatan atau kerelaan di antara mereka

berdua. Sedangkan menurut KUHPeradata dalam pembagian harta benda bersama harus

terdapat pembuktian dalam proses peradilan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Abdul Ghafur Anshari, Hukum dan Pemberdayaan Zakat: Upaya Sinergis Wajib dan Pajak di

Indonesia
Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan Menurut Hukum Islam,Undang-
undang Perkawinan dan Hukum Perdata/BW, Hidakarya Agung, Jakarta, 1981

D.Judiasih, 2015. Harta Benda Perkawinan.Hlm 5, Bandung: PT. Refika Aditama.

Faruq an-nabahan, Sistem Ekonomi Islam: Pilhan Setelah Kegagalan Sistem Kapitalis dan
Sosialis

Khoiruddin Nasution, Islam Tentang Relasi Suami Istri, Hukum perkawinan I,Cet ke-I,

Academia dan Tazzafa, Yogyakarta, 2004,

Roos Nelly “Ketentuan perjanjian pra nikah dalam Hukum perkawinan di Indonesia” volume
7,juli-des 2018,

Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum perkawinan dan Keluarga Di Indonesia,
Badan Penerbit fakultas Hukum Universitas, Jakarta, 2004.

Undang-Undang:

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Hukum Adat

Kompilasi Hukum Islam

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

Jurnal:

Sri hariati, Kawin Kontrak Menurut Agama Islam, Hukum dan Realita dalam Masyarakat, Jurnal

Hukum JATISWARA | [ Fakultas Hukum Universitas Mataram]

Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 17 No. 4 , Desember 2017

Besse Sugiswati, KONSEPSI HARTA BERSAMA DARI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM,

KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM PERDATA DAN HUKUM ADAT Fakultas Hukum

Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Sumber Internet:
https://pdb-lawfirm.id/perjanjian-pra-nikah-terhadap-perolehan-harta-benda-bersama-sebelum-terjadinya-
perkawinan/
https://www.hukumonline.com/berita/a/perjanjian-pranikah-lt61e183be2eb91/?page=all

Anda mungkin juga menyukai